Pengujian UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1993 tentang Pajak Penghasilan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasl kepada anggota koperasl orang pribadi;
Penghasilan berupa hadiah undian;
Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksl derivatlf yang dlperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengallhan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
Penghasilan dari transaksi pengallhan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah." bersifat multitafsir, tidak menjamin hak konstitusional Pemohon atas pengakuan jaminan periindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, menurut Pemerintah tidak berdasar sama sekali karena Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh bertujuan untuk memberikan ruang bagi Pemerintah guna mengantisipasi transaksi bisnis yang terus berkembang, sehingga pengaturannya dapat bersifat fleksibel dan dinamis, agar dapat mengikuti perkembangan yang ada; Namun demikian, sifat fleksibel dan dinamis yang diberikan kepada Pemerintah bukan tanpa batas, karena untuk memberikan jaminan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 20 www.mahkamahkonstitusi.go.id periindungan dan kepastian.hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, Pemerintah dalam mengatur pengenaan pajak atas penghasilan tertentu lainnya harus mempertimbangkan hal-hal antara lain sebagai berikut:
Perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat;
Kesederhanaan dalam pemungutan;
Berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak;
Pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
Memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Dengan demikian ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh telah memberikan jaminan periindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Terkait dengan dalil Pemohon bahwa Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh tidak menjamin hak konstitusional Pemohon untuk mengembangkan diri melalui kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia berdasarkan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, karena dianggap telah menghalangi Pemohon menghitung sendiri pajaknya dengan benar sebagaimana pemahaman dan pengetahuan Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa saiah satu pertimbangan dalam pengaturan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh adalah demi kesederhanaan dalam pemungutan pajak yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman Wajib Pajak dalam menghitung pajaknya sendiri (self assesment), sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku; Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, pengaturan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh telah menjamin pengembangan diri melalui kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 21 www.mahkamahkonstitusi.go.id 10. Pemohon dalam permohonannya mendalilkan bahwa Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh tidak menjamin Pemohon untuk mendapatkan periindungan dan pemeliharaan Negara atas ketidakmampuan berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Terkait dengan dalil Pemohon di atas, Pemerintah berpendapat bahwa fungsi utama pajak adalah menghimpun dana dari rakyat untuk pembiayaan kegiatan pemerintah, baik pembiayaan rutin maupun pembiayaan pembangunan. Dana yang diambil dari rakyat akan dikembalikan kepada rakyat melalui pengeluaran pemerintah yang diantaranya untuk membantu rakyat agarterentas dari kemiskinan. Dengan demikian sangatlah jelas bahwa pajak yang dibayarkan rakyat digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dan pengaturan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh telah menjamin periindungan dan pemeliharaan negara atas ketidakmampuan sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. IV. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard );
Menyatakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 22 www.mahkamahkonstitusi.go.id [2.4] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 23 Oktober 2014, Dewan Perwakilan Rakyat tidak hadir dalam persidangan dan tidak menyampaikan keterangan baik lisan maupun tertulis; [2.5] Menimbang bahwa Pemohon menyampaikan kesimpulan tertulis tanpa tanggal, bulan dan tahun, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 30 Oktober 2014 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah memohon pengujian konstitusionalitas Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893, selanjutnya disebut Undang-Undang PPh) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal berikut:
kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan _a quo; _ b. kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon; Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 23 www.mahkamahkonstitusi.go.id 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), __ dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian konstitusionalitas Undang-Undang PPh terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang- Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 24 www.mahkamahkonstitusi.go.id September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum ( legal standing) para Pemohon sesuai dengan uraian Pemohon dalam permohonannya dan bukti-bukti yang diajukan;
Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk Nomor 3671061902850001 (vide bukti P-6) yang bekerja sebagai karyawan swasta dan membuka usaha isi ulang pulsa yang dijalankan oleh istri Pemohon;
Menurut Pemohon dengan telah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, yang sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang PPh berpotensi dan/atau bersifat multitafsir dan telah nyata-nyata mengaktualkan pengurangan hak konstitusional Pemohon;
Menurut Pemohon di dalam Undang-Undang PPh in casu Pasal 4 ayat (2) huruf e tidak ada penjelasan, tolak ukur, serta maksud dari penghasilan tertentu lainnya. Apabila tolak ukurnya adalah jumlah penghasilan yang didapat tanpa melihat cara memperoleh penghasilan tersebut maka akan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 25 www.mahkamahkonstitusi.go.id berbenturan antara aturan yang satu dengan aturan lainnya. Sebagai contoh bahwa untuk mendapatkan kejelasan mengenai maksud penghasilan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh, Pemohon telah menelpon dua kali kepada petugas pajak yang berbeda di 500200 (kring pajak), namun kedua petugas pajak tersebut memberikan penjelasan yang berbeda-beda, yang pada pokoknya menyatakan bahwa petugas pertama memberikan penjelasan apabila usaha Pemohon isi ulang pulsa rugi maka Pemohon masih harus menanggung beban pajak sedangkan petugas kedua memberikan penjelasan bahwa apabila wajib pajak/Badan yang menyelenggarakan pembukuan (Pemohon) rugi maka nihil (dibebaskan dari pajak);
Berdasarkan hal tersebut, menurut Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945; [3.8] Menimbang bahwa berdasarkan dalil Pemohon tersebut dikaitkan dengan Pasal 51 ayat (1) UU MK, serta putusan Mahkamah sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian Pemohon dan berlakunya Undang-Undang a quo. Kerugian konstitusional Pemohon tersebut bersifat aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan adanya kemungkinan dengan dikabulkannya permohonan kerugian konstitusional Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi. Berdasarkan penilaian dan pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian permohonan a quo ; [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) __ untuk mengajukan permohonan a quo maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.10] Menimbang bahwa Pemohon dalam pokok permohonannya mengajukan pengujian konstitusionalitas Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh yang menyatakan, _“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 26 www.mahkamahkonstitusi.go.id _a. ... dst; _ e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah”. Menurut Pemohon pasal dalam Undang-Undang a quo dianggap bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, dengan alasan sebagai berikut:
Pasal dalam Undang-Undang a quo telah mengkerdilkan Pemohon dengan menciptakan diktator (dictatuur) yang bernama penghasilan tertentu lainnya adalah dasar pengenaan pajak adalah penghasilan bruto tiap bulan sehingga semakin menyulitkan dan menyusahkan Pemohon untuk mengembangkan diri melalui [ sic! ] kebutuhan dasarnya karena tidak adanya kepastian dan tidak adanya perlindungan negara;
Pasal dalam Undang-Undang a quo telah memberikan kebebasan tanpa batas kepada pemerintah karena tidak adanya penjelasan tentang batasan serta pengertian penghasilan lainnya sehingga memberikan ketidakpastian dan memberikan kesempatan yang tidak sama di hadapan hukum kepada Pemohon;
Pasal dalam Undang-Undang a quo yang memberikan amanah kepada pemerintah untuk membentuk peraturan pemerintah telah menghilangkan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya. Hal tersebut terbukti dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 sebagai amanah dari Undang-Undang PPh telah bersifat multitafsir dan menimbulkan hasil yang berbeda atas hal yang sama yakni perlakuan perpajakan bagi warga negara yang mengalami kerugian usaha, khususnya terhadap Pemohon; [3.11] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-10, tanpa mengajukan saksi ataupun ahli; [3.12] Menimbang bahwa DPR pada persidangan tanggal 23 Oktober 2014 tidak hadir dalam persidangan serta tidak pula menyampaikan keterangan tertulis kepada Mahkamah; __ [3.13] Menimbang bahwa Presiden dalam persidangan tanggal 23 Oktober 2014 telah menyampaikan keterangan lisan dan keterangan tertulis bertanggal 23 Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 27 www.mahkamahkonstitusi.go.id Oktober 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 30 Oktober 2014 yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut: __ • Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan wajib pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan; • Pemungutan pajak didasarkan atas pendekatan "benefit approach" atau pendekatan manfaat. Pendekatan ini merupakan dasar fundamental atas dasar filosofis yang membenarkan negara melakukan pemungutan pajak sebagai yang dapat dipaksakan dalam arti mempunyai wewenang dengan kekuatan pemaksa; • Pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon memiliki substansi yang sama dengan permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 128/PUU-VII/2009, bertanggal 11 Maret 2010, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi a quo dapat dijadikan pertimbangan dalam permohonan Pemohon a quo ; • Pendelegasian wewenang oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yakni Presiden, Menteri-Menteri untuk membentuk ketentuan merupakan suatu praktek sebagai pelaksanaan Undang-Undang sesuai dengan kewenangannya berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selain itu, pendelegasian kewenangan pengaturan tersebut telah memenuhi syarat alternatif, yakni i) adanya perintah yang tegas mengenai subjek lembaga pelaksana yang diberi delegasi kewenangan, dan bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan; ii) adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan; atau iii) adanya perintah yang tegas mengenai pendelegasian kewenangan dari undang-undang atau lembaga pembentuk undang-undang kepada lembaga penerima delegasi kewenangan, tanpa penyebutan bentuk peraturan yang mendapat delegasi; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 www.mahkamahkonstitusi.go.id Pendapat Mahkamah [3.14] Menimbang bahwa setelah mencermati dengan saksama permohonan Pemohon, keterangan Pemohon, bukti yang diajukan Pemohon, dan keterangan Presiden, menurut Mahkamah norma Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon pernah dimohonkan pengujian dalam perkara Nomor 128/PUU-VII/2009 dengan dasar pengujian yang sama, yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap permohonan pengujian pasal tersebut, Mahkamah pada tanggal 11 Maret 2010 telah menjatuhkan putusan dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut: “ [3.15.1] Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah (legal policy), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Dengan demikian maka pasal-pasal yang diuji konstitusionalnya tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, sehingga dalil Pemohon tidak beralasan hukum ; [3.15.2] Bahwa isu hukum kerugian konstitusional terkait dengan pengenaan pajak sebagai akibat pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak), tidaklah beralasan hukum, karena pelimpahan pengaturan tersebut merupakan delegasi kewenangan yang sah. Selain itu, pengujian terhadap peraturan tersebut bukanlah kewenangan konstitusional Mahkamah. Memang tidak mustahil dapat terjadi pada suatu negara yang pemerintahannya otoriter, muncul Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang bertentangan dengan UUD, sehingga pasal yang bersifat demokratis dibelenggu oleh Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 www.mahkamahkonstitusi.go.id ketentuan yang lebih rendah yang otoriter (nucleus of norms, be surrounded by corona of highly oppressive norms, imposed upon the people as a whole). Misalnya, kebebasan pers seperti yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 dapat diberangus dengan Keputusan Menteri jika kepentingan penguasa terganggu (press censorship). Namun di dalam tata hukum Indonesia sudah ada mekanisme judicial review, sehingga seandainya pun terdapat Peraturan Pemerintah yang mengandung ketidakadilan sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, maka bagi Pemohon sebagai warga negara yang dirugikan terbuka peluang untuk mengajukan pengujian materiil (judicial review) kepada Mahkamah Agung; ” Berdasarkan pertimbangan dalam Putusan Nomor 128/PUU-VII/2009, bertanggal 11 Maret 2010, menurut Mahkamah permohonan Pemohon dengan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah sama dengan permohonan Pemohon dalam perkara a quo sehingga permohonan Pemohon _ne bis in idem; _ __ [3.15] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon dengan dasar pengujian Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, menurut Mahkamah pasal a quo tidak relevan untuk dijadikan dasar pengujian Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh sebab Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh mengatur mengenai pendelegasian wewenang pengaturan tentang jenis pajak penghasilan lainnya dari Undang-Undang kepada Peraturan Pemerintah, sedangkan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 mengatur mengenai hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, hak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, serta Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 mengatur fakir miskin dan anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Dengan demikian permohonan Pemohon dengan dasar pengujian Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum; [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, meskipun Pemohon dalam permohonan a quo juga mengajukan dasar pengujian yang berbeda dengan Permohonan Nomor 128/PUU-VII/2009, namun Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 www.mahkamahkonstitusi.go.id demikian Mahkamah menilai pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1945;
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan Pemohon; [4.2] Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) untuk mengajukan permohonan _a quo; _ [4.3] Dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan menolak permohonan Pemohon Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Aswanto, Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, dan Patrialis Akbar, masing- masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal tiga puluh bulan Oktober tahun dua ribu empat belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh satu bulan Januari tahun dua ribu lima belas , selesai diucapkan pukul 15.13 WIB , oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 www.mahkamahkonstitusi.go.id Anwar Usman, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Patrialis Akbar, Suhartoyo, dan I Dewa Gede Palguna, masing-masing sebagai Anggota, didampingi oleh Sunardi sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. Wahiduddin Adams ttd. Maria Farida Indrati ttd. Muhammad Alim ttd. Patrialis Akbar ttd. Suhartoyo ttd. I Dewa Gede Palguna PANITERA PENGGANTI, ttd. Sunardi Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjan ...
Uji materiil Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 31 ...
Relevan terhadap 7 lainnya
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Kelompok Kerja (Pokja) Kelapa Sawit Kadin Indonesia Syakdin Darminta, di Jakarta, Senin; Sumber: http: //www.suarakarya-online.com/news.html ?id=138801, 21 Maret 2006; • Tolak Gapki, Kadin Tuntut Penghapusan PPN Produk Primer; Arin Widiyanti - detikfinance Senin, 20/03/2006 13: 23 WIB; Jakarta - Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menyatakan tetap. menuntut Penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) produk primer 10 persen. Kadin menyayangkan munculnya sikap dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) yang meminta agar pemerintah tetap mengenakan PPN 10 persen untuk komoditas primer. Gapki menilai penghapusan PPN produk primer dinilai sebagai disinsentif bukan insentif untuk usaha. "Pernyataan Gapki bahwa pembebasan pengenaan PPN produk primer akan merugikan produsen adalah ucapan yang kontroversial." kata Anggota Pokja Kelapa Sawit Kadin Syakdin Darminto dalam jumpa pers di Menara Kadin. Kuningan. Jakarta. Senin (20/3/2006). Syakdin menilai, pernyataan itu menyesatkan, bahkan berlawanan dengan upaya revitalisasi pertanian. "Tidak ada logika sama sekali bahwa pengenaan pajak PPN atas TBS (tandan buah segar). CPO ( crude palm oil ). PK ( palm kernel ) dan PKO ( palm kernel oil ) menguntungkan petani atau pemilik kebun sawit." tegas Syakdin. Justru yang diuntungkan dengan pengenaan PPN 10 persen, ungkap Syakdin. adalah perusahaan besar di industri hilir yang menggunakan bahan baku CPO dan PKO. karena kebijakan perpajakan PPN masukan dapat dikreditkan. Dijelaskan Syakdin. sifat produk primer yang buyer market memungkinkan pembelinya menekan harga. Sebab si pembeli harus membayar pajak PPN 10 persen, sehingga mereka akan menekan petani dan pemilik kebun kecil kelapa sawit untuk memberikan harga lebih murah. Pernyataan Gapki. ujar Syakdin, justru tidak berpihak kepada petani dan pemilik kebun. tapi ke pabrikan. Pasalnya, selama ini pihak pabrikan adalah pembeli produk Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 72
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Produk-Pertanian, Rabu, 22 Maret 2006; http: //www.suarakaryaonline.com/ _news.html?ld=138801, 21 Maret 2006; dan http: //finance.detik.com/.../132341/.../tolak-aapki-kadin- tuntut-penghapu san-ppn. 20 maret 2006; b. Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh didalam UU perpajakan (memori penjelasan Pasal 16B ayat (1) UU PPN) adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang- undangan. Oleh karena itu, semua pihak yang menghasilkan barang hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan (petani, kelompok tani maupun pengusaha) harus diperlakukan sama karena sama-sama menghasilkan barang hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan; c. Pada dasarnya fasilitas pembebasan PPN justru mengurangi penerimaan PPN, namun mengingat tujuan untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional (termasuk sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan), mendorong perkembangan dunia usaha (termasuk usaha sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan), dan memperlancar pembangunan nasional (termasuk pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan), maka diberikan fasilitas pembebasan PPN tersebut. Pemberian fasilitas pembebasan PPN Ini justru bukan untuk meningkatkan penerimaan pajak (fungsi budegeter pajak), tetapi dalam rangka melaksanakan fungsi mengatur (fungsi regulerend pajak), karena dalam fasilitas pembebasan PPN yang ada adalah mengurangi penerimaan PPN, bukan meningkatkan penerimaan PPN. Dengan demikian anggapan pemohon bahwa pembebasan PPN dilakukan dengan maksud lain (yaitu: untuk meningkatkan penerimaan melalui cascading effect ) adalah tidak benar dan tidak beralasan; d. Selain itu, berdasarkan hasil benchmarking dari beberapa negara yang mempunyai karakteristik agraris juga memberikan fasilitas pembebasan PPN untuk penyerahan barang hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan, antara lain: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 68
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007; II.3. Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon secara jelas dan nyata-nyata memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam mengajukan permohonan keberatan ke Mahkamah Agung Republik Indonesia; III. PRINSIP-PRINSIP DASAR YANG DIANUT OLEH UU PPN DAN PRINSIP-PRINSIP YANG SEHARUSNYA DIANUT OLEH PERATURAN PEMERINTAH SEBAGAI PERATURAN PELAKSANA UU PPN; Sebelum masuk ke materi permohonan keberatan, perkenankanlah pemohon untuk menguraikan terlebih dahulu prinsip-prinsip dasar pengenaan PPN di Indonesia sesuai dengan ketentuan, semangat dan maksud tujuan yang digariskan oleh UU PPN; III.1 Prinsip-prinsip dasar yang dianut oleh UU PPN: III.1.1. PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean (Penjelasan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Bagian I. Umum); III.1.2. PPN dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan PPN sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari PPN (Penjelasan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Bagian I. Umum); III.1.3. Perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai bertujuan sebagai berikut. 1. Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan; 2. Menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai; 3. Mengurangi Biaya Kepatuhan; 4. Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak; 5. Tidak Mengganggu Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai; 6. Mengurangi distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi; (Penjelasan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Bagian I. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana. Jakarta, 2008 ...
Pemberian Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan untuk Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan.
Relevan terhadap
Fasilitas PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a adalah:
pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman Modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing- masing sebesar 5% (lima persen) pertahun;
penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, sebagai berikut : Kelompok Aktiva Tetap Berwujud Masa Manfaat Menjadi Tarif Penyusutan dan Amortisasi Berdasarkan Metode Garis Lurus Saldo Menurun I. Bukan Bangunan : Kelompok I 2 tahun 50% 100% (dibebankan sekaligus) Kelompok II 4 tahun 25% 50% Kelompok III 8 tahun 12,5% 25% Kelompok IV 10 tahun 10% 20% II. Bangunan : Permanen 10 tahun 10% - Tidak Permanen 5 tahun 20% - c. Pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku; dan
Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun dengan ketentuan sebagai berikut:
tambahan 1 tahun : apabila penanaman modal baru dilakukan pada bidang-bidang usaha tertentu di kawasan industri dan kawasan berikat;
tambahan 1 tahun : apabila mempekerjakan sekurang-kurangnya 500 (lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut;
tambahan 1 tahun : apabila penanaman modal baru memerlukan investasi/ pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi usaha paling sedikit sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
tambahan 1 tahun : apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari investasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun; dan/atau
tambahan 1 tahun : apabila menggunakan bahan baku dan atau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sejak tahun ke 4 (empat).
Tata cara pemberian fasilitas PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah- Daerah Tertentu dan peraturan pelaksanaannya, beserta perubahannya.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negar ...
Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus.
Relevan terhadap
Dalam hal pembentukan KEK diusulkan oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, usulan disampaikan melalui pemerintah provinsi.
Usulan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen berupa:
deskripsi rencana pengembangan KEK yang diusulkan, paling sedikit memuat rencana pembiayaan dan jadwal pembangunan KEK;
peta detail lokasi pengembangan serta luas area KEK yang diusulkan;
rencana peruntukan ruang pada lokasi KEK yang dilengkapi dengan peraturan zonasi;
studi kelayakan ekonomi dan finansial;
analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
usulan jangka waktu beroperasinya KEK dan rencana strategis pengembangan KEK;
penetapan lokasi atau bukti hak atas tanah;
rekomendasi dari otoritas pengelola infrastruktur pendukung dalam hal untuk pengoperasian KEK memerlukan dukungan infrastruktur lainnya;
pernyataan kesanggupan melaksanakan pembangunan dan pengelolaan KEK; dan
komitmen pemerintahan kabupaten/kota mengenai rencana pemberian insentif berupa pembebasan atau keringanan pajak daerah dan retribusi daerah serta kemudahan.
Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) pemerintah kabupaten/kota melakukan verifikasi dan evaluasi terhadap dokumen usulan pembentukan KEK dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya dokumen usulan secara lengkap untuk memberikan persetujuan atau penolakan.
Dalam hal pemerintah kabupaten/kota menolak usulan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan disampaikan secara tertulis kepada pemerintah provinsi disertai alasannya.
Dalam hal pemerintah kabupaten/kota menyetujui usulan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah kabupaten/kota menyampaikan persetujuan kepada pemerintah provinsi.
Dalam persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah kabupaten/kota menyertakan komitmen pemerintahan kabupaten/kota mengenai rencana pemberian insentif berupa pembebasan atau keringanan pajak daerah dan retribusi daerah serta kemudahan.
Berdasarkan penyampaian rencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, pemerintah kabupaten/kota melakukan verifikasi dan evaluasi terhadap dokumen usulan pembentukan KEK dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya dokumen usulan secara lengkap untuk memberikan persetujuan atau penolakan.
Dalam hal pemerintah kabupaten/kota menolak rencana usulan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan disampaikan secara tertulis kepada pemerintah provinsi disertai alasannya.
Dalam hal pemerintah kabupaten/kota menyetujui rencana usulan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah kabupaten/kota menyampaikan persetujuan kepada pemerintah provinsi.
Dalam persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah kabupaten/kota menyertakan komitmen pemerintahan kabupaten/kota mengenai rencana pemberian insentif berupa pembebasan atau keringanan pajak daerah dan retribusi daerah serta kemudahan.
Sistem Peradilan Pidana Anak.
Relevan terhadap
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah 3 2012,No.153 berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Penyidik adalah penyidik Anak.
Penuntut Umum adalah penuntut umum Anak.
Hakim adalah hakim Anak.
Hakim Banding adalah hakim banding Anak.
Hakim Kasasi adalah hakim kasasi Anak.
Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana.
Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial Anak.
Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial Anak.
Keluarga adalah orang tua yang terdiri atas ayah, ibu, dan/atau anggota keluarga lain yang dipercaya oleh Anak.
Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.
Pendamping adalah orang yang dipercaya oleh Anak untuk mendampinginya selama proses peradilan pidana berlangsung.
Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya.
Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya disingkat LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung.
Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat LPKS adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak.
Klien Anak adalah Anak yang berada di dalam pelayanan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan Pembimbing Kemasyarakatan.
Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan. Pasal 2 Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:
pelindungan;
keadilan; 5 2012,No.153 c. nondiskriminasi;
kepentingan terbaik bagi Anak;
penghargaan terhadap pendapat Anak;
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
pembinaan dan pembimbingan Anak;
proporsional;
perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan
penghindaran pembalasan. Pasal 3 Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak:
diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
dipisahkan dari orang dewasa;
memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
melakukan kegiatan rekreasional;
bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
tidak dipublikasikan identitasnya;
memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;
memperoleh advokasi sosial;
memperoleh kehidupan pribadi;
memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
memperoleh pendidikan;
memperoleh pelayananan kesehatan; dan
memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 4 (1) Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak:
mendapat pengurangan masa pidana;
memperoleh asimilasi;
memperoleh cuti mengunjungi keluarga;
memperoleh pembebasan bersyarat;
memperoleh cuti menjelang bebas;
memperoleh cuti bersyarat; dan
memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Anak yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Alokasi dan Pedoman Umum Penggunaan Dana Insentif Daerah Tahun Anggaran 2010.
Relevan terhadap
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG ALOKASI DAN PEDOMAN UMUM PENGGUNAAN DANA INSENTIF DAERAH TAHUN ANGGARAN 2010. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dan ditetapkan dengan Undang-Undang. (2) Dana Insentif Daerah, yang selanjutnya disingkat DID, adalah Dana Penyesuaian dalam APBN Tahun Anggaran 2010 yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan mempertimbangkan kriteria tertentu untuk melaksanakan fungsi pendidikan. (3) Kriteria tertentu adalah kriteria yang ditetapkan sebagai dasar penentuan daerah penerima dan penghitungan besaran alokasi DID, meliputi daerah berprestasi yang memenuhi Kriteria Kinerja Keuangan dan Kriteria Kinerja Ekonomi dan Kesejahteraan, serta mempertimbangkan daerah yang memenuhi tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. (4) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (5) Kriteria Kinerja Keuangan adalah kriteria yang ditetapkan sebagai unsur penilaian terhadap kinerja dan upaya daerah, meliputi daerah yang mampu meningkatkan atau mempertahankan kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah untuk memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari Badan Pemeriksa Keuangan, daerah yang menyampaikan Peraturan Daerah tentang APBD secara tepat waktu setiap tahunnya, daerah yang mencapai kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di atas rata-rata nasional, dan daerah yang memiliki Kemampuan Fiskal Daerah (KFD) di bawah rata- rata nasional, namun memiliki Indeks Pembangunan Manusia di atas rata-rata nasional.
Kriteria Kinerja Ekonomi dan Kesejahteraan adalah kriteria yang ditetapkan sebagai unsur penilaian terhadap kinerja dan upaya daerah, meliputi daerah yang mampu mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, daerah yang mampu mengurangi tingkat kemiskinan di atas rata-rata pengurangan tingkat kemiskinan nasional, daerah yang mampu mengurangi tingkat pengangguran di atas rata-rata pengurangan tingkat pengangguran nasional, dan daerah yang memiliki tingkat inflasi di bawah rata-rata tingkat inflasi nasional.
Pelaksanaan fungsi pendidikan adalah pengalokasian belanja fungsi pendidikan yang dianggarkan dalam APBD untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, termasuk gaji pendidik, namun tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan.