Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62 Tahun 2023 tentang Perencanaan Anggaran, Pelaksanaan Anggaran, serta Akuntansi dan Pelaporan Keuang ...
Relevan terhadap
Langkah-langkah penyusunan dan penetapan Pagu Anggaran K/L adalah sebagai berikut: a) Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun Renja-K/L Dalam menyusun Rancangan Renja-K/L, Kementerian/Lembaga berpedoman pada surat mengenai Pagu Indikatif dan hasil kesepakatan trilateral meeting . Rancangan Renja-K/L dimaksud paling sedikit memuat:
dialokasikan, dan Kinerja kegiatan yang dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga selaku executing agency/implementing agency .
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Perencanaan Anggaran adalah serangkaian proses penganggaran meliputi tinjau ulang Angka Dasar, penyiapan rancangan Rencana Kerja dan Anggaran, penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran, penelitian dan reviu Rencana Kerja dan Anggaran, penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran, penyusunan dan pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, serta perubahan anggaran dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Rencana Kerja dan Anggaran yang selanjutnya disingkat RKA adalah dokumen rencana keuangan tahunan yang mencakup rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga, rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, dan rencana kerja dan anggaran bendahara umum negara.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari masing- masing kementerian negara/lembaga, yang disusun menurut bagian anggaran kementerian negara/lembaga.
Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA-BUN adalah dokumen rencana keuangan tahunan dari bendahara umum negara yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari pembantu pengguna anggaran bendahara umum negara, yang disusun menurut bagian anggaran bendahara umum negara.
Kinerja adalah prestasi kerja berupa keluaran dari suatu kegiatan atau hasil dari suatu program dengan kuantitas dan kualitas terukur.
Standar Biaya adalah satuan biaya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal ( chief financial officer ) yang digunakan sebagai acuan perhitungan kebutuhan anggaran dalam penyusunan RKA dan pelaksanaan anggaran.
Bagian Anggaran adalah kelompok anggaran negara menurut nomenklatur kementerian negara/lembaga dan bendahara umum negara dalam menjalankan fungsi belanja Pemerintah Pusat, transfer ke daerah, dan pembiayaan.
Bagian Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat BA K/L adalah Bagian Anggaran yang menampung belanja Pemerintah Pusat yang pagu anggarannya dialokasikan pada kementerian negara/lembaga.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah Bagian Anggaran yang tidak dikelompokkan dalam Bagian Anggaran kementerian negara/lembaga.
Belanja Negara adalah kewajiban Pemerintah Pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih yang terdiri atas belanja Pemerintah Pusat dan transfer ke daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Klasifikasi Organisasi adalah pengelompokkan alokasi sesuai dengan struktur organisasi kementerian negara/lembaga dan bendahara umum negara.
Klasifikasi Fungsi adalah pengelompokkan alokasi sesuai fungsi kepemerintahan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang keuangan negara.
Klasifikasi Jenis Belanja adalah pengelompokkan Belanja Negara berdasarkan jenis belanja dan transfer ke daerah.
Klasifikasi Pembiayaan adalah pengelompokkan pengeluaran pembiayaan berdasarkan jenis pengeluaran pembiayaan.
Belanja Pegawai adalah kompensasi terhadap pegawai, baik dalam bentuk uang atau barang, yang harus dibayarkan kepada pegawai pemerintah dalam maupun luar negeri baik kepada pejabat negara, pegawai negeri sipil, dan pegawai yang dipekerjakan oleh Pemerintah yang belum berstatus pegawai negeri sipil sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan dalam rangka untuk mendukung tugas fungsi unit organisasi pemerintah selama periode tertentu, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.
Belanja Barang dan Jasa adalah pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan.
Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan/atau aset lainnya yang memberi manfaat ekonomis lebih dari satu periode akuntansi (12 (dua belas) bulan) serta melebihi batasan nilai minimum kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan Pemerintah.
Belanja Bantuan Sosial adalah pengeluaran berupa transfer uang, barang atau jasa yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat miskin atau tidak mampu guna melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi dan/atau kesejahteraan masyarakat.
Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, lembaga, pemerintah asing, lembaga asing, dan/atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.
Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi nonkementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Direktorat Anggaran Bidang adalah unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran yang terdiri dari Direktorat Anggaran Bidang Perekonomian dan Kemaritiman, Direktorat Anggaran Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dan/atau Direktorat Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.
Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini Kementerian/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
Satuan Kerja Bagian Anggaran BUN yang selanjutnya disebut Satker BUN adalah unit organisasi lini BUN yang melaksanakan kegiatan BUN dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran BUN.
Program RKA-K/L dan RKA-BUN yang selanjutnya disebut Program adalah penjabaran kebijakan beserta rencana penerapannya yang dimiliki Kementerian/Lembaga dan BUN untuk mengatasi suatu masalah strategis dalam mencapai hasil ( outcome ) tertentu sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dan fungsi BUN dimaksud serta visi dan misi Presiden.
Kegiatan RKA-K/L dan RKA-BUN yang selanjutnya disebut Kegiatan adalah suatu aktivitas yang dilaksanakan untuk menghasilkan keluaran dalam mendukung terwujudnya sasaran Program.
Keluaran adalah barang atau jasa yang merupakan hasil akhir dari pelaksanaan Kegiatan dalam mendukung pencapaian sasaran Pembangunan nasional.
Klasifikasi Rincian Output yang selanjutnya disingkat KRO adalah kumpulan atas rincian output yang disusun dengan mengelompokkan muatan rincian output yang sejenis atau serumpun berdasarkan sektor/bidang/jenis tertentu secara sistematis.
Rincian Output yang selanjutnya disingkat RO merupakan Keluaran riil yang dihasilkan oleh unit kerja Kementerian/Lembaga yang berfokus pada isu tertentu serta berkaitan langsung dengan tugas dan fungsi unit kerja tersebut dalam mendukung pencapaian sasaran Kegiatan yang telah ditetapkan.
Sistem Informasi adalah sistem yang dibangun, dikelola, dan/atau dikembangkan oleh Kementerian Keuangan guna memfasilitasi proses penganggaran, pelaksanaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, dan/atau monitoring dan evaluasi anggaran yang merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara.
Belanja Berkualitas adalah belanja yang direncanakan dan dilaksanakan dengan prinsip efisiensi, efektivitas, prioritas, transparansi, dan akuntabilitas.
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian/ Lembaga yang selanjutnya disingkat APIP K/L adalah Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.
Pinjaman Luar Negeri yang selanjutnya disingkat PLN adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh Pemerintah dari pemberi pinjaman luar negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga negara, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.
Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat PDN adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari pemberi pinjaman dalam negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu sesuai dengan masa berlakunya.
Hibah Pemerintah yang selanjutnya disebut Hibah adalah setiap penerimaan negara dalam bentuk devisa, devisa yang dirupiahkan, rupiah, barang, jasa dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri.
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN.
Rupiah Murni Pendamping yang selanjutnya disingkat RMP adalah dana rupiah murni yang harus disediakan Pemerintah untuk mendampingi pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/ Lembaga atau Rencana Kerja Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Renja K/L adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 1 (satu) tahun.
Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana BUN adalah indikasi dana dalam rangka untuk pemenuhan kewajiban Pemerintah yang penganggarannya hanya ditampung pada BA BUN.
Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari Belanja Negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada daerah untuk dikelola oleh daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah.
Dana Alokasi Khusus Fisik yang selanjutnya disebut DAK Fisik adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung pembangunan/pengadaan sarana dan prasarana layanan publik daerah dalam rangka mencapai prioritas nasional, mempercepat pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan layanan publik, dan/atau mendorong pertumbuhan perekonomian daerah.
Dana Alokasi Khusus Nonfisik yang selanjutnya disebut DAK Nonfisik adalah DAK yang dialokasikan untuk membantu operasionalisasi layanan publik Daerah yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah.
Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian dan penyelenggara pemerintahan daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat.
Dekonsentrasi Kepada Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Dekonsentrasi Kepada GWPP adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang selanjutnya disingkat GWPP adalah penyelenggara Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi dan dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang GWPP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi.
Bantuan Pemerintah adalah bantuan yang tidak memenuhi kriteria bantuan sosial yang diberikan oleh Pemerintah kepada perseorangan, kelompok masyarakat atau lembaga pemerintah/ nonpemerintah.
Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang- undangan.
Standar Biaya Masukan yang selanjutnya disingkat SBM adalah standar biaya yang digunakan sebagai masukan ( input ) untuk menyusun rincian biaya dalam suatu Keluaran.
Standar Biaya Keluaran yang selanjutnya disingkat SBK adalah indeks biaya yang ditetapkan untuk menghasilkan 1 (satu) volume keluaran.
Standar Struktur Biaya yang selanjutnya disingkat SSB adalah batasan besaran atau persentase komposisi biaya dalam 1 (satu) Keluaran.
Non-Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Non-ASN adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, melaksanakan tugas dan fungsi instansi pemerintah, diangkat oleh pejabat yang berwenang sebagai pegawai pada instansi pemerintah berdasarkan surat keputusan/perjanjian kerja/kontrak kerja untuk jangka waktu tertentu dan dibiayai dari APBN.
