Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
modalnya dimiliki negara (termasuk partisipasi BUMN atau swasta); dan 5) skema dukungan pembiayaan internasional Pemilihan skema pendanaan tersebut akan dilakukan dengan menggunakan analisis value for money (VfM) dengan mengedepankan manfaat sosial ekonomi dari biaya yang akan dikeluarkan. d. Pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus IKN berpedoman pada Rencana Induk IKN yang merupakan dokumen perencanaan terpadu yang menjadi pedoman bagi Pemerintah Pusat, dan/atau Otorita IKN. e. Pelaksanaan pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara sesuai Rencana Induk IKN dilaksanakan secara bertahap sampai dengan tahun 2045 dan dimasukkan sebagai program prioritas nasional dalam Rencana Kerja Pemerintah, serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. f. RUU IKN baru mulai dilakukan pembahasan dengan DPR (pada tanggal 7 Desember 2021) setelah ditetapkannya UU APBN TA 2022, sehingga belum ada pengalokasian anggaran secara spesifik untuk IKN. Namun demikian, dalam APBN TA 2022 telah dialokasikan anggaran pada K/L untuk pembangunan infrastruktur di wilayah Kalimantan yang lokasinya berada di sekitar IKN sehingga dapat mendukung persiapan dan pembangunan tahap awal IKN, sebagai contoh pembangunan Jembatan Pulau Balang dan Bendungan Sepaku Semoi. g. Dalam rangka pendanaan pembangunan IKN pada tahun 2022, Pemerintah akan melakukan optimalisasi belanja K/L/ nonK/L APBN TA 2022. h. Perencanaan pembentukan UU tidak berarti bahwa anggaran untuk pemindahan IKN harus ada sejak tahun 2020, 2021, dan 2022. Yang menjadi acuan adalah RPJMN 2020-2024 sebagai dokumen perencanaan. Sehingga pembentukan UU IKN sudah masuk dalam perencanaan yang dapat dibuktikan dengan daftar Prolegnas 2020- 2024. Pemohon keliru dengan mencampuradukkan antara konsep
pemindahan serta penyelenggaraan pemerintah khusus IKN merupakan hal yang lazim dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 5. Bahwa dalam Rapat Kerja Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang- Undang tentang Ibu Kota Negara (RUU IKN) pada tanggal 7 Desember 2021 pukul 19.39 WIB, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas menyampaikan sebagai berikut: “ Dalam hal pembiayaan Pemerintah memastikan tidak mengurangi dan apalagi menggerus sosial transfer yang telah dan akan dialokasikan ke depan. Pemerintah telah menghitung kebutuhan pendanaan jangka menengah melalui APBN, Pemerintah juga akan memaksimalkan sumber-sumber pembiayaan yang tersedia blended finance, skema KPBU, financial model yang marketable sehingga meminimalkan beban APBN .” ( vide Lampiran 10. hlm. 9) Berdasarkan uraian tersebut, maka anggaran yang telah dialokasikan dalam APBN untuk penanganan pandemi Covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional sama sekali tidak berkurang bahkan tidak terganggu dengan pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus Ibu Kota Negara Nusantara. Pemerintah telah memaksimalkan sumber-sumber pembiayaan dengan skema pendanaan yang menggunakan analisis value for money dengan mengedepankan manfaat sosial-ekonomi dari biaya yang akan dikeluarkan agar APBN tidak banyak terbebani. Dengan demikian, maka dalil Para Pemohon yang menganggap memiliki kedudukan hukum karena memiliki kepentingan terhadap keselamatan dalam keadaan darurat Kesehatan masyarakat akibat Covid-19 adalah dalil yang tidak berdasar dan hanya merupakan kekhawatiran Para Pemohon. 6. Terkait dengan adanya pajak khusus dan/atau pungutan khusus di Ibu Kota Nusantara sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (4) UU IKN, DPR menerangkan bahwa pajak khusus dan pungutan khusus tersebut berlaku khusus di Ibu Kota Nusantara. Bahwa pajak dan pungutan khusus tersebut merupakan pajak daerah dan retribusi daerah yang menjadi salah satu sumber pendapatan keuangan daerah yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus Ibu Kota Nusantara sebagaimana pajak daerah dan retribusi yang berlaku di seluruh daerah. Para Pemohon Perkara 34 tidak menguraikan bahwa Para Pemohon Perkara
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI YANG DIPENGARUHI HUBUNGAN ISTIMEWA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. 2. Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 • tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. 3. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. 4. Harga Transfer adalah harga dalam transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa.
Pihak Afiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan istimewa satu sama lain. 6. Transaksi Afiliasi adalah transaksi yang dilakukan wajib pajak dengan Pihak Afiliasi. 7. Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa adalah transaksi yang meliputi Transaksi Afiliasi dan/atau transaksi yang dilakukan antarpihak yang tidak memiliki hubungan istimewa tetapi Pihak Afiliasi dari salah satu atau kedua pihak yang bertransaksi tersebut menentukan lawan transaksi dan harga transaksi. 8. Transaksi Independen adalah transaksi yang dilakukan antarpihakyang tidak memiliki hubungan istimewa dan tidak dipengaruhi hubungan istimewa. 9. Penentuan Harga Transfer (Transfer Pricing) yang selanjutnya disebut Penentuan Harga Transfer adalah penentuan harga dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. 10. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha yang Tidak Dipengaruhi oleh Hubungan Istimewa (Ann's Length Principle/ ALP) yang selanjutnya disebut Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha adalah prinsip yang berlaku di dalam praktik bisnis yang sehat yang dilakukan se bagaimana Transaksi Independen. 11. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/ a tau tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. 12. Dokumen Penentuan Harga Transfer adalah dokumen yang diselenggarakan oleh wajib pajak yang memuat data dan/ a tau informasi untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha. 13. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 14. Grup Usaha adalah sekumpulan subjek pajak yang menjalankan kegiatan usaha yang terdiri dari pihak- pihak yang mempunyai hubungan istimewa. 15. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak. 16. Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. 1 7. Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah otoritas perpajakan pada Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berwenang melaksanakan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. 18. Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/ MAP) yang selanjutnya disebut Prosedur Persetujuan Bersama adalah prosedur administratif yang diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. 19. Pejabat Berwenang terkait pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang selanjutnya disebut Pejabat Berwenang adalah pejabat di Indonesia atau pejabat di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berwenang untuk melaksanakan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. 20. Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda oleh Pejabat Berwenang dari Pemerintah Indonesia dan Pejabat Berwenang dari pemerintah Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sehubungan dengan Prosedur Persetujuan Bersama yang telah dilaksanakan. 21. Surat Keputusan Persetujuan Bersama adalah surat keputusan yang diterbitkan untuk menindaklanjuti kesepakatan dalam Persetujuan Bersama. 22. Warga Negara Indonesia yang mengajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang selanjutnya disebut Warga Negara Indonesia adalah Warga Negara Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kewarganegaraan yang menjadi wajib pajak dalam negeri Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. 23. Pemohon adalah Wajib Pajak dalam negeri atau Warga Negara Indonesia. 24. Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/ APA) yang selanjutnya disebut Kesepakatan Harga Transfer adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak atau Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang menyangkut wajib pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan untuk menyepakati kriteria dalam Penentuan Harga Transfer dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka. 25. Naskah Kesepakatan Harga Transfer adalah dokumen yang berisi kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dalam negeri mengenai kriteria dalam Penentuan Harga Transfer dan Penentuan Harga Transfer di muka sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha selama periode kesepakatan harga transfer serta pemberlakuan mundur.
Kesepakatan Harga Transfer Unilateral adalah Kesepakatan Harga Transfer antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dalam negeri. 27. Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral adalah Kesepakatan Harga Transfer antara Direktur Jenderal Pajak dan 1 (satu) atau lebih Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang dilaksanakan berdasarkan permohonan Wajib Pajak dalam negeri. 28. Periode Kesepakatan Harga Transfer adalah tahun pajak yang dicakup di dalam Kesepakatan Harga Transfer sesuai permohonan Wajib Pajak dalam negeri atau sesuai Persetujuan Bersama paling lama 5 (lima) tahun pajak setelah tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer. 29. Pemberlakuan Mundur (Roll-back) yang selanjutnya disebut Pemberlakuan Mundur adalah pemberlakuan hasil kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer untuk tahun pajak sebelum Periode Kesepakatan Harga Transfer. 30. Portal Wajib Pajak adalah sarana Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara elektronik pada laman Direktorat Jenderal Pajak. BAB II HUBUNGAN ISTIMEWA Pasal 2 (1) Hubungan istimewa merupakan hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam:
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan; dan
Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (2) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu • pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh:
kepemilikan atau penyertaan modal;
penguasaan; atau
hubungan keluarga sedarah atau semenda. (3) Keadaan ketergantungan atau keterikatan antara satu pihak dan pihak lainnya se bagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan keadaan satu atau lebih pihak:
mengendalikan pihak yang lain; atau
tidak berdiri bebas, dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan. (4) Hubungan istimewa karena kepemilikan atau penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap ada dalam hal:
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; atau
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada 2 (dua) Wajib Pajak atau lebih atau hubungan di antara 2 (dua) Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir. (5) Hubungan istimewa karena penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dianggap ada dalam hal:
satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain, secara langsung dan/atau tidak langsung;
dua pihak atau lebih berada di bawah penguasaan pihak yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung;
satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain melalui manajemen atau penggunaan teknologi;
terdapat orang yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung terlibat atau berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan manajerial atau operasional pada dua pihak a tau le bih;
para pihak yang secara komersial atau finansial diketahui atau menyatakan diri berada dalam satu Grup U saha yang sama; atau
satu pihak menyatakan diri memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain. (6) Hubungan istimewa karena hubungan keluarga sedarah atau semenda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dianggap ada dalam hal terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat. BAB III PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA Bagian Kesatu Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Pasal 3 (1) Wajib Pajak wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban di bidang perpajakan terkait Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa. (2) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan untuk menentukan Harga Transfer yang wajar. (3) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterapkan dengan membandingkan kondisi dan indikator harga Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dengan kondisi dan indikator harga Transaksi Independen yang sama atau sebanding. (4) Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam hal nilai indikator Harga Transfer sama dengan nilai indikator harga Transaksi Independen yang sebanding. (5) Indikator harga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa harga transaksi, laba kotor, atau laba operasi bersih berdasarkan nilai absolut atau nilai rasio tertentu. Bagian Kedua Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa Paragraf 1 Pedoman Umum Pasal 4 (1) Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) wajib dilakukan:
berdasarkan keadaan yang se benarnya;
pada saat Penentuan Harga Transfer dan/atau saat terjadinya Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa; dan
sesuai dengan tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha. (2) Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara terpisah untuk setiap jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. (3) Dalam hal terdapat dua atau lebih jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang saling berkaitan dan memengaruhi satu sama lain dalam Penentuan Harga Transfer sehingga penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha secara terpisah se bagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilakukan secara andal dan akurat, penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha dapat dilakukan dengan menggabungkan dua atau lebih jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tersebut. (4) Tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha se bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
mengidentifikasi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Pihak Afiliasi;
melakukan analisis industri yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak, termasuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kinerja usaha dalam industri tersebut;
mengidentifikasi hubungan komersial dan/atau keuangan antara Wajib Pajak dan Pihak Afiliasi dengan melakukan analisis atas kondisi transaksi;
melakukan analisis kesebandingan;
menentukan metode Penentuan Harga Transfer; dan
menerapkan metode Penentuan Harga Transfer dan menentukan Harga Transfer yang wajar.
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha untuk Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu harus dilakukan dengan tahapan pendahuluan dan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi:
transaksi jasa;
transaksi terkait penggunaan atau hak menggunakan harta tidak berwujud;
transaksi keuangan terkait pinjaman;
transaksi keuangan lainnya;
transaksi pengalihan harta;
restrukturisasi usaha; dan
kesepakatan kontribusi biaya. Paragraf 2 Identifikasi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Pihak Afiliasi Pasal 5 Identifikasi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Pihak Afiliasi,sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a merupakan kegiatan untuk mengidentifikasi:
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang dilakukan oleh Wajib Pajak;
pihak-pihak yang terlibat dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
bentuk hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). Paragraf 3 Analisis Industri Pasal 6 (1) Analisis industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf b merupakan analisis untuk mengidentifikasi faktor-faktor berupa:
jenis produk berupa barang atau jasa;
karakteristik industri dan pasar, seperti pertumbuhan pasar, segmentasi pasar, siklus pasar, teknologi, ukuran pasar, prospek pasar, rantai pasokan, dan rantai nilai;
pesaing dan tingkat persaingan usaha;
tingkat efisiensi dan keunggulan lokasi Wajib Pajak;
keadaan ekonomi yang memengaruhi kinerja usaha dalam industri tersebut, seperti tingkat infl.asi, pertumbuhan ekonomi, suku bunga, dan nilai tukar / kurs;
regulasi yang memengaruhi dan/atau menentukan keberhasilan dalam industri; dan
faktor-faktor selain faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f yang memengaruhi kinerja usaha dalam industri terse but.
Hasil analisis industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan dalam mengidentifikasi perbedaan antara kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa yang diuji dan kondisi transaksi calon pembanding saat melakukan analisis kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf d. Paragraf 4 Analisis atas Kondisi Transaksi Pasal 7 (1) Kondisi transaksi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf c merupakan karakteristik ekonomi yang relevan, berupa:
keten tuan kon traktual;
fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan, dan risiko yang di tanggung;
karakteristik produk yang ditransaksikan;
keadaan ekonomi; dan
strategi bisnis yang dijalankan para pihak yang bertransaksi. (2) Ketentuan kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan ketentuan yang dilaksanakan dan/atau berlaku bagi para pihak yang bertransaksi sesuai keadaan yang se benarnya, baik secara tertulis atau tidak tertulis. (3) Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan aktivitas dan/ a tau tanggung jawab pihak- pihak yang bertransaksi dalam menjalankan kegiatan usaha. (4) Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan aset berwujud, aset tidak berwujud, aset keuangan, dan/atau aset non-keuangan yang berpengaruh dalam pembentukan nilai (value creation), termasuk akses dan tingkat penguasaan pasar di Indonesia. (5) Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan dampak dari kondisi ketidakpastian dalam mencapai tujuan usaha yang ditanggung pihak-pihak yang bertransaksi. (6) Karakteristik produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan karakteristik spesifik dari barang atau jasa yang ditransaksikan dan secara signifikan memengaruhi penetapan harga dalam pasar terbuka. (7) Keadaan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan kondisi ekonomi dari:
para pihak yang bertransaksi; dan
pasar tempat para pihak bertransaksi. (8) Strategi bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan strategi yang dijalankan perusahaan dalam menjalankan usaha di pasar terbuka. Paragraf 5 Analisis Kesebandingan Pasal 8 (1) Analisis kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf d dilakukan untuk menentukan kesebandingan antara Transaksi Independen dan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa atas kondisi transaksi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). (2) Transaksi Independen sama atau sebanding dengan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) sepanJang:
kondisi Transaksi Independen sama atau serupa dengan kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji;
kondisi Transaksi Independen berbeda dengan kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji, tetapi perbedaan kondisi tersebut tidak memengaruhi penentuan harga; atau
kondisi Transaksi Independen berbeda dengan kondisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan perbedaan kondisi tersebut memengaruhi penentuan harga, tetapi penyesuaian yang akurat dapat dilakukan secara memadai terhadap Transaksi lndependen untuk menghilangkan dampak material perbedaan kondisi tersebut terhadap penentuan harga. (3) Analisis kesebandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
memahami karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang sedang diuji berdasarkan hasil identifikasi hubungan komersial dan/atau keuangan antara Wajib Pajak dan Pihak Afiliasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf c dan menentukan karakteristik usaha masing-masing pihak yang bertransaksi;
mengidentifikasi keberadaan Transaksi Independen yang menjadi calon pembanding yang andal;
menentukan pihak yang diuji indikator harganya dalam hal metode Penentuan Harga Transfer yang digunakan merupakan metode yang berbasis laba;
mengidentifikasi perbedaan kondisi antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa yang diuji dan calon pembanding;
melakukan penyesuaian yang akurat secara layak atas calon pembanding untuk menghilangkan dampak material perbedaan kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf d terhadap indikator harga transaksi; dan
menentukan Transaksi Independen yang menjadi pembanding terpilih. (4) Pihak yang diuji indikator harganya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan pihak dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang memiliki fungsi, aset, dan risiko yang lebih sederhana dengan mempertimbangkan:
penerapan metode Penentuan Harga Transfer; dan
ketersediaan data, yang paling andal dan dapat digunakan. (5) Pembanding sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f dapat berupa pembanding internal atau pembanding eksternal. (6) Pembanding internal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan transaksi antara pihak yang independen dan:
Wajib Pajak; atau
Pihak Afiliasi yang merupakan lawan transaksi. (7) Pembanding eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan transaksi antarpihak yang independen selain pembanding internal. (8) Dalam hal tersedia pembanding internal dan pembanding eksternal dengan tingkat kesebandingan dan keandalan yang sama, pembanding internal yang dipilih dan digunakan sebagai pembanding. (9) Dalam hal tersedia lebih dari satu pembanding eksternal dengan tingkat kese bandingan dan keandalan yang sama, pembanding eksternal yang berasal dari negara atau yurisdiksi yang sama dengan pihak yang diuji, dipilih dan digunakan sebagai pembanding. Paragraf 6 Metode Penentuan Harga Transfer Pasal 9 (1) Metode Penentuan Harga Transfer dalam tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf e dapat berupa:
metode perbandingan harga antarpihak yang independen ( _comparable uncontrolled price method); _ b. metode harga penjualan kembali (resale price _method); _ c. metode biaya-plus (cost plus _method); _ atau d. metode lainnya, seperti:
metode pembagian laba _(profit split method); _ 2. metode laba bersih transaksional ( transactional net _margin method); _ 3. metode perbandingan transaksi independen ( _comparable uncontrolled transaction method); _ 4. metode dalam penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud (tangible asset and intangible asset _valuation); _ a tau 5. metode dalam penilaian bisnis ( business valuation). (2) Metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih berdasarkan ketepatan dan keandalan metode, yang dinilai dari:
kesesuaian metode Penentuan Harga Transfer dengan karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi;
kelebihan dan kekurangan setiap metode yang dapat diterapkan;
ketersediaan Transaksi Independen yang menjadi pembanding yang andal;
tingkat kesebandingan antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Transaksi Independen yang menjadi pembanding; dan
keakuratan penyesuaian yang dibuat dalam hal terdapat perbedaan kondisi antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Transaksi Independen yang menjadi pembanding. (3) Metode perbandingan harga antarpihak yang independen ( comparable uncontrolled price method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sesuai un tuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa sebagai berikut:
transaksi produk komoditas; dan
transaksi barang atau jasa dengan karakteristik barang atau jasa yang sama atau serupa dengan karakteristik barang atau jasa pada Transaksi Independen dalam kondisi yang sebanding. (4) Metode harga penjualan kembali (resale price method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dilakukan dengan melibatkan distributor atau reseller yang melakukan penjualan kembali barang atau jasa kepada pihak yang independen atau kepada Pihak Afiliasi dengan harga yang telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha;dan b. distributor atau reseller sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak menanggung risiko bisnis yang signifikan, tidak memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa, atau tidak memberikan nilai tambah yang signifikan terhadap barang atau jasa yang ditransaksikan. (5) Metode biaya-plus (cost plus method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dilakukan dengan melibatkan pabrikan atau penyedia jasa yang membeli bahan baku dan/atau faktor produksi lainnya dari pihak yang independen atau dari Pihak Afiliasi dengan harga yang telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha;dan b. pabrikan atau penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak menanggung risiko bisnis yang signifikan dan tidak memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. (6) Metode pembagian laba (profit split method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 1 sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dilakukan oleh para pihak yang memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
kegiatan usaha para pihak yang bertransaksi merupakan kegiatan usaha yang sangat terintegrasi (highly integrated) sehingga kontribusi masing- masing pihak yang bertransaksi tidak dapat dilakukan analisis secara terpisah; dan
para pihak yang bertransaksi saling berbagi risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi (share the assumption of economically significant risks) atau secara terpisah menanggung risiko bisnis yang saling berkaitan (separately assume closely related risks). (7) Metode laba bersih transaksional ( transactional net margin method) se bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 2 dapat dipilih sepanjang pembanding yang andal dan sebanding di tingkat harga dan laba kotor tidak tersedia dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dilakukan oleh salah satu pihak atau para pihak yang tidak memiliki kontribusi unik dan bernilai terhadap Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
kegiatan usaha para pihak yang bertransaksi merupakan kegiatan usaha yang tidak terintegrasi _(non-highly integrated); _ dan c. para pihak yang bertransaksi tidak saling berbagi risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi ( not sharing of the assumption of economically significant risks) atau secara terpisah tidak menanggung risiko bisnis yang saling berkaitan (separately not assuming closely related risks). (8) Metode perbandingan Transaksi Independen ( comparable uncontrolled transaction method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 3 sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa yang secara komersial dinilai berdasarkan basis tertentu, berupa tingkat suku bunga, diskonto, provisi, komisi, dan persentase royalti terhadap penjualan atau laba operasi. (9) Metode dalam penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud (tangible asset and intangible asset valuation) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 4 sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan lstimewa berupa:
transaksi pengalihan harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud;
transaksi penyewaan harta berwujud;
transaksi sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan harta tidak berwujud;
transaksi pengalihan aset keuangan;
transaksi pengalihan hak sehubungan dengan pengusahaan wilayah pertambangan dan/atau hak sejenis lainnya; dan
transaksi pengalihan hak sehubungan dengan pengusahaan perkebunan, kehutanan, dan/atau hak sej enis lainnya. (10) Metode dalam penilaian bisnis (business valuation) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 5 sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa berupa:
transaksi sehubungan dengan restrukturisasi usaha, termasuk pengalihan fungsi, aset, dan/atau risiko antar-Pihak Afiliasi;
transaksi pengalihan harta selain kas kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal _(inbreng); _ dan c. transaksi pengalihan harta selain kas kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota dari perseroan, persekutuan, atau badan lainnya. (11) Kontribusi yang unik dan bernilai sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a merupakan kontribusi yang:
lebih signifikan dari kontribusi yang diberikan oleh pihak yang independen dalam kondisi yang sebanding; dan
menjadi sumber utama manfaat ekonomi aktual atau potensial dalam kegiatan usaha. (12) Dalam hal metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau ayat (1) huruf d angka 3 dan metode yang lain dapat digunakan dan memiliki keandalan yang setara, maka metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau ayat (1) huruf d angka 3 lebih diutamakan daripada metode yang lain. (13) Dalam hal metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ayat (1) huruf c, ayat (1) huruf d angka 1, dan ayat (1) huruf d angka 2 dapat digunakan dan memiliki keandalan yang setara, maka metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau ayat (1) huruf c lebih diutamakan daripada metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 1 dan ayat (1) huruf d angka 2. Paragraf 7 Penerapan Metode Penentuan Harga Transfer dan Penentuan Harga Transfer yang Wajar Pasal 10 (1) Metode perbandingan harga antarpihak yang independen (comparable uncontrolled price method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dilakukan dengan membandingkan harga antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan Transaksi Independen. (2) Metode harga penjualan kembali (resale price method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dilakukan dengan mengurangkan laba kotor yang wajar untuk distributor atau reseller terhadap harga jual kembali. (3) Metode biaya-plus (cost plus method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar pabrikan atau penyedia jasa terhadap harga pokok penjualan barang atau jasa. (4) Metode pembagian laba (profit split method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 1 dilakukan dengan membagi laba gabungan transaksi yang relevan berdasarkan fungsi, aset, risiko, dan/atau kontribusi para pihak di dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. (5) Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method) se bagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 2 dilakukan dengan membandingkan tingkat laba operasi bersih pihak yang diuji dengan tingkat laba operasi bersih pembanding. (6) Metode perbandingan Transaksi lndependen (comparable uncontrolled transaction) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 3 dilakukan dengan membandingkan harga atau laba transaksi terhadap basis tertentu antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Transaksi Independen. (7) Metode dalam penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud (tangible asset and intangible asset valuation) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 4 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara penilaian untuk tujuan perpajakan. (8) Metode dalam penilaian bisnis (business valuation) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 5 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara penilaian untuk tujuan perpajakan. Pasal 11 (1) Pembagian laba gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) dapat dilakukan di tingkat laba kotor atau laba operasi bersih. (2) Tingkat laba gabungan yang dibagi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh tingkat integrasi fungsi, penggunaan aset, dan/atau pembagian risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi dari para pihak yang bertransaksi dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. (3) Laba gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibagi dengan menggunakan:
pendekatan berbasis kontribusi (contribution _analysis); _ atau b. pendekatan berbasis laba residu (residual analysis). (4) Pendekatan berbasis kontribusi (contribution analysis) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan dengan membagi laba gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan faktor pembagi. (5) Pendekatan berbasis laba residu (residual analysis) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan dengan memisahkan laba gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi:
laba yang berasal dari kontribusi masing-masing pihak yang bertransaksi yang dapat diperoleh secara andal pembandingnya dalam Transaksi Independen; dan
sisa laba gabungan setelah dikurangi laba sebagaimana dimaksud dalam huruf a, yang dapat bernilai positif ataupun negatif. (6) Sisa laba gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dibagi berdasarkan faktor pembagi. (7) Faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (6) dapat berupa:
persentase pembagian laba oleh pihak-pihak dalam Transaksi Independen yang se banding; a tau b. nilai relatif atau persentase kontribusi para pihak yang bertransaksi dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa, dalam hal data sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak tersedia. (8) Faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
terbebas dari Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa;
dapat diverifikasi; dan
didukung oleh data pembanding atau data internal pihak-pihak yang bertransaksi dan/atau data lainnya yang relevan. Pasal 12 (1) Nilai indikator harga Transaksi Independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dapat berupa:
titik kewajaran (ann's length _point); _ atau b. titik di dalam rentang kewajaran (ann's length range). (2) Nilai indikator harga Transaksi Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk berdasarkan data pembanding tahun tunggal (single year). (3) Nilai indikator harga Transaksi Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk berdasarkan data pembanding tahun jamak (multiple year) sepanjang dapat meningkatkan kesebandingan. (4) Data pembanding tahun tunggal (single year) atau tahun jamak (multiple year) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan data yang tersedia dan paling mendekati pada saat Penentuan Harga Transfer dan/atau terjadinya Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. (5) Titik kewajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan titik indikator harga yang terbentuk dari satu atau lebih pembanding yang memiliki nilai indikator harga yang sama. (6) Rentang kewajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan rentang indikator harga yang terbentuk dari dua atau lebih pembanding yang memiliki nilai indikator harga yang berbeda, berupa:
nilai minimum sampai dengan nilai maksimum (full range), dalam hal terbentuk dari dua pembanding; atau
nilai kuartil satu sampai dengan nilai kuartil tiga (interquartile range), dalam hal terbentuk dari tiga atau lebih pembanding. (7) Dalam hal Harga Transfer tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), Penentuan Harga Transfer dilakukan sebagaimana penentuan harga dalam Transaksi Independen dengan menggunakan:
titik kewajaran;
titik yang paling tepat di dalam rentang kewajaran sesuai kesebandingannya; atau
titik tengah (median) di dalam rentang kewajaran, dalam hal tidak dapat ditentukan titik paling tepat sebagaimana dimaksud dalam huruf b. Paragraf 8 Tahapan Pendahuluan Pasal 13 (1) Tahapan pendahuluan untuk transaksi jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf a meliputi pembuktian bahwa jasa terse but:
secara nyata telah diberikan oleh pemberi jasa dan diperoleh penerima jasa;
dibutuhkan oleh penerima jasa;
memberikan manfaat ekonomis kepada penenma jasa;
bukan merupakan aktivitas untuk kepentingan pemegang saham atau jenis kepemilikan lainnya yang modalnya tidak terbagi atas saham (shareholder _activity); _ e. bukan merupakan aktivitas yang memberikan manfaat kepada suatu pihak semata-mata karena pihak tersebut menjadi bagian dari Grup Usaha (passive _association); _ f. bukan merupakan duplikasi atas kegiatan yang telah dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak;
bukan merupakan jasa yang memberi manfaat insidental; dan
dalam hal j asa siaga ( on-call services), bukan merupakan jasa yang dapat diperoleh segera dari pihak yang independen tanpa adanya perjanjian siaga (on-call contract) terlebih dahulu.
Biaya sehubungan dengan transaksi jasa yang tidak memenuhi pembuktian bahwa jasa tersebut bukan merupakan aktivitas untuk kepentingan pemegang saham atau jenis kepemilikan lainnya yang modalnya tidak terbagi atas saham (shareholder activity) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, berupa:
biayajasa terkait administrasi entitas induk, seperti biaya sehubungan rapat pemegang saham entitas induk, biaya jasa sehubungan penerbitan saham entitas induk, biaya jasa sehubungan pencatatan saham entitas induk di bursa efek, dan biaya jasa sehubungan dengan terkait pengurus entitas induk;
biaya jasa terkait kewajiban pelaporan entitas induk, termasuk biaya jasa penyusunan laporan keuangan, biaya jasa penyusunan laporan audit, dan biaya jasa penyusunan laporan keuangan konsolidasi entitas induk;
biaya jasa terkait perolehan dana atau modal yang digunakan untuk pengambilalihan kepemilikan oleh entitas induk;
biayajasa terkait kepatuhan entitas induk terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku;
biaya jasa terkait perlindungan kepemilikan modal entitas induk pada perusahaan anak; dan
biaya jasa terkait tata kelola Grup Usaha secara keseluruhan. (3) Tahapan pendahuluan untuk transaksi terkait penggunaan atau hak menggunakan harta tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf b meliputi pembuktian atas:
keberadaan (eksistensi) harta tidak berwujud;
jenis harta tidak berwujud;
nilai harta tidak berwujud;
pihak yang memiliki harta tidak berwujud secara legal;
pihak yang memiliki harta tidak berwujud secara ekonomis;
penggunaan atau hak untuk menggunakan harta tidak berwujud;
pihak-pihak yang berkontribusi dan melakukan aktivitas pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, proteksi, dan eksploitasi ( development, enhancement, maintenance, protection, and exploitation) atas harta tidak berwujud; dan
manfaat ekonomis yang diperoleh pihak yang menggunakan harta tidak berwujud. (4) Tahapan pendahuluan untuk transaksi keuangan terkait pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf c meliputi pembuktian bahwa pinjaman terse but:
sesuai dengan substansi dan keadaan sebenarnya;
dibutuhkan oleh peminjam;
digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesua1 ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan;
memenuhi karakteristik pinjaman, minimal berupa:
kreditur mengakui pinjaman secara ekonomis dan secara legal;
adanya tanggal jatuh tempo pinjaman;
adanya kewajiban untuk membayar kembali pokok pinjaman;
adanya pembayaran sesuai jadwal pembayaran yang telah ditetapkan baik untuk pokok pinjaman dan imbal hasilnya;
pada saat pmJaman diperoleh, pemmJam memiliki kemampuan untuk: a) mendapatkan pmJaman dari kreditur independen; dan b) membayar kembali pokok pinjaman dan imbal hasil pinjaman sebagaimana debitur independen;
didasarkan pada perjanjian pinjaman yang dibuat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
adanya konsekuensi hukum apabila peminjam gagal dalam mengembalikan pokok pmJaman dan/atau imbal hasilnya; dan
adanya hak tagih bagi pemberi pinjaman sebagaimana kreditur independen; dan
memberikan manfaat ekonomis kepada penerima pmJaman. (5) Tahapan pendahuluan untuk transaksi keuangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf d meliputi pembuktian atas:
kesesuaian transaksi keuangan lainnya dengan substansi dan keadaan yang sebenarnya;
jenis transaksi keuangan lainnya;
pengakuan secara ekonomis dan secara legal oleh para pihak yang melakukan transaksi keuangan lainnya;
motif, tujuan, dan alasan ekonomis (economic rationale) transaksi keuangan lainnya; dan
manfaat yang diharapkan (expected benefit) dari transaksi keuangan lainnya. (6) Tahapan pendahuluan untuk transaksi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf e meliputi pembuktian atas:
motif, tujuan, dan alasan ekonomis ( economic rationale) transaksi pengalihan harta;
pengalihan harta sesuai dengan substansi dan keadaan yang se benarnya;
manfaat yang diharapkan ( expected benefit) dari pengalihan harta; dan
pengalihan harta tersebut merupakan pilihan terbaik dari berbagai pilihan lain yang tersedia. (7) Tahapan pendahuluan untuk restrukturisasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf f meliputi pembuktian atas:
motif, tujuan, dan alasan ekonomis ( economic rationale) dari restrukturisasi usaha;
restrukturisasi usaha sesuai dengan substansi dan keadaan yang se benarnya;
manfaat yang diharapkan ( expected benefit) dari restrukturisasi usaha; dan
restrukturisasi usaha tersebut merupakan pilihan terbaik dari berbagai pilihan lain yang tersedia. (8) Tahapan pendahuluan untuk kesepakatan kontribusi biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) huruf g meliputi pembuktian bahwa kesepakatan kontribusi biaya tersebut:
dibuat sebagaimana kesepakatan antarpihak yang in depend en;
dibutuhkan oleh pihak yang melakukan kesepakatan; dan
memberikan manfaat ekonomis kepada pihak yang melakukan kesepakatan. (9) Tahapan pendahuluan meliputi pembuktian atas manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, ayat (3) huruf h, ayat (4) huruf e, ayat (5) huruf e, ayat (6) huruf c, ayat (7) huruf c, ayat (8) huruf c berupa peningkatan penjualan, penurunan biaya, perlindungan atas posisi komersial, atau pemenuhan kebutuhan kegiatan komersial lainnya termasuk untuk kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Pasal 14 Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat membuktikan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu berdasarkan tahapan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tersebut tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3). Bagian Ketiga Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa atas Wajib Pajak Dalam Negeri yang Memenuhi Ketentuan Sebagai Bentuk Usaha Tetap Pasal 15 (1) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penentuan bentuk usaha tetap, Wajib Pajak dalam negeri tersebut juga ditetapkan sebagai bentuk usaha tetap. (2) Bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan seluruh data dan/atau informasi terkait transaksi yang dilakukan oleh Pihak Afiliasi di luar negeri yang terkait dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap.
Penyampaian seluruh data dan/atau informasi terkait transaksi yang dilakukan oleh Pihak Afiliasi di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. (4) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan dalam menentukan nilai transaksi bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Dalam hal bentuk usaha tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), nilai transaksi ditentukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha. (6) Pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan yang sebelumnya telah dilaksanakan Wajib Pajak dalam negeri diperhitungkan dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (7) Pemenuhan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. BAB IV DOKUMENTASI PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA Pasal 16 (1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib menyelenggarakan dan menyimpan dokumen yang memuat data dan/ a tau informasi untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. (2) Dokumen yang memuat data dan/atau informasi untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Dokumen Penentuan Harga Transfer yang terdiri atas:
dokumen induk;
dokumen lokal; dan
laporan per negara. (3) Wajib Pajak yang melakukan Transaksi Afiliasi dengan:
nilai peredaran bruto tahun pajak sebelumnya dalam satu tahun pajak lebih dari RpS0.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
nilai Transaksi Afiliasi tahun pajak sebelumnya dalam satu tahun pajak:
lebih dari Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) untuk transaksi barang berwujud; atau
lebih dari RpS.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk masing-masing penyediaan jasa, pembayaran bunga, pemanfaatan barang tidak berwujud, atau Transaksi Afiliasi lainnya; atau
Pihak Afiliasi yang berada di negara atau yurisdiksi dengan tarif pajak penghasilan lebih rendah daripada tarif pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pajak penghasilan, wajib menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b sebagai bagian dari kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. (4) Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan entitas induk dari suatu Grup Usaha yang memiliki peredaran bruto konsolidasi paling sedikit Rpl l.000.000.000.000,00 (sebelas triliun rupiah) pada tahun pajak sebelum tahun pajak yang dilaporkan wajib menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c sebagai bagian dari kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (5) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri berkedudukan sebagai entitas konstituen dan entitas induk dari Grup Usaha merupakan subjek pajak luar negeri, Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sepanjang negara atau yurisdiksi tempat entitas induk berdomisili:
tidak mewajibkan penyampaian laporan per negara;
tidak memiliki perjanjian dengan Pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan; atau
memiliki perjanjian dengan Pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan, namun laporan per negara tidak dapat diperoleh Pemerintah Indonesia dari negara atau yurisdiksi tersebut. (6) Batasan nilai peredaran bruto dan nilai Transaksi Afiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung dengan cara disetahunkan dalam hal tahun pajak diperolehnya peredaran bruto dan/atau dilakukannya Transaksi Afiliasi meliputijangka waktu kurang dari 12 (dua belas) bulan. (7) Dalam hal Wajib Pajak memiliki Transaksi Afiliasi namun tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), atau ayat (5), Wajib Pajak tetap diwajibkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (8) Dalam hal Wajib Pajak telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah, batasan nilai uang dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) setara dengan nilai mata uang selain rupiah berdasarkan nilai kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk penghitungan pajak pada akhir tahun pajak. (9) Peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (6) merupakan penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha setelah dikurangi dengan retur dan pengurangan penjualan serta potongan tunai, sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. (10) Contoh penentuan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (6) tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 17 (1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b, wajib diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia pada saat dilakukan Transaksi Afiliasi. (2) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c wajib diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia sampai dengan akhir tahun pajak. Pasal 18 (1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b harus tersedia paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak. (2) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c harus tersedia paling lama 12 (dua belas) bulan setelah akhir tahun pajak. (3) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan surat pernyataan mengenai saat tersedianya Dokumen Penentuan Harga Transfer terse but yang ditandatangani oleh pihak yang menyediakan Dokumen Penentuan Harga Transfer. Pasal 19 (1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b wajib dibuat ikhtisar. (2) Ikhtisar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan sebagai lampiran surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan tahun pajak yang bersangku tan. (3) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c wajib disampaikan sebagai lampiran surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan tahun pajak berikutnya. (4) Ikhtisar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 20 (1) Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan entitas induk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) merupakan entitas yang:
memiliki secara langsung atau tidak langsung satu atau lebih anggota lain dalam Grup Usaha;
mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan laporan keuangan konsolidasi berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia dan/atau berdasarkan ketentuan yang mengikat emiten bursa efek di Indonesia; dan
tidak dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh entitas konstituen lain dalam Grup Usaha atau dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh entitas konstituen lain, tetapi entitas konstituen lain tersebut tidak diwajibkan mengonsolidasi laporan keuangan entitas induk dimaksud. (2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperbolehkan menunjuk entitas konstituen lainnya untuk menggantikannya dalam memenuhi kewajiban penyampaian laporan per negara, baik di Indonesia maupun di negara atau yurisdiksi lainnya. Pasal 21 (1) Entitas konstituen sebagaimana dimaksud dalam 16 ayat (5) merupakan:
setiap entitas usaha terpisah yang ·merupakan anggota Grup U saha multinasional dan dimasukkan dalam laporan keuangan konsolidasi entitas induk untuk keperluan pelaporan keuangan;
setiap entitas usaha yang merupakan anggota Grup U saha multinasional yang tidak dimasukkan dalam laporan keuangan konsolidasi semata-mata karena pertimbangan ukuran usaha atau materialitas; dan/atau
setiap bentuk usaha tetap dari entitas usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau huruf b sepanjang bentuk usaha tetap tersebut memiliki laporan keuangan yang terpisah untuk keperluan pelaporan keuangan, pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, pelaporan pajak, atau untuk tujuan pengendalian manajemen perusahaan. (2) Dalam hal entitas induk dari Grup Usaha yang merupakan subjek pajak luar negeri telah menunjuk entitas konstituen lainnya di luar negeri sebagai pengganti entitas induk, Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) tidak diwajibkan menyampaikan laporan per negara sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
Wajib Pajak dalam negeri menyampaikan pemberitahuan mengenai entitas konstituen lainnya yang ditunjuk sebagai pengganti entitas induk tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak; dan
negara atau yurisdiksi tempat entitas konstituen lainnya yang ditunjuk sebagai pengganti entitas induk tersebut berdomisili:
mewajibkan penyampaian laporan per negara; dan
memiliki persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent authority agreement) serta laporan per negara dapat diperoleh Pemerintah Indonesia dari negara mitra atau yurisdiksi mitra dimaksud. (3) Entitas konstituen yang ditunjuk sebagai pengganti entitas induk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan satu-satunya entitas konstituen yang ditunjuk untuk menggantikan entitas induk tersebut dalam menyampaikan laporan per negara kepada otoritas pajak di negara atau yurisdiksi tempat anggota Grup Usaha yang ditunjuk dimaksud berdomisili. (4) Dalam hal terdapat lebih dari satu Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan entitas konstituen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), entitas induk yang merupakan subjek pajak luar negeri dapat menunjuk salah satu entitas konstituen yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri untuk menyampaikan laporan per negara ke Direktorat Jenderal Pajak. Pasal 22 (1) Entitas induk yang merupakan subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) merupakan entitas yang:
memiliki secara langsung atau tidak langsung satu atau lebih anggota lain dalam Grup Usaha multinasional;
mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan laporan keuangan konsolidasi berdasarkan standar akuntansi keuangan atau ketentuan yang berlaku di negara atau yurisdiksi tempat entitas induk dimaksud berdomisili;
tidak dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh entitas konstituen lain dalam Grup Usaha multinasional atau dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh entitas konstituen lain, tetapi entitas konstituen lain tersebut tidak diwajibkan mengonsolidasi laporan keuangan entitas induk dimaksud; dan
memiliki peredaran bruto konsolidasi pada tahun pajak sebelum tahun pajak yang dilaporkan paling sedikit:
setara dengan €750,000,000.00 (tujuh ratus lima puluh juta euro) berdasarkan nilai tukar mata uang fungsional entitas induk dimaksud dalam hal negara atau yurisdiksi tempat entitas induk dimaksud berdomisili tidak mewajibkan penyampaian laporan per negara; atau
sebesar batasan peredaran bruto konsolidasi yang menjadi dasar penentuan kewajiban penyampaian laporan per negara sebagaimana diatur di negara atau yurisdiksi tempat entitas induk dimaksud berdomisili. (2) Negara atau yurisdiksi tempat entitas induk berdomisili yang tidak memiliki perjanjian dengan Pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) huruf b merupakan negara atau yurisdiksi tempat entitas induk berdomisili yang memiliki perjanjian internasional yang mengatur mengenai pertukaran informasi perpajakan dengan Pemerintah Indonesia tetapi tidak memiliki persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent authority agreement). (3) Kondisi laporan per negara tidak dapat diperoleh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) huruf c disebabkan oleh tidak dapat diperolehnya laporan per negara melalui pertukaran informasi secara otomatis karena:
adanya penundaan pertukaran laporan per negara secara otomatis karena hal-hal selain yang diatur dalam persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent _authority agreement); _ atau b. terj a din ya kegagalan secara berulang un tuk mempertukarkan laporan per negara secara otomatis dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra. (4) Dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) harus menyampaikan laporan per negara dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah diumumkannya daftar negara mitra atau yurisdiksi mitra yang laporan per negaranya tidak dapat diperoleh. (5) Dalam hal laporan per negara tidak disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak melalui pejabat berwenang yang membidangi pertukaran informasi berwenang meminta Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) untuk menyampaikan laporan per negara. Pasal 23 (1) Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan anggota Grup Usaha atau yang memiliki Transaksi Afiliasi yang tercakup dalam laporan per negara wajib menyampaikan notifikasi ke Direktorat Jenderal Pajak melalui Portal Wajib Pajak. (2) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewajiban penyampaian laporan per negara se bagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dan ayat (5), Wajib Pajak dimaksud wajib menyampaikan laporan per negara bersamaan dengan penyampaian notifikasi ke Direktorat Jenderal Pajak melalui Portal Wajib Pajak. (3) Laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dilampiri kertas kerja laporan per negara. (4) N otifikasi se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dan laporan per negara se bagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam batas waktu paling lama 12 (dua belas) bulan setelah akhir tahun pajak. (5) Terhadap penyampaian notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan tanda terima. (6) Tanda terima penyampaian laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat digunakan sebagai pengganti laporan per negara, yang harus dilampirkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3). (7) Dalam hal terdapat kesalahan dalam penyampaian laporan per negara, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak mengenai kesalahan dalam penyampaian laporan per negara. (8) Atas pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) atau atas kemauan sendiri, Wajib Pajak dapat menyampaikan pembetulan laporan per negara dengan menyampaikan kembali laporan per negara yang telah dibetulkan. Pasal 24 (1) Notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) berisi pernyataan mengenai:
identifikasi Wajib Pajak dalam negen yang merupakan entitas induk;
identifikasi Wajib Pajak dalam negeri yang bukan merupakan entitas induk; dan
pernyataan kewajiban penyampaian laporan per negara. (2) Notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 25 (1) Laporan per negara yang disampaikan oleh:
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia sampai dengan akhir tahun pajak Wajib Pajak dimaksud; atau
Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia sampai dengan akhir tahun pajak entitas induk yang merupakan subjek pajak luar negeri. (2) Laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus diselenggarakan melalui pembentukan kertas kerja laporan per negara dalam bentuk salinan digital (softcopy) dengan ekstensi extensible markup language (xml). Pasal 26 (1) Direktur Jenderal Pajak melakukan pertukaran laporan per negara secara otomatis dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra yang memiliki persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent authority agreement). (2) Pelaksanaan pertukaran laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat berwenang yang membidangi pertukaran informasi. Pasal 27 Dalam rangka pelaksanaan kewajiban penyampaian laporan per negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), Direktur Jenderal Pajak mengumumkan daftar negara mitra atau yurisdiksi mitra yang memiliki:
perjanjian internasional yang mengatur mengenai pertukaran informasi perpajakan;
persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi _(qualifying competent authority agreement); _ dan c. persetujuan pejabat berwenang yang memenuhi kualifikasi (qualifying competent authority agreement) tetapi laporan per negara tidak dapat diperoleh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3), di laman resmi Direktorat Jenderal Pajak pada setiap akhir tahun atau setiap terjadi perubahan daftar negara mitra atau yurisdiksi mitra sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c. Pasal 28 Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 19, dan Pasal 23 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 29 (1) Dokumen induk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a harus memuat informasi mengenai Grup Usaha paling sedikit sebagai berikut:
struktur dan bagan kepemilikan serta negara atau yurisdiksi masing-masing anggota;
kegiatan usaha yang dilakukan;
harta tidak berwujud yang dimiliki;
aktivitas keuangan dan pembiayaan; dan
laporan keuangan konsolidasi entitas induk dan informasi perpajakan terkait Transaksi Afiliasi.
Rincian dan/atau penjelasan dari informasi dalam dokumen induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 30 (1) Dokumen lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf b harus memuat informasi mengenai Wajib Pajak paling sedikit sebagai berikut:
identitas dan kegiatan usaha yang dilakukan;
informasi Transaksi Afiliasi dan Transaksi Independen yang dilakukan;
penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
informasi keuangan; dan
peristiwa-peristiwa/kejadian-kejadian/fakta-fakta non-keuangan yang memengaruhi pem bentukan harga atau tingkat laba. (2) Rincian dan/atau penjelasan dari informasi dalam dokumen lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Dalam hal Wajib Pajak mempunyai lebih dari satu kegiatan usaha dengan karakterisasi usaha yang berbeda, dokumen lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disajikan secara tersegmentasi sesua1 dengan karakterisasi usaha yang dimiliki. Pasal 31 (1) Laporan per negara se bagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c harus memuat informasi sebagai berikut:
alokasi penghasilan, pajak yang dibayar, dan aktivitas usaha per negara atau yurisdiksi dari seluruh anggota Grup Usaha baik di dalam negeri maupun luar negeri, yang meliputi nama negara atau yurisdiksi, penghasilan bruto, laba (rugi) sebelum pajak, pajak penghasilan yang telah dipotong, dipungut, atau dibayar sendiri, pajak penghasilan terutang, modal, akumulasi laba ditahan, jumlah pegawai tetap, dan harta berwujud selain kas dan setara kas; dan
daftar anggota Grup Usaha dan kegiatan usaha utama per negara atau yurisdiksi. (2) Laporan per negara yang memuat informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Laporan per negara yang memuat informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan hanya dalam rangka penilaian risiko penghindaran pajak. (5) Sebelum menyusun laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus menyusun kertas kerja laporan per negara. (6) Kertas kerja laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 32 (1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b wajib dibuat oleh Wajib Pajak dalam bahasa Indonesia. (2) Wajib Pajak dapat membuat Dokumen Penentuan Harga Transfer dalam bahasa asing setelah mendapat 1zm Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah. (3) Dalam hal Wajib Pajak telah mendapat izin Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dokumen Penentuan Harga Transfer dibuat sesuai dengan bahasa asing yang tercan tum dalam izin penyelenggaraan pembukuan dimaksud dan disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Pasal 33 Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c diterima dan dikelola secara khusus oleh Direktur Jenderal Pajak. Pasal 34 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan permintaan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b. (2) Wajib Pajak wajib menyampaikan Dokumen Penentuan Harga Transfer paling lama 1 (satu) bulan sejak disampaikan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pengawasan kepatuhan dan Pemeriksaan. (3) Wajib Pajak menyampaikan Dokumen Penentuan Harga Transfer sehubungan dengan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan selain dalam rangka pengawasan kepatuhan dan Pemeriksaan. Pasal 35 Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. BABV PENGUJIAN KEPATUHAN PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA Pasal 36 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/ a tau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak melalui pengujian kepatuhan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. (2) Pengujian kepatuhan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengujian atas:
pemenuhan ketentuan penyelenggaraan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 34 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3); dan
penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (3) Terhadap Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan pengujian penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan menelusuri kebenaran Dokumen Penentuan Harga Transfer dibandingkan dengan keadaan sebenarnya dari Wajib Pajak. (4) Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan pengujian penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan menelusuri keadaan sebenarnya dari Wajib Pajak. (5) Dalam hal berdasarkan pengujian penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui bahwa:
Wajib Pajak tidak menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha se bagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3);
penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha yang dilakukan Wajib Pajak tidak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
Wajib Pajak tidak dapat membuktikan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu berdasarkan tahapan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; atau
Harga Transfer yang ditentukan Wajib Pajak tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Penentuan kembali besarnya penghasilan dan/ a tau pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan:
menentukan Harga Transfer sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak; dan
mempertimbangkan tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Wajib Pajak yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pas al 3. Pasal 37 (1) Dalam hal pada saat:
Direktur Jenderal Pajak menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5); atau
Wajib Pajak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ditemukan selisih antara nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang tidak sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman U saha dan nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha, selisih tersebut merupakan pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen. (2) Pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. (3) Pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pajak penghasilan pada saat:
dibayarkannya penghasilan tersebut;
disediakan untuk dibayarkannya penghasilan tersebut; atau
jatuh temponya pembayaran penghasilan tersebut, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dalam hal:
terjadi penambahan dan/atau pengembalian kas atau setara kas sebesar selisih sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
Wajib Pajak menyetujui Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6). (5) Penambahan dan/ a tau pengembalian kas atau setara kas sebesar selisih sebagaimana ayat (4) huruf a dilakukan sebelum terbitnya surat ketetapan pajak. Pasal 38 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) berlaku untuk:
transaksi dalam bentuk transaksi lintas batas negara maupun transaksi dalam negeri; dan
seluruh bentuk hubungan istimewa. (2) Terhadap pengenaan pajak penghasilan atas pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dapat memperoleh manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Pasal 39 (1) Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan melakukan penyesuaian harga jual atau penggantian yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa sebagai dasar untuk menghitung pajak pertambahan nilai yang terutang. (2) Penyesuaian harga jual atau penggantian yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak dalam hal hargajual atau penggantian tersebut lebih rendah dari harga pasar wajar. (3) Penyesuaian harga jual atau penggantian yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan dalam hal terdapat Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) yang dapat dialokasikan pada setiap transaksi penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak. (4) Penyesuaian terhadap harga jual atau penggantian yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) kepada pengusaha kena pajak penjual atau penyedia jasa tidak mengakibatkan penyesuaian pajak masukan bagi pengusaha kena pajak pembeli barang kena pajak atau penerima jasa kena pajak. (5) Pengusaha kena pajak pembeli barang kena pajak atau penerimajasa kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap dapat mengkreditkan pajak pertambahan nilai yang tercantum dalam faktur pajak yang diterbitkan oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/ a tau penyerahan jasa kena pajak sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan pajak masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak pertambahan nilai. BAB VI PENYESUAIAN KETERKAITAN Pasal 40 (1) Dalam hal terdapat:
Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Pemeriksaan; atau
koreksi Penentuan Harga Transfer oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atas subjek pajak luar negeri, yang menyebabkan terjadinya pengenaan pajak berganda, Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan lawan transaksi dapat melakukan penyesuaian keterkaitan. (2) Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyesuaian materi Penentuan Harga Transfer dalam penghitungan penghasilan kena pajak Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan lawan transaksi:
Wajib Pajak dalam negeri yang dilakukan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; atau
subjek pajak luar negeri yang dilakukan koreksi Penentuan Harga Transfer oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (3) Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan dalam hal Wajib Pajak dalam negeri yang dilakukan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6):
menyetujui Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak; dan
tidak mengajukan upaya hukum terkait surat ketetapan pajak, atas materi Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak terkait Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a. (4) Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan:
pembetulan surat pemberitahuan tahunan dengan memperhitungkan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sepanjang terhadap Wajib Pajak dalam negeri se bagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dilakukan Pemeriksaan dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpenuhi;
penerbitan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sepanjang terhadap Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedang dilakukan Pemeriksaan dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpenuhi; atau
pembetulan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak sepanjang Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah diterbitkan surat ketetapan pajak dan tidak mengajukan upaya hukum atas materi penyesuaian keterkaitan serta ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpenuhi. (5) Pembetulan surat pemberitahuan tahunan, penerbitan surat ketetapan pajak, dan pembetulan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. (6) Pembetulan surat pemberitahuan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dilakukan dengan disertai pemberitahuan secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar mengenai informasi Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (7) Penyesuaian keterkaitan melalui penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan dalam hal:
Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6); atau
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a menyampaikan pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan sesuai informasi Penentuan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak. (8) Penyesuaian keterkaitan melalui pembetulan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dilakukan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak. (9) Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c didahului dengan pemberitahuan secara tertulis Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan lawan transaksi kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar mengenai informasi Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (10) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (9) serta pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat disampaikan:
secara langsung;
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
secara elektronik. (11) Penyampaian pemberitahuan secara tertulis dan pengungkapan ketidakbenaran peng1s1an surat pemberitahuan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia.
Tata cara penyampaian pemberitahuan secara tertulis dan pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf c dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. (13) Penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui Prosedur Persetujuan Bersama. BAB VII PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA Bagian Kesatu Pengajuan Permintaan Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama Pasal 41 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan Prosedur Persetujuan Bersama untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (2) Direktur Jenderal Pajak dapat melimpahkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. (3) Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan permin taan:
Wajib Pajak dalam negeri;
Warga Negara Indonesia;
Direktur Jenderal Pajak; atau
Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda melalui Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (4) Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dapat mengajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai Pejabat Berwenang Indonesia dalam rangka penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (13). (5) Selain penyesuaian keterkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf ajuga dapat mengajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal terjadi perlakuan perpajakan oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Perlakuan perpajakan oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terdiri atas:
pengenaan pajak oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang mengakibatkan terjadinya pengenaan pajak berganda yang disebabkan oleh:
koreksi Penentuan Harga Transfer;
koreksi terkait keberadaan dan/atau laba bentuk usaha tetap; dan/atau
koreksi objek pajak penghasilan lainnya;
pengenaan pajak termasuk pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
penentuan status sebagai subjek pajak dalam negeri oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
diskriminasi perfakuan perpajakan di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; dan/atau
penafsiran ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (7) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diajukan atas segala bentuk perlakuan diskriminatif di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang bertentangan dengan ketentuan mengena1 nondiskriminasi se bagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (8) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dapat diajukan dalam rangka:
menindaklanjuti usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri; dan/atau
menindaklanjuti permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam negeri sesuai dengan tata cara pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer. (9) U sulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a dapat diajukan dalam hal menurut Wajib Pajak dalam negeri terjadi perlakuan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (10) Perlakuan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda menurut Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (9) terdiri atas:
pengenaan pajak berganda yang disebabkan oleh Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6); dan/atau
perbedaan penafsiran ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (11) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf c, dan huruf d dapat diajukan bersamaan dengan permohonan Wajib Pajak dalam negen untuk mengajukan:
permohonan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
permohonan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
permohonan banding sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang- Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
permohonan penmJauan kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak. (12) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menunda:
kewajiban membayar pajak yang terutang;
pelaksanaan penagihan pajak; dan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. Pasal 42 (1) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pemohon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
mengemukakan ketidaksesuaian penerapan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda menurut Pemohon;
diajukan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau paling lambat 3 (tiga) tahun dalam hal tidak diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, terhitung sejak:
tanggal surat ketetapan pajak;
tanggal bukti pembayaran, pemotongan, atau pemungutan pajak penghasilan; atau
saat terjadinya perlakuan perpajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
ditandatangani oleh Pemohon atau wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
dilampiri dengan:
surat keterangan domisili atau dokumen lain yang berisi identitas wajib pajak dalam negeri Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (6) huruf a dan huruf b;
daftar informasi dan/atau bukti atau keterangan yang dimiliki oleh Pemohon yang menunjukkan bahwa perlakuan perpajakan oleh Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau perlakuan diskriminatif di Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (6) dan Pasal 41 ayat (7); dan/atau
surat pernyataan yang menyatakan kesediaan Pemohon untuk menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada angka 2 secara lengkap dan tepat waktu. (2) Usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
mengemukakan perlakuan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda menurut Wajib Pajak dalam negeri;
diajukan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau paling lambat 3 (tiga) tahun dalam hal tidak diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, terhitung sejak saat terjadinya perlakuan perpajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
ditandatangani oleh Wajib Pajak dalam negeri atau wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
dilampiri dengan bukti yang menunjukkan terjadinya perlakuan perpajakan oleh Direktur Jenderal Pajak yang tidak sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (3) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d diajukan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d, dan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui:
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak dalam negeri terdaftar, dalam hal Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Wajib Pajak dalam negeri; atau
Direktorat Perpajakan lnternasional, dalam hal:
permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Warga Negara Indonesia;
permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; atau
usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a oleh Wajib Pajak dalam negeri. (5) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf d, serta usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a dapat diajukan:
secara langsung; atau
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat. (6) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf b dan huruf d, serta usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a juga dapat diajukan melalui pos elektronik. (7) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf a juga dapat diajukan secara elektronik. (8) Pengajuan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. (9) Tata cara pengajuan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik.
Surat permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam:
Lampiran huruf I. 1., untuk Pemohon Wajib Pajak dalam negeri; atau
Lampiran huruf I.2., untuk Pemohon Warga Negara Indonesia, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (11) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e angka 3 dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf 1.3. yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) (3) Bagian Kedua Penanganan Permintaan Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama Pasal 43 Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap:
permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf d; dan
usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8) huruf a. Penelitian terhadap permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan atas:
kelengkapan pemenuhan persyaratan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) atau ayat (3); dan
kesesuaian materi yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dengan perlakuan perpajakan yang dapat 'diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d, ayat (6), atau ayat (7), untuk menentukan dapat atau tidaknya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama ditindaklanjuti. Penelitian terhadap usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan atas:
kelengkapan pemenuhan persyaratan usulan permintaan pelaksanaan Persetujuan Bersama sebagaimana dalam Pasal 42 ayat (2); dan pengajuan Prosedur dimaksud b. kesesuaian materi yang diajukan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dengan perlakuan perpajakan yang dapat diajukan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (9), untuk menentukan dapat atau tidaknya usulan ditindaklanjuti men jadi permin taan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Direktur Jenderal Pajak kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (4) Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terkait permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pemohon dengan menerbitkan:
pemberitahuan tertulis kepada Pemohon bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dapat ditindaklanjuti dan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama memenuhi persyaratan dan kesesuaian materi; atau
surat penolakan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Pemohon yang mencantumkan hal-hal yang menjadi dasar penolakan, dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak memenuhi persyaratan dan/atau tidak memenuhi kesesuaian materi, dalam batas waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. (5) Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terkait permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan menerbitkan:
pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dan Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dapat ditindaklanjuti, dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama memenuhi persyaratan dan kesesuaian materi; atau
surat penolakan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang mencantumkan hal-hal yang menjadi dasar penolakan, dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak memenuhi persyaratan dan/atau kesesuaian materi, dalam batas waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama.
Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan menerbitkan:
pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak dalam negeri bahwa usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dapat ditindaklanjuti dan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama memenuhi persyaratan dan kesesuaian materi; atau
surat penolakan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Wajib Pajak dalam negeri yang mencantumkan hal-hal yang menjadi dasar penolakan, dalam hal usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak memenuhi persyaratan dan/ a tau tidak memenuhi kesesuaian materi, dalam batas waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. (7) Dalam hal batas waktu se bagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pem beritahuan tertulis, permin taan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama atau usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dianggap dapat ditindaklanjuti dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan tertulis paling lama 1 (satu) bulan setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) terlampaui. (8) Dalam hal permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan ayat (6) huruf a tidak mendapatkan jawaban tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dalam batas waktu paling lama 8 (delapan) bulan sejak disampaikan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak dapat ditindaklanjuti; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dicabut. (9) Atas permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, dan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang tidak dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a, Pemohon dapat mengajukan kembali permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama atau Wajib Pajak dalam negeri dapat mengajukan kembali usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sepanjang batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf c atau Pasal 42 ayat (2) huruf c belum terlampaui. Pasal 44 (1) Dalam hal permin taan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pemohon dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf a, Pemohon harus menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan yang tercan tum dalam daftar informasi dan/atau bukti atau keterangan yang dimiliki oleh Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf e angka 2 kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktorat Perpajakan Internasional. (2) Penyampaian informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk salinan cetak (hardcopy) dan/atau salinan digital (softcopy). (3) Pemohon harus menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 2 (dua) bulan setelah:
tanggal diterbitkannya pemberitahuan tertulis bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf a; atau
terlampauinya batas waktu 1 (satu) bulan sehingga permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pemohon dianggap dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (7). (4) Informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan:
secara langsung;
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
melalui pos elektronik. Pasal 45 (1) Dalam rangka pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak melakukan perundingan dengan Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan korespondensi, pengujian material, dan pertemuan Pejabat Berwenang dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (3) Perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak:
diterimanya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf d; atau
diajukannya permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama secara tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda se bagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf a dan Pasal 43 ayat (6) huruf a. (4) Jangka waktu perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang 1 (satu) kali paling lama 24 (dua puluh empat) bulan untuk setiap permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. (5) Perpanjangan jangka waktu perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan sebelum j angka waktu perundingan berakhir dalam hal telah dihasilkan kesepakatan awal yang termuat dalam risalah perundingan (minutes of meeting) atau dokumen lainnya mengenai:
keberadaan transaksi, pemilihan pendekatan analisis transaksi, pemilihan pihak yang diuji, pemilihan metode Penentuan Harga Transfer, dan pemilihan indikator harga atas permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama terkait koreksi Penentuan Harga Transfer atau terkait Kesepakatan Harga Tran sf er Bilateral a tau Multilateral; atau
penafsiran ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, atas permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (6) Perpanjangan jangka waktu perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam risalah perundingan (minutes of meeting) atau dokumen lain dalam periode 6 ( enam) bulan se belum berakhirnya jangka waktu perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 46 (1) Dalam rangka pengujian material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf e angka 2 atau Pasal 42 ayat (2) huruf e kepada:
Pemohon;
Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d; dan / a tau 3. pihak terkait lainnya;
melakukan pembahasan dengan Pemohon, Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d, dan/atau pihak terkait lainnya;
melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Pemohon dan/atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d;
melakukan pertukaran informasi perpajakan dalam rangka Prosedur Persetujuan Bersama kepada Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; dan / a tau e. melakukan Pemeriksaan untuk tujuan lain dan/atau penilaian dalam rangka Prosedur Persetujuan Bersama untuk mendapatkan informasi dan/ a tau bukti atau keterangan yang diperlukan dalam rangka penyelesaian Prosedur Persetujuan Bersama. (2) Pemohon dan Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d wajib:
memberikan informasi dan/ a tau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a;
menghadiri pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; dan
memberikan kesempatan peninjauan ke tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. (3) Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dapat meminta informasi dan/ a tau bukti atau keterangan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (4) Permintaan informasi dan/atau bukti atau keterangan oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diajukan melalui:
prosedur pertukaran informasi berdasarkan permintaan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau perjanjian internasional yang mengatur mengenai pertukaran informasi perpajakan; dan / a tau b. permintaan secara langsung selama proses pertemuan Pejabat Berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2). Pasal 47 (1) Pertemuan Pejabat Berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dilakukan melalui:
pertemuan langsung;
sambungan telepon;
konferensi video; dan/atau
saluran lain yang disepakati oleh Direktur Jenderal Pajak dan Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (2) Pertemuan Pejabat Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam risalah perundingan (minutes of meeting) atau dokumen lain yang dipersamakan. Pasal 48 (1) Dalam rangka perundingan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menyusun posisi dalam perundingan. (2) Posisi dalam perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi penjelasan tertulis mengenai pendapat Pejabat Berwenang Indonesia terkait hal yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) belum menghasilkan Persetujuan Bersama sampai dengan putusan banding atau putusan peninjauan kembali diucapkan, Direktur Jenderal Pajak:
melanjutkan perundingan, dalam hal materi sengketayang diputus dalam putusan banding atau putusan peninjauan kembali bukan merupakan materi sengketa yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama;
menggunakan putusan banding sebagai posisi dalam perundingan a tau menghentikan perundingan dalam hal:
putusan banding tidak diajukan permohonan peninjauan kembali; dan
materi sengketa dalam putusan banding merupakan materi sengketa yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama; atau
menggunakan putusan peninjauan kembali sebagai posisi dalam perundingan atau menghentikan perundingan, dalam hal materi sengketa dalam putusan peninjauan kembali merupakan materi sengketa yang diajukan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. Pasal 49 (1) Hasil perundingan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dituangkan dalam Persetujuan Bersama yang dapat berisi kesepakatan atau ketidaksepakatan yang telah disepakati atas materi yang diajukan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama. (2) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis mengenai hasil perundingan yang berisi kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimak.sud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal Persetujuan Bersama. (3) Pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disertai:
permintaan untuk menyampaikan surat pernyataan tidak mengajukan penyelesaian sengketa di luar Prosedur Persetujuan Bersama; atau
permintaan untuk menyampaikan surat pernyataan pencabutan atau penyesuaian yang dilampiri dengan persetujuan tertulis dari Pengadilan Pajak atau Mahkamah Agung mengenai pencabutan atau penyesuaian sengketa dalam hal materi sengketa yang diajukan Prosedur Persetujuan Bersama juga diajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam· Pasal 41 ayat (11). (4) Surat pernyataan tidak mengajukan penyelesaian sengketa di luar Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a harus disampaikan oleh Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Surat pernyataan pencabutan atau penyesuaian yang dilampiri dengan persetujuan tertulis dari Pengadilan Pajak atau Mahkamah Agung mengenai pencabutan atau penyesuaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus disampaikan oleh Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 8 (delapan) bulan setelah tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (6) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat atau tidak dapat dilaksanakan setelah penerbitan pemberitahuan tertulis mengenai hasil perundingan yang berisi kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (7) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak melakukan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyampaian pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan setelah Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5). (8) Dalam hal Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Bergarida bahwa Persetujuan Bersama tidak dapat dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (9) Dalam hal hasil perundingan berisi ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
pemberitahuan tertulis hasil perundingan yang berisi ketidaksepakatan kepada Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d; dan
pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal Persetujuan Bersama. (10) Surat pernyataan tidak mengajukan penyelesaian sengketa di luar Prosedur Persetujuan Bersama dan surat pernyataan pencabutan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam:
Lampiran huruf J .1., untuk surat pernyataan tidak mengajukan penyelesaian sengketa di luar Prosedur Persetujuan Bersama; atau
Lampiran huruf J.2., untuk surat pernyataan pencabutan atau penyesuaian, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 50 (1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak:
tanggal diterimanya pemberitahuan tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan; dan
tanggal disampaikannya pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan.
Dalam hal hasil perundingan yang berisi kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) terkait dengan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti Persetujuan Bersama dengan menerbitkan surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sesuai dengan tata cara pelaksanaan Kesepakatan Harga Tran sf er. (3) Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam:
Lampiran huruf J.3., untuk Persetujuan Bersama terkait pengenaan pajak berganda; atau
Lampiran huruf J.4., untuk Persetujuan Bersama selain terkait pengenaan pajak berganda, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:
Pemohon;
Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d; dan/atau
unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang menindaklanjuti. Pasal 51 (1) Direktur Jenderal Pajak dapat menghentikan perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dalam hal:
Pemohon tidak menyampaikan informasi dan/ a tau bukti atau keterangan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3);
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan tidak sesuai dengan ketentuan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (4);
perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) atau ayat (4);
telah terlampauinya daluwarsa penetapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan untuk tahun pajak, bagian tahun pajak, atau masa pajak yang dicakup dalam permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dan perundingan belum menghasilkan kesepakatan;
Wajib Pajak dalam negeri mengikuti program pengampunan pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan untuk tahun pajak, bagian tahun pajak, atau masa pajak yang dicakup dalam permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama;
telah terbit putusan banding atau peninjauan kembali, dalam hal materi yang diputus merupakan materi yang Prosedur Persetujuan Bersama; putusan sengketa diajukan g. Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak menyepakati posisi dalam perundingan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) huruf b atau huruf c; atau
telah terbit putusan gugatan dengan amar membatalkan surat ketetapan pajak yang terkait dengan Prosedur Persetujuan Bersama. (2) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai penghen tian perundingan se bagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada:
Pemohon;
Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf c dan huruf d; dan/atau
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Bagian Ketiga Pencabutan Permintaan Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama Pasal 52 (1) Atas permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dapat diajukan permohonan pencabutan oleh:
Wajib Pajak dalam negeri;
Warga Negara Indonesia;
Direktur Jenderal Pajak; atau
Otoritas Pajak Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda melalui Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (2) Direktur Jenderal Pajak dapat mencabut permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dalam rangka:
menindaklanjuti permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri; dan/atau
menindaklanjuti pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam negeri sesuai dengan tata cara pelaksanaan Kesepakatan Harga Tran sf er. (3) Permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d serta permohonan pen ca bu tan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan lnternasional. (4) Permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
diajukan dalam batas waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak dimulainya perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
mencantumkan alasan pencabutan; dan
ditandatangani oleh Pemohon, Wajib Pajak dalam negeri, atau wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. (5) Atas permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Berdasarkan penelitian atas permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
Pemohon bahwa permohonan pencabutan disetujui atau tidak disetujui; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama dicabut, dalam hal permohonan pencabutan disetujui dan diajukan setelah dimulainya perundingan, paling lama 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah tanggal permohonan pencabutan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. (7) Berdasarkan penelitian atas permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
Wajib Pajak dalam negeri bahwa permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama disetujui atau tidak disetujui; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Direktur Jenderal Pajak dicabut, dalam hal permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama disetujui dan diajukan setelah dimulainya perundingan, paling lama 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah tanggal permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. (8) Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau ayat (7) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pemberitahuan tertulis, permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap disetujui dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan tertulis paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau ayat (7) terlampaui. (9) Permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat diajukan:
secara langsung;
melalui pos atau jasa ekspedisi dengan bukti pengiriman tercatat; atau
melalui pos elektronik. (10) Permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a juga dapat diajukan secara elektronik. (11) Pengajuan permohonan pencabutan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. (12) Tata cara pengajuan permohonan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. (13) Surat permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K.1. yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (14) Surat permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K.2. yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (15) Surat permohonan pencabutan usulan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K.3., yang meru pakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (16) Pengajuan permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat dilaksanakan sepanjang permohonan diajukan sebelum diperoleh Persetujuan Bersama. (17) Atas permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Direktur Jenderal Pajak meneliti pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (16) dan menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa permohonan pencabutan disetujui atau tidak disetujui; dan
Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama oleh Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa perundingan dihentikan, dalam hal permohonan pencabutan disetujui. Bagian Keempat Tindak Lanjut Persetujuan Bersama Pasal 53 (1) Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) merupakan dasar pengembalian pajak atau dasar penagihan pajak sesuai dengan Pasal 27C ayat (6) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. (2) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan sebelum surat ketetapan pajak terbit, Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama harus menghitung kembali besarnya pajak terutang berdasarkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menyampaikan pembetulan surat pemberitahuan atau pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (3) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak melakukan:
pembetulan surat pemberitahuan; atau
pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan, dalam batas waktu 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan Bersama atau dengan memperhatikan daluwarsa penetapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dengan memperhitungkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama. (4) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah surat ketetapan pajak terbit dan atas surat ketetapan pajak tersebut:
tidak diajukan ke beratan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (11) hurufb;
tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar se bagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (11) huruf d;
diajukan keberatan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar tetapi tidak dipertimbangkan;
diajukan keberatan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar namun dicabut; atau
diajukan keberatan namun telah disesuaikan dari materi yang disepakati dalam Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat ketetapan pajak. (5) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah surat keputusan pengurangan ketetapan pajak atau surat keputusan pembatalan ketetapan pajak terbit, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat keputusan pengurangan ketetapan pajak atau surat keputusan pembatalan ketetapan pajak. (6) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah putusan gugatan dengan amar membatalkan terbit terhadap:
surat keputusan pengurangan ketetapan pajak;
surat keputusan pembatalan ketetapan pajak; atau
surat keputusan keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang- undangan di bidang perpaj akan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat ketetapan pajak. (7) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah surat keputusan keberatan terbit dan atas surat keputusan keberatan tersebut:
tidak diajukan banding;
diajukan banding tetapi dicabut dan Pengadilan Pajak telah memberikan persetujuan tertulis atas pencabutan tersebut;
diajukan banding namun telah disesuaikan dari materi yang disepakati dalam Persetujuan Bersama dan Pengadilan Pajak telah memberikan persetujuan tertulis atas penyesuaian tersebut; atau
diajukan banding tetapi terbit putusan Pengadilan Pajak dengan amar putusan tidak dapat diterima, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat keputusan keberatan. (8) Dalam hal terdapat materi sengketa lain yang tidak dicakup dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama, namun memiliki keterkaitan dengan materi sengketa yang dicakup dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan keberatan a tau surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar dengan mempertimbangkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama. (9) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan pada saat Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas materi sengketa yang tidak dicakup dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat keputusan keberatan. (10) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama diterbitkan setelah putusan banding atau peninjauan kembali yang mencakup materi sengketa selain yang tercakup dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama terbit, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan menghitung kembali besarnya pajak terutang dalam surat pelaksanaan putusan banding atau surat pelaksanaan putusan peninjauan kembali. (11) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama:
terbit sebelum surat ketetapan pajak; dan
menyebabkan kelebihan atas pemotongan dan/atau pemungutan pajak penghasilan yang terutang, wajib pajak dalam negeri Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dapat menyampaikan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpaj akan. Pasal 54 Dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) setelah penerbitan keputusan keberatan, putusan banding, dan/atau putusan peninjauan kembali, dasar pengenaan sanksi administratif dalam surat tagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai tata cara penerbitan surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak juga memperhitungkan jumlah pajak dalam Surat Keputusan Persetujuan Bersama. BAB VIII KESEPAKATAN HARGA TRANSFER Bagian Kesatu Tata Cara Penyampaian Permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er Pasal 55 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang membuat Kesepakatan Harga Transfer dengan Wajib Pajak atau Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda untuk menentukan Harga Transfer yang wajar sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), yang berlaku selama suatu periode tertentu berdasarkan permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam negeri. (2) Direktur Jenderal Pajak dapat melimpahkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk delegasi kepada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. (3) Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer atas Transaksi Afiliasi berdasarkan:
inisiatif Wajib Pajak, berupa permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral atau Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral; atau
pemberitahuan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak sehubungan dengan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral yang diajukan subjek pajak luar negeri kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (4) Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencakup seluruh atau sebagian Transaksi Afiliasi selama Periode Kesepakatan Harga Transfer dan Pemberlakuan Mundur dalam hal Wajib Pajak meminta Pemberlakuan Mundur dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer. (5) Transaksi Afiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa Transaksi Afiliasi antara Wajib Pajak dan Wajib Pajak dalam negeri lainnya dan/atau subjek pajak luar negeri. (6) Pemberlakuan Mundur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku sepanjang atas tahun pajak tersebut:
fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi tidak berbeda secara material dengan fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi yang telah disepakati dalam Kesepakatan Harga Transfer;
belum daluwarsa penetapan;
belum diterbitkan surat ketetapan pajak penghasilan badan; dan
tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, persidangan tindak. pidana di bidang perpajakan, atau menjalani hukuman pidana di bidang perpajakan. (7) Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kesepakatan:
kriteria dalam Penentuan Harga Transfer; dan
Penentuan Harga Transfer di muka, untuk Periode Kesepakatan Harga Transfer dan Pemberlakuan Mundur dalam hal Wajib Pajak meminta Pemberlakuan Mundur dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer. (8) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a paling sedikit memuat:
identitas Pihak Afiliasi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Tran sf er;
Transaksi Afiliasi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Tran sf er;
metode Penentuan Harga Transfer yang digunakan;
cara penerapan metode Penentuan Harga Transfer yang disepakati; dan
asumsi kritis yang memengaruhi Penentuan Harga Transfer. (9) Asumsi kritis sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf e paling sedikit memuat:
ketentuan kontraktual tertulis dan tidak tertulis terkait Transaksi Afiliasi;
fungsi yang dilakukan masing-masing pihak yang bertransaksi, aktiva yang digunakan, dan risiko yang diasumsikan terjadi dan ditanggung oleh para pihak tersebut;
karakteristik transaksi dan karakteristik para pihak yang melakukan Transaksi Afiliasi; dan
kondisi ekonomi yang memengaruhi Penentuan Harga Tran sf er. (10) Penentuan Harga Transfer di muka sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b dilakukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sesuai kondisi yang telah terjadi dan yang diperkirakan akan terjadi selama Periode Kesepakatan Harga Transfer. Pasal 56 (1) Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) dapat menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sepanjang:
telah memenuhi kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan selama 3 (tiga) tahun pajak berturut-turut sebelum tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer;
telah diwajibkan dan telah memenuhi kewajiban untuk menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer berupa dokumen induk dan dokumen lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b selama 3 (tiga) tahun pajak berturut-turut sebelum tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer;
tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, persidangan tindak pidana di bidang perpajakan, atau menjalani hukuman pidana di bidang perpajakan;
Transaksi Afiliasi yang diusulkan untuk dicakup dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) merupakan Transaksi Afiliasi yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
usulan Penentuan Harga Transfer dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer dibuat berdasarkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dan tidak mengakibatkan laba operasi Wajib Pajak lebih kecil daripada laba operasi yang telah dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (2) Wajib Pajak dalam negeri yang menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer se bagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan permohonan tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. (3) Penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengisi formulir permohonan Kesepakatan Harga Transfer menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
ditandatangani oleh pengurus yang namanya tercantum dalam:
akta pendirian; atau
akta perubahan, dalam hal terjadi perubahan pengurus;
disampaikan:
dalam periode 12 (dua belas) bulan sampai dengan 6 ( enam) bulan se belum dimulainya Peri ode Kesepakatan Harga Tran sf er, dalam hal permohonan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) huruf a; atau
sebelum dimulainya Periode Kesepakatan Harga Transfer, dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) huruf b; dan
dilampiri dengan:
surat pernyataan bahwa Wajib Pajak bersedia untuk melengkapi seluruh dokumen yang diperlukan dalam proses Kesepakatan Harga Transfer; dan
surat pernyataan bahwa Wajib Pajak bersedia untuk melaksanakan kesepakatan yang tercantum dalam Kesepakatan Harga Transfer. (4) Ketentuan mengenai usulan Penentuan Harga Transfer dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer tidak mengakibatkan laba operasi Wajib Pajak lebih kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terpenuhi sepanjang tingkat laba yang paling rendah dalam proyeksi la po ran keuangan selama Periode Kesepakatan Harga Transfer lebih besar atau sama dengan tingkat laba yang paling rendah dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan 3 (tiga) tahun pajak sebelum tahun pajak disampaikannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer. (5) Tingkat laba sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan rasio antara laba sebelum pajak atau penghasilan neto komersial dan peredaran usaha atau rasio antara laba sebelum pajak atau penghasilan neto komersial dengan total biaya. (6) Dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer diajukan oleh Wajib Pajak yang usahanya terdampak negatif bencana nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, tingkat laba dalam proyeksi laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tingkat laba hasil penyesuaian pada kondisi normal. (7) Proyeksi laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (8) Penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan:
secaralangsung; atau
secara elektronik. (9) Penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Transfer secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. (10) Tata cara penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er secara elektronik se bagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. (11) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (12) Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) merupakan tanggal penerimaan permohonan Kesepakatan Harga Transfer.
(2) (3) (4) Pasal 57 Atas permohonan Kesepakatan Harga se bagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Direktur Jenderal Pajak melakukan terhadap: Transfer ayat (2), penelitian a. kelengkapan pemenuhan persyaratan pengajuan permohonan Kesepakatan Harga Transfer berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3); dan
pemenuhan ketentuan Wajib Pajak yang dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1). Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan pemberitahuan tertulis dapat atau tidak dapat ditindaklanjutinya permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er kepada:
Wajib Pajak; dan/atau
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah tanggal penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (12). Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pemberitahuan tertulis, permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang disampaikan oleh Wajib Pajak dianggap dapat ditindaklanjuti dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan tertulis paling lama 1 (satu) bulan setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui. Dalam hal pemberitahuan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak mendapatkan jawaban tertulis dalam jangka waktu 8 (delapan) bulan sejak tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis penghentian proses Kesepakatan Harga Transfer kepada:
Wajib Pajak yang menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. (5) Dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer tidak dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan permohonan Kesepakatan Harga Transfer dihentikan prosesnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Pajak dapat menyampaikan kembali permohonan Kesepakatan Harga Transfer sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dan ayat (3). Pasal 58 (1) Atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) atau dianggap dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3), Wajib Pajak harus menyampaikan kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer secara langsung kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional dalam bentuk salinan cetak (hardcopy) dan/atau salinan digital (softcopy). (2) Kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 2 (dua) bulan setelah tanggal pemberitahuan bahwa permohonan Kesepakatan Harga Transfer dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) atau ayat (3). (3) Kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa:
laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik untuk 3 (tiga) tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er;
Dokumen Penentuan Harga Transfer untuk 3 (tiga) tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak diajukannya permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er; dan
dokumen yang berisi penjelasan rinci atas penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha untuk setiap Transaksi Afiliasi yang diusulkan un tuk dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer dalam bahasa Indonesia. (4) Penjelasan rinci sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c paling sedikit memuat informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf N yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (5) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan tanggal penerimaan kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er.
Dalam hal kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak disampaikan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis penghentian proses Kesepakatan Harga Transfer kepada:
Wajib Pajak; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral. (8) Dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer dihentikan prosesnya sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Wajib Pajak dapat menyampaikan kembali permohonan Kesepakatan Harga Transfer sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dan ayat (3). Bagian Kedua Tata Cara Penyelesaian Permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er Paragraf 1 Pengujian Material Penyelesaian Permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er Pasal 59 (1) Atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang telah memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3), Direktur J enderal Pajak melaksanakan pengujian material. (2) Dalam pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
melakukan pembahasan dengan Wajib Pajak terkait dengan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Wajib Pajak;
melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dan/atau Pihak Afiliasi;
mewawancarai pengurus dan/atau karyawan Wajib Pajak;
meminta tambahan data dan/atau informasi dalam bentuk bukti, baik berupa dokumen atau keterangan, dari Wajib Pajak;
meminta data dan/atau informasi dalam bentuk bukti, baik berupa dokumen atau keterangan, dari Pihak Afiliasi atau pihak lainnya yang terkait;
meminta pertukaran informasi perpajakan ( exchange of _infonnation); _ g. meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan dari Lembaga Jasa Keuangan, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau entitas lain; dan/atau
meminta dilakukannya kegiatan penilaian. (3) Dalam hal diperlukan untuk pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan Pemeriksaan untuk tujuan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (4) Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dalam hal Wajib Pajak:
belum pernah dilakukan Pemeriksaan terkait Penentuan Harga Transfer atas Transaksi Afiliasi yang diusulkan untuk dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) sampai dengan 3 (tiga) tahun pajak sebelum tahun pajak disampaikannya permohonan Kesepakatan Harga Transfer; dan/atau
mengajukan permintaan Pemberlakuan Mundur dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer. (5) Pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. (6) Dalam pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) wajib:
menghadiri pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
memberikan kesempatan peninjauan ke tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b;
memberikan kesempatan Direktur Jenderal Pajak untuk mewawancarai pengurus dan/atau karyawan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hurufc;dan d. memberikan tambahan data dan/atau informasi dalam bentuk bukti, baik berupa dokumen atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d. (7) Dokumen Wajib Pajak yang digunakan selama proses pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Paragraf 2 Perundingan Kesepakatan Harga Transfer Pasal 60 (1) Direktur Jenderal Pajak melaksanakan perundingan Kesepakatan Harga Tran sf er dengan:
Wajib Pajak, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Unilateral; atau
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral. (2) Perundingan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus:
dimulai paling lambat 6 (enam) bulan sejak Wajib Pajak menyampaikan kelengkapan permohonan Kesepakatan Harga Transfer dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2); dan
diselesaikan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak dimulainya perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (3) Perundingan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurufb diselesaikan dalamjangka waktu sesuai dengan ketentuan mengenai Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4). (4) Dalam hal pada saat perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui bahwa Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, persidangan tindak pidana di bidang perpajakan, atau menjalani hukuman pidana di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak menghentikan proses Kesepakatan Harga Transfer dan menerbi tkan pemberitahuan tertulis penghen tian proses Kesepakatan Harga Transfer kepada:
Wajib Pajak; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral. Pasal 61 (1) Hasil perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dapat berisi kesepakatan atau ketidaksepakatan atas kriteria dalam Penentuan Harga Transfer dan Penentuan Harga Transfer di muka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (7). (2) Dalam perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat tidak menyepakati Kesepakatan Harga Transfer dalam hal:
Transaksi Afiliasi tidak didasari oleh motif ekonomi;
substansi ekonomi Transaksi Afiliasi berbeda dengan bentuk formalnya;
Transaksi Afiliasi dilakukan dengan salah satu tujuan untuk meminimalkan beban pajak;
informasi dan/atau bukti atau keterangan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak benar atau tidak sesuai dengan kondisi yang se benarnya;
informasi dan/ a tau bukti atau keterangan terkait dengan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf d tidak dapat diperoleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah tanggal permintaan tertulis; dan/atau
tahun pajak dalam Periode Kesepakatan Harga Transfer atau Pemberlakuan Mundur telah diterbitkan surat ketetapan pajak penghasilan badan.
Hasil perundingan Kesepakatan Harga Transfer dianggap berisi ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
perundingan Kesepakatan Harga Tran sf er tidak menghasilkan kesepakatan sampai dengan berakhirnya jangka waktu perundingan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) a tau ayat (3); a tau b. Direktur Jenderal Pajak menerima pemberitahuan tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa perundingan Kesepakatan Harga Transfer tidak dapat dilakukan. (4) Dalam hal perundingan Kesepakatan Harga Transfer menghasilkan ketidaksepakatan se bagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menghentikan proses Kesepakatan Harga Transfer dan menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak. (5) Hasil perundingan Kesepakatan Harga Transfer yang berisi kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam:
Naskah Kesepakatan Harga Transfer, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Unilateral; atau
Persetujuan Bersama sesuai dengan Prosedur Persetujuan Bersama, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral. (6) Naskah Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf O yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (7) Berdasarkan Naskah Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak Naskah Kesepakatan Harga Transfer ditandatangani. (8) Berdasarkan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer dalamjangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak:
tanggal diterimanya pemberitahuan tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan;dan b. tanggal disampaikannya pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan. (9) Surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf P dan Q yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) disampaikan kepada:
Wajib Pajak yang menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer; dan
unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang menindaklanjuti. Pasal 62 (1) Dalam hal:
perundingan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral menghasilkan ketidaksepakatan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1); atau
proses Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral dihentikan karena Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak menyampaikan jawaban tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (4), Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (3) huruf a dan huruf b, kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (4) atau Pasal 57 ayat (4). (2) Atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melaksanakan perundingan dengan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama:
6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan, dalam hal permohonan tersebut disampaikan karena Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral menghasilkan ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; atau
12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan, dalam hal permohonan tersebut disampaikan karena proses Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (3) Dalam hal sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dicapai kesepakatan, hasil perundingan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral dianggap berupa ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1). Bagian Ketiga Tata Cara Pencabutan Permohonan Kesepakatan Harga Transfer Pasal 63 (1) Permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) dapat diajukan pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib Pajak. (2) Pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mencantumkan alasan pencabutan;
diajukan sebelum diperoleh kesepakatan; dan
ditandatangani oleh pengurus yang namanya tercantum dalam akta pendirian atau akta perubahan, dalam hal terjadi perubahan pengurus. (3) Pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer se bagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional. (4) Pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf R yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (5) Permohonan pencabutan yang diajukan oleh Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan:
secara langsung; atau
secara elektronik. (6) Penyampaian permohonan pencabutan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. (7) Tata cara penyampaian permohonan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hurufb dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. (8) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas pengajuan pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 64 (1) Atas pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang diajukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2). (2) Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan pemberitahuan tertulis disetujui atau tidak disetujuinya pen ca bu tan permohonan Kesepakatan Harga Transfer kepada:
Wajib Pajak; dan
Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral, dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal penerimaan pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer se bagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (8). (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pemberitahuan tertulis, pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer dianggap disetujui dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan tertulis paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui. (4) Dalam hal berdasarkan penelitian pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer tidak memenuhi persyaratan, pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer tidak disetujui dan permohonan Kesepakatan Harga Transfer tetap dilanjutkan. (5) Dalam hal pencabutan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) diajukan setelah perundingan Kesepakatan Harga Transfer dimulai, Wajib Pajak tidak dapat mengajukan kembali permohonan Kesepakatan Harga Transfer untuk tahun pajak yang dicakup dalam permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang dicabut. Pasal 65 (1) Dalam hal:
pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (5) dilakukan atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral; dan
pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Tran sf er Unilateral dengan memperhatikan ketentuan se bagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (3) huruf a dan huruf b kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) atau ayat (3). (2) Atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melaksanakan perundingan Kesepakatan Harga Transfer dengan Wajib Pajak dalam jangka waktu:
6 (enam) bulan, dalam hal telah dilakukan perundingan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral; atau
12 (dua belas) bulan, dalam hal belum dilakukan perundingan Kesepakatan Harga Tran sf er Bilateral a tau Multilateral, sejak tanggal diterimanya permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Permohonan Kesepakatan Harga Transfer Unilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format pengajuan permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3). (4) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dicapai kesepakatan, hasil perundingan Kesepakatan Harga Tran sf er Unilateral dianggap berupa ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1). (5) Pemberitahuan tertulis yang disampaikan Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda mengenai pencabutan atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer Bilateral atau Multilateral dianggap sebagai pemberitahuan tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa perundingan Kesepakatan Harga Transfer tidak dapat dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (3) huruf b. Bagian Keempat Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Tran sf er Pasal 66 (1) Wajib Pajak wajib melaksanakan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (7) atau ayat (8) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. (2) Kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diimplementasikan dalam kebijakan Penentuan Harga Transfer Wajib Pajak dan pelaksanaannya harus dituangkan dalam Dokumen Penentuan Harga Transfer untuk Periode Kesepakatan Harga Transfer. (3) Dalam hal atas Periode Kesepakatan Harga Transfer dan/atau Pemberlakuan Mundur:
telah disampaikan surat pemberitahuan tahunan paj ak penghasilan badan;
Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan Pemeriksaan; dan
terdapat kekurangan pembayaran pajak penghasilan yang terutang dihitung berdasarkan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer, Wajib Pajak harus melakukan pembetulan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sesuai dengan Kesepakatan Harga Tran sf er yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer paling lambat 1 (satu) bulan setelah diterbitkannya keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer. (4) Dalam hal atas Periode Kesepakatan Harga Transfer dan/atau Pemberlakuan Mundur, surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a sedang dilakukan tindakan Pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dengan memperhitungkan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Tran sf er. (5) Dalam hal atas tahun pajak dalam Periode Kesepakatan Harga Transfer telah diterbitkan surat ketetapan pajak, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan atas surat ketetapan pajak secara jabatan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dengan memperhitungkan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer. (6) Dalam hal terdapat sanksi administratif yang timbul sebagai akibat:
pembetulan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan se bagaimana dimaksud pada ayat (3);
penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4); atau
pembetulan atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menghapuskan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal 67 (1) Kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) tidak menghalangi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan tindakan Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. (2) Dalam hal Wajib Pajak melaksanakan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer dan sedang dilakukan tindakan Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak tidak dapat melakukan koreksi atas Penentuan Harga Transfer transaksi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal Wajib Pajak:
menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan yang Penentuan Harga Transfernya tidak sesuai dengan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer;
tidak menyampaikan pembetulan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3);
menyampaikan pembetulan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan yang Penentuan Harga Tran sf ernya tidak sesuai dengan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer; atau
tidak menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan untuk tahun pajak dalam Periode Kesepakatan Harga Transfer. Bagian Kelima Tata Cara Evaluasi Kesepakatan Harga Transfer Paragraf 1 Kewenangan Direktur Jenderal Pajak Melakukan Evaluasi Kesepakatan Harga Tran sf er Pasal 68 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib Pajak. (2) Pengawasan terhadap pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui evaluasi atas:
kepatuhan pelaksanaan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer; dan
kesesuaian kriteria dalam Penentuan Harga Transfer pada kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Tran sf er. (3) Dalam rangka evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
melakukan pembahasan dengan Wajib Pajak terkait dengan pelaksanaan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Tran sf er;
meminta Wajib Pajak untuk memberikan informasi dan/ a tau bukti atau keterangan yang diperlukan;
melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dan/atau Pihak Afiliasi Wajib Pajak;
mewawancarai pengurus dan/atau karyawan Wajib Pajak; dan/atau
meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan dari Pihak Afiliasi atau pihak lainnya yang terkait. (4) Dalam evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak wajib:
menghadiri pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a;
memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b;
memberikan kesempatan peninjauan ke tempat kegiatan usaha se bagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c; dan/atau
memberikan kesempatan Direktur Jenderal Pajak untuk mewawancarai pengurus dan/atau karyawan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d. (5) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi atas kepatuhan pelaksanaan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diketahui bahwa Wajib Pajak tidak melaksanakan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. (6) Tindak lanjut Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan melaksanakan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer. (7) Berdasarkan hasil evaluasi se bagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan:
peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer, sepanjang terdapat perubahan material atas fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer dengan asumsi kritis yang disepakati dalam Kesepakatan Harga Tran sf er; atau
pembatalan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Tran sf er, sebelum Periode Kesepakatan Harga Transfer berakhir. Paragraf 2 Peninjauan Kembali Kesepakatan Harga Transfer Pasal 69 (1) Peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer dilakukan berdasarkan:
hasil evaluasi atas kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer se bagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (7); a tau b. permohonan pen1nJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer yang disampaikan oleh Wajib Pajak. (2) Berdasarkan hasil evaluasi atas kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak. (3) Pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat:
perubahan material atas fakta dan kondisi Transaksi Afiliasi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer dengan asumsi kri tis yang disepakati dalam Kesepakatan Harga Transfer; dan
pelaksanaan perundingan Kesepakatan Harga Transfer dalam rangka peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer. (4) Pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan sebelum tahun pajak yang akan dilakukan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer berakhir. t (5) Permohonan penmJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional dengan mengisi formulir permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Tran sf er. (6) Formulir permohonan penmJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf S yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (7) Penyampaian permohonan penmJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan:
secara langsung; atau
secara elektronik. (8) Penyampaian permohonan penmJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (7) hurufb dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. (9) Tata cara penyampaian permohonan penmJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. (10) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer se bagaimana dimaksud pada ayat (7). (11) Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) merupakan tanggal penerimaan permohonan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer. (12) Ketentuan mengenai penelitian, penyampaian kelengkapan permohonan, pengujian material, dan perundingan atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 60 berlaku secara mutatis mutandis atas permohonan penmJauan kembali Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5). (13) Hasil perundingan peninjauan kembali Kesepakatan Harga Transfer dituangkan dalam perubahan Naskah Kesepakatan Harga Transfer atau Persetujuan Bersama. (14) Atas perubahan Naskah Kesepakatan Harga Transfer atau perubahan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (13), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan mengenai perubahan Kesepakatan Harga Transfer dengan mencantumkan tahun pajak dalam Periode Kesepakatan Harga Transfer yang ditinjau kembali.
Keputusan mengenai perubahan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (14) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf T dan U yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Paragraf 3 Pembatalan Kesepakatan Harga Transfer Pasal 70 (1) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (7) terdapat indikasi bahwa Wajib Pajak:
menyampaikan informasi dan/atau bukti a tau keterangan yang tidak benar atau tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya; dan/atau
tidak menyampaikan informasi dan/ a tau bukti atau keterangan yang:
diketahui atau patut diketahui oleh Wajib Pajak; dan
dapat memengaruhi hasil kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer, Direktur Jenderal Pajak mengirimkan pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak untuk melakukan klarifikasi atas ketidaksesuaian informasi dan/ a tau bukti atau keterangan yang disampaikan selama proses Kesepakatan Harga Transfer. (2) Wajib Pajak harus menyampaikan tanggapan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional atas pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah tanggal pemberitahuan tertulis. (3) Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian atas tanggapan tertulis Wajib Pajak yang disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Direktur Jenderal Pajak membatalkan Kesepakatan Harga Transfer yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (7) atau ayat (8) dalam hal Wajib Pajak:
terbukti memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
tidak menyampaikan tanggapan tertulis atau menyampaikan tanggapan tertulis tetapi melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Dalam rangka pembatalan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
surat keputusan pembatalan Kesepakatan Harga Transfer kepada Wajib Pajak yang dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan
pemberitahuan pembatalan Kesepakatan Harga Transfer kepada Pejabat Berwenang Mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dalam hal Kesepakatan Harga Tran sf er Bilateral a tau Multilateral. (6) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pembatalan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari kalender setelah:
diterimanya tanggapan tertulis Wajib Pajak, dalam hal pembatalan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
terlampauinya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (7) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak membatalkan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (4):
Wajib Pajak tidak dapat mengajukan kembali permohonan Kesepakatan Harga Transfer untuk Periode Kesepakatan Harga Transfer dan/ a tau Pemberlakuan Mundur yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer yang dibatalkan; dan
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan/ a tau penyidikan tindak pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Bagian Keenam Tata Cara Pembaruan Kesepakatan Harga Transfer Pasal 71 (1) Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. (2) Permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dalam periode 12 (dua belas) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan sebelum Periode Kesepakatan Harga Transfer yang diajukan pembaruan dimulai. (3) Formulir permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf W yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Penyampaian permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Tran sf er se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan:
secara langsung; atau
secara elektronik.
(6) (7) (8) (9) (10) (11) Penyampaian permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. Tata cara penyampaian permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer se bagaimana dimaksud pada ayat (1). Tanggal yang tercantum dalam bukti se bagaimana dimaksud pada ayat (7) tanggal penerimaan permohonan Kesepakatan Harga Transfer. penenmaan merupakan pembaruan Atas permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Wajib Pajak harus menyampaikan kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2). Ketentuan mengenai penyampaian kelengkapan permohonan, pengujian material, dan perundingan atas permohonan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sampai dengan Pasal 60 berlaku secara mutatis mutandis atas permohonan pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pembaruan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan 1 (satu) kali untuk 1 (satu) Periode Kesepakatan Harga Transfer. BAB IX PENYAMPAIAN DOKUMEN DAN SURAT KEPUTUSAN Pasal 72 (1) Penyampaian dokumen dan surat keputusan dalam rangka penyelesaian Prosedur Persetujuan Bersama dan Kesepakatan Harga Transfer dapat dilakukan:
secara langsung;
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
secara elektronik. (2) Penyampaian dokumen dan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. (3) Tata cara penyampaian dokumen dan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan peng1nman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. BABX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 73 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
terhadap permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 468) dan belum diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama, ditindaklanjuti berdasarkan Peraturan Menteri ini;
terhadap permohonan Kesepakatan Harga Transfer yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 262) dan belum diterbitkan surat keputusan pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer, surat keputusan mengenai perubahan Kesepakatan Harga Transfer, atau surat keputusan pembatalan kesepakatan dalam Kesepakatan Harga Transfer, ditindaklanjuti berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan
terhadap kewajiban menyelenggarakan, menyimpan, dan menyampaikan Dokumen Penentuan Harga Transfer untuk tahun pajak 2024 dan seterusnya dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 74 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan dalam:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan lstimewa dan Tata Cara Pengelolaannya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 2120);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 468); dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 262), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 75 Peraturan Menteri m1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Batasan Pengeluaran Alokasi Biaya Tidak Langsung Kantor Pusat yang Dapat Dikembalikan dalam Penghitungan Bagi Hasil dan Pajak Penghasilan Bagi Kontrak ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang untuk selanjutnya disebut Kontraktor adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama dengan Badan Pelaksana.
Kantor Pusat adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pendanaan dan/atau investasi untuk mendukung operasi perminyakan bagi afiliasinya termasuk di Indonesia dan memberikan jasa untuk menunjang operasi perminyakan bagi afiliasinya serta membuat laporan keuangan konsolidasi.
Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi.
Operasi Perminyakan adalah kegiatan yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, pengangkutan, penutupan dan peninggalan sumur ( plug and abandonment ) serta pemulihan bekas penambangan ( site restoration ) minyak dan gas bumi.
Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan.
Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.
Biaya Modal ( capital cost ) adalah pengeluaran yang dilakukan untuk peralatan atau barang yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang pembebanannya pada tahun berjalan melalui penyusutan.
Biaya Bukan Modal ( non capital cost ) adalah biaya yang dikeluarkan pada kegiatan operasi tahun berjalan yang mempunyai masa manfaat kurang dari 1 (satu) tahun, termasuk survei dan intangible drilling cost .
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. ...
Relevan terhadap
Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) yang berasal dari:
Pusat Sumber Daya Geologi berupa:
jasa teknologi/konsultasi eksplorasi mineral, batubara dan panas bumi, serta jasa penyelidikan geofisika mineral batubara dan panas bumi tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi;
jasa perbantuan tenaga ahli tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi; dan
jasa peralatan teknik tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi bagi operator, serta mobilisasi peralatan.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi berupa:
jasa teknologi vulkanologi dan mitigasi bencana geologi tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi, dan jasa laboratorium;
jasa perbantuan tenaga ahli, teknisi, dan/atau surveyor tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi; dan
jasa peralatan teknik tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi bagi operator, serta mobilisasi peralatan.
Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan berupa:
jasa penyelidikan dan pemetaan, jasa teknologi/konsultasi, dan jasa penyelidikan geofisika tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi;
jasa perbantuan tenaga ahli dan/atau teknisi tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi; dan
jasa peralatan teknik tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi bagi operator, serta mobilisasi peralatan.
Pusat Survei Geologi berupa:
jasa pemetaan/penelitian tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi;
jasa perbantuan tenaga ahli tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi; dan
jasa peralatan teknik tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi bagi operator, serta mobilisasi peralatan.
Biaya akomodasi, transportasi, dan/atau mobilisasi peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang pelayanannya dilaksanakan diluar kantor Badan Geologi dibebankan kepada wajib bayar.
Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) yang berasal dari:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenaga-listrikan, Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi berupa jasa sertifikasi produk dan jasa perbantuan tenaga ahli, teknisi, dan/atau surveyor tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi;
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara berupa jasa perbantuan tenaga ahli, teknisi, dan/atau surveyor, serta jasa pengujian lingkungan pertambangan tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi; dan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan berupa:
jasa teknologi survei tidak termasuk biaya mobilisasi peralatan; dan
jasa wahana survei tidak termasuk biaya akomodasi, transportasi, mobilisasi peralatan, awak kapal, dan bahan bakar minyak.
Biaya akomodasi, transportasi, dan mobilisasi peralatan, untuk pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c angka 1 yang dilaksanakan di luar kantor Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral dibebankan kepada wajib bayar.
Biaya akomodasi, transportasi, mobilisasi peralatan, awak kapal, dan/atau bahan bakar minyak untuk jasa wahana survei sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 dibebankan kepada wajib bayar.
Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) yang berasal dari:
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Minyak dan Gas Bumi berupa:
jasa pendidikan dan pelatihan sektor migas hulu, hilir, dan penunjang tidak termasuk biaya akomodasi, jasa pengujian laboratorium, jasa laboratorium bengkel, transportasi, dan/atau mobilisasi peralatan;
jasa pelayanan keahlian dan jasa pengujian laboratorium dan laboratorium bengkel tidak termasuk biaya akomodasi, transportasi, dan mobilisasi peralatan. b. Perguruan Tinggi Kedinasan Akademi Minyak dan Gas Bumi berupa penelitian dan pengabdian masyarakat tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi;
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Mineral dan Batubara berupa jasa peralatan pendidikan tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi bagi operator, serta mobilisasi peralatan;
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Geologi berupa jasa peralatan pendidikan tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi bagi operator, serta mobilisasi peralatan;
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi berupa:
jasa pendidikan dan pelatihan tidak termasuk biaya akomodasi, transportasi, jasa laboratorium, dan mobilisasi peralatan; dan
jasa peralatan pendidikan dan pelatihan tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi bagi operator, serta mobilisasi peralatan;
Balai Pendidikan dan Pelatihan Tambang Bawah Tanah berupa jasa peralatan pendidikan dan pelatihan tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi bagi operator, serta mobilisasi peralatan.
Biaya akomodasi, jasa laboratorium, jasa pengujian laboratorium, dan/atau jasa laboratorium bengkel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pelayanan di dalam dan di luar Badan Pendidikan dan Pelatihan Energi dan Sumber Daya Mineral dibebankan kepada wajib bayar.
Biaya transportasi dan mobilisasi peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pelayanan yang dilaksanakan di luar kantor Badan Pendidikan dan Pelatihan Energi dan Sumber Daya Mineral dibebankan kepada wajib bayar.
Tata Cara Pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam ...
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN ASET PADA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 2. Aset adalah seluruh barang milik negara yang dikelola oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. 3. Aset Dalam Penguasaan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang selanjutnya disingkat ADP adalah Aset yang meliputi tanah dalam bentuk Hak Pengelolaan. 4. Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN. 5. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN. 6. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang selanjutnya disebut Kawasan adalah wilayah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Be bas Ba tam.
Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Be bas dan Pelabuhan Bebas Batam yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan adalah lembaga/ instansi pemerintah pusat yang dibentuk oleh Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan tugas dan wewenang melaksanakan pengelolaan, pengembangan, dan pembangunan Kawasan sesuai dengan fungsi-fungsi Kawasan. 8. Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tan pa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. 9. Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat PPK-BLU adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai pengelolaan keuangan BLU, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. 10. Perencanaan Kebutuhan adalah kegiatan merumuskan rincian kebutuhan BMN untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berj alan se bagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang. 11. Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna Barang dalam mengelola dan menatausahakan Aset yang sesuai dengan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan. 12. Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian pada saat tertentu. 13. Penilai adalah pihak yang melakukan Penilaian secara independen berdasarkan kompetensi yang dimilikinya. 14. Pemanfaatan adalah pendayagunaan Aset yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian/lembaga dan/atau optimalisasi Aset dengan tidak mengubah status kepemilikan. 15. Sewa adalah Pemanfaatan Aset oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai. 16. Pinjam Pakai adalah Pemanfaatan Aset melalui penyerahan penggunaan BMN Badan Pengusahaan kepada pemerintah daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir diserahkan kembali kepada Badan Pengusahaan.
Kerja Sama Pemanfaatan yang selanjutnya disingkat KSP adalah Pemanfaatan Aset oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya. 18. Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur yang selanjutnya disingkat KSPI adalah Pemanfaatan Aset melalui kerja sama antara pemerintah dan badan usaha untuk kegiatan penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 19. Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur yang selanjutnya disebut Ketupi adalah Pemanfaatan BMN melalui optimalisasi BMN untuk meningkatkan fungsi operasional BMN guna mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur lainnya. 20. Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama yang selanjutnya disingkat PJPK adalah Kepala Badan Pengusahaan sebagai penanggungjawab proyek kerja sama pada Badan Pengusahaan dalam rangka pelaksanaan kerja sama pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 21. Badan U saha adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas, badan hukum asing, atau koperasi. 22. Badan Usaha Pelaksana Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan Usaha yang selanjutnya disebut Badan Usaha Pelaksana adalah Perseroan Terbatas yang didirikan oleh Badan Usaha pemenang lelang atau ditunjuk langsung. 23. Perubahan Status Aset adalah perubahan status ADP menjadi BMN atau perubahan status BMN menjadi ADP. 24. Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan BMN. 25. Penjualan adalah pengalihan kepemilikan BMN kepada pihak lain dengan menerima penggantian dalam bentuk uang. 26. Tukar Menukar adalah pengalihan kepemilikan BMN yang dilakukan antara Badan Pengusahaan dengan pemerintah daerah, badan usaha milik negara/ daerah a tau badan hukum lainnya yang dimiliki negara, dan swasta, dengan menerima penggantian dalam bentuk barang, sekurang- kurangnya dengan nilai seimbang. 27. Hi bah adalah pengalihan kepemilikan BMN dari Badan Pengusahaan kepada pemerintah daerah atau kepada pihak lain, tanpa memperoleh penggantian. 28. Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan fisik dan/atau kegunaan BMN. 29. Penghapusan adalah tindakan menghapus BMN dari pembukuan/ daftar barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Badan Pengusahaan dan/atau Pengelola Barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas BMN.
Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan Aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 31. Inventarisasi adalah kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan Aset. 32. Penggolongan adalah kegiatan untuk menetapkan Aset secara sistematik ke dalam golongan, bidang, kelompok, sub kelompok, dan sub-sub kelompok. 33. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN. 34. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN. 35. Kepala Kantor Wilayah adalah Kepala Kantor Wilayah pada Direktorat Jenderal yang wilayah kerjanya meliputi wilayah kerja Badan Pengusahaan. 36. Kepala Kantor Pelayanan Keyayaan Negara dan Lelang yang selanjutnya disebut Kepala KPKNL adalah Kepala Kantor Pelayanan pada Direktorat Jenderal yang wilayah kerjanya meliputi wilayah kerja Badan Pengusahaan. 37. Pihak Lain adalah pihak-pihak selain kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah. Pasal 2 (1) Ruang lingkup Peraturan Menteri m1 mengatur pelaksanaan pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan, yang meliputi:
BMN; dan
ADP. (2) BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN; dan
barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah meliputi:
barang yang diperoleh dari hi bah/ sumbangan atau yang sejenis;
barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;
barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (3) BMN yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 3 termasuk:
barang yang diperoleh dari pendapatan Badan Pengusahaan dan perolehan lainnya yang sah;
barang yang pendanaannya merupakan gabungan antara APBN dan pendapatan Badan Pengusahaan; dan
barang yang berasal dari pengalihan ADP yang tidak diperpanjang pengalokasiannya.
ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurufb meliputi Aset berupa tanah yang berada dalam Kawasan yang tidak ditetapkan sebagai BMN termasuk:
tanah yang belum mendapatkan sertipikat Hak Pengelolaan;
tanah yang sudah mendapatkan sertipikat Hak Pengelolaan; dan
tanah yang berasal dari BMN yang diubah statusnya menjadi ADP. Pasal 3 (1) Badan Pengusahaan mengelola Aset berupa:
BMN berupa:
tanah dan/atau bangunan; dan/atau
selain tanah dan/atau bangunan; dan
ADP berupa tanah. (2) ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat:
dikerjasamakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini; atau
dilakukan pengalokasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. BAB II PEJABAT PENGELOLA ASET Pasal 4 (1) Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara merupakan Pengelola Barang yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan Aset. (2) Dalam pelaksanaan pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan melimpahkan kewenangannya kepada:
Direktur Jenderal dalam bentuk subdelegasi; atau
pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal dalam bentuk mandat. (3) Pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. (4) Dalam hal pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum terakomodir di dalam Keputusan Menteri Keuangan, maka dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Kewenangan subdelegasi pada Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilimpahkan kepada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal dalam bentuk mandat. Pasal 5 (1) Kepala Badan Pengusahaan merupakan Pengguna Barang di lingkungan Badan Pengusahaan yang memiliki kewenangan pelaksanaan teknis dan perumusan kebijakan teknis pengelolaan Aset.
Dalam pelaksanaan teknis pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Badan Pengusahaan dapat melimpahkan kewenangannya kepada pejabat di lingkungan Badan Pengusahaan yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB III PENGELOLAAN ASET Bagian Kesatu Prinsip Umum Pasal 6 Pengelolaan Aset meliputi:
Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran;
pengadaan;
Penggunaan;
Perubahan Status Aset;
Pemanfaatan;
pengalokasian;
pengamanan dan pemeliharaan;
Penilaian;
Pemindahtanganan; J. Pemusnahan;
Penghapusan;
Penatausahaan; dan
pengawasan dan pengendalian. Pasal 7 (1) Aset pada Badan Pengusahaan dilarang untuk diserahkan kepada Pihak Lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada pemerintah pusat. (2) Aset pada Badan Pengusahaan tidak dapat dilakukan penyitaan. (3) BMN yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan dan penyelenggaraan tugas pemerintahan negara tidak dapat dipindahtangankan. (4) BMN dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman. Bagian Kedua Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran Pasal 8 (1) Perencanaan Kebutuhan BMN disusun dalam rencana bisnis dan anggaran Badan Pengusahaan setelah memperhatikan ketersediaan BMN yang ada serta kemampuan dalam menghimpun pendapatan. (2) Perencanaan Kebutuhan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan, dan standar harga/biaya.
Perencanaan Kebutuhan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 9 (1) Standar barang dan standar kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) berpedoman pada ketentuan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan c.q. direktur yang membidangi perumusan kebijakan kekayaan negara pada Direktorat J enderal berdasarkan usulan Kepala Badan Pengusahaan. (2) Standar harga/biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang PPK-BLU. Bagian Ketiga Pengadaan Pasal 10 Pengadaan BMN dilaksanakan sesua1 dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keempat Penggunaan Paragraf 1 Umum Pasal 11 (1) Penggunaan Aset dilaksanakan dengan cara:
digunakan sendiri oleh Badan Pengusahaan;
digunakan sementara oleh Pengguna Barang lainnya;
dioperasikan oleh Pihak Lain;
dialihkan status penggunaannya kepada Pengguna Barang lainnya; atau
digunakan bersama dengan kementerian/lembaga lain. (2) BMN yang berada dalam penguasaan Badan Pengusahaan hanya dapat diusulkan untuk dilakukan Penggunaan untuk dioperasikan oleh Pihak Lain, Penggunaan sementara, pengalihan status Penggunaan, atau Penggunaan bersama, setelah memperoleh penetapan status Penggunaan. (3) Penetapan status BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan atas BMN berupa:
barang persediaan;
konstruksi dalam pengerjaan;
barang yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk dihibahkan;
barang yang berasal dari dana dekonsentrasi dan dana penunjang tugas pembantuan, yang direncanakan untuk diserahkan;
bantuan pemerintah yang belum ditetapkan statusnya; dan
aset tetap renovasi. (4) ADP tidak dapat diusulkan untuk dilakukan Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali telah dilakukan Perubahan Status Aset menjadi BMN. (5) ADP hanya dapat dilakukan pengalokasian atau Pemanfaatan, setelah memperoleh penetapan status ADP. (6) Kementerian/lembaga dapat melakukan pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan. Paragraf 2 Penetapan Status Pasal 12 (1) Penetapan status Penggunaan Aset berupa BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dilakukan oleh Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan status Penggunaan BMN dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanjang BMN berupa selain tanah dan/ a tau bangunan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak dipersyaratkan adanya bukti kepemilikan dengan nilai buku sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan. (3) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pelaksanaan, prosedur, dan dokumen penetapan status Penggunaan BMN mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pengelolaan BMN. (4) Penetapan status ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan. Paragraf 3 Penggunaan Sementara Pasal 13 (1) BMN yang telah ditetapkan status penggunaannya pada Badan Pengusahaan dapat digunakan sementara oleh Pengguna Barang lainnya dalam jangka waktu tertentu tanpa harus mengubah status Penggunaan BMN tersebut. (2) Penggunaan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (3) Penggunaan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan jangka waktu tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penggunaan sementara yang dilakukan untuk jangka waktu kurang dari 6 (enam) bulan, dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL.
Pada saat jangka waktu Penggunaan sementara telah berakhir, BMN yang digunakan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
digunakan sendiri oleh Badan Pengusahaan;
digunakan sementara oleh Pengguna Barang lainnya; dan/atau
dialihkan status penggunaannya kepada Pengguna Barang lain, berdasarkan usulan dari Kepala Badan Pengusahaan untuk mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (6) Pengguna sementara BMN yang menggunakan sementara BMN pada Badan Pengusahaan tidak dapat melakukan penetapan status Penggunaan, Penggunaan untuk dioperasikan Pihak Lain, pengalihan status Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, dan/atau Penghapusan BMN yang digunakan sementara. (7) Pengguna sementara BMN melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN yang digunakan sementara sesuai perjanjian. (8) Pengguna sementara BMN dapat melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang digunakan sementara berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan, dengan ketentuan perubahan atau pengembangan terse but tidak mengakibatkan perubahan fungsi dan/atau penurunan nilai BMN. (9) Dalam hal pengguna sementara melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang digunakan sementara, pengguna sementara menyerahkan hasil perubahan atau pengembangan dimaksud kepada Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 4 Penggunaan untuk Dioperasikan oleh Pihak Lain Pasal 14 (1) BMN yang telah ditetapkan status penggunaannya pada Badan Pengusahaan dapat dioperasikan oleh Pihak Lain tanpa mengubah status Penggunaan BMN tersebut, dengan ketentuan pengoperasian BMN dimaksudkan untuk menjalankan pelayanan umum sesuai tugas dan fungsi Badan Pengusahaan serta penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang- undangan. (2) Jangka waktu Penggunaan BMN untuk dioperasikan oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang, untuk pengoperasian BMN oleh badan usaha milik negara, koperasi, atau badan hukum lainnya;
paling lama 15 (lima belas) tahun dan dapat diperpanjang, untuk pengoperasian BMN dalam rangka pengelolaan, pemeliharaan, dan pengusahaan sistem penyediaan air minum, termasuk daerah tangkapan air, waduk, bendungan di KPBPB, dan sistem air limbah, serta limbah bahan berbahaya dan beracun;
paling lama 99 (sembilan puluh sembilan) tahun, untuk pengoperasian BMN oleh pemerintah negara lain;
sesuai perjanjian, untuk pengoperasian BMN oleh organisasi internasional; atau
selama lembaga independen yang dibentuk dengan undang-undang melaksanakan tugas dan fungsinya untuk menjalankan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, untuk pengoperasian BMN oleh lembaga independen yang dibentuk dengan undang-undang, dengan ketentuan tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pengoperasian oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengoperasian oleh Pihak Lain yang dilakukan untuk jangka waktu kurang dari 6 (enam) bulan, dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (5) Biaya pengamanan dan pemeliharaan BMN selama jangka waktu Penggunaan BMN untuk dioperasikan oleh Pihak Lain dibebankan kepada Pihak Lain yang mengoperasikan BMN. (6) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), biaya pengamanan dan pemeliharaan BMN dapat dibebankan secara keseluruhan atau sebagian kepada Badan Pengusahaan sepanjang pengoperasian dilaksanakan karena penugasan atau kebijakan pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) Pihak Lain yang melakukan pengoperasian atas BMN dapat melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang dioperasikan berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan, dengan ketentuan perubahan atau pengembangan tersebut tidak mengakibatkan perubahan fungsi dan/atau penurunan nilai BMN. (8) Dalam hal BMN yang dioperasikan oleh Pihak Lain dilakukan perubahan atau pengembangan, hasil perubahan atau pengembangan dimaksud diserahkan kepada Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 15 (1) Pihak Lain yang mengoperasikan BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dapat melakukan pungutan kepada masyarakat setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Badan Pengusahaan dengan melampirkan perhitungan estimasi biaya operasional dan besaran pungutan.
Dalam hal pendapatan yang diperoleh setelah dikurangi biaya operasional menghasilkan keuntungan bagi pihak lain yang mengoperasikan BMN, keuntungan tersebut disetor seluruhnya ke rekening Badan Pengusahaan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 16 (1) Pihak Lain yang mengoperasikan BMN menyampaikan laporan tahunan pelaksanaan pengoperasian BMN kepada Kepala Badan Pengusahaan selama jangka waktu pengoperasian. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada bulan berikutnya setelah periode tahun anggaran berakhir. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyampaian laporan dilakukan pada akhir jangka waktu pengoperasian BMN sepanjang jangka waktu pengoperasian kurang dari 1 (satu) tahun. (4) Laporan pelaksanaan pengoperasian BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
kesesuaian Penggunaan BMN objek pengoperasian sebagaimana ditentukan dalam perjanjian;
pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan atas objek pengoperasian;
kondisi BMN objek pengoperasian; dan
perubahan dan pengembangan yang dilakukan terhadap BMN objek pengoperasian, jika ada. Paragraf 5 Alih Status Penggunaan Pasal 17 (1) BMN yang tidak digunakan lagi oleh Badan Pengusahaan dapat dialihkan status penggunaannya kepada Pengguna Barang lainnya. (2) Pengalihan status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengalihan status Penggunaan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL sepanjang BMN berupa aset tetap renovasi. Paragraf 6 Pembangunan oleh Kementerian/Lembaga di atas Aset Berupa Tanah pada Badan Pengusahaan Pasal 18 (1) Kementerian/lembaga dapat melakukan pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan setelah memperoleh persetujuan Kepala Badan Pengusahaan.
Pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perjanjian antara Badan Pengusahaan dan kementerian/lembaga yang melakukan pembangunan. (3) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
dasar perjanjian;
identitas para pihak;
jangka waktu pembangunan;
jenis, jumlah, dan luas objek yang dibangun;
tanggung jawab pembangunan; dan
hak dan kewajiban para pihak. (4) Barang yang diperoleh dari hasil pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan dilakukan penetapan status Penggunaan BMN pada kementerian/lembaga yang melakukan pembangunan terse but. (5) BMN hasil pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan Penatausahaan oleh kementerian/lembaga bersangkutan. (6) BMN hasil pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, atau Penghapusan dengan persetujuan Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilaporkan kepada Kepala Badan Pengusahaan. (7) Hasil Pemanfaatan atas BMN hasil pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi penerimaan pada:
kementerian/lembaga selaku Pengguna Barang sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak; dan/atau
Badan Pengusahaan, sesuai perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (8) BMN hasil pembangunan di atas Aset Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan alih status Penggunaan berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL kepada:
Badan Pengusahaan; atau
kementerian/lembaga lain. (9) Dalam hal BMN hasil pembangunan dialihkan status penggunaannya kepada kementerian/ lembaga lain sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b, perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan penyesuaian terhadap para pihak. Paragraf 7 Penggunaan Bersama Pasal 19 (1) BMN berupa infrastruktur jalan yang telah ditetapkan status penggunaannya pada Badan Pengusahaan dapat dilakukan Penggunaan bersama dengan kementerian/lembaga yang membidangi urusan jalan nasional dalam jangka waktu tertentu tanpa harus mengubah status Penggunaan BMN tersebut. (2) Penggunaan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (3) Persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan berdasarkan permohonan Kepala Badan Pengusahaan. (4) Permohonan persetujuan Penggunaan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Kepala Badan Pengusahaan yang minimal memuat:
data BMN yang akan digunakan bersama;
Pengguna Barang yang akan menggunakan bersama BMN;
jangka waktu Penggunaan bersama; dan
penjelasan serta pertimbangan Penggunaan bersama BMN. (5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa:
fotokopi keputusan penetapan status Penggunaan BMN; dan
surat permintaan Penggunaan bersama BMN dari Pengguna Barang yang akan menggunakan bersama BMN kepada Kepala Badan Pengusahaan. (6) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penggunaan bersama yang dilakukan untuk jangka waktu kurang dari 6 (enam) bulan, dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (7) Kepala KPKNL melakukan penelitian atas permohonan Penggunaan bersama BMN yang diajukan oleh Kepala Badan Pengusahaan terhadap kelengkapan dan kesesuaian dokumen yang dipersyaratkan. (8) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum mencukupi, Kepala KPKNL dapat:
meminta keterangan kepada Kepala Badan Pengusahaan;dan b. meminta konfirmasi dan klarifikasi kepada Pengguna Barang yang akan menggunakan bersama BMN. (9) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
data BMN yang akan digunakan bersama;
Pengguna Barang yang menggunakan bersama BMN;
kewajiban Pengguna Barang yang menggunakan bersama BMN untuk memelihara dan mengamankan BMN yang digunakan bersama;
jangka waktu Penggunaan bersama; dan
kewajiban Pengguna Barang untuk menindaklanjuti persetujuan dengan membuat perjanjian. (10) Dalam hal permohonan Penggunaan bersama tidak disetujui, Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Badan Pengusahaan disertai dengan alasannya. Pasal 20 (1) Penggunaan bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dituangkan dalam perjanjian antara Badan Pengusahaan selaku Pengguna Barang dan kementerian/ lembaga yang menggunakan bersama selaku pengguna bersama BMN. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
dasar perjanjian;
identitas para pihak;
jangka waktu Penggunaan bersama;
jenis, jumlah dan luas objek yang digunakan bersama;
tanggung jawab Penggunaan bersama, termasuk tanggung jawab dalam melakukan pengamanan dan pemeliharaan BMN yang digunakan bersama; dan
hak dan kewajiban para pihak. Pasal 21 BMN yang sedang dilakukan Penggunaan bersama tidak dapat dilakukan Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, dan/ a tau Penghapusan BMN yang digunakan bersama, kecuali berdasarkan usulan dari Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 22 (1) Pengguna bersama BMN yang menggunakan bersama BMN pada Badan Pengusahaan melakukan pengamanan dan pemeliharaan BMN sesuai perjanjian. (2) Biaya pengamanan dan pemeliharaan terhadap BMN yang digunakan bersama hanya dapat dibebankan pada salah satu pihak untuk setiap kegiatan. (3) Pengguna bersama BMN yang menggunakan bersama BMN pada Badan Pengusahaan, dapat melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang digunakan bersama berdasarkan:
perjanjian dengan Kepala Badan Pengusahaan; atau
persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (4) Perubahan atau pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan tidak mengakibatkan perubahan fungsi dan/atau penurunan nilai BMN. (5) Hasil perubahan atau pengembangan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diserahkan oleh Pengguna bersama BMN kepada Kepala Badan Pengusahaan. (6) Penyerahan hasil perubahan atau pengembangan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang akuntansi dan pengelolaan BMN. Bagian Kelima Perubahan Status Aset Paragraf 1 Perubahan Status Aset Berupa Aset Dalam Penguasaan Menjadi Barang Milik Negara Pasal 23 (1) ADP yang akan digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian/lembaga, penyelenggaraan tugas pemerintahan negara, dan/atau pelayanan pada masyarakat dapat diubah statusnya menjadi BMN setelah mendapat persetujuan dari Kepala Badan Pengusahaan. (2) Perubahan Status Aset berupa ADP menjadi BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan status Penggunaan BMN. (3) ADP yang akan diubah statusnya menjadi BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
tidak sedang dilakukan pengalokasian;
tidak terdapat pembebanan hak tanggungan atau peletakan jaminan/agunan terhadap hak atas tanah atau alokasi tanah di atas ADP; dan
tidak sedang dalam sengketa, baik terhadap ADP maupun hak atas tanah atau alokasi tanah di atas ADP. Paragraf 2 Tata Cara Perubahan Status Aset Berupa Aset Dalam Penguasaan Menjadi Barang Milik Negara Pasal 24 (1) Kepala Badan Pengusahaan memberikan persetujuan atas ADP yang diusulkan untuk menjadi BMN dengan tembusan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh:
kementerian/lembaga; atau
unit di Badan Pengusahaan yang membutuhkan BMN. (3) Kepala Badan Pengusahaan mengajukan usulan penetapan status Penggunaan BMN pada Badan Pengusahaan atas ADP berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (4) Kementerian/lembaga mengajukan usulan penetapan status Penggunaan BMN atas ADP berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL dengan tembusan kepada Kepala Badan Pengusahaan. (5) Penetapan status Penggunaan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penggunaan BMN. Paragraf 3 Perubahan Status Aset Berupa Barang Milik Negara Menjadi Aset Dalam Penguasaan Pasal 25 (1) BMN berupa tanah yang tidak digunakan lagi oleh Badan Pengusahaan dapat diubah statusnya menjadi ADP setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui keputusan Kepala Badan Pengusahaan. (3) Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan pertimbangan:
sudah tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah atau penataan kota;
diperuntukkan bagi kepentingan umum;
adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan/atau ketentuan perundang-undangan, yangjika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis;
analisis penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use) dari Kepala Badan Pengusahaan yang menyatakan bahwa tanah tersebut lebih optimal apabila dialihkan menjadi ADP; dan/atau
penyelesaian konflik pertanahan dan penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka pelaksanaan proyek strategis nasional. (4) BMN berupa tanah yang dapat dilakukan Perubahan Status Aset menjadi ADP harus memenuhi kriteria:
sebelumnya berasal dari ADP;
telah ditetapkan status penggunaannya;
bukan merupakan BMN yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya; dan
BMN berupa tanah yang:
tidak sedang digunakan/tidak diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan dan/atau tidak sedang dilakukan pemanfaatan; dan
sudah terdapat rencana peruntukan dan/atau pengalokasiannya. (5) Dalam hal pelaksanaan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP mengakibatkan timbulnya kebutuhan atas BMN berupa tanah, pelaksanaan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dilakukan bersamaan dengan penyiapan tanah ADP yang akan dijadikan BMN. (6) ADP yang disiapkan untuk dijadikan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3). Paragraf 4 Tata Cara Perubahan Status Aset Berupa Barang Milik Negara Menjadi Aset Dalam Penguasaan Pasal 26 Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
persiapan;
permohonan;
penelitian;
persetujuan;
penetapan; dan
pelaporan. Pasal 27 (1) Kepala Badan Pengusahaan melakukan persiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dengan tahapan sebagai berikut:
membentuk komite aset;
meminta aparat pengawasan intern pemerintah untuk melakukan reviu atas laporan dari komite aset; dan
menyiapkan dokumen permohonan. (2) Komite aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bersifat ad hoc. (3) Komite aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah ganjil yang minimal beranggotakan perwakilan dari unsur:
unit yang menggunakan/menguasai BMN;
unit yang membidangi pengelolaan ADP;
pelaksana fungsional Pengguna Barang; dan
unit yang membidangi hukum pada Badan Pengusahaan. (4) Komite aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP meliputi:
melakukan penelitian data administratif, yaitu:
data tanah, sebagaimana tercantum dalam Kartu Identitas Barang (KIB) meliputi status dan bukti kepemilikan, lokasi, luas, nilai perolehan dan/atau nilai buku;
data penetapan status Penggunaan dan/atau Pemanfaatan;
data dan informasi mengenai perolehan BMN berupa tanah yang akan diubah statusnya menjadi ADP;
data dan informasi mengenai bangunan, sarana prasarana, dan/atau objek lainnya yang berada di atas tanah sebagaimana dimaksud pada angka 1;
rencana peruntukan dan/atau pengalokasian BMN yang akan diubah statusnya menjadi ADP; dan
data ADP yang direncanakan akan dijadikan BMN dalam rangka pemenuhan kebutuhan BMN, jika ada.
melakukan penelitian fisik untuk memeriksa kesesuaian data administratif dengan fisik tanah:
BMN yang akan diusulkan untuk dilakukan Perubahan Status Aset dari BMN menjadi ADP;
ADP yang direncanakan akan dijadikan BMN dalam rangka pemenuhan BMN, jika ada. yang dituangkan dalam berita acara penelitian. c. menyusun kajian Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP meliputi:
Analisis aspek penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use);
Analisis manfaat dan dampak ekonomi dan sosial; dan
Analisis kebutuhan penyediaan berupa tanah sebagai dampak dari rencana Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. d. melakukan koordinasi dengan tim penyelesaian konflik pertanahan dan penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka pelaksanaan proyek strategis nasional. e. menyiapkan dokumen yang melatarbelakangi usulan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, an tara lain:
dokumen rencana tata ruang wilayah atau penataan kota;
dokumen yang menyatakan/mendukung bahwa Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP diperlukan dalam rangka kepentingan umum;
putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang mengakibatkan perlu dilakukannya Perubahan Status Aset berupa BMN;
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur status BMN tidak layak dipertahankan secara ekonomis; dan / a tau 5. dokumen hasil pelaksanaan tugas/laporan tim penyelesaian konflik pertanahan dan penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka pelaksanaan proyek strategis nasional. f. menyampaikan laporan penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP kepada Kepala Badan Pengusahaan meliputi:
hasil penelitian data administrasi sebagaimana dimaksud pada huruf a;
kajian sebagaimana dimaksud pada huruf c;
dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf e; dan
rekomendasi terkait rencana Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. (5) Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c harus mempertimbangkan:
statistik BMN berupa tanah yang ada;
jumlah BMN berupa tanah; dan
analisis kebutuhan BMN berupa tanah. (6) Dalam hal diperlukan, komite aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melibatkan instansi teknis atau unsur lain yang kompeten.
Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f merekomendasikan untuk tidak dilakukan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, komite aset menyampaikan laporan penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP kepada Kepala Badan Pengusahaan disertai dengan alasannya. (8) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f merekomendasikan untuk dilakukan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, Kepala Badan Pengusahaan meminta aparat pengawasan intern pemerintah untuk melakukan reviu atas laporan dari komite aset dalam rangka penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. (9) Dalam hal diperlukan, pelaksanaan reviu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat melibatkan instansi teknis yang kompeten. (10) Kepala Badan Pengusahaan melakukan penelitian atas laporan penyiapan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dan hasil reviu aparat pengawasan intern pemerintah sebagai dasar pertimbangan dalam menyiapkan dokumen permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. Pasal 28 (1) Dalam hal usulan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP disertai dengan usulan Perubahan Status Aset berupa tanah ADP menjadi BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5), Kepala Badan Pengusahaan melakukan Perubahan Status Aset berupa ADP menjadi BMN. (2) Pelaksanaan Perubahan Status Aset berupa ADP menjadi BMN se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24. Pasal 29 (1) Kepala Badan Pengusahaan menyampaikan surat permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penjelasan dan pertimbangan usulan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dengan disertai:
data administratif;
nilai perolehan dan/atau nilai buku BMN;
rencana peruntukan dan pengalokasiannya;
surat keputusan pembentukan komite aset;
laporan penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dari komite aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf f;
hasil reviu aparat pengawasan intern pemerintah; dan
surat pernyataan:
kebenaran materiil objek yang diusulkan;
bahwa BMN yang akan diubah statusnya: a) sebelumnya berasal dari ADP; dan b) tidak sedang digunakan/tidak diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan dan/atau tidak sedang dilakukan Pemanfaatan. (3) Dalam hal permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersamaan dengan adanya penyediaan ADP untuk dijadikan BMN, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai juga dengan usulan:
penetapan status Penggunaan; dan
Penilaian; atas ADP yang direncanakan untuk dijadikan BMN. (4) Pengajuan penetapan status Penggunaan dan Penilaian atas ADP yang akan dijadikan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 30 (1) Kepala KPKNL melakukan penelitian atas permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, dengan tahapan:
melakukan penelitian terhadap pemenuhan dokumen persyaratan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP; dan
melakukan penelitian data administratif. (2) Dalam hal diperlukan, Kepala KPKNL dapat melakukan penelitian fisik BMN yang direncanakan dilakukan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dengan memeriksa data administratif yang ada. (3) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, Kepala KPKNL dapat meminta data dan informasi tambahan kepada Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 31 (1) Persetujuan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP diberikan oleh Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL dalam bentuk surat persetujuan dengan mendasarkan pada hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30. (2) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
data BMN yang akan diubah statusnya menjadi ADP; dan
tujuan peruntukan dan pengalokasian. (3) Dalam hal Kepala KPKNL tidak menyetujui permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, Kepala KPKNL memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Badan Pengusahaan disertai dengan alasannya. Pasal 32 (1) Kepala Badan Pengusahaan menerbitkan keputusan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat persetujuan dari Kepala KPKNL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1). (2) Kepala Badan Pengusahaan melakukan reklasifikasi BMN yang diubah statusnya menjadi ADP berdasarkan keputusan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penatausahaan BMN dan akuntansi pemerintahan. Pasal 33 (1) Kepala Badan Pengusahaan menyampaikan laporan pelaksanaan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP kepada Kepala KPKNL dengan melampirkan:
surat keputusan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP;
daftar transaksi reklasifikasi dari BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2); dan
daftar transaksi reklasifikasi dari ADP menjadi BMN, dalam hal Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP disertai dengan adanya ADP yang dijadikan BMN. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 2 (dua) bulan sejak keputusan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. Bagian Keenam Pemanfaatan Paragraf 1 Umum Pasal 34 (1) Pemanfaatan Aset meliputi:
Sewa;
Pinjam Pakai; C. KSP;
Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur;
KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur;
KSPI; dan
Ketupi. (2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap:
Aset berupa tanah dan/atau bangunan;
Aset berupa sebagian tanah dan/atau bangunan; dan/atau
BMN selain tanah dan/atau bangunan. (3) Bandar udara, pelabuhan, sumber daya air dan limbah, termasuk Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Aset berupa ADP tidak dapat dilakukan Pemanfaatan dalam bentuk Pinjam Pakai dan Ketupi.
Aset yang menjadi objek Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang dijaminkan atau digadaikan. (6) BMN yang berada dalam penguasaan Badan Pengusahaan hanya dapat diusulkan untuk dilakukan Pemanfaatan, setelah memperoleh penetapan status Penggunaan. Pasal 35 (1) Pemanfaatan Aset dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada:
Menteri Keuangan c.q. direktur yang membidangi pengelolaan kekayaan negara pada Direktorat J enderal dengan tembusan Kepala KPKNL untuk Pemanfaatan dalam bentuk KSPI dan Ketupi; dan
Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL untuk Pemanfaatan selain KSPI dan Ketupi. (2) Pemanfaatan tidak mengubah status kepemilikan Aset. (3) Pemanfaatan Aset dilakukan dengan jangka waktu tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pemanfaatan Aset dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan umum. (5) Kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus merupakan kegiatan yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara, masyarakat luas, rakyat banyak/bersama, dan/atau kepentingan pembangunan. (6) Biaya pemeliharaan dan pengamanan Aset yang berkaitan dengan Pemanfaatan Aset dibebankan pada mitra Pemanfaatan Aset. Pasal 36 (1) Pemerintah dapat memberikan fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi dalam rangka Pemanfaatan Aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. (2) Pemberian fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh:
Kepala Badan Pengusahaan;
Menteri Keuangan; dan/atau
menteri/pimpinan lembaga lainnya. Pasal 37 (1) Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d sampai dengan huruf g, dilaksanakan dengan jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. (2) Jangka waktu Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur yang dilakukan dalam bentuk Sewa atau KSP dan perpanjangannya ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan.
Jangka waktu Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur yang dilakukan dalam bentuk KSPI dan Ketupi serta perpanjangannya ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan, setelah memperoleh persetujuan dari:
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal untuk Pemanfaatan dengan nilai BMN yang dihitung secara proporsional dari nilai perolehan BMN di atas Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); dan
Menteri Keuangan c.q. direktur yang membidangi pengelolaan kekayaan negara pada Direktorat J enderal untuk Pemanfaatan dengan nilai BMN yang dihitung secara proporsional dari nilai perolehan BMN sampai dengan Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (4) J angka waktu Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur dan perpanjangannya dituangkan dalam perjanjian. Pasal 38 Perpanjangan jangka waktu untuk Pemanfaatan berupa KSPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf f:
hanya dapat dilakukan apabila terjadi government force majeure, seperti dampak kebijakan pemerintah yang disebabkan oleh terjadinya krisis ekonomi, politik, sosial, dan keamanan; dan
permohonannya diajukan paling lama 6 (enam) bulan setelah government force majeure nyata terjadi.
(2) (3) (4) Pasal 39 Pendapatan yang diperoleh dari digunakan langsung oleh Badan dengan ketentuan peraturan mengenai PPK-BLU. Pemanfaatan dapat Pengusahaan sesuai perundang-undangan Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendapatan dari Pemanfaatan disetorkan ke BLU yang ditetapkan oleh Pengelola Barang sepanjang Pemanfaatan dilaksanakan dalam bentuk Ketupi. Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada:
Menteri Keuangan c.q. direktur yang membidangi pengelolaan kekayaan negara pada Direktorat J enderal dengan tembusan Kepala KPKNL untuk pendapatan dari KSPI; dan
Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL untuk pendapatan dari Pemanfaatan BMN selain KSPI. Aset yang diperoleh dari hasil Pemanfaatan menjadi BMN pada Badan Pengusahaan. Paragraf 2 Sewa Pasal 40 (1) Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a dilakukan untuk:
mengoptimalkan daya guna dan hasil guna Aset;
memperoleh fasilitas yang diperlukan dalam rangka menunjang tugas dan fungsi Badan Pengusahaan;
mencegah Aset digunakan oleh pihak lain secara tidak sah; dan / a tau d. pemberian layanan Badan Pengusahaan. (2) Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan terhadap Aset Badan Pengusahaan yang sejak awal perolehannya diperuntukkan bagi pemberian layanan Badan Pengusahaan. Pasal 41 (1) Pihak yang dapat menyewa Aset meliputi:
pemerintah daerah;
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah;
swasta;
unit penunJang kegiatan penyelenggaraan pemerin tahan / negara;
lembaga independen yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan;dan/atau g. badan hukum lainnya. (2) Selain pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Aset Badan Pengusahaan yang sejak awal perolehannya diperuntukkan bagi pemberian layanan Badan Pengusahaan dapat dilakukan Sewa kepada pihak sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPK-BLU. (3) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menjadi penyewa dalam hal pelaksanaan Sewa tidak diperuntukan bagi pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerin tahan daerah. Pasal 42 Objek Sewa dapat ditawarkan melalui media pemasaran oleh Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 43 (1) Sewa dilakukan dengan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (2) Sewa dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sewa dapat dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 5 (lima) tahun untuk:
kegiatan dengan karakteristik usaha yang memerlukan waktu Sewa lebih dari 5 (lima) tahun; atau
ditentukan lain dalam Undang-Undang.
Jangka waktu Sewa untuk kegiatan dengan karakteristik usaha yang memerlukan waktu Sewa lebih dari 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang. (5) Perpanjangan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan jangka waktu tersebut tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Penyewa dapat melakukan penerusan Sewa kepada Pihak Lain dengan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (7) Dalam hal penyewa akan melakukan penerusan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (6), penyewa dapat menawarkan Aset yang menjadi objek Sewa melalui media pemasaran. Pasal 44 (1) Besaran Sewa ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan, minimal:
analisis data pasar;
manfaat ekonomi;
manfaat sosial;
dampak ekonomi; dan
dampak sosial. (2) Besaran Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian dari:
tarif pokok Sewa; dan
faktor penyesuai Sewa. (3) Perhitungan tarif pokok Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dapat meminta bantuan Penilai. (4) Faktor penyesuai Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan:
jenis/bentuk kegiatan usaha;
periodesitas Sewa; dan/atau
pertimbangan lainnya dalam kondisi tertentu, meliputi:
penugasan pemerintah sebagaimana tertuang dalam peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh Presiden;
bencana alam;
bencana non alam;
bencana sosial; a tau 5. kondisi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), penetapan tarif Sewa terhadap Aset Badan Pengusahaan yang sejak awal perolehannya diperuntukkan bagi pemberian layanan Badan Pengusahaan mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang PPK-BLU. (6) Dalam hal kondisi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c angka 2, angka 3, dan angka 4, faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berlaku sejak ditetapkannya status bencana oleh pemerintah sampai dengan paling lama 2 (dua) tahun sejak status bencana dinyatakan berakhir. Pasal 45 (1) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) calon penyewa dalam Pemanfaatan BMN, Kepala Badan Pengusahaan dapat melakukan pemilihan calon penyewa melalui lelang hak menikmati pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. (2) Besaran Sewa yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dapat digunakan sebagai nilai limit pada pelaksanaan lelang hak menikmati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pemilihan penyewa. (3) Dalam hal penyewa yang terpilih sebagai pemenang dalam lelang hak menikmati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) akan melakukan penerusan Sewa, penyewa dapat menawarkan Aset yang menjadi objek Sewa melalui media pemasaran. Pasal 46 (1) Persetujuan Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dan persetujuan perpanjangannya dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan Sewa yang minimal memuat:
informasi Aset yang menjadi objek Sewa; dan
data Sewa, minimal memuat data dan informasi mengenai:
besaran Sewa sesuai kondisi dengan kelompok jenis kegiatan usaha dan periodesitas Sewa; dan
jangka waktu, termasuk periode Sewa. (2) Surat persetujuan atau keputusan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. Pasal 47 (1) Sewa dituangkan dalam perjanjian, yang minimal memuat:
dasar perjanjian;
identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian;
jenis dan luas atau jumlah Aset;
besaran Sewa;
jangka waktu Sewa;
peruntukan Sewa;
larangan pendayagunaan Aset diluar peruntukan Sewa;
kewenangan untuk meneruskan Sewa, jika ada;
tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu Sewa; dan
hak dan kewajiban para pihak. (2) Penandatanganan perjanjian pelaksanaan Sewa dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat persetujuan atau keputusan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (3) Dalam hal perjanjian Sewa belum ditandatangani sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), persetujuan atau keputusan Sewa batal demi hukum.
Kepala Badan Pengusahaan dapat memberikan perpanjangan jangka waktu untuk penandatanganan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dengan ketentuan usulan perpanjangan diajukan kepada Kepala Badan Pengusahaan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir. (5) Perjanjian Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dituangkan dalam akta notariil. Pasal 48 (1) Hasil Sewa merupakan pendapatan Badan Pengusahaan. (2) Hasil Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor seluruhnya sekaligus ke rekening Badan Pengusahaan. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyetoran uang Sewa dapat dilakukan secara bertahap dengan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan atas Sewa untuk Aset dengan karakteristik/ sifat khusus. Paragraf 3 Pinjam Pakai Pasal 49 (1) Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b dilaksanakan antara Badan Pengusahaan dan pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. (2) Jangka waktu Pinjam Pakai paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. (3) Peminjam pakai melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN yang menjadi objek Pinjam Pakai selamajangka waktu Pinjam Pakai. (4) Peminjam pakai dapat melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang dipinjampakaikan berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan, dengan ketentuan perubahan atau pengembangan terse but tidak mengakibatkan perubahan fungsi dan/atau penurunan nilai BMN. (5) Dalam hal BMN yang dipinjampakaikan dilakukan perubahan atau pengembangan, hasil perubahan atau pengembangan dimaksud diserahkan kepada Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 50 (1) Persetujuan Pinjam Pakai dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan Pinjam Pakai yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pengusahaan minimal memuat:
identitas peminjam pakai;
data objek Pinjam Pakai;
jangka waktu Pinjam Pakai; dan
kewajiban peminjam pakai. (2) Surat persetujuan atau keputusan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. Pasal 51 (1) Pelaksanaan Pinjam Pakai dituangkan dalam perjanjian antara Badan Pengusahaan dengan peminjam pakai berdasarkan surat persetujuan atau keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1). (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian;
jenis dan luas atau jumlah BMN yang dipinj ampakaikan;
jangka waktu Pinjam Pakai;
peruntukan Pinjam Pakai;
larangan pendayagunaan Aset selain peruntukan Pinjam Pakai;
tanggung jawab peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan selamajangka waktu Pinjam Pakai; dan
hak dan kewajiban para pihak. Pasal 52 (1) Peminjam pakai menyampaikan laporan tahunan pelaksanaan Pinjam Pakai kepada Kepala Badan Pengusahaan selamajangka waktu Pinjam Pakai. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada bulan berikutnya setelah periode tahun anggaran berakhir. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyampaian laporan dilakukan pada akhir jangka waktu Pinjam Pakai sepanjang:
jangka waktu Pinjam Pakai kurang dari 1 (satu) tahun; atau
pelaporan untuk tahun terakhir masa Pinjam Pakai. (4) Laporan pelaksanaan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
kesesuaian peruntukan BMN objek Pinjam Pakai sebagaimana ditentukan dalam perjanjian Pinjam Pakai;
pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan atas objek Pinjam Pakai;
kondisi BMN objek Pinjam Pakai; dan
perubahan dan pengembangan yang dilakukan terhadap BMN objek Pinjam Pakai, jika ada. Pasal 53 (1) Pinjam Pakai berakhir dalam hal:
berakhirnya jangka waktu Pinjam Pakai sebagaimana tertuang dalam perjanjian dan tidak dilakukan perpanjangan;
pengakhiran perjanjian Pinjam Pakai secara sepihak oleh Badan Pengusahaan;
berakhirnya perjanjian Pinjam Pakai; atau
ketentuan lain sesuai peraturan perundang-undangan. (2) Pengakhiran Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat dilakukan dalam hal peminjam pakai tidak memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian Pinjam Pakai.
