Pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada Pusat Investasi Pemerintah
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disingkat UMKM adalah usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada Pusat Investasi Pemerintah yang selanjutnya disebut Pembiayaan UMKM adalah program fasilitas pembiayaan konvensional atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang dilaksanakan oleh Pusat Investasi Pemerintah kepada UMKM yang disertai dengan pendampingan.
Pembiayaan UMi adalah Pembiayaan UMKM dengan plafon sampai dengan Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) yang diberikan kepada usaha mikro yang memenuhi kriteria sebagai debitur.
Pembiayaan UMi Produktif yang selanjutnya disebut Pembiayaan UMi Pro adalah Pembiayaan UMKM dengan plafon di atas Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) yang diberikan kepada UMKM yang memenuhi kriteria sebagai debitur.
Pusat Investasi Pemerintah yang selanjutnya disingkat PIP adalah unit organisasi noneselon di bidang Pembiayaan UMKM yang menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan dan Undang- Undang mengenai perbankan syariah.
Lembaga Keuangan Bukan Bank yang selanjutnya disingkat LKBB adalah badan usaha yang menyediakan pelayanan jasa keuangan serta bukan merupakan Bank, perusahaan asuransi, dan lembaga penjamin.
Debitur adalah pelaku UMKM yang memperoleh fasilitas Pembiayaan UMKM.
Lembaga Non Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut Lembaga NonLJK adalah badan usaha yang tidak termasuk dalam kategori lembaga jasa keuangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan di bidang sektor keuangan yang memfasilitasi Debitur untuk memperoleh Pembiayaan UMKM.
Penyalur adalah lembaga yang memperoleh pembiayaan dari PIP untuk menyalurkan Pembiayaan UMKM.
Lembaga Linkage adalah LKBB yang menjadi mitra kerja Penyalur untuk menyalurkan Pembiayaan UMKM.
Sistem Informasi Kredit Program yang selanjutnya disingkat SIKP adalah sistem informasi elektronik yang digunakan untuk menatausahakan dan menyediakan informasi penyaluran kredit program.
SIKP UMi adalah SIKP untuk mengelola data Debitur Pembiayaan UMKM yang diselenggarakan oleh PIP.
Kerja sama program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b merupakan kerja sama antara PIP dan pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) untuk:
mengembangkan program Pembiayaan UMKM; dan
pemberdayaan UMKM.
Bentuk kerja sama pengembangan program Pembiayaan UMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa:
leveraging atas potensi piutang Pembiayaan UMKM;
dukungan pembangunan basis data tunggal UMKM;
perluasan penyaluran Pembiayaan UMKM;
peningkatan kapasitas pelaku UMKM;
penguatan ekosistem Pembiayaan UMKM; dan/atau
bentuk kerja sama lain yang bertujuan untuk pengembangan UMKM.
Bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dituangkan dalam dokumen kesepakatan yang paling sedikit memuat informasi mengenai:
program yang disinergikan;
hak dan kewajiban;
sumber pembiayaan;
pembebanan biaya yang dibutuhkan; dan
monitoring dan evaluasi.
Bentuk kerja sama pemberdayaan UMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa:
pemenuhan legalitas usaha dan sertifikasi produk;
peningkatan kualitas produk dan kapasitas usaha;
peningkatan kemampuan pengelolaan keuangan usaha;
peningkatan kemampuan pemasaran produk; dan/atau e. bentuk kerja sama lain pemberdayaan UMKM.
Biaya dalam rangka kerja sama program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibebankan pada daftar isian pelaksanaan anggaran PIP.
Ketentuan mengenai kerja sama program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Direktur Utama PIP.
Tata Cara Pembentukan dan Pengelolaan Dana Abadi Daerah
Relevan terhadap
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 82 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pembentukan dan Pengelolaan Dana Abadi Daerah;
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing pembantu pengguna anggaran bendahara umum negara baik di kantor pusat maupun kantor Daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari bagian anggaran bendahara umum negara.
Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Kepala Daerah dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Bendahara Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BUD adalah pejabat pengelola keuangan daerah yang bertindak dalam kapasitas sebagai bendahara umum Daerah.
Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.
Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat KUA adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun.
Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara yang selanjutnya disingkat PPAS adalah program prioritas dan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada Perangkat Daerah untuk setiap program dan kegiatan sebagai acuan dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja Perangkat Daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu) periode anggaran.
Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari transfer ke Daerah yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan kinerja tertentu yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antar Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.
Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari transfer ke Daerah yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antar-Daerah.
Kapasitas Fiskal Daerah adalah kemampuan keuangan masing-masing Daerah yang dihitung berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Menteri untuk berbagai kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dana Abadi Daerah yang selanjutnya disingkat DAD adalah dana yang bersumber dari APBD yang bersifat abadi dan dana hasil pengelolaannya dapat digunakan untuk belanja Daerah dengan tidak mengurangi dana pokok.
Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat pembuat komitmen, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat penanda tangan SPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari daftar isian pelaksanaan anggaran.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara selaku kuasa bendahara umum negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara berdasarkan SPM.
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja Perangkat Daerah atau unit satuan kerja Perangkat Daerah pada satuan kerja Perangkat Daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
Unit Pengelola DAD yang selanjutnya disingkat UPD adalah pelaksana fungsi operasional pengelolaan DAD yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.
Unit Pelaksana Program yang selanjutnya disingkat UPP adalah Perangkat Daerah yang ditugasi untuk melaksanakan program dan/atau kegiatan yang didanai oleh DAD.
Lembaga Keuangan Bank yang selanjutnya disingkat LKB adalah lembaga keuangan yang memberikan jasa keuangan dan menarik dana dari masyarakat secara langsung, termasuk LKB yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah.
Lembaga Keuangan Bukan Bank yang selanjutnya disingkat LKBB adalah lembaga atau badan pembiayaan yang melakukan kegiatan dalam bidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan cara mengeluarkan surat berharga dan menyalurkan kepada masyarakat terutama untuk membiayai investasi Pemerintah/Pemerintah Daerah atau swasta, termasuk LKBB yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah.
Surplus adalah selisih lebih antara pendapatan yang berasal dari hasil pengelolaan DAD dengan pengeluaran dalam rangka pemanfaatan hasil pengelolaan DAD pada tahun tertentu.
Tunggakan Penarikan Pokok DAD yang selanjutnya disebut Tunggakan adalah jumlah kewajiban pengembalian penarikan pokok DAD oleh Pemerintah Daerah.
Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.
Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Pendanaan Desentralisasi
Relevan terhadap 4 lainnya
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 93 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Pendanaan Desentralisasi;
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK PENDANAAN DESENTRALISASI TATA CARA PENYUSUNAN KERANGKA KERJA LOGIS PEMANTAUAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN PENDANAAN DESENTRALISASI Sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional ( PP HKFN), pemantauan dan evaluasi perlu dilakukan terhadap pelaksanaan pendanaan desentralisasi minimal terhadap pelaksanaan TKD, pelaksanaan APBD, dan terhadap aspek pendanaan desentralisasi lainnya. Pemantauan dan evaluasi tersebut dilakukan secara bersinergi atas pencapaian program prioritas nasional dan Daerah menggunakan platform digital yang dapat diselaraskan dengan berbagai pelaksanaan dan evaluasi oleh Kementerian/Lembaga dan Daerah. Sinergi yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini adalah integrasi substansi pelaksanaan pendanaan desentralisasi atas pelaksanaan TKD, pelaksanaan APBD, dan/atau pelaksanaan aspek desentralisasi lainnya ke platform digital yang dapat terinterkoneksi dengan berbagai sistem di luar SIKD. Hasil dari integrasi substansi pelaksanaan pendanaan desentralisasi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan Pemerintah dalam pengambilan kebijakan fiskal nasional, TKD, dan/atau pemberian sanksi atau insentif kepada Pemerintah Daerah. Pengintegrasian pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pendanaan desentralisasi dalam rangka mendukung sinergi kebijakan fiskal nasional menggunakan platform digital secara konkret bertujuan antara lain untuk:
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Kementerian Keuangan adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi nonkementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Rencana Kerja Pemerintah yang selanjutnya disingkat RKP adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 1 (satu) tahun yang dimulai pada tanggal 1 Januari dan berakhir pada tanggal 31 Desember.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal yang selanjutnya disingkat KEM PPKF adalah dokumen negara yang memuat gambaran dan desain arah kebijakan ekonomi makro dan fiskal sebagai bahan pembicaraan pendahuluan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun anggaran berikutnya.
Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disingkat SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu) periode anggaran.
Pembiayaan Utang Daerah adalah setiap penerimaan Daerah yang harus dibayar kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Dana Abadi Daerah yang selanjutnya disingkat DAD adalah dana yang bersumber dari APBD yang bersifat abadi dan dana hasil pengelolaannya dapat digunakan untuk belanja Daerah dengan tidak mengurangi dana pokok.
Sistem Informasi Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat SIKD adalah suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan, serta mengolah data pengelolaan keuangan Daerah, data kinerja Daerah, dan data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan, serta sebagai bahan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah.
Sumber Dana adalah referensi bagan akun standar Pemerintah Daerah yang diklasifikasikan berdasarkan referensi akun penerimaan APBD baik pendapatan maupun penerimaan pembiayaan, termasuk sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya, dengan kedalaman informasi sampai dengan level yang memudahkan pelaporan pada APBD.
Walidata adalah unit pada instansi pusat dan instansi daerah yang melaksanakan kegiatan pengumpulan, pemeriksaan, dan pengelolaan data yang disampaikan oleh produsen data, serta menyebarluaskan data.
Keluaran ( output ) yang selanjutnya disebut Keluaran adalah barang atau jasa yang merupakan hasil akhir dari pelaksanaan kegiatan dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional dan/atau merupakan hasil akhir dari pelaksanaan subkegiatan dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan Daerah.
Hasil ( outcome ) yang selanjutnya disebut Hasil adalah ukuran atau indikator atas tercapainya sasaran berupa hasil langsung ( immediate outcome ), hasil antara ( intermediate outcome ), dan dampak/hasil final ( final outcome ) menurut kerangka kerja logis.
Dampak / Hasil Final (Final Outcome) yang selanjutnya disebut Dampak / Hasil Final __ adalah perubahan atau efek yang terjadi sebagai akibat dari pencapaian hasil langsung ( immediate outcome ) dan hasil antara ( intermediate outcome ).
Manfaat adalah nilai positif yang diperoleh dari Dampak/Hasil Final.
Pemantauan adalah kegiatan mengamati perkembangan pelaksanaan rencana kegiatan, mengidentifikasi serta mengantisipasi permasalahan yang timbul dan/atau akan timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin.
Evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi input, proses, Keluaran, Hasil, Dampak/Hasil Final, dan/atau Manfaat terhadap rencana dan standar.
Platform Digital Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional yang selanjutnya disebut Platform Digital SKFN adalah suatu wadah penggunaan teknologi digital terintegrasi untuk meningkatkan layanan publik dan menciptakan nilai publik dalam rangka sinergi kebijakan fiskal nasional.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.04/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor berdasarkan Persetujuan a ...
Relevan terhadap
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/ Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, yang melakukan importasi dengan menggunakan skema e-Form JIEPA, wajib mencantumkan:
kode fasilitas Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi secara benar; dan
nomor dan tanggal e-Form JIEPA secara benar pada:
Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di TPB;
pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB;
PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean; atau
pemberitahuan pabean pemasukan barang ke KEK dari luar Daerah Pabean.
Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Importir, Penyelenggara/ Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK dikecualikan dari kewajiban penyerahan lembar asli SKA Form JIEPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Dalam hal SKP belum tersedia, terjadi gangguan, atau kegagalan sistem, Pejabat Bea dan Cukai meminta hasil cetak atau pindaian e-Form JIEPA kepada lmportir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK.
Hasil cetak atau pindaian e-Form JIEPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib disampaikan dengan merujuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Importir wajib:
dihapus;
mencantumkan kode fasilitas Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi pada Pemberitahuan Impor Barang (PIB) secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form JIEPA pada Pemberitahuan Impor Barang (PIB) secara benar.
Dihapus.
Dihapus.
Dihapus.
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Penyelenggara/Pengusaha TPB wajib:
dihapus;
dihapus;
mencantumkan kode fasilitas Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi pada pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di TPB secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form JIEPA pada pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di TPB secara benar.
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Penyelenggara/Pengusaha PLB wajib:
dihapus;
dihapus; __ c. mencantumkan kode fasilitas Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi pada pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form JIEPA pada pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB secara benar.
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pengusaha di __ Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, wajib:
dihapus;
mencantumkan kode fasilitas Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi pada PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form JIEPA pada PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean secara benar.
Dihapus.
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, wajib:
dihapus;
dihapus;
mencantumkan kode fasilitas Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi pada PPKEK pemasukan barang ke KEK dari luar Daerah Pabean secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form JIEPA pada PPKEK pemasukan barang ke KEK dari luar Daerah Pabean secara benar.
Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, menyerahkan Dokumen Pelengkap Pabean dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Dalam hal penyerahan dokumen secara elektronik telah tersedia dalam SKP, Dokumen Pelengkap Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dapat diserahkan secara elektronik.
Lembar asli SKA Form JIEPA yang disampaikan oleh Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, meliputi:
lembar asli dari SKA Form JIEPA atas barang yang diimpor;
lembar asli SKA Form JIEPA ISSUED RETROACTIVELY , dalam hal SKA Form JIEPA diterbitkan lebih dari 3 (tiga) hari sejak Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi;
lembar asli SKA Form JIEPA baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dalam hal SKA Form JIEPA asli hilang atau rusak; atau
lembar asli SKA Form JIEPA sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c, yang telah dikoreksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4).
SKA Form JIEPA yang disampaikan oleh Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/ Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, harus masih berlaku pada saat:
Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
pemberitahuan pabean impor barang __ untuk ditimbun di TPB;
pemberitahuan pabean pemasukan barang impor untuk ditimbun di PLB;
PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean; atau
PPKEK pemasukan barang ke KEK dari luar Daerah Pabean, mendapat nomor pendaftaran dari Kantor Pabean.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
Kawasan yang Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.
Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan, yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah TPB untuk menimbun barang asal luar Daerah Pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam Daerah Pabean, dapat disertai dengan __ 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya __ disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan TPB.
Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.
Penyelenggara/Pengusaha TPB adalah:
penyelenggara kawasan berikat;
penyelenggara kawasan berikat sekaligus pengusaha kawasan berikat;
pengusaha di kawasan berikat merangkap penyelenggara di kawasan berikat;
penyelenggara gudang berikat;
penyelenggara gudang berikat sekaligus pengusaha gudang berikat; atau
pengusaha di gudang berikat merangkap penyelenggara di gudang berikat.
Penyelenggara/Pengusaha PLB adalah:
penyelenggara PLB;
penyelenggara PLB sekaligus pengusaha PLB; atau
pengusaha di PLB merangkap sebagai penyelenggara di PLB.
Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK adalah:
Badan Usaha KEK; atau
Pelaku Usaha di KEK.
dihapus.
Tarif Preferensi adalah tarif bea masuk berdasarkan Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi __ yang besarannya ditetapkan dalam Peraturan Menteri mengenai penetapan tarif bea masuk dalam rangka Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi.
PPFTZ dengan Kode 01 yang selanjutnya disebut PPFTZ-01 adalah pemberitahuan pabean untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas, dari dan ke luar Daerah Pabean, dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TLDDP.
12a. Pemberitahuan Pabean Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat PPKEK adalah pemberitahuan pabean untuk kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KEK.
Harmonized Commodity Description and Coding System yang selanjutnya disebut Harmonized System (HS) adalah standar internasional atas sistem penamaan dan penomoran yang digunakan untuk pengklasifikasian produk perdagangan dan turunannya yang dikelola oleh World Customs Organization (WCO).
Penelitian Ulang adalah penelitian kembali atas tarif dan/atau nilai pabean yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean impor dan penelitian kembali atas tarif, harga, jenis, dan/atau jumlah barang yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean ekspor melalui pengujian dengan data, informasi, dan dokumen lain terkait yang dilakukan di Kantor Pusat, Kantor Wilayah, atau Kantor Pelayanan Utama oleh pejabat bea dan cukai.
Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.
Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.
Ketentuan Asal Barang __ ( Rules of Origin ) yang selanjutnya disebut Ketentuan Asal Barang adalah ketentuan khusus yang ditetapkan berdasarkan Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi untuk menentukan negara asal barang . 19. Negara Anggota adalah negara yang menandatangani Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi.
Bahan Originating adalah bahan yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi.
Barang Originating adalah barang yang memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi.
