Standar Biaya Keluaran Tahun Anggaran 2016.
Penilaian Kompetensi Manajerial Melalui Assessment Center di Lingkungan Kementerian Keuangan.
Pedoman Akuntansi dan Pelaporan Aset Berupa Barang Milik Negara yang Berasal Dari Perjanjian Kerjasama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. ...
Relevan terhadap
Daftar Rincian Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) disusun oleh unit Eselon II pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang melakukan pembinaan terhadap Kontraktor PKP2B.
Daftar Rincian Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
sekurang-kurangnya memuat informasi mengenai:
nilai perolehan aset Kontraktor PKP2B;
keterangan bahwa bukti perolehan aset Kontraktor PKP2B disimpan oleh masing-masing Kontraktor PKP2B dan dapat dipergunakan untuk keperluan pemeriksaan dan keperluan administrasi lainnya; dan
surat pernyataan tentang kesesuaian rincian dan nilai aset dengan bukti perolehan aset yang dibuat Kontraktor PKP2B; dan
disertai dengan lampiran berupa:
data detail per Aset dalam bentuk Arsip Data Komputer (ADK) yang sekurang-kurangnya memuat informasi mengenai: a) mutasi aset; b) nomor aset; c) deskripsi aset; d) kategori aset; e) nama Kontraktor PKP2B; f) tanggal, bulan, dan tahun perolehan aset; g) harga perolehan aset; h)Pajak Pertambahan Nilai (PPN); dan i) nilai buku aset;
surat pernyataan tentang kesesuaian rincian dan nilai aset Kontraktor PKP2B dengan Dokumen Sumber; dan
Laporan Keuangan Kontraktor PKP2B: a) tahun berkenaan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik; atau b) tahun sebelumnya yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik, dalam hal laporan keuangan tahun berkenaan belum selesai diaudit,jika diperlukan.
Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 disusun sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Uji Materiil atas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK) te ...
Relevan terhadap
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di OJK hanya dapat ditarik dengan pemberitahuan paling singkat 6 (enam) bulan sebelum penarikan dan tidak sedang menangani perkara. (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil diharuskan bekerja sama dengan instansi terkait. 33 46. Bahwa apabila kita melihat rumusan Pasal 27 ayat (2) OJK, terhadap kata "dapat" secara gramatikal bukan merupakan unsur yang mutlak "harus ada". Artinya sifatnya temporary . Kemudian dalam Pasal 51 ayat (1) terdapat frasa "yang dipekerjakan". Artinya keberadaan Penyidik PNS di Lembaga OJK merupakan perbantuan dari Penyidik PNS di instansi yang berkaitan. Hal tentunya bertentangan dengan asas " Supremacy of the law ", dimana hukum seharusnya disangga, ditegakkan oleh penegak hukum dalam suatu integrated criminal justice system dan tidak didasarkan pada kewenangan temporary pada suatu masa atau rentang waktu tertentu saja. Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas maka Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK terhadap frasa "Penyidikan", yang memberikan wewenang penyidikan bertentangan dengan Asas " Due Process of Law " dalam Sistem Penegakan Hukum Pidana (Criminal Justice System) sebagai jaminan yang harus ada dalam Negara Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi seseorang yang t disangka melakukan tindak pidana disektor jasa keuangan saat menjalankan proses penyidikan yang dilakukan oleh lembaga OJK dimana seharusnya setiap warga Negara mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. lV. PETITUM Berdasarkan seluruh alasan-alasan Permohonan para pemohon tersebut diatas, mohon kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berkenan memutus dengan amar putusan: Menyatakan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata " dan Penyidikan " Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menyatakan Pasal 9 huruf c terhadap kata " Penyidikan " Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara 34 Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon mengajukan bukti surat atau tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14 sebagai berikut:
Bukti P- 1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;
Bukti P- 2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P- 3 : Fotokopi KTP Pemohon I;
Bukti P- 4 : Fotokopi Nomor Induk Dosen Nasional Pemohon I;
Bukti P- 5 : Fotokopi KTA Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) Pemohon I;
Bukti P- 6 : Fotokopi KTA PERADI Pemohon I;
Bukti P- 7 : Fotokopi Berita Acara Sumpah Pemohon I;
Bukti P- 8 : Fotokopi KTP Pemohon II;
Bukti P- 9 : Fotokopi Nomor Induk Dosen Nasional Pemohon II;
Bukti P- 10 : Fotokopi KTP Pemohon III;
Bukti P- 11 : Fotokopi Nomor Induk Dosen Nasional Pemohon III;
Bukti P- 12 : Fotokopi KTA Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) Pemohon III;
Bukti P- 13 : Fotokopi KTP Pemohon IV;
Bukti P- 14 : Fotokopi Nomor Induk Dosen Nasional Pemohon IV;
Bukti P- 15 : Fotokopi KTP Pemohon V;
Bukti P- 16 : Fotokopi Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan yang membuktikan Pemohon V adalah Karyawan di PT. SNP;
Bukti P- 17 : Fotokopi KTP Pemohon VI;
Bukti P- 18 : Fotokopi Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan yang membuktikan Pemohon V adalah Karyawan di PT. SNP. 35 Selain itu, Para Pemohon Mengajukan Ahli Prof. Drs. Ratno Lukito, MA., DCL. dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S . yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 18 Februari 2019 dan Ahli Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum ( Eddy O.S Hiariej) dan Dr. Bernard L. Tanya, S.H., M.H yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 28 Februari 2019 dan pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:
Prof. Drs. Ratno Lukito, MA., DCL. Ahli adalah seorang ahli Perbandingan Hukum ( Comparative Law ), ahli menguraikan beberapa hal diantaranya:
Dalam pertimbangan historisnya, UU OJK dibentuk karena kesadaran akan pentingnya lembaga pengawasan sektor jasa keuangan di Tanah Air yang mampu untuk memastikan berjalannya lembaga perekonomian yang sehat dan kredibel. Utamanya dalam rangka menghadapi krisis ekonomi dunia di akhir 1990an, lembaga pengawasan jasa keuangan tentu sangat diharapkan kehadirannya untuk memastikan kestabilan perekonomian di suatu negara. Martinez dan Rose (2003) dalam penelitiannya di 14 negara menyebutkan bahwa sejak akhir 2001 jumlah usaha jasa keuangan dalam sektor-sektor perbankan naik drastis (71%), sedangkan industri asuransi dan sekuritas masing-masing naik di angka 70% dan 63%. Kecenderungan kenaikan bisnis jasa keuangan ini juga dialami di negara- negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hidayat (2003) mencatat bahwa di akhir 2003 diestimasikan terdapat 10 bank di Indonesia yang menawarkan jasa asuransi ( bancassurance ) dengan potensi pasar sekitar 14 triliun rupiah, dan investasi dalam bentuk reksadana (mutual funds) ditawarkan tidak kurang oleh 15 lembaga perbankan dengan estimasi nilai sekitar 58 triliun rupiah. Kondisi ini mengakibatkan munculnya kebutuhan akan sistem regulasi dan pengawasan terhadap sektor keuangan yang lebih efektif lagi disesuaikan dengan kebutuhan akan jasa keuangan yang terus meningkat. Dalam kajian-kajian sebelumnya (Taylor dan Fleming, 1999; Mwend dan Fleming, 2001; Claessens, 2002) telah dibuktikan bahwa sistem pengawasan lembaga keuangan yang tidak terintergrasi akan cenderung lemah untuk mengawasi berbagai macam penyelewengan dalam bisnis keuangan 36 karena banyaknya faktor risiko yang muncul di dalamnya. Hal inilah yang mendorong kemunculan rejim pembentuk regulasi dan pengawasan terhadap lembaga perbankan dan sektor-sektor jasa keuangan lainnya yang lebih terintegratif lagi. Martinez dan Rose menyebutkan bahwa di akhir 2002 telah ada setidaknya 46 negara yang mengadopsi model pengawasan terhadap jasa keuangan yang terpusat (integrated single supervisory agency). Tradisi pengawasan seperti inilah yang sejatinya sudah diadopsi oleh negara-negara Scandinavian (Denmark, Norwegia dan Swedia) sejak akhir tahun 1980an. Inggris dan Korea Selatan kemudian mengikuti langkah ini satu dekade kemudian, 1997, dengan membentuk lembaga sejenis meski dengan nama yang berbeda ( Financial Supervisory Authority di Inggris dan Financial Supervisory Service di Korea Selatan). Negara-negara lain pun, seperti Jerman, Estonia, Irlandia dan Malta juga menerima model integratif ini dan menerapkannya pada beberapa tahun kemudian. Secara berurut negara-negara yang tercatat sejak akhir 1980an sudah mengadopsi sistem pengawasan jasa keuangan yang terpadu itu diantaranya: Norwegia pada 1986, Kanada 1987, Denmark 1988, Swedia 1991, Jepang 2000, Inggris 2001, Jerman dan Austria 2002 dan Irlandia 2003. Tren integrated financial supervisory di atas juga beresonansi ke Indonesia sejalan dengan peningkatan kuantitas lembaga keuangan paska kejatuhan ekonomi negeri ini pada akhir 1997. Pada saat itu, Indonesia masih membagi kekuasaan pengaturan dan supervisi terhadap lembaga keuangan kepada tiga institusi besar. Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia (BI) memiliki otoritas pengaturan (regulative) dan pengawasan (supervisory) terhadap lembaga perbankan. Kementerian Keuangan berkewajiban melakukan pengawasan terhadap lembaga asuransi, sedangkan Bapepam terhadap lembaga pasar modal (the stock exchange). Dengan kata lain, Indonesia hingga tahun 2000an masih mengikuti model pengawasan terhadap lembaga keuangan yang tersebar (dispersed). Pendekatan seperti ini kemudian berubah ketika pada tahun 2004 muncul peraturan baru dengan UU No. 3 Tahun 2004 yang merupakan perubahan dari UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank 37 Indonesia. UU tahun 1999 sejatinya sudah mengamanatkan pada pasal 34 dan 35 nya bahwa tugas pengawasan bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Artinya, bahwa lembaga pengawasan terhadap jasa keuangan tidak akan dilakukan oleh BI namun oleh lembaga independen. Dan karenanya sejak 1999 pemerintah Indonesia sudah menginginkan untuk mengikuti model yang telah dilakukan oleh Korea Selatan dan Inggris yang menciptakan lembaga pengawasan jasa keuangan yang terpisah dari lembaga perbankan. Menariknya, UU No. 3 Tahun 2004 kemudian mengalami beberapa kali perubahan, yaitu melalui UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 6 Tahun 2009. Dan akhirnya terbentuk lembaga pengawasan terhadap sektor jasa keuangan itu melalui UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang menjadikan lembaga OJK ini sebagai lembaga yang memiliki otoritas penuh terhadap kegiatan pengawasan maupun pengaturan terhadap jasa keuangan secara terpadu. Pembentukan lembaga pengawasan jasa keuangan yang terpadu atau integratif ini jelas mengikuti pola integrated financial supervisory model yang sekarang ini semakin menjadi mainstream dalam lembaga keuangan di berbagai negara di seluruh dunia.
Melalui lembaga OJK, model terpadu dalam pengawasan dan pengaturan jasa keuangan itu tergambar dengan jelas, utamanya pada Pasal 1 UU OJK yang menyebutkan bahwa: “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini.” Menurut para ahli, pembentukan lembaga pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan yang terpadu sejatinya didasari atas suatu pertimbangan manfaat, utamanya yaitu: untuk meningkatkan efektifitas monitoring dan pengaturan berbagai lembaga keuangan yang ada, disamping untuk mengejar nilai ekonomis dari lembaga pengawas jasa keuangan tersebut (Taylor dan Fleming, 1999). Lebih jauh menurut 38 Martinez dan Rose (2003), integrative model juga memberikan dampak positif yaitu bahwa tingkat akuntabilitas lembaga keuangan dapat terjaga dikala terjadi kegagalan pada aspek regulasi, disamping tentu saja harmonisasi antara lembaga jasa keuangan akan lebih mudah tercapai. Dan ini pula yang sejatinya ingin dicapai dalam pembentukan lembaga OJK melalui produk UU No. 21 Tahun 2011 tersebut. Efektifitas pengawasan dan pengaturan berbagai jasa keuangan akan diharapkan semakin meningkat di samping faktor biaya yang dapat ditekan. Dengan sistem yang terpadu maka harmonisasi antar lembaga penyedia jasa keuangan juga akan semakin mudah dilakukan. Namun demikian, model integratif tersebut juga memiliki potensi kelemahan. Menurut Abrams dan Taylor (2000), keefektifan lembaga pengawas jasa keuangan yang integratif sangat tergantung kepada lembaga-lembaga pengawas yang ada sebelumnya. Jika lembaga pengawas dan regulator sebelumnya lemah maka pengintegrasian itu tidak akan menghasilkan prospek lembaga pengawas yang kuat dengan segera. Disitulah mengapa Martinez dan Rose menyarankan untuk meningkatkan kestabilan lembaga-lembaga pengawas dan regulator jasa keuangan yang telah ada terlebih dahulu sebelum memikirkan pengintegrasiannya. Pengalaman di beberapa negara, pengadopsian lembaga pengawas jasa keuangan tersebut efektivitas pengawasannya tidak dengan mudah ditingkatkan, karena pada kenyataannya berbagai faktor non-teknis sangat mempengaruhi peningkatan mutu dan efektivitas lembaga tersebut. Di Indonesia, langkah integrasi semua lembaga pengawas dan regulator jasa keuangan sepertinya dilakukan dengan serta merta dan tanpa memperhatikan kondisi sosial, politik dan hukum yang melingkupi persoalan ini. Indonesia agaknya mengikuti langkah Korea Selatan dan Inggris. Korea Selatan, misalnya, sejak 1997 mengambil langkah penyatuan lembaga-lembaga tersebut dengan agak revolusioner, yaitu hanya dalam proses dua tahun. Pendekatan “Big Bang” ini dilakukan pemerintah Korea Selatan untuk menghadapi krisis ekonomi 1997, yang kemudian pada 1 Januari 1999, empat lembaga: The Office Bank of Supervision, the Securities Supervisory Board, the Insurance Supervisory 39 Board dan the Non-Bank Supervisory Board disatukan dalam lembaga baru the Financial Supervisory Service . Pendekatan seperti ini tidak bersifat gradual seperti yang dilakukan oleh negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Norwegia dan Swedia (Reza Y. Siregar and James E. Williams, 2004). Namun demikian, perlu dicatat bahwa langkah penyatuan lembaga- lembaga pengawasan dan pengaturan jasa keuangan yang dilakukan di Indonesia agaknya mempunyai karakter dan pemahaman yang berbeda bila dibandingkan dengan makna penyatuan di negara-negara Barat maupun Asia. Jika di negara-negara lain, pengintegrasian itu dilakukan umumnya untuk menyatukan lembaga-lembaga pengawasan terhadap jasa keuangan sektor perbankan dengan pengawasan sektor-sektor industri keuangan lainnya, seperti sekuritas dan asuransi (dengan istilah Anthony Amicelle, “ professional of finance ”), pengintegrasian di Indonesia di sisi lain lebih ditekankan pada hal teknis pengawasan dan pengaturan (“ professional of security ”). Kompetensi OJK untuk melakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan terhadap semua jasa keuangan namun di sisi lain masih menyerahkan hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan moneter (yaitu menjaga kestabilan nilai rupiah) kepada Bank Indonesia merupakan bukti nyata bahwa model integrasi yang diambil lebih ditekankan pada aspek keamanan ( security ) dari industri keuangan tersebut ketimbang aspek finance-nya. Penekanan yang berlebihan pada aspek security ini tampak lebih tegas ketika kewenangan OJK tidak melulu hanya pada aspek pengaturan, pengawasan dan pemeriksaan (penyelidikan) namun juga dalam hal penyidikan. Pemberian kewenangan dalam hal penyidikan seperti ini jelas tidak lazim bila dibandingkan dengan model financial supervisory system yang berkembang di dunia, baik di negara yang memilih model integrated maupun non-integrated . Dengan kewenangan penyidikan tersebut maka OJK tidak hanya berperan sebagai lembaga pengawasan dan pengaturan lembaga jasa keuangan yang bersifat administratif saja namun juga bersifat quasi-judicial , dalam arti menangani aspek pro-justitia dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan kejahatan keuangan. Di negara- 40 negara dengan sistem pengawasan yang tidak terintegrasi, seperti Australia dan Amerika Serikat misalnya, bidang penyidikan dan penyelidikan terhadap kasus-kasus kriminal keuangan ditangani secara khusus dalam lembaga yang fokus dalam persoalan kejahatan keuangan, seperti pencucian uang, pendanaan terorisme, ketidakwajaran dalam perdagangan valuta asing, dan bentuk-bentuk kejahatan keuangan lainnya. Di Australia, lembaga ini disebut “ The Royal Commission into Misconduct in the Banking, Superannuation and Financial Services Industry ” dan di Amerika Serikat dikenal dengan “ Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN) ”. Dengan kata lain, lembaga pengawasan keuangan tidak menangani permasalahan kejahatan keuangan ( financial crimes ) karena memang lebih konsern dengan pengawasan administratifnya. Di negara-negara dengan model integrated financial supervisory, misal di Jepang dan Korea Selatan, karena penyatuan lembaga itu lebih ditekankan pada subyek jenis jasa keuangannya (“ professional of finance ”) --utamanya tiga besar jenis jasa yaitu perbankan, asuransi dan sekuritas--, maka pengaturan dan pengawasan yang lebih bersifat administratif dipisahkan dengan aspek-aspek pro-justitia yang lebih berhubungan dengan aspek “ professional of security ”. Di Jepang, sistem pengawasan yang integratif terhadap jasa keuangan diwujudkan dalam satu lembaga induk “ Financial Service Agency ”, namun untuk menangani kasus-kasus kriminal keuangan secara khusus ditangani dalam lembaga terpisah yaitu “ Securities and Exchange Surveillance Commission ” ( shouken torihikitou kanshi iinkai , SESC). Lembaga ini didirikan pada 20 Juli 1992 untuk menangani kasus-kasus skandal sekuritas maupun keuangan pada umumnya. Bahkan pada 1998, lembaga ini dipisahkan dari kementerian keuangan. Namun demikian, lembaga ini tidak punya hak untuk memberikan hukuman kepada pelanggar undang-undang atau peraturan yang berhubungan dengan keuangan, namun sekedar memberikan rekomendasi dari hasil penyelidikan dan penyidikannya ( enforcement- investigation ) kepada lembaga hukum terkait. Di Korea Selatan, sistem penyatuan diwujudkan dalam pembentukan dua lembaga utama yaitu 41 “ Financial Services Commission ” (FSC) dan “Financial Supervisory Services” (FSS). FSC merupakan lembaga tertinggi pembuat aturan dan kebijakan ( policy-making authority ) yang berhubungan dengan keuangan, sedang FSS lebih merupakan lembaga pengawasan (supervisi) terhadap semua lembaga keuangan yang ada di seluruh negeri. Sebagai lembaga pengawasan dan pengujian, FSS hanya memiliki 5 tugas: menstabilkan sistem keuangan, melindungi pengguna jasa keuangan, melindungi masyarakat dengan ekonomi rendah dan perusahaan menengah ke bawah, melakukan inovasi terhadap sistem pengawasan, dan melakukan komunikasi yang open-minded dengan para pelaku usaha. Dengan demikian, tampak sekali bahwa lembaga pengawasan jasa keuangan tersebut sama sekali tidak menangani permasalahan-permasalahan pro- justitia yang berhubungan dengan tindak kriminal keuangan.
Penjelasan di atas pada dasarnya menegaskan bahwa secara komparatif, kebijakan pemberian wewenang penyidikan kepada OJK sebagai satu lembaga regulatif dan pengawasan terhadap berbagai bentuk jasa keuangan di Tanah Air adalah tidak lazim. Ketidak-laziman itu karena UU OJK yang mencampur-adukkan antara hak pengawasan yang sifatnya administratif (pemeriksaan atau penyelidikan) dengan pengawasan di bidang law enforcement yang pro-justitia oriented (yaitu kegiatan penyidikan) jelas tidak sejalan dengan skema dan model financial supervisory yang diterapkan di negara-negara lain. Sebagaimana yang ditemui pada lembaga-lembaga pengawasan jasa keuangan di hampir seluruh negara di dunia, fungsi financial supervisory system yang diciptakan berperan sebagai lembaga penegak hukum dalam konteks yang administratif saja, karenanya bentuk pengaturan dan sangsinya pun lebih bersifat administratif. Pada negara dengan model lembaga pengawasan yang integratif, penanganan terhadap kejahatan keuangan ditangani oleh lembaga penegakan hukum yang reguler (kepolisian dan lembaga peradilan). Dan untuk itu, lembaga pengawas keuangan umumnya berperan untuk memberikan rekomendasi dan laporan hasil investigasi atau pemeriksaan terhadap kasus yang bersangkutan. Sedangkan pada negara dengan model lembaga pengawas jasa keuangan yang terpisah- 42 pisah, fungsi penegakan hukum terhadap kasus kriminal keuangan itu dilakukan oleh lembaga khusus yang fokus kepada kasus tindak pidana keuangan. Lembaga-lembaga sejenis FinCEN di Amerika Serikat didirikan untuk secara khusus menangani kasus pidana keuangan yang memang bersifat pro-justitia. Sedangkan lembaga pengawas jasa keuangan yang lainnya tidak memiliki hak untuk melakukan intervensi terhadap lembaga quasi-judicial tersebut karena hanya memiliki wilayah administratif saja. Ini berarti bahwa peran dan fungsi OJK sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 21 Tahun 2011 tidak mengikuti frame dan pendekatan model financial supervisory terhadap lembaga jasa keuangan yang berlaku secara jamak di dunia. Sebagaimana yang dapat dilihat dalam beberapa poin berikut: a) Integrated financial supervisiory model yang dilakukan oleh hampir semua negara di dunia lebih menekankan pada kebersatuan dalam hal jenis jasa keuangannya (“ professional of finance ”), dimana di dalamnya disatukan semua jenis jasa keuangan yang ada, baik yang masuk dalam kategori perbankan, asuransi hingga sekuritas. Di sisi lain, OJK lebih cenderung pada penyatuan fungsi pengawasannya (“ professional of security ”) sehingga aspek pengawasan administratif dan non-judisial disatukan dengan fungsi pengawasan dan investigasi yang judisial ( pro-justitia ), dimana keduanya ditangani oleh satu lembaga terpadu, yaitu OJK tersebut. Karena itu, kita melihat peran OJK yang menyeluruh dalam hal pengawasan dan pengaturan yaitu pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan dapat menimbulkan situasi kekacauan karena dimungkinkan munculnya problem overlaping antara lembaga penegakan hukum yang reguler sifatnya dengan lembaga penegakan hukum (penyidikan) yang ada dalam skop OJK. b) Ditinjau dari aspek wewenang penyidikan, OJK dapat dikatakan menyelisihi kebiasaan model manajemen lembaga jasa keuangan yang berlaku secara umum juga. Pada umumnya, negara-negara di dunia tidak menyatukan antara fungsi pengawasan yang administrative-oriented dengan yang pro-justitia-oriented . Baik negara 43 yang menggunakan model integratif maupun yang tersebar (dispersed) dalam penanganan lembaga jasa keuangannya, mereka tidak mencampurkan antara kedua fungsi pengawasan yang berbeda karakternya tersebut. Penyelewengan yang terjadi dalam lembaga jasa keuangan yang bersifat administratif ditangani oleh lembaga tersendiri dan terpisah dari lembaga pengawasan yang khusus menangani tindakan-tindakan kriminal keuangan yang memerlukan penanganan yang pro-justitia . Dengan argumen di atas maka dapat disimpulkan bahwa wewenang penyidikan yang dimiliki oleh OJK bukanlah merupakan suatu kelaziman dan karenanya lebih tepat untuk dicabut. Dengan pencabutan wewenang penyidikan tersebut maka OJK dapat memfokuskan diri pada peran dan fungsinya sebagai lembaga pengaturan dan pengawasan terhadap jasa keuangan yang lebih bersifat administratif. Sebagaimana yang berlaku di negara-negara lain, penanganan penyidikan dan penegakan hukum terhadap berbagai kasus kejahatan keuangan yang dilakukan dalam lembaga jasa keuangan dapat diserahkan kepada lembaga khusus yang secara ad-hoc diciptakan untuk menangani kasus itu atau oleh lembaga penegak hukum yang reguler.
Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S. Bahwa jika mempelajari latar belakang lahirnya UU OJK, dapat diketahui bahwa pertimbangan pembentukan UU a quo adalah:
untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, stabil, mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Memenuhi amanat dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang- undang. 44 3. Hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang- undang tentang Bank Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) waktu itu. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral tersebut. RUU itu di samping memberikan independensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia (BI) dan diberikan kepada OJK. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (Bank Sentral Jerman) yang pada waktu itu bertindak sebagai konsultan dalam penyusunan RUU yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999. Bahwa secara teoritis, mengacu kepada fungsi ekonomis, bank adalah lembaga yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perannya sebagai “ financial intermediary ” atas jasa transaksi kepada konsumen dan masyarakat. Pendekatan fungsi ekonomis ini yang dianggap paling memuaskan untuk menjelaskan fungsi lembaga perbankan. Sebagai “ financial intermediary ” bank akan mengambil uang dari nasabah, mengumpulkan, menanamkan kembali dana tersebut pada perusahaan lain dalam bentuk: kredit, saham, go public ke pasar modal, dll. Bank adalah institusi yang berada diantara investor (nasabah awal) dengan investor (nasabah paling akhir/peminjam). Untuk menjamin fungsi intermediary itulah diperlukan adanya lembaga pengatur dan pengawas yang independen untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar belakang pembentukan OJK adalah adanya kebutuhan lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan baik perbankan maupun non perbankan yang mampu berfungsi sebagai pengatur dan pengawas yang mempunyai otoritas terhadap seluruh lembaga keuangan baik perbankan, non perbankan termasuk pasar modal, sehingga tidak ada tumpang tindih kewenangan. Bagi industri perbankan tujuan dari pengaturan dan pengawasan perbankan adalah menciptakan sistem perbankan yang sehat, yang memenuhi aspek sebagai lembaga yang dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara 45 wajar, dalam arti wajib memerhatikan faktor risiko seperti kemampuan, baik dari sistem, finansial, maupun sumber daya manusia. Dengan demikian terlihat bahwa desain lembaga OJK sebagai lembaga pengatur dan pengawas perbankan pada awalnya memang hanya mengemban dua fungsi utama yakni fungsi “Pengaturan” dan fungsi “Pengawasan”. Hal tersebut juga dapat kita lihat dalam Naskah Akademik Rancanan UU OJK, yang mengatakan: OJK harus memenuhi struktur yang memiliki unsur check and balances. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi pengaturan dan fungi pengawasan , dimana fungsi pengaturan dilakukan oleh Dewan Komisioner sedangkan fungsi pengawasan dilakukan masing-masing oleh Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal dan Pengawas Industri Keuangan Non Bank. Pemisahan antara Dewan Komisioner dan tiga pengawas ini dimaksudkan untuk:
menciptakan ketegasan pemisahan antara tanggung jawab regulator (Dewan Komisioner) dengan penanggung jawab supervisior (Kepala Eksekutif masing-masing Pengawas) 2) menghindari pemusatan kekuasaan yang terlalu besar pada satu pihak agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan 3) mendorong terjadinya pembagian kerja (division of labor) sehingga dari spesialisasi di masing-masing fungsi pengaturan dan pengawasan. (Lihat: Naskah Akademik Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Otoritas Jasa Keuangan , 2010, hal. 4). Bahwa terhadap fungsi pengawasan yang diberikan kepada lembaga OJK jika mengacu pada model pengawasan industri jasa keuangan di berbagai Negara yang diklasifikasikan dalam 3 kelompok besar, yaitu: ▪ Multi Supervisiory Model yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga jasa keuangan lainnya diatur dan diawasi oleh masing-masing regulator yang berbeda model ini diterapkan oleh beberapa neagra seperti Amerika Serikat dan Republik Rakyat China , ▪ Twin Peak Supervisiory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh dua otoritas utama yang pembagiannya didasarkan pada aspek prudential dan aspek market conduct. Dalam model ini lembaga keuangan prudensial seperti bank dan perusahaan asuransi berada dalam satu jurisdiksi pengaturan dan pengawasan tersendiri, sedangkan perusahaan efek dan lembaga keuangan lainnya serta produk-produk jasa keuangan berada dalam satu jurisdiksi pengaturan dan pengawasan tersendiri pula. Model ini diterapkan oleh Negara-negara seperti Australia dan Canada. ▪ Unified Supervisiory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh otoritas yang terintegrasi dibawah satu lembaga atau 46 badan yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh sektor jasa keuangan mencangkup perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga keuangan lainnya. Sampai saat ini sudah lebih dari 30 negara menerapkan model ini, seperti Negara-negara yang sektor keuangannya cukup besar dan maju seperti Inggris, Jepang, Korea Selatan, dan Jerman. Bahwa dari 3 model pengawasan tersebut diatas, model pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang dipandang sesuai dengan Indonesia adalah Unified Supervisiory Model , yaitu suatu system pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi di dalam suatu lembaga tunggal yang disebut OJK. Istilah otoritas digunakan untuk mencerminkan bahwa lembaga tersebut menjalankan fungsi pengaturan (regulasi) dan fungsi pengawasan ( supervisi) . Yang menjadi masalah utama dalam Uji Materi saat ini adalah bahwa fungsi “pengaturan” dan “pengawasan” dalam perumusan penjabaran normanya dalam UU OJK, dalam kaitannya dengan fungsi “pengawasan” ditambahkan frasa “penyidikan” yang masuk dalam lingkup fungsi pengawasan tersebut. Kemudian oleh Pemohon dipandang sebagai norma yang tidak sejalan dengan Integrated Criminal Justise System dan Due Prosess of Law , dalam system penegakan hukum pidana. Memang jika mencermati ketentuan Pasal 9 huruf c UU OJK, yang menyatakan bahwa untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: (c).……penyidikan……… Jelas di sini bahwa OJK mempunyai wewenang penyidikan atas tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang di sektor jasa keuangan. Bahkan Hadi Utomo dalam abstrak Desertasinya yang membahas tentang Kewenangan Penyidik Pada Lembaga OJK, mengatakan bahwa kewenangan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang dimiliki oleh OJK tergolong luas. Namun demikian, jika kita pelajari lebih lanjut ketentuan Pasal 9 huruf c, khusus frasa “penyidikan“ ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU OJK, yang menentukan bahwa: “Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, akan terlihat adanya konflik norma. Konflik norma itu 47 membuat Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan (DPJK) OJK dalam melaksanakan kegiatan penyidikan terhadap dugaan kasus-kasus tindak pidana di sektor jasa keuangan menghadapi permasalahan yang terkait dengan hal-hal antara lain berkenaan dengan legalitas dan kewenangan Penyidik Polri dan PPNS di OJK. Selaku Penyidik dalam melakukan Penyidikan, UU OJK hanya mengatur secara jelas mengenai kewenangan PPNS, sedangkan kewenangan Penyidik Polri yang dipekerjakan atau diperbantukan di OJK tidak terdapat dasar hukum yang jelas. Lebih jauh lagi, UU OJK tidak mengatur kewenangan Penyidik Polri dalam proses penyerahan berkas perkara. Muaranya adalah ketentuan Pasal 49 UUPJK tersebut. Menurut Pasal 49 UUOJK, kewenangan penyidikan diberikan kepada dua pejabat penyidik, yaitu: Polri dan PPNS di lingkungan OJK. PPNS diatur secara lebih detail, namun untuk Penyidik Polri tidak demikian. Pegawai OJK sendiri yang bukan masuk sebagai bagian dari Aparatur Sipil Negara atau Pegawai Negeri tidak mungkin bisa menjadi PPNS. Sejauh mana efektifitas dari penyidik OJK dalam menanggulangi kejahatan Jasa Keuangan di Indonesia menjadi dipertanyakan banyak pihak. Dari sini terlibat bahwa tampaknya, pembentuk UU memang lebih menghendaki pada pemberian wewenang penyidikan kepada PPNS (seperti model Bapepam dahulu) dan bukan kepada Penyidik Polri, juga bukan kepada Pegawai OJK. Dari frasa “selain pejabat Penyidik Kepolisian” dalam Pasal 49 ayat (1) terlihat bahwa wewenang atribusi penyidikan lebih diberikan kepada PPNS dan bukan kepada Penyidik Polri (masih mirip dengan Bapepam dahulu) dan bukan kepada Pegawai OJK. Hal ini diperkuat dengan frase di dalam Pasal 49 ayat (1) selanjutnya yang menyatakan:
... “diberi wewenang khusus” sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP. Sementara itu, problem kembali muncul bahwa OJK adalah lembaga independen non Departemen pegawainya tidak berstatus sebagai PNS, sehingga kehadiran PPNS pun, melalui frasa “...PPNS yang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik ...dst, tidak bisa diberlakukan atau diberikan kepada Pegawai OJK. Hal ini dipertegas oleh norma dalam Pasal 49 ayat (2) bahwa Penyidik dalam lembaga OJK adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diambil dari instansi lain yang lingkupnya terkait dengan sektor Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam norma Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan: 48 “ OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan .” Jadi terlihat bahwa dengan dibentuknya OJK sebagai lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan baik perbankan maupun non perbankan, di mana status pegawainya bukan Pegawai Negeri Sipil, maka timbul masalah jika kepada Pegawai OJK akan diberikan wewenang sebagai Penyidik (semacam Penyidik PPNS) di samping Polri. Mengapa bermasalah, karena Polisi sebagai penyidik tindak pidana perbankan sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yakni pada Pasal 6 ayat (1) _Penyidik adalah: _ a. _pejabat polisi Negara Republik Indonesia; _ b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Selain itu Polisi sebagai Penyidik juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Pasal 14 ayat (1) a: “Melaksanakan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian Polisi sebagai penyidik mempunyai wewenang penyidikan terhadap semua tindak pidana, tentu termasuk tindak pidana di sektor jasa keuangan – perbankan, non perbankan maupun pasar modal --. Begitu juga Kejaksaan. Jaksa sebagai Penyidik juga mempunyai wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu seperti tindak pidana korupsi, tentu termasuk juga korupsi di sektor jasa keuangan, bahkan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dapat disimpulkan sebenarnya sejak dibentuknya UU OJK, fungsi pengawasan OJK tidak dimaksudkan untuk mengatur wewenang Penyidikan sendiri selain model penyidikan yang dikenal dalam KUHAP, yaitu: Penyidik Polri dan PPNS. Jika OJK dalam menjalankan fungsi Pengawasan diberikan wewenang Penyidikan, maka hal itu akan berbenturan dengan KUHAP, yang berarti berbenturan dengan Doktrin Integrated Criminal Justise System . Namun kemudian yang terjadi adalah Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan menyelipkan aturan tentang fungsi pengawasan yang dijabarkan termasuk di dalamnya adalah fungsi penyidikan. Hal inilah yang kemudian dikritisi oleh banyak pihak karena akan menimbulkan pertanyaan akankah terjadi 49 penyidikan oleh penyidik OJK di dalam tindak pidana yang sama, dimana hak dan kewenangan penyidikan pada tindak pidana OJK dipunyai juga oleh penyidik lain yang telah ada, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Keadaan ini nampaknya akan tidak selaras dengan Integrated Criminal Justice System. Integrated Criminal Justice System mempunyai pengertian adanya keterpaduan penyidik bidang tindak pidana. Salah satu pilar dari sistem penanganan terpadu, adalah harus adanya koordinasi dari para penyidik. Dengan adanya penyidik OJK, hal ini bisa menimbulkan “konflik” dalam penanganan perkara dalam penyidikan tindak pidana OJK dan akan terjadi tumpang tindih kewenangan yang berujung kepada benturan dengan doktrin nebis in idem . Oleh sebab itu, Ahli dapat memahami jika kemudian muncul pandangan bahwa wewenang yang diberikan oleh UU kepada OJK dalam rangka menjalankan tugas pengawasan di sektor jasa keuangan, adalah wewenang yang seharusnya diletakan dalam bingkai penegakan hukum Administrasi Negara, yakni hanya terbatas pada proses pemeriksaan dan/atau penyelidikan, itupun dalam konteks fungsi administrative atau verifikasi laporan seseorang tentang adanya dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan dengan cara mengumpulkan bukti yang cukup sebagai kelengkapan dan kejelasan laporan klarifikasi, laporan hasil kajian, hasil penelitian dan hasil pengawasan dalam rangka penegakan hukum disektor jasa keuangan, bukan dalam pengertian pro justitia sebagaimana diatur dalam KUHAP. Pandangan ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap kewenangan penyelidikan yang dimiliki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Putusan MK No. 85/PUU-XIV/2016 (vide Paragraf [3.14.6] hal. 192- 193). Bahwa jika dikaji lebih lanjut, munculnya frasa “dan penyidikan” dalam ketentuan Norma Pasal 1 angka 1 juncto kata “penyidikan” dalam ketentuan norma Pasal 9 huruf c UU OJK akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap kedudukan lembaga OJK, karena faktanya bukan Pegawai OJK sendiri yang mempunyai wewenang Penyidikan itu. Penyidik OJK hanyalah Penyidik Polri dan PPNS yang diperbantukan di OJK, agar wewenang “Penyidikan” yang merupakan suatu tindakan pro justitia dapat dipandang sejalan dengan Integrated Criminal Justise System . Pada hal kepada financial supervisiory institution in casu OJK diberikan wewenang penyidikan adalah praktek yang tidak lazim di Negara 50 berkembang maupun negara maju. Apabila merujuk kepada lembaga sejenis di beberapa Negara berkembang ataupun Negara maju tidak ada satupun lembaga sejenis OJK yang diberikan wewenang “penyidikan”. Hadi Utomo, dalam kesimpulan Disertasinya justru menyarankan OJK sebagai mitra penyidik Kepolisian dan Penyidik PNS, sebagaimana diterapkan di Negara Jepang dan Jerman. Jangan seperti yang terjadi di Inggris. Model Finasial Servise Authority di Inggris mengalami kegagalan sehingga pengawasan perbankan diserahkan kembali ke Bank of England . Ahli memahami, kekhawatiran akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan fungsi penyidikan OJK dengan masih timbulnya pro kontra eksistensi Lembaga OJK sebagai penyidik sebagaimana diatur dalam UU OJK saat ini. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, pada dasarnya hukum tidak boleh menyimpang: fiat justitia et pereat mundus . Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Sebaliknya masyarakat juga mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum itu harus memberi manfaat dan rasa keadilan. Terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil bagi masyarakat. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Jika demikian maka undang- undang itu akan terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat: lex dura, sed tamen scripta , yang artinya undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya. Namun perlu dipahami bahwa undang-undang itu tidak sempurna. Memang tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan ada kalanya undang-undang itu tidak jelas. Oleh karena itu, kita harus mencari atau menemukan hukumnya. Lebih lanjut Prof. Sudikno mengajarkan kepada kita bahwa hukum itu merupakan satu kesatuan sistem. Salah satu tungku hukum yang penting adalah tungku “kepastian hukum”, di samping tungku yang lain yaitu “keadilan” dan “kemanfaatan”. Sebagai suatu sistem hukum dalam penegakannya tidak menghendaki adanya konflik. Jikapun terdapat konflik maka harus diselesaikan di dalam sistem itu. Oleh sebab itu diperlukan “harmonisasi kaedah- kaedah hukum” di dalam lapangan-lapangan hukum tersebut, agar konflik yang 51 terjadi di dalam sistem hukum tersebut dapat terurai dan diselesaikan demi tegaknya tungku hukum. Ada doktrin lex specialis derogate legi generali , ada doktrin lex superiori derogate legi inferiori, lex posterior derogate legi priori dan sebagainya. Doktrin-doktrin di atas dapat menjadi acuan jika di dalam praktek terdapat benturan atau ketidakharmonisan norma antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Ahli meminta agar menyikapi permasalahan ini dengan obyektif penegakan hukum yang memberikan keadilan, sekaligus memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi masyarakat. Oleh sebab itu, jika memang tidak sesuai dengan doktrin Integrited Criminal Justise System yang sudah menjadi communis opinion doctorum , bahwa “wewenang penyidikan yang diberikan kepada OJK, yang faktanya pun hanya mengambil Penyidik dari PPNS dan Penyidik Polri yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan konflik kepentingan, maka harus dengan lapang dada, hal tersebut disikapi secara bijak dan terbuka untuk adanya perbaikan norma tersebut.
Eddy O.S Hiariej Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan, “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini”. Selanjutnya Pasal 9C Undang-Undang a quo menyatakan, “Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaskud dalam Pasal 6, OJK mempunyai kewenangan: melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan”. Demikian pula Pasal 49 Undang-Undang a quo yang memberi sejumlah kewenangan kepada OJK sebaai penyidik. Pertanyaan lebih lanjut, apakah kewenangan penyidikan yang ada pada OJK sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan kepastian hukum sebagai salah salah satu prinsip utama dalam negara hukum. 52 Terhadap pertanyaan tersebut, ahli terlebih dulu menyampaikan hal-hal sebagai berikut: PERTAMA, penyidikian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diartikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dengan demikian tidakan penyidikan adalah bersifat projustisia yang merupakan langkah awal untuk memproses seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana. KEDUA, perlu dipahami bahwa landasan filosofis hukum acara pidana adalah untuk mengontrol aparat penegak hukum agar tidak melakaukan tindakan sewenang-wenang terhadap individu. Berdasarkan landasan filosofis itulah, selain bersifat keresmian, hukum acara pidana berpegang pada prinsip lex scripta, lex certa dan lex stricta . Lex scripta mengandung pengertian bahwa hukum acara pidana harus tertulis. Sedangkan lex certa berarti hukum acara pidana harus jelas sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Sementara lex stricta memiliki makna bahwa hukum acara pidana haruslah diatur secara ketat. Tegasnya, segala kewenangan yang ada pada aparat penegak hukum tidaklah dapat diinterpretasikan lain selain dari apa yang tertulis. Jika ada penafsiran, maka harus diartikan secara sempit dan tidak merugikan individu yang sedang diproses. Hal ini adalah pengejawantahan asas exeptio firmat regulam . KETIGA, masih berkaitan dengan landasan filosofis tersebut di atas, bekerjanya hukum acara pidana disadari penuh bahwa sedikit – banyak akan mengekang hak asasi manusia. Upaya paksa dapat dilakukan pada tahap penyidikan apakah itu penangkapan, penahanan, pemblokiran, penggledahan dan penyitaan terhadap harta kekayaan, padahal belum tentu pada akhirnya seseroang yang dikenakan upaya paksa akan dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Oleh karena itu prinsip legalitas dalam hukum acara pidana, di satu sisi memiliki fungsi perlindungan, sedangkan di sisi lain memiliki fungsi instrumental. Fungsi perlindungan adalah melindungai individu dari kesewenang-wenangan negara, sementara fungsi instrumental adalah bahwa dalam batas-batas yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang, negara boleh melakukan tindakan hukum terhadap seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana. 53 KEEMPAT, pasca-Perang Dunia Kedua, pertumbuhan hukum pidana di luar kodifikasi sangatlah masif. Hal ini membawa konsekuensi terhadap penegakan hukum. Di samping Polri sebagai penyidik suatu tindak pidana, keberadaan penyidik pegawai negeri sipil atau PPNS adalah suatu keniscayaan terhadap tindak pidana tertentu, baik dalam konteks hukum pidana khusus internal maupun hukum pidana khusus eksternal. Akan tetapi, dalam kerangka integrated criminal justice system , Polri melaksanakan fungsi pengawasan dan koordinasi terhadap PPNS. KELIMA, masih berkaitan dengan pertumbuhan hukum pidana di luar kodifikasi, adanya hukum acara yang menyimpang dari ketentuan KUHAP, selain berkaitan erat dengan sifat dan karakteristrik dari kejahatan tersebut, juga memiliki core crime yang jelas dan tegas. Sebagai misal terhadap tindak pidana yang bersifat extraordinary crime seperti korupsi, terorisme dan narkotika, selain Polri sebagai penyidik juga ada PPNS. Bahkan dibentuk lembaga khusus seperti KPK, BNN, BNPT, Komnas HAM dan PPATK. Demikian pula tindak pidana yang bukan extraordinary crime namun memiliki core crime yang jelas dan tegas seperti kejahatan kehutanan, kejahatan perikanan dan kejahatan kepabeanan yang penegakkan hukumnya dilakukan oleh PPNS. Namun ada juga tindak pidana yang hukum acaranya menyimpang dari KUIHAP namun memilik core crime yang jelas dan tegas seperti kejahatan perbankan dan kejahatan asuransi yang penegakkan hukumnya dilakukan oleh Polri. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bila dihubungkan in casu a quo dengan uji materiil yang sedang diperiksa saat ini, adapun argumentasi AHLI sebagai berikut: PERTAMA, ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang- Undang a quo bersifat hukum pidana administrasi yang termasuk dalam hukum pidana khusus eksternal. Konsekuensinya, hukum pidana bersifat ultimum remidium. Artinya, hukum pidana adalah sarana penegakkan hukum yang paling akhir digunakan bilamana sarana pengakkan hukum lainnya tidak lagi berfungsi. KEDUA, ketentuan pidana dalam Undang-Undang a quo yang terdapat dalam Pasal 52, Pasal 53 dan Pasal 54 semata-mata berkaitan dengan masalah administrasi dalam lembaga OJK dan mengenai pembukaan rahasia. Artinya, tindak pidana yang terdapat dalam Undang-Undang a quo tidaklah bersifat spesifik, dalam pengertian memiliki core crime tertentu. 54 KETIGA, berkaitan erat dengan argumentasi kedua, karena Undang- Undang a quo tidak mengatur core crime yang jelas dan tegas maka secara mutatis mutandis keberadaan PPNS yang memiliki kewenangan penyidikan tidaklah relevan. Hal ini berbeda dengan kejahatan lainnya yang memiliki core crime yang jelas dan tegas. Sebagai misal, tindak pidana di bidang perbankan yang diatur dalam undang-undang perbankan dan undang-undang Bank Indonesia secara jelas dan tegas memuat core crime seperti pendirian bank ilegal, membocorkan kerahasiaan bank, pemalsuan dokumen perbankan dan tidak melaksanakan prinsip kehati-hatian serta ketentuan-ketentuan lainnya. Demikian pula dalam undang-undang perasuransian yang memiliki core crime yang jelas dan tegas seperti praktik asuransi ilegal, membocorkan informasi, pemalsuan dokumen dan penggelapan polis. KEEMPAT, keweangan penyidikan yang ada dalam Undang-Undang a quo menimbulkan ketidakpastian hukum karena Undang-Undang a quo tidak menyebutkan secara expressive verbis kewenangan PPNS untuk melakukan penyidikan terhadap sejumlah tindak pidana yang berkaitan dengan jasa keuangan. Sebagai misal, jika terjadi tindak pidana perbankan, siapakah yang berwenang untuk melakukan penyidikan, apakah Polri ataukah PPNS pada OJK? Dalam konteks ini, kewenangan penyidikan pada OJK bertentangan dengan lex certa dalam hukum acara pidana yang berujung pada ketidakpastian hukum. KELIMA, Pasal 1 angka 4 Undang-Undang a quo menyatakan bahwa Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan. Ketentuan ini mengindikasikan bahwa Undang-Undang a quo adalah undang-undang yang bersifat umum sebagai lex generalis , sedangkan undang-undang perbankan, undang-undang, undang-undang pasar modal dan undang-undang perasuransian adalah lex specialis . Penerapan asas preferansi lex specialis derogat legi generali dalam konteks criminal policy , seyogyanya keberadaan PPNS yang melaksanakan fungsi penyidikan ada pada lex specialis karena memiliki core crime yang jelas dan tegas seperti dalam Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Pasar Modal dan Undang-Undang Perasuransian. 55 KEENAM, kewenangan penyidikan oleh OJK bertentangan dengan prinsip due process of law dalam sistem peradilan pidana. Due process of law menghasilkan substansi perlindungan terhadap individu dan seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukum sebagai standar beracara. Dalam konteks perlindungan terhadap individu, kejahatan apa yang diatur dalam undang-undang haruslah jelas dan tegas, sedangkan prosedur bercara haruslah menjamin kepastian hukum. Dalam Undang-Undang a quo , selain tidak terdapat core crime , berikut elemets of crime dari tindak pidana OJK, juga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyidikan karena undang-undang tersebut tidak mencabut kewenangan Polri untuk menyidik tindak pidana perbankan, tindak pidana pasar modal dan tindak pidana lainnya yang berkaitan dengan jasa keuangan. KETUJUH, Mahkamah Konstitusi dalam berbagai uji materiil yang berkaitan dengan hukum acara pidana, sering menyatakan dalam putusannya bahwa proses beracara haruslah merujuk pada due process of law yang menjamin kepastian hukum, oleh karena itu kewenangan penyidikan oleh OJK bertentangan dengan prinsip due process of law yang secara mutatis mutandis tindak memberikan jaminan kepastian hukum. Berdasarkan berbagai argumentasi dan analisis tersebut di atas, kewenagan penyidikan, bahkan keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang berada pada Otoritas Jasa Keuangan, menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan prinsip negara hukum sebagaiman dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Bernard L. Tanya Pokok soal yang diajukan para Pemohon untuk diuji konstitusionalitasnya, adalah: Frasa “dan Penyidikan” dalam ketentuan norma Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Norma tersebut dinilai oleh Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ahli sebagai pengkaji filsafat hukum akan membahas persoalan itu dengan menggunakan skema 3 anak tangga Socrates. Menurut skema ini, kenormalan ataupun ketidaknormalan suatu hal (dalam hal ini, kewenangan penyidikan OJK) dapat diukur dari 3 hal, yakni: (i). Apakah sesuatu itu memang benar dan dapat dibenarkan berdasarkan prinsip dan asas? (ii). Apakah sesuatu itu begitu urgen 56 dan mendesak serta tidak ada pilihan lain? (iii). Apakah sesuatu hal itu memang berimplikasi positif atau justru sebaliknya? Semua itu adalah ukuran akuntabilitas secara filosofis, yakni pengungkapan kenormalan sesuatu secara utuh, baik dari segi keabsahannya maupun dari segi urgensi dan kebutuhan, serta manfaat dan implikasinya. Dengan begitu, setiap orang dapat menalar secara wajar alur logika serta kenormalan/ketidaknormalan suatu aturan.
Benar dan Dapat Dibenarkan? Berdasarkan prinsip ini, untuk mengecek kenormalan maupun ketidaknormalan Frasa “dan Penyidikan” dalam ketentuan norma Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU No. 21 Tahun 2011, maka perlu ditempatkan dalam konteks raison d’etre atau alasan hadirnya aturan/UU tersebut. Di situlah, menurut Plato, letak motif dan tujuan aturan/UU dimaksud. Ia menjadi panduan bagi batang-tubuh. Roh atau spirit suatu UU ada di situ. Idealnya, ada keterhubungan logis antara Roh atau spirit suatu UU, dengan isi kaidah atau norma dalam batang tubuh UU a quo . Bagaimana dengan UU OJK? Jika kita membaca preambule UU OJK, maka pertimbangan utama pembentukan UU a quo adalah untuk menjamin kegiatan dalam sektor jasa keuangan, agar terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan, stabil, mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dalilnya adalah: pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi menjadi salah satu faktor penentu berjalannya sektor jasa keuangan yang sehat dan kredibel. Dalil tersebut memiliki korelasi dengan keadaan sebelum UU a quo dibuat. Pada saat itu, kekuasaan pengaturan dan supervisi terhadap lembaga keuangan berada pada tiga institusi: (i). Bank Indonesia (BI) memiliki otoritas pengaturan ( regulative ) dan pengawasan ( supervisory ) terhadap lembaga perbankan (UU No. 23 Tahun 1999). (ii). Kementerian Keuangan berwenang melakukan pengawasan terhadap lembaga asuransi. (iii). Bapepam berwenang melakukan pengawasan terhadap lembaga pasar modal ( the stock exchange ). Jadi misinya adalah mengintegrasikan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan agar berjalan sehat dan kredibel. Dalam konteks UU No. 21 Tahun 2011 sebagai UU administrasi, maka misi pengintegrasian itu sesungguhnya bersifat administratif. 57 Maka menjadi sedikit anomalis ketika OJK dalam misi pengintegrasian seperti disebut di atas, diberi kewenangan penyidikan (yang dari sisi asas maupun doktrin merupakan kewenangan pro justitia yang melekat eksklusif pada lembaga / aparat penegak hukum pidana). Menurut ahli, misi pengintegrasian pengaturan dan pengawasan jasa keuangan yang melekat pada OJK, tidak boleh dijadikan semacam visa atau lisensi untuk beralih status menjadi lembaga/aparat penegak hukum pidana. Dengan demikian, kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK, tidak saja bertentangan dengan raison d’etre UU a quo , melainkan juga tidak sesuai dengan asas kewenangan pro justitia dalam hukum pidana. Sekali lagi, terminologi pengawasan dalam UU a quo , apalagi dikaitkan dengan raison d’etre UU tersebut, adalah pengawasan dalam konteks administratif. Oleh karena itu, lagi-lagi menjadi sangat aneh jika dalam lingkup pengawasan tersebut dicantolkan pula kewenangan penyidikan, yang dalam konteks hukum pidana (dalam hal ini hukum acara pidana) merupakan tahap pencarian bukti dan menemukan pelaku suatu suatu tindak pidana secara pro justitita. Jadi, tidak ada kaitan logis maupun teoretis antara kewenangan pengawasan yang bersifat administratif dalam UU OJK dengan kewenangan penyidikan delik yang melekat eksklusif pada lembaga/aparat penegak hukum pidana.
Urgen dan mendesak? Hemat ahli, pemberian kewenangan penyidikan pada OJK bukanlah sesuatu yang urgen dan sangat-sangat mendesak. Pertama, tidak ada delik khusus yang memerlukan penanganan khusus oleh OJK. Kejahatan-kejahatan di bidang jasa keuangan memang ada. Namun tidak ada yang begitu spesifik sedemikian rupa yang secara mutlak harus ditangani khusus oleh OJK. Sebut saja misalnya: penipuan, kejahatan elektronik, pencucian uang, pendanaan teroris, suap dan korupsi, penyalahgunaan pasar dan insider dealing dan informasi keamanan, serta penipuan berkedok investasi yang merugikan masyarakat. Semua bentuk kejahatan tersebut relatif umum dan lembaga/aparat penegak hukum konvensional (kepolisian, kejaksaan, KPK) dapat melakukan penanganan secara rutin sebagaimana kejahatan-kejahatan lain. Dalam konteks ini, seharusnya OJK cukup diberi tugas mensuport penegak hukum yang ada, terutama untuk hal- hal yang sangat teknis. Tidak perlu diberi kewenangan penyidikan secara khusus. 58 Kedua, OJK adalah lembaga independen non Departemen dan pegawainya tidak berstatus sebagai PNS atau ASN sehingga tidak mungkin menjadi PPNS yang memiliki kewenangan penyidikan/ pro justitia sebagaimana disyaratkan KUHAP. Persis di titik ini, menurut ahli, tidak ada urgensinya memberi kewenangan penyidikan kepada sebuah lembaga yang secara hukum tidak memenuhi syarat sebagai penyidik. Meminjam/memakai tenaga penyidik dari lembaga lain sebagaimana dilakukan OJK selama ini, menurut hemat ahli, bukanlah cara yang solutif. Selain terkesan hanya menciptakan birokrasi baru dalam penegakan hukum (tanpa aparat sendiri), masalah lain yang potensil muncul adalah masalah koordinasi antar lembaga yang dapat saja timbul di kemudian hari. Tentu saja, kemungkinan lain yang bisa muncul adalah tumpang- tindih dan konflik kewenangan dalam penanganan perkara. Ujung dari semua kemungkinan tersebut adalah terancamnya hak konstitusional warga negara dan rakyat untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam konteks reformasi yang sedang berjalan, maka keseimbangan- keseimbangan baru yang berbasis hak konstitusional warga negara dan rakyat untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut harus dilihat sebagai ingsutan paradigma—yang tidak hanya menyodorkan peluang untuk “memperbaiki” apa yang ada—tetapi juga menyertakan apa yang oleh Alfred Schutz disebut accent of reality, yakni kebaruan memandang realitas, dalam arti, ada segi yang ditambahkan dan ada yang dihilangkan—karena bobot suatu kenyataan berbeda terkait dengan cara muncul dan kondisi yang dihadapi. Dalam konteks kebaruan tersebut, dapat dikatakan bahwa jaminan hak konstitusional warga negara bernilai kategorisher imperativ seperti dimaksud Immanuel Kant. Yakni, wajib tanpa syarat, sebab merupakan tugas moral dan demokrasi. Ia tidak bisa digugurkan oleh pertimbangan-pertimbangan yang sifatnya prima facie dan kondisional. Kewenangan penyidikan yang ditempelkan begitu saja pada OJK merupakan soal yang bersifat prima facie , dan karena itu tidak boleh mengugurkan jaminan hak konstitusional warga negara yang bernilai imperatif kategoris. 59 3. Implikasi Salah satu bahaya yang potensil muncul jika kewenangan penyidikan tetap diberikan kepada OJK, adalah pemusatan kekuasaan yang terlalu besar pada satu tangan ( kewenangan regulasi + pengawasan + penyidikan ). Kondisi ini membuka ruang bagi perangai negatif kekuasaan . Pelajaran paling dasar yang kita petik dari perjalanan semua peradaban kekuasaan, adalah bahwa kekuasaan mesti dibatasi. Inilah yang menjadi salah satu jantung pergulatan pemikiran kebanyakan filsuf dan ilmuwan sosial-politik sepanjang masa. Kekuasaan di terima kehadiranya, tapi ia mesti dikendalikan agar tidak senantiasa memproduksi bencana bagi manusia dan kemanusiaan. Dalam mengekpresikan kebutuhan di atas, Plato mengintroduksi konsep Philosoper-Kings . Sama halnya ajaran Konfusionisme, Plato merumuskan keharusan untuk membatasi kekuasaan lewat konsep moral kepemimpinan. Inilah racikan rumusan yang kini dikenal sebagai etika ataupun moralitas kekuasaan. Moral pemegangnya diandaikan bisa berfungsi sebagai kekuatan self-control atas perangai kekuasaan. Tetapi realitas membuktikan, kekuasaan terlampau besar untuk bisa dijinakkan hanya dengan moral ataupun etika. Kata Nietzsche, will to power adalah naluri dasar manusia. Karenanya, dalam perkembangan lebih modern, pembatasan kekuasaan diekspresikan dalam raut yang bervariasi. Pada tingkat pertama, kekuasaan diyakini bisa di kontrol oleh kekusaan pula. Ini menjadi fondasi dari pembagian atau pemisahan kekuasaan seperti yang terungkap dalam konsep Trias Politika ataupun prinsip checks and balances . Ini pula fondasi yang melegalisasi ide distribusi kekuasaan yang mengukuhkan diferensiasi struktur dan spealisasi fungsi dalam birokrasi modern. Semua ide pembatasan kekuasaan tersebut, didasarkan pada sebuah pengandaian bahwa sumber malapetaka yang diturunkan dari kekuasaan terletak pada derajat konsentrasi kekuasaan yang berlebihan ataupun ketiadaan limitasi yang rigid terhadap kekuasaan tersebut. Karenanya, ia mesti dipencarkan dan dibatasi secara ketat. Kekuasaan yang dibangun dengan sejuta impian mulia, bisa bertukar raut menjadi horor yang bersifat permanen ketika naluri kesewenang- wenang menggendongnya ke arah yang tak terhingga. 60 Mengingat adanya kelemahan yang cukup serius dalam pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK sebagaimana ahli uraikan di atas, maka menurut hemat ahli diperlukan tafsir konstitusional oleh Mahkamah untuk mencegah munculnya kerumitan-kerumitan eksesif di kemudian hari. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden telah menyampaikan keterangan tertulis sama dengan keterangan Presiden yang dibacakan dalam persidangan Mahkamah tanggal 7 Februari 2019 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 6 Februari 2019 yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON 1. Bahwa para Pemohon berpendapat Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK terhadap frasa “Penyidikan” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Frasa “ penyidikan ” menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut “OJK”), karena tindakan pro justitia kepada financial supervisiory institution in casu OJK sangat tidak lazim. Wewenang Penyidikan Lembaga OJK mengaburkan Integrated Criminal Justice System sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakjelasan ruang lingkup dan sistem kerja penyidikan serta legalitas penyidik karena UU OJK tidak mengatur jenis Tindak Pidana sektor Jasa Keuangan baik sektor perbankan ataupun non perbankan. Selain itu menimbulkan tumpang tindih kewenangan Polri, KPK dan OJK. Adanya wewenang penyidikan yang dimiliki lembaga OJK dalam UU OJK tanpa adanya “ Due Process of Law ” dalam proses penegakan hukum pidana ( Criminal Justice System ) di sektor Jasa Keuangan telah melanggar adanya suatu jaminan Kepastian Hukum yang adil dalam proses penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip Negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya 61 sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (selanjutnya disebut UU MK), bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk: _a. Menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; _ b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang _kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; _ _c. Memutus pembubaran partai politik, dan; _ d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum Bahwa terhadap kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945, pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor: 51-52-59/PUU- VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 (“Putusan 59/PUU-VI/2008 ”), menyatakan demikian: “ menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Pandangan hukum yang demikian sejalan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 tentang Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah ”. Bahwa, berdasarkan putusan tersebut Mahkamah Kosntitusi mengakui kewenangan open legal policy pembentuk UU mengatur lebih lanjut norma umum yang ditetapkan dalam UUD 1945. Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Terhadap UU OJK, Mahkamah konstitusi dalam putusan 25/PUUXIII/2014 terkait pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan berpendapat: 62 persoalan pengaturan dan pengawasan di bidang perekonomian dan sektor keuangan, baik yang bersifat macroprudential maupun microprudential dengan tujuan untuk menjaga kestabilan dan pertumbuhan ekonomi, yang semula disatukan dalam kewenangan bank sentral dan saat ini dilaksanakan oleh dua lembaga, BI dan OJK, merupakan kebijakan hukum terbuka ( open legal policy ) pembentuk undang-undang dan bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas,” (hlm 288) Meskipun putusan 25/PUUXIII/2014 tersebut terkait dengan pengujian materi UU secara khusus terkait dengan independensi OJK, Pemerintah memaknai pertimbangan Mahkamah Konsitusi bahwa UU OJK merupakan open legal policy juga __ masih sangat relevan dalam pengujian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK karena kewenangan penyidikan yang diberikan Pasal a quo kepada OJK juga merupakan open legal policy yang __ dimiliki pembentuk UU, karena pemberian kewenangan penyidikan sebagai pilihan kebijakan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahkan pada dasarnya dalam putusan a quo Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada pokoknya Pasal 1 angka 1 UU OJK yang dimohonkan pengujiannya telah dinyatakan konstitusional kecuali terhadap frasa “ dan bebas dari campur tangan pihak lain ” , sehingga dapat dikatakan permohonan a quo adalah ne bis in idem dengan Putusan No. 25/PUU- XII/2014. __ Pembentukan UU OJK bahkan sangat jelas merupakan implementasi Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 kepada pembentuk UU untuk mengatur lebih lanjut hal mengenai pelaksanaan pengelolaan perekonomian nasional dan perwujudan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut sebagai UU BI) yang menyatakan bahwa “ Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang ”. Dalam implementasi kewenangan tersebut, OJK mendasarkan pada ketentuan peraturan perundangan baik dari sisi ketentuan sektor jasa keuangan juga dari sisi hukum acara pidana yang digunakan. Bahwa selain itu, setelah membaca dengan cermat permohonan para Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa yang dipermasalahkan para Pemohon adalah penerapan norma ( implementasi ) suatu Undang-Undang in casu UU OJK atau pengaduan konstitusi ( constitutional complaint) . Namun 63 oleh para Pemohon permasalahan tersebut diajukan sebagai permohonan pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945, dengan dalil bahwa ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK yang dimohonkan pengujian itu bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini tentunya akan mengaburkan makna constitutional review yang di batu ujikan terhadap norma nilai dalam UUD 1945 . Quod non Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo , maka harus dibedakan antara pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang ( constitutional review ) dan persoalan yang timbul sebagai akibat dari penerapan suatu norma Undang-Undang yang di sejumlah Negara dimasukkan ke dalam ruang lingkup persoalan gugatan atau pengaduan konstitusional ( constitutional complaint ). UUD 1945 jelas menyatakan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu norma Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi ( constitutional review ) dan tidak mengatur tentang constitutional complaint sebagaimana yang didalilkan Para Pemohon. __ Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan uji materiil ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK tersebut tidak dapat diajukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi dan atasnya patut untuk dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvenkelijke verklaard ). III. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut sebagai UU MK) jelas mengatur Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yang meliputi:
Perorangan Warga Negara Indonesia;
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonsia yang diatur dalam undang-undang;
Badan hukum publik atau privat; atau 64 d. Lembaga Negara. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, agar Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan suatu permohonan uji materiil undang-undang terhadap UUD 1945, maka harus dibuktikan bahwa:
Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK; dan
Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan akibat berlakunya undang-undang yang diuji. Bahwa para Pemohon terdiri dari 6 (enam) orang Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut sebagai WNI). Alasan Para Pemohon mengajukan uji materiil terhadap Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK adalah sebagai berikut: - Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III dan Pemohon IV yang berprofesi sebagai Dosen di Fakultas Hukum Universitas Surakarta merasa dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK karena secara keilmuan hukum pidana yang dipelajari oleh Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon III, dalam pemberlakuan “ criminal justice system ” di Indonesia yang mengakui asas “ due process of law ” sebagai suatu proses yang harus dijalankan oleh Negara cq. Aparat Penegak Hukum yang telah diatur dalam KUHAP, menganggap hal tersebut diabaikan dengan berlakunya UU OJK. - Pemohon I yang juga berprofesi sebagai Advokat merasa dirugikan karena UU OJK tidak mengatur secara jelas hak-hak seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana di sektor jasa keuangan, sehingga apabila mendapatkan klien yang bergerak di bidang jasa keuangan Pemohon I menganggap akan mengalami kesulitan untuk memberikan bantuan hukum kepada kliennya tersebut. - Pemohon IV merasa dirugikan dengan kewenangan penyidikan yang diberikan kepada lembaga OJK tanpa ada penjelasan tujuan diberikannya kewenangan a quo karena menganggap akan membuat Pemohon IV dirugikan ketika menjelaskan kepada mahasiswa maupun dalam forum- forum akademis. - Pemohon V dan Pemohon VI merasa dirugikan karena menjadi salah 65 satu yang disangka melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Adapun ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK bersifat imperatif sehingga sekalipun para Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan uji materiil, para Pemohon harus mempunyai hak atau kewenangan konstitusional yang dirugikan akibat adanya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah berpendapat bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat kumlatif, yaitu:
Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
Adanya hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dicermati apakah hak konstitusional para Pemohon dirugikan secara spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya berpotensi menurut penalaran yang wajar pasti akan terjadi dengan berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK terhadap frasa “ penyidikan ”? Selain itu perlu dipertimbangkan apakah terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian para Pemohon tersebut dengan berlakunya Pasal a quo ? Terhadap hal-hal tersebut Pemerintah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa tugas dan wewenang OJK termasuk dengan kewenangan penyidikan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK. Frasa “ penyidikan ” yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon dimaksukan untuk memberikan kepastian hukum berupa wewenang OJK untuk melakukan penyidikan, yang pelaksanannya tetap 66 berpedoman pada peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam penyelenggaraannya. Hal ini dibuktikan dengan pengangkatan penyidik yang berasal dari POLRI maupun Penyidik PPNS, dan melalui proses sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut sebagai KUHAP) sebagaimana diatur Pasal 49 ayat (1) UU OJK yaitu: “ Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana .” Berdasarkan uraian di atas, Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK jelas telah didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sama sekali tidak mengabaikan ketentuan yang telah diatur dalam KUHAP sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon.
Bahwa dikaitkan dengan dalil Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III dan Pemohon IV yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh keberadaan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, tidak dijelaskan secara spesifik kerugian yang terjadi kepada para Pemohon atau setidak- tidaknya berpotensi terjadi karena berlakunya pasal a quo .
Bahwa demikian juga Pemerintah berpendapat dalil Pemohon I yang merasa dirugikan dengan berlakunya pasal a quo terhadap profesi Pemohon I sebagai Advokat merupakan dalil yang mengada-ada karena UU OJK jelas sudah menundukkan diri pada KUHAP sehingga tidak mungkin tuntutan sama sekali tidak mempunyai hubungan sebab akibat dengan eksistensi pasal a quo . Perlu Pemerintah tegaskan sebagai suatu Lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat undang-undang, penerapan UU OJK yang berarti di dalamnya termasuk proses penyidikan telah diatur secara jelas dan transparan untuk dilaksanakan OJK dengan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang sektor jasa keuangan maupun proses penyidikan yang diatur dalam KUHAP dan sesuai dengan salah satu asas good governance OJK yaitu 67 asas keterbukaan , dimana ketentuan-ketentuan dalam UU OJK diterapkan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan.
Bahwa atas legal standing Pemohon V dan Pemohon VI, setelah membaca dan meneliti permohonan yang diajukan oleh para Pemohon, Pemerintah berpendapat dalil kerugian yang dikemukakan sangat kabur dan cenderung memaksakan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh ketentuan a quo . Pemerintah juga tidak menemukan adanya hubungan sebab akibat ( causa verband ) antara dalil yang disampaikan oleh Pemohon V dan Pemohon VI dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK. Tindakan penahanan yang dijalani oleh Pemohon V dan Pemohon VI tersebut bukan dilakukan atas penyidikan yang dilakukan oleh OJK terhadap Pemohon. Pemohon V dan Pemohon VI menjalani masa tahanan di Polda Metro Jaya dalam pemeriksaan pidana umum karena kedudukannya selaku karyawan PT. SNP sehubungan status Coll 2 yang diberikan Bank yang menjadi kreditur perusahaan a quo. Bahwa status Coll 2 tersebut yang diberikan oleh Bank karena adanya teguran OJK terhadap Bank tidak dapat dianggap bahwa penahanan Pemohon V dan Pemohon VI karena frase penyidikan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK. Sebagaimana dijelaskan Para Pemohon sendiri, teguran OJK terhadap bank didasarkan pada fakta adanya retrukturisasi yang dilakukan Bank terhadap PT SNP. Restrukturisasi seharusnya diikuti dengan penurunan grade Perusahaan selaku debitur karena memperlihatkan adanya kegagalan dalam pembayaran kewajiban. PT SNP belum mendapatkan penurunan grade oleh bank namun tidak dilakukan sehingga OJK selaku pengawas bank berkewajiban untuk menegur bank.
Bahwa terkait Audit yang kemudian dilakukan OJK terhadap PT. SNP tidak terdapat penjelasan kaitan audit ini dengan penahanan Pemohon V dan Pemohon VI. Meskipun demikian, secara substansi tindakan audit tersebut jelas bukan merupakan tindak penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU OJK maupun KUHAP, sehingga merupakan suatu dalil yang mengada-ada apabila para Pemohon menyamakan pelaksanaan 68 audit dengan proses penyidikan. Apalagi pada dasarnya tindak pidana yang dikenakan atas para Pemohon V dan Pemohon VI sehingga keduanya ditahan oleh Kepolisian merupakan tindak pidana umum yang proses penyidikannya jelas dilakukan oleh pihak Kepolisian RI, bukan OJK. Dengan demikian Pemohon V dan Pemohon VI pun jelas tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo .
Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, menurut Pemerintah para Pemohon dalam permohonan a quo tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo di hadapan Mahkamah Konstitusi, sehingga sangatlah berdasarkan hukum apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili perkara a quo secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard ) . Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak dalam permohonan Pengujian Undang-Undang a quo , sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. IV. PERMOHONAN PENGUJIAN YANG DIAJUKAN PARA PEMOHON TELAH DINILAI DAN DIPUTUS OLEH YANG MULIA MAJELIS MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERKARA NOMOR 25/PUU-XII/2014 ( NEBIS IN IDEM ).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 60 UU MK menyatakan, ” Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang- Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. ” 2. Pada tanggal 14 Agustus 2015, Mahkamah Konstitusi telah memeriksa dan memutus rumusan keseluruhan Pasal 1 angka 1 UU OJK terhadap UUD 1945 dalam putusan perkara NOMOR 25/PUU-XII/2014, sehingga Pasal 1 angka 1 UU OJK selengkapnya menjadi berbunyi: “ Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah Lembaga yang Independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” 69 3. Berdasarkan pendapat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam persidangan tanggal 18 Desember 2018 yang dituangkan dalam halaman 13 risalah sidang perkara Nomor 102/PUU-XVI/2018, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada pokoknya menyatakan kewenangan penyidikan yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 UU OJK telah dinyatakan konstitusional dalam Putusan sebelumnya dan apabila ketentuan tersebut hendak dikoreksi maka Pemohon harus memberikan argumentasi yang jauh lebih kuat.
Berdasarkan hal tersebut di atas, setelah mempelajari Permohonan a quo , baik pada Surat Permohonan pertama maupun pada Surat Perbaikan Permohonan, menurut pandangan Pemerintah, Pemohon belum memberikan argumentasi-argumentasi yang jauh lebih kuat atas permohonan pengujian Pasal 1 angka 1 UU OJK yang telah dinyatakan konstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU- XII/2014.
Dengan demikian, permohonan a quo dapat dikategorikan sebagai permohonan yang nebis in idem , dan mohon kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat memberikan pertimbangan mengenai apakah terhadap materi muatan yang dimohonkan oleh para Pemohon dapat dianggap sebagai pasal yang telah diuji dan tidak dapat dimohonkan kembali. IV. KETERANGAN PRESIDEN ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI LANDASAN FILOSOFIS Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi yang dimohonkan untuk diuji oleh para Pemohon, terlebih dahulu Pemerintah akan menyampaikan landasan filosofis terkait dengan Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: Bahwa untuk mencapai cita-cita Negara Republik Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur serta mensejahterakan kehidupan bangsa dibutuhkan suatu sistem perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan. Mengingat pentingnya hal tersebut maka dalam Pasal 33 UUD 1945 telah diatur prinsip-prinsip dasar pengelolaan perekonomian nasional. 70 Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 selanjutnya memberikan amanat kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur pelaksanaan pasal a quo dalam undang-undang. Dengan demikian dalam rangka mewujudkan amanat konstitusi tersebut maka telah diterbitkan perundang-undangan mengenai pengelolaan perekonomian nasional berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, yang salah satunya adalah UU OJK. Pembentukan UU OJK secara tegas diamanatkan Pasal 34 ayat (1) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut sebagai UU BI) yang menyatakan bahwa “ Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang ”. __ Dengan demikian, pembentukan UU OJK tersebut adalah dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia. Didasarkan pada pengalaman adanya krisis keuangan yang pernah terjadi di Indonesia, struktur dan sistem keuangan yang saat itu berlaku dan best practices di beberapa Negara, pembentuk Undang-Undang menilai bahwa salah satu upaya mewujudkan perekonomian yang tumbuh stabil dan berkelanjutan maka sistem keuangan yang paling sesuai dengan Indonesia adalah model unified supervisory model , yakni suatu sistem pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan yang terintegrasi dalam suatu lembaga tunggal yang kemudian dinamakan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan UU OJK. Kesadaran pembentuk UU pentingnya sistem pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan yang terintegrasi oleh OJK menjadi pilihan kebijakan hukum yang diwujudkan dengan mengamanatkan Pembentukan Lembaga OJK melalui UU OJK dalam Pasal 34 ayat (1) UU BI, dengan tujuan agar seluruh kegiatan jasa keuangan dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, transparan dan akuntabel serta dapat mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan pada 71 seluruh kegiatan di bidang sektor jasa keuangan, maka pembentuk UU telah sepakat bahwa OJK diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap pelaku kegiatan usaha di bidang Perbankan, Pasar Modal atau Industri Keuangan Non Bank (IKNB) yang diduga melakukan pelanggaran. Sebagai bukti UU OJK bersesuaian sistem hukum pidana, UU OJK dengan jelas mengatur bahwa Penyidikan tersebut dilakukan oleh Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut sebagai Penyidik Polri) dan Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK yang diberikan wewenang khusus sebagai penyidik (selanjutnya disebut sebagai PPNS). Pelaksanaan kewenangan penyidikan ini dalam peraturan lebih teknis berupa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22/POJK.01/2015 secara tegas menundukkan diri pada ketentuan perundang- undangan sektoral baik mengenai jenis tindak pidana sektor jasa keuangan yang berpedoman pada UU sektoral masing (UU Bank Indonesia, UU Perbankan, UU Pasar Modal, UU Dana Pensiun, UU Asuransi, UU Perbankan Syariah, UU Lembaga Keuangan Mikro, UU Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan UU Jasa Keuangan lainnya) maupun KUHAP sebagai hukum acara pidana yang digunakan. Pemberian kewenangan penyidikan tindak pidana di bidang jasa keuangan kepada OJK dimaksudkan untuk terlaksananya penyidikan secara cepat dan murah. Secara cepat mengingat tindak pidana di bidang jasa keuangan yang tidak secara cepat tersidik untuk selanjutnya diproses penuntutannya dapat membahayakan sistem keuangan nasional secara makro yang dapat mengakibatkan krisis keuangan nasional, secara mikro juga menimbulkan risiko kerugian masyarakat yang ikut serta dalam industri jasa keuangan. KETERANGAN PEMERINTAH Sehubungan dengan dalil-dalil para Pemohon dalam permohonannya untuk frase “penyidikan” dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK yang berbunyi: Pasal 1 angka 1 UU OJK : “ Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan __ 72 sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. ” Pasal 9 huruf c UU OJK : “ Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud _dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: _ a.... b.... c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan , perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- _undangan di sektor jasa keuangan; _ d.... dst. ” dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 : “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum. ” Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 : “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. ” Pemerintah dapat menyampaikan keterangan sebagai berikut: A. OJK sebagai Lembaga Pengawas Sektor Jasa Keuangan sejak pendiriannya telah memiliki kewenangan melakukan penyidikan 1. Bahwa sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dan sebagaimana Putusan Nomor 25/PUU-XII/2014 tanggal 04 Agustus 2015, pembentukan UU OJK merupakan pilihan kebijakan pembentuk UU dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 dan amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI untuk membentuk suatu lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen yang berfungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan yang bergerak di sektor jasa keuangan agar kegiatan tersebut dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel untuk mewujudkan sistem keuangan yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi melindungi kepentingan konsumen dan 73 masyarakat.
Bahwa dengan semakin pesatnya pertumbuhan dan kompleksitas kegiatan jasa keuangan sebagai dampak dari berkembangnya bidang teknologi dan inovasi produk finansial yang canggih ( sophisticated ) yang diiringi dengan kecenderungan dari entitas bisnis berbentuk konglomerasi dan adanya praktek-praktek arbitrase peraturan ( regulatory arbitrage ), lack of transparency, abuse of economic power dari entitas bisnis jasa keuangan, pembentuk UU OJK memandang perlunya suatu lembaga yang memiliki otoritas pengawasan secara integrasi. Salah satu kewenangan pengawasan yang diberikan UU OJK adalah penyidikan sehingga OJK mampu untuk memenuhi tujuan pembentukannya tersebut khususnya perlindungan kepentingan konsumen dan masyarakat.
Bahwa Pemohon dalam permohonan mengutip Naskah Akademik UU OJK antara lain terkait dengan model pengawasan industri jasa keuangan yang tepat untuk Indonesia adalah Unified Supervisiory Model yang merupakan otoritas pengawas terintegrasi. Dengan membaca Naskah Akademis tersebut tentunya Pemohon telah sepakat dengan Pemerintah bahwa sejak awal model pengawasan OJK adalah pengawasan terintegrasi. Dengan model pengawasan terintegrasi, kewenangan penyidikan OJK tidak dilakukan sbagai penyalahgunaan wewenang, melainkan dengan governance yang jelas sebagaimana diatur dalam POJK sehingga tentu sejalan dengan ketentuan hukum pidana dan peraturan perundangan di bidang sektor jasa keuangan. Selama ini penyidikan OJK uga telah didukung oleh aparat penegak hukum, sebagai upaya pengamanan sistem keuangan nasional melalui pengawasan entitas lembaga keuangan secara invidu oleh OJK menurut Pemerintah perlu terus dipertahankan. B. Kewenangan Penyidikan OJK Merupakan Salah Satu Bentuk Pengawasan Lembaga OJK dan Tidak Mengaburkan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 1. Bahwa selanjutnya terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK yang berkaitan dengan 74 frasa “ penyidikan ” mengaburkan integrated justice system dan due process of law dan oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dapat ditanggapi Pemerintah sebagai berikut:
Bahwa seiring dengan semakin berkembangnya produk dan layanan jasa keuangan maupun ilmu pengetahuan dan teknologi informasi bersamaan dengan era globalisasi transaksi keuangan, perkembangan tersebut di satu sisi dapat mendukung kemajuan sektor jasa keuangan, tetapi di sisi lain dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan karena munculnya berbagai modus kejahatan yang lebih kompleks termasuk tindak pidana di sektor jasa keuangan. Untuk mengatasi tindak pidana yang terjadi di sektor jasa keuangan tersebut secara cepat dan tepat, maka perlu dilakukan proses penyidikan untuk membuat terang tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Bahwa tindakan penyidikan tersebut mengacu pada Pasal 1 butir (2) KUHAP yang dengan jelas menyatakan bahwa “ Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya” . Berdasarkan rumusan Pasal a quo , dapat ditarik unsur-unsur untuk suatu tindakan dinyatakan sebagai tindakan penyidikan, yaitu:
Serangkaian tindakan yang saling berhubungan satu dengan yang lain;
Dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;
Dilakukan dengan didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dapat membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan juga menemukan tersangkanya.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka apabila terjadi suatu tindak pidana di sektor jasa keuangan, perlu dilakukan tindakan penyidikan secara cepat, biaya ringan dan sederhana untuk membuat terang 75 tindak pidana yang terjadi guna mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, menumbuhkan dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan serta memperkuat stabilitas sistem jasa keuangan.
Bahwa pelaksanaan kewenangan penyidikan OJK dilakukan sejalan dan sesuai ( in harmony ), dengan ketentuan pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana dengan jelas diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22/POJK.01/2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut POJK Penyidikan) bahwa: “ Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan adalah setiap perbuatan/peristiwa yang diancam pidana yang diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai OJK, Perbankan, Perbankan Syariah, Pasar Modal, Dana Pensiun, Lembaga Keuangan Mikro, Perasuransian, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Bank Indonesia sepanjang berkaitan dengan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas OJK dalam pengaturan dan pengawasan bank, serta Undang-Undang mengenai Lembaga Jasa Keuangan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK .” 6. Bahwa ketentuan-ketentuan yang mengatur terkait kewenangan penyidikan OJK di UU OJK telah diatur secara sistematis dan jelas. Ruang lingkup penyidikan OJK sebagaimana diatur dalam Pasal 9 huruf c UU OJK adalah penyidikan terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Sebagai bagian dari tugas pengawasan yang dilakukan OJK, kewenangan penyidikan OJK juga terbatas terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (vide Pasal 6 UU OJK).
Bahwa Pemerintah merasa perlu menginformasikan per tanggal 26 Januari 2019 ini pelaksanaan kewenangan penyidikan oleh OJK telah membuahkan 9 (sembilan) putusan inkracht dan 13 (tiga belas) perkara yang masih dalam proses di Pengadilan. Dengan telah terdapatnya putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap 76 tersebut berarti secara hukum formal dan material Majelis Hakim Pengadilan menerima, mengakui, dan memandang kesesuaian keseluruhan tindak pidana yang disangkakan, termasuk dengan kesesuaian proses penanganannya dengan koridor hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat dikatakan, kehadiran Penyidik OJK justru semakin menguatkan integrated criminal justice system di Indonesia pada kekhususan tindak pidana di sektor jasa keuangan . 8. Bahwa argumentasi para Pemohon yang menyatakan wewenang penyidik OJK secara khusus pada Pasal 49 ayat (3) huruf d, huruf f, dan huruf k melanggar asas ” due process of law ” dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari penyidik OJK karena sama sekali tidak mengaitkan pada KUHAP serta tidak berkoodinasi dengan aparat penegak hukum lainnya merupakan suatu dalil yang menurut Pemerintah secara sengaja mengabaikan fakta hukum sehingga sangat keliru dan menyesatkan karena OJK dalam melakukan proses penyidikan tetap berkoordinasi dengan penegak hukum dan instansi, lembaga dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan di bidang penegakan hukum. Hal ini jelas terbukti dengan langkah OJK membuat landasan hukum terkait koordinasi dengan Jaksa selaku salah satu aparat penegak hukum melalui POJK Penyidikan ( vide Pasal 6 POJK Penyidikan) dan tetap mengacu pada ketentuan yang diatur dalam KUHAP.
Bahwa lebih lanjut, koordinasi penindakan tindak pidana di sektor jasa keuangan ditindaklanjuti oleh OJK dengan membuat berbagai Nota Kesepahaman diikuti dengan Perjanjian Kerjasama bersama dengan beberapa institusi/lembaga yang memiliki fungsi penyidikan, antara lain dengan: Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksanaan Agung Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Bahwa argumentasi para Pemohon yang menyatakan dalam UU OJK tidak terdapat adanya jaminan ” due process of law ” dalam proses penegakan hukum pidana ( criminal justice system ) di sektor jasa 77 keuangan telah melanggar adanya suatu jaminan atas kepastian hukum yang adil dalam penegakan hukum yang adil di negara Republik Indonesia yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menurut Pemerintah merupakan dalil yang mengada-ada, tidak cukup bukti dan tidak beralasan karena sebagaimana telah dijelaskan penyidikan yang dilakukan OJK tetap mengacu pada KUHAP sebagaimana praktik yang selama ini telah dilaksanakan oleh Penyidik OJK sesuai dengan POJK 22.
Pengertian dari Hukum Acara (dalam hal ini hukum acara formil) ialah “ Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberi dasar-dasar dan aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut ” ( Prof Moeljatno, 2015: hal. 1 ). Hal ini tepat disandingkan pada KUHAP yang menyatakan ruang lingkup berlakunya KUHAP, yaitu untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan ( vide Pasal 2 KUHAP). Sehingga apabila dibandingkan antara KUHAP dengan POJK Penyidikan adalah tidak sebanding dan salah alamat. POJK Penyidikan merupakan peraturan pelaksanaan tentang tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik OJK terkait adanya dugaan tindak pidana di bidang Perbankan, Pasar Modal, dan/atau Industri Keuangan Non-Bank. Kedudukan POJK Penyidikan ini sama halnya dengan peraturan- peraturan yang dikeluarkan oleh Polri sebagai pengaturan yang lebih teknis dari pelaksanaan kewenangannya, yaitu Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Bahwa penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh OJK secara terkoordinasi dengan lembaga penegak hukum lain antara lain pihak Kepolisian dan Kejaksaan merupakan bagian dari “ criminal justice system ” atau Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Hal tersebut telah ditegaskan dalam Pasal 49 ayat (1) UU 78 OJK yang berbunyi demikian: “ Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ”. Pasal a quo jelas menyebutkan bahwa wewenang khusus sebagai penyidik yang melekat pada PPNS tidak lepas dari ketentuan KUHAP, dan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP jelas menyatakan demikian: Pasal 7 ayat (2) KUHAP: “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing __ dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a ”. Pasal 7 ayat (3) KUHAP: “ Dalam melakukan tugasnya sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku ”.
Bahwa KUHAP jelas mengatur hubungan koordinasi fungsional dan instasional antara penyidik Polri dan PPNS terkait pelaksanaan penyidikan dalam Pasal 107 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. Pasal 107 ayat (1) KUHAP: “ Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan”. Pasal 107 ayat (2) KUHAP: “ Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a”. Pasal 107 ayat (3) KUHAP: 79 “ Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a ”. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada PPNS dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. Setelah itu PPNS harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang disidiknya jika ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidana tersebut kepada penuntut umum. Apabila PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum melalui penyidik Polri. Penyidik Polri kemudian dapat mengembalikan hasil penyidikan PPNS yang dianggap belum sempurna untuk diperbaiki seperlunya. Dengan berpatokan pada salah satu prinsip dari asas Lex Specialis Derogat Legi Generali (aturan hukum yang lebih khusus menyampingkan aturan hukum yang lebih umum) yaitu ketentuan- ketentuan yang diatur dalam aturan hukum yang lebih umum tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam aturan hukum khusus tersebut, maka proses koordinasi antara PPNS OJK dengan penyidik Polri tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pasal 107 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) KUHAP sebagaimana telah diuraikan di atas.
Bahwa pasal-pasal tersebut di atas menegaskan bahwa tindakan penyidikan yang dilakukan OJK tetap melalui koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga sama sekali bukan merupakan tindakan yang bertentangan dengan integrated justice system sebagaimana yang didalilkan oleh Para Pemohon.
Bahwa sistem peradilan pidana ( criminal justice system ) di Indonesia mempunyai beberapa sub-sistem yaitu, penyidikan yang kewenangannya melekat pada kepolisian, jaksa dengan wewenang penuntutan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan serta dilengkapi dengan pemberi bantuan hukum/advokat. Terkait dengan kewenangan penyidikan yang melekat pada kepolisian, Pasal 1 angka 1 KUHAP 80 secara tegas menyatakan bahwa “ Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan ”. Pasal a quo jelas menegaskan bahwa kewenangan untuk melakukan penyidikan bukan hanya ada pada polisi, tetapi juga kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus berdasarkan undang-undang untuk menyidik, dalam hal ini dikenal sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut sebagai PPNS). Dengan demikian apabila dalam proses penyidikan tersebut KUHAP menyatakan Penyidik terdiri dari Penyidik Polri dan PPNS, maka PPNS merupakan bagian dari sistem peradilan pidana itu sendiri. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) KUHAP dengan jelas telah menyatakan bahwa Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang (PPNS). PPNS sebagai aparat penyidik tindak pidana dalam ruang lingkup tugasnya melaksanakan penyidikan di bawah koordinasi penyidik Polri adalah bagian dari sistem peradilan pidana karena dalam melaksanakan tugas dan fungsinya bekerja sama dan berinteraksi dengan sub-sistem penegak hukum lain dalam kerangka sistem peradilan pidana. Sekalipun PPNS mempunyai tugas dan wewenang tersendiri sesuai dengan tugas dan spesialisasinya, PPNS tetap merupakan bagian dari sub-sistem kepolisian yang merupakan salah satu sub-sistem peradilan pidana.
Bahwa dengan demikian pada dasarnya UU OJK tetap memberikan kewenangan kepada Polri untuk melaksanakan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan. OJK dan Polri sama-sama mengemban amanah Undang-Undang OJK untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan. Dalam rangka mencapai sinergi dalam melaksanakan amanat Undang-Undang OJK tersebut, diperlukan koordinasi yang baik antara OJK dan Polri yang secara formal dituangkan dalam Nota Kesepahaman. Adapun ruang lingkup kerja sama yang diatur dalam Nota Kesepahaman ini adalah 81 sebagai berikut:
Bidang pencegahan tindak pidana di sektor jasa keuangan, melalui kegiatan-kegiatan penyampaian informasi dan edukasi kepada pelaku industri jasa keuangan dan masyarakat, baik tentang tindak pidana di sektor jasa keuangan maupun tindak pidana lain yang memiliki dampak terhadap sektor jasa keuangan;
Bidang penegakan hukum, melalui pertukaran data dan/atau informasi; dan bantuan dalam penyidikan maupun yang bersifat teknis maupun taktis;
Bidang pengamanan, melalui kegiatan pengamanan OJK dan kegiatan OJK;
Bidang koordinasi, melalui pembentukan forum koordinasi antara Pimpinan OJK dan Polri maupun antar pejabat pengendali guna membahas arah dan strategi penegakan hukum di sektor jasa keuangan, juga pembahasan efektivitas penyelesaian penanganan, analisis dan evaluasi pelaksanaan penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Selain itu dalam rangka koordinasi tersebut akan dibentuk kelompok kerja dalam tataran yang lebih teknis yang melibatkan unsur pimpinan OJK dan Polri di daerah;
Bidang penugasan dan pengakhiran penugasan anggota Polri (SDM Penyidik) melalui penempatan personil Penydidik Polri di OJK untuk melaksanakan tugas penyidikan; dan
Bidang pendidikan dan pelatihan, melalui kegiatan peningkatan kualitas dan kompetensi sumber daya manusia OJK maupun Polri khususnya terkait pelaksanaan fungsi penyidikan, baik kompetensi mengenai sektor jasa keuangan maupun keahlian teknis penyidikan.
Bahwa oleh sebab itu adalah tidak berdasar hukum apabila Para Pemohon berpendapat kewenangan penyidikan yang melekat pada OJK mengaburkan integrated justice system dan due process of law sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan sebab itu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, karena kewenangan 82 penyidikan OJK yang secara khusus berlaku atas setiap tindak pidana yang terjadi di sektor jasa keuangan justru merupakan tindakan yang menunjang terlaksananya suatu sistem peradilan pidana yang terintegrasi. Penyidik PNS OJK Tidak Bertentangan Dengan Asas Penegakan Hukum ( Supremacy of Law ) 18. Bahwa keberadaan PPNS telah ada sejak zaman Kolonial Hindia Belanda yang diatur dalam Het Herziene Inlands Reglement (selanjutnya disebut sebagai HIR) Staatblad Tahun 1941 No. 44. Pasal 1 sub 5 dan 6 HIR memberikan kewenangan pejabat yang diberi tugas kepolisian preventif, dan Pasal 39 sub 5 dan 6 HIR memberikan kewenangan pejabat yang diberi tugas mencari kejahatan dan pelanggaran (kepolisian represif baik yang bersifat non-yustisial maupun pro-yustisial). Pasal 1 sub 5 dan 6 HIR: “ Melakukan tugas kepolisian pada bangsa Indonesia dan pada bangsa Asing, menurut perbedaan yang diadakan dalam reglemen ini, diwajibkan pada pegawai, penjabat-penjabat dan orang-orang yang teristimewa disebut dibawah ini, masing-masing sekian keluasan _daerah, untuk mana ia diangkat: _ _1....; _ _2....; _ _3....; _ _4....; _ 5. Semua pegawai, penjabat dan orang-orang lain, dalam perkara yang diserahkan kepadanya supaya dijaganya, menurut aturan _undang-undang yang istimewa; _ 6. Pegawai-pegawai polisi yang tidak dapat gaji masing-masing mengenai kekuasaan yang diberikan padanya dalam surat angkatannya yang diangkat sedemikian dengan mengingat aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pasal 39 sub 5 dan 6 HIR: “ Hal mencari kejahatan dan pelanggaran pada bangsa Indonesia dan bangsa Asing, menurut perbedaan yang dibuat pada reglemen ini dan pada peraturan undang-undang yang lain, diwajibkan kepada pegawai, pejabat dan orang-orang yang teristimewa yang tersebut di _bawah ini, masing-masing dalam seluruh daerah pegangannya: _ 83 _3....; _ _4....; _ 5. Mereka, yang dengan peraturan undang-undang yang khusus disuruh memegang peraturan itu atau supaya peraturan itu diturut orang dan yang disuruh mencari perbuatan yang dapat dihukum yang dimaksud di dalam peraturan itu, yakni sekedar, yang _mengenai perbuatan yang dimaksud itu; _ 6. Pegawai polisi yang tidak dapat gaji, yang diangkat sebagai polisi dengan mengingat peraturan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah, masing-masing menurut kekuasaan yang diberikan kepadanya pada Akte angkatannya. 19. Bahwa dari beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang PPNS seperti KUHAP, Pedoman Pelaksanaan KUHAP dan Undang-Undang Kepolisian pada dasarnya merumuskan PPNS dengan unsur-unsur sebagai berikut:
PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang;
Wewenang khusus tersebut adalah wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana;
Tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana tertentu yang menjadi ruang lingkup tugas dari suatu instansi/lembaga; dan
Dalam melaksanakan wewenang penyidikan berada di bawah koordinasi dan pengawasan dari Penyidik Polri.
Bahwa dari unsur-unsur tersebut di atas, jelas bahwa wewenang penyidikan yang dilakukan oleh seorang PPNS menuntut keahlian dan spesialiasi khusus sesuai dengan tindak pidana tertentu yang menjadi ruang lingkup tugas dari suatu instansi/lembaga.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan penyidik OJK, berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU OJK dan penjelasannya, OJK diberikan hak untuk mempekerjakan penyidik yang berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun Pegawai Negeri Sipil. Pasal 27 ayat (2) “ OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ” 84 Penjelasan Pasal 27 ayat (2) “...Pegawai negeri yang bekerja pada OJK dapat berstatus dipekerjakan atau status lainnya dalam rangka menunjang kewenangan OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan, atau tugas- tugas yang bersifat khusus. Pegawai negeri tersebut antara lain berasal dari pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan/atau Pejabat Penyidik Kepolisian. Hak dan kewajiban pegawai negeri tersebut disetarakan dengan hak dan kewajiban pegawai OJK. ” 29. Bahwa dipekerjakannya penyidik Polri dan PPNS merupakan salah satu upaya OJK untuk memperkuat pelaksanaan fungsi penyidikan di sektor jasa keuangan karena sudah barang tentu yang dapat menjadi penyidik sesuai dengan yang diketahui dalam KUHAP hanya berasal dari 2 (dua) unsur, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang [vide Pasal 6 ayat (1) KUHAP].
Bahwa terkait dengan kewenangan Penyidik OJK diatur dalam 2 (dua) tempat, yaitu bagi Penyidik Polri telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP dan bagi Penyidik PPNS diatur secara khusus dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Hal ini telah sesuai sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat ( 1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a ”. Hal ini memiliki 2 (dua) arti, yaitu: Pertama, kewenangan Penyidik PPNS hanya sebatas kewenangan yang diatur dalam undang-undangnya masing-masing; dan Kedua, dalam pelaksanaan tugasnya, penyidik yang berasal dari PNS tetap berkoordinasi dengan penyidik Polri.
Bahwa sehubungan dengan dalil Para Pemohon yang menyadur Pasal 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN), tentu saja UU ASN tidak tepat dijadikan dasar hukum pada permasalahan a quo . Status kepegawaian di OJK tidak tunduk pada UU ASN karena berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU OJK, pihak yang bekerja di OJK 85 berstatus sebagai pegawai OJK, bukan sebagai ASN. Begitu pula dengan seluruh penyidik Polri yang dipekerjakan OJK tidak tunduk pula dengan UU ASN, melainkan pada UU Nomor 2 Tahun 2002. Dengan begitu, penyidik Polri yang dipekerjakan di OJK tidak harus mengundurkan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) UU ASN.
Bahwa argumentasi para Pemohon kata ”dapat” pada Pasal 27 ayat (2) UU OJK berarti bersifat sementara sehingga keberadaan PPNS di OJK tidak didasarkan pada kewenangan temporer pada suatu masa atau rentang waktu tertentu saja. Dalam Pasal 51 UU OJK telah mengatur ketentuan minimal penarikan kembali para Penyidik PPNS tersebut, yaitu 6 (enam) bulan dan sedang tidak menangani perkara. Ketentuan yang diatur dalam UU OJK ini mengandung arti bahwa alasan penarikan Penyidik PPNS tersebut harus dilakukan dengan cermat dan dipastikan tidak menghalangi jalannya proses penyidikan yang sedang berlangsung di OJK.
Bahwa Pasal 27 ayat (2) UU OJK telah menyatakan, “ OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ”. Selanjutnya dalam penjelasan pasal a quo , pegawai negeri yang dipekerjakan di OJK bertujuan untuk mengefektifkan tugas dan wewenang OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan atau tugas-tugas yang bersifat khusus. Dengan demikian keberadaan PPNS OJK yang bertugas untuk melaksanakan penyidikan sebagai bentuk pengawasan lembaga OJK sama sekali tidak bertentangan dengan penegakan hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena keberadaan PPNS OJK telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. V. DAMPAK APABILA PERMOHONAN DIKABULKAN Sebagaimana telah Pemerintah jelaskan di atas, bahwa kewenangan penyidikan yang melekat pada OJK merupakan salah satu bentuk fungsi pengawasan OJK demi terlaksananya kegiatan-kegiatan di sektor jasa 86 keuangan dengan teratur, adil, transparan dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh stabil dan berkelanjutan serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Apabila permohonan a quo dikabulkan maka tindak pidana di sektor jasa keuangan tidak akan teratasi dengan cepat dan tepat sehingga menimbulkan kekacauan ( chaos ) dalam sistem keuangan di Indonesia dan dapat mengakibatkan kerugian besar bagi perekonomian nasional dan membawa dampak bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Untuk itu, Pemerintah berpendapat terhadap kewenangan penyidikan ini, kiranya Mahkamah masih akan tetap berpendapat sebagai open legal policy yang tidak bisa dibatalkan oleh Mahkamah karena tidak bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan 25 yang merupakan putusan atas pasal yang sama yang bahkan lebih prinsip dari permohonan ini karena meminta pembatalan Pasal 1 angka 1 secara keseluruhan. VI. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian (constitusional review) ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan untuk diuji bukanlah merupakan objek yang dapat diajukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi;
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijke verklaard );
Menyatakan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan 87 Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Presiden menyampaikan Keterangan tertulis tambahan pada tanggal 28 Februari 2019 atas pertanyaan-pertanyaan dari Hakim Konstitusi, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Jawaban terhadap pertanyaan dari Hakim Konstitusi Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA 1. Putusan inkracht atas perkara yang proses penyidikannya dilakukan oleh OJK. Jawaban Pemerintah Sebagaimana telah disampaikan dalam Keterangan Presiden sebelumnya, terdapat 9 (sembilan) perkara tindak pidana di sektor jasa keuangan yang penyidikannya dilakukan oleh Penyidik OJK dan telah memiliki kekuatan hukum tetap ( inkracht ). Berikut ini beberapa putusan inkracht yang salinan resminya telah diperoleh OJK (terlampir) yaitu:
Putusan Nomor 484/Pid.Sus/2018/PN.Dpk tanggal 10 Januari 2019;
Putusan Nomor 182/Pid.B/2018/PN.Bil tanggal 30 Agustus 2018;
Putusan Nomor 221/Pid.B/2017/PN.Sbr tanggal 30 Agustus 2017;
Putusan Nomor 457/Pid.Sus/2017/PN.Smn tanggal 19 Desember 2017; dan 5. Putusan Nomor 310/Pid.Sus/2018/PN.Jkt.Pst tanggal 21 Mei 2018. Perkara-perkara di atas merupakan tindak pidana di sektor jasa keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah). Selain itu terdapat 1 putusan yang berkaitan dengan kewenangan penyidikan OJK yaitu perkara pra peradilan di Pengadilan Negeri Palu dengan perkara Nomor 7/Pid.Pra/2018/PN.Pal tanggal 5 November 2018 (putusan terlampir), Perkara a quo dimohonkan oleh Pemohon (Komisaris Utama PT. BPR Akarumi) terhadap Termohon in casu Penyidik OJK. Dalam pertimbangan hukumnya (halaman 42) Hakim menyatakan OJK mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam perkara meliputi dugaan 88 tindak pidana di bidang perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non bank (IKNB). Bahwa dapat kami tambahkan, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan tidak adanya pranata pra peradilan pada proses penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan, maka adanya 3 perkara perkara pra peradilan yang melibatkan OJK sebagai pihak menjadi bantahan terhadap dalil Pemohon dimaksud. Terlebih dengan diakuinya kewenangan penyidikan dalam Putusan Pra Peradilan Nomor 7/Pid.Pra/2018/PN.Pal tersebut di atas membuktikan bahwa dalam pranata pra peradilan pun kewenangan penyidikan OJK telah diakui oleh Hakim.
Mekanisme penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang proses penyidikannya dilakukan oleh OJK Jawaban Presiden Terkait dengan proses penyidikan yang dilaksanakan oleh OJK, bersama keterangan ini juga dilampirkan alur penyidikan OJK sesuai dengan Keputusan Deputi Komisioner Penyidikan, Organisasi dan SDM Nomor KEP-10/MS.2/2017 tentang Standar Prosedur Operasional di Lingkungan Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan. Tabel berikut merupakan gambaran secara singkat alur penyidikan OJK sesuai dengan Keputusan Deputi Komisioner Penyidikan Organisasi dan SDM tersebut di atas: No. JENIS KEGIATAN KETERANGAN 1. Penerimaan pelimpahan laporan dan/atau informasi • Dapat berasal dari:
Satker Pemeriksaan/Investigasi OJK b. Perseorangan c. Penyidik • Dalam hal pelimpahan berasal dari huruf (a) maka Penyidik OJK melakukan proses penyelidikan dan/atau penyidikan; • Dalam hal pelimpahan berasal dari huruf (b) dan huruf (c) maka Penyidik OJK melakukan koordinasi dengan Satker Pemeriksaan/Investigasi OJK 2. Persiapan, pelaksanaan dan pelaporan Gelar Perkara • Gelar Perkara dilakukan sebelum dan selama proses penyidikan. • Gelar Perkara yang dilakukan sebelum penyidikan adalah dalam rangka peningkatan status penanganan perkara dari penyelidikan ke 89 penyidikan • Gelar Perkara yang dilakukan selama proses penyidikan adalah dalam rangka:
penetapan status tersangka;
pemantauan perkembangan penyidikan;
penyidikan bersama ( joint investigation ); dan persiapan pelimpahan berkas perkara. • Gelar Perkara dihadiri oleh Satker Pengawasan terkait, Departemen Hukum OJK, Audit Internal OJK; dan Departemen Penyidikan.
Penyelidikan/Penyidi kan • Penyidik menerbitkan Surat Perintah Penyidikan dan Surat Perintah Kerja kegiatan penyelidikan/penelitian. • Kegiatan Penyelidikan/Penyidikan meliputi:
Peristiwa tindak pidana apa yang terjadi;
Bagaimana terjadinya tindak pidana 3) Mengapa terjadinya Tindak Pidana 4) Apa dan bagaimana modus operandi tindak pidana 5) Dimana tempat/lokasi terjadinya tindak pidana 6) Benda apa saja yang terkait dengan tindak pidana 7) Siapa pelaku korban dan saksi 8) Kapan peristiwa tindak pidana terjadi a. Pemanggilan Obyek pemanggilan: kepada saksi, tersangka, dan/atau ahli b. Penahanan • Didasarkan pada Laporan Gelar Perkara, syarat formil, dan syarat materiil. • Penitipan tahanan di Rutan.
Penggeledahan • Penyidik OJK melakukan persiapan penggeledahan dari sisi kelengkapan materiil, formil, dan peralatan. • Penyidik OJK meminta bantuan dari Kepolisian Republik Indonesia (Kepolisian). • Penyidik OJK membuat Berita Acara Penggeledahan yang ditandatangani oleh Penyidik OJK dan disampaikan kepada pihak yang dilakukan penggeledahan, paling lama 2 (dua) hari setelah dilakukan penggeledahan.
Penyitaan Penyitaan dilakukan berdasarkan permohonan izin penetapan pengadilan, dalam situasi: kegiatan penggeledahan, kegiatan penangkapan, dan/atau kegiatan tertangkap tangan.
Pemblokiran, Pembukaan Rekening Bank atau Lembaga Keuangan lainnya atau dari pihak yang terlibat 1. Penyidik menemukan adanya bukti tindak pidana pada rekening Bank atau Lembaga Keuangan lainnya.
Penyidik melakukan permohonan pemblokiran rekening dengan menyertakan bukti adanya hasil tindak pidana pada rekening dimaksud.
Penyidik menyerahkan permohonan tersebut kepada Bank atau Lembaga Jasa Keuangan lainnya. 90 4. Penyusunan dan Pelimpahan Berkas Perkara • Inventarisasi komponen berkas perkara, yang terdiri dari: laporan kejadian, surat perintah penyidikan, surat panggilan saksi/tersangka, dan surat perintah penangkapan terhadap tersangka (jika ada). • Melakukan penelitian kelengkapan berkas perkara • Menyusun resume perkara dan membuat surat pengantar pelimpahan yang ditujukan kepada:
Kepala Kejaksaan Negeri untuk Perkara acara pemeriksaan biasa;
Kepala Pengadilan Negeri/Tinggi untuk perkara acara pemeriksaan cepar; dan
Kepala Kejaksaan Negeri/Tinggi untuk perkara yang ditangani oleh Penyidik PPNS • Apabila sebelum batas waktu 14 (empat belas) hari berakhir berkas perkara dikembalikan dan disertai petunjuk Jaksa Penuntut Umum (P.19) maka Penyidik OJK segera melakukan penyidikan tambahan guna melengkapi berkas perkara sesuai petunjuk teknis • Apabila berkas perkara tidak dikembalikan atau sebelum batas waktu telah ada pemberitahuan bahwa hasil penyidikan telah lengkap (P.21) maka Penyidik OJK segera melimpahkan tanggung jawab kepada Kepala Kejaksaan Alur penyidikan dimaksud telah membuktikan bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik OJK telah berpegang pada prinsip due process of law dan tidak menyimpang dari KUHAP dan UU OJK sebagai acuan untuk pelaksanaan penyidikan OJK. Alur proses penyidikan dimaksud juga menggambarkan adanya koordinasi antara Penyidik OJK dengan Kepolisian RI sebagai bentuk pelaksanaan integrated criminal justice system .
Berikan komparasi dengan negara lain yang juga memiliki Lembaga Pengawas Jasa Keuangan seperti OJK dan mempunyai kewenangan penyidikan. Jawaban Presiden: Berkaitan dengan perbandingan kepemilikan wewenang penyidikan pada Lembaga Pengawas Jasa Keuangan di Negara lain, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa bentuk Lembaga Pengawas Jasa Keuangan di Negara lain bervariasi sesuai dengan sistem ketatanegaraan dan sistem hukumnya masing-masing. Beberapa Negara memiliki Lembaga Pengawas di Sektor 91 Jasa Keuangan yang bersifat sektoral tetapi tetap memiliki kewenangan penyidikan. Sebagai contoh, di Jepang , lembaga pengawasan pasar modal yaitu Securities and Exchanges Survaillance Commission memiliki Criminal Investigation Division . Lembaga tersebut berkoordinasi dengan Japan Financial Services Agency dalam pelaksanaan tugasnya (sumber: www.fsa.go.jp/common/about/h30FSAsOrganizationChartOutline.pdf ). Contoh lainnya adalah Negara Inggris , dimana FCA ( Financial Conduct Authority ) memiliki kewenangan untuk melakukan “ bringing criminal prosecution to tackle financial crime, such as insider dealing, unauthorized business and false crime to be FCA authorized (sumber: www.fca.org.uk/about/enforcement ) dan Article 401 pada Financial Services and Markets Act 2000 yang menyatakan “ P roceedings for an offence may be instituted in England and Wales only—(a) by the Authority ” . B. Jawaban terhadap pertanyaan Hakim Konstitusi Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. dan Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S.
Filosofis Kelembagaan OJK a. Secara mandat, pembentukan Lembaga OJK didasarkan pada amanat Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia (UU BI) untuk mengatur dalam suatu UU pembentukan suatu lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang independen dan berfungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan yang bergerak di sektor jasa keuangan. Terkait dengan pembentukan OJK yang hanya dimandatkan oleh UU BI bukan secara langsung oleh UUD 1945, Majelis Hakim Konstitusi dalam Putusan Perkara Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU-XII/2014 tanggal 4 Agustus 2015 halaman 289 menyatakan bahwa “oleh karena independensi OJK merupakan penjabaran dari UU BI, sedangkan independensi bank sentral berasal dari Pasal 23D UUD 1945 maka untuk memahami independensi OJK harus dikaitkan dengan independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Independensi bank sentral dimaksudkan agar bank sentral memiliki kebebasan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang dan keputusan- 92 keputusan yang diambil dalam mencapai tujuannya tersebut tidak dapat diintervensi oleh pemerintah dan cabang-cabang kekuasaan negara lainnya. Dikaitkan dengan hal tersebut maka independensi OJK bukan berarti OJK dapat menentukan sendiri tujuannya, karena tujuan pembentukan OJK telah ditentukan dalam UU OJK, di antaranya dalam Pasal 4 UU OJK disebutkan bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar seluruh kegiatan dalam sektor jasa keuangan terselenggara dengan teratur, adil, transparan dan akuntabel; dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berdasarkan tujuan pembentukan OJK yang langsung berkenaan dengan bidang ekonomi, maka sudah tepat Pasal 33 UUD 1945 dijadikan sebagai dasar hukum kewenangan pembentukan OJK . Selanjutnya terkait dengan kedudukan/hubungan kelembagaan OJK dengan pemerintahan, Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Perkara Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU-XII/2014 menyatakan: “penjelasan demikian (yaitu penjelasan umum UU OJK) harus dimaknai tetap ada kaitannya dengan pemerintah, sebab semua urusan yang diberikan kepada OJK tidak dapat dilepaskan dengan urusan penyelenggaraan pemerintahan, sehingga OJK bukanlah bagian yang dipisahkan dari negara yang karenanya seakan-akan OJK merupakan negara dalam negara. Hal demikian juga terbukti dari adanya unsur-unsur perwakilan pemerintah di OJK serta koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi kebijakan dengan lembaga-lembaga lain.” Berdasarkan pada pertimbangan dalam Putusan Perkara Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU-XII/2014 tersebut di atas, Pemerintah berpendapat pandangan Pemerintah bahwa OJK adalah lembaga negara yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan memiliki landasan yuridis, filosofis dan sosiologis yang sangat kuat. Selanjutnya dikaitkan dengan jenis lembaga negara main organ dan auxsiliary organ, memperhatikan pengklasifikasin lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 menyatakan: “Secara teori dan praktik, lembaga-lembaga negara tersebut dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yakni (i) lembaga negara mandiri yang disebut lembaga negara utama ( main state organs ) dan (ii) lembaga negara yang mempunyai fungsi 93 melayani yang disebut lembaga negara penunjang ( auxiliary state organs ). Lembaga negara yang termasuk main state organs ialah MPR, DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden, BPK, MA, dan MK” . Sebagai lembaga negara yang independen, yang dasar kewenangan pembentukannya mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 serta yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana dimandatkan UUD 1945, maka menjadi sangat berdasar hukum apabila kedudukan OJK disematkan sebagai lembaga negara utama ( main organ ) bukan auxiliary organ yang menjadi penunjang lembaga negara lainnya.
Dengan kedudukan sebagai main organ lembaga negara, dalam penjelasan ketentuan umum dalam UU OJK, disebutkan bahwa untuk mewujudkan koordinasi, kerjasama dan harmonisasi kebijakan yang baik, OJK harus merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya dalam mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian adalah jelas OJK merupakan suatu lembaga negara yang sekalipun kedudukannya berada diluar sistem pemerintahan, OJK tetap menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan. Hal tersebut bersesuaian dengan pendapat dari Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum yang disampaikan dalam Keterangan Ahli untuk Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU-XII/2014, yang menyatakan bahwa fungsi OJK tidak lepas dari fungsi pemerintahan ( sturen ) yang melekat pada wewenang pemerintah ( bestuurbovegheid ). Dalam melaksanakan fungsi sturen , pemerintah diberikan kewenangan untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum administrasi negara. Dimensi perlindungan hukum dalam pelaksanaan fungsi sturen ( sturende functie ) terdapat dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU OJK, yang pada intinya dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang menjadi pengguna jasa keuangan dari praktek-praktek yang melanggar prinsip tata kelola 94 perbankan dan non-perbankan yang baik ( good financial government ).
Kedudukan OJK sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi pemerintahan juga sangat jelas terlihat dengan peralihan kewenangan yang melekat Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan yang terkait dengan pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) UU OJK yang berbunyi:
ayat (1) “Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK .” ayat (2) “Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK .” __ 2. Kewenangan Penyidikan OJK a. Desain pembentukan OJK sebagai lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi (Unified Supervisiory Model) dilandasi pada kondisi sosiologis perkembangan sektor jasa keuangan seiring dengan perkembangan teknologi informasi di era globalisasi transaksi keuangan yang mendorong munculnya berbagai modus kejahatan yang lebih kompleks (tindak pidana yang melibatkan beberapa sektor keuangan sekaligus) sehingga sangat potensial mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional. Dengan model pengawasan satu atap, pelanggaran yang terjadi pada satu sektor maupun lintas sektor dapat mudah terdeteksi dan diketahui oleh pengawas sehingga dapat dilakukan penindakan secara cepat dan komprehensif. Dengan terintegrasinya tahapan pengawasan dan penegakan hukum administratif dalam satu atap 95 OJK, maka pengawasan dapat lebih efektif dan efisien dalam memberikan efek jera tanpa mengabaikan unsur pembinaan.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa sebelum dibentuknya OJK, Bapepam-LK sebagai Lembaga yang melakukan pengawasan di industri jasa keuangan non-bank juga telah diberikan kewenangan penyidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Kewenangan penyidikan oleh PPNS sektoral (antara lain PPNS Bapepam-LK saat itu) dilandasi pertimbangan diperlukannya pemahaman teknis sektoral dalam melakukan upaya penegakan hukum administratif di sektor yang bersangkutan. Dengan demikian, dengan kedudukan kelembagaan OJK yang menjadi bagian dari penyelenggaraan urusan pemerintahan berupa pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, pemberian kewenangan penyidikan sebagaimana yang diberikan kepada PPNS Bapepam merupakan hal yang berdasar hukum dan sebagai open legal policy yang memiliki dasar pertimbangan yang rasional, sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan perkembangan yang ada, tidak melanggar kewenangan pembentuk UU sesuai UUD 1945.
Terkait dengan kewenangan melaksanakan penyidikan oleh lembaga selain Kepolisian, berdasarkan Pasal 2 juncto Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian RI), diatur instansi dan/atau badan Pemerintah dapat melaksanakan fungsi kepolisian sepanjang diberikan mandat oleh Undang Undang yang mendasarinya. Salah satu fungsi kepolisian adalah melakukan penyidikan. Instansi dan/atau badan Pemerintah yang melaksanakan penegakan hukum dipersamakan dengan menjalankan fungsi kepolisian khusus. Dengan kedudukan OJK yang tetap menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan (Penjelasan Pasal 1 angka 1 juncto paragraf 10 dan paragraf 11 Penjelasan Umum UU OJK), maka kewenangan penyidikan yang diberikan UU OJK sesuai dengan klasifikasi Pasal 2 juncto Pasal 3 ayat (1) UU Kepolisian RI.
Dari sisi jenis kelembagaan OJK sebagaimana diuraikan di atas, 96 sebagai lembaga negara mandiri ( Main organ ), Jimly Ashiddiqie dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara terbitan Rajawali Pers Jakarta tahun 2009 halaman 338-339 yang disampaikan oleh Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. dalam Keterangan Ahli untuk Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU- XII/2014, berpendapat bahwa Lembaga Negara Independen yang menjalankan fungsi permanen ( State Independent Agencies ) maupun yang bersifat menunjang ( State Auxiliary Agencies ) disematkan kewenangan kelembagaan yang kuat untuk menjalankan fungsi campuran antara regulatif, administratif, pengawasan dan fungsi penegakan hukumnya .
Berdasarkan uraian kedudukan OJK dalam struktur kelembagaan negara yaitu main organ dan memperhatikan fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang diemban oleh OJK untuk menjaga stabilitas keuangan nasional dan memberikan perlindungan kepada konsumen sektor jasa keuangan, maka Pemerintah meyakini sepenuhnya bahwa pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK sebagai suatu lembaga Negara yang independen yang melaksanakan fungsi penegakan hukum administratif sektor jasa keuangan merupakan pilihan kebijakan ( open legal policy ) yang sangat tepat dan tidak dapat dianggap inkonstitusional.
Penyidikan OJK sebagai penegakan hukum adminitratif sektor jasa keuangan a. Wewenang penyidikan sebagai bagian dari proses penegakan hukum yang dilakukan OJK merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) dalam upaya penegakan hukum administratif sektor jasa keuangan. Pada prinsipnya tugas OJK adalah menjaga ketaatan pelaku industri di sektor jasa keuangan terhadap ketentuan administratif yang diatur dalam berbagai UU sektor jasa keuangan. Dalam rangka penegakan hukum administrative sektpr jasa keuangan, berbagai UU sektor jasa keuangan telah menetapkan adanya sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran ketentuan administratif yang ditetapkan masing-masing 97 UU.
OJK menjalankan fungsi penegakan hukum sebagai penyidik adalah jalan terakhir jika ditemukan ketidaktaatan penyedia jasa keuangan terhadap peraturan perundang-undangan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Dengan konsep pengawasan satu atap di bawah OJK, pengawasan di sektor jasa keuangan hendak mengutamakan prinsip pembinaan dan menempatkan penegakan hukum pidana di sektor jasa keuangan sebagai upaya terakhir ( ultimum remidium ). Namun demikian, dalam situasi tertentu penegakan hukum pidana di sektor jasa keuangan dapat diutamakan ( primum remedium) .
Bahwa sesuai penjelasan umum UU OJK, kedudukan UU OJK merupakan umbrella act bagi “pengawasan di sektor jasa keuangan” , yang menyebabkan kewenangan Penyidik OJK tidak terbatas pada delik-delik yang terdapat dalam UU OJK (UU No. 21 Tahun 2011), melainkan juga terhadap delik pidana pada Undang- Undang di sektor jasa keuangan di bawah pengawasan OJK (Perbankan, Peransuransian, Pasal Modal, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya) sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU OJK.
Bahwa kewenangan penyidikan oleh OJK diperkuat dalam Undang Undang sektoral seperti pada Undang Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal). Dalam Pasal 57 ayat (1) dan Penjelasan UU Perasuransian disebutkan: “Pengaturan dan pengawasan kegiatan Usaha Perasuransian dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan”. Penjelasan: “Pengaturan dan pengawasan kegiatan Usaha Perasuransian oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain aspek tata kelola, perilaku usaha, dan kesehatan keuangan. Yang dimaksud dengan “pengawasan” antara lain analisis laporan, pemeriksaan, dan penyidika n” __ 98 e. Bahwa menghilangkan kewenangan penyidikan pada UU OJK juga memiliki konsekuensi menghapuskan kewenangan penyidikan pada UU Pasar Modal juga UU Perasuransian. Dibatalkannya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK berakibat pada batal demi hukumnya Pasal 5 huruf e, Pasal 101 UU Pasar Modal dan Pasal 57 ayat (1) UU Perasuransian.
Sebagaimana diketahui bersama, kejahatan di sektor jasa keuangan mempunyai karakteristik tersendiri. Dari sisi Pelaku, pada umumnya pelaku memiliki kemampuan intelektualitas dan penguasaan teknologi yang canggih. Dari sisi perbuatan, kejahatan di sektor jasa keuangan memiliki kompleksitas yang tinggi karena bersifat lintas sektoral dengan melibatkan berbagai sektor di industri jasa keuangan. Dari sisi akibat yang ditimbulkan, kejahatan di sektor jasa keuangan memiliki dampak yang masif dan merusak kepercayaan masyarakat. Pada akhirnya kejahatan tersebut dapat menghambat peran industri jasa keuangan dalam mendukung pembangunan nasional, sehingga dibutuhkan penanganan yang cepat dan kemampuan sumber daya manusia yang handal dan memahami karakteristik di sektor jasa keuangan. Untuk itu integrasi antara fungsi pengaturan, pengawasan dan penyidikan dalam satu lembaga merupakan pilihan kebijakan didasari kebutuhan untuk melakukan penahanan secara efisien, mengurangi fungsi penyidikan, antara lain di bidang Pasar Modal merupakan pilihan yang mempunyai konsekuensi besar karena berkaitan dengan nature penegakan hukum pasar modal yang bersifat khusus.
Bahwa tindak pidana ( core crime ) di bidang pasar modal memiliki kekhususan ditunjukan dengan adanya pengaturan khusus pada Bab XI UU Pasar Modal yang mengatur tindak pidana Penipuan, Manipulasi Pasar, dan Perdagangan Orang Dalam. Dengan dialihkan kewenangan Bapepam-LK kepada OJK sesuai dengan ketentuan Pasal 55 UU OJK, maka kewenangan tersebut beralih ke OJK.
Bahwa urgensi pengklasifikasian tindak pidana khusus di sektor jasa 99 keuangan tersebut sangat dibutuhkan mengingat pembuktian tindak pidana tersebut memerlukan kompetensi dalam menganalisa kondisi pasar secara komprehensif dengan menggunakan data di sektor jasa keuangan yang valid dan akurat. Kompetensi tersebut saat ini hanya dimiliki oleh pengawas sektor jasa keuangan. Sebagai contoh, pengaturan tindak pidana dan pemberian kewenangan penyidikan di pasar modal secara khusus juga didasari pada salah satu tujuan utama yang hendak dijaga oleh UU Pasar Modal yaitu integritas dan kepercayaan pasar. Oleh karena itu, tidak semua pelanggaran terhadap UU Pasar Modal harus dilanjutkan ke tahap penyidikan karena dapat menghambat kegiatan penawaran dan atau perdagangan Efek secara keseluruhan.
Hal tersebut dapat dipahami mengingat pengawasan industri di sektor jasa keuangan mempunyai objektif dalam hal efisiensi pasar dan terselenggaranya sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan serta stabil (hal tersebut juga diadopsi dalam pembentukan OJK, lihat paragraf 8 Penjelasan Umum UU OJK) sehingga penegakan hukum secara seimbang menitikberatkan pada upaya pemulihan, perbaikan kondisi industri di sektor jasa keuangan, stabilitas perekonomian, dan mewujudkan efek jera bagi pelaku tindak pidana.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK), BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola Keuangan Negara. Selain itu dalam Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) diatur bahwa apabila dalam pemeriksaan BPK ditemukan unsur pidana yang dituangkan dalam Laporan BPK, maka Laporan BPK tersebut dapat dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Sesuai dengan amanat UU BPK tersebut, BPK berfungsi 100 sebagai lembaga yang melaksanakan proses pemeriksaan terhadap lembaga/instansi yang diberikan tanggungjawab untuk melakukan pengelolaan Keuangan Negara. Di sisi OJK sesuai dengan amanat UU OJK merupakan lembaga yang diberikan wewenang untuk melakukan pengaturan, pengawasan dan perlindungan. Kewenangan tersebut dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Mengingat cakupan industri sektor jasa keuangan yang meliputi sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya, diperlukan kewenangan pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut secara terintegrasi, sehingga dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan dan dapat menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Disamping hal tersebut di atas, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya OJK sebagai suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat UU dan menerima pengalihan kewenangan pengawasan dari Pemerintah (Bapepam-LK di bawah Kementerian Keuangan) dan BI, maka adalah tepat apabila kewenangan sebelumnya yang dimiliki oleh Bapepam-LK termasuk kewenangan penyidikan terhadap sektor pasar modal beralih kepada OJK. Demikian juga dengan kewenangan penyidikan terhadap sektor jasa keuangan lain, maka berdasarkan UU OJK selain Penyidik Kepolisian, PPNS di lingkungan OJK juga memiliki kewenangan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Bahwa terkait dengan prosedur penanganan perkara di sektor jasa keuangan untuk menghindari tumpang tindih kewenangan, OJK dan Kepolisian sebagai upaya penguatan koordinasi, telah melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara OJK dengan Kepolisian Republik Indonesia Nomor PRJ-36/D.01/2014 Nomor: B/44/XI/2014 tentang Kerjasama Penanganan Tindak Pidana Di 101 Sektor Jasa Keuangan yang memuat mekanisme koordinasi dalam penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan, khususnya terkait dengan penanganan penyidikan bersama tindak pidana di sektor jasa keuangan ( join investigation ). Koordinasi tersebut melingkupi tukar-menukar informasi, penyediaan ahli, permintaan pembukaan rahasia bank, dan bantuan penangkapan. Dengan demikian, dapat dipastikan tidak terdapat tumpang-tindih kewenangan antara OJK dengan Kepolisian. Selain itu, Presiden mengajukan 2 orang ahli yaitu Bismar Nasution dan Atip Latipulhayat yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 1 April 2019 dan 2 orang saksi Warasman Marbun dan Johansyah yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 9 April 2019 dan pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: Ahli Presiden 1. Bismar Nasution Di setiap negara, fungsi bank merupakan ”jantung” dari pasar uang dan fungsi pasar modal sebagai penyedia pembiayaan jangka panjang. Keduanya berfungsi dalam mendukung perekonomian negara. Fungsi bank misalnya, menurut Alexander Hamilton ”Menteri Keuangan” pertama Amerika Serikat adalah a necessary engines that ever were invented for advancing trade . Bahkan, Charles Himawan mengatakan, bank adalah badan untuk membuat suatu negara makmur. Persoalannya adalah bagaimana dan siapa yang mengendalikan dan melindungi bank. Dari kacamata hukum baik bank maupun nasabah (yaitu masyarakat) perlu dilindungi, karena keduanya adalah komponen terpenting dalam proses pembangunan ekonomi negara (Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, 2003). Berdasarkan fungsi bank dan pasar modal yang sangat krusial bagi perekonomian suatu negara, maka keberadaan aset bank dan pasar modal dalam bentuk kepercayaan masyarakat sangat penting dijaga. Sebab kepercayaan masyarakat sangat penting misalnya bagi bank paling tidak karena dua alasan. Pertama, meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi. Kedua, mencegah terjadinya bank runs and panics (Zulkarnain Sitompul, Lembaga Penjamin Simpanan Substansi dan 102 Permasalahan, 2007). Pentingnya kepercayaan masyarakat tersebut juga diamini Presiden Roosevelt. Sewaktu mengumumkan berakhirnya bank holiday di Amerika Serikat, Roosevelt mengatakan,” after all, there is an elemen in the readjustmen of our financial system more important than currency, more important than gold, and that is the confidence of the people ”. Kepercayaan masyarakat bagi pasar modal berkaitan dengan prinsip keterbukaan. Karena prinsip keterbukaan telah menjadi fokus sentral dari pasar modal. Setidaknya, terdapat tiga fungsi prinsip ketebukaan di pasar modal. Pertama, prinsip keterbukaan berfungsi untuk memelihara kepercayaan masyarakat. Kedua, prinsip keterbukaan berfungsi untuk menciptakan pasar yang efisien. Ketiga, prinsip keterbukaan penting mencegah penipuan atau fraud (Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, 2001). Hal ini diatur dalam Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934. Kedua Undang-Undang tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934 telah mengatur lahirnya Securities and Exchange Commission (SEC). Tugas SEC adalah menegakkan, Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934 serta SEC mempunyai kewenangan investigasi atau penyidikan terhadap pelanggaran Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934 (David L. Ratner, Securities Regulation In A Nutshell, 1992). Kewenangan SEC dalam penyidikan atas pelanggaran peraturan pasar modal sebagaimana diatur dalam Securities Exchange Act 1934 merupakan suatu bentuk pengendalian sosial yang khusus mengatur masyarakat, agar terhindar dari perbuatan-perbuatan pernyataan menyesatkan ( misleiding statement ), manipulasi pasar ( cornering ), dan perdagangan orang dalam ( insider trading ) di pasar modal. Di sini hukum itu sebagai anti sosial, sebagaimana diamati oleh Roscoe Pound (Roscoe Pound, Social Through Law, 1942). Pemberian kewenangan penyidikan tersebut adalah salah satu cara untuk melindungi masyarakat dan memberikan rasa aman serta kemantapan bagi masyarakat dalam kegiatan pasar modal, yang pada gilirannya dapat menjadi suatu upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada industri keuangan. Indonesia dalam menyusun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah mengambil pola undang-undang pasar modal 103 Amerika Serikat, sehingga Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) diberikan wewenang melakukan penyidikan, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bab XII Penyidikan, Pasal 101 Undang-Undang Pasar Modal. Hal yang sama juga dilakukan oleh berbagai negara antara lain Korea Selatan, Filipina, Venezuela, Malaysia, Singapura, (Sumantoro, Aspek-Aspek Hukum dan Potensi Pasar Modal di Indonesia, 1988). Brazil misalnya mengadopsi peraturan prinsip keterbukaan peraturan pasar modal Amerika Serikat (Norman S. Poser, ”Securities Regulation In Developing Countries: The Brazilian Exprerience”, Virginia Law Review, 1966). Ahli sejarah mengajarkan kita, bahwa sejarah dipelajari bukan untuk membenarkan kekurangan kita hari ini, tetapi untuk mempersiapkan hari depan. Benjamin N. Cardozo juga mengajarkan bahwa sejarah dalam memerangi masa lalu menerangi masa sekarang, sehingga dalam menerangi masa sekarang dia menerangi masa depan (Benjamin Cardozo, The Nature of the Judicial Process, 1962). Bahkan, Bung Karno pernah berkata (17-8-1951): ”.....dari mempelajari sejarah orang bisa menemukan hukum-hukum yang menguasai kehidupan manusia” (Chales Himawan, Hukum Sebagai Suatu Panglima, 2003). Krisis tahun 1997-1998 yang meluluhlantakkan perekonomian Indonesia merupakan alasan lahirnya ”Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan” (”Undang-Undang OJK”). Desain pembentukan Undang-Undang OJK adalah untuk memenuhi tuntutan perubahan pada lembaga pengatur dan pengawas industri jasa keuangan yang menjadi salah satu penyebab krisis 1997-1998. Oliver Wendell Holmes mengingatkan ” The life of the Law has not been logic; it has been experience ” Objektif Undang-Undang OJK itu juga menjadi alat utama pemerintah untuk mempermudah akses masyarakat kepada industri jasa keuangan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Ann Seidman, Robert B. Siedman dan Nalin Abeyesekere mengatakan, bahwa dalam proses pembangunan undang-undang merupakan alat utama pemerintah melakukan perubahan pada lembaga-lembaga. Hal tersebut juga memperjelas tugas pembuat undang-undang, yaitu membuat undang-undang menjadi efektif dan mampu membawa perubahan. Sebab suatu undang-undang yang efektif pada keadaan khusus di suatu negara harus mampu mendorong suatu perilaku 104 yang dituju atau yang diaturnya (Ann Seidman, Robert B. Siedman dan Nalin Abeyesekere dalam bukunya ” Legislative Drafting for Democratic Social Change a Manual for Drafters ”, 2001) Undang-Undang OJK yang juga melahirkan OJK merupakan upaya mengatasi berbagai permasalahan yang mengemuka dalam lintas sektoral industri jasa keuangan, yang meliputi moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen industri jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan (SSK). Pentingnya Undang-Undang OJK tidak cukup dilihat dari kacamata normatif, tetapi harus dikaji secara filosofis agar dapat memberi penjelasan mengenai gejala-gejala fisik atau sosial yang menjadi dasar perumusannya. Kajiannya harus melebihi substansi hukumnya sendiri, agar dapat memahami ” law behind law ” dari Undang-Undang OJK dan memahami alasan hukum yang mendasari Undang-Undang OJK. Cara pandang demikian itu yang membuat orang terhindar dari penafsiran hukum ”legalistik” atau ” black letter rules ” . Dalam konsideran Undang-Undang OJK dikatakan, bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Hal tersebut masih relevan dengan ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang- Undang OJK setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XII/2014 menyatakan sebagai berikut: ”Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”. Alasan dasar yang melatarbelakangi perubahan sistem pengawasan terhadap sektor jasa keuangan oleh OJK adalah perkembangan di sektor jasa keuangan 105 yaitu terjadinya konvergensi di antara lembaga-lembaga keuangan dan produk-produk jasa keuangan. Beberapa alasan yang memicu dilakukan perubahan terhadap kelembagaan pengawasan sektor jasa keuangan adalah: Pertama, munculnya konglomerasi keuangan dan mulai diterapkan universal banking di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor keuangan menjadi tidak efisien karena gap dalam regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas (dan lembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalah stabilitas sistem keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Ketiga, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance . Untuk meningkatkan good governance pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya. Kehadiran OJK dalam rangka penataan sistem pengawasan industri keuangan tersebut harus memberikan manfaat kepada berbagai pihak, khususnya masyarakat, agar misalnya masyarakat secara maksimum memperoleh manfaat atau kebahagiaan dalam kegiatannya dalam industri jasa keuangan. Jeremy Bentham pelopor aliran utilitarian mengajarkan, bahwa yang menjadi dasar pengambilan keputusan etis dengan mempertimbangkan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhir dari tindakan atau kebijaksanaan tersebut atau the greatest happiness for the greatest numbers (Jeremy Bentham, ” An Introduction to the Principle of Moral and Legislation ”, 2000) Oleh karena itu, kewenangan OJK paling tidak meliputi lima sasaran. Pertama, melindungi investor untuk membangun kepercayaan terhadap pasar. Kedua, memastikan bahwa pasar yang terbentuk adalah pasar yang fair, efisien, dan transparan. Ketiga, mengurangi risiko sistemik. Keempat, melindungi lembaga keuangan dari penyalahgunaan atau malpraktek dari konsumen (seperti money laundering). Kelima, menjaga kepercayaan konsumen dalam sistem keuangan (Kenneth Kaoma Mwenda, ” Legal Aspects of Financial Services Regulation and the Concept of a Unified Regulator ” 2006). 106 Dalam dunia praktek, peroblema pokok yang lebih mendesak adalah problema metode yang memungkinkan penegak hukum sampai pada keseimbangan dan penilaian keseimbangan-keseimbangan dimaksud. Oleh karena itu, perlu menentukan situasi-situasi yang merupakan cara standar berfungsinya Undang-Undang OJK sebagai primary rule . H.L.A Hart mengatakan, bahwa jika pedoman-pedoman umum primer tidak dipatuhi oleh seorang individu, petugas bisa mengingatkan orang itu dan meminta agar undang-undang itu dipatuhi atau ketidakpatuhannya bisa secara resmi diidentifikasi dan dicatat lalu diberlakukan hukuman yang dikenakan padanya oleh pengadilan. Pentingnya peran sebuah struktur regulasi OJK membentuk kepercayaan dari pelaku pasar. Kepercayaan dari konsumen dan investor akan terbentuk apabila sebuah struktur regulasi dapat mengontrol penyalahgunaan pasar, seperti insider trading, money laundering atau jenis kejahatan keungan lainnya. Investor mempunyai kecenderungan untuk meletakkan investasinya pada pasar yang dapat mencapai objektif-objektif regulasi untuk melindungi mereka dari resiko. Sehingga, apabila ada peraturan yang jelas terhadap industri jasa keuangan, pelaku pasar dan investor melalui cara seperti effective Chinese walls dan kode etik yang jelas, pasar akan cenderung terlindungi dari pelaku penyalahgunaan dari pelaku pasar. Dapat dipahami mengapa pembuat undang-undang memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK sebagaimana diamanatkan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang OJK. Kewenangan OJK dalam penyidikan tersebut akan membuat penyidikan perkara yang jelas dan objektif, sehingga check and balances dari jalannya sebuah penyidikan dapat dengan mudah dilakukan dan diukur. OJK mempunyai standar pemeriksaan hingga penyidikan yang mengacu kepada KUHAP. Hal itu menjamin kepastian hukum dan menjaga agar masalah yang ada dapat diselesaikan secepat mungkin. Mengingat, bahwa sektor keuangan sangatlah dinamis. Keterlambatan penaganan atau proses yang terlalu berkepanjangan dapat menimbulkan permasalahan sistemik dan menimbulkan efek domino. Pengaturan standar penyidikan yang diatur dalam Peraturan OJK telah memenuhi unsur kualitas dari hukum yang harus dipenuhi agar sistem 107 ekonomi berfungsi. Unsur tersebut menurut Leonard J. Theberge. Pertama, unsur ”stabilitas” (” stability ”), dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan yang saling bersaing. Kedua, unsur ”meramalkan” (” predictability ”), berfungsi meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil. Akhirnya, termasuk unsur ”keadilan” (” fairness ”, diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan (Leonard J. Theberge, ”Law and Economic Development”, 1980). Sebagai tambahan, pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK tersebut tidak terlepas kaitannya sebagaimana diuraikan Jimly Asshiddiqie, bahwa berkembangnya demikian banyak lembaga-lembaga yang bersifat independen mencerminkan adanya kebutuhan untuk mendekonsentrasikan kekuasaan dari tangan birokrasi ataupun organ-organ konvensional pemerintahan tempat kekuasaan selama masa-masa sebelumnya terkonsentrasi. Sebagai akibat tuntutan perkembangan yang semakin kompleks dan rumit, organisasi- organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralis, dan terkonsentrasi tidak dapat lagi diandalkan. Karena itu, pada waktu yang hampir bersamaan muncul gelombang deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, desetralisasi, dan dekonsentrasi. Salah satu akibatnya, fungsi-fungsi kekuasaan yang biasanya melekat dalam fungsi-fungsi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat independen. Karena itu, kadang-kadang lembaga-lembaga baru tersebut menjalankan fungsi-fungsi yang bersifat campuran, dan masing-masing bersifat independen (Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, 2006) Tepatlah, pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada OJK untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan. Seperti kegiatan jasa keuangan di sektor-sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Karena regulasi di bidang keuangan memang harus didesain untuk memberi keleluasaan untuk OJK dalam membentuk kebijakan yang tepat dan haruslah memberi ruang dan fleksibilitas kepada OJK sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ekonomi. 108 Dengan demikian kewenangan OJK dalam penyidikan tersebut harus dapat operasional di lapangan, agar OJK dapat menanggulangi kejahatan dalam sektor keuangan. Mengingat, munculnya berbagai kejahatan, termasuk kejahatan crime as business, yang dilakukan secara terorganisir oleh mereka yang mempunyai pengetahuan yang cukup dan memiliki kedudukan terpandang dalam masyarakat ( organized crime, white collar crime ). KESIMPULAN Kewenangan penyidikan oleh OJK punya peranan penting dalam menanggulangi kejahatan di sektor keuangan karena sebagai pengawas memiliki pengetahuan dan pengalamaan tentang modus operandi kejahatan di industri jasa keuangan. Oleh karena itu, penyidik OJK dapat memenuhi budaya hukum ( legal culture ) sebagai sub-sistem yang sangat penting dalam penegakan hukum. Itu alasannya pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK tidak perlu dikhawatirkan menimbulkan tumpang tindih kewenangan, akan tetapi malah menciptakan Multi Investigator System . Suatu sistem yang dapat menciptakan semangat kompetisi diantara institusi penyidik. Sistem Multy Investigator System telah diterapkan negara lain, seperti Amerika Serikat yang mengatur berbagai institusi sebagai penyidik dalam kasus pasar modal penyidiknya adalah SEC ( Securities and Exchange Commission ) dan penyidik kasus money laundering antara lain, DEA ( Drugs Enforcement Administration ) dan IRS ( Internal Revenue Service ). Dengan demikian pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK oleh pembuat undang-undang perlu didukung, sehingga keberadaan OJK dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada industri jasa keuangan sebagai syarat mutlak terciptanya stabilitas sistem keuangan.
Atip Latipulhayat Permohonan Pengujian Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Nomor 102/PUU-XVI/2018 ini, pada pokoknya mendalilkan bahwa pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 109 Isu utama dalam permohonan pengujian ini adalah tentang hak penyidikan yang dimiliki oleh OJK. Sesuai dengan kompetensi dan keahliannya Ahli menyatakan persoalan ini akan di tinjau dari praktik-praktik negara dalam pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan. Pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan ( Financial Supervisory Agency ) tidak bisa dilepaskan dari krisis keuangan global yang terjadi pada periode 2007-2009. Imbas dari krisis tersebut mendorong negara-negara untuk menata ulang regulasi keuangan termasuk pembentukan lembaga pengawasannya. Perubahan dan modifikasi regulasi keuangan dan pengawasannya merupakan elemen utama untuk menciptakan pasar uang domestik dan internasional yang stabil di masa depan. Dengan alasan ini pula para pemimpin G20 bertemu di London (London Summit) pada bulan April 2009 untuk memperkuat sistem regulasi dan pengawasan pasar uang global. Memperkuat regulasi dan supervisi selalu memantik potensi konflik dengan kebebasan esensial dari pasar uang. Oleh karenanya selalu diperlukan suatu formula yang seimbang antara dua elemen tersebut. Ketegangan antara regulasi dan supervisi di satu pihak dan kebebasan pasar ( freedom of financial markets ) di pihak lainnya bukan merupakan fenomena baru dalam hukum keuangan ( financial law ). Yang merupakan elemen atau unsur yang baru baru adalah penguatan regulasi dan supervisi tersebut harus mempertimbangkan adanya kebutuhan kerjasama dan koordinasi internasional. Latar belakang di atas menunjukkan bahwa regulasi dan supervisi jasa keuangan tidak bisa dipisahkan dan selalu memiliki elemen-elemen internasional dan transnasional. Meskipun pada akhirnya struktur, bentuk, fungsi dan tujuan dari lembaga pengawas jasa keuangan merupakan jurisdiksi dan kewenangan domestik masing-masing negara, namun memiliki jangkauan dan efek extra territorial tertentu ( extraterritorial reach and effect ) termasuk juga bentuk kejahatannya ( financial crimes ). Jasa keuangan atau produk- produk pasar uang lainnya memiliki karakteristik apa yang disebut sebagai “ high ‘exit’ potentials ”. Dalam konteks ini regulasi dan supervisi jasa keuangan domestik akan masuk pada area kompetisi dengan negara lainnya untuk menampilkan regulasi dan lembaga jasa keuangan yang kredibel. Hal ini bisa 110 kita lihat misalnya rivalitas antara Frankfurt dan London untuk menjadi sebagai pusat keuangan terbaik di Eropa. Menurut Ahli tidak ada ketentuan internasional yang mengikat ( hard international law on regulation and supervision ) mengenai jasa keuangan, melainkan dalam wujud instrumen hukum yang tidak mengikat ( soft law ) dalam bentuk standardisasi. Dalam konteks ini, maka hukum internasional harus menghadirkan apa yang disebut sebagai ‘meta norms”, yaitu aturan yang memungkinkan adanya regulasi dan institusi keuangan yang kompetitif pada level domestik. Meta norms ini adalah produk dari kerjasama internasional yang menghasilkan semacam nilai-nilai pokok ( core values ) dalam pembentukan dan regulasi lembaga jasa keuangan. Berdasarkan “ core values ” dalam pembentukan lembaga jasa keuangan di berbagai negara dapat diketahui ada 4 tujuan utama dalam pembentukan lembaga tersebut, yaitu:
Keselamatan dan kesehatan lembaga keuangan ( safety and soundness of financial institutions ), 2. Mitigasi risiko sistemik ( mitigation of systemic risk ), 3. Keadilan ( fairness ) dan efisiensi pasar ( fairness and efficiency of markets ), 4. Perlindungan konsumen dan investor ( the protection of customers and investors ). Selain mengacu kepada tujuan pokok di atas, dalam membentuk lembaga pengawas jasa keuangan, negara-negara juga akan memperhatikan sistem hukum domestiknya, sejarah, politik, budaya, perkembangan ekonomi, dan budaya bisnis setempat (lokal). Negara-negara memiliki keragaman dalam regulasi dan supervisi jasa keuangannya. Secara teoritis paling tidak ada 4 pendekatan yang digunakan negara-negara dalam melakukan supervisi terhadap jasa keuangannya, yaitu:
Pendekatan institusional. Pendekatan ini berbasis pada status kelembagaan (misalnya, bank atau perusahaan asuransi). Kemudian ditentukan regulator mana yang memiliki wewenang untuk mengawasi aktivitas lembaga pengawas jasa keuangan tersebut baik keselamatan dan kesehatannya maupun dari segi perilaku bisnisnya. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain China. 111 Lembaga Pengawas Jasa Keuangan China beroperasi dengan pendekatan institusional, tapi juga menggunakan beberapa elemen dari pendekatan fungsional. Sementara negara-negara lain sudah bergeser dengan menggunakan pendekatan ‘ integrated” ( integrated approach ) atau “ Twin Peaks ”, China tetap konsisten dengan pendekatan institusional. Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Mexico. Di negara tersebut ada tiga lembaga pemerintah yang bertugas untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan yaitu: the National Banking and Securities Commission (CNBV), the National Insurance and Bond Companies Commission (CNSF), and the National Commission for the Retirement Savings System (CONSAR).
Pendekatan Fungsional. Pendekatan Fungsional menekankan kepada fungsi pengawasan dimana fungsi pengawasan tersebut ditentukan oleh aktivitas bisnis dari suatu entitas tanpa secara khusus mempertimbangkan status kelembagaan dari lembaga pengawas tersebut. Masing-masing aktivitas bisnis tersebut memiliki badan pengatur sendiri-sendiri. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain adalah Italia. Di negara tersebut, pengaturan jasa keuangan diatur berdasarkan fungsinya menjadi 4 kategori: perbankan, investasi, manajemen aset, dan asuransi. Masing-masing memiliki lembaga pengawas dan aturannya. Sejak tahun 2004 terjadi perdebatan di Itali mengenai perlunya reformasi struktural dari lembaga pengawas keuangan. Reformasi tersebut mengarah kepada pendekatan “ Twin Peaks ”. Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Perancis. Meskipun pendekatannya lebih mendekati “ Functional Approach ”, sebagaimana halnya Italia, dalam beberapa hal juga mengadopsi elemen-elemen dari pendekatan “ Twin Peaks ”.
Pendekatan integrated . Pendekatan ini menggunakan satu lembaga pengawas (single universal regulator) untuk melaksanakan fungsi pengawasan baik untuk aspek keselamatan dan kesehatan dan perilaku bisnisnya untuk seluruh sektor jasa keuangan. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain Inggris. Dengan pendekatan ini Inggris membentuk Financial Service 112 Agency (FSA) untuk mengatur dan mengawasi hampir semua urusan jasa keuangan di Inggris termasuk perbankan, sekuritas, dan asuransi. Ada 4 tujuan yang ingin dicapai:
. Menjaga kepercayaan pasar, meningkatkan kesadaran publik mengenai jasa keuangan, melindungi konsumen, dan mengurangi kejahatan dibidang keuangan. FSA juga memiliki kewenangan penyidikan ( investigatory ), penegakan hukum, dan penuntutan. Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Jerman dengan beberapa perbedaan dari praktik di Inggris. Di Jerman, pengawasan asuransi dipisah antara pemerintah federal dengan negara bagian. 4. Twin Peaks Pendekatan ini menekankan kepada pengaturan berbasis tujuan (objective). Ada pemisahan fungsi pengaturan antara dua regulator yaitu yang mengatur mengenai keselamatan dan kesehatan jasa keuangan dan yang mengatur mengenai perilaku bisnis. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain Australia sejak tahun 1997 yang memisahkan “regulatory oevrsight” dengan “ conduct-of-business regulation ” ( separates prudential regulatory oversight from conduct-of-business regulation ). Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Belanda. Agak berbeda dengan Australia, Bank Sentral Belanda juga berperan mengawasi jasa keuangan termasuk perbankan, asuransi, dana pensiun, dan sekuritas [ the central bank (DNB) also serves as the prudential and systemic risk supervisor of all financial services, including banking, insurance, pension funds, and securities ]. Kesimpulan 1. Tidak ada model yang dapat dijadikan acuan yang sepenuhnya dapat memenuhi tujuan dan kepentingan pembentukan lembaga pengawas keuangan di suatu negara ( No single model may be optimal on a “one size fits all” basis for all jurisdictions ).
Ada perbedaan dan kondisi tertentu yang menjadikan pengaturan dan pengawasan jasa keuangan dilakukan dengan model dan pendekatan yang berbeda. Masing-masing memiliki tujuan dan fungsi tersendiri. Untuk masalah tertentu lebih pas diatur dan diawasi dengan model tertentu, 113 sedangkan masalah lainnya lebih tepat untuk diatur dengan kewenangan tertentu.
Pengertian “Supervisi” atau pengawasan harus dibedakan dari “Regulasi”. Supervisi atau pengawasan lebih menitikberatkan kepada penegakan terhadap atauran atau standar-standar yang ditetapkan ( the enforcement of regulatory standards ).
Pengertian “Supervisi” atau “Pengawasan” dalam arti luas tidak hanya mengawasi dalam pengertian administratif, melainkan termasuk penegakan hukumnya yang didalamnya termasuk juga kewenangan untuk melakukan penyidikan.
Pengertian “Supervisi” dalam arti luas digunakan oleh negara-negara misalnya Inggris dalam rangka memenuhi ke 4 (empat) tujuan utama pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan.
Kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh Otoritas Jasa keuangan Indonesia harus dipahami dan diletakkan dalam konteks pemenuhan tujuan utama pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan. Saksi Presiden 1. Kombespol Dr. Warasman Marbun, S. H. Menurut Saksi, penyidik OJK adalah penyidik yang bekerja di sektor jasa keuangan, apabila ada hasil investigasi, baik itu investigasi dari perbankan, pasar modal, maupun hasil investigasi industri keuangan nonbank yang kemudian ditujukan kepada OJK untuk dilakukan pemeriksaan, sudah ada tim yang akan menangani. Tim tersebut akan melakukan ekspos, yang menghadirkan pihak-pihak terkait dengan hasil investigasi seperti Departemen Pemeriksa Jasa Otoritas Jasa Keuangan, Departemen Hukum, dan tidak menutup kemungkinan satker-satker lain dihadirkan. Dengan tujuan agar hasil investigasi yang ditemukan atau hasil yang ditujukan itu kepada OJK jelas, langkah selanjutnya dilakukan pemeriksaan atau penelaahan atau yang lebih tren dikalangan PPNS disebut dengan penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh penyidik OJK hampir sama dengan kepolisian namun di Kepolisian lebih dikenal dengan istilah penyelidikan. Menurut Saksi, dari segi etimologi pengertian penelitian lebih luas. Langkah selanjutnya, setelah memperoleh hasil dari telaahan dari tim yang terdiri dari berbagai satker, maupun dari departemen-departemen itu, dilakukan 114 semacam gelar perkara. Maksud dan tujuan gelar perkara untuk memastikan bahwa semua tahapan dilakukan sesuai hasil investigasi, tidak dilakukan secara serampangan, dan tidak sembrono, sehingga benar-benar dilakukan secara profesional dan akuntabel, dan jika dilanjutkan sampai ke tingkat penyidikan, hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Menurut Saksi, sebenarnya disinilah awal penegakan hukum atau due process of law , penegak hukum dipersilahkan menegakkan hukum, namun tidak boleh salah, tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, tidak boleh bertentangan dengan hak asasi manusia. Sehingg sangat jelas, dalam tataran gelar perkara itu, dapat dilihat bagaimana pertanggungjawaban yang akan dihasilkan. Gelar perkara hyang dilakukan akan menghasilkan sebuah keputusan apakah akan dilaksanakan penyidikan atau tidak. Jika ditemukan bukti permulaan yang cukup adanya penyimpangan dalam sektor jasa keuangan makan akan dilaksanakan penyidikan, namun jika itu tidak ditemukan maka tidak dilaksanakan penyidikan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana proses penyidikan dilakukan, Sudah pasti, ada dasar hukumnya yang disebut dengan laporan kejadian tindak pidana sektor jasa keuangan. Kalau di kepolisian disebut laporan polisi, laporan polisi terdiri atas 2 model yaitu laporan polisi model A dan laporan polisi model B. Perbedaan kedua laporan itu yaitu laporan polisi model A dilaporkan oleh polisi sendiri karena terjadi dugaan pidana. Kalau laporan polisi model B itu adalah dilaporkan oleh masyarakat. Laporan polisi ini untuk PPNS atau lembaga-lembaga di luar kepolisian, istilahnya adalah laporan kejadian. Jika ada laporan kejadian dari hasil dari tindak pidana sektor jasa keuangan, maka diterbitkan apa yang disebut Sprindik, Sprindik di OJK dilakukan menggabungkan PPNS dengan penyidik kepolisian yang ada atau yang bertugas di OJK. Alasan mengapa digabungkan yang pertama, untuk efisiensi, kedua, untuk lebih efektivitas. Dengan penggabungan tersebut diharapkan menjadi lebih cepat, lebih tepat, lebih baik. Sehingga, tidak lagi nanti saling menunggu karena dapat langsung bertukar data, langsung saling memberikan keahlian, sesuai dengan wujud dari penyidikan itu. 115 Selanjutnya, dengan adanya putusan MK bahwa SPDP itu apabila sudah terbit Sprindik paling lambat 7 hari, sudah harus dikirim ke jaksa penuntut umum, SPDP itu, dan dikirim tembusannya kepada pelapor maupun terlapor. Kemudian, sambil mengumpulkan alat-alat bukti dan barang bukti, maka dilakukan gelar perkara kembali oleh tim penyidik tadi. Tujuannya untuk memeriksa apakah alat bukti yang dikumpulkan itu didukung dengan barang bukti sudah benar-benar terang-benderang. Seperti doktrin hukum pidana mengatakan, “ In criminalibus probantiones beden profeci clarioles.” Artinya, begitu penegak hukum pidana menemukan alat bukti maupun barang bukti, maka barang bukti itu harus lebih terang dari cahaya. Sehingga dalam menetapkan tersangka nanti, kualitas alat bukti itu bisa bernilai, dan memiliki hubungan dengan perkara tersebut. Gelar perkara dilakukan beberapa kali dengan tujuan agar bisa mendapatkan kepastian hukum yang paling bagus, khususnya menetapkan tersangka. Dalam penetapan tersangka ini pun dilihat lagi apakah sudah diperiksa dia sebagai calon tersangka. Hal ini sangat penting, tidak dapat secara langsung menetapkan seseorang menjadi tersangka sekalipun didukung barang bukti yang kuat, calon tersangka ini harus diperiksa dulu sebagai saksi. Gunanya untuk calon terangka tersebut dapat menerangkan kejadiannya baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk di luar sendiri. Sehingga nanti kelihatan dalam gelar perkara, apakah ditemukan alat bukti, kemudian didukung barang bukti melalui tahapan bukti permulaan yang cukup, bukti yang cukup dimaknai dua alat bukti. Dengan adanya penyidik polri yang bergabung dengan PPNS menjadi satu dalam satu rumah, penegakan hukum yang ditangani menjadi kuat, efektif, dan efisien, sehingga dalam penanganan perkara tidak mengalami kemunduran, keterlambatan, ataupun jeda waktu yang sangat lama. Jika dilihat dari KUHAP itu sampai sejauh mana batasan penyidikan, jawabannya tidak ada batasannya. Sehingga kadang-kadang sebuah perkara ulang tahun tiga kali, dalam arti tidak dapat diselesaikan dalam waktu tiga tahun. Menurut saksi, perlu adanya koordinasi, kerja sama terutama dalam satu tim, sehingga penanganan kasusnya itu berjalan baik. Jika kasusnya tidak dapat dibuktikan, maka dapat langsung dihentikan. Penghentian ini akan diberitahukan kepada pelapor, diberitahukan juga 116 kepada tersangka apabila sudah terlanjur ditetapkan tersangka, sehingga keadilan kepastian hukum itu menjadi bermanfaat bagi siapapun atau pencari keadilan. Jika ada yang menanyakan siapa yang berhak menerbitkan Sprindik dan asiapa yang berhak yang menerbitkan SPDP dan, jawabanya sebagai berikut sprindik lahir dari laporan kejadian tindak pidana sektor jasa keuangan yang dibuat oleh tim gabungan Penyidik OJK dengan Kepolisian. Kemudian, berdasarkan sprindik itu diterbitkanlah SPDP. Yang menerbitkan SPDP adalah penyidik OJK, Penyidik OJK mengirimkan SPDP ke Kejaksaan, paling lambat 7 hari, yang ditembuskan kepada pelapor maupun terlapor. Jika terjadi praperadilan, gugatannya dilayangkan kemana, jawabannya sudah pasti ke OJK karena penyidiknya ada di sana. Jadi, supaya tidak error in objec t, tidak salah alamat, ditujukan ke penyidik OJK. Untuk Tindak pidana sektor jasa keuangan, apabila itu dilaporkan ke kepolisian, jika dilaporkan ke Mabespolri maupun ke Polda akan ditangani oleh dir eksus (direktorat eksus). Sehingga tidak ada tumpang-tindih, tidak ada overlap karena tergantung dari mana laporannya itu. Kalau masyarakatnya lapor ke polisi, maka akan ditangani polisi. Kalau lapor ke OJK, akan ditangani oleh penyidik OJK. Bagaimana sinergitasnya agar supaya tidak tumpang-tindih disinilah pentingnya nota kesepahaman antara lembaga Polri maupun OJK. Dengan demikian, ya, penanganan perkaranya tergantung dari mana sumber penanganan perkara itu. Karena sumber-sumber menangani perkara dugaan pidana itu banyak. Dapat berdasarkan laporan, berdasarkan pengaduan, berdasarkan kalau umum tertangkap tangan, bisa karena surat, atau bisa karena SMS, bisa. Tapi nanti ditindaklanjuti dengan bukti tulisan. Jadi, inilah semua dasarnya untuk menindaklanjuti, apakah terjadi terutama dugaan penyimpangan, terutama mungkin indikasi tindak pidana di sektor jasa keuangan. Terhadap pernyataan yang menyatakan dengan adanya penyidik OJK menyebabkan kewenangan penyidik kepolisian berkurang. Menurut Saksi kewenangan penyidik kepolisian tidak berkurang, justru sebaliknya seharusnya penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan menumpuk di kepolisian, namun karena ada lembaga OJK yang mempunyai kewenangan khusus di bidang penyidikan penumpukan tindak pidana di sektor jasa keuangan di kepolisian tidak akan terjadi. 117 Sekarang terserah masyarakat, terserah masyarakat yang dirugikan mau lapor kemana mau ke Kepolisian maupun ke OJK. Bila perlu ketika gelar perkara akan saling mengundang. Bagaimana nanti pembuktiannya, bagaimana korelasi perbuatan dengan dugaan tindak pidana. Menurut Saksi, rekan-rekan dari OJK ini sangat berpengalaman di bidang otoritas jasa keuangan. Dari mana uang itu dapat, mau dikemanakan uang itu, lalu bagaimana mempermainkan uang ini sesuai dengan ketentuan, merekalah ahlinya. Bagaimana profesionalitas dari penyidik Polri terkait perbankan, keuangan, dan sebagainya. Profesionalitas itu harus didukung dengan SDM, terutama kemampuan hukum yang bagus di bidang keuangan agar penyidik ini lebih eksis, lebih akuntabel, lebih bisa memerankan hukum, menerapkan hukum yang adil, menerapkan hukum yang benar. Saksi berasal dari divisi hukum kepolisian, Saksi mengetahui divisi hukum dapat melakukan gelar perkara karena Pasal 69 sampai Pasal 74 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 mengatur mengenai gelar perkara. Jadi, segala perkara, terutama yang dikomplain oleh pendumas[ Sic! ] itu selalu digelar di Biro Wassidik Mabes Polri. Jadi, sudah banyak sekalit pengalaman di dalam gelar perkara secara praktisi. Lalu agar kinerja ini bersinambungan dengan baik, dibuatlah MoU. Kemudian, dalam membuat MoU itu walaupun pengagas para pihak, namun Divisi Hukum Polri adalah pintu gerbang untuk membuat atau merancang yang disebut nota kesepahaman, atau perjanjian kerja sama, atau perjanjian kesepakatan. Selain bertugas di divisi hukum Kepolisian, Saksi juga sebagai pengajar atau dosen di Diklat Reserse Megamendung, khususnya mengajar mata kuliah perundang-undangan keterkaitan dengan penyidikan. Menurut Saksi, ada kurang- lebih 62 undang-undang yang mengatur tentang penyidikan, pengatur tentang materi ketentuan pidana. Jadi, dengan adanya data-data ini, Saksi mengetahui bagaimana korelasi atau kaitan-kaitan yang ditangani oleh penyidik di OJK. Mulai dari Tahun 2016 sampai dengan sekarang, kurang-lebih ada 23 kasus yang ditangani.
Johansyah Saksi adalah Pemimpin Divisi Hukum di PT Bank Negara Indonesia Persero Tbk, yang merupakan salah satu BUMN yang bergerak di bidang keuangan dan 118 tergabung di dalam Himbara. Himbara adalah badan hukum perkumpulan yang beranggotakan bank-bank milik negara yang antara lain beranggotakan bank-bank yang terdiri atas BNI, BTN, Bank Mandiri, dan Bank Rakyat Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini perkembangan perekonomian salah satu pranata kuncinya adalah sektor jasa keuangan dan kecenderungannya semakin mengarah ke arah globalisasi. Tentunya dengan kondisi ini memerlukan pengaturan, pengawasan yang sifatnya terintegrasi oleh sebuah lembaga, oleh sebuah otoritas yang dianggap objektif dan profesional itu niscaya diperlukan untuk menumbuhkembangkan kepercayaan dan keyakinan, bukan hanya dari para pelaku industri itu sendiri, tetapi juga dari para masyarakat pengguna jasa sektor keuangan. Saksi sebagai bagian dari Himbara menyatakan rumusan ketentuan mengenai penyidikan yang ada di dalam Undang-Undang OJK ini, baik dari sisi hukum materiilmaupun dari sisi hukum formilnya, sudah memberikan kepastian. Dalam artian bahwa dalam bidang perbankan, tindak pidana yang dapat disidik oleh OJK, hanya terbatas tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang OJK. Menurut Saksi, rumusan di Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang OJK, memuat mengenai penyidik OJK yang dalam melaksanakan tugas/wewenangnya merujuk kepada KUHAP. Sehingga menurut Saksi, OJK dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik mengacu pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang OJK itu sendiri. Namun jika tidak diatur tersendiri atau khusus dalam Undang-Undang OJK, maka akan mengacu kepada KUHAP sebagai lex generalis- nya. Selanjutnya Saksi menyatakan bahwa selain memiliki kewenangan penyidikan, OJK juga memiliki kewenangan selaku pengawas, yaitu pengawasan terhadap operasional jasa keuangan, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap perbankan. Menurut kewenangan ini, dalam praktiknya mempermudah untuk mengindentifikasi hal-hal yang kemudian bisa dianggap sebagai tindak pidana. Berdasarkan pengalaman, Saksi mengetahui bahwa sudah ada memorandum atau nota kesepahaman antara kepolisian dengan OJK tentang bagaimana penyidikan itu dilakukan. Dalam praktik yang Saksi alami, dalam bidang perbankan pada saat penyidik Polri masuk menyidik suatu perkara dan kebetulan perkara tersebut sebelumnya sudah pernah diselidiki oleh OJK, 119 biasanya akan informasikan bahwa perkara ini sudah pernah masuk dalam area penyidikan di OJK ataupun sebaliknya. Dan terhadap hal-hal seperti itu, penyidik kepolisian akan mencatat keterangan itu dan biasanya akan dipertimbangkan di dalam pada saat gelar perkara. Proses penyidikan yang dilakukan oleh OJK, khususnya proses penyelidikannya, didahului dengan pemanggilan untuk memberikan bukti-bukti atau dokumen-dokumen tertulis. Proses diskusinya dapat dilakukan lebih awal dan proses ini melibatkan pengawas, sehingga, dapat langsung mengklarifikasi bagian yang dipertimbangkan oleh penyidik seperti misalnya area business judgment . Saksi melihat bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh OJK sudah mempertimbangkan banyak aspek seperti keterangan, dan posisi permasalahan, ataupun fakta yang perbankan sampaikan. Menurut saksi, melihat bahwa tidak ada hal yang memberikan ruang atau celah yang kami merasa bahwa ini hal-hal yang belum memberikan jaminan kepastian buat kami di industri keuangan maupun buat kami di praktiksi di lembaga keuangan. Saksi meyakini bahwa hukum pidana ini adalah ultimum remedium, selaku Pemimpin Divisi Hukum di BNI, salah satu tugas pokok-pokok dan fungsinya adalah menangani permasalahan-permasalahan dan perkara-perkara hukum, termasuk di antaranya perkara pidana. Dan salah satu perkara pidana yang pernah Saksi tangani adalah hasil penyelidikan yang dilakukan oleh pihak OJK. Saksi melihat dan mencermati prosesnya mulai dari surat panggilan yang disampaikan, tindak pidana yang tegas disebutkan bahwa tindak pidana yang dilakukan proses penyelidikan ini adalah tindak pidana perbankan, tidak memasukkan hal-hal lain di luar Undang-Undang Perbankan. Saksi meyakini bahwa tindak pidana yang dimasukkan sebagai hukum materi penyidikan OJK terbatas pada Undang-Undang Perbankan itu sendiri. Mengenai surat panggilan, Saksi mengetahui bahwa dasar-dasar pemanggilan yang OJK lakukan itu didasarkan pada KUHAP. Kemudian, proses yang Saksi alami pada saat menghadiri pemanggilan, menyampaikan bukti-bukti, masih bersesuaian dan sejalan dengan apa yang diatur di dalam ketentuan yang diatur di dalam KUHAP. Saksi merasa bahwa dalam proses penyelidikan yang dilakukan itu tidak ada hal yang menjadi tidak jelas, atau tidak pasti. 120 [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Februari 2019, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. KETENTUAN UU OJK YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD TAHUN 1945 Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 1 angka 1 UU OJK: Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain , yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Berdasarkan Putusan MK Nomor 25/PUU-XII/2014 Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK berubah menjadi: Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disebut OJK adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Pasal 9 huruf c UU OJK: Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, _OJK mempunyai wewenang: _ c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 121 B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON YANG DIANGGAP DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 1 ANGKA 1 DAN PASAL 9 HURUF C UU OJK Bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya ketentuan pasal- pasal a quo sebagaimana dikemukakan dalam permohonannya yang pada intinya:
Bahwa frasa “dan penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 dan frasa “penyidikan” dalam Pasal 9 huruf c UU OJK dianggap merugikan Para Pemohon. Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV yang berprofesi sebagai dosen dan khusus Pemohon I yang merangkap dosen sekaligus advokat berpendapat bahwa mereka memilikikedudukan hukum yang dirugikan khususnya jika dilihat secara keilmuan hukum pidana . Sebagaimana dipelajari dan didalami oleh Para Pemohon dalam pemberian criminal justice system di Indonesia, yang juga sebagai negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara hukum, maka asas due process of law merupakan proses yang harus dijalankan oleh negara cq aparat hukum yang telah diatur dalam KUHAP namun justru Para Pemohon beranggapan hal tersebut diabaikan oleh berlakunya UU OJK. (Vide perbaikan permohonan hlm. 8). 2. Bahwa selain Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV yang berperan sebagai dosen, terdapat Pemohon V dan Pemohon VI yang berprofesi sebagai karyawan swasta yang juga beranggapan mengalami kerugian karena saat ini sedang menjalani masa tahanan sebagai pihak yang disangka melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan. Menurut Pemohon V dan Pemohon VI, hal ini disebabkan adanya tindakan sewenang- wenang dalam penyidikan OJK yang membuat pelaku usaha menjadi terhenti usahanya serta masyarakat menjadi tidak terlayani. (Vide perbaikan permohonan hlm. 12) Bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sebagai berikut:
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 __ “Negara Indonesia adalah negara hukum.” 122 2. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, para Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata “dan penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5.253) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan Pasal 9 huruf c terhadap kata “penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5.253) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono) . C. KETERANGAN DPR RI Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonan a quo , DPR RI dalam penyampaian keterangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon sebagai berikut:
Kedudukan Hukum ( legal standing ) para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), yang menyatakan bahwa “ Para Pemohon adalah 123 pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya _dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ _a. perorangan warga negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik _Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara”. Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “ hak konstitusional ” adalah “ hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “ hak konstitusional ”. Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai para Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasinya sebagai para Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang a quo . Mengenai batasan kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; 124 b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon dalam perkara pengujian Undang-Undang a quo , maka para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pemohon. Bahwa terhadap kedudukan hukum (Legal Standing) Pemohon, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional sebagai berikut:
Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; Bahwa Para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan melalui Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 pada intinya mengatur bahwa Indonesia adalah negara hukum. Adapun Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak tepat dipertentangkan dengan ketentuan pasal a quo UU OJK karena ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak mengatur hak asasi manusia tetapi mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Bahwa terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon, dalam perbaikan permohonan a quo , para Pemohon tidak menjelaskan dan tidak 125 dapat membuktikan adanya keterkaitan antara Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan pasal a quo UU OJK. Bahwa adapun Para Pemohon beranggapan adanya tumpang tindih kewenangan penyidik Polri, KPK dan OJK adalah tidak berdasar, karena dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP mengatur mengenai penyidik pejabat pegawai negeri sipil selain pejabat Polri. Dengan demikian, hak konstitusional yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon sama sekali tidak ada relevansinya dengan ketentuan pasal a quo UU OJK. __ b. Terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; Bahwa Para Pemohon mendalilkan ketentuan pasal a quo UU OJK telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses penanganan tindak pidana di sektor Jasa Keuangan akibat adanya tumpang tindih kewenangan antara penyidik Polri, KPK, dan OJK ( vide perbaikan permohonan hal. 24). Bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa kerugian yang didalilkan Para Pemohon tersebut terkait dengan adanya tumpang tindih kewenangan penyidik antara Polri, KPK, dan OJK yang menimbulkan ketidakpastian hukum adalah anggapan yang tidak berdasar, karena ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP menyatakan penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang. Bahwa dengan demikian kerugian yang didalilkan para Pemohon hanya bersifat asumsi karenanya kerugian tersebut bukan akibat dari berlakunya ketentuan pasal a quo UU OJK yang dimohonkan pengujian.
Terkait dengan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV yang berprofesi sebagai dosen/advokat merasa dirugikan dengan adanya frasa “dan penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 dan frasa “penyidikan” dalam Pasal 9 126 huruf c UU OJK. Selanjutnya Pemohon V dan Pemohon VI yang berprofesi sebagai karyawan swasta yang juga beranggapan mengalami kerugian karena saat ini sedang menjalani masa tahanan sebagai pihak yang disangka melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan. Bahwa terhadap dalil para Pemohon, DPR RI berpandangan sebagaimana dikemukakan, tidak terdapat relevansi antara ketentuan pasal a quo UU OJK dengan UUD 1945 dan tidak terdapat kerugian konstitusional. Artinya kerugian yang didalilkan para Pemohon tidak disebabkan oleh karena berlakunya ketentuan pasal UU a quo . Bahwa kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut kabur dan tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau tidak bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. DPR RI juga berpandangan bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV dalam kedudukannya sebagai dosen seharusnya mampu menjelaskan kepada mahasiswa bahwa adanya wewenang OJK tersebut merupakan hal yang wajar dalam perkembangan penegakan hukum pidana, dimana dalam tindak pidana khusus tertentu diperbolehkan dibentuk penyidik selain pejabat Polri (dalam hal ini OJK) yang dapat diberikan wewenang sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya. Bahwa berdasarkan UU a quo , pembentukan OJK dilatarbelakangi karena banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan harus dilakukan secara terintegrasi. Oleh karenanya OJK diberi kewenangan untuk melaksanakan tugasnya dengan didukung keahlian khusus di bidang jasa keuangan. 127 Bahwa adanya salah satu wewenang penyidikan pada OJK diberikan untuk menjamin penegakan hukum pidana di sektor jasa keuangan sehingga tujuan dibentuknya OJK adalah agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel dapat terwujud;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat ( vide Pasal 4 UU OJK). Dengan demikian, DPR RI berpandangan bahwa kerugian para Pemohon tidak bersifat spesifik dan tidak aktual, serta tidak bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Para Pemohon dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; Bahwa sebagaimana dikemukakan pada huruf a, b, c tersebut para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional dalam pengujian UU a quo dan para Pemohon tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi. Bahwa atas dasar hal tersebut, sudah dapat dipastkan tidak ada hubungan sebab akibat antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan pasal yang dimohonkan pengujian. Bahwa para Pemohon tidak memiliki kepentingan hukum dalam norma mengenai pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan yang dilakukan oleh OJK, seperti Lembaga Jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Bahwa atas dasar itu para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional yang terjadi karena pasal-pasal a quo . Bahwa Pemohon V dan Pemohon VI juga mendalilkan mengalami kerugian karena adanya wewenang penyidikan OJK terhadap kedua Pemohon yang disangka melakukan tindak pidana dalam sektor jasa 128 keuangan. DPR berpandangan bahwa hal tersebut merupakan permasalahan implementasi norma, bukan konstitusionalitas norma. Sehingga dengan demikian, kerugian yang didalilkan Pemohon V dan Pemohon VI tidak memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) dengan pasal-pasal a quo . Bahwa ketentuan pasal a quo UU OJK tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon, sebaliknya, ketentuan pasal a quo UU OJK telah memberikan jaminan kepastian hukum kepada para Pemohon sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Bahwa sebagaimana uraian di atas, tidak jelas apa kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang dialami oleh para Pemohon yang diasumsikan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Para Pemohon dalam menguraikan kerugiannya yang disebabkan pasal a quo hanyalah berdasarkan asumsi-asumsi subjektif, tidak menyangkut kepentingan umum dalam penegakan hukum pidana. Fungsi tersebut bagi OJK tentu dianggap penting, jika Permohonan para Pemohon dikabulkan justru akan merugikan kewenangan konstitusional pihak-pihak terkait lainnya dan merugikan kepentingan penegakan hukum pidana sektor perbankan bagi masyarakat. Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apapun pada para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing) para Pemohon, DPR RI juga memberikan pandangan sesuai dengan Putusan MK Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno MK 129 terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa: …Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum” (no action without legal connection. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut, DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak, kewenangan konstitusionaInya dan/atau adanya keterkaitan logis dan causal verband yang ditimbulkan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005, dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
Pengujian Atas Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan para Pemohon, DPR RI berpandangan dengan memberikan keterangan/penjelasan sebagai berikut: 130 a. Pandangan Umum 1) Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berketentuan “Indonesia adalah Negara Hukum. ” Jimly Asshiddiqie menyebut bahwa gagasan Negara Hukum dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya. (Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia dalam http: //www.jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_I ndonesia.pdf, hlm. 1) 2) Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”. Ketentuan tersebut sudah jelas menegaskan bahwa setiap orang termasuk para Pemohon mendapatkan perlindungan jaminan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa berlakunya ketentuan pasal a quo UU OJK justru memberikan jaminan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana yang dituangkan dalam tujuan pembentukan OJK yang tertuang dalam ketentuan Pasal 4 UU OJK yang menyatakan OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Bahwa sebagai bentuk pengejawantahan negara hukum dan pentingnya pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dibentuk UU OJK. Pembentukan UU OJK dilakukan untuk melancarkan tugas, 131 fungsi, dan tujuan dibentuknya OJK agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness) .
Pandangan terhadap Pokok Permohonan 1) Bahwa para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan pasal-pasal a quo UU OJK telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan akibat adanya tumpang tindih kewenangan antara pejabat Polri, KPK, dan OJK. ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24). Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan sebagai berikut: a) Bahwa OJK diberi kewenangan khusus untuk melakukan penyidikan melalui Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengawasan sektor jasa keuangan. Bahwa adanya wewenang penyidikan oleh OJK merupakan hal lazim dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menjamin bahwa Indonesia adalah negara hukum, serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil . b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP, penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b (PPNS) 132 mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri). Pengaturan mengenai penyidikan pada OJK muncul karena tindak pidana atau hal-hal yang menyangkut pelanggaran pidana atau tindak pidana di sektor jasa keuangan yang kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan, baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Bahwa adanya kekhususan tersebut, maka permasalahan di sektor jasa keuangan perlu ditangani secara hati- hati oleh orang yang khusus dan ahli di bidangnya. Namun kewenangan tersebut tetap dilakukan di bawah koordinasi dan pengawasan kepolisian yang memiliki tugas penyidikan. Keberadaan PPNS OJK telah sesuai dengan tujuan dibentuknya UU OJK dan dibahas berulangkali dalam pembahasan pembentukan UU OJK (vide risalah pembahasan UU OJK). c) Bahwa sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UU OJK, wewenang khusus sebagai PPNS OJK dilakukan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Mengenai hal tersebut, di dalam KUHAP telah diatur bagaimana penyidikan yang dilakukan oleh PPNS agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan penyidikan dengan penyidik Polri, yang diatur antara lain: • Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b (PPNS) mempunyai wewenang sesuai dengan undang- undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri) (vide __ Pasal 7 KUHAP) • Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada PPNS tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan [vide __ Pasal 107 ayat (1) KUHAP]. • PPNS tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika 133 dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum [vide __ Pasal 107 ayat (2) KUHAP]. • Jika PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahan hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum dilakukan PPNS melalui penyidik Polri [vide __ Pasal 107 ayat (3) KUHAP]. • Bahwa permohonan Para Pemohon terkait pasal mana yang dianggap bertentangan dengan konstitusi menjadi obscuur libels (tidak jelas/kabur). Dalil para Pemohon tersebut bersifat asumtif karena tidak dilandasi argumentasi yuridis. Bahwa telah jelas ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU OJK mengatur: Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dari pasal a quo, terdapat frasa unsur penyidik “ Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia” dan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. __ Hal tersebut jelas menunjukkan adanya rujukan kepada KUHAP. Sehingga dapat dikatakan bahwa penyidik OJK bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam KUHAP. d) Bahwa jika PPNS menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum [vide __ Pasal 109 ayat (3) KUHAP]. Sehingga dari ketentuan tersebut jelas bahwa PPNS dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik harus 134 berkoordinasi dengan penyidik Polri sebelum melakukan penyidikan agar terjadi kesinkronan, kesatuan pemahaman,dan gerak, serta tindakan apa yang dilakukan dalam melakukan penyidikan. Oleh karenanya, penyidik Polri harus berperan aktif dalam memberikan bantuan serta petunjuk kepada PPNS dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik. Dengan demikian, dengan adanya koordinasi dan pengawasan dari penyidik Polri, diharapkan tidak menimbulkan suatu permasalahan dengan sistem peradilan pidana yang ada, yakni dalam hubungannya dengan penyidik Polri. e) Bahwa terkait kerangka sistem peradilan pidana (criminal justice system) , dimana aktivitas pelaksanaannya merupakan “fungsi gabungan” (collection of function) dari legislator, polisi, jaksa, pengadilan, dan penjara serta badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan maupun di luar pemerintahan. Dengan demikian, kegiatan sistem peradilan pidana didukung dan dilaksanakan dengan empat fungsi utama, yaitu fungsi pembuat undang-undang, fungsi penegakan hukum, efek preventif, fungsi pemeriksaan persidangan pengadilan, dan fungsi memperbaiki terpidana. Dari gambaran singkat tersebut, dapat terlihat berhasil atau tidaknya fungsi proses pemeriksaan sidang pengadilan yang dilakukan Jaksa PU dan Hakim yang menyatakan terdakwa salah serta memidananya sangat tergantung atas hasil penyidikan Polri. (M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 90-91). 2) Bahwa Para Pemohon mendalilkan pemberian wewenang “penyidikan” yang merupakan suatu tindakan pro justitia kepada financial supervisory institution in casu OJK adalah sangat tidak lazim (vide Perbaikan Permohonan hal. 22-23). Bahwa dalil Para Pemohon tersebut tidak berdasar karena para Pemohon tidak mencermati ketentuan peraturan perundang-undangan 135 secara komprehensif. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan:
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, PPNS adalah salah satu pengemban fungsi kepolisian yang membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dan melaksanakan kewenangan berdasarkan Undang Undang masing-masing. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk-Bentuk Pengamanan Swakarsa: PPNS adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing- masing. Pejabat PPNS diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ( cq Direktur Pidana Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum), dan diawasi dan dibina oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia ( cq Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS,Badan Reserse Kriminal) dan bertanggungjawab kepadaPimpinanKementerian/Lembaga/Daerah tempat PNS tersebut bernaung.
Bahwa eksistensi PPNS itu sendiri berasal dari ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Bahwa Pasal 6 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa _Penyidik adalah: _ _a. pejabat polisi negara Republik Indonesia; _ b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Rumusan Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP merupakan ketentuan yang bersifat umum. Sementara pengaturan mengenai penyidikan dalam UU OJK merupakan lex specialis dari Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP tersebut. 136 c. Bahwa keberadaan PPNS tidak hanya pada OJK, tapi juga terdapat pada beberapa lembaga negara lainnya. Beberapa contoh penyidik lainnya seperti PPNS Tata Ruang, PPNS Pajak, PPNS Imigrasi, PPNS Bea Cukai, PPNS Kehutanan, PPNS Pertanian, PPNS Kehutanan, dan lain-lain, yang dalam pelaksanaan fungsinya tetap merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun pengaturan tentang keberadaan PPNS pada beberapa lembaga negara di Indonesia dapat dilihat melalui tabel berikut: __ No. PPNS UNDANG-UNDANG PASAL 1. PPNS pada Kementerian Perhubungan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 259 ayat (1): Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh:
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus menurut Undang-Undang ini. Pasal 262 ayat (1): Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (1) huruf b berwenang untuk:
melakukan pemeriksaan atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor yang pembuktiannya memerlukan keahlian dan peralatan khusus;
melakukan pemeriksaan atas pelanggaran perizinan angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum;
melakukan pemeriksaan atas pelanggaran muatan dan/atau dimensi Kendaraan Bermotor di tempat penimbangan yang dipasang secara tetap;
melarang atau menunda pengoperasian Kendaraan 137 Bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan;
meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, atau Perusahaan Angkutan Umum atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan, pengujian Kendaraan Bermotor, dan perizinan; dan/atau
melakukan penyitaan surat tanda lulus uji dan/atau surat izin penyelenggaraan angkutan umum atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c dengan membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan.
PPNS pada Kementerian Kehutanan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaim ana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2004 juncto Perpu Nomor 1 Tahun 2004 Pasal 77:
Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimak-sud pada ayat (1), berwenang untuk:
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, 138 kawasan hutan, dan hasil hutan;
memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku;
meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana;
membuat dan menandatangani berita acara;
menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai 139 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
PPNS pada Kementerian Komunikasi dan Infor-matika Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 44:
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau ter- sangka;
melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang tele-komunikasi; 140 f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi, dan mengadakan penghentian penyidikan.
Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Latar Belakang Pembahasan UU OJK Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal-pasal terkait dalam undang- undang a quo sebagai berikut • Rapat Kerja (18 Agustus 2010) 1) Menteri Keuangan (Agus M.W.) __ Selanjutnya perkenankan kami untuk menjelaskan kembali secara umum hal-hal pokok yang tertuang dalam RUU OJK ini sebagai _berikut: _ Poin 7: Penegakan Hukum Dalam rangka penegakan hukum di sektor jasa keuangan, OJK memiliki kewenangan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana di bidang perbankan, pasar modal dan industri keuangan non bank. Penyidikan ini antara lain dilakukan oleh pejabat penyidik Kepolisian 141 Negara RI dan pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup, tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengawasan industri jasa keuangan di lingkungan OJK. 2) Anggota F-PG (Edison Betaubun, S.H., M.H.) __ Terkait Rancangan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan, Fraksi _Partai Golkar DPR RI berpandangan bahwa: _ _1. Ruang lingkup lembaga yang dibentuk meliputi: _ a. Pengaturan Ini penting dimiliki agar dapat melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan di bidang jasa keuangan. b. Pengawasan terpadu dan lintas sub sektor agar dapat mendeteksi resiko finansial dari kegiatan yang berada di wilayah abu-abu dalam suatu kegiatan konglomerasi jasa keuangan. c. Penegakan hukum yang dipunyai mencakup penyelidikan dan penyidikan agar mempunyai kewenangan dan tanggung jawab yang utuh dalam proses penegakan hukum. • Rapat Dengar Pendapat Umum (19 Agustus 2010) 1) Anggota F-PDIP (Trimedya Panjaitan) __ Tapi saya coba mendalami apa yang ada di dalam RUU OJK ini utamanya Pasal 41 ayat (3) soal kewenangan penyidikan yang diberikan kepada lembaga ini seandainya lembaga ini akan berdiri nanti. Saya sesuai dengan core saya saja. Kalau orang bisnis harus punya core pak. Core saya di hukum, saya hukum saja. Nah, kalau kita lihat di sini kan memang spirit dari ini tentu Pasal 6 ayat (1) KUHAP bahwa PPNS tapi sebagaiman kita ketahui dan mungkin juga pihak Bapak tahu atau tidak sekarang ini menurut data dari Kapolri ada sekitar 650 PPNS di sekitar 43 kelembagaan. Nah, ini tidak jelas efektifitasnya. __ … Sebenernya dalam posisi ini apakah kita ingin membentuk lagi instrumen-instrumen hukum baru yang mempunya kewenangan di bidang penyelidikan. Dia ini kalau dari mulai menerima laporan sampai Surat Penghentian Penyidikan, kewenangan yang diberikan 142 pada OJK ini. Dengan posisi kewenangan yang luar biasa seperti ini, kami agak khawatir walaupun nanti ini pada saat pendalaman masuk kepada pasal-pasal nanti DIM-DIM itu kita baru diskusikan lebih detil. Jadi dalam posisi ini kami ingin menanyakan kepada bapak-bapak sekalian apakah orang Bapak setuju dengan kewenangan ini. Apakah negara kita ini tidak cukup dengan lembaga-lembaga hukum yang sudah ada kepolisian, kejaksaan.... • Rapat Dengar Pendapat Umum (23 September 2010) 1) Akademisi (Insukindro) __ Jadi OJK itu lembaga apa Pak? Dalam undang-undang itu tidak jelas, ini saya kira perlu dijelaskan juga lembaga negara atau bukan lembaga negara semacam itu. Juga terkait dengan penyidikan, kalau kita baca pasal berapa ya itukan pegawai OJK adalah pegawai OJK, apakah itu PNS. Di dalam Pasal 41 disebutkan kecuali kepolisian kan pegawai negeri sipil mempunyai hak. Berartikan bisa jaksa, bisa macam-macam di situ. Ini nanti mirip-mirip KPK lagi, ketergantungannya sangat tinggi, semacam itu. Ini juga problem nanti kalau BI digabungkan dengan OJK, kemudian pegawai BI itukan bukan PNS. Apakah dia punya hak untuk melakukan penyidikan semacam itu atau diangkat jadi PNS. Ini menurut saya perlu clear. 2) Akademisi (Himawan) __ Hal yang perlu kita lihat juga itu adalah pengawasan. Pengawasan itu sebenarnya ada empat pilar yaitu, pemantauan, pemeriksaan, penyidikan, dan penegakan hukum. Ini yang belum kami lihat di dalam RUU ini yang mungkin harusnya lebih detail, lebih banyak kita perdalam untuk masalah pengawasan ini. __ … Kemudian masalah penyidikan, penyidikan yang saya lihat di sini lebih bersifat pasif. Yaitu adalah menerima laporan dari masyarakat, padahal yang harus dilakukan itu adalah lebih pro aktif karena permasalahannya sekarang adalah seringkali kasus misalkan kasus emeron, kasus supreme mortgage dan lain sebagainya yang muncul kemudian kasus Antaboga dan sebagainya, ini tidak bisa kalau ditunggu sudah terlalu besar. Masalahnya sudah terlalu besar ketika 143 kita sudah mendapatkannya. Kita tidak ada istilah di sini melakukan prevention. Dalam masalah pengawasan, kalau saya menggunakan pendekatan economic, itu yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan detaction rate, kemampuan untuk mendeteksi. Yang menjadi permasalahan selama ini adalah banyak unsure problem sebenarnya yang muncul, kasus-kasus seperti Antaboga yang itu di dalam nomenslan. Ini seharusnya yang menjadi perhatian kita itu adalah bagaimana menghilangkan atau meminimasi hal-hal seperti ini. Di dalam setiap crime itu ada yang disebut un recorded financis. Bagaimana menimalisasi un recorded financis ini yang saya pikir di dalam masalah penyidikan ini harus lebih jelas Pak untuk masuk ke sana. • Rapat Panja (21 Oktober 2010) 1) F-PG (Nusron Wahid) __ Nah saya setuju prinsipnya bahwa Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan ini yang kita susun ini tidak hanya menjadi basis pondasi pendirian suatu lembaga yang lembaga itu bergerak di bidang otoritas jasa keuangan. Yang namanya otoritas itu di situ meliputi 3 kewenangan kalau saya baca dalam undang-undang ini; kewenangan pertama adalah pengaturan mikro prudensial di bidang perbankan dan pengaturan secara keseluruhan, kemudian pengawasan, sama low enforcement karena ada penyidikan di situ di dalamnya. • Rapat Panja (26 November 2010) 1) Pemerintah __ … Di Undang-undang Pasar Modal itu ada penyidikan oleh Bapepam yaitu PPNS. Kemudian untuk di Bank Indonesia tidak ada penyidikan ternyata dan itu masalah buat Bank Indonesia selama ini karena mereka tidak bisa melakukan penyidikan, sehingga selalu lempar ke polisi ya hilang saja. Maaf ini kalau direkam karena kenyataannya begitu. Jadi kemudian, asuransi juga demikian. Kami selama ini kalau sudah masuk asuransi walaupun Bapepam LK begitu case-nya asuransi, kita langsung lempar ke polisi. Jadi berarti Kepolisian ini Bareskrim ini harus menguasai banget tentang 144 perasuransian, dana pensiun, kalau pasar modal dia tidak perlu karena penyidikannya di kita tapi kalau fraud tetap ke polisi. Tapi sudah manipulasi biasanya di Bapepam. Jadi sebenarnya teman-teman di Bank Indonesia pun juga bilang kalau ini memang mereka masuk ke OJK, sebaiknya OJK secara keseluruhan punya penyidikan sehingga sudah berlaku juga untuk bank, pasar modal, asuransi, dana pensiun. Makanya kita sebut di sini OJK bisa punya penyidikan. Itu masalah penyidikan. Nanti masalahnya apakah PPNS. Memang saat ini karena pengaturan tentang PPNS itu diatur di Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, jadi kita belum berani menyebut kata-kata lain selain PPNS. Oleh sebab itu, di dalam bab nanti tentang pegawai kita sebut OJK ini bisa juga menerima, pegawainya bukan saja pegawai OJK tapi juga pegawai negeri. __ …. Di Kepolisian memang ada salah satu direktorat koordinasi pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil jadi di Korwas, di sana juga ada satu direktorat pak di Bareskrim khusus memang mendidik dan melakukan koordinasi dengan penyidik-penyidik Pegawai Negeri Sipil. Tetapi tidak hanya Bapepam, dengan penyidik Bea Cukai, penyidik Pajak, penyidik Kehutanan, itu secara reguler tambahan pak. Jadi pendidikannya 3 bulan pak memang. Tapi karena kita lihat tindak pidananya itu adalah spesifik tindak pidana di bidang pasar modal yang memang sehari-harinya kita yang mengatur, jadi memang kita hanya belajar trik-trik pendidikannya; bagaimana membuat Berita Acaranya, bagaimana cara prosedur penyidikannya, bagaimana prosedur penyidikannya, itulah yang kita belajar di Kepolisian pak. __ …. Kami menyampaikan bahwa memang untuk penyidik ini diatur dalam Hukum Acara Pidana pak, di situ memang diatur penyidik itu ada 2 pak yang itu adalah pejabat Polisi Negara Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Artinya di sini selain Kepolisian ada juga PPNS-nya pak. Tapi PPNS ini harus diberi kewenangan oleh undang-undang. Jadi tidak bisa diberikan kewenangan selain diberikan oleh undangundang. Harus pegawai 145 negeri sipil. Di sini apakah bisa tidak di dalam RUU OJK ini bukan PPNS atau mungkin hal yang lain tadi berlaku lain dengan hatinya lex spesialis. Kami sependapat tadi sudah disampaikan oleh Pak Robin. Untuk lex spesialis itu harus mengatur rezim yang sama pengaturan hal yang sama. Jadi di sana kan hukum acara pidana di sini adalah Undang-undang OJK, jadi itu memang tidak bisa kita pakai azas itu. Kemudian juga azas post perior mengabaikan yang lama itu juga tidak bisa kita pakai juga seperti itu. Mungkin barangkali saat ini mungkin harus PPNS pak untuk sementara, tapi untuk rumusan mungkin kami belum bisa sampaikan atau nanti kita buat secara umum artinya apakah penyidik saja yang disebut di sini. Jadi tidak kita sebutkan PPNS atau mungkin nanti kami coba saja. 2) F-PG (Nusron Wahid) __ Tadi kita sudah brainstorming soal bab penyidikan, sudah panjang lebar tentang dua isu. Isu pertamakarena OJK itu nanti pegawainya tidak lagi Pegawai Negeri Sipil di convert menjadi OJK maka yang terjadiadalah tentang penyidikan ini OJK akan mengambil penyidik dari PPNS dan penyidik dari polisi sesuaidengan KUHAP. Itu pertama sudah diputus tinggal nanti turunannya. 3) F-PDIP (Nyoman Dhamantra) __ Saya setuju OJK itu diberikan kewenangan untuk itu asal ada kerja sama. Karena kalau tidak ini banyak kasus akan bias karena ditangani tidak proporsional. Maka itu saya katakan pertama pemeriksaan, lidik, baru sidik. Kalau dia pemeriksaan internal OJK saja kalau sekiranya kesalahannya itu hanya kesalahan yang sifatnya hanya administrasi, yang cukup diberikan denda atau diberikan sanksi yang sifatnya internal saja di antara OJK dan pihak anggotanya. Tapi kalau nanti persoalan lidik sidiknya kalau kita mau betul-betul ekslusif bahwa OJK punya ekslusifitas untuk itu harus duduk dengan kejaksaan dan dengan kepolisian supaya khusus. Jadi kalau di tempat lain itu ada yang namanya polisi keuangan. Khusus menyangkut perbankan apa itu hanya kepolisian keuangan ini sajalah yang boleh. Itu ditempatkan misalnya di OJK. 146 • Rapat Panja (1 Desember 2010) 1) F-PAN (H. Nasrullah) __ Yang menjadi problem berikutnya adalah nanti bisa disambung dengan yang lain, adalah terkait dengan hukum pidana ini adalah kewenangan penyidikan itu dalam satu kaitannya dengan semua tindak pidana yang dimuat di dalam undang-undang di bidang jasa keuangan. Pertanyaannya kalau undang-undang di bidang jasa keuangan itu ternyata penyidiknya bukan penyidik PNS, tetapi yang penyidiknya adalah polisi, apakah dia harus ditarik ke sini atau tetap dia berlaku penyidik polisi. Saya ingin tampilkan ini tadi undang- undangnya gitu pak ya, di dalam undang-undang kan disebutkan beberapa undang-undang ini saya ambil contoh Undang-undang Perbankan saya belum mengecek lagi di dalam itu apakah di sana itu mengatur penyidikannya oleh PPNS atau tidak. Kalau itu tidak apakah dengan Undang-undang OJK ini dengan mengatur penyidikan yang menjelaskan tentang tindak pidana di bidang jasa keuangan sehingga dengan demikian juga berlaku tindak pidana perbankan. 2) Pemerintah (Fuad Rahmani) __ Jadi persis seperti yang disampaikan Pak Muzakir tadi, jadi memang sebenarnya pak di sektor keuangan sekarang Undang- undang Pasar Modal itu ada penyidik PNS di mana sekarang itu Bapepam. Waktu itu sekarang membentuk OJK sementara sekarang di Bank Indonesia itu kan tidak ada penyidik, di Undang-undang Perbankan juga tidak ada penyidikan dari Bank Indonesia. Di OJK itu mau dikasih semua ada penyidikan. Oleh karena itu, nanti kan kita akan mengajukan lagi ini Undang-undang Pasar Modal, Manajemen Perbankan, Asuransi, Dana Pensiun itu semua akan disesuaikan dengan ini supaya nanti sinkron. 3) Bareskrim (Bung Jono) Iya, jadi arti dari korwas tadi sebetulnya pemberian bantuan penyidikan, bukan berarti PPNS tadi di bawah atau seperti anggotanya Penyidik Polri itu salah sekali pak. Tapi kalau korwas (koordinasi pengawasan) tadi sebetulnya mengawal PPNS di dalam melakukan 147 _penyidikan. Bentuk pengawalan tadi adalah bantuan penyidikan; _ bantuan taktis, bantuan teknis, bantuan upaya paksa. Karena PPNS tadi tidak mempunyai kewenangan seperti yang ada di Kepolisian, seperti penangkapan/penahanan walaupun PPNS yang sudah ingin menangkap/menahan. Tapi repot sendiri dia pak, kewalahan juga, tugas pokoknya tidak dilaksanakan ngurusin tahanan kan gitu pak. Tetapi itu tadi memberikan bantuan penyidikan kepada PPNS supaya hasil penyidikan berkas perkaranya tadi dapat memenuhi syarat formil dan materil. Muncul pertanyaan kapan dilakukan bantuan tadi pak, semenjak SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan). Kepada penuntut umum itulah makanya melalui penyidik Polri. Itulah ceritanya dalam rangka pemberian bantuan. Kemudian arti daripada korwas tadi pak yang saya sebutkan tadi, teknis dan pelaksanaannya sudah diatur di dalam KUHAP. Jadi PPNS Bapepam itu ya dalam kesehariannya kemarin gelar kami datang, mengundang Pak Jaksa juga datang, dalam keseharian sudah bersama. Karena memang Pasal 107 ayat (1), ayat (2), ayat (3) itu sudah mengatur mekanisme korwasnya di bantuan penyidikan tadi pak, sudah diatur di situ. Kembali ke rumusan yang tadi bahwa nanti penyidik di OJK ini di situ ada penyidik Bapepam, penyidik Polri dan penyidik jaksa gitu lho. Wah ini polanya seperti KPK sepintas gitu lho pak. Padahal pola penahanan di KPK dengan OJK itu lain. Pola penahanan koruptor dengan terorisme itu sama pak, karena koruptor itu hampir seluruh Indonesia mendukung, sama dengan penahanan terorisme semuanya mendukung. Kalau ketemu langsung hap, kalau bisa begitu pak. Di OJK ini tidak demikian makanya di sini ada kewenangan administratif, mencabut izin dan segala macam. OJK itu tadi kental dengan kehidupan sosial, dengan ekonomi, dengan ini pak. Kalau ada masalah juga harus melihat pajaknya di mana, perusahaan tadi ada tenaga kerjanya tidak, ini perputaran bagaimana dengan perputaran ekonomi di Indonesia, sehingga polanya tidak seperti KPK tidak langsung potong lehernya gitu pak. Itu supaya masuk kan ke kas negara kan begitu pak. 148 4) Jampidsus (M. Amari): __ Menyangkut masalah penyidik pak, ini saya sependapat dengan pak dari Polri, bahwa PPNS itu bisa dibentuk tapi itu syaratnya harus pegawai negeri sipil. Kalau badan ini dibentuk sebagai badan swasta atau bukan badan negara, maka susah kita untuk bisa membentuk PPNS karena salah satu syarat PPNS itu adalah dia pegawai negeri. Yang dari pegawai negeri kemungkinan dari Bapepam tapi tidak tahu bagaimana nanti membentuknya kalau memang keinginan untuk membentuk PPNS itu begitu kuat dan memang itu penting. Menurut hemat saya memang perlu karena polisi nanti yang akan membantu dalam penanganan mekanisme penyidikannya, PPNS itu nanti yang menguasai mengenai teknis perbankan atau teknis masalah keuangannya. Kalau jaksa jelas sama dengan polisi, ibara penyidik itu penyidik umum tahunya masalah umum, masalah-masalah khusus tentu harus belajar dulu atau paling tidak meminta bimbingan kepada mereka-mereka yang sudah spesialis. __ ... Mengenai batasan apakah lembaga ini OJK ini bisa melakukan penyidikan atau hanya penyelidikan. Kalau menurut hemat saya kita berkaca pada PPATK pak. PPATK tempo hari di dalam RUU-nya mengingingkan agar PPATK itu bisa ditingkatkan dari melakukan pemeriksaan, dari melakukan pemantauan penyelidik. Untuk menjadi penyelidik saja tempo hari itu tidak disetujui, hanya sebagai pemeriksa tugasnya melakukan pemeriksaan. Padahal kalau dia melakukan penyelidikan juga tidak terlalu bersinggungan, karena hasil penyelidikannya toh juga diteruskan kepada penyidik yang menjadi tindak pidana asap. Bahkan menurut hemat saya OJK ini kalau kita jadikan sebagai instansi penyidik agak repot ini. Karena yang pertama perangkat untuk ke sana itu seperti untuk menahan dan seterusnya kan tidak punya dan dia bukan ditugaskan untuk melakukan kegiatan penegakan hukum yang sebegitu drastis karena masih ada hal-hal lain yang perlu dilindungi yang perlu sentuhan-sentuhan yang lebih soft sifatnya dibanding dengan terorisme dan korupsi, sehingga PPATK pun juga kita bentuk seperti itu tempo hari itu. maka kalau ini juga 149 dikasih kekuasaan seperti polisi, seperti jaksa, nanti kabur orang yang mau bergerak di bidang keuangan ini. Makanya memang perlu lebih berhati-hati. Kemudian mengenai penyidik di Bapepam saya belum tahu persis pak mengenai penyidik Bapepam nanti barangkali bapak dari Bareskrim nanti yang bisa memberikan penjelasan. __ Menyangkut masalah ini bisa tidak OJK ini menjadi penyidik atau penyelidik atau pengawas, atau apa tadi itu pemeriksa. Kalau saya membaca namanya ini di dalam konsideran menimbang b bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, diperlukan otoritas jasa keuangan yang bertugas melaksanakan pengawasan yang dapat mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan tugas pengawasan terhadap perbankan, pasar modal, dan industri jasa keuangan non bank secara terpadu, independen dan akuntabel. Kalau lihat namanya di sini pengawasan dan kalau memang betul ini yang dikehendaki pengawasan tentu kewenangannya bukan sampai pada penyidikan karena kalau sudah sampai pada penyidikan bukan sekedar pengawasan itu penegak hukum. Hasil dari pengawasan ini baru diberikan kepada penegak hukum, penegak hukum lah yang nanti akan menindaklanjuti sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum. Kalau saya lihat saya kembalikan kepada konsideran ini menurut hemat saya paling banter yang bisa dilaksanakan oleh OJK ini adalah penyelidikan tapi bukan penyidikan atau pemeriksaan tadi. Sebenarnya istilah pemeriksa dan penyelidik itu hampir sama pak, sama-sama belum boleh melakukan upaya paksa, belum boleh menahan, belum boleh menangkap tapi dia bisa melakukan investigasi yang hasilnya nanti dianalisis di dalam produk-produk pengawasan seperti yang dilakukan oleh BPKP, dilakukan oleh PPATK dan beberapa lembaga pengawasan semacam itu. • Rapat Kerja Panja (2 Desember 2010) 1) Pakar Hukum Tata Negara (Jimly Asshiddiqie) Kemudian yang selanjutnya itu soal penyidikan. Jadi Pak Harry mana tadi, jadi saya ingin menjelaskan di sini sekarang, instansi yang 150 menangani penyidikan itu sudah 55 instansi; ada polisi, ada KPK, ada Kejaksaan, ada PPNS itu banyak sekali. Dari segi undangundang yang boleh itu PPNS (Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Pertanyaan OJK ini PNS bukan. Kalau dia akan diberi fungsi penyidikan kayak KPK ini bisa masalah ini. Ini kan kita karena tidak percaya kepada kejaksaan, maka kita bikin KPK, tidak percaya polisi, tidak percaya. Tapi kalau begini terus kapan habisnya kita bikin lagi lembaga baru nanti fungsi penyidik lagi. Saya berharap kalau bisa janganlah ini, cukup penyelidikan saja tetapi ada rambu-rambu yang begitu jelas sehingga Kejaksaan itu tidak bisa misalnya bermain-main dengan jadwal, ditentukan lebih rinci gitu misalnya begitu. Dan partnership antara OJK ini langsung dengan Kejaksaan tidak usah dengan Kepolisian lagi, Kejaksaan. Jadi ini termasuk tindak pidana khusus. Kalau tindak pidana khusus tidak perlu lewat polisi jadi langsung dia. Tapi lembaga ini jangan diberi fungsi penyidikan cukup penyelidikan, walaupun di dalam fungsi penyidikan di Kejaksaan dia ikut nempel gitu, jadi dia ikut berperan, diatur saja begitu. Tanpa harus memberi kewenangan menyidik sendiri. Itu saya anjurkan demikian .
F-PG (Melchias Marcus Mekeng) __ Masalah penyidikan, Prof. Ya memang kalau penyidikan ini diberikan kepada OJK kelihatan menjadi super body lagi nanti, tetapi, Prof, faktanya di lapangan kasus-kasus pasar modal, kasus-kasus perbankan ini rasa keadilan sudah tidak ada lagi. Tadi Pak DR. Harry menyampaikan kasus Herman Ramly, banyak lagi pemain-pemain pasar modal yang tidak pernah ketangkap padahal mereka melakukan pelanggaran yang di depan mata kelihatan, nah, kalau ini diberikan katakanlah kepada Kejaksaan dari sisi kompetensi juga belum tentu orang di Jaksa mengerti pasar modal. Nah, ini apakah bisa dalam transisi ini diberikan ini sampai Kejaksaan kita ini benar-benar Kejaksaan yang kita harapkan atau Kepolisiannya itu. Kalau tidak, ini lembaga OJK ini lembaga setengah hati walaupun sudah diberi kekuasaan untuk mengawasi tetapi pada saat dia mengawasi dia menemukan sesuatu yang tidak benar dia tidak bisa lakukan apa-apa, 151 hanya kasih saja dibuat penyelidikan, kasih Kejaksaan, tidak pernah P21. Nah, artinya visi dan misi daripada OJK dari awal yang kita inginkan ini, itu tidak pernah akan berhasil. Nah, ini bagaimana, Prof, kalau fungsi penyidikan ini. 3) F-PD (I Wayan Gunastra) __ Lalu terkait dengan OJK, jadi untuk mencegah hal-hal seperti itu lalu kita bentuk OJK berdasarkan undang-undang. Kalau suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan undangundang, tidakkah boleh lembaga itu punya penyidik sendiri. Sekarang salah satu lembaga yang akan diambil kekuasaannya oleh OJK yaitu Bapepam punya penyidik sendiri. Itu yang saya ingin tahu, punya penyidik sendiri. Apakah lembaga yang kita bentuk dengan undangundang yang juga perannya yang akan sangat penting untuk menjaga Negara ini jangan sampai rusak karena kriminal di bidang jasa keuangan itu, benar-benar tidak boleh mempunyai lembaga yang mempunyai penyidik sendiri dengan keahlian khusus itu karena tidak semua penyidik yang kita miliki akan mempunyai keahlian seperti ini terutama di bidang kejahatan keuangan. • Rapat Dengar Pendapat (2 Maret 2011) 1) Yusril Ihza Mahendra __ Kemudian ini ada yang agak serius pasal 41 mengenai penyidikan. Kalau saya baca disini pasal 41 ini mengatur selain penyidik polisi, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang ruang lingkupnya meliputi pengawasan jasa keuangan di lingkungan jasa keuangan diberi kewenangan khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam kitab-kitab Undangundang hukum acara pidana. Yang diatur disini ada PPNS, penyidik pegawai negeri sipil selain penyidik polisi. Tidak disebut apa namanya penyidik dari kejaksaan tidak ada disini. Yang ada Cuma polisi, PPNS. Tapi yang diatur dalam pasal 1 ini hanya keberadaan mereka sebagai PPNS seperti disebutkan dalam KUHAP. Tapi bagaimanakah prosedur kerja dari…………………… __ ... Tapi tegas dikatakan bahwa KPK dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan menggunakan KUHAP kecuali diatur secara khusus 152 di dalam Undang-undang ini. Misalnya menyimpang bahwa KPK itu tidak ada SP3. Itu menyimpang dari KUHAP tapi yang pokok adalah tetap KUHAP. Tapi disini tidak ada, dan ini bisa menyebabkan ini ada lembaga baru yang menakutkan semua orang. Ada pegawai negeri sipil yang diangkat. Kemudian penyidik esselon I berwenang. Kewenangannya ini memberikan laporan, melakukan penelitian kebenaran laporan, melakukan penelitian terhadap orang yang diduga melakukan atau tindak pidana dibidang jasa keuangan, memanggil, memeriksa, meminta keterangan dan barang bukti ke setiap orang, melakukan pemeriksaan atas pembukuan, meminta dokumen berkenaan dengan tindak pidana, melakukan pengeledahan, loh ngeri ini. tidak ada ini, tidak terikat KUHAP. Bisa dipanggil orang, bisa geledah DPR bisa geledah siapapun. Lebih dari KPK ini. Sedangkan polisi, kejaksaan mau menggeledah harus ijin pengadilan, bagaimana kacau balau ini dunia keuangan kita kalau lembaga ini penyidiknya diberikan otoritas yang cukup besar. Tidak tunduk pada KUHAP dan atur saja dia sendiri. 2) F-PG (DR. H. Harry Azhar Azis, MA) __ ... Soal penyidik ini menarik. Apakah dari pernyataan Pak Yusril itu artinya kita mesti mempertegas lama sebelum kita atur model tata cara penyidikan di Undang-undang ini, harus ditegaskan itu harus tunduk kepada KUHAP. 3) F-PD (Ir. Hj. A.P.A Timo Pangerang) __ Bagus sekali Pak Yusril tadi menyampaikan tentang Pasal 41 bahwa apa kalau kita bertanya bagaimana hukum acara yang digunakan. Saya kira Pak Yusril di sini disampaikan bahwa mereka mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang- undang 8 tahun 1981, dan kemudian PNS. Yang tadi disampaikan bahwa sepertinya ini berbahaya atau punya kewenangan yang besar PPNS ini. Nah, PPNS ini kan melakukan penyelidikan terhadap pegawai negeri sipilnya. Jadi di dalam lembaga OJK ini selain tadi beberapa orang dari para ahlinya di bidang asuransi, di bidang pasar modal, perbankan, juga boleh menerima pegawai negeri sipil yang 153 ingin masuk ke dalam lembaga ini. Tentu PPNS ini akan berperan ketika dia memeriksa pegawai negeri sipilnya kan Pak Yusril, bukan di luar non pegawai negeri sipil kalau non pegawai negeri sipil yang periksa tentu pejabat penyidik Kepolisian. Nah, pertanyaannya adalah kalau saya buka-buka undang-undang yang lain yang juga ada di penyidikan unsur pegawai negeri sipil, saya lihat sebenarnya intinya more or less kurang lebih sama pak, dia melakukan pemeriksaan, dia memanggil memeriksa terhadap pegawai negeri sipil yang diduga melakukan tindak pidana Jadi seperti ini, tapi karena saya dengar tadi Pak Yusril menyampaikan ini sangat berbahaya saya juga ingin mendapatkan gambaran di mana kira-kira pelanggaran daripada kewenangan PPNS ini. 4) Yusril Ihza Mahendra __ … Nah sebaiknya pasal 41 ini rumusannya, PPNS ini dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya ya itu menggunakan hukum acara sebagaimana diatur didalam KUHAP kecuali diatur tersendiri didalam Undang-undang ini, jadi ini mengandung satu hukum acara disini tapi sangat singkat ya, tapi memberikan kewenangan yang potensial bisa disalahgunakan oleh PPNS yang menjadi ini, seperti misalnya disebutkan disini dia punya kewenangan untuk melakukan pengeledahan, karena dia merasa tidak tunduk pada KUHAP, dihukum acara diberikan kewenangan, dia bisa mengeledah siapa saja tanpa ijin pengadilan dan itu bisa bahaya, apalagi dia bisa menyita, dia bisa memanggil orang. __ Nah jadi saya kira rumusan pasal 41 ini mesti dielaborasi agak rinci karena pedoman kita begini, inikan sebenarnya bukan menyangkut hukum pidana, ini kan hukum administrasi negara sebenarnya, tapi didalamnya ini ada aspek hukum acara pidana, hukum acara pidana itu harus strike, strike nggak bisa disamar-samar, karena sifat dari hukum pidana materiil maupun pidana formil itu akan bersentuhan langsung dengan hak asasi manusia. • Rapat Intern Pansus (24 Mei 2011) 1) F-PG (Nusron Wahid) 154 Baik, begini keputusan kita tentang masalah lidik-sidik ini penyelidikan dan penyidikan, itu kemarin dikembalikan ke dalam ranah undang-undang sektoral..... Nah persoalan yang muncul di dalam undang-undang OJK ini adalah kewenagan untuk sampai pada level penyidikan itu hanya terbatas pada level pasar modal. Karena di dalam klausulnya itu di dalam pasal-pasal itu dinyatakan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak diatur secara khusus. Jadi kewenangan untuk penuntutan eh penyidikan, itu hanya sampai khusus pada masalah pasar modal. Nah pada waktu pertimbangan, perdebatannya kalau ingin memberikan, mengurangi kewenangan atau ingin menambah kewenangan itu ini dikembalikan dalam kontek pembahasan waktu kita mengamandemen undang-undang sektoral apakah undang- undang perbankan, apakah undang-undang asuransi, apakah undang-undang industri pembiayaan maupun undang-undang tentang pasar modal nanti. • Rapat Panja (26 Mei 2011) 1) Menteri Keuangan (Agus M) __ Substansi ketiga yang berhasil disepakati adalah terkait dengan penegakan hukum.Dalam hal ini kewenangan pemeriksaan dan penyidikan di mana penegakan hukum di sektorjasa keuangan dilakukan di bawah payung Undang-undang OJK dan dikoordinasikan olehOJK, namun dengan tetap memperhatikan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum AcaraPidana. Lebih lanjut disepakati pula mekanisme pola rotasi serta mutasi penyidik, agarpenyidikan terhadap dugaan tindakan pidana di sektor jasa keuangan dapat dilaksanakandengan efektif. Aspek pemidanaan sebagai bagian dari penegakan hukum juga telahmemperoleh perhatian serius pada pembahasan sebelumnya. Sehingga tercapai kesepakatantentang ketentuan pidana baik tentang tindak pidana maupun ancaman pidananya . • Rapat Panja (10 Juni 2011) 1) F-PG (Nusron Wahid) 155 __ Terima kasih Pimpinan, perlu kami sampaikan bahwa penuntut umum memang hanya kejaksaan.Oleh karena itu yang tadi kami kemukakan, di Malaysiapun penuntut umumnya itu adalah dari jaksa yangdi seperti second man dimasukkan ke Securities Commission. Sekarang di KPK pun sebenarnya adalahpenuntut umumnya adalah kejaksaan yang punya private jaksa kemudian masuk di KPK. Bahkan diskhususKPK yang ingin punya penyidik sendiripun itu masih menjadi ramai karena penyidiknya sekarangpun masihmenyidik polisi. Dengan demikian Pimpinan atas ijin Ketua Bapepam LK bahwa kami masih berpendapatbahwa penuntutan hanya bisa dilakukan oleh jaksa penuntut umum yang punya private jaksa penuntutumum di kejaksaan agung yang nanti di second man kan atau ditugaskan di Otoritas Jasa Keuangan. 2) F-PKS (Kemal Azis Stamboel) __ Perlu kami sampaikan Negara yang basisnya pasarmodalnya, kami paham pasar modalnya bagus itu negara-negara common law seperti Amerika. Amerikamalah bahkan tidak punya kewenangan penyidikan. Inggris juga tidak punya kewenangan penyidikan.Kebetulan di negara common law yang kami sampaikan tadi Malaysia itu punya kewenangan baik kewenangan administrasi atau administrative Rosiding, punya kewenangan civil Rosiding atau perdata danpunya kewenangan pidana termasuk penuntutannya. Memang di negara-negara civil law seperti diIndonesia banyak sekali para juries yang tidak sepakat bahwa proses penyidikan dan penuntutan dalamsatu body, karena takut adanya kurang check in balance. Tetapi kenapa tadi disampaikan bahwa yangmana aja, memang sekarang ini komisi pemberantasan korupsi Pak yang punya kewenangan itu. Selain itu,kami tidak melihat atau sekurang- kurangnya belum melihat ada lembaga lain yang punya kewenangan proyustisia untuk penyidikan dan penuntutan dalam satu tubuh Pak. Bahwa dalam KPK itu pengadilannya punsudah sendiri, pengadilan tipikor. Karena memang dianggap kejahatan luar biasa. 3) F-PAN (PROF. DR. Ismed Ahmad) 156 __ Perdebatannya nanti kita lakukan di pansus, karena feeling saya, ini feeling, meskipun Pak Nyoman setuju tentang ini, ini di dalam anggota pansus kita ini ada beberapa anggota Komisi III yang saya tahu persis anggota Komisi III itu mempunyai semangat yang kuat terhadap proteksi terutama hal-hal yang menyangkut tentang kewenangan penyidikan polisi sama hal-hal yang menyangkut kewenangan penuntutan jaksa. Di cowel sedikit pasti akan halo-halo pasti itu akan nanti. Pasti itu akan nanti. Lebih baik energinya itu kita harapkan simpen lalu di pansus. Tapi yang penting pada rapat sore ini kita merumuskan pasal demi pasal yang itu menjadi amanat daripada rapat semalam. • Rapat Kerja (25 Oktober 2011) 1) F. PDIP (I.G.A. Rai Wirajaya, SE., MM) __ Terima kasih Pimpinan. Terkait dengan masalah sidik dan lidik ini kami sudah memberikan suatu catatan, bahwasanya masalah penyelidikan kami tetap pada berpegangan pada penyelidikan itu diberikan kepada PPNS, namun penyidikannya itu kembali ke kepolisian. 2) F-PG (Meutya Hafid) __ Poin ke enam, kewenangan pemeriksaan dan penyidikan. OJK memiliki alat kelengkapan sendiri dan mandiri dalam melakukan penegakan hukum, hal ini penting untuk mengatasi permasalahan yang timbul manakala melakukan tugas pengaturan dan pengawasan di sector jasa keuangan. Meskipun awalnya kami mengusulkan agar OJK memiliki kewenangan penuntutan namun fungsi penegakan hukum yang telah mencakup pemeriksaan dan penyidikan atau sidik kami pandang cukup dalam melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab yang utuh dalam proses penegakan hukum. 3) F-PKB (Otong Abdurrahman) __ Terakhir nomer 5, fraksi Partai kebangkitan bangsa berpendapat bahwa dengan adanya pengaturan mengenai perlindungan konsumen dan masyarakat serta ketentuan tentang pemeriksaan dan penyidikan dan ketentuan sanksi hukum baik administrative maupun pidana yang 157 tegas seperti yang diatur dalam RUU tentang otoritas jasa keuangan ini diharapkan dapat mendorong penegakan hukum di Indonesia menjadi berjalan lebih baik setidaknya bisa meminimalisir terjadinya tindakanmelawan hukum. 4) F-PDIP (I Nyoman Damantra) __ Ketiga menyangkut pelaksanaan penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil PPNS dalam undang-undang ini jangan sampai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana atau KUHAP .
F-PAN (PROF. DR. Ismed Ahmad) __ Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan oleh OJK namun kewajiban penuntutan dilakukan oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh perundang-undangan.... Keberhasilan Pansus OJK dalam menyelesaikan pasal-pasal yang controversial seperti pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan harus diberikan apresiasi yang sebesar-besarnya . Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menerima Keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata “dan penyidikan ” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata “dan penyidikan ” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. 158 [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, OJK telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Februari 2019, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Bahwa Para Pemohon berpendapat Pasal 1 angka 1 terhadap frasa “dan Penyidikan” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “Penyidikan” UU OJK yang memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK bertentangan dengan asas “ due proccess of law ” dalam Sistem Penegakan Hukum Pidana ( Criminal Justice System ) sebagai jaminan yang harus ada dalam Negara Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 , serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi seseorang yang disangka melakukan tindak pidana di sektor keuangan saat menjalankan proses penyidikan yang dilakukan oleh Lembaga OJK dimana seharusnya setiap warga negara mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 . II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING) PARA PEMOHON. Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (selanjutnya disebut UU MK), menyatakan bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang- undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka para Pemohon terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: 159 1. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK);
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut, Mahkamah Konstitusi RI telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi ( vide putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Atas hal-hal tersebut di atas, kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi perlu mempertimbangkan kembali persyaratan Para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 1 terhadap frasa ” dan Penyidikan ” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata ” Penyidikan ” UU OJK terhadap Pasal 1 ayat (3) dan 28D ayat (1) UUD 1945. 160 Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, OJK menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Berdasarkan Surat Permohonan dari para Pemohon pengujian a quo, identitas para Pemohon adalah sebagaimana tercantum dalam halaman 2 sampai dengan halaman 3 dan halaman 6 sampai dengan halaman 8 surat permohonan a quo yang pada pokoknya para Pemohon adalah Warga Negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat (Pemohon I), Dosen Universitas Surakarta (Pemohon I sampai Pemohon IV) dan karyawan di PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (Pemohon V dan Pemohon VI) . 2. Menurut OJK, hal yang disampaikan para Pemohon dalam permohonannya pada dasarnya merupakan permasalahan penerapan norma (implementasi), dan tidak terkait dengan konstitusionalitas norma yang dimohonkan untuk diuji. Hal ini telah disebutkan dalam beberapa pokok permohonan a quo , yaitu:
Pemohon I yang berprofesi sebagai Advokat, merasa akan mengalami kesulitan dalam melakukan pembelaan terhadap klien mengingat UU OJK tidak mengatur secara jelas hak-hak seorang tersangka dalam tindak pidana disektor jasa keuangan. Pemohon I menganggap tidak mendapatkan kepastian hukum atas proses hukum pidana di sektor jasa keuangan yang berada di lingkup kekuasaan lembaga OJK.
Pemohon I sampai dengan Pemohon IV yang berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta yang merasa dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK karena secara keilmuan hukum pidana yang dipelajari oleh Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon III, dalam pemberlakuan “ criminal justice system ” di Indonesia yang mengakui asas “ due process of law ” sebagai suatu proses yang harus dijalankan oleh Negara cq. Aparat Penegak Hukum yang telah diatur dalam KUHAP, tetapi hal tersebut diabaikan dengan berlakunya UU OJK sehingga menderita mengalami kerugian konstitusional.
Pemohon V sampai dengan Pemohon VI yang berprofesi sebagai karyawan di PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (selanjutnya 161 disebut PT SNP) yang merasa dirugikan karena adanya laporan dari salah satu bank kreditur ke Kepolisian dan saat ini sedang dalam proses hukum di Kepolisian karena disangka melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Hal ini menurut Pemohon tidak akan terjadi apabila OJK tidak memiliki kewenangan penyidikan.
Alasan Pemohon I yang mendalilkan telah terjadi kerugian konsitusional karena tidak diaturnya secara jelas hak-hak tersangka dalam UU OJK kurang tepat jika kaitkan dengan pasal-pasal yang diujikan dalam perkara a quo . Ketidakjelasan hak-hak tersangka dalam UU OJK selayaknya mengacu pada ketentuan yang berkaitan dengan kewenangan OJK dalam pemenuhan hak-hak tersangka pada proses penyidikan yang dilakukan oleh OJK dan Pemohon seharusnya melihat bagaimana praktik yang dilakukan oleh OJK berkaitan dengan pemenuhan hak-hak para pihak pada proses penyidikan oleh Penyidik OJK.
Terhadap alasan Pemohon I sampai dengan Pemohon IV yang berprofesi sebagai dosen/pengajar pada perguruan tinggi, OJK berpendapat bahwa norma pasal-pasal yang dilakukan pengujian adalah berkaitan dengan apakah OJK sebagai lembaga independen layak untuk diberikan kewenangan penyidikan dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan, sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) adalah ketentuan yang berkaitan dengan bagaimana penyidik menerapkan kewenangan penyidikan yang dimiliki. Berdasarkan KUHAP penyidik wajib melakukan proses penyidikan sesuai dengan hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP dan hal ini tentu tidak berkaitan dengan pemberian kewenangan penyidikan oleh lembaga tertentu termasuk OJK.
Alasan Pemohon V dan Pemohon VI yang menganggap bahwa telah dirugikan sebagai akibat dari laporan bank kreditur PT SNP kepada pihak kepolisian sehingga Para Pemohon saat ini menjalani proses hukum sebagai tersangka dengan dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan tidaklah dapat dijadikan dasar dalam menyatakan adanya kerugian konstitusional dari pasal-pasal dalam UU OJK yang dilakukan pengujian pada perkara a quo . Berdasarkan informasi yang diperoleh oleh OJK, 162 Pemohon V dan Pemohon VI bukanlah pihak-pihak yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik OJK. Pemohon V dan Pemohon VI ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri dalam dugaan tindak pidana umum dan bukan karena dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Dalam Persidangan Pendahuluan Permohonan a quo pada tanggal 18 Desember 2018, Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi telah memberikan saran dan kritik terhadap Permohonan dimaksud diantaranya terkait legal standing atau kedudukan hukum dari Para Pemohon (dalam hal ini Pemohon I sampai Pemohon IV) yang menurut Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi kurang spesifik karena tidak adanya kerugian konstitusional secara nyata terhadap Para Pemohon terkait dengan kewenangan penyidikan yang diatur dalam UU OJK.
Selain itu Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi juga berpendapat dalam permohonan a quo , para Pemohon tidak memberikan argumentasi yang eksplisit terkait dengan kondisi konkrit hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara posisi Pemohon sebagai akademisi dengan diberikannya kewenangan Penyidikan kepada OJK.
Selanjutnya, dalam persidangan perbaikan permohonan yang dibacakan oleh Pemohon pada tanggal 7 Januari 2019, Pemohon I sampai Pemohon IV tidak melakukan perubahan dalam menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon I sampai dengan Pemohon IV tetapi hanya menambahkan Pemohon V dan Pemohon VI yang menurut para Pemohon memiliki kerugian secara nyata terhadap kewenangan penyidikan yang diatur dalam UU OJK karena menjalani masa tahanan di Polda Metro Jaya.
Oleh karena itu, kiranya adalah tepat dan sudah sepatutnya jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 UU MK sehingga dengan demikian Permohonan Pemohon layak untuk dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). 163 10. Namun jika Yang Mulia Ketua/Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat yang berbeda, maka OJK menyerahkan kepada Yang Mulia Ketua/Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak, sebagaimana ditentukan oleh ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU- V/2007). III. PERMOHONAN PENGUJIAN YANG DIAJUKAN PARA PEMOHON TELAH DINILAI DAN DIPUTUS OLEH YANG MULIA MAJELIS MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERKARA NOMOR 25/PUU-XII/2014 YANG BERSIFAT FINAL AND BINDING 1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 60 UU MK menyatakan, ” Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang- Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. ” 2. Pada tanggal 14 Agustus 2015, Mahkamah Konstitusi telah memeriksa dan memutus rumusan keseluruhan Pasal 1 angka 1 UU OJK terhadap UUD 1945 dalam putusan perkara NOMOR 25/PUU-XII/2014, sehingga Pasal 1 angka 1 UU OJK selengkapnya menjadi berbunyi: “ Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah Lembaga yang Independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” 3. Berdasarkan pendapat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam persidangan tanggal 18 Desember 2018 yang dituangkan dalam halaman 13 risalah sidang perkara Nomor 102/PUU-XVI/2018, Yang Mulia Hakim Anggota Saldi Isra pada pokoknya menyatakan kewenangan penyidikan yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 UU OJK telah dinyatakan konstitusional dalam Putusan sebelumnya dan apabila ketentuan tersebut hendak dikoreksi maka Pemohon harus memberikan argumentasi yang jauh lebih kuat. 164 4. Berdasarkan hal tersebut di atas, setelah mempelajari Permohonan a quo , baik pada Surat Permohonan pertama maupun pada Surat Perbaikan Permohonan, menurut pandangan Pihak Terkait, materi muatan ayat yang dimohonkan pengujian a quo telah diuji dan diputus berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 sehingga __ tidak dapat dimohonkan pengujian __ kembali . Selain daripada itu, Pemohon belum memberikan argumentasi-argumentasi yang jauh lebih kuat atas permohonan pengujian Pasal 1 angka 1 UU OJK yang telah dinyatakan konstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU- XII/2014.
Selanjutnya, Putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final , yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat ( final and binding ). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK dan penjelasannya.
Dengan demikian, permohonan a quo tidak memenuhi kriteria sebagai permohonan yang dapat dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi. IV. PENJELASAN OJK TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN OLEH PARA PEMOHON Sebelum OJK menyampaikan penjelasan atas Materi Permohonan Para Pemohon, OJK terlebih dahulu akan menjelaskan tujuan pembentukan OJK dan dasar kewenangan penyidikan dalam UU OJK sebagai berikut:
Dasar Hukum dan Tujuan Pembentukan OJK 1.1. Pembentukan OJK melalui UU OJK disusun bersama antara Presiden (Pemerintah) sesuai kewenangan dalam Pasal 5 UUD 1945 dengan DPR-RI sesuai kewenangan dalam Pasal 20 UUD 1945.
Latar Belakang Kewenangan Penyidikan OJK 2.1. Pada prinsipnya, Pemerintah dan DPR selaku pembentuk undang- undang ( policy maker ) memiliki kewenangan yang disebut dengan open legal policy . Kewenangan tersebut memberikan kebebasan 168 kepada policy maker untuk membentuk norma tertentu sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi.
Pelaksanaan Kewenangan Penyidikan oleh OJK tetap Berlandaskan pada Asas Presumption of Innocence Dalam Koridor Due Process of Law serta Integrated Criminal Justice System. Setelah membaca dan mempelajari surat permohonan a quo , selain hal- hal yang berkaitan dengan keberatan pemohon atas pencantuman kewenangan penyidikan oleh OJK dalam UU OJK yang dianggap tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D UUD 1945, terdapat beberapa keberatan pemohon yang berkaitan dengan pelaksanaan penyidikan yang dianggap sewenang-wenang dan melanggar asas presumption of innocence , keberadaan penyidik dari instansi lain yang bersifat sementara dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, pelaksanaan penyidikan yang melanggar due process of law , dan mengaburkan integrated criminal justice system . Menanggapi hal-hal tersebut di atas, OJK memiliki beberapa pandangan sebagai berikut:
1.2. Dalam paham Negara Hukum, pada hakikatnya hukum sendirilah yang menjadi penentu segalanya sesuai dengan prinsip nomokrasi ( nomcrasy ) dan doktrin “ the Rule of Law and not of Man ”. Dalam kerangka ‘ the rule of Law’ , pengakuan bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi ( supremacy of law ), adanya persamaan dalam hukum dan pemerintah ( equality before the law ), dan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya dalam kenyataan praktek ( due process of law ). 175 3.1.3. Gagasan Negara Hukum dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan. Sehingga sistem hukum tersebut dibangun ( law making) dan ditegakkan ( law enforcing). 3.1.4. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum memiliki empat ciri _penting yaitu: _ a) Perlindungan hak asasi manusia; b) Pembagian kekuasaan; c) Pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan d) Peradilan tata usaha negara.
1.5. Sejalan dengan ciri Negara Hukum menurut Julius Stahl tersebut, dalam menjalankan pemerintahan, para aparatur negara harus berdasarkan pada undang-undang yang dibentuk sesuai dengan kewenangannya.
1.6. Sebagaimana dimuat dalam Naskah Akademik Pembentukan OJK dinyatakan bahwa OJK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus berlandaskan asas-asas prinsipil yang harus diterapkan secara utuh dan konsekuen, salah satunya ialah asas kepastian hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan OJK.
1.7. Hal ini dituangkan ke dalam rumusan pasal-pasal yang ada dalam UU OJK, dimulai dari tujuan, fungsi, tugas, dan wewenang OJK untuk melakukan pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan, termasuk dengan batasan kewenangan yang jelas dalam melakukan pelaksanaannya. Kemudian, struktur peraturan pelaksanaan di OJK yang wajib dibuat sebagai dasar hukum setiap aturan main dan/atau keputusan yang diambil OJK demi terjaminnya tata cara pelaksanaan administrasi negara yang baik dan benar.
1.8. Demikian pula dengan kewenangan penyidikan yang diatur secara spesifik dimulai dari pengenalan kewenangan penyidikan yang merupakan fungsi pengawasan OJK di sektor jasa 176 keuangan (vide Pasal 9 huruf c UU OJK). Kemudian, dasar acuan kewenangan penyidikan OJK yang tunduk pada koridor hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP [vide Pasal 49 ayat (1) UU OJK] hingga formasi Penyidik OJK yang terdiri dari Penyidik Polri dan Penyidik PPNS berikut dengan masing- masing kewenangannya dan kewajiban koordinasi dengan instansi terkait (vide Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51 UU OJK).
1.9. Berdasarkan uraian tersebut serta pendapat para filsuf ahli hukum di atas, menunjukkan bahwa pelaksanaan fungsi penyidikan OJK sejalan dengan asas supremasi hukum dimana pelaksanaannya didasarkan pada hukum (undang-undang) yang dibentuk oleh pemerintah dan DPR.
2.4. Dapat diinformasikan per tanggal 26 Januari 2019 ini pelaksanaan kewenangan penyidikan oleh OJK telah membuahkan 9 (sembilan) putusan inkracht dan 13 (tiga belas) perkara yang masih dalam proses di pengadilan. Dengan telah terdapatnya putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut berarti secara hukum formal dan material Majelis Hakim Pengadilan menerima, mengakui, dan memandang kesesuaian keseluruhan tindak pidana yang disangkakan, termasuk dengan kesesuaian proses penanganannya dengan koridor hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat dikatakan, kehadiran Penyidik OJK justru semakin menguatkan integrated criminal justice system di Indonesia pada kekhususan tindak pidana di sektor jasa keuangan . 3.2.5. Argumentasi para Pemohon yang menyatakan wewenang penyidik OJK secara khusus pada Pasal 49 ayat (3) huruf d, huruf f, dan huruf k melanggar asas ” due process of law ” dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari penyidik OJK karena sama sekali tidak mengaitkan pada KUHAP serta tidak berkoodinasi dengan aparat penegak hukum lainnya merupakan suatu yang tidak beralasan.
2.6. Sebagaimana diamanatkan dalam Naskah Akademik Pembentukan UU OJK dikatakan bahwa OJK berkoordinasi dengan penegak hukum dan instansi, lembaga dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan di bidang penegakan hukum 178 (vide angka 7 huruf b) halaman 23 sampai dengan halaman 24 Naskah Akademik Pembentukan OJK). Hal ini mengandung arti bahwa amanat koordinasi antara OJK dengan para penegak hukum pidana harus dilaksanakan. Sebagai contoh, OJK telah membuat landasan hukum terkait koordinasi dengan Jaksa selaku salah satu aparat penegak hukum melalui POJK Penyidikan (vide Pasal 6 Peraturan OJK Nomor 22/POJK.01/2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan ~ selanjutnya disebut POJK Penyidikan) dan tetap mengacu sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.
2.7. Lebih lanjut, koordinasi penindakan tindak pidana di sektor jasa keuangan ditindaklanjuti oleh OJK dengan membuat berbagai Nota Kesepahaman diikuti dengan Perjanjian Kerjasama bersama dengan beberapa institusi/lembaga yang memiliki fungsi penyidikan, antara lain dengan: Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksanaan Agung Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak–Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
2.8. Penting untuk digarisbawahi bahwa kerjasama yang telah terjalin ini dirasakan sangat mempermudah jalannya koordinasi pelaksanaan penyidikan sehingga penyidikan dapat dilaksanakan secara cepat, berbiaya ringan, dan sederhana.
2.9. Keuntungan dari lancarnya koordinasi antara Penyidik OJK, baik yang berasal dari Kepolisian Republik Indonesia maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari institusi lain dirasakan guna mewujudkan keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan dan stabilitas sistem keuangan yang menjadi marwah besar pembentukan OJK selaku regulator di sektor jasa keuangan.
2.10. Bahwa argumentasi para Pemohon yang menyatakan dalam UU OJK tidak terdapat adanya jaminan ” due process of law ” dalam proses penegakan hukum pidana (criminal justice 179 system) di sektor jasa keuangan telah melanggar adanya suatu jaminan atas kepastian hukum yang adil dalam penegakan hukum yang adil di negara Republik Indonesia yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak cukup bukti dan tidak beralasan karena OJK tetap mengacu pada KUHAP sebagaimana praktik yang selama ini telah dilaksanakan oleh Penyidik OJK.
2.11. Perlu Pihak Terkait informasikan bahwa OJK selama kurun waktu 7 (tujuh) tahun sejak berdiri telah menerima 3 (tiga) kali gugatan pra peradilan, yaitu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Bandung, dan Pengadilan Negeri Palu. Hasilnya seluruh putusan pengadilan tersebut telah menyatakan menolak/tidak menerima gugatan pra peradilan, atau dengan kata lain Majelis Hakim Pengadilan telah memandang proses penanganan perkara pidana sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh Penyidik OJK telah sesuai dengan prosedur sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk pula jaminan hak asasi manusia yang termaktub dalam due process of law .
2.12. Argumentasi yang didalilkan oleh Para Pemohon terkait OJK telah mengatur tentang acara sendiri, khususnya perihal penyidikan, melalui POJK Penyidikan adalah keliru. Pengertian dari Hukum Acara (dalam hal ini hukum acara formil) ialah “ Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberi dasar- dasar dan aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut ”. Hal ini tepat disandingkan pada KUHAP yang menyatakan ruang lingkup berlakunya KUHAP, yaitu untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan ( vide Pasal 2 KUHAP). 180 3.2.13. Sehingga apabila dibandingkan antara KUHAP dengan POJK Penyidikan adalah tidak sebanding dan salah alamat. POJK Penyidikan merupakan peraturan pelaksanaan tentang tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik OJK terkait adanya dugaan tindak pidana di bidang Perbankan, Pasar Modal, dan/atau Industri Keuangan Non-Bank. Kedudukan POJK Penyidikan ini sama halnya dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Polri sebagai pengaturan yang lebih teknis dari pelaksanaan kewenangannya, yaitu Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
3.1. Dalam rangka memenuhi kebutuhan penyidik OJK, berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU OJK dan penjelasannya, OJK diberikan hak untuk mempekerjakan penyidik yang berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun Pegawai Negeri Sipil. Pasal 27 ayat (2) “ OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ” Penjelasan Pasal 27 ayat (2) “...Pegawai negeri yang bekerja pada OJK dapat berstatus dipekerjakan atau status lainnya dalam rangka menunjang kewenangan OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan, atau tugas-tugas yang bersifat khusus. Pegawai negeri tersebut antara lain berasal dari pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan/atau Pejabat Penyidik Kepolisian. Hak dan kewajiban pegawai negeri tersebut disetarakan dengan hak dan kewajiban pegawai OJK. ” 3.3.2. Dipekerjakannya penyidik Polri dan Penyidik PNS merupakan salah satu upaya OJK untuk memperkuat pelaksanaan fungsi 181 penyidikan di sektor jasa keuangan karena sudah barang tentu yang dapat menjadi penyidik sesuai dengan KUHAP hanya berasal dari 2 (dua) unsur, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang ( vide Pasal 6 ayat (1) KUHAP).
3.3. Adapun terkait dengan kewenangan Penyidik OJK diatur dalam 2 (dua) tempat, yaitu bagi Penyidik Polri telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP dan bagi Penyidik PPNS diatur secara khusus dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Hal ini telah sesuai sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat ( 1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang- undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a ”. Hal ini memiliki 2 (dua) arti, yaitu: Pertama, kewenangan Penyidik PPNS hanya sebatas kewenangan yang diatur dalam undang-undangnya masing-masing; dan Kedua, dalam pelaksanaan tugasnya, penyidik yang berasal dari PNS tetap berkoordinasi dengan penyidik Polri.
3.4. Sehubungan dengan dalil para Pemohon yang menyadur Pasal 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN), tentu saja UU ASN tidak tepat dijadikan dasar hukum pada permasalahan a quo . Status kepegawaian di OJK tidak tunduk pada UU ASN karena berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU OJK, pihak yang bekerja di OJK berstatus sebagai pegawai OJK, bukan sebagai ASN. Begitu pula dengan seluruh penyidik Polri yang dipekerjakan OJK tidak tunduk pula dengan UU ASN, melainkan pada UU Nomor 2 Tahun 2002. Dengan begitu, penyidik Polri yang dipekerjakan di OJK tidak harus mengundurkan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) UU ASN. 182 3.3.5. Bahwa argumentasi para Pemohon kata ”dapat” pada Pasal 27 ayat (2) UU OJK berarti bersifat sementara sehingga keberadaan PPNS di OJK tidak didasarkan pada kewenangan temporar pada suatu masa atau rentang waktu tertentu saja.
3.6. Dalam Pasal 51 UU OJK telah mengatur ketentuan minimal penarikan kembali para Penyidik PPNS tersebut, yaitu 6 (enam) bulan dan sedang tidak menangani perkara. Ketentuan yang diatur dalam UU OJK ini mengandung arti bahwa alasan penarikan Penyidik PPNS tersebut harus dilakukan dengan cermat dan dipastikan tidak menghalangi jalannya proses penyidikan yang sedang berlangsung di OJK.
4.2. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, peran OJK sebagai pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan merupakan komponen penting dalam sistem perekonomian nasional. Selain itu, OJK menjalankan fungsi intermediasi bagi pelbagai kegiatan produktif di perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan nasional, terutama dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya negara Indonesia dalam Pasal 33 UUD 1945.
4.3. Oleh karena itu, apabila permohonan a quo __ dikabulkan dan diterimanya argumentasi Para Pemohon, maka hal tersebut akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugas pengawasan dan penegakan hukum dalam sektor jasa keuangan.
4.4. Selain itu, manfaat penegakan hukum sektor jasa keuangan terintegrasi yang selama ini telah terlaksana dan efektifnya penegakan hukum sektor jasa keuangan tidak akan dilaksanakan lagi, sehingga pada akhirnya perlindungan 183 terhadap konsumen di sektor jasa keuangan akan menjadi terbengkalai. V. PERMOHONAN MENGENAI AMAR PUTUSAN Sebagai penutup, sebagaimana telah Pihak Terkait jabarkan melalui poin-poin di atas, Pihak Terkait berkesimpulan permohonan pengujian Pasal 1 angka 1 terhadap frasa “dan Penyidikan” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “Penyidikan” UU OJK yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 merupakan kekhawatiran yang sifatnya bukan merupakan persoalan konstitutional, melainkan hanya teknis pelaksanaan penyidikan di OJK. Dengan demikian Pihak Terkait mohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan permohonan uji materi terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing .
Menolak permohonan para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima.
Menyatakan, ketentuan UU OJK Pasal 1 angka 1 terhadap frasa ”...dan Penyidikan...” tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menyatakan, ketentuan UU OJK Pasal 9 huruf c terhadap kata “Penyidikan” tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya, ex aequo et bono . Selain itu, Pihak Terkait mengajukan 3 orang Ahli yaitu Mahmud Mulyadi, Yunus Husein, dan Zainal Arifin Mochtar yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 23 April 2019 dan 2 Orang Saksi yaitu I Gusti Agung Rai Wirajaya dan I Gede Hartadi Kurniawan yang didengarkan keterangannya pada 184 persidangan tanggal 8 Mei 2019 dan pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: Keterangan Ahli 1. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum A. “Esensi PPNS OJK dalam Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana di bidang Jasa Keuangan: Suatu Sinthesa dari Indeterminisme dan Determinisme ” Peran dan fungsi negara dalam rangka criminal policy, khususnya dalam ruang lingkup penal policy (kebijakan hukum pidana), maka merupakan hak negara untuk “merumuskan dalam hukum pidana materill, perbuatan yang bertentangan nilai-nilai masyarakat dan mengancamkan hukumannya ( Ius Poenale ). Selain itu juga, terdapat hak negara untuk “menjatuhkan hukuman” yang mekanismenya dirumuskan dalam hukum pidana formil atau Hukum Acara Pidana( Ius Poeniendi ). Ius Poenale bermakna sebagai hak objektif negara untuk memasukkan atau membuat ancaman hukuman atas suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma dalam masyarakat. Ancaman ini dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana oleh negara sehingga bisa diberlakukan oleh negara melalui asas legalitas “ nullum delictum nulla poena sine prevea lege poenale” , tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali telah diatur terlebih dahulu dalam peraturan perundang- undangan. Sedangkan “ Ius Puniendi” yaitu hak subjektif negara untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku kejahatan yang telah melanggar aturan hukum pidana ( Ius Poenale ). Ius Puniendi biasa juga disebut hukum pidana formiil (Hukum Acara Pidana). Menurut Jan Remmelink bahwa “ Ius Puniendi” ini sering dikaitkan dengan persoalan kekuasaan yang dimiliki oleh negara untuk menjatuhkan pidana ( strafgewalt ) dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hak ini meliputi hak untuk menyidik, menuntut, penjatuhan pidana dan eksekusi pidana. Sehubungan dengan Ius Poenale dan Ius Puniendi di atas, maka telah melahirkan tiga aliran dalam hal pemidanaan, yaitu aliran klasik, aliran positif dan aliran neo-klasik. 185 Diskursus dari ketiga aliran di atas menyoal tentang pemidanaan dari sudut pandang paham indeterminisme (kehendak bebas) dan paham determinisme (tidak punya kehendak bebas). Penganut paham indeterminisme (kehendak bebas) berpendapat bahwa manusia mempunyai kehendak bebas yang tindakannya merupakan sebab dari segala keputusan kehendak tersebut. Sedangkan Penganut paham determinisme (tidak punya kehendak bebas) menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor- faktor biologis dan faktor-faktor lingkungan kemasyarakatan. Dengan demikian kejahatan adalah manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatan dan tidak dapat dikenakan pidana. Dalam kondisi ini, maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepada pelaku, tetapi yang diperlukan adalah tindakan- tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki (Mahmud Mulyadi, Kuliah Umum di Progrma Magister Ilmu Hukum FH Unsri, 16 April 2016). Aliran Klasik (clasical school) melahirkan dua teori tujuan pemidanaan, yaitu teori retributif (teori absolut) dan teori relatif ( deterrence ). Teori Retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “ morally Justifed ” (pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku (Aleksandar Fatic: 1995:
. Ciri khas teori retributif ini terutama dari pandangan Immanuel Kant (1724-1804) dan Hegel (1770-1831), Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu “ imperatif kategoris ”, yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri (J.G. Murphy: 1995:
. 186 Teori “ deterrence ”, Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect sebenarnya telah menjadi sarana yang cukup lama dalam kebijakan penanggulangan kejahatan karena tujuan deterrence ini berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan, dengan dua orang tokoh utamanya, yaitu Cessare Beccaria bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene (1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana balas dendam masyarakat (C. Ray Jeffery: 1977:
. Beccaria berpendapat bahwa hukum harus mampu menjamin kebahagian yang sejati dari sebagian besar masyarakat ( the greatest happiness of the great number ). Untuk menjamin kebahagiaan terbesar ini, maka pidana harus terlebih dahulu ditentukan di dalam undang- undang yang dibuat melalui kekuasaan legislatif, sebagai perwujudan dari prinsip kontrak sosial. Tujuan pemidanaan menurut Beccaria adalah mencegah seseorang untuk melakukan kejahatan, dan bukan menjadi sarana balas dendam masyarakat ( the purpose of punishment is to deter persons from the commission of crime and not to provide social revenge ). Oleh karena itu pidana yang kejam tidak membawa manfaat bagi kemananan dan ketertiban masyarakat. Upaya penanggulangan kejahatan menurut Beccaria lebih baik dengan melakukan upaya preventif daripada melakukan pemidanaan (J.M. van Bemmelen: 1991: 1-4). Aliran Positif, melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan ( treatment ) untuk resosialisasi dan perbaikan sipelaku. (Freda Adler et. al.: 1995: 59-61, lihat juga J. Robert Lilly et, al.: 1995: 22-25) Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku 187 kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan ( treatment ) dan perbaikan ( rehabilitation ) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan ( treatment ) dan perbaikan ( rehabilitation ). Setiap aliran pemidaanaan di atas, sangat mempengarui kebijakan setiap negara dalam menyusun substansi hukum pidana materil dan perkembangan hukum Acara Pidananya sebagai hukum pidana formil. Pengaruh Aliran positif, menjadikan penegakan hukum pidana melalui Criminal Justice System , ke luar dari bingkai konvensionalnya. Betapa tidak, Aliran positif yang lahir dipenghujung abad ke-18, meletakkan kajian kejahatan secara praksis dari ilmu alam dan ilmu sosial. August Comte (1798-1857) seorang sosiolog berkebangsaan Perancis, menerapkan pendekatan metode ilmu pengetahuan alam kepada ilmu-ilmu sosial melalui bukunya yang berjudul “ Cours de Philosophie Positive ” atau “ Course in Positive Philosophy ”, diterbitkan antara tahun 1830 dan 1842. Comte menyatakan bahwa “ There could be no real knowledge of social phenomena unless it was based on a positivist (scientific) approach” . Perkembangan ilmu pengetahuan saat itu juga dipengaruhi oleh Charles Darwin (1809-1892) dengan teori evolusinya. Lombroso menyatukan pemikiran Comte dan Darwin untu menjelaskan hubungan antara kejahatan dengan bentuk tubuh manusia. Lombroso menerbitkan bukunya yang berjudul “ L’uomo Delinquente” atau “ The Criminal Man ” pada tahun 1876, yang menandai bahwa terjadinya transformasi kajian mengenai kejahatan dari tataran yang abstrak (philosopis) ke ranah yang lebih konkrit melalui pendekatan metode ilmiah. Rehabilitasi yang diusung oleh aliran positif terhadap pelaku kejahatan merupakan rehabilitasi medis atas nama treatment berupa tindakan perawatan medis. Hal ini menjadikan pendekatan ilmu kedokteran menjadi idola dalam penegakan hukum pidana (John M. Wilson: 1965:
. Dalam kontek penyidikan, maka selain aparat penegak hukum, maka petugas medis (dokter) menjadi komponen yang utama untuk menentukan tindakan bagi pelaku 188 kejahatan. Hal ini merupakan cikal bakal awal dari lahirnya peranan sipil (katakanlah penyidik sipil) di luar aparat penegak hukum. Beberapa tujuan dari pemidanaan seperti yang telah diuraikan di atas telah menjadi suatu dilema dalam hal pemidanaan. Tujuan pidana dalam pandangan retributif dianggap terlalu kejam dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan tujuan pemidanaan sebagai deterrence dianggap telah gagal dengan fakta semakin meningkatnya jumlah pelaku yang menjadi residivis. Sementara tujuan pemidanaan rehabilitasi telah kehilangan arahnya. Paham rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan dalam perjalanannya tidak semulus yang diperkirakan karena paham ini juga banyak menuai kritikan. Kritikan pertama ditujukan pada kenyataannya bahwa hanya sedikit negara yang mempunyai fasilitas untuk menerapkan program rehabilitasi pada tingkat dan kebijakan yang menekankan penggunaan tindakan untuk memperbaiki ( treatment ) atas nama penahanan. Kritikan kedua, adanya tuduhan yang serius bahwa pendekatan yang digunakan oleh paham rehabilitasi adalah pendekatan yang mengundang tirani individu dan penolakan hak asasi manusia. Misalnya dalam hal proses pelaksanaan rehabilitasi ini tidak seseorang pun yang dapat memprediksi berapa lama pengobatan akan berlangsung ketika seorang tahanan segera diserahkan kepada dokter untuk disembuhkan atau diobati sebelum tahanan itu dibebaskan. Dalam hal ini juga sulit untuk mengontrol otonomi keputusan dokter. Menurut Lewis sebagaimana yang dikemukakan oleh Gerber McAnany bahwa sebagian besar metode treatment yang dilakukan dengan penuh kebaikan dan atas nama kemanusiaan, namun akhirnya tidak terkontrol (Jackson Toby: 1970:
. Upaya mengatasi dilema tujuan pemidanaan di atas, maka munculah aliran Neo klasik . Aliran ini berkembang pada Abad ke- 19 yang memusatkan perhatiannya tidak hanya pada perbuatan atau tindak pidana yang terjadi, tetapi juga terhadap aspek-aspek individual si pelaku tindak pidana ( Daad- dader Strafrecht) . Aliran Neo-Klasik ini lahir sebagai sinthesa dari aliran Klassik dan aliran Positif. Hal ini karena paham aliran Neo-klasik meyakini adanya kebebasan kehendak manusia ( free will/indeterminism ) dalam melakukan kejahatan, namun aliran Neo-Klasik melakukan beberapa perubahan dengan mulai mempertimbangkan adanya kebutuhan pembinaan 189 terhadap pelaku kejahatan ( Determinism ), disamping masih perlunya pemidanaan. Aliran Neo-Klasik mengakui bahwa kebebasan kehendak seseorang pelaku kejahatan untuk memilih sesuatu itu dipengaruhi oleh pathology , ketidakmampuan, gangguan kejiwaan dan kondisi lain yang memungkinkan seseorang melakukan kehendak secara bebas. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, dipertimbangkan alasan bahwa si pelaku mengalami gangguan jiwa, di bawah umur dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu melakukan kejahatan. Oleh karena itu aliran Neo Klasik menerima diberlakukannya keadaan-keadaan yang meringankan, baik dari kondisi fisik, lingkungan, maupun mental seseorang (Franks E. Hagan: 2013: 140-141). Perkembangan kejahatan saat ini begitu pesat, sehingga KUHP tidak mampu untuk menampung pengaturannya. Het recht hinkt achter de feiten aan . Sebuah ungkapan dalam Bahasa Belanda yang berarti hukum itu ketinggalan dari peristiwanya. Biasa juga dikenal dengan istilah moment opname, yaitu ketika suatu peraturan telah diundangkan, maka dengan sendirinya telah ketinggalan zaman. Ini menjadi alasan munculnya berbagai UU di luar KUHP, termasuk munculnya berbagai Peraturan Perundang-Undangan Administrasi yang juga mengatur ketentuan pidana di dalamnya ( administrative penal law ), sebagai sarana ultimum remedium untuk memastikan aturan norma-norma administratif tersebut ditaati. Kemunculan UU di Luar KUHP ini, alas filosofisnya sudah banyak yang mengarah ke aliran Neo Klasik . Misalnya UU Narkotika, selain penerapan pemidanaan, juga telah mengatur rehabilitasi terhadap pengguna dan pecandu. UU Tindak Pidana korupsi, selain penerapan pemidanaan yang ketat, juga telah mengatur treatment berupa rehabilitasi dalam bentuk pemulihan kerugian keuangan negara, dan lain sebagainya. UU OJK merupakan salah satu dari UU di luar KUHP yang juga merumuskan administratif penal law . Rumusan tindak pidananya melingkupi Pasal 52, Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu juga di dalam Pasal 9 huruf c UU OJK, meletakkan core crime -nya di lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 190 Tidak hanya OJK, sebagai contoh, salah satu institusi yang telah menerapkan hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). UU KPK mengandung administratif penal law pada Pasal 65, 66, dan 67 serta core crime nya berada di UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terlepas ada yang berpendapat yang membedakan Tindak Pidana Khusus dengan Tindak Pidana Administratif, menyatakan bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana khusus, berbeda dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang lebih bersifat administratif penal law , maka menurut pendapat Ahli, tidak perlu mendikotomi antara tindak pidana khusus dengan tindak pidana administratif. Hal ini karena akan mempersempit dan mempersulit upaya penanggulangan kejahatan dalam rangkaian criminal policy . Lagipula, dalam UU Khusus di luar KUHP yang memuat perumusan tindak pidana, maka juga akan mencantumkan delik yang domainnya kebanyakan berada pada wilayah pelanggaran administratif. Hal ini juga terdapat di rumusan Pasal 3 UU Tipikor, yang berbicara tentang penyalahgunaan kewenangan, yang sesungguhnya terminologi ini berada di wilayah kajian Hukum Administrasi Negara. Terminologi “Menyalahgunakan Kewenangan” tidak berada di dalam kajian hukum pidana, melainkan terminologi yang berada di bidang kajian Hukum Administrasi Negara. Oleh karena itu, untuk menentukan ada atau tidaknya suatu perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dapat ditarik ke tindak pidana korupsi, maka hukum pidana dan aparat penegak hukum harus meminta bantuan Ahli Hukum Administrasi Negara (HAN) untuk dijadikan parameternya. Konsep wewenang dalam kajian hukum administrasi dan kaitannya dengan tindak pidana korupsi merupakan dua aspek hukum yang saling terkait. Menurut R. Kosim Adisapoetra dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, bahwa titik taut “hukum adminsistrasi” berada di antara norma-norma hukum pemerintahan dan hukum pidana. Oleh karena itu hampir setiap norma hukum pemerintahan yang berdasarkan Hukum Administrasi di akhiri “ in cauda venenum ” (ada racun dibuntut atau diekor) dengan sejumlah ketentuan pidana ( R. Kosim Adisapoetra: 1983:
. Bahkan pasal 2 UU Tipikor juga tidak luput dari pelanggaran UU Adminstratif karena dalam Pasal 2 UU Tipikor menyebut secara jelas tentang PMH, oleh 191 karena itu harus dibuktikan peraturan perundang-undangan yang mana yang telah dilanggar oleh seseorang sehingga bisa dituntut sebagai tindak pidana korupsi. Peraturan perundang-undangan ini merujuk kepada Pasal 7 dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang Undangan. Perkembangan Aliran Neo-Klasik dalam Hukum Pidana ini, membawa pengaruh yang sangat besar pada Pembaharuan Hukum Acara Pidana. Sehubungan dengan paham Aliran Neo-Klasik inilah, maka HIR yang merupakan Hukum Acara Pidana yang masih bernuansa Aliran Klasik, diganti dengan KUHAP berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 yang telah memperhatikan kesimbangan perbuatan dan hak-hak pelaku kejahatan. Walaupun KUHAP telah bercorak Neo-Klasik, namun tentunya KUHAP juga dihadapkan pada kenyataan moment opname. Hal ini terlihat di dalam berbagai UU Pidana Khusus, telah mengatur juga Hukuma Acara Pidana Sendiri secara Khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHAP, misalnya mulai dari persoalan ruang lingkup kewenangan dan lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, dikenalnya sistem pembuktian terbalik, peradilan in absensia sampai pada perluasan alat-alat bukti. KUHAP telah memprediksi hal demikian, sehingga di dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP menegaskan bahwa penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik adalah (a) Pejabat polisi negara republik Indonesia; (b) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. KUHAP sebagai umbrella act Hukum Pidana Formil yang berfungsi menegakkan Hukum Pidana Materiil, maka sudah sejak awal pembentukannya telah melakukan prediksi atas berkembangnya UU di Luar KUHP, sehingga KUHAP secara konstitusional mengakui Hukum Acara Pidana khusus di atur dalam UU Pidana Khusus di luar KUHP. Hal ini di cantumkan dalam Bab XXI tentang Ketentuan Peralihan Pasal 284 ayat (2) bahwa “ Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara 192 diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi". Pasal 284 ayat (2) KUHAP di atas hadir untuk mengantisipasi perkembangan zaman bahwa tidaklah menutup kemungkinan timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang sama sekali belum terpikirkan pada saat mengkodifikasi hukum pidana dalam suatu kitab undang-undang. Demikian pula dengan perkembangan zaman, banyak kejahatan konvensional dilakukan dengan modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan. ketentuan Pasal 284 ayat (2) secara eksplisit membenarkan proses beracara di luar KUHAP. Bahkan dalam RUU KUHAP yang lagi disusun, di Pasal 6 RUU telah mengatur 3 jenis penyidik, yaitu Penyidik Polri, PPNS dan Penyidik Kelembagaan tertentu. Begitu juga dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan (Perbankan, Perasuransian, Pasar Modal, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya), banyak mengandung unsur-unsur deliknya yang mempunyai terminologi tersendiri yang bisa dipahami secara khusus oleh keilmuan dibidang masing-masing sektor jasa keuangan di atas. Oleh karena itu kebutuhan terhadap PPNS OJK yang profesional sesuai dengan bidangnya masing-masing merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Dengan demikian kewenangan penyidikan PPNS OJK dalam UU OJK merupakan suatu kebutuhan dan harus dipertahankan bahkan diperkuat, mengingat kejahatan di bidang jasa keuangan selalu melibatkan white collar crime , baik berupa corporate crime atau organized crime dalam rezim bussines related crime . Oleh karena itu lahirnya kewenangan penyidikan OJK terhadap tindak pidana di Bidang Jasa Keuangan ini, merupakan sebagai suatu konsekuensi logis dari perkembangan falsafah pemidanaan dalam Hukum Pidana yang bercorak Neo-Klasik , sehingga mempengaruhi perkembangan Hukum Acara Pidana yang secara khusus ditemukan dalam UU di Luar KUHP. Dengan demikian, kewenangan penyidikan OJK ini, bukan berada pada wilayah persoalan 193 konstitusional atau tidak konstitusional, melainkan suatu kebutuhan dalam Hukum Acara Pidana. B. Kewenangan Penyidikan OJK dalam kaitannya dengan Prinsip Due process of law dalam Sistem Peradilan Pidana. Terkait dengan perkembangan Aliran Neo-Klasik di atas, maka juga sangat berpengaruh terhadap mekanisme penegakan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana. Komponen Sistem Peradilan Pidana yang dulu secara konvensional terdiri atas Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, maka kini telah mengalami perluasan. Bahkan Ronal J. Waldron, selain mengakui Sistem Peradilan Pidana yang resmi sebagaimana terdiri atas sub- sub sistem di atas, juga menempatkan keikutsertaan masyarakat yang peduli membantu aparat penegak hukum sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana dalam arti luas. Keikutsertaan masyarakat ini, baik melalui institusi sosial atau kelompok masyarakat yang melakukan tindakan formal ataupun informal dalam rangka penanggulangan kejahatan (Mahmud Mulyadi: 2008: 91-92). Oleh karena itu, banyak muncul Lembaga Negera Independen yang berfungsi sebagai lembaga pendukung dalam penegakan hukum, misalnya KPK, BNN, PPATK, KOMNAS HAM, KPAI, KPI, OJK dan lain sebagainya. Tentunya setiap lembaga ini mempunyai kewenangan masing-masing sesuai dengan lingkup tugas yang diamanahkan dalam UU, baik untuk fungsi penal polic , maupun fungsi non penal policy . OJK, KPK, BNN adalah contoh lembaga independen yang mengemban fungsi penal policy , berupa adanya kewenangan penyidikan. Eksistensi kewenangan penyidikan ini sangat bergantung pada kebutuhan yang dibawa oleh UU khusus masing-masing. Semua fungsi kelembagaan ini, diarahkan untuk mencapai Keterpaduan Sistem Peradilan Pidana ( Integrated Criminal Justice System ) dalam penanggulangan kejahatan, yang mengemban tugas untuk (Harkristuti Harkirnowo: 2003:
:
Melindungi masyarakat dengan melakukan penanganan dan pencegahan kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahatan, serta melakukan tindakan terhadap orang yang merupakan ancaman bagi masyarakat; 194 2. Menegakan dan memajukan serta penghormatan terhadap hukum, dengan menjamin adanya proses yang manusiawi dan adil serta perlakukan yang wajar bagi tersangka, terdakwa dan terpidana. Kemudian melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan;
Menjaga hukum dan ketertiban;
Menghukum pelaku kejahatan sesuai dengan falsafah pemidanaan yang dianut;
Membantu dan memberi nasihat kepada korban kejahatan. Kewenangan penyidikan oleh OJK terhadap tindak pidana di bidang jasa keuangan, merupakan bagian dari Integrated Criminal Justice System yang tujuannya sesuai dengan prinsip-prinsip Due process of law sebagaimana diuraikan di atas. Keberadaan kewenangan penyidikan PPNS OJK ini sebagai konsekuensi logis dari tiga titik perhatian dalam Sistem Peradilan Pidana ( criminal justice system ), yaitu hukum pidana secara materil ( criminal law ), hukum pidana formiil ( the law of criminal procedure ), dan hukum pelaksanaan pidana ( the enforcement of criminal laws ). Semua ini ditujukan sebagai usaha untuk memberikan perlakuan yang adil kepada semua orang yang dituduh telah melakukan kejahatan. Keadilan ( Fairness ) dalam peradilan pidana yang dimaksudkan bahwa orang yang dituduh melakukan kejahatan harus diperlakukan secara wajar dan sama ( equal treatment ), netral ( impartiality ), dan hak-haknya diberikan perlindungan oleh undang-undang ( due process of constitutional protections ). (Mahmud Mulyadi: 2008:
. Dengan demikian, kewenangan penyidikan PPNS OJK tidak bertentangan sama sekali dengan prinsip-prinsip Due process of law , karena dengan adanya kewenangan penyidikan OJK ini, maka justru bisa melindungi hak-hak individu dengan menempatkan hanya orang yang benar-benar terpenuhi unsur deliknya, untuk dihadapkan ke pengadilan. Dengan kata lain, secara keseluruhan kewenangan penyidikan OJK ini dapat mencegah orang yang tidak berbuat dan tidak bersalah tidak menjadi “korban salah penerapan hukum” karena ketidakpahaman dalam proses penyidikan kasus-kasus pidana di bidang jasa keuangan. Inilah wujud eksistensi kewenangan penyidikan OJK 195 yang secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia, sesuai dengan prinsip-prinsip Due process of law. Due process of law merupakan kerangka dasar bagi pendirian sistem peradilan pidana yang memberikan perlindungan terhadap HAM seseorang. Konsesp due process of law berasal dari Magna Charta 1215 di Inggris yang mulai membatasi kekuasaan raja yang absolut sehingga selama ini HAM warga tidak terlindungi secara adil. Selama berabad-abad, prinsip ini diperluas untuk melindungi kebebasan warga Inggris melawan penindasan pemerintah (Alfi Arifian: 2017:
. Macna Charta adalah hasil peselisihan antara Paus, Raja John (Inggris) dan para baron, atas hak-hak raja. Mereka menuntut pembatasan kekuasaan Raja yang absolut dan mengharuskan Raja untuk membatalkan beberapa haknya, menghargai prosedur hukum semua keinginan raja harus dibatasi oleh hukum. Ringkasan dari isi Macna Charta ini antara lain:
Polisi ataupun jaksa tidak bisa menuntut seseorang tanpa adanya bukti yang jelas dan saksi yang sah;
Seseorang tidak boleh ditahan, ditangkap dan dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alas hukum sebagai dasar tindakannya;
Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur di tahan, Raja berjanji akan mengkoreksi kesalahannya; C. Kewenangan Penyidikan OJK dalam kaitannya dengan Pencapaian Tujuan Hukum (keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum) Asas kepastian hukum yang lahir dari aliran hukum positif (positivisme hukum) menyatakan bahwa hukum hanya bersangkut paut dengan hanya hukum positif saja. Pandangan ini dipengaruhi oleh pandangan John Austin dalam doktrin “ law is a command of the law giver ”. Maksudnya hukum adalah perintah dari kekuasaan tertingi atau dari yang memegang kedaulatan. Dalam penerpannya hukum yang dibuat oleh kekeuasaan tertinggi tersebut tidak harus didasarkan pada prinsip keadilan, prinsip moralitas baik dan buruk (W. Friedman: 1953:
. Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (closed logical system) , yang berarti bahwa keputusan-keputusan hukum yang tepat atau benar dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari 196 peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya (Lili Rasjidi: 1993:
. Dengan demikian, maka kewenangan penyidikan oleh OJK sama sekali tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum, walaupun dalam UU OJK tidak mencabut kewenangan penyidik Polri. Hal ini karena proses legislasi telah memberikan kewenangan penyidikan ini berdasar suatu peraturan perundang- undangan sebagai hukum positif. Sebenarnya terlalu parsial ketika hanya membicarakan kepastian hukum saja. Hal ini karena penegakan hukum pidana melalui Criminal Justice System tentunya diharapkan mencapai tujuan hukum berupa keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Tujuan hukum merupakan sasaran antara untuk mencapai tujuan utama, yaitu perlindungan hukum bagi seluruh warga masyarakat, sehingga tercapai keamanan, ketertiban dan kenyamanan dalam kehidupan; Dalam kenyataannya, terjadi kekeliruan dalam memahami makna tujuan hukum ini, bahkan banyak yang menghadapkan antara kepastian hukum dengan keadilan hukum. Akibatnya penegakan hukum tercerabut dari nilai-nilai dasar perlindungan hukum yang hanya menyajikan secara parsial, sporadis dan tidak bermanfaat. Suatu tujuan hukum tidak tidak akan tercapai jika penegakan hukum hanya mencapai kepastian hukum saja, atau keadilan hukum saja, atau kemanfaatan hukum saja. Memisahkan ketiga bagian dari tujuan hukum ini menjadikan penegakan hukum kehilangan arah dan cenderung memaksakan selera kepentingan masing-masing. Keadilan hukum terlahir dari aliran hukum alam. Hukum alam merupakan bagian dari ajaran moral, yang berarti hukum merupakan bagian dari sistem moral (A.P. d’ Entreves: 1963:
. Tujuan hukum menurut perspektif ini, bukan hanya untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat, tetapi juga untuk membentuk masyarakat yang baik dan anggota masyarakat yang baik secara moral. Dengan demikian, hukum merupakan instrument moral untuk membentuk masyarakat dan anggota masyarakat yang baik secara moral. Essensi dasar dari pandangan aliran hukum alam, diungkapkan dalam sebuah istilah “ ius quia iustum ” yang berarti hukum adalah keadilan atau hukum 197 adalah aturan yang adil. Keadilan dengan demikian adalah prasyarat suatu aturan agar bisa disebut sebagai hukum. Oleh karena itu, hukum yang tidak memenuhi cita rasa keadilan bukanlah sebuah hukum. Validitas hukum tidak terletak pada bentuknya, apakah undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain-lain atau yurisprudensi, tetapi pada substansinya yang mengadopsi nilai- nilai keadilan (Van Aveldoorn: 1982: keadilan sebagai hukum tertinggi atau terakhir yang berkembang dari sifat alam semesta, Tuhan, dan akal manusia. Keadilan sebagai esensi yang ditegaskan dalam aliran hukum alam ini, memberikan arahan atau pedoman bagi pembentuk undang-undang dalam proses pembentukan hukum. Selain itu juga keadilan harus dijadikan alat uji keabsahan hukum positif untuk dapat disebut sebagai hukum yang valid. Sedangkan lahirnya kepastian hukum dari paham positivisme hukum tidak terlepas dari sejarah di abad ke-14 M. Pada akhir abad ke 14, kekuasaan gereja semakin melemah dengan dikuasainya kepausan oleh Raja Prancis. Pada akhir abad ke 16 kekuasaan Raja di Perancis secara utuh berhasil menggenggam kekuasaan di tangannya. Dengan demikian dimulailah kekuasaan absolut di tangan Raja. Hal ini ditandai dengan adanya doktrin “hanya rajalah yang berhak membuat undang-undang” dan “pembentukan UU ini adalah kekuasaan atau kewenangan yang tidak terbatas”, “Raja adalah UU yang hidup”. Hal ini karena Raja adalah wakil Tuhan dimuka bumi sehingga Raja berhak mengurus dan memerintah warga kerajaan. Pada abad ke 16 ini juga munculnya ajaran (doktrin) arbitrium judicis (Pendapat hakim) yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk melakukan kualifikasi terhadap perbuatan pidana dan sanksi pidana menurut pendapatnya sendiri. Doktrin arbitrium judicis (Pendapat hakim) ini mendapat tentangan dan kritikan keras pada abad ke-18 di seluruh wilayah Perancis karena para hakim telah menjalankannya secara sewenang-wenang. Warga negara Perancis sangat mendambakan peradilan pidana yang didasarkan jaminan perlindungan hak-hak individu warga negara. Puncaknya adalah dengan terjadinya Revolusi Perancis pada tahun 1789. Hal ini mendakan berakhirnya peradilan pidana system “ arbitrium judicis (Pendapat hakim)” dan berakhirnya absolutisme kekuasaan Raja dan Hakim. 198 Salah seorang tokoh revolusi Prancis sekaligus pakar hukum pidana, yaitu Cesare Bonesana Marquise Beccaria (biasa dipanggil Cessare Beccaria) sangat keberatan dengan sifat semena-mena sistem yudisal dan pidana eropa pada saat itu, yang sangat kerasnya, mendapatkan pengakuan melalui penyiksaan dan benar-benar tergantung pada kehendak hati penguasa. Beccaria sangat berkepentingan merombak sifat kejam, berlebihan dan tidak bisa diperkirakannya hukuman. Menurutnya tidak masuk akal menghukum pelanggar hukum dengan hukuman yang tidak adil. Menurut Franks E. Hagan: 2013: 137-138, Beccaria berperan dalam penghapusan penyiksaan sebagai alat yang sah untuk mendapatkan pengakuan. Beccaria berpendapat “Hukuman harus sesuai dengan kejahatan”. Beccaria menawarkan prinsip-prinsip pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana:
UU harus dibuat oleh badan legislatif dan harus spesifik (lex scripta);
Peran hakim hanyalah menentukan kesalahan dan mengikuti dengan ketat pada ketentuan harfiah UU dalam menentukan hukuman. Hakim tidak boleh menafsirkan UU;
Tingkat kejahatan harus ditentukan berdasarkan bahaya yang ditimbulkan pada masyarakat dan didsarkan pada prisip kesenangan atau penderitaan;
Hukuman harus didasarkan pada tingkat keseriusan kejahatan dan kemampuannya mencegah kejahatan;
Hukuman tidak boleh melebihi apa yang diperlukan bagi pencegahan;
Berlebihnya bobot hukuman sering meningkatkan kejahatan yang dilakukan untuk menghindarkan hukuman;
Hukuman harus pasti, ketat dan jelas (lex scripta, lex stricta dan lex certa) 8) UU harus disusun dengan tujuan utama mencegah kejahatan. Lebih baik mencegah kejahatan dari pada menghukum;
Semua orang harus diperlakukan setara di hadapan hukum ( equality before the law ). Mountesqueu, teman Beccaria dan seorang tokoh revolusi Prancis, sejalan dengan Beccaria, menghendaki pemisahaan kekuasan fungsi-fungsi kelembagaan pembuat perundang-undangan (legislatif), fungsi pemerintahan (eksekutif), dan fungsi penegakan hukum (yudikatif). Ke tiga kekuasaan di atas 199 harus dipisahkan supaya hukum dan penegakannya tidak lagi terjebak dalam kekuasaan absolut kerajaan yang tirani, kejam, dan tidak manusiawi. Pengalaman pahit penegakan hukum dibawah doktrin Arbitrium Judicis, mempengaruhi pemahaman aliran hukum positif di dunia peradilan sehingga melahirkan aliran legisme, dimana hakim hanya dipandang sebagai sekedar “terompet undang-undang”. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu bahwa hakim-hakim rakyat tidak lain hanyalah corong yang mengucapkan teks undang-undang saja. Jika teks itu tidak berjiwa dan tidak manusiawi, maka para hakim tidak berhak merubahnya, baik tentang kekuatannya, maupun tentang keketatannya (Ahmad Ali:
. Legisme muncul untuk mengantisipasi masih adanya pengaruh kekuasaan para hakim yang saat itu menjadi subordinasi kekuasaan raja. Pendapat di atas mucul karena para tokoh revolusi Prancis menghendaki dan meyakini bahwa para wakil-wakil rakyat yang ditunjuk mengemban fungsi legislatif merupakan orang-orang yang tepat, berintegritas, berkeilmuan dan mengedepankan kepentingan rakyat, sehingga hukum yan dibentuk adalah hukum-hukum yang adil dan berkepastian serta bermanfaat bagi pencapaian kesejahteraan rakyat. John Stuart Mill sependapat dengan Bentham bahwa hukum positif hendaklah ditujukan pada pencapaian kemanfaatan (kebahagiaan). Stuart Mill mengemukakan hukum positif hendaknya didasarkan pada kegunaannya sebagai suatu stadar keadilan. Hakikat keadilan dalam pegertian ini mencakup semua persyaratan moral yang hakiki bagi kesejahteraan umat manusia (Satjipto Rahardjo: 2000:
. Berdasarkan berbagai pandangan di atas maka sesungguhnya antara keadilan hukum dan kepastian hukum, bukanlah tujuan hukum yang saling berhadapan dan saling menegasikan. Keduanya tak terpisahkan satu sama lain, sehingga penyatuan keduanya akan melahirkan kemanfaatan dalam penegakan hukum. Pemahaman yang memversuskan antara keadilan hukum dan kepastian hukum merupakan pemahaman yang kurang tepat. Bahkan Gustav Radbruch dalam teori tentang Ajaran Cita Hukumnya ( Idee des Rechts ), menyatakan bahwa aturan hukum positif yang berkepastian hukum harus memuat ajaran- 200 ajaran moral yang bernilai keadilan dam substansinya. Sehingga penyatuan keduanya akan melahirkan kemanfaatan hukum. Dengan adanya kewenangan penyidikan oleh OJK terhadap tindak pidana di bidang jasa keuangan ini, maka selain telah memperoleh legitimasi dalam perundang-undangan, juga inheren telah mengadopsi nilai-nilai keadilan. Hal ini sesuai dengan kebutuhan dan spesialisasi bidang sebagai ranah awal yang memungkinkan munculnya perbuatan pidana. Oleh karena itu kehadiran kewenangan peyidikan yang memahami anatomy of crime dari kejahatan di bidang jasa keuangan ini telah menempatkan keselarasan antara kepastian hukum dengan keadilan hukum. Penegakan hukum melalui Integrated Criminal Justice System dengan yang mengedepankan prinsip-prinsip Due process of law , pada akhirnya dapat mencapai tujuan hukum berupa keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum bagi semua pihak. Dengan demikian, kewenangan penyidikan OJK tidak bertentangan sama sekali dengan keadilan hukum dan kepastian hukum. Sebagai contoh, untuk menyidik tindak pidana korupsi, maka ada tiga institusi yang berwenang, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. Ternyata peran ketiga lembaga ini dalam menyidik tindak pidana korupsi berjalan dengan baik dan saling menghormati. Hal-hal berkaitan dengan koordinasi, tentunya itu menjadi masalah teknis koordinatif dan tidak perlu dipertentangkan soal konstitusionalitasnya. Sehubungan dengan hal di atas, maka pada tanggal 25 November 2014, OJK dan POLRI telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) tentang Kerjasama Penanganan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan. Ruang lingkup MoU ini, baik di bidang pencegahan, maupun di bidang penegakan hukum (termasuk persoalan penyidikan), bidang pendidikan dan pelatihan dan lain sebagainya. Pelaksanaan MoU ini, maka OJK dan POLRI bersama sama menyusun pedoman kerja yang dituangkan dalam berbagai bidang tadi. Hal inilah yang ahli maksudkan sebagai wujud dari Integrated Criminal Justice System sebagaimana telah Ahli kemukakan di atas. Kesimpulan dari keterangan diatas sebagai berikut:
Esensi kehadiran kewenangan penyidikan PPNS OJK terhadap tindak pidana di Bidang Jasa Keuangan ini, merupakan sebagai suatu konsekuensi logis dari perkembangan falsafah pemidanaan dalam Hukum 201 Pidana yang bercorak Neo-Klasik , sehingga mempengaruhi perkembangan Hukum Acara Pidana yang ditemukan dalam UU Khusus di Luar KUHP. Tindak pidana di sektor jasa keuangan sebagai tindak pidana khusus, banyak mengandung terminologi tersendiri sesuai dengan domainnya. Oleh karena itu kebutuhan terhadap kewenangan penyidikan PPNS OJK yang profesional sesuai dengan bidangnya masing-masing merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Dengan demikian kewenangan penyidikan PPNS OJK dalam UU OJK merupakan suatu kebutuhan dan harus dipertahankan bahkan diperkuat.
Kewenangan penyidikan yang diberikan kepada PPNS OJK, dapat memberikan perlindungan kepada hak-hak individu dan masyarakat. Kemampuan dan pemahaman yang valid terhadap delik-delik di bidang jasa keuangan oleh PPNS OJK, dapat mengeliminir resiko “salah penerapan hukum” dan error in persona . Dengan demikian Kewenangan penyidikan PPNS OJK tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Due process of law .
Kewenangan penyidikan oleh OJK terhadap tindak pidana di bidang jasa keuangan ini, selain telah memperoleh legitimasi dalam perundang- undangan, juga inheren telah mengadopsi nilai-nilai keadilan. Hal ini sesuai dengan kebutuhan dan spesialisasi di bidang jasa keuangan sebagai ranah awal yang memungkinkan munculnya perbuatan pidana. Oleh karena itu kehadiran kewenangan penyidikan yang memahami anatomy of crime dari kejahatan di bidang jasa keuangan ini telah menempatkan keselarasan antara kepastian hukum dengan keadilan hukum yang pada akhirnya membawa kemanfaatan hukum bagi semua pihak. Dengan demikian, kewenangan penyidikan OJK tidak bertentangan sama sekali dengan keadilan hukum dan kepastian hukum.
Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M A. Kewenangan penyidikan diluar penyidik Polri dan tindak pidana yang dapat disidik. Mengenai legitimasi pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 tentang pengujian Undang-Undang Kejaksaan, Prof. Andi Hamzah menjabarkan bahwa secara historis, Pasal 141 SV KUHAP Belanda, yang menjadi 202 sumber dari KUHP dan KUHAP di Indonesia, mengatur bahwa penyidikan tindak pidana dibebankan kepada 10 pejabat, diantaranya selain Jaksa dan Polisi, juga pejabat penyidik dibidang tertentu seperti Perikanan dan Bea Cukai. Jadi pada dasarnya, secara historis, kewenangan penyidikan tidak hanya dimonopoli oleh satu institusi melainkan menjadi kewenangan dari berbagai institusi sesuai dengan kebutuhan dan kekhususannya masing- masing. Saat ini di Indonesia, paling tidak ada 50 PPNS yang diberikan kewenangan menyidik tindak pidana tertentu. Selanjutnya, masih dalam Putusan Nomor 28/PUU-V/2007, Mahkamah memberikan pandangannya mengenai pendapat yang menyebutkan bahwa kepolisian adalah penyidik tunggal. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menjelaskan bahwa pada dasarnya kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh kepolisian adalah amanat dari undang-undang, yaitu undang-undang kepolisian. Dan oleh karena itu, terdapat peluang bagi institusi lain untuk juga memiliki kewenangan penyidikan sepanjang diatur oleh Undang- Undang. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang mengatakan bahwa “Badan-Badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang”. Begitupun halnya dengan adanya “diferensiasi fungsi” dalam hal ini kewenangan melakukan penyidikan, Mahkamah juga telah mengakui bahwa hal tersebut sepenuhnya diserahkan kepada pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden), baik sebelum adanya amandemen UUD 1945 dengan diakuinya penyidik pegawai negeri sipil didalam KUHAP, dan setelah adanya amandemen UUD 1945 dengan diberikannya fungsi penyidikan kepada beberapa institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Terkait hal ini, juga didukung dengan ketentuan dalam Undang-Undang Kepolisian, Pasal 2 juncto Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002, yang menyebutkan bahwa Instansi dan/atau badan pemerintah, dalam hal ini OJK, dapat melaksanakan fungsi kepolisian sepanjang diberikan mandat oleh undang-undang yang mendasarinya. Salah satu konsekuensi logis dari praktik multi-penyidik atas suatu tindak pidana adalah kemungkinan beberapa penyidik melakukan penyidikan untuk suatu tindak pidana yang sama atau setidak-tidaknya saling berkaitan. 203 Terkait hal ini, saya berpandangan bahwa permasalahan ini dapat diantisipasi dengan adanya komunikasi antara penyidik diantaranya melalui wadah komunikasi seperti yang diatur dalam Pasal 107 KUHAP dan komunikasi antara penyidik dan penuntut umum, sebagai dominus litis atau pengendali perkara berdasarkan Pasal 109 KUHAP. Kemudian, mengenai tindak pidana apa yang dapat disidik oleh OJK? Dalam Pasal 49 ayat (3) huruf c disebutkan bahwa kewenangan penyidikan meliputi tindak pidana di sektor jasa keuangan. Untuk mengetahui apa saja tindak pidana di sektor jasa keuangan tersebut, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 6 Jis Pasal 1 angka 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 UU OJK yaitu kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Ketentuan ini cukup memberikan penjelasan mengenai ruang lingkup tindak pidana apa saja yang dapat disidik oleh OJK. Sebagai informasi tambahan, dalam praktik peradilan pun eksistensi penyidikan yang dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan juga sudah diakui dengan ditolaknya beberapa permohonan praperadilan yang diajukan terhadap tindakan penyidikan OJK. Beberapa diantara permohonan praperadilan tersebut adalah Putusan Nomor 6/Pid.Pra/2019/PN.JKT.PST dengan pemohon M. Nuh Said dan Putusan Nomor 7/Pid.Pra/2018/Pn.Palu Oleh karena itu, Ahli berpendapat bahwa sepanjang undang-undang mengamanatkan kewenangan untuk melakukan penyidikan dan sudah diatur mengenai tindak pidana apa yang masuk kedalam ruang lingkup kewenangannya, maka kewenangan tersebut dapat dibenarkan. B. Kewajiban kordinasi dengan penyidik Polri, lembaga Praperadilan, penyerahan berkas perkara dan ketentuan lainnya mengenai hukum acara merujuk pada KUHAP Mengenai kekhawatiran berkenaan dengan hukum acara, mulai dari mekanisme kordinasi dengan penyidik Polri, penyerahan berkas perkara, sampai ketersediaan lembaga praperadilan sebagai sarana perlindungan hak dan kontrol terhadap penggunaan wewenang penyidik, perlu diperhatikan ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, 204 dijelaskan bahwa undang-undang tersebut (KUHAP) berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan. Oleh karena itu, maka ketentuan-ketentuan dalam KUHAP tetap berlaku untuk penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh OJK, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang a quo. Lebih lanjut mengenai pembahasan poin-poin yang dikemukakan oleh pemohon, pertama, terkait hubungan antara PPNS dan Polri. Dalam KUHAP, pada pokoknya pola hubungan antara penyidik PPNS dan penyidik Polri dapat dikategorikan dalam beberapa bentuk. Pertama, memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan. Kedua, kewajiban PPNS melaporkan penyidikan kepada Polri. Ketiga, adalah penyerahan berkas kepada penuntut umum melalui Polri. Keempat, kewajiban memberitahukan penghentian penyidikan kepada Polri dan penuntut umum. Dari poin-poin tersebut diatas, dapat dilihat bahwa relasi antara penyidik PPNS dan Polri bersifat kordinatif dan pengawasan guna kelancaran penyidikan yang dilakukan oleh penyidik PPNS. Oleh karena itu, apabila penyidik di lingkungan OJK dianggap sebagai penyidik PPNS, maka ketentuan dalam KUHAP tersebut juga berlaku bagi mereka. Sekalipun penyidik di lingkungan OJK tidak dianggap sama dengan penyidik PPNS, check and balance dalam penggunaan wewenangnya juga tetap merujuk pada KUHAP. Perlu dipahami bahwa check and balances terhadap rangkaian tindakan penyidikan baik oleh PPNS ataupun penyidik Polri pada dasarnya juga telah diatur dalam ketentuan-ketentuan lain dalam KUHAP. Beberapa contoh diantaranya adalah kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan, Pelapor, dan Terlapor paling lambat 7 hari setelah diterbitkannya surat perintah penyidikan sebagai bentuk perlindungan hak konstitusional pelapor dan terlapor. Contoh lainnya, kewajiban untuk memperoleh surat izin/ persetujuan penggeledahan dan atau penyitaan dari pengadilan dalam menjalankan kewenangan penggeledahan dan penyitaan juga merupakan bentuk check and balance dalam melaksanakan kewenangan penyidikan. 205 Kedua prosedur tersebut meskipun tidak diatur khusus dalam Undang- Undang OJK, tetapi berdasarkan Pasal 2 KUHAP, maka penyidik OJK tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan tersebut. Sebagai contoh, dalam praktik penegakan hukum di bidang perikanan yang dilakukan oleh PPNS Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, dalam hal penyidik akan melakukan penggeledahan dan atau penyitaan, Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 hanya menyebutkan bahwa penyidik berwenang melakukan penggeledahan dan atau penyitaan tanpa menjelaskan bagaimana prosedur dilakukannya penggeledahan dan penyitaan tersebut. Akan tetapi, merujuk pada Pasal 2 KUHAP, prosedur formal yang harus ditempuh oleh penyidik tetap merujuk ke prosedur penggeledahan dan penyitaan sebagaimana diatur oleh KUHAP, yaitu meminta izin/persetujuan dari ketua pengadilan negeri. Begitupun dengan tidak adanya pengaturan praperadilan dalam UU OJK yang dikhawatirkan pemohon bertentangan dengan prinsip negara hukum. Walaupun tidak diatur dalam UU OJK, bukan berarti dalam menjalankan kewenangan penyidikannya, penyidik OJK tidak dapat dipraperadilankan. Mekanisme praperadilan yang diatur dalam KUHAP tetap berlaku dalam penyidikan yang dilakukan oleh OJK atas dasar Pasal 2 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. Sebagai contoh, dalam UU Perikanan, yang menjadi dasar kewenangan PPNS KKP dan penyidik TNI AL untuk menyidik kejahatan perikanan juga tidak mengatur mengenai pranata Praperadilan. Akan tetapi, baik PPNS KKP dan Penyidik TNI AL juga beberapa kali pernah dipraperadilankan saat menyidik tindak pidana perikanan. Pengenyampingan ketentuan dalam KUHAP hanya dimungkinkan sepanjang undang-undang yang menjadi dasar pemberian kewenangan pada penyidik tertentu tersebut mengatur secara khusus. Contohnya mengenai kewenangan penggeledahan dan penyidikan KPK yang tidak memerlukan izin pengadilan. Kesimpulannya, (1) ketentuan mengenai upaya paksa, kewenangan terkait penyidikan, dan prosedur lain yang berkaitan, sepanjang tidak diatur secara khusus, prosedurnya tetap mengacu ke KUHAP. (2) mekanisme check and 206 balances terhadap tindakan penyidikan tetap ada dalam batas perlindungan yang telah diatur dalam KUHAP. C. Mengenai “status” penyidik di OJK Secara kelembagaan, merujuk pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK dapat dikategorikan sebagai State Independent Agency , yang berperan untuk melakukan pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan dan untuk mengefektifkan peran tersebut, OJK diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan. Oleh karena itu, status penyidik di lingkungan OJK juga bersifat khas. Untuk memahaminya, dapat dilihat dari ketentuan- ketentuan dan risalah rapat Rapat penyusunan RUU Tentang OJK Masa Persidangan II Tahun Sidang 2010-2011, hari Rabu, 1 Desember 2010 dengan Kemenkeu, Jampidsus, Bareskrim Polri dan BI dan hari Kamis, 2 Desember 2010 dengan Kepala Bapepam LK, dan Kementerian Hukum dan HAM sebagai berikut: Pertama, OJK dapat merekrut pegawai negeri, yang apabila merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Kepegawaian, juga meliputi anggota Polri. Pasal 27 ayat (2) OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri (termasuk pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan/atau pejabat penyidik kepolisian) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Penjelasan Pasal 27 ayat (2) untuk mengefektifkan tugasnya, OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri dari instansi lain atau dengan status lainnya. Pegawai negeri yang bekerja pada OJK dapat berstatus dipekerjakan atau status lainnya dalam rangka menunjang kewenangan OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan, atau tugas-tugas yang bersifat khusus. Pegawai negeri tersebut antara lain berasal dari pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan atau pejabat penyidik kepolisian. Hak dan kewajiban pegawai negeri tersebut disetarakan dengan hak dan kewajiban pegawai OJK. Dalam penjelasan pasal tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud sebagai Pegawai Negeri diantaranya adalah pejabat penyidik kepolisian (anggota Polri). Pandangan ini semakin jelas apabila merujuk pada maksud 207 pembuat undang-undang yang terdokumentasikan dalam risalah penyusunan undang-undang. Dalam risalah rapat tersebut, terlihat bahwa intensi pembentuk undang-undang untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK diikuti dengan maksud untuk merekrut pegawai negeri, baik pegawai negeri sipil ataupun anggota Polri, sebagai pelaksana kewenangan penyidikan. Perwakilan pemerintah menjelaskan terkait status PPNS berkaitan dengan pegawai OJK yang bukan pegawai negeri sipil bahwa untuk penyidik memang akan merekrut pegawai negeri untuk dipekerjakan di OJK, dan yang dimaksud pegawai negeri ini bisa dari sipil ataupun polisi. Terkait persoalan ini memang sempat memantik diskusi dari pembentuk undang-undang. Dalam suatu kesempatan, salah seorang anggota tim panja RUU OJK dari Fraksi Gerindra mengusulkan agar desain penyidik OJK dibuat seperti model Undang-Undang KPK dan tidak menggunakan terminologi PPNS, tetapi cukup penyidik. Pandangan ini juga direspon positif oleh ketua rapat dengan mengangkat isu mengenai mekanisme BKO, yang dirasanya kurang efektif karena anggota yang di BKO-kan bisa sewaktu-waktu ditarik oleh institusi asalnya. Pandangan ini direspon oleh pemerintah dengan menjelaskan bahwa terminologi PPNS digunakan agar pegawai negeri sipil yang memiliki kompetensi sebagai penyidik, tidak perlu keluar dari PNS apabila dipekerjakan sebagai penyidik oleh OJK. Begitupun halnya dengan kepolisian, pemerintah menggunakan terminologi pegawai negeri, daripada pegawai negeri sipil, untuk mengakomodir kepentingan mempekerjakan anggota Polri sebagai penyidik. “Usulan dari fraksi partai gerindra agar OJK dibuat seperti model undang- undang KPK. Lebih lanjut ia juga mengusulkan agar tidak memakai istilah PPNS, tapi cukup penyidik saja” “Ketua rapat menyinggung isu BKO yang dirasa kurang efektif karena bisa sewaktu-waktu ditarik oleh institusi asalnya” “Pemerintah menjelaskan bahwa sekalipun pegawai OJK bukan pegawai negeri sipil, tetapi payung hukum untuk (mempekerjakan) pegawai negeri sipil tetap dibuka karena ada kepentingan untuk membutuhkan PNS sebagai PPNS. Terminologi PPNS digunakan agar tidak perlu keluar dari 208 PNS namun tetap bisa menjadi penyidik di OJK. Begitupun Polisi yang akan dipekerjakan di OJK sebagai penyidik, itu juga memungkinkan. Oleh karenanya pasal itu kita sebut Pegawai Negeri, bukan Pegawai Negeri Sipil. (Halaman 732)” Kedua, anggota Polri dan Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di OJK sebagai penyidik ada dalam kerangka penyidik pegawai negeri sipil. Pasal 49 menekankan bahwa “pegawai negeri” dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil, yang dalam undang-undang OJK diberikan kewenangan-kewenangan khusus untuk melakukan tindakan tertentu dalam menjalankan fungsi penyidikan. Pasal 49 ayat (2) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Merujuk pada pasal tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan pegawai negeri dalam Pasal 49 ayat (2) adalah termasuk pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan atau pejabat penyidik kepolisian yang dipekerjakan di OJK. Pendapat ini berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian yang mendefinisikan pegawai negeri termasuk didalamnya anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya mengenai frasa “dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil” dalam Pasal 42 ayat (2) UU OJK, dikaitkan dengan pengertian Pegawai Negeri diatas, maka dapat disimpulkan sepanjang ada pengangkatan sebagai penyidik pegawai negeri sipil, maka baik penyidik kepolisian dan atau penyidik pegawai negeri sipil yang dipekerjakan di OJK berdasarkan Pasal 27 ayat (2) dapat menjalankan fungsi penyidikan dan memiliki kewenangan sesuai dengan yang terdapat dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Pemahaman ini sejalan dengan maksud awal dari pembentuk undang- undang yang terdokumentasi dalam risalah rapat penyusunan undang- undang sebagai berikut: “Pemerintah: Ada pegawai OJK yang non-PNS ada pegawai OJK yang PNS. Nanti masalah administrasi kan bisa kita atur dengan Menpan, dengan 209 Kementerian Keuangan, apakah itu BKO selama 5 tahun, nanti diperpanjang lagi itu biasa pak” “Ketua Rapat: jadi intinya, kan dia PNS yang diperbantukan kedalam OJK, jadi intinya OJK membuat klausul bahwa dia siap, bisa menerima perbantuan dari PNS itu” “Pemerintah: kemudian tadi yang soal Polri tadi itu pak, sebenarnya juga kita membuka saja payung hukum kalau nanti anggota Polri yang juga bekerja di OJK sebagai penyidik. Itu juga memungkinkan, tetapi kalau nanti Polri ga kasih misalnya, yaudah ga ada masalah pak, gitu. Jadi Pasal itu tetap kita katakan pegawai negeri. Kita gak bilang pegawai negeri sipil pak, karena Polri itu pegawai negeri, bukan pegawai negeri sipil” “Ketua Rapat: penyidikan ini Ahli tawarkan konsep begini, kita kasih kewenangan penyidikan Bapepam kepada OJK, iya kan? Karena memang ada undang-undang sektoral yang memerintahkan untuk itu otoritasnya berpindah ke Pasar Modal. Tapi karena UU ini tidak hanya berlaku untuk Pasar Modal, tetapi juga yang lain, harapannya undang-undang yang lain bisa menyesuaikan. Langkah komprominya adalah dikasih penyidikan tapi dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan instansi terkait”. “Pemerintah: memang begitu pak, memang sebagai PPNS tidak bisa jalan sendiri, harus dibawah kordinasi Polri. Yang kita maksud dengan kejaksaan itu juga harus melalui Polri”. Dari kutipan pasal-pasal dan pembahasan penyusunan RUU OJK diatas, maka Ahli berpandangan bahwa intensi pembuat undang-undang terkait pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK dan keinginan agar pegawai negeri sipil dan anggota Polri menjadi pelaksana kewenangan penyidikan tersebut di institusi OJK sebagai penyidik pegawai negeri sipil. Akan tetapi, terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh PPNS dalam UU OJK, perlu diperhatikan beberapa isu mengenai apakah mungkin pejabat penyidik kepolisian dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil? Apabila dimungkinkan, siapa yang dapat mengangkat penyidik kepolisian sebagai penyidik pegawai negeri sipil? Apabila merujuk pada Peraturan Pemerintah 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan 210 Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan PP Nomor 27 Tahun 1983, anggota Polri tidak dapat diangkat menjadi PPNS karena terdapat beberapa persyaratan yang tidak kompatibel dengan kepangkatan dan/atau kepegawaian anggota Polri. Akan tetapi, menurut pendapat Ahli, persoalan ini dapat diselesaikan dengan menerbitkan atau menyesuaikan peraturan pemerintah terkait pengangkatan penyidik pegawai negeri sipil untuk untuk menjalankan ketentuan yang diatur dalam undang-undang OJK. D. Rasionalisasi dan Urgensi Penyidik Khusus Terdapat beberapa alasan dalam memberikan kewenangan penyidikan bagi institusi lain diluar institusi kepolisian. Sebagai contoh dan perbandingan, dapat kita lihat dalam rasionalitas pemberian kewenangan menyidik tindak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Pertama, tingginya angka dugaan tindak pidana pencucian uang dan pada saat itu, tim perumus berpandangan bahwa satu institusi saja, dalam hal ini kepolisian, dirasa tidak sanggup untuk menindaklanjuti dugaan-dugaan tersebut. Kedua, multi-penyidik untuk tindak pidana tertentu juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses penegakan hukum. Dengan dibukanya peluang bagi beberapa institusi untuk menyidik suatu tindak pidana, diharapkan masing-masing institusi akan semakin terpacu untuk menegakkan hukum dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas penegakan hukum itu sendiri. Ketiga, untuk tindak pidana tertentu dibutuhkan pemahaman dan keahlian khusus. Seperti halnya dalam tindak pidana yang menjadi tindak pidana asal pencucian uang seperti tindak pidana perbankan, pasar modal, kehutanan, perikanan dan lain sebagainya. Akan sulit untuk mengoptimalkan proses penegakan hukum apabila aparat penegak hukum itu sendiri tidak menguasai suatu bidang tertentu. Untuk itulah diperlukan penyidik khusus, karena dianggap memiliki pemahaman khusus mengenai bidang tertentu. Kemudian untuk mengoptimalkan kemampuan penyidikannya, diatur mengenai pola kordinasi antara penyidik khusus tersebut dengan penyidik polri yang secara umum lebih berpengalaman dalam menyidik tindak pidana. 211 Sejalan dengan alasan-alasan tersebut diatas, perlu pula diketahui terkait alasan yang mendasari para penyusun undang-undang untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK dengan merujuk pada risalah rapat penyusunan rancangan undang-undang tentang OJK sebagai berikut: Perwakilan dari pemerintah menjelaskan urgensi untuk memiliki penyidik sendiri adalah untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum (merujuk dari pengalaman Bank Indonesia yang melaporkan dugaan tindak pidana ke Kepolisian namun tidak ada tindak lanjutnya). Yang kita maksud disini itu penyidikan, kita penyidiknya pak. Karena pengalaman selama ini kita sudah kirim penyelidikan ke kepolisian, itu butuh waktu lagi. Karena disana untuk gelar perkaranya aja tuh kadang-kadang itu butuh pengertian dan pengetahuan mendalam terkait transaksi pasar modal yang kadang-kadang kalau kita lihat itu bisa pidana tapi kadang-kadang rekan-rekan kita disana bisa ga lihat itu pak. Jadi kalau misalnya OJK dalam hal ini bapepam tidak diberi kewenangan, nanti makin banyak white colar crimes Merujuk pada kutipan tersebut, dapat dipahami bahwa keinginan untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK adalah sebagai bentuk perbaikan dari pengalaman penegakan hukum di bidang jasa keuangan sebelum disahkannya Undang-Undang OJK, yang dirasa masih belum efektif, karena banyak dugaan tindak pidana yang dilaporkan ke Polri yang tidak berhasil mencapai hasil yang diharapkan. Dengan demikian, beradasarkan alasan-alasan tersebut diatas, mengingat luas dan kompleksnya permasalahan dilingkungan pengawasan sektor jasa keuangan, Ahli berpandangan bahwa diperlukan penyidik khusus di lingkungan OJK yang diharapkan mampu mendeteksi adanya dugaan tindak pidana dan melakukan penindakan dengan lebih baik.
Zainal Arifin Mochtar SEJARAH PENGATURAN OJK OJK—lebih spesifiknya UU OJK—tidak lahir dari ruang hampa. Pengaturan tentang OJK muncul dari pemikiran tentang efisiensi dan efektifitas pengawasan sektor keuangan. Asumsi yang dibangun adalah untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas pengawasan sektor keuangan, maka 212 pengawasannya harus dibagi-pisah antara sektor keuangan makro dan sektor keuangan mikro. OJK kemudian difokuskan pada sektor keuangan mikro dengan spesifikasi sektor jasa keuangan. Sejarah pengaturan OJK dapat dirujuk pada ketentuan tentang Bank Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia—selanjutnya ditulis UU BI—disebutkan bahwa salah satu tugas Bank Indonesia (BI) adalah mengatur dan mengawasi bank (vide Pasal 8 huruf c UU BI). Lebih lanjut, tugas pengawasan bank dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan selambat-lambatnya lembaga pengawasan bank tersebut harus dibentuk pada 31 Desember 2002 (vide Pasal 34 UU BI). Meskipun perintah yang dicantumkan dalam UU BI memerintahkan per 31 Desember 2002 harus ada sebuah lembaga khusus yang melakukan pengawasan terhadap Bank, akan tetapi faktanya lembaga tersebut tidak terbentuk sesuai jadwal. Namun demikian, tidak lantas kewenangan untuk pengawasan bank dicabut. Kewenangan itu tetap ada, tetapi lembaganya saja yang belum terbentuk. Bahkan perubahan UU BI (yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004— selanjutnya ditulis UU No. 3 Tahun 2004) menegaskan eksistensi pengawasan bak oleh sebuah lembaga—yang belum dibentuk tersebut. Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 menyatakan, “lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.” Demikian, telah jelas bahwa embrio OJK tidak lahir dari ruang yang hampa. Embrio OJK lahir dari perintah UU BI untuk mengawasi bank yang diatur secara khusus untuk mengawasi jasa keuangan. Lebih lanjut, OJK itu adalah gabungan antara “separuh” Bank Indonesia dan Bapepam KL. Maka, pemahaman yang paling awal adalah, OJK merupakan gabungan dari kewenangan yang telah dimiliki di Bank Indonesia dengan kewenangan yang sebelumnya telah dimiliki oleh Bapepam LK. Maka, OJK merupakan gabungan dari keseluruhan kewenangan pada kedua lembaga 213 tersebut, diimbuhi dengan kewenangan lainnya yang diberikan oleh UU. Maka menjadi wajar, jika OJK saat ini mengerjakan tugas yang dulunya dikerjakan oleh Bapepam LK, termasuk kewenangan dalam hal penyidikan perkara tertentu. FILOSOFI PEMBERIAN KEWENANGAN KE OJK Dalam Pasal 6 UU OJK disebutkan bahwa OJK memiliki tugas pengaturan dan pengawasan terhadap (a) kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; (b) kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan (c) kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Untuk menjalankan tugas pengawasan terhadap tiga hal di atas, OJK diberikan delapan bentuk kewenangan yang salah satunya adalah penyidikan atas kegiatan jasa keuangan (vide Pasal 9 UU OJK). Norma penyidikan atas kegiatan jasa keuangan tidak dapat dibaca terpisah dengan kewenangan lainnya yang masuk dalam rumpun kewenangan pengawasan OJK. Selain melakukan penyidikan, dalam rumpun kewenangan OJK untuk melakukan pengawasan jasa keuangan, terdapat pula kewenangan untuk melakukan (a) pengawasan; (b) pemeriksaan; (c) perlindungan konsumen; dan (d) tindakan-tindakan lainnya (vide Pasal 9 huruf c UU OJK). Artinya, kewenangan penyidikan OJK sebenarnya adalah bagian dari atau rangkaian dari jenis-jenis kewenangan pengawasan yang diberikan ke OJK untuk melaksanakan pengawasan kegiatan jasa keuangan. Di mana kewenangan tersebut berasal dari tugas BI untuk mengatur dan mengawasi bank sebagaimana yang diperintahkan oleh UU BI (vide Pasal 8 huruf c UU BI). Apakah kewenangan penyidikan sedemikian lazim diterapkan ke sebuah lembaga? Untuk menjawab hal ini, patutlah kiranya disampaikan contoh pemberian kewenangan yang diperintahkan oleh undang-undang. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia— selanjutnya ditulis UU HAM—mencantumkan sebuah lembaga yang diberi nama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham). Lembaga ini mempunyai fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia [vide Pasal 76 ayat (1) UU HAM]. 214 Demi melaksanakan fungsi pemantauan, Komnasham diberikan wewenang oleh UU HAM untuk melakukan penyidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia (vide Pasal 89 angka 3 huruf b UU HAM). Berdasarkan UU HAM, diketahui bahwa pemberian kewenangan penyidikan—soal hak asasi manusia—ke Komnasham merupakan turunan dari tugas pemantauan pelaksanaan hak asasi manusia yang diberikan oleh UU HAM. Jika dibaca dengan seksama, norma tugas pemantauan pelaksanaan hak asasi manusia oleh Komnasham yang dinyatakan melalui kewenangan penyidikan selaras dengan tugas mengawasi bank/lembaga jasa keuangan yang dinyatakan dengan kewenangan penyidikan kegiatan jasa keuangan oleh OJK. Contoh kedua adalah penerapan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia—selanjutnya ditulis UU Kejaksaan. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa tugas dan wewenang kejaksaan adalah melakukan penuntutan atas kasus pidana. Akan tetapi, UU Kejaksaan ternyata tidak hanya memberikan kewenangan penuntutan saja, melainkan tugas dan wewenang lainnya. Salah satunya adalah tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang [vide Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan]. Berdasarkan norma yang dicantumkan dalam UU Kejaksaan, kewenangan penyidikan—yang mungkin saja oleh sebagian ahli hukum pidana dianggap bukan core bussines kejaksaan karena penyidikan adalah core bussines-nya kepolisian, misalnya—ternyata diberikan juga ke kejaksaan sepanjang dilakukan berdasarkan undang-undang. Dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan menyatakan, “kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. 215 Pemberian kewenangan penyidikan tindak pidana tertentu ke kejaksaan adalah perintah dari UU Kejaksaan. Dan norma ini harus dijalankan. Jika pemberian kewenangan penyidikan tindak pidana tertentu ke kejaksaan dimungkinkan—dan sudah terjadi—meskipun core bussines kejaksaan adalah penuntutan kasus pidana, maka kejaksaan wajib melaksanakannya karena hal tersebut adalah turunan dari tugas kejaksaan yang diperintahkan oleh undang- undang. Kewenangan penyidikan tiga lembaga (OJK, Komnasham, dan Kejaksaan) dapat disampaikan dalam tabel di bawah ini. Tabel Kewenangan Penyidikan Lembaga Lembaga Kewenangan Objek Penyidikan Dasar Hukum OJK Penyidikan Kegiatan jasa keuangan Pasal 8 huruf c UU BI; Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK Komnasham Penyidikan Pelanggaran hak asasi manusia Pasal 89 angka 3 huruf b UU HAM Kejaksaan Penyidikan Tindak pidana tertentu Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan Selanjutnya, apakah pemberian kewenangan penyidikan terhadap lembaga- lembaga untuk objek penyidikan dianggap bertentangan dengan UUD 1945? Pertanyaan tersebut sebelumnya harus dimulai dulu dengan pernyataan sedemikian, “apakah pembentukan lembaga-lembaga tertentu dianggap bertentangan dengan UUD 1945? Pembentukan lembaga-lembaga tertentu—atau spesifiknya lembaga-lembaga negara tertentu saat ini tidak dapat dinafikan. Kebutuhan membuat lembaga- lembaga tersebut didasarkan pada kebutuhan untuk menjawab perkembangan hukum yang ada dalam masyarakat sehingga lembaga-lembaga wajar adanya dan bahkan diperintahkan oleh UUD 1945. Misalnya, untuk menyelenggarakan pemilihan umum, UUD 1945 memerintahkan dibentuk sebuah komisi pemilihan umum [vide Pasal Pasal 22E ayat (5) UUD 1945]. Atau untuk melakukan 216 pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab negara dibentuk suatu Badan Pemeriksa Keuangan (vide Pasal 23E ayat (1) UUD 1945). Masih banyak lagi lembaga-lembaga yang dibentuk oleh undang-undang yang merupakan pengejawantahan dari UUD 1945. Pembentukan lembaga-lembaga tersebut adalah suatu kebutuhan yang eksis karena perkembangan hukum serta perkembangan kebutuhan manusia. Nyata sudah bahwa setiap lembaga juga dilekati dengan tugas dan kewenangan tertentu yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan sebagaimana diperintahkan oleh UUD 1945 dan/atau undang-undang. Sehingga filosofi pemberian kewenangan—apapun jenis kewenangannya—ke lembaga- lembaga tersebut adalah pengejawantahan dari perintah peraturan perudang- undangan di mana konstitusi menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan uraian di atas, maka pemberian kewenangan penyidikan kegiatan jasa keuangan ke OJK (vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK) tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan sebagai berikut:
Kewenangan penyidikan OJK atas kegiatan jasa keuangan tidak lahir dari ruang hampa. Ia diperintahkan oleh UU BI juncto UU OJK.
Kewenangan penyidikan OJK—dan kewenangan serupa yang diberikan ke lembaga-lembaga tertentu atas objek penyidikan tertentu—merupakan konsekuensi logis dari filosofi eksistensi lembaga-lembaga untuk menjawab kebutuhan perkembangan hukum dan perkembangan kebutuhan/kepentingan manusia yang sekaligus menjadi jaminan keselarasan dengan norma Negara Indonesia adalah negara hukum. Keterangan Saksi 1. I Gusti Agung Rai Wirajaya Saksi adalah salah satu anggota panitia khusus dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang OJK sekitar tahun 2009-2011. Berkaitan dengan Pokok Permohonan dalam Pengujian UndangUndang OJK ini, menurut hemat Saksi, sangat penting untuk memahami latar belakang pembentukan lembaga OJK. Pada saat itu, DPR dan pemerintah bersepakat untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK. 217 Sebagaimana diketahui bersama, pembentukan Undang-Undang OJK merupakan amanah dari Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia. Selain itu pula, kita sadari bersama bahwa teknologi dan produk-produk jasa keuangan sangat berkembang pesat sedemikian kompleks, dinamis, dan saling terkait, sehingga banyak membawa dampak negatif apabila tidak segera diantisipasi dengan mengintegrasikan pengaturan dan pengawasan di seluruh industri jasa keuangan dalam sebuah lembaga yang independen. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang, memberikan perhatian besar terhadap perkembangan sektor jasa keuangan dengan mengupayakan terbentuknya kerangka pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi dan komperhensif. Selain itu pula, pada saat pembahasan RUU OJK antara DPR dengan pemerintah telah disepakati bahwa Lembaga OJK haruslah mencakup pula fungsi perlindungan konsumen sektor jasa keuangan yang dirasakan sangat penting karena banyak dampak negatif dari perkembangan industri jasa keuangan yang menimpa masyarakat konsumen sektor jasa keuangan secara langsung. Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi OJK dalam melakukan pengaturan dan pengawasan, serta perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Pada saat itu DPR dan pemerintah telah sepakat untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK guna memperkuat tugas dan fungsinya yang telah disepakati sebelumnya. Kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK memang pada awalnya adalah mempertimbangkan adanya kewenangan penyidikan yang diberikan kepada Lembaga Badan Penanaman Pasar Modal berdasarkan Undang-Undang Pasar Modal. Namun demikian, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan di DPR pada saat itu, tidak mungkin OJK yang telah memiliki kewenangan pengaturan dan pengawasan di seluruh industri jasa keuangan hanya diberikan kewenangan penyidikan di pasar modal. Sehingga dengan demikian, karena kewenangan OJK meliputi seluruh industri jasa keuangan yang di dalamnya meliputi perbankan, pasar modal, asuransi, industri keuangan nonbank, dan industri jasa keuangan lainnya, maka DPR dan pemerintah menggunakan open legal policy guna memberikan kewenangan penyidikan 218 kepada OJK yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Berkaitan dengan kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK berdasarkan Undang-Undang OJK, pada saat itu DPR bersama pemerintah telah mempertimbangkan dari berbagai aspek, termasuk mengenai pelaksanaan kewenangan penyidikan yang dilaksanakan berdasarkan KUHAP dan pelaksanaan kewenangan penuntutan yang tetap dilaksanakan oleh jaksa agung, sehingga hal ini tidak melanggar due process of law dalam sistem penegakan hukum tindak pidana di Indonesia. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK telah melalui serangkaian diskusi yang panjang antara DPR dengan pemerintah, serta melibatkan berbagai pihak terkait untuk memberikan pandangan-pandangan terkait diberikannya kewenangan penyidikan kepada OJK dan telah mempertimbangkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang- Undang Dasar 1945. Menurut saksi selama pembahasan kewenangan penyidikan, telah mengundang pihak kepolisian dan pihak kejaksaan sebanyak dua kali untuk berkoordinasi dan memberikan masukan. Dengan adanya kewenangan penyidikan bukan berarti melemahkan kepolisian karena ini kewenangan penyidikan menyangkut masalah keuangan, dan masih ada yang tidak sepenuhnya memahami posisi kewenangan ini pada saat itu, dan setelah didiskusikan dengan pihak kepolisian dan kejaksaan bisa diperbantukan dari pihak kepolisian untuk menindaklanjuti ketika terjadi permasalahan- permasalahan pidana, seperti kasus KLBI, BLBI, juga dengan kasus Century, dan bank Global. Nah, dimana kasus-kasusnya tidak bisa terselesaikan dengan baik. Agar latar belakang permasalahan tersebut bisa terurai dengan baik, sehingga sepakat bersama pemerintah untuk memasukkan penyidikan ini terbatas dalam rangka penyidikan terhadap kasus-kasus yang terjadi di bidang keuangan ini sendiri, tidak dalam rangka penuntutan. Jika ada permasalahan di perbankan, pasar modal, maupun industri keuangan nonbank, maupun asuransi tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengurai permasalahan yang terjadi tidak seperti di pidana umum. 219 Fakta selama ini, ketika penyidikan ini masuk ke Undang-Undang OJK, sebagian besar yang masuk sebagai PPNS di OJK adalah mantan-mantan pegawai yang bekerja di Bapepam-LK, yang dsepakati sebelum memulai berdirinya Otoritas Jasa Keuangan. Dalam perjalanannya, dapat kita lihat bahwa yang memimpin penyidikan itu berbintang tiga dari kepolisian, Kemudian yang saksi mendapat informasi bahwasannya terkait remunerasi di internal, sehingga diberikan kesempatan ada petugas-petugas penyidik yang dididik, walaupun sebelumnya sudah ada petugas PPNS yang ditugaskan untuk melakukan penyidikan di dalam kegiatan penyidikan di Otoritas Jasa Keuangan. Ketika ada permasalahan sebelum dilakukan pelimpahan ke kepolisian, tentunya pihak-pihak kepolisian sudah yang ada di OJK telah melakukan penyidikan di dalam OJK itu sendiri. Memang benar di Undang-Undang Bank Indonesia, tidak ada penyidikan, memang ada penugasan dari Undang-Undang Bank Indonesia untuk membentuk lembaga jasa keuangan yang independen. Undang-Undang OJK ini muncul memang atas dasar undang-undang tersebut. Namun, dalam perjalanannya, menginginkan adanya suatu lembaga yang terintegrasi, jika melihat, kasus Bank Global dan kasus Bank Century, Saksi menanyakan kepada Bank Indonesia dan Bapepam-LK, pada saat itu, yang dimiliki oleh Bank Global maupun Bank Century sebatas izin prinsip, izin prinsip keikutsertaan dalam investasi pasar modal karena Bank Global dan Bank Century ini hanya izinnya dari Bank Indonesia saja. Dalam rapat dengar pendapat di komisi, terkesan ada seperti pelepasan tanggung jawab antara Bank Indonesia dengan Bapepam-LK. Atas dasar inilah Saksi mengusulkan sebuah lembaga terintegrasi di bidang jasa keuangan yang kemudian diberi nama Otoritas Jasa Keuangan.
I Gede Hartadi Kurniawan Saksi adalah perwakilan dari Asosiasi Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Seluruh Indonesia, Saksi menjabat sebagai Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Dewan Pengurus Pusat Perbarindo periode 2018-2022. Sebagai salah satu praktisi dari industri bank perkreditan rakyat, Saksi mewakili dari industri BPR, berpendapat bahwa fungsi penyidikan pada 220 Otoritas Jasa Keuangan merupakan suatu kewenangan yang sangat membantu industri BPR apabila terjadi suatu permasalahan atau fraud yang terdapat di dalam industri BPR sebagai akibat kesalahan satu ataupun kesalahan beberapa oknum atau orang yang bekerja di dalam industri BPR, khususnya terhadap kasus-kasusnya yang berkaitan dengan tindak pidana. Hal ini karena penyidik-penyidik yang bekerja pada Otoritas Jasa Keuangan tentunya sangat paham terhadap perhitungan di dalam neraca serta perhitungan rugi, laba, dan juga dengan tingkat kesehatan bank pada suatu BPR, sehingga penanganan apabila terdapat suatu kasus pidana dan tentunya juga ada unsur pembinaan dan pengawasan terhadap industri BPR. Otoritas Jasa Keuangan dengan fungsi pembinaan terhadap industri BPR yang dimilikinya sudah tentu selalu berupaya menyelamatkan industri BPR itu sendiri dari kemungkinan tindak pidana yang dilakukan oleh oknum- oknum yang bekerja di dalam industri BPR. Hal ini tidak terlepas juga dengan efisiennya pengawasan, pembinaan dengan fungsi penyidikan di dalam tugas dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan. Sehingga dengan satu atap, maka penanganan suatu kasus dapat dikerjakan dengan lebih efektif dan efisien. Saksipribadi juga pernah mengalami suatu penanganan kasus yang terindikasi tindak pidana pada era BPR masih di bawah pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia dengan era sekarang di bawah pengawasan dan pembinaan Otoritas Jasa Keuangan. Pada waktu era Bank Indonesia yang tidak mempunyai fungsi penyidikan dirasakan bahwa dengan tidak satu atapnya fungsi pembinaan dan fungsi penyidikan, maka penanganan suatu kasus perkara yang terindikasi ada tindak pidana di industri BPR waktu penanganannya cenderung lebih lambat dan pada era sekarang ketika seorang penyidika yang bertugas di OJK, baik seorang pejabat dari kepolisian ataupun PPNS sudah pasti pejabat-pejabat tersebut sangat memahami alur laporan keuangan di industri BPR, serta bisa menyesuaikan dengan bijaksana dan dengan tujuan menyelamatkan industri- industri BPR itu sendiri demi stabilitas perokonomian di lingkungan BPR ataupun regional BPR tersebut, dan waktu penanganan juga lebih cepat karena lebih efisien di dalam satu atap. 221 [2.6] Menimbang bahwa Pemohon, Presiden dan Pihak Terkait menyampaikan kesimpulan tertulis masing-masing bertanggal 15 Mei 2019 dan 16 Mei 2019 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Mei 2019 dan 16 Mei 2019, yang pada pokoknya masing-masing tetap pada pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah ihwal pengujian konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253, selanjutnya disebut UU 21/2011), sehingga sesuai dengan 222 ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo . Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; 223 c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah Pasal 1 angka 1 setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011 yang rumusannya masing-masing adalah sebagai berikut: Pasal 1 angka 1 Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU- XII/2014]. Pasal 9 huruf c Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
...................... b....................... c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV dalam permohonannya menerangkan kualifikasinya sebagai perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta dengan menyertakan bukti Nomor Induk Dosen Nasional 0608047501 untuk Pemohon 224 I (Bukti P-4), Nomor Induk Dosen Nasional 0601108501 untuk Pemohon II (Bukti P-9), Nomor Induk Dosen Nasional 0629017603 untuk Pemohon III (Bukti P-11), dan Nomor Induk Dosen Nasional 0604118703 untuk Pemohon IV (Bukti P-14);
Bahwa khusus Pemohon I selain menjadi Dosen juga berprofesi sebagai Advokat dengan Kartu Advokat dengan Nomor 17.01636 (Bukti P-6) dan juga merupakan anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) dengan Nomor Anggota H-68 01 17 (Bukti P-5). Sebagai seorang advokat, Pemohon I merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya ketentuan pasal a quo , karena menurut Pemohon I dengan berlakunya ketentuan a quo Pemohon I akan mengalami kesulitan memberikan bantuan hukum jika ada klien yang memiliki permasalahan di bidang jasa keuangan. Menurut Pemohon I, UU 21/2011 tidak mengatur dengan jelas mengenai hak-hak yang dimiliki oleh seseorang yang disangka melakukan dugaan tindak pidana di sektor keuangan, seharusnya dengan adanya asas presumption of innocent , sejak awal dimulainya penyidikan hak tersangka sudah diatur di dalam undang-undang sebagai wujud jaminan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia. Terhadap hal ini, Mahkamah berpendapat, kesulitan memberikan bantuan hukum ketika Pemohon I bertindak sebagai seorang advokat sebagaimana diuraikan di atas tidaklah menggambarkan kerugian hak konstitusional secara faktual atau potensial merugikan Pemohon I yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011. Sebab, keberlakuan ketentuan a quo sama sekali tidak menghalangi Pemohon I untuk memberikan bantuan hukum kepada seseorang yang disangkakan melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan;
Bahwa selain itu, Pemohon IV menguraikan pada saat menyelesaikan pendidikan Strata-2, Pemohon menyusun tesis mengenai lembaga OJK. Pemohon melakukan penelitian tahun 2013 pada saat sedang dirancangnya pembentukan lembaga OJK. Dari hasil penelitiannya, Pemohon tidak menemukan dalam rancangan pembentukan lembaga OJK yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsi pengawasannya lembaga OJK diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. Namun dalam perkembangannya 225 lembaga OJK diberi kewenangan penyidikan seperti lembaga penegak hukum tanpa adanya penjelasan tujuan diberikannya wewenang Penyidikan tersebut. Pemberian kewenangan yang tanpa penjelasan ini menimbulkan kerugian bagi Pemohon, karena berakibat Pemohon tidak dapat menjelaskan latar belakang diberikan kewenangan penyidikan ini kepada Mahasiswa dan pada forum- forum akademis. Menurut Mahkamah apabila dikaitkan dengan kapasitas Pemohon IV yang juga merupakan dosen, seandainya memang benar tidak ditemukan penjelasan ihwal kewenangan penyidikan OJK tersebut, hal demikian bukanlah kerugian konstitusional sehingga tidak dapat dijadikan sebagai alasan kerugian konstitusional karena dengan tidak ditemukan penjelasan dimaksud, secara akademis, justru dapat menjadi bahan kajian dan penelitian lebih lanjut bagi Pemohon IV terutama terkait dengan proses pembentukan UU 21/2011.
Bahwa Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV sebagai Dosen di Fakultas Hukum merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011 karena berdasarkan hukum pidana yang dipelajari dan didalami oleh para Pemohon, pemberlakuan " criminal justice system " di Indonesia sebagai negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai Negara Hukum maka proses penegakan hukum pidananya berdasarkan pada prinsip " due process of law " di mana penegakan hukum harus dilaksanakan oleh negara, dalam hal ini Aparat Penegak Hukum, yang telah diatur dalam KUHAP, namun ternyata hal tersebut diabaikan dengan berlakunya UU 21/2011. Untuk menguraikan adanya kedudukan hukum tersebut, para Pemohon mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, di mana Pemohon di dalam putusan tersebut yang merupakan pengajar hukum tata negara yang dinyatakan memiliki legal standing dalam mengajukan permohonannya tersebut. Sehingga, menurut para Pemohon a quo karena para Pemohon pada prinsipnya memiliki profesi yang sama, yakni pengajar hukum pidana maka dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, para Pemohon memiliki kedudukan hukum. Terhadap penjelasan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV, Mahkamah berpendapat bahwa kesulitan dan kerugian yang dijelaskan oleh 226 para Pemohon di atas tidaklah menggambarkan adanya kerugian hak konstitusional yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011 sebab keberlakuan ketentuan a quo tidak menghalangi Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV untuk menjalankan profesinya sebagai pengajar hukum pidana. Apalagi bila dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, permohonan a quo memiliki karakteristik yang berbeda sehingga tidak serta-merta dapat dijadikan bangunan argumentasi untuk memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III dan Pemohon IV tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo .
Bahwa Pemohon V dan Pemohon VI menerangkan kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagai perorangan warga negara Indonesia dan merupakan karyawan PT. Sunprima Nusantara Pembiayaan (selanjutnya disebut PT SNP). Pada saat permohonan ini diajukan Pemohon V dan Pemohon VI sedang menjalani masa tahanan di Polda Metro Jaya atas laporan salah satu bank kreditor ke kepolisian karena Pemohon V dan Pemohon VI diduga melakukan tindak pidana sektor jasa keuangan. Permasalahan ini terjadi karena OJK meminta salah satu bank yang merupakan kreditor PT SNP untuk melakukan degradasi collectibility terhadap PT SNP karena berdasarkan hasil audit OJK pada Tahun 2016 PT SNP sudah pernah direstrukturisasi namun tidak didegradasi. Atas permintaan dari OJK tersebut salah satu bank menerbitkan status Coll 2 terhadap PT SNP, sedangkan pada saat dijatuhkan status Coll 2 PT SNP tidak memiliki tunggakan nominal maupun jatuh tempo. Akibat dari penerbitan status Coll 2 tersebut menyebabkan seluruh bank yang menjadi kreditor PT. SNP menghentikan semua pinjaman dan berbalik melakukan penagihan terhadap pendanaan yang telah diberikan kepada PT SNP. Berdasarkan status Coll 2, OJK melakukan audit ke PT SNP Pusat dan cabang (Mataram, Yogyakarta, dan Semarang). Menurut para Pemohon, tindakan OJK mendesak bank memberikan status Coll 2 menyebabkan permasalahan yang seharusnya dapat diselesaikan secara administratif perbankan termasuk di dalamnya menempuh upaya melalui KPPU menjadi dikesampingkan sehingga 227 permasalahannya masuk ke dalam ranah tindak pidana dalam sektor jasa keuangan dan para Pemohon adalah 2 dari delapan pengurus yang kemudian dijadikan tersangka oleh kepolisian. Menurut para Pemohon, hal ini tidak akan terjadi jika Lembaga OJK tidak diberikan kewenangan penyidikan. Dengan adanya tindakan sewenang-wenang OJK maka pelaku usaha menjadi terhenti usahanya, masyarakat tidak akan terlayani, dan karyawan pun menjadi terjerumus ke dalam persoalan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Menurut para Pemohon, seharusnya OJK mampu menjaga agar kegiatan di sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Terhadap penjelasan Pemohon V dan Pemohon VI dalam menerangkan kedudukan hukumnya tersebut, menurut Mahkamah, status Coll 2 yang diberikan oleh OJK terhadap PT SNP, sehingga pemberian status tersebut yang merupakan salah satu tahapan dalam proses penyidikan, baik wewenang yang dimiliki oleh Kepolisian maupun yang dimiliki OJK, telah berdampak pada disidiknya Pemohon V dan Pemohon VI oleh Polda Metro Jaya. Dengan demikian, terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil Pemohon V dan Pemohon VI perihal inkonstitusionalitas norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon telah menguraikan hak-hak konstitusionalnya yang menurut anggapan mereka secara aktual dirugikan dengan berlakunya norma pasal dalam UU 21/2011. Kerugian tersebut tidak lagi terjadi jika permohonan a quo dikabulkan. Oleh karena itu, berdasarkan uraian kerugian konstitusional tersebut, Pemohon V dan Pemohon VI memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo . [3.6] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tertuang pada Paragraf [3.5] di atas ternyata bahwa hanya sebagian dari para Pemohon yang memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo , yaitu Pemohon V dan Pemohon VI (selanjutnya disebut para Pemohon), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. 228 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 1 angka 1 frasa “dan penyidikan” dan Pasal 9 huruf c kata “penyidikan” UU 21/2011 para Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian duduk perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa, para Pemohon menyatakan Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 pernah diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 bertanggal 4 Agustus 2015 dengan amar mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, menurut para Pemohon walaupun dalam permohonannya menguji pasal yang sama namun frasa yang diuji berbeda. Dalam perkara Nomor 25/PUU-XII/2014 yang diuji adalah frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 sedangkan para Pemohon a quo menguji frasa “dan penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 serta kata “penyidikan” dalam Pasal 9 huruf c UU 21/2011 yang belum pernah diajukan pengujiannya di Mahkamah Konstitusi. Sehingga, menurut para Pemohon, permohonan a quo tidak nebis in idem dengan perkara Nomor 25/PUU-XII/2014;
Bahwa, menurut para Pemohon, dengan melihat tujuan, fungsi, dan tugas OJK maka OJK adalah lembaga administratif yang dapat melakukan penegakan hukum dalam lingkup hukum administrasi negara yang terbatas pada proses pemeriksaan dan/atau penyelidikan tentang adanya dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan dalam konteks fungsi administatif bukan pro justitia sebagaimana KUHAP, sebagaimana ditegaskan untuk kewenangan penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XIV/2016;
Bahwa, menurut para Pemohon, adanya wewenang "dan penyidikan" dalam Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 dan wewenang "penyidikan" yang dimasukan ke dalam lingkup tugas pengawasan dalam Pasal 9 huruf c UU 21/2011 menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga mengaburkan Integrated Criminal Justice System karena penyidikan oleh penyidik OJK untuk tindak pidana yang sama dimiliki pula oleh penyidik lain yang telah ada sehingga 229 akan terjadi tumpang-tindih kewenangan antara Polri, KPK, dan OJK dalam proses penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Bahwa, menurut para Pemohon, secara eksplisit UU 21/2011 menentukan penyidik OJK berstatus pegawai negeri sipil [Pasal 49 ayat (1) juncto ayat (3) UU 21/2011] maka OJK tidak dapat melibatkan penyidik kepolisian, namun dalam praktik OJK telah melantik pejabat kepolisian yang masih aktif menjadi penyidik di OJK sehingga, menurut para Pemohon, hal ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Bahwa, menurut para Pemohon, dengan mengutip beberapa undang-undang yang mengatur mengenai Pegawai Negeri Sipil yang diberikan wewenang sebagai penyidik di antaranya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasal Modal, ternyata semua undang-undang tersebut menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang diberikan kewenangan penyidikan melaksanakan penyidikannya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan memberitahukan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau berkoordinasi dengan penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Menurut para Pemohon, hal ini berbeda dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di OJK karena tidak ada norma dalam UU 21/2011 yang mengatur bahwa Pegawai Negeri Sipil dalam menjalankan kewenangan penyidikannya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau setidaknya menyatakan "penyidik pejabat pegawai negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia". Selain itu UU 21/2011 juga tidak mengatur jenis kejahatan yang menjadi ruang lingkup wewenang penyidik OJK yang berstatus Pegawai Negeri Sipil.
Bahwa, menurut para Pemohon, berdasarkan Pasal 49 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 21/2011, status Penyidik yang ada di OJK adalah PNS. Jika dilihat dari filosofisnya keberadaan Penyidik PNS berasal dari PNS yang ada di dalam institusi suatu lembaga negara tersebut yang kemudian diberikan 230 pendidikan secara khusus mengenai ilmu penyidikan untuk menjadi seorang penyidik. Namun dalam lembaga OJK, status Pegawai OJK bukanlah PNS. Oleh karena itu Penyidik PNS yang ada di lembaga OJK diambil dari institusi- institusi yang ruang lingkupnya terkait di bidang sektor Jasa Keuangan sehingga hal ini, menurut para Pemohon, menimbulkan ketidakpastian hukum.
Bahwa, menurut para Pemohon, ketika wewenang "Penyidikan" yang merupakan suatu tindakan pro justitia diberikan kepada financial supervisiory institution, dalam hal ini __ OJK, menimbulkan ketidaklaziman. Karena, dengan merujuk pada lembaga sejenis di beberapa negara berkembang ataupun negara maju, tidak ada satupun lembaga sejenis OJK yang diberikan wewenang "penyidikan".
Bahwa, menurut para Pemohon, dengan mengutip pertimbangan hukum Paragraf [3.15] angka 2, halaman 142 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang menguji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan jika melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh Undang- Undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan Undang- Undang kecuali dalam hal tertangkap tangan", para Pemohon membandingkannya dengan hukum acara penyidikan di lembaga OJK, di mana wewenang penyidikan tidak diatur secara rinci di dalam undang-undang melainkan diatur dalam peraturan OJK. Menurut para Pemohon, hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU- XIII/2015.
Berdasarkan seluruh alasan-alasan tersebut di atas para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap frasa "dan Penyidikan" dan Pasal 9 huruf c terhadap kata "Penyidikan" UU 21/2011 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang masing-masing diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-18 dan mengajukan 4 (empat) orang Ahli yaitu Prof. Drs. Ratno Lukito, MA., DCL. dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., 231 yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 18 Februari 2019 dan Ahli Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum (Eddy O.S Hiariej) dan Dr. Bernard L. Tanya, S.H.,M.H., yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 28 Februari 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.9] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Presiden dalam sidang tanggal 7 Februari 2019 dan membaca keterangan tertulis dari yang bersangkutan. Mahkamah telah pula mendengar keterangan 4 (empat) orang ahli yaitu Ahli Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. dan Prof. H. Atip Latipulhayat, LLM., Ph.D yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 1 April 2019 dan Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M.,Ph.D serta Dr. Chairul Huda, S.H., M.H., yang didengar keterangannya pada persidangan tanggal 12 Maret 2019 dan 2 (dua) orang saksi yaitu Kombespol Dr. Warasman Marbun, S. H. dan Johansyah yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 9 April 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.10] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Februari 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.11] Menimbang bahwa OJK telah menyampaikan keterangan tertulis dari OJK diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Februari 2019 dan Pihak Terkait mengajukan 3 orang ahli yaitu Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M. Hum, Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M, dan Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 23 April 2019 dan 2 orang saksi yaitu I Gusti Agung Rai Wirajaya, S.E., M.M., dan I Gede Hartadi Kurniawan, S.E. yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 8 Mei 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.12] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama dalil-dalil permohonan para Pemohon, bukti-bukti yang diajukan Pemohon dan mendengar keterangan pihak-pihak, saksi serta ahli yang diajukan sebagaimana disebutkan di atas, sebelum menilai konstitusionalitas Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 terlebih 232 dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK. Bahwa terhadap persoalan tersebut di atas, setelah Mahkamah mencermati dalil permohonan para Pemohon, yang menyatakan pengujian norma a quo tidak nebis in idem karena para Pemohon menguji frasa yang berbeda Mahkamah berpendapat setelah dicermati telah ternyata meskipun pasal yang diujikan sama namun terhadap permohonan a quo hanya terbatas pada frasa “dan Penyidikan” serta menggunakan dasar pengujian yang berbeda. Sehingga dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak tunduk pada ketentuan Pasal 60 UU MK dan oleh karenanya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan lebih lanjut. [3.13] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan dengan menyatakan OJK adalah lembaga penegak hukum dalam konteks hukum administratif negara bukan lembaga penegak hukum dalam konteks pro Justitia sebagaimana diatur dalam KUHAP seperti halnya kewenangan penyelidikan yang dimiliki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah memandang penting untuk mengaitkan permohonan para Pemohon a quo dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 yang menegaskan bahwa OJK adalah lembaga negara independen. Namun demikian, sebelum lebih jauh membahas kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK, Mahkamah terlebih dahulu perlu menegaskan arti penting kehadiran OJK dalam desain besar perekonomian negara terutama dalam mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Bahwa terkait dengan hal di atas, Konsiderans “Menimbang” huruf a UU 21/2011 menyatakan bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berkenaan dengan dasar pemikiran tersebut, menurut Mahkamah, seharusnya kewenangan yang dimiliki oleh OJK dimaksudkan untuk mencapai tujuan mewujudkan perekonomian nasional. Sehingga untuk mencapai tujuan 233 dimaksud diperlukan penegakan hukum, baik berupa hukum administrasi maupun penegakan hukum lainnya termasuk hukum pidana. Oleh karena itu sebelum sampai pada kesimpulan apakah OJK merupakan lembaga penegak hukum dalam konteks pro justitia ataukah penegakan hukum dalam konteks administratif semata maka Mahkamah perlu mempertimbangkan hal berikut: [3.13.1] Bahwa dalam sistem penegakan hukum di Indonesia, kewenangan untuk melakukan penyidikan tidak hanya dimiliki oleh lembaga penegak hukum saja tetapi juga dibuka kemungkinan dilakukan oleh lembaga-lembaga lain yang diberi kewenangan khusus untuk itu, sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, misalnya kewenangan penyidikan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasal Modal. Artinya, dengan bukti tersebut, kewenangan penyidikan sangat mungkin diberikan kepada lembaga lain di luar lembaga penegak hukum sepanjang tidak bertentangan dengan kewenangan lembaga penegak hukum lainnya . [3.13.2] Bahwa berkenaan dengan pertimbangan di atas, apabila diletakkan dalam bingkai integrated criminal justice system harus ada keterpaduan penyidik bidang tindak pidana lainnya dengan penyidik Kepolisian. Keterpaduan demikian penting dilakukan agar tidak terjadi tumpang-tindih dalam penegakan hukum terutama dalam penegakan hukum pidana. Dalam konteks itu, setiap lembaga baik itu Kepolisian dan lembaga lain yang mempunyai kewenangan penyidikan masing- masing memiliki tugas dan wewenang yang berbeda sesuai dengan bidang kekhususan yang diberikan oleh undang-undang. Artinya sekalipun undang- undang dapat memberikan kewenangan penyidikan kepada lembaga negara lain, kewenangan dimaksud tidak boleh mengabaikan prinsip integrated criminal justice system . Prinsip demikian dilakukan dengan kewajiban membangun koordinasi antara penyidik lembaga negara yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing dengan penyidik Kepolisian. 234 [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan sebagaimana dikemukakan dalam Paragraf [3.13] di atas, sebelum lebih jauh menilai konstitusionalitas kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK penting bagi Mahkamah mempertimbangkan apakah kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK dapat dibenarkan ataukah sebaliknya. Bahwa kewenangan OJK yang diberikan undang-undang tidak dapat dilepaskan dari politik hukum untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Oleh karenanya diperlukan piranti hukum yang memberikan kewenangan tertentu sehingga kegiatan dalam sektor jasa keuangan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu pula melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berkenaan dengan dasar pemikiran tersebut, menurut Mahkamah, kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK adalah merupakan bagian dari upaya mewujudkan tujuan perekonomian nasional. Artinya, penyidikan yang diberikan kepada OJK tidak dapat dilepaskan dari pencapaian tujuan dimaksud. Bahwa namun demikian apabila kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK dilaksanakan tanpa mempersyaratkan koordinasi dengan penyidik Kepolisian, apakah berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga bertentangan dengan prinsip integrated criminal justice system , Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut. [3.15] Menimbang bahwa apabila diletakkan dalam perspektif kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK sebagai salah satu lembaga lain yang memiliki wewenang penyidikan selain penyidikan yang dimiliki oleh lembaga Kepolisian, kewenangan demikian dapat dibenarkan. Namun, jikalau kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK dilaksanakan tanpa koordinasi dengan penyidik Kepolisian sebagaimana dipersyaratkan terhadap penyidik lembaga lain selain Kepolisian berpotensi adanya kesewenang-wenangan dan tumpang-tindih dalam penegakan hukum pidana yang terpadu. Oleh karena itu, untuk menghindari potensi tersebut, kewajiban membangun koordinasi dengan penyidik Kepolisian juga merupakan kewajiban yang melekat pada penyidik OJK. Dasar pertimbangan demikian tidak terlepas dari semangat membangun sistem penegakan hukum yang terintegrasi sehingga tumpang-tindih kewenangan yang dapat berdampak adanya tindakan 235 kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum maupun pejabat penyidik di masing-masing lembaga dalam proses penegakan hukum dapat dihindari. [3.16] Menimbang bahwa terhadap argumentasi para Pemohon bahwa kewenangan OJK dalam hal penyidikan dapat mengaburkan Integrated Criminal Justice System karena __ UU 21/2011 tidak mengatur jenis tindak Pidana dalam sektor Jasa Keuangan perbankan ataupun non-perbankan yang menjadi wewenang Penyidik lembaga OJK, Mahkamah berpendapat, tanpa dikaitkan dengan jenis tindak pidananya, kewenangan penyidikan OJK dapat dibenarkan dan adalah konstitusional sepanjang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik Kepolisian. Dengan kata lain, terlepas dari jenis-jenis tindak pidana dalam sektor jasa keuangan yang sangat beragam, dengan mengingat tujuan dibentuknya OJK, Mahkamah memandang kewenangan penyidikan OJK adalah konstitusional. Artinya, telah ternyata bahwa kewenangan OJK bukanlah semata- mata dalam konteks penegakan hukum administratif semata tetapi dalam batas- batas dan syarat-syarat tertentu juga mencakup kewenangan penegakan hukum yang bersifat pro justitia, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Tegasnya, demi kepastian hukum, koordinasi dengan penyidik kepolisian sebagaimana dimaksudkan di atas dilakukan sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, pelaksanaan penyidikan, sampai dengan selesainya pemberkasan sebelum pelimpahan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum. [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, di mana Mahkamah telah berkesimpulan bahwa kewenangan penyidikan OJK yang merupakan inti dari dalil para Pemohon adalah konstitusional sepanjang dikoordinasikan dengan penyidik Kepolisian, maka dalil para Pemohon selain dan selebihnya oleh karena tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut. [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. 236 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon I sampai dengan Pemohon IV tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pemohon V dan Pemohon VI memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.4] Pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili:
Menyatakan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV tidak dapat diterima.
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal dua puluh lima , bulan November, tahun dua ribu sembilan belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi 237 terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal delapan belas , bulan Desember , tahun dua ribu sembilan belas , selesai diucapkan pukul 12.23 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing- masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Ria Indriyani sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon, Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Arief Hidayat ttd. Saldi Isra ttd. Manahan MP Sitompul ttd. Enny Nurbaningsih ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Suhartoyo ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Ria Indriyani
Tata Cara Penghapusan dan Penetapan Besarnya Penghapusan Piutang Bea Masuk dan/atau Cukai.
Relevan terhadap
Dalam rangka penatausahaan Piutang Bea Masuk dan/atau Cukai pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, terhadap Piutang Bea Masuk dan/atau Cukai dapat dilakukan penghapusan.
Piutang Bea Masuk dan/atau Cukai yang dapat dilakukan penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Piutang Bea Masuk dan/atau Cukai yang tercantum dalam:
Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP);
Surat Penetapan Pabean (SPP);
Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA);
Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP);
Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi dan Pajak Dalam Rangka Impor (SKPBM);
Surat Tagihan Cukai (STCK-1);
Surat Pemberitahuan Pengenaan Biaya Pengganti (SPPBP);
Surat Pemberitahuan Penetapan Sanksi Administrasi (SPPSA).
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah bea masuk dan/atau cukai yang masih harus dibayar bertambah, termasuk sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga.
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, untuk pelaksanaan penghapusan penagihan utang yang tidak dapat ditagih berpedoman pada peraturan perundang- undangan yang berlaku;
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 49 Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan berlaku pula bagi undang-undang perpajakan lainnya, kecuali apabila ditentukan lain;
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, yang dimaksud dengan pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, menurut undang-undang dan peraturan daerah;
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, hak penagihan atas utang berdasarkan undang-undang ini kadaluwarsa setelah 10 (sepuluh) tahun sejak timbulnya kewajiban membayar;
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2007, hak menagih utang berdasarkan undang-undang ini menjadi kadaluwarsa setelah 10 (sepuluh) tahun sejak timbulnya kewajiban membayar;
bahwa dalam rangka penyelenggaraan tata usaha piutang kepabeanan dan cukai yang baik, perlu diatur ketentuan mengenai penghapusan piutang bea masuk, cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga, yang antara lain disebabkan oleh kadaluwarsa penagihan sebagaimana dimaksud dalam huruf d dan huruf e;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghapusan dan Penetapan Besarnya Penghapusan Piutang Bea Masuk dan/atau Cukai;
Perubahan Ketiga atas Undang-Undangan Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ...
Relevan terhadap 39 lainnya
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi melainkan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan. Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Kealpaan yang dimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Angka 50
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dihapus. Ayat (4a) Cukup jelas. Ayat (5) Dihapus. Ayat (5a) Ayat ini mengatur bahwa bagi Wajib Pajak yang mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak yang diajukan banding tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan. Ayat (5b) Cukup jelas. Ayat (5c) Cukup jelas. Ayat (5d) Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) sebagaimana dimaksud pada ayat ini. Contoh: Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp200.000.000,00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00. Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp450.000.000,00. Dalam hal ini baik sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) tidak dikenakan. Namun, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 100% x (Rp450.000.000,00 – Rp200.000.000,00) = Rp250.000.000,00. __ Ayat (6) Cukup jelas. Angka 34
Ayat (1) Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga berdasarkan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo pelunasan atau terlambat dibayar. Contoh:
Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah pembayaran sampai dengan tanggal 6 November 2008 Rp6.000.000,00. Pada tanggal 1 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai berikut: Pajak yang masih harus dibayar =Rp10.000.000,00 Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan =Rp 6.000.000,00(-) Kurang dibayar =Rp 4.000.000,00 Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp4.000.000,00) =Rp 80.000,00 b. Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana tersebut pada huruf a, Wajib Pajak membayar Rp10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan pada tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi berupa bunga dihitung sebagai berikut: Pajak yang masih harus dibayar =Rp10.000.000,00 Dibayar setelah jatuh tempo pelunasan =Rp10.000.000,00 Kurang dibayar =Rp 0,00 Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp10.000.000,00) =Rp 200.000,00 Ayat (2) Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Contoh:
Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp1.120.000,00 yang diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2009 dengan batas akhir pelunasan tanggal 1 Februari 2009. Wajib Pajak tersebut diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar Rp224.000,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai berikut: angsuran ke-1 : 2% x Rp1.120.000,00 = Rp22.400,00. angsuran ke-2 : 2% x Rp896.000,00 = Rp17.920,00. angsuran ke-3 : 2% x Rp672.000,00 = Rp13.440,00. angsuran ke-4 : 2% x Rp448.000,00 = Rp8.960,00. angsuran ke-5 : 2% x Rp224.000,00 = Rp4.480,00.
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperbolehkan untuk menunda pembayaran pajak sampai dengan tanggal 30 Juni 2009. Sanksi administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar 5 x 2% x Rp1.120.000,00 = Rp112.000,00. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 25
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan. ...
Pengujian UU Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
“Setiap jenis kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dikenakan biaya penggantian pembuatan kartu dana/sertifikat sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah).” __ 9. Bahwa, besaran santunan kecelakaan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16 Tahun 2017 adalah;
Korban Kecelakaan alat Angkutan lalu lintas jalan atau ahli warisnya berhak atas Santunan.
Besar Santunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di tentukan se bagai berikut:
Ahli waris dari Korban yang meninggal dunia berhak atas Santunan sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh ju ta rupiah).
Korban yang mengalami cacat tetap berhak atas Santunan yang besarnya dihitung berdasarkan angka persentase sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Namar 18 Tahun 1965 dari besar Santunan meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Korban yang memerlukan perawatan dan pengabatan berhak atas Santunan berupa:
penggantian biaya perawatan dan pengabatan dokter paling banyak Rp20. 000.000,00 (dua puluh juta rupiah);
biaya ambulans atau kendaraan yang membawa Korban ke fasilitas kesehatan paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan/atau 3. biaya pertalangan pertama pada Kecelakaan paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Bahwa, PEMOHON sangat dirugikan dengan berlakunya Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 sepanjang kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-Undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 12 kecelakaan. Pihak Jasa Raharja memahami makna Penjelasan Pasal a quo yang dijamin mendapatkan santunan kecelakaan lalu lintas adalah kecelakaan akibat adanya tabrakan kendaraan bermotor lebih dari satu kendaraan sebagaimana ditegaskan dalam kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Bahwa, kecelakaan satu kendaraan atau biasa disebut dengan kecelakaan tunggal tidak termasuk yang dijamin oleh UU a quo .
Bahwa, pemahaman Jasa Raharja tentang frasa a quo dipertegas dengan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang ketentuan-ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu-lintas Jalan yang menyatakan; Setiap orang yang berada di luar alat angkutan lalu-lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan, yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu-lintas jalan tersebut sebagai demikian, diberi hak atas suatu pembayaran dari Dana Kecelakaan Lalu-lintas Jalan, kecuali dalam hal-hal yang tercantum dalam Pasal 13. juga dipertegas dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16 Tahun 2017 tentang Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan yang menyatakan; Korban adalah setiap orang yang berada di luar alat Angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan Kecelakaan, yang menjadi korban akibat Kecelakaan dari penggunaan alat Angkutan lalu lintas jalan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang KetentuanKetentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.
Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang ketentuan- ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu-Lintas Jalan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16 Tahun 2017 tentang Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan yang menjadikan penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 sebagai rujukan tentu tidak dapat dibenarkan, hal ini tidak sesuai dengan mekanisme pembuatan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam lampiran angka 177 UU Nomor 12 Tahun 2011 yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 13 menyatakan; Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.
Bahwa, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 juncto PP Nomor 18 Tahun 1965 juncto Permenkeu Nomor 16 Tahun 2017 semuanya menjelaskan jika yang dimaksud korban kecelakaan yang berhak mendapat santunan asuransi Jasa Raharja adalah mereka yang beradia di luar alat angkutan lalu lintas jalan.
Bahwa, pemahaman makna kecelakaan yang dijamin oleh Jasa Raharja adalah kecelakaan di luar luar angkutan tidak hanya dialamai oleh suami PEMOHON (Jasa Raharja cabang Surabaya) tapi juga Jasa Raharja di kota-kota lain sebagaima berita-berita internet di bawah ini.
Jasa Raharja Sukamara RICKY S. GINTING yang menyatakan jika kecelakaan tunggal tidak mendapatkan santunan Jasa Raharja (Borneonews 17 April 2017), juga HASJUDIN kepala cabang Jasa Raharja Kalimantan Barat (equator.co.id 30 Desember 2016), Kepala PT Jasa Raharja (Persero) Cabang Sulawesi Tengah, Suratno menegaskan khusus korban kecelakaan lalu lintas (lakalantas) tunggal sesuai dengan UU Nomor 33/34 Tahun 1964 tidak berhak mendapatkan santunan. Kepala PT Jasa Raharja (Persero) Cabang Sulawesi Tengah, Suratno menegaskan khusus korban kecelakaan lalu lintas (lakalantas) tunggal sesuai dengan UU Nomor 33/34 Tahun 1964 tidak berhak mendapatkan santunan. (antarasulteng.com 14 Mei 2016). Hal ini juga dikatakan oleh kepala kantor Jasa Raharja tingkat I wilayah Wangon DEN RAMADHAN F. yang mengatakan jika kecelakaan tungal tidak mendapatkan santunan dari Jasa Raharja (Cilacapmedia.com 10 November 2015), Dari empat ruang lingkup jaminan asuransi Jasa Raharja, kecelakaan tunggal tidak berhak mengklaim. Itu disampaikan Kepala Cabang Jasa Raharja Lampung TRIYUGARA (saibumi.com 17 Pebruari 2015), sementara itu pihak kepolisian pemahamannya juga sama, hal ini dikatakan oleh AKBP Adewira Negara Siregar menuturkan, kelalain pengendara dapat melanggar Pasal 106 ayat (1) juncto 283 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Mengenai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 14 santunan Jasa Raharja dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 tentang Jasa Raharja dan PP Nomor 17 Tahun 1965, bahwa kecelakaan tunggal tidak terjamin dalam santunan Jasa Raharja. Tetapi penyidik memberikan penjelasan apabila tidak terjamin Jasa Raharja maka Dwi dapat menggunakan BPJS Kesehatan sebagai gantinya (apakabar.co.id 8 Agustus 2017).
Bahwa, setelah membaca berita-berita di atas dari berbagai sumber media yang ada, bisa jadi setelah berlakukanya UU a quo sudah ratusan bahkan mungkin ribuan korban kecelakaan tunggal dari Sabang sampai Merauke tidak mendapatkan santuan asuransi Jasa Raharja.
Bahwa, norma Penjelasan Pasal 4 UU Nomor 34 Tahun 1964 khususnya kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang- Undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan menjadikan makna sempit yang diartikan oleh pihak Jasa Raharja, bahwa kecelakaan yang dijamin mendapat santunanan kecelakaan adalah kecelakaan yang melibatkan 2 kendaraan, bukan satu kendaraan. Sebab jika kecelakaan satu kendaraan korbannya ada di dalam alat angkutan itu sendiri bukan di luar alat angkutan.
Bahwa, seharusnya kecelakaan apapun korbannya dijamin oleh asuransi Jasa Raharja, sebab Jasa Raharja adalah asuransi bersifat sosial. Artinya asuransi yang tidak mengejar keuntungan semata, Jasa Raharja harusnya menjadi pelindung bagi masyarakat yang menjadi korban kecelakaan baik yang menabrak, ditabrak, maupun kecelakaan tunggal.
Bahwa, argumentasi yang mengatakan jika kecelakaan tunggal tidak mendapatkan santunan asuransi JASA RAHARJA sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa luar UU Nomor 34 Tahun 1964 adalah tidak berdasar. Pertanyaannya jika memang suami PEMOHON tidak mendapatkan santunan asuransi, buat apa suami PEMOHON membayar Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan setiap tahunnya saat mebayar pajak STNK sepeda motor Mio J tahun 2012 dengan nomor polisi L 6202 QJ. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 15 20. Bahwa, makna dari SWDKLLJ, meskipun namanya sumbangan, tapi ingat sumbangan ini bersifat wajib, seperti layaknya suami PEMOHON membayar pajak STNK. Digunakan atau tidak kendaraan suami PEMOHON, tetap setiap tahunnya suami PEMOHON harus membayar pajak STNK. Begitupun dengan SWDKLLJ, setiap tahunnya PENGGUGAT wajib membayar SWDKLLJ meskipun suami PEMOHON tidak mengalami kecelakaan. Tapi anehnya ketika suami PEMOHON kecelakaan justru asuransi Jasa Raharja tidak mau memberikan santunan yang menjadi hak suami PEMOHON dengan alasan kecelakaan tunggal tidak mendapat santunan.
Bahwa, argumentasi kecelakaan tunggal tidak mendapat santunan patut dipertanyakan. Yang namanya kecelakaan adalah sebuah kejadian yang tidak disengaja oleh pengendara baik pengendara motor maupun mobil, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 24 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. “Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.” 22. Bahwa, makna di dalam Pasal 1 angka 24 UU Nomor 22 Tahun 2009 sudah sangat jelas, kecelakaan adalah persitiwa di jalan dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain. Maknanya adalah bahwa kecelakaan tunggal juga dimaknai sebuah kecelakaan. Karena kecelakaan tunggal juga dimaknai sebuah kecelakaan, korbannya harus mendapatkan santunan. Dan menjadi sebuah keanehan jika Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 tidak memberikan santunan kepada korban kecelakaan tunggal.
Bahwa kalimat yang dijamin asuransinya mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan bertentangan hak konstitusional suami PEMOHON sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa, suami PEMOHON sebagai warga negara yang membayar Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (sepeda motor), setiap tahunnya dibayar oleh suami PEMOHON. Seharusnya dijamin dan mendapat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 16 perlindungan asuransi saat terjadi kecelakaan. Apakah kecelakaan a quo tunggal maupun tabrakan lebih dari satu kendaraan.
Bahwa, makna jaminan perlindungan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah sebuah jaminan yang melekat warga negara oleh negara terhadap mereka yang mengendarai atau menumpang sebuah kendaraan bermotor, kereta api, kapal laut maupun pesawat terbang.
Bahwa, setiap warga negara mempunyai hak konstitusional yang dijamin oleh UUD. Karena suami PEMOHON adalah pemilik kendaraan bermotor dan membayar SWDKLLJ setiap tahunnya, maka tidak boleh ada frasa UU yang menghalangi atau merugikan hak suami PEMOHON untuk mendapat perlindungan asuransi Jasa Raharja milik dari pemerintah.
Bahwa, dengan berlakunya kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-Undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan dari penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 hak konstitusional suami PEMOHON menjadi hilang. Bukankah ini merugikan hak suami PEMOHON dengan berlakunya ketentuan a quo karena hak asuransinya tidak dijamin.
Bahwa, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 tidak singkron dengan kalimat Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1963 dimana dalam Pasal 4 tidak ada frasa luar. Justru kalimat di dalam Pasal 4 ayat (1) maknanya jelas dan mudah dipahami “(1) Setiap orang yang menjadi korban mati atau cacad tetap akibat kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu-lintas jalan tersebut dalam pasal 1, dana akan memberi kerugian kepadanya atau kepada ahli warisnya sebesar jumlah yang ditentukan berdasarkan Peraturan Pemerintah.” 28. Bahwa, makna Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 sangat mudah dipahami, siapapun yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas baik mati maupun cacat tetap dijamin mendapatkan satunan asuransi Jasa Raharja. Tidak ada kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-Undang ini ialah mereka yang berada di jalan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 17 luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan, yang akhirnya menyebabkan pemaknaan berbeda, seakan-akan kecelakaan yang ada didalam alat angkutan tidak dijamin asuransinya oleh Jasa Raharja.
Bahwa, dalam lampiran angka 1 angka 176 UU Nomor 12 Tahun 2011 menyatakaan: Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-Undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, kalimat, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.
Bahwa, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 jelas membuat norma baru, bahkan bisa disebut sebagai norma terselubung yang maknanya sudah berbeda dengan Pasal 4 ayat (1). Sebab di dalam Pasal 4 ayat (1) memberikan pengertian siapapun yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas akan mendapatkan santunan kecelakaan. Sementara di dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) menjadi dipersempit yang mendapatkan santunan kecelakaan lalu lintas mereka yang berada di luar alat angkutan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan mekanisme teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud di dalam lampiran angka 178 UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatakan: Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan.
Bahwa Pemohon menganggap mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dengan berlakunya Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 sepanjang kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-Undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Bahwa, suami Pemohon setiap tahunnya membayar Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) tetapi saat mengalami kecelakaan tunggal diperlakukan tidak sama oleh UU a quo . Padahal ketentuan pembayaran SWDKLLJ tidak membeda-bedakan bentuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 18 kecelakaan yang mendapat santunan. Artinya semua kecelakaan akan mendapatkan santunan, tapi oleh Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 hak Pemohon dihalangi. Hal ini tentu ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan: Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) sepanjang kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-Undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Undang- Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 138) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus dinyatakan inkonstitusional. PETITUM Berdasarkan segala yang diuraikan di atas, PEMOHON memohon agar Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan PEMOHON seluruhnya.
Menyatakan: Penjelasan Pasal 4 ayat (1) sepanjang kalimat Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 138) bertentangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Oleh karena itu harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil- adilnya ( ex aequo et bono ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 19 [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalilnya, Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-18 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan;
Bukti P-3 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan;
Bukti P-4 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuagan Nomor 16 Tahun 2017 tentang Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan;
Bukti P-5 : Fotokopi KTP atas nama Rokhim, kelahiran Bangkalan 24 November 1968 NIK 3578052411680004 beralamat di Kedondong Pasar Kecil 1/79 Surabaya;
Bukti P-6 : Fotokopi Kartu Keluarga Nomor 3578050201081022 yang dikeluarkan dinas kependudukan dan catatan sipil kota Surabaya KK dari Rokhim dan Maria Theresia Asteriasanti;
Bukti P-7 : Fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor 236/08/XI/92 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kamal Bangkalan Madura.
Bukti P-8 : Fotokopi Keterangan Ahli Waris yang dikeluarkan oleh Jasa Raharja tertanggal 31 Juli 2017.
Bukti P-9 : Fotokopi Laporan Polisi 15.19/758/VII/2017/LL. Yang dikeluarkan oleh Kepolisian Resort kota besar Surabaya tertanggal 24 Juli 2017.
Bukti P-10 : Fotokopi Surat Keterangan Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Nomor SKET/758.a/VII/2017 yang dikeluarkan oleh Kepolisian Resort Kota Besar Surabaya tertanggal 31 Juli 2017.
Bukti P-11 : Printout dari situs antarasulteng.com tertanggal 14 Mei Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 20 2017;
Bukti P-12 : Printout dari situs borneonews.com tertanggal 12 Oktober 2017; __ 13. Bukti P-13 : Printout dari situs serambimaluku.com; __ 14. Bukti P-14 : Fotokopi Surat Keterangan Pemeriksaan Kematian tertanggal 24 Juli 2017 dari rumah sakit Bhayangkara Polda Jatim;
Bukti P-15 : Printout Berita Online dari Website cilacapmedia.com dengan judul “Korban Kecelakaan Tunggal tak dapat Santunan” tertanggal 10 November 2015;
Bukti P-16 : Printout Berita Online dari Website equator.co.id dengan judul “Kecelakaan Tunggal tidak Dapat Santunan” tertanggal 30 Desember 2016; __ 17. Bukti P-17 : Printout Berita Online dari Website saibumi.com dengan judul “Kecelakaan Tunggal tidak Berhak Klaim Asuransi Jasa Raharja”, tertanggal 17 Februari 2015; __ 18. Bukti P-18 : Printout Berita Online dari Website apakabar.co.id dengan judul “Laka Tunggal Tak Bisa Dapat Santunan Jasa Raharja”, tertanggal 8 Agustus 2017; __ [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan lisan di depan persidangan pada tanggal 5 Desember 2017 dan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan pada tanggal 18 Desember 2017, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON 1. Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia, istri dari almarhum Rokhim seorang penyiar radio yang meninggal karena kecelakaan tunggal saat mengendarai sepeda motor di Jalan A. Yani Surabaya. Setelah jenazah dimakamkan, dengan membawa dokumen surat kecelakaan dari kepolisian dan rumah sakit Pemohon mendatangi kantor Jasa Raharja cabang Surabaya untuk mengajukan klaim santunan asuransi atas meninggalnya suami Pemohon. Tetapi oleh Jasa Raharja dijawab tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 21 ada klaim asuransi untuk kecelakaan tunggal, karena selama ini tidak diberikan santunan terhadap kecelakaan tunggal disebabkan aturan Undang-Undangnya memang seperti itu, yaitu didasarkan pada ketentuan a quo .
Bahwa setiap pemilik kendaraan bermotor wajib membayar Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan yang disingkat SWDKLLJ. Bahwa pembayaran SWDKLLJ dibayar oleh suami Pemohon pada saat perpanjangan STNK adalah Rp. 35.000,- 3. Bahwa Pemohon merasa dirugikan dengan kalimat a quo dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964, menurut Jasa Raharja makna Penjelasan pasal a quo yang dijamin mendapatkan santunan kecelakaan lalu lintas adalah kecelakaan akibat adanya tabrakan kendaraan bermotor lebih dari satu kendaraan. Pemahaman ini dipertegas lagi dengan Pasal 10 ayat (1) PP Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan Pelaksana Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, dan juga Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16 Tahun 2017 Pasal 1 angka 6. Yang kesemuanya menjelaskan jika yang dimaksud korban kecelakaan yang berhak mendapatkan santunan asuransi Jasa Raharja adalah mereka yang berada di luar angkutan lalu lintas jalan .
Bahwa penjelasan pasal a quo, khususnya kalimat a quo menjadikan makna yang sempit yang diartikan Jasa Raharja. Menurut Pemohon seharusnya kecelakaan apapun korbannya dijamin oleh Asuransi Jasa Raharja. Bahwa makna SWDKLLJ meskipun sumbangan tapi sumbangan ini bersifat wajib seperti layaknya yang dibayarkan suami Pemohon membayar pajak STNK yaitu dibayar setiap tahunnya.
Bahwa kalimat a quo Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 telah membuat norma baru bahkan norma terselubung yang maknanya sudah berbeda dengan Pasal 4 ayat (1) sebab siapapun yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas akan mendapatkan santunan kecelakaan.
Sehingga kalimat a quo Penjelasan Pasal 4 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 22 II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 23 b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Sehubungan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa Pemohon yang mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 adalah tidak berdasar, karena menurut Pemerintah, pokok permasalahan yang diajukan untuk diuji dalam permohonan constitutional review ini adalah merupakan keberatan Pemohon karena tidak mendapatkan santunan kecelakaan dari Jasa Raharja atas meninggalnya suami Pemohon, Pemerintah berpendapat permasalahan Pemohon tersebut lebih merupakan constitutional complaint daripada constitutional review dan bukan merupakan isu konstitusionalitas dari keberlakukan norma.
Sehingga tidak ada hubungan sebab akibat/kausalitas ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji karena ketentuan UU yang diuji oleh Pemohon memang tidak untuk mengatur mengenai kecelakaan tunggal. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ). Oleh karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat jika Yang Mulia Ketua/Mejelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 24 Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007). III. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI Bahwa Pemohon dalam permohonannya menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 yang menyatakan: “Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Namun demikian, bila si korban ini telah dapat jaminan berdasarkan undang-undang tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Nomor 33 Tahun 1964, maka jaminan hanya diberikan satu kali, yaitu oleh dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang yang dimaksud dalam undang-undang tersebut.” sepanjang kalimat “Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang- undang ini ialah mereka yang berada di jalan luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” tersebut oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa dalam rangka sebagai langkah menuju suatu sistem jaminan sosial ( sosial security ) diadakanlah dana kecelakaan lalu lintas jalan berdasarkan UU 34/1964. Kemudian dalam pengelolaan dana kecelakaan lalu lintas jalan tersebut dilakukan oleh PT. Jasa Raharja (Persero). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 25 b. Bahwa PT Jasa Raharja (Persero) memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat melalui 2 (dua) program asuransi sosial, yaitu Asuransi Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Umum yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang serta Asuransi Tanggung Jawab Menurut Hukum Terhadap Pihak Ketiga, yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Sehubungan dengan dalil Pemohon dalam permohonannya yang mendalilkan bahwa Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena Pemohon tidak mendapatkan asuransi kecelakaaan atas meninggalnya suami Pemohon dari Jasa Raharja karena alasan didasarkan pada ketentuan a quo, sehingga menurut Pemohon ketentuan a quo telah mempersempit makna dan juga memberikan norma baru serta diskriminatif, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 yang menyatakan bahwa “ Setiap orang yang menjadi korban mati atau cacad tetap akibat kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu lintas jalan tersebut dalam Pasal 1, dana akan memberi kerugian kepadanya atau kepada ahli warisnya sebesar jumlah yang ditentukan berdasarkan Peraturan Pemerintah”. Ketentuan ini mengatur bahwa dana/jaminan kecelakaan yang diberikan kepada korban/ahli waris baik mati ataupun cacat adalah terhadap korban yang kecelakaannya disebabkan oleh angkutan lalu lintas jalan. Sehingga berdasarkan ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa kecelakaan yang dimaksud dalam UU 34/1964 ini adalah kecelakaan yang disebabkan alat angkutan lalu lintas jalan dan bukan terhadap kecelakaan tunggal . __ 2. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 adalah untuk menjelaskan dan menegaskan bahwa yang mendapatkan dana kecelakaan lalu lintas jalan dalam UU 34/1964 adalah mereka/korban yang berada di luar alat angkut lalu lintas jalan yang menyebabkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 26 kecelakaan, namun terhadap korban yang telah mendapatkan jaminan berdasarkan UU 33/1964, maka dana hanya diberikan sekali. Penjelasan ini juga dimaksudkan adalah penegasan agar tidak terjadi double pemberian jaminan kecelakaan yang dijamin UU 34/1964 dengan jaminan kecelakaan berdasarkan UU 33/1964.
Bahwa latar belakang dibentuknya peraturan UU 34/1964 adalah guna melindungi pihak ketiga akibat pengemudi kendaraan bermotor yang menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga tersebut. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum angka 1 UU 34/1964 yang menyatakan: “ setara dengan teknik modern, dalam penghidupan manusia bermasyarakat terkandung bahaya yang kian meningkatkan disebabkan kecelakaan-kecelakaan di luar kesalahannya..... Kita lebih melihat kepada rakyat banyak yang mungkin menjadi korban risiko-risiko teknik modern, dari pada kepada para pemilik/pengusaha alat-alat modern, yang bersangkutan. Dan jika jaminan itu dirasakan oleh rakyat, maka akan timbullah pula kegairahan social kontrol”. 4. Bahwa Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 memiliki pengertian bahwa dana yang diberikan adalah terhadap kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu lintas jalan, atau dengan kata lain alat angkutan lalu lintas jalan sebagai faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Bahwa suatu norma yang telah ditetapkan terkadang diperlukan penjelasan lebih lanjut agar pembentuk undang-undang dapat menyampaikan apa yang dimaksud dari norma tersebut sebagai keterangan resmi dari norma yang ditetapkan tersebut. Sebagaimana yang ditentukan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diatur bahwa Penjelasan adalah tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 27 untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.( vide angka 176 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011). Dengan demikian, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 masih sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Bahwa sebagai peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 34/1964 telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana kecelakaan Lalu-Lintas Jalan (selanjutnya disebut PP 18/1965), dimana dalam Pasal 10 PP 18/1965 mengatur mengenai pemberian hak atas suatu pembayaran dari kecelakaan lalu lintas jalan adalah bagi setiap orang yang berada di luar alat angkut lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan, yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan tersebut.
Adapun pembayaran dana jaminan yang dimaksudkan berupa pembayaran ganti kerugian pertangungan dalam hal-hal sebagai berikut:
dalam hal korban meninggal dunia karena akibat langsung dari kecelakaan dalam waktu 365 hari setelah terjadinya kecelakaan yang bersangkutan.
dalam hal korban mendapat cacad tetap karena akibat langsung dari kecelakaan yang demikian itu dalam waktu 365 hari setelah terjadinya kecelakaan yang bersangkutan. Yang diartikan dengan cacad tetap adalah bila sesuatu anggota badan hilang atau tidak dapat dipergunakan sama sekali dan tidak dapat sembuh/pulih untuk selama-lamanya.
dalam hal ada biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter yang diperlukan untuk korban karena akibat langsung dari kecelakaan yang demikian itu yang dikeluarkan dari hari pertama setelah terjadinya kecelakaan, selama waktu paling lama 365 hari.
biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter, meliputi semua biaya- biaya: pertolongan pertama pada kecelakaan, honorarium dokter, alat-alat pembalut dan obat atas resep dokter perawatan dalam rumah sakit, photo Rontgen, pembedahan dan lain-lain yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 diperlukan menurut pendapat dokter untuk penyembuhan korban, kecuali jumlah pembayaran untuk membeli anggota-anggota badan buatan, seperti kaki/tangan buatan, gigi/mata palsu, dan lain-lain sebagainya.
dalam hal korban mati tidak mempunyai ahli-waris, kepada yang menyelenggarakan penguburannya diberikan penggantian biaya- biaya penguburan.
Bahwa berdasarkan Pasal 13 PP 18/1965 hak atas pembayaran Dana dan Pertangungan, dinyatakan tidak ada serta tidak dijamin dalam hal-hal sebagai berikut:
jika korban/ahli-warisnya telah mendapat jaminan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33/1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang;
bunuh diri, percobaan bunuh diri atau sesuatu kesengajaan lain pada pihak korban atau ahli-warisnya;
kecelakaan-kecelakaan yang terjadi pada waktu korban sedang:
dalam keadaan mabok atau tak sadar;
melakukan perbuatan kejahatan;
ataupun diakibatkan oleh atau terjadi karena korban mempunyai cacad badan atau keadaan badaniah/rokhaniah luar biasa lain;
kecelakaan yang terjadi tidak langsung disebabkan oleh penggunaan kendaraan bermotor atau kereta api yang bersangkutan dalam fungsinya sebagai alat angkutan lalu lintas jalan, yaitu misalnya dalam hal-hal sebagai berikut:
alat angkutan lalu lintas jalan yang bersangkutan sedang dipergunakan untuk turut serta dalam sesuatu perlombaan kecakapan atau kecepatan;
kecelakaan terjadi pada waktu di dekat alat angkutan lalulintas jalan yang bersangkutan ternyata ada akibat-akibat gempa bumi atau letusan gunung berapi, angin puyuh atau sesuatu gejala geologi atau meteorologi lain;
kecelakaan, akibat dari sebab yang langsung atau tidak langsung mempunyai hubungan dengan perang, bencana perang atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 sesuatu keadaan perang lainnya, penyerbuan musuh - sekalipun Indonesia tidak termasuk dalam negara-negara yang turut berperang - pendudukan, perang saudara, pemberontakan, huru- hara, pemogokan dan penolakan kaum buruh (uitsluiting van werklieden) , perbuatan sabot, perbuatan terror, kerusuhan atau kekacauan yang bersifat politik atau bersifat lain;
kecelakaan, akibat dari senjata-senjata perang;
kecelakaan, akibat dari sesuatu perbuatan dalam penyelenggaraan sesuatu perintah, tindakan atau peraturan dari pihak Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau asing yang diambil berhubung dengan sesuatu keadaan tersebut di atas; kecelakaan akibat dari melalaikan sesuatu perbuatan dalam penyelenggaraan tersebut;
kecelakaan yang diakibatkan oleh alat angkutan lalu-lintas jalan yang dipakai, atau di-konfiskasi, atau direkwisisi, atau disita untuk tujuan-tujuan tindakan Angkatan Bersenjata seperti tersebut di atas;
kecelakaan yang terjadi sebagai akibat reaksi inti atom.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa pembentuk undang- undang telah menetapkan bahwa kecelakaan tunggal tidak termasuk dalam resiko kecelakaan sebagaimana ditanggung oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Bahwa hal tersebut didasarkan pada pertimbangan logis bahwa kecelakaan tunggal pada prinsipnya kecelakaan yang tidak dipengaruhi oleh faktor ekternal, namun lebih dikarenakan karena faktor internal korban kecelakaan itu sendiri, antara lain yaitu: mengantuk, mabuk, kelalaian pengendara kendaraan dan lain sebagainya. 10. Bahwa ketentuan a quo tidak diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) karena UU a quo memang tidak diperuntukan untuk mengatur kecelakaan tunggal . Hal ini merupakan kebijakan dari pembentuk UU ( open legal policy ) dan merupakan suatu syarat dan kondisi yang dilindungi dalam suatu asuransi bahwa ada keadaan yang ditanggung dan keadaan apa yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 tidak ditanggung.
Bahwa pada dasarnya ketentuan a quo memberikan perlindungan bagi masyarakat luas dan diharapkan dapat memberikan kesadaran (awareness) bagi pengendara kendaraan bermotor lebih tinggi terhadap faktor-faktor internal yang sebenarnya dapat diantisipasi dan dapat dihindari oleh pengendara pada kecelakaan tunggal tersebut.
Bahwa sebagaimana diketahui bahwa negara juga telah menjamin perlindungan bagi warga negaranya berkaitan dengan terjadinya kecelakaan lalu lintas jalan sebagaimana di atur dalam peraturan perundang-undangan diluar UU 34/1964, antara lain sebagaimana diatur dalam UU 33/1965 yang memberikan dana pertangungan wajib kecelakaan penumpang.
Bahwa pada dasarnya negara telah memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum terhadap kecelakaan lalu lintas jalan. Jaminan dan perlindungan tersebut diwujudkan dengan penetapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (untuk selanjutnya disebut sebagai UU 22/2009). Dalam Pasal 24 (1) UU 22/2009 terhadap kecelakaan yang diakibatnya oleh faktor eksternal di luar pengendara, yaitu kondisi jalan, maka Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas. Lebih lanjut dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud di atas mengakibatkan luka berat, pelaku dalam hal ini Penyelenggara Jalan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah), dan dalam mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah), sebagaimana ketentuan Pasal 273 UU 22/2009.
Bahwa selain ketentuan yang diatur dalam UU 22/2009, jaminan dan perlindungan terhadap kecelakaan tunggal (dalam hal ini sebagaimana yang dialami oleh suami Pemohon), telah diatur pula dalam Undang- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan sosial Nasional, sebagai berikut: Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004: “(1) Peserta yang mengalami kecelakaan kerja berhak mendapatkan manfaat berupa pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan mendapatkan manfaat berupa uang tunai apabila terjadi cacat total tetap atau meninggal dunia . (2) Manfaat jaminan kecelakaan kerja yang berupa uang tunai diberikan sekaligus kepada ahli waris pekerja yang meninggal dunia atau pekerja yang cacat sesuai dengan tingkat kecacatan ”. Adapun yang dimaksud dengan Kecelakaan Kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yaitu: “Kecelakaan kerja adalah kecelakaaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya, dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.” Berdasarkan uraian di atas, menurut Pemerintah Pemohon telah keliru dalam mengajukan uji materi ketentuan dalam penjelasan ini karena UU a quo adalah untuk mengatur jaminan kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu lintas jalan dan bukan terhadap kecelakaan tunggal sehingga ketentuan a quo tidak diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian ( constitusional review ) ketentuan a quo Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 2) Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menerima keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, tidak bertentangan dengan terhadap ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Jawaban Pemerintah Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi Dalam Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Menindaklanjuti persidangan di Mahkamah Konstitusi atas permohonan pengujian (constitutional review) ketentuan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang- Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (UU 34/1964) sepanjang kalimat “Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang- undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” pada tanggal 5 Desember 2017, berikut Pemerintah sampaikan jawaban secara tertulis atas pertanyaan yang diajukan oleh Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sebagai berikut: Bahwa sebelum Pemerintah menyampaikan jawaban tertulis atas pertanyaan Majelis Hakim pada sidang pembacaan Keterangan Presiden tanggal 5 Desember 2017, perkenankanlah Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan filosofi dan latar belakang pembentukan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (UU 34/1964) sebagai berikut:
Bahwa adanya keinginan untuk memiliki perangkat hukum nasional yang dapat memberikan jaminan sosial (social security) bagi rakyat Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1964 dengan diundangkan UU Nomor 33/1964 tentang Dana Kecelakaan Penumpang dan UU Nomor 34/1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.
Sebagai langkah awal menuju kesatuan sistem jaminan sosial ( social security ) tersebut, Pemerintah mewajibkan asuransi kepada pengusaha atau pemilik kendaraan yang dapat membahayakan pihak lain, guna kemanfaatan para korban. Adapun jenis-jenis asuransi transportasi, sebagaimana tertuang dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 riwayat pembentukan Undang-Undang Nomor 33 dan 34 Tahun 1964 antara lain:
asuransi tanggung jawab menurut hukum terhadap pihak ketiga bagi para pengusaha/pemilik kendaraan bermotor (UU No. 34/1964);
asuransi kecelakaan penumpang kereta api, kapal terbang, kapal, kendaraan bermotor umum (UU No. 33/1964). Bahwa dalam konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum dari kedua Undang-undang tersebut menegaskan bahwa kedua dana pertangungan wajib tersebut merupakan langkah awal menuju terbentuknya suatu sistem jaminan sosial yang menyeluruh bagi rakyat Indonesia.
Berdasarkan Penjelasan Umum UU 34/1964 dijelaskan bahwa sejalan dengan kemajuan teknik modern dimana semakin banyak alat angkutan lalu lintas jalan, maka dalam kehidupan bermasyarakat terkandung bahaya yang kian meningkat disebabkan oleh kecelakaan-kecelakaan di luar kesalahannya. Kemudian setiap warga negara haruslah mendapat perlindungan oleh Negara terhadap kerugian yang diderita karena risiko-risiko kecelakaan tersebut. Bahwa karena akibat mengadakan jaminan sosial tersebut ditanggung oleh Pemerintah, maka perlu dilakukan suatu usaha secara gotong royong. Manifestasi kegotong-royongan ini dilakukan melalui suatu pembentukan iuran wajib, dalam UU a quo yaitu Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), sehingga pembentukan Dana ini melalui usaha kegotong- royongan merupakan langkah pertama menuju sistem jaminan sosial.
Bahwa Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan berdasarkan UU 34/1964 sebagai sistem jaminan nasional merupakan suatu upaya rintisan Pemerintah dalam memberikan perlidungan kepada masyarakat luas yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas jalan di luar kesalahannya akibat penggunaan kendaraan bermotor, dimana Dana dikumpulkan dari Sumbangan Wajib dari para Pemilik atau Pengusaha alat angkutan lalu lintas jalan.
Bahwa sesuai dengan Risalah Rapat DPR-GR Komisi F (Keuangan) pada tanggal 21 November 1964 mengenai pembentukan UU Nomor 34 Tahun 1964 menjelaskan bahwa: “ RUU Wajib Asuransi yang diajukan oleh Pemerintah itu memuat dua materi, _yaitu: _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 1. Asuransi tanggung jawab menurut hukum terhadap pihak ketiga bagi pengusaha atau pemilik kendaraan bermotor. 2. Asuransi kecelakaan penumpang kereta api, kapal terbang, kendaraan bermotor umum ”. Dasar dari RUU itu ialah pemikiran untuk memberikan asuransi atau social security terhadap rakyat yang menggunakan jalan-jalan umum, kendaraan-kendaraan bermotor untuk umum. Maksudnya adalah supaya pemakai atau pengguna-pengguna di jalan umum dijamin kebutuhan- kebutuhannya, bila terjadi sesuatu kecelakaan yang diakibatkan karena meningkatnya teknik modern yang dipergunakan oleh negara yaitu adanya kendaraan-kendaraan bermotor, sehingga apabila ada seseorang yang menjadi korban kecelakaan, tidak ditinggalkan begitu saja. Seperti yang kita ketahui bersama, justru rakyat yang tidak mampu lah yang sering menjadi korban kecelakaan-kecelakaan lalu lintas jalan. Untuk itu, maka RUU ini diberikan suatu jaminan asuransi bukan hanya korban-korban dari kecelakaan itu akan mendapat perhatian dari Pemerintah, tetapi atas biaya dari pada pemilik kendaraan tersebut. Dengan demikian akan timbul sosial kontrol bagi pengemudi mobil yang sering membahayakan lalu lintas jalan umum dan akan menimbulkan tanggung jawab kepada pemilik kendaraan tersebut.
Bahwa berdasarkan data statistik dari Direktorat Lalu Lintas dari Departemen Angkatan Kepolisian pada waktu itu menunjukkan bahwa dalam tahun 1955 sampai dengan 1963 di Indonesia telah terjadi 136.490 kecelakaan lalu lintas, yang memakan korban 13.135 orang mati, 87. 675 orang menderita luka-luka dan ratusan juta rupiah kerugian materiil serta kecelakaan lainnya seperti kecelakaan kapal api Trowek (1961 dan 1963), membuat pemerintah menganggap perlu untuk membentuk dana-dana yang akan menampung akibat keuangan disebabkan kecelakaan dijalan.
Bahwa Dana Pertangungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan berdasarkan UU 34/1964 merupakan pengejawantahan dari tanggung jawab negara berdasarkan UUD 1945 khususnya Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat, Pasal 28H ayat (3), Pasal 33 dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa filosofi pembentukan UU 34/1964 adalah sebagai berikut:
memberikan perlindungan dasar kepada pihak ketiga, bukan kepada pemilik kendaraan.
memberikan edukasi kepada masyarakat khususnya pemilik kendaraan agar lebih berhati-hati dalam berkendara (mitigasi moral hazard ). Setelah Pemerintah menguraikan latar belakang terbentuknya UU Nomor 34/1964, kini saatnya Pemerintah memberikan jawaban tertulis atas pertanyaan Majelis Hakim sebagai berikut: I. Pertanyaan Yang Mulia Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. A. Ada sesuatu yang tidak berkorelasi antara ketika seseorang membayar Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), namun dirinya sendiri tidak terlindungi ketika terjadi kecelakaan itu. Kenapa pihak yang justru membayar SWDKLLJ tidak terlindungi, melainkan hanya pihak eksternal saja yang diberi perlindungan? Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa UU 34/1964 merupakan langkah pertama menuju suatu sistem jaminan sosial (social security) yang memberikan jaminan perlindungan kepada korban kecelakaan lalu lintas jalan. Kelahiran UU ini didasarkan pada tingginya jumlah kecelakaan lalu lintas yang terjadi dalam tahun 1955 s.d 1963. Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum UU Nomor 34 Tahun 1964 bahwa jumlah korban kecelakaan lalu lintas jalan dalam periode tersebut sebanyak 13.135 orang meninggal dunia, 87.675 orang menderita luka-luka dan ratusan juta rupiah kerugian materil.
Bahwa UU 34/1964 pada hakekatnya memberikan jaminan perlindungan kepada pihak ketiga dengan dasar sebagai berikut :
Bahwa filososi pembentukan UU 34/1964 sesuai dengan Risalah Rapat DPR-GR Komisi F (Keuangan) tanggal 21 November 1964 mengenai pembentukan UU 34/1964 menjelaskan bahwa: “ RUU Wajib Asuransi yang diajukan oleh Pemerintah itu memuat dua _materi, yaitu antara lain: _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 (a) Asuransi tanggung jawab menurut hukum terhadap pihak ketiga bagi pengusaha/pemilik kendaraan bermotor. (b) Asuransi kecelakaan penumpang kereta api, kapal terbang, kendaraan bermotor umum ”.
Bahwa dasar dari pembentukan RUU tersebut adalah adanya pemikiran untuk memberikan asuransi atau social security terhadap rakyat yang menggunakan jalan-jalan umum, kendaraan-kendaraan bermotor untuk umum. Maksudnya adalah supaya pemakai atau pengguna-pengguna di jalan umum dijamin kebutuhan-kebutuhannya, apabila terjadi sesuatu kecelakaan yang diakibatkan karena meningkatnya teknik modern yang dipergunakan oleh negara yaitu adanya kendaraan - kendaraan bermotor. Sehingga apabila ada seseorang yang menjadi korban kecelakaan, tidak ditinggalkan begitu saja, karena seperti diketahui bersama bahwa rakyat yang tidak mampulah yang sering menjadi korban kecelakaan-kecelakaan jalan. Berdasarkan hal tersebut, maka RUU ini memberikan suatu jaminan asuransi, bukan hanya korban-korban dari kecelakaan itu akan mendapat perhatian dari Pemerintah, tetapi atas biaya dari pada pemilik kendaraan tersebut. Dengan demikian akan timbul sosial kontrol bagi pengemudi mobil yang sering membahayakan lalu lintas jalan umum dan akan menimbulkan tanggung jawab kepada pemilik kendaraan itu.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sehingga filosofi pembentukan UU 34/1964 adalah sebagai berikut:
memberikan perlindungan dasar kepada pihak ketiga, bukan kepada pemilik kendaraan;
memberikan edukasi kepada masyarakat khususnya pemilik kendaraan agar lebih berhati-hati dalam berkendara (mitigasi moral hazard ).
Bahwa selain hal tersebut di atas pembentukan RUU tersebut merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut: Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan- perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, yang berbunyi: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Menurut Munir Fuady , dalam bukunya “ Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer ” menjelaskan bahwa “ Perbuatan Melawan hukum adalah suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum yang mana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bisa juga merupakan suatu kecelakaan ”. Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro memberikan pandangan mengenai defenisi perbuatan melawan hukum yang telah mendapat kekuatan hukum yang tetap dalam Putusan MA Nomor .222 K/Sip/1958 tertanggal 21 November 1958 yaitu, “ Bagi orang Indonesia asli tetap berlaku hukum adat yang juga mengenal hak hukum, seperti tertulis pada pasal 1365 KUHPerdata, yaitu secara bersalah melakukan perbuatan melawan hukum dan dengan itu merugikan orang lain, adalah wajib memberi ganti rugi” . Berdasarkan defenisi perbuatan melawan hukum di atas, dapat disimpulkan Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum adalah sebagai berikut:
Adanya suatu perbuatan;
Perbuatan tersebut melawan hukum;
Adanya kesalahan dari pihak pelaku;
Adanya kerugian bagi korban; dan
Adanya hubungan kausal antara perbuatan-perbuatan dengan kerugian.
Sehingga apabila dikaitkan dengan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, UU 34/1964 telah mengakomodir prinsip perlindungan yaitu memberikan ganti kerugian kepada pihak ketiga yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas dimana kerugian tersebut disebabkan oleh perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pengendara kendaraan bermotor. Oleh karena adanya perbuatan pengendara kendaraan bermotor yang termasuk unsur-unsur perbuatan melawan hukum, maka pengendara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 kendaraan tersebut diwajibkan memberikan ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan. Dalam hal ini pemerintah memberikan perlindungan berupa Dana Santunan kepada pihak ketiga yang dirugikan tersebut yang berasal dari dana-dana yang dikumpulkan dari pemilik atau pengusaha kendaraan bermotor tersebut.
Bahwa lebihlanjut dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 dijelaskan bahwa: “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang-undang ini ialah mereka yang berada dijalan diluar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Namun demikian, bila si korban ini telah dapat jaminan berdasarkan Undang-Undang tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Nomor 33 Tahun 1964, maka jaminan hanya diberikan satu kali, yaitu oleh Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut ”. 9. Sejalan dengan penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 yang merupakan peraturan pelaksana dari UU Nomor 34 Tahun 1964 melalui Pasal 10 ayat (1) PP Nomor 18 Tahun 1965, berbunyi sebagai berikut: “ Setiap orang yang berada diluar alat angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan, yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan tersebut sebagai demikian diberi hak atas suatu pembayaraan dari Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, kecuali hal-hal yang tercantum dalam Pasal 13 .” 10. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Pemerintah telah memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi korban diluar kendaraan yang menjadi penyebab timbulnya kecelakaan. Dengan demikian, setiap orang yang menjadi korban kecelakaan tersebut merupakan pihak ketiga yang mendapat jaminan sesuai UU Nomor 34 Tahun 1964. Berdasarkan penafsiran secara “ argumentum a contrario” , bagi mereka yang berada di dalam kendaraan yang menjadi penyebab timbulnya kecelakaan tidak mendapat jaminan.
Berkaitan dengan konsep dasar sumbangan Wajib dalam UU Nomor 34 Tahun 1964 dapat dijelaskan bahwa Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 Lalu Lintas Jalan atau disingkat dengan “SWDKLLJ” menurut Pasal 1 huruf d UU 34 Tahun 1964, merupakan “ sumbangan tahunan yang wajib dibayar menurut/berdasarkan Undang-Undang ini dan/atau peraturan-peraturan pelaksanaannya ”. Sumbangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berasal dari kata menyumbang, yaitu “memberikan sesuatu kepada orang yang sedang ........ dan sebagainya sebagai sokongan”, Turut membantu (menyokong) dengan tenaga, pikiran, dan sebagainya”. Merujuk pada pengertian dalam KBBI tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Sumbangan adalah suatu bentuk pemberian baik itu berupa uang, tenaga, pikiran dan sebagainya yang ditujukan kepada pihak lain .
Sejalan dengan makna sumbangan tersebut di atas, SWDKLLJ yang dihimpun atau dikumpulkan dari pemilik atau pengusaha kendaraan bermotor dimanfaatkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas dengan konsep third party liability (TPL) atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga. Sesuai dengan Risalah Rapat DPR-GR Komisi F (Kompartimen Keuangan) tanggal 10 Desember 1964 mengenai pembentukan UU nomor 34 Tahun 1964 menjelaskan bahwa:
Anggota Wasis berpendapat sebagai berikut: “RUU yang diajukan dengan nama Asuransi Wajib ini apakah nanti namanya akan diganti dengan Sumbangan Wajib ataukah Pungutan. Soal itu tidak principal, tetapi yang principal ialah apakah tujuan yang dihendaki Pemerintah itu bias tercapai dengan adanya dana-dana tadi ”.
Anggota Munir Abisudjak berpendapat sebagai berikut: “ Sesungguhnya pemerintah menginginkan sumbangan daripada kecelakaan-kecelakaan yang terjadi. Tetapi karena untuk memberikan Social Security Pemerintah tidak mempunyai persediaan uang, maka diminta sumbangan secara gotong royong ”. Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sumbangan wajib yang ditetapkan Pemerintah melaui UU 34/1964 merupakan suatu instrumen untuk memberikan social security kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 masyarakat, dimana setiap korban kecelakaan lalu lintas jalan yang mengalami kerugian akan mendapat perlindungan dari Pemerintah melalui dana berupa sumbangan-sumbangan yang dikumpulkan secara gotong royong.
Bahwa berdasarkan best practice third party liability (TPL) dibeberapa negara dapat dijelaskan sebagai berikut: Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas (SWDKLLJ) merupakan asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga. Dalam ilmu asuransi, tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga (TJH Pihak III) adalah pertanggungan yang diberikan kepada orang yang berada diluar objek pertanggungan dalam hubungan hukum antara penanggung dan tertanggung. Sejarah asuransi kendaraan bermotor dimulai dari hadirnya kendaraan bermotor di London, Inggris. Perkembangan kendaraan bermotor yang makin massive berdampak pada meningkatnya angka kecelakaan yang melibatkan pengguna kendaraan bermotor dengan anggota masyarakat yang menjadi korban dan kerap tidak mendapatkan santunan dari pemilik kendaraan bermotor. Untuk memberikan rasa aman dan keadilan kepada masyarakat, dibentuklah Road Traffic Act pada tahun 1930, yang kemudian disempurnakan pada tahun 1974. Konsep asuransi wajib kendaraan bermotor dan perlindungan asuransi terhadap pihak ketiga diadopsi oleh negara-negara lainnya di dunia termasuk Amerika, tentunya dengan keberagaman masing-masing, baik dari aspek hukum maupun sosial. Bahwa dengan meningkatnya kesadaran berasuransi, masyarakat menyadari besarnya risiko yang dihadapi para pemilik dan pengendara kendaraan, sehingga setiap pemilik kendaraan bermotor wajib menutup pertanggungan kendaraan bermotornya.
Berdasarkan uraian di atas, Asuransi Tanggung Jawab Hukum Pihak Ketiga tersebut adalah konsep asuransi yang berlaku secara universal di dunia dan menjadi bagian dari compulsory motor insurance di berbagai negara sebagai contoh: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 a. Civil law countries (Vietnam) Tujuan dan Filosofi dari penerapan Asuransi Wajib pada Kendaraan Bermotor (compulsory motor vehicle insurance) di Vietnam memiliki karakteristik yang hampir sama yaitu untuk memberikan bantuan kemanusiaan (humanitarian assistance). Sama halnya dengan asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga pada UU 34/1964, Vietnam memberlakukan konsep third party liability secara mandatory dalam asuransi wajib dengan perluasan berupa property damage (secara terbatas). Jenis cidera atau kerugian yang dijamin yaitu :
kematian ( death ) 2) cidera badan ( bodily injuries ); dan
kerusakan atau kerugian properti secara terbatas ( property damage ). Terlepas dari tujuannya untuk memberikan bantuan kemanusiaan ( humanitarian assistance ) kepada korban kecelakaan di wilayah Vietnam, dalam penerapannya ada beberapa peristiwa yang dikecualikan sehingga tidak diberikan perlindungan, hal ini sebagai bentuk pembelajaran sosial kepada masyarakat untuk lebih mengutamakan keselamatan dalam berkendara, berikut peristiwa yang dikecualikan, yaitu:
kerusakan dan kerugian yang disengaja yang disebabkan oleh pemilik, pengemudi atau pihak yang dirugikan;
pengemudi sengaja melepaskan diri dari pemenuhan tanggung jawab perdata pemilik kendaraan bermotor dan/atau pengemudi yang menyebabkan kecelakaan tersebut;
pengemudi tidak memiliki SIM yang berlaku atau SIM tidak sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dibutuhkan, jika terbukti maka selain tidak diberikan pertanggungan akan turut dilakukan pencabutan izin mengemudi, baik untuk sementara atau selamanya.
kasus perang, terorisme, gempa bumi. Kerusakan pada properti khusus yang terdiri dari emas, perak, batu mulia, uang, kertas berharga seperti uang, barang antik, lukisan berharga dan langka, mayat manusia dan jenazah. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 b. Common Law Countries (Malaysia dan Singapore) Sama halnya dengan negara-negara lainnya, Asuransi Wajib pada Kendaraan Bermotor juga berlaku di Malaysia, seperti negara commonwealth lainnya, penerapannya bersifat free choice atau ada beberapa perusahaan asuransi umum yang saling berkompetisi untuk mengelola dan menjalankan produk asuransi wajib tersebut, dengan kata lain tidak ada penunjukkan secara khusus kepada instansi tertentu layaknya PT. Jasa Raharja (Persero) di Indonesia. Oleh karena besifat free choice atau kompetitif, maka nilai besaran premi dan manfaat yang diperoleh tergantung kesepakatan antara penanggung dan tertanggung. Skema Asuransi Wajib mencakup proteksi third party liability dan public passenger liability Insurance yang diatur dalam Road Transport Act 1987, yang bertujuan untuk melindungi masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas jalan yang jumlahnya terus meningkat tiap tahunnya. Seluruh kendaraan pribadi maupun komersial yang digunakan untuk berkendara di jalan raya harus memiliki sekurang- kurangnya polis asuransi compulsory third party liability motor insurance yang dibayarkan bersamaan dengan pembayaran pajak kendaraan. Kewajiban pembayaran premi atau mengasuransikan kendaraan bermotor dibebankan kepada Pemilik kendaraan bermotor sebagai proteksi seandainya terjadi kecelakaan yang menyebabkan kematian atau cidera terhadap pihak ketiga. Sebagai negara commonwealth , Compulsory Motor Vehilce Insurance di Singapore juga berlaku secara free choice dan open market , sehingga pelaku usaha bebas menentukan premi dan besaran manfaat yang diperoleh tertanggung. Proteksi yang bersifat mandatory adalah third party liability dengan manffat berupa:
Kematian ( death ); dan
Cidera badan ( bodily injuries ), yang dapat diperluas covernya. Untuk pengajuan klaim dapat melalui perusahaan asuransi atau melalui Special Risk Pool (SRP), sebuah pool yang khusus untuk penyelesaian klaim ( claim settlement ) asuransi wajib. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa suatu negara yang menganut sistem hukum baik Civil Law maupun Common Law dalam hal social control terhadap warga negaranya juga diwajibkan untuk turut serta memberikan bantuan kemanusiaan terhadap pihak ketiga yang bukan merupakan penyebab, yaitu berupa asuransi wajib dengan konsep third party liability . Dengan kata lain, proteksi third party liability pada UU 34/1964 telah sejalan dengan best practice dan kaedah umum yang berlaku di dunia perasuransian. Konsep ini juga berlaku di Indonesia, hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 huruf a UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, bahwa asuransi tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga merupakan salah satu dasar bagi penerimaan premi pada perusahaan asuransi. Asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga merupakan konsep asuransi mengalihkan risiko yang timbul karena adanya kerugian yang diderita oleh pihak ketiga sehubungan dengan aktivitas personal tertanggung. SWDKLLJ dimanfaatkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas dengan konsep third party liability . Pemikiran awal dari pembentukan perlindungan dasar yang diatur dalam UU 34/1964 dan peraturan pelaksanaannya sebagaimana tertuang dalam Memory van Toelechting (MvT) dan naskah akademik perumusan UU 34/1964 adalah untuk kepentingan umum dan setaraf dengan kemajuan teknik modern, dalam kehidupan manusia bermasyarakat terkandung bahaya yang kian meningkat disebabkan kecelakaan-kecelakaan diluar kesalahannya. Pada dasarnya, setiap warga negara harus mendapat perlindungan terhadap kerugian yang diderita karena risiko-risiko demikian. Oleh karena itu, segala akibat untuk memberikan jaminan sosial diberikan oleh pemerintah dan dilakukan secara gotong royong, dimana dana-dana yang dikumpulkan dari masyarakat akan diberikan dan disalurkan kembali kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 masyarakat dalam bentuk dana santunan bagi mereka yang mengalami risiko kecelakaan. Keadaan ekonomi dan keuangan yang menjadi pemicu adanya sistem jaminan sosial, dimana sistem jaminan sosial dilakukan secara gotong royong. Manifestasi dari gotong royong ini diimplementasikan dengan adanya dana-dana yang dikumpulkan dari masyarakat dimana pada prinsipnya dana-dana yang dikumpulkan tersebut dikenakan kepada masyarakat/pengusaha yang mempunyai kendaraan bermotor atau golongan yang mampu. Apabila terjadi risiko kecelakaan, dana yang diperoleh dari masyakarat yang mempunyai kendaraan bermotor tersebut akan digunakan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat yang mengalami kecelakaan dalam bentuk dana santunan. Prinsip gotong royong sebagaimana dimaksud dalam penjelasan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional diwujudkan dalam mekanisme gotong royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kirang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat, peserta yang berisiko rendah membantu peserta yang berisiko tinggi dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotongroyongan ini jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan soasial bagi seluruh masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut di atas, pemerintah dalam memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat telah mencerminkan suatu jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil kepada masyarakat sebagaimana tertuang dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. B. Apakah SWDKLLJ ini termasuk asuransi atau bukan, jika masuk ke dalam asurasi membayar premi mengapa ketika dia sendiri mengalami kecelakaan justru tidak tercover meskipun itu tunggal? 1. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa SWDKLLJ merupakan dana yang dibayarkan Wajib Pajak yang memiliki fungsi sebagai dana untuk Asuransi Sosial Kecelakaan Lalu Lintas Jalan ini yang diwajibkan oleh undang-undang bukan berdasarkan perjanjian sehingga hak dan kewajiban masing-masing pihak telah ditentukan dalam undang-undang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 Dalam hal ini kewajiban pembayaran SWDKLLJ merupakan asuransi tanggung gugat pihak ketiga dimana Jasa Raharja hanya membayarkan santunan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan kepada setiap pihak ketiga yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas jalan diluar kendaraan penyebab terjadinya kecelakaan tersebut.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, SWDKLLJ yang dihimpun atau dikumpulkan dari masyarakat yang mempunyai kendaraan bermotor dan kemudian dimanfaatkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas dengan konsep third party liability (TPL) atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga. Jika dikaji dalam prinsip asuransi, SWDKLLJ pada prinsipnya merupakan pembayaran premi dalam bentuk sumbangan wajib sebagai bentuk pengalihan risiko dari Pemilik kendaraan kepada Pemerintah sebagai penanggung dalam hal ini adalah PT. Jasa Raharja (Persero). SWDKLLJ memilki pengertian yang berbeda jika dibandingkan dengan premi yang dikutip pada asuransi umum, hal ini didasarkan pada :
SWDKLLJ merupakan jenis asuransi wajib dan hanya diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara sesuai ketentuan UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Sifat yang paling menonjol dari asuransi wajib adalah kepesertaannya yang bersifat wajib bagi mereka yang memenuhi syarat sebagai peserta berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana dalam UU 34/1964, pembayaran SWDKLLJ bersifat wajib dan dikenakan sanksi bagi mereka yang tidak/telat membayarnya. SWDKLLJ ini menimbulkan hak atas manfaat jika risiko-risiko yang ditanggung terjadi. Sifat ini menjadikan asuransi wajib sebagai program publik yaitu program yang memberikan hak dan kewajiban secara pasti berdasarkan undang-undang.
Dana yang dibayarkan Pemilik Kendaraan yang memiliki fungsi sebagai dana untuk Asuransi Sosial Kecelakaan Lalu Lintas Jalan ini yang wajibkan oleh undang-undang bukan berdasarkan perjanjian (asuransi konvensional), sehingga hak dan kewajiban masing-masing Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 pihak telah ditentukan dalam undang-undang. Dalam hal ini kewajiban pembayaran SWDKLLJ merupakan asuransi tanggung gugat pihak ketiga dimana Jasa Raharja hanya membayarkan santunan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan kepada setiap pihak ketiga yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas jalan di luar kendaraan penyebab terjadinya kecelakaan tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, SWDKLLJ merupakan premi yang ditetapkan oleh Pemerintah melalui UU.34/1964 dan berlaku bagi seluruh lapisan masyarakat pengguna kendaraan bermotor. Adapun manfaat berupa dana santunan yang merupakan wujud dari sumbangan wajib diberikan kepada pihak ketiga yang berada diluar kendaraan bermotor penyebab timbulnya kecelakaan. Pertanggungan yang diberikan kepada pihak ketiga yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas didasarkan atas premi dalam bentuk sumbangan wajib yang dikumpulkan dari masyarakat pengguna kendaraan bermotor berdasarkan asas gotong royong. II. Pertanyaan Yang Mulia Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA A. Dalam Keterangan Presiden ada argumen dasar yang digunakan oleh Pemerintah bahwa Undang-undang a quo memberikan perlindungan kepada masyarakat luas, namun mengapa perlindungan tersebut tidak diberikan kepada korban yang mengalami kecelakaan tunggal? Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Sumbangan yang dibayar oleh Pemilik kendaraan bermotor merupakan kewajiban yang diatur oleh UU 34/1964 untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat luas sebagai pihak ketiga yang menjadi korban akibat penggunaan kendaraan bermotor.
Manfaat yang diperoleh Pemilik Kendaraan bermotor dengan membayar sumbangan wajib, maka Pemilik Kendaraan bermotor akan terlindungi dari tuntutan sebagian tanggung jawabnya dari Pihak Ketiga sebagai korban.
Dalam hal Pemilik kendaraan mengalami kecelakaan yang disebabkan oleh kendaraan bermotor lain maka Pemilik kendaraan bermotor akan berada pada posisi pihak ketiga dan berhak mendapatkan santunan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 Dengan demikian perlindungan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor UU 34/1964 adalah perlindungan bagi anggota masyarakat lain yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas jalan yang bukan karena kesalahannya menjadi korban kecelakaan lalu lintas. Adapun yang dijamin oleh Pemerintah hanyalah terbatas pada kerugian-kerugian yang bersifat badaniah atau bodily injured baik menyangkut luka-luka/perawatan, cacat tetap, meninggal dunia maupun penggatian biaya penguburan. Dengan kata lain UU 34/1964 disebut sebagai Third Party Liability Insurance atau Asuransi Tanggung Gugat terhadap Pihak Ketiga. B. Pemerintah menjelaskan sebenarnya ada jaminan bagi korban kecelakaan tunggal manakala kecelakaan terjadi dalam hubungan kerja berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004, bagaimana jika kecelakaan tidak terjadi dalam rangka pelaksanaan tugas atau bekerja? Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa UU 34/1964 berbeda dengan UU 40/2004, dimana UU Nomor 34 Tahun 1964 memberikan perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas. Dalam UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mengatur mengenai 5 (lima) program jaminan sosial: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKm), jaminan hari tua, dan jaminan pensiun.
Dalam hal seorang pekerja mengalami kecelakaan tunggal dan tidak terjadi dalam rangka pelaksanaan tugas atau bekerja, dalam SJSN, pekerja tersebut mendapatkan perlindungan melalui program Jaminan Kesehatan dan/atau Jaminan Kematian (selama pekerja tersebut merupakan peserta program Jaminan Kesehatan dan/atau Jaminan Kematian).
Untuk kasus ini karena yang bersangkutan statusnya sebagai pekerja maka yang bersangkutan berhak mendapatkan manfaat dari program jaminan kecelakaan kerja atau jaminan kematian sesuai dengan ketentuan yang berlaku. C. Apakah ada data berapa banyak jumlah kecelakaan tunggal yang terjadi selama ini? Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 Berikut disampaikan bahwa data kecelakaan tunggal dalam rentang waktu 2015 sampai dengan bulan November 2017 di Indonesia sebagai berikut: Tahun Korban Kecelakaan Korban Kecelakaan Tunggal Persentase 2015 144.186 9.777 6,7% 2016 161.183 12.333 7,6% 2017 143.065 12.208 8,5% III. Pertanyaan Yang Mulia Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Bahwa mengenai Alat Lalu Lintas Angkutan Jalan dalam Pasal 4 UU a quo merujuk kepada Pasal 1 UU a quo . Pasal 1 UU a quo menyatakan ’’alat angkutan lalu lintas jalan yalah kendaraan bermotor seperti dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Lalu Lintas dan Kereta Api ”. Saat ini sudah ada UU Lalu Lintas Jalan yang baru, apakah “Alat angkut lalu lintas jalan” dalam UU 34/1964 juga bisa merujuk pada UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang baru ini? Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf c, UU 34/1964 menyatakan bahwa alat angkutan lalu lintas jalan adalah kendaraan bermotor seperti dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Lalu Lintas dan Kereta Api. Adapun Undang-Undang yang mengatur tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah sebagai berikut:
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya;
UU Nomor 7 Tahun 1951 tentang Perubahan dan Tambahan Undang- Undang Lalu Lintas Jalan (wegverkeersordonnantie, Staatsblad 1933 No. 86) ;
Staatsblad 1933 No. 86. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 f. Staatsblad 1940 No.72 2. Dikarenakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah mencabut undang-undang Lalu Lintas terdahulu, maka definisi alat angkutan lalu lintas jalan sebagaimana ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Lalu Lintas dan Kereta Api dinyatakan tidak berlaku. Definisi yang dikenal dalam UU 22/2009 adalah definisi Kendaraan bermotor sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 8 yang mendefinisikan kendaraan bermotor adalah Setiap kendaraan yang digerakan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan di atas rel. Selain itu, Presiden menghadirkan dua orang ahli yang didengar keterangannya di depan persidangan Mahkamah pada tanggal 8 Januari 2018 yang juga menyampaikan keterangan tertulisnya, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Prof. Hikmahanto Juwana, S.H. LL.M, Ph.D Maksud dibentuknya sebuah peraturan perundang-undangan atau populer disebut sebagai politik hukum dapat dilihat dari konsiderans menimbang, penjelasan umum, naskah akademik dan memorie van toelichting . Dalam konteks Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (UU 34/1964) yang tersedia adalah konsiderans menimbang, penjelasan umum dan dokumen dengan judul Riwayat Pembentukan Undang-Undang Nomor 33 dan 34 Tahun 1964 sebagai dokumen memorie van toelichting (selanjutnya disingkat “Riwayat Pembentukan UU”). Berdasarkan tiga hal tersebut, dapat diketahui tujuan dari pembentukan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (UU 33/1964) dan UU 34/1964 adalah dalam rangka keberpihakan negara terhadap korban kecelakaan. Dalam UU 33/1964 yang dimaksud korban kecelakaan adalah penumpang dari kendaraan bermotor umum.Sementara yang dimaksud korban kecelakaan dalam UU 34/1964 adalah publik bukan penumpang . Di dalam konsiderans Menimbang dari UU 34/1964 huruf (a) disebutkan bahwa, “berhubung dengan perkembangan masyarakat dewasa ini, sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 langkah pertama menuju ke suatu jaminan sosial ( social security ) sebagaima ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor II/MPRS/1960, beserta lampiran-lampirannya, dianggap perlu untuk mengadakan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.” Selanjutnya dalam Penjelasan Umum dari UU 34/1964 Romawi I angka 1 disebutkan bahwa, “Setara dengan kemajuan teknik modern, dalam penghidupan manusia bermasyarakat terkandung bahaya yang kian meningkat disebabkan kecelakaan-kecelakaan di luar kesalahannya .” Kata-kata “kecelakaan-kecelakaan di luar kesalahannya” jelas merujuk pada siapapun masyarakat yang sedang berada di jalan raya yang tidak mempunyai kendali terhadap alat angkutan.Sama sekali bukan pada pemilik atau pengusaha dari alat angkutan. Lebih lanjut diungkapkan pada kalimat berikut bahwa “Pada dasarnya,setiap warga negara harus mendapat perlindungan terhadap kerugian yang diderita karena risiko-risiko demikian.” Mengapa demikian? Ini mendapat penjelasan lebih lanjut dengan dikatakan, “Ini merupakan suatu pemikiran sosial.Oleh karena keadaan ekonomi dan keuangan dewasa ini belum mengizinkan, bahwa segala akibat mengadakan jaminan sosial tersebut ditampung oleh Pemerintah, maka perlu usaha ini dilakukan secara gotong-royong.” Lalu bagaimana wujud dari kegotong-royongan ini? Ini dibahas dalam penjelasan berikut yang mengatakan, “Manifestasi dari kegotong-royongan ini adalah dengan pembentukan dana-dana yang cara pemupukannya dilakukan dengan mengadakan iuran-iuran wajib, di sana akan dianut principe bahwa yang dikenakan iuran wajib tersebut adalah hanya golongan atau mereka yang berada atau mampu saja, sedang hasil pemupukannya akan dilimpahkan juga kepada perlindungan jaminan rakyat banyak, yaitu para korban kecelakaan lalu lintas jalan yang disebabkan oleh kendaraan bermotor dan kereta api. Oleh karena itu jaminan sosial rakyatnya yang dalam pada itu menjalani pokok tujuan.” Jadi disini berbeda dengan prinsip asuransi dimana Tertanggung harus membayar premi kepada Penanggung.Dalam Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan jelas korban kecelakaan lalu lintas jalan tidak membayar apapun premi.Pihak yang membayar hanyalah golongan atau mereka yang berada atau mampu saja. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 Lebih lanjut dijelaskan “Kita lebih melihat kepada rakyat banyak yang mungkin menjadi korban risiko-risiko teknik modern, dari pada kepada para pemilik/pengusaha alat-alat modern, yang bersangkutan .Dan jika jaminan itu dirasakan oleh rakyat, maka akan timbullah pula kegairahan social kontrol.” Selanjutnya dalam Penjelasan Umum dari UU 34/1964 Romawi I angka 2 disebutkan bahwa, “Sebagai langkah pertama menuju ke suatu sistim jaminan sosial ( social security ) yang mengandung perlindungan yang dimaksud dapatlah diadakan iuran-iuran wajib bagi para pemilik/pengusaha kendaraan bermotor dengan menganut principe tersebut di dalam ad 1 di atas.” Selanjutnya dalam Penjelasan Umum dari UU 34/1964 Romawi I angka 3 disebutkan bahwa, “Pembentukan dana-dana tersebut akan dipakai guna perlindungan publik bukan penumpang terhadap kecelakaan yang terjadi dengan alat-alat angkutan termaksud di atas. Bagi penumpang, perlindungan demikian ditampung oleh dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964.” Bila mempelajari secara cermat Riwayat Pembentukan UU maka awal dari pembentukan UU 33/1964 dan UU 34/1964 diawali dari inisiatif pemerintah untuk mengajukan RUU tentang Asuransi Wajib Kendaraan Bermotor dan Kecelakaan Penumpang. Dalam perdebatannya di DPR-GR, pemerintah menyamapaikan bahwa, “dasar dari pada RUU itu ialah pemikiran untuk memberikan Social Security terhadap rakyat yang menggunakan jalan-jalan umum oleh kendaraan-kendaraan bermotor untuk umum.” Oleh karena hal tersebut istilah judul dari RUU ini dianggap tidak tepat bila yang hendak dilindungi adalah rakyat kebanyakan yang menjadi penumpang dari alat angkutan dan publik yang bukan penumpang.Ini disampaikan oleh anggota Dewan bernama A. Baraba. Baraba menyampaikan, “setelah mendengar jawaban Pemerintah menyimpulkan bahwa rupanya penggunaan kata “asuransi” untuk rancangan undang-undang ini tidak begitu tepat. Karena maksud sesungguhnya rancangan undang-undang ini yang akan menolong korban-korban kecelakaan yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 Dari situ kemudian Dewan meminta agar pemerintah meninjau ulang judul dari RUU tersebut mengingat ini tidak terkait dengan usaha asuransi. Pada akhirnya pemerintah mengusulkan dua RUU sebagai pengganti dari RUU Asuransi Wajib Tanggung Jawab Kendaraan Bermotor dan Kecelakaan Penumpang yaitu RUU tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan RUU tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Pihak ketiga korban kecelakaan saat mereka di jalan-jalan umum perlu dilindungi karena mereka bisa menjadi korban tanpa keinginan mereka.Mereka tidak boleh ditelantarkan.Kebanyakan dari mereka yang berada di jalan tidak mempunyai asuransi jiwa atau kesehatan.Padahal mereka mungkin menjadi tulang punggung keluarga.Oleh karenanya Negara harus hadir bagi mereka yang menjadi korban, saat mereka menjadi korban yang mengakibatkan hilangnya nyawa maupun cidera. Kewajiban negara ini sejak tahun 1964 hingga sekarang masih belum di mungkinkan untuk diemban oleh negara.Untuk menutupi kelemahan ini maka Negara mewajibkan pemilik atau pengusaha kendaraan dikenakan iuran. Disinilah letak gotong royong yang dimaksud dalam UU 34/1964. Dana yang berasal dari iuran tersebut kemudian dikelola layaknya yang dikenal dalam mekanisme asuransi sehingga dana semakin berkembang. Bila terjadi risiko kecelakaan terhadap pihak ketiga yang bukan penumpang maka dana tersebut dapat segera dicairkan. Dalam konteks seperti ini tidak ada diskriminasi yang dilakukan oleh Negara terhadap korban kecelakaan jika yang dimaksud dengan korban kecelakaan adalah penumpang dari alat angkutan atau publik yang bukan penumpang. Justru Negara membuat kebijakan yang afirmatif terhadap korban kecelakaan yang merupakan publik bukan penumpang . Negara tidak membeda- bedakan latar belakang dari publik bukan penumpang yang menjadi korban, apakah dari golongan kaya atau miskin, apakah memiliki asuransi atas jiwanya ataupun tidak. Tidak heran bila Dana yang dikelola disebut sebagai asuransi sosial. Asuransi sosial tentu tidak sama dengan asuransi wajib. Asuransi sosial lebih menekankan pada aspek gotong royong. Mereka yang tidak membayar premi tetap mendapat perlindungan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 Sementara asuransi wajib masuk dalam asuransi komersial.Perlu dipahami dalam asuransi komersial pihak yang memiliki risiko (Tertanggung) berkeinginan untuk mengalihkan risiko tersebut ke perusahaan asuransi (Penanggung). Sebagai kompensasi perusahaan asuransiakan mendapatkan uang premi. Besarnya premi akan bergantung pada berbagai faktor. Bila premi tidak dibayar maka tidak ada perlindungan terhadap risiko.Ini jelas tidak dianut dalam Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan sebagaimana dimaksud dalam UU 34/1964. Untuk dipahami asuransi komersial tertentu menjadi wajib ketika Negara mewajibkan pihak yang memiliki risiko untuk menutup asuransi.Semisal saat mobil berada di jalan di sejumlah negara maka mobil tersebut harus ada asuransinya.Bila tidak maka mobil tersebut dilarang untuk berada di jalan.Di Indonesia untuk mobil yang berada di jalan hingga saat ini tidak diwajibkan oleh Negara untuk memiliki asuransi.Sehingga tidak ada asuransi wajib bagi kendaraan di jalan. Mengingat secara jelas bahwa yang hendak ditanggung dari Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan adalah korban yang merupakan publik yang bukan penumpang maka kata “diluar” sebagaimana terdapat dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 wajib ada dan tidak mungkin dibatalkan/dihapuskan. Bila kata “diluar” dibatalkan/dihapuskan maka ruh dalam UU 34/1964 sebagaimana yang termaktub dalam konsiderans menimbang, Penjelasan Umum dan memorie van toelichting akan tidak sesuai. Terlebih lagi Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 jelas menyebut, “Setiap orang yang menjadi korban... akibat kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu lintas jalan ,...” Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Alat angkutan lalu lintas jalan” ialah “kendaraan bermotor seperti dimaksud dalam pasal 1 Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya dan Kereta Api.” 2. Dr. H. Firdaus Djaelani, MA. UU Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu lintas jalan, pada dasarnya merupakan UU yang mewajibkan setiap pemilik/ pengusaha kendaraan bermotor di Indonesia untuk memiliki asuransi tanggung jawab hukum terhadap kecelakaan diri pihak ketiga. Hal ini tercermin dari riwayat pembentukan UU Nomor 34 Tahun 1964 ketika diajukan oleh Pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 dan dibahas secara intensif oleh DPR Gotong Royong pada bulan Desember 1964. Ketika masih dalam bentuk RUU, nama RUU tersebut adalah RUU mengenai Asuransi Wajib Kendaraan Bermotor untuk Tanggung Jawab Menurut Hukum Terhadap Pihak Ketiga. Di pasar asuransi kendaraan bermotor, asuransi TJH ini biasa juga disebut asuransi tanggung gugat. Kenapa demikian, karena korban kecelakaan lalu lintas dapat saja menuntut/ menggugat secara perdata atas kerugian yang dialaminya kepada pihak yang menyebabkan kecelakan. Dalam Pasal 1365 KUH Perdata diatur bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Dalam perjalanan pembahasannya dan ketika diundangkan menjadi UU Nomor 34 Tahun 1964 pada tanggal 31 Desember 1964, nama RUU tersebut berubah menjadi UU tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Namun demikian secara substansi antara RUU dan UU tidak berubah yakni mewajibkan setiap pengusaha atau pemilik kendaraan bermotor di Indonesia untuk memiliki asuransi tanggung jawab hukum terhadap kecelakaan diri pihak ketiga. Mekanisme yang digunakan yakni mewajibkan setiap pemilik/ pengusaha kendaraan bermotor setiap tahunnya membayar sejumlah uang tertentu (SWDKLLJ), kemudian Dana yang terhimpun dari sumbangan wajib tersebut dikelola dan dipergunakan untuk membayar korban kecelakaan lalu lintas jalan. Pihak Ketiga yang dimaksud adalah pihak diluar Pihak Pertama (Penanggung atau Perusahaan Asuransi) dan Pihak Kedua (Tertanggung). Dalam UU Nomor 34 Tahun 1964 berikut peraturan pelaksanaannya, yang dimaksud pihak pertama tentunya perusahaan/badan usaha milik negara yang menghimpun dan mengelola dana yang berasal dari sumbangan wajib yang dipungut dari pemilik/pengusaha alat angkutan lalu lintas jalan (dalam hal ini PT Persero Asuransi Kerugian Jasa Raharja), sedangkan pihak kedua adalah pemiliki/ pengusaha kendaraan bermotor di Indonesia. Lantas siapa pihak ketiga, pihak ketiga adalah mereka yang menjadi korban Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 kecelakaan lalu lintas yang berada diluar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Korban sebagaimana didifinisikan dalam PMK Nomor 16 Tahun 2017 adalah setiap orang yang berada di luar alat angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan, yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan. Dengan demikian maka mereka yang memperoleh kecelakaan tapi bukan sebagai korban tidak berhak memperoleh santunan dari Dana Kecelakaan Lalu lintas Jalan. Seperti misalnya pengemudi dan penumpang kendaraan yang menyebabkan kecelakaan dan kecelakaan tunggal, meskipun dalam pelaksanaannya Direksi pengelola dana dapat saja memberi sejumlah dana empati ( ex gratia ) yang jumlahnya tidak sebesar santunan korban. Konsep Asuransi TJH kepada pihak ketiga sebagaimana dianut dalam UU Nomor 34 Tahun 1964 adalah konsep asuransi yang berlaku secara universal di belahan dunia lainnya dalam bentuk asuransi wajib kendaraan bermotor dengan variasi yang bermacam macam. Ada negara yang mewajibkan asuransi TJH kepada pihak ketiga bukan hanya untuk kecelakaan diri saja tapi juga terhadap kerusakan kendaraan dan property lainnya. Dinegara negara Asean konsepnya mirip dengan UU 34/1964 yakni hanya TJH kecelakaan diri, namun Malaysia dgn santunan unlimited biaya rumah sakitnya. Di negara negara bagian Australia santunan juga diberikan kepada pengemudi kendaraan bukan korban tapi dengan jumlah yang terbatas. Di negara negara maju lainnya seperti Amerika dan Eropah umumnya asuransi TJH mengcover kecelakaan diri dan kerusakaan kendaraan/ properti korban. Pengemudi atau penumpang bukan angkutan umum dapat melindungi dirinya atau keluarganya dari kerugian keuangan akibat kecelakaan bukan korban atau kecelakaan tunggal, dengan membeli asuransi komersial seperti asuransi jiwa, asuransi kecelakaan diri, asuransi kendaraan bermotor semua risiko ( all risk ). Kesimpulan kami bahwa UU Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, adalah UU yang memang dibuat untuk mewajibkan setiap pemilik kendaraan/pengusaha kendaraan bermotor di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 Indonesia utk memiliki asuransi tanggung hukum terhadap kecelakaan diri pihak ketiga yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas, dengan membayar sumbangan wajib setiap tahunnya. Mereka yang mengalami kecelakaan bukan korban dan kecelakaan tunggal tidak berhak memperoleh santunan dari dana kecelakaan lalu lintas jalan. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Pihak Terkait yaitu PT Jasa Raharja menyampaikan keterangan tertulis bertanggal 15 Januari 2018, yang juga disampaikan secara lisan dalam sidang hari Senin, 15 Januari 2018, pada pokoknya sebagai berikut: I. UMUM A. Dasar Penugasan Jasa Raharja 1. Bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Penunjukan Perusahaan Negara Asuransi Kerugian Jasa Raharja, PT Jasa Raharja (Persero) yang selanjutnya disebut “Jasa Raharja” ditunjuk oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program perlindungan dasar kepada masyarakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan beserta Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.
