Tata Cara Pertukaran Informasi (Exchange Of Information).
Relevan terhadap
Direktur Peraturan Perpajakan II menerima permintaan Informasi dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
Direktur Peraturan Perpajakan II melakukan penelitian terhadap permintaan Informasi yang diterima dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Penelitian terhadap permintaan Informasi yang diterima dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk menguji pemenuhan ketentuan sebagai berikut:
ditandatanganinya permintaan Informasi oleh pejabat yang berwenang atau competent authority di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
terdapat dugaan bahwa atas transaksi yang dimintakan Pertukaran Informasi dilaksanakan untuk menghindari pengenaan pajak, melakukan pengelakan pajak atau semata-mata hanya untuk memanfaatkan fasilitas P3B di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dan/atau di Indonesia; dan
dipenuhinya ketentuan sebagaimana tercantum dalam P3B, TIEA, atau Perjanjian Multilateral.
Dalam hal permintaan Informasi yang diterima dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra belum jelas, Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta penjelasan tambahan kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang bersangkutan.
Permintaan Informasi yang diterima dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra tidak dapat dipenuhi dalam hal:
perlu dilakukan tindakan administratif yang bertentangan dengan praktik administrasi atau ketentuan peraturan perundang- undangan;
dalam kondisi serupa, Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra tidak menyediakan informasi yang diminta pada saat Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra tersebut berkedudukan sebagai negara yang diminta Informasi; dan/atau
Informasi yang diminta berhubungan dengan rahasia negara, kebijakan publik, kedaulatan, keamanan negara, atau kepentingan nasional.
Dalam hal permintaan Informasi dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan tidak diperlukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, dan/atau tidak terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dan/atau huruf c, permintaan Informasi tersebut ditindaklanjuti sebagai berikut:
untuk Informasi yang sudah tersedia, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan Informasi tersebut kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
untuk Informasi yang belum tersedia, Direktur Peraturan Perpajakan II meminta Informasi dimaksud kepada unit terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam hal unit terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak telah menyampaikan Informasi yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan Informasi dimaksud kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
Pengujian UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap 1 lainnya
www.mahkamahkonstitusi.go.id P-10). Padahal sebelum pengajuan permohonan pembaharuan fiskal tersebut tidak pernah ada pemberitahuan (tagihan) mengenai adanya hutang pajak berupa sanksi administrasi dialamatkan kepada KSU Subur Propsu dan sebagai upaya terakhir kami memohon keadilan, dengan memohon menguji Pasal 7 UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP terhadap Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) Pasal 28 I ayat (4) dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. 4) Bahwa tujuan anggaran (perpajakan) bukan semata – mata keperluan budgetting akan tetapi harus ada rasa keadilan demi peningkatan pelayanan kepada wajib pajak selaku warga negara yang taat akan pajak sebagaimana dijamin oleh Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28 I ayat (4) dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. 5) Bahwa apabila tetap kami ditagih dengan sanksi denda terlambat laporan pajak berdasarkan Pasal 7 UU KUP atas pelaporan SPT tersebut, jelas koperasi tidak mampu membayarnya karena sampai saat ini KSU Subur Propsu yang belum memperoleh sisa hasil usaha (SHU) yang __ memadai. 6) Bahwa salah satu alasan penolakan permohonan penghapusan denda administrasi oleh pengadilan pajak antara lain: permohonan penggugat tidak memenuhi ketentuan formal sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU KUP (alat bukti lampiran P-9 dan lampiran P-10). 7) Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang perkoperasian antara lain: dikemukakan pada Pasal 3 menyatakan “Koperasi berdasarkan atas asas kekeluargaan” dan Pasal 4 menyatakan “Koperasi bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, sekaligus sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tata perekonomian nasional yang demokratis dan berkeadilan. Pasal 7 ayat (1) menyatakan kopersi primer didirikan oleh paling sedikit 20 (dua puluh) orang perseorangan dengan memisahkan sebagian kekayaan pendiri atau anggota sebagai modal awal koperasi, dengan memperhatikan bunyi Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (1) UU 17/2012 kiranya dapat dikecualikan penerapan ketentuan sanksi administrasi bagi koperasi dan usaha kecil menengah (UKM) berdasarkan Pasal 7 UU 6/1983 dan peraturan pelaksanaanya terhadap koperasi dan usaha kecil dan menengah (UKM), karena hal ini bertentangan dengan hak warga negara sebagaimana Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
www.mahkamahkonstitusi.go.id 47) Nomor Put. 47435/PP/M.X/99/2013, tanggal 25 September 2013, denda Rp. 500.000,- 48) Nomor Put. 47436/PP/M.X/99/2013, tanggal 25 September 2013, denda Rp. 500.000,- 49) Nomor Put. 47437/PP/M.X/99/2013, tanggal 25 September 2013, denda Rp. 500.000,- 50) Nomor Put. 47438/PP/M.X/99/2013, tanggal 25 September 2013, denda Rp. 500.000,- 51) Nomor Put. 47439/PP/M.X/99/2013, tanggal 25 September 2013, denda Rp. 500.000,- 52) Nomor Put. 47440/PP/M.X/99/2013, tanggal 25 September 2013, denda Rp. 500.000,- 53) Nomor Put. 47441/PP/M.X/99/2013, tanggal 25 September 2013, denda Rp. 500.000,- 54) Nomor Put. 47442/PP/M.X/99/2013, tanggal 25 September 2013, denda Rp. 500.000,- Sebagai alat bukti penolakan pengadilan pajak kami lampirkan alat bukti 2 (dua) fotokopi Surat Resmi Putusan Pengadilan Pajak yakni Nomor Put.47397/PP/M.X/99/2013 tanggal 25 September 2013 (lampiran P-9) dan Nomor Put.47400/PP/M.X/99/2013 tanggal 25 September 2013 (lampiran P-10) 3) Kronologis permohonan: pada saat mengajukan permohonan fiskal pajak koperasi, untuk kepeluan permohonan rekanan ke salah satu perusahaan badan usaha milik negara (BUMN), dimana salah satu persyaratan harus ada surat fiskal, namun pihak Kantor Pajak Pratama Medan Kota, tidak berkenan mengeluarkan pembaharuan Surat Keterangan Fiskal dengan alasan KSU Subur Propsu masih terhutang tunggakan denda sanksi administrasi PPh Badan dan PPh Pasal 21 sejak tahun 2008, 2009, 2010, dan 2011 (masa September 2008 s/d Desember 2011) atas keterlambatan melaporkan PPh masa selambat - lambatnya tanggal 20 bulan berjalan sebagaimana daftar rekapitulasi yang dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota pada (lampiran P-8). Denda sanksi administrasi ini didasarkan atas Pasal 7 UU 6/1983 tentang KUP sebagaimana dituangkan di dalam Putusan Pengadilan Pajak tanggal 25 September 2013 (lampiran P-9 dan lampiran Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
www.mahkamahkonstitusi.go.id 5) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang. Bahwa substansi ketentuan Pasal 7 UU 6/1983 telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sehingga menjadi, “(1) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi. (2) Pengenaan sanksi administrasi _berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap: _ a.) Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia; b.) Wajib Pajak orang _pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; _ c.) Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia; d.) Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia; e.) Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan _usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; _ f.) Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi; g.) Wajib Pajak yang _terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; _ atau h.) Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.” [vide Pasal I angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan], sehingga menurut Mahkamah Pasal 7 UU 6/1983 yang dimaksudkan Pemohon dalam pokok permohonannya dan yang menjadi objek permohonan Pemohon sudah tidak ada lagi; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Bantuan Keuangan Kepada Pertai Politik.
Relevan terhadap
Pengajuan permohonan bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilengkapi dengan persyaratan administrasi sebagai berikut:
penetapan perolehan kursi dan suara hasil Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum;
susunan kepengurusan Partai Politik yang sah;
rekening kas umum Partai Politik;
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Partai Politik;
rencana penggunaan dana bantuan keuangan Partai Politik; dan
laporan realisasi penerimaan dan penggunaan bantuan keuangan tahun anggaran sebelumnya.
Menteri Dalam Negeri/gubernur/bupati/walikota melakukan verifikasi keabsahan dan kelengkapan persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Untuk melakukan kegiatan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri Dalam Negeri/gubernur/bupati/walikota membentuk tim verifikasi.
Hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara. Bagian Kedua Penyaluran Bantuan Keuangan Pasal 8 (1) Penyaluran bantuan keuangan ke rekening kas umum Partai Politik tingkat pusat dilaksanakan oleh Menteri Keuangan atas permintaan Menteri Dalam Negeri.
Penyaluran bantuan keuangan ke rekening kas umum Partai Politik tingkat provinsi dilaksanakan oleh gubernur.