Bahan Non-Originating adalah bahan yang berasal dari luar Negara Anggota atau bahan yang tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang berdasarkan Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi.
Aturan Khusus Produk ( Product Specific Rules ) yang selanjutnya disebut PSR adalah aturan-aturan yang merinci mengenai:
barang yang proses produksinya menggunakan Bahan Non-Originating , dan Bahan Non- originating tersebut harus mengalami perubahan klasifikasi atau Change in Tariff Classification (CTC);
barang yang proses produksinya menggunakan Bahan Non-Originating yang memenuhi kriteria kandungan bilateral sejumlah nilai tertentu yang dinyatakan dalam persentase;
barang yang mengalami suatu proses pabrikasi atau proses operasional tertentu; atau
kombinasi dari setiap kriteria tersebut.
Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal yang selanjutnya disebut Instansi Penerbit SKA adalah instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Negara Anggota pengekspor dan diberi kewenangan untuk menerbitkan SKA Form JIEPA atas barang yang akan diekspor.
Surat Keterangan Asal ( Certificate of Origin ) Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi yang selanjutnya disebut SKA Form JIEPA adalah dokumen pelengkap pabean yang diterbitkan oleh Instansi Penerbit SKA yang akan digunakan sebagai dasar pemberian Tarif Preferensi.
Dihapus. 27. Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya invoice, packing list, bill of lading/ airway bill, manifest , dan dokumen lainnya yang dipersyaratkan.
Surat Keterangan Asal Elektronik Form JIEPA yang selanjutnya disebut e-Form JIEPA adalah SKA Form JIEPA yang disusun berdasarkan panduan dan spesifikasi yang disepakati oleh Negara Anggota dan dikirim secara elektronik ke negara penerima.
Non-Party Invoice adalah invoice yang diterbitkan oleh perusahaan lain yang berlokasi di negara ketiga (selain Negara Anggota).
Dihapus. 31. Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi adalah tanggal bill of lading untuk moda pengangkutan laut, tanggal airway bill untuk moda pengangkutan udara, atau tanggal dokumen pengangkutan darat untuk moda pengangkutan darat.
Permintaan Retroactive Check adalah permintaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai kepada Instansi Penerbit SKA untuk mendapatkan informasi mengenai __ pemenuhan Ketentuan __ Asal Barang dan/atau keabsahan SKA Form JIEPA.
Verification Visit adalah kegiatan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai di negara penerbit SKA Form JIEPA untuk memperoleh data atau informasi mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang, dan/atau keabsahan SKA Form JIEPA.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
Tata Cara Penjaminan Pemerintah untuk Pelaku Usaha Korporasi melalui Badan Usaha Penjaminan yang Ditunjuk dalam rangka Pelaksanaan Program Pemulihan E ...
Relevan terhadap 7 lainnya
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah untuk Pelaku Usaha Korporasi melalui Badan Usaha Penjaminan yang Ditunjuk dalam rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Dalam rangka pelaksanaan penugasan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), LPEI berhak mendapatkan IJP.
IJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibayarkan oleh Pemerintah melalui Menteri dengan ketentuan sebagai berikut:
untuk Pelaku Usaha dengan plafon pinjaman antara Rp 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah), IJP yang dibayarkan sebesar 100% (seratus persen);
untuk Pelaku Usaha dengan plafon pinjaman antara Rp 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah) sampai dengan Rp 300.000.000.000,- (tiga ratus miliar rupiah), IJP yang dibayarkan sebesar 100% (seratus persen); atau
untuk Pelaku Usaha dengan plafon pinjaman antara Rp 300.000.000.000,- (tiga ratus miliar rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah), IJP yang dibayarkan sebesar 50% (lima puluh persen) dan 50% (lima puluh persen) sisanya dibayarkan oleh Pelaku Usaha.
IJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dihitung dengan formula, yaitu besaran IJP = tarif IJP x plafon Pinjaman.
Tarif IJP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan untuk pertama kali oleh Menteri melalui surat.
Besaran tarif IJP sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat dilakukan evaluasi dan penyesuaian oleh Menteri setiap 3 (tiga) bulan.
Penyesuaian tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ditetapkan melalui surat Menteri.
Tarif IJP dan penyesuaian besaran tarif IJP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), ditetapkan dengan memperhatikan:
keputusan mengenai kebijakan penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
laporan keuangan LPEI;
kemampuan Pemerintah melalui Menteri dalam menyediakan alokasi belanja pembayaran IJP; dan/atau d. data dan informasi pendukung lainnya, antara lain proyeksi non performing loan (NPL), besaran porsi penjaminan, batasan loss limit , dan jangka waktu Pinjaman.
Dalam menetapkan besaran tarif IJP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), Menteri dapat meminta masukan dari pihak yang kompeten dan independen, serta pihak yang terkait lainnya.
IJP yang dibayarkan oleh Pemerintah melalui Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan belanja subsidi atas pelaksanaan program PEN.
Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di lbu Kota Nusantara ...
Pengelolaan Insentif Fiskal Tahun Anggaran 2024 untuk Penghargaan Kinerja Tahun Sebelumnya
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN INSENTIF FISKAL TAHUN ANGGARAN 2024 UNTUK PENGHARGAAN KINERJA TAHUN SEBELUMNYA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 4. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota. 5. Daerah Tertinggal adalah Daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan Daerah lain dalam skala nasional. 6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang. selanjutnya disingkat APED adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. 8. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan jdih.kemenkeu.go.id mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 9. Insentif Fiskal adalah dana yang bersumber dari APBN yang diberikan kepada Daerah atas pencapaian Kinerja berdasarkan kriteria tertentu berupa perbaikan dan/atau pencapaian Kinerja pemerintahan daerah antara lain pengelolaan keuangan daerah, pelayanan umum pemerintahan, pelayanan dasar, dukungan terhadap kebijakan strategis nasional, dan/atau pelaksanaan kebijakan fiskal nasional. 10. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara. 11. Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga. 12. Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA BUN adalah dokumen rencana keuangan tahunan dari BUN yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari pembantu pengguna anggaran BUN, yang disusun menurut BA BUN. 13. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggungjawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. 14. Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor Daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. 15. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN. 16. Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana TKD adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan dalam rangka pelaksanaan TKD. 17. Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral. 18. Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh Kepala Daerah untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan. 19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. jdih.kemenkeu.go.id 20. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat J enderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 21. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat pembuat komitmen, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 22. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat penandatangan surat perintah membayar untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA. 23. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 24. Verifikasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan dan kesesuaian formil dokumen persyaratan penyaluran Insentif Fiskal. 25. Administrator Pusat adalah pegawai negeri sipil yang bertugas untuk melakukan penelitian terhadap persyaratan penyaluran Insentif Fiskal. 26. Administrator Daerah adalah aparatur sipil negara Daerah yang ditugaskan untuk mengelola, menyusun, dan menyampaikan persyaratan penyaluran Insentif Fiskal. Pasal 2 Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi pengelolaan Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya. BAB II PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA PENGELOLAAN INSENTIF FISKAL Pasal 3 (1) Dalam rangka pengelolaan Insentif Fiskal, Menteri selaku Pengguna Anggaran BUN Pengelola TKD menetapkan:
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pemimpin PPA BUN Pengelola TKD;
Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagai KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan;
Kepala KPPN sebagai KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan; dan
Direktur Pelaksanaan Anggaran sebagai koordinator KPA BUN Penyaluran TKD. (2) Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan Kepala KPPN yang wilayah kerjanya meliputi Daerah provinsi/kabupaten/kota penerima alokasi Insentif Fiskal. jdih.kemenkeu.go.id (3) Dalam ha! pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berhalangan, Menteri menunjuk Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pelaksana tugas KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (4) Dalam ha! pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berhalangan, Menteri menunjuk pejabat pelaksana tugas/pelaksana harian Kepala KPPN sebagai pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (5) Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat definitifyang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c:
