Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.04/2018 tentang Kawasan Berikat
Relevan terhadap
Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB wajib:
memasang tanda nama perusahaan sebagai Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB pada tempat yang dapat dilihat dengan jelas oleh umum;
menyediakan sarana dan prasarana untuk penyelenggaraan pertukaran data secara elektronik untuk Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB yang diawasi oleh Kantor Pabean yang menerapkan sistem pertukaran data elektronik untuk Kawasan Berikat;
mendayagunakan teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang ( IT inventory ) yang merupakan subsistem dari sistem informasi akuntansi yang akan menghasilkan informasi laporan keuangan dan dapat diakses untuk kepentingan pemeriksaan dan/atau pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak;
mendayagunakan closed circuit television ( cctv ) untuk pengawasan pemasukan dan pengeluaran barang yang dapat diakses secara langsung ( realtime) dan daring ( online) oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak serta memiliki data rekaman closed circuit television ( cctv ) paling sedikit 7 (tujuh) hari terakhir.
mengajukan permohonan perubahan izin Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama apabila terdapat perubahan data yang tercantum dalam izin Pengusaha Kawasan Berikat atau izin PDKB;
melakukan pencacahan ( stock opname ) terhadap barang-barang yang mendapat fasilitas kepabeanan, Cukai, dan perpajakan, dengan pengawasan dari Kantor Pabean yang mengawasi, paling sedikit 1 (satu) kali dalam waktu 1 (satu) tahun, serta menyampaikan laporan hasil pencacahan ( stock opname ) paling lambat 2 (dua) bulan setelah pelaksanaan pencacahan ( stock opname ), kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat SPT Masa PPN dilaporkan;
menyimpan dan memelihara dengan baik buku dan catatan serta dokumen yang berkaitan dengan kegiatan usahanya selama 10 (sepuluh) tahun pada tempat usahanya;
menyelenggarakan pembukuan mengenai pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Berikat serta pemindahan barang dalam Kawasan Berikat berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
menyerahkan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan Kawasan Berikat apabila dilakukan audit oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
menyampaikan laporan keuangan perusahaan dan/atau laporan tahunan perusahaan kepada Kepala Kantor Pabean; dan
menyampaikan laporan atas dampak ekonomi dari pemberian fasilitas Kawasan Berikat yang paling sedikit memuat informasi mengenai nilai fasilitas fiskal yang diberikan, nilai investasi, jumlah tenaga kerja, dan nilai penjualan hasil produksi kepada Kepala Kantor Pabean paling sedikit 1 (satu) tahun sekali.
Ketentuan ayat (4) Pasal 20 diubah, dan diantara ayat (3) dan ayat (4) Pasal 20 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (3a) dan ayat (3b), sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:
Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Relevan terhadap
Dalam Undang-Undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap badan, badan yang dinyatakan pailit, badan dalam pembubaran, badan dalam likuidasi, warisan yang belum dibagi, dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya karena mereka tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut. Ayat (2) Ayat (3) Ayat (3a) Ayat ini menegaskan bahwa wakil Wajib Pajak yang diatur dalam Undang-Undang ini bertanggung jawab secara pribadi atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang. Pengecualian dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila wakil Wajib Pajak dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya, menurut kewajaran dan kepatutan, tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban. Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Yang dimaksud dengan kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiba.n perpajakan, seora5rg kuasa yang ditunjuk oleh Wajib Pajak harus memiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan. Kompetensi tertentu antara lain jenjang pendidikan tertentu, sertifikasi, dan/atau pembinaan oleh asosiasi atau Kementerian Keuangan. Oleh karena itu, kuasa dapat dilakukan oleh konsultan pajak atau pihak lain sepanjang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. Ayat (a) Angka 10 Pasal 32A Ayat (1) Ayat (2) Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus. Ketentuan dalam ayat ini berlaku pula bagi komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali. Cukup jelas Untuk meningkatkan realisasi potensi perpajakan serta untuk mengoptimalkan pengenaan pajak, dapat diterapkan skema pemotongan danf atau pemungutan pajak (withholding ta-g melalui penunjukan pemotong dan/atau pemungut pajak, yaitu pihak lain. Pihak lain yang ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak merupakan subjek pajak baik dalam negeri maupun luar negeri, yang terlibat langsung atau yang memfasilitasi transaksi misalnya dengan menyediakan sarana atau media transaksi, termasuk transaksi yang dilakukan secara elektronik. Contoh 1: PT ABC adalah Wajib Pajak dalam negeri yang menyediakan peer to peer lending platform di Indonesia. T\ran A meminjamkan sejumlah dana kepada T\ran B melalui platform tersebut. Dalam skema ini, meskipun PT ABC hanya sebagai perantara transaksi antara Tuan A dan T\ran B dalam peer to peer lending platform, Menteri Keuangan dapat menunjuk PT ABC sebagai pihak lain untuk melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan berupa bunga yang diterima oleh Tuan A dari Tuan B. Contoh 2: Contoh 2: R Inc. merupakan perlrsahaan yang menyediakan situs untuk berbagi video yang berkedudukan di luar Indonesia. Tuan