Rencana Bisnis dan Anggaran BLU yang selanjutnya disebut RBA adalah dokumen perencanaan bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran suatu BLU.
Standar Biaya Keluaran Umum yang selanjutnya disingkat SBKU adalah SBK yang berlaku untuk beberapa/seluruh Kementerian/Lembaga.
Standar Biaya Keluaran Khusus yang selanjutnya disingkat SBKK adalah SBK yang berlaku untuk 1 (satu) Kementerian/Lembaga.
Arah Kebijakan adalah penjabaran urusan pemerintahan dan/atau prioritas pembangunan sesuai dengan visi dan misi Presiden yang rumusannya mencerminkan bidang urusan tertentu dalam pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Kementerian/Lembaga, berisi satu atau beberapa program untuk mencapai sasaran strategis penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan indikator kinerja yang terukur.
Prakiraan Maju adalah perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan Program dan Kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya.
Angka Dasar adalah indikasi pagu Prakiraan Maju dari Kegiatan-Kegiatan yang berulang dan/atau Kegiatan- Kegiatan tahun jamak berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan dan menjadi acuan penyusunan pagu indikatif dari tahun anggaran yang direncanakan.
Rencana Strategis Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Renstra K/L adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 5 (lima) tahun.
Pagu Indikatif Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Pagu Indikatif K/L adalah indikasi pagu anggaran yang akan dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga sebagai pedoman dalam penyusunan Renja K/L.
Pagu Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Pagu Anggaran K/L adalah batas tertinggi anggaran yang dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga untuk penyusunan RKA-K/L.
Kerangka Anggaran Jangka Menengah yang selanjutnya disingkat KAJM adalah rencana APBN jangka menengah yang memuat kerangka pendapatan, belanja, dan pembiayaan untuk menjaga kesinambungan dan disiplin fiskal Pemerintah.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang selanjutnya disingkat RPJMN adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun.
Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Alokasi Anggaran K/L adalah batas tertinggi anggaran pengeluaran yang dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga berdasarkan hasil pembahasan rancangan APBN yang dituangkan dalam hasil kesepakatan pembahasan rancangan APBN antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan pengguna anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
DIPA Petikan adalah DIPA per Satker yang dicetak secara otomatis melalui sistem, yang berisi mengenai informasi Kinerja, rincian pengeluaran, rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan, dan catatan, yang berfungsi sebagai dasar dalam pelaksanaan kegiatan Satker.
Petunjuk Operasional Kegiatan yang selanjutnya disingkat POK adalah dokumen yang memuat uraian rencana kerja dan biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan, disusun oleh KPA sebagai penjabaran lebih lanjut dari DIPA.
Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan.
Pagu Indikatif Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pagu Indikatif BUN adalah indikasi dana yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan BUN.
Pagu Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pagu Anggaran BUN adalah batas tertinggi anggaran yang dialokasikan kepada BUN sebagai dasar penyusunan RKA-BUN.
Alokasi Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Alokasi Anggaran BUN adalah batas tertinggi anggaran pengeluaran yang dialokasikan kepada Menteri Keuangan sebagai BUN berdasarkan hasil pembahasan rancangan APBN yang dituangkan dalam hasil kesepakatan pembahasan rancangan APBN antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada Satker dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau Satker di Kementerian/Lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut RKA Satker BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban Pemerintah Pusat dan TKD tahunan yang disusun oleh KPA BUN.
Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pemimpin PPA BUN adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab atas program BA BUN dan bertindak untuk menandatangani daftar isian pelaksanaan anggaran BUN.
Daftar Hasil Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DHP RKA-BUN adalah dokumen hasil penelaahan RKA-BUN yang memuat alokasi anggaran menurut unit organisasi, fungsi, dan Program yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN.
Tunggakan adalah tagihan atas pekerjaan/penugasan yang telah diselesaikan dan telah tersedia alokasi anggarannya tetapi belum dibayarkan sampai dengan berakhirnya tahun anggaran berkenaan.
Surat Penetapan Pergeseran Anggaran Belanja Antarsubbagian Anggaran pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat SPP BA BUN adalah dokumen alokasi anggaran yang ditetapkan dalam rangka pergeseran anggaran belanja antarsubbagian anggaran pada BA BUN untuk suatu kegiatan.
Surat Penetapan Satuan Anggaran Bagian Anggaran yang selanjutnya disingkat SP SABA adalah dokumen alokasi anggaran yang ditetapkan untuk suatu kegiatan, yang dilakukan pergeseran anggaran belanjanya dari BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L.
Mitra Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Mitra PPA BUN adalah Direktorat Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara selaku unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran yang bertugas sebagai mitra penganggaran PPA BUN.
Penyesuaian Belanja Negara adalah melakukan pengutamaan penggunaan anggaran yang disesuaikan secara otomatis ( automatic adjustment), realokasi anggaran, pemotongan anggaran belanja negara, dan/atau pergeseran anggaran antar- Program.
Revisi Anggaran adalah perubahan RKA berupa penyesuaian rincian anggaran dan/atau informasi Kinerja yang telah ditetapkan berdasarkan Undang- Undang mengenai APBN, termasuk revisi atas DIPA yang telah disahkan pada tahun anggaran berkenaan.
Laporan Hasil Reviu yang selanjutnya disingkat LHR adalah laporan yang disusun pada tingkatan unit akuntansi tertentu sebagai gabungan dari catatan hasil reviu dan ikhtisar hasil reviu unit akuntansi di bawahnya.
Unit Pendukung PPA BUN Belanja Lainnya adalah Direktorat Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara selaku unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran yang bertugas sebagai unit Pembantu Pemimpin PPA BUN Belanja Lainnya.
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Pinjaman Luar Negeri dan/atau Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan Pinjaman adalah penggunaan kembali sisa pagu anggaran satu tahun anggaran sebelumnya yang bersumber dari PLN dan/atau PDN sepanjang masih terdapat sisa alokasi komitmen PLN dan/atau PDN serta masih dalam masa penarikan.
Percepatan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Pinjaman Luar Negeri dan/atau Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Percepatan Pelaksanaan Kegiatan Pinjaman adalah tambahan pagu anggaran yang berasal dari sisa komitmen PLN dan/atau PDN yang belum ditarik untuk memenuhi kebutuhan pendanaan kegiatan untuk percepatan penyelesaian pekerjaan dan/atau memenuhi kebutuhan anggaran yang belum tersedia pada tahun anggaran berkenaan.
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satker Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa.
Penerusan Hibah adalah hibah yang diterima oleh Pemerintah yang diterushibahkan atau diterus pinjamkan kepada Pemerintah Daerah atau dipinjamkan kepada Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai tata cara penerimaan hibah sepanjang diatur dalam perjanjian hibah.
Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Hibah Luar Negeri dan/atau Hibah Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan Hibah adalah penggunaan kembali sisa pagu anggaran satu tahun anggaran sebelumnya yang bersumber dari hibah luar negeri dan/atau hibah dalam negeri sepanjang masih terdapat sisa alokasi komitmen hibah luar negeri dan/atau hibah dalam negeri serta masih dalam masa penarikan.
Percepatan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Hibah Luar Negeri dan/atau Hibah Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Percepatan Pelaksanaan Kegiatan Hibah adalah tambahan pagu anggaran yang berasal dari sisa komitmen hibah luar negeri dan/atau hibah dalam negeri yang belum ditarik untuk memenuhi kebutuhan pendanaan kegiatan untuk percepatan penyelesaian pekerjaan dan/atau memenuhi kebutuhan anggaran yang belum tersedia pada tahun anggaran berkenaan.
Pemberi Hibah adalah pihak yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri yang memberikan Hibah kepada Pemerintah.
Sisa Anggaran Kontraktual adalah selisih lebih antara alokasi anggaran rincian Keluaran ( output ) yang tercantum dalam DIPA dengan nilai kontrak Pengadaan Barang/Jasa untuk menghasilkan rincian Keluaran ( output ) sesuai dengan volume rincian Keluaran ( output ) yang ditetapkan dalam DIPA.
Belanja Operasional adalah anggaran yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan sebuah Satker dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berupa belanja pegawai operasional dan belanja barang operasional.
Swakelola adalah cara memperoleh barang/jasa yang dikerjakan sendiri oleh Kementerian/Lembaga/ Perangkat Daerah, Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah lain, organisasi kemasyarakatan, atau kelompok masyarakat.
Rumusan Informasi Kinerja adalah rumusan yang ditetapkan sebagai acuan dalam pelaksanaan Program dan Kegiatan termasuk sasaran Kinerja yang akan dicapai serta indikator sebagai alat ukur pencapaian kinerja meliputi rumusan Program, hasil ( outcome ), Kegiatan, Keluaran ( output ), indikator Kinerja utama, dan indikator Kinerja kegiatan.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan Belanja Negara dalam pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian/Lembaga.
Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disingkat SPM-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/Bendahara Pengeluaran.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Pengelola Basis Data Kepegawaian yang selanjutnya disingkat PBDK adalah pejabat atau pegawai yang ditunjuk oleh kepala Satker untuk diberi tugas dan tanggung jawab dalam mengelola data kepegawaian pada aplikasi kepegawaian Satker.
Petugas Pengelolaan Administrasi Belanja Pegawai yang selanjutnya disingkat PPABP adalah pembantu KPA yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan administrasi Belanja Pegawai.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PA/KPA/PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola.
Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.
Penyedia Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Penyedia adalah pelaku usaha yang menyediakan barang/jasa berdasarkan Kontrak.
Uang Makan adalah uang yang diberikan kepada Pegawai ASN berdasarkan tarif dan dihitung secara harian untuk keperluan makan Pegawai ASN.
Pembayaran Langsung yang selanjutnya disebut Pembayaran LS adalah pembayaran yang dilakukan langsung kepada Bendahara Pengeluaran/penerima hak lainnya atas dasar perjanjian kerja, surat keputusan, surat tugas atau surat perintah kerja lainnya melalui penerbitan SPM-LS.
Bank/Pos Penyalur adalah bank/pos mitra kerja sebagai tempat dibukanya rekening atas nama Satker untuk menampung dana Belanja Bantuan Sosial/Bantuan Pemerintah yang akan disalurkan kepada penerima bantuan sosial/Bantuan Pemerintah.
Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat UP adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satker atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme Pembayaran LS.
Surat Perintah Membayar Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan UP.
Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat TUP adalah uang muka yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam 1 (satu) bulan melebihi UP yang telah ditetapkan.
Surat Permintaan Pembayaran Langsung yang selanjutnya disingkat SPP-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/Bendahara Pengeluaran.
Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran UP.
Surat Permintaan Pembayaran Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-TUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran TUP.
Surat Permintaan Pembayaran Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-GUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi pertanggungjawaban dan permintaan kembali pembayaran UP.
Surat Permintaan Pembayaran Penggantian Uang Persediaan Nihil yang selanjutnya disebut SPP-GUP Nihil adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi pertanggungjawaban UP.
Surat Permintaan Pembayaran Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-PTUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pertanggungjawaban atas TUP.
Surat Perintah Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPBy adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK atas nama KPA yang berguna untuk mengeluarkan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran kepada pihak yang dituju.
Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-GUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM dengan membebani DIPA, yang dananya dipergunakan untuk menggantikan UP yang telah dipakai.
Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan Nihil yang selanjutnya disebut SPM-GUP Nihil adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM sebagai pertanggungjawaban UP yang membebani DIPA.
Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-TUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan TUP.
Surat Perintah Membayar Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-PTUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM sebagai pertanggungjawaban atas TUP yang membebani DIPA.
Rencana Kerja Pemerintah yang selanjutnya disingkat RKP adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 1 (satu) tahun yang dimulai pada tanggal 1 Januari dan berakhir pada tanggal 3l Desember.
Besaran, Persyaratan, dan Tata Cara Pengenaan Tarif Sampai Dengan 0% (nol persen) atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementeri ...
Relevan terhadap
Tarif atas Jenis PNBP berupa Bea Lelang yang berlaku pada Kementerian Keuangan yang berasal dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dapat dikenakan tarif sampai dengan 0% (Nol Persen) meliputi:
Bea Lelang Penjual; dan
Bea Lelang Pembeli.
Pengenaan tarif sampai dengan 0% (Nol Persen) atas jenis PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Bea Lelang atas pelaksanaan:
Lelang Noneksekusi Sukarela atas objek lelang berupa produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM);
Lelang Terjadwal Khusus; dan
Lelang Eksekusi atas benda sitaan dalam penanganan tindak pidana yang perkaranya belum memperoleh kekuatan hukum tetap ( inkracht ) meliputi:
Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
Lelang Eksekusi benda sitaan Pasal 94 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer; dan
Lelang Eksekusi benda sitaan sesuai Pasal 47A Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2OO2 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penugasan Khusus kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
Relevan terhadap
Penilaian atas rencana Transaksi dan/atau Proyek dilakukan oleh LPEI.
Dalam melakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPEI mempertimbangkan:
ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3);
ketersediaan dana Penugasan Khusus;
Selera Risiko (Risk Appetite) yang ditetapkan oleh LPEI; dan
dokumen permohonan fasilitas yang diterima LPEI tidak melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf f.
Selain mempertimbangkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LPEI juga mempertimbangkan:
kinerja keuangan;
prospek usaha; dan/atau
kemampuan untuk membayar.
Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat ditetapkan dalam Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a.
Kinerja keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan aspek-aspek yang dijadikan pertimbangan oleh LPEI paling sedikit terkait perolehan laba, struktur permodalan, arus kas, sensitivitas terhadap risiko pasar atau hal lain dalam menilai kelayakan suatu Transaksi dan/atau Proyek.
Prospek usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan aspek-aspek yang dijadikan pertimbangan oleh LPEI paling sedikit terkait potensi pertumbuhan usaha, kondisi pasar dan posisi Pelaku Ekspor dalam persaingan, kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja, dukungan dari grup atau afiliasi, dan upaya yang dilakukan Pelaku Ekspor dalam rangka memelihara lingkungan hidup.
Kemampuan membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan aspek-aspek yang dijadikan pertimbangan oleh LPEI paling sedikit terkait ketepatan pembayaran pokok dan bunga, atau margin/bagi hasil/ fee untuk kegiatan berdasarkan prinsip syariah, ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan Pelaku Ekspor, kelengkapan dokumentasi Pembiayaan, kepatuhan terhadap perjanjian Pembiayaan, kesesuaian penggunaan dana, dan kewajaran sumber pembayaran kewajiban.
Selera Risiko (Risk Appetite) LPEI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c disusun dan ditetapkan oleh LPEI.
Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan secara konsisten oleh LPEI mulai dari penilaian atas rencana Transaksi dan/atau Proyek hingga pemantauan Transaksi dan/atau Proyek.
LPEI menyampaikan laporan bulanan, triwulanan, dan tahunan atas pelaksanaan Penugasan Khusus kepada Menteri c.q. Ketua Komite dan ditembuskan kepada kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian anggota Komite.
Laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
informasi umum:
jenis penugasan;
negara tujuan; dan
komoditas ekspor;
utilitisasi (disbursement);
kolektibilitas (kualitas aset); dan
informasi lain yang dianggap penting.
Laporan triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
informasi umum:
jenis penugasan;
perkembangan usaha;
strategi; dan
kebijakan terkait Penugasan Khusus;
capaian target aspek finansial, operasional, dan pelanggan ( disbursement , kualitas aset, efisiensi biaya operasional, dan jumlah debitur/pelaku ekspor yang diberikan pembiayaan);
informasi keuangan (laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain, laporan posisi keuangan, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas);
analisis isu dan risiko; dan
informasi lain yang dianggap penting.
Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
informasi umum:
jenis penugasan;
perkembangan usaha;
strategi; dan
kebijakan terkait Penugasan Khusus;
capaian target aspek finansial, operasional dan pelanggan ( disbursement , kualitas aset, efisiensi biaya operasional, dan jumlah debitur/Pelaku Ekspor yang diberikan pembiayaan);
informasi keuangan (laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain, laporan posisi keuangan, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas);
analisis isu dan risiko;
progress dampak/kemanfaatan program Penugasan Khusus; dan
informasi lain yang dianggap penting.
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat:
tanggal 15 (lima belas) untuk laporan bulanan;
30 (tiga puluh) hari kalender setelah periode pelaporan dimaksud berakhir, untuk laporan triwulanan; dan
pada akhir triwulan pertama setelah periode pelaporan dimaksud berakhir, untuk laporan tahunan.
Direktur Eksekutif LPEI yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya disingkat LPEI adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
Pemerintah adalah Pemerintah Negara Republik Indonesia.
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan produk berupa barang dan/atau jasa dari wilayah Negara Republik Indonesia.
Pembiayaan Ekspor adalah pemberian fasilitas oleh LPEI berdasarkan prinsip konvensional dan/atau prinsip syariah.
Pembiayaan adalah pemberian fasilitas pinjaman oleh LPEI kepada nasabah.
Penjaminan adalah pemberian fasilitas jaminan untuk menanggung pembayaran kewajiban keuangan pihak terjamin dalam hal pihak terjamin tidak dapat memenuhi kewajiban perikatan kepada penerima jaminan.
Asuransi adalah pemberian fasilitas berupa ganti rugi atas kerugian yang timbul sebagai akibat dari suatu peristiwa yang tidak pasti.
Rencana Strategis adalah perencanaan strategis jangka menengah pelaksanaan penugasan khusus untuk menunjang Ekspor nasional.
Program Ekspor adalah rancangan kegiatan dalam rangka Ekspor yang meliputi kegiatan memproduksi barang, jasa dan/atau kegiatan pendukung lainnya sesuai dengan Rencana Strategis yang disusun dan diusulkan oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, baik secara tersendiri maupun secara bersama-sama dengan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian lainnya.
Penugasan Khusus adalah penugasan yang diberikan Pemerintah kepada LPEI untuk menyediakan Pembiayaan Ekspor atas transaksi atau proyek yang secara komersial sulit dilaksanakan, tetapi dianggap perlu oleh Pemerintah untuk menunjang kebijakan ekspor nasional.
Pembiayaan Modal Kerja adalah fasilitas pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja nasabah dalam jangka waktu sampai dengan satu tahun dan/atau lebih dari satu tahun __ sesuai siklus usaha.
Pembiayaan Investasi adalah fasilitas pembiayaan yang diberikan untuk membiayai barang-barang modal dengan jangka waktu menengah/panjang.
Pembiayaan Luar Negeri (Overseas Financing) adalah fasilitas pembiayaan luar negeri yang meliputi pembiayaan proyek luar negeri (overseas project financing) dan/atau pembiayaan investasi luar negeri (overseas investment financing) .
Komite Penugasan Khusus Ekspor selanjutnya disebut Komite adalah Komite yang dibentuk oleh Menteri dalam rangka Penugasan Khusus.
Rekening Dana Penugasan Khusus selanjutnya disebut Rekening DPK adalah rekening yang dibuka oleh LPEI sebagai tempat penyimpanan, pembayaran, dan pengembalian dana dalam rangka Penugasan Khusus.
Transaksi adalah perjanjian kerja sama atau perjanjian jual-beli barang dan/atau jasa antara pihak yang berada di dalam negeri dengan pihak yang berada di dalam atau di luar negeri.
Proyek adalah pengadaan barang dan jasa antara pihak yang berada di dalam negeri dengan pihak yang berada di dalam atau di luar negeri.
Pelaku Ekspor adalah perorangan, badan usaha, dan/atau pihak lain sesuai peraturan perundang- undangan yang melakukan Transaksi dan/atau Proyek dalam rangka Ekspor atau pendukung untuk Ekspor.
Selera Risiko (Risk Appetite) adalah jenis dan tingkat risiko yang dapat diterima dalam mencapai tujuan Penugasan Khusus.
Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan yang selanjutnya disingkat RKAT adalah rencana kerja dan anggaran tahunan LPEI sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Surplus adalah laba dari hasil kegiatan usaha Penugasan Khusus dalam 1 (satu) tahun buku.
Defisit adalah kerugian dari hasil kegiatan usaha Penugasan Khusus dalam 1 (satu) tahun buku.
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Relevan terhadap
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengatur:
Usaha Besar untuk membangun Kemitraan dengan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah; atau
Usaha Menengah untuk membangun Kemitraan dengan Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
Untuk melaksanakan peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib:
menyediakan data dan informasi pelaku Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang siap bermitra;
mengembangkan proyek percontohan Kemitraan;
memfasilitasi dukungan kebijakan; dan
melakukan koordinasi penyusunan kebijakan dan program pelaksanaan, pemantauan, evaluasi serta pengendalian umum terhadap pelaksanaan Kemitraan.
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Izin Usaha adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pejabat yang berwenang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai bukti legalitas yang menyatakan sah bahwa Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah telah memenuhi persyaratan dan diperbolehkan untuk menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu.
Jangka Waktu adalah kondisi tingkatan lamanya pengembangan usaha yang diberikan kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
Kemitraan adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dengan Usaha Besar.
Iklim Usaha adalah kondisi yang diupayakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah secara sinergis melalui penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi, agar Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah memperoleh pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan, dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya.
Dunia Usaha adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia dan berdomisili di wilayah negara Republik Indonesia.
Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi, dan lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disingkat KPPU adalah komisi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Menteri Teknis/Kepala Lembaga Pemerintah Nonkementerian adalah menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian yang secara teknis bertanggung jawab dalam pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam sektor kegiatannya.
Pejabat adalah pejabat yang berwenang untuk memberikan Izin Usaha sesuai dengan tugas dan fungsinya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.05/2018 tentangTata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah ...
Relevan terhadap
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 66 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, telah ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.05/2018 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah;
bahwa untuk mendukung pemberdayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil dalam penyediaan produk dalam negeri bagi satuan kerja Kementerian Negara/Lembaga yang pembayarannya dilakukan melalui Kartu Kredit Pemerintah, perlu melakukan penyesuaian terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.05/2018 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.05/2018 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah;
Kartu Kredit Pemerintah terdiri atas:
kartu kredit untuk keperluan belanja barang operasional serta belanja modal; dan
kartu kredit untuk keperluan belanja perjalanan dinas jabatan.
Kartu Kredit Pemerintah untuk keperluan belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk keperluan:
belanja barang operasional, antara lain belanja keperluan perkantoran, belanja pengadaan bahan makanan, belanja penambah daya tahan tubuh, dan belanja barang operasional lainnya;
belanja barang non operasional, antara lain belanja bahan dan belanja barang non operasional lainnya;
belanja barang untuk persediaan, antara lain belanja barang persediaan barang konsumsi;
belanja sewa;
belanja pemeliharaan gedung dan bangunan, antara lain belanja pemeliharaan gedung dan bangunan, belanja barang persediaan pemeliharaan gedung dan bangunan, dan belanja pemeliharaan gedung dan bangunan lainnya;
belanja pemeliharaan peralatan dan mesin, antara lain belanja pemeliharaan peralatan dan mesin, belanja bahan bakar minyak dan pelumas dan pelumas khusus nonpertamina, belanja barang persediaan pemeliharaan peralatan dan mesin, dan belanja pemeliharaan peralatan dan mesin lainnya;
belanja pemeliharaan lainnya, antara lain belanja barang persediaan pemeliharaan lainnya dan belanja pemeliharaan lainnya; dan/atau h. belanja modal.
(2a) Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan nilai belanja paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk 1 (satu) penerima pembayaran.
(2b) Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), hanya dapat dilakukan untuk transaksi pengadaan barang/jasa yang merupakan produk dalam negeri yang disediakan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui sarana:
katalog elektronik dan toko daring yang disediakan oleh lembaga yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah; dan
marketplace berbasis platform pembayaran pemerintah yang disediakan oleh Kementerian Keuangan.
(2c) Dalam hal Kartu Kredit Pemerintah digunakan untuk transaksi di luar sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2b), nilai belanja paling banyak untuk 1 (satu) penerima pembayaran berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBN.
Kartu Kredit Pemerintah untuk keperluan belanja perjalanan dinas jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digunakan untuk komponen pembayaran biaya transpor, penginapan, dan/atau sewa kendaraan dalam kota.
Batas tertinggi dan estimasi penggunaan Kartu Kredit Pemerintah untuk keperluan belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai standar biaya masukan.
Ketentuan Lampiran huruf B, Lampiran huruf F, Lampiran huruf H, dan Lampiran huruf J Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.05/2018 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1841) diubah, sehingga menjadi tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Penyederhanaan Registrasi Kepabeanan
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Perizinan Berusaha Terintegrasi 8ecara Elektronik atau Online Single Submission yang selanjutnya disebut 088 adalah perizinan berusaha yang diterbitkan oleh lembaga 088 untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupatijwali kota kepada pelaku usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Keterangan Status Wajib Pajak adalah informasi yang diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak terkait validitas NPWP dan pemenuhan kewajiban Wajib Pajak.
Pelaku Usaha adalah perseorangan atau non perseorangan yang melakukan usaha danjatau kegiatan pada bidang tertentu.
Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
Eksportir adalah orang perseorangan a tau badan hukum yang melakukan kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean.
Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan yang selanjutnya disingkat PPJK adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengurusan pemenuhan kewajiban pabean untuk dan atas kuasa Importir atau Eksportir.
Pengangkut adalah orang a tau kuasanya yang bertanggung jawab atas pengoperasian sarana pengangkut yang mengangkut barang danjatau orang, danjatau yang berwenang melaksanakan kontrak pengangkutan dan menerbitkan dokumen pengangkutan barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perhubungan.
Pengusaha dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas atau Free Trade Zone yang selanjutnya disebut Pengusaha dalam FTZ adalah badan usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan.
Perusahaan Jasa Titipan yang selanjutnya disingkat PJT adalah badan usaha yang memperoleh ijin dari instansi terkait untuk menyelenggarakan pos berupa layanan surat, dokumen, dan/ a tau paket sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pos.
Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara yang selanjutnya disebut Pengusaha TPS adalah badan usaha yang mengusahakan bangunan danjatau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di kawasan pabean untuk menimbun barang, sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.
PenyelenggarajPengusaha Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disebut Penyelenggara/Pengusaha TPB adalah Pelaku U saha yang melakukan kegiatan pengelolaan bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
Perusahaan Penerima Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor yang selanjutnya disebut Perusahaan Penerima Fasilitas KITE adalah Pelaku Usaha yang memperoleh fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor berupa pembebasan danjatau pengembalian bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Ahli Kepabeanan adalah orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang kepabeanan dan memiliki Sertifikat Ahli Kepabeanan yang dikeluarkan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan.
Izin Komersial atau Operasional adalah 1zm yang diterbitkan oleh lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupatijwali kota setelah Pelaku U saha mendapatkan izin usaha dan untuk melakukan kegiatan komersial atau operasional dengan memenuhi persyaratan dan/ a tau komitmen. ~I 17. Komitmen adalah pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi persyaratan Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional.
Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah identitas Pelaku Usaha yang diterbitkan oleh lembaga OSS setelah Pelaku Usaha melakukan Pendaftaran.
Pengguna J a sa adalah Pelaku U saha yang akan melakukan pemenuhan kewajiban pabean ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Akses Kepabeanan adalah akses yang diberikan kepada Pengguna Jasa untuk berhubungan dengan sistem pelayanan kepabeanan baik yang menggunakan teknologi informasi maupun manual.
Pengguna Jasa Kepabeanan adalah Pengguna Jasa yang telah mendapatkan Akses Kepabeanan.
Registrasi Kepabeanan adalah kegiatan pendaftaran yang dilakukan oleh Pengguna Jasa ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mendapatkan Akses Kepabeanan.
Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah sistem integrasi seluruh layanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada semua pengguna jasa yang bersifat publik dan berbasis web. 24. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya 25.
kewajiban pabean Kepabeanan. Direktur Jenderal Cukai. Pejabat Be a dan Jenderal Be a dan tertentu untuk sesua1 dengan Undang-Undang adalah Direktur J enderal Be a Dan Cukai adalah pegawm Direktorat Cukai yang ditunjuk dalam jabatan melaksanakan tug as tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di lbu Kota Nusantara ...
Relevan terhadap
Ketentuan mengenai:
penerapan; dan
tata cara pengajuan permohonan, penerbitan, pembatalan atau pencabutan persetujlran, dan pelaporan, pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah dan bersifat linal diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Paragraf 10 Fasilitas Pajak Penghasilan Final O% (Nol Persen) atas Penghasilan dari Peredaran Bruto Usaha Tertentu pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pasal 56 (1) Wajib Pajak dalam negeri tidak termasuk bentuk usaha tetap yang melakukan Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara dengan nilai kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan memenuhi persyaratan tertentu dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat Iinal dengan tarif sebesar 0% (nol persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf h dalam jangka waktu tertentu. (21 Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai atas penghasilan dari peredaran bruto usaha sampai dengan Rp5O.000.000.0O0,00 (lima puluh miliar rr.rpiah) dalam 1 (satu) tahun pajak yang diterima atau diperoleh pada lokasi usaha yang berada di wilayah lbu Kota Nusantara, tidak termasuk penghasilan:
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
dari jasa yang dilakukan selain di wilayah Ibu Kota Nusantara dan/atau dimanfaatkan oleh pengguna jasa yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan selain di wilayah lbu Kota Nusantara;
yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan. (3) Persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
bertempat tinggal atau bertempat kedudukan, dan/atau memiliki cabang di wilayah Ibu Kota Nusantara;
melakukan kegiatan usaha di wilayah Ibu Kota Nusantara;
terdaftar sebagai Wajib Pajak di kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya meliputi wilayah Ibu Kota Nusantara atau memiliki identitas perpajakan di tempat kegiatan usaha yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara;
telah melakukan Penanaman Modal di wilayah Ibu Kota Nusantara, serta memiliki kualifikasi usaha mikro, kecil, dan menengah yang diterbitkan oleh instansi berwenang; dan
telah mengajukan permohonan untuk memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan sejak Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada huruf d dan mendapatkan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf a sampai dengan huruf e;
diterima atau diperoleh pada lokasi usaha selain yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara; dan/atau
diterima atau diperoleh pada lokasi usaha yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara yang berasal dari peredaran bruto yang melebihi batasan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. (7) Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib:
menyelenggarakan pembukuan secara terpisah, bagi Wajib Pajak yang diwajibkan menyelenggarakan pembukuan; atau
melakukan pencatatan secara terpisah, bagi Wajib Pajak yang tidak diwajibkan menyelenggarakan pembukuan, antara penghasilan yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghasilan yang tidak mendapatkan fasilitas dimaksud. (8) Dalam hal terdapat biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki penghasilan yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghasilan yang tidak mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (6), pembebanannya dialokasikan secara proporsional. (9) Ketentuanmengenai:
penerapan; dan
tata cara pengajuan permohonan, penerbitan, pembatalan atau pencabutan surat persetujuan, dan pelaporan, Pajak Penghasilan final 0% (nol persen) atas penghasilan dari peredaran bruto usaha tertentu pada usaha mikro, kecil, dan menengah diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Paragraf 11 Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan Pasal 57 (1) Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan di Ibu Kota Nusantara diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf i. (21 Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang terutang.
subjek, bentuk fasilitas, dan kriteria untuk memperoleh;
prosedurpengajuan permohonan persetujuan;
prosedur pemberian keputusan persetujuan;
prosedur pengajuan permohonan pemanfaatan dan/atau penerbitan surat keterangan bebas;
prosedur pemberian keputusan pemanfaatan dan/atau penerbitan surat keterangan bebas;
kewajiban dan larangan bagi Wajib Pajak yang memperoleh; dan
kriteria pencabutan, fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Bagian Ketiga Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pengecualian Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Pasal 58 (1) Kemudahan perpajakan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a angka 2 yang diberikan di Ibu Kota Nusantara berupa:
Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut; dan
pengecualian Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan barang kena pajak. (21 Kemudahan perpajakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a angka 2 yang diberikan di Daerah Mitra berupa ^pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut. Pasal 59 (1) Kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a di Ibu Kota Nusantara, diberikan atas:
penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak tertentu yang bersifat strategis; dan/atau
impor barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis. (21 Barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
bangunan baru berupa rumah tapak, satuan rumah susun, kantor, toko/pusat perbelanjaan, dan/atau gudang bagi orang pribadi tertentu, badan tertentu, dan/atau kementerian/ lembaga tertentu;
kendaraan bermotor yang bernomor polisi terdaftar di Ibu Kota Nusantara, yang menggunakan teknologi battery electic uehicles yang diproduksi di dalam negeri bagi orang pribadi, badan, dan/atau kementerian/ lembaga; dan
^jasa sewa rumah tapak, satuan rumah susun, kantor, toko/pusat perbelanjaan, dan/atau gudang yang diserahkan kepada orang pribadi, badan, dan/atau kementerian/lembaga, yang berkegiatan usaha, bertugas, atau berkedudukan di Ibu Kota Nusantara;
jasa konstruksi untuk pembangunan jalan, jembatan, bendungan, instalasi pengolahan air bersih, pembangkit listrik tenaga energi barrr dan terbarukan, sistem penyediaan air minum, jaringan telekomunikasi, jaringan energi, jaringan air/irigasi, instalasi pengolahan sampah dan/atau limbah, rumah sakit/klinik, laboratorium kesehatan, sekolah atau perguruan tinggi, gedung pemerintahan, rumah tapak, rumah susun, kantor, toko, dan/atau gudang, bandar udara, pelabuhan, terminal, jaringan kereta api, atau infrastruktur sejenis lainnya yang dibangun di Ibu Kota Nusantara;
jasa pengolahan sampah dan/atau limbah atas sampah dan/atau limbah yang dihasilkan di Ibu Kota Nusantara; dan
jasa kena pajak tertentu yang bersifat strategis lainnya yang dibutuhkan dalam rangka persiapan, pembangunan, pemindahan, dan pengembangan di Ibu Kota Nusantara. (41 Kemudahan perpajakan berrrpa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b juga diberikan atas:
impor oleh; dan/atau
penyerahan kepada, pengusaha pengusaha kena pajak yang menghasilkan listrik tenaga energi baru dan terbarukan di Ibu Kota Nusantara berrrpa mesin dan peralatan pabrik, baik mesin/peralatan utama maupun mesin/peralatan pendukung untuk menghasilkan listrik tenaga energi baru dan terbarukan di Ibu Kota Nusantara. (5) Kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (21 diberikan atas penyerahan jasa kena pajak tertentu yang bersifat strategis berupa jasa konstruksi sehubungan dengan pembangunan di Daerah Mitra kepada Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), untuk bidang usaha:
pembangkit tenaga listrik termasuk energi baru dan terbarukan;
pembangunan dan pengoperasian jalan tol;
pembangunan dan pengoperasian pelabuhan laut;
pembangunan dan pengoperasian bandar udara; dan
pembangunan dan penyediaan air bersih. (6) Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (5) dapat diberikan sampai dengan tahun 2035. (71 Pajak Pertambahan Nilai terutang atas impor dan/atau perolehan barang kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (21, ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) wajib dibayar dalam hal:
terhadap barang kena pajak yang telah mendapat kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dan ayat (4) dalam jangka waktu 4 (empat) tahun:
digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula;
dipindahtangankan kepada pihak lain baik sebagian atau seluruhnya; dan/atau
digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula dalam ^jangka waktu 4 (empat) tahun; dan/atau
disewakan kembali kepada pihak lain selama periode sewa dalam hal jasa kena pajak berupa sewa. (8) Ketentuanmengenai:
batasan, subjek, dan kriteria barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak yang mendapatkan kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (21, ayat (3), ayat (4), dan ayat (5);
tata cara pemberian kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atas impor dan/atau penyerahan barang kena pajak tertentu dan/atau ^jasa kena pajak tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (21, ayat (3), ayat (41, dan ayat (5);
tata cara pembayaran Pajak Pertambahan Nilai barang kena pajak tertentu dan/atau ^jasa kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang diberikan kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (71;
barang kena pajak tertentu dan/atau ^jasa kena pajak tertentu yang bersifat strategis lainnya yang diberikan kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (21huruf c dan ayat (3) huruf d; dan
barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis lainnya yang dibutuhkan dalam rangka persiapan, pembangunan, pemindahan, dan pengembangan di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang atas impornya diberikan kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut, diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Pasal 60 (1) Kemudahan perpajakan berupa pengecualian pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b diberikan atas penyerahan kelompok hunian mewah kepada orang pribadi, badan, dan/atau kementerian/lembaga, yang berkegiatan usaha, bertugas, atau berkedudukan di Ibu Kota Nusantara. (21 Pengecualian pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana ^'dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan sampai dengan tahun 2035. (3) Ketentuan mengenai tata cara pengecualian pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus
Relevan terhadap
Pengelolaan KEK dilakukan oleh Badan Usaha pengelola, Administrator KEK, Dewan Kawasan, dan Dewan Nasional. Bagian Kedua Badan Usaha Pengelola Pasal 64 (1) Badan Usaha pengelola bertugas menyelenggarakan kegiatan usaha KEK. (21 Badan Usaha pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah;
koperasi;
badan usaha swasta berbentuk perseroan terbatas;
badan PFIES IDEN REPUBLIK INDONESIA badan usaha patungan; atau badan layanan umum. (3) Badan Usaha pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lambat sebelum KEK beroperasi. Pasal 65 (1) Untuk KEK yang diusulkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, penetapan Badan Usaha pengelola dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Pusat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai:
pengelolaan barang milik negaraf daerah; atau
kerja sama pemerintah dan badan usaha. (2) Dalam hal aset prasarana dan sarana KEK merupakan barang milik negaraf daerah, Pemerintah Daerah kabupatenfkota, Pemerintah Daerah provinsi, atau Dewan Nasional dapat menugaskan badan usaha milik negaralbadan usaha milik daerah sebagai Badan Usaha pengelola. (3) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui penyertaan modal daerah f negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 66 (1) Badan Usaha pengelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 melaksanakan pengelolaan KEK berdasarkan perjanjian pengelolaan KEK antara Badan Usaha dengan Pemerintah Daerah kabupatenf kota, Pemerintah Daerah provinsi, atau Dewan Nasional/kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: e f.
lingkup a. lingkup pekerjaan;
jangka waktu;
standar kinerja pelayanan;
sanksi;
pelaksanaan pelayanan KEK dalam hal terjadi sengketa;
pemutusan perjanjian oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi, atau Dewan Nasional/kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dalam hal tertentu;
manajemen operasional KEK;
pengakhiran perjanjian;
pertanggungjawaban terhadap barang milik negaraldaerah; dan
serah terima aset atau infrastruktur oleh Badan Usaha pengelola kepada kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupatenlkota setelah kerja sama pengelolaan berakhir. (3) Dalam hal pengelolaan KEK dilakukan oleh badan usaha milik negaralbadan usaha milik daerah berdasarkan mekanisme penyertaan modal negara/daerah kepada badan usaha milik negaraf badan usaha milik daerah yang bersangkutan, tidak memerlukan perjanjian pengelolaan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Ketiga Evaluasi Pengelolaan KEK Pasal 67 (1) Administrator KEK melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Nasional dengan tembusan kepada Dewan Kawasan. (2) Dewan Nasional melakukan evaluasi pengelolaan KEK berdasarkan laporan Administrator KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 disampaikan kepada:
Administrator KEK; dan
Dewan Kawasan. Pasal 68 Hasil evaluasi Dewan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) ditindaklanjuti oleh Dewan Kawasan dan Administrator KEK untuk pengendalian operasional KEK. Pasal 69 (1) Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2), Dewan Nasional dapat meminta masukan dari Dewan Kawasan dan Administrator KEK terkait upaya perbaikan operasionalisasi KEK. (2) Berdasarkan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Nasional dapat:
memberikan arahan kepada Dewan Kawasan dan Administrator KEK untuk peningkatan kinerja operasionalisasi KEK;
melakukan b. melakukan pemantauan terhadap operasionalisasi KEK; dan/atau
memberikan rekomendasi mengenai langkah tindak lanjut operasionalisasi KEK. (3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf c, dapat berupa:
pemutusan perjanjian pengelolaan KEK dalam hal Badan Usaha pengelola ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1);
perbaikan manajemen operasional KEK dalam hal Badan Usaha pengelola merupakan Badan Usaha pengusul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), atau Badan Usaha yang melakukan kerja sama antara pemerintah dan Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (21, Pasal 35 ayat (2), Pasal 36 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (5); atau
pengusulan pencabutan penetapan KEK. (41 Rekomendasi pemutusan perjanjian pengelolaan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a disampaikan oleh Dewan Nasional kepada Dewan Kawasan, apabila Badan Usaha pengelola:
tidak memenuhi standar kinerja pelayanan;
dinyatakan pailit;
melakukan kegiatan yang menyimpang dari Perizinan Berusaha dan izin lain yang diberikan; dan/atau
mengajukan permohonan berhenti sebagai Badan Usaha pengelola. (5) Rekomendasi perbaikan manajemen operasional KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b disampaikan oleh Dewan Nasional kepada Dewan Kawasan, apabila Badan Usaha pengelola:
tidak memenuhi standar kinerja pelayanan; dan/atau
melakukan b. melakukan kegiatan yang menyimpang dari Perrzinan Berusaha danizin lain yang diberikan. (6) Rekomendasi pencabutan penetapan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c disampaikan oleh Dewan Nasional kepada Presiden apabila dalam pengoperasian KEK:
tidak dilakukan perbaikan kinerja setelah dilakukan langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (41atau ayat (5);
terjadi dampak negatif skala luas terhadap lingkungan di sekitarnya;
menimbulkan gejolak sosial ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya; dan/atau
terjadi pelanggaran hukum di KEK. Pasal 70 (1) Dalam hal status Badan Usaha pengelola dicabut, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten f kota, atau Dewan Nasional/kementerian/ lembaga pemerintah nonkementerian melakukan proses penetapan Badan Usaha pengelola yang baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah pencabutan Badan Usaha pengelola. (2) Selama belum ditetapkannya Badan Usaha pengelola yang baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelolaan KEK dilakukan oleh Administrator KEK. BAB VIII FASILITAS DAN KEMUDAHAN DI KEK Pasal 71 (1) Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan pada kegiatan usaha di KEK, diberikan fasilitas dan kemudahan berupa:
perpajakan PRES IOEN REPUBLIK INDONESIA a. perpajakan, kepabeanan, dan cukai;
lalu lintas barang;
ketenagakerjaan;
keimigrasian;
pertanahan dan tata ruang;
Perizinan Berusaha; dan/atau
fasilitas dan kemudahan lainnya. (2) Fasilitas dan kemudahan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 72 (1) Dewan Nasional menetapkan 1 (satu) atau lebih kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) sebagai Kegiatan Utama di KEK. (2) Kegiatan usaha yang tidak ditetapkan sebagai Kegiatan Utama di KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi Kegiatan Lainnya. BAB IX FASILITAS DAN KEMUDAHAN PERPAJAKAN, KEPABEANAN, DAN CUKAI Bagian Kesatu Jenis Fasilitas dan Kemudahan, dan Syarat Umum Penerima Fasilitas dan Kemudahan Pasal 73 (1) Fasilitas dan kemudahan perpajakan, kepabeanan, dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7l ayat (1) huruf a berupa:
Pajak Penghasilan;
Pajak b. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor; dan/atau
Cukai. (2) Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c termasuk Bea Masuk anti dumping, Bea Masuk imbalan, Bea Masuk tindakan pengamanan, dan Bea Masuk pembalasan. (3) Untuk mendapatkan fasilitas dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Usaha harus memenuhi syarat:
merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri, baik pusat maupun cabang, yang melakukan kegiatan usaha di KEK;
memiliki penetapan sebagai Badan Usaha untuk membangun danf atau mengelola KEK dari Dewan Nasional, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupatenf kota, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan kewenangannya;
mempunyai batas lahan yang jelas sesuai tahapannya; dan
memiliki Perizinan Berusaha. (4) Untuk mendapatkan fasilitas dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha harus memenuhi syarat sebagai berikut:
merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri, baik pusat maupun cabang; dan
memiliki Perizinan Berusaha. (5) Administrator KEK dapat menerbitkan tanda pengenal khusus bagi Badan Usaha dan Pelaku Usaha di KEK.
Ketentuan .
Ketentuan mengenai fasilitas dan kemudahan perpajakan, kepabeanan, dan cukai diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Pasal 74 Untuk dapat memperoleh fasilitas dan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf c berupa penangguhan Bea Masuk, Badan Usaha, dan Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha di KEK harus memiliki sistem informasi (IT inuentory) yang tersambung dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Bagian Kedua Fasilitas dan Kemudahan Pajak Penghasilan Pasal 75 (1) Badan Usaha danf atau Pelaku Usaha yang melakukan Penanaman Modal pada kegiatan utama dapat memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Kegiatan Utama yang dilakukan. (21 Ketentuan mengenai besaran, jangka waktu, pengajuan, keputusan, pemanfaatan, larangan dan sanksi, dan kewajiban Wajib Pajak terkait pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Pasal 76 Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di luar kegiatan usaha yang memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 77 (1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak di luar penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari kegiatan usaha yang memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, tetap dilakukan pemotongan dan pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (2) Badan Usaha dan Pelaku Usaha yang memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, tetap melaksanakan kewajiban pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan kepada pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 78 (1) Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang melakukan Penanaman Modal pada Kegiatan Utama yang tidak memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 atau melakukan Penanaman Modal pada Kegiatan Lainnya dapat memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan yang meliputi:
pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman modal yang dilakukan;
penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebesar loyo (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah; dan
kompensasi kerugian selama 10 (sepuluh) tahun. (2) Ketentuan mengenai pengajuan, keputusan, pemanfaatan, larangan dan sanksi, dan kewajiban Wajib Pajak terkait fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Pasal 6 Sesuai dengan rencana tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a merupakan kawasan budi daya dengan peruntukan berdasarkan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah kabupatenlkota. Pasal 7 (1) Batas yang jelas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b berupa batas alam atau batas buatan. (2) Pada batas KEK, Badan Usaha harus menetapkan pintu keluar dan pintu masuk barang untuk keperluan pengawasan barang yang masih terkandung kewajiban penerimaan negara. (3) Penetapan pintu keluar dan pintu masuk barang sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilakukan dengan berkoordinasi dengan kantor pabean setempat. Pasal 8 (1) Penguasaan lahan paling sedikit 5Oo/o (lima puluh persen) dari yang direncanakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c dibuktikan dengan:
sertifikat atau dokumen kepemilikan hak atas tanah;
akta jual beli dengan pemilik tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perLrndang-undangan;
perjanjian pengikatan jual beli yang telah dibayar lunas kepada pemilik tanah; dan/atau
dokumen penguasaan dalam bentuk perjanjian sewa ^jangka panjang.
Perjanjian (2) Perjanjian sewa jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling singkat sama dengan ^jangka waktu KEK yang diusulkan. Bagian Ketiga Kegiatan Usaha di KEK Pasal 9 (1) Kegiatan usaha di KEK terdiri atas:
produksi dan pengolahan;
logistik dan distribusi;
riset, ekonomi digital, dan pengembangan teknologi;
pariwisata;
pengembangan energi;
pendidikan;
kesehatan;
olahraga;
jasa keuangan;
industri kreatif;
pembangunan dan pengelolaan KEK;
penyediaan infrastruktur KEK; dan/atau
ekonomi lain. (2) Kegiatan ekonomi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m ditetapkan oleh Dewan Nasional. (3) Dalam menetapkan kegiatan ekonomi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (21, Dewan Nasional dapat meminta pertimbangan menteri atau kepala lembaga terkait. (4) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan rencana zonasi KEK.
Di dalam KEK disediakan lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, baik sebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada di dalam KEK. (6) Di dalam KEK dapat dibangun fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja yang terpisah dari lokasi kegiatan usaha. Pasal 10 Kriteria dan persyaratan kegiatan usaha pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan setelah berkonsultasi dengan Dewan Nasional. Pasal 1 1 Kriteria kegiatan usaha kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf g ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan setelah berkonsultasi dengan Dewan Nasional. BAB III PENGUSULAN PEMBENTUKAN KEK Bagian Kesatu Pengusul Pembentukan KEK Pasal 12 (1) Pembentukan KEK diusulkan kepada Dewan Nasional oleh:
Badan Usaha; atau
Pemerintah Daerah. (2) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
badan usaha milik negara;
badan b. badan usaha milik daerah;
koperasi;
badan usaha swasta berbentuk perseroan terbatas; atau
badan usaha patungan atau konsorsium. (3) Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
Pemerintah Daerah provinsi; atau
PemerintahDaerahkabupaten/kota. Pasal 13 (1) Seluruh atau sebagian wilayah KPBPB Batam, KPBPB Bintan, dan KPBPB Karimun dapat ditetapkan menjadi KEK. (21 Penetapan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan usulan Dewan Kawasan KPBPB Batam, KPBPB Bintan, dan KPBPB Karimun. Pasal 14 (1) Dalam hal tertentu, Pemerintah Pusat dapat menetapkan suatu wilayah sebagai KEK. (2) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
dalam rangka perluasan dan peningkatan kesempatan kerja; dan/atau
kebutuhan pertumbuhanperekonomiannasional dan wilayah. (3) Pemenuhan hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (21diputuskan melalui sidang Dewan Nasional. Pasal 15. PFIES IDEN REPUBLIK INDONESIA Pasal 15 (1) Pengusulan KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (2) harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (2) Pengusulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada Dewan Nasional KEK oleh:
pimpinan Badan Usaha;
bupati/wali kota;
gubernur; atau
ketua Dewan Kawasan KPBPB. (3) Penyampaian pengusulan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pemenuhan persyaratan pengusulan pembentukan KEK. Pasal 16 Penyiapan pemenuhan kriteria dan persyaratan pengusulan bagi KEK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal Dewan Nasional dengan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Bagian Kedua Persyaratan Pengusulan Pembentukan KEK Paragraf 1 Pengusulan Pembentukan KEK oleh Badan Usaha Pasal 17 (1) Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a mengusulkan pembentukan KEK kepada Dewan Nasional setelah memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
Usulan . (21 Usulan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen paling sedikit berupa:
peta lokasi pengembangan serta luas area yang diusulkan yang terpisah dari permukiman penduduk;
rencana tata ruang KEK yang diusulkan dilengkapi dengan pengaturan zonasi;
rencana dan sumber pembiayaan;
PersetujuanLingkungan;
hasil studi kelayakan ekonomi dan finansial;
jangka waktu beroperasinya KEK dan rencana strategis pengembangan KEK; dan
bukti penguasaan lahan paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari yang direncanakan. (3) Selain dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dilengkapi dengan:
akta pendirian Badan Usaha; dan
persetujuan Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota. (41 Persetujuan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, memuat:
persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang KEK dalam hal terdapat lahan yang belum dibebaskan;
kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota; dan
komitmen dukungan tertulis Pemerintah Daerah kabupaten/kota. (5) Lokasi KEK yang diusulkan oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berada:
dalam satu wilayah kabupaten/kota;
lintas wilayah kabupatenlkota; atau
lintas provinsi.
Dalam hal lokasi KEK yang diusulkan berada pada lintas wilayah kabupatenf kota, persetujuan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus diperoleh dari masing-masing Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang lahan di wilayahnya masuk dalam lokasi KEK. (71 Dalam hal lokasi KEK yang diusulkan berada dalam lintas provinsi, persetujuan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus diperoleh dari masing-masing provinsi dan masing- masing kabupaten/kota yang lahan di wilayahnya masuk dalam lokasi KEK. Paragraf.2 Pengusulan Pembentukan KEK oleh Pemerintah Daerah Kabupate n I Kota Pasal 18 (1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf b mengusulkan pembentukan KEK kepada Dewan Nasional. (21 Usulan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen paling sedikit berupa:
peta lokasi pengembangan serta luas area yang diusulkan yang terpisah dari permukiman penduduk;
rencana tata ruang KEK yang diusulkan dilengkapi dengan pengaturan zonasi;
rencana dan sumber pembiayaan;
Persetujuan Lingkungan;
hasil studi kelayakan ekonomi dan finansial;
jangka waktu beroperasinya KEK dan rencana strategis pengembangan KEK; dan
bukti penguasaan lahan paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari yang direncanakan. (3) Selain dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (21, usulan pembentukan KEK dilengkapi dengan komitmen dukungan tertulis dari Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten I kota. Paragraf 3 Pengusulan Pembentukan KEK oleh Pemerintah Daerah Provinsi Pasal 19 (1) Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal L2 ayat (3) huruf a mengusulkan pembentukan KEK kepada Dewan Nasional. (21 Usulan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen paling sedikit berupa:
peta lokasi pengembangan serta luas area yang diusulkan yang terpisah dari permukiman penduduk;
rencana tata ruang KEK yang diusulkan dilengkapi dengan pengaturan zonasi;
rencana dan sumber pembiayaan;
PersetujuanLingkungan;
hasil studi kelayakan ekonomi dan finansial;
jangka waktu beroperasinya KEK dan rencana strategis pengembangan KEK; dan
bukti penguasaan lahan paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari yang direncanakan. (3) Selain dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (21, usulan pembentukan KEK dilengkapi dengan persetujuan dan komitmen dukungan tertulis Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang lahan di wilayahnya masuk dalam lokasi KEK. (4) Lokasi KEK yang diusulkan oleh Pemerintah Daerah provinsi dapat berada:
dalam satu wilayah kabupaten/kota; atau
lintas wilayah kabupatenlkota.
Dalam .