Bahwa penunjukan pengelolaan kedua undang-undang tersebut ditegaskan lagi melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 337/KMK.011/1981 tanggal 2 Juni 1981 tentang Penunjukan Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kerugian Jasa Raharja Untuk Menyelenggarakan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 1964 dan UU Nomor 34 Tahun 1964 beserta peraturan pelaksanaannya.
Bahwa ketentuan mengenai besaran santunan dan besaran Iuran wajib dan Sumbangan wajib diatur pertama kali dalam Keputusan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan Nomor B.A.P.N 1-3-39 tanggal 26 April 1965 tentang Hal-Hal Mengenai Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 Penumpang dan Keputusan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan Nomor B.A.P.N 1-3-40 tanggal 26 April 1965 tentang Hal-Hal Mengenai Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.010/2017 tentang Besar santunan dan Iuran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum di Darat, Sungai/ Danau, Feri/Penyebrangan, Laut dan Udara dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.010/2017 tentang Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. B. Penghimpunan dan Pengelolaan Dana UU Nomor 33 dan 34 Tahun 1964 1. Dana yang dikelola Jasa Raharja dihimpun dari:
Iuran Wajib Iuran Wajib merupakan iuran yang wajib dibayarkan oleh setiap penumpang alat angkutan umum baik di darat, laut maupun udara kepada Jasa Raharja yang merupakan bagian dari komponen ongkos angkut dan dibayarkan melalui pengusaha/pemilik alat angkutan penumpang umum yang bersangkutan. Khusus penumpang kereta api untuk jarak kurang dari 50 km dan penumpang angkutan dalam kota dibebaskan dari pembayaran Iuran Wajib namun tetap berhak mendapatkan santunan yang sama jika mengalami kecelakaan.
Sumbangan Wajib Sumbangan Wajib merupakan sumbangan yang wajib dibayarkan oleh pemilik atau pengusaha alat angkutan lalu lintas jalan setiap tahunnya kepada Jasa Raharja melalui mekanisme Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) yang merupakan serangkaian kegiatan dengan Registrasi dan Identifikasi kendaraan bermotor, pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap Kendaraan Bermotor. Khusus pengusaha/pemilik sepeda motor dengan 50cc atau kurang, kendaraan ambulance, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan jenazah dan kereta api dibebaskan dari pembayaran Sumbangan Wajib namun setiap korban yang ditimbulkannya tetap berhak mendapatkan santunan yang sama. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 2. Pengelolaan Dana a. Iuran Wajib dan Sumbangan Wajib yang telah dihimpun oleh Jasa Raharja menjadi dana pertanggungan yang dikelola secara prudent dan digunakan untuk pembayaran ganti kerugian pertangggungan wajib kecelakaan penumpang dan kecelakaan lalu lintas jalan.
Dengan pengelolaan yang prudent tersebut, Jasa Raharja dapat memperoleh Laba dan sebagian dari Laba tersebut disetorkan kepada Negara dalam bentuk Deviden ke dalam APBN yang selanjutnya digunakan untuk pembiayaan pembangunan nasional.
Sebagian laba yang diperoleh Jasa Raharja juga dialokasikan untuk membiayai kegiatan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. C. Prosedur Pelayanan Santunan 1. Korban yang berhak mendapatkan santunan adalah:
Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 1964 Setiap penumpang alat angkutan penumpang umum baik di darat, laut maupun udara yang mengalami kecelakaan saat naik hingga tiba di tempat tujuan dengan menggunakan alat angkutan yang bersangkutan.
Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 1964 Setiap korban yang berada diluar alat angkutan lalu lintas jalan yang menjadi penyebab kecelakaan.
Mekanisme Pembayaran Santunan a. Bukti dasar pengajuan santunan adalah laporan polisi atau laporan dari instansi berwenang lainnya tentang kecelakaan yang telah terjadi.
Korban kecelakaan yang termasuk dalam ruang lingkup jaminan UU Nomor 33 dan 34 Tahun 1964 tersebut dapat mengajukan santunan ke Jasa Raharja paling lambat 6 (enam) bulan setelah terjadinya kecelakaan.
Jangka waktu pertanggungan terhadap korban kecelakaan adalah 365 hari sejak terjadinya kecelakaan.
Dalam hal korban mengalami luka-luka dan terjamin sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Jasa Raharja menerbitkan Surat Jaminan kepada pihak rumah sakit yang merawat korban termasuk biaya P3K dan ambulan.
Bagi korban yang mengalami cacat tetap diberikan santunan berdasarkan surat keterangan dokter tentang jenis cacat tetap yang diderita korban. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 f. Khusus korban yang meninggal dunia, santunan dibayarkan kepada ahli waris yang sah.
Sedangkan bagi korban yang tidak memiliki ahli waris, maka kepada pihak yang menyelenggarakan penguburan diberikan penggantian biaya penguburan.
Besaran Santunan Besaran nilai santunan berdasarkan kedua Peraturan Menteri Keuangan tersebut di atas adalah sebagai berikut:
Santunan Meninggal Dunia sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Santunan Cacat Tetap sesuai dengan persentase cacat tetap yang dialami korban maksimum Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Penggantian Biaya Perawatan dan Pengobatan Untuk korban kecelakaan di darat dan di laut diberikan maksimum Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dan maksimum Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) untuk korban kecelakaan di udara.
Penggantian Biaya Penguburan Dalam hal korban yang tidak memiliki ahli waris, maka kepada pihak yang menyelenggarakan penguburan korban diberikan penggantian biaya penguburan sebesar Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah).
Manfaat Tambahan Manfaat Tambahan yang diberikan kepada korban kecelakaan adalah sebagai berikut:
Biaya ambulans dan kendaraan yang membawa penumpang ke fasilitas kesehatan maksimum Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah); dan/atau
Biaya Pertolongan pertama pada kecelakaan maksimum Rp.
000.000,- (satu juta rupiah). Dasar pemikiran manfaat tambahan tersebut adalah dengan mempertimbangkan fakta dari hasil penelitian bahwa lebih dari 50% kematian akibat kecelakaan terjadi pada menit-menit pertama korban berada di TKP dan lebih dari 20% kematian terjadi saat perjalanan korban ke Rumah Sakit atau pada hari terjadinya kecelakaan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 D. Peningkatan Pelayanan dan Inovasi Sebagai BUMN yang berkewajiban menyelenggarakan pelayanan publik, Jasa Raharja senantiasa melakukan inovasi dan sinergi dengan mitra kerja terkait antara lain:
Mengembangkan komitmen pelayanan dengan akronim PRIME yaitu Proaktif, Ramah, Ikhlas, Mudah dan Empati. Tujuannya adalah memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat khususnya korban kecelakaan.
Bekerjasama secara online dengan pihak Kepolisian untuk memperoleh Laporan Polisi yang berbasis program IRSMS ( Integrated Road Safety Management System ) yang terintegrasi dengan sistem Jasa Raharja sehingga setiap data kecelakaan yang teregister di kepolisian dengan mudah diakses untuk segera ditindaklanjuti dengan pelayanan.
Bekerjasama dengan 1.068 rumah sakit di seluruh Indonesia untuk memudahkan pembayaran santunan kepada pihak rumah sakit melalui mekanisme overbooking sehingga pihak korban tidak perlu mengeluarkan uang pribadi untuk membiayai pengobatannya.
Bekerjasama secara online dengan Ditjen Pendudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri untuk mengetahui data maupun identitas korban kecelakaan termasuk ahli waris korban.
Bekerjasama dengan pihak perbankan untuk pembukaan dan pembayaran santunan dengan mekanisme Cash Management System (CMS).
Menyediakan aplikasi santunan online yang dapat diakses oleh masyarakat dengan menggunakan gadget .
Untuk meningkatkan kompetensi pegawai khususnya di bidang pelayanan, setiap pegawai Jasa Raharja yang bertugas di bidang pelayanan harus memiliki Sertifikasi Pelayanan yang diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Pelayanan (LSP) Jasa Raharja. Lembaga Sertifikasi ini merupakan satu- satunya lembaga yang dibentuk dan dimiliki oleh perusahaan asuransi yang ada di Indonesia dengan mengembangkan skema pelayanan. Inovasi dan komitmen tersebut, berdampak pada capaian kinerja unggul dalam penyelesaian santunan korban meninggal dunia yang ditargetkan selama 6 hari sejak kejadian kecelakaan, dapat direalisasikan rata-rata selama 1 hari 21 jam pada tahun 2017. Sedangkan penyelesaian pengajuan santunan sejak berkas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 lengkap yang ditargetkan selama 1 jam 30 menit, dapat direalisasikan rata-rata 32 menit pada tahun 2017. E. Layanan Daerah Pelosok dan di Lintas Batas 1. Pelayanan yang diberikan Jasa Raharja terbentang dari Sabang sampai ke Merauke hingga menjangkau daerah-daerah pelosok dengan standar pelayanan yang sama.
Jasa Raharja memastikan pelayanan santunan dilakukan sampai ke daerah lintas batas negara seperti di daerah perbatasan Kalimantan Barat (Entikong, Aruk, Nanga Badau) dan Perbatasan NTT (Motain Belu, Motamasin Malaka, Wini, Oepoli) serta di daerah perbatasan Papua (Skouw dan Waris). F. Kepatuhan 1. Penerapan Good Corporate Governance (GCG) a. Pelayanan yang diberikan Jasa Raharja kepada masyarakat yang menjadi korban kecelakaan senantiasa berpedoman kepada prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) sebagaimana telah digariskan oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
Konsistensi penerapan GCG dibuktikan dengan skor yang mencapai 95,28. Skor yang terbilang tinggi di diantara BUMN-BUMN lain.
Pengawasan a. Kegiatan operasional Jasa Raharja baik sistem maupun prosedur pada awalnya diawasi oleh Departemen Keuangan dalam hal ini Bapepam-LK yang kemudian dilanjutkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Jasa Raharja secara periodik diaudit oleh Satuan Pengawasan Intern dan oleh lembaga eksternal seperti Kantor Akuntan Publik (KAP) serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). G. Kegiatan Peningkatan Keselamatan Berlalu Lintas Untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas dan memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, Jasa Raharja turut berpatisipasi antara lain:
Mudik Gratis bersama BUMN setiap tahunnya.
Program Safety Riding dan Jasa Raharja Goes To Campus bekerjasama dengan mitra terkait. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 3. Memberikan bantuan sarana dan prasarana untuk pendukung operasional di jalan raya berupa Traffic Cone , Barikade, Rambu-Rambu Lalu Lintas dan sarana lainnya.
Pendidikan dan pelatihan bagi pengemudi angkutan umum yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya.
Sosialisasi kepada masyarakat umum melalui media cetak, elektronik, media sosial dan interaksi langsung dengan masyarakat. Serta upaya-upaya lainnya dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan wujud partisipasi Jasa Raharja dalam upaya keselamatan berlalu lintas. II. KETERANGAN ATAS PASAL YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI Berdasarkan uraian di atas dan keterangan Pemerintah serta keterangan ahli yang telah disampaikan dalam persidangan sebelumnya, izinkanlah kami menyampaikan penjelasan sebagai berikut:
Kami sependapat dengan keterangan Pemerintah dan Keterangan Ahli bahwa UU Nomor 34 Tahun 1964 tetap relevan dalam memberikan jaminan dan dibutuhkan oleh masyarakat yang mengalami kecelakaan lalu lintas jalan yang disebabkan oleh penggunaan kendaraan bermotor dan tetap sejalan dengan UUD 1945.
Kasus Kecelakaan yang terjadi di Jawa Timur Terkait dengan kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Jawa Timur, perkenankan kami atas nama Jasa Raharja menyampaikan duka yang mendalam atas meninggalnya almarhum Rokhim (suami dari Ibu Maria Theresia Asterianti), semoga almarhum dimuliakan disisi Allah SWT. Amin. Adapun kronologis kasus kecelakaan yang dialami almarhum dan dijadikan dasar oleh pemohon untuk mengajukan permohonan uji materi penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 1964 terhadap UUD 1945 dapat kami jelaskan sebagai berikut :
Kecelakaan yang menimpa korban a.n. Rokhim terjadi pada tanggal 24 Juli 2017 di Jl. A. Yani Surabaya merupakan kecelakaan tunggal.
Jasa Raharja Perwakilan Surabaya telah melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur yang berlaku yaitu melakukan Penolakan terhadap pengajuan santunan kecelakaan tunggal tersebut kepada ahli waris korban. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 c. Penolakan yang dilakukan oleh Jasa Raharja sebelumnya telah didahului dengan penjelasan bahwa kasus kecelakaan tersebut diluar jaminan UU Nomor 34 Tahun 1964. Ahli waris menyatakan bisa menerima dan memahami hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam surat permohonan yang bersangkutan yang ditujukan kepada Jasa Raharja Cabang Jawa Timur. Permohonan tersebut dikabulkan dan dibayarkan santunan secara ex-gratia pada tanggal 25 September 2017.
Ex-Gratia menurut Black Law Dictionary berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa inggris disebut “ by favor ” atau “bantuan”. Ex gratia payment adalah “ A payment not legally required ” especially an insurance payment not required to be made under an insurance policy ” (Pembayaran yang tidak diwajibkan secara hukum khususnya dalam pembayaran ganti rugi yang tidak harus dilakukan berdasarkan perjanjian pertanggungan). Dengan dasar pemahaman tersebut, pembayaran secara ex-gratia merupakan bantuan yang diberikan dengan pertimbangan-pertimbangan khusus untuk menyelesaikan kasus-kasus pertanggungan. III. KESIMPULAN Berdasarkan uraian dan argumentasi yang telah kami sampaikan di atas, kami memberikan kesimpulan sebagai berikut:
Jasa Raharja selaku yang diberi amanah oleh pemerintah untuk melayani masyarakat korban kecelakaan lalu lintas dan korban kecelakaan angkutan umum telah bekerja sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Kami sependapat dengan keterangan pemerintah dan keterangan ahli pada persidangan sebelumnya bahwa UU Nomor 34 Tahun 1964 tetap relevan dengan keadaan saat ini dan UU a quo memang diperuntukkan untuk memberikan jaminan kepada Pihak ketiga atau korban yang berada di luar alat angkutan lalu lintas jalan yang menyebabkan kecelakaan dan bukan untuk korban kecelakaan tunggal.
Penyelesaian kasus kecelakaan tunggal yang diajukan oleh Sdri. Maria Theresia sebagaimana yang telah diuraikan tersebut di atas telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 [2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2721, selanjutnya disebut UU34/1964) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a. [3.4] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan olehUUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggapdirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon sesuai dengan uraian Pemohon dalam permohonanannya beserta bukti-bukti yang relevan; [3.6] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan sebagai perseorangan warga negara Indonesia dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK): 3578055309700002, sebagaimana terdapat dalam Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon. Pemohon mendalilkan telah mengalami kerugian konstitusional dengan adanya ketentuan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964, dengan alasan sebagai berikut: [3.6.1] Bahwa Pemohon merupakan istri dari Rokhim, warga negara Indonesia dengan NIK 3578052411680004. Suami Pemohon tersebut mengalami kecelakaan tunggal dan meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 2017 saat mengendarai sepeda motor. Bahwa kemudian Pemohon mengajukan klaim santunan asuransi atas meninggalnya suami Pemohon tersebut kepada PT. Jasa Raharja, namun demikian klaim tersebut tidak dipenuhi oleh PT. Jasa Raharja dengan alasan selama ini PT. Jasa Raharja tidak memberikan santunan terhadap korban kecelakaan tunggal. PT. Jasa raharja menyatakan bahwa dasar hukum terhadap hal tersebut diatur dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 yang menyatakan: “ (1) Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Namun demikian, bila si korban ini telah dapat jaminan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 berdasarkan Undang-Undang tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang No. 33 tahun 1964, maka jaminan hanya diberikan satu kali, yaitu oleh dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang yang dimaksud dalam Undang-undang tersebut. ” [3.6.2] Bahwa berlakunya ketentuan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sepanjang kalimat “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan”. sangat merugikan hak konstitusional Pemohon, sebab dengan berlakunya ketentuan a quo , hak Pemohon mendapatkan santunan kecelakaan akan terhalangi. [3.6.3] Bahwa, Pasal 4 UU 34/1964 menyatakan, “dana akan memberi kerugian kepadanya atau kepada ahli warisnya.” Bahwa, karena suami korban yang mengalami kecelakaan meninggal dunia maka otomatis santunan diberikan kepada Pemohon sebagai ahli waris dari suami. Sehingga Pemohon mempunyai legal standing di dalam pengajuan Permohonan a quo . [3.7] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama uraian permohonan dan dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, bukti-bukti yang diajukan berkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon, menurut Mahkamah Pemohon telah membuktikan sebagai warga negara Indonesia yang merupakan ahli waris dari seorang warga negara yang telah meninggal dunia dikarenakan mengalami kecelakaan lalu lintas, dan bahwa Pemohon telah mengajukan klaim asuransi kepada PT. Jasa Raharja yang kemudian tidak dapat dipenuhi. Bahwa norma Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 yang menjadi objek pengujian a quo dijadikan dasar bagi PT. Jasa Raharja untuk menolak klaim asuransi yang diajukan oleh Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah, terlepas dari konstitusionalitas norma a quo yang harus dibuktikan terlebih dahulu pada pokok perkara, terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian atau potensi kerugian yang dialami Pemohon dengan norma yang diajukan untuk diuji dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) selaku Pemohon dalam permohonan pengujian Undang-Undang a quo ; [3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo , dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo , maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan; POKOK PERMOHONAN [3.9] Menimbang bahwa Pemohon pada pokoknya mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964, yang menyatakan: “ (1) Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Namun demikian, bila si korban ini telah dapat jaminan berdasarkan Undang-undang tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang No. 33 tahun 1964, maka jaminan hanya diberikan satu kali, yaitu oleh dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang yang dimaksud dalam Undang-undang tersebut. ” sepanjang frasa, “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan ” Menurut Pemohon, norma a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut.
Frasa dimaksud dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 tersebut telah dimaknai secara sempit di mana kecelakaan yang dijamin mendapat santunan kecelakaan hanya yang melibatkan dua kendaraan, bukan satu kendaraan atau kecelakaan tunggal. Sebab, kecelakaan satu kendaraan korbannya ada di dalam alat angkutan itu sendiri, bukan di luar alat angkutan. Sementara, korban kecelakaan tunggal meski tetap membayar Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), dalam hal ini suami Pemohon sebagai korban kecelakaan tunggal membayar SWDKLLJ setiap tahunnya, tetapi dinyatakan tidak berhak menerima dana santunan kecelakaan lalu lintas oleh PT. Jasa Raharja.
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 telah membuat norma baru, bahkan menjadi norma terselubung. Sebab, Pasal 4 ayat (1) Undang- Undang a quo mengatur bahwa siapapun yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas baik mati maupun cacat tetap dijamin mendapatkan santunan asuransi Jasa Raharja. Sementara dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) menjadi dipersempit bahwa yang mendapatkan santunan kecelakaan lalu lintas adalah mereka yang berada di luar alat angkutan. Dengan demikian, menurut Pemohon, penjelasan norma pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 juga telah menyebabkan Pemohon mendapatkan perlakuan diskriminatif. Sebab, seorang warga negara pembayar SWDKLLJ yang merupakan sumbangan yang tidak dibedakan/dikecualikan untuk kecelakaan tunggal, seharusnya diperlakukan sama dengan semua warga negara yang mengalami kecelakaan lalu lintas tidak tunggal. Dengan demikian, didalilkan Pemohon norma a quo bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. [3.10] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama permohonan Pemohon, bukti-bukti Pemohon, keterangan Presiden, keterangan ahli Presiden, serta keterangan Pihak Terkait PT. Jasa Raharja Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut. [3.11] Menimbang bahwa masalah konstitusionalitas yang dipersoalkan adalah Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 yaitu sepanjang frasa “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” . Penjelasan dimaksud dianggap telah menyebabkan terjadinya ketidak-pastian hukum terhadap Pemohon untuk mendapatkan dana santunan kecelakaan tunggal suaminya. Pada saat yang sama, menurut Pemohon, keberadaan frasa di dalam penjelasan itu pun telah menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap warga negara. Dengan alasan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 itu, Pemohon menilai bahwa hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 terlanggar dan/atau potensial terlanggar. Karena itu, untuk mengakhiri atau menghindari kerugian konstitusional atau potensi kerugian yang dialaminya, Pemohon meminta agar frasa “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. [3.12] Menimbang bahwa sehubungan dengan permohonan a quo , terdapat dua persoalan konstitusional yang harus dijawab lebih jauh, yaitu:
Apakah penjelasan norma di dalam pasal a quo sepanjang frasa “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” telah menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum, terutama karena Pemohon selalu membayar SWDKLLJ dan karena terjadinya penyempitan norma Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945? 2. Apakah penjelasan norma di dalam pasal a quo sepanjang frasa “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” telah menyebabkan terjadinya perlakuan diskriminatif terhadap warga negara yang mengalami kecelakaan lalu lintas, sehingga melanggar hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945? Terhadap masalah konstitusional penjelasan norma pasal a quo sebagaimana termanifestasi dalam kedua pertanyaan di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa mengenai kepastian hukum penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, persoalan hukum yang dikemukakan Pemohon sesungguhnya bukan hanya sekadar apakah norma tersebut mencakup korban kecelakaan tunggal atau tidak, melainkan berhubungan dengan paradigma pertanggungjawaban wajib kecelakaan lalu lintas jalan. Paradigma sistem jaminan sosial terkait pertanggungjawaban wajib kecelakaan lalu lintas jalan yang didesain dalam UU 34/1964 adalah perlindungan publik Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 bukan penumpang terhadap kecelakaan yang terjadi dengan alat-alat angkutan dimaksud. Dalam sistem tersebut para pemilik/pengusaha kendaraan bermotor dibebani kewajiban berupa iuran wajib yang ditujukan untuk melindungi rakyat banyak yang menjadi korban kecelakaan lalu-lintas jalan yang disebabkan oleh kendaraaan bermotor atau kereta api. Dalam pengertian demikian, dana pertanggungan diberikan sebagai akibat kecelakaan yang terjadi karena faktor eksternal. [3.12.2] Bahwa paradigma tersebut dapat dipahami berdasar penjelasan umum UU 34/1964, di mana di dalamnya diterangkan bahwa subjek yang menjadi perhatian ketika Undang-Undang a quo dibentuk adalah rakyat banyak yang menjadi korban risiko-risiko teknik modern dibanding para pemilik atau pengusaha alat-alat modern yang bersangkutan. Lebih jauh, apabila dilacak Memory van Toelichting (MvT) Undang-Undang a quo, perlindungan dasar yang diatur di dalamnya adalah dimaksud untuk kepentingan umum dan setaraf dengan kemajuan teknik modern. Di mana, dalam kehidupan manusia bermasyarakat terkandung bahaya yang semakin meningkat disebabkan kecelakaan di luar kesalahannya (faktor eksternal). Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa tujuan diatur dan dipungutnya dana kecelakaan lalu-lintas adalah untuk melindungi korban kecelakaan yang bukan penumpang atau mereka yang berada di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan itu. Paradigma yang demikian diatur secara konsisten dalam Undang-Undang a quo , khususnya dalam hal kewajiban pembayaran iuran atau sumbangan kecelakaan lalu-lintas (SWDKLLJ) yang difungsikan sebagai dana untuk asuransi sosial kecelakaan lalu lintas jalan. Dalam hal ini, SWDKLLJ merupakan pembayaran premi berupa sumbangan wajib sebagai bentuk pengalihan resiko dari pemilik kendaraan kepada Pemerintah yang dalam hal ini penanggung jawabnya adalah PT. Jasa Raharja. Dalam hal ini, SWDKLLJ dimaksud memiliki pengertian berbeda jikalau dibandingkan dengan premi yang dikutip pada asuransi umum karena itu dana tersebut disebut sebagai iuran wajib dan bukan disebut sebagai asuransi. Oleh karena berbeda, maka iuran wajib berupa SWDKLLJ tidak dapat disamakan dengan premi dalam konteks asuransi umum di mana setiap orang yang membayar premi berhak atas klaim asurasi yang diperjanjikan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 [3.12.3] Bahwa konsistensi paradigma UU 34/1964 juga diturunkan lebih jauh terhadap pengaturan yang terkait dengan pihak yang berhak menerima pembayaran ganti rugi. Pihak yang berhak menerima atau korban adalah setiap orang yang menjadi korban mati atau cacat permanen akibat kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu-lintas jalan [Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964]. Kemudian, dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang a quo ditegaskan bahwa setiap orang tersebut adalah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan. Dengan kata lain, Undang-Undang a quo memang didesain untuk memberikan santunan kepada mereka yang menjadi korban kecelakaan yang bukan penumpang, maupun pengendara kendaraan atau alat angkutan. [3.12.4] Bahwa yang dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 terkait dengan pihak yang berhak menerima pembayaran dana dan pertanggungan merupakan turunan dari paradigma pertanggungjawaban wajib kecelakaan lalu- lintas jalan yang dibangun dalam UU 34/1964. Dengan demikian, tidak terdapat penyempitan makna dari apa yang dikehendaki oleh norma yang termaktub di dalam batang tubuh Undang-Undang dimaksud, dalam hal ini pengaturan dalam Pasal 4 UU 34/1964. Dikarenakan maksud tersebut, pembatasan yang terkait subjek penerima pembayaran dana dan pertanggungan sebagaimana termaktub di dalam penjelasan norma tersebut telah sesuai dan sebangun dengan semangat pembentuk atau paradigma jaminan sosial kecelakaan lalu-lintas dalam Undang- Undang a quo . Lebih jauh, paradigma dimaksud linear dengan dikecualikannya kecelakaan tunggal dari jenis kecelakaan yang tidak dijamin oleh UU 34/1964. Kecelakaan tunggal diposisikan sebagai kecelakaan yang tidak dipengaruhi faktor eksternal. Selain itu, kecelakaan tunggal disebabkan karena faktor internal korban kecelakaan itu sendiri, seperti mengantuk, mabuk, dan kelalaian saat mengendara kendaraaan. Apabila kecelakaan tunggal dimasukkan dalam pertanggungan kecelakaan sebagaimana diatur dalam UU 34/1964, justru hal tersebut akan menyebabkan paradigma jaminan sosial dalam Undang-Undang a quo bergeser ke sesuatu yang tidak dikehendaki saat pembentukannya. Jaminan sosial tidak lagi dimaksud bagi korban kecelakaan yang berada di luar alat angkutan, melainkan bagi setiap korban kecelakaan. Padahal, Undang-Undang a quo tidak dimaksud untuk itu. Lagi pula, sebagaimana disitir sebelumnya konsep pertanggungan dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 UU 34/1964 berbeda dengan konsep asuransi kecelakaan pada umumnya. Selain itu, dengan membayar iuran wajib SWDKLLJ, Pemohon mendalilkan bahwa suaminya berhak untuk memperoleh pembayaran dana kecelakaan. Hanya saja, karena tidak dibayarkan oleh Jasa Raharja, maka hal demikian menurut Pemohon telah menyebabkan hak Pemohon untuk memperoleh kepastian hukum telah dilanggar. Menurut Mahkamah, sebagaimana telah dijelaskan di atas, paradigma jaminan sosial yang diatur dalam UU 34/1964 sejak awal memang hanya dimaksudkan dan dibatasi untuk kecelakaan terhadap mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan dan tidak tercakup kecelakaan tunggal. Oleh karena pembatasan yang dikemukakan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 linear dengan semangat yang terkandung dalam Undang-Undang a quo , maka tidak terdapat ketidakpastian hukum terkait keberadaan Penjelasan norma Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sehingga tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyatakan keberlakuannya telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. [3.13] Menimbang bahwa terkait dengan dalil Pemohon ihwal penjelasan Pasal 4 ayat (1) telah mempersempit maksud Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 dimaksud, padahal dengan merujuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bagian penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.13.1] Bahwa menurut Mahkamah, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang- Undang a quo hanya menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan frasa “setiap orang” dan menjelaskan frasa “disebabkan oleh alat angkutan” dalam Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964, bukan menambah norma baru. Sebab memang seperti itulah maksud dibuatnya Undang-Undang a quo . Dalam hal ini, frasa “setiap orang” dimaksudkan sebagai bukan tiap-tiap orang, melainkan hanya mereka yang berada di jalan. Frasa “oleh alat angkutan” dijelaskan dengan frasa “di luar alat angkutan”, yang berarti sebagai faktor eksternal yang menyebabkan seseorang mati atau cacat tetap. Artinya hanya orang yang mengalami kecelakaan di jalan yang disebabkan oleh alat angkutan sebagai faktor eksternal saja yang diatur Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 sebagai subjek yang akan menerima dana kerugian akibat kecelakaan. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sama sekali tidak mempersempit norma Pasal 4 ayat (1) melainkan hanya memperjelas atau membuat terang saja, yang justru menjamin bahwa Undang-Undang a quo sejalan dengan maksud pembentukannya. [3.13.2] Bahwa kesan penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang a quo mempersempit norma Pasal 4 ayat (1) sebagaimana didalilkan Pemohon timbul jika tidak memperhatikan hubungan sistematis semua norma Undang-Undang a quo , mulai dari konsideran, batang tubuh dan penjelasannya. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) hanya sekadar memperjelas maksud yang dikehendaki Pasal 4 ayat (1), sehingga ia tidak dapat dianggap atau dinilai telah membuat peraturan lebih lanjut atau mencantumkan rumusan yang berisi norma baru. Demikian pula apabila dihubungkan dengan paradigma jaminan sosial dalam UU 34/1964, dalil bahwa penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang a quo telah mempersempit maksud norma Pasal 4 ayat (1) juga tidak beralasan. Sebab, penjelasan Pasal 4 ayat (1) justru bertujuan untuk mempertegas konsistensi Pasal 4 ayat (1) dengan filosofi atau paradigma dan tujuan dibentuknya UU 34/1964. Dengan penjelasan itu, makin terang bahwa pertanggungan yang diatur dalam UU 34/1964 adalah untuk orang yang menjadi korban kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan dan orang itu berada di luar alat angkutan dimaksud. Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil Pemohon yang menyatakan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum. [3.14] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menganggap bahwa Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 bersifat diskriminatif dengan alasan bahwa pembayaran SWDKLLJ tidak membeda-bedakan bentuk kecelakaan untuk mendapat santunan, sementara menurut Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 korban kecelakaan tunggal tidak mendapatkan pertanggungan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.14.1] Bahwa sebelum lebih jauh memberikan pendapat terkait dalil a quo , perlu dipertegas, dalam sejumlah putusan terdahulu Mahkamah telah memberikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 pembatasan terhadap apa yang dimaksud dengan diskriminasi. Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2007, bertanggal 11 Desember 2007, yang menyatakan bahwa diskriminasi sebagai sesuatu yang dilarang dalam rangka perlindungan hak asasi manusia adalah “ setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya ”. [vide Pasal 1 angka 3 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Article 2 Paragraph (1) International Covenant on Civil and Political Rights]. Berdasarkan pengaturan tersebut, diskriminasi adalah berbeda dan harus dibedakan dengan tindakan atau kebijakan pembatasan hak asasi manusia yang diatur dengan undang-undang di mana pembatasan hak asasi dapat dibenarkan sesuai ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yaitu pembatasan terhadap hak dan kebebasan yang diatur dengan undang-undang dapat dibenarkan sepanjang untuk maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis. [3.14.2] Bahwa dalil Pemohon, yaituihwal siapa subjek yang dapat menerima dana pertanggungan dari sistem pertanggungjawaban wajib kecelakaan lalu-lintas jalan dalam Undang-Undang a quo telah menyebabkan terjadinya diskriminasi, menurut Mahkamah tidaklah tepat. Sebab, pertama , sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) dan Penjelasannya, UU 34/1964 memang membatasi hak sejumlah orang untuk dapat menjadi subjek penerima pembayaran dana pertanggunggan kecelakaan. Di mana, hanya orang atau mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan saja yang berhak mendapatkan jaminan. Hanya saja, pembatasan dimaksud sama sekali bukan pembatasan untuk tujuan memberikan perlakuan berbeda terhadap warga negara atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Pembatasan hanya dilakukan atas dasar jenis korban kecelakaan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 Pembatasan yang demikian sama sekali tidak dapat dianggap sebagai kebijakan yang diskriminatif. Lebih-lebih, kebijakan atau aturan tersebut berlaku secara umum bagi semua warga negara yang mengalami kecelakaan lalu-lintas. Kedua, bahwa sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagaimana disinggung sebelumnya, pembatasan terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan dengan undang-undang sepanjang sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis. Dalam hubungannya dengan pokok permohonan a quo , paradigma pembentukan UU 34/1964 adalah berangkat dari paradigma perlindungan bagi masyarakat lain yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas, di mana kecelakaan terjadi bukan karena kesalahannya, tidak bertentangan dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan juga ketertiban umum. Masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas memang selayaknya mendapatkan jaminan dari negara dan dibayarkan dari iuran wajib yang dibebankan kepada setiap pemilik atau pengusaha angkutan umum. Oleh karena itu, penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sama sekali tidak dapat dinilai telah mengandung diskriminasi sehingga bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon. [3.14.3] Bahwa lebih jauh, sehubungan dengan kasus konkret yang dialami oleh Pemohon, di mana suami Pemohon yang mengalami kecelakaan tunggal akibat mengantuk sehingga motor yang dikendarainya menabrak pembatas jalan sehingga jatuh dan berujung dengan meninggal dunia, termasuk jenis kecelakaan tunggal yang memang tidak dapat ditanggung sesuai dengan UU 34/1964. Meski demikian, sebagaimana diterangkan Pihak Terkait, kepada keluarga yang bersangkutan telah diberikan santunan secara ex-gratia sebagai kebijakan perusahaan sesuai dengan Keputusan Direksi Nomor KEP/205.2/2013, tanggal 31 Oktober 2013. Secara sepintas, kebijakan tersebut terkesan telah bertentangan dengan pembatasan subjek yang berhak menerima jaminan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964, namun kebijakan tersebut masih dalam kerangka perlindungan terhadap masyarakat dalam kecelakaan lalu-lintas. Lebih jauh, sepanjang santunan secara ex-gratia tidak diposisikan dan tidak dimaksudkan sebagai bagian dari jaminan kecelakaan sesuai Undang-Undang a quo , maka diskresi itu sama sekali tidak keluar dari apa yang diatur Undang-Undang dimaksud. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 [3.14.4] Bahwa, sebaliknya, pemberian santunan secara ex-gratia justru semakin mempertegas bahwa regulasi terkait jaminan sosial kecelakaan yang diatur dalam UU 34/1964 sama sekali tidak mengandung diskriminasi. Santunan ex-gratia merupakan wujud kepedulian negara terhadap korban kecelakaan tunggal yang memenuhi syarat-syarat tertentu, salah satunya korban merupakan kepala keluarga. Dalam hal ini, negara tidak serta-merta diam saja dalam kasus kecelakaan tunggal, melainkan telah mengambil bagian melalui jalur yang bukan merupakan bagian dari jaminan sosial yang diatur UU 34/1964. Perihal belum adanya pengaturan dalam bentuk undang-undang ( rechtsvacuum ) tentang santunan bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal, hal itu tidaklah berarti Undang-Undang a quo tidak konstitusional, sebab memang bukan demikian maksud dibentuknya undang-undang ini. Dengan kata lain, perlunya ada pengaturan perihal pemberian santunan bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal harus dipertimbangkan sebagai bagian dari ius constituendum untuk masa yang akan datang karena adanya tuntutan kebutuhan untuk itu, bukan dengan “menyalahkan” undang-undang a quo. [3.14.5] Bahwa terkait asuransi yang dapat diterima suami Pemohon sebagai korban kecelakaan tunggal, sebagaimana diterangkan Pemerintah, hal itu dapat ia peroleh dari asuransi kecelakaan kerja sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam konteks ini, kesempatan pemohon untuk memperoleh asuransi terkait kecelakaan yang dialami sama sekali tidak tertutup, melainkan terdapat sarana lain yang lebih sesuai. Sehubungan dengan itu, dalil Pemohon berkenaan dengan keberadaan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sepanjang frasa “ Yang mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” tidak beralasan menurut hukum. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukumuntuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Saldi Isra, Aswanto, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal empat belas, bulan Maret, tahun dua ribu delapan belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh enam, bulan April, tahun dua ribu delapan belas, selesai diucapkan pukul 15.50 WIB , oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, I Dewa Gede Palguna, Saldi Isra, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Ery Satria Pamungkas sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon atau yang mewakili, Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Saldi Isra ttd. Arief Hidayat ttd. Wahiduddin Adams ttd. Suhartoyo ttd. Manahan MP Sitompul PANITERA PENGGANTI, ttd. Ery Satria Pamungkas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2016.
Relevan terhadap
Peraturari Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang ni.engetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Maret 2015 MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG P. S. BRODJONEGORO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 26 Maret 201 ^5 MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 455 NO (1) 1 LAMPIRAN I PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 /PMK. 02I201 ^5 TENTANG STANDAR B!AYA MASUKAN TAHUN ANGGARAN 2016 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA STANDAR BIAYA MASUKAN TAHUN ANGGARAN 2016 YANG BERFUNGSI SEBAGAI BATAS TERTINGGI URAIAN SA TUAN BJAYA TA 2016 (2) (3) (4) HONORARIUM PENANGGUNG JAWAB PENGELOLA KEUANGAN 1.1 Kuasa Pengguna Anggaran a. Nilai pagu dana s.d. RplOO juta OB Rp500.000 b. Nilai pagu dana di atas RplOO juta s.d. Rp250 juta OB Rp610.000 c. Nilai pagu dana di atas Rp250 juta s.d. Rp500 juta OB Rp720.000 d. Nilai pagu dana di atas Rp500 ju ta s.d. Rpl miliar OB Rp830.000 e. Nilai pagu dana di atas Rpl miliar s.d. Rp2,5 miliar OB Rp970.000 f. Nilai pagu dana di atas Rp2,5 miliar s.d. Rp5 miliar OB Rpl.110.000 g. Nilai pagu dana di atas Rp5 miliar s.d. RplO miliar OB Rpl.250.000 h. Nilai pagu dana di atas RplO miliar s.d. Rp25 miliar OB Rpl.580.000 i. Nilai pagu dana di atas Rp25 miliar s.d. Rp50 miliar OB Rpl.910.000 j. Nilai pagu dana di atas Rp50 miliar s.d. Rp75 miliar OB Rp2.250.000 k. Nilai pagu dana di atas Rp75 miliar s.d. RplOO miliar OB Rp2.580.000 I. Nilai pagu dana di atas RplOO miliar s.d. Rp250 miliar OB Rp3.080.000 m. Nilai pagu dana di atas Rp250 miliar s.d. Rp500 miliar OB Rp3.580.000 n. Nilai pagu dana di atas Rp500 miliar s.d. Rp750 miliar OB Rp4.080.000 o. Nilai pagu dana di atas Rp750 miliar s.d. Rpl triliun OB Rp4.580.000 p. Nilai pagu dana di atas Rpl triliun OB Rp5.580.000 1.2 Pejabat Pembuat Komitmen a. Nilai pagu dana s.d. RplOO juta OB Rp480.000 b. Nilai pagu dana di atas RplOO juta s.d. Rp250 juta OB Rp590.000 c. Nilai pagu dana di atas Rp250 juta s.d. Rp500 juta OB Rp700.000 d. Nilai pagu dana di atas Rp500 juta s.d. Rpl miliar OB Rp800.000 e. Nilai pagu dana di atas Rpl miliar s.d. Rp2,5 miliar OB Rp940.000 f. Nilai pagu dana di atas Rp2,5 miliar s.d. Rp5 miliar OB Rpl.070.000 g. Nilai pagu dana di atas Rp5 miliar s.d. RplO miliar OB Rpl.210.000 h. Nilai pa g u dana di atas RplO miliar s.d. Rp25 miliar OB Rpl.530.000 i. Nilai pagu dana di atas Rp25 miliar s.d. Rp50 miliar OB Rpl.850.000 j. Nilai pagu dana di atas Rp50 miliar s.d. Rp75 miliar OB Rp2.170.000 k. Nilai pagu dana di atas Rp75 miliar s.d. RplOO miliar OB Rp2.490.000 I. Nilai pagu dana di atas RplOO miliar s.d. Rp250 miliar OB Rp2.980.000 m. Nilai pagu dana di atas Rp250 miliar s.d. Rp500 miliar OB Rp3.460.000 n. Nilai pagu dana di atas Rp500 miliar s.d. Rp750 miliar OB Rp3.940.000 0. Nilai pagu dana di atas Rp750 miliar s.d. Rpl triliun OB Rp4.430.000 p. Nilai pagu dana di atas Rpl triliun OB Rp5.390.000 1.3 Pejabat Penguji Tagihan dan Penandatangan Surat Perintah Membayar a. Nilai pagu dana s.d. Rp 100 ju ta OB Rp400.000 b. Nilai pagu dana di atas Rp 100 ju ta s.d. Rp250 ju ta OB Rp480.000 c. Nilai pagu dana di atas Rp250 juta s.d. Rp500 juta OB Rp570.000 d. Nilai pagu dana di atas Rp500 juta s.d. Rpl miliar OB Rp660.000 e. Nilai pagu dana di atas Rpl miliar s.d. Rp2,5 miliar OB Rp770.000 f. Nilai pagu dana di atas Rp2,5 miliar s.d. Rp5 miliar OB Rp880.000 g. Nilai pagu dana di atas Rp5 miliar s.d. RplO miliar OB Rp990.000 h. Nilai pagu dana di atas RplO miliar s.d. Rp25 miliar OB Rpl.250.000 i. Nilai pagu dana di atas Rp25 miliar s.d. Rp50 miliar OB Rpl.520.000 j. Nilai pagu dana di atas Rp50 miliar s.d. Rp75 miliar OB Rpl.780.000 k. Nilai pagu dana di atas Rp75 miliar s.d. RplOO miliar OB Rp2.040.000 l. Nilai pagu dana di atas R p lOO miliar s.d. Rp250 miliar OB Rp2.440.000 m. Nilai pagu dana di atas Rp250 miliar s.d. Rp500 miliar OB Rp2.830.000 n. Nilai pagu dana di atas Rp500 miliar s.d. Rp750 miliar OB Rp3.230.000 o. Nilai pagu dana di atas Rp750 miliar s.d. Rpl triliun OB Rp3.620.000 p. Nilai pagu dana di atas Rpl triliun OB Rp4.420.000 1.4 Bendahara Pengeluaran a. Nilai pagu dana s.d. RplOO juta OB Rp340.000 b, Nilai pagu dana di atas RplOO juta s.d. Rp250 juta OB Rp420.000 c. Nilai pagu dana di atas Rp250 juta s.d. Rp500 juta OB Rp500.000 d. Nilai pagu dana di atas Rp500 juta s.d. Rpl miliar OB Rp570.000 e. Nilai pagu dana di atas Rpl miliar s.d. Rp2,5 miliar OB Rp670.000 NO (1) f. Nilai pagu dana di atas g. Nilai pagu dana di atas h. Nilai pagu dana di atas i. Nilai pagu dana di atas j. Nilai pagu dana di atas k. Nilai pagu dana di atas I. Nilai pagu dana di atas m. Nilai pagu dana di atas n. Nilai pagu dana di atas 0. Nilai pagu dan a di atas p. Nilai pagu dana di atas URAIAN (2) MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 2 - Rp2,5 miliar s.d. Rp5 miliar Rp5 miliar s.d. RplO miliar RplO miliar s.d. Rp25 miliar Rp25 miliar s.d. Rp50 miliar Rp50 miliar s.d. Rp75 miliar Rp75 miliar s.d. RplOO miliar RplOO miliar s.d. Rp250 miliar Rp250 miliar s.d. Rp500 miliar Rp500 miliar s.d. Rp750 milia.r Rp750 miliar s.d. Rpl triliun Rpl triliun 1.5 Staf Pengelola Keuangan/Bendahara Pengeluaran Pembantu/Petugas Pengelola Adminstrasi Belanja Pegawai a. Nilai pagu dana s.d. RplOO juta b. Nilai pagu dana di atas RplOO juta s.d. Rp250 juta c. Nilai pagu dana di atas Rp250 juta s.d. Rp500 juta d. Nilai pagu dana di atas Rp500 juta s.d. Rpl miliar e. Nilai pagu dana di atas Rpl miliar s.d. Rp2,5 miliar f. Nilai pagu dana di atas Rp2,5 miliar s.d. Rp5 miliar g. Nilai pagu dana di atas Rp5 miliar s.d. RplO miliar h. Nilai pagu dana di atas RplO miliar s.d. Rp25 miliar i. Nilai pagu dana di atas Rp25 miliar s.d. Rp50 miliar j. Nilai pagu dana di atas Rp50 miliar s.d. Rp75 miliar k. Nilai pagu dana di atas Rp75 miliar s.d. RplOO miliar I. Nilai pagu dana di atas RplOO miliar s.d. Rp250 miliar m. Nilai pagu dana di atas Rp250 miliar s.d. Rp500 miliar 11. Nilai pagu dana di atas Rp500 miliar s.d. Rp750 miliar o. Nilai pagu dana di atas Rp750 miliar s.d. Rpl triliun p. Nilai pagu dana di atas Rpl t.riliun 2 HONORARIUM PENANGGUNG JAWAB PENGELOLA KEUANGAN PADA SATKER YANG KHUSUS MENGELOLA BELANJA PEGAWAI 2.1 Atasan Langsung Pemegang Kas/KPA a. Nilai pagu dana s.d Rp25 miliar b. Nilai pagu dana di atas Rp25 miliar s.d. Rp50 miliar c. Nilai pagu dana di atas Rp50 miliar s.d. RplOO miliar d. Nilai pagu dana di atas RplOO miliar s.d. Rp200 miliar e. Nilai pagu dana di atas Rp 200 miliar 2.2 Pemegang Kas/Bendahara a. Nilai pagu dana s.d Rp25 miliar b. Nilai pagu dana di atas Rp25 miliar s.d. Rp50 miliar c. Nilai pagu dana di atas Rp50 miliar s.d. RplOO miliar d. Nilai pagu dana di atas RplOO miliar s.d. Rp200 miliar e. Nilai pagu dana di atas Rp200 miliar 2.3 Juru Bayar/Staf a. Nilai pagu dana s.d Rp25 miliar b. Nilai pagu dana di atas Rp25 miliar s.d. Rp50 miliar c. Nilai pagu dana di atas Rp50 miliar s.d. RplOO miliar d. Nilai pagu dana di atas RplOO miliar s.d. Rp200 miliar e. Nilai pagu da.na di atas Rp 200 miliar 3 HONORARIUM PENGADAAN BARANG/JASA 3.1 Pejabat Pengadaan Barang/ Jasa 3.2 Panitia Pengadaan Barang clan Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Konstruksi) a. Nilai pagu pengadaan sampai dengan Rp200 juta b. Nilai pagu pengadaan di atas Rp200 juta s.d. Rp500 juta c. Nilai pagu pengadaan di atas Rp500 juta s.d. Rpl miliar d. Nilai pagu pengadaan di atas Rpl miliar s.d. Rp2,5 miliar e. Nilai pagu pengadaan di atas Rp2,5 miliar s.d. Rp5 miliar f. Nilai pagu pengadaan di atas Rp5 miliar s.d. RplO miliar g. Nilai pagu pengadaan di atas RplO miliar s.d. Rp25 miliar h. Nilai pagu pengadaan di atas Rp25 miliar s.d. Rp50 miliar i. Nilai pagu pengadaan di atas Rp50 miliar s.d. Rp75 miliar j. Nilai pagu pengadaan di atas Rp75 miliar s.d. RplOO miliar SA TUAN (3) OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB Per Paket OP OP OP OP OP OP OP OP OP BIAYA TA 2016 14) Rp770.000 Rp860.000 Rpl.090.000 Rpl.320.000 Rp 1. 550. 000 Rpl.780.000 Rp2.120.000 Rp2.470.000 Rp2.810.000 Rp3.160.000 Rp3.840.000 Rp260.000 Rp310.000 Rp370.000 Rp430.000 Rp500.000 Rp570.000 Rp640.000 Rp810.000 Rp980.000 Rpl.150.000 Rpl.330.000 Rpl.580.000 Rpl.840.000 Rp2.090.000 Rp2.350.000 Rp2.860.000 Rp350.000 Rp460.000 Rp580.000 Rp690.000 Rp810.000 Rp250.000 Rp330.000 Rp410.000 Rp490.000 Rp570.000 Rp200.000 Rp270.000 Rp340.000 Rp410.000 Rp470.000 Rp680.000 Rp680.000 Rp850.000 Rpl.020.000 Rpl.270.000 Rpl.520.000 Rpl.780.000 Rp2.120.000 Rp2.450.000 Rp2.790.000 Rp3.130.000 MENTERI KEUANGAN NO URAIAN (1) (2) k. Nilai pagu pengadaan di atas RplOO miliar s.d. Rp250 miliar I. Nilai pagu pengadaan di atas Rp250 miliar s.d. Rp500 miliar m. Nilai pagu pengadaan di atas Rp500 miliar s.d. Rp750 miliar n. Nilai pagu pengadaan di atas Rp750 miliar s.d. Rpl triliun o. Nilai pagu pengadaan di atas Rpl triliun 3.3 Panitia Pengadaan Barang dan Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Non Konstruksi) a. Nilai pagu pengadaan sampai dengan Rp200 juta b. Nilai pagu pengadaan di atas Rp200 ju ta s.d. Rp500 ju ta c. Nilai pagu pengadaan di atas Rp500 juta s.d. Rpl miliar d. Nilai pagu pengadaan di atas Rpl miliar s.d. Rp2,5 miliar e. Nilai pagu pengadaan di atas Rp2,5 miliar s.d. Rp5 miliar f. Nilai pagu pengadaan di atas Rp5 miliar s.d. RplO miliar g. Nilai pagu pengadaan di atas RplO miliar s.d. Rp25 miliar h. Nilai pagu pengadaan di atas Rp25 miliar s.d. Rp50 miliar i. Nilai pagu pengadaan di atas Rp50 miliar s.d. Rp75 miliar j. Nilai pagu pengadaan di atas Rp75 miliar s.d. RplOO miliar k. Nilai pagu pengadaan di atas RplOO miliar s.d. Rp250 miliar l. Nilai pagu pengadaan di atas Rp250 miliar s.d. Rp500 miliar m. Nilai pagu pe11gadaan di atas Rp500 miliar s.d. Rp750 miliar 11. Nilai pagu pengadaan di atas Rp750 miliar s.d. Rpl triliun o. Nilai pagu pengadaan di atas Rpl triliun 3.4 Panitia Pengadaan Jasa dan Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Non Konstruksi) a. Nilai pagu pengadaan jasa ko11sultansi s.d Rp50 juta b. Nilai pagu pengadaan jasa konsultansi di atas Rp50 juta s.d. RplOO juta c. Nilai pagu pengadaan jasa lainnya s.d. RplOO ju ta d. Nilai pagu pengadaan jasa konsultansi/jasa lainnya di atas RplOO ju ta s.d. Rp250juta e. Nilai pagu pengadaan jasa konsultansi/jasa lainnya di atas Rp250 ju ta s.d. Rp500 ju ta f. Nilai pagu pengadaan jasa konsultansi/jasa lainnya di atas Rp500 ju ta s.d. Rpl miliar· g. Nilai pagu pengadaan jasa konsultansi/jasa lainnya di atas Rpl miliar s.d. Rp2,5 miliar h. Nilai pagu pengadaan jasa ko11sultansi/jasa lain11ya di atas Rp2,5 miliar s.d. Rp5 miliar i. Nilai pagu pe11gadaa11 jasa ko11sultansi/jasa lai11nya di atas Rp5 miliar s.d. RplO miliar j. Nilai pagu pengadaan jasa ko11sultansi/jasa lain11ya di atas RplO miliar s.d. Rp25 miliar k. Nilai pagu pengadaan jasa konsultansi/jasa lainnya di atas Rp25 miliar s.d. Rp50 miliar I. Nilai pagu pengadaan jasa ko11sulta11si/jasa lai11nya Rp75 miliar m. Nilai pagu pengadaan jasa konsultansi/jasa lai1111ya RplOO miliar 11. Nilai pagu pengadaan jasa ko11sultansi/jasa Iainnya Rp250 miliar o. Nilai pagu pengadaan jasa ko11sultansi/jasa lainnya Rp500 miliar p. Nilai pagu pengadaa11 jasa konsultansi/jasa lainnya Rp750 milia.r q. Nilai pagu pengadaa.n jasa konsultansi/jasa Jainnya Rpl triliun r. Nilai pagu pengadaa.n jasa konsultansi/jasa lainnya 3.5 Pengguna Anggaran 3.5.1 Pengadaan Barang/Jasa (Konstruksi) di atas Rp50 miliar s.d. di atas Rp75 miliar s.d. di atas RplOO miliar s.d. di atas Rp250 miliar s.d. di atas Rp500 miliar s.d. di atas Rp750 miliar s.d. di atas Rpl triliun a. Nilai pagu pe11gadaan di atas RplOO mi!iar s.d. Rp250 miliar b. Nilai pagu pengadaan di atas Rp250 miliar s.d. Rp500 miliar c. Nilai pagu pengadaan di atas Rp500 miliar s.d. Rp750 miliar d. Nilai pagu pengadaa.n di atas Rp750 miliar s.d. Rpl triliun e. Nilai pagu pengadaan di atas Rp l triliun 3.5.2 Pengadaan Barang (Non Konstruksi) a. Nilai pagu pengadaan di atas RplOO miliar s.d. Rp250 miliar b. Nilai pagu pengadaan di atas Rp250 miliar s.d. Rp500 miliar c. Nilai pagu pengadaan di atas Rp500 miliar s.d. Rp750 miliar d. Nilai pagu pengadaan di atas Rp750 miliar s.d. Rp 1 triliun e. Nilai pagu pengadaan di atas Rp 1 triliun SA TUAN BIAYA TA 2016 (3) (4) OP Rp3.580.000 OP Rp4.030.000 OP Rp4.490.000 OP Rp4.940.000 OP Rp5.560.000 Per Paket Rp760.000 OP Rp760.000 OP Rp920.000 OP Rpl.140.000 OP Rpl.370.000 OP Rpl.600.000 OP Rpl.910.000 OP Rp2.210.000 OP Rp2.520.000 OP Rp2.820.000 OP Rp3.230.000 OP Rp3.640.000 OP Rp4.040.000 OP Rp4.450.000 OP Rp5.010.000 Per Paket Rp450.000 OP Rp450.000 Per Paket Rp450.000 OP Rp480.000 OP Rp600.000 OP Rp720.000 OP Rp910.000 OP Rpl.090.000 OP Rpl.270.000 OP Rpl.510.000 OP Rpl.750.000 OP Rpl.990.000 OP Rp2.230.000 OP Rp2.560.000 OP Rp2.880.000 OP Rp3.200.000 OP Rp3.520.000 OP Rp3.960.000 OP Rp3.580.000 OP Rp4.030.000 OP Rp4.490.000 OP Rp4.940.000 OP Rp5.560.000 OP Rp3.230.000 OP Rp3.640.000 OP Rp4.040.000 OP Rp4.450.000 OP Rp5.010.000 !_ A www.jdih.kemenkeu.go.id NO (1) URAIAN (2) MENTERI KEUANGAN - 4 - 3.5.3 Pengadaan Jasa {Non Konstruksi) a. Nilai pagu pengadaanjasa konsultansi/ jasa lainnya di atas RplO miliar s.d. Rp25 miliar b. Nilai pagu pengadaan jasa konsultansi/jasa lainnya di atas Rp25 miliar s.d. Rp50 miliar c. Nilai pagu pengadaan jasa konsultansi/jasa lainnya di atas Rp50 miliar s.d. Rp75 miliar d. Nilai pagu pengaclaan jasa konsultansi/jasa lainnya di atas Rp75 miliar s.cl. RplOO miliar e. Nilai pagu pengadaan jasa konsultansi/jasa lainnya di atas RplOO miliar s.d. Rp250 miliar f. Nilai pagu pengadaan jasa konsulta.nsi/jasa lainnya di atas Rp250 miliar s.d. Rp500 miliar g. Nilai pagu pengadaan jasa konsultansi/jasa lainnya di atas Rp500 miliar s.d. Rp750 miliar h. Nilai pagu pengadaan jasa konsultansi/jasa lainnya di atas Rp750 miliar s.d. Rpl triliun i. Nilai pagu pengadaan jasa konsultansi/ jasa lainnya di atas Rpl triliun 4 HONORARIUM PERANGKAT UNIT LAYANAN PENGADAAN (ULP) 4.1 Kepala ULP 4.2 Sekretaris/Staf Pendukung ULP 5 HONORARIUM PENERIMA HASIL PEKERJAAN 5.1 Pejabat Penerima Hasil Peker jaan/Pengadaan Barang/Jasa 5.2 Panitia Penerima Hasil Peker jaan/Pengadaan Barang/Jasa a. Nilai pagu peke1jaan/pengadaan s.d. Rp200 juta b. Nilai pagu peke1jaan/pengadaan di atas Rp200 juta s.d. Rp500 juta c. Nilai pagu pekerjaan/pengadaan di atas Rp500 juta s.d. Rpl miliar d. Nilai pagu pekerjaan/pengadaan di atas Rpl miliar s.d. Rp2,5 miliar e. Nilai pagu pekerjaan/pengadaan di atas Rp2,5 miliar s.d. Rp5 miliar f. Nilai pagu pekerjaan/pengadaan di atas Rp5 miliar s.d. RplO miliar g. Nilai pagu pekerjaan/pengadaan di atas RplO miliar s.d. Rp25 miliar h. Nilai pagu peker jaan/pengadaan di atas Rp25 miliar s.d. Rp50 miliar i. Nilai pagu pekerjaan/pengadaan di atas Rp50 miliar s.d. Rp75 miliar j. Nilai pagu pekerjaa.n/pengadaan di atas Rp75 miliar s.d. RplOO miliar k. Nilai pagu pekerjaan/pengadaan di atas RplOO miliar s.d. Rp250 miliar l. Nilai pagu pekerjaan/pengadaan di atas Rp250 miliar s.d. Rp500 miliar m. Nilai pagu pekerjaan/pengadaan di a ^t as Rp500 miliar s.d. Rp750 miliar n. Nilai pagu pekerjaan/pengadaan di atas Rp750 miliar s.d. Rpl triliun o. Nilai pagu peke1jaan/pengadaan di atas Rpl triliun 6 HONORARIUM PENGELOLA PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP) 6.1 Pejabat yang Bertugas Mela.kukan Pemungutan Penerimaan Negara atau Atasan Langsung a. Nilai pagu dana s.d. RplOO juta b. Nilai pagu dana di atas RplOO juta s.d. Rp250 juta c. Nilai pagu dana di atas Rp250 juta s.d. Rp500 juta cl. Nilai pagu clana di atas e. Nilai pagu dana di atas f. Nilai pagu dana di atas g. Nilai pagu dana di atas h. Nilai pagu clana di atas i. Nilai pagu dana di atas j. Nilai pagu dana di atas k. Nilai pagu dana di atas l. Nilai pagu dana di atas m. Nilai pagu dana di atas n. Nilai pagu dana di atas 0. Nilai pagu dana di atas p. Nilai pagu clana di atas 6.2 Benda.hara Penerimaan Rp500 ju ta s.cl. Rp 1 miliar Rpl miliar s.d. Rp2,5 miliar Rp2,5 miliar s.d. Rp5 miliar Rp5 miliar s.cl. RplO miliar RplO miliar s.d. Rp25 miliar Rp25 miliar s.d. Rp50 miliar Rp50 miliar s.d. Rp75 miliar Rp75 miliar s.d. RplOO miliar RplOO miliar s.cl. Rp250 miliar Rp250 miliar s.d. Rp500 milial' Rp500 miliar s.d. Rp750 miliar Rp750 miliar s.d. Rpl tl'iliun Rpl triliun a. Nilai pagu dana s.cl. RplOO juta b. Nilai pagu dana di atas RplOO juta s.d. Rp250 juta c. Nilai pagu dana di atas Rp250 juta s.d. Rp500 juta d. Nilai pagu clana di atas Rp500 juta s.d. Rpl milial' e. Nilai pagu dana di atas Rpl miliar s.cl. Rp2,5 miliar SATUAN (3) OP OP OP OP OP OP OP OP OP OB OB OB Per Paket OP OP OP OP OP OP OP OP OP OP OP OP OP OP OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB BIAYA TA 2016 (4) Rpl.510.000 Rpl.750.000 Rpl.990.000 Rp2.230.000 Rp2.560.000 Rp2.880.000 Rp3.200.000 Rp3.520.000 Rp3.960.000 Rpl.000.000 Rp750.000 Rp420.000 Rp420.000 Rp520.000 Rp620.000 Rp770.000 Rp910.000 Rpl.060.000 Rpl.260.000 Rpl.450.000 Rpl.650.000 Rpl.840.000 Rp2.100.000 Rp2.370.000 Rp2.630.000 Rp2.890.000 Rp3.250.000 Rp420.000 Rp510.000 Rp610.000 Rp700.000 Rp890.000 Rpl.070.000 Rpl.260.000 Rpl.540.000 Rpl.820.000 Rp2.100.000 Rp2.380.000 Rp2.760.000 Rp3.130.000 Rp3.500.000 Rp3.880.000 Rp4.620.000 Rp340.000 Rp420.000 Rp500.000 Rp570.000 Rp730.000 NO (1) MENTERI KEUANGAN URAIAN (2) f. Nilai pagu dana di atas Rp2,5 miliar s.d. Rp5 miliar g. Nilai pagu dana di atas Rp5 miliar s.d. RplO miliar h. Nilai pagu dana di atas RplO miliar s.d. Rp25 miliar i. Nilai pagu dana di atas Rp25 miliar s.d. Rp50 miliar j. Nilai pagu dana di atas Rp50 miliar s.d. Rp75 miliar k. Nilai pagu dana di atas Rp75 mi!iar s.d. RplOO miliar I. Nilai pagu dana di atas RplOO miliar s.d. Rp250 miliar m. Nilai pagu dana di atas Rp250 miliar s.d. Rp500 miliar n. Nilai pagu dana di atas Rp500 miliar s.d. Rp750 miliar o. Nilai pagu dana di atas Rp750 miliar s.d. Rpl triliun p. Nilai pagu dana di atas Rpl triliun 6.3 Petugas Penerimaan PNBP atau Anggota a. Nilai pagu dana s.d. RplOO juta b. Nilai pagu dana di atas RplOO juta s.d. Rp250 juta c. Nilai pagu dana di atas Rp250 juta s.d. Rp500 juta d. Nilai pagu dana di atas Rp500 juta s.d. Rpl miliar e. Nilai pagu dana di atas Rpl miliar s.d. Rp2,5 miliar f. Nilai pagu dana di atas Rp2,5 miliar s.d. Rp5 miliar g. Nilai pagu dana di atas Rp5 miliar s.d. RplO miliar h. Nilai pagu dana di atas RplO miliar s.d. Rp25 miliar i. Nilai pagu dana di atas Rp25 miliar s.d. Rp50 miliar j. Nilai pagu dana di atas Rp50 miliar s.d. Rp75 miliar k. Nilai pagu dana di atas Rp75 miliar s.d. RplOO miliar I. Nilai pagu dana di atas RplOO miliar s.d. Rp250 miliar m. Nilai pagu dana di atas Rp250 miliar s.d. Rp500 miliar n. Nilai pagu dana di atas Rp500 miliar s.d. Rp750 miliar 0. Nilai pagu dana di atas Rp750 miliar s.d. Rpl triliun p. Nilai pagu dana di atas Rpl triliun - 5 - 7 HONORARIUM PENGELOLA SISTEM AKUNTANSI INSTANSI (SAi) 7.1 Unit Akuntansi Pengguna Anggaran/Barang Tingkat Kementerian Negara/Lembaga (UAPA/UAPB) yang ditetapkan atas Dasar Keputusan Menteri a. Pengarah b. Penanggung Jawab c. Koordinator d. Ketua/Wakil Ketua e. Anggota/ Petugas 7.2 Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran/Barang Tingkat Eselon I (UAPPA-El/UAPB-El) yang ditetapkan atas Dasar SK Eselon I a. Penanggung Jawab b. Koordinator c. Ketua/Wakil Ketua d. Anggota/Petugas 7.3 Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran/Barang Tingkat Wilayah (UAPPA-W /UAPB-W) yang ditetapkan atas Dasar SK Eselon I a. Penanggung Jawab b. Koordinator c. Ketua/Wakil Ketua d. Anggota/Petugas 7.4 Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran/Barang Tingkat Satuan Kerja (UAKPA/UAKPB) yang ditetapkan atas Dasar SK Eselon II atau Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran/Barang Wilayah atau Koordinator Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah a. Penanggung Jawab b. Koordinator c. Ketua/Wakil Ketua d. Anggota/Petugas 8 HONORARIUM PENGURUS/PENYIMPAN BARANG MILIK NEGARA 8.1 Tingkat Pengguna Barang 8.2 Tingkat Kuasa Pengguna Barang 9 HONORARIUM KELEBIHAN JAM PEREKAYASAAN 9.1 Perekayasa Utama 9.2 Perekayasa Madya 9.3 Perekayasa Muda 9.4 .Perekayasa Pertama SA TUAN (3) OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OJ OJ OJ OJ BIAYA TA 2016 (4) Rp880.000 Rpl.030.000 Rpl.260.000 Rpl.490.000 Rpl.720.000 Rpl.950.000 Rp2.260.000 Rp2.560.000 Rp2.870.000 Rp3. l 70.000 Rp3.790.000 Rp260.000 Rp310.000 Rp370.000 Rp430.000 Rp540.000 Rp660.000 Rp770.000 Rp940.000 Rpl.110.000 Rpl.280.000 Rpl.450.000 Rpl.680.000 Rpl.910.000 Rp2.140.000 Rp2.370.000 Rp2.820.000 Rp700.000 Rp600.000 Rp500.000 Rp400.000 Rp350.000 Rp450.000 Rp400.000 Rp350.000 Rp300.000 Rp300.000 Rp250.000 Rp200.000 Rpl50.000 Rp300.000 Rp250.000 Rp200.000 Rpl50.000 Rp400.000 Rp300.000 Rp60.000 Rp50.000 Rp40.000 Rp35.000 /MV' www.jdih.kemenkeu.go.id MENTERI KEUANGAN NO URAIAN (1) (2) 10 HONORARIUM PENUNJANG PENELITIAN/PEREKAYASAAN 10.l Pembantu Peneliti/Perekayasa 10.2 Koordinator Peneliti/ Perekayasa 10.3 Sekretariat Peneliti/Perekayasa 10.4 Pengolah Data 10.5 Petugas Smvey 10.6 Pembantu Lapangan 11 HONORARIUM NARASUMBER/PEMBAHAS/MODERATOR/PEMBAWA ACARA/PANITIA 11.1 Honorarium Narasumber/Pembahas:
Menteri/Pƫjabat Setingkat Menteri/Pe jabat Negara Lrunnya/yang disetarakan b. Pejabat Eselon I/yang disetarakan c. Pejabat Eselon II/yang disetarakan d. Pejabat Eselon III ke bawah/yang disetarakan 11.2 Honorarium Moderator 11.3 Honorarium Pembawa Acara 11.4 Honorarium Panitia a. Penanggung Jawab b. Ketua/Wakil ketua c. Sekretaris d. Anggota 11.5 Narasumber Kegiatan Di Luar Negeri a. Narasumber Kelas A b. Narasumber Kelas B c. Narasumber Kelas C 12 HONORARIUM PENYULUH PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA 12.1 SLTA 12.2 Sarjana Muda 12.3 Sarjana 12.4 Master (82) 13 SATUAN BIAYA OPERASIONAL PENYULUH 13.l Wilavah Ba.rat 13.2 Wilavah Tengah 13.3 Wilavah Timur 14 HONORARIUM ROHANIWAN 15 HONORARIUM TIM PELAKSANA KEGIATAN DAN SEKRETARIAT TIM PELAKSANA KEGIATAN 15.1 Honorarium Tim Pelalrnana Kegiatan 15.1.1 Yang Ditetapkan Oleh Presiden a. Pengaral1 b. Penanggung Jawab c. Koordinator/Ketua d. Wakil Ketua e. Sekretaris f. Anggota 15.1.2 Yang Ditetapkan Oleh Menteri/Pejabat Setingkat Menteri a. Pengarah b. Penanggung Jawab c. Ketua d. Wald! Ketua e. Sekretaris f. Anggota 15.1.3 Yang Ditetapkan Oleh Pejabat Eselon I a. Pengarah b. Penanggung Jawab c. Ketua d. Wakil Ketua e. Sekretaris f. Anggota 15.1.4 Yang Ditetapkan Oleh KPA a. Pengarah b. Penanggung Jawab c. Ketua d. Wakil Ketua e. Sekretaris f. Anggota SA TUAN BIAYA TA 2016 (3) (4) OJ Rp25.000 OB Rp420.000 OB Rp300.000 Penelitian/ Rpl.540.000 Perekayasaan OR Rp8.000 OH Rp80.000 OJ Rpl.700.000 OJ Rpl.400.000 OJ Rpl.000.000 OJ Rp900.000 Orang/Kali Rp700.000 OK Rp400.000 OK Rp450.000 OK Rp400.000 OK Rp300.000 OK Rp300.000 OH $330 OH $275 OH $220 OB Rp2.100.000 OB Rp2.400.000 OB Rp2.600.000 OB Rp2.800.000 OB Rp320.000 OB Rp400.000 OB Rp480.000 OK Rp400.000 OB Rp2.500.000 OB Rp2.250.000 OB Rp2.000.000 OB Rpl.750.000 OB Rpl.500.000 OB Rpl.500.000 OB Rpl.500.000 OB Rpl.250.000 OB Rpl.000.000 OB Rp850.000 OB Rp750.000 OB Rp750.000 OB Rp750.000 OB Rp700.000 OB Rp650.000 OB Rp600.000 OB Rp500.000 OB Rp500.000 OB Rp500.000 OB Rp450.000 OB Rp400.000 OB Rp350.000 OB Rp300.000 OB Rp300.000 NO (ll 16 17 18 URAJAN (2) 15.2 Honorarium Sekretariat Tim Pelaksana Kegiatan 15.2.1 Yang Ditetapkan Oleh Presiden a. Ketua/Wakil ketua b. Anggota 15.2.2 Yang Ditetapkan Oleh Menteri a. Ketua/Wakil ketua b. Anggota MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 7 - HONORARIUM TIM PENYUSUNAN JURNAL/BULETIN/MAJALAH/PENGELOLA WEBSITE 16.1 Honorarium Tim Penyusunan Jurnal a. Penanggung Jawab b. Redaktur c. Penyunting/ Editor d. Desain Grafis e. Fotografer f. Sekretariat g. Pembuat artikel 16.2 Honorarium Tim Penyusunan Buletin/Majalah a. Penanggung Jawab b. Redaktur c. Penyunting/Editor d. Desain Grafis e. Fotografer f. Sekretariat g. Pembuat artikel 16.3 Honorarium Tim Pengelola Website a. Penanggung Jawab b. Redaktur c. Editor d. WebAdmin e. Web Deueloper f. Pembuat Artikel HONORARIUM PENYELENGGARA SIDANG/KONFERENSI INTERNASIONAL-KONFERENSI TINGKAT MENTER!, SENIOR OFFICIAL MEETING (BILATERAL/REGIONAL /MULTILATERALj, WORKSHOP /SEMINAR/SOSIALISASl/SARASEHAN BERSKALA INTERNASIONAL 17.1 Honorarium Penyelenggara Sidang/Konferensi Internasional, Konferensi Tingkat Menteri, Senior Official Meeting (Bilateral/Regional/Multilateral) a. Pengarah b. Penanggung Jawab c. Ketua/Waldl Ketua d. Ketua Delegasi e. Tim Asistensi f. Anggota Delegasi RI g. Koordinator h. Ketua Bidang i. Sekretaris j. Anggota Panitia k. Liasion Officer (LO) I. Staf Pend ukung 17.2 Honorarium Penyelenggara Workshop /Seminar/Sosialisasi/Sarasehan Berskala Internasional a. Pengarah b. Penanggung Jawab c. Ketua/Waldl Ketua d. Ketua Delegasi e. Tim Asistensi f. Anggota Delegasi RI g. Koordinator h. Ketua Bidang i. Sekretaris j. Anggota Panitia k. Liasion Officer (LO) I. Staf Pendukung HONORARIUM PENYELENGGARA UJIAN DAN VAKASI 18.1 Tingkat Pendidikan Dasar a. Penyusunan/pembuatan bahan ujian b. Pengawas ujian c. Pemeriksaan hasil u jian SA TUAN BIAYA TA 2016 (3) (4) OB Rp500.000 OB Rp450.000 OB Rp250.000 OB Rp220.000 Oter Rp500.000 Oter Rp400.000 Oter Rp300.000 Oter Rpl80.000 Oter Rpl80.000 Oter Rpl50.000 Halaman Rp200.000 Oter Rp400.000 Oter Rp300.000 Oter Rp250.000 Oter Rpl80.000 Oter Rpl80.000 Oter Rpl50.000 Hal am an Rpl00.000 OB Rp500.000 OB Rp450.000 OB Rp400.000 OB Rp350.000 OB Rp300.000 Halaman Rpl00.000 OK Rp2.600.000 OK Rp2.400.000 OK Rp2.200.000 OK Rp2.200.000 OK Rp2.200.000 OK Rp2.000.000 OK Rp2.000.000 OK Rpl.600.000 OK Rpl.600.000 OK Rpl.400.000 OK Rpl.400.000 OK Rpl.200.000 OK Rpl.100.000 OK Rpl.000.000 OK Rp900.000 OK Rp900.000 OK Rp900.000 OK Rp800.000 OK Rp800.000 OK Rp600.000 OK Rp600.000 OK Rp500.000 OK Rp500.000 OK Rp400.000 Naskah/Pelajaran Rpl50.000 OH Rp240.000 Siswa/Mata Ujian Rp5.000 MENTER! KEUANGAN NO URAIAN (1) (2) ·18.2 Tingkat Pendidikan Menengah a. Penyusunan/pembuatan bal1an ujian b. Pengawas ujian c. Pemeriksaan hasil ujian 18.3 Tingkat Pendidikan Tinggi a. Diploma !/II/III/IV dan Strata 1 (Sl) 1) Penyusunan/pembuatan bahan ujian 2) Pengawas ujiam 3) Pemeriksaan Basil Ujian 4) Penguji Tugas Akhir/Skripsi - 8 - 5) Pengawas Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri 6) Penguji Ujian Keterampilan pada Ujian Masuk Perguruan Tinggi Nege1i b. Strata 2 (S2) 1) Penyusunan/pembuatan bahan ujian 2) Pengawas ujian 3) Pemeriksaan Hasil Ujian 4) Penguji Tesis c. Strata 3 (S3) 1) Penyusunan/pembuatan ballan ujian 2) Pengawas ujian 3) Pemeriksaan Hasil Ujian 4) Penguji Disertasi 19 HONORARIUM PENYELENGGARAAN KEGIATAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (DIKLAT) 19. 1 Penceramah 19.2 Pengajar yang berasal dari luar satker penyelenggara 19.3 Pengajar yang berasal dari dalam satker penyelenggara 20 SATUAN BIAYA UANG MAKAN APARATUR SIPIL NEGARA 20.1 Golongan I dan II 20.2 Golongan III 20.3 Golongan IV 21 SATUAN BIAVA UANG LEMBUR DAN UANG MAKAN LEMBUR 21.l Uang Lembur a. Golongan I b. Golongan II c. Golongan lil d. Golongan IV 21.2 Uang Makan Lembur a. Golongan I dan II b. Golongan III c. Golongan IV 22 SATUAN BIAVA UANG SAKU RAPAT DI DALAM KANTOR 23 SATUAN BIAYA UANG SAKU PEMERIKSA DALAM LOKASI PERKANTORAN YANG SAMA 24 SATUAN BIAYA PENGEPAKAN DAN ANGKUTAN BARANG PERJALANAN DINAS PINDAH DALAM NEGERI 24. 1 Kereta api a. Pengepal<an dan Penggudangan b. Angkutan 24.2 Truk a. Pengepakan dan Penggudangan b. Anglcutan 24.3 Angkutan Laut/ Sungai a. Pengepakan dan Penggudangan b. Anglcutan c. Angkutan Laut/Sungai 25 SATUAN BIAVA BANTUAN BIAVA PENDIDIKAN ANAK (BBPA) PADA PERWAKILAN RI DI LUAR NEGERI 25. l Sekolah Dasar 25.2 Sekolall Menengah Pertama 25.3 Sekolall Menengah Atas 25.4 Perguruan Tinggi SATUAN (3) Naskah/Pelajaran OH Siswa/Mata Ujian Naskah/Mata Kuliah OH Mahasiswa/Mata Ujian Orang/Mahasiswa Orang/Mata Uji Peserta Naskah/Mata Kuliah OH Mahasiswa/Mata Ujian Orang/ Mahasiswa Naskah/Mata Kuliah OH Mahasiswa/Mata Ujian Orang/ Mahasiswa OJP OJP OJP OH OH OH OJ OJ OJ OJ OH Off OH Orang/Kali OH m3 km/m3 m3 km/m3 m3 km/m3 m3 Per Tahun Per Tahun Per Tahun PerTahun BIAVA TA 2016 (4) Rpl90.000 Rp270.000 Rp7.500 Rp250.000 Rp290.000 Rpl0.000 Rp250.000 Rp290.000 Rp75.000 Rp260.000 Rp300.000 RplS.000 Rp350.000 Rp280.000 Rp300.000 Rp20.000 Rp500.000 Rpl.000.000 Rp300.000 Rp200.000 Rp30.000 Rp32.000 Rp36.000 Rpl3.000 Rpl 7.000 Rp20.000 Rp25.000 Rp30.000 Rp32; 000 Rp36.000 Rp300.000 Rpl00.000 Rp75.000 Sesuai tarif berlaku Rp60.000 Rp400 Rp60.000 Rp400 Sesuai tarif berlaku $ 8,580 $ 10,940 $ 13,560 $ 14 840 MENTERI KEUANGAN 26 HONORARIUM SATPAM, PENGEMUDI, PETUGAS KEBERSIHAN, DAN PRAMUBAKTI NO PRO VIN SI SA TUAN (1) (2) (3) 1 . ^ACEH OB 2. SUMATERA UTARA OB 3. R I A U OB 4. KEPULAUAN RIAU OB 5. J A M B I OB SATPAM DAN PENGEMUDI (4) (dalam rupiah) PETUGAS KEBERSIHAN DAN PRAMUBAKTI ( ^5 ) 2.380.000 2.170.000 1.870.000 1.700.000 2.340.000 2.130.000 2.100.000 1.9 10.000 2.170.000 1.970.000 ---- ---- ·------------------------ -- ------ --·-------··-·---··- -----·····---··---··---- 6. SUMATERA BARAT OB 2.040.000 1.850.000 ----11 ---- -------··-·--·-··-·······--··----- --- ··-·- - -· - - · - - · ·· ·-------·-·- --- ·-··----·---- -···· ··- ·-·-·---· · · ---· · ·- · ·- · ·· -----·- ··-··· · ·- -·- · - - -· - - - - · -·-- - -- - - 7. SUMATERA SELATAN OB 2.330.000 2.120.000 8. LAMPUNG OB 2.000.000 1.820.000 9. BENGKULU OB 1.900.000 1.730.000 10. BANGKA BELITUNG OB 1 1 . B A N T E N OB 12. JAWA BARAT OB 13. D.IC.I. JAKARTA OB 14. JAWA TENGAH OB 15. D.I. YOGYAKARTA OB 16. JAWA TIMUR OB 17. B A L I OB 18. NUSA TENGGARA BARAT OB 19. NUSA TENGGARA TIMUR OB 20. KALIMANTAN BARAT OB 21. KALIMANTAN TENGAH OB 22. KALIMANTAN SELATAN OB 23. KALIMANTAN TIMUR OB 24. KALIMANTAN UTARA OB 25. SULAWESI UTARA OB 26. GORONTALO OB 27. SULAWESI BARAT OB 28. SULAWESI SELATAN OB 29. SULAWESI TENGAH OB 30. SULAWESI TENGGARA OB 31. MALUKU 32. MALUKU UTARA 33. P A P U A 34. PAPUA BARAT OB OB OB OB 2.340.000 2.130.000 2.340.000 2. 130.000 3.220.000 2.930.000 3.390.000 3.080.000 1.870.000 1.700.000 1 .870.000 1.700.000 2.670.000 2. 100. 000 1.870.000 1.870.000 1.970.000 2.400.000 2.130.000 2.380.000 2.700.000 2.400.000 1.870.000 2.090.000 2.340.000 2.140.000 2.020.000 1.870.000 2.150.000 2.120.000 2.430.000 1.9 1 0.000 1.700.000 1.700.000 1. 790.000 2.180.000 1.930.000 2. 170.000 2.450.000 2.180.000 1.700.000 1.900.000 2.130.000 1.940.000 1.840.000 1.700.000 1.950.000 1. 920.000 ..... -· · . ·-·-· - ·-· - - . --- · · - · -- · ··-··-·· --·-···· 2.530.000 2.300.000 MENTERI KEUANGAN 27 SATUAN BIAYA UANG HARIAN PERJALANAN DINAS DALAM NEGERI DAN UANG REPRESENTASI NO ( ^1 ) 27.l Uang Harian Pe1jalanan Dinas Dalam Negeri PROVINS! SA TUAN (2) (3) DALAM KOTA LUAR KOTA LEBIH DARI 8 (DELAPAN) JAM (4) ( ^5 ) (dalam rupiah) DIKLAT (6) 1. ACEH OH 360.000 140.000 110.000 2. SUMATERA UTARA OH 370.000 150.000 110.000 ' 1 +, - . / 0 1 2 3- 1 - - 1 - - 1 - 3. R I A U OH 370.000 150.000 110.000 4. KEPULAUAN RIAU 5. J A M B I 6. SUMATERA BARAT 7. SUMATERA SELATAN 8. LAMPUNG 9. BENGKULU 10. BANGl(A BELITUNG 11. B A N T E N 12. JAWA BARAT 13. D.I<:
I. JAl(ARTA 14. JAWA TENGAH 15. D.l. YOGYAI(ARTA 16. JAWA TIMUR 17. B A L I 18. NUSA TENGGARA BARAT 19. NUSA TENGGARA TIMUR 20. I(ALIMANTAN BARAT 21. I(ALIMANTAN TENGAH 22. I(ALIMANTAN SELATAN 23. J(ALIMANTAN TIMUR 24. l(ALIMANTAN UTARA 25. SULAWESI UTARA 26. GORONTALO 27. SULAWESI BARAT 28. SULAWESI SELATAN 29. SULAWESI TENGAH 30. SULAWESI TENGGARA 31. MALUKU 32. MALUKU UTARA 33. P A P U A -34-,- f>i\ ? uA' - 81\Rf\f -- -- - - 27.2 Vang Representasi NO ( ^1 ) 1. ---- 2.
PEJABAT NEGARA - - - - - - - - ^--- - - -- ·· · - ^- · · - - - - - · PEJABAT ESELON I PEJABAT ESELON II URAIAN (2) ·-- --·...- -------- . ·-·- -- - --- ^· - -- - OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH SA TUAN (3) 01-I · · - · - - ·· OH OH 370.000 150.000 110.000 370.000 150.000 110.000 380.000 150.000 110.000 380.000 150.000 110.000 380.000 150.000 110.000 1 () *- 1 -Â Ã- 1 380.000 150.000 110.000 410.000 370.000 430.000 530.000 370.000 420.000 410.000 480.000 440.000 430.000 380.000 360.000 380.000 430.000 430.000 370.000 370.000 410.000 430.000 370.000 380.000 380.000 430.000 580.000 480.000 LUAR KOTA (4) 250.000 . .. .. . .. ·- · · 200.000 150.000 160.000 150.000 170.000 210.000 150.000 170.000 160.000 190.000 180.000 170.000 150.000 140.000 150.000 170.000 170.000 150.000 150.000 160.000 170.000 150.000 150.000 150.000 170.000 230.000 190.000 (dalam rupiah) DALAM KOTA LEBIH DARI 8 (DELAPAN) JAM --·- · · . ( ^5 ) 125.000 .. ...... ... . ..
000 - 75.000 120.000 110.000 130.000 160.000 110.000 130.000 120.000 140.000 130.000 130.000 110.000 110.000 110.000 130.000 130.000 110.000 110.000 120.000 130.000 110.000 110.000 110.000 130.000 170.000 140.000 MENTERI KEUANGAN 28 SATUAN BIAVA UANG HARIAN PERJALANAN DINAS LUAR NEGERI NO NEGARA SATUAN A (1) (2) ( ^3 ) (4) AMERIKA UTARA 1. Amerika Serikat OH 578 2 . Kanada OH 447 AMERIKA SELATAN 3. Argentina OH 534 4. Venezuela OH 557 5. Brazil OH 436 6. Chile OH 415 7. Columbia OH 436 8. Peru OH 459 9 . Suriname OH 398 10. Ekuador OH 385 AMERIKA TENGAH 1 1. Mexico OH 493 1 2 . Kuba OH 406 13. Panama OH 414 EROPA BARAT 14. Austria OH 504 15. Belgia OH 466 16. Perancis OH 512 17. Rep. Federasi Jerman OH 447 18. Belanda OH 463 19. Swiss OH 636 EROPA UTARA 20. Denmark OH 567 21. Finlandia OH 453 22. Norwegia OH 621 23. Swedia OH 466 24. Kerajaan Inggris OH 792 EROPA SELATAN 25. Bosnia Herzegovina OH 456 26. Kroasia OH 555 27. Spanyol OH 457 28. Yunani OH 422 29. Italia OH 702 30. Portugal OH 425 31. Serbia OH 417 (dalam US$) GO LONGAN B c D (5) (6) ( ^7 ) 513 440 382 404 368 307 402 351 349 388 344 343 341 291 241 3 16 270 222 323 276 254 347 320 276 295 252 207 273 242 241 366 324 323 305 26 1 22 1 342 306 271 453 3 18 317 419 282 281 464 382 381 415 285 285 416 272 271 570 403 40 1 491 343 301 409 354 3 1 3 559 389 386 436 342 34 1 774 583 582 420 334 333 506 406 405 413 287 286 379 242 241 637 446 427 382 242 241 375 326 288 NO NEGARA (1) (2) EROPA TIMUR 32. Bulgaria 33. Czech 34. Hongaria 35. Polandia 36. Rumania 37. Rusia 38. Slovakia 39. Ukraina AFRIKA BARAT 40. Nigeria 4 1 . Senegal -- AFRIKA TIMUR 42 . Ethio12ia 43. Kenya 44. Madagaskar 45. Tanzania 46. Zimbabwe 47. Mozambique AFRIKA SELATAN 48. Namibia 49. Afrika Selatan AFRIKA UTARA 50. Aljazair 5 1 . Mesir 52. Maroko 53. Tunisia 54. Sudan 55. Libya ASIA BARAT 56. Azerbaijan 57. Bahrain 58. Irak 59. Yordania 60. Kuwait 6 1 . Lib anon 62. Qatar 63. Arab Suriah 64. Turki 65. Pst. Arab Emirat 66. Yaman 67. Saudi Arabia 68. Kesultanan Oman MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 2 - SATUAN A ( ^3 ^) ( ^4 ^) OH 406 OH 6 1 8 OH 485 OH 46 1 OH 416 OH 556 OH 437 OH 485 OH 36 1 OH 384 OH 358 OH 384 OH 296 OH 350 OH 328 OH 399 OH 405 OH 380 OH 342 OH 409 OH 304 OH 293 OH 342 OH 308 OH 498 OH 416 OH 447 OH 406 OH 456 OH 357 OH 386 OH 358 OH 456 OH 459 OH 353 OH 450 OH 4 1 3 (dalam US$) GO LONGAN B c D (5) (6) (7) 367 320 284 526 447 367 438 390 345 4 1 5 360 3 19 38 1 3 1 3 277 5 1 2 407 406 394 341 303 436 375 33 1 3 1 3 292 29 1 3 1 7 237 2 3 1 295 22 1 193 3 17 237 225 244 182 1 8 1 290 244 2 1 8 28 1 248 247 329 265 264 334 268 233 3 1 3 253 2 5 1 308 287 286 303 235 2 1 1 25 1 192 1 9 1 241 187 1 86 282 2 1 0 184 254 1 89 165 459 365 364 294 228 2 1 4 325 253 23 1 292 236 225 325 296 294 267 207 1 86 276 2 1 5 1 96 257 200 196 364 283 253 323 302 301 241 197 196 33 1 269 25 1 292 247 249 NO NEGARA ( ^1 ) ( ^2 ) ASIA TIMUR 69. Rep.Rakyat Cina 70. Hongkong 71. Jepang 72. Korea Selatan 73. Korea Utara ASIA SELATAN 74. Afganistan 75. Bangladesh 76. India 77. Paldstan 78. Srilanka 79. Iran ASIA TENGAH 80. Uzbekistan 81. Kazal{hstan ASIA TENGGARA 82. Philipina 83. Singapura 84. Malaysia 85. Thailand 86 . Myanmar 87. Laos 88. Vietnam 89. Brunei Darussalam 90. Kamboja 91. Timor Leste ASIA PASIFIK 92. Australia 93. Selandia Baru 94. Kaledonia Baru 95. Pa2ua Nugini 96 . FHji MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 13 - SATUAN A ( ^3 ) (4) OH 378 OH 472 OH 519 OH 421 OH 494 OH 385 OH 339 OH 422 OH 343 OH 380 OH 421 OH 392 OH 456 OH 412 OH 530 OH 394 OH 392 OH 368 OH 380 OH 383 OH 374 OH 296 OH 392 OH 636 OH 451 OH 425 OH 520 OH 363 (dalam US$) GO LONGAN B c D ( ^5 ) (6) ( ^7 ) 238 207 206 320 287 286 303 262 261 326 297 296 321 300 278 226 173 172 196 167 166 329 327 325 203 182 181 242 209 199 312 243 217 352 287 254 420 334 333 278 222 221 363 279 276 262 219 218 275 211 201 250 197 196 262 202 196 265 204 196 256 197 196 223 197 196 354 229 196 585 394 393 308 278 276 387 276 224 476 319 259 329 221 179 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 4 - 29 SATUAN BIAYA PENGINAPAN PERJALANAN DINAS DALAM NEGERI (dalam rupiah) TARIF HOTEL PEJABAT NO. PROVINS! SA TUAN NEGARA/ PEJABAT ESELON I (1) (2) (3) (4) PEJABAT NEGARA LAINNYA/ PEJABAT ESELON II (5) PEJABAT ESELON III PEJABAT ESELON IV/ /GOLONGAN GOLONGAN III IV (6) (7) GOLONGAN l/ll (8) 1 . ACEH OH 4.420.000 1.300.000 850.000 450.000 400.000 -- · --- · --- - · · - · - - · - - - -· -· -- - · ··-- · - - - - - - · · - - -·-· ··- -- · · -·-··- - -·-- - - -.... . . ·---·- - - · · · - - - ---- - ------- - - ··--· - ---·-- · - - - - - · --- ··--- · -- - - - · - - - - ----- - _ 2_ _ Ƹ l!__ ƹ _ A _ T_ ER _ ƺ.ƻǎ_R_ A ------ ____ S?.f: ! _ _ __ _ _ _ __ '!: 2̞()cQQ() _ _ _ , _ _i,; 2J_4..:
Q().Q, _ .. .. ?9.̜.0_QQ_ _ _ _ Cj_l.Q.: ,{)Q_Q , _ _ _ _ _ 3_1_()0QQQ_ 3. R I A U OH 3.820.000 1 .200.000 868.000 450.000 380.000 ·---· --- -- ---- ·----- -- - - - - · - - - · - - - - - -- · · - · ---·-- -- · ------- -··--·--·- - · -·· · ·-- - - ·· · - -· · · - - ·--- . - --- - ·- - - - - - - · - · · --·- ·-------- ·----· 4. KEPULAUAN RIAU __ OH __ . ___ _4..̠.!: ?.:
QQQ_ ____ __ _ ! ̖()Q , <; J _ ()Q _ ------̤̥Q,QQ()_ - - -· __ 5}D ^. OO _ Q _ _ _ _ ^280 ,QQQ 5. J A M B I OH 4.000.000 1 .200.000 740.000 400.000 290.000 - - --·----------·------ - ------ - - -- - - --- -· -- - - - -- - - · - - --·-- - · - -- ·- - - -- -- · · ·- ---· · · · -- · - - -- -- -· ·· ···· . ..... - -· - - - -- - ·· ··-·-··· ··· - - · ·- - · 6. SUMATERA BARAT OH 4.240.000 1 . 160.000 890.000 520.000 3 10.000 - - - ----·--·---------- - - - - - - ----- - - -·· - ---· ------ ---·----------...- · · ·----·-· -··· · . .. · · - · · · · · · ····-- ·- ·-· · - · ·- · · · -· ·· · · · - ··· ···-··· · · - · - · - · ·· - · · · · - -··-· ·--··· .... .. --·-·····--- 7. SUMATERA SELATAN OH 4.680.000 1 .250.000 630.000 560.000 340.000 -- · ------·-·-- - - - · - - · - - · - - --· --···---- · - · - ··· - ·····- - - - · -···---· ^. · · · ------ . - - · · · ---· - · - · - --·.... · ·-·- .
LAMPUNG OH ... }._9(j0.()_QQ , . . _ __ ^. ! ·: 3()Q. OOO . 790.000 - - - - - · - · --· - -·--· · · · · · · - · -·-- - - - -- · - 400.000 360.000 9. BENGKULU _ _ ____ c: l!f. ___ _ _ _ _ LüO _Q ^. _QQ Q. _ __ _ _ __ _ ?2. 0.:
. ()_ ()Q. _ __ , _ __7 _2()"()()() ,, _ _ ,?(j(): ()Q.O _ ____ 309.:
,()QQ !.2.: _ J: '0. ^NGl 0 ^BEL JJ' ^UNG ______ -̙!: f _ _ _ __ _ _ }.. ^3 ; 3 ^5 cQ()Q . __ l_,?_5.().:
()()Q.... ___ _ _ 8- ^50 "- ^0 () ^0 _ _ _ _ _ _ _ "t()()c_O Q() __ __ _ __ ____ : 3()(),()()(). 1 1 _ . ^B _ Ƽ_!'i_'!: __ E_ N _______ __ _ _ _ ___ ()!: ! _ _ __ ------ý: ^8 .!Q,()Q_Q _ __ ____ 1 , '!̕Q : Q . Q() . _ __ §()_ (),() ^00 _ _ _ ^_ (j ^4 Q,OOO _ ___ , __ _ : 1_0 9 ,()()() _ _ 1 _ 2 _ . ^J _ A _ W ƽ . _ B _ A _ R _ A _ T _ _ _ _ _ _ _ ___ 01-! _ _ _ ---þ,7- ^00 .()QQ ___ l!.̝Q.()()() _ _____ _ !3QQ, () Q9 _ _ _ _ __ _ 5.Q,QQQ __ _ , _...i§9.:
QQO _ __ 1_ ̔ ƾJ(L.JAKARTA _ ___ _ _ _ _ _ _ <2!: 1 _ _ _ _ __ , _ 8-J . ̓() , ()()() _ _ __ _ _ _1: _ ^4 <: )Q ^. OO() 14. JAWA TENGAH OH 4. 1 50.000 1 .480.000 --·--- -----------·---·--------· - - - - --·- ·---- ·-----·· ·---·-··-··--·---·· ---·--- -···-···-··--·---·-··--- - · · · - - 15. D.I. YOGYAKARTA OH 4.700.000 1.350.000 - - - ----- ·-----·-------·--·--- · - - · --·····- - · · ·--··· --- - -...·· •·· · · · · - · · · · ··· - ·--- · - - - ·- - · -··· - · · · · · · ·· · · · · 16. JAWA TIMUR OH 4.400.000 1 .370.000 --- ---·· ·-------· ---·-·---- ---·-···- - . . · · · · · ---·· -·- - · - - - · - - ···--····· - ·· -· · · ··--· . · · - - · - ····-·· -·---···- · -·-·· -· . - . . ^. -·· 17. B A L I OH 4.890.000 1 . 8 10.000 -- --- -----------·--------· -----· .... . - · ---- -·-·-·-- - · - -·· ·--········ · - · · ·- ·----···-·----- · · · · - · · · ··--·-· 18. NUSA TENGGARA BARAT OH 3.500.000 1 .760.000 870.000 . . · ····-·-· -· -.... . - .
000 --· ·-··· · - - · · · -...- · ··-- 8 10.000 6 10.000 400.000 450.000 360.000 - - ··· · · · ·-·· - · - .. · ·- · -· - · · - ·- - · · - · ·· 630.000 460.000 · · ^·· -· ^· - - --· - · - - · - · . ··-- - - - - -...
000 ':
^5 (J.: (; !Q_Q _ . .. ^. ^. : 33 (),Q()() 990.000 9 10.000 660.000 ·- -·· · -- - - -· - -·- - · . . ^. . ... . . ------ - - · · - - ·--·--- ·----·-------· 800.000 580. 000 360.000 . ·- · · · --- · - · - · -·· -----·--·--·-··-- ···- J·- ̭_l!-̚ ̛- ^TENG Q_ ^A _ R _ A _ _ Tl _ lv!ƿǀ . -- - _ _ ,SJJ:
.._ _ _ ____ ;
()()().: ,.Q()O. _____ , _ _ !: ()?(),()()() 75(),0QO_ . ...... . 5. _ ̒()Jl()() _ _ ____ _ ; : l().Q,()Q_Q.
KALIMANTAN BARAT ·- -Ji __ - -- ----.·'IQ(). O _ QQ . --·---!.: ÿ: 3 ^0 ,()()(). ... _ _ <: )()(),Q()() _ _ _ _ _ _ ^4 ; 3_Q ^. Q_()() _ _____ ^_ l?D Ā O()() 2 1 . KAL!MANTAN TENGAH OH 3.000.000 1 . 560.000 ... · · ·· ···· · · - · · · 750.000 560.000 350.000 . . . -· - - - .. - - - - - - · - · · - ········-· ·-· · - - · --·-----···· ·- -̗̘ _ K A L _ I M _ A _ NT _ ǁ _ SE ǂ TAI'!_ ___ __ _ S?..': : !. __ _____ : !,,_?5..Q.Q() _ O _ 1 .680.000 _ _ ___ 8-ā0,()()0 _ __ , _ __ 5 4: (): _ 0()(), ____ _ }<: )Q,()()Q _ ^2 _ 3 _ . K A[, I ^MAN _ T A _ N _]' _ IM _ Uǃ - · - -- · - - - __ ()J: I _ ___ _ , __ 4.,Q()Q,()()() _ _ __ ___ ^. 1.:
. ?.Cj.Q,() ^00 -- - --Ă,?Q,()()O __ __ __ _ _ _ C)5(),Q.Q_Q_ · · · · ·-·-· _: l̟Q.Q()Q 24. KALIMANTAN UTARA OH 4.000.000 1 .750.000 -·---- ·--·-····--- ^· --- - -····-------·-·- -·-· -- · · · - - . . ·- · - · · ···- ·- .. - - ·-· · · · · -· - · · · -··· - · · · · · - · ---- · . .... .
SULAWESI UTARA OH 3.200.000 1 . 560.000 -- --------- ---- ----- - ·--···- · - ·--·--· -·-- · - - · ·· · · · - - ---- - -- - - · ·· · - - · - · · ·· - - · 26. GORONTALO OH 1 .320.000 1 . 1 50.000 ---- · - · - - ----------- --··-·--- -----·----·-·--·-· - · - · - ------------ - ·---- - - · · - · · 27. SULAWESI BARAT OH 1 .260.000 1 . 030.000 ---·- ----·----·------·---·------- -·- ·-·-· · - · · · ---·-- -·- - · ·-----··- . .. -- · -· - -· · -- - · - -- - · - · · - · - - · -·· · · 620.000 400.000 350.000 690.000 550.000 370.000 ··------ - - · - - - - - -...- - · · - - - - - · -·--· - - ---- ------ - ···--- - ---- 550.000 400.000 ·----··-·--·· ^. . · -·.... . · - ^- · · · ··-- -·· · ^- 260.000 - · · - --- - - · ·· ·-··· - - 28. SULAWESI SELATAN ______ _ _ 9_1: : ! _ _ ____ '! ._ ̑ _ Q , QQQ _ _ ______ ^1 :
ăQ ^. O()() _ _____ ^_ _ .8 1.Q,O_()() _ _ _ _ _ __ 5.13_(),_D.Q() - -- - -- ̐̏ . _()_Q_Q _ - ̎ S! :
DŽDž ^L džLJLj S I ! # S'.$f: l __ · - - -- - OH 2.030.000 , _ 1 .300.000 900.000 5?0._()Q(). _ ^. ^. . .. }ąQ.O_D() 30. SULAWESI TENGGARA OH 1 .850.000 1 . 1 00.000 600.000 450.000 420.000 ·-- -----·--·----- - - ----- ------- · · -·-· · · ·--·-· --- - - - · ·-··-· -· ... - · · - · · · · - - · - ·--- .. ·-- ·· ···· -- - · . - -.... . . ----- - · . . --····- - - . ^. -· . ^. ··̫-··-- - · ·· · · · - ····-·-· _1.!.: _ !: "ALl]ljNJ-- ------- ---- ---- ____ .<2._J:
____ _ __ __ _ 3_:
QO_Q._OQO _ __ _ _ _1 ,(): 3(),._0_QO. 32 .
!J.()O 740.000 580.000 4 1 0.000 ···· - - ' -·-- ---- · ·.... ·-- --- . . ^. .. ^. . - ^.. · - · · - ^- - · · ·- - -- -- ^- -· ·- 600. 000 480.000 380.000 .. . . - · - - - · -·-· . · - ·-- - -- · - ·····--·--·· ---· - · - · · · · .lL ̡̢̣ ---------- . . _ ? _ ': ' ____ __ ____ ; 2 _,,S_Q,O _ ()Q. - -- -: ?.?Q"9()() _ _ _ _ __ _ _ '!,(j() , O Q Q . ·--.... .. _: 1§0.()QQ _ __ .. . : !.Q , _Q _ O () 34. PAPUA BARAT OH 2.750.000 1 .490.000 760.000 500.000 370.000 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 5 - 30 SATUAN BIAVA RAPAT/ PERTEMUAN DI LUAR KANTOR 30.1 Paket Kegiatan Rapat/Pertemuan di Luar Kantor a. Menteri/Setingkat Menteri NO. PRO VIN SI SATUAN Ill (2) (3) 1. ACEH OP --̍: _ § _ u _ M _ 1?- _ 1-'. l?͌ _ _ : cn: Ǖ -- - -- - -- - · · - _ . - - - -- - · --··- _ _ _ _ ___ _ _ Qy _ ___ _ _ 3 . R I A U OP 4. KEPULAUAN RIAU OP 5. J A M B I OP 6. SUMATERA BARAT OP 7. SUMATERA SELATAN OP 8. LAMPUNG OP -·---··· · - - - - - -·-------·-· ----· ·-- -·· -·- · - - -----· ··· - - ·- · - · ·· · - - - · ·- · · ·· · - · · · - · · - - - -· -· ·- - -· ······-----·--· - - - - ·-· 9 . BENGKULU 10. BANGIV\ BELITUNG 11. B A N T E N 12. JAWA BARAT 13. D.K.I. JAIV\RTA OP OP OP OP OP 14. JAWA TENGAH OP ---- ----····---------··-----·----·--·--·--·--·----- - - - - -·--· ---· ---··- · - ····- -- - - - ······ -·· - - ·--··-- - - . ··-··-·· .
D.I. YOGYAKARTA OP 16. JAWA TIMUR 17. B A L I 18. NUSA TENGGARA BARAT 19. NUSA TENGGARA TIMUR 20. IV\LIMANTAN BARAT - -· - · - - ···---· · ·-·- - ---· - ---· - · - - - - ···- - - - - - - · - -- · · · · - - -·-· · · · ·-· · - ··- - · - · · · - - - - · - · - 2 1 . IV\LIMANTAN TENGAH 2 2 . IV\LIMANTAN SELATAN 23. IV\LIMANTAN TIMUR 24. IV\LIMANTAN UTARA 25. SULAWESI UTARA 26. GORONTALO -----· ·------------·---·---·--·-· 27. SULAWESI BARAT 28. SULAWESI SELATAN 29. SULAWESI TENGAH 30. SULAWESI TENGGARA 3 1 . MALUKU 3 2 . MALUKU UTARA --·-- -- ---- - ·· - · ···--··-·· ·-·· · - · - 33. P A P U A 34. PAPUA BARAT OP OP OP OP OP OP OP OP OP OP OP OP OP OP OP OP OP OP OP (dalam rupiah) H ALFDA Y FULLDA Y FULLBOARD 14) 15) 16) 340.000 465.000 1.035.000 280.000 540.000 1.350.000 ' . . - - - - · -.. - · . --- - · . · - - - - - - -·-- - · ···- - · -· - · --·- - -- ·---·-·- . --·---- ----·-·-·· 265.000 400.000 930.000 270.000 425.000 930.000 265.000 415.000 950.000 . · · - · · · - - · · ·· -·· · · ···· -- · - - · ·- - ··- -··- -· -·· 265.000 375.000 990.000 330.000 510.000 955.000 280.000 400.000 980.000 . .... . . - · - · -···· . . -- -·--· ·· ···---- ··-···.... · · · - ··- ······ - -- · - - - -- ·- --- . ·--·- . ·---·-···- · ·· - 270. 000 390.000 1.045.000 345.000 500.000 1.305.000 405.000 510.000 1.040.000 ......... -- ....
000 485.000 1. 160.000 510.000 600.000 2 . 100.000 1»- -)- 1 -+ , - 1 260.000 355.000 1.020.000 · -· · · - - · ·- . -· · · ·-·-·· - - - - ·· - · - · - · ·- · · - - - - - · · - - - - - - · - · - - - ·-·-- · · -- · · ·' - · · - · · · · · · - - · · 350.000 485.000 1 . 125.000 340.000 470.000 1.300.000 510.000 580.000 1.870.000 370.000 290.000 280.000 290.000 265.000 3 10.000 300.000 290.000 255.000 250.000 270.000 285.000 270.000 310.000 330.000 320.000 310.000 595.000 450.000 390.000 · - · . . - ·- . ·--- -··· - 470.000 425.000 480.000 -·-··- · · - - · ·- . ·-- · - - ·--· - - 480.000 415.000 400.000 420.000 450.000 450.000 415.000 450.000 525.000 460.000 450.000 1.090.000 1.040.000 980.000 970.000 1. 100.000 940.000 · - -··-· - · ·-·- - · · ·-·· . . ·-·- - · . .
000 1. 120.000 990.000 910.000 1.240.000 980.000 970.000 1.040.000 1.020.000 1. 120.000 1.020.000 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 6 - b. Pejabat Eselon I & II NO. PROVINS! SATUAN (1) (2) (3) 1. ACEH OP 2 . SUMATERA UTARA OP (dalam rupiah) HALFDA Y FULLDA Y FULLBOARD (4) (5) (6) 300.000 400.000 860.000 - - -·-·- - ----· - - - · · · - - - · -- · - - - - - · -- - - - - - - - - - - ·- --- - --- - - - - - ---- ------·-- - - ---- 240.000 365.000 800.000 3. R I A U OP 225.000 335.000 690.000 4. KEPULAUAN RIAU OP 230.000 360.000 790.000 ---- -------- ··------ - - ---- ---- - ------ - - ------ ----- -- ---· - ------ ·-·-··------·--- ------- 5. J A M B I OP 225.000 350.000 780.000 6. SUMATERA BARAT OP 7. SUMATERA SELATAN OP 8. LAMPUNG OP 9. BENGKULU OP 10. BANGI<A BELITUNG OP 11. B A N T E N OP 12 . JAWA BARAT OP 13 . D.K.I. JAI<ARTA OP 14. JAWA TENGAH OP 15. D.I. YOGYAI<ARTA OP 225.000 260.000 240.000 230.000 305.000 365.000 310.000 380.000 · · -· · · - - - · - · · - · · - -..... - . -· 220.000 250.000 310.000 820.000 350.000 785.000 335.000 810.000 325.000 875.000 400.000 850.000 445.000 420.000 450.000 290.000 405.000 820.000 920.000 920.000 740.000 770.000 16. JAWA TIMUR OP 260.000 405.000 770.000 - --- ---·---- - ----------- ---- - --- ----- - . . - ··--· ----------- - - --- - - -- - - - · - -·-··-· ··--·--· - - ·-····· -· · ------ ··· - ···-· · · · • · · · . ....... · · -- - -- · · -·--- --- - - · -··· --····--·· - · - -·· -·-· · · · - --· 17. B A L I OP 370.000 490.000 1.500.000 18. NUSA TENGGARA BARAT OP 330.000 530.000 930.000 19. NUSA TENGGARA TIMUR 20. KALIMANTAN BARAT 21. I<ALIMANTAN TENGAH 22. I<ALIMANTAN SELATAN 23. I<ALIMANTAN TIMUR 24. I<ALIMANTAN UTARA 25. SULAWESI UTARA OP OP OP OP OP OP OP 26. GORONTALO OP 27. SULAWESI BARAT OP 250.000 385.000 240.000 325.000 250.000 405.000 225.000 360.000 . . - ·.... ......-· - 270.000 365.000 250.000 350.000 250.000 350.000 870.000 810.000 800.000 930.000 770.000 750.000 870.000 215.000 315.000 820.000 210.000 355.000 690.000 _? _ 8 __: _ ͍!: 1_͎ A y.' ͏͐͑ _ EL _ A _ T _ A l'l° ________ _ _ _ _ _ _ _ _____ _ _ _ __ QP _ _ _ _ . ·-- ·· _ __ _ _ 23 () : 9()() _ _ 385.000 1.000.000 29. SULAWESI TENGAH OP 245.000 30. SULAWESI TENGGARA OP 31. MALUKU OP 32 . MALUKU UTARA OP 33. P A P U A OP 34. PAPUA BARAT OP 230.000 250.000 - · . -- · · ·· - · - · - ·........ . ...... - . .
000 280.000 250.000 385.000 810.000 350.000 800.000 385.000 870.000 . . - - - · - - - - - - . --· ------ . .......... . . -.... . ... . . - - .
000 850.000 395.000 870.000 385.000 850.000 .
Pejabat Eselon III Kebawah NO. PROVINSI ( l) ( ^2 ) 1 . ACEH 2. SUMATERA UTARA 3. R I A U 4. KEPULAUAN RIAU 5. J A M B I 6. SUMATERA BARAT 7. SUMA TERA SELATAN 8. LAM PUNG 9. BENGKULU 10. BANGKA BELITUNG 1 1 . B A N T E N 1 2 . JAWA BARAT 13. D.K.I. JAKARTA 14. JAWA TENGAH 1 5 . D.I. YOGYAKARTA 16. JAWA TIMUR 1 7 . B A L I 18. NUSA TENGGARA BARAT 19. NUSA TENGGARA TIMUR 20. KALIMANTAN BARAT 2 1 . KALIMANTAN TENGAH 22. KALIMANTAN SELATAN 23. KALIMANTAN TIMUR 24. KALIMANTAN UTARA 25. SULAWESI UTARA 26. GORONTALO 27. SULAWESI BARAT 28. SULAWESI SELATAN 29. SULAWESI TENGAH 30. SULAWESI TENGGARA 3 1 . MALUKU 32. MALUKU UTARA 33. P A P U A 34. PAPUA BARAT MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 7 - SATUAN H ALFDA Y {3) {4) OP 260.000 OP 175.000 OP 185.000 OP 180.000 OP 135: 000 OP 1 50.000 OP 2 1 5.000 OP 195.000 OP 190.000 OP 265 .000 OP 275.000 OP 230.000 OP 280.000 OP 1 50.000 OP 2 10.000 OP 2 10.000 OP 280.000 OP 280.000 OP 2 10.000 OP 200.000 OP 2 10.000 OP 185.000 OP 200.000 OP 1 70.000 OP 170.000 OP 175.000 OP 1 70.000 OP 190.000 OP 205 .000 OP 190.000 OP 205.000 OP 135.000 OP 180.000 OP 2 10.000 (dalam rupiah) FULLDA Y FU LLBOARD (5) (6) 330.000 690.000 275.000 540.000 245.000 520.000 250.000 625.000 285.000 6 10.000 240.000 530.000 270.000 6 1 5.000 270.000 640.000 260.000 705.000 3 10.000 650.000 320.000 600.000 290.000 720.000 360.000 750.000 2 10.000 540.000 3 1 0.000 600.000 340.000 600.000 420.000 1 .000.000 420.000 750.000 320.000 700.000 260.000 620.000 340.000 620.000 295.000 700.000 300.000 600.000 280.000 550.000 270.000 700.000 250.000 650.000 290.000 5 10.000 320.000 750.000 320.000 590.000 280.000 550.000 320.000 700.000 180.000 535.000 330.000 650.000 320.000 600.000 No.
1 1 . 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
2 1 . 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 3 1 . 32. 33. 34. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 8 - 30.2 Uang Harian Kegiatan Rapat/ Pertemuan di Luar Kantor PROVINSI FULLBOARD FULLBOARD SATUAN DI LUAR DI DALAM KOTA KOTA (2) (3) (4) (5) ACEH OH 120.000 100.000 SUMATERA UT ARA OH 130.000 1 10.000 R I A U OH 130.000 100.000 KEPULAUAN RIAU OH 130.000 1 10.000 J A M E I OH 130.000 1 10.000 SUMATERA BARAT OH 120.000 100.000 SUMATERA SELATAN OH 120.000 100.000 LAMPUNG OH 130.000 1 10.000 BENGKULU OH 130.000 1 10.000 BANGKA BELITUNG OH 130.000 1 10.000 B A N T E N OH 120.000 100.000 JAWA BARAT OH 150.000 1 25.000 D.K.I. JAKARTA OH 180.000 150.000 JAWA TENGAH OH 130.000 1 10.000 D.I. YOGYAKARTA OH 140.000 1 1 5.000 JAWA TIMUR OH 140.000 1 15.000 B A L I OH 160.000 135.000 NUSA TENGGARA BARAT OH 150.000 125.000 NUSA TENGGARA TIMUR OH 140.000 1 15.000 KALIMANTAN BARAT OH 130.000 1 10.000 KALIMANTAN TENGAH OH 120.000 100.000 KALIMANTAN SELATAN OH 130.000 1 10.000 KALIMANTAN TIMUR OH 150.000 125.000 KALIMANTAN UTARA OH 150.000 125.000 SULAWESI UTARA OH 130.000 1 10.000 GO RO NT ALO OH 130.000 1 10.000 SULAWESI BARAT OH 120.000 100.000 SULAWESI SELATAN OH 150.000 125.000 SULAWESI TENGAH OH 130.000 1 10.000 SULAWESI TENGGARA OH 130.000 1 10.000 MALUKU OH 120.000 100.000 MALUKU UTARA OH 130.000 1 10.000 P A P U A OH 200.000 170.000 PAPUA BARAT OH 160.000 135.000 (dalam rupiah) FULLDA Y / HALFDA Y DI DALAM KOTA (6) 85.000 95.000 85.000 95.000 95.000 85.000 85.000 95.000 95.000 95.000 85.000 105.000 130.000 95.000 100.000 100.000 1 15.000 105.000 100.000 95.000 85.000 95.000 105.000 105.000 95.000 95.000 85.000 105.000 95.000 95.000 85.000 95.000 140.000 1 15.000 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 9 - 3 1 SATUAN BIAYA TIKET PERJALANAN DINAS PINDAH LUAR NEGERI (ONE W AY) NO. PERWAKILAN SATUAN (1) (2) ( ^3) 1 . Abu Dhabi Orang/Kali 2 . Abuja Orang/Kali 4. Alger Orang/ Kali 5. Amman Orang/Kali JAKARTA - PERWAKILAN Published Business (4) (5) 1 , 1 50 3,060 3,400 5,240 2,22 1 3,080 · -- ^. . ^· - ·- · · -·- ··· · -- ^· - - - ^- - -- - ^· · First (6) 3,790 8,4 10 -B-'9.?() 3,490 4,300 6,437 1 ,840 3,970 4,662 ldalam US$ PERWAKILAN - JAKARTA Published Business First (7) (8) (9) 1 , 140 3,270 3,790 3,220 6,278 8,4 10 2,6 10 4,370 6,976 1 ,860 2,730 4,08 1 2,4 13 3,750 5,4 10 2,306 3,670 6, 162 . ··- ^- - - - - - · ^· · - · - - -· - - - - - --- - - · -- - - - . · ·---- ^- -· -- ^- - · ^- - ^. - ^- - - ^--- . ..... .....- ^· · - -- ····----- . ----·-- ·- . .. . -·-----·- _ 7 _ .l A _ n _ k_ ar _ a _ _ _ _ _ _ _ _ l _ O _ r _ a n --'g = / _ K _ al _ i _ · _ 1 _ _ _ 1-'- ,8 _ 6 _ 0 1 _ _ _ 2 --'- ,8 _ 0 _ 0 _ 1 _ _ _ 3 --' , _ 8_ 0_ 0 1 _ _ _ 1 ͒ ,8 _ 90 2,660 3, 700 _ 8 _ .1 An _ tan _ an _ ar _ i _ v_ o _ _ _ _ _ 1_ 0 _ r_ an _ g ͓ / _ K _ al 1 _ · _ 1 _ _ _ 4 ,2 _ 1 _ 0 _ 1 _ _ _ 5 _ ,_ 7_ 30 1 _ _ _ 7 _ ,2 _ 6 _ 0 _ 1 _ _ ͔ 4,2 10 5,730 7,820 9. _ ՕՖքօ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ __ ^ ___ _ _ ^Q_i: : MI ali _ __ } ^ , ^1 _ 6_() 4,960 8,090 3. ^,6 6.() 4,2 12 8,650 - - - - - - - ^· ^ · · · - -.... - ^- ---- - -·- ^- -- - - - - - --- 10. Athena Orang/Kali 3,820 4,830 9, 120 2,850 3, 160 8, 1 20 1 1 . B.S Begawan Orang/Kali 540 663 969 530 657 957 _ _ !_ Ց: _ _ I?-զէ liը-թ<: !_ ___________ ^_ __ _ ____ .<2E_ɒ LI!31L _ ___ _ _ l,7()ՙ ___ _ _ _ ^3,ooo 4,620 1 ,879 3,000 3,930 . . ··- ·· - ···- - - · - .. ---- - _ ____ _ _ ,, _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 13. Baku Orang/Kali 1 ,949 3, 106 4, 163 1 ,838 3,424 4, 163 14. Bangkok Orang/Kali 660 924 1 ,220 550 730 1 ,376 J ̞ _ : _ _ ^͕ <? ^Ͳji ͖͗-- -- --------- - ----- _ Q ^r ai: i ^g (I<_ i __ _ 9͘0 _ _ 1 ,712 _ _ _ 2,ͮYf76 1 ,040 _ _ _ l ,7p 2,076 16. Beirut Orang/Kali 1 ,460 2,890 5,232 1 , 130 3, 100 4,900 - - - - 1 - - Ǡ - - 1- - - ǡ -1 17. Beograd Orang/Kali 3,005 4,836 7,56 1 3,598 4,784 8, 164 -Ք: _ _ _ ^13- ͙͚ ^ll ͛ __ __ _ _ ^_ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ Qtaii_L_- ъ - ___ - - - ̟'̠} _ O 3 ,360 ___ 7-, _ 3.()() _ _ __ __ ՞'-՟?Q __ _ _ __ ՚: C>?() _ _ _ __ ^?,3. _ ^3() 19. Bern Orang/Kali 2,300 4,850 9,450 3,590 4,850 9,450 20. Bogota Orarig/Kali 5,08 1 1 1 ,823 14,388 6,056 10,890 14,65 1 --- 1 ^------- 1 ^----- 1 ---- 1 ---- 1 ---- 1 ---- - -ձ1:
.: _ _ ^J?E a ^s͜li ͝ --- _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ QաբմL_Iգՠi__ _ _ __ _ _ ^1 ͞ ^3. _ ^10 _ _ __ _ ^?, _ ^128 10, 934 ----- ^- ͟'-5͠͡ 10,734 1 1 ,347 · ^· -- ^· ·- ^· - - ---- ·· · ^· - - - - ^· · ^·· ^- ·· · ·-· ^· · · - 22. Bratislava Orang/Kali 2,0 1 8 3,539 5,700 2,075 3,539 5,700 -- - Ǣ - - 1 - - ǣ - - 1 23. Brussel Orang/Kali 3,370 5,346 24. 25. !=.J1: : 1 .<: '.!1͢ s!__ _ _ _ _____ _ _ _ ____ ^Q ͣ ^ͭ/I!31i _ _ _ _________ ?,3.?! -- - - - ̡'̢ ? _ O Budapest Orang/ Kali 26. Buenos Aires Orang/Kali 28. Canberra Orang/Kali 29. Cape Town Orang/Kali 1 ,620 4,340 4,900 7,500 2,287 - ·.... . . - . . 2, 130 4, 128 3,542 2,9 14 4,220 7,820 6,880 ..... . ... ·· - - -- 3,500 2,8 10 5,346 8,6 1 2 3,790 7,290 - ·--- --·--· ·- ·- ------· - · - · · - · ... - · 6,880 2,670 3,500 7,390 10,500 5,500 7,800 1 2,500 4,94 1 2,203 2,676 4,530 3,420 1 ,520 3,935 6,375 8,349 3,979 4, 1 5 1 9,694 · ξ- --- 1 --- -- ^1 ---- 1 3 --2.: _ Cara __<: '.ͤ-------- - 9.: : '.3n_j Kali _ - -- - - - ̣̤ O. !̥ - - -- ̦' - ̧ 3 ̨ _ _ _ _ _ !՝,8 Q() _ _ _ _ _ _ Ւ,4J'.3 _ _ _ _ }(l,l??_ ___ l_Փ:
?.QO. 3 1 . Chicago Orang/Kali 2,46 1 5,248 6, 146 2,236 5,5 1 2 6,820 32. Colombo Orang/Kali 1 ,050 1 ,950 2,250 880 1 , 150 1,810 __ ?-- pa15 ------------------- Q ̩̪̯l_I( '.3} i _ _ 3,230 6,540 9,620 3,030 -- -----ͥ'?8_0 9,520 34. Damascus Orang/Kali 1 ,740 3, 120 4, 120 1 ,6 1 0 3,030 4,420 _ 35. Dar Es Salaam Orang/Kali 2,930 4, 130 6,590 2,330 3, 140 6,420 ---դ-()ե-- J?arͦi: i __ _ _ _ _ __ ____ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ (?r3!1_ͧ/I(ͨi 1 , 125 1 ,703 2,063 97 1 _ _ _ _ 1,70? 3, 1 2 1 37. Davao City Orang/Kali 890 1 ,430 1 ,700 860 1 ,290 1 ,620 38. Den Haag Orang/Kali 3,060 4,930 6,590 2,790 4, 130 7,7 14 __ 3?: _ _ !? - ̫̬a _ _ _ ____ _ _ _ __ _ _ _ _ Qͩ; ; ui-ͪJ'ͫ<ali 830 1 ,2 13 1 ,630 770 _ _ l ,?lͬ _ __ - - - ̭ ,46 _ ̮ 40. Dili Orang/Kali 2,420 2,950 3, 1 20 2,320 2,600 3,000 4 1 . Doha Orang/Kali 1 ,460 2,390 4,220 1 ,490 2,730 3,82 1 42. Dubai Orang/Kali 1 ,470 2, 1 10 5,470 1 ,490 2,730 5,5 19 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 20 - ldalam US$ JAKARTA - PERWAKILAN PERWAKILAN - JAKARTA NO. PERW AIGLAN SATUAN Published Business First Published Business First Ill 121 (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) 43. Frankfurt Orang/Kali 3,340 3,650 7,390 3,350 4,360 8,3 10 _ ± 9 _ uՍ(.5ՎhoՏ----- --------- -- Qպ_E_nѺL - _ _ __ _ ?Q - ---- ----- Կ?Հ - - - - - ԥ ' <?Q ---- --- Իo-g _ _ ____ L{) 3 ________ 2 , 9-g 45. Hamburg Orang/Kali 4, 108 5,397 7,8 13 4,952 6,399 9,255 46. Hanoi Orang/Kali 880 1 ,070 1 ,240 870 950 1 ,250 - - --- Ե? : ___ ___ !: !̰ 8: : 1: _ e _ _ _ __ _ __ _ _ _ ___ _ <?!ͳlnͱ{Kaḻ 3,0 10 3,700 _ _ _ ? , 1 8 () 2,950 3,780 6,8 10 48. Havana Orang/Kali 3,500 6,550 7, 100 3,500 6,550 7, 100 49. Helsinki Orang/Kali 2,530 4,745 7, 180 2,6 10 3,700 8, 100 _ 2 0 : _ __ !: ! <?!?: ̲̳ ^i _1: _- -------- ---------- - <: )!_f:
: 1: g [̴̵̶- ^i __ ^ - - - ____ : 5 _ () _ _ ^__!() - ---- -- ^1 , 160 - --- _ _ _ 6. !? _ () --- - -- ------ԹԺQ ____ _ l}Է_Զ_Q 5 1 . Hongkong Orang/Kali 980 1 ,4 10 1 ,630 890 1 ,700 2, 120 52. Houston Orang/Kali 2,0 10 4,040 8,530 1 ,970 5, 190 S, 180 ____ 52 ^Isl ̷- ̸IJ̹ ^d ___ __ ________ _ Qi: ԩ15{I£i __ _ __ _ _ _ ! , () _ ___ _ _ _ -- - ' - 3-__() - - ---- - '()?: q _ _ __ ^) ^, _ ^3 ^ ^Q ______ ^2 _, !g _ _ _ _ }.ԭ() 54. Istanbul Orang/Kali 1 ,859 2,974 4, 1 14 1 ,842 3,390 4, 150 55. Jeddah Orang/Kali 1 ,770 2,890 4,460 1 ,630 2,270 4, 160 ---ց---- '.!Շ12.Aւ --------- ------- - ̺8.?IS( ^I ̻̼̽ - Ա. IE: )? _ _ _ -ո,?Q _ _ _ ?,Q _ 6 () 2 , 1 70 - ---- ,!') () 7,0 10 57. Johar Bahru Orang/Kali 300 49 1 609 250 49 1 7 1 5 58. Kaboul Orang/Kali 2,480 2,930 3,325 2,245 2,600 3, 166 _ _ §Ԯԯ- ͵a ^c ̾ ^i _ _ ______ _ __ __ _ ___ ^ <?: ̿15 ^/ _̀́ ^i _ _ ___ _ _ 1 , ^6 _() _ 2, ?() _ _ _ _ ___ : ? ^3 _ () _ ____ __ ^1 , 1 90 __ _ _ _ _ } : ^9 () _ _ ___ _ _ _ ___ ^2 ].() 60. Khartoum Orang/Kali 2,400 3,606 5,260 2,400 2,770 4,090 6 1 . Kiev Orang/Kali 2,973 3,498 6,427 2,802 3,208 6,409 -- :
. - _!ՈՉE.A!.: 1: 1ՊՋՌi: _ _ _____ _ _ _ _ _ _ 9: ͂ ^g LIS8: !̓ _ 2,06 () _ __ _ 3,635 8,215 1 ,980 _ _ __ ____ ^Բ,:
Գ? __ _ ___ _ 6, 7_ 2 () 63. Kata Kinabalu Orang/Kali 450 684 828 420 684 948 64. Kuala Lumpur Orang/Kali 360 527 686 450 527 686 -Ԭ? _: __ IS: : c_l1iՃis __ _______ ___ ___ ___ ___ 9.. : ՁisL!<ՂL .. ___ ___ _ ____ __ _ _ _ 5 g _ _ _ ____ __ _ _ 8- _ ?() --- - - ---- - , - ()O Ԩ?() ___ __ _ __ __ _ _!__?Q __ __ __ _ _ __ l _ , ?Q 66. Kuwait Orang/Kali 1 ,630 2,240 3, 1 10 1,710 2, 130 3,0 15 67. Lima Orang/Kali 4,789 8,735 12,2 17 4,875 8,063 12,828 _ _ 6 _ ֆև 9_1: 1 _ _ _ _________ 9: րisi!Sտi- __ 1 ,740 2,970 5,7 1 1 1 ,740 3, 1 20 5,94 1 ·--------·- ··-· - - - · · ·--- - - --· -- · ---··· · - . .. . · · - · - -· ·· · · - · ·---- · - - · - - - - - · · - - -·- ·--- - - · ·--· - - · - ·-- - - - - - 69. London Orang/Kali 3,350 8, 189 10,330 2,080 4,770 7,030 70. Los Angeles Orang/Kali 1 ,765 3,825 4,427 1 ,826 3,876 4,8 14 ___ _ ?Ԫ·- ̈́.: : i-ir .!ͅ-------- -------- -- -- - _ 9.r _ _ is / I S L- --- - - - - -- ", ? _ O? - --- - Ԧ? _ 1 __ __ _ _ ? !4 1 () _ ___ 2, ? () }&! _ ___ _ _ --- ԧ 0 _ 8-() 72. Manama Orang/Kali 73. Manila Orang/Kali 74. ͆'.W-!_o _________ __ ___ ____ _ ____ _ _ __ _ _ () ^rang / ^Kali _ 75. Marseille Orang/Kali 1 ,777 670 3,3 1 1 2, 100 2,208 1,240 5,764 4,059 76. Melbourne Orang/Kali 1 ,350 2,300 ___ ?? ___ · _ Ͱ_J5iC: : ? _ _ gԫ!,Y _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ ________ _ Q: ͇͈_LI͉8: 1_i _ _ _ - - - - - -- - ,8-gO _ _ _ _ !')}(j() 78. Moskow Orang/Kali 2,3 10 79. Mumbai Orang/Kali 1 ,500 4,890 2,500 5,258 1 ,620 6,688 7,300 3, 162 1 ,736 650 3,388 2,690 1 ,350 2, 105 5,258 1 ,200 1 ,380 4,972 6,457 · · · · -- -- - - ······-···- . - - -·----·· ·- ···-···· · - - 4,059 7,880 2,6 1 1 3, 162 - - - ! )5 _ 8- - - -ժ, ^4 ?() ---- ---- -իլ6-2 - - -- 9,458 6,500 2,680 3,500 1,500 4,900 2,500 5,650 3,500 ---չ_2Ը _ ԼԽ-1>.C: Ծ! __ _ _ __________ _ _ _ _ Q_i: g{Kali _ ___ _ _ _ l,_9 0 __ _ __ ?,Ր?O ____ ___ 4, ?!')() _ _ __ : 2 , () 60 - --- -} _ ^l _ Q --- ---- -- ՄՅ?ՆQ 8 1 . Nairobi Orang/Kali 3,270 4,000 5,492 3, 130 4, 190 5,500 82. New Delhi Orang/Kali 1 ,500 2,500 3,500 1 ,500 2,500 3,500 ---1 ---- 1 ---- 1 83. New York <: )ri1n15/I\ali __ Orang/Kali 2,542 4,726 8,07 1 2,425 4,943 8, 123 - · - - - · - · - - ·· - ·· - -- - · - · · · - - - 84. Noumea 1 ,960 3,809 4,6 12 1 ,259 3,809 4,6 12 85. Osaka Orang/Kali 1,250 _ _ _ 8 q_Դ!?. _ _ _ _ ___ __________ _ _ _ __ _ Qr͊15/K͋i - _ 3,239 87. Ottawa Orang/Kali 2, 100 2,040 2,620 1 , 190 2, 149 2,563 - ---- 1 ---- 1 ---- 1 ----- 1 3,8 18 - 5,870 3,320 3,8 18 5,740 3,480 . . - - · · -·· - - ·...·· · · - -· · - - - - - · · --· · · · -· --·----- 5,570 2,630 4,250 6,449 NO. PERWAKILAN SATUAN (1) (2) (3) 88. Panama City Orang/Kali MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 2 1 - JAKARTA - PERWAKILAN Published Business First (4) (5) (6) 5,23 1 7,390 10,307 12,540 (dalam US$ PERWAKILAN - JAKARTA Published Business (7) (81 5,379 7,397 First (9) 12,394 12,280 Ӻ?.:
_ .!: ar@ariAB--------------- ·- Q_r: a.n. 15-/IԖ: Ui _ _ ??̝IS<? - - - 7,59!?. - - -- · - · - · - · · · .. .
Paris Orang/Kali 2, 153 3,290 7,4 1 2 2, 129 4,070 7,4 12 91. Penang Orang/Kali 460 613 734 436 6 1 3 734 92. Perth _____________ Qʹ!5-L.IS8-: 1_i_ _ _ _ _ _ __ !'!.°- l?l()Q _ _ _ _ _ 2-,5̆1 _ 970 - · - _ __ l,B4: ! _ ___ __ 2,f>?Q 93. Phnom Penh Orang/Kali 730 1 , 130 1 ,340 800 1 ,206 1 ,460 94. Port Moresby Orang/Kali 1,500 2,4 17 2,927 1 ,493 2,6 1 7 3,040 -Ӹ- Pra12_̅------------- 2r: ___ an ԙL.!Ԛԛi. _ _ ______ : i_,3gg --- --՛՜.<?-2 __ ___ !§!ԇԈZ _ ____ _ 6 ,Q±?. _____ 1_ 2-,762 _ __ !; i_,__(: i_(): ? 96. Pretoria Orang/Kali 2,779 4,220 5,257 97. Pyongyang Orang/Kali 1 ,660 2,220 4,040 __ ? C Quito __ _ _____________ ___ <?LԉLISԊԋ- _ __ _ _ 6!()()LJ: _ __ _____ _ _ f>,!?3() _ __ 1̇,42-<? 99. Rabat Orang/Kali 2,830 3,520 6,285 100. Riyadh Orang/Kali 1,580 2,450 2,870 2,704 4, 1 5 1 5,104 1 ,500 2,050 4,600 5,040 6,440 14,240 - -- - · - ·· - - · - - · · -· - · - - · - · -·-· - - --· - - - - - ·---· 2,9 10 3,680 5,690 1 ,530 2,070 2,990 _ _ l()l.: ___ B£1!!: Ԥ- -- ---------- ----- Qr_Dl!\E_i _ _ _ ____ __ 2-,ӽ()0. __ ___ !?.,()()() _ _ _ (5 ! _ 5 <?() _ _ _ _ __ ?,!?_ ()() ___ --- -Ԍ·<?()() ______ ?2!?9-9 102. San Francisco Orang/Kali 1 ,843 3,565 5,758 1 ,730 4,29 1 5,758 103. Sana'a Orang/Kali 1 ,880 3,060 3,9 10 1 ,5 1 0 2,940 3,840 _ _ 1-0."I-.: _ san_1: : iag ̈-------- --- --- - <?r: FL-Li _ _ _ _ _ _ _ _ i,8̉<J. _ 6,800 7,o7o 3,520 · · - - - ӷ , .Q.Ӷ_c> ____ ___ _ (),?Ԑ() 105. Sarajevo Orang/Kali 3,840 5,800 8,600 3,700 5,703 9,260 106. Seoul Orang/Kali 1 ,090 1 ,280 1 ,743 860 1 ,3 10 1 ,650 l<?I: ___ Sh̊ghai _ _ _________ Qr: anն[!ԗԘ_i_ ___ _ 1 , 196 l: ?LJ: 'f _ _ 2,<J.l'.! _ __ __ l _ , ()1- _ 0 _ __ __ ___ l _ , ?LJ: 5 _ _ _ __ ?, ԍ_Ԏ() 108. Singapura Orang/Kali 322 534 647 350 534 647 109. Sofia Orang/Kali 1 ,930 3,340 6,2 10 1 ,250 3,450 5,978 _ __!!2: ___ Son̋khla _______ _ 0-: '.ll ԟ/ԡԢԠ--- _ _ _ _ - ӻ() .Q _ _ _ _ _ l : _ 9-!Q _ _ _ _ _ _ _ 1 , _ 2-2- _ () _ _ _ _ _ ?_()() ______ 1- _ , _()() _ __ _ _ l:
'.?:
Q 1 1 1 . Stockholm Orang/Kali 2,840 4,405 6,970 2,360 4,405 6,256 1 1 2. Suva !}Ӽ: - ӿyԁi: iԀy _ _ _ _ _ _ _ - - - --- --- ---- 1 14. Tashkent Orang/Kali 9!a.n.lIEl.l i -- - Orang/Kali 2,380 4,7 10 - - _ _ },!JtJ: () _ _ _ _ _ _ _ 2,2-ͯ() 3,672 3,930 5,060 2,680 4,900 2,460 1 ,420 3,380 4,300 2,393 3,56 1 5,940 2,6 ,1! 5,7 10 1 1 5. Tawau Orang/Kali 450 890 1 ,370 420 940 1 ,480 _ !} _ () _: ___ ! eȟ̍̎------- _ _ _ __ Q_Ԝԝ/5-/_1- <Ԟ!- _ _ _ __ _ !.: ?()() _ _ _ _ _; 3-() _() n 7. Tokyo Orang/Kali 1 ,070 1 ,570 2, 140 1 , 1 90 2 , 1 40 2,520 1 18. Toronto Orang/Kali 1,970 3,390 7,270 1 ,990 3,420 7,740 _UJ ..:
_ Tr!ȑ E_ _____________ _ _ Qrկ/]հ Ԅ-- _ __ _ _ _ 2-·?ԏ_o _ _ _ 3,2-3-Q __ _ _ 5,660 _ _ __ _ 2-: 4: ()9. _ _ _ _ __ -1Ԃԃ!() _ _ _ ___ : i: : 4̐ 0 _ 1 2 _ 0 _ . _ 1 T _ u_ n_ is _ _ _ _ _ _ _ _ 1_ 0 _ r_ an ̑ g = / _ K _ al 1 _ · 1 _ _ _ 3 ̒ ,0 _ 9 _ 8 _ 1 _ _ _ 4 ̓ , 2 00 1 _ _ _ 4 ̔ ,8 _ 9 _ 01 _ _ _ 3 ̕ ,0 _ 9 _ 8 _ 1 _ _ _ 5 ̖ , 0_ 18 _ 1 _ _ _ 5 ̗ ,6 _ 7 _ 01 1 _ 2 _ 1 _ . _ 1 _ V _ an _ C _ ou _ v _ e _ r _ _ _ _ _ _ 1 0 _ r_ an , g = / _ K _ al _ 1 _ · _ 1 _ _ _ 1 ̘ , 9 _ 8 _ 0 _ 1 _ _ _ 2 ̙ , 4 ____: _ 20 _: ___ 1 _ _ _ 4 ̚ ,3 : ___: 1 : ___: 0 _ 1 _ _ ___: c l ,890 3,800 4, 190 i2̛: ___ ԣռ_i_IE:
ս ---------- Q:
.l?: l!SճL _ _ _ _ _ _ _ I_,9()4. _ __ _ __ _ _ _ 2, 192 _ _ _ _ 2-A!?..4. _ _ _ _ _ _i. º _ ?()4. ___ -ԅ? Ԇ.: 93 ____ ___ 2- , _ 6. _ !?.4.
Vatican Orang/Kali 1,890 4,749 5,978 1 24. Vientiane Orang/Kali 900 1 ,250 1 ,380 1 ,890 920 3,8 19 4,480 1 ,057 1 ,600 !.. 2-!?: ___ ԑԒ-ԓ Ԕԕ§l _______ _ _ _ _ _ gփ-l?: l!Ӿi _ _ _ _ },409 4?2()0 , _ 4,800 3, l l_Q --- - - - ӵ ,__ ()4. _ ? _ _ __ _ _ _ _ '4,__? 1-§ 1 26. Washington Orang/Kali 2,436 6,090 9,020 2,3 10 6,143 7,875 - - - -1- - - - - 1- - - -'--- -l- - -'--- - 1- - : ___ - 1 1 27. Wellington Orang/Kali 2, 130 4,360 5,770 1 ,990 5,470 5,980 -ӹ??.: __ GiHI-- ------- ----- ---·- - - -·· 9.EJK/KEt!i _ _ 129. Windhoek Orang/Kali 130. Yangoon Orang/Kali 13 1 . Zagreb Orang/Kali -- 2!4 10 3,755 750 4,344 3,200 6,550 6,8 10 9,088 950 1 , 100 6,750 20,522 2,320 - · · - _ ...... 3,382 750 4,802 }c.6_59. - ----- -̜,9_ 2Q 6,320 8,778 950 1 , 100 8,82 1 17,0 15 MENTERI KEUANGAN REP U BLIK INDONESIA - 22 - 32 SATUAN BIAYA OPERASIONAL KHUSUS KEPALA PERWAKILAN RI DI LUAR NEGERI PERWAKILAN RI SATUAN (1) (2) AMERIKA UTARA & TENGAH l . New York KJRI 2. Ottawa 3. New York PTRI 4. San Fransisco (3) OT OT OT OT --·----- ·---·----·- - ---· ------ - - ··---· . ·-·---- - - - - - - - - - - ··--···- ·-----·-- - · - ---··-----··- --- - 5. Washington 6. Los Angeles _ _ 7_ · _ _ gӲӳc: Ӵg ----- --- - - - -- - - --- - - -- - - - - - - - --- - - - - 8. Houston 9. Toronto 10. Vancouver AMERIKA SELATAN & KARIBIA 12. Boenos Aires --- - ·-·- ··- . ____________ . __ ___ _ _ _ _ _ _ _ _ -- - - - - · · - · ···- · - - - - - - - - ······ -- - ---· ·• - - ---- - · - - · 13. Paramaribo 14. Brazilia 15. Caracas 16. Havana 17. Bogota 19. Lima 20. Quito 2 1 . Panama EROPA TENGAH & TIMUR ____ ??_. _ _ BC: : <: )_g!: c! _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ 23. Bucharest 24. Budapest 25. Moscow --·-- ·-- ·----- ---···· · · -- --- -- - - - - - - --· -·· - - · · - - · - - · - - · - · · - · ·- 26. Praque . . ·- ·- - - - --- . . OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT 27. Sofia OT 28. Warsaw OT ----------· ---··-· - - · . ·- -----···---·-·---- - - - . - · ·- ·-··- -·.... . · · · ··-- . - - . ··· - -· . .. . . - . - · · - · .. ··- · ·· · ----· · - . . - - ··· 29. Kiev OT 30. Bratislava OT _ _ _ }) _ . __ -ӫջ_gӬӭ!? _ ____________ __ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ OT _ _____ _ _ _ 32. Sarajevo OT (dalam US$) BIAYA TA 20 16 (4) --- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- - - - -- - ___ _ ?_9 _ , gQ () 60,000 60,000 - - - --- -- - -- - - - - - - - - --- -- - - - -- -- ө - Ө , Q_Q Q 60,000 60,000 ---- - -- -- - ---- - - - ---- v-5-?()Q_Q 45,000 45,000 45,000 - · - - - - - - - - _ _ _ }Q,()O_Q - - - - - . - ---- - - -- - · - ----- - - - - --- - - - -- -- - - _ }() ^, () ^O Q 15,000 30,000 15,QQO 1 5,000 30,000 .. .. . .. - - - - - - - - - - --- - - - - - - - -- - - - - _ _ ^1 §.!Q_Q() 15,000 1 5,000 1 5,000 - . --- ^-- - ^}§,QQQ 18,000 18,000 _ _ _ _ _ _ ӯ_q,OO() 17,000 15,000 - - - - - - . . - - -- _ _ _ ?ӪQQQ 30,000 15,000 · - - . - - - - - - - -- -- - - - _ ^ }Ӯ,_D()Q 15,000 PERWAKILAN RI (1) EROPA BARAT 33. Stockholm 34. Helsinski (2) MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 23 - SATUAN (3) OT OT (dalam US$) BIAYA TA 20 16 (4) 30,000 ----- ----- - - - ------··- - - -- - ---···----·-·---- ·-- - ··- - · - - - - - - · -· - --·-·------ -· - ---------- - - ---- - - ............. · - - -·...-·...- - - · -· - -· --·· }.Q ,Q_QQ 45,000 35. Rome 36. Vatican 37. Frankurt OT OT 18,000 OT . ....... · · · · · - . - w ^5 "QQQ 38. Bern OT 30,000 39. Berlin OT 60,000 --Ӥ.<?..:
.. _ §¨ ©ª_ el _ s ___ __ _ _ -··- -· - · ···· - · ·· · · ····-· - · · · · · ·· ·· ·-··· · _ __ QT ____ _ ...... .... ... ... ... . .. . ... _ .......· · - · · - · -· - - - - ------ӧg.!.Q_QQ 4 1 . Den Haag OT . 60,000 42. Geneva OT 100,000 __ =': }: _ _ £1.ӥյP1: !վg_ _ _ . .. _ . . · · ·- - ·.... .. _ .................^OT _ __ . _ _ . . ___ . . _ . . __ ___ 1D&Q.9 44. London OT 60,000 45. Paris OT 60,000 -- ӣ§ H -- Yi ̌ - ̋ - ^n ̊ - - - - - - - - ·---- - · - - · · ·· · - - -- · · - · - · -··· - -...___ _ __ 9 _ ! ........ . - - · ·· · · · ·· · ·...· · ·· · · - · · - · __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ?.9.1.0.9.Q 47. Copenhagen OT 30,000 48. Madrid OT 30,000 ___ 49: _ _ .<2!Ӧ-- --- - ·- · -- ---· - - ··- - ·.... - - - .... - · - - · · - - · - - · - · · · - _ _ ()! _ __ _ - . ................. . . · - · · · · - · · · · · · ·-· · - · · · · - -· · - · --· - · - ___ }(),Q.9Q 50. Marseilles OT 30,000 5 1 . Lisabon OT 2 1 ,000 52. Athena ..... ····· - ···· - ··· · _ · - - - ·- · - _ __ _ . . ____ .<?.T. - -- · ·· ·····............ . .. .... . . _ __ .. . · · · · ·-··.... . . _ _ _ 39 ^,000 53. Ankara 54. Istanbul AF RI KA 55. Addis Ababa 56. Dar Es Salaam OT 30,000 OT 30,000 OT 1 5,000 OT ------- --- ------------------------- -·---------- -· --·- · - --- - - - · - -- ·- --- · · - - - - -- ------ - - --·- -·-........ -· - -- - - - · - _ _ }: !?,Q.QQ 30,000 57. Abuja 58. Tananaravie 59. Dakkar --- - --- ---- - - -- - - - - -- - --------------------- - -------- - - - - - - -·-·· - -· --- · - - - ---- - - - 60. Nairobi 6 1 . Harare 62. Windhoek ----- --- -- --- - - - - - - - -----· · - - - · - - · - · -···-- . - - · · 63. Pretoria 64. Cape Town _ _ __ 6x: _ .rviap11_t() . ................ . OT OT 1 5,000 -·- . - _ _ Q!.... · · -· · · · -...··- · · - ·- - ··· - · · . ·· - ·-· -- ·....... _ ! ?.!.Q()_Q OT OT OT OT OT OT 30,000 18,000 . . - . .. --·- . . · · - · · - - ···- - · }_5,000 30,000 30,000 1 5,QOO PERWAKILAN RI (1) (2) ASIA SELATAN & TENGAH 66. Mumbai 67. Colombo 68. Dhaka MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 24 - SATUAN (3) OT OT OT (dalam US$) BIAYA TA 20 16 (4) 30,000 15,000 1 5,000 69. Islamabad OT 30,000 - · ------ -----·------·---- - -------·---·---·--·----·--·-- · - - - - - -·---··-·--·-·--·- · - · - - · ·--- · - - - - - - · -·-·-······ -·· -··-·· · . - - . -·--· - ---·-··-·-·---···-····--· ·-------· -- - - -·-- 70. Kaboul OT 1 5,000 7 1 . Karachi OT 30,000 72. New Delhi OT 30,000 73. Teheran OT 74. Tashkent OT 75. Baku OT -·----- ----- - -- - --------·-- - --·-------- - ·---· · ·· - - - - ----------· ··- ·--------- --- · - · - · - · ·· --· · --········- -- .
Astana OT ASIA TIMUR & PASIFIK · · ----- - - · · ···- · -··· - . .. . . · · · · · - · · · · · · - - · - · · · · - · · - · - · - · · · · ·...-- -- · · - · ·'-· · ·· -· · ··· · -........· - - - · - · · 77. Hongkong 78. Osaka OT OT __ _ ?: Ә'._ __ !: Y <? E. g _ y ̉̈g _ _ _ _ ·--·· · - - · - ····- - - . - - - - - - - · · - · - _ _ __ __ _ 01.: _ __ .
Seoul OT 8 1 . Tokyo OT ....-·-----·· -- - - -.... 30,000 30,000 ... - · - ... . · - · - - - · - · - . . - - - · · · · · · · - · - __ _ _ _ }§,O.Q.Q 24,000 -.... .. . . 45,000 60,000 . - - - - . · - - - - - J§ ^,0 0.9 45,000 60,000 _ 8 _ 2 _ . _ JC«E_o _ m _ _ әӚ-ӛ!1 -. . -- - · - · - · · · _ _ _ _______________ - · - --·- __ QI _ _ _ _ _ _ _ _ . . _ _ _ _ ___ _ __ _ . .. __ _ _ - - - - ---- - - - - - - - -- - - - - - -ӗg ¹ _ Q_Q _ Q 83. Beijing OT 45,000 84. Guangzhou OT 30,000 --- ӝӞӟ-- Ӗ '.: i- _ n U ̇i: - ̆ a _ _ _ _ _ __ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ q'f _ _ _ _ ····- - - - - --- --- - - ----- ()9,999 86. Noumea OT 15,000 87. Sydney OT 60,000 _ §? _ _ . _ !"ell!¬_ gtl!- _ __ _ _ _ _ _ _ _ __ . _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ __ _ __ _ _ OT _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ - -- -- -· - - -- -- -- ӕ _ Q,QQQ 89. Port Moresby OT 30,000 90. Darwin OT 45,000 --y-1: _ _ _ iyt_e!b()l11:
1: _ ®----·--- _ _ ____ _ ____ __ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ O: : I' _ _ _ _........ _ _ __ ___.... . _ .. . __ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ ---ӠӡӢQOO 92. Vanimo 93. Perth 94. Dilli - ··- - · - - · - - - · -- - · . · · · -...... - - - - . · · · - · .
Suva 96. Bangkok ___ ?J : _ _ _ P.§1: ".'Ӝ<?. <; '.Ӕ!Y ------ - · - - - - - - - ······ --- - -- - ---- -- 98. Hanoi 99. Ko ta Kinabalu 100. Kuala Lumpur OT OT OT OT OT OT OT OT OT 1 5,000 45,000 30,000 15,000 45,000 . .....- - · · - · - · - - . - - - - · - - · - · · J? _ , _ Q_QQ 15,000 30,000 60,000 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 25 - (dalam US$) PERWAKILAN RI SATUAN BIAYA TA 20 16 (1) (2) (3) (4) 1 0 1 . Manila OT 45,000 102 . Penang OT 30,000 OT - - - - ӍQ - ӌ _ : __ y ^an g<?- ------ -- _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 30,000 . - · · - --· -·-- · - - · -- - - · · -· -· -· ---··--·-·---·-- 104. Singapore OT 60, 000 105. Vientiane OT 1 5,000 _ _ _ !Q.L ¯ ^a °<: J: -±1=.§ erL!3-1?: g: ; t\V8: ²---- _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ()'!' __ _ _ _ _ _ _ _ _____ __ _ _ _ _ _ --- - · · - - - - - - - -- - - -- - - - ±§,Q() _ Q 30,000 107. Ho Chi Minh OT 108. Songkhla OT 30,000 _ lQӎ ': !³´ or _ _ ? µ _ ^hru _ _ _ _ _ _ _ __ ___ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ Q'I' _ _ _ _ _ _ __ _ ___ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ __ _ _ _ _ __ _ __ ___ _ ____ _ _ _ __ _ ---.9.!QQ() 1 10. Kuching OT 45,000 1 1 1 . Shanghai OT 45,000 ___ ! _ _ 1_z.: _ !խ-ծ -- ----------- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - _ _ _ ?! _ _ _ _ _ ___ __ _ - - - - - - -- --- - - - --- ----- - - - - -- -- - - -- - - ---- ----- ӋQ , QQQ TIMUR TENGAH 1 13. Khartoum OT - -- -- ---- -------------- · · - - -- - - - - - ·· - - - · -·-· - - · ··--- -·- ·--·-·----- - - --· --·----- - . -·---- ··· -· ·-- - - -- -- - -- ---- ----- -- - ______ _ ! _ ӊ _ ? 9().Q 1 14. Algiers OT 1 1 5. Tunisia OT 1 16. Rabbat OT 1 17. 1 18. 1 19. 120. 1 2 1 . Tripoli Baghdad Cairo Damascus Jeddah 122. Sana'a ·------ - -· · - - · - ·- -· - · · - · · -- -- - - -- - - - - - --· · - · · · - -- · - - · - · -·-...- · · · · ·-··- · · - · - · ·----· · -· - · - - OT OT OT OT OT OT 1 5,000 1 5,000 - - - - -- - - - - _ _ _ )?,OQ() 1 5,000 1 5,000 - -- - -- - - - - -- -- -- - - · - -- - - - --- _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ '±'.5-!()Q() 30,000 60,000 - - - -- - _ _ J?1()9Q 123. Kuwait OT 30,000 124. Abu Dhabi OT 30,000 --ӑӒ§-ӓ-- ӏIEӐ_c: t _ I?: ________ _____ ___ _ _ _ __ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ __ QT _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ___ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _ ___ __ _ _ 3-9190.Q 126. Riyadh OT 45,000 127. Beirut OT 1 5,000 l?? _: _ _ _ Dol]. a ______ ____ ___ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ____ _ _ _ _ _ _ __ _ _____ _ _ _ _ QI _ _ _ _ _ ___ _ _ ___ __ _ _ _ ___ _ _ _ _ _ ___ _ __ _ _ _ ___ _ __ ____ __ _ _ _____ _ _ _ _ _____ }Q _ ¸ Q_Q() 129. Dubai 130. Muscat 1 3 1 . Manama OT OT OT 30,000 30,000 - -- - - - - - --- - -- - - - _ _ _ __ _ _ _ _ _ __ _ 37,000 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 26 - 33 SATUAN BIAYA MAKANAN PENAMBAH DAYA TAHAN TUBUH NO. PROVINS I SATUAN (1) (2) (3) 1 . ACEH OH 2. SUMATERA UTARA OH 3. R I A U OH (dalam rupiah) BIAYA TA 2016 (4) 19.000 1 9.000 19.000 4. KEPULAUAN RIAU OH 19.000 5. J A M B I _ _ _ O _ H _ _ _ , _ _ _ _ _ _ 1 8 .o _ o _ o _ , 6. SUMATERA BARAT OH 1 8.000 --· - -------·---- - - ---· - -- - - - · - - · · --·- - - - - -- - - -- - · - - - - - · - - - · - -·- · -- - --· - - ----· ---- -·--·-------- --· - - - - - - - - - - - - - . . - --- - - -·-··· · 7. SUMATERA SELATAN OH 8. LAMPUNG OH 9. BENGKULU OH --- --------- - - ------- - - · -·---·-· - ----- · ·· - - - · · ·-- - - - - · - - -- - - · - · - - - -- -- - - - - - - - -- - · - - ·--- - -... 1 0. BANGl(A BELITUNG OH 1 1 . B A N T E N OH 12. JAWA BARAT OH 13. D.K.I. JAJ(ARTA OH 14. JAWA TENGAH OH 1 5 . D.I. YOGYAI(ARTA OH ---·-- - -- -- ·- · - - · - - - -------- - - --- --- - - - - - · - --- - - - · · - -· - -- --- - · - - · · - - - -------- - - - - 16. JAWA TIMUR OH 1 7. B A L I OH 1 8. NUSA TENGGARA BARAT OH 19. NUSA TENGGARA TIMUR OH 20. I(ALIMANTAN BARAT OH 18.000 1 8.000 1 8.000 1 8.000 19.000 19.000 19.000 19.000 19.000 19.000 19.000 19.000 19.000 19.000 2 1 . I(ALIMANTAN TENGAH OH 1 8.000 ----- - - -- ·· - - - - - - - - -----· -· · · - - - · - - --· - - - - ---- · - ---- - - - -- - ------ · - ·- - - - - - -- -...
KALIMANTAN SELATAN 23. I(ALIMANTAN TIMUR 24. I(ALIMANTAN UTARA 25. SULAWESI UTARA 26. GORONTALO 27. SULAWESI BARAT 28. SULAWESI SELATAN 29. SULAWESI TENGAH 30. SULAWESI TENGGARA 3 1 . MALUKU 32. MALUKU UTARA 33. P A P U A 34. PAPUA BARAT OH 1 8.000 OH 19.000 OH 19.000 OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH ..... .....· · · · · - - ·...- - - - 19.000 1 9.000 1 8.000 19. 000 1 8.000 19.000 - · .- - · -- · - · · - · · - -·- - -- - . - - - · · · ·- · -·- 20.000 22.000 25.000 25.000 34 SATUAN BIAYA SEWA KENDARAA N MENTERI KEUANGAN 34. 1 Sewa Kendaraan Pelaksanaan Kegiatan Insidentil NO PROVINS! SA TUAN RODA 4 I l l lǟI f ^3 l 141 1 . ACEH Per hari 770.000 2. SUMA TERA UT ARA Per hari 7 10.000 3 . R I A U Per hari 790.000 4. KEPULAUAN RIAU Per hari 820.000 5. J A M B I Per hari 7 10.000 6. SUMATERA BARAT Per hari 700.000 7. SUMATERA SELATAN Per hari 700.000 8. LAMPUNG Per hari 700.000 9. BENGKULU Per hari 710.000 10. BANGKA BELITUNG Per hari 770.000 1 1 . B A N T E N Per hari 700.000 12. JAWA BARAT Per hari 7 10.000 13. D.K.I. JAKARTA Per hari 7 10.000 14. JAWA TENGAH Per hari 700.000 15. D.I. YOGYAKARTA Per hari 7 10.000 16. JAWA TIMUR Per hari 700.000 17. B A L I Per hari 790.000 18. NUSA TENGGARA BARAT Per hari 790.000 19. NUSA TENGGARA TIMUR Per hari 800.000 20. KALIMANTAN BARAT Per hari 780.000 2 1 . KALIMANTAN TENG.AH Per hari 820.000 22. KALIMANTAN SELATAN Per hari 7 10.000 23. KALIMANTAN TIMUR Per hari 810.000 24. KALIMANTAN UT.ARA Per hari 8 10.000 25. SULAWESI UTARA Per hari 800.000 26. GO RO NT ALO Per hari 740.000 27. SULAWESI BARAT Per hari 7 1 0.000 28. SULAWESI SELATAN Per hari 700.000 29. SULAWESI TENGAH Per hari 770.000 30. SULAWESI TENGGARA Per hari 770.000 3 1 . MALUKU Per hari 890.000 32. MALUKU UT.ARA Per hari 900.000 33. P A P U A Per hari 1 . 025.000 34. PAPUA BARAT Per hari 980.000 (dalam rupiah) RODA 6/BUS RODA 6/ BUS SEDANG BESAR (51 ( ^6 1 2 . 100.000 3.670.000 1 .950.000 2.920.000 2 . 160.000 3 . 1 50.000 2 . 160.000 3.560.000 1 . 950.000 3.250.000 1 .900.000 3.050.000 1 .950.000 3.700.000 1 . 840.000 2.920.000 1 . 950.000 3.020.000 2 .050.000 3 . 1 50.000 1 . 840.000 2 .920.000 2.050.000 3.020.000 1 .950.000 3 .020.000 1 . 900.000 2.920.000 1 . 950.000 3 . 150.000 1 .900.000 2.920.000 2 .270.000 3.020.000 2 .270.000 3.020.000 2.380.000 3.240.000 2 . 100.000 3 .350.000 2.600.000 3.700.000 1 .950.000 3 . 1 50.000 2.200.000 3.560.000 2 . 160.000 3 .560.000 2.050.000 3.460.000 1 . 950.000 3.020.000 1 . 950.000 3.020.000 2 .300.000 3.020.000 1 . 950.000 3 . 1 50.000 2 .050.000 3 . 1 50.000 2.700.000 3.780.000 2.810.000 3 .890.000 3.780.000 4.860.000 3 .240.000 4.2 10.000 NO MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 28 - 34.2 Sewa Kendaraan Operasional Pejabat PRO VIN SI (dalam rupiah) SATUAN BIAYA TA 20 1 6 I l l f2l 131 14\ 34 ӂ . _ 1 ____ l' EJABA 'f _ _ E !? HLO_ I'! J _ _ __ ____ _ _ _ ____ _ _ __ _ ___ __ __ _ _ _ · ----- _ _ -Ӄӄ!' _J: l u ! In _ _ _ _ _____ _ _ _ _ - Ӂ? ..: _66 Q : Q_Q O _ 3 4 . 2 . 2 __ PJ KLM A: ! E§NOQ - P _ _ II _ _ __ _ - - - · -- -- - _ _ _ · · - - · · 3 4 . 2 . 2 . 1 ACEH 34.2 . 2 . 2 SUMATERA UTARA 34. 2 . 2 . 3 R I A U 3 4 . 2 . 2 . 4 KEPULAUAN RIAU 3 4 . 2 . 2 . 5 J A M B I 34 . 2 . 2 . 6 SUMATERA BARAT 34. 2 . 2 . 7 SUMATERA SELATAN 34. 2 . 2 . 8 LAM PUNG 34. 2 . 2 . 9 BENGKULU 3 4 . 2 .2 . 1 0 BANGI(A BELITUNG 34 . 2 . 2 . 1 1 B A N T E N 34.2 . 2 . 1 2 JAWA BARAT 34.2 . 2 . 1 3 D.K.I. JAI(ARTA 3 4 . 2 . 2 . 1 4 JAWA TENGAH : lӀҿ _: _'.2 ^. 1 5 - PQRoZ[ I0: X1: - - - -- ·-·-- · - · - - - - · - - - -· - · - - - - · - - - - - - - - - · -- - · · - 34.2 . 2 . 1 6 JAWA TIMUR 34 . 2 . 2 . 1 7 B A L I 34. 2 . 2 . 1 8 NUSA TENGGARA BARAT 3 4 . 2 . 2 . 1 9 NUSA TENGGARA TIMUR 3 4 . 2 . 2 . 2 0 KALIMANTAN BARAT - Per bulan Per bulan Per bulan Per bulan Per bulan Per bulan Per bulan Per bulan Per bulan Per bulan Per bulan Per bulan Per bulan Per bulan Per bulan Per bulan Per bulan Per bulan 1 4 . 1 80 . 000 1 3 . 880. 000 1 3 . 73 0 . 000 1 5 . 000. 000 1 3 . 500.000 1 3 . 650. 000 1 3 . 500. 000 1 3 . 43 0 . 000 1 3 . 500. 000 ··· - . . - · - - - · - - - · · · - - · - 1 2 . 750 . 000 1 3 . 9 5 0 . 000 1 3 . 9 50 . 000 -- ---- - - - - - - ---- 1 3 . 2 50 . 000 1 3 . 9 5 0 . 000 1 4 . 030. 000 1 3 .430. 000 1 3 . 500. 000 1 3 .650. 000 - - - · · · ···- . . · - - · · · · -· · - -- - - -- -· - - - - - - - · . . ·· · - · · - -- · -- Per bulan 1 4 . 850. 000 Per bulan 1 4 . 030. 000 Ӆ ӆӇӈ: _?_Ӊ-- Y!ST!,L_l'-I _ _ !O!'! _ G _ A _ N -- _ __ _ _ _ ___ ______ ···- - - - - · - · - - · --·· · · · - _ _ _ _ __ J: =><: : _ r_bulQl]. _ __ _ _ __ __ __ J4: )Ҿ _0 . QQ _ Q 3 4 . 2 . 2 . 22 I(ALIMANTAN SELATAN Per bulan 1 4 . 030. 000 3 4 . 2 . 2 . 23 KALIMANTAN TIMUR 34 . 2 . 2 .24 KALIMANTAN UTARA 34. 2 . 2 . 25 SULAWESI UTARA 34 . 2 . 2 . 26 GORONTALO 34 . 2 . 2 . 27 SULAWESI BARAT -·- -- - - · - - - - --- ·- - - · - - ---- - - -- ·· ·- -· ···· - - - · -- - -- - - -- - - - -- · -- - - - --- - - - - - · - · - - - - - ··· · 34. 2 . 2 .28 SULAWESI SELATAN 34 . 2 . 2 .29 SULAWESI TENGAH 34. 2 . 2 . 30 SULAWESI TENGGARA 34.2 . 2 . 3 1 MALUKU 34. 2 . 2 . 32 MALUKU UTARA 34 . 2 . 2 .33 P A P U A · - - --·-···- · -·- · - - - . ·-- ·-··--- .. ·-··-·· . ·- .... - - · · · · . . · - ·· .. 34 . 2 . 2 . 34 PAPUA BARAT Per bulan Per bulan Per bulan Per bulan Per bulan 1 4 . 030. 000 1 4 . 030. 000 1 5 . 00 0 . 000 1 5 . 00 0 . 000 1 3 . 580.000 · --- . - · · ---·--· --·-·..... . - -· · ·· - · .. - - - · . -- · ··- - - Per bulan 1 3 . 580. 000 Per bulan 1 4 . 400. 000 Per bulan 1 4 . 0 3 0 . 000 -· · - - - - - · · ·-·--·-· · -····- . - . · - · ----- - · · · · · - · . . - · - Per bulan 1 4 . 480. 000 Per bulan Per bulan Per bulan 1 4 . 400. 000 1 4 . 850 . 000 1 4 . 780.000 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 29 - 34.3 Sewa Kendaraan Operasional Kantor dan/atau Lapangan (dalam rupiah) NO PROVINSI SA TUAN PICK UP M I N IBUS DOU BLE GARD AN rn 121 (3) 14\ 15) 16\ ___ l . _ Ãg _EH _ _ _ _ _ ___ _ - ·· · · - · --- _ _EÄr __ l: >_l1Ĵ -- _ _ § _,_3 ()9..: () 0 9 _ _ _ _ _ Ei , ? 3 () · ()()() _ _ _ J _ ? ..:
. 23 () , Q_Q()___ -- ҹ Ҽ-!-ҽ----- - --- - - ···· · · · - - - - _ F'̫!.1: Jl11̃- - 5. <: )˿() . () 00_ - _ __ 6.000.000 15.000.000 1 6 . 1 30.000 14.780.000 -Һ·-- ! Ҹ"(J L "': l}ҷ _ Ҷ _ RI ҵT} _ _ _ _ _ ____ _ _ ___ F'('!J: ".Pl11̄-- __ 'i'J 3 _ () , () _0 ( ) _ _ _ _ _ ? _. ˾ 50. ()Q() 5. J A M B I Per bulan 5.850.000 5.930.000 · - -·-·- ---· - · · · - · · ··----·-· 5.930.000 14.850.000 6. SUMATERA BARAT Per bulan Per bulan . ·- · · · - - ·· · . . 6 . 1 50.000 5.850.000 · - - · --··-· ··--·-··· ... .. ... · -- · - - . -·- -.--· - - · ·--- · - · · · · - -··-· - - - - - -- - - - - 7. SUMATERA SELATAN 5.550.000 - - - - - - -- -- - - - - - - - - --- - - -- - - - --- - - - - - - - - 8. LAMPUNG Per bulan 5.780.000 14.780.000 5.850.000 14.780.000 ------ ··----··· - - · - · - · · -· · · -- - · · · · - - · · - - · -· · · - ··-- - - · - - ·-·· - ···-........ . .. - ··--·· -- --·-··· · .
BENGKULU Per bulan 5 . S)̬_G.: ()9()_ -- - _ : 5- ,_ ^93 () , ^0 ()() _ - _ 1 _ ˽ _ .? _ §() , _ ^0 Q_Q_ -- ---- ·--------·-·---- - -···---- - - · · ·-- ----- - - - · · ·--- - - ----- Per bulan 6.230.000 6 .380.000 15.l ; )Q . () OO 10. BANGKA BELITUNG 1 1 . B A N T E N Per bulan . . _ _ _ _ ?.4: 0(),()0_9 _ _ _ ^5.6 J ^0.000 _ __ _ _ 1 ¸ ^.4 _ ^8 ()_ ^.00 () _ !2һ !!'b - )3},շ'!: _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __!'er_b _u)Å- .. _ _ 5 , ˼ _ Q ( ) , ()O() _ _ : 5-: <5_7 0. ()()() __ _ 1 4. _: !139- c QQQ _ 13. D.K.I. JAKARTA Per bulan 5.660.000 6.690.000 14.770.000 14. JAWA TENGAH Per bulan -- --·-------· --·--- - - - - - -·· -··--· · - -· --·--··- .
D.I. YOGYAKARTA Per bulan _ _ ˸ U ? ^3 () , ()()() _ -̅: 13: 5-(),()()() _ _ J̀§ ́()..: O _ O O 5.630.000 - - - 5, .f?: 5-Q . () 00 _ _ 1_4 ..: _ ˻˺9 ..: 99_() --··--- · - ·- · -- -· - · - - -- -- --- - - - · · - -· ·-- - - - - - - - · · · · - · · - · · · · - - - - - -- ···--·· · · - . 1 6 . JAWA TIMUR Per bulan 5.630.000 --·-- -·--··-··· ·· ·--··------- . ·--· · - - · - · - -- - - · · - - - · - - · - -- - · · - · · · · · · - · - - - · - - - - ····-- 17. B A L I Per bulan ---···--·· - · - - - - - ··- - · - · · - -- - · -·· - - - - · ·· -- - ^- --- - . ---·· - ··· - · · - · --· - . · · · - ·-· - · · - · · 18. NUSA TENGGARA BARAT Per bulan - ·-· ---- - ---· ·-·-···-·----·--·------·---- - -· · - - · ·--·· --·--·------ - 19. NUSA TENGGARA TIMUR Per bulan 5.930.000 6.080.000 7. 130.000 --- - - · ·- --------- - -·-·--····· - - · - · - - - · ----·- · ·-·- · · - - ··· · · - - · · ··· -- - - - - · - - - --- ·· ·· ·-· - · ·- · -· · -...
KALIMANTAN BARAT Per bulan 6.380.000 2 1 . KALIMANTAN TENGAH Per bulan 6.750.000 - - - ----------- - - - --·-·--·--·--- - - -- - · - · -- - · - - - - - - - · · · - · - ·· --· - · -·- - · ···· - - · ---· - ··- ·· ·· 22. KALIMANTAN SELATAN Per bulan 6.720.000 ---··- --·-···-·---··-·-·---- - - - · - · · ···- · ·· - -- · - -- - · - ··--- · - - · · · · - · · · · · · ·· · · ---- - - · - - - · · · · · - --· · ·- · - · · 23. KALIMANTAN TIMUR Per bulan 6.380.000 --·- -------- --- - -- - -·· - --- --···-· .. -----·· --···-··-- - - - - -·-·- · ·· · · · · - 24. KALIMANTAN UTARA Per bulan 6.380.000 25. SULAWESI UTARA 26. GORONTALO Per bulan Per bulan 7.350.000 7.280.000 5.850.000 14.630.000 6.000.000 14.930.000 6.230.000 15.000.000 7.350.000 16. 130.000 6.530.000 15.230.000 6.680.000 6.530.000 7.200.000 7.200.000 --- - - - -· - - · - · · · · - - - - ··· · · - ·-· · · · 7.500.000 7.430.000 15.530.000 15.380.000 15.230.000 15.230.000 16.280.000 16.280.000 27. SULAWESI BARAT Per bulan 6. 150.000 5.890.000 - . - · ·· · - · · · · - · . - - - · . . · · - - - · · - · . - .. I ·· .. - . 15.080.000 15.080.000 ----·--·- - - .. · ·· - · · . --· - - · · - · · · - · -· ··- · - · · - - - · - - -·--· ---·- 28. SULAWESI SELATAN 29. SULAWESI TENGAH Per bulan Per bulan 6 . 1 50.000 6.750.000 5.890.000 6.980.000 15.680.000 30. SULAWESI TENGGARA Per bulan 6.900.000 _ _ _ _ 6 : ˹ 8 () ,0 ()_Q -- l_S.,299:
. ()() 0 3 1 . MALUKU Per bulan 8 . 1 80.000 - - · - - - -- · ----· ·-······- · · · ·-· · · ----· · - - · · · · ··----- · ·- ·--- · - - - · - - --··- ··· - - - ·· · - - · - · ··...- - - · - - · · · 32 . MALUKU UTARA 33. P A P U A - · ·- - - - - · - - · -- ... . - - -·· -·--- 34. PAPUA BARAT Per bulan Per bulan Per bulan 7.880.000 · · ·· -- · - - · .. . · · · - · -· · ·· · - 8.630.000 8.480.000 6.830.000 17.250.000 6.830.000 7.200.000 - · ·- ·--·-· · · - ·.... . - - 7. 130.000 16.880.000 . ·-· -··-·-...· - -- l 7 .630.000 17.330.000 ( AW www.jdih.kemenkeu.go.id MENTERI KEUANGAN 35 SATUAN BIAYA PENGADAAN KENDARAAN DINAS 35. 1 Kendaraan Dinas Pejabat NO PROVINS! (1) ( ^2 ^ ) 35. 1 . 1 PEJABAT ESELON I 35. 1 .2 PEJABAT ESELON II 35. 1.2. l ACEH - - ---- - -- - -·---- 35. 1 .2.2 SUMA TERA UT ARA 35. 1 .2.3 R I A U 35. 1 .2.4 KEPULAUAN RIAU SA TUAN 13) Unit Unit - ··----- - - - -· Unit Unit Unit (dalam rupiah) BIAYA TA 20 16 - · ----- 14) 702. 970.000 4 12.2 10.000 4 1 7 .870.000 4 12.210.000 4 1 1 .080.000 - - --- - - - - ----- - --- - -·-·---· 35. 1 .2.5 J A M B I Unit 4 12.2 10.000 35. 1 .2.6 SUMATERA BARAT Unit 4 1 7.870.000 35. 1 .2.7 SUMA TERA SELA TAN Unit 4 12.2 10.000 ---- - · ---·---- - --- - -- - ----------·--------· -- ^- --···-· - · · - - - --· - - - - - -- --- - - - - 35. 1 .2.8 LAMPUNG Unit 4 12.2 10.000 35. 1 .2.9 BENGKULU Unit 4 12.2 10.000 35. 1.2. 10 BANGI\A BELITUNG Unit 4 12.2 10.000 - ---- - - - - - - - ---- 35. 1 .2. 1 1 35. 1.2. 12 35. 1 .2. 13 35. 1 .2. 14 35. 1.2. 1 5 35. 1 .2. 16 35. 1 .2. 17 35. 1.2. 18 35. 1 .2. 19 --- 35. 1 .2.20 35. 1 .2.2 1 35. 1 .2.22 B A N T E N Unit JAWA BARAT Unit D.K.I. JAI\ARTA Unit ·-- - --------- -- - - ·--·--·-·--·- --·-··· - - · ·- · -·- - -- - - JAWA TENG AH D.I. YOGYAKARTA JAWA TIMUR - - - B A L I NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR --- - --- - ------ KALIMANTAN BARAT I\ALIMANTAN TENGAH I\ALIMANTAN SELATAN Unit Unit Unit . -- - ----- ·-- - · · · ·----- - · Unit Unit Unit - -- - --- - - --- - - - - - ---- - - Unit Unit Unit - · -------- - ------------ -- -- -- · ··---- - - - 35. 1 .2.23 35. 1 .2.24 35. 1 .2.25 35. 1 .2.26 35. 1 .2.27 35. 1 .2.28 35. 1 .2.29 35. 1 .2.30 35. 1 .2.3 1 --- - - 35. 1 .2.32 35. 1 .2.33 35. 1 .2.34 KALIMANTAN TIMUR Unit I\ALIMANTAN UTARA Unit SULAWESI UT ARA Unit ---- -- ---------- - ------------------ -- --·-- ---· · · · - · ·· · ·----- GO RO NT ALO Unit SULAWESI BARAT Unit SULAWESI SELA TAN Unit - ----- -- - - ----- SULAWESI TENG AH SULAWESI TENGGARA MALUKU - - -- - - - - - - - - - - - - - - - - - ----- - ---- - - MALUKU UT ARA P A P U A PAPUA BARAT Unit Unit Unit - - -- --- - - - - - -- Unit Unit Unit 409.940.000 409. 940.000 409. 940.000 ---------------- 4 1 1 .080.000 4 1 1.080.000 4 1 1 .080.000 -·-- - --------- 4 17.870.000 4 17.870.000 4 17.870.000 ·---- - -·---·--- ------- 4 19.000.000 42 1 .270.000 4 19.000.000 ----- - ---- - - 4 19.000.000 4 19.000.000 4 19.000.000 ----- --- - --·-·· ···---------- 42 1 .270.000 4 1 1 .080.000 4 1 1 .080.000 - -- - ----·----- 42 1 .270.000 42 1 .270.000 425.800.000 - - -- - - - - -·-·-- ·------ 425.800.000 430.330.000 428.060.000 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 31 - 35.2 Kendaraan Operasional Kantor dan/atau Lapangan Roda 4 (Empat) NO PROVINS! SA TUAN I 1l I?\ 131 1. ACEH Unit 2. SUMATERA UTARA Unit 3. R I A U Unit 4. KEPULAUAN RIAU Unit PICK UP 741 207.290.000 209.220.000 - --- -------· ---· - - - 207 .290.000 204.200.000 (daiam rupiah MINIBUS DOUBLE GARDAN . 151 lt)i 306.890.000 472.230.000 308.020.000 473.360.000 · - - - - · - - - - - - - -- ·- - - - - - · - ^- - --·-· ^· ^- ^- ^- ^- ^- ^- - - ^- -- ^- - ^- ^ - ^- 306.890.000 472.230.000 302.360.000 468.830.000 5. J A M B I _ _ ___ -- - - - ----- --- ---- - · _ ^_ _ ^_ Q11 i ^t _____ _ __ _ _ ^20 ?,2_ ^9 (?,QQ.Q. _ _ __ _ - - ˴ () ^6 _ ^. _ ^8 9.(): Q OO _ _____ : !I 2,; i; 3Q; Q ()Q 6. SUMATERA BARAT 7. SUMATERA SELATAN 8. LAMPUNG ·-- ---------------------- - · - - ----- --·----·· --- - - 9. BENGKULU 10. BANGl(A BELITUNG Unit Unit Unit Unit Unit 209.220.000 308.020.000 207.290.000 306.890.000 _ __ ___ _ 2_0?c 2_9.C>,()O O _ __306.890.000 207.290.000 306.890.000 207.290.000 306.890.000 473.360.000 472.230.000 472.230.000 - - - -- ·--- - - - - - - - - - - - · - - --·-- - - 472.230.000 472.230.000 !!-:
_ !3 ^A Ƈ 1: _ ƈ·------------------- ----·------ ---- -- ---· ˳ I1 } t _ , ___ ^ ____ 2_()2_§ ^10 c ^00 () _ _ , _ _ _ _ 2_9._·'.!0.Q: ()() _O _ _ _ _ _ '.'}˶˷:
lJ() .(){)Q 12. JAWA BARAT Unit 202.610.000 296.700.000 463 . 1 70.000 13. D.K.I. JAICARTA Unit 202.6 10.000 296.700.000 463 . 1 70.000 14. JAWA TENGAH Unit 204.200.000 302.360.000 468.830.000 · - - - - -- ----- - ------- - - - - - - - - · - · - - ·-- - ---- - - - -· - - - - - ---- - - - - - - -- --- - -- - - ---- - - - ------- . . - - - · - · · · - ·· ·- -- --· - - - - - - - - - · · · · · - · - - ··-··- ·- -· · - · · - - - -· · · -- -- · - ·-- ^- - - - -- 1 5. 0.1. YOGYAICARTA Unit 204.200.000 302.360.000 468.830.000 16. JAWA TIMUR Unit 204.200.000 302.360.000 468.830.000 -˵!· !3--Ӱ-ӱL________ __ _ _ _ _ _ _ _ _ _U!l!L _ . . _ 2Q9.220.ooo 308.020.000 473.360.000 . · -- .. · · ··-· - · ··-· - - · ·...
NUSA TENGGARA BARAT Unit 209.220.000 308.020.000 473.360.000 Ɖ 1 Ɗ 9 Ƌ ._._N : : : _ U ƌ S ƍ A T _: _ E = N Ǝ ^G =-= G = A = R = A : _: _ T _: _ IM = U -=-:
.: R _ _ _ _ _ _ _ _ , _ _ _ U Ə ^n Ɛ 1 Ƒ · ^t _ _ ^, _ _ : : : _ 20 ƒ 9 Ɠ . Ɣ 2 ƕ 20 Ɩ .Ɨ o Ƙ oƙ o, _ _ ƚ 3 ƛ 0 Ɯ 8 Ɲ .0 ƞ 2 Ɵ 0 Ơ .o ơ o ==- o , _ _ 4 Ƣ 7 ƣ 3 Ƥ .3 ƥ 6 Ʀ 0 Ƨ .0 ƨ 0 Ʃ 0 ƪ1 3 2: ƫƬ ^L ! ˲ _ N T_A- -ƭ ^ARA !. _ __ ___ -· - - · - ------ - - - _ _ !: !Ʈ ^i ! _ __ _ _ _ 2_2(),Q2__Q()OO _ __ __ -: ±.,QQ(),.Q()Q _____ 'f J 2Ư ^1 (),()9 _ 0 _ 2 1 . KALIMANTAN TENGAH Unit 224.020.000 344.260.000 494.870.000 22. ICALIMANTAN SELATAN Unit 220.020.000 342.000.000 492.6 10.000 23. 10,ư !ƱƲt: l! AƳ'.1: !ƴƵƶ----- _____ _ _ ^-- - ^--- -- ^--- ·- - ^_ _ ^Q!J: it ^_ _ _ 220,92().()00 __ _ _ .}: '}2_,()00.()0() __ _ _ _ 4_9_Ʒ.6 }().90() 24. ICALIMANTAN UTARA 25. SULAWESI UTARA 26. GORONTALO 27. SULAWESI BARAT 28. SULAWESI SELATAN 29. SULAWESI TENGAH -- ····--·--·----·· -------·-------··--· - · - 30. SULAWESI TENGGARA 3 1 . MALUKU Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit 220.020.000 342.000.000 492.6 10.000 220.020.000 342.000.000 492.610.000 204.200.000 204.200.000 224.020.000 224.020.000 23 1 .000.000 302.360.000 468.830.000 302.360.000 468.830.000 344.260.000 494.870.000 · · · · ·- - ··-- · · · · - · -··· ·· · · - · ·-- -· · · · --- - · · -·-· . · ···· . . • .
260.000 494.870.000 353.320.000 503.930.000 32. MALUKU UTARA Unit 23 1 .000.000 353.320.000 503.930.000 33. P A P U A 34. PAPUA BARAT 35.3 Kendaraan Operasional Bus NO. I ll 1 . Roda 4 dan/atau Bus Kecil 2. Roda 6 dan/atau Bus Sedang Unit 239. 150.000 Unit 233.970.000 URAIAN {2) ·-·-· -- · -- - - - - - · --· ·· · ·-· -·- - -- · · -- ··· ·-·-· ·- - - - 357.850.000 508.460.000 355.590.000 506.200.000 (dalam rupiah) SA TUAN BIAVA TA 2016 { ^3 ) (4) Unit 360.942.000 Unit 563.360.000 Unit 1 . 138.896.000 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 32 - 35.4 Kendaraan Operasional Kantor dan/atau Lapangan Roda 2 (Dua) NO PROVINS! SA TUAN I ll ǝl Ǟ 1. ACEH Unit 2. SUMATERA UTARA Unit - -- · ---- ------ -- - - ·-··-·-· - -·- · ··-·· ·-· -·-· · -------- - -- -- - --- -·-· ----- · · -· · - · 3. R I A U Unit 4. KEPULAUAN RIAU Unit 5. J A M B I Unit ---- ----- · -·-··-- · · - ··-- _ ^_ . . _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ 6. SUMATERA BARAT Unit 7. SUMATERA SELATAN Unit 8. LAMPUNG Unit __ , ___ -· - -----····--···--· - · .. ^. ... -- - - - - - - - · · · · - - · - · - · - -· - · · - - · - ---- - -- 9. BENGKULU Unit 10. BANGKA BELITUNG Unit 1 1 . B A N T E N Unit -- - - ---------- - - - - - -- - - - - - -- - - - - - -- -- - -- - -- - - - - - -- - - - 1 2 . JAWA BARAT 13. D.ICI. JAKARTA 14. JAWA TENGAH 15. D.I. YOGYAKARTA 16. JAWA TIMUR 17. B A L I --·-- ----- - ------· - ---·--·-- -- - 18. NUSA TENGGARA BARAT 19. NUSA TENGGARA TIMUR 20. KALIMANTAN BARAT 2 1 . KALIMANTAN TENGAH 22. KALIMANTAN SELATAN 23. KALIMANTAN TIMUR 24. KALIMANTAN UTA.RA 25. SULAWESI UTARA 26. GORONTALO 27. SULAWESI BA.RAT 28. SULAWESI SELATAN Unit Unit Unit ·· -- --··--·-- ·---- - -----··· . -· - · · - - · · ··· Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit 29. SULAWESI TENGAH Unit (dalam rupiah) OPERASIONAL LAPAN GAN 141 151 20.280.000 33.440.000 20.280.000 19.690.000 20.280.000 ·· · ··-· · -- ^·· - - - ^- - ^· · ^- --- 33.440.000 32.360.000 33.440.000 20.620.000 35.600.000 20.280.000 33.440.000 - · - f!(.) ^. ®13.0.·.0. ^0 _ ^0 _ _ _ _ __ }¯·-4: 4: ^0 ,9(.)Q 20.280.000 33.440.000 20.280.000 33.440.000 19. 2 1 0.000 3 1 .280.000 . . .. ^. ^. ^. ^. . ..... ^.. ------ - - - · -· · · · - ·-- ·- ··--· - -- - - - 19.2 10.000 19.210.000 19.690.000 19.690.000 19.690.000 20.620.000 20.620.000 20.620.000 2 1 .220.000 22.040.000 2 1 . 220.000 2 1 .220.000 2 1 .220.000 2 1 .220.000 22.040.000 19.690.000 19.690.000 22.040.000 . . · - . · · - · · - --·- 3 1 .280.000 3 1 .280.000 32.360.000 . --· --------- · ----- ^· · ····--- 32.360.000 32.360.000 35.600.000 35.600.000 35.600.000 36.670.000 37.750.000 36.670.000 36.670.000 36.670.000 36.670.000 37.750.000 32.360.000 32.360.000 37.750.000 30. SULAWESI TENGGARA Unit 22.040.000 37.750.000 3 1 . MALUKU Unit 22.320.000 38.830.000 Ҳҳ- i'l'.11.\l: '.l: : '. Ҵ(l!_ ^UTARA _ _ _ · -· · · _ _ _ _ _ _ _ · · - · · · · ·-· · · ··· - - - - - - _ _ Unit 22,320.000 _ _ _ 3°: 83_(.): _QO _O _ _ 3 _ 3 _ . _ , _ P _ A _ P _ U _ A _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ , _ _ ___: U :
: : n : : : i t : : ___ _ _ , _ _ ___: 2 :
: : 3 c:
.:
5 : : _: 5 : _: 0 c: _ .o : : _: o : _: __ o 42.070.000 34. ^P A ^P UA BARAT Unit 22.7 10.000 39.910.000 MENTERI KEUANGAN 36 SATUAN BIAYA PENGADAAN PAKAIAN DINAS PAKAIAN DINAS PAKAIAN DINAS PEGAWAI/ NO PROVINS! SA TUAN DOKTER PERA WAT Ill (2) (31 (4) 75\ 1 . ACEH Ste! 6 10.000 460.000 2. SU MATERA UT ARA Ste! 650.000 500.000 3. R I A U Ste! 650.000 500.000 4. KEPULAUAN RIAU Ste! 650.000 500.000 5. J A M B I Ste! 650.000 500.000 6. SUMATERA BARAT Ste! 650.000 500.000 7. SUMATERA SELATAN Ste! 650.000 500.000 8. LAMPUNG Ste! 600.000 450.000 9. BENGKULU Ste! 650.000 500.000 10. BANGl(A BELITUNG Ste! 650.000 500.000 1 1 . B A N T E N Ste! 530.000 430.000 12. JAWA BARAT Ste! 500.000 400.000 13. D.ICI. JAl\ARTA Ste! 680.000 590.000 14. JAWA TENGAH Ste! 600.000 450.000 15. D.l. YOGYAl<ARTA Ste! 520.000 4 10.000 16. JAWA TIMUR Ste! 6 10.000 460.000 17. B A L I Ste! 6 10.000 460.000 18. NUSA TENGGARA BARAT Ste! 650.000 500.000 19. NUSA TENGGARA TIMUR Ste! 660.000 550.000 20. I\ALIMANTAN BARAT Ste! 650.000 500.000 2 1 . KALIMANTAN TENGAH Ste! 650.000 500.000 22. l\ALIMANTAN SELATAN Stet 650.000 500.000 23. KALIMANTAN TIMUR Stet 650.000 500.000 24. I<ALIMANTAN UTARA Stet 650.000 500.000 25. SULAWESI UTARA Ste! 6 10.000 460.000 26. GO RO NT ALO Ste! 650.000 500.000 27. SULAWESI BARAT Ste! 6 1 0.000 460.000 28. SULAWESI SELATAN Stet 6 10.000 460.000 29. SULAWESI TENGAH Ste! 6 10.000 460.000 30. SULAWESI TENGGARA Ste! 6 10.000 460.000 3 1 . MALUKU Ste! 660.000 550.000 32. MALUKU UTARA Ste! 660.000 550.000 33. P A P U A Ste! 750.000 650.000 34. PAPUA BARAT Ste! 700.000 620.000 ldalam runiahl PAKAIAN PAKAIAN KERJA PENGEMUDI PAKAIAN SERAGAM /PETUGAS KERJA MAHASISWA/ KEBERSIHAN / SATPAM TARUNA PRAMUBAKTI (6) (7) (81 400.000 460.000 980.000 450.000 440.000 930.000 450.000 440.000 1.000.000 450.000 440.000 940.000 450.000 440.000 900.000 450.000 500.000 900.000 450.000 440.000 1.000.000 380.000 450.000 970.000 450.000 440.000 900.000 450.000 440.000 1 .000.000 380.000 360.000 800.000 350.000 340.000 780.000 530.000 590.000 1 .200.000 380.000 360.000 800.000 360.000 350.000 790.000 400.000 390.000 850.000 400.000 390.000 850.000 450.000 440.000 900.000 500.000 490.000 950.000 450.000 500.000 900.000 450.000 440.000 900.000 450.000 440.000 900.000 450.000 440.000 900.000 450.000 440.000 900.000 400.000 500.000 920.000 450.000 440.000 900.000 400.000 390.000 850.000 400.000 390.000 9 10.000 400.000 390.000 850.000 400.000 390.000 850.000 500.000 490.000 1 . 1 00.000 500.000 490.000 1 .200.000 600.000 590.000 1 .400.000 550.000 540.000 1 .300.000 MENTERI KEUANGAN PENJELASAN STANDAR BIAYA MASUKAN TAHUN ANGGARAN 20 1 6 YANG BERFUNGSI SEBAGAI BATAS TERTINGGI 1 . Honorarium Penanggung Jawab Pengelola Keuangan Honorarium yang diberikan kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) , Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) , Pejabat Penguji Tagihan dan Penandatangan Surat Perintah Membayar, Bendahara Pengeluaran, dan Staf Pengelola Keuangan/ Bendahara Pengeluaran Pembantu/ Petugas Pengelola Administrasi Belanja Pegawai (PPABP) . Honorarium Penanggung Jawab Pengelola Keuangan pada setiap satuan kerja, diberikan berdasarkan besaran pagu yang dikelola Penanggung Jawab Pengelola Keuangan untuk setiap Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) , dengan ketentuan sebagai berikut:
Kepada Penanggungjawab Pengelola Keuangan yang mengelola lebih dari 1 (satu) DIPA, dapat diberikan honorarium dimaksud sesuai dengan jumlah DIPA yang dikelola dengan besaran didasarkan pagu dana yang dikelola pada masing-masing DIPA. Alokasi honorarium tersebut dibebankan pada masing-masing DIPA.
Untuk membantu PPK dalam pelaksanaan administrasi belanja pegawai di lingkungan satuan kerja, KPA dapat menunjuk PPABP. Besaran honorarium PPABP diberikan mengacu pada honorarium Staf Pengelola Keuangan sesuai dengan pagu belanja pegawai yang dikelolanya.
Ketentuan Jumlah Staf Pengelola Keuangan (SPK) diatur sebagai berikut:
Jumlah SPK yang membantu KPA: a) KPA yang merangkap sebagai PPK, jumlah SPK paling banyak 6 (enam) orang, termasuk PPABP. b) KPA yang dibantu oleh satu atau beberapa PPK, jumlah SPK paling banyak 3 (tiga) orang termasuk PPABP.
Jumlah Keseluruhan SPK yang membantu PPK dalam 1 (satu) KPA tidak melebihi 2 (dua) kali dari jumlah PPK.
Jumlah SPK untuk PPK yang digabungkan diatur sebagai berikut: a) jumlah SPK tidak boleh melampaui sebelum penggabungan; b) besaran honorarium SPK didasarkan pada jumlah pagu yang dikelola SPK; c) dalam hal penggabungan PPK dilaksanakan tahun anggaran sebelumnya, maka jumlah SPK paling banyak sejumlah SPK tahun sebelumnya; MENTERI KEUANGAN d. jumlah keseluruhan alokasi dana untuk honorarium penanggung jawab pengelola keuangan dalam 1 (satu) tahun anggaran paling banyak 1 0% ( sepuluh persen) dari pagu yang dikelola; dan
dalam hal Bendahara Pengeluaran telah diberikan tunjangan fungsional bendahara, maka yang bersangkutan tidak diberikan honorarium dimaksud. Cata tan: Honorarium penanggung jawab pengelola keuangan dapat diberikan kepada pengelola kegiatan yang secara langsung mengelola dan melaksanakan kegiatan yang anggarannya bersumber dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) , dengan ketentuan alokasi honorarium dimaksud berasal dari pagu Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga (RKA-K/ L) berkenaan.
Honorarium Penanggung Jawab Pengelola Keuangan pada Satker yang Khusus Mengelola Belanja Pegawai Honorarium yang diberikan kepada pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang ditunjuk untuk melakukan pengelolaan belanja pegawai pada Kementerian Negara/ Lembaga/ satuan kerja sesuai surat keputusan pejabat yang berwenang.
Honorarium Pengadaan Barang/Jasa a. Honorarium Pejabat Pengadaan Barang/Jasa Honorarium diberikan kepada seseorang yang diangkat oleh Pengguna Anggaran (PA) / Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai Pejabat Pengadaan Barang/ Jasa untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa melalui penunjukan langsung/pengadaan langsung sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Honorarium Panitia Pengadaan Barang/Jasa dan Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (ULP) Honorarium diberikan kepada seseorang yang diangkat oleh PA/ KPA menjadi Panitia Pengadaan Barang/Jasa atau Kelompok Kerja ULP untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Cata tan: Dalam hal anggota kelompok kerja pada ULP telah menerima tunjangan profesi, maka kepada anggota kelompok kerja tersebut tidak diberikan honorarium dimaksud. MENTERI KEUANGAN c . Honorarium Pengguna Anggaran Honorarium diberikan kepada Pengguna Anggaran dalam hal:
melakukan penetapan pemenang atas pelelangan a tau penyedia pada penunjukan langsung untuk paket pengadaan barang/ konstruksi/jasa lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku; a tau (2) menetapkan pemenang pada seleksi atau penyedia pada penunjukkan langsung untuk paket pengadaan jasa konsultansi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Honorarium Perangkat Unit Layanan Pengadaan (ULP) Honorarium yang diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang berdasarkan surat keputusan pejabat yang berwenang diberi tugas tambahan sebagai perangkat pada ULP. Yang dimaksud dengan ULP sebagaimana tersebut di atas adalah unit yang struktur organisasinya dilekatkan pada unit organisasi yang sudah ada. Dalam hal ULP sudah merupakan struktur organisasi tersendiri dan perangkat ULP telah diberikan remunerasi sesuai ketentuan yang berlaku, maka perangkat ULP tidak diberikan honorarium dimaksud. 5 . Honorarium Penerima Hasil Pekerjaan Honorarium diberikan kepada panitia/pejabat yang ditetapkan oleh PA/ KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil pekerjaan.
Honorarium Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Honorarium diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang diberi tugas oleh pejabat yang berwenang untuk mengelola PNBP fungsional dengan ketentuan sebagai berikut:
Jumlah petugas penerima PNBP atau anggota paling banyak 5 (lima) orang;
Jumlah alokasi dana untuk honorarium Pengelola PNBP dalam 1 (satu) tahun paling tinggi sebesar 1 0% (sepuluh persen) dari target pagu penerimaan PNBP fungsional; dan
Dalam hal bendahara penerimaan telah menerima tunjangan fungsional bendahara, maka yang bersangkutan tidak diberikan honorarium dimaksud. MENTERI KEUANGAN 7. Honorarium Pengelola Sistem Akuntansi Instansi (SAi) Honorarium diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang diberi tugas melakukan pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pada Kementerian Negara/ Lembaga sesuai dengan unit akuntansi masing-masing, baik yang dikelola secara prosedur manual maupun terkomputerisasi. SAI terdiri dari Sistem Akuntansi Keuangan (SAK) dan Sistem Akuntansi Barang Milik Negara (SABMN) . Ketentuan mengenai jumlah pengelola SAI adalah sebagai berikut:
ditetapkan atas dasar Keputusan Menteri paling banyak 7 (tujuh) orang; dan
ditetapkan bukan atas dasar Keputusan Menteri paling banyak 6 (enam) orang. Cata tan: Kernen terian satuan biaya SAL Negara/ Lembaga tidak diperkenankan memberlakukan Honorarium Tim Pelaksana Kegiatan dalam pengelolaan 8 . Honorarium Pengurus/Penyimpan Barang Milik Negara Honorarium yang diberikan kepada ,Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI di lingkungan Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Barang yang melaksanakan tugas rutin selaku pengurus/penyimpan barang berdasarkan surat keputusan Pengguna Barang. Jumlah pejabat/pegawai yang dapat diberikan honorarium selaku pengurus/penyimpan barang milik negara paling banyak 4 (empat) orang pada tingkat Pengguna Barang dan 2 (dua) orang pada tingkat Kuasa Pengguna Barang.
Honorarium Kelebihan Jam Perekayasaan Honorarium atas kelebihan jam kerja yang diberikan kepada fungsional perekayasa yang diberi tugas berdasarkan surat perintah dari pejabat yang berwenang untuk melakukan perekayasaan, paling banyak 4 (empat) jam sehari, dengan tidak diberikan uang lembur dan uang makan lembur. MENTERI KEUANGAN 10. Honorarium Penunjang Penelitian/Perekayasaan Honorarium yang diberikan kepada seseorang yang diberi tugas untuk menunjang kegiatan penelitian/ perekayasaan yang dilakukan oleh fungsional peneliti/perekayasa sebagai pembantu peneliti/perekayasa, koordinator peneliti/ perekayasa, sekretariat peneliti/ perekayasa, pengolah data, petugas survei, pembantu lapangan berdasarkan surat perintah pejabat yang berwenang. Dalam hal pembantu peneliti/perekayasa sebagaimana tersebut di atas berstatus sebagai pegawai negeri sipil, maka peneliti/perekayasa dimaksud tidak diberikan uang lembur dan uang makan lembur. Cata tan: 1 . Dalam hal penelitian/perekayasaan dilakukan bersama-sama dengan pegawai negeri sipil (non fungsional peneliti/ perekayasa) , kepada pegawai negeri sipil (non fungsional peneliti/perekayasa) atas penugasan penelitian yang dilakukan di luar jam kerja normal diberikan honorarium paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen) dari honorarium kelebihan jam perekayasaan untuk perekayasa pertama serta tidak diberikan uang lembur dan uang makan lembur. 2 . Khusus honorarium pembantu lapangan, dalam hal ketentuan mengenai upah harian minimum di suatu wilayah lebih tinggi daripada satuan biaya dalam Peraturan Menteri ini, maka satuan biaya ini dapat dilampaui mengacu pada ketentuan tersebut. 3 . Honorarium penunjang penelitian/perekayasaan diberikan secara selektif dengan mempertimbangkan prinsip efisiensi dan efektifitas. 1 1 . Honorarium Narasumber/Pembahas/Moderator/Pembawa Acara/ Panitia 1 1 . 1 Honorarium Narasumber / Pembahas Honorarium yang diberikan kepada Pejabat Negara/ Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang memberikan informasi/pengetahuan dalam kegiatan Seminar/ Rapat Koordinasi/ Sosialisasi/ Diseminasi/Bimbingan Teknis/ Workshop/ Rapat Kerja/ Sarasehan/ Simposium/ Lokakarya/ Focus Group Discussion/ Kegiatan Sejenis, tidak termasuk untuk kegiatan diklat/pelatihan. Cata tan: 1 . Satuan jam yang digunakan untuk kegiatan Seminar/Rapat Koordinasi / Sosialisasi / Diseminasi / Bim bing an Teknis / Workshop/ Ra pat Kerja/ Sarasehan/ Simposium/ Lokakarya/ Focus Group Discussion/ Kegiatan Sejenis adalah 60 (enam puluh) menit. MENTERI KEUANGAN 2 . Honorarium narasumber/pembahas dapat diberikan dengan ketentuan:
berasal dari luar lingkup unit eselon I penyelenggara; dan/atau
berasal dari lingkup unit eselon I penyelenggara sepanjang peserta yang menjadi sasaran utama kegiatan berasal dari luar lingkup unit eselon I penyelenggara/ masyarakat. 1 1 .2 Honorarium Moderator Honorarium yang diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan tugas sebagai moderator pada kegiatan Seminar/ Ra pat Koordinasi/ Sosialisasi/ Diseminasi/ Bimbingan Teknis/ Workshop/ Rapat Kerja/ Sarasehan/ Simposium/ Lokakarya/ Focus Group Discussion/Kegiatan Sejenis. Cata tan: Honorarium Moderator dapat diberikan dengan ketentuan:
berasal dari luar lingkup unit eselon I penyelenggara; atau
berasal dari lingkup unit eselon I penyelenggara sepanjang peserta yang menjadi sasaran utama kegiatan berasal dari luar lingkup unit eselon I penyelenggara/ masyarakat. 1 1 .3 Honorarium Pembawa Acara Honorarium yang diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan tugas memandu acara dalam kegiatan Seminar/ Ra pat Koordinasi/ Sosialisasi/ Diseminasi/ Bimbingan Teknis/ Workshop/Rapat Kerja/ Sarasehan/ Simposium/ Lokakarya/ Focus Group Discussion/ Kegiatan Sejenis yang dihadiri oleh Menteri/ Pejabat Setingkat dengan peserta kegiatan minimal 300 (tiga ratus) orang dan sepanjang dihadiri lintas unit eselon I/ Kementerian Negara/ Lembaga lainnya/masyarakat. 1 1 .4 Honorarium Panitia Honorarium yang diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang diberi tugas oleh pejabat yang berwenang sebagai panitia atas pelaksanaan kegiatan Seminar/ Rapa t Koordinasi / Sosialisasi / Diseminasi / Bim bing an Teknis / Workshop/Rapat Kerja/ Sarasehan/ Simposium/ Lokakarya/ Focus Group Discussion/ Kegiatan Sejenis sepanjang peserta yang menjadi sasaran utama kegiatan berasal dari luar lingkup unit eselon I penyelenggara/ Kernen terian Negara/ Lem bag a lainnya/ masyarakat. MENTER! KEUANGAN /· Dalam hal pelaksanaan kegiatan Seminar/ Rapat Koordinasi/ Sosialisasi/ Diseminasi/Bimbingan Teknis/ Workshop/ Rapat Kerja/ Sarasehan/ Simposium/ Lokakarya/ Focus Group Discussion/ Kegiatan Sejenis memerlukan tambahan panitia yang berasal dari non Pegawai Aparatur Sipil Negara harus dilakukan secara selektif dengan mempertimbangkan urgensi, dengan besaran honorarium mengacu pada besaran honorarium untuk anggota panitia. Jumlah panitia yang dapat diberikan honorarium maksimal 1 0% (sepuluh persen) dari jumlah peserta dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas. 1 1 . 5 Narasumber Kegiatan di Luar Negeri Satuan biaya yang diberikan kepada narasumber Warga Negara Indonesia Non Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI untuk kegiatan Workshop/ Seminar/ Sosialisasi/ Sarasehan yang diselenggarakan di luar negeri. Narasumber Kelas A Narasumber Kelas B Narasumber Kelas C Narasumber Non Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang disetarakan dengan Menteri, ketua dan wakil ketua lembaga negara. Narasumber Non Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang disetarakan dengan duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, duta besar yang menjabat kepala perwakilan, pegawai negeri Gol IV/ c ke atas, perwira tinggi Anggota Polri/TNI, dan anggota lembaga negara. Narasumber Non Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang disetarakan dengan pegawai negeri Gol III/ c . sampai dengan IV / b dan perwira menengah Anggota Polri/TNI.
Honorarium Penyuluh Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja Honorarium diberikan sebagai pengganti upah kerja kepada Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang diangkat untuk melakukan penyuluhan berdasarkan surat keputusan pejabat yang berwenang. Dalam hal ketentuan mengenai upah minimum di suatu wilayah lebih tinggi dari pada satuan biaya dalam Peraturan Menteri ini, maka: / MENTERI KEUANGAN a. satuan biaya ini dapat dilampaui dan mengacu pada Peraturan yang mengatur tentang Upah Minimum Propinsi (UMP) .
pemberlakuan satuan biaya Honorarium Penyuluh Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang didasarkan atas Peraturan yang mengatur tentang UMP berlaku ketentuan: 1 ) SLTA diberikan setinggi-tingginya sesuai UMP setempat.
Sarjana Muda/ DI/ DII/ DIII diberikan setinggi-tingginya 1 14% ( seratus em pat belas persen) dari UMP setempat.
Sarjana diberikan setinggi-tingginya 1 24% (seratus dua puluh empat persen) dari UMP setempat.
Master (82) diberikan setinggi-tingginya 1 33% (seratus tiga puluh tiga persen) dari UMP setempat. Dalam rangka pelaksanaan kewajiban pemberi kerja untuk membayar iuran/premi jaminan sosial, maka atas satuan biaya/upah minimum dimaksud dapat ditambahkan iuran/premi jaminan sosial sesuai ketentuan yang berlaku. 1 3 Satuan Biaya Operasional Penyuluh Biaya Operasional Penyuluh (BOP) adalah satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya bantuan transportasi bagi para Pegawai Aparatur Sipil Negara sebagai penyuluh dalam rangka mengunjungi daerah binaannya sebagaimana dimaksud pada Undang Undang Nomor 1 6 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. 1 4. Honorarium Rohaniwan Honorarium yang diberikan kepada seseorang yang ditugaskan oleh pejabat yang berwenang sebagai rohaniwan pada saat pengambilan sumpah jabatan. 1 5 . Honorarium Tim Pelaksana Kegiatan dan Sekretariat Tim Pelaksana Kegiatan 1 5 . 1 Honorarium Tim Pelaksana Kegiatan Honorarium yang diberikan kepada seseorang yang berdasarkan Surat Keputusan Presiden/ Menteri/ Pejabat Setingkat Menteri/ Pejabat Eselon I/ KPA diangkat dalam suatu tim pelaksana kegiatan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu. Terhadap tim pelaksana kegiatan yang dibentuk berdasarkan keputusan Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan sumber pendanaan dari APBN maka besaran honorarium yang diberikan disetarakan dengan honorarium tim pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan oleh Menteri/ Pejabat Setingkat Menteri. MENTERI KEUANGAN Ketentuan pembentukan tim adalah sebagai berikut:
mempunyai keluaran (out put) jelas dan terukur;
bersifat koordinatif yang mengharuskan untuk mengikutsertakan Eselon I/ Kementerian Negara/ Lembaga lainnya;
bersifat temporer, pelaksanaannya perlu diprioritaskan;
merupakan perangkapan fungsi atau tugas tertentu kepada pejabat negara/pegawai Aparatur Sipil Negara disamping tugas pokoknya sehari-hari; dan
dilakukan secara selektif, efektif, dan efisien. 1 5. 2 Honorarium Sekretariat Tim Pelaksana Kegiatan Honorarium yang diberikan kepada seseorang yang diberi tugas untuk melaksanakan kegiatan administratif yang berfungsi untuk menunjang kegiatan tim pelaksana kegiatan. Sekretariat Tim Pelaksana Kegiatan merupakan bagian tidak terpisahkan dari tim pelaksana kegiatan. Sekretariat tim pelaksana kegiatan hanya dapat dibentuk untuk menunjang tim pelaksana kegiatan yang ditetapkan oleh Presiden/Menteri. Jumlah sekretariat tim pelaksana kegiatan sebagai berikut:
paling banyak 1 0 (sepuluh) orang untuk tim sekretariat yang mendukung tim pelaksana kegiatan yang ditetapkan oleh Presiden; atau
paling banyak 7 (tujuh) orang untuk tim sekretariat yang mendukung tim pelaksana yang ditetapkan oleh Menteri/ Pejabat Setingkat Menteri. Cata tan: 1 . Dalam hal tim telah terbentuk selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, Kementerian Negara/ Lembaga melakukan evaluasi terhadap urgensi dan efektifitas keberadaan tim untuk dipertimbangkan menjadi tugas dan fungsi suatu unit organisasi. 2 . Kementerian Negara/ Lembaga dalam melaksanakan ketentuan Standar Biaya Masukan agar melakukan langkah-langkah efisiensi anggaran dengan melakukan pembatasan dan pengendalian pemberian honorarium tim pelaksana kegiatan, dengan ketentuan sebagai berikut:
Tim yang ditetapkan oleh Pejabat Eselon I/ KPA diperuntukkan bagi tim yang lintas eselon I dalam 1 (satu) Kementerian Negara/ Lembaga. Pengaturan jumlah honorarium yang diterima bagi Pejabat Negara, Pejabat Eselon I, Pejabat Eselon II, Pejabat Eselon III, Pejabat Eselon IV, pelaksana, dan pejabat fungsional, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: / MENTERI KEUANGAN No Pejabat/ Pegawai Klasifikasi I II III 1 . Pejabat Negara, Eselon I, clan 2 3 4 Eselon II 2 . Pejabat Eselon III 3 4 5 3 . Pejabat Eselon IV, pelaksana, 5 6 7 dan pejabat fungsional Keterangan: 1 . Batasan klasifikasi pengaturan jumlah honorarium yang diterima sebagaimana dimaksud di atas adalah sebagai berikut: Klasifikasi I Kementerian Negara/ Lembaga yang telah menerima tunjangan kinerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan : rpengenai tunjangan kinerja dengan tunjangan kinerja pada kelas jabatan tertingginya lebih besar atau sama dengan Rp40.000.000 (empat puluh juta rupiah) . Klasifikasi II Klasifikasi III Kementerian Negara/ Lembaga yang telah menerima tunjangan kinerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai tunjangan kinerja dengan tunjangan kinerja pada kelas jabatan tertingginya lebih besar atau sama dengan Rp25. 000.000 (dua puluh lima juta rupiah) dan kurang dari Rp40.000.000 (empat puluh juta rupiah) . Kementerian Negara/ Lembaga yang telah menerima tunjangan kinerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai tunjangan kinerja dengan tunjangan kinerja pada kelas jabatan tertingginya kurang dari Rp25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) atau belum menerima tunjangan kinerja. 2 . Dalam hal tim yang lintas eselon I dalam 1 (satu) Kementerian Negara/ Lembaga ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga, maka besaran honorarium yang diberikan tetap mengacu pada besaran honorarium tim pelaksana kegiatan yang ditetapkan oleh Pejabat Eselon I dan mengikuti ketentuan pembatasan sebagaimana dimaksud pada angka 1 di atas. MENTERI KEUANGAN b. Tim yang ditetapkan oleh Presiden, Menteri/ Pimpinan Lembaga atau pejabat yang diberikan kewenangan oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga diperuntukkan bagi tim yang lintas Kementerian Negara/ Lembaga. Penetapan tim oleh pejabat yang diberikan kewenangan oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga dilaksanakan setelah pembentukan tim tersebut mendapat persetujuan Menteri/Pimpinan Lembaga. Pemberian honorarium bagi tim yang ditetapkan oleh Presiden, Menteri/ Pimpinan Lembaga atau pejabat yang diberikan kewenangan oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga dikecualikan atas ketentuan huruf a di atas.
Honorarium Tim Penyusunan Jurnal/Buletin/Majalah/Pengelola Website 16. 1 Honorarium Tim Penyusunan Jurnal Honorarium tim penyusunan jurnal dapat diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang diberi tugas untuk menyusun dan menerbitkan jurnal berdasarkan surat keputusan pejabat yang berwenang. Unsur sekretariat adalah pembantu umum, pelaksana dan yang sejenis, dan tidak berupa struktur organisasi tersendiri. Cata tan: Dalam hal diperlukan, untuk jurnal internasional dapat diberikan honorarium kepada mitra bestari (peer review) sebesar Rp l . 500. 000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) . 1 6. 2 Honorarium Tim Penyusunan Buletin/ Majalah Honorarium tim penyusunan buletin/ majalah dapat diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang diberi tugas untuk menyusun dan menerbitkan buletin/ majalah, berdasarkan surat keputusan pejabat yang berwenang. Majalah adalah terbitan berkala yang isinya berbagai liputan jurnalistik, pandangan tentang topik aktual yang patut diketahui pembaca. Buletin adalah media cetak berupa selebaran atau majalah berisi warta singkat atau pernyataan tertulis yang diterbitkan secara periodik yang ditujukan untuk lembaga atau kelompok profesi tertentu. MENTERI KEUANGAN 1 6.3 Honorarium Tim Pengelola Website Honorarium tim pengelola website dapat diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang diberi tugas untuk mengelola website, berdasarkan surat keputusan pejabat yang berwenang. Website yang dimaksud disini adalah yang dikelola oleh unit eselon I/ setara. Dalam hal website yang dikelola oleh unit vertikal setingkat eselon II di daerah maka kepada pengelola website tersebut dapat diberikan honorarium tim pengelola website. 1 7. Honorarium Penyelenggara Sidang/Konferensi lnternasional- Konferensi Tingkat Menteri, Senior O f ficial Meeting (Bilateral/ Regional/Multilateral), Workshop/ Seminar I Sosialisasi/ Sarasehan Berskala Internasional 1 7. 1 Honorarium Penyelenggara Konferensi Tingkat Menteri, Regional/ Multilateral) Si dang/ Konferensi In ternasional, Senior O f ficial Meeting (Bilateral/ Honorarium penyelenggara sidang/ konferensi in ternasional, konferensi tingkat menteri, senior of ficial meeting (bilateral/ regional/multilateral) dapat diberikan kepada Pejabat Negara/Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI penyelenggara kegiatan sidang/konferensi yang dihadiri/ pesertanya pejabat setingkat menteri atau senzor of ficial berdasarkan surat keputusan pejabat berwenang. 1 7.2 Honorarium Penyelenggara Workshop/ Seminar/ Sosialisasi/ Sarasehan Berskala Internasional Honorarium penyelenggara workshop/ seminar/ sosialisasi/ sarasehan berskala internasional dapat diberikan kepada Pejabat Negara/ Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI penyelenggara kegiatan workshop/ seminar/ sosialisasi/ sarasehan berskala internasional, berdasarkan surat keputusan dari pejabat berwenang. 1 8 . Honorarium Penyelenggara Ujian dan Vakasi Honorarium Penyelenggaraan Ujian dan Vakasi merupakan imbalan bagi penyusun naskah ujian, pengawas ujian, penguji atau pemeriksa hasil ujian pada pendidikan tingkat dasar, menengah, dan tinggi. Satuan biaya pengawas ujian sudah termasuk uang transpor. Pemberian honorarium penyusun naskah ujian, penguji atau pemeriksa hasil ujian kepada guru/ dosen diberikan atas kelebihan be ban kerja guru/ dosen dalam penyusunan naskah ujian, pengujian atau pemeriksaan hasil ujian yang ditetapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. MENTER! KEUANGAN Pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, honorarium pemeriksaan hasil ujian tidak diberikan untuk penyelenggaraan ujian yang bersifat latihan dan ujian lokal. Sementara untuk tingkat pendidikan tinggi, honorarium pemeriksaan hasil ujian dapat diberikan untuk ujian masuk penerimaan mahasiswa baru, ujian tengah semester, ujian akhir semester dan ujian akhir, baik untuk ujian yang bersifat tertulis maupun praktik.
Honorarium Penyelenggaraan Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan (Diktat) 1 9 . 1 Penceramah Honorarium penceramah dapat diberikan kepada Pejabat Negara/ Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI/ Praktisi yang memberikan wawasan pengetahuan dan/atau sharing ex perience sesuai dengan keahliannya kepada peserta diklat pada kegiatan pendidikan dan pelatihan dengan ketentuan sebagai berikut:
berasal dari luar lingkup unit eselon I penyelenggara;
berasal dari lingkup unit eselon I penyelenggara sepanjang peserta diklat yang menjadi sasaran utama kegiatan berasal dari luar lingkup unit eselon I penyelenggara/ masyarakat; dan
khusus untuk Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI, honorarium tersebut digunakan untuk kegiatan pengajaran diklat yang materi diklatnya diampu oleh Pejabat Esekm II ke atas/ setara. · 1 9 . 2 Pengajar yang berasal dari luar satker penyelenggara Honorarium dapat diberikan kepada pengajar yang berasal dari luar unit satker penyelenggara sepanjang kebutuhan pengaJar tidak terpenuhi dari unit satker penyelenggara. 1 9 . 3 Pengaj ar yang berasal dari dalam satker penyelengara Honorarium dapat diberikan kepada pengajar yang berasal dari dalam unit satker penyelenggara baik widyaiswara maupun pegawai lainnya. Bagi widyaiswara, honorarium diberikan atas kelebihan jumlah minimal jam tatap muka. Ketentuan jumlah minimal tatap muka mengacu pada ketentuan yang berlaku. Cata tan: 1 . Jam pelajaran yang digunakan untuk kegiatan penyelenggaraan diklat adalah 45 (empat puluh lima) menit. 2 . Dalam hal diperlukan, kepanitiaan penyelenggaraan diklat dapat dibentuk dan diberikan honorarium dengan ketentuan sebagai berikut: MENTERI KEUANGAN a. kepanitiaan diperuntukkan dengan fungsi menatausahakan diklat, evaluator, dan fasilitator kunjungan serta hal-hal lain yang menunjang terselenggaranya diklat dengan baik;
merupakan tugas tambahan/perangkapan fungsi bagi yang bersangku tan; c . dilakukan secara selektif dengan mempertimbangkan urgensinya;
besaran honorarium mengacu pada satuan biaya honorarium panitia sebagaimana dimaksud dalam lampiran I angka 1 1 .4; dan e . jumlah panitia yang dapat diberikan honorarium maksimal 1 0% (sepuluh persen) dari jumlah peserta dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas.
Satuan Biaya Uang Makan Aparatur Sipil Negara Satuan biaya uang makan Aparatur Sipil Negara merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan uang makan pegawai yang dihitung berdasarkan jumlah hari kerja. 2 1 . Satuan Biaya Uang Lembur dan Uang Makan Lembur a. Uang Lembur Uang lembur merupakan kompensasi bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara yang melakukan kerja lembur berdasarkan surat perintah dari pejabat yang berwenang.
Uang Makan Lembur Uang makan lembur diperuntukkan bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara setelah bekerja lembur paling kurang 2 (dua) jam secara berturut-turut dan diberikan maksimal 1 (satu) kali per hari. Cata tan: Satuan biaya ini dapat diperuntukkan bagi Satpam, Pengemudi, Petugas Kebersihan dan Pramubakti yang melakukan perikatan langsung dengan satker dengan ketentuan besaran uang lembur dan uang makan lembur mengacu pada tarif terendah satuan biaya ini.
Satuan Biaya Uang Saku Rapat Di Dalam Kantor Uang saku rapat di dalam kantor merupakan kompensasi bagi seseorang yang melakukan kegiatan rapat yang dilaksanakan di dalam kantor. Uang saku rapat di dalam kantor dapat dibayarkan sepanjang rapat di dalam kantor memenuhi ketentuan sebagai berikut:
dihadiri peserta dari eselon II lainnya/ eselon I lainnya/ Kementerian Negara/ Lembaga lainnya/masyarakat; dan
dilaksanakan minimal 3 (tiga) jam di luar jam kerja pada hari kerja. Cata tan: MENTERI KEUANGAN a. Satuan biaya uang· saku rapat di dalam kantor belum termasuk konsumsi rapat.
Terhadap peserta rapat tidak diberikan uang lembur dan uang makan lembur.
Bagi peserta yang berasal dari luar unit penyelenggara dapat diberikan uang transpor sepanjang kriteria pemberian uang transpor terpenuhi.
Satuan Biaya Uang Saku Pemeriksa Dalam Lokasi Perkantoran Yang Sama Satuan biaya uang saku pemeriksa dalam lokasi perkantoran yang sama merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya kompensasi kepada aparat fungsional pemeriksa (auditor) berdasarkan surat perintah pejabat yang berwenang yang diberi tugas untuk melakukan pengawasan internal dalam lokasi perkantoran yang sama dan dilaksanakan lebih dari 8 (delapan) jam. Terhadap aparat fungsional pemeriksa (auditor) tersebut tidak diberikan uang makan, uang lembur dan uang makan lembur.
Satuan Biaya Pengepakan dan Angkutan Barang Perjalanan Dinas Pindah Dalam Negeri Satuan biaya pengepakan dan angkutan barang perjalanan dinas pindah dalam negeri merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pengepakan dan angkutan barang pindahan yang diberikan kepada pejabat negara/pegawai Aparatur Sipil Negara yang dipindahtugaskan berdasarkan Surat Keputusan pejabat yang berwenang. Satuan biaya ini merupakan bantuan yang diberikan pemerintah kepada pejabat negara/pegawai Aparatur Sipil Negara yang berkenaan. Satuan biaya ini sudah termasuk ongkos tukang, pengadaan bahan-bahan, biaya bongkar muat, dan biaya angkutan barang dari tempat asal sampai dengan tujuan.
Bantuan Biaya Pendidikan Anak (BBPA) pada Perwakilan RI di Luar Negeri Satuan Biaya Bantuan Biaya Pendidikan Anak (BBPA) pada Perwakilan RI di Luar Negeri adalah satuan biaya untuk bantuan biaya pendidikan anak-anak Pejabat Dinas Luar Negeri/ Home Sta f f/ Atase Teknis/ Atase Pertahanan yang bekerja pada Perwakilan RI di Luar Negeri. MENTERI KEUANGAN Pemberian Bantuan Biaya Pendidikan Anak (BBPA) pada Perwakilan RI di Luar Negeri dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: 1 . BBPA digunakan untuk membiayai tuition f ee. 2 . Diberikan untuk anak-anak Pejabat Dinas Luar Negeri/ Home Staf f/Atase Teknis/ Atase Pertahanan yang bekerja pada Perwakilan RI di Luar Negeri, yang bersekolah pada pendidikan formal mulai sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan tidak termasuk program pasca sarJ ana. 3 . Diberikan untuk anak-anak yang termasuk dalam tunjangan keluarga dan bersekolah di lokasi yang sama dengan tempat bekerja orang tuanya (negara akreditasi-lokasi perwakilan RI di Luar Negeri tempat orang tuanya bertugas) .
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 3 (tiga) dikecualikan bagi:
anak-anak Pejabat Dinas Luar Negeri/ Home Sta f f / Atase Teknis/ Atase Pertahanan yang bekerja pada Perwakilan RI di Luar Negeri pada negara yang termasuk dalam perwakilan rawan dan/atau berbahaya; dan
anak-anak dari Pejabat Dinas Luar Negeri/ Home Sta f f/ Atase Teknis/ Atase Pertahanan yang dimutasikan antar perwakilan (cross posting) .
Perwakilan RI yang termasuk dalam daerah rawan dan/atau berbahaya dan Pejabat Dinas Luar Negeri/ Home Sta f f / Atase Teknis/ Atase Pertahanan yang dimutasikan antar perwakilan (cross posting) sebagaimana dimaksud pada angka 4 ditetapkan oleh Menteri Luar Negeri.
Alokasi anggaran untuk BBPA sudah termasuk dalam pagu anggaran Kernen terian Negara/ Lembaga.
Penggunaan Satuan Biaya BBPA mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Luar Negeri.
Pemberian BBPA dilakukan dengan menerapkan prinsip efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab.
Honorarium Pramubakti Satpam, Pengemudi, Petugas Kebersihan dan Honorarium yang diberikan hanya kepada non pegawai Aparatur Sipil Negara yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai satpam, pengemudi, petugas kebersihan dan pramubakti, berdasarkan surat keputusan pejabat yang berwenang/ kontrak kerja. Cata tan: MENTERI KEUANGAN a. untuk satpam, pengemudi, petugas kebersihan, dan pramubakti dengan melalui jasa pihak ketiga/ diborongkan, alokasi honorarium dapat ditambah paling banyak sebesar 1 5% (lima belas persen) dari satuan biaya, besaran tersebut tidak termasuk seragam dan perlengkapan.
dalam satu tahun anggaran, dapat dialokasikan tambahan honorarium sebanyak satu bulan sebagai tunjangan hari raya keagamaan.
dalam hal ketentuan mengenai upah minimum di suatu wilayah lebih tinggi dari pada satuan biaya dalam Peraturan Menteri ini, maka satuan biaya ini dapat dilampaui mengacu pada ketentuan tersebut.
dalam rangka pelaksanaan kewajiban pemberi kerja untuk membayar iuran/ premi jaminan sosial, maka atas honorarium satpam, pengemudi, petugas kebersihan, dan pramubakti satuan biaya/upah minimum di suatu wilayah sebagaimana dimaksud pada huruf c dapat ditambahkan iuran/premi jaminan sosial sesuai ketentuan yang berlaku.
Satuan Biaya Uang Harian Perjalanan Dinas Dalam Negeri Dan Uang Representasi Satuan biaya uang harian perjalanan dinas dalam negeri merupakan penggantian biaya keperluan, sehari-hari Pejabat Negara/Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI/ Pihak Lain dalam menjalankan perintah perjalanan dinas di dalam negeri. Uang representasi hanya diberikan kepada pejabat negara (ketua/wakil ketua dan anggota lembaga tinggi negara, Menteri serta setingkat Menteri) , pejabat eselon I dan pejabat eselon II yang melaksanakan perjalanan dinas jabatan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi yang melekat pada jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai perjalanan dinas dalam negeri. Uang harian diklat diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang diberikan tugas untuk mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan di dalam kota yang melebihi 8 (delapan) jam atau diselenggarakan di luar kota.
Satuan Biaya Uang Harian Perjalanan Dinas Luar Negeri Satuan Biaya Uang Perjalanan Dinas Luar Negeri merupakan penggantian biaya keperluan sehari-hari Pejabat Negara/ Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI/Pihak Lain dalam menjalankan perintah perjalanan dinas di luar negeri yang dapat digunakan untuk uang makan, transpor lokal, uang saku, dan uang penginapan. MENTERI KEUANGAN Besaran uang harian bagi negara yang tidak tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, merujuk pada besaran uang harian negara dimana Perwakilan RI bersangkutan berkedudukan. Contoh: Uang harian bagi pejabat/ pegawai yang melaksanakan perjalanan dinas ke negara Uganda, besarannya merujuk pada uang harian negara Kenya.
Satuan Biaya Penginapan Perjalanan Dinas Dalam Negeri Satuan biaya penginapan perjalanan dinas dalam negeri merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya menginap dalam rangka pelaksanaan perjalanan dinas dalam negeri. Dalam pelaksanaannya, mekanisme pertanggungjawaban disesuaikan dengan bukti pengeluaran yang sah.
Satuan Biaya Rapat/Pertemuan di Luar Kantor 30. 1 Paket Kegiatan Rapat/ Pertemuan di Luar Kantor Satuan biaya paket kegiatan rapat/pertemuan di luar kantor merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya kegiatan rapat/pertemuan yang diselenggarakan di luar kantor dalam rangka penyelesaian pekerjaan yang perlu dilakukan secara intensif dan bersifat koordinatif yang sekurang kurangnya melibatkan peserta dari eselon I lainnya/masyarakat. Satuan biaya paket kegiatan rapat/ pertemuan di luar kantor menurut pesertanya terbagi dalam 3 (tiga) jenis, yaitu:
Kegiatan rapat/pertemuan di luar kantor pejabat Menteri/ setingkat Menteri adalah kegiatan rapat/pertemuan yang melibatkan paling sedikit 1 (satu) orang pejabat Menteri/ setingkat Menteri;
Kegiatan rapat/pertemuan di luar kantor pejabat eselon I/ eselon II adalah kegiatan rapat/ pertemuan yang melibatkan paling sedikit 1 (satu) orang pejabat eselon I/ eselon II/yang disetarakan;
Kegiatan rapat/pertemuan di luar kantor pejabat eselon III adalah kegiatan rapat/ pertemuan yang melibatkan paling sedikit 1 (satu) orang pejabat eselon III/ yang disetarakan. Satuan biaya paket kegiatan rapat/ pertemuan di luar kantor menurut lama penyelenggaraan terbagi dalam 3 (tiga) jenis yaitu:
Paket Fullboard Satuan biaya paket fullboard disediakan untuk paket kegiatan rapat/pertemuan yang diselenggarakan di luar kantor sehari penuh dan menginap.
Paket Fullday MENTERI KEUANGAN Satuan biaya paket fullday disediakan untuk paket kegiatan rapat/ pertemuan yang diselenggarakan di luar kantor minimal 8 (delapan) jam tanpa menginap.
Paket Half day Satuan biaya paket halfday disediakan untuk paket kegiatan rapat/pertemuan yang diselenggarakan di luar kantor minimal 5 (lima) jam tanpa menginap. Cata tan:
Akomodasi paket fu l lboard diatur sebagai berikut:
Untuk pejabat eselon II ke atas, akomodasi 1 (satu) kamar untuk 1 (satu) orang.
Untuk pejabat eselon III ke bawah, akomodasi 1 (satu) kamar untuk 2 (dua) orang.
Satuan biaya paket fullboard im digunakan untuk penghitungan biaya paket rapat fullboard per peserta dengan akomodasi 1 (satu) kamar untuk 2 (dua) orang. Sedangkan besaran indeks satuan biaya paket fullboard untuk pejabat Eselon II ke atas sebagaimana dimaksud pada butir a. 1 ) dapat diberikan sebesar 1 ,5 (satu setengah) kali dari satuan biaya paket fullboard sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri ini.
Kegiatan rapat/pertemuan luar kantor dalam rangka penyelesaian pekerjaan yang dilakukan secara intensif harus menggunakan satuan biaya ini.
Dalam rangka efisiensi anggaran untuk kegiatan rapat, PA/ KPA agar melaksanakan rapat/pertemuan di luar kantor (fullboard, fullday, dan halfday) secara selektif dengan mengutamakan penggunaan fasilitas milik negara.
Khusus untuk kegiatan rapat koordinasi internal eselon I yang harus dilaksanakan di luar kantor dan tidak memungkinkan untuk mengikutsertakan eselon I lain, maka kegiatan tersebut menggunakan ketentuan satuan biaya ini sepanjang telah mendapat persetujuan dari Pejabat Eselon I pemegang portofolio program dan dilakukan secara selektif serta harus dipertanggungjawabkan urgensi pelaksanaannya. MENTERI KEUANGAN 30.2 Uang Harian Kegiatan Rapat/ Pertemuan di Luar Kantor Uang Harian Kegiatan Rapat/ Pertemuan di Luar Kantor merupakan satuan biaya yang digunakan untuk pengalokasian uang harian kegiatan fullboard di luar kota, kegiatan f ullboard dan kegiatan fullday/ half day di dalam kota kepada peserta dan panitia kegiatan rapat/pertemuan yang diselenggarakan di luar kantor. · Cata tan: Kepada panitia (karena faktor transportasi dan/atau guna mempersiapkan pelaksanaan kegiatan dan penyelesaian pertanggungjawaban) dan kepada peserta (karena faktor transportasi) yang memerlukan waktu tambahan untuk berangkat/ pulang di luar waktu pelaksanaan kegiatan, dapat dialokasikan biaya penginapan dan uang harian perjalanan dinas sesuai ketentuan yang berlaku, untuk 1 (satu) hari sebelum dan/atau 1 (satu) hari sesudah pelaksanaan kegiatan. 3 1 . Satuan Biaya Tiket Perjalanan Dinas Pindah Luar Negeri (One Way) Satuan biaya tiket perjalanan dinas pindah luar negeri merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pembelian tiket pesawat udara perjalanan dinas pindah dan diberikan untuk satu kali jalan (one way) . Satuan biaya tiket termasuk biaya asuransi, tidak termasuk air port tax serta biaya retribusi lainnya. Satuan biaya ini diberikan kepada Pejabat Negara/ Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI clan keluarga yang sah berdasarkan surat keputusan pindah dari pejabat yang berwenang sesuai ketentlian peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk melaksanakan perintah pindah dari perwakilan RI di luar negeri atau sebaliknya. Cata tan: Untuk biaya tiket perjalanan dinas pindah antar perwakilan (cross-posting) mengikuti ketentuan sebagai berikut:
besaran biaya tiket perjalanan dinas pindah antar perwakilan (cross-posting) dapat dilakukan sesuai dengan informasi yang diperoleh dari perusahaan travel dan ditetapkan oleh KPA/PPK;
penetapan besaran biaya tiket perjalanan dinas pindah antar perwakilan (cross-posting) tersebut agar tetap memperhatikan prinsip prinsip efisiensi, efektifitas, dan kewajaran serta kemampuan keuangan negara. I MENTERI KEUANGAN 32. Satuan Biaya Operasional Khusus Kepala Perwakilan RI Di Luar Negeri Satuan Biaya Operasional Khusus Kepala Perwakilan RI di Luar Negeri adalah dana operasional yang digunakan untuk menunjang pelaksanaan misi khusus Kepala Perwakilan RI di Luar Negeri dan bukan merupakan tam bah an penghasilan.
Satuan Biaya Makanan Penambah Daya Tahan Tubuh Satuan biaya makanan penambah daya tahan tubuh merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pengadaan makanan/ minuman bergizi yang dapat menambah/ meningkatkan/ mempertahankan daya tahan tubuh Pegawai Aparatur Sipil Negara yang diberi tugas melaksanakan pekerjaan tugas dan fungsi kantor yang dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan pegawai dimaksud.
Satuan Biaya Sewa Kendaraan a. Sewa Kendaraan Pelaksanaan Kegiatan Insidentil Satuan biaya sewa kendaraaan pelaksanaan kegiatan insidentil merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya sewa kendaraan roda 4 (empat) , roda 6 (enam) / bus sedang, dan roda 6 (enam) / bus besar untuk kegiatan yang sifatnya insidentil (tidak bersifat terus - menerus) . Satuan biaya ini diperuntukkan bagi:
Pejabat Negara yang melakukan perjalanan dinas dalam negeri di tempat tujuan; atau
Pelaksanaan kegiatan yang membutuhkan mobilitas tinggi, berskala besar, dan tidak tersedia kendaraan dinas serta dilakukan secara selektif dan efisien. Satuan biaya sewa kendaraan sudah termasuk bahan bakar dan pengemudi.
Satuan Biaya Sewa Kendaraan Operasional Pejabat/ Operasional Kantor dan/atau Lapangan Satuan biaya sewa kendaraan operasional pejabat/ operasional kantor dan/atau lapangan merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya sewa kendaraan roda 4 (empat) , yang difungsikan sebagai kendaraan dinas kantor sebagai pengganti pengadaan kendaraan melalui pembelian. ,. MENTERI KEUANGAN Dalam pelaksanaannya, sebelum melakukan perjanjian sewa, satker penyewa wajib melakukan pemeriksaan bahwa penyedia barang menjamin bahwa kondisi kendaraan yang disewa selalu siap pakai (termasuk pemeliharaan rutin dan menyediakan pengganti apabila kendaraan tidak berfungsi sebagaimana mestinya) , oleh karenanya atas kendaraan dimaksud tidak dapat dialokasikan biaya pemeliharaan. Cata tan: 1 . Penggunaan satuan biaya sewa kendaraan operasional pejabat/ operasional kantor dan/atau lapangan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk melakukan langkah-langkah efektifitas penggunaan anggaran, sehingga fungsinya sebagai pengganti atas pengadaan kendaraan melalui pembelian, dengan tetap menjadi bagian dari rencana kebutuhan untuk penyediaan pengadaan kendaraan pejabat/ operasional kantor. 2 . Satuan biaya sewa kendaraan operasional pejabat/ operasional kantor dan/atau lapangan dapat diperuntukkan bagi satuan kerja yang belum memiliki kendaraan pejabat/ operasional kantor dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas fungsi. 3 . Mekanisme sewa kendaraan operasional pejabat/ operasional kantor dan/atau lapangan mengikuti ketentuan pengadaan barang/jasa yang berlaku.
Satuan Biaya Pengadaan Kendaraan Dinas Satuan biaya pengadaan kendaraan dinas merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pengadaan kendaraan operasional bagi pejabat, operasional kantor dan/atau lapangan serta bus melalui pembelian guna menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Negara/Lembaga. Bagi satker baru yang sudah ada ketetapan dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, pengadaan kendaraan dinasnya dilakukan secara bertahap sesuai dana yang tersedia. Dalam hal kebutuhan kendaraan operasional telah dipenuhi melalui mekanisme sewa kendaraan, maka pengadaan melalui pembelian tidak diperkenankan lagi.
Satuan Biaya Pengadaan Pakaian Dinas Satuan biaya pengadaan pakaian dinas merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pengadaan pakaian dinas termasuk ongkos jahit dan atributnya yang meliputi: MENTERI KEUANGAN a. Satuan Biaya Pakaian Dinas Dokter Satuan biaya pakaian dinas dokter diperuntukkan bagi dokter yang bekerja di instansi pemerintah dan diberikan paling banyak 1 (satu) potong jas per tahun yang penyediaannya dilaksanakan secara selektif.
Satuan Biaya Pakaian Dinas Perawat Satuan biaya pakaian dinas perawat diperuntukkan bagi perawat yang bekerja di instansi pemerintah dan diberikan paling banyak 2 (dua) stel pakaian per tahun yang penyediaannya dilaksanakan secara selektif.
Satuan Biaya Pakaian Dinas Pegawai Satuan biaya pakaian dinas pegawai diperuntukkan bagi pegawai dan diberikan paling banyak 2 (dua) stel per tahun yang penyediaannya dilaksanakan secara selektif, dengan ketentuan sebagai berikut:
harus ada ketentuan yang ditetapkan oleh Presiden pada awal pembentukan satker mengenai kewajiban penggunaan pakaian dinas pegawai; dan
dalam hal satker yang pada awal pembentukannya tidak terdapat ketentuan yang mewajibkan penggunaan pakaian dinas pegawai, biaya pakaian dinas pegawai dapat dialokasikan setelah memiliki ijin prinsip dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Satuan Biaya Pakaian Seragam Mahasiswa/Taruna Satuan biaya pakaian seragam mahasiswa/ taruna diperuntukkan bagi mahasiswa/ taruna pada pendidikan kedinasan di bawah Kementerian Negara/ Lembaga tertentu dan diberikan paling banyak 2 (dua) stel per tahun yang penyediaannya dilaksanakan secara selektif, dengan ketentuan sebagai berikut:
harus ada ketentuan yang ditetapkan oleh Presiden pada awal pembentukan satker mengenai kewajiban penggunaan pakaian seragam mahasiswa/ taruna; dan
dalam hal satker yang pada awal pembentukannya tidak terdapat ketentuan yang mewajibkan penggunaan pakaian seragam mahasiswa/taruna, biaya pakaian seragam mahasiswa/ taruna dapat dialokasikan setelah memiliki ijin prinsip dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA e. Satuan Biaya Pakaian Kerja Pengemudi, Petugas Kebersihan, dan Pramubakti Satuan biaya pakaian kerja pengemudi, petugas kebersihan, dan pramubakti diperuntukkan bagi pengemudi, petugas kebersihan, dan pramubakti yang diangkat berdasarkan surat keputusan KPA, dan dapat diberikan paling banyak 2 (dua) stel per tahun.
Satuan Biaya Pakaian Kerja Satpam Satuan biaya pakaian kerja satpam diperuntukkan bagi satpam, sudah termasuk perlengkapannya (sepatu, baju PDL, kopel, ikat pinggang, tali kurt dan peluit, kaos kaki, topi, kaos security, dan atribut lainnya) dan dapat diberikan paling banyak 2 (dua) stel per tahun. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG P. S. BRODJONEGORO LAMP!RAN ll PERATURAN / ENTER ! KEUA IJ GAN REPUBL ! K INDONESIA 9M: 65 PMK.02!2015 TENTANG STANDAR B!AYA MASUKAN TAHUN ANGGARAN 2016 MENTER I KEUANGAN REP U B L I K I N DON ESIA STANDAR BIAYA MASUKAN TAHUN ANGGARAN 2016 YANG BERFUNGSI SEBAGAI ESTIMASI (dalam rupiah) NO URAIAN SATUAN BIAYA TA 2016 (1) (2) (3) (4) 1 SATUAN BIAYA UANG TRANSPOR KEGIATAN DALAM KABUPATEN/KOTA Orang/Kali 150.000 2 SATUAN BIAYA DIKLAT PIMPINAN/STRUKTURAL 2.1 Diklat Pimpinan Tk. II Peserta/ Angkatan 30.261.000 2.2 Diklat Pimpinan Tk. Ill Peserta/ Angkatan 22.125.000 2.3 Diklat Pimpinan Tk. IV Peserta/ Angkatan 20.230.000 3 SATUAN BIAYA LATIHAN PRAJABATAN 3.1 Golongan I dan Golongan II Peserta/ Angkatan 4.470.000 3.2 Golongan Ill Pesertaj Angkatan 5.545.000 4 SATUAN BIAYA PEMELIHARAA N SARANA KANTOR 4.1 Inventaris Kantor Pegawai/Tahun 80.000 4.2 Personal Computer/ Notebook Unit/Tahun 730.000 4.3 Printer Unit/Tahun 690.000 4.4 ACSplit Unit/Tahun 610.000 4.5 Genset lebih kecil dari 50 KVA Unit/Tahun 7.190.000 4.6 Genset 75 KVA Unit/Tahun 8.640.000 4.7 Genset 100 KVA Unit/Tahun 10.150.000 4.8 Genset 125 KVA Unit/Tahun 10.780.000 4.9 Genset 150 KV A Unit/Tahun 13.260.000 4.10 Genset 175 KVA Unit/Tahun 14.810.000 4.11 Genset 200 KVA Unit/Tahun 15.850.000 4.12 Genset 250 KVA Unit/Tahun 16.790.000 4.13 Genset 275 KVA Unit/Tahun 17.760.000 4.14 Genset 300 KVA Unit/Tahun 20.960.000 4.15 Genset 350 KVA Unit/Tahun 22.960.000 4.16 Genset 450 KV A Unit/Tahun 25.620.000 4.17 Genset 500 KV A Unit/Tahun 31.770.000 5 SATUAN BIAYA PENERJEMAHAN DAN PENGETIKAN 5.1 Dari Bahasa Asing ke Bahasa Indonesia a tau Sebalilmya a. Bahasa Inggris Halaman Jadi 152.000 b. Bahasa Jepang Halaman Jadi 238.000 c. Bahasa Mandarin Halaman Jadi 238.000 d. Bahasa Belanda Halaman Jadi 238.000 e. Bahasa Prancis Halaman Jadi 173.000 f. Bahasa Jerman Halaman Jadi 173.000 g. Bahasa Asing Lainnya Halaman Jadi 238.000 5.2 Dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Daerah/Bahasa Lokal atau Sebaliknya Halaman Jadi 120.000 6 SATUAN BIAYA BANTUAN BEASISWA PROGRAM GELAR/NON GELAR DALAM NEGERI 6.1 Program Diploma I, III, dan Diploma IV /Strata 1 a. Biaya Hid up dan Biaya Operasional - Diploma I dan Diploma III OT 16.070.000 - Diploma IV dan Strata 1 OT 17.010.000 b. Uang Buku dan Referensi -Diploma I OT 1.330.000 - Diploma Ill OT 1.590.000 - Diploma IV dan Strata 1 OT 1.850.000 NO (1) 7 8 6.2 MENTER I KEUANGAN REP U B L I K I N DONES IA - 2 - URAIAN (2) Program Strata 2 /SP-1 dan Strata 3/SP-2 a. Biaya Hidup dan Biaya Operasional - Strata 2 dan Spesialis 1 - Strata 3 dan Spesialis 2 b. Uang Buku dan Referensi - Strata 2 dan Spesialis 1 - Strata 3 dan Spesialis 2 SATUAN BIAYA SEWA MESIN FOTOKOPI 7.1 Mesin Fotokopi Analog 7.2 Mesin Fotokopi Digital HONORARIUM NARASUMBER/PEMBAHAS (PAKAR/PRAKTISI/PROFESIONAL) (dalam rupiah) SATUAN BIAYA TA 2016 (3) ( ^4 ) OT 20.690.000 OT 2 1 .320.000 OT 2.1 20.000 OT 2.380.000 Unit/Bulan 3.800.000 Unit/Bulan 5.000.000 OJ 1.700.000 MENTER ! KEUANGAN REP U B L I K I N DONES IA - 3 - 9 SATUAN BIAYA PENGADAAN BAHAN MAKANAN 9.1 Pengadaan Bahan Makanan untuk Narapidana NO PROVINSI 1 -· 1 2 3 4 5 6 - ^-- ^- - 7 8 9 1 0 1 1 -- -- 12 1 3 14 15 1 6 17 1 8 1 9 2 0 2 1 22 23 - - -- 24 25 26 27 28 29 30 -- 3 1 32 33 34 . . RAYON ! .. ·· · ^- -- ^· ^· ^ · ^· ^· ^- ^· - · ·· · · ^· ^ · · B A N T E N JAWA BARAT D.K.l. JAKARTA - - - - - - - - - - - --- - - - - - -- - JAWA TENGAH D. !. YOGYAKARTA JAWA TIMUR ( ^2 ) --.... ··- ·· · --··· · . .. . · · · ^·-- - --- -- -· - ·----- - - --- - -- · . · ^·· · - · · · · - · · · · · · ·-- LAMPUNG DAERAH KHUSUS RAYON I RAYON II ACEH SUMATERA R I A U KEPULAUAN J A M B I SUMATERA SUMATERA ------ - - · ^·........ . .. BENGKULU UTARA R!AU BARAT SELATAN BANGKA BELITUNG B A L I . . - · · . .
. - --··- ....... NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR KALIMANTAN BARAT . ...... ... KALIMANTAN KALIMANTAN KALIMANTAN ·· - -- - -- - - KALIMANTAN TENGAH SELATAN TIMUR UTARA DAERAH KHUSUS RAYON II RAYON III GORONTALO SULAWESI UTARA · · · · · · - SULAWESI BARAT SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGAH SULAWESI TENGGARA MALUKU MALUKU UTARA · ·· ^· · · ^· · · ^·- · ·-· - · P A P U A PAPUA BARAT DAERAH KHUSUS RAYON III . .
.
. . .
... · · ·- - . . .....
. ..
. · · ^· · - ^---- - -· ·· · · . . .
-- - - . . -... - · · . . .. ·· · ····-··· .. SATUAN ( ^3 \ ...
...... OH OH OH -- -- - -- - - -..... . ···· - ^- ^· ·· - - · - - - - - -- - - - -- --- · ^· -- -- - - -·- ·- · -· OH OH OH · -· - --- . . OH OH OH OH OH OH OH OH OH .... · ·· -· --- · ^-- - ----- · --- - · -- ^- - - ·· · ^· OH OH OH OH OH OH · · ^- · ^· - ^- - ^-----· · . . ·.... .. . . • . . · ··- · · . - - -·· ·- ^· - ^·· ^· ^- ... .
... OH OH OH OH OH OH OH OH 01 - 1 OH OH OH OH OH OH OH - -·· · .. -· -· · - ·· · . . -· ( dalam rupiah ) BIAYA TA 2016 . .. ( ^4 ) - - - - · -- - - - ^-- -- · ^· · · ^· -........ . . - - - - - - - - - - ..... - - - - ^- ^- ^- ^- 1 4.000 14.000 14.000 1 4.000 14.000 14.000 . .. · ·-· · ^- . .
000 1 8.000 15.000 15.000 15.000 15.000 ............· - ^· · · · · - · · - · . ... - · ....
000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 . . · · · · ·· · · · · ^··- . - .. -· . ...... . ·· · ^·· ^- 15.000 1 9.000 17.000 17.000 ·-· ·· 1 7.000 17.000 17.000 1 7.000 17.000 17.000 1 7.000 17.000 22.000 MENTER ! KEUANGAN 9.2 Pengadaan Bahan Makanan untuk Operasi Pasukan dan Latihan Pra Tugas Operasi Bagi Anggota Polri/TNI, Dikma Bagi Anggota Polri/TNI, Diklat LainnyajPra Tugas Operasi Bagi Anggota Polri/TNI, Anggota yang Sakit Bagi Anggota PolrijTNI, dan Tahanan Anggota PolrijTN I OPERAS I PASUKAN DAN SATUAN LATIHAN PRA NO PROVINSI TUGAS OPERAS! BAGI ANGGOTA POLRI/TNI 1 12 3 4 1. ACEH OH 45.000 2. SUMATERA UTARA OH 45.000 3. RIA U OH 45.000 4. KEPULAUAN RIAU OH 45.000 - · --- 5. J A MB ! OH 45.000 6. SUMATERA BARAT OH 45.000 7. SUMATERA SELATAN OH 45.000 DIKMABAGI ANGGOTA POLRI/TNI 5 36.000 --- --- .
000 36.000 36.000 DIKLAT LAINNYA/PRA TUGAS OPERAS! BAGI ANGGOTA POLRI/TNI 6 36.000 • __ 4 __________ 36.000 36.000 36.000 --------- ------ -- ---- - ^- ^ -- 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 (dalam rupiah) ANGGOTA YANG SAKIT TAHANAN BAGI ANGGOTA ANGGOTA POLRI/TNI POLRI/TNI 7 8 32.000 27.000 ------- -- - --- - - 32.000 27.000 32.000 27.000 32.000 27.000 ------- 32.000 27.000 32.000 27.000 32.000 27.000 -- - ·-- - - -- -- - · - ---- -- - - - ---- - - ^- - --- - --- - - - - -- - -- ----y6.0QQ. - - ---- - - - - - - - - ----- · ^·- -· - ·- - - -- - -- - --· - - --- ---- - - 8. LAMPUNG 9. BENGKULU 10. BANGKA BELITUNG 11. B A N T E N 12. JAWA BARAT 13. D.K.I. JAKARTA -- 14. JAWA TENGAH 15. D.!. YOGYAKARTA 16. JAWA TIMUR -- 17. B A LI 18. NUSA TENGGARA BARAT 19. NUSA TENGGARA TIMUR 20. KALIMANTAN BARAT 21. KALIMANTAN TENGAH 22. KALIMANTAN SELATAN -- 23. KALIMANTAN TIMUR 24. KALIMANTAN UTARA 25. SULAWESI UTARA -- 26. GORONTALO 27. SULAWESI BARAT 28. SULAWESI SELATAN -- 29. SULAWESI TENGAH 30. SULAWESI TENGGARA 31. MALUKU · ^-- 32. MALUKU UTARA 33. P A P U A 34. PAPUA BARAT OH 45.000 36.000 OH 45.000 36.000 OH 45.000 36.000 --- ---- ----- - ----- - - - ---- - - - - - - -- OH 42.000 34.000 OH 42 .000 34.000 OH 42.000 __ }'±: Q_Q.Q ---- ----- · OH 42.000 34.000 OH 42.000 34.000 OH 42.000 34.000 - -- --- - - ------- ---- - - OH 52.000 42.000 OH 52.000 42 .000 OH 52.000 42.000 ------ - OH 51.000 41.000 OH 51.000 41.000 OH 51.000 41.000 --- ------ ---- --- - - - - ------- - ---- - - OH 51.000 41.000 OH 51.000 41.000 OH 51.000 41.000 ------ ---- ----- --------- - -- OH 51.000 41.000 OH 51.000 41.000 OH 51.000 41.000 ·--- -· ---- ^- - - -- - - OH 51.000 41.000 OH 51.000 41.000 OH 52.000 42 .000 36.000 36.000 36.000 ------- - ---------- - 34.000 34.000 34.000 ---------- ---- - 34.000 34.000 34.000 - --- -- - --------·· ----- ---------- 42.000 42.000 42.000 -- -------------· 41.000 41.000 41.000 - ^-- - ^-- -· --·-- 41.000 41.000 41.000 -- - ------------- · ^·---- 41.000 41.000 41.000 -- ---- - ----- ----·-·· 41.000 41.000 42.000 32.000 27.000 32.000 27.000 32.000 27.000 ------ - - ---- - - - - - 30.000 25.000 30.000 25.000 30.000 25.000 - ------ - --- -- · - 30.000 25.000 30.000 25.000 30.000 25.000 ------------ - ------ - -----· 37.000 31.000 37.000 31.000 37.000 31.000 ------ 36.000 30.000 36.000 30.000 36.000 30.000 · - ---- -- --- ^- - - ---- -- ----·- 36.000 30.000 36.000 30.000 36.000 30.000 -- ^--- -· - --- --- - 36.000 30.000 36.000 30.000 36.000 30.000 ----- -- 36.000 30.000 36.000 30.000 37.000 31.000 ---- - -- - --- - - --- - --------- - - - - - - - - --------------··· ·--- --- - ------- ---- ---- - OH 52 .000 42.000 42.000 37.000 31.000 01-1 60.000 48.000 48.000 42.000 35.000 OH 60.000 48.000 48.000 42.000 35.000 NO (1) 1 . 2 .
MENTER I KEUANGAN REP U B L I K I N DONES IA - 5 - 9.3 Pengadaan Bahan Makanan untuk Pasien Rumah Sakit dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) PROVINSI SATUAN (2) ( ^3 ) ACEH OH SUMATERA UTARA OH R I A U OH KEPULAUAN RIAU OH ·--- J A M B I OH SUMATERA BARAT OH SUMATERA SELATAN OH PASIEN RUMAH SAKIT (4) 32.000 32.000 32.000 32.000 --- - -- - ·-- 32.000 32.000 32.000 (dalam rupiah) PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL (PMKS) (5) 27.000 - ---··--- - ------- 27.000 27.000 27.000 ---- -------- 27.000 27.000 27.000 --· --- -- --- - --- ---- - ------ - 8. LAMPUNG 9. BENGKULU 10. BANGKA BELITUNG -- 1 1 . B A N T E N 12. JAWA BARAT 13. D.K.I. JAKARTA -- 14.
-- 20. 2 1 .
-- 23.
-- 26.
-- 32.
JAWA TENGAH D.I. YOGYAKARTA JAWA TIMUR B A L I NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN UTARA SULAWESI UTARA - -------- - ---- GORONTALO SULAWESI BARAT --- SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGAH SULAWESI TENGGARA MALUKU ---------- - - - --------- MALUKU UTARA P A P U A PAPUABARAT OH OH OH OH OH OH OH OH OH ·--- - ----· OH OH OH ---- OH OH OH · - · OH OH OH ---- - OH OH OH OH OH OH ··· ·------ --· ·-···-- - - OH OH OH 32.000 32.000 32.000 --------· 30.000 30.000 30.000 ··- 30.000 30.000 30.000 - ---- - ----- - · ·· · - --- - - 38.000 38.000 38.000 ---Ӹ- - --- 36.000 36.000 36.000 ------------ 36.000 36.000 36.000 ---------------- 36.000 36.000 36.000 ------ 36.000 36.000 38.000 27.000 27.000 27.000 -- -· 25.000 25.000 25.000 --- 25.000 25.000 25.000 ---- - --- --------- - ------- 32.000 32.000 32.000 ------- - - 30.000 30.000 30.000 ---- - ----- 30.000 30.000 30.000 -------- - ---- - -- 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 32.000 -------------------- · · -· ----------------- 38.000 32.000 44.000 37.000 44.000 37.000 MENTER I KEUANGAN REP U B L I K I N DONES IA - 6 - 9.4 Pengadaan Bahan Makanan untuk Keluarga Penjaga Menara Suar (PMS), Petugas Pengamatan Laut, ABK Cadangan pad a Kapal Negara, ABK Aktif pada Kapal Negara, dan Petugas SROP dan VTIS (dalam rupiah) KELUARGA PETUGAS ABK ABK AKTIF PETUGAS SRO P PENJAGA CADANGAN PADA KAPAL NO PROVINSI SATUAN PENGAMATAN PADA KAPAL DANVTIS MENARASUAR 1 (2) 1. ACEH 2. SUMATERA UTARA 3. Rl A U ---· --- - - - ------- -- - - -.......---·· -· - - - · 4.
--··- 7.
----- · 13.
--- - · - · 22.
--- - ··· 25.
-----· 28.
--- - - - 31.
000 17.000 17.000 - 17.000 22.000 22.000 22.000 20.000 20.000 - · · · · -- .
000 20.000 20.000 ... - 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 . ...... . .
000 22.000 25. 000 - · - 25.000 ·-· .. LAUT 5 27.000 27.000 27.000 .....
000 27.000 27.000 - . ^•. ----·-- ---· - · · ···-· · - -- · ·· - 27.000 27.000 27.000 ·· ·· - - . .
000 25.000 25.000 ..... ......
000 25.000 25.000 25.000 32.000 32.000 32.000 30.000 30.000 - -- - - - · · · · ·- - 30.000 30.000 30.000 · · --- - - - 30.000 30.000 30.000 - -- - - 30.000 30.000 30.000 - - - -- - -- - -- - 32.000 32.000 37.000 - - - - - 37.000 NEGARA 6 27.000 27.000 27.000 -· 27.000 27.000 27. 000 27.000 27.000 27.000 - · · · · 27.000 25.000 I . 25.000 25.000 25.000 25.000 25.000 32.000 32.000 32.000 30.000 30.000 · · ·---·· 30.000 30.000 30.000 . .
000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 --.... .
000 32.000 37.000 37.000 NEGARA . . - - - - - . . - - -- · - 7 32.000 32.000 32.000 32.000 32.000 32.000 32.000 32.000 32.000 32.000 30.000 30.000 30. 000 30.000 30.000 30.000 38.000 38.000 38.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 38.000 38.000 44.000 44.000 8 .. .. --- - - · -- 32.000 32.000 32.000 · · · · · · - - ·- - -- --- - 32.000 32.000 32.000 ....- . .. . ·-· - - · · - - · - ···-· - . -· . ---- · · ·-........
. . - - - - ... ·- - · · ·· · · 32.000 32.000 32.000 . .. . - - 32.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 38.000 38.000 38.000 36.000 36.000 --·· - · - ------- --- - -·- - --- 36 .000 36.000 36.000 . . -- -· · · · · - - - . - - - - - - - - .
. - ------·· 36.000 36. 000 36.000 -- - - - 36.000 36.000 36.000 ---- 38.000 38.000 44.000 - - - - - - - ------ - - -- - · · -- 44.000 MENTER I KEUANGAN REP U BLI K I N DONES IA - 7 - 9.5 Pengadaan Bahan Makanan untuk Petugas Bengkel dan Galangan Kapal Kenavigasian, Petugas Pabrik Gas Aga untuk Lampu Suar, Penjaga Menara Suar (PMS), dan Kelompok Tenaga Kesehatan Kerja Pelayaran NO PROVINSI Ill (2) 1. ACEH ----·- · ·.... ............ . .
SUMATERA UTARA 3. R I A U 4. KEPULAUAN RIAU -- --- - - ------ - -...... -...- - ·- -- - · - -- - - - - - - --- 5.
·- ----- 8.
--- 11.
···------- 17. J A MB I SUMATERA BARAT SUMATERA SELATAN . ---.... --·-· -- --· .. LAMPUNG BENGKULU BANGI(A BELITUNG -- - ------·- - ---··-··· . .. ·· · ·-····----- B A N T E N JAWA BARAT D.K.I. JAI(ARTA -------------------- -------··· . .. . - JAWA TENGAH D.I. YOGYAI(ARTA JAWA TIMUR -· ··--· - ---- -- ···· B A L I - -- .
. . - ···· ·-· -- ····· · · ..... - 18. NUSA TENGGARA BARAT 19. NUSA TENGGARA TIMUR ----· -- ... · ·······-- ... ...... . • ..•. ···· · 20.
·--· ....
---·-·-· 26. 2 7 .
I(ALIMANTAN BARAT I(ALIMANTAN TENGAH I (ALIMANTAN SELATAN · · --·- ...... ··- ^· --- .. ....... . ·-·-- · -- I(ALIMANTAN TIMUR I(ALIMANTAN UTARA SULAWESI UTARA ......... .
. - - - - · · --- · -- - -............ .. _, _............. GORONTALO SULAWESI BARAT SULAWESI SELATAN -----·- .. ·---· _, __________ .......... . ... . .....
..... . ......
SULAWESI TENGAH SULAWESI TENGGARA MALUKU I · · · ·........ MALUKU UTARA P A P U A PAPUA BARAT . . . SATUAN . . .
...- ( ^3 ) OH OH OH OH · · -· OH OH OH OH OH OH .. OH OH OH · · -... OH OH OH - OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH . - . . --· . .
. PETUGAS BENGKEL DAN GALANG AN KAPAL KENAVIGASIAN 141 32.000 32.000 32.000 32.000 . . - - - - - -- 32.000 32.000 32.000 32.000 32.000 32.000 -- ------ -· . . . - · - - . - .
. ·- - · - . - . .
000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 38.000 38.000 38.000 36.000 36.000 36.000 ....
000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 38.000 38.000 44.000 44.000 PETUGAS PABRIK GAS AGA UNTUK LAMPU .. · ·· - - - - - - I - . . .... .. .. · - · . · -- · · - . -· ... . - · - - - - SUAR 1 5 \ 32.000 32.000 32.000 32.000 . . .
000 32.000 32.000 32.000 32.000 32.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 38.000 38.000 38.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 38.000 38.000 44.000 44.000 . . . (dalam rupiah) KELOMPOK PENJAGA TENAGA MENARA KESEHATAN SUAR (PMS) KERJA . .
32.000 32.000 32.000 32.000 ..... ...
000 32.000 32.000 32.000 32.000 32.000 30.000 30.000 30.000 . .
000 30.000 30.000 38.000 38.000 38.000 PELAYARAN · - 17\ 32.000 . . --- --- --- - - · - · - ·- - --- ^- -- 32.000 32.000 32.000 ·····--·--··· · · · · ·- · · · · · - - · · · - - -· - --· ·- · ---·· -- ·-····-- 32.000 32.000 32.000 32.000 32.000 32.000 ----· - - - --- - -- - - --- 30.000 30.000 30.000 · ······· - · · ·· - - - ----- · 30.000 30.000 30.000 ---· ·· -- -------- 38.000 38.000 38.000 ·---- - - -- . . -·-·------------ ··-· ·· ·-··· -- - . . .
. .
000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 38.000 38.000 44.000 44.000 ·-- __ , . __ 36.000 36.000 36.000 -- -- - -· -- 36.000 36.000 36.000 .. - -- · · -- --- ·-- . -· . ....
000 36.000 36.000 ·-·- - ·------·-- 36.000 36.000 38.000 - · _, ________ _ 38.000 44.000 44.000 M E NTER I KEUANGAN R E P U B L I K I N DON ESIA - 8 - 9.6 Pengadaan B ahan Makanan untuk Mahasiswa/ Siswa Sipil dan Mahasiswa Militer/ Semi Militer di Lingkup Sekolah Kedinasan NO (1) 1 . -- - - - - 2.
-··-·-·· 5. 6 .
9 .
·---- - - 1 1.
1 6. --··· ·-· 17.
2 1.
-- - · · · 23.
PROVINSI 12) ACEH · · - --- · · ·· . . -· SUMATERA UTARA R I A U KEPULAUAN RIAU ·· · · · - - · -- - - · - · - - - - -- - - - - - - -·· ·..... ... - -- - ··· · ·- · - ^..... J A M B ! SUMATERA SUMATERA . . - - - - - -- - - ---· · · · - · · LAMPUNG BENGKULU BARAT SELATAN BANGJ(A BELITUNG ..... - · -- - -- - - - B A N T E N JAWA BARAT 0.1(.1. JA!(ARTA . . .
. -- - -- - - - .. . . · · --- - · ·- - ··· - - . - - . - - - - ·---- · - - ··--··· -· ---· ----· - ·· · - ··· ·· ·· · -··· ··· JAWA TEN GAI-l 0.1. YOGYAI(ARTA JAWA TIMUR ·--·· ·· --· - .. . B A L I NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR ·· -- - - -·· ·· ···· . . - ·· · J(ALIMANTAN J(AL!MANTAN J(AL!MANTAN - · - · · · · - - - . - · · · · ·· · · -· · I(AL!MANTAN J(AL!MANTAN BARAT TEN GAI-l SELATAN -· TIMUR UTARA SULAWESI UTARA . . · · - · · · - · ӷ....
. - ----····-· ·· . . --- -- - ---·· ·· . . --· -· - - · · - 26. -- 27.
3 1. · · ·-··· 32.
GORONTALO SULAWESI SULAWESI ·-- · ···-· · · · -· -· · SULAWESI SULAWESI MALUKU BARAT SELATAN . . . TEN GAI-l TENGGARA MALUKU UTARA PAPUA PAPUA BARAT ..
... · · · -···-... SATUAN ( ^3 OI-l ··- ·· · OI-l OI-l OI-l ----- -· -- - - . OI-l OI-l OI-l . . - - - - . . · - - · OI-l OI-l OI-l OI-l OH OI-l - - - - -- - -- - ---- - -- - · ·····----· -· · OI-l OH OI-l · · · · ·- ·· OI-l OI-l OI-l · ·· · · · · ·· - -- ··- . . OI-l OI-l OI-l OH OI-l OI-l - - - -- -· OI-l OI-l OI-l -- - OI-l OH 01-I · · · ·· - - OI-l 01-1 OI-l . . ·· - -- ··-··- ·· . . MAHASISWA/ SISWA SIPIL . - · · 4 32.000 32.000 32. 000 32.000 32.000 32.000 32.000 32.000 32.000 32.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 30.000 38.000 38.000 38.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 36.000 38. 000 38.000 44.000 44. 000 (dalam rupiai1) MAHASISWA MILITER/ SEMI MILITER - . 5 37.000 37.000 37.000 37.000 . .. - · · ---- 37.000 37. 000 37. 000 37.000 37.000 37.000 34.000 34.000 34. 000 ---- - - -- - - · · ·· ··•· · · - - - · - -.... .... . ·· ·-· · · ·· · - - · ··- ·- ·· -· ···· - - .
.
000 34.000 34.000 42.000 42. 000 42 .000 4 1 . 000 4 1 .000 4 1 .000 4 1 .000 4 1.000 4 1 .000 4 1.000 4 1 .000 4 1 .000 4 1 .000 4 1 . 000 42.000 42.000 48.000 48. 000 MENTER I KEUANGAN 9.7 Pengadaan. Bahan Makanan untuk Rescue Team NO PROVINSI { 1\ 1. ACEH 2. SUMATERA UTARA 3. R I A U -- -- - - --- - - - - - --- - - - . - . ..
KEPULAUAN RIAU -- ·-·· ··- .
J A M B I 6. SUMATERA BARAT 7. SUMATERA SELATAN - - -- - - --- - - 8 . LAMPUNG ---····· - - -····· · - - - -- - - - - - --- - --- · -···· - -- - · · · · -- -· -- -- 9. BENGKULU 10. BANGI{A BELITUNG 1 1. B A N T E N 12. JAWA BARAT 13. D.K.I. JAKARTA - - - - ---- .. . - · -------- · · - - - - -- · ·· · .. . .
JAWA TENGAH 15. D.I. YOGYAKARTA 16. JAWA TIMUR · ·- ... - I · · .
B A L I 18. NUSA TENGGARA BARAT 19. NUSA TENGGARA TIMUR 20. l{ALIMANTAN BARAT --- -·--·· ·· - - - - - --- ...... . - -- --·...---- · · · · · ---- - -- - - - - - - -- --·...· -- ------- 2 1 . l{ALIMANTAN TENGAH 22. · ·· ··--·- 23.
3 1.
I{ALIMANTAN SELATAN - - ---·.... . l{ALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN UTARA SULAWESI UTARA GORONTALO SULAWESI BARAT SULAWESI SELATAN - ····· - SULAWESI TENGAH SULAWESI TENGGARA MALUKU MALUKU UTARA P A P U A PAPUA BARAT SATUAN ( ^3 \ OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OH OI-l OH OH OH OH OH OH .... (dalam rupiah) BIAYA TA 2016 (4) 37.000 37.000 37.000 37.000 37.000 37.000 37.000 37.000 37.000 37.000 34.000 34.000 34.000 34.000 34.000 34.000 42.000 42.000 42.000 4 1.000 - ----- -- - - - .. - - - - 4 1.000 4 1.000 4 1.000 4 1.000 . . -- ......... ..... . 4 1.000 41.000 4 1 .000 4 1.000 4 1.000 4 1.000 42.000 42.000 48.000 48.000 M ENTE R ! KEUANGAN REPU BLI K I NDON ESIA 10 SATUAN BIAYA KONSUMSI TAHANAN NO PROVINSI (1\ 1.
·- 13.
-- · · · · · ·- 16.
····· - -· 19.
·-· . .
··•· ··· · - 25.
· - · 31.
ACEH SUMATERA UTARA R I A U . -·· ·---ü .. ..... -- ··- . .. · - · KEPULAUAN RIAU J A M B I SUMATERA SUMATERA LAMPUNG BENGKULU ·---· - - ·· ···---- - BARAT . . . - - - SELATAN BANGKA BELITUNG B A N T E N JAWA BARAT . . . D.K.I. JAKARTA JAWA TENGAH D.I. YOGYAKARTA - -- - - · · · · · - - · JAWA B A L I . -· · - TIMUR . . ..... (2} . . ·- ..
--· -·-··-··· ·--·· • · NUSA TENGGARA BARAT ·· ··- ··.... · · · ···· ··-···· - · · · NUSA TENGGARA TIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH ·· ···· ·· · · . -- - --- ·····-...- -- ···- · ··· · - · · ·· · · ···· ·- -- ----· - -- - - - · ·-···· KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN UTARA SULAWESI UTARA GORONTALO SULAWESI BARAT SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGAI-I . .. .
. - -- SULAWESI TENGGARA - · MALUKU MALUKU UTARA P A P U A ·· - PAPUABARAT .
^. . -.... - ^·- · · · · · - · - - ·---- . ^.
. ^. .... .• · -· .. · · · · · · - - -· -· ···· . . ····- · · · ------ - --- - · · · · ·- - ·---·-··· ---- - . · ··-·-····· · -·- . ..
. --· ···· ····--- · ·· -·-- . . ·---·· --· .... . ^. . .. · ·-- · --·-··- ___ , ______ SATUAN -· · · · · ·· -· · · 131 OH OH OH OH OH OH OH OH OI-I OH OH OH OH OH OH OI-I OI-I OH OH OH OH . - ·· OH OH OH OI-I OH OH OH OH OH OH OH OH or - r . . . . .
. . ( dalam ru pial1) BIAYA TA 2016 · · -· · ·· . . .
.
...· ···-- ( ^4 ) . ^. . · -- - ··· ·· 43.000 41.000 36.000 35.000 33.000 39.000 39.000 36.000 39.000 36.000 39.000 40.000 42.000 33.000 32.000 39.000 39.000 37.000 37.000 38.000 36.000 .........··-· · · · ....
.
. . ^. ^......... .
000 38.000 38.000 39.000 38.000 41.000 41.000 36.000 36.000 42.000 49.000 55.000 . .. . ^. .. ^.
000 MENTER I KEUANGAN REP U BLI K I N DONES IA 11. SATUAN BIAYA KONSUMSI RAPAT NO PROVINSI (1\ ( ^2 1 1 . 1 RAPAT KOORDINASI TINGKAT - 1 1 - SATUAN 13) Orang/Kali MAKAN 14) 1 10.000 (dalam rupiah) KUDAPAN (SNACK) 5 49.000 - -- -------- µE..J'i : £E¶I(E; SE·()N I/Sl!?'f,'\¸ __ _ _ _ _ _ ^ ^ _ _ _ !L_ĉ-- - _ RAPAT BIASA __ _ 1 1.2. 1 ACEH 1 1 .2.2 SUMATERA UTARA 1 1.2.3 R I A U 1 1 .2.4 KEPULAUAN RIAU 1 1 .2.5 J A M B I !1,?,() ____ ¹l!!'A__f_ Eº »¼Ù- _ 1 1 .2.7 SUMATERA SELATAN 1 1 .2.8 LAMPUNG 1 1.2.9 BENGKULU 1 1 .2. 10 BANGICA BELITUNG 1 1 .2. 1 1 B A N T E N 1 1,½. 1-¾ J_t: WA B¿RAT .. 1 1 .2. 13 D.K.I. JAICARTA 1 1 .2. 14 ^JAWA TENGAH 1 1 .2. 15 ^D.I. YOGYAICARTA 1 1 .2. 16 ^JAWA TIMUR 1 1 .2. 17 ^B A L I · - · U_: ?} ^_ l3_ l'Jl!ð_A _ ! ^E L'T ^GGA À--Át: ò'I' 1 1 .2. 19 ^NUSA TENGGARA TIMUR 1 1 .2.20 ICALIMANTAN BARAT _ ^1 !: ÂÃ ^2 !__ IÄ ^IM Å ^NTA Æ - ^T ÇÈc: 'Ø_H __ _ _ _ _ 1 1 .2.22 ^ICALIMANTAN SELATAN 1 1 .2.23 1 1 .2.24 · - ·· · · - ·· · - · . 1 1 .2.25 1 1 .2.26 1 1 .2.27 ·· ·· · - 1 1 .2.28 1 1 .2.29 ICALIMANTAN TIMUR ICALIMANTAN UTARA SULAWESI UTARA GORONTALO SULAWESI BARAT - - SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGAH 1 1 .2.30 ^SULAWESI TENGGARA - . ^...... ^. Orang/Kali Orang/Kali _ _ _ Qr: ang/Kali _ Orang/Kali Orang/Kali . - __ Q_ ^r : ln ^g /!Õa,Ii___ Orang/Kali Orang/Kali _ _ .. Orang/Kali .. Orang/Kali Orang/Kali _ _ _ __ OrangjKali _ Orang/Kali Orang/Kali _____ Orang/Kali Orang/Kali Orang/Kali _ Orang/Kali Orang/Kali Orang/Kali _ _ _ __ Orang/ Kali ....
. . ^- - - - Orang/Kali Orang/Kali _ ^_ Orang/Kali ^_ · · Ӷ ^..... .
.
000 46.000 40.000 41 .000 39.000 44.000 .. . .
.... -· ·-· - 46.000 40.000 44.000 40.000 44.000 45.000 47.000 37.000 36.000 44.000 44.000 4 1 .000 4 1 .000 42.000 40.000 45.000 42.000 42.000 - -···· · - ·· ---· 15.000 13.000 15.000 20.000 17.000 16.000 17.000 18.000 16.000 18.000 15.000 14.000 18.000 13.000 13.000 15.000 17.000 17.000 2 1 .000 16.000 15.000 14.000 17.000 16.000 44.000 Orang/Kali 18.000 44.000 Orang/Kali 14.000 47.000 . . . ^. __ Orang/Kali _ 16.000 45.000 Orang/Kali 15.000 4 1 .000 Orang/Kali 15.000 _ _ _ ___ Orang/Kali . . _ _ _ _ 42.000 _ _ _ _ 20.000 1 1 .2.3 1 ^MALUKU Orang/Kali 47.000 19.000 1 c 1 É 1 Ê .2 Ë - Ì 3 Í 2 Î 1_ M A L _ U __ K u __ u _ T _ A _ RA __ _ __________ 1_0ran: ċgL/Kali 11 _ __ __ Ï 5 Ö7.ooo_ 1 _ __ __ Ð 2 Ñ 0 Ò .o Ó o Ô o _1 1 1_c?.33 ï f.!' ^U A _ . __ _ Orang/Kall 60.000 3 1 .000 1 1 .2.34 ^PAPUA BARAT Orang/Kali 57.000 25.000 MENTER I KEUANGAN 12 SATUAN BIAYA KEPERLUAN SEHARI-HARI PERKANTORAN Dl DALAM NEGERI NO 1 1 . -- -- 2 .
--- - -- ·- 8.
----- - - 17. -- 18.
--···-- 20. 2 1 . PROVINSI ACEH -- ^- -·-·-· · - ....^. ^ . ^. . SUMATERA R I A U KEPULAUAN · ^·- . 12 UTARA RIAU - - - - - - -- - - - - - - - - - - - . · · - J A M B ! SUMATERA BARAT SUMATERA SELATAN . ^. ^. ^. - - -- - --- - . - . . ^. ·· - LAMPUNG BENGKULU . . BANG!(A BELITUNG . ...... B A N T E N JAWA BARAT 0.!(. ! . JAKARTA ........... . - - --- - - · - --·- - · JAWA TENGAH D . ! . YOGYA!(ARTA JAWA TIMUR - - - - . ^.. . ^. . ^. ----· · · - · · · . ^· · · ^- ^· · . · · · · - · · · -... B A L I NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR · · - · · · · ·- - - -· KALIMANTAN !(AL!MANTAN . . . - - BARAT TENGAH · · · - ····· 22. !(AL!MANTAN SELATAN . ... · - .. ^· - - - -- - ^- ^-- - - - - . ^. . - - - · · · MEMILIKI SAMPAI DENGAN 40 PEGAWAI SATUAN (3) . Satker/Tahun _ Satker /Tahun Satl{er /Tahun Satl{er /Tahun · · · - - - ····· -· · SatkerjTahun Satker jTahun Satker /Tahun · ^· · - -.... Satker /Tahun Satker /Tahun SatkerjTahun . . Satker/Tahun SatkerjTahun Satker /Tahun -- ^- - - · . -- - ^- - ^- - - ·· · - Satl{er /Tahun Satl{er /Tahun Satker/Tahun ··-· - -- - Satl{er /Tahun Satker/Tahun Satker/Tahun Satl{er /Tahun Satl{er /Tahun Satl{er /Tahun BIAYA TA 2016 (4) 60.870. 000 60.020.000 60.020.000 6 1 .7 10.000 59.600.000 60. 020.000 60. 020.000 59. 170.000 60.020.000 59 .600.000 . . .
870.000 60.440.000 60.440.000 - · · - ·· · 60.870.000 60.440 .000 60.440.000 .. . . 6 1 .290.000 60.440.000 60.440. 000 -- - - · 60.440.000 59.600.000 60.020.000 - ^- ^-- ^- ^- ^- - - ---- . .. . ···· ·· - · ··· - · · ^· - , . _ _ __ _ _ _ _ _ · - -----...· ^· · · -.... . .........^. . · - - - 23.
· · - · -· · · · 26.
3 1 . - - ------ 32.
!(AL!MANTAN TIMUR KALIMANTAN UTARA SULAWESI · ^· · ^·- -- - ---- - · - ·· · UTARA . . . GORONTALO SULAWESI BARAT SULAWESI SELATAN . . . ^. SULAWESI TENGAH SULAWESI TENGGARA MALUKU . . ^--- - ^- - -- · - - - - - - - - MALUKU UTARA P A P U A PAPUA BARAT --·-· - - -.... ӵ......... . Satker /Tahun Satker/Tahun Satker /Tahun .... Satker /Tahun Satl{er /Tahun Satker/Tahun . · · ^- SatkerjTahun Satl{er / Tahun Satl{er /Tahun -· Satker /Tahun Satker/Tahun Satl{er /Tahun 60.440.000 60.440 .000 62. 130. 000 60. 870.000 57.060.000 60.870.000 60.020.000 60.440 .000 64.460. 000 64.460.000 73.970. 000 67.630.000 . .
. (dalam rupiah) MEMILIKI LEBIH DARI 40 PEGAWAI SATUAN . . . - 15) OT .. · - · OT OT OT . .......... . OT OT OT OT OT OT OT OT OT ..... OT OT OT .. - . ^.. . .. . OT OT OT . . . OT OT OT . . . - -- - - - OT OT OT . ^- - - · · ·· OT OT OT OT OT OT ..... OT OT OT BIAYA TA 2016 16) 1 . 530. 000 ....- -- . - · - ---. ---- 1 . 5 10 . 000 1 . 5 1 0 .000 1 . 550 .000 - - -- - - - ^- - - - - - - -- - - 1 . 490.000 1.510.000 1 . 5 10.000 · · · · · - - --- - - . . ^. --· ^- - - ^· - - · ^· ^- ^- ^- ^- ^- ^- - -- - ^- . .. - - ^- ^ - - - - - - - -- - - - - - - - . ^. . ^. . - ·-· - · · 1 . 480.000 1 .5 10.000 1 . 490.000 1 . 530.000 1 . 520.000 1 . 520.000 - · · · · · · · - · · ·· ..... - - - -- 1 . 530.000 1 . 520.000 1 . 520. 000 ·- - · · 1 . 540.000 1 . 520. 000 1 . 520.000 · · · · · - · · . 1 . 520. 000 1 . 490.000 1 . 510.000 1 . 520.000 1 . 520.000 1 . 560.000 . .. . . · · ·· · · ·· · -· ···· 1 . 530. 000 1 . 430.000 1 . 530. 000 . ... . -·· ·· - 1 . 510.000 1 . 520.000 1 .620.000 1 . 620.000 1 . 850. 000 1 . 700.000 MENTER I KEUANGAN REP U BL I K I N DONES IA - 1 3 - 13 SATUAN BIAYA PENGGANTIAN INVENTARIS LAMA DAN/ATAU PEMBELIAN INVENTARIS UNTUK PEGAWAI BARU NO.
1 .
·- --- 3 . 4 . 5. · - - · · · 6 .
· - - · · -· ··· 9. 1 0 . 1 1 . · · · - · · · ·· · · 1 2 . 1 3 . 1 4 . - - - - - . . 1 5. 1 6 . 1 7 . PROVINSI (2) ACEH SUMATERA UTARA ---Ӵ - - - - ·· · · - - - - . R I A U ..........- - KEPULAUAN RIAU J A M B I -- - - - - - - - - - . ·· · · · ·...--- -· · · SUMATERA BARAT SUMATERA SELATAN LAMPUNG · · · -·............ . - - - - - BENGKULU BANGKA BELITUNG B A N T E N -- - · ·· · - - JAWA BARAT D.K.I. JAKARTA JAWA TENGAH - -·- - ---· · · · · D.I. YOGYAKARTA JAWA TIMUR B A L I . . . · -- - - ·- · · · - · - - -- - - - -· - --· - - . - - - - - - .. . . · · · · • .. ... .. . ... .... _...- - - - ·- . · - ·-· · ···· -- - ·· · - · - · - - - - - - - - · · - 1 8. NUSA TENGGARA BARAT 1 9 . NUSA TENGGARA TIMUR -- 20. - - - - - - - - 2 1 .
---- - - -· 24.
3 1 .
KALIMANTAN KALIMANTAN KALIMANTAN KALIMANTAN BARAT - - -- - . . · · - · TENGAH SELATAN TIMUR - - ----- - --·- ------· ·····- · · - - - · --·- · · · - ·· - - · · - - - · · -- -- ·- - ---·-- · KALIMANTAN UTARA SULAWESI UTARA GORONTALO - · - . · · - · SULAWESI BARAT SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGAH - - - SULAWESI TENGGARA MALUKU MALUKU UTARA P A P U A PAPUA BARAT - - - - . - - - - -- · - - - - - - - - - - - - - - - - · - · · · - - - - - - · · · ·· - · - · - · · · - · ···· · - - - --· · - - · - · · - - · · - · -·- -· · - - - - - · ·-·---- SATUAN (3) Pegawai/Tahun · - -- __ _ }='hgijki{].'a}11111 Pegawai/Tahun Pegawai/Tahun Pegawai/Tahun -·· - · - - - -·· · · -....
... ·- - - - - · · · -· - - - - - - - -- - ....... _ ...... Pegawai/Tahun PegawaijTahun Pegawai/Tahun - - PegawaijTahun Pegawai/Tahun PegawaijTahun PegawaijTahun Pegawai/Tahun Pegawai/Tahun Pegawai/Tahun Pegawai/Tahun Pegawai/Tahun .... PegawaijTahun Pegawai/Tahun Pegawai/Tahun Pegawai/Tahun Pegawai/Tahun PegawaijTahun PegawaijTahun Pegawai/Tahun Pegawai/Tahun · - - - - - - · · · - . . - - - - - - - -- - - - PegawaijTahun Pegawai/Tahun Pegawai/Tahun Pegawai/Tahun Pegawai/Tahun Pegawai/Tahun PegawaijTahun Pegawai/Tahun - - - (dalam rupiah) BIAYA TA 2016 - - . - ·-··- ··· ·- · · · ··- · ·· (4) 1 .660.000 1 . 570.000 ·· · · · - · - - - - - · - ····---- 1 . 580.000 1 . 560. 000 1 .6 1 0. 000 - - - --- 1 .600.000 1 . 580.000 1 . 580.000 -- 1 . 570.000 1 . 550.000 1 . 580.000 - - - 1 . 570.000 1 .600. 000 1 . 660. 000 . - - - 1 .650.000 1 . 580. 000 1 .660. 000 . . . - - - .. - - - - - 1 .600.000 1 . 530. 000 1 . 560. 000 . .....· - · - - - - - - 1 .640. 000 1 . 570. 000 1 . 550. 000 -- - - · - --- - . . ...... . - - - -- 1 . 550. 000 1 . 540. 000 1 . 520.000 . . - · -· 1 .480.000 1 . 6 1 0.000 1 . 540.000 . . . 1 .630.000 1 . 700. 000 1 . 750. 000 1 .960.000 1 . 850. 000 MENTER I KEUANGAN REP U B L I K I N DONES IA - 14 - 14 SATUAN BIAYA PEMELIHARAAN DAN OPERASIONAL KENDARAAN DINAS 14. 1 Kendaraan Dinas Pejabat NO. PROVINSI (1) (2) 14. 1 . 1 PEJABAT NEGARA 14. 1 . 2 PEJABAT ESELON I 14. 1 . 3 PEJABAT ESELON II 14. 1 .3 . 1 ACEH 14. 1 .3.2 SUMATERA UTARA 14. 1 .3.3 R I A U 14. 1 .3.4 KEPULAUAN RIAU --- 14. 1 .3.5 J A M B I 14. 1 .3.6 SUMATERA BARAT 14. 1 . 3.7 SUMATERA SELATAN 14. 1 .3.8 LAMPUNG 14. 1 .3.9 BENGKULU 14. 1 .3. 1 0 BANGKA BELITUNG 14. 1 . 3 . 1 1 B A N T E N 14. 1 . 3 . 1 2 JAWA BARAT 14. 1 .3. 1 3 D.K.I. JAKARTA ---- ---·-- · SATUAN (3) UnitjTahun . · - - - - -------- Unit/Tahun Unit/Tahun . ·- -- -- -- --- - - - Unit/Tahun Unit/Tahun UnitjTahun (dalam rupiah) BIAYA TA 20 16 (4) 4 1 .900.000 ·- 40.000.000 39.850.000 38.420.000 38.530.000 38.280.000 -·-- - ---------- - - - - - - - - ---- - -- Unit/Tahun 39.240.000 Unit/Tahun 39 . 190.000 UnitjTahun 38.550. 000 Unit/Tahun 38.670.000 UnitjTahun 38.580.000 UnitjTahun 38.250.000 - - -- -- - - --- - - - --- - - --- - -- - -- - --- - -- - Unit/Tahun 38.4 10.000 UnitjTahun 38.330.000 38.730.000 --- _ _ l! ^ni !/_ Ta!: t_M---- _ 14. 1 .3 . 14 14. 1 .3. 1 5 14. 1 . 3 . 1 6 14. 1 .3. 1 7 14. 1 .3. 18 14. 1 .3 . 19 14. 1 .3 .20 14. 1 . 3.2 1 14. 1 .3.22 14. 1 .3.23 14. 1 .3.24 14. 1 .3.25 14. 1 .3 .26 14. 1 .3.27 14. 1 .3.28 14. 1 .3.29 14. 1 .3.30 1 4. 1 . 3 . 3 1 14. 1 .3.32 14. 1 .3.33 14. 1 .3.34 JAWA TENGAH D.I. YOGYAKARTA JAWA TIMUR - - - --- ---- B A L I NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN Unit/Tahun UnitjTahun Unit/Tahun ··-- - -------------------------------- - · Unit/Tahun UnitjTahun Unit/Tahun ---------- - ----- UnitjTahun UnitjTahun UnitjTahun - --· - ^- ^ ---- .- - - - - - - - - - ------- KALIMANTAN TIMUR Unit/Tahun KALIMANTAN UTARA UnitjTahun SULAWESI UTARA Unit/Tahun ---------- - ------ - - ------ - - - -- . - - · ------ ---·-···-- ------ GORONTALO Unit/Tahun SULAWESI BARAT Unit/Tahun SULAWESI SELATAN UnitjTahun -------------- - ------ - --- - ---- -·· - ---- - - - - -- - -- -- - ---- -······ - ... - .. - -- ----- - -· SULAWESI TENGAH UnitjTahun SULAWESI TENGGARA UnitjTahun MALUKU Unit/Tahun ----- - - ------------ - -- - -- - - - - - - - - - - ----- --· - - ---- - -- - - - ··- - - ---- - - . - -- MALUKU UTARA Unit/Tahun P A P U A UnitjTahun PAPUA BARAT Unit/Tahun 39.950.000 39.950.000 38.6 1 0.000 · · · · ·- ^--- ^- ^- ^- ^-- ^- ^--- 39.950.000 39. 100.000 37.980.000 - - 38.750.000 38.990.000 38.990.000 -------- - 38. 560. 000 38.560.000 38.480.000 · - ----------- -- - - -- --- - ---· 3 8 . 1 50 . 000 37. 180.000 38.630.000 - - - - - - - - - - -- --- - - - - - - -- ----- 39.050.000 39 .540.000 39. 140.000 · - --- - - - --- - - - · -- --------- --- 38.230.000 38.770.000 38.840. 000 14. 2 Kendaraan Dinas Operasional NO. PROVINSI (1) (2) 1 . ACEH 2. SUMATERA UTARA 3. R I A U 4. KEPULAUAN RIAU 5. J A M B I 6. SUMATERA BARAT 7. SUMATERA SELATAN 8. LAMPUNG 9. BENGKULU -- - 10. BANGKA BELITUNG 11. B A N T E N 12. JAWA BARAT 13. D.K.I. JAKARTA 14. JAWA TENGAH 15. D.I. YOGYAKARTA --- - --- - -- - ---------------- - 16. JAWA TIMUR 17. B A L I 18. NUSA TENGGARA BARAT -- 19. NUSA TENGGARA TIMUR 20. KALIMANTAN BARAT 21. KALIMANTAN TENGAH 22. KALIMANTAN SELATAN 23. KALIMANTAN TIMUR 24. KALIMANTAN UTARA - - -- - - 25. SULAWESI UTARA 26. GORONTALO 27. SULAWESI BARAT 28. SULAWESI SELATAN 29. SULAWESI TENGAH 30. SULAWESI TENGGARA 31. MALUKU 32. MALUKU UTARA 33. P A P U A M ENTE R I KEUANGAN R E P U BLI K I N DO N ESIA - 15 - SATUAN RODA EMPAT (3) (4) Unit/Tahun 34.620.000 Unit/Tahun 33.470.000 Unit/Tahun 33.560.000 DOU BLE GARDAN (5) 37.640.000 36.070.000 36.210.000 - ---------- - - · · · - ·- - · - · - . - - - ------- - Unit/Tahun Unit/Tahun Unit/Tahun Unit/Tahun Unit/Tahun Unit/Tahun 33.350.000 34.130.000 34.100.000 . - ·----- --- - 33.580.000 33.670.000 33 .600.000 · - - ----- - -- - ----- Unit/Tahun 33.330.000 Unit/Tahun 33.410.000 Unit/Tahun 33.350.000 35.930.000 36.970.000 36.930.000 · - ---- 36.200.000 36.330.000 36.230.000 ------- - --- -- - 35.860.000 36.090.000 35.990.000 (dalam rupiah) RODA DUA ( ^6 ) 3.930.000 3.700.000 3.670.000 3. 570.000 3.810.000 3.850.000 3.670.000 3.700.000 3.680.000 --------- 3.610.000 3. 580.000 3.560.000 -- - ----- -- - - ------ - ------- ---- -- - --·· - --- - --- - - - --- - - -·- - ---- . Unit/Tahun Unit/Tahun _ Unit/VW ñ': 1 : ? _ _ Unit/Tahun Unit/Tahun Unit/Tahun _ Unit/Tahun Unit/Tahun Unit/Tahun ---------- Unit/Tahun Unit/Tahun Unit/Tahun Unit/Tahun Unit/Tahun Unit/Tahun ---- - --------- Unit/Tahun Unit/Tahun Unit/Tahun Unit/Tahun Unit/Tahun Unit/Tahun 33.650.000 34.880.000 34.680.000 - ------- - - - - - ---- - -· - - - · --- · 33.600.000 35.210.000 34.060.000 --- - ---------- ---- 33.140.000 34.160.000 35.710.000 -- · · - - - - ---· - - -- - ·- ···· · · - 34.380.000 34.010.000 33.660.000 -- - ----- - ----- - ---- 33.930.000 33.670.000 32.470.000 -- -- - -----· ----------- 33.630.000 34.450.000 34.880.000 ---- - -------------- 34. 560.000 33.750.000 34.260.000 36.450.000 3.640.000 38.050.000 3.950.000 37.780.000 3.910.000 -- - --- ··-· - - -- - - - - - · - - ------ ------ - -- - ----- -- - 36.280.000 3.650.000 38.400.000 4.110.000 36.810.000 3.810.000 ·---- - -- - 35.550.000 3.580.000 36.360.000 3.760.000 38.290.000 4.150.000 --- - - - ---- - --- - -------- 36.620.000 3.800.000 36.130.000 3.700.000 35.680.000 3.620.000 - ---· · - - ------ - ------- - - · --------- 36.060.000 35.690.000 34.690.000 - --- -- -- - - - - - -- - - - - --- -- - 36.320.000 36.660.000 37.210.000 - - - ----- - - - - - - 36.730.000 35.740.000 36.310.000 3.710.000 3.670.000 3.360.000 3.640.000 3.840.000 3.940.000 3.940.000 3.760.000 4.000.000 - - -- -- - ---- - - - --- ------ . --- - ·-· - ·-···--·· · · --- - - · · · ··-··· ···-··-· - - - -- --- - - - - 34. PAPUA BARAT Unit/Tahun 34.300.000 36.390.000 3.920.000 14.3 Operasional dalam Lingkungan Kantor, Roda 6, Roda 6 Khusus Tahanan Kejaksaan, dan S peed Boat (dalam rupiah) No. Uraian Satuan Biaya TA 20 16 (1) (2) ( ^3 ) (4) 1. Operasional dalam Lingkungan Kantor Unit/Tahun 9.750.000 2. Roda 6 Unit/Tahun 37.110.000 3. Roda 6 Khusus Tahanan Kejaksaan ___ !: !EST/_ TUh_u_l1 __ 40.760.000 - - -- --- - - --·-- - - - - - · - --- -- -- ---· - - - - - . - -· --- - ·--· · · · ---- - - - - . .. - -- - - - . - - - -- .......... .. -- ------- 4. S peed Boat Unit/Tahun 20.240.000 MENTER I KEUANGAN REP U B L I K I N DONES IA - 16 - 14.4 Kendaraan Dinas Operasional Patroli Jalan Raya (PJR) NO. PROVINSI (1) (2) SATUAN (3) PJR RODA EMPAT (4) PJR RODA DUA (: ; 250 CC) (5) (dalam rupiah) PJR RODA DUA (} 750 CC) (6) 1 . ACEH Unit/Tahun 78.370.000 g h i j k l -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- - 1- -- -- m -- -- -- 1 9 .680.000 47.080.000 _ _ ^2. _ _ ó-î M- í T ìë Y T J\ RA.... .. . . _ ^_ _ _ . t! " ê ! /! ^n .. . 75.920.000 18.960.000 43.840.000 .............· - · · · · ·-........ · · ··· · · · · · · - · · · · 3. R I A U Unit/Talmn 76.090.000 18.890.000 42 . 5 1 0 .000 __ 4 _ . _ 1_ K _ E _ P _ U _ L _ A _ U _ A _ N __ R _ I A ___ U __ __ __ __ __ __ __ _ 1 _ __ U _ n _ it ~ / _ T _ al _ "l _ u_ n __ 1 __ 7 _ 5 _ . _ 6_ 50 _ . _ 0 _ 0 _ 0 1 18.580.00 0 1 _ _ 4 n 0 o . ^7 p 5 q 0 r . s 00 t 0 u 1 - -- é 8 ù -rvf _ ^B _I _ _ . _ _ ^Un ^è ^t/ _ 'f.ah ^u _ ^n 77.330.000 1 9 . 3 10.000 _ 44. 9; 3()-Q()() 6. SUMATERA BARAT UnitjTahun 77.250.000 1 9.450.000 46.750.000 42.480.000 7. SUMATERA SELATAN UnitjTahun 76 . 1 30.000 18.880.000 8. LAMPUNG ....· - .. - . - - ·......... 9 . BENGKULU 10. BANGKA BELITUNG 1 1 . B A N T E N Unit/Tal-: 1un Unit/Tahun Unit/Tahun Unit/T ç un __ 1 2 . JAWA BARAT Unit/Tahun 13. D.K.I. JAKARTA Unit/Tahun 14. J ÷\Y TENGAH . . _ . _...Unit/Talmn 15. D.I. YOGYAKARTA Unit/Tahun 76.340.000 1 8 .960.000 76. 1 80.000 18.900.000 75.620.000 18.700.000 75.790.000 18.580.000 ... . .
650.000 18.530.000 42.900.000 42.570.000 4 1 .420.000 40.820.000.... · - · · · · · ·· · · · · · ·· -- ···-· 40.540.000 76.300.000 18.800.000 42.060.000 78. 9 10.000 19.750.000 47.550.000 78.490.000 1 9 . 6 1 0.000 46.700.000 1 6 . JAWA TIMUR Unit/Tahun 76. 1 90.000 18.800.000 -- Ɩ¡-- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -l- -- -- Ɨ -- -- --l-- Ƙ ƙ ƚ ƛ¡ ---- 42.050.000 17. B A L I Unit/Tahun 79.630.000 20.250.000 5 1 .490.000 45.930.000 --· - - - - - - · ·- · · · · · -- - - · - · · ·-·-.... ...... ... - - · . . - -.... . .. . -- 18. NUSA TENGGARA BARAT Unit/Talmn 77. 1 60.000 19.3 1 0.000 19. NUSA TENGGARA TIMUR Unit/Tahun 75.2 10.000 18.6 1 0.000 4 1 .760.000 20. KALIMANTAN BARAT 2 1 . KALIMANTAN TENGAH 22. KALIMANTAN SELATAN 23. KALIMANTAN TIMUR Unit/Tahun Unit/Talmn Unit/Tahun 77.390.000 1 9 . 1 40.000 44.860.000 80.690.000 20.370.000 52.090.000 77.840.000 1 9 .280.000 45.680.000 Unit/Tahun 77.060.000 18.980.000 43.890.000 _ 2 _ 4 _ . _ 1_ K __ A L _ IM _ A __ N_ TA __ N __ U _ T _ A _ RA __ __ __ __ __ __ __ _ 1 __ _ U _ n _ it / _ T _ al _ "l _ u_ n __ 1 __ 7 _ 6 _ . _ 3_ 10 _ . _ 0_ 0 _ 0 _ __ 1 = ô8·720-00 1 _ _ 4 v 2 w - x 37 y 0 z - { 00 | 0 } 1 25. SULAWESI UTARA Unit/Tahun 76.890.000 18.990.000 43.960.000 _ _?6: _ 9(? RONTALO _ _ Unit/Tahun 76.330.000 18.880.000 _43 .2?().0QO 27. SULAWESI BARAT Unit/Tahun 73.760.000 17.9 1 0.000 36.890.000 28. SULAWESI SELATAN Unit/Tahun 76 .260.000 18.770.000 4 1 .870.000 29. SULAWESI TENGAH Unit/Tahun 78.000.000 19.4 1 0.000 46 .420.000...- - . .
SULAWESI TENGGARA Unit/Tahun 78.920.00: : ..: 0:
1 ^_....c1:
.: c9-'- .7'-1:
.: 0:
.:
00.:
.0:
1 _ _ 4 _ 8 _ .2 _ 0 _ 0 _ .0 _ 0 _ 0 _ 1 _ 3 _ 1 _ . _ 1 _ M _ A _ L _ U _ K _ U __ __ __ __________ 1 _ __ u _ n _ it / _ T _ ah __ u_ n __ 1 __ 7 --' 8 _ ._ 23 ~ _ o _ .-'- o _ oo 1 ---'19.7 g10.oo 1 _ _ 4 7 .0 8 0 · oo o 1 32. MALUKU UTARA Unit/Tahun 76. 5 1 0.000 1 9 . 160.000 43 .940.000 33. P A P U A UnitjTahun 34. PAPUA BARAT Unit/Tahun 77.590.000 1 9 .900.000 48.090.000 77.690.000 19.640.000 46.680.000 14.5 Operasional Kendaraan Dinas Untuk Pengadaan Dari Sewa No.
1 . 2 . - ···-· . 3 . Pejabat Eselon I Pejabat Eselon II.... ·· ·- -· - - ·· · · · · - Uraian (2) ...... . Operasional Kantor dan/ a tau Lapangan (dalam rupiah) Satuan Biaya TA 20 1 6 (3) (4) Unit/Tal-: 1un 30.000.000 UnitjTahun 27.000.000 · · ·· - - . -- - - ---- ·- - Unit/Tahun 25.000.000 MENTER I KEUANGAN REPUBLI K I N DONES IA - 17 - 1 5 SATUAN BIAYA PEMELIHARAAN GEDUNG/ BANGUNAN DALAM NEGERI (dalam rupiah) NO. PROVINSI SATUAN GEDUNG GEDUNG TIDAK HALAMAN GEDUNG/ BANG UN AN KANTOR BERTINGKAT BERTINGKAT (1) (2) 1 . ACEH - ------ - ·-- m---· - - -----· - · - - - - - - - --- - - - ···· -...- 2. SUMATERA UTARA 3. R I A U 4. KEPULAUAN RIAU - - - - -- - - -- - ^- - --- - ^- -.........•.... . - - - - - . . - - - 5. J A M B I 6 . SUMATERA BARAT 7. SUMATERA SELATAN ( ^3 ) ( ^4 ) - - -- - -- - 1?2/tí"': l_!l_ - ^- - -- - 170.000 m2 jtahun 178.000 m2 jtahun 188.000 m2 jtahun 209.000 - - - - ---- I - - m2 /tahun 18 1.000 m2 jtahun 157.000 m2 jtahtm 187.000 (5) (6) 13 1.000 1 0.000 133.000 10.000 140.000 1 1 .000 156.000 1 1.000.... . · · · · - · · · ·· · · · · · - · · · · - - · 134.000 10.000 107.000 1 0.000 1 26.000 1 1.000 8. LAMPUNG m2 jtahun 186.000 1 12.000 10.000 9. BENGKULU m2 jtahun 163.000 99.000 10.000 - -- l l -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- - l - & -- -- -1 - -- -- -= -- --- -- ------ -- ---æ-()_: _ J?Aø(}!0 _ f3 ELI 'f U å G m2jtahun 182.000 1 1. B A N T E N 1 2. JAWA BARAT 13. D.K.I. JAKARTA ··--·-- ------ - --- - -- --- · · · · · · · · - · · . -- - -- 14. JAWA TENGAH 15. D.l. YOGYAKARTA m2 jtahun 177.000 m2 jtahun 156.000 rr? jtahun 179.000 __ m2 jtahun 155.000 1 15.000 126.000 89.000 133.000 87.000 87.000 1 1 .000 10.000 10.000 1 1.000 - -- - -- - · · · · - -.... - · · · · - - ·· · · - - .
000 10.000 m2 jtahun 151 .000 --1 -------- 1 -------- 1 m2 jtah1: m _ 173.000 16. JAWA TIMUR 17. B A L I 1 8. NUSA TENGGARA BARAT 19. NUSA TENGGARA TIMUR 20. KALIMANTAN BARAT 2 1. KALIMANTAN TENGAH 22. KALIMANTAN SELATAN 23. KALIMANTAN TIMUR 24. KALIMANTAN UTARA 25. SULAWESI UTARA m2 jtahun 177.000 m2 jtalmn 195.000 m2 jtahu11 178.000 m2 jtahun 178.000 m2 jtahun 204.000 m2 jtahun 175.000 m2 jtahun 188.000 m2 jtahun 188.000 J?2/ tahun _ _ 177.000 26. GORONTALO m2 jtahun 169.000 27. SULAWESI BARAT m2 jtal mn 193.000 1- -- r l-- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- - 1' ( ) *1 28. SULAWESI SELATAN m2 /tahun 165.000 29. SULAWESI TENGAH 30. SULAWESI TENGGARA 3 1. MALUKU m2 jtalmn 195.000 m2 jtal1un 17 1.000 m2/talmn 202.000 128.000 10.000 - - ---- ·- · ·· - - · - ------ - - · · ··- ···· ·-- - 13 1.000 10.000 134.000 10.000 1 16.000 1 0.000 1 16.000 1 0.000 130.000 1 1.000 1 -------- 1 120.000 1 1 .000 . .. ^. · - 177.000 10.000 177.000 1 0.000 10 1.000 10.000 · - · · ·· · - . .. - - - - 1 1 1 .000 14.000 143.000 1 1.000 1 -------- 1 1 19.000 1 0.000 145.000 1 1 .000 125.000 10.000 14 1.000 14.000 32. MALUKU UTARA m2 jtahun 205.000 137.000 14.000 1 ---- ----- 1 -------- 1 33. P A P U A m2jtalmn 399.000 227.000 14.000 --- 11 ----------------- 1 2 1 -------- 1 -------- - 34. PAPUA BARAT m jtalmn 514.000 38 1 .000 1 9.000 MENTER I KEUANGAN 16 SATUAN BIAYA SEWA GEDUNG PERTEMUAN NO. PROVINSI SATUAN (1) 1 . --··· · · ·-- 2 . 3 .
· ·-· 5.
-- 7. ---·- · · ·· - 8. 9 . 1 0 . ·· -- 1 1 . 1 2 . 1 3. ACEH · · ·-····- ... . ---····-·· - · - .. SUMATERA R I A U KEPULAUAN - - - · ·· . - - - · - J A M B I - SUMATERA · ·· · ···- · · · · · · · · · · · - UTARA RIAU . · - · BARAT (2) . . . - -.... . . SUMATERA SELATAN ....- · - ·-· . LAMPUNG BENGKULU -.... - · . BANGI<A BELITUNG - - · · · --... B A N T E N JAWA BARAT D.K.I. JAI<ARTA . . .
... - - - - - --· ··· - · · ....... · · · · · - - . - -- -........ .. . .. . · · · ·· 1 4 . 1 5. 1 6 . · · · · - · 17. 1 8 . 1 9 . - · · · · ·- · 20. 2 1 .
--- - - - 23.
-- 28. · - · - - - 29.
3 1 . - 32. 3 3 .
JAWA TENGAH D.I. YOGYAI<ARTA JAWA TIMUR ..... . B A L I NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR ···- · - · · · · - · · · · · - · · · I<ALIMANTAN I<ALIMANTAN .. . .. . . - BARAT TENGAH . . . I<ALIMANTAN SELATAN ··· · · · · · · - . . - - - I<ALIMANTAN TIMUR I<ALIMANTAN UTARA SULAWESI .. .. . · · · · · · · · · - UTARA GORONTALO SULAWESI BARAT SULAWESI SELATAN - · . .. -- · · - - - . - · · · ·· · - - - ·.... - - · · · · · · · · SULAWESI TENGAH SULAWESI TENGGARA MALUKU ·- . . MALUKU UTARA P A P U A PAPUA BARAT -.... - - · · - - . . · ·· ·-·· . . ...... ···-- - · - · · - - -· - - - · · - ·-··· - · - ·- · · - . - --- -- - - - - . . - · · - - -·-·· · - - · · · · - · - (3) Per hari · -...-· Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari Per hari . . - - .. .
.
. . - . · ··-··· (dalam rupiah) BIAYA TA 2016 (4) · - - · · - · · · - - · . . . · · - - ^· - - · · - --- - - . ·- · · --· - - ·· . . . 8 . 500. 000 ....- - ·· - -- -- - - ------ 1 1 . 000. 000 9. 1 1 8.000 7.843.000 - - --- - - - 1 1 .250. 000 1 7 . 620.000 1 2 . 325.000 1 0. 000. 000 8.250.000 7. 300. 000 · · ·· · · · - 8 . 360.000 1 8 . 750.000 2 1 .875. 000 - - · · ·-- --- - - · ····· · 1 3 . 1 25. 000 1 2 . 5 1 6 .000 1 0. 1 00. 000 ..... . . - - 1 5. 000.000 9.250.000 8.705.000 . - - - - - - - - 8 .750. 000 9. 375. 000 8. 750.000 - · 8.475. 000 7. 700.000 1 8.400. 000 · · · - · · 8. 875.000 7.200.000 1 0. 500. 000 - · · · · - ·- 1 0.675. 000 9.000. 000 8. 000. 000 · · · ·· · · · - 8.000. 000 1 5. 000. 000 1 8 .350.000 MENTER I KEUANGAN REPU BLI K I N DONES IA 17 SATUAN BIAYA TAKSI PERJALANAN DINAS DALAM NEGERI NO . PROVINSI (1) (2) 1 . ACEH - - ^- -- - - ^- - - ^- - · - - · · · · · 2. 3. 4. 5 . 6 . 7 . 8 . 9.
1 1 . 12. 13. 14. 1 5 . 16. - - - - - - - - - - - 17. 18. 19.
.......
2 1 . 22. · ^· · ·· ^· - · ·· · 23. 24. 25. -- - - - - · · - 26. 27. 28. 29. 30. 3 1 . - - 32. 33. 34. SUMATERA UTARA R I A U KEPULAUAN RIAU - - - · -·· · ···· - J A M B I - -· SUMATERA BARAT SUMATERA SELATAN ....- - - · ^· ^· · - ·· - - · LAMPUNG BENGKULU BANGI(A BELITUNG B A N T E N JAWA BARAT D . K . I . JAI<ARTA JAWA TENGAH D . I . YOGYAI<ARTA JAWA TIMUR . . . . - -- - - - - - - - - - B A L I - - . ----· NUSA TENGGARA NUSA TENGGARA . . . . ·· -·· · ·· . BARAT TIMUR - - - I<ALIMANTAN BARAT I<ALIMANTAN I<ALIMANTAN - - - - . I<ALIMANTAN I<ALIMANTAN TENGAH SELATAN TIMUR UTARA SULAWESI UTARA · · · · · · · · · . - - - ^- GORONTALO SULAWESI BARAT SULAWESI SELATAN - - - - - SULAWESI TENGAH SULAWESI TENGGARA MALUKU -- MALUKU UTARA P A P U A PAPUA BARAT . · · - · · ·· - - - - - -- - · · · · · · ·- · · ·- .. SATUAN ( ^3 ) Orang/Kali Orang[Kali Orang/Kali - -- ^Orang/Kali _ Orang[Kali Orang/Kali __ __ Qrang/Kali Orang/Kali Orang/Kali - - - - - ^Orang/Kali Orang/Kali Orang/Kali -- - · · · · · · · -· · - · _ Orang/Kali - - - - -- - - - · · · · · - - - ·- · · - - -- - - ·· ·· · - · · · · · - · · ··· - · · . . .. ^-- -- - -- --· -· · -· --- - · - - · - - . . .. · - --- - - ---- · · · ·-· . . Orang/Kali Orang/Kali _ _ Orang/Kali Orang/Kali Orang/Kali Orang/Kali Orang[Kali Orang/Kali Orang/Kali Orang/Kali Orang/Kali - - ^Orang/Kali - - Orang[Kali Orang/Kali _ ^OrangjKali Orang/Kali Orang/Kali Orang/Kali _ _ Orang/Kali Orang[Kali Orang/Kali (dalam rupiah) BIAYA TA 20 1 6 ..... - - -- - · · - · - - .... (4 ^) - - ^120.000 - · ^- 232.000 75.000 120.000 120.000 190.000 125.000 ..... .
. · - ·- 145.000 95.000 90.000 306.000 1 40.000 1 70.000 75.000 94.000 1 48.000 . . . - -.... . . 1 50.000 2 13 .000 80.000 1 07.000 90.000 1 00.000 80.000 75.000 1 10.000 ....
000 2 1 7.000 145.000 75.000 1 3 1 .000 2 1 0.000 174.000 355.000 1 45.000 MENTER I KEUANGAN REP U B L I K I N DONES IA 1 8 SATUAN BIAYA TIKET PESAWAT PERJALANAN DINAS DALAM NEGERI (PP) (dalam rupiah) NO KOTA SATUAN BIAYA TIKET ASAL TUJUAN BISNIS EKONOMI I l l 1 2 1 1 3 ) ( ^4 ) 1 5 ) 1 . JAKARTA AMBON 1 3 .285.000 7.08 1 .000 2. JAKARTA BALIKPAPAN 7.4 1 2 . 000 3 . 797. 000 3 . JAKARTA BANDA ACEH 7 . 5 1 9 . 000 4.492. 000 4. JAKARTA BANDAR LAMPUNG 2 . 407. 000 1 . 583 . 000 5. JAKARTA BANJARMASIN 5.252 . 000 2 . 995.000 6. JAKARTA BAT AM 4.867.000 2 . 888.000 7. JAKARTA BENGKULU 4.364.000 2 . 62 1 . 000 8. JAKARTA BIAK 1 4.065.000 7. 5 1 9 .000 9 . JAKARTA DENPASAR 5.305.000 3.262.000 1 0 . JAKARTA GORONTALO 7.23 1 . 000 4.824. 000 1 1 . JAKARTA JAMB I 4.065.000 2 . 460. 000 1 2 . JAKARTA JAYAPURA 1 4. 568. 000 8 . 1 93 . 000 1 3 . JAKARTA JOGJAKARTA 4. 1 07 . 000 2.268.000 1 4. JAKARTA KENDARI 7. 658.000 4. 1 82 . 000 1 5. JAKARTA KUPANG 9 . 4 1 3 . 000 5.08 1 . 000 1 6 . JAKARTA MAKASSAR 7.444.000 3 . 829. 000 1 7 . JAKARTA MALANG 4 . 599. 000 2 . 695.000 1 8 . JAKARTA MAMUJU 7 . 295.000 4.867.000 1 9 . JAKARTA MAN ADO 1 0 . 824. 000 5. 1 02 . 000 20. JAKARTA MANOKWARI 1 6 . 22 6 . 000 1 0 . 824.000 2 1 . JAKARTA MATARAM 5.3 1 6 . 000 3 . 230. 000 22. JAKARTA ME DAN 7. 2 52 . 000 3 . 808. 000 23. JAKARTA PADANG 5 . 530.000 2.952.000 24. JAKARTA PALANGKARAYA 4.984. 000 2 .984. 000 25. JAKARTA PALEMBANG 3 . 8 6 1 . 000 2.268.000 2 6 . JAKARTA PALU 9 . 348 . 000 5. 1 1 3 . 000 27. JAKARTA PANGKAL PINANG 3 . 4 1 2 . 000 2 . 1 39 . 000 28. JAKARTA PEKANBARU 5. 583. 000 3 . 0 1 6 . 000 29. JAKARTA PONTIANAK 4.353.000 2 . 78 1 . 000 30. JAKARTA SEMARANG 3 . 8 6 1 . 000 2 . 1 82 . 000 3 1 . JAKARTA SOLO 3 .86 1 . 000 2 . 342 . 000 32. JAKARTA SURABAYA 5.466.000 2 . 674. 000 33. JAKARTA TERN ATE 1 0 . 00 1 . 000 6 . 664. 000 34. JAKARTA TIMIKA 1 3 . 830.000 7.487. 000 35. AMBON DENPASAR 8.054.000 4.47 1 . 000 3 6 . AMBON JAYAPURA 7.434. 000 4. 1 6 1 . 000 37. AMBON KENDARI 4.824. 000 2 . 856.000 38. AMBON MAKASSAR 6 . 022.000 3 . 455. 000 39. AMBON MANOKWARI 5. 1 77 . 000 3 . 027.000 40. AMBON PALU 6. 1 40 . 000 3 . 508 . 000 4 1 . AMBON SORONG 3 . 637. 000 2 . 257.000 42. AMBON SURABAYA 8 . 803 . 000 4.845.000 43 . AMBON TERN ATE 4.022. 000 2 . 449 . 000 44. BALIKPAPAN BANDA ACEH 1 2 . 739. 000 6 . 749 . 000 45. BALIKPAPAN BAT AM 1 0 . 354.000 5.305.000 NO ASAL I l l (2) 46. BALIKPAPAN 47. BALIKPAPAN 48. BALIKPAPAN 49 . BALIKPAPAN 50. BALIKPAPAN 5 1 . BALIKPAPAN 52. BALIKPAPAN 53. BALIKPAPAN 54. BALIKPAPAN 55. BALIKPAPAN 56. BALIKPAPAN 57. BALIKPAPAN 58. BALIKPAPAN 59. BANDA ACEH 60. BANDA ACEH 6 1 . BANDA ACEH 62. BANDA ACEH 63. BANDA ACEH 64. BANDA ACEH 65. BANDA ACEH 6 6 . BANDA ACEH 67. BANDA ACEH 68. BANDA ACEH 69. BANDAR LAMPUNG 70. BANDAR LAMPUNG 7 1 . BANDAR LAMPUNG 72 . BANDAR LAMPUNG 73. BANDAR LAMPUNG 74. BANDAR LAMPUNG 75. BANDAR LAMPUNG 76. BANDAR LAMPUNG 77. BANDAR LAMPUNG 78. BANDAR LAMPUNG 79 . BANDAR LAMPUNG 80. BANDAR LAMPUNG 8 1 . BANDAR LAMPUNG 82. BANDAR LAMPUNG 83. BANDAR LAMPUNG -- 84. BANDAR LAMPUNG 85. BANDAR LAMPUNG 8 6 . BANDAR LAMPUNG 87. BANDAR LAMPUNG 88. BANDAR LAMPUNG 8 9 . BANDAR LAMPUNG 90. BANDAR LAMPUNG 9 1 . BANDAR LAMPUNG MENTER ! KEUANGAN REP U BLI K I N DONES IA - 2 1 - KOTA TUJUAN (3) DENPASAR JAYAPURA JOGJAKARTA MAKASSAR MAN ADO ME DAN PADANG PALEMBANG PEKANBARU SEMARANG SOLO SURABAYA TIMIKA DENPASAR JAYAPURA JOGJAKARTA MAKASSAR MAN ADO PONTIANAK SEMARANG S OLO SURABAYA TIMIKA BALIKPAPAN BANDA ACEH BANJARMASIN BAT AM BIAK DENPASAR JAYAPURA JOGJAKARTA KENDARI MAKASSAR MALANG MAN ADO MATARAM ME DAN PADANG PALANGKARAYA PALEMBANG PEKANBARU PONTIANAK SEMARANG SOLO SURABAYA TIMII(A (dalam rupiah) SATUAN BIAYA TIKET BISNIS EKONOMI (4) (5) 1 0 . 739.000 5. 648. 000 1 9 . 07 1 . 000 1 0 . 08 6 . 000 9 . 669 . 000 4.749 . 000 1 2 . 664. 000 6 . 1 50 . 000 1 5. 702.000 7.295. 000 1 2 . 493. 000 6 . 1 40.000 1 0 . 942 . 000 5.369. 000 9 . 445. 000 4.749. 000 1 0 . 99 6 . 000 5.423. 000 9 . 445. 000 4. 674. 000 9 . 445. 000 4.8 1 3 .000 1 0 . 889 . 000 5. 1 1 3 . 000 1 8 . 408 .000 9 . 445.000 1 0 . 835.000 6 .279 . 000 1 9 . 1 67 . 000 1 0 . 7 1 7. 000 9 . 765.000 5.380.000 1 2 . 760. 000 6 . 78 1 . 000 1 5 . 798.000 7.92 6 . 000 9.990 . 000 5. 840. 000 9 . 530. 000 5.305. 000 9 . 530. 000 5.444.000 1 0 . 985.000 5 . 744. 000 1 8 . 504. 000 1 0 . 076. 000 8 . 1 29 . 000 4. 1 29 . 000 8 . 225. 000 4.760. 000 6 . 1 93 . 000 3 . 4 1 2 . 000 5.840.000 3 . 3 1 6 . 000 14. 1 1 9 . 000 7.487. 000 6 . 2 3 6 . 000 3 . 647 . 000 1 4. 568.000 8 . 097.000 5. 1 55. 000 2 . 760.000 8.354. 000 4.482.000 8 . 1 6 1 . 000 4. 1 6 1 . 000 5 . 594. 000 3 . 1 34. 000 1 1 . 1 9 9 . 000 5.305. 000 6 . 246. 000 3 . 62 6 . 000 7. 979 . 000 4. 1 50 . 000 6 . 439.000 3 .380. 000 5. 947. 000 3 . 40 1 . 000 4.93 1 . 000 2 . 760. 000 6 . 482. 000 3 . 433.000 5.380. 000 3 .220 . 000 4.93 1 . 000 2 . 685. 000 4.93 1 .000 2 . 824.000 6 . 3 8 6 . 000 3 . 1 23 . 000 -·-- 1 3 .905.000 7.455.000 NO ASAL I l l (2) 92. BANDUNG 93. BANDUNG 94. BANDUNG 95. BANDUNG 9 6 . BANDUNG 97. BANDUNG 98. BANDUNG 99. BANDUNG 1 00 . BANDUNG 1 0 1 . BANDUNG 1 02 . BANDUNG 1 03 . BANDUNG 1 04. BANDUNG 1 05. BANJARMASIN 1 0 6 . BANJARMASIN 1 07 . BANJARMASIN 1 08 . BANJARMASIN 1 09 . BANJARMASIN 1 1 0 . BANJARMASIN 1 1 1 . BANJARMASIN 1 1 2 . BANJARMASIN 1 1 3 . BANJARMASIN 1 1 4. BANJARMASIN 1 1 5. BANJARMASIN 1 1 6 . BANJARMASIN 1 1 7. BANJARMASIN 1 1 8 . BANJARMASIN 1 1 9 . BAT AM 120. BAT AM 1 2 1 . BAT AM 1 22 . BAT AM 1 2 3 . BAT AM 1 24. BAT AM 1 2 5 . BAT AM 1 2 6 . BAT AM 127. BAT AM 1 28 . BAT AM 1 2 9 . BAT AM 1 30 . BAT AM 1 3 1 . BAT AM 1 3 2 . BAT AM 1 3 3 . BAT AM 1 34. BENGKULU 1 35. BIAK 1 3 6 . BIAK 1 37. BIAK 1 38 . BIAK MENTERI KEUANGAN REP U BLI K I N DONES IA - 22 - KOTA TUJUAN ( ^3 ) BAT AM DENPASAR JAKARTA JAMB I JOGJAKARTA PADANG PALEMBANG PANGKAL PINANG PEKANBARU SEMARANG SOLO SURABAYA TANJUNG PANDAN BANDA ACEH BAT AM BIAK DENPASAR JAYAPURA JOGJAKARTA ME DAN PADANG PALEMBANG PEKANBARU SEMARANG SOLO SURABAYA TIMIKA BANDA ACEH DENPASAR JAYAPURA JOGJAKARTA MAKASSAR MAN AD O ME DAN PADANG PALEMBANG PEKANBARU PONTIANAK SEMARANG SOLO SURABAYA TIMIKA PALEMBANG BALIKPAPAN BANDA ACEH BAT AM DENPASAR (dalam rupiah) SATUAN BIAYA TIKET BISNIS EKONOMI ( ^4 ) ( ^5 ) 6 .289 . 000 3 . 583. 000 5 . 62 6 . 000 3 .252. 000 2 . 064.000 1 .476 . 000 5.006. 000 2 . 94 1 . 000 3 . 3 6 9 . 000 2 . 1 29 . 000 6 . 1 29 . 000 3 . 508.000 4.385.000 2 . 63 1 . 000 4. 599 . 000 2 . 738.000 6 . 525. 000 3 . 70 1 . 000 3 . 027.000 1 . 957. 000 3 . 647. 000 2 .268.000 4.824. 000 2 . 856. 000 4.439 .000 2 . 663 . 000 1 0 . 792. 000 6 . 022.000 8 . 407.000 4. 578. 000 1 6 . 68 6 . 000 8 . 749. 000 8 . 792.000 4.920. 000 1 7 . 1 3 5.000 9 . 359 . 000 7 . 723 . 000 4. 022 . 000 1 0 . 546. 000 5 . 4 1 2 . 000 9 . 006.000 4. 642 . 000 7.498 . 000 4. 022 . 000 9 . 049 . 000 4.696.000 7.498. 000 3.958.000 7.498. 000 4.097.000 8 . 942 . 000 4.385.000 1 6 .472. 000 8 . 7 1 7 . 000 1 0 . 439 . 000 5.936.000 8 . 450. 000 4.824.000 1 6 . 782. 000 9.263.000 7. 370. 000 3.936.000 1 0 .375.000 5.337.000 1 3 . 4 1 3 . 000 6 . 482. 000 1 0 . 1 93 . 000 5.3 1 6 . 000 8 . 6 53 . 000 4 . 546 . 000 7. 1 45.000 3.936.000 8 . 707. 000 4 . 599. 000 7. 594. 000 4.396 . 000 7. 1 45.000 3 . 8 6 1 . 000 7. 1 45.000 4. 000. 000 8 . 600.000 4.300.000 1 6 . 1 1 9 .000 8 . 62 1 . 000 2 . 899 . 000 1 .893 . 000 1 8 . 622 . 000 9 . 477. 000 1 8 . 7 1 8 . 000 1 0 . 1 08 . 000 1 6 .333.000 8 . 664. 000 1 6 . 729.000 8.995.000 NO ASAL (1) ( ^2 ) 1 3 9 . BIAK 1 40. BIAK 1 4 1 . BIAK 1 42 . BIAK 1 43 . BIAK 1 44. BIAK 1 45. BIAK 1 4 6 . BIAK 1 47. BIAK 1 48 . BIAK 1 49 . DENPASAR 1 50 . DENPASAR 1 5 1 . DENPASAR 1 52 . DENPASAR 1 53 . DENPASAR 1 54. DENPASAR 1 55 . DENPASAR 1 56 . DENPASAR 1 57 . DENPASAR 1 58 . DENPASAR 1 59 . DENPASAR 1 60. DENPASAR 1 6 1 . JAMB I 1 62 . JAMB I 1 63 . JAMB I 1 64. JAMB I 1 65 . JAMB I 1 66 . JAMB I 1 67 . JAMBI 1 68 . JAMB I 1 69 . JAMB I 1 70 . JAMB I 1 7 1 . JAMB I 1 72 . JAMB I 1 73 . JAMB I 1 74. JAYAPURA 1 75. JAYAPURA 1 7 6 . J A Y A PU RA 1 77. JAYAPURA 1 78 . JAYAPURA 1 79 . JAYAPURA 1 80 . JAYAPURA 1 8 1 . JAYAPURA 1 82 . JOGJAKARTA 1 83 . JOGJAKARTA 1 84. JOGJAKARTA 1 85. JOGJAKARTA MENTER I KEUANGAN REP U B L I K I N DONES IA - 23 - KOTA TUJUAN ( ^3 \ JAYAPURA JOGJAKARTA MAN AD O ME DAN PADANG PALEMBANG PEKANBARU PONTIANAK SURABAYA TIMIKA JAYAPURA KUPANG MAKASSAR MAN ADO MATARAM ME DAN PADANG PALANGKARAYA PALEMBANG PEKANBARU PONTIANAK TIMIKA BALIKPAPAN BANJARMASIN DENPASAR JOGJAKARTA KUPANG MAKASSAR MALANG MAN AD O PALANGKARAYA PONTIANAK SEMARANG SOLO SURABAYA JOGJAKARTA MAN ADO ME DAN PADANG PALEMBANG PEKANBARU PONTIANAK TIMIKA DENPASAR MAKASSAR MAN AD O ME DAN (dalam rupiah) SATUAN BIAYA TIKET BISNIS EKONOMI (4) 15\ 3 . 6 1 5 . 000 2 . 32 1 . 000 1 5 . 648 . 000 8 . 1 08 . 000 1 1 . 734. 000 6 . 353 .000 1 8 . 472. 000 9 . 498. 000 1 6 . 932 . 000 8 . 728. 000 1 5. 424. 000 8 . 1 08 . 000 1 6 .985. 000 8 . 78 1 . 000 1 5. 873. 000 8 . 568. 000 1 2 . 782.000 7 . 08 1 . 000 5.808.000 3 . 444.000 1 1 . 680 . 000 6 . 845. 000 5 . 09 1 . 000 2 . 952 . 000 4. 1 82 . 000 2 . 63 1 . 000 7.85 1 . 000 4.278. 000 1 . 840. 000 1 . 390. 000 1 0 . 589. 000 5. 658. 000 9 . 049 . 000 4.888.000 8 . 557. 000 4. 909. 000 7 . 54 1 . 000 4.278 . 000 9 . 092. 000 4.942 . 000 7.990.000 4. 738 . 000 1 0 . 1 40 . 000 6 . 1 29 . 000 7 . 733. 000 4.407. 000 7. 690. 000 4. 1 93 . 000 7 . 733 . 000 4.439. 000 6 . 6 53 . 000 3 . 55 1 . 000 1 1 .434. 000 6 . 075.000 --- -- 9 . 659 . 000 4.952 . 000 7 . 09 1 . 000 3.925.000 1 2 . 707. 000 6 . 097. 000 7.444.000 4. 1 93 . 000 6 . 878.000 4. 0 1 1 . 000 6 . 428. 000 3 . 476 . 000 6 . 428.000 3 . 6 1 5 . 000 7.883. 000 3 . 9 1 5. 000 1 3 .274. 000 7. 690.000 22. 1 09 . 000 1 1 .263. 000 1 8 . 932. 000 1 0 . 097.000 1 7.38 1 . 000 9 . 327.000 1 5.873 . 000 8 . 7 1 7. 000 1 7.43 5 . 000 9 .380. 000 1 6 .322 . 000 9 . 1 77 . 000 3 . 6 1 5. 000 2 . 289. 000 3 . 8 6 1 . 000 2 . 48 1 . 000 6 . 52 5 . 000 3 . 893 . 000 1 0 . 53 6 . 000 5. 722 . 000 9 . 5 1 9 . 000 4. 770. 000 NO ASAL (1) (2) 1 8 6 . JOGJAKARTA 1 87. JOGJAKARTA 1 88 . JOGJAKARTA 1 89 . JOGJAKARTA 190. JOGJAKARTA 1 9 1 . KENDARI 1 9 2. KENDARI 1 9 3 . KENDARI 1 94. KENDARI 1 9 5 . KENDARI 1 9 6 . KENDARI 197. KENDARI 198. KENDARI 1 9 9. KENDARI 200. KENDARI 20 1 . KENDARI 202. KUPANG 203. KUPANG 204. KUPANG 205. KUPANG 206. KUPANG 207. MAKASSAR 208. MAKASSAR 209. MAKASSAR 2 1 0. MAKASSAR 2 1 1 . MAKASSAR 2 1 2 . MALANG 2 1 3 . MALANG 2 1 4. MALANG 2 1 5. MALANG 2 1 6 . MALANG 2 1 7. MALANG 2 1 8 . MALANG 2 1 9 . MALANG 220. MALANG 22 1 . MALANG 222. MALANG 223 . MALANG 224. MALANG -- 225. MALANG 226. MALANG 227. MAN ADO 228. MAN ADO 229. MAN AD O 230. MAN AD O 23 1 . MAN ADO MENTER I KEUANGAN REP U B L I K I N DONES IA - 24 - KOTA TUJUAN (3) PADANG PALEMBANG PEKANBARU PONTIANAK TIMIKA BANDA ACEH BAT AM DENPASAR JOGJAKARTA PADANG PALEMBANG PEKANBARU SEMARANG SOLO SURABAYA TIMIKA JAYAPURA JOGJAKARTA MAKASSAR MAN ADO SURABAYA BIAK JAYAPURA KENDARI MAN ADO TIMIKA BALIKPAPAN BANDA ACEH BANJARMASIN BAT AM BIAK JAYAPURA KENDARI MAKASSAR MAN ADO ME DAN PADANG PALANGKARAYA PALEMBANG PEKANBARU TIMIKA ME DAN PADANG PALEMBANG PEKANBARU PONTIANAK (dalam rupiah) SATUAN BIAYA TIKET BISNIS EKONOMI ( ^4 ) ( ^5 ) 7.969.000 4.000.000 6 . 460.000 3 . 380.000 8 . 022.000 4.054.000 6 . 9 1 0 . 000 3 . 840 . 000 1 1 . 894. 000 7.038.000 1 2 . 9 53 . 000 7. 1 02 . 000 1 0 . 568. 000 5 . 6 58 . 000 5.455.000 3 .273.000 8 . 1 29 . 000 4.70 6 . 000 1 1 . 1 67.000 5 .722.000 9 . 6 59. 000 5. 1 02 . 000 1 1 .220.000 5 .776 . 000 9 . 6 59 . 000 5 .027. 000 9 . 6 59 . 000 5. 1 6 6. 000 1 1 . 1 03 . 000 5.46 6 . 000 1 8 . 633.000 9 . 798.000 14.386.000 8. 1 08 . 000 7.348. 000 4. 1 82 . 000 7. 637. 000 4.3 1 1 . 000 1 1 . 648. 000 6 . 1 40 . 000 6 . 749 . 000 3 . 722. 000 8 . 493. 000 4.93 1 . 000 1 0 . 1 93 . 000 5 . 787. 000 2 . 663.000 1 . 78 6 . 000 5.327.000 2.909 . 000 1 1 . 72 3 . 000 6 . 567. 000 1 0 . 1 08 . 000 5. 1 34. 000 1 0 . 204.000 5.765.000 8 . 1 6 1 . 000 4.407. 000 7.8 1 9 . 000 4. 3 1 1 . 000 1 6 . 087. 000 8 . 482.000 1 6 . 53 6 . 000 9 . 092.000 1 0 . 322.000 5.487.000 1 0 . 1 29 . 000 5. 1 6 6 . 000 1 3 . 1 67.000 6 .3 1 1 . 000 9 . 9 58 . 000 5 . 1 45. 000 8 . 4 1 8 . 000 4.385.000 7. 9 1 5 . 000 4.407.000 6 . 899 . 000 3 . 765.000 8.46 1 . 000 4.439.000 1 5. 873 . 000 8 . 46 1 . 000 1 5 . 552. 000 7.3 1 6 . 000 14.0 1 2 . 000 6 . 546. 000 1 2 . 504. 000 5.926.000 -- 14.055.000 6. 599. 000 1 2 . 9 53 . 000 6.396.000 NO ASAL ( ^1 ) ( ^2 ) 232. MAN ADO 233 . MAN ADO 234. MAN ADO 235. MAN ADO 2 3 6. MATARAM 237. MATARAM 238. MATARAM 239. MATARAM 240. MATARAM 24 1 . MATARAM 242. MATARAM 243. MATARAM 244. MATARAM 245. MATARAM 246 . MATARAM 247. MATARAM 248. MATARAM 249 . MATARAM 250. MATARAM 25 1 . ME DAN 252. ME DAN 253. ME DAN 2 54. ME DAN 255. ME DAN 256. ME DAN 257. ME DAN 258. PADANG 259. PADANG 260. PADANG 2 6 1 . PADANG 262. PADANG 263. PADANG 264. PALANGKARAYA 265. PALANGKARAYA 2 6 6 . PALANGKARAYA 267. PALANGKARAYA 268. PALANGI{.ARA Y A 269. PALANG l{.ARA Y A -- 27 0 . PALANGI{.ARA Y A 27 1 . PALANGI{.ARA Y A 272. PALAN Gl{.ARA Y A 273 . PALANGI{.ARA Y A 274. PALANGI{.ARA Y A 275. PALEMBANG 276. PALEMBANG 277. PALEMBANG MENTER I KEUANGAN REP U BL I K I N DONES IA - 25 - KOTA TUJUAN ( ^3 ) SEMARANG SOLO SURABAYA ··ӳ TIMIKA BALIKPAPAN BANDA ACEH BANJARMASIN BAT AM BIAK JAYAPURA JOGJAKARTA MAK.ASSAR MAN AD O ME DAN PADANG PALEMBANG PEKANBARU PONTIANAK SURABAYA BANDA ACEH MAKASSAR PONTIANAK SEMARANG SOLO SURABAYA TIMIKA MAKASSAR PONTIANAK SEMARANG SOLO SURABAYA TIMII{.A BANDA ACEH BAT AM JO GJAKARTA MATARAM ME DAN PADANG PALEMBANG PEI{.ANBARU SEMARANG SOLO SURABAYA BALIKPAPAN MAI{.ASSAR PONTIANAK (dalam rupiah) SATUAN BIAYA TIKET BISNIS EKONOMI 1 4 ) (5) 1 2 . 504.000 5.85 1 . 000 1 2 . 504. 000 5.990. 000 9 . 937.000 5.262 . 000 1 6 . 1 83 . 000 8 . 995. 000 1 0 .750 . 000 5. 6 1 5 . 000 1 0 . 846.000 6.246 . 000 8 . 803 . 000 4. 888 . 000 8.46 1 . 000 4.803 . 000 1 1 . 552 . 000 6 . 546 . 000 1 3 . 092.000 7.327.000 • 4.4 1 7 .000 2 . 78 1 . 000 4.7 1 7. 000 2 . 909.000 8 . 7 1 7 . 000 4. 738 . 000 1 0 . 600.000 5. 637. 000 9.060.000 4.867.000 7 . 5 5 1 . 000 4.246 . 000 9 . 102 . 000 4.909 . 000 8 . 00 1 . 000 4.706. 000 3 . 829 . 000 2 . 32 1 . 000 3 .466 . 000 2 . 1 93 .000 1 2 . 5 1 4. 000 6 . 1 72 . 000 9 . 733.000 5.230. 000 9 . 284.000 4.696.000 9 . 284. 000 4.835.000 1 0 . 739 . 000 5. 1 34.000 1 8 . 258. 000 9 . 455.000 1 0. 974.000 5.402 . 000 8 . 1 93 . 000 4.460.000 7. 744. 000 3 . 925.000 7.744.000 4.065.000 9 . 1 99 . 000 4.364.000 1 6 . 7 1 8 . 000 8 . 685. 000 1 0 . 546. 000 6 . 022.000 8 . 1 6 1 . 000 4 .578. 000 7.477.000 4.022 . 000 8 . 557. 000 4. 888. 000 1 0 . 300.000 5.4 1 2 . 000 8 . 760. 000 4. 642 . 000 7 . 2 52 . 000 4.022 . 000 8 . 803. 000 4.696.000 7.252 . 000 3 . 947. 000 - 7.252 . 000 4.08 6 . 000 8 . 69 6 . 000 4.385. 000 9 . 894.000 5.220. 000 9.466.000 4.78 1 . 000 6 . 685. 000 3 . 840.000 NO ASAL (1) ( ^2 ) 278. PALEMBANG 279 . PALEMBANG 280. PALEMBANG 28 1 . PALEMBANG 282 . PALU 283 . PALU 284. PALU 285. PALU 286. PALU 287. PANGKAL PINANG 288. PANGKAL PINANG 289 . PANGKAL PINANG 290. PANGKAL PINANG 29 1 . PANGKAL PINANG 292 . PANGKAL PINANG 293. PANGKAL PINANG 294. PANGKAL PINANG 295. PANGKAL PINANG 296. PANGKAL PINANG 297. PANGKAL PINANG 298. PANGKAL PINANG 299. PANGKAL PINANG 300. PANGKAL PINANG 30 1 . PEKANBARU 302. PEKANBARU 303. PEKANBARU 304. PEKANBARU 305. PEKANBARU 306. PONT JANAK 307. PONTIANAK 308. PONTIANAK 309 . PONTIANAK 3 1 0 . PONTIANAK 3 1 1 . SEMARANG 3 1 2 . SOLO 3 1 3 . SURABAYA 3 1 4. SURABAYA 3 1 5. SURABAYA 3 1 6 . SURABAYA MENTER I KEUANGAN REPU BL I K I N DONES IA - 26 - KOTA TUJUAN ( ^3 ) SEMARANG SOLO SURABAYA TIMIKA MAKASSAR PO SO SORONG SURABAYA TOLl-TOLl BALIKPAPAN BANJARMASIN BAT AM JO GJAKARTA MAKASSAR MAN ADO ME DAN PADANG PALEMBANG PEKANBARU PONTIANAK SEMARANG SOLO SURABAYA PONTIANAK SEMARANG SOLO SURABAYA TIMIKA MAKASSAR SEMARANG SOLO SURABAYA TIMIKA MAKASSAR MAKASSAR DENPASAR JAYAPURA MAKASSAR TIMIKA (dalam rupiah) SATUAN BIAYA TIKET BISNIS EKONOMI ( ^4 ) ( ^5 ) 6 .236 . 000 3 . 305.000 6 . 2 3 6 . 000 3 . 444. 000 7 . 690.000 3 . 744. 000 1 5. 2 1 0 . 000 8.076.000 4.268. 000 2 . 578. 000 1 .957.000 1 .423.000 6 . 878.000 3 . 883.000 6 . 878.000 3 . 883 . 000 2 . 94 1 . 000 1 .9 1 5 . 000 9 . 038 . 000 4 . 63 1 . 000 7.09 1 . 000 3 . 9 1 5 . 000 6 . 739. 000 3 . 8 1 8 . 000 6 . 06 5 . 000 3.262.000 9 . 060. 000 4.663.000 1 2 . 097.000 5.808.000 8. 888. 000 4. 653 . 000 7.337. 000 3 .883 . 000 5.829 . 000 3.262.000 7.39 1 . 000 3.936.000 6 . 279 . 000 3 . 733.000 5 . 829.000 3 . 1 87.000 5 . 829 . 000 3.326.000 ӯ·- ^· - 7. 284. 000 3 . 62 6 . 000 8 . 247. 000 4. 5 1 4.000 7.797.000 3 . 979 . 000 7 . 797. 000 4. 1 1 8 . 000 9 . 24 1 . 000 4.407. 000 1 6 .77 1 . 000 8 . 739.000 9 . 9 1 5 . 000 5.24 1 . 000 6 . 685. 000 3 . 765.000 6 . 685. 000 3.904.000 8 . 1 40 . 000 4.204.000 1 5. 6 59 . 000 8 . 535.000 9.466.000 4.706 . 000 9.466.000 4. 845. 000 3 . 1 9 8 . 000 1 . 979. 000 1 2 . 675.000 7.23 1 .000 5.936. 000 3 . 433.000 1 1 .295.000 6 . 589. 000 MENTE R I KEUANGAN REP U BLIK I N DONES IA - 27 - 19 SATUAN BIAYA TIKET PESAWAT PERJALANAN DINAS LUAR NEGERI (PP) (dalam US$) BIAYA TAHUN 20 16 NO. KOTA (1) (2) AMERIKA UTARA 1 . <; : hica,g<?_ 2. Houston - - - -- - · · ---· - · · · 3. l,-9S J\JJ. ^geles .
New York 5. Ottawa 6. San Fran. sis co 7. Toronto 8. Vancouver . - Ӳ- - - - - 9. yv ashington EKSEKUTIF (3) - ^- -- ^· ·· · - 1_2,_!33 . . ...... - · - - · -- -- --· ^1 A ^,6 B?. 1 1 ,4 1 1 15, 1 0 1 12,266 13,438 1 1 ,750..... 1(),902 15, 150 AMERIKA SELATAN 10. Bogota 1 1 . Brazilia 12. Boenos Aires 13. Caracas 14. Paramaribo ...... .
Santiago d e Chile ....-- - ··· . --- - · 16. Quito 17. Lima --- ӱ - ....^ .
. 18,399 16,393 23,000 23, 128 15,0 18 2 1 ,874 17,325 8,263 AMERIKA TENGAH 18. Mexico City 19. Havana 20. Panama City .. - - -- ---- 2 1 . 22. 23. 24. 25. 26 . 27. 28.
. 29 . 30. 3 1 . 32. EROPA BARAT Vienna Brussels Marseilles Paris Berlin Bern Bonn Hamburg Geneva Amsterdam Den Haag Frankfurt · · - . . - · · ·· - · · - ·· · - ^·· ·· · · · · ··· · ·· · · · · - 1 1 ,822 14,702 15,532 10,520 10,7 13 10,850 10,724 10,277 1 1 ,478 . 10,945 9,938 8, 166 8,2 16 8,2 16 7,660 BISNIS (4) 6,89 1 . .. .. . . 6,4C7 5,925 6 , 179 6,924 7, 138 8,564 7,458 8,652 9,426 1 1 ,5 18 1 5,300 1 3,837 9,494 15,539 16,269 8,263 7,83 1 1 1 ,223 9,306 4, 177 5,994 5,074 6,085 6, 126 6,778 5,023 7,639 5,370 5,898 5,898 4,037 EKONOMI (5) -â-'.IJ.ã . --ä'.?.9.1_ 3,D42 3,83E 4,08F 2,987 3,20 1 ...... - _} ,'!-7.7 G,930 7,7 13 5,97.() 10,400.... . .. - - ---· - ·· 6,825 . . 7,35_3 8,90() _ 12,J27 5,()38 3,966 _7,3_X-Y 6, 195 3,H57 3,87.0 . . 3,54_1 3,33 1 3,959 4,355 3,753 . I, lOS. 4,3_33 },33 1 3,33 1 1 ,065 NO. KOTA (1) (2) EROPA UTARA 33. Copenhagen 34. Helsinski 35. Stockholm 36. London 37. Oslo EROPA SELATAN 38. Sarajevo 39. Zagreb 40. Athens 4 1 . Lisbon 42. Madrid 43. Rome 44. Beograd 45. Vatican EROPA TIMUR 46. Bratislava --- 47. Bucharest 48. Kiev 49. Moscow 50. Praque 5 1 . Sofia 52. Warsawa 53. Budapest AFRIKA BARAT 54. , Daldcar 55. Ahuja AFRIKA TIMUR 56. Addis Ababa 57. Nairobi 58. An tananarive --- 59. Dar Es Salaam 60. Harare AFRIKA SELATAN 6 1 . Windhoek 62. Cape Town 63. Johannes burg 64. Maputo --- 6 5 . Pretoria MENTER I KEUANGAN REP U B L I K I N DONES IA - 28 - (dalam US$) BIAYA TAHUN 20 16 EKSEKUTIF BISNIS EKONOMI (3) (4) (5) 9,696 4,920 3,730 10,023 5,93 1 3,68 1 9,9 17 5,506 3,433 1 1 ,4 10 7,293 4, 153 9,856 4,773 4,049 1 1 ,778 7, 129 6,033 16,974 10, 177 5, 182 14,9 1 1 9,256 8,04 1 9,309 4,746 3,383 10,393 4,767 3,63 1 10,000 6,000 4,500 10,3 18 6,404 5,564 10,000 6,000 4,500 7, 125 4,423 3,842 8,839 4,982 4, 1 13 10,860 6,029 5, 193 9,537 7,206 5, 143 19,3 1 8 1 1 ,848 6,748 7,473 6,346 3,6 12 10,777 5,052 3,447 8,839 5,979 2 , 1 87 12,900 9,848 8,555 10,28 1 7,848 6,8 18 7,700 5,808 5,552 8,732 7,966 6,08 1 1 1 ,779 9,000 8,282 8,947 6,599 5,733 1 1 , 1 18 10,600 5,747 1 8,24 1 1 1 ,774 7,5 10 17, 182 9,703 8,429 12,943 9,802 7,2 16 1 1 ,255 8,524 6,275 12,943 9,802 7,2 16 - NO. KOTA (1) (2) AFRIKA UTARA 66. Algiers 67. Cairo 68. Khartoum 69. Rabbat 70. Tripoli 7 1 . Tunisia ASIA BARAT 72. Manama 73 . Baghdad 74. Amman 75. Kuwait 76. Beirut 77. Doha 78. Damascus 79. Ankara 80. Abu Dhabi 8 1 . Sanaa 82. Jeddah 83. Muscat 84. Riyadh 85. Istanbul 86. Dubai ASIA TENGAH 87. Tashkent 88. Astana 89. Suva ASIA TIMUR 90. Beijing 9 1 . Hongkong 92. Osalm 93. Tokyo 94. Pyongyang 9 5 . Seoul 96. _Shanghai 97. Guangzhou MENTER I KEUANGAN REP U BLI K I N DONES IA - 29 - (dalam US$) BIAYA TAHUN 20 16 EKSEKUTIF BISNIS EKONOMI (3) (4) (5) 9,536 6,593 5,7 10 8,683 7, 122 4,483 5,904 4,507 3,9 15 8,9 10 7,72 1 5,665 6,55 1 5,706 4,975 9,4 19 5,0 1 8 3,6 19 6,573 6, 1 54 4,827 5,433 4, 148 3,545 7,56 1 6,43 1 3,545 6,77 1 4,273 3, 1 10 7,703 4,490 3,730 5,2 16 3,639 2,745 8,684 5,390 3,325 9,449 6,643 3,58 1 5,283 4,976 2,727 8,205 5,878 3,679 6,446 3,785 3,32 1 6,469 5, 1 56 3,727 5,359 3,5 1 0 3,000 1 1 ,06 1 4,435 2,467 4,207 4,207 1 ,920 13,6 1 7 8,453 7,343 13,66 1 12,089 8,962 4,244 4,244 4,244 - ------ 2,595 2, 140 1 ,623 3,028 2,633 1 ,257 3,204 2,686 1 ,864 3,734 2,675 1 ,835 4,040 2,220 1 ,660 3,233 2,966 1 ,737 3 , 1 2 2 2 , 7 4 9 1 , 304 - 3 , 1 22 2,749 1 ,304 NO. KOTA (1) (2) ASIA SELATAN 98. Kaboul 99. Teheran 100. Colombo 1 0 1 . Dhaka 102. Islamabad 103. Karachi 104. New Delhi 105. Mumbai ASIA TENGGARA 106. Bru1dar Seri Bagawru1 107. Bangkok 108. Davao City 109. Hanoi 1 10. Ho Chi Minh 1 1 1 . J ohor Bal1ru 1 12. Kota Kinabalu 1 13. Kuala Lumpur 1 14. Mru1ila 1 15. Penang 1 16. Phnom Penh 1 17. Singapore 1 18. Vientiane 1 19. Yangon 120. Tawau 12 1 . Songkhla ASIA PASIFIK 122. Canberra 123. Darwin 124. Melbourne 125. Noumea 126. Perth 127. Port Moresby 128. Sydney 129. Vanimo 130. Wellington 1 3 1 . Baku '• MENTER I KEUANGAN REP U B L I K I N DONES IA - 30 - (dalam US$) BIAYA TAHUN 20 16 EKSEKUTIF BISNIS EKONOMI (3) (4) (5) 6,307 3,905 3,208 5,800 4,600 3,200 3, 1 19 2,562 1 ,628 3,063 2,4 1 7 1 ,092 5,482 3,333 2,50 1 4,226 3,633 2,32 1 3,500 2,500 1 ,500 3,063 2,4 1 7 1 ,092 1 ,628 1 , 147 9 19 2,344 1 , 155 823 2,757 2,558 1 ,64 1 1 ,833 1 ,833 1 ,656 1 ,677 1 ,503 1 ,235 1 , 195 9 1 1 525 1 ,894 1 ,427 694 1 , 158 659 585 2,453 1 ,6 14 1 , 150 9 1 8 766 545 2,202 1 ,981 1 ,627 99 1 673 403 2.274 2.025 1.420 1 ,468 1 ,2 12 1 ,053 1 ,894 1 ,427 694 2,344 1 , 155 823 6,304 6,304 2,500 6,689 4,900 3,964 4,886 3,814 2,858 6,940 5,9 17 1 ,9 16 5,77 1 1 ,80 1 1 ,525 8,252 17,090 13,835 4,629 4,237 2,557 3,3 18 2,740 2,380 1 1 ,750 9,830 4, 120 1 3 ,234 8,556 2,28 1 MENTERI KEUANGAN REP U BL I K I N DONES IA - 3 1 - 20 SATUAN BIAYA PENYELENGGARAAN PERWAKILAN Rl Dl LUAR NEGERI 20. 1 ATK, Langganan Koran/Majalah, Lampu, Pengamanan Sendiri, Kantong Diplomatik, NO (1) 1.
... .....
....
. . · · - · · · · · - · · ATK (OT) (3) 1 ,297 1,220 1 ,295 . . ^1 ,29 ^2 1 ,299 1 ,307 1 ,369 1 ,307 1 ,307 1 ,333 . .. 1 , 185 1 ,478 1 ,500 1 , 1 75 1 , 1 70 1 , 1 72 1 ,0 01 -- .. 1 ,099 1 ,220 1 ,220 1 ,038 1 ,985 - · · 1 ,947 2,022 2,022 ·- - 1 ,9 1 0 2,509 1 ,9 1 0 1,929 2,509 1 ,9 1 0 - · 1 ,9 1 0 1 ,9 1 0 - · Langganan Koran/ Majalah (Ekslempa.rj Bulan) (4) - - - - - -- - . · · - - - · 38 37 38 4 1 40 42 40 42 42 42 · ·· - 38 47 40 56 .. ... ... . .. - - - - · 33 37 32 - - - - - - · · · · · · · - 35 - · · - - - - - - - - · · - ----- - - - -- . 35 35 33 264 259 269 269 - - - - - ··- --·-···· --· · · 254 334 254 257 334 254 . . 254 254 Lampu (Buah) (5) 18 18 -· 1 8 20 19 20 19 20 20 18 . . . 1 8 22 15 27 16 1 8 15 1 7 17 16 16 22 22 23 23 · · · - . 22 33 22 22 28 22 22 22 Pengamanan - - · - - Sendiri (OB) (6) 2,574 2,52 1 3,488 . . 2,3 QĈ 2,308 1 ,963 2, 1 89 3,39 1 1 ,553 2,978 1 , 150 2, 195 2,200 2,403 1 , 150 1 ,777 1 , 150 1 ,262 2,657 1 ,69 1 2,836 2,776 .... 3, 120 2,373 3,076 2,799 5,368 2,690 2,7 1 7 2,776 2,690 2,799 2,690 - Kantong Diplomatik (kg) (7) 96 94 96 1 0 1 · ··· -· - · . ·· ·- -- - ^- 1 0 1 106 1 0 1 106 106 99 . . - · .
....
45 . 46. ····- - -- - - · 47. -·· · 48 . 49. 50. -- - 5 1 . 52.
• .
K 0 T A (2) EROPA UTARA Copenhagen Helsinski Stockholm .... . . London Oslo - - -- - - EROPA SELATAN Sarajevo Zagreb ..... Athens Lisa bon Madrid ..... -...- Rome Beograd Vatican EROPA TIMUR Bratislava --·- · - Bucharest Kiev Moscow Praque Sofia Warsaw Budapest AFRIKA BARAT Dald{ar Abuja . - - ··· · - - · · AFRIKA TIMUR Addis Ababa Nairobi An tananarive Dar Es Salaam Harare · · • ·· · · · - - · · - AFRIKA SELATAN Windhoek Cape Town Johannesburg Maputo Pretoria . . . - . - .
...
. ---- 94. 95. 96. 97. 98. ·--.... K 0 T A - · - - - - - .. . ·· · · · · - - - - (2) AFRIKA UTARA Algiers Cairo · - · · · · · - - · · · · Khartoum Rabbat Tripoli Tunisia ASIA BARAT .... - · · - - - - - .. - - - - - ^- Manama Baghdad Amman Kuwait Beirut Doha ·· · · · · · - · Damascus Ankara Abu Dhabi Sana' a Jeddah Muscat Riyadh Istanbul Dubai - - - - · ---- . . ····· · ·-··· ASIA TENGAH Tashkent As tan a Balm . . . -------- - - - - -- -- ASIA TIMUR Beijing Hongkong Osalm Tokyo Pyongyang Seoul Shru1ghai Guangzhou . . ......
........
........ - · · ··· . .. .
. - · - · - - · ·· · - - .
. . -- - · · - · ··--- · · · · . - - --..... .. - - ... . MENTER I KEUANGAN REP U BL I K I N DONES IA ATK (OT) (3) 1 ,220 1 ,2 9. 9 1 ,220 1 ,220 1 ,220 1 ,299 1 ,202 1 ,220 1 , 170 1 , 170 1 ,220 1 , 120 1 ,220 1 ,220 1 , 170 1 , 170 1 ,220 1 , 170 1 ,220 1 ,220 1 , 170 1 ,220 1 ,220 1 ,220 1 ,220 1 ,270 1 ,270 1 ,270 1 ,220 1 ,270 1 ,220 1 ,220 - 33 - Langganan Koran/ Majalah (Ekslemparj Bulan) (4) 140 157 1 5 1 138 132 130 - -- - - - - -- · - · · · - - - - - -- --- · - ·- -- - - - - . - - - - - -· - - - - · ^-....
. - - · - - ·· - · . - ^--- ^- ^- ----·- · . · - · · . - - - · -· - - · . . ... -· . .
....... _ _ 423 42 1 385 363 399 385 38 1 399 408 372 376 394 - - 376 399 408 38 1 4 1 2 439 346 346 379 379 365 36 1 346 346 Lampu (Buah) (5) 6 7 7 6 6 6 5 5 5 5 5 5 5 5 5 . . . 5 5 6 7 5 5 5 5 6 - - - - - 6 6 6 6 6 6 6 6 Pengamanan Sendiri (OB) (6) 1 , 8 1 5 1 ,658 1 ,449 1 ,557 2 , 1 5 1 1 ,2 1 2 1 ,278 4,300 928 1 ,469 1 ,574 1 , 5 1 5 1 ,575 2 , 547 1 ,250 1 ,464 1 ,534 1 ,469 1 , 1 73 2,547 1 ,250 2,244 1 , 1 50 1 ,035 2,233 2 , 1 67 - 2 ,055 3 ,450 1 ,324 2,524 2,233 2,233 Kantong Diplomatik (kg) (7) 139 155 1 50 137 13 1 - - 129 ..... . . -· · - · · ·- - - . . . -·· - ·-· ···· ··· - · · · - 194 1 94 177 1 67 183 177 175 183 187 ..... . 1 7 1 173 1 8 1 173 183 1 87 2 . 244 1 . 1 50 1 .035 47 47 . . . 5 1 5 1 49 49 47 47 (dalam US$) Jamuan (OH) (8) - - 40 39 ···· - · · 40 40 40 - - - . -..., _ _ __ -- - ------ - · 40 . - - - - - 52 5 1 47 --- ·........ . 44 48 47.... · · · · · · · · · - · · 46 48 49 · · · - . . -- -- - - -.... . 45 46 50 - - --- - --· -··· · - · ·- 46 48 49 · · · · - - · -.... . . - - - - ...._ __ __ _ _ _ · · · · - - 46 · - ····- · 46 46 44 45 48 48 47 46 44 44 NO (1) ·- - - . .
1 0 1 . K 0 T A (2) ASIA SELATAN · · · · - · · Kaboul Teheran Colombo - - - - - - - - --· . . - - - ----- ---Ӱ- - --.... . .. - - . .
. .. . . 1 1 8. 1 1 9 . 1 2 0 . - - - - - 12 1 . 122. 123. -- -- - · 124. -- - - - - - 125. 126. 127. - -- - - - - 128.
1 ^29.
1 3 1 . 132. - - - - 133. 134.
. . Dhalm Islamabad Karachi - - - - - - - - - - - - - - - - New Delhi Mumbai - - - - - - ^. ... . ASIA TENGGARA Bandar Seri Bagawan Bangkok ··· ·- - - ·· . Davao City Hanoi Ho Chi Minh · ^· · ^- - · Johor Bahru Kota Kinabalu Ku<tla Lumpur Manila Penang Phnom Penh Singapore Vientiane Yangon Songkhla Kuching Tawau ASIA PASIFIK Canberra Darwin Melbourne Noumea . . . Perth Port Morsby . · - Sydney Vanimo Wellington Suva Dilli .....
. - - -- - - · . .
. .
.
..... . . - .
...... . .....
.
. . MENTER I KEUANGAN REP U BL I K I N DONES IA ATK (OT) (3) 1 , 120 1 ,640 1 , 170 · ·· ·- 1 , 170 1 ,220 1 ,220 1 , 170 1 , 170 1 , 170 1 , 170 - - 1 , 170 1 , 170 1 , 170 1 , 170 1 , 170 1 ,2 10 1 , 170 1 , 170 1 , 170 1 , 170 1 ,220 1 ,220 1 , 170 1 , 170 1 , 170 1 ,250 1 ,220 1 ,220 3,520 1 ,220 1 .220 . . . 1 ,220 1 ,220 1 ,220 1 , 134 1 , 1 58 - 34 - Langganan Koran/ Majalah (Ekslempar I Bulan) (4) 50 62 44 . .. ^. ·- 45 45 45 46 46 · - 47 47 47 46 46 . . ^. . . ^. ^. ^ . ^. ^ . . · · · - - · ^- ^· - - . - - - - - - -...- - - - - .......... ~ .. - - - - .
.. 37 37 38 47 37 39 49 47 46 47 37 37 60 52 52 56 · ---- - - - - ----·- . ^. . ^. ^. - 52 · -- · - · · - - · ·- · - -- - . . so 52 50 52 . . · ·- 48 49 ·-·· · -.... - · ·- -- - ^· - Lampu (Bual1) (5) 6 7 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 4 4 5 4 4 5 5 5 5 4 4 29 6 6 6 6 6 ·· ···- - 6 6 - 6 5 5 - Pengamanan ....
.. · · ^· -·· · . . Sencliri (OB) (6) 1 ,945 1 ,850 1 ,495 1 , 553 2 , 1 4 1 1 ,546 2 ,329 2 ,329 1 ,350 1 ,480 982 1 , 179 1 ,265 97 1 2,089 1 ,263 1 ,052 1 , 6 78 2 ,035 2 , 9 1 7 2,362 98 1 1 ,480 1 ,22 1 1 ,22 1 - · 2 , 1 59 2,568 2 ,568 . ^3,248 2 ,568 1 ,64T 3 , 160 642 1 ,840 1 ,7 1 0 1 ,747 · ·· - · Kantong Diplomatik (kg) (7) · ^·-· . · ·· - -...^. . . ^. .. 65 80 57 . . - - - - - 58 58 58 59 59 75 75 - · . 75 73 65 60 60 62 . .• .. - . • . .
^. . - - - - 7 5 60 62 - · 78 75 74 75 60 60 123 123 123 133 --- . - ·... 123 · · ·· ··--- - ^· - -- __ ua. 123 1 1 8 123 1 14 1 1 7 · · · · · ·- ·· · - · · (dalam US$) I Jamuan (OH) (8) ...... . - - - - 89 1 1 0 78 . .. --- - --·--· - - 79 79 79 .. •. ........ 8 1 8 1 · · · · - · · - · - · - · 83 83 . - - - - - -- - ---- -· - ^-- - .
. ^. · ·· -- - ^-- 83 8 1 8 1 . - - - -- 66 66 68 . . - - ·· - ·· ·· · - -- --.. - - 83 66 69 - . - - - - - . ... - 87 83 82 -- - - - - - 83 66 66 . . . · · ·· - - - -· · · 92 · - - ^- - --- - - - ·· · - -· - -- · - - · -·- · · -· 92 92 67 -- . · - - 92 - - -- _ ___ !32 . · ·- -· 92 89 92 86 88 - · - -·-·- - ·· ·- · · ^- MENTER I KEUANGAN 20.2 Pemeliharaan, Pengadaan Inventaris Kantor, Pakaian SopirjSatpam, Sewa Kendaraan, dan Konsumsi Rapat -· NO K 0 T A (1) (2) AMERIKA UTARA 1 . _ ^fhicago · ^- 2 . 3. 4 . 5. 6 . 7 . 8 .
. . - -· ^· -·· 9 . Houston Los Angeles New York Ottawa San Fransisco Toronto Vancouver Washington - · - AMERIKA SELATAN · · · · ·· · 1 0 . 1 1 . 1 2 . 1 3 . 1 4 . 1 5 . Bogota Brazilia Boenos Aires - - . -· . - Caracas Paramaribo - - .. - - - - - · · - · · · - .
..• s_ϣnti<go d_e _ _g]lil": _ __ ·· ^· ·- · ^· - . . 1 6 . Quito 17. Lima -- · · · ··- · · - · - - - - ^- -- - · . ^. . -·····- · · 1 8 . 1 9 . -· ··· - 20. · · · · · - --- 2 1 . 22. 23. · · - - · - ·· · · -· 24. 25. 26. - · ·· · - · · · · 27. 28. 29. · · ·· · · · ------- -- 30. 3 1 . 32. · · · · -...... .
. .
. ···· - 38. 39. 40.
... 4 1 . 42. 43. 44. AMERIKA TENGAH Mexico Ci!; y Havana ...... .. Panama Cit y ERO PA BARAT · - · Vienna Brussels Marseilles Paris Berlin Bern Bonn Hamburg Geneva - . Amsterdam Frankfurt Den Haag . - ··- - - - - - .. · · - · ^- - ·· -- - · · ...................... . . - - ^- ^- ^- ^- ^- ^--......... · - -- .. - ^- -- ERO PA UTARA Copenhagen · · · - · - · ·· .. Helsinski Stockholm London -·- Oslo ERO PA SELATAN Sarajevo Zagreb Athens Lisbon Madrid Rome Beograd . . . · ·· - · · - - - · - - - - - - - - - - - . . .
.... - - -- - . · - 45. Vatican --- Kendaraan din as (Unit/ Tahun\ (3) 8,528 8,353 8,520 8,995 9,408 9,003 9,408 9,408 8,77 1 8,529 10,639 8,500 9,496 7,562 8,44 1 · - · 7,2 1 0 7,9 1 3 - 8,00 1 7,825 7,500 1 3,692 1 3,434 _ 1 w,95 1 1 3,95 1 1 3 , 1 76 24,268 .... 1 3 , 1 76 1 3,308 1 7,309 - · 1 3 , 1 76 1 3 , 1 76 13, 1 76 14,597 13,434 13, 1 76 13,563 16, 147 1 1 ' 1 09 1 7,730 1 2 , 1 42 1 2 ,40 1 1 2,659 14,500 1 2,09 1 13,563 Pemeliharaan Gedung (m ^2 /Tahun) (4) · - . . . · · ·- 82 80 82 82 72 86 72 72 84 63 63 80 80 63 63 63 63 72 72 72 80 72 80 - . 80 72 80 80 73 80 72 72 72 80 72 80 80 80 72 72 7 2 7 2 7 2 85 75 72 Halaman (m ^2 / Tahun) ·· · - (5) 9 9 9 9 · - 9 1 0 9 9 1 3 . .. ^. - - - - - - 9 9 1 5 1 2 9 9 ..... . . · · - - ·- 9 9 - - - ^- ^- -- -- ...... - 9 9 9 · - · · · - · · 9 9 9.... . - - - - - - - ^- ^- ^- - ^- ^- -· · 9 9 18 9 9 9 ---·· 9 9 9 . ^. ^.
. - ^- ^- ^- ^- ^- - 9 ·· · · · · · 9 9 9 9 9 9 9 9 9 20 Pengadaan Inventaris Kantor (OT) (6) . . · - - ·· · · - - - - - - - . . . -· ·· - - · . - · - - . - . - - · 695 681 695 733 767 734 767 767 7 1 5 695 867 1 ,500 775 6 1 6 688 588 645 - ·· - 652 638 609 760 745 774 774 73 1 960 73 1 738 960 73 1 73 1 73 1 8 1 0 745 73 1 753 896 6 1 6 667 674 688 702 1 , 500 - - - · - - - - 9 671 9 753 Pakaian Sopir/ Satpam (Stel) (7) 327 320 326 345 36 1 345 36 1 36 1 336 327 797 500 450 290 324 . . . 276 303 307 300 287 708 695 722 722 682 895 682 689 895 682 682 682 755 695 682 702 835 302 326 330 337 344 500 - --- 329 368 Sewa Kendaraan Sedan (8) 306 300 306 307 29 1 323 29 1 29 1 3 1 5 264 500 500 39 1 250 26 1 · ^· · ^- .• . 223 245 - - - 275 275 232 300 293 304 304 287 43 1 287 290 377 287 287 287 - 3 1 8 293 300 300 352 - - - - ^- 242 262 - 265 275 276 400 286 295 (hari) Mobil Bus Box (9) ( 1 0) 408 4 1 8 400 409 408 4 1 7 409 44 1 350 46 1 43 1 44 1 350 46 1 350 46 1 · - 420 429 .... - . . ·· - - ^- - 350 800 800 466 350 350 350 384 . . . 392 383 350 608 596 6 1 9 6 1 9 585 _ 1_, 1 36 585 59 1 768 . . ^.. 585 585 585 648 596 585 602 7 1 7 493 533 539 550 562 750 537 602 4 1 8 600 600 6 19 370 4 1 3 - - - - - - 353 387 392 383 366 · · · · · · ·· -· · · ·· · 82 1 806 837 · ^·· · ·-· - - -- ^- - - 837 790 _ 1 ,308 _ 790 798 - --· ^1 ,x08 790 790 790 876 · - · 806 79 1 8 1 4 969 · - 667 72 1 729 - ^- 744 760 950 · - 726 8 1 4 dalam US$) Konsumsi Rap at (OK) ( 1 1 ) 47 ..... 46 47 49 5 1 50 5 1 5 1 - - - - - - - ^- 48 · · ·--- - ..• 46 58 70 · ^··· - -- - - ..... - 69 4 1 46 · · · - . . ...... . . · - · 39 43 · - -- -- · - ·-- · · · - · - ^- - - - - 44 43 4 1 - ^--- · .. 5 1 50 52 - ---- - - -- - ------ · · · 52 49 99 . -·- - - -- · -· · · 49 49 64 ---- - - - 49 49 49 . . ... . . - . 54 · -·- - · · · 50 4 9 50 6 0 - - - · · · · - · 4 1 70 45 - - - - - · - - - ^· · - - - 46 47 75 - - -- - - - - 45 50 NO K O T A (1) (2) EROPA TIMUR 46. Bratislava Kenclaraan din as (Unit/ Tahun\ (3) MENTER ! KEUANGAN REP U B L I K I N DONES IA - 36 - Pemeliharaan Geclung (m ^2 /Tahun) (4) Halaman (m2/ Tahun) (5) Pengaclaan lnventaris Kantor (OT) (6) dalam US$ Sewa Kenclaraan Pakaian (hari) Konsumsi Sopir/ 1---.-----1 Rapat Satpam Mobil (OK) (Stel) Sedan Bus Box (7) (8) (9) ( 1 0) ( 1 1 ) 13, 1 7_6 7 2 - - 9 73 1 3 5 8 2 8 7 5 8 5 79 1 - - 4 9 4 7 . Bucharest 1 1 ,496 72 9 638 ' 3 1 2 250 5 1 0 690 43 - _ _ - _ : ʫ - 6 ʬ : ʭ E 5 ʮ -o ʯ e ʰ ʱ c _ o _ w _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ __ _ _ __ _ _ __ - _ - _ _ _ - _ - __ - _ _ -l ---- : 01- l -----; = õ ---- l -----=; 7- l --- I -- -- ʲ ! ʳ 4 ʴ ; -r - -- -6 ʵ 5 3 ʶ : -r-- ʷ ; ʸ : ʹ 2 - 1 - _ - _ -- - - _ ʺ ; = 1 -1 50. Prague 1 1 ,367 72 9 631 309 275 505 682 42 __ 5 ʻ 1 ʼ - -- I ʽ S ʾ o f ʿ i a ˀ -- -- -- -- -- -- -- -- - l- -- ˁ 1 ˂ 1 ˃ ,3 ˄ 6 ˅ 7 ˆ l - -- -- -- - 7 ˇ 2 ˈ l- -- -- ˉ 0 1 __ __ __ 6 ˊ 3 ˋ 1 ˌ 1 _ __ _ 3 ˍ 0 ˎ 9 ˏ µ- -- ː 2 ˑ 7 ˒ 5 1 _ __ ˓ 5 ˔ 0 ˕ 5 1 _ __ ˖ 6 ˗ 8 ˘ 2 1 _ __ __ _ 4 ˙ 2 ˚ 1 52. _ _ Warsaw .. . - .. 1 1 ,367 72 63 1 309 596 800 682 48 53. Budapest--------- l ^---12,4 Ɓ01 1 _ __ __ __ ˛ 7 ˜ 2 ˝ - l -----9 1 _ __ __ ˞ 6 ˟ 88 ˠ 1 --337 1 _ __ ˡ 3 ˢ 8 ˣ 7 1 _ __ _ 5 ˤ 9 ˥ 6 ö1 _ __ __ 7 _ 4 4 _ 1 _ __ __ __ 46 ˦ 1 AFRIKA BARAT . · - · ^· ·- -- - · . ·- · · -...··· ^· · · - - · · - - · - -- ˧ 54 ˨ - ˩ F D ˪ a ˫ k ˬ k ˭ a ˮ r __ __ __ __ __ __ __ __ _ l-- ˯ 1 ˰ 2 ˱ · ˲ 4 ˳ 7 ˴ 9 - l- -- -- -- ˵ 7 = 2 ˶ 1- -- -- ˷ 9 ˸ ^1- -- -- ÷ 3 ˹ 5 ˺ 3 - l -- ˻ 2 ˼ 0 ˽ 4 l----275 ż ˾---63 1 ___ ˿ 1 ̀ 5 ́ 3 1 _ __ __ ̂ 4 ̃ 3_1 55. Abuja 12,234 72 9 349 200 275 650 1 50 42 . . -· ·· - -- -·.......· · - · - - .. , , _ ^. . . - . -- · AFRIKA TIMUR 56. Addis Ababa 57. Nairobi . . ·---· - ·-- -.... ^- -· ^-- 58. Antananarive 59. Dar Es Salaam 60. Harare AFRIKA SELATA N 1 1 , 1 33 13,756 1 1 ' 133 1 0,766 1 1 ,500 72 68 63 72 63 9 9 9 9 9 3 1 5 3 1 5 3 1 5 304 325 259 252 259 2 5 1 268 275 250 250 275 250 7 1 0 663 7 1 0 686 733 · -- - - 7 1 0 663 7 1 0 686 733 8 8 - - - -- - · - · · - · · · 8 8 8 8 6 1 . Windhoek _ _ _ _ _ _ _ _ 1 1 ,745 _ . . 76 _ 9 1 __ 332 273 475 350 · - 844 62. Cape Town 1 3,457 90 1 1 608 3 1 3 343 350 857 1 2 __ 6 ̄ 3 ̅ - ̆ µµ ̇ J ̈ o ̉ h = an ̊ ^n ̋ ^e ̌ s ̍ b ̎ u ̏ r ̐ g __ __ __ __ __ __ _ 1 _ __ ̑ 1 ̒ 2 ̓ ,3 ̔ ^8 ̕ 0 ø ^I ^- -- -- -- ̖ 8 = 2 ùI- -- -- ̗ 1 ̘ 1 1 _ __ __ ̙ s ̚ o ̛ o _ 1 _ __ ̜ 3 ̝ S ̞ 0 1 _ __ ̟ 3 ̠ 1 ̡ 6 _ 1 __ ̢ 2 ̣ 5 ̤ 7 _ 1 _ __ ̥ 7 ̦ 8 ̧ 8 1 _ __ __ ̨ 1 ̩ 1_1 6 'f . _ _ Maputo _ _ _ _ _ . ^ 1 2 ,650 79 1 0 357 295 323 274 _ __ ^806 ___ _ _ _ ? 1 __ ̪ 6 ̫ 5- ̬ F P ̭ r ̮ et = o ̯ n = · ^a ̰ -- -- -- -- -- -- -- - ^l ^·---12·3 ʪ80 1 _ __ __ __ ̱ 8 ̲ 2 ú1 _ __ __ ¶ 1 ̳ 1 ̴ 1 _ __ __ ̵ s ̶ o̷ o_1 _ __ ̸ 3 ̹ 5 ̺ 0 1 _ __ ̻ 3 ̼ 1 ̽ 6 ú1 _ __ _ 2 û 6 ̾ 7 ̿ 1 _ __ ̀ 7 ́ 8 ͂ 8_1 _ __ __ ̓ 1 ̈́ 1 AFRIKA UTARA 66. ͅ ͆ ie ͇ r ͈ s __ __ __ __ __ __ __ __ __ 1 __ __ ͉ 1 ͊ 0 ͋ ,7 ͌ 6 ü 6 1 _ __ __ __ _ 7 ͍ 2 ͎ l ----g l ----304 1 _ __ _ 2 û 5 ͏ 1 ͐ l ----27s 1 _ __ ͑ 3 ü 5 ͒ 0 _ 1 _ __ ͓ 1 ͔ 5 ͕ 0 ͖ 1 _ __ __ __ 4 ͗ 7 1 67. Cairo 1 2 ,09 1 70 10 342 281 278 333 1 57 52 68. Khartoum . . _ _ . ___ ___ __ _ _ - · - - 1 1 ,623 72 9 329 271 275 350 1 5 1 . - - · _ 50 69. Rabbat 1 0,644 72 9 30 1 248 275 350 1 50 46 __ 7 ͘ 0 ͙ . __ 1 1 ͚ T ͛ ri ͜ ·P ͝ ' o = li __ __ __ __ __ __ __ __ __ _ 1 _ __ ¶ 1 ͞ 0 ͟ ·͠ 1 5 ͡ 4 ͢ l -----72 l ----9 1 _ __ __ -= 2 ͣ 87 ͤ l --236 1 _ __ ͥ 2 ͦ 75 _ ͧ l ---350 1 _ __ ¶ 1 ͨ 5 ͩ 0 ͪ1 _ __ __ ͫ 4 _ 4 1 .. 7_1 , _ Tunisia · - ·-·· _ _ 1 0,4 1 8 72 .. . 9 .. . . _ 284 234 275 400 1 50 _ _ so ASIA BARAT _ 7 2 : _ _ Manama _ _ ^ -· -· 1 1 ,560 _ 74 - - - · _ ^9 503 404 227 359 1 54 _ _ _ __ 34 __ 7 ͬ 3 ͭ - ý F B ͮ a ͯ g c h = cl Ͱ a ͱ c1 __ __ __ __ __ __ __ __ _ 1 _ __ Ͳ 1 ͳ 1 ʹ · ͵ s Ͷ oo ͷ l -- -- -- 7 2 ͺ l ----9 1 _ __ __ _ s ͻ o ͼ o ͽ ^1 _ __ ; 4 Ϳ 0 1 _ 1 _ __ 2 7 s_1 _ __ ΄ 3 ΅ s Ά o 1 __ __ _ 1 Sþ o ÿ ^1 _ __ __ · 5 Έ 0 Ή ^1 74. Amman 1 0,522 63 9 458 367 250 300 125 3 1 _ _ ^7 5.... ^ISuwait - · - - ^· 9,9 1 0 7 2 9 431 346 2 7 5 350 _ 1 50 . . _ _ _ 29 76. Beirut 1 ^0,889 72 9 474 380 275 350 1 ^50 32 77. Ί D o = h Ό a _ ___________ 1 __ __ 1 0 ? , Ύ 5 Ώ 2 : : _ 2 l -- -- -- ΐ 5 Α 5 Β õ ----9 1 _ __ __ Γ 4 Δ 5 = 8_1 _ __ Ε 3 = 6 Ζ 7 1 -- -- Η 2 Θ 2- Ι 5_1 _ __ Κ 2 Λ 8 Μ 5_1 _ __ Ν 1 Ξ 0 Ο 0_1 _ __ __ Π 3 Ρ 1 _1 ?: ^il· Damascus _ _ _ __ _ . . 1 0,399 72 .. _ _ . 9 453 363 275 350 1 50 __ _ __ _ _ _3 1 79. Ankara 1 0,889 72 9 474 380 275 350 1 50 32 80. Abu Dhabi 1 1 , 133 72 9 484 389 275 350 1 50 33 8 1 . Sana'a .. _ _ _ _ _ _ __ _ 1 0, 1 54 .. 63 _ _ _ 9 _ _ _ _ 442 354 -- -- -= 2 5 -=- o -I - -- -, 3 Σ 0 : -: 0 : - I- -- -,- 1 2 þ 5 ÿ1 - - __ - ___ - - ____ - _ __ -, 3 : -: 0 Τ 1 _ 8 _ 2 _ . _ Jeclclah 1 0,277 72 9 447 359 275 350 1 50 30 Υ 8 Φ 3 Χ . __ 1 1 Ψ M Ω u Ϊ s Ϋ c ά a έ t __ __ __ __ __ __ __ __ _ 1 _ __ ή 1 ί 0 ΰ ,7 α 6 β 6 γ l - -- -- -- δ 7 ε 2 ùl - -- -- ζ 9 _ 1 _____ 4 _ 6 9 1 _ __ __ 3 7 η 6_1 _ __ __ 2 _ 1 _ 1 _ 1 __ __ 3 Ā 5 Ā o ö1 _ __ θ 1 ι 5κ o_1 _ __ __ λ 32 μ 1 _ _ 8 ^4 ^ : _ J3: iy ^a clh . .. .. . _ _ _ _ _ _ 1 0 ^, 277 - · · · 72 __ _ _ 10 447 448 275 534 _ _ 1 50 _ _ _ __ _30 3 ο 8 :
.: 0 c.. 1 _ __ _: 2 : : ..: 5 : - I- -- --: : - 3 π 50 øI-- ρ 1 ς 5 -': ' 0-I- -- -- ÷ 3 --=- 2-I __ 8 σ 6 τ - ý F D υ l φ t b χ a = i __ __ __ __ __ __ __ __ __ _ 1 _ __ ψ 1 ω 1 ϊ , ϋ 1 ό 33 ύ l -----72 l ----9 l ----484 1 _ __ ώ 3 Ϗ 8 ϐ 9 ϑ l- -- ϒ 2 ϓ 7 ϔ 5 1 __ __ ϕ 35 ϖ 0 ā1-- --= 1 ϗ 5 Ϙ 0 _ 1 _ __ __ ϙ 3 Ϛ 3 _ 1 - - - : : A : : = S -= IA :
.: _: T :
: : E :
: N .:
.. G : : .: AH = -- -- -- -- -- --I -- -- -,-, --,- AI-- -- -- -- - -I-- -- -- -- ! I-- -- -- -- -- 1 -- -- - -- -- -- - - 1 1 -- -- -- -1 ------ 1 ----- - _ 8 _ 7 _ . _ Tashkent 1 0 ,39 .:
, 9 _ 1 _ __ __ __ _ 6 =- 3 ϛ l ----9=-+---4:
.: 53_ 1 _ __ _ 3Ϝ c 6 : : .: 3 :
.. ___ .....= 2 :
: : 5 c: : 0_1 _ __ ϝ 3 : : .: 0 :
.: 0 Ϟ 1 _ __ ϟ 1 2 =- 5 ā1 _ __ __ __ 3 =- l =-1 88._ _ Astana _ __ _ ___ . . _ .. 1 1 ,256 63 9 490 393 250 300 125 33 89. Baku 1 1 , 9_ 9_ 0_1 _ __ __ __ _ 6 Ϡ 3 ϡ l ----9 l-----5-=2- =2_ 1 _ __ _ 4 : 1 :
.: 9 _1 _ __ __: 2 :
.: 5_0 _ ---3:
.: 0:
: 0: : 1 2 =- 5 =- l ----35_ 1 NO (1) 90.
. -- 9 1 . 92. 93. - ^- - -- - - · -·· 94. 95. 96. · · · --- - ---- - ·· 97.
. ^. . .
. .. - -- -- 98. 99. 1 00. 1 0 1 . 102. 1 03. . - -· -· 1 04. 105. 1 06 . 1 07. .. . ^. · · - ^· · · 1 08. 1 09. 1 1 0. 1 1 2 . 1 1 3. 1 1 3. - - - · ^· · ·-·· 1 14. 1 1 5. 1 1 6.
^. . ^. .
. - - - - 1 1 7. 1 1 8. 1 1 9. 120. 1 2 1 . 122. 1 23. 124. 125. 1 26 . 127. 128. 129. · · - . ·- . ___ ,.
K 0 T A (2) ASIA TIMUR Beijing Hongkong Osaka !.Ċ!cy() . ^--- - ^- ^- -- ^- · · ·- · - --- ...... · · - - .. . ··- · - - - - Pyongyang Seoul : : lhanghai Guangzhou ASIA SELATAN · - - - · - ^- Kaboul Teheran Colombo . . .
...· - - - -- · Dhaka Islamabad Karachi - -- - - - New Delhi Mumbai . .. - -- ^·.... ^. . ^. . ·· · - - ASIA TENGGARA Bandar Seri Bagawan ?angkok . . - · --- ·- . . .
.
. ^. ^. . ^. . Davao City Hanoi Ho Chi Minh Johor Bahru - - - ^- - .
. - - - . ^. ^. ^. ^. ^. Kota Kinabalu Kuala Lump!lr - - - ^- - - - - - . .. . - ^· - Manila Penang Phnom Penh · · ^· · · · - · · - - - - - - -.... ^. . - - - Singapore Vientiane Ya_ngon Songkhla Kuching Taw au ·· · · - -··· · -· · · ^· • · - . .
.
. . . ^.....
. Darwin Melbourne Noumea · ^· -...· ^· ^ · · ^· · - - ^· · ^· · · Perth Port Moresby Sydney - · ^· · · · ^· · · - - Vanimo . . 1 3 1 . Wellington 132. Suva 1 33. Dilli Kendaraan dinas (Unit/ Tahunl (3) 9,905 9,905 10,863 1 0,863 1 0,437 1 0,33 1 9,905 9,905 9, 197 1 1 ,400 8, 132 8,229 8,229 8,229 8,423 8,423 8,6 1 7 8,6 1 7 8,6 1 7 8,423 8,423 7,500 7,500 7,500 . . .
...8,6 1 7 7,500 7, 164 9,004 8,6 1 7 8,520 8,6 1 7 7,500 7,500 9,585 9,585 9,585 1 0,359 . . 9,585 9,200 9, 585 9, 197 9,585 8,907 9 , 1 0 1 MENTER I KEUANGAN REP U B L I K I N DONES IA Pemeliharaan Gedung (m ^2 /Tahun) (4) . ^. . .
. . .
. ^.. - . 72 80 80 80 72 80 72 72 55 97 63 63 72 72 63 63 63 63 63 63 63 63 63 63 63 63 72 78 72 72 63 63 63 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 - 37 - Halaman (m ^2 / Tahun) (5) 9 . · - 9 9 9 9 9 9 9 9 1 2 9 ...... 9 9 9 -....
.. . - ^· ..
· -·· · ^-·· · 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 - - - -- - - ·--· 9 9 9 9 9 9 - - · ·· . ^. . 9 · - - ^· 9 9 9 . . • . ^- - · · 9 9 9 · · ^· · · · - . . -· ^· . 9 9 9 9 Pengadaan Inventaris Kantor · ^· · · · · ^· - · - - - ^- . . (OT) (6) 37 1 371 407 407 39 1· 387 37 1 37 1 32 1 400 284 287 287 287 294 294 30 1 301 30 1 294 294 240 240 240 301 240 250 3 1 4 3 0 1 297 301 240 240 334 334 334 36 1 334 32 1 334 32 1 334 3 1 1 3 1 8 Pakaian Sopir/ Satpam . . - (Stel) (7) 397 397 436 436 4 1 9 4 1 4 397 397 149 1 80 1 32 134 1 34 134 137 137 140 140 140 137 137 1 1 2 1 1 2 1 1 2 140 1 12 1 1 6 146 140 138 140 1 1 2 1 1 2 200 1 56 1 56 168 1 56 149 1 56 149 1 56 145 1 48 Sewa Kendaraan Sedan (8) 44 1 44 1 484 484 465 460 44 1 44 1 575 7 1 0 509 · - - . 5 1 5 - 5 1 5 5 1 5 527 527 539 539 539 527 527 430 430 430 539 430 448 · - 563 539 533 539 430 430 . . ^. 600 600 600 648 600 575 600 575 600 557 569 (hari) Mobil Bus Box (9) ( 1 0 ) 397 309 . . 400 309 436 339 436 339 .....
4 1 9 326 4 1 4 322 397 309 397 309 - ^- · - ^· · · · ^· - ^· · 885 2,767 1 , 100 2,563 783 2 , 'f 4 () · · ^· · · · · - ^· - · 792 2,475 792 2 ,475 792 2 ,475 . . 8 1 1 2,534 8 1 1 2,534 829 2,592 829 . ^. ^2,592 829 2,592 8 1 1 2,534 8 1 1 2,534 · ^· - 662 2,068 662 2,068 662 2 ,068 · ·- 829 2,592 662 2,068 690 . 2 , 1 Ϣ_5 867 2,708 829 2,592 820 2,563 829 2,592 662 2,068 662 2, 9 68 . - - - . ·- · . - 923 . . - - - ^2, ^? ^83 923 2,883 923 2,883 997 3, 1 16_ 923 2,883 885 2,767 923 2,883 . . . 923 2,767 923 2,883 857 2,679 876 2,737 dalam US$) Konsumsi Rap at (OK) ( 1 1 ) 20 20 22 22 - - - - - - - 2 1 2 1 20 . - - - - - - · .. . 20 - - -- - - - - - ^- . ^. - .. 28 35 25 - - - - - - - -- - - - - 25 25 25 25 25 26 26 --- -- - - - - - - - 26 25 25 2 1 2 1 2 1 - - - - - -·- · · · -· - ^· . . . 26 2 1 22 27 26 26 - ·· · -· 26 2 1 2 1 - - ··· · - -- ·· · . ^. . 29 - - - ------- - - ·· 29 29 45 . ^- -- - ·-- - -- ..... 29 28 29 . . . 28 29 27 27 MENTER I KEUANGAN REP U B L I K I N DONES IA PENJELASAN STANDAR BIAYA MASUKAN TAHUN ANGGARAN 20 16 YANG BERFUNGSI SEBAGAI ESTIMASI 1 . Satuan Biaya Uang Transpor Kegiatan Dalam Kabupaten/Kota Satuan biaya uang transpor kegiatan dalam kabupatenjkota merupakan satuan biaya untuk perencanaan kebutuhan transportasi Pejabat Negara/ Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI/ pihak lain dalam melakukan kegiatanj pekerjaan di luar kantor yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas kantorjinstansi dengan ketentuan masih dalam batas wilayah suatu kabupatenjkota (pergi pulang) dan tidak menggunakan kendaraan dinas. Satuan biaya uang transpor kegiatan dalam kabupatenjkota tidak dapat diberikan kepada Pejabat Negaraj Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI/pihak lain yang melakukan kegiatan dalam komplek perkantoran yang sama. Catatan:
Untuk kegiatan dalam kabupatenjkota yang memerlukan biaya melebihi satuan biaya yang ditetapkan (termasuk moda transportasi udara dan/atau air) dapat diberikan secara at cost.
Satuan biaya uang transpor kegiatan dalam kabupatenj kota dapat dibebankan pada anggaran unit penyelenggara kegiatan atau anggaran satker pegawai berkenaan sepanjang tidak terjadi duplikasi anggaran.
Khusus Provinsi DKI Jakarta, yang dimaksud kabupatenjkota adalah meliputi kesatuan wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Selatan. 2 . Satuan Biaya Diktat Pimpinan/Struktural Satuan biaya diklat pimpinan/ struktural merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya diklat penjenjangan bagi pejabatjpegawai yang akanj telah menduduki jabatan tertentu. Satuan biaya ini sudah termasuk biaya observasi lapangan, namun belum termasuk biaya perjalanan dinas peserta.
Satuan Biaya Latihan Prajabatan Satuan biaya latihan prajabatan merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya latihan prajabatan bagi calon Pegawai Negeri Sipil sebagai syarat untuk diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Satuan biaya ini sudah termasuk biaya observasi lapangan, namun belum termasuk biaya perjalanan dinas peserta. MENTER I KEUANGAN R E P U BLI K I N DONESIA - 39 - 4. Satuan Biaya Pemeliharaan Sarana Kantor Satuan biaya pemeliharaan sarana kantor merupakan satuan biaya pemeliharaan yang digunakan untuk mempertahankan barang inventaris kantor (yang digunakan langsung oleh pegawai, khususnya meja dan kursi) , personal computer/notebook, printer, ac split, dan genset agar berada dalam kondisi normal (beroperasi dengan baik) . Untuk biaya pemeliharaan genset belum termasuk kebutuhan bahan bakar minyak.
Satuan Biaya Penerjemahan dan Pengetikan Satuan biaya penerjemahan dan pengetikan merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya penerjemahan dan pengetikan dari naskah asli ke dalam bahasa yang diinginkan.
Satuan Biaya Bantuan Beasiswa Program Gelar/Non Gelar Dalam Negeri Satuan biaya bantuan beasiswa program gelar / non gelar dalam negeri merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya bantuan mahasiswa program gelarjnon gelar dalam negeri bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang ditugaskan untuk melanjutkan pendidikan Diploma I, Diploma III, Diploma IV atau Strata 1 (satu) , dan pendidikan Pasca Sarjana (Strata 2 (dua) atau Strata 3 (tiga) yang terdiri dari biaya hidup dan operasional, uang buku dan referensi. Biaya pelaksanaan pendidikan ditanggung oleh Pemerintah secara at cost sedangkan untuk biaya riset program dapat dialokasikan bantuan biaya riset sesuai kemampuan keuangan Kementerian Negara/ Lembaga masmg masmg.
Satuan Biaya Sewa Me sin Fotokopi Satuan biaya sewa mesin fotokopi merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya sewa mesin fotokopi analog dan/ a tau me sin fotokopi digital} untuk menunjang pelaksanaan operasional kantor. Satuan biaya ini sudah termasuk toner dan biaya perawatan untuk pencetakan sampai dengan 10.000 (sepuluh ribu) lembar /bulan.
Honorarium Narasumber/Pembahas (Pakar/Praktisi/Profesional) Honorarium narasumber j pembahas (Pakar / Praktisi/ Profesional) merupakan satuan biaya yang diperuntukkan bagi Non Pejabat Negara/Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang mempunyai keahlianjpengalamanjprofesionalisme tertentu dalam ilmuj bidang tertentu untuk kegiatan seminar jrapat koordinasi/ sosialisasi/ diseminasi/ workshop j rapat kerja/ sarasehan/ simposiumjlokakarya/ f ocus group discussionjkegiatan sejenis. M ENTE R I KEUANGAN R E P U B L I K I N DONESIA 9. Satuan Biaya Pengadaan Bahan Makanan Satuan l?iaya pengadaan bahan makanan merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pengadaan bahan makanan, dan diberikan untuk:
1 Pengadaan Bahan Makanan untuk Narapidana Satuan biaya pengadaan bahan makanan diberikan pada Narapidana. Pengaturan daerah khusus untuk pengadaan bahan makanan narapidana pada masing-masing rayon mengacu pada peraturan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Man usia.
2 Pengadaan Bahan Makanan untuk Operasi Pasukan dan Latihan Pra Tugas Operasi Bagi Anggota Polri/TNI, Dikma Bagi Anggota Polri/TNI, Diklat Lainnya/ Pra Tugas Operasi Bagi Anggota Polri/TNI, Anggota yang Sakit Bagi Anggota Polri/TNI, dan Tahanan Anggota Polri/TNI a. Operasi pasukan adalah serangkaian tindakan pasukan dalam rangka pencegahan, penanggulangan, penindakan terhadap gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) , serta penanganan bencana yang diselenggarakan dalam kurun waktu, sasaran, cara bertindak, pelibatan kekuatan, dan dukungan sumber daya tertentu oleh beberapa fungsi pasukan dalam bentuk satuan tugas (satgas) .
Latihan pra tugas operasi adalah pelatihan berupa teori dan praktek dalam rangka kesiapan sebelum pelaksanaan operasi pasukan.
Dikma adalah pendidikan pertama dari peserta umum yang dididik untuk menjadi Anggota Polri/TNI.
Diklat lainnya/ pra tugas operasi adalah pendidikan latihan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan Anggota Polri/TNI.
Anggota yang sakit adalah Anggota Polri/TNI dan keluarganya yang dirawat/ sakit (pasien) .
Tahanan Anggota Polri/TNI adalah Anggota Polri/TNI yang ditahan karena melanggar disiplin. · 9.3 Pengadaan Bahan Makanan Untuk Pasien Rumah Sakit dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) a. Pengadaan Bahan Makanan Pasien Rumah Sakit adalah pengadaan bahan makanan yang diberikan kepada pasien rumah sakit pemerintah. MENTERI KEUANGAN REP U B L I K I N DONES IA b. Pengadaan Bahan Makanan bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dalam Panti Sosialj Rumah Perlindungan Sosial adalah pengadaan bahan makanan yang diberikan kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang mendapatkan pelayananjperlintlungan/ rehabilitasi sosial di dalam Panti Sosial/ Rumah Perlindungan Sosial.
4 Pengadaan Bahan Makanan Untuk Keluarga Penjaga Menara Suar (PMS) , Petugas Pengamatan Laut, ABK Cadangan Pada Kapal Negara, ABK Aktif Pada Kapal Negara, dan Petugas SROP dan VTIS a. Keluarga Penjaga Menara Suar (PMS) adalah keluarga petugas penjaga menara suar yang ikut serta mendampingi petugas penjaga menara suar di lokasi tempat bertugas. Satuan biaya pengadaan bahan makanan untuk keluarga penjaga menara suar diberikan kepada istri/ suami dan anak (maksimal 2 anak) petugas penjaga menara suar.
Petugas pengamatan laut adalah petugas yang melaksanakan survey hidrografi pada alur pelayaran serta melakukan evaluasi alur dan perlintasan serta memonitoring pelaksanaan Sarana Bantuan Navigasi Pelayaran (SBNP) . c . ABK Cadangan Kapal Negara adalah awak kapal negara kenavigasian yang siaga untuk ditempatkan pada kapal negara kenavigasian pada saat sandar dan bertolak serta bongkar muat.
ABK Aktif Kapal Negara adalah awak kapal negara kenavigasian yang ditempatkan dan bekerja di kapal negara kenavigasian pada posisi tertentu pada saat berlayar.
Petugas Stasiun Radio Pantai (SROP) dan Vessel Tra f fic Infonnation Service (VTIS) adalah petugas yang mengoperasikan peralatan di SROP dan VTIS. 9 . 5 Pengadaan Bahan Makanan Untuk Petugas Bengkel dan Galangan Kapal Kenavigasian, Petugas Pabrik Gas Aga Untuk Lampu Suar, Penjaga Menara Suar (PMS) , dan Kelompok Tenaga Kesehatan Kerja Pelayaran a. Petugas bengkel dan galangan kapal kenavigasian adalah petugas yang memperbaiki dan merawat sarana prasarana kenavigasian di bengkel navigasi dan memperbaiki serta merawat kapal negara kenavigasian di galangan navigasi. MENTERI KEUANGAN b. Petugas pabrik gas aga untuk lampu suar adalah petugas yang bekerja di pabrik gas aga di Balai Teknologi Keselamatan Pelayaran (BTKP) , gas aga digunakan sebagai bahan bakar bagi lampu-lampu menara suar.
Penjaga Menara Suar (PMS) adalah petugas yang menjaga dan merawat menara suar agar dapat berfungsi dengan baik.
Kelompok tenaga kesehatan kerja pelayaran adalah petugas kesehatan yang bertugas memeriksa kondisi kesehatan para awak kapal pada saat pengurusan sertifikasi kepelautan. 9 . 6 Pengadaan Bahan Makanan untuk Mahasiswa/ Siswa Sipil dan Mahasiswa Militer j Semi Militer di Lingkup Sekolah Kedinasan a. mahasiswaj siswa sipil ( seperti mahasiswa pad a Sekolah Tinggi Perikanan, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Akademi Migas) ; dan
mahasiswaj siswa militer j semi militer (seperti mahasiswa Akademi TNI/ Akpol, mahasiswa Penerbangan, mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri) . 9 . 7 Pengadaan Bahan Makanan Rescue Team Pengadaan Bahan Makanan Rescue Team adalah pengadaan bahan makanan yang diberikan kepada Rescue Team pada saat melaksanakan tugasnya (misal: penangan bene ana) . 1 0. Satuan Biaya Konsumsi Tahanan Satuan biaya konsumsi tahanan merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pengadaan paket makanan tahanan, diberikan untuk tahanan yang antara lain berada pada rumah tahanan Kejaksaan, Kepolisian, Badan Narkotika Nasional (BNN) , dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) . 1 1 . Satuan Biaya Konsumsi Rapat Satuan biaya konsumsi rapat merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pengadaan makan dan kudapan termasuk minuman untuk rapatjpertemuan baik untuk rapat koordinasi tingkat Menteri/ eselon I/ setara maupun untuk rapat biasa. Rapat koordinasi tingkat Menteri/ eselon I/ setara adalah rapat koordinasi yang pesertanya Menteri/ eselon I/pejabat yang setara. M ENTE R I KEUANGAN R E P U B L I K I N DONESIA 1 2 . Satuan Biaya Keperluan Sehari-hari Perkantoran di Dalam Negeri Satuan biaya keperluan sehari-hari perkantoran di dalam negeri merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya keperluan sehari-hari perkantoran berupa barang habis pakai yang secara langsung menunjang penyelenggaraan operasional dan untuk memenuhi kebutuhan minimal agar suatu kantor dapat memberikan pelayanan· secm·a optimal, terdiri atas: alat tulis kantor (ATK) , barang cetak, alat-alat rumah tangga, langganan surat kabarj beritajmajalah, dan air minum pegawai. 1 3 . Satuan Biaya Penggantian Inventaris Lama dan/ a tau Pembelian Inventaris untuk Pegawai Baru Satuan biaya penggantian inventaris merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya penggantian inventaris lama dan/atau pembelian inventaris bagi pegawai baru. Penggantian inventaris lama digunakan untuk penggantian meja dan kursi pegawai, pengalokasiannya maksimal 10% (sepuluh persen) dari jumlah pegawai, sedangkan pembelian inventaris bagi pegawai baru disesuaikan dengan kebutuhan.
Satuan Biaya Pemeliharaan dan Operasional Kendaraan Dinas Satuan biaya pemeliharaan dan operasional kendaraan dinas merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pemeliharaan dan operasional kendaraan dinas yang digunakan untuk mempertahankan kendaraan dinas agar tetap dalam kondisi normal dan siap pakai sesuai dengan peruntukannya. Satuan biaya ini termasuk biaya bahan bakar. Satuan biaya tersebut belum termasuk biaya pengurusan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang besarannya mengacu pada ketentuan yang berlaku. Catatan:
Yang dimaksud kendaraan adalah kendaraan yang lingkungan kan tor. Contoh: operasional dalam lingkungan kan tor digunakan hanya terbatas dalam Golf car/sejenisnya yang digunakan untuk mengantar tamu kenegaraan.
Khusus untuk operasional kendaraan dinas yang pengadaannya bersumber dari sewa, satuan biaya tersebut hanya diperuntukkan untuk bahan bakar. M ENTE R I KEUANGAN R E P UBLI K I N DON ESIA 3 . Satuan biaya ini tidak diperuntukan bagi:
kendaraan yang rusak berat yang memerlukan biaya pemeliharaan besar dan untuk selanjutnya harus dihapuskan dari daftar inventaris; dan/atau
pemeliharaan kendaraan yang bersifat rekondisi dan/atau overhaul. 1 5 . Satuan Biaya Pemeliharaan Gedung/Bangunan Dalam Negeri Satuan biaya digunakan untuk pemeliharaan rutin gedung/ bangunan di dalam negeri dengan maksud menjagaj mempertahankan gedung dan bangunan kantor di dalam negeri agar tetap dalam kondisi semula atau perbaikan dengan tingkat kerusakan kurang dari atau sama dengan 2% (dua persen), tidak termasuk untuk pemeliharaan gedungj bangunan di dalam negeri yang memiliki spesifikasi khusus berdasarkan ketentuan yang berlaku. Satuan biaya pemeliharaan gedungj bangunan dalam negen dialokasikan un tuk:
gedungj bangunan milik negara; dan/atau
gedungj bangunan milik pihak lain yang disewa dan/atau dipinjam oleh pengguna barang dan dalam perjanjian diatur tentang adanya kewajiban bagi pengguna barang untuk melakukan pemeliharaan.
Satuan Biaya Sewa Gedung Pertemuan Satuan biaya sewa gedung pertemuan merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya sewa gedung pertemuan untuk pelaksanaan kegiatan di luar kantor antara lain rapat koordinasi, sosialisasi, seleksijujian masuk pegawai, dan kegiatan lain sejenis. Gedung pertemuan adalah gedung yang biasa digunakan untuk pertemuan dengan kapasitas lebih dari 300 (tiga ratus) orang, sudah termasuk sewa meja, kursi, sound system, dan fasilitas gedung pertemuan lainnya. 1 7. Satuan Biaya Taksi Perjalanan Dinas Dalam Negeri Satuan biaya taksi perjalanan dinas dalam negeri merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya tarif satu kali perjalanan taksi dari kantor tempat kedudukan menuju bandara/ pelabuhanj terminal/ stasiun keberangkatan atau dari bandarajpelabuhanj terminal/ stasiun kedatangan menuju tempat tujuan di kota bandarajpelabuhan/ terminalj stasiun kedatangan dan sebaliknya. Catatan: M ENTE R I KEUANGAN R E P U BLIK I N DONESIA Contoh penghitungan alokasi biaya taksi: Seorang pejabatjpegawai negeri melakukan perjalanan dinas jabatan dari Jakarta ke Medan, maka alokasi biaya taksi sebagai berikut:
Berangkat a) biaya taksi dari tempat kedudukan di Jakarta ke Bandara Soekarno-Hatta; dan b) biaya taksi dari Bandara Kualanamu (Sumut) ke tempat tujuan (hotelj penginapanj kantor) di Medan.
Kembali a) biaya taksi dari hotel/ penginapan (Medan) ke Bandara Kualanamu (Sumut) ; dan b) biaya taksi dari Bandara Soekarno-Hatta ke tempat kedudukan (Jakarta) . 1 8 . Satuan Biaya Tiket Pesawat Perjalanan Dinas Dalam Negeri (PP) Satuan biaya tiket pesawat perjalanan dinas dalam negeri adalah satuan biaya untuk pembelian tiket pesawat udara Pergi Pulang (PP) dari bandara keberangkatan suatu kota ke bandara kota tujuan dalam perencanaan anggaran. Satuan biaya tiket termasuk biaya asuransi, tidak termasuk air port tax serta biaya retribusi lainnya. Dalam pelaksanaan anggaran, satuan biaya tiket perjalanan dinas dalam negeri menggunakan metode at cost ( sesuai pengeluaran) .
Satuan Biaya Tiket Pesawat Perjalanan Dinas Luar Negeri (PP) Satuan biaya tiket pesawat perjalanan dinas luar negeri (PP) merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pembelian tiket pesawat udara dari bandara di Jakarta ke berbagai bandara kota tujuan di luar negeri Pergi Pulang (PP) . Satuan biaya tiket termasuk biaya asuransi, tidak ten; nasuk airport tax serta biaya retribusi lainnya. Perjalanan dinas luar negeri dengan lama perjalanan melebihi 8 (delapan) jam penerbangan (tidak termasuk waktu transit) , bagi pejabat Eselon III ke atasjfungsional yang setara dapat menggunakan kelas bisnis. Dalam pelaksanaan anggaran, satuan biaya tiket perjalanan dinas dalam negeri menggunakan metode at cost ( sesuai pengeluaran) . M ENTER I KEUANGAN R E P U B L I K I N DONES IA 20. Satuan Biaya Penyelenggaraan Perwakilan RI di Luar Negeri Satuan biaya penyelenggaraan perwakilan RI di luar negeri merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya penyelenggaraan operasional perwakilan RI di luar negeri, berupa:
1 ATK, Langganan Koranj Majalah, Lampu, Pengamanan Sendiri, Kantong Diplomatik, Jamuan a. ATK, merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai pengadaan kebutuhan alat tulis (misal: kertas, ballpoint, dan amplop) yang alokasinya dikaitkan dengan jumlah pegawai.
Langganan koranj majalah, merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai pengadaan media cetak. c. Lampu, merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai pengadaan penerangan di dalam gedung dan halaman kantor perwakilan.
Pengamanan sendiri, merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai tenaga kerja yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan pengamanan di kantor perwakilan dan wisma.
Kantong diplomatik, merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai peng1nman dokumen diplomatik.
Jamuan, merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai kegiatan jamuan tamu diplomatik yang dilaksanakan di luar kantor.
2 Pemeliharaan, Pengadaan Inventaris Kantor, Pakaian Sopir j Satpam, Sewa Kendaraan, dan Konsumsi Rapat a. Pemeliharaan kendaraan dinas, merupakan satuan biaya yang digunakan untuk mempertahankan kendaraan dinas perwakilan RI di luar negeri agar tetap dalam kondisi siap pakai sesuai dengan peruntukannya, termasuk biaya bah an bakar. Catatan: Untuk negara yang mempunyai 4 (empat) musim, satuan biaya tersebut sudah termasuk biaya penggantian ban salju. Dalam hal terdapat peraturan dari negara setempat yang mewajibkan asuransi kendaraan, biaya asuransi kendaraan dapat dialokasikan sesuai kebutuhan riil dan dilengkapi dengan data dukung yang dapat di pertanggungj a wa bkan. M ENTE R ! KEUANGAN R E P U B L I K I N DO N ESIA b. Pemeliharaan gedung, merupakan satuan biaya yang digunakan untuk pemeliharaan rutin gedungjbangunan kantor jwisma perwakilan RI di luar negeri dengan maksud untuk menjagajmempertahankan gedungjbangunan kantor/ wisma perwakilan RI di luar negeri agar tetap dalam kondisi semula atau perbaikan dengan tingkat kerusakan kurang dari atau sama dengan 2% (dua persen) . Satuan biaya pemeliharaan gedungj bangunan kantor j wisma perwakilan RI di luar negeri dialokasikan untuk: 1 . gedungjbangunan milik negara; dan/atau 2 . gedungj bangunan milik pihak lain (selain pemerintah RI) yang disewa dan/ a tau dipinjam oleh pengguna barang dan dalam perjanjian diatur tentang adanya kewajiban bagi pengguna barang untuk melakukan pemeliharaan.
Pemeliharaan halaman, merupakan satuan biaya yang digunakan untuk pemeliharaan rutin halaman gedung/ bangunan perwakilan RI di luar negeri. Catatan: Untuk perwakilan RI di negara yang mempunyai 4 (empat) musim dapat dialokasikan biaya pemeliharaan tambahan di luar gedung untuk fasilitas umum apabila ada ketentuan pemeliharaan dari negara yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan riil dan dilengkapi oleh data dukung yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pengadaan inventaris kantor, merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai pengadaan meja dan kursi pegawai pada perwakilan RI di luar negeri. Pengalokasiannya maksimal 10% (sepuluh persen) dari jumlah pegawai (home staff) dan minimal untuk 1 (satu) pegawai, sedangkan pembelian inventaris bagi pegawai baru disesuaikan dengan kebutuhan.
Pakaian sopir / satpam, merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai pengadaan pakaian dinas harian sopir / satpam pada perwakilan RI di luar negeri.
Sewa kendaraan sedan, bus, dan mobil box, merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai kebutuhan biaya sewa kendaraan sedan, bus dengan kapasitas 32 (tiga puluh dua) penumpang selama 8 (delapan) jam, dan mobil box untuk kegiatan yang sifatnya insidentil dan dilakukan secara selektif serta efisien. Satuan biaya sewa tersebut sudah termasuk biaya bahan bakar dan pengemudi.
Konsumsi rapat, merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai kebutuhan biaya pengadaan konsumsi rapat biasa yang diselenggarakan di kantor, dimana di dalamnya sudah termasuk makan dan kudapan. Catatan Umum: M ENTER ! f<EUANGAN R E P U B L i f< I N DONESIA 1) Kementerian Negara/ Lembaga dalam melaksanakan ketentuan standar biaya masukan agar melakukan langkah-langkah efisiensi anggaran sebagai berikut: a) pembatasan dan pengendalian biaya perjalanan dinas; b) pembatasan dan pengendalian biaya rapat di luar kantor; c) penerapan sewa kendaraan operasional sebagai salah satu alternatif penyediaan kendaraan operasional; d) pembatasan dan pengendalian pemberian honorarium tim kegiatan; dan e) lebih mengutamakan pelaksana penggunaan produk dalam negeri.
Satuan biaya yang terdapat dalam Peraturan Menteri ini sudah termasuk pajak.
Satuan biaya diklat pimpinan struktural dan diklat prajabatan mengacu pada Peraturan Pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Lembaga Administrasi Negara.
Untuk satuan biaya pemeliharaan dan operasional kendaraan dinas, pemeliharaan sarana kantor, penggantian inventaris lama dan/atau pembelian inventaris untuk pegawai baru, pengadaan bahan makanan, konsumsi rapat, pengadaan kendaraan operasional bus, sewa mesin fotokopi, sewa kendaraan dinas,pemeliharaan gedungj bangunan dalam negeri, sewa kendaraan, pengadaan kendaraan roda 2 (dua) dan operasional kantor dan/ a tau lapangan, pengadaan operasional kantor dan/atau lapangan roda 4 (empat) , dan pengadaan pakaian dinas danj atau kerja, pada beberapa kabupaten diberikan toleransi pengusulan satuan biaya melebihi ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Menteri ini sehingga menjadi sebagai berikut: No Provinsi Kabupaten Toleransi 1 . Sumatera Toba 1 3 1 % dari Satuan biaya Utara Samosir 1 3 7% Provinsi Sumut Nias Utara 1 4 1 % Labuan 1 43% Batu Selatan 2. Sumatera Kep. 1 84% dari Satuan biaya Bar at Mentawai Provinsi Sumbar 3 . Kalimantan Ketapang 1 50% dari Satuan biaya Bar at Provinsi Kalbar 4. Kalimantan Timur 5. Maluku 6. Papua 7 . Papua Bar at M ENTE R I KEUANGAN R E P U B L I K I N DON ESIA - 49 - Kutai 1 38% Kartanegara Tanah Tidung 1 90% Seram Bagian 1 34% Timur Maluku 1 42% Tenggara Kep. Aru 1 44% Maluku 1 58% Tenggara Bar at Buru Selatan 1 64% Tual 1 68% Maluku Barat 1 89% Day a Tolikara 23 1 % Asmat 1 3 1 % Dogiyai 1 38% Sarmi 1 44% Jayawijaya 1 47% Merauke 1 48% Nduga 1 89% Lanny Jaya 2 1 3% Peg. Bintang 228% Yalimo 230% Puncak Jaya 244% Intan Jaya 258% Puncak 27 1 % Membrana 237% Tengah May brat 1 5 1 % Fak-Fak 1 47% Raja Ampat 1 47% Tambraw 1 75% dari Satuan biaya Provinsi Kaltim dari Satuan biaya Provinsi Maluku dari Satuan biaya Provinsi Papua dari Satuan biaya Provinsi Papua Barat MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 50 - Pengertian Istilah:
OJ b. OH c. OB d. OT e. OP f. OK g. OR h. Oter 1. OJP Orang/Jam Orang/ Hari Orang/ Bulan Orang/Tahun Orang/ Paket ' · OrangjKegiatan Orang/ Responden Orang/Terbitan Orang/ Jam Pelajaran MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG P. 8 . BRODJONEGORO -< NTERIAN
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negar ...