Penyaluran bantuan keuangan ke rekening kas umum Partai Politik tingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh bupati/walikota. ditjen Peraturan Perundang-undangan BAB IV PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN Pasal 9 Bantuan keuangan kepada Partai Politik digunakan sebagai dana penunjang kegiatan pendidikan politik dan operasional sekretariat Partai Politik.
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjan ...
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. ...
Relevan terhadap 1 lainnya
Dalam rangka memberikan kelonggaran waktu kepada Pengusaha Kena Pajak untuk menyetor kekurangan pembayaran pajak dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pasal ini mengatur secara khusus mengenai batas akhir pembayaran dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya. Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran pajak terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dan/atau keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal ini, Pengusaha Kena Pajak tetap dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya. Angka 16
Ayat (1) Pengusaha Kena Pajak orang pribadi terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha, sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak badan terutang pajak di tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha. Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat kedudukannya, setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak dan Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di wilayah kerja 1 (satu) Kantor Direktorat Jenderal Pajak, untuk seluruh tempat terutang tersebut, Pengusaha Kena Pajak memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya, kecuali apabila Pengusaha Kena Pajak tersebut menghendaki lebih dari 1 (satu) tempat pajak terutang, Pengusaha Kena Pajak wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal-hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang. Contoh 1: Contoh 1: Orang pribadi A yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila di tempat tinggal orang pribadi A tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A hanya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong sebab tempat terutangnya pajak bagi orang pribadi A adalah di Cibinong. Sebaliknya, apabila penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan oleh orang pribadi A hanya di tempat tinggalnya saja, orang pribadi A hanya wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor. Namun, apabila baik di tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya orang pribadi A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong karena tempat terutangnya pajak berada di Bogor dan Cibinong. Berbeda dengan orang pribadi, Pengusaha Kena Pajak badan wajib mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan maupun di tempat kegiatan usaha karena bagi Pengusaha Kena Pajak badan di kedua tempat tersebut dianggap melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Contoh 2: PT A mempunyai 3 (tiga) tempat kegiatan usaha, yaitu di kota Bengkulu, Bintuhan, dan Manna yang ketiganya berada di bawah pelayanan 1 (satu) kantor pelayanan pajak, yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu. Ketiga tempat kegiatan usaha tersebut melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan melakukan administrasi penjualan dan administrasi keuangan sehingga PT A terutang pajak di ketiga tempat atau kota itu. Dalam keadaan demikian, PT A wajib memilih salah satu tempat kegiatan usaha untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya tempat kegiatan usaha di Bengkulu. PT A yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga tempat kegiatan usaha perusahaan tersebut. Dalam hal PT A menghendaki tempat kegiatan usaha di Bengkulu dan Bintuhan ditetapkan sebagai tempat pajak terutang untuk seluruh kegiatan usahanya, PT A wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu. Ayat (2) Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha, Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Orang pribadi atau badan baik sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun bukan Pengusaha Kena Pajak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan/atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean tetap terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha orang pribadi atau di tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha badan tersebut. Angka 14
Ayat (1) Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau menyerahkan Jasa Kena Pajak itu wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda dengan faktur penjualan. Faktur Pajak dapat berupa faktur penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan ketentuan ini, atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D wajib diterbitkan Faktur Pajak. Ayat (1a) Pada prinsipnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan. Dalam hal tertentu dimungkinkan saat pembuatan Faktur Pajak tidak sama dengan saat-saat tersebut, misalnya dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah. Oleh karena itu, Menteri Keuangan berwenang untuk mengatur saat lain sebagai saat pembuatan Faktur Pajak. Ayat (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak gabungan. Ayat (2a) Untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak diperkenankan membuat Faktur Pajak gabungan paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya. Contoh 1: Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2010, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli 2010 sama sekali belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli, yaitu paling lama tanggal 31 Juli 2010. Contoh 2: Contoh 2: Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran oleh pengusaha B atas penyerahan tanggal 2 September 2010. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada bulan September. Contoh 3: Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran atas penyerahan tanggal 2 September 2010 dan pembayaran uang muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2010 oleh pengusaha B. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan September. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas, dan benar serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f. Ayat (6) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena:
faktur penjualan yang digunakan oleh pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas, seperti kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara;
untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak; dan
terdapat dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Faktur Pajak yang dibetulkan adalah, antara lain, Faktur Pajak yang salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan. Termasuk dalam pengertian salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan adalah, antara lain, adanya penyesuaian Harga Jual akibat berkurangnya kuantitas atau kualitas Barang Kena Pajak yang wajar terjadi pada saat pengiriman. Ayat (9) Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6). Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material. Angka 15
Penyelesaian Kewajiban Pabean dan Pajak dalam Rangka Impor Barang Bantuan Hibah untuk Penanggulangan Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami yang Terjadi ...
Relevan terhadap
Dalam rangka penyelesaian kewajiban pabean Barang Bantuan Hibah sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 5 huruf b, Kepala Kantor Pabean tempat pemasukan secara jabatan menyampaikan surat yang berisi daftar Barang Bantuan Hibah yang tercatat dalam administrasi Kantor Pabean kepada Direktur Jenderal u.p. Direktur Fasilitas Kepabeanan sebagai dasar untuk menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan tentang pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor.
Surat penyampaian daftar Barang Bantuan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VI dan Lampiran VII Peraturan Menteri Keuangan ini.
Direktur Fasilitas Kepabeanan u.b. Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor atas Barang Bantuan Hibah, dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIII Peraturan Menteri Keuangan ini, dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah diterimanya surat penyampaian yang berisi daftar Barang Bantuan Hibah dari Kantor Pabean tempat pemasukan.
Untuk mendapatkan persetujuan pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, pemohon mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan u.p. Direktur Jenderal, dengan menyebutkan alasan dilakukannya pemusnahan, dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XII Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerima fasilitas yang namanya tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan mengenai pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor atas Barang Bantuan Hibah.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan dokumen sebagai berikut:
Keputusan Menteri Keuangan mengenai pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor;
Pemberitahuan Pabean Impor atau surat keterangan dari Kepala Kantor Pabean tempat pemasukan barang yang menyatakan bahwa Barang Bantuan Hibah dimaksud tercatat dalam administrasi pabean;
fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak instansi/organisasi; dan
bukti fisik asli berupa:
foto, cek fisik nomor mesin, nomor rangka kendaraan bermotor, dan surat keterangan jalan dari kepolisian setempat, dan asli Formulir B lembar “untuk yang berkepentingan”, dalam hal Formulir B telah diterbitkan untuk Barang Bantuan Hibah berupa kendaraan bermotor; atau
foto, cek fisik nomor mesin dan nomor rangka, asli Formulir B lembar “untuk yang berkepentingan” dalam hal Formulir B telah diterbitkan untuk Barang Bantuan Hibah berupa alat berat.
Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan.
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Direktur Fasilitas Kepabeanan u.b. Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan menerbitkan surat persetujuan pemusnahan tanpa kewajiban membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor, sesuai dengan contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIII Peraturan Menteri Keuangan ini, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak dokumen diterima lengkap.
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, Direktur Fasilitas Kepabeanan u.b. Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan menerbitkan surat penolakan dengan menyebutkan alasannya, dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIV Peraturan Menteri Keuangan ini.
Untuk mendapatkan persetujuan diekspor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, pemohon mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal u.p. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat lokasi pelaksanaan ekspor, dengan menyebutkan alasan ekspor kembali, dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XV Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerima fasilitas yang namanya tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan tentang pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor atas Barang Bantuan Hibah.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan dokumen sebagai berikut:
Keputusan Menteri Keuangan tentang pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor;
Pemberitahuan Pabean Impor atau surat keterangan dari Kepala Kantor Pabean tempat pemasukan barang yang menyatakan bahwa Barang Bantuan Hibah dimaksud tercatat dalam administrasi pabean;
fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak instansi/ organisasi; dan
bukti fisik asli berupa:
foto, cek fisik nomor mesin, nomor rangka kendaraan bermotor, dan surat keterangan jalan dari kepolisian setempat, dan asli Formulir B lembar “untuk yang berkepentingan”, dalam hal Formulir B telah diterbitkan untuk Barang Bantuan Hibah berupa kendaraan bermotor; atau
foto, cek fisik nomor mesin dan nomor rangka, asli Formulir B lembar “untuk yang berkepentingan” dalam hal Formulir B telah diterbitkan untuk Barang Bantuan Hibah berupa alat berat.
Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas nama Direktur Jenderal memberikan persetujuan atau penolakan.
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas nama Direktur Jenderal menerbitkan surat persetujuan diekspor kembali tanpa disertai kewajiban membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor, dengan menggunakan format surat sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XVI Peraturan Menteri Keuangan ini ini, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak dokumen diterima lengkap.
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas nama Direktur Jenderal menerbitkan surat penolakan dengan menyebutkan alasannya, dengan menggunakan format surat sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIV Peraturan Menteri Keuangan ini ini.
Uji materiil terhadap Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK 94/PMK.04/2016 ttg pemberitahuan barang kena cukai yang selesai dibu ...
Relevan terhadap
“(1) Cukai tidak dipungut atas Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) terhadap: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 42 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 43 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 a. Tembakau iris yang dibuat dari tembakau hasil tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan, apabila dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri atau bahan lain yang lazim dipergunakan dalam pembuatan hasil tembakau dan/atau pada kemasannya ataupun tembakau irisnya tidak dibubuhi merek dagang, etiket, atau yang sejenis itu;
Minuman yang mengandung etil alkohol hasil peragian atau penyulingan yang dibuat oleh rakyat di Indonesia secara sederhana, semata-mata untuk mata pencaharian dan tidak dikemas untuk penjualan eceran”;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, berdasarkan Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Cukai, telah menyatakan bahwa: “Tidak dipungutnya cukai atas barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah untuk memberikan keringanan kepada masyarakat di beberapa daerah yang membuat barang tersebut secara sederhana dan merupakan sumber mata pencaharian; Yang dimaksud dengan “dikemas untuk penjualan eceran” adalah dikemas dalam kemasan dengan isi tertentu dengan menggunakan benda yang dapat melindungi dari kerusakan dan meningkatkan pemasarannya”;
Bahwa guna menjamin pengamanan hak-hak negara yang melekat terhadap barang kena cukai dan untuk menjamin kepastian hukum bagi pelaku usaha industri barang kena cukai, maka Termohon perlu untuk mempertegas batasan saat pengenaan cukai secara jelas, sehingga dapat memberikan landasan dan kepastian hukum terhadap tanggung jawab pembukuan ataupun pencatatan;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, Termohon berpendapat bahwa Termohon memang sangat perlu untuk mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan dan pemberitahuan mengenai Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat sebagaimana diatur dalam Pasal 16, di dalam sebuah peraturan menteri;
Bahwa Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Cukai juga telah memberikan kewenangan kepada Termohon untuk mengatur perihal pemberitahuan barang kena cukai yang selesai dibuat melalui Peraturan Menteri Keuangan;
Bahwa memperhatikan kewenangan yang telah diberikan oleh Undang- Undang Cukai tersebut, serta memperhatikan pengaturan wewenang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 43 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 44 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 pembentukan perundang-undangan sesuai Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Termohon menetapkan PMK 94/2016 guna memberikan ketegasan dan kejelasan serta kepastian hukum bagi para pelaku usaha untuk melakukan pemberitahuan atas barang kena cukai yang selesai dibuat;
Bahwa dapat Termohon tegaskan, di dalam pembentukan PMK 94/2016, Termohon sudah berpedoman terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang mengatur tentang Cukai serta tidak menambahkan norma-norma baru yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut;
Bahwa lebih lanjut, dapat Termohon sampaikan bahwa norma-norma yang ada dalam PMK 94/2016 sudah sejalan dengan norma-norma yang ada dalam Undang-Undang Cukai sebagaimana yang Termohon jelaskan pada dalil-dalil di atas; PENJELASAN MENGENAI HAL-HAL DI LUAR POKOK PERMOHONAN Sebelum Termohon menanggapi Pokok Permohonan Pemohon, Termohon terlebih dahulu akan mengemukakan hal-hal di luar Pokok Permohonan Pemohon, sebagai berikut: Pemohon Tidak Memiliki Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Untuk Mengajukan Permohonan a quo 1. Bahwa ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (untuk selanjutnya disebut “Undang-Undang 3/2009”), menyatakan: “Permohonan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
Badan Hukum Publik/Privat; ” 2. Bahwa sesuai ketentuan pada Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang 3/2009 tersebut, seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( Legal Standing ) dalam permohonan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang- undang. apabila dapat menjelaskan dan membuktikan: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 44 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 45 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 a. Kualifikasi Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana diatur dalam Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang 3/2009;
Hak dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang diuji;
Kerugian hak pemohon secara spesifik sebagai akibat berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dimohonkan pengujiannya;
Terkait dengan permohonan Uji Materiil ini, Termohon terlebih dahulu mempertanyakan hal-hal sebagai berikut:
Hak Pemohon manakah yang telah dirugikan atas berlakunya Peraturan Menteri Keuangan a quo ? b. Kerugian seperti apa yang timbul yang diakibatkan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan a quo ? Permasalahan Pemohon Timbul Karena Pelaksanaan Ketentuan Perundang- undangan Lain yang Telah Berlaku Sebelum Berlakunya Ketentuan Pasal 2 ayat 3 huruf (f) dan Pasal 3 ayat 2 huruf (d) PMK 94/2016;
Bahwa dalam dalil-dalilnya, Pemohon mempermasalahkan kewajiban administrasi dan kemungkinan beban fiskal yang harus ditanggung oleh Pemohon akibat berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat 3 huruf (f) dan Pasal 3 ayat 2 huruf (d) PMK 94/2016;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, kewajiban administrasi dan sanksi denda yang dibebankan kepada Pemohon didasarkan atas hal-hal sebagai berikut:
1 Bahwa berdasarkan Laporan Hasil Audit Nomor LHA-45/BC.62/IP/2016 tanggal 12 Februari 2012 yang diterbitkan oleh Tim Audit Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, terdapat fakta bahwa Pemohon melakukan hal-hal sebagai berikut:
Melakukan pengusahaan pabrik di Jalan Raya Purwosari RT 01 RW 07, Kelurahan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur;
Merupakan Pengusaha Pabrik, dengan lokasi pabrik di Jalan Raya Purwosari RT 01 RW 07, Kelurahan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur;
Melakukan perajangan daun tembakau;
Hasil produksi berupa Tembakau Iris (TIS) ditujukan untuk ekspor dan lokal yang dibuktikan dengan dokumen kepabeanan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 45 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 46 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 (Pemberitahuan Ekspor Barang) dan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT);
TIS tujuan ekspor, digunakan Daun Tembakau lokal dicampur dengan daun tembakau asal impor, yang dibuktikan dengan catatan perusahaan dan dokumen kepabeanan (Pemberitahuan Impor Barang);
TIS tujuan ekspor ditambah dengan flavour (rasa);
2 Bahwa atas fakta-fakta di atas, Pemohon diwajibkan untuk memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) sebagaimana telah diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-Undang Cukai juncto Pasal 2 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2008 tentang Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (selanjutnya disebut sebagai “PP 72/2008”),, dan diharuskan untuk membayar sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Cukai dikarenakan Pemohon tidak memiliki NPPBKC;
3 Bahwa dapat Termohon sampaikan pula, terhadap pelaku usaha yang memproduksi barang kena cukai yang mendapat fasilitas tidak dipungut cukai dapat dikecualikan dari kewajiban kepemilikan NPPBKC sepanjang pelaku usaha tersebut memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 3 PP 72/2008;
4 Bahwa sesuai fakta yang tidak dapat terbantahkan, Pemohon telah memakai campuran produk tembakau impor dalam membuat Tembakau Iris hasil produksinya, sehingga Pemohon tidak memenuhi kriteria pihak yang dikecualikan berdasarkan Pasal 3 PP 72/2008;
5 Bahwa berdasarkan hal tersebut, sudah sepatutnya jika Pemohon diwajibkan untuk memiliki NPPBKC dan dikenai sanksi sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta Rupiah) sesuai Surat Tagihan Nomor S-01/WBC.10/KPP.MP.02/2016 tanggal 18 Februari 2016 yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean A Pasuruan;
6 Bahwa penetapan kewajiban memiliki NPPBKC dan sanksi denda tersebut telah diperkuat dengan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put- 84257/PP/M.XVIIA/20/2017 tanggal 29 Mei 2017, dimana dalam putusan tersebut, Majelis Hakim menetapkan bahwa Pemohon wajib Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 46 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 47 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 memiliki NPPBKC dan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta Rupiah);
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut, telah nyata dan jelas bahwa kewajiban Pemohon untuk memiliki NPPBKC dan membayar sanksi akibat tidak dimilikinya NPPBKC merupakan kewajiban yang harus ditanggung oleh Pemohon sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan lain yang telah berlaku sebelum berlakunya PMK 94/2016 yang menjadi objek permohonan dalam permohonan uji materi a quo ;
Bahwa dapat Termohon sampaikan pula, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 14 PMK 94/2016, telah diatur bahwa PMK 94/2016 mulai berlaku 60 hari setelah tanggal diundangkan (tanggal 15 Agustus 2016), sedangkan pengenaan sanksi kepada Pemohon ditetapkan pada tanggal 18 Februari 2016. Dengan demikian telah terbuktikan bahwa permasalahan Pemohon tersebut terjadi pada saat PMK 94/2016 belum diundangkan dan diberlakukan, sehingga dalil Pemohon pada halaman 15 huruf g yang pada intinya menyatakan bahwa PMK 94/2016 diterbitkan guna membantah argumentasi Pemohon dalam sengketa pajak adalah dalil yang mengada- ada dan tidak beralasan;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, telah terbukti pula bahwa tidak ada kerugian yang dialami oleh Pemohon sebagai akibat berlakunya PMK 94/2016, sehingga Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam mengajukan permohonan uji materiil a quo ; Bahwa mempertimbangkan hal-hal di atas dan memperhatikan ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang 3/2009, Termohon memohon kepada Majelis Hakim Agung yang memeriksa permohonan uji materiil a quo untuk menyatakan uji materiil tidak dapat diterima ( Niet Ontvankelijk Verklaard ); PENJELASAN ATAS POKOK PERKARA A. Undang-Undang Cukai Memberikan Amanat Pengaturan Pemberitahuan Barang Kena Cukai Selesai Dibuat Melalui Peraturan Menteri Keuangan;
Bahwa Termohon berpendapat, pada prinsipnya suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila dibentuk berdasarkan amanat dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh Pejabat yang menerbitkan peraturan perundang-undangan dimaksud; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 47 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 48 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 2. Bahwa dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah diatur pula bahwa:
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat;
ii. Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, PMK 94/2016 merupakan pelaksanaan ketentuan lanjut mengenai pemberitahuan barang kena cukai yang selesai dibuat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Cukai yang berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pemberitahuan mengenai barang kena cukai yang selesai dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri”;
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Cukai tersebut, para pembentuk undang-undang telah memberikan kewenangan terbuka ( opened legal policy ) kepada Menteri Keuangan untuk melakukan pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan barang kena cukai yang selesai dibuat;
Bahwa berdasarkan wewenang yang telah diberikan oleh Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Cukai, Menteri Keuangan mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai pemberitahuan barang kena cukai yang selesai dibuat melalui PMK 94/2016 guna memberikan ketegasan dan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 48 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 49 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 kejelasan bagi para pihak yang oleh Undang-Undang Cukai diwajibkan untuk melakukan pemberitahuan;
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, telah terbukti bahwa Menteri Keuangan memiliki wewenang yang diberikan oleh Undang- Undang Cukai untuk mengatur lebih lanjut hal-hal terkait dengan pemberitahuan barang kena cukai yang selesai dibuat melalui penerbitan PMK 94/2016; B. TANGGAPAN TERMOHON TERHADAP POKOK PERMOHONAN PEMOHON PMK 94/2016 Tidak Memperluas Norma yang Diatur pada Undang-Undang Cukai, Melainkan Mempertegas Aturan Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang telah Diatur Pada Undang-Undang Cukai;
Bahwa Pemohon dalam dalil-dalilnya menyatakan bahwa Termohon telah memperluas norma-norma mengenai Tembakau Iris yang diatur dalam Undang-Undang Cukai sehingga merugikan Pemohon sebagai pelaku usaha yang memproduksi Tembakau Iris;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, aturan-aturan dalam Pasal 2 ayat (3) huruf f dan Pasal 3 ayat (2) huruf d PMK 94/2016 merupakan penegasan dari kapan peristiwa pengenaan cukai mulai berlaku atas hasil tembakau berupa Tembakau Iris dan kapan pelaku usaha yang memproduksi Tembakau Iris diwajibkan untuk melakukan pemberitahuan kepada Termohon;
Bahwa ketentuan tersebut sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap semua pelaku usaha yang melakukan produksi barang kena cukai sehingga pelaku usaha tersebut mengetahui titik mula dari peristiwa dimana mereka diwajibkan oleh pembuat undang-undang untuk melakukan pemberitahuan kepada Termohon;
Bahwa di sisi lain, Termohon diamanatkan oleh peraturan perundang- undangan untuk melakukan pengawasan atas Barang Kena Cukai. Atas dasar tersebut, Termohon harus memberikan kepastian bahwa pihak yang diawasi juga mengetahui kapan dimulainya hak mengawasi yang dimiliki oleh Termohon;
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut, guna melindungi kepentingan para pelaku usaha Barang Kena Cukai dan memberikan kepastian hukum, sudah sepatutnya jika Termohon mempertegas aturan mengenai pemberitahuan barang kena cukai melalui PMK 94/2016; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 49 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 50 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 Pemohon Sebagai Pelaku Usaha yang Memproduksi Barang Kena Cukai Diwajibkan Untuk Memiliki NPPBKC;
Bahwa sebagaimana yang dipermasalahkan oleh Pemohon pada angka 2.14 Halaman 10 dalam Permohonannya berkaitan dengan kegiatan usaha Pemohon yang melakukan pemrosesan tembakau yang diantaranya merajang daun tembakau, mengeringkan dan menjaga kelembaban daun tembakau rajangan dan mengepak tembakau rajangan untuk dijual ke pabrik rokok;
Berdasarkan pengakuan Pemohon dalam Permohonannya tersebut di atas, maka sangat jelas bahwa Pemohon adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha produksi Tembakau Iris yang digunakan sebagai bahan baku Pengusaha Pabrik lainnya dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai (dhi. Rokok);
Bahwa dengan memproduksi Barang Kena Cukai, Pemohon diwajibkan tunduk terhadap ketentuan Undang-Undang Cukai termasuk diantaranya Pasal 14 Undang-Undang Cukai yang mewajibkan untuk memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai dari Menteri dan Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Cukai yang mewajibkan untuk memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor tentang barang kena cukai yang selesai dibuat; Pemohon Tidak Memiliki Kedudukan yang Sama Dengan Petani Tembakau Karena Pemohon Wajib Memiliki NPPBKC;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, Pasal 14 Undang-Undang Cukai mengatur norma bahwa setiap orang yang akan menjalankan kegiatan sebagai Pengusaha Pabrik; Pengusaha Tempat Penyimpanan; Importir Barang Kena Cukai; Penyalur; atau Pengusaha Tempat Penjualan Eceran, wajib memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC);
Bahwa sejalan dengan norma yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-Undang Cukai, Pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2008 juga mengatur bahwa terhadap Orang yang membuat tembakau iris dari daun tembakau hasil tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim digunakan tidak diwajibkan untuk memiliki NPPBKC, apabila:
dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri atau bahan lain yang lazim Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 50 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 51 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 dipergunakan dalam pembuatan hasil ternbakau; dan/atau
pada pengemas atau tembakau irisnya tidak dibubuhi atau dilekati atau dicantumkan cap, merek dagang, etiket, atau yang sejenis dengan itu;
Bahwa selanjutnya berdasarkan norma yang diatur dalam Pasal 8 ayat 1 huruf a Undang-Undang Cukai dapat dipahami bahwa kriteria “dikemas untuk penjualan eceran” atau “tidak dikemas untuk penjualan eceran”bukan kriteria yang mengatur apakah barang kena cukai belum selesai dibuat atau telah selesai dibuat, melainkan mengatur kriteria tidak dipungut cukai sehingga berdasarkan hal tersebut, barang kena cukai (dhi. Tembakau Iris) yang dihasilkan oleh Pemohon tetap merupakan Barang Kena Cukai sehingga atas barang tersebut melekat hak-hak negara dan harus diawasi; Bahwa Pemohon Sebagai Pemasok Tembakau Iris Untuk Bahan Baku Tetap Wajib Memiliki NPPBKC;
Bahwa ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Cukai juga telah mengatur hal sebagai berikut: “(2) Cukai juga tidak dipungut atas Barang Kena Cukai apabila:
diangkut terus atau diangkut lanjut dengan tujuan luar Daerah Pabean;
diekspor;
dimasukkan ke dalam Pabrik atau Tempat Penyimpanan;
digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan Barang Kena Cukai;
telah musnah atau rusak sebelum dikeluarkan dari Pabrik, Tempat Penyimpanan atau sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai”;
Bahwa dapat Termohon jelaskan, ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang- Undang Cukai a quo disebut sebagai fasilitas tidak dipungut cukai bersyarat;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, fasilitas bersyarat memiliki arti bahwa dalam hal Barang Kena Cukai tersebut telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan, maka atas Barang Kena Cukai tersebut tidak dipungut cukai;
Bahwa walaupun tembakau iris yang akan digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan sigaret tersebut mendapatkan fasilitas tidak dipungut cukai, akan tetapi kewajiban Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 51 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 52 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 membayar cukai masih melekat pada Tembakau Iris tersebut. Pemungutan Cukai terhadap tembakau iris tersebut tidak dilakukan selama memenuhi persyaratan yang ditentukan, dibuktikan dengan dokumen cukai yang diwajibkan dan Barang Kena Cukai masih tetap dalam pengawasan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Cukai: “Ayat (2) Kewajiban membayar cukai masih melekat pada Barang Kena Cukai yang diatur pada ayat ini, tetapi pemungutannya tidak dilakukan selama memenuhi persyaratan yang ditentukan, dibuktikan dengan dokumen cukai yang diwajibkan dan Barang Kena Cukai masih tetap berada dalam pengawasan; Huruf d Barang Kena Cukai yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong menurut ketentuan huruf ini tidak dipungut cukai, karena cukainya akan dikenai terhadap barang hasil akhir yang juga merupakan Barang Kena Cukai, seperti etil alkohol yang dipergunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan minuman yang mengandung etil alkohol atau sebagai bahan penolong dalam pembuatan hasil tembakau”;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, salah satu dokumen cukai yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Cukai adalah dokumen perizinan berupa NPPBKC;
Bahwa berdasarkan hal-hal di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemohon sebagai pemasok Tembakau Iris yang untuk bahan baku, tetap diwajibkan untuk memiliki NPPBKC; KESIMPULAN Bahwa berdasarkan uraian dalil-dalil Termohon sebagaimana telah dijelaskan di atas, Termohon menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa latar belakang lahirnya PMK 94/2016 adalah untuk memenuhi hak- hak Negara yang berdasarkan Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Cukai, memerintahkan dan mengamanatkan agar ketentuan lebih lanjut terkait Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat diatur secara khusus berdasarkan peraturan menteri yakni PMK 94/2016. Ketentuan yang mengatur Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat ini tidak terlepas dari norma titik awal timbulnya kewajiban bagi entitas penghasil Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 52 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 53 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 produk Barang Kena Cukai dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Cukai;
Bahwa Daun Tembakau yang telah dirajang oleh Pemohon telah dikategorikan Tembakau Iris yang pengenaan cukainya telah mulai diberlakukan pada saat selesai dirajang dan terhadap Barang Kena Cukai tersebut telah terutang cukai dan telah melekat hak-hak negara sehingga berdasarkan Pasal 3B Undang-Undang Cukai wajib diberlakukan seluruh ketentuan Cukai;
Bahwa kriteria “dikemas untuk penjualan eceran” atau “tidak dikemas untuk penjualan eceran” bukan kriteria yang mengatur apakah barang kena cukai belum selesai dibuat atau telah selesai dibuat, melainkan mengatur kriteria tidak dipungut cukai sehingga berdasarkan hal tersebut, barang kena cukai (dhi. Tembakau Iris) yang dihasilkan oleh Pemohon tetap merupakan Barang Kena Cukai sehingga atas barang tersebut melekat hak-hak negara dan harus diawasi;
Bahwa problematika hukum yang disampaikan oleh Pemohon Keberatan dalam Permohonan Keberatannya bukanlah masalah norma, apalagi masalah pertentangan antar peraturan, melainkan permasalahan Pemohon Keberatan sesungguhnya adalah terkait implementasi norma tersebut. Bahwa Pemohon Keberatan hanya tidak dapat memahami bahwa Tembakau Iris adalah salah satu jenis Hasil Tembakau yang dikategorikan sebagai Barang Kena Cukai dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Cukai yang diwajibkan untuk memiliki izin NPPBKC, sehingga sanksi administrasi yang dikenakan kepada Pemohon murni adalah kesalahan Pemohon Keberatan sendiri;
Bahwa Tembakau Iris yang dihasilkan oleh Petani memenuhi kriteria Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Cukai karena dibuat dari hasil tanaman tembakau di Indonesia yang diproses secara sederhana, sedangkan Pemohon melakukan pemrosesan Tembakau Iris yang telah dicampur dengan tembakau yang bukan hanya berasal dari dalam negeri;
Kegiatan usaha yang dilakukan Pemohon sama sekali tidak sama dengan Petani Tembakau. Kegiatan usaha yang dilakukan Pemohon yakni diantaranya merajang daun tembakau, mengeringkan dan menjaga kelembaban daun tembakau rajangan dan mengepak tembakau rajangan untuk dijual ke pabrik rokok telah memenuhi kategori Pabrik sebagaimana Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Cukai yang terhadapnya dibebani Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 53 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 54 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 kewajiban untuk memiliki izin NPPBKC dan Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas; Menimbang, bahwa yang menjadi obyek permohonan keberatan hak uji materiil Pemohon adalah Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat, vide Bukti P-1; __ Menimbang, bahwa sebelum Mahkamah Agung mempertimbangkan tentang substansi permohonan yang diajukan Pemohon, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi persyaratan formal, yaitu apakah Pemohon mempunyai kepentingan untuk mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil, sehingga Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil; Menimbang, bahwa objek permohonan keberatan hak uji materiil berupa Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat __ merupakan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sehingga Mahkamah Agung berwenang untuk mengujinya; Menimbang, bahwa Pemohon adalah PT Sadhana yang diwakili oleh Sunarjo Sampoerna dalam kapasitasnya sebagai Direktur, oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama Badan Hukum PT Sadhana; Menimbang, bahwa dalam permohonannya, Pemohon telah mendalilkan bahwa Pemohon mempunyai kepentingan dengan alasan sebagai berikut:
Bahwa Pemohon adalah suatu perusahaan yang melakukan kegiatan usaha yang berkaitan dengan produk daun tembakau, yang dalam hal ini melakukan pembelian tembakau kepada petani-petani tembakau yang selanjutnya Pemohon melakukan pemrosesan daun-daun tembakau tersebut untuk kemudian hasil proses tembakau tersebut dijual ke pabrik rokok untuk diolah kembali menjadi produk hasil tembakau (rokok); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 54 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 55 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 2. Bahwa secara umum, kegiatan usaha yang terkait dengan produk tembakau meliputi: • Budidaya Tembakau; • Tata Niaga Tembakau; • Pemrosesan Daun Tembakau; • Pabrik Hasil Tembakau;
Bahwa untuk diketahui, kegiatan tersebut tidak hanya melibatkan perusahaan atau pabrik atau pengusaha pabrik saja akan tetapi meliputi juga melibatkan perorangan termasuk petani-petani tembakau yang dalam prakteknya tidak hanya melakukan kegiatan budi daya daun tembakau tetapi juga sering melakukan kegiatan tata niaga dan pemrosesan daun tembakau;
Bahwa sehubungan dengan hal tersebut sangatlah lazim dan dalam prakteknya hampir sebagian besar petani tembakau melakukan kegiatan merajang, mengeringkan dan mengepak tembakau rajangan untuk dijual ke tempat pemrosesan tembakau dan/atau pabrik rokok;
Bahwa seperti halnya yang juga dilakukan oleh para petani tembakau, pada dasarnya Kegiatan Usaha yang dilakukan oleh Pemohon adalah melakukan pemrosesan tembakau seperti memisahkan gagang dari daun tembakaunya, merajang daun tembakau menjadi bagian kecil-kecil, memisahkan hasil rajangan dengan material non tembakau (seperti debu, plastik, pecahan tikar, kerikil, bulu ayam, jerami dll.), mengeringkan dan menjaga kelembaban daun tembakau rajangan, mengepak tembakau rajangan untuk dijual ke pabrik rokok. Tembakau rajangan ini belum siap untuk dipakai karena masih akan diproses lebih lanjut menjadi hasil tembakau/rokok di pabrik rokok;
Bahwa selama ini, berdasarkan Undang-Undang Cukai, posisi hukum dari Pemohon, sebagaimana halnya dengan petani-petani tembakau yang melakukan kegiatan perajangan khususnya yang menjual hasil tembakaunya kepada Pemohon, tidak termasuk ke dalam kriteria sebagai pelaku usaha atau subjek yang memproduksi barang kena cukai dan karenanya tidak diwajibkan untuk melakukan prosedur administrasi sebagai pengusaha barang kena cukai sesuai Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 14 Undang-Undang Cukai namun dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat, khususnya Pasal 2 angka 3 huruf (f) yang berbunyi: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 55 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 56 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 “hasil tembakau untuk jenis Tembakau Iris yaitu pada saat proses pengolahan daun tembakau telah selesai dirajang, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya” dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) yang berbunyi: “untuk hasil tembakau berupa Tembakau Iris yang digunakan sebagai bahan baku oleh Pengusaha Pabrik lainnya dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai, dalam hal hasil tembakau berupa Tembakau Iris dimaksud telah dikemas”; menjadikan seakan-akan Pemohon (dan juga petani-petani tembakau sebagaimana disebut di atas) kembali harus dikualifikasikan sebagai pengusaha barang kena cukai karena isinya mengatur atau memperluas kriteria yang tidak diatur dalam Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 14 Undang-Undang Cukai dimana seharusnya kualifikasi Tembakau Iris yang merupakan Barang Kena Cukai yang telah selesai dibuat adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya” sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 4 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Cukai, sehingga dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat, khususnya Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) kualifikasi Tembakau Iris yang tadinya hanya meliputi: “hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai”, kualifikasinya diperluas menjadi: (i) “hasil tembakau untuk jenis Tembakau Iris yaitu pada saat proses pengolahan daun tembakau telah selesai dirajang”; dan (ii) untuk hasil tembakau berupa Tembakau Iris yang digunakan sebagai bahan baku oleh Pengusaha Pabrik lainnya dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai, dalam hal hasil tembakau berupa Tembakau Iris dimaksud telah dikemas ( vide Bukti P- 1);
Bahwa fakta tersebut disamping melanggar hak hukum dan hak konstitusional dari Pemohon juga dalam pelaksanaan dapat menghambat bahkan merugikan tidak hanya bagi Pemohon akan tetapi juga bagi petani- petani tembakau yang menjual hasilnya kepada Pemohon Judicial review , karena berdasarkan kriteria yang sumir dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 menjadikan Pemohon dan para petani tembakau Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 56 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 57 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 tersebut dianggap sebagai pihak yang memproduksi Barang Kena Cukai dan harus melakukan proses administrasi sebagai subjek yang memproduksi barang kena cukai. Padahal, sebagaimana akan diuraikan dalam permasalahan pokok di bawah, diketahui bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 16 Undang-Undang Cukai yang terkait dengan kewajiban administrasi hanya bagi subjek yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 14 Undang-Undang Cukai sehingga secara konstruksi hukum ketentuan Pasal 16 tersebut hanya berlaku bagi subjek yang telah memenuhi kriteria pasal-pasal tersebut, namun pada kenyataannya ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 malahan membuat norma baru yang isinya merubah kaidah-kaidah yang ada di Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 14 Undang- Undang Cukai ( vide Bukti P-6);
Bahwa kerugian-kerugian yang terjadi apabila ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 diterapkan yang akan dirasakan Pemohon setidaknya adalah adanya tambahan kewajiban administrasi atau mungkin beban fiskal cukai yang mungkin harus ditanggung oleh Pemohon yang sebenarnya oleh Undang-Undang Cukai sendiri tidak pernah diwajibkan dan selain itu, khusus terkait dengan masalah kegiatan usaha, karena perluasan norma dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 menyebabkan petani-pertani yang menjadi mitra usaha Pemohon juga akan dikenakan kewajiban administrasi cukai, yang sebenarnya berdasarkan Undang-Undang Cukai sendiri tidak diwajibkan, yang kami yakini akan memberatkan petani-petani tersebut, dalam implementasinya kemungkinan Pemohon harus menyeleksi lagi petani- petani mitra usaha tersebut, karena harus memastikan petani-petani tersebut memenuhi kewajiban dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 yang sebenarnya tidak diwajbkan oleh Undang-Undang Cukai, dan berdasarkan pengalaman Pemohon hal tersebut akan sulit dilakukan dan pada akhirnya bisa menghambat atau setidak-tidaknya mempengaruhi secara tidak baik bagi kegiatan usaha Pemohon dan juga petani tembakau;
Bahwa kami selaku Pemohon Uji Materiil ini adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusional kami dirugikan dengan diberlakukannya: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 57 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 58 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 (i) Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; (ii) Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat ( vide Bukti P-1);
Bahwa kami selaku Pemohon Uji Materiil adalah sebagai badan hukum privat ( legal entity ), telah memenuhi kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) dan memiliki kepentingan untuk menyampaikan permohonan hak uji materiil ( judicial review ) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 31 A Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ayat (2) "Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undang di bawah undang-undang yaitu:
perorangan warga Negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang; atau
badan hukum publik atau badan hukum privat; Menimbang, bahwa Termohon dalam jawabannya telah mendalilkan sebagai berikut: __ Permasalahan Pemohon Timbul Karena Pelaksanaan Ketentuan Perundang- undangan Lain yang Telah Berlaku Sebelum Berlakunya Ketentuan Pasal 2 ayat 3 huruf (f) dan Pasal 3 ayat 2 huruf (d) PMK 94/2016 1. Bahwa dalam dalil-dalilnya, Pemohon mempermasalahkan kewajiban administrasi dan kemungkinan beban fiskal yang harus ditanggung oleh Pemohon akibat berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat 3 huruf (f) dan Pasal 3 ayat 2 huruf (d) PMK 94/2016;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, kewajiban administrasi dan sanksi denda yang dibebankan kepada Pemohon didasarkan atas hal-hal sebagai berikut:
1 Bahwa berdasarkan Laporan Hasil Audit Nomor LHA-45/BC.62/IP/2016 tanggal 12 Februari 2012 yang diterbitkan oleh Tim Audit Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, terdapat fakta bahwa Pemohon melakukan hal-hal sebagai berikut:
Melakukan pengusahaan pabrik di Jalan Raya Purwosari RT 01 RW 07, Kelurahan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 58 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 59 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 b. Merupakan Pengusaha Pabrik, dengan lokasi pabrik di Jalan Raya Purwosari RT 01 RW 07, Kelurahan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur;
Melakukan perajangan daun tembakau;
Hasil produksi berupa Tembakau Iris (TIS) ditujukan untuk ekspor dan lokal yang dibuktikan dengan dokumen kepabeanan (Pemberitahuan Ekspor Barang) dan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT);
TIS tujuan ekspor, digunakan Daun Tembakau lokal dicampur dengan daun tembakau asal impor, yang dibuktikan dengan catatan perusahaan dan dokumen kepabeanan (Pemberitahuan Impor Barang);
TIS tujuan ekspor ditambah dengan flavour (rasa);
2 Bahwa atas fakta-fakta di atas, Pemohon diwajibkan untuk memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) sebagaimana telah diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-Undang Cukai juncto Pasal 2 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2008 tentang Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (selanjutnya disebut sebagai “PP 72/2008”),, dan diharuskan untuk membayar sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Cukai dikarenakan Pemohon tidak memiliki NPPBKC;
3 Bahwa dapat Termohon sampaikan pula, terhadap pelaku usaha yang memproduksi barang kena cukai yang mendapat fasilitas tidak dipungut cukai dapat dikecualikan dari kewajiban kepemilikan NPPBKC sepanjang pelaku usaha tersebut memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 3 PP 72/2008;
4 Bahwa sesuai fakta yang tidak dapat terbantahkan, Pemohon telah memakai campuran produk tembakau impor dalam membuat Tembakau Iris hasil produksinya, sehingga Pemohon tidak memenuhi kriteria pihak yang dikecualikan berdasarkan Pasal 3 PP 72/2008;
5 Bahwa berdasarkan hal tersebut, sudah sepatutnya jika Pemohon diwajibkan untuk memiliki NPPBKC dan dikenai sanksi sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta Rupiah) sesuai Surat Tagihan Nomor S-01/WBC.10/KPP.MP.02/2016 tanggal 18 Februari 2016 yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 59 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 60 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 diterbitkan oleh Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean A Pasuruan;
6 Bahwa penetapan kewajiban memiliki NPPBKC dan sanksi denda tersebut telah diperkuat dengan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put- 84257/PP/M.XVIIA/20/2017 tanggal 29 Mei 2017, dimana dalam putusan tersebut, Majelis Hakim menetapkan bahwa Pemohon wajib memiliki NPPBKC dan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta Rupiah);
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut, telah nyata dan jelas bahwa kewajiban Pemohon untuk memiliki NPPBKC dan membayar sanksi akibat tidak dimilikinya NPPBKC merupakan kewajiban yang harus ditanggung oleh Pemohon sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan lain yang telah berlaku sebelum berlakunya PMK 94/2016 yang menjadi objek permohonan dalam permohonan uji materi a quo ;
Bahwa dapat Termohon sampaikan pula, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 14 PMK 94/2016, telah diatur bahwa PMK 94/2016 mulai berlaku 60 hari setelah tanggal diundangkan (tanggal 15 Agustus 2016), sedangkan pengenaan sanksi kepada Pemohon ditetapkan pada tanggal 18 Februari 2016. Dengan demikian telah terbuktikan bahwa permasalahan Pemohon tersebut terjadi pada saat PMK 94/2016 belum diundangkan dan diberlakukan, sehingga dalil Pemohon pada halaman 15 huruf g yang pada intinya menyatakan bahwa PMK 94/2016 diterbitkan guna membantah argumentasi Pemohon dalam sengketa pajak adalah dalil yang mengada- ada dan tidak beralasan;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, telah terbukti pula bahwa tidak ada kerugian yang dialami oleh Pemohon sebagai akibat berlakunya PMK 94/2016, sehingga Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam mengajukan permohonan uji materiil a quo ; Menimbang, bahwa mengenai kedudukan hukum ( Legal Standing) dan kepentingan Pemohon mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat, Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut: - Bahwa Pemohon adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha yang berkaitan dengan produk daun tembakau ( vide bukti P-14), yang dalam hal ini melakukan pembelian tembakau kepada petani-petani tembakau yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 60 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 61 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 selanjutnya Pemohon melakukan pemrosesan daun-daun tembakau tersebut untuk kemudian hasil proses tembakau tersebut dijual ke pabrik rokok untuk diolah kembali menjadi produk Hasil Tembakau (rokok); - Bahwa Ketentuan Pasal 2 ayat 3 huruf (f) dan Pasal 3 ayat 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat, merupakan peraturan pelaksanaan di bidang administrasi Barang Kena Cukai yang juga mencakup bidang usaha Pemohon berupa produk tembakau; - Bahwa Pemohon keberatan Hak Uji Materiil memiliki legal standing karena sebagai subjek hukum Badan Hukum Perdata memiliki kepentingan secara langsung dengan objek pengaturan dalam objek keberatan Hak Uji Materiil dan terdapat potensi kerugian hak konstitusinya secara langsung ( vide Pasal 28 H UUD 1945) sehingga memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo sebagaimana diatur dalam pasal 31 A ayat (1), ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juncto Pasal 1 angka 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas terbukti Pemohon mempunyai kepentingan dan oleh karenanya memiliki Legal Standing dalam mengajukan permohonan a quo karena haknya dirugikan atau setidak- tidaknya terdapat potensi kerugian atas berlakunya Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat yang menjadi obyek permohonan keberatan hak uji materiil, oleh karena itu secara yuridis Pemohon mempunyai Legal Standing untuk mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat, sehingga memenuhi syarat formal yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 dan __ Pasal 31 A ayat (2) Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009; Menimbang, bahwa karena permohonan terhadap obyek hak uji materiil diajukan oleh Pemohon yang mempunyai legal standing maka permohonan __ a quo secara formal dapat diterima; Menimbang, bahwa selanjutnya Mahkamah Agung mempertimbangkan substansi objek permohonan keberatan hak uji materiil apakah peraturan Pasal Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 61 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 62 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu __ Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (Undang-Undang Cukai), dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Menimbang, bahwa dalam permohonannya Pemohon telah mendalilkan hal-hal sebagai berikut: - Bahwa ketentuan tersebut jelas bertentangan dangan maksud dari dibuatnya peraturan pelaksana terkait dengan ketentuan dalam Pasal 16 Undang-Undang Cukai karena:
Secara eksplisit dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai dinyatakan bahwa kewajiban tersebut hanya diperuntukkan bagi subjek yang memenuhi kriteria dalam Pasal 14 ayat (1);
Bahwa terkait dengan subjek tersebut kriteria menurut Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai telah diatur secara tegas dalam Pasal 1 angka (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Cukai tidak semua pihak yang melakukan usaha tembakau masuk dalam kriteria Pabrik yang mempunyai kewajiban memiliki izin sebagaimana diatur Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Bahwa secara tegas dan jelas Undang-Undang Cukai mengatur bahwa orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha menjual hasil tembakau untuk bahan baku, tidak termasuk kategori Pabrik yang diwajibkan untuk memiliki izin sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Bahwa namun demikian, dalam PMK Nomor 94 Tahun 2016 khususnya dalam Pasal 3 ayat 2 huruf (d) diatur secara meluas dan bertentangan dengan Undang-Undang Cukai terkait dengan adanya kewajiban pemberitahuan bagi subjek atau pihak yang menurut Undang-Undang Cukai tidak termasuk dalam kriteria dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Bahwa secara konstruksi disamping menimbulkan norma baru yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, secara konstruksi pembuatan Pasal tersebut menjadi tidak logis, karena seharusnya justru PMK tersebut mengatur kewajiban Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 62 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 63 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 administrasi dengan batasan yang jelas berdasarkan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai, namun pada kenyataannya dengan adanya ketentuan dalam Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 ini berpotensi untuk menyebabkan pihak yang seharusnya tidak wajib memiliki izin berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai menjadi wajib memiliki izin; Bahwa sehubungan dengan uraian tersebut di atas, menurut Pemohon dapat disimpulkan secara sah dan menyakinkan ketentuan mengenai batasan “selesai dibuat” untuk barang berupa tembakau iris sebagaimana tersebut pada Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat telah terbukti:
Bertentangan atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Pembentukan peraturan/ketentuan mengenai “selesai dibuat” dan ketentuan mengenai “tembakau iris yang digunakan sebagai bahan baku” a quo tidak memenuhi ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Bahwa oleh karenanya, mohon kepada Majelis Agung Yang Mulia yang memeriksa dan mengadili perkara Hak Uji Materil a quo untuk memutuskan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat dan dengan menggunakan alasan, dalil atau pertimbangan hukum yang sama ( mutatis mutandis ) juga menyatakan karenanya tidak sah dan tidak berlaku sepanjang mengenai batasan “barang selesai dibuat” yang diatur dalam pasal-pasal terkait PMK Nomor 94 Tahun 2016, yaitu: Pasal 3 angka 2 huruf (d); Menimbang, bahwa atas permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah mengajukan Jawaban sebagai berikut: ^ 1. Bahwa latar belakang lahirnya PMK 94/2016 adalah untuk memenuhi hak- hak Negara yang berdasarkan Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Cukai, memerintahkan dan mengamanatkan agar ketentuan lebih lanjut terkait Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat diatur secara khusus berdasarkan peraturan menteri yakni PMK 94/2016. Ketentuan yang mengatur Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat ini tidak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 63 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 64 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 terlepas dari norma titik awal timbulnya kewajiban bagi entitas penghasil produk Barang Kena Cukai dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Cukai;
Bahwa Daun Tembakau yang telah dirajang oleh Pemohon telah dikategorikan Tembakau Iris yang pengenaan cukainya telah mulai diberlakukan pada saat selesai dirajang dan terhadap Barang Kena Cukai tersebut telah terutang cukai dan telah melekat hak-hak negara sehingga berdasarkan Pasal 3B Undang-Undang Cukai wajib diberlakukan seluruh ketentuan Cukai;
Bahwa kriteria “dikemas untuk penjualan eceran” atau “tidak dikemas untuk penjualan eceran” bukan kriteria yang mengatur apakah barang kena cukai belum selesai dibuat atau telah selesai dibuat, melainkan mengatur kriteria tidak dipungut cukai sehingga berdasarkan hal tersebut, barang kena cukai (dhi. Tembakau Iris) yang dihasilkan oleh Pemohon tetap merupakan Barang Kena Cukai sehingga atas barang tersebut melekat hak-hak negara dan harus diawasi;
Bahwa problematika hukum yang disampaikan oleh Pemohon Keberatan dalam Permohonan Keberatannya bukanlah masalah norma, apalagi masalah pertentangan antar peraturan, melainkan permasalahan Pemohon Keberatan sesungguhnya adalah terkait implementasi norma tersebut. Bahwa Pemohon Keberatan hanya tidak dapat memahami bahwa Tembakau Iris adalah salah satu jenis Hasil Tembakau yang dikategorikan sebagai Barang Kena Cukai dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Cukai yang diwajibkan untuk memiliki izin NPPBKC, sehingga sanksi administrasi yang dikenakan kepada Pemohon murni adalah kesalahan Pemohon Keberatan sendiri;
Bahwa Tembakau Iris yang dihasilkan oleh Petani memenuhi kriteria Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Cukai karena dibuat dari hasil tanaman tembakau di Indonesia yang diproses secara sederhana, sedangkan Pemohon melakukan pemrosesan Tembakau Iris yang telah dicampur dengan tembakau yang bukan hanya berasal dari dalam negeri;
Kegiatan usaha yang dilakukan Pemohon sama sekali tidak sama dengan Petani Tembakau. Kegiatan usaha yang dilakukan Pemohon yakni diantaranya merajang daun tembakau, mengeringkan dan menjaga kelembaban daun tembakau rajangan dan mengepak tembakau rajangan untuk dijual ke pabrik rokok telah memenuhi kategori Pabrik sebagaimana Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Cukai yang terhadapnya dibebani Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 64 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 65 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 kewajiban untuk memiliki izin NPPBKC dan Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; Menimbang, bahwa dari alasan keberatan Pemohon yang kemudian dibantah oleh Termohon dalam jawabannya Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan keberatan Pemohon dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut: - Bahwa Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 mengatur “Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pemberitahuan mengenai barang kena cukai yang selesai dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri”; - Bahwa ketentuan tersebut di atas adalah dasar wewenang kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk membentuk peraturan menteri tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; - Bahwa syarat pendelegasian kewenangan pemerintahan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (kewenangan legislasi) terdapat dalam lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada Bab II Hal-Hal Khusus, huruf A. Pendelegasian Wewenang, angka 198 yang menyatakan: “Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah”; - Bahwa salah satu ciri adanya pendelegasian kewenangan mengatur adalah dimuat dalam satu pasal atau ayat tertentu yang dimulai dengan frasa “ketentuan lebih lanjut mengenai... diatur dengan...”; - Bahwa Undang-Undang Cukai telah mendelegasikan kewenangan pengaturan pencatatan dan pemberitahuan mengenai Barang Kena Cukai yang selesai dibuat kepada Menteri Keuangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (7) namun secara normatif dan parsialistik terdapat pertentangan hukum antara Peraturan Menteri Keuangan a quo dengan ketentuan Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Cukai, karena Peraturan Menteri Keuangan a quo disamping mengatur mengenai administrasi pembukuan dan pemberitahuan Barang Kena Cukai juga mengatur mengenai pengenaan cukai dalam Pasal 2 dan 3; - Bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (3) huruf f dan Pasal 3 ayat (2) huruf d objek keberatan hak uji materiil a quo merupakan turunan secara hirarkhis dari Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 65 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 66 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 ketentuan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2007; - Bahwa substansi yang diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) huruf f adalah sama dengan yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Cukai, bahwa definisi dari Tembakau Iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya; - Bahwa demikian pula dengan substansi ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf d yang mengatur kewajiban pemberitahuan tembakau iris sebagai barang kena cukai selesai dibuat, dimana ketentuan tersebut secara substantif telah diatur dengan Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Cukai beserta penjelasannya; - Bahwa dengan mencermati ketentuan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 beserta penjelasannya, dapat diketahui bahwa ketentuan-ketentuan tersebut sudah bersifat imperatif, yang tidak membutuhkan pengaturan dan/atau penafsiran lebih lanjut, dan sudah bisa langsung dilaksanakan, oleh karenanya tidak ditemukan adanya ketentuan pelimpahan kewenangan mengatur lebih lanjut ( opened legal policy ) kepada Menteri Keuangan dalam ketentuan a quo ; - Bahwa meskipun Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 telah memberikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Menteri Keuangan mengenai pemberitahuan barang kena cukai yang selesai dibuat, namun dalam pembentukan peraturan a quo telah menyisipkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) huruf f dan Pasal 3 ayat (2) huruf d yang merupakan turunan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Cukai beserta penjelasannya yang tidak memiliki dasar pelimpahan wewenang pengaturan, karena secara parsialitas, pengaturan norma perundang-undangan yang sudah bersifat imperatif, menimbulkan akibat menurunkan derajat norma perundang-undangan yang lebih tinggi, dan berpotensi memperluas atau mempersempit daya jangkau berlakunya norma a quo ; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 66 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 67 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 - Bahwa terkait Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang selesai Dibuat a quo telah diatur oleh Menteri Keuangan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2008 dan telah pula diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.04/2012, yang tidak memuat norma yang substansinya sama dengan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (3) huruf f dan Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016, namun tetap dapat dijalankan secara konsekuen, serasi dan selaras dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007; - Bahwa oleh karenanya, secara hirarkis teknik penyusunan Peraturan Menteri a quo tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mensyaratkan adanya pelimpahan wewenang dari perundang-undangan yang lebih tinggi; - Bahwa dapat disimpulkan dalam penyusunan formulasi Pasal yang menjadi objek keberatan Hak Uji Materiil tidak sesuai dengan materi/isi Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai yang mengatur terkait Pembukuan, pendelegasian wewenang Termohon Keberatan Hak Uji Materiil dalam pembentukan norma a quo tidak bisa dilihat secara parsial akan tetapi dilihat juga dari isi dan sistematika Pasal 16 secara keseluruhan dengan memperhatikan ayat-ayat yang lainnya, dan oleh karena berdasar hukum menyatakan Termohon Hak Uji Materiil tidak berwenang untuk mengatur substansi ketentuan Pasal 2 ayat (3) huruf f dan Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, terbukti bahwa Pasal 2 ayat (3) huruf f dan Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ( vide Bukti P-7) sehingga harus dibatalkan, dan oleh karenanya permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon harus dikabulkan dan peraturan yang menjadi obyek dalam perkara uji materiil a quo harus dinyatakan tidak sah sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum; __ Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 67 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 68 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 __ Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon, maka Termohon dihukum untuk membayar biaya perkara; Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 31 A ayat (8) Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011, Panitera Mahkamah Agung mencantumkan petikan putusan ini dalam Berita Negara; __ Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait; MENGADILI, 1. Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon: PT SADHANA __ tersebut;
Menyatakan Pasal 2 ayat (3) huruf f dan Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016, tanggal 16 Juni 2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai Yang Selesai Dibuat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan karenanya tidak sah dan tidak berlaku umum;
Menyatakan Pasal 2 ayat (3) huruf f dan Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016, tanggal 16 Juni 2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai Yang Selesai Dibuat, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara;
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah); Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Senin, tanggal 02 Oktober 2017, oleh Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum., Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Is Sudaryono, S.H., M.H., dan Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S., Hakim- Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 68 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 69 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Muhammad Aly Rusmin, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak. Anggota Majelis: ttd./ Is Sudaryono, S.H., M.H. ttd./ Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S Ketua Majelis, ttd./ Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum. Biaya-biaya 1. Meterai ................. Rp. 6.000,00 2. Redaksi...……...... Rp. 5.000,00 3. Administrasi HUM.. Rp. 989.000,00 Jumlah................. Rp.1.000.000,00 Panitera Pengganti, ttd./ Muhammad Aly Rusmin, S.H. Untuk Salinan MAHKAMAH AGUNG R.I.
n. Panitera Panitera Muda Tata Usaha Negara, NIP. 19540924 198403 1 001 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 69
Tata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Relevan terhadap
Kelebihan pembayaran PPh, PPN, dan PPnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) setelah diperhitungkan dengan Utang Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikembalikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak:
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran sehubungan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a diterima;
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b atau huruf c diterbitkan;
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d, huruf e, atau huruf g diterbitkan;
Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf h diterbitkan;
Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf h diterima kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf i diterbitkan;
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf j diterbitkan;
Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf k diterbitkan; atau
Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf l diterbitkan.
Kelebihan pembayaran PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 setelah diperhitungkan dengan Utang Pajak, dikembalikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak:
SKKP PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a diterbitkan;
Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b diterbitkan;
Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b diterima kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
Surat Keputusan Pemberian Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c diterbitkan;
Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d diterbitkan;
Surat Keputusan Pembetulan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e diterbitkan;
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f diterbitkan;
Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g diterbitkan; atau
Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak PBB atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf h diterbitkan.
KPP wajib menyampaikan SPMKP beserta SKPKPP dan/atau Surat Setoran Pajak, Surat Setoran Pajak Bumi dan Bangunan, atau Surat Setoran Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, ke KPPN dengan ketentuan sebagai berikut:
paling lama 2 (dua) hari kerja sebelum jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui; atau
paling lama 2 (dua) hari kerja sebelum jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui.
SP2D sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diterbitkan oleh KPPN sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan.
Kelebihan pembayaran PBB dapat dikembalikan dalam hal terdapat:
PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan SKKP PBB;
PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung;
PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang PBB;
PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Undang- Undang PBB;
PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP;
PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP;
PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak PBB atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP; atau
PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak PBB atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang- Undang KUP.
Kelebihan pembayaran PPh, PPN, dan/atau PPnBM dapat dikembalikan dalam hal terdapat:
Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP;
Pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang KUP;
Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang- Undang KUP;
Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C Undang-Undang KUP;
Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D Undang-Undang KUP;
Pajak yang telah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17E Undang-Undang KUP dan Pasal 16E Undang-Undang PPN;
Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN;
Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung;
Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP;
Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP;
Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP; atau
Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang-Undang KUP.
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali PPN barang bawaan orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.05/2015 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus ...
Standar Biaya Keluaran Tahun Anggaran 2016.