Provisi Sumber Daya Hutan
Relevan terhadap
Yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah dengan:
Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) atau Resources Royalty Provision adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari hutan Negara.
Hutan Negara adalah kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik.
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam suatu kawasan hutan yang meliputi kegiatan-kegiatan penebangan kayu, permudaan dan pemeliharaan hutan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku serta berdasarkan azas kelestarian hutan dan azas perusahaan.
Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) adalah hak untuk menebang menurut kemampuan yang meliputi areal hutan paling luas 100 (seratus) hektar untuk jangka waktu selama-lamanya 2 (dua) tahun serta untuk mengambil kayu dan hasil hutan lainnya dalam jumlah yang ditetapkan dalam Surat Izin yang bersangkutan untuk jangka waktu 6 (enam) bulan.
Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) adalah izin penebangan, pengangkutan dan penggunaan kayu dari areal hutan yang telah ditetapkan untuk keperluan non kehutanan atau hutan tanaman industri.
Izin Sah Lainnya (ISL) adalah izin yang diberikan selain untuk HPH, HPHH dan IPK, misalnya hasil lelang.
Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) adalah industri yang mengolah langung kayu bu; at dan/atau bahan baku serpih.
Harga Pasar adalah harga jual rata-rata tertimbang hasil hutan yang berlaku di pasar dalam negeri dan luar negeri.
Biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh hasil hutan yang siap untuk dipasarkan.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.
Sektor-Sektor Usaha Perusahaan Pasangan Usaha Dari Perusahaan Modal Ventura dalam Pelaksanaan Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan ...
Relevan terhadap
Sektor-sektor usaha perusahaan pasangan usaha dari perusahaan Modal Ventura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf m Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 adalah:
industri yang menghasilkan barang-barang untuk tujuan ekspor;
industri yang menghasilkan komponen elektronika;
industri pengolahan hasil pertanian, peternakan dan perikanan;
usaha berskala kecil dan menengah, sesuai ketentuan Departemen Perindustrian;
pembangunan rumah susun di daerah perkotaan;
pertanian, perkebunan, perhutanan, perternakan dan perikanan;
jasa angkuan darat antar kota, angkutan laut dan angkutan udara;
jasa perdagangan penunjang ekspor.
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku untuk tahun pajak 1992. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 September 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1992 TENTANG SEKTOR-SEKTOR USAHA PERUSAHAAN PASANGAN USAHA DARI PERUSAHAAN MODAL VENTURA DALAM PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 UMUM Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf m Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 ditentukan bahwa atas penghasilan perusahaan Modal Ventura yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha yang memenuhi persyaratan tertentu dikecualikan sebagai obyek Pajak Penghasilan. Persyaratan tersebut antara lain adalah bahwa perusahaan pasangan usaha tersebut harus berusaha di sektor-sektor usaha tertentu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Perusahaan Modal Ventura diberi fasilitas pajak dengan maksud agar perusahaan Modal Ventura melakukan penyertaan modalnya pada perusahaan-perusahaan pasangan usaha yang berusaha pada sektor-sektor usaha tertentu yang mengingat keadaan perekonomian perlu memperoleh prioritas untuk dikembangkan. Sektor-sektor usaha yang diatur dalam pasal ini perlu memperoleh prioritas untuk dikembangkan, mengingat hal-hal:
Ekspor komoditi non migas, terutama komoditi hasil industri, memiliki potensi besar untuk ditingkatkan, dan oleh karena itu peranan perusahaan Modal Ventura untuk mengembangkan perusahaan-perusahaan industri yang menghasilkan barang-barang untuk tujuan ekspor dan perusahaan-perusahaan jasa perdagangan penunjang ekspor perlu ditingkatkan.
Hasil-hasil pertanian, peternakan dan perikanan masih besar potensinya untuk diolah menjadi komoditi yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, bukan hanya untuk tujuan ekspor saja tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan pasar di dalam negeri. Demikian juga sektor usaha pertanian, perkebunan, perhutanan terutama hutan tanaman industri, peternakan dan perikanan masih berpotensi besar untuk dikembangkan.
Sektor angkutan darat antar kota, angkutan laut dan angkutan udara juga perlu dikembangkan terutama untuk membuka daerah-daerah terpencil yang mempunyai potensi ekonomi yang perlu dikembangkan.
Perusahaan-perusahaan bersekala kecil dan menengah seharusnya merupakan pendukung utama kehidupan perekonomian yang sehat, karena perusahaan kecil dan menengah pada umumnya menyerap banyak tenaga kerja dan merupakan sarana pemerataan pembangunan. Peranan perusahaan Modal Ventura terutama diarahkan untuk pengembangan usaha kecil dan menengah ini.
Pembangunan rumah susun (bukan apartemen atau flat) di daerah perkotaan merupakan alternatif yang tepat untuk memecahkan masalah hunian di kota-kota besar yang padat penduduknya, misalnya Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung dan Semarang. Oleh karena itu usaha pembangunan rumah susun di kota-kota besar yang padat penduduknya perlu dikembangkan dengan mengikut sertakan perusahaan Modal Ventura.
Industri yang menghasilkan komponen elektronika selain memerlukan teknologi tinggi (high technology) dan modal besar, juga merupakan titik strategis untuk mengembangkan industri elektronika yang besar peranannya dalam mengembangkan industri informasi. Oleh karena itu peranan perusahaan Modal Ventura juga perlu diarahkan untuk mempercepat pertumbuhan industri yang menghasilkan komponen elektronika tersebut. Perlu ditegaskan, bahwa ketentuan dalam Pasal ini tidak membatasi penyertaan modal dari perusahaan Modal Ventura, akan tetapi hanya mengatur pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan perusahaan Modal Ventura yang diterima atau diperoleh dari penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha yang berusaha pada sektor-sektor usaha sebagaimana yang diatur dalam Pasal ini. Oleh karena itu, pembukuan perusahaan Modal Ventura yang selain melakukan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha yang berusaha pada sektor-sektor usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini juga melakukan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha yang berusaha di sektor usaha lain atau pada perusahaan pasangan usaha yang sahamnya diperdagangkan di Bursa Efek harus secara jelas memisahkan penghasilan yang merupakan obyek Pajak Penghasilan dan penghasilan yang dikecualikan sebagai obyek Pajak Penghasilan. Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Relevan terhadap
Ayat (1) Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan berwenang melakukan pemeriksaan untuk :
Menguji… a. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan ;
Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pemeriksaan dapat dilakukan di Kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi tahun-tahun yang lalu maupun tahun berjalan. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong pajak. Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya, dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak, yang dilakukan dengan :
Menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang lazim digunakan dalam pemeriksaan pada umumnya, yang dinamakan Pemeriksaan Lengkap ;
Menerapkan teknik-teknik pemeriksaan dengan bobot dan kedalaman yang sederhana sesuai dengan ruang lingkup pemeriksaan baik dilakukan di kantor maupun di lapangan, yang dinamakan Pemeriksaan Sederhana. Selain itu, Pemeriksaan Sederhana dapat juga dilakukan untuk tujuan lain, diantaranya : - menetapkan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 21; - mengukuhkan atau mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; - memberikan… - memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Wajib Pajak yang diperiksa dalam rangka pengujian tingkat kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakannya atau untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperlihatkan dan meminjamkan buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen dan keterangan-keterangan lain yang diperlukan yang berkaitan dengan perolehan penghasilan atau kegiatan usaha. Bilamana buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak dengan dalih untuk menghindarkan diri, berdasarkan ayat ini petugas pemeriksa dibolehkan untuk memasuki tempat atau ruangan yang menurut dugaan petugas digunakan sebagai tempat penyimpanan buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen tersebut. Ayat (4) Untuk mencegah adanya dalih terikat pada kerahasiaan, sehingga pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak, maka ayat ini menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu ditiadakan. Angka 26
Perlakuan Perpajakan dalam Rangka Kegiatan Konstruksi dan Kegiatan Operasi Pembangunan Proyek Pengembangan Pulau Bintan dan Pulau Karimun. ...
Relevan terhadap
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang tidak dipungut seluruhnya atas perolehan dalam negeri Barang Kena Pajak maupun Jasa Kena Pajak dan impor Barang Kena Pajak maupun Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah Pabean Indonesia oleh pengusaha yang melakukan kegiatan konstruksi dan kegiatan operasi untuk pembangunan:
kawasan yang akan dikembangkan untuk usaha-usaha kepariwisataan termasuk sarana pendukungnya di Pulau Bintan;
kawasan industri di Pulau Bintan;
kawasan pengembangan sumber-sumber air di Pulau Bintan;
kawasan penimbunan, distribusi dan pengolahan minyak bumi, serta kawasan industri maritim (galangan kapal) dan konstruksi lepas pantai di Pulau Karimun dan pulau-pulau sekitarnya.
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak maupun perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dikreditkan.
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan
Relevan terhadap
Ayat (1) Berdasarkan ketentuan ini, sisa pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud kecuali harta berupa bangunan dan harta tidak berwujud sebelum tahun pajak 1995 yang boleh disusutkan atau diamortisasi adalah apabila harta tersebut masih dimiliki pada awal tahun pajak 1995 dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Untuk menghitung besarnya penyusutan atau amortisasi untuk tahun pajak 1995 atas sisa pengeluaran tersebut, maka sisa masa manfaat harta tersebut tanpa memperhatikan jenisnya merupakan titik tolak untuk menentukan harta tersebut ke dalam kelompok harta sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (6) atau Pasal 11A ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Contoh: … Contoh: Mesin yang digunakan dalam usaha industri yang menurut peraturan termasuk dalam Golongan I telah digunakan selama 2 (dua) tahun, sisa manfaat mesin tersebut adalah 2 (dua) tahun. Apabila berdasarkan ketentuan baru mesin tersebut termasuk dalam Kelompok 1 yang masa manfaatnya 4 tahun, maka untuk penghitungan penyusutan dimasukkan dalam kelompok harta yang mempunyai masa manfaat sesuai sisa manfaat harta tersebut, yaitu masuk dalam Kelompok 1. Apabila tidak termasuk dalam masa manfaat yang ditentukan dalam Pasal 11 ayat (6) atau Pasal 11A ayat (2), maka dimasukkan dalam kelompok harta yang masa manfaatnya terdekat dengan sisa masa manfaat harta tersebut. Dalam hal sisa masa manfaat harta berada di tengah-tengah antara kelompok harta yang satu dengan yang lain, maka Wajib Pajak boleh memilih untuk menentukan kelompok harta tersebut, misalnya apabila sisa masa manfaat harta 6 (enam) tahun, maka Wajib Pajak boleh memilih Kelompok 1 atau Kelompok 2. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Penyusutan atas harta berupa bangunan baik permanen maupun tidak permanen dilakukan dengan cara meneruskan penyusutan yang telah dilakukan dalam tahun-tahun sebelum tahun pajak 1995 dengan memperhatikan harga (nilai) perolehan dan sisa manfaat harta tersebut. Contoh : Harga perolehan bangunan = Rp 2.000.000.000,00 Telah disusutkan s/d tahun pajak 1994 selama 10 tahun: 10 x 5% x Rp 2.000.000.000,00 = Rp 1.000.000.000,00 Nilai sisa buku pada 1 Januari 1995 = Rp 1.000.000.000,00 Penyusutan… Penyusutan dalam tahun pajak 1995 dan tahun-tahun pajak selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama dengan tahun-tahun pajak sebelum tahun pajak 1995 yaitu sebesar 5% x Rp 2.000.000.000,00 = Rp 100.000.000,00.
Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
Relevan terhadap
bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf i Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan merupakan objek Pajak Penghasilan;
bahwa orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan wajib melunasi Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut;
bahwa untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut dan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dipandang perlu mengatur pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan dengan Peraturan Pemerintah;
Pembayaran Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah atau Tanah dan Bangunan. ...
Relevan terhadap
bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, penghasilan dari pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan merupakan objek Pajak Penghasilan;
bahwa Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan di luar kegiatan usaha pokoknya, wajib membayar Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut dalam tahun berjalan;
bahwa untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak memenuhi kewajiban tersebut, dipandang perlu mengatur pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan dengan Peraturan Pemerintah;
Ayat (1) Pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan yang dilakukan Wajib Pajak kepada pihak lain bukan Pemerintah, wajib dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak. Ayat (2) Untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya, maka Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) hanya diperbolehkan untuk menandatangani akte pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan tersebut apabila kepadanya dibuktikan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan telah membayar sendiri PPh yang terutang. Pembuktian tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak dengan menyerahkan foto kopi Surat Setoran Pajak (SSP) serta dengan menunjukkan asli Surat Setoran Pajak dimaksud. Ketentuan mengenai penandatanganan akte tersebut tidak berlaku atas pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4)… Ayat (4) Agar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan dengan baik maka dalam laporan bulanan PPAT dicantumkan pula jumlah akte yang belum ditandatangani karena tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tersebut.
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
Relevan terhadap
bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan merupakan Objek Pajak Penghasilan;
bahwa orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan wajib melunasi Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut;
bahwa untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut dan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dipandang perlu mengatur pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan Peraturan Pemerintah;
Ayat (1) Pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan kepada pihak lain selain pemerintah, wajib dilakukan sendiri oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Sedangkan dalam hal penjualan lelang Pajak Penghasilan yang terutang disetorkan oleh Pejabat Lelang atas nama orang pribadi atau badan yang hartanya dilelang. Ayat (2) Untuk meningkatkan kepatuhan orang pribadi atau badan dalam memenuhi kewajiban pajaknya, maka pejabat yang berwenang hanya diperbolehkan untuk menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut apabila kepadanya dibuktikan bahwa orang pribadi atau badan yang bersangkutan telah membayar sendiri Pajak Penghasilan yang terutang. Pembuktian dilakukan oleh orang pribadi atau badan tersebut dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak serta dengan menunjukkan asli Surat Setoran Pajak dimaksud. Ketentuan mengenai pembuktian tersebut tidak berlaku atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 3…
Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak.