Uji Materi Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
Relevan terhadap
(1) Perusahaan asuransi umum hanya dapat _menyelenggarakan: _ a. Usaha Asuransi Umum, termasuk lini usaha asuransi _kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri; dan _ b. Usaha Reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum lain. (2) Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. (3) Perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha Reasuransi. Pasal 3 __ (1) Perusahaan asuransi syariah hanya dapat _menyelenggarakan: _ a. Usaha Asuransi Umum Syariah, termasuk lini usaha asuransi _kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri; dan _ b. Usaha Reasuransi Syariah untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum Syariah lain. (2) Perusahaan asuransi jiwa syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi berdasarkan Prinsip Syriah, lini usaha asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah, dan lini usaha kecelakaan diri berdasarkan Prinsip Syariah. (3) Perusahaan reasuransi syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Reasuransi syariah. 3.9 Bahwa tampak dengan jelas, Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 40/2014 justru membatasi lini usaha asuransi. Sementara, status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 dengan Peraturan OJK, namun perluasan dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan lini usaha suretyship . 18 3.10 Bahwa muncul persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1/2016 yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi. Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1/2016 menyatakan: (Bukti P–3) “ (1) Setiap orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat tiga tahun sejak berlakunya Undang-Undang ”. “(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri.” 3.11 Bahwa adanya ketidaksesuaian pembentukan norma semakin nampak dengan berlakunya undang-undang lain yang lahir kemudian yaitu Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (“UU No.2/2017), suretyship diakui sebagai salah satu lini usaha perusahaan asuransi, selain juga menegaskan adanya lembaga perbankan, dan/atau perusahaan penjaminan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (4) yang menyatakan: (Bukti P–4) “ Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk bank garansi dan/atau perjanjian terikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.” 3.12 Bahwa penegasan yang sama tentang pengakuan perusahaan asuransi untuk menyelenggarakan asuransi sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa (“Perpres No. 16/2018”) , pada Pasal 30 menyatakan: (Bukti P–5) “ Jaminan dari Bank Umum, Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Asuransi, lembaga keuangan khusus yang menjalankan usaha di bidang pembiayaan, penjaminan dan asuransi untuk mendorong Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di lembaga pembiayaan ekspor Indonesia dapat digunakan untuk semua jenis jaminan”. Norma Pasal 5 ayat (1) UU a quo __ Bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang Kepastian Hukum Yang Adil __ 3.13 Bahwa salah satu pilar penting dari terbentuknya negara Indonesia selain bersandar pada prinsip kedaulatan rakyat, juga penegasan pada prinsip negara hukum, hal ini sebagaimana termaktub di dalam ketentuan Pasal 1 19 ayat (3) UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan, “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum. ” 3.14 Bahwa salah satu unsur dari negara hukum adalah adanya jaminan serta tegaknya prinsip kepastian hukum yang adil, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Radbruch yang menjelaskan bahwa cita hukum ( Idee des Rechts ), yang kemudian dilembagakan dalam suatu bentuk negara hukum, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga prinsip umum, yaitu: purposiveness— kemanfaatan ( zweckmassigkeit ), __ justice— keadilan ( gerechtigkeit ), dan legal certainty— kepastian hukum ( rechtssicherheit ).
15 Bahwa prinsip ‘kepastian hukum yang adil’ yang dalam tradisi klasik the rule of law disebut sebagai prinsip kepastian hukum (legal certainty) , menurut pendapat dari Friedrich von Hayek dalam Bukunya The Constitution of Liberty, Chapter 14 “The Safeguards of Individual Liberty”, adalah salah satu atribut utama dari the rule of law , selain dua atribut lainnya, yakni atribut berlaku umum ( generality ), dan atribut kesetaraan ( equality ).
16 Bahwa menurut pendapat Hayek kepastian hukum berarti hukum dapat diprediksi, atau memenuhi unsur prediktibilitas, sehingga seorang subjek hukum dapat memperkirakan peraturan apa yang mendasari perilaku mereka, dan bagaimana aturan tersebut ditafsirkan dan dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan aspek penting yang sangat terkait dengan kebebasan bertindak dari seseorang.
17 Bahwa sejalan dengan teori mengenai cita hukum tersebut, UUD 1945 juga telah menegaskan adanya jaminan kepastian hukum bagi setiap warga negara dalam ruang negara hukum Indonesia, sebagaimana dituliskan di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”.
18 Bahwa merujuk pada pendapat Prof. Dr. Nurhasan Ismail, sebagaimana dikutip dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010 pada Pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (halaman 74), dikatakan bahwa kepastian hukum didefinisikan adanya kejelasan norma yang menjadi acuan berperilaku 20 bagi setiap orang. Kejelasan norma tentu harus ada indikator dan ukurannya. Tiga indikator untuk menyatakan bahwa sebuah norma itu memberikan kepastian hukum meliput:
Norma mengandung konsistensi, baik secara internal di dalam undang- undang maupun konsistensi horizontal dengan undang-undang yang lain ataupun konsistensi secara vertikal dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini adalah dengan UUD 1945;
Konsep penormaannya atau rumusan normanya tidak mengandung multi makna, tidak mengandung multitafsir;
Ada suatu implikasi yang sangat jelas terhadap pilihan-pilihan perilaku yang sudah diatur di dalam undang-undang atau di dalam peratura perundang-undangan.
19 Bahwa selain dalam putusan Mahkamah Konstitusi di atas, salah satu asas dalam membentuk peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan , yang melalui penjelasan Pasal 5 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan ini diartikan sebagai:
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai _tujuan yang jelas yang hendak dicapai; _ 2) setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah , serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya . 3.20 Bahwa Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 menyebutkan: “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” 3.21 Bahwa Pasal 5 ayat (1) UU a quo bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya. Hal ini ditambahkan dengan tidak adanya penjelasan dalam UU a quo mengenai apa yang dimaksud dalam pasal a quo. 21 3.22 Bahwa persoalan mulai menyeruak ketika UU No. 1/2016 disahkan, khususnya dengan adanya pada Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan: “ (1) Setiap orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat tiga tahun sejak berlakunya Undang-Undang ”. “(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri.” 3.23 Bahwa munculnya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2016 ini telah menyebabkan ketidakpastian lini usaha suretyship yang menggunakan landasan hukum berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 a quo tentang perluasan lini usaha asuransi __ menjadi tidak jelas. Dalam pengertian, kepastian usaha suretyship yang dilakukan perusahaan asuransi terganggu dan tidak pasti keberlangsungan usahanya bahkan terancam dapat dipidana.
24 Bahwa dengan kata lain, lahirnya Pasal 61 ayat (1) ayat (2) UU No. 1/2016 menyebabkan perusahaan asuransi yang sebelumnya dapat menyelenggarakan suretyship atas dasar Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) __ sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU No. 40/2014 harus menyesuaikan dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak undang-undang tersebut diundangkan, yaitu pada tanggal 19 Januari 2019, padahal hal itu tidak mungkin dilakukan.
25 Bahwa dalam hal ini, perusahaan asuransi harus mempunyai izin usaha sebagai lembaga penjamin atau perusahaan penjaminan terlebih dahulu agar dapat menjalankan suretyship . Sebab, hanya perusahaan yang berizin saja yang akan diakui keabsahannya secara hukum untuk dapat memasarkan lini usaha tersebut. Namun hal itu tidak dapat terjadi, karena perusahaan asuransi nyatanya tidak secara otomatis dapat memperoleh izin usaha sebagai lembaga atau perusahaan penjaminan.
26 Bahwa izin perusahaan asuransi untuk melaksanakan penjaminan dalam bentuk suretyship diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang diberikan kewenangan atributif untuk mengeluarkan peraturan terkait perizinan usaha tersebut __ sebagaimana Pasal 5 ayat (3) UU No. 40/2014 yang menyatakan: 22 “ Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.” 3.27 Bahwa sebagai tindak lanjut Pasal 5 ayat (3) UU 40/2014 a quo Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan Peraturan OJK 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (“POJK No.69/2016”) .
28 Bahwa akan tetapi Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2016 yang mewajibkan semua kegiatan penjaminan untuk tunduk pada UU No. 1/2016, kecuali kegiatan penjaminan tersebut dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri, maka dengan demikian POJK yang kedudukannya berada dibawah undang-undang keberlakuannya menjadi tidak efektif karena tidak memiliki kekuatan hierarki yang sejajar dengan Pasal 61 ayat (1) UU a quo .
29 Bahwa situasi tersebut diatas menimbulkan ketidakpastian bagi Pemohon karena membuat OJK sendiri tidak pasti apakah akan mengeluarkan dan/atau memperpanjang izin lini usaha suretyship kepada perusahaan asuransi setelah penyesuaian tiga tahun berakhir pada tanggal 19 Januari 2019.
30 Bahwa inilah persoalan yang merisaukan sebagian besar perusahaan asuransi yang diwakili Pemohon. Situasi ini tentu sangat merugikan perusahaan-perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha suretyship, karena kegiatan usaha di bidang ini menjadi tidak jelas, terhambat, dengan waktu yang tidak bisa diprediksikan kapan persoalan izin tersebut akan diterbitkan oleh OJK.
31 Bahwa kegiatan usaha suretyship semakin tidak memiliki kepastian hukum yang adil, karena perusahaan asuransi terancam pidana dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 100 Milyar sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 57 UU No. 1/2016, jika tetap melaksanakan lini usaha suretyship tersebut. 23 Dengan demikian, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 a quo yang multitafsir bertentangan dengan prinsip konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU No. 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi, namun terbit lagi UU No. 2/2017 dan Perpres No. 16/2018 yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi. PASAL 5 AYAT (1) UU 40/2014 INKONSTITUSIONAL SEPANJANG TIDAK DIMAKNAI MENCANTUMKAN SURETYSHIP SEBAGAI PERLUASAN __ JENIS USAHA ASURANSI SESUAI DENGAN KEBUTUHAN MASYARAKAT 3.32 Bahwa perusahaan asuransi yang menyelenggarakan suretyship yang memperoleh izin POJK jumlahnya dua kali dua kali lipat lebih banyak dari jumlah perusahaan penjamin baik sebagaimana terlampir dalam data Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: (Bukti P–8) DAFTAR PERUSAHAAN ASURANSI YANG DAPAT MEMASARKAN PRODUK SURETY BOND KONSTRUKSI PER 14 AGUSTUS 2018 No. Nama Perusahaan No. Nama Perusahaan 1 PT Arthagraha General Insurance 26 PT Asuransi Rama Satria Wibawa 2 PT Asuransi Adira Dinamika 27 PT Asuransi Ramayana, Tbk 3 PT Asuransi Allianz Utama Indonesia 28 PT Asuransi Sinar 4 PT Asuransi Asoka Mas 29 PT Asuransi Tri Pakarta 5 PT Asuransi Astra Buana 30 PT Asuransi Tugu Kresna Pratama 6 PT Asuransi Bangun Askrida 31 PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 7 PT Asuransi Bhakti 32 PT Asuransi Umum Mega 24 Bayangkara 8 PT Asuransi Binagriya Upakara 33 PT Asuransi Umum Videi 9 PT Asuransi Bina Dana Artha, Tbk 34 PT Asuransi Wahana Tata 10 PT Bosowa Asuransi 35 PT Malacca Trust Wuwungan 11 PT Asuransi Bintang, Tbk 36 PT Asuransi Staco Mandiri 12 PT Asuransi Bringin Sejahtera Artha Makmur 37 PT Tugu Pratama Indonesia 13 PT Asuransi Buana Independent 38 PT Victoria Insurance 14 PT Asuransi Central Asia 39 PT Pan Pacific Insurance 15 PT Asuransi Harta Aman Pratama, Tbk 40 PT Chubb General Insurance Indonesia 16 PT Asuransi Himalaya Pelindung 41 PT Berdikari Insurance 17 PT Asuransi Intra Asia 42 PT Lippo General Insurance, Tbk 18 PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 43 PT Asuransi Kresna Mitra 19 PT Asuransi Jasa Raharja Putera 44 PT Mitra Pelindung Mustika 20 PT Asuransi Jasa Tania, Tbk 45 PT Asuransi Asei Indonesia 21 PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) 46 PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia 22 PT Asuransi Mega Pratama 47 PT Mandiri AXA General Insurance 23 PT Asuransi Multi Artha Guna, Tbk 24 PT Asuransi Parolamas 25 25 PT Asuransi Purna Artanugraha Sumber: Surat Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Otoritas Jasa Keuangan Nomor: S-595/NB.2/2018, tanggal 4 Oktober 2018. DAFTAR PERUSAHAAN ASURANSI YANG DAPAT MEMASARKAN PRODUK SURETY BOND NON KONSTRUKSI No Nama Perusahaan No Nama Perusahaan 1 PT Arthagraha General Insurance 23 PT Asuransi Purna Artanugraha 2 PT Asuransi Adira Dinamika 24 PT Asuransi Rama Satria Wibawa 3 PT Asuransi Artarindo 25 PT Asuransi Ramayana, Tbk 4 PT Asuransi Asoka Mas 26 PT Asuransi Asei Indonesia 5 PT Asuransi Astra Buana 27 PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia 6 PT Asuransi Bangun Askrida 28 PT Asuransi Sinar Mas 7 PT Asuransi Bhakti Bayangkara 29 PT Asuransi Tri Pakarta 8 PT Asuransi Binagriya Upakara 30 PT Asuransi Tugu Kresna Pratama 9 PT Bosowa Asuransi 31 PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 10 PT Asuransi Bringin Sejahtera Artha Makmur 32 PT Asuransi Umum Videi 11 PT Asuransi Burma Independent 33 PT Asuransi Wahana Tata 12 PT Asuransi Central Asia 34 PT Asuransi Staco Mandiri 13 PT Harta Aman Pratama, Tbk 35 PT Tugu Pratama Indonesia 26 14 PT Asuransi Himalaya Pelindung 36 PT Victoria Insurance 15 PT Asuransi Intra Asia 37 PT Pan Pacific Insurance 16 PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 38 PT Mandiri AXA General Insurance 17 PT Asuransi Jasa Raharja Putera 39 PT Chubb General Insurance Indonesia 18 PT Asuransi Jasa Tania, Tbk 40 PT Berdikari Insurance 19 PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) 41 PT Asuransi Kresna Mitra 20 PT Asuransi Mega Pratama 42 PT Mitra Pelindung Mustika 21 PT Asuransi Multi Attila Guna, Tbk 22 PT Asuransi Parolamas DAFTAR PERUSAHAAN PENJAMINAN YANG DAPAT MELAKUKAN PRODUK SURETY BOND KONSTRUKSI No Nama Perusahaan No Nama Perusahaan 1 Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia 12 PT Jamkrida Bangka Belitung 2 PT Penjaminan Kredit Pengusaha Indonesia 13 PT Jamkrida Banten 3 PT Jamkrida Jawa Timur 14 PT Jamkrida Kalimantan Timur 4 PT Jamkrida Bali Mandara 15 PT Jamkrida Jawa Tengah 5 PT Jamkrida Riau 16 PT Jamkrida Papua 6 PT Jamkrida Nusa Tenggara Barat Bersaing 17 PT Jamkrida Nusa Tenggara Timur 7 PT Jamkrida Jawa Barat 18 PT Jamkrida Jakarta 8 PT Jamkrida Sumatera Barat 19 PT Jamkrida Sulawesi Selatan 27 D A F T A P PERUSAHAAN PENJAMINAN YANG DAPAT MELAKUKAN PRODUK SURETY BOND NON KONSTRUKSI No Nama Perusahaan No Nama Perusahaan 1 Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia 12 PT Jamkrida Bangka Belitung 2 PT Penjaminan Kredit Pengusaha Indonesia 13 PT Jamkrida Banten 3 PT Jamkrida Jawa Timur 14 PT Jamkrida Kalimantan Timur 4 PT Jamkrida Bali Mandara 15 PT Jamkrida Jawa Tengah 5 PT Jamkrida Riau 16 PT Jamkrida Papua 6 PT Jamkrida Nusa Tenggara Barat Bersaing 17 PT Jamkrida Nusa Tenggara Timur 7 PT Jamkrida Jawa Barat 18 PT Jamkrida Jakarta 8 PT Jamkrida Sumatera Barat 19 PT Jamkrida Sulawesi Selatan 9 PT Jamkrida Kalimantan Selatan 20 PT Jamkrida Kalimantan Barat 10 PT Jamkrida Sumatera Selatan 21 PT Jaminan Pembiayaan Askrindo Syariah 11 PT Jamkrida Kalimantan Tengah 22 PT Penjaminan Jamkrindo Syariah 9 PT Jamkrida Kalimantan Selatan 20 PT Jamkrida Kalimantan Barat 10 PT Jamkrida Sumatera Selatan 21 PT Jaminan Pembiayaan Askrindo Syariah 11 PT Jamkrida Kalimantan Tengah 22 PT Penjaminan Jamkrindo Syariah 28 3.33 Bahwa selain perusahaan asuransi, terdapat konsorsium perusahaan asuransi untuk menfasilitasi nilai proyek yang besar yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh satu atau dua perusahaan asuransi yang menjalankan suretyship yang terdiri dari 3 (tiga) konsorsium penjaminan, yang seluruh anggotanya adalah perusahaan-perusahaan asuransi seperti yang ada pada tabel berikut: DAFTAR PERUSAHAAN KONSORSIUM PENJAMINAN YANG DAPAT MEMASARKAN PRODUK SURETY BOND KONSTRUKSI No Nama Konsorsium Penjaminan Proyek 1 Konsorsium Penjaminan Proyek yang beranggotakan: • PT Asuransi Sinar Mas (Ketua); • PT Asuransi Purna Arthanugrahra (Anggota); • PT Asuransi Central Asia (Anggota); • PT Asuransi Asei Indonesia (Anggota), • PT Asuransi Cakrawala Proteksi (Anggota); • PT Asuransi Binagriya Upakara (Anggota); • PT Asuransi Bangun Askrida (Anggota); • PT Panin Insurance (Anggota); dan 2 Konsorsium Penjaminan Proyek yang beranggotakan: • PT Jasaraharja Putera (Ketua); • PT Asuransi Kredit Indonesia – Persero (Anggota); • PT Asuransi Wahana Tata (Anggota); • PT Asuransi Astra Buana (Anggota); • PT Asuransi Bringin Sejahtera Artamakmur (Anggota); • PT Asuransi Bintang, Tbk (Anggota); dan • PT Asuransi Umum Videi (Anggota) 3 Konsorsium Penjaminan Proyek yang beranggotakan: • PT Asuransi Jasa Tania (Ketua); 29 • PT Tugu Pratama Indonesia (Anggota); • PT Bosowa Asuransi (Anggota); • PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 (Anggota); • PT Asuransi Kresna Mitra, Tbk. (Anggota); • PT Asuransi Bakti Bhayangkara (Anggota); • PT Asuransi Asoka Mas (Anggota); • PT Asuransi Mega Pratama (Anggota); dan • PT Asuransi Tugu Kresna Pratama (Anggota).
34 Bahwa dari data tersebut tampak bahwa sebagian besar pelaku lini usaha suretyship adalah perusahaan-perusahaan asuransi termasuk dengan dibentuknya konsorsium penjaminan yang anggota-anggotanya juga terdiri dari sejumlah perusahaan asuransi, yang tujuan pembentukannya untuk menjamin proyek-proyek bernilai besar, antara lain proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ini berarti, keberadaan perusahaan asuransi yang menjalankan suretyship merupakan pilihan penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas dan kebutuhan proyek pemerintah.
35 Bahwa perusahaan asuransi selaku pelaku usaha memiliki peran yang penting dalam mendukung proses pembangunan sebagaimana yang tertuang dalam Penjelasan UU No. 40/2014 yang menyatakan: “…peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional terjadi apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko yang dihadapinya sehari-hari dan pada saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha” “...peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional juga terjadi melalui pemupukan dana jangka panjang dalam jumlah besar, yang selanjutnya menjadi sumber dana pembangunan”. 3.36 Bahwa produk usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan- perusahaan asuransi sangat vital bagi pembangunan nasional, karena banyak dimanfaatkan untuk menjamin pembangunan infrastruktur di berbagai sektor mulai dari transportasi, sumber daya air, perumahan dan pemukiman, energi hingga informasi dan teknologi. 30 3.37 Bahwa seperti halnya 13 (tiga belas) paket konstruksi yang dicanangkan pemerintah di tahun 2020, salah satu contohnya adalah paket konstruksi pembangunan Bendungan Jragung Jawa Tengah, dengan nilai proyek mencapai Rp 2.72 Triliun. Pembangunan proyek demikian tentu membutuhkan aspek kepastian dan jaminan pelaksanaan yang hanya dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi melalui suretyship karena sulit dilaksanakan oleh perusahaan penjaminan dengan kapasitasnya yang ada dan sulit pula dilakukan melalui bank garansi karena adanya kesulitan bagi pelaksana proyek untuk menyediakan uang tunai pada bank yang mengeluarkan bank garansi.
38 Bahwa adanya Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 potensial pasti membatasi hak Pemohon untuk turut serta dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan. Apalagi dengan berlakunya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2016 yang dapat menegasikan kontribusi perusahaan asuransi yang selama ini telah turut serta memberi jaminan bagi berjalannya proyek-proyek tersebut melalui lini usaha suretyship . Jika suretyship tidak dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asuransi dipastikan akan menghambat kelanjutan pembangunan nasional sekaligus terhalangnya proyek pembangunan pemerintah.
39 Bahwa untuk mengisi “Kekosongan Hukum” akibat tidak adanya kepastian hukum pengaturan mengenai suretyship tersebut, Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk membentuk norma hukum baru sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011, yang menguji Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebutkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:
amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
perintah kepada pembuat Undang-Undang; dan
rumusan norma sebagai pengganti norma dari Undang-Undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 31 Dalam Putusannya, Mahkamah Konstitusi menyebutkan, bahwa terhadap permohonan pengujian Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: “Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 tersebut bertentangan dengan tujuan pembentukan Mahkamah untuk menegakkan hukum dan keadilan khususnya dalam rangka menegakkan konstitusionalitas norma Undang-Undang sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Adanya Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 tersebut berakibat terhalangnya Mahkamah untuk (i) menguji konstitusionalitas norma; (ii) mengisi kekosongan hukum sebagai akibat putusan Mahkamah yang menyatakan suatu norma bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara itu, proses pembentukan Undang-Undang membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga tidak dapat segera mengisi kekosongan hukum tersebut; (iii) melaksanakan kewajiban hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;
Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
40 Bahwa Mahkamah Konstitusi juga pernah mengeluarkan putusan yang mengubah norma hukum atau membuat norma hukum baru, antara lain sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang menguji Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyebutkan:
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu 32 pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
41 Bahwa berdasarkan kedua Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu tersebut, maka ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 adalah inkonstitusional, sepanjang tidak disebutkan secara jelas perluasan usaha yang menjadi ruang lingkup usaha asuransi adalah termasuk suretyship ;
42 Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentu akan dipatuhi oleh pembentuk Undang-Undang, karena berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12/2011 yang menyatakan: “Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: akibat putusan Mahkamah Konstitusi”. Berdasarkan uraian tersebut beralasan menurut hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk dapat memaknai Pasal 5 ayat (1) UU a quo untuk menyatakan “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” __ __ 33 IV. PETITUM Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus uji materil sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5618) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah berpendapat lain mohon Putusan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-13 yang telah disahkan dalam persidangan, sebagai berikut:
Bukti P-1 : : Fotokopi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan;
Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi;
Bukti P-5 : Fotokopi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 34 6. Bukti P-6 : Fotokopi Akta Pernyataan Keputusan Kongres ke-V Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Nomor 2 tanggal 4 Desember 2018 tentang Perubahan Anggaran Dasar, dibuat dihadapan Notaris Felix F.X. Handojo, S.H.;
Bukti P-7 : Fotokopi Akta Pernyataan Keputusan Kongres ke-V Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Nomor 3 tanggal 4 Desember 2018 tentang Perubahan Anggaran Rumah Tangga, dibuat dihadapan Notaris Felix F.X. Handojo, S.H.;
Bukti P-8 : Fotokopi Surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor S- 595/NB.2/2018 tertanggal 4 Oktober 2018 perihal Daftar Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan Penjaminan dan Konsorsium Yang Dapat Memasarkan Produk Suretyship per 14 Agustus 2018;
Bukti P-9 : Fotokopi Sertifikat Keanggotaan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia/General Insurance Association of Indonesia;
Bukti P-10 : Fotokopi Surat Izin Penerbitan Surety Bond Kepada Perusahaan Asuransi;
Bukti P-11 : Fotokopi Akta Nomor 58 tentang Anggaran Dasar Pendirian Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (“AAUI”) yang dibuat dihadapan Notaris Haji Rizul Sudarmadi, S.H. tanggal 18 April 2002;
Bukti P-12 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor C-39.HT.01.03.TH.2007 tanggal 4 Mei 2007 tentang Pengesahan Akta Pendirian Asosiasi Asuransi Umum Indonesia disingkat AAUI dalam Bahasa Inggris disebut General Insurance Association of Indoensia;
Bukti P-13 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000962.AH.01.08.Tahun 2018 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia dalam Bahasa Inggris disebut General Insurance Association of Indoensia; 35 Selain itu, Pemohon dalam persidangan tanggal 13 Juli 2020 mengajukan satu orang ahli yakni Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.L.M., Ph.D. yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dan dilengkapi keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan pada tanggal 13 Juli 2020, dan pada persidangan tanggal 10 September 2020 mengajukan satu orang ahli yakni Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK. yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dan dilengkapi keterangan tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah tanggal 8 September 2020, serta pada persidangan tanggal 25 Agustus 2020 mengajukan dua orang saksi yakni Tjindra Parma Wignyoprayitno, S.H., M.H., dan Ir. Manahara R. Siahaan , yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji pada pokoknya sebagai berikut: Ahli Pemohon 1. Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.L.M., Ph.D. Dalam perkara Nomor 5/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat lima permasalahan hukum yang disampaikan oleh Pemohon dan akan ahli coba jawab secara akademik, sebagai berikut:
Apakah undang-undang diperkenankan untuk mendelegasikan kewenangan mengatur kepada institusi pemerintah non-kementerian? Dalam hal ini, Ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang mendelegasikan pengaturan mengenai perluasan ruang lingkup usaha perasuransian kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Untuk menjawab pertanyaan ini, izinkan ahli menyampaikan dengan lengkap bunyi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian sebagai berikut:
Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat .
Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum , Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa 36 Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana .
Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . Berdasarkan bunyi ketentuan tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menentukan bidang usaha asuransi selain yang telah ditetapkan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, sepanjang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan diatur di dalam Peraturan OJK. Berkaitan dengan hal ini, terdapat dua hal yang menjadi catatan ahli. Pertama , secara teori, ketentuan pendelegasian di dalam undang- undang ditujukan untuk mengatur lebih lanjut ketentuan teknis yang dibutuhkan untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang hadir karena perintah undang-undang untuk mengatur hal-hal yang bersifat teknis, ditujukan untuk mewujudkan apa yang menjadi politik hukum peraturan induknya. Artinya, peraturan pelaksana tidak dapat memuat atau mengandung politik hukum baru. Perwujudan teori ini tercermin di dalam Lampiran II, angka 211 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan sebagai berikut: “ Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif .” Berkaitan dengan hal ini, jika dilihat kembali ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Perasuransian, pendelegasian kepada peraturan OJK tidak ditujukan untuk mengatur hal yang bersifat teknis, melainkan untuk menetapkan bidang-bidang usaha asuransi selain yang telah ditetapkan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Perasuransian , sepanjang “sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Artinya, OJK memiliki kewenangan 37 untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat dan menentukan jenis layanan asuransi baru untuk merespon kebutuhan tersebut. Hal ini juga berarti, peraturan OJK tentang perluasan bidang usaha asuransi dapat saja memuat politik hukum baru atas dasar kebutuhan masyarakat. Dengan konstruksi hukum demikian, maka potensi adanya perbedaan politik hukum antara undang-undang perasuransian dengan peraturan OJK sangat dimungkinkan terjadi. Sebenarnya, upaya untuk menjaga politik hukum undang-undang agar tidak bergeser atau berubah akibat kehadiran peraturan pelaksana telah dicantumkan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 10 ayat (1) huruf e telah secara tegas ( expresis verbis ) menyatakan bahwa merespon kebutuhan hukum masyarakat merupakan materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang memang hanya ditujukan untuk mewujudkan politik hukum yang terkandung di dalam undang-undang tersebut. Selain itu, konstruksi Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian yang memberikan kewenangan kepada OJK untuk memperluas ruang lingkup usaha perasuransian jika terdapat kebutuhan dari masyarakat, menurut ahli merupakan konstruksi hukum yang hadir akibat ketidakcermatan pembentuk undang-undang dalam memahami fungsi-fungsi kelembagaan negara. Di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dinyatakan bahwa fungsi OJK adalah “menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan”. Tidak ditemukan satupun ketentuan di dalam Undang-Undang tersebut bahwa OJK memiliki fungsi untuk mengagregasi ataupun menyalurkan aspirasi kepentingan masyarakat. Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, sudah umum dipahami bahwa fungsi agregasi kepentingan dan fungsi penyaluran aspirasi masyarakat merupakan fungsi yang melekat pada lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, maka respon terhadap kebutuhan hukum masyarakat harus dilakukan oleh DPR dengan membentuk undang- undang. 38 Kedua , pada dasarnya peraturan OJK yang mengatur perluasan bidang usaha asuransi, merupakan ketentuan “ pengecualian ” dari ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Perasuransian yang telah mengatur ruang lingkup usaha asuransi secara limitatif dengan konstruksi norma yang bersifat tertutup. Konstruksi “pengecualian” terlihat dengan adanya pra-syarat berupa “kebutuhan masyarakat” yang harus terpenuhi sebelum OJK dapat menambahkan atau memperluas ruang lingkup usaha asuransi. Dalam praktik, delegasi semacam ini semakin sering terjadi. Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi makin seringnya terjadi pendelegasian, yaitu:
DPR mempunyai keterbatasan waktu untuk membahas serta merumuskan secara rinci hal-hal yang perlu diatur dengan undang- undang.
Faktor penguasaan teknis materi yang dibahas. DPR tidak selalu memiliki anggota-anggota yang benar-benar memiliki pengetahuan khusus di bidang tertentu sehingga dapat melakukan analisis secara mendalam setiap aspek yang akan diatur dalam suatu undang-undang.
Faktor kecepatan atau urgensi. Rangkaian pembahasan dalam pembentukan undang-undang dapat menghambat pada saat ada kebutuhan mendesak untuk membuat undang-undang bidang tertentu.
Faktor fleksibilitas. Mengubah udang-undang tidak semudah mengubah peraturan yang lebih rendah. Menghadapi perubahan yang serba cepat dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang mudah diubah untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan. Meski delegasi diperbolehkan, namun tidak berarti setiap hal dapat didelegasikan atau delegasi dilakukan tanpa batas-batas tertentu. Terdapat beberapa pembatasan dalam mendelegasikan pengaturan, antara lain, tidak boleh ada delegasi pengaturan yang bersifat umum. Konstruksi pendelegasian yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (3) menimbulkan problematika mendasar dari sisi ilmu perundang-undangan, yakni berkaitan dengan asas kepastian hukum. Jika kembali merujuk pada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian, tidak ditemukan kriteria mengenai apa yang dimaksud dengan “kebutuhan masyarakat”. Artinya, 39 penilaian terhadap pemenuhan prasyarat yang ditentukan oleh undang- undang berupa “kebutuhan masyarakat”, semata-mata ditentukan oleh penilaian subjektif OJK. Jika ditafsirkan secara a contrario , maka OJK berwenang pula menilai bahwa suatu layanan perasuransian selain yang telah ditentukan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, bukan lagi merupakan layanan yang dibutuhkan masyarakat, dan karenanya dapat dihapus atau dihentikan. Pada tafsir yang demikian, maka keberadaan atau keberlangsungan sebuah layanan perasuransian selain yang ditentukan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, sangat bergantung pada kewenangan diskresif tunggal dari OJK. Bahkan, Undang-Undang juga tidak memberikan kejelasan mengenai sejauh apa perluasan ruang lingkup usaha asuransi dapat dilakukan. Ketentuan pendelegasian semacam ini dapat dikategorikan sebagai pendelegasian yang bersifat open ended atau bentuk delegasi blangko yang secara normatif dilarang untuk dilakukan berdasarkan Lampiran II angka 210, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karakter delegasi blangko semacam ini tentu tidak memenuhi asas keketatan ( lex stricta ) yang menjadi salah satu elemen dari asas kepastian hukum.
Bagaimana UUD 1945 mengatur tata cara melaksanakan atau menjalankan undang-undang? Untuk menjawab hal ini, maka perlu merujuk pada ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya ”. Pada ketentuan tersebut terdapat frasa “…menjalankan undang- undang sebagaimana mestinya”, yang berarti bahwa Peraturan Pemerintah berfungsi untuk mengatur lebih lanjut (rincian) dari ketentuan yang telah terdapat dalam undang-undang. Dengan kata lain, setiap ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah harus berkaitan dengan satu atau beberapa ketentuan di dalam sebuah undang-undang. Salah satu cara melihat keterkaitan tersebut adalah dengan melihat apakah terdapat perintah yang tercantum secara tegas ( expresis verbis ) di dalam sebuah undang-undang bahwa suatau ketentuan harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 40 Meskipun demikian, bukan berarti ketiadaan perintah pengaturan lebih lanjut, menjadikan Presiden tidak berwenang untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah. Sepanjang terdapat kebutuhan untuk mengatur hal- hal yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang, Presiden dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah atau menggunakan instrumen hukum lainnya yang berasal dari fungsi pengaturan Presiden sebagai kepala pemerintahan, yakni instrumen Peraturan Presiden. Peraturan Presiden pada dasarnya berasal dari kewenangan yang melekat pada Presiden karena jabatannya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Bahkan di dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum perubahan) dinyatakan bahwa Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi. Ketentuan dan penjelasan tersebut menunjukan bahwa Presiden adalah penanggungjawab dan pimpinan penyelenggara pemerintahan sehari-hari atau pemimpin administrasi ( bestuur ), dan salah satu fungsi administrasi negara adalah membuat keputusan (baik yang bersifat penetapan ( beschikking ) maupun yang bersifat mengatur ( regeling ). Selain wewenang administrasi negara, Presiden mempunyai wewenang mandiri dalam membuat aturan-aturan untuk menyelenggarakan pemerintahan (disamping wewenang yang dilakukan bersama DPR membuat undang-undang). Akibatnya, meskipun Peraturan Presiden secara hierarkhis merupakan peraturan perundang-undangan di bawah Peraturan Pemerintah, namun, bukan berarti bahwa Peraturan Presiden hanya dapat diterbitkan untuk menjalankan Peraturan Pemerintah saja. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa: “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.” Dengan demikian, ruang lingkup materi muatan yang dapat diatur oleh Peraturan Presiden lebih luas dari ruang lingkup pengaturan yang dapat diatur oleh Peraturan Pemerintah. Bahkan, Peraturan Presiden dapat pula diterbitkan untuk melaksanakan atau menjalankan UUD 1945 maupun Tap MPR. 41 Sebagaimana yang telah ahli sampaikan sebelumnya, bahwa meskipun ketiadaan perintah pengaturan lebih lanjut di dalam undang- undang mengakibatkan Presiden dapat memilih menggunakan bentuk hukum Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden untuk menjalankan undang-undang, namun terdapat kondisi dimana Presiden sebaiknya menggunakan bentuk hukum Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Kondisi dimaksud yakni jika materi muatan yang hendak diatur merupakan materi yang berkaitan dengan hak dan kewajiban rakyat banyak (misalnya pada perkara a quo dalam bentuk memperluas ruang lingkup usaha asuransi), atau dalam batas-batas tertentu berkaitan dengan hak asasi atau salah satu hak yang dijamin di dalam UUD 1945. Mengutip pendapat Prof. Bagir Manan, praktik di Negeri Belanda, keputusan-keputusan Mahkota ( koninkelijke besluit ) yang mengikat secara umum selalu diatur melalui AMvB ( Algemene Maatsregel van Bestuur/ semacam Peraturan Pemerintah dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia). Berdasarkan uraian tersebut, ahli berpendapat bahwa pendelegasian sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian sedapat mungkin dihindari, terutama jika materi yang hendak didelegasikan merupakan materi yang berkaitan dengan hak-hak warga negara, termasuk dalam hal ini boleh atau tidaknya badan usaha penyelenggara jasa asuransi melakukan atau tidak melakukan kegiatan bisnis tertentu. Demi menjaga keteraturan dan ketertiban hukum, pengaturan materi muatan semacam itu seharusnya diletakkan pada bentuk hukum Peraturan Pemerintah untuk memberikan pokok-pokok pengaturan yang penting terlebih dahulu seperti kejelasan makna “kebutuhan masyarakat”, tata cara mengidentifikasinya, kriteria perluasan yang diperkenankan untuk dilakukan, hingga metode evaluasinya. Materi muatan tersebut penting untuk dikemas dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebelum didelegasikan kepada pengaturan teknisnya dalam peraturan OJK. Berbeda dengan peraturan OJK yang dalam pembentukannya tidak melibatkan institusi lain secara formal sehingga dapat dikategorikan sebagai diskresi tunggal, pembentukan Peraturan Pemerintah melibatkan institusi pemerintah lintas sektor dalam 42 bentuk Panitia Antar Kementerian dalam mekanisme pembentukannya secara formal. Selain itu, ahli berpendapat sudah saatnya Mahkamah memberikan pendapat yang tegas berkenaan dengan pendelegasian dari undang- undang kepada peraturan menteri atau peraturan lembaga/badan. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, materi peraturan delegasi acapkali mengatur hal-hal yang berdampak pada masyarakat luas, termasuk dunia usaha sebagaimana diatur dalam Pasal a quo . Bila hal semacam ini dibiarkan, dikhawatirkan terjadi ketidakpastian yang akan menimbulkan kerugian di masa-masa mendatang. Dengan demikian, Mahkamah menjadi lembaga yang sangat fundamental menegakkan UU No. 12 Tahun 2011 karena dalam pandangan ahli, UU No. 12 Tahun 2011 merupakan undang- undang organik yang pembentukannya diperintahkan secara langsung oleh UUD 1945.
Apakah Relasi Antara Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, merupakan relasi yang menghadirkan kepastian hukum? Untuk menjawab hal tersebut, izinkan ahli menyampaikan beberapa ketentuan yang dapat mengidentifikasi hubungan diantara kedua undang- undang tersebut sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang berbunyi sebagai berikut: “ Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak , yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti;
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang berbunyi sebagai berikut: “Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan.” 43 Berdasarkan kedua ketentuan yang mendefinisikan asuransi dan penjaminan tersebut, ahli berpendapat bahwa pada dasarnya kedua undang-undang mengatur hal yang serupa, yakni pada pokoknya memberikan layanan perlindungan kepada klien atas potensi kerugian akibat ketidakpastian di masa depan. Jikapun terdapat perbedaan, maka perbedaan tersebut bersifat sumir dan gradual. Misalnya, pada definisi asuransi, dinyatakan secara eksplisit bahwa asuransi adalah “perjanjian antara dua pihak”, yakni perusahaan asuransi dan pemegang polis. Frasa ini memperlihatkan karakter hubungan dyadic di dalam hubungan perasuransian. Namun, ditemukan pula frasa “tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga”, yang memperlihatkan pula relasi triadic . Sementara undang-undang penjaminan tidak menyatakan secara tegas karakter keterikatan para pihak di dalam hubungan penjaminan. Namun di dalam ketentuan mengenai definisi penjaminan, terlihat bentuk relasi triadic pula antara penjamin, terjamin, dan penerima jaminan. Di dalam ilmu perundang-undangan, dipahami bahwasanya untuk objek yang sama, tidak dibenarkan diatur dengan peraturan yang berbeda. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi politik hukum di kedua undang-undang ini, agar dapat melihat apakah terdapat perbedaan tujuan hukum dari dibentuknya dua undang-undang yang mengatur objek yang serupa tersebut. Untuk dapat mengidentifikasi politik hukum, salah satunya dapat dilakukan dengan pendekatan original intent pembentuk undang- undang. Salah satu caranya dengan melihat pada Bagian Konsideran. Pada Bagian Konsideran huruf b Undang-Undang Perasuransian, dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya undang-undang ini adalah: “dalam rangka menyikapi dan mengantisipasi perkembangan industri perasuransian serta perkembangan perekonomian, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat global…”. Di sisi lain, Konsideran huruf b Undang-Undang Penjaminan menyatakan bahwa tujuan pembentukannya adalah: “untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, negara harus memberikan perhatian terhadap dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi yang sering kesulitan mendapatkan akses permodalan dalam bentuk kredit, pembiayaan, atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari lembaga keuangan dan di luar lembaga keuangan karena terbatasnya jaminan”. 44 Dari kedua Konsideran tersebut, terlihat bahwa politik hukum Undang-Undang Penjaminan ditujukan untuk memudahkan akses permodalan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi, yang secara faktual sering kali kesulitan mendapatkan kredit atau pembiayaan akibat terbatasnya aset yang dapat dijaminkan. Di sisi lain, Undang-Undang Perasuransian ditujukan untuk meningkatkan daya saing perasuransian nasional sehingga dapat bertahan pada persaingan global. Berdasarkan kedua politik hukum tersebut, maka norma-norma yang dibangung di dalam undang-undang, harus ditujukan untuk memastikan politik hukumnya tercapai dengan baik. Sayangnya, jika diperhatikan pada norma-norma yang mengatur mengenai ruang lingkup usaha pada masing- masing undang-undang, dijumpai konstruksi pengaturan yang berbeda. Perbedaan ini pada sisi Undang-Undang Perasuransian berpotensi menghadirkan ketidakpastian hukum. Misalnya, di dalam Pasal 2 dan Pasal, 3 Undang-Undang Perasuransian, ruang lingkup usaha diatur dengan norma tertutup yang sangat limitatif dengan menggunakan frasa “hanya dapat” . Limitasi ini tentu berpotensi menghambat pertumbuhan dan perkembangan industri asuransi untuk dapat beradaptasi dan merespon dinamika persaingan global. Dengan demikian, frasa “hanya dapat” merupakan ketentuan yang bersifat rigid/kaku yang tidak sejalan dengan politik hukum undang-undang yang dinyatakan pada bagian konsideran, yakni untuk merespon dinamika persaingan global yang membutuhkan keluwesan. Namun, berbeda dengan Undang-Undang Perasuransian yang dirancang dengan konstruksi pasal tertutup, Pasal 4 Undang-Undang Penjaminan mengatur ruang lingkup usaha penjaminan dengan konstruksi pasal terbuka . Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf k yang menyatakan bahwa perusahaan penjaminan dapat melakukan “kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan”. Dengan konstruksi pasal demikian, maka secara normatif dapat ditafsirkan bahwa perkembangan indsutri penjaminan diserahkan pada pelakunya, sementara OJK ditempatkan sebagai lembaga pengawas yang memberikan persetujuan sebagai manifestasi dari fungsi kontrol pemerintah. 45 Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, Undang-undang Perasuransian juga sebenarnya membuka peluang adanya perluasan ruang lingkup usaha perasuransian sebagaimana diatur di dalam Pasal 5 Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014. Namun, ketentuan Pasal 5 tersebut secara normatif memperlihatkan bahwa inisiasi perluasan ruang lingkup usaha diserahkan pada “ judgment” tunggal OJK untuk menilai kebutuhan masyarakat, dan bukan berasal dari inisiasi dari pelaku usaha. Dengan demikian, secara normatif, konstruksi Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian memiliki potensi menghadirkan ketidakpastian jika dihubungkan dengan politik hukum pembentukan Undang-Undang dimaksud. Selain itu, berkaitan dengan lini usaha suretyship atau surety bond yang menjadi pokok permohonan perkara a quo , ahli melihat bahwa undang-undang memang menghendaki jenis usaha ini dapat dilakukan oleh berbagai entitas bisnis. Sebagaimana yang Pemohon uraikan di dalam permohonannya, lini usaha suretyship merupakan hasil perluasan ruang lingkup usaha asuransi yang diatur dalam Peraturan OJK Nomor 69/POJK.05/2016. Pengaturan mengenai objek yang sama juga ditemukan di dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang Penjaminan dengan terminologi “surety bond ”. Dalam Permohonan dinyatakan bahwa Pasal 57 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi juga mengatur objek yang sama dengan terminologi yang lebih umum yakni “jaminan” yang dapat dilakukan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan. Dari seluruh ketentuan tersebut, hanya pada rezim Undang-Undang Perasuransian yang memberikan pengaturan “ suretyship/surety bond ” dengan bentuk hukum yang bersifat diskresional, yakni menggunakan Peraturan OJK dengan syarat adanya kebutuhan masyarakat. Sementara pada rezim yang lain, pengaturan mengenai “ suretyship/surety bond ” diatur di dalam bentuk hukum yang lebih ajeg, yakni norma undang-undang dan tanpa ada prasyarat apapun. Dengan demikian, secara hukum layak untuk dipertanyakan, mengapa objek yang sama, diatur dengan bentuk peraturan yang berbeda? 46 4. Apakah Kehadiran Pasal 61 juncto Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang mengatur mengenai kewajiban penyesuaian dan ketentuan pidana bagi penyelenggara penjaminan tanpa izin, merupakan ketentuan yang menghadirkan kepastian hukum bagi penyelenggara perasuransian? Pada masyarakat awam, kehadiran hukum tertulis selalu dianggap sebagai bentuk hadirnya kepastian hukum. Padahal, di dalam ilmu perundang-undangan, tetap terdapat prasyarat yang harus terpenuhi agar hukum tertulis dapat menghadirkan kepastian hukum sebagai berikut:
terdapat kejelasan norma/rumusan norma; 2 . norma harus harmonis dan sinkron dengan norma yang lain, baik yang terdapat dalam undang-undang yang bersangkutan maupun undang- undang yang lain yang mengatur materi sejenis; dan
tersedianya infrastruktur penegakan hukum. Ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan UndangUndang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Dari aspek kejelasan rumusan, ketentuan tersebut menurut ahli tidak bersifat multi interpretatif. Karenanya, asas kejelasan rumusan telah terpenuhi. Kehadiran ketentuan ini mencerminkan bahwa undang-undang memang mengakui bahwa kegiatan penjaminan dapat saja dilakukan berdasarkan undang-undang yang lain, dan dilakukan oleh pelaku usaha yang berbeda-beda. Namun, pada sisi harmonisasi, ketentuan Pasal 61 ini berpotensi menghadirkan ketidakpastian hukum dalam hal penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi. Hal ini dikarenakan adanya pengecualian kewajiban untuk menyesuaikan dengan undang- undang penjaminan sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 61 ayat (2), melalui frasa hanya diberikan kepada kegiatan-kegiatan “yang dijalankan 47 berdasarkan undang-undang”. Di sisi lain, penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi merupakan kegiatan yang tidak didasarkan pada undang-undang, melainkan pada Peraturan OJK. Dengan demikian, kegiatan suretyship oleh perusahaan asuransi tidak lagi dapat dilakukan kecuali pada sektor jasa konstruksi karena kegiatan tersebut diatur di dalam undang-undang tersendiri, yakni Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Dengan kata lain, konstruksi Pasal 61 secara tidak langsung mempersempit ruang lingkup layanan suretyship yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi. Akibatnya, ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 57 Undang- Undang Penjaminan, berpotensi dikenakan kepada perusahaan asuransi yang menyelenggarakan kegiatan suretyship di luar sektor jasa konstruksi. Ketidakpastian ini terjadi karena, di satu pihak, penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi didasarkan oleh Peraturan OJK yang secara hukum adalah peraturan yang valid sebagai wujud kewenangan atribusi yang dimiliki OJK berdasarkan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Namun, di lain pihak, perusahaan asuransi yang melaksanakan lini usaha suretyship berdasarkan peraturan yang valid, berpotensi terkena ketentuan pidana karena dasar hukum kegiatannya tidak didasarkan pada undang-undang. Ketidakpastian hukum ini menurut ahli bukanlah akibat dari kesalahan perumusan Pasal 61 Undang-Undang Penjaminan. Penggunaan frasa “… yang dijalankan berdasarkan undang-undang” pada Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Penjaminan sebagai pengecualian atas kewajiban penyesuaian terhadap undang-undang penjaminan, disusun dengan asumsi atau penalaran yang wajar bahwa hal-hal yang bersifat pokok dan penting akan diatur secara ajeg di dalam norma undang-undang dan tidak didelegasikan kepada peraturan perundang-undangan yang lain. Menurut ahli, pendelegasian ketentuan yang bersifat pokok dan penting kepada peraturan yang secara hukum hanya dapat mengatur teknis administratif merupakan sebuah anomali. Dengan demikian, masalah utama ketidakpastian hukum ini menurut ahli terletak pada ketidaktaatan asas pada saat pembentukan Undang-Undang Perasuransian, khususnya pada saat merumuskan Pasal 2 dan Pasal 3 yang mengatur ruang lingkup usaha 48 dengan norma tertutup, dan Pasal 5 yang memberikan pengecualian untuk memperluasnya melalui Peraturan OJK dalam bentuk pemberian delegasi blangko.
Agar tercipta kepastian hukum yang adil bagi usaha penerbitan suretyship yang telah berjalan sejak 1978, apakah terdapat cukup alasan konstitusional untuk secara eksplisit mencantum frasa “termasuk lini usaha suretyship ” dari makna “dapat diperluas” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun 2014? Kehadiran Mahkamah Konstitusi seringkali dimaknai sebagai “ the negative legislature ”, yakni institusi yang menjadi penyeimbang dari kekuasaan politik untuk membatalkan produk hukum yang dibentuknya. Namun, seringkali “ the negative legislature ” dimaknai secara sempit bahwa Mahkamah Konstitusi tidak dapat membentuk norma hukum baru, melainkan hanya membatalkan norma hukum dan mengembalikan pembentukannya pada cabang kekuasaan politik. Pandangan ini menurut ahli tidak sepenuhnya tepat, apalagi dengan kompleksitas permasalahan ketatanegaraan yang semakin rumit yang sering kali dihadapi Mahkamah Konstitusi. Aharon Barak di dalam bukunya “Judge in Democracy ” mencoba memberikan jawaban mengenai bagaimana pengadilan seharusnya memposisikan dirinya dalam menghadapi perkara-perkara yang kompleks tersebut. Menurutnya, pengadilan secara inheren dibekali kewenangan untuk melakukan “ judicial discretion ”. “Diskresi” dalam pendapat Aharon Barak tersebut dapat dilakukan dalam bentuk menghadirkan perluasan makna dari norma hukum, perubahan makna dari norma konstitusi, penambahan norma baru, hingga putusan yang bersifat “ ultra vires ”. Mengutip pendapat Chief Justice Lord Hewart: “ It is fundamental importance that justice should not only be done, but should manifestly and undoubtedly be seen to be done ”. Artinya, pengadilan harus memastikan keadilan benar-benar dapat dinikmati setiap warga negara dan tidak semata-mata hanya berbunyi di atas kertas. Pandangan ini sejatinya merupakan pandangan yang menolak gagasan tradisional tentang fungsi kekuasaan kehakiman yang sebatas hanya diposisikan sebagai institusi 49 yang menafsirkan hukum dan seringkali dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah. Pandangan mengenai judicial discretion ini memang seringkali dikritik dengan alasan dapat mengakibatkan pengadilan berubah menjadi institusi yang “hiperaktif” dan eksesif, serta mencederai prinsip dasar bernegara, yakni demokrasi dan prinsip pemisahan kekuasaan. Namun, Ran Hirschl, seorang pakar political science dalam sebuah artikel yang berjudul: “Constitutional Courts vs Religious Fundamentalism: Three Middle Eastern Tales ”, mengatakan bahwa kritik-kritik terhadap judicial discretion dan dampak buruknya, umumnya didasarkan pada pemahaman yang keliru. Dalam bantahannya, Hirschl mengatakan bahwa pembentukan pengadilan (terutama pengadilan konstitusional) tidak dapat dipisahkan dari latar belakang kenyataan sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang terbentuk dari tatanan sistem politik tertentu. Akibatnya, pengadilan tidak mungkin beroperasi pada dimensi yang vakum akan politik dan ideologi. Bagi Hirschl, pengadilan harus menjadi bagian integral untuk dapat memanifestasikan gagasan dan value politik serta ideologi yang melatar belakangi pembentukannya. Berdasarkan pendapat Ran Hirschl tersebut, ahli berpendapat bahwa jika Mahkamah Konstitusi pada awalnya memang dibentuk sebagai “ the guardian of the constitution, and the protector of human rights ”, maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban pula untuk memastikan bahwa fungsi-fungsinya tersebut dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat dalam bentuk menghadirkan remedy bagi mereka yang hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya sebuah undang-undang. Oleh karena itu, memberikan tafsir konstitusional bersyarat sebagaimana permohonan pemohon, menurut ahli dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang pengadilan memutus berdasarkan hukum. Makna memutus berdasarkan hukum diartikan oleh Mark Elliot sebagai sebuah putusan yang dihasilkan dengan cara-cara yang sejalan dengan prinsip-prinsip umum, baik hukum maupun politik, yang mendasari terbentuknya konstitusi. Mengutip pendapat Sir Edward Coke beberapa abad yang lalu: “ Reason is the life of the law ”, artinya legitimasi putusan pengadilan hanya dapat dilihat atau dinilai melalui alasan atau 50 pertimbangan-pertimbangan yang mendasari mengapa sebuah putusan dijatuhkan. Sejarah dunia telah mencatat berbagai putusan yang bersifat membentuk norma baru, ataupun mengubah makna konstitusi selalu mendapatkan penerimaan dengan baik dari masyarakat, sepanjang memiliki legal reasoning yang memadai, sebagaimana terjadi pada putusan landmark Supreme Court Amerika Serikat di perkara Brown v Board of Education tahun 1954 maupun Roe v Wade tahun 1973. Dalam perkara Brown v Board of Education , diskresi pengadilan mengambil bentuk berupa pembatalan precedent atau putusan sebelumnya yang menjadi dasar segregasi rasial di Amerika melalui doktrin separate but equal yang diputuskan dalam perkara Plessy v Ferguson . Fakta sejarah kemudian menunjukan bahwa putusan ini telah memicu perubahan paradigmatik pada dimensi kebijakan publik Amerika terkait hak-hak masyarakat kulit hitam. Pasca putusan ini, kebijakan publik Amerika cenderung mengarah pada desegregasi dan pemberian kebijakan affirmative action bagi masyarakat kulit hitam. Putusan pengadilan dalam perkara Brown v Board of Education dapat dibaca sebagai sebuah upaya melindungi kebebasan dan persamaan bagi masyarakat kulit hitam yang sejatinya telah dijamin di dalam konstitusi. Begitu pula yang terjadi pada perkara Roe v Wade Tahun 1973. Pengadilan membentuk norma baru yang menjamin kebebasan bagi wanita atas fungsi reproduksinya. Dalam putusannya, pengadilan menyatakan bahwa praktik aborsi dapat dibenarkan pada trimester pertama masa kehamilan dengan alasan-alasan tertentu. Hal ini dapat dibaca sebagai bentuk pemenuhan jaminan atas hak diri pribadi ( privacy rights ) sebagaimana telah dijamin di dalam konstitusi. Di Indonesia, praktik serupa beberapa kali dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan demi menegakan keadilan substantif. Misalnya, dalam perkara Nomor 102/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden, yang menetapkan bahwa masyarakat yang tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT), tetap dapat memilih dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan menunjukan KTP, KK, ataupun Paspor. 51 Dalam perkara lainnya, yakni perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah tetap dapat memiliki hubungan hukum dengan ayahnya sepanjang dapat dibuktikan secara hukum. Berdasarkan presedent pada perkara terdahulu, dan berdasarkan fungsi-fungsi Mahkamah Konstitusi yang telah diuraikan sebelumnya, ahli berpendapat bahwa pemberian tafsir konstitusional bersyarat dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang ditujukan untuk memastikan terciptanya remedy bagi pihak-pihak yang hak konstitusionalnya terlanggar.
Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK. Permasalahan: Apakah Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak cukup kuat dan oleh karenaya mengandung permasalahan hukum, ketidakpastian hukum, dan potensi kerugian dan dapat merambat ke ancaman pidana bagi para Pemohon (yaitu perusahaan-perusahaan asuransi umum) dalam memasarkan dan menerbitkan lini usaha surety bond dan suretyship , sehingga ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian perlu diadakan perubahan. Pertama : Sejarah Singkat Suretyship di Indonesia; Kedua : Definisi Usaha dan Lini Usaha Asuransi Umum; Ketiga : Keunggulan Perusahaan Asuransi dalam memikul risiko dalam produk suretyship ; Keempat : Permasalahan Timbul karena diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan, dan Kelima : Potensi Masalah hukum yang dapat merembet ke ranah Pidana bagi direksi dan pejabat perusahaan asuransi umum yang melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship . Pertama: Sejarah Singkat Surety Bond atau Suretyship . Sejak dari awal Tahun 1978 Surety Bond atau Suretyship diadakan di Indonesia, yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan dan menerbitkan Surety Bond atau Suretyship adalah Perusahaan Asuransi Umum (dahulu disebut Asuransi Kerugian). 52 Lini usaha atau Produk Surety Bond atau Suretyship sejak diperbolehkan oleh Pemerintah untuk dijalankan di Indonesia pada tahun 1978, yang diberikan hak dan kewenagan untuk melaksanakan, memasarkan, menjual dan menerbitkan lini usaha Surety Bond adalah perusahaan asuransi umum atau asuransi kerugian yaitu PT Jasa Raharja Persero melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian Jasa Raharja. Selanjutnya pada tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa kemabali ditegaskan bahwa yang dapat menerbitkan Surety Bond adalah Asuransi Kerugian PT Jasa Raharja Persero sebagai Lembaga Keuangan Non Bank atau LKNB. Kemudian pada tahun 1992 perusahaan-perusaan asuransi kerugian (umum) meminta kepada Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan (sekarang namanya Kementerian Keuangan), supaya pelaksanaan lini usaha Surety Bond tidak dimonopoli oleh perusahaan asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero. Maka pada tahun 1992 dengan diundangkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, kepada perusahaan-perusaan asuransi kerugian diberikan izin untuk melaksanakan lini usaha Surety Bond, sementara PT Jasa Raharja Persero dikembalikan fungsi dan tugas pokoknya untuk melaksanakan Asuransi Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 dan Asuransi Dana Kecelakaan Lalu lintas Jalan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 34 Tahun 1964. Artinya selama 42 tahun sejak diperkenalkan dan diperbolehkan Surety Bond di Indonesia, lini usaha atau produk Surety Bond adalah lini usaha atau produk asuransi kerugian atau sekarang juga disebut asuransi umum, dengan izin ekslusif pada awalnya kepada asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero, dan kemudian sejak tahun 1992 lini usaha Surety Bond diberikan kepada perusahaan-perusahaan asuransi kerugian (dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian memakai istilah asuransi umum). Dengan demikian sejak diperkenalkan dan diperbolehkan lini usaha Surety Bond di Indonesia pada tahun 1978, lini 53 usaha Surety Bond tersebut adalah sebagai lini usaha asuransi umum, dan hingga saat ini sudah 42 tahun lini usaha Surety Bond adalah lini usaha dari perusahaan asuransi kerugian atau asuransi umum. Kedua: Ruang Lingkup Usaha dan Lini Usaha Asuransi Umum Bersifat Terbuka Ruang lingkup usaha asuransi sesungguhnya secara universal sifatnya terbuka untuk semua jenis produk atau lini usaha yang tergolong dan masuk sebagai jenis asuransi umum, karena itu sesungguhnya tidak perlu ada penyebutan nama-nama setiap produk atau lini usaha asuransi umum, karena macam dan jenis produk atau lini usaha asuransi umum sangat banyak dan selalu berkembang atau bertambah sesuai perkembangan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan manusia yang juga menimbulkan berbagai ragam jenis dan macan risiko. Pengaturan demikian adalah bersifat universal, dan hal itu sesungguhnya juga sudah diadopsi dan dengan perumusan yang baik dalam Pasal 3 huruf a.1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut: Pasal 3 huruf a.1 “a.1 Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti”. Jadi tidak perlu disebutkan satu demi satu jenis produk atau lini usaha seperti asuransi kebakaran rumah, asuransi kendaraan bermotor, asuransi mobil, asuransi pengangkutan, asuransi pencurian, asuransi pesawat terbang, asuransi pengangkutan udara, asuransi penumpang pesawat udara, asuransi kapal laut, asuransi pengangkutan cargo, asuransi pengangkutan penumpang kapal laut, asuransi pengangkutan barang melalui darat dan danau, asuransi pengangkutan barang melalui kereta api, asuransi penumpang kereta api, asuransi tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, asuransi siber (cyber insurance) , asuransi tanggung jawab hukum siber, dan lain-lain. 54 Tetapi jika ada benturan atau potensi benturan antara dua perusahaan asuransi dengan izin usaha yang berbeda, misalnya antara perusahaan asuransi umum dengan perusahaan asuransi jiwa yang juga dapat secara sah menjual dan menerbitkan produk atau lini usaha yang sama, maka hal itu adalah perlu diatur dalam undang-undang. Pengaturan demikian terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, sebagai berikut: Pasal 2 ayat 1 _(1) Perusahaan asuransi umum hanya dapat menyelenggarakan: _ a. Usaha asuransi umum, termasuk lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri _; dan _ b. Usaha reasuransi......... (2) Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi jiwa termasuk lini usaha anuitas , lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. __ Selanjutnya Pasal 3 ayat (1) dan (2) mengatur hal yang sama untuk asuransi umum syariah dan asuransi jiwa syariah. Pada awalnya lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri adalah produk atau lini usaha dari perusahaan asuransi umum, kemudian dalam perkembangannya perusahaan asuransi jiwa juga melakukan dan menjual lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri, karena objek asuransinya adalah manusia dan sesuai perkembangan lini-lini usaha asuransi secara universal, maka pemerintah Indonesia juga mengadopsi hal yang sama. Oleh karena itu, adalah penting dan perlu diatur secara tegas dalam undang-undang perasuransian bahwa jika ada dua jenis usaha dari perusahaan asuransi yang sama-sama diberikan hak untuk menjual dan menerbitkan produk atau lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri, dengan demikian tidak akan ada muncul permasalahan di lapangan mengenai apakah perusahaan asuransi jiwa dapat secara sah melakukan dan menerbitkan lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. Pengaturan demikian menciptakan kepastian hukum, ketertipan dan rasa aman bagi pelaku usaha dalam menjalankan usaha nya masing-masing. 55 Selanjutnya ahli ingin memberikan pendapat dan analisis hukum terhadap ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuansian yang memuat ketentuan tentang ruang lingkup usaha asuransi. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian berbunyi sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat _; _ (2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum , Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana _; _ (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 5 ayat (1) tersebut memuat ketentuan bahwa ruang lingkup usaha asuransi umum, asuransi jiwa, baik yang konvensional maupun syariah dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat. Pasal 5 ayat (3) memuat ketentuan bahwa ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Dengan ketentuan ini, maka perkembangan produk dan lini usaha asuransi umum yang dapat dilakukan perusahaan asuransi menjadi dibatasi karena hanya dapat dilakukan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Dengan ketentuan ini macam dan jenis produk atau lini usaha asuransi untuk asuransi umum, asuransi jiwa baik yang konvensional maupun yang syariah yang merupakan bagian dari lingkup usaha menjadi tertutup dan kaku, tidak dapat lagi mengikuti perkembangan kemajuan produk atau lini usaha di industri jasa asuransi yang sangat dinamis dan cepat, karena untuk menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan akan memakan waktu yang tidak sedikit, dan tidaklah semudah menerbitkan izin usaha produk atau lini usaha. 56 Selama ini setiap kali perusahaan asuransi hendak dan mau melakukan atau memasarkan suatu macan atau jenis produk atau lini usaha, maka perusahaan asuansi wajib dan cukup mengajukan pengajuan dan permohonan izin produk atau lini usaha terlebih dahulu kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan izin produk atau lini usaha dan mendaftarkan produk atau lini usaha tersebut di Otoritas Jasa Keuangan. Setelah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan barulah perusahaan asuransi dapat secara sah melakukan dan memasarkan atau menjual produk atau lini usaha tersebut, ketentuan tersebut telah diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelanggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah. Bunyi selengkapnya dari Pasal 5 ayat (2) POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tersebut adalah sebagai berikut: “Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, atau unit syariah pada perusahaan asuransi yang akan melakukan perluasan ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib terlebih dahulu mendapakan persetujuan dari OJK”. Maka jika memperhatikan dengan cermat bunyi ketentuan Pasal 5 khususnya ayat (3) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Pasal Pasal 5 ayat (2) POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelanggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, maka pengaturan ketentuan yang ideal dan baik adalah yang diatur dalam POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelanggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, yang mana untuk melakukan dan memasarkan suatu produk atau lini usaha cukup dengan mengajukan permohonan izin produk kepada OJK dan tidak perlu OJK menerbitkan suatu Peraturan OJK yang khusus untuk setiap produk atau lini usaha. Tetapi jika dianalisis dari hirarkhi peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka perluasan lingkup usaha dan lini 57 usaha asuransi untuk produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship seharusnya diatur dalam Undang-Undang Perasuransian supaya tidak menimbulkan ketidak pastian hukum, karena pemberian lingkup usaha untuk menerbitkan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship kepada perusahaan penjaminan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. Oleh karena itu ahli perpendapat bawa permohonan uji materi yang diajukan oleh Para Pemohon sangatlah mempunyai dasar dan alasan yang kuat, karena dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, menjadi ada dua jenis perusahaan dengan izin usaha yang berbeda dapat melakukan dan menerbitkan lini usaha penjaminan atau Surety Bond yang merupakan bagaian dari Suretyship. Sehingga persaingan yang tidak sehat di lapangan dan potensi permasalahan dapat dihindari, karena ada kepastian hukum, ketertiban, dan rasa aman bagi pelaku usaha yaitu perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan yang sama-sama diberikan kewenangan, hak, untuk dapat secara sah melakukan dan menerbitkan lini usaha Surety Bond yang merupakan bagian dari Suretyship. Ketiga: Keunggulan Perusahaan Asuransi Umum dalam memikul risiko dari Produk atau Lini Usaha Surety Bond/Suretyship Ada paling tidak 4 (empat) keunggulan dari Perusahaan Asuransi Umum dalam memikul risiko dari produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship dibandingkan dengan Perusahaan Penjaminan dan lini usaha bank garansi untuk bank, yaitu:
Sistem Reasuransi atau Pertanggungan Ulang;
Sistem Pool Asuransi;
Pangalaman Yang Telah Teruji Dalam Memikul dan Menjamin Nilai Risiko dari projek Yang Besar, dan;
Proses Penerbitan Sertifikat atau Polis yang lebih sederhana dan tidak memerlukan collateral atau jaminan berupa sejumlah uang, atau asset atau sebuah benda berharga; 58 1. Sistem Reasuransi atau Pertanggungan Ulang Reasuransi atau pertanggungan ulang sudah ratusan tahun dikenal dan diterapkan dalam perasuransian secara universal yang dimulai di Negara Inggris sebagai pusat bisnis asuransi dan reasuransi dunia. Melalui mekanisme reasuransi yang menjadi sistem penyebaran risiko secara nasional, regional dan global, sebuah perusahaan asuransi umum akan dapat secara sah dan mampu memberikan jaminan asuransi dan penjaminan surety bond/suretyship dengan baik meskipun nilai asset atau nilai jaminan surety bond/suretyship sangat jauh melebihi nilai asset atau modal setor perusahaan asuransi umum yang bersangkutan. Oleh karena itu, setiap perusahaan asuransi umum oleh peraturan perundangan diwajibkan memiliki program dan sistem sistem reasuransi atau pertanggungan ulang otomatis sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 69/POJK.05/2016 yang mengatur sebagai berikut: “Setiap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib memiliki dukungan reasuransi dalam bentuk perjanjian reasuransi atau perjanjian syariah otomatis”. Dengan adanya program reasuransi dari perusahaan asuransi umum, maka sebuah perusahaan asuransi umum akan dapat memikul dan memberikan jaminan asuransi atas berbagai risiko dengan nilai yang diasuransikan jauh melebihi permodalan atau asset dari suatu perusahaan asuransi, karena sesuai ketentuan permodalan perusahaan asuransi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 67/POJK.05/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah mengatur: “Perusahaan Asuransi harus memiliki modal disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar Rp150.000.000.000.- (seratus lima puluh miliar rupiah)”. 59 Meskipun modal setor atau nilai asset dari sebuah perusahaan asuransi umum hanya mislanya Rp150.000.000.000.- (seratus limapuluh miliar rupiah, tetapi perusahaan asuransi tersebut akan dapat memberikan jaminan pertanggungan atau penjaminan dengan nilai Rp500.000.000.000.- (lima ratus miliar rupiah) atau bahkan Rp1.000.000.000.000.- (satu triliun rupiah) untuk satu objek risiko. Karena sebagian besar nilai resiko polis asuransi atau Surety Bond/Suretyship akan direasuransikan ke perusahaan reasuransi dalam negeri, regional, dan jika perlu ke perusahaan reasuransi di pasar reasuransi global seperti ke pasar reasuransi London, Swiss, German, dan lain-lain. Sementara di perusahaan penjaminan secara global dan internasional tidak dikenal sistem reasuransi.
Sistem Pool Asuransi Di perusahaan asuransi umum juga terdapat sistem pool asuransi dimana sejumlah perusahaan asuransi bekerja sama untuk memikul dan menjamin suatu risiko dengan nilai yang besar atau karena risiko tersebut mempunyai karakteristik yang mengakibatkan risikonya sangat tinggi. Sistem pool asuransi juga diterapkan untuk lini usaha Surety Bond/Suretyship untuk menjamin proyek-proyek dengan nilai yang besar sekali. Di Indonesia beberapa perusahaan asuransi umum telah membentuk suatu sistem pool asuransi untuk menjamin lini usaha custom bond yang merupakan turunan dari Suretyship. 3. Pengalaman Yang Telah Diuji Dalam Memikul dan Menjamin Nilai Risiko dari Projek Yang Besar Perusahaan-perusahaan asuransi umum telah mempunyai pengalaman selama 42 tahun dalam memasarkan dan menerbitkan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Perusahaan asuransi umum adalah yang menjadi pioneer dan pertama melakukan dan menerbitkan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Perjalanan dan pengalaman mereka selama 42 tahun telah membuktikan bahwa perusahaan asuransi umum dapat dan mampu dengan baik melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Oleh karena itu menurut ahli adalah layak dan pantas jika perusahaan 60 asuransi umum tetap diberikan hak dan kewenangan dalam Undang- Undang Nomor 40 tahun 2014 untuk menerbitkan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Dari data yang ahli dapatkan dari Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), selama 6 tahun terakhir dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2019, perusahaan asuransi umum telah memberikan jaminan lini usaha Surety Bond/Suretyship untuk berbagai projek dengan nilai total jaminan Rp 2.688 triliun dari total nilai projek Rp 38.400 triliun dengan demikian rata-rata nilai jaminan setiap tahun adalah sebesar Rp 448 triliun dari total nilai projek sebesar Rp6.400 triliun untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel dibawah ini: Data Lini Usaha Surety Bond/Suretyship dari Tahun 2014 s.d. 2019 Sumber: Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) 4. Proses Penerbitan Sertifikat atau Polis Yang Lebih Sederhana dan Tidak Memerlukan Collateral atau Jaminan Berupa Sejumlah Uang atau Asset atau sebuah benda berharga Proses Penerbitan Sertifikat atau Polis yang lebih sederhana dan tidak memerlukan collateral atau jaminan berupa sejumlah uang, atau asset atau sebuah benda berharga, sebagaimana diterapkan oleh perbankan. Dengan sistem seperti itu, maka pengusaha kecil dan menengah yang umumnya mempunyai keterbatasan dalam permodalan usaha, mereka juga terbantu dalam menjalankan usahanya dengan adanya lini usaha surety Bond/Suretyship dari perusahaan asuransi umum. 61 Keempat: Permasalahan Timbul karena diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan Selama 38 tahun sejak tahun 1978 hingga tahun 2016 sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan, tidak ada permasalahan hukum yang timbul bagi perusahaan asuransi umum dalam menjalankan lini usaha Surety Bond/ Suretyship . Permasalahan timbul karena diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan, dan karena Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian tidak secara tegas mengatur dalam Pasal 2 ayat (1) a. dan Pasal 3 ayat (1) a. untuk asuransi umum syariah bahwa lini usaha Surety Bond/Suretyship adalah lini usaha yang dapat dijalankan oleh perusahaan asuransi umum. Oleh karena itu ahli berpendapat adalah perlu ditegaskan dalam Pasal- pasal tersebut di atas bahwa perusahaan asuransi umum dapat menjalankan lini usaha Surety Bond/Suretyship sebagaimana diajukan pemohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Mahkamah Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat ini. Hal ini perlu ditegaskan dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian bahwa usaha assuransi umum dapat menyelenggarakan usaha asuransi umum termasuk lini usaha asuransi kesehatan, lini usaha asuransi kecelakaan diri, dan lini usaha Surety Bond/Suretyship, dengan demikian akan tercipta kepastian hukum bagi perusahaan asuransi umum yang melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Karena Undang- Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Penjaminan dalam Pasal 4 ayat (2) memuat ketentuan bahwa perusahaan penjaminan juga dapat melakukan lini usaha Surety Bond, custom bonds yang merupakan bagian dari Suretyship. Kelima: Potensi Masalah hukum dapat merembet ke ranah Pidana bagi direksi dan pejabat perusahaan asuransi umum yang melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship Ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan memuat ketentuan sebagai berikut: 62 c. Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan UndangUndang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang- Undang ini. d. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Ketentuan Pasal 61 tersebut di atas menurut ahli telah menciptakan ketidakpastian hukum untuk perusahaan asuransi umum dalam melakukan dan memasarkan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship, karena ada kewajiban untuk perusahaan asuransi umum yang sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan untuk menyesuaikan dengan undang-undang penjaminan sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 61 ayat (1). Dan penyesuaian tersebut haruslah dilakukan melalui undang-undang, tentu bagi perusahaan asuransi adalah Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian. Sementara saat ini, perusahaan asuransi umum melakukan dan memasarkan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship tidak didasarkan pada undang-undang, akan tetapi didasarkan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.5/2016 yang diatur dalam Pasal 4. Dan jika ditinjau dari hirarki peraturan perundangan sebagaimana telah dijelaskan ahli sebelumnya, posisi dan kedudukan hukum dari perusahaan asuransi umum tentu termasuk direksi dan pejabatnya adalah lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan penjaminan. Akibatnya, Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang memuat ketentuan ancaman hukuman pidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000.- (seratur miliar rupiah), berpotensi dan dapat dikenakan kepada direksi dan pejabat perusahaan asuransi umum yang melaksanakan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship. Oleh karena itu menurut ahli perlu diadakan perubahan sebagai penegasan dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, khususnya dalam pasal 2 ayat (1) untuk menegaskan bahawa perusahaan asuraqnsi umum dapat melakukan/menyelenggarakan lini usaha Surety Bond/Suretyship, sebagaimana dimohon oleh Pemohon dalam pengajuan 63 mereka kepada Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi, supaya ada kepastian hukum, rasa kenyamanan, ketertiban, dan keadilan bagi perusahaan asuransi umum yang telah selama 42 tahun melakukan/menyelenggarakan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship. Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat dan Mulia ini, dibentuk sebagai pengawal konstitusi dan untuk melindungi hak asasi manusia dari warganegara Republik Indonesia, maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa tugas dan kewajibannya tersebut dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat pelaku usaha asuransi umum dalam bentuk menghadirkan kepastian hukum dan ketenteraman bagi pelaku usaha asuransi umum dalam melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship, yang hak konstitusionalnya mereka rasakan telah terlanggar dan menimbulkan ketidak pastian serta berpotensi menimbulkan ancaman pidana akibat berlakunya sebuah undang-undang, yaitu Undang- Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Penjaminan. Saksi Pemohon 1. Tjindra Parma Wignyoprayitno, S.H., M.H. - Terdapat tujuh permasalahan hukum yang akan Saksi sampaikan, pertama, persoalan yang berkaitan dengan suretyship atau surety bond yang sudah dikenal sejak abad ke-19, pada 1837 di Amerika sudah lahir surety bond ini dan kemudian di Belanda didirikan sebuah perusahaan yang bernama NV Nationale Borg Maskapai pada tahun 1893. Demikian juga, secara mendunia pada tahun 1928 di Swiss didirikan yang namanya International Credit Insurance and Surety Association; __ - Untuk di Indonesia, suretyship atau surety bond ini mulai dikenal pada tahun 1978 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi Jasa Raharja untuk mengeluarkan produk yang berupa surety bond yang waktu itu namanya adalah surety atau bonding. Dalam perkembangannya, menteri keuangan mengubah istilah surety bond ini menjadi suretyship pada tahun 2008 dan menetapkan 20 perusahaan asuransi yang boleh mengeluarkan produk suretyship ini; __ 64 - Kemudian di dunia perasuransian lahirlah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) dan menyusul Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU Penjaminan). Dengan keluarnya kedua undang-undang ini, mulai timbul permasalahan di dalam penerbitan surety bond dan suretyship karena Undang-Undang Perasuransian tidak hanya mendelegasikan pengaturan suretyship ini kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), sedangkan UU Penjaminan menyebut secara rinci apa yang disebut dengan surety bond itu; __ - Bahwa sampai hari ini produk suretyship yang ijin usahanya dikeluarkan oleh OJK masih tetap berlaku, namun kekhawatiran Saksi adalah apabila pihak obligee atau pihak pemberi pekerjaan, pihak pemerintah menanyakan legalitas dari suretyship ini atau memasukkan larangan untuk dipakainya suretyship ini atau memasukkan larangan untuk dipakainya suretyship dalam dokumen lelangnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2005, maka apa yang diharapkan oleh dunia kontraktor menjadi hilang karena suretyship hanya diatur dalam POJK; __ - Saksi mohon agar bisa ketentuan suretyship ini berjalan sesuai dengan apa yang sudah terjadi pada saat ini, maka perlu ada penguatan dari produk hukum dari yang hanya diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan menjadi bagian atau isi daripada Undang-Undang Perasuransian dalam bentuk Keputusan Mahkamah Konstitusi; __ - Perusahaan-perusahaan kontraktor atau prinsipal selalu menggunakan suretyship karena tidak membutuhkan adanya agunan, tidak membutuhkan collateral, dan cukup membayar premi serta sifatnya tetap unconditional. Untuk itu sebetulnya Otoritas Jasa Keuangan telah membentuk tiga konsorsium dari perusahaan asuransi ini, yaitu konsorsium penjaminan proyek, konsorsium jasa surety bond , dan konsorsium penjaminan Indonesia; __ - Di dalam ketiga konsorsium ini bernaung perusahaan-perusahaan asuransi yang bisa memberikan di satu pihak jaminan yang bersifat unconditional, namun di lain pihak perusahaan-perusahaan kontraktor ini tidak 65 memerlukan collateral, tidak memerlukan agunan untuk terbitnya jaminan- jaminan ini. Hal ini yang perlu dikuatkan demi kelangsungan perusahaan asuransi atau juga konsorsium asuransi untuk tetap bisa menerbitkan surety bond agar tidak tunduk kepada ketentuan Undang-Undang Penjaminan karena sangat berbeda produk antara penjaminan di satu pihak dengan asuransi di lain pihak; __ - Bahwa untuk pembangunan-pembangunan yang sedang dilaksanakan sekarang, suretyship yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi dan juga konsorsium asuransi sangat memberikan kemudahan kepada perusahaan kontraktor dan juga jaminan kepada pemerintah, karena suretyship yang dikeluarkan oleh konsorsium asuransi itu bersifat unconditional , tanpa syarat. Apabila ada klaim 14 hari langsung uang cair, dan itulah syarat dalam penggunaan uang pemerintah supaya tidak ada uang yang harus dikejar-kejarlah. Jadi, uangnya tetap hadir dan dapat dipakai untuk kegiatan lain apabila ada permasalahan di dalam perjanjian induk __ 2. Ir. Manahara R. Siahaan - Saksi adalah Ketua Umum Gapeknas sejak tahun 2000 sampa saat ini; - Bahwa pada tahun 1998 lahirlah undang-undang yang menyatakan tidak ada monopoli lagi, saksi adalah salah seorang yang menangkap peluang ini dan mendklarasikan Asosiasi Gapeknas, sehingga di Indonesia tidak lagi ada monopoli asosiasi dan saat ini asosiasi sudah banyak; - Bahwa saksi sebagai kontraktor tunduk kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa konstruksi, yang di dalam praktiknya kontraktor membutuhkan empat jenis jaminan; - Bahwa dari pengalaman saksi sebagai Ketua Gapeknas, penggunaan produk suretyship lebih memudahkan para kontraktor dibandingkan dengan bank garansi; __ - Bahwa perusahaan di Indonesia saat ini berjumlah kurang lebih 130.000, terdiri dari 90% adalah perusahaan kecil, menengah, dan sisanya 10% adalah perusahaan besar; __ - Bahwa saksi membutuhkan bank garansi dalam pelaksanaan tender, mulai dari tender sampai dengan penyerahan; __ 66 - Bahwa jika menggunakan fasilitas bank harus diawali dengan kerja sama dengan bank terlebih dahulu, terdapat perjanjian kredit yang harus dibuat dan biasanya biayanya cukup besar; __ - Bahwa bagi perusahaan kecil, ketika bank garansi melakukan perjanjian maka harus memberikan jaminan. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh perusahaan kecil, karena umumnya perusahaan kecil tidak memiliki aset untuk diserahkan pada bank; __ - Saksi telah lama mengenal produk asuransi untuk kebutuhan jaminan proyek yaitu melalui surety bond, jadi ketika ada pengajuan penawaran biasanya saksi meminta dari perusahaan asuransi dan bukan dari bank; __ - Saksi butuh kehadiran asuransi sebagaimana diamanatkan dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi khususnya Pasal 57; __ [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 13 Juli 2020 yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 27 Agustus 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. KETENTUAN UU PERASURANSIAN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD NRI TAHUN 1945 Dalam permohonan a quo , Pemohon mengajukan pengujian Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” Pemohon mengemukakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” 67 Bahwa kerugian yang didalilkan Pemohon adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mengatur secara pasti lini usaha suretyship yang sudah dijalankan selama puluhan tahun ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24 angka 3.8) dan adanya persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (selanjutnya disebut UU Penjaminan) yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26 angka 3.10). Bahwa Pemohon memohon dalam petitumnya sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5618) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono) II. KETERANGAN DPR RI A. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon Terkait kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU- V/2007 sebagai berikut: 68 1. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa Pemohon adalah badan hukum perkumpulan yang mendalilkan memiliki kedudukan hukum organisasi ( organizational legal standing ) sebagai Pemohon pengujian undang-undang, karena para anggotanya adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian. Pemohon mendalilkan keberlakuan Pasal a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang diakui, dijamin, dan dilindungi oleh UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap dalil Pemohon mengenai organizational legal standing tersebut, DPR RI berpandangan bahwa tidak semua organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan umum/publik, melainkan hanya organisasi yang memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana ditentukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi. Bahwa Pemohon merupakan perkumpulan asosiasi yang beranggotakan perusahan asuransi umum di Indonesia, sehingga Pemohon hanya mewakili kepentingan anggotanya saja dan bukan kepentingan umum atau kepentingan publik. Doktrin organizational legal standing telah diadopsi dalam peraturan perundangan di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH). Bahwa ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf c UU Perlindungan Konsumen menerangkan bahwa: “gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 92 UU PPLH menyebutkan bahwa organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sedangkan tidak ada 69 satupun ketentuan dalam UU Perasuransian yang memberikan hak kepada perkumpulan wadah perusahaan asuransi untuk mengajukan gugatan untuk kepentingan publik dalam perasuransian. Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo mengatur mengenai ruang lingkup usaha asuransi yang diselenggarakan oleh perusahaan asuransi ( vide Pasal 2 UU a quo ), sehingga addressat dari Pasal a quo adalah perusahaan asuransi. Sedangkan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonannya adalah badan hukum privat yang didirikan dengan tujuan mewakili kepentingan para anggota Pemohon dalam rangka memajukan industri umum dana reasuransi di Indonesia, sehingga telah jelas bahwa Pemohon tidak menyelenggarakan usaha perasuransian dan bukan merupakan addressat dari ketentuan Pasal a quo . Oleh karena itu Pemohon sebagai perkumpulan tidak memiliki hak konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang memiliki keterkaitan dengan ketentuan Pasal a quo . Hal tersebut selaras dengan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008 yang menyatakan: “ Bahwa subjek hukum yang diatur dalam Pasal 74 ayat (1) UU 40/2007 adalah perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, tidak menunjuk pada wadah atau himpunan dari perseroan ..... Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III tidak dirugikan secara langsung oleh berlakunya Pasal a quo. ” 2. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon karena beragam produk yang lahir dan dikembangkan anggota Pemohon dari bidang usaha suretyship secara potensial tidak dapat dilakukan, padahal produk tersebut sangat dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan memajukan industri asuransi umum dan reasuransi. Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menegaskan bahwa sedari awal UU Perasuransian tidak memberikan pengaturan maupun 70 kewenangan apapun kepada asosiasi untuk melaksanakan ketentuan UU a quo , sehingga jika terjadi kerugian yang diakibatkan dari keberlakuan Pasal a quo , maka kerugian tersebut hanya akan berdampak kepada perusahaan asuransi, dan tidak berdampak apa pun kepada perkumpulan asosiasi perusahan asuransi. Bahwa sebagai sebuah perkumpulan, Pemohon tidak dapat mengeluarkan produk- produk suretyship yang didalilkan terancam oleh keberlakuan Pasal a quo . Dalam perbaikan permohonan, Pemohon menyatakan bahwa “ Asosiasi mewakili anggota dalam berbagai forum baik lembaga pemerintah maupun lembaga lainnya ”. Dari pernyataan tersebut, tidak jelas apakah Pemohon sebagai asosiasi dapat mewakili anggotanya di pengadilan ( in casu Mahkamah Konstitusi). Oleh karenanya Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu bahwa Pemohon sebagai asosiasi memang diberikan wewenang secara jelas oleh para anggotanya untuk mengajukan Permohonan a quo . Selain itu sesuai dengan ketentuan Pasal 68 ayat (2) UU Perasuransian menyatakan bahwa “ Asosiasi Usaha Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari OJK ”, sedangkan Pemohon dalam Perbaikan Permohonannya tidak menguraikan mengenai adanya persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai salah satu asosiasi usaha perasuransian. Oleh karena itu Pemohon harus membuktikan terlebih dahulu bahwa Pemohon telah mendapat persetujuan tertulis dari OJK tersebut. Oleh karena ketentuan Pasal a quo tidak berdampak apapun terhadap Pemohon sebagai asosiasi, Pemohon tidak menunjukkan adanya kewenangan untuk mewakili anggota di persidangan, dan Pemohon juga tidak menunjukkan adanya persetujuan tertulis dari OJK sebagai asosiasi usaha perasuransian dalam uraian Perbaikan Permohonan a quo , maka tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan ketentuan Pasal a quo . 71 3. Terkait adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi DPR RI menerangkan bahwa Pemohon sebagai sebuah asosiasi tidak dapat melaksanakan lini usaha suretyship karena yang dapat melaksanakan adalah perusahaan asuransi dan bukan asosiasi, oleh karenanya Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional. Kerugian yang didalilkan oleh Pemohon adalah kerugian yang disampaikan tanpa ada dasar yang jelas karena perusahaan asuransi tetap dapat menjalankan usaha dan mendapat kepastian hukum serta diakui keberadaannya oleh Pemerintah. Oleh karenanya, hak dan/atau kewenangan konstitusional perusahaan asuransi tidak terganggu dengan keberlakuan Pasal a quo . Berdasarkan uraian tersebut, maka tidak terdapat kerugian konstitusional secara spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Terkait adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, 2, dan 3, kerugian yang dimaksud tidak bersifat spesifik, aktual, maupun potensial terhadap Pemohon. Bahwa tidak ada pertautan antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon sebagai asosiasi dengan ketentuan Pasal a quo yang mengatur dan berlaku terhadap perusahaan perasuransian. Begitupun halnya dengan adanya UU Penjaminan tidak berpengaruh apapun terhadap konstitusionalitas ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ Oleh karena itu, jelas tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan ketentuan Pasal a quo . __ 5. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa ada/tidaknya Permohonan a quo ataupun jika Permohonan a quo dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, hak dan/atau kewenangan 72 konstitusional Pemohon tidak akan terganggu karena tidak adanya kerugian konstitusional. Oleh karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional dengan Pasal 5 ayat (1) UU a quo , maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak berdampak apapun pada Pemohon. Dengan demikian tidak relevan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Bahwa terkait dengan kedudukan hukum Pemohon, DPR RI memberikan pandangan senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum “(no action without legal connection). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. Keterangan DPR RI terhadap Pokok Permohonan 1. Bahwa layanan jasa perasuransian semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat akan pengelolaan risiko dan pengelolaan investasi yang semakin tidak terpisahkan, baik dalam 73 kehidupan pribadi maupun dalam kegiatan usaha. Perkembangan di berbagai industri jasa keuangan juga mengakibatkan semakin menipisnya batasan dan perbedaan jenis layanan yang diberikan oleh industri jasa keuangan. Oleh karena itu UU a quo dibuat untuk menciptakan industri perasuransian yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif serta meningkatkan perannya dalam mendorong pembangunan nasional.
Bahwa definisi usaha perasuransian berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Perasuransian adalah segala usaha menyangkut jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah, konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah.
Bahwa definisi usaha asuransi umum berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Perasuransian adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
Bahwa perluasan ruang lingkup usaha asuransi umum harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
memenuhi asas spesialisasi usaha untuk menghindari adanya perusahaan asuransi umum yang sekaligus menjalankan usaha asuransi jiwa atau sebaliknya;
relevan dengan bisnis utama; dan
perluasan tersebut hanya terbatas pada variasi lini usaha atau produk.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (selanjutnya disebut POJK 69/2016), perusahaan asuransi umum hanya dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada: 74 a. kegiatan usaha Produk Asuransi Yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI);
kegiatan usaha berbasis imbalan jasa ( fee-based );
kegiatan usaha asuransi kredit dan suretyship ; dan/atau
kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah.
Bahwa salah satu ruang lingkup usaha yang diperluas oleh POJK 69/2016 adalah asuransi kredit dan suretyship . Bahwa definisi-definisi yang terkait sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dapat disampaikan sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 POJK 69/2016 bahwa Asuransi Kredit adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan pemenuhan kewajiban finansial penerima kredit apabila penerima kredit tidak mampu memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit;
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 23 POJK 69/2016 definisi suretyship adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan obligee ;
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan, kegiatan penjaminan didefinisikan sebagai kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. Dengan merujuk pada definisi-definisi tersebut, maka kegiatan asuransi kredit dan suretyship memenuhi unsur-unsur dari kegiatan penjaminan , yaitu terdapat tiga pihak dan ada perjanjian pokok antara terjamin/ principal dan penerima jaminan/ obligee . Oleh sebab itu lini usaha asuransi kredit dan suretyship lebih mencerminkan usaha penjaminan dibandingkan dengan usaha perasuransian.
Bahwa selama ini dalam praktik terdapat beberapa bentuk suretyship , di antaranya yaitu jaminan penawaran ( bid/tender bond ), jaminan uang muka ( advance payment bond ), jaminan pemeliharaan ( maintenance bond ), jaminan pelaksanaan ( performance bond ), jaminan pembayaran ( payment bond ), dan penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa ( surety bond ). Sedangkan jika melihat ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf d 75 UU Penjaminan, salah satu ruang lingkup usaha penjaminan adalah penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa ( surety bond ). Dengan demikian pada dasarnya menurut UU Penjaminan, lini usaha suretyship termasuk dalam ruang lingkup usaha penjaminan. Oleh karena itu sudah sepatutnya pelaksanaan suretyship harus tunduk kepada UU Penjaminan.
Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perasuransian membatasi lini usaha asuransi dengan adanya frasa “hanya dapat”, sementara status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas menurut Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dengan peraturan OJK, namun perluasan dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan lini usaha suretyship ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa Pemohon tidak cermat dalam memahami ketentuan pasal- pasal UU a quo karena ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Perasuransian telah mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan usaha perasuransian. Sedangkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perasuransian pada intinya mengatur tentang ruang lingkup usaha perasuransian.
Jika Pemohon menganggap suretyship bisa saja masuk ke dalam makna definisi Usaha Perasuransian dalam Pasal 1 angka 4 UU a quo ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24), maka seharusnya Pemohon tidak perlu mengajukan penambahan frasa termasuk lini usaha suretyship dalam Pasal 5 ayat (1) UU a quo . Hal tersebut dikarenakan baik Pasal 2, Pasal 3, maupun Pasal 5 UU a quo , keseluruhannya mengatur mengenai usaha perasuransian, maka secara legal drafting mengacu kepada definisi Usaha Perasuransian yang diatur di dalam Pasal 1 angka 4 UU a quo yang dianggap Pemohon juga termasuk makna suretyship .
Bahwa frasa “hanya dapat” dalam ketentuan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU a quo dirumuskan oleh pembentuk undang-undang disebabkan karena UU a quo menganut asas spesialisasi usaha, 76 sehingga tiap perusahaan asuransi hanya fokus menjalankan usaha perasuransian sesuai dengan jenis perusahaannya, apakah itu perusahaan asuransi umum, perusahaan asuransi jiwa, perusahaan reasuransi, ataupun perusahaan pialang asuransi. Namun perusahaan asuransi dapat mengembangkan lini usaha selain yang disebutkan dalam UU a quo selama masih termasuk dalam jenis usaha yang sama dan sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Hal ini disampaikan beberapa kali oleh Pemerintah sebagai pengusul RUU Perasuransian dalam rapat-rapat pembahasan berikut ini:
Rapat Panja Senin 10 Februari 2014 Pukul 19.00 • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 60 pdf, hal. 23 file rapat) “... sebetulnya saat ini perusahaan asuransi jiwa maupun perusahaan asuransi umum keduanya boleh menjalankan usaha bisnis asuransi kecelakaan ini maupun asuransi kesehatan. Padahal disisi yang lain, kami ingin mengusulkan azas spesialisasi usaha .” 2) Rapat Panja Senin 24 Februari 2014 Pukul 19.00 • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 129 pdf, hal. 30 file rapat) “Esensi dari komentar atau pun masukan-masukan dari fraksi-fraksi disini adalah penghilangan kata hanya Pak. Nah, ini sekali lagi kami ingin sampaikan bahwa kalau kita mendefinisikan satu kegiatan usaha tentunya harus spesifik, harus limitatif jangan kemudian kita buka menjadi satu usaha yang bisa dikembangkan secara bebas kemana saja. Karena itu penggunaan kata “hanya” itu adalah untuk tujuan tersebut supaya jelas usahanya itu apa limitatif betul, fokusnya itu dimana . Karena itu penggunaan kata “hanya” ini kami pandang tetap diperlukan.” 3) Rapat Panja Jumat 23 Mei 2014 Pukul 20.00 • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 198 pdf, hal. 3 file rapat) “Namun demikian terhadap pendapat dari Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Golkar untuk menghilangkan kata ‘hanya’ ini Pemerintah berpandangan untuk tetap mempertahankan tambahannya itu mengingat di dalam Undang-undang ini kita memang menganut azas spesialisasi usaha . Jadi kalau perusahaan asuransi 77 umum ya hanya menyelenggarakan usaha asuransi umum. Kemudian perusahaan asuransi jiwa ya hanya menyelenggarakan usaha asuransi jiwa. d. Selain itu ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf a dan Pasal 3 ayat (1) huruf a UU a quo menggunakan kata “termasuk”, artinya ketentuan a quo tidak membatasi lini usaha yang hanya ditentukan dalam Pasal a quo , melainkan mungkin saja terdapat lini usaha asuransi yang lain selama termasuk dalam definisi Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Umum Syariah. Hal ini diperkuat lagi dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo yang memungkinkan perluasan ruang lingkup usaha asuransi umum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu perusahaan asuransi umum tidak memerlukan adanya suatu rumusan norma baru dalam UU a quo untuk menjalankan kegiatan suretyship sebagaimana yang dimaksud oleh Pemohon.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 5 ayat (1) UU a quo bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya ( vide Perbaikan Permohonan hal. 31). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan bahwa:
Frasa “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo telah diperjelas dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU a quo , yaitu perluasan lingkup usaha dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana dan ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup usaha perasuransian diatur dalam peraturan OJK;
Bahwa kebutuhan masyarakat akan terus berkembang dan hukum akan selalu mengikuti perkembangan tersebut. Undang-undang tidak mungkin selalu dapat mengakomodir seluruh kebutuhan masyarakat sesuai dengan perkembangan, sehingga perlu pengaturan yang lebih detail dan teknis. Oleh karena itu, diperlukan adanya pendelegasian 78 pengaturan lebih lanjut ke peraturan di bawahnya yang mengatur hal yang lebih teknis. Inilah yang disebut dengan konsep delegated legislation. c. Maria Farida Indrati S. berpandangan bahwa delegasi adalah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang- undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundangundangan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tidak (Maria Farida Indrati, S, “Hal-hal Khusus Dalam Perundang- undangan”).
Bahwa suatu undang-undang perlu didelegasikan karena tidak hanya memerlukan pengaturan yang lebih detail, tetapi juga memerlukan pemahaman yang mendalam agar sesuai dengan karakter dari bidang yang akan diatur. Oleh karena itu, pendelegasian wewenang dalam UU a quo yang mengatur mengenai perluasan ruang lingkup usaha perasuransian agar diatur lebih lanjut dalam peraturan OJK ( vide Pasal 5 ayat (3) UU a quo ) telah tepat karena OJK merupakan lembaga yang mengatur dan mengawasi usaha jasa keuangan yang salah satunya adalah usaha perasuransian.
Oleh karena itu, perumusan frasa “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo telah tepat __ untuk mengakomodir kebutuhan hukum dalam masyarakat dan memajukan usaha perasuransian di Indonesia.
Pemohon mendalilkan bahwa peraturan OJK yang kedudukannya berada di bawah undang-undang keberlakuannya menjadi tidak efektif karena tidak memiliki kekuatan hierarki yang sejajar dengan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Pemohon ( vide Perbaikan Permohonan hal. 34). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan bahwa:
Bahwa antara UU Perasuransian dengan UU Penjaminan, meskipun memiliki materi muatan yang bersinggungan namun sesungguhnya saling melengkapi dan tidak bertentangan satu sama lain. Akan tetapi justru keharmonisasian pengaturan antara undang-undang tersebut 79 akan menjadi lebih teratur dengan adanya pengaturan yang ada di dalam POJK 69/2016.
DPR RI berpandangan bahwa kekhawatiran Pemohon tidak beralasan menurut hukum karena perusahaan asuransi termasuk juga lini usaha sebagaimana dimaksud Pemohon sudah diatur secara tersendiri dalam UU Perasuransian. Dengan demikian ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan tidak mengikat pada Pemohon sekalipun Pemohon mempunyai lini usaha suretyship .
Terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa terdapat ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26 angka 3.10), DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut:
Bahwa tidak ada ketentuan yang melarang perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship . Sesuai dengan ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan yang mengatur bahwa: “Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang- Undang ini.” maka perusahaan asuransi yang telah menjalankan lini usaha suretyship sebelum tahun 2016 (dalam hal ini anggota Pemohon yang telah menjalankannya selama puluhan tahun) tetap dapat melakukan kegiatan penjaminan, namun wajib melakukan penyesuaian dengan UU Penjaminan. Selain itu, pembentuk undang- undang juga telah memberikan jangka waktu penyesuaian tersebut paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya UU Penjaminan, yaitu tanggal 19 Januari 2019. Ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan tersebut merupakan landasan bagi perusahaan asuransi yang telah melakukan usaha suretyship agar mengikuti ketentuan yang ada dalam UU Penjaminan, meskipun usaha suretyship didefinisikan sebagai lini usaha asuransi umum oleh POJK 69/2016. Oleh karena itu kekhawatiran Pemohon tidak beralasan menurut 80 hukum karena perusahaan asuransi umum tetap dapat menyelenggarakan kegiatan suretyship .
Pemohon tidak perlu khawatir terkait dengan perizinan perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha suretyship akan tetap berlaku seperti perusahaan asuransi biasa, yang wajib menyesuaikan hanya praktik kegiatan penjaminan.
Bahwa pada saat pembahasan RUU Penjaminan, pembentuk undang-undang telah membicarakan praktik usaha penjaminan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi umum, berdasarkan Laporan Singkat Rapat Panja RUU Penjaminan pada hari Senin tanggal 7 Desember 2015. Dalam rapat tersebut Pemerintah mengusulkan agar terdapat pengaturan peralihan terkait dengan adanya usaha penjaminan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi umum dan asuransi syariah tetap dapat berjalan tanpa ada izin usaha penjaminan. Namun terhadap usulan tersebut, Anggota Panja memberikan tanggapan bahwa perusahaan asuransi yang telah melakukan usaha penjaminan harus memiliki izin usaha penjaminan sebagaimana diatur dalam RUU tentang Penjaminan, untuk penyesuaiannya akan diberikan tenggang waktu selama 3 (tiga) tahun sejak RUU tentang Penjaminan disahkan. Kemudian kesimpulan rapat pada akhirnya menetapkan bahwa terkait dengan praktik perusahaan asuransi yang masih melakukan usaha penjaminan, diberikan tenggat waktu selama 3 (tiga) tahun untuk melakukan penyesuaian berdasarkan RUU tentang Penjaminan dan diatur dalam aturan peralihan. Oleh karena itu jelas terlihat bahwa Pembentuk UU Penjaminan tidak melarang perusahaan asuransi umum untuk menjalankan usaha penjaminan namun tetap harus melakukan penyesuaian dengan ketentuan UU Penjaminan.
Terhadap petitum Pemohon yang menginginkan penambahan frasa “...termasuk lini usaha suretyship...” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo , DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa jika petitum Pemohon tersebut dikabulkan, maka akan dapat menimbulkan suatu permasalahan hukum yang baru karena di dalam UU a quo belum terdapat definisi suretyship maupun ketentuan yang 81 mendeskripsikan mengenai bidang usaha apa saja yang masuk ke dalam kategori suretyship . Jika pengaturan mengenai suretyship secara tiba-tiba diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo tanpa diatur definisinya terlebih dahulu, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan justru bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Bahwa petitum Pemohon bukan termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator , DPR RI mengutip pendapat I Dewa Gede Palguna bahwa: “Mahkamah Konstitusi adalah sebagai negative legislator . Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya bisa memutus sebuah norma dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi, tanpa boleh memasukkan norma baru ke dalam undang- undang itu. Itu hakikat Mahkamah Konstitusi.” ( Conditionally Constitutional Pintu Masuk Penambahan Norma : www.hukumonline.com). Dengan demikian pada dasarnya MK tidak dapat mengabulkan petitum konstitusional bersyarat yang diajukan oleh Pemohon.
Bahwa jika Permohonan a quo mengenai lini usaha suretyship sebagai pengembangan lini usaha asuransi yang diatur dalam UU a quo ini dikabulkan, hal tersebut akan menjadi suatu kebiasaan buruk di masyarakat dimana jika merasa ada kebutuhan akan pengaturan lini usaha yang baru, maka masyarakat akan kembali mengajukan permohonan pengujian UU a quo ke Mahkamah Konstitusi, namun tidak memberikan masukan legislative review kepada pembentuk undang-undang. Oleh karenanya jika Pemohon ingin adanya ketentuan yang mengatur mengenai lini usaha suretyship dalam UU Perasuransian, maka Pemohon dapat mengajukan legislative review kepada pembentuk undang-undang, yaitu DPR RI, sebagai masukan atau partisipasi dari masyarakat dalam pembentukan undang- undang. C. Risalah Pembahasan Pasal a quo UU Perasuransian Bahwa selain pandangan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal dalam UU a quo sebagai berikut: 82 1. Rapat Panja Senin 24 Februari 2014 Pukul 15.00 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 83 pdf, hal. 11 file rapat) “Begini Pak, mengenai asuransi kerugian ini tidak diatur detail dalam undang-undang. Kita hanya mengatur tentang sifat umumnya saja dan mengenai pengembangan pengerjaannya itu nanti akan kita diskresi kan ke OJK kan begitu ya Pak ya nanti kalau kita melihat dalam pasal. Coba diingatkan saja nanti pihak Pemerintah supaya begitu kita masuk kedalam pasal yang memberi ruang diskresi itu kita bisa pastikan bahwa kalau ada pengembangan baru itu bisa dilakukan tetap dengan menjaga konsistensi kita terhadap visi undang-undang itu Pak ya.” 2. Rapat Panja Jumat 23 Mei 2014 Pukul 20.00 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 200 pdf, hal. 5 file rapat) “Sebetulnya sih di dalam peraturan-peraturan Pemerintah Pak ya tingkat PP maupun di PMK itu ada banyak materi yang sudah lazim dilakukan dan diatur oleh Pemerintah tetapi perlu untuk kita angkat sedikit ke atas ke perundang-undangan.” ... “ini kan sayang Pak kalau kita tidak, toh di dalam undang-undang ini tidak harus detail tapi saya kira dikasih ruang lah kepada asuransi ini untuk masuk saja ke dalam sektor ini . Bisa saja begitu Pak tentu dengan memberikan kewenangan pengaturan teknisnya itu kepada OJK .” • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 206 pdf, hal. 11 file rapat) “Pak, memang kalau usaha asuransinya, lini usahanya terutama itu berkembang Pak , lini usahanya Pak jadi lini usaha itu contohnya adalah marine insurance, cargo insurance, fire insurance itu berkembang dan dikemudian hari bisa macam-macam. Tetapi pengelompokan mereka menurut karakter usaha rasanya kita sudah cukup definitif gitu Pak ya dipraktek selama ini, asuransi jiwa, asuransi umum, re asuransi. Jadi kalau kita berbicara mengenai perusahaannya Pak ini maka kita sudah cukup limitatif tidak akan ada ide untuk berkembang lagi karena setiap varian dari itu bisa masukan ke salah satu itu Pak.” 3. Rapat Panja Jumat 3 Juni 2014 Pukul 14.00 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 323 pdf, hal. 60 file rapat) “... ada diskusi tambahan, misalnya di Pasal 2 ayat (5) yang memberi diskresi kepada OJK karena perkembangan waktu itu untuk melakukan adjustment terhadap produk-produk itu...” • F-PG (Dr. H. Harry Azhar Azis, MA) (hal. 326 pdf, hal. 63 file rapat) “... pertanyaannya seberapa besar dibolehkan produk asuransi bertransformasi menjadi bagian dari produk non asuransi.” 83 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 326 pdf, hal. 63 file rapat) “Sebetulnya ada rumahnya ini kalau kita mau diskusi di Pasal 2 pak, padahal di Pasal 2 itu ada ketentuan ayat (5) yang memberi diskresi kepada OJK untuk melakukan penyesuaian terhadap industri , jadi saya kira nanti kita diskusikan di sini tetapi kalau materi ini bisa disepakati oleh teman-teman , kalau yang ini kan tidak ada masalah kan ya, yang kita mau batasi ini adalah materi tentang seberapa besar mereka ini bisa berkembang lebih daripada industri aslinya itu kan begitu, nah itu ada rumahnya di Pasal 2 ayat (5) .” (RAPAT SETUJU) 4. Rapat Panja Sabtu 30 Agustus 2014 Pukul 10.05 • F-PDIP (I Gusti Agung Rai Wirajaya, S.E., M.M.) (hal. 562 pdf, hal. 9 file rapat) “Ini sehubungan dengan adanya perkembangan yang kita lihat di lapangan semakin kedepan kita melihat pertimbangan jauh kedepan. Ini bagaimana kita memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi umum, tidak terbatas dalam rangka menanggung resiko ...” • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 563 pdf, hal. 10 file rapat) “... kami mengusulkan kita buka pintu diskresi kepada OJK untuk meng-access apakah masyarakat memang membutuhkan hal tersebut, apakah perusahaan asuransinya sudah mempunyai kapasitas untuk memenuhi kebutuhan tersebut . Kalau ini disepakati kita mungkin bisa masukkan didalam rancangan undang-undang kami ada di Pasal 5 Pak bahwa ruang lingkup usaha perasuransian dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.” • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 563 pdf, hal. 10 file rapat) “... kita tidak tutup pintu dalam undang-undang ini, silakan. Tapi mengenai timing waktunya persyaratannya itu, itu akan diatur oleh sesuai dengan pengamatan OJK .” (RAPAT: SETUJU) 84 III. PETITUM DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tambahan tersebut, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bon o). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 3 Maret 2020 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis dan keterangan tertulis tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 3 Maret 2020 dan 13 Juli 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON Merujuk kepada permohonan Pemohon, pada pokoknya Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan- ketentuan sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, yang berbunyi: “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat .” Terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 85 Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa alasan timbulnya kerugian konstitusional dimaksud adalah:
Pemohon menyatakan yang menjadi permasalahan dalam permohonan a quo adalah mengenai ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi dalam UU Perasuransian yang tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha suretyship . Menurut Pemohon hal tersebut melanggar dan bertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Frasa “ dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat ” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mengatur secara tegas tentang suretyship sehingga bersifat multitafsir dan dianggap bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Bahwa kemunculan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU Penjaminan) telah menyebabkan ketidakpastian penyelenggaraan lini usaha suretyship yang menggunakan landasan hukum berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sehingga kepastian usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan asuransi terganggu dan tidak pasti keberlangsungan usahanya bahkan terancam dapat dipidana.
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan telah menyebabkan perusahaan asuransi harus mempunyai izin usaha sebagai lembaga penjamin terlebih dahulu agar dapat menjalankan suretyship , yang mana menurut Pemohon bahwa perusahaan asuransi tidak secara otomatis dapat memperoleh izin usaha sebagai lembaga penjaminan.
Izin perusahaan asuransi untuk melaksanakan penjaminan dalam bentuk suretyship diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang diberikan kewenangan atributif untuk mengeluarkan peraturan terkait perizinan usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian.
Bahwa adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan telah mewajibkan kegiatan penjaminan untuk mematuhi UU Penjaminan, kecuali kegiatan penjaminan tersebut dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri, sedangkan kedudukan Peraturan OJK Nomor 69/POJK.05/2016 86 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (POJK Nomor 69/POJK.05/2016) yang merupakan tindak lanjut Pasal 5 ayat (3) UU Persuransian menurut Pemohon adalah di bawah undang-undang sehingga dianggap kedudukannya tidak sejajar dengan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan.
Pemohon dalam permohonan a quo pada pokoknya meminta penegasan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membentuk norma hukum baru dengan memberikan tafsiran Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yaitu menegaskan perluasan lini usaha asuransi berdasarkan kebutuhan masyarakat adalah termasuk suretyship .
Oleh karena itu, Pemohon dalam permohonan a quo pada pokoknya meminta agar Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ruang Lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. II. TENTANG LEGAL STANDING PEMOHON 1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut sebagai UU MK) jelas mengatur Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu Undang- Undang, yang meliputi:
Perorangan Warga Negara Indonesia;
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
Badan hukum publik atau privat; atau
Lembaga Negara. 87 2. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, agar Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan suatu permohonan uji materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka harus dibuktikan bahwa:
Para Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK; dan
Hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon dirugikan akibat berlakunya Undang-Undang yang diuji.
Adapun ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK bersifat imperatif sehingga sekalipun Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan uji materiil, Pemohon harus mempunyai hak atau kewenangan konstitusional yang dirugikan akibat adanya Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian.
Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah berpendapat bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: • Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; • Adanya hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji; • Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; • Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji; • Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai tentang kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian UU Perasuransian a quo, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. 88 III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN A. LANDASAN FILOSOFIS 1. Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, terlebih dahulu Pemerintah akan menyampaikan landasan filosofis penyusunan Undang-Undang Perasuransian;
Sesuai amanat founding father yang dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945, tujuan negara adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan bernegara ini diwujudkan dalam landasan idiil sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pencapaian tujuan negara tersebut dilakukan dengan pembangunan berkelanjutan yang melibatkan seluruh masyarakat. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan diperlukan kondisi yang mendukung aktivitas produktif masyarakat yang salah satunya diwujudkan dengan adanya pihak yang berperan dalam menanggulangi risiko keuangan yang dihadapi masyarakat. Risiko keuangan tersebut timbul dalam berbagai aspek kehidupan dan membutuhkan pihak yang dapat menanggulanginya. Asuransi merupakan pihak pengambil alih risiko yang mempu memberikan perlindungan kepada masyarakat atas kemungkinan kerugian yang terjadi pada harta benda atau kepentingan finansial yang dimilikinya.
Peningkatan peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional terjadi apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko yang dihadapinya sehari hari dan pada saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha. Untuk itu, UU Perasuransian mengatur bahwa objek asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah di Indonesia dan penutupan objek asuransi tersebut harus memperhatikan optimalisasi kapasitas perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dalam negeri. Guna mengimbangi kebijakan ini, Pemerintah dan/atau Otoritas Jasa Keuangan melakukan 89 upaya untuk mendorong peningkatan kapasitas asuransi dan reasuransi dalam negeri.
Dengan adanya perlindungan asuransi diharapkan akan tercipta ketenangan bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitas dan mendorong inovasi usaha yang pada akhirnya akan menciptakan kesejahteraan bersama. Perusahaan Perasuransian sebagai suatu institusi keuangan yang melakukan pengumpulan dana masyarakat juga memungkinkan adanya akumulasi dana yang dapat digunakan dalam rangka pembiayaan kegiatan pembangunan nasional. B. SEJARAH DAN KEDUDUKAN PERUSAHAAN ASURANSI DALAM MENJALANKAN LINI USAHA SURETYSHIP 1. Pelaksanaan suretyship oleh perusahaan asuransi telah dilaksanakan sejak tahun 1978 melalui PT Jasa Raharja (Persero). Saat itu, PT Jasa Raharja (Persero) merupakan satu-satunya Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) yang dapat menerbitkan surety bond melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian “Jasa Raharja”.
Pada tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa yang menegaskan LKNB yang dapat menerbitkan jaminan surety bond adalah PT Jasa Raharja (Persero). Tujuannya adalah tidak terlepas dari peran Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pengusaha ekonomi lemah dengan memberikan kemudahan pengurusan penjaminan melalui produk surety bond sebagai alternatif dari Bank Garansi.
Pada tahun 1992, seiring dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, peran PT Jasa Raharja (Persero) dikembalikan sebagai fungsi dan tugas pokoknya sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 Tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan dan tidak dapat melaksanakan perluasan usaha seperti Surety Bond . 90 4. Di dalam perkembangannya, kedudukan dan ruang lingkup perusahaan asuransi di dalam menjalankan kegiatan lini usaha asuransi kemudian dipertegas dalam UU Perasuransian.
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Selanjutnya, kewenangan perusahaan asuransi di dalam menjalankan lini usaha penjaminan suretyship diberikan peluang dalam Pasal 5 ayat (1) dan (3) UU Perasuransian.
Bahkan dalam melaksanakan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, pada Pasal 1 angka 23 POJK Nomor 69/POJK.05/2016 secara tegas diatus bahwa “ Suretyship adalah lini Usaha Asuransi Umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan _obligee”; _ 8. Praktik pemberian Suretyship pada umumnya merupakan bentuk penjaminan untuk mendukung pelaksanaan proyek pengadaan barang/jasa seperti misalnya pada proyek infrastruktur atau jasa konstruksi untuk pembuatan jalan raya, jalan tol, rumah sakit, dan lain- lain. Dalam pelaksanaan proyek jasa konstruksi dengan jaminan suretyship ini melibatkan pihak-pihak yaitu pemilik proyek/tender (obligee), pelaksana proyek/tender (principal) dan perusahaan asuransi sebagai penjamin. Peranan perusahaan asuransi dalam suretyship ini terhadap pemilik proyek adalah akan membayar sebesar maksimum nilai jaminan jika pelaksana proyek terbukti wanprestasi. Sedangkan 91 hubungannya dengan pemilik proyek, perusahaan asuransi merupakan pihak yang memberikan jaminan dengan menerbitkan surety bond. 9. Suretyship merupakan produk penjaminan atas proyek pengadaan barang/jasa yang membutuhkan pendanaan yang cukup besar sehingga selama ini terhadap proyek pengadaan barang/jasa yang membutuhkan dana yang besar telah banyak dilakukan oleh perusahaan asuransi guna memastikan terlaksananya proyek pengadaan barang/jasa dimaksud.
Oleh karena itu, dibutuhkan peranan suatu perusahaan dengan kondisi keuangan yang memiliki pendanaan yang cukup besar seperti lembaga asuransi yang mempunyai kemampuan untuk memberikan penjaminan atas proses pengerjaan proyek barang dan jasa yang membutuhkan dana besar.
Beberapa bentuk surety bond yaitu Jaminan Penawaran ( Bid/Tender Bond ), Jaminan Uang Muka ( Advance Payment Bond ), Jaminan Pemeliharaan ( Maintenance Bond ), Jaminan Pelaksanaan ( Performance Bond ), Jaminan Pembayaran ( Payment Bond ), yang berfungsi sebagai jaminan bagi kegiatan suatu proyek sehingga proyek tetap berlangsung sesuai perjanjian yang disepakati.
Pengaturan suretyship di dalam UU Perasuransian dan POJK Nomor 69/POJK.05/2016 menunjukkan bahwa OJK sebagai Lembaga Pengawas atau regulator dapat memberikan peluang untuk dilakukannya perluasan ruang lingkup usaha bagi usaha Asuransi Umum sepanjang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Namun demikian perlu menjadi catatan bahwa perluasan ruang lingkup tersebut harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: a) memenuhi asas spesialisasi usaha untuk menghindari adanya perusahaan asuransi umum yang sekaligus menjalankan usaha asuransi jiwa atau sebaliknya; b) relevan dengan bisnis utama, dan; c) perluasan tersebut hanya terbatas pada variasi lini usaha atau produk.
Bahwa selanjutnya perluasan ruang lingkup tersebut diterapkan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang dengan tegas mengatur bahwa “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha 92 Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” __ __ 15. Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” dapat membatasi hak para perusahaan asuransi untuk turut serta dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, menunjukkan ketidakpahaman Pemohon dalam memaknai ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ 16. Bahwa pengaturan tentang perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum justru telah diatur lebih lanjut pada Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam _Peraturan Otoritas Jasa Keuangan”; _ 17. Bahwa selanjutnya lebih tegas lagi disebutkan dalam Pasal 4 huruf a POJK Nomor 69/POJK.05/2016 disebutkan: “Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan perluasan _ruang lingkup usaha pada: _ _1. Kegiatan usaha PAYDI; _ _2. Kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); _ _3. Kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship; dan/atau _ 4. Kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah”. 18. Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang kemudian ditegaskan dalam POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tidak membatasi bahkan justru memberikan perluasan penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi umum sebagaimana telah dilakukan oleh perusahaan asuransi umum sebelum berlakunya UU Perasuransian yaitu sejak tahun 1978.
Dapat Pemerintah sampaikan bahwa dengan perluasan usaha perusahaan asuransi umum sebagai salah satu penyelenggara penjaminan pengadaan barang dan jasa baik oleh swasta maupun pemerintah melalui suretyship dikarenakan masih dibutuhkannya kapasitas perusahaan asuransi umum untuk menyelenggarakan 93 penjaminan pengadaan barang dan jasa bersama dengan lembaga penjamin lainnya, sehingga dapat dipastikan penyelenggaraan pengadaaan barang dan jasa untuk pembangunan nasional dapat berjalan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. C. PERKEMBANGAN KEGIATAN USAHA ASURANSI KREDIT DAN SURETYSHIP OLEH PERUSAHAAN ASURANSI UMUM 1. Dapat Pemerintah sampaikan juga bahwa perkembangan kegiatan usaha asuransi kredit dan suretyship oleh perusahaan asuransi umum cukup signifikan. Perusahaan asuransi umum telah menjalankan usaha asuransi kredit sejak tahun 1971 oleh PT Asuransi Kredit Indonesia, dan usaha suretyship sejak tahun 1978 oleh PT Jasa Raharja (Persero).
Per 30 November 2019, usaha asuransi kredit dan suretyship telah dilakukan oleh 40 perusahaan asuransi umum. Dari sisi pendapatan premi yang diterima sebesar Rp13,88 triliun atau 20,66% dari total pendapatan premi dalam skala nasional. Hal ini menunjukkan porsi Suretyship dalam skala nasional tidak terlalu besar.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan menyebabkan ketidakpastian penyelenggaraan lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi umum yang menggunakan landasan hukum Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tentang perluasan lini usaha asuransi menjadi tidak jelas.
Dalam Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan diatur bahwa pihak di luar Lembaga penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan agar menyesuaikan dengan Undang-Undang Penjaminan. Namun demkian, di dalam Pasal 61 ayat (2) telah jelas disebutkan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri .
Ketentuan Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan tersebut dari sudut pandang Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian justru merupakan landasan hukum berlakunya penyelenggaraan usaha suretyship, yang merupakan penyelenggaraan penjaminan oleh lembaga asuransi umum. Mandat undang-undang perasuransian untuk mengatur perluasan usaha asuransi umum antara lain melalui Suretyship telah secara tegas diatur 94 dalam peraturan POJK Nomor 69/POJK.05/2016 sehingga telah sejalan dengan Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan.
Berdasarkan data yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan, kontribusi perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan dalam proyek pembangunan Pemerintah cukup tinggi. Pada tahun 2018, total nilai penjaminan atas produk suretyship oleh perusahaan asuransi umum adalah sebesar Rp 142,9 triliun dan nilai penjaminan oleh perusahaan penjaminan hingga bulan Januari tahun 2020 adalah sebesar Rp 35,6 triliun, sehingga total keduanya adalah sebesar Rp 178,61 triliun atau kurang lebih sekitar 43,48% dari total belanja infrastruktur pada tahun 2018 yang sebesar Rp 410,7 triliun.
Kontribusi perusahaan asuransi khususnya terhadap produk suretyship yang sebesar Rp.142,9 triliun pada tahun 2018 menunjukkan fakta yang tidak dapat diabaikan bahwa adanya kebutuhan masyarakat dalam hal ini khususnya pelaku ekonomi atas pelaksanaan suretyship oleh perusahaan asuransi. Dalam proyek Pemerintah, berdasarkan Keputusan Menteri PUPR juga diambil kebijakan untuk memberikan Suretyship bagi perusahaan asuransi. Hal ini antara lain dilandasi pada pertimbangan perlunya kapasitas dana yang cukup besar oleh perusahaan yang menjalankan _suretyship; _ 8. Dalam memperhatikan kebutuhan penjaminan pengadaan barang dan jasa dalam rangka penyelenggaraan proyek pembangunan nasional, maka OJK sebagai Lembaga pengawas dan regulator telah memebrikan izin kepada 3 (tiga) konsorsium penjamian yang beranggotakan 24 (dua puluh empat) perusahaan asuransi dan 1 (satu) perusahaan penjaminan yaitu Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia.
Berdasarkan fakta-fakta dan dasar hukum tersebut, pemberian Suretyship oleh perusahaan asuransi umum masih diperlukan untuk menjamin proyek pembangunan nasional bersama dengan perusahaan penjaminan. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional 95 review ) Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa, “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa, “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono). Keterangan Tertulis Tambahan bertanggal 13 Juli 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020 yang pada pokoknya sebagai berikut: I. Pertanyaan dari Yang Mulia Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum. A. Apa yang terjadi pada saat pembahasan RUU Perasuransian sehingga pada Pasal 5 ayat (1) terdapat frasa “dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat” sedangkan dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 terdapat frasa yang membatasi yaitu “hanya dapat”? B. Pada Keterangan Presiden disebutkan bahwa Pasal 61 UU Penjaminan justru memperkuat perusahaan asuransi dalam melaksanakan suretyship dikarenakan perusahaan asuransi memiliki undang-undang tersendiri dan telah dipertegas dengan adanya POJK. Jelaskan maksud dari dari Pasal 61 UU Lembaga Penjaminan kaitannya memberikan penguatan terhadap keberadaan suretyship dalam UU Perasuransian? Jawaban A. Frasa makna “hanya dapat” dari perspektif dengan dapat diperluas 1. Penggunaan frasa “ hanya dapat ” ada pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perasuransian. Frasa tersebut dimaksudkan untuk memberikan limitasi bahwa ruang lingkup usaha perasuransian terbagi dalam usaha asuransi 96 umum, asuransi jiwa dan reasuransi (sebagaimana diatur dalam Pasal 2) serta usaha asuransi umum syariah, asuransi jiwa syariah dan reasuransi syariah (sebagaimana diatur dalam Pasal 3). Frasa “hanya dapat” pada Pasal 2 dan 3 UU Perasuransian berisi norma agar usaha asuransi umum tidak melakukan usaha asuransi jiwa ataupun reasuransi, kecuali yang secara tegas dinyatakan yaitu untuk asuransi umum termasuk lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri serta reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum lain. Pencantuman tersebut karena lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri merupakan irisan lini usaha asuransi umum dan asuransi jiwa, sehingga diperlukan anak kalimat tambahan untuk mempertegas bahwa lini usaha asuransi kesehatan dan kecelakaan diri dapat dilakukan baik oleh perusahaan asuransi umum maupun oleh perusahaan asuransi jiwa.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Perasuransian menjelaskan bahwa “Berdasarkan mekanisme pengelolaan risikonya, lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri lebih tepat digolongkan sebagai Usaha Asuransi Umum. Namun, mengingat Objek Asuransi yang dipertangungkan dalam kedua lini usaha asuransi kecelakaan diri juga dapat digolongkan sebagai Usaha Asuransi Jiwa. Dalam praktiknya, kedua lini usaha asuransi tersebut telah diselenggarakan, baik oleh perusahaan asuransi umum maupun oleh perusahaan asuransi jiwa” .
Adapun perumusan Frasa “ dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat ” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, dimaksudkan menjadi norma yang mengakui bahwa peluang lini usaha asuransi umum akan berkembang seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, sehingga UU Asuransi perlu memberikan mandat perluasan lini usaha tersebut dengan batasan sesuai kebutuhan masyarakat dan adanya penambahan manfaatnya bagi masyarakat serta tidak mengganggu core bussiness nya perusahaan asuransi. Pelaksanaan perluasan ini diberikan kewenangan kepada OJK untuk mengatur lebih lanjut. Pengaturan demikian sejalan dengan drafting perumusan UU 97 yang bersifat norma-norma umum tidak mengatur hal-hal teknis yang dapat diuji secara teoritis maupun best practices. 4. Pengaturan norma tersebut juga didasarkan pada fakta bahwa selain core business perusahaan asuransi, juga ternyata terdapat peluang lain bagi perusahaan asuransi yang bukan merupakan core langsung asuransi sepanjang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga, perluasan ruang lingkup usaha asuransi lain sebagaimana disebutkan dalam norma Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian merupakan open legal policy Pemerintah yang didasarkan pada fakta, pertimbangan sosial dan ekonomis serta best practices di beberapa negara lain . B. Kehadiran UU Penjaminan terhadap Pelaksanaan Suretyship oleh Asuransi Umum Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (selanjutnya disebut UU Penjaminan), terbitnya UU Penjaminan dilatarbelakangi keinginan Pemerintah untuk meningkatkan UMKM terhadap akses pembiayaan/kredit. Mengacu Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, Usaha Penjaminan meliputi:
penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh lembaga keuangan, b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada anggotanya; dan
penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan. Adapun penjaminan berupa suretyship diatur dalam Pasal 4 ayat (2) sebagai salah satu bentuk dari usaha lain yang dapat dilakukan perusahaan penjaminan di samping lingkup usaha penjaminan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1). Sejalan dengan prinsip lingkup penjaminan dalam Pasal 4 tersebut, menjadi jelas pilihan open legal policy Pemerintah bersama DPR selaku pembentuk UU menetapkan norma Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan yang mengecualikan kewajiban yang terdapat pada Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan bagi orang atau lembaga yang menjalankan penjaminan di luar perusahaan penjaminan untuk dapat melakukan penyesuaian. Dalam Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan diberikan peluang bagi lembaga yang telah menjalankan penjaminan di luar perusahaan penjaminan tidak wajib tunduk 98 pada Pasal 61 UU Penjaminan sepanjang dijalankan berdasarkan undang- undang tersendiri. Dapat Pemerintah sampaikan norma Pasal 61 ayat (2) berbunyi: “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang- undang tersendiri”. Dari sisi legal drafting frasa “dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri” memiliki makna yang berbeda dengan frasa “ dinyatakan dengan undang-undang tersendiri ”. Makna kata “dijalankan” pada frasa tersebut mengandung arti bahwa kegiatan penjaminan tersebut dijalankan berdasarkan amanat dari suatu undang-undang. Dalam hal ini, pelaksanaan suretyship sebagai kegiatan penjaminan oleh perusahaan asuransi umum, merupakan pelaksanaan mandat Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian kepada OJK untuk mengatur perluasan usaha Perusahaan Asuransi Umum dan telah dijalankan dengan terbitnya POJK Nomor 69/POJK.05/2016. Oleh karena itu, Pemerintah memandang berlakunya UU Penjaminan tidak mengakibatkan ketidakpastian atas berlakunya Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang dilaksanakan secara tegas dalam POJK sebagai landasan untuk pelaksanaan suretyship oleh Perusahaan Asuransi. Bahkan dengan norma Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan secara tegas diberikan pengecualian pelaksanaan suretyship oleh lembaga bukan penjaminan yang telah melaksanakan penjaminan sebelum berlakunya UU Penjaminan. II. Pertanyaan Yang Mulia Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. A. Mengapa pengaturan mengenai suretyship tidak dipertegas dalam UU Perasuransian? Apa yang menjadi pertimbangan pembuat UU tidak menegaskan hal tersebut dalam bentuk norma? B. Pada tahun 1971 telah ada praktik suretyship di PT Jasa Raharja yang merupakan perusahaan asuransi milik Pemerintah. • Apa yang menjadi dasar Pemerintah dalam memberikan kewenangan kepada PT Jasa Raharja untuk melaksanakan Suretyship? • Apa saja persoalan yang muncul tahun 2014 sehingga pada akhirnya PT Jasa Raharja tidak lagi dapat melaksanakan Suretyship? 99 C. Apakah ada database perusahaan-perusahaan asuransi yang merupakan non-asosiasi (Pemohon)? Jawaban A. Sebagaimana telah dijelaskan, Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian dimaksudkan untuk mampu mengikuti perkembangan industri perasuransian sehingga tidak melimitasi bentuk-bentuk usaha yang dapat dilakukan perusahaan asuransi umum. Hal ini tentu akan sangat mendorong perkembangan industri sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat. Pembentuk UU menyadari bahwa OJK selaku regulator akan mampu untuk membuat pengaturan yang lebih teknis untuk memastikan bahwa prinsip umum dalam UU Asuransi dan tambahan manfaat yang tercipta bagi masyakarat maupun pemerintah selaku penerima manfaat usaha perasuransian akan tetap menjadi pedoman dalam pengaturan perluasan lini usaha asuransi umum. Saat ini OJK juga telah mengatur bahwa terdapat 14 lini usaha yang dapat diselenggarakan oleh perusahaan asuransi umum yaitu: No. Lini Usaha 2018 Q3. 2019 Premi (Juta IDR) % Premi (Juta IDR) % 1 Harta Benda (Property) 18,873,914 27% 15,082,200 26% 2 Kendaraan Bermotor 18,488,468 26% 13,917,660 24% 3 Pengangkutan (Marine Cargo) 3,472,992 5% 2,636,740 5% 4 Rangka Kapal (Marine Hull) 1,572,860 2% 1,275,380 2% 5 Rangka Pesawat (Aviation Hull) 1,338,139 2% 1,110,900 2% 6 Satelit 16,138 0% 19,460 0% 7 Energi Onshore (Oil and Gas) 140,319 0% 110,440 0% 8 Energi Offshore (Oil and Gas) 1,370,170 2% 1,050,620 2% 9 Rekayasa (Engineering) 2,533,719 4% 1,852,960 3% 10 Tanggung Gugat (Liability) 1,868,051 3% 1,767,120 3% 11 Kecelakaan Diri & Kesehatan 5,627,705 8% 4,987,560 9% 12 Kredit (Credit) 7,796,238 11% 9,448,130 16% 13 Suretyship 1,454,839 2% 1,127,180 2% 14 Aneka 5,347,438 8% 3,518,460 6% 100 Bahwa terhadap 14 lini usaha tersebut juga tidak diatur dengan tegas di dalam UU Perasuransian. Selain itu, UU Perasuransian juga tidak menyebutkan lini usaha lain yang juga dilakukan oleh perusahaan asuransi umum yaitu lini usaha asuransi aneka, satelit dan kredit. UU Perasuransian hanya menyebutkan lini usaha kecelakaan diri dan kesehatan karena lini usaha itu merupakan irisan antara asuransi umum dan asuransi jiwa sehingga untuk memberi kepastian hukum bahwa lini usaha tersebut dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi umum maupum asuransi jiwa, perlu ditegaskan dalam UU Asuransi. Adanya perkembangan jumlah lini usaha tersebut menunjukkan bahwa perluasan lini usaha ataupun penggabungan atau pengelompokkan dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kewenangan OJK yang diberikan oleh Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian untuk mengatur perluasan dimaksud adalah agar kiranya perubahan lini usaha tersebut dapat dilakukan secara fleksibel oleh OJK tanpa harus melalui mekanisme perubahan UU Perasuransian. B. Perusahaan asuransi umum telah menjalankan usaha asuransi kredit sejak tahun 1971 oleh PT Asuransi Kredit Indonesia. Sedangkan, usaha suretyship telah dilaksanakan oleh perusahaan asuransi sejak tahun 1978 oleh PT Jasa Raharja Persero dengan berdasarkan pada PP No.34 tahun 1978 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian “Jasa Raharja” (PP 34/1978). Berdasarkan PP 34/1978 tersebut, PT Jasa Raharja yang merupakan perusahaan umum asuransi kerugian diberikan mandat tambahan/tugas baru oleh Pemerintah untuk menerbitkan surat jaminan dalam bentuk Surety Bond . Penunjukan tersebut juga telah menjadikan PT Jasa Raharja sebagai pionir penyelenggara surety bond di Indonesia, di saat perusahaan asuransi lain pada umumnya masih bersifat fronting office dari perusahaan surety di luar negeri sehingga menyebabkan terjadi aliran devisa ke luar negeri untuk kepentingan tersebut. Bahwa mengingat PT Jasa Raharja merupakan perusahaan asuransi kerugian sehingga tugas pokoknya adalah melaksanakan amanat dari UU 101 yaitu memberikan perlindungan terkait dana pertanggungjawaban wajib kecelakaan penumpang dan lalu lintas sebagaimana diatur pada UU Nomor 33 dan UU Nomor 34 Tahun 1964. Selanjutnya, sebagai upaya pengemban rasa tanggung jawab sosial kepada masyarakat khususnya bagi masyarakat yang belum memperoleh perlindungan dalam lingkup UU No.33 dan UU No.34 tahun 1964. Pada tahun 1994, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagai penjabaran UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur antara lain ketentuan yang melarang Perusahaan Asuransi yang telah menyelenggarakan program asuransi sosial untuk menjalankan asuransi lain selain program asuransi sosial. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka terhitung mulai tanggal 1 Januari 1994 hingga saat ini maka PT Jasa Raharja melepaskan usaha asuransi non wajib dan surety bond untuk lebih fokus dalam menjalankan program asuransi sosial yaitu menyelenggarakan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang sebagaimana diatur dalam UU. No.33 tahun 1964 dan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan sebagaimana diatur dalam UU. No.34 tahun 1964. C. Berdasarkan data OJK tahun 2019, terdapat 74 perusahaan asuransi umum yang memperoleh izin untuk menyelenggarakan usaha asuransi umum. Berdasarkan Pasal 68 ayat (1) UU Perasuransian, setiap perusahaan asuransi tersebut (74 perusahaan) wajib menjadi angota asosiasi usaha perasuransian yang sesuai dengan jenis usahanya (AAUI). Namun demikian AAUI juga merupakan asosiasi bagi perusahaan reasuransi, yang berdasarkan data OJK tahun 2019 terdapat 6 perusahaan reasuransi. Dari 74 perusahaan asuransi umum tersebut, berdasarkan laporan statistik OJK tahun 2018 terdapat 47 perusahaan asuransi umum yang memperoleh izin usaha untuk menyelenggarakan suretyship, namun demikian 1 perusahaan asuransi umum yaitu PT Asuransi Himalaya Pelindung telah dicabut izin usaha melalui Keputusan Dewan Komisioner (KDK) Nomor 41/KDK.05/2019 tanggal 30 April 2019 sehingga tersisa 46 perusahaan. 102 Berikut data perusahaan asuransi yang menyelenggarakan Suretyship dan yang tidak menyelenggarakan Suretyship. Perusahaan Asuransi Umum yang menyelenggarakan suretyship (46) 1. PT Asuransi ASEI Indonesia 25. PT CHUBB General Insurance Indonesia 2. PT Asuransi Artarindo 26. PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 3. PT Arthagraha General Insurance 27. PT Asuransi Jasa Raharja Putera 4. PT Asuransi Astra Buana 28. PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) 5. PT Asuransi Axa Indonesia 29. PT Asuransi Kresna Mitra Tbk.
