Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat SATK adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan untuk seluruh transaksi penerimaan dan pengeluaran serta aset dan kewajiban pemerintah yang terkait dengan fungsi khusus Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, serta tidak tercakup dalam Sub Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SABUN) lainnya.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan dan hibah.
Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disingkat KKKS adalah Badan usaha atau bentuk badan usaha tetap yang diberikan wewenang untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama dengan badan pelaksana.
Kontraktor Perjanjian Kerja Sama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut Kontraktor PKP2B adalah badan usaha yang melakukan pengusahaan pertambangan batubara, baik dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Barang Milik Negara yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disebut BMN Idle adalah BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga.
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat BLBI adalah fasilitas yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada perbankan untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sistem perbankan, agar tidak terganggu oleh adanya ketidakseimbangan likuiditas, antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan transaksi khusus pada tingkat satuan kerja di lingkup Bendahara Umum Negara.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang menjadi koordinator dan bertugas melakukan kegiatan penggabungan laporan keuangan seluruh UAKPA BUN TK yang berada langsung di bawahnya.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAPBUN TK adalah unit akuntansi pada unit eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh UAKPA BUN TK/UAKKPA BUN TK.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKPBUN TK adalah unit akuntansi pada Unit Eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan laporan seluruh UAPBUN TK.
Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Pengelola Barang Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat UAKPLB BUN adalah satuan kerja/unit akuntansi yang diberi kewenangan untuk mengurus/menatausahakan/mengelola BMN yang dalam penguasaan Bendahara Umum Negara Pengelola Barang.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disingkat DJPBN adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perbendaharaan Negara.
Badan Kebijakan Fiskal yang selanjutnya disingkat BKF adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas melaksanakan analisis di bidang kebijakan fiskal.
Direktorat Jenderal Anggaran yang selanjutnya disingkat DJA adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang penganggaran.
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disingkat DJKN adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang selanjutnya disingkat DJPK adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perimbangan keuangan.
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah.
Barang yang menjadi milik/kekayaan negara yang berasal dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disebut BMN Yang Berasal Dari KKKS adalah seluruh barang dan peralatan yang diperoleh atau dibeli KKKS dan yang secara langsung digunakan dalam kegiatan usaha hulu.
Barang yang menjadi milik/kekayaan negara yang berasal dari Kontraktor Perjanjian Kerjasama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut BMN Yang Berasal Dari Kontraktor PKP2B adalah seluruh barang dan peralatan yang diperoleh Kontraktor dalam rangka kegiatan pengusahaan pertambangan batubara dan/atau barang dan peralatan yang tidak terjual, tidak dipindahkan atau tidak dialihkan oleh Kontraktor setelah pengakhiran perjanjian yang telah melewati jangka waktu yang telah ditetapkan menjadi milik Pemerintah termasuk barang kontraktor yang pada pengakhiran perjanjian akan digunakan untuk kepentingan umum.
Dokumen Sumber adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi keuangan yang digunakan sebagai sumber atau bukti untuk menghasilkan data akuntansi.
Buku Besar Kas adalah kumpulan akun-akun yang digunakan untuk meringkas transaksi yang telah dicatat dalam jurnal akuntansi berdasarkan basis kas.
Buku Besar Akrual adalah kumpulan akun-akun yang digunakan untuk meringkas transaksi yang telah dicatat dalam jurnal akuntansi berdasarkan basis akrual.
Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan APBN berupa laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan Saldo Anggaran Lebih, dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Laporan Realisasi Anggaran yang selanjutnya disingkat LRA adalah laporan yang menyajikan informasi realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit dan pembiayaan, sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran yang masing-masing diperbandingkan dengan anggarannya dalam satu periode.
Laporan Operasional yang selanjutnya disingkat LO adalah laporan yang menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang menambah ekuitas dan penggunaannya yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah untuk kegiatan penyelenggaraan pemerintah dalam satu periode pelaporan.
Laporan Perubahan Ekuitas yang selanjutnya disingkat LPE adalah laporan yang menyajikan informasi kenaikan atau penurunan ekuitas tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah, yaitu aset, utang, dan ekuitas pada tanggal tertentu.
Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disingkat CaLK adalah laporan yang menyajikan informasi tentang penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam LRA, Neraca, dan Laporan Arus Kas, LO, LPE, dan laporan perubahan Saldo Anggaran Lebih dalam rangka pengungkapan yang memadai.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Bagian Anggaran yang bersangkutan.
Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat KPB adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan Dokumen Sumber yang sama.
Reviu adalah prosedur penelusuran angka-angka dalam Laporan Keuangan, permintaan keterangan dan analitik yang menjadi dasar memadai bagi Aparat Pengawas Intern Pemerintah untuk memberi keyakinan terbatas bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas Laporan Keuangan tersebut sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Aset Bekas Milik Asing/China adalah aset yang dikuasai Negara berdasarkan:
Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/032/PEPERPU/1958 jo. Keputusan Penguasa Perang Pusat Nomor Kpts/Peperpu/0439/1958 jo. Undang-Undang Nomor 50 Prp. Tahun 1960;
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1962;
Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1962 jo. Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Nomor 52/KOTI/1964; dan
Instruksi Radiogram Kaskogam Nomor T-0403/G-5/5/66.
PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) yang selanjutnya disebut PT PPA adalah perusahaan perseroan yang didirikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk melakukan pengelolaan aset negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang tidak berperkara untuk dan atas nama Menteri Keuangan berdasarkan perjanjian pengelolaan aset.
Aset Eks Kelolaan PT PPA adalah kekayaan Negara yang berasal dari kekayaan eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang sebelumnya diserahkelolakan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero)/PT PPA (Persero), dan telah dikembalikan pengelolaannya kepada Menteri Keuangan.
Aset yang Diserahkelolakan kepada PT PPA adalah kekayaan negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang tidak terkait dengan perkara, berupa aset properti, aset saham, aset reksa dana, dan/atau aset kredit, yang sebelumnya berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.06/2006 tentang Pengelolaan Kekayaan Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero), dikelola oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero).
Aset Eks Pertamina adalah aset-aset yang tidak turut dijadikan Penyertaan Modal Negara dalam Neraca Pembukaan PT Pertamina sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.06/2008 tentang Penetapan Neraca Pembukaan Perseroan (Persero) PT.Pertamina Per 17 September 2003, serta telah ditetapkan sebagai sebagai Barang Milik Negara yang berasal dari Aset Eks Pertamina berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 92/KK.06/2008 tentang Penetapan Status Aset Eks Pertamina Sebagai Barang Milik Negara.
Selisih kurs adalah selisih yang dihasilkan dari pelaporan jumlah unit mata uang asing yang sama dalam mata uang pelaporan pada kurs yang berbeda.
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan ...
Pedoman Pelaksanaan Penjaminan Kelayakan Usaha Pt Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik dan/atau Transmisi d ...
Relevan terhadap
PT PLN (Persero) wajib melaporkan kemungkinan terjadinya shortfall untuk periode 1 (satu) tahun ke depan kepada Menteri Keuangan.
Laporan untuk kemungkinan terjadinya shortfall sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sebelum penyusunan RAPBN pada tahun berkenaan.
Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang melakukan analisis atas laporan kemungkinan terjadinya shortfall sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Berdasarkan hasil analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang menyampaikan rekomendasi mitigasi risiko kepada Menteri Keuangan, termasuk memastikan kompensasi finansial telah diperhitungkan dalam komponen PSO melalui subsidi listrik dalam RAPBN/RAPBN-P tahun berkenaan.
Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran menunjuk Direktur Jenderal Pengelolaan Utang sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) pembayaran fasilitas likuiditas PT PLN (Persero).
KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengajukan permintaan penyediaan anggaran untuk tahun yang bersangkutan kepada Direktur Jenderal Anggaran dengan memperhatikan hasil perhitungan dari Badan Kebijakan Fiskal dan DJPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
Berdasarkan permintaan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Anggaran menyediakan dana jaminan Pemerintah melalui penerbitan Surat Penetapan Satuan Anggaran per Satuan Kerja (SP-SAPSK).
Berdasarkan SP-SAPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pengelolaan Utang selaku KPA menyusun Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan menyampaikan DIPA dimaksud kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk disahkan.
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang selaku KPA menunjuk:
Pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja/penanggung jawab kegiatan/pembuat komitmen/ pembuat Surat Permintaan Pembayaran (SPP);
Pejabat yang diberi Kewenangan untuk menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM)/menguji SPP; dan
Tembusan surat keputusan penunjukkan pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a disampaikan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Pengelolaan Kas Negara.
Untuk memperoleh Jaminan Kelayakan dari Pemerintah c.q. Menteri Keuangan, PT PLN (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan dengan melampirkan dokumen pendukung yang terdiri dari:
Rekomendasi dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral terkait aspek kelayakan Pengembang Listrik Swasta dan kelayakan teknis proyek;
Studi kelayakan proyek ( feasibility study );
Komitmen pendanaan termasuk terms and conditions pinjaman dari calon kreditur;
PPA;
Surat Pernyataan Integritas dari Direktur Utama PT PLN (Persero) yang menyatakan bahwa prosedur perjanjian Pembangunan Listrik dan/atau Transmisi telah sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Komitmen pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan draft perjanjian yang syarat dan ketentuannya ( terms and conditions ) perlu mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan terlebih dahulu.
Syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui oleh Menteri Keuangan setelah mendapat rekomendasi dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, Badan Kebijakan Fiskal dan Sekretariat Jenderal.
Keuangan Negara
Relevan terhadap
Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan.
Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.
Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut : a) menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro; b) menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN; c) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran; d) melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan; e) melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang; f) melaksanakan fungsi bendahara umum negara; g) menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN; h) melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang.
Pemerintah Pusat menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBN dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah Pusat.
Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :
perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN;
perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.
Keuangan negara
Relevan terhadap
Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan.
Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.
Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut : a) menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro; b) menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN; c) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran; d) melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan; e) melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang; f) melaksanakan fungsi bendahara umum negara; g) menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN; h) melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang.
Pemerintah Pusat menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBN dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah Pusat.
Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :
perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN;
perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.
Standar Reviu atas Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara.
Pengujian UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap UUD Negara RI Tahun 1945
PUU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
Relevan terhadap 7 lainnya
Kebijakan desentralisasi fiskal merupakan upaya untuk mendorong kemandirian keuangan daerah, sehingga diharapkan penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan secara otonom. Kebijakan desentralisasi fiskal juga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya sendiri. Fungsi pemerintahan daerah akan dapat terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber- sumber penerimaan yang cukup kepada daerah. Oleh karena itu, desentralisasi fiskal berimplikasi pada adanya kewenangan yang berkaitan dengan sumber-sumber penerimaan daerah, karena penerimaan daerah tersebut mendukung berhasil atau tidaknya penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Adapun kebijakan perpajakan dalam konteks desentralisasi fiskal yang menjadi penanda penting bagi demokrasi adalah dengan adanya taxing power sharing (pembagian wewenang perpajakan) yang di dalamnya terdiri dari aspek expenditure assignment dan revenue assignment dengan tujuan utama adalah untuk tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas. Pembagian wewenang perpajakan secara substantif mengandung makna dan tujuan sebagai bentuk fiscal power sharing untuk membangun kemandirian daerah dalam hal fiskal, karena sisi paling penting dalam revenue assignment adalah kewenangan perpajakan. Taxing power sharing (pembagian wewenang perpajakan) tersebut dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih maksimal bagi daerah dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan kepada pusat. Oleh karenanya, desentralisasi fiskal dibarengi dengan adanya pergeseran taxing power (kekuasaan perpajakan) dari pemerintah pusat ke daerah, karena kebijakan desentralisasi fiskal tidak hanya terkait dengan masalah kewenangan penggunaan anggaran (belanja daerah) semata, melainkan juga mencakup revenue assignment (kewenangan penerimaan), terutama taxing power (kewenangan perpajakan). Selain itu, bahwa salah satu prasyarat penting dalam penyelenggaraan kewenangan pemerintahan adalah diperlukannya kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri. Pola hubungan keuangan antara pusat dan daerah harus dilihat tidak hanya pada
lalu yang menyatakan bahwa itu nanti seharusnya dikenakan pajak, alat-alat pertanian juga, tetapi ini tidak benar untuk ditarik pajak. Bahwa pengusaha alat berat tidak keberatan membayar pajak sepanjang pajak tersebut dikenakan secara adil, tepat sasaran, dan sesuai dengan perundang-undangan yang ada. 2. Hariyadi Sukamdani Saksi adalah salah satu Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin Indonesia) bidang fiskal moneter dan kebijakan publik. Dimana Kadin adalah merupakan suatu organisasi yang didirikan berdasarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1987 yang ditetapkan pada tanggal 28 Januari 1987 yang mewadahi seluruh pelaku usaha di Indonesia dengan jumlah anggota pada saat ini adalah lebih dari 100.000 perusahaan yang tersebar di seluruh Indonesia dan memiliki perwakilan pada setiap pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota. Kadin dibentuk berdasarkan latar belakang bahwa dalam usaha untuk lebih meningkatkan pelaksanaan pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan di bidang ekonomi pada khususnya. Sehingga diperlukan langkah-langkah untuk terus mengembangkan iklim usaha yang sehat, meningkatkan pembinaan dunia usaha, mengembangkan, dan mendorong pemerataan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat pengusaha untuk ikut serta dalam pelaksanaan pembangunan di bidang ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka kamar dagang dan industri memiliki dua tujuan, yaitu membina dan mengembangkan kemampuan kegiatan dan kepentingan pengusaha Indonesia di bidang usaha negara, usaha koperasi, dan usaha swasta dalam kedudukannya sebagai pelaku- pelaku ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan ekonomi dan dunia usaha nasional yang sehat dan tertib berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta menciptakan dan mengembangkan iklim dunia usaha yang memungkinkan keikutsertaan yang seluas-luasnya bagi pengusaha Indonesia, sehingga dapat berperan secara efektif dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu, ketika muncul keresahan para pengusaha yang diwakili oleh para ketua umum, dimana asosiasi sektoral yaitu APP Aksi, Aspindo,
daerah. Penerbitan UU PDRD merupakan langkah yang strategis dan monumental dalam memantapkan kebijakan desentralisasi fiskal, khususnya dalam rangka membangun hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah yang lebih ideal. Sebagai salah satu bagian dari continuous improvement , UU PDRD memiliki 3 (tiga) hal utama, yaitu penetapan jenis pajak daerah dan retribusi daerah, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan ( local taxing empowerment ), dan peningkatan efektifitas pengawasan. Penetapan jenis pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan dengan mengubah sistem daftar terbuka ( open-list ) menjadi daftar tertutup ( closed- list ), sehingga jenis pajak yang dapat dipungut oleh daerah adalah hanya jenis pajak yang telah ditetapkan berdasarkan UU PDRD dimaksud. Daerah tidak diberikan kewenangan dan tidak diperbolehkan untuk menetapkan jenis pajak baru di luar yang telah ditentukan Undang- Undang. Hal yang demikian akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Sedangkan penguatan local taxing power dilakukan dengan cara antara lain, menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah, memperluas basis pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada, mengalihkan beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah, serta memberikan diskresi kepada daerah dalam menetapkan tarif. Perluasan basis pajak dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik. Pajak yang diterapkan tidak akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor impor. Perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat, dan menambah jenis pajak baru. Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah beban bagi masyarakat secara berlebihan, daerah hanya diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang (UU PDRD). Selain itu, untuk menghindari perang tarif pajak antar daerah untuk objek pajak yang mudah bergerak maka dalam UU PDRD juga ditetapkan tarif minimum
Pengelolaan Transfer Ke Daerah dan Dana Desa.
Relevan terhadap
Inclikasi Kebutuhan Dana TKDD se bagaimana climaksucl clalam Pasal 4 ayat (1), tercliri atas:
Indikasi Kebutuhan Dana Tran b fer ke Daerah; clan b. Inclikasi Kebutuhan Dana Des J . Inclikasi Kebutuhan Dana Trans J er ke Daerah untuk Dana Transfer Umum berupa DBH sebagaimana climaksucl clalam Pasal 2 ayat (4) huruf a, clisusun clengan memperhatikan:
perkembangan DBH clalam 3 (tiga) tahun terakhir; clan b. perkiraan penenmaan pajak clan PNBP yang clibagihasilkan.
Inclikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah untuk Dana Transfer Umum berupa DAU sebagaimana climaksucl clalam Pasal 2 ayat (đ) huruf b, clisusun clengan memperhatikan: 1 a. perkiraan celah fiskal per claer 1h secara nasional;
perkembangan DAU dalam 3 (tiga) tahun terakhir; clan c. perkiraan penerimaan clalam negeri neto.
Inclikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah untuk Dana Transfer Khusus berupa DAK Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf a, clisusun clengan memperhatikan:
arah clan prioritas biclang/ subbiclang DAK Fisik untuk menclukung pencapaian prioritas nasional clalam kerangka pembangunanjangka menengah;
kebutuhan tahunan pendana l n prioritas nasional yang akan didanai melalui DA J Fisik;
kebutuhan pendanaan b tuk percepatan penyecliaan infrastruktur clan sarana clan prasarana clasar, serta percepatan pembangunan Daerah perbatasan, Daerah tertinggal, kepulauan; clan Daerah cl. kebutuhan pemenuhan anggaran penclidikan sebesar 20% (clua puluh persen) dan kesehatan sebesar 5% (lima persen) sesuai clengan ketentuan peraturan perunclang-unclangan; clan e. perkembangan DAK dan/atau DAK Fisik dalam· 3 (tiga) tahun terakhir. 1 (5) Indikasi Kebutuhan Dana Trans t r ke Daerah untuk Dana Transfer Khusus ber pa DAK Nonfisik sebagaimana climaksucl clalam Pa ^ϼ al 2 ayat (6) huruf b, clisusun clengan memperhatikan:
pengalihan clana clekonsentrasi menjacli DAK Nonfisik;
perkembangan clan.a transfer lainnya clan/ atau DAK Nonfisik clalam 3 (tiga) tahun terakhir; clan c. perkiraan kebutuhan belanja operasional clan/ atau biaya per unit (unit cost) untuk masing-masing jenis DAK Nonfisik. (6) Inclikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah untuk DID sebagaimana climaksucl clal ^Ͻ m Pasal 2 ayat (2) huruf b, disusun dengan memperh l atikan: I I - 18 - a. capaian kinerja Daerah di bidang tata kelola keuangan daerah, pelayanan· dasar publik, dan kesej ah teraan masyarakat;
perkembangan DID dalam 3 (tiga) tahun terakhir; clan c. arah kebijakan DID.
Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah untuk Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan DIY sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c, disusun dengan memperhatikan:
besaran Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan DIY yang diteta J kan dalam peraturan perundang-undangan; dan
kinerja pelaksanaan Dana q tonomi Khusus dan Dana Keistimewaan DIY.
Indikasi Kebutuhan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, disusun dengan memperhatikan:
persentase Dana Desa yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
kinerja pelaksanaan Dana Desa.
· (1) Pemotongan penyaluran Transfer ke Dae rah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dapat dilakukan dalam hal terdapat:
kelebihan pembayaran atau kelebihan penyaluran Transfer ke Daerah, termasuk DBH CHT yang tidak digunakan sesuai peruntuka 1 nya dan/atau tidak dianggarkan kembali pad l tahun anggaran berikutnya;
tunggakan pembayaran pinjaman daerah; c . tidak dilaksanakannya hibah daerah induk kepada daerah otonomi baru; dan/atau
daerah yang tidak menganggarkan Alokasi Dana Desa (ADD). (2) Selain pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPA BUN Transfer · Dana Perimbangan dan/atau KPA BUN Transfer Nondana Perimbangan dapat melakukan pemotongan penyaluran Transfer Ke Daerah karena adanya pembebar+an keuangan negara atas biaya yang timbul akibat ad 1 nya tuntutan hukum dan/atau putusan peradilan f tas kasus/ sengketa hukum yang melibatkan Pemerint9.h Daerah.
Penundaan penyaluran Transfer ke Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dapat dilakukan dalam hal perlu dilakukan kebijakan pengendalian Transfer ke Daerah oleh Pemerintah, dan/atau pemerintah daerah tidak memenuhi ketentuan:
penyampaian Peraturan Daerah mengenai APBD;
penyampaian laporan realis ^. asi APBD semester I;
penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; j d. penyampaian perkiraan belanja operasi dan belanja modal bulanan;
penyampaian laporan posisi kas bulanan;
penyampaian laporan realisasi anggaran bulanan;
penyampaian persyaratan penyaluran DBH CHT; L penyampaian laporan pemanfaatan sementara dan penganggaran kembali sisa dana Transfer ke Daerah clan Dana Desa yang suclah clitentukan penggunaannya; J . penyampaian rekapitulasi j pemungutan clan penyetoran pajak penghasilan & an pajak lainnya;
penyampaian data informasi g euangan daerah dan nonkeuangan daerah melalui Sistem Informasi Keuangan Daerah sesuai clengan ketentuan peraturan perunclangan-unclangan;
penyampaian surat komitmen pengalokasian Alokasi Dana Desa (ADD);
penyampaian rencana defisit APBD;
penyampaian laporan posisi · kumulatif pmJaman claerah; dan/atau
penyaluran Dana Desa. Penghentian penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebagaimana climaksud clal 1 ^/ m Pasal 106 ayat (1) dapat dilakukan dalam hal:
daerah penerima DBH CHT telah 2 (dua) kali cliberikan sanksi berupa penunclaan penyaluran DBH CHT clalam tahun anggaran berjalan;
menteri/pimpinan lembaga terkait mengajukan permohonan penghentian penyaluran DAK Fisik pacla Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan;
Kepala Daerah mengajukan permohona.n penghentian penyaluran DAK Fisik kepacla Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, clisertai clengan surat persetujuan dari I pimpinan kementerian neg ^ϛ ra/lembaga terkait; clan/atau - 122 - d. terdapat kelebihan alokasi DAK Nonfisik kepada Daerah akibat adanya lebih salur DAK Nonfisik pada tahun anggaran berjalan berdasarkan rekomendasi menteri atau pimpinan lembaga teknis.
Pemotongan, penundaan dan/atau penghentian (6) (7) (8) penyaluran Tran sf er ke Dae rah dilaksanakan dengan mempertimbangkan besarnya permintaan pemotongan, pagu alokasi, lebih bayar atau lebih salur Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dan ka p asitas fiskal daerah yang bersangkutan. I Dalam hal pemotongan dan pe r undaan penyaluran Transfer ke Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diusulkan dalam waktu yang bersamaan dan untuk jenis transfer yang sama, KPA BUN Transfer Dana Perimbangan dapat menentukan prioritas pemotongan dan penundaan penyaluran Transfer ke Daerah. Dalam hal penghentian penyaluran DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan sampai dengan tahun anggaran berakhir, maka DAK Fisik yang dihentikan penyalurannya tidak dapat disalurkan pada tahun anggaran b b rikutnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai t đ ta cara pemotongan, penundaan, dan/atau penghentia J penyaluran Transfer I ke Daerah dapat diatur dengari Peraturan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.