tidak terisi dan menimbulkan lowongan jabatan. b. masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN tidak dapat melaksanakan tugas. (6) Pejabat pelaksana tugas KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan Pejabat pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang sama dengan KPA definitif. (7) Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dalam ha! Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c telah terisi kembali oleh pejabat definitif atau dapat melaksanakan tugas kembali sebagai KPABUN. (8) Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD dapat mengusulkan penggantian KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (9) Penggantian KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. jdih.kemenkeu.go.id (1) (2) Pasal 4 KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
mengajukan usulan Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal kepada pemimpin PPA BUN Pengelola TKD yang dilengkapi dengan dokumen pendukung;
menyusun RKA BUN TKD untuk Insentif Fiskal beserta dokumen pendukung yang berasal dari pihak terkait;
menyampaikan RKA BUN TKD untuk Insentif Fiskal beserta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf b kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan untuk direviu;
menandatangani RKA BUN TKD untuk Insentif Fiskal yang telah direviu oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dan menyampaikannya kepada pemimpin PPA BUN Pengelola TKD; menyusun DIPA BUN TKD untuk Insentif Fiskal; dan menyusun dan menyampaikan rekomendasi penyaluran dan/atau penundaan Insentif Fiskal e. f. kepada KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD. KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menetapkan pejabat pembuat komitmen dan pejabat penandatangan SPM;
menyusun proyeksi penyaluran dan rencana penarikan dana TKD untuk Insentif Fiskal;
mengawasi penatausahaan dokumen dan transaksi yang berkaitan dengan pelaksanaan penyaluran Insentif Fiskal;
menyusun dan menyampaikan laporan keuangan atas penyaluran Insentif Fiskal kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
melakukan verifikasi terhadap rekomendasi BUN Pengelola Khusus, dan f. penyaluran Insentif Fiskal dari KPA Dana Desa, Insentif, Otonomi Keistimewaan; melaksanakan penyaluran InsentifFiskal berdasarkan rekomendasi penyaluran dari KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyaluran Insentif Fiskal kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD jdih.kemenkeu.go.id menggunakan aplikasi online monitoring sistem perbendaharaan dan anggaran negara; dan
melakukan pengisian dan menyampaikan capaian kinerja penyaluran Insentif Fiskal melalui aplikasi sistem monitoring dan evaluasi kinerja terpadu BUN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyaluran Insentif Fiskal kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui aplikasi online monitoring sistem perbendaharaan dan anggaran negara;
menyusun proyeksi penyaluran Insentif Fiskal sampai dengan akhir tahun berdasarkan rekapitulasi laporan dari KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan melalui aplikasi cash planning _information network; _ dan c. menyusun dan menyampaikan konsolidasi laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada PPA BUN Pengelola TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD, KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan, KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan, serta koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tidak bertanggung jawab atas penggunaan Insentif Fiskal oleh Pemerintah Daerah. BAB III PENGANGGARAN Pasal 6 (1) KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan mengusulkan Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal kepada pemimpin PPA BUN Pengelola TKD. (2) Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan:
perkembangan dana insentif daerah dan/atau Insentif Fiskal dalam 3 (tiga) tahun terakhir;
arah kebijakan Insentif Fiskal; dan/atau
kemampuan keuangan negara. (3) Berdasarkan usulan Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD menyusun Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal. (4) Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD menyampaikan Indikasi Kebutuhan Dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat jdih.kemenkeu.go.id (2) kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat bulan Februari tahun anggaran sebelumnya. (5) Penyusunan dan penyampaian Indikasi Kebutuhan Dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berdasarkan Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (6) Menteri menetapkan pagu indikatif Insentif Fiskal dengan mempertimbangkan Indikasi Kebutuhan Dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3). BAB IV PENGALOKASIAN Pasal 7 (1) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya berdasarkan pagu indikatif Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). (2) Penghitungan alokasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan penilaian kinerja Daerah. (3) Penilaian kinerja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada:
nilai peningkatan kinerja; dan / a tau b. nilai capaian kinerja tahun terakhir. (4) Alokasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibagikan kepada Daerah yang berkinerja baik. Pasal 8 Pengalokasian Insentif Fiskal setiap Daerah untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) berdasarkan:
klaster Daerah;
kriteria utama; dan
kategori kinerja. Pasal 9 (1) Klaster Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a terdiri atas:
klaster A, merupakan Daerah dengan kapasitas fiskal sangat tinggi dan tinggi menurut provinsi/kabupaten/kota, dan tidak termasuk kategori Daerah Tertinggal;
klaster B, merupakan Daerah dengan kapasitas fiskal sedang menurut provinsi/kabupaten/kota, dan tidak termasuk kategori Daerah Tertinggal;
klaster C, merupakan Daerah dengan kapasitas fiskal rendah dan sangat rendah menurut provinsi/kabupaten/kota, dan tidak termasuk kategori Daerah Tertinggal; dan jdih.kemenkeu.go.id d. klaster D, merupakan Daerah dengan kategori Daerah Tertinggal. (2) Kapasitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c sesuai Peraturan Menteri mengenai kapasitas fiskal Daerah. (3) Daerah Tertinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sesuai Peraturan Presiden mengenai Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024. Pasal 10 (1) Kriteria utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b diatur dengan ketentuan:
klaster A menggunakan indikator:
opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan Pemerintah Daerah 5 (lima) tahun terakhir; dan
ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD dalam 1 (satu) tahun terakhir. b. klaster B menggunakan indikator:
opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan Pemerintah Daerah untuk 2 (dua) tahun terakhir; dan
ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD, dalam 1 (satu) tahun terakhir. c. klaster C menggunakan indikator ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD, dalam 1 (satu) tahun terakhir. d. klaster D tidak menggunakan kriteria utama. (2) Ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2, huruf b angka 2, dan huruf c paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya. Pasal 11 (1) Kategori kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c terdiri atas:
kinerja pengelolaan keuangan pemerintah;
kinerja pelayanan dasar;
kinerja dukungan terhadap fokus kebijakan nasional; dan
kinerja sinergi kebijakan pemerintah. (2) Kategori kinerja pengelolaan keuangan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas variabel:
tingkat kemandirian Daerah yang didasarkan pada perbandingan realisasi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap produk domestik regional bruto non minyak dan gas bumi;
interkoneksi sistem informasi keuangan daerah; dan
sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan. (3) Kategori kinerja pelayanan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas variabel: jdih.kemenkeu.go.id a. bayi dibawah 2 (dua) tahun yang mendapat imunisasi lengkap;
indeks standar pelayanan minimal pendidikan;
akses sanitasi layak;
pengelolaan air minum;
penurunan tingkat pengangguran terbuka; dan
indeks pembangunan manusia. (4) Kategori kinerja dukungan terhadap fokus kebijakan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas variabel:
penurunan prevalensi _stunting; _ b. penurunan presentase penduduk miskin; dan
pengendalian inflasi daerah. (5) Kategori kinerja sinergi kebijakan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri atas:
kelompok inovasi, meliputi variabel:
inovasi Daerah;
inovasi pelayanan publik; dan
pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan;
kelompok pelayanan, meliputi variabel:
penghargaan pembangunan daerah;
pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha; dan
percepatan dan perluasan digitalisasi daerah; dan
kelompok integritas meliputi variabel tingkat persepsi korupsi. Pasal 12 (1) Data indikator opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a angka 1 dan huruf b angka 1 bersumber dari Badan Pemeriksa Keuangan. (2) Data:
indikator penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD tepat waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a angka 2, huruf b angka 2, dan huruf c; dan
realisasi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a bersumber dari Kementerian Keuangan. (3) Data interkoneksi sistem informasi keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b merupakan hasil penilaian dari Kementerian Keuangan. (4) Data:
produk domestik regional bruto non minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a;
akses sanitasi layak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf c;
penurunan tingkat pengangguran terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf e;