C, seorang pencipta konten (content creator) mendapatkan penghasilan dari R Inc.. Dalam transaksi ini, R Inc. merupakan pihak lain yang dapat ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada Tuan C. Contoh 3: PT DEF merupakan penyedia marketplace platform dalam negeri sebagai wadah pedagang barang dan/atau penyedia jasa untuk memasang penawaran barang dan/atau jasa. PT PQR merupakan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penawaran barang melalui marketplace platforrn yang disediakan oleh PT DEF. Tuan Z rnelakukan pembelian barang yang ditawarkan oleh PT PQR melalui marketplace platform yang disediakan oleh PT DEF. PT DEF dapat ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai pemungut PPN untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak oleh PT PQR kepada T.ran Zyangdilakukan melalui marketplace platformyang disediakan oleh PT DEF. Ayat (3) Ayat (4) Ayat (5) Pengaturan mengenai penetapan, penagihan, upaya hukum, dan pengenaan sanksi terhadap Wajib Pajak sesuai Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa berlaku juga terhadap pihak lain, termasuk subjek pajak yang berada di luar wilayah hukum Indonesia. Penyelenggara sistem elektronik merupakan penyelenggara sistem elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik. Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas Ayat (7) Cukup ^jelas Angka 11 Pasal 34 Ayat (1) Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain:
Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain- lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan:
dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan. Ayat (2) Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (2al Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan. Identitas Wajib Pajak meliputi:
nama Wajib Pajak;
Nomor Pokok Wajib Pajak;
alamat 3. alamat Wajib Pajak;
alamat kegiatan usaha;
merek usaha; dan/atau
kegiatan usaha Wajib Pajak. Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi:
penerimaan pajak secara nasional;
penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak;
penerimaan pajak per jenis pajak;
penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha;
^jumlah Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar;
register permohonan Wajib Pajak;
tunggakan pajak secara nasional; dan/atau
tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak. Ayat (3) Kerja sama yang dimaksud dalam ayat ini merupakan pemberian atau pertukaran data dan/atau informasi antara Direktorat Jenderal Pajak dan lembaga negara, instansi pemerintah, badan hukum yang dibentuk melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, atau pihak lain untuk kepentingan negara dalam rangka menghimpun penerimaan negara maupun penerimaan daerah atau menjalankan administrasi pemerintahan yang baik serta mendukung kebijakan pemerintah. Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama pejabat, ahli, atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak. Surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan dalam rangka pelaksanaan kerja sama untuk kepentingan negara dapat tidak mencantumkan nama Wajib Pajak tetapi tetap mencantumkan jenis data sesuai yang tercantum dalam kerja sama. Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan. Ayat (a) Ayat (5) Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan, Menteri Keuangan memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat(2) atas permintaan tertulis hakim ketua sidang. Ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan perpajakan yang diminta hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan. Angka 12
Pemberian Fasilitas Pajak terhadap Barang dan Jasa yang Diperlukan dalam rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan Perpanjangan Pemberla ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN, adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh, adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disingkat PPN, adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disingkat PPh, adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Surat Keterangan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang selanjutnya disebut SKJLN, adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak melakukan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Kantor Pelayanan Pajak, yang selanjutnya disebut KPP, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
Pihak Tertentu adalah pihak yang menerima insentif perpajakan.
Badan/Instansi Pemerintah adalah badan/instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang melakukan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 __ (COVID- 19).
Rumah Sakit adalah rumah sakit yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan, Kepala Daerah/Dinas Kesehatan Tingkat I, atau Kepala Daerah/Dinas Kesehatan Tingkat II sebagai rumah sakit rujukan untuk penanganan pasien pandemi Corona Virus Disease 2019 __ (COVID-19).
Pihak Lain adalah pihak selain Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah Sakit untuk membantu penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 __ (COVID-19).
Pihak Ketiga adalah pihak yang bertransaksi dengan Badan/Instansi Pemerintah, Rumah Sakit atau Pihak Lain untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 __ (COVID-19).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, yang selanjutnya disingkat BNPB adalah lembaga pemerintah nonkementerian sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang penanggulangan bencana.
Industri Farmasi Produksi Vaksin dan/atau Obat adalah Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak yang memproduksi vaksin dan/atau obat untuk penanganan Corona Virus Disease 2019 __ (COVID-19).
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (Spt).
Relevan terhadap
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik wajib digunakan oleh pemotong pajak, sepanjang pemotong pajak dimaksud memenuhi kriteria sebagai berikut:
melakukan pemotongan PPh Pasal 2 1 dan/atau Pasal 26 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia/Palisi Republik Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) Masa Pajak;
melakukan pemotongan PPh Pasal 2 1 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain pemotongan PPh sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak;
melakukan pemotongan PPh Pasal 2 1 (Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak; dan/atau
melakukan penyetoran pajak dengan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak.
SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik wajib digunakan oleh pemotong pajak, sepanjang pemotong pajak dimaksud memenuhi kriteria sebagai berikut:
menerbitkan lebih dari 20 (dua puluh) bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam 1 (satu) Masa Pajak; dan/atau
jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar pengenaan PPh lebih dari Rpl 00.000.000,00 (seratus juta rupiah) dalam satu bukti pemotongan.
SPT Masa PPN wajib disampaikan setiap Pengusaha Kena Pajak dalam bentuk dokumen elektronik.
SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN wajib disampaikan oleh setiap pemungut PPN selain bendahara Pemerintah, dalam bentuk dokumen elektronik.
Kewajiban penyampaian SPT Masa PPN bagi pemungut PPN oleh bendahara Pemerintah dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud p www.jdih.kemenkeu.go.id pada ayat (2) huruf a diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Selain SPT Masa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5), SPT Masa dalam bentuk dokumen elektronik wajib disampaikan oleh Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
Wajib Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar; dan/atau
Wajib Pajak dimaksud pernah menyampaikan SPT Masa dalam bentuk dokumen elektronik.
Wajib Pajak wajib menggunakan SPT Tahunan dalam bentuk dokumen elektronik, sepanjang Wajib Pajak dimaksud memenuhi kriteria sebagai berikut:
diwajibkan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 2 1 dan/atau PPh Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (l);
diwajibkan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
diwajibkan menyampaikan SPT Masa PPN dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5);
Wajib Pajak dimaksud pernah menyampaikan SPT Tahunan dalam · bentuk dokumen elektronik;
terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar; p www.jdih.kemenkeu.go.id f. menggunakan jasa konsultan pajak clalam pemenuhan kewajiban pengisian SPT Tahunan PPh; clan/ atau g. laporan keuangannya cliauclit oleh akuntan publik.
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan Wajib Pajak tertentu selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) untuk menyampaikan SPT dalam bentuk clokumen elektronik.
Dalam hal terdapat penyesuaian kriteria Wajib Pajak yang wajib menyampaikan SPT clalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (6), clan ayat (7), penyesuaian dimaksud dilakukan dengan penerbitan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (10) Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan bukti penerimaan SPT terhadap Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaika: : i SPT dalam bentuk dokumen elektronik, namun Wajib Pajak bersangkutan tetap menyampaikan .SPT dalam bentuk formulir kertas (hardcopy). (1 1) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dianggap tidak menyampaikan SPT.
Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kriteria untuk menyampaikan SPT dala: n bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7), dapat menyampaikan SPT dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b.
Ketentuan ayat (3) Pasal 8 diubah, ayat (4) dan ayat (5) clihapus, di antara ayat (1) clan ayat (2) clisisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a), serta me:
ambahkan 5 (lima) ayat yakni ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9), dan ayat (10), sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut: C www.jdih.kemenkeu.go.id )[
Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
_2. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: _ 3. dan seterusnya ... c. Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku. Dalam hal tertentu, Pasal II juga dapat memuat ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang-undangan perubahan, yang maksudnya berbeda dengan ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang- undangan yang diubah”. Adapun pembentukan undang-undang pencabutan menambahkan kata “Pencabutan” di depan judul undang-undang yang dicabut, yaitu sebagai berikut: “9. Pada nama Peraturan Perundang–undangan pencabutan ditambahkan kata pencabutan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang dicabut. _Contoh: _ __ __ UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI”. Dari format baku yang telah ditentukan dalam Lampiran II UU PPP tersebut, maka dapat diukur apakah UU HPP memenuhi format yang telah ditetapkan. Judul UU HPP adalah Harmonisasi Peraturan Perpajakan dengan format sebagai berikut: “UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2O2I TENTANG HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN”. Dari judul tersebut mengandung makna bahwa UU HPP merupakan suatu undang-undang baru karena menggunakan penamaan baru. Itu berarti bukan suatu undang-undang yang dibentuk dalam rangka perubahan atau pencabutan atas undang-undang tertentu. Namun demikian, setelah dicermati format batang tubuh yang ada, ternyata UU HPP memuat baik aturan baru maupun perubahan sebagaimana telah diuraikan di atas, di mana UU HPP tidak hanya mengatur hal-hal baru sebagaimana tertuang dalam Bab I, V dan VI, tetapi juga melakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam UU KUP, UU PPh, UU PPN, UU Cukai seperti dimuat dalam bab II, III, IV dan VII. Format penyusunannya berbeda dengan model yang telah dipersyaratkan dalam Lampiran II UU PPP sebagaimana disebutkan di atas. Jika UU HPP
dilakukan karena materi muatan RUU Perubahan Kelima bersifat omnibus law , dalam arti mengubah materi muatan dari beberapa undang-undang, sebagaimana dilansir kontan.co.id dengan berita berjudul “ RUU KUP ganti nama jadi RUU HPP, ini penjelasan Panja DPR ” ( https: //nasional.kontan.co.id/news/ruu-kup-ganti-nama-jadi-ruu-hpp-ini penjelasan-ketua-panja-dpr) yang dapat dikutip sebagai berikut: “ Dolfie , Wakil Ketua Komisi XI DPR RI sekaligus Pimpinan Panitia Kerja (Panja) RUU HPP mengungkapkan alasan pergantian nama RUU KUP menjadi RUU HPP ini. “ Karena RUU ini mengubah beberapa Undang-Undang (UU), yaitu UU KUP, UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Cukai, UU Nomor 2 Tahun 2020 , sehingga lebih sesuai menjadi harmonisasi dari berbagai Peraturan Perpajakan,” jelas dia kepada Kontan.co.id, Kamis (30/9)”. Pemakaian metode “ omnibus law ” dalam penyusunan UU HPP ini juga diakui secara jelas oleh pemerintah pada saat Rapat Paripurna DPR RI yang diselenggarakan dalam rangka Pembicaraan Tingkat II/pengambilan keputusan terhadap RUU HPP tanggal 7 Oktober 2021, di mana dalam Rapat Paripurna dimaksud pemerintah menyampaikan PENDAPAT AKHIR PEMERINTAH TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN ( https: //berkas.dpr.go.id/setjen/dokumen/persipar PandanganPendapatKeteranganSambutan-Pendapat-Akhir-Pemerintah- terhadap-RUU-tentang-Harmonisasi-Peraturan-Perpajakan 1633596067.pdf) yang pada intinya menyatakan bahwa sesuai dengan masukan dari berbagai stakeholder dan atas usulan DPR, maka RUU KUP diubah menjadi RUU HPP dengan menggunakan metode “ omnibus law ”, yang selengkapnya dapat dikutip sebagai berikut: “ Sebagaimana kita ketahui bersama, Pemerintah telah menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia melalui Surat Presiden Republik Indonesia Nomor R- 21/Pres/05/2021 tanggal 5 Mei 2021 yang dibacakan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 21 Juni 2021. Kita memahami bersama bahwa substansi yang terkandung dalam RUU tersebut tentu akan memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat dan dunia usaha. Pemerintah memahami bahwa aspirasi masyarakat harus didengarkan dan menjadi pertimbangan penting dalam pembahasan RUU KUP di DPR. Oleh karena itu,
Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil Terhadap Pasal 7 ayat (4) dan ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2014 tentang Saat Penghitungan ...
Relevan terhadap 12 lainnya
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 21 dari 52 halaman. Putusan Nomor 11 P/HUM/2021 hanya berasal dari periode setelah masa Januari 2010 s.d. periode masa sebelum Juli 2013; b. yang dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya/dapat dimintakan pengembalian adalah periode masa Juli 2013 s.d. periode masa terjadinya kelebihan Pajak Masukan yang dilaporkan di SPT Masa PPN; 3. Sedangkan penerbitan 4 (empat) nomor SKPN ini dihitung dengan periode setelah masa pajak Januari 2010 s.d. periode masa pajak terjadinya kelebihan Pajak Masukan yang dilaporkan di SPT Masa PPN; 4. Perbedaan periode pengakuan poin 4 dan 5 ini jelas menunjukkan bahwa penyerahan JKP persewaan ruangan gedung perkantoran di bulan Juli 2013 tersebut tidak diakui oleh KPP PMA Enam, dianggap penyerahan JKP yang bukan berasal dari hasil produksi sendiri, sebagaimana maksud, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (5) PMK 31/2014; 5. Ringkasan penjelasan dalam kronologis tabel berikut: (merupakan lanjutan dari klaster I yang disajikan ulang disini): Peristiwa Masa pajak Waktu peristiwa Keterangan Klaster I 1 Pengkreditan Pajak Masukan pertama kali Januari 2007 - Senilai PPN Rp2.070.000,00 2a Permohonan pengembalian kelebihan Pajak Masukan Januari 2009 14 April 2010 Dana diterima 2b Permohonan pengembalian kelebihan Pajak Masukan Desember 2009 27 Sept 2011 Dana diterima 3 Penyerahan BKP/JKP - Januari 2007 s.d. Februari 2013 Belum melakukan penyerahan BKP/JKP sampai waktu tersebut Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 17 dari 52 halaman. Putusan Nomor 11 P/HUM/2021 baru mulai berlaku efektif pada tanggal 01 April 2010 namun sudah diterapkan atas pajak terutang masa Januari 2009 dan Desember 2009 , sehingga peraturan diterapkan secara retroaktif padahal tidak ada pengaturannya; d. Selain itu walau ketentuan penerbitan STP sudah terdapat dalam Undang-Undang KUP Nomor 28/2007 yang sudah berlaku pada tanggal 01 Januari 2008 yang dapat mengikat masa pajak terutang di atas yaitu masa pajak Januari 2008 dan Desember 2008 namun pemberlakuan penerbitan STP Pasal 14 ayat (1) huruf g ini harus terkait (dicantolkan) pada Pasal 9 ayat (6a) dan (6b) UU PPN Nomor 42/2009 yang baru mulai berlaku 01 April 2010 dimana UU PPN ini memang belum bisa mengikat secara hukum atas masa pajak terutang Januari 2009 dan Desember 2009; Penjelasan dalam contoh tabel berikut: Peristiwa Masa Pajak Waktu Peristiwa Keterangan 1 Pengkreditan Pajak Masukan pertama kali Januari 2007 - Senilai PPN Rp2.070.000,00 2a Permohonan pengembalian kelebihan Pajak Masukan Januari 2009 14 April 2010 Dana diterima 2b Permohonan pengembalian kelebihan Pajak Masukan Desember 2009 27 Sept 2011 Dana diterima 3 Penyerahan BKP/JKP - Januari 2007 s.d. Februari 2013 Belum melakukan penyerahan BKP/JKP sampai waktu tersebut 4 Pemberlakuan peraturan tentang penerbitan STP bagi PKP yang mengalami gagal berproduksi - 01 Januari 2008 Pasal 14 (1g) UU KUP Nomor 28/2007 01 April 2010 Penerbitan STP ini harus menunggu saat berlakunya UU PPN yang mengatur gagal berproduksi 5 Dinyatakan mengalami - Januari 2010 Melewati 3 tahun Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 34 dari 52 halaman. Putusan Nomor 11 P/HUM/2021 hukum tertulis mengenai pembatasan hak mengkompensasi atau memohonkan pengembalian tersebut tetapi hanya pengaturan mengenai bagi PKP yang sudah melakukan dan menerima pengembalian Pajak Masukan akan mempunyai kewajiban membayar kembali ke Kas Negara apabila mengalami gagal berproduksi yakni 3 tahun sejak pengkreditan pertama kali masih belum melakukan penyerahan BKP/JKP. Sedangkan pelaksanaan Pasal 9 ayat (6b) dalam Undang-Undang PPN Nomor 42 hanya mengenai pengaturan perhitungan waktu, tata cara pembayaran kembali sebagaimana yang dimaksud Pasal 9 ayat (6a), berikut sanksinya yang apabila tidak dikembalikan ke Kas Negara sesuai waktu yang telah ditentukan; 48. Perbedaan Pasal 9 ayat (6a) di Undang-Undang PPN Nomor 42/2009 sebelum dirubah dan Pasal 9 ayat (6a) dan (6e) setelah dirubah, sangat kontras sekali sehingga dapat dinilai apa yang tidak atau belum diatur di Undang-Undang PPN sebelum perubahan yang seharusnya dijadikan sebagai landasan dalam penerbitan Peraturan Menteri Keuangan yang benar berkepastian hukum bagi semua Wajib Pajak (termasuk Pemohon) disaat itu; 49. Atas segala sesuatu aturan hukum yang tidak diatur dalam Undang- Undang di atasnya maka peraturan perundang-undangan dibawahnya yang sebagai peraturan pelaksana tidak berhak mengaturnya karena ini akan bertentangan dengan pembentukan perundang-undangan sebagaimana yang dimaksud Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011; B. Alasan-Alasan Hukum 1. Bahwa ketentuan Pasal 23A UUD 1945 menyatakan bahwa: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” ; 2. Bahwa pada hakikatnya, pajak atau pungutan yang bersifat memaksa yang dibebankan oleh Pemerintah kepada rakyat, harus dibentuk dengan undang-undang. Hal itu merupakan perwujudan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34
Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil Terhadap Pasal 7 ayat (4) dan ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2014 ...
Relevan terhadap 12 lainnya
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 21 dari 52 halaman. Putusan Nomor 11 P/HUM/2021 hanya berasal dari periode setelah masa Januari 2010 s.d. periode masa sebelum Juli 2013; b. yang dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya/dapat dimintakan pengembalian adalah periode masa Juli 2013 s.d. periode masa terjadinya kelebihan Pajak Masukan yang dilaporkan di SPT Masa PPN; 3. Sedangkan penerbitan 4 (empat) nomor SKPN ini dihitung dengan periode setelah masa pajak Januari 2010 s.d. periode masa pajak terjadinya kelebihan Pajak Masukan yang dilaporkan di SPT Masa PPN; 4. Perbedaan periode pengakuan poin 4 dan 5 ini jelas menunjukkan bahwa penyerahan JKP persewaan ruangan gedung perkantoran di bulan Juli 2013 tersebut tidak diakui oleh KPP PMA Enam, dianggap penyerahan JKP yang bukan berasal dari hasil produksi sendiri, sebagaimana maksud, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (5) PMK 31/2014; 5. Ringkasan penjelasan dalam kronologis tabel berikut: (merupakan lanjutan dari klaster I yang disajikan ulang disini): Peristiwa Masa pajak Waktu peristiwa Keterangan Klaster I 1 Pengkreditan Pajak Masukan pertama kali Januari 2007 - Senilai PPN Rp2.070.000,00 2a Permohonan pengembalian kelebihan Pajak Masukan Januari 2009 14 April 2010 Dana diterima 2b Permohonan pengembalian kelebihan Pajak Masukan Desember 2009 27 Sept 2011 Dana diterima 3 Penyerahan BKP/JKP - Januari 2007 s.d. Februari 2013 Belum melakukan penyerahan BKP/JKP sampai waktu tersebut Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 17 dari 52 halaman. Putusan Nomor 11 P/HUM/2021 baru mulai berlaku efektif pada tanggal 01 April 2010 namun sudah diterapkan atas pajak terutang masa Januari 2009 dan Desember 2009 , sehingga peraturan diterapkan secara retroaktif padahal tidak ada pengaturannya; d. Selain itu walau ketentuan penerbitan STP sudah terdapat dalam Undang-Undang KUP Nomor 28/2007 yang sudah berlaku pada tanggal 01 Januari 2008 yang dapat mengikat masa pajak terutang di atas yaitu masa pajak Januari 2008 dan Desember 2008 namun pemberlakuan penerbitan STP Pasal 14 ayat (1) huruf g ini harus terkait (dicantolkan) pada Pasal 9 ayat (6a) dan (6b) UU PPN Nomor 42/2009 yang baru mulai berlaku 01 April 2010 dimana UU PPN ini memang belum bisa mengikat secara hukum atas masa pajak terutang Januari 2009 dan Desember 2009; Penjelasan dalam contoh tabel berikut: Peristiwa Masa Pajak Waktu Peristiwa Keterangan 1 Pengkreditan Pajak Masukan pertama kali Januari 2007 - Senilai PPN Rp2.070.000,00 2a Permohonan pengembalian kelebihan Pajak Masukan Januari 2009 14 April 2010 Dana diterima 2b Permohonan pengembalian kelebihan Pajak Masukan Desember 2009 27 Sept 2011 Dana diterima 3 Penyerahan BKP/JKP - Januari 2007 s.d. Februari 2013 Belum melakukan penyerahan BKP/JKP sampai waktu tersebut 4 Pemberlakuan peraturan tentang penerbitan STP bagi PKP yang mengalami gagal berproduksi - 01 Januari 2008 Pasal 14 (1g) UU KUP Nomor 28/2007 01 April 2010 Penerbitan STP ini harus menunggu saat berlakunya UU PPN yang mengatur gagal berproduksi 5 Dinyatakan mengalami - Januari 2010 Melewati 3 tahun Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 34 dari 52 halaman. Putusan Nomor 11 P/HUM/2021 hukum tertulis mengenai pembatasan hak mengkompensasi atau memohonkan pengembalian tersebut tetapi hanya pengaturan mengenai bagi PKP yang sudah melakukan dan menerima pengembalian Pajak Masukan akan mempunyai kewajiban membayar kembali ke Kas Negara apabila mengalami gagal berproduksi yakni 3 tahun sejak pengkreditan pertama kali masih belum melakukan penyerahan BKP/JKP. Sedangkan pelaksanaan Pasal 9 ayat (6b) dalam Undang-Undang PPN Nomor 42 hanya mengenai pengaturan perhitungan waktu, tata cara pembayaran kembali sebagaimana yang dimaksud Pasal 9 ayat (6a), berikut sanksinya yang apabila tidak dikembalikan ke Kas Negara sesuai waktu yang telah ditentukan; 48. Perbedaan Pasal 9 ayat (6a) di Undang-Undang PPN Nomor 42/2009 sebelum dirubah dan Pasal 9 ayat (6a) dan (6e) setelah dirubah, sangat kontras sekali sehingga dapat dinilai apa yang tidak atau belum diatur di Undang-Undang PPN sebelum perubahan yang seharusnya dijadikan sebagai landasan dalam penerbitan Peraturan Menteri Keuangan yang benar berkepastian hukum bagi semua Wajib Pajak (termasuk Pemohon) disaat itu; 49. Atas segala sesuatu aturan hukum yang tidak diatur dalam Undang- Undang di atasnya maka peraturan perundang-undangan dibawahnya yang sebagai peraturan pelaksana tidak berhak mengaturnya karena ini akan bertentangan dengan pembentukan perundang-undangan sebagaimana yang dimaksud Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011; B. Alasan-Alasan Hukum 1. Bahwa ketentuan Pasal 23A UUD 1945 menyatakan bahwa: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” ; 2. Bahwa pada hakikatnya, pajak atau pungutan yang bersifat memaksa yang dibebankan oleh Pemerintah kepada rakyat, harus dibentuk dengan undang-undang. Hal itu merupakan perwujudan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 272/PMK.04/2015 tentang Pusat Logistik Berikat.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.
Undang-Undang Cukai adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.
Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan Bea Masuk.
Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang asal luar daerah pabean clan/ atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.
Penyelenggara PLB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan menyediakan dan mengelola kawasan untuk kegiatan pengusahaan Pusat Logistik Berikat.
Penyelenggara PLB sekaligus Pengusaha PLB yang selanjutnya disebut Pengusaha PLB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan PLB.
Pengusaha di PLB merangkap Penyelenggara di PLB yang selanjutnya disebut PDPLB, adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengusahaan PLB yang berada di dalam PLB milik Penyelenggara PLB yang statusnya sebagai badan usaha yang berbeda.
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean, sehingga bebas dari pengenaan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Cukai.
Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
Pajak Dalam Rangka Impor yang selanjutnya disingkat PDRI adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan /a tau Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22.
Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Direktur J enderal adalah Direktur J enderal Bea dan Cukai.
Kantor Wilayah atau KPU adalah Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat dipenuhinya Jenderal Bea dan kewajiban pabean Cukai sesuai ketentuan Undang-Undang Kepabeanan. tern pat dengan 16. Pejabat adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.
Perdagangan secara Elektronik yang selanjutnya disebut E-Commerce adalah perdagangan Barang yang dilakukan oleh pedagang dan konsumen melalui sistem elektronik.
PLB Industri Besar adalah PLB untuk menimbun barang terutama untuk tujuan didistribusikan kepada perusahaan industri.
PLB IKM adalah PLB untuk menimbun barang terutama untuk tujuan didistribusikan kepada perusahaan industri kecil dan menengah.
PLB Hub Cargo Udara adalah PLB untuk menimbun barang terutama untuk tujuan ekspor dan/atau transhipment.
PLB E-Commerce adalah PLB untuk menimbun barang yang penjualannya dilakukan melalui platform E-Commerce.
PLB Barang Jadi adalah PLB yang menimbun barang jadi terutama untuk tujuan distribusi selain kepada perusahaan industri.
PLB Bahan Pokok adalah PLB yang menimbun bahan pokok terutama untuk tujuan distribusi selain kepada perusahaan industri.
PLB Floating Storage adalah PLB untuk menimbun barang yang berlokasi di wilayah perairan.
PLB Ekspor Barang Komoditas adalah PLB untuk menimbun barang ekspor terutama untuk tujuan diperdagangkan di bursa komoditi dan/atau pasar lelang komoditas.
Platf orm E-Commerce adalah wadah berupa aplikasi, situs internet, layanan konten lainnya berbasis internet atau transmisi elektronik lainnya yang digunakan untuk transaksi dan/atau fasilitasi perdagangan melalui sistem elektronik.
Penyedia Platform E-Commerce adalah pihak baik individu, badan usaha, maupun badan hukum yang menyediakan Platf orm E-Commerce.
Di antara ayat (1) clan ayat (2) Pasal 2 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (la) clan ayat ( 1 b), serta ayat (2) diubah sehingga Pasal 2 berbuny:
sebagai berikut:
Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator)
Uji materiil terhadap Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 116/PMK.010/2017, tentang Barang Kebutuhan Pokok Yang Tidak Dikenai Pajak Pe ...
Relevan terhadap 16 lainnya
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 45 dari 56 halaman. Putusan Nomor. 32 P/HUM/2018 rakyat banyak, termasuk di dalamnya kriteria dan/atau rincian barang kebutuhan pokok yang tidak dikenai PPN; 6. Implikasi dicabutnya Pasal 1 ayat (2) PMK 116/2017 adalah barang kebutuhan pokok yang telah ditetapkan dalam PMK 116/2017 yang semula tidak dikenai PPN justru berubah menjadi dikenai PPN , sehingga atas impor dan/atau penyerahannya dikenai PPN tarif 10% dan atas ekspornya dikenai PPN tarif 0%, dengan contoh sebagai berikut: a. Gula yang merupakan barang kebutuhan pokok hasil industri berdasarkan Perpres 71/2015 dan tidak dikenai PPN berdasarkan PMK 116/2017, berubah menjadi BKP yang dikenai PPN 10%. Mengingat harga gula di tingkat konsumen akhir telah ditetapkan pemerintah dan biaya produksi tebu yang semakin naik, maka ada kekhawatiran pedagang terhadap pengenaan PPN atas gula dari olahan tebu petani mengakibatkan gula tersebut tidak laku ketika dijual. Petani tebu akan menderita kerugian ketika PPN terutang atas gula yang seharusnya ditanggung oleh pedagang dibebankan kepada petani tebu; b. Garam yang merupakan barang hasil pengolahan/industri yang semula tidak dikenai PPN berdasarkan UU PPN dan PMK 116/2017 berubah menjadi BKP yang dikenai PPN 10%. Hal ini akan berdampak pada naiknya harga garam yang dipatok kepada konsumen akhir sebagai penanggung beban PPN. Kenaikan harga garam memicu adanya inflasi mengingat tingginya kebutuhan garam nasional dan pentingnya manfaat garam bagi konsumen maupun industri. Pemerintah dapat mengambil langkah untuk menekan harga garam dengan cara memberikan subsidi, namun hal itu akan menambah beban Negara yang akibatnya mengurangi subsidi di sektor lain; c. Barang hasil pertanian, baik yang merupakan barang kebutuhan pokok hasil pertanian berdasarkan Perpres 71/2015 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 45
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 19 dari 56 halaman. Putusan Nomor. 32 P/HUM/2018 “tidak termasuk menghasilkan” tersebut seharusnya tidak dikenai PPN. Sedangkan di luar kegiatan yang “dikecualikan” tersebut dapat dikenakan PPN karena sudah memasuki “proses pengolahan/industrial menjadi barang baru”; 47. Bahwa terminologi “nilai tambah” pada Undang-Undang Industri dan “pengolahan” pada Undang-Undang PPN secara seragam mengaitkan PPN dengan nilai tambah dan proses pengolahan yang bersifat industrial. Hal ini kemudian sejalan dengan pendapat PARA Pemohon sebagaimana telah diuraikan sebelumnya yaitu hendaknya pembebanan PPN atas komoditi pangan tidak memberatkan masyarakat namun di sisi lain, fasilitas tidak dikenai PPN juga janganlah merugikan Negara; 48. Dengan demikian mengacu pada pedoman-pedoman di atas, adalah tepat bila Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 116/Pmk.010/2017 seharusnya dijelaskan, sbb. : “Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak adalah barang pangan yang berasal dari hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air yang diambil langsung dari sumbernya atau diolah sebatas kegiatan pasca panen dan bukan merupakan hasil dari proses pengolahan (industri) sebagaimana dimaksud dalam pengertian “menghasilkan” dalam Pasal 1 angka (16) Undang-undang ini, tidak dikenai PPN”; Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka selanjutnya Pemohon mohon kepada Ketua Mahkamah Agung berkenan memeriksa permohonan keberatan dan memutuskan sebagai berikut: Primair : 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 116/Pmk.010/2017 Bertentangan Dengan Norma Dasar Dari Pajak Pertambahan Nilai Dan Pangan Sehingga Bertentangan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 36 dari 56 halaman. Putusan Nomor. 32 P/HUM/2018 4. Melihat uraian pada tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemohon telah keliru dalam memahami apa itu BKP yang dikenai PPN, karena Pemohon masih menggunakan pola pikir lama yang sejak diubahnya UU PPN 8/1983 sudah tidak digunakan lagi; 5. Kesalahan dalam memahami apa itu BKP, berakibat Pemohon merasa pengaturan sebagaimana diatur dalam PMK 116/2017 menjadi bertentangan dengan Pasal 4A UU PPN; 6. Pada faktanya, suatu barang dikategorikan sebagai BKP yang dikenai PPN atau non-BKP kini tidak bergantung pada ada tidaknya proses menghasilkan/mengolah atas barang tersebut, namun bergantung pada bagaimana UU PPN mengaturnya, sebagaimana telah kami contohkan tersebut di atas; Pengaturan Terkait Perlakuan PPN atas Komoditi Ikan dan Kacang-Kacangan; 1. Perlakuan PPN atas Komoditi Ikan; 6) Dalam ketentuan Pasal 16B ayat (1) huruf b UU PPN, pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk penyerahan BKP tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah; 7) Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf b dan Pasal 1 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015 tentang Impor dan atau Penyerahan BKP Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN (PP 81/2015), diatur bahwa BKP tertentu yang bersifat strategis yang atas impor dan/atau penyerahannya dibebaskan dari Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36