PT Asuransi Bangun Askrida 30. PT Asuransi Sinar Mas 7. PT Berdikari Insurance 31. PT Tugu Pratama Indonesia 8. PT Asuransi Bhakti Bhayangkara 32. PT Asuransi Videi 9. PT Asuransi Binagriya Upakara 33. PT Pan Pacific Insurance 10. PT Asuransi Bintang Tbk. 34. PT Asuransi Parolamas 11. PT Bosowa Asuransi 35. PT Asuransi Purna Artanugraha 12. PT Asuransi Bringin Sejahtera Artamakmur 36. PT Asuransi Rama Satria Wibawa 13. PT Asuransi Buana Independent 37. PT Asuransi Ramayana Tbk.
PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 38. PT Asuransi Staco Mandiri 15. PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia 39. PT Asuransi Tri Pakarta 16. PT Asuransi Central Asia 40. PT Asuransi Tugu Kresna Pratama 17. PT Asuransi Intra Asia 41. PT Victoria Insurance Tbk.
PT Asuransi Jasa Tania Tbk. 42. PT Asuransi Wahana Tata 19. PT Asuransi Mega Pratama 43. PT Asuransi Allianz Utama Indonesia 20. PT Asuransi Umum Mega 44. PT Asuransi Harta Aman Pratama Tbk.
PT Asuransi Mitra Pelindung Mustika 45. PT Lippo General Insurance Tbk.
PT Asuransi Multi Artha Guna Tbk.
PT Asuransi Etiqa Internasional Indonesia (dulunya PT Asuransi Asoka Mas) 23. PT Malacca Trust Wuwungan Insurance 24. PT Asuransi Adira Dinamika Perusahaan Asuransi Umum yang tidak menyelenggarakan suretyship (28) 47. PT AIG Insurance Indonesia 61. PT Meritz Korindo Insurance 48. PT Avrist General Insurance 62. PT Great Eastern General Insurance Indonesia 103 49. PT Asuransi Umum BCA 63. PT Kookmin Best Insurance Indonesia 50. PT Bess Central Insurance 64. PT. Asuransi Total Bersama 51. PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk. 65. PT Asuransi Raksa Pratikara 52. PT China Taiping Insurance Indonesia 66. PT Asuransi Recapital 53. PT Citra International Underwriters 67. PT Asuransi Reliance Indonesia 54. PT Asuransi Dayin Mitra Tbk. 68. PT Asuransi Samsung Tugu 55. PT Asuransi Eka Lloyd Jaya 69. PT Sarana Lindung Upaya 56. PT Asuransi FPG Indonesia 70. PT Asuransi Simas Net 57. PT KSK Insurance Indonesia 71. PT Sompo Insurance Indonesia 58. PT MNC Asuransi Indonesia 72. PT Asuransi Sumit Oto 59. PT Asuransi MSIG Indonesia 73. PT Asuransi Tokio Marine Indonesia 60. PT Mandiri AXA General Insurance 74. PT Zurich Insurance Indonesia Adapun terhadap perusahaan Asuransi yang menjadi anggota Asosiasi Asuransi Umum namun tidak menjadi pemohon uji materi kiranya dapat disampaikan oleh Pemohon. Dapat Pemerintah sampaikan pula beberapa contoh pelaksanaan Suretyship di negara-negara lain ( Benchmarking ) yaitu:
Canada: suretyship diselenggarakan oleh surety companies dan perusahaan asuransi;
USA: suretyship juga diselenggarakan oleh perusahaan asuransi;
Japan: sebagian besar kontrak suretyship diselenggarakan oleh perusahaan asuransi;
Malaysia: biasanya suretyship diselenggarakan oleh perusahan asuransi;
Korea Selatan: perusahaan asuransi umum dapat menyelenggarakan suretyship. Demikian Keterangan Tambahan yang dapat disampaikan oleh Pemerintah terkait dengan Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) terhadap Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian terhadap ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai 104 berikut sebagaimana yang telah dimintakan dalam Keterangan Presiden yang telah disampaikan sebelumnya. [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 22 Juni 2020 yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 22 Juni 2020, serta keterangan tertulis tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 13 Juli 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Sejarah Pengaturan Kegiatan Usaha Suretyship di Indonesia 1. Bahwa Pemohon berpendapat ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha suretyship , sehingga menurut Pemohon hal tersebut melanggar dan bertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama dihadapan hukum, hak dan memajukan diri dalam memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara, hak untuk melakukan kegiatan perekonomian atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan dan efisiensi berkeadilan serta konsepsi negara kesejahteraan (welfare states) sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 . __ 2. Secara historis Indonesia telah mengenal dan mengatur lini usaha suretyship sebagai salah satu produk inovasi perusahaan asuransi guna menjawab tantangan pengambilalihan potensi risiko kerugian yang dapat dialami oleh salah satu pihak dalam perjanjian antara principal dan obligee . Seiring dengan perkembangan pembangunan di Indonesia, Pemerintah semakin menyadari arti penting keberadaan suatu Lembaga Non Perbankan yang dapat menjadi lembaga alternatif untuk memberi jaminan dalam mendukung proyek-proyek pembangunan yang didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mengingat penjaminan yang menggunakan bank garansi memiliki persyaratan cukup berat bagi para penyedia barang dan/atau jasa berupa aset jaminan (full collateral) 100% dari nilai jaminan. __ 105 3. Khusus penerbitan suretyship oleh perusahaan asuransi, sudah dilakukan sejak tahun 1978 yang diatur dalam beberapa peraturan perundang- undangan sebagai berikut: __ a. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian “Jasa Raharja”;
Keppres Nomor 14A tahun 1980 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan
KMK Nomor 271/KMK.011/1980 tentang Penunjukan Bank dan Lembaga Keuangan yang dapat Menerbitkan Jaminan. dalam ketentuan tersebut, Pemerintah telah memberikan kewenangan kepada perusahaan asuransi Jasa Raharja untuk menerbitkan suretyship .
Setelah tahun 1978, dimana sebelumnya penerbitan suretyship hanya bisa dilakukan oleh perusahaan asuransi Jasa Raharja, dalam rangka memperluas usaha penerbitan suretyship Pemerintah melalui Menteri Keuangan menerbitkan:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 761/KMK.013/1992 Tahun 1992 tentang Penunjukan Bank-Bank Dan Perusahan-Perusahaan Asuransi Yang Dapat Menerbitkan Jaminan; dan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 951/KMK.01/1993 Tentang Penggunaan Surety Bond/Customs Bond Sebagai Jaminan Pembayaran Pungutan Negara Atas Impor Barang Yang Mendapat Fasilitas Impor; yang pada pokoknya telah memberikan kesempatan kepada beberapa perusahaan asuransi swasta untuk dapat menerbitkan suretyship .
Selanjutnya, Pemerintah melalui beberapa peraturan perundang-undangan sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2017, yaitu:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tanggal 3 September 2008 tentang Penyelenggaraan Lini Asuransi Kredit dan Suretyship ; 106 c. Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi; dan
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah; telah pula mengatur mengenai penerbitan suretyship yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi.
Berkaitan dengan lini usaha suretyship yang diterbitkan oleh perusahaan penjaminan, sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 (selanjutnya disebut UU Penjaminan), berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.020/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2011, PT Jamkrindo (Persero) dapat melakukan kegiatan usaha lain yaitu antara lain surety bond . B. Pengertian Suretyship dalam Peraturan Perundang-Undangan 1. Sebagaimana dipahami bersama, secara umum pengertian suretyship adalah suatu bentuk penjaminan dimana surety company (perusahaan asuransi/perusahaan penjaminan) menjamin principal (kontraktor/ supplier ) akan melaksanakan kewajiban atau suatu prestasi kepada obligee (penerima manfaat/ beneficiary ) sesuai kontrak atau perjanjian antara principa l dan obligee .
Pengertian suretyship juga dapat ditemukan pada ketentuan peraturan perundang-undangan diantaranya: __ a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Asuransi Kredit dan Suretyship (selanjutnya disebut PMK Suretyship ) yang mengatur: __ Pasal 1 angka 3: __ “Suretyship adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan Principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara Principal dan Obligee.” b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi 107 Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (selanjutnya disebut POJK 69/2016) yang mengatur: Pasal 1 angka 23: “Suretyship adalah lini Usaha Asuransi Umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan obligee.” c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut UU Jasa Konstruksi) yang mengatur: __ Pasal 57 ayat (4): “Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk bank garansi dan/atau perjanjian terikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.” Penjelasan Pasal 57 ayat (4): __ “Yang dimaksud dengan "perjanjian terikat" (surety bond) adalah asuransi penjaminan antara penjamin dengan pelaksana pekerjaan. Penjamin akan menjamin pelaksana pekerjaan atas pekerjaan atau tanggung jawab yang diberikan pemilik proyek kepada pelaksana pekerjaan. Asuransi penjaminan ini biasanya dikeluarkan oleh perusahaan asuransi kerugian.” 3. Lini usaha suretyship yang dipraktikan di beberapa negara seperti Tiongkok, Singapura, Inggris, dan Filipina, tidak merupakan monopoli dari salah satu bidang usaha tertentu saja seperti asuransi atau penjaminan. Di Negara tersebut, suretyship dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan maupun lembaga lainnya sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, pengertian suretyship maupun pengaturannya baik di Indonesia maupun di berbagai negara lain, pada prinsipnya produk suretyship tidaklah dapat digolongkan atau dibatasi kepada konsep-konsep kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh bidang- bidang usaha tertentu saja seperti perusahaan asuransi atau perusahaan penjaminan, sehingga suretyship dapat dilaksanakan oleh perusahaan penjaminan maupun asuransi. __ C. Lini Usaha Suretyship oleh Perusahaan Asuransi berdasarkan Pasal 5 UU Perasuransian 1. Setelah membaca pokok permohonan pengujian a quo , dalam halaman 23, halaman 26, dan halaman 32 s.d. halaman 34 permohonannya, Pemohon 108 pada pokoknya menganggap Pasal 61 UU Penjaminan telah menghalangi perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship .
Pemahaman terhadap Pasal 61 UU Penjaminan haruslah tetap mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 11 s.d. angka 13, dan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan sebagai berikut: Pasal 1 angka 1: “Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas penuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan.” Pasal 1 angka 11 __ “Penjamin adalah pihak yang melakukan penjaminan.” Pasal 1 angka 12 “Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang telah memberikan Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah atau kontrak jasa kepada Terjamin.” Pasal 1 angka 13 “Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, atau kontrak jasa dari lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang dijamin oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah.” Pasal 4 ayat (1) _Usaha Penjaminan meliputi: _ a. penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan _Prinsip Syariah yang diberikan oleh lembaga keuangan; _ b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada _anggotanya; dan _ c. penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan. Pasal 4 ayat (2) Selain usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) _Perusahaan Penjaminan dapat melakukan: _ _a. penjaminan atas surat utang; _ _b. penjaminan pembelian barang secara angsuran; _ _c. penjaminan transaksi dagang; _ d. penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa (surety bond); __ _e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi); _ _f. penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri; _ _g. penjaminan letter of credit; _ h. penjaminan kepabeanan (customs bond); __ _i. penjaminan cukai; _ j. pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan _usaha Penjaminan; dan _ 109 k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. 3. Apabila melihat definisi Penjaminan, Penjamin, Terjamin, dan Penerima Jaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU Penjaminan serta ruang lingkup usaha penjaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, pada dasarnya UU Penjaminan telah mengatur secara khusus ruang lingkup dari kegiatan usaha Lembaga Penjamin yaitu yang berkaitan dengan kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial sehubungan dengan perjanjian kredit Terjamin kepada Penerima Jaminan.
Oleh karena itu, ruang lingkup usaha penjaminan sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, keseluruhannya hanya melingkupi adanya kegiatan penjaminan atas pemenuhan kewajiban finansial dari adanya kredit, pembiayaan oleh lembaga keuangan maupun koperasi, serta program kredit kemitraan dan bina lingkungan yang dilakukan oleh badan usaha milik negara.
Namun demikian, dalam UU Penjaminan, Pemerintah dan DPR telah menyepakati adanya lini usaha lain yang dapat dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan yang tidak diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan (bersifat accesoir ). Kegiatan usaha lain yang bersifat accesoir tersebut adalah kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan yang mencakup kegiatan:
penjaminan atas surat utang;
penjaminan pembelian barang secara angsuran;
penjaminan transaksi dagang;
penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa _(surety bond); _ e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi);
penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri;
penjaminan _letter of credit; _ h. penjaminan kepabeanan _(customs bond); _ i. penjaminan cukai;
pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan usaha Penjaminan; dan 110 k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
Penambahan lini kegiatan usaha penjaminan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tersebut di atas, dapat dipahami karena jenis-jenis lini usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tersebut adalah jenis usaha penjaminan yang bukan merupakan pemenuhan kewajiban finansial dari adanya perjanjian kredit sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan. __ 7. Selanjutnya, Pasal 61 UU Penjaminan telah mengatur: Pasal 61 (1) Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Penjelasan Pasal 61 (1) Kegiatan penjaminan berdasarkan Undang-Undang ini melibatkan 3 (tiga) pihak, memungut imbal jasa penjaminan, terdapat sertifikat penjaminan, adanya klaim dan pembayaran klaim, serta pengalihan hak tagih. Oleh karena itu, penjaminan yang dilakukan tidak berdasarkan pada prinsip tersebut, tidak masuk dalam kategori penjaminan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. (2) Cukup jelas. 8. Sementara itu, Pasal 1 angka 6 UU Penjaminan telah mengatur: “Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan.” 9. Berkaitan dengan Pasal 61 UU Penjaminan sebagaimana dalam kutipan di atas, menurut pendapat kami perusahaan asuransi yang merupakan perusahaan di luar Lembaga Penjamin haruslah memenuhi persyaratan sebagai Lembaga Penjamin apabila hendak melakukan kegiatan usaha yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan.
Sedangkan kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan, dapat dilakukan asuransi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang telah mengatur adanya perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian, hal ini mengingat lini usaha 111 suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tidaklah memerlukan persyaratan sebagai Lembaga Penjaminan sebagaimana Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian adalah ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penjaminan jika perusahaan asuransi hendak melakukan kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana Lembaga Penjaminan juga dapat menjalankannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan.
Berdasarkan semua uraian tersebut di atas, menurut pendapat kami kekhawatiran Pemohon dalam pengujian UU a quo yang menganggap kegiatan lini usaha suretyship tidak dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi menjadi tidak tepat mengingat kegiatan suretyship adalah kegiatan penjaminan yang merupakan usaha penjaminan selain yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan.
Selain itu, pengaturan mengenai suretyship dalam UU Penjaminan menjadi sejalan dengan pengaturan mengenai surety bond yang diatur dalam pengertian mengenai dalam UU Jasa Konstruksi yang pada pokoknya menyatakan bahwa jaminan dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk antara lain perjanjian terikat [ vide Pasal 57 ayat (4)]. Adapun yang dimaksud dengan “perjanjian terikat” (surety bond) adalah asuransi penjaminan antara penjamin dengan pelaksana pekerjaan atas pekerjaan atau tanggung jawab yang diberikan pemilik proyek kepada pelaksana pekerjaan [ vide Penjelasan Pasal 57 ayat (4)].
Berdaarkan semua uraian di atas, maka semakin jelas kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana dimaksud dalam UU Penjaminan dapat dilakukan oleh baik perusahaan penjaminan, perusahaan perasuransian maupun lembaga jasa keuangan lainnya berdasarkan peraturan perundang- undangan. __ 15. Sebagaimana diketahui bersama, Pasal 5 UU Perasuransian telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah 112 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . 16. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, OJK telah menerbitkan POJK 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship. 17. Namun demikian, lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam POJK 69/2016 hanya diberikan kepada perusahaan asuransi umum dan tidak diberikan kepada perusahaan asuransi umum syariah, perusahaan asuransi jiwa, dan perusahaan asuransi jiwa syariah. Hal ini diatur dalam Pasal 4 huruf a. POJK 69/2016 yang menyatakan: “ Ruang lingkup usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan _masyarakat dengan ketentuan sebagai berikut: _ a. Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan perluasan _ruang lingkup usaha pada: _ _1. kegiatan usaha PAYDI; _ _2. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); _ 3. kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship _; dan/atau _ 4. _kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah; _ ” 18. Dengan demikian, lini usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan asuransi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dan diatur lebih lanjut dalam POJK 69/2016 telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 61 UU Penjaminan, sehingga perusahaan asuransi yang melakukan lini usaha suretyship tidaklah dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dikhawatirkan oleh Pemohon.
Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian mengenai frasa “sesuai kebutuhan masyarakat” tidak dapat dipisahkan dari industri perasuransian yang terus berkembang di masyarakat. Dalam Penjelasan Umum UU Perasuransian telah menyebutkan bahwa pengaturan mengenai asuransi dilatarbelakangi oleh perkembangan yang pesat dalam industri 113 perasuransian yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha dan bertambahnya pemanfaatan layanan jasa perasuransian oleh masyarakat.
Dengan diaturnya perluasan lini usaha perusahaan asuransi sebagaimana Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian justru untuk mempermudah pengaturan mengenai penambahan lini usaha asuransi sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap asuransi. Hal ini akan memudahkan OJK selaku otoritas yang diberikan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut lini- lini usaha tambahan yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sebagaimana didelegasikan oleh Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian.
Berkaitan dengan petitum Pemohon dalam permohonan a quo , menurut hemat kami, penyisipan frasa “termasuk lini usaha suretyship” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, justru tidak memberikan kepastian hukum bagi perusahaan asuransi untuk dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha. Penyisipan frasa “termasuk lini usaha suretyship” menjadi seolah membatasi kemungkinan adanya perluasan ruang lingkup kegiatan perusahaan asuransi selain lini usaha suretyship . Karena maksud dari Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian adalah perluasan ruang lingkup usaha asuransi haruslah didasarkan pada perkembangan kebutuhan masyarakat yang tidak hanya berkaitan dengan lini usaha suretyship .
Selain hal tersebut di atas, apabila permohonan Pemohon untuk menyisipkan frasa “termasuk lini usaha suretyship” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dikabulkan, maka hal tersebut justru menjadi tidak sejalan dengan pengaturan dalam POJK 69/2016 yang hanya memberikan kesempatan bagi asuransi umum untuk melakukan lini usaha suretyship yang tidak diberikan kepada asuransi jiwa, asuransi umum syariah, dan asuransi jiwa syariah. D. Data Perkembangan Produk Suretyship oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Penjaminan 1. Berdasarkan data yang dimiliki oleh OJK, kontribusi perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan dalam proyek pembangunan pemerintah cukup tinggi. Berdasarkan data APBN 2020, alokasi anggaran untuk belanja pemerintah pusat pada sektor infrastruktur tahun 2020 mencapai Rp423,3 triliun. Apabila diasumsikan bahwa besarnya nilai premi 114 (biaya jasa/ service charge ) adalah 1% maka nilai jaminan yang dapat ditanggung ( coverage ) oleh perusahaan asuransi umum pada tahun 2019 diperkirakan mencapai Rp158,75 triliun. Nilai jaminan tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2018 yang diperkirakan sebesar Rp144,44 triliun. Sementara itu, nilai penjaminan oleh perusahaan penjaminan per Desember 2019 sebesar Rp71,71 triliun dengan nilai proyek sebesar Rp1.387,43 triliun. __ 2. Dapat kami informasikan, sampai dengan Desember 2019, usaha asuransi kredit dan suretyship yang dilakukan oleh 42 perusahaan asuransi umum menerima 1,98% dari total pendapatan premi dari seluruh lini usaha asuransi umum. Dari 42 perusahaan asuransi umum tersebut terdapat 3 perusahaan asuransi umum yang mendapatkan lebih dari 30% pendapatan preminya yang bersumber dari usaha suretyship . __ 3. Pada perusahaan penjaminan, potensi kapasitas penjaminan dapat dilihat dari ekuitas Perusahaan per Desember 2019 sebesar Rp13,65 triliun, sehingga kemampuan penjaminan maksimum perusahaan penjaminan adalah sebesar Rp273 triliun. Perusahaan penjaminan baru dapat melayani penjaminan kredit produktif dan suretyship sebesar Rp133,98 triliun dengan gearing ratio 9,74 kali. Dengan demikian, berdasarkan gearing ratio per Desember 2019 kapasitas penjaminan oleh perusahaan penjaminan tersedia sebesar Rp140,13 triliun. Adapun imbal jasa penjaminan yang didapatkan dari suretyship per Desember 2019 sebesar Rp511,51 miliar. __ 4. Dalam rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020 - 2024 memuat program prioritas nasional yang salah satunya yaitu Memperkuat Infrastruktur Untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi Dan Pelayanan Dasar dengan perkiraan alokasi sebesar Rp2.176,89 triliun. Dengan alokasi dana yang besar perlu kiranya dukungan penjaminan/ suretyship untuk memastikan proyek pembangunan infrastruktur terlaksana dengan baik. __ PERMOHONAN MENGENAI AMAR PUTUSAN __ Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, kami mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian terhadap Pasal 115 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima keterangan OJK sebagai Pihak Terkait secara keseluruhan.
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Menyatakan, Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa “dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat” tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menyatakan, Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa “dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat” tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya, ex aequo et bono . Keterangan Tertulis Tambahan Berkaitan dengan beberapa pertanyaan dari Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada persidangan tanggal 22 Juni 2020, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Landasan yang Menjadi Acuan Otoritas Jasa Keuanga dalam Memberikan Izin bagi Perusahaan Perasuransian dalam Melakukan Lini Usaha Suretyship Bahwa terkait pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah mengenai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, untuk selanjutnya disebut UU Perasuransian, atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, untuk selanjutnya disebut UU Penjaminan, sebagai landasan yang menjadi acuan Perusahaan Perasuransian dalam melakukan lini usaha Suretyship , dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
Secara umum, dalam menjalankan kegiatan usahanya, suatu Perusahaan Perasuransian mengacu pada ketentuan yang berlaku yaitu UU Perasuransian yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha 116 Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Dan Perusahaan Reasuransi Syariah, untuk selanjutnya disebut POJK No. 69/2016. __ 2. Dalam UU Perasuransian, perluasan ruang lingkup usaha perasuransian telah diatur secara jelas dalam Pasal 5 yang berbunyi: __ 1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. __ 2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. __ Penjelasan: Cukup Jelas 3. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tersebut, dalam frasa ” dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” pada dasarnya mengandung makna dibuka kesempatan bagi Perusahaan Perasuransian untuk melakukan perluasan usaha selain menyelenggarakan kegiatan usaha yang ditentukan secara limitatif sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) yang diperuntukkan bagi Perusahaan Asuransi Umum dan Pasal 3 ayat (1) dan (2) yang diperuntukkan bagi Perusahaan Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah. __ 4. Selain itu, berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU Perasuransian terdapat pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai ruang lingkup usaha perasuransian yang diperluas sesuai kebutuhan masyarakat, diatur lebih lanjut dalam POJK No. 69/2016. __ 5. Dapat kami sampaikan, pada bagian ”Mengingat” POJK No. 69/2016 telah disebutkan secara jelas dasar hukum pembentukan POJK No. 69/2016 yaitu: __ 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 117 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia _Nomor 5253); _ 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, _Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); _ 6. Penegasan bahwa POJK No. 69/2016 diterbitkan berdasarkan UU Perasuransian juga terlihat di bagian Penjelasan Umum POJK No. 69/2016 dimana beberapa kali disebutkan bahwa UU Perasuransian sebagai dasar hukum diterbitkannya POJK No. 69/2016. ”Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengamanatkan penyempurnaan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan industri asuransi yang telah berkembang pesat yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha, bertambahnya pemanfaatan jasa perasuransian oleh masyarakat, serta layanan jasa perasuransian yang semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat.” ”Pengaturan mengenai penyelenggaraan usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah adalah salah satu pengaturan yang merupakan penuangan dari amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.” 7. Selanjutnya, terkait dengan lini usaha Suretyship yang merupakan ruang lingkup usaha yang diperluas sesuai kebutuhan masyarakat pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 4 huruf a POJK No. 69/2016. __ 8. Oleh sebab itu, yang menjadi landasan utama suatu Perusahaan Perasuransian menjalankan lini usaha Suretyship yaitu Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, sedangkan Pasal 4 huruf a POJK No. 69/2016 merupakan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan dalam UU Perasuransian. Pengaturan lebih lanjut tersebut sesuai dengan pendelegasian kewenangan oleh UU Perasuransian yang mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenali perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah diatur dalam POJK (vide Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian). __ 9. Perlu kami sampaikan juga, pendelegasian kewenangan pengaturan lebih lanjut dalam POJK sebagaimana dimaksud pada angka 8 sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (vide 118 Bab II Huruf A angka 198). Dengan kata lain, pengaturan Suretyship dalam POJK dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai cakupan dan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian sesuai dengan kebutuhan masyarakat. __ 10. Dapat kami sampaikan pula bahwa mengenai pengaturan Pasal 4 UU Penjaminan pada dasarnya menguatkan pengaturan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ 11. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan menjelaskan kegiatan usaha utama yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan, sedangkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan menjelaskan kegiatan usaha tambahan yang dapat dilakukan Perusahaan Penjaminan. __ 12. Adapun pengaturan mengenai kegiatan usaha tambahan dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan, telah sejalan dengan pengaturan mengenai perluasan kegiatan usaha sesuai kebutuhan masyarakat dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ 13. Sedangkan kegiatan lini usaha Suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan, dapat dilakukan Perusahaan Perasuransian berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang telah mengatur adanya perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian, mengingat lini usaha Suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tidaklah memerlukan persyaratan sebagai Lembaga Penjaminan sebagaimana Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian merupakan ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penjaminan, jika Perusahaan Perasuransian hendak melakukan kegiatan lini usaha Suretyship sebagaimana Lembaga Penjaminan juga dapat menjalankannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan.
Dengan demikian landasan hukum mengenai pengaturan lini usaha Suretyship yang dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian pada dasarnya mengacu pada Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang kemudian ditindaklanjuti dengan POJK No 69/2016 dan sejalan dengan pengaturan pada Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan. __ __ 119 B. Lini Usaha Suretyship Telah Diakomodir dalam Ketentuan UU Penjaminan dan UU Perasuransian Bahwa terkait pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah mengenai alasan OJK menggunakan UU Penjaminan sebagai referensi dalam memberikan keterangan sebagai pihak terkait, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
Sebagaimana telah OJK sampaikan dalam keterangan sebelumnya, Pemohon berpendapat ruang lingkup kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha Suretyship , sehingga menurut Pemohon hal tersebut melanggar dan bertentangan dengan hak Pemohon __ sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk selanjutnya disebut UUD 1945. __ 2. Pemohon selaku badan hukum yang mewakili anggotanya berupa perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian khususnya yang telah menjalankan bidang usaha Suretyship, yang mana praktik Suretyship tersebut telah berlangsung lama selama puluhan tahun dan telah dirasakan manfaatnya bagi pembangunan nasional. __ 3. Di Indonesia, dasar hukum Perusahaan Perasuransian melaksanakan lini usaha Suretyship telah diakomodir sejak tahun 1978 oleh beberapa peraturan terkait, yang kemudian saat ini diakomodir dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. Namun, menurut Pemohon secara faktual pengaturan mengenai lini usaha Suretyship ini belum diatur secara tegas dalam UU Perasuransian tersebut sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon yang dilindungi dan dijamin UUD 1945. __ 4. Namun, terkait lini usaha Suretyship , dalam permohonannya juga disebutkan bahwa Perusahaan Penjaminan dapat menjalankan Surety Bond sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan. __ Dengan lahirnya UU Penjaminan tersebut dipandang menimbulkan persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma, khususnya dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan yang dipastikan akan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha Suretyship oleh 120 Perusahaan Perasuransian, sebagaimana dinyatakan Pemohon pada halaman 10 angka 3.10 Surat Permohonan. __ 5. Dapat kami sampaikan, bahwa Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan beserta Penjelasannya menyatakan: __ (1) Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang- Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang- Undang ini. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. _Penjelasan: _ Ayat (1) Kegiatan penjaminan berdasarkan Undang-Undang ini melibatkan 3 (tiga) pihak, memungut imbal jasa penjaminan, terdapat sertifikat penjaminan, adanya klaim dan pembayaran klaim, serta pengalihan hak tagih. Oleh karena itu, penjaminan yang dilakukan tidak berdasarkan pada prinsip tersebut, tidak masuk dalam kategori penjaminan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. Ayat (2) __ Cukup Jelas 6. Dengan adanya pengaturan tersebut maka timbul kekhawatiran bahwa dengan munculnya Pasal 61 UU Penjaminan tersebut telah menyebabkan ketidakpastian lini usaha Suretyship yang menggunakan landasan hukum Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang mengatur mengenai perluasan lini usaha asuransi. Hal ini dipertegas oleh Pemohon dalam permohonan pengujian a quo , halaman 23, halaman 26, dan halaman 32 s.d. halaman 34 permohonannya, yang pada pokoknya menganggap Pasal 61 UU Penjaminan telah menghalangi Perusahaan Perasuransian untuk menjalankan lini usaha Suretyship .
Selain itu, keberadaan Pasal 61 UU Penjaminan tersebut terkesan menyebabkan Perusahaan Perasuransian yang mendasarkan kegiatan lini usaha pada POJK No. 69/2016, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU Perasuransian, harus tunduk pada peraturan UU Penjaminan tersebut.
Oleh karena itu dalam permohonannya, Pemohon bependapat dalam halaman 35 angka 3.31 secara tegas menyatakan adanya pengaturan dalam UU Penjaminan yang melarang pelaksanaan kegiatan lini usaha 121 Suretyship dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian, sebagaimana diuraikan oleh Pemohon sebagai berikut: “ Dengan demikian, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 a quo yang multitafsir bertentangan dengan prinsip konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU No 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahan asuransi, namun terbitlah UU No. 2/2017 dan Perpres No.16/2018 yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi.” 9. Dengan demikian, sudah sepatutnya OJK dalam memberikan Keterangan sebagai Pihak Terkait juga untuk memperhatikan keberadaan hukum UU Penjaminan yang beririsan dengan UU Perasuransian, khususnya pada Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang secara khusus mengatur mengenai kegiatan usaha perasuransian yang mencakup lini usaha Suretyship . C. Pembatasan Perusahaan Perasuransian yang Melakukan Lini Usaha Suretyship Berdasarkan POJK 69/2016 1. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian merupakan ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penjaminan, jika Perusahaan Perasuransian hendak melakukan kegiatan lini usaha Suretyship sebagaimana Lembaga Penjaminan juga dapat menjalankannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan.
Sebagaimana diketahui bersama, Pasal 5 UU Perasuransian telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan perluasan ruang lingkup kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . 122 3. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, OJK telah menerbitkan POJK No. 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada Perusahaan Perasuransian untuk menjalankan lini usaha Suretyship. 4. Namun demikian, lini usaha Suretyship sebagaimana diatur dalam POJK No. 69/2016 hanya diberikan kepada Perusahaan Asuransi Umum dan tidak diberikan kepada Perusahaan Asuransi Umum Syariah, Perusahaan Asuransi Jiwa, maupun Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah. Hal ini diatur dalam Pasal 4 huruf a. POJK No. 69/2016 yang menyatakan: “ Ruang lingkup usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat _dengan ketentuan sebagai berikut: _ a. Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan _perluasan ruang lingkup usaha pada: _ _5. kegiatan usaha PAYDI; _ _6. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); _ 7. kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship _; dan/atau _ 8. kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari _pemerintah; _ ” 5. Yang menjadi dasar pertimbangan OJK dalam memberikan pengaturan hanya Perusahaan Asuransi Umum yang dapat melakukan lini usaha Suretyship adalah bahwa ketentuan dalam Pasal 4 huruf a POJK No. 69/2016 dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum bagi Perusahaan Asuransi Umum di bawah payung hukum UU Perasuransian dalam menyelenggarakan kegiatan Suretyship , yang telah dilaksanakan selama ini dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship (PMK 124/2008).
Dalam PMK 124/2008 tersebut, telah diatur mengenai persyaratan modal sendiri bagi Perusahaan Asuransi Umum yang akan memasarkan produk asuransi pada lini usaha asuransi kredit atau Suretyship yaitu paling sedikit sebesar Rp 250.000.000.000,- (dua ratus lima puluh miliar rupiah) ( vide Pasal 3 PMK 124/2008).
Selain itu, berdasarkan Pasal 37 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 72/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi Dengan Prinsip Syariah dan Pasal 34 Peraturan 123 Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi telah mengatur mengenai Ekuitas minimum yang diwajibkan bagi Perusahaan Perasuransian yaitu:
Bagi Perusahaan Asuransi Syariah sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
Bagi Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah); dan
Bagi Perusahaan Asuransi yang memiliki unit Syariah sebesar Rp100.000.000.000,00 (serratus miliar rupiah) ditambah dengan kewajiban ekuitas minimum bagi unit Syariah sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) sehingga menjadi Rp125.000.000.000,00 (seratus dua puluh lima miliar rupiah).
Oleh sebab itu, mengingat persyaratan modal sendiri bagi Perusahaan Asuransi Syariah dan Unit Usaha Syariah lebih kecil dari persyaratan modal sendiri bagi Perusahaan Perasuransian yang akan menjalankan kegiatan usaha Suretyship dalam PMK 124/2008 serta nilai penjaminan dalam bisnis Suretyship yang umumnya cukup besar, maka kegiatan usaha Suretyship tidak dibuka untuk Perusahaan Asuransi Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Selain itu, yang menjadi pertimbangan lain dalam mengatur hanya Perusahaan Asuransi Umum yang dapat melakukan lini usaha Suretyship adalah karena kegiatan usaha Suretyship berpotensi menggerus kemampuan finansial Perusahaan Asuransi Syariah maupun Unit Syariah yang saat ini masih dalam tahap pengembangan ( infant industry) .
Dengan demikian, oleh karena Perusahaan Asuransi Syariah masih dalam tahap pengembangan dengan kemampuan permodalan dipandang masih belum dapat memenuhi ketentuan dalam PMK 124/2008 yang secara khusus mengatur mengenai Suretyship , maka OJK selaku regulator tidak membuka lini usaha Suretyship untuk dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Syariah, dan hanya dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Umum. 124 D. Data Perbandingan atau Komparasi Model Pengaturan Negara Lain dengan Indonesia Sebagaimana Telah Dijelaskan Dalam Keterangan sebagai Pihak Terkait Bahwa terkait pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah mengenai data perbandingan __ atau komparasi model pengaturan negara lain, dapat kami sajikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel Praktik Suretyship di Beberapa Negara Lain No. Negara Pengaturan Keterangan 1. Tiongkok Article 6: “Suretyship as used in this Law means an agreement pursuant __ to which a surety and a creditor __ agree that the surety shall perform the obligation or bear the liability according to the agreement, when the debtor fails to perform his obligation.” Article 7: A legal person, other organization or a citizen capable of assuming debts may act as a surety . Article 8: “No State organ may act as a surety, except in the case of securing loans, for onlending, from a foreign government or an international economic organization as is approved by the State Council.” _Ref: _ Adopted at the 14 ^th Meeting of the Standing Committee of the Eight National People’s Congress on June 30, promulgated by Order No. 50 of the President of the People’s Republic of China on June 30, 1995, and effective as of October 1, 1995, “Guaranty Law”) Article 95: • Pengaturan mengenai Suretyship di Tiongkok berdasarkan Guarantee Law of the People’s Republic of China (1995) tercantum dalam Article 6 Chapter II (Suretyship) yang menyatakan bahwa Suretyship merupakan suatu perjanjian antara penjamin dengan kreditor, dimana penjamin sepakat untuk menanggung atau melakukan kewajiban berdasarkan perjanjian, jika debitur gagal melakukan kewajibannya. • Guarantee Law pada prinsipnya tidak membatasi pihak yang dapat menjadi penjamin kecuali oleh Guarantee Law ditentukan lain/terdapat pengecualian. • Pengaturan Suretyship dalam regulasi di Tiongkok lebih bersifat umum. Lini usaha Suretyship di Tiongkok pada dasarnya meliputi beberapa area seperti banking dan juga asuransi, dengan catatan bahwa sepanjang pihak (person), organisasi lainnya dan warga negara yang secara legal dan mampu menanggung hutang, dapat bertindak sebagai Penjamin (Surety). • Selain itu, dalam Insurance Law of the People’s Republic 125 The scope of business of an insurance company shall be as follows :
Personal insurance, including life insurance, health insurance, accidential injury insurance, etc.;
Property insurance, including property loss or damage insurance, liability insurance, credit insurance and surety bonds, etc.; and (3) Other insurance-related businesses approved by the insurance regulatory body under the State Council. _Ref: _ Adopted at the 14 ^th Meeting of the Standing Committee of the Eight National People’s Congress on June 30 1995, amended three times on 28 October 2002, on 28 February 2009 and on 24 April 2015, Insurance Law) of China (2015) Article 95 diatur bahwa surety bond merupakan jenis usaha yang dapat dilakukan Perusahaan Perasuransian yang tergolong ke dalam jenis usaha asuransi properti. Bahkan Insurance Law (2015 ) juga memberikan keleluasaan kepada Perusahaan Perasuransian untuk menerbitkan produk usaha lainnya selain Surety Bond , dalam hal ini merupakan bentuk Suretyship lainnya). • Terdapat putusan Supreme Court di Tiongkok terhadap suatu kasus terkait accessory principle apply to surety bonds , bahwasanya Suretyship itu sendiri secara nature merupakan bagian dari perasuransian. Sehingga jika dikaitkan lebih lanjut dengan UU Perasuransian dan UU Penjaminan di Indonesia, walaupun dalam UU Perasuransian tidak disebutkan secara clear pengaturan terkait Suretyship, namun secara praktik, sejarah dan by nature (sebagaimana penjelasan di atas) Suretyship di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari industri perasuransian.
Filipina Title 4 SURETYSHIP Sec. 175. A contract of suretyship is an agreement whereby a party called the surety guarantees the performance by another party called the principal or obligor of an obligation or undertaking in favor of a third party called the obligee. It includes official recognizances, stipulations, bonds or undertakings issued by any company by virtue of and under the • Filipina sebagai negara yang menganut sistem Common Law, mengatur mengenai Suretyship baik dalam Insurance Act/Undang-Undang Asuransi (Republic Act No.2427 of 1914), General Banking Act/Undang-Undang Bank Umum (Republic Act No.8791 of 2000), serta Surety Act/Undang-Undang Surety (Republic Act No.2203 of 1913). • Insurance Act No. 2427/1914 126 provisions of Act No. 536, as amended by Act No. 2206. Sec. 176. The liability of the surety or sureties shall be joint and several with the obligor and shall be limited to the amount of the bond. It is determined strictly by the terms of the contract of suretyship in relation to the principal contract between the obligor and the obligee. (As amended by Presidential Decree No. 1455). Ref: Republic Act No. 2427 An Act Revising The Insurance Laws And Regulating Insurance Business In The Philippine Islands, “Insurance Act 1912”) Sect. 29. Powers of a Commercial Bank. — A commercial bank shall have, in addition to the general powers incident to corporations, all such powers as may be necessary to carry on the business of commercial banking, such as accepting drafts and issuing letters of credit ; discounting and negotiating promissory notes, drafts, bills of exchange, and other evidences of debt; accepting or creating demand deposits; receiving other types of deposits and deposit substitutes; buying and selling foreign exchange and gold or silver bullion; acquiring marketable bonds and other debt securities ; and extending credit, subject to such rules as the Monetary Board may promulgate. These rules may include the determination of bonds and other debt securities eligible for investment, the maturities and aggregate amount of such investment. membagi bisnis asuransi di Filipina dalam empat jenis usaha, yaitu: asuransi umum (Chapter 1), asuransi kelautan (Chapter 2), asuransi kebakaran (Chapter 3), serta asuransi jiwa dan kesehatan (Chapter 4). Dalam Insurance Act 1914 tersebut juga dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Suretyship adalah perjanjan dimana penjamin (Surety) menjamin kinerja oleh pihak Prinsipal (obligor) dari kewajiban kepada Obligee. • Penerbitan Suretyship juga dapat dilakukan oleh Bank sebagaimana diatur dalam The General Banking Act of 2000 , yang bertujuan untuk menanggung kewajiban kontrak nasabah kepada bank. • Sementara, secara spesifik Filipina juga mengatur mengenai kegiatan Surety , yaitu dalam Undang-Undang No. 2203/1913 yang merupakan amandemen atas Undang-Undang No.536. Undang-undang ini mengatur Surety namun sebatas pada empat jenis jaminan, yaitu suatu Pengakuan (recognizance), Ketentuan (stipulation), Surat Utang (bond), dan Pelaksanaan Pekerjaan yang Ditentukan (undertaking specified), Undang-Undang tersebut dimaksudkan sebagai upaya menjamin kinerja suatu kondisi saat dieksekusi, atau dijamin semata-mata oleh perusahaan yang didirikan dengan berdasarkan hukum AS atau negara bagiannya, atau perusahaan apapun yang tunduk pada peraturan perundang-undangan Kepulauan Filipina, kecuali 127 Ref: Republic Act No. 8791 An Act Providing For The Regulation Of The Organization And Operations Of Banks, Quasi-Banks, Trust Entities And For Other Purposes “The General Banking Act of 2000”) perusahaan tersebut diizinkan Pemerintah Kepulauan Filipina untuk menjadi penjamin atas keempat hal tersebut. Pada prinsipnya, suatu penjaminan tidak harus dilaksanakan tersendiri oleh suatu Perusahaan Penjaminan maupun Perusahaan Penjaminan khusus.
Singapura Classification of insurance business and construction of references to matters connected with insurance 2.-(1) For the purposes of this Act, insurance business shall be divided into 2 classes — (a) life business, which means all insurance business concerned with life policies, long-term accident and health policies, or both; and [23/2003 wef 01/01/2004] (b) general business, that is to say, all insurance business which is not life business, and shall include the effecting and carrying out by any person, not being a person licensed, approved, designated or otherwise regulated under the Monetary Authority of Singapore Act (Cap. 186), Banking Act (Cap. 19), Finance Companies Act (Cap. 108) or Securities and Futures Act (Cap. 289); of contracts for fidelity bonds, performance bonds, administration bonds, bail bonds or customs bonds or similar contracts of guarantee, being contracts effected by way of business (and not merely incidental to some other business carried on by the person effecting them) in return for the • Suretyship dalam pengaturan hukum di Singapura diatur dalam Ch. 23 The Law of Guarantees . Seperti halnya Tiongkok dan Inggris, Singapura juga tidak membatasi bidang usaha Suretyship , dengan kata lain banking dan asuransi masuk dalam area praktik surertyship tersebut. • Hanya saja dalam pengaturan tersebut Singapura lebih mengedepankan prinsip utama dalam Suretyship law , yaitu perjanjian penjaminan yang dibuat diantara penjamin (Surety) dan debitor utama harus berdasarkan kesepakatan dan persetujuan dari pihak Surety, sehingga apabila perjanjian tersebut dilakukan tanpa persetujuan dari pihak Surety, maka dapat dipastikan pihak Surety harus dibebaskan dari kewajibannya kecuali dalam kontrak penjaminan menyatakan sebaliknya. • Lebih lanjut berdasarkan pengaturan hukum Singapura dalam Insurance Act, Suretyship merupakan lini usaha yang bisa dijalankan oleh Perusahaan Perasuransian yang tergolong ke dalam ruang lingkup usaha asuransi umum. Sama halnya dengan Inggris, pengaturan 128 payment of one or more premiums. Ref: Insurance Act (Chapter 142) (Original Enactment: Act 46 of 1966) Revised Edition 2002 (31st December 2002)) 27.-(1) Every bank in Singapore shall prepare a statement in respect of each quarter of a year, in such form as may be specified by the Authority, showing as at the end of that quarter all the credit facilities from, all the exposures of the bank to, and all the transactions of the bank with — (a) any person in a director group of the bank; (b)...etc. “credit facilities” means — (a) the granting by a bank of advances, loans and other facilities whereby a customer of the bank has access to funds or financial guarantees ; or (b) the incurring by a bank of other liabilities on behalf of a customer; Ref: Banking Act (Chapter 19) (Original Enactment: Act 41 of 1970), Revised Edition 2008 (31st March 2008) mengenai bentuk Suretyship juga diatur antara lain berupa fidelity bonds, performance bonds, administration bonds, bail bonds, atau __ customs bonds. • Singapura juga tidak membatasi penerbitan Suretyship hanya kepada bidang usaha tertentu. Banking Act memperbolehkan Bank untuk memberikan penjaminan. Dalam proyek pembangunan infrastruktur misalnya, Bank di Singapura juga dapat menerbitkan Suretyship. John Phillips, Michelle Chen, “The Law of Guarantees: Balancing the Interests of the Parties, s. (2014). 2013 Jones Day Professorship of Commercial Law Lecture. https: //ink.library.smu.edu.sg/jday _lect/2 4. Inggris Suretyship 15 -(1) Contracts of insurance against the risks of loss to the persons insured arising from their having to perform contracts of guarantee entered into by them.
Fidelity bonds, performance bonds, administration bonds, bail bonds or customs bonds or similar contracts of guarantee , where these are— • Dalam the Financial Services and Markets Act 2000, Suretyship diartikan sebagai salah satu bentuk kontrak asuransi terhadap risiko kerugian bagi orang yang diasuransikan yang timbul dari kewajian dalam kontrak jaminan antara Obligee dengan Principal. __ • Dalam the Financial Services and Markets Act 2000 disebutkan apa saja yang __ termasuk dalam Suretyship antara lain __ fidelity bonds, 129 (a) effected or carried out by a person not carrying on a banking business; (b) not effected merely incidentally to some other business carried on by the person effecting them; and (c) effected in return for the payment of one or more premiums. Instruments creating or acknowledging indebtedness 77.-(1) Subject to paragraph (2), such of the following as do not fall within article 78— (a) debentures; (b) debenture stock; (c) loan stock; (d) Bonds; (e) certificates of deposit; (f) any other instrument creating or acknowledging indebtedness.
If and to the extent that they would otherwise fall within paragraph (1), there are excluded from that paragraph— (a) an instrument acknowledging or creating indebtedness for, or for money borrowed to defray, the consideration payable under a contract for the supply of goods or services; (b) a cheque or other bill of exchange, a banker’s draft or a letter of credit (but not a bill of exchange accepted by a banker); (c) a banknote, a statement showing a balance on a current, performance bonds, bail bonds or customs bonds. Sehingga pengaturan terkait Suretyship tidak hanya berlaku untuk bidang usaha asuransi saja melainkan juga banking area. __ • Central Unit on Procurement (CPU), HM Treasury, pada tahun 1994, juga pernah menerbitkan pedoman No. 48 tentang Bonds and Guarantees , yang di dalamnya memuat mengenai pelaksanaan Suretyship oleh bank atau Surety Company lainnya. Sebagian besar pengaturan mengenai Suretyship timbul dari putusan pengadilan atas perkara- perkara tertentu yang berkaitan dengan Suretyship yang dikeluarkan oleh Perusahaan Perasuransian maupun bank. __ • Selain itu pengaturan suretyship di Inggris merupakan bagian dari asuransi umum, sebagaimana tercantum dalam Regulated Activities Order terkait kontrak asuransi umum (khususnya terkait risiko kerugian). __ • Dalam the Financial Services and Markets Act 2000 juga diatur mengenai ruang lingkup usaha Bank yang antara lain adalah membuat kontrak asuransi yang dapat merujuk pada Suretyship sebagaimana usaha perasuransian dan termasuk juga menerbitkan letter of credit. • Sebagian besar pengaturan mengenai Suretyship timbul dari putusan pengadilan atas perkara-perkara tertentu yang berkaitan dengan Suretyship yang dikeluarkan oleh Perusahaan Perasuransian maupun Bank. __ James Devenney, Lorna Fox & Mel Kenny, “Standing surety in England and Wales: the sphinx 130 deposit or savings account, a lease or other disposition of property, or a heritable security; and (d) a contract of insurance. Ref: the Financial Services and Markets Act 2000 (Regulated Activities) Order 2001 (SI 2001/544). of procedural protection”, Lloyds Maritime and Commercial Law Quarterly. http: //hdl.handle.net/10036/3451 Bahwa dengan demikian, berdasarkan data perbandingan dan model komparasi pengaturan mengenai lini usaha Suretyship yang dipraktikkan di beberapa negara seperti Tiongkok, Filipina, Singapura, dan Inggris, dapat dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Penjaminan maupun lembaga lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [2.6] Menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi pada persidangan tanggal 10 September 2020 telah menghadirkan satu orang ahli yaitu Irvan Rahardjo, S.E., M.M., yang telah menyampaikan keterangan pada persidangan tanggal 10 September 2020 dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima pada tanggal 10 September 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut:
Sejarah lahirnya asuransi dan sejarah asuransi di Indonesia pada umumnya Sejarah asuransi merupakan sejarah panjang ikhtiar umat manusia untuk mengurangi resiko yang lahir dari ketidakpastian dengan membagi atau mengalihkan resiko yang mengancam, pada satu pihak ke pihak lain. Disisi lain, asuransi juga sejarah ikhtiar manusia dalam mengambil keuntungan melalui pengumpulan dana dari masyarakat dengan memberikan janji untuk memberikan manfaat kepada pihak yang hendak menghindarkan diri dari ancaman risiko yang timbul dari ketidakpastian. Dari berbagai sumber diketahui bahwa sejarah awal asuransi sebelum memasuki abad pertengahan dapat dibagi dalam beberapa periode, yaitu masa Babylonia, Yunani dan Romawi. Sejarah asuransi yang tertua dapat ditelusuri sampai sekitar 4000 tahun silam dalam bentuk upaya para pemilik kapal atau para pedagang bangsa Babylonia yang hidup dintara sungai Euphrat dan Tigris - yang sekarang termasuk dalam wilayah Irak-untuk melindungi usaha mereka terhadap ketidakpastian. Pada masa itu mereka dapat meminjam uang dari 131 pedagang lain yang bertindak sebagai kreditor dengan menggunakan kapalnya atau barang dagangan sebagai jaminan. Pemilik kapal atau pedagang akan melunasi hutangnya setelah kapal selamat sampai di tujuan beserta sejumlah biaya tambahan kepada kreditor yang bertindak sebagai penanggung risiko. Peminjam dibebaskan dari hutang apabila kapal atau barang dagangan tidak selamat sampai tujuan. Tambahan biaya tersebut dapat dianggap sebagai premi. Sumber lain menyebutkan bahwa perjanjian dilakukan atas risiko perdagangan dengan angkutan darat ( caravan). Perjanjian yang menggunakan kapal sebagai jaminan pinjaman dan kreditor kehilangan uangnya bila kapal hilang dalam pelayaran tersebut dinamakan bottomry. Bentuk perjanjian tersebut memperoleh kekuatan hukum dibawah Kode Hammurabi (sekitar 2100 sebelum Masehi). Bangsa Phoenicia dan Yunani memberlakukan sistem yang sama bagi perdagangan laut mereka. Berdasarkan sejarah yang lain diketahui pula bahwa untuk mengurangi risiko kehilangan barang selama dalam pelayaran di sungai Hoang Ho di Cina, pada sekian abad sebelum Masehi, para pedagang yang melayari sungai tersebut membagi muatan barang dagangan mereka masing masing kedalam beberapa jung. Apabila dalam setiap pelayaran terdapat jung yang memuat barang mereka mengalami musibah, tingkat kerugian setiap pedagang hanya akan sebatas jumlah barang dagangan yang terdapat didalam jung yang mengalami musibah saja. Pada masa pemerintahan Alexander The Great di Yunani sebagai upaya untuk mengumpulkan dana, pemerintah memberikan jaminan untuk menangkap setiap budak yang melarikan diri atau memberikan penggantian atas harga beli budak yang hilang dengan imbalan pembayaran sejumlah uang. Perjanjian pemberian manfaat tersebut pada dasarnya sama dengan perjanjian asuransi umum dan imbalan uang yang dibayar oleh peserta dapat disebut sebagai premi asuransi. Pada masa tersebut terdapat pula suatu bentuk penjaminan oleh pemerintah yang meminjam uang kepada umum dengan imbalan pemberian bunga setiap bulan sampai pemilik uang wafat dan menyediakan biaya pemakaman bagi pemilik uang. Bentuk penjaminan ini merupakan bentuk asuransi jiwa yang pertama walaupun sebagaimana halnya dengan penjaminan terhadap 132 kehilangan budak, perjanjian ini timbul dari inisiatif pemerintah untuk mengumpulkan dana. Sebagaimana halnya hukum perbankan, hukum asuransi modern berasal dari praktik pedagang pedagang di Genoa, Italia pada awal abad keempat belas yang mengasuransikan kapal kapal dan muatan mereka terhadap risiko perjalanan laut. Perjanjian asuransi atas kapal Santa Clara pada tahun 1347 di Genoa merupakan perjanjian asuransi autentik yang tertua dalam pengertian adanya pengalihan risiko kerugian yang mungkin timbul karena peristiwa yang tidak pasti dengan imbalan sejumlah premi. Pada masa tersebut, lahirlah pribadi pribadi yang bertindak sebagai pihak yang bersedia menanggung sebagian risiko yang dihadapi oleh sesama pedagang dengan imbalan sejumlah bayaran. Praktik ini kemudian diadopsi sebagai dasar model asuransi yang berlaku sampai sekarang di Lloyd’s of London. Selama berabad abad Lloyd’s of London sepenuhnya terdiri dari berbagai sindikat ( syndicate ) yang merupakan pribadi pribadi yang bertindak sebagai underwriter yang melakukan transaksi asuransi, dimulai dari warung kopi Edward Lloyds di masa lalu sampai ke bangunan Lloyds of London saat ini. Pemilik masing masing sindikat memberikan jaminan hak milik pribadi dalam setiap penutupan asuransi. Praktik tersebut akhir akhir ini telah mengalami pergeseran dengan semakin banyaknya sindikat pada Lloyd’s of London yang berbentuk badan hukum dengan tanggung jawab sebatas modal usaha mereka. Penutupan asuransi atau reasuransi oleh Lloyd’s of London hanya dilakukan melalui pialang asuransi yang terdaftar di Lloyd’s of London. Dari perkembangan diatas, nampak bahwa bermula dari perjanjian yang timbul dari peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, landasan hukum perjanjian berkembang menjadi perjanjian yang dikembangkan sesama pedagang atas jaminan yang diberikan untuk kepentingan komersial. Kegiatan yang semula dilakukan sebagai pekerjaan sambilan akhirnya menjadi perjanjian yang dikeluarkan pribadi pribadi dan perusahaan perusahaan yang sepenuhnya bertindak sebagai penanggung. Kegiatan asuransi di bumi Nusantara dikenal pertama kali mengikuti kegiatan bangsa Belanda dalam usaha perkebunan dan perdagangan di negeri 133 jajahannya. Pada awalnya kegiatan asuransi terbatas untuk melindungi kepentingan Belanda, Inggris dan bangsa Eropa lainnya yang melakukan perdagangan dan usaha perkebunan di Indonesia, terutama untuk asuransi pengangkutan dan kebakaran. Asuransi jiwa nasional pertama adalah Bumiputera 1912 yang didirikan pada tahun 1912 di Magelang atas prakarsa seorang guru yang bernama M.Ng Dwidjosewoyo sebagai perusahaan asuransi yang berbentuk badan usaha bersama ( mutual ) pendirian Bumiputera 1912 didorong oleh keprihatinan yang mendalam terhadap nasib para guru kaoem boemipoetra . Pencapaian penting lainnya dalam tonggak sejarah asuransi Indonesia sejak kemerdekaan antara lain adalah terlaksananya Kongres Asuransi Nasional Seluruh Indonesia (KANSI) pertama pada 25 – 30 November 1956 di Bogor. Tujuan dari kongres tersebut antara lain untuk menyatukan pendapat dan bekerjasama memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi perekonomian nasional, mengatasi sisa sisa sistem perekonomian kolonial dan peningkatan kesadaran berasuransi. Kongres tersebut antara lain melahirkan kesepakatan pendirian Dewan Asuransi Indonesia (DAI) pada 1 Februari 1957.
Pengaturan Asuransi Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa sesuatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa yang seorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Unsur yang menjadi para pihak dalam suatu perjanjian, kata “orang” dalam pasal 1313 KUH Perdata tersebut, tidak semata mata diartikan “orang per orang” sebagaimana dalam pasal 1792 KUH Perdata tetapi juga “pihak” yakni orang dengan orang, badan dengan orang dan badan dengan badan. Perjanjian asuransi disebutkan sebagai sebuah perjanjian dimana atas imbalan sejumlah premi yang telah disepakati, satu pihak menyanggupi untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang lain atas subyek tertentu sebagai akibat dari bahaya tertentu. 134 3. Sahnya Perjanjian Asuransi Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa terdapat empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu sepakat mereka yang mengikatkannya, adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Ketentuan tersebut dapat dibandingkan dengan elemen elemen perjanjian asuransi pada umumnya yaitu: offer and acceptance, consideration, legal object, competent parties dan legal form. 4. Pengalihan Resiko Dasar hukum perjanjian asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 1774 KUH Perdata menggolongkan perjanjian asuransi kedalam perjanjian untung untungan semata atau bertujuan spekulatif. Sedangkan perjanjian asuransi mempunyai tujuan yang lebih pasti yaitu pengalihan risiko. Namun dengan dimasukkannya asuransi kedalam KUH Dagang menjadikan asuransi sebagai perbuatan ekonomi yang sah oleh hukum dan pengakuan sah tersebut telah diatur dalam berbagai undang undang diluar KUH Dagang antara lain Undang Undang Nomor 2 Tahun 1912 tentang Usaha Perasuransian yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Lahirnya Perjanjian Asuransi Menurut pasal 1233 KUH Perdata, suatu perikatan dapat dilahirkan karena persetujuan maupun karena undang undang. Asuransi komersial adalah suatu perjanjian yang lahir karena persetujuan dan dapat lahir karena undang undang. Sedangkan asuransi sosial dan jaminan sosial lahir karena undang undang.
Pengertian Asuransi menurut KUH Dagang Robert Bradgate mengatakan dalam konteks industri asuransi di Inggris dan berbagai peraturan yang berlaku disana dan preseden yang ada, karena begitu luasnya risiko yang dapat ditanggung oleh asuransi, penggunaan definisi “asuransi” dapat dipertanyakan walaupun untuk tujuan tujuan tertentu sebuah definisi mungkin bermanfaat. Pertama , mereka yang menjalankan usaha perasuransian harus tunduk kepada peraturan perundang-undangan tertentu. Kedua, beberapa ketentuan hukum tertentu tidak berlaku terhadap perjanjian asuransi. Ketiga, meskipun perjanjian 135 asuransi adalah sebuah perjanjian yang akan tunduk kepada ketentuan perundang-undangan yang umum atas suatu perjanjian, sejumlah ketentuan khusus berlaku atas perjanjian asuransi (dalam sistem common law ) 7. Pasal 247 & 268 KUH Dagang Meskipun pasal 247 KUH Dagang membatasi asuransi hanya merupakan asuransi terhadap bahaya kebakaran, asuransi pertanian, asuransi jiwa, asuransi pengangkutan laut, darat dan sungai namun pasal 268 KUH Dagang menyebutkan suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yng dapat dinilai dengan uang, dapat diancam oleh sesuatu bahaya dan tidak dikecualikan oleh undang undang. 8. Perkembangan Suretyship dan Surety Bond di Indonesia Bidang usaha yang memberikan jaminan dalam bentuk surety bond bukan merupakan bidang usaha yang baru. Luther E. Mackall dalam bukunya “Security Underwriting Manual” menyebutkan bahwa sudah sejak berabad- abad yang lalu ketika mulainya zaman peradaban, seseorang menyediakan diri bagi kawan kawannya sebagai penjamin kepada pihak ketiga yang berhubungan dengan kewajibannya dengan atau tanpa suatu imbalan (Sianipar, 2000). Setelah zaman berganti maka timbulah badan-badan hukum yang didirikan untuk menampung resiko tersebut. Tercatat Amerika Serikat pada tahun 1837, William L. Watkins mengeluarkan pamflet yang mengusulkan pembentukan The New York Guarantee Company. Di Negeri Belanda tepatnya di Amsterdam berdiri N.V. Nationale Borg Maatsccappij pada tahun 1893. Kemudian Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1894 secara resmi mengakui pemberian jaminan oleh perusahaanperusahaan Surety Bonds Corporation yang sudah berdiri di Amerika Serikat (Sianipar, 2000). Seperti diketahui khususnya dalam asuransi kerugian terdapat jenis-jenis asuransi, seperti asuransi kebakaran, asuransi kendaraan, asuransi pengangkutan, asuransi kecelakaan, asuransi rekayasa, asuransi properti, asuransi tanggung jawab hukum serta asuransi jaminan (surety) Bila dikaitkan dengan surety bond maka pengertian surety bond erat terkait dengan asuransi tanggung jawab hukum dan asuransi jaminan. 136 Di Indonesia sebelum tahun 1978 lembaga jaminan yang mirip surety bond selama ini adalah bank garansi. Barulah pada tanggal 6 Desember 1978 pemerintah memberi peluang melalui Peraturan pemerintah RI, No.34 tahun 1978 untuk Asuransi Kerugian Jasa Raharja melakukan perluasan usahanya dari asuransi wajib di bidang pertanggungan wajib kecelakaan penumpang umum dan kecelakaan lalulintas jalan. Adapun perluasan usaha yang dimaksud adalah pemberian jaminan dalam bentuk surety bond. Ketentuan diatas kini tidak berlaku setelah dikeluarkannya Kepres No. 18 tahun 2000 yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah. Kepres ini kemudian dilengkapi dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Kepala Bappenas No. S-42/A/2000 dan No. S-2262/D.2/05/2000 tertanggal 3 Mei 2000, Isi Keputusan Bersama Menteri tersebut menegaskan bahwa perusahaan asuransi harus dari perusahaan asuransi yang mempunyai program asuransi kerugian (surety bonds) dan harus direasuransikan kepada perusahaan asuransi/reasuransi yang bonafid (Sianipar, 2000). Walaupun langkah untuk memperkenalkan dan mendukung penggunaan produk Surety Bond tersebut telah dilakukan oleh pemerintah antara lain melalui Keppres No. 18 Tahun 2000, tentu saja kesuksesan perusahaan asuransi dalam memasarkan produk penjaminan atau penanggungan tersebut akan sangat ditentukan oleh kepastian pembayaran oleh pihak asuransi itu sendiri sebagai penjamin atau yang lebih dikenal dengan Surety. Sebagai contoh, proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah yang penawaran pengerjaannya kepada para kontraktor selalu dilakukan melalui tender berdasarkan Keppres No.18 tahun 2000 yang pada umumnya selalu mensyaratkan adanya jaminan (tender bond) dari kontraktor yang memenangkan tender tersebut terhadap kepastian kemampuan dan kualitas dari pelaksanaan proyek yang dimenangkannya tersebut sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Begitu pula bila pihak pemberi kerja disepakati untuk terlebih dahulu memberikan uang muka kepada kontraktor untuk memulai pekerjaannya, umumnya pemberi kerja akan memproteksi dirinya dengan meminta jaminan (advance bond) terhadap resiko kerugian bila kontraktor yang telah menerima uang muka tersebut ternyata tidak melaksanakan pengerjaan proyek tersebut seperti yang disepakati. 137 Menteri Keuangan sebagai pengawas dan pembina usaha perasuransian di Indonesia, telah menyadari bahwa konsekuensi hukum dari penerbitan surety bond tersebut tidaklah mudah. Oleh karena itu, ijin untuk menerbitkan surety bond dibatasi secara ketat dan pada awalnya Kepres No. 14A tahun 1980 hanya diberikan pada PT. Persero Asuransi Jasa Raharja, yang dalam perkembangannya kemudian ijin penerbitan tersebut melalui Keputusan Menteri Keuangan RI (KMK RI) No. 761/KMK.013/1992 diperluas kepada 20 perusahaan asuransi, yang kemudian berdasarkan Surat Direktur Asuransi No. S 2272/DK/ 2001 tanggal 16 Mei 2001 yang ditujukan ke Pertamina menyatakan adanya 22 perusahaan asuransi yang berhak untuk menerbitkan surety bond. Surety Bond merupakan suatu produk inovatif yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi sebagai upaya pengambilalihan potensi resiko kerugian yang mungkin dapat dialami oleh salah satu pihak, umumnya pemilik proyek ( bouheer) atas kepercayaan yang diberikan kepada pihak lain ( kontraktor) dalam pelaksanaan kontrak pemborongan yang telah disepakati oleh mereka. Jaminan tertulis tersebut secara hukum akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan asuransi selaku penjamin (surety) terhadap pihak penerima jaminan ( obligee/Kreditur) sebagai konsekuensi terhadap wanprestasi dari pihak yang dijamin ( principal/ debitu r) tersebut. Perbedaan Suretyship dan Asuransi No. Surety Bond Asuransi 1. Perjanjian Tanggung Renteng/Suretyship (Pasal 1313 KUH Perdata) dan Perjanjian Pertanggungan (Pasal 246 dst KUH Dagang) Perjanjian Pertanggungan (Pasal 246 KUH Dagang dst) 2. Para pihak terdiri dari Principal, Obligee dan Surety company Para Pihak terdiri dari Penanggung dan Tertanggung 3. Menjamin resiko baik yang berasal dari luar dan dari dalam principal (itikad/moral buruk) Para Pihak terdiri dari Penanggung dan Tertanggung 4. Premi dianggap sebagai biaya pelayanan (provisi/ service charge ) Premi dihimpun dari para tertanggung untuk membayar ganti rugi yang mungkin terjadi 5. Perjanjian suretyship bersifat unconditional, artinya Surety wajib membayar claim sebesar yang diperjanjikan. Misalkan Perjanjian Asuransi bersifat Conditional, artinya Asuransi hanya membayar claim yang 138 diperjanjikan bila principal gagal melaksanakan kontrak konstruksi maka claim surety harus dibayar Rp1 miliar. Ternyata Obligee gagal padahal dia sudah mengerjakan dengan biaya Rp500 juta. Maka pencairan kepada obligee tetap Rp1 miliar. benar-benar diderita Tertanggung, misalnya pertanggungan kebakaran Rp1 Miliar tapi terjadi kebakaran sebagian, maka asuransi hanya membayar claim Rp500 juta 6. Claim dibayar setelah principal dinyatakan gagal. Claim dibayar setelah diketahui penyebab yang dijamin dalam polis 9. Norma-norma UU 1/2016 tentang Penjaminan, UU 21/2011 tentang OJK dan UU Nomor 40/2014 tentang Perasuransian Beberapa norma hukum yang berlaku pada ketiga undang undang dimana eko sistem lini usaha suretyship berada dapat dikemukakan sebagai berikut: Aspek Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Asas Penyelenggaraan usaha penjaminan berdasarkan asas kepentingan nasional; kepastian hukum; keterbukaan; akuntabilitas; profesionalisme; efisiensi berkeadilan; edukasi dan perlindungan konsumen (Pasal 2) Lembaga independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali secara tegas diatur dalam UU ini (Pasal 2 ayat (1)) Tata kelola usaha yang baik (Pasal 11 ayat (1)) perusahaan perasuransian wajib menerapkan standard perilaku usaha (Pasal 26) Tujuan Bertujuan menunjang kebijakan Agar seluruh kegiatan sektor jasa keuangan Untuk menciptakan industri perasuransian yang 139 pemerintah, mendorong kemandirian usaha; meningkatkan akses bagi dunia usaha; mendorong pertumbuhan pembiayaan; meningkatkan kemampuan produksi nasional; mendukung pertumbuhan perekonomian nasional; meningkatkan tingkat inklusivitas keuangan nasional (Pasal 3) terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel; mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat (Pasal 4) lebih sehat, dapat diandalkan, amanah dan kompetitif serta meningkatkan perannya dalam mendorong pembangunan nasional (Penjelasan) Pengawasan Lembaga penjaminan wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik; wajib menjaga kondisi kesehatan keuangan (Pasal 26) Berwenang menetapkan kebijakan operasional, melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan memberikan perintah tertulis; menetapkan penggunaan pengelola statuter; menetapkan sanksi administratif; memberikan dan mencabut izin usaha/ izin orang Wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (Pasal 11 ayat (1)); anggota direksi, dewan komisaris atau yang setara wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan (Pasal 11) 140 perorangan/ efektifnya pernyataan pendaftaran (Pasal 9) Reasuransi Lembaga penjaminan wajib melakukan mitigasi risiko dan mereasuransikan (Pasal 42 ayat (1)) n.a Menteri Keuangan menetapkan kebijakan umum dalam rangka pengembangan pemanfaatan asuransi dan reasuransi untuk mendukung perekonomian nasional (Pasal 57 ayat (2)) Klaim Lembaga penjaminan wajib memiliki cadangan klaim dan cadangan umum (Pasal 44) n.a Perusahaan asuransi wajib menjadi peserta program penjaminan polis (Pasal 53 ayat (1)) Retensi Sendiri Lembaga penjaminan wajib memiliki retensi sendiri (Pasal 49) n.a Wajib mengoptimalkan pemanfaatan kapasitas asuransi dalam negeri (Pasal 36) Penyelesaian Sengketa Dilakukan secara musyawarah mufakat; melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 54 ayat (1) dan (2)); kesepakatan Memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen mediasi (Pasal 29c) 141 bersifat final dan mengikat Ketentuan Penutup Semua ketentuan mengenai penjaminan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini (Pasal 63) UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian; UU No. 7/1992 tentang Perbankan; UU No. 11/1992 tentang Dana Pensiun; UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal; UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia; UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah dan peraturan UU lain di sektor keuangan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangdan belum diganti berdasarkan UU ini (Pasal 70) UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 90a); semua peraturan pelaksanaan dari UU No. 2/1992 dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini (Pasal 90c) 10. Kesimpulan Keteterangan Ahli Berdasarkan uraian tersebut diatas Ahli berkesimpulan sebagai berikut:
Asuransi lahir dan tumbuh sebagai hasil dari perikatan antara kedua pihak atau lebih subjek hukum baik perorangan maupun badan hukum dan sebagai hasil dari undang undang yang mengatur berbagai kehidupan ekonomi masyarakat.
Bahwa sejarah asuransi di dunia maupun di dalam negeri bertujuan untuk membagi dan mengalihkan risiko demi menjaga stabilitas keuangan anggota masyarakat pada khususnya dan kesejahteraan bangsa dan negara pada umumnya. 142 c. Bahwa sejak berdirinya industri asuransi nasional bertekad untuk bekerjasama memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi perekonomian nasional, mengatasi sisa sisa sistem perekonomian kolonial dan peningkatan kesadaran berasuransi d. Bahwa lini usaha suretyship telah menjadi praktik bisnis perasuransian yang ditekuni sejumlah pelaku jasa keuangan asuransi dibawah pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan yang melakukan pengawasan secara terintegrasi seluruh sektor jasa keuangan termasuk penjaminan. [2.7] Menimbang bahwa Pemohon, Presiden, dan Pihak Terkait menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 September 2020 dan 18 September 2020 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya. [2.8] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945. 143 [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618, selanjutnya disebut UU 40/2014) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo . Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: 144 a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang rumusannya adalah, (1) Ruang Lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
...
Bahwa Pemohon adalah Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) yaitu badan hukum perkumpulan yang para anggotanya adalah perusahaan- perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian (Badan Hukum Privat) yang dalam hal ini diwakili oleh Ketua Dewan Pengurus Pusat AAUI, Wakil Ketua, Bendahara Dewan Pengurus Pusat AAUI, dan Direktur Eksekutif Dewan Pengurus Pusat AAUI, dan berdasarkan Akta Nomor 02 Pernyataan Keputusan Kongres Asosiasi Asuransi Umum Indonesia tentang Perubahan Anggaran Dasar, tanggal 4 Desember 2018 [vide bukti P-6] yang selanjutnya menyatakan bahwa pihak yang dapat bertindak untuk dan atas nama AAUI berdasarkan Pasal 14 dan berwenang menghadap ke pengadilan atas nama Organisasi AAUI berdasarkan Pasal 18 angka 2 adalah Dewan Pengurus Pusat yang 145 sekurang-kurangnya terdiri dari satu orang Ketua, satu orang Wakil Ketua, satu orang Bendahara, dan satu orang Direktur Eksekutif, dan Akta tersebut selanjutnya disahkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000962.AH.01.08 Tahun 2018 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Dalam Bahasa Inggris Disebut General Insurance Association of Indonesia, tertanggal 18 Desember 2018, yang pada pokoknya menyebutkan nama-nama susunan pengurus dan pengawas AAUI [vide bukti P-13];
Bahwa Pemohon sebagai badan hukum privat perkumpulan yang berazaskan Pancasila dan berlandaskan UUD Negara Republik Indonesia serta sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Anggaran Dasar, didirikan dengan tujuan mewakili kepentingan para anggota AAUI sebagai asosiasi nirlaba yang dibentuk dalam rangka memajukan industri asuransi umum dan reasuransi di Indonesia dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif, penegakan etika berusaha dalam tatanan percaturan pasar global [vide bukti P-6];
Bahwa berdasarkan sertifikat keanggotaan [vide Bukti P-9], saat ini terdapat 45 perusahaan asuransi yang menjadi anggota Pemohon yang telah menjalankan bidang usaha suretyship berdasarkan izin dari pihak OJK [vide Bukti P-10];
Bahwa Pemohon menjelaskan suretyship yang __ telah dijalankan sebagai terobosan produk asuransi, dan prakteknya telah berlangsung lama tidak secara tegas dinormakan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 sehingga bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil dan menimbulkan kerugian atau potensial menimbulkan kerugian tidak hanya kepada para anggota dari Pemohon namun juga perusahaan asuransi lainnya yang menjalankan lini usaha suretyship, bahkan telah mengancam lini usaha suretyship yang sudah dijalankan selama puluhan tahun, yang manfaatnya dirasakan bagi pembangunan nasional;
Bahwa Pemohon juga menerangkan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 juga telah menyebabkan kerugian bagi anggota Pemohon karena beragam produk yang lahir dan dikembangkan anggota Pemohon dari bidang usaha suretyship seperti jaminan penawaran (bid bond) , jaminan pelaksanaan (performance bond) , jaminan uang muka (advance payment bond) , jaminan pemeliharaan (maintenance bond) , jaminan pembayaran serta jaminan kepabeanan (custom bond), __ secara potensial tidak lagi dapat dilakukan, padahal produk tersebut 146 sangat dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan proyek pembangunan dengan skala yang besar baik di bidang konstruksi maupun non konstruksi;
Bahwa oleh karenanya menurut Pemohon, kehadiran Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 dengan cara langsung maupun tidak langsung potensial pasti merugikan berbagai macam usaha-usaha yang sudah dilakukan secara terus- menerus oleh Pemohon dalam rangka menjalankan tugas dan peranannya untuk memajukan industri asuransi umum dan reasuransi di Indonesia dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif, penegakan etika berusaha dalam tatanan percaturan pasar global. Oleh karenanya, norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang diajukan dalam Permohonan ini secara faktual atau setidak- tidaknya potensial telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang diakui, dijamin, dan dilindungi UUD 1945; Berdasarkan penjelasan Pemohon dalam menerangkan kedudukan hukumnya berkenaan dengan pengujian Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014, Pemohon menyatakan diri sebagai asosiasi yang berbentuk badan hukum yang potensial dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya undang-undang a quo, dan Pemohon telah pula menjelaskan kedudukannya di dalam asosiasi tersebut dengan melampirkan ketentuan yang menyatakan pihak yang dapat mewakili asosiasi tersebut untuk bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu menurut Mahkamah berkaitan dengan kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo Pemohon telah dapat membuktikan bahwa Pemohon adalah subjek hukum yang dapat mengajukan permohonan a quo dan Pemohon juga telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional yang bersifat potensial yang dialami dengan berlakunya norma dari pasal yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil permohonan Pemohon perihal pertentangan norma UU 40/2014 yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, Mahkamah berpendapat, Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon. 147 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014, Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa, menurut Pemohon, pemberian penjaminan di Indonesia saat ini dilayani oleh industri yang berbeda-beda, antara lain, industri perbankan terdapat bank umum yang dapat menerbitkan produk bank garansi. Selain itu, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia atau Exim Bank yang juga menerbitkan bank garansi. Berikutnya, perusahaan penjaminan yang menerbitkan surety bond dan industri perasuransian dengan perusahaan asuransi umum yang menerbitkan produk _suretyship; _ 2. Bahwa, menurut Pemohon, dalam konteks peraturan perundang-undangan Indonesia, eksistensi lembaga perbankan dalam menjalankan usaha bank garansi diakomodir secara tegas melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 7/1992) jo. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 10/1992). Demikian pula dengan perusahaan penjaminan dalam menjalankan lini usaha surety bond telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU 1/2016);
Bahwa, menurut Pemohon, konsep suretyship merupakan salah satu bentuk konsep pertanggungan yang diatur dalam Pasal 1316 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kegiatan pertanggungan itu sendiri diantaranya meliputi pertanggungan biasa, bank garansi, serta suretyship . Pada dasarnya, jika dibandingkan antara suretyship dengan bank garansi, misalnya, maka keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai pertanggungan pelaksanaan proyek, meski masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Namun, secara historis sebenarnya perusahaan-perusahaan asuransi telah menjalankan lini usaha suretyship sejak tahun 1978 bahkan pengaturannya telah dituangkan dalam berbagai macam bentuk perundang-undangan;
Bahwa, menurut Pemohon, dalam perkembangannya, ketika ketentuan yang mengatur asuransi secara khusus (lex specialis) diterbitkan melalui Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU 2/1992) 148 hingga UU 40/2014, suretyship masih juga belum diatur secara eksplisit dalam UU a quo , walaupun dalam Pasal 1 angka 4 UU 40/2014 memang disebutkan jasa pertanggungan atau pengelolaan resiko yang bisa saja termasuk makna suretyship, namun tetap saja ruang lingkup lini usaha yang diakui sebagai lini usaha perusahaan asuransi adalah seperti yang ditegaskan pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU 40/2014;
Bahwa, menurut Pemohon, tampak dengan jelas, Pasal 2 dan Pasal 3 UU 40/2014 justru membatasi lini usaha asuransi. Sementara, status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas menurut Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 dengan Peraturan OJK, namun perluasan dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan lini usaha _suretyship; _ 6. Bahwa, menurut Pemohon, muncul persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU 1/2016 yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi. Selain itu adanya ketidaksesuaian pembentukan norma semakin nampak dengan berlakunya undang-undang lain yang lahir kemudian yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU 2/2017), suretyship diakui sebagai salah satu lini usaha perusahaan asuransi, selain juga menegaskan adanya lembaga perbankan, dan/atau perusahaan penjaminan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (4) UU 2/2017;
Bahwa, menurut Pemohon, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya. Hal ini ditambahkan dengan tidak adanya penjelasan dalam UU a quo mengenai apa yang dimaksud dalam pasal a quo, padahal sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi, namun terbit lagi UU 2/2017 dan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 16/2018) yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi _; _ 149 8. Bahwa, menurut Pemohon, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 berpotensi membatasi hak Pemohon untuk turut serta dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, dan berkelanjutan. Apalagi dengan berlakunya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU 1/2016 yang dapat menegasikan kontribusi perusahaan asuransi yang selama ini telah turut serta memberi jaminan bagi berjalannya proyek-proyek tersebut melalui lini usaha suretyship . Jika suretyship tidak dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asuransi dipastikan akan menghambat kelanjutan pembangunan nasional sekaligus terhalangnya proyek pembangunan pemerintah;
Bahwa, menurut Pemohon, untuk mengisi kekosongan hukum akibat tidak adanya kepastian hukum pengaturan mengenai suretyship tersebut, Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk membentuk norma hukum baru sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon selanjutnya memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat .” [3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-13 dan dua orang ahli bernama Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.L.M., Ph.D. dan Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK., yang masing- masing telah didengar keterangannya dalam persidangan dan telah dibaca keterangan tertulisnya, serta dua orang saksi bernama Tjindra Parma Wignyoprayitno, S.H., M.H., dan Ir. Manahara R. Siahaan yang masing-masing telah didengar keterangannya dalam persidangan. Di samping itu Pemohon juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). 150 [3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan lisan dalam persidangan pada tanggal 13 Juli 2020 dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 27 Agustus 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.10] Menimbang bahwa Presiden pada tanggal 3 Maret 2020 telah memberikan keterangan lisan dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan, serta keterangan tertulis tambahan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020. Di samping itu Presiden juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.11] Menimbang bahwa Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 22 Juni 2020 telah memberikan keterangan lisan dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan, serta keterangan tertulis tambahan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020. Di samping itu Pihak Terkait juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.12] Menimbang bahwa untuk kepentingan Mahkamah, dalam persidangan tanggal 10 September 2020, Mahkamah telah menghadirkan satu orang ahli bernama Irvan Rahardjo, S.E., M.M. yang keterangan tertulisnya telah diterima Mahkamah pada tanggal 10 September 2020 dan keterangannya telah didengar dalam persidangan sebagaimana tersebut di atas (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.13] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, baik bukti tertulis dan keterangan para ahli serta saksi yang diajukan Pemohon, serta kesimpulan Pemohon, keterangan DPR, keterangan dan kesimpulan Presiden, keterangan dan kesimpulan Pihak Terkait, dan keterangan ahli yang dihadirkan oleh Mahkamah, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan dalil-dalil permohonan Pemohon sebagai berikut: 151 [3.13.1] Bahwa persoalan utama yang dipermasalahkan oleh Pemohon adalah konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang mengatur ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi dengan tidak mencantumkan secara tegas kegiatan suretyship, padahal lini usaha suretyship sejak awal telah diterbitkan oleh perusahaan asuransi, namun saat ini tidak diakomodir di dalam UU 40/2014, selain itu, menurut Pemohon Pasal 61 UU 1/2016 telah menghalangi perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha _suretyship; _ [3.13.2] Bahwa berkaitan dengan dalil pokok permohonan Pemohon tersebut di atas, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih jauh, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan di bawah ini. Bahwa perkembangan asuransi di Indonesia menunjukkan angka kemajuan yang cukup baik selama beberapa tahun belakangan ini. Hal tersebut dapat dilihat dengan semakin banyaknya perusahaan asuransi yang tumbuh, di mana semakin hari semakin banyak nasabah yang menggunakan jasa layanan asuransi dengan berbagai varian di dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan data yang ada hingga Desember 2019 , usaha asuransi dengan lini usaha kredit dan suretyship saja __ yang dilakukan oleh 42 perusahaan asuransi umum menerima pendapatan premi sebesar Rp1,59 triliun atau 1,98% dari total pendapatan premi dari seluruh lini usaha asuransi umum. Dari 42 perusahaan asuransi umum tersebut terdapat 3 perusahaan asuransi umum yang mendapatkan lebih dari 30% pendapatan preminya yang bersumber dari usaha suretyship (vide kesimpulan OJK dalam perkara a quo pada hlm. 28). Bahwa berdasarkan contoh data tersebut tentu saja hal ini menunjukkan variabel yang dapat menjadi ukuran besarnya peluang adanya sebuah keuntungan tersendiri bagi perusahaan yang menyediakan layanan asuransi. Peluang yang dimiliki oleh perusahaan asuransi akan semakin luas, baik pasar yang bisa diolah dan dijadikan sebagai sasaran penjualan produk yang mereka miliki maupun jenis produk asuransi yang dibutuhkan masyarakat. Dengan kata lain, kebutuhan akan jenis asuransi akan selalu beriringan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat yang dinamikanya cukup cepat, terutama di dalam mengantisipasi hal- hal yang berkenaan dengan kualitas hidup masyarakat. Bahwa oleh karena itu selain tuntutan untuk selalu meningkatkan pelayanan kepada para nasabahnya, perusahaan asuransi juga harus melakukan inovasi di 152 dalam mengembangkan varian lini usaha dengan berbagai jenis usaha untuk bisa memperluas dan memajukan bisnis yang mereka jalankan dalam industri perasuransian. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan cara mengeluarkan berbagai produk baru dan lebih inovatif bagi nasabahnya. Bahkan saat ini, produk asuransi tidak hanya terbatas pada jenis asuransi jiwa dan asuransi kesehatan saja, karena pada dasarnya kedua produk inilah yang paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat luas. Dalam perkembangan selanjutnya, perusahaan asuransi juga mengeluarkan berbagai macam produk yang bisa dipilih dan digunakan sesuai dengan kebutuhan nasabah dan ada banyak jenis produk asuransi yang bisa dipilih oleh nasabah pengguna asuransi, antara lain: asuransi kesehatan, asuransi dana pendidikan, asuransi dana pensiun, asuransi kendaraan bermotor, asuransi properti, hingga asuransi dengan lini usaha surety bond serta beragam jenis asuransi lainnya. Dengan banyaknya produk yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi, maka akan banyak pilihan dan juga pertimbangan yang bisa diambil oleh nasabah yang akan menggunakan asuransi tersebut. Hal ini juga menciptakan perusahaan dengan kualitas persaingan yang baik di antara perusahaan penyedia layanan asuransi, sehingga industri asuransi akan memberikan layanan terbaik di dalam menawarkan produknya. Lebih lanjut berkaitan dengan asuransi suretyship atau surety bond secara universal dapat dijelaskan produk suretyship atau surety bond sejak diakui keberadaannya di Indonesia yaitu pada tahun 1978, kewenangan/hak untuk melaksanakan, memasarkan, menjual dan menerbitkan lini usaha surety bond adalah perusahaan asuransi umum atau asuransi kerugian pada awalnya diberikan kepada PT Jasa Raharja Persero melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian Jasa Raharja. Selanjutnya pada Tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa kembali ditegaskan bahwa yang dapat menerbitkan surety bond adalah Asuransi Kerugian PT Jasa Raharja Persero sebagai Lembaga Keuangan Non Bank atau LKNB. Namun dalam perkembangannya, persisnya pada tahun 1992 perusahaan-perusahaan asuransi yang membidangi kegiatan usaha menjamin kerugian (umum) meminta kepada Pemerintah, in casu Kementerian Keuangan, agar pelaksanaan asuransi yang 153 mempunyai lini usaha surety bond tidak dilakukan monopoli oleh perusahaan asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero. Bahwa selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU 2/1992), kepada perusahaan-perusaan asuransi kerugian diberikan izin untuk melaksanakan lini usaha asuransi di bidang surety bond . Konsekuensinya PT Jasa Raharja Persero dikembalikan fungsi dan tugas pokoknya, yaitu melaksanakan asuransi khusus yang menangani dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang, sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 33 Tahun 1964 dan juga asuransi dana kecelakaan lalu lintas jalan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964. Bahwa berdasarkan perjalanan historis sebagaimana diuraikan di atas, terhadap asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond telah berjalan di Indonesia hingga saat ini sudah kurang lebih 42 tahun sejak diperkenalkan meskipun secara faktual terhadap asuransi kerugian atau umum baru diberikan izin oleh Kementerian Keuangan untuk menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond setelah berlakunya UU 2/1992. Dengan demikian asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond telah mendapat pengakuan dan juga kesempatan untuk dijalankan oleh perusahaan asuransi kerugian (umum) hingga saat ini. [3.13.3] Bahwa berkaitan dengan asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond, menurut Mahkamah penting juga untuk menyamakan persepsi antara pengertian suretyship atau surety bond di mana berdasarkan fakta hukum yang diperoleh di persidangan, bahwa suretyship adalah istilah yang digunakan untuk salah satu jenis lini usaha yang bersifat generik, sedangkan surety bond adalah jenis produknya. Sementara itu pengertian suretyship adalah “lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan Principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara Principal dan Obligee ” __ [vide Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Pasal 1 angka 23 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (POJK 69/POJK.05/2016)]; Selanjutnya berkenaan dengan ruang lingkup penjaminan adalah jenis bidang usaha yang berkaitan dengan kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin 154 atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. (Vide Pasal 1 angka 1 UU 1/2016). Dengan demikian di dalam Lembaga Penjamin terdapat tiga pihak, yaitu Penjamin, Terjamin, dan Penerima Jaminan. (Vide Pasal 1 angka 11, angka 12, dan angka 13 UU 1/2016). Oleh karena itu di dalam lembaga penjamin yang dalam hal ini juga termasuk asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond terdapat hubungan hukum antara tiga pihak, yaitu penjamin (surety), penerima jaminan ( obligee /kreditur) dan pihak yang dijamin ( principal /debitur). Oleh karenanya secara sederhana dapat diilustrasikan, bahwa apabila dalam sebuah perjanjian antara penerima jaminan (kreditur) dengan pihak yang dijamin (debitur) terjadi wanprestasi maka penjamin ( surety ) akan mendudukkan diri bersama-sama dengan pihak yang dijamin (debitur) untuk kemudian memenuhi prestasi yang diperjanjikan (vide Pasal 1316 KUH Perdata). Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa dengan telah diperolehnya ciri-ciri dari ruang lingkup lembaga penjamin tersebut, maka dapat diketahui perbedaan yang esensial antara pengertian penjaminan dengan asuransi. Sebab, asuransi pada hakikatnya hanya terdiri dari dua pihak, yaitu Tertanggung dan Perusahaan Asuransi. Namun demikian bukan berarti perusahaan asuransi tidak dapat menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond, karena secara empirik di Indonesia sebenarnya perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha __ suretyship atau surety bond telah banyak dan hal tersebut sesungguhnya perusahaan asuransi menjalankan fungsi lini usaha yang sedikit berbeda dengan core business yang dimilikinya, meskipun pada dasarnya suretyship atau surety bond adalah lini usaha dari perusahaan asuransi umum . [3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon. Bahwa terhadap permasalahan pokok yang dimohonkan Pemohon tersebut, menurut Mahkamah sesungguhnya praktik suretyship atau surety bond yang menjadi bagian dari lini usaha perusahaan asuransi di Indonesia telah berjalan cukup lama, yaitu sejak Tahun 1978 meskipun pada waktu itu masih menjadi monopoli PT Jasa Raharja Persero dan baru secara resmi menjadi lini usaha perusahaan asuransi umum sejak Tahun 1992. Oleh karena itu bagi perusahaan 155 asuransi umum persoalan lini usaha suretyship atau surety bond tersebut pada hakikatnya tidak pernah ada hambatan di dalam menjalankan praktiknya. Sementara itu berkenaan dengan undang-undang yang mengatur lini usaha suretyship atau surety bond sebagaimana __ diatur dalam UU 1/2016 bukan dalam UU 40/2014. Hal tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengertian dan ruang lingkup lini usaha suretyship atau surety bond yang meskipun merupakan jenis dari produk perusahaan asuransi, namun unsur-unsur yang terkandung di dalamnya adalah penjaminan. Oleh karena itu permasalahan penempatan pengaturan demikian sebenarnya tidak serta-merta menjadikan adanya persoalan konstitusionalitas norma dari pasal yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan lini usaha suretyship atau surety bond. Sebab, apabila diatur dalam UU 40/2014 ternyata secara faktual substansi yang diatur adalah bukan berkenaan dengan jenis dari asuransi akan tetapi berkaitan dengan penjaminan, sedangkan apabila diatur dalam UU 1/2016 ternyata secara faktual substansi yang diatur adalah merupakan bagian dari produk asuransi. Terlebih bagi perusahaan asuransi yang akan menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond tidak mendapatkan hambatan dengan adanya pengaturan tersebut, meskipun dalam permohonannya Pemohon beralasan hal tersebut merugikan hak konstitusionalnya. Namun demikian sulit bagi Mahkamah untuk berkesimpulan bahwa terdapat persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 5 UU 40/2014. Dengan kata lain, apabila dilihat dari pihak yang melakukan lini usaha suretyship atau surety bond yaitu perusahaan asuransi maka tidaklah salah apabila ketentuan mengenai suretyship atau surety bond dimasukkan ke dalam UU 1/2016, karena konsep suretyship atau surety bond sendiri secara umum sama dengan konsep penjaminan, karenanya tidaklah mungkin pengaturannya dimasukkan ke dalam UU 40/2014. Bahwa lebih lanjut dijelaskan, ketentuan dalam norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 mengenai frasa “ sesuai kebutuhan masyarakat ” merupakan ketentuan yang perlu diakomodir dan dipertahankan untuk menyesuaikan perkembangan industri perasuransian di masyarakat, yang apabila dimaknai “termasuk lini usaha suretyship ” sebagaimana yang Pemohon mohonkan di dalam petitum permohonan, justru akan memberikan ketidakpastian hukum bagi perusahaan asuransi untuk dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha dan membatasi kemungkinan adanya perluasan lini usaha lain selain suretyship. Terlebih __ tanpa adanya perluasan makna terhadap frasa “sesuai kebutuhan masyarakat” __ 156 sebagaimana yang dimohonkan Pemohon, sesungguhnya yang diinginkan Pemohon telah terakomodir di dalam UU 1/2016. Oleh karena pengaturan suretyship sudah diatur dalam UU 1/2016 maka sesungguhnya tidak perlu lagi diatur dalam UU 40/2014, sehingga dengan demikian sebenarnya tidak ada persoalan mengenai pengaturan suretyship. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 tidak beralasan menurut hukum. [3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon terhadap norma Pasal 61 UU 1/2016, meskipun tidak dimohonkan oleh Pemohon dalam petitum permohonannya, namun oleh karena didalilkan dalam posita permohonannya dan secara substansi adalah hal yang mendasar yaitu Pemohon menganggap norma pasal a quo telah menghalangi perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha suretyship. Oleh karena itu Mahkamah perlu untuk menanggapi dalil Pemohon tersebut. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, setelah dicermati sebenarnya __ hanyalah merupakan kekhawatiran Pemohon karena perusahaan asuransi yang merupakan perusahaan di luar lembaga penjamin haruslah memenuhi persyaratan sebagai lembaga penjamin apabila hendak melakukan kegiatan usaha yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 4 ayat (1) UU 1/2016. Sedangkan kegiatan lini usaha suretyship (in casu surety bond) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU 1/2016 dapat dilakukan perusahaan asuransi yang bersinergi dengan amanat Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang telah mengatur perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian. Hal demikian mengingat lini usaha suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU 1/2016 tidaklah memerlukan persyaratan sebagai lembaga penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU 1/2016. Sementara itu Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 adalah ketentuan yang mengatur perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha penjaminan agar menyesuaikan dengan UU 1/2016 berkenaan dengan tenggang waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 61 ayat (1) UU 1/2016. Dengan demikian, menurut Mahkamah, kekhawatiran Pemohon tidaklah tepat mengingat kegiatan suretyship adalah kegiatan yang mempunyai core business penjaminan yang merupakan lini usaha yang dapat juga dijalankan oleh perusahaan asuransi. 157 Kemudian sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU 40/2014, OJK telah menerbitkan POJK 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship, sehingga telah sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 61 UU 1/2016. Dengan demikian perusahaan asuransi yang melakukan lini usaha suretyship tidaklah dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana kekhawatiran Pemohon; __ [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan; [4.3] Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. 158 Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal lima, bulan November, tahun dua ribu dua puluh, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh lima, bulan November, tahun dua ribu dua puluh , selesai diucapkan pukul 11.51 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Anak Agung Dian Onita sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, Presiden atau yang mewakili, dan Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Daniel Yusmic P. Foekh 159 ttd. Arief Hidayat ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Saldi Isra ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Anak Agung Dian Onita
Uji Materi Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27 dan Pasal 28 angka 3 dan 10 Lampiran UU Nomor 2 tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ...
Relevan terhadap
ayat (2); Pasal 14; Pasal 16 ayat (1) huruf c; Pasal 19; Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (1); Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (3); Pasal 20 ayat (1) huruf c; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 24 ayat (1); Pasal 25; Pasal 26 ayat (1); Pasal 27; Pasal 28 dan Pasal 29 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka 133 Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembar Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan lisan di depan persidangan melalui sidang virtual pada tanggal 8 Oktober 2020 dan telah pula menyerahkan keterangan tertulis yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Keterangan Pendahuluan ( Opening Statement) Sehubungan dengan adanya 7 (tujuh) permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 (selanjutnya disebut UU 2/2020 ) terhadap UUD 1945 , yang teregistrasi dalam Perkara Nomor 37, 42, 43, 45, 47, 49, dan 75/PUU-XVIII/2020, perkenankanlah kami selaku kuasa Presiden menyampaikan keterangan atas Permohonan Pengujian UU 2/2020. Pada kesempatan ini, yang akan kami sampaikan secara lisan adalah pokok-pokok atau ringkasan Keterangan Presiden yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan dengan Keterangan Presiden yang lengkap dan menyeluruh yang kami sampaikan dalam bentuk tertulis. Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, para pendiri bangsa ( founding fathers ) telah menentukan salah satu tujuan bernegara ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sebagai perwujudan dari tujuan dimaksud, Negara harus selalu hadir dalam setiap kondisi untuk memastikan perlindungan terhadap rakyatnya. Negara harus dapat memastikan adanya jaminan perlindungan bagi seluruh warga baik dalam kondisi normal maupun kondisi tidak normal. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan 134 keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Pandemi Covid-19 yang kita hadapi saat ini, telah secara nyata menimbulkan dampak signifikan yang mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi bahkan telah merenggut nyawa rakyat Indonesia. Keberlangsungan pandemi yang tidak dapat ditentukan berakhirnya, secara nyata telah menjadi ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Untuk itu, diperlukan gotong royong dari seluruh otoritas di bidang perekonomian dan sektor keuangan dalam menghadapi ancaman tersebut. Legal Standing Para Pemohon Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil Para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomian masyarakat. Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional Para Pemohon. Dengan demikian, permohonan ini tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan 135 konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak di saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. Latar Belakang Penerbitan Perpu 1/2020 Sebelum memberikan keterangan atas UU 2/2020, perlu Pemerintah sampaikan mengenai latar belakang penerbitan Perppu 1/2020. Penyakit akibat virus Covid-19 yang muncul sejak Desember 2019 di kota Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat, ganas dan luas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Penyebaran Covid-19 hingga akhir Maret 2020 meliputi 205 negara dengan hampir 1 juta kasus penularan dan lebih dari 47 ribu kematian. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran kemudian terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial jumlah pasien Covid-19 telah menimbulkan krisis bidang kesehatan di seluruh dunia. Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial yang berbagai ragam, dari yang sangat ketat ( total lockdown ), hingga yang bersifat pembatasan sosial secara terbatas ( physical distancing ). Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid- 19, mengakibatkan terhentinya interaksi dan kegiatan sosial yang menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,3% menjadi kontraksi -3%. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia saat itu, diperkirakan mencapai 9 triliun dolar Amerika, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar negara-negara berkembang, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini 136 vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi extraordinary tersebut mendorong berbagai negara untuk melakukan langkah luar biasa dalam menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara- negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika melakukan kebijakan ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai diatas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia), kebijakan moneter longgar berupa penurunan suku bunga, memompa likuiditas- quantitative easing , serta melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh dibawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang diatas 5%. Dalam periode Januari-Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level Rp16.600 per dolar Amerika dan mengalami depresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta berpotensi meluasnya kebangkrutan perusahaan. Untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampaknya yang mengancam perekonomian dan sistem keuangan, Pemerintah dan otoritas sektor keuangan memandang perlu melakukan langkah extraordinary secara cepat dan signifikan. Pelaksanaan langkah extraordinary dimaksud memerlukan produk hukum yang memadai sebagai dasar pengambilan kebijakan. Setelah melakukan konsultasi dengan beberapa lembaga negara dan mempertimbangkan secara seksama berbagai masukan yang diperoleh, Pemerintah bersama otoritas sektor keuangan berkeyakinan bahwa produk hukum yang paling memadai untuk mengatasi kondisi kegentingan memaksa tersebut adalah Perppu dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. 137 Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud kehadiran Negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary di bidang keuangan negara maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) terhadap ancaman memburuknya perekonomian dan stabilitas sistem keuangan seiring ketidakpastian berakhirnya penyebaran Covid-19. Memperhatikan bahwa terhadap 7 permohonan ini, hampir seluruh pasal dalam Lampiran UU 2/2020 dimohonkan pengujian, Pemerintah akan memberikan keterangan berdasarkan pengelompokan permasalahan yang dikemukakan Para Pemohon yaitu:
perlunya persetujuan DPR sebagai fungsi budgeting dan _controlling; _ (2) pengujian formil;
ruang lingkup dan jangka waktu keberlakuan;
kebijakan keuangan negara yang mencakup pelebaran defisit, Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), perpajakan dan kepabeanan, penerbitan SUN dan/atau SBSN, penyesuaian mandatory spending , penggunaan dana abadi pendidikan, kebijakan keuangan daerah (5) pelaksanaan kebijakan keuangan negara;
kebijakan stabilitas sistem keuangan meliputi kewenangan LPS dan OJK;
perlindungan hukum;
harmonisasi UU 2/2020 dengan UU terdampak. Meskipun kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 pada awalnya ditetapkan oleh Presiden sebagai pelaksanaan Pasal 22 UUD 1945, dapat Pemerintah sampaikan bahwa dengan penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 melalui pembahasan sebagaimana layaknya pembentukan undang-undang, maka kebijakan dalam UU 2/2020 telah mendapatkan persetujuan DPR. Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid-19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. 138 Pembentukan UU 2/2020 Secara Formil Telah Sesuai Dengan UUD 1945 Dalam Rangka Pemberian Kepastian Hukum Atas Langkah Kedaruratan Dalam Perpu Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu harus mendapat persetujuan DPR setelah diundangkan. Memperhatikan dampak pandemi Covid-19 yang extraordinary , Pemerintah menyadari pentingnya persetujuan DPR segera diperoleh untuk kepastian keberlanjutan langkah-langkah penanganan pandemi Covid-19. Penanganan dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional memerlukan biaya sangat besar yang tidak tercukupi apabila menggunakan alokasi sesuai APBN TA 2020. Selain itu, diperlukan langkah-langkah extraordinary yang belum diatur kewenangannya dalam undang-undang yang ada. Hal tersebut diperlukan sebagai landasan pemberian dukungan pada bidang kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan insentif dunia usaha dalam rangka penyelamatan kesehatan masyarakat, perekonomian, dan stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, pada tanggal 1 April 2020, Pemerintah telah menyampaikan RUU tentang penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR. Bahwa pembahasan atas RUU yang disampaikan Pemerintah dilakukan oleh DPR pada masa persidangan yang sama tidak melanggar ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Pemerintah telah meneliti tidak ada larangan untuk melakukan pembahasan pengesahan Perppu dalam masa persidangan yang sama dengan saat pengajuan RUU oleh Pemerintah. Dilaksanakannya pembahasan RUU dalam masa persidangan yang sama (masa persidangan ke-3), menunjukkan bahwa DPR sebagai lembaga wakil rakyat juga menyadari tindakan-tindakan untuk penyelamatan perekonomian nasional harus segera dan secara berkelanjutan dilakukan oleh Pemerintah. Untuk memberikan kepastian hukum, setelah melalui proses pembahasan sesuai tahapan pembentukan undang-undang, pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan pengesahan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. Bahwa dengan demikian, proses persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 telah memenuhi formalitas pengesahan Perppu sesuai Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. 139 Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Tidak Hanya Untuk Penanganan Covid-19 Namun Juga Bersifat Antisipatif ( Forward Looking ) Untuk Mengatasi Ancaman Dampak Covid-19 Di dalam konsiderans Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan bahwa pandemi Covid- 19 telah menimbulkan efek domino terhadap perlambatan perekonomian. Apabila tidak dilakukan upaya penanggulangan secara cepat dan tepat atas perlambatan tersebut, secara pasti akan terjadi ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 didesain tidak hanya ditujukan untuk penanganan Covid-19 melainkan juga tindakan antisipatif ( forward looking ) untuk menangani efek domino yang ditimbulkan yaitu ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, untuk menghindari terjadinya krisis ekonomi maupun krisis di sektor keuangan, Lampiran UU 2/2020 juga harus memberi legitimasi bagi Pemerintah untuk melakukan langkah-langkah menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan seiring ketidakpastian berakhirnya Covid-19. Dengan legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang dapat menjamin kapan pandemi Covid-19 akan selesai dan tidak dapat dipastikan pula seberapa dalam perlambatan/pemburukan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19. Atas dasar tersebut, meskipun dalam beberapa ketentuan terdapat batasan waktu, seperti batasan pelebaran defisit sampai dengan tahun 2020, namun secara utuh, tidak dapat diberikan batasan jangka waktu keberlakuan UU 2/2020 seperti UU Pengampunan Pajak misalnya. Keberlanjutan UU 2/200 ini diperlukan dikarenakan tidak dapat dipastikan seberapa besar dan seberapa lama ancaman perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terjadi di Indonesia. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung maka dampaknya pun semakin berat. 140 Peningkatan jumlah kasus penderita Covid-19 saat ini menjadi bukti ketidakpastian yang harus dihadapi. Beberapa Pemerintah Daerah kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna menghambat penyebaran Covid- 19. Harapan perbaikan pertumbuhan perekonomian menjadi positif di Kuartal III 2020 dari pertumbuhan -5,32% di Kuartal II 2020 diprediksi sangat sulit terwujud bahkan potensi resesi menjadi semakin besar. Dengan norma dalam UU 2/2020 yang memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk menentukan kebijakan, Pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan langkah-langkah recovery maupun antisipatif. Untuk menanggulangi peningkatan penyebaran Covid-19 di daerah bulan September lalu, Pemerintah Pusat telah memberikan pinjaman kepada Pemda terdampak dan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak. Ketersediaan fasilitas kesehatan pun telah memadai untuk menghadapi peningkatan jumlah penderita. Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemerintah bersama DPR dalam UU 2/2020 semata-mata bertujuan memberikan legitimasi bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah pencegahan negara dari krisis kesehatan dan perekonomian. Pelebaran Defisit Menjadi Pilihan Kebijakan Dalam Rangka Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Sebagai Respon Atas Penurunan Pendapatan dan Peningkatan Belanja Negara Secara Signifikan Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, untuk menghadapi ancaman perekonomian nasional, Pemerintah memerlukan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan negara agar penanganan pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Fleksibilitas tersebut tidak dapat dilakukan apabila Pemerintah hanya berdasar pada ketentuan Undang-Undang yang telah ada sebelum pandemi Covid-19. Salah satu fleksibilitas yang diperlukan oleh Pemerintah adalah terkait dengan penyesuaian besaran defisit anggaran. Pada UU Keuangan Negara, diatur bahwa defisit anggaran dibatasi sebesar 3% dari PDB. Batasan maksimal defisit anggaran sesuai ketentuan tersebut tidak mungkin dipenuhi oleh Pemerintah karena pandemi Covid-19 telah menyebabkan penurunan pada pendapatan negara sekaligus peningkatan belanja negara untuk penanganan Covid-19. Dengan demikian, menjadi suatu keniscayaan untuk melakukan pelebaran defisit anggaran. Kewenangan untuk melakukan pelebaran defisit anggaran di atas 3% tidak dimaksudkan untuk digunakan secara sewenang-wenang. Sebaliknya, hal itu 141 ditujukan untuk memberikan kemampuan Pemerintah dalam menangani krisis kesehatan akibat Covid-19 dan efek domino yang ditimbulkannya. Kemampuan dan fleksibilitas untuk menangani permasalahan di bidang kesehatan, sosial dan ekonomi akan dilakukan secara terukur dan hati-hati, dengan tetap berlandaskan pada asas tata kelola yang baik, akuntabilitas dan transparansi. Untuk itu, Lampiran UU 2/2020 memberi pembatasan-pembatasan pelaksanaan pelebaran defisit yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan TA 2022. Kedua, pembatasan jumlah pinjaman dalam rangka pembiayaan defisit maksimal 60% dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa meskipun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, namun Pemerintah akan melakukan pembahasan penetapan besaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 dengan DPR melalui mekanisme RAPBN. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga esensi persetujuan DPR sesuai Pasal 23 UUD 1945 pada pembahasan APBN tahun mendatang. Dalam proses penyusunan UU APBN TA 2021, Pemerintah bersama DPR telah menyetujui d efisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Pada APBN 2020, Pemerintah telah menetapkan defisit APBN sebesar 6,34% PDB yang ditetapkan melalui Perpres 72 Tahun 2020. Besaran defisit tersebut telah mengakomodir biaya penanganan Covid-19 dan biaya Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai berikut: No. Program Anggaran Realisasi 1. Kesehatan 87,55 T 21,92 T 25% 2. Perlindungan Sosial 203,91 T 157,03 T 77% 3. Insentif Usaha 120,61 T 28,07 T 23,3% 4. UMKM 123,47 T 81,85 T 66,3% 5. Pembiayaan Korporasi 53,6 T 0 0 6. Sektoral dan Pemda 106,05 T 26,61 T 25,1% Total 695,2 T 315,48 T 45,4% Dari jumlah tersebut, porsi terbesar adalah untuk perlindungan sosial untuk menjaga kemampuan ekonomi masyarakat. Diikuti dengan pemberian stimulus bagi UMKM 142 dan insentif usaha, dan dukungan anggaran untuk sektoral dan Pemda. Besaran anggaran program kesehatan meski bukan terbesar, namun sudah diperhitungkan kecukupannya untuk mendukung biaya penanganan Covid-19 (pembelian alat kesehatan seperti APD, Rapid Test, Reagen, penyediaan sarana dan prasarana kesehatan), subsidi Iuran BPJS Kesehatan, insentif tenaga medis, santunan kematian untuk tenaga kesehatan, dan pembebasan pajak serta bea masuk untuk alat kesehatan. Sedangkan anggaran perlindungan sosial digunakan untuk mendukung pelaksanaan Program Keluarga Harapan, Program Kartu Sembako, Program Bantuan Sosial Sembako Jabodetabek, Program Bantuan Sosial Tunai, Program Kartu Prakerja, Subsidi listrik, Bantuan Langsung Tunai Dana Desa. Program insentif usaha ditujukan untuk menjaga keberlanjutan aktivitas usaha masyarakat dalam bentuk pemberian insentif perpajakan. Dalam mendukung UMKM, Pemerintah telah melaksanakan beberapa program diantaranya yaitu pemberian subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi, serta pembiayaan investasi kepada koperasi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir KUMKM. Program pembiayaan korporasi antara lain dilaksanakan melalui pemberian penyertaan modal negara dan pinjaman kepada BUMN. Program sektoral K/L dan Pemda diantaranya digunakan untuk mendukung program padat karya, pemberian Dana Insentif Daerah untuk pemulihan ekonomi, pariwisata dan pemberian Dana Alokasi Khusus Fisik. Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Sebagai rangkaian program PEN untuk terus menggerakkan perekonomian yang sedang mengalami perlambatan, Pemerintah memandang perlu melakukan upaya- upaya mendorong ekspansi kredit dan penurunan suku bunga kredit perbankan. Untuk itu, Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kapasitas pendanaan telah melakukan penempatan dana per 30 September 2020 sebesar Rp61,7 triliun dengan rincian pada Bank Himbara sebesar Rp47,5 triliun, pada 7 BPD sebesar 143 11,2 triliun, dan pada 3 bank syariah sebesar 3 triliun. Selain itu, Pemerintah melalui PT Sarana Multi Infrastruktur salah satu BUMN Pembiayaan, telah memberikan pinjaman kepada 5 Pemerintah Daerah dengan total komitmen sebesar Rp6,8 triliun (DKI Jakarta senilai Rp3,265 triliun, Jawa Barat senilai Rp1,812 triliun, Banten senilai Rp 851,77 miliar, Sulawesi Utara senilai Rp723,7 miliar, dan Kabupaten Ponorogo senilai Rp200 miliar). Pinjaman tersebut diberikan dalam rangka meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah untuk melaksanakan program-program PEN di daerah masing-masing. Kebijakan Penurunan Tarif Perpajakan Sebagai Insentif Untuk Menjaga Kesehatan Keuangan Perusahaan di Masa Pandemi Covid-19 Dalam UU 2/2020 telah ditetapkan kebijakan untuk menurunkan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagai insentif/dukungan Pemerintah menjaga kelangsungan usaha perusahaan dalam masa pandemi Covid-19. Dampak pandemi Covid-19 hampir menyentuh semua sektor usaha. Dalam perspektif tersebut, insentif perpajakan sangat relevan diberikan ke semua sektor usaha tidak hanya yang bergerak di bidang riset dan pengembangan terkait Covid-19 sebagaimana yang diinginkan Para Pemohon. Hal ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. Pemungutan PMSE Merupakan Upaya Pemerintah Untuk Mengoptimalkan Penerimaan Negara Di Tengah Pandemi Covid-19 Serta Menciptakan Kesetaraan Bagi Pelaku Usaha Dalam Negeri Maupun Luar Negeri Penurunan pendapatan negara secara signifikan akibat pandemi Covid-19 di satu sisi dan adanya akselerasi transformasi digital di sisi lain telah menjadi pertimbangan lahirnya kebijakan penetapan pajak dari sektor Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dalam UU 2/202020. Basis pajak dari transaksi digital menjadi sangat penting pada saat penerimaan negara menurun sehingga Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness ) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar 144 negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Lampiran UU 2/2020 memberikan wewenang atribusi pengenaan besaran tarif dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Pertimbangan serupa juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut, pemberian atribusi merupakan bentuk kebijakan pembentuk undang-undang ( legal policy ) sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan UUD 1945. Pemberian wewenang atribusi menetapkan tarif pajak bukanlah hal baru. Ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan. Dengan demikian, pengaturan mengenai besaran tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan pajak penghasilan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana yang dipahami oleh Para Pemohon. Pengaturan Pembebasan Bea Masuk Oleh Menteri Keuangan Merupakan Pelaksanaan Wewenang Atribusi Yang Bertujuan Menjamin Ketersediaan Alat Kesehatan Untuk Penanganan Covid-19 Untuk menjamin ketersediaan barang impor yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19, Pemerintah perlu memiliki fleksibilitas dalam pemberian fasilitas fiskal berupa pembebasan atau keringanan bea masuk. Pasal 10 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan wewenang atribusi kepada Menteri Keuangan untuk melakukan perubahan jenis barang yang dapat diberikan fasilitas pembebasan atau keringanan yang secara limitatif ditetapkan dalam UU Kepabeanan. Pemberian 145 wewenang atribusi dalam UU 2/2020 ini sejalan dengan prinsip hukum administrasi negara dalam rangka pemenuhan kebutuhan di tengah adanya kondisi kegentingan memaksa. Selain itu, pemberian wewenang atribusi yang ditetapkan dalam produk hukum UU 2/2020 mempunyai kedudukan yang setara dengan UU Kepabeanan. Dalam pelaksanaannya, Menteri Keuangan selaku penerima wewenang atribusi dalam pemberian fasilitas kepabeanan tidak akan semena-mena menyalahgunakan kewenangan dimaksud. Menteri Keuangan melalui PMK 34/PMK.04/2020 jo. PMK 83/PMK.04/2020 hanya memberikan fasilitas kepabeanan untuk impor barang keperluan penanganan Covid-19. Sesuai Lampiran PMK tersebut, jenis-jenis barang yang diberikan fasilitas adalah test kit dan reagen laboratorium , virus transfer media , obat dan vitamin, peralatan medis, dan alat pelindung diri. Dengan demikian prinsip pemberian fasilitas secara limitatif tetap terjaga. Penerbitan SUN dan/atau SBSN Yang Dapat Dibeli Oleh BI Bertujuan Untuk Menjaga Kesinambungan Fiskal Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 Sesuai Dengan Fungsi BI Dampak pandemi Covid-19 telah menyebabkan pendapatan negara menurun cukup drastic sedangkan anggaran belanja harus ditingkatkan sehingga pelebaran defisit tak terhindarkan. Untuk pembiayaan defisit anggaran, Pemerintah perlu menerbitkan SUN dan/atau SBSN berjangka panjang. Pemberian kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana merupakan salah satu upaya gotong royong organ negara ( burden sharing ) untuk menjaga kesinambungan fiskal dalam rangka mencegah terjadinya krisis ekonomi. Burden sharing antara Pemerintah dan BI diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dimaksud berupa pembayaran kupon atas SUN dan atau SBSN yang dibeli oleh BI, sesuai tabel berikut: No. Penggunaan Nilai (Rp) Burden Sharing Mekanisme Penerbitan 1. Public Goods 397,56T Ditanggung BI seluruhnya sebesar BI reverse repo rate Private Placement 2. Non-Public Goods 177,03T Ditanggung Pemerintah Mekanisme 146 ▪ UMKM 123,46T sebesar BI reverse repo 3 bulan dikurangi 1%, sisanya ditanggung BI market (lelang, Green Shoe Option, Private Placement ) ▪ Korporasi 53,57T 3. Non-Public Goods Lainnya 328,87T Ditanggung Pemerintah seluruhnya sebesar market rate Di samping pengaturan norma pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI telah dibahas terlebih dahulu sebelum ditetapkan dalam Lampiran UU 2/2020, dengan penetapan secara bersama besaran kupon sebagai burden sharing jelas terlihat bahwa baik dalam perumusan norma maupun implementasinya, independensi BI tetap terjaga. Secara best practices , kebijakan bank sentral untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan juga diimplementasikan oleh negara-negara lain termasuk negara anggota G20. Dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Tidak Menghapuskan Dana Desa dari APBN 2020 dan Tahun-tahun Mendatang Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur mengenai penyesuaian atas pemenuhan belanja wajib ( mandatory spending ), antara lain penyesuaian pemenuhan anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur dalam Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa dimaksudkan agar Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan 147 refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Sebagai bentuk harmonisasi antara ketentuan penyesuaian mandatory spending dalam UU 2/2020 dan UU Desa, ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku ( vide Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020). Tidak berlakunya ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa sama sekali tidak menghapuskan anggaran Dana Desa dari APBN TA 2020 dan tahun-tahun berikutnya, sebagaimana dipahami Para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp71,2 T dan Rp72 T. Pemerintah tetap memegang komitmen untuk mendukung pembangunan ekonomi di desa melalui Dana Desa yang diprioritaskan untuk pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Perekonomian pedesaan yang kuat merupakan pilar penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sehingga Pemerintah akan terus mendukung pembangunan pedesaan dan pemberdayaan masyarakat desa. Penggunaan Dana Abadi Tidak Bertentangan Dengan Kewajiban Negara Memenuhi Hak Atas Pendidikan Pembiayaan APBN di masa Pandemi Covid-19 membutuhkan sumber pendanaan yang cepat dan efisien. Dengan kebutuhan tersebut, Pasal 2 ayat (1) huruf e UU 2/2020 mengatur pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih, dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan, dana yang dikelola BLU, dana yang dikuasai negara, serta memanfaatkan pengurangan pembiayaan investasi pada BUMN sebagai sumber pendanaan APBN. Penggunaan dana abadi pendidikan tidak akan bertentangan dengan kewajiban negara memenuhi hak atas pendidikan karena:
hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan Pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19;
sampai saat ini Pemerintah belum berencana menggunakan dana abadi pendidikan sebagai sumber pendanaan APBN;
apabila dipergunakan, akan menjadi investasi dana abadi pendidikan melalui pembelian SUN dan/atau SBSN yang akan mendapatkan return , bukan sebagai belanja Pemerintah. 148 Pengaturan Refocusing Dan Realokasi Anggaran Melalui Permendagri Tidak Bertentangan Dengan Prinsip Otonomi Daerah Sebagai wujud integrasi kebijakan nasional dan kebijakan daerah, Pasal 3 ayat (1) UU 2/2020 mengatur Pemda melakukan refocusing dan realokasi anggaran daerah dengan prioritas penanganan pandemi Covid-19 beserta dampak sosial ekonominya sesuai kondisi masing-masing daerah. Pada kondisi pandemi Covid-19, kecepatan dan ketepatan dalam penyesuaian anggaran daerah menjadi sangat penting. Untuk itu, Pasal 3 ayat (2) UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada Mendagri untuk mengatur mengenai refocusing dan realokasi penggunaan APBD sebagai pedoman bagi seluruh Pemda. Dengan adanya pedoman ini, Pemda dapat segera melakukan penyesuaian anggarannya secara mandiri. Dengan demikian pemberian kewenangan kepada Mendagri tersebut merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 8 UU Pemda sebagai pembina dan pengawas pemerintahan daerah, bukan merupakan intervensi Pemerintah Pusat sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Penetapan Rekening Akun Khusus Belanja Covid-19 dan Penetapan Perpres Rincian APBN Sebagai Wujud Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 membutuhkan uang negara yang sangat besar dalam kurun waktu yang singkat. Untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi, Pasal 12 Lampiran UU 2/2020 menetapkan bahwa seluruh pelaksanaan kebijakan keuangan negara dilakukan dengan tata kelola yang baik. Dalam implementasi tata kelola anggaran terkait Covid-19, Pemerintah telah menetapkan akun khusus belanja Covid-19 dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43 Tahun 2020. Hal ini untuk menjamin seluruh belanja yang terkait dengan penanganan Covid-19 dapat dipantau dan dievaluasi penggunaannya. Selain itu, dalam rangka mencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran, Pemerintah bekerja sama dengan aparat penegak hukum meliputi Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan KPK untuk melakukan pendampingan Kementerian/Lembaga. Sebagai bentuk transparansi publik, Pemerintah secara rutin menyampaikan perkembangan pelaksanaan kebijakan melalui press conference dan rapat pembahasan dengan DPR. Hal tersebut menunjukkan komitmen Pemerintah untuk terus menerus melaksanakan 149 seluruh kebijakan keuangan yang ditetapkan dalam UU 2/2020 memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan taat peraturan. Dengan demikian, pada dasarnya UU 2/2020 telah sangat memperhatikan harapan Para Pemohon sebagai warga masyarakat. Mempertimbangkan situasi extraordinary akibat pandemi Covid-19, Pasal 12 ayat (2) UU 2/2020 memberikan wewenang atribusi bagi Presiden untuk menetapkan perubahan postur sekaligus rincian APBN melalui Perpres. UU 2/2020 pada dasarnya telah menetapkan kebijakan pelebaran defisit APBN TA 2020 sampai dengan APBN TA 2022. Penetapan ini dilakukan sebagai langkah extraordinary penanganan kegentingan memaksa pandemi Covid-19 berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 sekaligus untuk menyesuaikan kebijakan dalam UU APBN TA 2020 yang merupakan pelaksanaan Pasal 23 UUD 1945. Dengan demikian, penetapan pelebaran defisit dalam Lampiran UU 2/2020 sebagai pedoman penyesuaian UU APBN TA 2020 dapat disetarakan dengan UU Perubahan APBN dalam situasi kegentingan memaksa. Amanat perubahan postur dalam Perpres didasarkan situasi yang tidak memungkinkan penetapan melalui proses secara normal. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa penetapan postur APBN dalam Perpres hanya dilakukan untuk TA 2020. Untuk TA 2021 dan tahun-tahun berikutnya, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada kondisi normal sehingga Pemerintah sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Kewenangan LPS Sesuai UU 2/2020 Merupakan Penegasan Kewenangan Yang Telah Diberikan Oleh Undang-undang Terdahulu Untuk Penanganan Kesulitan Likuiditas LPS Dalam Menyelamatkan Bank Gagal dan Menghindarkan Negara Dari Krisis Ekonomi Sebagaimana telah Pemerintah sampaikan, dampak pandemi Covid-19 telah secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan. Untuk itu, perlu dilakukan upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menjaga keberlangsungan lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan. Selain itu, untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan, perlu memperkuat landasan hukum bagi LPS dalam melakukan tindakan antisipasi 150 penanganan permasalahan bank dan resolusi bank gagal baik bank sistemik maupun bank selain bank sistemik. Sampai saat ini, stabilitas sistem keuangan masih terjaga. Namun perlu melakukan kebijakan antisipatif ( forward looking ) dengan menegaskan kembali sumber-sumber pendanaan yang dapat diperoleh LPS untuk menjaga kecukupan likuiditasnya ( vide Pasal 20 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020). Salah satu sumber pendanaan LPS adalah melakukan melakukan pinjaman kepada pihak lain dan/atau Pemerintah yang juga telah diatur dalam Undang-Undang terdahulu yaitu UU LPS, UU OJK, dan UU PPKSK. Pinjaman kepada pihak lain dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Hal ini juga sesuai dengan best practice yang dijalankan di negara-negara lain yang memiliki lembaga resolusi perbankan. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. Pemberian pinjaman kepada LPS dilakukan setelah mendapatkan persetujuan DPR dalam APBN kecuali untuk APBN TA 2020 sebagaimana diatur dalam Pasal 28 angka 12 Lampiran UU 2/2020. Persyaratan persetujuan DPR hanya diberlakukan untuk pinjaman kepada Pemerintah karena bersumber dari APBN dan tidak dipersyaratkan untuk pinjaman LPS kepada pihak lain sebagaimana juga diatur dalam UU terdahulu. Sampai saat ini, LPS masih memiliki kecukupan likuiditas. Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Kebijakan ini merupakan langkah antisipatif ( forward looking ) untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah yang akan dilaksanakan apabila terjadi pemburukan perekonomian yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa program penjaminan dimaksud bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas Pasar Uang Antar Bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri ( trade finance ). 151 Perintah Tertulis OJK Sebagai Instrumen Menjaga Keberlangsungan Lembaga Keuangan Dalam Rangka Meningkatkan Resiliensi Sistem Keuangan Pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi (P3IK) yang telah diatur dalam UU OJK dan UU PPKSK. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis OJK tersebut, khususnya dalam situasi pandemi Covid-19 yang mengancam stabilitas sistem keuangan maka ancaman sanksi diperberat dibandingkan sanksi dalam UU OJK. Pemberian sanksi dimaksud merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum yang harus dijaga oleh OJK selaku lembaga pengawas jasa keuangan, bukan kesewenang-wenangan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Perlindungan Hukum Dalam UU 2/2020 Sebagai Bentuk Kepastian Hukum Bagi Pengambil Kebijakan Dalam Bertindak Sesuai Kewenangannya Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan 152 memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat (mens rea) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. Teori imunitas ini didasarkan pada prinsip kedaulatan negara, dengan demikian tidak mengherankan ketentuan serupa merupakan hal yang precedented . Di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Pasal 50 dan Pasal 51 KUHP, Pasal 48 UU PPKSK, Pasal 22 UU Pengampunan Pajak, Pasal 45 UU Bank Indonesia, Pasal 36A ayat (5) UU KUP, Pasal 10 UU Ombudsman, Pasal 224 ayat (1) UU MD3, Pasal 16 UU Advokat dan Pasal 26 UU BPK mengatur pemberian perlindungan hukum serupa. Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking 153 Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan. Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut, bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta perlindungan hukum agar dapat menjalankan tugasnya dengan tenang sehingga mendapatkan hasil yang optimal. Pengaturan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 bahwa biaya yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 bukan merupakan kerugian negara didasarkan pada pertimbangan antisipatif antara lain adanya kondisi bahwa biaya yang dikeluarkan negara dalam melakukan penyelamatan perbankan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan tidak sepenuhnya ter- recovery . Di sisi lain, pelaksanaan tugas dan wewenang para pelaksana UU 2/2020 dilandaskan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga sangat beralasan untuk mendapatkan perlindungan. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam keuangan negara yang menjadi pedoman bagi pemeriksa baik BPK maupun APH bahwa terjadinya kerugian negara harus dikaitkan dengan adanya unsur perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Hal tersebut mengadopsi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ). Dengan demikian, selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Pemberian Kepastian Norma Hukum Melalui Harmonisasi Keberlakuan Norma UU Yang Terdampak Norma dalam UU 2/2020 Lahirnya UU Nomor 2 Tahun 2020 ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum atau penyesuaian undang-undang terdahulu dalam rangka penanganan pandemi Covid- 19 dan/atau krisis perekonomian dan/atau sistem keuangan. Dengan demikian, terhadap norma-norma yang dilakukan penyesuaian dalam UU 2/2020 perlu dilakukan harmonisasi agar tidak terjadi dualisme hukum. Norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 yang berisi pencabutan beberapa ketentuan undang-undang terdahulu akan memberikan kepastian norma hukum yang berlaku untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana telah dijelaskan, penyesuaian norma-norma tersebut dimungkinkan berdasarkan Hukum Administrasi Negara dalam bentuk pemberian kewenangan atribusi. Selain itu, beberapa norma disesuaikan untuk jangka waktu tertentu sesuai 154 dengan kebutuhan penanganan pandemi Covid-19. Pelaksanaan pemberian kewenangan atribusi dan/atau penyesuaian norma dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tersebut dilakukan dengan memenuhi tata kelola yang baik dan memperhatikan batasan-batasan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 didasarkan pada kebutuhan kepastian hukum regulasi yang berlaku, bukan sewenang-wenang sesuai dalil Para Pemohon. Sebelum mengakhiri Keterangan Presiden ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan fakta-fakta perbaikan kondisi perekonomian di Kuartal II 2020 sebagai implikasi pelaksanaan kewenangan Pemerintah berdasarkan kebijakan dalam UU 2/2020. Beberapa indikator sektoral telah bergerak ke arah positif pada bulan Juni 2020. Membaiknya perdagangan internasional telah mendorong kinerja perpajakan. Pada sektor riil, konsumsi masyarakat mengalami rebound namun masih lemah. Selain itu, degup ekonomi pada bidang konstruksi mulai naik serta produksi dalam negeri mulai tumbuh. Cadangan devisa juga meningkat didukung dengan penerbitan SBN Valas. Aktivitas ekspor impor juga menunjukkan tren membaik dengan potensi ekspor ke Tiongkok yang mulai tumbuh. Pada sektor moneter dan keuangan, yield SBN kembali ke kondisi awal tahun 2020, likuiditas perbankan terjaga serta inflasi dalam kondisi terkendali. Implementasi program Pemulihan Ekonomi Nasional yang efektif telah menjadi penggerak utama dari pertumbuhan ekonomi. Untuk lebih mempercepat pemulihan ekonomi, Pemerintah juga telah menerbitkan program baru yaitu pemberian insentif bagi pekerja yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta/bulan. Mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi Kuartal II 2020 yang terkontraksi (minus) 5,32 persen serta realisasi data perekonomian dan sektor keuangan hingga akhir Kuartal III 2020, optimisme terhadap magnitude perbaikan di paruh kedua tahun 2020 perlu sedikit disesuaikan. Dalam hal ini, kendati masih diyakini bahwa kondisi Kuartal III 2020 akan lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya namun besaran tingkat recovery diperkirakan tidak setinggi perkiraan sebelumnya. Mencermati kondisi tersebut, Pemerintah akan tetap terus antisipatif dan adaptif terhadap perkembangan yang ada termasuk ketidakpastian yang masih akan dihadapi. Dalam hal ini, langkah extraordinary yang koordinatif antara Pemerintah, BI, OJK, dan LPS dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menjaga 155 keberlangsungan lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan akan terus dikalibrasi sesuai dengan perkembangan terkini dan diimplementasikan tanpa keraguan karena telah memiliki landasan hukum yang kuat sebagaimana tertuang dalam Lampiran UU 2/2020. Sebagaimana filsuf berkebangsaan Italia, Cicero, katakan, “ Salus populi suprema lex esto ”, bagi Pemerintah saat ini, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara . Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) UU 2/2020 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima. Keterangan Presiden I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Berdasarkan masing-masing permohonannya, yang dimohonkan pengujian oleh Para Pemohon pada pokoknya adalah: Gambar 1: Matriks Pengujian UU 2/2020 156 Adapun batu uji yang digunakan oleh Para Pemohon dalam permohonannya adalah sebagai berikut: Gambar 2 : Batu Uji UUD 1945 Yang Digunakan Para Pemohon II. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil Para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomiannya. 157 Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional Para Pemohon dan tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak di saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. Terhadap legal standing Para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020, Pemerintah sampaikan bahwa Para Pihak dalam perkara dimaksud adalah pihak- pihak yang sama dengan Perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang telah dilakukan pencabutan sesuai Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020. Bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Para Pemohon dalam perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 sama dengan perkara Nomor 51/PUU- XVIII/2020, hal ini diakui oleh Para Pemohon pada sidang pendahuluan tanggal 15 Juli 2020. Oleh karena itu, sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Amar Ketetapan Perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020, Para Pemohon seharusnya tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo . Iii. Keterangan Pemerintah Terhadap Materi Yang Dimohonkan A. Latar Belakang Penerbitan UU 2/2020 1. Latar Belakang Lampiran UU 2/2020 Penyakit akibat virus Covid-19 yang muncul sejak Januari 2020 di Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat dan meluas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai 158 pandemi global. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial yang sangat cepat dari jumlah pasien akibat Covid-19 telah menimbulkan krisis kesehatan di seluruh dunia. Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial dengan berbagai ragam, dari yang sangat ketat ( total lockdown seperti di RRT), hingga yang bersifat pembatasan sosial melalui physical distancing sebagaimana di Indonesia. 160 negara menerapkan penutupan sekolah, dan menerapkan belajar dari rumah. School from home , work from home , dan bahkan ibadah from home juga diterapkan. Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid-19 telah mengakibatkan terhentinya interaksi dan kegiatan sosial masyarakat. Efek domino yang ditimbulkan telah menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,4% menjadi kontraksi (minus) 3%. Selain itu, IMF juga menyebutkan bahwa ekonomi global akan mengalami resesi terdalam sejak the great depression tahun 1930. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia diperkirakan mencapai USD 9 triliun, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman krisis tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi luar biasa ( extraordinary ) tersebut di atas, mendorong berbagai negara melakukan langkah luar biasa untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara-negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika semua melakukan kebijakan ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai diatas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia) dan kebijakan moneter (menurunkan suku bunga, memompa 159 likuiditas - quantitative easing ) dan melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Dapat dikatakan pandemi ini menjadi pelajaran baru bagi seluruh negara dan seluruh pemerintah dalam menyusun kebijakan fiskal untuk mengantisipasi dampak pandemi. Apabila pemerintah terlambat mengantisipasi atau underestimate terhadap dampak pandemi maka akan berbahaya bagi perekonomian nasional yang dapat mengakibatkan krisis ekonomi dan instabilitas sistem keuangan nasional. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh di bawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang di atas 5%. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran. Kondisi tersebut berdampak pada peningkatan kemiskinan. Dalam periode Januari-Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun, baik di pasar saham, pasar SBN maupun SBI. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level di atas Rp16.600 per dolar Amerika dan terdepresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Pemerintah Indonesia juga melakukan langkah yang extraordinary (luar biasa) secara cepat dan signifikan untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampak ancaman sosial, ekonomi dan ancaman sistem keuangan. Tujuannya adalah untuk dapat melakukan berbagai langkah extraordinary untuk pengamanan di bidang kesehatan, perlindungan masyarakat secara luas melalui jaring pengaman sosial, upaya perlindungan dan pemulihan ekonomi serta sistem keuangan. Tidak ada keraguan lagi bahwa pandemi Covid-19 merupakan suatu kegentingan yang memaksa dan menimbulkan daya paksa kepada pemerintah. Kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 merupakan substitute evidence atau fakta yang tidak perlu dibuktikan. Kondisi yang ditimbulkan menciptakan adanya state of emergency . Dalam keadaan seperti ini, sudah timbul fakta sempurna yang memberikan landasan bahwa keadaan tidak biasa, harus dihadapi dengan hukum yang tidak biasa. Implikasi pandemi ini selain jelas menimbulkan masalah kesehatan namun juga telah menjadi fakta umum ( generally known ) menimbulkan masalah ekonomi dan juga masalah sosial. Oleh karena itu, dari sudut pandang hukum tata negara, kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 sudah memberikan dasar 160 yang kuat untuk tidak menggunakan hukum yang biasa. Dalam kondisi demikian, pendapat subjektif presiden mengenai kegentingan yang memaksa akibat Covid-19 tidak untuk diperdebatkan ( notoire feiten ). Negara memiliki proportional necessity untuk menjaga stabilitas dan kepentingan rakyat dalam mengatasi kegentingan yang memaksa. Upaya dimaksud belum memiliki landasan hukum/terdapat kekosongan hukum sehingga diperlukan adanya suatu hukum untuk mengatasi kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19. Langkah Pemerintah menerbitkan Perppu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020 merupakan mandat konstitusi untuk melaksanakan langkah extraordinary dengan tujuan penyelamatan kepentingan masyarakat. Perppu 1/2020 memuat dua kebijakan penting sebagaimana juga dilakukan negara-negara lain, yaitu kebijakan di bidang keuangan negara dan kebijakan di bidang stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Perppu tersebut meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan. Memperhatikan substitute evidence berupa tajamnya penurunan pendapatan negara akibat hampir terhentinya aktivitas ekonomi, sedangkan kebutuhan belanja meningkat tajam dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap masyarakat di masa pandemi Covid-19 maka diperlukan adanya pengaturan mengenai pelebaran defisit anggaran. Melalui Perppu tersebut, batasan defisit anggaran diatur dapat melebihi 3% dari PDB selama masa penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022. Indonesia sama seperti negara-negara lain, mengambil kebijakan pelonggaran defisit dari 1,76% di APBN 2020 menjadi sekitar 6,34 persen dari PDB. Pelonggaran defisit bukanlah merupakan kebijakan yang berdiri sendiri, namun suatu kebijakan yang holistik, dimana Pemerintah secara bersamaan juga melakukan refocusing dan penghematan anggaran dari belanja yang tidak terkait langsung dengan penanganan Covid-19, seperti perjalanan dinas, belanja barang, dan termasuk pembayaran THR tidak diberikan kepada pejabat negara, dan pejabat eselon I dan II. Selanjutnya, Pemerintah telah melakukan tambahan Anggaran belanja sekitar Rp695,2 Triliun untuk penanganan Covid-19. Tambahan belanja ini dibutuhkan 161 untuk belanja program kesehatan dan pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional. Stimulus fiskal dalam menghadapi Covid-19 yang dikeluarkan Pemerintah baik dari sisi sasaran maupun besarannya akan terus disesuaikan mengikuti dinamika sejauh mana dampak Covid-19 terhadap kehidupan masyarakat dan dunia usaha, namun tetap dilakukan dengan memperhatikan kapasitas fiskal dan kesinambungan fiskal jangka panjang. Perppu 1/2020 memberikan legitimasi dan menjadi landasan hukum bagi Pemerintah serta otoritas terkait untuk mengambil langkah-langkah cepat namun akuntabel untuk perlindungan masyarakat, ekonomi dan stabilitas sistem keuangan sebagai wujud kehadiran Negara dalam penanganan pandemi. Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud legitimasi kehadiran Negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19 maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) seiring ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah- langkah extraordinary di bidang keuangan Negara dan sektor keuangan, dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, ekonomi, dan keuangan sebagai akibat dari pandemi Covid-19.
Pengesahan Perppu 1/2020 Menjadi UU 2/2020 Setelah Presiden menetapkan Perppu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah pada tanggal 1 April 2020 telah menyampaikan Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR. Setelah melalui beberapa kali rapat kerja, DPR menyetujui Perppu 1/2020 menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sesuai kewenangannya berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Dengan disetujuinya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dengan adanya persetujuan DPR dimaksud, telah memberikan kepastian akan keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam melakukan penyelamatan kesehatan masyarakat juga menyelamatkan negara dari ancaman krisis perekonomian di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. 162 B. Bantahan Dalil-Dalil Para Pemohon 1. Keterangan Presiden Atas Uji Formil UU 2/2020 Dalam permohonannya, Para Pemohon dalam perkara Nomor 37 dan 45/PUU- XVIII/2020 menyatakan bahwa UU 2/2020 bertentangan dengan UUD 1945 secara formil karena pembahasan dan penetapannya tidak pada masa sidang berikutnya. Dalil Pemohon tersebut didasarkan pada penafsiran bahwa “persidangan yang berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 dimaknai sebagai “masa sidang yang berikutnya”. Terhadap dalil Para Pemohon, dapat Pemerintah sampaikan bahwa:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut.
Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011) yang mengadopsi Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa “ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. ” Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 disebutkan “ Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan. ” c. Berdasarkan ketentuan Pasal 221 ayat (3) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib (selanjutnya disebut Peraturan Tata Tertib DPR), masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 13 Peraturan Tata Tertib DPR, masa sidang adalah masa DPR melakukan kegiatan di dalam gedung DPR. Berdasarkan hal-hal tersebut, terdapat penggunaan frasa yang berbeda antara UUD 1945, UU 12/2011 dan Peraturan Tata Tertib DPR, mengenai norma waktu Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR. Frasa “Persidangan Yang Berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 diterjemahkan dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 sebagai masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan. Di samping itu, frasa “Masa Sidang Pertama” tidak ditemukan dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Frasa yang digunakan dalam Peraturan Tata Tertib DPR adalah “Masa Persidangan” yang terdiri dari “Masa Sidang” dan “Masa Reses”. 163 Selanjutnya, tahun sidang dibagi dalam 4 masa persidangan (bukan “masa sidang”) yang dimulai tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada 15 Agustus tahun berikutnya. Sesuai penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa masa sidang pertama yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 52 merujuk pada penghitungan norma waktu pemberian persetujuan DPR yaitu setelah disampaikannya Perppu oleh Presiden, sehingga tidak dapat dimaknai merujuk pada masa persidangan pertama dari 4 masa persidangan dalam 1 tahun masa sidang yang waktunya adalah di bulan Agustus. Selain itu, dalam konteks kegentingan yang memaksa/ state of emergency terbitnya Perppu, frasa “masa sidang pertama” lebih tepat dimaknai sebagai masa persidangan terdekat/tercepat setelah disampaikannya Perppu oleh Presiden. Prof. Dr. Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H. (Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi/Guru Besar Ilmu Perundang-undangan, FHUI) menyatakan Perppu jangka waktunya terbatas (sementara), sehingga secepat mungkin harus dimintakan persetujuan DPR. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, maka setelah Perppu 1/2020 diundangkan pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah segera menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR pada tanggal 1 April 2020. Dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional mengakibatkan diperlukannya dana yang besar untuk memberikan dukungan pada bidang kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan insentif dunia usaha. Perppu 1/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber-sumber pembiayaan. Pelaksanaan kebijakan Perppu 1/2020 sebagai dasar penanganan pandemi Covid-19 maupun ancaman terhadap perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang menyertainya memerlukan pengeluaran yang sangat besar dan berkelanjutan. Kebijakan extraordinary melalui Perppu 1/2020 yang diputuskan oleh Presiden dalam situasi kegentingan memaksa sebagai implementasi hak subjektif Presiden sesuai mandat konstitusi membutuhkan kepastian yang segera untuk keberlanjutan dalam pelaksanaannya sehingga perlu segera mendapat persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. 164 Respon DPR yang secara cepat dalam proses pembahasan dan persetujuan Perppu 1/2020 merupakan wujud kesamaan pandangan wakil rakyat atas kondisi kegentingan memaksa yang harus diambil Pemerintah dan untuk memberikan kepastian keberlanjutan kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah dalam Perppu 1/2020. Kebijakan tersebut ditujukan untuk penyelamatan masyarakat dan negara di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Langkah yang diambil oleh Pemerintah dan DPR tersebut merupakan wujud penyelamatan rakyat sebagaimana adagium “Salus Populi Suprema Lex Esto” dari Cicero yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Sebagai respon atas situasi kegentingan memaksa dan dengan tujuan perlindungan kepada rakyat dan Negara dalam situasi extraordinary , maka persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU yang dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020, menurut Pemerintah perlu diapresiasi dan menunjukan ketaatan kepada hukum dan konstitusi sebagaimana amanat Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memenuhi kuorum karena dilakukan melalui rapat virtual dan tidak dilakukan voting , dapat Pemerintah sampaikan keterangan sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan Pasal 232 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3), kuorum rapat DPR terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah fraksi.
Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tersebut, dihadiri oleh 438 Anggota DPR (355 orang mengikuti secara virtual dan 83 orang hadir secara fisik). Kehadiran secara virtual Anggota DPR dalam Rapat Paripurna tersebut merupakan bentuk ketaatan terhadap kebijakan physical distancing sebagai protokol pencegahan Covid-19 dalam situasi extraordinary dan telah menjadi proses bisnis dalam era new normal di seluruh lembaga/institusi/masyarakat. 165 Dengan demikian, kehadiran secara virtual harus diperlakukan sama dengan kehadiran secara fisik sehingga sekali tidak mengurangi esensi dari pemenuhan kuorum. Dalam kehadiran secara virtual, para Anggota DPR tetap dapat menyampaikan pandangan dan pendapatnya secara bebas dan mandiri. Dengan demikian, Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sebagai forum tertinggi persetujuan pengesahan Perpu 1/2020 telah memenuhi kuorum sebagaimana dipersyaratkan UU MD3.
Dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 terdapat 1 fraksi yang tidak menyetujui, sedangkan 8 fraksi lainnya menyatakan menyetujui. Dengan demikian, karena hanya 1 fraksi yang tidak menyetujui, Ketua DPR menyatakan penetapan Perppu menjadi UU melalui Surat Keputusan DPR RI Nomor 5/DPR RI/III/2019-2020 tanggal 12 Mei 2020. Terkait dalil Para Pemohon yang menyatakan pembahasan penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 harus melibatkan DPD, dapat Pemerintah sampaikan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu cukup mendapat persetujuan DPR. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, kewenangan untuk memberikan persetujuan atas Perppu ada pada DPR. Namun demikian, baik dalam pelaksanaan Perppu 1/2020 maupun UU 2/2020, Pemerintah tetap melaksanakan konsultasi dengan DPD. Terhadap pengujian formil yang diajukan Para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU- XVIII/2020, perlu Pemerintah sampaikan bahwa pengujian formil dimaksud telah melewati tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari untuk mengajukan pengujian formil sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Mahkamah Konstitusi. Tenggat waktu pengajuan pengujian formil undang-undang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 tanggal 16 Juni 2010 adalah 45 (empat puluh lima) hari setelah undang-undang disahkan dan dimuat dalam Lembaran Negara RI.
Keterangan Presiden Atas Uji Materi UU 2/2020 Sebelum menyampaikan keterangan atas dalil-dalil yang diajukan Para Pemohon, perlu Pemerintah sampaikan DPR sebagai wakil rakyat, pemegang fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan telah menyetujui seluruh substansi Lampiran UU 2/2020. Oleh karenanya, dalil-dalil Para Pemohon yang mempermasalahkan perlunya persetujuan DPR atas beberapa kebijakan dalam 166 Lampiran UU 2/2020 seperti pelebaran defisit anggaran, penerbitan SUN dan/atau SBSN, pengenaan pajak terhadap PMSE, fasilitas pembebasan bea masuk, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dan pinjaman LPS kepada Pemerintah sudah tidak relevan lagi untuk dipertentangkan dengan pelaksanaan fungsi DPR. Kebijakan-kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 merupakan langkah extraordinary yang diperlukan Pemerintah dalam menghadapi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19. Oleh karenanya, DPR memahami perlunya dasar hukum bagi Pemerintah untuk mengambil tindakan secara cepat dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, penyelamatan ekonomi dan keuangan sebagai akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, tidak terdapat permasalahan konstitusional atas norma-norma dalam Lampiran UU 2/2020.
Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Sesuai dengan judul pada Lampiran UU 2/2020, ruang lingkup pengaturan Lampiran UU 2/2020 meliputi kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan terhadap penanganan pandemi Covid-19, ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan ancaman yang membahayakan stabilitas sistem keuangan. Ruang lingkup Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak semata-mata hanya penanganan pandemi Covid-19 saja tetapi juga dampak dari pandemi Covid-19 sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang sangat mempengaruhi perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Dalam konsideran huruf a dan b Lampiran UU 2/2020 dijelaskan bahwa pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak. Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik, sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan KSSK untuk melakukan tindakan antisipatif ( forward looking ) guna menjaga stabilitas sektor keuangan. 167 Apabila dicermati, dalam Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan efek domino tidak hanya kesehatan tapi juga sektor ekonomi, keuangan dan stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, konsideran dan judul Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dan konsisten sehingga tidak ada yang berbeda dengan ruang lingkup Lampiran UU 2/2020. Ketidakpastian penyebaran dan berakhirnya pandemi Covid-19 akan berdampak pada ketidakpastian seberapa dalam pemburukan ekonomi sehingga Pemerintah memerlukan landasan hukum dan fleksibilitas untuk melakukan penyelamatan di bidang kesehatan maupun perekonomian. Oleh karena itu, UU 2/2020 merupakan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah guna penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 pada dasarnya adalah wujud kehadiran negara dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan mencegah krisis perekonomian dan sektor keuangan. Selain itu, terhadap dalil Para Pemohon perkara 37/PUU-XVIII/2020 yang meminta UU 2/2020 perlu ada batas waktu berlakunya yaitu sepanjang masa darurat penanganan Covid-19 atau sampai dengan status kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 dicabut oleh Presiden maka dapat Pemerintah sampaikan bahwa Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk penanganan Covid-19 beserta efek domino yang ditimbulkan terhadap perekonomian dan ancaman stabilitas sistem keuangan. Tingkat kedalaman efek domino yang ditimbulkan pandemi Covid-19 tidak dapat diukur secara pasti seiring dengan ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Bahwa dengan ketidakpastian pandemi Covid-19, UU 2/2020 telah mengantisipasi hal tersebut untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah khususnya dalam rangka pemulihan ekonomi yang sangat tergantung kepada kedalaman dampak pemburukan ekonomi yang terjadi namun dalam ketentuan tertentu ada batas waktu berlakunya. Dengan demikian, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi akibat pandemi Covid-19. 168 Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), tidak ada ketentuan yang mengatur tentang batas akhir berlakunya Perppu. Namun demikian, terkait dengan hal ini dapat Pemerintah sampaikan bahwa secara substansi, kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dibatasi untuk penanganan pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas pelaksanaan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 dan penyelamatan perekonomian, namun pada prinsipnya Pemerintah secara konsisten menjaga akuntabilitas pelaksanaan anggaran antara lain tercermin dalam penetapan pelebaran defisit. Meskipun terdapat fleksibilitas pelebaran defisit, namun mulai tahun anggaran 2021 Pemerintah akan menyampaikan UU APBN yang di dalamnya juga dibahas mengenai defisit sehingga besaran pelebaran defisit akan ditentukan bersama oleh Pemerintah dan DPR. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang dapat menjamin kapan pandemi Covid-19 akan selesai dan tidak dapat dipastikan pula seberapa dalam perlambatan/pemburukan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19. Atas dasar tersebut, keberlakuan UU 2/2020 tidak memiliki jangka waktu dikarenakan tidak dapat dipastikan seberapa besar dan seberapa lama ancaman perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terjadi di Indonesia. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung maka dampaknya pun semakin berat. Ketidakpastian tersebut terbukti dengan masih adanya peningkatan jumlah kasus penderita Covid-19 saat ini sehingga sebagian Pemerintah Daerah kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Harapan perbaikan perekonomian di Kuartal III 2020 dari -5,32% di Kuartal II 2020 menjadi positif diprediksi tidak mungkin terwujud bahkan potensi resesi menjadi semakin besar. Dengan norma dalam UU 2/2020 yang memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk menentukan kebijakan, Pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan langkah-langkah recovery maupun antisipatif. Untuk menanggulangi peningkatan penyebaran Covid-19 di daerah, Pemerintah Pusat telah memberikan pinjaman kepada Pemda terdampak dan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak. Ketersediaan fasilitas kesehatan pun telah memadai untuk menghadapi peningkatan jumlah penderita. Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan yang 169 ditetapkan Pemerintah bersama DPR dalam UU 2/2020 semata-mata bertujuan memberikan legitimasi bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah pencegahan negara dari krisis kesehatan dan perekonomian. Namun demikian, terdapat ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 yang dibatasi masa keberlakuannya, seperti:
Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 Lampiran UU 2/2020 yang mengatur mengenai pelebaran defisit APBN; __ b. Perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan mengacu pada penetapan periode kahar akibat pandemi Covid-19;
Kebijakan stabilitas sistem keuangan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 bertujuan untuk mengatasi permasalahan pada stabilitas sistem keuangan dan perekonomian akibat dari dampak pandemi Covid-19. Penetapan berakhirnya kondisi stabilitas sistem keuangan dan perekonomian akibat dari dampak pandemi Covid-19 tersebut ditetapkan oleh KSSK sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf a Lampiran UU 2/2020.
Kebijakan Keuangan Negara 1) Pelebaran Defisit Anggaran dan Program PEN Pelebaran defisit lebih dari 3% PDB merupakan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah agar upaya penanganan Covid-19 dapat berjalan efektif dan upaya pemulihan ekonomi serta stabilitas sektor keuangan dapat dipercepat, sehingga upaya pemulihan sosial-ekonomi dalam situasi extraordinary pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Pelebaran defisit dalam APBN 2020 terutama disebabkan adanya penurunan di sisi pendapatan, dan tambahan kebutuhan belanja yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa dan kegiatan dunia usaha. Penurunan di sisi pendapatan yang sangat signifikan terutama dipengaruhi oleh faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan harga minyak dan komoditas, di samping karena adanya berbagai insentif yang berperan sebagai stimulus bagi perekonomian nasional seperti insentif perpajakan untuk dunia usaha. Sementara itu, kebutuhan belanja negara bertambah terutama disebabkan oleh adanya tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 dan tambahan stimulus untuk kesehatan, social safety net , serta dukungan terhadap dunia usaha dan UMKM. Sebagai upaya penanganan keadaan darurat, pemberian kewenangan pelebaran defisit kepada Pemerintah dalam Perppu 1/2020 didasarkan pada mandat Presiden 170 sebagai Kepala Pemerintahan yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Dengan telah disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pelebaran defisit tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 23 UUD 1945. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, tetapi pelebaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 akan dibahas bersama DPR melalui mekanisme RAPBN sehingga esensi Pasal 23 UUD 1945 masih terjaga untuk APBN tahun mendatang. Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan-pembatasan yaitu: Pertama , kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Kedua , pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu dibatasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Pemohon juga mendalilkan Pasal 11 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 karena Pemerintah menetapkan program PEN tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR. Selain itu, program PEN bersumber dari APBN sehingga Pemerintah tidak dapat melaksanakan PEN tanpa membahas terlebih dahulu dengan DPR yang memiliki fungsi anggaran. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa program PEN yang merupakan salah satu materi muatan dalam Perppu 1/2020, telah disampaikan Pemerintah kepada DPR dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang. Pemerintah telah menyampaikan RUU Perppu 1/2020 dimaksud kepada DPR pada tanggal 1 April 2020 dan telah dibahas secara intensif bersama dengan DPR dalam Rapat Kerja. Selanjutnya, pada Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan terhadap RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang tersebut, yang tentunya termasuk pula program PEN dimaksud. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan penetapan batasan defisit anggaran dan penetapan program PEN oleh Pemerintah tanpa persetujuan dari DPR tidak sesuai dengan fakta hukum yang ada. 171 Program PEN yang ditetapkan dalam Pasal 11 Lampiran UU 2/2020 merupakan pendukung dan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan keuangan negara. Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, serta penyelamatan ekonomi nasional. Program PEN dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sebagai wujud dari tata kelola yang baik dalam pelaksanaan Program PEN tersebut, Pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksanaan berikut:
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Investasi Pemerintah;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.05/2020 tentang Penempatan Uang Negara Pada Bank Umum Dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.08/2020 tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah Melalui Badan Usaha Penjaminan Yang Ditunjuk Dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin Untuk Kredit/Pembiayaan Usaha 172 Mikro, Usaha Kecil, Dan Usaha Menengah Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional 8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 21A PP Nomor 43 Tahun 2020, diatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan dan Program PEN, pejabat perbendaharaan dan pejabat yang mengelola Program PEN melaksanakan penyaluran dana dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Program PEN. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa proses pelaksanaan PEN, yaitu:
Penetapan dasar hukum perubahan APBN dan program PEN a) Program PEN diatur dalam PP 23/2020 sebagai implementasi dari Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020. b) Telah dilakukan perubahan Perpres 54/2020 menjadi Perpres 72/2020 untuk menampung kebutuhan pendanaan untuk program PEN senilai Rp 695,2 T (pelebaran defisit dari 5,07% PDB menjadi 6,34% PDB).
Berkonsultasi dengan DPR RI Perubahan APBN yang ditetapkan di dalam Perpres 72/2020 telah dibahas dan dikoordinasikan dengan DPR RI (Komisi XI dan Badan Anggaran) termasuk kebutuhan anggaran dan kebijakan Program PEN.
Adanya Kerjasama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) a) Dengan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan APH yaitu KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung serta BPK dalam rangka monitoring pelaksanaan PEN. b) Direktorat Litbang KPK telah membentuk 5 (lima) Satuan Tugas (Satgas) untuk memantau perkembangan PEN. 173 c) Kerjasama dengan APH juga turut melibatkan Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga.
Pembentukan Pola Monitoring Proses monitoring dan evaluasi dilakukan secara berjenjang di internal Kementerian Keuangan. Proses monitoring dan evaluasi dimulai kelompok kerja yang dipimpin oleh Pejabat Eselon I yang dilakukan setiap hari, laporan ke Wakil Menteri Keuangan setiap 3 hari dan laporan ke Menteri Keuangan setiap minggu. Dalam setiap jenjang, dibahas perkembangan pelaksanaan program, identifikasi permasalahan, dan perumusan solusi untuk mengakselerasi dan mendorong efektivitas program PEN. Pengawasan PEN diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.09/2020 tentang Pedoman Pengawasan Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional. Pemerintah telah menetapkan dan melaksanakan program kesehatan dan kebijakan PEN dengan penyediaan anggaran senilai Rp 695,2 triliun, dengan rincian untuk program kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun dan untuk program PEN dengan total anggaran Rp607,65 T yang terbagi dalam 5 (lima) sektor yaitu perlindungan sosial (Rp203,91 triliun), UMKM (Rp 123,47 triliun), Sektoral K/L dan Pemda (Rp 106,05 triliun), Pembiayaan Korporasi (Rp 53,6 triliun) dan Insentif Usaha (Rp 120,61 triliun). Rincian program dan realisasi anggaran program dimaksud per 30 September 2020 adalah sebagai berikut: Gambar 3 : Program Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi Nasional 174 Realisasi program PEN telah mengalami akselerasi yang signifikan selama bulan Agustus dan September 2020. Akselerasi tersebut didukung antara lain karena adanya percepatan belanja penanganan Covid-19, percepatan program PEN lainnya (seperti DAK Fisik, DID Pemulihan, dan Prakerja), dan adanya program- program baru yang langsung segera direalisasikan (bantuan produktif UMKM dan subsidi gaji/upah). Per 30 September 2020, progress realisasi belanja program kesehatan mencapai 25% dari pagu anggaran. Rincian realisasi anggaran tersebut adalah sebagai berikut: insentif tenaga kesehatan pusat dan daerah (Rp3,13T), santunan kematian tenaga kesehatan (Rp0,029T), gugus tugas Covid-19 (Rp3,22T), belanja penanganan Covid-19 (Rp11,70T), bantuan iuran JKN (Rp1,19T), dan insentif perpajakan kesehatan (Rp2,66T). Keseluruhan program pada klaster Perlindungan Sosial telah dilaksanakan dengan realisasi mencapai 77% dari pagu per 30 September 2020. Program dengan realisasi belanja paling besar pada periode tersebut adalah Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp36,26T, Kartu Sembako sebesar Rp32,4T, Bansos Tunai Non-Jabodetabek sebesar Rp25,54T, Kartu Prakerja sebesar 19,46T, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa sebesar Rp12,28T. Pada klaster Sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, realisasi anggaran mencapai 25,1% dari pagu atau sebesar Rp26,61T per 30 September 2020. Realisasi belanja terbesar terserap pada program Padat Karya dengan nilai sebesar Rp13,23T yang menghasilkan output sebanyak 1,97 juta pekerja. Rincian 175 realisasi program lainnnya pada klaster ini adalah sebagai berikut: DID Pemulihan Ekonomi (Rp7T), DAK Fisik (Rp6,83T), Bantuan Operasional Pesantren (Rp2,02T), Perluasan PEN KemenPUPR (Rp0,53T), dan Peta Peluang Investasi (Rp0,0001T). Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Alokasi cluster kesehatan semula Rp87,55T menjadi Rp 87,93T, alokasi cluster perlindungan sosial semula Rp203,9T menjadi Rp239,53T dan alokasi cluster UMKM semula Rp123,46T menjadi 128,21T. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Indonesia merupakan negara yang pangsa usahanya didominasi oleh UMKM sehingga keberlangsungan ( sustainability ) usaha UMKM harus tetap dipertahankan. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menunjukkan bahwa pada tahun 2018 terdapat 64.2 juta unit UMKM di Indonesia, yang telah menyumbang 99% pangsa usaha di Indonesia. Sebagian besar UMKM bergantung kepada kegiatan ekonomi harian atau day to day basis untuk mempertahankan keberlangsungan usahanya. Penerapan social and physical distancing menjadi kendala terhadap kegiatan ekonomi UMKM. Dalam rangka memberdayakan keberlangsungan UMKM di tengah pandemi Covid- 19, Pemerintah telah melakukan berbagai langkah-langkah strategis, yaitu penempatan dana pada perbankan untuk membantu penyaluran kredit UMKM dan menanggung PPh Final bagi UMKM. Selain itu, Pemerintah juga memberikan subsidi bunga bagi UMKM dengan pagu anggaran sebesar Rp35,3 triliun dengan rincian untuk penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp5 triliun, Non-KUR Perbankan, BPR, dan Perusahaan Pembiayaan sebesar Rp27,2 triliun, Non-KUR PT Permodalan Nasional Madani (Persero) dan Pegadaian sebesar Rp2,4 triliun, dan sebesar Rp0,7 triliun untuk penerima Non-KUR Koperasi. Insentif kepada UMKM juga diberikan dengan skema pembiayaan investasi kepada Koperasi melalui LPDB KUMKM dengan total alokasi yang sudah dicairkan sebesar Rp1 triliun. Untuk menjamin kredit yang diberikan kepada UMKM, Pemerintah memberikan penjaminan dengan pagu sebesar Rp6 triliun. Pemerintah melalui kementerian/lembaga, BUMN, dan Pemda juga bertindak sebagai penyangga dalam 176 ekosistem UMKM terutama pada tahap pemulihan dan konsolidasi usaha setelah pandemi Covid-19. Dapat Pemerintah sampaikan juga bahwa agar realisasi penanganan Covid-19 dan program PEN dapat terus dipercepat maka Pemerintah telah mempercepat penyelesaian regulasi dan penyederhanaan administrasi, mempercepat implementasi program untuk mendukung keberlangsungan dunia usaha, dan memperkuat komunikasi publik untuk meningkatkan kesadaran publik serta mendapatkan feedback .
Kebijakan di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan a) Penyesuaian Tarif Pajak Kebijakan penurunan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan upaya nyata Pemerintah mengurangi beban pengusaha dalam tren global yang mengalami penurunan sehingga sejauh mungkin tidak terjadi PHK. Dengan penurunan tarif PPh Badan dan BUT, maka beban pajak yang ditanggung perusahaan menjadi berkurang, sehingga arus kas dan kesehatan perusahaan dapat bertahan di tengah pandemi Covid-19 dan potensi PHK oleh perusahaan akan berkurang. Insentif pajak ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. Terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pengaturan insentif pajak harus diikuti dengan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)”, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pengaturan terkait ketenagakerjaan terutama terkait PHK telah diatur secara jelas dalam UU Ketenagakerjaan. Adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan penyesuaian tarif PPh Badan akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh pihak. Selain itu, atas dalil Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b Lampiran UU 2/2020 harus ditambahkan frasa “ paling tinggi ” sesuai dengan sektor usaha tertentu, perlu Pemerintah sampaikan bahwa apabila mengikuti logika Pemohon dimaksud, maka dibutuhkan pengaturan mengenai kriteria Wajib Pajak dan batas-batas ( range ) 177 besaran tarif PPh yang akan dikenakan. Di samping itu, dalam implementasinya akan sulit untuk menentukan bidang-bidang usaha wajib pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan, karena secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral. Dengan demikian, penambahan frasa “ paling tinggi ” yang didalilkan Pemohon akan menimbulkan kesulitan dan kerumitan dalam implementasi pemajakannya dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Lebih lanjut, Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 juga berpendapat jika seharusnya pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b memberikan insentif pajak secara maksimal kepada badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19. Terhadap dalil tersebut, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pemberian insentif penurunan PPh badan diberikan kepada seluruh dunia usaha karena tidak dapat dipungkiri jika dampak akibat Covid- 19 dialami oleh semua sektor usaha. Beberapa kebijakan Pemerintah antara lain pembatasan sosial ( social/physical distancing ), pembatasan perjalanan, karantina wilayah, bekerja dari rumah ( work from home ) dan tetap tinggal di rumah ( stay at home ) telah berdampak pada menurunnya aktivitas perekonomian dan merosotnya pertumbuhan bisnis di segala bidang. Oleh karena itu, tarif yang bersifat tunggal, berlaku umum dan universal untuk seluruh wajib pajak badan dalam negeri dan BUT dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum. Khusus untuk badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid- 19, Pemerintah telah memberikan fasilitas tambahan yaitu fasilitas pembebasan kepabeanan. b) Perlakuan Perpajakan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) Pandemi Covid-19 memaksa semua orang beraktivitas di rumah seperti work from home, study from home , maupun online shopping sehingga transformasi digital menjadi semakin terakselerasi. Basis pajak dari transaksi digital ini menjadi sangat penting pada saat penerimaan pajak menurun. Oleh karena itu, Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Berdasarkan hal tersebut, maka pengaturan mengenai perlakuan perpajakan terhadap PMSE merupakan konsekuensi logis dari adanya pandemi Covid-19. Pengaturan pemajakan PMSE juga penting dan perlu disegerakan mengingat penerimaan negara mengalami penurunan dan diiringi dengan meningkatnya 178 belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, Pengaturan pemajakan PMSE dalam UU 2/2020 tidak dapat dipertentangkan dengan Putusan MK Nomor 012-016- 019/PUU-IV/2006. Mendesaknya kebutuhan penerbitan dasar hukum pemungutan pajak PMSE tersebut juga dikuatkan dengan beberapa pertimbangan, yaitu:
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memungkinkan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri menikmati fasilitas dan mendapatkan penghasilan dari Indonesia secara signifikan tanpa perlu membayar pajak di Indonesia, sehingga perlu segera dibuat ketentuan yang memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness ) antara semua pelaku usaha, serta menciptakan level playing field yang sama bagi pengusaha untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19.
Besarnya nilai transaksi dan kapitalisasi barang tidak berwujud , perkembangan ekonomi digital di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang paling cepat dan ukuran pasar paling besar di negara-negara Asia Tenggara, dengan proyeksi nilai kapitalisasi ekonomi sebagaimana digambarkan di bawah ini. Gambar 4: Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Dengan mempertimbangkan besarnya ukuran kapitalisasi ekonomi digital tersebut, terdapat beberapa titik perhatian utama dalam cakupan ekonomi digital. Pertama, adanya isu ketidaksetaraan perlakuan akibat perkembangan ekonomi digital bagi masyarakat suatu yurisdiksi, sebagai contoh negara berkembang seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai pasar e-commerce, namun juga harus ikut terlibat sebagai pelaku dalam interaksi ekonomi tersebut. Oleh karena itu, pajak diharapkan menjadi penghambat fiskal terjadinya invasi persaingan lintas yurisdiksi. Kedua, adanya risiko penghindaran pajak dalam skema PMSE, yang dibuktikan secara empiris dengan adanya penggerusan basis pemajakan sebagai 179 konsekuensi pergeseran transaksi yang dilakukan secara konvensional menjadi dilakukan secara elektronik. Lebih spesifik, OECD (2015) mengidentifikasi beberapa isu pergeseran laba dalam skema PMSE untuk menghindari pengenaan pajak di yurisdiksi terjadinya transaksi atau kegiatan ekonomi, antara lain:
menghindari keberadaan sebagai objek pajak (taxable presence) , (2) meminimalkan penghasilan di yurisdiksi pasar dengan cara mengalokasikan penghasilan tersebut ke fungsi, aset atau risiko, dan (3) memaksimalkan biaya atau pengurang penghasilan di yurisdiksi pasar. Dikaitkan dengan aspek ekonomi, kedaulatan , dan strategi untuk melawan praktik penghindaran pajak dalam konteks ekonomi digital, diperlukan perumusan pengenaan pajak yang efisien, terstruktur, komprehensif dan dapat diaplikasikan dalam dinamika evolusi transaksi ekonomi digital (atau PMSE) yang sangat cepat.
Saat ini atas penghasilan yang diperoleh dari kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dikenakan PPh sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan. Sementara itu terdapat isu mendasar dalam pemajakan kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), di mana secara konseptual, pembagian hak pemajakan masih ditentukan oleh ada tidaknya bentuk usaha tetap (BUT) dengan kriteria keberadaan fisik. Lebih lanjut, OECD (2015) menyatakan bahwa konsep penentuan keberadaan fisik sebagai penghasil laba seharusnya diartikan lebih luas dengan mempertimbangkan kondisi dan lokasi di mana kegiatan ekonomi yang menghasilkan profit dilakukan. Dalam konteks ini, OECD (2015) menyatakan bahwa hak pemajakan dapat ditentukan dengan melihat keberadaan ekonomi yang signifikan yang terkait langsung dengan aktivitas ekonomi di suatu yurisdiksi. Konsep penentuan keberadaan suatu bentuk usaha yang dikaitkan dengan kegiatan riil suatu entitas dalam menciptakan laba pada suatu yurisdiksi menjadi penting, mengingat dengan kemajuan teknologi saat ini, sebuah entitas dimungkinkan untuk memberikan pengaruh yang besar (heavily involved) pada suatu bisnis tanpa harus memiliki fixed place atau dependent agent di suatu tempat.
Saat ini pengenaan PPN dan Bea Masuk atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan oleh kegiatan PMSE dipersamakan dengan transaksi konvensional. 180 Subjek pajak yang dikenakan adalah SPDN atau yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Atas penyerahan barang dan jasa dikenakan PPN sebesar 10% (sepuluh persen) sesuai dengan Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Secara keseluruhan, pengaturan yang ada saat ini terkait dengan pemanfaatan Barang Kenapa Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean hanya efektif diterapkan untuk transaksi yang sifatnya Business- to-Business ( B2B ), yakni transaksi yang dilakukan oleh konsumen di Indonesia yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Atas pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean bagi PKP merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Sementara itu, untuk pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang sifatnya Business- to-Customer (B2C), aspek pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakannya belum efektif karena masih menggunakan sistem self-assessment. 5) Adanya potensi penerimaan pajak yang besar. Secara praktis, saat ini barang digital telah masuk ke dalam daerah pabean dan dimanfaatkan, dipakai, dan dimiliki atau dikuasai oleh penduduk di dalam negeri. Beberapa jenis barang yang termasuk dalam definisi barang digital beserta bentuk transaksi, pengiriman, dan perkiraan nilai transaksi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 : Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Indonesia TYPE OF GOODS CONVENTIONAL/NOW NOW/FUTURE VAL. IN 2017 (Rp) SHIPMENT TRANSACTION SALE TRANSACTION Software system and Application Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 14,06 T Game, Video, Music Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 0,88 T Film Cinema Recording Media Express Consignment/ import home use Online Retail Bank 7,65 T Software Spesialis (engineering, design, etc) Recording Media + Manual installment Express Consignment / imported together with the hardware Online Retail/ Special Subscription Online/ Bank Instrument 1,77 T Handphone Software In gadget Express Consignment / import for home use Imported separately/ electronic Transmission Online 44,75 T 181 Pay TV / Broadcast Rights Satelit Bank Instrument Internet Satelite Bank Instrument/ Commercial 16,49 T Fas OTT and Social Media Recording Media Express Consignment/ import for home use Special Subscription Online/ Commercial 17,07 T Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa dari 7 (tujuh) buah poin tersebut, total nilai transaksi dari barang digital mencapai pada angka Rp104,4 triliun. Angka tersebut merupakan gambaran perkiraan pada tahun 2017. Dari total nilai transaksi tersebut, maka potensi dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai mencapai Rp 10,4 triliun dengan menggunakan tarif pajak konsumen sebesar 10% yang berlaku saat ini. Potensi pajak dari PMSE ini dapat semakin besar bila Pemerintah melakukan penarikan PPh perusahaan digital. Sedangkan potensi penerimaan pajak atas kegiatan PMSE dari Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) pada tahun pajak 2020 sebesar Rp3,45T dan sampai tahun pajak 2024 diperkirakan sebesar Rp6,40 T, yang berasal dari 8 SPLN pelaku ekonomi digital saja, belum untuk keseluruhan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri.
Bahwa eksistensi pelaku usaha ekonomi digital yang pada umumnya berdomisili di luar negeri menimbulkan kesulitan tersendiri dalam pemajakannya karena regulasi-regulasi yang ada belum mengatur, sehingga terdapat kekosongan hukum dan menjadi celah (loopholes) yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak dalam jumlah besar karena adanya pengelakan pajak. Kekosongan hukum pengaturan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui proses legislasi karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19 tentunya proses legislasi pembahasan RUU untuk sampai dengan diundangkan menjadi undang- undang akan mengalami banyak kendala dan perlambatan, sehingga menjadi sangat berdasar apabila Presiden memasukkan pengaturan mengenai pemajakan PMSE tersebut dalam Lampiran UU 2/2020. Berikutnya terkait dengan dalil Para Pemohon yang menganggap bahwa pengaturan pajak terhadap PMSE semestinya diatur dalam suatu undang-undang tersendiri dan tidak disisipkan dalam Perppu a quo sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut: 182 1) Berdasarkan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi, untuk menilai konstitusionalitas pengaturan PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 adalah harus dengan melihat substansi norma yang diatur didalamnya dan implikasi atas pengaturan norma tersebut. Sepanjang norma yang diatur didalamnya secara substansial tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan implikasinya tidak mengakibatkan timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan UUD 1945, maka pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 tersebut adalah konstitusional.
Lebih lanjut, Para Pemohon dalam permohonannya sama sekali tidak mendalilkan substansi norma dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga tidak mendalilkan implikasi kerugian nyata yang timbul dan dialaminya dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dalam rapat sidang Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 menunjukkan fungsi legislasi DPR telah digunakan dalam pengaturan pajak PMSE dalam UU 2/2020. Bahwa secara substansial, norma-norma dan implikasi yang timbul dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 justru selaras dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dapat Pemerintah jelaskan sebagai berikut:
Bahwa norma pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 secara substansial justru menghadirkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, karena dengan pengaturan pajak PMSE maka: a) akan menutup celah pengaturan ( loopholes ) yang dapat mengakibatkan timbulnya penghindaran dan pengelakan pajak yang akan menggerus potensi penerimaan pajak yang merugikan penerimaan negara; b) memastikan ketentuan pemajakan berlaku secara adil dan tidak diskriminatif antara Subjek Pajak luar negeri dan Subjek Pajak dalam negeri; c) menciptakan kesetaraan dalam berusaha ( level of playing field ) baik antara pelaku usaha konvensional dan pelaku usaha ekonomi digital maupun antara pelaku usaha ekonomi digital di dalam negeri dan luar negeri; d) memberikan keadilan ( fairness ) antara pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik. Pengenaan pajak terhadap PMSE juga sudah diadopsi 183 berbagai negara dengan pengaturan yang secara substansi sama, seperti Perancis, India, Spanyol, Australia, Inggris, Italia, Singapura dan Malaysia.
Apabila ketentuan mengenai pengaturan pajak PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 ini dibatalkan, maka justru tidak ada jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil karena akan muncul kembali kekosongan hukum yang secara langsung berakibat pada hilangnya penerimaan pajak (kerugian penerimaan negara) terutama dalam kondisi saat ini dimana penanganan pandemi Covid-19 membutuhkan biaya yang sangat besar dan karena ketidakpastian kapan pandemi berakhir dan dampak ikutan (multiplier effect) yang ditimbulkan, maka __ kebutuhan biaya/anggaran penanganannya pun sangat mungkin bertambah. c) Pengaturan Besaran Tarif Pajak PMSE Dengan Atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang ( transfer of power ). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan ( the power of rule making ), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi ( delegation of the rule-making power ) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan. Hal tersebut berarti pembentuk undang-undang memberikan delegasi kepada Pemerintah untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Lebih lanjut, Prof. Dr. Maria Farida Indrati S, dalam buku ”Ilmu Perundang- Undangan” berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah merupakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam suatu undang-undang yang secara tegas disebutkan. Fungsi ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Apabila ketentuan dalam undang-undang belum cukup mengatur dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka dapat dilakukan pendelegasian 184 kewenangan pengaturan. Hal ini sejalan dengan Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-VII/2009: “Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah (delegated regulations), maka tercapainya tujuan (doelmatigheid) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum.” Pengaturan besaran tarif pajak PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk mengikuti perkembangan dunia usaha terutama pada kondisi pandemi Covid-19. Menyadari hal tersebut, maka pengaturan mengenai besaran tarif pajak PMSE dalam Peraturan Pemerintah telah tepat karena akan menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong perekonomian. Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan atribusi untuk mengatur pengenaan besaran tarif pajak PMSE dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Hal tersebut juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut, pemberian kewenangan atribusi telah sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU 2/2020. Pendelegasian wewenang undang-undang untuk mengatur lebih lanjut suatu ketentuan melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya merupakan suatu kebijakan pembentuk undang-undang ( opened legal policy ) sehingga peraturan tersebut dianggap sah dan sesuai dengan UUD 1945. Selain itu, pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah diperlukan Pemerintah untuk menjadi landasan hukum yang lebih rinci dan operasional sekaligus merupakan diskresi yang dibenarkan oleh hukum administrasi. 185 Pengaturan lebih lanjut mengenai besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah bukanlah hal yang baru ( precedented ), karena ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan, yaitu:
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah” b. Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)” Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 telah menolak permohonan uji materi yang pada pokoknya mempersoalkan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besaran tarif PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Selain itu dapat Pemerintah sampaikan, Para Pemohon bukanlah adressat atau subjek hukum dari pengaturan PMSE karena Para Pemohon tidak memenuhi kriteria subjek pajak dalam ketentuan Pasal 6 Lampiran UU 2/2020. d) Pemberian Fasilitas Kepabeanan Sebagai upaya Pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19 dan juga mengantisipasi terjadinya ancaman di masa depan yang dapat membahayakan perekonomian nasional, maka fleksibilitas dalam pemberian fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk sangat diperlukan. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 merupakan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan atas pengelolaan fiskal yang menjadi kewenangan dari Menteri Keuangan berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU Keuangan Negara, sehingga tidak bertentangan dengan tugas dan fungsi menteri yang lain. Kewenangan dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak bersifat absolut dan tidak berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang, karena dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik dan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), sehingga dapat dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mekanisme pemberian pembebasan atau keringanan Bea Masuk 186 tersebut dilakukan secara akuntabel dengan tetap mendasarkan pada peraturan lain yang terkait maupun masukan/pertimbangan dari kementerian/lembaga terkait. Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, dengan disahkannya Perppu 1/2020 oleh DPR menjadi UU 2/2020 maka secara mutatis mutandis DPR telah memberikan persetujuan kepada Menteri Keuangan dalam melaksanakan kewenangan khusus untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian keuangan dan/atau stabilitas sistem keuangan dan bukan untuk impor barang lainnya. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan ditetapkan dalam produk hukum yang sama dengan UU Kepabeanan yaitu UU 2/2020. Dengan demikian, pemberian kewenangan tersebut tidaklah menyalahi hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 karena UU Kepabeanan dan UU 2/2020 memiliki tingkat hierarki yang sederajat. Pemberian kewenangan atribusi kepada Menteri Keuangan dimaksud juga telah sesuai dan sejalan dengan ketentuan pasal 12 ayat (1) huruf a UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang antara lain menyebutkan bahwa badan atau pejabat pemerintahan memperoleh wewenang melalui atribusi apabila diatur dalam UUD 1945 dan/atau undang-undang. Dengan memperhatikan domino effect dari Covid-19, maka pengaturan atas barang- barang yang akan diberikan pembebasan bea masuk akan lebih memadai dan responsif jika diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Pengaturan mengenai jenis barang dalam PMK memberikan fleksibilitas bagi pengambil kebijakan dalam menghadapi dinamika serta ketidakpastian akan kebutuhan barang untuk penanganan Covid-19 di dalam negeri. Dapat Pemerintah sampaikan, Menteri Keuangan telah menerbitkan PMK Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 34/2020) pada tanggal 16 April 2020. Pada bagian lampiran butir A PMK 34/2020 telah diatur 73 jenis barang untuk penanganan Covid- 19 yang dibebaskan bea masuknya. Selanjutnya atas PMK 34/2020 telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan 187 dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 83/2020) pada tanggal 6 Juli 2020. Pada lampiran PMK 83/2020 telah mengubah daftar jenis barang yang telah dibebaskan bea masuknya menjadi 49 jenis barang. Hal tersebut telah menunjukkan Menteri Keuangan selaku penerima kewenangan atribusi tidak secara semena- mena menggunakan kewenangan dimaksud karena penerbitan PMK mengenai pemberian fasilitas pembebasan bea masuk selalu dikontrol dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan dan dampaknya terhadap kondisi dan situasi nasional.
Penerbitan SUN dan/atau SBSN Untuk Dibeli Oleh Bank Indonesia Selain mendukung produktivitas dunia usaha melalui berbagai stimulus, koordinasi moneter-fiskal melalui pembelian Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) jangka panjang di pasar perdana akan menciptakan stimulus bagi agen ekonomi di tengah perlambatan permintaan agregat dalam rangka menghindarkan terjadinya krisis ekonomi karena dampak pandemi yang berkepanjangan (John Maynard Keynes: Konsep Makroekonomi Sisi Permintaan, 1933). Selanjutnya, Paul A. McCulley, mantan Chief Economist & Managing Director PIMCO menyatakan bahwa keterpaduan kebijakan moneter- fiskal adalah suatu keniscayaan dalam mengatasi permasalahan pada permintaan agregat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ben Bernanke, Chairman of The Fed periode 2006 - 2014 yang mengklaim tentang perlunya perpaduan kebijakan moneter-fiskal sebagai berikut: " Under the current circumstances [of a liquidity trap], greater cooperation for a time between the [monetary] and the fiscal authorities is in no way inconsistent with the independence of central bank[s], any more than cooperation between two independent nations in pursuit of a common objective [or, for that matter, cooperation between central banks and fiscal authorities to facilitate war finance] is inconsistent with the principle of nation sovereignty.” Dampak pandemi Covid-19 di Indonesia telah mengharuskan Pemerintah untuk membiayai penanganan masalah kesehatan dan penyelamatan/pemulihan perekonomian nasional dengan cara antara lain menerbitkan SUN dan/atau SBSN. Di sisi lain, terdapat potensi harga ( yield ) SUN dan/atau SBSN menjadi tinggi/mahal karena Pemerintah dan swasta menawarkan obligasi secara bersamaan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas. Dalam kondisi pasar yang dipenuhi penawaran obligasi ( over supply ), pasar berpotensi tidak mampu menyerap seluruh penawaran 188 obligasi sehingga terjadi kondisi crowding out . Akibatnya, suku bunga di pasar, termasuk yield SUN dan/atau SBSN akan menjadi tinggi. Kondisi tersebut akan berdampak langsung terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Bl dalam mengendalikan suku bunga yang berpengaruh pada pengendalian inflasi dan nilai tukar. Oleh karena itu, kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang dimiliki bukan semata-mata untuk membantu pembiayaan Pemerintah melainkan untuk tetap menjaga inflasi yang stabil dan nilai tukar yang wajar sesuai dengan nilai ekonominya. Pemberian kewenangan kepada bank sentral untuk dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer dalam rangka menanggulangi dampak pandemi Covid-19 juga telah menjadi praktik bank sentral berbagai negara dengan tetap mengedepankan independensi, penerapan prinsip tata kelola yang baik, dan prudensialitas. Sesuai dengan Communique hasil pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 Countries pada tanggal 15 April 2020, disepakati Action Plan untuk mendukung perekonomian global dalam menghadapi pandemi Covid-19. Diantara isi Action Plan tersebut, G20 Countries menyatakan komitmen untuk melanjutkan paket moneter yang komprehensif dan menyusun regulasi kebijakan untuk mendukung stabilitas ekonomi dan keuangan. Selain itu, Bank Sentral G20 Countries juga menyatakan bersedia untuk melakukan langkah-langkah untuk mendukung perekonomian dengan menggunakan instrumen yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Selanjutnya, dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. 189 Berdasarkan penelitian Bank for International Settlement (BIS) yang dipublikasikan dalam BIS Bulletin tanggal 2 Juni 2020, diketahui bahwa 12 negara emerging market economies (Kolombia, Hungaria, India, Indonesia, Korea, Meksiko, Polandia, Rumania, Filipina, Afrika Selatan, Thailand, dan Turki) menerapkan kebijakan pembelian surat utang negara oleh bank sentral. Kebijakan tersebut dilakukan untuk merespon permasalahan sistem keuangan yang timbul akibat pandemi Covid-19. Dari penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa kebijakan dimaksud telah menimbulkan reaksi positif yaitu penurunan yang signifikan terhadap yield surat utang negara. Reaksi tersebut menunjukkan bahwa program pembelian surat utang negara oleh bank sentral berhasil memulihkan kepercayaan investor dan tidak mengarah pada kenaikan inflasi yang tinggi. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 (UU BI), tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bl menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga, dengan mempertimbangkan kebijakan umum Pemerintah di bidang perekonomian nasional, termasuk bidang keuangan negara (fiskal) dan perkembangan sektor riil. Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa BI dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU BI dimaksudkan untuk menjalankan tugas BI dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalam mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran BI perlu diperluas sehingga BI dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan 190 perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional. Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran BI sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi BI dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi BI. Dalam menjalankan tugasnya, BI juga masih membutuhkan kepemilikan SUN dan/atau SBSN dalam jumlah besar karena pemenuhan kebutuhan kepemilikan SUN dan/atau SBSN melalui lelang yang selama ini masih belum cukup menutupi kebutuhan operasi moneter. Kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi BI. Pasal 23D UUD 1945 jo. Pasal 4 ayat (2) UU BI telah mengatur bahwa BI merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang BI akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020. BI dan Pemerintah selalu melakukan koordinasi dalam memutuskan jenis, jumlah, dan waktu yang tepat untuk melakukan penerbitan oleh Pemerintah dan pembelian 191 SUN dan/atau SBSN oleh BI dengan mempertimbangkan kebijakan BI dan kebutuhan Pemerintah. Koordinasi tersebut dilaksanakan melalui skema Burden sharing antara Pemerintah dengan BI. Burden sharing antara Pemerintah dan BI diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dibagi menjadi tiga kategori yaitu yang seluruh kuponnya ditanggung BI, ditanggung bersama Pemerintah dan BI dan ditanggung Pemerintah seluruhnya. Pembayaran kupon sebesar BI reverse rate atas pembelian SUN sebesar Rp397,56T untuk pembiayaan public goods ditanggung seluruhnya oleh BI. SUN untuk pembiayaan non-public goods UMKM sebesar Rp123,46T dan non-public goods Korporasi Rp53,57T ditetapkan bersama BI dan Pemerintah, dan yang ditanggung Pemerintah untuk pembiayaan non-public goods . SUN dan/atau SBSN yang dibeli BI untuk public goods dialokasikan sebesar Rp397,56T dengan suku bunga BI reverse rate ditanggung BI, sedangkan untuk pembiayaan non-public goods UMKM dialokasikan sebesar Rp123,46T dan untuk non-public goods korporasi sebesar Rp53,57T pembayaran kupon ditanggung pemerintah sebesar BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%, dan sisanya ditanggung oleh BI. Untuk non-public goods lainnya, dialokasikan SUN dan/atau SBSN sebesar Rp328,87T yang kuponnya akan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah sebesar market rate . __ Skema burden sharing dimaksud dapat dijelaskan sesuai gambar berikut: Gambar 5 : Skema Burden Sharing antara Pemerintah dan Bank Indonesia 192 Untuk menjamin independensi dalam pelaksanaan tugas BI, Pemerintah juga tetap diwajibkan untuk terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bl sebelum menerbitkan SUN dan/atau SBSN sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 55 UU BI. Konsultasi tersebut diperlukan agar penerbitan SUN dan/atau SBSN dapat dilakukan secara tepat waktu dan tidak berdampak negatif terhadap kebijakan moneter. Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh BI. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata “dapat” . Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya. Bl tetap memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan kebijakan terkait pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana dengan mempertimbangkan keseluruhan kebijakan moneter Bl dan kebutuhan pemulihan ekonomi nasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rumusan dan substansi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tetap menjunjung tinggi dan sejalan dengan independensi Bl dalam menjalankan tugasnya. Untuk menjamin adanya harmonisasi dengan peraturan-perundangan yang telah ada sebelumnya, dan untuk mencegah adanya dualisme pengaturan, perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa ketentuan Pasal 55 UU BI yang mengatur larangan bagi BI untuk membeli Surat Berharga Negara di pasar perdana dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 18 angka 2 Lampiran UU 2/2020. Agar pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 serta Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBI/2020 tanggal 16 April 2020 tetap sejalan dengan independensi Bl sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23D UUD 1945 dan UU Bl, Bl telah menetapkan 2 (dua) aspek governance dalam pelaksanaannya yaitu:
Pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bl diatur dalam suatu Peraturan Dewan Gubernur dengan menerapkan prinsip: 193 a) mengutamakan mekanisme pasar; b) mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur; c) SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan d) Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Penetapan kebijakan ( decision making process ) untuk pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana oleh Bl ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi untuk menetapkan kebijakan Bl yang bersifat prinsipil dan strategis sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Bl. Dengan adanya ketentuan last resort , memperlihatkan bahwa masuknya BI untuk membeli SUN dan/SBSN yang diterbitkan oleh pemerintah merupakan upaya gotong royong organ negara, dalam hal ini pemerintah dan BI, untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi.
Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020, Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan terkait. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 disebutkan bahwa salah satu mandatory spending yang dapat disesuaikan adalah anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Sebagai bentuk harmonisasi atas ketentuan tersebut, dalam Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 diatur bahwa ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku. Berlakunya ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU/2020 tidak dapat dimaknai bahwa Pemerintah akan menghapuskan alokasi anggaran Dana Desa dari APBN pada tahun 2020 dan tahun-tahun mendatang, sebagaimana dipahami Para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp71,2 T dan Rp72 T. Hal ini ditunjukkan dengan tetap dipertahankannya ketentuan Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa yang mengatur bahwa salah satu sumber pendapatan desa adalah alokasi dari APBN (Dana Desa). 194 Pada prinsipnya, Pemerintah tetap berkomitmen untuk mendukung pelaksanaan pembangunan desa dan menjadikan desa sebagai tonggak pembangunan dengan terus mengalokasikan Dana Desa dalam APBN. Sampai dengan tahun 2020, Dana Desa tetap menjadi sumber penerimaan terbesar dalam APBDesa. Sejak awal implementasinya di tahun 2015, Dana Desa telah membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat desa terutama pada peningkatan jumlah infrastruktur publik yang sangat signifikan. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa dalam 5 tahun terakhir, juga terjadi perbaikan rasio gini pedesaan dari 0,34 (2014) menjadi 0,32 (2018). Perbaikan yang sama juga terjadi pada jumlah penduduk miskin pedesaan yang menurun dari 17,7 juta jiwa (2014) menjadi 15,5 juta jiwa (2018). Pada tahun 2020, Pemerintah juga tetap mengalokasikan pagu Dana Desa dalam APBN Tahun Anggaran 2020 walaupun telah dilakukan penyesuaian terhadap besaran alokasinya. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, Pemerintah telah menyesuaikan pagu Dana Desa yang semula Rp72,0 triliun menjadi Rp71,19 triliun atau turun sebesar Rp810 miliar. Penyesuaian pagu dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi penghematan karena kapasitas penyerapan oleh desa. Perlu Pemerintah jelaskan bahwa ketentuan mengenai Dana Desa sesuai UU Desa yang dirujuk oleh Para Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 adalah sebagai berikut:
Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa mengatur bahwa “Pendapatan Desa bersumber dari alokasi APBN” b. Pasal 72 ayat (2) UU Desa “alokasi APBN tersebut bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan” c. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) “Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap” Ketentuan dalam Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 di atas selanjutnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk pencegahan 195 dan/atau penanganan Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sesuai dengan ketentuan pada Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporary . Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Sebagaimana diketahui, dalam rangka penanganan dan penanggulangan dampak pandemi Covid-19, Pemerintah diberikan diskresi untuk dapat menempatkan program-program berbasis desa pada pos Belanja Pusat (Belanja Kementerian/Lembaga) sepanjang program dimaksud bertujuan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Berkenaan hal tersebut, kebijakan penggunaan Dana Desa juga diarahkan untuk penanganan Covid-19 dan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin terdampak desa. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan penyesuaian mandatory spending Dana Desa agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Terkait dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 tidak sinkron dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf l Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa dua pasal tersebut sudah sinkron satu sama lain. Penyesuaian penggunaan dan besaran alokasi Dana Desa dengan pencabutan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam upaya penyelamatan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. 196 5) Penggunaan Dana Abadi Para Pemohon perkara 37/PUU-XVIII/2020 dalam dalilnya menyatakan Pemerintah dapat menggunakan dana yang bersumber dari dana abadi pendidikan untuk penanganan Covid-19 sehingga bertentangan dengan esensi dari dana abadi pendidikan. Terkait hal tersebut, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 UU 2/2020 mengatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, Pemerintah berwenang untuk menggunakan anggaran yang bersumber dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan . Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan sumber- sumber lain yang ada. Terkait dengan hal tersebut, hingga saat ini Pemerintah belum berencana menggunakan sumber pembiayaan dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan untuk penanganan Covid-19. Dalam hal akan digunakan, maka penggunaan dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Lampiran UU 2/2020 dilakukan dengan cara private placement melalui pembelian surat berharga negara. Dengan demikian, dana abadi dan akumulasi dana tersebut tidak akan digunakan sebagai belanja namun lebih kepada investasi melalui pembelian SBN/SBSN tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut maka kekhawatiran Pemohon mengenai penggunaan dana abadi yang bertentangan dengan esensi dari dana pendidikan itu sendiri tidak perlu lagi dipermasalahkan, dikarenakan dana abadi masih tetap utuh dan tidak digunakan sebagai belanja.
Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan 197 menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas- luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional. Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi 198 untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersamaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19. Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasi/ refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat. Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing , perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/ guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing , perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing , perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan memahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing , perubahan 199 alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19.
Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara a) Tata Kelola yang Baik Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Pengambilan keputusan dan penggunaan dana APBN sebagai pelaksanaan Perppu 1/2020 justru dilaksanakan secara terbuka dan menjaga tata kelola yang baik. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Perppu 1/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK. Atas hasil pemeriksaan dimaksud, akan disampaikan kepada DPR sebagai wakil rakyat sesuai dengan ketentuan Pasal 17 UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Selanjutnya, untuk memastikan bahwa semua instrumen kebijakan keuangan negara berupa Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) difokuskan pada penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya, Pemerintah Daerah juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan penggunaan dana/penyesuaian APBD kepada Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat melakukan monitoring atas laporan yang disampaikan Pemerintah Daerah. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan laporan penggunaan atau penyesuaian APBD maka Pemerintah Daerah dapat diberikan sanksi berupa penundaan penyaluran atas TKDD tersebut. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Perppu 1/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagai bentuk transparansi atas penggunaan anggaran, Pemerintah juga telah menyampaikan informasi perkembangan penggunaan anggaran kepada masyarakat. Selain itu, Pemerintah telah menyampaikan kepada publik melalui konferensi pers serta memberikan laporan terkait penyerapan anggaran secara rutin kepada DPR. Terhadap dalil Pemohon dalam perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Pasal 12 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena pelaksanaan kebijakan keuangan negara tidak menggunakan rekening khusus, dapat Pemerintah sampaikan bahwa dalam tata kelola penganggaran, Pemerintah telah menetapkan 200 akun khusus belanja Covid-19 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) PMK Nomor 43 Tahun 2020 sehingga seluruh belanja yang terkait dengan penanganan Covid-19 dapat dilakukan monitoring penggunaan anggaran penanganan Covid-19. Selain itu, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara juga telah menerbitkan rekening khusus untuk menampung dan mengelola hasil penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang dibeli oleh Bank Indonesia untuk pembiayaan Program PEN sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) Dan Pemulihan Ekonomi Nasional dan PMK Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah telah dan akan terus melakukan upaya-upaya penerapan tata kelola yang baik dalam pelaksanaan kebijakan- kebijakan di bidang keuangan negara. b) Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN Diatur Dengan Peraturan Presiden Lampiran UU 2/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber-sumber pembiayaan. Lampiran UU 2/2020 secara substansi telah mengatur perubahan/penyesuaian terhadap UU APBN 2020, yang postur dan rinciannya kemudian ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Amanat UU 2/2020 untuk menetapkan postur APBN dalam Peraturan Presiden dengan mendasarkan kewenangan atribusi dalam Pasal 22 UUD 1945 karena adanya kondisi mendesak hanya untuk tahun anggaran 2020 yang tidak memungkinkan melalui proses normal. Untuk Tahun Anggaran Tahun 2021, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada keadaan normal. Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada 201 Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 ( vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan Terhadap dalil Para Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 terkait dengan Pasal 14 Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa Pasal 14 Lampiran UU 2/2020 mengatur kebijakan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan di tengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Covid-19. Sebagaimana diketahui, pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan dan keselamatan jiwa manusia namun juga secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan sehingga perlu mitigasi bersama oleh Pemerintah melalui koordinasi kebijakan dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dalam melakukan mitigasi tersebut, Pemerintah bersama dengan BI, OJK, dan LPS sebagai otoritas yang memiliki fungsi masing-masing dalam menjaga stabilitas sistem keuangan perlu menetapkan kebijakan untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) untuk mencegah terjadinya krisis yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Mengingat pentingnya stabilitas sistem keuangan yang dapat berdampak terhadap kepercayaan publik dan stabilitas sistem keuangan maka dalam Lampiran UU 202 2/2020 diatur instrumen untuk upaya penyelamatan. Hal tersebut bertujuan agar tidak menimbulkan efek domino pada sektor keuangan yang dapat mengakibatkan krisis lanjutan dan menambah beban pemerintah. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 sampai dengan Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 disusun bersama oleh Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangannya. Adapun ketentuan-ketentuan pasal yang terkait dengan kewenangan BI, OJK, dan LPS dirumuskan oleh masing-masing lembaga dan diputuskan dengan memperhatikan batasan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing lembaga baik secara individual maupun dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Hal ini dapat terlihat dari ketentuan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang memberikan amanat kepada Menteri Keuangan dan Gubernur BI untuk secara bersama menyusun ketentuan lebih lanjut.
Kewenangan LPS Memperoleh Pinjaman dari Pihak Lain Dapat Pemerintah sampaikan terlebih dahulu bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 (“UU LPS”), LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”), dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“UU PPKSK”). Kewenangan LPS dalam peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut:
melakukan persiapan penanganan dan peningkatan persiapan intensitas ( vide Pasal 21 ayat (1) s.d. ayat (4) UU PPKSK dan Pasal 42 UU OJK);
melakukan tindakan terkait pendanaan termasuk dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank yang mengalami permasalahan 203 solvabilitas ( vide Pasal 82 jis. Pasal 85 UU LPS, Pasal 27 UU PPKSK, dan Pasal 42 UU APBN);
melakukan pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal ( vide Pasal 22 jis. Pasal 23 UU LPS dan Pasal 22 UU PPKSK);
merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah tertentu, dengan mempertimbangkan sumber dana, peruntukan simpanan, serta besaran nilai yang dijamin yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ( vide Pasal 11 UU LPS). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampiran UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan Pasal 82 UU LPS, kekayaan LPS dapat berbentuk investasi dan bukan investasi, dimana kekayaan yang berbentuk investasi hanya dapat ditempatkan pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia dan/atau Bank Indonesia. Dengan terbitnya UU 2/2020, LPS tidak/belum memastikan berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan kapan dana tersebut harus tersedia untuk penanganan Bank, baik itu Bank Sistemik maupun Bank Selain Bank Sistemik. Dengan adanya pemberian tambahan alternatif pendanaan bagi LPS, diharapkan dapat memperluas akses LPS kepada sumber-sumber dana yang relatif cepat 204 dengan jumlah lebih besar dari kas LPS yang tersedia (likuiditas) pada situasi dan kondisi tertentu. Tambahan alternatif pendanaan tersebut juga mengantisipasi kondisi pasar dan industri yang sedang atau berpotensi mengalami turbulensi dimana transaksi LPS dalam jumlah tertentu selain menambah tekanan kepada pasar juga berpotensi menimbulkan kegaduhan khususnya di industri perbankan. Selain itu pasar juga belum tentu mampu menyediakan likuiditas dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS, sehingga LPS berpotensi terpapar risiko likuiditas dan penurunan harga yang signifikan. Oleh karena itu dibutuhkan proses transaksi dengan pihak- pihak yang dianggap mempunyai kemampuan pendanaan yang memadai dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS serta paling sedikit menimbulkan kegaduhan di market dan industri. Pihak yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan LPS tersebut salah satunya adalah BI. Transaksi SBN milik LPS secara langsung kepada BI sudah diatur dalam UU PPKSK namun hanya untuk (i) penjualan SBN untuk penanganan Bank Sistemik, baik dalam kondisi normal atau kondisi krisis, dan (ii) untuk penyelesaian Bank Selain Bank Sistemik pada kondisi krisis (vide Pasal 27 ayat (2) jo Pasal 37 ayat (2) UU PPKSK). Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan BI sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada BI, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif 205 pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalam UU LPS. Pinjaman kepada pihak lain dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:
tidak adanya konflik kepentingan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi LPS; dan
tidak menimbulkan persepsi negatif dan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada LPS. Pemberian kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip yang diterbitkan oleh International Association of Deposit Insurers (IADI) yaitu:
Core Principles for Effective Deposit Insurance Systems Dalam Principle 9 - Sources and Uses of Funds, dinyatakan sebagai berikut: “The deposit insurer should have readily available funds and all funding mechanisms necessary to ensure prompt reimbursement of depositors’ claims, including assured liquidity funding arrangements. Responsibility for paying the cost of deposit insurance should be borne by banks.” Selanjutnya, dalam angka 4 kriteria esensial dinyatakan sebagai berikut: “ Emergency funding arrangements for the deposit insurance system, including pre-arranged and assured sources of liquidity funding, are explicitly set out (or permitted) in law or regulation. Sources may include a funding agreement with the government, the central bank or market borrowing. If market borrowing is used it is not the sole source of funding. The arrangement for emergency liquidity funding is set up in advance, to ensure effective and timely access when required.” 2) Guidance Paper IADI tentang “Enhanced Guidance for Effective Deposit Insurance Systems: Ex Ante Funding” yang diterbitkan Juni 2015 Sources of Funds for Deposit Insurance Systems, External funds – liquidity funding , dinyatakan sebagai berikut: “The predominant source is borrowing from the government. Another option is to seek funding from private sources, for instance through borrowing from commercial lenders or issuing debt securities in the capital market. However, this option is feasible only when market conditions permit. In some cases, syndicated loans from foreign institutions or supranational organizations might be used.” 206 For effectiveness, deposit insurers with the power to borrow or raise funds from public and private sources should consider an appropriate sequencing for funds usage. Internal funds from the deposit insurer’s reserve funds should be used first. If internal funds prove insufficient, financing could also be obtained directly from the market, particularly if the amount to be financed would have a negligible impact on the financial system as a whole.” Dengan demikian, telah jelas bahwa kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip di atas dimana likuiditas merupakan komponen dalam kerangka pendanaan penjaminan simpanan. Selain itu, kerangka pemenuhan likuiditas penjamin simpanan perlu diatur dalam suatu undang-undang atau peraturan terkait dan pengaturannya harus disusun secara tepat untuk memastikan efektivitas serta dapat diakses secara tepat waktu, ketika dibutuhkan.
Kewenangan Pemerintah Untuk Memberikan Pinjaman kepada LPS Sesuai Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 24 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, Pemerintah berwenang untuk memberikan pinjaman kepada LPS. Kewenangan Pemerintah tersebut pada prinsipnya telah pula diatur dalam UU LPS dan UU APBN TA 2020. Dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 telah diatur bahwa dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. Namun demikian, ketentuan pembahasan dengan DPR dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 tersebut dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 28 angka 12 Lampiran UU 2/2020. Pembahasan dengan DPR mengenai pemberian pinjaman LPS kepada Pemerintah sesuai Pasal 28 angka 12 UU 2/2020 khusus tahun anggaran 2020 dan sepanjang untuk penanganan pandemi Covid-19 tidak lagi dipersyaratkan termasuk pertimbangan DPD sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon Perkara Nomor 42/PUU- XVIII/2020. Berdasarkan Pasal 25 Lampiran UU 2/2020 telah diatur bahwa dilakukan apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sebagai dampak pandemi Covid-19. Dalam kondisi akibat pandemi Covid-19, diperlukan percepatan dan pemenuhan syarat pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada LPS sehingga perlu ada relaksasi atas aturan yang berlaku sebelumnya namun tetap dilakukan secara prudent . 207 Pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS merupakan opsi terakhir dalam rangka penanganan kesulitan likuiditas LPS dan menghindarkan negara dari krisis ekonomi. Pasal 20 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan dalam hal diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal, diantaranya adalah untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. Opsi untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah tersebut dilakukan sebagai opsi terakhir dalam hal LPS telah melakukan opsi lain namun masih tidak dapat mencukupi kebutuhan likuiditasnya. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 83 s.d. Pasal 85 UU LPS. Berdasarkan ketentuan di atas, terlihat jelas bahwa perlu upaya-upaya yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh LPS sebelum dapat meminta pinjaman dari Pemerintah untuk pelaksanaan fungsi dan tugas LPS. Di samping itu, dalam Pasal 27 UU PPKSK juga telah diatur secara jelas bahwa LPS harus menggunakan kekayaan yang dimilikinya terlebih dahulu secara optimal , sebelum menggunakan anggaran Pemerintah. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 39 UU PPKSK yang menyatakan bahwa dalam rangka penanganan krisis melalui Program Restrukturisasi Perbankan, dana yang digunakan LPS diupayakan secara maksimal tidak menggunakan anggaran Pemerintah. Apabila LPS menggunakan opsi terakhir tersebut untuk melakukan tugas dan fungsinya dalam menjamin simpanan bank dan penanganan permasalahan solvabilitas bank, biaya yang dikeluarkan LPS untuk melakukan tugas dan fungsinya tersebut bukanlah merupakan kerugian negara. Hal tersebut secara tegas juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 27/PUU- XII/2014 yang menyatakan bahwa: “ Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, selama 208 penjualan saham Bank Gagal dimaksud telah dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU LPS.” Pemberian pinjaman kepada LPS akan dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik dan prinsip-prinsip pemberian pinjaman serta melihat kebutuhan dan kemampuan debitur. Dalam implementasinya, untuk menjaga tata kelola pemberian pinjaman kepada LPS, dalam ketentuan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, permohonan pinjaman harus disertai informasi bahwa LPS sudah mengupayakan seluruh sumber dana lainnya namun membutuhkan tambahan likuiditas dalam penyelesaian/penanganan Bank Gagal yang membahayakan perekonomian dan sistem keuangan. Berdasarkan dalil-dalil di atas, sangatlah tidak tepat dalil Pemohon pada Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 menyebabkan kerugian negara. Selain itu, yang dipermasalahkan oleh Pemohon merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pula Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945.
Program Penjaminan Di Luar Program Penjaminan Simpanan Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Ketentuan ini merupakan forward looking untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah dan untuk mengantisipasi apabila terjadi pemburukan perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap sektor keuangan sehingga diperlukan ketentuan yang mengatur kewenangan pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar penjaminan simpanan. Penyelenggaraan program tersebut dimaksudkan untuk mencegah krisis sistem keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Program penjaminan di luar penjaminan simpanan akan dilakukan dengan sangat selektif hanya apabila sangat diperlukan untuk menghindarkan negara dari krisis. Selain itu, kebutuhan penyelenggaraan program penjaminan selain simpanan perlu dipertimbangkan terkait dengan fungsi bank sebagai intermediary . Selain dapat 209 memberikan rasa aman terhadap deposan seperti yang telah diatur dalam UU LPS, program penjaminan di luar program penjaminan simpanan dapat berfungsi menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Program penjaminan di luar program penjaminan simpanan simpanan bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas pinjaman antar bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri ( trade finance ). Untuk menghindari kekhawatiran adanya penafsiran yang tidak berdasar terhadap pengaturan dalam Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, telah terdapat pengaturan secara khusus di dalam Pasal 22 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai objek penjaminan serta pihak yang akan menyelenggarakan penjaminan tersebut melalui Peraturan Pemerintah.
Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK dalam memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi (P3IK) telah diberikan sesuai Pasal 9 UU OJK dan Pasal 19 UU PPKSK. Perintah tertulis merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kewenangan OJK sebagai lembaga pengawas untuk mengawasi pemenuhan rasio kecukupan modal dan kecukupan likuiditas ditentukan pada kondisi individual bank. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Kondisi modal dan kecukupan likuiditas tersebut diukur dengan parameter yang diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain POJK 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dan POJK 15/POJK.03/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum. P3IK merupakan salah satu upaya untuk memperkuat rasio kecukupan modal yang dapat dilakukan atas dasar inisiatif bank dan kantor cabang dari bank asing atau 210 tindakan pengawasan OJK ( vide Pasal 2 ayat (2) POJK 41/POJK.03/2019 tentang P3IK Bank Umum). Dalam hal terdapat permasalahan modal, bank diharapkan dapat melakukan upaya memperkuat modalnya baik melalui penambahan modal secara sukarela dari pemegang saham, melakukan penawaran umum maupun melakukan P3IK. Sebagai bagian dari aksi korporasi, P3IK mengedepankan pada inisiatif bank dan/atau pemegang saham. Pada saat bank mengalami kesulitan keuangan, pemegang saham diharapkan sanggup memperkuat modal bank. Dengan adanya POJK di atas, menunjukkan bahwa tata kelola dalam penerbitan Perintah Tertulis telah diatur dalam POJK sehingga yang dipermasalahkan oleh Pemohon sebenarnya merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal bank, maka untuk melindungi kepentingan publik nasabah penyimpan, masyarakat dan stabilitas sistem keuangan, OJK sebagai otoritas pengawas dapat memerintahkan bank melakukan P3IK untuk memperkuat modal bank. Hal ini mengingat, dalam konsep penggabungan, pengambilalihan dan/atau integrasi, bank penerima penggabungan, pengambilalihan, dan/atau integrasi tidak harus berada dalam kesulitan keuangan, sehingga diharapkan dapat memperkuat bank yang mengalami kesulitan keuangan dan pada saat yang sama memberikan nilai tambah bagi bank yang melakukan P3IK. Keadaan suatu lembaga jasa keuangan dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan, kondisi usaha lembaga jasa keuangan semakin memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan lembaga jasa keuangan yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas lembaga jasa keuangan yang sehat. Langkah P3IK antara lain ditujukan agar tidak terjadi pencabutan izin usahanya dan/atau tindakan likuidasi dan dalam rangka mempertahankan/menyelamatkan lembaga jasa keuangan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, sehingga aksi korporasi tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme keperdataan biasa karena terkait dana masyarakat yang dikelola LJK. Ketentuan pemberian sanksi merupakan upaya ultimum remidium dan memberikan kepastian hukum agar pihak yang diberi perintah tertulis menjalankan upaya untuk 211 penyehatan lembaga jasa keuangan dan mencegah moral hazard sehingga OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar. Dalam permohonannya, Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 hanya mempermasalahkan implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Pada penerapannya, sanksi tersebut lebih mungkin untuk ditebus oleh mayoritas industri perbankan dibandingkan dengan tunduk pada perintah tertulis yang diberikan oleh OJK. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan pemberatan atas pasal sanksi pidana atas pelanggaran perintah tertulis OJK untuk melakukan P3IK. Perintah tertulis dalam Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk melakukan tindakan segera apabila terjadi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis, ancaman sanksi pidana dan denda yang lebih berat diperlukan agar LJK yang dikenakan perintah tertulis dapat melaksanakan proses P3IK dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Pemberian sanksi dalam Pasal 26 UU Lampiran UU 2/2020 sebenarnya penguatan atas ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, pemberian sanksi merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya ketentuan pidana sesuai Pasal 26 Lampiran UU 2/2020, OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar yakni nasabah, kepercayaan masyarakat, sistem perbankan dan stabilitas sistem keuangan dari kerugian yang ditimbulkan akibat tindakan pihak yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat kewenangan OJK. Kewenangan pemberian sanksi juga sudah ada pada Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan bahwa OJK dapat melakukan penyimpangan tanpa dapat dikontrol oleh pihak manapun, perlu Pemerintah sampaikan bahwa di era keterbukaan saat ini dan banyaknya institusi pengawas, kontrol dapat dilakukan masyarakat melalui wakil rakyat, aparat penegak hukum, dan lembaga pengawas lainnya sehingga tidak benar bahwa OJK akan melakukan penyalahgunaan wewenang.
Perlindungan Hukum Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan frasa “ bukan merupakan kerugian negara ” jelas kedudukannya di atas konstitusi sehingga sudah seharusnya 212 dibatalkan karena tidak cocok dalam negara hukum dan demokrasi yang membutuhkan check and balances , dapat Pemerintah sampaikan sebagai berikut:
Definisi kerugian negara terdapat dalam beberapa undang-undang, antara lain adalah sebagai berikut:
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai .” 2) Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai .” b. Berdasarkan definisi di atas, suatu kerugian negara harus terdapat unsur perbuatan melawan hukum . Hal tersebut mengadopsi dari asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ).
Selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Apabila dalam perbuatan/tindakan pelaksana UU 2/2020 ternyata dilakukan secara melawan hukum atau tidak memenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, maka tentunya mekanisme check and balances tetap dapat berlaku.
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan wewenang BPK untuk melaksanakan pengawasan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 ( check and balances tetap terjaga). Dapat Pemerintah sampaikan pengaturan mengenai biaya sebagaimana dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memperlakukan biaya yang telah dikeluarkan negara dalam melaksanakan kebijakan UU 2/2020 sebagai biaya ekonomi. Hal ini diperlukan mengingat dalam masa pandemi Covid-19, kondisi perekonomian tidak berjalan normal sebagaimana mestinya, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak dapat dianggap sebagai kerugian negara. Agar kebijakan dapat tetap dilaksanakan, maka perlu suatu bentuk perlindungan hukum berupa justifikasi bahwa kerugian dimaksud tidak dianggap sebagai kerugian negara melainkan sebagai biaya ekonomi yang dalam proses pelaksanaannya telah dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. 213 Dalam implementasi UU 2/2020 yang menggunakan biaya dari APBN tidak dapat disebut sebagai kerugian negara karena biaya yang telah dikeluarkan berpotensi tidak dikembalikan dengan nilai yang sama, contoh:
Terkait insentif pajak badan yang memberikan relaksasi kepada pengusaha agar pengusaha dapat mempertahankan arus kas usahanya. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya potensi penerimaan negara dari pajak;
Terkait dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang langsung dikucurkan Pemerintah tidak mungkin diharapkan adanya imbal balik atas BLT tersebut karena tujuan dari BLT adalah untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya;
Terkait program PEN yaitu adanya penitipan sejumlah dana pada bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) agar dapat melakukan restrukturisasi kredit nasabahnya sehingga aset-aset para nasabahnya tidak sampai dieksekusi.
Terkait dengan fasilitas pembebasan bea masuk yang sekiranya juga mengurangi penerimaan negara dari Bea dan Cukai, namun tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara karena pembebasan bea masuk tersebut diimplementasikan terhadap barang-barang tertentu seperti alat medis, APD, hand sanitizer , masker dsb yang merupakan barang-barang krusial dan sangat diperlukan Pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.
Terkait dengan pengeluaran dana yang dikeluarkan LPS tidak semata-mata hanya mempertimbangkan least cost test (Pasal 20 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020), namun juga mempertimbangkan aspek ekonomi serta aspek psikologis masyarakat. Terkait dengan contoh-contoh kebijakan di atas, apabila dalam pelaksanaannya terdapat pihak yang melakukan kecurangan dalam bentuk penyalahgunaan wewenang maka yang bertanggung jawab adalah pihak pada tingkat teknis pelaksana kebijakan yang melakukan kecurangan tersebut dan bukan Pemerintah selaku pengambil kebijakan terkait. Tujuan dari pencantuman Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan dimaksudkan untuk memberikan imunitas absolut, namun lebih kepada memberikan confidence bagi pelaksana Lampiran UU 2/2020 dalam kerangka hukum dan sistem hukum yang akan melindunginya dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan berdasarkan Lampiran UU 2/2020. 214 Perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah sesuai dengan prinsip hukum imunitas terbatas bahwa pejabat/pegawai yang beriktikad baik dan bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Bahwa adanya iktikad baik mencerminkan tidak adanya unsur mens rea yang menjadi dasar tuntutan pidana. Selain itu, perbuatan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentu merupakan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam kondisi extraordinary seperti saat ini membutuhkan kebijakan extraordinary pula untuk mengatasi keadaan kegentingan memaksa, sehingga menjadi suatu kewajaran apabila para pengambil kebijakan diberikan kepastian hukum bahwa tindakan yang telah dilakukannya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta didasarkan pada iktikad baik sudah sepatutnya mendapat jaminan tidak dapat dituntut secara pidana dan digugat dalam gugatan perdata. Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara, merupakan tuduhan tanpa bukti. Situasi pandemi Covid-19 merupakan dilema policy bagi Pemerintah. Dalam kondisi ini, Pemerintah dihadapkan pada pilihan harus menunggu situasi menjadi masalah besar untuk menyelamatkan masyarakat dengan berpegang pada ketentuan yang ada atau harus bergerak cepat menangani kondisi yang tidak normal dengan risiko tuduhan karena membutuhkan kebijakan dan langkah extraordinary . Adanya ketentuan tata kelola yang baik di dalam UU 2/2020 justru menunjukkan bahwa UU 2/2020 tidak akan dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pembahasan dalam pengambilan keputusan dibutuhkan secara terbuka dengan up and down segala risikonya. Apabila pengeluaran negara pada masa pandemi Covid-19 dianggap merugikan negara, maka tidak akan ada pejabat yang berani mengambil langkah-langkah kebijakan extraordinary meskipun dengan tujuan untuk menyelamatkan negara, masyarakat dan ekonomi. Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 bukan merupakan suatu hal yang baru ( precedented ) namun justru telah ada ketentuan-ketentuan serupa dan telah diterima baik oleh Pembentuk Undang-Undang maupun Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi pasal-pasal serupa. Preseden pengaturan perlindungan hukum juga terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain: 215 a. Pasal 50 dan 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK);
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak);
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
Pasal 36A ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia;
Pasal 224 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; dan
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 telah mengesampingkan fungsi peradilan tata usaha negara, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan serupa telah diatur dalam Pasal 49 UU PTUN. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa PTUN tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN dalam hal keputusan dikeluarkan dalam keadaan bahaya, bencana alam, atau keadaan luar biasa dan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum. Pengaturan tersebut telah sejalan dengan rumusan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang menyatakan bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN. Oleh karena itu, rumusan dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 sejatinya telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Bahwa diantara ketentuan di atas, juga telah terdapat ketentuan pasal yang diuji di Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Putusan Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi mengoreksi rumusan Pasal 16 UU Advokat yang semula berbunyi: 216 “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.” diubah menjadi: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.” Putusan Mahkamah Konstitusi di atas semakin memperkuat bahwa rumusan ketentuan perlindungan hukum dalam Lampiran UU 2/2020 memang telah benar sesuai dengan hukum yaitu untuk melindungi pelaksana UU 2/2020 yang telah beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Putusan ini juga menjadi salah satu bukti bahwa dalam keadaan normal saja dibutuhkan adanya pasal perlindungan hukum, apalagi dalam keadaan kegentingan memaksa. Selain Putusan Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah juga pernah menguji Pasal 16 UU Advokat dalam perkara Nomor 52/PUU-XVI/2018 yang di dalam putusan perkara tersebut, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: “hak imunitas Advokat yang dijamin dan dilindungi dalam UU 18/2003 tidak serta-merta membuat Advokat menjadi kebal terhadap hukum. Karena hak imunitas tersebut digantungkan kepada apakah profesinya dilakukan berdasarkan iktikad baik atau tidak. Dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 dinyatakan, “Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya”. Maka dengan demikian pengertian iktikad baik yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 mensyaratkan dalam membela kepentingan kliennya pun Advokat harus tetap berdasarkan aturan hukum.” Tidak hanya dalam kedua putusan atas Pasal 16 UU Advokat tersebut, Mahkamah bahkan memberikan penafsirannya terhadap frasa iktikad baik dalam Pasal 16 UU Advokat pada pengujian materiil Pasal 21 UU Tipikor yaitu “ kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini (Pasal 16 UU Advokat) bukan terletak pada “kepentingan pembelaan Klien” melainkan pada “itikad baik”. Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi…Oleh karena itu, tidaklah beralasan mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 21 UU PTPK dengan mendasarkan pada hak imunitas yang dimiliki Advokat sebab norma Undang-Undang a quo sama sekali tidak menggugurkan keberlakuan hak imunitas dimaksud. ” Selanjutnya, Mahkamah juga memberikan pertimbangan mengenai perlindungan hukum dalam halaman 407 Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 mengenai uji materi 217 ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang menyatakan bahwa: “Pasal 22 UU 11/2016 selengkapnya berbunyi, “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam putusan-putusan di atas, dengan menggunakan metode penafsiran hukum argumentum per analogiam, maka sesungguhnya apa yang dirumuskan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 adalah konstitusional. Sangat tidak beralasan apabila Para Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dengan mendasarkan pada asas equality before the law karena pada dasarnya hak imunitas yang dimiliki oleh pengambil kebijakan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan asas equality before the law tersebut. Equality before the law merupakan konsep yang sangat universal (berlaku di mana saja) dan tekstual bagi hukum. Secara universal, Equality Before the Law sudah menjadi prinsip hukum dan kenegaraan yang mensyaratkan adanya hukum dan diberlakukan bagi setiap orang. Sedangkan secara tekstual, Equality Before the Law tertulis dalam induk aturan hukum yang menegaskan bahwa aturan hukum berlaku bagi semua orang di tempat hukum tersebut berlaku. Sebaliknya, dari sisi hukum, bisa dilihat bahwa hukum tidak membiarkan dirinya hanya untuk menguntungkan sejumlah pihak tanpa alasan yang sah di muka hukum. Jika ada pengecualian maka hal tersebut mengkhianati konsep hukum. Bahwa prinsip Equality Before the Law dituangkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” . Pada dasarnya, prinsip Equality Before the Law diterapkan oleh aparat penegak hukum yang artinya siapapun yang berhadapan dengan aparat penegak hukum harus diperlakukan secara sama oleh penegak hukum dengan tidak membeda-bedakan status dan kedudukan. 218 Pada dasarnya, siapapun yang bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tidaklah dapat dituntut secara hukum. Bahkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (2) KUHP menyatakan pelaksanaan perintah yang dijalankan dengan iktikad baik tidak dapat dipidana. UU 2/2020 menegaskan prinsip tersebut dalam ketentuan pasalnya untuk memberikan ketenangan bagi pelaksana UU 2/2020 yang sudah memenuhi 2 (dua) syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tersebut agar dapat bertindak secara cepat, tepat, dan tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan meskipun didesak oleh kondisi yang tidak normal sehingga memerlukan tindakan segera. Sebaliknya, siapapun yang melakukan apapun dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan haruslah dituntut secara hukum. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 secara a contrario juga mengakomodir prinsip tersebut yang artinya apabila pelaksana UU 2/2020 dalam bertindak ternyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka dirinya dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Dengan demikian, dalil Para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak memenuhi asas equality before the law merupakan dalil yang tidak berdasar karena telah jelas bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak membuat pelaksana UU 2/2020 menjadi kebal hukum. Apabila pelaksana UU 2/2020 telah memenuhi kedua syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 yaitu dengan iktikad baik bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, maka dirinya berhak mendapat perlindungan hukum. Sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan tindakan dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan perundang-undangan, maka yang bersangkutan dapat dituntut secara perdata dan pidana. Dalam beberapa permohonan pengujian terhadap UU 2/2020, terdapat anggapan bahwa diberikannya “kekebalan hukum” dari tuntutan perdata dan pidana dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 hanya mendasarkan pada ada/tidaknya iktikad baik dari pelaksana UU 2/2020. Namun, apabila dibaca secara utuh, syarat untuk tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana ada 2 (dua) yaitu:
mempunyai iktikad baik; dan
tindakannya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 219 Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif yang artinya apabila salah satu syaratnya tidak terpenuhi, maka pejabat pelaksana UU 2/2020 dapat dituntut secara perdata dan pidana. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 juga telah memenuhi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ) yang artinya apabila tidak ada kesalahan, maka seseorang tidak mungkin dapat dipidana. Dalam hal pelaksana UU 2/2020 bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan, maka dapat disimpulkan bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai kesalahan dan tidak dapat dipidana. Pengaturan hal tersebut terdapat pula dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang secara tegas mengatur norma yang memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pegawai yang melaksanakan tugas karena perintah undang-undang, yaitu dalam Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP yang berbunyi: “ barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana ”. Selanjutnya di dalam Pasal 51 KUHP dinyatakan bahwa “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya” . Bahwa Para Pemohon juga mendalilkan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 meniadakan pembuktian iktikad baik oleh lembaga peradilan. Terhadap dalil ini, dapat ditanggapi sebagai berikut:
Dalam teori pidana, sebuah tindak pidana dibangun atas 2 (dua) unsur penting yaitu 1) unsur objektif yaitu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum pidana ( actus reus ) dan 2) unsur subjektif yaitu sikap batin/niat pelaku ketika melakukan tindak pidana (niat jahat/ mens rea ).
Bahwa yang dibuktikan oleh lembaga peradilan adalah ada/tidaknya niat untuk melakukan perbuatan yang dilarang (iktikad tidak baik/ mens rea ), bukan pembuktian dari ada/tidaknya iktikad baik.
Pintu masuk bagi lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea terkait dengan pelaksanaan UU 2/2020 adalah pada ada/tidaknya suatu perbuatan yang 220 dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dimana hal tersebut telah diatur di dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020.
Ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak meniadakan kewenangan lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea karena Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 telah mengatur secara tegas bahwa ada 2 (dua) syarat kumulatif dalam pemberian perlindungan hukum dari tuntutan perdata dan pidana. Selain itu, perlu dipertimbangkan juga bahwa pemberian perlindungan dari tuntutan perdata dan pidana merupakan penghargaan yang diberikan negara kepada pelaksana UU 2/2020 karena telah dengan iktikad baik dan sangat berhati-hati melakukan tugasnya dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan di saat segala tindakannya diperlukan untuk memberikan penanganan yang cepat, tepat dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dalam menciptakan stabilitas keuangan pada saat kondisi perekonomian Indonesia melemah sejak pandemi Covid-19 dan memerlukan tindakan sangat segera. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan telah sesuai dengan standar internasional. Financial Stability Board (FSB) pada tanggal 15 April 2014 menyampaikan bahwa salah satu Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions adalah adanya perlindungan hukum bagi otoritas dan personilnya yang beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Pada poin 2.5 Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions , FSB menyatakan sebagai berikut: “The resolution authority and its staff should be protected against liability for actions taken and omissions made while discharging their duties in the exercise of resolution powers in good faith, including actions in support of foreign resolution proceedings.” Di samping itu, Basel Committee on Banking Supervision pada September 2012 juga menetapkan Core Principles for Effective Banking Supervision , yang salah satu isinya menyampaikan perlunya perlindungan hukum bagi pengawas bank yang menjalankan tugas dengan iktikad baik. Menurut Basel Committee , perlindungan hukum diberikan dalam bentuk perlindungan terhadap gugatan/tuntutan hukum dan perlindungan atas kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan kebijakan. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut: 221 “ Laws provide protection to the supervisor and its staff against lawsuits for actions taken and/or omissions made while discharging their duties in good faith. The supervisor and its staff are adequately protected against the costs of defending their actions and/or omissions made while discharging their duties in good faith.” Dalam konteks pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan bidang sektor keuangan di Indonesia, sesuai dengan hasil Financial System Stability Assessment yang dilaksanakan oleh International Monetary Fund pada tahun 2016-2017, diperoleh hasil bahwa: “Inadequate legal protection creates a risk of crisis management decisions being delayed or even avoided due to concerns over potential liability. Although the PPKSK Law has strengthened legal protection across the agencies involved in crisis management, further strengthening is needed, including in the relevant agencies’ laws, to provide legal protection to the extent advocated in the Key Attributes (and BCP and ICP). The main shortcomings in the PPKSK Law are that the test for legal protection is “misuse of authority” rather than “good faith”, that it applies only to actions taken in situations of near-crisis or crisis, and it does not extend to the institution itself and persons acting on its behalf.” Berdasarkan hasil penilaian di atas, jelas bahwa perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di sektor keuangan yang telah ada sebelumnya dirasa masih belum memadai sehingga masih diperlukan penguatan. Oleh karena itu, pengaturan perlindungan hukum sebagaimana diatur pada Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 pada hakikatnya telah sesuai dengan standar internasional dan dibutuhkan sebagai penguatan atas pengaturan yang telah ada sebelumnya. Dengan adanya perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020, pengambil kebijakan dapat mengambil keputusan terbaik yang dilandasi dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila ternyata dalam pelaksanaan UU 2/2020 tersebut terdapat pihak yang tidak beriktikad baik dan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pihak tersebut tidak dapat menggunakan perlindungan hukum berdasarkan ketentuan pasal ini. Di dalam penegakan hukum, adanya iktikad buruk ( mens rea ) secara pidana atau adanya perbuatan melanggar hukum secara perdata harus dapat dibuktikan terlebih dahulu. Prinsip dasar pembuktian secara perdata adalah actori incumbit onus probandi artinya siapa yang menuntut maka dia yang membuktikan. Dalam hukum pidana juga dikenal asas bahwa tuduhan yang tidak dapat dibuktikan dalam proses persidangan tidak akan melahirkan keputusan yang memenuhi tuntutan ( vide pasal 222 66 KUHAP). Prinsip penegakan hukum tersebut telah sejalan dengan Pasal 14 ICCPR, bahwa setiap orang yang dituntut/digugat harus diberikan kesempatan untuk disidangkan dalam peradilan yang adil dan terbuka. Tindakan dapat dikenakan hukuman sesuai hukum pidana jika memenuhi unsur mens rea dan actus reus . Dalam hal ini yang disalahkan secara hukum bukan UU 2/2020 atau pembuatnya, melainkan pejabat dan pembonceng yang melakukan pelanggaran atasnya. Substansi Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan penilaian subjektif melainkan sudah diakui dalam berbagai pengaturan dan sudah diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah juga telah membuktikan adanya iktikad baik dalam penerbitan UU 2/2020 yaitu dengan memperluas cakupan bantuan sosial, menanggung biaya pemeriksaan kesehatan, memberikan insentif bagi tenaga medis, memberikan Bantuan Langsung Tunai, dan stimulus fiskal dunia usaha. Dalam melaksanakan UU 2/2020, baik prosesnya maupun landasan hukumnya telah dilaksanakan dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Dari segi proses, berbagai kebutuhan belanja dan pembiayaan sebagai dampak Covid-19 telah dibahas di berbagai tataran pemerintahan, mulai dari internal Kemenkeu, Rapat Koordinasi pada tingkat Menteri Perekonomian, maupun pada Sidang Kabinet. Oleh karena itu, prosesnya sangat transparan dengan iktikad baik dan tidak dilakukan secara tersembunyi. Selain itu, pelaksanaan UU 2/2020 juga berdasar peraturan perundang-undangan yaitu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Surat Keputusan Bersama. Pemberian perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak dapat diartikan bahwa pembuat kebijakan tidak tenang dalam melakukan tugasnya. Bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta kepastian hukum namun perlindungan dan kepastian hukum tersebut sangat diperlukan agar pembuat kebijakan dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapatkan hasil yang optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dari kebijakan yang telah diambil. Dapat Pemerintah tegaskan pula bahwa sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK, yang selanjutnya akan disampaikan kepada DPR sebagai 223 wakil rakyat sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Harmonisasi UU 2/2020 Dengan UU Terdampak Lahirnya Lampiran UU 2/2020 ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum atau memerlukan penyesuaian dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau krisis perekonomian dan/atau sistem keuangan. Oleh karena itu, terhadap norma- norma yang dilakukan penyesuaian dalam Lampiran UU 2/2020 perlu dilakukan harmonisasi agar tidak terjadi dualisme hukum. Norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 yang berisi pencabutan beberapa ketentuan undang-undang terdahulu akan memberikan kepastian norma hukum yang berlaku untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana telah dijelaskan, penyesuaian norma-norma tersebut dimungkinkan berdasarkan Hukum Administrasi Negara dalam bentuk pemberian kewenangan atribusi. Selain itu, beberapa norma disesuaikan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan penanganan pandemi Covid-19. Pelaksanaan pemberian kewenangan atribusi dan/atau penyesuaian norma dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tersebut dilakukan dengan memenuhi tata kelola yang baik dan memperhatikan batasan-batasan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 didasarkan pada kebutuhan kepastian hukum regulasi yang berlaku, bukan yang sewenang-wenang ( constitutional dictatorship ) sesuai dalil Para Pemohon. Berdasarkan teori peraturan perundang-undangan, Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 berlaku sebagai ketentuan harmonisasi atas ketentuan-ketentuan yang dikesampingkan. Hal tersebut juga didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk melakukan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary untuk melakukan penanganan permasalahan Covid-19 secara cepat dan penanganan dampaknya yang luar biasa terhadap ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan, tidak dapat dilakukan hanya dengan mendasarkan pada undang-undang 224 yang ada sebelum UU 2/2020 yang memang kurang memadai untuk penanganan kepentingan tersebut. Pernyataan Para Pemohon yang menyampaikan bahwa Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 menimbulkan kesewenang-wenangan dan constitutional dictatorship adalah pernyataan yang tidak benar dan sangat berlebihan. Pemohon telah salah menafsirkan constitutional dictatorship sebagai tindakan kesewenang-wenangan. Dalam ilmu hukum konstitusi, constitutional dictatorship merupakan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi untuk menjaga keberadaan negara demokrasi konstitusional, "No form of government can survive that excludes dictatorship when the life of the nation is at stake" . Lampiran UU 2/2020 diterbitkan dalam kegentingan yang memaksa sebagaimana fakta-fakta yang telah disampaikan sebelumnya, dan merupakan instrumen hukum yang diberikan kepada Presiden untuk mengatasi kondisi kegentingan yang memaksa dengan menerbitkan Perppu. Filosofi constitutional dictatorship yang tersirat pada Pasal 22 UUD 1945 dalam konteks kedaruratan merupakan wujud nyata kehadiran Pemerintah dalam mengatasi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19 dan bukan merupakan makna negatif sebagai penyelewengan kekuasaan. Dengan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pendapat subjektif Presiden mengenai perlunya penerbitan Perppu sebagai instrumen hukum untuk mengatasi kegentingan yang memaksa telah disetujui DPR sebagai lembaga wakil rakyat. IV. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) UU 2/2020 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). 225 Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Selain itu, Presiden telah mengajukan 3 (tiga) ahli yakni Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M.Ec., Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M. Hum., yang telah di dengar keterangannya dalam persidangan pada tanggal 29 April 2021. Pemerintah juga telah menyerahkan keterangan tertulis ahli lainya yakni Chandra M. Hamzah, S.H., Prof. Denny Indrayana, SH., LL.M., Ph.D., dan Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M., yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 3 Juni 2021 , yang masing-masing memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Dr. Maruarar Siahaan, S.H. Pendahuluan. Kondisi negara -seperti halnya masyarakat umumnya dan manusia orang per orang tidak selalu berada dalam keadaan biasa ( state of normalcy ), dalam arti selalu ada pengelolaan kehidupan yang memerlukan hal yang berbeda dari yang biasa sehingga memerlukan upaya khusus secara berbeda dari proses dan prosedur yang biasa dilakukan baik dalam pencapaian tujuan sehari-hari maupun dalam program yang direncanakan untuk tujuan tertentu. Kehidupan masyarakat yang di atur oleh negara melalui sistem pemerintahan dan hukum dalam mengatur interaksi kepentingan anggota dan korporasi atau kelompok satu dengan yang lain, tunduk pada aturan perundang-undangan. Negara yang memerlukan pengorganisasian kekuasaan untuk memungkinkan adanya upaya paksa ketika terjadi hal-hal yang membutuhkan, ditentukan dengan sistem yang diatur dalam masing-masing konstitusi negara. Di samping menyusun lembaga dengan masing-masing kekuasaan yang relevan dalam mencapai suatu tujuan bersama, dan hubungannya satu dengan lain, serta hubungan kekuasaan lembaga negara dengan warganegaranya dalam penyelenggaran negara untuk kepentingan umum, dalam keadaan teratur dan normal atau kondisi yang aman, di dalam mana hubungan- hubungan hukum yang terjadi dapat ditata berdasar ketentuan hukum yang berlaku secara biasa. Ketika terjadi konflik kepentingan, mekanisme hukum yang tersedia dapat menyelesaikannya secara teratur dengan dukungan kekuasaan negara yang ada untuk memaksakan sanksi hukum dalam kerangka mengembalikan keseimbangan seperti semula. Pengaturan dan operasionalisasi penyelenggaraan 226 negara berdasar kekuasaan negara yang ada akan berlangsung secara biasa dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Hukum dan kekuasaan yang dipergunakan adalah hukum dalam keadaan normal ( state of normalcy). Akan tetapi ketika muncul bahaya dalam bentuk yang tidak biasa, yang mendatangkan ancaman bagi keselamatan negara dan rakyatnya, baik karena magnitude bahaya yang mengancam maupun akibat-akibatnya, di mana keadaan tidak dapat diatasi secara baik dengan instrumen kekuasaan dan hukum yang ada, maka dalam sejarah kehidupan hukum dan tata negara secara universal dalam perjalanannya, ada masanya keadaan harus diatasi dengan instrumen dan kewenangan (kekuasaan negara) secara berbeda, untuk mengatasi keadaan bahaya yang mengancam, baik untuk keselamatan negara, maupun keselamatan warganegara. Dalam hal terjadi suatu keadaan demikian yang secara luar biasa menyimpang dari keadaan normal, jawaban dan instrumen yang dipergunakan harus memberikan ruang gerak yang juga luar biasa bagi pemimpin negara, untuk dapat mengatasi keadaan bahaya secara tepat waktu dan dengan metode yang tepat. Kecepatan dalam pengambilan keputusan merupakan keniscayaan, yang senantiasa membutuhkan penyimpangan dari prosedur-prosedur dan instrumen yang digunakan dalam keadaan normal. Keadaan yang membawa situasi darurat, tidak dapat dijawab dengan hukum yang berlaku dalam keadaan normal, melainkan harus menggunakan hukum dalam keadaan tidak normal karena kondisi yang membahayakan negara dan rakyat harus dijawab juga dengan hukum yang berlaku dan dibutuhkan dalam keadaan darurat ( state of emergency). Paradigma yang harus menjadi pemahaman bersama ini, merupakan titik tolak yang digunakan dalam melihat dalil-dalil permohonan judicial review yang berlangsung sekarang ini. Covid -19 Adalah Keadaan Bahaya Yang Mengancam Dunia. Beberapa permohonan Judicial Review terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dan kemudian setelah disahkannya Perpu tersebut pengujian dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, serta komentar beberapa aktivis dan tokoh nasional, yang menganggap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 sebagai kesewenang-wenangan dari Presiden RI Jokowi, Perpu mana kemudian telah disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, sesungguhnya merupakan pendapat yang sungguh keliru. Langkah untuk mengeluarkan Perpu Nomor 1/2020 yang merupakan kewenangan Presiden yang sah dalam UUD 1945, 227 dan kewenangan yang diberikan secara konstitusional tersebut berdasarkan pandangan subjektif seorang Presiden, sesungguhnya telah diobjektivisir dengan melihat kondisi pandemik yang terjadi secara global meliputi negara-negara besar dan yang maju maupun tidak maju, sebagai keadaan yang di beberapa negara bahkan disebut sebagai keadaan darurat. Kondisi darurat tidak dapat dijawab dengan hukum normal, bahkan di negara yang berdasarkan hukum dan konstitusi yang menjadi kampiun demokrasi sekalipun. Tampaknya kita di Indonesia juga harus memperhatikan perkembangan yang terjadi di Mesir, Perancis dan Hongaria. Hongaria dan Perancis, dan boleh jadi harus menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan Presiden Mesir untuk mengeluarkan dekrit dan hukum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemic tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat sanksi berupa hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropa, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemic. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemic, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebutkan perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampaknya yang negative terhadap demokrasi dan rule of law. Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropa dan hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perpu tersebut dalam perkara a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian memang kita mnegetahui suatu 228 keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan dengan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan, yang diperlukan mengatasi keadaan darurat atau genting. Kondisi luar biasa pasti membutuhkan kewenangan untuk melakukan tindakan luar biasa. Ketika pertama kali kita mendengar tentang meledaknya virus covid-19 dan daya sebar yang luar biasa cepat, pada awalnya – bahkan sekarang, juga banyak yang skpetis, dan menganggap hal tersebut adalah keadaan biasa saja, dan dampaknya di anggap dibesar-besarkan, bahkan ada menganggap hoax. Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal. Tidak perlu pembuktian lagi tentang hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, yang menimbulkan ancaman terhadap keselamatan warganegara bangsa-bangsa dengan angka kematian yang tinggi luar biasa dan - sampai saat Perpu disahkan dan sampai bulan Desember 2020, belum ditemukan vaccine atau obat yang dapat mengatasinya. Angka kematian yang dapat dimonitor dari informasi resmi maupun tidak resmi, dalam siaran TV, kita misalnya melihat di Amerika Serikat saja sampai bulan Januari 2021, korban meninggal lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu), dan di Indonesia, angka kematian terakhir sebelum dimulai suntikan vaccine pertama diatas 20.000 (dua puluh ribu jiwa). Angka-angka itu lebih menakutkan lagi jika kita amati korban kematian di Italia, Inggeris, Irlandia, Jerman, Perancis Spanyol dan lain-lain. Kalau diperbandingkan dengan korban perang dunia ke II, Amerika dan sekutu-sekutunya hemat saya tidak mengalami korban sampai 300 (tiga ratus) batalyon tentara yang gugur dalam pertempuran. Pandemi corona karenanya melibihi ancaman perang dunia Ke II, dilihat dari korban manusia. Jika dilihat dari implikasinya yang timbul secara luas dalam seluruh bidang kehidupan, baik di bidang kesehatan, Pendidikan, kehidupan sosial, bidang ekonomi dalam kegiatan produksi dan perdagangan telah berdampak pada lapangan kerja dan kebangkrutan usaha-usaha, sehingga ancaman yang dihadapi adalah suatu keadaan yang sifatnya luar biasa. Terjadi perang tetapi melawan musuh yang tidak terlihat, sehingga menyebabkan manusia menjadi sasaran empuk yang mudah dibidik musuh, dan keberdayaan kita hanya pada disiplin pemakaian masker, cuci tangan dan jaga jarak, yang seyogianya dilaksanakan dengan langkah tegas dan keras dan tindakan yang luar biasa. Oleh karena sifat ancaman dan bahaya yang dihadapi sedemikian rupa, sehingga banyak langkah yang bersifat luar biasa perlu dilakukan 229 untuk pencegahan, untuk penanganan baik yang telah terkena covid, maupun masyarakat luas yang terdampak dalam kehidupan yang membutuhkan dukungan darurat, telah mengakibatkan dampak yang timbul di bidang ekonomi, keuangan, dan social, bahkan boleh jadi politik. Menurut hemat saya telah menjadi notoir feit yang tidak perlu pembuktian lebih lanjut, bagaimana daerah yang tergantung pada tourisme, mengalami “kebangkrutan” karena mendadak kebijakan pembatasan gerak manusia secara global, memukul industry perhotelan, industry pariwisata, dan akibatnya penganguran yang menyedihkan, yang bagi karyawan tertentu tanpa dukungan tabungan dan pendapatan yang pokok harus menghidupi keluarganya. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi, sebagaimana amanat konstitusi kita bahwa negara harus hadir “untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Keadaan Darurat Dalam Konstitusi Tiap konstitusi masing-masing negara akan menentukan keadaan tidak normal tersebut secara berjenjang, dengan kekuasaan yang dilimpahkan kepada penyelenggara negara secara berbeda-beda, sesuai dengan tingkat keadaan yang di hadapi. Dalam hal terjadi suatu keadaan yang tidak biasa yang membutuhkan tindakan untuk melawan hal yang tidak biasa tersebut yang mengancam eksistensi negara, kehidupan anggota masyarakat ataupun kehidupan masyarakat sebagai kepentingan umum yang menyeluruh bahkan mencakup kelangsungan kehidupan bersama yang disusun dalam organisasi negara, maka diperlukan juga tindakan atau langkah dari penyelenggara negara yang tidak biasa untuk melawan ancaman, mengatasi keadaan yang tidak biasa untuk dapat mengembalikan kekeadaan yang normal tersebut. Ketika serangan terorisme bertubi-tubi di Amerika dan perlu menyatakan keadaan bahaya yang membutuhkan emergency power bagi kepala pemerintahan untuk bertindak, maka tidak selalu tersedia kewenangan emergency tersebut dalam sistem konstitusi Amerika Serikat. Sehingga karenanya Bruce Ackerman menyatakan: “Designing a constitutional regime for a limited state of emergency is a tricky business…The paradigm case for emergency powers has been an imminent threat to the very existence of the state, which necessitates empowering the executive to take extraordinary measures”. Tetapi tindakan-tindakan yang luar biasa demikian harus senantiasa ada dalam bentuk yang integral dengan sistem hokum yang berlaku sebagaimana diatur 230 dalam konstitusi. Konstitusi – sebagaimana disebut diatas – sudah mengatur dalam kerangka kekuasaan yang ditentukan – kekuasaan atau kewenangan yang mungkin dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi dan kewajiban-kewajibannya. Pada saat yang sama pembatasan dan larangan konstitusional maupun perlindungan yang diberikan dalam kerangka hak-hak perorangan atau individu senantiasa juga diperlakukan tidak hanya dalam keadaan biasa tetapi juga dalam keadaan luar biasa. Ketika Amerika masih mencari bentuk yang pas untuk emergency power terrsebut dalam menghadapi krisis terorisme, yang karena paradigma checks and balance dan separation of powers yang agak ketat dalam aturan konstitusi Amerika, maka Indonesia sudah sejak zaman Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan, secara lugas telah menyediakan kekuasaan dalam keadaan daruurat yang diberikan pada Presiden, meskipun terjadi perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Pengalaman sejarah sejak masa penjajahan dan setelah kemerdekaan yang mengalami keadaan bahaya dari perspektif perang, bahaya perang, yang sering kali dilihat dalam konteks istilah SOB ( Staat van Oorlog en beleg) yaitu keadaan perang dan bahaya serangan, yang awalnya termuat dalam Koninklijke Besluit – semacam undang-undang- tertanggal 13 September 1939 No. 32 (Stb 1939-5820 dan mulai berlaku 15 April 1940. Undang-Undang tersebut memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk mengambil 2 (dua) tindakan darurat, yaitu (i) menyatakan wilayah Hindia Belanda seluruhnya atau sebagian “ in staat van oorlog (keadaan perang) dan (ii) menyatakan wilayah Indonesia dalam keadaan in staat van beleg (dalam keadaan terkurung oleh musuh). Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang memungkinkan perubahan hukum tatanegara biasa menjadi hukum tatanegara istimewa yang mengalihkan kekuasaan pemerintahan sipil kepada pemerintahan militer . Hal ini terjadi karena keadaan di mana terjadi perang atau timbulnya bahaya perang ( staat van oorlog ), sehingga apabila keamanan negara berada dalam bahaya karena huru hara atau karena pemerintahan sipil kocar kacir akibat malapetaka, kekuasaan pemerintahan sipil dialihkan kepada pemerintahan militer, yang memiliki prosedur dan tatacara yang membutuhkan komando secara disiplin militer yang tegas. Setelah kemerdekaan RI pada tanggal 17 Augustus 1945, karena undang- undang yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945 belum ada, maka waktu itu 231 Peraturan SOB tersebut terus diperlakukan. Tetapi kemudian DPR membentuk Undang-Undang mengenai keadaan bahaya tanggal 17 Desember 1957 seperti halnya Peraturan SOB yang juga mengenal keadaan bahaya dalam 2 tingkatan, di mana tingkat kesatu dinamakan “keadaan darurat” dan tingkat kedua disebut “keadaan perang”. Keadaan darurat dalam Undang-Undang Nomor 74 tahun 1957 mengenal tiga tingkatan keadaan darurat yaitu (i) keadaan darurat sipil, (ii) keadaan darurat militer”, dan (iii) Keadaan darurat perang. Undang-Undang Keadaan bahaya ini berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sampai saat ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 belum dicabut, akan tetapi kondisi dan kelembagaan yang disebut didalamnya, setelah perubahan UUD 1945 telah mengalami perubahan, menjadi tidak relevan, sehingga sesungguhnya sudah sejak awal reformasi harus direvisi. Karena kenyataan perkembangan sejarah dan nomenklatur kolonial yang ketika itu masih melekat, telah menyebabkan Pasal 12 dan undang-undang keadaan darurat yang diperintahkan Pasal 12 UUD 1945 menjadi terlupakan, sehingga ketika diperlukan saat ini suatu produk hukum Perpu yang memiliki karakter, dasar hukum dan akibat hukum yang berbeda dari Pasal 22 serta praktek Perpu yang tidak memperhitungkan hal tersebut, telah mengakibatkan keadaan yang terjadi sekarang dengan Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang kemudian sesuai dengan ketentuan UUD 1945 diharuskan untuk mendapat persetujuan DPR pada sidang berikutnya, menjadikannya sedikit banyak dilemmatis, karena keadaan yang tidak biasa yang disebut dalam keadaan krisis dalam arti bahaya dan ancaman kedaruratan akan keselamatan jiwa dalam jumlah besar dan dalam wilayah yang luas, kemudian ditangani seperti dalam keadaan normal atau biasa ( state of normalcy) Perpu tersebut disahkan menjadi undang-undang, dan memasuki sistem hukum dalam keadaan normal karena abnormalcy telah terhapus dengan dijadikannya Perpu jadi undang-undang. Setelah proklamasi kemerdekaan dan sesudah tercapainya secara relatif stabilitas pemerintahan serta hilangnya ancaman perpecahan dan pemberontakan – meskipun sesungguhnya tidak benar, karena yang berubah hanya bentuk dan karakteristiknya, maka kewenangan tersebut agak terlupakan dan dipahami sebagai sesuatu yang berbeda. Terutama karena Pengertian Pasal 12 UUD 1945 tentang kekuasaan Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya, yang kemudian syarat- 232 syarat dan akibat keadaan bahaya diatur dalam Undang-Undang, maka keadaan yang diatur dalam undang-undang itu, tentu bukan keadaan yang diatur undang- undang sebagai keadaan normal ( state of normalcy) melainkan dalam keadaan darurat atau bahaya dengan kegentingan memaksa, yang hemat kami, output nya bukan Perpu berdasarkan Pasal 22, melainkan keadaan darurat yang merupakan bagian dari kegentingan memaksa yang timbul karena keadaan bahaya, yang outputnya dalam Undang-Undang Dasar Sementara dan UUD RIS, disebut dengan istilah yang berbeda yaitu Undang-Undang Darurat . Kekosongan pengaturan yang sesuai karena lupa menjabarkan Pasal 12 tentang “keadaan bahaya” dalam UUD 1945, kemudian menyebabkan kesalah pahaman yang agaknya boleh jadi menimbulkan masalah konstitusionalitas normanya, sebagaimana kita saksikan di media sosial. Perpu Nomor 1/2020 yang dikeluarkan dengan berdasarkan kondisi ancaman serangan Covid 19, oleh WHO dinyatakan sebagai pandemic, sesungguhnya terjadi secara global dan dengan bukti tingkat kematian yang sangat tinggi akibat serangan covid-19 sebagaimana telah disebut diatas, sehingga secara objektif negara memang berada dalam keadaan bahaya, yang mengancam kehidupan manusia dan boleh jadi mengancam kelangsungan kehidupan negara akibat krisis ekonomi yang timbul serta dampak ikutannya. Meskipun demikian, masih ada pihak yang mungkin hanya melihatnya dari segi pertarungan politik, karena pemahaman konstitusi yang kurang cermat dan lengkap, sehingga boleh jadi mengakibat krisis konstitusi yang berbahaya. Dengan kata lain kekuasaan apapun yang boleh secara sah digunakan menurut konstitusi untuk menghadapi ancaman keadaan yang luar biasa, tidak akan mengurangi ruang lingkup jaminan-jaminan konstitusional yang ada, meskipun dalam keadaan yang tidak biasa tersebut perlindungan hak-hak individu dan hak asasi boleh jadi harus ditunda pemberlakuannya , karena suatu keadaan yang berbahaya atau genting yang menimbulkan keadaan memaksa untuk bertindak mengatasi keadaan tersebut beserta akibat-akibatnya secara luar biasa. Dalam keadaan seperti itu, diperlukan seorang pemimpin yang harus mampu bertindak dalam keadaan yang segera, sehingga konsep-konsep hokum yang innovative untuk mengatasi keadaan yang luar biasa tersebut juga boleh jadi dibutuhkan. Asumsi pembedaan kondisi dan keyakinan akan kemampuan kita untuk memisahkan keadaan genting dan krisis dari keadaan normal, langkah kontra terorisme dari aturan hukum dan norma yang biasa (?), mengandung arti bahwa 233 tindakan melawan kegentingan atau keadaan darurat bukan ditujukan kepada kita, melainkan terhadap ancaman keselamatan masyarakat dan bahkan negara tersebut. Penerapan secara membabi buta model-model keadaan yang tidak biasa, dalam jangka panjang akan menimbulkan ketidak stabilan terhadap prinsip-prinsip fundamental seperti rule of law , perlindungkan atas hak-hak dan kebebasan yang berlaku. Models of Accomodation. Seorang penulis mengatakan bahwa wacana tentang rezim keadaan darurat dalam masyarakat demokratis hampir secara tetap diatur dengan model-model yang dikelompokkan menurut satu teori umum yang disebut “ models of accomodations”. Semua model tersebut menerima satu tingkat akomodasi bagi tekanan yang terjadi/dilakukan terhadap negara pada saat keadaan darurat, sementara pada waktu yang sama, sebanyak mungkin mempertahankan prinsip dan norma hokum yang normal. Menurut model-model akomodasi tersebut, ketika satu negara dihadapkan kepada keadaan darurat, maka struktur hokum dan bahkan struktur konstitusionalnya agak dilonggarkan dan barangkali bahkan ditangguhkan ( keberlakuannya ) sebagian. Kompromi ini yang memungkinkan kelangsungan dianutnya asas rule of law dan nilai-nilai dasar demokrasi, ketika negara diberikan kewenangan yang cukup untuk menahan puting beliung yang ditimbulkan oleh krisis yang mengancam kehidupan negara dan keselamatan warganya. A. Constitutional Dictatorship in State of Emergency . Gross dan Fionuala memasukkan dalam jenis akomodasi ini kedikatoran Romawi dalam bagian akomodasi klasik, yang diperkenalkan di zaman Romawi dengan mana satu lembaga darurat yang diakui dan instrument pemerintahan yang dibangun dalam kerangka konstitusional. Lembaga ini dipuja oleh Niccolo Machiavelli sebagai lembaga yang dipandang dimasukkan diantara penyebab kebesaran suatu kekaisaran yang adidaya. Kediktatoran konstitusional Romawi dilihat sebagai kegeniusan politik Romawi yang dapat menyelesaikan masalah yang sulit dalam kekuasaan darurat yang tidak ada bandingnya dalam sejarah. Sesungguhnya kediktatoran konstitusional adalah satu model dengan mana suatu negara demokrasi dapat berhasil dalam perang semesta dan masih dapat mempertahankan sifat demokratisnya dengan menggunakan prinsip kediktatoran konstitusional. Kediktatoran konstitusional disusun berdasarkan pengalaman dan atribut kedikatoran Romawi. Pemecahan Romawi atas masalah kekuasaan darurat 234 dipuji sebagai yang paling berhasil dari semua sistem pemerintahan darurat yang dikenal. Unsur-unsur pokok kediktatoran Romawi yang paling terkenal itu adalah:
sifatnya yang sementara _(temporary character); _ 2. pengakuan akan sifat khusus (exceptional) dari keadaan darurat _; _ 3. pengangkatan seorang diktator sesuai dengan bentuk bentuk konstitusional yang khusus , yang memisahkan mereka yang menyatakan keadaan darurat, dan mereka yang menjalankan kekuasaan darurat;
pengangkatan dikator untuk tujuan yang terinci dan terbatas, dan tujuan akhir mempertahankan tertib konstitusi katimbang mengganti atau mengubahnya, sering diangap meletakkan pedoman dasar bagi regiem darurat konstitusional di zaman modern. Pada zaman modern sekarang, ketika krisis negara-negara secara global yang timbul karena pandemi virus corona, Hongaria dan Perancis tampaknya menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan/atau Presiden untuk mengeluarkan dekrit dan hukum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemik tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat juga hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropa, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemi. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemic, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebut perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampak negative terhadap demokrasi dan rule of law. Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropa dan 235 hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perpu tersebut dalam perkara JR yang telah dinyatakan gugur dengan disetujuinya Perpu menjadi undang-undang a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian ternyata memang terdapat suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting dan bahaya atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan yang diperlukan mengatasi keadaan darurat, bahaya atau genting tersebut. B. State of Siege. Model klasik berikut yang disebut oleh Gross dan Fionnuala, adalah state of siege , yang berasal dari sistem hukum kontinental, khususnya Perancis, sebagai mekanisme untuk mengurus keadaan krisis yang ekstrim. Dikatakan bahwa instrumen mengatasi krisis jenis ini sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting dalam state of siege ini tidak menggambarkan adanya keadaan di mana hukum dibatalkan sementara, tetapi gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan untuk mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hukum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat. Untuk mengatur lebih jauh state of siege tersebut, Konstitusi Perancis Republik Kedua tahun 1848 mengadopsi Pasal 106, yang mengatur penerbitan pernyataan state of siege , pengakhiran, dan akibat hukum keadaan darurat tersebut. Akan tetapi patut diingat bahwa menurut Konstitusi Perancis tahun 1878 state of siege hanya dapat dinyatakan dengan undang-undang dan hanya “ dalam hal bahaya yang mengancam dari perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’. Pernyataan state of siege harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, state of siege juga berakhir. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Kewenangan untuk menyatakan state of siege tersebut hanya berada pada parlemen, termasuk untuk mengakhiri keadaan darurat luar biasa tersebut baik sebahagian atau seluruhnya sebelum masa yang ditentukan dalam pernyataan sebelumnya, dengan deklarasi yang dikeluarkan kemudian. Pengertian yang dianut pada waktu itu bahwa masa berlaku 236 state of siege tersebut relative singkat dan sangat terbatas. Tambahan lagi pernyataan state of siege harus menentukan bagian wailayah negara dimana berlaku state of siege. Ketika state of siege telah dinyatakan maka semua kewenangan untuk “memelihara ketertiban” dialihkan secara menyeluruh kepada pihak militer. Penguasa sipil tetap memegang fungsi dan kewenangan lainnya, dan pengadilan militer akan melaksanakan kewenangan atas tiap pelanggaran yang menyangkut keamanan dan ketertiban Republik serta pelanggaran terhadap konstitusi, kemanan dan ketertiban umum. Terdapat dua hal yang tidak termasuk dalam sistem ini yaitu:
Regiem state of siege tidak melimpahkan kewenangan pembuatan undang- undang kepada eksekutif; dan
State of siege tidak mengakibatkan perubahan mendasar dalam hubungan pembuat undang-undang dengan eksekutif, atau antara pemerintahan sipil dan militer, dan militer tetap tunduk kepada pengarahan dan instruksi dari menteri-menteri. Dengan kata lain, meskipun ada pengalihan kewenangan memelihara ketertiban dan kewenangan lain, militer dan sipil bekerja bahu membahu selama keadaan perang, meskipun secara umum militer tetap sebagai hakim terakhir atas masalah kepolisian dan keamanan.
C. Martial Law -Darurat Militer Jenis keadaan darurat semacam ini merupakan instrumen keadaan darurat dalam sistem common law, yang digunakan mengatur dengan keputusan eksekutif yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan dengan keputusannya untuk mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu untuk mempertahankan negara dan menyatakan keadaan darurat dalam masa permusuhan. Keputusan-keputusan dalam keadaan darurat demikian dipandang memiliki kekuatan yang sama dengan undang- undang. Keadaan Bahaya atau Kegentingan Yang Memaksa. Republik yang ideal harus memiliki lembaga emergency , ketika menghadapi ancaman dan bahaya yang luar biasa, ketika pembuatan keputusan yang normal sangat lambat untuk mengatasi secara efektif krisis yang mengancam. Banyak negara konstitusional modern memuat secara tegas dan terkadang sangat rinci ketentuan-ketentuan tentang keadaan darurat. Meskipun banyak dipergunakan negara di masa modern, akan tetapi 237 beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan Belgia, hampir tidak mengenal rujukan kepada keadaan darurat dan kekuasaan darurat. Konstitusi Amerika hanya secara tidak langsung merujuk kepada kedaruratan tersebut dalam Pasal 1 Ayat (9) kalimat kelima belas (15) yang memberikan kekuasaan kepada Kongres “memanggil wajib militer untuk melaksanakan undang-undang Negara Federal, memadamkan pemberontakan dan menahan invasi”. Sedang Pasal 1 ayat (9) Kalimat Kedua yang menyatakan bahwa Hak istimewa Habeas Corpus tidak boleh ditangguhkan kecuali keamanan umum membutuhkan ketika terjadi pemberontakan atau invasi. Dan meskipun disebut dalam pasal-pasal lain tentang perang dan masa perang, tidak ada kewenangan khusus yang diberikan kepada cabang eksekutif dalam keadaan mendesak demikian. Constitutional Necessity Ketika aturan yang memberikan kewenangan menyangkut keadaan darurat tidak termuat dalam konstitusi, orang mencoba untuk mempertegas kewenangan darurat yang tersedia bagi pemerintah untuk menghadapi kegentingan secara khusus dalam struktur konstitusi adalah dengan beralih kepada prinsip kebutuhan ( principle of necessity ) baik sebagai sumber hokum yang berdiri sendiri atau sebagai cita-hukum ( rechtsidee ) yang menjadi sumber aturan (meta-rule) dari konstruksi konstitusi. Dalam kedua pandangan tersebut “kebutuhan ( necessity )” berlaku sebagai prinsip konstitusi yang dapat mengesahkan hal yang sebaliknya tidak sah bahkan inkonstitusional. Necessity , menciptakan hukum konstitusi yang baru dengan cara menyimpang dari, dan bertentangan dengan, norma konstitusi yang ada, atau dia membentuk konstruksi konstitusi dengan cara yang baru. Untuk melihat aplikasi necessity dan meta - rule constitutional construction ini, dapat kita lihat perkembangan jurisprudensi atau case law sebagaimana secara bertahap memberikan kewenangan dalam keadaan darurat dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, tentang kewenangan memanggil wajib militer dan kedudukan wajib militer tersebut dalam keadaan perang di bawah perintah Presiden Amerika Serikat sebagai Panglima Angkatan Perang. Pasal 2, ayat 2 Kalimat Pertama, berbunyi: “ The President shall be Commander in Chief…of the Militia of the several States, when called into the actual Service of the United States…” 238 Pada tahun 1792, Congres membuat Undang-Undang, yang memberi izin kepada Presiden memanggil milisi utuk memadamkan pemberontakan. Kewenangan ini awalnya dibatasi pada kejadian yang tidak dapat ditangani oleh Pengadilan atau Polisi dalam tugasnya. Undang-undang itu juga menyatakan bahwa hakim harus lebih dahulu menyatakan keadaan diluar kewenangan kekuasaan yang sah dan menyatakan bahwa Presiden harus memperingatkan pemberontak untuk mengakhiri kegiatannya sebelum menyatakan wajib militer. Ketika perang tahun 1812, Presiden James Madison memanggil wajib miter, tetapi Negara Bagian New England menentang perang dan kewenangan Presiden serta mengancam akan memisahkan diri. Mahkamah Agung Negara Bagian Massachuset mengeluarkan pendapat hukum yang menyatakan bahwa Gubernur atau Panglima Perang Negara Bagian mempunyai kewenangan ekslusif untuk menyatakan keadaa darurat dan memanggil milisi. Keputusan ini secara efektif diakui sebagai kewenangan veto Gubernur atas penggunaan milisi masing-masing negara bagian. Pasal 1 ayat (8) kalimat 15 dan Pasal II ayat (2) kalimat Pertama Konstitusi Amerika menyatakan secara khusus memberi kewenangan, masing-masing kepada Kongres dan Presiden, kekuasaan untuk memanggil milisi dalam tugas aktif pada Amerika Serikat. Menjawab argument kewenangan negara bagian, James Monroe menyatakan bahwa ketika milisi dipanggil untuk tugas negara (Federal) Amerika Serikat, semua kewenangan negara bagian atas milisi berakhir. Tahun 1872 Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Martin v Mott, dalam putusan yang ditulis oleh Hakim Joseph Story menyatakan, “Semua hakim MA berpendapat bahwa kewenangan untuk menentukan apakah terdapat keadaan darurat, dimiliki secara ekslusif oleh Presiden, dan keputusannya mengikat semua orang”. Kemudian tahun 1849 dalam perkara Luther v Borden, MA menyatakan bahwa bukan hanya keputusan Presiden memanggil milisi sebagai jawaban atas keadaan darurat tidak memerlukan persetujuan eksekutif negara bagian, juga keputusan Presiden demikian juga tidak tunduk pada judicial review. Tahun 1980, Gubernur-gubernur Negara Bagian kembali menentang kewenangan Presiden tersebut, dan mengemukakan bahwa merupakan hak prerogative mereka untuk memberikan persetujuan. Sebagai 239 akibatnya Congres mengeluarkan Amendemen Montgomery yang melarang Gubernur untuk menggunakan persetujuan bagi National Guard yang bertugas di luar Amerika Serikat. Kemudian ada JR yang menyatakan bahwa Mongomery Amendment inkonstitusional, tetapi akhirnya Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan supremasi kewenangan Presiden atas operasi milisi ketika dipanggil untuk menjalani tugas negara, dan Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Gubernur negara bagian tidak dapat memveto penggunaan milisi negara bagian ketika dipanggil oleh negara sesuai dengan Kewenangan Konstitusional Kongres dan kewenangan konstitusional Presiden. Keadaan Bahaya dan Kegentingan Memaksa. Kondisi Negara dalam krisis tentu wajar membutuhkan penanganan yang tidak biasa. Dikatakan bahwa instrument mengatasi krisis jenis tertentu yang mengancam wilayah, masyarakat dan negara, membutuhkan langkah cepat dan keras, yang sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting dalam state of exigencies ( keadaan genting) __ ini menggambarkan adanya keadaan di mana hukum perlu sementara berada dalam prosedur yang tidak biasa untuk memungkinkan diambil langkah-langkah yang tidak terhambat oleh prosedur- prosedur biasa. Gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan yang mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hukum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap untuk menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat atau genting. “ Dalam hal bahaya yang mengancam akibat perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’, kerusuhan social yang berskala besar, membutuhkan kewenangan yang tidak biasa seperti yang telah disebutkan. Pernyataan genting dan memberikan kewenangan untuk mengambil langkah- langkah yang berada di luar ketentuan hukum yang biasa, menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemic, yang juga memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Oleh karena itu memang harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir yaitu kegentingan yang disebut memaksa tersebut berakhir, 240 maka berakhir juga pemberian kewenangan secara luar biasa tersebut kepada Presiden. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Dasar Pembentukan Perpu. Dalam sejarah kehidupan negara kita disebutkan bahwa pada masa pemerintahan SBY, dalam masa 10 (sepuluh) tahun, Presiden SBY mengeluarkan Perpu terbanyak, dengan jumlah Perpu. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Pengertian hal ihkwal kegentingan yang memaksa tersebut telah diperjelas oleh MK dengan merumuskan syarat-syarat yang disebut dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 sebagai dasar untuk “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” yaitu:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan. Landasan hukum yang dipergunakan untuk membentuk Perpu yang disebut seluruhnya adalah karena adanya “ kegentingan memaksa”, yang kemudian dilandaskan pada 3 (tiga) hal yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga timbul pertanyaan apakah dalam keadaan seperti ancaman dan bahaya yang timbul akibat keadaan darurat karena potensi serangan baik yang bersifat militer, dalam arti ancaman invasi kekuatan asing, ancaman pemberontakan atau pergolakan dalam negeri yang berpotensi menghancurkan kesatuan dan integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara geografis, yang berpotensi juga terhadap keutuhan wilayah dan keamanan jiwa dan raga, termasuk terhadap ancaman pandemic yang membahayakan nyawa dalam skala besar dan dampak social, politik, dan ekonomi yang luas, UUD 1945 memiliki landasan hukum lain yang boleh juga menyebabkan dipergunakannya kebijakan pemerintahan yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. 241 Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal, yang secara umum boleh dikategorikan dalam keadaan genting, yang memaksa penyelenggara pemerintahan untuk mengambil langkah-langkah yang cepat dan tidak biasa dalam kerangka memenuhi amanat konstitusi “ untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Tetapi dengan bukti angka-angka kematian yang timbul dari covid-19, apakah “kegentingan memaksa” yang disebut dalam Pasal 22 sama dengan “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945. Tidak perlu pembuktian lebih lanjut tentang keadaan bahaya, kegentingan memaksa, state of emergency yang terjadi karena hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, termasuk dengan pernyataan WHO tentang Pandemi-Covid 19 dengan angka kematian yang tinggi dan belum ada obat yang dapat mengatasinya (sampai akhir 2020). Terlebih lagi dengan pernyataan para ahli tentang kemungkinan mutasi virus yang diprediksi secara keilmuan mengakibatkan jenis yang berbeda yang boleh jadi tidak dapat dihambat dengan suatu jenis vaccine tertetu saja. Oleh karenanya banyak langkah yang harus dilakukan secara cepat untuk perawatan dan pengobatan serta pencegahan, yang menjadi kewajiban negara secara konstitusional untuk melindungi segenap bangsa, mengakibatkan dampak beban keuangan yang sangat besar yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, pengurangan pendapatan negara, pengangguran dan kebangkrutan, dan bahkan jika tidak tertangani secara baik kemungkinan boleh jadi berkembang kearah krisis politik. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Kondisi yang terjadi sekarang, pasti memenuhi bunyi Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebut bahwa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan 3 (kondisi) yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga Presiden berhak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang. Tetapi kondisi yang dihadapi sekarang ini dalam hal Pandemi covid-19, jauh lebih besar dari sekedar kegentingan yang disebut dalam Pasal 22 UUD 1945, karena unsur ancaman dan korban yang secara riil sudah demikian besar, yang potensinya berkembang masih berlanjut, yang juga mengancam penyelenggara negara dan petugas kesehatan itu sendiri. Hal-hal ini tidak perlu terjadi dalam hal kegentingan memaksa yang diatasi dengan Perpu berdasarkan Pasal 22 UUD 1945. Oleh karena kondisi yang sedemikian besar ancaman dan bahayanya, sehingga 242 negara sebenarnya berada dalam keadaan bahaya atau darurat , maka landasan yang dipergunakan tidak cukup hanya Pasal 22 UUD 1945, seperti halnya pengalaman perjalanan Negara Republik Indonesia. Dalam keadaan bahaya yang masih mengancam seperti saat ini, Pasal 12 UUD 1945 juga seharusnya digunakan bersama-sama Pasal 22 atau mungkin lebih tepat dikaitkan dengan Pasal 22, jika kondisi ini adalah keadaan bahaya yang dimaksud. Dalam pengalaman dibawah UUD Sementara Republik Indonesia maupun UUD 1945 sebelum Dekrit Presiden 5 juli 1959, dan sebelum Perubahan tahun 1999, masing-masing kita mengenal adanya Undang-Undang Darurat dan Undang-Undang Keadaan Bahaya yang berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sesungguhnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dalam pertimbangannya secara ringkas sebenarnya telah merujuk pada Pasal 12 UUD 1945, dengan menyatakan bahwa “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945 menjadi suatu bagian dari “kegentingan memaksa” dalam Pasal 22 UUD 1945 dengan pernyataan bahwa pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945. Memang benar bahwa keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 dapat menyebabkan proses pembentukan undang-undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang dapat menyebabkan timbulnya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Yang menjadi pertanyaan yang harus dapat dijawab apakah norma yang dilahirkan atas dasar Perpu yang timbul sebagai bagian sistem hukum yang bersifat darurat ( state of emergency and law in crisis) yang sesungguhnya sementara mentolerir penyimpangan konstitusi, dan ketika disetujui sebagai undang-undang, menjadi masuk dalam bagian sistem hukum yang bersifat normal (state of normalcy ) Inilah sesungguhnya yang menjadi masalah utama ketika kita berbicara tentang pengujian UU Nomor 2 Tahun 2020 yang berasal dari Perpu Nomor 1 tahun 2020. Berdasarkan keadaan darurat yang menjadi dasar pembentukan Perpu sebagai law in time of crisis, yang mentolerir penyimpangan beberapa prinsip konstitusi dan rule of law, tetapi ketika mendapat persetujuan DPR menjadi undang-undang, kemudian dijadikan bagian dari sistem hukum keadaan normal? __ Pasti jawabannya tidak. Keadaan darurat dan law in time of crisis seperti halnya suatu constitutional 243 dictatorship, memiliki batasan waktu, ketika state of emergency telah berakhir maka law in crisis yang abnormal membutuhkan tindakan pengakhiran. Dasar Hukum Perpu. Secara khusus, AB Kusuma menyebut dengan to the point, Perppu harus didasarkan pada Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945, meskipun keluar dari pakem, dan meskipun ada semantic confusion (kerancuan istilah). Dari Tahun `1945 sampai tahun 2020 Perpu yang dikeluarkan hanya didasarkan pada Pasal 22 saja, kecuali Perpu nomor 23 tahun 1959 yang didasakan pada Pasal 12 dan 22. Dari Pasal 12 dirumuskan ketentuan bahwa Presiden dapat menyatakan negara dalam keadaan bahaya dengan tingkat keadaan “darurat sipil”, atau “darurat militer atau “keadaan perang” dan Pasal 22 untuk memenuhi “kekosongan hukum”. Mengingat Perpu 1 Tahun 2020 mempunyai ciri “negara dalam keadaan bahaya”, maka seharusnya dipakai Pasal 12, maka Perppu harus menyatakan bahwa dasarnya Pasal 12 dan 22, harus dideklarasikan, harus berlaku untuk sementara, harus memuat apa saja kekuasaan istimewa untuk menangguhkan atau membatasi fundamental rights dan prinsip pemerintahan yang demokratis dan harus memuat pengawasan dari lembaga judisial. Mengingat ketentuan itu tidak tercantum, maka dapat disimpulkan bahwa Perpu Nomor 1/2020 yang menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, inkonstitusional. Sebagai perbandingan T Ginsburg menulis di Harvard Law Review April 2020 yang menyatakan: “bila negara dalam emergency law, maka perlu _diupayakan agar tidak terjadi abuse of powers dengan mengadakan ketentuan:
_ Providing for legislative and judicial oversight for the executive, 2. Limiting exceptional measures to those strictly necessary, 3. Ensuring that such powers endure only for the duration of outbreak. Nyatanya tidak ada ketentuan di dalam Perppu bahwa judiciary boleh melakukan oversight. Yang ada kebalikannya. Bahwa anggota KKSK kebal hukum dengan pernyataan bahwa: anggota KKSK tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana, serta….”segala tindakan…bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke PTUN. Dan di Perppu ada ketentuan bahwa deficit dapat melampaui 3 persen selama 3 tahun (sampai tahun 2023), padahal ada ketentuan dalam UUD bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan persetujuan DPR. Hal itu jelas melanggar konstitusi dan ada batas waktu berlakunya yang harus mendapat persetujuan DPR. Demikian pula penerbitan SUN (apalagi dengan Tenor 50 Tahun) melanggar Pasal 11 UUD. HukumTata Negara darurat bersifat dinamis. Di Belanda, nama dan istilah banyak berubah. Konsep juga 244 berubah emergency law (staatsnoodrecht) terdiri dari Coordinatiewet Uitzonderingstoestanden Oorlogswet door Nederland, dan Wet Buitengewone Bevoegheden Burgelijk Gezag . HTN Darurat terdiri dari “limited state of emergency” , dan general state of emergency . Istilah Maria Law tidak lagi digunakan. Mungkin Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara -HukumAdministrasi Negara bisa menemukan istilah, ump HTN Darurat Ringan untuk yang berdasar Pasal 22, dan HTN darurat Berat berdasarkan Pasal 12 UUD 1945. Di India, emergency provision tercantum di Pasal 352 (yang dapat menangguhkan fundamental rights) sampai Pasal 360 (provision as financial emergency) yang dapat menurunkan gaji ASN. Di Amerika, menurut Emergency Act 1976 Presiden memiliki “ statutory powers ”, dengan mana Presiden dapat membuat emergency law untuk hal yang dipandangnya penting, kecuali menangguhkan habeas corpus . Syaratnya Presiden harus mendeklarasikan kekuasaan apa yang akan dipergunakan dan berlaku selama satu tahun. Dapat diperpanjang berkali-kali asalkan disetujui congress. Konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 2/2020 Juncto Perpu Nomor 1/2020 Salah satu keberatan besar dalam Judicial review yang diajukan terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 adaalah Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang a quo. Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui menjadi undang-undang nomor 2 Tahun 2020, menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku maka “beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya, dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan Negara untuk penenganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini.” Pemberlakukan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengubah beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya yang terkait dengan kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan yang meliputi:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 245 (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat. Ruang lingkup perubahan tersebut dapat diklasifikasi dalam 12 (dua belas) kelompok bidang regulasi, dengan diberlakukannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 secara umum, sebagai berikut: a) Bidang Perpajakan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang.
Perpanjangan batas waktu hingga dua bulan atas pengembalian kelebihan pajak;
Perpanjangan batas waktu atas penerbitan Surat Ketepan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan 16 bulan;
Perpanjangan batas waktu pengajuan keberatan sampai dengan Sembilan bulan;
Perpanjangan batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak hingga 18 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima; dan
Perpanjangan batas waktu penerbitan surat keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pembatalan hasil pemeriksaan hingga 12 bulan. b) Bidang Perbankan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Perpu ini memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli membeli Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang di pasar perdana. Pengaturan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia disebutkan bahwa Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang Negara, kecuali di pasar skunder. Kewenagan tersebut diberikan untuk membantu pemerintah jika pasar tidak dapat menyerap SUN dan/atau SBSN yang tertebitkan pemerintah, sehingga dapat menjaga suku bunga tidak terlalu 246 tinggi, serta untuk membantu likuiditas pemerintah dalam penanganan pandemic Covid-19. c) Bidang Keuangan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Perubahan pengaturan tentang batas maksimum defisit anggaran, sebagai antisipasi terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan Negara, dan peningkatan belanja Negara dan pembiayaan;
Pemerintah dapat melakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarfungsi dan/atau antarprogram tanpa persetujuan DPR;
Pemberian kewenangan penuh kepada pemerintah untuk memberikan hibah kepada pemerintah daerah tanpa memerlukan persetujuan DPR;
Pemberian hibah kepada LPS sebagai kewenangan pemerintah tanpa memerlukan persetujuan DPR; dan
Penerimaan pembiayan untuk menangulangi Defisit pada APBD dengan menggunakan si LPA Tahun yang lalu masih dimungkinkan. d) Bidang Perbendaharaan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Perubahan ketentuan ini berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (4) juncto Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur pada prinsipnya bahwa dalam keadaan darurat Pemerintah/Pemrintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggaranya, yang selanjutnya diusulkan dalan rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. e) Bidang Penjaminan Simpanan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang.
Pelebaran kriteria pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan suatu Bank; dan
LPS sekurang-kurangnya melakukan perhitungan atas perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan Bank Gagal. Apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas maka LPS dapat memperoleh pinjaman dari pemerintah. 247 f) Bidang Pertimbangan Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pengaturan sebelumnya ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN dan kemudian diatur menjadi tidak ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN;
Penetapan batasan deficit anggaran yang awalnya ada maksimum deficit menjadi tidak ada maksimum defisit. Melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Pemerintah berencana menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 sebesar Rp405,1 Trilyun. Konsekuensi dari naiknya belanja Negara adalah deficit APBN yang bertambah hingga 5,07% dari produk domestic bruto (PDB);
Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perpu terkait sangsi berupa penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan menjadi tidak ada pengenaan sanksi; dan
Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait waktu pemberlakuan DAU. g) Bidang kesehatan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Ketentuan sesuai Undang-Undang Kesehatan terdapat alokasi minimal 5% untuk bidang kesehatan dari APBN sedangkan dalam Perppu dimungkinkan adanya tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 sehingga alokasi yang diberikan untuk bidang kesehatan akan lebih besar dari yang diatur oleh Undang-Undang Kesehatan dalam rangka penanggulangan pandemic Covid- 19. h) Bidang Desa, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dana yang seharusnya wajib dialokasikan untuk pembangunan desa sebesar 10% dalam Undang-Undang Desa menjadi dilakukan penyesuaian alokasi Dana Desa, antara lain berupa penyesuaian pagu anggaran Dana Desa. Hal ini terkait dengan pengutamaan penggunaan Dana Desa, yang dapat digunakan antara lain untuk bantuan langsung tunai kepada penduduk miskin di desa dan kegiatan penanganan pandemic Covid-19. i). Bidang Pemerintah Daerah, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah. 248 1) Syarat perubahan APBD dicabut sehingga dengan adanya Perppu dimungkinkan penggunaan anggaran mendahului perubahan dalam APBD. Pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran anggaran terkait penenganan Covit-19 dan dampaknya meskipun mendahului pembahasan atau pengesahan APBD-P 2020, sehingga hanya merubah Peraturan Kepala Daerah (Perkada) tentang penjabaran APBD TA 2020; dan
Kewenangan DPRD dialihkan kepada Kepala Daerah dilakukan dalam rangka percepatan penggunaan dana dari APBD untuk penanganan Covid- 19. i) Bidang Kelembagaan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Perppu ini mengatur perubahan kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 terkait perubahan APBN dapat dilakukan melalui perubahan postur dan rincian APBN sehingga tidak memerlukan persetujuan DPR. j) Bidang Pencegahan dan Penangganan Krisis Sistem Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Perubahaan ruang lingkup pernilaian yang dilakukan oleh OJK dan Bank Indonesia sehingga mencakup Bank sistemik dan Bank selain Bank sistemik; dan 2) Tidak ada keharusan adanya agunan dalam pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah. k) Bidang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending );
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan perubahan APBN tanpa harus melakukan pembahasan bersama DPR melalui perubahan postur dan rincian APBN; 249 3) Pemerintah diberikan kewenangan untuk penggunaan atas dana-dana tersebut dalam penanganan Covid-19 tanpa memerlukan ketetapan Meteri Keuangan dan tanpa kewajiban pelaporan dalam APBN;
Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengeluarkan kewajiban baru seperti mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN-TA 2020 untuk penenganan Covid-19 yang memerlukan fleksibilitas. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang APBN harus dirubah yaitu ketentuan terkait syarat peruntukan, perlunya ketetapan Menkue tentang penggunaan SAL, Kewenangan DPR, syarat pinjaman kuantitatif, sumber dana dan penetapan tingkat kemiskinana;
Pemerintah diberikan fleksibilitas dalam melaksanaan APBN karena tidak ada target berupa angka yang ditentukan; dan
Tidak lagi diatur mengenai pelaporan dalam APBN-P tahun berjalan atau dalam LKPP, dalam hal terjadi pemberian pinjaman. Dan dalam rangka mengakomodir amanat Perppu Nomor 1 Tahun 2020, maka diperlukan peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih rinci untuk menjamin implementasi Perppu secara konsisten dan efektif. Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengamanatkan adanya peraturan pelaksanaan sebagai berikut: a) 7 (Tujuh) Peraturan Pemerintah, sesuai amanat pada Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (12), Pasal 11 ayat (7), Pasal 15 ayat (3). Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (1); b) 1 (Satu) Peraturan Presiden, sesuai amanat pada Pasal 12 ayat (2); c) 1 (Satu) Peraturan BI, sesuai amanat pada Pasal 16 ayat (2); d) 1 (Satu) Peraturan OJK, sesuai amanat pada Pasal 23 ayat (2); e) 2 (Dua) Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Bank Indonesia, sesuai amanat pada Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3); f) 7 (Tujuh) Peraturan Menteri Keuangan sesuai amanat pada Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (13), Pasal 7 ayat (7), Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 24 ayat (2); dan g) 1 (Satu) Peraturan Menteri Dalam Negeri sesuai amanat pada Pasal 3 ayat (2). Kita dapat melihat luas ruang lingkup dampak diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dalam peraturan perundang-undangan di bidangan keuangan dan kesehatan, sehingga melahirkan keberatan yang diuatarakan dalam argument judicial review yang diajukan. Akan tetapi justru dalam keadaan darurat dan krisis 250 yang membutuhkan gerakan cepat dalam mengambil langkah-langkah untuk mengatasi keadaan krisis dan dampaknya terhadap kehidupan social, politik, ekonomi masyarakat, konstitusi memberi keleluasaan untuk mengambil langkah tersebut. Justru untuk menghadapi kondisi bahaya atau darurat dan genting demikian, konstitusi menyediakan dasar hukum bertindak untuk membentuk hukum mengatasi krisis dan keadaan darurat. Demikian juga kesan yang ditimbulkan bahwa Pasal 27 memberi impunitas pada koruptor, sesungguhnya tidak benar. Kalau dibaca secara cermat pasal 27 ayat (1) Perpu yang menyatakan bahwa para pejabat yang disebut dalam pasal tersebut, dalam rangka melaksanakan Perpu 1/2020 tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata, adalah jikalau dalam menjalankan tugasnya di dasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan merupakan amanat yang tegas, agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap Pejabat yang disebutkan jika mereka telah melakukan tugas berdasar undang-undang dan secara itikad baik. Itikad baik tersebut diartikan sebagai pelaksanaan tugas secara jujur. Ketentuan Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak pidana Korupsi merumuskan unsur melawan hukum, merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain, jika dipenuhi baru dapat dituntut kedepan peradilan. Mungkin juga pesan lain, karena selama ini, terjadi mengabaikan doktrin hukum pidana yang disebut dengan ultimum remedium atau hukum pidana sebagai upaya hukum terakhir maka secara tidak perlu sesungguhnya hal itu telah dituliskan. Biarlah Hukum Tata Usaha Negara dulu menyelesaikan masalah hukumnya kalau ada pelanggaran dan kalau ada kerugian yang timbul karena pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan, maka akan dituntut untuk dikembalikan secara administrasi. Pasal 27 ayat 2 adalah justru merupakan keadaan yang diperlukan untuk menghindari kemacetan karena adanya gugatan-gugatan yang mungkin diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat menghambat langkah-langkah yang memerlukan kecepatan mengatasi keadaan genting dan bahkan kadang-kadang darurat, karena adanya perintah penangguhan pelaksanaan keputusan TUN dalam Perpu yang mungkin diperintahkan Hakim. Tetapi tidak berarti hukum pidana dalam noodstaatsrecht dikesampingkan, melainkan hanya soal momentum yang diminta untuk dipahami oleh penegak hukum. Secara khusus AB. Kusuma yang mengkritisi tulisan Mahfud di Jawa Pos mengecewakan, bahkan bernada “juristerij ”, dengan menyatakan bahwa Pasal 27 251 memberikan kekebalan hukum tidak tepat, karena disitu dikatakan bahwa yang tidak bisa dituntut adalah para pejabat yang melakukan tugasnya dengan baik dan berdasar peraturan perundang-undangan. Mahfud MD berpendapat bahwa soal Mens Rea dan Actus Reus adalah merupakan bidang hukum pidana bukan ranah HTN. AB. Kusuma berpendapat, Perppu adalah ranah HTN sehingga Pasal 27 dapat melindungi oknum yang akan menyalahgunakan kekuasaan dengan menyatakan “saya beriktikad baik”. Lepas dari perbedaan pandangan tersebut, dan sesungguhnya tanpa memperdebatkannya secara panjang lebar, kita dapat merujuk saja kepada kasus Menteri Sosial dan beberapa pejabat lain serta pengusaha yang berkolusi telah ditangkap, ditahan dan diajukan kedepan persidangan pengadilan dengan tuduhan korupsi. Hal ini menjadi bukti kongkrit bahwa tidak terjadi impunitas. Jenis Perpu Yang Tidak Dikenal Perbedaannya. Kami menyetujui pandangan Jimly Asshidiqie yang menyatakan perlunya dibedakan Perpu yang dimaksudkan sebagai aturan Undang-Undang yang akan berlaku selanjutnya setelah disetujui oleh DPR sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22 ayat (2) dan (3) yang mewajibkan Perpu disampaikan kepada DPR pada persidangan berikut untuk mendapat persetujuan, dan adanya kemungkinan Perpu tidak disetujui sehingga Perpu harus dicabut. Ini adalah bagian dari pengawasan DPR, yang sesungguhnya dalam masa darurat juga berlaku ketika kewenangan Presiden dalam keadaan bahaya dan darurat itu dipergunakan. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 adalah bagian pengawasan. Tetapi ketika seperti disebutkan agar Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini jangan dulu diajukan ke DPR dan dicari kesepakatan untuk tidak dibahas, maka potensi Presiden melanggar konstitusi menjadi terbuka, kalau dengan sengaja tidak mengajukan Perpu ke DPR dalam sidang berikut, sebagai bagian kewenangan konstitusional DPR dalam pengawasan. Memang Perpu sederajat dengan Undang-undang, dan boleh mengatur segala bidang yang diatur dengan undang-undang, asal saja memenuhi syarat “kegentingan yang memaksa”, yang tidak diartikan sekedar sebagai adanya undang-undang Darurat, tetapi selain keadaan mendesak dan segera, Perpu diadakan untuk penyelenggaraan pemerintahan secara luas yaitu seluruh penyelenggara negara atau terbatas pada penyelenggaraan administrasi negara. Cakupan yang luas dalam sejarah tatanegara kita berdasar pengalaman UUDS 1950 pernah dibuat Undang-Undang Darurat DRT Nomor 7 Tahun 1955 menyangkut Tindak Pidana Ekonomi, yang juga memuat hukum formil maupun 252 hukum materiil. Pembatasan waktu sesungguhnya terkandung dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, yaitu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Pengertian sidang berikut, diartikan sesuai dengan pembagian masa sidang dalam setahun, sehingga ketika Perpu dibentuk, maka sidang setelah terbitnya Perpu merupakan time frame bahwa Perpu harus diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan atau tidak. Persoalan, bagaimana jikalau Perpu tidak diajukan ke DPR pada sidang berikutnya? Sudah barang tentu terdapat masalah konstitusi dalam hal ini, yang merupakan kegagalan memenuhi amanat konstitusi dalam Pasal 22 ayat (2). Bagir Manan menyatakan bahwa Perpu yang tidak diajukan ke DPR pada masa sidang berikut, harus dianggap tidak mempunyai kekuatan berlaku yang disebut dalam UUD, sebagai pemahaman yang tidak berlaku lagi karena melampaui waktu, yang sangat penting untuk mencegah mempermanenkan kedaruratan yang merupakan pembenaran penyimpangan dari suatu sistem normal. Dikatakan lebih jauh lagi, bahwa DPR juga harus mengambil inisiatif agar Perpu diajukan ke DPR untuk memenuhi kewenangan konstitusional DPR dalam bidang pengawasan. Tetapi dengan melihat pembedaan yang diperlukan tentang Perpu yang didasarkan pada Pasal 22 UUD 1945 dengan Perpu yang didasarkan pada Pasal 12 UUD 1945, justru menjadi persoalan apakah Perpu itu harus disahkan menjadi undang- undang sehingga menjadi bagian dari sistem hukum dalam kondisi normal, atau seharusnya dengan berlalunya suatu waktu tertentu ancaman bahaya telah berlalu, Perpu tersebut sebagai hukum dalam kondisi abnormal-darurat atau keadaan bahaya - harus dicabut dan tidak memasuki sistem hukum yang normal. Ini berarti bahwa dalam Perpu tersebut harus dimuat masa berlaku, yang merujuk pada waktu tertentu atau berakhirnya “bahaya” yang menjadi dasar dikeluarkannya Perpu. Pandangan ini memiliki alasan yang masuk akal, jika kita berpendapat bahwa Perpu yang dibentuk atas dasar Pasal 22 UUD 1945 tidak dibedakan dengan Perpu yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam keadaan Bahaya. Output Pasal 12 boleh jadi adalah Undang Undang Darurat seperti disebut dalam kalimat kedua pasal tersebut. Tetapi ketika kita membaca sejarah pengaturan konstitusi kita sejak Konstitusi RIS dan IS sebelum merdeka yang mengacu pada “bahaya” yang disebut dalam literatur dan perbandingan hukum, sesungguhnya “bahaya” merupakan salah satu keadaan yang menimbulkan “kegentingan memaksa dan kedaruratan”, yang mencakup perang, ancaman pemberontakan, pengepungan, bencana alam, 253 yang menghendaki tindakan cepat untuk melindungi warganegara dan keutuhan negara serta eksistensinya. Kalimat “Hal ikhwal kegentingan memaksa” adalah suatu hal ihkwal yang mencakup seluruh keadaan yang disebut dalam Pasal 12, UUD 1945, serta diterjemahkan dalam UU 23 Tahun 1959 yang merupakan penyesuaian dari UU Nomor 74 Tahun 1957 dari dasar konstitusi yang berbeda. Oleh karenanya output Pasal 12 sebagai kewenangan Presiden tidak mungkin berbentuk undang-undang , terutama karena kewenangan legislative merupakan hak DPR dan kewenangan mengajukan RUU untuk dibahas bersama, outputnya adalah Undang-Undang sebagai hasil persetujuan bersama. Dalam hal Undang-Undang Dasar 1945, kondisi bahaya dalam Pasal 12 terlupakan dimuat sebagai dasar, maka jenis Produk dalam state of emergency tetap adalah Perpu , yang materi muatannya adalah materi muatan undang-undang. Oleh karenanya, untuk mencegah kekacauan yang mungkin timbul karena kekurangan dasar hukum yang tepat dan mencegah adanya keberlakuan Pasal 22 tentang jangka waktu pengajuan ke DPR pada sidang berikut yang jika tidak dipenuhi, menyebabkan Perpu tidak memiliki kekuatan hukum lagi (meskipun pendapat tersebut masih perlu diperdebatkan) , maka Perpu jenis kewenangan darurat (emergency power) Presiden, tetap diajukan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan, karena akibat hukum tidak menyetujui atau menyetujui dapat menimbulkan komplikasi karena suatu kedaruratan, tetapi secara jelas dan tegas harus memuat batasan waktu atau berlaku sampai kedaruaratan telah berakhir . Perpu ex Pasal 22 jika disetujui DPR dalam sidang berikut menjadi undang-undang, akan berakibat undang-undang tersebut akan berlaku secara permanen. Tetapi bagaimana untuk menerimanya sebagai suatu Perpu in sui generis , yang unik dan hal ikhwal kegentingan memaksa secara inherent mengandung keadaan bahaya dan kedaruratan sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945. Interpretasi dalam bentuk konstitusionalitas bersyarat yang telah menjadi kewenangan negative legislation yang kemudian dalam keadaan genting boleh bergerak kearah positive legislation sesuai dengan jurisprudensi MK, dapat memberikan beberapa syarat terhadap norma yang dipermasalahkan sehingga dimaknai dalam batasan-batasan yang dikenal dalam konstruksi konstitusional dan constitutional necessity sebagai meta-rules . 254 Kesimpulan. Berdasarkan seluruh uraian diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut ini:
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 sebagai hasil persetujuan DPR terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020, memenuhi syarat konstitusionalitas yang disebut dalam UUD 1945 tentang kegentingan yang memaksa dan keadaan bahaya;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam UUD 1945 sesungguhnya harus dibedakan antara Perpu berdasar Pasal 12 UUD 1945 yang dikeluarkan dalam “keadaan bahaya sebagai kegentingan memaksa” yang harus diajukan ke DPR pada sidang berikut untuk memperoleh persetujuan, dan Perpu yang tidak disetujui harus dicabut;
Bahwa Perpu yang boleh lahir atas dasar Pasal 12 UUD 1945, adalah Perpu yang lahir karena adanya keadaan bahaya, sebagai suatu keadaan yang dinyatakan oleh Presiden, dan boleh diikuti oleh lahirnya Perpu sebagai kekuasaan yang diberikan mengatasi keadaan bahaya yang timbul yang mengancam keselamatan rakyat, mengancam keadaan sosial ekonomi secara umum yang dapat juga menimbulkan krisis di segala bidang yang mengancam eksistensi negara, sebagai bagian dari kegentingan memaksa dalam Pasal 22 UUD 1945;
Kegentingan memaksa dengan 3 kriteria yang dirumuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dapat merupakan dasar bagi mengeluarkan Perpu atas dasar Pasal 22 UUD 1945, tetapi tidak cukup untuk mengeluarkan Perpu berdasar Pasal 22, ketika ancaman dan bahaya yang timbul jelas sedemikian rupa sehingga kematian, kebangkrutan, krisis multi dimensi yang dapat mengancam eksistensi negara negara sendiri, yang jauh lebih ekstrim dari “keadaan yang genting” yang memaksa Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang.
Undang-Undang yang menjabarkan keadaan bahaya yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, harus dibentuk oleh Pembuat Undang-Undang, sehingga ketika timbul keadaan bahaya yang disebut Pasal 12 UUD 1945 dapat diketahui secara sama ukuran-ukuran yang dipergunakan menanggulangi keadaan bahaya, sesuai dengan tingkat bahaya yang dihadapi; 255 6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid 19) adalah konstitusional sepanjang dimaknai bahwa Undang-Undang tersebut berlaku sampai dengan berakhirnya Pandemi Covid berdasar pernyataan Pemerintah.
Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M. Ec ▪ Ahli menyampaikan paparan mengenai peran APBN dalam pemulihan ekonomi. Isu yang dibahas ada tiga hal. Yang pertama adalah bagaimana dampak Covid-19 bagi perekonomian dunia? Kemudian yang kedua adalah bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia? Dan yang ketiga, mengapa fiskal stimulus atau pelebaran defisit itu dibutuhkan untuk mengatasi situasi ini. ▪ Bahwa bagaimana penyebaran Covid-19 terus mengalami eskalasi kenaikan masih tinggi secara global dan juga terjadi di Indonesia. Jika ahli menggunakan angka maka setiap hari berubah, per 14 Februari, 109.400.000 orang yang terkena dampak dari Covid-19 di 218 negara. Dengan tingkat kematian 2.300.00 orang. ▪ Bahwa dari sini saja kita bisa melihat bagaimana yang terjadi di dalam pandemi ini adalah sesuatu yang luar biasa, tingkat kematian yang luar biasa, jumlah infected cases atau mereka yang tertular yang jumlahnya luar biasa dan kasus ini terus meningkat. ▪ Bahwa jika mengikuti berita pada beberapa waktu terakhir ini kita mulai melihat bahwa gelombang ketiga terjadi di India. Dimana kasus dari infected cases meningkat begitu tajam. Hal yang sama terjadi juga di beberapa negara Eropa dan bahkan di dalam beberapa hari terakhir kita mulai melihat di beberapa negara tetangga kita seperti Filipina, Malaysia, Thailand bahwa peningkatan kasus terjadi. Kita berharap bahwa mudah-mudahan gelombang ketiga tidak terjadi di Indonesia, tetapi kita harus tetap waspada. ▪ Bahwa akibat dari Pandemi Covid-19 ini, maka pemerintah berbagai negara harus mengambil tindakan yang di luar normal atau di luar kebiasaan. Mengapa itu harus dilakukan? Karena cara untuk mengatasi pandemi adalah meminta agar orang menghindari kerumunan, menghindari aktifitas, atau menjaga jarak. Yang kita kenal di sini dengan nama pada waktu bulan Maret 256 tahun lalu adalah PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar). Di berbagai negara lain ini dijalankan dalam bentuk yang disebut sebagai lockdown . ▪ Bahwa Implikasi dari lockdown adalah meminta orang untuk tinggal di rumah. Padahal kita tahu esensi dari aktifitas ekonomi adalah aktifitas pasar dan pasar per definisi adalah tempat bertemunya orang untuk mempertukarkan barang dan jasa, baik secara fisik maupun secara virtual. Tetapi di dalam kasus ini karena orang diminta untuk tidak berinteraksi, maka aktifitas pasar kolaps di seluruh dunia. Kecuali yang bisa dilakukan secara virtual. Itu sebabnya, pada pagi hari ini pun kita melakukan sidang secara virtual. ▪ Bahwa yang menarik untuk diamati adalah dengan dampak yang sebegitu besar ternyata Indonesia relatif mampu, saya mengatakan relatif karena kontraksi ekonomi tetap terjadi, relatif mampu menghadapi situasi pandemi ini di dalam konteks ekonomi dengan lumayan. Karena apa? Karena kinerja kita tidak sebaik Vietnam yang membukukan pertumbuhan positif 2,9% di tahun 2020, atau seperti Tiongkok yang punya pertumbuhan positif 2,3%, atau Korea Selatan yang -,1%. ▪ Bahwa pertumbuhan kita tahun lalu negatif 2,1%. Kita mengalami kontraksi 2,1%. Tetapi kalau kita melihat bahwa 2,1% ini relatif lebih baik dibandingkan dengan apa yang terjadi di Rusia, Amerika, Jerman, Malaysia, Singapura, dan sebagainya. Bahwa yang dilakukan di sini, yang pertama adalah karena Indonesia tidak melakukan lockdown secara ketat seperti yang dilakukan di beberapa negara. Kecuali di dalam kasus Tiongkok dan Vietnam, mereka melakukan lockdown secara ketat dan mampu mengatasi pandemi dalam waktu singkat. Di dalam kasus kita, kita melakukan PSBB, tidak seketat di negara lain, tetapi pandeminya agak berlangsung lama. Nah, sekarang kita bisa melihat bahwa misalnya Singapura dengan pengetatan yang dilakukan, recovery ekonominya mungkin relatif lebih cepat. Tetapi Ahli ingin mengatakan bahwa tahun 2020, kinerja kita sebetulnya relatif lumayan. ▪ Pertanyaannya adalah apa yang menjelaskan ini, ya, selain tadi faktor mengenai penerapan PSBB? Penjelasannya adalah kebijakan atau respons dari pemerintah, salah satunya melalui fiskal stimulus. ▪ Bahwa pertanyaan paling penting adalah bagaimana dampak Covid ini terhadap Indonesia? Ahli mencoba menggunakan data untuk membandingkan kondisi pra-Covid dengan kondisi Covid. Jadi, sebagai batas Januari 2020 257 sebelum Covid terjadi, Ahli anggap sebagai kondisi pra-Covid, dimana basisnya Ahli nyatakan sebagai 100. Jika angkanya di bawah 100, berarti kondisinya lebih buruk dibandingkan dengan kondisi pra-Covid. Tetapi bila angkanya di atas 100, maka kondisi Covidnya lebih baik dibandingkan dengan kondisi pra-Covid. ▪ Siapa yang paling terpukul akibat dari pandemi Covid? mereka adalah sektor informal. Pendapatan mereka turun 30%. Bagaimana dengan wirausaha? Pendapatannya turun 15%. Sedangkan pekerja tetap dengan gaji atau pekerja dengan gaji tetap, hampir tidak terdampak, kecuali kalau mereka kehilangan pekerjaan. ▪ Bahwa yang terpukul paling berat adalah mereka yang berada di sektor informal. Siapa itu yang berada di sektor informal? Kelompok yang rentan, pendapatan menengah bawah, perempuan, dan anak-anak. Itulah sebabnya di berbagai media pada waktu pendemi mulai terjadi, Ahli mengatakan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan bantuan langsung tunai atau cash transfer. Karena di dalam kondisi ini, kita tidak mungkin memberikan pekerjaan karena PSBB ( lockdown ). Yang bisa dilakukan adalah mengompensasi ketika orang tinggal di rumah (people are paid to stay at home). Apa akibatnya? Tingkat pengangguran terbuka, naik dari 5,28% menjadi 7,07%. Tingkat kemiskinan naik dari 9,22% menjadi 10,19%. Ahli ingin menyatakan satu hal di sini, Pengangguran di Indonesia, itu adalah barang mewah. Hanya orang kaya yang bisa menganggur. Kalau orang itu miskin, maka dia harus bekerja, bekerja apa saja. Bila tidak, dia tidak bisa makan. Maka Ahli bisa mengatakan, walaupun pengangguran terbukanya naik hanya dari 5,28% kepada 7,07%, tetapi sebetulnya dampak riilnya mungkin jauh lebih besar. Karena orang yang miskin kalau dia tidak ada pendapatan, dia akan meninggal. Maka, yang dia lakukan adalah pekerjaan apa saja, asal bisa hidup. Akibatnya, datanya tidak ada di sini. ▪ Bahwa sektor informal itu meningkat karena orang itu bekerja apa saja, istilahnya poor to be unemployed . Jadi, angka kita 7,07% itu masih dalam relatif sebetulnya angka yang sangat konservatif karena definisi yang kita punya. Angka kemiskinan yang 10,19% sedikit-banyak, hal tersebut terbantu karena program dari BLT atau cash transfer dan perlindungan sosial yang dilakukan pemerintah. 258 ▪ Bahwa rasio dari tabungan terhadap pendapatan untuk kelompok yang pengeluaraannya di bawah Rp.4.000.000,00 mengalami penurunan. Ini memperkuat argumen Ahli bahwa yang terukur dengan pandemi adalah kelompok menengah bawah. ▪ Bahwa yang menarik adalah melihat kelompok pendapatan di atas Rp.5.000.000,00, rasio dari tabungan terhadap total pendapatannya meningkat. Kelompok menengah atas atau kelompok atas justru tabungannya meningkat. Mengapa ini terjadi? Karena di dalam porsi konsumsi, orang ketika pendapatannya rendah, dia akan fokus membelanjakan pendapatannya pada kebutuhan pokok (essential goods), sedangkan meraka yang relatif kaya, porsi dari makanan itu relatif rendah. Karena orang kalau dia makan tiga kali sehari, bukan berarti kalau kemudian dia menjadi kaya, dia makan 12 kali sehari. ▪ Bahwa di dalam pandemi menengah atas hanya membelanjakan kebutuhan esensialnya karena dia tidak membutuhkan jas, dia tidak membutuhkan pakaian kantor karena dia bekerja di rumah, dia tidak membutuhkan tas kantor, akibatnya tabungannya meningkat. Jadi, kita bisa melihat, bahwa dampak dari pandemi ini adalah akan munculnya ketimpangan pendapatan. ▪ Bahwa dari segi pertumbuhan PDB, sebetulnya Indonesia sudah mencapai titik pertumbuhan terendah pada triwulan II tahun 2020 ketika pertumbuhan kita minus 5,3%. Setelah itu, masih mengalami kontraksi, tetapi kontraksinya lebih kecil, minus 3,49%, minus 2,19%. Perkiraan Ahli adalah di dalam triwulan I 2021 kita mungkin masih mengalami kontraksi minus 0,5% dan baru akan positif pada triwulan II tahun 2021. ▪ Bahwa pertanyaannya adalah mengapa Indonesia mampu melalukan pembalikan atau turneral pada triwulan III. Jadi, triwulan II terburuk, kemudian triwulan III meningkat? Bahwa seluruh komponen di dalam produk domestik bruto mengalami pertumbuhan negatif, konsumsi rumah tangga, investasi ekspor-impor, kecuali konsumsi pemerintah pada triwulan III. Kita bisa melihat di sini bahwa konsumsi pemerintah mengalami peningkatan. Inilah yang menjelaskan mengapa ekonomi kita bisa mengalami turneral. Jadi, dari grafik ini Ahli mengatakan bahwa fiskal stimulus yang dilakukan pemerintah telah memberikan dampak sedikitnya memitigasi dampak dari pandemi ini. Inilah alasan mengapa fiskal stimulus perlu dilakukan. 259 ▪ Bahwa baik kelompok pendapatan atas, menengah, maupun bawah, di dalam frekuensi belanja sudah kembali di atas normal dan ini kondisinya membaik setelah triwulan III tahun 2020. Jadi, kembali lagi efek dari bantuan sosial dari fiskal stimulus itu memberikan dampak Frekuensi belanja sudah kembali normal. ▪ Bahwa Ahli bicara frekuensi. Artinya, orang sering belanja, tetapi yang dibelanjakan nilainya sedikit. Bahwa yang nilai belanjanya sudah di atas normal, 100 adalah kondisi pra-Covid, di atas kondisi normal, itu adalah kelompok menengah bawah. Kenapa? Karena mereka harus mengonsumsi essential goods, makanan, aktivitas sehari-hari. Tetapi belanja dari kelompok menengah atas atau kelompok atas itu masih di bawah kondisi prapandemi. Mengapa itu terjadi? Di dalam kelompok menengah bawah, mereka mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Ini yang mendorong pendapatannya mengalami peningkatan, spending-nya mengalami peningkatan. ▪ Bagaimana dengan kelompok menengah atas? Mereka tidak dapat bantuan sosial, tetapi mereka punya tabungan. Tapi mengapa konsumsinya hal tersebut tidak kembali kepada kondisi prapandemi? Penjelasannya sederhana, porsi terbesar dari kelompok atas, adalah traveling, hal tersebut adalah entertainment, lecteur, kita bisa mengecek di sosial media, di Intagram, di Facebook, di mana-mana bahwa ciri dari identitas dari kelas menengah atas adalah perjalanannya, entah ke luar negeri atau makan di restoran, aktivitas itu tidak bisa dilakukan sekarang. Itu yang menjelaskan bahwa belanja dari kelas menengah atas masih di bawah normal. ▪ Bahwa yang terjadi program dari stimulus fiskal berhasil mendorong belanja dari kelompok menengah bawah, tetapi tidak menengah atas. Dan masuk akal karena belanja atau konsumsi menengah atas akan tergantung dari kemamupuan pemerintah mengatasi pandemi karena konsumsi mereka itu berkaitan dengan mobilitas, traveling, entertainment, lecteur yang aktivitasnya terganggu, misalnya seperti bioskop, café, dan segala macam akibat pandemi. ▪ Apa yang akan terjadi jika kemudian aktivitas ekonomi mengalami penurunan dengan kontraksi yang terjadi? Logikanya sederhana, jika aktivitas ekonomi menurun, maka return, atau imbal, atau balas jasa dari aktivitas sektor itu juga akan mengalami pertumbuhan negatif. Perusahaan mengalami kerugian. Kalau perusahaan mengalami kerugian, maka dia berisiko tidak bisa 260 membayar kreditnya kepada perbankan. Maka meningkatlah yang disebut sebagai non-performing loan . Di dalam konteks ini, OJK melakukan kebijakan dengan merelaksasi dimana kalau kolektibilitasnya satu dan dua tidak dianggap sebagai NPL. Tapi kebijakan ini suatu hari akan berakhir. Ketika tahun 2020 akan berakhir, kita akan melihat mengenai risiko dari kredit macet yang riil pada tahun depan. Karena direksasinya berakhir, pada saat itu kalau sektor perbankan, tidak mendapatkan support, maka ada risiko stabilitas sektor keuangan dan ciri dari sektor keuangan adalah dia bergerak berbadasarkan yang disebut sebagai animal spirit. Jika orang khawatir bahwa satu bank mengalami persoalan, maka kemudian ada risiko kekhawatiran bahwa terjadi rush dan segala macam tergantung dari interconnected -nya. Ahli tidak akan bicara terlalu jauh, tetapi Ahli ingin mengatakan bahwa risiko di sektor keuangan itu ada, di dalam respons kebijakan apa yang dilakukan? Pemerintah dengan dengan dikeluarkan perppu tahun 2020 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 memfokuskan kepada tiga hal. Yang pertama adalah alokasi belanja untuk kesehatan. Yang kedua adalah alokasi belanja untuk bantuan sosial. Yang ketiga adalah dukungan untuk UMKM karena seperti yang Ahli katakan tadi sektor informal UMKM terpukul. Ini yang kemudian dimunculkan di dalam program yang disebut sebagai program N. Ini adalah bagian dari fiskal stimulus, akibat dari kebijakan yang dilakukan untuk menambah alokasi belanja di dalam sektor kesehatan di dalam perlindungan sosial, memberikan BLT dan segala macam, restrukturisasi di dalam UMKM. ▪ Bahwa ahli belum bicara mengenai tahun 2021 dimana bantuannya diperluas kepada korporasi dan segala macam, maka defisitnya itu harus yang bisa, mau tidak mau akan terjadi melampaui batas defisit 3% yang dinyatakan di dalam undang-undang. Oleh sebab itu, jika pemerintah tetap menetapkan defisitnya hanya 3% pada tahun 2020, maka tidak ada ruang bagi pemerintah untuk melakukan fiskal stimulus. ▪ Bahwa kita bisa membayangkan apa yang terjadi jika tidak ada fiskal stimulus, maka pembalikan ekonomi atau economic turneral tidak akan terjadi pada triwulan ketiga. Mungkin pada saat ini, kita akan berada dalam situasi yang lebih parah. Karena itu, Ahli mengatakan bahwa di dalam situasi yang genting seperti itu, maka batas defisit 3% harus diperlebar. Ahli ingin menunjukkan 261 bahwa hal ini perlu dilakukan untuk menolong kelompok menengah ke bawah, untuk belanja kesehatan, dan juga UMKM. ▪ Bahwa pemulihan ekonomi di sini totalnya Rp579,78 triliun realisasinya 83,4%. Bahwa yang paling besar itu adalah bantuan sosial Rp220,4 triliun, dukungan UMKM Rp112,4 triliun, dan kemudian diikuti oleh kesehatan, pembiayaan korporasi realisasinya Rp60,7 triliun, belum terlalu meningkat insentif dunia usaha. Ekspansi belanja perlindungan sosial secara tunai termasuk PKH, insentif kartu praperja, bansos tunai, sembako, pengeluaran konsumsi pemerintah termasuk bantuan UMKM, belanja pegawai, belanja barang operasional, bantuan pemerintah, dan belanja modal termasuk pembangun sarpras kesehatan, pengadaan tanah PSN, dan pengadaan peralatan hankam, dan pembangunan irigasi. ▪ Bahwa Indonesia adalah negara bukan produsen vaksin. Kemampuan Indonesia memulihkan ekonomi akan sangat tergantung dari kemampuan kita mengatasi pandemi. Karena porsi terbesar dari belanja masyarakat adalah yang menengah atas. Menengah atas tidak mau belanja selama pandeminya masih ada. Mereka tidak ada mobilitas. Karena itu, solusinya hanya dua hal kita mengembalikan mobilitas. Caranya adalah satu, dengan menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Kedua, vaksin. ▪ Bahwa jika kita memiliki disiplin seperti yang ada di China, Vietnam, Singapura, maka mungkin role dari vaksin tidak sepenting yang kita hadapi sekarang. Lihat bagaimana negara seperti Australia proses vaksinnya relatif lambat karena mereka mempu membuat kasusnya sangat kecil, Singapura zero cases sekarang, proses vaksinnya bisa lambat. Tetapi dalam kasus di Indonesia protokol kesehatan enforcement-nya masih sangat sulit, maka hal tersebut akan sangat tergantung kepada vaksin. Di dalam konteks vaksin, Indonesia adalah 10 besar negara dengan vaksin tertinggi, di antara negara non-produsen, kita empat besar. ▪ Bahwa ada persoalan sekarang karena ada risiko dari gelombang ketiga, maka semua negara mengatakan mereka tidak lagi mau mengekspor vaksinnya karena untuk mengantisipasi kebutuhan domestiknya. Di dalam konteks ini, maka ada persoalan, kalau persediaan vaksin terbatas, maka pemulihan ekonomi juga akan terbatas. Karena itulah role dari fiskal stimulus menjadi sangat penting untuk memastikan, untuk men-secure bahwa vaksinnya ada. 262 ▪ Bahwa Ahli menunjukkan kalau berbicara mengenai fiskal defisit, sebetulnya angka 6,1%, buat Indonesia hal tersebut relatif kecil, dibandingkan dengan Filipina 7,6%, China apalagi bila dibandingkan dengan Australia 10,6%, Singapura 13,9%, dan Amerika 15,2% dari GDP. ▪ Bahwa ahli sebagai ekonom, seringkali mengadakan semacam webinar dengan investor. Pertanyaan mereka yang selalu muncul adalah apakah Anda yakin cukup 6,1%? Karena yang dibutuhkan adalah stimulus di dalam skala yang masif. Lima dari fiscal policy . Di seluruh dunia pada tahun 2020 adalah whatever it takes , lakukan apapun yang harus dilakukan agar penyelamatan nyawa dan penyelamatan ekonomi bisa terjadi. ▪ Bahwa Joe Biden dengan programnya mengeluarkan US$1,9 triliun, Singapura dengan program fiskal stimulusnya, Indonesia 6,1% relatif kecil. ▪ Bahwa pertanyaannya adalah mengapa kita perlu ekspansi fiskal? Ini adalah sesuatu yang dilakukan secara teknis, sebuah simulasi di dalam modeling. ▪ Bahwa ada dua pilihan di sini, apakah pemerintah pertama kali harus mendorong produksi investasi? Karena logikanya kalau produksi berjalan, investasi naik, kemudian perusahaan akan hire tenaga kerja, orang dapat income , kemudian bisa belanja. Atau yang harus diberikan pertama adalah mendorong konsumsi. Dikasih uang orang belanja, kemudian ada belanja, ada permintaan, maka ketika ada permintaan, perusahaan merespons. ▪ Bahwa dari simulasi yang Ahli lakukan, jika investasi dinaikkan, maka konsumsi rumah tangga itu akan naik. Tetapi bila orang diberikan uang dalam bentuk cash transfer, maka diapun melakukan belanja, maka investasi akan merespons. ▪ Bahwa tingkat bunga dari Bank Indonesia sudah diturunkan, mungkin terendah di dalam sejarah kita, tetapi investasi tidak naik. Mengapa investasi tidak naik? Jadi sudah dapat kredit, tetapi tidak diambil. Mengapa ini dilakukan oleh perusahaan? Mereka mengatakan, “Untuk apa saya ambil uangnya kalau yang beli barang saya enggak ada.” Saya produksi barang dan berakhir sebagai stok. Stok itu adalah cost . Saya butuh gudang, saya butuh apa-apa, yang beli enggak ada. Akibatnya yang menjelaskan kenapa pertumbuhan kredit mengalami penurunan karena permintaannya tidak ada. Karena itu, yang pertama kali harus dilakukan di dalam pemulihan ekonomi itu adalah fiskal stimulus sebagai pengungkit. Caranya dengan memperluas BLT kelas 263 menengah bawah. Bahkan Ahli mengatakan bahwa perluasannya harus lebih besar lagi sebetulnya. Kita enggak tidak bicara mengenai 600.000 tetapi mungkin kita harus bicara dengan angka yang relatif sedikit lebih tinggi walaupun harus selalu berada di bawah upah minimum. Karena kalau BLT-nya sebesar upah minimum, maka orang tidak kerja, dia hanya akan tinggal di rumah menjadi pemalas. Tetapi mungkin bisa diperluas. ▪ Bahwa yang kedua adalah program kesehatan. Kita hanya bisa mengatasi pandemi kalau vaksin gratis. Mungkin kita harus bicara mengenai PCR yang mungkin masih relatif mahal, ini yang harus kita pikirkan. Kalau permintaan sudah ada, baru kita bicara mengenai penjaminan kredit, program yang dilakukan oleh pemerintah sekarang, subsidi bunga, dan sebagainya.
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M. Hum. ▪ Pertama, Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perppu. Norma-norma konstitusional dalam UUD Negara RI 1945 disusun untuk dilaksanakan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan negara dalam keadaan stabil/normal. Hal yang sama juga berlaku untuk pengaturan yang terdapat dalam norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrecht ) yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta implementasinya dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dalam keadaan negara yang stabil/normal. ▪ Kehidupan kenegaraan yang dinamis dan berbagai permasalahan sosial, politik, hukum, kesehatan, serta berbagai faktor dalam kehidupan bangsa dan negara bisa saja menyebabkan terjadinya keadaan krisis atau darurat ( extra- ordinary ), yang kiranya harus dihadapi/ditangani juga dengan cara-cara yang bersifat darurat ( extra-ordinary ). Hal itulah yang menjadi pertimbangan bagi pembentuk UUD Negara RI 1945 mengatur kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Sehubungan dengan Perppu, Pasal 22 UUD Negara RI 1945 mengatur bahwa:
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; dan
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan 264 pemerintah itu harus dicabut. Pasal 11 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah melalui UU Nomor 15 Tahun 2019 mengatur bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang- Undang. Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011 juga mendefinisikan bahwa Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. ▪ Kewenangan pembentukan Perpu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter objektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Parameter objektif untuk penggunaan kewenangan diskresi konstitusional tersebut pernah diberikan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 138/PUU-VII/2009, yang terdiri dari:
. Karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
. Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan
. Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. ▪ Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarkan kegiatan negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat itu pada hakikatnya merupakan “martial law” atau “emergency legislation ”. Jika dipandang dari segi isinya peraturan tersebut merupakan legislative act atau Undang-undang, tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk membahasnya bersama-sama dengan parlemen (DPR). Presiden selaku kepala pemerintahan ( the chief of executive ) menetapkannya secara sepihak didasarkan atas pertimbangan subyektif dan obyektif tanpa didahului oleh persetujuan parlemen (DPR) yaitu dalam bentuk peraturan khusus yang disebut “martial law”, “emergency law”, atau “emergency legislation” . 265 ▪ Perpu ditetapkan sehubungan dengan adanya keadaan genting yang memaksa. Pengertian “kegentingan yang memaksa” sebagai suatu keadaan darurat dan tidak hanya terbatas pada ancaman bahaya atas keamanan, keutuhan negara, atau ketertiban umum. Dalam prakteknya dapat dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa, misalnya krisis di bidang ekonomi, bencana alam, ataupun keadaan yang memerlukan pengaturan lain setingkat Undang-undang. Jadi, pangertian “hal ihwal kegentingan yang memaksa” bukan hanya dimaknai sebagai keadaan mendesak, tetapi dapat diartikan lebih luas dari sekedar keadaan bahaya (Jimly Asshiddiqie, Pokok- Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, hal. 355). Bahkan, jika mengacu S.E Viner, yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, ukuran untuk menetapkan Perppu juga lebih longgar, karena walaupun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, sudah memenuhi syarat untuk dapat ditempuh dengan penerbitan Perpu sebagai landasan hukum. ▪ S.E Viner membedakan keadaan darurat ke dalam (3) tiga kategori yaitu:
Keadaan darurat karena perang ( State of War , atau State of Defence ), yaitu keadaan perang bersenjata;
Keadaan darurat karena ketegangan ( State of Tension ) termasuk pengertian bencana alam ataupun ketegangan sosial karena peristiwa politik;
Keadaan darurat karena kepentingan internal pemerintahan yang memaksa ( innere notstand ). Meskipun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, maka, sudah dapat dilakukan penerbitan Perpu sebagai landasan hukum. ▪ Ditinjau dari perspektif teori Hukum Administrasi Negara, konsep mengenai diskresi tersebut jika mengacu pada pendapat NM. Spelt dan JBJM Ten Berge dalam buku “ Inleiding Het Vergunningsrecht ”, diskresi ( freies ermessen ) pemerintah dibedakan menjadi 2 (dua) kategori kebebasan, yaitu: kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ). Kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) terdapat manakala peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, namun organ pemerintah tersebut bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakannya, meskipun pada kondisi tertentu syarat-syarat penggunaannya telah terpenuhi secara sah. Sedangkan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ) terdapat manakala menurut hukum organ pemerintah 266 diberikan kewenangan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif terpenuhi atau tidaknya secara sah syarat-syarat penggunaan wewenang. Pada hakikatnya, wewenang diskresi penetapan Perpu lebih mendekati kategori kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) sejak telah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. ▪ Dalam perspektif norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrehct ), kewenangan diskresi juga diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 9 UU Nomor 30 Tahun 2014 mengatur pengertian diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. ▪ Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 mengatur tujuan penggunaan diskresi pejabat pemerintahan yang meliputi:
melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
mengisi kekosongan hukum;
memberikan kepastian hukum; dan
mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Jika mengacu pada latar belakang dan pertimbangan penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui DPR dan diundangkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menjadi obyek permohonan pengujian dari para pemohon, kiranya telah memenuhi tujuan dari penggunaan diskresi pemerintahan. Hal itu sebagaimana terlihat dari pertimbangan hukum dari UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa: (a). bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, serta kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat; (b). bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah 267 untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;
. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 20l9 (COVID-19) telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan; (d). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial ( social safety net ), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan; (e). bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (f). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, serta guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah tersebut dalam waktu yang sangat segera, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Konsiderasi tersebut kiranya telah menunjukkan dipenuhinya asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), 268 kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) ( the duty to give reasons ). Gambar 1 Konstruksi Pemikiran Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 (Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 ▪ Kedua, wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi akibat pandemi Covid-19. UU Nomor 2 Tahun 2020 telah memberikan seperangkat wewenang ( bevoegdheiden ) kepada Pemerintah untuk menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan (vide Pasal 1 ayat 3), Pemerintah diberikan wewenang untuk (vide Pasal 2 ayat (1)):
menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:
melampaui 3 % (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;
sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud Penetapan Perppu "dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa" Diskresi Konstitusional (Pasal 22 UUD Negara RI 1945) Landasan Perppu No. 1 Tahun 2020 (Lampiran UU No. 2 Tahun 2020) kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) Syarat Obyektif Diskresi konstitusional Penetapan Perppu dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dalam pertimbangan penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 Landasan prinsip Perppu No. 1 Tahun 2020 Asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) ( the duty to giving reasons ) 269 pada angka 2 dilakukan secara bertahap;
melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait;
melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram;
melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang /jasa;
menggunakan anggaran yang bersumber dari:
Sisa Anggaran Lebih (SAL);
dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan;
dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu;
dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 20I9 (COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, danf atau investor ritel;
menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalarn danf atau luar negeri;
memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan;
melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu ( refocussing ), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu;
memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau
melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara. ▪ Guna melaksanakan wewenang pemerintahan yang diatribusikan oleh Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) tersebut sementara UU APBN yang ada sebagai dasar pembiayaan kebijakan di bidang keuangan tersebut adalah UU Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 yang pelaksanaannya didasarkan Pepres Nomor 78 Tahun 2019 tentang Rincian APBN Tahun 2020. Maka, diperlukan dasar hukum untuk menyesuaikan bagi dasar pembiayaan kebijakan keuangan berdasarkan Perpres Nomor 1 Tahun 2020 tersebut Pemerintah di ranah operasional dengan mengacu pada Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) perlu diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian pelaksanaan UU APBN melalui perubahan 270 postur dan/atau rincian APBN. Pasal 12 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 kemudian memberikan delegasi kewenangan pengaturan operasional terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkahlangkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. ▪ Dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut tetap mengacu pada prinsip negara hukum yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2003. Hal ini disebabkan atas alasan:
. Dalam keadaan darurat diperlukan kecepatan bertindak untuk mengatasi kondisi darurat secara cepat dan tepat tanpa meninggalkan landasan negara hukum (asas rechtsmatigheid van het bestuur) ;
. Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN berada di ranah kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip fleksibilitas APBN dalam rangka menghadapi kondisi darurat. Justru disinilah esensi dari penggunaan wewenang diskresi konstitusional sebagai landasan dari penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020). Hal itulah yang menjadi argumentasi mengenai dikeluarkannya Pepres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan APBN Tahun Anggaran 2020 guna melaksanakan Pasal 12 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020). ▪ Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2020 dengan demikian memenuhi asas negara hukum karena didasarkan wewenang pengaturan melalui Pasal 12 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) dan sekaligus merupakan landasan hukum ( legal framework ) bagi diskresi kebijakan implementasi APBN dalam 271 kondisi darurat bencana non alam Covid-19. Kondisi ini dapat digambarkan berikut ini. ▪ Gambar 2 Perbandingan Kebijakan Rincian APBN Dalam Kondisi Normal dan Darurat ▪ Mengingat landasan faktual yang dihadapi negara di masa Pandemi Covid-19 adalah keadaan memaksa atau di luar keadaan normal, tindakan pemerintahan juga dilakukan berlandaskan pada cara-cara yang luar biasa ( extraordinary ) dengan tujuan melindungi kepentingan umum ( public interest ). Oleh karena itu, negara kemudian menetapkan secara khusus masa waktu, prosedur dan syarat, serta subtansi tertentu dalam melaksanakan situasi darurat dengan mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum pada situasi normal. Upaya mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum tersebut bukan dimaksudkan untuk diberlakukan secara terus menerus, sehingga menjadi peraturan regular. Namun, sebagai peraturan yang akan diberlakukan pada masa yang ditentukan pada peraturan tersebut disertai dengan syarat dan prosedur, serta subtansi pelaksanaannnya secara khusus. ▪ Ditinjau dari perspektif hukum administrasi negara, pemberlakuan secara khusus peraturan perundang-undangan dalam keadaan darurat menjadi sah ( rechtsmatig ) sejauh memenuhi landasan faktual yang memadai dan negara Dalam Kondisi Normal UU No. 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 Perpres No. 78 TAhun 2019 tentang Rincian APBN Dalam Keadaan Darurat Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) Perpres No. 54 Tahun 2020 sebagai landasan Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN 272 memprioritaskan kemanfaatan umum ( doelmatigheid ) yang diperoleh bagi masyarakat dengan penerapan peraturan yang bersifat darurat tersebut. Dengan demikian, keadaan darurat tetap harus dipahami dalam konteks pandangan yang sesuai dengan landasan faktual yang terjadi pada saat keadaan darurat dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. ▪ Lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) sesungguhnya juga berkaitan dengan upaya untuk mengefektifkan implementasi berbagai ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 guna mendukung upaya mengatasi kondisi darurat kesehatan dan ekonomi akibat Pandemi Covid 19 yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai kebijakan pemerintah yang lain dalam upaya penanganan kondisi darurat bencana non alam itu. ▪ Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Keppres Nomor 11 Tahun 2020 menyebutkan dua hal pokok:
Menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan (2) Menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di lndonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sifat kedaruratan masyarakat sebagai landasan kebijakan penanganan Covid- 19 diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai regulasi sektoral yang sudah mengatur sistem penanganan kondisi kedaruratan masyarakat berdasarkan seperangkat kriteria, metode dan proses dalam pelaksanaan kebijakan terkait. ▪ Selain itu, juga berkaitan dengan Keppres RI Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) Sebagai Bencana Nasional dengan rujukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Berbagai kebijakan tersebut membutuhkan dukungan dana yang sangat besar dan membutuhkan langkah- langkah pengambilan kebijakan yang cepat dan tepat, misalnya untuk pembelian Alat Pelindung Diri (APD) terutama bagi para tenaga medis, pembangunan/perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan, dukungan obat- obatan, penggalian sumber-sumber pembiayaan, relaksasi sejumlah 273 penerimaan negara baik dari pajak (tax income) maupun non pajak (non tax income) dengan karakter bencana non alam Pandemi Covid-19, refocussing dan realokasi anggaran dalam APBN, dan seterusnya. ▪ Keadaan darurat negara atau staat van oorlog en beleg (SOB) bisa menyebabkan instrumen-instrumen negara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam hukum administrasi negara, keadaan darurat negara harus ditetapkan kepala pemerintahan, baik penetapan awal dan akhir waktu darurat, sebagai kehendak pemerintahan kepada warga masyarakat dan seluruh pihak atas situasi yang luar biasa. Penetapan keadaan darurat sebagai kepala pemerintahan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum dan menjelaskan cara pemerintahan bekerja dalam situasi negara darurat. ▪ Salah satu sektor yang paling terdampak secara siginifikan dengan adanya kondisi darurat kesehatan akibat penyebaran Covid-19 adalah sektor keuangan negara dan perekonomian makro nasional, yang sangat bergantung pada asumsi makro yang dapat diperkirakan. Adanya keadaan darurat akibat penyebaran Covid-19 menyebabkan beberapa asumsi makro yang termuat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus berubah mengikuti kondisi perekonomian global. Antisipasinya adalah dengan menetapkan kebijakan keuangan negara dan perekonomian negara yang sejalan dengan kondisi tersebut (asas fleksibilitas). Keadaan darurat negara ditinjau dari Hukum Administrasi Negara dianggap sebagai keadaan memaksa negara untuk mengambil tindakan kepemerintahan yang perlu dilakukan guna mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih diprioritaskan guna melindungi kepentingan umum ( bestuurszorg ). ▪ Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) dimaksudkan sebagai jalan darurat di bidang keuangan negara guna merespons secara cepat ancaman bahaya Covid-19 di berbagai sektor. Berdasarkan alasan itu, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengatur sejumlah kebijakan darurat. Pertama , menyangkut obyeknya, diatur kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan di bidang pendapatan negara termasuk di bidang perpajakan, belanja negara termasuk di bidang keuangan daerah, dan pembiayaan. Kedua , menyangkut subyeknya, diatur peranan dan interaksi antar aktor kebijakan di bidang fiskal dan moneter yaitu Pemerintah, Pemerintah Daerah, Bank 274 Indonesia, OJK, KSSK dan Lembaga Penjamin Simpanan. Ketiga , dalam menghadapi pandemi Covid-19 kebijakan yang dilakukan pemerintah sesuai dengan keadaan yang dihadapi tidak hanya menyangkut persoalan pengeluaran anggaran negara, namun juga menyangkut relaksasi dan mengatur fleksibilitas/penundaan penerimaan negara baik yang bersumber dari pajak maupun non pajak dan keempat , dalam mengatasi dampak sosial dan ekonomi akibat pandemi Covid-19 juga diperlukan sinergi kebijakan aktor- aktor kebijakan di bidang fiskal dan keuangan. Sehingga, keberadaan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 juga diperlukan untuk lebih mengefektifkan implementasi Pasal 21 UU Nomor 17 Tahun 2003 yang mengharuskan adanya koordinasi antara Pemerintah dengan Bank Sentral. ▪ Ketiga, perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. Menghadapi dampak ekonomi akibat Pandemi Covid-19, defisit anggaran Amerika Serikat (AS) sempat melesat 218 persen menjadi US$3,1 triliun hingga akhir September 2020. Kenaikan itu terjadi karena pembengkakan belanja untuk membantu perekonomian di tengah pandemi Covid-19. Guna menutup pelebaran defisit, utang pemerintah AS meningkat menjadi US$26,9 triliun. Angka itu lebih besar dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negeri Paman Sam yang susut pada kuartal II lalu ke level di bawah US$20 triliun. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani perpanjangan satu minggu dari anggaran yang kedaluwarsa untuk menghindari penutupan pemerintah ( government shutdown ). Kebijakan perpanjangan anggaran ini juga guna memberikan lebih banyak waktu untuk pembicaraan terpisah tentang bantuan penanganan virus corona baru di AS dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran yang menyeluruh. ▪ Jerman pada bulan Maret 2020 juga sempat meluncurkan anggaran darurat yang bertujuan untuk mengendalikan kerugian negara akibat Pandemi Covid- 19. Pemerintah Jerman juga sempat mengalokasikan dana hingga € 750 miliar atau sekitar RP 13 ribu triliun yang dapat dibelanjakan untuk menutupi kerugian sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari keseluruhan anggaran tahun 2020 yang sebelumnya disetujui pemerintah federal Jerman. Bagian paling penting dari anggaran darurat ini adalah 275 mengatasi peningkatan biaya pengeluaran perawatan kesehatan yang lebih dari € 3 miliar atau sekitar Rp. 53 triliun. ▪ Pemerintah Italia menggunakan skema “anggaran lebih” untuk melawan virus corona agar tidak berdampak pada perekonomian negara tersebut. Pemerintah Italia juga menggunakan fleksibilitas anggaran guna mengatasi dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Pemerintah Italia juga meningkatkan target defisit anggaran tahun 2020 ini menjadi 2,5 persen dari 2,2 persen saat ini. ▪ Di Perancis ada anggaran pemerintah yang disebut “dana solidaritas”. Anggaran ini digunakan untuk membantu perusahaan dan para pekerjanya. Setidaknya, Prancis mengucurkan total anggaran darurat sebesar € 45 miliar atau sekitar Rp 765 triliun (dengan kurs Rp 17 ribu). Mereka mengatakan ada € 2 miliar atau sekitar Rp 34 triliun yang akan dibagikan ke perusahaan, khususnya bagi perusahaan yang 70% aktivitasnya berhenti sebagai dampak Pandemi Covid-19. ▪ Berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19 memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut. Cara-cara yang ditempuh bisa berbeda-beda variasinya, seperti di AS melalui perpanjangan anggaran yang kadaluarsa, Jerman menggunakan skema anggaran darurat, Italia menggunakan skema anggaran lebih dan Perancis juga menggunakan kebijakan penganggaran darurat guna penanganan dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Kebijakan keuangan yang bersifat darurat melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya. ▪ Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama , Kewenangan pembentukan Perppu oleh Presiden sebagaimana diatur pada 276 Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter obyektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua , dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN berdasarkan Pepres Nomor 54 Tahun 2020 tetap mengacu pada prinsip negara hukum, yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2003. Dan ketiga , berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara sebagaimana telah diuraikan di atas yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19, semua memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara. Kebijakan keuangan negara yang bersifat darurat melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020), sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan. Pemaknaan Kerugian Negara Dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, terdapat ketentuan yang berbunyi sebagai berikut: “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, 277 merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.” Terhadap ketentuan tersebut, dapat Ahli sampaikan bahwa rumusan seperti yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bukanlah hal baru. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“ UU Krisis Sistem Keuangan ”) memiliki kemiripan dalam rumusan pasalnya, sebagai berikut: Pasal 28 ayat (1) UU Krisis Sistem Keuangan “Selisih kurang antara dana hasil penjualan Bank Perantara ditambah hasil likuidasi Bank Sistemik yang telah ditangani permasalahannya dan dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan untuk penanganan permasalahan Bank Sistemik, merupakan biaya penanganan permasalahan Bank Sistemik bagi Lembaga Penjamin Simpanan dan bukan merupakan kerugian keuangan negara.” Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU Krisis Sistem Keuangan : “Cukup jelas” Frasa “kerugian negara” setidaknya ditemukan dalam 3 (tiga) undang-undang lainnya, yaitu:
Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Perbendaharaan Negara (“ UU Perbendaharaan Negara ”) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 2. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“ UU BPK ”) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 3. Bagian I Umum Penjelasan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“ UU Tipikor ”), sebagai berikut: Paragraf kedua : “Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang.” Dalam UU Perbendaharaan Negara dan UU BPK, dalam pengertian frasa “kerugian negara/daerah”, sudah terkandung unsur “perbuatan melawan hukum”, sudah terkandung sifat jahat dari perbuatan tersebut. 278 Sedangkan pada UU Tipikor, dalam pengertian frasa “kerugian negara” belum terkandung unsur “melawan hukum”, belum terkandung sifat jahat dari perbuatan tersebut. Perbuatan korupsi-nya yang mengandung unsur melawan hukum, bukan kerugian negaranya. Selain dapat disimpulkan berdasarkan Bagian I Penjelasan Umum Atas UU Tipikor sebagaimana telah dikutip pada butir 3 di atas, hal ini juga dapat dilihat dalam rumusan delik pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sebagai berikut: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara , dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Perbuatan yang dikategorikan sebagai suatu tindak pidana dalam UU Tipikor adalah ”perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum ”. Sedangkan, kerugian negara adalah sebagai akibat dari perbuatan (melawan hukum) dimaksud. Jadi, dalam sudut pandang UU Tipikor, “kerugian negara” yang disebabkan perbuatan korupsi (melawan hukum) saja yang merupakan suatu tindak pidana. Konsekuensinya, terdapat dua kategorisasi kerugian negara, sebagaimana diagram sebagai berikut: Apabila menggunakan pengertian ‘’kerugian negara’’ pada UU Tipikor, maka biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK berdasarkan Lampiran UU 2/2020, sepanjang biaya tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum, maka hal tersebut bukan tindak pidana (korupsi) . Kerugian Negara Akibat Perbuatan Melawan Hukum Tindak Pidana Akibat Perbuatan Menurut Hukum Bukan Tindak Pidana 279 Sedangkan, apabila menggunakan pengertian ‘’kerugian negara’’ pada UU BPK dan UU Perbendaharaan Negara, maka biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK berdasarkan Lampiran UU 2/2020, sepanjang biaya tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum, maka hal tersebut bukan kerugian negara . Kewenangan BPK/BPKP Untuk Memeriksa Adanya Kerugian Negara Dalam Pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 Terkait dengan frasa ‘’kerugian negara’’, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“ UU BPK ”), Badan Pemeriksa Keuangan memiliki kewenangan sebagai berikut: Pasal 10 UU BPK : “(1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau:
penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;
pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan
pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Pasal 11 UU BPK: “BPK dapat memberikan:
pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya;
pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau
keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah .” Sedangkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“ Perpres BPKP ”), Badan 280 Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, memiliki kewenangan sebagai berikut: Pasal 3 Perpres BPKP “a....
... c.... d.... e. pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program dan/atau kegiatan yang dapat menghambat kelancaran pembangunan, audit atas penyesuaian harga, audit klaim, audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah , pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi; ” Sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi mempertegas kewenangan BPK dan BPKP terkait dengan kerugian negara sebagaimana dapat dibaca pada halaman 53 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 sebagai berikut: “Oleh sebab itu menurut Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya; ” Ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tidak menghilangkan kewenangan BPK/BPKP terkait dengan kerugian negara. Oleh karena itu, BPK/BPKP tetap dapat memeriksa adanya kerugian negara dalam pelaksanaan UU 2/2020. Due Process of Law Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Terkait Pelaksanaan Kebijakan Sesuai Lampiran UU 2/2020 Pengertian yang dianut UU BPK dan UU Perbendaharaan Negara maupun yang dianut UU Tipikor, ada persamaan diantara ketiganya yaitu adanya unsur ‘’melawan hukum’’. Apabila terpenuhi semua unsur-unsurnya, termasuk unsur ‘’melawan hukum’’, maka terhadap pelakunya tetap dapat diminta pertanggungjawaban melalui proses hukum. 281 Terkait Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yang berbunyi sebagai berikut: “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Bagaimana batasan itikad baik dalam prinsip hukum pidana? Dalam hukum pidana materiil di Indonesia tidak banyak pasal yang menyebutkan tentang “itikad baik”, begitu pula referensi terhadapnya. Hal ini dapat dipahami karena ketentuan pidana lebih banyak mengatur tentang:
perbuatan/tindak pidana (unsur objektif/fisik yaitu actus reus ), dan b. sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Frasa “itikad baik” ditemukan dalam Pasal 51 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“ KUHPidana ”), sebagai berikut: “ Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.” Pasal 51 ayat (2) KUHPidana ini terdapat dalam KUHPidana Bab III Hal-hal Yang Menghapuskan, Mengurangi, atau Memberatkan Pidana. Seseorang dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila pelaku, ketika melakukan tindak pidana, mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Pasal 119 KUHPidana “Barang siapa memberi pondokan kepada orang lain, yang diketahuinya mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui benda-benda rahasia seperti tersebut dalam pasal 113, padahal tidak wenang untuk itu, atau mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui letak, bentuk, susunan, persenjataan, perbekalan, perlengkapan mesiu, atau kekuatan orang dari bangunan pertahanan atau sesuatu hal lain yang bersangkutan dengan kepentingan tentara” Pasal 187 bis KUHPidana “Barang siapa membuat, menerima, berusaha memperoleh, mempunyai persediaan, menyembunyikan, mengangkut atau memasukkan ke Indonesia bahan-bahan, benda-benda atau perkakas-perkakas yang diketahui atau selayaknya harus diduga bahwa diperuntukkan, atau kalau ada kesempatan akan diperuntukkan, untuk menimbulkan ledakan yang 282 membahayakan nyawa orang atau menimbulkan bahaya umum bagi barang, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Pasal 393 KUHPidana “Barang siapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan jelas untuk mengeluarkan lagi dan Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagi-bagikan, barang-barang yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya , bahwa pada barangnya itu sendiri atau pada bungkusnya dipakaikan secara palsu, nama, firma atau merek yang menjadi hak orang lain atau untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah tempat tertentu, dengan ditambahkan nama atau firma yang khayal, ataupun pada barangnya sendiri atau pada bungkusnya ditirukan nama, firma atau merek yang demikian sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah”. Pasal 480 KUHPidana “Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah:
barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan;
barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.” Dalam delik-delik di atas, dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila seseorang yang mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan. Khusus untuk Pasal 480 ke-1 KUHP, Mahkamah Agung telah menerbitkan yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 2/Yur/Pid/2018 dan 3/Yur/Pid/2018 dimana Mahkamah Agung secara konsisten menganggap bahwa tindakan- tindakan yang dikategorikan sebagai “ diketahui atau sepatutnya harus diduga diperoleh dari kejahatan” adalah:
apabila sebuah barang dijual atau dibeli di bawah harga pasar/standar.
apabila seseorang membeli kendaraan bermotor tanpa dilengkapi surat-surat kendaraan yang sah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seseorang tidak memiliki itikad baik apabila ketika melakukan tindak pidana, mengetahui atau sepatutnya dapat 283 menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 mengatur perlindungan hukum kepada pihak tertentu. Apakah dalam suatu peraturan perundang- undangan diperbolehkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pihak tertentu? Apakah ketentuan tersebut menghilangkan prinsip equality before the law , khususnya dalam penerapan hukum pidana? Norma yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut bukan hal baru dalam peraturan perundang-undangan. Tercatat ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengandung norma serupa, sebagai berikut:
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.” b. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum “Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serbagaimana sudah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (“ UU MD3 ”) Pasal 57:
Anggota MPR mempunyai hak imunitas. 2) Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam sidang atau rapat MPR ataupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan wewenang dan tugas MPR.
Dalam hal terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan, Pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN tahun anggaran berjalan.
Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
penurunan pertumbuhan ekonomi paling sedikit 1% (satu persen) di bawah asumsi yang telah ditetapkan; dan/atau
deviasi asumsi ekonomi makro lainnya paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari asumsi yang telah ditetapkan.
Perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
penurunan penerimaan perpajakan paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan;
kenaikan atau penurunan belanja kementerian atau lembaga paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan;
kebutuhan belanja yang bersifat mendesak dan belum tersedia pagu anggarannya; dan/atau 14 d. kenaikan defisit paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto yang telah ditetapkan.
Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang setelah rancangan undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR.
Dalam hal tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), pembahasan perubahan APBN dilakukan dalam rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan keuangan Pemerintah. Bahwa norma hukum yang terdapat di dalam Pasal 12 ayat (2) dan Pasal 28 angka (3) dan (10) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tersebut telah merugikan Pemohon sebagai warga negara Indonesia, sebagai rakyat yang memiliki kedaulatan sebagaimana Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Rakyat sebagai pihak yang memiliki kedaulatan atas segala sumber daya yang ada di negara Indonesia. Oleh karenanya seharusnya penggunaan sumber daya dalam hal ini adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) seharusnya diatur oleh wakil rakyat yang direpresentasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karenanya jelas Pasal 12 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2020 merugikan Pemohon sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Bahwa selain itu norma Pasal 12 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2020 menunjukkan kekuasaan yang besar ada pada satu orang semata, yaitu Presiden. Keberadaan Presiden yang hanya dengan membuat Peraturan Presiden lantas menggunakan APBN sekehendak jabatan yang melekat padanya menunjukkan adanya negara yang lebih condong pada kekuasaan semata bukan pada aturan hukum. Oleh karenanya hal tersebut juga merugikan Pemohon karena menurut Pemohon seharusnya negara kita adalah berdasar pada hukum sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Bahwa jikapun ada aturan yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat peraturan untuk menjalankan undang- undang, seharusnya itu dibuat melalui Peraturan Pemerintah, hal ini sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu Pemohon menganggap Pasal 12 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2020 15 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), dan Pasal 23 UUD 1945.
Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, yang berbunyi:
Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. __ Bahwa norma tersebut menunjukkan adanya imunitas ataupun memberikan potensi kekebalan hukum kepada pemerintah/pejabat/ pegawai pelaksana atas tanggung jawab hukum yang seharusnya diemban. Tentunya hal ini sesuatu yang tidak elok terjadi di negara demokrasi dan memiliki konstitusi yang kewenangan terbagi antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif ada pihak yang memiliki kekebalan hukum. Bahwa adanya norma yang memberikan jaminan tidak adanya kerugian negara, tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata, serta semua keputusannya memiliki kekebalan dari peradilan tata usaha negara menunjukkan adanya sisi absolut atas kekuasaan yang dimilikinya. Hal tersebut jelas merugikan Pemohon sebagai warga negara NKRI. Pemohon sebagai rakyat merasa kedaulatannya telah dilampaui oleh kekuasaan para aparatur yang seharusnya bekerja untuk menjalankan kedaulatan yang diberikan oleh rakyat. Adanya aturan tersebut mengindikasikan dengan jelas bahwa para aparatur negara ini memiliki kekebalan hukum dan tidak dapat tersentuh hukum. Bahwa Pemohon menganggap, dengan berlakunya norma dalam Pasal 27 UU Nomor 2 Tahun 2020 tersebut telah melenyapkan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan adanya kepastian hukum dan perlakuan yang sama di negara hukum sebagaimana Pasal 1 ayat (3) yang 16 secara eksplisit dinyatakan di dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa sebagai warga negara Pemohon berhak untuk mengetahui atas penggunaan keuangan negara yang dikelola oleh pemerintah. Oleh karenanya sudah ada aturan khusus yang mengatur hal tersebut di dalam UUD 1945 sebagaimana terdapat di dalam Pasal 23E. Pemeriksaan keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang selanjutnya akan dilaporkan ke DPR dan ditindaklanjuti oleh badan yang sesuai untuk melanjutkan hasil pemeriksaan merupakan perintah konstitusi. Sehingga apabila Pemerintah tidak mengikuti aturan ini sebagaimana termaktub di dalam Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2020 jelas hal tersebut melanggar UUD 1945. Lebih jauh lagi, seharusnya dalam membuat aturan di dalam undang-undang, segala aturan yang memberikan pembatasan yang memberikan keistimewaan kepada seseorang semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atau hak dan kebebasan orang lain. Oleh karena itu, undang-undang yang dibuat seharusnya juga menghormati hak dan jaminan atas tuntutan keadilan sebagai masyarakat demokratis yang telah dijamin di dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Selain itu, adanya aturan di dalam Pasal 27 ayat (2) dan (3) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang memberikan kekebalan hukum dari tuntutan perdata, pidana, dan gugatan di peradilan tata usaha negara jelas menghilangkan fungsi Kekuasaan Kehakiman yang telah diatur di dalam Pasal 24 UUD 1945;
Bahwa berdasarkan argumentasi sebagaimana telah diuraikan dalam angka 1 sampai dengan 10 di atas, maka Pemohon berkesimpulan, Pemohon memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan ini, berdasarkan 5 (lima) alasan, yakni:
Pemohon adalah “perseorangan” yang merupakan Warga Negara Indonesia sehingga sesuai Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Pemohon adalah bertindak mewakili kepentingan dirinya sebagai WNI yang dijamin hak-haknya berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia; 17 2. Pemohon mempunyai hak-hak konstitusional yang normanya telah diatur dan diberikan oleh UUD 1945, yakni hak konstitusional untuk berdaulat yang sesuai dengan hukum dan konstitusi sebagai konsekuensi dari pernyataan Negara Republik Indonesia adalah negara hukum atau “ rechtsstaat ” sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945; Pemohon memiliki kepentingan sebagai rakyat yang berdaulat untuk memantau bahwa Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan harus berdasarkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945; Pemohon memiliki kepentingan agar wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang serta dapat menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, khususnya dalam hal mengatur APBN dan pengawasannya sebagaimana dikehendaki dalam Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 20A ayat (1), Pasal 23, Pasal 23E; Pemohon juga menginginkan agar konstitusi dapat memberikan jaminan keadilan dan adanya kekuasaan kehakiman dalam mengawasi semua pihak yang ada di NKRI tanpa terkecuali sebagaimana Pasal 24 dan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945; hak konstitusional yang menyatakan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945; hak konstitusional yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; hak konstitusional untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; dan hak konstitusional yang menyatakan dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, 18 keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 28J ayat (2);
Hak konstitusional Pemohon tersebut dalam angka 2 di atas, telah dirugikan yaitu dengan berlakunya norma Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 28 angka (3) dan (10) yang terdapat dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 ;
Kerugian konstitusional sebagaimana dikemukakan dalam angka 3 di atas nyata-nyata terjadi berdasarkan sebab-akibat ( causal verband ), yakni adanya norma undang-undang yang berlaku yang nyata-nyata telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon, dan bukan persoalan penerapan undang-undang di dalam praktik;
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang diharapkan akan mengabulkan petitum permohonan ini, maka kerugian konstitusional Pemohon dimaksud, diharapkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. III. ARGUMENTASI YURIDIS Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27 dan Pasal 28 angka (3) dan (10) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1), Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 1. Bahwa WHO ( World Health Organization ) menyarankan negara-negara untuk mengumumkan state emergency (negara dalam keadaan darurat) yang bertujuan untuk merespon pandemi covid-19 dan melindungi warganya dari efek yang ditimbulkannya. Dengan adanya state emergency tersebut negara memerlukan kecukupan pendanaan untuk menjamin tindakan yang komprehensif dalam penanganan wabah tersebut. Negara selanjutnya memprioritaskan ulang pengeluaran negara dengan tujuan melindungi perekonomian dan perlindungan sistem kesehatan. Tentunya pengeluaran tersebut berhubungan dengan intensitas infeksi pandemi covid-19 yang terjadi di masing-masing negara, yang nantinya akan disesuaikan dengan pendekatan biaya terkait dengan alokasi yang dibutuhkan dalam manajemen keuangan publik (public financial management). Untuk hal tersebut tentunya dibutuhkan penyesuaian pendapatan negara ( revenue side budget ), misalnya bisa diperoleh dari 19 hutang/pinjaman luar negari untuk mengantisipasi kekurangan biaya dan kendala-kendala fiskal yang terjadi. Keputusan yang cepat dari masing- masing pemimpin negara diperlukan untuk memutuskan kebijakan dan perubahan pengeluaran negara yang dibutuhkan. __ WHO sendiri menyarankan semua tindakan dalam situasi state emergency tersebut disesuaikan dengan sistem hukum yang berlaku di masing-masing negara (Hélène Barroy, et.al, 2020);
Bahwa oleh karena itu, dalam penyusunan setiap undang-undang terkait kondisi darurat/ state emergency tersebut kita harus kembali melihat jati diri kita sebagai negara berpegang pada konstitusi. Negara kita berdasar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 adalah sebuah “negara hukum”. Para Bapak Pendiri Bangsa telah belajar dan menghayati banyaknya nilai ideal dari ilmu pengetahuan, sejarah panjang kemanusiaan, dan pelajaran dari negara- negara di dunia sebelum menyusun konstitusi kita. Oleh karenanya nilai utama dan mulia itu menjadi pondasi yang kokoh untuk keberlangsungan bangsa kita. Hal tersebut menjadi bukti sejak didirikan hingga sampai saat ini bangsa kita dapat melalui banyak pelajaran penting dan tetap kokoh berdiri dan selamat dari banyak situasi genting dan darurat yang mengancam eksistensi negara dan bangsa kita. Situasi perang kemerdekaan 1945-1949, Dekrit Presiden Soekarno tahun 1959, Peristiwa 1965 dan peralihan kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru, krisis ekonomi dan Reformasi 1998 dan berakhirnya kekuasaan Orde Baru adalah kejadian genting/darurat/ emergency yang membawa perubahan terhadap struktur ketatanegaraan di negara kita;
Bahwa untuk merespon setiap perubahan dan situasi darurat yang mungkin terjadi, UUD 1945 memberikan jaminan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka ( machtsstaat ). Digunakannya istilah “ rechtsstaat ” ini menunjukkan bahwa para penyusun UUD 1945 menggunakan konsep negara hukum di Jerman. Julius Stahl, seorang ahli hukum Jerman, menyebutkan ada tiga ciri negara hukum dalam konsep “ rechsstaat ” itu, dua diantaranya ialah “perlindungan terhadap hak asasi manusia” dan “pemerintahan haruslah berdasarkan atas Undang-Undang Dasar”. Sementara para penyusun UUD 1945 tegas mengatakan bahwa Negara 20 Republik Indonesia tidaklah berdasarkan atas “kekuasaan belaka” atau “ machtsstaat ” yang dalam Bahasa Jerman mengandung arti negara itu dijalankan semata-mata berdasarkan kekuasaan, bukan berdasarkan atas hukum;
Bahwa negara yang mengandung ciri “ machtstaat ” itu tidaklah semata-mata harus dilihat pada tindakan-tindakan konkretnya, tetapi juga pada norma- norma hukum yang diciptakannya. Sebuah negara bisa saja menyatakan dirinya secara normatif konstitusional bahwa negaranya adalah “negara hukum”, namun dalam produk perundang-undangan di bawah konstitusi yang diciptakannya, negara itu justru menginjak-injak konstitusi dan melalui norma-norma hukum yang diciptakannya negara itu mendapatkan legitimasi untuk bertindak secara totaliter. Salah satu cara untuk menghindari terjadinya negara seperti itu, maka semua produk hukum yang diciptakan oleh negara haruslah menjamin asas keadilan dan kepastian hukum. Asas keadilan mengandung makna adanya proporsionalitas dan asas kepastian hukum mengandung makna bahwa norma hukum yang diciptakan haruslah tidak multi tafsir dan tidak menimbulkan kerancuan kewenangan antar lembaga-lembaga negara ( staatsorgan ) dan lembaga- lembaga pemerintahan ( regeringsorgan ). Hal-hal tersebut seharusnya berjalan secara berkesinambungan di dalam negara yang demokratis. Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Dieter Grimm seorang professor dan hakim konstitusi di Jerman yang menyatakan bahwa demokrasi dan konstitusionalisme tidaklah saling bertentangan karena keduanya berjalan seiring. Demokrasi konstitusional secara definisi merupakan komitmen yang secara simultan kepada prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusionalisme. Di dalam kombinasi yang yang demikian konstitusi cenderung untuk menjadi bagian yang lebih lemah oleh karenanya diperlukan peradilan konstitusi agar dapat bangkit dari sisi lemahnya tersebut ( Dieter Grimm , Constitutionalism: Past, Present, and Future, 2019 _); _ 5. Bahwa Perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan mengubah paradigma ketatanegaraan adalah pada Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa ”Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. 21 Penegasan ini menunjukkan bahwa demokrasi sebagai paradigma, tidak berdiri sendiri, tetapi paradigma demokrasi yang dibangun harus dikawal bahkan harus didasarkan pada nilai hukum, sehingga produk demokrasi dapat dikontrol secara normatif oleh paradigma hukum. Hal ini berarti bahwa paradigma demokrasi yang dibangun adalah berbanding lurus dengan paradigma hukum dan inilah paradigma negara demokrasi berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis. Paradigma ini berimplikasi pada kelembagaan negara, model kekuasaan negara, prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and balances , serta kontrol normatif yang pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga peradilan. (Paul Christoper Manuel, et.al, 1999: 16 – 17). Oleh karena itu paradigma tersebut mengubah paradigma supremasi parlemen menjadi prinsip supremasi hukum (Negara, pemerintah dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum). Selanjutnya Pasal 1 Ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyatakan dengan tegas bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum". Di dalam konsep cita negara hukum terdapat prinsip-prinsip yang menjadi karakteristik utama dan harus dijalankan guna terwujudnya negara hukum;
Bahwa sejatinya, secara normatif konstitusional kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat 2). Namun sejatinya rakyat tidak dapat memegang langsung kedaulatan dalam negara yang berjalan. Rakyat yang merupakan partikel dalam negara tidaklah sungguh-sungguh memiliki kedaulatan dalam nilai idealnya. Dalam bentuk ideal rakyat harus dalam bentuk jamak terdiri dari jutaan orang yang secara bersama-sama (secara manunggal) memiliki kedaulatan, oleh karena itu memerlukan suatu bentuk representasi dari bentuknya yang pada kenyataannya tidak tunggal dan multipolar tersebut. Hal tersebut untuk merepresentasikan kekuasaan dan kedaulatan yang dimilikinya. Oleh karena itu rakyat membentuk dirinya dalam suatu bentuk perwakilan yang mewakili suatu “ide besar rakyat” sebagai pemegang kedaulatan dalam suatu negara. Hal tersebut terpatri dalam diri Dewan Perwakilan rakyat (DPR) yang merupakan bentuk tidak langsung dari manifestasi kedaulatan rakyat. A.V. Dicey ahli konstitusi dari Inggris menyatakan bahwa parlemen memiliki kedaulatan untuk membuat atau 22 tidak membuat segala undang-undang yang dikehendakinya. Tidak ada seorang pun di suatu negara yang dapat mengenyampingkan kekuasaan parlemen untuk membuat undang-undang (A.V. Dicey, 2019);
Bahwa di dalam konstitusi kita, hal ini sebagaimana diamanatkan di dalam Bab VII UUD 1945 mengenai Dewan Perwakilan Rakyat. DPR yang merepersentasikan rakyat dan dipilih dari seluruh rakyat NKRI begitu kuat mewakili kedaulatan yang diberikan oleh seluruh rakyat, oleh karenanya tidak ada kekuasaan yang dapat membubarkan DPR, sekalipun seorang Presiden yang juga dipilih oleh rakyat (Pasal 7C UUD1945). Namun demikian DPR dengan kekuasaannya dapat memberhentikan Presiden (Pasal 7A UUD 1945). Oleh karenanya kita dapat melihat bahwa sejatinya kekuasaan DPR dapat dimaknai secara tersirat lebih berkuasa atas diri Presiden, hal tersebut karena kedaulatan yang direpresentasikan pada diri DPR;
Bahwa sebagai landasan dari kedaulatan rakyat yang dimanifestasikan dalam diri Dewan Perwakilan Rakyat ini, maka DPR memiliki kekuasaan dalam mengawal agar negara berjalan dalam rel negara hukum. Hanya DPR lah yang senyatanya memiliki kekuasaan untuk membuat suatu undang-undang. Hal ini sebagaimana yang termaktub di dalam Pasal 20 ayat (1) yang menyatakan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Lebih lanjut lagi di dalam 20A ayat (1) UUD 1945 DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Ini tidak lain membuat DPR memiliki kekuasaan yang besar dalam mengatur dan mengawasi jalannya kekuasaan presiden/eksekutif sebagai pihak yang menjalankan pemerintahan. Jika pun presiden membuat peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang itu pun harus disetujui oleh DPR jika tidak disetujui DPR maka peraturan itu harus dicabut (Pasal 22 UUD 1945);
Bahwa presiden merupakan pemegang kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan sebagaimana perintah Undang-Undang Dasar. Dalam menjalankan pemerintahannya tentu harus tunduk pada UUD. Ia juga harus menaati undang-undang yang kekuasaannya ada di tangan DPR. Kekuasaan Presiden dalam membuat peraturan sejatinya hanya mengajukan rancangan yang nanti akan dibahas dan disetujui oleh DPR, 23 selanjutnya dia membuat peraturan pemerintah untuk menjabarkan persoalan teknis dari UU yang dibuat oleh DPR (Pasal 4 UUD 1945). Jadi ini adalah inti dari pembagian kekuasaan dalam konsep negara demokratis, untuk memberikan keseimbangan antar lembaga negara;
Bahwa kekuasaan DPR ini adalah mutlak dalam mengatur anggaran negara dan mengawasi jalannya pemerintahan yang telah diberi bekal anggaran tersebut. Sehingga Presiden dan aparatur pemerintahan di bawahnya tidak menerima cek kosong begitu saja tanpa tanggung jawab. Adanya fungsi anggaran dari DPR ini hasil pengalaman panjang sebelumnya. Negara kita pernah menyerahkan kekuasaan yang begitu besar pada Presiden/eksekutif untuk berkuasa penuh atas anggaran negara, namun yang terjadi adalah banyaknya penyelewengan dan masalah yang timbul seperti korupsi pada masa pemerintahan Orde Baru. Oleh karena itu Reformasi mengamanahkan perubahan penting pada penyusunan APBN di mana DPR sebagai wakil dari rakyat memiliki kekuasaan untuk menentukan anggaran pendapatan dan belanja yang nantinya akan dijalankan oleh pemerintah. Fungsi anggaran yang melekat pada DPR ini tidak dapat ditawar lagi karena merupakan amanah Pasal 20A ayat (1) UUD 1945;
Bahwa pada Pasal 2 dan Pasal 12 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2020 dapat ditafsirkan pemberian kekuasaan yang begitu besar kepada Presiden/Pemerintah untuk mengatur keuangan negara tanpa melibatkan DPR sejak tahun 2020 sampai dengan tahun 2023. Hal ini justru bertentangan dengan Ruang Lingkup yang sudah diatur di dalam Bab I Pasal 1 undang-undang aquo . Ruang lingkup undang-undang ini sudah jelas mengatur mengenai kebutuhan negara dalam menyelenggarakan pemerintahan diperlukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2020 sebagaimana dimaksud pada UU Nomor 20 Tahun 2019. Namun justru dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk dapat leluasa tanpa melibatkan DPR mengatur keuangan negara sampai pada tahun 2023. Selain tidak sejalan dengan tujuan undang-undang juga berlawanan dengan kekuasaan DPR yang mempunyai fungsi anggaran sebagaimana Pasal 20A ayat (1) UUD 1945; 24 12. Bahwa Pemohon sendiri percaya bahwa Pandemi Covid-19 perlu mendapatkan respon cepat dari negara dalam mengalokasikan anggaran negara. Namun demikian, sebagai warga negara Pemohon mengharapkan adanya suatu proyeksi yang jelas dan dapat dipahami oleh masyarakat dari pemerintah terkait dengan kebijakan yang berkaitan dengan penanganan pandemi covid-19 ini. Tentu kita mafhum apabila aturan ini dibuat untuk penanganan covid-19 untuk tahun anggaran 2020 karena kejadian yang begitu mendadak dan mendesak untuk diputuskan tindakan penanganannya. Dikarenakan APBN tahun 2020 sudah ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun Anggaran 2020;
Bahwa situasi darurat dikarenakan adanya Pandemi Covid-19 ini yang dijadikan dasar adanya UU ini harus dibatasi sesuai pandu-pandu konstitusi. Situasi ini bisa dibatasi hanya sebatas tahun ini (tahun 2020) dan untuk tahun 2021 bisa dilakukan perubahan melalui mekanisme di DPR, tidak serta merta hanya pemerintah saja yang memutuskan. Hal ini demi adanya kepastian hukum. Namun Pemohon melihat adanya cakupan luasnya penetapan batasan defisit anggaran dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 dan 2 yang diatur sampai pada tahun 2023 tentu tidak sesuai dengan kondisi yang saat ini sebenarnya terjadi di tahun 2020. Bahwa kebutuhan mendesak untuk digunakan pada tahun 2020 lebih masuk akal dan sesuai dengan kondisi yang terjadi saat ini. Karena seharusnya jika pun untuk tahun 2021 itu masih bisa dibahas kembali dengan DPR di tahun ini, apalagi untuk tahun anggaran 2022 dan 2023 mendatang;
Bahwa UU Nomor 2 tahun 2020 Pemohon anggap Pemerintah terlalu pesimis melihat proyeksi masa depan. Pemohon memiliki optimism bahwa situasi perekonomian yang sekarang memburuk akibat pandemi covid-19 akan segera membaik di tahun-tahun mendatang. Hal ini dikarenakan kemajuan teknologi dan informasi yang begitu cepat berkembang. Kerjasama antar ilmuan dan antar negara yang menjadi alasan situasi akan berubah di tahun depan. Akhir-akhir ini diketahui bahwa WHO, negara- negara di dunia, dan industri farmasi ramai-ramai berlomba-lomba untuk menemukan obat dan vaksin dari virus covid-19. Pada akhir tahun 2020 dan awal 2021 vaksin sudah mulai diproduksi dan dipasarkan. Oleh karenanya 25 pada saat vaksin ini ditemukan dan diedarkan seharusnya situasi darurat/ state emergency sudah reda. Pemerintah pada saat permohonan ini diajukan juga sudah mengampanyekan untuk persiapan pelonggaran aktifitas warga, oleh karenanya itu menjadi indikasi untuk memproyeksikan anggaran 2021 tentu berbeda dengan situasi pada tahun ini di 2020. Oleh karenanya kebijakan terkait anggaran 2021 bisa disesuaikan pada proyeksi situasi yang sudah lebih terkendali. Oleh karenanya kebijakan untuk penyusunan APBN di tahun 2021 tentu harus dapat melibatkan DPR. Hal ini pastinya akan berlanjut pada tahun anggaran 2022 dan 2023;
Bahwa selain dari dikesampingkannya fungsi DPR dalam menyusun anggaran, norma yang terdapat di dalam Pasal 2 ayat (1) berisi penjelasan yang memberikan makna yang berbeda dan seharusnya berdiri sendiri menjadi norma yang mandiri. Penjelasannya jika kita membacanya dengan seksama justru memuat suatu norma baru. Bahwa penjelasan suatu norma hanya bersifat menjelaskan dari norma yang terdapat di dalam Pasal tubuh undang-undang bukan memuat norma baru yang justru memiliki makna yang berbeda;
Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Nomor 005/PUU-III/2005, bertanggal 22 Maret 2005 juncto Putusan Mahkamah Nomor 011/PUU- III/2005, bertanggal 19 Oktober 2005 antara lain menyatakan bahwa penjelasan pasal dari satu Undang-Undang tidak boleh membuat norma baru yang justru mengaburkan makna dari norma yang terdapat dalam pasal tersebut. Hal tersebut dinyatakan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 tanggal 9 Juli 2015. Oleh karena itu, berdasarkan yurisprudensi putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, suatu norma yang memuat penjelasan memuat norma baru haruslah dibatalkan dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Bahwa di dalam Pasal 12 ayat (2) dan Pasal 28 angka (3) dan (10) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memberi keleluasaan kepada Presiden untuk melakukan perubahan terhadap postur dan/atau rincian APBN hanya berdasarkan Peraturan Presiden. Jika kita melihat aturan ini maka, suatu UU diubah hanya berdasarkan Peraturan Presiden. Hal ini jelas merupakan norma yang tidak sesuai dengan struktur hukum di negara kita. Norma ini tidak berisi penjelasan sama sekali dan hanya diberikan 26 penjelasan “cukup jelas” namun Pemohon merasa itu justru tidak jelas. Bahwa apakah ini berarti untuk melaksanakan UU No. 2 Tahun 2020 tidak perlu ada peraturan pemerintah dan hanya cukup dengan peraturan presiden. Padahal di dalam 5 ayat (2) UUD 1945 sudah ditegaskan bahwa Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang- undang sebagaimana mestinya. Dengan demikian sudah jelas, jikapun pemerintah sebagai pelaksana undang-undang mau melaksanakan undang-undang tersebut haruslah persoalan teknisnya diatur melalui peraturan pemerintah tidak serta merta hanya dengan peraturan presiden. Oleh karenanya jelas Pasal 12 ayat (2) dan Pasal 28 angka (3) dan (10) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan konstitusi;
Bahwa jika pun pemerintah mau melakukan perubahan terhadap UU Nomor 2 Tahun 2020 karena adanya situasi yang mengharuskan dilakukannya perubahan APBN bisa melalui DPR sebagai badan legislatif yang memiliki kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal ini untuk menghindari bibit- bibit otoritarianisme dari pemerintah dalam hal ini adalah presiden. Bahwa Pandemi Covid-19 masihlah dapat dihadapi dengan kepala dingin dan seharusnya dalam kondisi yang sudah dikampanyekan adanya kebiasaan baru ( new normal ) seharusnya tidak perlu ada aturan yang melebihi kewajaran. Pemohon meyakini DPR harus dapat bekerja untuk menjalankan fungsi dan tugasnya sehingga pemerintah/presiden tidak ada alasan untuk mengambil alih kewenangan DPR. Bahwa terpusatnya kekuasaan dalam salah satu pihak sangatlah mengkhawatirkan. Hal ini perlu dipandang skeptis karena akan membawa bibit otoritarianisme yang dengan tegas dihindarkan dari UUD 1945 pasca reformasi 1998;
Bahwa selain adanya fungsi anggaran yang melekat pada DPR, selanjutnya penggunaan APBN oleh Presiden dalam menjalankan program-progam pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Perlu ditegaskan kembali, segala dana yang dipergunakan tersebut adalah uang rakyat, yang berdaulat atas negara ini. Tentu selanjutnya penggunaan uang dalam APBN ini memerlukan pengawasan. Tanpa adanya pengawasan, maka semua hal bisa terjadi. Presiden dan pemerintahan yang berisi aparatur penggerak pemerintah bukanlah sekumpulan malaikat berhati putih dan suci tanpa dosa. Kalaupun ada yang mendekati malaikat, kadang 27 mereka menampilkan sisi manusia lebih sering dari sisi malaikatnya. Mereka adalah manusia tempatnya salah dan lupa. Jadi tidak mungkin manusia hidup dan bertindak tanpa diawasi. Apalagi ini terkait dengan penggunaan dana seluruh rakyat Indonesia;
Bahwa konstitusi sendiri telah mengantisipasi hal yang demikian. Tentu hal tersebut didasari atas argumentasi dan rasionalisasi dari kecurigaan bahwa pemerintah harus dicurigai, maka oleh karena itu harus diawasi dalam menggunakan uang negara yang sejatinya adalah milik rakyat. Atas ide besar itu maka dibentuklah suatu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hasil pemeriksaan tersebut selanjutnya diberikan ke DPR dan jika ada masalah yang terjadi misalnya penyelewengan atas uang negara tersebut maka ditindaklanjuti sesuai UU, misalnya untuk dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh KPK dan Kejaksaan. Hal tersebut merupakan amanah konstitusi di dalam Pasal 23E UUD 1945;
Bahwa kehadiran Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri adalah semangat reformasi yang harus kita pertahankan. Kehadiran BPK di dalam konstitusi kita memiliki sejarah sejak didirikannya negara kita. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Prof. Soepomo dan Mr. M. Yamin di dalam rapat BPUPKI yang menyampaikan perlu adanya badan yang bertugas mengawasi tanggung jawab pemerintah dalam penggunaan anggaran negara. Menurut Prof. Soepomo dalam rapat BPUPKI tanggal 15 Juli 1945, yang menyatakan, ” Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang dulu dinamakan Rekenkramer (Algemene Rekenkramer berdasar Pasal 117 ayat (1) Indische Staatregeling), yang peraturannya ditentukan dengan _undang-undang.”; _ 22. Bahwa hadirnya badan pemeriksa yang independen pasca Reformasi 1998 juga hasil dari pelajaran penting Orde Baru di mana kekuasaan Presiden yang begitu kuat sehingga melahirkan pemerintahan yang otoriter dan sewenang-wenang menggunakan uang negara karena tidak adanya suatu badan pengawas yang kuat dan mandiri. Pemohon menganggap, perihal uang adalah jantung dari kehidupan, bisa juga itu menjadi jantung dari kekuasaan. Oleh karenanya Pasal 27 UU Nomor 2 Tahun 2020 yang 28 memberikan peluang kepada pemerintah untuk menggunakan uang negara tanpa dituntut adanya kemungkinan kerugian keuangan negara jelas bertentangan dengan konstitusi. Jika hal ini dibiarkan maka akan membuka peluang untuk lahirnya pemerintahan yang otoriter di masa depan;
Bahwa atas semua tindakan pemerintah dalam menjalankan kebijakan dan keputusan yang dibuat juga harus dipertanggungjawabkan di muka hukum. Itu adalah esensi dari negara hukum. Apa artinya negara hukum jika ada satu bagian di negara itu ada yang memiliki kekebalan dari aturan hukum. Lalu manfaat dari negara hukum yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 akan hilang kalau kita tidak bisa menegakkan hukum dan keadilan. Konsitusi kita dalam Pasal 24 ayat (1) menyatakan penegakan hukum dan keadilan dalam satu tarikan nafas, oleh karena itu dengan alasan apapun tidak dapat kita pisahkan. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka oleh karena itu tidak bisa diintervensi oleh siapapun, ini adalah perintah konstitusi oleh karenanya adanya Pasal 27 ayat (2) dan (3) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 yang memberikan hak imunitas kepada pejabat aparatur pemerintah tentu bertentangan dengan Pasal 24 UUD 1945;
Bahwa selanjutnya, beberapa ketentuan UUD 1945 menegaskan atas perlindungan hak-hak dasar Pemohon sebagai warga Negara RI (sebagai pembayar pajak) harus mendapat hak atas perlindungan dari negara atas segala hal yang dapat merugikan Pemohon. Perlindungan atas hak-hak dasar baik selaku perorangan dan selaku warga negara RI (Protector of citizen’s constitutional right and protector of human right) menjadi penting bagi negara atas orang per-orang dan warganya agar tercapainya cita-cita untuk mensejahterakan seluruh warga negara Indonesia. Dalam hubungan ini, maka negara memiliki kewajiban untuk memperhatikan, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar orang perorang dan warga negaranya ( to respect, to protect and to fullfil of the citizen’s constitutional right and the human right). Beberapa ketentuan dalam UUD 1945 yang terkait dengan hak-hak dasar Pemohon dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1). Sebagai bagian fundamental dari hak dasar yang diatur dan dijamin oleh UUD 1945 tersebut, maka dengan sendirinya negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam memberikan perhatian, perlindungan dan pemenuhan atas 29 hak-hak dasar tersebut dan tidak boleh suatu kebijakan negara berupa undang-undang yang dapat mengurangi terhadap hak-hak dasar tersebut. Hal tersebut dapat tercapai jika undang-undang yang dibuat oleh DPR juga harus sesuai dengan Undang-Undang Dasar;
Bahwa seperti yang terjadi di negara lain dalam menghadapi pandemi covid-19 yang memaksa banyak negara menghidupkan aturan-aturan yang sifatnya pengecualian dari aturan hukum normal. Aturan-aturan pembatasan terhadap hak-hak seperti hak untuk mencegah penyebaran covid-19 dianggap wajar dan jamak terjadi. Hal ini dapat dicontohkan dengan pembatasan terhadap pergerakan orang, hak untuk berkumpul, pembatasan mendapatkan akses pekerjaan, dan yang diperbolehkan hanyalah hak yang bersifat esensial untuk keberlangsungan kehidupan dan perekonomian yang menghidupi hajat utama masyarakat. Hal tersebut tentunya sejauh ini dapat diterima dan disadari oleh sebagian masyarakat karena demi perlindungan kesehatan mereka;
Bahwa perlindungan terhadap hak asasi manusia juga sejalan dengan nilai- nilai HAM yang dianjurkan oleh PBB dalam merespon pandemi covid-19. Dalam publikasinya Covid-19 and Human Right: We are All in This Together yang terbit bulan April 2020, PBB menjelaskan pentingnya penempatan hak asasi manusia dalam merespon dan pemulihan akibat pandemi covid-19. Perhatian dan kebijakan yang mengutamakan hak asasi manusia akan menghasilkan manfaat yang lebih besar dalam menyelesaikan pandemi ini. Bentuk utama kebijakannya adalah: meningkatkan efektifitas terhadap penanganan tantangan kesehatan yang terjadi, mitigasi meluasnya krisis yang mengakibatkan kehidupan, dan mencegah timbulnya masalah baru/penumpukan masalah. Oleh karenanya PBB menyarankan kebijakan utama dalam menyelesaikan pandemi covid-19 adalah pada penghormatan nilai-nilai utama hak asasi manusia dan mencegah munculnya populisme, otoritarianisme, yang menggunakan dalih penyelesaian pandemi covid-19 untuk melakukan tindakan represif yang justru tidak berhubungan dengan inti penyelesaian masalah pandemi;
Bahwa selanjutnya, Pemohon memiliki kepentingan untuk mendukung DPR dalam merepresentasikan kedaulatan rakyat, namun demikian tidak berarti apa yang dilakukan oleh DPR juga mewakili sisi ideal dari bentuk wakil yang 30 benar-benar menaati nilai konstitusi dan nilai mulia hukum. Oleh karenanya Pemohon mengajukan permohonan ini ke hadapan Mahkamah Konstitusi karena DPR menetapkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 tanpa memperhatikan isi yang terdapat di dalamnya. Lebih lanjut lagi, apakah pengesahan DPR itu sudah sesuai dengan prinsip yang diatur di dalam Pasal 22 ayat (2), “ Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.” Apakah benar Perppu Nomor 1 Tahun 2020 disahkan oleh DPR dalam persidangan yang berikut sesuai dengan agenda yang sebelumnya memang sudah diatur dalam kesekertariatan DPR atau memang persidangan dipercepat untuk mendapatkan pengesahan. Hal tersebut erat kaitannya dengan perilaku politik kelembagaan dalam negara. Selain itu, kami memohon Mahkamah untuk mengoreksi tindakan DPR, sehingga DPR tidak asal mengesahkan Perppu yang diajukan oleh Presiden. Hal ini sering kali dilakukan, dikarenakan relasi dan lobby politik telah mengesampingkan kandungan dari Perppu yang diajukan oleh Presiden selaku Pemerintah yang pada akhirnya adalah mengabaikan panduan konstitusi yang menjadi pedoman hidup bersama bangsa kita; __ 28. Bahwa selanjutnya Pemohon juga akan menyampaikan tambahan terkait dijadikannya pandemi covid-19 yang membuat negara dalam keadaan darurat. Bahwa rule of law yang terkandung jelas dalam konstitusi seharusnya tetap menjadi acuan utama dalam melihat situasi darurat tersebut. Namun demikian kita tetap harus menjaga diri agar dalam situasi apapun kita tetap harus berpegang teguh pada konstitusi kita dan nilai-nilai utama kita dalam bertata-negara. Karena dalam konstitusi itulah tersedia suatu tujuan bersama, menyedikan jalan keluar dalam setiap keadaan yang mengancam kehidupan bersama, dan memberikan kesadaran bersama untuk mencapai kesejahteraan (Vernon Bogdanor, 2011). Hal ini jelas tercantum di dalam pembukaan/ preambule konstitusi kita yang menggambarkan kebesaran jiwa dan nilai utama konstitusi kita dalam berbangsa dan bernegara; __ 29. Bahwa selanjutnya kita perlu merefleksikan ulang pengalaman sejarah dengan adanya perubahan konstitusional karena terjadinya situasi darurat/ emergency . Situasi darurat bisa melahirkan kondisi yang tidak 31 terbayangkan sebelumnya, bisa dimanfaatkan untuk pengambilalihan kekuasaan secara formal dan dibenarkan yang akhirnya dapat menimbulkan akibat negatif. Keadaan emergency telah menjadi alasan untuk terjadinya perubahan konstitusi yang menguatkan posisi kekuasaan eksekutif untuk memperoleh kekuasaan lebih besar dengan mengambil alih dan/atau menghilangkan kewenangan institusi politik lain, legislatif ataupun yudikatif. Munculnya bibit otoritarianisme akibat merespon situasi yang darurat/ emergency pernah menjadi mimpi buruk bagi dunia. Hal tersebut terjadi pada waktu keadaan darurat tahun 1933 di Jerman saat terjadi kebakaran di Reichstag (parlemen Jerman), hal tersebut dijadikan dasar untuk meloloskan The Enabling Act 1933 yang memindahkan kekuasaan legislatif ke eksekutif. Secara langsung hal tersebut membuat Fuhrer selaku leader atau pemimpin Jerman sebagai hukum itu sendiri (Fuhrer as a law) . Hal ini sebagai awal dari menguat dan lahirnya kekuasaan National Socialism di Jerman. Carl Schmitt ahli hukum publik Jerman yang konservatif berpendapat bahwa norma-norma hukum tidak dapat diterapkan dalam situasi chaos , karena dia membutuhkan situasi yang cenderung normal dan homogen. Baginya tidak ada norma hukum yang dapat mengatur situasi darurat yang ekstrem atau kondisi pengecualian yang mutlak/absolut. Pendapatnya yang terkenal, “ the sovereign is he who decides on the state of exception – yang berdaulat adalah siapa yang memutuskan kadaan yang dikecualikan. Hal ini jika ada orang atau institusi, dengan kebijakaan/keputusan, yang dapat menunda keberlakuan hukum dan lalu menggunakan kekuatan di luar hukum untuk menormalisasi situasi, lalu orang atau institusi itu adalah Yang Berdaulat/ the sovereign dalam kebijakan/keputuan tersebut. Selanjutnya tatanan hukum itu ditentukan oleh keputusan Yang Berdaulat dan bukan berdasar pada norma hukum. Pendapat Carl Schmitt ini memberikan argumentasi hukum atas tindakan- tindakan peralihan kekuasaan dalam suatu negara karena alasan darurat, dalam kasus ini sebagai pendapat yang mendukung menguatnya kekuatan eksekutif di bawah National Socialism di Jerman menuju Perang Dunia II (Dyzenhaus, 1997, 2020);
Pada konteks yang terjadi saat sekarang, ini terjadi kembali di Hongaria saat Victor Orban, seorang Perdana Menteri populis di Hongaria yang 32 memiliki kecenderungan menjalankan pemerintah secara otokratik. Dengan alasan menghadapi pandemi covid-19 parlemen yang mayoritas pendukung Victor Orban meloloskan undang-undang kedaruratan/kekuasaan pemerintah dalam situasi darurat ( emergency law/government emergency powers/enabling act) pada tanggal 30 Maret 2020 tanpa limitasi waktu yang jelas, pemerintah dapat membuat undang- undang tanpa melalui persetujuan parlemen. Salah satu aturan yang menjadi inti kritik utamanya berbunyi, “ in such emergency the Government ... in order to guarantee for Hungarian citizens the safety of life and health, personal safety, the safety of assets and legal certainty as well as the stability of the national economy, may suspend the enforcement of certain laws, depart from statutory regulation and implement additional extraordinary measures by decree”. Dapat diterjemahkan “dalam keadaan darurat, Pemerintah ... dengan alasan melindungi kehidupan dan kesehatan warga negara Hungaria, keamanan masyarakat, keamananan aset dan kepastian hukum serta kestabilan perekonomian nasional, dapat menunda penegakan aturan-aturan hukum tertentu, dari aturan perundang-undangan dan menerapkan tindakan tambahan luar biasa dengan dekrit/keputusan” . Bahwa sejak dikeluarkannya emergency law/enabling act dengan alasan untuk menghadapi pandemi Covid-19, Victor Orban telah mengeluarkan 100 dekrit yang pada kenyataannya memiliki sedikit hubungan dengan pandemi Covid-19. Kekuasaan dengan alasan emergency /kedaruratan tersebut, Victor Orban menjalankan pemerintahan berdasarkan dekrit yang dibuatnya sendiri tanpa menunggu persetujuan di parlemen. Keputusan yang dibuat tersebut dapat memuat ancaman hukuman pidana. Oleh karenanya Menteri Kehakiman Hungaria mengajukan UU ke parlemen untuk menghilangkan kewenangan yang diberikan kepada Perdana Menteri, karena ia menyadari untuk segera mengakhiri state of danger (negara dalam kondisi yang membahayakan) . Menteri Kehakiman Hungaria bermaksud segera mengakhiri Emergency Law lebih dulu daripada negara Eropa lainnya dan mengajukan rancangan UU pengakhiran kondisi darurat tersebut ke Parlemen Hongaria pada tanggal 20 Juni 2020. ( https: //www.theguardian.com/world/2020/may/26/hungarian-government- to-end-orbans-rule-by-decree-legislation-emergency-coronavirus ) ; 33 31. Bahwa OECD ( Organisation for Economic Co-operation and Development- Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan) mengeluarkan laporan yang berjudul Initial Budget and Public Management Responses to the Coronavirus (Covid-19) Pandemic in OECD Countries tanggal 22 April 2020 yang berisi ulasan mengenai tindakan pemerintah menggunakan anggaran pendapan dan belanja negaranya dalam menghadapi pandemi covid-19. Dalam periode yang singkat pemerintah di negara-negara anggota OECD telah menambah anggaran, menggunakan sumber daya yang tersedia untuk penanganan krisis covid-19 dengan menggunakan aturan hukum yang sudah ada dan/atau melalui perundang-undangan yang baru. Contoh-contoh di beberapa negara, mereka melakukan perubahan postur APBN melalui persetujuan parlemen dengan undang-undang yang baru untuk dapat mengimplementasikan situasi dan ukuran-ukuran baru dalam APBN;
Bahwa salah satu laporan OECD tersebut yaitu di Perancis, di mana parlemen membuat legislasi untuk memutuskan undang-undang yang menyatakan kondisi darurat kesehatan selama 2 bulan. Dengan legislasi ini memberikan dasar hukum kepada pemerintah untuk membuat peraturan lebih jauh yang diperlukan dalam penanganan covid-19. Beberapa aturan yang dibuat termasuk Undang-Undang Perubahan APBN/Keuangan Negara ( Loi de finances rectificative) yang diajukan oleh Presiden Perancis pada tanggal 12 Maret 2020 dan diterapkan pada tanggal 23 Maret 2020. UU ini diloloskan setelah melalui proses sidang di Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis Nasional ( l’asemblee nationale ), dan Senat. Perhitungan dan proyeksi fiskal juga ditentukan sebatas tahun 2020, termausk defisit anggaran yang menjadi 3,9% dari GDP yang sebelumnya diatur 2,2%, perkiraan pertumbuhan ekonomi menjadi -1% yang sebelumnya +1,3%. Selanjutnya parlemen juga melakukan perubahan/revisi atas undang- undang tersebut, termasuk dalam pembentukan suatu badan khusus komite ad hoc yang bertugas untuk mengawasi implementasi undang- undang tersebut disamping perdana menteri. Undang-Undang Perubahan APBN/Keuangan Negara ( Loi de finances rectificative) yang baru dibentuk tersebut direvisi secara signifikan karena perkiraan defisit anggaran menjadi 9% dari GDP, dan pertumbuhan ekonomi menjadi -8% dikarenakan 34 kebijakan perpanjangan karantina untuk mengendalikan penyebaran pandemi covid-19 ( lockdown/confinement) ;
Bahwa di Italia sebagai salah satu negara di Eropa yang paling awal terpukul dengan penyebaran pandemi covid-19, pemerintahnya tetap menggunakan instrumen hukum yang sejalan dengan konstitusi. Berkaitan dengan kondisi yang darurat pemerintah Italia menggunakan decree-laws (undang-undang yang dikeluarkan pemerintah, bisa ditafsiirkan menjadi Peraturan Pemerintah dalam hukum Indonesia) hanya untuk kasus yang luar biasa dan mendesak, salah satunya adalah terkait persoalan penangguhan beberapa tugas pemerintah dalam urusan fiskal. Termasuk dalam hal ini adalah paket sebesar 25 miliar euro yang diatur dalam Law Decree No. 18 “Cure Italy” tanggal 17 Maret 2020. Law Decree ini dikeluarkan oleh Pemerintah dalam bentuk Peraturan Pemerintah untuk kondisi yang khusus, genting, dan mendesak yang berlaku pada hari yang sama. Selanjutnya itu akan diajukan ke parlemen, subjek dari kewenangan parlemen dan dalam waktu 6o hari parlemen dapat menentukan dapat atau tidak ditetapkannya Peraturan Pemerintah itu menjadi undang-undang tersebut melalui musyawarah atau voting. Law Decree No. 18 “Cure Italy” tanggal 17 Maret 2020 yang diajukan ke parlemen ini dilakukan beberapa kali revisi/amandemen;
Bahwa di Australia adanya penambahan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk mengimplementasikan paket-paket kebijakan pemerintah yang dibuat secara terukur. Undang-undang tersebut telah disetujui oleh Parlemen pada tanggal 23 Maret 2020. Peraturan tersebut termasuk penambahan dana 40 miliar dollar Australia diperuntukan kepada Kementerian Keuangan untuk mengantisipasi kejadian-kejadian yang mungkin akan terjadi terkait covid-19. Perubahan aturan lebih lanjut yang sekiranya diperlukan pemerintah karena adanya perubahan kebijakan terkait penggunaan dana tersebut juga harus melalui parlemen. Salah satunya adalah perubahan atas aturan tersebut pada 8 April 2020. Parlemen tetap mengadakan sidang walaupun hanya 40% dari kapasitas kursi yang ada dikarenakan pada tanggal 23 Maret 2020 ada tiga anggota dewan yang positif terkena covid-19. Sidang parlemen ini sangat krusial 35 untuk meloloskan anggaran yang diajukan oleh pemerintah untuk mengajukan dana stimulus penanganan pandemi covid-19;
Bahwa di Kanada dikarenakan mencegah penyebaran virus covid-19, sidang-sidang parlemen ditangguhkan ( suspended ) dari tanggal 13 Maret sampai dengan 20 April dan kemungkinan diperpanjang. Mereka akan kembali rapat hanya untuk sidang musyawarah/voting terkait dengan rencana anggaran paket ekonomi sejumlah 193 miliar dollar Kanada untuk mendukung para pekerja dan bisnis yang terdampak covid-19, penangguhan pajak, dan perlindungan kesehatan dan keamanan (8,4% dari GDP). Undang-Undang untuk Tanggap Darurat Covid-19 dan Ekonomi ( COVID-19 Emergency Response Act and Economic Response ) disahkan tanggal 25 Maret 2020 dan undang-undang ini direvisi kembali pada tanggal 11 April 2020 karena pemerintah mengajukan anggaran baru terkait subsidi. Undang-undang ini memberikan kekuasaan khusus kepada perdana menteri hanya sampai tanggal 30 September 2020. Kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah ini meningkatkan kemampuan pemerintah untuk bertindak lebih fleksibel atas perkembangan-perkembangan yang terjadi yang mengurangi pengawasan parlemen;
Jadi dapat digarisbawahi dari masing-masing negara memiliki kesamaan dalam merespon pandemi covid-19 ini. Tentunya tetap memperhatikan kewenangan masing-masing institusi politik yang ada, antara pemerintah selaku eksekutif dan legislatif. Pentingnya respon cepat dari pemerintah dalam menghadapi penyebaran dan pencegahan pandemi covid-19. Oleh karenanya pemerintah diberikan kewenangan khusus dalam waktu yang singkat dalam bulan-bulan penyebaran pandemi covid-19. Di negara- negara tersebut tidak memberi kewenangan khusus kepada pemerintah dalam bidang anggaran selama bertahun-tahun. Dalam kondisi yang darurat pun DPR harus hadir untuk bekerja mengawal jalannya pemerintahan. Setiap kebijakan pemerintah dan keputusan yang diambil harus tetap dalam pengawasan parlemen. Perubahan undang-undang dan anggaran harus tetap melalui DPR, dan perubahan perundang-undangan, untuk merespon covid-19 juga harus melalui prosedur yang wajar sebagaimana berdasarkan pada pandu-pandu konstitusi yaitu melalui parlemen/Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagaimana perkataan A.V. Dicey, 36 tidak ada suatu kekuasaan pun yang ada di negara demokrasi yang dapat mengesampingkan kekuasaan parlemen/DPR; IV. RINGKASAN Dari uraian-uraian sebagaimana telah dikemukakan dalam angka I, II, dan III di atas, maka sampailah Pemohon kepada ringkasan dari permohonan ini yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji norma undang-undang sebagaimana tertuang dalam Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27 dan Pasal 28 angka (3) dan (10) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Nomor 134 Tahun 2020, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516) terhadap Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1), Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut “Undang-Undang Dasar 1945”;
Berdasarkan norma yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1983 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 ayat (1) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, 37 mengadili dan memutus permohonan ini pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final;
Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak- hak konstitusional, baik langsung maupun tidak langsung, yang diberikan oleh UUD 1945, yakni Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1), Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Hak-hak konstitusional tersebut nyata-nyata telah dilanggar dengan berlakunya norma Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), dan Pasal 27, dan Pasal 28 angka (3) dan (10) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Nomor 134 Tahun 2020, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516) . Oleh karena itu Pemohon mempunyai legal standing atau kedudukan hukum untuk memohon pengujian undang-undang ini;
Berdasarkan berbagai argumentasi yuridis yang telah Pemohon kemukakan dalam uraian-uraian dalam Angka III di atas, Pemohon berkesimpulan bahwa norma undang-undang yang diatur dalam Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 28 angka (3) dan (10) Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Nomor 134 Tahun 2020, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516) bertentangan dengan norma konstitusi sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 38 ayat (1), Pasal 20A ayat (1), Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) __ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu terdapat alasan yang cukup bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa norma undang-undang dimaksud bertentangan dengan UUD 1945, dan mengabulkan petitum Pemohon; V . PETITUM Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana telah dikemukakan dalam keseluruhan isi permohonan ini, maka izinkanlah Pemohon untuk memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar terlebih dahulu menyatakan bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing) untuk memohon pengujian undang-undang, yakni menguji Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 28 angka (3) dan (10) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Nomor 134 Tahun 2020, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516) terhadap Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1), Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 , kemudian memutuskan hal-hal sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 28 angka (3) dan (10) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Nomor 134 Tahun 2020, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516) 39 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 28 angka (3) dan (10) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Nomor 134 Tahun 2020, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516) tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat; Bahwa jika Mahkamah tidak berkehendak untuk memutuskan permohonan Pemohon sebagaimana permohonan di atas, Pemohon memohon:
Menyatakan Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 28 angka (3) dan (10) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Nomor 134 Tahun 2020, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516) adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat ( conditionally constitutional) sepanjang dimaknai hanya berlaku untuk tahun anggaran 2020;
Menyatakan Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 28 angka (3) dan (10) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Nomor 134 Tahun 2020, Tambahan 40 Lembaran Negara Nomor 6516, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516) tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai hanya berlaku untuk tahun anggaran 2020;
Memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil- adilnya. [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-5 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Nomor 134 Tahun 2020, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516) 2. Bukti P-2 : ^Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara No. 6485).
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Dasar 1945 41 4. Bukti P-4 : Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama Sururudin 5. Bukti P-5 : ^Fotokopi kartu Nomor pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Sururudin Selain itu, Pemohon mengajukan ahli yakni DR. Hendra Nurtjahjo, SH. M. Hum., dan Dr. H. Mustafa Fakhri, SH, M.H, LLM., yang didengar keterangannya di depan persidangan masing-masing pada tanggal 12 November 2020 dan tanggal 7 Desember 2020 dan juga telah menyerahkan keterangan tertulis yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Dr. Hendra Nurtjahjo, SH., M. Hum. ▪ Anatomi konstitusi merupakan kumpulan norma-norma yang hidup dan berfungsi menuntun kehidupan penyelenggaraan negara. Norma-norma konstitusi itu merupakan uraian kesepakatan rasional warga negara dalam membentuk dan menggerakkan organisasi negara sesuai dengan kehendak bersama seluruh komponen bangsa. Kesepakatan rasional itu secara positif memandu norma-norma hukum lainnya yang lebih rendah agar bersesuaian dalam suatu rangkaian dan susunan hierarkis yang harmoni. Rangkaian dan susunan hierarkis yang harmoni itu merupakan tatanan norma hukum positif yang berlaku dalam Negara Republik Indonesia. ▪ Tatanan norma hukum di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan Hukum Tata Negara Positif yang berlaku sebagai Hukum Dasar tertulis yang menjadi rujukan bagi tatanan norma hukum lain dibawahnya. Tatanan norma hukum dasar itu dimaksudkan sebagai pedoman atau kaidah fundamental penyelenggaraan negara dalam keadaan normal. Namun demikian, UUD NRI Tahun 1945 juga memuat pasal khusus sebagai pintu masuk bagi penyelenggaraan negara dalam keadaan darurat. Hukum Tata Negara dalam keadaan normal dan Hukum Tata Negara dalam keadaan darurat ini merupakan anatomi konstitusi yang sudah semestinya dapat kita pahami. ▪ Penggunaan kaidah hukum normal harus digunakan dalam keadaan normal, dan kaidah hukum darurat harus digunakan dalam keadaan darurat. Penggunaan kaidah hukum normal dalam keadaan darurat dan sebaliknya, penggunaan hukum darurat dalam keadaan normal adalah pilihan rasional yang salah dan dapat menyebabkan kerusakan dalam penegakan hukum 42 dan tertib hukum. Hal ini harus dihindari dalam suatu sistem hukum yang adil dan beradab. Penggunaan hukum darurat negara (staatsnoodrecht) harus dimulai dengan pintu masuk Pasal 12 UUD NRI Tahun 1945, yaitu penetapan keadaan bahaya oleh Presiden. Keadaan bahaya ini secara mutlak dipahami sebagai keadaan darurat negara yang menyatakan suatu keadaan darurat hukum. Keadaan darurat negara atau “negara dalam keadaan darurat” ini memungkinkan diberlakukannya kaidah hukum tata negara darurat. Pintu masuk untuk status negara dalam keadaan darurat ini, dalam perspektif hukum tata negara positif, hanya melalui Pasal 12 UUD NRI Tahun 1945. ▪ Persoalan hal ihwal “kegentingan memaksa” yang disebut dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 adalah persoalan yang berbeda dengan “keadaan bahaya.” Persoalan hal ihwal kegentingan memaksa merupakan persoalan umum terkait dengan terbatasnya waktu dan kebutuhan norma hukum, bukan persoalan adanya keadaan bahaya an sich . Memang harus diakui bahwa “keadaan bahaya” bisa membawa negara dalam “keadaan kegentingan memaksa.” Harus dipahami secara baik bahwa terminologi “kegentingan memaksa” memiliki dua sisi wajah yang “in between.” Pertama , Kegentingan memaksa yang masuk dalam Rezim Hukum Tata Negara Normal dan yang Kedua , Kegentingan memaksa yang masuk dalam Rezim Hukum Tata Negara Darurat. Pada sisi yang kedua, dimana kegentingan memaksa diartikan masuk ke dalam rezim hukum tata negara darurat harus ada petunjuk yang menghubungkannya dengan Pasal 12 UUD NRI 1945. Tanpa menghubungkannya dengan Pasal 12 sebagai pintu masuk yang memberi status negara dalam keadaan darurat ( staatsnood recht ), maka pemberlakuan Pasal 22 tentang kaidah kegentingan memaksa tetap berada dalam kaidah hukum tata negara normal. ▪ Dalam keadaan “kegentingan memaksa” ini dibutuhkan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu guna mengatasi suatu keadaan yang dianggap “krisis”, maka dibutuhkan bentuk hukum PERPPU. Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) ini tentu terbagi dua kategori pula, Pertama , PERPPU ‘biasa’ yang menunjuk pada keadaan kegentingan memaksa dan tetap dalam rezim hukum tata negara normal, serta kategori yang Kedua , PERPPU ‘darurat’ yang menunjuk pada keadaan bahaya dan masuk ke dalam rezim hukum tata negara darurat. Masing masing kategori 43 memiliki konsekuensi hukum dan mekanisme pertanggungjawaban hukum yang berbeda dalam keberlakuannya. PERPPU hanya bisa dianggap sebagai “PERPPU darurat” apabila terhubung dengan “keadaan bahaya” sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 12. Dalam konstruksi hukum pada bagian ‘mengingat’ dan ‘menimbang’ harus dirujuk secara jelas ke Pasal 12 dan Pasal 22 untuk dapat masuk ke dalam kategori “PERPPU darurat” sehingga dapat bergeser ke dalam status rezim hukum tata negara darurat dengan segala konsekuensinya. ▪ Rezim Hukum Tata Negara Darurat dalam hal “tertentu dan terbatas” dapat menyimpangi kaidah undang-undang dan hukum positif lainnya. Penyimpangan ini dibolehkan karena sifat keadaan bahaya yang melekat pada keadaan tersebut. Keadaan bahaya ini membutuhkan tindakan penyelamatan warga negara dan organisasi negara dari ancaman yang bersifat objektif terjadi. Kelangsungan hidup organisasi negara dan warga negara menjadi hukum tertinggi yang harus diberlakukan lebih daripada hukum positif yang berlaku dalam keadaan normal ( Salus populi suprema lex esto ). Kecepatan Langkah-langkah kebijakan publik diperlukan dalam keadaan darurat, namun tanpa harus meninggalkan asas pertanggungjawaban hukum dan kontra produktif terhadap tujuan keselamatan negara dan pelayanan publik. ▪ Penggunaan kewenangan pemerintah dan tindakan pemerintah yang diperkenankan untuk menyimpangi kaidah hukum normal, pengurangan hak asasi manusia dan pengurangan kewenangan konstitusional Lembaga- lembaga negara tertentu berpotensi untuk terjadinya penyalahgunaan keadaan, penyalahgunaan hak dan kewenangan menjadi penumpukan kekuasaan yang menjurus pada Otoritarianisme. Walau bagaimanapun prinsip Konstitusionalisme tetap harus dipertahankan dan sejauh mungkin menghindari untuk mendekati potensi Otoritarianisme. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan kewenangan dalam rezim hukum tata negara darurat adalah:
Pembatasan (pengurangan) hak-hak asasi manusia.
Pembatasan (pengurangan) kewenangan konstitusional lembaga tertentu.
Sifat Sementara Waktu yang memerlukan Batasan.
Sifat Mengatasi Krisis yang komprehensif, efektif, dan efisien 44 5. Sifat Proporsional dalam melakukan upaya memulihkan keadaan. ▪ Berdasarkan telaah atas terbitnya UU Nomor 1 Tahun 2020 dan kebijakan- kebijakan turunan yang bertujuan untuk menangani pandemi covid-19 yang telah dilakukan oleh Pemerintah, Ahli berpendapat bahwa terbitanya undang- undang dan kebijakan-kebijakan pemerintah dan lembaga negara lainnya dalam konteks penanganan covid-19 belum memasuki apa yang disebut sebagai Rezim Hukum Tata Negara Darurat. Hal ini disebabkan oleh tidak terhubungnya secara tegas ketentuan hukum tersebut dengan Pasal 12 UUD NRI 1945 yang merupakan pintu masuk untuk menggunakan rezim hukum tata negara darurat dan segala konsekuensinya. Dalam status menggunakan rezim hukum tata negara normal tidak dimungkinkan adanya penyimpangan hak asasi manusia maupun kewenangan konstitusional lembaga negara untuk alasan kecepatan penanganan covid 19. Hal yang dapat dilakukan oleh Pemerintah adalah penggunaan instrumen pemerintahan lainnya secara efektif dan efisien tanpa menyimpangi kaidah hukum normal yang berlaku secara positif.
Dr. H. Mustafa Fakhri, SH., MH., LLM. ▪ Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah menjadi fenomena dunia dalam tempo beberapa bulan terakhir ini. Mengutip data WHO, laman resmi Gugus Tugas Penanganan Covid-19, www.covid19.go.id, menyatakan bahwa saat ini 220 dari 241 wilayah negara-negara di dunia telah terjangkit Covid-19. Sementara jumlah total kasus yang terkonfirmasi Covid-19 per tangga; 17 November 2020 yang lalu, sudah mencapai 54.301.156, dan jumlah warga dunia yang wafat 1.316.994 orang. Berbagai media massa kemudian menyebut bahwa korban tewas dari pandemi covid-19 ini, telah melampaui korban tewas akibat perang dunia pertama (diantaranya, Gatra.com, Kompas.com, dlsb). Untuk merespon hal tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu Nomor 1 tahun 2020). Perppu ini berjudul Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. 45 ▪ Perppu Nomor 1 tahun 2020 ini dikeluarkan bersama dengan PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PP Nomor 21 tahun 2020) dan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease (Covid-19) (Keppres 11 tahun 2020). Belakangan, Presiden menerbitkan lagi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Perpres Nomor 54 tahun 2020). Perpres Nomor 54 tahun 2020 ini merupakan aturan turunan dari Perppu Nomor 1 tahun 2020. ▪ Kemudian, seiring dengan perjalanan waktu, Perppu yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada tanggal 31 Maret 2020, ini pun disetujui menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR RI (masa sidang ke-3) tanggal 12 Mei 2020 dan kemudian segera ditandatangani Presiden Joko Widodo pada hari Sabtu tanggal 16 Mei 2020, serta diundangkan kemudian oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly pada hari Senin tanggal 18 Mei 2020. Secara formiil, pengesahan Perppu ini menimbulkan permasalahan. Karena merujuk pada Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945, menyatakan suatu Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya, bukan masa sidang yang sama dengan terbitnya Perppu. Untuk diketahui, masa persidangan ke-3 DPR-RI tahun 2020, dimulai pada tanggal 30 Maret 2020 sampai dengan tanggal 12 Mei 2020. Karenanya, pengesahan Perppu aquo dalam masa persidangan yang sama ini, tidak hanya menimbulkan kesan terburu-buru, tapi juga telah melanggar konstitusi, tepatnya Pasal 22 Ayat (2) dimaksud. ▪ Selanjutnya, lepas dari segala kontroversi pada proses pembentukannya, Perppu aquo pun kini telah bertransform menjadi berbentuk UU, yakni UU Nomor 2 tahun 2020. Substansi UU yang kemudian menjadi objek perkara pada sidang yang mulia hari ini, pada intinya mengatur bagaimana Pemerintah dapat mengambil langkah kebijakan secara cepat untuk menyelamatkan keuangan negara akibat wabah Covid-19. Namun demikian, UU ini secara materiil pun ternyata juga menyimpan potensi pelanggaran yang dapat mengganggu praktik ketatanegaraan di Negara Republik Indonesia. Adapun materi muatan yang dianggap berpotensi melanggar konstitusi RI ini setidaknya terdapat pada Pasal 12, 27, dan 28 UU a quo . 46 ▪ Ahli berpandangan, terdapat paling kurang 5 (lima) catatan kritis terkait materi muatan UU Nomor 2 tahun 2020. Pertama , norma UU ini berpotensi mengembalikan absolute power dalam pembentukan peraturan perundang- undangan yang dilakukan oleh Presiden. Pasal 12 UU Nomor 2 tahun 2020 telah memberikan ruang kepada Presiden untuk dapat mengeluarkan APBN hanya berdasar Perpres. Hal ini sama saja dengan menghilangkan checks and balances , salah satu karakteristik yang sangat esensial dalam kehidupan demokrasi suatu negara. Kondisi demikian tentu akan membuat celah kepada Presiden untuk dapat bertindak absolut dalam menentukan anggaran keuangan negara tanpa adanya consent dari rakyat melalui DPR. Padahal, salah satu gagasan besar dari tercetuskannya gerakan reformasi 22 tahun silam, adalah perlawanan terhadap absolutisme eksekutif. Karenanya, agak unik jika DPR justru mengikhlaskan kewenangan yang sangat esensial dalam kehidupan berdemokrasi ini. ▪ Kedua , substansi dari Pasal 27 UU Nomor 2 tahun 2020 yang menjadikan sejumlah pengawasan konstitusional yang dilakukan DPR maupun kewenangan lembaga yudisial dalam menyidangkan perkara terkait penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh pejabat publik dalam penanggulangan Covid-19 menjadi hilang. Pasal 27 dinilai memberikan imunitas atau kekebalan hukum kepada semua pihak yang disebutkan dalam UU Nomor 2 tahun 2020, termasuk juga pengguna anggaran. Bahkan, segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan UU Nomor 2 tahun 2020 bukanlah merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN. Hal ini tentu tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, serta sekaligus juga merupakan pelanggaran terhadap prinsip rule of law , dimana equality before the law menjadi salah satu elemen penting di dalamnya. ▪ Ketiga, Pasal 28 UU Nomor 2 tahun 2020, dengan menggunakan metode Omnibus, telah mencabut norma-norma dari sejumlah UU. Setidaknya terdapat 12 UU yang dilakukan perubahan secara serta merta. Yang paling crucial menurut ahli, adalah perubahan pada UU Keuangan Negara dan UU MD3, yang berdampak cukup serius karena seperti berupaya menegaskan hal-hal yang telah ahli ulas pada point sebelumnya, yang berupaya 47 meniadakan keterlibatan DPR dalam pembuatan APBN. Perubahan APBN 2020 menurut Perppu ini hanya diatur melalui Peraturan Presiden, dan ini sudah dieksekusi melalui terbitnya Perpres Nomor 54 Tahun 2020. Padahal, APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara, yang dengan kata lain ada partisipasi rakyat di dalamnya, yang diwakili oleh DPR. Selain itu, pembentukan APBN juga telah diatur secara tegas dalam Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, pasal ini secara tidak langsung telah meniadakan kehadiran rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini. ▪ Keempat , UU Nomor 2 Tahun 2020 ini juga memiliki pendekatan yang tidak mencirikan kebutuhan spesifik terkait dengan penanganan Covid-19 di Indonesia. Hal ini karena tidak tergambar secara jelas bagaimana sesungguhnya public health policy yang diharapkan untuk mengatur masyarakat dalam menanggulangi pandemi ini. Padahal seharusnya perlu dipisahkan kedua konsep penyelamatan yang diatur dalam UU a quo . Sehingga perlu ada dua pengaturan terpisah yakni yang pertama terkait dengan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 secara nasional dan kedua, terkait dengan stabilitas keuangan negara di masa krisis akibat pandemi Covid-19 ini. ▪ Kelima, tidak ada definisi yang jelas mengenai apa yang disebut dengan “Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)” atau pun “Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan”. Tidak ditemukan kriteria yang menentukan dua kondisi di atas dalam pasal-pasal UU Nomor 2 Tahun 2020 tersebut. Ketiadaan pengertian tersebut akan berdampak pada kelonggaran para pelaksana kebijakan untuk menyatakan dalil instabilitas keuangan tanpa adanya tolak ukur yang jelas. Dalam kondisi demikian maka pelaksanaan UU tersebut berpotensi besar untuk disalahgunakan. ▪ Untuk itu, atas dasar argumen yang telah ahli unggkap sebelumnya, perkenankan ahli menyampaikan pandangan sebagai berikut:
UU Nomor 2 tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) 48 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, secara formiil proses pembentukannya telah mencederai Pasal 22 ayat (2) UUD NRI tahun 1945.
Materi muatan UU aquo juga mengandung persoalan yang serius. Ahli mengkhawatirkan adanya hal-hal yang tidak kita inginkan bersama yang hendak memanfaatkan krisis kemanusiaan ini dengan mencongkel sedikit pondasi dari bangunan demokrasi yang telah susah payah kita perjuangkan bersama, yang nantinya justru akan berdampak pada robohnya seluruh bangunan itu sendiri. Jangan sampai di masa yang akan datang kita justru dipertanyakan oleh anak-cucu kita terkait dengan aspek pembiaran atas terbentuknya absolutisme negara ini. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyampaikan keterangan lisan di depan persidangan melalui sidang virtual pada 15 Oktober 2020 dan telah pula menyerahkan keterangan tertulis beserta lampirannya tanggal 10 Desember 2020, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. Ketentuan UU 2/2020 Yang Dimohonkan Pengujian Terhadap UUD NRI Tahun 1945 ● Dalam Pengujian Formil: Bahwa pengujian UU 2/2020 dimohonkan pengujian secara formil dalam Perkara Nomor 37, 43, dan 75/PUU-XVIII/2020 yang pada intinya didalilkan bahwa:
Prosedur konstitusional pengesahan telah disimpangi dengan tidak adanya keterlibatan DPD.
Rapat virtual yang berpotensi dihadiri tidak secara konkret karena kuorum rapat dibuktikan dengan tandatangan sebelum menghadiri rapat.
UU 2/2020 tidak memenuhi syarat Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 terkait frasa “persidangan yang berikut”.
Pengujian formil yang dibatasi hanya 45 hari setelah undang-undang dimuat dalam Lembaran Negara tidak sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945. 49 5. Pengambilan keputusan pada sidang Paripurna terdapat 1 fraksi yang tidak setuju, namun pimpinan rapat mengambil keputusan berdasarkan mufakat dan bukan berdasarkan suara terbanyak. ● Dalam Pengujian Materiil: Pengajuan pengujian UU 2/2020 secara materiil terdapat dalam Permohonan Perkara 37, 42, 43, 45, 47, 49, dan 75/PUU-XVIII/2020, ketentuan yang dimohonkan pengujian terhadap UUD NRI Tahun 1945 adalah Judul UU 2/2020, Pasal 1 ayat (3); Pasal 1 ayat (5); Pasal 2;
Pemohon keberatan dengan berlakunya pasal 6 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2013 tentang Perasuransian dengan alasan pasal tersebut bertentangan dengan pasal ...
Relevan terhadap
Bab X Pembubaran, Likuidasi, dan Kepailitan: Pasal 43, 44, 46 s.d. 49. Bab XIII Pengaturan dan Pengawasan: Pasal 60 s.d. 63 Bab XIV Ketentuan Pidana: Pasal 74. Pemerintah dan/atau DPR dapat saja berpendapat bahwa mereka telah melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 yang 57 mengamanatkan ketentuan tentang usaha perasuransian berbentuk usaha bersama (Mutual) diatur lebih lebih lanjut dengan undang-undang. Jika undang-undang yang dimaksud adalah sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama, maka perintah atau amanat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 belum lah dilaksanakan. Akan tetapi jika undang-undang yang dimaksud adalah sebuah undang- undang tentang perasuransian dimana juga terdapat ketentuan mengenai asuransi usaha bersama, maka UU No. 40/2014 adalah juga sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992, dengan demikian Pemerintah dan DPR telah melaksanakan perintah atau amanat dari Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992. Penjelasan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 tidak memberikan penjelasan mengenai undang-undang yang dimaksud, apakah sebuah undang- undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama atau sebuah undang-undang tentang perasuransian. Kelima Solusi Untuk mengatasi Permasalahan Permodalan untuk memperkuat, memajukan AJB 1912 dan kaitannya dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40/2014 Diperlukan landasan hukum atau payung hukum yang kuat beberupa sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur asuransi usaha bersama atau sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur tentang AJB 1912, sebagaimana dilakukan oleh beberapa Negara mengundangkan undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama untuk memajukan perusahaan asuransi jiwa bersama dan asuransi umum bersama (mutual life insurace and mutual general atau casualtly insurance) yang ada di negara tersebut . Hingga saat ini, undang-undang yang secara khusus mengatur asuransi usaha bersama atau secara khusus untuk AJB 1912 belum ada, tetapi dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang berada di bawah Undang- Undang, sehingga kurang kuat landasan hukumnya dan mudah dilakukan perubahan di mata investor, sehingga kurang memberikan kepastian 58 hukum untuk investasi jangka panjang, sementara sifat investasi di perusahaan asuransi dan terlebih untuk asuransi jiwa sangatlah jangka panjang. Sementara landasan hukum dan perundangan yang khusus mengatur perusahaan asuransi yang berbentuk Perseoran Terbatas (PT) sudah diatur dalam undang-undang sejak tahun 1992 dengan diundangkannya UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang kemudian telah diperbaharui dan diganti dengan UU 40/2014 tentang Perasuransian. UU No. 40/2014 dibuat karena adanya urgensi harmonisasi peraturan perundangan karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah dibentuk dan mulai menjalankan peran dan fungsinya sejak tahun 2012/2013. Seandainya OJK belum dibentuk, ahli tidak yakin bahwa Pemerintah dan DPR akan menjadikan hal itu sebagai prioritas. Karena menurut ahli, adalah suatu yang nyata bahwa perhatian dari Pemerintah dan DPR terhadap sektor asuransi sebelum dibentuk OJK, masih kurang dibandingkan dengan sektor jasa keuangan yang lain seperti sektor perbankan dan pasar modal. Karena itupula lah, pada saat OJK hendak dibentuk, ahli memberikan dukungan yang pertama dari semua sektor jasa keuangan, karena kebetulan pada waktu itu ahli sebagai ketua Dewan Asuransi Indonesia (DAI) dan Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesiad (AAUI), dengan harapan OJK akan memberikan perhatian besar terhadap sektor asuransi. Sementara sektor perbankan dan jasa keuangan yang lain tidak langsung memberikan dukungan terhadap pembentukan OJK pada waktu itu. Dan menurut ahli, OJK saat ini telah memberikan dukungan yang lebih besar untuk sektor asuransi. Kekosongan sebuah undang-undang tentang asuransi usaha bersama juga turut menimbulan hambatan dalam pengembangan AJB 1912, meskipun masih ada faktor lain. Akibatnya AJB 1912 kurang mempuyai daya tarik yang baik dan akses yang baik untuk pemodal atau investor asing. Padahal banyak investor yang berminat untuk berinvestasi di sektor perasuransian khususnya di asuransi jiwa seperti yang sudah terjadi selama ini. 59 Selanjutnya Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 yang bersifat final yang memerintahkan agar dibentuk Undang-Undang tersendiri yang mengatur mengenai usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan MK diucapkan, ahli melihat Putusan MK ini sebagai dukungan MK akan pentingnya suatu undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama. UU No.40/2014 telah mengubah norma mengenai pengaturan usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual), yang di Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang 2 Tahun 1992 diamanatkan atau diperintahkan supaya diatur lebih lanjut dengan ‘Undang-Undang’ dan oleh Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 diubah menjadi diatur lebih lanjut dengan ‘Peraturan Pemerintah’. Ketentuan Pasal tersebut telah dilaksanakan oleh Pemerintah dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama. Ini berarti tingkatan hierarki perundangan yang mengatur secara khusus asuransi usaha bersama berada di bawah undang-undang, sehingga menimbulkan ketidak setaraan dan ivestor dapat melihatnya sebagai kurang memberikan kepastian hukum untuk jangka panjang jika dibandingkan dengan investasi pada perusahaan asuransi berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT). Dari uraian dan analisis yang ahli kemukakan di atas, ahli menyimpulkan:
. Diperlukan suatu Undang-Undang yang khusus mengatur asuransi usaha bersama;
. Ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40/2014 yang selengkapnya berbunyi: Pasal 6 ayat (3) “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah” . 60 Ketentuan Pasal 6 ayat (3) __ ini tidak diartikan sebagai larangan bagi Pemerintah dan DPR untuk membuat satu undang-undang yang khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama. Oleh karena itu, ahli berpendapat adalah perlu, penting Pemerintah dan DPR membuat satu undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama, sebagaimana telah lama dilakukan oleh beberapa negara asing, untuk mendorong kemajuan asuransi usaha bersama di Indonesia. Ahli pun menyampaikan keterangan tambahan yang disampaikan pula dalam persidangan, pada pokoknya adalah sebagai berikut: − Pengaturan asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 hanya terdapat dalam beberapa pasal saja. Pengaturan perasuransian dalam UU 40/2014 jika dilihat lebih lanjut menitikberatkan pada asuransi dalam bentuk perseroan terbatas saja, namun demikian dikarenakan terdapat keteuan yang mengatakan sepanjang relevan dengan bentuk badan usaha bersama maka ketentuan tersebut berlaku. Menurut Ahli, pengaturan asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 tidak dapat dikatakan cukup, namun materi-materi yang terdapat didalamnya dapat dijadikan bahan untuk membentuk undang-undang tersendiri terkait dengan asuransi dalam bentuk badan usaha bersama tersebut. − Terkait dengan permodalan yang terbatas yang menyebabkan asuransi dalam bentuk badan usaha bersama ini lebih sulit maju dibandingkan dengan bentuk badan usaha perseoran , ahli tidak memiliki pendapat terkait itu. Namun, jika melihat pada sisi investor, tentu tidak menutup kemungkinan adanya investor yang tertarik untuk berinvestasi pada asuransi usaha bersama namun menurut investor tentunya jika diatur dalam peraturan pemerintah menjadi kurang kuat keberadaannya sehingga perlu dibuat undang-undang tersendiri. − Asuransi dalam bentuk usaha bersama di negara lain, sepengetahuan Ahli, tetap memakai bentuk mutual insurance dan pengaturannya diatur dalam undang-undang dimana dinyatakan sebagai incorporated company (Skotlandia). Jika bentuk usaha bersama ini akan dicarikan bentuk hukum lain sehingga memiliki akses permodalan yang mudah, menurut ahli berdasarkan kajian yang pernah dilakukan maka dapat berbentuk perkumpulan. 61 [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat memberikan keterangan yang didengarkan dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020, yang keterangan tertulisnya diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 22 September 2020, yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut: A. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam pengujian UU a quo secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan 5 (lima) batas kerugian konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional sebagai berikut:
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 a. Bahwa para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR RI berpandangan bahwa Pasal a quo tidak mengurangi hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, karena apa pun bentuk dari pengaturan asuransi usaha bersama, para Pemohon dapat melaksanakan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai Anggota BPA Asuransi Bersama Bumiputera 1912.
Bahwa para Pemohon mendalilkan bekerja sebagai Anggota DPRD, Pegawai Negeri Sipil, Guru, Dosen, Wiraswasta, Pensiunan dan secara keseluruhan para Pemohon mendalilkan sebagai Pemegang Polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dan Anggota BPA. DPR RI berpandangan para Pemohon bukanlah subjek yang dituju dalam ketentuan Pasal a quo karena ketentuan a quo ditujukan oleh pembentuk undang-undang kepada pemerintah untuk mengatur lebih lanjut mengenai Badan Hukum Usaha Bersama dalam Peraturan Pemerintah.
Bahwa dalam positanya, para Pemohon banyak memberikan argumentasi tentang kedudukan para Pemohon sebagai Anggota BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dalam mengemban tugas dan 62 amanahnya sebagaimana diamanatkan dalam Anggaran Dasar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Terhadap pernyataan para Pemohon tersebut perlu untuk diperjelas apakah para Pemohon bertindak untuk mewakili BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 atau hanya sebagai perseorangan warga negara Indonesia pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputra 1912? Jika para Pemohon sebagai BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, maka para Pemohon harus membuktikan terlebih dahulu sebagai pihak yang mewakili BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Sedangkan jika para Pemohon mengajukan diri sebagai perorangan warga negara Indonesia pemegang polis, maka para Pemohon tidak bisa mengajukan pengujian Pasal a quo karena Pasal a quo mengatur tentang pendelegasian dari pembentuk undang-undang kepada pemerintah untuk mengatur mengenai badan hukum usaha bersama dalam peraturan pemerintah. Oleh karenanya para Pemohon bukanlah pihak yang menjadi subjek ( addressat norm ) dari ketentuan Pasal a quo , sehingga para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan Permohonan a quo karena tidak memiliki kepentingan hukum langsung terhadap Pasal a quo .
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang a. para Pemohon merasa dirugikan karena dengan berlakunya frasa “ diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal a quo UU Perasuransian telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon tidak mampu menjelaskan keterkaitan antara keberlakuan Pasal a quo dengan kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon karena kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut adalah asumsi yang tidak ada pertautannya dengan ketentuan Pasal a quo sehingga dengan demikian, kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut tidak beralasan hukum. 63 b. para Pemohon merasa dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional atas adanya PP 87/2019 karena keberadaan Peraturan Pemerintah tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. DPR RI berpandangan bahwa jika para Pemohon beranggapan bahwa materi yang ada di dalam PP 87/2019 tersebut merugikan para Pemohon maka hukum telah menyediakan suatu mekanisme untuk mengujikan Peraturan Pemerintah tersebut ke Mahkamah Agung. Dengan demikian kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon tidak benar dan hanya asumsi para Pemohon.
Terkait adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa para Pemohon tidak dapat menguraikan kerugian yang dianggap sebagai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon dengan ketentuan Pasal yang dimohonkan pengujian. para Pemohon dalam permohonannya lebih menguraikan substansi dalam PP 87/2019 dan tidak fokus terhadap ketentuan Pasal a quo sehingga tidak jelas pertautan antara kerugian para Pemohon dengan pasal a quo . Oleh karenanya tidak terdapat kerugian hak dan/atau konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial.
Terkait adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang- undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana yang telah diuraikan oleh DPR RI dalam angka 1, 2, dan 3, kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon melainkan hanya asumsi para Pemohon saja. Selain itu para Pemohon tidak dapat menguraikan pertautan antara kerugian yang didalilkan dengan ketentuan Pasal a quo sehingga sudah dapat dipastikan tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dengan Pasal a quo . 64 5. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa karena tidak adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apapun terhadap para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. 65 Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. PANDANGAN DPR RI TERHADAP POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa dalam industri perasuransian, baik secara nasional maupun global, terjadi perkembangan yang pesat yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha dan bertambahnya pemanfaatan layanan jasa perasuransian oleh masyarakat. Layanan jasa perasuransian pun semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat akan pengelolaan risiko dan pengelolaan investasi yang semakin tidak terpisahkan, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kegiatan usaha. Pengaturan dalam UU Perasuransian juga mencerminkan perhatian dan dukungan besar bagi upaya pelindungan konsumen jasa perasuransian, upaya antisipasi lingkungan perdagangan jasa yang lebih terbuka pada tingkat regional, dan penyesuaian terhadap praktik terbaik ( best practices ) di tingkat internasional untuk penyelenggaraan, pengaturan, dan pengawasan industri perasuransian.
Bahwa berdasarkan Naskah Akademik RUU tentang Usaha Perasuransian yang digunakan sebagai dasar pembentukan undang-undang a quo, dapat dikemukakan bahwa pada saat ini, Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus mengenai badan hukum usaha bersama. Satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915, yang belum pernah diperbaharui. Ketiadaan undang-undang yang mengatur usaha bersama mengakibatkan ketidakjelasan tata kelola badan usaha ini dan dapat menimbulkan keraguan akan perlindungan hak-hak para pemangku kepentingan. Usaha bersama juga menghadapi tantangan dan hambatan yang sama seperti koperasi dalam hal penyediaan modal yang 66 cukup untuk penyelenggaraan usaha asuransi atau usaha reasuransi, mengingat ketiadaan atau ketidakjelasan mekanisme penambahan modal dengan atau tanpa penambahan anggota baru di dalam usaha bersama tersebut. Perkembangan yang terjadi di negara lain berkenaan dengan penyelenggaraan usaha asuransi menggunakan badan usaha bersama juga mendapat perhatian. Walaupun sejumlah usaha bersama di bidang perasuransian tercatat sebagai perusahaan besar di negara-negara seperti Jepang dan Kanada, banyak di antara mereka sedang menggagas upaya untuk lebih berkembang dengan mengubah diri menjadi Perseroan Terbatas sehingga dapat menggumpulkan modal lebih besar. Sampai dengan saat ini satu-satunya perusahaan perasuransian yang berbentuk usaha bersama di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, sedangkan perusahaan perasuransian yang lain berbentuk Perseroan Terbatas. Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, dalam RUU Usaha Perasuransian diusulkan agar perusahaan perasuransian berbentuk Perseroan Terbatas. ( Vide Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Usaha Perasuransian hlm. 49-50) 3. Bahwa UU Perasuransian telah mengakomodir bentuk usaha bersama ( mutual ) dalam Pasal 6 ayat (1) UU a quo , bentuk badan hukum penyelenggara usaha perasuransian adalah: a) Perseroan terbatas; b) Koperasi; atau c) Usaha bersama yang telah ada pada saat undang-undang ini di undangkan. Bahwa dengan adanya ketentuan tersebut menunjukkan pembentuk undang-undang masih mengakui adanya usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama dan ketentuan tersebut telah memberi kepastian hukum, dan usaha bersama yang dimaksud adalah AJB Bumiputera 1912 yang menjadi satu-satunya usaha perasuransian berbadan usaha bersama sampai dengan saat ini yang dinyatakan sebagai badan hukum (Naskah Akademik RUU tentang Usaha Perasuransian hlm 50). Bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut pembentuk undang-undang menentukan politik hukum pengaturan mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai teknis badan usaha 67 bersama didelegasikan kepada Peraturan Pemerintah ( vide Risalah Pembahasan hlm 57-58).
Bahwa para Pemohon mendalilkan: “...hak konstitusional para Pemohon telah dilanggar oleh pembentuk undang-undang tidak menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 yang memerintahkan agar dibentuk undang- undang tersendiri yang mengatur mengenai usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama (mutual).” Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut:
Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, menyatakan: Frasa “ ... diatur lebih lanjut dengan undang-undang ” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Tahun 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “...diatur lebih lanjut dengan undang-undang dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan” .
Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengamanatkan adanya kepastian hukum mengenai pengaturan lebih lanjut tentang usaha bersama ( mutual ), yaitu paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan. Pembentuk undang-undang segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan merumuskan ketentuan Pasal 91 UU a quo yang menyatakan: “Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang- Undang ini diundangkan. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka UU a quo telah memberikan kepastian hukum kepada masyarakat terutama para Pemohon mengenai dasar hukum asuransi usaha perasuransian yang berbentuk badan usaha bersama ( mutual ), dan pembentuk undang-undang telah mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menghendaki adanya kepastian hukum yang mengatur mengenai badan usaha bersama ( mutual ) perasuransian.
Bahwa DPR RI berpandangan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tersebut tidak memerintahkan 68 kepada pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang tentang asuransi badan usaha bersama ( mutual ) secara khusus dalam undang-undang tersendiri.
Bahwa pembentuk undang-undang dalam menyusun undang-undang tentunya harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) sebagai pedoman utama dalam membentuk peraturan perundang- undangan.
Bahwa terkait dengan norma pengaturan pendelegasian kewenangan telah diatur berdasarkan Lampiran UU 12/2011 mulai dari angka 198 sampai dengan angka 216. Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Dari teknis segi bahasa, pendelegasian kewenangan dengan menggunakan frasa “diatur dengan” dan “diatur dalam” tidak dimaksudkan untuk memiliki konsekuensi pendelegasian pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang tersendiri, tetapi lebih kepada “jumlah materi muatan” yang akan didelegasikan kepada peraturan perundang- undangan yang lebih rendah. Berdasarkan Lampiran angka 205 UU 12/2011 disebutkan bahwa , jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan dalam suatu peraturan perundang-undangan gunakan kalimat...”Ketentuan mengenai…diatur dalam…”.
Bahwa sebelum diundangkannya UU 40/2014, Pembentuk undang- undang telah mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Namun dalam menindaklanjuti Putusan MK tersebut kedalam undang-undang selain berdasarkan Putusan MK tentunya pembentuk undang-undang memiliki pertimbangan politik hukum tersendiri dengan memperhatikan dinamika hukum yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini telah dirundingkan oleh DPR dan Tim Pemerintah dalam Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK dan LPS Jumat, 29 Agustus 2014 dan dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian dan Rapat 69 Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, Sabtu, 30 Agustus 2014. Bahwa dalam rapat-rapat tersebut pada intinya DPR RI setuju dengan usulan Tim Pemerintah yang memandang bahwa kedepannya lebih didorong agar perusahaan asuransi berbadan hukum perseroan untuk dapat memberikan perlindungan terhadap perusahaan dan konsumen asuransi, namun khusus untuk perusahaan asuransi mutual yang telah ada (Bumiputra 1912) tetap diakui keberadaannya. Sedangkan untuk mengakomodir putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013, Pembentuk undang-undang sepakat untuk mengatur perusahaan asuransi mutual dalam UU a quo yang ketentuan teknisnya didelegasikan kedalam peraturan pemerintah. Hal ini dikarenakan jika diatur secara detail dalam UU a quo , akan menimbulkan kemungkinan untuk dijadikan preseden lahirnya perusahaan-perusahaan asuransi mutual lainnya yang memiliki banyak kelemahan dalam tatakelolanya yang juga sudah banyak ditinggalkan oleh banyak negara lain di dunia. Selengkapnya tertulis pada bagian risalah.
Oleh karena itu dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 mengenai pengaturan asuransi usaha bersama ( mutual ) harus ditindaklanjuti dengan undang-undang tersendiri dan tidak diperhatikan oleh Pembentuk Undang-Undang adalah tidak beralasan hukum.
Bahwa dalam positanya para Pemohon banyak menguraikan materi muatan dalam PP 87/2019 yang dianggap menghilangkan eksistensi dan kewenangan Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dalam mengelola AJB Bumiputera 1912. Terhadap uraian para Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa jika para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan dalam PP 87/2019 maka para Pemohon seharusnya tidak mengujikannya ke Mahkamah Konstitusi melainkan ke Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang. Oleh karena itu terlihat jelas bahwa permohonan a quo adalah permohonan yang memiliki kesalahan objek ( error in objecto ). 70 C. RISALAH PEMBAHASAN PASAL A QUO UU PERASURANSIAN Selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, DPR RI melampirkan risalah pembahasan UU Perasuransian yang relevan dengan substansi dalam Permohonan a quo sebagai berikut: • Masa Persidangan I Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, dan LPS dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian (Jumat, 29 Agustus 2014) - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA):
.. Mengenai mutual, kami mempunyai pemikiran pada waktu itu ada 2 yang terpenting : pertama, tidak ada undang-undang yang memberikan landasan hukum yang baik untuk badan hukum mutuall di Indonesia karena itu lah pada waktu itu memang ada perintah untuk dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai hal tersebut. Tapi nyatanya pada saat kami menyelesaikan rancangan undang-undang ini, undang-undang itu tidak pernah ada dan artinya badan mutuall ini, badan usaha bersama ini tidak memiliki landasan hukum mengenai keberadaannya, eksistensinya apalagi mengatur mengenai tata kelola. Jadi kalau tadi yang disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa tidak ada, sulit untuk mengatur menata tata kelola mereka pada walaupun sekarang OJK sudah berusaha untuk melakukan hal tersebut. Pada saat ini tidak ada landasan hukum untuk melakukan bagaimana mutuall atau usaha bersama ini menyelenggarakan kegiatan hukumnya sebagai suatu entitas hukum. Kemudian yang kedua yang kami pertimbangkan pada waktu itu sebagaimana sudah dikemukakan oleh Pak Firdaus, perusahaan yang ada saat ini satu-satunya yang ada memang memiliki masalah. Dan kami pada waktu itu dengan tulus, dengan sejujurnya kami sampaikan sebetulnya keinginan kami untuk mengatakan semuanya PT adalah memberikan mekanisme elegan dimana disepakati di DPR ini untuk menyelamatkan perusahaan ini dengan mengubahnya menjadi PT sebagai suatu upaya penyelamatan sebetulnya tapi melalui kewajiban di undang-undang. Nah, demikian mungkin saya ingin tadi itu adalah gambaran mengapa Pemerintah mengusulkan didalam rancangan undang-undang akhirnya hany PT. Perkembangannya tadi Undang-Undang Koperasi yang baru dibatalkan secara keseluruhan. Kemudian ada Mahkamah Konstitusi yang mengatakan tidak boleh ditutup ruang untuk upaya usaha bersama ini untuk tetap hidup di Indonesia karena itu juga sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Kami dari Pemerintah ingin dan sangat menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena itu, kami sekarang berada pada posisi dan kami ingin tetap menghormati keputusan itu artinya memang kita perlu atur bagaimana usaha bersama ini. Kemudian saya sependapat dengan Pak Harry Azhar kalau usaha bersama yang saat ini landasan hukumnya saja minimun, bisa dibilang tidak ada diakomodasi, kita tentu juga harus fair kepada koperasi jadinya. Itu pikiran logis saja, cara berpikir 71 logisnya. Karena itu, Pemerintah sendiri saat ini secara umum melihat oke kami akan bisa menerima kalau koperasi ditambahkan disitu kembali. Tetapi kalau yang usaha bersama kami ingin mengusulkan kita tidak memperluas pada kemungkinan usaha-usaha bersama yang baru. Kami ingin usulkan oke usaha bersama yang ada kita akui bahkan kami bisa berikan misalnya oke kita berdasarkan undang-undang ini kita berikan status badan hukum khusus kepada yang ada sekarang ini. Tapi selain itu kami ingin menambahkan didalam undang-undang ini sebagai konsekuensinya adalah aturan-aturan lain, aturan-aturan prudensial yang akan bisa membantu OJK nanti yang betul-betul ya tidak mungkin ada koperasi baru yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, kalau usaha bersama tadi kami usulnya betul-betul kita batasi Pak berdasarkan undang-undang ini hanya itu saja yang kita ini. Kita tidak membuka ruang usaha bersama yang baru. Kalau ada yang mirip-mirip seperti itu jadi koperasi saja karena koperasi sudah kita sudah punya landasan hukum undang-undang yang jelas mengenai hal itu. Untuk yang ada oke, kita akui bahkan kita usulkan, kita berikan status badan hukumnya tapi untuk koperasi maupun usaha bersama khusus yang eksisting ini seandainya tetap kita sepakati untuk kita pertahankan, kami mohon untuk dapat ditambahkan aturan-aturan baru, misalnya yang kami mungkin bisa sampaikan pertama koperasi dan usaha bersama tidak boleh menjual polis asuransi kepada non anggota, dia hanya boleh menjual kepada anggotanya. Mungkin akan ada pertanyaan kalau gitu tidak bisa berkembang. Tentu bisa, kalau dia bisa menarik orang terlebih dahulu menjadi anggotanya baru kemudian menjual polis kepada yang bersangkutan. Yang kedua, yang kami mungkin ingin usulkan adalah, saya menggunakan kata mungkin nanti karena didalam diskusi mungkin berkembang yang lain. Yang kedua, bahwa untuk menjadi anggota ini seseorang ini harus membayar iuran pokok atau iuran wajib apapun namanya yang akan kita sebut. Jadi dengan demikian, setiap perkembangan bisnis dengan bertambahnya anggota ini koperasi atau pun usaha bersama ini sudah terlebih dahulu di back up dengan tambahan modal dari calon pemegang polis tersebut. Kemudian yang ketiga, yang ingin kami usulkan adalah ada ketentuan yang secara tegas disini disampaikan bahwa keuntungan itu dinikmati bersama tentunya secara proporsional, kerugian juga harus ditanggung bersama oleh para anggota. Mengenai aturan pembagiannya pengenaan, pembebanannya dan sebagainya kita bisa serahkan kepada OJK mengenai hal tersebut. Nah, dengan adanya usulan yang ketiga ini apabila dapat diterima ini juga sekaligus mendorong, mendesak pada asuransi usaha bersama pada saat ini itu juga men-declear keuntungannya berapa dan kerugiannya berapa akumulasinya saat ini. Dan kemudian mendorong mereka untuk mengemukakan kepada anggota ini loh akumulasi keuntungan yang bisa dibagi atau ini akumulasi kerugian yang harus ditanggung bersama sehingga dengan demikian OJK juga akan mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan diskresi nah ternyata seperti ini situasinya, 72 pilihan ada. ini juga akan meng-involve.....(mic bermasalah) pengawasan dan koreksi terhadap perusahaan asuransi ....usaha bersama...... - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Usaha bersama ini kami sekali ingin mengusul hanya usaha bersama yang ada saat ini tidak untuk dikembangkan lagi. • Terkait dengan Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “Badan Hukum Usaha Bersama” UU PERASURANSIAN dalam Masa Persidangan I Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK dan LPS Jumat, 29 Agustus 2014. Dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian: - KETUA RAPAT (H. ANDI RAHMAT, SE): Saya skors ya pak sekitar 2 menit untuk memberikan kesempatan kepada Bank Indonesia keluar dari ruangan ini __ (RAPAT DISKORS) Terima Kasih Pak. (SKORS DICABUT) Selanjutnya Bapak-bapak yang kami muliakan dan saya hormati, ini kita akan lanjutkan sedikit penjelasan dari Bapak Komisioner OJK ini berkaitan dengan bentuk dan badan hukum dari asuransi Pak. Jadi dalam RUU ini ada 2 bentuk saja yang ditawarkan oleh Pemerintah: yang pertama itu koperasi dan kedua adalah perseroan terbatas oh yang perseroan terbatas koperasi dari, kalau saya tidak salah itu koperasi itu usulannya F-PG kalau tidak salah ya, pokoknya paling banyak F-PG yang paling banyak usulannya sampai lupa mengusulkan. Bapak-bapak sekalian, Jadi ada 2 yang saya putuskan dan ini ada tambahan berkaitan dengan mutuall fund ya, lebih spesifik lagi mutuall fund yang di Indonesia ini cuma ada satu Pak yaitu asuransi AJB dan ini yang kita minta penjelasan kepada OJK karena sampai sekarang ini dan sekarang sudah sampai dalam pengawasan OJK Pak. Kita mau lihat bagaimana OJK mengatasi isu yang berkaitan dengan asuransi Bumiputera ini AJB/Asuransi Jasa Bumiputera. Silahkan Pak firdaus ya. Saya kira langsung saja Pemerintah ya langsung kepada Komisionernya saja. Silahkan Pak Firdaus. - OJK (FIRDAUS) : Bismillahirahmanirahim. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Yang saya hormati Pimpinan Panja RUU Asuransi, Yang saya hormati Bapak-bapak Anggota Panja RUU Asuransi dari Komisi XI, Pertama-tama saya mohon maaf agak terlambat, banyak acara Pak dari habis Magrib itu, ada 2 dulu baru saya jalan agak macet lagi. Bapak-bapak sekalian, Kalau kita baca dari RUU Undang-Undang Asuransi yang lama yang tahun ’92 itu, itu kan memang disitu ada 3 Badan Hukum bentuk asuransi yaitu PT, kemudian Koperasi dan mutuall meskipun waktu tahun ’92 kita bikin memang ada perusahaan asuransi yang berbadan hukum koperasi 1 73 waktu itu tapi kemudian kita cabut izin usahanya oleh Pemerintah itu di tahun 2010 kira-kira dicabut koperasi 1. Kemudian 1 lagi memang berbentuk mutuall. Didalam undang-undang kalau kita baca Undang-Undang Asuransi yang tahun ’92 itu memang disana untuk mutuall kita memberikan amanat bahwa Pemerintah akan membuatkan undang-undang khusus mutuall sehingga belum ada waktu itu pelaksanaannya kita atur dengan peraturan pemerintah. Namun sampai saat ini memang belum dibuatkan undang- undang untuk mutuall. Kemarin ketika ada yang bawa ke Mahkamah Konstitusi maka Mahkamah Konstitusi mengamanatkan agar Pemerintah membuatkan dalam waktu 2,5 tahun sejak keputusan Mahkamah Konstitusi yang keluar 3 bulan yang lalu kira-kira begitu. Nah,sekarang saya ingin katakan bagaimana perkembangannya. Jadi dari 95 asuransi umum, 45 asuransi jiwa dan 41 asuransi itu tidak ada satu pun yang berbentuk koperasi karena memang telah kita cabut. Kalau kita lihat sejarah di perbankan sama Pak di lembaga keuangan lain. Di perbankan juga saat ini juga hanya ada 1 BPR berbentuk koperasi yang lainnya di bank umum maupun BPR yang jumlah lebih dari 1.900 baik yang konvensional maupun yang syariah hanya 1 yang berbentuk koperasi, yang lainnya tidak ada. Yang mutual kita punya juga cuma 1 yaitu ..... Asuransi Bumiputera. Saya ingat ada 2 bank umum : Bukopin pernah bentuk koperasi tapi di tahun ’90 berapa kita ubah, kita rekap itu berubah menjadi PT karena memang ketidakmampuan dari waktu itu pemilik Bukopin adalah juga koperasi-koperasi yang tidak mampu untuk menitip modal sehingga masuk lah pemodal entah itu dari Pemerintah, entah itu dari swasta sehingga berubah menjadi PT Bukopin meskipun kita tetap mempertahankannya namanya Bukopin. Nah, saya bisa mengerti ketika Pemerintah mengajukan itu dalam RUU ini awalnya adalah dalam bentuk PT saja. Kalau lihat kita lihat pernah kita buat juga yang kita yang Pemerintah dan DPR lahirkan yaitu Undang- Undang mengenai Bank Syariah, itu juga hanya berbentuknya PT saja karena kalau kita lihat begini Pak. Koperasi juga sekarang ini kan misalnya itu badan hukum PT, Koperasi, maupun mutuall itu kan tetap saja. Ketika didirikan baru katakanlah dia tetap harus memiliki persyaratan memenuhi persyaratan modal minimum. Kalau koperasi misalnya ketika mau didirikan berarti dia juga harus punya modal misalnya kalau sekarang berlaku ketentuan minimal 100 milyar maka dia harus artinya kalau memang ada koperasi yang mau didirikan asuransi dalam ....koperasi itu harus ada iuran anggota, iuran pokok, dan iuran sukarela dari anggota itu totalnya 100 milyar. Meskipun mungkin bisa tapi rasanya kalau koperasi itu dibentuk barangkali oleh pihak-pihak yang besar mungkin bisa tapi kalau dari masyarakat biasa membentuk koperasi mengumpulkan 100 milyar untuk menjadi modal setor katakanlah begitu untuk sebuah perusahaan asuransi agaknya berat begitu. Mutuall kita lihat Pak. Mutuall itu sejarahnya adalah kalau kita lihat di dunia ini mutuall itu tinggal histori Pak, tinggal sejarah. Kita lihat mutuall-mutuall yang ada di Eropa, ada di Jepang, ada di Canada, ada di Amerika itu memang lahir 200 tahun yang lalu, 150 tahun yang lalu tidak ada yang lahir lagi. Terakhir lagi sebetulnya itu mutuall itu adalah di Fililpina tahun sekitar ‘87 Pak. Itu pun karena begini, ada sebuah perusahaan asuransi BUMN 74 sebetulnya punya anak perusahaan sebetulnya target juga PT limited company. Tapi tiba-tiba dalam rangka agak politis anak perusahaan itu kemudian sahamnya diberikan kepada pemegang polis sehingga diubah dari PT menjadi mutuall karena ciri-ciri dari mutuall itu pemegang polis adalah pemegang saham. Ini terakhir di Filipina tahun ’85-’87. Setelah itu tidak ada lagi di dunia, selain itu usianya memang ratusan tahun. Dia memang kalau survive, survive benar ya seperti di Jepang. Ada yang tidak survive tapi dia di-merger dengan mutuall lainnya karena kalau tidak di-merger dengan mutuall lainnya agak sulit. Nah, kenapa mutuall-mutuall baru tidak lahir lagi di dunia ini? memang kalau kita lihat sekarang di negara lain juga kan modal untuk mendirikan sebuah perusahaan asuransi kan besar sekali Pak. Mungkin juga puluhan triliun, di kita saja yang 100 milyar. Kami bayangkan Pak kalau misalnya ada sebuah mutuall baru mau didirikan agak bayangan kami itu agak imposible. Bagaimana kalau kita lihat menilik sejarah ini misalnya : Bumiputera. Lahir dari 3 orang guru, dia tarifnya cuma kumpul bertiga seperti arisan bilang kalau diantara kita ada yang meninggal ini dari ini ya dari kumpulan kita yang tiap bulan kita bayar sisihkan dari gaji terus berkembang-berkembang. Nah, kalau kita lihat tahun 1912 belum ada pengaturan Pak mengenai persyaratan modal minimum yang harus dipenuhi. Kalau sekarang bagaimana mutuall bisa terbentuk misalnya ketika harus memiliki persyaratan modal 100 milyar yang barangkali yang saya dengar kan dari baik itu dari wacananya kan ingin kedepan ini modal minimum untuk sebuah perusahaan nasional yang baru pun harus dinaikkan karena rasanya 100 milyar sudah tidak cukup sekalian mau menciptakan entry barier hambatan masuk supaya yang masuk di industri asuransi ini tidak lagi perusahaan-perusahaan..... karena kalau kita ingin besarkan usia asuransi kita Pak memang modalnya mahal industri asuransi ini karena memang IT-nya mahal, pengembangan SDM- nya mahal, infrastruktur yang dibangun lain juga mahal. Apalagi kalau kita mau bersaing di dalam kawasan ASEAN ketika berlaku masyarakat ekonomi ASEAN agak sulit kalau ada lahir baru perusahaan-perusahaan asuransi yang modalnya .......tidak besar. Jadi hampir impossible Pak misalnya ada mutuall baru lahir ketika ada pemegang polis yang sepakat untuk kumpulkan uang kira-kira 100 milyar atau lebih untuk mendirikan perusahaan asuransi baru. Sebetulnya ada jalan keluar Pak. Seandainya ini memang tidak ada lagi mutual, mungkin kan dikatakan lah aturan transisinya peralihannya kan bisa dinyatakan bahwa mutuall yang ada tidak dianggap tetap diakui seperti undang-undang yang sekarang berlaku kan dinyatakan bahwa mutuall yang ada tetap dianggap telah memiliki izin dan dianggap sebagai badan hukum ya. Meskipun barangkali perlu dipikirkan saya tidak tahu nanti keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan 2,5 tahun harus dibikinkan undang-undang Mutuall. Memang begini Pak, ketika sebuah asuransi mutuall itu tidak sehat pilihannya tinggal 2, dia tidak bisa suntik modal karena memang perusahaan asuransi mutuall itu kan memang perusahaan yang kita bilang less equity jadi tidak ada ekuitasnya perusahaan asuransi. Kalau PT kan selalu ada Pak, ada aset kemudian ada kewajiban, ada ekuitas. Kalau perusahaan mutuall itu tidak ada ekuitas karena pemegang saham adalah meskipun perusahaan mutual-nya untung seperti negara Jepang mungkin saja ada tapi ekuitasnya dari laba 75 Pak, laba ditahan bukan dari modal. Ketika sebuah mutuall tidak sehat pilihannya ada 3 : apakah dia kalau disuntik sudah tidak bisa, apakah dia itu didapat mutualisasi, diubah badan hukumnya menjadi PT sehingga bisa mengundang pihak investor bisa masuk itu .....mutualisasi, atau kalau tidak dimutualisasi barangkali dia bisa di-merger dengan perusahaan mutuall lainnya sedangkan sekarang kita kan cuma satu-satunya Bumiputera atau dilakukan begini tinggal bilang, pemerintah tinggal bilang kepada pemegang polis yang merangkap juga sebagai pemegang saham karena perusahaan ini rugi, perusahaan ini bermasalah. - KETUA RAPAT : Di AJB itu berapa yang .....berapa sekarang Pak? - OJK (FIRDAUS) : 5 juta Pak. Jadi gini Pak ketika mutuall tidak sehat sebetulnya regulator bisa bilang begini kepada pemegang polis yang sekaligus artinya dia menjadi pemegang saham, dia bilang: “anda nambah artinya membayar premi tambahan untuk menutupi kerugiannya”. Ini kan kalau sebagai pemegang saham kan ada bagi keuntungan, ada bagi rugi kira-kira begitu Pak”. Nah, kalau dia untung dia dapat deviden sebagai pemegang saham. Nah, kalau dia rugi dia harus bagi rugi, bagi rugi kan bisa artinya dia harus nambah preminya untuk menutupi kerugian atau nilai tunai dari polis dia dikurangi, pilihannya itu. Nah, terhadap perusahaan mutuall yang ada tadi ini untuk di ruangan kita saja Pak, memang harus diakui sekarang penyakit yang lama sekali yang sulit sekali mutuall di kita ini kan strukturnya itu ada yang kalau sekarang di Bumipetera ini Pak, ini ada direksi, ada komisaris, ada BPA. BPA itu kan Badan Perwakilan Anggota, dia badan yang mewakili pemegang polis, dipilih itu berdasarkan regional jadi ada katakanlah regional Sumatera, regional Jawa, regional Kalimantan, dan Indonesia bagian timur gitu. Nah, dahulu memang ini tidak tersentuh oleh Pemerintah sehingga mekanisme atau tata kelola pemilihan BPA ini menurut kami ini tidak bagus sehingga siapa yang terpilih menjadi anggota kita itu yang kebanyakan mungkin hampir semuanya tidak ngerti asuransi meksipun dia mungkin barangkali pemegang polis. Siapa BPA itu sekarang? Gubernur, walikota, bupati, rektor, kayak-kayak gitu lah yang jadi Pak yang dianggap barangkali oleh direksi itu mewakili tokoh daerah yang diharapkan dapat menambah bisnis di daerah. Tapi dia sebagai pengambil kebijakan tertinggi karena sidang BPA itu sama dengan RUPS Pak. Semua keputusan-keputusan penting termasuk pertanggungjawaban itu, pergantian direksi dan komisaris itu diputus di Rapat BPA yang kalau di PT adalah RUPS. Nah, mekanisme ini sekarang kami sedang benahi Pak, kami ingin terhadap Bumiputera ini pemilihan BPA misalnya itu harus melalui tata kelola yang benar, yang independen, tidak hanya menunjuk orang yang hanya sekedar tokoh yang tidak mengerti padahal fungsinya sangat penting sebagai itu. Itu didalam struktur organisasi mutuall seperti itu. Nah, kedepan ini memang kami benahi termasuk kami sudah keluarkan aturan OJK ini bahwa BPA yang akan dipilih itu nanti harus lulus fit and proper oleh OJK sehingga kami bisa membantu menyeleksi Pak. __ 76 - KETUA RAPAT : POJK-nya sudah ada Pak? - OJK (FIRDAUS) : Sudah ada Pak POJK-nya sehingga pantas kah dia duduk sebagai BPA karena pengambil keputusan itu menjadi penting. Nah, jadi yang kami sekarang ini apa yang kami lakukan terhadap terus terang memang Bumiputera ini kurang sehat Pak tetapi kami OJK dari dulu dan Pemerintah bertekad tetap harus Bumiputera ini harus eksis karena pemegang polis jumlahnya 5 juta ini Pak karena kejatuhan ini bisa menjatuhkan industri asuransi kira-kira begitu Pak. Kita sering bercanda tetangga dekat kayak Bu, kalau herritage ini kayak Borobudur, dia harus kita pertahankan itu. Jadi ini menjadi sebuah sesuatu yang harus kita pertahankan kira-kira begitu. Tapi kan dia bukan hanya sekedar mempertahankan tapi bagaimana menyebabkan dia harus eksis, harus mampu berbisnis, mampu bersaing kedepan. Nah, kami memang ada rencana beberapa strategi Pak bagaimana menyelamatkan Bumiputera ini karena terus terang kalau kita melakukan the mutualisasi pada Bumiputera agak sulit karena kita belum memiliki Undang-Undang Mutuall. Biasanya proses atau program atau SOP the mutualisasi itu harus kita tempatkan di undang-undang Mutuall. Jadi kalau undang-undang Mutuall itu belum ada, agak sulit kita melakukan the mutualisasi. ...... lain, seperti negara-negara lain .......Pak, ini sekedar gambaran. Misalnya kita akan cari katakan investor strategis dalam negeri Pak, syukur-syukur ini bisa katakanlah misalnya coba cari investor strategisnya katakanlah perusahaan yang mungkin BUMN atau anak perusahaan BUMN. Jadi ini katakan lah BUMN atau anak perusahaan BUMN dia punya asuransi kemudian kita ingin memindahkan ini portofolio bisnis Bumiputera ini kepada anak ini. Ini kita tidak melakukan mutualisasi, ini kita biarkan tetap atau apa induk saja Pak tapi bisnisnya kita kosongkan, portofolionya kita pindahkan kesini sehingga kekurangannya ini kita carikan disini investor yang bisa masuk dana karena dia sudah pindahkan bisnisnya ke anak perusahaan, disini dikosongkan. Hanya dengan begitu Pak, baru kita bisa ini perusahaan asuransi yang dibentuk oleh dalam negeri ini bisa disuntik. Kalau dananya cukup besar barangkali berarti kita coba carikan investor lain bergabung disini entah dari lokal kalau misalnya ada perusahaan asuransi yang mau ikut disini tapi tidak mayority, kita kasih minoritas karena sekedar untuk menutupi lobang yang ada ini katakan lah ketidakseimbangan antara aset dengan liabililties. Nah, kondisinya seperti itu Pak. Tapi percaya lah bahwa kita saat ini sampai saat ini kita tidak ada niatan untuk menghabiskan atau menutup itu tapi justru kita ingin selamat. Tapi lagi dicari kan ini investor strategis yang mau nanti menutup lobang ini dengan cara itu karena kalau langsung masuk Bumiputera tidak bisa Pak, dia sebagai mutuall tidak bisa disuntik. Yang ideal yang sekarang ini lebih mudah kalau tidak dilakukan mutualisasi seperti yang saya ulangi lagi adalah mengalihkan ....... portofolio bisnisnya. OJK diberi wewenang Pak diundang, dia berwenang untuk katakanlah. Kan kita punya wewenang yang namanya bisa menempatkan pengelola statuter, mengganti manajemen. Kalau ada 77 sebuah lembaga keuangan yang sebetulnya masih punya prospek baik tapi kemudian pengelolanya tidak bagus kita minta diganti pemegang sahamnya ga mau ganti karena mungkin ribut bisa saja ini terjadi Pak karena terjadi di sebuah... itu maka OJK seperti yang dikasih wewenang di undang-undang itu bisa mengganti manajemen dengan pengelolaan statuter. OJK juga diberi wewenang seperti yang Bapak-bapak berikan kepada OJK memberikan perintah tertulis, perintah tertulis untuk apa? Memerintahkan perusahaan untuk merger, memaksa perusahaan untuk merger, meminta perusahaan untuk katakanlah kita minta memindahkan portofolio bisnisnya ke perusahaan asuransi sejenis. Kalau bank mungkin ke bank sejenis, dalam upaya apa? Ini semata-mata untuk menyelamatkan pemegang polis. Kalau di bank barangkali untuk menyelamatkan deposan, kita bisa pindahkan portofolio bisnisnya ke lembaga sejenis, jadi itu Pak. Kalau misalnya sekarang ini ada suara-suara misalnya apakah itu kita tetap mengasih izin di undang-undang baru ini PT, kemudian tetap ada koperasi, tetap ada mungkin semangat ’45 nya kemudian ada mutuall katakan seperti yang sekarang ada. Sebetulnya kalau kita bicara realita Pak kedepan pun saya yakin yang akan lahir walaupun ada baru itu hanya PT tapi kalau hanya sekedar menempatkan ya ga ganggu juga bagi kami OJK, toh tidak akan perkirakan kami tidak akan lahir lagi karena yang bentuknya koperasi maupun PT. Sebagai gambaran Pak, kami atau .... mutuall. Kami didatangi oleh katakanlah beberapa koperasi besar. Dia bilang, kami akan bikin asuransi. Saya bilang bentuk hukumnya apa? Malah dia bilang kami akan bentuknya PT Pak anak perusahaan koperasi izinnya karena dia tidak mau bikin perusahaan asuransi bentuknya koperasi, dia bilang nantinya sulit Pak ketika harus nambah modal meminta lagi kepada anggota sulit. Jadi kami akan bikin tapi bentuknya PT sebagai anak perusahaan koperasi, itu sebagai gambaran. Kira-kira begitu Pak kondisinya apa yang sedang kami kerjakan tentang Bumiputera ini. Terus terang kami sekarang melakukan pendekatan kepada investor strategis untuk bisa nantinya menyuntik dalam arti ketika kita gunakan misalnya mekanisme mau memindahkan portofolio bisnis ini ke sebuah perusahaan asuransi yang sudah ada kemudian bisa menyuntik. Yang penting kemudian adalah bagaimana 5 juta pemegang polis Bumiputera ini bisa terselamatkan. Terima Kasih. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Tadi sudah ada penjelasan ya dari Pak Firdaus tentang situasi yang dihadapi oleh satu-satunya industri asuransi yang berbadan hukum mutuall fund di Republik ini. Dan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi ya Pak ya kalau tidak salah juga saya selalu dikasih oleh Pak Isa ini sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi-nya Pak karena kalau saya tadi kan semangatnya PT saja sesuai dengan RUU tapi Pak Isa selalu bilang ada keputusan Mahkamah Konstitusi. Jadi itu memang organ-organ ini tidak bertentangan juga dengan undang-undang gitu. Malah oleh Mahkamah Konstitusi diminta kita untuk mengatur yang namanya mutuall fund ini, kan begitu Pak ya. 78 Nah, sekarang Bapak-bapak sekalian kebetulan asuransi namanya mutuall fund ini namanya Bumiputera. Mungkin Pak Firdaus karena takut dilaporkan buka rahasia, tidak sampaikan kepada kita terus menerus apa yang terjadi didalam Bumiputera ini tetapi kita sama-sama paham lah, tidak perlu disampaikan dalam forum ini bahwa memang ada problem serius di insurance ini sebabnya malam ini kita undang beliau secara khusus disini supaya waktu kita ambil keputusan Pak karena ini terekam semuanya karena sudah mendengarkan apa yang disampaikan. Jadi kalau resiko-resiko berikutnya didalam itu tentu akan dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan undang-undang lah, saya kira begitu ya. Begitu Pak Basuki ya. Bapak -bapak sekalian yang saya hormati, Ini saya mau bertanya kepada Bapak-bapak sekalian, apakah kita akan segera mengambil keputusan atau mendiskusikan materi ini atau kita akan simpan sampai mata kita lebih terang besok pagi? Saya lihat Pak, ini Bapak Edwin saja kondisi kesehatannya masih bagus-bagusnya, ini mengatakan kita ambil keputusan saja. Bagaimana Pak? Memang itu kan yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi itu usaha bersama tapi tafsir yang diapakan di Undang-Undang Dasar secara bersama juga koperasi. Jadi kalau kita tutup itu, kalau di perbankan kita tidak tutup memang artinya tidak boleh ada lagi usaha perbankan, koperasi, dan usaha bersama. Itu artinya kita mematikan Undang-Undang Dasar. Bahwa realitasnya yang tadi disampaikan Pak Firdaus itu tidak jadi masalah, kita yang penting memang tidak melawan Undang-Undang Dasar. __ Jadi saya kira semangat Undang-Undang Dasar itu tidak boleh kita matikan di, kebetulan ini asuransi dibandingkan perbankan memang relatif agak kecil. Siapa tahu nanti muncul tokoh-tokoh mudah yang punya rasa kekeluargaan lebih bagus dari kita sekarang ini. Jadi jangan dimatikan itu yang anunya tetap saja kita apakan, apakah kita nanti diatur oleh undang- undang tersendiri atau apa kita berikan kewenangan kembali kepada OJK untuk mengaturnya seperti didalam Undang-Undang OJK. Kalau usaha bersama itu kan sudah jelas perintah Mahkamah Konstitusi tapi kalau koperasi itu tidak ada perintah atau apa, apakah kita memasukkan dia menjadi menu saja sepanjang Undang-Undang Dasar kita tidak berubah menurut saya menu ini tidak boleh kita matikan. Jadi artinya kalau kita matikan berarti mungkin barangkali 50 tahun yang akan datang kita ubah Undang-Undang Dasar itu kalau seluruh perundang-undanganya kemudian tidak boleh koperasi, tidak boleh mutuall fund. Jadi terjemahan Undang-Undang Dasar menjadi mati didalam undang-undang. - KETUA RAPAT : Ya, pak biasanya Pasal 1 sampai Pasal 4 itu Pak seingat saya. Bapak- bapak sekalian, Ini clear Pak ya. Jadi kita ambil berdasarkan urutan saja Pak. Saya kira bisa kita ambil keputusan ini ya. Bisa ya pak ya? Pemerintah? Oke, silakan kalau mau ada yang ditanggapi. 79 - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Terima kasih. Bapak Pimpinan, Bapak-bapak Anggota yang kami hormati, Sedikit saja mengklarifikasi karena memang pasal ini, DIM ini, ini langsung kita masukkan ke buku III Pak pada waktu itu. Jadi kami belum memberikan gambaran mengenai itu tapi dengan penjelasan dari Pak Firdaus tadi tentu kami akan tentu akan ringkaskan penjelasan. __ Pada saat kami menyusun rancangan undang-undang ini, kami memperhitungkan seperti yang tadi disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa didalam praktek nanti tidak mudah bagi koperasi dan usaha bersama atau mutuall ini untuk bisa mendapatkan modal yang cukup untuk berusaha di bidang asuransi. Apalagi kalau kemudian dia menghadapi masalah kekurangan modal dan sebagainya yang tidak mempunyai mekanisme untuk menambah modal dia. Kemudian didalam perkembangannya, kami terus terang memang tergoda untuk melihat cara pandang yang lain dengan Undang-Undang Koperasi yang baru yang pada akhirnya dicabut secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi. Pada saat Undang- Undang Koperasi yang baru itu ada, ada mekanisme-mekanisme dimana koperasi dimungkinkan untuk menambah modal dengan menerbitkan sertifikat modal koperasi atau apa namanya begitu. Jadi memang cenderung menyerupai mekanisme-mekanisme yang bisa diterapkan di koperasi cenderung menyerupai PT pada saat Undang-Undang Koperasi yang terbaru waktu itu masih ada. Karena itu kami waktu itu membuka kembali diskusi dan pada saat itu kami pun mempertimbangkan untuk menyetujui usulan dari beberapa fraksi didalam DIM yang menginginkan koperasi tetap ada disitu. Tentu kami pemikiran ini menjadi sulit bagi kami setelah Undang-Undang Koperasi ini yang terbaru itu dibatalkan secara keseluruhan dan kita kembali kepada Undang-Undang Koperasi yang lama yang tahun ’92. Mengenai mutuall, kami mempunyai pemikiran pada waktu itu ada 2 yang terpenting : pertama, tidak ada undang-undang yang memberikan landasan hukum yang baik untuk badan hukum mutuall di Indonesia karena itu lah pada waktu itu memang ada perintah untuk dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai hal tersebut. Tapi nyatanya pada saat kami menyelesaikan rancangan undang-undang ini, undang-undang itu tidak pernah ada dan artinya badan mutuall ini, badan usaha bersama ini tidak memiliki landasan hukum mengenai keberadaan, eksistensinya apalagi mengatur tata kelola. Jadi kalau tadi yang disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa tidak ada, sulit untuk mengatur menata tata kelola mereka pada walaupun sekarang OJK sudah berusaha untuk melakukan hal tersebut. Pada saat ini tidak ada landasan hukum untuk melakukan bagaimana mutuall atau usaha bersama ini menyelenggarakan kegiatan hukumnya sebagai suatu entitas hukum. Kemudian yang kedua yang kami pertimbangkan pada waktu itu sebagaimana sudah dikemukakan oleh Pak Firdaus, perusahaan yang ada saat ini satu-satunya yang ada memang memiliki masalah. Dan kami pada waktu itu dengan tulus, dengan sejujurnya kami sampaikan sebetulnya keinginan kami untuk mengatakan semuanya PT adalah memberikan 80 mekanisme elegan dimana disepakati di DPR ini untuk menyelamatkan perusahaan ini dengan mengubahnya menjadi PT sebagai suatu upaya penyelamatan sebetulnya tapi melalui kewajiban di undang-undang. Nah, demikian mungkin saya ingin tadi itu adalah gambaran mengapa Pemerintah mengusulkan didalam rancangan undang-undang akhirnya hany PT. Perkembangannya tadi Undang-Undang Koperasi yang baru dibatalkan secara keseluruhan. Kemudian ada Mahkamah Konstitusi yang mengatakan tidak boleh ditutup ruang untuk upaya usaha bersama ini untuk tetap hidup di Indonesia karena itu juga sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Kami dari Pemerintah ingin dan sangat menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena itu, kami sekarang berada pada posisi dan kami ingin tetap menghormati keputusan itu artinya memang kita perlu atur bagaimana usaha bersama ini. Kemudian saya sependapat dengan Pak Harry Azhar kalau usaha bersama yang saat ini landasan hukumnya saja minimun, bisa dibilang tidak ada diakomodasi, kita tentu juga harus fair kepada koperasi jadinya. Itu pikiran logis saja, cara berpikir logisnya. Karena itu, Pemerintah sendiri saat ini secara umum melihat oke kami akan bisa menerima kalau koperasi ditambahkan disitu kembali. Tetapi kalau yang usaha bersama kami ingin mengusulkan kita tidak memperluas pada kemungkinan usaha-usaha bersama yang baru. Kami ingin usulkan oke usaha bersama yang ada kita akui bahkan kami bisa berikan misalnya oke kita berdasarkan undang-undang ini kita berikan status badan hukum khusus kepada yang ada sekarang ini. Tapi selain itu kami ingin menambahkan didalam undang-undang ini sebagai konsekuensinya adalah aturan-aturan lain, aturan-aturan prudensial yang akan bisa membantu OJK nanti yang betul-betul ya tidak mungkin ada koperasi baru yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, kalau usaha bersama tadi kami usulnya betul-betul kita batasi Pak berdasarkan undang-undang ini hanya itu saja yang kita ini. Kita tidak membuka ruang usaha bersama yang baru. Kalau ada yang mirip-mirip seperti itu jadi koperasi saja karena koperasi sudah kita sudah punya landasan hukum undang-undang yang jelas mengenai hal itu. Untuk yang ada oke, kita akui bahkan kita usulkan, kita berikan status badan hukumnya tapi untuk koperasi maupun usaha bersama khusus yang eksisting ini seandainya tetap kita sepakati untuk kita pertahankan, kami mohon untuk dapat ditambahkan aturanaturan baru, misalnya yang kami mungkin bisa sampaikan pertama koperasi dan usaha bersama tidak boleh menjual polis asuransi kepada non anggota, dia hanya boleh menjual kepada anggotanya. Mungkin akan ada pertanyaan kalau gitu tidak bisa berkembang. Tentu bisa, kalau dia bisa menarik orang terlebih dahulu menjadi anggotanya baru kemudian menjual polis kepada yang bersangkutan. Yang kedua , yang kami mungkin ingin usulkan adalah, saya menggunakan kata mungkin nanti karena didalam diskusi mungkin berkembang yang lain. Yang kedua, bahwa untuk menjadi anggota ini seseorang ini harus membayar iuran pokok atau iuran wajib apapun namanya yang akan kita sebut. Jadi dengan demikian, setiap 81 perkembangan bisnis dengan bertambahnya anggota ini koperasi atau pun usaha bersama ini sudah terlebih dahulu di back up dengan tambahan modal dari calon pemegang polis tersebut. Kemudian yang ketiga , yang ingin kami usulkan adalah ada ketentuan yang secara tegas disini disampaikan bahwa keuntungan itu dinikmati bersama tentunya secara proporsional, kerugian juga harus ditanggung bersama oleh para anggota. Mengenai aturan pembagiannya pengenaan, pembebanannya dan sebagainya kita bisa serahkan kepada OJK mengenai hal tersebut. Nah, dengan adanya usulan yang ketiga ini apabila dapat diterima ini juga sekaligus mendorong, mendesak pada asuransi usaha bersama pada saat ini itu juga men-declear keuntungannya berapa dan kerugiannya berapa akumulasinya saat ini. Dan kemudian mendorong mereka untuk mengemukakan kepada anggota ini loh akumulasi keuntungan yang bisa dibagi atau ini akumulasi kerugian yang harus ditanggung bersama sehingga dengan demikian OJK juga akan mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan diskresi nah ternyata seperti ini situasinya, pilihan ada. ini juga akan meng-involve.....(mic bermasalah) pengawasan dan koreksi terhadap perusahaan asuransi ....usaha bersama...... Apa yang di 3 tadi, Pak Isa coba diulangi? - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Pertama Pak, kami usulkan pertama dia tidak boleh menjual polis kepada non anggota. Kedua, untuk menjadi anggota orang harus melihat......, yang ketiga ...... akumulasi keuntungan atau akumulasi kerugian .... ( suara tidak terdengar ) - KETUA RAPAT: Bapak-bapak sekalian, Sudah nyala belum Pak? - F-PG (DR. H. HARRY AZHAR AZIS, M.A.): Kalau perlu kita berikan kewenangan kepada OJK untuk penjelasan atau ketentuan lebih lanjut kita berikan kewenangan kepada OJK untuk membuat dalam bentuk POJK itu. Saya kira dengan demikian tapi bentuknya dia sebagai menu tetap hidup tapi OJK jangan kecendrungannya untuk mematikan. Jadi justru dalam peraturan OJK itu bagaimana merangsang artinya ada insentif-insentif orang lebih tertarik menjadi anggota usaha bersama atau anggota koperasi. Itu yang harus diapakan. Bahwa dia tidak hidup ya itu realitas yang ada memang tapi jangan kita berikan kewenangan nanti kecendrungan OJK justru mematikan gitu atau meniadakan. Itu yang harus kita kasih pesan yang kuat gitu. Jadi apakah nanti insentif-insentif itu nanti akan apa itu silakan OJK memikirkannya, jangan kita lah yang memikirkannya. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Terima kasih Pak. 82 Kami memang sependapat kalau memang dibuka menunya tentu tidak boleh kemudian secara diskriminatif atau pun secara tendesius gitu kemudian tetap dimatikan tentu kita harus fair gitu. Tapi juga kami nanti tentu mengharapkan OJK juga tidak membuatnya menjadi begitu mudah sehingga malah mengganggu kesehatan perusahaan itu sendiri jadi tetap harus seimbang antara kemudahan dan juga kemampuan perusahaan itu nantinya untuk menjaga kesehatan untuk menjaga keseimbangan antara kewajiban dan sebagainya didalam pelaksanaannya. Kalau begitu kita masukkan juga. Jadi ada semacam konversi pengertian kesehatan di PT itu konversinya di kesehatan koperasi, konversinya di kesehatan di usaha bersama itu kita minta OJK merumuskannya. Konversi mengenai good governance tadi misalnya pernyataan Pak Firdaus, BPA itu menjadi RUPS, nah itu bagaimana konversinya. Itu harus dibuat menjadi governance betul. Nah, kalau di perbankan itu ada satu tambahan yaitu kontribusinya bagi perekonomian nasional mana yang lebih besar. Nah, itu yang nanti orang pada akhirnya itu berebut dan itu kan tujuan dari Undang-Undang Dasar kita dulu yang seperti itu yang sampai sekarang masih hidup jiwanya, tubuhnya saja tidak ada, jiwanya masih ada. Jadi kalau kita sepakat saya kira tinggal dirumuskan bagaimana, nanti baru dalam tim perumus kita apakan. STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Bapak Pimpinan yang kami hormati, Bapak-bapak Anggota Panja, Ada satu sedikit hal lagi. Ini yang mungkin satu hal lagi yang kami mohon pertimbangan juga yaitu segala hal yang terkait dengan ini masih terbuka untuk diskusi, segala hal yang terkait dengan prudensial dari perusahaan asuransi yang berbentuk koperasi atau usaha bersama ini sudah jelas itu adalah wilayah OJK. Jadi mengenai ketentuan kesehatannya, mengenai berapa kira-kira iuran pokok atau iuran wajib yang harus dibayarkan sebelum menjadi anggota dan sebagainya karena itu terkait dengan kekuatan perusahaan, kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban dan sebagainya. __ Hal yang spesifik yang ingin kami sampaikan adalah terkait dengan status badn hukumnya dan juga mengenai hal-hal isu yang meyangkut tata kelolanya. Dalam pandangan sementara kami, melihat kesetaraan- kesetaraan juga bagaimana PT, koperasi, itu mengenai ke- badanhukuman-nya itu adalah tetap itu tetap adalah Pemerintah yang memberikan status dan sebagainya itu. Tapi bahwa izin usaha dan sebagainya ada di otoritas. Jadi kami ingin mengusulkan bahwa aspek badan hukum dan tata kelola ini tetap ada pada Pemerintah ya, tetap pada Pemerintah dalam hal ini nanti lebih spesifik sebetulnya nanti adalah Kementerian Hukum dan HAM yang mengenai hal ini. Tapi hal-hal lain yang menyangkut isu kesehatan keuangan kemudian persyaratan untuk menjadi anggota yang sebetulnya yang tentunya berpengaruh kepada kesehatan perusahaan tentu adalah wilayah OJK untuk mengaturnya lebih lanjut. __ Demikian mungkin sedikit tambahan usulan mengenai hal tersebut Pak. 83 - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Saya kira hal ini sudah padat sekali penjelasannya Pak ya. Sampai- sampai saya ini sudah penjelasan tambahan kayaknya sudah lewat saja, sudah tidak nampung lagi kepala saya, sudah terlalu banyak betul penjelasannya. Jadi sudah tidak muat kepala ini. __ Bapak-bapak sekalian, Mungkin kita bisa ambil keputusan Pak kelihatannya ini. Jadi kita masuk ke bentuk badan hukum ya, bentuk badan hukum itu yang pertama Perseroan Terbatas ya Pak ya, penguasa gimana Pak? penguasa sendiri tidak, penguasan itu sendiri, bagaimana penguasa setuju? Setuju Pak ya? __ (RAPAT : SETUJU) Penguasa sendiri saja duduk, belum mau bagi-bagi sama kita kekuasaan ya. Yang kedua, usaha koperasi, setuju Pak ya? Nah, ini lain ini ada pendapat? Silakan Pak. __ Terima kasih. Didalam Undang-Undang Dasar memang dimungkinkan adanya usaha bersama tapi apakah artinya luas, artinya semua kegiatan usaha memberikan peluang terbukanya usaha bersama atau kah kita bisa batasi bahwa tidak semua jenis usaha harus dilakukan secara bersama kan tidak berarti semua harus dibuka seluas-luasnya untuk bersama kan? Bia tidak diartikan demikian? kalau bisa diartikan demikian maka apakah asuransi merupakan salah satu jenis usaha yang tidak dilakukan bersama? Ini hanya sebagai .....saja. - KETUA RAPAT : Pak, saya perlu ini barangkali ini ada buku menarik ini. Doktor Muhammad Hatta, penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar ’45, ini buku sudah tua sekali Pak sampai warnanya saja sudah berubah, tadi saya dikasih dari belakang. Saya kira perlu ini Pak, kuliah ekonomi juga mestinya kasih buku begini kalau.....konstitusi ini. Saya ......oleh Doktor pendiri negara kita ini, Pasal 33 Undang-Undang Dasar kita tidak bersumber kepada falsafat pragmatisme demikian itu melainkan bersumber kepada falsafat negara Pancasila kita. Dengan jelas ayat (1) dimulai dengan ketegasan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ada 2 keywords, ada 2 kata kunci disini yaitu kata usaha bersama dan kata asas kekeluargaan dirangkaikan menjadi satu kalimat maka kata kunci itu tidak mungkin memberikan tafsiran lain daripada bahwa yang dimaksud dalam ayat itu adalah usaha dan aktivitas koperasi. Jelas ini Muhammad Hatta yang tulis tapi bukan Hatta kita ini kalau Hatta kita ini belum nulis buku dia, sebab kedua istilah itu berasal dari dunia pergerakan koperasi baik didalam maupun didalam negeri. Jadi menarik buku ini, saya sudah copy buku ini nanti dibagi-bagi semua ini termasuk Pak Firdaus, jangan terlalu liberal Pak Firdaus. Kalau Pak Isa ini sudah jelas alirannya agak sosialis Pak Isa. ini. Ya, oke itu Pak ya kalau begitu Pak ya koperasi, setuju Pak? 84 (RAPAT : SETUJU) Yang ketiga adalah usaha bersama, bahasanya ini jadi mutuall Pak. Bagaimana Pak? - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Usaha bersama ini kami sekali ingin mengusul hanya usaha bersama yang ada saat ini tidak untuk dikembangkan lagi. - KETUA RAPAT : Jadi usaha bersama yang ada sekarang ini, begitu Pak ya. Yang eksisting ini saja ya AJB nanti dimasukkan dalam penjelasannya ya Pak usaha bersama yang dimaksud. Dengan catatan kalau muncul lagi itu diarahkan ke bentuk usaha koperasi. Nah, itu tadi pengertiannya Pak Edwin itu tadi. Jadi kita batasi didalam undang-undang ini tapi yang sudah ada kita tidak matikan ya. - KETUA RAPAT : Begitu Pak ya? oke. __ (RAPAT : SETUJU) Jadi usaha bersama dengan catatan penjelasan bahwa yang dimaksudkan itu dengan eksiting sekarang ini dan mendorong agar supaya di masa mendatang kalau ada yang menghendaki jenis usaha yang sama agar mengambil badan hukum yang berbentuk koperasi. Kira-kira begitu lah Pak ya, nanti kita formulasikan bahasanya. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Ini ada saya mau urutannya ini keputusannya terurut ya Pak ya. Jadi kembali kepada tadi perseroan terbatas, koperasi, dan usaha bersama Pak ya yang ada saat ini, begitu ya keputusannya ya. __ (RAPAT : SETUJU) Dan kemudian ada beberapa keputusan tambahan karena itu berkaitan dengan materinya Pak ya, materi yang pertama berkaitan dengan pengaturan tambahan mengenai koperasi usaha bersama. Ini akan kita diskusikan besok pagi Pak ya karena kalau didiskusikan ini malam, ini juga sudah tidak jelas kemana ini. Setuju Pak Isa ya? Jadi peraturan lebih lanjut mengenai koperasi usaha bersama ini akan kita diskusikan besok. Saya harap teman-teman OJK ini, Bapak-bapak OJK ini bisa masih hadir besok tapi Pak Firdaus ini rupanya besok wisuda, anak apa cucu Pak? oh anak makanya saya kaget juga ini, ini jangan salah pilih kita ini, kakek- kakek kita pilih ya tidak Pak ya? selamat Pak wisuda anaknya, selamat, besok ada wisuda. Saya kira Pak Dumoli sama Pak Alim harus tetap bertahan disini. Gitu Pak ya? jadi peraturan lebih lanjutnya lagi akan kita lanjutkan. Mengenai PP Pak ini tambahan saja Pak sekedar pertimbangan 85 juga sebelum besok kita masuk, saya dibisiki dari staf ahli saya juga mungkin dari MenkumHAM juga bisa kasih pertimbangan. Perintah petita- nya Mahkamah Konstitusi itu mengatakan membentuk Undang-Undang tentang Usaha Bersama Pak kalau tidak salah. Jadi kalau saya dikasih masukan, apakah tidak mendegradasi keputusan kalau kita bikinnya itu memerintahkan lagi kepada PP gitu jadi harus dicari celahnya menurut saya gitu ya yang mungkin kita atur ini adalah celahnya gitu tentang usaha bersama ini. Tapi tentu yang kita bicarakan disini usaha bersama dibidang asuransi ya kan, asuransi usaha bersama di bidang non asuransi ada ga Pak? ga ada. Mutuall fund sebenarnya dikenal dalam bidang keuangan tetapi bukan asuransi Pak, itu pengumpulan dana apa yang disebut dengan mutuall fund itu di Amerika itu banyak juga perusahaannya tapi bukan asuransi. Kalau tidak salah saya di Amerika itu bentuknya bukan asuransi istilahnya disebut sebagai mutuall fund, mutuall fund juga ya untuk investasi, fund saja gitu loh. Jadi gitu ya dipertimbangkan saja. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Terima kasih Pimpinan. Saya sekedar ini saja untuk kita diskusikan besok mengenai hal tersebut. Keputusan Mahkamah Konstitusi itu menambahkan saja frasa setelah kalimat yang ada di UndangUndang Nomor 2 tahun ’92. Saat ini undang- undang ini tanpa tambahan dari Mahkamah Konstitusi bunyinya : ”ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Jadi yang diperintahkan diatur dengan undang-undang ini adalah ketentuan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama bukan mengenai usaha bersamanya sendiri. Itu satu. Kemudian Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi menambahkan anak kalimat setelah itu paling lama 2 tahun 6 bulan sejak putusan Mahkamah Konstitusi, kira-kira 3 bulan yang lalu Pak. Jadi kalau kita membaca ini secara lengkap, ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang paling lama 2 tahun bulan setelah atau sejak, nanti kita cek, putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan atau diucapkan. Dengan demikian kami sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, kami melihat ada peluang kita menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi itu dengan mengatur mengenai usaha perasuransian yang dilakukan oleh usaha bersama dengan undang-undang yang akan kita buat ini. Tapi boleh besok pagi kita eksplor lebih lanjut pandangan hukumnya. Itu pandangan kami, kajian-kajian yang kami lakukan secara internal di Kementerian Keuangan. __ Adapun mengenai bentuk hukum dari usaha bersama sendiri, ini bukan secara spesifik menjadi aspek yang diatur diperintahkan oleh Pasal 7 ayat (3) undang-undang yang ada sekarang. Jadi seandainya toh kita atur mengenai usaha perasuransian berbentuk usaha bersama didalam undang-undang yang akan kita buat ini, menurut hemat kami itu dapat kita lakukan. Jadi sekaligus kita penuhi juga keputusan Mahkamah Konstitusi. Kemudian khusus mengenai aspek ke-badanhukuman-nya ya undang- undang ini bisa mendelegasikan kepada siapa saja dan hal ini usulan kami 86 adalah kepada Peraturan Pemerintah. Tapi kami tetap terbuka kalau besok ada diskusi-diskusi lebih lanjut dari aspek legal mengenai hal ini. Terima kasih Pak Pimpinan. __ - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Saya kita itu sekedar tambahan saja. Kita sudah ada keputusan, badan hukumnya ada 3 : perseroan terbatas, koperasi, usaha bersama ....catatannya tadi itu ada diatas Pak. Selanjutnya besok kita akan membicarakan lebih detail lagi mengenai aspek-aspek tambahan dalam Undang-Undang Koperasi itu Pak ya materinya. __ Saya kira kita skors rapat kita ini sampai besok pagi jam 09.00 ya, betul Pak? ya, 09.35 lah kira-kira begitu ya. Jadi kita skors sampai jam 09.30 besok pagi. • Terkait dengan Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “Badan Hukum Usaha Bersama” UU PERASURANSIAN dalam Masa Persidangan IV Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, Sabtu, 30 Agustus 2014. Dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian: - KETUA RAPAT: Bapak-bapak sekalian yang saya hormati, Kita dapat tugas tadi malam untuk melanjutkan materi yang berkaitan dengan usaha bersama ini. Jadi ini masih ada ......soal usaha bersama ini, interpretasinya ini soal undang-undang atau apakah kita undang- undangkan atau cukup Peraturan Pemerintah. Saya kira silakan Pemerintah. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Bapak Pimpinan, Bapak-bapak yang saya hormati, __ Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Berkenaan dengan pandangan mengenai peraturan lebih detail mengenai bentuk badan hukum atau mengenai badan hukum....... kami sebagaimana kami kemukakan tadi malam juga berpandangan bahwa pertama keputusan Mahkamah Konstitusi sebetulnya adalah tidak mengubah secara signifikan dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) tahun.........kecuali menambahkan jangka waktu atau harus diselesaikannya undang-undang yang mengatur mengenai usaha perasuransian berbentuk usaha bersama. Jadi sekali lagi kami sampaikan bahwa kalau kemudian kita membaca Pasal 7 ayat (3) yang sudah dilengkapi dengan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi maka kita akan mendapatkan kalimat ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama. Jadi yang perlu diatur adalah usaha perasuransian oleh badan usaha yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang, paling lama 2 tahun 6 bulan setelah atau sejak dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi. Dari kalimat tersebut, pemahaman kami adalah yang perlu diatur dengan undang-undang itu adalah ketentuan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama, tidak secara spesifik mengenai badan hukum usaha bersamanya itu sendiri tapi mengenai usaha perasuransian oleh badan 87 hukum yang berbentuk usaha bersama karena itu sepanjang kita sudah memuat beberapa aturan pokok mengenai kegiatan usaha perasuransian yang dilakukan oleh usaha bersama maka undang-undang ini juga bisa dipakai sebagai bukti bahwa DPR dan Pemerintah sudah memenuhi keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena disini juga digunakan, diatur dengan undang-undang. Artinya tidak harus spesifik undang-undang khusus mengenai hal tersebut, bisa dilakukan di undang-undang mana pun. Ada pun yang kami pandang sebagai aturan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama itu bisa aturannya spesifik, bisa juga aturan yang diberlakukan sama untuk usaha bersama maupun untuk badan-badan usaha lain PT, koperasi dan sebagainya. Dengan kata lain, didalam undang-undang ini bisa jadi ada peraturan-peraturan yang spesifik mengenai pengaturan usaha perasuransian oleh usaha bersama, kami kemarin juga sudah sampaikan beberapa pemikiran yang mungkin bisa ditambahkan disitu yang merupakan kekhasan dari usaha perasuransian oleh usaha bersamam dan koperasi. Semalam kami usulkan ada 3 hal yaitu bahwa dia tidak boleh menjual polis kepada non anggota, kemudian untuk menjadi anggota orang diminta untuk membayar iuran pokok atau iuran apa pun nanti namanya, kemudian yang ketiga akumulasi keuntungan, akumulasi kerugian itu pada dasarnya harus didistribusikan secara merata kepada seluruh anggota. Itu adalah aturan-aturan mengenai usaha perasuransian yang sifatnya khas, yang sifatnya spesifik bagi usaha bersama. Yang kebetulan nanti kita terapkan untuk koperasi. Sementara aturan yang lain mengenai tingkat solvabilitas, mengenai kewajiban untuk mendapatkan izin usaha, kewajiban untuk memiliki tata kelola membuat aturan tertentu yang ditetapkan oleh OJK. Seluruhnya mungkin kita bisa persamakan antara PT dan koperasi dan usaha bersama atau ya nanti tergantung kita serahkan diskresi kepada OJK didalam peraturan-peraturan pelaksanaannya, peraturan OJKnya apakah memang perlu dibedakan antara PT, usaha bersama dan koperasi. Oleh karena itu, Bapak Pimpinan, Bapak-bapak Anggota Panja yang kami hormati, dalam pandangan kami kalau kita sudah membuat pengaturan pertama menyatakan bahwa badan usaha bersama ini adalah badan hukum dan dapat tetap melanjutkan kegiatan usaha perasuransiannya. Kemudian kita menambahkan 3 atau mungkin beberapa yang nanti spesifik mengenai usaha perasuransian. Kemudian kita mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai tata kelola, mengenai tata cara perubahan bentuk badan hukum dan sebagainya kepada PP dan mengenai aturan-aturan prudensial lain kepada POJK. Menurut kami itu sudah menunjukkan DPR dan Pemerintah sudah membuat undang- undang, ketentuan didalam undang-undang yang mengatur mengenai usaha perasuransian oleh badan hukum berbentuk usaha bersama. Demikian mungkin pandangan-pandangan dan argumen yang kami sampaikan sehingga dalam pandangan kami oh ada satu lagi Bapak Pimpinan, Bapak-bapak yang kami hormati. Kalau untuk misalnya saya sangat mengerti argumen kita harus membuat sebetulnya ketentuan mengenai satu badan hukum, paling tepat idealnya adalah undang- undang. Saya bisa memahami logika itu. Tapi karena kita juga semalam sudah bersepakat, kita tidak membuka usaha bersama yang lain hanya 88 yang eksisting ini dan di kemudian hari kalau ada yang ingin menerapkan pola yang serupa kita dorong untuk menggunakan koperasi. Akan terlalu mahal kita Pak untuk kita mengupayakan undang-undang yang hanya mengatur satu badan hukum private di Indonesia ini. Itu argumen lain yang ingin kami sampaikan sehingga kami melihat bahwa ini bisa kita akomodasi di undang-undang ini, pernyataan badan hukumnya ada di undang-undang yaitu undang-undang ini memang ini satu kekhususan. Kemudian pengaturan-pengaturan lain kita serahkan kepada Peraturan Pemerintah menyangkut tata kelola dan POJK untuk yang menyangkut prudensial di bidang usaha perasuransian. Demikian Pak. Terima Kasih. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Intinya kita sudah mengadopsi keberadaan usaha bersama ini. Soal undang-undangnya nanti juga saya perhatikan perseroan terbatas kan sudah ada undang-undang, koperasi juga sudah ada undang-undang. Nah, usaha bersama ini belum ada, akan dibentuk 2,5 tahun. Ini kan putusannya kapan? 2014? Masih lama Pak, masih ada 2 tahun lagi. Jadi kita ga perlu tambahkan didalam undang-undang ini frasa untuk memerintahkan membentuk lagi undang-undang begitu loh, itu hanya menimbulkan konflik dengan keputusan yang lebih tinggi daripada kita. Jadi cukup kita mengatur bahwa badan usaha didalam asuransi itu ada 3 bentuk hukumnya : perseroan terbatas, koperasi, usaha bersama sudah begitu Pak. Usaha bersama itu ya memang sudah ada memang untuk memberikan alasan hukum saja kepada asuransi, saya juga sudah baca salinan putusan Mahkamah Konstitusi itu walaupun sekilas memang ya sudah begitu Pak. Dan kedua, Pak Isa sebetulnya sih undang-undang ini yang mengatur satu jenis usaha itu banyak Pak, misalnya : BPJS itu kan Jamsostek saja itu yang berubah kan misalnya diubah menjadi BPJS, macam-macam. Jadi ada banyak kan, undang-undang 32, 34 itu tentang pengendara juga cuma satu juga kan. Jadi biarlah itu menjadi materi yang diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi dan menjadi PR Pemerintah dan DPR ya untuk membentuk Undang-Undang tentang Usaha Bersama, apakah nanti itu diputuskan hanya untuk mutuall fund Bumiputera atau apakah nanti Pemerintah baru dia pikir-pikir karena perlu juga mutuall fund yang lain lagi, silakan saja itu kita kasih kesempatan bagi mereka untuk memikirkan. Yang pasti kita dalam undang-undang ini cukup bahwa yang ada sekarang ini sudah kita kasih alas hukum dan oleh karena itu mereka tidak perlu merasa terdiskriminasi lagi. Dan tadi malam sudah dijelaskan Pak Firdaus jan road map penyelesaiannya itu, kalau tidak selesai-selesai ya OJK-nya yang kita ikut ini ya Pak Sugi ya kalau tidak selesai-selesai juga biar.... namanya asuransi jasa Bumiputera. Kalau tidak bisa juga OJK baru kita kirim Pak Isa untuk beresin itu, apakah likuidasi atau ya kan gitu kira-kira. Jadi Pak ya oke ya. Nah, sekarang yang ketiga saya ingin tambahkan Pak ini untuk usaha bersama ini menurut saya ada satu pasal yang mesti kita masukkan tambahan sedikit khusus untuk usaha bersama ini. Kalau koperasi ini banyak di dalam catatan saya ini ada beberapa materi yang akan kita putuskan untuk koperasi dan usaha bersama harus ada pengaturan yang 89 jelas mengenai: satu, polis hanya dapat dijual kepada anggota ya Pak ya? _begitu Pak ya? jadi materi yang mau kita atur itu:
Polis hanya dapat_ dijual kepada anggota. Cuma dalam catatan hukum teman-teman tadi malam itu tidak masalah ya? itu polis hanya dapat dijual kepada anggota, tadi malam sudah dijelaskan Pak Isa. Ada tanggapan Pak? Ga apa-apa ya? kita ketok palu ini kalau tidak ada tanggapan? Pak Isa, mau diubah pendapatnya? Bapak tidak ragu-ragu? Ya, sudah yakin ya sudah kita ketok palu. Jadi materinya itu polis hanya dapat dijual kepada anggota yang kita atur dalam bentuk pasal sendiri ya nantinya, ketentuan sendiri. (RAPAT : SETUJU) PETITUM DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga Permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak Permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; dan
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita negara republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden memberikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 18 Agustus 2020 dan didengarkan dalam persidangan pada tanggal 19 Agustus 2020, serta keterangan tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 7 September 2020, yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut: 90 TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Sebelum memberikan penjelasan mengenai pokok permasalahannya, perlu kiranya terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap aspek formal yakni legal standing para Pemohon. Untuk itu perkenankan kami memberikan pendapat sebagai berikut:
Bahwa dalam permohonannya, para Pemohon keberatan terhadap keberlakuan pasal a quo karena pengaturan lebih lanjut mengenai badan hukum Perusahaan Asuransi berbentuk Usaha Bersama ke dalam Peraturan Pemerintah, dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 yang bersifat final dan mengikat.
Bahwa oleh karena yang dijadikan batu uji para Pemohon adalah putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013, maka perkenankan terlebih dahulu kami menyampaikan hal-hal terkait dengan putusan dimaksud:
Bahwa permohonan uji materi tersebut diajukan oleh para Pemegang Polis (Pemilik Badan Usaha) Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dengan alasan ketentuan pasal tersebut mengamanatkan pengaturan tentang usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama diatur dengan undang-undang, sedangkan sampai dengan permohonan uji materi tersebut diajukan, masih belum diterbitkan undang-undang tersebut.
Bahwa terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan putusan yang amarnya pada pokoknya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU 2 Tahun 1992 yang diajukan permohonan uji materinya tersebut, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan.
Bahwa dapat kami sampaikan, pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, sedang dilakukan pembahasan perubahan UU 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan perubahan UU 2 Tahun 1992, yang selanjutnya kami kutip sebagai berikut: “… dengan mempertimbangkan putusan MK tersebut, kepastian hukum bagi badan hukum asuransi Usaha Bersama akan terpenuhi jika amanat 91 putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, pengakuan atau penetapan perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum, perlu dituangkan dalam undang- undang ini, untuk mengakomodir keberadaan satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang sudah ada di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Di samping itu, ketentuan mengenai tata kelola, persyaratan, tata cara persyaratan menjadi badan hukum perseoran terbatas atau koperasi, dan tata cara pembubaran serta ketentuan lain bagi perusahaan perasuransian yang berbentuk badan hukum Usaha Bersama, akan diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah ( vide Naskah Akademik RUU tentang Perasuransian halaman 63 alinea 3).
Bahwa apabila dikaitkan dengan tenggang waktu yang diamanatkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan No.32/PUU-XI/2013, maka Pembuat Undang-Undang sebelum tenggang waktu 2 tahun 6 bulan sejak putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, tepatnya pada tanggal 17 Oktober 2014, telah menetapkan UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40 Tahun 2014) yang didalamnya juga mengatur tentang usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama. Sehingga Pemerintah telah menjalankan amanat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas dengan menerbitkan UU 40 Tahun 2014 dalam jangka waktu sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka maksud dari permohonan para Pemohon, telah terpenuhi yakni dengan telah diakuinya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan, sebagai badan hukum penyelenggara Usaha Perasuransian. Selain itu, permohonan para Pemohon juga telah terpenuhi dengan diaturnya usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014.
Bahwa dengan terpenuhinya permohonan para Pemohon tersebut, maka apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011, yang mensyaratkan Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang , maka para Pemohon a quo tidak 92 memenuhi syarat-syarat tersebut, karena pada kenyataannya putusan Mahkamah Konstitusi No.32/PUU-XI/2013 telah ditaati oleh pembuat UU 40 Tahun 2014 sebagaimana telah kami kemukakan di atas.
Bahwa selain tidak memenuhi legal standing , permohonan a quo juga telah kehilangan obyek dengan telah diaturnya jenis usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, Pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, Pembentuk Undang-Undang tengah melakukan pembahasan perubahan UU 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan perubahan UU 2 Tahun 1992, sebagaimana disebutkan dalam halaman 63 alinea 3 Naskah Akademik RUU tentang Perasuransian. Bahwa selain itu, lahirnya UU 40 Tahun 2014, dilatarbelakangi oleh suatu keadaan dimana peraturan perundang-undangan sektor jasa keuangan yang ada pada saat itu, khususnya di bidang perasuransian telah tertinggal dibanding dengan kemajuan dan perkembangan di industri maupun standar di praktek internasional. Akibatnya, banyak celah hukum yang apabila tidak segera ditangani dan diantisipasi, berpotensi menimbulkan keadaan yang merugikan masyarakat dan kontra produktif bagi pertumbuhan dan perkembangan industri perasuransian serta sektor jasa keuangan dan perekonomian nasional pada umumnya. Oleh karena itu, Pembuat Undang-Undang, pada saat itu pembentukan UU 40 Tahun 2014, telah melakukan identifikasi masalah, dalam rangka menyusun kerangka pembaharuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian dalam pembaharuan peraturan bidang perasuransian, yakni:
Perlunya Penyesuaian Pengaturan Dan Pengawasan Industri Perasuransian Di Indonesia Yang Selaras Dengan Standar Praktik Terbaik ( Best Practices ) Yang Berlaku Secara Internasional. Standar praktik terbaik internasional di bidang perasuransian adalah Insurance Core Principles, Standards, Guidance and Assesment Methodology 93 (selanjutnya disebut ICPs) yang diterbitkan oleh International Association of Insurance Supervisors (selanjutnya disebut IAIS), selaku organisasi internasional yang menaungi para regulator atau supervisor di bidang perasuransian. ICPS tersebut ditetapkan pada tahun 2000 dan terakhir kali diperbaharui pada Oktober 2011. ICPs telah menjadi panduan bagi regulator atau pengawas perasuransian di seluruh dunia dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap industri perasuransian. Sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia harus berkomitmen agar pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan industri perasuransian selaras dengan standar praktik terbaik ( best-practice standard ), sebagaimana ditetapkan dalam ICPs. Dalam upaya meningkatkan daya saing industri perasuransian di Indonesia, baik di kawasan regional maupun internasional, penerapan standar praktik terbaik baik pada sisi pengaturan maupun pengawasannya, merupakan hal yang tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, peraturan terkait perasuransian harus memuat pengaturan mengenai prinsip-prinsip dasar asuransi sesuai dengan ICPs yang telah ditetapkan oleh IAIS. Sistim Pengawasan Usaha Perasuransian di Indonesia Sebagaimana telah kami kemukakan di atas, bahwa usaha perasuransian sangat memerlukan pengawasan dan tidak terkecuali usaha perasuransian di Indonesia. Agar sesuai dengan standar internasional, maka sistem pengawasan asuransi di Indonesia, yang sebelumnya dilakukan oleh Bapepam-LK di bawah Kementerian Keuangan, juga dilakukan penyempurnaan dengan membentuk lembaga baru yang independen yakni Otoritas Jasa Keuangan, yang diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Dengan telah disahkannya UU OJK, maka sistem pengaturan dan pengawasan menjadi terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, dalam hal ini termasuk usaha perasuransian di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, sehingga mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. 94 Usaha perasuransian senantiasa mengalami dinamika, tentunya hal ini juga membawa konsekuensi perlu diimbangi dengan dinamika pengaturan dan pengawasannya, agar pelaksanaannya tidak merugikan masyarakat pengguna jasa asuransi. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK sejatinya adalah merupakan upaya pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh bentuk usaha perasuransian, baik perseroan terbatas, koperasi dan Usaha Bersama, agar tercipta iklim asuransi yang sehat yang dapat melindungi seluruh masyarakat sebagaimana acuan standar praktik terbaik ( best-practice standard ) internasional di bidang perasuransian. Sehingga hendaknya tidak semata-mata diartikan sebagai bentuk intervensi Pemerintah dalam pengurusan internal suatu perusahaan perasuransian.
Perlindungan Hukum Kepada Masyarakat Pengguna Jasa Perasuransian Perlindungan hukum kepada masyarakat pengguna jasa asuransi juga merupakan salah satu hal yang diperhatikan oleh pembuat undang-undang. Ketersediaan perlindungan dimaksud ditujukan kepada masyarakat pemegang polis, tertanggung atau peserta secara proporsional dan tepat sasaran. Kedudukan pemegang polis, tertanggung atau peserta dalam perjanjian yang disepakati relatif lemah, karena pengikatannya yang bersifat sukarela dari tertanggung kepada penanggung untuk menyerahkan sejumlah uang berupa premi asuransi dengan harapan Penanggung akan melakukan penggantian kepada Tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari peristiwa tidak pasti di kemudian hari. Dalam beberapa kasus, ternyata masyarakat pemegang polis, tertanggung atau peserta berpotensi kehilangan haknya atas manfaat ekonomis secara material dan signifikan ketika perusahaan asuransi bubar, likuidasi atau pailit. Terjadinya pembubaran, likuidasi atau pailitnya perusahaan asuransi umumnya disebabkan oleh kekeliruan dan kesalahan pelaksanaan prinsip- prinsip tata Kelola perusahaan yang baik (good corporate governance ) sehingga menyebabkan perusahaan mengalami kondisi keuangan yang tidak sehat ( insolvent ). Pada tingkat tertentu, kondisi tersebut dapat mengakibatkan 95 ketidakpercayaan masyarakat ( public distrust) dalam memanfaatkan perusahaan perasuransian untuk tujuan memproteksi risiko-risikonya. Kekhawatiran serupa, khususnya di sektor perbankan, dapat dikurangi dengan keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan (selanjutnya disebut LPS) yang berfungsi untuk melindungi dan menjamin dana para nasabah perbankan. Oleh karenanya, dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat ( public confidence ) dan memberikan arena berkompetisi ( level playing field ) yang setara di antara lembaga-lembaga keuangan di Indonesia, dipandang perlu agar industri perasuransian dilengkapi dengan sistem dan mekanisme perlindungan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta secara proporsional dan tepat sasaran, baik semasa perusahaan perasuransian masih beroperasi normal maupun saat dibubarkan, dilikuidasi atau dipailitkan.
Kepastian Hukum Bagi Penyelenggara Usaha Perasuransian UU 40 Tahun 2014 yang dimaksudkan sebagai pengganti UU 2 Tahun 1992, pada dasarnya merupakan salah satu upaya untuk lebih memperkuat industri perasuransian di Indonesia, baik penguatan pada sisi industrinya itu sendiri maupun penguatan pada sisi pengawasannya. Penguatan pada sisi industri diharapkan akan menghasilkan industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif sehingga tahan dari goncangan ekonomi, mampu bersaing dengan industri perasuransian lain, baik secara regional maupun internasional, serta menjadi industri yang senantiasa mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi para pihak yang berkepentingan, khususnya kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Sebagai bagian dari strategi dalam rangka penguatan industri perasuransian, UU 40 Tahun 2014 juga diharapkan dapat lebih memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha asuransi. Selain itu, kepastian hukum diperlukan juga dalam upaya memberikan perlindungan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa kekuatan industri perasuransian di Indonesia, pada akhirnya, sangat dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat pengguna jasa usaha perasuransian. Peningkatan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap industri perasuransian salah satunya dapat dilakukan melalui keberadaan program penjaminan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan penyelesaian 96 sengketa antara pemegang polis, tertanggung, atau peserta dengan perusahaan dengan bantuan lembaga mediasi yang independen dan imparsial. Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengusulkan adanya program penjaminan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan penguatan keberadaan lembaga mediasi yang independen dan imparsial. Berdasarkan ketiga hal yang menjadi perhatian dalam pembaharuan peraturan bidang perasuransian tersebut di atas, Pembuat Undang-Undang menyadari bahwa untuk meciptakan iklim perasuransian yang sehat, yang dapat melindungi seluruh masyarakat, haruslah memenuhi ketiga hal pokok tersebut di atas, oleh karena itu, seluruh usaha perasuransian harus memiliki peraturan tentang standar tata kelola yang baik, yang dituangkan dalam suatu peraturan perundang- undangan. B. Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama Merupakan Bagian Dari Industri Asuransi. Pembuat UU 2 Tahun 1992 juga telah memikirkan bentuk badan hukum usaha perasuransian, termasuk jenis usaha asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, selain usaha asuransi berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Sehingga, dalam UU 2 Tahun 1992 terdapat tiga bentuk usaha asuransi yang diakui, yaitu perseroan terbatas, koperasi dan Usaha Bersama. Bahwa ketiga bentuk badan usaha tersebut di atas memiliki karakteristik yang berbeda, yakni:
Karakteristik usaha asuransi berbentuk perseroan terbatas antara lain:
Kelangsungan perusahaan lebih terjamin karena tidak tergantung pada milik tertentu.
Kepemilikan dapat berubah dengan cara memindah atau menjual sahamnya kepada pihak lain.
Perusahaan dapat diperbesar dengan cara dilakukan penambahan modal dengan mengeluarkan saham baru. Kepentingan para pemangku kepentingan dapat terlindungi dengan baik karena kejelasan tata kelolanya.
Telah terdapat undang-undang sendiri yakni Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Karakteristik usaha asuransi berbentuk koperasi antara lain:
Penerapan asas kekeluargaan kebersamaan dan keadilan. 97 b. Telah memiliki undang-undang sendiri yakni UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
Pengelolaan dilakukan secara demokratis.
Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil dan sebanding dengan besar jasa masing-masing anggota, dan lain-lain.
Usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama: Saat itu, Indonesia belum memiliki pengaturan mengenai badan hukum Usaha Bersama. Satu-satunya perusahaan asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai dengan Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915. Usaha Bersama, meskipun telah diakui di dalam UU 2 Tahun 1992, namun dari sisi tata kelola masih menghadapi tantangan mengingat pada saat itu, belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang status badan hukum termasuk tata kelola perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagaimana halnya usaha perasuransian berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Pembuat undang-undang, saat pembentukan UU 40 Tahun 2014, berpendapat dari ketiga bentuk badan hukum tersebut di atas, perseroan terbatas merupakan bentuk yang paling ideal dalam menjalankan usaha perasuransian, dengan pertimbangan bahwa mekanisme tata kelolanya telah diatur, sebagaimana telah kami sebut di atas. Demikian juga halnya usaha perasuransian berbentuk koperasi. Namun demikian, Pembuat Undang-Undang Perasuransian tetap berkomitmen untuk melindungi dan mengakui seluruh bentuk usaha asuransi yang telah ada dengan tetap memerikan ruang bagi asuransi Usaha Bersama. Oleh karena itu, dalam UU 40 Tahun 2014, Pembentuk Undang-Undang sepakat untuk memberikan pengakuan hukum kepada usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai salah satu bentuk badan hukum perusahaan perasuransian di Indonesia. ( vide pasal 6 ayat (2) UU 40 Tahun 2014. Hal tersebut seharusnya telah memberikan kepastian hukum bagi AJB Bumiputera dalam menyelanggarakan usaha asuransi dengan bentuk Usaha Bersama di Indonesia. 98 C. Perusahaan Asuransi Usaha Bersama dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Usaha Bersama yang telah ada sebagai salah satu bentuk usaha perasuranasian mendapatkan pengesahan sebagai salah satu badan hukum usaha perasuransian di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 ayat (2) UU 40 Tahun 2014. Pembuat UU telah menetapkan pilihan kebijakan ( open legal policy ) bahwa berlakunya UU 40 Tahun 2014untuk menjamin kepentingan masyarakat sebagai pemegang polis, maka usaha bersama yang dapat menjalankan usaha perasuransian hanya usaha bersama yang telah ada. Dengan klasul “usaha bersama yang telah ada” maka open legal policy Pembuat Undang- Undang tidak lagi memberi peluang lahirnya usaha bersama yang baru yang akan menjalankan usaha perasuransian. Dengan demikian AJB Bumi Putera adalah satu-satunya usaha bersama yang menjalankan usaha perasuransian. Dari sisi tata kelola, usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama masih menghadapi tantangan mengingat sebelum UU 40 Tahun 2014 diterbitkan, belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata kelola perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagaimana halnya usaha perasuransian berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Tata kelola suatu perusahaan merupakan hal yang sangat penting. Dalam kasus tertentu, kesalahan tata Kelola atau kecurangan ( fraud ) dalam pengurusan perusahaan asuransi, akan lebih memperbesar peluang timbulnya ketidakmampuan perusahaan asuransi dalam memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam polis asuransi yang telah diterbitkan. Secara umum, penyelesaian permasalahan kesehatan keuangan perusahaan asuransi berbentuk perseroan terbatas adalah dengan kewajiban untuk menambah modal sehingga rasio kesehatan keuangan memenuhi persyaratan otoritas. Dalam Usaha Bersama, penambahan modal tidak dapat dilakukan karena karakteristik Usaha Bersama tidak membolehkan adanya penambahan modal dari pihak luar selain dari anggota. Disisi lain, karakteristik usaha perasuransian adalah bisnis yang memerlukan modal usaha besar. Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan Usaha Bersama dalam menambah modal, dengan pemahaman Usaha Bersama sebagai kumpulan pihak dan bukan kumpulan modal, sementara di sisi lain Usaha Bersama tetap harus 99 memastikan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, maka terhadap Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama yang telah ada, agar dapat tetap menjalankan usaha dengan memiliki standar perusahaan asuransi yang ideal, perlu diatur pembatasan ruang lingkup asuransi Usaha Bersama dan penyempurnaan ketentuan mengenai tata kelola perusahaan perusahaan asuransi Usaha Bersama. Menyikapi kebutuhan pengaturan akan tata kelola usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama, selain pengakuan atas eksistensi satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian, di dalam UU 40 Tahun 2014 juga memuat mandat pengaturan ketentuan mengenai tata kelola usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama dalam batang tubuhnya, diantaranya sebagai berikut: Pasal 35 ayat (1) UU 40 Tahun 2014: Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c hanya dapat menyelenggarakan jasa asuransi atau jasa asuransi syariah bagi anggotanya . Pasal 35 ayat (2) UU 40 Tahun 2014: Setiap anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c wajib menjadi Pemegang Polis dari perusahaan yang bersangkutan . Pasal 35 ayat (3) UU 40 Tahun 2014: Keanggotaan pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau keanggotaan pada Usaha Bersama sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berakhir apabila: _ a. anggota meninggal dunia ;
anggota tidak lagi memiliki polis asuransi dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang bersangkutan selama 6 (enam) bulan _berturut-turut; _ atau c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, keanggotaan harus berakhir . Pasal 35 ayat (4) UU 40 Tahun 2014: Anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berhak atas seluruh keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan . 100 Pasal 35 ayat (5) UU 40 Tahun 2014: Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keuangan untuk menjadi anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta pemanfaatan keuntungan oleh anggota dan pembebanan kerugian di antara anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . D. Penguatan Tata Kelola Perusahaan Asuransi Usaha Bersama dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Bahwa UU 40 Tahun 2014 telah mengakomodir kebutuhan hukum perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama pada pasal-pasal dalam batang tubuhnya, meskipun demikian, sebagai upaya penguatan terhadap Perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang telah ada agar memiliki standar sebagai perusahaan perasuransian yang ideal serta memberikan perlindungan bagi para anggotanya, maka Pembuat Undang-Undang juga memperhatikan hal tersebut dengan mengatur lebih lanjut mengenai badan hukum Usaha Perasuransian berbentuk Usaha Bersama dengan Peraturan Pemerintah. E. Penerbitan PP 87/2019 Merupakan Bentuk Perlindungan Hukum Bagi para Pemegang Polis Yang Merupakan Anggota Usaha Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, asuransi sebagai industri yang menggalang dana dari masyarakat, memerlukan sistem pengawasan terintegrasi, baik eksternal, yang selama ini dilakukan oleh OJK, maupun sistem kontrol dari mekanisme pengambilan keputusan organ perusahaan asuransi itu sendiri. Sistem kontrol pada perusahaan asuransi berbentuk PT dapat dilihat dari adanya pembatasan kekuasaan organ/pengurus perusahaan, antara lain dalam hal pengambilan keputusan oleh direksi pada level tertentu, harus mendapatkan persetujuan dari pemegang saham. Selain itu, direksi yang karena kelalaiannya menyebabkan kerugian bagi perusahaan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian tersebut. Pada koperasi, adanya sistem kontrol internal dapat dilihat dari adanya mekanisme pengambilan keputusan yang melibatkan anggota koperasi melalui Rapat Anggota dengan mengutamakan musyawarah mufakat, dan apabila tidak tercapai, maka dilakukan dengan suara terbanyak. Pengambilan keputusan dengan 101 musyawarah mufakat dianggap sebagai cara yang paling baik, karena keputusan yang dihasilkan diharapkan membawa keuntungan bagi seluruh pemegang polis. Dari kedua bentuk usaha PT maupun koperasi, telah terbentuk adanya mekanisme sistem kontrol pengambilan keputusan bagi organ perusahaan, sehingga diharapkan keputusan yang dihasilkan bukan hanya membawa dampak positif bagi kelangsungan perusahaan tetapi juga memberikan perlindungan hukum bagi seluruh anggota polis. Sebelum UU 40 Tahun 2014 dan PP Usaha Bersama diterbitkan, belum terdapat sistem kontrol pada bentuk Usaha Bersama sebagaimana telah diatur dalam usaha perasuransian berbentuk PT maupun Koperasi. Padahal keberadaan sistem kontrol dalam suatu perusahaan sangat diperlukan sebagai salah satu indikator bahwa suatu perusahaan telah dikelola berdasarkan pada prinsip tata kelola perusahaan yang baik ( Good Corporate Governance ). Untuk mengatasi hal tersebut, dalam PP Usaha Bersama, diatur pembatasan terhadap organ Usaha Bersama. Aturan mengenai pembatasan ini diharapkan tidak hanya dipandang dari sisi Pemohon sebagai anggota pengurus Usaha Bersama, melainkan harus dipandang sebagai upaya Pemerintah agar mekanisme pengambilan keputusan pada usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama benar-benar dilakukan bukan hanya untuk kepentingan konstituen semata, melainkan untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh anggota pemegang polis. Bahwa apabila kemudian para Pemohon mempermasalahkan PP 87/2019 dan dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, menurut pendapat kami hal tersebut tidak tepat karena PP 87/2019 tersebut tidak mengurangi pemberian kepastian hukum bagi Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan dalam menyelenggarakan usahanya, tetapi justru memberikan kejelasan mengenai teknis penyelenggaraan usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama sehingga diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pemegang polis. Bahwa Penerbitan PP 87/2019 yang merupakan delegasi dari pasal 6 ayat (3) UU No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, serta merupakan bentuk perlindungan hukum bagi para pemegang polis yang merupakan anggota Usaha Bersama. 102 F. Pemohon Telah Keliru Dalam Memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 Bahwa para Pemohon telah keliru memaknai putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 seolah-olah Mahkamah Konstitusi mengamanatkan semua hal yang terkait dengan asuransi Usaha Bersama diatur dalam undang-undang tersendiri. Bahwa amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 antara lain berbunyi, “Frasa ".... diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang" dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai ".... ’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang' dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan _setelah putusan Mahkamah ini diucapkan"; _ Bahwa amar putusan tersebut, mengamanatkan pembentuk undang-undang untuk merealisasikan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2 Tahun 1992 yaitu untuk mengatur usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) ke dalam undang-undang dalam kurun waktu paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan setelah putusan Mahkamah diucapkan. G. Pemerintah Telah Melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 3 April 2014 Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tanggal 3 April 2014 sejatinya telah ditindaklanjuti dengan wujud konkrit dari Pembuat Undang-Undang, yaitu dengan merumuskan dan mengatur ketentuan terkait usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama dalam batang tubuh UU 40 Tahun 2014, diantaranya:
Penegasan mengenai status Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan sebagai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian, dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan (2);
Perizinan usaha Usaha Bersama, dalam ketentuan Pasal 8;
Penyelenggaraan usaha perasuransian (termasuk Usaha Bersama) sesuai dengan tata kelola yang baik, dalam Pasal 11;
Pengaturan kewajiban organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) untuk memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan, dalam Pasal 12; 103 5. Pengaturan mengenai prinsip dasar penyelenggaraan Usaha Bersama, dalam Pasal 35;
Larangan bagi organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) jika izin usaha perusahaan perasuransian dicabut dalam Pasal 43;
Kewenangan organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) jika tim likuidasi telah terbentuk, dalam Pasal 46;
Kewenangan OJK untuk menonaktifkan organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) dan menetapkan pengelola statuter; serta mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi perusahaan perasuransian dan organ perusahaan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam Pasal 60;
Pemeriksaan perusahaan asuransi baik secara berkala atau sewakutu-waktu, dalam Pasal 61;
Kewenangan OJK untuk memerintahkan penggantian direksi, dewan komisaris, dalam Pasal 72;
Ketentuan pidana bagi organ perusahaan yang melanggar ketentuan dalam UU 40 Tahun 2014, dalam Pasal 74; dan
Ketentuan peralihan bagi Usaha Bersama, dalam Pasal 86. Bahwa dengan demikian, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon telah keliru menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 dan dengan telah diakomodirnya pengaturan tentang kebutuhan hukum usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014 sebagaimana telah kami uraikan tersebut di atas, maka amanat putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 tanggal 3 April 2014 dimaksud untuk mengatur ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama dengan Undang-undang dalam kurun waktu paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan, telah terpenuhi. KESIMPULAN Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut di atas, dapat kami sampaikan kesimpulan bahwa kami berpendapat para Pemohon tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, dan tidak memenuhi syarat kerugian konstitusional sebagaimana pendirian Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Mahkamah Konstitusi 104 Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007. Selanjutnya, berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas menurut kami tidak terdapat alasan yang tepat untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian inkonstitusional, apalagi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Pemerintah mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutuskan permohonan pengujian Pasal 6 ayat (3) UU No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian beserta penjelasannya, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan para Pemohon tidak memiliki dan tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima;
Menyatakan ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. POKOK-POKOK TAMBAHAN KETERANGAN PRESIDEN Bahwa pada persidangan hari Rabu tanggal 19 Agustus 2020, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi meminta kepada Pemerintah untuk memberi tambahan Keterangan Presiden atas beberapa pertanyaan sebagai berikut:
Terkait pertanyaan mengenai pertimbangan dan pilihan politik hukum dari Pembuat Undang-Undang yang tidak mengatur Usaha Bersama dalam suatu undang-undang tersendiri, dapat kami jelaskan sebagai berikut:
Pada saat perumusan Rancangan Undang-undang No. 40 Tahun 2014, undang-undang Usaha Perasuransian yang lama yakni Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian telah berusia dua puluh tahun lebih, sehingga harus segera disesuaikan dengan tantangan, situasi terkini dan kondisi perkembangan sektor jasa keuangan, yang membutuhkan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hak-hak nasabah.
Penyesuaian tersebut membuat adanya perbedaan pilihan kebijakan ( open legal policy ) yang dirumuskan Pembuat Undang-Undang dalam penyusunan norma Pasal 7 ayat (3) UU 2 Tahun 1992 dengan pasal 6 UU 105 40 Tahun 2014 mengenai pengaturan badan hukum Usaha Bersama sebagai badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian.
Norma yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 2 Tahun 1992 UU 2 Tahun 1992 membuka pintu selebar-lebarnya bagi lahirnya Usaha Bersama sebagai badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian, sebagaimana tercermin dalam rumusannya yang tidak memberi batasan apapun pada usaha bersama sebagai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian, sejajar dengan norma bagi koperasi dan perusahaan perseroan.
Namun demikian, saat uji materi 32/2013 diajukan, dan saat yang sama dilakukan penyusunan perubahan UU 2/1992, ternyata AJB Bumiputera yang telah ada sejak tahun 1912, merupakan satu-satunya perusahaan perasuransian berbentuk Usaha Bersama yang menjalankan usaha perasuransian di Indonesia. Dengan adanya kondisi ini, ditambah terbitnya putusan MK No.32/2013, mendorong Pembuat Undang-Undang yang saat itu sedang melakukan pembahasan RUU perubahan UU 2/1992 untuk melakukan kajian. Salah satu yang menjadi perhatian adalah bentuk badan hukum usaha perasuransian, yakni:
Perusahaan asuransi merupakan perusahaan padat modal, sehingga perlu dipikirkan apabila perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan dan memerlukan suntikan modal.
ii. Sistim pertanggungjawaban pengurus yang terpisah dari pemegang polis sebagai konsumen.
Setelah dilakukan kajian, agar tujuan tersebut di atas tercapai, maka bentuk badan hukum yang paling ideal / yang paling tepat bagi perusahaan perasuransian ke depan diarahkan berbentuk Perseroan Terbatas, dengan pertimbangan :
Dari sisi permodalan sesuai dengan karakteristiknya, usaha asuransi merupakan bentuk usaha yang memerlukan modal besar untuk operasional usahannya. Kebutuhan modal yang besar tersebut dimaksudkan agar perusahaan asuransi dapat terus melakukan ekspansi usaha dan memastikan bahwa kewajiban perusahaan kepada pemegang polis dapat dipenuhi. 106 Pemenuhan kebutuhan modal tersebut hanya dapat dipenuhi apabila badan hukum tersebut memiliki mekanisme penambahan modal dari investor atau pemegang saham, dimana mekanisme tersebut tidak memungkinkan untuk dilakukan oleh bentuk badan hukum usaha bersama. Dalam hal perusahaan asuransi sedang menghadapi permasalahan kesehatan keuangan maka investor atau pemegang saham dapat melakukan penambahan modal sesuai dengan rencana penyehatan keuangan perusahaan. Dengan adanya mekanisme tersebut maka keberlangsungan usaha dapat tetap terjaga. Selain itu, peluang pengembangan usaha perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah dan kompetitif sehingga mampu bersaing dalam era globalisasi dan perdagangan bebas dapat terwujud dengan struktur permodalan yang kuat. Praktek di negara-negara maju seperti Jepang dan Kanada, banyak di antara mereka yang sedang menggagas upaya untuk lebih berkembang dengan mengubah diri menjadi Perseroan Terbatas, sehingga dapat mengumpulkan modal lebih besar.
ii. Dari sisi perlindungan terhadap pemegang polis Pada bentuk Perseroan Terbatas atas Koperasi, pertanggung jawaban perusahaan ada pada pengurus perusahaan dan pemegang saham, sedangkan pemegang polis bukan merupakan pemilik atau pemagang saham perusahaan sehingga tidak ikut menanggung kerugian. Sehingga apabila terjadi kesalahan tata kelola oleh pengurus yang merugikan konsumen, maka hanya pengurus dan pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawaban. Berbeda dengan bentuk Usaha Bersama, pemegang polis merupakan anggota usaha bersama yang berhak atas keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha Usaha Bersama. Dengan demikian posisi pemegang polis, selain merupakan anggota juga merupakan pemilik usaha bersama sehingga dalam hal usaha bersama mengalami permasalahan kesehatan keuangan maka sebagai pemilik, pemegang polis juga ikut bertanggung jawab dalam upaya penyehatannya, padahal yang mengendalikan perusahaan 107 usaha bersama hanya beberapa pemegang polis yang dipilih menjadi Badan Perwakilan Anggota (BPA). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Pembuat undang-undang menganggap karakteristik Usaha Bersama tidak tepat dengan kebutuhan pengembangan usaha perasuransian, sehingga dengan mempertimbangkan perkembangan situasi sektor jasa keuangan, yang membutuhkan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hak-hak nasabah, maka Pembuat Undang-Undang menetapkan open legal policy dengan membatasi penyelenggaraan usaha perasuransian oleh badan hukum usaha bersama hanya untuk perusahaan berbentuk badan hukum usaha bersama yang telah ada pada saat UU Nomor 40 Tahun 2004 diundangkan, yang tercermin dalam rumusan Pasal 6 ayat (1) UU 40/2014. Mempertimbangkan hanya terdapat satu perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama yang diperbolehkan untuk menyelenggarakan usaha asuransi maka Pembuat Undang-Undang tidak melihat adanya kebutuhan untuk mengatur perusahaan asuransi berbentuk badan hukum Usaha Bersama dalam undang-undang tersendiri.
Namun demikian, Pembuat Undang-undang berkomitmen untuk tetap mengakui dan melindungi keberadaan usaha Perasuransian dalam bentuk Usaha Bersama yang telah ada, dengan mengatur Usaha Bersama dalam beberapa pasal dalam undang-undang No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40/2014) termasuk memperkuat tata kelolanya.
Mengingat tata kelola tersebut juga menyangkut hal-hal yang bersifat teknis, maka pembuat Undang-Undang memandang hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, in casu Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama (PP 87/2019).
Terkait pertanyaan Majelis Hakim mengenai pembatasan-pembatasan yang diatur dalam PP 87/2019, dapat kami sampaikan penjelasan sebagai berikut:
Sebagaimana telah kami kemukakan di atas, sebelum pembentukan UU Nomor 40 Tahun 2014, perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama belum memiliki pengaturan mengenai tata kelola penyelenggaran usaha oleh Usaha Bersama. Oleh karena itu, sesuai dengan penjelasan Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2014, dalam PP 87/2019 diatur mengenai tata kelola, 108 persyaratan dan tata cara perubahan menjadi badan hukum perseroan terbatas atau koperasi, serta persyaratan dan tata cara pembubaran badan hukum usaha bersama, termasuk pembatasan-pembatasan wewenang Peserta Rapat Umum Anggota (sebelumnya BPA) dengan tujuan agar Peserta RUA dalam menjalankan tugasnya dapat bertindak secara independen dan terbebas dari konflik kepentingan.
Terkait dengan pengawasan dari OJK, yang dianggap sebagai intervensi terhadap kewenangan Peserta Rapat Umum Anggota (sebelumnya BPA). Dapat kami sampaikan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK tersebut sejatinya adalah merupakan upaya pemerintah untuk melakukan perbaikan dan pembenahan atas penyelenggaran usaha asuransi oleh satu- satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama. Diharapkan dengan upaya tersebut dapat tercipat tercipta iklim asuransi yang sehat yang dapat melindungi kepentingan masyarakat khususnya pemegang polis sebagaimana acuan standar praktik terbaik ( best-practice standard ) internasional di bidang perasuransian. Sehingga hendaknya pengaturan pengawasan oleh OJK dalam PP-87/2019 tidak semata-mata diartikan sebagai bentuk intervensi Pemerintah dalam pengurusan internal suatu perusahaan perasuransian.
Terkait dengan pertanyaan Majelis Hakim mengenai AJB Bumiputera menjadi satu-satunya usaha bersama yang tersisa, dapat kami berikan penjelasan bahwa hal tersebut telah tertulis pada halaman 62 aline 3 Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Perasuransian Tahun 2014, yakni “… Satu-satunya Perusahaan Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915, yang belum pernah diperbaharui. Sejak tahun 2013, yakni pada saat kewenangan pengawasan perusahaan asuransi beralih dari Kementerian Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan hingga periode Juni 2020, AJB Bumiputera merupakan perusahaan asuransi berbentuk badan hukum Usaha Bersama. Sebagai satu-satunya Perusahaan Asuransi berbadan hukum usaha bersama, posisi AJB Bumiputera di industri asuransi jiwa berdasarkan aset perusahaan selama kurun waktu tahun 2013 hingga Juni 2020, dapat terlihat sebagaimana tabel di bawah ini. 109 Uraian 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019* Juni 2020* Jumlah Pelaku Asuransi (Termasuk Syariah) ● Bentuk Badan Hukum Perseroan 134 135 140 140 146 145 144 146 - Asuransi Jiwa 48 49 54 54 60 59 59 60 - Asuransi Umum 82 81 80 80 79 79 78 79 - Reasuransi 4 5 6 6 7 7 7 7 ● Bentuk Badan Hukum Usaha Bersama 1 1 1 1 1 1 1 1 - AJB Bumiputera 1912 1 1 1 1 1 1 1 1 Jumlah Aset Industri Asuransi Komersial (Termasuk Syariah) ● Total Aset Industri Asuransi Komersial(dala m Triliun Rp)**) 388,8 482,5 504,5 582,5 688,8 716,4 769,0 720,9 ● Total Aset Industri Asuransi Jiwa Komersial (dalam Triliun Rp) *) 281,4 355,7 365,7 438,7 534,3 543,0 578,4 522,8 ● Total Aset AJB Bumiputera 1912 (dalam Triliun Rp) ) 10,9 14,2 15,0 13,4 11,9 10,5 10,2 10,1 ● Aset Share AJB Bumiputera 1912 di Industri Asuransi Komersial 2,8% 2,9% 3,0% 2,3% 1,7% 1,5% 1,3% 1,3% ● Aset Share AJB Bumiputera 1912 di Industri Asuransi Jiwa Komersial __ 3,9% 4,0% 4,1% 3,1% 2,2% 1,9% 1,8% 1,8% ● Peringkat Aset AJB Bumiputera Diantara Industri Asuransi Jiwa) 9 10 9 10 13 12 16 16 110 Keterangan: *) berdasarkan laporan keuangan anaudited **) Jumlah Aset Industri Asuransi Komersial, total aset industri asuransi jiwa komersial, dan aset AJB Bumiputera 1912 tidak termasuk aset lain berupa cadangan premi yang ditangguhkan AJB Bumiputera 1912 sebesar Rp12,34 triliun. ***) penentuan posisi peringkat aset AJB Bumiputera 1912 tidak memasukan aset lain berupa cadangan premi yang ditangguhkan AJB Bumiputera 1912 sebesar Rp12,34 triliun. Selain dari sisi aset, jumlah peserta yang menjadi tertanggung dalam polis AJB Bumiputera 1912, dapat kami sampaikan bahwa terdapat kecenderungan penurunan jumlah peserta yang menjadi tertanggung dalam polis AJB Bumiputera 1912 berdasarkan data dari periode tahun 2017 hingga Juni 2020, sebagaimana tercatat sebagai berikut: No Portofolio Peserta Desember 2017 Desember 2018 Desember 2019 Juni 2020 1 Asuransi Perorangan 2.927.050 2.521.233 2.204.934 2.008.470 2 Asuransi Kumpulan 2.014.736 1.470.877 983.775 847.246 3 Jumlah (1+2) 4.941.786 3.992.110 3.188.709 2.855.716 4. Terkait dengan pertanyaan Majelis Hakim mengenai kapan naskah akademik diterbitkan, apakah setelah putusan MK atau sebelum putusan MK. Terhadap hal tersebut dapat kami sampaikan bahwa pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diucapkan, Pemerintah sedang melakukan perumusan perubahan UU Nomor 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan Rancangan Undang-Undang Perasuransian sebagaimana tertuang dalam halaman 63 alinea 3 Naskah Akademik, sebagai berikut: “… dengan mempertimbangkan putusan MK tersebut, kepastian hukum bagi badan hukum asuransi Usaha Bersama akan terpenuhi jika amanat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, pengakuan atau penetapan perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum, perlu dituangkan dalam undang- undang ini, untuk mengakomodir keberadaan satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang sudah ada di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Di samping itu, ketentuan mengenai tata kelola, persyaratan, tata cara persyaratan menjadi badan hukum perseoran terbatas atau koperasi, dan tata cara pembubaran serta 111 ketentuan lain bagi perusahaan perasuransian yang berbentuk badan hukum Usaha Bersama, akan diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa dalam naskah akademis terdapat respon Pembuat Undang-Undang atas Putusan MK No. 32/2013. Pembuat Undang-Undang menghormati Putusan MK No. 32/2013 dengan mengakui dan mengatur secara umum bentuk badan hukum usaha bersama (yang telah ada pada saat UU Nomor 40 Tahun 2014 diundangkan) dalam suatu undang-undang, yaitu UU Nomor 40 Tahun 2014 itu sendiri. Sedangkan, peraturan lebih lanjutnya diatur dalam suatu peraturan pemerintah. Dengan demikian, konsep pilihan hukum yang dituangkan dalam naskah akademis sudah barang tentu memperhatikan putusan MK No. 32/2013. Selain itu, untuk mendukung keterangannya, Presiden juga mengajukan keterangan saksi atas nama Isa Rachmatarwata dan Wicipto Setiadi , yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 20 Oktober 2020 dan 5 November 2020, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: A. Isa Rachmatarwata − Saksi merupakan salah satu penyusun UU 40/2014 dan pada saat itu saksi merupakan Kepala Biro Perasuransian di Bapepam-LK; − Latar belakang dibentuknya UU 40/2014 adalah pemerintah merasa perlu untuk melakukan perbaikan dalam hal pengaturan maupun pengawasan dalam penyelenggaraan usaha perasuransian. Penyelenggaraan usaha perasuransian pada waktu itu harus dibenahi agar kualitas penyelenggaraannya meningkat, pertama, dalam hal permodalan UU 40/2014 dapat memberikan kepastian hukum baik bagi pemodal maupun konsumen, dengan adanya UU a quo diharapkan dapat mendatangkan modal yang berasal dari investor lebih banyak terhadap usaha perasuransian di Indonesia karena Indonesia tidak boleh menutup kemungkinan masuknya investor kedalam industri usaha asuransi apapun bentuknya, pemerintah dalam hal ini memberikan berbagai pengukutan tingkat kesehatan perusahaan asuransi dalam hal permodalan juga dimana hal ini perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas industri perasuransian di Indonesia. Kedua adalah risk management , dimana pemerintah menginginkan seluruh perusahaan asuransi yang sudah ada, apapun 112 bentuknya, dapat meningkat kualitas risk management- nya karena investor terutama investor asing tentunya mempertimbangkan hal tersebut ketika akan menanamkan modalnya pada perusahaan asuransi. Ketiga , pemerintah juga perlu menyediakan exit strategy untuk perusahaan-perusahaan asuransi yang tidak mampu memenuhi persyaratan baik dalam hal permodalan, manajemen resiko dan lain-lain supaya dapat meninggalkan industri asuransi dengan baik dan tetap menjaga kepentingan para pemegang polis. Keempat, pengawasan dalam industri perasuransian pun dibenahi, apakah tetap berada pada Kementerian Keuangan atau beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)? Keempat hal tersebut merupakan beberapa hal yang dibenahi terkait dengan industri perasuransian yang diatur dalam UU 40/2014. − Terkait dengan Asuransi Usaha Bersama, merupakan salah satu bentuk badan usaha asuransi yang paling terbatas akses terhadap permodalan, hal ini tentunya berbeda dengan asuransi yang berbentuk perseroan terbatas dan juga koperasi terlebih lagi pengaturan terhadap badan usaha asuransi berbentuk usaha bersama sebelum UU 40/2014 belum diatur baik dalam UU 2/1992 maupun peraturan perundang-undangan dibawahnya. Padahal bentuk badan usaha asuransi usaha bersama ini juga membutuhkan modal dalam rangka memperkuat usahanya. Dalam perkembangannya, salah satu perusahaan yang menjalankan usaha asuransi usaha bersama yaitu AJB Bumiputera mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap ketentuan kesehatan perusahaan asuransi dan karena itu kemudia pemerintah membentuk UU 40/2014 yang memberikan pengaturan terhadap asuransi usaha bersama. − Saksi menjelaskan terkait dengan usulan pengaturan dari pemerintah mengenai bentuk badan usaha bersama, dimana pada konsep UU yang dibuat oleh pemerintah dan kemudian disampaikan kepada DPR, bentuk badan hukum yang disampaikan memang hanya 2 bentuk yaitu perseroan terbatas dan koperasi, namun di dalam peraturan peralihan, pemerintah tetap mengakui keberadaan AJB Bumiputera yang merupakan satu-satunya bentuk badan usaha bersama yang telah ada. Setelah beberapa kali diskusi yang dilakukan di DPR bersama dengan sejumlah perwakilan industri, pemerintah mendapatkan masukan bahwa asuransi dalam bentuk usaha 113 bersama harus dimuat dalam ketentuan pokok dan kemudian pemerintah kemudian menyetujui dan bersama dengan DPR bersepakat untuk menambahkan usaha bersama sebagai salah satu badan usaha asuransi. Namun, dikarenakan pengaturan dalam UU a quo cukup banyak dan tidak mungkin mengatur secara detil terkait tata kelola badan usaha asuransi usaha bersama ini dalam UU a quo maka kemudian dalam Pasal 6 ayat (3) UU a quo dimuat pengaturan terkait tata kelola lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sedangkan pengawasan terhadap asuransi usaha bersama, pada saat itu pembentuk undang-undang meyakini OJK dapat mengaturnya di dalam peraturan perundang-undangan yang bisa diterbitkan oleh OJK. − Menurut saksi, pada saat disusunnya UU 40/2014, tidak ada lagi usaha asuransi dalam bentuk usaha koperasi. Pernah ada, namun asuransi berbentuk koperasi tersebut tidak mampu memenuhi beberapa kewajibannya dan tidak mampu mendapatkan modal tambahan untuk dapat memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut. B. Wicipto Setiadi − Saksi menjabat sebagai kepala BPHN dan sebelumnya menjabat sebagai Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan pada saat UU 40/2014 disusun. − Rancangan UU 40/2014 merupakan inisiatif pemerintah dan merupakan salah satu RUU yang dimasukan dalam prolegnas pada waktu itu. − Pada saat pembahasan terkait dengan asuransi usaha bersama memang terjadi diskusi terkait pengaturannya dan pemerintah harus menaati putusan Mahkamah yang ada, diskusi pun akhirnya tertuju pada apakah diatur dengan undang-undang tersendiri atau tidak. Namun, atas kajian dari Kementerian Keuangan serta stakeholder yang mengatur bisnis perasuransian pada saat itu, keberadaan asuransi usaha bersama hanya terdapat satu dan sesuai dengan diskusi yang berkembang pada saat itu menjadi tidak efektif jika diatur dalam undang-undang tersendiri. Atas dasar pertimbangan tersebut maka asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 tetap diakui keberadaannya dan disepakati pula untuk ketentuan lebih lanjut diatur dengan peraturan pemerintah. Dan hasil dari rancangan UU 40/2014 pada waktu itu pula disepakati pada saat rancangan undang-undang a quo dibahas di DPR. 114 − Pertimbangan untuk tidak mengatur asuransi usaha bersama dalam undang- undang tersendiri sebenarnya terkait dengan perkembangan dari bisnis asuransi usaha bersama tersebut, karena dari hasil kajian bersama nampaknya pemerintah tidak akan membuka lagi asuransi dalam bentuk badan usaha bersama. Jika keadaannya demikian maka pengaturan terkait asuransi dalam bentuk badan usaha bersama telah diatur dalam UU 40/2014 dan pengaturan tata kelola sajalah yang diatur dalam peraturan pemerintah, hal demikian dianggap lebih efektif serta efisien dibanding dengan membentuk undang-undang tersendiri, karena jika memang harus dalam undang-undang maka pada waktu itu belum tentu dapat dimasukan dalam prolegnas sehingga membutuhkan waktu lagi untuk membentuk undang- undang terkait asuransi usaha bersama tersebut. [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan para Pemohon yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020, yang pada pokoknya para Pemohon tetap pada pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan Presiden yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020, yang pada pokoknya Presiden tetap pada pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan 115 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Nomor 48/2009). Salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618, selanjutnya disebut UU 40/2014) terhadap UUD 1945, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; 116 b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksudkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang rumusannya sebagai berikut: Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan pemerintah. 117 2. Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon VIII (selanjutnya disebut sebagai para Pemohon) adalah perseorangan warga negara Indonesia yang juga merupakan pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 dan juga anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912. Kedudukan para Pemohon baik sebagai pemegang polis asuransi maupun sebagai anggota BPA AJB Bumiputera 1912 tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari bentuk usaha perasuransian AJB Bumiputera 1912 yang berbentuk Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) dimana pemegang polis sekaligus sebagai pemilik dari AJB Bumiputera 1912 dan sama-sama memiliki hak suara untuk memilih maupun dipilih sebagai anggota BPA.
Dalam kualifikasinya tersebut para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terhalangi dengan berlakunya frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Seperti diterangkan para Pemohon, ketentuan dalam norma a quo telah menyebabkan para Pemohon baik sebagai pemegang polis maupun sebagai anggota BPA AJB Bumiputera 1912 tidak memiliki kepastian hukum dan juga perlakuan tidak adil atas penyelenggaraan usaha perasuransian dalam bentuk Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ).
Bahwa untuk membuktikan kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang juga merupakan pemegang polis asuransi juwa bersama (AJB) Bumiputera 1912 dan juga anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912, para Pemohon mengajukan alat bukti berupa identitas diri yaitu fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) [vide bukti P-3], fotokopi Surat Pemegang Polis [vide bukti P-8 sampai dengan bukti P-12 dan bukti P-14 serta bukti P-15] dan Akta Pernyataan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Nomor 05 tanggal 02 Agustus 2016 [vide bukti P-4]. Bahwa berdasarkan uraian dari para Pemohon tersebut di atas, baik dalam kualifikasi para Pemohon sebagai pemegang polis maupun anggota Badan Perwakilan anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912, menurut Mahkamah secara faktual para Pemohon telah dapat menjelaskan hak-hak konstitusional yang 118 dimilikinya dan hak dimaksud dapat dianggap dirugikan dan anggapan kerugian dimaksud menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi apabila para Pemohon tetap menjalankan usaha perasuransian AJB Bumiputera 1912 yang didasarkan pada norma yang dimohonkan pengujian. Di samping uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah para Pemohon juga telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara kerugian hak-hak konstitusional yang dimilikinya yang dianggap dirugikan dengan berlakunya frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu para Pemohon beranggapan bahwa jika permohonan ini dikabulkan maka kerugian sebagaimana diuraikan di atas tidak akan terjadi. Dengan demikian terlepas terbukti atau tidaknya dalil permohonan para Pemohon berkaitan dengan pokok permohonan, Mahkamah berpendapat, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo . [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo , selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, para Pemohon mengemukakan dalil-dalil (selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara) yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, AJB Bumiputera 1912 merupakan asuransi yang berbentuk usaha bersama dan satu-satunya di Indonesia, dimana dengan bentuk usaha bersama tersebut memiliki perbedaan pengelolaan dengan asuransi yang berbentuk perseroan terbatas;
Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, terkait dengan isu pengaturan usaha perasuransian berbentuk usaha bersama yang sebelumnya termuat dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang 119 Usaha Perasuransian (UU 2/1992) telah pernah diajukan ke Mahkamah dan telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, dan Mahkamah telah menegaskan terhadap ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh pembentuk undang- undang ketika membentuk UU 40/2014 dimana substansi yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU 2/1992 diubah dengan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sehingga norma a quo tersebut justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 32/PUU-XI/2013;
Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, dengan berlakunya Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 tersebut yang justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 selain berdampak pada kewibawaan lembaga pemutusnya juga berdampak pada penegakan hukum serta konstitusi yang sedang berlangsung dimana dalam hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum serta keadilan bagi para Pemohon yang sebelumnya telah mendapatkannya dalam Putusan Mahkamah sebelumnya menjadi terhalangi.
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Undang- Undang”. [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-15 dan keterangan ahli, atas nama Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum, dan Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK., yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020, 24 September 2020, dan 20 Oktober 2020, selain itu para Pemohon pun menyerahkan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); 120 [3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan yang didengarkan dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020 beserta keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 September 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); [3.10] Menimbang bahwa Presiden telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 Agustus 2020 dan didengar dalam persidangan pada tanggal 19 Agustus 2020, dan telah mengajukan 2 (dua) orang saksi, yaitu Isa Rachmatarwata dan Wicipto Setiadi yang masing- masing didengar keterangannya dalam persidangan pada tanggal 20 Oktober 2020 dan 5 November 2020, serta telah menyerahkan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); [3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli para Pemohon, keterangan saksi Presiden, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, kesimpulan tertulis para Pemohon, dan kesimpulan tertulis Presiden sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan dalil-dalil permohonan para Pemohon. [3.12] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”, menurut para Pemohon, Pasal 6 ayat (3) tersebut tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014 yang dalam pertimbangan hukum dan amarnya memerintahkan kepada Pembentuk undang-undang untuk membuat norma bahwa Asuransi Usaha Bersama diatur lebih lanjut dengan undang- undang, dan Mahkamah memberi waktu dua tahun enam bulan kepada Pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama. Namun, ternyata Perubahan Undang-Undang tentang Perasuransian, in casu UU 40/2014 tidak mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 121 32/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa Asuransi Usaha Bersama diatur dengan undang-undang. Pembentuk undang-undang justru mendegradasinya menjadi mengatur dengan peraturan pemerintah. Oleh karena itu menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; [3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal berikut: [3.13.1] Bahwa berkenaan dengan perekonomian sebagai ‘Usaha Bersama’, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 , Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. Pembukaan UUD 1945 tersebut kemudian dijabarkan salah satunya dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat (1) yang menyatakan Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, perekonomian Indonesia harus disusun sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan, namun tidak menutup ruang usaha dalam bentuk lain. Lebih lanjut Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 merupakan pedoman bagi negara untuk menyusun perekonomian sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimaktubkan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Dari aspek historis, sebagaimana termuat dalam lampiran UUD 1945 (sebelum perubahan), Pasal 33 dicantumkan untuk menegaskan bahwa kemakmuran masyarakat adalah utama, perekonomian disusun berdasar asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai Negara, hanya cabang produksi yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh ada di tangan individu/swasta, sedangkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah termasuk cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak itu. 122 Mohammad Hatta selaku perancang Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa kemunculan norma pasal tersebut dilatarbelakangi oleh semangat kolektivitas yang didasarkan pada semangat tolong-menolong ( Mohammad Hatta , Beberapa Fasal Ekonomi: Djalan Keekonomian dan Koperasi, Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian PP&K, 1954, __ halaman 265 ). Selain Mohammad Hatta, Soepomo sebagai salah seorang founding fathers berpandangan __ bahwa ..the private sectors may be involved only in non-startegic sectors-that do not effect the lives of most people...if the state does not control the strategic sectors, they will fall under the control of private-individuals and the people will be oppressed by them” (terjemahan bebas, sektor swasta mungkin hanya terlibat dalam sektor non strategis yang tidak mempengaruhi kehidupan kebanyakan orang ... jika negara tidak mengontrol sektor-sektor strategis, mereka akan berada di bawah kendali swasta-individu dan rakyat akan ditindas oleh mereka (Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 1, Februari Tahun 2010, hlm. 121). Bahwa selain itu, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013, tanggal 8 Mei 2014, (alinea pertama hlm. 240) telah mempertimbangkan makna usaha bersama sebagai berikut: Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 beserta Penjelasannya tersebut, koperasi merupakan bagian penting dari tata susunan ekonomi nasional atau tata susunan ekonomi Indonesia. Suatu tata susunan ekonomi mesti dirancang sesuai dengan nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa yang membentuk negara ini, nilai yang kemudian menjadi karakternya sebagaimana diuraikan di muka, yaitu nilai dan karakter kolektif, yang merupakan kebalikan dari nilai individualistik yang tidak dianut oleh UUD 1945. Koperasi sebagai bagian dari suatu tata susunan ekonomi mesti didesain, disosialisasikan, diperjuangkan, dan dilaksanakan, bukan tata susunan yang diserahkan kepada mekanisme pasar, meski pasar harus menjadi perhatian penting dalam percaturan perekonomian internasional. Dengan demikian maka sistem perekonomian nasional adalah merupakan sistem perekonomian yang berkarakter. Nilai yang dijunjung tinggi yang kemudian menjadi karakternya tersebut telah dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yaitu suatu tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, nilai sosial yang dijunjung tinggi dan diimplementasikan oleh bangsa yang kemudian menjadi karakternya tersebut di dalam UUD 1945 dirumuskan menjadi demokrasi ekonomi yang bertumpu pada dasar usaha bersama dan asas kekeluargaan. Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka telah jelas bahwa usaha bersama sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 adalah amanat tegas agar negara membentuk perekonomian dengan asas kekeluargaan yang saling bergotong-royong untuk meningkatkan perekonomian 123 demi memajukan kesejahteraan umum, bukan individu semata sebagai perwujudan tujuan dari Pembukaan UUD 1945. [3.13.2] Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan Perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance) sebagaimana praktik yang sudah berlangsung, yaitu adanya Asuransi Usaha Bersama seperti AJB Bumi Putera 1912, telah ternyata membuktikan bahwa perusahaan usaha bersama tersebut tidak hanya berbentuk koperasi melainkan juga perusahaan asuransi, yaitu asuransi jiwa bersama. Penegasan tersebut sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014, dalam Paragraf [3.10.3] , khususnya baris terakhir menyatakan: … Bahwa eksistensi Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumi Putera 1912 sebagai salah satu bukti sejarah konsep asuransi dengan prinsip dan asas kebersamaan atau usaha bersama ( mutual ). Dengan demikian, sejarah perasuransian di Indonesia untuk pertama kali telah dibentuk perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) yang dikenal dengan AJB Bumi Putera 1912 yang bertahan sampai saat ini. Artinya, Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 telah diejawantahkan bahwa usaha bersama yang dapat berbentuk koperasi maupun usaha bersama yang berbentuk perusahaan Asuransi Usaha Bersama yang dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan derajat bangsa Indonesia (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013). Bahwa sesuai fakta sejarah mengenai Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) yang ada sejak sebelum Indonesia merdeka tersebut, pembentuk undang-undang dalam Undang-Undang Perasuransian sebelum dilakukan perubahan telah memberi penguatan terhadap Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ), yaitu dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang menyatakan, “Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama ( mutual ) diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang“ . Dengan demikian, keberadaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) diakui dan diberi penguatan oleh pembentuk undang-undang untuk berkembang dan bersaing baik dengan usaha asuransi dalam bentuk perseroan maupun usaha asuransi dalam bentuk koperasi, dan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 semakin mengukuhkan penguatan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) dengan memerintahkan pembentuk 124 undang-undang dalam waktu dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan untuk membentuk dan mengundangkan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama di luar undang-undang tentang usaha perasuransian. Oleh karena itu berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka Asuransi Usaha Bersama merupakan usaha yang harus dibentuk dengan undang-undang sebagai amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. [3.13.3] Bahwa lebih lanjut, praktik usaha asuransi berbentuk usaha bersama di Indonesia memang hanya dimiliki oleh AJB Bumiputera. Namun, usaha asuransi berbentuk usaha bersama di negara lain berkembang dan maju menjadi perusahaan asuransi yang besar seperti di Jepang, Perancis, Denmark, Norwegia, Swedia, Belgia, Finlandia, Polandia, Slovenia, Spanyol, Amerika Serikat, serta di Afrika Selatan. Di Selandia Baru justru diadopsi dan didominasi oleh perusahaan asuransi jiwa. Bahkan perusahaan asuransi yang mengadopsi bentuk usaha bersama justru berkembang dengan sukses dan menjadi perusahaan multi-nasional yang memiliki cabang di banyak negara, seperti The Folksam Group di negara Swedia, Liberty Mutual Insurance di Amerika Serikat, The MACIF Group di negara Perancis, dan Old Mutual Life Assurance Company di negara Afrika Selatan. Keberhasilan perusahaan asuransi dalam bentuk usaha bersama di berbagai negara tersebut didukung dengan memberikan ruang pengaturannya dalam bentuk undang-undang, antara lain seperti: Selandia Baru, dengan Insurance (Prudential Supervision) Act 2010 dan Farmers’ Mutual Group Act 2007 Number 1 Private Act , Kanada, dengan Mutual Insurance Companies Act Chapter 306 of Revised Statutes 1989 dan Mutual Fire Insurance Companies Act 1960- Chapter 262, Inggris dan Scotlandia (United Kingdom), dengan Friendly Societies Act 1992, Perancis, dengan Code de la Mutualié, Jerman, dengan Versichegerungsaufsichtsgezetz yang telah diubah terakhir pada Tahun 2020. Dengan demikian, maka terlihat dengan jelas bahwa untuk mendukung Asuransi Usaha Bersama perlu diatur dengan undang-undang; [3.13.4] Bahwa selain penegasan tersebut di atas, hal yang tidak dapat diabaikan adalah kekuatan eksekutorial putusan badan peradilan. Sebagaimana diketahui bahwa secara universal putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya, ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya 125 saja, melainkan juga pelaksanaannya atau eksekusinya secara paksa. Suatu putusan dapat dilaksanakan apabila kepala putusan atau disebut irah-irah memuat kalimat yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” , pencantuman irah-irah ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan tersebut. Sehingga, peniadaan irah-irah tersebut mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum. Selain itu, pada asasnya, putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti serta mengikat antara para pihak yang berperkara. Bahwa terkait dengan kekuatan eksekutorial putusan badan peradilan, secara doktriner, bahwa putusan badan peradilan yang memerlukan eksekusi nyata (riil) adalah amar putusan yang bersifat condemnatoir (penghukuman), sedangkan putusan yang bersifat constitutief atau declaratoir tidak memerlukan eksekusi nyata (riil). Namun demikian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan norma dari undang-undang adalah inkonstitusional dan kemudian diikuti amar yang memerintahkan kepada pembentuk undang-undang dalam jangka waktu tertentu untuk membentuk undang-undang sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, maka kedua amar tersebut di samping mengandung amar yang bersifat constitutief atau declaratoir juga memuat amar yang bersifat penghukuman ( condemnatoir) . Artinya, amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga memuat perintah untuk melakukan suatu tindakan, yaitu membentuk undang-undang yang baru/tersendiri dalam jangka waktu dua setengah tahun sejak putusan itu diucapkan. Dalam konteks Putusan Mahkamah Konstitusi, putusan yang berkekuatan hukum tetap tercermin dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,...”. Kemudian Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Kata “final” dalam kedua pasal tersebut di atas, dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK, yaitu: 126 Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat ( final and binding ). Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat bagi semua pihak sejak putusan itu diucapkan, terutama dalam hal ini pembentuk undang-undang. Artinya, semua putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial, terlebih terhadap putusan yang disertai amar yang bersifat penghukuman ( condemnatoir ), sebagaimana diuraikan di atas. Bahwa oleh karena itu persoalan yang menjadi pertanyaan penting dan fundamental adalah apa akibat hukum apabila putusan Mahkamah Konstitusi yang amarnya mengabulkan permohonan para Pemohon bahkan terkandung permintaan agar pembentuk undang-undang atau pihak lain untuk melakukan perbuatan tertentu tidak ditaati. Menurut Mahkamah, tindakan tidak mentaati putusan adalah ‘pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi’. Hal tersebut berakibat adanya ketidakpastian hukum yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Akibat lainnya adalah terjadinya penundaan keadilan ( constitutionalism justice delay ) yang basisnya adalah nilai-nilai konstitusi Indonesia. Akibat hukum lain yang dapat ditimbulkan adalah ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang dapat memunculkan rivalitas lembaga negara yang diperlihatkan oleh DPR dan Presiden melalui pembentukan undang-undang yang dikeluarkan seolah mengabaikan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, keadaan demikian tentu dapat menyebabkan ketidakstabilan negara hukum utamanya penegakan nilai-nilai konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi adalah hukum yang dibentuk oleh badan peradilan yang kewenangannya didasarkan langsung dari UUD 1945, di mana ketika Mahkamah Konstitusi mengadili suatu perkara mendasarkan pada pasal-pasal yang termuat di dalam UUD 1945 sebagai hukum materiil. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Kata hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak hanya UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan di bawahnya melainkan juga termasuk putusan pengadilan. 127 Sehingga ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi adalah pengabaian terhadap UUD 1945. Bahwa dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi karena alasan-alasan yang bersifat kekinian sehingga tidak tepat lagi untuk diakomodir/dipenuhi atau tidak dapat dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang ataupun pihak lain, sepanjang alasan tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas suatu norma, bukan semata- mata alasan yang bersifat teknis dan pragmatis, maka terhadap putusan Mahkamah Konstitusi demikian dapat diajukan pengujian kembali untuk dilakukan ‘peninjauan’ terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sebagaimana hal demikian telah pernah dikabulkan oleh Mahkamah. Bukan dengan sengaja menafsirkan putusan dimaksud dan selanjutnya tidak mentaatinya. [3.13.5] Bahwa selanjutnya berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang dipersoalkan oleh para Pemohon yang sangat terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Menurut Mahkamah, sesungguhnya dalam putusan tersebut, baik dalam pertimbangan hukum maupun amarnya secara expressis verbis memerintahkan Pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama dalam dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan. Selengkapnya amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 menyatakan: Mengadili, Menyatakan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Bahwa sesuai amar Putusan Mahkamah tersebut maka pembentuk undang-undang diberi waktu dua tahun enam bulan untuk membentuk Undang- Undang tentang Asuransi Usaha Bersama ( Mutual Insurance ). Namun, kenyataannya pembentuk undang-undang bukan membentuk undang-undang sebagaimana perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 melainkan hanya memuat satu pasal dalam UU 40/2014 bahkan pembentuk undang-undang mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang kemudian oleh Mahkamah juga telah diputus bahwa Asuransi Usaha Bersama dibentuk dengan undang-undang. Bahwa dalam persidangan baik Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan yang pada pokoknya:
Perusahaan AJB Bumi Putera 1912 hanya satu-satunya dan tidak dimungkinkan akan ada penambahan perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutua l) lagi di Indonesia.
Dalam Usaha Bersama, penambahan modal tidak dapat dilakukan karena karakteristik Usaha Bersama tidak membolehkan adanya penambahan modal dari pihak luar selain dari anggota. Di sisi lain, karakteristik usaha perasuransian adalah bisnis yang memerlukan modal usaha besar.
Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan Usaha Bersama dalam menambah modal, dengan pemahaman Usaha Bersama sebagai kumpulan pihak dan bukan kumpulan modal, sementara di sisi lain Usaha Bersama tetap harus memastikan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, maka terhadap Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama yang telah ada, agar dapat tetap menjalankan usaha dengan memiliki standar perusahaan asuransi yang ideal, perlu diatur pembatasan ruang lingkup Asuransi Usaha Bersama dan penyempurnaan ketentuan mengenai tata kelola perusahaan-perusahaan Asuransi Usaha Bersama.
Bahwa UU 40/2014 telah mengakomodir kebutuhan hukum perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama pada pasal-pasal dalam batang tubuhnya, meskipun demikian, sebagai upaya penguatan terhadap perusahaan asuransi 129 berbentuk Usaha Bersama yang telah ada agar memiliki standar sebagai perusahaan perasuransian yang ideal serta memberikan perlindungan bagi para anggotanya, maka pembuat undang-undang juga memperhatikan hal tersebut dengan mengatur lebih lanjut mengenai badan hukum Usaha Perasuransian berbentuk Usaha Bersama dengan Peraturan Pemerintah. Bahwa penjelasan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut, menurut Mahkamah telah menafsirkan lain dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Putusan Mahkamah Konstitusi a quo sangat jelas dan gamblang menyatakan bahwa frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... ‘diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan ”. Artinya, ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama ( Mutual ) harus diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang tersendiri terpisah dari asuransi berbentuk perseroan dan asuransi berbentuk koperasi. Bahwa tindakan pembentuk undang-undang yang menafsirkan berbeda dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 merupakan tindakan yang keliru bahkan secara faktual tindakan pembentuk undang-undang yang tidak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki kekuatan eksekutorial merupakan bentuk ketiadaktaatan terhadap hukum. Terlebih lagi, pembentuk undang-undang secara sadar menafsirkan lain yang justru mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Tindakan menafsirkan amar suatu putusan badan peradilan adalah juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap asas universal ‘ res judicata pro viratate habetur’ yang menjadi landasan setiap putusan hakim yang harus dianggap benar, sepanjang putusan itu tidak dibatalkan kemudian oleh putusan hakim yang lain. Dengan kata lain, putusan hakim tidak boleh ditafsirkan lain dan harus dilaksanakan sebagaimana bunyi amar putusannya dan bunyi amar putusan dimaksud dianggap benar hingga dibatalkan oleh putusan hakim yang lainnya. 130 Bahwa alasan pembentuk undang-undang sebagaimana telah diuraikan di atas, bukan merupakan alasan konstitusional melainkan alasan teknis-pragmatis belaka. Seharusnya pembentuk undang-undang membuat undang-undang mengenai Asuransi Usaha Bersama agar menjadi maju dan berkembang sehingga dapat bersaing dengan asuransi perseroan dan asuransi koperasi. Sebagaimana di negara-negara lain seperti yang telah Mahkamah uraikan dalam Paragraf [3.13.3] , terlebih untuk Indonesia yang secara fakta sejarah telah memiliki Asuransi Usaha Bersama dalam hal ini AJB Bumiputera 1912 yang sampai saat ini keberadaannya masih diakui, justru harus didorong agar dapat mengembangkan industri perasuransian dengan bentuk usaha bersama, apalagi hal itu merupakan amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Di samping alasan tersebut di atas, penguatan eksistensi Asuransi Usaha Bersama juga mencerminkan adanya tekad dari negara dalam mempertahankan warisan kultur dan semangat gotong royong ( legacy ) dalam membangun perekonomian yang hingga saat ini masih relevan dibutuhkan yang menjadi ciri utama falsafah bangsa Indonesia. Sebab, mengakomodir pengaturan asuransi sebagai usaha bersama ( mutual) , sebagaimana AJB Bumi Putera 1912 di dalam undang-undang adalah juga bagian dari bentuk legitimasi bangsa Indonesia terhadap aspek legacy tersebut di atas. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon mengenai ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 beralasan menurut hukum, yaitu mengganti frasa yang semula berbunyi “diatur dalam Peraturan Pemerintah” menjadi “diatur dengan undang-undang”, sehingga ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Undang- Undang”. Perubahan norma dimaksud semata-mata agar tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (1) yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Oleh karenanya, adalah tindakan inkonstitusional jika pembentuk undang-undang menafsirkan lain atau berbeda dengan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah. [3.15] Menimbang bahwa untuk menyelesaikan pembentukan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama sebagaimana dikemukakan di atas, Mahkamah berpendapat diperlukan jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini 131 diucapkan. Waktu dua tahun adalah waktu yang cukup bagi pembentuk undang- undang (DPR dan Presiden) untuk menyelesaikan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ). [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ __ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
AMAR PUTUSAN Mengadili, 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
1 Menyatakan frasa “... diatur dalam Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum 132 mengikat; __ __ 1.2 Menyatakan frasa “... diatur dalam Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), diubah sehingga menjadi diatur dengan Undang-Undang, sehingga selengkapnya Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), menjadi “ Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Undang- Undang”. __ 1.3 Memerintahkan DPR dan Presiden untuk menyelesaikan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan. __ 2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. -------------------------------------------------------------------------------- 6. PENDAPAT BERBEDA ( DISSENTING OPINION ) Terhadap putusan Mahkamah ini, terdapat dua orang Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang memiliki pendapat berbeda ( dissenting opinion ) sebagai berikut: [6.1] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mempersoalkan frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Para Pemohon memohonkan agar pasal a quo dimaknai menjadi “diatur dengan Undang-Undang” sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu yaitu Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013, bertanggal 3 April 2014, yang amarnya menyatakan “ diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan”. Berkenaan dengan permohonan para Pemohon tersebut, Kami memberikan pendapat berbeda. 133 [6.2] Menimbang bahwa setelah dicermati secara saksama, para Pemohon menerangkan kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara Indonesia, Pemegang Polis AJB Bumiputera 1912 serta sebagai Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) dari berbagai daerah perwakilan. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 para Pemohon sebagai perseorangan dan pemegang polis diberikan kedudukan hukum karena pemilik badan usaha adalah para Pemegang Polis sebagaimana diatur dan disebutkan dalam Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 pada bagian Mukadimah, maupun dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 5, Pasal 7, dan Pasal 36 sampai dengan Pasal 45. Namun demikian, pemberian kedudukan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tidaklah serta merta dapat diberikan untuk perkara a quo dikarenakan pada saat Perkara Nomor 32/PUU-XI/2013 diajukan belum ada kejelasan status badan hukum usaha bersama. Namun, setelah diundangkannya UU 40/2014 usaha bersama yang telah ada dikukuhkan statusnya sebagai badan hukum usaha bersama dan organ badan hukum usaha bersama diatur dalam peraturan pelaksana UU 40/2014 yaitu PP 87/2019. Ketentuan Pasal 1 angka 8 PP 87/2019 mengatur adanya organ direksi, di mana direksi sebagai organ usaha bersama berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan usaha bersama untuk kepentingan usaha bersama, sesuai dengan maksud dan tujuan usaha bersama, serta mewakili usaha bersama baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan PP a quo dan anggaran dasar usaha bersama. Ketentuan Pasal 1 angka 8 PP 87/2019 dikuatkan kembali dalam Pasal 54 ayat (1) PP a quo yang menyatakan bahwa “Direksi baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama berwenang mewakili usaha bersama baik di dalam maupun di luar pengadilan”. Kewenangan Direksi untuk mewakili usaha bersama tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan, Anggaran Dasar, atau keputusan Rapat Umum Anggota (RUA). Bahwa selanjutnya, terkait dengan anggapan kerugian hak konstitusionalnya, para Pemohon menjelaskan kedudukannya sebagai Badan Perwakilan Anggota (BPA) untuk berbagai daerah pemilihan. Namun, pada saat UU 40/2014 dan PP 87/2019 berlaku sudah tidak ada lagi istilah BPA karena ketentuan Pasal 120 ayat (3) PP 87/2019 menyatakan bahwa BPA usaha bersama yang telah ada pada saat PP 87/2019 diundangkan, dinyatakan sebagai RUA dan memiliki tugas serta kewenangan sesuai dengan ketentuan dalam PP a quo . Adapun anggota 134 BPA __ yang telah ada pada saat PP a quo diundangkan, tanggal 26 Desember 2019, dinyatakan sebagai Peserta RUA [vide Pasal 120 ayat (4) PP 87/2019]. [6.3] Menimbang bahwa dengan mencermati secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya telah ternyata tidak tampak adanya hubungan kausal ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional yang diderita para Pemohon dengan berlakunya norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Karena, pada pokoknya yang dipersoalkan para Pemohon adalah beberapa ketentuan dalam PP 87/2019 yang dianggap para Pemohon telah menghilangkan eksistensi BPA karena mengubahnya menjadi RUA, dan mengurangi kewenangan BPA dalam mengelola AJB Bumiputera 1912. Termasuk di dalamnya para Pemohon juga mempersoalkan masa jabatan anggota BPA yang beralih menjadi anggota RUA sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 120 PP a quo yang menentukan selama satu tahun. Menurut para Pemohon, ketentuan demikian merugikan karena semula masa jabatan anggota BPA adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk maksimal dua periode berturut-turut. [6.3.1] Bahwa Jika mencermati secara saksama PP 87/2019, masa jabatan anggota RUA tersebut pada prinsipnya sama dengan anggota BPA yakni lima tahun dan dapat dipilih kembali. Ketentuan satu tahun yang dipersoalkan para Pemohon sebagai anggapan kerugian konstitusional tersebut hanyalah Ketentuan Peralihan dari anggota BPA menjadi anggota RUA yang sifatnya sementara waktu ( temporary ) sampai terbentuknya anggota RUA (vide Pasal 120 ayat (4) dan ayat (5) PP 87/2019). Selain itu, para Pemohon juga mempersoalkan anggapan kerugian yang dialaminya dikaitkan dengan tidak dibolehkannya anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah menjadi peserta RUA sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 ayat (3) PP 87/2019 yang dikaitkan dengan adanya pembatasan terhadap hak seseorang, in casu anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah untuk menjadi pemegang polis. [6.3.2] Bahwa uraian alasan para Pemohon yang mengait-kaitkan hak untuk menjadi anggota (pemegang polis) dan syarat untuk menjadi anggota RUA dalam batas penalaran yang wajar sungguh sulit untuk dipahami korelasinya dengan anggapan kerugian hak konstitusional yang dialaminya. Karena, pada prinsipnya 135 siapapun dapat menjadi pemegang polis AJB Bumiputera atau anggota sepanjang memenuhi syarat keanggotaan yaitu perseorangan berkewarganegaraan Indonesia atau pemegang polis badan hukum, lembaga, kelompok, atau perkumpulan yang tunduk pada hukum Indonesia (vide Pasal 8 PP 87/2019). Sementara itu, pembatasan yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada prinsipnya pembatasan atau syarat menjadi anggota RUA. Salah satu pembatasan tersebut adalah tidak membolehkan anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah. Pembatasan demikian adalah wajar dan tidak bertentangan dengan konstitusi di mana secara filosofis bertujuan untuk menjamin agar keputusan yang diambil oleh RUA dalam melaksanakan kewenangannya, yang tidak dimiliki oleh direksi atau dewan komisaris, tidak berafiliasi dengan kepentingan politik apapun atau independen. [6.3.3] Bahwa Lebih lanjut, para Pemohon juga menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya dikaitkan dengan adanya kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dianggap para Pemohon telah mengintervensi kewenangan BPA AJB Bumiputera 1912 sebagaimana menurut para Pemohon intervensi tersebut termaktub antara lain dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 19, Pasal 23 ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 24 ayat (6), ayat (7), ayat (8), Pasal 35 UU 40/2014 sehingga menurut para pemohon intervensi demikian dapat memperlambat proses pengambilan keputusan RUA (vide. permohonan para Pemohon hlm. 14 sampai dengan hlm. 17). Istilah RUA yang dimaksud dulunya adalah BPA. Berkenaan dengan uraian para Pemohon tersebut, penting ditegaskan bahwa pada saat BPA dibentuk tidak ada keterlibatan OJK dalam penyelenggaraan asuransi karena OJK sendiri baru dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU 21/2011). Artinya, pada saat BPA dibentuk memang belum ada OJK sebagai lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan (Pasal 5 UU 21/2011). Sebagai lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan OJK berwenang mengatur dan mengawasi perusahaan asuransi apapun dalam rangka memberikan perlindungan bagi para anggotanya, termasuk di dalamnya mengatur dan mengawasi badan hukum usaha bersama AJB Bumiputera 1912. 136 [6.4] Menimbang bahwa berdasarkan uraian kedudukan hukum di atas, telah jelas para Pemohon tidak dapat menguraikan apa sesungguhnya kerugian hak konstitusional yang dialami para Pemohon dengan berlakunya norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, sehingga tidak ada hubungan kausal ( causal verband ) antara kerugian para Pemohon dengan berlakunya norma pasal a quo . Dengan demikian seharusnya Mahkamah menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. [6.5] Menimbang bahwa uraian/pendapat hukum mengenai PP 87/2019 di atas bukan ditujukan untuk menilai keabsahan (legalitas) PP 87/2019 terhadap Undang- Undang atau bahkan terhadap UUD 1945, melainkan semata-mata karena para Pemohon dalam menjelaskan kerugian konstitusionalnya selalu merujuk pada PP 87/2019 a quo. [6.6] Menimbang bahwa andaipun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, tidak terdapat pula persoalan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 dikarenakan Pasal 6 ayat (1) UU 40/2014 menentukan bentuk badan hukum penyelenggara usaha perasuransian adalah perseroan terbatas, koperasi, dan usaha bersama. Badan hukum usaha bersama dimaksud adalah usaha bersama yang telah ada pada saat UU 40/2014 diundangkan yang dikukuhkan oleh UU a quo sebagai badan hukum usaha bersama. Sampai saat UU a quo diundangkan hanya ada satu badan hukum usaha bersama yaitu AJB Bumiputera 1912. UU a quo telah ternyata tidak hanya mengukuhkan AJB Bumiputera 1912 sebagai badan hukum usaha bersama tetapi juga mengatur secara garis besar mengenai tata kelola penyelenggara perasuransian oleh badan hukum usaha bersama. Pengaturan tersebut meliputi perizinan usaha bersama (Pasal 8 UU 40/2014); penerapan tata kelola perusahaan asuransi yang baik, termasuk usaha bersama (Pasal 11 UU 40/2014); pengaturan kewajiban organ perusahaan perasuransian, termasuk usaha bersama untuk memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan (Pasal 12 UU 40/2014); pengaturan prinsip dasar penyelenggaraan usaha bersama (Pasal 35 UU 40/2014); larangan bagi organ perusahaan asuransi, termasuk usaha bersama jika izin usaha perusahaan dicabut (Pasal 43 UU 40/2014); kewenangan organ perusahaan, termasuk usaha bersama, jika tim likuidasi telah dibentuk (Pasal 46 UU 40/2014); kewenangan OJK menonaktifkan 137 organ perusahaan, termasuk usaha bersama, dan menetapkan pengelola statuter, serta mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi perusahaan perasuransian dan organ perusahaan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 60 UU 40/2014); pemeriksanaan perusahaan perasuransian secara berkala atau sewaktu-waktu (Pasal 61 UU 40/2014); kewenangan OJK untuk memerintahkan penggantian direksi dan dewan komisaris (Pasal 72 UU 40/2014); ketentuan pidana bagi organ perusahaan yang melanggar UU 40/2014, dan ketentuan peralihan untuk penyesuaian usaha bersama dalam kurun waktu paling lama tiga tahun (Pasal 86 UU 40/2014). [6.6.1] Bahwa lebih lanjut, UU 40/2014 menjelaskan bahwa apabila di kemudian hari setelah UU 40/2014 diundangkan ada pihak-pihak yang akan menyelenggarakan usaha asuransi umum, usaha asuransi jiwa, usaha asuransi umum syariah, atau usaha asuransi jiwa syariah dengan bentuk usaha bersama, UU a quo menjelaskan agar bentuk badan hukumnya didorong berbentuk koperasi dengan pertimbangan kejelasan tata kelola dan prinsip usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan (vide Penjelasan Pasal 6 UU 40/2014). Artinya, dengan UU 40/2014 pembentuk undang-undang telah mengukuhkan AJB Bumiputera 1912 sebagai satu-satunya badan hukum usaha bersama. Namun, ke depannya usaha bersama apabila ada lagi oleh UU a quo didorong dalam bentuk koperasi. Koperasi pada hakikatnya adalah wadah usaha bersama untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi. Bentuk badan usaha bersama ( mutual ) ini sejiwa dengan badan usaha koperasi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, yang dalam usahanya bertumpu kepada kemampuan anggotanya serta berorientasi pada peningkatan kesejahteraan para anggotanya, bukan seperti perusahaan yang lebih berpihak dan menguntungkan para pemilik modal. Dengan demikian, bentuk koperasi untuk usaha bersama seandainya ke depan akan dibentuk adalah sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. [6.6.2] Bahwa berdasarkan pengaturan tersebut di atas maka pembentuk undang- undang, in casu Pembentuk UU 40/2014 pada prinsipnya telah melaksanakan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 walaupun tidak diatur dalam undang-undang tersendiri. Selain itu, UU 40/2014 tidak hanya mengukuhkan status badan hukum usaha bersama tetapi juga mengatur tata kelolanya, di mana untuk pengaturan lebih lanjutnya ditetapkan dalam PP 87/2019. 138 Dengan penjelasan dan argumentasi di atas dapat disimpulkan bahwa Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 tidak bertentangan dengan Konstitusi karena status hukum bagi usaha bersama yang ada yaitu AJB Bumiputera 1912 sebagai badan hukum telah ditegaskan dalam UU 40/2014 [vide Pasal 6 ayat (1) huruf c dan ayat (2)]. Selain telah memberikan kepastian hukum bahwa perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama adalah badan hukum dan ditegaskan pula bahwa AJB Bumiputera 1912 merupakan satu-satunya usaha bersama yang menyelenggarakan usaha perasuransian; telah diaturnya prinsip-prinsip umum tata kelola suatu perusahaan asuransi yang berlaku bagi usaha bersama dalam UU 40/2014 dan kekhususan bidang AJB Bumiputera 1912 di bidang asuransi; serta adanya fakta hukum bahwa hanya ada satu objek hukum atas pengaturan tata kelola usaha bersama, maka kebijakan pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) yang mendelegasikan pengaturan tata kelola usaha bersama ke dalam Peraturan Pemerintah telah didasarkan pada landasan hukum dan pemikiran yang jelas dan berdaya guna serta berhasil guna sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan] sehingga memberikan kepastian hukum. Dengan demikian tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 sebagaimana didalilkan para Pemohon. [6.7] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, Kami berpendapat bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, oleh karenanya seharusnya permohonan para Pemohon tidak diterima. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non , seharusnya Mahkamah menyatakan pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. *** Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P. Sitompul, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal sepuluh, bulan Desember, tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum 139 pada hari Kamis, tanggal empat belas, bulan Januari, tahun dua ribu dua puluh satu , selesai diucapkan pukul 13.26 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P. Sitompul, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Dian Chusnul Chatimah sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Wahiduddin Adams ttd. Arief Hidayat ttd. Saldi Isra PANITERA PENGGANTI, ttd. Dian Chusnul Chatimah
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negar ...
Uji materi Pasal 2 ayat (6) dan pasal 32 ayat (2) UU Ketentuan Umum Perpajakan
Relevan terhadap
Setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat maka Kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta Debitor mengenai piutang mereka yang belum dibayar. Berdasarkan pasal-pasal tersebut jika dihubungkan dengan Pasal 32 ayat 106 (1) dan ayat (2) UU KUP maka Kurator sebagai Wakil Wajib Pajak bertanggungjawab secara pribadi dan/atau tanggung renteng atas hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang timbul sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, proses pemberesan harta pailit hingga saat kepailitan berakhir.
Bahwa dalam konteks Wajib Pajak pailit, Pasal 32 ayat (1) UU KUP mengatur bahwa Wakil Wajib Pajak pailit adalah kurator. Klausul dalam ayat ini dimaknai bahwa dalam hal Wajib Pajak pailit, tindakan penagihan juga ditujukan kepada Kurator, karena mengingat harta Wajib Pajak (dalam pailit) yang menurut undang-undang perpajakan adalah merupakan objek sita, masuk kedalam boedel pailit dan harta pailit tersebut sedang dalam pengurusan dan pemberesan aset oleh Kurator.
Adapun ketetapan-ketetapan pajak yang terbit selama proses pailit atau proses pemberesan harta pailit Wajib Pajak tersebut, tidak masuk ke dalam boedel pailit karena diterbitkan setelah lewat batas akhir pengajuan tagihan, akan tetapi atas utang pajak yang belum terlunasi tersebut, sepanjang belum daluwarsa penagihan, sesuai Pasal 22 UU KUP, maka Direktorat Jenderal Pajak tetap mempunyai kewenangan, sebagaimana diatur dalam UU KUP dan Undang-Undang di bidang perpajakan, untuk melakukan penagihan atas utang pajak baik kepada Penanggung Pajak lainnya misalnya Pengurus.
Dengan demikian, penagihan pajak kepada Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak dilakukan dengan berdasarkan Undang-Undang di bidang perpajakan yaitu UU KUP dan Undang-Undang di bidang perpajakan yang memang merupakan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur terkait penagihan pajak. Adapun eksistensi dari UU PT dan UU Kepailitan dan PKPU adalah sebagai Undang-Undang yang mengatur di ranah privat bukan di ranah publik, sehingga seharusnya tidak ada permasalahan hukum terkait Undang-Undang mana yang lebih khusus (lex specialist) diantara UU KUP dengan UU PT serta UU Kepailitan dan PKPU, karena UU KUP mengatur di ranah publik (hak dan kewajiban perpajakan) sedangkan UU PT dan UU Kepailitan dan PKPU mengatur hubungan keperdataan di ranah privat diantara para subjek hukumnya. 107 n. Perlu kita perhatikan bahwa tingkat pembayaran utang pajak melalui proses kepailitan jika dirata-ratakan secara statistik tidak melebihi dari 1,38% selama kurun waktu tahun 20 tahun yaitu semenjak tahun 1999 hingga tahun 2020 (bulan Agustus). Hal ini sebagaimana tercermin dalam tabel di bawah ini: Berdasarkan data pada tabel di atas maka sangat logis dan berdasar jika Direktorat Jenderal Pajak diberikan kewenangan untuk menagihkan pelunasan utang pajak kepada Wakil Wajib Pajak secara pribadi dan/atau secara renteng sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP.
Secara sistematis di dalam UU KUP dan Undang-Undang di bidang perpajakan pun mengatur jaminan bagi terlunasinya utang pajak. Berdasarkan Pasal 18 UU KUP, Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UU KUP atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan STP, SKPKB, serta SKPKBT, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak 108 sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) UU KUP dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
Penanggung Pajak yang dilakukan tindakan penagihan pajak merujuk pada Pasal 1 angka 28 UU KUP mengatur bahwa Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam hal yang mempunyai utang pajak adalah Wajib Pajak Badan, maka tindakan penagihan dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang meliputi:
Badan/perseroan itu sendiri dan 2. Wakil wajib pajak badan oleh pengurus (Direksi, Komisaris, Pemegang Saham dan orang yang nyata-nyata mengambil kebijaksanaan dan/atau keputusan dalam menjalankan perusahaan). II. Penagihan Pajak PT United Coal Indonesia a. Kegiatan penagihan pajak kepada PT United Coal Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang memang secara khusus mengatur kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi Wajib Pajak baik ketika Wajib Pajak dalam keadaan normal maupun dalam keadaan pailit. Serangkaian kegiatan penagihan pajak yang diatur dalam peraturan tersebut berlaku bagi semua Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak dengan kondisi apa pun. Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak atas proses penagihan pajak yang dilakukan, juga telah diatur secara khusus dalam peraturan perpajakan yaitu seperti keberatan ke Kantor Wilayah DJP, banding ke Pengadilan Pajak maupun mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak. 109 b. PT United Coal Indonesia dinyatakan pailit berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 32/Pdt.Sus.Pailit/2014 /PN.Niaga.JKT.PST tanggal 24 November 2015.
Total Tagihan utang pajak yang diajukan kepada Kurator adalah Rp.
334.542.465,- (empat puluh tiga miliar tiga ratus tiga puluh empat juta lima ratus empat puluh dua ribu empat ratus enam puluh lima rupiah) terdiri dari 35 SKPKB/STP sejumlah Rp. 44.205.348.442,00 (empat puluh empat miliar dua ratus lima juta tiga ratus empat puluh delapan ribu empat ratus empat puluh dua rupiah) yang dikurangi dengan pembayaran yang telah dilakukan Wajib Pajak sejumlah Rp. 870.805.977,00. (delapan ratus tujuh puluh juta delapan ratus lima ribu sembilan ratus tujuh puluh tujuh rupiah) Tagihan utang pajak disampaikan kepada Kurator dengan surat nomor S- 6382/ WPJ.19/KP.01/2015 tanggal 17 Desember 2015. Adapun ke 35 SKPKB/STP tersebut adalah sebagai berikut: No Nomor SKPKB/STP Tanggal SKPKB/ST P Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00007/106/13/091/13 11-Mar-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 2 00007/107/13/091/14 28-Jan-14 218.095.841 STP PPN dan Terlambat Lapor 3 00008/107/13/091/14 28-Jan-14 148.070.494 STP PPN dan Terlambat Lapor 4 00009/107/13/091/14 29-Jan-14 133.731.749 STP PPN dan Terlambat Lapor 5 00010/107/13/091/14 29-Jan-14 67.282.203 STP PPN dan Terlambat Lapor 6 00011/107/13/091/14 29-Jan-14 64.805.678 STP PPN dan Terlambat Lapor 7 00017/106/12/091/13 01-Feb-13 291.941.719 STP PPh pasal 25 Angsuran 8 00020/107/12/091/14 29-Jan-14 204.683.426 STP PPN dan Terlambat Lapor 9 00021/106/13/091/13 03-Apr-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 10 00022/106/12/091/13 05-Feb-13 297.555.983 STP PPh pasal 25 Angsuran 11 00030/106/12/091/13 05-Feb-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 12 00041/106/13/091/13 30-Apr-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 13 00073/106/12/091/12 08-Okt-12 436.363.654 STP PPh pasal 25 Angsuran 14 00139/106/12/091/12 03-Des-12 444.855.263 STP PPh pasal 25 Angsuran 15 00049/107/14/091/15 28-May-15 1.500.000 STP PPN dan Terlambat Lapor 16 00002/107/15/091/15 28-May-15 1.000.000 STP PPN dan Terlambat Lapor 110 17 00013/101/15/091/15 28-May-15 300.000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 18 00093/101/14/091/15 28-May-15 1.200.000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 19 00064/101/13/091/15 28-May-15 100.000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 20 00051/107/14/091/15 3-Jun-15 500.000 STP PPN dan Terlambat Lapor 21 00105/106/14/091/15 13-Jul-15 1.000.000 STP PPh pasal 25 Angsuran 22 00183/207/10/091/15 28-Mei-15 1.013.029.486 SKPKB PPN DN 23 00184/207/10/091/15 25-May-15 65.293.500 SKPKB PPN DN 24 00182/207/10/091/15 25-May-15 318.214.632 SKPKB PPN DN 25 00185/207/10/091/15 25-May-15 154.414.672 SKPKB PPN DN 26 00186/207/10/091/15 25-May-15 101.773.778 SKPKB PPN DN 27 00050/103/14/091/15 21-Aug-15 270.903 STP PPh 23 Terlambat Setor dan Terlambat Lapor 28 00051/103/14/091/15 21-Aug-15 206.814 STP PPh 23 Terlambat Setor dan Terlambat Lapor 29 00018/109/10/091/15 10-Dec-15 121.563.538 STP Bunga Penagihan PPN 30 00019/109/10/091/15 10-Dec-15 7.835.220 STP Bunga Penagihan PPN 31 00020/109/10/091/15 10-Dec-15 38.185.756 STP Bunga Penagihan PPN 32 00021/109/10/091/15 10-Dec-15 18.529.761 STP Bunga Penagihan PPN 33 00022/109/10/091/15 10-Dec-15 12.221.853 STP Bunga Penagihan PPN 34 00014/206/13/091/15 16-Dec-15 33.745.131.050 SKPKB PPh 35 00169/207/11/091/15 17-Dec-15 5.150.381.649 SKPKB PPN DN Jumlah Rp.44.205.348.442, 00 d. Total tagihan utang pajak yang diakui oleh Kurator dalam rapat pencocokan piutang dan verifikasi pajak adalah sejumlah yang dajukan oleh KPP, yaitu sebesar Rp.43.334.542.465,- (empat puluh tiga miliar tiga ratus tiga puluh empat juta lima ratus empat puluh dua ribu empat ratus enam puluh lima rupiah) .
Total hasil penjualan harta pailit yang berhasil diperoleh oleh Kurator sebesar Rp.45.436.242.290,00 (empat puluh lima miliar empat ratus tiga puluh enam juta dua ratus empat puluh dua ribu dua ratus sembilan puluh rupiah). Harta Pailit bersih setelah dikurangi biaya kepailitan dan fee kurator adalah sebesar Rp.30.987.247.383,00 (tiga puluh miliar sembilan ratus delapan puluh tujuh juta dua ratus empat puluh tujuh ribu tiga ratus delapan puluh tiga rupiah). Dari harta pailit tersebut jumlah pembagian yang diperoleh KPP Wajib Pajak Besar Satu sebesar Rp.2.549.161.883,00 (dua 111 miliar lima ratus empat puluh Sembilan juta seratus enam puluh satu ribu delapan ratus delapan puluh tiga rupiah), yang kemudian bertambah menjadi Rp.2.677.919.334,00 (dua miliar enam ratus tujuh puluh tujuh juta sembilan ratus sembilan belas ribu tiga ratus tiga puluh empat rupiah), setelah mendapat tambahan atas bunga bank sebesar Rp.128.757.451,00 (seratus dua puluh delapan juta tujuh ratus lima puluh tujuh ribu empat ratus lima puluh satu rupiah). Atas hasil pembagian harta pailit tersebut telah disetor ke kas negara tanggal 23 November 2018.
Pembagian kepada KPP Wajib Pajak Besar Satu sebesar Rp.2.549.161.883,00 (dua miliar lima ratus empat puluh Sembilan juta seratus enam puluh satu ribu delapan ratus delapan puluh tiga rupiah) adalah 5,88% dari nilai seluruh tagihan pajak yang diakui oleh Kurator. Sedangkan Kreditor Separatis PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menerima Rp.14.000.000.000,- (empat belas milyar rupiah) atau sebesar 4,99% dari nilai seluruh tagihan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk yang diakui.
Selain menagih utang pajak dalam proses kepailitan melalui Kurator, pada tahun-tahun selama kepailitan berlangsung, KPP Wajib Pajak Besar Satu, berdasarkan Pasal 29 UU KUP, melakukan pemeriksaan pajak atas PT United Coal Indonesia atas kewajiban-kewajiban perpajakannya yang telah timbul dan terutang namun belum dilaporkan dan/atau belum dibayar sebelum PT United Coal Indonesia dinyatakan pailit. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, sesuai Pasal 13 ayat (1) UU KUP, diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dengan rincian sebagai berikut:
Terbit Tahun 2016 SKPKB PPh Badan tahun pajak 2011 Nomor 00026/206/11/091/16 sejumlah Rp.106.535.880.440,00 (seratus enam miliar lima ratus tiga puluh lima juta selapan ratus delapan puluh ribu empat ratus empat puluh rupiah).
Terbit Tahun 2017 sebesar Rp.46.431.017.912,00 (empat puluh enam miliar empat ratus tiga puluh satu juta tujuh belas ribu Sembilan ratus dua belas rupiah) terdiri atas: SKPKB PPN tahun pajak 2012 sebesar Rp.10.427.130.781,00 (sepuluh miliar empat ratus dua puluh tujuh juta serratus tiga puluh 112 ribu tujuh ratus delapan puluh satu rupiah) terdiri 9 ketetapan sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00019/107/12/091/17 23-May-17 206,633,351 STP PPN Hasil Pemeriksaan (Pasal 14 ayat 4 UU KUP) 2 00073/207/12/091/17 23-May-17 1,962,892,565 SKPKB PPN Hasil Pemeriksaan 3 00074/207/12/091/17 23-May-17 1,574,459,693 SKPKB PPN 4 00075/207/12/091/17 23-May-17 962,086,542 SKPKB PPN 5 00076/207/12/091/17 23-May-17 880,698,291 SKPKB PPN 6 00077/207/12/091/17 23-May-17 1,327,527,437 SKPKB PPN 7 00078/207/12/091/17 23-May-17 1,189,167,347 SKPKB PPN 8 00079/207/12/091/17 23-May-17 2,301,980,518 SKPKB PPN 9 00080/207/12/091/17 23-May-17 21,685,037 SKPKB PPN SKPKB dan STP PPN, PPh tahun pajak 2013 sebesar Rp.30.072.927.803,00 (tiga puluh miliar tujuh puluh dua juta Sembilan ratus dua puluh tujuh ribu delapan ratus tiga rupiah), yang terdiri dari 16 SKPKB dan 7 STP sebagai berikut: No . SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00041/107/13/091/17 21-Dec-17 305,336,630 STP PPN 2 00042/107/13/091/17 21-Dec-17 318,060,956 STP PPN 3 00043/107/13/091/17 21-Dec-17 285,464,974 STP PPN 4 00044/107/13/091/17 21-Dec-17 317,116,241 STP PPN 5 00045/107/13/091/17 21-Dec-17 230,517,085 STP PPN 6 00046/107/13/091/17 21-Dec-17 1,177,485,636 STP PPN 7 00003/245/13/091/17 21-Dec-17 796,717,447 SKPKB PPh 8 00021/203/13/091/17 21-Dec-17 246,492,039 SKPKB PPh 9 00030/201/13/091/17 21-Dec-17 308,460,799 SKPKB PPh 10 00031/201/13/091/17 21-Dec-17 505,270,948 SKPKB PPh 11 00014/177/13/091/17 22-Dec-17 53,832,260 STP PPN 12 00018/277/13/091/17 22-Dec-17 398,358,724 STP PPN 13 00081/207/13/091/17 22-Dec-17 1,094,683,598 STP PPN 14 00082/207/13/091/17 22-Dec-17 1,322,364,683 STP PPN 15 00083/207/13/091/17 22-Dec-17 1,130,660,572 STP PPN 16 00084/207/13/091/17 22-Dec-17 960,313,223 STP PPN 17 00085/207/13/091/17 22-Dec-17 1,130,328,722 STP PPN 18 00086/207/13/091/17 22-Dec-17 2,259,491,065 STP PPN 19 00087/207/13/091/17 22-Dec-17 2,353,651,073 STP PPN 20 00088/207/13/091/17 22-Dec-17 2,112,440,811 STP PPN 21 00089/207/13/091/17 22-Dec-17 2,346,660,183 STP PPN 22 00090/207/13/091/17 22-Dec-17 1,705,826,428 STP PPN 23 00091/207/13/091/17 22-Dec-17 8,713,393,706 STP PPN 113 SKPKB dan STP PPN dan PPh tahun Pajak 2014 sebesar Rp.5.908.774.309,00 (lima miliar Sembilan ratus delapan juta tujuh ratus tujuh puluh empat ribu tiga ratus sembilan rupiah), yang terdiri dari 6 SKPKB dan 4 STP sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00025/107/14/091/17 21-Dec-17 223,827,822 STP PPN 2 00026/107/14/091/17 21-Dec-17 160,368,482 STP PPN 3 00027/107/14/091/17 21-Dec-17 114,459,301 STP PPN 4 00028/107/14/091/17 21-Dec-17 8,990,527 STP PPN 5 00002/203/14/091/17 21-Dec-17 459,515,248 SKPKB PPh 6 00004/206/14/091/17 21-Dec-17 1,185,031,550 SKPKB PPh 7 00058/207/14/091/17 21-Dec-17 1,656,325,884 SKPKB PPN 8 00059/207/14/091/17 21-Dec-17 1,186,726,765 SKPKB PPN 9 00060/207/14/091/17 21-Dec-17 846,998,830 SKPKB PPN 10 00061/207/14/091/17 21-Dec-17 66,529,900 SKPKB PPN STP Pengawasan atas kewajiban perpajakan berupa pelaporan dan/atau pembayaran pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2016 sebesar Rp.22.185.019,00 (dua puluh dua juta seratus delapan puluh lima ribu Sembilan belas rupiah) terdiri dari 77 STP sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/ST P (Rp.) Keterangan 1 00004/103/15/091/17 23-Jan-17 203,186 STP Terlambat Setor 2 00006/103/15/091/17 24-Jan-17 12,596 STP PPh 23 Terlambat Setor 3 00062/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 4 00063/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 5 00065/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 6 00066/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 7 00067/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 8 00069/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 9 00070/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 10 00072/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 11 00075/101/16/091/17 22-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 12 00077/101/16/091/17 22-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 13 00079/101/16/091/17 23-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 114 14 00080/101/16/091/17 23-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 15 00034/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 16 00035/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 17 00036/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 18 00037/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 19 00038/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 20 00039/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 21 00040/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 22 00041/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 23 00042/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 24 00043/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 25 00044/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 26 00045/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 27 00020/107/12/091/17 29-May-17 3,513,807 STP PPN DN Terlambat Setor 28 00021/107/12/091/17 31-May-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 29 00003/140/12/091/17 2-Jun-17 170,287 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 30 00004/140/12/091/17 2-Jun-17 85,143 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 31 00005/103/12/091/17 2-Jun-17 100,000 STP PPh 23 Terlambat Lapor 32 00005/140/12/091/17 2-Jun-17 100,000 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 33 00008/103/13/091/17 2-Jun-17 100,000 STP PPh 23 Terlambat Lapor 34 00006/101/12/091/17 6-Jun-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 35 00006/140/12/091/17 7-Jun-17 100,000 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 36 00006/106/13/091/17 6-Jul-17 1,000,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 37 00003/107/13/091/17 10-Jul-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 38 00066/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 39 00067/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 40 00068/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 41 00069/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 42 00070/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 115 43 00071/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 44 00072/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 45 00073/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 46 00074/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 47 00075/106/16/091/17 11-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 48 00076/106/16/091/17 11-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 49 00077/106/16/091/17 11-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 50 00014/106/15/091/17 12-Sep-17 1,000,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 51 00015/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 52 00016/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 53 00017/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 54 00017/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 55 00018/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 56 00018/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 57 00019/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 58 00019/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 59 00020/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 60 00020/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 61 00021/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 62 00021/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 63 00022/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 64 00022/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 65 00023/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 66 00024/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 67 00025/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 68 00126/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 69 00127/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 70 00128/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 71 00129/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 116 72 00130/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 73 00131/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 74 00132/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 75 00133/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 76 00134/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 77 00023/106/15/091/17 15-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 3) Terbit Tahun 2018 sebesar Rp.2.200.000,00 (dua juta dua ratus ribu rupiah), yang merupakan STP Pengawasan sebanyak 13 STP sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00009/106/16/091/18 25-Jan-18 1,000,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 2 00042/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 3 00043/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 4 00044/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 5 00045/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 6 00046/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 7 00047/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 8 00048/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 9 00049/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 10 00050/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 11 00053/101/17/091/18 7-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 12 00054/101/17/091/18 7-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 13 00056/101/17/091/18 8-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor h. Atas sisa utang pajak yang tidak terbayarkan melalui proses kepailitan dan utang pajak yang ditemukan kemudian berdasarkan pemeriksaan pajak sebagaimana telah disajikan secara detail di atas, maka KPP Wajib Pajak Besar Satu melaksanakan kegiatan penagihan aktif kepada Penanggung Pajak/Wakil Wajib Pajak sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dengan total pajak terutang sejumlah Rp. 193.625.721.483,00 117 (seratus sembilan puluh tiga miliar enam ratus dua puluh lima juta tujuh ratus dua puluh satu ribu empat ratus delapan puluh tiga rupiah).
Penanggung Pajak menurut Pasal 1 angka 28 UU KUP adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Adapun rangkaian tindakan penagihan pajak yang dilakukan berupa: tindakan persuasif dengan mengundang rapat Penanggung Pajak melalui Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1942/WPJ.19/ KP.01/2018 tanggal 11 Mei 2018 dan Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1172/WPJ.19/KP.01/2019 tanggal 27 Mei 2019, Surat Teguran dan Surat Paksa, yang ditindaklanjuti dengan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) dengan detil sebagai berikut:
Surat Teguran No. Nomor Surat Teguran Tanggal 1 ST-00023/WPJ .1 9/KP.0104/2017 20-Mar-17 2 ST-00024/WPJ .1 9/KP.0104/2017 20-Mar-17 3 ST-00025/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 4 ST-00071/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 5 ST-00072/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 6 ST-00073/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 7 ST-00074/W PJ. 19/KP. 0104/20 17 22-May-17 8 ST-00075/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 9 ST-00076/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 10 ST-00104/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Jun-17 11 ST-00138/WPJ. 19/KP.0104/2017 07-Sep-17 12 ST-00 139/WPJ .19/KP.01 04/2017 7-Sep-17 13 ST-00152/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Sep-17 14 ST-00153/WPJ. 19/KP.0104/2017 12-Sep-17 15 ST-00235/WPJ .19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 16 ST-00236/WPJ .19/KP . 01 04/2017 13-Nov-17 17 ST-00237/WPJ.19/KP.0104/201 7 13-Nov-17 18 ST-00238/WPJ. 1 9/KP.01 04/2017 13-Nov-17 19 ST-00239/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 20 ST-00240/WPJ.19/KP .0 104/20 17 13-Nov-17 21 ST-00241/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 22 ST-00242/WPJ. 1 9/KP.0104/2017 13-Nov-17 23 ST-001 35/WPJ .1 9/KP. 01 04/2018 23-Mar-18 24 ST-00136/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 25 ST-00137/WPJ. 1 9/KP.0104/2018 23-Mar-18 26 ST-00138/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 118 27 ST-00139/WPJ .1 9/KP. 0104/2018 23-Mar-18 28 ST-001 40/WPJ .19/KP. 01 04/2018 23-Mar-18 29 ST-00141/WPJ. 19/KP.0104/2018 23-Mar-18 30 ST-00142/WPJ .1 9/KP.0104/2018 23-Mar-18 31 ST-00143/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 32 ST-00144/WPJ. 19/KP.0104/2018 23-Mar-18 2) Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Sita No. Surat Paksa Tanggal Surat Perintah Melaksanakan Sita (SPMP) 1 SP-00472/WPJ.19/KP.0104/2015 14-Dec-15 SIT-00004 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 2 SP-00473/WPJ. 19/KP.0104/2015 14-Dec-15 3 SP-00126/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 4 SP-00127/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 5 SP-00128/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 6 SP-00072/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 7 SP-00073/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 8 SP-00074/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 9 SP-00075/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 10 SP-00076/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 11 SP-00077/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 12 SP-00078/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 13 SP-00079/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 14 SP-00080/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 15 SP-00081/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 16 SP-00082/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 17 SP-00083/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 18 SP-00084/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 19 SP-00085/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 20 SP-00086/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 21 SP-00129/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 SIT-00005 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 22 SP-00130/WPJ. 19/KP.0104/2017 24-Jul-17 23 SP-00150/WPJ.19/KP.0104/2017 17-Oct-17 24 SP-00055/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 25 SP-00056/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 26 SP-00057/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 27 SP-00058/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 28 SP-00059/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 29 SP-00060/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 30 SP-00061/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 31 SP-00062/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 32 SP-00063/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 33 SP-00064/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 34 SP-00065/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 35 SP-00066/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 36 SP-00067/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 37 SP-00068/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 119 38 SP-00069/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 39 SP-00070/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 40 SP-00071/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 41 SP-00087/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 SIT-00006 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 42 SP-00088/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 43 SP-00249/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 44 SP-00250/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 45 SP-00251/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 46 SP-00252/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 47 SP-00253/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 48 SP-00254/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 49 SP-00255/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 50 SP-00256/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 51 SP-00257/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 52 SP-00258/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 53 SP-00259/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 54 SP-00260/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 55 SP-00261/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 56 SP-00262/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 57 SP-00263/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 58 SP-00264/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 59 SP-00265/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 60 SP-00266/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 61 SP-00267/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 SIT-00007 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 62 SP-00268/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 63 SP-00269/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 64 SP-00270/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 65 SP-00271/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 66 SP-00272/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 67 SP-00273/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 68 SP-00274/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 69 SP-00275/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 70 SP-00276/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 71 SP-00277/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 72 SP-00278/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 73 SP-00279/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 74 SP-00280/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 75 SP-00281/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 76 SP-00282/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 77 SP-00283/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 78 SP-00284/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 79 SP-00285/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 80 SP-00286/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 k. Berdasarkan SPMP tersebut dilakukan pemblokiran rekening Pemohon di Bank BCA melalui surat nomor S-2341/WPJ.19/ KP.01/2019 tanggal 29 Oktober 2019, Pencegahan kepada Penanggung Pajak melalui Keputusan 120 Menteri Keuangan Nomor KMK-613/KM.3/2019 tanggal 15 November 2019 untuk Taufik Surya Darma dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK- 614/KM.3/2019 tanggal 15 November 2019 untuk Herumanto Zaini.
Tindakan penagihan kepada Wakil Wajib Pajak, dalam hal ini Pemohon sebagai Direktur Utama PT United Coal Indonesia, sesuai Pasal 32 ayat (2) UU KUP adalah hal yang logis dan diperlukan. Hal ini terlihat dari total tagihan pajak yang terdiri dari SKPKB dan STP di atas, membuktikan bahwa Pemohon, sebagai Direktur Utama PT United Coal Indonesia, selama mengurus perusahaan tidak menjalankan tugasnya untuk memastikan terlunasinya kewajiban perpajakan PT United Coal Indonesia. Kewajiban perpajakan ini meliputi kegiatan menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya dengan benar. Dari rangkaian STP saja terlihat bahwa PT United Coal Indonesia, selama dibawah pengurusan Pemohon, bukan hanya tidak membayar kewajiban perpajakannya dengan benar, bahkan laporan perpajakannya yang rutin pun banyak tidak dilakukan atau terlambat. III. Pengecualian dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP Pada prakteknya, banyak ditemukan modus dari perusahaan untuk menghindari kewajiban membayar utang pajak melalui mekanisme pembuatan akta perubahan perseroan dengan mencantumkan nama pihak-pihak yang sebenarnya tidak pernah menjalankan kepengurusan/mengendalikan perseroan sebagai pengurus perseroan tersebut. Mengacu pada Pasal 32 ayat (2) UU KUP bahwa dalam hal pengurus tersebut dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa yang bersangkutan tidak dapat dimintakan tanggung jawab dalam pelunasan utang pajak perseroan, maka Direktorat Jenderal Pajak berwenang tidak melakukan tindakan penagihan atas utang pajak perseroan tersebut kepada yang bersangkutan. Pembuktian tersebut utamanya dilakukan pengurus yang bersangkutan kepada Direktur Jenderal Pajak, disamping Direktorat Jenderal Pajak juga dapat menghimpun dan menganalisis data dan/atau informasi dari pihak internal maupun eksternal berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Dalam praktiknya pembuktian yang dilakukan pengurus yang merasa bukan sebagai Penanggung Pajak antara lain: 121 a. Menyampaikan data dan informasi berupa surat keterangan atau sejenisnya dari pengurus dan pemegang saham yang lain bahwa yang bersangkutan bukan pengurus perseroan dan tidak pernah menjalankan kepengurusan perseroan;
Menyampaikan bukti bahwa yang bersangkutan tidak pernah menerima penghasilan dari perseroan tersebut;dan/atau c. Menyampaikan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa yang bersangkutan bukan pengurus perseroan. Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka memverifikasi dan menganalisis informasi, data dan/atau dokumen yang diperoleh dari pengurus yang merasa bukan sebagai Penanggung Pajak tersebut, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan:
Penelitian Administrasi 1. Menghimpun informasi, data dan/atau dokumen dari pihak internal maupun eksternal. Dari internal Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengecekkan dari sistem informasi yang ada meliputi pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), upaya hukum, intelijen perpajakan, dan data lainnya; Data pihak eksternal diperoleh dari data perseroan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, laporan hasil permintaan keterangan atau informasi dari pihak ketiga (pengurus lainnya, pegawai perseroan, lawan transaksi dan sebagainya) 2. Melakukan analisis terkait informasi, data dan/atau dokumen baik yang diperoleh dari internal Direktorat Jenderal Pajak, pengurus perseroan, maupun pihak ketiga lainnya tersebut;
Menuangkan hasil analisis tersebut dalam Laporan Uraian Penelitian dengan hasil apakah yang bersangkutan sebagai Penanggung Pajak yang bertanggungjawab secara pribadi dan/atau renteng terhadap pelunasan utang pajak perseroan atau sebaliknya b. Melakukan pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak ( delinquency audit ) sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.75/2002 tentang Pemeriksaan Untuk Tujuan Penagihan Pajak ( Delinquency Audit ). 122 1. Pemeriksaan dilakukan oleh petugas pemeriksa pajak untuk memperoleh data dan/atau informasi terkait Penanggung Pajak yang sebenarnya, harta dan upaya hukum;
Dapat dilakukan secara bersama-sama dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan atau hanya melalui pemeriksaan untuk tujuan lain;
Dalam pelaksanaan pemeriksaan, tim Pemeriksa Pajak akan melakukan hal-hal sebagai berikut: a) mencari alamat tempat/gudang penyimpanan harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak; b) meminjam bukti kepemilikan harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak; c) membuat daftar harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang sesuai dengan kondisi terkini; d) mencari informasi perihal wakil dari Penanggung Pajak, antara lain keluarga, direksi, komisaris dan pemegang saham mayoritas, beserta alamat sesuai dengan bukti identitas terakhir; dan e) melakukan konfirmasi dan permintaan keterangan serta bukti tentang identitas harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang KUP antara lain kepada: Notaris/PPAT, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pemerintah Daerah, Bank, Kepolisian, dan Konsultan Pajak 4. Hasilnya akan dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan yang menjadi dasar Direktorat Jenderal Pajak untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai pengurus yang bertanggung jawab secara pribadi dan/atau renteng dalam pelunasan utang pajak perseroan atau tidak. Proses sebagaimana diuraikan di atas, termasuk ke dalam rangkaian proses penagihan pajak yang diatur dalam beberapa peraturan pelaksanaan di Direktorat Jenderal Pajak diantaranya: a) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. 123 b) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran Dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. c) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.75/2002 tentang Pemeriksaan Untuk Tujuan Penagihan Pajak ( Delinquency Audit ). d) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan. e) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ/2012 tentang Kebijakan Penagihan Pajak. f) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencegahan Dalam Rangka Penagihan Pajak. g) Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-20/PJ/2018 tanggal 12 Januari 2018 hal Penegasan dan Pelaksanaan Pemblokiran, Pencegahan dan Penyanderaan. h) Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor Nomor S-234/PJ.04/2018 tanggal 23 April 2018 hal Optimalisasi Tindakan Penagihari sebagai Tindak Lanjut Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-20/PJ/2018 perihal Penegasan atas Pelaksanaan Pemblokiran, Pencegahan, dan Penyanderaan. Berdasarkan tahapan-tahapan pelaksanaan penagihan pajak, dan tahapan- tahapan untuk dapat menentukan apakah seseorang dapat dikecualikan atau tidak sebagai Wakil Wajib Pajak yang harus bertanggung jawab secara pribadi dan/atau renteng sebagaimana telah diuraikan di atas, maka terlihat bahwa untuk menentukan kriteria tersebut Direktorat Jenderal Pajak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya harus melaksanakan segala rangkaian proses secara cermat dan berdasarkan dokumen sumber yang valid dan terpercaya. Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak merasa keberatan, peraturan perundang-undangan perpajakan telah membuka jalur melakukan upaya hukum yang jelas yaitu melalui proses gugatan ke Pengadilan Pajak, keberatan ke Kantor Wilayah DJP, dan/atau banding ke Pengadilan Pajak. IV. Petitum Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan 124 pengujian ( constitutional review ) ketentuan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut :
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijk verklaard );
Menyatakan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ) [2.4] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Presiden/Pemerintah telah mengajukan dokumen (sebagai lampiran) yang diberi tanda PEM-1 sampai dengan PEM-211, di mana Lampiran PEM-1 sampai PEM-36 merupakan rincian tagihan pajak kepada Kurator PT UCI sejumlah Rp.43.334.542.465,- karena Wajib Pajak melakukan pembayaran utang pajak sejumlah Rp.870.805.977,-; Lampiran PEM-37 sampai dengan PEM-169 merupakan tagihan pajak hasil pemeriksaan pajak yang terbit setelah Wajib Pajak PT UCI pailit; serta Lampiran PEM-170 sampai dengan PEM-211 merupakan dokumen yang menunjukkan alur proses penagihan kepada Penanggung Pajak PT UCI. Berikut ini daftar Lampiran dimaksud.
PEM-1 S-6382/WPJ.19/ KP.01/2015 17-Des-15 2. PEM-2 SKP/STP No. 00007/106/13/091/13 11-Mar-13 3. PEM-3 SKP/STP No. 00007/107/13/091/14 28-Jan-14 4. PEM-4 SKP/STP No. 00008/107/13/091/14 28-Jan-14 5. PEM-5 SKP/STP No. 00009/107/13/091/14 29-Jan-14 6. PEM-6 SKP/STP No. 000010/107/13/091/14 29-Jan-14 7. PEM-7 SKP/STP No. 000011/107/13/091/14 29-Jan-14 8. PEM-8 SKP/STP No. 000017/106/12/091/13 01-Feb-13 9. PEM-9 SKP/STP No. 000020/107/12/091/14 29-Jan-14 125 10. PEM-10 SKP/STP No. 000021/106/13/091/13 03-Apr-13 11. PEM-11 SKP/STP No. 000022/106/12/091/13 05-Feb-13 12. PEM-12 SKP/STP No. 000030/106/12/091/13 05-Feb-13 13. PEM-13 SKP/STP No. 000041/106/13/091/13 30-Apr-13 14. PEM-14 SKP/STP No. 000073/106/12/091/12 08-Okt-12 15. PEM-15 SKP/STP No. 00139/106/12/091/12 03-Des-12 16. PEM-16 SKP/STP No. 000049/107/14/091/15 28-Mei-15 17. PEM-17 SKP/STP No. 00002/107/15/091/15 28-Mei-15 18. PEM-18 SKP/STP No. 00013/101/15/091/15 28-Mei-15 19. PEM-19 SKP/STP No. 00093/101/14/091/15 28-Mei-15 20. PEM-20 SKP/STP No. 00064/101/13/091/15 28-Mei-15 21. PEM-21 SKP/STP No. 00051/107/14/091/15 3-Jun-15 22. PEM-22 SKP/STP No. 00105/106/14/091/15 13-Jul-15 23. PEM-23 SKP/STP No. 00182/207/10/091/15 25-Mei-15 24. PEM-24 SKP/STP No. 00183/207/10/091/15 25-Mei-15 25. PEM-25 SKP/STP No. 00184/207/10/091/15 25-Mei-15 26. PEM-26 SKP/STP No. 00185/207/10/091/15 25-Mei-15 27. PEM-27 SKP/STP No. 00186/207/10/091/15 25-Mei-15 28. PEM-28 SKP/STP No. 00050/103/14/091/15 21-Aug-15 29. PEM-29 SKP/STP No. 00051/103/14/091/15 21-Aug-15 30. PEM-30 SKP/STP No. 00018/109/10/091/15 10-Dec-15 31. PEM-31 SKP/STP No. 00019/109/10/091/15 10-Dec-15 32. PEM-32 SKP/STP No. 00020/109/10/091/15 10-Dec-15 33. PEM-33 SKP/STP No. 00021/109/10/091/15 10-Dec-15 34. PEM-34 SKP/STP No. 00022/109/10/091/15 10-Dec-15 35. PEM-35 SKP/STP No. 00014/206/13/091/15 16-Dec-15 36. PEM-36 SKP/STP No. 00169/207/11/091/15 17-Dec-15 37. PEM-37 SKP/STP No. 00026/206/11/091/16 29-Nov-16 38. PEM-38 SKP/STP No. 00019/107/12/091/17 23-Mei-17 39. PEM-39 SKP/STP No. 00073/207/12/091/17 23-Mei-17 40. PEM-40 SKP/STP No. 00074/207/12/091/17 23-Mei-17 41. PEM-41 SKP/STP No. 00075/207/12/091/17 23-Mei-17 42. PEM-42 SKP/STP No. 00076/207/12/091/17 23-Mei-17 126 43. PEM-43 SKP/STP No. 00077/207/12/091/17 23-Mei-17 44. PEM-44 SKP/STP No. 00078/207/12/091/17 23-Mei-17 45. PEM-45 SKP/STP No. 00079/207/12/091/17 23-Mei-17 46. PEM-46 SKP/STP No. 00080/207/12/091/17 23-Mei-17 47. PEM-47 SKP/STP No. 00041/107/13/091/17 21-Dec-17 48. PEM-48 SKP/STP No. 00042/107/13/091/17 21-Dec-17 49. PEM-49 SKP/STP No. 00043/107/13/091/17 21-Dec-17 50. PEM-50 SKP/STP No. 00044/107/13/091/17 21-Dec-17 51. PEM-51 SKP/STP No. 00045/107/13/091/17 21-Dec-17 52. PEM-52 SKP/STP No. 00046/107/13/091/17 21-Dec-17 53. PEM-53 SKP/STP No. 00003/245/13/091/17 21-Dec-17 54. PEM-54 SKP/STP No. 00021/203/13/091/17 21-Dec-17 55. PEM-55 SKP/STP No. 00030/201/13/091/17 21-Dec-17 56. PEM-56 SKP/STP No. 00031/201/13/091/17 21-Dec-17 57. PEM-57 SKP/STP No. 00014/177/13/091/17 22-Dec-17 58. PEM-58 SKP/STP No. 00018/277/13/091/17 22-Dec-17 59. PEM-59 SKP/STP No. 00081/207/13/091/17 22-Dec-17 60. PEM-60 SKP/STP No. 00082/207/13/091/17 22-Dec-17 61. PEM-61 SKP/STP No. 00083/207/13/091/17 22-Dec-17 62. PEM-62 SKP/STP No. 00084/207/13/091/17 22-Dec-17 63. PEM-63 SKP/STP No. 00085/207/13/091/17 22-Dec-17 64. PEM-64 SKP/STP No. 00086/207/13/091/17 22-Dec-17 65. PEM-65 SKP/STP No. 00087/207/13/091/17 22-Dec-17 66. PEM-66 SKP/STP No. 00088/207/13/091/17 22-Dec-17 67. PEM-67 SKP/STP No. 00089/207/13/091/17 22-Dec-17 68. PEM-68 SKP/STP No. 00090/207/13/091/17 22-Dec-17 69. PEM-69 SKP/STP No. 00091/207/13/091/17 22-Dec-17 70. PEM-70 SKP/STP No. 00025/107/14/091/17 21-Dec-17 71. PEM-71 SKP/STP No. 00026/107/14/091/17 21-Dec-17 72. PEM-72 SKP/STP No. 00027/107/14/091/17 21-Dec-17 73. PEM-73 SKP/STP No. 00028/107/14/091/17 21-Dec-17 74. PEM-74 SKP/STP No. 00002/203/14/091/17 21-Dec-17 75. PEM-75 SKP/STP No. 00004/206/14/091/17 21-Dec-17 127 76. PEM-76 SKP/STP No. 00058/207/14/091/17 21-Dec-17 77. PEM-77 SKP/STP No. 00059/207/14/091/17 21-Dec-17 78. PEM-78 SKP/STP No. 00060/207/14/091/17 21-Dec-17 79. PEM-79 SKP/STP No. 00061/207/14/091/17 21-Dec-17 80. PEM-80 SKP/STP No. 00004/103/15/091/17 23-Jan-17 81. PEM-81 SKP/STP No. 00006/103/15/091/17 24-Jan-17 82. PEM-82 SKP/STP No. 00062/101/16/091/17 21-Mar-17 83. PEM-83 SKP/STP No. 00063/101/16/091/17 21-Mar-17 84. PEM-84 SKP/STP No. 00065/101/16/091/17 21-Mar-17 85. PEM-85 SKP/STP No. 00066/101/16/091/17 21-Mar-17 86. PEM-86 SKP/STP No. 00067/101/16/091/17 21-Mar-17 87. PEM-87 SKP/STP No. 00069/101/16/091/17 21-Mar-17 88. PEM-88 SKP/STP No. 00070/101/16/091/17 21-Mar-17 89. PEM-89 SKP/STP No. 00072/101/16/091/17 21-Mar-17 90. PEM-90 SKP/STP No. 00075/101/16/091/17 22-Mar-17 91. PEM-91 SKP/STP No. 00077/101/16/091/17 22-Mar-17 92. PEM-92 SKP/STP No. 00079/101/16/091/17 23-Mar-17 93. PEM-93 SKP/STP No. 00080/101/16/091/17 23-Mar-17 94. PEM-94 SKP/STP No. 00034/107/16/091/17 17-Mar-17 95. PEM-95 SKP/STP No. 00035/107/16/091/17 17-Mar-17 96. PEM-96 SKP/STP No. 00036/107/16/091/17 17-Mar-17 97. PEM-97 SKP/STP No. 00037/107/16/091/17 17-Mar-17 98. PEM-98 SKP/STP No. 00038/107/16/091/17 17-Mar-17 99. PEM-99 SKP/STP No. 00039/107/16/091/17 17-Mar-17 100. PEM-100 SKP/STP No. 00040/107/16/091/17 17-Mar-17 101. PEM-101 SKP/STP No. 00041/107/16/091/17 17-Mar-17 102. PEM-102 SKP/STP No. 00042/107/16/091/17 17-Mar-17 103. PEM-103 SKP/STP No. 00043/107/16/091/17 17-Mar-17 104. PEM-104 SKP/STP No. 00044/107/16/091/17 17-Mar-17 105. PEM-105 SKP/STP No. 00045/107/16/091/17 17-Mar -17 106. PEM-106 SKP/STP No. 00020/107/12/091/17 29-Mei-17 107. PEM-107 SKP/STP No. 00021/107/12/091/17 31-Mei-17 108. PEM-108 SKP/STP No. 00003/140/12/091/17 2-Jun-17 128 109. PEM-109 SKP/STP No. 00004/140/12/091/17 2-Jun-17 110. PEM-110 SKP/STP No. 00005/140/12/091/17 2-Jun-17 111. PEM-111 SKP/STP No. 00005/103/12/091/17 2-Jun-17 112. PEM-112 SKP/STP No. 00008/103/13/091/17 2-Jun-17 113. PEM-113 SKP/STP No. 00006/101/12/091/17 6-Jun-17 114. PEM-114 SKP/STP No. 00006/140/12/091/17 7-Jun-17 115. PEM-115 SKP/STP No. 00006/106/13/091/17 6-Jul-17 116. PEM-116 SKP/STP No. 00003/107/13/091/17 10-Jul-17 117. PEM-117 SKP/STP No. 00066/106/16/091/17 8-Sep-17 118. PEM-118 SKP/STP No. 00067/106/16/091/17 8-Sep-17 119. PEM-119 SKP/STP No. 00068/106/16/091/17 8-Sep-17 120. PEM-120 SKP/STP No. 00069/106/16/091/17 8-Sep-17 121. PEM-121 SKP/STP No. 00070/106/16/091/17 8-Sep-17 122. PEM-122 SKP/STP No. 00071/106/16/091/17 8-Sep-17 123. PEM-123 SKP/STP No. 00072/106/16/091/17 8-Sep-17 124. PEM-124 SKP/STP No. 00073/106/16/091/17 8-Sep-17 125. PEM-125 SKP/STP No. 00074/106/16/091/17 8-Sep-17 126. PEM-126 SKP/STP No. 00075/106/16/091/17 11-Sep-17 127. PEM-127 SKP/STP No. 00076/106/16/091/17 11-Sep-17 128. PEM-128 SKP/STP No. 00077/106/16/091/17 11-Sep-17 129. PEM-129 SKP/STP No. 00014/106/15/091/17 12-Sep-17 130. PEM-130 SKP/STP No. 00015/106/15/091/17 12-Sep-17 131. PEM-131 SKP/STP No. 00016/106/15/091/17 12-Sep-17 132. PEM-132 SKP/STP No. 00017/101/15/091/17 12-Sep-17 133. PEM-133 SKP/STP No. 00017/106/15/091/17 12-Sep-17 134. PEM-134 SKP/STP No. 00018/101/15/091/17 12-Sep-17 135. PEM-135 SKP/STP No. 00018/106/15/091/17 12-Sep-17 136. PEM-136 SKP/STP No. 00019/101/15/091/17 12-Sep-17 137. PEM-137 SKP/STP No. 00019/106/15/091/17 12-Sep-17 138. PEM-138 SKP/STP No. 00020/101/15/091/17 12-Sep-17 139. PEM-139 SKP/STP No. 00020/106/15/091/17 12-Sep-17 140. PEM-140 SKP/STP No. 00021/101/15/091/17 12-Sep-17 141. PEM-141 SKP/STP No. 00021/106/15/091/17 12-Sep-17 129 142. PEM-142 SKP/STP No. 00022/101/15/091/17 12-Sep-17 143. PEM-143 SKP/STP No. 00022/106/15/091/17 12-Sep-17 144. PEM-144 SKP/STP No. 00023/101/15/091/17 12-Sep-17 145. PEM-145 SKP/STP No. 00024/101/15/091/17 12-Sep-17 146. PEM-146 SKP/STP No. 00025/101/15/091/17 12-Sep-17 147. PEM-147 SKP/STP No. 00126/107/15/091/17 12-Sep-17 148. PEM-148 SKP/STP No. 00127/107/15/091/17 12-Sep-17 149. PEM-149 SKP/STP No. 00128/107/15/091/17 12-Sep-17 150. PEM-150 SKP/STP No. 00129/107/15/091/17 12-Sep-17 151. PEM-151 SKP/STP No. 00130/107/15/091/17 12-Sep-17 152. PEM-152 SKP/STP No. 00131/107/15/091/17 12-Sep-17 153. PEM-153 SKP/STP No. 00132/107/15/091/17 12-Sep-17 154. PEM-154 SKP/STP No. 00133/107/15/091/17 12-Sep-17 155. PEM-155 SKP/STP No. 00134/107/15/091/17 12-Sep-17 156. PEM-156 SKP/STP No. 00023/106/15/091/17 15-Sep-17 157. PEM-157 SKP/STP No. 00009/106/16/091/18 25-Jan-18 158. PEM-158 SKP/STP No. 00042/101/17/091/18 6-Feb-18 159. PEM-159 SKP/STP No. 00043/101/17/091/18 6-Feb-18 160. PEM-160 SKP/STP No. 00044/101/17/091/18 6-Feb-18 161. PEM-161 SKP/STP No. 00045/101/17/091/18 6-Feb-18 162. PEM-162 SKP/STP No. 00046/101/17/091/18 6-Feb-18 163. PEM-163 SKP/STP No. 00047/101/17/091/18 6-Feb-18 164. PEM-164 SKP/STP No. 00048/101/17/091/18 6-Feb-18 165. PEM-165 SKP/STP No. 00049/101/17/091/18 6-Feb-18 166. PEM-166 SKP/STP No. 00050/101/17/091/18 6-Feb-18 167. PEM-167 SKP/STP No. 00053/101/17/091/18 7-Feb-18 168. PEM-168 SKP/STP No. 00054/101/17/091/18 7-Feb-18 169. PEM-169 SKP/STP No. 00056/101/17/091/18 8-Feb-18 170. PEM-170 Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1942/WPJ.19/ KP.01/2018 11-Mei-18 130 171. PEM-171 Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1172/WPJ.19/ KP.01/2019 172. PEM-172 ST-00023/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 173. PEM-173 ST-00024/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 174. PEM-174 ST-00025/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 175. PEM-175 ST-00071/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 176. PEM-176 ST-00072/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 177. PEM-177 ST-00073/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 178. PEM-178 ST-00074/W PJ. 19/KP. 0104/20 17 22-Mei-17 179. PEM-179 ST-00075/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 180. PEM-180 ST-00076/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 181. PEM-181 ST-00104/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Jun-17 182. PEM-182 ST-00138/WPJ. 19/KP.0104/2017 7-Sep-17 183. PEM-183 ST-00 139/WPJ .19/KP.01 04/2017 7-Sep-17 184. PEM-184 ST-00152/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Sep-17 185. PEM-185 ST-00153/WPJ. 19/KP.0104/2017 12-Sep-17 186. PEM-186 ST-00235/WPJ .19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 187. PEM-187 ST-00236/WPJ .19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 188. PEM-188 ST-00237/WPJ.19/KP.0104/201 7 13-Nov-17 189. PEM-189 ST-00238/WPJ.19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 190. PEM-190 ST-00239/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 191. PEM-191 ST-00240/WPJ.19/KP.0104/20 17 13-Nov-17 192. PEM-192 ST-00241/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 193. PEM-193 ST-00242/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 194. PEM-194 ST-00135/WPJ.19/KP. 01 04/2018 23-Mar-18 195. PEM-195 ST-00136/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 196. PEM-196 ST-00137/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 197. PEM-197 ST-00138/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 198. PEM-198 ST-00139/WPJ.19/KP. 0104/2018 23-Mar-18 199. PEM-199 ST-00140/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 200. PEM-200 ST-00141/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 201. PEM-201 ST-00142/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 131 202. PEM-202 ST-00143/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 203. PEM-203 ST-00144/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 204. PEM-204 Daftar Surat Paksa yang telah diberitahukan kepada Penaggung Pajak PT United Coal Indonesia 29-Okt-19 205. PEM-205 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT- 00004/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 206. PEM-206 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT- 00005/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 207. PEM-207 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT-SKP/STP No. 00006/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 208. PEM-208 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT-SKP/STP No. 00007/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 209. PEM-209 S-2341/WPJ.19/KP.01/2019 (Blokir Rekening) 29-Okt-19 210. PEM-210 Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-613/KM.3/2019 untuk Taufik Surya Darma (Pencegahan) 15-Nov-19 211. PEM-211 Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-614/KM.3/2019 untuk Herumanto Zaini (Pencegahan) 15-Nov-19 Selain itu Presiden/Pemerintah mengajukan empat orang Ahli. Dua orang Ahli menyampaikan keterangan keterangan lisan di hadapan sidang 14 Oktober 2020, yang dilengkapi keterangan tertulis yaitu Dr. Abdul Anshari Ritonga, S.E., S.H., M.A dan Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H. Adapun dua Ahli lain, yaitu Dr. Dian Puji N Simatupang, S.H., M.H dan Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn., menyampaikan keternagan secara tertulis. Keterngan masing-masing ahli pada pokoknya sebagai berikut. 132 1. Abdul Anshari Ritonga Tentang Pasal 32 ayat (2) UU KUP Sesuai Pasal 32 ayat (2) dan penjelasannya UU KUP, untuk Wajib Pajak Badan, yang bertangggung jawab menjalankan hak dan kewajiban perpajakan atas pembayaran pajak dan pemenuhan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak Badan adalah Pengurus dari Badan tesebut. Tanggung Jawab Pengurus dimaksud adalah tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab renteng. Subjek hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban hukum. Menurut Kamus Hukum, subject vaan een recht ; Subjek orang yang berhak; manusia pribadi atau badan hukum yang berhak bertindak atau melakukan perbuatan hukum Pasal 1 angka 2 dan Pasal 2 UU KUP antara lain berbunyi: Subjek hukum pajak terdiri dari orang pribadi dan/atau badan yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan sistem self assesment dalam perpajakan yang berlaku di Indonesia, subjek hukum pajak yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif berkewajiban mendaftarkan diri, menghitung dan membayar pajak terhutang, serta melaporkan kewajiban perpajakannya ke Kantor Pajak, Direktorat Jenderal Pajak. Namun, Badan sebagai subjek hukum pajak, secara fisik tidak dapat bertindak, berbuat dan bergerak untuk melakukan kewajiban perpajakannya dimaksud. Pengertian badan sebagai pribadi hukum ( recht person) menurut Teori Badan Hukum pendapat Wolfgang Fiedmann dalam bukunya Legal Theory , dapat dibedakan pengertiannya berdasarkan: i) Teori Fiksi, ii) Teori Konsesi, iii) Teori Organ/Realis dan iv) Teori Kenyataan Juridis. Menurut Teori Fiksi, keberadaan Badan sebagai pribadi hukum ( rechts person ) hanyalah anggapan atau fiksi saja, karena tidak dapat bertindak atau berbuat untuk melaksanakan hak dan kewajiban hukumnya. Oleh karena itu, yang bertindak dan bertanggung jawab memenuhi kewajiban Badan adalah pengurus yang dikuasakan untuk mengurus perusahaan. Pengertian Badan sebagai Wajib Pajak dalam UU Perpajakan adalah menggunakan Teori Fiksi tersebut, seperti yang diatur dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a, dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP sebagaimana diuraikan di atas. 133 Pasal 1 angka (2) dan Pasal 2 ayat (1) UU KUP memgatur: wajib pajak adalah yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, yang terdiri dari orang pribadi dan badan. Orang pribadi yang berkewajiban hukum adalah yang cakap hukum. Orang yang tidak cakap hukum seperti orang yang tidak waras, anak-anak yang belum dewasa atau yang dibawah pengampuan, maka tidak dapat berkewajiban hukum. Wajib Pajak adalah Badan atau Badan Hukum yang secara fisik tidak dapat bergerak, bertindak dan berbuat, berati tidak akan dapat melakukan kewajibannya sendiri. Oleh karena Badan yang secara fisik tidak cakap hukum, maka kewajiban perpajakan dari Badan yang yang seharusnya melaksanakan, menjadi tangggung jawab pribadi dan tanggung jawab renteng dari Pengurus. Kewajiban pajak hanya ada apabila ada objeknya (misalnya: ada tambahan kemampuan ekonomi, antara lain berupa penghasilan atau laba, atau ada kewajiban memungut, memotong pajak dan membayarnya ke kas negara) yang ada pajaknya terhutang, tetapi tidak dibayar sebagaimana mestinya oleh Pengurus yang bertanggung jawab. Apabila pada waktunya kewajiban tersebut tidak dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku, maka akan dapat berdampak ada pajak terhutang yang tidak atau kurang dibayar. Karena kesalahan pengurus yang tidak membayar pajak terhutang dari WP Badan yang diurusnya sebagaimana mestinya, maka kewajiaban membayar hutang pajak tersebut adalah menjadi tanggung jawab pengurus, karena kesalahannya tidak melaksanakan pembayaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Badan (secara fisik) tidak dapat dipersalahkan, karena badan itu hanya anggapan (fiksi) saja ada sebagai subjek yang dapat memenuhi kewajiban perpajakannya. Tetapi kenyataannya secara fisik tidak dapat bertindak atau berbuat, tidak bisa menghitung dan tidak dapat bergerak untuk melakukan kewajiabannya sebagai wajib pajak. Maka semua kewajiban Badan tersebut menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pengurus. Pasal 1233 dan Pasal 1234 KUH Perdata mengatur bahwa “ Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak 134 berbuat sesuatu” . Dengan demikian perikatan berupa badan dan/atau badan hukum adalah subjek hukum perdata yang berhak dan berkewajiban hukum. Objek pajak adalah peristiwa-peristiwa hukum, perbuatan, kejadian dan keadaan terkait hukum yang bersifat perdata yang terukur dan bernilai. Oleh karenanya subjek hukum perdata juga dapat menjadi subjek pajak, dan prinsip- perinsip perdata berupa mediasi dan kompromi juga berlaku dalam hukum pajak, seperti penundaan, pangangsuran, pengurangan pembayaran pajak sesuai ketentuan peraturaan perundang-undangan perpajakan. Pasal inilah yang menjadi dasar penentuan subjek pajak terdiri dari orang pribadi dan badan (sebagai subjek hukum perdata) berupa perikatan dan/atau badan. Subjek pajak yang memenuhi persyaratan objektip menjadi Wajib Pajak yang terdiri dari Wajib Pajak Orang pribadi dan wajib pajak badan. Pasal 1 angka 5 UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur hal yang sama, yaitu “ Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertangggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai denggan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan”. Sekalipun kemudian badan yang diurusnya menjadi pailit atau dibubarkan, tidak akan menghapus kewajibannya melunasi pajak yang terhutang yang sudah ada sebelum pembubaran atau pemailitan tersebut. Dengan alasan antara lain, a) Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara berdasarkan Undang-undang. b) Timbulnya pajak terhutang adalah karena pengurus tidak meaksanakan kewajiban perpajakannya, memenuhi pembayaran sebagaimana mestinya. c) Seandainya oleh pengurus memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana mestinya, maka tidak akan ada pajak terhutang yang harus dibayar pada saat perusahaan bubar atau dipailitkan. d) Adanya kewajiban pengurus harus membayar pajak terhutang setelah perusahaan bubar atau pailit, adalah karena kesalahan pengurus sendiri membuat hutang pajak, yang terjadi sebelum perusahaan tersebut bubar atau dipailitkan. Maksud frasa kata/anak kalimat dalam Pasal 32 ayat (2): “ kecu ali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terhutang tersebut ” adalah terkait ketentuan Pasal 32 135 ayat (4) dan penjelasannya, yang mengatur pengertian pengurus Badan termasuk orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan, walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akta pendirian maupun akta perubahan, termasuk Komisaris Perusahaan/Badan dan pemegang saham mayoritas atau pengendali. Misalnya apabila kejadian, pengawas/pemeriksa memutuskan telah terjadi penyimpangan melawan hukum dalam satu kebijakan Pengurus/Direksi dalam melaksanakan perusahaan, kalau sewaktu rapat mengambil keputusan kebijakan yang dinyatakan ada penyimpangan tersebut ada seorang Komisaris perusahaan sebagai penasehat, menyatakan tidak sependapat atau berpendapat lain dan tidak setuju atas kebijakan yang diambil Direksi, maka Komisaris tersebut dapat lepas dari sanksi atas kesalahan dimaksud. Demikian pula dalam kepemimpinan pengurus secara kolektif kolegial, apabila ada salah seorang pengurus yang tidak setuju atau dissenting opinion sewaktu pengambilan keputusan, namun karena sudah jadi keputusan rapat dia juga harus turut menandatanganinya Apabila pelaksanaan keputusan yang diambil dinyatakan salah atau melawan hukum, maka yang bersangkutan lepas dari tangggug jawab akibat kesalahan tersebut. Tentang Pasal 2 ayat (6): Pemberian NPWP sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 6 dan Pasal 2 ayat (1) UU KUP adalah sebagai sarana administrasi perpajakan, yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. NPWP tersebut diberikan hanya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Pentingnya identitas NPWP di samping nama wajib pajak, adalah untuk menjamin kepastian bagi Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, bahwa benar pemenuhan perpajakan dilakukan oleh yang bersanggkutan dan untuk yang bersangkutan, agar terhindar dari kemungkinan ada nama yang sama. Juga bagi Wajib Pajak yang mempunyai cabang banyak di alamat yang berbeda, dapat dilakukan memenuhi kewajiban perpajakannya dimana saja 136 untuk diperhitungkan sebagai pemenuhan kewajiban pajak bagi pemilik NPWP yang sama. Penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6), baik karena permohonan Wajib Pajak dan atau karena kewenangan Direktur Jenderal Pajak, adalah berdasarkan ada atau terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif dari seseorang yang akan diberikan atau dicabut NPWP- nya. NPWP tidak ada kaitan dengan jumlah pajak terhutang yang tidak atau belum dibayar, tetapi diberikan semata-mata untuk identitas dalam memenuhi kewajiban perpajakan bagi yang terpenuhi persyaratan subjetif dan objektif yang akan diberikan atau dicabut NPWP-nya. Apabila ditemukan seseorang yang memenuhi persyaratan subjektif, tetapi yang bersangkutan tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP, maka dinas (Direktorat Jenderal Pajak) akan memberikan NPWP secara jabatan, tanpa melalui permohonan Wajib Pajak. Atas objek pajak yang ditemukan, akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Jabatan atas pajak yang terhutang ditambah dengan dendanya sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk melakukan pencabutan NPWP harus terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa tidak ada lagi kewajiban perpajakannya. Apabila hasil pemeriksaan memutuskan dapat/untuk dicabut NPWP, kemudian belakangan ditemui masih ada objek pajak yang tidak dilaporkan pada saat pemeriksaan, yang masih ada pajak terhutang/yang harus dibayar, maka NPWP akan diterbitkan kembali untuk menagih pajak terhutang. NPWP perusahaan yang dinyatakan pailit, sesuai ketentuan baru dapat dihapuskan apabila sudah tidak ada lagi kewajibann perpajakannya. Kalau masih ada pajak terutang yang belum dibayar, maka NPWP tidak boleh dihapus, karena NPWP tersebut masih diperlukan sebagai sarana untuk membayar pajak. Pemohon menerangkan sejak Perusahaan PT UCI dinyatakan pailit: (i) Pemohon secara hukum tidak lagi dapat bertindak untuk dan atas nama PT UCI dan tidak lagi bertanggung jawab sebagai peribadi atas perusahaan; (ii) semua hak dan kewajiban Direksi (Pemohon) telah beralih kepada Kurator yang ditunjuk; 137 (iii) Pemohon demi hukum tidak dapat lagi dibebani pertanggung jawaban secara pribadi. Ahli menerangkan Pasal 1 angka 5 UU 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) mengatur, “Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit dibawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-undang ini”. Pasal 1 angka 11 berbunyi, “Setiap orang adalah orang peseorangan atau korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum”. Pasal 16 ayat (1) UU KPKPU mengatur bahwa tugas dan wewenang Kurator adalah melaksanakan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Tugas Kurator terbatas hanya terkait pengurusan dan pemberesan aset debitor yang dinyatakan pailit, untuk digunakan pembayaran hutang debitor atas piutang kreditor. Oleh karena itu, selain tugas Kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tersebut tidak ada tugas Direksi (Pengurus) yang dialihkan kepada Kurator, dan semua tugas wewenang kecuali terkait pemberesan harta pailit tetap sepenuhnya masih menjadi tangggung jawab Direksi (Pengurus). Tanggung jawab atas pengelolaan perusahaan yang salah, yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang terjadi sebelum dipailitkan, tetap menjadi tanggung jawab pengurus yang bersangkutan. Apabila hasil pemberesan Kurator terhadap aset Debitor belum cukup melunasi piutang atau tagihan dari para Kreditor, maka menurut UU 37/2004 tentang Kepailitan, kreditor dan debitor berhak: i) Pasal 204: setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat, maka Kreditor memeroleh kembali hak eksekusi terhadap harta dari Debitor mengenai pitutang mereka yang belum dibayar. ii) Pasal 215, “Setelah berakhirnya kepailitan sebagaimana dimaksud Pasal 166, Pasal 202 dan Pasal 207, maka Debitor atau ahli warisnya berhak mengajukan permohonan reahabilitasi kepada Pengadilan yang telah mengucapkan putusan pernyataan pailit”. 138 iii) Pasal 216, “Permohonan rehabilitasi baik oleh Debitor maupun ahli warisnya tidak akan dikabulkan, kecuali apabila pada surat permohonan tersebut dilampirkan bukti yang menyatakan bahwa semua Kredior yang diakui sudah memperoleh pembayaran secara memuaskan”. __ Terkait tanggung jawab pengurus atas kewajiban perusahaan (Badan) yang menjadi tanggung jawab pengurus sebagai tanggug jawab pribadi dan tanggung jawab renteng (dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP), ketentuan dalam UU 37/2004 tentang KPKPU mengatur bahwa: i) Pasal 23, “Debitor pailit sebagaimana dimaksud Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi isteri atau suami dari Debitor Pailit yang menikah dalam persatuan harta”. ii) Pasal 24, “Debitor demi hukum kehilanggan haknya untuk mengguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”. Kaitan hak dan kewajiban suatu Badan dengan pemberesan aset dari Badan yang pailit oleh Kurator, hanya terkait pelunasan atas sebagian atau seluruhnya utang Badan sebagai Debitor, sesuai yang ditentukan oleh Kurator dan Hakim Pengawas. Dengan dinyatakannya suatu Badan pailit, tidak berarti hutang Badan tersebut akan terselesaikan seluruhnya setelah selesai Pemberesan budel aset pailit. Apabila masih ada piutang yang belum dilunasi masih terbuka hak Kreditor utk menagihnya lagi (lihat ketentuan Pasal 204 UU KPKPU). Terkait hak Kreditor yang terbuka kembali untuk menagih piutangnya yang belum dilunasi sebagaimana dimaksud Pasal 204 UU KPKPU, maka: i) Untuk Kreditor karena perjanjian (Pasal 1 angka 2 UU KPKU) yang telah menyampaikan semua tagihannya pada saat pencocokan piutang (Pasal 115 UU KPKPU), dan Kurator juga setelah berunding dengan Kreditor telah memasukkan semua piutang tersebut dalam Daftar Piutang (Pasal 116 dan Pasal 117 UU KPKPU); demikian pula Debitor telah menyerahkan daftar semua aset/harta kekayaannya termasuk harta isterinya kepada Kurator (Pasal 21 dan Pasal 23 UU KPKPU), maka apabila ternyata sudah tidak ada lagi aset Debitor, dan Badan/Perusahaan sudah dinyatakan pailit dan/atau bubar sehingga sudah tidak ada kegiatan lagi dan/atau sudah berhenti, secara fisik tidak ada lagi kegiatan, maka penagihan untuk melunasi 139 kekurangan pembayaran piutang yang belum dibayar, sudah tidak dapat lagi dilakukan. Karena pengurus yang sudah tidak aktif lagi tidak dapat diminta atau dipaksa untuk melunasinya. Dengan pengertian lain, pembayaran piutang dari hasil pemberesan aset Debitor oleh Kurator yang menjadi pebayaran atas piutang Kreditor yang meminta untuk dilakukan pailit tersebut. ii) Terhadap utang pajak yang timbul karena Undang-undang (Pasal 1 angka 2 UU KPKU) yang telah terdaftar di Kurator, yang belum semua dilunasi dari hasil pemberesan aset Debitor oleh Kurator, maka atas pajak terutang yang belum dibayar berlaku ketentuan Pasal 204 UU KPKPU dimaksud. Sesuai ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, penagihannya dilakukan kepada Direksi yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak terhutang yang belum dibayar tersebut. Dan tangggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab renteng bagi pengurus, yang dapat ditagih secara paksa, apabila tidak dibayar sesuai ketentuan yang berlaku. Atas pajak terhutang yang tidak atau belum sepenuhnya dibayar, dapat ditagih dengan penagihan paksa berdasarkan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Nomor 19 Tahun 2000 (UU PPSP), dengan cara: (i) dengan surat Paksa; apabila hutang masih belum dilunasi, dilakukan penyitaan. Kemudian apabila masih belum dibayar, dilanjutkan dengan pelelangan aset dari penanggung pajak terhutang (Pasal 12 dan Pasal 25 UU PPSP); (ii) Apabila diketahui ada upaya untuk menghindari atau tidak bersedia membayar utang pajak, maka dapat disita uangnya di Bank dengan melakukan pemblokiran atas rekening penaggung pajak di Bank (Pasal 17 UU PPSP); (iii) kalau diketahui ada iktikad tidak baik misalnya, mau menghindar keluar negeri, dapat diusulkan untuk dilakukan pencegahan/ pencekalan kepada yang bersangkutan (Pasal 29 UU PPSP); (iv) kalau utang pajaknya besar dan ada iktikad tidak baik untuk menghindar membayar pajak, misalnya berupaya memindahkan aset, maka dapat dilakukan paksa badan ( gijzeling ) selama 6 bulan dan dapat diperpanjang lagi 6 bulan berikutnya apabila masih tetap belum dibayar, sesuai ketentuan Pasal 33 UU PPSP. 140 Terkait pendapat Pemohon bahwa NPWP Perusahaan yang dinyatakan pailit karena insolven hapus demi hukum, Ahli menjelaskan seperti yang dijelaskan dalam tanggapan Pasal 2 ayat (6) di muka, NPWP diberikan apabila terpenuhi persyaratan subjektif dan objektif, khususnya ada objek pajak yang harus terhutang pajak. NPWP diberikan sebagai sarana administrasi membayar pajak dengan menggunakan identitas NPWP disamping nama wajib pajak. Demikian pula halnya penghapusan NPWP, baru dapat dihapus apabila tidak terpenuhi lagi persyaratan subjektif dan objektif. Sepanjang masih ada objek pajak terhutang dan/atau pajak terhutang yang belum dibayar maka NPWP belum boleh dihapuskan. Terkait pendapat Pemohon yang mengkaitkan dengan ketentuan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Penerapan Pasal 97 ayat (3) dan Pasal 97 ayat (5) UU PT (Surat Pemohon/ butir 3.18, butir 3.20 pada “III. Pokok- Pokok dan Alasan-alasan Permohonan” antara lain isinya: setiap angggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila terbukti melakukan kesalahan. Pertanggung-jawaban pribadi tersebut dikecualikan sepanjang anggota Direksi tersebut tidak melakukan kesalahan atau kelalaian, mengurus perseroan sesuai ketentuan hukum, dengan iktikad baik dan hati-hati, tidak memiliki benturan kepentingan, dan telah mengambil Tindakan untuk mencegah timbulnya atau tidak berlanjutnya kerugian. Ketentuan yang sama juga yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP: (“apabila dapat membuktikan dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab tersebut”), salah satu yang diajukan uji materil oleh Pemohon Sekalipun melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) telah membebaskan Direksi dan Komisaris dari pertanggungjawaban yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) dan Pasal 97 ayat (5) dimaksud, hal itu adalah terkait tanggung jawab pengegolaan perusahaan berdasarkan perinsip pengelolaan perusahaan yang baik ( good corporate governance ). Demikian pula Putusan Pengadilan Niaga terkait kepailitan PT UCI, yang tidak menetapkan karena ada kesalahan Direksi (butir 3.25 Surat Pemohon) adalah dalam pengurusan Perusahaan terkait penyebab kepailitan perusahaan. Tetapi terkait hutang pajak 141 yang sudah ada sebelumnya tetapi tidak dilakukan pembayaran, masih tetap terhutang dan menjadi tanggung jawab pengurus. Hutang Pajak hanya dapat hapus atau akan berkurang apabila: (i) dibayar lunas ke kas negara atau di tempat lain/bank yang ditunjuk, (ii) diperhitungkan (dikompensasikan) dengan kelebihan pembayaran pajak yang lain, (iii) melalui pemindahbukuan (PBK) dengan persetujuan Dirjen Pajak, (iv) dibayar dari pemberesan aset Debitur oleh Kurator bagi perusahaan/Badan yang pailit, (v) dengan keputusan instansi berwenang (Direktur Jenderal Pajak) melalui keputusan permohonan keberatan, atau permohonan pembetulan, pengurangan, penghapusan, dan pembatalan sebagaimana diatur Pasal 16 dan Pasal 36 UU KUP, (vi) putusan pegadilan atau putusan peninjauan Kembali di MA, dan (vii) kadaluarsa penagihan. Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang (Pasal 23A UUD 1945). Hutang pajak adalah kewajiban perusahaan yang terhutang karena memiliki objek pajak kena pajak. Kalau perusaan rugi, atau tidak ada objek pajak yang timbul atau yang dikuasainya untuk dikenakan pajak, maka tidak akan timbul hutang pajak. Oleh karena itu, hutang pajak Badan timbul karena pengurus Badan lalai atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya. Kelalaian atau pelanggaran sengaja dari pengurus yang dapat menimbulkan kerugian negara, dapat dikenakan sanksi denda atau pidana kurungan atau penjara sebagai mana diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP. Pembebasan Direksi (pengurus) sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (3) dan ayat (5) UU PT, adalah terkait pengelolaan perusahaan berdasarkan pengelolaan perusahaan sesuai prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik ( good corporate governance ) atas tidak tercapainya Rencana Kerja Perusahaan, yang berdampak rugi atau menurunnya aset atau equity perusahaan. Sepanjang telah dikelola dengan iktikad baik, sesuai prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik, tidak menyimpang dari ketentuan peraturan yang berlaku, dan tidak ada conflict of interest , maka Pengurus/Direksi dibebaskan dari kegagalan yang telah terjadi. Namun apabila ada kewajiban membayar pajak terhutang yang belum atau kurang dibayar, tetap akan menjadi tanggung jawab pengurus/direksi secara peribadi dan tanggung jawab renteng sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, 142 sebab timbulnya utang pajak karena kesalahan Pengurus/Direksi yang bersangkutan. Berdasarkan prinsip-prisip Pengelolaan Perusahaan yang baik, yang menjadi aset, liablity atau equity perusahaan yang tercantum dalam neraca kekayaan perusahaan adalah setelah laba kena pajak. Artinya pajak terhutang sudah diperhitungkan telah dibayar, sehingga dikeluarkan dari neraca laba-rugi perusahaan. Oleh karenanya, kalau hutang pajak belum dibayarkan kepada kas negara berarti sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengurus yang bertanggung jawab melaksanakannya. Tentang Pemblokiran Rekening Bank dan Pencekalan Pemohon oleh Kantor Imigrasi atas Permintaan Direktur Jenderal Pajak Pemohon mempermasalahkan: i) dilakukannya pencekalan terhadap pemohon oleh Kantor Imigrasi atas permintaan Direktur Jenderal pajak; dan ii) dilakukannya pemblokiran rekening Bank Pemohon di BCA atas permintaan Direktur Jenderal Pajak (butir 2.13; alasan kerugian Kelima dan Keenam dalam surat Pemohon). Sesuai ketentuan Penagihan Pajak berdasarkan UU 19/2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (UU PPSP), terhadap penunggak pajak dapat dilakukan penagihan jika sudah diperingatkan tetapi tidak melunasi utang pajaknya, melalui tindakan melakukan upaya memaksa wajib pajak untuk melakukan pembayaran atas utang pajaknya dengan cara: i) Dilakukan penagihan dengan Surat Paksa sesuai ketentuan Pasal 8 UU PPSP, melalui penyitaan aset penunggak pajak. Apabila tetap tidak dibayar, kemudian menjualnya melalui lelang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan untuk dipakai pembayar pajaknya yang terhutang. ii) Memblokir rekening Bank Penunggak Pajak, dan selanjutnya meminta pemilik untuk mencairkannnya sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU PPSP, hasil pencairannya untuk melunasi utang pajaknya. iii) Apabila ada iktikad tidak baik dari penunggak pajak, dihawatirkan akan menghindar ke Luar Negeri, maka diusulkan untuk dilakukan pencegahan atau pencekalan sesuai ketentuan Pasal 29 UU PPSP, atau v) Dengan adanya iktikad tidak baik dan/atau atas rekening di Bank yang diblokir tidak bersedia mencairkannya, maka dapat dilakukan paksa badan atau penyanderaan ( gijzeling ) sesuai ketentuan Pasal 33 UU PPSP. 143 Apabila dalam upaya Wajib Pajak menghindari atau menggelapkan pajak terhutang dengan melanggar peraturan perundang-undangan yang menimbulkan kerugian negara yang tergolong tindak pidana, maka dapat dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan antara lain Pasal 39 UU KUP berupa sanksi penjara paling singkat 6 bulan atau paling lama 6 tahun, dengan denda pasing sedikit 2 kali atau paling banyak 4 kali pajak terhutang yang tidak atau kurang dibayar. Penerapan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP Dengan dilakukan pemblokiran rekening Bank dan pencekalan kepada Pemohon dalam rangka pelaksanaan penagihan pajak, menurut Pemohon telah menimbulkan kerugian konstitusional, ketidakadilan, dan tidak adanya perlindungan hukum, yang mendasari pengajuan materil atas kedua Pasal UU KUP tersebut. Dalam mendukung pendapat Pemohon mengatakan telah terjadi kerugian konstitusional, ketidakadilan dan tidak adanya perlindungan hukum akibat penerapan kedua Pasal UU KUP di atas, Pemohon mengacu “persyaratan moral hukum ( inner morality of law )” dari pendapat Lon Fuller (N.E. Simmonds, 1986:
; (Surat Pemohon: butir 3.4 dan 3.5 pada III. Pokok-pokok dan Alasan- Alasan Permohonan). Ada 8 syarat untuk terpenuhinya kaidah persyaratan moral hukum internal ( inner morality of law ) menurut Lon Fuller, yaitu: i) harus ada aturan ( rules ), ii) harus berlaku ke depan (prospektif), bukan ke belakang (retrospektif), iii) aturan tersebut harus diumumkan, iv) aturan tersebut harus sesuai akal sehat ( intelligible ), v) aturan tidak boleh saling kontradiktif, vi) aturan tersebut harus mungkin diikuti, vii) aturan tidak boleh diubah secara konstan, dan viii) harus ada kesesuaian ( congruence ) antara aturan yang tertulis dengan yang diterapkan oleh penegak hukum. (Surat Pemohon: butir 3.5) Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP ditinjau dari “ inner morality of law” Lon Fuller; dalam materi dan penerapannya dapat dijelaskan antara lain: i) adalah berdasarkan UU KUP dan telah ada dibuat aturan pelaksanaannya; ii) sudah banyak ditemukan Wajib Pajak yang melaksanakan tax planning dalam rangka menghindari pajak, dengan membubarkan atau mempailitkan 144 perusahaan, dan ini masih mungkin terjadi di masa yang akan datang. Maka perlu ditunjuk pengurus yang bertanggung jawab atas utang pajak secara pribadi, yang timbul karena kesalahannya; iii) UU KUP dan peraturan pelaksanaannya telah diumumkan di Lembaran Negara; iv) karena badan sebagai rechts persoon tidak dapat bergerak atau bertindak dan berbuat sendiri, maka harus ada orang pribadi yang membantu melaksanakan kewajibannya yaitu pengurus, dan hal ini sesuai dengan Teori Fiksi dari keberadaan Badan sebagai subjek hukum; v) ketentuan Pasal 32 ayat (2) sinkron dengan Pasal 97 ayat (3) dan ayat (5) UU 40/2004 tentang PT. Pemohon tidak ada mengemukakan apakah ada yang tidak sinkron baik secara horizontal maupun vertikal dengan pasal-pasal tersebut dengan ketentuan yang lain; vi) penerapan kedua Pasal yang diuji sudah berjalan dan banyak dilaksanakan selama ini; vii) sejak diundangkan UU KUP bunyi Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) tersebut tidak pernah berubah; viii) atas penerapan kedua pasal yang dilakukan uji materil tersebut, sudah ada beberapa wajib pajak menempuh hal yang sama. Pada dasarnya adalah karena merasa berat untuk memikul beban hutang pajak, padahal penyebab timbulnya hutang pajak tersebut adalah karena kesalahannya, seperti halnya yang terjadi dan dihadapi oleh Pemohon ini. Atas ke-8 persyaratan Lon Fuller tersebut, Pemohon tidak ada menyebutkan secara tegas butir yang mana dari ke-8 persyaratan tersebut yang telah membuat/menimbulkan kerugian konstitusionalnya, yang tidak memberikan keadilan dan perlindungan hukum. Dengan demikian menurut Ahli, penerapan Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang menunjuk Pemohon sebagai Pengurus/Direktur PT UCI yang berkewajiban melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan termasuk membayar pajak terhutang dari perusahaan PT UCI, adalah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yang berlaku umum untuk semua pengurus perusahaan/badan. Apabila dalam mengurus/mengendalikan perusahaan Pemohon memenuhi kewajiban membayar semua pajak perusahaan yang terhutang, maka tidak akan ada utang pajak perusahaan yang akan menjadi tanggungan Pemohon secara pribadi. Pemberian NPWP adalah karena ada memiliki objek pajak yang terhutang pajak, dan pencabutan atau penghapusan NPWP dilakukan kalau tidak ada lagi 145 objek pajak yang akan terhutang pajak. Hal ini ketentuan yang berlaku umum tanpa membedakan para penanggung pajak. Dengan penjelasan seperti diuraikan di atas, maka atas penerapan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP tidak ada yang menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon. Undang-undang itu berlaku bagi semua Wajib Pajak dengan kasus yang sama, oleh karenanya tidak ada menimbulkan ketidakadilan bagi pribadi Pemohon dan tidak juga kerugian secara konstitusionsl bagi pribadi yang bersangkutan. Menanggapi Pertanyaan Hakim dan para Pihak ▪ Berdasarkan ketentuan undang-undang, sama halnya dengan wajib pajak yang sudah meninggal, NPWP wajib pajak yang pailit tidak otomatis hilang. ▪ Pasal 2 angka 6 dan Pasal 1 ayat (2) mengatur syarat pemberian nomor pokok adalah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Seandainya seseorang belum berstatus wajib pajak, tapi diketahui objeknya memenuhi persyaratan untuk dikenai pajak, dan yang bersangkutan memenuhi persyaratan sebagai subjek pajak, maka petugas pajak akan memberikan NPWP secara jabatan. ▪ Dasar pemberian nomor pokok adalah terpenuhi persyaratan subjektif dan objektif. NPWP dihapus apabila tidak terpenuhi lagi persyaratan subjektif dan objektif, tidak ada subyek pajaknya lagi dan juga tidak ada utang pajaknya. ▪ Terhadap kasus pailit sama perlakuannya dengan manusia yang sudah meninggal ketika ada warisan yang belum terbagi. Warisan yang belum terbagi adalah subjek pengganti. Hal ini hampir sama dengan apabila badan sudah pailit maka nomor pokok yang bernama tetap hidup sebagai pengganti pihak yang harus membayar pajaknya. ▪ Pasal 1 ayat (2) sampai ayat (5) UU Kepailitan mengatur bahwa piutang terjadi karena perjanjian atau pailit karena hukum. ▪ Pajak timbul karena hukum. Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara. ▪ Dalam hal wajib pajak adalah badan, maka kewajiban membayar pajak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengurus. 146 ▪ Perusahaan dalam perkara in casu mengatakan sudah membayar pajak, dan hal ini disahkan oleh pengurus dalam RUPS, atau pemilik saham dalam RUPS, sudah berdasarkan laba setelah kena pajak. Karena laba dihitung setelah kena pajak, maka pajaknya sudah dikeluarkan. Lalu ke mana pajaknya itu? Atau mungkin ada laporan palsu. ▪ Seharusnya laba sudah kena pajak karena hal itu menjadi landasan membaca deviden. ▪ Laporan palsu mengenai pembayaran pajak diancam Pasal 263 KUHP mengenai pemalsuan, dan ditindaklanjuti Pasal 39 UU Pajak. Di RUPS sudah diputuskan laba kena pajak, tetapi ternyata tidak ada pajaknya. ▪ Atau mungkin pajaknya sudah diperhitungkan dan sudah dikeluarkan, tapi masih ada pada perusahaan. Jika terjadi demikian maka yang salah adalah Pengurus karena pengurus yang mengelolanya. ▪ Kemungkinan lain adalah dana sudah diambil tapi tidak diserahkan kepada kas negara. ▪ Utang perusahaan terdiri dari dua jenis, yaitu utang karena perjanjian dan utang pajak. ▪ Utang perusahaan diklarifikasi dalam prinsip-prinsip perusahaan yang sehat ( good governance ) yang setiap tahun disahkan dalam RUPS bahwa pengurus (direksi dan komisaris) dibebaskan dari pertanggungjawaban. Tetapi tetap pada klausul, yaitu dikecualikan apabila di kemudian hari diketahui ada kesalahan yang membuat terjadinya penyimpangan. ▪ Utang (karena perjanjian) demikian memang tanggung jawab perusahaan yang sudah pailit. Tidak mungkin lagi ada tambahan beban kalau sudah pailit. ▪ Tetapi menyangkut utang pajak tidak demikian. Pajak yang terutang selama 5 tahun tetap boleh ditagih. Oleh karena itu sesudah perusahaan pailit, pajak 5 tahun ke belakang tetap dapat dihitung dan pajaknya tetap akan ditimpakan kepada perusahaan dan siapa penanggung jawab perusahaan (direksi). ▪ Pasal 30 ayat (1) mengatakan utang pajak dapat ditetapkan dalam tempo 5 tahun. Artinya, apabila perusahaan sudah dipailitkan kemudian dihitung pajaknya yang ada saat dia dinyatakan pailit, misalnya baru Rp.40.000.000,- yang dilaporkan terlebih dahulu kepada kurator. Selanjutnya utang pajak yang ada lima tahun sebelumnya tetap dapat ditetapkan dan dapat pula ada tambahan pajak tersebut diberikan kepada kurator lagi untuk dimasukkan 147 sebagai piutang. Namun jika sudah lewat pendaftaran dan tidak masuk daftar piutang kurator, utang pajak tetap harus ditagihkan kepada pihak yang bertanggung jawab. ▪ Tagihan seharusnya ditujukan kepada perusahaan, tapi Pasal 32 ayat (2) menyatakan bahwa yang bertanggung jawab adalah pengurus. ▪ Apabila hasil pemberesan tidak cukup untuk melunasi semua piutang yang masuk pada kurator, maka timbul lagi penagihan kepada yang bersangkutan. ▪ Jika dianggap bahwa perusahaan pailit tidak perlu melunasi utang pajak, maka para pembayar pajak akan berlomba-lomba membuat pelaksanaan demikian dan mendirikan perusahaan baru.
Teddy Anggoro Ahli menyimpulkan Pemohon meminta agar pengecualian yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP melingkupi pengurus dalam hal ini direksi PT yang PT tersebut telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Adapun terhadap Pasal 2 ayat (6) UU KUP, Pemohon menghendaki agar penghapusan NPWP oleh Direktur Jenderal juga termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terkait dengan kesimpulan tersebut, saya setelah membaca dan memahami dengan cermat masing-masing pasal dan petitum Pemohon, maka saya menyampaikan pendapat saya yang terbagi menjadi 8 (delapan) argumentasi sebagai berikut: Konsep Tanggung Jawab Direksi Jika merujuk pada sejarah sejak pertama kali diperkenalkan konsep badan hukum yang disebut Juristic Person maka terdapat dua prinsip yang dipegang teguh dan menjadi dasarnya, yaitu:
Limited Liability , yang artinya pribadi kodrati yang memisahkan kekayaannya untuk menjadi kekayaan pribadi hukum hanya bertanggung jawab sebatas kekayaan yang ia sertakan menjadi kekayaan pribadi hukum tersebut. Prinsip ini berbicara khusus untuk pemegang saham;
Separate Legal Personality , yang artinya pribadi kodrati yang menggerakan atau mempersonifikasi pribadi hukum merupakan subyek hukum yang terpisah dengan dengan pribadi hukum yang digerakan. Dalam teori korporasi, hal ini disebut Agency Relation atau Hubungan Kuasa. Oleh karena 148 itu, sering didengar klausul dalam dokumen hukum, bahwa “direksi bertindak untuk dan atas nama Perseroan Terbatas.” Diperkenalkannya 2 (dua) prinsip tersebut untuk suatu badan usaha dianggap sebagai satu-satunya kontribusi terbesar hukum bagi dunia bisnis dan pedagangan. B. C. Hunt (1936) menyebutnya, “ that brillian intellectual achievement of the Roman lawyers, the juristic person, a subject of rights and liabilities as is a natural person .” Di antara puja-puji akan konsep korporasi yang berhasil menggerakan ekonomi dunia, terselip celah atau lobang ( loophole ) untuk digunakan oleh manusia/pribadi kodrati untuk melakukan perbuatan tercela, curang, merugikan pihak lain, dan menguntungkan dirinya sendiri atau orang yang ia kehendaki untuk untung. Dua contoh masyhur saya sampaikan yang mewakili setiap sistem hukum mayoritas di dunia. Pertama, kasus Enron, sebuah perusahaan energi yang pernah didaulat menjadi The Most Innovative Large Company in America oleh lembaga riset kekayaan ternama Forbes. Direksi dan sharesholder telah melakukan fraud dengan melakukan high risk accounting practice dengan memanfaatkan celah dari sisi akuntansi, mempercantik laporan keuangan dan memanfaatkan special purpose entities untuk memindahkan uang perusahaan. Direksi dan shareholder pada tahun 2001, artinya 19 tahun yang lalu, telah merugikan pemegang sahamnya sebesar $40 Billion, kalau sekarang mencapai 600 Triliun rupiah atau seperempat APBN Indonesia. Kedua, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang merupakan perusahaan dagang milik para pedagang belanda yang diberikan hak istimewa ( octrooi ) oleh kerajaan Belanda, sampai memiliki tentara dan mata uang sendiri serta berdiplomasi dengan negara. Catatan kompas, 12 Juli 2020, menyebutkan pada masa jayanya (periode 1600-1750, adapun masa waktu VOC adalah 200 tahun) VOC bernilai 78 Juta Gulden, kalau sekarang setara 7,9 Triliun US Dollar. Sebagai perbandingan, nilai kongsi dagang Belanda ini setara dengan gabungan PDB Jepang dan Jerman di era modern saat ini. Komparasi lain, menurut Business Insider, yakni VOC setara dengan nilai dari 20 perusahaan dengan kapitalisasi terbesar dunia yang meliputi Apple, Microsoft, Amazon, ExxonMobil, Berkshire Hathaway, Tencent, dan Wells Fargo. Namun mereka bankrupt karena direksi dan pemegang sahamnya yang korup. 149 Kedua contoh di atas menyadarkan para Scholar dan pemikir korporasi untuk menciptakan pengecualian atas dua prinsip mendasar konsep korporasi. Untuk Prinsip Limited Liability , diperkenalkan pengecualian yang disebut own and control doctrine , di Indonesia dikenal dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 15 Tahun 2019 disebut dengan "Pemilik Manfaat dari Korporasi" atau di negeri anglo-saxon dikenal dalam konsep Beneficiary Ownership . Dimana pemilik belum tentu pengontrol, sedangkan yang bertanggung jawab ( liable ) adalah pengontrol. Adapun prinsip separate legal personality , dikecualikan dengan Piercing the Corporate Veil doctrine . Dimana tanggung jawab direksi dapat dimintakan karena kesalahannya yang didasari itikad tidak baik yang telah menyebabkan kerugian perusahaan dan pihak ketiga. Hal ini dalam undang-undang perseroan terbatas diatur dalam pasal 97 dan 104. Sehubungan dengan apa yang saya sampaikan sebelumnya, bahwa tanggung jawab direksi atas perusahaan yang dia urus adalah suatu hukum yang berlaku di dunia saat ini. Yang mana hal tersebut merupakan hasil perkembangan keilmuan dan praktek korporasi. Business Judgement Rule Merupakan Imunitas Bagi Good Faith and Intra Vires Director Ketika pertanggungjawaban pengurus dituntut oleh pemegang saham atau pihak ketiga yang dirugikan. Maka pihak pengurus dapat dipastikan akan menggunakan doktrin Business Judgement Rule sebagai argumentasi untuk melindungi dirinya dari pertanggungjawaban tersebut. Pada kesempatan ini penting untuk ditegaskan bahwa Business Judgement Rule merupakan imunitas bersyarat bagi seorang direksi, bukan merupakan bentuk bentuk perlindungan total dalam pengertian tidak dapat tersentuh ( untouchable ) dari pertanggung jawaban. Hal ini diartikan oleh Roger LeRoy Miller dan Gaylord A. Jentz (2009) sebagai: “A rule that immunizes corporate management from liability for action that result in corporate losses or damages if the action is undertaken in good faith and are within both the power of the corporation and the authority of management to make.” Artinya pengurus ketika dimintai pertanggungjawaban dia harus membuktikan kepada pengadilan bahwa ia melakukan pengurusan dengan good faith , power of corporation , dan kewenangan yang dimiliki oleh direksi 150 ( intra vires ). Yang ingin saya tekankan adalah, Pertama, direksi harus diperiksa dan membuktikan atas pertanggungjawaban yang dimintakan kepadanya. Kedua, Direksi harus membuktikan bahwa ia tidak memiliki itikad buruk. Ketiga, Direksi harus membuktikan ia intra vires (mengambil keputusan dalam kewenangannya), yang mana kewenangan ini tidak saja berdasarkan peraturan internal perusahaan tetapi peraturan eksternal seperti Peraturan Perundang- undangan. Sehubungan dengan petitum pemohon yang meminta dikecualikan pertanggungjawaban pengurus dalam hal kepailitan tidak lah dibenarkan secara hukum, dan argumentasi yang membawa-bawa doktrin business judgement rule adalah tidak tepat. Karena doktrin tersebut justru menghendaki pengurus untuk diperiksa dan membuktikan itikad baik dan ketaatannya terhadap peraturan yang mengikat dirinya, dalam hal ini peraturan perpajakan. Sehingga tegas, Business Judgement Rule merupakan imunitas atau dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan kebal. Kondisi kebal ini harus dibuktikan dengan serangan atau ujian, sebagaimana terjadi pada tubuh manusia ketika terkena infeksi virus ataupun bakteri patogen hingga kemudian tubuh merespon dengan membangun sistem kekebalan. Dalam konteks hukum perusahaan, serangan atau ujian yang dimaksud adalah persidangan atau pemeriksaan. Makna imunitas dalam Business Judgement Rule ini tentu berbeda dengan tidak dapat disentuh atau untouchable sebagaimana dimaksud dalam permohonan pemohon. Memang yang menjadi pertanyaan bagaimana dengan kondisi dimana Perseroan Terbatas pailit. Maka jawabannya adalah sama, tidak ada perbedaan dengan kondisi normal. Karena pailit hanya lah cara pembayaran utang debitur secara kolektif. Penjelasan lebih lengkap mengenai kepailitan akan saya paparkan lebih lanjut di bagian bawah. Pertanggungjawaban Direksi meliputi berbagai jenis Pajak, antara lain Pajak Penghasilan (PPh), meliputi PPh Tahunan Badan, PPh yang dilaporkan secara bulanan/insidentil (masa), dan sebagainya termasuk PPh yang dipotong/dipungut dari karyawan/pihak lain (rumpun withholding tax seperti gaji, honor dan sebagainya), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 151 Direksi sebagai personifikasi Perseroan Terbatas. Dimana Perseroan Terbatas merupakan subyek hukum. Maka setiap kewajiban yang ditetapkan oleh perundang-undangan harus ditaati dan dilaksanakan oleh Perseroan Terbatas tersebut. Bagaimana caranya? Tentu dengan perbuatan direksi untuk dan atas nama Perseroan Terbatas. Sehubungan dengan permohonan uji materi ini. Maka dapat dipastikan bahwa setiap perseroan terbatas di Indonesia selaku Wajib Pajak (yang memenuhi syarat subjektif dan objektif) berkewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri, tidak perlu menunggu ketetapan pajak dari fiskus. Mengapa ini ditekankan? Karena ketika perseroan terbatas tidak memenuhi syarat subjektif dan objektif (misalnya tidak memiliki pemasukan atau dalam keadaan merugi), maka pada periode itu undang-undang memberikan kelonggaran untuk pemenuhan kewajiban perpajakannya, misalnya SPT PPh Tahunan menjadi nihil (tidak perlu bayar) dan kerugian dapat dikompensasikan pada periode SPT Tahunan berikutnya. Namun sebaliknya jika perusahaan tersebut memiliki penghasilan dan mendapatkan keuntungan maka timbul kewajiban untuk menghitung, melapor, membayar pajak, dan jika tidak dipenuhi akan menimbulkan sanksi administratif yang dapat terakumulasi seiring waktu. Kewajiban pengurus Perseroan Terbatas tersebut meliputi juga jenis PPh yang dipotong/dipungut dari karyawan/pihak lain (rumpun withholding tax seperti gaji, upah, honorarium, tunjangan, pesangon, uang pensiun, dan sebagainya), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tetap dikenakan pajaknya walaupun Wajib Pajak mengalami rugi usaha. Dalam jenis pajak ini, negara memberikan amanat kepada Perseroan Terbatas yang diwakili oleh pengurus untuk melaksanakan pemotongan/pemungutan, pelaporan dan pembayaran pajaknya pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Karena itulah, jika jenis pajak yang dipotong/dipungut tadi oleh pengurus sengaja tidak disetorkan kepada kas negara, maka negara memberikan ancaman dengan dijerat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 ayat (1) huruf i UU KUP. Berdasarkan gambaran umum kewajiban perpajakan tersebut, sangat jelas bahwa kewajiban untuk melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan Perseroan Terbatas baik yang meliputi berbagai jenis Pajak, antara lain Pajak Penghasilan (PPh), meliputi PPh Tahunan Badan, PPh yang dilaporkan secara 152 bulanan/insidentil (masa), dan sebagainya termasuk PPh yang dipotong/dipungut dari karyawan/pihak lain (rumpun withholding tax seperti gaji, honor dan sebagainya), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN), semuanya adalah tanggung jawab dari Direksi. Jika melihat pada rumusan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, maka kewajiban yang sifatnya absolut adalah untuk memastikan kepada direksi baik sendiri- sendiri atau kolegial melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan perusahaan sejak pembukuan, menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya secara patuh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika tidak dilaksanakan hal ini akan menjadi utang pajak, timbul sanksi administratif dan konsekuensi lainnya. Demikian juga terhadap kewajiban PPh Tahunan Badan. Berdasarkan pasal 32 ayat (2) UU KUP tersebut, maka secara otomatis Direksi sebagai pengurus wajib melakukan pembukuan, menghitung keuntungan yang didapat selama 1 tahun buku, membayarkan dan melaporkan pajaknya. Jika pengurus kemudian dikecualikan sesuai dengan permohonan pemohon dalam uji materi ini. Maka akan terjadi nanti keadaan dimana direksi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas kewajiban pembayaran PPh Tahunan Badan ketika Perseroan Terbatas yang ia atau mereka urus dipailitkan. Karena hukum kepailitan mengatur setelah keadaan pailit pengurusan dan pemberesan boedel pailit beralih kepada Kurator. Tetapi tidak mengambil alih tanggung jawab Direksi untuk pemenuhan kewajiban perpajakan Perseroan Terbatas yang diwakilinya tersebut. Jika harta pailit cukup untuk membayar semua hutang, maka tidak akan ada masalah. Tetapi ketika harta pailit tidak cukup, maka sangat logis negara memiliki mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban untuk memenuhi kewajiban perpajakan berupa utang pajak yang masih belum dilunasi tersebut kepada Direksi atau pengurus yang bersangkutan. Pertanggungjawaban direksi sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004 Hal yang menjadi krusial dalam permohonan uji materi ini adalah, sejauh apa direksi bertanggung jawab dalam hal Perseroan Terbatas yang dia atau mereka urus jatuh dalam keadaan pailit. Yang pertama harus ditinjau adalah bagaimana UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengartikan kepailitan itu. UU mengatur Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan 153 debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Lebih lanjut Pasal 69 ayat (1), mengatur Tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Sehingga tegas, bahwa yang menjadi lingkup penugasan kurator adalah harta pailit ( boedel pailit). Boedel pailit ini melingkupi aktiva (harta) dan pasiva (utang), tetapi tidak masuk kesalahan dari debitur pailit atau pengurus debitur pailit jika Perseroan Terbatas. Hal ini dapat dilihat pada pasal 26 ayat (1) dan (2), yang berbunyi: "(1) Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator;
Dalam hal tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitor pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap Debitor Pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit." Ketentuan ini jelas menegaskan bahwa, utang yang disebabkan kesalahan debitor pailit dan/atau pengurus debitor pailit adalah terpisah tanggung jawabnya dengan boedel pailit yang ada. Lebih tegas lagi, Pasal 3 ayat (1) juncto Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU ini menyebutkan bahwa direksi dapat digugat untuk dimintai pertanggung jawabannya jika kepailitan terjadi sebagai akibat dari kelalaian atau kesalahannya. Hal ini dapat dilakukan kurator jika boedel pailit tidak cukup melunasi hutang-hutangnya. Sehingga perlu dipertegas, adalah salah jika banyak ahli yang berpendapat untuk melihat adanya tanggung jawab direksi maka harus merujuk pada putusan pernyataan pailit yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini menunjukan ahli-ahli tersebut tidak ahli di bidang korporasi dan kepailitan, atau sekurang-kurangnya mereka khilaf dalam membaca UU Kepailitan. Yang dengan tegas mengatur bahwa permintaan tanggung jawab direksi adalah upaya hukum yang terpisah dari putusan pernyataan pailit yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa "karena putusan penyataan pailit tidak menyebut tanggung jawab direksi, maka direksi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atau tanggung jawabnya telah beralih sepenuhnya kepada kurator". Simpulan tersebut adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan hukum kepailitan. 154 Tanggung Jawab Direksi Tidak Berpindah Kepada Kurator, Selain Pengurusan dan Pemberesan Boedel Pailit Pertanyaan berikutnya, mengenai akibat putusan pernyataan pailit terhadap tanggung jawab direksi adalah sesuatu yang harus disampaikan dalam keterangan saya ini agar terang permasalahan ini. Sebelumnya sudah disebutkan bahwa jika merujuk pada tugas Kurator yang diatur dalam Pasal 69 UU Kepailitan dan PKPU dibatasi pada pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Dimana kewenangan melakukan tugas tersebut menurut Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU muncul sejak putusan pernyataan pailit, meskipun putusan tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali. Kemudian untuk melihat apakah apakah tanggung jawab direksi termasuk hal-hal yang berpindah atau beralih ke Kurator dengan adanya putusan pernyataan pailit. Kita bisa temukan dalam Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU yang mengatur Akibat Kepailitan, pasal ini menyebutkan Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Jadi tegas sekali, bahwa yang beralih kepada kurator adalah hanya kekayaan. Adapun tanggung jawab atas kesalahan direksi selama pengurusannya, tetap menjadi tanggung jawab direksi tersebut. Harus dibayangkan bahwa undang-undang mengatur tugas kurator sebagai pengumpul harta pailit, penjual harta pailit, dan pembayar utang debitor secara kolektif. Itupun hanya terbatas pada harta pailit yang tersedia. Bukan sebagai pengganti Direksi atau penerima tanggung jawab atas perbuatan direksi sebelum pailit. Tanggung Jawab Direksi Pasca Kepailitan Berakhir tetapi belum dilikuidasi Menjadi pertanyaan berikutnya bagaimana pertanggungjawaban organ perseroan jika kepailitan Perseroan Terbatas telah berakhir, tetapi belum dilikuidasi. Yang pertama harus dijelaskan, bahwa berakhirnya kepailitan menurut Pasal 202 UU Kepailitan dan PKPU adalah setelah dibayarkan jumlah penuh utang kreditur, atau daftar pembagian penutup menjadi mengikat. Sehingga jelas UU Kepailitan dan PKPU, mengatur jika berakhirnya kepailitan hanya 155 disebabkan oleh 2 hal. Pertama utang para kreditur dibayar penuh. Kedua, daftar pembagian penutup menjadi mengikat karena kreditor tidak mendapatkan pembayaran penuh piutangnya. Berakhirnya kepailitan, dimana para kreditor tidak dibayar penuh, menurut Pasal 204 (bagian Keadaan Hukum Debitor Setelah Berakhirnya Pemberesan) menimbulkan konsekuensi kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta debitor mengenai piutang yang belum dibayar. Hal ini sejalan dengan prinsip umum kebendaan dalam hukum perdata, dimana Pasa 1131 KUHPerdata mengatur bahwa Semua kekayaan debitor, bergerak atau tidak bergerak, yang ada saat ini maupun yang akan datang menjadi jaminan pelunasan hutangnya. Sehingga pada kesempatan ini saya sampaikan bahwa berakhirnya kepailitan perseroan terbatas, sekalipun telah dilikuidasi. Tidak menyebabkan hapusnya sisa piutang kreditur yang belum terbayar lunas dalam proses kepailitan. Ini lah keadilan dalam konteks keperdataan, bahwa utang tidak akan pernah hapus tanpa 3 (tiga) hal, yaitu Pembayaran oleh debitur, Pembebasan oleh Kreditur, dan Daluarsa. Mengenai ketentuan pasal 142 UU PT yang mengatur pembubaran PT salah satunya karena keadaan insolvensi, hal tersebut tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Kepailitan dan PKPU. Karena dalam UU Kepailitan Pasal 178 mengatur keadaan insolvensi adalah suatu keadaan dimana rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima atau pengesahan perdamaian ditolak oleh hakim. Jadi keadaan insolvensi, itu jauh dari istilah bubarnya perseroan. Oleh karena itu, seluruh kepailitan yang berakhir di Indonesia, tidak pernah berakhir dengan likuidasi. Karena kepailitan dan likuidasi di Indonesia adalah 2 perbuatan hukum yang berbeda. Dari penjelasan ini, jika boedel pailit tidak mencukupi untuk membayar penuh seluruh utang. Maka setelah kepailitan berakhir, sisa utang yang belum dibayarkan kepada kreditur tersebut. Dapat ditagihkan kreditur kepada pengurus PT jika belum dilikuidasi, atau jika setelah dilikuidasi, maka kreditur dapat menuntut kepada person dalam organ perseroan, jika ada dasar dan alasan untuk menuntut itu, dalam hal ini tidak dibayarkannya utang kreditor pada 156 masa sebelum jatuh putusan pernyataan pailit adalah karena kesalahan pengurus perusahaan. Hal ini diatur dengan tegas dalam Pasal 104 ayat (2) dan (3) UU PT yang menyebutkan, bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. Bahkan Tanggung jawab tersebut berlaku juga bagi anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Sehingga jelas, tidak ada satupun alasan bagi direksi untuk lepas pertanggungjawaban ketika terjadi kepailitan yang mana boedel palit tidak cukup membayar seluruh utang. Kewenangan piercing the corporate veil terhadap Direksi Pada pembahasan awal, telah dijelaskan bahwa tidak ada perlindungan mutlak prinsip separated legal personality kepada pengurus perusahaan yang tidak beritikad baik yang telah menimbulkan kerugian PT. Pertanyaan berikutnya, siapakah yang berwenang untuk menyingkap tabir tanggung jawab terbatas direksi dan dewan komisaris. Berdasarkan pasal 97 ayat (6) dan Pasal 114 ayat (6) UUPT tegas disebutkan Pengadilan. Tetapi ketentuan UUPT ini mengatur gugatan privat dalam hal ini oleh pemegang saham atau pihak ketiga. Adapun piercing the corporate veil pengurus, terkait dengan tuntutan negara atau publik, maka iya tunduk pada ketentuan UU yang mengaturnya. Jika pajak, diatur dalam peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan, jika PNBP diatur dalam ketentuan PNBP dan seterusnya. Sehingga keberadaan pasal 32 UU KUP yang mewajibkan pengurus bertanggung jawab, kecuali pengurus tersebut dapat membuktikan kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab adalah sejalan dengan doktrin piercing the corporate veil. Pasal 32 Tidak Hanya Berbicara Perseroan Terbatas, Tetapi Seluruh Bentuk Usaha 157 Jika melihat permohonan pemohon, dalam kapasitasnya sebagai Direktur suatu PT, yang menghendaki tafsir terhadap pasal 32 yang tidak hanya berbicara tentang PT. maka permohonan tafsir tersebut tidaklah tepat. UU KUP dalam pasal 1 angka 3 mendefiniskan badan bukan semata PT, tetapi sangat luas. Meliputi CV, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, ormas, kontrak investasi kolektif (KIK), dan Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang sebagian besar tidak memiliki tanggung jawab terbatas ( limited liability ). Sehingga jika uji materil ini dikabulkan, saya membayangkan bagaimana sulitnya nanti negara menagihkan utang pajak badan. Karena akan ada pengurus firma, CV, Kongsi, ormas, KIK dan BUT yang berdalih mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas utang pajak ketika badan yang mereka urus tersebut pailit, dengan dasar Pasal 32 mengecualikan pertanggungjawaban wakil yang badan usahanya pailit. Padahal tanggung jawab mereka tersebut terhadap badan-badan usaha tersebut adalah tanggung jawab pribadi. Menanggapi Pertanyaan Hakim dan para Pihak ▪ Pengurus dikatakan beriktikad baik dalam konteks business judgment rule jika memenuhi empat kriteria dalam Pasal 97 ayat (5) UU 40/2007 (UU PT), yaitu: ▪ Kerugian bukan karena kesalahan atau kelalaiannya. ▪ Pengurusan dilakukan dengan iktikad baik dan kehati-hatian. Pengurus tidak punya kepentingan terhadap dirinya sendiri; tidak ada benturan kepentingan; tidak ada kepentingan terhadap dirinya sendiri ( have no conflict of interest ). ▪ Berdasarkan kewenangannya ( intra vires ). Kewenangan dalam hal ini adalah ketaatan direksi terhadap peraturan yang dibuat oleh perusahaan terhadap direksi. ▪ Tanggung jawab pengurus yang melanggar, menurut UU PT, akan diminta sampai dengan kerugiannya. ▪ Dalam Putusan Pengadilan mengenai pailit tidak akan ada pernyataan mengenai direksi bersalah atau tidak bersalah. ▪ Pernyataan pailit adalah upaya kreditur untuk mendapatkan pelunasan utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih berdasarkan Pasal 21 ayat (2). Dengan demikian putusan pailit hanya akan bicara tentang hal itu saja. 158 ▪ Amerika dan Singapura mempunyai sistem perkreditan atau utang piutang yang sudah ▪ sangat prudent dan hati-hati. Di kedua negara itu dikenal debt forgiveness atau penghapusan utang. Penghapusan utang di Indonesia menjadi otoritas kreditor, sementara debt forgiveness di negara-negara maju diberikan oleh hukum atau undang-undang. ▪ Sehingga sangat mungkin ketika terjadi kepailitan dan pemberesan, ternyata masih ada utang namun direksinya sudah mengurus dengan benar, maka negara harus berperan. ▪ Bagaimana cara memperoleh pelunasan jika direksi bekerja sudah benar? Dalam konteks ini banyak yang tetap memaksakan untuk memeriksa tanggung jawab direksi melalui pengadilan. Banyak kasus kepailitan kemudian menggantung dalam konteks ini. ▪ Pailit digunakan untuk menghindari pajak karena UU Kepailitan menyaratkan bahwa kepailitan tidak harus dalam keadaan tidak mampu bayar, tetapi cukup dengan dua kreditor, yaitu satu kreditor telah jatuh tempo dan dapat ditagih. ▪ Jadi kepailitan ini seperti pisau yang dapat digunakan untuk membereskan utang-utang, namun bisa juga untuk menghindari tanggung jawab. ▪ Bahkan ada tren di mana kepailitan digunakan untuk membeli aset dari lawan bisnisnya dengan harga murah. Karena ketika dengan dua syarat pemailitan yang sangat mudah tadi, lawan atau pesaingnya dipailitkan lantas barang masuk dalam proses penjualan yang harus lelang, kemudian tinggal diatur lelangnya supaya tidak segera laku sehingga dapat dijual dengan harga likuidasi atau harga paling rendah. ▪ Aturan bahwa kurator tidak otomatis menjadi likuidator dipahami dari peraturan Mahkamah Agung tahun 2020. Banyak proses kepailitan yang sudah berakhir, tapi tidak berakhir dengan likuidasi, sehingga memunculkan banyak PT “hantu”. Oleh karena itu Mahkamah Agung menetapkan bahwa kurator nanti akan bertindak sebagai likuidator.
Dian Puji N Simatupang Sehubungan dengan pengujian Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007, ahli menyampaikan keterangan dari aspek hukum administrasi negara dan keuangan publik mengenai dua hal, yaitu: 159 1. Kewenangan Direktur Jenderal Pajak dalam pengelolaan perpajakan;
Pengaturan khusus dalam perpajakan Kewenangan merupakan kekuasaan publik yang diatur dengan undang- undang, apalagi berkaitan dengan pajak sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 memang harus diatur dengan undang-undang. Pengaturan perpajakan dalam undang-undang merupakan bentuk mandatory regulation , artinya mengenai perpajakan dan pungutan lainnya yang bersifat memaksa tidak lain dan tidak bukan harus diatur dengan undang-undang, dan tidak dengan pengaturan lain di bawah undang-undang. Penggunaan frasa “diatur” undang-undang dalam Pasal 23A UUD NRI 1945 jelas menunjukkan undang-undang perpajakan akan mengatur mengenai kewenangan, syarat prosedur, dan subtansi dalam pelaksanaan kegiatan perpajakan secara menyeluruh. Dalam hal kemudian undang-undang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai wewenang, syarat prosedur, dan substansi pelaksanaan ke dalam peraturan di bawahnya hakikatnya merupakan kebijakan politik hukum yang terbuka ( open legal policy ), yang tidak membuat norma baru atau keadaan baru dalam peraturan di bawahnya. Kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menghapus nomor pokok wajib pajak (NPWP) dalam hal wajib pajak dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha dimaksudkan untuk memberikan keyakinan yang memadai ( reasonable assurance ), setiap tindakan administrasi pemerintahan dalam perpajakan telah dilaksanakan secara khusus untuk memberikan kepastian pada penerimaan negara melalui proses perpajakan. Ikut sertanya Direktur Jenderal Pajak yang berwenang dalam menghapus NPWP bagi wajib __ pajak dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Pasal 35 UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, di mana piutang negara khususnya dari perpajakan mempunyai hak mendahului (hak preferens) dibandingkan hak yang dimiliki lainnya. Dengan demikian, adanya kewenangan dalam Pasal 2 ayat (6) UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007 dimaksudkan memberikan:
keyakinan memadai ( reasonable assurance ) dalam pengambilan tindakan hukum perpajakan yang membawa pengaruh pada penerimaan negara;
bagian dari hak mendahului negara (hak preferen) untuk memastikan piutang pajak tetap dapat dibayarkan sesuai dengan ketentuan; 160 3. memastikan kemungkinan penghapusan dilakukan berdasarkan alas hukum dan alas fakta, dengan prosedur tersendiri dalam ranah hukum publik, yang membedakan dengan prinsip dan konsep dalam ranah hukum privat, khususnya mengenai kepailitan dan pemberesan utang. Diaturnya wewenang Dirjen Pajak dalam memberikan persetujuan atas penghapusan NPWP khusus karena wajib pajak dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha memperhatikan prinsip dalam pengenaan perpajakan, salah satunya, adalah keadilan, yaitu dalam hal pengenaan pajak bagi wajib pajak semuanya tanpa kecuali, tetapi dalam keadaan tertentu diberikan tindakan hukum tertentu yang ditetapkan setelah terdapat alas hukum dan alas fakta yang memadai. Adanya wewenang Dirjen Pajak dalam menghapus NPWP sebagai suatu tindakan administrasi pemerintahan dalam kegiatan yang bersifat perdata, khususnya penghentian atau penggabungan usaha dalam teori hukum dinamakan sebagai konsep contrarius actus , yaitu dalam hal ketentuan publik mengatur berbeda beberapa tindakan keperdataan, maka ketentuan publik yang harus ditaati. Kecuali, ketentuan perdatanya, misalnya kepailitan menyatakan tidak berlaku ketentuan publik ini secara tegas-tegas. Dengan diaturnya kewenangan Dirjen Pajak untuk menghapus secara hukum terdapat pengaturan antar-tata hukum di mana kewenangan publik mengatur beberapa prinsip pelaksanaan dalam kegiatan keperdataan. Konsep ini dimungkinkan dengan beberapa alasan:
guna melaksanakan wewenang dan kewajiban pemerintahan atau bestuursdwang , di mana Direktur Jenderal Pajak untuk memperhatikan semua kepentingan secara prosesual, yang kemudian diatur dalam undang- undang sebagai suatu kebijakan politik hukum terbuka ( open legal policy ), yang dimaksudkan guna memberikan keadilan semua tetap ditagihkan pajak, kecuali dengan syarat prosedur publik tertentu dalam kegiatan termasuk hubungan keperdataan;
penggunaan wewenang publik dalam hubungan keperdataan dimaksudkan memberikan keyakinan memadai semua tindakan administrasi pemerintahan perpajakan tetap dapat dilaksanakan tanpa kecuali, tetapi untuk keadaan tertentu dimungkinkan dengan campur tangan kewenangan publik melalui Direktur Jenderal Pajak. 161 Kegiatan penghentian dan penggabungan usaha memang termasuk kegiatan hukum keperdataan, sehingga berlaku prinsip dan ketentuan hukum perdata dalam hal ini hukum perusahaan atau hukum perusahaan. Akan tetapi, kewajiban dalam perpajakan sebagai suatu bentuk bestuursdwang merupakan wewenang publik, sehingga untuk menjembatani antara tindakan hukum keperdataan dan hukum publik perpajakan dilakukan dengan memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai badan atau pejabat administrasi pemerintahan yang mempunyai wewenang publik. Tim pemberesan atau kurator tidak dapat bertindak dalam ranah hukum publik kecuali undang-undang perpajakan memberikan wewenang delegasian kepadanya untuk dan atas nama Direktur Jenderal Pajak. Dengan demikian, kewenangan Direktur Jenderal Pajak dalam penghapusan NPWP justru tepat secara hukum untuk menghindari adanya kelalaian dalam hak mendahului perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU 1/2004 dan peraturan perundang-undangan perpajakan pada umumnya. Dari segi prosedur dan syarat, kewenangan tersebut kemudian dilakukan dengan penetapan standar operasional prosedur dan menggunakan alas hukum dan alas fakta yang prosesual atau berlaku umum untuk siapapun. Mengenai putusan pengadilan niaga yang telah berkekuatan hukum tetap dan menjatuhkan pailit sesuai dengan peraturan perundang-undangan, secara hukum putusan tersebut tidak mengikat ketentuan dan prinsip administrasi pemerintahan yang berlaku umum. Kedudukan badan peradilan dan badan pemerintahan dalam posisi yang seimbang dan tidak saling menegasikan, tetapi mengawasi dan menyeimbangkan ( check and balance ). Dengan demikian, putusan pengadilan niaga yang telah berkekuatan hukum tetap apabila ada yang berkaitan dengan prosedur dalam tindakan administrasi pemerintahan tidak dapat secara serta merta mengesampingkan prosedur dan syarat sebagaimana diatur dalam undang-undang sebagai bentuk bestuursdwang karena menjalankan kewenangan dalam undang-undang. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007 yang menjadikan piutang pajak menjadi tanggung jawab secara pribadi atau renteng atas pembayaran pajak tentu didasarkan pada tanggung jawab mutlak dalam pembayaran pajak yang bersifat preferens tersebut. Dalam hal pembayaran ini akan kemungkinan 162 ditanggung secara pribadi atau renteng tentu akan diatur berdasarkan pada alas hukum dan alas fakta yang memadai dan prosesual. Alas fakta yang memadai dan prosesual merupakan bukti konkret dan faktual yang menunjukkan adanya kausalitas antara pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban pribadi masing-masing dalam kegiatan usaha tersebut. Misalnya, keputusan korporasi yang ditetapkan dan diputus direksi yang menimbulkan penerimaan bagi korporasi, yang kemudian dinikmati korporasi dan pengurusnya merupakan suatu bentuk kausalitas yang memadai dan faktual konkret. Namun, penerapan Pasal 32 UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007 juga disertai dengan pengecualian dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan bukti yang menyakinkan para pengurus tidak berada dalam tanggung jawab atas pajak terutang tersebut. Hal demikian merupakan bentuk diskresionary decision atau keputusan diskresional yang terikat di mana Direktur Jenderal Pajak dapat membebaskan pengurus dalam hal piutang pajak berdasarkan bukti yang menyakinkan memadai bahwa kedudukannya sebagai pengurus tidak mempunyai kausalitas yang terkait dengan piutang pajaknya. Kewenangan tersebut lazimnya akan diikuti dengan penetapan standar operasional prosedur pengambilan keputusan secara patut dan akuntanbel. Dengan demikian, prosesnya jika keberatan dan banding dapat diajukan ke pengadilan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut hukum keuangan publik dan perpajakan, beralihnya tanggung jawab pembayaran pajak perusahaan kepada pribadi pengurus merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab hukum yang bersifat antisipatif guna menghindari adanya penghindaran pembayaran pajak. Dalam hal ini, pengurus dianggap mengetahui secara langsung dan faktual siapa saja dan di mana saja potensi yang harus dimintakan pembayaran pajak terutang. Dengan demikian, pengurus akan mengupayakan hubungan hukumnya dengan para pihak tersebut untuk membayarkan piutang pajak perusahaan. Konsep pengalihan tanggung jawab hukum yang bersifat antisipatif dilakukan agar ketidakjelasan dalam pembayaran pajak tidak boleh terjadi karena ketiadaan data dan informasi pelacakan pihak yang bertanggung jawab. Dengan demikian, menarik pengurus sebagai pihak yang bertanggung jawab secara pribadi atau rentang 163 dimaksudkan untuk melakukan pengecekan jejak pihak yang harus membayar piutang pajak. Dengan demikian, hal tersebut dilakukan untuk memberikan kepastian terhadap pembayaran piutang pajak sebagai suatu bentuk pajak terutang yang harus dibayarkan secara preferens kepada negara. Di sisi lain, memberikan keyakinan yang memadai semua piutang pajak dapat diselesaikan dan dituntaskan secara transparan dan akuntabel. Berkaitan dengan bestuursdwang dalam pembayaran pajak yang tidak memerlukan pengadilan, hal tersebut sepanjang diatur dalam undang-undang merupakan kekuasaan publik untuk dilaksanakan terlebih dahulu. Dalam hal wajib pajak keberatan dan banding dapat mengajukan ke pengadilan pajak, sebagai suatu bentuk mekanisme check and balance dalam kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara. Pengaturan khusus negara dalam kegiatan perpajakan yang berkaitan dengan kegiatan keperdataan diatur sebagai bagian dari penerapan asas contrarius actus , dalam hal suatu kegiatan keperdataan diatur tunduk pada ketentuan hukum publik, undang-undang harus merumuskan dan mengaturnya dalam suatu undang-undang. Kecuali, undang-undang kegiatan perdata mengatur tegas misalnya, “ketentuan perpajakan mengenai kegiatan perusahaan diatur dan tunduk pada undang-undang ini.” Jika tidak ada pengaturan seperti demikian, tidak dapat mekanisme keperdataan mengesampingkan norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian, secara teori hukum umum, konsep contrarius actus menghormati sistem hukum publik dan hukum privat, tidak saling menegasikan atau tidak saling menafsirkan atau mencampuradukkan tindakan. Jika hukum publik akan dikesampingkan dalam hukum perdata, ketentuan hukum perdata menegaskan tidak berlakunya hukum publik tersebut dalam ranah hukum perdata ini dengan suatu undang-undang. Demikian juga, hukum publik menegaskan tidak berlakunya hukum perdata dalam ranah hukum publik dengan mengaturnya dalam suatu norma tersendiri. Secara diagramatis dapat digambarkan sebagai berikut. Hukum Publik Hukum Privat Mengesampingkan hukum perdata dengan menormakan dalam undang- undang Mengesampingkan hukum publik dengan mengatur tegas tidak berlakunya 164 ketentuan hukum publik dalam ranah tindakan hukum privat Berdasarkan gambaran tersebut, sekiranya tidak dapat dicampuradukkan prinsip dan norma hukum keperdataan dengan prinsip dan norma hukum perpajakan, mengingat keduanya berada dalam ranah hukumnya masing- masing.
Hendry Julian Noor Harus diakui tidak mudah membaca undang-undang, karena tidak hanya sekedar membaca bunyi kata-katanya saja ( naar de letter van de wet ) tetapi harus mencari arti, makna dan tujuannya [Lihat Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar , Yogyakarta: Liberty, hlm.50]. Oliver Wendell Holmes (1841-1935) ^ mengatakan bahwa “ the rational study of the law is still to a large extent the study of history. History must be part of the study, because without it we cannot know the precise scope of rules. It is a part of the rational study, because it is the first step toward an enlightened scepticism, that is, towards a deliberate reconsideration of the worth of those rules ” [Lihat Oliver Wendell Holmes, 2009 ( First published in 1897), The Path of the Law, Bedford Massachusetts: The Floating Press-Applewoods Books, hlm.24; Romli Atmasasmita, 2018, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis , Jakarta: Prenadamedia Group, hlm.15). Pernyataan a quo menunjukkan betapa pentingnya dalam mempelajari hukum adalah juga harus mempelajari sejarah dan pengalaman yang telah dialami oleh bangsa tersebut, tentunya dengan melihat nilai kemaslahatan dari pengalaman dan/atau sejarah tersebut. ^ Berkaitan hal tersebut, salah satu bentuk interpretasi adalah interpretasi historis, yaitu penafsiran makna undang- undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya perundang- undangan tersebut. Interpretasi historis juga meliputi sejarah hukum [Lihat Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar , Yogyakarta: Liberty, hlm.58-59; Anthon Freddy Susanto, 2005, Semiotika Hukum: Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna , Bandung: Refika Aditama, hlm.59). Menurut Pontier, interpretasi sejarah hukum adalah penentuan makna dari formulasi sebuah kaidah hukum dengan mencari pertautan pada penulis-penulis atau secara umum pada konteks kemasyarakatan di masa lampau [Lihat Eddy 165 O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana , Jakarta: Erlangga, hlm.77]. Selain itu, interpretasi yang juga penting untuk memahami maksud dan tujuan satu ketentuan hukum, adalah juga interpretasi teleologis. ^ Interpretasi teleologis merupakan penafsiran hakim dengan menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang, lebih memperhatikan tujuan dari undang-undang daripada bunyi kata-kata saja. [Lihat Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.61]. Dengan menggunakan interpretasi historis dan teleologis, sejak awal dapat dipahami bahwa pajak digunakan sebagai salah satu instrumen Pemerintah yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara guna mewujudkan tujuan negara. Definisi otentik pajak diatur dalam Pasal 1 Angka 1 UU KUP: “ … kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” . Salah satu fungsi pajak adalah sebagai budgeter, di mana pajak merupakan alat atau sumber untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya kepada kas negara yang kemudian digunakan untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran negara, termasuk untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat [Lihat S.F. Marbun, 2012, Hukum Administrasi Negara I, Yogyakarta: FH UII Press, hlm.317; Bdk M. Farouq S, 2018, Hukum Pajak di Indonesia: Suatu Pengantar Ilmu Hukum Terapan di Bidang Perpajakan, Jakarta: Prenadamedia Group, hlm.119; S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Liberty, hlm.135]. Dari sudut pandang hukum administrasi negara, fungsi tersebut relevan dengan konsep good governance dalam aktivitas pelaksanaan fungsi menyelenggarakan kepentingan umum oleh pemerintah, yang juga terkait pula dengan tiga tugas dasar pemerintah [Lihat Philipus M. Hadjon “ Hukum Administrasi sebagai Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Good Governance” dalam Philipus M. Hadjon, dkk., 2012, Hukum Administrasi dan Good Governance , Jakarta: Penerbit Universitas Trisaksi, hlm.9], yaitu: Pertama, menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat. Kedua, mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, swasta, dan masyarakat. Ketiga, memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainnya 166 dengan kehendak rakyat. Dengan “tugas berat” demikian, hukum pajak dapat dikatakan bagian dari rezim hukum publik. Menurut Korten, dalam sektor ekonomi, tanggung jawab utama pemerintah adalah menyediakan infrastruktur yang diperlukan untuk memajukan perdagangan (kehidupan ekonomi) dan menegakkan hukum yang berkaitan dengan hak atas kekayaan dan kontrak (perjanjian) [Lihat David C. Korten, 1997, When Corporations Rule the World (Bila Korporasi Menguasai Dunia) , Jakarta: Professional Books, hlm.115]. Hal tersebut sebagaimana pendapat Posner, bahwa pasar ekonomi diasumsikan sangat rapuh dan cenderung beroperasi sangat tidak efisien (tidak jelas) jika dibiarkan sendiri dan tanpa ada campur tangan pemerintah [Lihat Richard A. Posner “Theories of Economic Regulation” dalam The Bell Journal of Economics and Management Science , Vol. 5, No. 2, Autumn, 1974, hlm.336). Pembahasan dalam perkara a quo , dapat dikatakan seolah kembali kepada perdebatan klasik yang bahkan mungkin sampai sekarang terus berulang, yaitu ranah hukum manakah yang harus lebih didahulukan untuk kemudian dapat dilaksanakan terlebih dahulu, dalam hal ini apakah rezim hukum publik yang diatur dalam UU KUP, ataukah rezim hukum privat yang dalam hal ini “diwakili” oleh UU PKPU dan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Harus diakui persinggungan antara hukum publik dan hukum privat ini, serta perdebatan di antaranya masih kerap terjadi. Penjelasan ini terlebih dahulu akan dimulai dengan sedikit menguraikan definisi kedua hukum tersebut, meskipun harus diakui bahwa suatu sengketa pendapat yang tidak pernah terurai secara tuntas salah satunya adalah mengenai pemberian batasan atau definisi terhadap suatu pengertian. Selama ilmu pengetahuan terus berkembang, maka sesuai sifat alamiahnya, perdebatan mengenai definisi juga seolah tak akan pernah habis. Pendapat dari Jacobs Israel de Haan dalam bukunya Rechtskundige Significa tersebut , menggambarkan bahwa sangatlah ketat dan sulit untuk merumuskan suatu definisi. Dikatakan oleh Jacobs Israel de Haan: “... het zelfde woordt beeft nooit dezelfden betekenis voor twee menschen, omdat nooit twee menschen met denzelfden aanleg woorden geboren en het zelfde leven hebben beleefd. Dit is zeker juist; het is juist omdat twee menschen nooit indentiekzijn, omdat het twee 167 menschen zijn”, diterjemahkan sebagai berikut: “... perkataan yang sama tidak pernah mempunyai pengertian yang sama untuk dua orang, karena tidak pernah dua orang dilahirkan dengan bakat yang sama dan pengalaman yang sama. Hal ini pasti benar; dan kebenaran ini disebabkan karena dua orang tidak mungkin identik, mengingat adanya dua orang” [Lihat Jacobs Israel de Haan, 1919, Rechtskundige Significa, Amsterdam: N.V. Johannes Muller, hlm.21; dan Arifin P. Soeria Atmadja, 1986, _Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara: _ Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Gramedia, hlm.9]. Berdasarkan pendapat Hans Kelsen, hukum privat adalah suatu ranah hukum yang menggambarkan hubungan-hubungan hukum antar subjek-subjek hukum yang sederajat atau memiliki kedudukan yang sama secara hukum. Hubungan hukum privat yang tipikal adalah transaksi hukum, terutama kontrak, sebagai suatu norma individual yang diciptakan melalui kontrak, agar pihak- pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut berperilaku secara timbal balik sesuai dengan yang diperjanjikan [Lihat Hans Kelsen, 2015, Pengantar Teori Hukum , Bandung: Nusa Media, hlm.140-141). Sedangkan hukum publik didefinisikan sebagai suatu ranah hukum yang menggambarkan hubungan-hubungan hukum yang mana salah satu subjek hukum yang satu memiliki kedudukan lebih tinggi secara hukum dari pada subjek yang lain, dan yang menjadi tipikal dari ranah hukum ini adalah hubungan antara negara dengan warga negara. Dengan beberapa tipikal berupa adanya petunjuk administratif yang dikeluarkan oleh negara dan norma individual yang dikeluarkan oleh lembaga administratif yang mana hal-hal tersebut dibuat agar penerima petunjuk dan norma tersebut bertindak sesuai dengan petunjuk dan norma administratif tersebut [Lihat Ibid. ]. Sejak lama terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum tentang pembagian hukum publik dan hukum privat. Terdapat beberapa kriteria untuk membedakan dua jenis hukum ini, yaitu pertama , mengenai kepentingan, hukum publik mengatur kepentingan umum/publik dan hukum privat mengatur kepentingan khusus/perdata. Kedua , mengenai cara mempertahankannya, hukum publik dipertahankan oleh pemerintah dan hukum privat oleh perorangan. Ketiga , mengenai asas hukum, hukum publik memuat asas-asas istimewa dan hukum privat memuat asas-asas biasa. Keempat , mengenai hubungan hukum, hukum publik mengatur hubungan secara vertikal 168 (pemerintah dengan warga negara) dan hukum privat mengatur hubungan secara horizontal (antar warga negara). Kelima , mengenai sifat hukum, hukum publik adalah hukum a priori memaksa dan hukum privat tidak a priori memaksa [Lihat E. Utrecht, L.J. van Apeldoorn, N.E. Algra dan H.C.J.G. Jansen, serta Sudikno Mertukusumo dalam Ridwan HR, 2016, Hukum Administrasi Negara , Jakarta: Rajagrafindo Persada, hlm.70]. In casu a quo, pasal-pasal a quo yang tengah diuji dalam sidang yang mulia ini adalah pasal-pasal yang masih memenuhi prinsip-prinsip untuk mewujudkan kepastian hukum, dengan argumentasi sebagai berikut: Pertama Terkait persinggungan antara hukum privat dan hukum pidana sebagai hukum publik ini, pada dasarnya apabila dengan melihat salah satu doktrin, di mana logikanya hukum publik didahulukan dari pada hukum privat sepanjang dimaknai bahwa hukum publik tersebut adalah konstitusi [Lihat Paul Scholten, 1934, Metode Umum Hukum Perdata : diterjemahkan oleh Siti Soemarti Hartono, S.H. Mr. C. Asser, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda , Bagian Umum. Preprint, edition 1, Digital Paul Scholten Project, Amsterdam, Februari 2015, diperoleh dari http: //www.paulscholten.eu/research/ article/indonesian/]. Dengan menggunakan logika penemuan hukum argumentum a contrario serta dengan menginterpretasikan pendapat Bachsan Mustafa yang mengutip Paul Scholten, bahwa apabila hukum publik tidak mengadakan peraturan- peraturan lain, maka di manapun itu hukum perdata diberlakukan sebagai hukum umum, yang apabila di- a contrario -kan, adalah apabila hukum publik mengadakan pengaturan terhadap suatu hal, maka hukum perdata menjadi tidak diberlakukan. Argumentum a contrario adalah penafsiran dengan menggunakan pengertian sebaliknya dari peristiwa konkrit yang dihadapi [Lihat Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana , Jakarta: Penerbit Erlangga, hlm.70; bdk Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar , Yogyakarta: Liberty, hlm.67 dan 69; ^ Bachsan Mustafa, 1985, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: Penerbit Alumni, hlm.61]. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Loer, dalam disertasinya yang berjudul Publikrecht tegenover privaatrecht, dirinya menyatakan bahwa negara 169 itu tidak tunduk pada hukum privat, karena pemikiran yang demikian tidaklah logis. Pemikiran tersebut berangkat dari asumsi bahwa negara tidaklah sama dengan rakyat biasa [Lihat Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1988, Kedudukan Jaksa dalam Hukum Perdata, Jakarta: PT. Bina Aksara, hlm.57]. Dalam negara hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum ( everything must be done according to law ) yang pada dasarnya negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah [Lihat H.W.R. Wade, 1971, Administrative Law , Oxford: Clarendon Press, hlm.6; bdk Ridwan HR, Op.Cit. , hlm.21]. ^ Hukum ditempatkan sebagai aturan dalam penyelenggaraan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan, sementara tujuan hukum itu diantaranya “ ... opgelegd om de samenleving vreedzam, rechtvaardig, en doelmatig te ordenen ”, yang artinya bahwa sasaran dari negara hukum adalah terciptanya kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan yang berpijak pada keadilan, kedamaian, dan kebermaknaan [Ridwan HR, Op.Cit. , hlm.22]. Kembali kepada pendapat Paul Scholten tersebut, terkait dengan pajak, Konstitusi Republik Indonesia atau UUD 1945 tepatnya Pasal 23A mengatur: “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” . Ketentuan tersebut memberikan landasan konstitusional perpajakan yang harus diatur dengan undang-undang, yang mana merupakan produk hukum yang dibuat bersama antara pemerintah sebagai perwakilan eksekutif (yang mengurus negara) dengan DPR sebagai pemegang kuasa legislatif yang merupakan perwakilan rakyat. Dengan “kesepakatan bersama” tersebut, maka pada dasarnya telah memberikan legitimasi dan bahkan legalitas bagi pemerintah untuk kemudian “memungut” pajak yang telah disepakati oleh rakyat melalui wakilnya tersebut. Bahkan di Inggris dikenal prinsip ini berbunyi, “ no taxation without respresentation”. Adapun di Amerika, menggunakan prinsip: “ taxation without representation is robbery” [Lihat S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Op.Cit. , hlm.132 dan 64; bdk dengan istilah de heerschappij van de wet atau kekuasaan undang-undang yang diterangkan H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dalam Ridwan H.R., 2003, Hukum Administrasi Negara , Yogyakarta: UII Press, hlm. 81-82]. __ Kenapa penting untuk diatur dalam undang-undang? Karena telah terjadi perubahan konsep pembayaran pajak, yang sebelumnya dilakukan secara 170 sukarela dan bahkan penuh dengan kebanggaan, namun sekarang bahkan butuh upaya paksa untuk agar dapat membayar pajak, oleh karenanya dengan sifat memaksa demikian, maka perlu diatur dalam undang-undang. Fakta lainnya pula adalah bahwa dalam melaksanakan tugas-tugasnya pemerintah bangsa yang modern akan membutuhkan biaya yang sangat besar, di mana pemungutan pajak merupakan salah satu jalannya (Lihat S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Op.Cit. , hlm.131-132]. “ Pembenaran ” pemungutan pajak tersebut setidaknya didukung oleh beberapa teori sebagai berikut: Pertama, teori daya pikul (teori untuk dasar memungut pajak yang adil), bahwa setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan daya pikulnya masing-masing. Menurut de Langen, makna teori ini adalah bahwa seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri dan keluarganya. Sedangkan Cohen Stuart menganalogikan bahwa daya pikul seseorang sama dengan daya pikul jembatan yang melewati jembatan tersebut, tanpa amblasnya jembatan tersebut. Kedua teori tersebut pada dasarnya menegaskan bahwa seluruh penghasilan seseorang identik dengan kekuatan pikul jembatan, sedangkan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk hidup primer disamakan dengan bobot jembatan tersebut [Lihat Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Bandung: PT Refika Aditama, hlm.28-29]. Kedua, teori daya beli, yang mengibaratkan pajak layaknya pompa yang menyedot daya beli seseorang/anggota masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui saluran lain, misalnya perbaikan fasilitas umum dan pelayanan publik. Sehingga, dalam hal ini adalah untuk kesejahteraan masyarakat [Lihat Ibid., hlm.29]. Ketiga , teori kewajiban pajak mutlak, yang berdasar pada orgaantheorie dari Otto von Gierke yang menyatakan bahwa negara itu merupakan satu kesatuan, yang di dalamnya setiap warga negara terikat. Tanpa ada organ atau lembaga tersebut, individu tidak mungkin hidup, sehingga dapat membebani setiap anggota masyarakatnya dengan kewajiban, termasuk membayar pajak [Lihat Ibid., hlm.30]. Keempat, teori pembenaran pajak menurut Pancasila, yang mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Pajak di sini dianggap sebagai bentuk 171 gotong royong (tolong-menolong) yang memang merupakan suatu nilai yang hidup dalam masyakarat Indonesia, termasuk nilai kekeluargaan yang membuat setiap orang mempunyai kewajiban untuk saling membantu, mempertahankan, melangsungkan hidup keluarga (negara dan masyarakat). Tegasnya, berdasarkan teori ini, kepentingan umum tersebut dianggap sebagai hak asasi yang dapat mengalahkan kepentingan individu, dengan tetap memberikan kewajiban bagi pemerintah untuk tidak sewenang-wenang, dan harus memungut pajak berdasarkan undang-undang [Lihat Ibid. ]. Dengan berdasarkan teori-teori tersebut dapat dipertegas bahwa ketentuan perpajakan tersebut, khususnya yang diatur dalam UU KUP tersebut telah bersifat konstitusional dan bahkan dapat dibenarkan secara teoretik. Kedua Hutang pajak bersifat memaksa dan mempunyai kedudukan yang bersifat istimewa atau preferen [Lihat M. Farouq S., Op.Cit., hlm.210]. Dalam tataran doktrin, hutang pajak merupakan hutang yang bersifat khusus, berada pada rezim hukum publik, yang tentunya sifatnya berbeda dengan ketentuan dalam bidang hukum perdata, namun dapat menggunakan asas-asas dan prinsip-prinsip hutang-piutang dalam hukum perdata, kecuali jika ditentukan sebaliknya. Oleh karenanya, prinsip yang termuat dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang berbunyi bahwa semua barang, baik bergerak atau tidak bergerak yang dimiliki oleh debitur, baik di masa sekarang ataupun masa mendatang menjadi jaminan semua hutang-hutangnya, dan demi hukum, jika debitur berhenti membayar hutangnya, barang-barang miliknya tersebut, melalui proses di muka pengadilan, dapat disita oleh kreditur, dijual di muka umum, dan hasilnya digunakan untuk melunasi hutangnya (Lihat Rochmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Bandung: PT Eresco, hlm.106-107; bdk Elyta Ras Ginting, 2019, Hukum Kepailitan: Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.393-397. Lihat pula M. Farouq S., Op.Cit., hlm.212]. Selanjutnya, dalam hal (ternyata) debitur tersebut memiliki hutang kepada beberapa kreditur, namun karena sifat dan kedudukan khusus dari hutang pajak, maka sebagaimana pula diatur oleh Pasal 21 UU KUP, negara melalui Direktur Jenderal Pajak memiliki hak mendahului untuk melakukan sita 172 atas barang-barang wajib pajak yang menjadi jaminan untuk utang-utangnya tersebut. Hak mendahului negara adalah terhadap hutang pajak, baik mengenai pokok pajak, bunga, denda administrasi, kenaikan dan biaya pengalihan [Lihat Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Op.Cit., hlm.107]. Dapat dipahami bahwa pengaturan demikian ini ditujukan untuk mendahulukan dan/atau memberikan kedudukan utama piutang negara di atas piutang perdata, dengan mengingat bahwa pajak tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum dalam hal ini kepentingan kehidupan negara dan bangsa Indonesia agar dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karenanya, sangat wajar jika kemudian kepentingan umum harus didahulukan dari pada kepentingan pribadi/individu [Lihat Ibid., hlm.108]. Dengan doktrin dan ketentuan yang demikian, apabila hendak menggunakan analogi dalam penyelesaian kasus pajak dengan rezim hukum lain, yakni hukum pidana juga menarik untuk dicermati. Dalam doktrin hukum pidana, hukum pidana pajak disebut sebagai ius singulare karena memiliki sistem norma dan sanksi tersendiri. Bersama-sama dengan hukum pidana militer yang disebut sebagai ius speciale , hukum pidana pajak merupakan hukum pidana khusus tertua di dunia [Lihat Bambang Poernomo, 1984, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di Luar Kodifikasi Hukum Pidana , Jakarta: Bina Aksara, hlm.19; Sigid Suseno dan Nella Sumika Putri, 2013, Hukum Pidana Indonesia: Perkembangan dan Pembaruan, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm.195]. Bahkan dari segi sanksi, pajak yang diselundupi atau tidak dibayarkan, meskipun atas perbuatan tersebut telah dijatuhi sanksi pidana, namun tidak menghapuskan hutang pajaknya. Suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak (misalnya tidak taat membayar pajak) dapat merupakan tindak pidana sekaligus merupakan perbuatan melawan hukum di bidang administrasi, misalnya tidak memasukkan surat pemberitahuan atau memasukkan surat pemberitahuan yang diwajibkan oleh undang-undang pajak yang data-datanya tidak benar atau palsu. Dalam hal demikian, sanksi pidana dijatuhkan hanya merupakan hukuman bagi perbuatannya, dan bahkan dijatuhkan sanksi pidana tersebut memperkuat alasan untuk melakukan penelitian mendalam perihal pajak yang seharusnya dibayarkan oleh Wajib 173 Pajak yang tidak taat membayar pajak tersebut dan jika diperlukan juga denda administrasinya. Sanksi pidana merupakan kewenangan pengadilan pidana, sedangkan untuk “penagihan” pembayaran hutang pajak dan sanksi administrasi tersebut tetap merupakan wewenang administrasi pajak, yaitu Direktur Jenderal Pajak yang kemudian menjatuhkan sanksi melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Tegasnya, sifat kumulasi antara sanksi pidana dan sanksi administrasi sangatlah dimungkinkan. Lihat Rochmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan 3, PT Eresco, Bandung, hlm. 34-37). Tegasnya, di samping memiliki norma dan sanksi hukum yang mengandung sifat administratif dan pidana, hukum yang mengatur pajak juga didasarkan pada asas-asas yang bersifat ekonomis dan finansial [Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., hlm.191]. Dengan doktrin demikian, dapat dipahami bahwa jika sudah dikenakan sanksi badan dan/atau bahkan sanksi denda pun, yang mana sanksi pidana secara sifatnya adalah mengekang hak asasi manusia, namun juga sama sekali tidak “membebaskan” atau setidaknya “meringankan” wajib pajak terkait dengan kewajiban hutang pajaknya, yang bahkan masih mungkin juga dikenakan sanksi administrasi terhadapnya. Sehingga, alasan pailit dapat dikatakan masih terlalu ringan dibandingkan dengan “sanksi berlapis atau sanksi kumulasi” yang sangat mungkin diterapkan dalam hal tindak pidana pajak. Ketiga Terkait dalil Pemohon bahwa apa yang dia lakukan atas nama business judgement rule seharusnya tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi terhadapnya, kiranya perlu dipahami terlebih dahulu bahwa antara perseroan dengan direksi, ada suatu hubungan kepercayaan atau fiduciary relationship [Lihat Prasetio, Penerapan “Business... (Ringkasan Disertasi), Op.Cit. , hlm.2] , yang kemudian melahirkan kewajiban bagi direksi yang lazim disebut dengan istilah fiduciary duty. Fiduciary duty is perhaps the most important concept in the Anglo- American law cooperation. The word "fiduciary" comes from the Latin fides, meaning faith or confidence, and was originally used in the common law to describe the nature of the duties imposed on a trustee. Perhaps because many of the earliest corporation cases involve chari table corporations, courts began 174 to analogize the duties of a director in managing corporate property to the duties of trustee in managing trust property [Lihat Lewis D. Solomon, (et. al), 1994, Policy Materials and Problems , St Paul: West Publishing Co., hlm.672; Jeffrey D. Bauman, 2010, Corporations Law and Policy: Materials and Problems, St Paul: West Publisher, hlm.634]. Terkait fiduciary duty, Bryan A. Garner menyatakan sebagai berikut: Fiduciary duty is a duty of utmost good faith, trust, confidence, and candor owed by a fiduciary to the beneficiary or a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the best interests ofthe other person (such as the duty that one partner owes to another. Apabila diterjemahkan secara bebas dapat dipahami sebagai bahwa fiduciary duty adalah tugas yang harus dipenuhi dengan itikad baik, dapat dipercaya, kesetiaan, dan keterbukaan yang harus diberikan oleh pelaksananya kepada penerima manfaat atau kewajiban untuk bertindak dengan kejujuran dan kesetiaan yang tinggi dan dilakukan demi kepentingan pemberi fiduciary duty tersebut [Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law dictionary , Texas: West Group, hlm.581]. Erman Rajagukguk mendefinisikan fiduciary duty direksi sebagai kewajiban direksi dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan kepentingan perusahaan (duty of loyalty) . __ Teori yang juga berkembang di sistem hukum common law ini pada prinsipnya menghendaki pelaksana fiduciary duty untuk tidak terlibat dalam conflict interest, yaitu menempatkan kepentingannya di atas kepentingan korporasi. Pelanggaran terhadap prinsip ini, maka meniadakan doktrin BJR. Artinya direksi yang tidak menjalankan duty of loyalty, tak akan dapat berlindung dibalik doktrin BJR apabila kebijakan yang dibuatnya tersebut membawa kerugian bagi korporasi dan terhadap dirinya dituntut pertanggungjawaban hukum [Lihat Robert W. Hamilton dan Richard D. Freer, 2011, The Law of Corporations in a Nutshell , Minnesota: West Publisher, hlm.171]. Duty of loyalty terbagi 2, yaitu duty to act bona fide in (bahwa direksi melakukan tugas pengurusan dan perwakilan semata-mata hanya untuk kepentingan perseroan) dan duty to exercise power for proper purposes (bahwa kebebasan direksi terbatas pada tujuan dan kepentingan perseroan) dan tindakan tersebut dilakukan dengan kehati-hatian (duty of care) [Lihat 175 Hasbullah F. Sjawie, 2015, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Kencana, hlm.186-187 dan hlm.198; Hotasi Nababan, 2012, Jangan Pidanakan Perdata: Menggugat Perkara Sewa Pesawat Merpati , Jakarta: Q Communication, hlm.92]. __ Keduanya merupakan dasar dari fiduciary duty [Jeffrey D. Bauman, Op.Cit., hlm.129; bdk Julian Velasco “How Many Fiduciary Duties Are There in Corporate Law?” dalam Southern California Law Review, Vol.83, 2010, hlm.1232-1233] . Tindakan yang dijalankan dengan penuh kehati-hatian, antara lain tindakan tersebut diambil dengan itikad baik untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung, dan telah mengambil tindakan untuk mencegah dan berlanjutnya kerugian tersebut [Lihat Hotasi Nababan, Loc.Cit. ]. Sebagaimana dijelaskan oleh Jeffrey D. Bauman, bahwa duty of care menuntut direktur atau direksi dalam bertindak adalah untuk kepentingan terbaik perusahaan dengan tetap berhati-hati dalam mengambil keputusan dan mengawasi urusan perusahaan. Sedangkan duty of loyalty menuntut direktur atau direksi untuk menempatkan kepentingan perusahaan di atas kepentingannya sendiri [ Jeffrey D. Bauman, Loc.Cit. ]. Adapun Hamilton dan Freer menyebutkan bahwa fiduciary duty tersebut mengandung 3 hal utama, yaitu good faith, care, dan loyalty [Lihat Robert W. Hamilton dan Richard D. Freer, Op.Cit., hlm.150] . Berlandas pada fiduciary duty , Direksi dituntut untuk bertindak dengan penuh kepedulian semata untuk kepentingan perseroan ( duty of care ), selalu mendasarkan diri pada itikad baik ( duty of good faith ), penuh kehati-hatian ( duty of prudently ), dan dengan penuh tanggung jawab ( full sense od responsibility ) yang tentunya berlandaskan pada kejujuran, dan hal ini sebenarnya merupakan satu kesatuan dari Tata Kelola Perusahaan Yang Baik atau yang dikenal dengan Good Corporate Governance [Lihat Henry R. Cheeseman, 2001, Business Law: Ethical, International & E-Commerce Environment, New Jersey: Prentice Hall Inc., hlm.759-766; Prasetio , Op.Cit. , hlm.2-3]. __ 176 Kewajiban yang demikian, tiada lain karena dalam dunia usaha (termasuk dalam korporasi), manajer atau direktur dari korporasi tersebut memiliki kewajiban untuk melakukan bisnis. Bahkan dapat dikatakan bahwa pada jabatan direktur akan selalu melekat fiduciary duty. [Lihat Robert W. Hamilton dan Richard D. Freer, Op.Cit., hlm.151]. Mereka (manajer dan direktur) diberikan kewenangan (melalui fiduciary duty tersebut) untuk melakukan hal tersebut (melakukan bisnis), dan harus dipahami bahwa tugas (melalui fiduciary duty tersebut) adalah dilakukan demi kepentingan korporasi [Lihat Ibid .]. Adapun dalam konteks business judgement rule diatur dalam Pasal 97 UU PT: (1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1); _ (2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab ^ (Penjelasan Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “penuh tanggung jawab” _adalah memperhatikan Perseroan dengan seksama dan tekun); _ (3) Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud _pada ayat (2); _ (4) Dalam hal direksi terdiri dari 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung _renteng bagi setiap anggota direksi; _ (5) Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian _sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
_ _Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
Telah_ melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk _kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
Tidak_ mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung _atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
Telah_ mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut (Penjelasan Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Perseroan 177 Terbatas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian” termasuk juga langkah-langkah untuk memperoleh informasi mengenai tindakan pengurusan yang dapat mengakibatkan kerugian, antara lain melalui forum rapat Direksi) _; _ Dengan ketentuan demikian, maka berdasarkan Pasal 97 ayat (2) UU PT, kepengurusan perusahaan yang berada di tangan direksi, haruslah dilakukan dengan berdasarkan itikad baik, bertanggung jawab, dan tujuannya dilakukan kepengurusan perseroan. Apabila tindakan direksi yang menimbulkan kerugian tidak dilandasi itikad baik, maka ia dapat dikategorikan telah melakukan pelanggaran fiduciary duty yang melahirkan tanggung jawab pribadi [Lihat Henrikus Renjaan, 2017, Pentingnya Impelementasi Prinsip Kemandirian Direksi Terhadap Proses Penghapusan Piutang Bank BUMN di Indonesia, Disertasi, Yogyakarta: FH UGM, hlm.78-79; Ridwan Khairandy, 2014, Hukum Perseroan Terbatas, Yogyakarta: UII Press, hlm.304]. Pada Pasal 97 ayat (5) terdapat kata “ Anggota direksi tidak dapat _dipertanggungjawabkan atas kerugian... apabila dapat membuktikan:
..”,_ dengan ketentuaan yang demikian terlihat bahwa konteks pembuktian business judgement rule di Indonesia berbeda secara diameteral dengan di Amerika, di mana pihak yang berkewajiban untuk membuktikan bahwa pengambilan keputusan bisnis dalam hal pengurusan perseroan telah dilakukan dengan itikad baik, penuh kehati-hatian, dan semata untuk kepentingan serta maksud dan tujuan perseroan ada pada pihak direksi, bukan pada orang yang “menggugatnya”. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa beban pembuktian telah dilaksanakannya business judgement rule tersebut ada pada pihak direksi [Lihat Hasbullah F. Sjawie, Op.Cit., hlm.121-122]. Berdasarkan penjelasan di atas, maka terhadap dalil tersebut, dapat diajukan argumentasi penolakan sebagai berikut: Pertama, timbulnya hutang pajak menurut ajaran materiil, hutang pajak timbul karena undang-undang, bukan karena ketetapan fiskus. Sehingga, apabila kemudian sebelum keluarnya ketetapan wajib pajak tersebut meninggal dunia, maka hutang pajak akan beralih kepada ahli warisnya, karena bunyi UU KUP memang mengatur bahwa pajak pendapatan sudah timbul pada permulaan tahun pajak, sehingga (tanpa perlu menunggu adanya ketetapan fiskus) kewajiban pembayaran 178 pajak tersebut telah ada demi hukum [Lihat S.F. Marbun, Op.Cit. , hlm.327; bdk S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Op.Cit. , hlm.131-138]. Kedua, sebagaimana keterangan Termohon bahwa secara umum timbulnya utang pajak berbanding lurus dengan tambahan kemampuan ekonomi Wajib Pajak pada saat itu. Apabila Wajib Pajak memperoleh laba, maka serta merta akan terutang pajak, sebaliknya apabila Wajib Pajak merugi maka tidak akan ada utang pajak yang timbul. Oleh karenanya tidak dapat menempatkan alasan ketidakmampuan secara finansial Wajib Pajak saat ini, yang menyebabkan jatuhnya pailit, dengan kemampuan finasial saat munculnya kewajiban perpajakan sebelum terjadinya pailit. Munculnya utang pajak secara umum diakibatkan karena pengurus pada saat itu tidak segera melunasi kewajiban perpajakannya secara self assesment saat syarat subjektif dan objektifnya terpenuhi. Adalah suatu konsekuensi hukum yang wajar dan logis menurut undang-undang di bidang perpajakan jika Pemohon selaku Pengurus/Direktur dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi dan tanggung renteng atas utang pajak yang timbul semasa kepengurusannya. Tegasnya, seandainya ketika hutang pajak tersebut timbul Pemohon telah melakukan pengelolaan dengan baik, maka tidak seharusnya hutang pajak tersebut bertumpuk dan sampai harus menjadi tanggung jawab pribadi Pemohon seperti sekarang ini. Kata “kelola” secara gramatikal bermakna mengendalikan atau menyelenggarakan, adapun dalam konteks perusahaan, bermakna menjalankan dan/atau mengurus. Sehingga, kata “pengelolaan” bermakna sebagai proses dan/atau perbuatan dan/atau cara mengelola [Lihat Pusat Bahasa Depdiknas, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, hlm.719]. Istilah tersebut diambil dari istilah dari hukum perusahaan berupa beheer van daden (mengurus perseroan), yang dirumuskan secara positif dalam Pasal 92 ayat (1) UU PT: “ Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan ”. Adapun maknanya adalah setiap perbuatan yang perlu atau termasuk golongan perbuatan yang biasa dilakukan untuk mengurus atau memelihara perserikatan perdata [Lihat Prasetio, 2013, Penerapan “ Business Judgement Rule” Dalam Restrukturisasi Transaksi Komersial PT (Persero), Berdasarkan 179 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Ringkasan Disertasi) , Yogyakarta: PDIH FH UGM, hlm.100]. Sebagai penutup, kiranya penting untuk melihat pendapat Rochmat Soemitro, bahwa dalam mengatur perihal perpajakan dalam undang-undang tersebut telah dicantumkan perihal siapa (subjek) yang dikenakan kewajiban pajak, apa (objek) yang dikenakan pajak, dan berapa besarnya (tarif) yang harus dibayarkan, maka menurutnya hal demikian sudah dapat memberikan kepastian hukum dalam menjamin “hak pungut” pajak oleh negara melalui Direktur Jenderal Pajak [Lihat Rochmat Soemitro, 1988, Pajak Ditinjau Dari Segi Hukum, Bandung: Eresco, hlm.1-2]. Jikapun dirasa terjadi ketidakadilan (menurut Wajib Pajak), maka menurutnya saluran hukum untuk mencari keadilan, yaitu baik melalui lembaga surat keberatan maupun melalui surat banding ke Majelis Pertimbangan Pajak [Lihat Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Bandung: Refika Aditama, hlm.42]. Ahli berkesimpulan bahwa Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU 6/1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU 16/2009 (UU KUP) tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. [2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik 180 Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999, selanjutnya disebut UU KUP) terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu: 181 a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
Bahwa hal yang dimohonkan Pemohon adalah agar: a) Pasal 32 ayat (2) UU UU KUP yang menyatakan, “Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut”, dimaknai termasuk pengurus yang 182 badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; b) Pasal 2 ayat (6) UU KUP yang menyatakan, “Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”, dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Bahwa Pemohon menyatakan memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Hak konstitusional tersebut dirugikan oleh ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP karena Pemohon sebagai Direktur dan Penanggung Pajak perusahaan (badan hukum), yang perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit, tetap dikenai tagihan utang pajak oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak; serta di sisi lain NPWP atas nama Pemohon tidak dihapus oleh Dirjen Pajak meskipun perusahaan yang dikelola Pemohon telah dinyatakan pailit;
Bahwa Pemohon menyatakan diri sebagai Warga Negara Indonesia (vide Lampiran berupa KTP atas nama Pemohon) yang menjadi Direktur dan Penanggung Pajak perusahaan PT United Coal Indonesia (PT. UCI) hingga ketika perusahaan tersebut dinyatakan pailit, yang status hukum pailit demikian berdasar pada Putusan Pengadilan Niaga Jakarta (vide Bukti P-3); 183 5. Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP mengakibatkan secara faktual Pemohon tetap dikenai tagihan oleh Dirjen Pajak agar melunasi utang pajak PT UCI karena Pemohon adalah Direktur dan Penanggung Pajak PT UCI, padahal PT UCI sendiri telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, di mana proses kurasi sudah selesai dilaksanakan oleh kurator;
Bahwa Pemohon sebagai Warga Negara Indonesia dilindungi haknya secara hukum oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebagaimana didalilkan Pemohon sendiri dalam permohonannya;
Bahwa anggapan kerugian yang dialami Pemohon, yaitu penagihan utang pajak PT UCI oleh Dirjen Pajak kepada Pemohon, dimungkinkan untuk tidak lagi terjadi ketika Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon dimaknai “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”; demikian pula kerugian bahwa tagihan pajak tersebut, yang dimungkinkan ditujukan Dirjen Pajak kepada Pemohon karena NPWP Pemohon masih aktif padahal PT UCI (sebagai badan hukum yang menggunakan NPWP Pemohon sebagai identitas Wajib Pajak) telah pailit, akan tidak lagi terjadi jika Pasal 2 ayat (6) UU 28/2007 dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Dirjen Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil permohonan Pemohon, Mahkamah menilai Pemohon telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara anggapan kerugian konstitusionalitas yang dijelaskan dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian, oleh karenanya, Pemohon mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam perkara a quo ; [3.6] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. 184 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas bersyarat Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan Pemohon karena tetap membebankan pelunasan utang pajak kepada penanggung pajak perusahaan ( in casu Pemohon) meskipun perusahaan dimaksud telah dinyatakan pailit dan sedang dibereskan kurator;
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 2 ayat (6) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan Pemohon karena tidak menghapus NPWP atas nama perusahaan (di mana penanggung pajak perusahaan, in casu adalah Pemohon) padahal perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit dan sedang dilakukan pemberesan oleh kurator. Tidak adanya penghapusan NPWP tersebut mengakibatkan Pemohon ditagih pelunasan utang pajak dan jumlah/nominal utang pajak tersebut terus bertambah;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan, pertama, Pasal 32 ayat (2) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Kedua, Pasal 2 ayat (6) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. [3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14, serta mengajukan dua orang Ahli bernama Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeni, S.H., dan Prof. Dr. Tjip Ismail, S.H., yang keduanya telah didengar keahliannya dalam sidang bertanggal 22 September 2020 serta telah diterima pula keterangan tertulis dari kedua Ahli tersebut. Pemohon juga mengajukan tiga orang Saksi 185 bernama Andrey U Sitanggang , Vychung Chongson , dan Rio Ferry Sihombing , yang telah didengar keterangannya dalam persidangan tanggal 22 September 2020; [3.9] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan secara tertulis bertanggal 18 Agustus 2020, serta menyampaikan keterangan secara lisan (diwakili oleh Anggota DPR bernama Mukhamad Misbakhun ) dalam persidangan tanggal 18 Agustus 2020; [3.10] Menimbang bahwa Presiden juga telah memberikan keterangan terkait permohonan Pemohon berupa dua keterangan tertulis, yaitu Keterangan Presiden tanpa tanggal dan Keterangan Tambahan Presiden tanpa tanggal, September 2020, disertai Lampiran. Presiden telah pula mengajukan 4 (empat) ahli yang keempatnya mengajukan keterangan tertulis, yaitu Dr. Abdul Anshari Ritonga, S.E., S.H., M.A., Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H., Dr. Dian Puji N Simatupang, S.H., M.H., dan Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn. Dua di antara Ahli tersebut, yaitu Dr. Abdul Anshari Ritonga, S.E., S.H., M.A dan Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H., telah pula didengar penjelasannya dalam persidangan tanggal 14 Oktober 2020; [3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara cermat dalil permohonan Pemohon dan alat bukti yang diajukan, isu konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah berkenaan dengan permohonan a quo adalah apakah seorang Penanggung Pajak suatu perusahaan (perusahaan sebagai Wajib Pajak Badan) dapat tetap dikenai tagihan pelunasan utang pajak manakala perusahaan bersangkutan telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan. Dalam kaitannya dengan itu, Mahkamah harus pula mempertimbangkan apakah bagi Wajib Pajak Badan yang telah dinyatakan pailit, NPWP perusahaan bersangkutan tetap ada sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan, ataukah undang-undang harus memerintahkan Dirjen Pajak untuk menghapus NPWP demikian sebagaimana dimohonkan Pemohon. [3.12] Menimbang bahwa Mahkamah perlu memberikan pendapat mengenai kejelasan permohonan Pemohon. Secara umum Mahkamah dapat memahami isi permohonan Pemohon, apalagi telah dijelaskan oleh Pemohon serta dijawab oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, serta telah pula diterangkan oleh para ahli. 186 Namun, jika dibaca terpisah dari posita, rumusan Petitum Nomor 2 dalam permohonan Pemohon memberikan dua pemahaman berbeda, yaitu:
apakah makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dimaksudkan Pemohon sebagai perluasan makna kata “Wakil” yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP; atau
apakah makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” merupakan perluasan makna frasa “mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut” sebagaimana termaktub dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP. Namun, dengan menghubungkan makna antara Pasal 32 ayat (2) dengan Pasal 32 ayat (1) UU KUP, Mahkamah memahami bahwa makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” yang dirumuskan Pemohon dalam Petitum Nomor 2 dimaksudkan sebagai perluasan kategori pihak yang tidak dibebani tanggung jawab atas pajak terutang. Dengan kalimat lain, Pemohon memohonkan agar Mahkamah memaknai Pasal 32 ayat (2) antara lain bahwa pengurus badan hukum, yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit, tidak dibebani tanggung jawab untuk melunasi pajak terutang; [3.13] Menimbang bahwa NPWP pada dasarnya adalah nomor registrasi atau nomor identitas yang dikeluarkan oleh negara, in casu Dirjen Pajak bagi Wajib Pajak. Menurut Mahkamah, sebagai sebuah identitas, NPWP bukan merupakan hal yang menyebabkan munculnya tagihan pajak. Tagihan pajak atau utang pajak muncul karena aktivitas keuangan yang dilakukan oleh setiap Wajib Pajak baik perorangan atau pun badan hukum, sementara NPWP merupakan identitas yang digunakan sebagai salah satu instrumen untuk menagihkan utang pajak tersebut kepada Wajib Pajak. Artinya, sebenarnya, terhadap tagihan pajak dapat dibebankan, baik pada orang yang memiliki NPWP atau orang yang tidak memiliki NPWP, yang disebabkan adanya perhitungan aktivitas keuangan yang memberikan nilai tambah dan keuntungan kepada Wajib Pajak. NPWP juga bukan merupakan sebuah aktivitas maupun dokumen hukum yang memunculkan status Wajib Pajak. Status 187 Wajib Pajak lahir ketika entitas tertentu, baik perorangan atau pun badan hukum, melakukan kegiatan ekonomi khususnya kegiatan finansial yang menghasilkan nilai lebih/keuntungan. [3.14] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan permohonan Pemohon, seandainya permohonan dikabulkan, yaitu Pasal 32 ayat (2) UU KUP dimaknai “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”, maka NPWP perusahaan (di mana Pemohon bertindak sebagai penanggung pajak) memang akan hapus, namun menurut Mahkamah hapusnya NPWP demikian tidak lantas menghilangkan status perusahaan dan/atau Pemohon sebagai Wajib Pajak. Hal demikian karena status Wajib Pajak timbul bukan karena adanya NPWP melainkan karena terpenuhinya syarat subjektif dan syarat objektif yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU 7/1983); Pasal 2 ayat (1) UU 7/1983 antara lain mengatur bahwa, “(1) Yang menjadi Subyek Pajak adalah:
warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak;
badan yang terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga, dan bentuk usaha tetap.” Adapun Pasal 4 ayat (1) UU 7/1983 antara lain mengatur bahwa, “(1) Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya:
gaji, upah, komisi, bonus, atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan;
honorarium, hadiah undian dan penghargaan;
laba bruto usaha;
keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta karena likuidasi;
penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya;
bunga; 188 g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang, dibayarkan oleh perseroan, pembayaran dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada pengurus dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada anggota;
royalti;
sewa dari harta;
penerimaan atau perolehan pembayaran berkala”; [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan hal demikian, menurut Mahkamah dalam konteks permasalahan konkret yang dihadapi Pemohon, isu konstitusionalitas penghapusan NPWP tidak dapat dipisahkan dari ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 UU 7/1983 yang mengatur mengenai subjek dan objek pajak. Kewajiban bagi Wajib Pajak agar mempunyai NPWP diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU KUP. Ketentuan ini mengatur kewajiban bagi setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif agar mendaftarkan diri kepada Dirjen Pajak yang kemudian kepadanya diberikan NPWP. Sebagaimana diuraikan Mahkamah sebelumnya, kewajiban perpajakan tidak lahir karena terbitnya NPWP, melainkan sejak adanya kegiatan ekonomi yang mengakibatkan adanya suatu pertambahan nilai. Demikian pula apabila Wajib Pajak memperoleh laba maka serta merta akan timbul utang pajak, sebaliknya apabila Wajib Pajak merugi maka tidak akan timbul utang pajak. Konsep teoritis demikian juga ditegaskan oleh Pasal 2 ayat (4a) UU KUP yang menyatakan, “Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau … dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif … ”. Dengan demikian, menurut Mahkamah jika Pemohon berkehendak agar dengan hapusnya NPWP perusahaan di mana Pemohon menjadi penanggung pajak lantas berakibat hapusnya pula kewajiban perpajakan perusahaan bersangkutan, maka hal demikian tidak akan tercapai seandainya pun Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon yaitu menambahkan makna pada Pasal 2 ayat (6) UU KUP agar penghapusan NPWP oleh Dirjen Pajak meliputi juga bagi Wajib Pajak badan yang telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; Dengan kata lain, Mahkamah berpendapat bahwa NPWP, sesuai nama panjangnya yaitu “Nomor Pokok...” sebenarnya lebih tepat dilihat sekadar sebagai sebuah nomor identitas atau angka penanda bagi Wajib Pajak, dan bukan sebuah sumber materiil yang memunculkan suatu kewajiban perpajakan. Menghilangkan 189 atau menghapuskan kewajiban perpajakan, seandainya diperlukan, tidak dapat dilakukan hanya dengan penghapusan nomor pokok wajib pajak atau nomor identitas lain yang berfungsi sama dengan itu; [3.16] Menimbang bahwa selain berkaitan langsung dengan NPWP, permohonan Pemohon menurut Mahkamah sebenarnya hendak mempersoalkan konstitusionalitas penagihan pajak perusahaan kepada Pemohon sebagai penanggung pajak, padahal perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit. Untuk menjawab isu konstitusionalitas demikian Mahkamah perlu menguraikan perihal utang perusahaan, jenis pajak, pihak yang membayar pajak perusahaan dan penanggung pajak badan, serta hubungan antara perusahaan dengan pengurus/direksi badan hukum; [3.17] Menimbang bahwa utang perusahaan pada dasarnya merupakan salah satu pilihan sumber pembiayaan perusahaan. Setidaknya, utang dapat dipahami sebagai dua hal, yaitu a) sebagai kewajiban membayar/melunasi yang timbul dari hubungan kontraktual keperdataan di mana satu pihak meminjam dan pihak lainnya meminjamkan, yang hubungan kontraktual ini memunculkan keberadaan debitur dan kreditur; b) kewajiban membayar/melunasi yang timbul sebagai konsekuensi hubungan perpajakan, dalam ranah hukum publik atau hukum administrasi, antara warga negara (termasuk badan hukum) dengan negara, di mana memunculkan status hukum Wajib Pajak dan Pemungut Pajak (Negara diwakili petugas pajak/fiskus); Bahwa secara universal utang dalam konteks yang pertama, yaitu utang sebagai hubungan kontraktual antara dua pihak atau lebih, adalah kewajiban penerima pinjaman (disebut pihak yang berutang atau debitur) kepada pemberi pinjaman (disebut pihak yang berpiutang atau kreditur) untuk mengembalikan atau membayar kembali sejumlah uang/pembiayaan. Sementara utang dalam konteks kedua, yaitu utang pajak adalah kewajiban perseorangan termasuk badan hukum untuk membayar sejumlah uang kepada negara bukan karena negara pernah meminjamkan sejumlah uang/pembiayaan kepada yang bersangkutan sebelumnya, melainkan sebagai pungutan yang diwajibkan oleh negara kepada Wajib Pajak, antara lain, untuk pembiayaan pembangunan negara. [3.18] Menimbang bahwa Pajak merupakan hak konstitusional Negara atas rakyatnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan, 190 “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian hak negara untuk memungut pajak adalah hak mutlak yang tidak dapat ditolak. Namun hal demikian tidak lantas negara, melalui fiskus (petugas/instansi pengumpul pajak), dapat bertindak sewenang- wenang dalam menentukan besaran dan tata cara pemungutan pajak. Pasal 23A UUD 1945 di atas menegaskan bahwa “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa” hanya boleh diterapkan selama ditujukan “untuk keperluan negara”. Pasal a quo juga mengatur bahwa pajak dan pungutan ini harus “diatur dengan undang-undang”. Pengaturan pajak dengan undang-undang tidak lain bertujuan agar setiap pembebanan pajak mendapat persetujuan dari lembaga yang merupakan representasi rakyat (asas no taxation without representation ). [3.19] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan pajak yang dipungut kepada badan hukum, Mahkamah perlu mempertimbangkan juga mengenai apa atau siapa yang dimaksud sebagai badan hukum. Dengan kata lain, Mahkamah melalui Putusan ini perlu memperjelas kembali mengenai badan hukum sebagai subjek hukum dan bagaimana sebuah badan hukum (yang bukan orang atau manusia) dapat menjalankan aktivitas sehari-hari, baik aktivitas hukum maupun yang bukan hukum. Mahkamah memandang bahwa badan hukum merupakan kepanjangan atau perluasan dari kepentingan manusia, baik kepentingan perorangan (individu) maupun kepentingan bersama (kolektif). Bentuk badan hukum mula-mula (tradisional) adalah usaha dagang, koperasi, dan yayasan. Usaha dagang merupakan badan hukum yang dikuasai dan diijalankan oleh perorangan, sementara koperasi dan yayasan merupakan badan usaha yang dikuasai atau dijalankan secara kolektif. Badan hukum yang dikuasai bersama dapat dikatakan pada mulanya merupakan penyatuan individu atau kerjasama individu yang bersifat kontraktual. Kerja sama, yang mulanya hanya melibatkan gabungan individu, selanjutnya oleh hukum diwadahi sebagai sebuah organisasi kerja sama baik kerja sama dalam hal penggabungan modal, penggabungan tenaga, ataupun yang lainnya. Selanjutnya badan hukum berkembang semakin kompleks menjadi perseroan terbatas, bahkan berkembang bentuk perusahaan multinasional dengan karakteristik berbeda; 191 [3.20] Menimbang bahwa badan hukum dengan demikian merupakan sebuah status bagi perhimpunan atau organisasi yang beranggotakan perorangan/individu. Namun, badan hukum bukan-lah individu itu sendiri. Hal istimewa dari status sebuah badan hukum ini adalah bahwa organisasi yang berstatus badan hukum dianggap mempunyai hak dan kewajiban yang relatif sama dengan hak dan kewajiban manusia/orang; Akan tetapi dalam praktiknya hak dan kewajiban badan hukum tentu tidak dapat dilaksanakan/ditunaikan sendiri oleh badan hukum bersangkutan. Hal demikian tidak lain karena badan hukum “hanya” sebuah status dan bukan manusia/orang, sementara kemampuan untuk berpikir, bersikap, maupun bertindak secara fisik hanya dimiliki oleh manusia/orang. Berdasarkan kondisi alamiah demikian, maka badan hukum sebagai sebuah status/organisasi membutuhkan keberadaan manusia/orang untuk mengurus atau menjalankan status/organisasi tersebut. Di titik ini lah kemudian, menurut Mahkamah, muncul keberadaan manusia/orang yang menjadi representasi atau perwakilan dari suatu badan hukum. Selanjutnya hukum (peraturan perundang-undangan) memilah atau mengklasifikasi badan hukum menjadi beberapa bentuk/jenis yang masing-masing jenis mempunyai sebutan atau istilah tertentu bagi pihak yang mewakili badan hukum tersebut. Sebutan demikian antara antara lain direksi, pengurus, pemilik, bendahara, sekutu, dan sebagainya. [3.21] Menimbang bahwa karena badan hukum merupakan sebuah status yang dikonstruksikan dari perorangan/individu, maka prinsip pemajakannya pun mengikuti prinsip pemajakan perorangan. Dalam perpajakan, selain istilah subjek pajak -yang merujuk pada perorangan dan badan- dikenal pula istilah objek pajak. Objek pajak merujuk pada harta yang dikenai pajak, yaitu harta yang berada di bawah penguasaan subjek pajak. Kedua pengertian tersebut menunjukkan bahwa pajak pada dasarnya adalah sebuah pungutan resmi oleh negara yang pungutan demikian mengikuti subjek pajak dan objek pajak; Badan hukum pun wajib mematuhi ketentuan mengenai jenis dan besaran pajak yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan mengenai pajak, antara lain baik pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pajak badan. Semua undang-undang yang mengatur jenis dan besaran tarif demikian berlaku mengikat bagi badan hukum sebagai wajib pajak selama undang- 192 undang bersangkutan belum diubah, dibatalkan, atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945; Dengan konstruksi bahwa (pungutan) pajak timbul seketika/bersamaan dengan terciptanya nilai lebih (laba atau keuntungan) dari suatu transaksi ekonomi, maka sebenarnya secara logika tidak mungkin ada tagihan pajak yang tidak dapat dibayar. Dengan catatan tidak dapat dibayar di sini diartikan sebagai tidak ada sumber dana untuk melunasinya. Pada praktiknya laba memang tidak selalu seiring dengan ketersediaan cashflow , namun selama masih terdapat laba/keuntungan maka pajak pasti dapat ditunaikan mengingat logika pungutan pajak adalah mengambil sebagian dari keuntungan/penghasilan yang sudah ada/terjadi. Hal ini berbeda dengan logika pungutan yang dikenakan terhadap suatu kegiatan yang baru akan dilakukan, misalnya biaya perijinan; Apalagi sudah sangat jelas di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007), yaitu pada Penjelasan Pasal 70 ayat (1) dijelaskan bahwa, “Yang dimaksud dengan “laba bersih” adalah keuntungan tahun berjalan setelah dikurangi pajak”. Ketentuan lain dalam UU 40/2007, antara lain Pasal 71, menegaskan bahwa laba perusahaan yang dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham adalah laba bersih (bahkan laba bersih setelah disisihkan sebagian sebagai dana cadangan). Kedua ketentuan tersebut merupakan mekanisme kerja yang wajib dilaksanakan bagi sebuah badan hukum, in casu Perseroan Terbatas. Artinya, jika suatu PT telah melaksanakan ketentuan pendirian dan/atau ketentuan operasional PT sebagaimana dirumuskan oleh UU 40/2007, maka menurut penalaran yang wajar seharusnya tidak terjadi kegagalan dalam melunasi/membayar pajak. Berdasarkan hal demikian, Mahkamah berpendapat terjadinya keterlambatan pembayaran pajak oleh wajib pajak adalah ketika pajak ditunda pembayarannya oleh wajib pajak, namun kemudian bagian dari laba atau keuntungan yang seharusnya dibayarkan kepada negara sebagai pajak tersebut terpakai untuk kepentingan lain. Pada akhirnya wajib pajak mengalami kesulitan bahkan tidak mampu melunasi utang pajak atau tagihan pajak; [3.22] Menimbang bahwa di sisi lain Mahkamah perlu menegaskan bahwa pajak tidak boleh dihitung/dikenakan untuk kegiatan perusahaan yang telah dinyatakan pailit dan sedang dalam pemberesan kurator karena perusahaan dalam posisi 193 demikian tentunya tidak sedang beroperasi untuk memperoleh laba/keuntungan, kecuali secara nyata dapat diketahui bahwa masih ada kegiatan perusahaan yang dilakukan atas persetujuan hakim pengawas dan kegiatan demikian mendatangkan kewajiban perpajakan. Mahkamah berpendapat pajak tetap dapat dikenakan atas keuntungan/laba yang telah timbul akibat operasional perusahaan sebelum perusahaan dinyatakan pailit, dan juga dapat dikenakan atas keuntungan yang baru diterima ketika perusahaan telah berstatus pailit. Adalah sangat mungkin sebagian laba atau bahkan keseluruhan laba secara teknis baru diterima perusahaan beberapa saat setelah transaksi terjadi, di mana laba diterima pada saat perusahaan sudah dinyatakan pailit. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, maka terhadap persoalan yang dialami Pemohon yang sesungguhnya, yaitu adanya keberatan atas tagihan pajak badan (perseroan) yang sudah dinyatakan pailit namun penagihannya ditujukan kepada Pemohon sebagai perorangan (mantan pengurus perusahaan sebelum pailit), menurut Mahkamah hal tersebut merupakan permasalahan implementasi dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma UU, sehingga bukan menjadi wewenang Mahkamah untuk menilainya. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas berkenaan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 2 ayat (6) UU KUP adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.23] Menimbang bahwa selanjutnya terhadap Pasal 32 ayat (2) UU KUP, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.12] di atas, Pemohon pada pokoknya memohonkan agar Mahkamah memaknai Pasal 32 ayat (2) antara lain bahwa pengurus badan hukum, yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit, tidak dibebani tanggung jawab untuk melunasi pajak terutang. Terhadap permohonan demikian, pertimbangan Mahkamah tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan hukum yang telah diuraikan di atas. Dengan konstruksi bahwa seharusnya pajak telah dapat dibayarkan setelah laba/keuntungan diterima, bahkan sebelum laba dibagikan sebagai dividen kepada para pemegang saham, maka menurut Mahkamah tidak ada alasan hukum apapun yang dapat melepaskan tanggung jawab perusahaan akan pajak dimaksud. 194 Bahwa berangkat dari kondisi demikian, maka tidak terbayarkan atau tidak terlunasinya pajak merupakan kelalaian atau kesengajaan dari pengurus, sehingga menjadi tanggung jawab pengurus perusahaan. Tentu saja, secara teknis, ada beberapa faktor eksternal atau peristiwa force majeur yang dapat menggagalkan upaya pembayaran pajak, atau bisa juga terjadi human error berupa kesalahan hitung atas beban pajak yang seharusnya dibayarkan. Namun hal demikian menurut Mahkamah tidak lantas mengakibatkan norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP menjadi bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa adanya peristiwa di luar kemampuan manusia pada umumnya, yang mungkin menggagalkan upaya pemenuhan kewajiban perpajakan, merupakan kewenangan Dirjen Pajak dan badan peradilan pajak untuk menilainya. Bahkan dalam Pasal 32 ayat (2) UU a quo sudah diberikan pengecualian bahwa wakil wajib pajak tidak bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara tanggung renteng untuk melunasi utang pajak selama “dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut”; [3.24] Menimbang bahwa untuk menjawab konstitusionalitas norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang membebankan tanggung jawab pelunasan pajak kepada pengurus, menurut Mahkamah norma a quo harus dibaca secara utuh dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU KUP yang mengatur: “Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal:
badan oleh pengurus;
badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
badan dalam likuidasi oleh likuidator;
suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya”. Bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU a quo mengatur suatu badan hukum sebagai wajib pajak diwakili oleh: a) pengurus; b) kurator dalam hal badan dinyatakan pailit; c) orang/badan yang ditugaskan melakukan pemberesan dalam hal badan dibubarkan; atau d) likuidator dalam hal badan dilikuidasi. Dengan tetap merujuk pada konstruksi timbulnya pajak dan/atau utang pajak sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah kelalaian atau kesengajaan yang 195 mengakibatkan tidak terbayarkannya pajak secara nalar hanya dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada pengurus yang aktif mengurusi badan hukum ketika belum dinyatakan pailit, dibubarkan, atau dilikuidasi. Hal demikian karena pengurus- lah yang memutuskan apakah akan langsung membayar pajak ketika perusahaan memperoleh laba/keuntungan (atau pemasukan lain) atau menunda pembayarannya hingga berujung pada kegagalan membayar pajak. Dengan kata lain, tanggung jawab penyelesaian kewajiban pajak badan ada pada pengurus badan tersebut. Apabila berpijak pada ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU a quo, maka penunjukan subjek hukum sebagai wakil adalah sangat tergantung pada subjek hukum utama yang akan diwakilinya. Dalam kasus a quo , terhadap badan yang telah dinyatakan pailit maka tanggung jawab pengurus berpindah kepada wakil badan yang dalam hal ini adalah kurator. Berdasarkan hal demikian, tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, Mahkamah berpendapat pemberesan utang-utang badan yang telah dinyatakan pailit terhadap pihak lain haruslah dilakukan oleh kurator bersama- sama dengan penyelesaian/pemberesan kewajiban-kewajiban lainnya. Adapun tanggung jawab yang harus ditanggung oleh pengurus badan sangat tergantung pada sejauh mana kerugian timbul akibat adanya unsur kelalaian atau kesengajaan dari pengurus pada saat masih aktif menjalankan kepengurusan badan yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan mekanisme penyelesaian kerugian yang bermula dari kelalaian atau kesengajaan pengurus, hal demikian bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi; [3.25] Menimbang bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Menurut Mahkamah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berlaku kepada semua orang, dalam hal ini direksi suatu badan hukum mempunyai hak konstitusional untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; dan begitu pula masyarakat serta semua pihak yang mempunyai hubungan (kerja) dengan badan hukum tertentu mempunyai hak konstitusional yang sama pula yaitu memeroleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 196 Bahwa ditetapkannya pengurus sebagai wakil dari suatu wajib pajak berbentuk badan tentunya bertujuan untuk menjamin kepastian bahwa tindakan suatu badan hukum dapat dimintai pertanggungjawaban, setara dengan dijaminnya hak suatu badan hukum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu demi kepentingan badan hukum dimaksud (yang notabene kepentingan demikian berujung pada kepentingan pengurus dan pemegang saham). Pengurus menjadi pihak utama yang dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan/tindakan suatu badan hukum karena memang dalam keseharian pengurus lah yang menjalankan atau mengoperasikan badan hukum. [3.26] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum demikian, Mahkamah menilai pembebanan tanggung jawab suatu badan hukum (yang tidak dapat bertindak apa-apa tanpa bantuan manusia) kepada seorang atau sekelompok pengurus bukanlah hal yang bertentangan dengan UUD 1945. Demikian pula dalam hal kewajiban perpajakan perusahaan, dengan pertimbangan hukum yang sama Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan yang membebankan penyelesaian kewajiban perpajakan suatu badan ( in casu utang pajak perusahaan pailit) kepada pengurus badan yang diwakili oleh kurator adalah bersesuaian dengan UUD 1945. Bahwa persesuaian norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP dengan norma UUD 1945 terutama dalam hal memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil kepada semua pihak yang berinteraksi dengan badan hukum, di mana Pemohon menjadi pengurus badan hukum, sebagaimana diatur Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah, salah satu wujud hak pihak lain yang berinteraksi dengan badan hukum adalah hak Negara untuk menerima pembayaran pajak dari suatu badan hukum tertentu melalui pihak atau orang yang bertindak sebagai pengurus badan hukum tersebut; Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas berkenaan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.27] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. 197 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Suhartoyo, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, dan Manahan M.P. Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis , tanggal dua belas, bulan November , tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis , tanggal empat belas, bulan Januari , tahun dua ribu dua puluh satu , selesai diucapkan pukul 10.50 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Suhartoyo, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, dan 198 Manahan M.P. Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Arief Hidayat ttd. Suhartoyo ttd. Saldi Isra ttd. Wahiduddin Adams ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Manahan M.P. Sitompul PANITERA PENGGANTI, ttd. Mardian Wibowo
Uji Materiil atas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK) te ...
Relevan terhadap
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di OJK hanya dapat ditarik dengan pemberitahuan paling singkat 6 (enam) bulan sebelum penarikan dan tidak sedang menangani perkara. (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil diharuskan bekerja sama dengan instansi terkait. 33 46. Bahwa apabila kita melihat rumusan Pasal 27 ayat (2) OJK, terhadap kata "dapat" secara gramatikal bukan merupakan unsur yang mutlak "harus ada". Artinya sifatnya temporary . Kemudian dalam Pasal 51 ayat (1) terdapat frasa "yang dipekerjakan". Artinya keberadaan Penyidik PNS di Lembaga OJK merupakan perbantuan dari Penyidik PNS di instansi yang berkaitan. Hal tentunya bertentangan dengan asas " Supremacy of the law ", dimana hukum seharusnya disangga, ditegakkan oleh penegak hukum dalam suatu integrated criminal justice system dan tidak didasarkan pada kewenangan temporary pada suatu masa atau rentang waktu tertentu saja. Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas maka Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK terhadap frasa "Penyidikan", yang memberikan wewenang penyidikan bertentangan dengan Asas " Due Process of Law " dalam Sistem Penegakan Hukum Pidana (Criminal Justice System) sebagai jaminan yang harus ada dalam Negara Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi seseorang yang t disangka melakukan tindak pidana disektor jasa keuangan saat menjalankan proses penyidikan yang dilakukan oleh lembaga OJK dimana seharusnya setiap warga Negara mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. lV. PETITUM Berdasarkan seluruh alasan-alasan Permohonan para pemohon tersebut diatas, mohon kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berkenan memutus dengan amar putusan: Menyatakan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata " dan Penyidikan " Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menyatakan Pasal 9 huruf c terhadap kata " Penyidikan " Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara 34 Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon mengajukan bukti surat atau tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14 sebagai berikut:
Bukti P- 1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;
Bukti P- 2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P- 3 : Fotokopi KTP Pemohon I;
Bukti P- 4 : Fotokopi Nomor Induk Dosen Nasional Pemohon I;
Bukti P- 5 : Fotokopi KTA Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) Pemohon I;
Bukti P- 6 : Fotokopi KTA PERADI Pemohon I;
Bukti P- 7 : Fotokopi Berita Acara Sumpah Pemohon I;
Bukti P- 8 : Fotokopi KTP Pemohon II;
Bukti P- 9 : Fotokopi Nomor Induk Dosen Nasional Pemohon II;
Bukti P- 10 : Fotokopi KTP Pemohon III;
Bukti P- 11 : Fotokopi Nomor Induk Dosen Nasional Pemohon III;
Bukti P- 12 : Fotokopi KTA Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) Pemohon III;
Bukti P- 13 : Fotokopi KTP Pemohon IV;
Bukti P- 14 : Fotokopi Nomor Induk Dosen Nasional Pemohon IV;
Bukti P- 15 : Fotokopi KTP Pemohon V;
Bukti P- 16 : Fotokopi Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan yang membuktikan Pemohon V adalah Karyawan di PT. SNP;
Bukti P- 17 : Fotokopi KTP Pemohon VI;
Bukti P- 18 : Fotokopi Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan yang membuktikan Pemohon V adalah Karyawan di PT. SNP. 35 Selain itu, Para Pemohon Mengajukan Ahli Prof. Drs. Ratno Lukito, MA., DCL. dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S . yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 18 Februari 2019 dan Ahli Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum ( Eddy O.S Hiariej) dan Dr. Bernard L. Tanya, S.H., M.H yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 28 Februari 2019 dan pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:
Prof. Drs. Ratno Lukito, MA., DCL. Ahli adalah seorang ahli Perbandingan Hukum ( Comparative Law ), ahli menguraikan beberapa hal diantaranya:
Dalam pertimbangan historisnya, UU OJK dibentuk karena kesadaran akan pentingnya lembaga pengawasan sektor jasa keuangan di Tanah Air yang mampu untuk memastikan berjalannya lembaga perekonomian yang sehat dan kredibel. Utamanya dalam rangka menghadapi krisis ekonomi dunia di akhir 1990an, lembaga pengawasan jasa keuangan tentu sangat diharapkan kehadirannya untuk memastikan kestabilan perekonomian di suatu negara. Martinez dan Rose (2003) dalam penelitiannya di 14 negara menyebutkan bahwa sejak akhir 2001 jumlah usaha jasa keuangan dalam sektor-sektor perbankan naik drastis (71%), sedangkan industri asuransi dan sekuritas masing-masing naik di angka 70% dan 63%. Kecenderungan kenaikan bisnis jasa keuangan ini juga dialami di negara- negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hidayat (2003) mencatat bahwa di akhir 2003 diestimasikan terdapat 10 bank di Indonesia yang menawarkan jasa asuransi ( bancassurance ) dengan potensi pasar sekitar 14 triliun rupiah, dan investasi dalam bentuk reksadana (mutual funds) ditawarkan tidak kurang oleh 15 lembaga perbankan dengan estimasi nilai sekitar 58 triliun rupiah. Kondisi ini mengakibatkan munculnya kebutuhan akan sistem regulasi dan pengawasan terhadap sektor keuangan yang lebih efektif lagi disesuaikan dengan kebutuhan akan jasa keuangan yang terus meningkat. Dalam kajian-kajian sebelumnya (Taylor dan Fleming, 1999; Mwend dan Fleming, 2001; Claessens, 2002) telah dibuktikan bahwa sistem pengawasan lembaga keuangan yang tidak terintergrasi akan cenderung lemah untuk mengawasi berbagai macam penyelewengan dalam bisnis keuangan 36 karena banyaknya faktor risiko yang muncul di dalamnya. Hal inilah yang mendorong kemunculan rejim pembentuk regulasi dan pengawasan terhadap lembaga perbankan dan sektor-sektor jasa keuangan lainnya yang lebih terintegratif lagi. Martinez dan Rose menyebutkan bahwa di akhir 2002 telah ada setidaknya 46 negara yang mengadopsi model pengawasan terhadap jasa keuangan yang terpusat (integrated single supervisory agency). Tradisi pengawasan seperti inilah yang sejatinya sudah diadopsi oleh negara-negara Scandinavian (Denmark, Norwegia dan Swedia) sejak akhir tahun 1980an. Inggris dan Korea Selatan kemudian mengikuti langkah ini satu dekade kemudian, 1997, dengan membentuk lembaga sejenis meski dengan nama yang berbeda ( Financial Supervisory Authority di Inggris dan Financial Supervisory Service di Korea Selatan). Negara-negara lain pun, seperti Jerman, Estonia, Irlandia dan Malta juga menerima model integratif ini dan menerapkannya pada beberapa tahun kemudian. Secara berurut negara-negara yang tercatat sejak akhir 1980an sudah mengadopsi sistem pengawasan jasa keuangan yang terpadu itu diantaranya: Norwegia pada 1986, Kanada 1987, Denmark 1988, Swedia 1991, Jepang 2000, Inggris 2001, Jerman dan Austria 2002 dan Irlandia 2003. Tren integrated financial supervisory di atas juga beresonansi ke Indonesia sejalan dengan peningkatan kuantitas lembaga keuangan paska kejatuhan ekonomi negeri ini pada akhir 1997. Pada saat itu, Indonesia masih membagi kekuasaan pengaturan dan supervisi terhadap lembaga keuangan kepada tiga institusi besar. Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia (BI) memiliki otoritas pengaturan (regulative) dan pengawasan (supervisory) terhadap lembaga perbankan. Kementerian Keuangan berkewajiban melakukan pengawasan terhadap lembaga asuransi, sedangkan Bapepam terhadap lembaga pasar modal (the stock exchange). Dengan kata lain, Indonesia hingga tahun 2000an masih mengikuti model pengawasan terhadap lembaga keuangan yang tersebar (dispersed). Pendekatan seperti ini kemudian berubah ketika pada tahun 2004 muncul peraturan baru dengan UU No. 3 Tahun 2004 yang merupakan perubahan dari UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank 37 Indonesia. UU tahun 1999 sejatinya sudah mengamanatkan pada pasal 34 dan 35 nya bahwa tugas pengawasan bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Artinya, bahwa lembaga pengawasan terhadap jasa keuangan tidak akan dilakukan oleh BI namun oleh lembaga independen. Dan karenanya sejak 1999 pemerintah Indonesia sudah menginginkan untuk mengikuti model yang telah dilakukan oleh Korea Selatan dan Inggris yang menciptakan lembaga pengawasan jasa keuangan yang terpisah dari lembaga perbankan. Menariknya, UU No. 3 Tahun 2004 kemudian mengalami beberapa kali perubahan, yaitu melalui UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 6 Tahun 2009. Dan akhirnya terbentuk lembaga pengawasan terhadap sektor jasa keuangan itu melalui UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang menjadikan lembaga OJK ini sebagai lembaga yang memiliki otoritas penuh terhadap kegiatan pengawasan maupun pengaturan terhadap jasa keuangan secara terpadu. Pembentukan lembaga pengawasan jasa keuangan yang terpadu atau integratif ini jelas mengikuti pola integrated financial supervisory model yang sekarang ini semakin menjadi mainstream dalam lembaga keuangan di berbagai negara di seluruh dunia.
Melalui lembaga OJK, model terpadu dalam pengawasan dan pengaturan jasa keuangan itu tergambar dengan jelas, utamanya pada Pasal 1 UU OJK yang menyebutkan bahwa: “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini.” Menurut para ahli, pembentukan lembaga pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan yang terpadu sejatinya didasari atas suatu pertimbangan manfaat, utamanya yaitu: untuk meningkatkan efektifitas monitoring dan pengaturan berbagai lembaga keuangan yang ada, disamping untuk mengejar nilai ekonomis dari lembaga pengawas jasa keuangan tersebut (Taylor dan Fleming, 1999). Lebih jauh menurut 38 Martinez dan Rose (2003), integrative model juga memberikan dampak positif yaitu bahwa tingkat akuntabilitas lembaga keuangan dapat terjaga dikala terjadi kegagalan pada aspek regulasi, disamping tentu saja harmonisasi antara lembaga jasa keuangan akan lebih mudah tercapai. Dan ini pula yang sejatinya ingin dicapai dalam pembentukan lembaga OJK melalui produk UU No. 21 Tahun 2011 tersebut. Efektifitas pengawasan dan pengaturan berbagai jasa keuangan akan diharapkan semakin meningkat di samping faktor biaya yang dapat ditekan. Dengan sistem yang terpadu maka harmonisasi antar lembaga penyedia jasa keuangan juga akan semakin mudah dilakukan. Namun demikian, model integratif tersebut juga memiliki potensi kelemahan. Menurut Abrams dan Taylor (2000), keefektifan lembaga pengawas jasa keuangan yang integratif sangat tergantung kepada lembaga-lembaga pengawas yang ada sebelumnya. Jika lembaga pengawas dan regulator sebelumnya lemah maka pengintegrasian itu tidak akan menghasilkan prospek lembaga pengawas yang kuat dengan segera. Disitulah mengapa Martinez dan Rose menyarankan untuk meningkatkan kestabilan lembaga-lembaga pengawas dan regulator jasa keuangan yang telah ada terlebih dahulu sebelum memikirkan pengintegrasiannya. Pengalaman di beberapa negara, pengadopsian lembaga pengawas jasa keuangan tersebut efektivitas pengawasannya tidak dengan mudah ditingkatkan, karena pada kenyataannya berbagai faktor non-teknis sangat mempengaruhi peningkatan mutu dan efektivitas lembaga tersebut. Di Indonesia, langkah integrasi semua lembaga pengawas dan regulator jasa keuangan sepertinya dilakukan dengan serta merta dan tanpa memperhatikan kondisi sosial, politik dan hukum yang melingkupi persoalan ini. Indonesia agaknya mengikuti langkah Korea Selatan dan Inggris. Korea Selatan, misalnya, sejak 1997 mengambil langkah penyatuan lembaga-lembaga tersebut dengan agak revolusioner, yaitu hanya dalam proses dua tahun. Pendekatan “Big Bang” ini dilakukan pemerintah Korea Selatan untuk menghadapi krisis ekonomi 1997, yang kemudian pada 1 Januari 1999, empat lembaga: The Office Bank of Supervision, the Securities Supervisory Board, the Insurance Supervisory 39 Board dan the Non-Bank Supervisory Board disatukan dalam lembaga baru the Financial Supervisory Service . Pendekatan seperti ini tidak bersifat gradual seperti yang dilakukan oleh negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Norwegia dan Swedia (Reza Y. Siregar and James E. Williams, 2004). Namun demikian, perlu dicatat bahwa langkah penyatuan lembaga- lembaga pengawasan dan pengaturan jasa keuangan yang dilakukan di Indonesia agaknya mempunyai karakter dan pemahaman yang berbeda bila dibandingkan dengan makna penyatuan di negara-negara Barat maupun Asia. Jika di negara-negara lain, pengintegrasian itu dilakukan umumnya untuk menyatukan lembaga-lembaga pengawasan terhadap jasa keuangan sektor perbankan dengan pengawasan sektor-sektor industri keuangan lainnya, seperti sekuritas dan asuransi (dengan istilah Anthony Amicelle, “ professional of finance ”), pengintegrasian di Indonesia di sisi lain lebih ditekankan pada hal teknis pengawasan dan pengaturan (“ professional of security ”). Kompetensi OJK untuk melakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan terhadap semua jasa keuangan namun di sisi lain masih menyerahkan hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan moneter (yaitu menjaga kestabilan nilai rupiah) kepada Bank Indonesia merupakan bukti nyata bahwa model integrasi yang diambil lebih ditekankan pada aspek keamanan ( security ) dari industri keuangan tersebut ketimbang aspek finance-nya. Penekanan yang berlebihan pada aspek security ini tampak lebih tegas ketika kewenangan OJK tidak melulu hanya pada aspek pengaturan, pengawasan dan pemeriksaan (penyelidikan) namun juga dalam hal penyidikan. Pemberian kewenangan dalam hal penyidikan seperti ini jelas tidak lazim bila dibandingkan dengan model financial supervisory system yang berkembang di dunia, baik di negara yang memilih model integrated maupun non-integrated . Dengan kewenangan penyidikan tersebut maka OJK tidak hanya berperan sebagai lembaga pengawasan dan pengaturan lembaga jasa keuangan yang bersifat administratif saja namun juga bersifat quasi-judicial , dalam arti menangani aspek pro-justitia dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan kejahatan keuangan. Di negara- 40 negara dengan sistem pengawasan yang tidak terintegrasi, seperti Australia dan Amerika Serikat misalnya, bidang penyidikan dan penyelidikan terhadap kasus-kasus kriminal keuangan ditangani secara khusus dalam lembaga yang fokus dalam persoalan kejahatan keuangan, seperti pencucian uang, pendanaan terorisme, ketidakwajaran dalam perdagangan valuta asing, dan bentuk-bentuk kejahatan keuangan lainnya. Di Australia, lembaga ini disebut “ The Royal Commission into Misconduct in the Banking, Superannuation and Financial Services Industry ” dan di Amerika Serikat dikenal dengan “ Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN) ”. Dengan kata lain, lembaga pengawasan keuangan tidak menangani permasalahan kejahatan keuangan ( financial crimes ) karena memang lebih konsern dengan pengawasan administratifnya. Di negara-negara dengan model integrated financial supervisory, misal di Jepang dan Korea Selatan, karena penyatuan lembaga itu lebih ditekankan pada subyek jenis jasa keuangannya (“ professional of finance ”) --utamanya tiga besar jenis jasa yaitu perbankan, asuransi dan sekuritas--, maka pengaturan dan pengawasan yang lebih bersifat administratif dipisahkan dengan aspek-aspek pro-justitia yang lebih berhubungan dengan aspek “ professional of security ”. Di Jepang, sistem pengawasan yang integratif terhadap jasa keuangan diwujudkan dalam satu lembaga induk “ Financial Service Agency ”, namun untuk menangani kasus-kasus kriminal keuangan secara khusus ditangani dalam lembaga terpisah yaitu “ Securities and Exchange Surveillance Commission ” ( shouken torihikitou kanshi iinkai , SESC). Lembaga ini didirikan pada 20 Juli 1992 untuk menangani kasus-kasus skandal sekuritas maupun keuangan pada umumnya. Bahkan pada 1998, lembaga ini dipisahkan dari kementerian keuangan. Namun demikian, lembaga ini tidak punya hak untuk memberikan hukuman kepada pelanggar undang-undang atau peraturan yang berhubungan dengan keuangan, namun sekedar memberikan rekomendasi dari hasil penyelidikan dan penyidikannya ( enforcement- investigation ) kepada lembaga hukum terkait. Di Korea Selatan, sistem penyatuan diwujudkan dalam pembentukan dua lembaga utama yaitu 41 “ Financial Services Commission ” (FSC) dan “Financial Supervisory Services” (FSS). FSC merupakan lembaga tertinggi pembuat aturan dan kebijakan ( policy-making authority ) yang berhubungan dengan keuangan, sedang FSS lebih merupakan lembaga pengawasan (supervisi) terhadap semua lembaga keuangan yang ada di seluruh negeri. Sebagai lembaga pengawasan dan pengujian, FSS hanya memiliki 5 tugas: menstabilkan sistem keuangan, melindungi pengguna jasa keuangan, melindungi masyarakat dengan ekonomi rendah dan perusahaan menengah ke bawah, melakukan inovasi terhadap sistem pengawasan, dan melakukan komunikasi yang open-minded dengan para pelaku usaha. Dengan demikian, tampak sekali bahwa lembaga pengawasan jasa keuangan tersebut sama sekali tidak menangani permasalahan-permasalahan pro- justitia yang berhubungan dengan tindak kriminal keuangan.
Penjelasan di atas pada dasarnya menegaskan bahwa secara komparatif, kebijakan pemberian wewenang penyidikan kepada OJK sebagai satu lembaga regulatif dan pengawasan terhadap berbagai bentuk jasa keuangan di Tanah Air adalah tidak lazim. Ketidak-laziman itu karena UU OJK yang mencampur-adukkan antara hak pengawasan yang sifatnya administratif (pemeriksaan atau penyelidikan) dengan pengawasan di bidang law enforcement yang pro-justitia oriented (yaitu kegiatan penyidikan) jelas tidak sejalan dengan skema dan model financial supervisory yang diterapkan di negara-negara lain. Sebagaimana yang ditemui pada lembaga-lembaga pengawasan jasa keuangan di hampir seluruh negara di dunia, fungsi financial supervisory system yang diciptakan berperan sebagai lembaga penegak hukum dalam konteks yang administratif saja, karenanya bentuk pengaturan dan sangsinya pun lebih bersifat administratif. Pada negara dengan model lembaga pengawasan yang integratif, penanganan terhadap kejahatan keuangan ditangani oleh lembaga penegakan hukum yang reguler (kepolisian dan lembaga peradilan). Dan untuk itu, lembaga pengawas keuangan umumnya berperan untuk memberikan rekomendasi dan laporan hasil investigasi atau pemeriksaan terhadap kasus yang bersangkutan. Sedangkan pada negara dengan model lembaga pengawas jasa keuangan yang terpisah- 42 pisah, fungsi penegakan hukum terhadap kasus kriminal keuangan itu dilakukan oleh lembaga khusus yang fokus kepada kasus tindak pidana keuangan. Lembaga-lembaga sejenis FinCEN di Amerika Serikat didirikan untuk secara khusus menangani kasus pidana keuangan yang memang bersifat pro-justitia. Sedangkan lembaga pengawas jasa keuangan yang lainnya tidak memiliki hak untuk melakukan intervensi terhadap lembaga quasi-judicial tersebut karena hanya memiliki wilayah administratif saja. Ini berarti bahwa peran dan fungsi OJK sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 21 Tahun 2011 tidak mengikuti frame dan pendekatan model financial supervisory terhadap lembaga jasa keuangan yang berlaku secara jamak di dunia. Sebagaimana yang dapat dilihat dalam beberapa poin berikut: a) Integrated financial supervisiory model yang dilakukan oleh hampir semua negara di dunia lebih menekankan pada kebersatuan dalam hal jenis jasa keuangannya (“ professional of finance ”), dimana di dalamnya disatukan semua jenis jasa keuangan yang ada, baik yang masuk dalam kategori perbankan, asuransi hingga sekuritas. Di sisi lain, OJK lebih cenderung pada penyatuan fungsi pengawasannya (“ professional of security ”) sehingga aspek pengawasan administratif dan non-judisial disatukan dengan fungsi pengawasan dan investigasi yang judisial ( pro-justitia ), dimana keduanya ditangani oleh satu lembaga terpadu, yaitu OJK tersebut. Karena itu, kita melihat peran OJK yang menyeluruh dalam hal pengawasan dan pengaturan yaitu pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan dapat menimbulkan situasi kekacauan karena dimungkinkan munculnya problem overlaping antara lembaga penegakan hukum yang reguler sifatnya dengan lembaga penegakan hukum (penyidikan) yang ada dalam skop OJK. b) Ditinjau dari aspek wewenang penyidikan, OJK dapat dikatakan menyelisihi kebiasaan model manajemen lembaga jasa keuangan yang berlaku secara umum juga. Pada umumnya, negara-negara di dunia tidak menyatukan antara fungsi pengawasan yang administrative-oriented dengan yang pro-justitia-oriented . Baik negara 43 yang menggunakan model integratif maupun yang tersebar (dispersed) dalam penanganan lembaga jasa keuangannya, mereka tidak mencampurkan antara kedua fungsi pengawasan yang berbeda karakternya tersebut. Penyelewengan yang terjadi dalam lembaga jasa keuangan yang bersifat administratif ditangani oleh lembaga tersendiri dan terpisah dari lembaga pengawasan yang khusus menangani tindakan-tindakan kriminal keuangan yang memerlukan penanganan yang pro-justitia . Dengan argumen di atas maka dapat disimpulkan bahwa wewenang penyidikan yang dimiliki oleh OJK bukanlah merupakan suatu kelaziman dan karenanya lebih tepat untuk dicabut. Dengan pencabutan wewenang penyidikan tersebut maka OJK dapat memfokuskan diri pada peran dan fungsinya sebagai lembaga pengaturan dan pengawasan terhadap jasa keuangan yang lebih bersifat administratif. Sebagaimana yang berlaku di negara-negara lain, penanganan penyidikan dan penegakan hukum terhadap berbagai kasus kejahatan keuangan yang dilakukan dalam lembaga jasa keuangan dapat diserahkan kepada lembaga khusus yang secara ad-hoc diciptakan untuk menangani kasus itu atau oleh lembaga penegak hukum yang reguler.
Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S. Bahwa jika mempelajari latar belakang lahirnya UU OJK, dapat diketahui bahwa pertimbangan pembentukan UU a quo adalah:
untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, stabil, mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Memenuhi amanat dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang- undang. 44 3. Hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang- undang tentang Bank Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) waktu itu. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral tersebut. RUU itu di samping memberikan independensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia (BI) dan diberikan kepada OJK. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (Bank Sentral Jerman) yang pada waktu itu bertindak sebagai konsultan dalam penyusunan RUU yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999. Bahwa secara teoritis, mengacu kepada fungsi ekonomis, bank adalah lembaga yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perannya sebagai “ financial intermediary ” atas jasa transaksi kepada konsumen dan masyarakat. Pendekatan fungsi ekonomis ini yang dianggap paling memuaskan untuk menjelaskan fungsi lembaga perbankan. Sebagai “ financial intermediary ” bank akan mengambil uang dari nasabah, mengumpulkan, menanamkan kembali dana tersebut pada perusahaan lain dalam bentuk: kredit, saham, go public ke pasar modal, dll. Bank adalah institusi yang berada diantara investor (nasabah awal) dengan investor (nasabah paling akhir/peminjam). Untuk menjamin fungsi intermediary itulah diperlukan adanya lembaga pengatur dan pengawas yang independen untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar belakang pembentukan OJK adalah adanya kebutuhan lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan baik perbankan maupun non perbankan yang mampu berfungsi sebagai pengatur dan pengawas yang mempunyai otoritas terhadap seluruh lembaga keuangan baik perbankan, non perbankan termasuk pasar modal, sehingga tidak ada tumpang tindih kewenangan. Bagi industri perbankan tujuan dari pengaturan dan pengawasan perbankan adalah menciptakan sistem perbankan yang sehat, yang memenuhi aspek sebagai lembaga yang dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara 45 wajar, dalam arti wajib memerhatikan faktor risiko seperti kemampuan, baik dari sistem, finansial, maupun sumber daya manusia. Dengan demikian terlihat bahwa desain lembaga OJK sebagai lembaga pengatur dan pengawas perbankan pada awalnya memang hanya mengemban dua fungsi utama yakni fungsi “Pengaturan” dan fungsi “Pengawasan”. Hal tersebut juga dapat kita lihat dalam Naskah Akademik Rancanan UU OJK, yang mengatakan: OJK harus memenuhi struktur yang memiliki unsur check and balances. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi pengaturan dan fungi pengawasan , dimana fungsi pengaturan dilakukan oleh Dewan Komisioner sedangkan fungsi pengawasan dilakukan masing-masing oleh Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal dan Pengawas Industri Keuangan Non Bank. Pemisahan antara Dewan Komisioner dan tiga pengawas ini dimaksudkan untuk:
menciptakan ketegasan pemisahan antara tanggung jawab regulator (Dewan Komisioner) dengan penanggung jawab supervisior (Kepala Eksekutif masing-masing Pengawas) 2) menghindari pemusatan kekuasaan yang terlalu besar pada satu pihak agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan 3) mendorong terjadinya pembagian kerja (division of labor) sehingga dari spesialisasi di masing-masing fungsi pengaturan dan pengawasan. (Lihat: Naskah Akademik Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Otoritas Jasa Keuangan , 2010, hal. 4). Bahwa terhadap fungsi pengawasan yang diberikan kepada lembaga OJK jika mengacu pada model pengawasan industri jasa keuangan di berbagai Negara yang diklasifikasikan dalam 3 kelompok besar, yaitu: ▪ Multi Supervisiory Model yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga jasa keuangan lainnya diatur dan diawasi oleh masing-masing regulator yang berbeda model ini diterapkan oleh beberapa neagra seperti Amerika Serikat dan Republik Rakyat China , ▪ Twin Peak Supervisiory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh dua otoritas utama yang pembagiannya didasarkan pada aspek prudential dan aspek market conduct. Dalam model ini lembaga keuangan prudensial seperti bank dan perusahaan asuransi berada dalam satu jurisdiksi pengaturan dan pengawasan tersendiri, sedangkan perusahaan efek dan lembaga keuangan lainnya serta produk-produk jasa keuangan berada dalam satu jurisdiksi pengaturan dan pengawasan tersendiri pula. Model ini diterapkan oleh Negara-negara seperti Australia dan Canada. ▪ Unified Supervisiory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh otoritas yang terintegrasi dibawah satu lembaga atau 46 badan yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh sektor jasa keuangan mencangkup perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga keuangan lainnya. Sampai saat ini sudah lebih dari 30 negara menerapkan model ini, seperti Negara-negara yang sektor keuangannya cukup besar dan maju seperti Inggris, Jepang, Korea Selatan, dan Jerman. Bahwa dari 3 model pengawasan tersebut diatas, model pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang dipandang sesuai dengan Indonesia adalah Unified Supervisiory Model , yaitu suatu system pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi di dalam suatu lembaga tunggal yang disebut OJK. Istilah otoritas digunakan untuk mencerminkan bahwa lembaga tersebut menjalankan fungsi pengaturan (regulasi) dan fungsi pengawasan ( supervisi) . Yang menjadi masalah utama dalam Uji Materi saat ini adalah bahwa fungsi “pengaturan” dan “pengawasan” dalam perumusan penjabaran normanya dalam UU OJK, dalam kaitannya dengan fungsi “pengawasan” ditambahkan frasa “penyidikan” yang masuk dalam lingkup fungsi pengawasan tersebut. Kemudian oleh Pemohon dipandang sebagai norma yang tidak sejalan dengan Integrated Criminal Justise System dan Due Prosess of Law , dalam system penegakan hukum pidana. Memang jika mencermati ketentuan Pasal 9 huruf c UU OJK, yang menyatakan bahwa untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: (c).……penyidikan……… Jelas di sini bahwa OJK mempunyai wewenang penyidikan atas tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang di sektor jasa keuangan. Bahkan Hadi Utomo dalam abstrak Desertasinya yang membahas tentang Kewenangan Penyidik Pada Lembaga OJK, mengatakan bahwa kewenangan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang dimiliki oleh OJK tergolong luas. Namun demikian, jika kita pelajari lebih lanjut ketentuan Pasal 9 huruf c, khusus frasa “penyidikan“ ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU OJK, yang menentukan bahwa: “Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, akan terlihat adanya konflik norma. Konflik norma itu 47 membuat Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan (DPJK) OJK dalam melaksanakan kegiatan penyidikan terhadap dugaan kasus-kasus tindak pidana di sektor jasa keuangan menghadapi permasalahan yang terkait dengan hal-hal antara lain berkenaan dengan legalitas dan kewenangan Penyidik Polri dan PPNS di OJK. Selaku Penyidik dalam melakukan Penyidikan, UU OJK hanya mengatur secara jelas mengenai kewenangan PPNS, sedangkan kewenangan Penyidik Polri yang dipekerjakan atau diperbantukan di OJK tidak terdapat dasar hukum yang jelas. Lebih jauh lagi, UU OJK tidak mengatur kewenangan Penyidik Polri dalam proses penyerahan berkas perkara. Muaranya adalah ketentuan Pasal 49 UUPJK tersebut. Menurut Pasal 49 UUOJK, kewenangan penyidikan diberikan kepada dua pejabat penyidik, yaitu: Polri dan PPNS di lingkungan OJK. PPNS diatur secara lebih detail, namun untuk Penyidik Polri tidak demikian. Pegawai OJK sendiri yang bukan masuk sebagai bagian dari Aparatur Sipil Negara atau Pegawai Negeri tidak mungkin bisa menjadi PPNS. Sejauh mana efektifitas dari penyidik OJK dalam menanggulangi kejahatan Jasa Keuangan di Indonesia menjadi dipertanyakan banyak pihak. Dari sini terlibat bahwa tampaknya, pembentuk UU memang lebih menghendaki pada pemberian wewenang penyidikan kepada PPNS (seperti model Bapepam dahulu) dan bukan kepada Penyidik Polri, juga bukan kepada Pegawai OJK. Dari frasa “selain pejabat Penyidik Kepolisian” dalam Pasal 49 ayat (1) terlihat bahwa wewenang atribusi penyidikan lebih diberikan kepada PPNS dan bukan kepada Penyidik Polri (masih mirip dengan Bapepam dahulu) dan bukan kepada Pegawai OJK. Hal ini diperkuat dengan frase di dalam Pasal 49 ayat (1) selanjutnya yang menyatakan:
... “diberi wewenang khusus” sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP. Sementara itu, problem kembali muncul bahwa OJK adalah lembaga independen non Departemen pegawainya tidak berstatus sebagai PNS, sehingga kehadiran PPNS pun, melalui frasa “...PPNS yang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik ...dst, tidak bisa diberlakukan atau diberikan kepada Pegawai OJK. Hal ini dipertegas oleh norma dalam Pasal 49 ayat (2) bahwa Penyidik dalam lembaga OJK adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diambil dari instansi lain yang lingkupnya terkait dengan sektor Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam norma Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan: 48 “ OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan .” Jadi terlihat bahwa dengan dibentuknya OJK sebagai lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan baik perbankan maupun non perbankan, di mana status pegawainya bukan Pegawai Negeri Sipil, maka timbul masalah jika kepada Pegawai OJK akan diberikan wewenang sebagai Penyidik (semacam Penyidik PPNS) di samping Polri. Mengapa bermasalah, karena Polisi sebagai penyidik tindak pidana perbankan sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yakni pada Pasal 6 ayat (1) _Penyidik adalah: _ a. _pejabat polisi Negara Republik Indonesia; _ b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Selain itu Polisi sebagai Penyidik juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Pasal 14 ayat (1) a: “Melaksanakan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian Polisi sebagai penyidik mempunyai wewenang penyidikan terhadap semua tindak pidana, tentu termasuk tindak pidana di sektor jasa keuangan – perbankan, non perbankan maupun pasar modal --. Begitu juga Kejaksaan. Jaksa sebagai Penyidik juga mempunyai wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu seperti tindak pidana korupsi, tentu termasuk juga korupsi di sektor jasa keuangan, bahkan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dapat disimpulkan sebenarnya sejak dibentuknya UU OJK, fungsi pengawasan OJK tidak dimaksudkan untuk mengatur wewenang Penyidikan sendiri selain model penyidikan yang dikenal dalam KUHAP, yaitu: Penyidik Polri dan PPNS. Jika OJK dalam menjalankan fungsi Pengawasan diberikan wewenang Penyidikan, maka hal itu akan berbenturan dengan KUHAP, yang berarti berbenturan dengan Doktrin Integrated Criminal Justise System . Namun kemudian yang terjadi adalah Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan menyelipkan aturan tentang fungsi pengawasan yang dijabarkan termasuk di dalamnya adalah fungsi penyidikan. Hal inilah yang kemudian dikritisi oleh banyak pihak karena akan menimbulkan pertanyaan akankah terjadi 49 penyidikan oleh penyidik OJK di dalam tindak pidana yang sama, dimana hak dan kewenangan penyidikan pada tindak pidana OJK dipunyai juga oleh penyidik lain yang telah ada, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Keadaan ini nampaknya akan tidak selaras dengan Integrated Criminal Justice System. Integrated Criminal Justice System mempunyai pengertian adanya keterpaduan penyidik bidang tindak pidana. Salah satu pilar dari sistem penanganan terpadu, adalah harus adanya koordinasi dari para penyidik. Dengan adanya penyidik OJK, hal ini bisa menimbulkan “konflik” dalam penanganan perkara dalam penyidikan tindak pidana OJK dan akan terjadi tumpang tindih kewenangan yang berujung kepada benturan dengan doktrin nebis in idem . Oleh sebab itu, Ahli dapat memahami jika kemudian muncul pandangan bahwa wewenang yang diberikan oleh UU kepada OJK dalam rangka menjalankan tugas pengawasan di sektor jasa keuangan, adalah wewenang yang seharusnya diletakan dalam bingkai penegakan hukum Administrasi Negara, yakni hanya terbatas pada proses pemeriksaan dan/atau penyelidikan, itupun dalam konteks fungsi administrative atau verifikasi laporan seseorang tentang adanya dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan dengan cara mengumpulkan bukti yang cukup sebagai kelengkapan dan kejelasan laporan klarifikasi, laporan hasil kajian, hasil penelitian dan hasil pengawasan dalam rangka penegakan hukum disektor jasa keuangan, bukan dalam pengertian pro justitia sebagaimana diatur dalam KUHAP. Pandangan ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap kewenangan penyelidikan yang dimiliki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Putusan MK No. 85/PUU-XIV/2016 (vide Paragraf [3.14.6] hal. 192- 193). Bahwa jika dikaji lebih lanjut, munculnya frasa “dan penyidikan” dalam ketentuan Norma Pasal 1 angka 1 juncto kata “penyidikan” dalam ketentuan norma Pasal 9 huruf c UU OJK akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap kedudukan lembaga OJK, karena faktanya bukan Pegawai OJK sendiri yang mempunyai wewenang Penyidikan itu. Penyidik OJK hanyalah Penyidik Polri dan PPNS yang diperbantukan di OJK, agar wewenang “Penyidikan” yang merupakan suatu tindakan pro justitia dapat dipandang sejalan dengan Integrated Criminal Justise System . Pada hal kepada financial supervisiory institution in casu OJK diberikan wewenang penyidikan adalah praktek yang tidak lazim di Negara 50 berkembang maupun negara maju. Apabila merujuk kepada lembaga sejenis di beberapa Negara berkembang ataupun Negara maju tidak ada satupun lembaga sejenis OJK yang diberikan wewenang “penyidikan”. Hadi Utomo, dalam kesimpulan Disertasinya justru menyarankan OJK sebagai mitra penyidik Kepolisian dan Penyidik PNS, sebagaimana diterapkan di Negara Jepang dan Jerman. Jangan seperti yang terjadi di Inggris. Model Finasial Servise Authority di Inggris mengalami kegagalan sehingga pengawasan perbankan diserahkan kembali ke Bank of England . Ahli memahami, kekhawatiran akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan fungsi penyidikan OJK dengan masih timbulnya pro kontra eksistensi Lembaga OJK sebagai penyidik sebagaimana diatur dalam UU OJK saat ini. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, pada dasarnya hukum tidak boleh menyimpang: fiat justitia et pereat mundus . Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Sebaliknya masyarakat juga mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum itu harus memberi manfaat dan rasa keadilan. Terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil bagi masyarakat. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Jika demikian maka undang- undang itu akan terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat: lex dura, sed tamen scripta , yang artinya undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya. Namun perlu dipahami bahwa undang-undang itu tidak sempurna. Memang tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan ada kalanya undang-undang itu tidak jelas. Oleh karena itu, kita harus mencari atau menemukan hukumnya. Lebih lanjut Prof. Sudikno mengajarkan kepada kita bahwa hukum itu merupakan satu kesatuan sistem. Salah satu tungku hukum yang penting adalah tungku “kepastian hukum”, di samping tungku yang lain yaitu “keadilan” dan “kemanfaatan”. Sebagai suatu sistem hukum dalam penegakannya tidak menghendaki adanya konflik. Jikapun terdapat konflik maka harus diselesaikan di dalam sistem itu. Oleh sebab itu diperlukan “harmonisasi kaedah- kaedah hukum” di dalam lapangan-lapangan hukum tersebut, agar konflik yang 51 terjadi di dalam sistem hukum tersebut dapat terurai dan diselesaikan demi tegaknya tungku hukum. Ada doktrin lex specialis derogate legi generali , ada doktrin lex superiori derogate legi inferiori, lex posterior derogate legi priori dan sebagainya. Doktrin-doktrin di atas dapat menjadi acuan jika di dalam praktek terdapat benturan atau ketidakharmonisan norma antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Ahli meminta agar menyikapi permasalahan ini dengan obyektif penegakan hukum yang memberikan keadilan, sekaligus memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi masyarakat. Oleh sebab itu, jika memang tidak sesuai dengan doktrin Integrited Criminal Justise System yang sudah menjadi communis opinion doctorum , bahwa “wewenang penyidikan yang diberikan kepada OJK, yang faktanya pun hanya mengambil Penyidik dari PPNS dan Penyidik Polri yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan konflik kepentingan, maka harus dengan lapang dada, hal tersebut disikapi secara bijak dan terbuka untuk adanya perbaikan norma tersebut.
Eddy O.S Hiariej Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan, “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini”. Selanjutnya Pasal 9C Undang-Undang a quo menyatakan, “Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaskud dalam Pasal 6, OJK mempunyai kewenangan: melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan”. Demikian pula Pasal 49 Undang-Undang a quo yang memberi sejumlah kewenangan kepada OJK sebaai penyidik. Pertanyaan lebih lanjut, apakah kewenangan penyidikan yang ada pada OJK sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan kepastian hukum sebagai salah salah satu prinsip utama dalam negara hukum. 52 Terhadap pertanyaan tersebut, ahli terlebih dulu menyampaikan hal-hal sebagai berikut: PERTAMA, penyidikian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diartikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dengan demikian tidakan penyidikan adalah bersifat projustisia yang merupakan langkah awal untuk memproses seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana. KEDUA, perlu dipahami bahwa landasan filosofis hukum acara pidana adalah untuk mengontrol aparat penegak hukum agar tidak melakaukan tindakan sewenang-wenang terhadap individu. Berdasarkan landasan filosofis itulah, selain bersifat keresmian, hukum acara pidana berpegang pada prinsip lex scripta, lex certa dan lex stricta . Lex scripta mengandung pengertian bahwa hukum acara pidana harus tertulis. Sedangkan lex certa berarti hukum acara pidana harus jelas sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Sementara lex stricta memiliki makna bahwa hukum acara pidana haruslah diatur secara ketat. Tegasnya, segala kewenangan yang ada pada aparat penegak hukum tidaklah dapat diinterpretasikan lain selain dari apa yang tertulis. Jika ada penafsiran, maka harus diartikan secara sempit dan tidak merugikan individu yang sedang diproses. Hal ini adalah pengejawantahan asas exeptio firmat regulam . KETIGA, masih berkaitan dengan landasan filosofis tersebut di atas, bekerjanya hukum acara pidana disadari penuh bahwa sedikit – banyak akan mengekang hak asasi manusia. Upaya paksa dapat dilakukan pada tahap penyidikan apakah itu penangkapan, penahanan, pemblokiran, penggledahan dan penyitaan terhadap harta kekayaan, padahal belum tentu pada akhirnya seseroang yang dikenakan upaya paksa akan dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Oleh karena itu prinsip legalitas dalam hukum acara pidana, di satu sisi memiliki fungsi perlindungan, sedangkan di sisi lain memiliki fungsi instrumental. Fungsi perlindungan adalah melindungai individu dari kesewenang-wenangan negara, sementara fungsi instrumental adalah bahwa dalam batas-batas yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang, negara boleh melakukan tindakan hukum terhadap seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana. 53 KEEMPAT, pasca-Perang Dunia Kedua, pertumbuhan hukum pidana di luar kodifikasi sangatlah masif. Hal ini membawa konsekuensi terhadap penegakan hukum. Di samping Polri sebagai penyidik suatu tindak pidana, keberadaan penyidik pegawai negeri sipil atau PPNS adalah suatu keniscayaan terhadap tindak pidana tertentu, baik dalam konteks hukum pidana khusus internal maupun hukum pidana khusus eksternal. Akan tetapi, dalam kerangka integrated criminal justice system , Polri melaksanakan fungsi pengawasan dan koordinasi terhadap PPNS. KELIMA, masih berkaitan dengan pertumbuhan hukum pidana di luar kodifikasi, adanya hukum acara yang menyimpang dari ketentuan KUHAP, selain berkaitan erat dengan sifat dan karakteristrik dari kejahatan tersebut, juga memiliki core crime yang jelas dan tegas. Sebagai misal terhadap tindak pidana yang bersifat extraordinary crime seperti korupsi, terorisme dan narkotika, selain Polri sebagai penyidik juga ada PPNS. Bahkan dibentuk lembaga khusus seperti KPK, BNN, BNPT, Komnas HAM dan PPATK. Demikian pula tindak pidana yang bukan extraordinary crime namun memiliki core crime yang jelas dan tegas seperti kejahatan kehutanan, kejahatan perikanan dan kejahatan kepabeanan yang penegakkan hukumnya dilakukan oleh PPNS. Namun ada juga tindak pidana yang hukum acaranya menyimpang dari KUIHAP namun memilik core crime yang jelas dan tegas seperti kejahatan perbankan dan kejahatan asuransi yang penegakkan hukumnya dilakukan oleh Polri. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bila dihubungkan in casu a quo dengan uji materiil yang sedang diperiksa saat ini, adapun argumentasi AHLI sebagai berikut: PERTAMA, ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang- Undang a quo bersifat hukum pidana administrasi yang termasuk dalam hukum pidana khusus eksternal. Konsekuensinya, hukum pidana bersifat ultimum remidium. Artinya, hukum pidana adalah sarana penegakkan hukum yang paling akhir digunakan bilamana sarana pengakkan hukum lainnya tidak lagi berfungsi. KEDUA, ketentuan pidana dalam Undang-Undang a quo yang terdapat dalam Pasal 52, Pasal 53 dan Pasal 54 semata-mata berkaitan dengan masalah administrasi dalam lembaga OJK dan mengenai pembukaan rahasia. Artinya, tindak pidana yang terdapat dalam Undang-Undang a quo tidaklah bersifat spesifik, dalam pengertian memiliki core crime tertentu. 54 KETIGA, berkaitan erat dengan argumentasi kedua, karena Undang- Undang a quo tidak mengatur core crime yang jelas dan tegas maka secara mutatis mutandis keberadaan PPNS yang memiliki kewenangan penyidikan tidaklah relevan. Hal ini berbeda dengan kejahatan lainnya yang memiliki core crime yang jelas dan tegas. Sebagai misal, tindak pidana di bidang perbankan yang diatur dalam undang-undang perbankan dan undang-undang Bank Indonesia secara jelas dan tegas memuat core crime seperti pendirian bank ilegal, membocorkan kerahasiaan bank, pemalsuan dokumen perbankan dan tidak melaksanakan prinsip kehati-hatian serta ketentuan-ketentuan lainnya. Demikian pula dalam undang-undang perasuransian yang memiliki core crime yang jelas dan tegas seperti praktik asuransi ilegal, membocorkan informasi, pemalsuan dokumen dan penggelapan polis. KEEMPAT, keweangan penyidikan yang ada dalam Undang-Undang a quo menimbulkan ketidakpastian hukum karena Undang-Undang a quo tidak menyebutkan secara expressive verbis kewenangan PPNS untuk melakukan penyidikan terhadap sejumlah tindak pidana yang berkaitan dengan jasa keuangan. Sebagai misal, jika terjadi tindak pidana perbankan, siapakah yang berwenang untuk melakukan penyidikan, apakah Polri ataukah PPNS pada OJK? Dalam konteks ini, kewenangan penyidikan pada OJK bertentangan dengan lex certa dalam hukum acara pidana yang berujung pada ketidakpastian hukum. KELIMA, Pasal 1 angka 4 Undang-Undang a quo menyatakan bahwa Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan. Ketentuan ini mengindikasikan bahwa Undang-Undang a quo adalah undang-undang yang bersifat umum sebagai lex generalis , sedangkan undang-undang perbankan, undang-undang, undang-undang pasar modal dan undang-undang perasuransian adalah lex specialis . Penerapan asas preferansi lex specialis derogat legi generali dalam konteks criminal policy , seyogyanya keberadaan PPNS yang melaksanakan fungsi penyidikan ada pada lex specialis karena memiliki core crime yang jelas dan tegas seperti dalam Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Pasar Modal dan Undang-Undang Perasuransian. 55 KEENAM, kewenangan penyidikan oleh OJK bertentangan dengan prinsip due process of law dalam sistem peradilan pidana. Due process of law menghasilkan substansi perlindungan terhadap individu dan seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukum sebagai standar beracara. Dalam konteks perlindungan terhadap individu, kejahatan apa yang diatur dalam undang-undang haruslah jelas dan tegas, sedangkan prosedur bercara haruslah menjamin kepastian hukum. Dalam Undang-Undang a quo , selain tidak terdapat core crime , berikut elemets of crime dari tindak pidana OJK, juga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyidikan karena undang-undang tersebut tidak mencabut kewenangan Polri untuk menyidik tindak pidana perbankan, tindak pidana pasar modal dan tindak pidana lainnya yang berkaitan dengan jasa keuangan. KETUJUH, Mahkamah Konstitusi dalam berbagai uji materiil yang berkaitan dengan hukum acara pidana, sering menyatakan dalam putusannya bahwa proses beracara haruslah merujuk pada due process of law yang menjamin kepastian hukum, oleh karena itu kewenangan penyidikan oleh OJK bertentangan dengan prinsip due process of law yang secara mutatis mutandis tindak memberikan jaminan kepastian hukum. Berdasarkan berbagai argumentasi dan analisis tersebut di atas, kewenagan penyidikan, bahkan keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang berada pada Otoritas Jasa Keuangan, menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan prinsip negara hukum sebagaiman dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Bernard L. Tanya Pokok soal yang diajukan para Pemohon untuk diuji konstitusionalitasnya, adalah: Frasa “dan Penyidikan” dalam ketentuan norma Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Norma tersebut dinilai oleh Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ahli sebagai pengkaji filsafat hukum akan membahas persoalan itu dengan menggunakan skema 3 anak tangga Socrates. Menurut skema ini, kenormalan ataupun ketidaknormalan suatu hal (dalam hal ini, kewenangan penyidikan OJK) dapat diukur dari 3 hal, yakni: (i). Apakah sesuatu itu memang benar dan dapat dibenarkan berdasarkan prinsip dan asas? (ii). Apakah sesuatu itu begitu urgen 56 dan mendesak serta tidak ada pilihan lain? (iii). Apakah sesuatu hal itu memang berimplikasi positif atau justru sebaliknya? Semua itu adalah ukuran akuntabilitas secara filosofis, yakni pengungkapan kenormalan sesuatu secara utuh, baik dari segi keabsahannya maupun dari segi urgensi dan kebutuhan, serta manfaat dan implikasinya. Dengan begitu, setiap orang dapat menalar secara wajar alur logika serta kenormalan/ketidaknormalan suatu aturan.
Benar dan Dapat Dibenarkan? Berdasarkan prinsip ini, untuk mengecek kenormalan maupun ketidaknormalan Frasa “dan Penyidikan” dalam ketentuan norma Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU No. 21 Tahun 2011, maka perlu ditempatkan dalam konteks raison d’etre atau alasan hadirnya aturan/UU tersebut. Di situlah, menurut Plato, letak motif dan tujuan aturan/UU dimaksud. Ia menjadi panduan bagi batang-tubuh. Roh atau spirit suatu UU ada di situ. Idealnya, ada keterhubungan logis antara Roh atau spirit suatu UU, dengan isi kaidah atau norma dalam batang tubuh UU a quo . Bagaimana dengan UU OJK? Jika kita membaca preambule UU OJK, maka pertimbangan utama pembentukan UU a quo adalah untuk menjamin kegiatan dalam sektor jasa keuangan, agar terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, stabil, mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dalilnya adalah: pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi menjadi salah satu faktor penentu berjalannya sektor jasa keuangan yang sehat dan kredibel. Dalil tersebut memiliki korelasi dengan keadaan sebelum UU a quo dibuat. Pada saat itu, kekuasaan pengaturan dan supervisi terhadap lembaga keuangan berada pada tiga institusi: (i). Bank Indonesia (BI) memiliki otoritas pengaturan ( regulative ) dan pengawasan ( supervisory ) terhadap lembaga perbankan (UU No. 23 Tahun 1999). (ii). Kementerian Keuangan berwenang melakukan pengawasan terhadap lembaga asuransi. (iii). Bapepam berwenang melakukan pengawasan terhadap lembaga pasar modal ( the stock exchange ). Jadi misinya adalah mengintegrasikan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan agar berjalan sehat dan kredibel. Dalam konteks UU No. 21 Tahun 2011 sebagai UU administrasi, maka misi pengintegrasian itu sesungguhnya bersifat administratif. 57 Maka menjadi sedikit anomalis ketika OJK dalam misi pengintegrasian seperti disebut di atas, diberi kewenangan penyidikan (yang dari sisi asas maupun doktrin merupakan kewenangan pro justitia yang melekat eksklusif pada lembaga / aparat penegak hukum pidana). Menurut ahli, misi pengintegrasian pengaturan dan pengawasan jasa keuangan yang melekat pada OJK, tidak boleh dijadikan semacam visa atau lisensi untuk beralih status menjadi lembaga/aparat penegak hukum pidana. Dengan demikian, kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK, tidak saja bertentangan dengan raison d’etre UU a quo , melainkan juga tidak sesuai dengan asas kewenangan pro justitia dalam hukum pidana. Sekali lagi, terminologi pengawasan dalam UU a quo , apalagi dikaitkan dengan raison d’etre UU tersebut, adalah pengawasan dalam konteks administratif. Oleh karena itu, lagi-lagi menjadi sangat aneh jika dalam lingkup pengawasan tersebut dicantolkan pula kewenangan penyidikan, yang dalam konteks hukum pidana (dalam hal ini hukum acara pidana) merupakan tahap pencarian bukti dan menemukan pelaku suatu suatu tindak pidana secara pro justitita. Jadi, tidak ada kaitan logis maupun teoretis antara kewenangan pengawasan yang bersifat administratif dalam UU OJK dengan kewenangan penyidikan delik yang melekat eksklusif pada lembaga/aparat penegak hukum pidana.
Urgen dan mendesak? Hemat ahli, pemberian kewenangan penyidikan pada OJK bukanlah sesuatu yang urgen dan sangat-sangat mendesak. Pertama, tidak ada delik khusus yang memerlukan penanganan khusus oleh OJK. Kejahatan-kejahatan di bidang jasa keuangan memang ada. Namun tidak ada yang begitu spesifik sedemikian rupa yang secara mutlak harus ditangani khusus oleh OJK. Sebut saja misalnya: penipuan, kejahatan elektronik, pencucian uang, pendanaan teroris, suap dan korupsi, penyalahgunaan pasar dan insider dealing dan informasi keamanan, serta penipuan berkedok investasi yang merugikan masyarakat. Semua bentuk kejahatan tersebut relatif umum dan lembaga/aparat penegak hukum konvensional (kepolisian, kejaksaan, KPK) dapat melakukan penanganan secara rutin sebagaimana kejahatan-kejahatan lain. Dalam konteks ini, seharusnya OJK cukup diberi tugas mensuport penegak hukum yang ada, terutama untuk hal- hal yang sangat teknis. Tidak perlu diberi kewenangan penyidikan secara khusus. 58 Kedua, OJK adalah lembaga independen non Departemen dan pegawainya tidak berstatus sebagai PNS atau ASN sehingga tidak mungkin menjadi PPNS yang memiliki kewenangan penyidikan/ pro justitia sebagaimana disyaratkan KUHAP. Persis di titik ini, menurut ahli, tidak ada urgensinya memberi kewenangan penyidikan kepada sebuah lembaga yang secara hukum tidak memenuhi syarat sebagai penyidik. Meminjam/memakai tenaga penyidik dari lembaga lain sebagaimana dilakukan OJK selama ini, menurut hemat ahli, bukanlah cara yang solutif. Selain terkesan hanya menciptakan birokrasi baru dalam penegakan hukum (tanpa aparat sendiri), masalah lain yang potensil muncul adalah masalah koordinasi antar lembaga yang dapat saja timbul di kemudian hari. Tentu saja, kemungkinan lain yang bisa muncul adalah tumpang- tindih dan konflik kewenangan dalam penanganan perkara. Ujung dari semua kemungkinan tersebut adalah terancamnya hak konstitusional warga negara dan rakyat untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam konteks reformasi yang sedang berjalan, maka keseimbangan- keseimbangan baru yang berbasis hak konstitusional warga negara dan rakyat untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut harus dilihat sebagai ingsutan paradigma—yang tidak hanya menyodorkan peluang untuk “memperbaiki” apa yang ada—tetapi juga menyertakan apa yang oleh Alfred Schutz disebut accent of reality, yakni kebaruan memandang realitas, dalam arti, ada segi yang ditambahkan dan ada yang dihilangkan—karena bobot suatu kenyataan berbeda terkait dengan cara muncul dan kondisi yang dihadapi. Dalam konteks kebaruan tersebut, dapat dikatakan bahwa jaminan hak konstitusional warga negara bernilai kategorisher imperativ seperti dimaksud Immanuel Kant. Yakni, wajib tanpa syarat, sebab merupakan tugas moral dan demokrasi. Ia tidak bisa digugurkan oleh pertimbangan-pertimbangan yang sifatnya prima facie dan kondisional. Kewenangan penyidikan yang ditempelkan begitu saja pada OJK merupakan soal yang bersifat prima facie , dan karena itu tidak boleh mengugurkan jaminan hak konstitusional warga negara yang bernilai imperatif kategoris. 59 3. Implikasi Salah satu bahaya yang potensil muncul jika kewenangan penyidikan tetap diberikan kepada OJK, adalah pemusatan kekuasaan yang terlalu besar pada satu tangan ( kewenangan regulasi + pengawasan + penyidikan ). Kondisi ini membuka ruang bagi perangai negatif kekuasaan . Pelajaran paling dasar yang kita petik dari perjalanan semua peradaban kekuasaan, adalah bahwa kekuasaan mesti dibatasi. Inilah yang menjadi salah satu jantung pergulatan pemikiran kebanyakan filsuf dan ilmuwan sosial-politik sepanjang masa. Kekuasaan di terima kehadiranya, tapi ia mesti dikendalikan agar tidak senantiasa memproduksi bencana bagi manusia dan kemanusiaan. Dalam mengekpresikan kebutuhan di atas, Plato mengintroduksi konsep Philosoper-Kings . Sama halnya ajaran Konfusionisme, Plato merumuskan keharusan untuk membatasi kekuasaan lewat konsep moral kepemimpinan. Inilah racikan rumusan yang kini dikenal sebagai etika ataupun moralitas kekuasaan. Moral pemegangnya diandaikan bisa berfungsi sebagai kekuatan self-control atas perangai kekuasaan. Tetapi realitas membuktikan, kekuasaan terlampau besar untuk bisa dijinakkan hanya dengan moral ataupun etika. Kata Nietzsche, will to power adalah naluri dasar manusia. Karenanya, dalam perkembangan lebih modern, pembatasan kekuasaan diekspresikan dalam raut yang bervariasi. Pada tingkat pertama, kekuasaan diyakini bisa di kontrol oleh kekusaan pula. Ini menjadi fondasi dari pembagian atau pemisahan kekuasaan seperti yang terungkap dalam konsep Trias Politika ataupun prinsip checks and balances . Ini pula fondasi yang melegalisasi ide distribusi kekuasaan yang mengukuhkan diferensiasi struktur dan spealisasi fungsi dalam birokrasi modern. Semua ide pembatasan kekuasaan tersebut, didasarkan pada sebuah pengandaian bahwa sumber malapetaka yang diturunkan dari kekuasaan terletak pada derajat konsentrasi kekuasaan yang berlebihan ataupun ketiadaan limitasi yang rigid terhadap kekuasaan tersebut. Karenanya, ia mesti dipencarkan dan dibatasi secara ketat. Kekuasaan yang dibangun dengan sejuta impian mulia, bisa bertukar raut menjadi horor yang bersifat permanen ketika naluri kesewenang- wenang menggendongnya ke arah yang tak terhingga. 60 Mengingat adanya kelemahan yang cukup serius dalam pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK sebagaimana ahli uraikan di atas, maka menurut hemat ahli diperlukan tafsir konstitusional oleh Mahkamah untuk mencegah munculnya kerumitan-kerumitan eksesif di kemudian hari. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden telah menyampaikan keterangan tertulis sama dengan keterangan Presiden yang dibacakan dalam persidangan Mahkamah tanggal 7 Februari 2019 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 6 Februari 2019 yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON 1. Bahwa para Pemohon berpendapat Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK terhadap frasa “Penyidikan” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Frasa “ penyidikan ” menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut “OJK”), karena tindakan pro justitia kepada financial supervisiory institution in casu OJK sangat tidak lazim. Wewenang Penyidikan Lembaga OJK mengaburkan Integrated Criminal Justice System sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakjelasan ruang lingkup dan sistem kerja penyidikan serta legalitas penyidik karena UU OJK tidak mengatur jenis Tindak Pidana sektor Jasa Keuangan baik sektor perbankan ataupun non perbankan. Selain itu menimbulkan tumpang tindih kewenangan Polri, KPK dan OJK. Adanya wewenang penyidikan yang dimiliki lembaga OJK dalam UU OJK tanpa adanya “ Due Process of Law ” dalam proses penegakan hukum pidana ( Criminal Justice System ) di sektor Jasa Keuangan telah melanggar adanya suatu jaminan Kepastian Hukum yang adil dalam proses penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip Negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya 61 sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (selanjutnya disebut UU MK), bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk: _a. Menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; _ b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang _kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; _ _c. Memutus pembubaran partai politik, dan; _ d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum Bahwa terhadap kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945, pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor: 51-52-59/PUU- VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 (“Putusan 59/PUU-VI/2008 ”), menyatakan demikian: “ menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Pandangan hukum yang demikian sejalan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 tentang Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah ”. Bahwa, berdasarkan putusan tersebut Mahkamah Kosntitusi mengakui kewenangan open legal policy pembentuk UU mengatur lebih lanjut norma umum yang ditetapkan dalam UUD 1945. Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Terhadap UU OJK, Mahkamah konstitusi dalam putusan 25/PUUXIII/2014 terkait pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan berpendapat: 62 persoalan pengaturan dan pengawasan di bidang perekonomian dan sektor keuangan, baik yang bersifat macroprudential maupun microprudential dengan tujuan untuk menjaga kestabilan dan pertumbuhan ekonomi, yang semula disatukan dalam kewenangan bank sentral dan saat ini dilaksanakan oleh dua lembaga, BI dan OJK, merupakan kebijakan hukum terbuka ( open legal policy ) pembentuk undang-undang dan bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas,” (hlm 288) Meskipun putusan 25/PUUXIII/2014 tersebut terkait dengan pengujian materi UU secara khusus terkait dengan independensi OJK, Pemerintah memaknai pertimbangan Mahkamah Konsitusi bahwa UU OJK merupakan open legal policy juga __ masih sangat relevan dalam pengujian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK karena kewenangan penyidikan yang diberikan Pasal a quo kepada OJK juga merupakan open legal policy yang __ dimiliki pembentuk UU, karena pemberian kewenangan penyidikan sebagai pilihan kebijakan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahkan pada dasarnya dalam putusan a quo Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada pokoknya Pasal 1 angka 1 UU OJK yang dimohonkan pengujiannya telah dinyatakan konstitusional kecuali terhadap frasa “ dan bebas dari campur tangan pihak lain ” , sehingga dapat dikatakan permohonan a quo adalah ne bis in idem dengan Putusan No. 25/PUU- XII/2014. __ Pembentukan UU OJK bahkan sangat jelas merupakan implementasi Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 kepada pembentuk UU untuk mengatur lebih lanjut hal mengenai pelaksanaan pengelolaan perekonomian nasional dan perwujudan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut sebagai UU BI) yang menyatakan bahwa “ Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang ”. Dalam implementasi kewenangan tersebut, OJK mendasarkan pada ketentuan peraturan perundangan baik dari sisi ketentuan sektor jasa keuangan juga dari sisi hukum acara pidana yang digunakan. Bahwa selain itu, setelah membaca dengan cermat permohonan para Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa yang dipermasalahkan para Pemohon adalah penerapan norma ( implementasi ) suatu Undang-Undang in casu UU OJK atau pengaduan konstitusi ( constitutional complaint) . Namun 63 oleh para Pemohon permasalahan tersebut diajukan sebagai permohonan pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945, dengan dalil bahwa ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK yang dimohonkan pengujian itu bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini tentunya akan mengaburkan makna constitutional review yang di batu ujikan terhadap norma nilai dalam UUD 1945 . Quod non Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo , maka harus dibedakan antara pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang ( constitutional review ) dan persoalan yang timbul sebagai akibat dari penerapan suatu norma Undang-Undang yang di sejumlah Negara dimasukkan ke dalam ruang lingkup persoalan gugatan atau pengaduan konstitusional ( constitutional complaint ). UUD 1945 jelas menyatakan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu norma Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi ( constitutional review ) dan tidak mengatur tentang constitutional complaint sebagaimana yang didalilkan Para Pemohon. __ Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan uji materiil ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK tersebut tidak dapat diajukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi dan atasnya patut untuk dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvenkelijke verklaard ). III. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut sebagai UU MK) jelas mengatur Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yang meliputi:
Perorangan Warga Negara Indonesia;
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonsia yang diatur dalam undang-undang;
Badan hukum publik atau privat; atau 64 d. Lembaga Negara. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, agar Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan suatu permohonan uji materiil undang-undang terhadap UUD 1945, maka harus dibuktikan bahwa:
Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK; dan
Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan akibat berlakunya undang-undang yang diuji. Bahwa para Pemohon terdiri dari 6 (enam) orang Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut sebagai WNI). Alasan Para Pemohon mengajukan uji materiil terhadap Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK adalah sebagai berikut: - Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III dan Pemohon IV yang berprofesi sebagai Dosen di Fakultas Hukum Universitas Surakarta merasa dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK karena secara keilmuan hukum pidana yang dipelajari oleh Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon III, dalam pemberlakuan “ criminal justice system ” di Indonesia yang mengakui asas “ due process of law ” sebagai suatu proses yang harus dijalankan oleh Negara cq. Aparat Penegak Hukum yang telah diatur dalam KUHAP, menganggap hal tersebut diabaikan dengan berlakunya UU OJK. - Pemohon I yang juga berprofesi sebagai Advokat merasa dirugikan karena UU OJK tidak mengatur secara jelas hak-hak seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana di sektor jasa keuangan, sehingga apabila mendapatkan klien yang bergerak di bidang jasa keuangan Pemohon I menganggap akan mengalami kesulitan untuk memberikan bantuan hukum kepada kliennya tersebut. - Pemohon IV merasa dirugikan dengan kewenangan penyidikan yang diberikan kepada lembaga OJK tanpa ada penjelasan tujuan diberikannya kewenangan a quo karena menganggap akan membuat Pemohon IV dirugikan ketika menjelaskan kepada mahasiswa maupun dalam forum- forum akademis. - Pemohon V dan Pemohon VI merasa dirugikan karena menjadi salah 65 satu yang disangka melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Adapun ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK bersifat imperatif sehingga sekalipun para Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan uji materiil, para Pemohon harus mempunyai hak atau kewenangan konstitusional yang dirugikan akibat adanya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah berpendapat bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat kumlatif, yaitu:
Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
Adanya hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dicermati apakah hak konstitusional para Pemohon dirugikan secara spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya berpotensi menurut penalaran yang wajar pasti akan terjadi dengan berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK terhadap frasa “ penyidikan ”? Selain itu perlu dipertimbangkan apakah terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian para Pemohon tersebut dengan berlakunya Pasal a quo ? Terhadap hal-hal tersebut Pemerintah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa tugas dan wewenang OJK termasuk dengan kewenangan penyidikan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK. Frasa “ penyidikan ” yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon dimaksukan untuk memberikan kepastian hukum berupa wewenang OJK untuk melakukan penyidikan, yang pelaksanannya tetap 66 berpedoman pada peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam penyelenggaraannya. Hal ini dibuktikan dengan pengangkatan penyidik yang berasal dari POLRI maupun Penyidik PPNS, dan melalui proses sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut sebagai KUHAP) sebagaimana diatur Pasal 49 ayat (1) UU OJK yaitu: “ Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana .” Berdasarkan uraian di atas, Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK jelas telah didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sama sekali tidak mengabaikan ketentuan yang telah diatur dalam KUHAP sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon.
Bahwa dikaitkan dengan dalil Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III dan Pemohon IV yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh keberadaan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, tidak dijelaskan secara spesifik kerugian yang terjadi kepada para Pemohon atau setidak- tidaknya berpotensi terjadi karena berlakunya pasal a quo .
Bahwa demikian juga Pemerintah berpendapat dalil Pemohon I yang merasa dirugikan dengan berlakunya pasal a quo terhadap profesi Pemohon I sebagai Advokat merupakan dalil yang mengada-ada karena UU OJK jelas sudah menundukkan diri pada KUHAP sehingga tidak mungkin tuntutan sama sekali tidak mempunyai hubungan sebab akibat dengan eksistensi pasal a quo . Perlu Pemerintah tegaskan sebagai suatu Lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat undang-undang, penerapan UU OJK yang berarti di dalamnya termasuk proses penyidikan telah diatur secara jelas dan transparan untuk dilaksanakan OJK dengan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang sektor jasa keuangan maupun proses penyidikan yang diatur dalam KUHAP dan sesuai dengan salah satu asas good governance OJK yaitu 67 asas keterbukaan , dimana ketentuan-ketentuan dalam UU OJK diterapkan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan.
Bahwa atas legal standing Pemohon V dan Pemohon VI, setelah membaca dan meneliti permohonan yang diajukan oleh para Pemohon, Pemerintah berpendapat dalil kerugian yang dikemukakan sangat kabur dan cenderung memaksakan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh ketentuan a quo . Pemerintah juga tidak menemukan adanya hubungan sebab akibat ( causa verband ) antara dalil yang disampaikan oleh Pemohon V dan Pemohon VI dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK. Tindakan penahanan yang dijalani oleh Pemohon V dan Pemohon VI tersebut bukan dilakukan atas penyidikan yang dilakukan oleh OJK terhadap Pemohon. Pemohon V dan Pemohon VI menjalani masa tahanan di Polda Metro Jaya dalam pemeriksaan pidana umum karena kedudukannya selaku karyawan PT. SNP sehubungan status Coll 2 yang diberikan Bank yang menjadi kreditur perusahaan a quo. Bahwa status Coll 2 tersebut yang diberikan oleh Bank karena adanya teguran OJK terhadap Bank tidak dapat dianggap bahwa penahanan Pemohon V dan Pemohon VI karena frase penyidikan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK. Sebagaimana dijelaskan Para Pemohon sendiri, teguran OJK terhadap bank didasarkan pada fakta adanya retrukturisasi yang dilakukan Bank terhadap PT SNP. Restrukturisasi seharusnya diikuti dengan penurunan grade Perusahaan selaku debitur karena memperlihatkan adanya kegagalan dalam pembayaran kewajiban. PT SNP belum mendapatkan penurunan grade oleh bank namun tidak dilakukan sehingga OJK selaku pengawas bank berkewajiban untuk menegur bank.
Bahwa terkait Audit yang kemudian dilakukan OJK terhadap PT. SNP tidak terdapat penjelasan kaitan audit ini dengan penahanan Pemohon V dan Pemohon VI. Meskipun demikian, secara substansi tindakan audit tersebut jelas bukan merupakan tindak penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU OJK maupun KUHAP, sehingga merupakan suatu dalil yang mengada-ada apabila para Pemohon menyamakan pelaksanaan 68 audit dengan proses penyidikan. Apalagi pada dasarnya tindak pidana yang dikenakan atas para Pemohon V dan Pemohon VI sehingga keduanya ditahan oleh Kepolisian merupakan tindak pidana umum yang proses penyidikannya jelas dilakukan oleh pihak Kepolisian RI, bukan OJK. Dengan demikian Pemohon V dan Pemohon VI pun jelas tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo .
Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, menurut Pemerintah para Pemohon dalam permohonan a quo tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo di hadapan Mahkamah Konstitusi, sehingga sangatlah berdasarkan hukum apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili perkara a quo secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard ) . Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak dalam permohonan Pengujian Undang-Undang a quo , sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. IV. PERMOHONAN PENGUJIAN YANG DIAJUKAN PARA PEMOHON TELAH DINILAI DAN DIPUTUS OLEH YANG MULIA MAJELIS MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERKARA NOMOR 25/PUU-XII/2014 ( NEBIS IN IDEM ).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 60 UU MK menyatakan, ” Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang- Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. ” 2. Pada tanggal 14 Agustus 2015, Mahkamah Konstitusi telah memeriksa dan memutus rumusan keseluruhan Pasal 1 angka 1 UU OJK terhadap UUD 1945 dalam putusan perkara NOMOR 25/PUU-XII/2014, sehingga Pasal 1 angka 1 UU OJK selengkapnya menjadi berbunyi: “ Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah Lembaga yang Independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” 69 3. Berdasarkan pendapat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam persidangan tanggal 18 Desember 2018 yang dituangkan dalam halaman 13 risalah sidang perkara Nomor 102/PUU-XVI/2018, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada pokoknya menyatakan kewenangan penyidikan yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 UU OJK telah dinyatakan konstitusional dalam Putusan sebelumnya dan apabila ketentuan tersebut hendak dikoreksi maka Pemohon harus memberikan argumentasi yang jauh lebih kuat.
Berdasarkan hal tersebut di atas, setelah mempelajari Permohonan a quo , baik pada Surat Permohonan pertama maupun pada Surat Perbaikan Permohonan, menurut pandangan Pemerintah, Pemohon belum memberikan argumentasi-argumentasi yang jauh lebih kuat atas permohonan pengujian Pasal 1 angka 1 UU OJK yang telah dinyatakan konstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU- XII/2014.
Dengan demikian, permohonan a quo dapat dikategorikan sebagai permohonan yang nebis in idem , dan mohon kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat memberikan pertimbangan mengenai apakah terhadap materi muatan yang dimohonkan oleh para Pemohon dapat dianggap sebagai pasal yang telah diuji dan tidak dapat dimohonkan kembali. IV. KETERANGAN PRESIDEN ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI LANDASAN FILOSOFIS Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi yang dimohonkan untuk diuji oleh para Pemohon, terlebih dahulu Pemerintah akan menyampaikan landasan filosofis terkait dengan Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: Bahwa untuk mencapai cita-cita Negara Republik Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur serta mensejahterakan kehidupan bangsa dibutuhkan suatu sistem perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan. Mengingat pentingnya hal tersebut maka dalam Pasal 33 UUD 1945 telah diatur prinsip-prinsip dasar pengelolaan perekonomian nasional. 70 Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 selanjutnya memberikan amanat kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur pelaksanaan pasal a quo dalam undang-undang. Dengan demikian dalam rangka mewujudkan amanat konstitusi tersebut maka telah diterbitkan perundang-undangan mengenai pengelolaan perekonomian nasional berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, yang salah satunya adalah UU OJK. Pembentukan UU OJK secara tegas diamanatkan Pasal 34 ayat (1) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut sebagai UU BI) yang menyatakan bahwa “ Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang ”. __ Dengan demikian, pembentukan UU OJK tersebut adalah dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia. Didasarkan pada pengalaman adanya krisis keuangan yang pernah terjadi di Indonesia, struktur dan sistem keuangan yang saat itu berlaku dan best practices di beberapa Negara, pembentuk Undang-Undang menilai bahwa salah satu upaya mewujudkan perekonomian yang tumbuh stabil dan berkelanjutan maka sistem keuangan yang paling sesuai dengan Indonesia adalah model unified supervisory model , yakni suatu sistem pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan yang terintegrasi dalam suatu lembaga tunggal yang kemudian dinamakan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan UU OJK. Kesadaran pembentuk UU pentingnya sistem pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan yang terintegrasi oleh OJK menjadi pilihan kebijakan hukum yang diwujudkan dengan mengamanatkan Pembentukan Lembaga OJK melalui UU OJK dalam Pasal 34 ayat (1) UU BI, dengan tujuan agar seluruh kegiatan jasa keuangan dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, transparan dan akuntabel serta dapat mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan pada 71 seluruh kegiatan di bidang sektor jasa keuangan, maka pembentuk UU telah sepakat bahwa OJK diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap pelaku kegiatan usaha di bidang Perbankan, Pasar Modal atau Industri Keuangan Non Bank (IKNB) yang diduga melakukan pelanggaran. Sebagai bukti UU OJK bersesuaian sistem hukum pidana, UU OJK dengan jelas mengatur bahwa Penyidikan tersebut dilakukan oleh Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut sebagai Penyidik Polri) dan Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK yang diberikan wewenang khusus sebagai penyidik (selanjutnya disebut sebagai PPNS). Pelaksanaan kewenangan penyidikan ini dalam peraturan lebih teknis berupa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22/POJK.01/2015 secara tegas menundukkan diri pada ketentuan perundang- undangan sektoral baik mengenai jenis tindak pidana sektor jasa keuangan yang berpedoman pada UU sektoral masing (UU Bank Indonesia, UU Perbankan, UU Pasar Modal, UU Dana Pensiun, UU Asuransi, UU Perbankan Syariah, UU Lembaga Keuangan Mikro, UU Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan UU Jasa Keuangan lainnya) maupun KUHAP sebagai hukum acara pidana yang digunakan. Pemberian kewenangan penyidikan tindak pidana di bidang jasa keuangan kepada OJK dimaksudkan untuk terlaksananya penyidikan secara cepat dan murah. Secara cepat mengingat tindak pidana di bidang jasa keuangan yang tidak secara cepat tersidik untuk selanjutnya diproses penuntutannya dapat membahayakan sistem keuangan nasional secara makro yang dapat mengakibatkan krisis keuangan nasional, secara mikro juga menimbulkan risiko kerugian masyarakat yang ikut serta dalam industri jasa keuangan. KETERANGAN PEMERINTAH Sehubungan dengan dalil-dalil para Pemohon dalam permohonannya untuk frase “penyidikan” dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK yang berbunyi: Pasal 1 angka 1 UU OJK : “ Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan __ 72 sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. ” Pasal 9 huruf c UU OJK : “ Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud _dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: _ a.... b.... c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan , perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- _undangan di sektor jasa keuangan; _ d.... dst. ” dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 : “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum. ” Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 : “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. ” Pemerintah dapat menyampaikan keterangan sebagai berikut: A. OJK sebagai Lembaga Pengawas Sektor Jasa Keuangan sejak pendiriannya telah memiliki kewenangan melakukan penyidikan 1. Bahwa sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dan sebagaimana Putusan Nomor 25/PUU-XII/2014 tanggal 04 Agustus 2015, pembentukan UU OJK merupakan pilihan kebijakan pembentuk UU dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 dan amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI untuk membentuk suatu lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen yang berfungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan yang bergerak di sektor jasa keuangan agar kegiatan tersebut dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel untuk mewujudkan sistem keuangan yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi melindungi kepentingan konsumen dan 73 masyarakat.
Bahwa dengan semakin pesatnya pertumbuhan dan kompleksitas kegiatan jasa keuangan sebagai dampak dari berkembangnya bidang teknologi dan inovasi produk finansial yang canggih ( sophisticated ) yang diiringi dengan kecenderungan dari entitas bisnis berbentuk konglomerasi dan adanya praktek-praktek arbitrase peraturan ( regulatory arbitrage ), lack of transparency, abuse of economic power dari entitas bisnis jasa keuangan, pembentuk UU OJK memandang perlunya suatu lembaga yang memiliki otoritas pengawasan secara integrasi. Salah satu kewenangan pengawasan yang diberikan UU OJK adalah penyidikan sehingga OJK mampu untuk memenuhi tujuan pembentukannya tersebut khususnya perlindungan kepentingan konsumen dan masyarakat.
Bahwa Pemohon dalam permohonan mengutip Naskah Akademik UU OJK antara lain terkait dengan model pengawasan industri jasa keuangan yang tepat untuk Indonesia adalah Unified Supervisiory Model yang merupakan otoritas pengawas terintegrasi. Dengan membaca Naskah Akademis tersebut tentunya Pemohon telah sepakat dengan Pemerintah bahwa sejak awal model pengawasan OJK adalah pengawasan terintegrasi. Dengan model pengawasan terintegrasi, kewenangan penyidikan OJK tidak dilakukan sbagai penyalahgunaan wewenang, melainkan dengan governance yang jelas sebagaimana diatur dalam POJK sehingga tentu sejalan dengan ketentuan hukum pidana dan peraturan perundangan di bidang sektor jasa keuangan. Selama ini penyidikan OJK uga telah didukung oleh aparat penegak hukum, sebagai upaya pengamanan sistem keuangan nasional melalui pengawasan entitas lembaga keuangan secara invidu oleh OJK menurut Pemerintah perlu terus dipertahankan. B. Kewenangan Penyidikan OJK Merupakan Salah Satu Bentuk Pengawasan Lembaga OJK dan Tidak Mengaburkan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 1. Bahwa selanjutnya terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK yang berkaitan dengan 74 frasa “ penyidikan ” mengaburkan integrated justice system dan due process of law dan oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dapat ditanggapi Pemerintah sebagai berikut:
Bahwa seiring dengan semakin berkembangnya produk dan layanan jasa keuangan maupun ilmu pengetahuan dan teknologi informasi bersamaan dengan era globalisasi transaksi keuangan, perkembangan tersebut di satu sisi dapat mendukung kemajuan sektor jasa keuangan, tetapi di sisi lain dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan karena munculnya berbagai modus kejahatan yang lebih kompleks termasuk tindak pidana di sektor jasa keuangan. Untuk mengatasi tindak pidana yang terjadi di sektor jasa keuangan tersebut secara cepat dan tepat, maka perlu dilakukan proses penyidikan untuk membuat terang tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Bahwa tindakan penyidikan tersebut mengacu pada Pasal 1 butir (2) KUHAP yang dengan jelas menyatakan bahwa “ Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya” . Berdasarkan rumusan Pasal a quo , dapat ditarik unsur-unsur untuk suatu tindakan dinyatakan sebagai tindakan penyidikan, yaitu:
Serangkaian tindakan yang saling berhubungan satu dengan yang lain;
Dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;
Dilakukan dengan didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dapat membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan juga menemukan tersangkanya.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka apabila terjadi suatu tindak pidana di sektor jasa keuangan, perlu dilakukan tindakan penyidikan secara cepat, biaya ringan dan sederhana untuk membuat terang 75 tindak pidana yang terjadi guna mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, menumbuhkan dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan serta memperkuat stabilitas sistem jasa keuangan.
Bahwa pelaksanaan kewenangan penyidikan OJK dilakukan sejalan dan sesuai ( in harmony ), dengan ketentuan pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana dengan jelas diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22/POJK.01/2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut POJK Penyidikan) bahwa: “ Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan adalah setiap perbuatan/peristiwa yang diancam pidana yang diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai OJK, Perbankan, Perbankan Syariah, Pasar Modal, Dana Pensiun, Lembaga Keuangan Mikro, Perasuransian, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Bank Indonesia sepanjang berkaitan dengan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas OJK dalam pengaturan dan pengawasan bank, serta Undang-Undang mengenai Lembaga Jasa Keuangan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK .” 6. Bahwa ketentuan-ketentuan yang mengatur terkait kewenangan penyidikan OJK di UU OJK telah diatur secara sistematis dan jelas. Ruang lingkup penyidikan OJK sebagaimana diatur dalam Pasal 9 huruf c UU OJK adalah penyidikan terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Sebagai bagian dari tugas pengawasan yang dilakukan OJK, kewenangan penyidikan OJK juga terbatas terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (vide Pasal 6 UU OJK).
Bahwa Pemerintah merasa perlu menginformasikan per tanggal 26 Januari 2019 ini pelaksanaan kewenangan penyidikan oleh OJK telah membuahkan 9 (sembilan) putusan inkracht dan 13 (tiga belas) perkara yang masih dalam proses di Pengadilan. Dengan telah terdapatnya putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap 76 tersebut berarti secara hukum formal dan material Majelis Hakim Pengadilan menerima, mengakui, dan memandang kesesuaian keseluruhan tindak pidana yang disangkakan, termasuk dengan kesesuaian proses penanganannya dengan koridor hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat dikatakan, kehadiran Penyidik OJK justru semakin menguatkan integrated criminal justice system di Indonesia pada kekhususan tindak pidana di sektor jasa keuangan . 8. Bahwa argumentasi para Pemohon yang menyatakan wewenang penyidik OJK secara khusus pada Pasal 49 ayat (3) huruf d, huruf f, dan huruf k melanggar asas ” due process of law ” dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari penyidik OJK karena sama sekali tidak mengaitkan pada KUHAP serta tidak berkoodinasi dengan aparat penegak hukum lainnya merupakan suatu dalil yang menurut Pemerintah secara sengaja mengabaikan fakta hukum sehingga sangat keliru dan menyesatkan karena OJK dalam melakukan proses penyidikan tetap berkoordinasi dengan penegak hukum dan instansi, lembaga dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan di bidang penegakan hukum. Hal ini jelas terbukti dengan langkah OJK membuat landasan hukum terkait koordinasi dengan Jaksa selaku salah satu aparat penegak hukum melalui POJK Penyidikan ( vide Pasal 6 POJK Penyidikan) dan tetap mengacu pada ketentuan yang diatur dalam KUHAP.
Bahwa lebih lanjut, koordinasi penindakan tindak pidana di sektor jasa keuangan ditindaklanjuti oleh OJK dengan membuat berbagai Nota Kesepahaman diikuti dengan Perjanjian Kerjasama bersama dengan beberapa institusi/lembaga yang memiliki fungsi penyidikan, antara lain dengan: Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksanaan Agung Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Bahwa argumentasi para Pemohon yang menyatakan dalam UU OJK tidak terdapat adanya jaminan ” due process of law ” dalam proses penegakan hukum pidana ( criminal justice system ) di sektor jasa 77 keuangan telah melanggar adanya suatu jaminan atas kepastian hukum yang adil dalam penegakan hukum yang adil di negara Republik Indonesia yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menurut Pemerintah merupakan dalil yang mengada-ada, tidak cukup bukti dan tidak beralasan karena sebagaimana telah dijelaskan penyidikan yang dilakukan OJK tetap mengacu pada KUHAP sebagaimana praktik yang selama ini telah dilaksanakan oleh Penyidik OJK sesuai dengan POJK 22.
Pengertian dari Hukum Acara (dalam hal ini hukum acara formil) ialah “ Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberi dasar-dasar dan aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut ” ( Prof Moeljatno, 2015: hal. 1 ). Hal ini tepat disandingkan pada KUHAP yang menyatakan ruang lingkup berlakunya KUHAP, yaitu untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan ( vide Pasal 2 KUHAP). Sehingga apabila dibandingkan antara KUHAP dengan POJK Penyidikan adalah tidak sebanding dan salah alamat. POJK Penyidikan merupakan peraturan pelaksanaan tentang tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik OJK terkait adanya dugaan tindak pidana di bidang Perbankan, Pasar Modal, dan/atau Industri Keuangan Non-Bank. Kedudukan POJK Penyidikan ini sama halnya dengan peraturan- peraturan yang dikeluarkan oleh Polri sebagai pengaturan yang lebih teknis dari pelaksanaan kewenangannya, yaitu Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Bahwa penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh OJK secara terkoordinasi dengan lembaga penegak hukum lain antara lain pihak Kepolisian dan Kejaksaan merupakan bagian dari “ criminal justice system ” atau Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Hal tersebut telah ditegaskan dalam Pasal 49 ayat (1) UU 78 OJK yang berbunyi demikian: “ Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ”. Pasal a quo jelas menyebutkan bahwa wewenang khusus sebagai penyidik yang melekat pada PPNS tidak lepas dari ketentuan KUHAP, dan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP jelas menyatakan demikian: Pasal 7 ayat (2) KUHAP: “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing __ dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a ”. Pasal 7 ayat (3) KUHAP: “ Dalam melakukan tugasnya sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku ”.
Bahwa KUHAP jelas mengatur hubungan koordinasi fungsional dan instasional antara penyidik Polri dan PPNS terkait pelaksanaan penyidikan dalam Pasal 107 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. Pasal 107 ayat (1) KUHAP: “ Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan”. Pasal 107 ayat (2) KUHAP: “ Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a”. Pasal 107 ayat (3) KUHAP: 79 “ Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a ”. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada PPNS dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. Setelah itu PPNS harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang disidiknya jika ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidana tersebut kepada penuntut umum. Apabila PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum melalui penyidik Polri. Penyidik Polri kemudian dapat mengembalikan hasil penyidikan PPNS yang dianggap belum sempurna untuk diperbaiki seperlunya. Dengan berpatokan pada salah satu prinsip dari asas Lex Specialis Derogat Legi Generali (aturan hukum yang lebih khusus menyampingkan aturan hukum yang lebih umum) yaitu ketentuan- ketentuan yang diatur dalam aturan hukum yang lebih umum tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam aturan hukum khusus tersebut, maka proses koordinasi antara PPNS OJK dengan penyidik Polri tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pasal 107 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) KUHAP sebagaimana telah diuraikan di atas.
Bahwa pasal-pasal tersebut di atas menegaskan bahwa tindakan penyidikan yang dilakukan OJK tetap melalui koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga sama sekali bukan merupakan tindakan yang bertentangan dengan integrated justice system sebagaimana yang didalilkan oleh Para Pemohon.
Bahwa sistem peradilan pidana ( criminal justice system ) di Indonesia mempunyai beberapa sub-sistem yaitu, penyidikan yang kewenangannya melekat pada kepolisian, jaksa dengan wewenang penuntutan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan serta dilengkapi dengan pemberi bantuan hukum/advokat. Terkait dengan kewenangan penyidikan yang melekat pada kepolisian, Pasal 1 angka 1 KUHAP 80 secara tegas menyatakan bahwa “ Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan ”. Pasal a quo jelas menegaskan bahwa kewenangan untuk melakukan penyidikan bukan hanya ada pada polisi, tetapi juga kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus berdasarkan undang-undang untuk menyidik, dalam hal ini dikenal sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut sebagai PPNS). Dengan demikian apabila dalam proses penyidikan tersebut KUHAP menyatakan Penyidik terdiri dari Penyidik Polri dan PPNS, maka PPNS merupakan bagian dari sistem peradilan pidana itu sendiri. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) KUHAP dengan jelas telah menyatakan bahwa Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang (PPNS). PPNS sebagai aparat penyidik tindak pidana dalam ruang lingkup tugasnya melaksanakan penyidikan di bawah koordinasi penyidik Polri adalah bagian dari sistem peradilan pidana karena dalam melaksanakan tugas dan fungsinya bekerja sama dan berinteraksi dengan sub-sistem penegak hukum lain dalam kerangka sistem peradilan pidana. Sekalipun PPNS mempunyai tugas dan wewenang tersendiri sesuai dengan tugas dan spesialisasinya, PPNS tetap merupakan bagian dari sub-sistem kepolisian yang merupakan salah satu sub-sistem peradilan pidana.
Bahwa dengan demikian pada dasarnya UU OJK tetap memberikan kewenangan kepada Polri untuk melaksanakan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan. OJK dan Polri sama-sama mengemban amanah Undang-Undang OJK untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan. Dalam rangka mencapai sinergi dalam melaksanakan amanat Undang-Undang OJK tersebut, diperlukan koordinasi yang baik antara OJK dan Polri yang secara formal dituangkan dalam Nota Kesepahaman. Adapun ruang lingkup kerja sama yang diatur dalam Nota Kesepahaman ini adalah 81 sebagai berikut:
Bidang pencegahan tindak pidana di sektor jasa keuangan, melalui kegiatan-kegiatan penyampaian informasi dan edukasi kepada pelaku industri jasa keuangan dan masyarakat, baik tentang tindak pidana di sektor jasa keuangan maupun tindak pidana lain yang memiliki dampak terhadap sektor jasa keuangan;
Bidang penegakan hukum, melalui pertukaran data dan/atau informasi; dan bantuan dalam penyidikan maupun yang bersifat teknis maupun taktis;
Bidang pengamanan, melalui kegiatan pengamanan OJK dan kegiatan OJK;
Bidang koordinasi, melalui pembentukan forum koordinasi antara Pimpinan OJK dan Polri maupun antar pejabat pengendali guna membahas arah dan strategi penegakan hukum di sektor jasa keuangan, juga pembahasan efektivitas penyelesaian penanganan, analisis dan evaluasi pelaksanaan penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Selain itu dalam rangka koordinasi tersebut akan dibentuk kelompok kerja dalam tataran yang lebih teknis yang melibatkan unsur pimpinan OJK dan Polri di daerah;
Bidang penugasan dan pengakhiran penugasan anggota Polri (SDM Penyidik) melalui penempatan personil Penydidik Polri di OJK untuk melaksanakan tugas penyidikan; dan
Bidang pendidikan dan pelatihan, melalui kegiatan peningkatan kualitas dan kompetensi sumber daya manusia OJK maupun Polri khususnya terkait pelaksanaan fungsi penyidikan, baik kompetensi mengenai sektor jasa keuangan maupun keahlian teknis penyidikan.
Bahwa oleh sebab itu adalah tidak berdasar hukum apabila Para Pemohon berpendapat kewenangan penyidikan yang melekat pada OJK mengaburkan integrated justice system dan due process of law sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan sebab itu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, karena kewenangan 82 penyidikan OJK yang secara khusus berlaku atas setiap tindak pidana yang terjadi di sektor jasa keuangan justru merupakan tindakan yang menunjang terlaksananya suatu sistem peradilan pidana yang terintegrasi. Penyidik PNS OJK Tidak Bertentangan Dengan Asas Penegakan Hukum ( Supremacy of Law ) 18. Bahwa keberadaan PPNS telah ada sejak zaman Kolonial Hindia Belanda yang diatur dalam Het Herziene Inlands Reglement (selanjutnya disebut sebagai HIR) Staatblad Tahun 1941 No. 44. Pasal 1 sub 5 dan 6 HIR memberikan kewenangan pejabat yang diberi tugas kepolisian preventif, dan Pasal 39 sub 5 dan 6 HIR memberikan kewenangan pejabat yang diberi tugas mencari kejahatan dan pelanggaran (kepolisian represif baik yang bersifat non-yustisial maupun pro-yustisial). Pasal 1 sub 5 dan 6 HIR: “ Melakukan tugas kepolisian pada bangsa Indonesia dan pada bangsa Asing, menurut perbedaan yang diadakan dalam reglemen ini, diwajibkan pada pegawai, penjabat-penjabat dan orang-orang yang teristimewa disebut dibawah ini, masing-masing sekian keluasan _daerah, untuk mana ia diangkat: _ _1....; _ _2....; _ _3....; _ _4....; _ 5. Semua pegawai, penjabat dan orang-orang lain, dalam perkara yang diserahkan kepadanya supaya dijaganya, menurut aturan _undang-undang yang istimewa; _ 6. Pegawai-pegawai polisi yang tidak dapat gaji masing-masing mengenai kekuasaan yang diberikan padanya dalam surat angkatannya yang diangkat sedemikian dengan mengingat aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pasal 39 sub 5 dan 6 HIR: “ Hal mencari kejahatan dan pelanggaran pada bangsa Indonesia dan bangsa Asing, menurut perbedaan yang dibuat pada reglemen ini dan pada peraturan undang-undang yang lain, diwajibkan kepada pegawai, pejabat dan orang-orang yang teristimewa yang tersebut di _bawah ini, masing-masing dalam seluruh daerah pegangannya: _ 83 _3....; _ _4....; _ 5. Mereka, yang dengan peraturan undang-undang yang khusus disuruh memegang peraturan itu atau supaya peraturan itu diturut orang dan yang disuruh mencari perbuatan yang dapat dihukum yang dimaksud di dalam peraturan itu, yakni sekedar, yang _mengenai perbuatan yang dimaksud itu; _ 6. Pegawai polisi yang tidak dapat gaji, yang diangkat sebagai polisi dengan mengingat peraturan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah, masing-masing menurut kekuasaan yang diberikan kepadanya pada Akte angkatannya. 19. Bahwa dari beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang PPNS seperti KUHAP, Pedoman Pelaksanaan KUHAP dan Undang-Undang Kepolisian pada dasarnya merumuskan PPNS dengan unsur-unsur sebagai berikut:
PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang;
Wewenang khusus tersebut adalah wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana;
Tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana tertentu yang menjadi ruang lingkup tugas dari suatu instansi/lembaga; dan
Dalam melaksanakan wewenang penyidikan berada di bawah koordinasi dan pengawasan dari Penyidik Polri.
Bahwa dari unsur-unsur tersebut di atas, jelas bahwa wewenang penyidikan yang dilakukan oleh seorang PPNS menuntut keahlian dan spesialiasi khusus sesuai dengan tindak pidana tertentu yang menjadi ruang lingkup tugas dari suatu instansi/lembaga.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan penyidik OJK, berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU OJK dan penjelasannya, OJK diberikan hak untuk mempekerjakan penyidik yang berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun Pegawai Negeri Sipil. Pasal 27 ayat (2) “ OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ” 84 Penjelasan Pasal 27 ayat (2) “...Pegawai negeri yang bekerja pada OJK dapat berstatus dipekerjakan atau status lainnya dalam rangka menunjang kewenangan OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan, atau tugas- tugas yang bersifat khusus. Pegawai negeri tersebut antara lain berasal dari pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan/atau Pejabat Penyidik Kepolisian. Hak dan kewajiban pegawai negeri tersebut disetarakan dengan hak dan kewajiban pegawai OJK. ” 29. Bahwa dipekerjakannya penyidik Polri dan PPNS merupakan salah satu upaya OJK untuk memperkuat pelaksanaan fungsi penyidikan di sektor jasa keuangan karena sudah barang tentu yang dapat menjadi penyidik sesuai dengan yang diketahui dalam KUHAP hanya berasal dari 2 (dua) unsur, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang [vide Pasal 6 ayat (1) KUHAP].
Bahwa terkait dengan kewenangan Penyidik OJK diatur dalam 2 (dua) tempat, yaitu bagi Penyidik Polri telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP dan bagi Penyidik PPNS diatur secara khusus dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Hal ini telah sesuai sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat ( 1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a ”. Hal ini memiliki 2 (dua) arti, yaitu: Pertama, kewenangan Penyidik PPNS hanya sebatas kewenangan yang diatur dalam undang-undangnya masing-masing; dan Kedua, dalam pelaksanaan tugasnya, penyidik yang berasal dari PNS tetap berkoordinasi dengan penyidik Polri.
Bahwa sehubungan dengan dalil Para Pemohon yang menyadur Pasal 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN), tentu saja UU ASN tidak tepat dijadikan dasar hukum pada permasalahan a quo . Status kepegawaian di OJK tidak tunduk pada UU ASN karena berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU OJK, pihak yang bekerja di OJK 85 berstatus sebagai pegawai OJK, bukan sebagai ASN. Begitu pula dengan seluruh penyidik Polri yang dipekerjakan OJK tidak tunduk pula dengan UU ASN, melainkan pada UU Nomor 2 Tahun 2002. Dengan begitu, penyidik Polri yang dipekerjakan di OJK tidak harus mengundurkan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) UU ASN.
Bahwa argumentasi para Pemohon kata ”dapat” pada Pasal 27 ayat (2) UU OJK berarti bersifat sementara sehingga keberadaan PPNS di OJK tidak didasarkan pada kewenangan temporer pada suatu masa atau rentang waktu tertentu saja. Dalam Pasal 51 UU OJK telah mengatur ketentuan minimal penarikan kembali para Penyidik PPNS tersebut, yaitu 6 (enam) bulan dan sedang tidak menangani perkara. Ketentuan yang diatur dalam UU OJK ini mengandung arti bahwa alasan penarikan Penyidik PPNS tersebut harus dilakukan dengan cermat dan dipastikan tidak menghalangi jalannya proses penyidikan yang sedang berlangsung di OJK.
Bahwa Pasal 27 ayat (2) UU OJK telah menyatakan, “ OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ”. Selanjutnya dalam penjelasan pasal a quo , pegawai negeri yang dipekerjakan di OJK bertujuan untuk mengefektifkan tugas dan wewenang OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan atau tugas-tugas yang bersifat khusus. Dengan demikian keberadaan PPNS OJK yang bertugas untuk melaksanakan penyidikan sebagai bentuk pengawasan lembaga OJK sama sekali tidak bertentangan dengan penegakan hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena keberadaan PPNS OJK telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. V. DAMPAK APABILA PERMOHONAN DIKABULKAN Sebagaimana telah Pemerintah jelaskan di atas, bahwa kewenangan penyidikan yang melekat pada OJK merupakan salah satu bentuk fungsi pengawasan OJK demi terlaksananya kegiatan-kegiatan di sektor jasa 86 keuangan dengan teratur, adil, transparan dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh stabil dan berkelanjutan serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Apabila permohonan a quo dikabulkan maka tindak pidana di sektor jasa keuangan tidak akan teratasi dengan cepat dan tepat sehingga menimbulkan kekacauan ( chaos ) dalam sistem keuangan di Indonesia dan dapat mengakibatkan kerugian besar bagi perekonomian nasional dan membawa dampak bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Untuk itu, Pemerintah berpendapat terhadap kewenangan penyidikan ini, kiranya Mahkamah masih akan tetap berpendapat sebagai open legal policy yang tidak bisa dibatalkan oleh Mahkamah karena tidak bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan 25 yang merupakan putusan atas pasal yang sama yang bahkan lebih prinsip dari permohonan ini karena meminta pembatalan Pasal 1 angka 1 secara keseluruhan. VI. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian (constitusional review) ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan untuk diuji bukanlah merupakan objek yang dapat diajukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi;
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijke verklaard );
Menyatakan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan 87 Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Presiden menyampaikan Keterangan tertulis tambahan pada tanggal 28 Februari 2019 atas pertanyaan-pertanyaan dari Hakim Konstitusi, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Jawaban terhadap pertanyaan dari Hakim Konstitusi Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA 1. Putusan inkracht atas perkara yang proses penyidikannya dilakukan oleh OJK. Jawaban Pemerintah Sebagaimana telah disampaikan dalam Keterangan Presiden sebelumnya, terdapat 9 (sembilan) perkara tindak pidana di sektor jasa keuangan yang penyidikannya dilakukan oleh Penyidik OJK dan telah memiliki kekuatan hukum tetap ( inkracht ). Berikut ini beberapa putusan inkracht yang salinan resminya telah diperoleh OJK (terlampir) yaitu:
Putusan Nomor 484/Pid.Sus/2018/PN.Dpk tanggal 10 Januari 2019;
Putusan Nomor 182/Pid.B/2018/PN.Bil tanggal 30 Agustus 2018;
Putusan Nomor 221/Pid.B/2017/PN.Sbr tanggal 30 Agustus 2017;
Putusan Nomor 457/Pid.Sus/2017/PN.Smn tanggal 19 Desember 2017; dan 5. Putusan Nomor 310/Pid.Sus/2018/PN.Jkt.Pst tanggal 21 Mei 2018. Perkara-perkara di atas merupakan tindak pidana di sektor jasa keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah). Selain itu terdapat 1 putusan yang berkaitan dengan kewenangan penyidikan OJK yaitu perkara pra peradilan di Pengadilan Negeri Palu dengan perkara Nomor 7/Pid.Pra/2018/PN.Pal tanggal 5 November 2018 (putusan terlampir), Perkara a quo dimohonkan oleh Pemohon (Komisaris Utama PT. BPR Akarumi) terhadap Termohon in casu Penyidik OJK. Dalam pertimbangan hukumnya (halaman 42) Hakim menyatakan OJK mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam perkara meliputi dugaan 88 tindak pidana di bidang perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non bank (IKNB). Bahwa dapat kami tambahkan, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan tidak adanya pranata pra peradilan pada proses penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan, maka adanya 3 perkara perkara pra peradilan yang melibatkan OJK sebagai pihak menjadi bantahan terhadap dalil Pemohon dimaksud. Terlebih dengan diakuinya kewenangan penyidikan dalam Putusan Pra Peradilan Nomor 7/Pid.Pra/2018/PN.Pal tersebut di atas membuktikan bahwa dalam pranata pra peradilan pun kewenangan penyidikan OJK telah diakui oleh Hakim.
Mekanisme penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang proses penyidikannya dilakukan oleh OJK Jawaban Presiden Terkait dengan proses penyidikan yang dilaksanakan oleh OJK, bersama keterangan ini juga dilampirkan alur penyidikan OJK sesuai dengan Keputusan Deputi Komisioner Penyidikan, Organisasi dan SDM Nomor KEP-10/MS.2/2017 tentang Standar Prosedur Operasional di Lingkungan Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan. Tabel berikut merupakan gambaran secara singkat alur penyidikan OJK sesuai dengan Keputusan Deputi Komisioner Penyidikan Organisasi dan SDM tersebut di atas: No. JENIS KEGIATAN KETERANGAN 1. Penerimaan pelimpahan laporan dan/atau informasi • Dapat berasal dari:
Satker Pemeriksaan/Investigasi OJK b. Perseorangan c. Penyidik • Dalam hal pelimpahan berasal dari huruf (a) maka Penyidik OJK melakukan proses penyelidikan dan/atau penyidikan; • Dalam hal pelimpahan berasal dari huruf (b) dan huruf (c) maka Penyidik OJK melakukan koordinasi dengan Satker Pemeriksaan/Investigasi OJK 2. Persiapan, pelaksanaan dan pelaporan Gelar Perkara • Gelar Perkara dilakukan sebelum dan selama proses penyidikan. • Gelar Perkara yang dilakukan sebelum penyidikan adalah dalam rangka peningkatan status penanganan perkara dari penyelidikan ke 89 penyidikan • Gelar Perkara yang dilakukan selama proses penyidikan adalah dalam rangka:
penetapan status tersangka;
pemantauan perkembangan penyidikan;
penyidikan bersama ( joint investigation ); dan persiapan pelimpahan berkas perkara. • Gelar Perkara dihadiri oleh Satker Pengawasan terkait, Departemen Hukum OJK, Audit Internal OJK; dan Departemen Penyidikan.
Penyelidikan/Penyidi kan • Penyidik menerbitkan Surat Perintah Penyidikan dan Surat Perintah Kerja kegiatan penyelidikan/penelitian. • Kegiatan Penyelidikan/Penyidikan meliputi:
Peristiwa tindak pidana apa yang terjadi;
Bagaimana terjadinya tindak pidana 3) Mengapa terjadinya Tindak Pidana 4) Apa dan bagaimana modus operandi tindak pidana 5) Dimana tempat/lokasi terjadinya tindak pidana 6) Benda apa saja yang terkait dengan tindak pidana 7) Siapa pelaku korban dan saksi 8) Kapan peristiwa tindak pidana terjadi a. Pemanggilan Obyek pemanggilan: kepada saksi, tersangka, dan/atau ahli b. Penahanan • Didasarkan pada Laporan Gelar Perkara, syarat formil, dan syarat materiil. • Penitipan tahanan di Rutan.
Penggeledahan • Penyidik OJK melakukan persiapan penggeledahan dari sisi kelengkapan materiil, formil, dan peralatan. • Penyidik OJK meminta bantuan dari Kepolisian Republik Indonesia (Kepolisian). • Penyidik OJK membuat Berita Acara Penggeledahan yang ditandatangani oleh Penyidik OJK dan disampaikan kepada pihak yang dilakukan penggeledahan, paling lama 2 (dua) hari setelah dilakukan penggeledahan.
Penyitaan Penyitaan dilakukan berdasarkan permohonan izin penetapan pengadilan, dalam situasi: kegiatan penggeledahan, kegiatan penangkapan, dan/atau kegiatan tertangkap tangan.
Pemblokiran, Pembukaan Rekening Bank atau Lembaga Keuangan lainnya atau dari pihak yang terlibat 1. Penyidik menemukan adanya bukti tindak pidana pada rekening Bank atau Lembaga Keuangan lainnya.
Penyidik melakukan permohonan pemblokiran rekening dengan menyertakan bukti adanya hasil tindak pidana pada rekening dimaksud.
Penyidik menyerahkan permohonan tersebut kepada Bank atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya. 90 4. Penyusunan dan Pelimpahan Berkas Perkara • Inventarisasi komponen berkas perkara, yang terdiri dari: laporan kejadian, surat perintah penyidikan, surat panggilan saksi/tersangka, dan surat perintah penangkapan terhadap tersangka (jika ada). • Melakukan penelitian kelengkapan berkas perkara • Menyusun resume perkara dan membuat surat pengantar pelimpahan yang ditujukan kepada:
Kepala Kejaksaan Negeri untuk Perkara acara pemeriksaan biasa;
Kepala Pengadilan Negeri/Tinggi untuk perkara acara pemeriksaan cepar; dan
Kepala Kejaksaan Negeri/Tinggi untuk perkara yang ditangani oleh Penyidik PPNS • Apabila sebelum batas waktu 14 (empat belas) hari berakhir berkas perkara dikembalikan dan disertai petunjuk Jaksa Penuntut Umum (P.19) maka Penyidik OJK segera melakukan penyidikan tambahan guna melengkapi berkas perkara sesuai petunjuk teknis • Apabila berkas perkara tidak dikembalikan atau sebelum batas waktu telah ada pemberitahuan bahwa hasil penyidikan telah lengkap (P.21) maka Penyidik OJK segera melimpahkan tanggung jawab kepada Kepala Kejaksaan Alur penyidikan dimaksud telah membuktikan bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik OJK telah berpegang pada prinsip due process of law dan tidak menyimpang dari KUHAP dan UU OJK sebagai acuan untuk pelaksanaan penyidikan OJK. Alur proses penyidikan dimaksud juga menggambarkan adanya koordinasi antara Penyidik OJK dengan Kepolisian RI sebagai bentuk pelaksanaan integrated criminal justice system .
Berikan komparasi dengan negara lain yang juga memiliki Lembaga Pengawas Jasa Keuangan seperti OJK dan mempunyai kewenangan penyidikan. Jawaban Presiden: Berkaitan dengan perbandingan kepemilikan wewenang penyidikan pada Lembaga Pengawas Jasa Keuangan di Negara lain, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa bentuk Lembaga Pengawas Jasa Keuangan di Negara lain bervariasi sesuai dengan sistem ketatanegaraan dan sistem hukumnya masing-masing. Beberapa Negara memiliki Lembaga Pengawas di Sektor 91 Jasa Keuangan yang bersifat sektoral tetapi tetap memiliki kewenangan penyidikan. Sebagai contoh, di Jepang , lembaga pengawasan pasar modal yaitu Securities and Exchanges Survaillance Commission memiliki Criminal Investigation Division . Lembaga tersebut berkoordinasi dengan Japan Financial Services Agency dalam pelaksanaan tugasnya (sumber: www.fsa.go.jp/common/about/h30FSAsOrganizationChartOutline.pdf ). Contoh lainnya adalah Negara Inggris , dimana FCA ( Financial Conduct Authority ) memiliki kewenangan untuk melakukan “ bringing criminal prosecution to tackle financial crime, such as insider dealing, unauthorized business and false crime to be FCA authorized (sumber: www.fca.org.uk/about/enforcement ) dan Article 401 pada Financial Services and Markets Act 2000 yang menyatakan “ P roceedings for an offence may be instituted in England and Wales only—(a) by the Authority ” . B. Jawaban terhadap pertanyaan Hakim Konstitusi Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. dan Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S.
Filosofis Kelembagaan OJK a. Secara mandat, pembentukan Lembaga OJK didasarkan pada amanat Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia (UU BI) untuk mengatur dalam suatu UU pembentukan suatu lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang independen dan berfungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan yang bergerak di sektor jasa keuangan. Terkait dengan pembentukan OJK yang hanya dimandatkan oleh UU BI bukan secara langsung oleh UUD 1945, Majelis Hakim Konstitusi dalam Putusan Perkara Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU-XII/2014 tanggal 4 Agustus 2015 halaman 289 menyatakan bahwa “oleh karena independensi OJK merupakan penjabaran dari UU BI, sedangkan independensi bank sentral berasal dari Pasal 23D UUD 1945 maka untuk memahami independensi OJK harus dikaitkan dengan independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Independensi bank sentral dimaksudkan agar bank sentral memiliki kebebasan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang dan keputusan- 92 keputusan yang diambil dalam mencapai tujuannya tersebut tidak dapat diintervensi oleh pemerintah dan cabang-cabang kekuasaan negara lainnya. Dikaitkan dengan hal tersebut maka independensi OJK bukan berarti OJK dapat menentukan sendiri tujuannya, karena tujuan pembentukan OJK telah ditentukan dalam UU OJK, di antaranya dalam Pasal 4 UU OJK disebutkan bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar seluruh kegiatan dalam sektor jasa keuangan terselenggara dengan teratur, adil, transparan dan akuntabel; dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berdasarkan tujuan pembentukan OJK yang langsung berkenaan dengan bidang ekonomi, maka sudah tepat Pasal 33 UUD 1945 dijadikan sebagai dasar hukum kewenangan pembentukan OJK . Selanjutnya terkait dengan kedudukan/hubungan kelembagaan OJK dengan pemerintahan, Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Perkara Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU-XII/2014 menyatakan: “penjelasan demikian (yaitu penjelasan umum UU OJK) harus dimaknai tetap ada kaitannya dengan pemerintah, sebab semua urusan yang diberikan kepada OJK tidak dapat dilepaskan dengan urusan penyelenggaraan pemerintahan, sehingga OJK bukanlah bagian yang dipisahkan dari negara yang karenanya seakan-akan OJK merupakan negara dalam negara. Hal demikian juga terbukti dari adanya unsur-unsur perwakilan pemerintah di OJK serta koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi kebijakan dengan lembaga-lembaga lain.” Berdasarkan pada pertimbangan dalam Putusan Perkara Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU-XII/2014 tersebut di atas, Pemerintah berpendapat pandangan Pemerintah bahwa OJK adalah lembaga negara yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan memiliki landasan yuridis, filosofis dan sosiologis yang sangat kuat. Selanjutnya dikaitkan dengan jenis lembaga negara main organ dan auxsiliary organ, memperhatikan pengklasifikasin lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 menyatakan: “Secara teori dan praktik, lembaga-lembaga negara tersebut dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yakni (i) lembaga negara mandiri yang disebut lembaga negara utama ( main state organs ) dan (ii) lembaga negara yang mempunyai fungsi 93 melayani yang disebut lembaga negara penunjang ( auxiliary state organs ). Lembaga negara yang termasuk main state organs ialah MPR, DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden, BPK, MA, dan MK” . Sebagai lembaga negara yang independen, yang dasar kewenangan pembentukannya mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 serta yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana dimandatkan UUD 1945, maka menjadi sangat berdasar hukum apabila kedudukan OJK disematkan sebagai lembaga negara utama ( main organ ) bukan auxiliary organ yang menjadi penunjang lembaga negara lainnya.
Dengan kedudukan sebagai main organ lembaga negara, dalam penjelasan ketentuan umum dalam UU OJK, disebutkan bahwa untuk mewujudkan koordinasi, kerjasama dan harmonisasi kebijakan yang baik, OJK harus merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya dalam mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian adalah jelas OJK merupakan suatu lembaga negara yang sekalipun kedudukannya berada diluar sistem pemerintahan, OJK tetap menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan. Hal tersebut bersesuaian dengan pendapat dari Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum yang disampaikan dalam Keterangan Ahli untuk Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU-XII/2014, yang menyatakan bahwa fungsi OJK tidak lepas dari fungsi pemerintahan ( sturen ) yang melekat pada wewenang pemerintah ( bestuurbovegheid ). Dalam melaksanakan fungsi sturen , pemerintah diberikan kewenangan untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum administrasi negara. Dimensi perlindungan hukum dalam pelaksanaan fungsi sturen ( sturende functie ) terdapat dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU OJK, yang pada intinya dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang menjadi pengguna jasa keuangan dari praktek-praktek yang melanggar prinsip tata kelola 94 perbankan dan non-perbankan yang baik ( good financial government ).
Kedudukan OJK sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi pemerintahan juga sangat jelas terlihat dengan peralihan kewenangan yang melekat Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan yang terkait dengan pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) UU OJK yang berbunyi:
Pengujian UU Nomor 3 2015 tentang Perubahan atas UU 27 Tahun 2014 tentang APBN 2015
Relevan terhadap
Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya untuk melaksanakan amanat konstitusi “untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat” , Pemerintah diwajibkan meng- addressat -kan lagi PIP kepada PT. SMI, dan akhirnya PT. SMI menjadi penerima akhir addressat -nya. PT. SMI dapat disebut menjadi penerima akhir addressat karena PT. SMI adalah BUMN, yaitu BUMN pemilik “kekayaan negara yang dipisahkan”, yang setiap saat sesuai dengan mekanisme pasar dapat menjual “dirinya sendiri” (saham kepemilikannya) kepada “siapapun” tanpa melalui mekanisme APBN. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 8 Yang dimaksud dengan “siapapun” diatas dapat berupa perseorangan maupun perseroan, baik lokal maupun interlokal, dalam negeri maupun luar negeri, asing maupun tidak asing, dan model inilah yang biasa dikenal dengan istilah “SWASTANISASI” , swastanisasi pusat investasi pemerintah. Dan karenanya ketentuan Pasal 23A UU 3/2015 yang dimohonkan diujikan oleh Pemohon menurut Pemohon adalah acara addressat meng-addressat- kan yang salah, alias “SALAH ALAMAT” . B.22c. Jika Pemohon tidak mematuhi ketentuan yang menurut Pemohon ”salah alamat” tersebut (misalnya Pemohon menghalang-halangi secara langsung ketentuan tersebut dengan upaya misalnya dengan “menggembok pintu” Kantor Presiden agar Presiden tidak dapat ngantor dan tidak dapat menandatangani Peraturan Pemerintah sebagai peng-halal-an dilakukannya transaksi yang salah alamat tersebut), maka negara dapat memaksakan ketentuan itu kepada Pemohon dan Pemohon dapat dikenakan sanksi jika tidak mematuhinya, sebagaimana substansi pertimbangan dalam pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XII/2014 (tersebut pada poin B.22 di atas). Dan negara akan memaksakan ketentuan itu kepada Pemohon dan Pemohon dikenakan sanksi karena tidak mematuhinya dengan sanksi yang ada pada peraturan perundang-undangan lainnya, misalnya menghukum Pemohon dengan pasal Penghinaan Kepada Presiden. Dan inilah potensi kerugian konstitusional Pemohon yang berupaya menegakkan bahwa negara ini adalah negara hukum. B.22d.PIP adalah “milik” Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia (konsepsi kepemilikan kolektif seluruh rakyat yang dikelola oleh Pemerintah), karenanya PIP adalah milik rakyat yang pengelolaannya ada didalam mekanisme APBN, dan ketika itu berubah karena ketentuan Pasal a quo menjadi “kekayaan negara yang dipisahkan” (pengelolaannya diluar mekanisme APBN), maka Pemohon secara langsung juga akan terikat dan wajib untuk turut mematuhi ketentuan addressat tersebut. Dan secara langsung inilah kerugian konstitusional Pemohon jika pasal a quo diberlakukan, kerugian Pemohon yang sedang melaksanakan kewajiban menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 9 B.23. Maka Pemohon mengajukan permohonan ini karena Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk memaksakan kewajiban menjunjung tinggi hukum dan/atau sebagai lembaga peradilan yang berwenang mengadili setiap Undang-Undang yang pemohon anggap tidak sesuai dengan UUD 1945. B.24. Bahwa Pemohon beranggapan bahwa Pasal 23A Undang-Undang a quo yang diujikan tersebut adalah BERTENTANGAN dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, selengkapnya alasan akan pemohon jelaskan alasannya dalam Pokok Permohonan dalam permohonan ini. B.25. Adapun secara sederhana alasan permohonan Pemohon tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
Bahwa Pemohon memiliki kewajiban konstitusional untuk menjunjung hukum, dan jika ada ketentuan yang menginjak hukum diberlakukan, maka kewajiban konstitusional Pemohon secara langsung akan dirugikan, karena kewajiban itu menuntut paksaan dan sanksi moril kepada Pemohon jika ikut dan/atau turut serta mendiamkan dan membiarkan pelanggaran hukum itu terjadi dan terus berlangsungnya.
Selain itu bahwa Undang-Undang yang mohon diujikan dalam permohonan ini adalah tentang APBN Republik Indonesia, yang menyangkut kepentingan seluruh warga negara Republik Indonesia, maka karenanya Pemohon memiliki kepentingan konstitusional secara langsung terhadap pengujian ini.
Bahwa Pasal 23A Undang-Undang a quo terkait secara langsung dengan keberadaan dan/atau penampakan PT. Sarana Multi Infrastruktur (selanjutnya disebut PTSMI).
Bahwa Pemohon beranggapan bahwa PTSMI telah menginjak hukum Republik Indonesia, PTSMI telah melakukan konspirasi kejahatan korporat yang SISTEMATIK, TERENCANA dan MASIF terhadap seluruh warga negara Republik Indonesia dengan menggunakan utang luar negeri Republik Indonesia untuk kepentingan bisnis sebuah perusahaan swasta (PT.INDONESIA INFRASTRUCTURE FINANCE, selanjutnya disingkat PTIIF) yang jelas-jelas mayoritas sahamnya dimiliki oleh institusi-institusi asing, dengan kata lain bahwa PTSMI Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 10 telah menggunakan utang luar negeri Republik Indonesia untuk kepentingan bisnis institusi-institusi asing di republik ini.
Bahwa jika pasal a quo diberlakukan, maka PTSMI akan menjadi entitas/institusi yang akan menjadi penerima pertama manfaat ekonomi sekaligus penikmati hasil pertama dari ketentuan a quo .
Dan jika pasal a quo diberlakukannya, maka jelas Pemohon dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan karena itu akan memberi ruang bagi PTSMI untuk melakukan penginjakan hukum selanjutnya yang lebih dahsyat lagi di republik ini, peninjakan hukum demi kepentingan bisnis institusi-institusi asing;
Bahwa desain bisnis PTSMI berpotensi menjadi praktik bisnis yang tidak Pancasilais dan/atau tidak konstitusional, yang jelas-jelas telah dilarang oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU- XI/2013.
Dan fakta menunjukkan bahwa PTSMI juga telah menjalankan praktek bisnis yang tidak Pancasilais dan/atau tidak konstitusional tersebut.
Bahwa pemberlakuan pasal a quo adalah kerugian konstisusional seluruh warga negara Indonesia, termasuk Pemohon. Dan jika ketentuan tersebut tidak diberlakukan, maka kerugian konstitusional seluruh warga negara Indonesia (paling tidak kerugian konstisusional Pemohon) tidak akan terjadi lagi, minimal akan sedikit berkurang kerugian konstitusional tersebut. Pelanggaran terhadap norma hukum dan pemerintahan tentu akan menyebabkan terjadinya ketidak-komprehensif-annya jalannnya pemerintahan dan ujungnya akan meyebabkan tidak efektifnya pengelolaan republik ini. Dan akhir dari semuanya adalah dapat mengganggu upaya pencapaian tujuan Negara Republik Indonesia. Karenanya dalam situasi adanya gangguan terhadap pencapaian tujuan Negara Republik Indonesia inilah maka kewajiban Pemohon untuk melaksanakan kewajiban konstitusionalnya sebagai warga negara Inodesia sebagaimana yang dimaksud dalam norma Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Dan jika kewajiban pemohon ini dihalang-halangi oleh siapa pun juga, maka itu artinya hak konstitusional Pemohon juga telah dirugikan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 11 “Pemohon berkeyakinan bahwa kepastian hukum dan berjalannya sistem bernegara yang komprehensif merupakan prasyarat utama bagi tercapainya tujuan Negara Republik Indonesia”. Sikap membiarkan atau mendiamkan saja pelanggaran substantif dan adanya ketidakpastian hukum terhadap persoalan yang sebenarnya ada dan aktual dalam bidang hukum dan pemerintahan di Republik Indonesia jelas itu adalah kerugian bagi seluruh warga negara, dan Pemohon sangat yakin bahwa Mahkamah Konstitusi tidak akan pernah membiarkan hak-hak konstitusional warga negara dirugikan oleh apapun juga. B.26. Bahwa Kementerian Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 40/KMK.01/2010 ( bukti P.22) memang membentuk PT. IIF, Kementerian Keuangan membentuk perusahaan swasta dan memberikan utang negara untuk perusahaan swasta PT. IIF tersebut dengan “perantara” PT. SMI: UKURAN KEBERHASILAN UKURAN KEBERHASILAN Semula: Cakupan perluasan modal lembaga pembiayaan infrastruktur Menjadi: Pendirian perusahaan pembiayaan infrastruktur Semula TARGET: Perluasan modal lembaga pembiayaan infrastruktur yang lebih besar sehingga mencakup XX.XX Menjadi TARGET: Beroperasinya secara efektif perusahaan pembiayaan infrastruktur PT IIFF B.27. Bahwa institusi World Bank dan Asian Development Bank (ADB) terlibat secara aktif sejak awal “mengatur” dan “mengarahkan” pemanfaatan utang negara itu untuk PT. IIF melalui PT. SMI, selengkapnya dapat dilihat pada bukti P.11, P.12, P.13, P.15, P.1 dan P.2. B.28. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah pula membahas keberadaan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dalam perkara Nomor 2/SKLN-X/2012 B.29. Terdapat ketidakkonsistenan, di satu sisi dalam perkara Nomor 2/SKLN- X/2012 tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah (Kemenkeu) berjuang sekuat tenaga berupaya untuk menjadikan saham kecil sebuah perusahaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 12 swasta menjadi saham milik negara, sementara disisi lain dalam APBNP 2015 (UU 3/2015) muncul ketentuan Pasal 23A (yang Pemohon mohon di- uji-kan dalam perkara ini) menunjukkan bahwa Pemerintah (Kemenkeu) dengan begitu mudahnya melepas kepemilikan negara menjadi “kekayaan negara yang dipisahkan” dan masuk kedalam upaya swastanisasi kekayaan milik negara, yang dampaknya luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara. B.30. Bahwa dalam pembahasan perkara Nomor 2/SKLN-X/2012 tersebut mempertegas pula ketentuan Pasal 24 ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: “Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR” . Bahwa sangat tegas pula Closing Statement Ketua BPK (Hadi Poernomo) dalam perkara tersebut: “/BPK berpendapat bahwa pembelian saham 7% PT NNT tertutup oleh PIP adalah penyertaan modal pemerintah pada perusahaan swasta tertutup yang ini terjadi pertama kali di bumi kita , dalam keadaan normal, pemerintah menanamkan saham pada perusahaan tertutup ” . Sebagai catatan : Mahkamah memutuskan bahwa BPK tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk diajukan sebagai Termohon dalam perkara ini, karenanya pendapat BPK di atas (terkait ketentuan Pasal 24 ayat (7) UU 17/2003) tetap merupakan kewenangan BPK. B.31. Bahwa Pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi pada Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013 juga secara tegas telah menyebutkan bahwa: [3.23]... Bahwa, menurut Mahkamah, pemisahan kekayaan negara dimaksud dilihat dari perspektif transaksi bukanlah merupakan transaksi yang mengalihkan suatu hak, sehingga akibat hukumnya tidak terjadi peralihan hak dari negara kepada BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Dengan demikian kekayaan negara yang dipisahkan tersebut masih tetap menjadi kekayaan negara. Terkait dengan kewenangan BPK untuk memeriksa, menurut Mahkamah, oleh karena masih tetap sebagai keuangan negara dan BUMN atau BUMD sesungguhnya adalah milik negara dan, sebagaimana dipertimbangkan di atas, adalah juga kepanjangan tangan negara maka tidak terdapat alasan bahwa BPK tidak berwenang lagi memeriksanya. [3.18]... Pemisahan kekayaan negara tidak dapat diartikan sebagai putusnya kaitan negara dengan BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Pemisahan kekayaan negara pada BUMN, BUMD, atau nama Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 13 lain yang sejenisnya hanyalah dalam rangka memudahkan pengelolaan usaha dalam rangka bisnis sehingga dapat mengikuti perkembangan dan persaingan dunia usaha dan melakukan akumulasi modal, yang memerlukan pengambilan keputusan dengan segera namun tetap dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya . B.32. Bahwa berdasarkan dua poin di atas dapat disimpulkan bahwa BPK memiliki kewenangan penuh untuk menilai pengelolaan utang negara yang dilakukan oleh PT. SMI tersebut, dan agar konsisten dengan penilaian BPK di atas maka dapat disebutkan: “/BPK berpendapat bahwa pembelian saham PT IIF tertutup oleh PT. SMI adalah penyertaan modal pemerintah pada perusahaan swasta tertutup yang ini terjadi pertama kali di bumi kita , dalam keadaan normal, pemerintah menanamkan saham pada perusahaan tertutup .” . B.33. Karenanya secara substansi apa yang dilakukan oleh World Bank, Asian Development Bank (ADB), Kemenkeu dan PT. SMI yang menggunakan utang negara untuk kepentingan perusahaan swasta PT. IIF adalah tidak sesuai dengan norma pengelolaan keuangan yang baik dan benar di republik ini, dan itu artinya bertentangan dengan norma hukum di republik ini, dan secara langsung bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. B.34. Bahwa PT. SMI adalah perusahaan baru, dan BPK BELUM PERNAH melakukan pemeriksaan secara khusus terhadap PT. SMI, karenanya “isi perut” dan pengelolaan keuangan yang ada di dalam PT. SMI masih merupakan misteri bagi bangsa ini, masih seperti kucing dalam karung. Karenanya, jika PIP “diserahkan” kepada PT. SMI seperti membeli kucing dalam karung. B.35. Bahwa sebenarnya hubungan antara Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dengan keberadaan PT. SMI telah telah memberikan kesimpulan yang substansinya sangat jelas bahwa PIP lebih baik tidak “disatukan” dengan PT. SMI sehingga dapat saling mendukung dalam situasi sulit (terlampir sebagai bukti P.18 ): Kajian Analisis Atas Penyempurnaan Model Bisnis Project Development Facility di Kementerian Keuangan __ B. Penyempurnaan Project Development Facility Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 14 Dalam merumuskan skema penyiapan proyek KPS yang diharapkan dapat memenuhi harapan-harapan dimaksud, muncul 2 (dua) opsi utama yang menjadi bahan pertimbangan. Dua opsi adalah sebagai berikut:
Opsi pertama adalah perluasan terhadap penugasan PT SMI berdasarkan KMK 126 Tahun 2011;
Opsi kedua adalah penujukan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) sebagai institusi yang mengelola dana penyiapan proyek. D. Simpulan 3. Dalam pembahasan perumusan teridentifikasi beberapa skema PDF sebagai berikut:
Sekretariat PDF di Kementerian Keuangan & PT SMI sebagai pengelola PDF b. Sekretariat PDF di Kementerian Keuangan & tanpa pengelola PDF c. Sekretariat PDF di PDF Fund & PT SMI sebagai pengelola PDF d. Sekretariat PDF di PDF Fund & PT SMI sebagai pengelola PDF e. Sekretariat PDF di pengelola PDF f. Sekretariat di PDF Fund & pengelola PDF 4. Alternatif BLU PIP sebagai PDF Fund dengan Sekretariat PDF di PDF Fund serta di pengelola PDF ( front office ) merupakan pilihan terbaik. C. ALASAN PERMOHONAN C.1. LATAR BELAKANG C.1.1. Bahwa pada tanggal 15 Januari 2010, KEMENTERIAN KEUANGAN (selanjutnya disebut KEMENKEU) telah menandatangani naskah perjanjian Utang Luar Negeri ( Loan Agreement-Loan Number 7731-ID; selanjunya disebut Loan Agreement , terlampir sebagai bukti P.3). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 15 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 16 C.1. 2. Bahwa perjanjian Loan Agreement yang ditandatangani tersebut secara langsung telah menjadikan Republik Indonesia memiliki utang kepada WORLD BANK Group (selanjutnya disebut World Bank ) c.q. International Bank for Reconstruction and Development (selanjutnya disebut IBRD) Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 17 sebesar US$100,000,000 (seratus juta Dollar Amerika Serikat). Dan Republik Indonesia berkewajiban membayar utang tersebut, mencicilnya selama 24,5 tahun. Jadwal pembayaran utang selengkapnya dapat dilihat pada halaman 16.
Peruntukan duit hasil ngutang dari Loan Agreement untuk PTSMI secara substantif niat dan perbuatannya ADALAH BERTENTANGAN, MELANGGAR, MELAWAN DAN/ATAU MENGINJAK-INJAK HUKUM DI REPUBLIK INDONESIA [ketentuan dari 24 ayat (7) UU 17/2003, Pasal 6 PP 44/2005 dan Pasal 1 ayat (23) PP 2/2006].
Bahwa World Bank , Kemenkeu dan PTSMI sejak awal telah merencanakan peruntukan duit hasil ngutang dari Loan Agreement untuk PTSMI dan kemudian diserahkan untuk kepentingan PTIIF. Dengan kata lain bahwa telah terjadi konspirasi kejahatan korporasi yang SISTEMATIS, TERENCANA dan MASSIF untuk menginjak-injak hukum di republik ini.
Bahwa World Bank sebenarnya telah mengetahui bahwa tindakannya memberikan dan/atau mengalokasikan duit hasil ngutang dari Loan Agreement untuk PTIIF tersebut adalah bertentangan, melanggar dan/atau melawan ketentuan dari Pasal 24 ayat (7) UU 17/2003, Pasal 6 PP 44/2005 dan Pasal 1 ayat (23) PP 2/2006, dan karena ke-tahuan-nya tersebut World Bank kemudian “menyembunyikan” rencananya dengan memberikan utang MELALUI entitas penghubung TERGUGAT II. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 4. Bahwa IFC sebagai salah satu pemegang saham PTIIF adalah institusi yang satu group dengan World Bank . dengan kata lain bahwa World Bank sebenarnya sedang memberikan utang untuk dirinya sendiri, alias “keluar kantung kiri- masuk ke kantung kanan”. Tindakan World Bank dengan cara konyol tersebut adalah jalan bagi World Bank agar dapat turut menikmati keuntungan dari operasionalnya bisnis PTIIF, World Bank mendapatkan keuntungan ganda, bunga utang plus keuntungan bisnis dari pengelolaan utang tersebut.
Bahwa saham miliK PTSMI (berbadan hukum RI) di entitas PTIIF (berbadan hukum RI) pada saat pendiriannya hanya sebesar 40,3 %, sementara bagian saham yang 59,7% -nya adalah milik entitas yang berbadan hukum non-RI. Dengan kata lain sebenarnya PTIIF adalah milik asing, 59,7% !!!!!:
Dan yang lebih menyedihkannya lagi, bahwa pada tanggal 19 Maret 2012, PTSMI telah menjual 6% saham miliknya di PTIIF kepada Sumitomo Mitsui Banking Corporation (badan hukum asing), sehingga akhirnya komposisi kepemilikan saham PTSMI pada saat pendiriannya yang hanya 40,3 % sekarang semakin menurun sehingga hanya tinggal tersisa 34,3 % saja, dan sebaliknya justru saham milik asing yang semakin meningkat dari 59,7% SEKARANG TELAH MENJADI 65,7 % !!!. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 Hal ini semakin memperjelas bahwa PTIIF sebenarnya adalah milik asing, UTANG RI UNTUK SWASTA ASING !!. Dan PTSMI sebagai bapak kandungnya justru malah terlibat transaksi nista tersebut, dia telah menjual anak kandungnya kepada pihak asing, PTSMI harus bertanggung jawab !!. Bagaimana dengan transaksi penjualan “barang milik negara” (saham 6%) yang dilakukan oleh PTSMI tersebut apakah telah sesuai dengan ketentuan hukum di republik ini ??, apakah itu telah disetujui oleh DPR RI sebagai representasi mata dan telinga kepentingan seluruh rakyat republik ini ?? MANA BUKTINYA ?!. #Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan PTSMI kepada Jepang melalui penjualan saham barang milik negara dan lainnya yang dilaksanakan secara serampangan dan tidak seksama serta dalam tempo yang sesingkat-singkatnya tersebut, kami lampirkan sebagai Lampiran 7.
Bahwa kesimpulan atas telah dilakukannya konspirasi kejahatan korporasi tersebut adalah fakta substantif yang menunjukkan parahnya perbuatan yang telah dilakukan oleh PTSMI, bahwa duit ngutang seluruh Rakyat Indonesia ternyata diperuntukkan bukan cuma untuk kepentingan perusahaan swasta saja, TETAPI ternyata untuk PERUSAHAAN SWASTA “MILIK” ASING !!. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 8. Bahwa PTIIF merupakan perusahaan swasta “milik” asing yang berorientasi keuntungan, dan dalam operasionalnya, keuntungan tersebut kemudian akan dibagi sesuai dengan besarnya saham pemiliknya, 65,7% KEUNTUNGAN TERSEBUT UNTUK ASING !!. RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NGUTANG KEPADA ASING UNTUK DIGUNAKAN OLEH ASING ITU SENDIRI DAN UNTUK KEPENTINGANNYA SENDIRI ?!. Si asing dapat keuntungan ganda, untung dari bunga utang yang dibayar RI PLUS untung deviden dari operasional entitas PTIIF. TRAGIS !!, sepertinya ada yang salah dengan republik ini, sepertinya kita sedang dibodohi, dan lebih bodohnya lagi jika kita hanya diam terbengong -bengong bodoh dan sadar bahwa kita sebenarnya telah dibodohi. Entahlah nurani WNI mana yang kuat melihat perbuatan PTSMI membodohi bangsa ini, kalau kuat, itu artinya the golden way - nya Mario Teguh sepertinya cuma gombalan pepesan kosong di siang hari bolong. C.2.19. Bahwa tindakan PTSMI menandatangani Loan Agreement sebagai INDUK dari munculnya Project Agreement secara jelas menunjukkan bahwa PTSMI adalah EKSEKUTOR ATAU PELAKSANA LAPANGAN dari perilaku menginjak hukum di republik ini. C.2.20. Bahwa tindakan PTSMI membuat dan menandatangani Project Agreement yang menyebabkan seluruh rakyat RI jadi ngutang kepada World Bank tersebut adalah KESALAHAN YANG SANGAT-SANGAT FATAL. Tindakan PTSMI yang notabene adalah pengguna uang negara tersebut jelas sangat mengerikan, sangat tidak terpuji dan sangat membahayakan serta jelas-jelas telah merontokkan funndamental perekonomian Republik Indonesia, yaitu menambah utang secara serampangan, ngawur dan menginjak hukum !!. Dan yang jelas PTSMI TELAH membuat anak cucu seluruh rakyat Republik Indonesia menerima surat tagihan utang dan beban pembayarannya. Dan mengingat usia PTSMI yang sekarang ini mau diwafatkan dengan mengelola duit PIP (Pusat Investasi Pemerintah) sebagaimana Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 ketentuan pasal a quo , maka dapat dipastikan bahwa PTSMI telah WAFAT IN PEACE saat utang tersebut lunas pada tahun 2033 nanti. Mengingat agenda wafat itu, dapat dipastikan bahwa PTSMI dapat lepas tangan begitu saja dan tidak lagi menanggung pembayaran utang tersebut sebagaimana tanggungan seluruh anak cucu Indonesia dari sabang hingga Merauke. C.2.21. Secara sederhana fakta menginjak hukum dan pemerintahan yang dilakukan oleh PTSMI tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar G.1 Gambar G.2 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 Gambar G.3 C.3. KERUGIAN KONSTITUSIONAL C.3.1. Bahwa dalam kehidupan kesehariannya seluruh rakyat Republik Indonesia telah MEMBAYAR BERBAGAI MACAM jenis pajak, cukai dan retribusi negara RI (selanjutnya disingkat Pajak). Rakyat di-Pajak dari mulai konsumsi barang kebutuhan pokok sehari- harinya (dari mulai sembako hingga kolor) yang telah dikenakan Pajak, bahkan ketika itu masih dalam proses produksi dan belum sampai ke pasar (bahan bakunya di -Pajak, pabriknya di-Pajak, gaji buruhnya di-Pajak, suplier di-Pajak, grosirnya di-Pajak, pengecernya di-Pajak), kemudian rakyat di-Pajak ketika mau berangkat membeli kebutuhan itu di pasar (angkutan umumnya di-Pajak, Ojek dan Becak-pun di-Pajak), kemudian rakyat di-Pajak lagi ketika membeli kebutuhan itu (Ppn), kemudian rakyat di-Pajak lagi lagi ketika mau membawa kebutuhan itu kembali ke rumahnya, dan rakyat di-Pajak ketika menggunakan kebutuhan itu di-rumahnya (Pph & PBB). Bahkan saat Pemohon mengajukan Permohonan kepada Mahkamah Konstitusi RI ini pun alat bukti yang diajukan Pemohon juga di-Pajak (PNBP bea materai). Kesemuanya hasil pembayaran Pajak dari rakyat tersebut kemudian diterima negra dan dimasukkan sebagai Penerimaan Negara dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Republik Indonesia (APBN RI). C.3.2. Pembayaran Pajak dari rakyat dalam APBNP 2015 (terlampir sebagai bukti P.16): Pembayaran Pajak dari rakyat itu adalah 85% dari total penerimaan APBNP 2015: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 C.3.3. Dan menariknya untuk operasional negara ini, rakyat harus membayar: Kekurangan rencana akan belanja sebesar 222,5 Triliun itu akan ditutupi darimana lagi kalau bukan dari meningkatkan penerimaan dari Pajak rakyat tersebut. #menarik ketika rakyat selalu dilihat sebagai target, isi saku rakyat dijadikan target bancakan, isi saku anak cucu seluruh rakyat menjadi potensi pemasukan saku negara untuk membayar “jasa” pengelolaan saku negara itu sendiri. C.3.4. Dan APBNP 2015 juga menunjukkan bahwa kinerja “terbaik” seluruh BUMN se- republik ini (BUMN adalah payung-nya PTSMI) itu hanya “berkontribusi” mengurangi beban negara “hanya” sebesar 36,9 Triliun saja, dan itu hanya 2,4% saja dari kinerja terbaik setoran rakyat. Cukup menggelikan sebenarnya jika menilai kinerja terbaik seluruh BUMN yang mentereng-mentereng di republik ini itu, menyedihkan ketika angka kinerjanya bahkan angkanya kurang dari angka zakat minimal rakyat saja (angka zakat minimal 2,5%), itu baru angka kinerja BUMN kelas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 satu, bagaimana dengan angka kinerja PTSMI sebagai BUMN kw 3 kelas sekian itu ?!, bisa dipastikan 0% = NOL PERSEN angkanya !!. Karenanya jelas aneh, jika disatu sisi saat ditanyakan kinerja angka setor-nya, PTSMI pasti mencoba terus berlindung dibalik mantra- mantra standard “tugas suci-nya” sebagai BUMN yang berbisnis tidak mencari keuntungan, sementara disisi lain gembar-gembor menunjukkan kinerja “ke-kapitalis-annya” saat meminta duit 2 Triliun dari APBN, bahkan sekarang ngelunjak meminta duit 18,3 Triliun dari duit rakyat yang ada di PIP. Inilah pola kesalahan berpikir, kontradiksi pola berpikir, standar ganda, ngaku miskin ketika minta duit rakyat tetapi ngaku kaya ketika berhadapan cuap-cuap didepan rakyat seakan-akan adalah dewa penyelamat yang diturunkan dari langit untuk mensejahterakan rakyat, padahal duit yang disakunya itu adalah duit dari rakyat juga. Mereka sebenarnya cuma mau “numpang makan” saja dari duit rakyat itu, cuma mau menghidupkan kompor di dapur rumahnya saja, ngebulin asap dapur rumahnya saja dengan alasan kebulan asap dapur itu adalah hasil kerja lebay-nya, cuma meningkatkan kesejahteraannya saja dengan alasan itu dari hasil gaji-nya, menyedihkan, kontradiksi dengan pernyataan Presiden RI pada Pembukaan Konferensi Asia Afrika 2015, DI JCC, Jakarta, 22 April 2015. ”The world that we inherited today is still fraught with global injustice, inequality and violence. Global injustice and inequality are clearly on display before us. __ When hundreds of people in the northern hemisphere enjoy the lives of super rich, while more than 1.2 billion people in the southern hemisphere struggle with less than 2 dollars per day, then global injustice becomes more visible before our eyes ”. C.3.5. Dan mungkin cara berpikir kontradiktif seperti inilah yang dikenal dalam dunia Psikologi sebagai kecenderungan gangguan mental Psikopat. Dan karenanya inilah pula urgensi kenapa Pemohon mengajukan Permohonanan pengujian norma atas pasal a quo tersebut, kewajiban rakyat menjunjung hukum dan pemerintahan di republik ini dari rongrongan korporasi-korporasi psikopat. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 C.3.6. Fakta angka diibawah pasti dapat semakin memperjelas kontradiksi itu (APBP 2015) #nyetor cuma 36,9 Triliun, tapi minta 70,4 Triliun ?!, untuk melaksanakan “tugas suci” mensejahterakan rakyat ?!, untuk disejahterakan maka rakyat harus nombok 33,5 Triliun ?!, untuk membayar gaji dan fasilitas kesejahteraan para aparatur pengelola BUMN itu sendiri ?!, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia ?!, “..untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa..”. Entah kemana perginya nurani berbangsa di republik ini ?!. “ We also feel the global injustice when a group of established nations are reluctant to recognize that the world has changed. The view that the world economic problems can only be solved by the World Bank, the International Monetary Fund, and the Asian Development Bank, is an outdated view ”. (Pidato Presiden RI, 22/04/2015) C.3.7. Disatu sisi: (APBP 2015) Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 Sementara disisi lain: Menarik ketika ternyata uang rakyat yang akan diberikan kepada PTSMI itu ternyata jumlahnya hampir sama besarnya dengan total pembayaran PBB seluruh rakyat di republik ini. Bumi, tanah dan air rakyat hanya untuk PTSMI ?!. Entah kemana perginya nurani republik ini ketika tukang ojek dan buruh- buruh pabrik non-UMR di Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung harus membayar PBB tiap meter persegi rumah petak kontrakan 3x2m-nya. Entah kemana perginya nurani bangsa ini ketika petani- petani miskin di Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung harus membayar PBB bagi tiap jengkal sawah dan ladangnya yang berada diatas bukit terjal yang itupun mereka harus berjalan kaki selama 4 jam setiap harinya untuk dapat merawat sawah dan ladangnya itu. Entah kemana perginya nurani Sila Pertama Pancasila ketika seluruh Sajadah yang diletakkan di tiap rumah warga negara republik ini harus membayar PBB untuk tiap centimeter persegi sajadah tersebut. IRONIS, karena faktanya ternyata pembayaran PBB itu semua hanya untuk membayar kenikmatan kehidupan aparatur PTSMI serta fasilitas gagah-gagahan di kertas-kertas kapitalis prospektus bisnis PTSMI saat cuap-cuap di depan para rentenir-rentenir asing agar turut serta menambahi utang negara republik ini. Semuanya cuma numpang makan dari uang receh di saku kecil rakyat. #mungkin Pidato Presiden RI di depan kepala-kepala negara lain saat pembukaan Konfrensi Asia Afrika di atas ada baiknya ditambahkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 satu paragraf lagi jika Presiden RI akan ber-pidato di depan konfrensi rakyat kere di republik ini : “ We also feel the Indonesian injustice when a group of established Company are reluctant to recognize that the Indonesia has changed. The view that the Indonesia economic problems can only be solved by the World Bank, the PTSMI, and the PTIIF, is an very-very outdated view ”. (WNI, 28 Juni 2015) C.3.8. Bahwa utang luar negeri Republik Indonesia dibayarkan kepada para rentenir global melalui APBN RI, demikian juga dengan pembayaran utang luar negeri RI pada Loan Agreement utang negara untuk PTSMI. Sehingga menjadi jelas bahwa uang dari bermacam- macam Pajak yang dibayarkan oleh Pemohon dalam kehidupannya adalah uang yang digunakan APBN untuk membayar utang negara yang digunakan oleh PTSMI. C.3.9. Karenanya jika utang negara RI dilakukan dengan cara menginjak hukum, maka artinya Pemohon harus membayar untuk tindakan menginjak hukum tersebut. Dan jika Pemohon mendiamkan saja penginjakan hukum tersebut, maka secara langsung secara substantif dan normatif bahwa Pemohon artinya telah terlibat, menjadi bagian dan melindungi acara penginjakan hukum tersebut. C.3.10. Bahwa uang pembayaran pajak dari Pemohon itu juga digunakan untuk membayar operasional berjalannya pemerintahan republik ini. Karenanya jika utang negara RI dilakukan dan dibayarkan dengan cara menginjak- injak uang pembayaran pajak dari Pemohon yang niatnya agar pemerintahan republik ini dapat berjalan dengan baik, maka artinya Pemohon harus keluar uang untuk membayar suatu tindakan menginjak- injak pemerintahan republik ini dan/atau Pemohon menjadi terlibat menghancurkan sendiri pemerintahan republik ini. C.3.11. Tentu ini suatu hal yang sangat-sangat konyol, acara menginjak hukum yang dilakukan oleh orang lain tetap harus dibayar oleh Pemohon, bayangkan bahwa perbuatan hukum itu saja jelas jelas- jelas telah merugikan Pemohon secara langsung, dan konyolnya sudah dirugikan tetap saja Pemohon harus membayar untuk kerugian yang dialami karena acara penginjakan hukum yang dilakukan oleh orang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 lain itu, Pemohon sudah jatuh tertimpa tangga namanya, konyol jika Pemohon harus membayar untuk itu. Apapun alasannya, tentu ada yang salah dengan substansi normatif bernegara di republik ini jika Pemohon harus membayar untuk kerugian ber-warga negara itu, dan karena keanehan acara itulah maka sekarang ini Pemohon hanya dapat meminta perlindungan kepada Konstitusi republik ini, meminta perlindungan kepada Mahkamah Konstitusi. Semoga fakta-fakta dibawah ini dapat memperjelas KE-SPESIFIK-AN YANG PASTI AKAN TERJADI pada pos pengeluaran APBN republik ini: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 spesifik akan terjadi?! pasti terjadi pada anak cucu pemohon, anak cucu yang me angani-menghabiskan dan yang menikmati utang itu, anak cucu para penonton utang, anak cucu bagian cleaning service PTSMI, anak cucu pembantu rumah tangga pegawai Mahkamah Konstitusi, anak cucu Hakim Konstitusi, seluruh anak cucu republik ini. Dan sebagai pertimbangan Pemohon melampirkan tagihan utang dari World Bank kepada seluruh anak cucu Indonesia (terlampir sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 bukti P.23), semoga deretan daftar menu tagihan yang pasti akan terjadi itu dapat membuka mata hati kita semua agar jangan lagi “bermain-main” dengan nasib seluruh anak cucu rakyat Indonesia, janganlah lagi tergoda membebani generasi penerus republik ini dengan tagihan pembayaran utang psikopat itu. C.3.11. pinjaman negara yang dimanfaatkan untuk hal-hal yang produktif?! Sulit untuk menyebutkan yang mana utang yang dapat disebut utang yang produktif itu, karena faktanya menunjukkan bahwa setelah utang tersebut masuk ke Indonesia kemudian “diputar” dalam bentuk rupiah, kemudian menghasi lkan rupiah, tetapi pembayaran utang tersebut masih tetap dalam bentuk dollar (USD$), devaluasi kenaikan nilai tukar itu terus terjadi tiap penetapan APBN. Sulit menyebutkan jika ada utang yang produktif, karena faktanya devaluasi kenaikan nilai tukar dollar terhadap rupiah itu dalam kasus PTSMI ini saja hingga 30% (tiga puluh persen), tahun 2010 saat utang itu dimasukkan ke APBN dan diserahkan ke PTSMI dan diserahkan ke PTIIF, nilai satu dollar di APBN masih di angka Rp.9.000,00 (sembilan ribu rupiah) tetapi saat harus membayar utang itu nanti, APBNP 2015 saja harus mengeluarkan dana untuk membeli satu dollar senilai Rp.12.500,00 (dua belas ribu lima ratus rupiah), artinya “keuntungan” putaran utang negara di PTSMI dan PTIIF itu pasti telah habis “dimakan” oleh devaluasi nilai tukar dollar terhadap rupiah, itupun baru tahun 2015, bagaimana dengan tahun-tahun berikutnya ?!. Dan parahnya lagi, utang tersebut ternyata bukan digunakan dengan sekuat tenaga oleh PTSMI dan PTIIF, mereka hanya bertindak sebagai “investor” saja, karena faktanya duit utangan itu malah ditempatkan di perbankan sebagai simpanan alias deposito mereka, dan justru perbakan-lah yang memutar duit itu. Dan ketika duit itu masuk ke perbankan, duit itu dipinjamkan lagi ke rakyat dengan bunga membludak naik hingga 400% (dari 6% naik menjadi 24%), artinya saat rakyat ingin “mencicipi” duit utang itu, rakyat harus menanggung beban bunga utang itu hingga 5 kali lipat, membayar bunga utang 6% ke World Bank plus membayar bunga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 utang 24% ke perbankan. Bagaimana dengan PTSMI ?!, PTSMI menikmati selisih bunga deposito beban rakyat itu. Bukti L.7: # 90% duitnya di-deposito-kan di perbankan nasional ?!, 80% pendapatan dari penempatan di perbankan nasional ?! Bagaimana dengan PTIIF ?!, sama saja, duit utang itu juga dijadikan beban rakyat, dapat dilihat Laporan Tahunan 2013 - PTIIF (bukti P.7): Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 # 90% duitnya di-deposito-kan di perbankan ?! 80% pendapatan dari penempatan di perbankan nasional ?!. C.3.11. Kemudian bagaimana dengan hubungan antara utang negara yang disimpan disaku perbankan dan diputar oleh perbankan ?!, jangankan PTSMI dan PTIIF, Pusat Investasi Pemerintah (PIP) itu sendiri pernah diingatkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) tentang duit “ngetem” itu dalam Laporan BPK terkait Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja Atas Kegiatan Perencanaan Investasi Pemerintah Yang Dikelola Pusat Investasi Pemerintah Pada Kementerian Keuangan Tahun 2012 (terlampir sebagai bukti P.17): # Karenanya, jika ketentuan pasal a quo tetap diberlakukan, maka sepertinya Pemohon telah didudukkan secara langsung di meja judi para rentenir penambah beban rakyat. # Fakta-fakta lainnya terkail permainan “petak umpet” ala PTSMI-PTIIF Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 C.4. POTENSI KERUGIAN KEDEPAN C.4.1. Bahwa rencana penyerahan asset PIP kepada PTSMI ketentuan Pasal a quo adalah rencana yang prematur, terburu-buru dan tanpa perencanaan yang matang, persis sama seperti saat perencanaan utang dari ADB untuk PTIIF dan PTSMI pada 10 tahun yang lalu, karena faktanya utang itu sendiri adalah asal tandatangan saja (bukti P.14): Pinjaman IIFF ini belum efektif karena masih terdapat beberapa persyaratan pengefektifan yang belum terpenuhi yakni: a) Belum diperolehnya izin usaha PT IIF; b) Belum diperolehnya persetujuan Menteri Hukum dan HAM atas akta pendirian PT IIF; c) Belum ditunjuknya CEO dan CFO PT IIF; d) Belum ditunjuknya enviromental and social staff ; e) Manual operasi PT IIF belum berlaku. # belum terpenuhi semua ?! asal tandatangan saja, teknis-nya NOL BESAR !! C.4.2. Terkait dengan rencana “mendadak 20 triliun” sebagaimana ketentuan pasal a quo , Pemohon melampirkan satu kajian tentang “isi perut” terkait skenario teknis trio Kemenkeu-PIP-PTSMI (terlampir sebagai bukti P.18), dan kajian itu sendiri menyimpulkan bahwa: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 C.4.3. Kemudian ada juga Laporan BPK terkait Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja Atas Kegiatan Perencanaan Investasi Pemerintah Yang Dikelola Pusat Investasi Pemerintah Pada Kementerian Keuangan Tahun 2012 juga memberikan berbagai rekomendasi “penyempurnaan” PIP, tetapi tidak ada satupun rekomendasi itu yang mengarahkan untuk menyerahkan duit rakyat yang ada di PIP itu kepada PTSMI, padahal saat pemeriksaan itu berlangsung sebenarnya PTSMI telah beroperasi, dan jika itu memang dipandang oleh BPK perlu menyerahkan duit itu kepada PTSMI, maka tentu BPK telah merekomendasikannya. C.4.4. Dan secara khusus BPK belum pernah memeriksa PTSMI, karenanya upaya untuk menyerahkan duit PIP kepada PTSMI tersebut jelas prematur dan terburu -buru. C.4.5. Karenanya jika ketentuan pasal a quo diberlakukan, maka Pemohon jelas ngeri- ngeri tidak sedap karena “keremang-remangan” pengelolaan yang ada, jangankan duit PTSMI yang “remang-remang” pengelolaannya karena merupakan kekayaan negara yang dipisahkan, duit rakyat di PIP yang jelas-jelas itu saja masih tetap “remang-remang” pengelolaannya. Mengerikan jika duit rakyat diletakkan sebagai taruhan di meja judi rentenir global. C.4.6. Fakta juga menunjukkan bahwa sebenarnya PTSMI selama beroperasinya telah terlibat secara aktif dalam bisnis “perdagangan air”, bisnis yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konsitusi (melalui Putusan Nomor85/PUU-XI/3013 perihal pengujian UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air) sebagai bisnis yang Inkonstitusional alias bisnis yang tidak Pancasilais. Bahwa PTSMI terlibat secara aktif Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 dalam bisnis tersebut sebagai “aktor utama” dalam Proyek SPAM Umbulan Jawa Timur (terlampir sebagai bukti P.19): C.4.7. Selain itu proses penetapan “acara mendadak 20 Triliun” untuk PTSMI sebagaimana ketentuan pasal a quo itu jelas nampak prematur, mendadak muncul begitu saja pada awal tahun 2015, kemudian diajukan oleh Menkeu ke DPR RI dan kemudian ditetapkan sebagai Pasal a quo. Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi XI DPR RI dengan Kemenkeu pada 5 Februari 2015 (terlampir sebagai bukti P.20) memutuskan meminta bebarapa syarat kepada Kemenkeu dan PTSMI. Tanggal 10 Februari 2015 PTSMI menyampaikan jawaban kepada Komisi XI DPR RI (terlampir sebagai bukti P.21), sebuah jawaban sebanyak 6 lembar kertas kuarto. Dan tanggal 6 Maret 2015 ditetapkan-lah Pasal 23A APBNP 2015. Hanya dalam waktu 1 bulan pasca RDP terakhir itu ternyata “mampu” melewati berbagai proses, dari mulai proses harmonisasi dengan Komisi VI DPR RI sebagai mitra Kemen BUMN, pembahasan dan penetapan di Badan Anggaran DPR RI hingga pembahasan dan penetapan di Badan Legislasi DPR RI. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 Sebuah kecepatan yang sempurna, cukup satu bulan, 20 Triliun untuk PTSMI, cukup 6 lembar kertas jawaban, 20 Triliun kekayaan negara berubah menjadi kekayaan yang dipisahkan. Karenanya wajar jika Pemohon menjadi su’udzon dan semakin ngeri-ngeri tak sedap dengan “acara mendadak 20 Triliun” untuk PTSMI itu, jangan-jangan ini penyelundupan anggaran, penyelundupan yang resmi terhadap APBNP 2015. C.4.8. Dan yang lebih menariknya lagi, tanggal 14-15 Mei 2015 di Gorontalo, Menkeu dan sdr. Fadel M. sebagai Ketua Komisi XI DPR RI (Fadel M. adalah anggota DPR RI dari daerah pemilihan Gorontalo) mulai mengenalkan “acara mendadak 20 triliun” untuk PTSMI itu, Menkeu kunker sekaligus menyampaikan janji-janji indah untuk Gorontalo, didampingi wakil rakyat Gorontalo: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 C.4.9. Akan menjadi mengerikan bagi Pemohon jika ternyata benar bahwa proses munculnya hingga ditetapkannya pasal a quo adalah sebuah proses transaksional. Jika memang itu yang terjadi, maka Pemohon jelas akan kehilangan kesempatan ikut “mencicipi” duit 20 Triliun untuk PTSMI itu karena wakil rakyat Pemohon di DPR RI (dari daerah pemilihan Kabupaten Bandung) bukanlah Ketua Komisi XI DPR RI, bahkan Pemohon tidak memiliki wakil rakyat di Komisi XI DPR RI. C.4.10. Karenanya ini jelas kejahatan HAM berat, diskriminasi bagi penikmat 20 Triliun, INKONSTITUSIONAL !! karena UUD 1945 jelas-jelas telah menegaskan bahwa Pemohon yang warga Kabupaten Bandung (walaupun bukan anggota apalagi Ketua Komisi XI DPR RI) tetap bersamaan kedudukannya dengan warga Gorontalo di dalam hukum dan pemerintahan untuk ikut mencicipi duit 20 Triliun itu. C.4.11. Inilah urgensi Pemohonan ini, Negara Indonesia adalah negara hukum. C.4.12. Bahwa sejak kecil Pemohon telah diajarkan oleh keluarga, lingkungan dan sekolah untuk mematuhi hukum dan jangan pernah menginjak hukum dan/atau bekerjasama dalam acara menginjak hukum. Dan secara normatif bahwa Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah secara tegas menyebutkan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. C.4.13. Bahwa UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi di RI dan pondasi dalam pedoman utama kelangsungan hidup bangsa ini telah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 mewajibkan Pemohon untuk menjujung tinggi hukum RI. Bahwa UUD 1945 yang tidak terlepas dari Pembukaan UUD 1945 adalah merupakan wujud dari tujuan dan tegaknya harga diri serta kedaulatan bangsa ini. Dengan kata lain, acara menginjak hukum adalah perbuatan meruntuhkan harga diri dan kehormatan bangsa ini, sekaligus menghancurkan kedaulatan bangsa ini. C.4.13a. Bahwa PT. SMI adalah perusahaan yang berbadan hukum Republik Indonesia, dan aparatur pengelola PT. SMI adalah Warga Negara Indonesia. C.4.13b. Bahwa jika fakta-fakta konkret menunjukkan bahwa pengelolaan PT. SMI dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan hukum, maka itu artinya bertentangan dengan norma Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. C.4.13c. Bahwa jika fakta-fakta konkret menunjukkan bahwa aparatur PT. SMI melakukan pengelolaan dengan cara yang bertentangan dengan hukum, maka itu artinya bertentangan dengan norma Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. C.4.13d. Bahwa jika fakta-fakta konkret diatas terpenuhi, maka secara langsung artinya norma pada Pasal 23A UU 3/2015 tersebut bertentangan dengan norma- norma pada batu uji [Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945]. C.4.13e. Karenanya Pemohon membutuhkan tafsiran, kepastian dan keadilan hukum terhadap aplikasi konkret dari norma-norma batu uji tersebut dari Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penegakan hukum dan keadilan, pengawal konstitusi Republik Indonesia. C.4.13f. Selain tafsiran, kepastian dan keadilan hukum terhadap aplikasi konkret dari norma-norma batu uji tersebut hal ini diharapkan pula dapat menjadi dasar untuk mengurangi polemik ketidakkonsistenan dan ketidakkomprehensifan pengelolaan republik ini, misalnya polemik lembaga negara manakah yang sebenarnya lebih berwenang untuk memberikan penyuluhan tentang konstitusi, apakah lembaga Mahkamah Konstitusi ataukah MPR RI ?, apakah substansi dan aplikasi konkret “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara” berbeda dengan “Empat Pilar MPR RI” ?, apakah program “Sosialisasi Empat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 Pilar MPR RI” perlu dikeluarkan dari DIPA APBN MPR RI ?. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 C.4.14a. Bahwa PT. SMI adalah perusahaan yang berbadan hukum Republik Indonesia, dan aparatur pengelola PT. SMI adalah warga negara Indonesia. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 C.4.13b. Bahwa jika fakta-fakta konkret menunjukkan bahwa pengelolaan PT. SMI dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan hukum, maka itu artinya bertentangan dengan norma Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. C.4.13c. Bahwa jika fakta-fakta konkret menunjukkan bahwa aparatur PT. SMI melakukan pengelolaan dengan cara yang bertentangan dengan hukum, maka itu artinya bertentangan dengan norma Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. C.4.13d. Bahwa jika fakta-fakta konkret diatas terpenuhi, maka secara langsung artinya norma pada Pasal 23A UU 3/2015 tersebut bertentangan dengan normanorma pada batu uji [Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945]. C.4.13e. Karenanya Pemohon membutuhkan tafsiran, kepastian dan keadilan hukum terhadap aplikasi konkret dari norma-norma batu uji tersebut dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai lembaga penegakan hukum dan keadilan, pengawal konstitusi Republik Indonesia. C.4.13f. Selain tafsiran, kepastian dan keadilan hukum terhadap aplikasi konkret dari norma-norma batu uji tersebut hal ini diharapkan pula dapat menjadi dasar untuk mengurangi polemik ketidakkonsistenan dan ketidakkomprehensifan pengelolaan republik ini, misalnya polemik lembaga negara manakah yang sebenarnya lebih berwenang untuk memberikan penyuluhan tentang konstitusi, apakah lembaga Mahkamah Konstitusi ataukah MPR RI ?, apakah substansi dan aplikasi konkret “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara” berbeda dengan “Empat Pilar MPR RI” ?, apakah program “Sosialisasi Empat Pilar MPR RI” perlu dikeluarkan dari DIPA APBN MPR RI ?. (gambar termuat dalam permohonan) C.4.14. Bahwa konspirasi penginjakan hukum yang telah dilakukan secara SISTEMATIK, TERENCANA dan MASSIF yang telah dilakukan oleh World Bank , Kemenkeu, PTSMI dan PTIIF dengan menjadikan PTSMI sebagai eksekutor langsung dari penginjakan hukum itu adalah perbuatan yang melecehkan dan merusak tatanan hukum dan kedaulatan bangsa ini, infiltrasi asing terhadap bangsa ini, penjajahan terselubung. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 C.4.15. Bahwa harga diri, kehormatan bangsa dan kedaulatan serta kewajiban menjunjung tinggi hukum bagi bangsa ini tidaklah dapat dinilai dengan materi “remeh temeh”. Harga diri, kehormatan dan kedaulatan adalah harta benda milik diri yang paling berharga di muka bumi ini. Dan rakyat RI sendiri sebenarnya pernah merasakan beratnya konsekuensi tersebut. RI diwajibkan Pengadilan Amerika Serikat untuk membayar ganti rugi lebih dari Rp.2,8 triliun kepada Karaha Bodas Company LLC yang berbadan hukum Cayman Islands, tetapi sahamnnya dimiliki Caithness Energy, Florida Power & Light dan Tomen Corp berbadan hukum US. Dari perkara Karaha Bodas Company ini menunjukkan bahwa Hakim-hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat ternyata sangat menghargai dan memuliakan warga negaranya, siapapun yang merugikan warga negaranya pasti akan mereka hukum. Warga negara Amerika yang merasakan dirugikan oleh siapapun juga dimuka bumi ini dipersilahkan menuntut keadilan, dan putusan mereka tidak akan terpengaruh oleh apapun juga. Kemuliaan bagi tiap sen dollar pajak, cukai, materai dan retribusi yang telah dibayarkan oleh warga negara Amerika untuk menghidupi aparatur hukum mereka, peradilan, hakim dan mahkamah agung mereka. Bahwa ganti rugi yang wajib dibayarkan RI dalam perkara KBC tersebut artinya pembayaran itu (melalui institusi apapun yang membayarnya, misalnya Pertamina) tetaplah artinya Pemohon juga yang membayarnya, membayar harga diri, kehormatan dan kedaulatan karena terlanjur di-putuskan-kan sebagai bangsa yang tidak taat hukum. C.4.16. Bahwa tahun 2013 hingga hari ini Churchill Mining PLC (Churchill) yang berbadan hukum Inggris sedang berperkara di pengadilan ICSID- arbitrase internasional, Churchill menuntut RI mengganti rugi sebesar Rp.15 triliun. Dan jika dikabulkan itu artinya yang membayarnya nanti jelas adalah Pemohon juga. Entah mengapa begitu luar biasanya orang-orang asing dimuliakan dimeja mahkamah peradilan mereka, peradilan penuh kemuliaan, penghargaan atas harga diri dan kehormatan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 Dan menariknya dalam perkara Churchill dan tuntutan ganti rugi 12 triliun-nya tersebut, sebenarnya Churchill bukanlah hanya sedang mengadili atau memperkarakan sejenis perkara sengketa bisnis atau dunia per-saudagar-an saja, karena sebenarnya perkara itu sendiri telah diputuskan oleh Mahkamah Agung RI. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 Sederhananya, Churchill di ICSID sebenarnya sedang menuntut Pengadilan Negeri Kalimatan Timur, Pengadilan Tinggi TUN-Jakarta dan Mahkamah Agung RI. CHURCHILL SEDANG MENUNTUT HUKUM DI INDONESIA. Pengadilan Indonesia sedang diadili di pengadilan ICSID yang berada dalam yuridiksi negara Singapura. Ini fakta bahwa sebenarnya Putusan MAHKAMAH AGUNG RI SEDANG DIADILI DI PERADILAN WORLD BANK. Hubungan antara World Bank-ICSID-IBRD-IFC adalah sebagaimana yang disampaikan mister Roberto Dañino Zapata ( Secretary General of ICSID and Senior Vice President and General Counsel of the World Bank ) dalam acara First Annual Conference “Interpretation Under The Vienna Convention On The Law of Treaties ”, di London pada 17 January 2006: “ As you know, the expression “World Bank Group” is short-hand for five international organizations: The International Bank for Reconstruction and Development (IBRD),the International Development Association (IDA), International Finance Corporation (IFC), the Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA), Finally, the International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID). the four financial institutions of the World Bank Group are headed by the same President while, in the ICSID, the General Counsel of IBRD hastraditionally been elected by the Administrative Council to serve as theSecretary General of ICSID. the personnelworking for ICSID is in its entirety employed by IBRD, though assigned toICSID ”. Sederhananya bahwa Sekjen IBRD adalah Sekjen ICSID, Karyawan IBRD adalah juga karyawan ICSID. Dalam kasus Churchill di ICSID artinya Putusan Pengadilan Kalimatan Timur, Putusan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta dan Putusan Mahkamah Agung RI sedang diadili oleh World Bank. HUKUM INDONESIA SEDANG DIADILI OLEH PERADILAN WORLD BANK GROUP. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 Apapun pendapat hakim pengadilan dan MAHKAMAH AGUNG RI, pakar hukum dan ahli penghalus bahasa, tetapi FAKTANYA bahwa disaat warga Indonesia telah dibodohi oleh World Bank, disaat itu juga institusi Pengadilan di Indonesia sebenarnya sama saja nasibnya, sedang diadili di peradilan World Bank , sedang dikerjain World Bank , # Arghhh!! : @!?<”<>%$%j; ; d#^4o$?!! C.4.17. Sebagai catatan akhir fakta (terlampir sebagai bukti P-22) menunjukkan: KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 40/KMK.01/2010 TENTANG RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN KEUANGAN TAHUN 2010-2014 PROGRAM 100 HARI Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 DIREKTORAL JENDERAL KEKAYAAN NEGARA Fakta menunjukkan bahwa memang Loan Agreement itu memang dimaksudkan untuk PTIIF, sebuah perusahaan swasta, perusahaan yang mayoritas sahamnya milik asing, seluruh anak cucu Indonesia menanggung utang mereka. Dan yang pasti semoga saat pendirian PT. Sarana Multi Infrastruktur yang kemudian biasa disingkat disingkat PT. SMI sebenarnya bukanlah singkatan yang sama dengan Menkeu itu sendiri : Sri Mulyani Indrawati alias SMI, yang “kebetulan” saat ini menjadi pembesar di World Bank . Semoga PTSMI bukanlah berhala- pemberhalaan aparat Kemenkeu kepada mantan menterinya. D. PETITUM Berdasarkan alasan-alasan yang telah disampaikan diatas, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar memeriksa, mengadili dan memutuskan permohonan a quo dengan amar:
Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Menyatakan Pasal 23A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015 adalah bertentangan bertentangan dengan UUD 1945.
Menyatakan Pasal 23A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-23 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015;
Bukti P-3 : Fotokopi Loan Agreement-Loan Number 7731-ID;
Bukti P-4 : Fotokopi Project Agreement Loan Number 7731-ID;
Bukti P-5 : Fotokopi Laporan Tahunan PT. SMI Tahun 2009;
Bukti P-6 : Fotokopi Laporan Tahunan PT. SMI Tahun 2010;
Bukti P-7 : Fotokopi Laporan Tahunan PT. IIF Tahun 2013;
Bukti P-8 : Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Bukti P-9 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara Dan Perseroan Terbatas;
Bukti P-10 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Dan/Atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman Dan/Atau Hibah Luar Negeri;
Bukti P-11 : Fotokopi Report Nomor AB4691: Private Infrastructure Financing & Support Facility Project - Appraisal Stage;
Bukti P-12 : Fotokopi Report Nomor AB4696: Private Infrastructure Financing & Support Facility Project - Concept Stage;
Bukti P-13 : Fotokopi Asian Development Bank (ADB) ^* Proposed Loan and Equity Investment Republic of Indonesia: Indonesian Infrastructure Financing Facility Company Project;
Bukti P-14 : Fotokopi Kemenkeu: Laporan Pinjaman Pemerintah Tahun 2010;
Bukti P-15 : Fotokopi Report Nomor AC4407: Private Infrastructure Financing & Support Facility Project - Integrated Safeguards Data Sheet - Concept Stage ;
Bukti P-16 : Fotokopi APBNP 2015 : Penerimaan Perpajakan;
Bukti P-17 : Fotokopi BPK RI, Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja Atas Kegiatan Perencanaan Investasi Pemerintah Yang Dikelola Pusat Investasi Pemerintah Pada Kementerian Keuangan Tahun 2012;
Bukti P-18 : Fotokopi Novijan Janis (Kepala Subbidang Risiko Ekonomi Keuangan, dan Sosial pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal): Kajian Analisis Atas Penyempurnaan Model Bisnis Project Development Facility di Kementerian Keuangan, 2013;
Bukti P-19 : Fotokopi Panitia Lelang Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Sistem Penyediaan Air Minum (Kps Spam) Umbulan, Ringkasan Eksekutif Pra-Studi Kelayakan (Memorandum Informasi): Proyek Kerjasama Pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 Swasta Sistem Penyediaan Air Minum (Kps-Spam) Umbulan, 2012;
Bukti P-20 : Fotokopi Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XI DPR RI dengan Kemenkeu, 5 Februari 2015;
Bukti P-21 : Fotokopi Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XI DPR RI dengan PT.SMI: 10 Februari 2015;
Bukti P-22 : Fotokopi Keputusan Menteri Keuangan Nomor 40/KMK.01/20 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2010–2014;
Bukti P-23 : Fotokopi Daftar Tagihan Utang World Bank kepada Republik Indonesia; [2.3] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 [3.2] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang, in casu pengujian Pasal 23A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015, Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5669, selanjutnya disebut UU APBN- P 2015) terhadap UUD 1945. Dengan demikian, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo . Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat;
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukan atau kualifikasinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dalam kedudukan atau kualifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf a yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.4] Menimbang pula bahwa berkenaan dengan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional, Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa dalam permohonan a quo, Pemohon menjelaskan kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai berikut:
Bahwa Pemohon adalah organisasi kepemudaan Mahasiswa Pancasila (MAPANCAS) Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten Bandung yang telah mendapatkan surat tugas khusus dari Dewan Pimpinan Daerah MAPANCAS Jawa Barat dan diketahui Dewan Pimpinan Pusat MAPANCAS;
Bahwa Pemohon mendalilkan memiliki hak konstitusional yang diberikan UUD 1945. Menurut Pemohon hak konstitusionalnya tersebut telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 23A UU APBN-P 2015 sebagaimana diuraikan di atas, dengan alasan yang pada pokoknya:
Bahwa Pemohon memiliki kewajiban konstitusional untuk menjunjung hukum, dan jika ada ketentuan yang menginjak hukum diberlakukan, maka kewajiban konstitusional Pemohon secara langsung akan dirugikan, karena kewajiban itu menuntut paksaan dan sanksi moril kepada Pemohon jika ikut dan/atau turut serta mendiamkan dan membiarkan pelanggaran hukum itu terjadi dan terus berlangsung;
Undang-Undang a quo adalah tentang APBN yang menyangkut kepentingan seluruh warga negara Republik Indonesia maka karenanya Pemohon memiliki kepentingan konstitusional secara langsung terhadap pengujian Undang-Undang a quo ; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 c. Bahwa Pasal 23A Undang-Undang a quo terkait secara langsung dengan keberadaan dan/atau penampakan PT. Sarana Multi Infrastruktur (selanjutnya disebut PTSMI) yang menurut Pemohon telah menginjak hukum Republik Indonesia. PTSMI telah melakukan konspirasi kejahatan korporat yang sistematik, terencana, dan masif terhadap seluruh warga negara Republik Indonesia dengan menggunakan utang luar negeri Republik Indonesia untuk kepentingan bisnis sebuah perusahaan swasta (PT. Indonesia Infrastructure Finance, selanjutnya disingkat PTIIF) yang jelas-jelas mayoritas sahamnya dimiliki oleh institusi-institusi asing. Dengan kata lain, bahwa PTSMI telah menggunakan utang luar negeri Republik Indonesia untuk kepentingan bisnis institusi-institusi asing di republik ini;
Bahwa jika pasal a quo diberlakukan, maka PTSMI akan menjadi entitas/institusi yang akan menjadi penerima pertama manfaat ekonomi sekaligus penikmat hasil pertama dari ketentuan a quo ;
Bahwa jika pasal a quo diberlakukan, maka jelas Pemohon dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan karena itu akan memberi ruang bagi PTSMI untuk melakukan penginjakan hukum selanjutnya yang lebih dahsyat lagi di republik ini, penginjakan hukum demi kepentingan bisnis institusi- institusi asing;
Bahwa desain bisnis PTSMI berpotensi menjadi praktik bisnis yang tidak Pancasilais dan/atau tidak konstitusional, yang jelas-jelas telah dilarang oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 85/PUU- XI/2013;
Bahwa pemberlakuan pasal a quo adalah kerugian konstitusional seluruh warga negara Indonesia, termasuk Pemohon dan jika ketentuan tersebut tidak diberlakukan maka kerugian konstitusional seluruh warga negara Indonesia (paling tidak kerugian konstitusional Pemohon) tidak akan terjadi lagi, minimal akan sedikit berkurang kerugian konstitusional tersebut; [3.6] Menimbang bahwa berdasarkan syarat-syarat sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.3] dan paragraf [3.4] serta dihubungkan dengan dalil Pemohon Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 sebagaimana dijelaskan pada paragraf [3.5] di atas , Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa Pemohon, sebagai organisasi kepemudaan, yaitu MAPANCAS, dalam hal ini secara spesifik MAPANCAS Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten Bandung, mendalilkan dirinya sebagai badan hukum privat. Namun demikian, bukti-bukti yang diajukan Pemohon sama sekali tidak ada hubungan dan tidak menjelaskan keberadaan Pemohon sebagaimana didalilkan yaitu sebagai badan hukum melainkan bukti-bukti yang menerangkan keberadaan Pemohon sebagai organisasi kepemudaan;
Bahwa pada sidang pemeriksaan pendahuluan tanggal 18 Agustus 2015, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada Pemohon yang intinya mengingatkan bahwa organisasi kepemudaan bukanlah badan hukum privat. Lagi pula, kerugian sebagaimana diterangkan Pemohon dalam permohonannya bukanlah kerugian hak konstitusional badan hukum privat dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan badan hukum privat. Oleh karenanya Panel Hakim menasihatkan agar Pemohon memperbaiki permohonannya, khususnya mengenai uraian perihal kedudukan hukum ( legal standing ) agar disesuaikan dengan kualifikasi Pemohon, dalam hal ini sebagai organisasi kepemudaan, sehingga uraian perihal kerugian hak konstitusional Pemohon pun harus disesuaikan relevansinya dengan kualifikasi Pemohon sebagai organisasi kepemudaan dimaksud, setidak- tidaknya dengan memberikan penjelasan yang merujuk pada ketentuan dalam Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga-nya yang dapat menggambarkan adanya kerugian hak konstitusional sebagaimana yang didalilkan;
Bahwa Pemohon dalam perbaikan permohonannya, yang diterima dalam persidangan Mahkamah tanggal 31 Agustus 2015, dan diperiksa dalam sidang perbaikan permohonan pada tanggal 31 Agustus 2015, Pemohon tidak lagi mendalilkan dirinya sebagai badan hukum privat melainkan sebagai organisasi kepemudaan. Namun demikian, dalam perbaikan permohonan dimaksud, Mahkamah tidak menemukan sama sekali uraian yang dapat membawa Mahkamah pada pendapat bahwa setidak-tidaknya terdapat korelasi antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 kualifikasi Pemohon sebagai organisasi kepemudaan melainkan hanya tambahan uraian yang menerangkan bahwa Pemohon (MAPANCAS) telah terdaftar di Kementerian Dalam Negeri Nomor 258/D.III.2/V/2010 dan penjelasan bahwa Pemohon ( in casu MAPANCAS Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten Bandung) telah mendapatkan “Surat Tugas” dari Dewan Pimpinan Daerah MAPANCAS Jawa Barat yang diketahui oleh Dewan Pimpinan Pusat MAPANCAS untuk mengajukan permohonan a quo . Dengan tambahan uraian demikian, Pemohon kemudian mendalilkan dirinya telah memenuhi syarat kedudukan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK (vide Perbaikan Permohonan, halaman 2);
Bahwa karena tidak jelasnya uraian perihal kedudukan hukum Pemohon sebagaimana diuraikan pada angka 3) di atas, padahal prima facie Mahkamah menganggap permohonan ini cukup penting, Mahkamah mencoba mencari kaitan antara kedudukan hukum Pemohon dengan kerugian hak konstitusional Pemohon dalam alasan-alasan permohonan dengan maksud agar permohonan a quo memenuhi syarat untuk dilanjutkan pemeriksaannya ke tahapan pemeriksaan persidangan. Namun demikian, ternyata Pemohon dalam alasan-alasan permohonannya justru menerangkan dalil-dalil berkenaan dengan praktik yang dikatakan telah dilakukan oleh PT. Sarana Multi Infrastruktur. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan a quo sesungguhnya bukanlah pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang melainkan persoalan penerapan norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.7] Menimbang, oleh karena telah nyata bagi Mahkamah bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan a quo sehingga Mahkamah tidak perlu memeriksa pokok permohonan maka dengan berdasar pada Pasal 54 UU MK, tidak ada urgensinya bagi Mahkamah untuk mendengar keterangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan tidak dipertimbangkan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076).
AMAR PUTUSAN Mengadili , Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Patrialis Akbar, Aswanto, Manahan M.P Sitompul, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal satu, bulan September, tahun dua ribu lima belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh, bulan Oktober, tahun dua ribu lima belas , selesai diucapkan pukul 15.43 WIB , oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Patrialis Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 Akbar, Aswanto, dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Syukri Asy’ari sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan tanpa dihadiri oleh Pemohon. KETUA, ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Maria Farida Indrati ttd. Wahiduddin Adams ttd. Patrialis Akbar ttd. Aswanto ttd. Manahan M.P Sitompul PANITERA PENGGANTI, ttd. Syukri Asy’ari Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ...
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran. ...