Dalam hal di atas objek Pinjam Pakai terdapat bangunan/ infrastruktur dan/atau barang lainnya yang tidak sesuai perjanjian, peminjam pakai wajib membongkar dan/atau mengosongkan objek Pinjam Pakai sebelum diserahkan kepada Badan Pengusahaan. (4) Peminjam pakai mengembalikan BMN objek Pinjam Pakai kepada Badan Pengusahaan pada saat Pinjam Pakai berakhir sesuai perjanjian. (5) Dalam hal peminjam pakai tidak mengembalikan objek Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Badan Pengusahaan dapat melakukan penghentian, pengosongan, atau penarikan objek Pinjam Pakai tanpa melalui pengadilan dengan terle bih dahulu menyampaikan pemberitahuan/peringatan secara tertµ.lis. Paragraf 4 Kerja Sama Pemanfaatan Pasal 54 (1) KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c dilaksanakan dalam rangka:
mengoptimalkan daya guna dan hasil guna Aset;
meningkatkan pendapatan Badan Pengusahaan; dan/atau
memenuhi biaya operasional, pemeliharaan dan/atau perbaikan yang diperlukan terhadap Aset. (2) KSP dapat dilakukan dengan:
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah;
badan hukum lainnya; atau
Pihak Lain, kecuali perorangan. (3) KSP dilakukan dengan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 55 (1) KSP dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
mitra KSP harus membayar kontribusi tetap kepada Badan Pengusahaan setiap tahun selama jangka waktu pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian keuntungan hasil KSP;
dalam hal jangka waktu KSP kurang dari 1 (satu) tahun, mitra KSP membayar kontribusi tetap dan pembagian keuntungan berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Badan Pengusahaan;
besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil KSP ditetapkan dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan;dan d. besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil KSP harus memperoleh penetapan dari Kepala Badan Pengusahaan.
Besaran pembagian keuntungan hasil KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dapat berbentuk pembagian atas:
keuntungan berupa:
keuntungan bersih;
keuntungan bruto; atau
keuntungan tertentu yang berupa EBIT atau EBITDA. b. pendapatan; atau
arus kas hasil KSP berupa arus kas bersih atau arus kas tambahan (incremental cashfiow). Pasal 56 (1) KSP dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang. (2) Jangka waktu dan perpanjangan jangka waktu KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Seluruh biaya KSP yang terjadi setelah ditetapkannya mitra KSP menjadi beban mitra KSP. (4) Pemilihan mitra KSP dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 57 (1) Mitra KSP ditetapkan melalui tender, kecuali untuk Aset yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung. (2) Penunjukan langsung mitra KSP atas Aset yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan terhadap:
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah; atau
anak perusahaan badan usaha milik negara yang diperlakukan sama dengan badan usaha milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah yang mengatur mengenai tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada badan usaha milik negara dan perseroan terbatas, yang memiliki bidang clan/ atau wilayah kerja tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Aset yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Aset yang mempunyai spesifikasi tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Aset yang memiliki tingkat kompleksitas khusus seperti bandar udara, pelabuhan laut, stasiun kereta api, terminal angkutan umum, kilang, instalasi tenaga listrik, dan bendungan/waduk;
Aset yang dikerjasamakan dalam investasi yang berdasarkan perjanjian hubungan bilateral antar negara;
Aset yang bersifat rahasia dalam kerangka pertahanan negara;
Aset yang mempunyai konstruksi dan spesifikasi yang harus dengan perizinan khusus;
Aset yang dikerjasamakan dalam rangka menjalankan tugas negara; dan
Aset lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal. (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penunjukan langsung mitra KSP atas Aset yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan terhadap badan usaha se bagaimana dimaksud pada ayat (2) atau badan usaha lainnya sepanjang:
Aset yang dikerjasamakan dalam rangka:
proyek kerja sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur;
penyelenggaraan penyiapan kegiatan yang mendadak untuk menindaklanjuti komitmen internasional yang dihadiri oleh Presiden/Wakil Presiden;
Pemanfaatan yang hanya dapat disediakan oleh 1 (satu) pelaku usaha yang mampu; dan/atau
Pemanfaatan yang spesifik dan hanya dapat dilaksanakan oleh pemegang hak paten, atau pihak yang telah mendapat izin dari pemegang hak paten, atau pihak yang menjadi pemenang tender untuk mendapatkan izin dari pemerintah;
Aset yang dikerjasamakan kepada badan usaha yang merupakan pemegang alokasi tanah atau mitra Pemanfaatan Aset yang lokasinya bersebelahan langsung dengan objek yang akan dikerjasamakan dalam rangka:
pengembangan bangunan yang merupakan satu kesatuan sistem konstruksi dan satu kesatuan tanggung jawab atas risiko kegagalan bangunan yang secara keseluruhan tidak dapat direncanakan/ diperhitungkan sebelumnya; dan/atau
penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum di lingkungan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang dilaksanakan oleh pemegang alokasi/ mitra Pemanfaatan yang bersangkutan;
Aset yang bersifat rahasia untuk kepentingan negara meliputi intelijen, perlindungan saksi, pengamanan Presiden dan Wakil Presiden, mantan Presiden dan mantan Wakil Presiden beserta keluarganya serta tamu negara setingkat kepala negara/kepala pemerintahan, atau Aset lain bersifat rahasia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
Aset yang mempunyai nilai buku sebelum penyusutan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Proyek kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 1 merupakan penyediaan infrastruktur yang dilakukan melalui:
perjanjian kerja sama antara Kepala Badan Pengusahaan dan/atau menteri/pimpinan lembaga dengan Badan Usaha Pelaksana; atau
pemberian izin pengusahaan dari Kepala Badan Pengusahaan dan/atau menteri/ pimpinan lembaga kepada Badan U saha Pelaksana, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Penunjukan langsung mitra KSP terhadap Aset yang digunakan dalam rangka proyek kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 1 dilakukan terhadap pihak yang dipilih sebagai mitra proyek kerja sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur. Pasal 58 (1) Pemilihan mitra KSP melalui tender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) diumumkan di:
1 ( satu) media massa nasional, 1 ( satu) media massa lokal, dan/atau 1 (satu) media massa internasional; dan
situs web (website) Badan Pengusahaan. (2) Dalam hal pada pelaksanaan tender sebagaimana dimaksud pada ayat (1) calon mitra KSP yang memasukkan penawaran kurang dari 3 (tiga) peserta, dilakukan pengumuman ulang di:
media massa nasional, media massa lokal, dan/atau media massa internasional; dan
situs web (website) Badan Pengusahaan. (3) Dalam hal setelah pengumuman ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
terdapat minimal 3 (tiga) peserta, proses dilanjutkan dengan tender; atau
calon mitra KSP kurang dari 3 (tiga) peserta, proses dilanjutkan dengan:
seleksi langsung, untuk calon mitra KSP yang hanya 2 (dua) peserta; atau
penunjukan langsung, untuk calon mitra KSP yang hanya 1 ( satu) peserta. Pasal 59 (1) KSP dapat dilaksanakan melalui usulan pemrakarsa. (2) Calon mitra KSP dapat menyusun proposal/ studi kelayakan/ analisis kelayakan bisnis proyek KSP. (3) Calon mitra KSP yang berstatus pemrakarsa/pemohon KSP, dapat diberikan kompensasi:
tambahan nilai sebesar 10% (sepuluh persen) dalam pemilihan mitra;
hak untuk melakukan penawaran terhadap penawar terbaik (right to match), sesuai dengan hasil penilaian dalam proses tender; atau
pembelian prakarsa KSP oleh pemenang tender, termasuk hak kekayaan intelektual yang menyertainya.
Pemberian kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicantumkan dalam persetujuan Kepala Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3). Pasal 60 (1) KSP dapat dilakukan untuk mengoperasionalkan Aset Badan Pengusahaan. (2) KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pendayagunaan atau optimalisasi Aset Badan Pengusahaan dalam rangka menghasilkan layanan. (3) KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan Penggunaan Aset yang dioperasikan oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16. (4) Bagian keuntungan yang menjadi bagian mitra KSP yang mengoperasionalkan Aset Badan Pengusahaan dapat ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari besaran keuntungan yang diperoleh dalam pelaksanaan KSP. Pasal 61 (1) Persetujuan KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dan persetujuan perpanjangannya dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan KSP yang minimal memuat:
informasi Aset yang dilakukan KSP; dan
data KSP, antara lain:
besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan; dan
jangka waktu, termasuk periode KSP. (2) Surat persetujuan atau keputusan KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. Pasal 62 (1) Pelaksanaan KSP dituangkan dalam perjanjian berdasarkan surat persetujuan atau keputusan Kepala Badan Pengusahaan. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
dasar perjanjian;
identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian;
jenis dan luas atau jumlah Aset;
besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan;
jangka waktu KSP;
peruntukan KSP;
larangan pendayagunaan Aset selain peruntukan KSP;
tanggung jawab mitra atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu KSP; dan
hak dan kewajiban para pihak. (3) Penandatanganan perjanjian pelaksanaan KSP dilakukan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat persetujuan atau keputusan oleh Kepala Badan Pengusahaan.
Kepala Badan Pengusahaan dapat memberikan persetujuan atas permohonan perpanjanganjangka waktu penandatanganan perjanjian KSP. (5) Dalam hal perjanjian KSP tidak ditandatangani sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), surat persetujuan atau keputusan pelaksanaan KSP batal demi hukum, dengan ketentuan usulan perpanjangan diajukan kepada Kepala Badan Pengusahaan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir. (6) Perjanjian KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dituangkan dalam akta notariil. Pasal 63 (1) Penerimaan negara yang wajib disetorkan mitra KSP selamajangka waktu pengoperasian KSP, terdiri atas:
kontribusi tetap; dan
pembagian keuntungan. (2) Besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (3) Besaran kontribusi tetap mempertimbangkan:
nilai wajar / taksiran BMN yang menjadi o bjek KSP; dan
kelayakan bisnis atau kondisi keuangan mitra KSP. (4) Perhitungan besaran kontribusi tetap dapat pula mempertimbangkan manfaat dan dampak ekonomi dan/atau sosial. (5) Besaran kontribusi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah ditentukan, meningkat setiap tahun dihitung berdasarkan kontribusi tetap pertama dengan memperhatikan estimasi tingkat inflasi. (6) Perhitungan pembagian keuntungan dilakukan dengan mempertimbangkan:
nilai investasi pemerintah;
nilai investasi mitra KSP;
kelayakan bisnis mitra; dan
risiko yang ditanggung mitra KSP. (7) Perhitungan pembagian keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan. (8) Dalam rangka perhitungan kontribusi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan pembagian keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kepala Badan Pengusahaan dapat meminta bantuan Penilai. (9) Cicilan pokok dan biaya yang timbul atas pinjaman mitra KSP dibebankan pada mitra KSP dan tidak diperhitungkan dalam pembagian keuntungan. (10) Besaran nilai investasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a didasarkan pada nilai wajar Aset yang menjadi objek KSP. (11) Besaran nilai investasi mitra KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b didasarkan pada estimasi investasi dalam proposal KSP. Pasal 64 (1) Dalam hal terdapat perubahan investasi oleh pemerintah, besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dapat ditinjau kembali oleh Kepala Badan Pengusahaan. (2) Dalam hal terdapat perubahan realisasi investasi yang dikeluarkan oleh mitra KSP dari estimasi investasi sebagaimana tertuang dalam perjanjian, besaran pembagian keuntungan dapat ditinjau kembali oleh Kepala Badan Pengusahaan. (3) Realisasi investasi mitra KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), didasarkan pada hasil audit yang dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah atau auditor independen. Pasal 65 (1) Dalam kondisi tertentu, Kepala Badan Pengusahaan dapat menetapkan besaran faktor penyesuai untuk kontribusi tetap dengan persentase tertentu, berdasarkan permohonan mitra KSP. (2) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
penugasan pemerintah sebagaimana tertuang dalam peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh Presiden;
bencana alam;
bencana non alam; atau
bencana sosial. (3) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan atas kewajiban pembayaran kontribusi tetap dan/ a tau pembagian keuntungan yang belum dibayarkan oleh mitra. (4) Dalam hal kondisi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) berlaku sejak ditetapkannya status bencana oleh pemerintah sampai dengan paling lama 2 (dua) tahun sejak status bencana dinyatakan berakhir. Pasal 66 (1) Pembayaran kontribusi tetap pertama oleh mitra KSP dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah perjanjian KSP ditandatangani. (2) Kepala Badan Pengusahaan dapat memberikan perpanjangan waktu untuk pembayaran kontribusi tetap pertama dengan ketentuan tidak lebih dari 14 (empat belas) hari kerja dan usulan perpanjangan waktu tidak melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir. (3) Pembayaran kontribusi tetap pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan bukti setor dan disampaikan oleh mitra kepada Kepala Badan Pengusahaan. (4) Dalam hal pembayaran kontribusi tetap pertama tidak dilakukan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), perjanjian KSP dinyatakan batal.
Pembayaran kontribusi tetap berikutnya dilakukan setiap tahun paling lambat sesuai tanggal dan bulan yang dituangkan dalam perjanjian, yang dimulai pada tahun berikutnya sampai dengan berakhirnya perjanjian KSP. (6) Selain kontribusi tetap pertama, pembayaran kontribusi tetap yang dibayar tiap tahun dapat dilakukan secara bertahap dan harus lunas sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran kontribusi tetap berikutnya. (7) Kontribusi tetap selama jangka waktu KSP dapat dibayarkan sekaligus di muka, yang besarannya ditentukan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan dan nilai waktu dari uang ( time value of money). (8) Pembagian keuntungan hasil pelaksanaan KSP paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya, dan dilakukan setiap tahun sampai dengan berakhirnya perjanjian KSP. (9) Dalam hal kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (8) tidak dipenuhi oleh mitra, Badan Pengusahaan mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian dan/atau peraturan perundang-undangan. Pasal 67 (1) Mitra KSP dapat mengajukan permohonan keringanan besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan yang telah ditetapkan dalam pelaksanaan KSP kepada Kepala Badan Pengusahaan. (2) Permohonan keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat berupa:
pengembalian kontribusi tetap dan/atau pembagian keuntungan yang telah dibayarkan oleh mitra KSP; dan/atau
kompensasi pembayaran kontribusi tetap dan/atau pembagian keuntungan yang telah dibayarkan oleh mitra KSP terhadap kewajiban pembayaran berikutnya. (3) Dalam hal permohonan keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, dilakukan addendum perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 68 (1) Mitra KSP menyerahkan Aset hasil KSP kepada Badan Pengusahaan sesuai perjanjian paling lambat pada saat perj anjian berakhir. (2) Dalam hal dilakukan perpanjangan KSP setelah jangka waktu berakhir, Aset hasil KSP menjadi objek KSP. Paragraf 5 Sewa Dalam Rangka Penyediaan Infrastruktur Pasal 69 (1) Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur dilaksanakan berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan.
Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. (3) Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat dilaksanakan untuk infrastruktur sosial, infrastruktur ekonomi, dan infrastruktur lainnya, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai:
pengelolaan BMN; dan
infrastruktur. (4) Lingkup kegiatan penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur;
kegiatan pengelolaan infrastruktur; dan/atau
pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur. (5) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan Sewa yang minimal memuat:
informasi Aset yang menjadi objek Sewa; dan
data Sewa, antara lain:
besaran Sewa sesuai kondisi dengan kelompok jenis kegiatan usaha dan periodesitas Sewa; dan
jangka waktu, termasuk periode Sewa. (6) Pihak yang dapat menyewa Aset dalam rangka penyediaan infrastruktur berupa Badan Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama pemerintah dengan Badan U saha. (7) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) calon penyewa dalam rangka penyediaan infrastruktur, Kepala Badan Pengusahaan dapat melakukan pemilihan calon penyewa melalui lelang hak menikmati pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. (8) Objek Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat ditawarkan melalui media pemasaran oleh Badan Pengusahaan. Pasal 70 (1) Hasil Sewa Aset dalam rangka penyediaan infrastruktur berupa:
uang Sewa; dan
infrastruktur beserta fasilitasnya dalam rangka penyediaan infrastruktur. (2) Selain hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pengusahaan dapat menerima hasil Sewa dalam bentuk lainnya sesuai perjanjian. (3) Pembayaran hasil Sewa Aset dalam rangka penyediaan infrastruktur berupa uang Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pendapatan Badan Pengusahaan dan disetorkan:
secara sekaligus ke rekening Badan Pengusahaan; atau
secara bertahap sesuai perjanjian. (4) Hasil Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan cara pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam perjanjian.
Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) minimal memuat:
dasar perjanjian;
identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian;
jenis dan luas a tau jumlah Aset;
besaran Sewa;
jangka waktu Sewa;
peruntukan Sewa;
larangan pendayagunaan Aset selain peruntukan Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur;
kewenangan untuk meneruskan Sewa, jika ada;
tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selamajangka waktu Sewa; dan
hak dan kewajiban para pihak. (6) Penandatanganan perjanjian pelaksanaan Sewa dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat persetujuan atau keputusan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (7) Dalam hal perjanjian Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur belum ditandatangani sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), persetujuan atau keputusan Sewa batal demi hukum. (8) Kepala Badan Pengusahaan dapat memberikan perpanjangan jangka waktu untuk penandatanganan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dengan ketentuan usulan perpanjangan diajukan kepada Kepala Badan Pengusahaan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berakhir. (9) Perjanjian Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dituangkan dalam akta notariil. Pasal 71 (1) Besaran Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Besaran Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur merupakan hasil perkalian dari:
tarif pokok Sewa; dan
faktor penyesuai Sewa. (3) Tarif pokok Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan nilai taksiran yang wajar atas Sewa hasil perhitungan dari tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan. (4) Dalam rangka perhitungan tarif pokok sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Kepala Badan Pengusahaan dapat meminta bantuan Penilai. (5) Besaran faktor penyesuai Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mengacu pada besaran yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN, dengan mempertimbangkan:
daya beli/kemampuan membayar (ability to pay) masyarakat;
kemauan membayar (willingness to pay) masyarakat; dan/atau
nilai keekonomian, atas masing-masing infrastruktur yang disediakan. (6) Selain pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Badan Pengusahaan dapat mempertimbangkan kondisi tertentu dalam menetapkan faktor penyesuai Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur meliputi:
penugasan pemerintah sebagaimana tertuang dalam peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh Presiden;
bencana alam;
bencana non alam;
bencana sosial; atau
kondisi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (7) Dalam hal kondisi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, huruf c, dan huruf d, faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berlaku sejak ditetapkannya status bencana oleh pemerintah sampai dengan paling lama 2 (dua) tahun sejak status bencana dinyatakan berakhir. (8) Dalam hal diperlukan Badan Pengusahaan dapat meminta pertimbangan kepada instansi teknis terkait dalam penentuan besaran faktor penyesuai. (9) Besaran Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur yang ditetapkan oleh Badan Pengusahaan dapat digunakan sebagai nilai limit pada pelaksanaan lelang hak menikmati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (7) dalam rangka pemilihan penyewa. Paragraf 6 Kerja Sama Pemanfaatan Dalam Rangka Penyediaan Infrastruktur Pasal 72 (1) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dilakukan berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (2) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. (3) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat dilaksanakan untuk jenis-jenis infrastruktur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan mengena1 infrastruktur. (4) Lingkup kegiatan penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur;
kegiatan pengelolaan infrastruktur; dan/atau
pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur.
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan KSP yang minimal memuat:
informasi Aset yang dilakukan KSP; dan
data KSP, antara lain:
besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan; dan
jangka waktu, termasuk periode KSP. Pasal 73 (1) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat dilakukan dengan mitra meliputi:
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah;
badan hukum lainnya; atau
Pihak Lain, kecuali perorangan. (2) Ketentuan mengenai pemilihan mitra KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 59, mutatis mutandis berlaku untuk pemilihan mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (3) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat dilaksanakan melalui usulan pemrakarsa. (4) Calon mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat menyusun proposal/ studi kelayakan/ analisis kelayakan bisnis proyek KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (5) Calon mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur yang berstatus pemrakarsa/pemohon KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur, dapat diberikan kompensasi:
tambahan nilai sebesar 10% (sepuluh persen) dalam pemilihan mitra;
hak untuk melakukan penawaran terhadap penawar terbaik (right to match), sesuai dengan hasil penilaian dalam proses tender; atau
pembelian prakarsa KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur oleh pemenang tender, termasuk hak kekayaan intelektual yang menyertainya. (6) Pemberian kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dicantumkan dalam persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 74 (1) Hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur terdiri atas:
penerimaan negara yang harus disetorkan selama jangka waktu KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur; dan
infrastruktur beserta fasilitasnya hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (2) Penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
kontribusi tetap; dan
pembagian keuntungan.
Ketentuan mengenai kontribusi tetap dan pembagian keuntungan KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 sampai dengan Pasal 67, mutatis mutandis berlaku untuk kontribusi tetap dan pembagian keuntungan KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (4) Dalam hal mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau anak perusahaan badan usaha milik negara yang diperlakukan sama dengan badan usaha milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah yang mengatur mengenai tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada badan usaha milik negara dan perseroan terbatas, kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan. (5) Hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian (6) Ketentuan mengenai perjanjian KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 mutatis mutandis berlaku untuk perjanjian KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (7) Mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur menyerahkan Aset hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur kepada Badan Pengusahaan sesuai perjanjian paling lambat pada saat perjanjian berakhir. (8) Dalam hal dilakukan perpanjangan KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur setelah jangka waktu berakhir, Aset hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur menjadi objek KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. Paragraf 7 Kerj a Sama Penyediaan Infrastruktur Pasal 75 (1) Kepala Badan Pengusahaan bertindak se bagai penanggung jawab Pemanfaatan Aset sepanjang ditunjuk sebagai PJPK. (2) KSPI dilakukan antara Badan Pengusahaan dan Badan U saha Pelaksana. (3) KSPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. (4) Dalam hal yang terpilih menjadi mitra KSPI merupakan badan hukum asing maka badan hukum asing tersebut harus merupakan perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia sebelum ditetapkan sebagai mitra KSPI. (5) Dalam hal badan hukum asing yang terpilih sebagai mitra KSPI tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4):
badan hukum asing tersebut tidak ditetapkan menjadi mitra KSPI; dan
Badan Pengusahaan melakukan pemilihan ulang mitra KSPI. Pasal 76 (1) KSPI dapat dilakukan terhadap BMN untuk jenis-jenis infrastruktur yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai infrastruktur. (2) Lingkup kegiatan penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur;
kegiatan pengelolaan infrastruktur; dan/atau
pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur. Pasal 77 (1) Pemilihan mitra KSPI dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama pemerintah dengan Badan U saha dalam penyediaan infrastruktur. (2) Mitra KSPI ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (3) Mitra KSPI yang telah ditetapkan, selama jangka waktu KSPI:
dilarang menjaminkan, menggadaikan, atau memindahtangankan BMN yang menjadi objek KSPI dan barang hasil KSPI; dan
memelihara objek KSPI dan barang hasil KSPI. (4) Mitra KSPI menyerahkan objek KSPI dan barang hasil KSPI kepada Badan Pengusahaan sesuai perjanjian. (5) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam suatu berita acara. (6) Barang hasil KSPI beserta fasilitasnya menjadi BMN pada Badan Pengusahaan sejak tanggal penyerahannya kepada Badan Pengusahaan sebagaimana tercantum dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 78 (1) Hasil dari KSPI terdiri atas:
barang hasil KSPI berupa infrastruktur beserta fasilitasnya yang dibangun oleh mitra KSPI; dan
pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) yang diperoleh dari yang ditentukan pada saat perjanjian dimulai, jika ada. (2) Pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pendapatan Badan Pengusahaan dan wajib disetorkan seluruhnya ke rekening Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan keuntungan pada masing-masing proyek. (3) Pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) dapat ditiadakan atas permohonan dari PJPK. (4) Peniadaan pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan ketentuan merupakan proyek yang tercantum dalam:
daftar rencana kerja sama pemerintah dan Badan Usaha;
Peraturan Presiden mengena1 percepatan proyek strategis nasional; dan/atau
dokumen Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). (5) PJPK bertanggungjawab penuh secara formil dan materiil terhadap permohonan peniadaan pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dituangkan dalam surat pernyataan. (6) Peniadaan pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan terhadap pelaksanaan KSPI yang berjangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 79 (1) Tahapan pelaksanaan KSPI meliputi:
perencanaan KSPI;
penyiapan KSPI; dan
transaksi KSPI. (2) Tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama pemerintah dengan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur. Pasal 80 (1) KSPI dilakukan berdasarkan permohonan secara tertulis dari Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
data dan informasi mengenai:
latar belakang permohonan KSPI;
Aset yang diajukan untuk dilakukan KSPI, antara lain jenis, nilai, kuantitas dan lokasi Aset;
rencana peruntukan KSPI;
jangka waktu KSPI; dan
estimasi besaran pembagian atas kelebihan keuntungan ( _clawback); _ dan b. informasi mengenai PJPK, termasuk dasar penetapan/ penunjukannya. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:
proposal/ pra studi kelayakan (prefeasibility study) proyek kerja sama;
surat rekomendasi kelayakan proyek kerja sama dari kementerian/ lembaga yang membidangi perencanaan pembangunan nasional;
asli surat pernyataan dari Kepala Badan Pengusahaan yang memuat tanggungjawab atas kebenaran rencana pelaksanaan KSPI; dan
asli surat pernyataan tanggung jawab dari Kepala Badan Pengusahaan atas kebenaran data permohonan Pemanfaatan Aset. Paragraf 8 Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur Pasal 81 (1) Ketupi dilakukan dengan tujuan:
optimalisasi BMN;
meningkatkan fungsi operasional BMN; dan
mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur. (2) Penerimaan negara atas Ketupi merupakan pendapatan BLU pada Pengelola Barang yang akan digunakan untuk meningkatkan fungsi operasional infrastruktur sejenis atau pembiayaan penyediaan infrastruktur jenis lainnya yang terdapat dalam daftar proyek infrastruktur prioritas dan/atau proyek strategis nasional. Pasal 82 (1) Pihak yang dapat melaksanakan Ketupi meliputi penanggung jawab Pemanfaatan BMN dan BLU pada Pengelola Barang. (2) Kepala Badan Pengusahaan selaku PJPK merupakan penanggung jawab Pemanfaatan BMN. (3) BLU pada Pengelola Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk atau ditetapkan oleh Pengelola Barang. Pasal 83 (1) Pihak yang dapat menjadi mitra Ketupi meliputi:
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah;
badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas;
badan hukum asing; atau
koperasi. (2) Pemilihan dan penetapan mitra Ketupi dilakukan oleh Badan Pengusahaan selaku penanggung jawab Pemanfaatan BMN dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembiayaan infrastruktur melalui hak pengelolaan terbatas. Pasal 84 (1) Objek Ketupi meliputi BMN berupa tanah dan/atau bangunan beserta fasilitasnya pada Badan Pengusahaan. (2) Ketupi dapat dilakukan terhadap BMN untuk jenis-jenis infrastruktur yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembiayaan infrastruktur melalui hak pengelolaan terbatas. (3) Kriteria dan persyaratan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembiayaan infrastruktur melalui hak pengelolaan terbatas. Pasal 85 Jangka waktu Ketupi paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. Pasal 86 (1) Hasil Ketupi berupa:
pembayaran dana di muka (upfront _payment); _ dan b. aset hasil kerja sama. (2) Hasil Ketupi berupa pembayaran dana di muka (upfront payment) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak membatasi hak BLU pada Pengelola Barang untuk memperoleh pembagian kelebihan keuntungan (clawback). (3) Aset hasil Ketupi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi BMN pada Pengelola Barang sejak diserahterimakan oleh mitra Ketupi kepada BLU pada Pengelola Barang. (4) Pengelolaan dan penggunaan hasil Ketupi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 9 Pengelolaan Aset untuk Bandar Udara, Pelabuhan, Sumber Daya Air, dan Limbah Pasal 87 (1) Badan Pengusahaan menyelenggarakan kegiatan:
pengusahaan Bandar Udara Hang Nadim Batam;
pengusahaan pelabuhan laut di Kawasan; dan
pengelolaan, pemeliharaan, dan pengusahaan sistem penyediaan air minum, termasuk daerah tangkapan air, waduk, bendungan, dan sistem air limbah, serta limbah bahan berbahaya dan beracun di Kawasan. (2) Dalam rangka penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pengusahaan membentuk:
badan usaha bandar udara, untuk pengusahaan Bandar Udara Hang Nadim Batam;
badan usaha pelabuhan, untuk pengusahaan pelabuhan laut di Kawasan; dan
badan usaha untuk pengelolaan, pemeliharaan, dan pengusahaan sistem penyediaan air minum, termasuk daerah tangkapan air, waduk, bendungan, dan sistem air limbah, serta limbah bahan berbahaya dan beracun di Kawasan, jika diperlukan. (3) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Penyelenggaraan kegiatan pengusahaan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan tarif berupa:
tarif jasa kebandarudaraan yang ditetapkan oleh badan usaha bandar udara setelah dikonsultasikan dengan Kepala Badan Pengusahaan dengan berpedoman pada jenis, struktur, golongan, dan mekanisme penetapan tarif jasa kebandarudaraan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi; dan
tarif jasa terkait kebandarudaraan yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan, dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap daya saing investasi. (5) Penyelenggaraan kegiatan pengusahaan pelabuhan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan tarif berupa:
tarif jasa kepelabuhanan yang ditetapkan oleh badan usaha pelabuhan setelah dikonsultasikan dengan Kepala Badan Pengusahaan dengan berpedoman pada jenis, struktur, golongan, dan mekanisme penetapan tarif jasa kepelabuhanan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi; dan
tarif jasa terkait kepelabuhanan yang ditetapkan oleh badan usaha pelabuhan setelah mendapat persetujuan Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap daya saing investasi. Pasal 88 (1) Dalam rangka penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Badan Pengusahaan dapat melakukan kerja sama dengan:
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah;
koperasi;
badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas; dan
badan hukum asing. (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
Pemanfaatan Aset, untuk pengusahaan bandar udara, pelabuhan laut, pengelolaan air limbah; dan
Pemanfaatan dan/atau Penggunaan Aset, untuk pengelolaan, pemeliharaan, dan pengusahaan sistem penyediaan air minum. Paragraf 10 Audit Pemanfaatan Aset Pasal 89 (1) Kepala Badan Pengusahaan dapat meminta auditor independen dan/atau aparat pengawasan intern pemerintah untuk melakukan pemeriksaan/audit atas pelaksanaan Pemanfaatan. (2) Auditor independen dan/ a tau aparat pengawasan intern pemerintah menyampaikan laporan hasil pemeriksaan/ audit kepada Kepala Badan Pengusahaan. (3) Dalam hal berdasarkan laporan hasil pemeriksaan/ audit terdapat hal yang perlu diselesaikan oleh mitra Pemanfaatan, Kepala Badan Pengusahaan menyampaikan hasil pemeriksaan/ audit terse but kepada mitra Pemanfaatan.
Mitra Pemanfaatan menindaklanjuti hasil pemeriksaan/ audit yang disampaikan oleh Kepala Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan melaporkan tindak lanjut terse but kepada Kepala Badan Pengusahaan. (5) Pelaksanaan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak menunda kewajiban mitra Pemanfaatan yang dimuat dalam perjanjian, termasuk pada kewajiban untuk mengembalikan Aset yang menjadi objek Pemanfaatan. Paragraf 11 Laporan atas Pelaksanaan Pemanfaatan Pasal 90 (1) Kepala Badan Pengusahaan menyampaikan laporan atas pelaksanaan Pemanfaatan Aset kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa laporan semesteran. Bagian Ketujuh Pengalokasian Pasal 91 (1) Kepala Badan Pengusahaan dapat melakukan pengalokasian tanah ADP untukjangka waktu tertentu. (2) Pengalokasian tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan perjanjian antara Kepala Badan Pengusahaan dan pihak penerima alokasi tanah. (3) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
para pihak;
tanah yang dialokasikan;
hak dan kewajiban para pihak;
kewajiban untuk menyerahkan kembali tanah kepada Badan Pengusahaan pada saat masa pengalokasian tanah berakhir atau waktu lainnya yang diperjanjikan; dan
status kepemilikan bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya yang berada di atas tanah pada saat masa pengalokasian berakhir. (4) Di atas tanah ADP yang telah berstatus Hak Pengelolaan dan sudah dialokasikan dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. (5) Penerima alokasi tanah ADP harus mengembalikan alokasi tanah ADP kepada Badan Pengusahaan pada saat masa pengalokasian tanah berakhir atau sesuai perjanjian.
Masa pengalokasian tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk:
masa perpanjangan pengalokasian tanah; dan/atau
masa perpanjangan atau pembaharuan pemberian hak atas tanah di atas ADP, berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) Pengembalian alokasi tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disertai dengan penyerahan bangunan/ infrastruktur dan/atau barang lainnya yang berada di atas tanah ADP kepada Badan Pengusahaan, kecuali diatur lain dalam perjanjian. (8) Dalam hal penerima alokasi tidak mengembalikan alokasi tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan/atau penyerahan bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Badan Pengusahaan menyampaikan pemberitahuan kepada penerima alokasi untuk mengembalikan alokasi tanah dan menyerahkan bangunan/ infrastruktur dan/atau barang lainnya di atas tanah ADP paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak surat diterima. (9) Dalam hal penerima alokasi tidak melakukan pengembalian alokasi tanah ADP dan/atau penyerahan bangunan/ infrastruktur dan / a tau barang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Badan Pengusahaan dapat:
mencabut alokasi tanah yang diberikan kepada penerima alokasi tanah;
melakukan pembongkaran atas bangunan/ infrastruktur dan/atau barang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (7); dan/atau
menetapkan bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya sebagai BMN. (10) Terhadap bongkaran dari hasil pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b dapat dilakukan Penggunaan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, atau Penghapusan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Bagian Kedelapan Pengamanan dan Pemeliharaan Pasal 92 (1) Badan Pengusahaan wajib melakukan pengamanan Aset yang berada dalam penguasaannya. (2) Pengamanan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum. (3) Pengamanan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pengasuransian. (4) Pengasuransian BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengasuransian BMN. Pasal 93 (1) Aset berupa tanah harus disertipikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia c.q. Badan Pengusahaan. (2) BMN berupa bangunan dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Republik Indonesia c.q. Badan Pengusahaan. (3) Aset selain tanah dan/atau bangunan dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Badan Pengusahaan. Pasal 94 Bukti kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 disimpan secara tertib dan aman oleh Badan Pengusahaan. Pasal 95 (1) Badan Pengusahaan bertanggung jawab atas pemeliharaan Aset yang berada dalam penguasaannya. (2) Dalam hal:
BMN digunakan sementara oleh kementerian/lembaga, pemeliharaan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari kemen terian / lembaga pengguna sementara;
BMN yang digunakan sementara oleh kementerian/lembaga dengan jangka waktu kurang dari 6 (enam) bulan, pemeliharaan yang timbul selama jangka waktu Penggunaan sementara dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara Badan Pengusahaan dan kemen terian / lem baga bersangku tan;
BMN yang digunakan bersama oleh kemen terian / lembaga, pemeliharaan yang timbul selama jangka waktu Penggunaan bersama dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara Badan Pengusahaan dan kementerian/lembaga bersangkutan;
BMN dioperasikan oleh Pihak Lain, pemeliharaari menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari Pihak Lain yang mengoperasionalkan;
BMN dioperasikan oleh Pihak Lain berdasarkan penugasan atau kebijakan pemerintah, pemeliharaan yang timbul selama jangka waktu operasional dapat dilakukan oleh Badan Pengusahaan dan/atau bersama Pihak Lain yang mengoperasikan BMN, sepanjang diatur dalam penugasan yang dituangkan dalam perjanjian dan/atau kebijakan pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
Aset dilakukan Pemanfaatan, pemeliharaan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari mitra Pemanfaatan bersangkutan; dan
Aset yang dilakukan Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur, pemeliharaan dapat dilakukan oleh Badan Pengusahaan dan/atau mitra Pemanfaatan sepanjang Aset bersangkutan masih digunakan oleh Badan Pengusahaan untuk mendukung dan/atau menyelenggarakan tugas dan fungsi pemerintahan. Bagian Kesembilan Penilaian Pasal 96 (1) Penilaian BMN dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN dan Penilaian. (2) Penilaian ADP dilakukan dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. Bagian Kesepuluh Pemindahtanganan Pasal 97 (1) BMN yang tidak lagi diperlukan bagi penyelenggaraan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan dapat dilakukan Pemindahtanganan. (2) Pemindahtanganan dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara dan kepentingan umum. (3) BMN yang berada dalam penguasaan Badan Pengusahaan hanya dapat diusulkan untuk dilakukan Pemindahtanganan, setelah memperoleh penetapan status Penggunaan. (4) Pemindahtanganan meliputi:
Penjualan;
Tukar Menukar;
Hibah; atau
penyertaan modal pemerintah pusat. Pasal 98 (1) Pemindahtanganan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan. (2) Pelaksanaan Pemindahtanganan dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 ( satu) bulan setelah selesainya pelaksanaan Pemindahtanganan. Pasal 99 (1) Pemindahtanganan BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) berupa:
tanah dan/atau bangunan; dan / a tau b. selain tanah dan/atau bangunan yang memiliki nilai lebih dari Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); dilakukan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Pemindahtanganan BMN berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, apabila:
sudah tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah atau penataan kota;
harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen penganggaran berupa daftar isian pelaksanaan anggaran, kerangka acuan kerja, rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga, dan/atau petunjuk operasional kegiatan;
diperuntukkan bagi pegawai negeri;
diperuntukkan bagi kepentingan umum; atau
dikuasai negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis. (3) Usul untuk memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Menteri Keuangan. Pasal 100 (1) Pemindahtanganan BMN berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
untuk tanah dan/atau bangunan yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai le bih dari Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Presiden;
untuk tanah dan/atau bangunan yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai sampai dengan Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. (2) Usul untuk memperoleh persetujuan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Menteri Keuangan. Pasal 101 ((1) Pemindahtanganan BMN selain tanah dan/atau bangunan dilaksanakan dengan ketentuan:
untuk BMN yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai lebih dari Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
untuk BMN yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai lebih dari Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Presiden;
untuk BMN yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai sampai dengan Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
U sul untuk memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b diajukan oleh Menteri Keuangan. Pasal 102 (1) Usul untuk memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3), Pasal 100 ayat (2), dan Pasal 101 ayat (2) diajukan oleh Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan. (2) Dalam proses memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan dapat meminta penjelasan/klarifikasi/ data tambahan dalam hal diperlukan. Pasal 103 (1) Dikecualikan dari keten tuan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), Pemindahtanganan dalam bentuk Penjualan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanjang dilakukan terhadap:
BMN berupa selain tanah dan/atau bangunan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak dipersyaratkan adanya bukti kepemilikan dengan nilai buku sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan; atau
bongkaran karena:
perbaikan BMN (renovasi, rehabilitasi, atau restorasi); atau
pembongkaran bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya di atas ADP yang masa alokasi tanahnya telah berakhir. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), Pemindahtanganan dalam bentuk Hibah dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanjang dilakukan terhadap:
BMN yang dari awal perolehan dimaksudkan untuk dihibahkan dalam rangka kegiatan pemerintahan;
BMN berupa selain tanah dan/ a tau bangunan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak dipersyaratkan adanya bukti kepemilikan dengan nilai buku sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan; atau
bongkaran karena:
perbaikan BMN (renovasi, rehabilitasi, atau restorasi); a tau 2. pembongkaran bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya di atas ADP yang masa alokasi tanahnya telah berakhir. (3) Pelaksanaan Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan Penjualan dan Hibah. Pasal 104 (1) Penjualan BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (4) huruf a dilakukan secara lelang, kecuali dalam hal tertentu. (2) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) rrieliputi:
BMN yang bersifat khusus, yaitu:
kendaraan perorangan dinas yang dijual kepada pejabat negara, mantan pejabat negara, pegawai aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia, a tau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia atau perorangan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penjualan BMN berupa kendaraan perorangan dinas; atau
BMN lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan Penjualan tanpa melalui lelang;
BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang diperuntukkan bagi kepentingan umum;
BMN berupa tanah yang merupakan tanah kavling yang menurut perencanaan awal pengadaannya digunakan untuk pembangunan perumahan pegawai negeri sebagaimana tercantum dalam dokumen penganggaran, antara lain Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL), kerangka acuan kerja, petunjuk operasional kegiatan, atau Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), yang diperuntukkan bagi pegawai negeri;
BMN berupa selain tanah dan/ a tau bangunan yang jika dijual secara lelang dapat merusak tata niaga berdasarkan pertimbangan dari instansi yang berwenang;
BMN berupa bangunan yang berdiri di atas tanah Pihak Lain atau pemerintah daerah/ desa yang dijual kepada Pihak Lain atau pemerintah daerah/ desa pemilik tanah tersebut; atau
BMN lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh Pengelola Barang. Pasal 105 (1) Pemilihan mitra Tukar Menukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (4) huruf b dilakukan melalui tender. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilihan mitra dapat dilakukan melalui penunjukan langsung terhadap Tukar Menukar:
BMN berupa tanah, atau tanah dan bangunan:
yang dilakukan dengan pemerintah daerah/ desa, pemerintah negara lain, dan/atau Pihak Lain yang mendapatkan penugasan dari pemerintah dalam rangka pelaksanaan kepentingan umum;
untuk menyatukannya dalam 1 (satu) lokasi;
untuk menyesuaikan bentuk BMN berupa tanah agar penggunaannya lebih optimal;
untuk melaksanakan rencana strategis pemerintah; atau
guna mendapatkan/memberikan akses jalan;
BMN berupa bangunan yang berdiri di atas tanah:
Pihak Lain;
BMN yang diajukan untuk diubah statusnya menjadi ADP; atau
BMN selain tanah dan/atau bangunan yang dilakukan dengan:
pemerintah daerah/ desa; atau
Pihak Lain yang mendapatkan penugasan dari pemerintah dalam rangka pelaksanaan kepentingan umum. (3) Penunjukan langsung mitra Tukar Menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 106 (1) Pendapatan yang diperoleh dari Pemindahtanganan merupakan pendapatan negara dan disetorkan seluruhnya ke rekening kas umum negara. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendapatan dari Pemindahtanganan merupakan pendapatan Badan Pengusahaan yang disetorkan ke rekening Badan Pengusahaan dan dapat dikelola langsung oleh Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PKK-BLU sepanjang BMN diperoleh dari pendanaan yang bersumber dari pendapatan operasional Badan Pengusahaan. (3) Pendapatan dari Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan. Bagian Kesebelas Pemusnahan Pasal 107 (1) Pemusnahan dilakukan apabila:
BMN tidak dapat digunakan, tidak dapat dilakukan Pemanfaatan, dan/atau tidak dapat dilakukan Pemindahtanganan; atau
terdapat alasan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan. (3) Pelaksanaan Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan. (4) Pemusnahan dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemusnahan disertai dengan fotokopi berita acara Pemusnahan. Pasal 108 (1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2), pemusnahan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanjang dilakukan terhadap BMN berupa:
persediaan;
aset tetap lainnya berupa hewan, ikan dan tanaman;
selain tanah dan/atau bangunan, yang tidak mempunyai dokumen kepemilikan, dengan nilai perolehan sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan; atau
bongkaran karena:
perbaikan BMN (renovasi, rehabilitasi, atau restorasi); a tau 2. pembongkaran bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya di atas ADP yang masa alokasi tanahnya telah berakhir. (2) Pelaksanaan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemusnahan. Bagian Kedua Belas Penghapusan Pasal 109 (1) Penghapusan pada Badan Pengusahaan meliputi:
Penghapusan dari pembukuan Badan Pengusahaan; dan
Penghapusan dari daftar BMN. (2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan dalam suatu keputusan, setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan. (3) Pelaksanaan Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan. (4) Penghapusan dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan Penghapusan disertai dengan salinan keputusan Penghapusan dan dokumen terkait lainnya. Pasal 110 (1) Penghapusan dari pembukuan Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf a, dilakukan dalam hal BMN sudah tidak berada dalam penguasaan Badan Pengusahaan, terjadi Pemusnahan, atau sebab-sebab lain yang secara normal dapat diperkirakan wajar menjadi penyebab Penghapusan. (2) Penghapusan dari daftar BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b, dilakukan dalam hal BMN tersebut sudah dilakukan Pemindahtanganan, terjadi pemusnahan, atau karena sebab-sebab lain yang secara normal dapat diperkirakan wajar menjadi penyebab Penghapusan. Pasal 111 (1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2), Penghapusan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanJang dilakukan terhadap BMN berupa:
persediaan;
aset tetap lainnya berupa hewan, ikan dan tanaman;
selain tanah dan/atau bangunan, yang tidak mempunyai dokumen kepemilikan, dengan nilai perolehan sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan. (2) Pelaksanaan Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan Penghapusan. Bagian Ketiga Belas Penatausahaan Pasal 112 (1) Kepala Badan Pengusahaan melakukan Penatausahaan atas Aset yang berada dalam penguasaannya. (2) Penatausahaan meliputi:
pembukuan;
inventarisasi; dan
pelaporan. (3) Badan Pengusahaan melakukan Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menurut penggolongan dan kodefikasi BMN. (4) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c termasuk pelaporan atas pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan. (5) Pelaporan atas pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan setiap bulan kepada Kepala KPKNL dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah dan direktur yang membidangi perumusan kebijakan kekayaan negara pada Direktorat Jenderal.
Badan Pengusahaan melakukan rekonsiliasi atas pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan Aset Badan Pengusahaan dengan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang setiap triwulan. Pasal 113 (1) Badan Pengusahaan menyajikan Aset berupa BMN dalam laporan sebagai:
aset lancar berupa persediaan;
properti investasi;
aset tetap berupa:
tanah dan/atau bangunan; dan/atau
selain tanah dan/atau bangunan;
aset lainnya berupa:
aset kemitraan;
Aset Tidak Berwujud (ATB); dan/atau
aset yang dihentikan penggunaannya. (2) Termasuk dalam aset tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c untuk BMN yang memenuhi kriteria aset konsesi jasa. (3) Penyajian Aset berupa BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penatausahaan BMN dan akuntansi pemerintahan. Pasal 114 (1) Badan Pengusahaan menyajikan ADP dalam laporan sebagai aset lainnya, kecuali ditentukan lain oleh standar akuntansi pemerintahan. (2) ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disajikan dalam laporan sebesar biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka perolehan dan pengembangan ADP. (3) Biaya perolehan dan pengembangan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk nilai BMN pada saat diubah statusnya menjadi ADP. (4) Penyajian ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang akuntansi pemerintahan. Bagian Keempat Belas Pengawasan dan Pengendalian Pasal 115 (1) Pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan Aset dilakukan oleh:
Menteri Keuangan; dan/atau
Kepala Badan Pengusahaan. (2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan terhadap:
perencanaan kebutuhan dan penganggaran;
pengadaan;
Penggunaan;
Perubahan Status Aset;
Pemanfaatan;
pengamanan dan pemeliharaan;
Penilaian;
Pemindahtanganan;
Pemusnahan; J. Penghapusan; dan
Penatausahaan. (3) Kepala Badan Pengusahaan melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan ADP. Pasal 116 Ketentuan mengenai Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran, Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, Penghapusan, Penatausahaan, dan pengawasan dan pengendalian yang belum diatur dalam Peraturan Menteri m1 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. BAB IV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 117 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
BMN berupa tanah yang telah diubah statusnya menjadi ADP sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, harus dimintakan reviu dari aparat pengawasan intern pemerintah untuk kemudian diterbitkan keputusan Perubahan Status Aset sebagai ADP oleh Kepala Badan Pengusahaan;
permohonan Pemanfaatan berupa KSPI yang telah diajukan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan belum mendapat persetujuan Menteri Keuangan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini;
persetujuan Pemanfaatan yang telah diterbitkan oleh Kepala Badan Pengusahaan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap berlaku;
persetujuan Pemanfaatan yang telah diterbitkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan belum dilaksanakan, pelaksanaannya dilakukan berdasarkan Peraturan Men teri ini;
permohonan Pemanfaatan yang telah diajukan tetapi belum memperoleh persetujuan Kepala Badan Pengusahaan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini;
persetujuan pengelolaan selain sebagaimana dimaksud pada huruf b sampai dengan huruf e yang telah diterbitkan oleh Menteri Keuangan, dinyatakan tetap berlaku;
permohonan persetujuan pengelolaan selain sebagaimana dimaksud pada huruf b sampai dengan huruf e yang telah diajukan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan dan belum memperoleh persetujuan Menteri Keuangan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan
kerja sama pengelolaan Aset yang sedang berlangsung berdasarkan persetujuan atau keputusan Kepala Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan tetap berlaku. BABV KETENTUAN PENUTUP Pasal 118 ADP yang belum ditetapkan statusnya oleh Kepala Badan Pengusahaan harus sudah ditetapkan statusnya paling lama 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini. Pasal 119 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 550), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 120 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Kewenangan Khusus Otorita Ibu Kota Nusantara
Relevan terhadap
Cukup ^jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6876 LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2023 TENTANG KEWENANGAN KHUSUS OTORITA IBU KOTA NUSANTARA KEUIENANGAN KIIUSUS OTORITA IBU KOTA NUSANTARA A. BIDANG PENDIDIKAN 1 Manajemen Pendidikan a. Pengelolaan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan khusus, dan pendidikan nonformal. b. Fasilitasi pendidikan tinggi. 2 Kurikulum Penetapan kurikulum muatan lokal pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan khusus, dan pendidikan nonformal. 3 Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan. 4 Penzinan Pendidikan Perizinan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan khusus, dan pendidikan nonformal serta program studi di luar kampus utama perguruan tinggi Indonesia dan perguruan tinggi asing peringkat 100 (seratus) terbaik dunia. 5 Bahasa dan Sastra Pembinaan bahasa dan sastra yang penuturnya dalam wilayah Ibu Kota Nusantara B. BIDANG KESEHATAN 1 Upaya Kesehatan a. Pengelolaan upaya kesehatan perseor€rngan (UKP) rujukan secara terintegrasi. b. Pengelolaan upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan rujukan secara terintegrasi. c. Penyelenggaraan standardisasi khusus fasilitas pelayanan kesehatan publik dan swasta. d. Penerbitan perizinan berusaha untuk fasilitas pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit kelas A, B, C, dan D serta penanaman modal asing (PMA). 2 Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan termasuk Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing a. Perencanaan dan pengembangan tenaga kesehatan dan tenaga pendukung/penunjang kesehatan untuk UKM dan UKP. b. Penyelenggaraan skema penghargaan dan pemberian insentif bagi tenaga kesehatan dan tenaga pendukung/penunjang kesehatan untuk UKM dan UKP. c. Penempatan dan pendayagunaan tenaga kesehatan dan tenaga pendukung/ penunj ang kesehatan. d. Penerbitan izin praktik tenaga kesehatan.
Sediaan Farmasi, Alat, Kesehatan, dan Makanan Minuman a. Pengawasan dan pemantauan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan. b. Pengawasan post-markef produk makanan minuman industri rumah tangga dan pangan olahan siap saji. c. Penyediaan obat pelayanan kesehatan dasar. d. Penerbitan perizinan berusaha usaha kecil obat tradisional (UKOT). e. Penerbitan perizinan berrrsaha apotek, toko obat, dan toko alat kesehatan. f. Penerbitan pedzinan berusaha usaha mikro obat tradisional (UMOT). g. Penerbitan perizinan berusaha produksi makanan dan minuman pada industri rumah tangga.
Penerbitan izin pedagang besar farmasi (PBF) cabang dan cabang distributor alat kesehatan (DAK). i. Penerbitan sertifikat produksi alat kesehatan dan alat kesehatan diagnostic in uitro (DIY) kelas A/ 1 (satu) tertentu serta perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) kelas 1 (satu) tertentu perusahaan rumah tangga.
Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat Bidang Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam mengenali dan mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi dengan pendekatan edukatif partisipatif dengan memperhatikan potensi dan sosial budaya setempat. C. BIDANG PEKER.IAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG 1 Perencanaan Tata Ruang Men5rusun dan menetapkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Ibu Kota Nusantara. 2 Pemanfaatan Ruang Penzinan terkait penataan ruang yang meliputi:
Persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan rurang (PKKPR) untuk kegiatan berusaha;
Konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKKPR) untuk kegiatan nonberusaha; dan
Persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (PKKPR) untuk kegiatan nonberusaha.
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang. 4 Pengawasan Penataan Ruang Pelaksanaan pengawasan penataan ruzrng.
Air Minum a. Penetapan pengembangan sistem penyediaan air minum (SPAM). b. Pengelolaan dan pengembangan SPAM.
Persampahan a. Penetapan pengembangan sistem pengelolaan persampahan. b. Pengelolaan dan pengembangan sistem pengelolaarl pers€rmpahan. 7 Air Limbah a. Penetapan pengembangan sistem pengelolaan air limbah domestik. b. Pengelolaan dan pengembangan sistem pengelolaan air limbah domestik. 8 Drainase a. Penetapan pengembangan sistem drainase. b. Pengelolaan dan pengembangan sistem drainase. 9 Infrastruktur Hijau Kota Spons a. Pengembangan kota spons. b. Pengelolaan dan pengembangan infrastruktur konservasi air kota spons. c. Penetapan dan penegakan peraturan kota spons. 10 Permukiman a. Penetapan sistem pengembangan infrastruktur permukiman. b. Penyelenggaraan infrastruktur pada permukiman.
Bangunan Gedung a. Penetapan bangunan gedung untuk kepentingan strategis nasional. b. Penyelenggaraan bangunan gedung untuk kepentingan strategis nasional dan penyelenggaraan bangunan gedung fungsi khusus. c. Penerbitan persetujuan bangunan gedung (PBG) dan sertifikat laik fungsi bangunan gedung. t2. Penataan Bangunan dan Lingkungannya a. Penetapan pengembangan sistem penataan bangunan dan lingkungannya. b. Penyelenggaraan penataan bangunan dan lingkungannya.
Jalan a. Pengembangan sistem jaringan jalan. b. Penyelenggaraan jalan. l4 Jasa Konstruksi a. Penyelenggaraan pelatihan tenaga kerja konstruksi strategis dan percontohan, tenaga ahli konstruksi, dan tenaga terampil konstruksi. b. Pengembangan dan penyelenggaraan sistem informasi jasa konstruksi cakupan. c. Pengawasan tertib usaha, tertib penyelenggaraan, dan tertib pemanfaatan jasa konstruksi. d. Pengembangan standar kompetensi kerja dan pelatihan jasa konstruksi. e. Pengembangan kontrak kerja konstrr.rksi yang menjamin kesetaraan hak dan kewajiban antara pengguna jasa dan penyedia jasa konstruksi. f. Pengemb€rngan standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan dalam penyelenggaraan jasa konstruksi. g. Penyelenggaraan pengawasan penerapan standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan dalam penyelenggaraan dan pemanfaatan jasa konstruksi oleh badan usaha jasa konstruksi. h. Pengembangan standar material dan peralatan konstruksi, serta inovasi teknologi konstruksi.
Irigasi Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi sebagai satu kesatuan sistem pada daerah irigasi. D. BIDANG PERUMAIIAN DAN I(AWASAN PERIUUKIMAN 1 Perumahan a. Pengembangan sistem penyelengg€rraan perumahan secara terpadu. b. Penyediaan perumahan bagi Aparatur Sipil Negara, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia. c. Fasilitasi dan/atau penyediaan pemmahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). d. Fasilitasi penyediaan perumahan bagi masyarakat yang terkena relokasi sebagai dampak kebijakan pemerintah. e. Penyediaan dan rehabilitasi perumahan korban bencana. f. Pengembangan sistem pembiayaan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. g. Penerbitan sertifikat kepemilikan bangunan gedung (SKBG).
Perizinan terkait pembangunan dan pengembangan perumahan. i. Penetapan pelaksanaan pemenuhan kewajiban hunian berimbang sesuai prioritas pembangunan perumahan dan kawasan permukiman di wilayah Ibu Kota Nusantara. 2 Kawasan Permukiman dan Kawasan Permukiman Kumuh a. Penetapan sistem kawasan permukiman. b. Penataan dan peningkatan kualitas kawasan pennukiman kumuh. c. Pencegahan perumahan dan kawasan permukiman kumuh. d. Perizinan terkait pembangunan dan pengembangan kawasan permukiman. 3 Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU) Penetapan kebijakan dan penyelenggaraan prasarana sarana umum di lingkungan hunian, kawasan permukiman, dan perumahan. E. BIDANG KETENTERAMAN DAN KETERTIBAN UMUM SERTA PERLINDUNGAN MASYARAKAT 1 Ketenteraman dan Ketertiban Umum a. Penegakan produk hukum Otorita Ibu Kota Nusantara. b. Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Ibu Kota Nusantara. c. Penanganan gangguan ketenteraman dan ketertiban umum. 2 Bencana a. Penyelenggaraan penanggulangan bencana. b. Penyelenggaraan pencegahan, tanggap darurat, dan pascabencana alam dan nonalam.
Kebakaran a. Standardisasi sarana dan prasarana pemadam kebakaran. b. Standardisasi kompetensi dan sertifikasi pemadam kebakaran. c. Penyelenggaraan sistem informasi kebakaran. d. Penyelenggaraan pemetaan rawan kebakaran. e. Pencegahan, pengendalian, pemadaman, penyelamatan, dan penanganan bahan berbahaya dan beracun kebakaran. f. Inspeksi peralatan proteksi kebakaran. g. Investigasi kejadian kebakaran. h. Pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan kebakaran. F. BIDANG SOSIAL 1 Pemberd ayaar: Sosial a. Penetapan lokasi dan pemberdayaan sosial komunitas adat terpencil (KAT). b. Pembinaan sumber kesejahteraan sosial. c. Pembinaan lembaga konsultasi kesejahteraan keluarga (LK3). d. Pengembangan potensi sumber kesejahteraan sosial. e. Penerbitan izin pengumpulan sumbangan. 2 Penanganan Warga Negara Migran Korban Tindak Kekerasan Penanganan warga negara migran korban tindak kekerasan dari titik debarkasi untuk dipulangkan hingga daerah asal. 3 Rehabilitasi Sosial Rehabilitasi sosial bukan/tidak termasuk bekas korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA), orzrng dengan Human Immunodeficiencg Vints / Acquire d Immuno Deficiencg Sg ndrome y ar: g memerlukan rehabilitasi pada panti dan tidak memerlukan rehabilitasi pada panti, dan rehabilitasi anak yang berhadapan dengan hukum. 4 Perlindungan dan Jaminan Sosial a. Pengelolaan data fakir miskin. b. Pemeliharaan anak-anak telantar. c. Penerbitan izin orang tua angkat untuk pengangkatan anak antar warga negara Indonesia dan pengangkatan anak oleh orang tua tunggal warga negara Indonesia. 5 Penanganan Bencana a. Penyediaan kebutuhan dasar dan pemulihan trauma bagi korban bencana. b. Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat terhadap kesiapsiagaan bencana. c. Penyelenggaraan penanganan bencana berdasarkan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara, Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara, dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Nusantara. 6 Taman Makam Pahlawan Pembangunan dan pemeliharaan taman makam pahlawan nasional. 7 Penanganan Konflik Sosial Penanganan konflik sosial yang meliputi:
pencegahan konflik;
penghentian konflik; dan
pemulihan pascakonflik. G. BIDANG TENAGA KER.IA 1 Perencanaan Tenaga Kerja (Manpower Ptanning) dan Penyediaan Layanan Informasi Pasar Kerja a. Pen5rusunan perencanaan tenaga kerja (manpower planning). b. Penyediaan informasi ketenagakerjaan meliputi penduduk dan tenaga kerja, kesempatan kerja, pelatihan kerja termasuk kompetensi keda, produktivitas tenaga kerja, hubungan industrial, kondisi lingkungan kerja, pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja, jaminan sosial tenaga kerja. 2 Pelatihan Kerja dan Produktivitas Tenaga Kerja a. Pelaksanaan pelatihan untuk kejuruan yang bersifat strategis. b. Pelaksanaan pelatihan kerja. c. Pelaksanaan akreditasi lembaga pelatihan kerja. d. Konsultansi peningkatan produktivitas tenaga kerja pada perusahaan menengah dan kecil. e. Pembinaan lembaga pelatihan kerja swasta. f. Pengukuran produktivitas tenaga keda dan perusahaan. g. Penyediaan instruktur dan tenaga pelatihan yang kompeten serta sarana dan prasarana pelatihan. 3 Penempatan Tenaga Kerja a. Pelayanan antarkerja. b. Pengelolaan informasi pasar kerja. c. Pelindungan pekerja migran Indonesia sebelum bekerja dan setelah bekerja. d. Pelaksanaan perluasan kesempatan kerja. e. Pengesahan rencana penggunaan tenaga kerl'a asing melalui dashboard khusus pada sistem online pelayanan penggunaan tenaga kerja asing. f. Penetapan jangka waktu tertentu untuk pembebasan dari kewajiban pembayaran dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing. 4 Hubungan Industrial a. Pengesahan peraturan perusahaan dan pendaftaran perjanjian kerja bersama untuk perusahaan yang hanya beroperasi di wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra. b. Pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja, dan penutupan perrrsahaan yang berakibat/berdampak pada kepentingan di Ibu Kota Nusantara. c. Penetapan upah minimum. d. Pencatatan perjanjian kerja untuk perusahaan yang beroperasi di Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra.
Pencatatan serikat pekerja/serikat buruh yang berdomisili di wilayah Ibu Kota Nusantara.
Pengawasan Ketenagakerj aan Penyelenggaraan pen gawasan ke tenagakerj aan. H. BIDANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PELINDUNGAN ANAK 1 Kualitas Hidup Perempuan a. Pelembagaan pengarusutamaan gender (PUG) pada lembaga pemerintah. b. Pemberdayaan perempuan bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi pada organisasi kemasyarakatan. c. Standardisasi lembaga penyedia layanan pemberdayaan perempuan. d. Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan pemberdayaan perempuan.
Perlindungan Perempuan a. Pencegahan kekerasan terhadap perempuan yang melibatkan para pihak. b. Penyediaan layanan rujukan lanjutan bagi perempuan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi. c. Standardisasi lembaga penyedia layanan perlindungan perempuan. d. Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan perlindungan perempuan.
Kualitas Keluarga a. Peningkatan kualitas keluarga dalam mewujudkan kesetaraan gender (KG) dan hak anak. b. Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan peningkatan kualitas keluarga dalam mewujudkan KG dan hak anak. c. Standardisasi lembaga penyediaan layanan peningkatan kualitas keluarga dalam mewujudkan KG dan hak anak. d. Penyediaan layanan bagi keluarga dalam mewujudkan KG dan hak anak. 4 Sistem Data Gender dan Anak Pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data gender dan anak dalam kelembagaan data.
Pemenuhan Hak Anak (PHA) a. Pelembagaan PHA pada lembaga pemerintah, nonpemerintah, dan dunia usaha. b. Standardisasi lembaga penyediaan layanan peningkatan kualitas hidup anak. c. Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan peningkatan kualitas hidup anak.
Perlindungan Khusus Anak a. Pencegahan kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah lainnya terhadap anak yang melibatkan para pihak. b. Penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus yang memerlukan koordinasi. c. Standardisasi lembaga penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindunga.n khusus. d. Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus. I. BIDANG PANGAN 1 Penyelenggaraan Pangan Berdasarkan Kedaulatan dan Kemandirian a. Pen5rusunan strategi kedaulatan pangan di Ibu Kota Nusantara. b. Penyediaan infrastruktur dan seluruh pendukung kemandirian pangan pada berbagai sektor. 2 Penyelenggaraan Ketahanan Pangan a. Penyediaan dan penyaluran pangan pokok dan/atau pangan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam rangka stabilisasi pasokan dan harga pangan. b. Pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan dan menjaga keseimbangan cadangan pangan. c. Penentuan harga minimum untuk pangan lokal yang tidak ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. d. Promosi dan edukasi penganekaraganlran konsumsi pangan dalam pencapaian target konsumsi pangan per kapita/tahun sesuai dengan angka kecukupan gizi. e. Pelaksanaan pencapaian target konsumsi pangan per kapita/tahun sesuai dengan angka kecukupan gizi. f. Pelaksanaan kerl'a sama dengan Daerah Mitra untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan. 3 Penanganan Kerawanan Pangan a. Penetapan kriteria dan status krisis pangan. b. Penyusunan peta ketahanan dan kerentanan pangan. c. Pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan pada kerawanan pangan. d. Penanganan kerawanan pangan. e. Fasilitasi pengembangan cadangan pangErn masyarakat. 4 Keamanan Pangan a. Pelaksanaan pengawasan keamanan panga.n segar. b. Registrasi pangan segar produksi dalam negeri dari pelaku usaha menengah dan besar, baik dengan klaim maupun tidak, serta pelaku usaha mikro dan kecil. c. Pembinaan keamanan pangan bagi pelaku usaha kecil pangan seg€rr. J. BIDANG PERTANAIIAN 1 Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum a. Pelaksanaan tahap perencanaan dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. b. Pelaksanaan tahap persiapan dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. 2 Perencanaan Penggunaan Tanah Penetapan perencanaan penggunaan tanah. 3 Penatagunaan Tanah (Land Use Planning) a. Pelaksanaan pendataan tata guna tanah. b. Pembuatan sistem informasi tata guna tanah. c. Penetapan kebijakan pengawasan, pemantauan, dan pengendalian neraca persediaan, peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. d. Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penatagunaan tanah. e. Penerbitan surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT). 4 Ganti Kerrrgian dan Santunan Tanah untuk Pembangunan Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. 5 Sengketa Tanah Garapan Penyelesaian sengketa tanah garapan. 6 Izin Membuka Tanah Penerbitan izin membuka tanah. 7 Tanah Kosong a. Penyelesaian masalah tanah kosong. b. Inventarisasi dan pemanfaatan tanah kosong. 8 Pemanfaatan Tanah di atas Tanah Hak Pengelolaan a. Pen5rusunan rencana peramtukan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara serta Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. b. Penggunaan dan pemanfaatan seluruh atau sebagian tanah hak pengelolaan untuk digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak lain. c. Melakukan perjanjian pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan. d. Kewenangan lainnya terkait pemanfaatan tanah di atas tanah hak pengelolaan. 9 Penetapan Tarif Pemanfaatan Hak Pengelolaan Penetapan tarif dan latau uang wajib tahunan pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan. K. BIDANG LINGKUNGAN HIDUP 1 Pelindungan dan Lingkungan Hidup Pengelolaan Pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk:
penetapan kawasan hijau yang mendukung keseimbangan lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati;
penerapan energi terbarukan dan efisiensi energi;
pengelolaan wilayah fungsional perkotaan yang berorientasi pada lingkungan hidup; dan
penerapan pengolahan sampah dan limbah dengan prinsip ekonomi sirkuler. 2 Perencanaan Lingkungan Hidup Pen5rusunan dan penetapan rencana pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH). 3 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pen5rusunan dan penjaminan kualitas KLHS untuk kebijakan, rencana, dan/atau program Ibu Kota Nusantara. 4 Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup Pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran danfatau kerusakan lingkungan hidup. 5 Keanekaragaman Hayati (Kehati) Pengelolaan Keanekaragaman Hayati (Kehati) 6. Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah E}3) a. Pengelolaan 83. b. Pengelolaan Limbah 83. 7 Pembinaan dan Pengawasan terhadap lzin Lingkungan dart lzin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) a. Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang persetujuan lingkungan dan izin PPLH yang diterbitkan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. b. Perizinan terkait lingkungan hidup dan PPLH. 8 Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA), Kearifan Lokal dan Hak MHA yang terkait dengan PPLH a. Penetapan pengakuan MHA, kearifan lokal, atau pengetahuan tradisional yang terkait dengan PPLH. b. Peningkatan kapasitas MHA yang terkait dengan PPLH. 9 Pendidikan, Pelatihan, dan Pen5ruluhan Lingkungan Hidup untuk Masyarakat Penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan pen5ruluhan lingkungan hidup untuk lembaga kemasyarakatan.
Penghargaan Lingkungan Hidup untuk Masyarakat Pemberian penghargaan lingkungan hidup untuk masyarakat.
Pengaduan Lingkungzrn Hidup Penyelesaian pengaduan masyarakat di bidang PPLH terhadap:
usaha dan/atau kegiatan yang persetujuan lingkungan dan/atau izin PPLH yang diterbitkan oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara; dan
usaha dan/atau kegiatan yang lokasi dan/atau dampaknya di wilayah Ibu Kota Nusantara. t2. Persampahan a. Perizinan insinerator pengolah sampah menjadi energi listrik. b. Pengelolaan dan penanganan sampah. c. Perizinan terkait pengolahan sampah, pengangkutan sampah, dan pemrosesan akhir sampah yang diselenggarakan oleh swasta. d. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan sampah oleh pihak swasta. e. Penetapan, pembinaan, dan pengawasan tanggung ^jawab produsen dalam pengurangan sampah. L. BIDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUI(AN DAN PENCATATAN SIPIL 1 Pendaftaran Penduduk Pelayanan pendaftaran penduduk. 2 Pencatatan Sipil Pelayanan pencatatan sipil. 3 Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Pengumpulan data kependudukan dan pemanfaatan dan penyajian database kependudukan. 4 Profil Kependudukan Pen5rusunan profil kependudukan. M. BIDANG PENGENDALIAN PENDUDUK DAN KELUARGA BERENCANA 1 Pengendalian Penduduk a. Pemaduan dan sinkronisasi kebdakan pengendalian kuantitas penduduk. b. Pemetaan perkiraan pengendalian penduduk. 2 Keluarga Berencana (KB) a. Pengembangan desain program, pengelolaan dan pelaksanaan advokasi dan komunikasi, informasi, dan edukasi pengendalian penduduk dan KB sesuai dengan kearifan lokal. b. Pendayagunaan tenaga penyuluh KB/petugas lapangan KB (PKB/PLKB). c. Pengendalian dan pendistribusian kebutuhan alat dan obat kontrasepsi serta pelaksanaan pelayanan KB. d. Pemberdayaan dan peningkatan peran serta organisasi kemasyarakatan dalam pengelolaan, pelayanan, dan pembinaan kesertaan ber-KB. 3 Keluarga Sejahtera a. Pengelolaan desain program dan pelaksanaan pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. b. Pemberdayaan peran serta organisasi kemasyarakatan dalam pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. c. Pelaksanaan pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan keseiahteraan keluarga. N. BIDANG PERHUBUNGAN 1 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) a. Penetapan rencana induk jaringan LLAJ. b. Penyediaan perlengkapan jalan. c. Pengelolaan terminal penumpang tipe A, B, dan C. d. Penyelenggaraan terminal barang untuk umum. e. Pelaksanaan manajemen dan rekayasa lalu lintas untuk jaringan jalan. f. Persetujuan hasil analisis dampak lalu lintas untuk jalan. g. Audit dan inspeksi keselamatan LLAJ di jalan yang berlokasi di Ibu Kota Nusantara. h. Penyediaan angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang. i. Penetapan kawasan perkotaan untuk pelayanan angkutan perkotaan. j. Penetapan rencana umum jaringan trayek. k. Penetapan tarif kelas ekonomi untuk angkutan orang yang melayani trayek. 1. Pengujian berkala kendaraan bermotor. m. Penerbitan izin penyelenggaraan dan pembangunan fasilitas parkir. n. Penerbitan izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek, angkutan pariwisata, dan angkutan barang khusus. o. Persetujuan penyelenggaraan terminal barang untuk kepentingan sendiri. 2 Pelayaran a. Penetapan lintas penyeberangan dan persetujuan pengoperasian kapal antardaerah yang terletak pada jaringan jalan Ibu Kota Nusantara dan/atau jaringan jalur kereta api. b. Penetapan lintas penyeberangan dan persetujuan pengoperasian untuk kapal yang melayani penyeberangan lintas pelabuhan antardaerah. c. Penetapan tarif angkutan penyeberangan penumpang kelas ekonomi dan kendaraan beserta muatannya pada lintas penyeberangan antardaerah di Ibu Kota Nusantara. d. Penetapan lokasi pelabuhan. e. Penetapan rencana induk dan daerah lingkungan kerja (DlKr)/daerah lingkungan kepentingan (DLKp) pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan pelabuhan pengumpan. f. Penetapan rencana induk dan DKLr IDKLp pelabuhan sungai dan danau regional. g. Pembangunan, penerbitan izin pembangunan dan pengoperasian pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul dan/atau pelabuhan pengumpan. h. Pembangunan dan penerbitan izin pelabuhan sungai dan danau yang melayani trayek. i. Penerbitan izin usaha angkutan laut bagi badan usaha yang berdomisili di Ibu Kota Nusantara dan beroperasi pada lintas pelabuhan.
Penerbitan izin usaha angkutan laut pelayaran ralryat bagi orang perorangan atau badan usaha yang berdomisili di Ibu Kota Nusantara dan yang beroperasi pada lintas pelabuhan. k. Penerbitan izin trayek penyelenggaraan angkutan sungai dan danau untuk kapal yang melayani trayek dalam wilayah Ibu Kota Nusantara. l. Penerbitanizinusahajasa terkait berupa bongkar muat barang, jasa pengukuran transportasi, angkutan, perairan pelabuhan, penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut, tally mandiri, dan depo peti kemas. m. Penerbitan izin usaha badan usaha pelabuhan di pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, danf atau pelabuhan pengumpan. n. Penerbitan izin pengembangan pelabuhan untuk pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan/atau pelabuhan pengumpan. o. Penerbitan izin pekerjaan pengukuran di wilayah perairan pelabuhan untuk pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan pelabuhan pengumpan. p. Penerbitan izin pengoperasian pelabuhan selama 24 jam untuk semua pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan/atau pelabuhan pengumpan. q. Penerbitan izin pekerjaan pengerrrkan di wilayah perairan pelabuhan utama, pelabuhan penzumpul, dan/atau pelabuhan pengumpan.
Penerbitan izin pekerjaan reklamasi di wilayah perairan pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan/atau pelabuhan pengumpan. s. Penerbitan izin pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri (TUKS) di dalam DLKr/DLKp pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan/atau pelabuhan pengumpan. t. Penerbitan izin usaha penyelenggaraan angkutan sungai dan danau sesuai dengan domisili orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha. u. Penerbitan izin usaha penyelenggaraan angkutan penyeberangan sesuai dengan domisili badan usaha. v. Penerbitan izin usaha penyelenggaraan angkutan sungai dan danau sesuai dengan domisili orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha. w. Penerbitan izin usaha jasa terkait dengan perawatan dan perbaikan kapal. x. Penerbitan izin usaha angkutan laut bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah Ibu Kota Nusantara dan beroperasi pada lintas pelabuhan antardaerah dalam wilayah Ibu Kota Nusantara. 3 Penerbangan a. Pengelolaan tempat pendaratan dan lepas landas helikopter. b. Pengendalian daerah lingkungan kepentingan pada bandar udara. c. Menjamin tersedianya aksesibilitas dan utilitas untuk menunjang pelayanan pada bandar udara. 4 Perkeretaapian a. Penetapan rencana induk perkeretaapian. b. Penetapan ^jaringan jalur kereta api. c. Penetapan kelas stasiun pada jaringan jalur kereta api. d. Penetapan jaringan pelayanan perkeretaapian pada jaringan jalur perkeretaapian. e. Penerbitan izin operasi sarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintas di wilayah Ibu Kota Nusantara. f. Penerbitan izin usaha, izin pembangunan, dan izin operasi prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintas dalam wilayah Ibu Kota Nusantara. g. Penerbitan izin pengadaan atau pembangunan perkeretaapian khusus, izin operasi, dan penetapan jalur kereta api khusus yang jaringannya di dalam Ibu Kota Nusantara. h. Penerbitan izin trase kereta api. O. BIDANG KOMUNIKASI DAN INFORIIIATIKA 1 Penyelenggaraan, Sumber Daya, dan Perangkat Pos, serta Informatika a. Penyediaan danf atau pengelolaan infrastruktur pasif telekomunikasi (gorong- gorongl duct, menara, tiang, lubang kabel/ manhole, dan/atau infrastruktur lainnya) yang dapat digunakan .secara bersama oleh penyelenggara telekomunikasi dan/atau penyelenggara penyiaran. b. Pemberian fasilitasi dan latau kemudahan kepada penyelenggara telekomunikasi untuk melakukan pembangunan dan/atau penyediaan infrastruktur telekomunikasi. c. Penyediaan dan penggunaan infrastruktur pos (smart locker, autonomous uehicle, drone, dan infrastruktur lainnya) yang dapat digunakan secara bersama oleh penyelenggara pos komersial.
Informasi dan Komunikasi Publik Pengelolaan konten dan diseminasi informasi dan komunikasi publik di lingkup Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.
Aplikasi Informatika a. Pengelolaan aplikasi informatika dalam rangka mewujudkan smart city dan smart gouerrlance Ibu Kota Nusantara dengan memanfaatkan Nert Generation Network (NGN) dan berbasis Internet of Things (IoT). b. Pengelolaan e-qouentment.
Pengelolaan narna domain yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan subdomain di lingkup Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. P. BIDANG KOPERASI, USAHA KECIL, DAN MENENGAII 1 Izin Usaha Simpan Pinjam a. Penerbitan izin usaha simpan pinjam untuk koperasi. b. Penerbitan izin pernbukaan kantor cabang, cabang pembantu, dan kantor kas koperasi simpan pinjam untuk koperasi dengan wilayah keanggotaan di Ibu Kota Nusantara. 2 Pengawasan dan Pemeriksaan a. Pemeriksaan dan pengawasan koperasi yang wilayah keanggotaannya di Ibu Kota Nusantara. b. Pemeriksaan dan pengawasan koperasi simpan pinjam/unit simpan pinjam koperasi yang wilayah keanggotaannya di Ibu Kota Nusantara. 3 Penilaian Kesehatan Koperasi Simpan Pinjam (KSP)/Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi Penilaian kesehatan KSP/USP koperasi yang wilayah keanggotaannya di Ibu Kota Nusantara. 4 Pendidikan dan Latihan Perkoperasian Pendidikan dan latihan perkoperasian bagi koperasi yang wilayah keanggotaannya di Ibu Kota Nusantara. 5 Pemberdayaan dan Perlindungan Koperasi Pemberdayaan dan pelindungan koperasi yang keanggotaannya di Ibu Kota Nusantara.
Pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah (UMKM) Pemberdayaan usaha mikro dan usaha kecil melalui pendataan, kemitraan, kemudahan perizinan, penguatan kelembagaan, dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan. 7 Pengembangan UMKM Pengembangan usaha mikro dan usaha kecil dengan orientasi peningkatan skala usaha menjadi usaha kecil dan menengah. A. BIDANG PENANAI}IAN MODAL 1 Pengembangan Iklim Penanaman Modal a. Penetapan pemberian fasilitas/insentif di bidang penanzunan modal secara berdampingan dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi. b. Pembuatan peta potensi investasi Ibu Kota Nusantara secara berdampingan dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi. c. Kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai pemberian perizinan berusaha, kemudahan berusaha, dan fasilitas penanaman modal bagi pelaku usaha di Ibu Kota Nusantara. 2 Promosi Penanaman Modal Penyelenggaraan promosi penanaman modal secara berdampingan dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan kementerian/lembaga terkait. 3 Pelayanan Penanaman Modal a. Pelayanan peizinan dan nonper2inan secara terpadu satu pintu melalui sistem Online Singte Submission Rfsk Qased Approach (OSS RBA). b. Penerbitan rekomendasi alih status izin tinggal kunjungan menjadi izin tinggal terbatas.
Penerbitan rekomendasi alih status izin tetap. tinggal terbatas menjadi izin tinggal 4 Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Pengendalian pelaksanaan terhadap kegiatan penanaman modal yang berlokasi dalam wilayah Ibu Kota Nusantara secara berdampingan dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi. 5 Data dan Sistem Informasi Penanaman Modal Pengelolaan data dan informasi perizinan dan nonperizinan penanaman modal yang terintegrasi secara berdampingan dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi. R. BIDANG KEPEMUDAAN DAN OLAHRAGA 1 Kepemudaan a. Penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan pemuda terhadap pemuda pelopor, wirausaha muda, dan pemuda kader. b. Pemberdayaan dan ^pengembangan organisasi kepemudaan.
Kerja sama internasional untuk penyadaran, pemberdayaarl, dan pengembangan pemuda. 2 Keolahragaan a. Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan, olahraga masyarakat, dan olahraga prestasi. b. Penyelenggaraan kejuaraan olahraga dan/atau festival olahraga internasional. c. Penyelenggaraan pekan olahraga, kejuaraan olahraga, danf atau festival olahraga nasional. d. Pembinaan dan pengembangan organisasi olahraga. e. Perencanaan, penyediaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengawasan prasa.rana olahraga dan sararla olahraga. f. Kerja sama internasional untuk pembinaan dan pengembangan olahraga. 3 Kepramukaan a. Pembinaan dan pengembangan organisasi kepramukaan. b. Kerja sama internasional untuk pembinaan dan pengembangan organisasi kepramukaan. S. BIDANG PERSANDIAN T. BIDANG KEBUDAYAAN 1 Persandian Informasi untuk Pengamanan a. Penyelenggaraan persandian untuk pengamanan informasi Otorita Ibu Kota Nusantara. b. Penetapan pola hubungan komunikasi sandi antarbagian dari strrrktur organisasi Otorita Ibu Kota Nusantara.
Analisis Sinyal Pengamanan sinyal. 1 Pemajuan Kebudayaan a. Pengusulan objek pemajuan kebudayaan untuk ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia. b. Pengelolaan objek pemajuan kebudayaan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia.
Pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan. d. Pembinaan sumber daya manusia kebudayaan, lembaga adat, lembaga kebudayaan, dan pranata kebudayaan. e. Penyediaan sarana dan prasarana kebudayaan. f. Penyelenggaraan kegiatan promosi objek pemajuan kebudayaan di tingkat lokal, nasional, dan internasional. g. Pen5rusunan, penetapan, dan pemutakhiran pokok pikiran kebudayaan. h. Pemberian penghargaan kebudayaan. 2 Cagar Budaya a. Pembentukan tim ahli cagar budaya. b. Penetapan dan pemeringkatan cagar budaya. c. Pengelolaan cagar budaya yang dimiliki danf atau dikuasai Otorita Ibu Kota Nusantara. d. Pelestarian cagar budaya yang dimiliki dan/atau dikuasai Otorita Ibu Kota Nusantara. e. Pengelolaan warisan dunia yang dimiliki dan/atau dikuasai Otorita Ibu Kota Nusantara.
Penempatan juru pelihara untuk melakukan perawatan cagar budaya yang dimiliki dan/atau dikuasai Otorita Ibu Kota Nusantara. g. Penempatan polisi khusus cagar budaya untuk melakukan pengamanan cagar budaya dimiliki dan/atau dikuasai Otorita Ibu Kota Nusantara. h. Penempatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang cagar budaya untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana cagar budaya yang dimiliki atau dikuasai Otorita Ibu Kota Nusantara. i. Penerbitan izin membawa cagar budaya ke luar daerah Ibu Kota Nusantara. j. Penerbitan izin pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. k. Penyelenggara€rn kegiatan promosi cagar budaya di tingkat lokal, nasional, dan internasional. 3 Sejarah Pembinaan sejarah lokal 4 Permuseuman a. Pengelolaan museum. b. Penerbitan Surat Keterangan Pendaftaran Museum. U. BIDANG PERPUSTAKAAN a. Pengelolaan perpustakaan. b. Pembudayaan gemar membaca dan pengembangan literasi masyarakat. 1 Pembinaan Perpustakaan 2 Pelestarian Koleksi Nasional dan Naskah Kuno a. Pelestarian karya cetak dan karya rekam koleksi perpustakaan. b. Penerbitan katalog induk dan bibliografi khusus. c. Pelestarian naskah kuno. d. Pengembangan koleksi budaya etnis nusantara yang ditemukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. V. BIDANG KEARSIPAN 1 Pengelolaan Arsip a. Pengelolaan arsip dinamis Otorita Ibu Kota Nusantara dan badan usaha dan/atau badan layanan Otorita Ibu Kota Nusantara. b. Pengelolaan arsip statis yang diciptakan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara dan badan usaha dan/atau badan layanan Otorita Ibu Kota Nusantara, perusahaan swasta yarrg kantor pusat usahanya di Ibu Kota Nusantara, organisasi kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat di Ibu Kota Nusantara. c. Pengelolaan Ibu Kota Nusantara sebagai simpul jaringan dalam sistem informasi kearsipan nasional (SIKN) melalui jaringan informasi kearsipan nasional (JIKN). 2 Pelindungan dan Penyelamatan Arsip a. Pemusnahan arsip di lingkungan Otorita Ibu Kota Nusantara yang memiliki retensi di bawah 10 (sepuluh) tahun. b. Pelindungan dan penyelamatan arsip akibat bencana. c. Penyelamatan arsip bagian dari struktur organisasi Otorita Ibu Kota Nusantara yang digabung dan/atau dibubarkan, serta perubahan satuan wilayah di Ibu Kota Nusantara. d. Autentikasi arsip statis dan arsip hasil alih media.
Melakukan pencarian arsip statis yang pengelolaannya menjadi kewenangan Otorita Ibu Kota Nusantara yang dinyatakan hilang dalam bentuk daftar pencarian arsip. 3 Perizinan Penerbitan izin penggunaan arsip yang bersifat tertutup. W. BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN 1 Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil a. Pengelolaan sumber daya laut di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara di luar minyak dan gas bumi. b. Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. c. Penerbitan perizinan berusaha di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara di luar minyak dan gas bumi. d. Penzusulan calon kawasan konservasi di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara.
Pembentukan satuan unit organisasi pengelola kawasan konservasi di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara. f. Pengelolaan kawasan konservasi yang telah ditetapkan di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara. 2 Perikanan Tangkap a. Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara. b. Penetapan lokasi pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara. c. Pengelolaan dan penyelenggaraan tempat pelelangan ikan (TPI). d. Pendaftaran kapal perikanan berukuran sampai dengan 30 (tiga puluh) GT yang beroperasi di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara. e. Pelindungan dan pemberdayaan nelayan kecil. f. Penerbitan perizinan berrrsaha subsektor penangkapan ikan dan perizinarr berusaha subsektor pengangkutan ikan untuk kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan berukuran sampai dengan 30 (tiga puluh) GT di wilayah perairan laut Ibu Kota Nusantara. g. Penerbitan persetujuan pengadaan kapal perikanan untuk kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan berukuran sampai dengan 30 (tiga puluh) GT di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara. 3 Perikanan Budidaya a. Pemberdayaan usaha kecil pembudidaya ikan. b. Pengelolaan pembudidayaan ikan. 4 Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan a. Pengawasan perizinan berusaha berbasis risiko sektor kelautan dan perikanan di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara. b. Pengawasan perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan berusaha sektor kelautan dan perikanan di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara. c. Pengawasan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara.
Pengolahan dan Pemasaran Penerbitan izin usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan untuk penana.man modal dalam negeri (PMDN).
Pengemb€rngan SDM Kelautan dan Perikanan Masyarakat a. Penyelenggaraan pelatihan untuk masyarakat kelautan dan perikanan. b. Penyelenggaraan pendidikan menengah sektor kelautan dan perikanan X. BIDANG PARTUISATA DAN EKONOMI KREATIF 1 Destinasi Pariwisata a. Penetapan destinasi pariwisata. b. Penetapan daya tarik wisata dan kawasan strategis/klaster pariwisata. c. Penyiapan dan fasilitasi pengembangan daya tarik wisata, kawasan strategis/ klaster pariwisata serta amenitas pariwisata. d. Penyelenggaraan pembangunan aksesibilitas pariwisata yang meliputi penyediaan dan pengembangErn sarana, prasarErna, dan sistem transportasi angkutan jalan, sungai, danau dan penyeberangan, angkutan laut, angkutan udara, dan angkutan kereta api. e. Pemeliharaan dan pelestarian aset yang menjadi daya tarik wisata. f. Pengelolaan kawasan strategis/klaster pariwisata melalui pembentukan badan usaha dan/atau keda sama usaha kesehatan/kebugaran yang ditunjang oleh pariwisata kota, meetings, incentiues, conferencing, exhibitions (MICE), wisata kesehatan, dan wisata kebugaran. g. Penyiapan daya tarik wisata, fasilitas umlrm, fasilitas pariwisata dan aksesibilitas pada kawasan strategis/klaster pariwisata baru lainnya. 2 Pemasaran Pariwisata Fasilitasi promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata. 3 Pengembangan Sumber Daya Pariwisata dan Ekonomi Kreatif a. Pengembangarr, penyelenggaraan, dan pelaksanaan peningkatan kapasitas sumber daya manusia pariwisata dan ekonomi kreatif tingkat ahli, lanjutan, dan dasar. b. Penyelenggaraan bimbingan masyarakat sadar wisata. 4 Perencanaan Kepariwisataan Pen5rusunan dan penetapan rencana induk pembangunan kepariwisataan. 5 Penyelenggaraan Kepariwisataan a. Pengoordinasian penyelenggaraan kepariwisataan. b. Penyelenggaraan kerja sama internasional di bidang kepariwisataan. c. Pelaksanaan pendaftaran, pencatatan, dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata. d. Pemberian kemudahan yang mendukung kunjungan wisatawan. e. Penyediaan, pengelolaan, dan penyebarluasan informasi kepariwisataan. f. Pemberian informasi dan/atau peringatan dini yang berhubungan dengan keamanan dan keselamatan wisatawan. g. Peningkatan pemberdayaan masyarakat dan potensi wisata yang dimiliki masyarakat. h. Pengawasan, pemantauan, dan evaluasi penyelenggaraan kepariwisataan. i. Pengalokasian anggaran kepariwisataan.
Penerapan prinsip pariwisata berkelaniutan. 6. Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi dalam Bidang Usaha Pariwisata Pemberian kemudahan/fasilitas, perlindungan, dan pemberdayaan bagi koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah dalam bidang usaha pariwisata. 7 Badan Promosi Pariwisata Fasilitasi pembentukan Badan Promosi Pariwisata Otorita Ibu Kota Nusantara. 8 Pelaku Ekonomi Kreatif Pengembangan kapasitas pelaku ekonomi kreatif melalui:
pelatihan, pembimbingan teknis, dan pendampingan untuk meningkatkan kemampuan teknis dan manajerial;
dukungan fasilitasi untuk menghadapi perkembang€rn teknologi di dunia usaha; dan
standardisasi usaha dan sertifikasi profesi bidang ekonomi kreatif. 9 Pengembangan Ekosistem Ekonomi Kreatif Pengembanga.n ekosistem ekonomi kreatif melalui:
pengembangErn pendidikan;
fasilitasi pendanaan dan pembiayaan;
penyediaan infrastruktur;
pengembangan sistem pemasaran;
pemberian insentif;
fasilitasi kekayaan intelektual; dan
perlindungan hasil kreativitas.
Pariwisata Alam a. Pemberian izin pengusahaan pariwisata alam untuk pengusahaan pariwisata alam yang dilakukan di dalam blok pemanfaatan taman hutan raya. b. Pembinaan dan pengawasan usaha penyediaan jasa dan sarana wisata alam. c. Penetapan pungutan bagi setiap wisatawan yang memasuki kawasan pengusahaan pariwisata alam. Y. BIDANG PERTANIAN 1 Sarana Pertanian a. Pengawasan peredaran, mutu/formula, dan penetapan kebutuhan sarana pertanian. b. Pengelolaan, pengawasan mutu, dan peredaran benih/bibit, sumber daya genetik (SDG) hewan.
Pengawasan benih ternak, pakan, hijauan pakan ternak (HPT), dan obat hewan di tingkat pengecer. d. Pengawasan peredaran obat hewan di tingkat distributor. e. Penyediaan benih bibit ternak dan HPT. f. Pengendalian penyediaan dan peredaran benih/bibit ternak dan HPT. g. Penyediaan benih/bibit ternak dan HPT. h. Penetapan calon penerima sarana pertanian. 2 Prasarana Pertanian a. Penentuan, penataan, dan pengembangan kebutuhan prasarana pertanian. b. Penetapan dan pengelolaan wilayah sumber bibit ternak dan rumpun/galur ternak. c. Penetapan kawasan peternakan. d. Pengembangan lahan penggembalaan umum. e. Penetapan calon penerima prasarana perkebunan.
Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Penjaminan kesehatan hewan, penutupan, dan pembukaan daerah wabah penyakit hewan menular.
Pengendalian dan Penanggulangan Bencana Pertanian Pengendalian dan penanggulangan bencana pertanian.
Perizinan Usaha Pertanian a. Penerbitan izin pernbangunan laboratorium kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner. b. Penerbitan izin usaha peternakan distributor obat hewan. c. Penerbitan izin usaha pertanian. d. Penerbitan izin usaha produksi benih/bibit ternak dan pakan, fasilitas pemeliharaan hewan, rumah sakit hewan/pasar hewan, rumah potong hewan. e. Penerbitan izin usaha pengecer (toko, retail, subdistributor) obat hewan. f. Perizinan budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tertentu. g. Perla; inan usaha produksi benih tanaman perkebunan. h. Sertifikasi benih tanaman perkebunan. Z. BIDANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR 1 Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) Pelaksanaan pendelegasian sebagian kewenangan pengelolaan SDA dalam satu kesatuan pengelolaan wilayah Sungai Mahakam yang meliputi:
konservasi SDA di daerah aliran sungai (DAS) dalam wilayah Ibu Kota Nusantara, termasuk pengendalian kualitas air;
pendayagunaan SDA di dalam dan lintas wilayah Ibu Kota Nusantara yang langsung terkait kepentingan Ibu Kota Nusantara; dan
pengendalian daya rusak air di DAS dalam wilayah Ibu Kota Nusantara. AA. BIDANG KEHUTANAN 1 Perencanaan Kehutanan a. Inventarisasi hutan meliputi:
inventarisasi hutan di Ibu Kota Nusantara; 2l inventarisasi hutan tingkat DAS yang wilayahnya di dalam Ibu Kota Nusantara; dan
inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan hutan. b. Penyelenggaraan pengukuhan kawasan hutan. c. Penyelenggaraan penatagunaan kawasan hutan. d. Pembentukan kesatuan pengelolaan hutan yang meliputi:
pen5rusunan rancang bangun unit pengelolaan hutan lindung;
pen5rusunan rancang bangun unit pengelolaan hutan produksi;
pembentukan unit pengelolaan hutan lindung; 4l pembentukan unit pengelolaan hutan produksi; dan
pembentukan organisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan wilayah pengelolaan KPH pada hutan produksi. e. Pen5rusunan rencana kehutanan tingkat Ibu Kota Nusantara.
Evaluasi dan pengendalian pelaksanaan rencana kehutanan yang meliputi:
evaluasi dan pengendalian pelaksanaan rencana kehutanan;
evaluasi dan pengendalian pelaksanaan rencana kehutanan KPH lindung; dan
evaluasi dan pengendalian pelaksanaan rencana kehutanan KPH produksi. g. Penyelenggaraan perubahan peruntukan kawasan hutan dan perrrbahan fungsi hutan. h. Persetujuan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. i. Persetujuan penggunaan kawasan hutan. j. Penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan. 2 Penggunaan Kawasan Hutan a. Persetujuan penggunaan kawasan hutan. b. Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi terhadap pemegang persetujuan kawasan hutan.
Tata Hutan dan Pen5rusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan a. Pen5rusunan rencana pengelolaan hutan yaitu penetapan rencana pengelolaan hutan ^jangka pendek. b. Pemanfaatan hutan. c. Pengolahan hasil hutan yang meliputi:
pemberian pengolahan hasil hutan skala menengah dan perubahannya; dan
pemberian pengolahan hasil hutan skala kecil dan perubahannya.
Perlindungan Hutan a. Pelaksanaan perlindungan hutan produksi. b. Pelaksarlaan perlindungan hutan lindung. c. Pelaksanaan perlindungan hutan pada areal di luar kawasan hutan yang tidak dibebani perizinan berusaha.
Pengelolaan Hutan a. Penyelenggaraan tata hutan. b. Penyelenggaraan rencana pengelolaan hutan. c. Penyelenggaraan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. d. Penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan. e. Penyelenggaraan perlindungan hutan. f. Penyelenggaraan pengolahan dan penatausahaan hasil hutan. g. Penyelenggaraan pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK). h. Pelaksanaan tata hutan kesatuan pengelolaan hutan Ibu Kota Nusantara. i. Pelaksanaan rencana pengelolaan kesatuan pengelolaan hutan Ibu Kota Nusantara. j. Pelaksanaan pemanfaatan hutan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang meliputi:
pemanfaatan kawasan hutan;
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu;
pemungutan hasil hutan; dan
pemanfaatan jasa lingkungan kecuali pemanfaatan penyimpanan dan/atau penyerapan karbon. k. Pelaksanaan perlindungan hutan di hutan lindung dan hutan produksi. 1. Pelaksanaan pengolahan hasil hutan bukan kayu. m. Pelaksanaan pengolahan hasil hutan kayu. n. Pelaksanaan pengelolaan KHDTK untuk kepentingan religi. o. Pemberian perizinan berusaha pemanfaatan hutan. p. Pemberian perizinan berusaha pengolahan hasil hutan. q. Pengelolaan perhutanan sosial. r. Penyelenggara€rn penegakan hukum kehutanan. s. Penyidikan tindak pidana kehutanan. t. Persetujuan pengelolaan perhutanan sosial. u. Pengenaan sanksi administratif. 6 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya a. Penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. b. Penyelenggaraan konsenrasi tumbuhan dan satwa liar. c. Penyelenggaraan pemanfaatan secara lestari kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam.
Penyelenggaraan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar (lembaga konservasi, penangkaran, dan peredaran). e. Pelaksanaan perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. f. Pelaksanaan perlindungan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan/atau tidak masuk dalam Appendix of Conuention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). g. Pelaksanaan pengelolaan kawasan bernilai ekosistem penting dan daerah penyangga kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. h. Penyelenggaraan perencanaan kawasan konservasi. i. Penetapan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. j. Pemberian perizinan pemanfaatan jasa lingkungan hutan konservasi. k. Pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. 1. Pemberian peruinan/persetujuan konservasi eksitu. m. Penyelenggaraan kerja sama konservasi. n. Pengelolaan taman hutan raya. o. Pemberian perizinan berusaha pada taman hutan raya. 7 Pendidikan dan Pelatihan, Pen5ruluhan dan Pemberdayaan Masyarakat a. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan serta kehutanan. b. Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan. c. PemberdayaarL masyarakat di bidang kehutanan. pendidikan menengah 8 Pengelolaan DAS Pelaksanaan pengelolaan DAS. 9 Pengawasan Kehutanan Penyelenggaraan pengawasan penataan terhadap pelaksanaan kegiatan yang izinlpersetujuannya diterbitkan oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara.
Perbenihan Tanaman Hutan Pemberian perizinan berusaha pengadaan dan pengedaran benih dan bibit yang dimohon oleh pelaku usaha perorangan atau nonperorangan. BB. BIDANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 1 Geologi a. Inventarisasi dan pemantauan kondisi air tanah. b. Penerbitan perizinan berrrsaha atau persetujuan penggunaan sumber daya air berupa air tanah. c. Pengendalian, pengawasan, dan pembinaan kegiatan penggunaan dan pengusahaan air tanah. d. Inventarisasi keragaman geologi (geodiuersitg), pengasulan penetapan warisan geologi (geolrcitage), dan pemanfaatan situs warisan geologi (geolrcritage). e. Pengusulan penetapan dan pengelolaan taman bumi (geoparkl nasional. f. Penyelidikan geologi lingkungan untuk kawasan lindung geologi. g. Peringatan dini potensi gerakan tanah. h. Penyiapan data geologi dan pen5rusunan peta kawasan rawan bencana detail (skala >25.000) untuk penetapan kawasan rawan bencana geologi. 2 Energi Baru Terbarukan a. Penerbitan izin pemanfaatan langsung panas bumi. b. Pengelolaan penyediaan biomassa dan/atau biogas. c. Pengelolaan pemanfaatan biomassa dan/atau biogas sebagai bahan bakar.
Pengelolaan aneka energi baru terbarukan berupa sinar matahari, angin, aliran dan terjunan air, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, dan hidrogen sebagai energi listrik dan bahan bakar. e. Penerbitan izin usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain dengan kapasitas penyediaan sampai dengan 10.000 (sepuluh ribu) ton/tahun. f. Pembinaan dan pengawasan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuet) sebagai bahan bakar lain dengan kapasitas penyediaan sampai dengan 10.000 (sepuluh ribu) ton/tahun. g. Pengelolaan konservasi energi terhadap kegiatan yang izin usahanya dikeluarkan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. h. Pelaksanaan konservasi energi pada fasilitas yang dikelola oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. i. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan konservasi energi yang dilakukan oleh pemangku kepentingan. 3 Ketenagalistrikan a. Persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa ^jaringan tenaga listrik, rencana usaha penyediaan tenaga listrik, penjualan kelebihan tenaga listrik dari pemegangizin yang ditetapkan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. b. Pelayanan perizinan berrrsaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum yang:
usaha penyediaan tenaga listriknya memiliki wilayah usaha namun tidak memiliki usaha pembangkitan tenaga listrik;
memiliki fasilitas instalasi dalam Ibu Kota Nusantara; dan f atau 3) menjual tenaga listrik dan/atau menyewakan ^jaringan tenaga listrik kepada pemegang pefizinan berusaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum yang ditetapkan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. c. Pelayanan perizinan berusaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri yang:
memiliki fasilitas instalasi dalam lbu Kota Nusantara; 2l berada di wilayah sampai dengan 12 (dua belas) mil laut; dan/atau
pembangkitan dengan kapasitas sampai dengan 10 (sepul: uhl Mega Watt.
Pelayanan perizinan berusaha usaha jasa penunjang tenaga listrik yang dilakukan oleh BUMN, penanam modal dalam negeri, koperasi atau badan usaha di Ibu Kota Nusantara, dan badan usaha jasa konsultasi dalam bidang instalasi tenaga listrik, pembangunan dan pemasangErn instalasi tenaga listrik, pengoperasian instalasi tenaga listrik, pemeliharaan instalasi tenaga listrik, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan. e. Penyediaan dana untuk kelompok masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik belum berkembang, daerah terpencil, dan perdesaan. CC. BIDANG PERDAGANGAN 1 Penzinan dan Pendaftaran Perusahaan a. Pemeriksaan fasilitas penyimpanan bahan berbahaya dan pengawasan distribusi, pengemasan, dan pelabelan bahan. b. Penerbitan surat keterangan asal (apabila telah ditetapkan sebagai instansi penerbit surat keterangan asal).
Penerbitan izin usaha untuk:
perantara perdagangan properti;
penjualan langsung;
penvakilan perulsahaan perdagangan asing;
usaha perdagangan yang di dalamnya terdapat modal asing;
^jasa survei dan ^jasa lainnya di bidang perdagangan tertentu; dan
pendaftaran agen dan/atau distributor. d. Penerbitan surat izin usaha perdagangan minuman beralkohol (SIUP-MB) toko bebas bea dan penerbitan SIUP-MB bagi distributor, pengecer, dan penjual langsung minum di tempat. e. Penerbitan surat izin usaha perdagangan bahan berbahaya distributor terdaftar, pembinaan terhadap importir produsen bahan berbahaya, importir terdaftar bahan berbahaya, distributor terdaftar bahan berbahaya, dan produsen terdaftar bahan berbahaya, dan pengawasan distribusi pengemasan dan pelabelan bahan berbahaya. f. Penerbitan surat izin usaha perdagangan bahan berbahaya pengecer terdaftar, pemeriksaan sarana distribusi bahan berbahaya, dan pengawasan distribusi, pengemasan, dan pelabelan bahan berbahaya.
Penerbitan izin pengelolaan pasar ralgrat, pusat perbelanjaan, dan izin usaha toko swalayan. h. Penerbitan tanda daftar gudang dan surat keterangan penyimpanan barang (SKPB). i. Penerbitan surat tanda pendaftaran waralaba (STPW) untuk kegiatan waralaba. 2 Sarana Distribusi Perdagangan a. Pembangunan dan pengelolaan pusat distribusi perdagangan. b. Pembangunan dan pengelolaan sarana distribusi perdagangan. c. Pembinaan terhadap pengelola sarana distribusi perdagangan masyarakat. d. Pemasaran produk hasil industri di dalam negeri. 3 Stabilisasi Harga Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting a. Menjamin ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting. b. Pemantauan harga dan informasi ketersediaan stok barang kebutuhan pokok dan barang penting. c. Melakukan operasi pasar dalam rangka stabilisasi harga pangzrn pokok. d. Pengawasan pupuk dan pestisida dalam melakukan pelaksanaan pengadaan, penyaluran, dan penggunaan pupuk bersubsidi. 4 Pengembangan Ekspor a. Penyelenggarazrn promosi dagang melalui pameran dagang internasional, pameran dagang nasional, dan pameran dagang lokal, serta misi dagang bagi produk ekspor unggulan.
Penyelenggaraan kampanye pencitraan produk ekspor skala nasional dan internasional.
Standardisasi, Perlindungan Konsumen, dan Pengawasan Kegiatan Perdagangan a. Pengujian mutu barang dan pemantauan mutu produk potensial. b. Pelaksanaan perlindungan konsumen dan pengawasan barang beredar dan/atau jasa. c. Pelaksanaan metrologi legal berupa tera, tera ulang, dan pengawasan, serta edukasi di bidang metrologi legal. d. Pelaksanaan pengawasan kegiatan perdagangan. DD. BIDANGPERINDUSTRIAN 1 Penyelenggaraan Bidang Perindustrian a. Penyelenggara€rn urusan pemerintahan di bidang perindustrian. b. Pemberian kemudahan untuk mendapatkan bahan baku dan/atau bahan penolong, dan jaminan penyaluran bahan baku dan/atau bahan penolong bagi perusahaan industri. 2 Perencanaan Industri Pen5rusunan dan penetapan rencana pembangunan industri Ibu Kota Nusantara. 3 Perwilayahan Industri a. Pen5rusunan dan penetapan kawasan peruntukan industri. b. Perencanaan, penyediaan infrastruktur, kemudahan dalam perolehan/ pembebasan lahan, pelayanan terpadu satu pintu, pemberian insentif dan kemudahan lainnya, penataan industri dan pengawasan pembangunan kawasan industri. c. Pelaksanaan pengelolaan kawasan industri. 4 Penerbita n P erizinan Berusaha Penerbitan izin usaha industri dan bin usaha kawasan industri.
Pembangunan Sumber Daya Industri a. Sumber daya manusia (SDM) industri, meliputi:
pelaksanaan pembangunan wirausaha industri;
pelaksanaan pembangunan tenaga kerja industri;
pelaksanaan pembangunan pembina industri; dan
pelaksanaan penyediaan konsultan industri. b. Sumber daya alam (SDA) industri, yaitu pelaksanaan penjaminan dan penyaluran sumber daya alam untuk industri.
Teknologi industri meliputi:
peningkatan penguasaan dan pengoptimalan pemanfaatan teknologi industri; 2l promosi alih teknologi; dan
fasilitasi pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat dalam pembangunan industri.
Pembiayaan Industri Fasilitasi ketersediaan pembiayaan yang kompetitif untuk pembangunan industri yang diberikan kepada perusahaan industri yang berbentuk BUMN atau perusahaan industri swasta. 7 Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri a. Pemberian fasilitasi nonfiskal untuk industri kecil dan menengah (IKM) yang menerapkan standar nasional Indonesia (SNI), spesifikasi teknis (ST) dan/atau pedoman tata cara (PTC) yang diberlakukan secara wajib. b. Penyediaan, peningkatan, dan pengembangan sarana prasarana laboratorium pengujian standardisasi industri di wilayah pusat pertumbuhan industri untuk kelancaran pemberlakuan SNI, ST dan/atau PTC. c. Terkait Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) yang meliputi:
memperoleh akses data industri, data kawasan industri, dan data lainnya Yans terdapat di dalam SIINas: dan asistensi kewajiban pelaporan perusahaan industri dan perrrsahaan kawasan industri melalui SIINas; dan
melaporkan informasi industri dan informasi lain. 2l melaksanakan sosialisasi 8. Pemberdayaan Industri a. Pembangunan dan pemberdayaan industri kecil dan industri menengah melalui pelaksana€rn penguatan kapasitas kelembagaan dan pemberian fasilitas. b. Pengawasan pelaksanaan industri hijau. c. Pelaksanaan pengawasan penggunaan produk dalam negeri. 9 Keda Sama Internasional Pelaksanaan kerja sama internasional di bidang industri 10 Tindakan Pengamanan Penyelamatan Industri dan Pengusulan kebdakan pengamanan industri kepada Presiden akibat adanya kebijakan dan regulasi yang merugikan. 11 Penanaman Modal Bidang Industri Pelaksanaan kebijakan penanarnan modal di bidang industri. t2. Pengawasan dan Pengendalian Kegiatan Usaha Industri dan Kegiatan Usaha Kawasan Industri Keterlibatan dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha industri dan kegiatan usaha kawasan industri. EE. BIDANGTRANSMIGRASI . irl. rl i., : t{,-o; i, 1 Pembinaan Kawasan Transmigrasi Pembinaan satuan pennukiman pada tahap pemantapan dan tahap kemandirian kawasan transmigrasi.
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Subbagian Hukum Sumber Daya Manusia mempunyai tugas melakukan peneli tian / penelaahan legal drafting rancangan peraturan perundang-undangan yang bersifat pengaturan atau penetapan berikut pemrosesannya dan penelitian/penelaahan aspek yuridis masalah hukum dan/atau pemberian pertimbangan hukum dalam rangka penyelesaian masalah hukum, yang terkait dengan bidang sumber daya manusia termasuk permasalahan pemberian hak keuangan dan fasili tas di lingkungan Kernen terian Keuangan, kinerja dan risiko, perencanaan strategis, serta kasus tuntutan ganti rug1 pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan dan penggantian biaya pendidikan bagi mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN.
Subbagian Hukum Organisasi, Ketatalaksanaan, dan Pengawasan Internal mempunyai tugas melakukan penelitian/ penelaahan legal drafting rancangan peraturan perundang-undangan yang bersifat pengaturan atau penetapan berikut pemrosesannya dan penelitian/penelaahan aspek yuridis masalah hukum dan/atau pemberian pertimbangan hukum dalam rangka penyelesaian masalah hukum di bidang organisasi termasuk regulasi jabatan fungsional di lingkungan Kementerian Keuangan, ketatalaksanaan, dan pengawasan internal terkait tugas dan fungsi Kementerian Keuangan.
Subbagian Hukum Teknologi Informasi Keuangan dan Komunikasi mempunyai tugas melakukan penelitian/penelaahan legal drafting rancangan peraturan perundang-undangan yang bersifat pengaturan atau penetapan berikut pemrosesannya dan penelitian/penelaahan aspek yuridis masalah hukum dan/atau pemberian pertimbangan hukum dalam rangka penyelesaian masalah hukum di bidang teknologi informasi keuangan, kearsipan, komunikasi dan layanan informasi termasuk pengoordinasian penyiapan analisis dalam rangka strategi komunikasi atas regulasi/kebijakan yang bersifat strategis sebagai bagian dalam penelaahan atas rancangan peraturan perundang-undangan yang mempunyai dampak terhadap masyarakat luas, dan pendidikan dan pelatihan terkait tugas dan fungsi Kementerian Keuangan, serta melakukan tugas sebagai Unit Pembina Internal Jabatan Fungsional (UPIJF) yang digunakan dan/atau pembinaannya dilakukan oleh Sekretariat Jenderal c.q. Biro Hukum sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan mengenai pembinaan jabatan fungsional di lingkungan Kementerian Keuangan.
Seksi Penerimaan Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi I, Seksi Penerimaan Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi II, Seksi Penerimaan Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi III, dan Seksi Penerimaan Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi IV masing-masing mempunyai tugas melakukan analisis dan pelaksanaan kebijakan, melakukan perumusan bahan norma, standar, pedoman, dan kriteria di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor hulu minyak dan gas bumi, melakukan penyusunan target, proyeksi (outlook), dan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor hulu minyak dan gas bumi serta kewajiban pemerintah sektor hulu minyak dan gas bumi, melakukan penelitian, verifikasi, dan validasi penenmaan dan penyelesaian kewajiban Pemerintah sektor hulu minyak dan gas bumi, melakukan penghitungan dan penyiapan usulan pemindahbukuan dan penyusunan laporan keuangan Bendahara Umum Negara Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor hulu minyak dan gas bumi, melakukan pemantauan atas pengendalian biaya operasi kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi oleh mitra, melakukan bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor hulu minyak dan gas bumi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Anggaran.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338, Subdirektorat Penerimaan Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi menyelenggarakan fungsi:
penyiapan bahan perumusan norma, standar, pedoman, dan kriteria Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor hulu minyak dan gas bumi;
penyiapan bahan analisis dan pelaksanaan kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor hulu minyak dan gas bumi;
penyiapan bahan penyusunan proyeksi (outlook) dan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor hulu minyak dan gas bumi;
peny1apan bahan penyusunan target dan realisasi penenmaan sektor hulu minyak dan gas bumi dan kewajiban pemerintah sektor hulu minyak dan gas bumi;
penyiapan bahan penyusunan target Penerimaan Negara Bukan Pajak dan penerimaan pajak penghasilan sektor hulu minyak dan gas bumi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja N egara-Perubahan;
penyiapan bahan verifikasi penatausahaan pelaporan dan penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor hulu minyak dan gas bumi;
penyiapan bahan penelitian, verifikasi, dan validasi penerimaan serta penyelesaian kewajiban Pemerintah sektor hulu minyak dan gas bumi dengan mitra;
peny1apan kewajiban gas bumi; bahan pemrosesan pemerin tah sektor usulan penyelesaian hulu minyak dan 1. penyiapan bahan analisis, penghitungan, dan usulan pemindahbukuan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor hulu minyak dan gas bumi; J. penyiapan bahan penatausahaan, pembukuan, dan penyusunan laporan keuangan Bendahara Umum Negara Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor hulu minyak dan gas bumi;
penyiapan bahan bimbingan teknis pelaksanaan kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor hulu minyak dan gas bumi;
penyiapan bahan pemantauan dan koordinasi atas tindak lanjut hasil pemeriksaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan; dan
penyiapan bahan pemantauan atas pengendalian biaya operasi kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi oleh mitra.
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/ata ...
Relevan terhadap
Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berupa:
pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah nilai Penanaman Modal berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah, yang digunakan untuk Kegiatan Usaha Utama, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) pertahun;
penyusutan yang dipercepat atas aktiva tetap berwujud dan amortisasi yang dipercepat atas aktiva tak berwujud yang diperoleh dalam rangka Penanaman Modal, dengan masa manfaat dan tarif penyusutan serta tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
untuk penyusutan yang dipercepat atas aktiva tetap berwujud: a) bukan bangunan Kelompok I, masa manfaat menjadi 2 (dua) tahun, dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 50% (lima puluh persen) atau tarif penyusutan berdasarkan metode saldo menurun sebesar 100% (seratus persen) yang dibebankan sekaligus; b) bukan bangunan Kelompok II, masa manfaat menjadi 4 (empat) tahun, dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau tarif penyusutan berdasarkan metode saldo menurun sebesar 50% (lima puluh persen); c) bukan bangunan Kelompok III, masa manfaat menjadi 8 (delapan) tahun, dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen) atau tarif penyusutan berdasarkan metode saldo menurun sebesar 25% (dua puluh lima persen); d) bukan bangunan Kelompok IV, masa manfaat menjadi 10 (sepuluh) tahun, dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 10% (sepuluh persen) atau tarif penyusutan berdasarkan metode saldo menurun sebesar 20% (dua puluh persen); e) bangunan permanen, masa manfaat menjadi 10 (sepuluh) tahun, dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 10% (sepuluh persen); f) bangunan tidak permanen, masa manfaat menjadi 5 (lima) tahun, dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 20% (dua puluh persen).
untuk amortisasi yang dipercepat atas aktiva tak berwujud: a) Kelompok I, masa manfaat menjadi 2 (dua) tahun, dengan tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus sebesar 50% (lima puluh persen) atau tarif amortisasi berdasarkan metode saldo menurun sebesar 100% (seratus persen) yang dibebankan sekaligus; b) Kelompok II, masa manfaat menjadi 4 (empat) tahun, dengan tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau tarif amortisasi berdasarkan metode saldo menurun sebesar 50% (lima puluh persen); c) Kelompok III, masa manfaat menjadi 8 (delapan) tahun, dengan tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen) atau tarif amortisasi berdasarkan metode saldo menurun sebesar 25% (dua puluh lima persen); d) Kelompok IV, masa manfaat menjadi 10 (sepuluh) tahun, dengan tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus sebesar 10% (sepuluh persen) atau tarif amortisasi berdasarkan metode saldo menurun sebesar 20% (dua puluh persen).
pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut perjanjian penghindaran pajak berganda yang berlaku; dan
kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
tambahan 1 (satu) tahun untuk Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dilakukan Wajib Pajak;
tambahan 1 (satu) tahun apabila Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan di kawasan industri dan/atau kawasan berikat;
tambahan 1 (satu) tahun apabila Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan pada bidang energi baru dan terbarukan;
tambahan 1 (satu) tahun apabila mengeluarkan biaya untuk infrastruktur ekonomi dan/atau sosial di lokasi usaha paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
tambahan 1 (satu) tahun apabila menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) paling lambat tahun pajak ke-2 (kedua);
tambahan 1 (satu) tahun atau 2 (dua) tahun: a) tambahan 1 (satu) tahun apabila menambah paling sedikit 300 (tiga ratus) orang tenaga kerja Indonesia dan mempertahankan jumlah tersebut selama 4 (empat) tahun berturut-turut; atau b) tambahan 2 (dua) tahun apabila menambah paling sedikit 600 (enam ratus) orang tenaga kerja Indonesia dan mempertahankan jumlah tersebut selama 4 (empat) tahun berturut-turut;
tambahan 2 (dua) tahun apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah Penanaman Modal dalam jangka waktu 5 (lima) tahun; dan/atau
tambahan 2 (dua) tahun apabila melakukan ekspor paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari nilai total penjualan dalam suatu tahun pajak, untuk Penanaman Modal pada bidang usaha yang diatur dalam Pasal 2 huruf a yang dilakukan di luar kawasan berikat.
Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada aktiva tetap berwujud, dan/atau aktiva tak berwujud yang dimiliki dan digunakan untuk Kegiatan Usaha Utama.
Dalam hal Wajib Pajak memenuhi sebagian atau seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Wajib Pajak dimaksud dapat memperoleh tambahan jangka waktu kompensasi kerugian paling lama untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung ...
Relevan terhadap
Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PEMBERIAN PENJAMINAN PEMERINTAH UNTUK PERCEPATAN PENYELENGGARAAN PRASARANA DAN SARANA KERETA CEPAT ANTARA JAKARTA DAN BANDUNG. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Penjaminan Pemerintah adalah penjaminan yang diberikan untuk dan atas nama pemerintah oleh menteri keuangan baik secara langsung atau secara bersama dengan badan usaha penjaminan infrastruktur yang ditunjuk sebagai penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial terjamin kepada penerima jaminan dalam rangka percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. 2. Komite Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung yang selanjutnya disebut Komite adalah komite yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden mengenai percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. 3. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang selanjutnya disingkat PT KAI adalah Perusahaan Perseroan (Persero) yang mendapatkan penugasan dari Pemerintah sebagai pimpinan konsorsium badan usaha milik negara dalam rangka percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden mengenai percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. 5. Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. 6. Pinjaman PT KAI yang selanjutnya disebut Pinjaman adalah setiap pembiayaan dari kreditur berupa sejumlah uang atau jdih.kemenkeu.go.id tagihan yang dipersamakan dengan itu yang menimbulkan kewajiban finansial berdasarkan Perjanjian Pinjaman. 7. Kreditur adalah lembaga keuangan internasional dan/atau domestik yang memberikan fasilitas Pinjaman kepada PT KAI dalam rangka pendanaan kenaikan dan/atau perubahan biaya ( cost overrun) proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. 8. Perjanjian Pinjaman adalah perjanjian yang dibuat antara PT KAI dan Kreditur dalam rangka memperoleh Pinjaman untuk pendanaan kenaikan dan/atau perubahan biaya (cost overrun) proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. 9. Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur yang selanjutnya disingkat BUPI adalah PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero). 10. Penjamin adalah Pemerintah atau Pemerintah bersama BUPI. 11. Perno hon J aminan adalah PT KAI yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan Penjaminan Pemerintah. 12. Terjamin adalah PT KAI yang mendapatkan Penjaminan Pemerintah. 13. Penerima Jaminan adalah Kreditur. 14. Imbal Jasa Penjaminan yang selanjutnya disingkat IJP adalah sejumlah uang yang diterima oleh BUPI dalam rangka kegiatan penjaminan. 15. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 16. Regres adalah hak Penjamin untuk menagih Terjamin atas apa yang telah dibayarkan oleh Penjamin kepada Penerima Jaminan untuk memenuhi kewajiban Terjamin tersebut. 17. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari pengguna anggaran untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada bendahara umum negara. 18. Batas Maksimal Penjaminan adalah nilai maksimal yang diperkenankan dalam penerbitan penjaminan terhadap Pinjaman yang diusulkan untuk memperoleh penjaminan pada tahun tertentu. 19. First Loss adalah besaran porsi penjaminan dari BUPI yang mendapat penugasan untuk melakukan Penjaminan Pemerintah. Pasal 2 Penjaminan Pemerintah untuk percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung dalam Peraturan Menteri ini disediakan dalam rangka memperoleh pendanaan atas kenaikan dan/atau perubahan biaya (cost overrun) sesuai dengan hasil keputusan Komite. Pasal 3 Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan dengan mempertimbangkan prinsip sebagai berikut:
kemampuan keuangan negara; jdih.kemenkeu.go.id b. kesinambungan fiskal; dan
pengelolaan risiko fiskal. Pasal 4 (1) Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan atas keseluruhan dari kewajiban finansial PT KAI terhadap Kreditur berdasarkan Perjanjian Pinjaman. (2) Kewajiban finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
pokok Pinjaman;
bunga Pinjaman; dan/atau
biaya lain yang timbul, sehubungan dengan Perjanjian Pinjaman. BAB II TATA CARA PENJAMINAN PEMERINTAH Bagian Kesatu Permohonan Jaminan Pasal 5 (1) Pemohon Jaminan mengajukan permohonan Penjaminan Pemerintah kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (2) Permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan setelah adanya keputusan Komite. (3) Permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat keterangan minimal:
keputusan Komite mengenai pemberian dukungan berupa Penjaminan Pemerintah kepada PT KAI untuk mengatasi masalah kenaikan dan/atau perubahan biaya (cost overrun) proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung;
alasan diperlukannya Penjaminan Pemerintah;
nilai Pinjaman yang akan dijamin oleh Pemerintah;
calon Kreditur; dan
pernyataan mengenai kebenaran atas segala informasi, keterangan, dan/atau pernyataan yang termuat dalam dokumen permohonan Penjaminan Pemerintah. (4) Permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dengan melampirkan minimal:
surat keputusan Komite mengenai pemberian dukungan berupa Penjaminan Pemerintah kepada PT KAI untuk mengatasi masalah kenaikan dan/ a tau perubahan biaya ( cost overrun) proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung;
surat pernyataan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara, yang memuat:
persetujuan penerimaan Pinjaman dengan Penjaminan Pemerintah; dan jdih.kemenkeu.go.id 2. pernyataan mengenai kemampuan keuangan dan kemampuan bayar PT KAI atas kewajiban finansial yang timbul dari proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung;
surat pernyataan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan yang menyatakan dukungan kepada PT KAI terkait kebijakan sektor perkeretaapian;
rencana peruntukan pendanaan melalui Pinjaman;
rancangan final Perjanjian Pinjaman;
profil calon Kreditur;
surat yang disampaikan oleh calon Kreditur yang memuat harga Pinjaman serta syarat dan ketentuan (terms and conditions) Pinjaman;
rencana sumber dana pelunasan Pinjaman;
laporan keuangan 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit oleh auditor independen;
proyeksi keuangan PT KAI sampa1 dengan masa Pinjaman berakhir;
proyeksi keuangan proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung;
rancangan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar;
persetujuan organ perusahaan Pemohon Jaminan sesuai dengan anggaran dasar mengena1 rencana Pinjaman; dan
surat pertanggungjawaban mutlak atas kesesuaian penggunaan Pinjaman yang ditandatangani oleh direktur utama PT KAI. Bagian Kedua Evaluasi Permohonan Jaminan Pasal 6 (1) Terhadap permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan evaluasi oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dengan berkoordinasi dengan unit terkait lainnya di lingkungan Kementerian Keuangan. (2) Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara melakukan evaluasi atas permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan BUPI. (3) Dalam melakukan evaluasi bersama dengan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dapat meminta konfirmasi kapasitas penjaminan BUPI. (4) BUPI menyampaikan konfirmasi atas kapasitas penjaminan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya permintaan konfirmasi dari Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara. (5) Evaluasi dilakukan sejak permohonan Penjaminan Pemerintah dan seluruh lampiran yang menjadi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) jdih.kemenkeu.go.id dan ayat (4), telah diterima secara lengkap dan benar oleh Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara. (6) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
memeriksa kelengkapan dokumen dan informasi yang tersedia dalam permohonan Penjaminan Pemerintah beserta seluruh lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
memverifikasi atas kesesuaian dokumen permohonan Penjaminan Pemerintah dengan hasil keputusan Komite; dan
memverifikasi terhadap syarat dan ketentuan (tenns and conditions) di dalam rancangan final Perjanjian Pinjaman. (7) Dalam hal Komite menetapkan persetujuan atas syarat dan ketentuan (tenns and conditions) Pinjaman di dalam surat keputusan Komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf a, Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara menggunakan keputusan Komite tersebut untuk memverifikasi kesesuaian terhadap syarat dan ketentuan (tenns and conditions) di dalam rancangan final Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c. (8) Dalam hal Komite tidak menetapkan persetujuan atas syarat dan ketentuan (tenns and conditions) Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara menggunakan pinjaman Pemerintah dan/atau pinjaman badan usaha milik negara yang mendapatkan penjaminan Pemerintah sebagai pembanding untuk menilai kewajaran syarat dan ketentuan (tenns and conditions) Pinjaman yang dijamin. (9) Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara mempertimbangkan Batas Maksimal Penjaminan. (10) Dalam rangka pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dapat meminta keterangan atau penjelasan dari Pemohon Jaminan. (11) Hasil evaluasi atas permohonan Penjaminan Pemerintah dituangkan dalam berita acara evaluasi dan dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (12) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (11), Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko menyampaikan rekomendasi kepada Menteri mengenai:
penerbitan persetujuan atas syarat dan ketentuan (tenns and conditions) Perjanjian Pinjaman; dan
usulan pihak yang akan melakukan penjaminan, dengan mempertimbangkan konfirmasi atas kapasitas penjaminan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (13) Usulan pihak yang akan melakukan penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (12) huruf b terdiri atas:
Pemerintah bersama dengan BUPI; atau
Pemerintah. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 7 (1) Dalam hal usulan pihak yang akan melakukan penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (13) huruf a disetujui Menteri, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko atas nama Menteri menetapkan keputusan Menteri mengenai penugasan kepada BUPI untuk melakukan penjaminan bersama dengan Pemerintah. (2) Penugasan kepada BUPI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan berdasarkan hasil analisis yang menunjukkan bahwa:
penugasan kepada BUPI untuk melakukan penjaminan dapat memberikan manfaat fiskal; dan
BUPI memiliki kapasitas untuk memberikan porsi jaminan yang akan ditugaskan. (3) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat minimal sebagai berikut:
nama Pemohon Jaminan selaku Terjamin;
nama Kreditur yang akan menerima penjaminan;
porsi yang ditanggung oleh BUPI sebagai First _Loss; _ dan d. hak BUPI untuk mendapatkan IJP yang dibayar oleh Terjamin. (4) Penentuan porsi yang ditanggung oleh BUPI dilakukan berdasarkan analisis kapasitas penjaminan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. Bagian Ketiga Persetujuan Syarat dan Ketentuan (terms and conditions) Perjanjian Pinjaman Pasal 8 (1) Persetujuan atas syarat dan ketentuan (terms and conditions) Perjanjian Pinjaman diterbitkan oleh Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam bentuk surat yang ditujukan kepada PT KAI berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (12). (2) Persetujuan atas syarat dan ketentuan (terms and conditions) Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki kekuatan hukum apapun yang mengikat Menteri untuk menerbitkan Penjaminan Pemerintah, sebelum dilakukan penelaahan terhadap rancangan final Perjanjian Pinjaman. (3) Persetujuan atas syarat dan ketentuan (terms and conditions) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada Pemohon Jaminan untuk dilakukan penandatanganan Perjanjian Pinjaman. Bagian Keempat Penerbitan Jaminan Pasal 9 (1) Pemohon Jaminan menyampaikan permohonan penerbitan dokumen penjaminan atas Penjaminan Pemerintah kepada Menteri dalam hal ini Direktur jdih.kemenkeu.go.id Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dengan melampirkan:
Perjanjian Pinjaman yang telah ditandatangani; dan
dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar. (2) Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara melakukan penelaahan untuk melihat kesesuaian antara syarat dan ketentuan (terms and conditions) Perjanjian Pinjaman yang telah ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan syarat dan ketentuan (terms and conditions) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), berkoordinasi dengan unit terkait di lingkungan Kementerian Keuangan. (3) Dalam melakukan penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dapat melibatkan BUPI. (4) Dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat ketentuan minimal mengenai:
peta risiko gagal bayar;
langkah-langkah mitigasi risiko gagal bayar; dan
upaya terbaik Terjamin untuk memenuhi pembayaran Pinjaman. (5) Dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilampiri surat pernyataan yang ditandatangani oleh direksi Terjamin mengenai kesanggupan Terjamin untuk:
melakukan pemantauan terhadap risiko gagal bayar bersama dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dan/atau BUPI; dan
menandatangani perjanjian penyelesaian Regres dan membayar utang Regres kepada BUPI dan/atau Pemerintah. Pasal 10 (1) Dalam hal syarat dan ketentuan (terms and conditions) dalam Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a telah sesuai dengan persetujuan syarat dan ketentuan (terms and conditions) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), diterbitkan dokumen penjaminan (2) Dokumen penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
surat jaminan; atau
perjanjian jaminan, sesuai dengan kesepakatan antara Penjamin dan Penerima Jaminan. (3) Dalam hal penerbitan dokumen penjaminan berbentuk surat jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan ketentuan:
surat jaminan ditandatangani oleh Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, yang ditujukan kepada wakil yang sah dari Penerima Jaminan; atau
surat jaminan yang ditandatangani oleh Menteri jdih.kemenkeu.go.id dalam hal m1 Direktur J enderal Pengelolaan Pem biayaan dan Risiko bersama dengan wakil yang sah dari BUPI, yang ditujukan kepada wakil yang sah dari Penerima Jaminan. (4) Dalam hal penerbitan dokumen penjaminan berbentuk perjanjian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan:
perjanjian jaminan yang ditandatangani oleh Menteri dalam hal m1 Direktur J enderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan wakil yang sah dari Penerima Jaminan; atau
perjanjian jaminan yang ditandatangani oleh Menteri dalam hal m1 Direktur J enderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, wakil yang sah dari BUPI, dan wakil yang sah dari Penerima Jaminan. (5) Dokumen penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Terjamin. (6) Atas penerbitan dokumen penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur J enderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melaporkan kepada Menteri. (7) Penjaminan Pemerintah melalui dokumen penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara penuh (full guarantee), tanpa syarat (unconditionaij, dan tidak dapat dicabut kembali (irrevocable) serta mengikat Penjamin sesuai dengan ketentuan dalam dokumen penjaminan. (8) Penjaminan Pemerintah berlaku sejak tanggal penerbitan dokumen penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sampai dengan seluruh kewajiban finansial Terjamin kepada Kreditur berdasarkan Perjanjian Pinjaman terpenuhi. (9) Penjaminan Pemerintah serta merta berakhir atau tidak berlaku dengan berakhirnya atau tidak berlakunya Perjanjian Pinjaman. BAB III DUKUNGAN PEMERINTAH ATAS PENUGASAN BUPI Pasal 11 (1) Dalam rangka penugasan atas Penjaminan Pemerintah, Pemerintah dalam hal ini Menteri memberikan dukungan kepada BUPI berupa:
meningkatkan kredibilitas penjaminan BUPI;
menjaga kecukupan modal BUPI; dan/atau
memastikan penyelesaian piutang Regres sesua1 dengan perjanjian penyelesaian Regres, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam rangka menjaga kecukupan modal BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pemerintah dapat memberikan penyertaan modal negara. Pasal 12 (1) Dalam rangka penugasan atas Penjaminan Pemerintah, BUPI dapat mengenakan biaya atas pelaksanaan pemberian penjaminan dalam bentuk IJP kepada Terjamin sesua1 dengan mekanisme korporasi sebagaimana jdih.kemenkeu.go.id dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf d. (2) Jumlah IJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan memperhatikan:
porsi penjaminan yang ditanggung;
tingkat risiko Terjamin;
biaya yang dikeluarkan; dan
marjin yang wajar. (3) Dalam hal BUPI telah melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) namun tidak diberikan penugasan untuk melakukan Penjaminan Pemerintah, BUPI dapat mengenakan biaya jasa kepada Terjamin atas pelaksanaan evaluasi penjaminan, yang diperhitungkan terhadap biaya yang dikeluarkan dalam rangka evaluasi dan marjin yang wajar. BAB IV PENYELESAIAN AKIBAT PELAKSANAAN PENJAMINAN PEMERINTAH Bagian Kesatu Klaim atas Penjaminan Pemerintah Pasal 13 (1) Klaim Penjaminan Pemerintah dilaksanakan dalam hal Terjamin selaku penerima Pinjaman berada dalam keadaan tidak mampu untuk memenuhi kewajiban finansial kepada Penerima Jaminan berdasarkan Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). (2) Terjamin menyampaikan pemberitahuan kepada BUPI atas keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pemberitahuan kepada BUPI mengenai keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditembuskan kepada Penerima J aminan atas keadaan se bagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari sebelum kewajiban finansial berdasarkan Perjanjian Pinjaman jatuh tempo. (4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditembuskan pula kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko oleh Terjamin. Pasal 14 (1) Berdasarkan keadaan tidak mampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Penerima J aminan menyampaikan pengajuan klaim atas Penjaminan Pemerintah secara tertulis kepada BUPI dan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, dengan tembusan kepada direksi Terjamin. (2) Pengajuan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Penerima Jaminan setelah Terjamin tidak memenuhi kewajiban finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) pada tanggaljatuh tempo. (3) Pengajuan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat keterangan minimal sebagai berikut: jdih.kemenkeu.go.id a. ketidakmampuan Terjamin untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan Perjanjian Pinjaman;
kewajiban Pemerintah selaku Penjamin untuk membayar kepada Penerima Jaminan berdasarkan dokumen penjaminan;
jumlah kewajiban sebagaimana dimaksud pada hurufa;dan d. tujuan pembayaran yang terdiri atas nama dan nomor rekening Penerima Jaminan. (4) Pengajuan klaim atas penjaminan Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dengan melampirkan dokumen sebagai berikut:
Perjanjian Pinjaman;
salinan dokumen penjaminan;
rincian kewajiban yang harus dipenuhi oleh Penjamin; dan
rincian Pinjaman. Pasal 15 (1) BUPI melakukan verifikasi terhadap klaim atas Penjaminan Pemerintah yang diajukan oleh Penerima Jaminan baik untuk porsi BUPI maupun Pemerintah. (2) Dalam rangka melaksanakan verifikasi terhadap klaim atas Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUPI dapat berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan pihak lain terkait. (3) Untuk keperluan verifikasi terhadap klaim atas Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUPI dapat meminta Terjamin untuk menyampaikan surat pernyataan mengenai tidak adanya keberatan dan/atau perselisihan apapun mengenai jumlah klaim yang diajukan. (4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Terjamin dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permintaan tersebut disampaikan. (5) Verifikasi terhadap klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memastikan:
kesesuaian antara jumlah klaim dengan jumlah kewajiban berdasarkan Perjanjian Pinjaman yang menjadi kewajiban Terjamin berdasarkan tagihan dari Penerima J aminan;
tidak adanya keberatan dan/atau perselisihan antara Terjamin dengan Penerima Jaminan mengenai klaim dan/ataujumlah klaim yang diajukan; dan
tujuan pembayaran yang meliputi nama dan nomor rekening yang ditujukan Penerima Jaminan. (6) Hasil verifikasi terhadap klaim dituangkan dalam berita acara verifikasi yang ditandatangani oleh Terjamin, Penerima Jaminan, dan BUPI. (7) Berita acara verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan salinannya kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (8) Dalam hal hasil verifikasi menunjukkan bahwa Pemerintah perlu melakukan pembayaran klaim untuk jdih.kemenkeu.go.id porsi Pemerintah, KPA turut menandatangani berita acara verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (9) Penunjukan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengelolaan dana cadangan penjaminan untuk pelaksanaan kewajiban penjaminan Pemerintah. Pasal 16 (1) Pembayaran klaim atas Penjaminan Pemerintah dilakukan apabila hasil verifikasi menunjukkan sebagai berikut:
terdapat kesesuaian antara jumlah klaim yang diajukan oleh Penerima Jaminan kepada Penjamin dan jumlah kewajiban Terjamin yang terhutang berdasarkan Perjanjian Pinjaman; dan
tidak adanya keberatan dari Terjamin dan/atau perselisihan apapun antara Terjamin dengan Penerima Jaminan mengenai klaim dan/atau jumlah klaim yang diajukan oleh Penerima Jaminan. (2) Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUPI membayar klaim yang menjadi porsi penjaminannya kepada Penerima Jaminan. (3) Apabila jumlah klaim melebihi porsi yang ditanggung oleh BUPI sebagai First Loss, BUPI menyampaikan tagihan atas kelebihan jumlah klaim yang menjadi porsi Pemerintah kepada KPA atas kewajiban Penjaminan Pemerintah. (4) Pemerintah membayar kelebihan klaim dari porsi penjaminan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Penerima Jaminan. (5) Dalam rangka pelaksanaan pembayaran kelebihan klaim dari porsi penjaminan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah melalui Menteri dapat menggunakan dana yang bersumber dari dana cadangan penjaminan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (6) Pelaksanaan pembayaran klaim porsi Pemerintah kepada Penerima Jaminan dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengelolaan dana cadangan penjaminan untuk pelaksanaan kewajiban penjaminan Pemerintah. Bagian Kedua Pelaksanaan Regres Pasal 17 (1) Dalam hal BUPI telah melaksanakan kewajibannya selaku Penjamin kepada Penerima Jaminan berdasarkan dokumen penjaminan, Terjamin harus memenuhi Regres. (2) Pemenuhan Regres oleh Terjamin kepada BUPI se bagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan secara bertahap atau sekaligus sesuai dengan kemampuan keuangan Terjamin. (3) BUPI menyampaikan surat pemberitahuan Regres kepada Terjamin pada saat atau segera setelah Regres timbul dengan tembusan kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan jdih.kemenkeu.go.id usaha milik negara. (4) Setelah surat pemberitahuan Regres disampaikan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), BUPI dan Terjamin menuangkan kesepakatan mengenai penyelesaian Regres dengan pembayaran secara bertahap atau sekaligus ke dalam perjanjian penyelesaian Regres yang ditandatangani oleh wakil yang sah dari kedua belah pihak. (5) Dalam perjanjian penyelesaian Regres sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Terjamin menyatakan dan menyepakati minimal hal-hal sebagai berikut:
pengakuan berutang Terjamin kepada BUPI sebagai akibat dari timbulnya Regres;
jumlah utang yang wajib dibayar Terjamin kepada BUPI;
tingkat bunga;
tahapan pembayaran yang disanggupi Terjamin untuk membayar utangnya kepada BUPI hingga lunas; dan
mekanisme pembayaran yang disetujui untuk melaksanakan tahapan pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf d. (6) Kesepakatan mengenai hal-hal yang perlu diatur dalam perjanjian penyelesaian Regres sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah pembayaran klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (7) BUPI dan Terjamin yang memiliki utang Regres melaporkan kesepakatan mengenai penyelesaian utang yang dituangkan dalam perjanjian penyelesaian Regres kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara. (8) Menteri dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melakukan pemantauan terhadap penyelesaian Regres, dan melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara untuk memastikan agar penyelesaian Regres sebagaimana tertuang dalam perjanjian penyelesaian Regres dapat diselesaikan oleh Terjamin. Pasal 18 (1) Dalam hal Pemerintah melakukan pembayaran klaim Penjaminan Pemerintah kepada Penerima Jaminan atas porsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), timbul piutang dalam bentuk Regres kepada Terjamin. (2) Ketentuan mengenai penyelesaian piutang dalam bentuk Regres kepada BUPI berlaku pula secara mutatis mutandis untuk penyelesaian piutang dalam bentuk Regres kepada Pemerintah. (3) Kewenangan untuk melakukan penyelesaian piutang dalam bentuk Regres kepada Terjamin didelegasikan oleh Menteri kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. jdih.kemenkeu.go.id BABV PENGELOLAAN RISIKO Bagian Kesatu Mitigasi Risiko Pasal 19 (1) Terjamin wajib melakukan upaya terbaik untuk melakukan pengelolaan risiko terhadap kemungkinan terjadinya gagal bayar atau segala peristiwa yang mempengaruhi kemampuan Terjamin untuk memenuhi kewajiban finansial. (2) Kewajiban pengelolaan risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sesuai dengan masa berlaku Perjanjian Pinjaman. (3) Terjamin harus melakukan pembaruan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b secara berkala setiap 6 (enam) bulan. (4) Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dapat memberikan masukan kepada Terjamin mengenai rancangan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf l dan pembaruan atas dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Dalam hal BUPI mendapatkan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), BUPI turut memberikan masukan kepada Terjamin mengenai rancangan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf 1 dan pembaruan atas dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar yang telah mendapatkan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), ditandatangani oleh direksi Terjamin untuk disampaikan kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (7) Dalam hal BUPI mendapatkan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Terjamin menyampaikan tembusan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada BUPI. Bagian Kedua Pemantauan atas Pengelolaan Risiko Gagal Bayar Pasal 20 (1) Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara melakukan pemantauan terhadap pengelolaan risiko gagal bayar yang dilakukan Terjamin sesuai dengan dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6). (2) Dalam hal BUPI mendapatkan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), BUPI turut melakukan pemantauan terhadap pengelolaan risiko yang dilakukan jdih.kemenkeu.go.id (3) Terjamin sebagaimana dimaksud pada berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Pengelolaan Risiko Keuangan Negara. ayat (1), Pengelolaan Direktorat Dalam rangka pemantauan terhadap pengelolaan risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara, BUPI, dan Terjamin dapat mengadakan pertemuan secara berkala untuk membahas mengenai pelaksanaan rencana mitigasi risiko gagal bayar sebagaimana tertuang dalam dokumen rencana mitigasi risiko gagal bayar oleh Terjamin. Pasal 21 (1) Terjamin wajib membuka rekening khusus (sinking fund) sebagai mitigasi risiko terhadap Penjaminan Pemerintah. (2) Terjamin wajib menempatkan dan menjaga keutuhan dana di dalam rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal sebesar setara dengan jumlah cicilan pokok dan bunga Pinjaman yang akan jatuh tempo pada 3 (tiga) periode pembayaran kewajiban selanjutnya atas Pinjaman. (3) Dana yang ditempatkan di dalam rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari dana hasil kebijakan Pemerintah dalam rangka memperkuat keuangan PT KAI, dana internal PT KAI, dan/atau sumber dana lainnya. (4) Rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterbitkannya Penjaminan Pemerintah. (5) Dana di dalam rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat digunakan oleh Terjamin untuk membayar Pinjaman atas proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. (6) Dalam hal Terjamin menggunakan dana di dalam rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Terjamin wajib memulihkan keutuhan dana di dalam rekening khusus (sinking fund) sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak dana di dalam rekening khusus (sinking fund) digunakan. (7) Terjamin wajib memberikan akses pada rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (8) Terjamin menyampaikan pemberitahuan mengenai pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (9) Dalam hal BUPI mendapatkan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pemberian akses terhadap rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) juga dilakukan oleh Terjamin kepada BUPI. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 22 (1) Penggunaan kele bihan penyertaan modal negara kepada PT KAI yang ditujukan untuk pendanaan atas kenaikan dan/atau perubahan biaya (cost overrun) proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung dapat ditampung dalam rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1). (2) Kelebihan penyertaan modal negara kepada PT KAI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan saldo tambahan yang harus dijaga oleh Terjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2). (3) Kelebihan penyertaan modal negara kepada PT KAI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk pembayaran kewajiban Terjamin atas Pinjaman. (4) Penggunaan kelebihan penyertaan modal negara kepada PT KAI sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hanya dapat dilakukan atas persetujuan Menteri melalui Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. Pasal 23 (1) Terhitung sejak diterbitkannya Penjaminan Pemerintah, Terjamin wajib menyusun laporan secara triwulanan pada periode yang berakhir pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember. (2) Pelaporan secara triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
penggunaan dana dari penarikan atas Pinjaman;
laporan keuangan Terjamin secara triwulanan dan tahunan yang belum diaudit _(unaudited); _ c. kemampuan bayar Terjamin, termasuk proyeksi kemungkinan terjadinya risiko gagal bayar pada Terjamin untuk 1 (satu) tahun ke depan;
laporan arus kas pada saat diperlukan berdasarkan permintaan Pemerintah dan/ a tau BUPI sebelum tanggal jatuh tempo atas pembayaran Pinjaman berdasarkan Perjanjian Pinjaman;
pelaksanaan rencana mitigasi risiko gagal bayar;
pengadaan pembiayaan lainnya;
perkembangan kegiatan operasi PT KAI dan PT Kereta Cepat Indonesia China, termasuk penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung; dan
pelaksanaan dukungan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf b dan huruf c. (3) Terjamin menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara, paling lambat tanggal 20 (dua puluh) pada bulan berikutnya. (4) Terjamin wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan jdih.kemenkeu.go.id yang telah diaudit paling lambat 10 (sepuluh) hari kalender sejak diterbitkannya laporan keuangan yang telah diaudit kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara. (5) Dalam hal BUPI mendapatkan penugasan Penjaminan Pemerintah, penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) juga dilakukan oleh Terjamin kepada BUPI. BAB VI PENGANGGARAN DANA CADANGAN PENJAMINAN Pasal 24 (1) Pemerintah melalui Menteri mengalokasikan anggaran kewajiban Penjaminan Pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara perencanaan, penelaahan, dan penetapan alokasi anggaran bagian anggaran bendahara umum negara dan pengesahan daftar isian pelaksanaan anggaran bendahara umum negara. (2) Pengelolaan dana cadangan Penjaminan Pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai tata cara pengelolaan dana cadangan penJamman untuk pelaksanaan kewajiban Penjaminan Pemerintah. BAB VII PEMBUKUAN DAN PELAPORAN PELAKSANAAN PENUGASAN Pasal 25 (1) Dalam melaksanakan penugasan Penjaminan Pemerintah, BUPI menyelenggarakan pembukuan berdasarkan ketentuan mengenai standar akuntansi yang berlaku. (2) Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disajikan sebagai informasi segmen dalam catatan atas laporan keuangan pada laporan keuangan BUPI. Pasal 26 (1) BUPI menyampaikan laporan semesteran dan laporan tahunan atas pelaksanaan penugasan Penjaminan Pemerintah kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat minimal:
perkembangan Pinjaman;
analisis risiko gagal bayar Terjamin, yang dilengkapi dengan mitigasi risiko;
kepatuhan Terjamin atas pengelolaan rekening khusus (sinking fund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22;
pelaksanaan dukungan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang jdih.kemenkeu.go.id perhubungan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf b dan huruf c; dan
informasi lain yang dianggap penting. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah periode pelaporan dimaksud berakhir. BAB VIII PEMANTAUAN DAN EVALUASI Pasa127 (1) Dalam rangka pelaksanaan Penjaminan Pemerintah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap:
pelaksanaan pembiayaan serta pemenuhan kewajiban Terjamin; dan
pelaksanaan penugasan Penjaminan Pemerintah melalui BUPI. (2) Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko mengadakan pertemuan secara berkala dengan Terjamin dan BUPI untuk membahas dan memberikan masukan mengenai pelaksanaan pengelolaan risiko atas pelaksanaan pembiayaan serta pemenuhan kewajiban Terjamin dan pelaksanaan penugasan Penjaminan Pemerintah melalui BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk bahan penyusunan laporan secara berkala dan/atau rekomendasi kepada Menteri. (4) Dalam rangka menjaga kredibilitas dan kemampuan BUPI dalam melaksanakan Penjaminan Pemerintah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko memverifikasi kemampuan BUPI untuk melaksanakan pembayaran klaim dalam hal terdapat pengajuan klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1). BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 28 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id