indeks pembangunan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf f; dan jdih.kemenkeu.go.id e. penurunan persentase penduduk miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) buruf b, bersumber dari Badan Pusat Statistik. (5) Data sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) buruf c dan data inovasi pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf a angka 2 merupakan basil penilaian dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (6) Data bayi di bawah 2 (dua) tabun yang mendapat imunisasi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) buruf a dan penurunan prevalensi stunting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) buruf a bersumber dari Kementerian Kesebatan. (7) Data indeks standar pelayanan minimal pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) buruf b merupakan basil penilaian dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. (8) Data pengelolaan air minum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) buruf d merupakan basil penilaian dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (9) Data pengendalian inflasi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) buruf c merupakan basil penilaian Tim Pengendali Inflasi Daerab dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. (10) Data inovasi Daerab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf a angka 1 merupakan basil penilaian dari Kementerian Dalam Negeri. (11) Data pengelolaan lingkungan bidup dan kebutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf a angka 3 merupakan basil penilaian dari Kementerian Kebutanan dan Lingkungan Hidup. (12) Data pengbargaan pembangunan Daerab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf b angka 1 merupakan basil penilaian dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (13) Data pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf b angka 2 merupakan basil penilaian dari Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal. (14) Data tingkat persepsi korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf c merupakan basil survei penilaian integritas dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
Penilaian kinerja untuk:
kinerja pengelolaan keuangan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) buruf a;
variabel bayi di bawab 2 (dua) tabun yang mendapat imunisasi lengkap tingkat provinsi, indeks standar pelayanan minimal pendidikan, akses sanitasi layak, pengelolaan air m1num, penurunan tingkat jdih.kemenkeu.go.id (2) (3) (4) pengangguran terbuka, dan indeks pembangunan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf f;
variabel penurunan prevalensi stunting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf a dan penurunan persentase penduduk miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf b; dan
variabel pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) huruf b angka 2 dan variabel tingkat persepsi korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) huruf c, dihitung berdasarkan nilai peningkatan kinerja dan nilai capaian kinerja tahun terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b. Penilaian kinerja untuk:
variabel bayi di bawah 2 (dua) tahun yang mendapat imunisasi lengkap tingkat kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf a;
variabel pengendalian inflasi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf c; dan
variabel inovasi daerah, inovasi pelayanan publik, pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan, penghargaan pembangunan daerah, dan percepatan dan perluasan digitalisasi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) huruf a angka 1, angka 2, angka 3, huruf b angka 1, dan angka 3, dihitung berdasarkan nilai capaian kinerja tahun terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b. Penghitungan nilai kinerja Daerah pada kategori kinerja:
pengelolaan keuangan pemerintah variabel interkoneksi sistem informasi keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b dilakukan untuk Daerah yang mendapatkan nilai capaian tahun terakhir paling rendah 95 (sembilan puluh lima). b. sinergi kebijakan pemerintah variabel pelayanan terpadu 1 (satu) pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (5) huruf b angka 2 dilakukan terhadap Daerah yang mendapatkan nilai capaian tahun terakhir paling • rendah 80 (delapan puluh). Nilai peningkatan kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a, dihitung sebagai berikut:
menghitung nilai peningkatan kinerja dengan rumus:
..(Data t - Data t-1) mla1 penmgkatan kinerja = . 1 . . 1 ( Keterangan: Datat Data t-1 Nilai maksimal nil a1 ma s1ma - Data t-1) data capaian tahun terakhir = data 1 (satu) tahun atau lebih sebelum Data t nilai capaian maksimal dari variabel jdih.kemenkeu.go.id (5) (6) (7) b. nilai maksimal sebagaimana dimaksud dalam huruf a untuk variabel:
tingkat kemandirian Daerah, sistem informasi keuangan daerah, sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan, bayi di bawah 2 (dua) tahun yang mendapat imunisasi lengkap untuk tingkat provinsi, indeks standar pelayanan minimal pendidikan, akses sanitasi layak, pengelolaan air minum, indeks pembangunan manusia, pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha, dan tingkat persepsi korupsi sebesar 100 (seratus);
penurunan prevalensi stunting, penurunan persentase penduduk miskin, dan penurunan tingkat pengangguran terbuka sebesar 0 (nol). Nilai capaian kinerja tahun terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b merupakan nilai capaian kinerja paling mutakhir yang tersedia untuk setiap variabel. Nilai capaian kinerja tahun terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk variabel penurunan tingkat pengangguran terbuka, penurunan prevalensi stunting, penurunan persentase penduduk miskin, dan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf e, ayat (4) huruf a, dan huruf b, dilakukan standarisasi dengan rumus: variabelii - variabelmaks ii Std variabelii = . . + 1 vanabelminij - vanabelmaksij Keterangan: Std variabelii variabelii variabelmaks ij variabelmin ij 1 J nilai standar Daerah tiap-tiap variabel dalam Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D = nilai variabel Daerah provinsi/kabupaten/kota dalam Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D = nilai maksimal Daerah provinsi/kabupaten/kota tiap-tiap variabel dalam Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D = nilai minimal provinsi/kabupaten/kota variabel dalam Klaster B/Klaster C/Klaster D = tingkat pemerintahan provinsi/kabupaten/kota Daerah tiap-tiap A/Klaster daerah = jenis Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D Nilai capaian kinerja tahun terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), ayat (3) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, ayat (4) huruf c, dan ayat (5) dilakukan standarisasi dengan rumus: jdih.kemenkeu.go.id (8) (9) (10) . variabelij - variabelmin ij Std vanabelii = . . +1 Keterangan: Std variabelii = vanabelmaksij - vanabelminij nilai standar Daerah tiap-tiap kategori/variabel dalam 'Klaster A/Klaster B/Klaster C variabelii = nilai kategori/variabel Daerah variabelmaks ij = variabelmin ii 1 J Nilai kinerja ketentuan: provinsi/kabupaten/kota dalam Klaster A/Klaster B/Klaster C nilai maksimal provinsi/ kabupaten / kota variabel dalam Klaster B/Klaster C/Klaster D nilai minimal provinsi/ kabupaten/ kota variabel dalam Klaster B/Klaster C/Klaster D tingkat pemerintahan provinsi/ kabupaten/ kota jenis Klaster A/Klaster Daerah tiap-tiap A/Klaster Daerah tiap-tiap A/Klaster daerah B/Klaster C/Klaster D Daerah setiap variabel dihitung dengan a. variabel bayi di bawah 2 (dua) tahun yang mendapat imunisasi lengkap tingkat kabupaten/kota, pengendalian inflasi daerah, inovasi daerah, inovasi pelayanan publik, pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan, penghargaan pembangunan daerah, dan percepatan dan perluasan digitalisasi daerah dihitung dengan menggunakan nilai standar capaian kinerja tahun terakhir;
variabel tingkat kemandirian Daerah, sistem informasi keuangan daerah, sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan, bayi di bawah 2 (dua) tahun yang mendapat imunisasi lengkap tingkat provinsi, indeks standar pelayanan minimal pendidikan, akses sanitasi layak, pengelolaan air minum, penurunan tingkat pengangguran terbuka, indeks pembangunan manusia, penurunan prevalensi stunting, penurunan persentase penduduk miskin, pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha, dan tingkat persepsi korupsi dihitung dengan menggunakan rata-rata jumlah nilai standar peningkatan kinerja dan nilai standar capaian kinerja tahun terakhir. Nilai kategori kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c merupakan penjumlahan nilai kinerja Daerah tiap-tiap variabel pada kategori kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) sampai dengan ayat (4). Nilai kinerja tiap-tiap kelompok variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dihitung dengan tahapan:
Penjumlahan nilai kinerja tiap variabel; dan jdih.kemenkeu.go.id b. Melakukan normalisasi dengan membagi nilai penjumlahan sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan nilai maksimal penjumlahan sebagaimana dimaksud pada huruf a per klaster per provinsi/kabupaten/kota. (11) Nilai kategori kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dihitung dengan menggunakan rumus: Nilai kategori kinerja = (30% x (nilai kinerja kelompok variabel inovasi)) + (30% x (nilai kinerja kelompok variabel pelayanan)) + (40% x (nilai kinerja kelompok variabel integritas)) Pasal 14 (1) Dalam ha! Pemerintah Daerah memiliki nilai data capaian tahun terakhir dan nilai data 1 (satu) tahun atau lebih sebelum data capaian tahun terakhir sebesar nilai maksimal pada variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), nilai peningkatan kinerja diberi nilai sebesar 2 (dua). (2) Dalam ha! Pemerintah Daerah memiliki nilai data capaian tahun terakhir sebesar nilai maksimal dan nilai data 1 (satu) tahun atau lebih sebelum data capaian tahun terakhir sebesar kurang dari nilai maksimal pada variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), nilai peningkatan kinerja diberi nilai sebesar 1 (satu). (3) Dalam ha! Pemerintah Daerah tidak memiliki data capaian tahun terakhir dan/atau nilai data 1 (satu) tahun atau lebih sebelum data capaian tahun terakhir untuk variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), tidak diperhitungkan nilai peningkatan kinerja. (4) Dalam ha! Pemerintah Daerah tidak memiliki nilai data capaian tahun terakhir perhitungan untuk variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), tidak diperhitungkan nilai capaian tahun terakhir. Pasal 15 Daerah yang mendapatkan alokasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan Daerah yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
memenuhi kriteria utama untuk klaster A, klaster B, dan klaster C sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c;
mendapatkan nilai kinerja Daerah dengan peringkat terbaik untuk tiap-tiap kategori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
jumlah daerah dengan peringkat terbaik untuk tiap klaster per kategori kinerja didasarkan pada proporsi jumlah daerah di tiao klaster d engan rincian: Klaster Proporsi Jumlah Daerah Jumlah Daerah Peringkat Terbaik A 30% 9 Provinsi 3 Provinsi 44 Kota 13 Kota jdih.kemenkeu.go.id 91 Kabupaten 27 Kabupaten B 25% 9 Pravinsi 2 Pravinsi 19 Kata 5 Kata 77 Kabuoaten 19 Kabuoaten C 20% 16 Pravinsi 3 Pravinsi 30 Kata 6 Kata 185 Kabuoaten 37 Kabuoaten D 30% 62 Kabupaten 19 Kabupaten Pasal 16 Penentuan alakasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 per Daerah dihitung dengan tahapan sebagai berikut:
nilai kinerja daerah dengan peringkat terbaik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c dilakukan standardisasi untuk tiap klaster per kategari kinerja per daerah pravinsi/kabupaten/kata dengan menggunakan rumus:
C. nilai daerahij - nilai terendahij nilai tertinggiij - nilai terendahij Keterangan: X 0,3 + 1 1 = tingkat pemerintahan daerah pravinsi/kabupaten/ kata j = jenis Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D pagu per kategari kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pagu Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya; pagu per klaster per pravinsi/kabupaten/kata untuk tiap kategari kinerja dihitung dengan menggunakan rumus: Pagu per klaster per provinsi/kabupaten/kota Keterangan: jumlah Daerah peringkat terbaikij jumlah Daerah terbaik kategori kinerja X pagu kategori kinerja 1 = tingkat pemerintahan daerah pravinsi/kabupaten/ kata j = jenis Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D d. alakasi per Daerah per kategari kinerja dihitung dengan menggunakan rumus: Nilai kinerja daerah Pagu per I k . ah dengan peringkat terbaiku [ klaster per ) a o as, per Daer . 1 ^h .1 . ki . X . . 1 k t • ki • = JUm a m a1 nerJa prov1ns1 per a egon nerJa Daerah dengan peringkat kabupaten/ terbaikij kota Keterangan: 1 = tingkat pemerintahan daerah pravinsi/kabupaten/ kata j = jenis Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D e. alakasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya per Daerah merupakan penjumlahan alakasi kategari kinerja untuk tiap daerah sebagaimana dimaksud pada huruf d. jdih.kemenkeu.go.id BABV PENYALURAN Pasal 17 (1) KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan menyusun DIPA BUN TKD untuk Insentif Fiskal atau perubahan DIPA BUN TKD untuk Ins en tif Fiskal. (2) Penyusunan DIPA BUN TKD untuk Insentif Fiskal atau perubahan DIPA BUN TKD untuk Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Pasal 18 (1) Dalam rangka penyaluran Insentif Fiskal, KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan menyusun dan menyampaikan rekomendasi penyaluran Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f kepada KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan melalui Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD. (2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan mempertimbangkan waktu proses penerbitan SPP/SPM/SP2D BUN serta ketentuan rencana penarikan dana. (3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar bagi pejabat pembuat komitmen dan pejabat penandatangan SPM untuk melakukan penerbitan SPP atau SPM BUN penyaluran Insentif Fiskal. (4) Penerbitan SPP, SPM, dan SP2D dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai tata cara pencairan APBN bagian atas beban anggaran BUN pada KPPN. Pasal 19 (1) Penyaluran Insentif Fiskal dilaksanakan dengan cara pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD. (2) Dalam hal terdapat perubahan atas RKUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah wajib menyampaikan permohonan perubahan RKUD kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dengan dilampiri:
asli rekening koran dari RKUD; dan
salinan keputusan Kepala Daerah mengenai penunjukan bank tempat menampung RKUD. Pasal 20 (1) Penyaluran Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan secara bertahap, dengan ketentuan sebagai berikut: jdih.kemenkeu.go.id a. tahap I, disalurkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pagu alokasi dan dilakukan paling cepat bulan Februari tahun anggaran berjalan; dan
tahap II, disalurkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pagu alokasi dan dilakukan paling cepat bulan Juli tahun anggaran berjalan. (2) Penyaluran Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan setelah Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima:
Peraturan Daerah mengenai APBD tahun anggaran berjalan;
rencana penggunaan Insentif Fiskal; dan
laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal bagi Daerah yang mendapatkan Insentif Fiskal pada tahun anggaran sebelumnya, dari Pemerintah Daerah paling lambat tanggal 20 Juni tahun anggaran berjalan. (3) Penyaluran Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya tahap II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya tahap I dari Pemerintah Daerah paling lambat tanggal 20 November tahun anggaran berjalan. (4) Laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menunjukkan penyerapan paling rendah 70% (tujuh puluh persen) dari dana yang diterima di RKUD. (5) Rencana penggunaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditandatangani oleh Kepala Daerah, wakil Kepala Daerah atau sekretaris Daerah. (6) Laporan realisasi penyerapan dana insentif daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh Kepala Daerah, wakil Kepala Daerah atau pejabat pengelola keuangan Daerah. (7) Dalam hal persyaratan penyaluran Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya belum diterima sampai dengan batas waktu tanggal 20 Juni tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tanggal 20 November tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya tidak disalurkan. (8) Dalam ha! tanggal 20 Juni tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tanggal 20 November tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, penyampaian persyaratan penyaluran Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya dilakukan pada hari kerja berikutnya. jdih.kemenkeu.go.id (9) Rencana penggunaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal bagi Daerah yang mendapatkan Insentif Fiskal tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dan laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disusun dalam format yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 21 (1) Pemerintah Daerah menyusun dan menyampaikan laporan bulanan realisasi penyerapan Insentif Fiskal kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat tanggal 14 pada bulan berikutnya. (2) Penyampaian laporan bulanan realisasi penyerapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pejabat pengelola keuangan Daerah. (3) Dalam hal tanggal penyampaian laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, penyampaian laporan bulanan dilakukan pada hari kerja berikutnya. (4) Laporan bulanan realisasi penyerapan Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam format yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 22 (1) Dalam rangka monitoring penggunaan sisa dana insentif daerah sampai dengan tahun anggaran 2022 dan/atau sisa Insentif Fiskal tahun anggaran 2023, Pemerintah Daerah menyampaikan laporan rencana penggunaan dan laporan realisasi penyerapan sisa dana insentif daerah dan/atau Insentif Fiskal kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (2) Laporan rencana penggunaan dan laporan realisasi penyerapan sisa dana insentif daerah dan/ a tau Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam format yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 23 Dokumen:
laporan persyaratan penyaluran Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b dan huruf c dan ayat (4);
laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); dan/atau jdih.kemenkeu.go.id C. laporan rencana penggunaan dan penyerapan sisa dana insentif daerah Fiskal laporan realisasi dan/atau Insentif disusun dan disampaikan melalui portal pada laman http: I I sikd.djpk.kemenkeu.go.idl did Pasal 24 (1) Pemerintah Daerah penerima Insentif Fiskal menyampaikan surat usulan Administrator Daerah yang memuat data pegawai yang ditugaskan untuk mengelola, menyusun, dan menyampaikan laporan pelaksanaan Insentif Fiskal kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (2) Administrator Daerah menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui aplikasi sistem informasi keuangan Daerah. (3) Laporan pelaksanaan Insentif Fiskal yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicetak dan ditandangani dengan ketentuan sebagai berikut:
laporan rencana penggunaan Insentif Fiskal ditandangani oleh Kepala Daerah, wakil Kepala Daerah atau sekretaris Daerah;
laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal ditandangani oleh Kepala Daerah, wakil Kepala Daerah atau pejabat pengelola keuangan Daerah; dan
laporan bulanan realisasi penyerapan Insentif Fiskal ditandatangani oleh pejabat pengelola keuangan Daerah. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat ditandatangani dengan menggunakan tanda tangan elektronik atau tanda tangan basah. (5) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan tanda tangan basah, laporan dimaksud dibubuhi cap dinas. (6) Laporan pelaksanaan Insentif Fiskal yang telah ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipindai dan diunggah dalam bentuk arsip data komputer dengan format portable document format melalui aplikasi sistem informasi keuangan Daerah. (7) Laporan yang diunggah melalui aplikasi sistem informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) selanjutnya dilakukan Verifikasi oleh Administrator Pusat. (8) Dalam hal hasil Verifikasi sebagai dimaksud pada ayat (7) menunjukkan bahwa laporan pelaksanaan Insentif Fiskal belum sesuai, Pemerintah Daerah melakukan perbaikan laporan pelaksanaan Insentif Fiskal sesuai dengan catatan Administrator Pusat. (9) Perbaikan laporan pelaksanaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diunggah kembali melalui aplikasi sistem informasi keuangan Daerah. (10) Laporan pelaksanaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan perbaikan laporan pelaksanaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada jdih.kemenkeu.go.id ayat (9) diterima paling lambat pukul 17.00 Waktu Indonesia Barat, sesuai dengan ketentuan batas waktu penyampaian tiap-tiap laporan pelaksanaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) serta pasal 21 ayat (1). BAB VI PENGGUNAAN Pasal 25 (1) Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 digunakan untuk mendanai kegiatan sesuai dengan prioritas dan kebutuhan Daerah yang manfaatnya diterima dan/atau dirasakan langsung oleh masyarakat dan mendukung:
pengendalian inflasi;
penurunan _stunting; _ c. peningkatan investasi; dan/atau
penurunan kemiskinan. (2) Sisa dana insentif daerah sampai dengan tahun anggaran 2022 dan/atau Insentif Fiskal Tahun Anggaran 2023 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, digunakan untuk mendanai kegiatan sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah yang manfaatnya diterima dan/atau dirasakan langsung oleh masyarakat dan mendukung:
pengendalian inflasi Daerah;
penurunan prevalensi _stunting; _ c. peningkatan investasi;
penurunan kemiskinan;
pelayanan pendidikan; dan / a tau f. pelayanan kesehatan. (3) Dalam hal daerah:
belum memenuhi penggunaan dana insentif daerah tahun 2021 sebesar 30% bidang kesehatan dan 10% bidang pendidikan; dan/atau
belum memenuhi penggunaan dana insentif daerah tahun 2022 se besar 21 % bi dang kesehatan dan 10% bidang Pendidikan sisa dana insentif daerah tahun 2021 dan/atau tahun 2022 harus digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi kewajiban tersebut. (4) Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sisa dana insentif daerah dan/atau Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat digunakan untuk mendanai:
gaji, tambahan penghasilan, dan honorarium; dan
perjalanan dinas. jdih.kemenkeu.go.id BAB VII PENATAUSAHAAN,PELAPORAN,DAN PERTANGGUNGJAWABAN Pasal 26 (1) Dalam rangka pertanggungjawaban pengelolaan BA BUN TKD, pemimpin PPA Pengelolaan BUN menyusun laporan keuangan TKD sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan TKD. (2) Laporan keuangan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pertanggungjawaban pengelolaan Insentif Fiskal. (3) Laporan keuangan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh unit eselon II Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang ditunjuk selaku unit akuntansi dan pelaporan keuangan PPA BUN Pengelola TKD menggunakan sistem aplikasi terintegrasi. (4) Penatausahaan, akuntansi, dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran, KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan menyusun laporan keuangan tingkat KPA dan menyampaikan kepada pemimpin PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD, dengan ketentuan sebagai berikut:
laporan keuangan tingkat KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan disusun setelah dilakukan rekonsiliasi data realisasi anggaran transfer dengan KPPN selaku Kuasa BUN dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pedoman rekonsiliasi dalam rangka penyusunan laporan keuangan; dan
laporan keuangan tingkat KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan disampaikan secara berjenjang kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sesuai dengan jadwal penyampaian laporan keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian laporan keuangan BUN. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penyampaian laporan keuangan tingkat KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. (6) Dalam rangka penyusunan laporan keuangan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), koordinator KPA BUN Penyaluran TKD menyusun dan menyampaikan laporan keuangan tingkat Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD dengan ketentuan sebagai berikut:
laporan keuangan tingkat koordinator KPA BUN Penyaluran TKD disusun setelah dilakukan penyampaian data elektronik akrual transaksi Insentif Fiskal selain transaksi realisasi anggaran transfer ke dalam sistem aplikasi terintegrasi; dan jdih.kemenkeu.go.id b. laporan keuangan tingkat koordinator KPA BUN Penyaluran TKD disampaikan kepada PPA BUN Pengelola TKD sesuai dengan jadwal penyampaian laporan keuangan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan dengan memperhatikan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara dan penyampaian laporan keuangan BUN. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian data elektronik akrual transaksi Insentif Fiskal selain transaksi realisasi anggaran transfer, penyusunan dan penyampaian laporan keuangan tingkat Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
(2) (3) (4) BAB VIII PEMANTAUAN DAN EVALUASI Pasal 27 Jenderal Jenderal Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Perimbangan Keuangan dan Direktorat Perbendaharaan melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pengelolaan Insentif Fiskal. Pemantauan terhadap pengelolaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
laporan rencana penggunaan;
penyaluran dari RKUN ke RKUD; dan
laporan realisasi penyerapan anggaran dan realisasi keluaran. Evaluasi terhadap pengelolaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
kebijakan pengalokasian Insentif Fiskal;
mekanisme penyaluran Insentif Fiskal;
realisasi penyaluran Insentif Fiskal; dan
penggunaan dan basil keluaran Insentif Fiskal. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk penyusunan kebijakan Insentif Fiskal tahun anggaran berikutnya. BAB IX PENUNDAAN DAN/ATAU PENGHENTIAN PENYALURAN INSENTIF FISKAL Pasal 28 (1) Dalam hal Kepala Daerah penerima Insentif Fiskal melakukan tindak pidana korupsi, Menteri dapat mengajukan surat permohonan kepada lembaga penegak hukum mengenai status hukum Kepala Daerah. (2) Dalam hal Kepala Daerah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi oleh lembaga penegak hukum, Menteri dapat:
melakukan penundaan penyaluran Insentif Fiskal pada tahun anggaran berjalan yang belum disalurkan; dan/atau jdih.kemenkeu.go.id b. melakukan penghentian penyaluran Insentif Fiskal pada tahun anggaran berjalan sebesar pagu alokasi Insentif Fiskal yang belum disalurkan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penundaan dan/atau penghentian penyaluran Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri. (4) Dalam hal status tersangka Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicabut, Menteri dapat melakukan penyaluran kembali atas penundaan dan/atau penghentian penyaluran Insentif Fiskal. (5) Pencabutan status tersangka Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) didasarkan pada keterangan/penjelasan yang disampaikan oleh lembaga penegak hukum yang disampaikan sebelum tanggal 20 November tahun anggaran berjalan. (6) Dalam hal keterangan/penjelasan yang disampaikan oleh lembaga penegak hukum yang disampaikan setelah tanggal 20 November tahun anggaran berjalan, tidak dapat dilakukan penyaluran kembali atas penundaan dan/atau penghentian penyaluran Insentif Fiskal. BABX KETENTUANPENUTUP Pasal 29 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.07/2021 tentang Pengelolaan Dana Insentif Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1282), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 30 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun 2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kirima ...
Relevan terhadap
Barang Kiriman yang dilarang atau dibatasi ekspornya dapat diekspor setelah Eksportir memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai larangan dan/atau pembatasan.
(1a) Pemenuhan ketentuan larangan dan/atau pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan atas Barang Kiriman yang tidak ditujukan untuk kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kebijakan dan pengaturan ekspor.
(1b) Barang Kiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) memiliki kriteria diekspor oleh Eksportir selain badan usaha.
Eksportir bertanggung jawab atas pemenuhan ketentuan larangan dan/atau pembatasan ekspor.
Penelitian atas pemenuhan ketentuan larangan dan/atau pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh:
Pejabat Bea dan Cukai;
SKP; dan/atau
Sistem Indonesia Nasional Single Window (SINSW).
Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 49 dihapus dan di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 49 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a), sehingga Pasal 49 berbunyi sebagai berikut:
Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus
Relevan terhadap 37 lainnya
Badan Usaha yang telah memperoleh keputusan pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), wajib menyampaikan laporan berupa realisasi Penanaman Modal sejak tahun pajak Saat Mulai Berproduksi Komersial sampai dengan jangka waktu pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan di KEK berakhir kepada Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal setiap 1 (satu) tahun pajak.
Pelaku Usaha yang telah memperoleh keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), wajib menyampaikan laporan berupa:
laporan realisasi nilai Penanaman Modal sejak diterima keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan di KEK sampai dengan Saat Mulai Berproduksi Komersial; dan
laporan realisasi produksi sejak tahun pajak Saat Mulai Berproduksi Komersial sampai dengan jangka waktu pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan di KEK berakhir, setiap 1 (satu) tahun pajak kepada Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal.
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), disampaikan dengan menggunakan contoh format yang tercantum dalam Lampiran Huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
Dalam hal Badan Usaha atau Pelaku Usaha:
tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); atau
menyampaikan laporan namun tidak memenuhi contoh format yang tercantum dalam Lampiran Huruf B, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat teguran kepada Badan Usaha atau Pelaku Usaha.
Dalam hal setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Badan Usaha atau Pelaku Usaha, wakil dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha, kuasa dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha, Badan Usaha atau Pelaku Usaha menyampaikan laporan namun tidak memenuhi contoh format yang tercantum dalam Lampiran Huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, Badan Usaha atau Pelaku Usaha dapat diusulkan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Paragraf 10 Larangan Bagi Badan Usaha dan Pelaku Usaha yang Telah Memperoleh Fasilitas Pajak Penghasilan
Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan di KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Menteri berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak setelah Direktur Jenderal Pajak menerima permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan di KEK dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha.
Permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan di KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) bagi Badan Usaha atau Pelaku Usaha disampaikan setelah Saat Mulai Berproduksi Komersial.
Permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Badan Usaha melalui sistem OSS dengan mengunggah dokumen yang meliputi:
realisasi Penanaman Modal di KEK;
surat keterangan fiskal Badan Usaha; dan
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan transaksi penjualan atau persewaan pertama kali antara lain berupa faktur pajak atau bukti tagihan.
Permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pelaku Usaha melalui sistem OSS dengan mengunggah dokumen yang meliputi:
realisasi aktiva tetap beserta gambar tata letak;
surat keterangan fiskal Pelaku Usaha; dan
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan:
transaksi penjualan ke pasaran pertama kali antara lain berupa faktur pajak atau bukti tagihan; atau
pertama kali hasil produksi digunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut antara lain berupa laporan pemakaian sendiri.
Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak surat pemberitahuan pemeriksaan disampaikan kepada Badan Usaha atau Pelaku Usaha, wakil dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha, kuasa dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha, atau pegawai dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha.
Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
penentuan mengenai Saat Mulai Berproduksi Komersial dan pengujian atas pemenuhan ketentuan mengenai saat pengajuan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (8);
pengujian:
kesesuaian kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) untuk fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a bagi Badan Usaha;
realisasi komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d;
kesesuaian kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) untuk pengurangan fasilitas Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a bagi Pelaku Usaha;
kesesuaian kriteria sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (4) dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) untuk fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b; dan/atau
realisasi komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3);
pengujian kesesuaian antara rencana realisasi dengan rencana Kegiatan Usaha Utama; dan
penghitungan:
nilai Penanaman Modal, termasuk nilai tanah/dan atau bangunan yang diperoleh dan diperuntukkan untuk dijual kembali, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) untuk fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a bagi Badan Usaha;
nilai Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) untuk fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a bagi Pelaku Usaha; atau
nilai Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a untuk fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b.
Jumlah nilai Penanaman Modal yang ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d angka 2 menjadi dasar penentuan jangka waktu fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
Jumlah nilai aktiva tetap berwujud yang ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d angka 3 menjadi dasar penghitungan fasilitas pengurangan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a.
Dalam rangka pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak:
mengacu pada Peraturan Menteri mengenai tata cara pemeriksaan; dan
dapat meminta keterangan dan/atau melibatkan tenaga ahli, kementerian pembina sektor dan/atau Badan Koordinasi Penanaman Modal. Paragraf 8 Keputusan Pemanfaatan Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
Penentuan kesesuaian dalam pemenuhan kriteria untuk:
Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (4), dilakukan secara daring melalui sistem OSS.
Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan pemberitahuan kepada Badan Usaha:
bahwa Penanaman Modal memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, jika Badan Usaha memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); atau
bahwa Penanaman Modal tidak memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, jika Badan Usaha tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan pemberitahuan kepada Pelaku Usaha:
bahwa Penanaman Modal memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b, jika Pelaku Usaha memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (4);
bahwa Penanaman Modal memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, jika Pelaku Usaha memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) tetapi tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); atau
bahwa Penanaman Modal tidak memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b, jika Pelaku Usaha tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (4).
Badan Usaha atau Pelaku Usaha yang telah memperoleh pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a, atau ayat (3) huruf b, dapat melanjutkan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan badan secara daring melalui sistem OSS.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mengunggah dokumen yang meliputi:
salinan digital rincian aktiva tetap dalam rencana nilai Penanaman Modal;
salinan digital atau dokumen elektronik surat keterangan fiskal para pemegang saham Badan Usaha atau Pelaku Usaha; dan
salinan digital penetapan sebagai Badan Usaha untuk membangun dan/atau mengelola KEK dari kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan kewenangannya, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, atau dari Administrator KEK berdasarkan pelimpahan kewenangan bagi Badan Usaha.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang telah diterima secara lengkap, disampaikan oleh sistem OSS kepada Menteri sebagai usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, dan sistem OSS mengirimkan pemberitahuan kepada Badan Usaha atau Pelaku Usaha bahwa permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sedang dalam proses.
Pengajuan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sebelum Saat Mulai Berproduksi Komersial.
Permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan:
bersamaan dengan pendaftaran untuk mendapatkan nomor induk berusaha bagi Badan Usaha atau Pelaku Usaha baru; atau
paling lambat 1 (satu) tahun setelah Izin Usaha atau Perizinan Berusaha di KEK diterbitkan oleh Lembaga OSS.
Pemberian Dukungan Fiskal melalui Kerangkan Pendanaan dan Pembiayaan dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan ...
Relevan terhadap 5 lainnya
Dalam rangka percepatan transisi energi di sektor Ketenagalistrikan, pemerintah memberikan dukungan fiskal melalui kerangka pendanaan dan pembiayaan.
Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan kebijakan transisi energi yang berkeadilan dan terjangkau oleh pemerintah, dengan:
pengaturan mekanisme pendanaan dan pembiayaan termasuk blended finance , melalui Platform Transisi Energi;
pemberian dukungan fiskal melalui Platform Transisi Energi; dan
pengaturan mekanisme yang terkoordinasi dan terintegrasi yang diperlukan untuk pengelolaan Platform Transisi Energi.
bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (9) Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, pemerintah dapat memberikan dukungan fiskal melalui kerangka pendanaan dan pembiayaan, termasuk blended finance yang ditujukan untuk mempercepat transisi energi;
bahwa guna mewujudkan transisi energi yang berkeadilan dan terjangkau serta mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan dalam bauran energi nasional sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional, perlu memberikan dukungan fiskal melalui kerangka pendanaan dan pembiayaan untuk percepatan pengakhiran waktu operasi pembangkit listrik tenaga uap, percepatan pengakhiran waktu operasi kontrak perjanjian jual beli listrik pembangkit listrik tenaga uap, dan/atau pengembangan pembangkit energi terbarukan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (10) Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemberian Dukungan Fiskal melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan dalam rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan;
Komite Pengarah memiliki tugas:
menentukan proyek yang akan diajukan untuk memperoleh fasilitas Platform Transisi Energi, termasuk memutuskan prioritas pemanfaatan Platform Transisi Energi;
mengusulkan rekomendasi skema fasilitas Platform Transisi Energi;
mengevaluasi kebijakan dan pengelolaan Platform Transisi Energi serta memberikan arahan dari hasil evaluasi tersebut;
mengoordinasikan penyelesaian permasalahan pengelolaan Platform Transisi Energi; dan
mengembangkan kerja sama lintas kementerian terkait transisi energi.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komite Pengarah memiliki wewenang:
memberikan arahan terkait pengelolaan Platform Transisi Energi untuk memastikan pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tujuan dan prinsip pengelolaan Platform Transisi Energi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini;
memberikan masukan terkait opsi penyediaan dukungan fiskal melalui Platform Transisi Energi untuk memastikan pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan kebijakan pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
memberikan arahan terkait pelaksanaan koordinasi dengan para pemangku kepentingan dalam pengelolaan Platform Transisi Energi; dan
memberikan pertimbangan, masukan, dan/atau persetujuan yang diperlukan oleh Manajer Platform dalam rangka pengelolaan Platform Transisi Energi.