Dalam hal lokasi KEK yang diusulkan berada pada lintas wilayah kabupatenf kota, persetujuan dan komitmen dukungan tertulis pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diperoleh dari masing-masing Pemerintah Daerah kabupatenlkota yang lahan di wilayahnya masuk dalam lokasi KEK. Paragraf 4 Pengusulan Pembentukan KEK oleh Dewan Kawasan KPBPB Pasal 20 (1) Dewan Kawasan KPBPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) mengusulkan pembentukan KEK kepada Dewan Nasional. (21 Usulan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen paling sedikit berupa:
peta lokasi pengembangan dan luas area yang diusulkan yang terpisah dari permukiman penduduk;
rencana tata rLlang pada lokasi KEK yang dilengkapi dengan pengaturan zonasi;
jangka waktu beroperasinya KEK dan rencana strategis pengembangan KEK; dan
rencana transisi perubahan KPBPB menjadi KEK. (3) Rencana transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d paling sedikit memuat:
tugas Dewan Kawasan selama transisi dilaksanakan oleh Dewan Kawasan KPBPB yang bersangkutan;
tugas Administrator KEK dilaksanakan oleh Badan Pengusahaan KPBPB yang bersangkutan;
fasilitas c. fasilitas fiskal yang telah diterima oleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha dan fasilitas fiskal yang sama tetap diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
kemudahan yang telah diterima oleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha dan kemudahan yang sama tetap diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Jangka waktu untuk masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Dewan Nasional. (5) Pengusulan oleh Dewan Kawasan KPBPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas pengusulan yang disampaikan oleh:
Badan Pengusahaan KPBPB; atau
Badan Usaha. (6) Dalam hal Badan Usaha telah menguasai atau mendapatkan alokasi lahan dari Badan Pengusahaan KPBPB, pengusulan oleh Badan Pengusahaan KPBPB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, perlu mendapat pertimbangan dari Badan Usaha yang bersangkutan. (7) Dalam hal Badan Usaha telah menguasai atau mendapatkan alokasi lahan dari Badan Pengusahaan KPBPB, pengusulan oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, perlu mendapat pertimbangan dari Badan Pengusahaan KPBPB. Paragraf 5 Paragraf 5 Penetapan KEK oleh Pemerintah Pusat Pasal 21 (1) Dalam hal penetapan KEK oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Sekretariat Jenderal Dewan Nasional bersama kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait melakukan:
inventarisasi lahan negara yang dapat dimanfaatkan oleh Dewan Nasional sebagai lokasi KEK;
koordinasi dengan Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupatenlkota di lokasi rencana KEK; dan
menJrusun rencana pengembangan KEK. (2) Rencana pengembangan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
lokasi pengembangan yang terpisah dari permukiman penduduk;
luas lahan yang diperlukan;
rencana peruntukan rltang KEK dilengkapi dengan pengaturan zonasi;
penyiapan sumber pembiayaan;
penyiapan Persetujuan Lingkungan; dan
rencana pembangunan dan pengelolaan KEK. BAB IV PENETAPAN KEK Bagian Kesatu Pengkajian Pengusulan Pembentukan KEK Pasal 22 (1) Berdasarkan usulan dari Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, atau Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Sekretariat Jenderal Dewan Nasional melakukan evaluasi terhadap kelengkapan dokumen usulan. (21 Dalam hal dokumen usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap, Sekretariat Jenderal Dewan Nasional mengembalikan dokumen usulan kepada pengusul. Pasal 23 (1) Terhadap usulan yang dokumennya telah lengkap, Dewan Nasional melakukan kajian terhadap usulan pembentukan KEK dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya usulan tertulis dan dokumen persyaratan secara lengkap. (2) Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
pemenuhan kriteria lokasi KEK; dan
kebenaran dan kelayakan isi dokumen yang dipersyaratkan. (3) Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Sekretariat Jenderal Dewan Nasional.
Sekretariat PRES lDEN FIEPUBLIK INDONESIA (4) Sekretariat Jenderal Dewan Nasional dalam melaksanakan kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat melibatkan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Badan Usaha, akademisi, tenaga ahli, asosiasi pengusaha, dan/atau pihak terkait. Bagian Kedua Persetujuan atau Penolakan Atas Pengusulan Pembentukan KEK Pasal 24 (1) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Dewan Nasional memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan pembentukan KEK. (2) Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam sidang Dewan Nasional. Pasal 25 (1) Dalam hal keputusan Dewan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) menyetujui usulan pembentukan KEK, Dewan Nasional mengajukan rekomendasi pembentukan KEK kepada Presiden. (21 Pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 26 (1) Bagi KEK yang ditetapkan oleh Pemerintah pusat, Dewan Nasional mengajukan rekomendasi pembentukan KEK kepada Presiden setelah melakukan proses pembahasan dalam sidang Dewan Nasional yang melibatkan Pemerintah Daerah terkait. (21 Pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Tata Cara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Dana Subsidi Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Liquefied Petroleum ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu yang selanjutnya disebut Jenis BBM Tertentu adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari minyak bumi dan/atau bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari minyak bumi yang telah dicampurkan dengan bahan bakar nabati ( biofuel ) sebagai bahan bakar lain dengan jenis, standar dan mutu (spesifikasi), harga, volume, dan konsumen tertentu dan diberikan subsidi.
Liquefied Petroleum Gas yang selanjutnya disingkat LPG adalah gas hidrokarbon yang dicairkan dengan tekanan untuk memudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan penanganannya yang pada dasarnya terdiri atas propana, butana, atau campuran keduanya.
LPG Tabung 3 Kilogram yang selanjutnya disebut LPG Tabung 3 Kg adalah LPG yang diisikan ke dalam tabung dengan berat isi 3 Kilogram dan diberikan subsidi.
Harga Dasar Jenis BBM Tertentu adalah harga Jenis BBM Tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Harga Jual Eceran Jenis BBM Tertentu adalah harga Jenis BBM Tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Harga Patokan adalah harga yang didasarkan pada harga indeks pasar LPG yang berlaku pada bulan yang bersangkutan ditambah biaya distribusi (termasuk handling) dan margin usaha yang wajar.
Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus menerus, dan didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Badan Pengatur adalah badan pengatur sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Konsumen Pengguna Jenis BBM Tertentu adalah konsumen Jenis BBM Tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Konsumen LPG Tabung 3 Kg adalah rumah tangga, usaha mikro, dan kapal perikanan bagi nelayan kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara baik di kantor pusat maupun daerah atau satuan kerja di kementerian negara/ lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN.
Tata Cara Pemberian Pinjaman yang Bersumber dari Dana Saldo Anggaran Lebih
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
Treasury Dealing Room yang selanjutnya disingkat TDR adalah unit pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang melaksanakan transaksi pengelolaan kelebihan atau kekurangan kas, dengan dilengkapi alat komunikasi, perekam dan perangkat pendukung lainnya.
Rekening Lainnya adalah rekening yang dibuka oleh BUN/kuasa BUN pada Bank Indonesia selain rekening kas umum negara dan sub rekening kas umum negara.
Rekening Lain Bank Indonesia Kelolaan TDR adalah rekening milik kuasa BUN yang digunakan untuk operasional TDR.
Saldo Anggaran Lebih yang selanjutnya disingkat SAL adalah akumulasi neto dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dan Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran tahun- tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah atau dikurangi dengan koreksi pembukuan.
Dana SAL BUN adalah SAL yang dimiliki oleh BUN yang tidak dibatasi penggunaannya untuk membiayai kegiatan tertentu.
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai BUMN.
Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah.
Badan Hukum Lainnya yang selanjutnya disingkat BHL adalah badan hukum yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang dan/atau dibentuk oleh Pemerintah dengan tujuan tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi, atau bupati bagi daerah kabupaten, atau wali kota bagi daerah kota.
Pinjaman Dana SAL adalah fasilitas dukungan likuiditas berupa pinjaman jangka pendek yang dapat diberikan Pemerintah kepada BUMN/BUMD/Pemerintah Daerah/BHL yang mendapat penugasan Pemerintah dalam rangka melaksanakan kebijakan nasional, sebagai bentuk optimalisasi pemanfaatan Dana SAL BUN.
Pinjaman Likuiditas Dana SAL adalah setiap pinjaman atas pemanfaatan Pinjaman Dana SAL.
Debitur adalah BUMN/BUMD/Pemerintah Daerah/BHL penerima Pinjaman Dana SAL.
Pimpinan Debitur adalah pimpinan tertinggi pada BUMN/BUMD/BHL yang dapat berupa Direktur Utama/Ketua Dewan Direktur/Ketua Eksekutif atau Kepala Daerah pada Pemerintah Daerah.
Jaminan adalah garansi berupa aset yang bertujuan untuk memberikan kepastian pengembalian atas Pinjaman Dana SAL, baik pokok maupun bunga/imbal hasilnya.
Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank.
Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara dan surat berharga syariah negara.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Direktur Jenderal Perbendaharaan adalah direktur jenderal pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang merupakan unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perbendaharaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Direktur Pengelolaan Kas Negara adalah direktur pada Direktorat Pengelolaan Kas Negara yang merupakan unit eselon II pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang pengelolaan kas negara.
Reverse Repurchase Agreement yang selanjutnya disebut Reverse Repo adalah transaksi beli SBN dengan janji jual kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan.