Pengujian UU Nomor 3 2015 tentang Perubahan atas UU 27 Tahun 2014 tentang APBN 2015
Relevan terhadap
Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya untuk melaksanakan amanat konstitusi “untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat” , Pemerintah diwajibkan meng- addressat -kan lagi PIP kepada PT. SMI, dan akhirnya PT. SMI menjadi penerima akhir addressat -nya. PT. SMI dapat disebut menjadi penerima akhir addressat karena PT. SMI adalah BUMN, yaitu BUMN pemilik “kekayaan negara yang dipisahkan”, yang setiap saat sesuai dengan mekanisme pasar dapat menjual “dirinya sendiri” (saham kepemilikannya) kepada “siapapun” tanpa melalui mekanisme APBN. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 8 Yang dimaksud dengan “siapapun” diatas dapat berupa perseorangan maupun perseroan, baik lokal maupun interlokal, dalam negeri maupun luar negeri, asing maupun tidak asing, dan model inilah yang biasa dikenal dengan istilah “SWASTANISASI” , swastanisasi pusat investasi pemerintah. Dan karenanya ketentuan Pasal 23A UU 3/2015 yang dimohonkan diujikan oleh Pemohon menurut Pemohon adalah acara addressat meng-addressat- kan yang salah, alias “SALAH ALAMAT” . B.22c. Jika Pemohon tidak mematuhi ketentuan yang menurut Pemohon ”salah alamat” tersebut (misalnya Pemohon menghalang-halangi secara langsung ketentuan tersebut dengan upaya misalnya dengan “menggembok pintu” Kantor Presiden agar Presiden tidak dapat ngantor dan tidak dapat menandatangani Peraturan Pemerintah sebagai peng-halal-an dilakukannya transaksi yang salah alamat tersebut), maka negara dapat memaksakan ketentuan itu kepada Pemohon dan Pemohon dapat dikenakan sanksi jika tidak mematuhinya, sebagaimana substansi pertimbangan dalam pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XII/2014 (tersebut pada poin B.22 di atas). Dan negara akan memaksakan ketentuan itu kepada Pemohon dan Pemohon dikenakan sanksi karena tidak mematuhinya dengan sanksi yang ada pada peraturan perundang-undangan lainnya, misalnya menghukum Pemohon dengan pasal Penghinaan Kepada Presiden. Dan inilah potensi kerugian konstitusional Pemohon yang berupaya menegakkan bahwa negara ini adalah negara hukum. B.22d.PIP adalah “milik” Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia (konsepsi kepemilikan kolektif seluruh rakyat yang dikelola oleh Pemerintah), karenanya PIP adalah milik rakyat yang pengelolaannya ada didalam mekanisme APBN, dan ketika itu berubah karena ketentuan Pasal a quo menjadi “kekayaan negara yang dipisahkan” (pengelolaannya diluar mekanisme APBN), maka Pemohon secara langsung juga akan terikat dan wajib untuk turut mematuhi ketentuan addressat tersebut. Dan secara langsung inilah kerugian konstitusional Pemohon jika pasal a quo diberlakukan, kerugian Pemohon yang sedang melaksanakan kewajiban menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 9 B.23. Maka Pemohon mengajukan permohonan ini karena Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk memaksakan kewajiban menjunjung tinggi hukum dan/atau sebagai lembaga peradilan yang berwenang mengadili setiap Undang-Undang yang pemohon anggap tidak sesuai dengan UUD 1945. B.24. Bahwa Pemohon beranggapan bahwa Pasal 23A Undang-Undang a quo yang diujikan tersebut adalah BERTENTANGAN dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, selengkapnya alasan akan pemohon jelaskan alasannya dalam Pokok Permohonan dalam permohonan ini. B.25. Adapun secara sederhana alasan permohonan Pemohon tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
Bahwa Pemohon memiliki kewajiban konstitusional untuk menjunjung hukum, dan jika ada ketentuan yang menginjak hukum diberlakukan, maka kewajiban konstitusional Pemohon secara langsung akan dirugikan, karena kewajiban itu menuntut paksaan dan sanksi moril kepada Pemohon jika ikut dan/atau turut serta mendiamkan dan membiarkan pelanggaran hukum itu terjadi dan terus berlangsungnya.
Selain itu bahwa Undang-Undang yang mohon diujikan dalam permohonan ini adalah tentang APBN Republik Indonesia, yang menyangkut kepentingan seluruh warga negara Republik Indonesia, maka karenanya Pemohon memiliki kepentingan konstitusional secara langsung terhadap pengujian ini.
Bahwa Pasal 23A Undang-Undang a quo terkait secara langsung dengan keberadaan dan/atau penampakan PT. Sarana Multi Infrastruktur (selanjutnya disebut PTSMI).
Bahwa Pemohon beranggapan bahwa PTSMI telah menginjak hukum Republik Indonesia, PTSMI telah melakukan konspirasi kejahatan korporat yang SISTEMATIK, TERENCANA dan MASIF terhadap seluruh warga negara Republik Indonesia dengan menggunakan utang luar negeri Republik Indonesia untuk kepentingan bisnis sebuah perusahaan swasta (PT.INDONESIA INFRASTRUCTURE FINANCE, selanjutnya disingkat PTIIF) yang jelas-jelas mayoritas sahamnya dimiliki oleh institusi-institusi asing, dengan kata lain bahwa PTSMI Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 10 telah menggunakan utang luar negeri Republik Indonesia untuk kepentingan bisnis institusi-institusi asing di republik ini.
Bahwa jika pasal a quo diberlakukan, maka PTSMI akan menjadi entitas/institusi yang akan menjadi penerima pertama manfaat ekonomi sekaligus penikmati hasil pertama dari ketentuan a quo .
Dan jika pasal a quo diberlakukannya, maka jelas Pemohon dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan karena itu akan memberi ruang bagi PTSMI untuk melakukan penginjakan hukum selanjutnya yang lebih dahsyat lagi di republik ini, peninjakan hukum demi kepentingan bisnis institusi-institusi asing;
Bahwa desain bisnis PTSMI berpotensi menjadi praktik bisnis yang tidak Pancasilais dan/atau tidak konstitusional, yang jelas-jelas telah dilarang oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU- XI/2013.
Dan fakta menunjukkan bahwa PTSMI juga telah menjalankan praktek bisnis yang tidak Pancasilais dan/atau tidak konstitusional tersebut.
Bahwa pemberlakuan pasal a quo adalah kerugian konstisusional seluruh warga negara Indonesia, termasuk Pemohon. Dan jika ketentuan tersebut tidak diberlakukan, maka kerugian konstitusional seluruh warga negara Indonesia (paling tidak kerugian konstisusional Pemohon) tidak akan terjadi lagi, minimal akan sedikit berkurang kerugian konstitusional tersebut. Pelanggaran terhadap norma hukum dan pemerintahan tentu akan menyebabkan terjadinya ketidak-komprehensif-annya jalannnya pemerintahan dan ujungnya akan meyebabkan tidak efektifnya pengelolaan republik ini. Dan akhir dari semuanya adalah dapat mengganggu upaya pencapaian tujuan Negara Republik Indonesia. Karenanya dalam situasi adanya gangguan terhadap pencapaian tujuan Negara Republik Indonesia inilah maka kewajiban Pemohon untuk melaksanakan kewajiban konstitusionalnya sebagai warga negara Inodesia sebagaimana yang dimaksud dalam norma Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Dan jika kewajiban pemohon ini dihalang-halangi oleh siapa pun juga, maka itu artinya hak konstitusional Pemohon juga telah dirugikan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 11 “Pemohon berkeyakinan bahwa kepastian hukum dan berjalannya sistem bernegara yang komprehensif merupakan prasyarat utama bagi tercapainya tujuan Negara Republik Indonesia”. Sikap membiarkan atau mendiamkan saja pelanggaran substantif dan adanya ketidakpastian hukum terhadap persoalan yang sebenarnya ada dan aktual dalam bidang hukum dan pemerintahan di Republik Indonesia jelas itu adalah kerugian bagi seluruh warga negara, dan Pemohon sangat yakin bahwa Mahkamah Konstitusi tidak akan pernah membiarkan hak-hak konstitusional warga negara dirugikan oleh apapun juga. B.26. Bahwa Kementerian Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 40/KMK.01/2010 ( bukti P.22) memang membentuk PT. IIF, Kementerian Keuangan membentuk perusahaan swasta dan memberikan utang negara untuk perusahaan swasta PT. IIF tersebut dengan “perantara” PT. SMI: UKURAN KEBERHASILAN UKURAN KEBERHASILAN Semula: Cakupan perluasan modal lembaga pembiayaan infrastruktur Menjadi: Pendirian perusahaan pembiayaan infrastruktur Semula TARGET: Perluasan modal lembaga pembiayaan infrastruktur yang lebih besar sehingga mencakup XX.XX Menjadi TARGET: Beroperasinya secara efektif perusahaan pembiayaan infrastruktur PT IIFF B.27. Bahwa institusi World Bank dan Asian Development Bank (ADB) terlibat secara aktif sejak awal “mengatur” dan “mengarahkan” pemanfaatan utang negara itu untuk PT. IIF melalui PT. SMI, selengkapnya dapat dilihat pada bukti P.11, P.12, P.13, P.15, P.1 dan P.2. B.28. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah pula membahas keberadaan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dalam perkara Nomor 2/SKLN-X/2012 B.29. Terdapat ketidakkonsistenan, di satu sisi dalam perkara Nomor 2/SKLN- X/2012 tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah (Kemenkeu) berjuang sekuat tenaga berupaya untuk menjadikan saham kecil sebuah perusahaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 12 swasta menjadi saham milik negara, sementara disisi lain dalam APBNP 2015 (UU 3/2015) muncul ketentuan Pasal 23A (yang Pemohon mohon di- uji-kan dalam perkara ini) menunjukkan bahwa Pemerintah (Kemenkeu) dengan begitu mudahnya melepas kepemilikan negara menjadi “kekayaan negara yang dipisahkan” dan masuk kedalam upaya swastanisasi kekayaan milik negara, yang dampaknya luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara. B.30. Bahwa dalam pembahasan perkara Nomor 2/SKLN-X/2012 tersebut mempertegas pula ketentuan Pasal 24 ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: “Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR” . Bahwa sangat tegas pula Closing Statement Ketua BPK (Hadi Poernomo) dalam perkara tersebut: “/BPK berpendapat bahwa pembelian saham 7% PT NNT tertutup oleh PIP adalah penyertaan modal pemerintah pada perusahaan swasta tertutup yang ini terjadi pertama kali di bumi kita , dalam keadaan normal, pemerintah menanamkan saham pada perusahaan tertutup ” . Sebagai catatan : Mahkamah memutuskan bahwa BPK tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk diajukan sebagai Termohon dalam perkara ini, karenanya pendapat BPK di atas (terkait ketentuan Pasal 24 ayat (7) UU 17/2003) tetap merupakan kewenangan BPK. B.31. Bahwa Pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi pada Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013 juga secara tegas telah menyebutkan bahwa: [3.23]... Bahwa, menurut Mahkamah, pemisahan kekayaan negara dimaksud dilihat dari perspektif transaksi bukanlah merupakan transaksi yang mengalihkan suatu hak, sehingga akibat hukumnya tidak terjadi peralihan hak dari negara kepada BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Dengan demikian kekayaan negara yang dipisahkan tersebut masih tetap menjadi kekayaan negara. Terkait dengan kewenangan BPK untuk memeriksa, menurut Mahkamah, oleh karena masih tetap sebagai keuangan negara dan BUMN atau BUMD sesungguhnya adalah milik negara dan, sebagaimana dipertimbangkan di atas, adalah juga kepanjangan tangan negara maka tidak terdapat alasan bahwa BPK tidak berwenang lagi memeriksanya. [3.18]... Pemisahan kekayaan negara tidak dapat diartikan sebagai putusnya kaitan negara dengan BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Pemisahan kekayaan negara pada BUMN, BUMD, atau nama Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 13 lain yang sejenisnya hanyalah dalam rangka memudahkan pengelolaan usaha dalam rangka bisnis sehingga dapat mengikuti perkembangan dan persaingan dunia usaha dan melakukan akumulasi modal, yang memerlukan pengambilan keputusan dengan segera namun tetap dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya . B.32. Bahwa berdasarkan dua poin di atas dapat disimpulkan bahwa BPK memiliki kewenangan penuh untuk menilai pengelolaan utang negara yang dilakukan oleh PT. SMI tersebut, dan agar konsisten dengan penilaian BPK di atas maka dapat disebutkan: “/BPK berpendapat bahwa pembelian saham PT IIF tertutup oleh PT. SMI adalah penyertaan modal pemerintah pada perusahaan swasta tertutup yang ini terjadi pertama kali di bumi kita , dalam keadaan normal, pemerintah menanamkan saham pada perusahaan tertutup .” . B.33. Karenanya secara substansi apa yang dilakukan oleh World Bank, Asian Development Bank (ADB), Kemenkeu dan PT. SMI yang menggunakan utang negara untuk kepentingan perusahaan swasta PT. IIF adalah tidak sesuai dengan norma pengelolaan keuangan yang baik dan benar di republik ini, dan itu artinya bertentangan dengan norma hukum di republik ini, dan secara langsung bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. B.34. Bahwa PT. SMI adalah perusahaan baru, dan BPK BELUM PERNAH melakukan pemeriksaan secara khusus terhadap PT. SMI, karenanya “isi perut” dan pengelolaan keuangan yang ada di dalam PT. SMI masih merupakan misteri bagi bangsa ini, masih seperti kucing dalam karung. Karenanya, jika PIP “diserahkan” kepada PT. SMI seperti membeli kucing dalam karung. B.35. Bahwa sebenarnya hubungan antara Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dengan keberadaan PT. SMI telah telah memberikan kesimpulan yang substansinya sangat jelas bahwa PIP lebih baik tidak “disatukan” dengan PT. SMI sehingga dapat saling mendukung dalam situasi sulit (terlampir sebagai bukti P.18 ): Kajian Analisis Atas Penyempurnaan Model Bisnis Project Development Facility di Kementerian Keuangan __ B. Penyempurnaan Project Development Facility Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 14 Dalam merumuskan skema penyiapan proyek KPS yang diharapkan dapat memenuhi harapan-harapan dimaksud, muncul 2 (dua) opsi utama yang menjadi bahan pertimbangan. Dua opsi adalah sebagai berikut:
Opsi pertama adalah perluasan terhadap penugasan PT SMI berdasarkan KMK 126 Tahun 2011;
Opsi kedua adalah penujukan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) sebagai institusi yang mengelola dana penyiapan proyek. D. Simpulan 3. Dalam pembahasan perumusan teridentifikasi beberapa skema PDF sebagai berikut:
Sekretariat PDF di Kementerian Keuangan & PT SMI sebagai pengelola PDF b. Sekretariat PDF di Kementerian Keuangan & tanpa pengelola PDF c. Sekretariat PDF di PDF Fund & PT SMI sebagai pengelola PDF d. Sekretariat PDF di PDF Fund & PT SMI sebagai pengelola PDF e. Sekretariat PDF di pengelola PDF f. Sekretariat di PDF Fund & pengelola PDF 4. Alternatif BLU PIP sebagai PDF Fund dengan Sekretariat PDF di PDF Fund serta di pengelola PDF ( front office ) merupakan pilihan terbaik. C. ALASAN PERMOHONAN C.1. LATAR BELAKANG C.1.1. Bahwa pada tanggal 15 Januari 2010, KEMENTERIAN KEUANGAN (selanjutnya disebut KEMENKEU) telah menandatangani naskah perjanjian Utang Luar Negeri ( Loan Agreement-Loan Number 7731-ID; selanjunya disebut Loan Agreement , terlampir sebagai bukti P.3). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 15 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 16 C.1. 2. Bahwa perjanjian Loan Agreement yang ditandatangani tersebut secara langsung telah menjadikan Republik Indonesia memiliki utang kepada WORLD BANK Group (selanjutnya disebut World Bank ) c.q. International Bank for Reconstruction and Development (selanjutnya disebut IBRD) Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 17 sebesar US$100,000,000 (seratus juta Dollar Amerika Serikat). Dan Republik Indonesia berkewajiban membayar utang tersebut, mencicilnya selama 24,5 tahun. Jadwal pembayaran utang selengkapnya dapat dilihat pada halaman 16.
Peruntukan duit hasil ngutang dari Loan Agreement untuk PTSMI secara substantif niat dan perbuatannya ADALAH BERTENTANGAN, MELANGGAR, MELAWAN DAN/ATAU MENGINJAK-INJAK HUKUM DI REPUBLIK INDONESIA [ketentuan dari 24 ayat (7) UU 17/2003, Pasal 6 PP 44/2005 dan Pasal 1 ayat (23) PP 2/2006].
Bahwa World Bank , Kemenkeu dan PTSMI sejak awal telah merencanakan peruntukan duit hasil ngutang dari Loan Agreement untuk PTSMI dan kemudian diserahkan untuk kepentingan PTIIF. Dengan kata lain bahwa telah terjadi konspirasi kejahatan korporasi yang SISTEMATIS, TERENCANA dan MASSIF untuk menginjak-injak hukum di republik ini.
Bahwa World Bank sebenarnya telah mengetahui bahwa tindakannya memberikan dan/atau mengalokasikan duit hasil ngutang dari Loan Agreement untuk PTIIF tersebut adalah bertentangan, melanggar dan/atau melawan ketentuan dari Pasal 24 ayat (7) UU 17/2003, Pasal 6 PP 44/2005 dan Pasal 1 ayat (23) PP 2/2006, dan karena ke-tahuan-nya tersebut World Bank kemudian “menyembunyikan” rencananya dengan memberikan utang MELALUI entitas penghubung TERGUGAT II. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 4. Bahwa IFC sebagai salah satu pemegang saham PTIIF adalah institusi yang satu group dengan World Bank . dengan kata lain bahwa World Bank sebenarnya sedang memberikan utang untuk dirinya sendiri, alias “keluar kantung kiri- masuk ke kantung kanan”. Tindakan World Bank dengan cara konyol tersebut adalah jalan bagi World Bank agar dapat turut menikmati keuntungan dari operasionalnya bisnis PTIIF, World Bank mendapatkan keuntungan ganda, bunga utang plus keuntungan bisnis dari pengelolaan utang tersebut.
Bahwa saham miliK PTSMI (berbadan hukum RI) di entitas PTIIF (berbadan hukum RI) pada saat pendiriannya hanya sebesar 40,3 %, sementara bagian saham yang 59,7% -nya adalah milik entitas yang berbadan hukum non-RI. Dengan kata lain sebenarnya PTIIF adalah milik asing, 59,7% !!!!!:
Dan yang lebih menyedihkannya lagi, bahwa pada tanggal 19 Maret 2012, PTSMI telah menjual 6% saham miliknya di PTIIF kepada Sumitomo Mitsui Banking Corporation (badan hukum asing), sehingga akhirnya komposisi kepemilikan saham PTSMI pada saat pendiriannya yang hanya 40,3 % sekarang semakin menurun sehingga hanya tinggal tersisa 34,3 % saja, dan sebaliknya justru saham milik asing yang semakin meningkat dari 59,7% SEKARANG TELAH MENJADI 65,7 % !!!. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 Hal ini semakin memperjelas bahwa PTIIF sebenarnya adalah milik asing, UTANG RI UNTUK SWASTA ASING !!. Dan PTSMI sebagai bapak kandungnya justru malah terlibat transaksi nista tersebut, dia telah menjual anak kandungnya kepada pihak asing, PTSMI harus bertanggung jawab !!. Bagaimana dengan transaksi penjualan “barang milik negara” (saham 6%) yang dilakukan oleh PTSMI tersebut apakah telah sesuai dengan ketentuan hukum di republik ini ??, apakah itu telah disetujui oleh DPR RI sebagai representasi mata dan telinga kepentingan seluruh rakyat republik ini ?? MANA BUKTINYA ?!. #Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan PTSMI kepada Jepang melalui penjualan saham barang milik negara dan lainnya yang dilaksanakan secara serampangan dan tidak seksama serta dalam tempo yang sesingkat-singkatnya tersebut, kami lampirkan sebagai Lampiran 7.
Bahwa kesimpulan atas telah dilakukannya konspirasi kejahatan korporasi tersebut adalah fakta substantif yang menunjukkan parahnya perbuatan yang telah dilakukan oleh PTSMI, bahwa duit ngutang seluruh Rakyat Indonesia ternyata diperuntukkan bukan cuma untuk kepentingan perusahaan swasta saja, TETAPI ternyata untuk PERUSAHAAN SWASTA “MILIK” ASING !!. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 8. Bahwa PTIIF merupakan perusahaan swasta “milik” asing yang berorientasi keuntungan, dan dalam operasionalnya, keuntungan tersebut kemudian akan dibagi sesuai dengan besarnya saham pemiliknya, 65,7% KEUNTUNGAN TERSEBUT UNTUK ASING !!. RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NGUTANG KEPADA ASING UNTUK DIGUNAKAN OLEH ASING ITU SENDIRI DAN UNTUK KEPENTINGANNYA SENDIRI ?!. Si asing dapat keuntungan ganda, untung dari bunga utang yang dibayar RI PLUS untung deviden dari operasional entitas PTIIF. TRAGIS !!, sepertinya ada yang salah dengan republik ini, sepertinya kita sedang dibodohi, dan lebih bodohnya lagi jika kita hanya diam terbengong -bengong bodoh dan sadar bahwa kita sebenarnya telah dibodohi. Entahlah nurani WNI mana yang kuat melihat perbuatan PTSMI membodohi bangsa ini, kalau kuat, itu artinya the golden way - nya Mario Teguh sepertinya cuma gombalan pepesan kosong di siang hari bolong. C.2.19. Bahwa tindakan PTSMI menandatangani Loan Agreement sebagai INDUK dari munculnya Project Agreement secara jelas menunjukkan bahwa PTSMI adalah EKSEKUTOR ATAU PELAKSANA LAPANGAN dari perilaku menginjak hukum di republik ini. C.2.20. Bahwa tindakan PTSMI membuat dan menandatangani Project Agreement yang menyebabkan seluruh rakyat RI jadi ngutang kepada World Bank tersebut adalah KESALAHAN YANG SANGAT-SANGAT FATAL. Tindakan PTSMI yang notabene adalah pengguna uang negara tersebut jelas sangat mengerikan, sangat tidak terpuji dan sangat membahayakan serta jelas-jelas telah merontokkan funndamental perekonomian Republik Indonesia, yaitu menambah utang secara serampangan, ngawur dan menginjak hukum !!. Dan yang jelas PTSMI TELAH membuat anak cucu seluruh rakyat Republik Indonesia menerima surat tagihan utang dan beban pembayarannya. Dan mengingat usia PTSMI yang sekarang ini mau diwafatkan dengan mengelola duit PIP (Pusat Investasi Pemerintah) sebagaimana Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 ketentuan pasal a quo , maka dapat dipastikan bahwa PTSMI telah WAFAT IN PEACE saat utang tersebut lunas pada tahun 2033 nanti. Mengingat agenda wafat itu, dapat dipastikan bahwa PTSMI dapat lepas tangan begitu saja dan tidak lagi menanggung pembayaran utang tersebut sebagaimana tanggungan seluruh anak cucu Indonesia dari sabang hingga Merauke. C.2.21. Secara sederhana fakta menginjak hukum dan pemerintahan yang dilakukan oleh PTSMI tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar G.1 Gambar G.2 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 Gambar G.3 C.3. KERUGIAN KONSTITUSIONAL C.3.1. Bahwa dalam kehidupan kesehariannya seluruh rakyat Republik Indonesia telah MEMBAYAR BERBAGAI MACAM jenis pajak, cukai dan retribusi negara RI (selanjutnya disingkat Pajak). Rakyat di-Pajak dari mulai konsumsi barang kebutuhan pokok sehari- harinya (dari mulai sembako hingga kolor) yang telah dikenakan Pajak, bahkan ketika itu masih dalam proses produksi dan belum sampai ke pasar (bahan bakunya di -Pajak, pabriknya di-Pajak, gaji buruhnya di-Pajak, suplier di-Pajak, grosirnya di-Pajak, pengecernya di-Pajak), kemudian rakyat di-Pajak ketika mau berangkat membeli kebutuhan itu di pasar (angkutan umumnya di-Pajak, Ojek dan Becak-pun di-Pajak), kemudian rakyat di-Pajak lagi ketika membeli kebutuhan itu (Ppn), kemudian rakyat di-Pajak lagi lagi ketika mau membawa kebutuhan itu kembali ke rumahnya, dan rakyat di-Pajak ketika menggunakan kebutuhan itu di-rumahnya (Pph & PBB). Bahkan saat Pemohon mengajukan Permohonan kepada Mahkamah Konstitusi RI ini pun alat bukti yang diajukan Pemohon juga di-Pajak (PNBP bea materai). Kesemuanya hasil pembayaran Pajak dari rakyat tersebut kemudian diterima negra dan dimasukkan sebagai Penerimaan Negara dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Republik Indonesia (APBN RI). C.3.2. Pembayaran Pajak dari rakyat dalam APBNP 2015 (terlampir sebagai bukti P.16): Pembayaran Pajak dari rakyat itu adalah 85% dari total penerimaan APBNP 2015: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 C.3.3. Dan menariknya untuk operasional negara ini, rakyat harus membayar: Kekurangan rencana akan belanja sebesar 222,5 Triliun itu akan ditutupi darimana lagi kalau bukan dari meningkatkan penerimaan dari Pajak rakyat tersebut. #menarik ketika rakyat selalu dilihat sebagai target, isi saku rakyat dijadikan target bancakan, isi saku anak cucu seluruh rakyat menjadi potensi pemasukan saku negara untuk membayar “jasa” pengelolaan saku negara itu sendiri. C.3.4. Dan APBNP 2015 juga menunjukkan bahwa kinerja “terbaik” seluruh BUMN se- republik ini (BUMN adalah payung-nya PTSMI) itu hanya “berkontribusi” mengurangi beban negara “hanya” sebesar 36,9 Triliun saja, dan itu hanya 2,4% saja dari kinerja terbaik setoran rakyat. Cukup menggelikan sebenarnya jika menilai kinerja terbaik seluruh BUMN yang mentereng-mentereng di republik ini itu, menyedihkan ketika angka kinerjanya bahkan angkanya kurang dari angka zakat minimal rakyat saja (angka zakat minimal 2,5%), itu baru angka kinerja BUMN kelas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 satu, bagaimana dengan angka kinerja PTSMI sebagai BUMN kw 3 kelas sekian itu ?!, bisa dipastikan 0% = NOL PERSEN angkanya !!. Karenanya jelas aneh, jika disatu sisi saat ditanyakan kinerja angka setor-nya, PTSMI pasti mencoba terus berlindung dibalik mantra- mantra standard “tugas suci-nya” sebagai BUMN yang berbisnis tidak mencari keuntungan, sementara disisi lain gembar-gembor menunjukkan kinerja “ke-kapitalis-annya” saat meminta duit 2 Triliun dari APBN, bahkan sekarang ngelunjak meminta duit 18,3 Triliun dari duit rakyat yang ada di PIP. Inilah pola kesalahan berpikir, kontradiksi pola berpikir, standar ganda, ngaku miskin ketika minta duit rakyat tetapi ngaku kaya ketika berhadapan cuap-cuap didepan rakyat seakan-akan adalah dewa penyelamat yang diturunkan dari langit untuk mensejahterakan rakyat, padahal duit yang disakunya itu adalah duit dari rakyat juga. Mereka sebenarnya cuma mau “numpang makan” saja dari duit rakyat itu, cuma mau menghidupkan kompor di dapur rumahnya saja, ngebulin asap dapur rumahnya saja dengan alasan kebulan asap dapur itu adalah hasil kerja lebay-nya, cuma meningkatkan kesejahteraannya saja dengan alasan itu dari hasil gaji-nya, menyedihkan, kontradiksi dengan pernyataan Presiden RI pada Pembukaan Konferensi Asia Afrika 2015, DI JCC, Jakarta, 22 April 2015. ”The world that we inherited today is still fraught with global injustice, inequality and violence. Global injustice and inequality are clearly on display before us. __ When hundreds of people in the northern hemisphere enjoy the lives of super rich, while more than 1.2 billion people in the southern hemisphere struggle with less than 2 dollars per day, then global injustice becomes more visible before our eyes ”. C.3.5. Dan mungkin cara berpikir kontradiktif seperti inilah yang dikenal dalam dunia Psikologi sebagai kecenderungan gangguan mental Psikopat. Dan karenanya inilah pula urgensi kenapa Pemohon mengajukan Permohonanan pengujian norma atas pasal a quo tersebut, kewajiban rakyat menjunjung hukum dan pemerintahan di republik ini dari rongrongan korporasi-korporasi psikopat. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 C.3.6. Fakta angka diibawah pasti dapat semakin memperjelas kontradiksi itu (APBP 2015) #nyetor cuma 36,9 Triliun, tapi minta 70,4 Triliun ?!, untuk melaksanakan “tugas suci” mensejahterakan rakyat ?!, untuk disejahterakan maka rakyat harus nombok 33,5 Triliun ?!, untuk membayar gaji dan fasilitas kesejahteraan para aparatur pengelola BUMN itu sendiri ?!, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia ?!, “..untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa..”. Entah kemana perginya nurani berbangsa di republik ini ?!. “ We also feel the global injustice when a group of established nations are reluctant to recognize that the world has changed. The view that the world economic problems can only be solved by the World Bank, the International Monetary Fund, and the Asian Development Bank, is an outdated view ”. (Pidato Presiden RI, 22/04/2015) C.3.7. Disatu sisi: (APBP 2015) Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 Sementara disisi lain: Menarik ketika ternyata uang rakyat yang akan diberikan kepada PTSMI itu ternyata jumlahnya hampir sama besarnya dengan total pembayaran PBB seluruh rakyat di republik ini. Bumi, tanah dan air rakyat hanya untuk PTSMI ?!. Entah kemana perginya nurani republik ini ketika tukang ojek dan buruh- buruh pabrik non-UMR di Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung harus membayar PBB tiap meter persegi rumah petak kontrakan 3x2m-nya. Entah kemana perginya nurani bangsa ini ketika petani- petani miskin di Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung harus membayar PBB bagi tiap jengkal sawah dan ladangnya yang berada diatas bukit terjal yang itupun mereka harus berjalan kaki selama 4 jam setiap harinya untuk dapat merawat sawah dan ladangnya itu. Entah kemana perginya nurani Sila Pertama Pancasila ketika seluruh Sajadah yang diletakkan di tiap rumah warga negara republik ini harus membayar PBB untuk tiap centimeter persegi sajadah tersebut. IRONIS, karena faktanya ternyata pembayaran PBB itu semua hanya untuk membayar kenikmatan kehidupan aparatur PTSMI serta fasilitas gagah-gagahan di kertas-kertas kapitalis prospektus bisnis PTSMI saat cuap-cuap di depan para rentenir-rentenir asing agar turut serta menambahi utang negara republik ini. Semuanya cuma numpang makan dari uang receh di saku kecil rakyat. #mungkin Pidato Presiden RI di depan kepala-kepala negara lain saat pembukaan Konfrensi Asia Afrika di atas ada baiknya ditambahkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 satu paragraf lagi jika Presiden RI akan ber-pidato di depan konfrensi rakyat kere di republik ini : “ We also feel the Indonesian injustice when a group of established Company are reluctant to recognize that the Indonesia has changed. The view that the Indonesia economic problems can only be solved by the World Bank, the PTSMI, and the PTIIF, is an very-very outdated view ”. (WNI, 28 Juni 2015) C.3.8. Bahwa utang luar negeri Republik Indonesia dibayarkan kepada para rentenir global melalui APBN RI, demikian juga dengan pembayaran utang luar negeri RI pada Loan Agreement utang negara untuk PTSMI. Sehingga menjadi jelas bahwa uang dari bermacam- macam Pajak yang dibayarkan oleh Pemohon dalam kehidupannya adalah uang yang digunakan APBN untuk membayar utang negara yang digunakan oleh PTSMI. C.3.9. Karenanya jika utang negara RI dilakukan dengan cara menginjak hukum, maka artinya Pemohon harus membayar untuk tindakan menginjak hukum tersebut. Dan jika Pemohon mendiamkan saja penginjakan hukum tersebut, maka secara langsung secara substantif dan normatif bahwa Pemohon artinya telah terlibat, menjadi bagian dan melindungi acara penginjakan hukum tersebut. C.3.10. Bahwa uang pembayaran pajak dari Pemohon itu juga digunakan untuk membayar operasional berjalannya pemerintahan republik ini. Karenanya jika utang negara RI dilakukan dan dibayarkan dengan cara menginjak- injak uang pembayaran pajak dari Pemohon yang niatnya agar pemerintahan republik ini dapat berjalan dengan baik, maka artinya Pemohon harus keluar uang untuk membayar suatu tindakan menginjak- injak pemerintahan republik ini dan/atau Pemohon menjadi terlibat menghancurkan sendiri pemerintahan republik ini. C.3.11. Tentu ini suatu hal yang sangat-sangat konyol, acara menginjak hukum yang dilakukan oleh orang lain tetap harus dibayar oleh Pemohon, bayangkan bahwa perbuatan hukum itu saja jelas jelas- jelas telah merugikan Pemohon secara langsung, dan konyolnya sudah dirugikan tetap saja Pemohon harus membayar untuk kerugian yang dialami karena acara penginjakan hukum yang dilakukan oleh orang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 lain itu, Pemohon sudah jatuh tertimpa tangga namanya, konyol jika Pemohon harus membayar untuk itu. Apapun alasannya, tentu ada yang salah dengan substansi normatif bernegara di republik ini jika Pemohon harus membayar untuk kerugian ber-warga negara itu, dan karena keanehan acara itulah maka sekarang ini Pemohon hanya dapat meminta perlindungan kepada Konstitusi republik ini, meminta perlindungan kepada Mahkamah Konstitusi. Semoga fakta-fakta dibawah ini dapat memperjelas KE-SPESIFIK-AN YANG PASTI AKAN TERJADI pada pos pengeluaran APBN republik ini: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 spesifik akan terjadi?! pasti terjadi pada anak cucu pemohon, anak cucu yang me angani-menghabiskan dan yang menikmati utang itu, anak cucu para penonton utang, anak cucu bagian cleaning service PTSMI, anak cucu pembantu rumah tangga pegawai Mahkamah Konstitusi, anak cucu Hakim Konstitusi, seluruh anak cucu republik ini. Dan sebagai pertimbangan Pemohon melampirkan tagihan utang dari World Bank kepada seluruh anak cucu Indonesia (terlampir sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 bukti P.23), semoga deretan daftar menu tagihan yang pasti akan terjadi itu dapat membuka mata hati kita semua agar jangan lagi “bermain-main” dengan nasib seluruh anak cucu rakyat Indonesia, janganlah lagi tergoda membebani generasi penerus republik ini dengan tagihan pembayaran utang psikopat itu. C.3.11. pinjaman negara yang dimanfaatkan untuk hal-hal yang produktif?! Sulit untuk menyebutkan yang mana utang yang dapat disebut utang yang produktif itu, karena faktanya menunjukkan bahwa setelah utang tersebut masuk ke Indonesia kemudian “diputar” dalam bentuk rupiah, kemudian menghasi lkan rupiah, tetapi pembayaran utang tersebut masih tetap dalam bentuk dollar (USD$), devaluasi kenaikan nilai tukar itu terus terjadi tiap penetapan APBN. Sulit menyebutkan jika ada utang yang produktif, karena faktanya devaluasi kenaikan nilai tukar dollar terhadap rupiah itu dalam kasus PTSMI ini saja hingga 30% (tiga puluh persen), tahun 2010 saat utang itu dimasukkan ke APBN dan diserahkan ke PTSMI dan diserahkan ke PTIIF, nilai satu dollar di APBN masih di angka Rp.9.000,00 (sembilan ribu rupiah) tetapi saat harus membayar utang itu nanti, APBNP 2015 saja harus mengeluarkan dana untuk membeli satu dollar senilai Rp.12.500,00 (dua belas ribu lima ratus rupiah), artinya “keuntungan” putaran utang negara di PTSMI dan PTIIF itu pasti telah habis “dimakan” oleh devaluasi nilai tukar dollar terhadap rupiah, itupun baru tahun 2015, bagaimana dengan tahun-tahun berikutnya ?!. Dan parahnya lagi, utang tersebut ternyata bukan digunakan dengan sekuat tenaga oleh PTSMI dan PTIIF, mereka hanya bertindak sebagai “investor” saja, karena faktanya duit utangan itu malah ditempatkan di perbankan sebagai simpanan alias deposito mereka, dan justru perbakan-lah yang memutar duit itu. Dan ketika duit itu masuk ke perbankan, duit itu dipinjamkan lagi ke rakyat dengan bunga membludak naik hingga 400% (dari 6% naik menjadi 24%), artinya saat rakyat ingin “mencicipi” duit utang itu, rakyat harus menanggung beban bunga utang itu hingga 5 kali lipat, membayar bunga utang 6% ke World Bank plus membayar bunga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 utang 24% ke perbankan. Bagaimana dengan PTSMI ?!, PTSMI menikmati selisih bunga deposito beban rakyat itu. Bukti L.7: # 90% duitnya di-deposito-kan di perbankan nasional ?!, 80% pendapatan dari penempatan di perbankan nasional ?! Bagaimana dengan PTIIF ?!, sama saja, duit utang itu juga dijadikan beban rakyat, dapat dilihat Laporan Tahunan 2013 - PTIIF (bukti P.7): Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 # 90% duitnya di-deposito-kan di perbankan ?! 80% pendapatan dari penempatan di perbankan nasional ?!. C.3.11. Kemudian bagaimana dengan hubungan antara utang negara yang disimpan disaku perbankan dan diputar oleh perbankan ?!, jangankan PTSMI dan PTIIF, Pusat Investasi Pemerintah (PIP) itu sendiri pernah diingatkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) tentang duit “ngetem” itu dalam Laporan BPK terkait Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja Atas Kegiatan Perencanaan Investasi Pemerintah Yang Dikelola Pusat Investasi Pemerintah Pada Kementerian Keuangan Tahun 2012 (terlampir sebagai bukti P.17): # Karenanya, jika ketentuan pasal a quo tetap diberlakukan, maka sepertinya Pemohon telah didudukkan secara langsung di meja judi para rentenir penambah beban rakyat. # Fakta-fakta lainnya terkail permainan “petak umpet” ala PTSMI-PTIIF Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 C.4. POTENSI KERUGIAN KEDEPAN C.4.1. Bahwa rencana penyerahan asset PIP kepada PTSMI ketentuan Pasal a quo adalah rencana yang prematur, terburu-buru dan tanpa perencanaan yang matang, persis sama seperti saat perencanaan utang dari ADB untuk PTIIF dan PTSMI pada 10 tahun yang lalu, karena faktanya utang itu sendiri adalah asal tandatangan saja (bukti P.14): Pinjaman IIFF ini belum efektif karena masih terdapat beberapa persyaratan pengefektifan yang belum terpenuhi yakni: a) Belum diperolehnya izin usaha PT IIF; b) Belum diperolehnya persetujuan Menteri Hukum dan HAM atas akta pendirian PT IIF; c) Belum ditunjuknya CEO dan CFO PT IIF; d) Belum ditunjuknya enviromental and social staff ; e) Manual operasi PT IIF belum berlaku. # belum terpenuhi semua ?! asal tandatangan saja, teknis-nya NOL BESAR !! C.4.2. Terkait dengan rencana “mendadak 20 triliun” sebagaimana ketentuan pasal a quo , Pemohon melampirkan satu kajian tentang “isi perut” terkait skenario teknis trio Kemenkeu-PIP-PTSMI (terlampir sebagai bukti P.18), dan kajian itu sendiri menyimpulkan bahwa: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 C.4.3. Kemudian ada juga Laporan BPK terkait Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja Atas Kegiatan Perencanaan Investasi Pemerintah Yang Dikelola Pusat Investasi Pemerintah Pada Kementerian Keuangan Tahun 2012 juga memberikan berbagai rekomendasi “penyempurnaan” PIP, tetapi tidak ada satupun rekomendasi itu yang mengarahkan untuk menyerahkan duit rakyat yang ada di PIP itu kepada PTSMI, padahal saat pemeriksaan itu berlangsung sebenarnya PTSMI telah beroperasi, dan jika itu memang dipandang oleh BPK perlu menyerahkan duit itu kepada PTSMI, maka tentu BPK telah merekomendasikannya. C.4.4. Dan secara khusus BPK belum pernah memeriksa PTSMI, karenanya upaya untuk menyerahkan duit PIP kepada PTSMI tersebut jelas prematur dan terburu -buru. C.4.5. Karenanya jika ketentuan pasal a quo diberlakukan, maka Pemohon jelas ngeri- ngeri tidak sedap karena “keremang-remangan” pengelolaan yang ada, jangankan duit PTSMI yang “remang-remang” pengelolaannya karena merupakan kekayaan negara yang dipisahkan, duit rakyat di PIP yang jelas-jelas itu saja masih tetap “remang-remang” pengelolaannya. Mengerikan jika duit rakyat diletakkan sebagai taruhan di meja judi rentenir global. C.4.6. Fakta juga menunjukkan bahwa sebenarnya PTSMI selama beroperasinya telah terlibat secara aktif dalam bisnis “perdagangan air”, bisnis yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konsitusi (melalui Putusan Nomor85/PUU-XI/3013 perihal pengujian UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air) sebagai bisnis yang Inkonstitusional alias bisnis yang tidak Pancasilais. Bahwa PTSMI terlibat secara aktif Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 dalam bisnis tersebut sebagai “aktor utama” dalam Proyek SPAM Umbulan Jawa Timur (terlampir sebagai bukti P.19): C.4.7. Selain itu proses penetapan “acara mendadak 20 Triliun” untuk PTSMI sebagaimana ketentuan pasal a quo itu jelas nampak prematur, mendadak muncul begitu saja pada awal tahun 2015, kemudian diajukan oleh Menkeu ke DPR RI dan kemudian ditetapkan sebagai Pasal a quo. Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi XI DPR RI dengan Kemenkeu pada 5 Februari 2015 (terlampir sebagai bukti P.20) memutuskan meminta bebarapa syarat kepada Kemenkeu dan PTSMI. Tanggal 10 Februari 2015 PTSMI menyampaikan jawaban kepada Komisi XI DPR RI (terlampir sebagai bukti P.21), sebuah jawaban sebanyak 6 lembar kertas kuarto. Dan tanggal 6 Maret 2015 ditetapkan-lah Pasal 23A APBNP 2015. Hanya dalam waktu 1 bulan pasca RDP terakhir itu ternyata “mampu” melewati berbagai proses, dari mulai proses harmonisasi dengan Komisi VI DPR RI sebagai mitra Kemen BUMN, pembahasan dan penetapan di Badan Anggaran DPR RI hingga pembahasan dan penetapan di Badan Legislasi DPR RI. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 Sebuah kecepatan yang sempurna, cukup satu bulan, 20 Triliun untuk PTSMI, cukup 6 lembar kertas jawaban, 20 Triliun kekayaan negara berubah menjadi kekayaan yang dipisahkan. Karenanya wajar jika Pemohon menjadi su’udzon dan semakin ngeri-ngeri tak sedap dengan “acara mendadak 20 Triliun” untuk PTSMI itu, jangan-jangan ini penyelundupan anggaran, penyelundupan yang resmi terhadap APBNP 2015. C.4.8. Dan yang lebih menariknya lagi, tanggal 14-15 Mei 2015 di Gorontalo, Menkeu dan sdr. Fadel M. sebagai Ketua Komisi XI DPR RI (Fadel M. adalah anggota DPR RI dari daerah pemilihan Gorontalo) mulai mengenalkan “acara mendadak 20 triliun” untuk PTSMI itu, Menkeu kunker sekaligus menyampaikan janji-janji indah untuk Gorontalo, didampingi wakil rakyat Gorontalo: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 C.4.9. Akan menjadi mengerikan bagi Pemohon jika ternyata benar bahwa proses munculnya hingga ditetapkannya pasal a quo adalah sebuah proses transaksional. Jika memang itu yang terjadi, maka Pemohon jelas akan kehilangan kesempatan ikut “mencicipi” duit 20 Triliun untuk PTSMI itu karena wakil rakyat Pemohon di DPR RI (dari daerah pemilihan Kabupaten Bandung) bukanlah Ketua Komisi XI DPR RI, bahkan Pemohon tidak memiliki wakil rakyat di Komisi XI DPR RI. C.4.10. Karenanya ini jelas kejahatan HAM berat, diskriminasi bagi penikmat 20 Triliun, INKONSTITUSIONAL !! karena UUD 1945 jelas-jelas telah menegaskan bahwa Pemohon yang warga Kabupaten Bandung (walaupun bukan anggota apalagi Ketua Komisi XI DPR RI) tetap bersamaan kedudukannya dengan warga Gorontalo di dalam hukum dan pemerintahan untuk ikut mencicipi duit 20 Triliun itu. C.4.11. Inilah urgensi Pemohonan ini, Negara Indonesia adalah negara hukum. C.4.12. Bahwa sejak kecil Pemohon telah diajarkan oleh keluarga, lingkungan dan sekolah untuk mematuhi hukum dan jangan pernah menginjak hukum dan/atau bekerjasama dalam acara menginjak hukum. Dan secara normatif bahwa Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah secara tegas menyebutkan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. C.4.13. Bahwa UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi di RI dan pondasi dalam pedoman utama kelangsungan hidup bangsa ini telah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 mewajibkan Pemohon untuk menjujung tinggi hukum RI. Bahwa UUD 1945 yang tidak terlepas dari Pembukaan UUD 1945 adalah merupakan wujud dari tujuan dan tegaknya harga diri serta kedaulatan bangsa ini. Dengan kata lain, acara menginjak hukum adalah perbuatan meruntuhkan harga diri dan kehormatan bangsa ini, sekaligus menghancurkan kedaulatan bangsa ini. C.4.13a. Bahwa PT. SMI adalah perusahaan yang berbadan hukum Republik Indonesia, dan aparatur pengelola PT. SMI adalah Warga Negara Indonesia. C.4.13b. Bahwa jika fakta-fakta konkret menunjukkan bahwa pengelolaan PT. SMI dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan hukum, maka itu artinya bertentangan dengan norma Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. C.4.13c. Bahwa jika fakta-fakta konkret menunjukkan bahwa aparatur PT. SMI melakukan pengelolaan dengan cara yang bertentangan dengan hukum, maka itu artinya bertentangan dengan norma Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. C.4.13d. Bahwa jika fakta-fakta konkret diatas terpenuhi, maka secara langsung artinya norma pada Pasal 23A UU 3/2015 tersebut bertentangan dengan norma- norma pada batu uji [Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945]. C.4.13e. Karenanya Pemohon membutuhkan tafsiran, kepastian dan keadilan hukum terhadap aplikasi konkret dari norma-norma batu uji tersebut dari Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penegakan hukum dan keadilan, pengawal konstitusi Republik Indonesia. C.4.13f. Selain tafsiran, kepastian dan keadilan hukum terhadap aplikasi konkret dari norma-norma batu uji tersebut hal ini diharapkan pula dapat menjadi dasar untuk mengurangi polemik ketidakkonsistenan dan ketidakkomprehensifan pengelolaan republik ini, misalnya polemik lembaga negara manakah yang sebenarnya lebih berwenang untuk memberikan penyuluhan tentang konstitusi, apakah lembaga Mahkamah Konstitusi ataukah MPR RI ?, apakah substansi dan aplikasi konkret “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara” berbeda dengan “Empat Pilar MPR RI” ?, apakah program “Sosialisasi Empat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 Pilar MPR RI” perlu dikeluarkan dari DIPA APBN MPR RI ?. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 C.4.14a. Bahwa PT. SMI adalah perusahaan yang berbadan hukum Republik Indonesia, dan aparatur pengelola PT. SMI adalah warga negara Indonesia. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 C.4.13b. Bahwa jika fakta-fakta konkret menunjukkan bahwa pengelolaan PT. SMI dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan hukum, maka itu artinya bertentangan dengan norma Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. C.4.13c. Bahwa jika fakta-fakta konkret menunjukkan bahwa aparatur PT. SMI melakukan pengelolaan dengan cara yang bertentangan dengan hukum, maka itu artinya bertentangan dengan norma Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. C.4.13d. Bahwa jika fakta-fakta konkret diatas terpenuhi, maka secara langsung artinya norma pada Pasal 23A UU 3/2015 tersebut bertentangan dengan normanorma pada batu uji [Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945]. C.4.13e. Karenanya Pemohon membutuhkan tafsiran, kepastian dan keadilan hukum terhadap aplikasi konkret dari norma-norma batu uji tersebut dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai lembaga penegakan hukum dan keadilan, pengawal konstitusi Republik Indonesia. C.4.13f. Selain tafsiran, kepastian dan keadilan hukum terhadap aplikasi konkret dari norma-norma batu uji tersebut hal ini diharapkan pula dapat menjadi dasar untuk mengurangi polemik ketidakkonsistenan dan ketidakkomprehensifan pengelolaan republik ini, misalnya polemik lembaga negara manakah yang sebenarnya lebih berwenang untuk memberikan penyuluhan tentang konstitusi, apakah lembaga Mahkamah Konstitusi ataukah MPR RI ?, apakah substansi dan aplikasi konkret “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara” berbeda dengan “Empat Pilar MPR RI” ?, apakah program “Sosialisasi Empat Pilar MPR RI” perlu dikeluarkan dari DIPA APBN MPR RI ?. (gambar termuat dalam permohonan) C.4.14. Bahwa konspirasi penginjakan hukum yang telah dilakukan secara SISTEMATIK, TERENCANA dan MASSIF yang telah dilakukan oleh World Bank , Kemenkeu, PTSMI dan PTIIF dengan menjadikan PTSMI sebagai eksekutor langsung dari penginjakan hukum itu adalah perbuatan yang melecehkan dan merusak tatanan hukum dan kedaulatan bangsa ini, infiltrasi asing terhadap bangsa ini, penjajahan terselubung. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 C.4.15. Bahwa harga diri, kehormatan bangsa dan kedaulatan serta kewajiban menjunjung tinggi hukum bagi bangsa ini tidaklah dapat dinilai dengan materi “remeh temeh”. Harga diri, kehormatan dan kedaulatan adalah harta benda milik diri yang paling berharga di muka bumi ini. Dan rakyat RI sendiri sebenarnya pernah merasakan beratnya konsekuensi tersebut. RI diwajibkan Pengadilan Amerika Serikat untuk membayar ganti rugi lebih dari Rp.2,8 triliun kepada Karaha Bodas Company LLC yang berbadan hukum Cayman Islands, tetapi sahamnnya dimiliki Caithness Energy, Florida Power & Light dan Tomen Corp berbadan hukum US. Dari perkara Karaha Bodas Company ini menunjukkan bahwa Hakim-hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat ternyata sangat menghargai dan memuliakan warga negaranya, siapapun yang merugikan warga negaranya pasti akan mereka hukum. Warga negara Amerika yang merasakan dirugikan oleh siapapun juga dimuka bumi ini dipersilahkan menuntut keadilan, dan putusan mereka tidak akan terpengaruh oleh apapun juga. Kemuliaan bagi tiap sen dollar pajak, cukai, materai dan retribusi yang telah dibayarkan oleh warga negara Amerika untuk menghidupi aparatur hukum mereka, peradilan, hakim dan mahkamah agung mereka. Bahwa ganti rugi yang wajib dibayarkan RI dalam perkara KBC tersebut artinya pembayaran itu (melalui institusi apapun yang membayarnya, misalnya Pertamina) tetaplah artinya Pemohon juga yang membayarnya, membayar harga diri, kehormatan dan kedaulatan karena terlanjur di-putuskan-kan sebagai bangsa yang tidak taat hukum. C.4.16. Bahwa tahun 2013 hingga hari ini Churchill Mining PLC (Churchill) yang berbadan hukum Inggris sedang berperkara di pengadilan ICSID- arbitrase internasional, Churchill menuntut RI mengganti rugi sebesar Rp.15 triliun. Dan jika dikabulkan itu artinya yang membayarnya nanti jelas adalah Pemohon juga. Entah mengapa begitu luar biasanya orang-orang asing dimuliakan dimeja mahkamah peradilan mereka, peradilan penuh kemuliaan, penghargaan atas harga diri dan kehormatan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 Dan menariknya dalam perkara Churchill dan tuntutan ganti rugi 12 triliun-nya tersebut, sebenarnya Churchill bukanlah hanya sedang mengadili atau memperkarakan sejenis perkara sengketa bisnis atau dunia per-saudagar-an saja, karena sebenarnya perkara itu sendiri telah diputuskan oleh Mahkamah Agung RI. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 Sederhananya, Churchill di ICSID sebenarnya sedang menuntut Pengadilan Negeri Kalimatan Timur, Pengadilan Tinggi TUN-Jakarta dan Mahkamah Agung RI. CHURCHILL SEDANG MENUNTUT HUKUM DI INDONESIA. Pengadilan Indonesia sedang diadili di pengadilan ICSID yang berada dalam yuridiksi negara Singapura. Ini fakta bahwa sebenarnya Putusan MAHKAMAH AGUNG RI SEDANG DIADILI DI PERADILAN WORLD BANK. Hubungan antara World Bank-ICSID-IBRD-IFC adalah sebagaimana yang disampaikan mister Roberto Dañino Zapata ( Secretary General of ICSID and Senior Vice President and General Counsel of the World Bank ) dalam acara First Annual Conference “Interpretation Under The Vienna Convention On The Law of Treaties ”, di London pada 17 January 2006: “ As you know, the expression “World Bank Group” is short-hand for five international organizations: The International Bank for Reconstruction and Development (IBRD),the International Development Association (IDA), International Finance Corporation (IFC), the Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA), Finally, the International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID). the four financial institutions of the World Bank Group are headed by the same President while, in the ICSID, the General Counsel of IBRD hastraditionally been elected by the Administrative Council to serve as theSecretary General of ICSID. the personnelworking for ICSID is in its entirety employed by IBRD, though assigned toICSID ”. Sederhananya bahwa Sekjen IBRD adalah Sekjen ICSID, Karyawan IBRD adalah juga karyawan ICSID. Dalam kasus Churchill di ICSID artinya Putusan Pengadilan Kalimatan Timur, Putusan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta dan Putusan Mahkamah Agung RI sedang diadili oleh World Bank. HUKUM INDONESIA SEDANG DIADILI OLEH PERADILAN WORLD BANK GROUP. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 Apapun pendapat hakim pengadilan dan MAHKAMAH AGUNG RI, pakar hukum dan ahli penghalus bahasa, tetapi FAKTANYA bahwa disaat warga Indonesia telah dibodohi oleh World Bank, disaat itu juga institusi Pengadilan di Indonesia sebenarnya sama saja nasibnya, sedang diadili di peradilan World Bank , sedang dikerjain World Bank , # Arghhh!! : @!?<”<>%$%j; ; d#^4o$?!! C.4.17. Sebagai catatan akhir fakta (terlampir sebagai bukti P-22) menunjukkan: KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 40/KMK.01/2010 TENTANG RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN KEUANGAN TAHUN 2010-2014 PROGRAM 100 HARI Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 DIREKTORAL JENDERAL KEKAYAAN NEGARA Fakta menunjukkan bahwa memang Loan Agreement itu memang dimaksudkan untuk PTIIF, sebuah perusahaan swasta, perusahaan yang mayoritas sahamnya milik asing, seluruh anak cucu Indonesia menanggung utang mereka. Dan yang pasti semoga saat pendirian PT. Sarana Multi Infrastruktur yang kemudian biasa disingkat disingkat PT. SMI sebenarnya bukanlah singkatan yang sama dengan Menkeu itu sendiri : Sri Mulyani Indrawati alias SMI, yang “kebetulan” saat ini menjadi pembesar di World Bank . Semoga PTSMI bukanlah berhala- pemberhalaan aparat Kemenkeu kepada mantan menterinya. D. PETITUM Berdasarkan alasan-alasan yang telah disampaikan diatas, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar memeriksa, mengadili dan memutuskan permohonan a quo dengan amar:
Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Menyatakan Pasal 23A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015 adalah bertentangan bertentangan dengan UUD 1945.
Menyatakan Pasal 23A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-23 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015;
Bukti P-3 : Fotokopi Loan Agreement-Loan Number 7731-ID;
Bukti P-4 : Fotokopi Project Agreement Loan Number 7731-ID;
Bukti P-5 : Fotokopi Laporan Tahunan PT. SMI Tahun 2009;
Bukti P-6 : Fotokopi Laporan Tahunan PT. SMI Tahun 2010;
Bukti P-7 : Fotokopi Laporan Tahunan PT. IIF Tahun 2013;
Bukti P-8 : Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Bukti P-9 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara Dan Perseroan Terbatas;
Bukti P-10 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Dan/Atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman Dan/Atau Hibah Luar Negeri;
Bukti P-11 : Fotokopi Report Nomor AB4691: Private Infrastructure Financing & Support Facility Project - Appraisal Stage;
Bukti P-12 : Fotokopi Report Nomor AB4696: Private Infrastructure Financing & Support Facility Project - Concept Stage;
Bukti P-13 : Fotokopi Asian Development Bank (ADB) ^* Proposed Loan and Equity Investment Republic of Indonesia: Indonesian Infrastructure Financing Facility Company Project;
Bukti P-14 : Fotokopi Kemenkeu: Laporan Pinjaman Pemerintah Tahun 2010;
Bukti P-15 : Fotokopi Report Nomor AC4407: Private Infrastructure Financing & Support Facility Project - Integrated Safeguards Data Sheet - Concept Stage ;
Bukti P-16 : Fotokopi APBNP 2015 : Penerimaan Perpajakan;
Bukti P-17 : Fotokopi BPK RI, Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja Atas Kegiatan Perencanaan Investasi Pemerintah Yang Dikelola Pusat Investasi Pemerintah Pada Kementerian Keuangan Tahun 2012;
Bukti P-18 : Fotokopi Novijan Janis (Kepala Subbidang Risiko Ekonomi Keuangan, dan Sosial pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal): Kajian Analisis Atas Penyempurnaan Model Bisnis Project Development Facility di Kementerian Keuangan, 2013;
Bukti P-19 : Fotokopi Panitia Lelang Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Sistem Penyediaan Air Minum (Kps Spam) Umbulan, Ringkasan Eksekutif Pra-Studi Kelayakan (Memorandum Informasi): Proyek Kerjasama Pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 Swasta Sistem Penyediaan Air Minum (Kps-Spam) Umbulan, 2012;
Bukti P-20 : Fotokopi Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XI DPR RI dengan Kemenkeu, 5 Februari 2015;
Bukti P-21 : Fotokopi Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XI DPR RI dengan PT.SMI: 10 Februari 2015;
Bukti P-22 : Fotokopi Keputusan Menteri Keuangan Nomor 40/KMK.01/20 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2010–2014;
Bukti P-23 : Fotokopi Daftar Tagihan Utang World Bank kepada Republik Indonesia; [2.3] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 [3.2] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang, in casu pengujian Pasal 23A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015, Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5669, selanjutnya disebut UU APBN- P 2015) terhadap UUD 1945. Dengan demikian, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo . Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat;
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukan atau kualifikasinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dalam kedudukan atau kualifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf a yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.4] Menimbang pula bahwa berkenaan dengan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional, Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa dalam permohonan a quo, Pemohon menjelaskan kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai berikut:
Bahwa Pemohon adalah organisasi kepemudaan Mahasiswa Pancasila (MAPANCAS) Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten Bandung yang telah mendapatkan surat tugas khusus dari Dewan Pimpinan Daerah MAPANCAS Jawa Barat dan diketahui Dewan Pimpinan Pusat MAPANCAS;
Bahwa Pemohon mendalilkan memiliki hak konstitusional yang diberikan UUD 1945. Menurut Pemohon hak konstitusionalnya tersebut telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 23A UU APBN-P 2015 sebagaimana diuraikan di atas, dengan alasan yang pada pokoknya:
Bahwa Pemohon memiliki kewajiban konstitusional untuk menjunjung hukum, dan jika ada ketentuan yang menginjak hukum diberlakukan, maka kewajiban konstitusional Pemohon secara langsung akan dirugikan, karena kewajiban itu menuntut paksaan dan sanksi moril kepada Pemohon jika ikut dan/atau turut serta mendiamkan dan membiarkan pelanggaran hukum itu terjadi dan terus berlangsung;
Undang-Undang a quo adalah tentang APBN yang menyangkut kepentingan seluruh warga negara Republik Indonesia maka karenanya Pemohon memiliki kepentingan konstitusional secara langsung terhadap pengujian Undang-Undang a quo ; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 c. Bahwa Pasal 23A Undang-Undang a quo terkait secara langsung dengan keberadaan dan/atau penampakan PT. Sarana Multi Infrastruktur (selanjutnya disebut PTSMI) yang menurut Pemohon telah menginjak hukum Republik Indonesia. PTSMI telah melakukan konspirasi kejahatan korporat yang sistematik, terencana, dan masif terhadap seluruh warga negara Republik Indonesia dengan menggunakan utang luar negeri Republik Indonesia untuk kepentingan bisnis sebuah perusahaan swasta (PT. Indonesia Infrastructure Finance, selanjutnya disingkat PTIIF) yang jelas-jelas mayoritas sahamnya dimiliki oleh institusi-institusi asing. Dengan kata lain, bahwa PTSMI telah menggunakan utang luar negeri Republik Indonesia untuk kepentingan bisnis institusi-institusi asing di republik ini;
Bahwa jika pasal a quo diberlakukan, maka PTSMI akan menjadi entitas/institusi yang akan menjadi penerima pertama manfaat ekonomi sekaligus penikmat hasil pertama dari ketentuan a quo ;
Bahwa jika pasal a quo diberlakukan, maka jelas Pemohon dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan karena itu akan memberi ruang bagi PTSMI untuk melakukan penginjakan hukum selanjutnya yang lebih dahsyat lagi di republik ini, penginjakan hukum demi kepentingan bisnis institusi- institusi asing;
Bahwa desain bisnis PTSMI berpotensi menjadi praktik bisnis yang tidak Pancasilais dan/atau tidak konstitusional, yang jelas-jelas telah dilarang oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 85/PUU- XI/2013;
Bahwa pemberlakuan pasal a quo adalah kerugian konstitusional seluruh warga negara Indonesia, termasuk Pemohon dan jika ketentuan tersebut tidak diberlakukan maka kerugian konstitusional seluruh warga negara Indonesia (paling tidak kerugian konstitusional Pemohon) tidak akan terjadi lagi, minimal akan sedikit berkurang kerugian konstitusional tersebut; [3.6] Menimbang bahwa berdasarkan syarat-syarat sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.3] dan paragraf [3.4] serta dihubungkan dengan dalil Pemohon Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 sebagaimana dijelaskan pada paragraf [3.5] di atas , Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa Pemohon, sebagai organisasi kepemudaan, yaitu MAPANCAS, dalam hal ini secara spesifik MAPANCAS Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten Bandung, mendalilkan dirinya sebagai badan hukum privat. Namun demikian, bukti-bukti yang diajukan Pemohon sama sekali tidak ada hubungan dan tidak menjelaskan keberadaan Pemohon sebagaimana didalilkan yaitu sebagai badan hukum melainkan bukti-bukti yang menerangkan keberadaan Pemohon sebagai organisasi kepemudaan;
Bahwa pada sidang pemeriksaan pendahuluan tanggal 18 Agustus 2015, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada Pemohon yang intinya mengingatkan bahwa organisasi kepemudaan bukanlah badan hukum privat. Lagi pula, kerugian sebagaimana diterangkan Pemohon dalam permohonannya bukanlah kerugian hak konstitusional badan hukum privat dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan badan hukum privat. Oleh karenanya Panel Hakim menasihatkan agar Pemohon memperbaiki permohonannya, khususnya mengenai uraian perihal kedudukan hukum ( legal standing ) agar disesuaikan dengan kualifikasi Pemohon, dalam hal ini sebagai organisasi kepemudaan, sehingga uraian perihal kerugian hak konstitusional Pemohon pun harus disesuaikan relevansinya dengan kualifikasi Pemohon sebagai organisasi kepemudaan dimaksud, setidak- tidaknya dengan memberikan penjelasan yang merujuk pada ketentuan dalam Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga-nya yang dapat menggambarkan adanya kerugian hak konstitusional sebagaimana yang didalilkan;
Bahwa Pemohon dalam perbaikan permohonannya, yang diterima dalam persidangan Mahkamah tanggal 31 Agustus 2015, dan diperiksa dalam sidang perbaikan permohonan pada tanggal 31 Agustus 2015, Pemohon tidak lagi mendalilkan dirinya sebagai badan hukum privat melainkan sebagai organisasi kepemudaan. Namun demikian, dalam perbaikan permohonan dimaksud, Mahkamah tidak menemukan sama sekali uraian yang dapat membawa Mahkamah pada pendapat bahwa setidak-tidaknya terdapat korelasi antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 kualifikasi Pemohon sebagai organisasi kepemudaan melainkan hanya tambahan uraian yang menerangkan bahwa Pemohon (MAPANCAS) telah terdaftar di Kementerian Dalam Negeri Nomor 258/D.III.2/V/2010 dan penjelasan bahwa Pemohon ( in casu MAPANCAS Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten Bandung) telah mendapatkan “Surat Tugas” dari Dewan Pimpinan Daerah MAPANCAS Jawa Barat yang diketahui oleh Dewan Pimpinan Pusat MAPANCAS untuk mengajukan permohonan a quo . Dengan tambahan uraian demikian, Pemohon kemudian mendalilkan dirinya telah memenuhi syarat kedudukan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK (vide Perbaikan Permohonan, halaman 2);
Bahwa karena tidak jelasnya uraian perihal kedudukan hukum Pemohon sebagaimana diuraikan pada angka 3) di atas, padahal prima facie Mahkamah menganggap permohonan ini cukup penting, Mahkamah mencoba mencari kaitan antara kedudukan hukum Pemohon dengan kerugian hak konstitusional Pemohon dalam alasan-alasan permohonan dengan maksud agar permohonan a quo memenuhi syarat untuk dilanjutkan pemeriksaannya ke tahapan pemeriksaan persidangan. Namun demikian, ternyata Pemohon dalam alasan-alasan permohonannya justru menerangkan dalil-dalil berkenaan dengan praktik yang dikatakan telah dilakukan oleh PT. Sarana Multi Infrastruktur. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan a quo sesungguhnya bukanlah pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang melainkan persoalan penerapan norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.7] Menimbang, oleh karena telah nyata bagi Mahkamah bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan a quo sehingga Mahkamah tidak perlu memeriksa pokok permohonan maka dengan berdasar pada Pasal 54 UU MK, tidak ada urgensinya bagi Mahkamah untuk mendengar keterangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan tidak dipertimbangkan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076).
AMAR PUTUSAN Mengadili , Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Patrialis Akbar, Aswanto, Manahan M.P Sitompul, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal satu, bulan September, tahun dua ribu lima belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh, bulan Oktober, tahun dua ribu lima belas , selesai diucapkan pukul 15.43 WIB , oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Patrialis Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 Akbar, Aswanto, dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Syukri Asy’ari sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan tanpa dihadiri oleh Pemohon. KETUA, ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Maria Farida Indrati ttd. Wahiduddin Adams ttd. Patrialis Akbar ttd. Aswanto ttd. Manahan M.P Sitompul PANITERA PENGGANTI, ttd. Syukri Asy’ari Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pengujian UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945
Relevan terhadap
(Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugasnya). Pasal 48 (Anggota Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya kecuali karena yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, atau berhalangan) dimaksudkan untuk memperkukuh Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 di atas. Ketika saya membaca Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 48 UU Nomor 23 Tahun 1999 itu, instinct saya mendorong saya untuk berkesimpulan negatif: "Ini negara di dalam negara!" Hal ini berdasar keraguan saya tentang bagaimana mungkin bisa menjadi sangat ekslusif, bahwa Bank Indonesia sekaligus menetapkan dan melaksanakan kebijaksaan moneter (secara independen). Ibaratnya pemerintah menjadi terbungkam, disisihkan peran aktifhya untuk mengatur kebijaksanaan ekonomi yang pasti selalu mengandung kebijaksanaan moneter sebagai derivatnya. Entah dari mana datangnya naskah Undang-Undang Bank Indonesia semacam itu. Pernah diberitakan naskah itu datang dari Jerman yang berhaluan Bundesbank. Kalau benar demikian memang tak mengherankan terasa benar adanya semacam "kediktatoran" ala Jerman. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 Dari pengantar di atas tentulah menjadi lumrah bahwa saat ini telah terjadi "kerunyaman" ( absurdity ) dalam hubungan antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Kemelut besar yang saat ini melanda Bank Indonesia tak terlepas dari kedudukan independensinya yang tidak dapat diterima, baik oleh pemerintah maupun oleh sebagian masyarakat yang tidak menghendaki adanya dualisme soverenitas. Tentu kemelut besar di Bank Indonesia itu terjadi pula karena alasan intern. Kemelut semacam ini telah menjelaskan sendiri ( self-explanatory ), bahwa sebenamya Bank Indonesia telah gagal melaksanakan peran dan tugasnya secara optimal sebagaimana ditentukan oleh Penjelasan Pasal 23 UUD 1945, dan Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 23 Tahun 1999. Bank Indonesia terbukti tidak mampu memelihara kestabilan nilai rupiah, tidak mampu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter secara tepat. Mengatur dan menjaga kelancaran sistim pembayaran pun tidak jelas arah dan ujudnya. Lebih dari itu Bank Indonesia jelas telah gagal dalam mengatur dan mengawasi bank-bank. Perbankan Indonesia menjadi berantakan dan terpuruk seperti yang kita lihat saat ini tidak terlepas dari tidak efektifnya pengawasan Bank Indonesia. Undang-Undang tentang Bank Indonesia ini sudah berlaku satu setengah tahun, lebih tua dari usia pemerintahan Gus Dur, namun tidak ada tanda-tanda akan bisa efektif. Untuk sedikit lebih bersahabat dalam menanggapi independensi Bank Indonesia sebagaimana ditetapkan oleh UU Nomor 23 Tahun 1999, dapatlah kiranya dikemukakan sebagai berikut ini. Keinginan untuk memberikan kedudukan independensi kepada Bank Indonesia tentulah tidak terlepas dari pengalaman sejarah, betapapun pendek sejarah ini. Memang pemerintahan Orde Baru yang totalitarian telah menyalahgunakan kekuasaannya dan menjadikan Bank Indonesia sebagai suatu alat kekuasaan rezim. Bank Indonesia tidak lagi menjadi suatu lembaga terhormat untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya yang mulia demi kemaslahatan bangsa dan negara, tetapi telah menjadi alat kekuasaan bagi para penguasa negara. Jadi independensi bank dimaksudkan untuk menghindari dapat terjadinya campur tangan kotor dari pemerintahan yang tidak bersih, yang penuh dengan pelanggaran dan penyalah-gunaan kekuasaan. Dari sinilah lahir citacita independensi untuk bank sentral itu dan sekaligus melebar ke tingkat ekstrimitasnya, sehingga mengabaikan posisi sub-ordinasi terhadap pemeritahan negara. Sampai-sampai secara eksplisit tersurat ketentuan yang menetapkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 bahwa "pihak lain dilarang melakukan segala macam campur tangan" dan juga bahwa "Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun ". Ini yang absurd sekali ! Di dalam independensi ini tersurat dan tersirat kuat adanya sikap apriori bahwa setiap pemerintah (pemerintahan negara) pastilah akan selalu kotor, akan selalu menyeleng dan menyalahgunakan kekuasaan serta korup. Seolah-olah tidak pernah terbayangkan bahwa suatu pemerintahan dapat pula akan baik, bersih dan berwibawa, sebagaimana reformasi mencita-citakannya. Sebaliknya, independensi itu dilandasi oleh suatu pandangan apriori menyakini bahwa bank sentral kita pastilah akan merupakan suatu lembaga yang tangguh, bersih, bebas dari penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaannya, serba baik, dan terhormat, patut diseganai dan profesional dan seterusnya, Andaikata demikian ini yang digambarkan tentang Bank Indonesia, dengan segala kepatutannya untuk menyandang independensi, maka kita tidak perlu terperanjat melihat kenyataan semrawut yang ada, yang pasti akan menjadi bahan tertawaan. Bank Indonesia telah kebobolan, kecolongan, telah menjadi "sarang penyamun" sebagaimana Anwar Nasution pernah menggambarkannya. Dengan independensinya itu, pimpinan Bank Indonesia bahkan cenderung arogan. Independensi Bank Indonesia terkesan telah menumbuhkan semacam superiority complex dan sekaligus mendorong pimpinan Bank Indonesia lebih berani ngawur dalam membuat pemyataan-pemyataan kebijaksanaan yang sebenamya memerlukan kedalaman pemikiran (misalnya saja mengenai pasar-bebas, spekulasi dan intervensi) belum lama ini. Dengan mutu profesionalisme dan kepemimpinan semacam itu independensi Bank Indonesia dapat saja berubah menjadi malapetaka nasional. Patut diragukan, mampukah Bank Indonesia membendung krisis moneter yang saat ini masih terus mengintai Indonesia. Ibaratnya Bank Indonesia, ataupun pihak-pihak yang menghendaki independensi Bank Indonesia, telah menuding kebobrokan pemerintah, tanpa mampu mawas diri bahwa Bank Indonesia sebenamya sedang menjadi tudingan masyarakat. Mengenai Presiden Abdurrahman Wahid dan gaya kepemimpinannya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang "otoritarian". Dengan mudah dapat dipahami bahwa Presiden Abdurrahman Wahid pasti akan "berselisih" dengan Bank Indonesia berkaitan dengan independensi Bank Indonesia semacam itu. Memang untuk alasan apapun, tentu diharapkan alasan yang baik (reformasi), Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 independensi Bank Indonesia macam ini akan memasung dinamika dan kreativitas penyelenggaraan negara. Pemerintah akan merasakan, seperti diungkapkan di atas, adanya negara di dalam negara. Hal ini sempat ahli (sebagai pembicara utama) kemukakan dalam suatu diskusi reformatif yang diprakarsai oleh Salahuddin Wahid beberapa waktu yang lalu dan mendapat tanggapan positif dan kurang lebihnya afirmatif. Belum lagi kalau penyakit lama kambuh, bahwa pemerintah benar-benar akan main kayu, mencampuradukkan antara reformasi dan deformasi sekaligus, maka independensi Bank Indonesia akan merupakan sumber perselisihan yang akut. Seperti dapat diduga, inilah yang terjadi saat ini. Lebih dari itu, bukan saja tentang independensi Bank Indonesia yang kini dipermasalahkan, tetapi juga tentang posisi dan kekuasaan Bank Indonesia telah menjadi suatu perebutan yang memalukan. Independensi Bank Indonesia semacam itu tentu akan menarik bagi kekuatan (partai-partai) oposisi. Independensi akan bisa menjadi sarana perebutan kekuatan antara pemerintah dengan pihak oposisi, dengan menggunakan otoritas Bank Indonesia sebagai benteng perlawanan politik. Inipun kiranya sedang terjadi pada saat ini. Antara Pemerintah dan Bank Indonesia seharusnyalah terjadi suatu koordinasi integral. Indonesia menganut faham " Penta Politica ", pemisahan kekuasaan antara lima (penta) kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, advisori (DPA) dan auditori (BPK). Bank Indonesia tidak ada kaitannya dengan penta politica ini. Dalam posisi semacam ini maka Bank Indonesia haruslah terkoordinasi dalam pemerintahan negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah, di dalam suatu tingkat sub-ordinasi tertentu. Selanjutnya biarlah lembaga legislatif melakukan pengawasan efektifnya terhadap Pemerintah. Dengan kata lain independensi Bank Indonesia perlu di redefinisi, harus menjadi lebih supel dan fleksible, sehingga tidak terjadi dualisme otoritas dan kebijaksanaan antara pemerintah dan Bank Indonesia. Tanpa itu maka kemelut ekonomi dan moneter di lapangan akan sulit diatasi. Independensi yang menumbuhkan dualisme otoritas semacam itu memang peka akan pertarungan. Dalam pertarungan antara keduanya tentulah akan menguntungkan pihak ketiga yang dapat mempermainkan dan menggerogoti perekonomian nasional kita. Pertengkaran antara pemerintah dan Bank Indonesia saat ini pasti akan lebih Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 memperpuruk rupiah kita, mendorong capital flight, melambungkan tingkat suku bunga, menghambat investasi dan tentulah menunda pembukaan lapangan kerja bagi rakyat. Penyelewengan KLBI dan BLBI akan makin sulit terlacak, pencetakan uang palsu akan makin sukar diungkap. Sementara itu ahli menghargai sikap konsekuen dan taat hukum Syahril Sabirin sampai UU Nomor 23 Tahun 1999 itu di amendemen secara jujur (tanpa ada udang di balik batu). Saya pun menghargai sikap Pemerintah yang tidak menghendaki dualisme soverenitas, yang tidak mustahil dualisme ini merupakan suatu skenario politik besar terhadap Indonesia; Landasan hukum pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 34 (1) Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002; Selanjutnya dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagian Menimbang: Butir a. menyatakan "bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat". Boleh ditanyakan kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini, bagaimana melaksanakan tugas negara ini secara independen. Butir b. "Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir a, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel". Boleh ditanyakan pula kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini bagaimana OJK bisa akuntabel, terhadap siapa, terhadap Bank Indonesia, terhadap Kementerian Keuangan atau kepada DPR, atau kepada diri sendiri? Menurut website OJK, fungsi OJK adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 sektor jasa keuangan. Mengulangi presentasi tertulis saya yang disampaikan di ruang ini pada tanggal 18 September 2014, saya ingin menegaskan ulang tentang OJK sebagai lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur-tangan oihak lain, yang menjadikannya sebagai super-body dalam dunia keuangan Indonesia. Peran OJK dalam perekonomian nasional adalah sangat sektoral, yaitu menyangkut sektor jasa keuangan saja. Selanjutnya sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK tidak dipersoalkan kaitan OJK dengan tugas nasional sesuai dengan Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, serta masalah Sila ke-5 Pancasila, yaitu "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Tugas sektoral OJK di dalam sektor jasa keuangan yang adil, transparan dan akuntabel untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat secara independen, sama sekali tidak menjamin dan bahkan dapat bertentangan dengan tugas-tugas spesifik sesuai dengan doktrin kebangsaan (nasionalisme) dan doktrin kerakyatan yang dianut oleh Negara Republik Indonesia; Memang barangkali OJK dapat melaksanakan tugas sektoralnya secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mewujudkan sistem keuangan tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, namun tanpa merasa terikat (misalnya) dengan masalah riil yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, yaitu makin melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin (Gini ratio 2005 0,34% dan sekarang 2014 0,46%), makin dominannya investasi asing terhadap perekonomian nasional dan makin terdesaknya investor nasional dan ekonomi rakyat. Lebih dari itu meskipun pertumbuhan ekonomi di atas 5,5% (ini pun tidak terlalu tinggi), namun Indonesia makin kehilangan kedaulatan ekonomi: kita makin tidak berdaulat dalam pertanian khususnya pangan dan bibit, obat-obat dasar, teknik industri, teknologi dan energi. Dan lebih hebat lagi kita tidak berdaulat dalam penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya [ayat (3) Pasal 33 UUD 1945] karena berlakunya sistem keuangan yang liberalistik dan kapitalistik, yang OJK berdasar tugasnya malahan dapat mengukuhkan penyelewengan konstitusional ini. Sektor keuangan dapat tetap adil, transparan dan akuntabel serta tumbuh berkelanjutan dan stabil serta melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat sesuai dengan konsideran UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, namun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 independensi yang menjadikan OJK " super body " tidak memungkinkan OJK dapat mengatasi tantangan-tantangan dan keprihatinan perekonomian di atas, bahkan dengan wewenangnya sebagai super body bisa malah mengabaikan dan membahayakan kepentingan nasional demi kestabilan sektor jasa keuangan belaka. Oleh karena itu, peran OJK hendaknya dikembalikan kepada Bank Indonesia atau ke Departemen Keuangan agar terkait dengan tugas-tugas menyelamatkan perekonomian nasional dan kepentingan nasional Indonesia. Janganlah sampai dengan tugas sektoral OJK tadi yang terjadi adalah pembangunan di Indonesia, dan bukan pembangunan Indonesia artinya bangsa Indonesia hanya menjadi penonton atau menjadi kuli di negeri sendiri. Demikian pula jangan sampai dengan pengutamaan kestabilan dan pertumbuhan jasa keuangan maka pembangunan menjadi penggusuran terhadap orang miskin, bukan penggusuran kemiskinan;
Dr. Margarito Kamis, S.H., M.H. Apabila Undang-Undang OJK dikenali secara utuh agak sulit untuk tidak berkesimpulan bahwa ini tampak seperti negara dalam negara. Ahli ingin mengatakan bahwa Pasal 23D UUD 1945 menyatakan, “Negara memiliki suatu Bank Central yang susunan kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensi-nya diatur dengan undang-undang” , tidak dapat dan/atau tidak bermakna bahwa independensi atau Bank Indonesia atau Bank Central itu sebagian kewenangannya mesti diserahkan kepada organ lain yang tidak diperintahkan oleh konstitusi. Makna independensi dalam Pasal 23D UUD 1945 harus dimaknai sebagai patokan penentu relasi antar Bank Indonesia dengan Pemerintah. Jadi, derajat relasi hukum antara fungsi antara pemerintah dengan Bank Indonesia itu yang dimaksud dengan Pasal 23D UUD 1945 bukan mengurangi sebagian kewenangan Bank Indonesia dan kewenangan itu diserahkan kepada lembaga lain di luarnya. Itu sebabnya saya mengawali dengan mengatakan bahwa bila dikenali betul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2012 ini secara konstitusional terlalu sulit untuk tidak menyatakan OJK tampak seperti negara dalam negara; Ahli ingin memperkuatnya dengan mengenali beberapa atau mengungkapkan beberapa saja diantaranya sebab tidak mungkin itu diungkapkan semua karena ahli yakin betul bahwa Majelis pun memiliki penilaian yang tidak mungkin dan/atau sebagaimana yang telah terefleksi dalam risalah sidang, tampak memiliki Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 kemiripan dengan apa yang ahli kemukakan; OJK dengan prinsip independensi melalui Undang-Undang ini dapat mengatur sendiri, membuat sendiri peraturan, dan melaksanakan Undang-Undang. Padahal mestinya ini dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah kecuali hal-hal lain yang memang tidak bisa diatur dan/atau tidak diatur dalam Undang-Undang. Karena keadaan hukum dengan fungsi mereka membutuhkan pengaturan barulah dilakukan, tetapi ini tidak dilakukan. Apa saja yang kan diatur dapat diatur dengan sendirinya oleh mereka tanpa bisa dicampuri oleh Pemerintah, tanpa dapat dicek (dikontrol) oleh DPR. Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung yang yang merupakan pelaksana kekuasan kehakiman pengaturan mengenai gaji pun diatur dengan Peraturan Presiden. Bagaimana OJK dapat mengatur dirinya sendiri, gaji pun diatur sendiri. Betapa luar biasanya OJK ini seperti lembaga negara di dalam negara; Menurut ahli tidak ada lembaga negara yang mempunyai 2 sumber keuangan pendanaan, namun OJK ini dibiayai dengan APBN dan pungutan yang dipungut sendiri dari bank dan jasa keuangan lainnya. Apa argumen konstitusionalnya sehingga dapat membenarkan tindakan tersebut? Siapa yang berani memastikan bahwa tidak ada potensi penyalahgunaan dan bagaimana mungkin bisa dipastikan akuntabilitas dan transparansi OJK dengan kewenangan seperti itu? Padahal bukankah negara hukum yang demokratis yang di atur dalam Undang-Undang Dasar 1945 menghendaki akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan kekuasaan negara? Menurut ahli bahwa pengawasan oleh OJK dimaksudkan untuk perlindungan konsumen dan adanya independensi OJK tidak diperoleh titik relasi dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Bagaimana dapat mengusahakan perekonomian nasional dengan prinsip kekeluargaan dan gotong royong, kalau salah satu organ negara (lembaga negara) mempunyai fungsi yang begitu strategis tidak dapat dicek (dikontrol), dan bekerja semau-maunya karena diatur dalam Undang-Undang. Dengan demikian keberadaan OJK bertentangan dengan prinsip negara hukum [Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 UUD 1945]; [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden dalam persidangan tanggal 5 Mei 2014 menyampaikan keterangan lisan dan keterangan tertulis bertanggal 30 April 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 21 Oktober 2014 yang menguraikan hal-hal sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 I. Pokok Permohonan Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK terhadap UUD 1945. Merujuk kepada permohonan para Pemohon, pada pokoknya para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan UU OJK, khususnya ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1 yang menyatakan "OJK, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini." b. Pasal 5 yang menyatakan "OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan." c. Pasal 34 yang menyatakan: (1) “Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK. (2) Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak lain yang melakukan kegiatan _di sektor jasa keuangan; _ (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner." d. Pasal 37 yang menyatakan:
“ OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. (2) Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK. (4) OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri. (5) Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah." e. Frasa dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 yang menyatakan "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." Merujuk pada dalil-dalil dalam permohonan, para Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa dengan diberlakukannya ketentuan-ketentuan a quo , telah mengakibatkan terjadinya kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon, dengan alasan:
Pasal 23D UUD 1945 yang menyatakan, "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang ". Menurut para Pemohon hanya bank sentral yang dijelaskan secara eksplisit di UUD 1945 yang boleh independen, sehingga frasa independen OJK tidak menemukan pembenaran secara konstitusional.
Pasal 33 UUD 1945, yang menurut para Pemohon berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 OJK diharuskan untuk terintegrasi dengan sistem perekonomian yang diamanatkan konstitusi, sehingga tidak mungkin independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. Dengan demikian, OJK dipaksa dan diarahkan untuk independen dan terpisah dari sistem besar ketatanegaraan yang termaktub dalam konstitusi.
Secara konstitusional aspek pengaturan dan pengawasan OJK juga tidak jelas di UUD 1945 mendapat mandat atau turunan dari pasal berapa, dimana masing-masing kewenangan yang diperoleh OJK berasal dari turunan yang asimetris. Pasal 5 UU OJK juga dapat menimbulkan konsekuensi adanya penumpukan kewenangan dalam satu badan sehingga dapat menimbulkan potensi moral hazard .
Penggunaan APBN yang digunakan sebagai biaya operasional secara konstitusional tidak memiliki landasan hukum dikarenakan OJK tidak berada dalam struktur ketatanegaraan yang rigid dan juga sifat OJK yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 independen sehingga terdapat potensi penyalahgunaan kewenangan keuangan negara. Selain itu, jika terjadi krisis di sektor industri keuangan, bukan tidak mungkin dana APBN akan dipakai untuk menalangi krisis dan seberapa banyak dana publik dan/atau APBN yang boleh dikucurkan masih belum diatur.
Pasal 37 UU OJK akan menimbulkan dampak: (a) mengurangi kemandirian OJK karena OJK merupakan badan publik dengan amanat yang diberikan oleh rakyat melalui DPR; (b) sumber pendanaan dari jasa keuangan di pihak lain juga akan membalik akuntabilitas substantif OJK dari kepentingan publik dan konsumen kepada kepentingan kepada kepentingan industri jasa dan keuangan, f. Para Pemohon menginginkan agar pungutan yang mengatasnamakan negara haruslah jelas dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dalam Undang-Undang. II. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Pembentukan OJK Merupakan Opened Legal Policy Berdasarkan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 Sebelum menanggapi lebih lanjut mengenai materi permohonan para Pemohon, Pemerintah akan terlebih dahulu membahas apakah terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK ini telah tepat dan benar dapat diajukan pengujian konstitusional ( constitutional review ) ke Mahkamah Konstitusi. Mengingat pentingnya pengaturan mengenai sistem perekonomian nasional maka UUD 1945 mengatur mengenai perekonomian nasional diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Nasional. Bab XIV terdiri dari dua pasal yaitu Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, mengenai pengaturan Perekonomian Nasional diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 Sebagaimana telah diketahui bersama prinsip-prinsip dasar pengelolaan perekonomian nasional terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 juga telah mengamanatkan kepada pembentuk Undang-Undang pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan prinsip- prinsip pada Pasal 33 UUD 1945 diatur dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, dalam rangka menjalankan amanat konstitusi tersebut maka telah diterbitkan perundang-undangan mengenai pengelolaan perekonomian nasional berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945, yang salah satunya adalah UU OJK. Pembentukan UU OJK secara keseluruhan oleh pembentuk Undang- Undang adalah dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil dan makmur kepada seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-Undang ", maka DPR bersama Pemerintah telah menyusun UU OJK sehingga pembentukan UU OJK merupakan suatu pilihan kebijakan yang bebas dan terbuka ( opened legal policy ) bagi pembuat Undang-Undang. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka pembentukan UU OJK adalah tepat berdasarkan amanat UUD 1945 khususnya pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan uji materiil ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tersebut tidak dapat diajukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi. Hai ini sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimuat dalam Putusan Nomor 26/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 "Bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, maka Mahkamah tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable . Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah; dan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945, yang menyatakan sebagai berikut: "Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang- Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah". Selain itu, pokok-pokok permasalahan yang diajukan oleh para Pemohon sangat tidak tepat diuji oleh Mahkamah Konstitusi, karena dalil-dalil permohonan menyangkut mengenai implementasi dari norma bukan kesalahan atau pertentangan norma dengan UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Prof. Arief Hidayat dalam sidang pane! pemeriksaan pendahuluan tanggal 25 Maret 2014 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk mengadili apa yang dilakukan oleh suatu lembaga negara dalam suatu pengujian Undang-Undang tetapi mengadili norma yang bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK yang diajukan oleh para Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). B. Tinjauan Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Legal Standing Sebagai Pembayar Pajak Harus Dibuktikan Oleh Pemohon Dengan Menyertakan Bukti SPT Dan Bukti Pembayaran Kewajiban Pajak Pemohon Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (untuk selanjutnya disebut "UU Mahkamah Konstitusi") disebutkan bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Para pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi;
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang- Undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 1945;
hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) dan tidak dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Undang-Undang a quo , sehingga para Pemohon tidak memenuhi syarat sebagai pemohon uji materiil sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi tersebut. Menurut pendapat Pemerintah, legal standing sebagai pembayar pajak yang patuh, tidak dapat diterima begitu saja dengan memiliki dan melampirkan Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP) sebagai bukti. Dengan memiliki NPWP tidak secara serta merta para Pemohon telah membayar pajak, maka seharusnya para Pemohon juga turut menyertakan bukti Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak dan juga pembayaran kewajiban Pajak yang merupakan pelaporan perhitungan dan pembayaran pajak oleh, objek pajak, dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta atau kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tidak Ada Hak Konstitusional Pemohon Yang Dilanggar Dengan Berlakunya Ketentuan UU OJK Yang Diuji Selain itu, Pemerintah tidak melihat adanya pelanggaran hak konstitusional para Pemohon yang sebagaimana didalilkan dalam permohonan para Pemohon yaitu dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK telah merugikan hak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 konstitusionalitasnya sebagai perserorangan warga negara Indonesia dengan didasarkan pada: Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Bahwa para Pemohon dalam permohonan uji materiilnya tidak secara jelas menguraikan mengenai kerugian konstitusional dan hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional Pemohon secara spesifik, aktual atau setidaknya potensial yang dapat dipastikan akan terjadi dikarenakan berlakunya norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bukan merupakan hak-hak dasar atau hak konstitusional warga negara in casu hak para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat. Penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) setiap tahunnya dengan Undang-Undang mempunyai pengertian bahwa dalam penyusunan Undang-Undang APBN, haruslah mendapatkan persetujuan rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh DPR. Selain itu, penggunaan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji permohonan a quo sangat tidak tepat dan tidak berdasar hukum. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 merupakan prinsip persamaan dalam hukum dan pemerintahan ( equality before the law ), prinsip kewajiban menjunjung hukum tidak hanya harus dilaksanakan oleh negara, namun juga wajib dijunjung tinggi oleh seluruh warga negara Indonesia. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 Bahwa penggunaan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dijadikan dasar kedudukan hukum oleh para Pemohon dikarenakan bukan hak konstitusional para Pemohon, namun merupakan suatu kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menerapkan prinsip persamaan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan sebagai pembayar pajak tidak serta merta dapat dasar dalam pengajuan uji materiil suatu Undang-Undang. Permohonan Pemohon merupakan permohonan yang Obscuur Libel Selain itu, permohonan para Pemohon merupakan permohonan yang obscuur libel yaitu nampak pada tidak sesuainya antara posita permohonan para Pemohon dan petitum yang dimintakan oleh para Pemohon dalam permohonannya. Para Pemohon tidak menjelaskan mengapa frasa "...tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan.." bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap meminta petitum agar Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa dimaksud bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga telah melakukan kesalahan yang menyebabkan permohonan Para Pemohon menjadi tidak jelas dan tidak fokus ( obscuur libel ) yaitu pada angka 2 petitum permohonannya yang meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK bertentangan dengan UUD 1945, namun pada angka 3 para Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat permohonan para Pemohon tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur ( obscuur libel ), utamanya dalam mengkonstruksikan kerugian konstitusional seperti apa yang dialami oleh para Pemohon sebagai individu perseorangan warga negara Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Para pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 III. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Para Pemohon A. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Putusan Provisi Para Pemohon Tidak Ada Alasan Yang Spesifik Dan Aktual Serta Penting Dan Mendesaknya Permohonan Provisi Pemohon Harus Dikabulkan Oleh Mahkamah Konstitusi Istilah provisionil dikenal luas dengan istilah "provisionllels vonnis", "provisoire", "voorlopige", "provisionaf, "voorlaufig", "provissorich ainstwelling", "bij vooraad' dan Iain-Iain. Istilah-istilah dimaksud pada pokoknya menjelaskan bahwa putusan provisi adalah putusan yang sifatnya sangat segera dan mendesak untuk dilakukan oleh hakim terhadap salah satu pihak dan bersifat sementara di samping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan. Dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, putusan provisi hanya dikenal pada perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang diatur dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur "Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi". Namun demikian, dalam sejarahnya Mahkamah Konstitusi pernah mengabulkan permohonan provisi yang diajukan oleh Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah dalam perkara Nomor 133/PUUA/1I/2009 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Permohonan provisi yang dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan penundaan penerapan Pasal 32 ayat (1) huruf c juncto Pasal 32 ayat (3) UU KPK oleh Presiden yakni mengenai tindakan administratif berupa penghentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan. Dalam Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat sebagai berikut: "Bahwa dalam praktik pemeriksaan perkara pengujian undang-undang seringkali untuk kasus-kasus tertentu dirasakan perlunya putusan sela dengan tujuan melindungi pihak yang hak konstitusionalnya amat sangat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 terancam sementara pemeriksaan atas pokok pemohonan sedang berjalan". Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka terdapat unsur-unsur yang harus dapat dipenuhi dan dijelaskan secara spesifik dan aktual oleh para Pemohon dalam permohonannya. Terhadap permohonan provisi para Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik dan aktual terkait dengan alasan pentingnya dan mendesaknya mengapa permohonan provisi para Pemohon harus dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dan akibatnya apabila permohonan provisi para Pemohon tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sampai dengan saat ini, OJK telah melakukan kewenangannya untuk melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan serta mengadvokasi kepentingan para konsumen. Dalam melakukan kewenangannya tersebut, tidak terdapat kendala yang berarti dan tidak ada hak konstitusional dari para Pemohon yang telah dilanggar atau terancam untuk dilanggar dengan adanya pelaksanaan kewenangan OJK dimaksud. Dikabulkannya permohonan provisi dapat menimbulkan kerancuan hukum bahkan ketidakpastian hukum di sektor jasa keuangan Selain itu, dalam Putusan Nomor 133/PUU-VI1/2009 Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan: "Bahwa Mahkamah berpendapat putusan sela perlu untuk diterapkan apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak, sementara di pihak lain justru akan memperkuat perlindungan hukum". Dengan adanya pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka sesungguhnya Mahkamah Konstitusi telah menetapkan batasan dikabulkannya permohonan provisi dari para Pemohon pengujian Undang-Undang yaitu apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak. Pemerintah berpendapat bahwa apabila permohonan provisi para Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi akan dapat menimbulkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 kerancuan hukum bahkan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar dan para konsumen di sektor jasa keuangan secara umum dan khususnya di pihak OJK. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka seyogianya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan provisi dari para Pemohon dikarenakan tidak ada keadaan yang sangat mendesak untuk dikabulkannya permohonan provisi dimaksud dan apabila dikabulkan dapat menimbulkan kerancuan hukum dan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar dan para konsumen di sektor jasa keuangan secara umum dan khususnya di pihak OJK. B. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 1 Angka 1 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 OJK Merupakan Lembaga Negara Yang Memiliki Sifat Constitutional Importance Secara yuridis pembentukan UU OJK dilandasi oleh Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusional kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membentuk suatu Undang- Undang, sedangkan Pasal 33 UUD 1945 merupakan landasan konstitusional dibentuknya UU OJK; Pembentukan UU OJK merupakan pengejawantahan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia, yang terdapat dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menentukan salah satu tujuan negara ( common virtues ) yaitu memajukan kesejahteraan umum yang perlu diwujudkan melalui pelembagaan negara Indonesia, dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, yaitu dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian dan memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia, maka program pembangunan nasional harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuh keseluruh sektor riil dari perekonomian masyarakat Indonesia. Pengaturan mengenai perekonomian nasional sebagaimana diamanatkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 pada Pasal 33 UUD 1945 terkait erat dengan sistem keuangan untuk menunjang berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga-lembaga keuangan untuk menopang perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga yang memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan lembaga-lembaga keuangan dimaksud dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Konstitusionalitas suatu norma dalam Undang-Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia. Mengingat konstitusionalitas suatu norma dalam Undang-Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia, maka berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas Pemerintah berpendapat bahwa OJK merupakan suatu lembaga negara independen yang memiliki sifat constitutional importance dikarenakan merupakan salah satu instrument untuk mencapai tujuan bernegara dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi", bahwa ragam struktur organisasi kekuasaan negara dewasa ini sudah berkembang sangat bervariasi, sehingga yang dinamakan organ negara atau lembaga negara tidak lagi hanya terbatas pada tiga fungsi menurut doktrin klasik yang dikembangkan sejak abad ke-18. Lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, Badan Pengawas Pemilu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan sebagainya merupakan contoh lembaga dan/atau komisi baru yang bersifat independen dan memiliki fungsi campuran dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang, namun tetap memiliki sifat constitutional importance . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 Sifat Independensi OJK Merupakan Hal Yang Tidak Terpisahkan Dengan Pembentukan OJK Selain itu, pembentukan UU OJK juga merupakan amanat Pasal 34 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU Bank Indonesia) yang mengamanatkan bahwa "(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang". Lebih lanjut penjelasan Pasai 34 ayat (1) UU Bank Indonesia menyatakan "(1) Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat." Dengan adanya Pasal 34 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia sebagaimana disebutkan di atas, maka sejak semula independensi OJK merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan pembentukan OJK. Namun demikian, meskipun dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah OJK tetap berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Independensi OJK merupakan suatu keharusan dan hal ini disadari oleh pembentuk Undang-Undang yaitu Pemerintah dan DPR, dikarenakan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan OJK hams memiliki independensi. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah dengan tetap berada dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Independensi OJK diwujudkan dalam 2 (dua) hal. Pertama, secara kelembagaan OJK tidak berada di bawah otoritas lain di dalam sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 Pemerintah Negara Republik Indonesia yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otortias Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, OJK melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas dimaksud, secara Ex-Officio . Keberadaan Ex-Officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiscal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-Officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Kedua, independensi OJK tercermin dalam kepemimpinan OJK. Secara orang perseorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam UU OJK. Di samping itu, untuk mendapatkan pimpinan OJK yang tepat, Undang-Undang OJK mengatur seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan. C. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 5 Dan Frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 Dalam posita permohonannya para Pemohon, tidak menjelaskan mengapa frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." bertentangan dengan UUD 1945, namun para Pemohon tetap meminta petitum kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa frasa dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 sehingga menyebabkan permohonan para Pemohon menjadi tidak jelas dan tidak fokus ( Obscuur Libel ). Namun demikian Pemerintah tetap akan menjelaskan mengapa frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 bertentangan dengan UUD 1945 dengan digabungkan pada Penjelasan Pemerintah terkait Pasal 5 UU OJK dikarenakan memiliki keterkaitan yaitu mengenai kewenangan pengaturan dan pengawasan OJK yang terintegrasi terhadap seluruhh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan termasuk tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan. Pengaturan dan Pengawasan Sektor Jasa Keuangan Yang Terintegrasi Merupakan Kebutuhan Untuk Meningkatkan Efektivitas Dan Efisiensi Dalam Menghadapi Globalisasi dan Konglomerasi Sektor Jasa Keuangan Secara historis pembentukan UU OJK didasarkan pada terjadinya Asian Financial Crisis tahun 1997-1998 yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia, khususnya sektor perbankan. Krisis pada tahun 1997-1998 berawal dari krisis nilai tukar di Thailand, krisis tersebut menjalar dengan cepat ke negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina, Indonesia, dan Korea Selatan serta berkembang menjadi krisis perbankan. Krisis perbankan yang melanda Indonesia diakibatkan karena banyak bank yang mengalami krisis likuiditas, yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi dan politik sehingga secara keseluruhan menjadi krisis multidimensi sehingga menyebabkan krisis di Indonesia beriangsung lebih lama dibandingkan negara-negara Asia lainnya dan menyebabkan beban fiskal yang sangat besar, mencapai Rp. 600 triliun. Tidak hanya Asian Financial Crisis tahun 1997-1998, Global Crisis pada tahun 2008 juga memiliki peran mengapa diperlukan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi dalam sektor jasa keuangan. Pada saat krisis global tahun 2008, Indonesia sebagai salah satu negara yang sistem keuangannya berinteraksi di pasar global tidak luput dari tekanan dan ancaman krisis, sehingga menyebabkan salah satu bank di Indonesia harus di- bailout untuk menghindari pengulangan akibat-akibat yang disebabkan Asian Financial Crisis tahun 1997-1998. Krisis pada tahun 1997-1998 dan juga krisis pada tahun 2008 menunjukkan kelemahan dalam hal kelembagaan dan pengaturan pada sektor jasa keuangan bukan hanya dalam sektor perbankan saja. Reformasi di bidang hukum sektor jasa keuangan diharapkan menjadi salah satu solusi untuk menciptakan sistem penyelesaian dan pencegahan krisis keuangan di masa yang akan datang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 Filosofi pembentukan UU OJK bertujuan agar kegiatan sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, mengingat sistem keuangan merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Berdasarkan landasan filosofis dimaksud, perlu dilakukan penataan agar dapat tercapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, memandang diperlukan OJK yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Secara filosofi, OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan harus memiliki independensi di dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Untuk itu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, OJK harus independen atau bebas dari intervensi pihak- pihak berkepentingan, tentunya dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Mengenai landasan sosiologis dapat Pemerintah sampaikan bahwa pembentukan OJK dilatarbelakangi oleh fakta bahwa terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar masing- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Kemudian, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, pembentukan OJK didasarkan pula atas pertimbangan perlunya dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di industri jasa keuangan yang mencakup bidang perbankan, pasar modal dan industri jasa keuangan non bank; Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai pengawasan sektor jasa keuangan menjadi terintegrasi dan koordinasi di antara subsektor jasa keuangan menjadi lebih mudah sehingga pengawasan dan regulasinya menjadi lebih efektif sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan juga perlindungan konsumen sektor jasa keuangan yang lebih kuat, mengingat semakin rumitnya transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Pasal 23D UUD 1945 Merupakan Opened Legal Policy dari Pembuat Undang-Undang dan Pasal 5 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasai 65 dan Pasal 66 UU OJK Tidak Bertentangan Dengan Konstitusi Terhadap dalil para Pemohon yang mendalilkan bahwa kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan merupakan turunan langsung dari Pasal 23D UUD 1945, menurut Pemerintah hal tersebut tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi" pada halaman 92 yang menyatakan: "Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak tercantum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945 hanya menyatakan "Negara memiliki bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang”. Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama ini, yaitu "Bank Indonesia", maka hal itu adalah urusan pembentuk Undang-Undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan Undang-Undang." maka kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat ditentukan oleh pembentuk Undang-Undang melalui Undang-Undang yang dibentuknya dikarenakan Pasal 23D UUD 1945 merupakan ketentuan open legal policy dari pembuat Undang-Undang. Oleh karena itu apabila pembentuk Undang-Undang merasa perlu ada yang diperbaharui dari sistem sektor jasa keuangan termasuk kewenangan suatu lembaga hal tersebut dapat saja dilakukan dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dan mengingat pentingnya sektor jasa keuangan sebagai salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi dalam rangka pembiayaan pembangunan ekonomi nasional agar dapat tercapainya tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, maka menurut Pemerintah kewenangan OJK dalam melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK merupakan kewenangan yang tidak melanggar konstitusi dan kewenangan tersebut menunjukkan bahwa OJK memiliki sifat constitutional importance dikarenakan merupakan salah satu instrumen untuk mencapai tujuan dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Apabila para Pemohon mengkhawatirkan adanya penumpukan kewenangan dalam OJK dan dapat menimbulkan potensi moral hazard , menurut pendapat Pemerintah hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan dikarenakan UU OJK juga telah memisahkan fungsi pengaturan dengan pengawasan sebagai unsur check and balances di dalam OJK. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 Fungsi pengaturan dilakukan oleh Dewan Komisioner (vide Pasal 8) sedangkan fungsi pengawasan dilakukan masing-masing oleh Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal dan Pengawas Industri Keuangan Non Bank (vide Pasal 9 huruf b). Dewan Komisioner sebagai organ tertinggi dalam OJK selain menjalankan fungsi pengaturan, juga berperan untuk memastikan masing-masing Pengawas melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian perlu dicatat bahwa Penjelasan Pasal 9 huruf b menyatakan bahwa pengawasan Dewan Komisioner terhadap pelaksanaan tugas Kepala Eksekutif ditujukan untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerja dari Kepala Eksekutif. Pengawasan tersebut tidak dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada Dewan Komisioner untuk mengintervensi atau turut campur terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang setiap Kepala Eksekutif. Lebih lanjut, dalam rangka check and balances, di internal OJK terdapat Komite Etik, yaitu organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas mengawasi kepatuhan Dewan Komisioner, pejabat dan pegawai OJK terhadap kode etik. (vide Pasal 1 angka 21). Anggota Dewan Komisioner melanggar kode etik dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir. Pelanggaran kode etik dalam ketentuan ini adalah pelanggaran yang dikategorikan pelanggaran berat dan dilaporkan oleh Dewan Komisioner kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (vide Pasal 17 ayat (1)). Dewan Komisioner menetapkan Peraturan Dewan Komisioner mengenai kode etik dan menegakkan kode etik OJK (vide Pasal 32). D. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 Pengaturan Pungutan OJK Dimaksud Telah Sejalan Dengan Ketentuan Pasal 23A UUD 1945 Pengembangan sektor jasa keuangan yang merupakan bagian dari upaya pembangunan nasional dalam rangka upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia ditempuh melalui usaha mewujudkan keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. UU OJK dibentuk dengan tujuan sebagaimana disebutkan di atas, namun guna mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya jaminan sumber pembiayaan yang mampu mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai salah satu unsur yang dapat menjadikan OJK sebagai lembaga yang independen dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Berdasarkan hal tersebut, maka pembentuk Undang-Undang yaitu DPR dan Pemerintah sepakat dalam hal anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat (2) UU OJK. Ketentuan tersebut bermakna bahwa pembiayaan kegiatan OJK, sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Selain itu, dalam Pasal 37 UU OJK mengatur bahwa OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, dan pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK. Sebagaimana telah dijelaskan pula dalam penjelasan pasal tersebut yang menyatakan bahwa pembiayaan kegiatan OJK sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK. Pengaturan pungutan OJK dimaksud telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan Negara diatur dengan undang- undang. Sejalan dengan hal tersebut, UU OJK memberikan kewenangan kepada OJK untuk memungut biaya dari industri jasa keuangan, pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK dan OJK berwenang untuk menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan tersebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 secara akuntabel dan mandiri. Namun demikian, jika jumlah pungutan telah melebihi kebutuhan pembiayaan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara. Praktik pungutan atau iuran dalam sistem hukum sektor jasa keuangan Indonesia juga telah dikenal sebelumnya dengan adanya Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang menyatakan (3) “Bursa Efek dapat menetapkan biaya pencatatan Efek, iuran keanggotaan, dan biaya transaksi berkenaan dengan jasa yang _diberikan; _ (4) Biaya dan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disesuaikan menurut kebutuhan pelaksanaan fungsi Bursa Efek. Selain itu, pungutan, iuran atau premi juga dikenal di dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya pada Bagian Ketiga mengenai Premi. Oleh karena itu, pungutan, iuran, atau premi yang dikenakan kepada para pelaku pasar merupakan praktik yang lazim dalam sistem hukum sektor jasa keuangan di Indonesia dan telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa dalil Para Pemohon yang menyatakan Pungutan yang dilakukan oleh OJK tidak sesuai dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan telah sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945. Mekanisme Penganggaran Dan Pungutan OJK Telah Akuntabel Dan Sesuai Dengan Konstitusi Mengingat pada masa awal pembentukan OJK memerlukan pembiayaan dan OJK masih dalam tahap membangun regulasi dan standard operating procedure dalam kelembagaannya, maka untuk memenuhi kebutuhan OJK diberikan alternatif sumber pembiayaan OJK dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam Pasal 34 UU OJK telah menentukan bahwa penetapan rencana dan anggaran OJK oleh Dewan Komisioner harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Memperhatikan hal tersebut, maka sepanjang masih terdapat unsur APBN dalam pembiayaan kegiatan OJK, maka proses penyediaan APBN untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 pembiayaan tersebut tidak dapat terlepas dari mekanisme penyusunan dan penetapan APBN yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, beserta peraturan pelaksanaannya. Mengenai penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK dan harus dibebankan kepada pihak yang secara langsung menerima manfaat dari efektifnya fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh OJK, serta standar biaya yang lazim digunakan oleh sektor jasa keuangan atau regulator sektor jasa keuangan sejenis, baik domestik maupun internasional. Hal ini dilakukan agar OJK dapat mengimbangi tuntutan dan dinamika sektor jasa keuangan, baik secara domestik maupun internasional. Pengaturan mengenai pelaporan dan akuntabilitas OJK telah diatur di dalam Pasal 38 UU OJK, yang mengatur bahwa OJK menyusun laporan keuangan dan kegiatan secara periodik atau insidentil apabila DPR memerlukan penjelasan. Terkait laporan keuangan, OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan wajib diumumkan kepada publik melalui media cetak dan media elektronik. Selain pengawasan eksternal, mekanisme mengenai pengawasan internal OJK juga telah diatur dalam UU OJK dengan adanya dewan audit sebagai salah satu anggota dewan komisioner. Pungutan OJK Merupakan International Best Practices Agar OJK Dapat Mengimbangi Tuntutan Dan Dinamika Sektor Jasa Keuangan, Baik Secara Domestik Maupun Internasional Selain itu, dapat Pemerintah jelaskan pula bahwa pembiayaan kegiatan pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan oleh industri jasa keuangan dalam bentuk pungutan merupakan praktik yang lazim di banyak negara. Sebagai contoh, Office of the Comptroler of the Currency (OCC) di Amerika Serikat (USA) memungut biaya dari bank secara semi-annuaily yang didasarkan pada skala usaha bank sesuai dengan total asetnya. Selain itu terdapat tambahan pungutan dengan persentase tertentu sesuai dengan peringkat risiko bank. Selain hal tersebut di atas, OCC Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 80 memperoleh pendapatan dari memproses aplikasi perusahaan, Investasi terutama pada US-Treasury, pungutan atas pemeriksaan khusus/investigasi tertentu ( special examination ), pungutan atas perizinan, serta pendapatan lainnya (kegiatan seminar, penjualan publikasi, dan sebagainya). Tidak terlalu berbeda dengan OCC, Office Of Superintendent Of Financial Institute (OSFI) di Kanada memiliki pendanaan bersumber dari pungutan atas penilaian terhadap lembaga keuangan yang diperhitungkan baik berbasis total aset, berbasis premi, maupun berbasis keanggotaan. Pungutan terhadap bank berbasis total aset, pungutan terhadap asuransi berbasis premi. pungutan terhadap loan company (seperti BPR) berbasis keanggotaan. Di samping itu, OSFI juga memperoleh bantuan dari Canadian International Development Agency (CIDA) terutama untuk asistensi internasional, pendapatan dari pemerintah daerah (dalam hal OSFI membantu melakukan pengawasan terhadap beberapa institusi di Pemerintah Daerah berdasarkan kontrak), dan pendapatan dari lembaga pemerintahan. Di belahan benua Asia, Financial Services Supervisory (FSS) Korea selatan memperoleh pendanaan dari Supervisory Fee , yaitu pungutan yang dikenakan kepada lembaga keuangan sehubungan dengan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh FSS, termasuk pemeriksaan yang dilakukan oleh FSS selain Supervisory Fee , FSS juga memungut Issuer Regulatory Fee , yaitu pungutan yang dikenakan kepada Issuer ( Emiten ) sehubungan dengan pengajuan perizinan kepada FSC-Korea sesuai dengan Exchange Act ( Capital Market ). Supervisory Fee dikenakan berdasarkan pada kewajiban ( debt liabilities ) dari institusi lembaga keuangan, sementara Issuer Regulatory Fee dikenakan berdasarkan pada jumlah dan jenis dari surat berharga/sekuritas yang diterbitkan; Selain contoh negara-negara di atas, terdapat banyak contoh negara yang pembiayaan OJKnya sepenuhnya dilakukan melalui pungutan dari industri, misalnya Belgia, Bolivia, Bosnia, Ekuador, Jerman, Hungaria, Islandia, Latvia, Norwegia, Luxemburg, Malta, Mexico, Panama, Swedia, Peru, Switzerland, Turki dan Inggris; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 81 Sementara itu, terdapat juga regulator di beberapa negara yang kegiatannya dibiayai oleh industri dan anggaran negara, misalnya Austria, El-Salvador, Guatelama, Nikaragua, dan Venezuela. Sedangkan regulator yang sepenuhnya dibiayai oleh negara antara lain Chile, China, Costa Rica, Kazakhstan, Lebanon, Jepang dan Uruguay. IV. Dampak Jika Dikabulkannya Permohonan Para Pemohon Dikabulkannya Permohonan A Quo Dapat Mengganggu Pelaksanaan Tugas-Tugas Pengawasan Dan Pengaturan Di Sektor Jasa Keuangan Dan Akan Membahayakan Industri Perbankan Dan Kosumen Serta Perekonomian Nasional Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas, dan mengingat peran penting Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan yang merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional terutama dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, apabila dikabulkannya permohonan a quo dan diterimanya argumentasi para Pemohon, maka hal tersebut akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugas pengawasan di perbankan dan akan membahayakan industri perbankan dan kosumen. Selain itu, dikabulkannya permohonan a quo dapat menimbulkan risiko bagi perekonomian akibat lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan, sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan menjadi terbengkalai. Selain itu berdasarkan ketentuan peralihan Pasal 55 UU Otoritas Jasa Keuangan, kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang pasar modal dan lembaga keuangan telah beralih dari Menteri Keuangan dan Bapepam-LK kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2012 dan kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan telah beralih dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2013. Berdasarkan hal tersebut, apabila permohonan Pemohon dikabulkan maka Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 82 akan menghambat tugas dan fungsi pengawasan pasar modal, lembaga keuangan dan perbankan dikarenakan pengalihan kewenangan pengaturan dan pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dapat menyebabkan kekosongan hukum di pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan sehingga akan berdampak sangat negatif pada perekonomian nasional dan para pelaku pasar. Selain itu, dampak dikabulkannya permohonan Pemohon akan menimbulkan konsekuensi pengawasan sektor jasa keuangan akan kembali menjadi pengawasan sektoral yang tidak terintegrasi, yang berpotensi menimbulkan risiko bagi perekenomian akibat lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan, sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan akan menjadi terbengkalai. V. Kesimpulan Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut di atas, dapat Pemerintah sampaikan kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasai 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK karena permohonan para Pemohon tidak terkait dengan konstitusionalitas norma.
Permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik terkait keadaan yang mendesak mengapa Mahkamah Konstitusi harus mengeluarkan putusan provisi dalam perkara a quo . Selain itu, dikabulkannya permohonan provisi para Pemohon dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar di sektor jasa keuangan dan konsumen termasuk dalam OJK.
Ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 83 Oleh karena itu, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan memutus permohonan uji materiil Pasai 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak Permohonan Provisi para Pemohon untuk seluruhnya;
Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37, dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo etbono ). [2.4] Menimbang bahwa untuk membuktikan keterangannya, Presiden dalam persidangan tanggal 8 Oktober 2014, tanggal 28 Oktober 2014, tanggal 12 November 2014, dan tanggal 1 Desember 2014 mengajukan 13 (tiga belas) ahli yakni Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA., Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M., Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D., Dr. Sihabudin, S.H., M.H., Refly Harun, S.H., LL.M., Dr. Mulia P.Nasution, D.E.S.S., Dr. Harjono, S.H., MCL., Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M, Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H., Prof. Wihana Kirana Jaya, MsocSc., PhD, dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., MS., yang memberikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dalam persidangan tersebut dan/atau menyerahkan keterangan tertulis yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA Apabila hendak disederhanakan, pokok permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 84 perihal konstitusionalitas kehadiran/keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai salah satu lembaga atau komisi negara independen. Sebagai lembaga negara baru yang secara umum diberi tugas melakukan pengawasan secara terintegrasi terhadap seluruh kegiatan pada sektor jasa keuangan, kehadiran OJK dinilai Pemohon (1) tidak memiliki landasan konstitusional (karena tidak memiliki cantolan di dalam UUD 1945), (2) kehadiran OJK hanya dimandatkan dalam UU tentang Bank Indonesia, (3) fungsi pengawasan Bank Indonesia terhadap bank direduksi oleh OJK, (4) independensi OJK, (5) terjadinya penumpukan kewenangan pada OJK sehingga akan menjadi lembaga super-body , dan (6) kehadiran OJK dinilai merugikan pihak yang meiakukan kegiatan di sektor jasa keuangan karena adanya pungutan. Semua alasan tersebutlah yang menjadi alasan atau dasar bagi Pemohon untuk mempersoalkan konstitusionalitas keberadaan OJK; Sehubungan dengan pokok permohonan pengujian ini, secara terbatas, saya hanya akan menjelaskan sisi kelembagaan yang meliputi:
kedudukan, (2) sumber kewenangan, (3) pemindahan fungsi pengawasan bank dari Bl ke OJK, dan terakhir (4) independensi OJK. Adapun perihal pungutan yang dilakukan OJK dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagaimana juga dipersoalkan Pemohon tidak akan diulas. Sebab, menurut ahli masalah itu hanyalah sebuah konsekuensi dari kehadiran sebuah lembaga, di mana jika UU memberi kewenangan untuk itu, maka tidak beralasan untuk mempersoalkan konstitusionalitasnya. Lagi pula, apabila soal kelembagaan OJK telah diselesaikan, masalah kewenangan (termasuk melakukan pungutan) dengan sendirinya akan terurai; Sehubungan dengan masalah kelembagaan, saya akan menerangkan empat pokok pembahasan terkait OJK. Pertama, kedudukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga negara. OJK, sama halnya dengan Bank Indonesia berkedudukan sebagai lembaga negara. Dalam UU 21/2011 didefenisikan, OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Adapun Bank Indonesia didefenisikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 85 Undang-Undang ini; Dari sisi defenisi, memang terdapat sedikit perbedaan antara OJK dan Bank Indonesia terkait penggunaan kata "negara". Di mana, untuk defenisi Bank Indonesia digunakan frasa "lembaga negara" yang independen. Sedangkan OJK hanya disebut sebagai "lembaga" yang independen. Tanpa ada kata "negara"; Hanya saja, pendefenisian seperti itu (tanpa menggunakan frasa "lembaga negara") tidak saja untuk OJK, tetapi juga dipakai mendefenisikan lembaga- lembaga negara lain. Di antaranya, Komisi Pemilihan Umum didefenisikan sebagai, lembaga penyelenggara Pemilu...dst. Tanpa ada kata "negara". Demikian juga dengan Badan Pengawas Pemilu dalam UU 15/2011 yang didefenisikan sebagai, lembaga penyelenggara Pemilu...dst. Hal yang sama juga ditemukan dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga didefenisikan sebagai dengan frasa lembaga mandiri...dst; Pertanyaannya, apakah defenisi yang menggunakan frasa "lembaga negara" atau hanya kata "lembaga" menunjukkan perbedaan status atau kedudukan lembaga tersebut? Dalam arti, hanya lembaga yang menggunakan frasa "lembaga negara" saja yang berkedudukan sebagai lembaga negara, sedangkan yang menggunakan kata "lembaga" tidak berkedudukan sebagai lembaga negara? Apakah demikian? Pada dasarnya adanya frasa "lembaga negara" atau hanya kata "lembaga" tidak mempengaruhi status dan kedudukan sebuah lembaga sebagai lembaga negara. Sebab, sepanjang suatu lembaga dibentuk untuk melaksanakan fungsi- fungsi negara mengamini pendapat Hans Kelsen-, maka lembaga dimaksud adalah lembaga negara. Sejalan dengan soal itu, mengutip Jimly Asshiddiqie, baik "lembaga pemerintahan", "lembaga non-pemerintahan", "lembaga negara" atau "lembaga" saja, semuanya termasuk dalam kategori lembaga negara; Oleh karena itu, sekalipun OJK hanya didefenisikan dengan kata "lembaga" saja, bukan berarti OJK tidak berkedudukan sebagai lembaga negara. Sebab, sudah sangat tegas dinyatakan dalam UU 21/2011 bahwa salah satu tujuan OJK adalah terselenggaranya sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel yang merupakan bagian dari fungsi negara. Adapun OJK dibentuk untuk menjalankan fungsi dimaksud, yaitu untuk mengawasi berjalannya sektor jasa keuangan. Sehingga tidak perlu diragukan lagi bahwa OJK berkedudukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 86 sebagai lembaga negara, sama halnya dengan Bl yang juga berkedudukan sebagai lembaga negara; Walaupun sama-sama berkedudukan sebagai lembaga negara, OJK dan Bank Indonesia memiliki derajat kedudukan yang berbeda sebagai lembaga negara. Bank Indonesia merupakan lembaga yang dibentuk sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 23D UUD 1945 yang menyatakan, negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan UU. Dalam hal ini, kehadiran bank sentral yang kemudian diberi nama dengan Bank Indonesia merupakan mandat UUD 1945. Artinya, sumber norma yang menjadi dasar keberadaan Bank Indonesia adalah UUD 1945; Sedangkan kehadiran OJK merupakan konsekuensi Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan, tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Lalu, berdasarkan ketentuan tersebut dibentuklah lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang diberi nama dengan OJK; Perbedaan dasar hukum pembentukan Bl dan OJK memiliki konsekuensi terhadap tidak samanya kekuatan keduanya. Dalam arti, karena dasar pembentukan Bl berasal dari UUD 1945, maka lembaga ini tidak dapat dibubarkan hanya karena kebijakan pembentuk Undang-Undang. Jika hendak membubarkan Bl atau bank sentral, harus melalui perubahan UUD 1945. Inilah yang menyebabkan keberadaan Bl menjadi kuat. Sementara kedudukan OJK tidak sekuat Bl. Sebab, kekuatan lembaga ini hanya berbasis pada Undang-Undang. Di mana, jika pembentuk Undang-Undang sepakat membubarkan OJK, maka cukup hanya melalui perubahan atau pencabutan Undang-Undang. Artinya, pembubaran OJK tidak harus melalui perubahan UUD 1945 yang jauh lebih sulit; Perbedaan sumber norma pembentukan dua lembaga tersebut tidak dapat dijadikan dasar penilaian konstitusionalitas atau tidaknya lembaga yang ada. Sebab, baik lembaga yang dibentuk karena perintah UUD 1945 maupun lembaga yang hadir karena perintah Undang-Undang sama-sama konstitusional sepanjang dibuat oleh lembaga yang berwenang dan sesuai wewenang yang dimilikinya. Jadi, perbedaan dasar hukum tidak menjadi alasan mempersoalkan konstitusionalitas sebuah lembaga atau komisi negara; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 87 Selain itu, apabila ukuran konstitusionalitas keberadaan sebuah lembaga negara hanya atas dasar ada tidaknya perintah UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon, tentunya bukan hanya OJK yang akan dikatakan inkonstitusional. Sebab, banyak lembaga/komisi negara lainnya yang kehadirannya tidak diperintahkan UUD 1945, melainkan hadir melalui sebuah UU atau bahkan hanya peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Misalnya KPK hadir berdasarkan UU No 30/2002 dan tidak satupun norma dalam UUD 1945 yang memerintahkan pembentukannya. Begitu juga dengan Bawaslu, tidak ditemukan adanya norma yang secara eksplit memerintahkan pembentukannya. Dua lembaga terakhir tersebut juga hadir atas dasar Undang-Undang dan bukan perintah langsung UUD 1945. Di mana, keberadaan dua lembaga tersebut adalah konstitusional. Jadi, akan menjadi sangat keliru jika dasar penilaian konstitusionalitas sebuah lembaga hanya atas kategori ada tidaknya perintah atau cantolan ketentuan UUD 1945 sebagai dasar membentuknya; Selanjutnya yang Kedua, sumber kewenangan Bl dan OJK. Baik Bl maupun OJK sama-sama lembaga negara yang kewenangannya diberikan melalui Undang-Undang, bukan UUD 1945. Terkait kewenangan bank sentral/BI, Pasal 23D UUD 1945 menyatakan, ...suatu bank sentral yang kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Pasal 23D UUD 1945 mendelegasikan pengaturan tentang kewenangan Bl kepada Undang-Undang. Artinya, kewenangan Bl akan diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Bl. Dengan demikian, sumber kewenangan Bl adalah Undang-Undang, bukan UUD 1945. Dalam hal ihwal ini, Bl masuk dalam kategori lembaga negara yang keberadaanya diatur di dalam UUD 1945, tetapi kewenangannya diatur dalam UU, yaitu UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bl; Dalam konteks sumber kewenangan, derajat kedudukan OJK menyamai Bl. Sebab, kewenangan OJK juga berasal dari UU, yaitu UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Dalam hal ini, sekalipun pengakuan keberadaannya tidak bersumber dari UUD 1945, tetapi semua hal terkait keberadaan, kedudukan dan kewenangannya bersumber dari Undang-Undang. Dalam hal sumber kewenangan inilah posisi Bl dan OJK dapat disebandingkan; Ketiga, terkait keabsahan pemindahan fungsi pengaturan dan pengawasan bank dari Bl kepada OJK melalui UU Bank Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pengaturan segala tugas dan wewenang Bl diserahkan kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 88 pembentuk Undang-Undang. Terkait hal itu, pembentuk UU berwenang menentukan apa saja yang akan diatur sebagai kewenangan Bl. Karena itu, tugas, wewenang dan fungsi Bl sebagai bank sentral sepenuhnya menjadi kewenangan DPR dan Presiden (sebagai pembentuk Undang-Undang) menentukannya. Artinya, bila terdapat wewenang yang diberikan kepada bank sentral, lalu kemudian wewenang tersebut diambil atau dialihkan kepada lembaga lain yang juga dibentuk berdasarkan kewenangan pembentuk Undang-Undang, maka hal itu tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya; Sehubungan dengan itu, dalam kaitannya dengan keberadaan Bl dan OJK, di mana Pemohon menilai bahwa Bl lebih memiliki landasan konstitusional dibanding-kan OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank adalah tidak tepat. Sebab, penentuan kewenangan bank sentral merupakan wewenang pembentuk Undang-Undang. Apakah wewenang tertentu diberikan kepada Bl atau mungkin dicabut atau dialihkan dari Bl, berdasarkan Pasal 23D UUD 1945 sepenuhnya menjadi hak DPR dan Presiden. Termasuk memindahkan sebagian kewenangan Bl kepada OJK yang dibentuk berdasarkan mandat Pasal 34 ayat (1) UU Bl; Oleh karena itu, pemindahan kewenangan tersebut konstitusional adanya. Apalagi pemindahan kewenangan dimaksud dilakukan melalui Undang-Undang. Keberadaan OJK yang dibentuk dengan Undang-Undang dan kedudukan Bl yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 sama-sama konstitusional. Di mana, apapun kewenangan yang diberikan pada kedua lembaga negara tersebut tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya sepanjang dilakukan sesuai kewenang Presiden dan DPR sebagai primary legislator ; Terakhir atau yang Keempat adalah persoalan independensi OJK. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, OJK itu adalah sebuah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya...dst. Harus dipahami, bahwa frasa "independen" menunjuk pada kedudukan OJK sebagai lembaga negara yang berada di luar kekuasaan Pemerintah. Dalam hal ini, independensi OJK menunjukkan lembaga ini bukan institusi yang berada di bawah Presiden, melainkan sebuah lembaga negara yang diberikan kewenangan menjalankan fungsi negara yang diberikan kepadanya. Independensi OJK sama dengan Bl. Dalam hal ini, misalnya Bl, jika diletakkan dalam rumpun lembaga negara, Bl berada dalam rumpun eksekutif. Upaya memberikan label " independent " dilakukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 89 untuk memberikan jarak dengan pemegang kekuasaan eksektif agar terhindar dari pengaruh dinamika politik. Jimly Asshiddiqie (2007) menggambarkan hal itu dilakukan sebagai bentuk kesengajaan melepaskan Bank Sentral dari kewenangan mutlak pemegang atau kepala pemerintahan. Karenanya, dengan memberi tambahan independen, BS hadir menjadi semacam a quasi executive entity . Begitu juga OJK, kehadirannya secara konstitusional didasarkan atas ketentuan 33 UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang merupakan turunan dari Pasal 23D UUD 1945. Jadi, sifat independensi bank sentral juga dapat dilekatkan kepada OJK; Kehadiran berbagai komisi negara independen bukan fenomena yang hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di banyak negara di dunia, seperti Inggris, Afrika Selatan, Thailand dan Amerika Serikat. Secara umum, hadirnya komisi negara independen ditujukan untuk menyempurnakan proses demo-kratisasi yang terus berkembang seiring dengan perubahan kondisi sosial politik yang terjadi; Di sisi lain, keberadaan lembaga negara atau komisi negara independen di berbagai negara juga merupakan bentuk koreksi atas kemapanan peng- klasifikasian kekuasaan pemerintah negara yang ada sebelumnya. Di mana, cabang kekuasaan negara hanya dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kekuasaan membuat Undang-Undang (legislatif), kekuasaan pemerintah (eksekutif) dan kekuasaan kehakiman (yudisial). Ketika cabang kekuasaan yang telah ada tersebut dianggap tidak lagi mampu, bahkan sebagiannya dinilai menurun kredibilitasnya dalam melaksanakan tugasnya, sehingga membutuhkan institusi di luar cabang kekuasaan tersebut untuk menutupi kelemahan yang ada; Terkait dengan hal tersebut, Asimow dalam bukunya Administrative Law (2002) menyatakan most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent . Organ negara ( state organs ) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam hal ini, William F. Funk & Richard H. Seamon mengatakan, lembaga independen itu tidak jarang mempunyai kekuasan " quasi legislative ", " quasi executive " dan " quasi judicial ". Sementara itu, komisi yang berada di bawah eksekutif sering disebut dengan executive agencies. Namun executive agencies tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai lembaga independen karena pada prinsipnya dibentuk menjalankan tugas-tugas eksekutif; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 90 Sebuah lembaga negara/komisi negara dikatakan independen bila dinyatakan secara tegas (eksplisit) dalam dasar hukum pembentukkannya, baik yang diatur dalam UUD atau Undang-Undang. Kemudian, pengisian pimpinan lembaga bersangkutan tidak dilakukan oleh satu lembaga saja. Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan Asimov, dalam teori hukum tata negara, sebuah lembaga dikatakan independen apabila pemberhentian anggota lembaga yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang- Undang pembentukan lembaga yang bersangkutan Ciri lainnya menurut William J Fox Junior, presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan ( discretionary decision ) pemberhentian sang pimpinan lembaga. Tidak hanya itu, Funk and Seamon menambahkan bahwa lembaga negara independen bila pimpinan yang kolektif, tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan masa jabatan para pemimpin tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian ( staggered terms ); Dalam konsep atau teori itulah sebetulnya indepensi OJK harus dipahami. Independensi OJK bukan bermakna bahwa peran negara dalam penyelenggaraan perekonomian nasional menjadi berkurang. Sebab, kehadiran OJK bukan dalam rangka menarik keluar urusan yang seharusnya menjadi fungsi pemerintahan negara, melainkan tetap dilakukan oleh negara melalui pembagian urusan terkait perbankan dan perekonomian nasional kepada beberapa lembaga negara. Di mana, awalnya hanya menjadi kewenangan Bl semata, sekarang sebagiannya diserahkan kepada OJK; Selain itu, sekalipun ditempatkan sebagai lembaga negara independen, pelaksanaan tugas OJK juga tetap terikat dan terkait dengan pelaksanaan tugas pemerintah dan Bank Indonesia. Di mana, secara struktural keterkaitan pelaksanaan tugas OJK diwujudkan dalam bentuk dijabatnya dua Komisioner OJK secara ex-oficio oleh pejabat eleson I pada Kementerian Keuangan dan Anggota Dewan Gubernur Bl. Sedangkan 7 orang anggota Dewan Komisioner lainnya diisi melalui proses seleksi. Hal itu menunjukkan bahwa sifat independensi OJK tetap dalam kerangka keterkaitan tugasnya mengawal perekonomian nasional bersama Kementerian Keuangan dan Bl; Selanjutnya, posisi OJK sebagai sebuah lembaga negara yang independen juga memiliki konsekuensi logis terhadap kewenangan yang dimilikinya. Salah satunya, kewenangan membentuk atau menerbitkan berbagai peraturan yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 91 berkedudukan sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang. Di mana, peraturan- peraturan yang dibuat mengikat seluruh pihak dan berlaku ke luar dan ke dalam. Bahkan merujuk pada sistem perundang-undangan kita, lembaga negara/komisi negara mempunyai ruang untuk membentuk peraturan yang sifatnya regeling ; Lalu, bagaimana indepensi OJK jika dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pembentukannya? Karena terintegrasi dengan sistem perekonomian, apakah kemudian independensinya tidak akan terjaga? Dalam hal ini, dapat dipastikan bahwa tugas dan fungsi OJK terkait erat dengan penyelenggaraan perekonomian nasional. Namun bukan berarti hal itu secara serta merta akan merusak atau menghilangkan indenpendensi OJK. Harus diingat, independen adalah sifat objektif kelembagaan OJK dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Hanya saja, dalam pelaksanaan fungisnya tentu saja terbuka ruang untuk terjadi penyimpangan. Walaupun demikian, persoalan ini tentu bukan masalah konstitusionalitas norma Undang-Undang OJK, melainkan soal pelaksanaan norma oleh pejabat di lembaga tersebut; Sebelum mengakhiri keterangan ini, ahli juga akan menyinggung bagaimana hubungan antara Kementerian Keuangan, Bl, dan OJK. Di mana, tiga institusi tersebut memiliki kewenangan yang saling bersinggungan satu sama lain. Lebih-lebih lagi Bl dengan OJK. Secara struktural, Bl dan Kementerian Keuangan menjadi bagian dari Dewan Komisioner OJK. Dengan demikian, kedua institusi tersebut sekalipun bukan mayoritas di OJK, tetapi tetap memiliki kewenangan untuk turut mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibuat OJK. Selain mempengaruhi, kehadiran Bl dan Kementerian Keuangan juga dapat memastikan langkah-langkah pengawasan jasa keuangan yang dilakukan OJK terintegrasi atau terkoordinasi dengan agenda-agenda urusan keuangan yang diurus oleh Pemerintah dan Bank Indonesia; Dari segi tujuan, Kementerian Keuangan bertujuan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Adapun OJK hadir untuk teraturnya sektor jasa keuangan, terwujudnya sistem keuangan yang stabil serta terlindunginya kepentingan konsumen. Sedangkan Bl bertujuan untuk memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ketiga lembaga tersebut saling terkait satu sama lain. Di mana, semua akan mendukung pencapaian mewujudkan pemajuan kesejahteraan umum yang dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 92 Dengan tujuan yang saling berhubungan serta ada jaminan terkoordinasinya tugas tiga lembaga tersebut secara struktural, maka kehadiran OJK justru akan dapat menutupi berbagai kelemahan yang ada sebelumnya. Dengan begitu, pandangan yang menyatakan bahwa kehadiran OJK telah mereduksi dan melemahkan peran Bl justru kehilangan relevansinya. Hal yang terjadi justru sebaliknya, di mana kehadiran OJK akan dapat memperkuat pelaksanaan tugas pengawasan jasa keuangan yang ada. Pada saat bersamaan juga dapat membantu terselenggaranya urusan pemerintahan dibidang keuangan secara lebih baik;
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.HUM Hadirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem tata kelola keuangan di Indonesia ( finance governance ) memberikan harapan positif terhadap upaya penguatan sektor jasa keuangan, agar dapat tumbuh menjadi sektor jasa yang profesional dan berorientasi untuk melayani serta melindungi masyarakat pengguna jasa keuangan secara lebih baik. Tugas pemerintah dalam negara hukum modern ( moderne rechsstaat ) menurut Hughes (1994:
meliputi 7 (tujuh) macam, yaitu: 1 . _Providing economic insfrastructure;
Provision of various_ _collectieve goods and service;
The resolution and adjustment of group conflicts; _ _4. The maintanance of competititon;
Protection of natural resources;
Provision_ _for minimum access by individuals to the goods and services of the economy;
_ Stabilisation of the economy. Jika merujuk pendapat tersebut, kehadiran OJK kiranya dapat memenuhi fungsi untuk mewujudkan stabilitas ekonomi melalui tujuan dari pembentukan OJK sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat; Sesuai dengan amanah Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, telah lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). UU tersebut diberlakukan mulai 1 Januari 2013. Lembaga independen tersebut ditugaskan untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan bank dan non-bank. Lembaga keuangan non-bank yang diawasi oleh OJK adalah Asuransi, Dana Pensiun, Bursa Effek/Pasar Modal, Modal Ventura, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 93 Perusahaan Anjak Piutang, reksadana, perusahaan pembiayaan. Dengan mulai beroperasinya Lembaga tersebut, maka sejak republik ini berdiri baru pertama kalinya lahir Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi lembaga secara terintegrasi yaitu lembaga keuangan bank dan non bank. Lembaga independen tersebut mengambil alih tugas pengawasan lembaga keuangan bank dan non bank yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai pengawas Bank dan Bapepam-LK untuk lembaga keuangan non bank. Pola pembentukan institusi OJK menyerupai pembentukan KPK dan cukup banyak state auxiliary agencies lain yang sifatnya constitutionally important. Artinya, dengan memahami hakikat makna ketentuan-ketentuan dalam konstitusi untuk mewujudkan sistem tatakelola perekonomian yang baik, maka hal itu mendasari konsiderasi pembentukan OJK. Meskipun, sama halnya dengan landasan eksistensi KPK dan beberapa state auxiliary agencies lain, tidak semua hal yang diperlukan dalam kehidupan ketatanegaraan dan pemerintahan harus diatur secara eksplisit dan rinci dalam konstitusi, mengingat cakupan ruang lingkup materi muatan konstitusi yang lazimnya bersifat terbatas sebagai norma dasar tertinggi dalam suatu negara. Namun, dalam suatu hal yang bersifat urgen terdapat hal-hal yang secara konstitusional dianggap penting untuk dibentuk/dilaksanakan dalam praksis ketatanegaraan; Kiranya, konsiderasi UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK sudah konsisten dengan dasar pengaturan bagi lahirnya OJK dan maksud pembentuk UUD Negara RI 1945 untuk mewujudkan tata kelola perekonomian yang baik sebagaimana diatur pada Pasal 34 UU Bank Indonesia yaitu:
. untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat;
. berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan serta pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Penjabaran kewenangan OJK dalam substansi UU OJK juga telah konsisten secara intensional maupun gramatikal dengan delegasi kewenangan yang diberikan terhadap UU Nomor 21 Tahun 2011; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 94 Urgensi OJK Krisis keuangan yang terjadi di Asia merupakan implikasi kelemahan kualitas sistem keuangan di Asia. Pada bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena dampaknya karena struktur ekonomi nasional Indonesia yang masih lemah untuk menghadapi krisis global tersebut. Hal itu menyebabkan kurs rupiah terhadap dolar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997 dan diikuti penutupan 16 bank bermasalah oleh pemerintah pada bulan November 1997. Kemudian, pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam rangka membantu bank-bank bermasalah tersebut. Kebijakan BLBI tersebut tidak berjalan efektif karena dana bantuan tersebut disalahgunakan oleh sejumlah pihak. Hal itu memperburuk citra perbankan dan sistem pengawasan perbankan yang dilakukan oleh BI. Bank Indonesia yang bertindak sebagai pengatur dan pengawas di sektor perbankan diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia agar tercipta sistem perbankan yang sehat secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar serta bermanfaat bagi perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang dialami Indonesia mengharuskan pemerintah melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Pada tahun 1999-2004, pemerintah melakukan program penyehatan perbankan, rekapitalisasi bank umum dan restrukturisasi kredit perbankan, serta pemantapan ketahanan sistem perbankan dan prinsip kehati-hatian bank, yang meliputi pengembangan infrastruktur perbankan, peningkatan Good Corporate Governance dan penyempurnaan pengaturan serta sistem pengawasan bank. Pada tahun 2004, pemerintah memulai implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang merupakan landasan dan arah kebijakan perbankan dalam jangka panjang serta beberapa program dalam Arsitektur Keuangan Indonesia (ASKI), guna menciptakan landasan dalam membangun sistem keuangan yang kokoh dan mampu menunjang kegiatan perekonomian nasional secara berkesinambungan (Herry Rocky, 2012, Perkembangan Perbankan 1990-2010 (http: //herryrocky.blogspot.com/2012/03/perkembangan-perbankan-1990- 2010.html, diakses 9 Juli 2012); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 95 Pengalaman Indonesia menghadapi krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 dan tahun 2008 yang mengakibatkan terjadinya krisis multidimensi yang berdampak sangat besar terhadap perekonomian nasional, memberikan gambaran pentingnya peranan jasa keuangan dalam mendukung perekonomian nasional. Oleh karena itu, pengelolaan sektor jasa keuangan yang baik menjadi penting untuk mencegah terjadinya krisis, sehingga krisis yang pernah dialami diharapkan tidak akan terjadi lagi. Untuk itu, diperlukan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan dalam mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Best Practices OJK di Beberapa Negara Lain dan Kontribusinya bagi Pembentukan OJK di Indonesia Pembentukan OJK kiranya juga merupakan hasil belajar dari best practices sistem pengawasan oleh institusi tunggal dan independen di beberapa negara lain. Beberapa diantaranya dapat disebutkan disini; Pada tanggal 25 Januari 2001, Menteri Keuangan Jerman, Hans Eichel mengumumkan pembentukan otoritas pengawas keuangan terintegrasi, yaitu Bundesanstalt für Finanzdienstleistungsaufsicht (BaFin) dan mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 2002 berdasarkan hukum otoritas jasa keuangan pengawasan tunggal ( Gesetz über die integrierte Finanzdienstleistungsaufsicht ). BaFin merupakan gabungan dari lembaga pengawas terpisah untuk perbankan ( Bundesaufsichtsamt für das Kreditwesen -BAKred), asuransi ( Bundesaufsichtsamt für das VersicherungswesenB AV) dan sekuritas ( Bundesaufsichtsamt für den Wertpapierhandel -BAWe). BaFin memiliki wewenang terkait pengawasan lembaga kredit, perusahaan asuransi, perusahaan investasi dan lembaga keuangan lainnya. BaFin bertujuan untuk menjamin stabilitas dan integritas sistem keuangan Jerman secara menyeluruh, dengan dua tujuan utama yaitu menjaga solvabilitas bank, penyedia jasa keuangan dan perusahaan asuransi dan perlindungan konsumen dan investor. Setelah BaFin dibentuk, Deutsche Bundesbank (Bundesbank) bertugas sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran. Bundesbank merumuskan kebijakan moneter dan perbankan, menjaga nilai mata uang, mempertahankan tingkat kecukupan cadangan aset/siklus kas dan pengelolaan uang kertas, memantau perkembangan bisnis dan menganalisis spektrum yang luas dari masalah ekonomi, serta menjamin kelancaran fungsi pembayaran domestik dan asing dengan menyediakan layanan jasa kliring; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 96 Otoritas Jasa Keuangan di Australia diperankan oleh The Australian Prudential Regulation Authorihy (APRA). Lembaga-lembaga yang diatur oleh APRA diantaranya adalah bank, asuransi, penyedia retirement saving accounts, trustee of superannuation entity. Organisasi APRA terdiri dari sebuah dewan ( board ), seorang pemimpin operasi ( chief executive officer) didukung para staf. Di Australia, APRA dibiayai dari kontribusi (levy) lembaga yang diawasi. APRA mengambil alih tugas dari Reserve Bank of Australia (RBA) dan Insurance and Superannuation Committee (ISC). Lembaga yang dibentuk pada tanggal 1 Juli 1998 tersebut menjalankan fungsi pengawasan micro-prudential lembaga keuangan yang terdiri dari bank, credit union, building society dan perusahaan asuransi. Selain itu, APRA juga mengawasi industri dana pensiun ( superannuation Funds ); Krisis keuangan yang dialami oleh Korea pada tahun 1997-1998 mengakibatkan beberapa konglomerat bisnis besar mengalami kesulitan keuangan, kredit macet di bank-bank Korea meningkat tajam, sehingga melemahkan kesehatan keuangan lembaga perbankan domestik, yang berdampak pada ketidakstabilan keuangan Korea. Hal ini mendorong pemerintah Korea untuk melakukan reformasi kelembagaan dan kebijakan keuangan, maka dibentuklah Korea Deposit Insurance Corporation (KDIC), Financial Supervisory Commission (FSC)/ Financial Supervisory Services (FSS) yang memiliki wewenang sebagai lembaga pengawas tunggal untuk perbankan dan non-perbankan. Dengan perubahan ini Ministry of Finance and Economy (MOFE), FSC/FSS, Bank of Korea (BOK), dan KDIC adalah empat lembaga publik yang bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas dan efisiensi sistem keuangan Korea; Masih cukup banyak negara lain yang juga membentuk institusi semacam OJK untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor keuangan secara terpadu. Meskipun latar belakang pendirian lembaga pengawas jasa keuangan terpadu berbeda di setiap negara, terdapat beberapa faktor yang memicu dilakukannya perubahan terhadap struktur kelembagaan pengawas jasa keuangan. Pertama, munculnya konglomerasi keuangan dan mulai diterapkannya universal banking di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor menjadi tidak efektif karena terjadi gap dalam regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas (dan lembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 97 stabilitas sistem keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Ketiga, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance. Guna __ meningkatkan good governance pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya; Adapun alasan pendirian OJK sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UU OJK adalah telah terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial menciptakan sistem keuangan menjadi kompleks, dinamis, dan saling terkait antar- subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Selain itu, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan; Pembentukan Undang-Undang OJK ini dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral ke sebuah badan atau lembaga yang independen di luar bank sentral. Dasar hukum pemisahan fungsi pengawasan tesebut yaitu Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan:
Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Pengawasan tersebut dilakukan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah serta berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan serta Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukan tugasnya, lembaga yang dinisbatkan menjadi supervisory board ini melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 98 Undang-Undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank melalui koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia terkait keterangan serta data makro yang diperlukan; Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan sebagai amanat Pasal 34 Undang- undang Bank Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip reformasi keuangan, yaitu: independensi, terintegrasi dan menghindari benturan kepentingan. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, OJK berlandaskan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik ( Good Coorporate Governance ). Bank Indonesia memberikan pengertian tentang pemerintahan yang baik tersebut adalah suatu hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Asas-asas tersebut adalah independensi, kepastian hukum, kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, dan integritas. Perspektif Hukum Adminstrasi Negara Fungsi OJK Fungsi OJK tidak lepas dari fungsi pemerintahan ( sturen ) yang melekat pada wewenang pemerintah ( bestuursbevoegdheid ). Dalam melaksanakan fungsi sturen , pemerintah diberikan kewenangan untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum administrasi negara. Pengawasan dilaksanakan melalui kewenangan perijinan ( vergunning ) yang dilekatkan pada kewenangan OJK seperti yang diantaranya diatur pada Pasal 7 huruf h UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu memberikan dan/atau mencabut:
izin usaha;
izin orang perseorangan;
efektifnya pernyataan pendaftaran;
surat tanda terdaftar;
persetujuan melakukan kegiatan usaha;
pengesahan;
persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan. Kewenangan tersebut dalam hukum administrasi diiperlukan sebagai upaya pentaatan terhadap norma hukum administrasi negara; Dimensi perlindungan hukum ( rechtsbescherming ) dalam pelaksanaan fungsi sturen ( sturende functie ) yang antara lain terdapat pada Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011, pada intinya dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang menjadi konsumen/pengguna jasa sektor keuangan dari praktik-praktik yang melanggar prinsip-prinsip tatakelola keuangan perbankan dan non perbankan yang baik ( good financial governance ). Hal itu terlihat dari Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 99 kewenangan OJK untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (Pasal 6 UU Nomor 21 Tahun 2011). Kewenangan tersebut ditujukan guna mewujudkan tujuan pemerintahan ( bestuursdoeleinden ) sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Tujuan tersebut selaras dengan konsiderasi pembentukan UU Nomor 21 Tahun 2011 sebagaimana telah diuraikan di atas. Kewenangan yang diatribusikan kepada OJK sebagaimana terdapat pada Padal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011 merupakan derivasi dari Pasal 34 ayat (1) UU BI Nomor 3 Tahun 2004 yang mengatur bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Dengan demikian, dalam isu konstitusionalitas, karakter constitutionally important dari UU OJK dapat ditelusuri melalui Pasal 34 UU BI yang bersumber pada Pasal 23D UUD 1945, yang mengatur bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Bahkan, secara sistematik, dapat pula ditelusuri landasan konstitusionalnya dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Atribusi kewenangan OJK dalam UU OJK dan pengaturan mengenai institusionalitas OJK merupakan manifestasi dari jiwa konstitusi, khususnya dengan memahami dialektika Pasal 23D dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945; Fungsi utama lembaga keuangan seperti OJK bertujuan untuk mencapai empat tujuan ( goals ) secara umum. Empat tujuan tersebut meliputi:
keamanan dan ketahanan ( safety and soundness ) lembaga keuangan;
pencegahan risiko sistemik;
keadilan dan efisiensi pasar;
perlindungan terhadap konsumen Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 100 dan investor. Tujuan pertama dicapai melalui penerapan peraturan yang ketat dan prinsip kehati-hatian yang mengedepankan pendekatan persuasi. Tujuan pencegahan risiko sistemik merupakan tantangan bagi pengawas yang diberi mandat karena penyebab risiko sistemik tidak dapat diprediksi. Walaupun demikian, pengawas tersebut dapat mengurangi kemungkinan risiko sistemik melalui penerapan aturan yang telah dibentuk. Pencapaian tujuan ketiga lebih kepada pendekatan penegakan aturan ( enforcements ) yang meliputi sanksi, denda, pembekuan usaha, pencabutan izin usaha, dan hukuman lainnya. Kiranya, tujuan tersebut selaras dengan Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat; Kewenangan pengaturan ( regelende bevoegdheid ) dan kewenangan pemerintahan ( besturende bevoegdheid ) yang tercermin dari kewenangan- kewenangan yang diatribusikan kepada OJK dalam teori hukum administrasi negara mencerminkan karakter hukum administrasi negara: norm (norma), instrument (sarana) dan waarborg (jaminan). Hal itu dapat dibandingkan dengan pendapat de Haan, dkk. (1986:
, bahwa: " Minstens zo nauw als het verband tussen norm en instrument is dat tussen norm en waarborg. Ook hier weer nemen wij achtereenvolgens de normering van het overherheidsgedraag en die van het gedrag van burgers tot uitgangspunt. De overheidsnormering vraagt primair om bestuurlijke waarborgen, terwijl de rechtsnormen die het gedrag van burgers beinvloden, rechtsbescerming noodzakelijk maken ". Pengaturan mengenai OJK dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 telah memenuhi dimensi norma, sarana dan jaminan yang menjadi dimensi utama Hukum Administrasi Negara. Hal itu selain menjadi dasar teoretis bagi pengaturan kewenangan OJK, juga merupakan amanah konstitusi yang harus diwujudkan melalui fungsi dan kewenangan OJK. OJK dimaksudkan untuk memberikan jaminan pemerintah ( bestuurlijke waarborgen) terhadap masyarakat konsumen/pengguna OJK yang melakukan aktivitas di sektor jasa keuangan. Fungsi jaminan itu diwujudkan melalui instrumen perijinan terhadap aktivitas keuangan bagi penyelenggara jasa perbankan maupun non perbankan. Kewenangan penetapan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan merupakan salah satu fungsi penormaan pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 101 ( bestuursnormering ) yang diarahkan pada upaya memberikan jaminan pemerintahan (bestuurlijke waarborg ) untuk memberikan petlindungan hukum ( rechtsbescherming ) terhadap masyarakat pengguna jasa keuangan; Perkembangan mutakhir dalam hukum administrasi negara menunjukkan adanya arah penyelenggaraan fungsi pemerintsh yang semakin berfokus pada pengguna pelayanan/konsumen. Dikatakan oleh John McMillan (2009) bahwa: "Compliance with legal standards is the starting premise in all codes of good administration, but the newer codes go further. An emerging principle or standard is the need for agencies to be customer focus delivery of citizen-centred services … Deliver high-quality programs and services that put the citizen first’.The reason for this new emphasis is that people now interact wiath government differently, more frequently, and with heightened expectations. This is a product of the expansion in government benefits, subsidies, licences, taxes, contracts, authorisations, sanctions, penalties, services and regulatory programs. People now relate to government in many ways – as citizens, clients, consumers and customersssed – or, as Prime Minister Rudd recently described it, to engage in." Hadirnya OJK bisa diharapkan akan menjafi institusi independen yang berfokus pada perlindungan masyarakat/ konsumen jasa keuangan. Hal itu juga dinyatakan melalui tujuan pembentukan OJK sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Hal itu akan berimplikasi terhadap pelayanan publik pemerintah di sektor jasa keuangan yang semakin "customer focus delivery of citizen-centred services." Tujuan itu dilaksanakan melalui berbagai kewenangan pengawasan dan perijinan vide Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011, termasuk kewenangan pencabutan ijin yang merupakan salah satu bentuk sanksi dalam hukum administrasi negara, Hal itu diharapkan dapat memperkuat dan melindungi sektor keuangan Indonesia dari potensi terjadinya krisis keuangan melalui peranan OJK untuk mendorong penguatan fondasi sektor keuangan; Kedudukan Pungutan OJK Dalam Pasal 23A UUD 1945 diatur bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 Rumusan itu merupakan hasil dari Perubahan III UUD 1945 tanggal 9 November 2001. Berkaitan dengan keuangan guna membiayai operasional kinerja darI OJK, Pasal 37 UU Nomor 21 Tahun 2011 mengatur beberapa hal prinsip terkait keuangan OJK, sebagai berikut:
OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan;
Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK;
OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri;
Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah; UU OJK mengatur norma yang bersifat mandatory mengenai kewenangan OJK dalam melaksanakan kewenangan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Legalitas ( rechtsmatigheid ) pungutan tersebut dapat diukur dari sifat koherensi norma hukum UU OJK dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945. Kewenangan untuk melakukan pungutan tersebut merupakan implikasi pengaturan Pasal 34 ayat (2) UU OJK, yang mengatur bahwa Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Sifat norma hukum tersebut pada hakikatnya merupakan legal policy yang memberikan kewenangan bagi OJK untuk melakukan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan yang bisa bersifat tambahan dari keuangan yang bersumber dari APBN atau menjadi alternatif dari keuangan OJK yang diperoleh dari APBN. Jika dibandingkan dengan OJK di beberapa negara lain, sumber keuangan OJK-OJK tersebut pada umumnya bersumber dari pihak- pihak yang bergerak di sektor jasa keuangan atas konsiderasi untuk menumbuhkan kemandirian OJK; Jika Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 37 UU OJK ditarik koherensinya secara vertikal ke atas sampai di ranah konstruksi Pasal 23A UUD 1945, maka norma hukum mengenai pungutan dalam UU OJK tersebut memenuhi syarat dan kriteria Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 dari pungutan sebagaimana diatur pada Pasal 23A UUD 1945 tersebut. Selanjutnya, apabila Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 37 UU OJK dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan berikutnya antara lain Pasal 38 UU OJK yang mengatur pelaporan dan akuntabilitas OJK, maka, pada hakikatnya pengaturan mengenai keuangan serta pungutan dalam UU OJK tetap memenuhi asas kelengkapan ( volledigheid , universalitas) dan asas berkala (periodisitas) sebagai asas-asas klasik yang diakui oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Asas kelengkapan ( volledigheid ) pada intinya merupakan asas yang mempertahankan hak budget parlemen secara lengkap sehingga penguasa publik tidak terlepas dari pengawasan DPR; Asas berkala (periodisitas) mengandung makna bahwa pemberian otorisasi dan pengawasan rakyat dengan perantaraanwakilnya secara berkala dalam kebijaksanaan pemerintah guna memenuhi fungsinya. Dengan periodisitas ini memungkinkan pemberian otorisasi dan pengawasan rakyat berjalan secara teratur. Periodisitas ini tidak menghilangkan pengawasan rakyat, tetapi juga harus diperhatikan agar kesempatan pemerintah untuk menjalankan rencananya tetap berlaku. Kedua hal ini merupakan persyaratan pencapaian tujuan demokrasi dalam hukum tata negara. Beberapa ketentuan dalam Pasal 38 UU Nomor 21 Tahun 2012 menunjukkan tetap dipenuhinya asas kelengkapan ( volledigheid ) dan asas berkala dalam pengaturan mengenai keuangan OJK;
OJK wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri atas laporan keuangan semesteran dan tahunan;
OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan;
Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan penjelasan, OJK wajib menyampaikan laporan;
Periode laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember;
OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat;
Laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat; Pengaturan mengenai pengelolaan keuangan dalam OJK baik yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari masyarakat tersebut tetap memenuhi asas-asas yang terkandung dalam Pasal 23 UUD 1945. Pasal 23 UUD 1945 itu mengandung 3 (tiga) asas yang saling berkaitan secara erat, yaitu:
Asas berkala ( periodiciteit beginsel), yaitu anggaran negara tersebut dianggarkan untuk jangka waktu tertentu. 2. Asas terbuka ( openbaar beginsel), yaitu prosedur pembahasan anggaran negara oleh DPR dan Pemerintah dilakukan secara terbuka baik melalui sidang terbatas pemerintah dengan Komisi APBN maupun dalam sidang Pleno (mencerminkan pula asas demokrasi). 3. Asas kedaulatan ( souvereiniteit beginsel), yaitu unsur kedaulatan rakyat melalui perwakilannya merupakan syarat mutlak terciptanya rencana anggaran negara tahunan ( jaarlijke machtiging) ; Ditinjau dari segi pengelolaan keuangan negara yang dikelola oleh OJK, baik yang bersumber dari UU APBN maupun pungutan dari pihak pengelola jasa keuangan, juga sudah memenuhi standar pengelolaan keuangan negara dalam UU Keuangan Negara yang didasarkan atas-asas pengelolaan keuangan negara yang merupakan pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain: • akuntabilitas berorientasi pada hasil; • profesionalitas; • proporsionalitas; • keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; • pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri PP Nomor 11 Tahun 2014 yang mengatur mengenai Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai implementasi dari Pasal 37 ayat (6) UU OJK dimaksudkan untuk memenuhi asas-asas pengelolaan keuangan negara tersebut dalam pelaksanaan pungutan oleh OJK. Pada intinya, pungutan yang dilaksanakan dan dikelola oleh OJK tidak menyimpang dari kaidah pengelolaan keuangan negara dalam APBN, kecuali yang memang diatur secara khusus dalam UU OJK berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan OJK yang bersifat khusus, sebagaimana diatur pada Pasal 35 UU OJK yang mengatur kekhususan berikut:
Anggaran OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya.
Anggaran dan penggunaan anggaran untuk membiayai kegiatan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan standar yang wajar di sektor jasa keuangan dan dikecualikan dari standar biaya umum, proses pengadaan barang dan jasa, dan sistem remunerasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pengadaan barang dan jasa Pemerintah, dan sistem remunerasi; Namun, kekhususan tersebut tidak menyebabkan terputusnya ikatan norma hukum tersebut dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana juga diatur pada Pasal 38 ayat (8) UU OJK yang menentukan bahwa Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dengan demikian, pengaturan mengenai keuangan dan pungutan dalam UU OJK tetap dilaksanakan berdasarkan sistem pengelolaan keuangan negara dalam sistem ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Dr. Maruarar Siahaan, S.H I. Legal Standing Pandangan kami tentang ketidak cukupan legal standing untuk menguji pasal-pasal dalam Undang-Undang Ototritas Jasa Keuangan, kami utarakan dalam hal-hal sebagai berikut:
Meskipun Pemohon telah mencoba menguraikan dasar argumen legal standing nya dalam permohonan pengujian ini, dapat dirasakan bahwa sesungguhnya dengan dasar bahwa Pemohon sebagai pembayar pajak dan aktivis yang juga melakukan advokasi di bidang APBN, tidak terlihat urgensi dan relevansinya. Dasar hukum legal standing harus dikembalikan kepada jurisprudensi tetap Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 dengan 5 (lima) syarat yang memuat adanya hak konstitusional yang diberikan UUD 1945, dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, kerugiannya spesifik dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial, yang terjadi karena ada hubungan kausal antara kerugian konstitusional dengan undang-undang yang diuji dan adanya kemungkinan jika permohonan dikabulkan, kerugian hak konstitusional tidak akan terjadi lagi. Norma dalam Putusan tersebutlah seharusnya yang digunakan sebagai dasar pengakuan legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian di MK, agar terdapat konsistensi dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 Pembayar pajak sebagai dasar hukum legal standing di MK, sesungguhnya baru berdasarkan putusan yang terbatas secara individual yang berdiri sendiri, yang masih diperdebatkan karena umumnya kedudukan demikian jikalau dikaitkan dengan jurisprudensi tetap MK soal legal standing , sesungguhnya masih diakui secara terbatas, dan belum merupakan jurisprudensi tetap yang mengikat;
Indikator bahwa standing untuk mengajukan pengujian dilihat dari aspek kerugian hak konstitusional khususnya jaminan hak atas rasa aman berdasar Pasal 27 UUD 1945, yang berbunyi “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa ada kecuali ” , dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945: “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang __ dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Kedua pasal yang dikutip tidak merujuk tentang hak konstitusional, sebagai hak yang diberikan kepada warga negara oleh konstitusi, dan dengan demikian justru memberikan kewajiban pada negara untuk memenuhi hak konstitusional;
Seandainyapun permohonan Pemohon dikabulkan maka tidak tampak bahwa kerugian hak konstitusional yang disebut mempunyai causal verband dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang yang dimohon untuk diuji, karena menurut hemat kami, kerugian yang diklaim Pemohon, tetap akan terjadi jikalau persoalan tentang hak konstitusi yang disebut dalam UUD 1945, yaitu kerugian konstitutional dalam hubungan dengan hak atas persamaan di depan hukum dan pemerintahan serta hak konstitusi atas “ anggaran ditetapkan dengan Undang-Undang serta dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ”, tetap terjadi, dan Pemohon tidak dapat menjelaskan dan menguraikan hilangnya kerugian konstitusional yang terjadi jika Undang-Undang OJK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Petunjuk bahwa bukanlah para Pemohon yang seharusnya mempunyai legal standing untuk mengajukan pengujian atas UU OJK, dapat dilihat dari seluruh ukuran yang ditentukan dalam jurisprudensi tetap MK yang telah menjadi bagian dari hukum acara, khususnya causal verband antara kerugian Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 konstitusional Pemohon yang dinyatakan dalam permohonan dengan dibentuknya OJK. MK perlu menegaskan sikap dalam pendirian tentang legal standing berdasarkan dalih tax payer tersebut; II. Permohonan Putusan Provisi Dalam tahap pemeriksaan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 saat ini, terlepas dari ketiadaan norma hukum acara, baik dalam UU MK maupun dalam jurisprudensi MK yang mengenal pengaturan provisionel eis , baik karena sisi urgensi kepentingan konstitusional yang harus dilindungi oleh berlakunya satu norma, maupun karena pengaturan yang ada dalam UU MK sendiri yang memuat asas presumption of constitutionality , yang menentukan bahwa semua Undang-Undang yang telah diperlakukan harus dipandang konstitusional sampai dengan dibatalkannya Undang-Undang tersebut dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945, maka tidak relevan lagi berbicara tentang provisi. Secara eksplisit diatur dalam Pasal 58 UU MK, yang menegaskan bahwa: “ Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun _1945”; _ Dengan pengaturan demikian, memang jelas bahwa kepentingan konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 melalui cara bekerjanya lembaga- lembaga jasa keuangan dengan jumlah taruhan yang sungguh besar, suatu kemungkinan saja untuk menghentikan bekerjanya OJK tanpa melalui putusan provisi melainkan putusan akhir, tidak terbayangkan akibatnya, karena dapat menjadi kekacauan atau disaster yang berantai, yang dapat memicu krisis ekonomi. Jikalau lembaga baru i.c. OJK dihentikan sementara saja, akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar, karena beragamnya produk jasa keuangan yang menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks dan saling terkait antara produk dan lembaga jasa keuangan, baik di bidang perbankan, asuransi, dana pensiun, modal ventura, obligasi, SUN dan lain-lain. Tanpa pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi, dengan jumlah dana besar yang bergulir, akan menimbulkan kekacauan besar-besaran, yang boleh jadi mengakibatkan kolapsnya sistem perekonomian dan keuangan Indonesia. Putusan yang bersifat sementara atau permanen demikian akan sangat berbahaya. Oleh karenanya, terkadang menyebabkan timbulnya pikiran bahwa dalam kebijakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 publik dalam bentuk Undang-Undang yang menyangkut Undang-Undang dengan regulasi suatu bidang ekonomi dengan pengaruh yang mendasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tampaknya kemungkinan digunakannya mekanisme pengujian suatu RUU yang telah disetujui bersama sebelum diundangkan – mekanisme yang dikenal dengan judicial preview – di mana semua pihak dapat menumpahkan pikiran dan pendapatnya tentang suatu kebijakan publik yang mendasar, tidak dibayangi ketakutan akan dampak yang timbul secara dahsyat, seandainya suatu Undang-Undang tertentu dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam suatu proses judicial review ; III. Materi Muatan Konstitusi Sebagai Grundnorm dan Constitutional Boundaries Konstitusi modern yang menjadi hukum tertinggi dan menjadi pedoman dalam politik hukum penyelenggaraan negara, bukan hanya memuat norma-norma dasar yang secara kongkrit dirumuskan, melainkan juga memuat prinsip atau asas konstitusi yang terumuskan secara umum dan hanya dalam garis besar. Lebih dari sebagai suatu dokumen yang ringkas dan supel khususnya UUD 1945 – setelah perubahanpun – dengan pembukaan yang merupakan jiwa dan filosofi di atas mana negara Republik Indonesia dibentuk serta tujuan dibentuknya negara R.I. yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, menunjukkan bahwa dia lebih dari sekedar dokumen juridis. Dari Pembukaan UUD 1945, yang menentukan arah dan tujuan dibentuknya negara R.I., sangat jelas bahwa tujuan tersebut didasari oleh suatu pandangan bangsa tentang suatu negara yang disebut sebagai negara kesejahteraan atau welfare state . Bertolak belakang dengan konsep negara dalam pemilikiran liberalisme, dengan peran negara yang terbatas dan bahkan dirumuskan dalam satu kurun waktu sejarah hanya sebagai penjaga malam, maka dalam konsep negara kesejahteraan, peran negara dalam mengupayakan kesejahteraan menjadi sedemikian luasnya, sehingga keberadaan lembaga negara yang ada dalam organisasi kekuasaan, menjadi tidak memadai lagi. Oleh karena besarnya peran negara dalam konsep negara kesejahteraan tersebut, muncul kebutuhan akan lembaga negara yang tidak dikenal dalam praktik semula, dan kemudian terbentuk dalam lembaga negara yang independen; Kebutuhan akan organ yang akan menjalankan kewenangan tertentu dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat mengalami perkembangan, sehingga untuk memenuhi hal itu berdasarkan organ-organ negara yang secara tradisional Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 ada, tidak lagi memadai. Akibatnya perkembangan organ atau lembaga yang independen merupakan kecenderungan yang terjadi secara universal, bahkan di negara-negara yang menganut paham liberalisme yang sangat mempraktikkan peran negara secara terbatas, justru mempelopori kelahiran lembaga-lembaga negara yang independen tersebut. Oleh karenanya, norma dasar konstitusi yang seyogianya mengatur pembentukan organ-organ negara secara ekplisit dan tegas sehingga dapat membentuk struktur organisasi kekuasaan negara dalam konstitusi sepanjang mengenai lembaga negara yang menerima kewenangannya langsung dari konstitusi, tidak lagi mampu memberi gambaran yang total tentang organ-organ yang menerima kewenangannya dari undang-undang dasar, dan berdasarkan delegated auhority of legislation dikuasakan pembentukannya dalam satu Undang-Undang. Secara analogis kita dapat melihat keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002; Dasar konstitusionalitas kelembagaan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemerintahan, dalam suatu negara kesejahteraan tidak selalu hanya merujuk kepada suatu norma fundamental konstitusi yang secara eksplisit ditemukan dalam UUD 1945, karena tugas, fungsi dan tujuan negara secara filosofis, sosiologis dan juridis dapat menjadi landasan pembentukan kebijakan dan peraturan perundangan yang diperlukan dalam penyelenggaran pemerintahan. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara jelas menyebut bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Jikalau norma fundamental dalam UUD 1945 menjadi sumber hukum dan validitas norma hukum dibawahnya yang diperlukan dalam penyelengaraan negara, maka norma fundamental tersebut bersumber pada Grundnorm yang menjadi landasan politik hukum yang selalu menjadi orientasi kedepan, upaya memperbaharui ius constitutum kearah _ius constituendum; _ Untuk menemukan landasan politik hukum dalam pembentukan organ negara yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu yang tidak memadai lagi untuk diserahkan kepada lembaga yang secara tradisional ada dalam organisasi kekuasaan negara, maka untuk mencegah atau mengantisipasi timbulnya kondisi atau keadaan yang dapat menimbulkan pelanggaran terhadap konstitusi ketika mandate konstitusi tidak dapat ditemukan secara tegas, maka melalui suatu naskah akademis, diperhitungkan adanya suatu ruang yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 memungkinkan diskresi pembuat kebijakan dapat terlaksana secara bebas dan baik. Dalam ruang lingkup demikian dengan batas-batas yang diperhitungkan tidak dapat dilanggar pembuat kebijakan, maka dengan konstruksi. Dapat dibangun apa yang disebut ruang dalam mana diskresi pembuat kebijakan bergerak secara bebas. Jikalau kebijakan atau politik hukum yang dipilih untuk dilaksanakan tersebut tampak melampaui batas konstitusi ( constitutional boundary) yang dirumuskan, maka kebijakan demikian dihindari, karena potensil diuji dan dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Indikator konstitusionalitas tersebut dapat dirumuskan melalui interpretasi, konstruksi dan penghalusan terhadap:
Pembukaan UUD 1945, yg memuat pandangan hidup bangsa dalam Pancasila;
Tujuan Bernegara dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945;
Norma Konstitusi yang bersifat HAM dan Bukan, dalam Batang Tubuh UUD 1945. Dengan pencarian makna melalui interpretasi dan konstruksi untuk membentuk ruang gerak dengan batas yang ditentukan untuk tidak dilampaui, maka dapat ditemukan suatu ruang yang bebas bagi diskresi pembuat Undang- Undang, untuk membentuk kebijakan publik berdasar politik hukum yang mengacu pada konstitusi sebagai hukum dasar. Undang-Undang OJK menurut pendapat saya masih dalam ruang yang tidak melanggar constitutional boundary tersebut; IV. Pokok Permohonan 1. Umum Setiap penyelenggara negara berhak dan wajib untuk menafsirkan konstitusi atau UUD 1945 sebelum melaksanakan tugasnya dalam penyelenggaraan Negara, baik sebagai legislator dalam pembuatan Undang- Undang atau dalam pengujian Undang-Undang tersebut. UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis, menyiratkan adanya kostitusi yang tidak tertulis sebagai bagian yang dianggap tidak terpisah, yang ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945, dalam filosofi kehidupan bernegara dan berbangsa serta dalam tujuan yang ditetapkan kearah mana suatu negara yang terbentuk itu akan berjalan. Seluruh konstitusi yang termuat dalam pembukaan dan batang tubuh tersebut juga memuat dan membentuk asas-asas konstitusi yang harus ditemukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 dengan interpretasi, konstruksi dan penghalusan hukum ( rechtsverfijning ), untuk dapat dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang dipandang serasi dengan konstitusi, sebagai kebijakan yang sumber keabsahan atau validitas dan legitimasinya dapat ditetapkan tidak bertentangan dengan UUD 1945; Konsepsi negara kesejahteraan ( welfare state ) yang mewajibkan adanya state intervention dalam penyelenggaran negara untuk mencapai peningkatan kesejahteraan umum dan perlindungan segenap bangsa, merupakan hal yang sangat terbuka dalam mandat konstitusi bagi penyelenggara negara, sehingga lingkungan strategis lokal, nasional dan global harus menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan apakah suatu kebijakan harus dilakukan yang perlu dalam kerangka penyelenggaraan negara bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, dan apakah kebijakan demikian masih dalam kerangka constitutional boundaries yang ditetapkan dalam UUD 1945. __ Ruang dalam kerangka constitutional boundaries tersebut akan memberi petunjuk seberapa jauh pembuat Undang-Undang boleh bergerak dalam melakukan regulasi yang diperlukan untuk menyesuaikan kondisi nasional dengan perkembangan global, yang tidak dapat dielakkan karena interdependensi bagian-bagian dari dunia dengan dunia luar, yang turut menentukan keberhasilan untuk perlindungan dan kesejahteraan warga negara. Diskresi pembuat Undang-Undang harus juga digunakan untuk bergerak dalam ruang constitutional boundaries yang disebut di atas. Keberadaan dan praktik BI dalam pengawasan jasa keuangan, telah menjadi titik tolak disekresi yang berada dalam constitutional boundaries yang dimaksud; Oleh karenanya menentukan mandate konstitusi tidak cukup hanya dengan merujuk suatu pasal tertentu dalam UUD 1945 sebagai dasar dalam menentukan konstitusionalitas norma atau kebijakan yang akan dibentuk, melainkan harus menemukannya dengan tafsir, hermeneutika, konstruksi dan penghalusan. Terlebih lagi bahwa suatu norma konstitusi yang telah memuat suatu perintah secara tegas dalam konstitusi pun memerlukan kehati-hatian, karena suatu norma konstitusi yang biasanya terumuskan secara general (umum) dan hanya mengandung asas, dalam implementasinya mengalirkan norma turunan secara derivative , yang meskipun tidak secara tegas disebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 sebagai norma konstitusi, tetapi merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan demikian saja sebagai bagian dari konstitusi, terutama jika ada delegated authority of legislation yang diberikan kepada pembuat Undang- Undang. Oleh karenanya apa yang disebut sebagai norma yang konstitusional tidak dapat dilihat secara tunggal melainkan harus secara integral dalam doktrin kesatuan konstitusi, dari pembukaan sampai batang tubuh secara tidak terpisah satu dengan yang lain; Pengalaman menunjukkan krisis perbankan yang terjadi bukan berasal dari perbankan, melainkan dari bidang-bidang lain yang merembet kepada perbankan. Produk-produk jasa keuangan yang sudah demikian besar (dari sisi size), dari sisi keterkaitan konglomerasi, dan terakhir dari sisi kompleksitas masalah jasa keuangan, tampaknya menyebabkan BI tidak lagi tepat dan tidak mampu melakukan hal itu semua secara sendirian. Ketidak mampuan BI merespon perkembangan yang pesat di bidang jasa keuangan sudah menjadi kenyataan yang menjadi pengalaman kita sehingga keberadaan BLBI dan lain- lainnya menjadi problem yang harus dipikul sekarang ini. Oleh karenanya membesarnya tugas yang timbul dalam penyelenggaraan negara, dibidang pengawasan dan pengaturan jasa keuangan menjadi keniscayaan.
Lembaga Negara Independen Ketika tugas negara yang terbagi dalam organisasi kekuasaan yang tradisional seperti eksekutif, legislatif dan judikatif dalam menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dirasakan tidak mencukupi lagi, terasa kebutuhan untuk melakukan perluasan organ tersebut tetapi dengan membentuk badan- badan atau lembaga yang independen. Independensi lembaga tersebut terwujud dalam struktur yang berada di luar organisasi penyelenggara pemerintahan yaitu eksekutf, yudikatif dan legislatif. Kecenderungan untuk menetapkan organ baru yang muncul karena kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan, juga boleh lahir dari sikap yang ingin membebaskan lembaga baru dari keterpasungan birokrasi lama, melainkan memulai sesuatu yang baru, dengan ciri yaitu adanya kewenangan regulasi dan pengawasan dalam organ yang sama tetapi dalam mekanisme checks and balance ; Salah satu gejala yang sangat umum dewasa ini diseluruh dunia, adalah banyaknya lahir organ-organ atau lembaga baru yang menjalankan juga tugas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 dan kewenangan pemerintahan dan penyelenggaraan negara, diluar organisasi atau struktur kekuasaan yang lazim atau utama, baik disebut secara khusus dalam UUD, maupun dalam Undang-Undang atau hanya dengan peraturan yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena semakin luasnya tugas-tugas pemerintahan dalam penyelenggaraan kepentingan umum, akan tetapi yang dirasakan perlu dilakukan melalui partisipasi publik yang luas dan demokratis maupun sebagai mekanisme pengawasan yang lebih luas. Badan- atau organ yang bertumbuh tersebut sering disebut sebagai komisi negara atau lembaga negara pembantu (auxiliary state organ) . Bahkan sebelum reformasi pun, organ seperti ini, sudah sangat banyak dan sering dibentuk sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi, meskipun dalam kenyataan jawaban dengan organ baru demikian, boleh jadi merupakan beban secara keuangan, justru menambah kerumitan dalam penyelesaian masalah. Organ atau badan atau lembaga-lembaga independen ini, baik di negara maju maupun negara berkembang, bertumbuh dengan kewenangan yang bersifat regulatif, pengawasan dan monitoring, bahkan tugas-tugas yang bersifat eksekutif. Bahkan kadang-kadang lembaga independen demikian menjalankan ketiga fungsi sekaligus. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan untuk merampingkan organisasi Pemerintahan akibat tuntutan zaman untuk mengurangi peran pemerintahan yang sentralistis tetapi penyelenggaran negara dan pemerintahan dapat berlangsung effektif, effisien dan demokratis dalam memenuhi pelayanan publik. Jimly Asshiddiqie mencatat bahwa di Amerika Serikat lembaga-lembaga independen dengan kewenangan regulasi, pengawasan atau monitoring ini lebih dari 30-an ( Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006, hal 8) . Akan tetapi, seperti ditulis oleh Kenneth F. Warren, pada awal Pemerintahan di Amerika tidak ada badan independen yang memiliki kewenangan mengatur, namun karena sentimen masyarakat terhadap penyalahgunaan ekonomi pasar bebas yang terjadi pada 1800an, Pemerintah menjawab tuntutan masyarakat dengan pertama kalinya membentuk Interstate Commerce Commission, dan sejak itu sampai abad keduapuluh, badan-badan independen demikian telah bertumbuh seperti raksasa dan sangat berkuasa, yang mencerminkan problem dan tantangan yang kompleks dari satu perubahan masyarakat Amerika pada abad Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 baru ekplorasi ruang angkasa ( Kenneth F. Warren Administrative Law In The Political System,,Prentice hall, Upper Saddle River, New Jersey 07458, Third Edition, 1996, hal 78) . Indonesia menurut catatan kami memiliki kurang lebih 44 lembaga, badan atau komisi-komisi negara semacam ini, yang kemungkinan banyak diantaranya sudah tidak aktif lagi karena memang ada yang dibentuk oleh pemerintahan masa lalu, yang mungkin tidak memperoleh anggaran yang cukup lagi untuk mendukung kegiatannya, atau barangkali tidak dipandang relevan lagi; Semua badan, organ atau lembaga demikian, apakah bernama dewan, komisi atau badan, yang menyelenggarakan (sebagian) fungsi pemerintahaan, secara umum disebut juga lembaga negara, yang dibedakan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang disebut juga non-govermental organization (NGO). Istilah-istilah lembaga, badan atau organ sering dianggap identik, sehingga meskipun sesungguhnya dapat berbeda makna dan hakikatnya satu sama lain, orang dapat menggunakan satu istilah untuk arti yang lain. Dalam pembicaraan kita sekarang ini, yang penting untuk dibedakan apakah lembaga atau badan itu merupakan lembaga yang dibentuk oleh dan untuk negara atau oleh dan untuk masyarakat. Lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara . Dalam ”Sengketa Kewenangan Lembaga Negara”, maka kata lembaga negara termuat hanya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya adalah ” memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, hal mana dengan kata-kata yang sama diulangi lagi dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Kejelasan tentang organ mana yang disebut sebagai lembaga negara menurut UUD 1945 sebelum perubahan, baru dapat terlihat secara tegas dalam ketetapan MPRS, baik Nomor XX/MPRS/1966, Nomor XIV/MPRS/1966, Nomor X/MPRS/1969 dan Nomor III/MPR/1978. Dari ketetapan MPRS dan MPR tersebut kita dapat melihat adanya kualifikasi lembaga negara yang berbeda yaitu Lembaga Tertinggi Negara yang disebut MPR dan Lembaga Tinggi Negara yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan Mahkamah Agung. MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah penjelmaan seluruh rakyat sebagai pemegang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 115 kedaulatan, dan dalam realitasnya MPRlah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi . Setelah UUD 1945 mengalami perubahan, kita juga tidak dapat menemukan kejelasan definisi lembaga negara. Kalau dilakukan inventarisasi dalam UUD 1945 setelah perubahan kita memang menemukan lembaga-lembaga negara yang disebut, baik secara tegas yang dibentuk dan menerima kewenangan dari UUD 1945, atau yang hanya disebut adanya satu lembaga untuk fungsi tertentu, yang kemudian nama dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang mengenai lembaga negara tersebut. Misalnya Pasal 22 ayat (5) yang mengatur bahwa ” pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri” dan ayat (6) menentukan bahwa ” ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Demikian juga Pasal 23D UUD 1945 hanya menyebut adanya satu bank sentral, yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang; Dari ketentuan tersebut juga dapat diketahui bahwa penyebutan adanya lembaga negara dalam UUD belum dengan sendiri menentukan bahwa lembaga yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945. Ada kalanya penyebutan dalam UUD 1945 merupakan penugasan kepada pembuat Undang-Undang untuk membentuk lembaga negara, dan mengatur hal-hal yang menyangkut kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam satu Undang-Undang. Dalam hal demikian dia menjadi organ atau lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari Undang-Undang, namun tetap merupakan lembaga negara yang konstitusional. Konsep Independensi Independensi suatu lembaga sesungguhnya diberikan karena dibutuhkan untuk dijadikan dasar dari suatu sikap netral ( impartial ) dan boleh membebaskan diri dari kungkungan conflict of interest diantara subjek pengawasan dan yang memiliki kepentingan lain. Independensi, merupakan prasyarat bagi terwujudnya sikap netral dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Kemandirian dan kemerdekaan lembaga, dengan menempatkannya tidak dibawah kekuasaan eksekutif, legislatif __ maupun yudikatif, tidak menyebabkan bahwa lembaga tersebut menjadi superbody , karena mekanisme pengawasan secara hukum pidana, maupun administrasi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 116 dan tatanegara, merupakan hal yang terjadi secara mekanis dalam proses checks and balances . Baik komisioner OJK sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, independensi dirumuskan sebagai kebebasan dari pelbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri lembaga, baik sebagai intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung, maupun berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari siapapun, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi atau bentuk lain; Mekanisme masa jabatan dan pemilihan pejabat yang duduk dalam lembaga independen tersebut umumnya menjadi metode yang sering digunakan untuk menunjukkan independensi lembaga tersebut, ysng akan terjamin jika secara konsisten dilaksanakan. Seorang yang diangkat dengan mekanisme pemilihan yang biasanya dilakukan oleh DPR, juga dijamin kedudukannya dalam masa jabatan tertentu tidak dapat dihentikan, kecuali karena adanya pelanggaran pidana yang berat menyebabkan pejabat yang bersangkutan harus diberhentikan dari jabatannya. Otoritas Jasa Keuangan yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, memuat seluruh persyaratan sebagai lembaga Negara yang independen; Integrasi Kewenangan Regulasi dan Pengawasan. Tampaknya integrasi kewenangan regulasi dan pengawasan dalam satu lembaga merupakan ciri dari lembaga independen, di mana kewenangan eksekutif, legislatif dan yudikatifnya disatukan dalam satu lembaga. Jika hal demikian terdapat pada OJK, maka menurut hemat kami, tidak mengganggu derajat independensi lembaga induk (BI), yaitu kewenangan BI yang seharusnya tidak boleh diambil tetapi diambil, sehingga berkurang sentralitasnya, dan juga tidak mengurangi kewenangan lembaga induk serta ciri dan fungsi utama lembaga induk atau BI, tidak dikurangi dalam hal sentralitas BI dalam UUD. Sistem keuangan dan perekonomian nasional, terutama berkembangnya lembaga jasa keuangan dengan fungsi utama sebagai intermediasi dengan innovasi finansial, telah menciptakan sistem yang kompleks, dan dalam perkembangannya yang pesat didorong oleh proses globalisasi. Hal tersebut telah mengakibatkan tugas tersebut tidak lagi dapat diserahkan kepada BI sebagai Bank Sentral dengan tugas pokok sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 117 otoritas moneter. Pengalaman masa lalu ketika BI sebagai Bank Sentral menggunakan instrument moneter berupa bantuan liquiditas untuk menyehatkan kondisi bank yang diawasi adalah disebabkan karena bank sentral keinginannya menutupi kelemahan akibat pelanggaran terhadap prudential banking [Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hal. 10] . Hal ini telah mengakibatkan masalah yang tidak dapat dipandang selesai sampai saat ini; Adanya kewenangan yang meliputi fungsi regulasi dan pengawasan bahkan sering ajudikasi sebagai fungsi judikatif terjadi dalam lembaga Negara independen secara universal. Dengan kompleksitas masalah dalam bidang jasa keuangan dengan produknya yang beragam dan pemain yang meliputi asing dengan jumlah dana yang besar, menyebabkan perlunya dilakukan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan jasa keuangan secara lebih terintegrasi ( ibid, hal.3) Kesewenang-wenangan yang mungkin dapat timbul dalam hal demikian, dapat dicegah dengan membangun system checks and balances baik secara internal maupun melalui lembaga lain secara eksternal dalam judicial review dan mekanisme hukum lain yang tersedia. Dampak Globalisasi Terhadap Ekonomi dan Keuangan Nasional Globalisasi, sebagai satu proses transformasi meliputi seluruh aspek kehidupan. Hal itu semakin dirasakan membawa pengaruh mendalam baik dalam kehidupan pribadi secara individual maupun secara kelembagaan dalam kehidupan negara dan masyarakat, ketika gagasan, dana dan nilai-nilai kultural masuk kedalam ruang-ruang kita secara mudah menembus batas ruang dan waktu. Komunikasi yang amat mudah dengan kecepatan tinggi dan transportasi yang murah membawa proses globalisasi tersebut mentransformasi kehidupan manusia dan lembaga yang dikenal dalam negara dan masyarakat. Interaksi sosial, politik, ekonomi, finansial, ilmu pengetahuan, teknologi dan kultural antara satu bagian dunia dengan bagian dunia lain, terjadi dan berlangsung demikian saja dengan satu tekanan klik pada perangkat elektronik. Akibatnya dikatakan bahwa dunia ini telah menjadi rata ( the world is flat ) [ Thomas L. Friedman, The World is Flat, The Globalized World in the Twenty First Century, Penguin Books 2006, hal 7 ]. Globalisasi ada kaitannya dengan dalil bahwa kita sekarang hidup dalam satu dunia ( Anthony Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 118 Giddens, Run Away World, How Globalisation is Reshaping Our Lives,Profile Books,h. 7 ). Dibawah pengaruh globalisasi, kedaulatan negara telah menjadi semakin kabur atau tidak jelas, karena kekuatan global dapat mempengaruhi kehidupan warganegara disatu teritorial tertentu; Meskipun begitu banyak dimensi yang dapat diperlihatkan oleh kata Globalisasi , dan dimana-mana orang mengatakan bahwa kita hidup dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagian besar ditentukan oleh proses global, dimana garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional yang semakin kabur, akan tetapi inti dari persepsi ini adalah terjadinya proses globalisasi ekonomi yang muncul dan berjalan dengan sangat cepat ( Paul Hirst & Grahame Thomson, Globalization in Question, dialih bahasakan P. Sumitro, Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia Dan Kemungkinan Aturan Mainnya, Yayasan Obor Indonesia 2001, hal 1 ). Dikatakan lebih lanjut, bahwa telah muncul, atau sedang muncul, suatu sistem ekonomi yang benar-benar global, dimana didalamnya tercakup ekonomi nasional dan, karena itu strategi pengelolaan ekonomi nasional, semakin memerlukan kreativitas untuk bertahan. Dinamika dasar ekonomi dunia telah mencakup seluruh dunia; ekonomi dunia dikuasai oleh kekuatan pasar bebas yang tak terkendali, dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai pelaku utama dan pembawa perubahan ( ibid) . Satu ciri dari globalisasi ekonomi dapat ditunjuk kebebasan modal bergerak dari satu negara kenegara lain, sehingga dalam keadaan tertentu pergerakan jangka pendek modal memasuki satu negara, dan ketika kemudian tiba-tiba ditarik kembali, akan terjadi gangguan besar bagi sistem moneter negara tersebut. Meski kebijakan moneter Amerika tidak diterapkan keseluruh dunia akan tetapi mata uang dollar menjadi alat pembayaran utama dalam sistem perdagangan internasional. Sistim nilai tukar mengambang dan pusat pusat pasar modal di Amerika sangat berpengaruh pada pasar modal diseluruh dunia, sehingga fluktuasi yang terjadi secara berantai akan membawa dampak ke pasar modal negara lain ( Tetapi saat ini mata uang dollar tidak lagi perkasa, dan terutama karena krisis yang dipicu oleh prime mortgage, orang mulai beralih kemata uang euro (Harian Kompas Oktober 2007 ). Tidak ada pemerintah nasional yang dapat menjalankan dengan effektif Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 119 tata aturan ekonomi apapun, bila tata aturan itu menyimpang dari standar internasional dan merugikan kepentingan TNC yang beroperasi diwilayahnya (Paul Hirst & Grahame Thomson, op.cit hal 19 _); _ Satu transformasi, yaitu perubahan dalam struktur, tampilan atau karakter terjadi secara luas dan besar-besaran, sebagai akibat proses globalisasi. Semua negara, wilayah, lembaga, masyarakat dan individu terkena dampaknya, yang juga mengakibatkan terjadinya perubahan besar dalam interaksi dan interelasi secara kelembagaan, wilayah dan antar masyarakat serta individu. Respon yang memadai terhadapnya tidak dapat diabaikan sama sekali, karena penetrasi yang terjadi secara global telah melampaui dengan mudah batas-batas negara, bahkan-batas-batas yang ingin dijaga dalam rumah keluarga-keluarga. Meskipun proses globalisasi sesungguhnya mempunyai banyak dimensi-sebagaimana telah diuraikan dibagian awal-akan tetapi sesungguhnya orang lebih banyak berbicara tentang proses dan dampaknya dalam bidang ekonomi. Hal itu terjadi karena dampak globalisasi dibidang ekonomi dapat menyengsarakan rakyat diwilayah atau negara tertentu secara signifikan, karena tidak siap dan tidak mampu menghadapi perubahan yang terjadi secara global tersebut. Umumnya negara- negara yang miskin dan sedang berkembang, dengan kemampuan ekonomi dan teknologi yang rendah tidak siap menghadapinya. Apalagi jika kebijakan yang diambil tidak dapat memperhitungkan keadaan domestik secara sosial, ekonomi dan kultural yang tidak memiliki kesiapan yang memadai, diharuskan bersaing secara bebas dan terbuka dengan aktor asing yang lebih canggih. Sesungguhnya transformasi yang terjadi dengan globalisasi sekarang menyebabkan hampir seluruh dunia, sedikit banyak terhubung kedalam sistem dunia yang semakin terintegrasi, dimana parameter pasar mendominasi; Pasal 33 UUD 1945 dan Kebijakan Ekonomi Globalisasi dan integrasi dunia melalui perdagangan bebas dengan filosofi pasar bebas, mau tidak sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dan keuangan Indonesia. Dalam hal demikian perlindungan yang diperlukan dalam menjaga segenap bangsa semakin menjadi besar. Memang kemungkinan UU OJK merupakan salah satu yang diajukan oleh IMF sebagai persyaratan untuk bantuan membenahi ekonomi Indonesia, tetapi tidak selalu Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 120 dapat disimpulkan secara sederhana bahwa hanya karena demikian saja UU OJK tersebut bertentangan dengan UUD 1945; UUD 1945, yang memuat konstitusi Ekonomi, yang telah beberapa kali dijadikan batu penguji terhadap kebijakan ekonomi yang tertuang dalam undang-undang yang dimohonkan review oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 yang menentukan prinsip penguasaan negara, demokrasi ekonomi dan kebersamaan, effisiensi berkeadilan, dan pembangunan yang sustainable serta berwawasan lingkungan oleh Mahkamah diartikan bahwa penguasaan itu tidak selalu dalam arti mutlak 100%, sepanjang penguasaan atas pengelolalan tersebut memberi pada negara posisi yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan, sehingga oleh karenanya juga divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam BUMN yang mengelola sumber daya alam tidak dapat dianggap bertentangan dengan UUD 1945 [ _Pasal 33 ayat (4) UUD 1945: _ “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional] , sepanjang penguasaan negara efti atas cabang produksi strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta sumber daya alam, dan sepanjang Negara memiliki posisi dominan dalam policy making badan usaha melalui komposisi saham. Dengan kata lain dalam tafsiran Mahkamah, privatisasi dan kompetisi sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara dalam arti posisi yang menentukan dalam pengambilan keputusan kebijakan tetap, dalam tangan negara, dapat diterima dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 ( Ibid, hal 336-349 _); _ Dalam krisis keuangan yang dapat menimbulkan krisis global, yang dikatakan seperti tsunami, bagi Indonesia dampak ”globalisasi” secara buruk kelihatannya berjalan satu arah. Kita tidak mampu memberi perlawanan, dan menjadi korban. Sejak era Pemerintah Orde Baru, dua kekuatan utama telah menelan Indonesia, yaitu pertama ”kekuatan deregulasi” yang memaksa keterbukaan akses pasar nasional, yang awalnya hanya meliputi perdagangan, tetapi kemudian meliputi investasi asing. Kedua, pertumbuhan perjanjian dagang regional, ternyata telah menggeser proses regulasi kearah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 121 skala yang berbeda ( Kami menggunakan dua kekuatan itu dari Paul Dickens, op.cit hal 427 _); _ Kritik Stiglitz, yang mengecam pendekatan IMF “ one-size-fits-all”, yang dianggap memberikan solusi dengan cara yang sama dengan tidak mempertimbangkan keadaan nasional yang berbeda, menyatakan l dengan cara yang lugas: ”... Especially at the International Monetary Fund , decisions were made on the basis of what seemed a curious blend of ideology and bad economics, dogma that sometimes seemed to be thinly veiling special interest… While no one was happy about the suffering that often accompanied the IMF programs, inside the IMF, it was simply assumed that whatever suffering occurred was a necessary part of the pain countries had to experience on the way to becoming a successful market economy, and that the measures would, in fact reduced the pain the country would have to face in the long run. The hypocrisy of pretending to help developing countries by forcing them to open up their market to the goods of advanced industrial countries while keeping their own market protected, policies that make the rich richer and the poor more impoverished and increasingly angry (Joseph E. Stiglitz, Globalization And Its Discontents, Allen Lane Penguin Books 2002, hal xiii,xiv dan xv). Dibagian lain Siglitz menyebutkan bahwa kenyataan tidak adanya mekanisme pasar yang sempurna dapat disimak dari pernyataan Joseph Stiglitz : ” presumption that markets, by themselves, lead to efficient outcomes, failed to allow for desirable government interventions in the market and make everyone better off ” ( Putusan MK op.cit hal 330-331 ) _; _ Banyak dimensi yang dapat diperlihatkan oleh kata Globalisasi , dan dimana-mana orang mengatakan bahwa kita hidup dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagian besar ditentukan oleh proses global, dimana garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional yang semakin kabur, akan tetapi inti dari persepsi ini adalah terjadinya proses globalisasi ekonomi yang muncul dan berjalan dengan sangat cepat ( Paul Hirst & Grahame Thomson, Globalization in Question, dialih bahasakan P. Sumitro, Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia Dan Kemungkinan Aturan Mainnya, Yayasan Obor Indonesia 2001, hal 1) . Dikatakan lebih lanjut, bahwa telah muncul, atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 122 sedang muncul, suatu sistem ekonomi yang benar-benar global, dimana didalamnya ekonomi nasional dan, karena itu strategi pengelolaan ekonomi nasional, semakin terpengaruh. Dinamika dasar ekonomi dunia telah mencakup seluruh dunia; ekonomi dunia dikuasai oleh kekuatan pasar bebas yang tak terkendali, dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai pelaku utama dan pembawa perubahan ( _ibid); _ Mahkamah Konstitusi yang diberi mandat untuk mengawal konstitusi, memberi tafsiran atas pasal 33 UUD 1945 sebagai batu ujian konstitusionalitas kebijakan ekonomi yang diadopsi dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan memperhitungkan juga lingkungan strategis global yang berubah. Mahkamah Konstitusi secara khusus telah memberi pengertian ”penguasaan oleh negara” dalam putusan-putusannya sebagai berikut ini : ” ...dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem...,maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas dari pada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik dibidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin ”dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalam wilayah negara, pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu Pasal 33 ayat (3) menentukan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sesesar-besar kemakmuran rakyat”. ”...pengertian ”dikuasai negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, termasuk pula didalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 123 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)” (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-02-022/PUU- I/2003 ). Ini memperkuat keyakinan kita akan apa yang disebut ketidak sempurnaan pasar dan perlunya intervensi Pemerintah sebagaimana disebut Joseph Stiglitz: ” Behind the free market ideology there is a model, often attributed to Adam Smith, which argues that market forces-the profit motive-drive the economy to efficient outcomes as if by invisible hand. One of the great achievements of modern economics is to show the sense in which, and the conditions under which Smith’s conclusion is correct. It turns out that these conditions are highly restrictive. Indeed, more recent advances in economic theory-ironically occurring precisely during the period of the most relentless pursuit of the Washington consensus policies-have shown that whenever information is imperfect and market incomplete, which is to say always, and especially in developing countries, then the invisible hand works most imperfectly. Significantly, there are desirable government interventions which, in principle, can improve upon the efficiency of the market. These restrictions on the conditions under which markets result in efficiency are important-many of the key activities of government can be understood as responses to the resulting market failure” (Joseph E. Stiglitz, op.cit hal 73-74 ). __ Oleh karenanya Pasal 33 UUD 1945 sebagai konstitusi ekonomi Indonesia yang membentuk paradigma negara kesejahteraan ( Kita tidak menyebut paradigma sosialis, untuk menghindari kesan kembali mempertahankan kebijakan ekonomi yang dianut negara-negara komunisme dalam masa perang dingin, yang secara mutlak telah mengalami kekalahan dari sistem kapitalisme) , dengan tafsir mutakhir yang dilakukan Mahkamah Konstitusi, kami yakini dapat diterapkan di Indonesia, dengan memperhatikan tingkat perkembangan kondisi sosial, kultural dan ekonomi dari Negara dan bangsa Indonesia. Dalam menata dan melaksanakan tugasnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang didasarkan pada UUD 1945, kami melihat bahwa pemerintah pusat dan lokal dalam tugas pokoknya untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, ekonomi, dan pembangunan yang effektif dan effisien untuk mendukung terwujudnya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 124 perekonomian nasional yang berfihak pada ekonomi kerakyatan, yang merata, mandiri, handal, berkeadilan dan mampu bersaing dikancah perekonomian Internasional harus dapat memperhatikan paradigma negara kesejahteraan ( welfare state). Pembentukan OJK hemat kami sesuai dengan konsep pengawasan dan intervensi yang dibutuhkan untuk melindungi rakyat dan perekonomian Indonesia dari praktik di bidang jasa keuangan yang merugikan perekonomian masyarakat dan negara, karena sebagai lembaga negara yang independen, OJK adalah bagian dari organ negara, yang memenuhi syarat dalam tugas pengawasan dan pengaturan lembaga jasa keuangan, yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Justru dia menjadi bagian dari campur tangan negara untuk mengawasi dan mengatur jasa keuangan di Indonesia, dengan cara yang independen dan dibebaskan dari benturan kepentingan yang mungkin terjadi, yang menjadi amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pembukaan UUD 1945, sebagaimana telah ditasfirkan oleh Mahkamah Konstitusi; Sekali lagi kami memohon kehati-hatian Majelis yang Mulia Hakim MK, suatu putusan yang meniadakan lembaga OJK seperti yang terjadi pada BP Migas, membawa akibat yang sangat berbeda, karena akan menghilangkan kepastian hukum, kepercayaan investor asing, yang akan terdorong untuk menarik dana besar mereka secara mendadak, sehingga dapat menimbulkan panik dan kekacauan secara berantai, yang boleh menjadi krisis ekonomi; Kesimpulan 1. Pemohon tidak mempunyai dasar legal standing yang memadai untuk memohon pengujian UU OJK;
Karena keterkaitan ekonomi global dengan ekonomi Indonesia, maka Putusan MK, sekalipun hanya menghentikan untuk sementara kegiatan OJK, justru dapat menimbulkan krisis ekonomi di Indonesia;
UU OJK tidak melanggar constitutional boundary Dalam UUD 1945;
Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M Pada dasarnya, pengujian atas UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (lebih lanjut disebut UU OJK) dilakukan oleh karena Pemohon menganggap bahwa; Pertama , OJK ini bukanlah lembaga yang sah secara konstitusional dan karenanya tidak dapat disematkan sifat keindependenan padanya. Kedua , OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, padahal menurut Pemohon, hanya Bank Indonesia-lah yang memiliki sifat-sifat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 125 sebagai bank sentral dengan segala tugas dan fungsinya sehingga tidaklah tepat jika OJK diperbolehkan untuk memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana yang dimaksud di dalam UU OJK. Ketiga , pembentukan OJK menimbulkan banyak kerugian oleh karena OJK mengadakan pungutan terhadap perusahaan sektor jasa keuangan yang dijadikan sumber pendanaan OJK. Karena ini berarti entitas yang diawasi malah menjadi sumber dana dan akan mengganggu independensi OJK, khususnya OJK akan lebih memperhatikan industri jasa dan keuangan dibanding kepentingan publik; Dalam kapasitas sebagai ahli dan untuk merespon permohonan Pemohon tersebut, akan menjelaskan hal-hal sebagai berikut; Pertama, seperti apa sesungguhnya lembaga negara independen secara teoritik dan praktik. Kedua, makna relasi OJK dengan lembaga bank sentral; Ketiga, pungutan yang dilakukan terhadap jasa keuangan apakah dengan serta merta dapat dianggap melanggar prinsip Pasal 23A UUD 1945; Dalam kapasitas sebagai ahli dengan menyatakan sebagai berikut; Perihal Independensi OJK dan Lembaga Negara Independen Tentu saja tak dapat dimungkiri bahwa OJK adalah lembaga negara independen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, UU OJK itu sendiri. Dapat digolongkan sebagai lembaga negara oleh karena merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara dan dalam rangka menjalankan tugas negara di sektor pengawasan terhadap perbankan. Kemudian, diberikan sifat independen oleh karena diharapkan bebas dari campur tangan pihak lain. Oleh karena itu, OJK kemudian dijadikan lembaga negara yang bersifat independen; Lembaga negara independen seringkali diterjemahkan menjadi lembaga negara tersendiri yang terpisah dari cabang kekuasaan yang lainnya. Lembaga yang menjadi independen atas lembaga negara lainnya dan menjalankan fungsi- fungsi tertentu secara permanen (state independent agencies) , maupun yang hanya bersifat menunjang (state auxiliary agencies) , sehingga padanya disematkan kewenangan kelembagaan kuat untuk menjalankan fungsi campuran antara regulatif, administratif, pengawasan, dan fungsi penegakan hukumnya ( Lihat: Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara , Rajawali Pers, Jakarta, 2009, halaman 338-339 _); _ Bahwa menurut Milakovich dan Gordon, komisi negara independen pada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 126 hakikatnya memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial, sehingga keputusan-keputusannya diambil secara kolektif. Selain itu, anggota atau para komisioner lembaga ini tidak melayani apa yang menjadi keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden lainnya ( Michael E.Milakovich, dan George J. Gordon , Public Administration in America , Seventh Edition, USA, Wadsworth and Thomson Learning, 2001 ). Perihal independen ini, Funk dan Seamon menjelaskannya dalam arti anggota bebas dari kontrol presiden, walaupun independensi itu sifatnya relatif, tidak mutlak ( William F Funk and Seamon, 2001 Administrative Law, Examples and Explanations , Aspen Law and Bussiness, New York _); _ Di samping itu, periode jabatannya bersifat ”staggered ”. Artinya, setiap tahun setiap komisioner berganti secara bertahap dan oleh karena itu, seorang presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga-lembaga terkait, karena periodesasi jabatan komisioner tidak mengikuti periodesasi politik kepresidenan. Demikian juga perihal jumlah anggota atau komisioner ini bersifat ganjil dan keputusan diambil secara majoritas suara. Selain itu, keanggotaan lembaga ini biasanya menjaga keseimbangan perwakilan yang bersifat partisan ( ibid). Dengan karakter seperti di atas, maka komisi independen relatif memiliki posisi yang leluasa dalam melakukan fungsinya karena tidak berada di bawah kontrol kekuasaan manapun secara mutlak; Ditambahkan Gordon dan Milakovich, perihal nomenklatur kelembagaan bisa ditarik dalam kesimpulan penggunaan istilah regulatory agencies merujuk kepada semua jenis dependent and independent regulatory boards , commissions, law enforcemen agencies dan executive department yang memiliki kewenangan pengaturan (Op.Cit Gordon and Milakovich). __ Lebih lanjut dijelaskan bahwa: The term of regulatory agencies will refer to a regulatory bodies headed by single individual (most commonly a director); a regulatory commissions is headed by group of commissioners (or sometimes, board member) and both regulatory bodies will refer to both kinds of structures (ibid) . Dikatakan, sebagai pembedaan yang akan menunjukkan perbedaan type of regulators, in their _operational as well as their formal structures (ibid); _ Masih dalam hal yang sama, Funk dan Seamon menjelaskan secara lebih rinci bahwa karakteristik lembaga independen ini adalah, Pertama , dikepalai oleh multi-member groups, yang berbeda dari yang mengepalai agency . Kedua , tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 127 boleh dikuasai secara simple majority oleh partai tertentu, yang artinya bebas dari penguasaan partai tertentu. Ketiga , para komisionernya punya masa jabatan yang fixed dengan cara berjenjang ( staggered terms ), yang artinya mereka tidak berhenti secara bersamaan. Keempat , para anggota hanya bisa diberhentikan dari jabatan menurut apa yang ditentukan di dalam dalam aturan dan tidak dengan cara yang ditentukan oleh Presiden seperti di lembaga eksekutif ( Op.Cit., Funk dan Seamon _); _ Sementara itu, Michael R. Asimov, komisi negara disebutnya sebagai administrative agencies dengan pengertian sebagai units of government created by statute to carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent ( Michael R. Asimov 2002, Administrative Law , Chicago: The BarBri Group ) . Mengenai watak dari sebuah komisi, apakah tergantung pada satu cabang kekuasaan tertentu, atau bersifat independen, Asimov melihatmya dari segi mekanisme pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi negara tersebut. Menurutnya, pemberhentian anggota komisi negara independen hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang-Undang pembentukan komisi bersangkutan. Sedangkan anggota komisi negara biasa, sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden, melalui mekanisme pengaturan yang dimiliki presiden ( _bid); _ Sementara William F. Fox, Jr mengemukakan bahwa komisi negara adalah bersifat independen apabila dinyatakan secara tegas di dalam undang-undang komisi bersangkutan, yang dibuat oleh Congress . Atau, bilamana terdapat pembatasan kewenangan presiden untuk tidak bisa secara bebas memutuskan ( discretionary decision ) pemberhentian pimpinan komisi negara tersebut ( William F. Fox, Jr., Understanding Administrative Law , Danvers: Lexis Publishing, 2000 _); _ Sebuah komisi negara independen adalah lembaga publik yang memiliki independensi, otonomi dan kompetensi pengaturan dalam menjalankan ruang publik yang sensitif, seperti perlindungan persaingan, supervisi capital market , dan pengaturan pelayanan kepentingan ekonomi secara umum . Keberadaan komisi negara independen ini, dijustifikasi oleh adanya kompleksitas pengaturan hal-hal tertentu, serta tugas-tugas yang bersifat supervisory dan sangat membutuhkan keahlian khusus. Kebutuhan untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 128 implementasi secara cepat kewenangan publik di sektor tertentu dan juga bebas dari campur tangan politik dalam pelaksanaan tugas. Bahwa dari berbagai pengertian tersebut, OJK menemukan fungsi independennya secara sangat kuat. Pertama, oleh karena adanya kepentingan dan tugas tertentu yang diinginkan negara untuk dijalankan secara lebih independen dan bebas dari campur tangan mana pun menjadi. Khususnya mengenai kepentingan untuk melakukan pengawasan perbankan secara independen. Dan oleh karena adanya kebutuhan untuk melakukan pengasan secara lebin independen itulah maka UU Bank Indonesia sendiri telah mengamanatkan dibentuknya lembaga tersendiri yang independen dalam melakukan pengawasan sektor jasa keuangan; Kedua , OJK telah memiliki hampir semua ciri keindependenan yang dimaksudkan sebagai ciri penegas dari keindependenan suatu lembaga negara independen. Tentu saja tidak semua, apalagi memang tidak satupun lembaga negara independen di Indonesia yang mengikuti berbagai ciri teoritik untuk lembaga negara independen tersebut. Misalnya soal pergantian yang berjenjang ( staggered terms ). Sampai saat ini, tidak satupun lembaga negara independen yang memiliki sifat pergantian berjenjang. Lagipula, kepentingan pergantian berjenjang adalah untuk mengecilkan kemungkinan penguasaan suatu lembaga negara independen oleh partai politik tertentu. Tetapi selebihnya, OJK dapat dikatakan menjalankan penuh sifat-sifat keindependenan sebagaimana ciri teoritik; Ketiga , haruslah diingat bahwa keindependenan dapat diukur kepentingan konstitusionalnya melalui fungsi yang ingin dikerjakan. Jika ada suatu tugas yang negara ingin lakukan, sangat penting, serta adanya kemungkinan conflict of interest dengan kepentingan Pemerintah, maka disitulah lahir kepentingan konstitusional untuk mengindependenkan tugas tersebut ke suatu lembaga tersendiri dengan harapan tidak akan dipengaruhi oleh cabang kekuasaan manapun. Bank Indonesia dan OJK Perihal OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, memang merupakan hal yang menarik. Sesungguhnya harus diingat beberapa hal yang melatari lahirnya UU Bank Indonesia yang mencantumkan pemisahannya dari Bank Indonesia. Salah satunya krisis yang terjadi di tahun 1997-1998, dan menimbulkan kesimpulan kala itu bahwa terjadi ketidakefektifan pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Oleh karenanya, dipisahkanlah fungsi regulasi dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 129 pengawasannya. Pemisahan ini tentunya adalah open legal policy pembentuk Undang-Undang yang melihat adanya persoalan pengawasan perbankan. Karenanya, pembentukan OJK adalah bagian dari ijtihan negara untuk melakukan perbaikan sektor pengawasan jasa keuangan; Kedua , perihal makna terintegrasi. Makna kata terintegrasi secara hukum tidaklah dapat dikatakan bahwa terintegrasi itu haruslah dipegang oleh satu lembaga saja. Terintegrasi tentu saja bermakna dapatjuga dilakukan oleh multi-pihak, sepanjang dilakukan secara terkordinatif dengan relasi yang baik dan jelas. Sekedar mencontohkan, integrated criminal justice system menjelaskan bahwa sistem penegakan hukum pidana yang terintegrasi tidaklah berarti hanya harus ada satu lembaga yang mengerjakan penegakan hukum pidana. Tetapi dapat juga dengan beberapa lembaga yang diupayakan terformat secara terintegrasi. Inilah yang dapat dilihat dalam relasi antara Bank Indonesia dan OJK dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Tidaklah harus dilakukan oleh satu lembaga saja, tetapi dapat juga dengan multi-pihak. Disinilah peran pembentuk Undang- Undang untuk merumuskan legal policy apa yang akan diambil dalam artian menjelaskan sistem perekonomian yang terintegrasi tersebut. Masih perihal terintegrasi tentunya tidak dapat diterjemahkan sebagai membiarkan adanya campur tangan satu pihak atas pihak yang lain sehingga mengganggu independensi. Terintegrasi memiliki makna kuat termasuk saling kontrol. Seperti layaknya suatu _checks and balances system; _ Karenanya, seharusnya dibalik logikanya bahwa dengan kehadiran OJK bukanlah memperlemah fungsi bank sentral yang sesungguhnya yakni memelihara kestabilan nilai rupiah dengan melaksanakan kebijakan moneter yang berkelanjutan, konsisten, transparan dan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah dalam bidang perekonomian. Dalam tugas tersebut, OJK sangat berfungsi untuk membantu kebijakan secara keseluruhan dalam kaitan menjaga sistem perekonomian nasional yang dikerjakan oleh Pemerintah, OJK, maupun Lembaga Penjamin Simpanan yang memang penting untuk saling bahu-membahu menjaga kestabilan perekonomian nasional; Perihal Pungutan OJK Pada dasarnya, Pasal 34 ayat (2), Pasal 37 ayat (1) s.d. ayat (6) serta penjelasannya mengatur bahwa anggaran OJK bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 130 kemudian juga diatur bahwa yang dimaksud dengan pungutan antara lain adalah pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan serta penelitian dan transaksi perdagangan efek; Aturan ini bermakna banyak. Pertama , pendanaan OJK sesungguhnya dapat dilakukan dengan hanya menggunakan APBN. Dapat juga hanya menggunakan pungutan. Dapan juga dengan menggunakan keduanya. Hal yang sebagai konsekuensi dari penggunaan kata “dan/atau” dalam aturan sebagaimana yang dimaksud di atas. Hanya dibebankan ke APBN tentu tidak tepat oleh karena memang ada pungutan yang seharusnya dibayarkan oleh pihak yang berkepentingan seperti yang diatur di atas. Hanya menggunakan pungutan juga tidak mungkin oleh karena OJK harus beroperasi dari awal dan belum memiliki pendanaan. Maka yang paling mungkin adalah dengan menggabungkan kemungkinan keduanya digunakan. Oleh karena itulah hadir kata “dan/atau”; Kedua , tidaklah dapat dikatakan dengan serta merta bahwa dengan pungutan ini akan mengganggu independensi. Mencontohkan biaya-biaya persidangan perkara yang diatur di Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya. Hal tersebut diatur dalam Perma Nomor 3 Tahun 2012. Dalam Perma tersebut diatur secara jelas perihal biaya-biaya yang dimaksudkan untuk membayar kepentingan pencari keadilan khususnya untuk membiayai kepaniteraan; proses peradilan itu sendiri dan biaya pemberkasan. Bahkan diatur biaya penyelesaian perkara yang berkisar antara Rp. 250.000-Rp. 10.000.000,- Dan kemudian diatur disesuaikan dengan keadaan pengadilan setempat tersebut. Bahkan di beberapa pengadilan, jika ada yang tidak mampu membayar dengan membuktikan bahwa ia benar-benar tidak mampu membayar karena termasuk golongan miskin, maka pengadilan dapat membebaskan dari biaya perkara tersebut; Artinya, pada dasarnya tidaklah dapat dikatakan melakukan pembayaran untuk mengurus biaya perkara dalam proses peradilan dapat mengganggu independensi lembaga tersebut dalam menegakkan keadilan. Sepanjang, hal tersebit diatur dengan jelas dan terang sehingga tidak ada lagi biaya-biaya lain selain dari biaya yang diatur dalam peraturan yang mendasarinya. Hal yang sama dapat dilihat ke konteks OJK. Bahwa sesungguhnya apa yang dibayarkan oleh asa keuangan merupakan bagian dari yang tidak dapat dikatakan akan mengganggu independensi OJK dalam melaksanakan tugas. Hal tersebut bagian dari biaya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 131 yang harus dibayarkan oleh pelaku jasa keuangan untuk membiayai proses yang dikerjakan OJK. Tentu tidak mengganggu independensi OJK sepanjang ditetapkan melalui biaya yang sudah diatur dengan detail, bahkan diguanakan untuk pembiayaan apa saja serta yang paling penting adalah transparansi penggunaannya; Ketiga , perihal pungutan ini melanggar ketentuan UUD 1945 terkhusus Pasal 23A yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” , sesungguhnya tidak serta merta dapat dikatakan melanggar. Apalagi, aturan mengenai pajak dan pungutan bersifat memaksa di negara ini tidaklah diatur secara terkodifikasi dalam satu Undang- Undang yang khusus mengenai pajak dan pungutan bersifat memaksa. Jika dikatakan bahwa harus dengan Undang-Undang tersendiri juga akan sangat repot karena harus membuat begitu banyak Undang-Undang khusus dan tersendiri yang mengatur soal pungutan. Termasuk Undang-Undang khusus pungutan OJK maupun Mahkamah Agung, serta seluruh lembaga-lembaga lainnya yang menggunakan pungutan ataupun pajak; Karenanya, pengaturan lebih lanjut dengan menggunakan aturan pelaksana dari Undang-Undang yang membolehkan pungutan secara praktik masih dapat diterima dan menjadi open legal policy dalam besaran jumlah pungutan sepanjang, -mengutip Putusan MK No. 26/PUU-VII/2009 tentang sifat open legal policy , yakni sepanjang isinya tidak melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable (tidak dapat ditoleransi). Maka sepanjang pungutan tersebut tidak melanggar moralitas, masih rasional jumlahnya serta tidak menimbulkan ketidakdilan, maka masih dapat dibenarkan. Meskipun pada saat yang sama harus memperhatikan kondisi dari pihak yang dipunguti biaya tersebut. Seperti yang diatur dalam Perma untuk biaya perkara maupun Peraturan OJK untuk pungutan atas jasa keuangan; Keempat , jikalaupun dianggap melanggar prinsip Pasal 23A UUD 1945 yang mengamatkan harus diatur dalam Undang-Undang tersendiri, maka harus dapat dilakukan dengan mengupayakan adanya kodifikasi atas keseluruhan pajak dan pungutan bersifat memaksa lainnya. Atau sekurang-kurangnya semua pungutan yang terjadi di MA, LPS, Pemerintah melalui PNBP, maupun OJK dan berbagai lembaga lain haruslah dibuatkan Undang-Undang nya masing-masing. Hal yang tentu mustahil karena mengingat kompleksitas soal hal tersebut; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 132 5. Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., PH.D Pertanyaan yang mendasar adalah, apakah Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa “… tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan...” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 34D Undang-Undang Dasar 1945 ? Dengan perkataan lain pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
Apakah filosofi pemisahan kewenangan stabilitas moneter dan pengawasan perbankan? 2. Apakah filosofi penggabungan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non-bank? 3. Apakah artinya independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK? 4. Bagaimanakah hubungan kelembagaan antara Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem perekonomian Indonesia? 5. Apakah filosofi pembiayaan OJK dilakukan dengan pungutan dari para pelaku pasar? Pendapat Hukum ahli atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah sebagai berikut ini: Filosofi pemisahan kewenangan menjaga stabilitas moneter dan pengawasan perbankan adalah agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang berkelanjutan dan stabil, mampu melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. Hal ini juga merupakan amanat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah memperkirakan perkembangan transaksi sektor jasa keuangan yang tidak bisa dilakukan secara partial, namun harus secara terintegrasi dari berbagai sub sektor jasa keuangan; Filosofi penggabungan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non-bank adalah untuk melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 133 keuangan harus memiliki independensi didalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entititas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi pula mempengaruhi pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi dan informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing sub sektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Disamping itu adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai sub sektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antara lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan- perusahaan yang go publik (sektor Pasar Modal), Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya; Independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK tidak berarti independensi secara mutlak. Independensi tersebut harus diimbangi dengan check and balance , artinya bukan lembaga yang memiliki kebebasan yang tidak terbatas. Independensi dalam arti mengatur sendiri ( self-regulatory bodies ) seperti komisi lain yang ada: Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Independensi OJK artinya juga bahwa OJK tidak berada dibawah otoritas lain atau tidak menjadi bagian dari Pemerintah. Namun OJK tetap wajib menyusun laporan kegiatan secara berkala dan melaporkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan OJK harus tetap memberikan laporan keuangan tahunannya serta diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh BPK. Selanjutnya OJK wajib mengumumkan laporan keuangan tersebut kepada publik melalui media cetak dan media elektronik; Dalam hal OJK mengidentifikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan bank tersebut memburuk, maka OJK dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis. Anggota FKSSK yaitu Menteri Keuangan, Bank Indonesia, OJK dan LPS melakukan pertukaran informasi terkait dengan tugas dan fungsi dari masing-masing lembaga; Filosofi pembiayaan OJK yang berasal dari APBN dan/atau pelaku pasar adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 134 sebagai pembiayaan bagi OJK karena bertugas mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan disektor perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya, dimana pelaku pasar juga akan memperoleh manfaat dari jasa pengawasan yang dilakukan oleh OJK; Berdasarkan uraian saya tersebut di atas, maka Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa “… tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan …” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 34D Undang- Undang Dasar 1945; Menurut Pendapat Hukum saya, apabila permohonan Pemohon dikabulkan mengembalikan semua kegiatan pengawasan perbankan kembali ke Bank Indonesia; tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membawa implikasi yang besar dalam sektor jasa keuangan; Akan tetapi pengembalian kewenangan pengawasan perbankan tersebut membutuhkan pengaturan baru yang memakan waktu yang panjang sehingga terjadi kekosongan hukum yang mengakibatkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum akan menyebabkan investor-investor melepaskan surat- surat berharga yang dimiliknya, hal ini dapat menyebabkan penjualan surat-surat berharga yang dimiliki oleh investor karena harganya yang akan terus merosot akibat adanya ketidakpastian hukum. Keadaan tersebut akan mempengaruhi kondisi fiskal perekonomian negara dikarenakan ABPN yang masih dalam keadaan defisit membutuhkan alternatif pembiayaan untuk menutupi defisit dimaksud dengan menerbitkan surat berharga negara, namun nilai surat berharga dimaksud menjadi berkurang, tidak laku dan pemerintah dapat mengalami keadaan default dalam arti pinjaman menjadi tidak terbayarkan dan defisit tidak dapat ditutup; Hal tersebut akan mengakibatkan krisis keuangan dan perekonomian yang pada akhirnya dapat menyebabkan krisis pemerintahan; Dengan perkataan lain, tindakan hukum yang demikian yaitu mengembalikan fungsi pengawasan perbankan akan membawa akibat negatif bagi ekonomi bangsa; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 135 6. Dr. Sihabudin, S.H., M.H I. Analisis Umum Ketentuan mengenai keuangan negara pertama kali diatur di dalam Konstitusi sejak 18 Agustus 1945 oleh BPUPKI. Namun belum ada satupun pasal yang membahas mengenai kedudukan apalagi kewenangan dari Bank Sentral maupun Bank Indonesia. Pada Pasal 23 UUD 1945 pada saat itu hanya berisi lima pasal mengenai APBN, perpajakan, mata uang, dan pembentukan lembaga tinggi Negara BPK-RI (Badan Pemeriksa Keuangan). Pada Konstitusi RIS Bab IV mengenai Pemerintahan Pasal 165 mulai mengatur mengenai BANK SIRKULASI yang diatur dalam undang-undang Federal dan hanya dibentuk satu di ibukota negara. Kemudian pada masa pemberlakuan UUDS 1950 pengaturan mengenai bank sentral mulai diatur pada Pasal 109 ayat (4) dan Pasal 110 , meski masih menggunakan nama BANK SIRKULASI ; Bank Indonesia mulai diberikan independensi dan diakui secara konstitusional sebagaimana hasil amandemen UUD 1945 pada era reformasi dan disahkannya UU Nomor. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam Undang- Undang tersebut berisi penegasan BI sebagai bank sentral yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah maupun pihak lain. BI diberikan kewenangan pemberian izin usaha bank, pembinaan dan pengawasan perbankan, meski muncul perdebatan di MPR yang meminta fungsi pengawasan bank dialihkan pada lembaga terpisah dari BI (yang dalam UU BI disebut LPJK), sedangkan kewenangan perizinan dan pengaturan masih tetap di bawah BI, dan permintaan itu dikabulkan. Hal tersebut dalam pembahasan amandemen kedua UUD 1945 (6 Desember 1999) menjadi perdebatan anggota MPR, dimana saya kutip salah satu pendapat dari Jubir F-KB, Abdul Khaliq Ahmad: “sebagai Bank Sentral, BI memiliki kewenangan di bidang penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter. BI juga mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta pengaturan dan pengawasan bank. Dengan demikian, kedudukan BI akan menjadi lembaga tinggi Negara sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang sudah ada.. Oleh karena itu dengan dimasukkannya pengaturan tentang BI dalam UUD, independensi BI sebagai Bank Sentral diharapkan akan semakin kukuh dan bebas dari intervensi kekuatan lain. Merebaknya kasus-kasus besar perbankan akhir- akhir ini makin menyadarkan kita bahwa saatnya sekarang meningkatkan kinerja BI dengan pengaturannya secara eksplisit dalam UUD”. Seiring dengan terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 136 menciptakan sistem keuangan yang kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan atau yang disebut konglomerasi keuangan menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga keuangan dalam sistem keuangan. Hal tersebut yang menyebabkan perlunya untuk membentuk lembaga baru agar keseluruhan pengawasan kegiatan keuangan dapat terintegrasi, meski dalam permohonan disebutkan kebutuhan membentuk OJK adalah karena desakan ekonomis dari IMF terhadap pemerintah Indonesia yang disebabkan BI dianggap gagal fungsi; Dasar pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK):
Landasan yuridis: Pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang mengamanatkan pembentukan lembaga pengawas sektor keuangan yang mencakup perbankan, lembaga keunagan non bank, perusahaan pembiayaan dan badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat;
Landasan filsafati: pemenuhan prinsip-prinsip good governance dengan menciptakan spesialisasi dalam pengawasan, pengembangan metode pengawasan yang tepat serta mengurangi luasnya rentang kendali pengawasan agar dalam pengambilan keputusan menjadi efisien dan efektif;
Landasan sosiologis: peran pengaturan dan pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus diarahkan untuk menciptakan efisiensi, persaingan yang sehat, perlindungan konsumen, dan memelihara mekanisme pasar yang sehat melalui prinsip kesetaraan ( level playing field ); II. ANALISIS BUTIR-BUTIR PERMOHONAN 1. Mengenai kedudukan hukum atau legal standing Pemohon, sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “ Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang ”. Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi berbeda dengan hukum acara yang dikenal dan diberlakukan dalam praktik peradilan umum, karena hukum acara Mahkamah Konsitusi mengandung kekhususan-kekhusuan tertentu yang tidak ditemukan dalam praktik di peradilan umum. Salah satu kekhususan dalam hukum acara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 137 Mahkamah Konstitusi, adalah adanya syarat kerugian konstitusional bagi Pemohon yang mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 45. Dalam pikiran saya, konsep kerugian pada dasarnya adalah domain hukum perdata ( private law ), bukan domain hukum konstitusi. Jika dalam hukum perdata kerugian dimaknai sebagai hilang atau terganggunya hak-hak perdata seseorang yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain yang melanggar hak tersebut atau yang melawan hukum. Sedangkan dalam hukum konstitusi Pertama , adanya hak konstitusional yang bersangkutan yang diberikan oleh UUD 45, Kedua , hak konstitusional tersebut dianggap oleh yang bersangkutan telah dirugikan oleh Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Ketiga , kerugian konstitusional tersebut bersifat khusus dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Keempat , adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian tersebut dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji. Terakhir, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Walaupun sekilas tampak bahwa ‘penganuliran’ terhadap pasal atau materi tertentu dari suatu undang-undang merupakan remedy terhadap kerugian konstitusional yang terjadi sebagai akibat dari berlakunya pasal atau materi tertentu dari Undang-Undang tersebut, sesungguhnya ‘penganuliran’ tersebut bukanlah akibat langsung dari adanya kerugian konstitusional tersebut, melainkan akibat dari adanya pertentangan antara pasal atau materi tertentu dari undang-undang tersebut dengan UUD 45 [lihat Pasal 57 ayat (1)] Jika secara perdata, ada atau tidaknya kepentingan tersebut dapat dibuktikan secara formil berdasarkan, salah satunya, ada atau tidaknya hubungan hukum, maka bagaimana membuktikan adanya ‘kepentingan’ dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Dapat disimpulkan bahwa pemohon dapat dikatakan memenuhi legal standing dalam permohonan tersebut, meski masih menimbulkan multi tafsir dalam pemaknaan kerugian secara konstitusional. Dalam permohonan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 138 tersebut para penggugat juga belum menunjukkan secara jelas apa kerugian konstitusional yang mereka dapatkan, apakah unsur “kepentingan” sudah dianggap mewakili? Sehingga Pemohon hanya menjabarkan hak konstitusional yang belum sesuai dengan alasan mereka mengajukan permohonan (seperti: membayar pajak, pemberi aspirasi, kedudukan dalam hukum dan apa dasar OJK disebut melakukan pemborosan sehingga mereka mengalami kerugian secara konstitusional).
Pada angka 24 tidak perlu menyebutkan Undang-undang nomor 13 tahun 1968 khususnya di Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) mengenai kewenangan Pemerintah dan Dewan Moneter yang sudah dihapuskan sejak Undang- Undang tersebut dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Sehingga tidak tepat apabila angka 24 dijadikan landasan yuridis permohonan oleh pemohon terhadap UU OJK;
Pada angka 25, memang dibentuknya OJK dalam rangka mengurangi tugas BI dan agar terjadinya distribusi tanggung jawab yang seimbang. BI sebagai Pembina jangan sekaligus menjadi pengawas. Harapannya Bank Sentral berfungsi sebagai lembaga moneter, sehingga terhindar konflik interest;
Pada angka 31, Pemohon menggunakan istilah “perkawinan” untuk memaknai konglomerasi keuangan, sehingga dalam legal drafter hal ini menyalahi interpretasi gramatikal. Pada butir ini juga menjelaskan mengenai unit link dan penggabungan produk bank dengan asuransi dan produk lembaga keuangan lain yang dikatakan belum ada dalam UU Asuransi dan RUU nya. Padahal terkait hal ini, perbankan diberikan kebebasan dengan membentuk self regulation terkait produknya akibat konglomerasi keuangan yang disebut bancassurance dan ini juga dasar dibentuknya UU OJK bukan sebaliknya. Pada ketentuan peralihan sudah diatur bahwa ‘saat OJK terbentuk, tugas dan wewenang Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Usaha Perasuransian menjadi tugas dan wewenang OJK, jadi hal ini secara legalitas telah memberikan peralihan kewenangan kepada OJK terkait usaha asuransi;
Pada angka 32, angka 38 dan angka 39, dikatakan secara konstitusional, cantolan OJK tidak jelas di UUD 1945 dan berasal dari turunan yang asimetris. Dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 23D mengatur mengenai bank sentral yang tidak secara khusus menyebutkan BI atau OJK. Bunyi Pasal 23D, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 139 “ Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan undang-undang ”. Tidak ada kata “bank Indonesia” yang awalnya diperdebatkan dimasukkan atau cukup menggunakan kata “bank sentral”, dengan ketakutan apabila menggunakan langsung “bank Indonesia” apabila lembaga ini “sakit” akan terganggu kestabilan bank sentral. Jadi Pasal 23D UUD 45 memberikan kedudukan dan kewenangan bagi bank sentral yang nantinya muncul turunan dengan pengaturan di dalam UU bank sentral yang melahirkan UU Bank Indonesia. Perlu digarisbawahi juga adalah pendirian lembaga tinggi atau lembaga Negara tidak harus menggunakan konstitusi sebagai dasar pendirian atau pembentukannya, namun bisa menggunakan Undang-Undang. OJK pendiriannya didasarkan pada UU BI yang mendasarkan pada Pasal 23D UUD 1945. Mengenai OJK yang berasal dari turunan yang asimetris, yaitu OJK berdasarkan PasaL 34 UU BI hanya diberikan kewenangan untuk mengawasi perbankan mengambil alih kewenangan BI saja bukan Menkeu dan Bapepam- LK. Pasal 34 UU BI ayat (1) hanya berbunyi: Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan Undang-Undang . Dalam legal drafting , dalam pasal ini tidak disebutkan OJK secara langsung, tetapi karena penamaan lembaga menggunakan huruf kecil yakni “ lembaga pengawasan sector jasa keuangan ” dimaknai pembuat Undang-Undang tidak memberikan nama lembaga tertentu, sehingga penggunaan nama OJK diperkenankan. Kedua , Pasal 34 UU BI memang hanya menyebutkan bahwa pembentukan LPJK/OJK hanya untuk mengawasi bank yang awalnya kewenangan dari BI, namun di dalam penjelasan Pasal 34 UU BI ( penjelasan merupakan bagian dan satu kesatuan dengan batang tubuh sehingga tidak dapat dimaknai secara terpisah ) menjelaskan mengenai kewenangan OJK tidak hanya mengawasi bank tetapi juga mengawasi lembaga keuangan lainnya dan mengenai sifat independensi OJK.
Angka 37, munculnya mandat yuridis dalam Pasal 34 UU BI merupakan big planning dari IMF dan inspirasi dari FSA inggris ( Finantial Suoervisory Agency of United Kingdom ) yang gagal. Suatu catatan bahwa gagalnya FSA-UK bukan konsepnya yang salah, konsepnya sudah benar dan bagus, hanya persoalan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 140 menangani krisi tidak terjadi koordinasi yang baik dari pihak terkait. Perlu ditekankan bahwa Politik Hukum pembentukan OJK bukan murni dari “permintaan”, namun dari pendekatan historis, hal ini dipengaruhi keadaan politik hukum pada masa reformasi, yaitu muncul pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie sebagai pengganti rezim Soeharto. BJ Habiibie yang menimba ilmu di Jerman tertarik dengan metode yang digunakan oleh Bundesanstalt fur finanzdienstleistungsaufsicht yang memiliki kewenangan mengawasi Bank, perusahaan asuransi, dan dealer sekuritas atas masukan dari Bundesbank (Bank sentral jerman) pada saat itu. Metode ini dikenal dengan metode integrated dengan pendekatan twin peaks . Ini juga bertujuan agar pengawasan berjalan efektif. Memang benar bahwa Financial supervisory authority (FSA) gagal di Inggris, namun percontohan model integrated di Indonesia meniru Jepang dan Korea Selatan, hal ini bisa dibuktikan dengan adanya dokumen kunjungan kerja delegasi pansus RUU OJK pada tanggal 31 Oktober s.d. 6 November 2010. Secara historis munculnya Pasal 34 UU BI ini sebenarnya bukan karena desakan IMF. IMF yang mempunyai anggota 168 (seratus enam puluh delapan) negara, berperan hanya memberi saran yang sifatnya umum, dan letter of intent dibuat oleh Indonesia sendiri, dan juga atas permitaan BI sejak diberikan independensi dalam UU Nomor 23 Tahun 1999.
Angka 40, perlu menjadi catatan bahwa tidak ada Undang-Undang di bidang ekonomi yang lebih kuat antara satu dengan lainnya, kecuali memiliki strata lebih tinggi ( stuffenbaw theory Hans Kelsen dan asas lex superiori derogate legi inferiori ). Namun apabila ada UU yang lebih khusus akan mengalahkan UU yang lebih umum ( lex specialis derogate legi generalis ). Perlu diingat, bahwa hirarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengenal yang disebut dengan Undang-Undang Payung yang dapat dijadikan dasar secara umum bagi Undang-Undang khusus di bawahnya. Meski pernah dalam prolegnas akan dibentuk RUU tentang Demokrasi Ekonomi namun sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Jadi antara UU Perbankan, UU Asuransi, UU Pasar Modal dan sebagainya memiliki derajat yang sama. Pasal 34 UU BI sebagai landasan yuridis BI mengawasi perbankan karena merupakan turunan dari Pasal 23D UUD 1945 namun telah memberikan kewenangannya kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 141 OJK melalui UU OJK pada Pasal 6, Pasal 7 hingga ketentuan peralihan dan penjelasan sebagai satu kesatuan norma.
Angka 44, isi permohonan tersebut kurang memahami perbedaan antara makroprudensial dan mikroprudensial. Meski kewenangan BI sebagian mengenai microprudensial telah diserahkan kepada OJK melalui UU OJK, namun BI masih tetap secara konstitusional merupakan Bank Sentral Republik Indonesia berdasarkan Pasal 23D UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2009. Sehingga dalam forum bank sentral dunia dalam hal ini Basel Committee (BI sampai sekarang bukan anggota Basel Committee namun mengikuti ketentuan Basel Committee dalam hal pengawasan mulai Basel I hingga Basel III) masih tetap dipegang Bank Indonesia sebagai pemegang kewenangan Macroprudensial sebagai Bank Sentral.
Angka 46, pada Konsideran mengingat UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK disebutkan landasan yuridisnya adalah Pasal 33 UUD 1945. Tidak tepat kalau pemohon menghubungkan dengan Pasal 33 ayat (1) karena berbeda sistem dengan OJK, namun Pemohon melupakan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dimana ditemukan ASAS KEMANDIRIAN, dimana kemandirian diartikan sebagai independensi. Hal ini yang dapat menjadi landasan yuridis pembentukan lembaga Negara yaitu OJK yang bersifat independen sebagaimana diatur dalam batang tubuh dan penjelasan Undang-Undang ini.
Angka 51, Pemohon belum memahamii perbedaan antara stabilitas moneter dengan stabilitas sistem keuangan, dimana keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Stabilitas moneter yang dipegang oleh BI merupakan kestabilan mata uang untuk mengendalikan inflasi, sedangkan stabilitas sistem keuangn yang dipegang OJK merupakan stabilitas institusi dan pasar uang untuk menghindari tekanan dan pergerakan harga yang menyebabkan guncangan ekonomi (Aspach O, et al tahun 2006 dalam searching for a metric for financial stability ). Sehingga dengan adanya pemisahan antara macro dan microprudensial mengembalikan fungsi BI sebagai otoritas moneter selaku Bank Sentral di Indonesia. Menurut Jordan (2010), tujuan dari bank sentral berfokus pada instrument makroprudensial dan moneter untuk stabilitas harga sebagaimana bagan berikut : Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 142 Dapat disimpulkan bahwa kewenangan OJK tidak akan bias karena OJK berperan dalam stabilitas sistem keuangan sedangkan BI akan fokus sebagai otoritas moneter dan stabilitas moneter.
Untuk permohonan mengenai Pasal 37 UU OJK, tentang pembiayaan OJK melalui APBN dan/atau pungutan terhadap bank dan lembaga keuangan, bahwa pungutan itu dalam ilmu ekonomi merupakan hal yang wajar, dimana pungutan itu merupakan pemberian atas jasa otoritas yang telah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap lembaga keuangan tersebut, apalagi sistem pungutan ini diatur dan ditentukan oleh Pemerintah, bukan OJK yang menentukan. Ada informasi, bahwa ada 100 (seratus) negara yang memungut biaya untuk operasional kegiatan seperti OJK ini.
Hal yang masih sumir juga adalah mengenai pertanyaan: siapa yang akan mengawasi OJK? Sebenarnya itu pertanyaan klasik, dimana siapa yang akan mengawasi lembaga pengawas? Padahal BI sempat diragukan hingga dibentuklah Badan Supervisi BI di dalam tubuh BI. Pengawasan akan tetap dilakukan yang merupakan fungsi BPK. Sebenarnya Hal pengawasan OJK sudah diatur Pasal 38 UU 21/2011. Hal ini sekaligus menjawab bahwa indepensi OJK bukan bebas sebebas-bebasnya, melainkan ada tanggung jawab dan pengawasan.
Sebagai penutup tanggapan saya adalah jika pengawasan yang sudah berjalan dilakukan oleh OJK sebagai pengawas independen dihentikan beberapa waktu saja, maka akan terjadi dampak ketidak percayaan pada lembaga-lembaga keuangan yang ada, yang berakibat terjadinya gangguan geraknya lembaga keungan dan berdampak sistemik perekonomian dan keuangan nasional. Apalagi jika Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keungan yang dibatalkan, maka akan berdampak negatif (berisiko) yang sangat besar. Microprudential Policy Capital and Liquidity Buffer Macroprudential Risk and Monetary Policy 1. __ Countercylical Capital Buffer and new instruments 2. __ Interest Rate Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 143 7. Refly Harun, S.H., LL.M 1. Sepanjang yang dapat ahli catat, Pemohon dalam permohonan ini mempersoalkan tiga hal, yaitu (1) keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen, (2) kewenangan OJK, dan (3) sumber keuangan OJK;
Sebelum membahas lebih jauh mengenai ketentuan yang dipersoalkan tersebut, izinkanlah ahli mengemukakan pendapat yang terkait dengan legal standing Pemohon. Menurut ahli, Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional yang nyata, baik aktual maupun potensial. Seharusnya yang mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang adalah lembaga atau pihak-pihak yang secara konkret merasa dirugikan dengan ketentuan a quo baik secara potensial maupun aktual. Sepanjang yang dapat ahli simak, Mahkamah terlalu longgar memberikan legal standing terhadap permohonan-permohonan seperti ini. Namun, semua itu terpulang kepada Mahkamah untuk mempertimbangkan hal tersebut. Ahli tidak dalam kapasitas untuk masuk terlalu jauh dalam persoalan ini;
Pemohon mempersoalkan kata "independen" dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK yang berbunyi, " Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini ";
Alasannya, antara lain, frase "independen" dan "independensi" hanya dikenal oleh UUD 1945 melalui ketentuan Pasal 23D yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang ". Dengan demikian, menurut Pemohon, hanya bank sentral yang boleh independen;
Menurut ahli, tidak benar UUD 1945 hanya menyematkan kata "independen" kepada bank sentral. Dalam UUD 1945, kata yang maknanya setara dengan "independen" juga digunakan untuk lembaga-lembaga lain di UUD 1945, yaitu menggunakan kata "mandiri" atau "bebas" atau gabungan keduanya sebagaimana terlihat dalam pasal-pasal berikut: - Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 144 yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri [Pasal 22E ayat (5) Perubahan Ketiga]; - Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri [Pasal 23E ayat (1) Perubahan Ketiga]; - Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim [Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga].
Dilihat dari sifatnya, lembaga-lembaga negara di luar lembaga negara utama, yang kita kenal sebagai bagian dari sistem pembagian atau pemisahan kekuasaan negara (MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, dan BPK), dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu Dependent Regulatory Agencies dan Independent Regulatory Boards and Commissions (Michael E. Milakovich dan George J. Gordon);
Disebut Dependent Regulatory Agencies bila lembaga yang ada merupakan bagian dari departemen atau kabinet atau struktur eksekutif lainnya, seperti Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan, Dewan Riset Nasional, Badan Narkotika Nasional (BNN), Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, dan Iain-Iain;
Disebut Independent Regulatory Boards and Commissions bila lembaga yang ada memiliki ciri-ciri sebagai lembaga yang independen atau mandiri, yaitu: (Michael E. Milakovich dan George J. Gordon) - Memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial; - Anggota atau para komisioner tidak melayani keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden; - Bersifat independen, relatif bebas dari kontrol presiden; - Masa jabatan komisioner biasanya definitif dan cukup panjang; - Periode jabatan bersifat " staggered '. Komisioner berganti secara bertahap sehingga presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga tersebut. - Jumlah komisioner bersifat ganjil dan keputusan diambil secara mayoritas suara. - Keanggotaan lembaga biasanya menjaga keseimbangan perwakilan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 145 yang bersifat partisan.
Di Indonesia sejak era Reformasi telah bermunculan banyak lembaga independen, seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Komisi Informasi Pusat (KIP), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK), dan sebagainya;
Di antara lembaga-lembaga tersebut bahkan ada yang keberadaan dan kewenangannya disebut dalam UUD 1945 secara jelas dan tegas seperti KY. Ada yang keberadaannya saja yang disebut, tetapi kewenangannya tidak jelas disebut, seperti bank sentral. Ada pula yang sebaliknya, kewenangannya disebut tetapi keberadaannya tidak disebut secara tegas, seperti KPU yang disebut dengan hurup kecil dengan frase "suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri", yang dalam praktiknya memunculnya dua lembaga, yaitu KPU dan Bawaslu;
Namun, lebih banyak lagi lembaga-lembaga independen yang baik keberadaan maupun wewenangnya tidak disebut dalam UUD 1945, seperti DKPP, KIP, Komnas HAM, dan sebagainya. OJK termasuk salah satu di antaranya;
Lembaga-lembaga independen yang tidak disebut dalam UUD 1945, baik keberadaan maupun kewenangannya, tidak bisa dikatakan inkonstitusional sepanjang tidak ada pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dilanggar. Dalam konteks OJK, misalnya, patut dipertanyakan apakah OJK mengambil alih fungsi bank sentral sebagaimana disebut dalam Pasal 23D yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang ";
Perlu digarisbawahi bahwa UUD 1945 tidak menyebut secara eksplisit lembaga yang berfungsi sebagai bank sentral - dari sisi original intent ada penolakan untuk mempermanenkan Bank Indonesia dalam konstitusi. Bahkan, ketika pembahasan pasal tentang bank sentral dibahas ada suara-suara untuk membubarkan Bl dan menggantikannya dengan institusi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 146 lain. Selain itu, UUD 1945 juga tidak mengatur kewenangan bank sentral, melainkan menyerahkannya kepada ketentuan Undang-Undang;
Merujuk pada ketentuan tentang "suatu komisi pemilihan umum" dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang melahirkan dua lembaga dalam praktiknya, yaitu KPU dan Bawaslu, hal yang sama bukan tidak mungkin diberlakukan pula pada ketentuan "suatu bank sentral" dalam Pasal 23D UUD 1945;
Secara teoretis dan didasarkan pada putusan Mahkamah terdahulu tentang frase "suatu komisi pemilihan umum" bisa saja fungsi bank sentral dijalankan lebih dari satu lembaga. Bisa pula bank sentral tersebut tidak bernama "Bank Indonesia". Hal-hal tersebut diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. UUD 1945 hanya mengamanatkan bahwa harus ada bank sentral;
Munculnya lembaga-lembaga independen dalam dunia modem adalah suatu kondisi yang tak terelakkan. Paling tidak dua hal ini menjadi pertimbangan kuat bagi munculnya lembaga-lembaga independen tersebut, yaitu (1) karena pranata yang lama sudah tidak memuaskan kinerjanya, tidak independen, bahkan terlibat korupsi-kolusi;
Karena kebutuhan akan spesialisasi dan profesionalisme sebagai akibat bertambah kompleksnya tugas yang diemban;
Terkait dengan independensi suatu lembaga seperti OJK, terdapat dua aspek yang harus digarisbawahi, yaitu independen dari campur tangan politik dan independen dari industri finansial yang diawasi itu sendiri;
Pentingnya independensi pengaturan dan pengawasan finansial dapat dipelajari dari kasus Korea dan Jepang. Krisis tahun 1997 yang juga melanda Korea merupakan akibat dari tidak independennya pengawasan sektor finansial. Pengawasan bank khusus dan lembaga keuangan non- bank berada di bawah kewenangan langsung dari kementerian keuangan dan ekonomi (Lindgren dkk, " Financial Sector Crisis and Restructuring : Lesson from Asia ", IMF Occasional Paper, No. 188, 1999);
Di Jepang juga terjadi permasalahan serupa. Kekuasaan Kementerian Keuangan Jepang pada tahun 1995 sangat luas, mencakup perencanaan keuangan, kewenangan membuat aturan, inspeksi keuangan, dan pemeriksaan/ pengawasan lembaga keuangan. Hal ini menyebabkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 147 rentan terjadinya korupsi oleh pejabatnya. Pada Juni 1998, Jepang mengeluarkan fungsi pengawas lembaga keuangan dari kementerian dan dialihkan kepada Financial Supervisory Authority (FSA), lembaga independen yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, dan asuransi (Lihat Takeo Hoshi dan Takahisho Ito, Financial Regulation in Japan; Fifth Year Review of the Financial Services Agency , 2002, revised 2003 , hal 1-2);
Keberadaan suatu otoritas independen adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi keefektifan sistem pengawasan di sektor jasa keuangan. Argumen ini terkait dengan fungsi/kemampuan otoritas tersebut untuk melindungi diri baik dari intervensi pasar keuangan yang diawasinya maupun campur tangan politik. Hal ini diperlukan agar otoritas tersebut dapat mengembangkan fungsi dan tugasnya, mewujudkan transparansi dan pencapaian tujuan stabiltas keuangan ( Steeven Seelig and Alica Novoa, "Governance Practice at Financial Regulatory and Supervisory Agencies. IMF Working Paper Monitory and Capital Market Departements wp/09/135, Juli 2009 , hal.10);
Otoritas yang independen di sektor keuangan akan lebih mampu menghasilkan regulasi yang efektif, membuat operasi di dalam pasar menjadi lebih efisien, dan yang lebih penting menciptakan sistem dan fungsi pengawasan yang lebih baik dibandingkan ketika berada di bawah lembaga pemerintahan/kementerian (Kenneth Kaoma Mwenda, " Legal Aspects of Financial Services Regulation and The Concept of A United Regulator", the World Bank-Law Justice and Development Series 2006 , hal. 31);
Penting dicatat bahwa ada ketidakkonsistenan Pemohon ketika mempersoalkan kewenangan OJK dalam pengawasan lembaga keuangan bukan bank. Menurut Pemohon, mandat yang diberikan oleh Pasal 34 UU 23/1999 yang telah diubah dengan UU 3/2004 adalah pengawasan bank. Namun, dalam bagian petitum justru pengawasan bank itulah yang diminta untuk dibatalkan (dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat). Petitum itu justru menimbulkan tanda tanya mengenai siapa yang sesungguhnya berkepentingan terhadap permohonan ini; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 148 23. Dari sisi sejarah, pembentukan OJK sebenamya memang hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan Undang-Undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. Pada waktu RUU tersebut diajukan muncul penolakan dari Bl dan DPR. Sebagai kompromi maka disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga harus bertugas mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini agar tidak terlihat bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan bank sentral (lihat Zulkarnain Sitompul, "Menyambut Kehadiran OJK", Pilars No. 02/Th. Vll/12-18 Januari 2004);
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, ahli menyatakan bahwa keberadaan OJK tidak bisa dikatakan bertentangan dengan UUD 1945;
Untuk menutup keterangan ini, ahli ingin mengutip Direktur Finance Research Eko B. Supriyanto dalam opini di Kompas tanggal 4 Maret 2014. "Jika ada pihak-pihak yang hendak melakukan uji materi terhadap UU OJK ke Mahkamah Konstitusi, di satu sisi ini merupakan kebebasan, tetapi di sisi lain ini "kegenitan" semata. Selama ini, proses pembentukan OJK sudah makan waktu teramat panjang sejak 1999 dengan naskah akademi yang memadai, dan pembahasan yang mendalam di DPR dan Pemerintah serta Bl sendiri; Jika uji materi diterima dan dikabulkan MK, akan menimbulkan kekacauan dalam industri keuangan dan perbankan yang melibatkan aset Rp 12.000 triliun. Harus diketahui, OJK bukan seperti SKK Migas yang dapat dimatikan begitu saja. Ini menyangkut sektor perbankan dan keuangan yang ada risiko sistemiknya. Lembaga kepercayaan yang harus dijaga. Saat ini, konglomerasi sektor keuangan butuh lembaga OJK yang independen, dan sudah sewajarnya kita semua mendorong kredibilitas OJK seperti layaknya KPK." 8. Dr. Mulia P. Nasution, D.E.S.S Sehubungan dengan permohonan pengujian ( constitutional review ) Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 34, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64,Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK terhadap UUD 1945" yang dimohonkan oleh para Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 149 Pemohon, yaitu Salamuddin, dkk, perkenankan kami menyampaikan Keterangan Ahli mengenai 2 hal, yaitu: pentingnya OJK sebagai lembaga yang menyelenggarakan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor keuangan dan pengelolaan keuangan OJK, sebagai berikut: I. Pentingnya Otoritas Jasa Keuangan Keberadaan OJK adalah suatu keniscayaan bagi negara kita pada masa kini. Pembentukan OJK adalah hasil dari suatu proses transformasi kelembagaan yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang, yaitu lebih dari satu dekade (1998-2011) di negara kita. Berawal dari kelemahan pengawasan perbankan nasional yang sangat dirasakan pada saat terjadinya Asian Financial Crisis pada tahun 1997-1998, gagasan pembentukan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen muncul sebagai upaya memperbaiki penyelenggaraan pengaturan dan pengawasan terhadap industri jasa keuangan. Pelaksanaan transformasi kelembagaan tersebut diperlukan untuk mencegah agar tidak terulang kembali krisis seperti yang pernah terjadi pada masa yang lalu dan agar lebih mampu menghadapi berbagai permasalahan dan tantanganyang semakin berat sebagai akibat dari perkembangan dan dinamika di sektor industri jasa keuangandi masa depan; Pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan hanya dapat terlaksana secara profesional, apabila lembaga yang diberikan mandat untuk melaksanakan tugas tersebut bersifat mandiri, tidak berada di bawah kekuasaan dan pengaruh lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Krisis perbankan yang melanda Indonesia yang kemudian meluas menjadi krisis ekonomi dan politik pada awal dekade yang lalu, menunjukkan kepada kita betapa pentingnya keberadaan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen dalam penyelenggaraan fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Oleh karena itu, para pembuat Undang-Undang di negara kita persis 10 tahun yang lalu menyepakati untuk mencantumkan amanat pembentukan dengan undang-undang suatu lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen dalam Pasal 34 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; Namun, proses pembentukan lembaga tersebut tidaklah berjalan mulus. Walaupun Undang-Undang telah mengamanatkan pembentukan lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 150 dimaksud akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010, urgensi untuk membentuk suatu lembaga pengawas perbankan yang independen di luar Bank Indonesia tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari beragam pemangku kepentingan. Dari segi konsep, model lembaga independen yang akan dibentuk masih terus dalam pembahasan dan perdebatan, baik di kalangan akademisi, maupun di lingkungan pemerintah sendiri. Secara politik, walaupun proses konsolidasi fiskal, yang berjalan sejak tahun 2000 telah berhasil membawa stabilisasi di bidang perbankan dan keuangan negara, prioritas utama pemerintahan Presiden SBY pada awal periode 2004-2009 adalah melaksanakan berbagai kegiatan yang mendesak yang dapat menggerakkan kembali roda perekonomian, setelah 5 tahun mengalami stagnasi, bahkan sempat mengalami kemunduran, melalui program Pro-Growth, Pro-Job dan Pro-Poor yang dicanangkan oleh Pemerintah. Sampai terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008, konsep pembentukan OJK masih tetap dalam perdebatan. Perdebatan tersebut bukanlah mengenai perlunya independensi lembaga tersebut, karena sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia telah menjadi lembaga yang independen, tetapi terutama urgensi keberadaan lembaga baru di luar Bank Indonesia untuk mengatur dan mengawasi sektor perbankan; Seiring dengan berjalannya waktu, sektor industri jasa keuangan semakin berkembang dan mengalami dinamika yang luar biasa. Tidak terkecuali di negara kita. Dalam kurun waktu tersebut, seiring dengan pemulihan ekonomi dan semakin berkembangnya kegiatan perekonomian di negara kita, produk-produk industri jasa keuangan muncul semakin beragam dan kompleks. Selain itu, sebagaimana juga di sektor industri yang lain, di sektor jasa keuangan juga terjadi konglomerasi, baik secara vertikal, maupun horizontal. Demikian pula, industri jasa keuangan mengalami proses globalisasi yang berdampak signifikan terhadap konsumen, pemilik modal, perekonomian dan publik. Proses globalisasi tersebut dipermudah terutama dengan kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi dan berlakunya norma dan standar yang bersifat internasional, terutama di sektor perbankan. Pada gilirannya, kemudahan untuk beroperasi secara global memperlancar langkah-langkah, konsolidasi, pembentukan holding company , mergers and acquisitions oleh para pelaku industri terutama yang berinduk di luar negeri untuk dapat meningkatkan efisiensi, memperbesar market share atau untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 151 mendominasi pasar demi meraih pertumbuhan usaha dan memaksimalkan profit perusahaan mereka di Indonesia. Pengaturan dan pengawasan yang tidak dilakukan secara terintegrasi akan dapat menyulitkan upaya pencegahan dan penanganan kasus-kasus pelanggaran yang terjadi di sektor jasa keuangan; Sejalan dengan perkembangan tersebut, konsep pembentukan OJK mengalami dinamika, pergeseran, penyesuaian dan penyempurnaan. Menjadi penting agar seluruh sektor jasa keuangan dapat diatur dan diawasi secara terintegrasi. Agar lebih efektif, pengaturan dan pengawasan tersebut perlu dilakukan oleh satu lembaga, yaitu OJK. Dengan demikian, ruang lingkup OJK yang pembentukannya akan ditetapkan dengan Undang-Undang berkembang menjadi lebih luas, yaitu tidak hanya mencakup sektor perbankan, tetapi termasuk pengaturan dan pengawasan sektor industri jasa keuangan secara keseluruhan; Namun sampai terjadinya Global Crisis yang terutama melanda beberapa negara industri pada tahun 2008 yang berdampak terhadap sektor keuangan di Indonesia, agenda untuk menyatukan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di dalam satu lembaga belum menjadi prioritas nasional yang mendesak untuk dilaksanakan, walaupun sudah diamanatkan oleh undang-undang. Dalam dinamika proses perumusan dan penyiapan RUU OJK, pemikiran untuk tidak mengeluarkan fungsi pengaturan dan pengawasan mikro prudential dari Bank Indonesia memiliki alasan yang kuat. Pertama , melakukan transformasi kelembagaan sangat berisiko sehingga perlu dilakukan secara berhati-hati, karena dapat berdampak terhadap industri jasa keuangan yangberperan sangat strategis dalam sistem perekonomian nasional. Kedua , menyiapkan perangkat hukum, struktur organisasi baru, sumber daya manusiaakan membutuhkan waktu yang tidak sedikit, perencanaan yang matang dan pelaksanaan secara seksama. Setelah lembaga baru terbentuk, perlu disusun prosedur kerja ( Standard Operating Procedure atau SOP) dan disiapkan dukungan anggaran dan logistik yang diperlukan, agar organisasi tersebut dapat beroperasi secara penuh. Ketiga , pengalaman di beberapa negara lain menunjukkan bahwa keberadaan lembaga pengawas industri jasa keuangan yang independen di luar bank sentral atau di luar pemerintah tidaklahmenjadi jaminan tidak akan terjadi permasalahan atau kasus- kasus di sektor jasa keuangan. Contohnya, di Inggris dan di Amerika Serikat; Terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008 menyebabkan pentingnya memprioritaskan pembentukan OJK. Sementara itu, dari segi konsep, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 152 dalam kurun waktu 2004-2008, pembahasan mengenai kedudukan dan bentuk kelembagaan OJK telah melalui due process dan diskusi yang mendalam, baik di lingkungan pemerintah, maupun pada pertemuan-pertemuan ( public hearings ) yang diselenggarakan oleh tim pemerintah dengan berbagai pemangku kepentingan. Berbagai masukan telah diperoleh pemerintah untuk menyempurnakan naskah RUU OJK yang akan diajukan kepada DPR. Pertukaran informasi dan pengalaman mengenai sistem dan kelembagaan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di beberapa negara juga dilakukan oleh pemerintah untuk memperkaya referensi dan menjadi bahan pertimbangandalam penyusunan organisasi OJK; Kendati demikian, pembentukan OJK baru dapat terselesaikan pada tahun 2011 setelah krisis berlalu dan melalui proses pembahasan yang panjang dan meleiahkan. Namun ada hikmah dari proses pembahasan yang cukup lama tersebut. Pembahasan Undang-Undang yang dilakukan secara terburu-buru sering kurang mendalam.Sebaliknya pembentukan UU OJK yang menjadi salah satu proses legislasi terlama di negara kita, telah melalui proses diskusi yang mendalam dan pertimbangan yang matang, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan negara akan suatu lembaga pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan secara terintegrasi. Pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi tersebut sangat dibutuhkan pada masa ini dan di masa yang akan datang, karena:
koordinasi otoritas fiskal, moneter dan sektor keuangan perlu diperkuat;
ii. sumber krisis semakin beragam (perbankan, pasar modal, lembaga keuangan non-bank, fiskal; iii. sektor jasa keuangan saling berhubungan ( interconnected );
iv. konglomerasi keuangan semakin dominan;
struktur produk keuangan semakin kompleks ( hybrid products );
vi. fungsi pengawasan lembaga keuangan dengan fungsi pengelolaan moneter dan fiskal memiliki potensi konflik kepentingan; vii. pemisahan fungsi pengawasan sektor keuangan dari otoritas moneter dan otoritas fiskal sesuai dengan trend global terkini. II. Pengelolaan keuangan OJK OJK adalah lembaga yang dibentuk dan mendapatkan pelimpahan sebagian kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan ( pouvoir public ) untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Pembentukan dan pelimpahan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 153 kekuasaan tersebut tidak tercantum dalam UUD, namun dari perjalanan panjang dan dinamika dalam penyelenggaraan pemerintahan di negara kita, keberadaan lembaga yang bertugas untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan tersebut terbukti constitutionally important . Oleh karena itu, untuk memberikan landasan hukum yang kuat, pembentukan OJK tersebut ditetapkan dengan Undang-Undang; Sebagai bagian dari sistem pemerintahan negara, OJK diamanatkan untuk bertugas mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya, OJK perlu diberikan kedudukan dan status hukum yang sepadan, serta kewenangan, prasarana dan sarana yang diperlukan. Salah satu sarana utama yang diperlukan oleh OJK adalah dana. Berbeda dengan bank sentral yang memiliki sumber pendapatan dari pengelolaan moneter dan sistem pembayaran, OJK tidak mempunyai sumber pendapatan sendiri. Oleh karena itu, OJK memerlukan sumber pendanaan dari iuar.Dana tersebut dapat bersumber dari APBN, maupun dari luar APBN, berupa iuran yang dipungut dari sektor industri yang diawasi oleh OJK; Berkenaan dengan sumber pendanaan OJK ini, setidaknya ada dua pertanyaan mendasar. Pertama, manakah yang lebih baik, apakah OJK dibiayai dari APBN atau semata-mata dari pungutan.Apabila OJK dibiayai dari APBN, alokasi anggaran bagi OJK tersebut akan mengurangi dana APBN yang sudah demikian terbatas untuk membiayai penyelenggaraan tugas kementerian negara dan lembaga pemerintahan lainnya. Sehingga apabila dimungkinkan untuk memperoleh pendanaan dari sumber lain, seyogianya OJK tidak tergantung dari sumber penerimaan dari APBN; Oleh karena itu, muncul pertanyaan kedua, yaitu apabila dana tersebut bersumber dari APBN, apakah pengelolaannya oleh OJK selaku Pengguna Anggaran, harus mengikuti pengelolaan anggaran yang berlaku pada umumnya seragam bagi setiap kementerian negara. Jawabannya adalah tidak harus selalu demikian. Sebagaimana kita fahami bersama bahwa dalam pengelolaan anggaran oleh kementerian negara dan lembaga pemerintahan ditetapkan ketentuan- ketentuan yang pada umumnya seragam mulai dari proses perencanaan dan penyusunan anggaran, sampai pada pelaporan dan pertanggungjawaban. Keseragaman dalam ketentuan pengelolaan keuangan APBN tersebut merupakan penerapan dari asas-asas umum yang dianut dalam Undang-Undang di bidang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 154 keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yaitu Asas Tahunan, Asas Universalitas, Asas Kesatuan dan Asas Spesialitas; Namun di dalam doktrin hukum perbendaharaan negara yang juga dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dikenal asas-asas umum lainnya, yaitu Asas Akuntabilitas berorientasi pada hasil, Asas Profesionalitas, dan Asas Proporsionalitas. Asas-asas ini pada hakekatnya memberikan fleksibilitas bagi pengguna anggaran untuk membelanjakan danayang telah diamanatkan kepadanya untuk menghasilkan ouput yang telah ditetapkan dengan cara yang sebaik-baiknya. Dengan demikian pemberian fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBN kepada OJK sebagaimana ditetapkan dalam UU OJK adalah sejalan dengan semangat anggaran berbasis kinerja yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Sebagai suatu organisasi yang dituntut untuk menjalankan tugasnya secara independen dengan standar profesionalitas yang tinggi, pemberlakuan aturan dan mekanisme yang seragam dengan yang berlaku bagi kementerian negara dapat menjadi kendala dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan operasional OJK. Oleh karena itu prinsip " let manager manages " yang menjadi semangat dalam sistem pengelolaan keuangan negara sesudah dimulai reformasi pada tahun 2003 perlu benar-benar-benar dihayati dalam pengaturan pengelolaan keuangan OJK. Sehingga dalam dokumen usulan anggaran yang diajukan oleh OJK kepada pemerintah untuk memperoleh dana APBN, rencana pengeluaran yang akan dilakukan oleh OJK tidak perlu diuraikan secara terperinci seperti halnyauraian usulan anggaran yang diajukan oleh satuan kerja kementerian negara. Demikian pula pada tahap pelaksanaan anggaran, pencairan anggaran yang bersumber dari APBN dapat dilakukan secara berkala berdasarkan rencana penggunaan dana dan realisasi anggaran untuk masing-masing jenis belanja. Sudah barang tentu, hal ini akan mengurangi informasi yang diperoleh Bendahara Umum Negara atas pengelolaan dana APBN tersebut oleh OJK. Oleh karena itu sangat penting peranan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan keuangan OJK. Karena dari laporan berkala yang wajib disampaikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 155 oleh OJK kepada BPK sebagai auditor negara dan laporan pertanggungjawaban tahunan oleh OJK dapat diperoleh informasi mengenai berbagai pengeluaran- pengeluaran tersebut, dan BPK pada saat memeriksa laporan keuangan OJK, dapat melakukan penelusuran rincian dan bukti-bukti dari setiap pengeluaran. Fleksibilitas dalam proses pengusulan anggaran, pencairan dana, pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran yang demikian pada hakekatnya serupa dengan yang diterapkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang mendapatkan dana untuk menyelenggarakan Public Service Obligation ; Apabila OJK membiayai dirinya dari pungutan, sudah barang tentu tidak diperlukan keterikatan kepada ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kementerian negara. Penerimaan dan pengeluaran iuran dikelola oleh OJK terpisah dari APBN. OJK memiliki kewenangan untuk mengatur sistem pengelolaan keuangan yang berlaku. Namun demikian, gambaran secara ringkas mengenai kondisi keuangan OJK perlu disampaikan dalam Nota Keuangan sebagai bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara dan informasi kepada publik yang mencerminkan asas keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; Oleh karena itu, menyangkut pengenaan pungutan oleh OJK, hal utama yang perlu menjadi pertimbangan adalah kewajaran mengenai besarnya iuran tersebut, dan penerapan asas proporsionalitas dalam pengenaannya terhadap masing-masing sektor industri. Karena pada akhirnya setiap pungutan kepada sektor industri, akan menjadi tambahan biaya bagi industri yang dapat dialihkan menjadi beban konsumen. Penutup Sebagai ahli, berusaha untuk memberikan keterangan seobyektif mungkin. Walaupun sebagai mantan Ketua Tim Pelaksana Persiapan Pembentukan OJK, sulit bagi kami untuk tidak terpengaruh suasana hati dalam memberikan keterangan ini. Mengingat penyiapan organisasi OJK adalah tugas yang diamanahkan kepada kami menjelang akhir pengabdian di Kementerian Keuangan. Kami membayangkan, alangkah sedihnya apabila organisasi yang baru saja dibentuk harus dirombak, tanpa alasan yang kuat dan mendesak, padahal keberadaannya pada hakikatnya sejalan dengan semangat UUD untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan dapat berperan sangat positif untuk kemajuan sektor jasa keuangan di negara kita. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 156 Menurut ahli akan lebih baik, apabila kita memprioritaskan penuntasan proses transformasi kelembagaan dengan menyelesaikan agenda amandemen beberapa undang-undang di sektor keuanganyang sangat krusial untuk penataan dan harmonisasi pengaturan di sektor jasa keuangan. Demikian pula meiakukan secara internal, bagi OJK, menuntaskan proses transformasi kelembagaan, dengan melengkapi berbagai Peraturan OJK dan SOP yang diperlukan bagi pelaksanaan kegiatan operasional, manajemen SDM dan keuangan, serta sistem dan teknologi informasi dan komunikasi; Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta ke 9 (1966-1977) pernah mengatakan: "Manusia tanpa cita-cita adalah mati, cita-cita tanpa kerja adalah mimpi dan idaman yang menjadi kenyataan adalah kebahagian". Proses transformasi kelembagaan tidaklah mudah dan tidak ada organisasi yang sempurna, tidak terkecuali institusi OJK yang masih baru. Namun dengan bekerja, bekerja dan bekerja dengan sebaik-baiknya, niscaya OJK akan dapat menjadi lembaga idaman;
Dr. Harjono, S.H., MCL Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan Dari Aspek Konstitusi OJK merupakan lembaga negara baru yang tugasnya melakukan pengaturan dan pengawasan pada lembaga keuangan, maka konstitusionalitasnya seringkali dikaitkan dengan independensi bank sentral, sebagaimana diatur oleh Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945. Ahli berpendapat bahwa perlu untuk dikaji posisi bank sentral yang sebenarnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 karena dengan diketahui posisi bank sentral, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23D UUD 1945 maka secara langsung pula dapat diketahui kedudukan OJK secara hukum. Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mengatur lembaga negara di dalamnya, antara lain MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, KY, KPU, yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun di samping itu, disebut juga adanya lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang pembentukannya diserahkan kepada Presiden, yang akan diatur oleh Undang-Undang, yaitu Dewan Pertimbangan Presiden, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara memiliki sebuah bank sentral. Jadi hubungan antara bank sentral dengan negara adalah hubungan kepemilikan. Bank sentral tidak dimaksudkan sebagai lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 157 negara untuk melaksanakan fungsi utama kenegaraan, sebagaimana dikenal kekuasaan pembuat undang-undang legislatif, eksekutif, dan kekuasaan yudisial; Meskipun bank sentral adalah lembaga negara dalam pengertian lembaga yang dibentuk oleh kekuasaan negara, dan mempunyai kewenangan publik, namun kedudukannya berbeda dengan lembaga negara MPR, DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi, KY, dan KPU. Sebagai Contoh untuk menyebut keberadaan Mahkamah Konstitusi lembaga negara yang melangsungkan fungsi utama kenegaraan lainnya, Undang-Undang Dasar tidak menggunakan kata memiliki Mahkamah Konstitusi, sebagaimana digunakan untuk menyebut bank sentral. Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyatakan bahwa negara memiliki Mahkamah Konstitusi dan lain sebagainya. Bank sentral lebih sebagai lembaga yang kegiatannya dalam bidang perbankan yang susunan, kedudukan dan kewenangan, tanggung jawab, dan independency-nya diatur Undang-Undang. Artinya, bank sentral adalah lembaga bentukan negara yang kewenangan dan independency - nya ditentukan oleh Undang-Undang dan bukan Undang-Undang Dasar 1945, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 menentukan hal apa saja yang perlu diatur dalam Undang-Undang tentang lembaga bank sentral tersebut; Frasa negara memiliki satu bank sentral dalam Pasal 23D UUD 1945 adalah tepat, tetapi tidak tepat untuk menyebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara memiliki MPR, DPR, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil studi dengan memperbandingkan konstitusi negara-negara lain, tidak menemukan ketentuan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pengaturan bank sentral yang dicantumkan dalam pasal konstitusi. Federal Reserve Bank of New York, bank terbesar di dunia yang sangat berpengaruh dalam perekonomian dunia tidak diatur dalam konstitusi Amerika Serikat. Bahkan untuk kurun waktu yang lama, Amerika Serikat tidak mempunyai bank sentral. Federal Reserve Bank of New York sebagai bank sentral Amerika Serikat baru dibentuk dengan undang-undang pada masa pemerintahan Presiden Woodrow Wilson tahun 1931, padahal sejak 1778 Konstitusi Amerika Serikat sudah berlaku; Dari kajian ini tampak jelas bahwa bank sensral meskipun statusnya adalah lembaga negara, artinya dibentuk oleh kewenangan publik dan untuk melaksanakan kekuasaan publik, namun bukanlah sebuah lembaga konstitusi yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi utama alat kelengkapan negara. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 158 Independency bank sentral dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebut dalam Pasal 23D yang dari rumusan pasal tersebut sangat jelas bahwa isinya atau content -nya akan ditentukan oleh Undang-Undang dan bukan ditentukan Undang- Undang Dasar 1945; Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai pilihan kata yang bervariasi untuk menggambarkan sifat kewenangan yang dimiliki oleh satu lembaga negara yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23D digunakan kata independency untuk bank sentral. Pasal 23E digunakan kata bebas dan mandiri untuk BPK. Pasal 24, kata kekuasaan yang merdeka atau kekuasaan kehakiman . Pasal 22E dengan kata mandiri untuk KPU dan Pasal 24 digunakan kata mandiri untuk KY. Dari pilihan kata yang berbeda-beda yang digunakan itu ada makna yang sama terkandung dalam kata pilihan, yaitu bahwa satu lembaga negara dalam menjalankan kewenangannya wajib untuk tidak dipengaruhi oleh pihak luar manapun dan pihak luar dilarang untuk memengaruhi lembaga negara tersebut ketika lembaga negara yang bersangkutan melaksanakan kewenangan. Kewenangan yang tidak boleh dipengaruhi oleh pihak luar tersebut adalah kewenangan inti, yaitu kewenangan fungsional, artinya kewenangan yang ditempatkan dalam relasi dengan kewenangan fungsional yang dimiliki oleh lembaga negara yang lain; Prinsip bahwa kewenangan adalah terbatas dan prinsip kemandirian dan kebebasan dalam menjalankan kewenangan fungsionalnya adalah prinsip yang mendasari good governance atau tata pemerintahan yang baik, yang tujuannya adalah untuk menghindari abuse of power pemegang kekuasaan dan untuk mempersempit moral hazard . Hal itu sangat sejalan dengan peringatan Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely ; Conselor democracy state ( negara hukum) good governance ( pemerintahan yang baik), itu semuanya adalah konsep yang di dalamnya mengandung unsur untuk menghindari konsentrasi kemenangan, yaitu dengan cara melakukan pendistribusian kewenangan fungsional sangat terbatas, serta untuk menjamin bahwa setiap produk kewenangan terhindar dari interact pihak tertentu; Apakah dari prinsip independency bank sentral, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 tersebut harus melekat pada kewenangan bank sentral untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan bank lainnya. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 159 konstitusional, artinya kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 Undang-Undang MK, sehingga akan menjadi kerugian konstitusional kalau pengawasan tersebut tidak dilaksanakan. Sebagaimana telah ternyata sebelumnya bahwa independency bank sentral menurut Pasal 23D akan diatur Undang-Undang, sehingga independency bukan hak konstitusional, dalam arti hak yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, tetapi yang akan ditentukan dan diatur oleh Undang-Undang. Karenanya, kalaupun seandainya kewenangan pengawasan harus melekat kepada independency , maka yang akan mengatur adalah Undang-Undang dan bukan Undang-Undang Dasar 1945; Perbandingan Penguasaan Lembaga Keuangan Di Beberapa Negara Tentang pengaturan struktur pengawasan untuk industri keuangan, termasuk lembaga perbankan yang dipraktikkan oleh negara-negara di dunia, Federal Reserve Bank of San Fransisco membedakan dalam 3 pendekatan, yakni:
Single agent . Pengawas tunggal untuk mengawasi industri keuangan, termasuk bank, asuransi, dan pasar modal;
Separate agencies . Pengawas yang terpisah untuk setiap industri keuangan;
Pengawasan dengan struktur hybrid atau penggabungan antara pendekatan nomor 1 dan nomor 2; Dalam masing-masing pendekatan tersebut, peranan dari bank sentral negara bervariasi antara pendekatan yang satu dengan yang lain. Pendekatan pengawasan tunggal dilakukan oleh Jepang dan Singapura. Di Jepang pengawasan dilakukan oleh GPSA yang didirikan tahun 1998 setelah banyak bank besar yang gagal dan karena timbulnya ketidakpercayaan publik kepada kementerian keuangan. GPSA adalah otoritas pengawas keuangan yang utama yang berada di luar bank sentral dan kewenangannya semakin bertambah dan kuat semenjak tahun 2001; Singapura yang menganut otoritas tunggal yang dilaksanakan oleh Monetary Authority of Singapore , namun berbeda dengan Jepang, Monetary Authority of Singapore juga melakukan fungsi bank sentral. Pendekatan pengawasan oleh otoritas yang terpisah dipraktikkan di Tiongkok dan India. Industri keuangan bank, asuransi, dan pasar modal di India dan Tiongkok diawasi oleh otoritas yang berbeda-beda. Pendekatan hybrid mengombinasikan elemen pengawasan satu otoritas dan elemen pengawasan terpisah dipraktikkan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 160 Malaysia diawasi oleh otoritas yang sama. Sedangkan untuk industri pasar modal diawasi oleh otoritas yang lain; Pada tahun 1999, Korea Selatan mendirikan Korean Financial Supervisory Service (KFSS) melalui sebuah Undang-Undang. Setelah adanya krisis moneter yang melanda Asia. KFSS dibentuk dari kombinasi empat otoritas pengawas yang sebelumnya ada di Korea, yakni 1) banking supervisory authority ;
security supervisory board ;
insurance supervisory board ; dan
nonbank supervisory authority . Sejak tahun 2008 setelah melakukan reorganisasi, KFSS diawasi oleh financial service commission . Kewenangan financial service commission sebelumnya dimiliki oleh Kementerian Keuangan Korea. Berdasarkan KFSS, keberadaan KFSS berada di luar bank sentral; Dari uraian dan perbandingan dalam praktik negara lain dapat ditentukan fakta hukum sebagai berikut.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, bank sentral adalah suatu fungsi yang akan diatur oleh Undang-Undang;
Bank sentral adalah lembaga negara yang dimiliki oleh negara;
Sebagai lembaga negara, bank sentral kedudukannya sangat berbeda dengan lembaga negara utama yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar;
Independency bank sentral akan diatur dan ditentukan kontennya oleh Undang-Undang. Tidak terdapat ketentuan Undang-Undang Dasar bahwa independency bank sentral haruslah disertai hak pengawasan oleh bank sentral kepada lembaga keuangan bank. Undang-Undanglah yang akan mengatur, apakah bank sentral diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada lembaga keuangan bank atau tidak diberi kewenangan untuk melaksanakan pengawasan kepada lembaga keuangan bank; Penyatuan pengawasan atau pemisahan pengawasan terhadap lembaga keuangan, baik bank, asuransi, dan pasar modal adalah kewenangan pembuat Undang-Undang untuk mengaturnya. Pembuat Undang-Undang yang terdiri atas Presiden dan DPR adalah lembaga yang tepat untuk mengatur sistem pengawasan kepada lembaga keuangan karena kedua lembaga, yaitu Presiden dan DPR terlibat secara langsung dalam urusan bidang keuangan negara. Sehingga mempunyai informasi dan data yang akurat dan mengetahui pilihan yang baik untuk mengaturnya dan bukan ditentukan oleh lembaga peradilan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 161 Pembuatan Undang-Undang berhak dan bahkan wajib untuk melakukan perubahan apabila ternyata dalam pelaksanaannya diperlukan perubahan pengaturan atas pengawasan lembaga keuangan agar supaya tercipta tata pengawasan yang lebih baik dalam pengelolaan lembaga keuangan demi terciptanya kestabilan keuangan dan perlindungan kepada konsumen; Perubahan tidak dapat dilakukan apabila peradilan yang menetapkan sistem pengawasan yang harus diterapkan karena dasarnya adalah sistem yang sah dan sistem yang melanggar hukum dan melakukan perubahan untuk penyempurnaan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Perubahan sistem pengawasan dilakukan oleh banyak negara pada saat mengalami krisis keuangan global yang pernah terjadi di sekitar tahun 1997 dan di awal tahun 2000 sekitar tahun 2008; Kesimpulan Ahli berkesimpulan bahwa keberadaan OJK tidak bertentangan secara konstitusional dengan pengaturan bank sentral yang terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 dan keberadaannya diberlakukan untuk menciptakan lembaga keuangan yang sehat serta diperlukan bagi perlindungan konsumen lembaga keuangan di Indonesia; Isu konstitusionalitas lainnya tentang OJK menyangkut kewenangan untuk melakukan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan jasa keuangan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang OJK. Ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Ahli berpendapat bahwa ketentuan pasal ini bermaksud untuk memberi dasar hukum yang jelas dan demi kepastian hukum atas pemungutan yang dilakukan dengan alasan untuk keperluan negara. Pasal ini tidak bermaksud untuk melarang negara melakukan... yang bersifat memaksa kalau memang negara memerlukannya. Dalam praktik, pemungutan ini memang telah dilakukan oleh negara dalam berbagai bentuk, sebagai contoh adalah apa yang disebut sebagai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam transaksi pemindahan hak atas tanah dan bangungan, nilai BPHTB ini dapat dikatakan sangatlah besar karena 5% dari nilai transaksi; Ketentuan Pasal 23A menggunakan rumusan diatur dengan undang- undang yang ditafsirkan harus ada Undang-Undang tersendiri atau khusus yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 162 mengaturnya yang berbeda dengan rumusan diatur dalam Undang-Undang yang pengaturannya dapat tersebar dalam berbagai Undang-Undang. Dalam kenyataannya sampai sekarang, belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur pungutan lain yang bersifat memaksa. Ahli berpendapat bahwa tujuan adanya Undang-Undang tersendiri tidaklah hanya bersifat membuat perbedaan formal belaka, yaitu apakah telah terpenuhinya adanya Undang-Undang tersendiri, tetapi juga menyangkut persoalan-persoalan substantif dari Undang-Undang tersebut; Undang-Undang OJK memungkinkan OJK untuk melakukan pungutan dan jelas bahwa pungutan digunakan untuk keperluan negara. Karena OJK dalam bernegara yang melakukan tugas negara, yaitu tugas yang tidak dapat secara hukum dilakukan oleh lembaga yang bukan lembaga negara; Dari segi kebutuhan, pungutan tersebut dibatasi jumlah yang diperlukan. Artinya, tidak memungut tanpa batas, tanpa dasar berapa jumlah yang akan dipungut. Karena jumlahnya sebatas jumlah yang diperlukan untuk anggaran tahunan yang harus disusun lebih dulu dan mendapat persetujuan DPR. Pasal 36 Undang-Undang OJK menegaskan apabila hasil pungutan melebihi kebutuhan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara. OJK sebagai lembaga negara harus membuat laporan keuangan secara transparan dan akuntabel, sebagaimana diharuskan oleh undang-undang; Secara substansi, aturan keuangan OJK telah mempertimbangkan pengelolaan keuangan negara yang baik. Ahli berpendapat bahwa Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya perlu formalitas adanya Undang-Undang tersendiri saja, tetapi juga substansi, yaitu menyangkut pengelolaan keuangan negara yang jelas peruntukannya, artinya transparan dan akuntabel. Undang- Undang OJK yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan telah mempertimbangkan transparansi, akuntabilitas, serta pembatasan yang rasional, proporsional tentang jumlah yang boleh dipungut; Dengan demikian, meskipun Undang-Undang yang dimaksud oleh Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 belum ada, namun substansi yang seharusnya terdapat pada undang-undang tersebut telah diakomodasi dalam Undang-Undang OJK. Apabila Mahkamah menetapkan bahwa pemungutan keuangan yang terdapat dalam Undang-Undang OJK dan pengelolaannya bertentangan dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 163 Undang-Undang Dasar 1945, hanya sekadar bahwa belum dibuatnya Undang- Undang secara khusus dan harus dibatalkan, maka akibatnya akan banyak pungutan-pungutan lainnya, antara lain BPHTB harus juga batal; Sebagaimana ahli uraikan di atas maka sebagai penafsir Konstitusi, Mahkamah dapat menambahkan hal-hal yang diperlukan agar ketentuan tentang keuangan yang terdapat dalam Undang-Undang OJK menjadi sempurna dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, atau melakukan penafsiran conditionally constitutional pada aspek substansinya. Sementara itu, Mahkamah dapat memberikan kriteria konstitusionalitas terhadap Undang-Undang yang diperlukan untuk melaksanakan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 dan hal ini pernah dilakukan oleh Mahkamah dalam beberapa kali putusannya, termasuk mengenai BHP dan juga mengenai peradilan Tipikor;
Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M. I. Ada empat isu pokok yang perlu ditanggapi terlebih dahulu, yaitu:
Pemisahan kewenangan stabilitas moneter dan pengawasan perbankan serta penggabungan pengawasan antara sistem perbankan dan lembaga keuangan non bank;
Independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK;
Pembiayaan OJK (APBN dan pungutan dari pelaku pasar);
Pelaporan dan akuntabilitas OJK. II. Mengenai isu pertama, pemisahan kewenangan, secara mendasar kita harus memahami pertumbuhan sektor perbankan dan jasa keuangan sebagai sarana kebutuhan kehidupan modern yang berada pada era globalisasi. Lebih-lebih bagi Indonesia, karena tahun depan ia bersama dengan negara-negara ASEAN lain akan memasuki ASEAN Market Community . Sementara itu lahirnya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan konglomerasi kepemilikan di sektor keuangan telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan. Pembentukan OJK dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik ( good governance ), yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran ( fairness ). Khusus mengenai pengawasan di bidang perbankan, OJK memiliki tugas yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 164 berbeda dari Bank Indonesia ("Bl") sebagai bank sentral seperti diamanatkan oleh UUD 1945, sebagaimana yang telah diubah ("UUD 1945"). Dalam situasi demikian, peran sektor perbankan dan keuangan menjadi amat penting. Oleh sebab itu diperlukan satu konsep yang jelas; Apa yang dilakukan UU OJK adalah melakukan pemisahan pengawasan terhadap bank, yang tidak lagi dilakukan oleh Bl. Pengawasan oleh pihak di luar bank sendiri dimaksudkan untuk menjaga kualitas pihak yang diawasi demi kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan konsumen yang berurusan dengan bank. Perlindungan konsumen adalah salah satu fungsi pengawasan OJK; Selanjutnya jasa keuangan harus dibuat terintegrasi. Itulah filosofinya mengapa OJK bukan saja mengawasi bank, tetapi juga sektor-sektor non bank, dalam hal ini pasar modal asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan serta lembaga keuangan lain; Jika sektor perbankan dan sektor keuangan non bank sehat, transaksi bisnis yang lain akan lancar pula, nasional maupun transnasional. Indonesia yang berekonomi kuat hanya akan lahir, jika sektor keuangan dan perbankan juga dilandasi sistem pengawasan yang kuat; III. Dalam masalah kedua, yang berkaitan dengan independensi, menurut Para Pemohon, hanya Bl yang berhak memakai status "independen" karena ada "cantolannya" ada di Pasal 23D UUD 1945. OJK samasekali tidak memiliki "cantolan" dalam UUD 1945. Pada hemat ahli, Pemohon telah menggunakan alurpikir yang salah. Sebab "independen" bukanlah istilah yang dapat dimonopoli. Jadi dapat saja satu lembaga menyatakan dirinya "independen" tanpa harus melihat ada pegangannya dalam UUD 1945. Komisi Pengawas Pesaingan Usaha, misalnya mendeklarasikan dirinya sebagai "suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. [Pasal 30 ayat (2) UU No.5/1999] Demikian juga bagi OJK, independen di sini berarti bebas dari pengaruh siapapun, terutama Pemerintah; IV. Mengenai isu Pembiayaan (Penggunaan APBN dan Pungutan OJK), OJK sebagian dibiayai oleh dana dari APBN dan selebihnya dari dana yang dipungut dari masyarakat yang merupakan pengguna jasa OJK [Pasal (2) UU OJK]. Oleh Para Pemohon, aturan dalam UU OJK ini dipersoalkan karena Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 165 mereka khawatir akan terjadi " abuse of power " Sebagai WNI mereka tidak mau APBN menjadi tergerus akibat digunakan oleh OJK. Tentang hak OJK untuk memungut, para Pemohon bertanya*. "Bagaimana mungkin lembaga yang melakukan pengawasan memungut dari yang diawasinya?" (butir 66 Permohonan). Mengenai APBN, Pemohon tampak bersikap a priori , padahal kalau dibaca Pasal 38 UU OJK, jelas diatur tentang masalah pertanggungjawaban — yang akan diuraikan di bawah. Otoritas di beberapa negara antara lain di Hongkong, Estonia dan Slovakia juga menerapkan pungutan kepada para pelaku kegiatan di sektor jasa keuangan dalam rangka membiayai operasionalnya; Filosofi dari pendanaan ini adalah bahwa lembaga resmi negara, yang independen 1) dapat dibiayai dari APBN dan 2) dengan kekuatan Undang- Undang dibenarkan memungut dengan pertanggungjawaban dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU OJK; Pungutan menjadi sumber dana operasional OJK, sehingga segala kegiatan yang berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan dapat dilakukan dengan lebih independen, mengingat secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah. Pungutan terhadap pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan yang dilakukan OJK sudah sejalan dengan UUD 1945 karena pungutan tersebut didasarkan pada Undang- Undang. V. Isu terakhir berkaitan dengan sistem Pelaporan dan Akuntabilitas. Secara filosofis pelaporan dan akuntabilitas ini harus diikuti dengan ketentuan- ketentuan dalam Pasal 38 UU OJK yang dijabarkan dalam 10 ayat, menyangkut mengenai: - laporan keuangan serta laporan kegiatan; - laporan ke DPR dan Presiden Rl dengan standar dan kebijakan akuntansi yang ditetapkan OJK; - audit yang dilakukan oleh BPK; dan pengumuman laporan tahunan OJK kepada publik melalui media; Pengaturan rinci itu menurut saya telah cukup menjawab kekhawatiran para Pemohon dengan sekalian memahami filosofi konsep pelaporan dan akuntabilitas OJK tersebut; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 166 VI. Secara umum saya ingin menyampaikan bahwa permohonan tidak ditopang argumentasi yang kuat, juga tidak didukung bukti. Berbagai pernyataan yang terdapat dalam permohonan bersifat simplistik, menggampangkan persoalan, dangkal, a priori dan kategori lain semacam itu. Dengan demikian semua tuntutan dalam permohonan sangat patut untuk ditolak.
Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010.
Relevan terhadap
Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan:
Pendapatan negara dan hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri.
Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional.
Pajak dalam negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, cukai, dan pajak lainnya.
Pajak perdagangan internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari bea masuk dan bea keluar. Ditjen Peraturan Perundang-undangan 6. Cost recovery adalah pengembalian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka operasi perminyakan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan menggunakan hasil produksi minyak dan/atau gas bumi (migas) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Penerimaan hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari sumbangan oleh pihak swasta dalam negeri dan pemerintah daerah serta sumbangan oleh pihak swasta luar negeri dan pemerintah luar negeri yang tidak perlu dibayar kembali, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus, dialokasikan untuk mendanai kegiatan tertentu.
Belanja negara adalah semua pengeluaran negara yang digunakan untuk membiayai belanja Pemerintah Pusat dan transfer ke daerah.
Belanja Pemerintah Pusat menurut organisasi adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan kepada kementerian negara/lembaga (K/L), sesuai dengan program-program Rencana Kerja Pemerintah yang akan dijalankan.
Belanja Pemerintah Pusat menurut fungsi adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata dan budaya, fungsi agama, fungsi pendidikan, dan fungsi perlindungan sosial.
Belanja Pemerintah Pusat menurut jenis adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk membiayai belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Ditjen Peraturan Perundang-undangan 13. Belanja barang adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk membiayai pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa, baik yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan, dan pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat, serta belanja perjalanan.
Belanja modal adalah belanja Pemerintah Pusat yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, serta dalam bentuk fisik lainnya.
Pembayaran bunga utang adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk membayar kewajiban atas penggunaan pokok utang ( principal outstanding ) baik utang dalam negeri maupun luar negeri, yang dihitung berdasarkan ketentuan dan persyaratan utang yang sudah ada dan utang baru, termasuk untuk biaya terkait dengan pengelolaan utang.
Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat.
Subsidi energi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan atau lembaga yang memproduksi dan/atau menjual bahan bakar minyak (BBM), bahan bakar nabati (BBN), Liquefied Petroleum Gas (LPG), dan tenaga listrik sehingga harga jualnya terjangkau oleh masyarakat yang membutuhkan. Ditjen Peraturan Perundang-undangan 19. Bantuan sosial adalah semua pengeluaran negara dalam bentuk transfer uang/barang yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya berbagai risiko sosial.
Belanja lain-lain adalah semua pengeluaran atau belanja Pemerintah Pusat yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam jenis-jenis belanja sebagaimana dimaksud pada angka 12 (dua belas) sampai dengan angka 19 (sembilan belas), dan dana cadangan umum.
Transfer ke daerah adalah pengeluaran negara dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus, dan dana penyesuaian.
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Dana bagi hasil, selanjutnya disingkat DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Ditjen Peraturan Perundang-undangan 25. Dana alokasi khusus, selanjutnya disingkat DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Dana otonomi khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang dan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dana penyesuaian adalah dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan Pemerintah Pusat dan membantu mendukung percepatan pembangunan di daerah.
Sisa lebih pembiayaan anggaran, selanjutnya disingkat Silpa, adalah selisih lebih realisasi pembiayaan atas realisasi defisit anggaran yang terjadi.
Pembiayaan defisit anggaran adalah semua jenis penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk menutup defisit anggaran negara dalam APBN dan kebutuhan pengeluaran pembiayaan. Ditjen Peraturan Perundang-undangan 31. Privatisasi adalah penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Surat berharga negara, selanjutnya disingkat SBN, meliputi surat utang negara dan surat berharga syariah negara.
Surat utang negara, selanjutnya disingkat SUN, adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara.
Surat berharga syariah negara, selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut sukuk negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.
Dana Investasi Pemerintah adalah dukungan Pemerintah dalam bentuk kompensasi finansial dan/atau kompensasi dalam bentuk lain yang diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Usaha.
Restrukturisasi BUMN adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN, yang merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan. Ditjen Peraturan Perundang-undangan 38. Kewajiban penjaminan adalah kewajiban yang menjadi beban Pemerintah akibat pemberian jaminan kepada BUMN dan/atau BUMD dalam hal BUMN dan/atau BUMD dimaksud tidak dapat membayar kewajibannya kepada kreditor sesuai perjanjian pinjaman.
Pembiayaan luar negeri neto adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan pinjaman luar negeri yang terdiri atas pinjaman program dan pinjaman proyek dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri.
Pinjaman program adalah pinjaman yang diterima dalam bentuk tunai ( cash financing ) dimana pencairannya mensyaratkan dipenuhinya kondisi tertentu yang disepakati kedua belah pihak seperti matrik kebijakan ( policy matrix ) atau dilaksanakannya kegiatan tertentu.
Pinjaman proyek adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu kementerian negara/lembaga dan/atau pemerintah daerah dan BUMN melalui penerusan pinjaman yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 dan berdasarkan Undang- Undang ini.
Anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga dan alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, termasuk gaji pendidik, tetapi tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Persentase anggaran pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara.
Tahun anggaran 2010 adalah masa 1 (satu) tahun terhitung mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember 2010. Ditjen Peraturan Perundang-undangan (1) Anggaran pendapatan negara dan hibah tahun anggaran 2010 diperoleh dari sumber-sumber:
penerimaan perpajakan;
penerimaan negara bukan pajak; dan
penerimaan hibah.
Penerimaan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan sebesar Rp742.738.045.000.000,00 (tujuh ratus empat puluh dua triliun tujuh ratus tiga puluh delapan miliar empat puluh lima juta rupiah).
Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b direncanakan sebesar Rp205.411.304.114.000,00 (dua ratus lima triliun empat ratus sebelas miliar tiga ratus empat juta seratus empat belas ribu rupiah).
Penerimaan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c direncanakan sebesar Rp1.506.766.000.000,00 (satu triliun lima ratus enam miliar tujuh ratus enam puluh enam juta rupiah).
Jumlah anggaran pendapatan negara dan hibah tahun anggaran 2010 sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) direncanakan sebesar Rp949.656.115.114.000,00 (sembilan ratus empat puluh sembilan triliun enam ratus lima puluh enam miliar seratus lima belas juta seratus empat belas ribu rupiah).
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran. ...
Kepelabuhanan.
Relevan terhadap
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEPELABUHANAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan ditjen Peraturan Perundang-undangan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi. 2. Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan intra-dan/atau antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah. 3. Tatanan Kepelabuhanan Nasional adalah suatu sistem kepelabuhanan yang memuat peran, fungsi, jenis, hierarki pelabuhan, Rencana Induk Pelabuhan Nasional, dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra-dan antarmoda serta keterpaduan dengan sektor lainnya. 4. Pelabuhan Utama adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri dan internasional, alih muat angkutan laut dalam negeri dan internasional dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi. 5. Pelabuhan Pengumpul adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah menengah, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi. 6. Pelabuhan Pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan dalam provinsi. 7. Pelabuhan Laut adalah pelabuhan yang dapat digunakan untuk melayani kegiatan angkutan laut dan/atau angkutan penyeberangan yang terletak di laut atau di sungai. ditjen Peraturan Perundang-undangan 8. Pelabuhan Sungai dan Danau adalah pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan sungai dan danau yang terletak di sungai dan danau. 9. Penyelenggara Pelabuhan adalah otoritas pelabuhan atau unit penyelenggara pelabuhan. 10. Otoritas Pelabuhan ( Port Authority ) adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan yang diusahakan secara komersial. 11. Unit Penyelenggara Pelabuhan adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, pengawasan kegiatan kepelabuhanan, dan pemberian pelayanan jasa kepelabuhanan untuk pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial. 12. Angkutan Laut adalah kegiatan angkutan yang menurut kegiatannya melayani kegiatan angkutan laut. 13. Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya. 14. Angkutan Sungai dan Danau adalah kegiatan angkutan dengan menggunakan kapal yang dilakukan di sungai, danau, waduk, rawa, banjir kanal, dan terusan untuk mengangkut penumpang dan/atau barang yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan sungai dan danau. 15. Rencana Induk Pelabuhan Nasional adalah pengaturan ruang kepelabuhanan nasional yang memuat tentang kebijakan pelabuhan, rencana lokasi dan hierarki pelabuhan secara nasional yang merupakan pedoman dalam penetapan lokasi, pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan pelabuhan. 16. Rencana Induk Pelabuhan adalah pengaturan ruang pelabuhan berupa peruntukan rencana tata guna tanah dan perairan di Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan 17. Daerah Lingkungan Kerja adalah wilayah perairan dan daratan pada pelabuhan atau terminal khusus yang digunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan. 18. Daerah Lingkungan Kepentingan adalah perairan di sekeliling Daerah Lingkungan Kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran. 19. Terminal adalah fasilitas pelabuhan yang terdiri atas kolam sandar dan tempat kapal bersandar atau tambat, tempat penumpukan, tempat menunggu dan naik turun penumpang, dan/atau tempat bongkar muat barang. 20. Terminal Khusus adalah terminal yang terletak di luar Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan terdekat untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya. 21. Terminal untuk Kepentingan Sendiri adalah terminal yang terletak di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya. 22. Pengelola Terminal Khusus adalah badan usaha tertentu sesuai dengan usaha pokoknya. 23. Kolam Sandar adalah perairan yang merupakan bagian dari kolam pelabuhan yang digunakan untuk kepentingan operasional menyandarkan/menambatkan kapal di dermaga. 24. Kolam Pelabuhan adalah perairan di depan dermaga yang digunakan untuk kepentingan operasional sandar dan olah gerak kapal. 25. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. 26. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. ditjen Peraturan Perundang-undangan 27. Hak Pengelolaan Atas Tanah adalah hak yang diberikan kepada Pemerintah, pemerintah daerah, atau badan usaha milik negara yang dapat digunakan untuk kepentingan pihak lain. 28. Syahbandar adalah pejabat Pemerintah di pelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran. 29. Badan Usaha Pelabuhan adalah badan usaha yang kegiatan usahanya khusus di bidang pengusahaan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya. 30. Konsesi adalah pemberian hak oleh penyelenggara pelabuhan kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk melakukan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan tertentu dalam jangka waktu tertentu dan kompensasi tertentu. 31. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi. 32. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 33. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 34. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan pelayaran. Pasal 2 Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai Tatanan Kepelabuhanan Nasional, Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan, penyelenggaraan kegiatan di pelabuhan, pembangunan dan pengoperasian pelabuhan, terminal khusus dan terminal untuk kepentingan sendiri, penarifan, pelabuhan dan terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri, dan sistem informasi pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan BAB II TATANAN KEPELABUHANAN NASIONAL Bagian Kesatu Umum Pasal 3 (1) Tatanan Kepelabuhanan Nasional diwujudkan dalam rangka penyelenggaraan pelabuhan yang andal dan berkemampuan tinggi, menjamin efisiensi, dan mempunyai daya saing global untuk menunjang pembangunan nasional dan daerah yang ber-Wawasan Nusantara. (2) Tatanan Kepelabuhanan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem kepelabuhanan secara nasional yang menggambarkan perencanaan kepelabuhanan berdasarkan kawasan ekonomi, geografi, dan keunggulan komparatif wilayah, serta kondisi alam. (3) Tatanan Kepelabuhanan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
peran, fungsi, jenis, dan hierarki pelabuhan;
Rencana Induk Pelabuhan Nasional; dan
lokasi pelabuhan. Bagian Kedua Peran, Fungsi, Jenis dan Hierarki Pelabuhan Pasal 4 Pelabuhan memiliki peran sebagai:
simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hierarkinya;
pintu gerbang kegiatan perekonomian;
tempat kegiatan alih moda transportasi;
penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan;
tempat distribusi, produksi, dan konsolidasi muatan atau barang; dan
mewujudkan Wawasan Nusantara dan kedaulatan negara. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 5 Pelabuhan berfungsi sebagai tempat kegiatan:
pemerintahan; dan
pengusahaan. Pasal 6 (1) Jenis pelabuhan terdiri atas:
pelabuhan laut; dan
pelabuhan sungai dan danau. (2) Pelabuhan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk melayani:
angkutan laut; dan/atau
angkutan penyeberangan. (3) Pelabuhan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a secara hierarki terdiri atas:
pelabuhan utama;
pelabuhan pengumpul; dan
pelabuhan pengumpan. Bagian Ketiga Rencana Induk Pelabuhan Nasional Paragraf 1 Umum Pasal 7 (1) Rencana Induk Pelabuhan Nasional yang merupakan perwujudan dari Tatanan Kepelabuhanan Nasional digunakan sebagai pedoman dalam penetapan lokasi, pembangunan, pengoperasian, pengembangan pelabuhan, dan penyusunan Rencana Induk Pelabuhan. (2) Rencana Induk Pelabuhan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kebijakan pengembangan pelabuhan secara nasional untuk jangka panjang. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 8 (1) Rencana Induk Pelabuhan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) memuat:
kebijakan pelabuhan nasional; dan
rencana lokasi dan hierarki pelabuhan. (2) Menteri menetapkan Rencana Induk Pelabuhan Nasional untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. (3) Dalam menetapkan Rencana Induk Pelabuhan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan menteri yang terkait dengan kepelabuhanan. (4) Rencana Induk Pelabuhan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. (5) Dalam hal terjadi perubahan kondisi lingkungan strategis akibat bencana yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Rencana Induk Pelabuhan Nasional dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Paragraf 2 Kebijakan Pelabuhan Nasional Pasal 9 Kebijakan pelabuhan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a memuat arah pengembangan pelabuhan, baik pelabuhan yang sudah ada maupun arah pembangunan pelabuhan yang baru, agar penyelenggaraan pelabuhan dapat saling bersinergi dan saling menunjang antara satu dan lainnya. Paragraf 3 Rencana Lokasi dan Hierarki Pelabuhan Pasal 10 (1) Rencana lokasi pelabuhan yang akan dibangun disusun dengan berpedoman pada kebijakan pelabuhan nasional. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Rencana lokasi pelabuhan yang akan dibangun harus sesuai dengan:
rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;
potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah;
potensi sumber daya alam; dan
perkembangan lingkungan strategis, baik nasional maupun internasional. Pasal 11 (1) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan utama yang digunakan untuk melayani angkutan laut selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) juga harus berpedoman pada:
kedekatan secara geografis dengan tujuan pasar internasional;
kedekatan dengan jalur pelayaran internasional;
memiliki jarak tertentu dengan pelabuhan utama lainnya;
memiliki luas daratan dan perairan tertentu serta terlindung dari gelombang;
mampu melayani kapal dengan kapasitas tertentu;
berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan barang internasional; dan
volume kegiatan bongkar muat dengan jumlah tertentu. (2) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan utama yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) juga harus berpedoman pada:
jaringan jalan nasional; dan/atau
jaringan jalur kereta api nasional. Pasal 12 (1) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan pengumpul yang digunakan untuk melayani angkutan laut selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) juga harus berpedoman pada: ditjen Peraturan Perundang-undangan a. kebijakan Pemerintah yang meliputi pemerataan pembangunan nasional dan meningkatkan pertumbuhan wilayah;
mempunyai jarak tertentu dengan pelabuhan pengumpul lainnya;
mempunyai jarak tertentu terhadap jalur/rute angkutan laut dalam negeri;
memiliki luas daratan dan perairan tertentu serta terlindung dari gelombang;
berdekatan dengan pusat pertumbuhan wilayah ibukota provinsi dan kawasan pertumbuhan nasional;
mampu melayani kapal dengan kapasitas tertentu; dan
volume kegiatan bongkar muat dengan jumlah tertentu. (2) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan pengumpul yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan antarprovinsi dan/atau antarnegara selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) juga harus berpedoman pada:
jaringan jalan nasional; dan/atau
jaringan jalur kereta api nasional. Pasal 13 (1) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan pengumpan regional yang digunakan untuk melayani angkutan laut selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) juga harus berpedoman pada:
tata ruang wilayah provinsi dan pemerataan pembangunan antarprovinsi;
tata ruang wilayah kabupaten/kota serta pemerataan dan peningkatan pembangunan kabupaten/kota;
pusat pertumbuhan ekonomi daerah;
jarak dengan pelabuhan pengumpan lainnya;
luas daratan dan perairan;
pelayanan penumpang dan barang antarkabupaten/kota dan/atau antarkecamatan dalam 1 (satu) kabupaten/kota; dan
kemampuan pelabuhan dalam melayani kapal. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan pengumpan regional yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan antarkabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) juga harus berpedoman pada:
jaringan jalan provinsi; dan/atau
jaringan jalur kereta api provinsi. Pasal 14 (1) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan pengumpan lokal yang digunakan untuk melayani angkutan laut selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) juga harus berpedoman pada:
tata ruang wilayah kabupaten/kota dan pemerataan serta peningkatan pembangunan kabupaten/kota;
pusat pertumbuhan ekonomi daerah;
jarak dengan pelabuhan pengumpan lainnya;
luas daratan dan perairan;
pelayanan penumpang dan barang antarkabupaten/kota dan/atau antarkecamatan dalam 1 (satu) kabupaten/kota; dan
kemampuan pelabuhan dalam melayani kapal. (2) Dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan pengumpan lokal yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan dalam 1 (satu) kabupaten/kota selain harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) juga harus berpedoman pada:
jaringan jalan kabupaten/kota; dan/atau
jaringan jalur kereta api kabupaten/kota. Pasal 15 Rencana lokasi pelabuhan sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b secara hierarki pelayanan angkutan sungai dan danau terdiri atas:
pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan sungai dan danau; dan/atau
pelabuhan sungai dan danau yang melayani angkutan penyeberangan:
antarprovinsi dan/atau antarnegara; ditjen Peraturan Perundang-undangan 2. antarkabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi; dan/atau
dalam 1 (satu) kabupaten/kota. Pasal 16 Rencana lokasi pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan sungai dan danau dan/atau penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 disusun dengan berpedoman pada:
kedekatan secara geografis dengan tujuan pasar nasional dan/atau internasional;
memiliki jarak tertentu dengan pelabuhan lainnya;
memiliki luas daratan dan perairan tertentu serta terlindung dari gelombang;
mampu melayani kapal dengan kapasitas tertentu;
berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan barang internasional;
volume kegiatan bongkar muat dengan jumlah tertentu;
jaringan jalan yang dihubungkan; dan/atau
jaringan jalur kereta api yang dihubungkan. Bagian Keempat Lokasi Pelabuhan Pasal 17 (1) Penggunaan wilayah daratan dan perairan tertentu sebagai lokasi pelabuhan ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional. (2) Lokasi pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan. (3) Dalam penetapan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
titik koordinat geografis lokasi pelabuhan;
nama lokasi pelabuhan; dan
letak wilayah administratif. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 18 (1) Lokasi pelabuhan ditetapkan oleh Menteri berdasarkan usulan dari Pemerintah atau pemerintah daerah.
Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi persyaratan yang terdiri atas:
Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
rencana tata ruang wilayah provinsi;
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;
rencana Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan;
hasil studi kelayakan mengenai:
kelayakan teknis;
kelayakan ekonomi;
kelayakan lingkungan;
pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial daerah setempat;
keterpaduan intra-dan antarmoda;
adanya aksesibilitas terhadap hinterland ;
keamanan dan keselamatan pelayaran; dan
pertahanan dan keamanan. f. rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota.
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri melakukan penelitian terhadap persyaratan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (4) Dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan, Menteri menyampaikan penolakan secara tertulis disertai dengan alasan penolakan. Pasal 19 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan lokasi pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB III RENCANA INDUK PELABUHAN, DAERAH LINGKUNGAN KERJA, DAN DAERAH LINGKUNGAN KEPENTINGAN PELABUHAN Bagian Kesatu Rencana Induk Pelabuhan Pasal 20 (1) Setiap pelabuhan wajib memiliki Rencana Induk Pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh penyelenggara pelabuhan dengan berpedoman pada:
Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
rencana tata ruang wilayah provinsi;
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;
keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain terkait di lokasi pelabuhan;
kelayakan teknis, ekonomis, dan lingkungan; dan
keamanan dan keselamatan lalu lintas kapal. (3) Jangka waktu perencanaan di dalam Rencana Induk Pelabuhan meliputi:
jangka panjang yaitu di atas 15 (lima belas) tahun sampai dengan 20 (dua puluh) tahun;
jangka menengah yaitu di atas 10 (sepuluh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun; dan
jangka pendek yaitu 5 (lima) tahun sampai dengan 10 (sepuluh) tahun. Pasal 21 (1) Rencana Induk Pelabuhan laut dan Rencana Induk Pelabuhan sungai dan danau meliputi rencana peruntukan wilayah daratan dan perairan. (2) Rencana peruntukan wilayah daratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan kriteria kebutuhan:
fasilitas pokok; dan
fasilitas penunjang. (3) Rencana peruntukan wilayah perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan kriteria kebutuhan:
fasilitas pokok; dan
fasilitas penunjang. Pasal 22 (1) Rencana peruntukan wilayah daratan untuk Rencana Induk Pelabuhan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disusun berdasarkan kriteria kebutuhan:
fasilitas pokok; dan
fasilitas penunjang. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
dermaga;
gudang lini 1;
lapangan penumpukan lini 1;
terminal penumpang;
terminal peti kemas;
terminal ro-ro;
fasilitas penampungan dan pengolahan limbah;
fasilitas bunker ;
fasilitas pemadam kebakaran;
fasilitas gudang untuk Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3); dan
fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran (SBNP). (3) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
kawasan perkantoran;
fasilitas pos dan telekomunikasi;
fasilitas pariwisata dan perhotelan;
instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi;
jaringan jalan dan rel kereta api;
jaringan air limbah, drainase, dan sampah;
areal pengembangan pelabuhan;
tempat tunggu kendaraan bermotor;
kawasan perdagangan;
kawasan industri; dan
fasilitas umum lainnya. Pasal 23 (1) Rencana peruntukan wilayah perairan untuk Rencana Induk Pelabuhan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disusun berdasarkan kriteria kebutuhan:
fasilitas pokok; dan
fasilitas penunjang. (2) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
alur-pelayaran;
perairan tempat labuh;
kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal; ditjen Peraturan Perundang-undangan d. perairan tempat alih muat kapal;
perairan untuk kapal yang mengangkut Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3);
perairan untuk kegiatan karantina;
perairan alur penghubung intrapelabuhan;
perairan pandu; dan
perairan untuk kapal pemerintah. (3) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang;
perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal;
perairan tempat uji coba kapal (percobaan berlayar);
perairan tempat kapal mati;
perairan untuk keperluan darurat; dan
perairan untuk kegiatan kepariwisataan dan perhotelan. Pasal 24 (1) Rencana peruntukan wilayah daratan untuk Rencana Induk Pelabuhan sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disusun berdasarkan kriteria kebutuhan:
fasilitas pokok; dan
fasilitas penunjang. (2) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
dermaga;
lapangan penumpukan;
terminal penumpang;
fasilitas penampungan dan pengolahan limbah;
fasilitas bunker ;
fasilitas pemadam kebakaran; dan
fasilitas penanganan Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3). (3) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
perkantoran;
fasilitas pos dan telekomunikasi;
fasilitas pariwisata; ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Fasilitas...
instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi;
jaringan jalan dan rel kereta api;
jaringan air limbah, drainase, dan sampah;
areal pengembangan pelabuhan;
tempat tunggu kendaraan bermotor;
kawasan perdagangan;
kawasan industri; dan
fasilitas umum lainnya. Pasal 25 (1) Rencana peruntukan wilayah perairan untuk Rencana Induk Pelabuhan sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disusun berdasarkan kriteria kebutuhan:
fasilitas pokok; dan
fasilitas penunjang. (2) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
alur-pelayaran;
areal tempat labuh;
areal untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal;
areal untuk kapal yang mengangkut Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3); dan
areal untuk kapal pemerintah. (3) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
areal untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang;
areal untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal; dan
areal untuk keperluan darurat. Pasal 26 (1) Rencana peruntukan wilayah daratan untuk Rencana Induk Pelabuhan laut serta Rencana Induk Pelabuhan sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan disusun berdasarkan kriteria kebutuhan:
fasilitas pokok; dan
fasilitas penunjang. ditjen Peraturan Perundang-undangan (3) Fasilitas...
Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
terminal penumpang;
penimbangan kendaraan bermuatan (angkutan barang);
jalan penumpang keluar/masuk kapal ( gang way );
perkantoran untuk kegiatan pemerintahan dan pelayanan jasa;
fasilitas bunker ;
instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi;
akses jalan dan/atau jalur kereta api;
fasilitas pemadam kebakaran; dan
tempat tunggu (lapangan parkir) kendaraan bermotor sebelum naik ke kapal.
Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
kawasan perkantoran untuk menunjang kelancaran pelayanan jasa kepelabuhanan;
tempat penampungan limbah;
fasilitas usaha yang menunjang kegiatan pelabuhan penyeberangan;
areal pengembangan pelabuhan; dan
fasilitas umum lainnya. Pasal 27 (1) Rencana peruntukan wilayah perairan untuk Rencana Induk Pelabuhan laut serta Rencana Induk Pelabuhan sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disusun berdasarkan kriteria kebutuhan:
fasilitas pokok;
fasilitas penunjang. (2) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
alur-pelayaran;
fasilitas sandar kapal;
perairan tempat labuh; dan
kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal. ditjen Peraturan Perundang-undangan (3) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang;
perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal;
perairan tempat uji coba kapal (percobaan berlayar);
perairan untuk keperluan darurat; dan
perairan untuk kapal pemerintah. Pasal 28 (1) Rencana Induk Pelabuhan ditetapkan oleh:
Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul;
gubernur untuk pelabuhan pengumpan regional; atau
bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan lokal serta pelabuhan sungai dan danau. (2) Menteri dalam menetapkan Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota mengenai kesesuaian dengan tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. (3) Gubernur dalam menetapkan Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari bupati/walikota mengenai kesesuaian dengan tata ruang wilayah kabupaten/kota. Pasal 29 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan dan penilaian Rencana Induk Pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan Pasal 30 (1) Daerah Lingkungan Kerja pelabuhan terdiri atas:
wilayah daratan;
wilayah perairan. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Wilayah daratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk kegiatan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang. (3) Wilayah perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digunakan untuk kegiatan alur-pelayaran, tempat labuh, tempat alih muat antarkapal, kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal, kegiatan pemanduan, tempat perbaikan kapal, dan kegiatan lain sesuai dengan kebutuhan. Pasal 31 (1) Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan merupakan perairan pelabuhan di luar Daerah Lingkungan Kerja perairan. (2) Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:
alur-pelayaran dari dan ke pelabuhan;
keperluan keadaan darurat;
penempatan kapal mati;
percobaan berlayar;
kegiatan pemanduan kapal;
fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal; dan
pengembangan pelabuhan jangka panjang. Pasal 32 (1) Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan ditetapkan oleh:
Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul;
gubernur untuk pelabuhan pengumpan regional; atau
bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan lokal serta pelabuhan sungai dan danau. (2) Menteri dalam menetapkan Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota mengenai kesesuaian dengan tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. ditjen Peraturan Perundang-undangan (3) Gubernur dalam menetapkan Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari bupati/walikota mengenai kesesuaian dengan tata ruang wilayah kabupaten/kota. Pasal 33 Dalam penetapan batas Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) paling sedikit memuat:
luas lahan daratan yang digunakan sebagai Daerah Lingkungan Kerja;
luas perairan yang digunakan sebagai Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan;
titik koordinat geografis sebagai batas Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan. Pasal 34 (1) Daratan dan/atau perairan yang ditetapkan sebagai Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dikuasai oleh negara dan diatur oleh penyelenggara pelabuhan. (2) Pada Daerah Lingkungan Kerja pelabuhan yang telah ditetapkan, diberikan hak pengelolaan atas tanah dan/atau penggunaan atau pemanfaatan perairan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 35 (1) Berdasarkan penetapan Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), pada Daerah Lingkungan Kerja pelabuhan, penyelenggara pelabuhan mempunyai kewajiban:
memasang tanda batas sesuai dengan batas Daerah Lingkungan Kerja daratan yang telah ditetapkan;
memasang papan pengumuman yang memuat informasi mengenai batas Daerah Lingkungan Kerja daratan pelabuhan; ditjen Peraturan Perundang-undangan c. melaksanakan pengamanan terhadap aset yang dimiliki;
menyelesaikan sertifikat hak pengelolaan atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
memasang tanda batas sesuai dengan batas Daerah Lingkungan Kerja perairan yang telah ditetapkan;
menginformasikan mengenai batas Daerah Lingkungan Kerja perairan pelabuhan kepada pelaku kegiatan kepelabuhanan;
menyediakan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
menyediakan dan memelihara kolam pelabuhan dan alur-pelayaran;
menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan; dan
melaksanakan pengamanan terhadap aset yang dimiliki berupa fasilitas pelabuhan di perairan. (2) Berdasarkan penetapan Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), pada Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan, penyelenggara pelabuhan mempunyai kewajiban:
menjaga keamanan dan ketertiban;
menyediakan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
menyediakan dan memelihara alur-pelayaran;
memelihara kelestarian lingkungan; dan
melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap penggunaan daerah pantai. Pasal 36 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan dan penilaian Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. ditjen Peraturan Perundang-undangan BAB IV PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI PELABUHAN Bagian Kesatu Kegiatan Pemerintahan di Pelabuhan Paragraf 1 Umum Pasal 37 (1) Kegiatan pemerintahan di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a paling sedikit meliputi fungsi:
pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan; dan
keselamatan dan keamanan pelayaran. (2) Selain kegiatan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada pelabuhan dapat dilakukan fungsi:
kepabeanan;
keimigrasian;
kekarantinaan; dan/atau
kegiatan pemerintahan lainnya yang bersifat tidak tetap. Pasal 38 (1) Fungsi pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh penyelenggara pelabuhan. (2) Penyelenggara pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
Otoritas Pelabuhan pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial; dan
Unit Penyelenggara Pelabuhan pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial. (3) Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan dapat membawahi 1 (satu) atau beberapa pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 39 (1) Fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh Syahbandar. (2) Syahbandar dalam melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelaksanaan, pengawasan, dan penegakan hukum di bidang angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan perlindungan lingkungan maritim di pelabuhan. (3) Selain melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Syahbandar membantu pelaksanaan pencarian dan penyelamatan di pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 40 (1) Untuk melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (3) dibentuk kelembagaan Syahbandar. (2) Kelembagaan Syahbandar terdiri atas:
Kepala Syahbandar;
unsur kelaiklautan kapal;
unsur kepelautan dan laik layar; dan
unsur ketertiban dan patroli. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja kelembagaan Syahbandar diatur oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan Kementerian Negara yang membidangi urusan pendayagunaan aparatur negara. Pasal 41 Fungsi kepabeanan, keimigrasian, kekarantinaan, dan/atau kegiatan pemerintahan lainnya yang bersifat tidak tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Paragraf 2 Otoritas Pelabuhan Pasal 42 (1) Otoritas Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf a dibentuk pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial. (2) Otoritas Pelabuhan mempunyai tugas dan tanggung jawab:
menyediakan lahan di daratan dan di perairan pelabuhan;
menyediakan dan memelihara penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan jaringan jalan;
menyediakan dan memelihara Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
menjamin keamanan dan ketertiban di pelabuhan;
menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan di pelabuhan;
menyusun Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan;
mengusulkan tarif untuk ditetapkan Menteri, atas penggunaan perairan dan/atau daratan, dan fasilitas pelabuhan yang disediakan oleh Pemerintah serta jasa kepelabuhanan yang diselenggarakan oleh Otoritas Pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
menjamin kelancaran arus barang. (3) Selain tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Otoritas Pelabuhan melaksanakan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan yang diperlukan oleh pengguna jasa yang belum disediakan oleh Badan Usaha Pelabuhan. (4) Dalam kondisi tertentu pemeliharan penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan atau pengelola terminal untuk kepentingan sendiri yang dituangkan dalam perjanjian konsesi. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 43 Otoritas Pelabuhan membiayai kegiatan operasional pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Paragraf 3 Unit Penyelenggara Pelabuhan Pasal 44 (1) Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf b dibentuk pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial. (2) Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada:
Menteri untuk Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah; dan
gubernur atau bupati/walikota untuk Unit Penyelenggara Pelabuhan pemerintah daerah. (3) Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan, mempunyai tugas dan tanggung jawab:
menyediakan dan memelihara penahan gelombang, kolam pelabuhan, dan alur-pelayaran;
menyediakan dan memelihara Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
menjamin keamanan dan ketertiban di pelabuhan;
menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan di pelabuhan;
menyusun Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan;
menjamin kelancaran arus barang; dan
menyediakan fasilitas pelabuhan. (4) Dalam kondisi tertentu pemeliharaan penahan gelombang, kolam pelabuhan, dan alur-pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dapat dilaksanakan oleh pengelola terminal untuk kepentingan sendiri yang dituangkan dalam perjanjian konsesi. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 45 (1) Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan. (2) Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan setelah mendapat konsesi dari Unit Penyelenggara Pelabuhan. Paragraf 4 Aparat Penyelenggara Pelabuhan Pasal 46 Aparat penyelenggara pelabuhan terdiri atas:
aparat Otoritas Pelabuhan; dan
aparat Unit Penyelenggara Pelabuhan. Pasal 47 (1) Aparat Otoritas Pelabuhan dan aparat Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan Pegawai Negeri Sipil. (2) Aparat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki kemampuan dan kompetensi di bidang kepelabuhanan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. (3) Kemampuan dan kompetensi di bidang kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
manajemen kepelabuhanan di bidang:
perencanaan kepelabuhanan;
operasional pelabuhan; dan/atau
pemanduan. b. manajemen angkutan laut di bidang:
bongkar muat;
trayek kapal; dan/atau
operasional kapal. c. pengetahuan kontraktual/perjanjian. ditjen Peraturan Perundang-undangan (4) Kemampuan dan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dibuktikan dengan sertifikat keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepelabuhanan. Paragraf 5 Organisasi dan Tata Kerja Penyelenggara Pelabuhan Pasal 48 (1) Otoritas Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dipimpin oleh seorang kepala yang membawahi paling sedikit 3 (tiga) unsur, yaitu:
unsur perencanaan dan pembangunan;
unsur usaha kepelabuhanan; dan
unsur operasi dan pengawasan. (2) Otoritas Pelabuhan dibentuk untuk 1 (satu) atau beberapa pelabuhan. Pasal 49 (1) Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipimpin oleh seorang kepala yang membawahi paling sedikit 3 (tiga) unsur, yaitu:
unsur perencanaan dan pembangunan;
unsur usaha kepelabuhanan; dan
unsur operasi dan pengawasan. (2) Unit Penyelenggara Pelabuhan dibentuk untuk 1 (satu) atau beberapa pelabuhan. Pasal 50 Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan diatur oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan Kementerian Negara yang membidangi urusan pendayagunaan aparatur negara. ditjen Peraturan Perundang-undangan Paragraf 6 Tugas dan Tanggung Jawab Penyelenggara Pelabuhan Pasal 51 (1) Penyediaan lahan di daratan dan di perairan dalam pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan. (2) Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikuasai oleh negara. (3) Dalam hal di atas lahan yang diperlukan untuk pelabuhan terdapat hak atas tanah, penyediaannya dilakukan dengan cara pengadaan tanah. (4) Pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 52 Penyediaan lahan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a dilakukan sesuai kebutuhan operasional pelabuhan dan untuk menjamin keselamatan pelayaran. Pasal 53 (1) Penyediaan dan pemeliharaan penahan gelombang yang dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b dan Pasal 44 ayat (3) huruf a dilakukan agar arus dan ketinggian gelombang tidak mengganggu kegiatan di pelabuhan. (2) Penyediaan penahan gelombang dilakukan sesuai dengan kondisi perairan. (3) Pemeliharaan penahan gelombang dilakukan secara berkala agar tetap berfungsi. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 54 (1) Penyediaan dan pemeliharaan kolam pelabuhan yang dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b dan Pasal 44 ayat (3) huruf a dilakukan untuk kelancaran operasional atau olah gerak kapal. (2) Penyediaan kolam pelabuhan dilakukan melalui pembangunan kolam pelabuhan. (3) Pemeliharaan kolam pelabuhan dilakukan secara berkala agar tetap berfungsi. Pasal 55 (1) Penyediaan dan pemeliharaan alur-pelayaran yang dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b dan Pasal 44 ayat (3) huruf a dilakukan agar perjalanan kapal keluar dari atau masuk ke pelabuhan berlangsung dengan lancar. (2) Penyediaan alur-pelayaran di pelabuhan dilakukan melalui pembangunan alur-pelayaran. (3) Pemeliharaan alur-pelayaran di pelabuhan dilakukan secara berkala agar tetap berfungsi. Pasal 56 (1) Selain menyediakan penahan gelombang, kolam pelabuhan, dan alur-pelayaran, Otoritas Pelabuhan wajib menyediakan dan memelihara jaringan jalan di dalam pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b. (2) Penyediaan dan pemeliharaan jaringan jalan di dalam pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 57 Penyediaan dan pemeliharaan Sarana Bantu Navigasi- Pelayaran yang dilaksanakan oleh Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c dan Pasal 44 ayat (3) huruf b diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 58 (1) Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan bertanggung jawab menjamin terwujudnya keamanan dan ketertiban di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf d dan Pasal 44 ayat (3) huruf c. (2) Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan dapat membentuk unit keamanan dan ketertiban di pelabuhan. Pasal 59 Untuk menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf e dan Pasal 44 ayat (3) huruf d, Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan dalam setiap penyelenggaraan kegiatan di pelabuhan harus melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan. Pasal 60 Penyusunan Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf f dan Pasal 44 ayat (3) huruf e dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan untuk setiap lokasi pelabuhan yang menjadi tanggung jawabnya. Pasal 61 (1) Pengusulan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan kepada Menteri untuk setiap pelayanan jasa kepelabuhanan yang diselenggarakannya. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Pengusulan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 62 Untuk menjamin kelancaran arus barang di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf h dan Pasal 44 ayat (3) huruf f, Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan diwajibkan:
menyusun sistem dan prosedur pelayanan jasa kepelabuhanan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri;
memelihara kelancaran dan ketertiban pelayanan kapal dan barang serta kegiatan pihak lain sesuai dengan sistem dan prosedur pelayanan jasa kepelabuhanan yang telah ditetapkan;
melakukan pengawasan terhadap kegiatan bongkar muat barang;
menerapkan teknologi sistem informasi dan komunikasi terpadu untuk kelancaran arus barang; dan
melakukan koordinasi dengan pihak terkait untuk kelancaran arus barang. Pasal 63 (1) Penyediaan fasilitas pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) huruf g pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial dilakukan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan. (2) Penyediaan dan pemeliharaan fasilitas pelabuhan dilakukan sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan. (3) Dalam penyediaan dan pemeliharaan fasilitas pelabuhan, penerapannya didasarkan pada rencana desain konstruksi untuk fasilitas pokok dan fasilitas penunjang. (4) Fasilitas pelabuhan dirancang sesuai dengan kapasitas kemampuan pelayanan sandar dan tambat di pelabuhan termasuk penggunaan jenis peralatan yang akan digunakan di pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 64 (1) Selain tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Otoritas Pelabuhan melaksanakan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan yang diperlukan oleh pengguna jasa yang belum disediakan oleh Badan Usaha Pelabuhan. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan kapal angkutan laut pelayaran-rakyat, pelayaran-perintis, fasilitas umum, dan fasilitas sosial. Pasal 65 (1) Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) berperan sebagai wakil Pemerintah untuk memberikan konsesi atau bentuk lainnya kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang dituangkan dalam perjanjian. (2) Hasil konsesi yang diperoleh Otoritas Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pendapatan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Otoritas Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan kegiatannya harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Pasal 66 (1) Untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Otoritas Pelabuhan mempunyai wewenang:
mengatur dan mengawasi penggunaan lahan daratan dan perairan pelabuhan;
mengawasi penggunaan Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan;
mengatur lalu lintas kapal ke luar masuk pelabuhan melalui pemanduan kapal; dan
menetapkan standar kinerja operasional pelayanan jasa kepelabuhanan. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Penetapan standar kinerja operasional pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dievaluasi setiap tahun. Pasal 67 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan, pemeliharaan, standar, dan spesifikasi teknis penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, jaringan jalan, dan tata cara penyelenggaraan keamanan dan ketertiban di pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Kegiatan Pengusahaan di Pelabuhan Paragraf 1 Umum Pasal 68 Kegiatan pengusahaan di pelabuhan terdiri atas:
penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang; dan
jasa terkait dengan kepelabuhanan. Paragraf 2 Penyediaan Pelayanan Jasa Kapal, Penumpang, dan Barang Pasal 69 (1) Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf a terdiri atas:
penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk bertambat;
penyediaan dan/atau pelayanan pengisian bahan bakar dan pelayanan air bersih;
penyediaan dan/atau pelayanan fasilitas naik turun penumpang dan/atau kendaraan;
penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang dan peti kemas; ditjen Peraturan Perundang-undangan e. penyediaan dan/atau pelayanan jasa gudang dan tempat penimbunan barang, alat bongkar muat, serta peralatan pelabuhan;
penyediaan dan/atau pelayanan jasa terminal peti kemas, curah cair, curah kering, dan ro-ro;
penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat barang;
penyediaan dan/atau pelayanan pusat distribusi dan konsolidasi barang; dan/atau
penyediaan dan/atau pelayanan jasa penundaan kapal. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan. Paragraf 3 Kegiatan Jasa Terkait Dengan Kepelabuhanan Pasal 70 (1) Penyediaan dan/atau pelayanan jasa terkait dengan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf b meliputi:
penyediaan fasilitas penampungan limbah;
penyediaan depo peti kemas;
penyediaan pergudangan;
jasa pembersihan dan pemeliharaan gedung kantor;
instalasi air bersih dan listrik;
pelayanan pengisian air tawar dan minyak;
penyediaan perkantoran untuk kepentingan pengguna jasa pelabuhan;
penyediaan fasilitas gudang pendingin;
perawatan dan perbaikan kapal _; _ j. pengemasan dan pelabelan;
fumigasi dan pembersihan/perbaikan kontainer;
angkutan umum dari dan ke pelabuhan;
tempat tunggu kendaraan bermotor;
kegiatan industri tertentu;
kegiatan perdagangan;
kegiatan penyediaan tempat bermain dan rekreasi;
jasa periklanan; __ dan/atau r. perhotelan, restoran, pariwisata, pos dan telekomunikasi. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha. Paragraf 4 Badan Usaha Pelabuhan Pasal 71 (1) Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dapat melakukan kegiatan pengusahaan pada 1 (satu) atau beberapa terminal dalam 1 (satu) pelabuhan. (2) Badan Usaha Pelabuhan dalam melakukan kegiatan usahanya wajib memiliki izin usaha yang diberikan oleh:
Menteri untuk Badan Usaha Pelabuhan di pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul;
gubernur untuk Badan Usaha Pelabuhan di pelabuhan pengumpan regional; dan
bupati/walikota untuk Badan Usaha Pelabuhan di pelabuhan pengumpan lokal. (3) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah memenuhi persyaratan:
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau perseroan terbatas yang khusus didirikan di bidang kepelabuhanan;
memiliki akte pendirian perusahaan; dan
memiliki keterangan domisili perusahaan. Pasal 72 Penetapan Badan Usaha Pelabuhan yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan pada pelabuhan yang berubah statusnya dari pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial menjadi pelabuhan yang diusahakan secara komersial dilakukan melalui pemberian konsesi dari Otoritas Pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 73 Dalam melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) Badan Usaha Pelabuhan wajib:
menyediakan dan memelihara kelayakan fasilitas pelabuhan;
memberikan pelayanan kepada pengguna jasa pelabuhan sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan oleh Pemerintah;
menjaga keamanan, keselamatan, dan ketertiban pada terminal dan fasilitas pelabuhan yang dioperasikan;
ikut menjaga keselamatan, keamanan, dan ketertiban yang menyangkut angkutan di perairan;
memelihara kelestarian lingkungan;
memenuhi kewajiban sesuai dengan konsesi dalam perjanjian; dan
mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, baik secara nasional maupun internasional. Paragraf 5 Konsesi atau Bentuk Lainnya Pasal 74 (1) Konsesi diberikan kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. (2) Pemberian konsesi kepada Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui mekanisme pelelangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Jangka waktu konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan pengembalian dana investasi dan keuntungan yang wajar. (4) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
lingkup pengusahaan;
masa konsesi pengusahaan;
tarif awal dan formula penyesuaian tarif; ditjen Peraturan Perundang-undangan d. hak dan kewajiban para pihak, termasuk resiko yang dipikul para pihak dimana alokasi resiko harus didasarkan pada prinsip pengalokasian resiko secara efisien dan seimbang;
standar kinerja pelayanan serta prosedur penanganan keluhan masyarakat;
sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi perjanjian pengusahaan;
penyelesaian sengketa;
pemutusan atau pengakhiran perjanjian pengusahaan;
sistem hukum yang berlaku terhadap perjanjian pengusahaan adalah hukum Indonesia;
keadaan kahar; dan
perubahan-perubahan. Pasal 75 (1) Dalam hal masa konsesi telah berakhir, fasilitas pelabuhan hasil konsesi beralih atau diserahkan kembali kepada penyelenggara pelabuhan. (2) Fasilitas pelabuhan yang sudah beralih kepada penyelenggara pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengelolaannya diberikan kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang berdasarkan kerjasama pemanfaatan melalui mekanisme pelelangan. (3) Badan Usaha Pelabuhan yang telah ditetapkan melalui mekanisme pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melaksanakan kegiatan pengusahaannya di pelabuhan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Kerjasama pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian kerjasama pemanfaatan ditandatangani. Pasal 76 (1) Dalam kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa terkait dengan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) penyelenggara pelabuhan dapat melakukan kerjasama dengan Badan Usaha Pelabuhan dan/atau orang perseorangan warga negara Indonesia. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:
penyewaan lahan;
penyewaan gudang; dan/atau
penyewaan penumpukan. (3) Penyewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 77 Pendapatan konsesi dan kompensasi yang diterima oleh Otoritas Pelabuhan merupakan penerimaan negara yang penggunaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 78 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian dan pencabutan konsesi serta kerjasama diatur dengan Peraturan Menteri. BAB V PEMBANGUNAN DAN PENGOPERASIAN PELABUHAN Bagian Kesatu Izin Pembangunan Pelabuhan Pasal 79 Pembangunan pelabuhan hanya dapat dilakukan berdasarkan Rencana Induk Pelabuhan Nasional dan Rencana Induk Pelabuhan. Pasal 80 (1) Pembangunan pelabuhan laut oleh penyelenggara pelabuhan dilakukan setelah diperolehnya izin. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh penyelenggara pelabuhan kepada:
Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul; ditjen Peraturan Perundang-undangan b. gubernur untuk pelabuhan pengumpan regional; dan
bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan lokal. (3) Pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan dan kelestarian lingkungan. Pasal 81 (1) Pembangunan pelabuhan sungai dan danau oleh penyelenggara pelabuhan dilakukan setelah diperolehnya izin. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh penyelenggara pelabuhan kepada bupati/walikota. (3) Pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan dan kelestarian lingkungan. Pasal 82 (1) Persyaratan teknis kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3) dan Pasal 81 ayat (3) meliputi:
studi kelayakan; dan
desain teknis. (2) Studi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat:
kelayakan teknis; dan
kelayakan ekonomis dan finansial. (3) Desain teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat mengenai:
kondisi tanah;
konstruksi;
kondisi hidrooceanografi;
topografi; dan
penempatan dan konstruksi Sarana Bantu Navigasi- Pelayaran, alur-pelayaran, dan kolam pelabuhan serta tata letak dan kapasitas peralatan di pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 83 Persyaratan kelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3) dan Pasal 81 ayat (3) berupa studi lingkungan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Pasal 84 Dalam mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3) dan Pasal 81 ayat (3) harus disertai dokumen yang terdiri atas:
Rencana Induk Pelabuhan;
dokumen kelayakan;
dokumen desain teknis; dan
dokumen lingkungan. Pasal 85 (1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) dan Pasal 81 ayat (2), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan penelitian atas persyaratan permohonan pembangunan pelabuhan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dan Pasal 83 belum terpenuhi, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota mengembalikan permohonan kepada penyelenggara pelabuhan untuk melengkapi persyaratan. (3) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) telah terpenuhi, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan izin pembangunan pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 86 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin pembangunan pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Pelaksanaan Pembangunan Pelabuhan Pasal 87 (1) Pembangunan pelabuhan dilakukan oleh:
Otoritas Pelabuhan untuk pelabuhan yang diusahakan secara komersial; dan
Unit Penyelenggara Pelabuhan untuk pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial. (2) Pembangunan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan konsesi atau bentuk lainnya dari Otoritas Pelabuhan. (3) Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam membangun pelabuhan wajib:
melaksanakan pekerjaan pembangunan pelabuhan paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal berlakunya izin pembangunan;
melaksanakan pekerjaan pembangunan pelabuhan sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan yang telah ditetapkan;
melaporkan pelaksanaan kegiatan pembangunan pelabuhan secara berkala kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; dan
bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan pelabuhan yang bersangkutan. Pasal 88 (1) Pembangunan fasilitas di sisi darat pelabuhan yang dilakukan berdasarkan Rencana Induk Pelabuhan dapat dilakukan setelah memperoleh Izin Mendirikan Bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Dalam...
Pembangunan fasilitas di sisi perairan yang dilakukan berdasarkan Rencana Induk Pelabuhan dapat dilakukan setelah memperoleh izin pembangunan dari Menteri. Bagian Ketiga Pengembangan Pelabuhan Pasal 89 Pengembangan pelabuhan hanya dapat dilakukan berdasarkan Rencana Induk Pelabuhan Nasional dan Rencana Induk Pelabuhan. Pasal 90 (1) Pengembangan pelabuhan oleh penyelenggara pelabuhan dilakukan setelah diperolehnya izin. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh penyelenggara pelabuhan kepada:
Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul;
gubernur untuk pelabuhan pengumpan regional; dan
bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan lokal serta pelabuhan sungai dan danau. Pasal 91 (1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) diberikan berdasarkan permohonan dari penyelenggara pelabuhan. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84.
Pengujian UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah [Pasal 6 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b ...
Relevan terhadap
“Apabila Debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan _tersebut”; _ Pasal 15 ayat (1) huruf b: “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan Akta Notaris _atau Akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: _ a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada _membebankan Hak Tanggungan; _ _b. tidak memuat kuasa substitusi; _ c. mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan. ditafsirkan terhadap parate executie hak tanggungan berdasarkan UU 4/1996demikian, jelas hal tersebut menafikan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU 18/2003; dan Iebih jauh bertentangan dengan ketentuan UUD 1945, Sebab:
Pasal 1 ayat (1) UU 18/2003, yang berbunyi: “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”. __ b. bahwa hak konstitusional Pemohon yang dilindungi UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” __ dan Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. __ 10 2. Bahwa kata “kekuasaan sendiri” yang tercantum dalam Pasal 6 UU 4/1996 tersebut dimaksudkan oleh pembentuk Undang-Undang adalah untuk menbedakan dengan ketentuan hipotik sebelumnya. Dalam ketentuan hipotik sebelumnya, penjual dengan “kekuasaan sendiri” tersebut merupakan “janji” dan harus dikonstatir secara tegas-tegas pada perjanjian pokoknya, sedangkan dalam UU 4/1996 hal tersebut tidak usah diperjanjikan lagi karena telah mengikat bersumberkan pada Undang-Undang tersebut.
Sedangkan kontekstual Pasal 15 ayat (1) huruf b bukan mengatur tentang eksekusi hak tanggungan, akan tetapi mengatur tentang kuasa pembebanan hak tanggungan oleh seorang Debitor kepada krediturnya dimana kekuasaan tersebut tidak dapat disubstitusikan kepada pihak lainnya.
Bahwa apabila kita simak dengan teliti ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan dalam penjelasan Undang-Undang tersebut atas pasal itu jelas-jelas bahwa ketentuan Pasal 15 Undang-Undang a quo __ adalah mengatur tentang pemasangan hak tanggungan terhadap suatu objek tanah dan bukan mengatur tentang tata cara eksekusi hak tanggungan, oleh karena itu maka ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b yang telah ditafsirkan oleh Termohon sedemikian rupa dan tidak ada relevansinya dengan suatu pengajuan parate executie hak tanggungan menjadikan hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan selain itu bertentangan pula dengan Pasal 1 ayat (1) UU 18/2003 yang berbunyi: “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”. 5. Bahwa penolakan demikian pun telah menganulir amanah Pasal 1 ayat (1) UU 18/2003 dan Iebih jauh lagi karenanya bertentangan dengan ketentuan konstitusional Pemohon yang diatur dalam UUD 1945 sehingga karenanya dengan segala kerendahan hati Pemohon mengajukan permohonan a quo __ untuk mengajukan “uji materil” terhadap ketentuan Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 bertentangan dengan UUD 1945. VII. Petitum Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas, kiranya Ketua Mahkamah Konstitusi atau Ketua Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa berkenan untuk 11 menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon a quo, __ dan dengan memberi putusan sebagai berikut:
Mengabulkan Permohonan Pemohon seluruhnya;
Menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 adalah inkonstitusional __ sepanjang dimaknai sebagai suatu larangan dalam suatu pengajuan parate executie hak tanggungan yang dilakukan oleh seorang kuasa bahkan oleh seorang advokat pun.
Menyatakan karenanya bahwa ketentuan Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 sepanjang dimaknai sebagai suatu larangan dalam suatu pengajuan parate executie hak tanggungan yang dilakukan oleh seorang kuasa bahkan oleh seorang advokat pun tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil- adilnya (ex aequo et bono) [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat atau tertulis yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-12, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Surat Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kantor Wilayah V Bandar Lampung Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bandar Lampung Nomor S-1018/WKN.5/KP.03/2008 perihal “Permohonan Penjualan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan”, bertanggal 30 Desember 2008;
Bukti P-2 : Fotokopi Surat Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Direktorat Lelang Nomor S-43/KN.7/2009 perihal “Apakah pengajuan eksekusi hak tanggungan secara ‘parate eksekusi’ memang harus dilakukan oleh principal-nya sendiri dan tidak boleh dikuasakan kepada seorang advokat?!”, bertanggal 18 Februari 2009; 12 3. Bukti P-3 : Fotokopi Kartu Tanda Pengenal Advokat atas nama Uung Gunawan, S.H., M.H;
Bukti P-4 : Fotokopi Petikan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor D- 39.KP.04.13-Th.1994 tentang Pengangkatan Sebagai Penasihat Hukum, bertanggal 10 Mei 1994;
Bukti P-5 : Fotokopi Sertifikat Nomor 144/UM/80/PTB mengenai Keterangan Lulus Ujian Penasihat Hukum/Pengacara Praktek atas nama Uung Gunawan, bertanggal 12 Desember 1980, yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung;
Bukti P-6 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
Bukti P-7 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
Bukti P-8 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-9 : Fotokopi Salinan Risalah Lelang Nomor 355/2008 yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bogor;
Bukti P-10 : Fotokopi Salinan Risalah Lelang Nomor 098/2010 yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Surabaya;
Bukti P-11 : Fotokopi Salinan Risalah Lelang Nomor 41/2008 yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bandung;
Bukti P-12 : Fotokopi Salinan Risalah Lelang Nomor 682/2008 yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bandung. Selain itu, Pemohon juga mengajukan Ahli Zulkifli Harahap yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 15 Maret 2011 yang menerangkan hal-hal pada pokoknya sebagai berikut: Pasal 15 ayat (1) huruf b Undang-Undang 4/1996 menyatakan bahwa surat kuasa membebankan hak tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dengan memenuhi persyaratan tidak memuat kuasa substitusi. Dalam penjelasan dinyatakan, ” Yang dimaksud dengan pengertian substitusi menurut undang- 13 undang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Bukan merupakan substitusi, jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya Direksi Bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada Kepala Cabangnya atau pihak lain. ” Substitusi adalah pengalihan, yaitu pengalihan pengurusan dari a menjadi b. Hal tersebut yang tidak diperbolehkan. Proses eksekusi hak tanggungan dilakukan apabila ada debitor yang cidera janji atau wanprestasi terhadap perjanjian pokoknya, sehingga kreditor diberikan hak preferen untuk melakukan penjualan barang jaminan melalui lelang. Sesuai dengan Penjelasan Pasal 6 UU 4/1996, tidak mungkin seseorang menjual barang jaminan tanpa adanya sesuatu yang telah diperjanjikan terlebih dahulu. Dengan didaftarkan hak tanggungan maka penerima hak tanggungan memiliki hak yang didahulukan untuk menerima pelunasan atas utang-utangnya. Pasal 15 UU 4/1996 menyangkut Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SK-MHT). Pasal 15 ayat (2) menyatakan, “ Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). ” Jangka waktu untuk tanah yang sudah bersertifikat adalah satu bulan, dan untuk tanah-tanah yang harus didaftarkan atau belum bersertifikat adalah tiga bulan. SK-MHT termasuk lembaga kuasa, sedangkan APHT termasuk lembaga pembebanan hak. SK-MHT adalah pengantar untuk melakukan APHT. Kekuasaan dalam Pasal 6 UU 4/1996 mengacu kepada hak preferen yang diperoleh dari janji-janji yang dibuat dalam APHT. Perbuatan hukum kreditor untuk menghadap pihak-pihak terkait, dapat diwakili. UU 4/1996 menyatakan bahwa dalam pembuatan SK-MHT dan akte pemberian hak tanggungan harus ada keyakinan dari notaris atau PPAT bahwa pemberi hak tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang dibebankan. 14 Hal yang tidak dapat disubstitusikan adalah dalam rangka pembebanan haknya, jadi pemilik jaminan yang memberikan pembebanan haknya kepada bank, bukan pada saat eksekusi. Dalam hal parate executie , kepentingan pemegang hak dapat diwakilkan karena tindakan mewakilkan bukan merupakan substitusi. [2.3] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 15 Maret 2011 telah didengar keterangan Pemerintah ( opening statement ) yang selanjutnya memberikan keterangan tertulis bertanggal 27 Mei 2011 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 7 Juni 2011, selengkapnya sebagai berikut: I. Pendahuluan Bahwa permohonan yang diajukan Pemohon, pada intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 dianggap telah merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, atau setidak-tidaknya Pemohon mengalami kerugian yang bersifat potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Pasal 6 UU 4/1996 menyatakan “ Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut ”. Sedangkan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 pada intinya menyatakan bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan, salah satunya adalah tidak memuat kuasa substitusi. Bahwa menurut Pemohon dengan diberlakukannya ketentuan a quo, telah menyebabkan dirinya terhalang untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan menurut profesinya sebagai seorang advokat, karena tidak dapat melakukan permohonan parate executie . Pemerintah berpendapat, permohonan yang diajukan Pemohon didasarkan kepada pemahaman yang keliru, tidak berdasar, dan terlalu mengada-ada (obscuur libel), utamanya di dalam mengkonstruksikan adanya kerugian konstitusional yang dialami 15 oleh Pemohon, karena menurut Pemerintah yang dialami oleh Pemohon adalah berkaitan dengan implementasi keberlakuan Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji. Dengan perkataan lain, permohonan a quo bukan merupakan objek yang dapat dilakukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi. __ Namun demikian, untuk memberi pencerahan kepada Pemohon dan sekaligus kepada masyarakat secara umum, Pemerintah akan menyampaikan keterangan sebagai berikut. __ II. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK disebutkan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewajiban konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan tersebut di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” __ adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD1945 maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan :
kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul 16 karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ( vide sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), yang harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Pemohon yang kedudukannya sebagai warga negara Indonesia, dengan pekerjaan sebagai seorang advokat dalam permohonannya menyatakan bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 telah merugikan kewenangan konstitusionalnya. Ketentuan a quo dianggap merugikan Pemohon, dan karenanya ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Untuk menanggapi hal tersebut, Pemerintah patut mempertanyakan:
apakah sudah tepat Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan pasal-pasal pada Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut? b. apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud tersebut bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi? c. apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang terjadi dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji? Lebih lanjut dapat dipertanyakan siapa yang sebenarnya dirugikan atas keberlakuan Undang-Undang a quo, apakah hanya Pemohon saja, dirinya yang berprofesi sebagai advokat atau orang lain secara umum, orang lain yang berprofesi advokat, 17 karena Pemohon tidak menjelaskan secara tegas dalam permohonannya tentang siapa yang sebenarnya dirugikan. Dalam permohonannya, Pemohon hanya menjelaskan kedudukan Pemohon selaku perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dengan berlakunya Pasal 6 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996. Bahwa menurut Pemerintah, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996, khususnya mengenai tidak dapat diperkenankannya ada pemberian kuasa substitusi pada Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, tidak pernah dibuat dan disusun bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk merugikan kepentingan bangsa dan negara serta rakyat Indonesia, termasuk Pemohon, tetapi justru ketentuan dimaksud digunakan untuk menjadi dasar yang jelas dan tegas bagi debitor dan kreditor dalam penjaminan hutang piutang yang dilakukan antara mereka, khususnya ketika akan dilakukan eksekusi atas objek jaminannya. Dengan demikian menurut Pemerintah, Pemohon selaku warga negara sama sekali tidak pernah terkurangi hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal-pasal tersebut. Bahwa sesuai dengan penggunaan pasal penguji yang digunakan Pemohon dalam permohonannya yaitu Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, maka Pemerintah mempertanyakan penggunaan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut oleh Pemohon sebagai dasar baginya untuk mempermasalahkan ditolaknya Pemohon selaku advokat untuk mengajukan permohonan parate executie dikaitkan dengan “pekerjaan dan penghidupan yang layak”, “pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata “pekerjaan” adalah pencaharian; yang dijadikan pokok penghidupan; sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah. Sedangkan arti kata “penghidupan”, adalah pencaharian. Dan 18 arti kata “layak” adalah wajar, pantas, patut, mulia, terhormat. Pemerintah berpendapat bahwa keberlakuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya tersebut sama sekali tidak bermaksud untuk menghalangi Pemohon untuk mendapatkan nafkah, pencahariannya, apalagi untuk menyebabkan Pemohon menjadi tidak terhormat. Pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya tersebut, juga tidak bermaksud untuk tidak mengakui Pemohon yang berprofesi sebagai advokat, dan juga tidak untuk menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum dan tidak memberikan perlakuan yang sama di hadapan hukum kepada diri Pemohon. Bahwa berdasarkan hal tersebut, Pemerintah meminta kepada Pemohon melalui Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan dan membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas keberlakuan Pasal 6 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996, karena itu kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Pemerintah juga berpendapat permohonan Pemohon tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur (obscuur libel), utamanya dalam mengkonstruksikan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. Oleh karena itu, Pemerintah memohon agar Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). III. Penjelasan Umum Pembangunan ekonomi merupakan bagian yang penting dari pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat Bangsa Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka memelihara kesinambungan serta meningkatkan akselerasi bergeraknya roda pembangunan tersebut, maka kegiatan usaha dan investasi di Indonesia perlu terus didorong. Dalam kegiatan usaha para 19 pelaku usaha memerlukan dana sebagai modal usaha. Seiring dengan perkembangan zaman, maka sebagian dana diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Dalam pelaksanaannya pemberian kredit tersebut memerlukan suatu lembaga jaminan yang dapat melindungi kepentingan kreditor (pemberi kredit) maupun debitor (penerima kredit). Sebagaimana diketahui, sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) berlaku, di Indonesia terdapat dualisme hukum pertanahan yaitu berlakunya Hukum Adat yang mengatur hak-hak adat seperti Hak Ulayat, Hak Milik, Hak Gogolan, dll, dan Hukum Barat yang mengatur hak-hak barat seperti Hak Eigendom, Erfpacht, Opstal, Huur dan Gebruik. Dualisme hukum tanah tersebut mengakibatkan pula terjadinya dualisme hukum jaminan seperti Hypotheek dan Credietverband. Hypotheek digunakan sebagai jaminan atas hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Perdata Barat, sedangkan Credietverband digunakan sebagai jaminan atas hak-hak tanah yang tunduk pada Hukum Adat. Setelah berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, dibentuklah lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan sebagai pengganti Hypotheek dan Creditverband yang diatur dalam Pasal 51 UUPA. Akan tetapi lebih dari 30 tahun sejak dinyatakan berlakunya Hak Tanggungan oleh UUPA lembaga tersebut belum dapat berfungsi secara efektif, oleh karena Undang-Undang yang mengatur secara lengkap mengenai Hak Tanggungan sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan Pasal 51 UUPA belum terbentuk. Sehubungan dengan hal tersebut, berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal 57 UUPA, di dalam praktiknya masih diberlakukan ketentuan Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam KUHPerdata Indonesia, dan ketentuan Credietverband dalam Staatblad 1908-542 yang telah diubah dengan Staatblad 1937-190 sepanjang menyangkut hal-hal belum terdapat pengaturannya dalam UUPA. Sejalan dengan berkembangnya perekonomian di Indonesia, khususnya di bidang perkreditan, maka keperluan adanya pengaturan lembaga jaminan Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah berdasarkan Pasal 51 UUPA semakin dirasakan mendesak, sehingga lahirlah UU 4/1996 yang mengatur lembaga jaminan yang dikenal dengan Hak Tanggungan secara lengkap sebagai satu-satunya 20 lembaga jaminan atas tanah dalam hukum tanah nasional yang tertulis. Undang- Undang tersebut selanjutnya dikenal dengan sebutan Undang-Undang Hak Tanggungan. Salah satu upaya mendasar di dalam mendorong laju gerak pembangunan yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi adalah dengan menggalakkan iklim usaha yang kondusif termasuk memberi kemudahan, kepastian dan perlindungan dalam penyelenggaraan kegiatan usahanya. Manajemen perekonomian berisikan upaya pemerintahan negara dalam mengarahkan perekonomian, agar dapat tumbuh secara berkelanjutan dan berjalan dengan stabil dan berkeadilan yang dilakukan melalui berbagai kebijakan di bidang ekonomi. Kebijakan ekonomi pemerintah dilandasi oleh sistem perekonomian yang berorientasi pada penerapan demokrasi ekonomi dengan mengutamakan peran aktif masyarakat yang bertujuan menciptakan kemakmuran bagi semua orang bukan hanya bagi orang seorang. Undang-Undang Hak Tanggungan memberi kemudahan, kepastian dan perlindungan dalam penyelenggaraan kegiatan usaha khususnya di bidang permodalan, penyaluran dana kredit dan perlindungannya melalui lembaga jaminan dalam hal debitor cidera janji (wanprestasi) dan akan dilakukan eksekusi terhadap debitor yang wanprestasi. Sebagai ilustrasi, dalam tahun 2010 saja, jumlah bidang tanah yang dimohon untuk didaftar dan diterbitkan sertipikatnya pada 109 Kantor Pertanahan (jumlah Kantor Pertanahan di Indonesia adalah 426 Kantor Pertanahan) adalah 39.405 bidang dan jumlah bidang tanah yang telah diterbitkan sertipikat yang dimohon untuk diberikan Hak Tanggungan dan diterbitkan sertipikatnya adalah 7.688 bidang (19.51%) dengan nilai 2.202.219.003.609,00 rupiah. Hal ini menunjukan pentingnya jaminan kepastian bagi kreditor maupun debitor dalam pelaksanaan penyaluran dana kredit dan perlindungannya melalui lembaga jaminan hutang. Dengan demikian, maksud diterbitkannya UU 4/1996 untuk melindungi kepentingan berbagai pihak terkait yaitu:
kreditor pemegang Hak Tanggungan, dengan hak _preference; _ b. debitor pemberi Hak Tanggungan, dengan larangan bagi kreditor untuk membuat janji untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila Debitor cidera janji;
pihak ketiga yang berkepentingan terhadap Hak Atas Tanah, dengan mensyaratkan didaftarkannya Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan, sehingga memenuhi asas publisitas. 21 Sesuai Pasal 1 angka 1 UU 4/1996 yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. UU 4/1996 pada prinsipnya mengatur hal-hal sebagai berikut:
objek Hak Tanggungan;
pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;
tata cara pemberian, pendaftaran dan peralihan dan hapusnya Hak Tanggungan;
eksekusi Hak Tanggungan;
pencoretan Hak Tanggungan; dan
sanksi administratif. Dalam rangka pemberian Hak Tanggungan diatur bahwa pemberian Hak Tanggungan di atas hak-hak atas tanah harus didahului dengan perjanjian utang- piutang sebagai perjanjian pokok, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selanjutnya disebut APHT. Dalam hal pembuatan APHT, Pemberi Hak Tanggungan berhalangan hadir, maka diperkenankan penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, sejalan dengan itu, surat kuasa harus diberikan langsung oleh Pemberi Hak Tanggungan dan harus memenuhi persyaratan mengenai muatannya. Pemberian kuasa tersebut wajib dilakukan di depan Notaris atau PPAT dengan suatu akta otentik yang disebut Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). SKMHT tersebut sah apabila memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan sebagai berikut:
tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan;
tidak memuat kuasa substitusi;
mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan. Apabila objek Hak Tanggungan belum didaftar, maka jangka waktu penggunaan 22 SKMHT dibatasi selama tiga bulan, dikarenakan untuk keperluan pembuatan APHT diperlukan penyerahan lebih banyak surat-surat dokumen kepada PPAT. Selain itu, jangka waktu tiga bulan tersebut dapat pula diberlakukan kepada objek Hak Tanggungan yang belum bersertipikat atau belum tercatat atas nama debitor. Apabila SKMHT tidak diikuti dengan pembuatan APHT oleh PPAT, maka SKMHT batal demi hukum. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) sesuai namanya berfungsi dan digunakan untuk memasang Hak Tanggungan, dan berakhir dengan ditandatanganinya APHT ditindaklanjuti dengan didaftarkan ke Kantor Pertanahan dan diterbitkan Sertipikat Hak Tanggungan. IV. Penjelasan Pemerintah Atas Pasal-Pasal Undang-Undang Hak Tanggungan yang Dimohonkan Pengujian Dalam Pasal 6 UU 4/1996 diatur bahwa apabila debitor cidera janji, Pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 6 dicantumkan bahwa hak untuk menjual Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan yang diutamakan yang dipunyai oleh Pemegang Hak Tanggungan atau Pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu Pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh Pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, Pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari Pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan. Berdasarkan Pasal 6 dan penjelasannya, hak untuk menjual objek Hak Tanggungan demi hukum atau berdasarkan Undang-Undang, hanya Pemegang Hak Tanggungan pertamalah yang dapat menjadi eksekutor atau penjual dalam lelang eksekusi Pasal 6 UU 4/1996. 23 Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pasal 6 UU 4/1996 pada prinsipnya hanya memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan pertama selaku eksekutor untuk mengajukan permohonan parate executie melalui pelelangan umum dan bukan melalui kuasa, sedangkan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 adalah mengatur surat kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan yang tidak terkait dengan Pasal 6 UU 4/1996. Pelelangan umum berdasarkan vendu reglement staatblad 1908-189 menjadi kewenangan Kantor Lelang, yang berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2006 juncto Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan juncto Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, fungsi Kantor Lelang dijalankan oleh Kantor Pelayananan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Pasal 6 UU 4/1996 dalam koridor hukum publik memberikan kuasa atas kewenangan hukum publik kepada Pemegang Hak Tanggungan Pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, karena kewenangannya yang bersifat hukum publik tersebut tidak menyebutkan adanya pemberian kuasa, dan hal-hal yang diatur dalam hukum publik tersebut bersifat mandatory (wajib), __ sehingga yang melaksanakan Pasal 6 UU 4/1996 adalah wajib Pemegang Hak Tanggungan Pertama, kecuali Undang-Undang nyata-nyata menyebutkan diperbolehkannya pemberian kuasa kepada pihak lain termasuk advokat untuk menjual objek Hak Tanggungan. UU 4/1996 terutama Pasal 6 UU 4/1996 tidak ada secara jelas/nyata menyebutkan diperbolehkannya pemberian kuasa kepada pihak lain termasuk advokat untuk menjual objek Hak Tanggungan. Pasal 6 UU 4/1996 ditinjau dari sifat hukumnya merupakan peraturan yang bersifat hukum materiil yang di dalamnya mengandung sifat hukum formil. Artinya menjadi hukum acara mengenai pelaksanaan Hak Pemegang Hak Tanggungan Pertama atas kekuasaan sendiri untuk menjual objek Hak Tanggungan, jika debitor cidera janji. Dalam hal ini Pasal 6 UU 4/1996 yang bersifat hukum formil tidak menyebutkan adanya pemberian kuasa kepada pihak lain termasuk advokat, maka dalam pelaksanaan eksekusi/hukum acara Pasal 6 UU 4/1996 tersebut tidak melibatkan penerima kuasa yang baru selain oleh si Pemegang Hak Tanggungan sendiri. 24 Bahwa di dalam menanggapi permohonan uji materiil Pemohon selaku advokat, semestinya Pasal 6 tidak dilihat sebagai pasal yang berdiri sendiri. Jika dilihat dari sisi kepemilikan yang masih ada pada si debitor/pemberi Hak Tanggungan, maka setiap perbuatan hukum dari Pemegang Hak Tanggungan Pertama terkait pelaksanaan janji-janji yang dicantumkan dalam APHT [termasuk janji untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri diperoleh Pasal 11 ayat (2) huruf e] harus dilaksanakan dengan adanya batas-batas kewenangan, bahwa kepemilikan masih ada pada debitor, sehingga kewenangan menjual itu hanya boleh dilakukan oleh si Pemegang Hak Tanggungan Pertama yang je!as/nyata disebut dalam Undang-Undang Hak Tanggungan. Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan kekuasaan Pemegang Hak Tanggungan Pertama kepada pihak lain termasuk kepada advokat telah melebihi kewenangan yang diberikan atas dasar janji-janji sesuai Pasal 11 ayat (2) huruf e atau Pemegang Hak Tanggungan Pertama telah mengambil alih atau memposisikan dirinya sama dengan kewenangan hukum seorang pemilik barang yang sesungguhnya masih berada di tangan debitor/pemberi Hak Tanggungan. Bahwa dalam pembuatan Risalah Lelang selaku berita acara lelang, penjual selaku eksekutor akan menandatangani Risalah Lelang bersama-sama dengan pembeli lelang dan pejabat lelang. Dengan demikian, pelimpahan kekuasaan Pemegang Hak Tanggungan Pertama kepada pihak lain termasuk kepada advokat akan berakibat advokat selaku eksekutor yang akan menandatangani Risalah Lelang. Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan kekuasaan Pemegang Hak Tanggungan Pertama kepada pihak lain termasuk kepada advokat, akan berakibat advokat selaku kuasa bertindak menjadi eksekutor dan penjual yang menandatangani Risalah Lelang, hal ini jelas-jelas telah melebihi kewenangan yang diberikan atas dasar janji-janji sesuai Pasal 11 ayat (2) huruf e, yang berbunyi “Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji”. Jika Pasal 6 dikaitkan dengan Pasal 12 UU 4/1996, dimana dalam Pasal 12 UU 4/1996 diatur janji yang memberikan kewenangan kepada Pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji adalah batal demi hukum. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan “Pemegang hak 25 tanggungan dilarang untuk serta merta untuk menjadi pemilik objek Hak Tanggungan”. Dengan demikian pasal ini membatasi kepemilikan langsung atas objek Hak Tanggungan yang dapat diartikan sekaligus membatasi perbuatan- perbuatan hukum dari si Pemegang Hak Tanggungan Pertama bertindak seolah-olah dalam kapasitas seorang pemilik. Dengan logika hukum dapat dikatakan, jika A menyerahkan barang jaminannya kepada B untuk jaminan hutang dengan janji adanya hak menjual barang dalam hal A cidera janji, maka hal itu tidak akan menimbulkan hak pada si B untuk menguasakan kepada si C menjual barang jaminan tersebut. Selain dari alasan normatif di atas, dari landasan pragmatisme (aspek ekonomi), pemberian kuasa kepada advokat akan menambah biaya pelaksanaan Pasal 6 UU 4/1996, karena Debitor selain membayar pokok hutang, juga harus membayar beban biaya atas jasa bantuan hukum advokat (biasanya dibuat sebagai penambah jumlah hutang) yang semestinya tidak harus ada. Hal tersebut akan menghilangkan hak konstitusional dari debitor atas hasil penjualan barangnya. Hai ini juga mengakibatkan pelaksanaan hukum tidak konsisten dengan esensi UU 4/1996 dan sifat parate executie yang menyederhanakan proses dan mengurangi pembebanan biaya. Pemerintah berpendapat bahwa di dalam menanggapi permohonan uji materiil Pemohon selaku advokat, semestinya Pasal 6 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b tidak dilihat sebagai pasal yang berdiri sendiri, karena Undang-Undang Hak Tanggungan sebagaimana yang telah diuraikan di atas bertujuan untuk menjamin perlindungan terhadap semua pihak (kreditor, debitor dan pihak-pihak lain berkepentingan terhadap hak atas tanah). Selain itu, kewenangan advokat untuk memberikan jasa bantuan hukum di dalam eksekusi Hak Tanggungan juga dijamin oleh UU 4/1996. Pemerintah dapat menyampaikan bahwa Pemohon tidak dirugikan haknya dengan keberlakuan Pasal 6 UU 4/1996, oleh karena dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UU 4/1996, Pemohon masih dimungkinkan untuk memberikan jasa bantuan hukum melalui pelaksanaan titel eksekutorial yang tercanturn dalam Sertipikat Hak Tanggungan melalui mekanisme Hukum Acara Perdata sebagaimana ditentukan dalam Pasal 224 Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan 258 Reglement Buiten Gewesten (RBG). Pelaksanaan eksekusi tersebut dilaksanakan dengan mengajukan 26 permohonan eksekusi (fiat eksekusi) oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dengan menyerahkan sertipikat Hak Tanggungan sebagai dasarnya. Kemudian, eksekusi akan dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri melalui pelelangan umum yang dilakukan oleh KPKNL. Dalam hal eksekutor adalah Ketua Pengadilan Negeri, maka advokat dapat saja bertindak selaku kuasa hukum dari bank selaku pemegang Hak Tanggungan, namun bukan sebagai eksekutor (pelaksana eksekusi), oleh karena kewenangan Ketua Pengadilan Negeri selaku eksekutor disebutkan dalam Pasal 224 HIR dan 258 RBG. Dengan demikian jelas advokat dapat bertindak selaku kuasa dalam memberikan jasa bantuan hukum dalam rangka eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf b melalui fiat pengadilan, karena yang bertindak sebagai eksekutor adalah Ketua Pengadilan Negeri. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, kepentingan Pemohon selaku advokat telah diakomodir oleh Undang-Undang Hak Tanggungan, dengan kata lain Undang- Undang Hak Tanggungan secara keseluruhan tidak melanggar hak konstitusional Pemohon yang diatur dalam Undang-Undang Advokat dan dijamin Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 oleh karena Pemohon selaku advokat masih bisa memperoleh haknya untuk memberikan jasa bantuan hukum. Pemerintah berpendapat bahwa jikalaupun/seandainya anggapan Pemohon benar adanya quod non dan permohonan pengujian ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka dapat berdampak pada hal-hal sebagai berikut:
Hak Tanggungan akan kehilangan makna yang sangat esensi dan merupakan roh-nya hak jaminan yang mempunyai kekuatan parate executie untuk melakukan eksekusi dalam rangka pelunasan piutang atas kekuasaan sendiri tanpa melalui pengadilan semata-mata hanya karena kepentingan profesi advokat, padahal advokat masih diberi kemungkinan untuk dapat berperan memberi jasa bantuan hukum dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan melalui fiat eksekusi pengadilan negeri setempat;
UU 4/1996 tidak lagi menjadi Undang-Undang yang memberi kemudahan dan efektifitas dalam pelaksanaan eksekusi jaminan hutang yang sangat dibutuhkan dalam dunia usaha yang permodalannya diperoleh melalui perkreditan;
UU 4/1996 tidak lagi menjadi Undang-Undang yang memberikan perlindungan 27 terhadap kreditor pemegang Hak Tanggungan dari perbuatan debitor yang beritikad tidak baik untuk melunasi hutangnya, sehingga tidak ada lagi pijakan dan dasar utama bagi kreditor dalam memperoleh pelunasan piutangnya; Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka apabila Pasal 6 dan Pasal 15 ayat (1) dinyatakan dicabut atau diberlakukan konstitusional bersyarat sebagaimana yang diinginkan Pemohon, maka Hak Tanggungan kehilangan daya tarik dan kekuatannya untuk mendorong berkembangnya iklim usaha yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia seluruhnya. Dengan demikian, apabila permohonan Pemohon dikabulkan, maka jelas kepentingan- kepentingan Pemohon semata-mata akan merugikan kepentingan nasional. Pemerintah berpendapat bahwa penegakan hukum mestilah memperhatikan 3 faktor penting, yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Apabila kepastian yang lebih diutamakan, maka tentulah keadilan dan kemanfaatan menjadi ternegasikan. Sebaliknya mengutamakan kemanfaatan dapat mengakibatkan ternegasikannya kepastian hukum itu sendiri. Oleh karena itu, Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi yang terhormat untuk mempertimbangkan kepentingan nasional yang akan dirugikan dari kepentingan Pemohon yang mana kepentingannya secara prinsip telah memperoleh perhatian yang cukup dalam UU 4/1996 untuk dapat berperan memberi jasa bantuan hukum. Selain itu, terlalu berlebihan kiranya jika hak konstitusional advokat diukur semata-mata dari kepentingannya untuk bertindak selaku kuasa dalam pelaksanaan parate executie Hak Tanggungan, padahal diketahui pekerjaan seorang advokat tidak hanya melaksanakan kuasa parate executie saja. Bertolak dari peristiwa hukum yang dialami Pemohon selaku advokat yang permohonannya untuk melaksanakan parate executie di KPKNL Bandar Lampung telah ditolak, Pemerintah berpendapat tidak tepat kiranya menjadi dasar Pengujlan Materiil Pasal 6 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 terhadap ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi, oleh karena penolakan Kepala KPKNL Bandar Lampung terhadap permohonan Pemohon selaku advokat adalah merupakan keputusan pejabat tata usaha negara yang merupakan beschikking. Penolakan permohonan parate executie tersebut telah diuji di 28 pengadilan tata usaha negara dan telah diputus dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sesuai putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 35/G/2009/PTUN-JKT tanggal 13 Juli 2009 (bukti I) juncto Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 213/B/2009/PTTUN.JKT tanggal 11 Januari 2010 (bukti II) juncto putusan Mahkamah Agung Nomor 212 K/TUN/2010 tertanggal 26 Agustus 2010 (bukti III), dengan amar menolak gugatan Penggugat dalam hal ini adalah Pemohon dalam perkara a quo. Pemerintah berpendapat bahwa sikap yang diambil oleh Kepala KPKNL Bandar Lampung ini juga berlaku untuk seluruh kantor KPKNL yang ada di Indonesia ketika menghadapi permasalahan serupa dengan Pemohon. Sikap ini selain pertimbangan yuridis bahwa: “Pasal 6 UU 4/1996 tidak ada secara jelas/nyata menyebutkan diperbolehkannya pemberian kuasa kepada pihak lain termasuk advokat untuk menjual objek Hak Tanggungan”, juga didasari pada pertimbangan pragmatis yaitu untuk melindungi debitor dari “pelimpahan kekuasaan Pemegang Hak Tanggungan Pertama kepada pihak lain termasuk kepada advokat, akan berakibat advokat selaku kuasa bertindak menjadi eksekutor dan penjual yang menandatangi Risalah Lelang (lelang berdasarkan Pasal 6 UU 4/1996 termasuk jenis lelang eksekusi), hal ini jelas- jelas telah melebihi kewenangan yang diberikan atas dasar janji-janji sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) huruf e”, serta pemberian kuasa kepada advokat akan menambah biaya terkait pelaksanaan Pasal 6 UU 4/1996, yang pada akhirnya akan menambah beban dari si debitor/pemberi Hak Tanggungan dan menghilangkan hak konstitusional dari debitor atas hasil penjualan barangnya, sedangkan esensi UU 4/1996 bermaksud untuk menyederhanakan proses pelaksanaan eksekusi jaminan dan mengurangi pembebanan biaya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang digunakan Pemohon sebagai pasal pengujian dalam permohonan pengujian di Mahkamah Konstitusi ini, Pemerintah berpendapat bahwa permohonan Pemohon ini tidak tepat. Pemerintah berpendapat bahwa perlu ada pembedaan perlakuan antara menguji ketentuan suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945, dengan menguji pelaksanaan suatu ketentuan Undang-Undang yang dilakukan Pemerintah, dalam hal ini terhadap suatu produk surat yang dikeluarkan Pemerintah, karena dalam masalah ini, juga sudah ada putusan pengadilan yang membenarkan tindakan yang dilakukan 29 Pemerintah. V. Permohonan Petitum UU 4/1996 pada umumnya, in casu ketentuan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon sebagai satu kesatuan dari keseluruhan UU 4/1996 telah ternyata tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon, dan karenanya menurut Pemerintah ketentuan a quo tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sehubungan dengan hal-hal yang telah diuraikan di atas, Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi yang mengadili permohonan pengujian UU 4/1996 terhadap UUD 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima _(niet ontvankelijke verklaard); _ 2. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. __ Namun demikian apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.4] Menimbang bahwa untuk membuktikan keterangannya, Pemerintah mengajukan Ahli Prof. Dr. Mariam Darus, S.H., FCBArb. dan Ahli Prof. Dr. Herowati Poesoko, S.H., M.H. , yang telah didengarkan keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 21 Juni 2011 pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Prof. Dr. Mariam Darus, S.H., FCBArb. Prof. Subekti, S.H. dan Prof. Mahadi, S.H. mengemukakan bahwa karakter sistem hukum ialah kesatuan hukum secara menyeluruh (konkrit) didukung oleh sejumlah tiang, pilar, asas-asas (abstrak) yang terpadu dan harmonis mewujudkan kepastian hukum. 30 Ranah hukum UU 4/1996 adalah hukum benda dan hukum perjanjian yang keduanya dipayungi oleh hukum harta kekayaan ( vermogensrecht ) yang diatur dalam buku kedua dan buku ketiga KUH Perdata. Asas-asas UU 4/1996 sebagai hukum benda adalah: i) sistem tertutup ( gesloten system ), yaitu seseorang tidak diperkenankan mengadakan hak kebendaan selain dari yang diatur Undang-Undang; ii) Droit de suite, yaitu hak atas benda mengikuti bendanya di dalam tangan siapapun ia berada. Droit de preference , yaitu pemegang hak tanggungan pertama memiliki hak didahulukan untuk dipenuhi tagihannya dari pemegang hak tanggungan yang lahir sesudahnya. iii) asas spesialitas, yaitu pertelaan mengenai objek hak tanggungan. iv) asas publisitas, yaitu pencatatan dan pembebanan objek hak tanggungan di dalam buku tanah, sehingga terbuka dan dapat diketahui umum. v) asas mudah dan pasti pelaksana eksekusinya. vi) asas accesoir , yaitu hak tanggungan adalah perjanjian ikutan ( accesoir ) dan tidak merupakan hak yang berdiri sendiri ( zelfstandingrecht ). Adanya dan hapusnya perjanjian ikutan ( accesorium ) tergantung dari perjanjian pokok. vii) asas pemisahan horizontal, yaitu hak atas tanah dapat terpisah dari benda- benda yang melekat di atasnya. viii) asas iktikad baik, yaitu para pihak dalam pelaksanaan hak tanggungan harus jujur. Pengertian iktikad baik dalam hak kebendaan mempunyai arti subjektif, berbeda dengan hukum perjanjian, dimana iktikad baik bersifat objektif atau kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat. Sedangkan dalam asas-asas hukum perjanjian, terkandung i) asas kebebasan berkontrak; ii) asas itikad baik; iii) asas persamaan; iv) asas perjanjian mengikat sebagai undang-undang; v) asas kebiasaan; vi) asas konsensualisme; dan vii) asas keseimbangan. Cara menafsirkan ketentuan-ketentuan dalam suatu Undang-Undang, diatur dalam Pasal 1342, 1343, dan Pasal 1348 KUH Perdata. Hak tanggungan dalam Pasal 6 UUHT mengemukakan beberapa elemen, yaitu a) Debitor ingkar janji; b) kreditur pemegang hak tanggungan tingkat pertama 31 berhak menjual objek tanggungan atas kekuasaan sendiri; c) melalui pelelangan umum; dan d) mengambil pelunasan utangnya dari hasil penjualan tersebut. Dalam sejarahnya, UUHT adalah reformasi dari lembaga hipotek yang diatur dalam KUH Perdata Buku II, Bab XXI Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232. Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 ternyata diambil dari Pasal 1178 KUH Perdata. Pitlo, dalam bukunya Het Zakenrechts naar Het Nederlands Burgerlijk Wetboek , penerbit Tjeenk Willink, 1954, halaman 447, menerangkan “ Pemegang hipotik sesungguhnya bertindak atas namanya sendiri melaksanakan haknya sendiri. Penjualan oleh pemegang hipotik itu adalah suatu bentuk dari penjualan executorial”. Pasal 6 UU 4/1996 yang mengatur tentang parate executie sejalan pula dengan jaminan umum yang terdapat dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Dari penjelasan Pitlo, dilakukan penafsiran analogi bahwa hak untuk melakukan parate executie hanya dapat dilaksanakan oleh pemegang hak tanggungan pertama. Eksistensi dari hak tersebut diciptakan oleh Undang-Undang, dan tidak lahir dari perjanjian. Jika ditafsirkan sebagai kuasa, maka harus merujuk kepada perjanjian kuasa yang tercantum dalam KUH Perdata mulai Pasal 1792. UU 4/1996 menentukan bahwa janji-janji harus didaftar. Pendaftaran adalah suatu sistem dimana terdapat asas publikasi, yaitu setiap orang yang sudah membaca janji-janji yang berakar dari hukum perjanjian, maka hukum perjanjian otomatis mempunyai aspek hukum publik. Pengertian Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 dapat dilihat pada penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf b yang menyatakan bahwa subsitusi menurut Undang- Undang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Menurut Ahli, tidak ada masalah jika ada kuasa di luar materi yang terkandung dalam Pasal 6 UU 4/1996. Hal yang tidak boleh adalah parate executie yang diatur oleh Pasal 6 tersebut. Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena pengaturan parate executie dengan Undang-Undang memenuhi asas-asas sebagai berikut:
Tercapai kesejahteraan spiritual bagi masyarakat maupun individu melalui pembaharuan atau pelestarian; 32 2. Memenuhi asas keseimbangan;
Memenuhi asas itikad baik;
Memenuhi asas jaminan umum;
Memenuhi asas hutang wajib dibayar, should and have to , dan;
Memenuhi asas kepastian hukum. Perbedaan prinsip antara parate executie yang ditentukan Undang-Undang dengan perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata adalah; jika menggunakan perjanjian sebagai rujukan, tidak akan ada kepastian hukum karena perjanjian kuasa berdasarkan atas asas kebebasan berkontrak, yang dapat diputuskan sewaktu- waktu, sehingga kalau penjualan sudah terjadi ( parate executie ) dan banyak anggota masyarakat yang berkeberatan dengan keadaan itu, akan terjadi gugatan- gugatan kepada pengadilan; dan karena apa yang ditentukan Undang-Undang wajib dipatuhi karena Undang-Undang mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara yang mengandung asas kepastian hukum.
Prof. Dr. Herowati Poesoko, S.H., M.H. Dari Pasal 6 UU 4/1996, ternyata dalam hak/kewenangan pemegang hak tanggungan pertama terkandung ciri-ciri hak relatif (P. van Dijk, 1985, hal. 52). Hak relatif yang dimaksudkan adalah:
hak relatif hanya berlaku untuk seorang tertentu. Terkait Pasal 6 UU 4/1996, ciri hak relatif secara ex lege hanya berlaku bagi pemegang hak tanggungan pertama secara pribadi untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri, bukan kuasa termasuk seorang advokat.
hak relatif mempunyai tuntutan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu, memberikan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu. Terkait Pasal 6 UU 4/1996, hak relatif bagi pemegang hak tanggungan pertama mengajukan kepada kantor lelang untuk melakukan penjualan objek hak tanggungan milik debitor yang cidera janji secara lelang melalui pelelangan umum.
objek hak relatif adalah prestasi. Terkait dengan Pasal 6 UU 4/1996, prestasi dari hasil penjualan melalui lelang digunakan sebagai sumber pelunasan piutang yang diterimakan kepada pemegang hak tanggungan pertama. 33 Berpijak pada Pasal 6 yang terkandung ciri-ciri hak relatif yang substansinya preskriptif, maka hak menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri hanya berlaku bagi pemegang Hak Tanggungan pertama secara pribadi. Pengajuan parate executie oleh kuasa hukum (advokat) bertentangan dengan Pasal 6 UU 4/1996. Pasal 20 ayat (4) UU 4/1996 menyatakan, “ Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara bertentangan dengan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) batal demi hukum ”. Pemberian kuasa atau pengajuan parate executie oleh seorang kuasa bahkan seorang advokat, merupakan perjanjian. Sahnya suatu perjanjian ditentukan, dalam Pasal 1320 BW (KUH Perdata), yaitu a) sepakat mereka yang mengikatkan diri; b) unsur kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c) tentang sesuatu hal tertentu; dan d) sebab yang tidak terlarang atau sebab yang halal. Ternyata, pemberian kuasa oleh pemegang Hak Tanggungan pertama kepada seorang advokat untuk mengajukan parate executie , merupakan sebab yang terlarang menurut Undang-Undang. Karena bertentangan dengan Pasal 6, sebagai norma yang mempunyai ciri-ciri hak relatif. Pasal 6 dengan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 tidak ada hubungan secara langsung. Lahirnya parate executie pada Hak Tanggungan melalui proses SKMHT, APHT, dan pendaftaran, sehingga pemegang Hak Tanggungan pertama memiliki sifat preferen , droit de suite , specialiteit , dan publisitas. Tanpa melalui proses yang demikian, pemegang Hak Tanggungan pertama hanya berkedudukan sebagai kreditor kedua atau sebagai kreditor konkuren, sehingga tidak memiliki hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Advokat menyatakan, “ Jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat, berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien ”. Antara Undang-Undang Advokat Pasal 1 ayat (2) dengan UU 4/1996, yang dimaksudkan dengan Pasal 6 juncto Pasal 20 ayat (1) huruf a dan Pasal 20 ayat (4), terdapat antinomi atau konflik norma. Pasal 6 UU 4/1996 karakter normatifnya 34 berbentuk perintah secara ex lege , tetapi Pasal 2 ayat (1) adalah izin. Sehingga antara perintah dengan izin terdapat konflik (subalternasi). Apabila terdapat konflik norma, harus dikembalikan kepada asas lex specialis derogat lex generalis , artinya UU 4/1996 lebih diutamakan ( lex specialis ) karena secara khusus hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri hanya berlaku bagi pemegang Hak Tanggungan Pertama secara pribadi; sedangkan UU 8/2003 Pasal 1 ayat (2) merupakan lex generalis . Dengan demikian, UU 4/1996 atau parate executie tidak menafikan UU Advokat. Penolakan Direktur Lelang Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang merupakan instansi vertikal dari bawahannya, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bandar Lampung terhadap pengajuan parate executie oleh seorang kuasa atau seorang advokat tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena UU 4/1996 ( parate executie ) tidak menafikan Undang-Undang Advokat. Advokat masih dapat menjadi kuasa sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3) juncto Pasal 14 ayat (2) UU 4/1996, karena eksekusinya melalui pengadilan yang menurut hukum acara perdata, sebagaimana Pasal 123 HIR/147 RBG menyatakan bahwa dalam mengajukan proses di pengadilan dapat dibantu oleh seorang kuasa hukum atau advokat. Dalam hal kantor lelang menerima permohonan parate executie dan melaksanakan penjualannya, penjualan lelang tersebut melanggar UU 4/1996. Kalau melanggar Undang-Undang, menurut Pasal 1320 ayat (4) karena melanggar ketertiban umum, maka hal tersebut batal demi hukum. [2.5] Menimbang bahwa Pemohon menyerahkan kesimpulan tertulis bertanggal 30 Juli 2011 ( sic ) yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 30 Juni 2011. Pemerintah mengajukan kesimpulan tertulis bertanggal 30 Juni 2011 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 1 Juli 2011, disertai dokumen bukti terkait; [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam berita acara persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan putusan ini; 35 3. PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian materiil Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara RepubIik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara RepubIik Indonesia Nomor 3632, selanjutnya disebut UU 4/1996), yang menyatakan: Pasal 6 UU 4/1996: “ Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. ” Pasal 15 ayat (1) huruf b: “ Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris _atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: _ a. ... b. _Tidak memuat kuasa substitusi; _ c. ... ” terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), yaitu: Pasal 27 ayat (2): “ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. ” Pasal 28D ayat (1): “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. ” 36 [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok Permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut:
kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan _a quo; _ b. kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon; Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang disebutkan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.4] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah mengenai pengujian Undang-Undang in casu UU 4/1996 terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( legal standing ) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); 37 b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia, berprofesi sebagai advokat, yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) UU 4/1996; [3.8] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan pendirian Mahkamah sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.5] dan paragraf [3.6], Mahkamah berpendapat, Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian pasal dalam Undang-Undang a quo ; 38 [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, serta Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing ) maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.10] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 terhadap Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945; [3.11] Menimbang bahwa Pasal 6 UU 4/1996 menyatakan, “ Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. ” Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 menyatakan, “ Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi _persyaratan sebagai berikut: _ a. ... b. _Tidak memuat kuasa substitusi; _ c. ... ” [3.12] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan dirinya, sebagai advokat, telah ditolak permohonannya untuk menjadi kuasa dari PT. Bank UOB dalam mengajukan parate executie , oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bandar Lampung (KPKNL), dengan alasan eksekusi hak tanggungan harus dilakukan oleh pemegang hak tanggungan sendiri dan tidak dapat dikuasakan kepada orang lain (merujuk frasa “kekuasaan sendiri”) sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996; Menurut Pemohon, hal demikian bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya disebut UU 18/2003) dalam kedudukannya sebagai seorang advokat dan menjadi kuasa suatu Bank untuk 39 melakukan pekerjaannya mewakili Bank, sehingga menghilangkan kesempatan untuk memperoleh penghasilan dari jasa advokat; Bahwa oleh karena dalam praktik penerapan pasal-pasal a quo berbeda, ada yang membolehkan advokat sebagai kuasa melaksanakan parate executie dan ada pula yang tidak membolehkan. Hal demikian menimbulkan diskriminasi dan ketidakpastian hukum, sehingga menimbulkan ketidakadilan; [3.13] Menimbang bahwa pengaturan parate executie dalam Pasal 20 ayat (1) huruf (a) UU 4/1996 menyatakan, ” _Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan: _ (a) hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan _sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau _ ” Adapun Pasal 6 Undang-Undang a quo menyatakan, “ Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut .” Dengan demikian, dalam hal debitor cidera janji maka hak relatif tersebut berlaku. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama bersifat relatif ( relatief recht ), artinya berlaku hanya untuk seseorang tertentu atau lebih yang dapat melaksanakannya ( Een relatief recht–ook wel persoonlijk recht genoemd—is een recht dat slechts in relatie tot een of meer bepaalde personen kan worden uitgeoefend ). Hak tersebut menciptakan tuntutan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu, memberikan sesuatu, dan/atau tidak melakukan sesuatu. Dalam hal ini khusus diberikan kepada pemegang Hak Tanggungan pertama untuk mengajukan permintaan agar Kantor Lelang melakukan penjualan objek Hak Tanggungan milik debitor melalui pelelangan umum. Secara a contrario parate executie yang dilakukan oleh seorang kuasa (termasuk advokat) bertentangan dengan Pasal 6 UU 4/1996; [3.14] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan sebagai advokat tunduk pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 18/2003 yang menyatakan, ” Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini ” bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “ Tiap-tiap warga negara 40 berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ” dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”. Kuasa yang diterima seseorang (advokat) adalah perjanjian yang didasarkan pada syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW. Pasal tersebut menyatakan adanya empat unsur yang harus dipenuhi dalam perjanjian, yaitu syarat subjektif berupa kata sepakat dan cakap membuat suatu perjanjian, dan syarat objektif berupa sesuatu hal tertentu dan suatu sebab yang tidak dilarang. Parate executie , karena merupakan hak relatif yang hanya dapat diberikan kepada pemegang Hak Tanggungan pertama, jika diberikan dengan surat kuasa kepada seseorang lain yang tidak berhak melaksanakan parate executie , akan menjadikan batal sifat perjanjian kuasa tersebut karena tidak memenuhi syarat keempat dari perjanjian, yaitu suatu sebab yang tidak dilarang; [3.15] Menimbang bahwa ketentuan Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 mengandung hak relatif, jadi bersifat khusus ( lex specialis ), sedangkan Pasal 1 angka 2 UU 18/2003 bersifat umum ( lex generalis ). Oleh sebab itu, sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generali , maka Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 ( lex specialis ) mengesampingkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 18/2003 yang bersifat umum ( legi generali ); [3.16] Menimbang bahwa Penjelasan Pasal 15 ayat (1) b UU 4/1996 menyatakan, ” Yang dimaksud dengan pengertian substitusi menurut Undang-undang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Bukan merupakan substitusi, jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya Direksi Bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada Kepala Cabangnya atau pihak lain ”. Dengan demikian yang dilarang ialah jika pemegang hak tanggungan pertama memberi kuasa kepada pihak lain dengan pengalihan hak untuk mengganti posisinya menjual objek hak tanggungan dengan kekuasaan sendiri ( parate executie ) jika debitor ingkar janji; 41 [3.17] Menimbang bahwa menurut Pemohon dalam praktiknya pasal-pasal UU 4/1996 a quo diterapkan berbeda satu dengan yang lain. Ada yang membolehkan advokat sebagai kuasa melaksanakan parate executie dan ada pula yang tidak membolehkan advokat sebagai kuasa parate executie , sehingga menimbulkan diskriminasi, ketidakpastian hukum, serta ketidakadilan. Menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan persoalan implementasi dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas dari pasal-pasal yang dimohonkan pengujian; [3.18] Menimbang bahwa sesungguhnya masih terdapat peluang Pemohon untuk menjadi kuasa hukum para pihak berkaitan dengan implementasi UU 4/1996, misalnya melakukan tugas mengurus administrasi dan pekerjaan lain sebagai petugas dari kreditor pemegang hak tanggungan pertama. Keberadaan Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 yang mengandung hak relatif ( relatief recht ) berlaku bagi siapa saja (tidak bersifat diskriminatif), karenanya tidak merugikan Pemohon dan tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; [3.19] Menimbang bahwa dari keseluruhan uraian tersebut di atas, dalam hubungannya satu dengan yang lain, menurut Mahkamah, dalil-dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 tidak beralasan menurut hukum;
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan tidak beralasan hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana 42 telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); 5 . AMAR P U T U S AN Mengadili, Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal lima bulan Desember tahun dua ribu sebelas dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh satu bulan Desember tahun dua ribu sebelas oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA ttd. Moh. Mahfud MD 43 ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Achmad Sodiki ttd. Maria Farida Indrati ttd. Hamdan Zoelva ttd. Ahmad Fadlil Sumadi ttd. Anwar Usman ttd. Harjono ttd. Muhammad Alim PANITERA PENGGANTI, ttd. Mardian Wibowo
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. ...
Relevan terhadap
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4737 A. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENDIDIKAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Kebijakan dan Standar 1.a.Penetapan kebijakan nasional pendidikan.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program pendidikan antar provinsi.
Perencanaan strategis pendidikan nasional.
a.Penetapan kebijakan operasional pendidikan di provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program pendidikan antar kabupaten/kota.
Perencanaan strategis pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai dengan perencanaan strategis pendidikan nasional.
a. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional dan provinsi.
Ɇ c. Perencanaan operasional program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai dengan perencanaan strategis tingkat provinsi dan nasional. LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 38 Tahun 2007 TANGGAL : 9 Juli 2007 SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2.a. Pengembangan dan penetapan standar nasional pendidikan (isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan).
Sosialisasi standar nasional pendidikan dan pelaksanaannya pada jenjang pendidikan tinggi.
Penetapan pedoman pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal.
a. Ɇ b. Sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di tingkat provinsi.
Koordinasi atas pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas kabupaten/kota, untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.
a. Ɇ b. Sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di tingkat kabupaten/kota.
Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan kebijakan tentang satuan pendidikan bertaraf internasional dan satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal.
a.Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin perguruan tinggi.
Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional.
Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional 4. — 5.a. Ɇ b.— c.Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
— 5.a.Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dasar, satuan pendidikan menengah dan satuan/penyelenggara pendidikan nonformal.
— c.Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Ɇ e. Ɇ 6. Pengelolaan dan/atau penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan bertaraf internasional.
Penyelenggaraan sekolah Indonesia di luar negeri.
Ɇ e. Ɇ 6. Pemberian dukungan sumber daya terhadap penyelenggaraan perguruan tinggi.
Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan bertaraf internasional.
Ɇ d.Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dasar dan menengah berbasis keunggulan lokal.
Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan berbasis keunggulan lokal pada pendidikan dasar dan menengah.
Pemberian dukungan sumber daya terhadap penyelenggaraan perguruan tinggi.
Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pemberian izin pendirian, pencabutan izin penyelenggaraan, dan pembinaan satuan pendidikan Asing di Indonesia.
a. Pengembangan sistem informasi manajemen pendidikan secara nasional. b. Peremajaan data dalam sistem informasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat nasional.
Ɇ 10. a. Ɇ b. Peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat provinsi.
Ɇ 10. a. Ɇ b. Peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat kabupaten/kota.
Pembiayaan 1.a.Penetapan pedoman pembiayaan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan nonformal.
a. Ɇ 1.a. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi sesuai kewenangannya.
Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya.
Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya.
Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya.
Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya.
Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya.
Kurikulum 1.a. Penetapan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
a. Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah.
Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
a. Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar.
Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Penetapan standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah, dan sosialisasinya.
a.Pengembangan model kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.
Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan menengah.
a. Ɇ b.Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah.
Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah.
Sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar.
a. Ɇ b.Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar.
Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Sarana dan Prasarana 1.a.Monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan.
Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan.
a.Pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan menengah.
Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan.
a. Pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.
Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan.
a.Penetapan standar dan pengesahan kelayakan buku pelajaran.
Ɇ 2.a. Ɇ b. Pengawasan penggunaan buku pelajaran pendidikan menengah .
a. Ɇ b.Pengawasan penggunaan buku pelajaran pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendidik dan Tenaga Kependidikan 1.a. Perencanaan kebutuhan dan pengadaan pendidik dan tenaga kependidikan secara nasional.
Ɇ 2. Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar provinsi.
a. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan untuk pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya.
Pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan PNS untuk satuan pendidikan bertaraf internasional.
Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar kabupaten/kota.
a. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya.
Pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan PNS untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya 2. Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS di kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan.
a. Perencanaan kebutuhan, pengangkatan, dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan bagi unit organisasi di lingkungan departemen yang bertanggungjawab di bidang kependidikan.
Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS karena pelanggaran peraturan perundang- undangan.
Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan bertaraf internasional.
a. Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan bertaraf internasional.
Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS pada pendidikan bertaraf internasional selain karena alasan pelanggaran peraturan perundang- undangan 3. Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal.
a. Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal.
Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal selain karena alasan pelanggaran peraturan perundang-undangan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Ɇ 6. Sertifikasi pendidik.
Pengalokasian tenaga potensial pendidik dan tenaga kependidikan di daerah.
Ɇ 5. Ɇ 6. Ɇ 6. Pengendalian Mutu Pendidikan 1. Penilaian Hasil Belajar 1. Penetapan pedoman, bahan ujian, pengendalian pemeriksaan, dan penetapan kriteria kelulusan ujian nasional.
Pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.
Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian nasional.
Penyediaan blanko ijazah dan/atau sertifikat ujian nasional.
ɔ 2. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.
Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah skala provinsi.
Ɇ 1. ɔ 2. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal.
Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah skala kabupaten/kota.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian nasional.
Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian sekolah skala provinsi.
Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian sekolah skala kabupaten/kota.
Evaluasi 1.a.Penetapan pedoman evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
Pelaksanaan evaluasi nasional terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
a.Penetapan pedoman evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan.
a. Ɇ b.Pelaksanaan evaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal skala provinsi.
a. Ɇ 1.a. Ɇ b.Pelaksanaan evaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal skala kabupaten/kota.
a. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan.
Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal skala provinsi.
Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal skala kabupaten/kota.
Akreditasi 1.a.Penetapan pedoman akreditasi pendidikan jalur pendidikan formal dan non formal.
Pelaksanaan akreditasi pendidikan jalur pendidikan formal dan nonformal.
a. Ɇ b. Membantu pemerintah dalam pelaksanaan akreditasi pendidikan dasar dan menengah.
a. Ɇ b. Membantu pemerintah dalam akreditasi pendidikan nonformal.
Penjaminan Mutu 1. Penetapan pedoman penjaminan mutu satuan pendidikan.
a. Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan dalam pelaksanaan penjaminan mutu untuk memenuhi 1. ɔ 2.a. ɔ 1. ɔ 2.a. Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA standar nasional pendidikan.
Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional.
ɔ d. Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala nasional.
Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional.
ɔ d. Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala provinsi. nonformal dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar nasional pendidikan.
Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional.
Supervisi dan Fasilitasi satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal dalam penjaminan mutu.
Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala kabupaten/kota. B. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KESEHATAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Upaya Kesehatan 1. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit 1. Pengelolaan survailans epidemiologi kejadian luar biasa skala nasional.
Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular berpotensial wabah, dan yang merupakan komitmen global skala nasional dan internasional.
Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala nasional.
Penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala nasional.
Penyelenggaraan survailans epidemiologi, penyelidikan kejadian luar biasa skala provinsi.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular skala provinsi.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala provinsi.
Pengendalian operasional penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala provinsi.
Penyelenggaraan survailans epidemiologi, penyelidikan kejadian luar biasa skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan operasional penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengelolaan karantina kesehatan skala nasional. 5. Ɇ 5. Ɇ 2. Lingkungan Sehat 1. Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala nasional.
Ɇ 1. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala provinsi.
Ɇ 1. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala kabupaten/kota.
Penyehatan lingkungan.
Perbaikan Gizi Masyarakat 1. Pengelolaan survailans kewaspadaan pangan dan gizi buruk skala nasional.
a.Pengelolaan penanggulangan gizi buruk skala nasional.
Ɇ 1. Penyelenggaraan survailans gizi buruk skala provinsi.
a.Pemantauan penanggulangan gizi buruk skala provinsi.
Ɇ 1. Penyelenggaraan survailans gizi buruk skala kabupaten/ kota.
a.Penyelenggaraan penanggulangan gizi buruk skala kabupaten/kota.
Perbaikan gizi keluarga dan masyarakat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pelayanan Kesehatan Perorangan dan Masyarakat 1. Pengelolaan pelayanan kesehatan haji skala nasional.
Pengelolaan upaya kesehatan dan rujukan nasional.
Pengelolaan upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala nasional.
Bimbingan dan pengendalian pelayanan kesehatan haji skala provinsi.
Pengelolaan pelayanan kesehatan rujukan sekunder dan tersier tertentu.
Bimbingan dan pengendalian upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala provinsi.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan haji skala kabupaten/kota.
Pengelolaan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan sekunder skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.
a.Pemberian izin sarana kesehatan tertentu.
Ɇ 4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.
a.Pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh pemerintah.
Pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit pemerintah Kelas B non pendidikan, rumah sakit khusus, rumah sakit swasta serta sarana kesehatan penunjang yang setara.
Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.
a. Pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh pemerintah dan provinsi.
Pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit pemerintah Kelas C, Kelas D, rumah sakit swasta yang setara, praktik berkelompok, klinik umum/spesialis, rumah bersalin, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA klinik dokter keluarga/dokter gigi keluarga, kedokteran komplementer, dan pengobatan tradisional, serta sarana penunjang yang setara.
Pembiayaan Kesehatan 1. Pembiayaan Kesehatan Masyarakat 1.a.Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria bidang jaminan pemeliharaan kesehatan.
Pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional.
a.Pengelolaan/penyelenggara an, bimbingan, pengendalian jaminan pemeliharaan kesehatan skala provinsi.
Bimbingan dan pengendalian penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional (Tugas Pembantuan).
a.Pengelolaan/penyelenggara- an, jaminan pemeliharaan kesehatan sesuai kondisi lokal.
Penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional (Tugas Pembantuan). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Sumber Daya Manusia Kesehatan 1. Peningkatan Jumlah, Mutu dan Penyebaran Tenaga Kesehatan 1. Pengelolaan tenaga kesehatan strategis.
Pendayagunaan tenaga kesehatan makro skala nasional.
Pembinaan dan pengawasan pendidikan dan pelatihan (diklat) dan Training Of Trainer (TOT) tenaga kesehatan skala nasional.
Penempatan tenaga kesehatan strategis, pemindahan tenaga tertentu antar kabupaten/kota skala provinsi.
Pendayagunaan tenaga kesehatan skala provinsi.
Pelatihan diklat fungsional dan teknis skala provinsi.
Pemanfaatan tenaga kesehatan strategis.
Pendayagunaan tenaga kesehatan skala kabupaten/kota.
Pelatihan teknis skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan skala nasional sesuai peraturan perundang- undangan.
Pemberian izin tenaga kesehatan asing sesuai peraturan perundang-undangan.
Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala provinsi sesuai peraturan perundang-undangan.
Pemberian rekomendasi izin tenaga kesehatan asing.
Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala kabupaten/kota sesuai peraturan perundang- undangan.
Pemberian izin praktik tenaga kesehatan tertentu.
Obat dan Perbekalan Kesehatan 1. Ketersediaan, Pemerataan, Mutu Obat dan Keterjangkauan Harga Obat Serta Perbekalan Kesehatan 1. Penyediaan dan pengelolaan bufferstock obat nasional, alat kesehatan tertentu, reagensia tertentu dan vaksin tertentu skala nasional.
Penyediaan dan pengelolaan bufferstock obat provinsi, alat kesehatan, reagensia dan vaksin lainnya skala provinsi.
Penyediaan dan pengelolaan obat pelayanan kesehatan dasar, alat kesehatan, reagensia dan vaksin skala kabupaten/kota SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2.a.Registrasi, akreditasi, sertifikasi komoditi kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.
— c.— d.— 3.a.Pemberian izin industri komoditi kesehatan, alat kesehatan dan Pedagang Besar Farmasi (PBF).
a.Sertifikasi sarana produksi dan distribusi alat kesehatan, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) Kelas II.
— c.— d.— 3.a.Pemberian rekomendasi izin industri komoditi kesehatan, PBF dan Pedagang Besar Alat Kesehatan (PBAK).
a.Pengambilan sampling/contoh sediaan farmasi di lapangan.
Pemeriksaan setempat sarana produksi dan distribusi sediaan farmasi.
Pengawasan dan registrasi makanan minuman produksi rumah tangga.
Sertifikasi alat kesehatan dan PKRT Kelas I.
a.Pemberian rekomendasi izin PBF Cabang, PBAK dan Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ b.Pemberian izin PBF Cabang dan IKOT. b.Pemberian izin apotik, toko obat.
Pemberdayaan Masyarakat 1. Pemberdayaan Individu, Keluarga dan Masyarakat Berperilaku Hidup Sehat dan Pengembangan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) 1. Pengelolaan promosi kesehatan skala nasional. 1. Penyelenggaraan promosi kesehatan skala provinsi. 1. Penyelenggaraan promosi kesehatan skala kabupaten/kota.
Manajemen Kesehatan 1. Kebijakan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kesehatan.
Bimbingan dan pengendalian norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kesehatan.
Penyelenggaraan, bimbingan dan pengendalian operasionalisasi bidang kesehatan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 1.a.Pengelolaan penelitian dan pengembangan kesehatan strategis dan terapan, serta penapisan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) kesehatan skala nasional.
Ɇ c. Ɇ 1.a.Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan yang mendukung perumusan kebijakan provinsi.
Pengelolaan survei kesehatan daerah (surkesda) skala provinsi.
Pemantauan pemanfaatan Iptek kesehatan skala provinsi.
a.Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan yang mendukung perumusan kebijakan kabupaten/kota.
Pengelolaan surkesda skala kabupaten/kota.
Implementasi penapisan Iptek di bidang pelayanan kesehatan skala kabupaten/kota.
Kerjasama Luar Negeri 1. Pengelolaan kerjasama luar negeri di bidang kesehatan skala nasional.
Penyelenggaraan kerjasama luar negeri skala provinsi. 1. Penyelenggaraan kerjasama luar negeri skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas 1. Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala nasional.
Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala provinsi.
Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala kabupaten/kota.
Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan (SIK) 1. Pengelolaan dan pengembangan SIK skala nasional dan fasilitasi pengembangan sistem informasi kesehatan daerah.
Pengelolaan SIK skala provinsi. 1. Pengelolaan SIK skala kabupaten/kota. C. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PEKERJAAN UMUM SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Sumber Daya Air 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan nasional sumber daya air. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi.
Penetapan kebijakan pengelolaan sumber daya air kabupaten/kota.
Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai kabupaten/kota.
Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembentukan Dewan Sumber Daya Air Nasional, wadah koordinasi sumber daya air wilayah sungai lintas provinsi, dan wadah koordinasi sumber daya air wilayah sungai strategis nasional.
Pembentukan wadah koordinasi sumber daya air di tingkat provinsi dan/atau pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Pembentukan wadah koordinasi sumber daya air di tingkat kabupaten/kota dan/atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) pengelolaan sumber daya air.
— 6. — 7. Penetapan wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota, wilayah sungai lintas kabupaten/kota, wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
— 7. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan status daerah irigasi yang sudah dibangun yang menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
— 8. — 9. Pengesahan pembentukan komisi irigasi antar provinsi 9. Pembentukan komisi irigasi provinsi dan pengesahan pembentukan komisi irigasi antar kabupaten/kota.
Pembentukan komisi irigasi kabupaten/kota 2. Pembinaan 1. Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan cekungan air tanah lintas negara.
Penetapan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.
Penetapan dan pemberian izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah.
Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Pemberian bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberian bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Fasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam pengelolaan sumber daya air.
Fasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya air.
— 6. Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional.
Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi lintas kabupaten/kota.
Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi yang berada dalam satu kabupaten/kota.
Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.
Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat kabupaten/kota.
Pembangunan/ Pengelolaan 1. Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala nasional.
Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala provinsi.
Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat nasional.
Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat provinsi.
Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional.
Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi lintas kabupaten/kota.
Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu kabupaten/kota.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya lebih dari 3.000 ha atau pada daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya 1.000 ha sampai dengan 3.000 ha atau pada daerah irigasi yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu kabupaten/kota yang luasnya kurang dari 1.000 ha.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai strategis nasional.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan dan Pengendalian 1. Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam kabupaten/kota.
Bina Marga 1. Pengaturan 1. Pengaturan jalan secara umum:
Pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya.
Perumusan kebijakan perencanaan.
Pengendalian penyelenggaraan jalan secara makro.
— a. — b. — c. — 1. — a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengaturan jalan.
Pengaturan jalan nasional:
— b.— d. — 2. Pengaturan jalan provinsi:
Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan provinsi berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan.
Penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan provinsi dengan memperhatikan keserasian antar wilayah provinsi.
— 2. Pengaturan jalan kabupaten/kota:
Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan dengan memperhatikan keserasian antar daerah dan antar kawasan.
Penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.Penetapan fungsi jalan arteri dan jalan kolektor yang menghubungkan antar ibukota provinsi dalam sistem jaringan jalan primer.
Penetapan status jalan nasional.
Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan nasional.
Penetapan fungsi jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder dan jalan kolektor yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten, antar ibukota kabupaten, jalan lokal, dan jalan lingkungan dalam sistem jaringan jalan primer.
Penetapan status jalan provinsi.
Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan provinsi.
— d.Penetapan status jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan kabupaten/desa dan jalan kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengaturan jalan tol:
Perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, penetapan ruas jalan tol dan pembentukan peraturan perundang- undangan.
Pemberian rekomendasi tarif awal dan penyesuaiannya, serta pengambilalihan jalan tol pada akhir masa konsesi dan pemberian rekomendasi pengoperasian selanjutnya.
— a.— b.— 3. — a.— b.— 2. Pembinaan 1. Pembinaan jalan secara umum dan jalan nasional:
Pengembangan sistem bimbingan, penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan di bidang jalan.
Pembinaan jalan provinsi:
— 1. Pembinaan jalan kabupaten/kota:
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pemberian bimbingan, penyuluhan dan pelatihan para aparatur di bidang jalan.
Pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan dan yang terkait.
Pemberian fasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam penyelenggaraan jalan.
Penyusunan dan penetapan norma, standar, kriteria dan pedoman pembinaan jalan.
Pemberian bimbingan penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan provinsi dan aparatur penyelenggara jalan kabupaten/kota.
Pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan untuk jalan provinsi.
Pemberian fasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam penyelenggaraan jalan.
— b. Pemberian bimbingan penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
— d. — e. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. — 2. Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/kota.
Pembinaan jalan tol: Penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan serta penelitian dan pengembangan.
— 2. Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
— f. Pemberian izin, rekomendasi, dispensasi dan pertimbangan pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan.
Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembangunan dan Pengusahaan 1. Pembangunan jalan nasional:
Pembiayaan pembangunan jalan nasional.
Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan nasional.
Pengoperasian dan pemeliharaan jalan nasional.
Pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan nasional.
Pembangunan jalan provinsi:
Pembiayaan pembangunan jalan provinsi.
Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan provinsi.
Pengoperasian dan pemeliharaan jalan provinsi.
Pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan provinsi.
Pembangunan jalan kabupaten/kota:
Pembiayaan pembangunan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Pengoperasian dan pemeliharaan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Pengembangan dan pengelolaan manajemen jalan kabupaten desa dan jalan kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pengusahaan jalan tol:
Pengaturan pengusahaan jalan tol meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan/atau pemeliharaan.
Persiapan pengusahaan jalan tol, pengadaan investasi dan pemberian fasilitas pembebasan tanah.
— a. — b. — 2. — a. — b. — 4. Pengawasan 1. Pengawasan jalan secara umum:
Evaluasi dan pengkajian pelaksanaan kebijakan penyelengaraan jalan.
— a. — 1. — a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan.
Pengawasan jalan nasional:
Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan nasional.
Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan nasional.
Pengawasan jalan tol:
Pemantauan dan evaluasi pengaturan dan pembinaan jalan tol.
— 2. Pengawasan jalan provinsi:
Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan provinsi.
Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan provinsi.
— a. — b. — 2. Pengawasan jalan kabupaten/kota:
Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
— a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pemantauan dan evaluasi pengusahaan jalan tol dan terhadap pelayanan jalan tol.
— b. — 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pembangunan perkotaan dan perdesaan .
Penetapan kebijakan dan strategi wilayah provinsi dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan (mengacu kebijakan nasional).
Penetapan kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan dan perdesaan wilayah kabupaten/kota (mengacu kebijakan nasional dan provinsi).
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan perkotaan dan perdesaan.
Penetapan peraturan daerah provinsi mengenai pengembangan perkotaan dan perdesaan mengacu NSPK nasional.
Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota mengenai pengembangan perkotaan dan perdesaan berdasarkan NSPK.
Perkotaan dan Perdesaan 2. Pembinaan 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan Prasarana dan Sarana (PS) perkotaan dan pedesaan tingkat nasional.
Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan PS perkotaan dan pedesaan tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan PS perkotaan dan pedesaan tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan secara nasional.
Fasilitasi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan di wilayah provinsi.
Pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan di wilayah kabupaten/kota.
Pembangunan 1. Fasilitasi perencanaan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah.
Fasilitasi kerjasama/kemitraan tingkat nasional antara pemerintah/daerah dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan.
Fasilitasi penyiapan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah kota/kabupaten di wilayah.
Fasilitasi kerjasama/ kemitraan antara pemerintah/daerah dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan di lingkungan provinsi.
Penyiapan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah kabupaten/kota dengan mengacu pada RPJP dan RPJM nasional dan provinsi.
Penyelenggaraan kerjasama/ kemitraan antara pemerintah daerah/dunia usaha/ masyarakat dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan di lingkungan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan di kawasan strategis nasional.
— 3. Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan lintas kabupaten/kota di lingkungan wilayah provinsi.
Fasilitasi pembentukan lembaga/badan pengelola pembangunan perkotaan dan perdesaan lintas kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan di wilayah kabupaten/kota 4. Pembentukan lembaga/badan pengelola pembangunan perkotaan dan perdesaan di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian program pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan secara nasional.
Pengawasan dan pengendalian terhadap pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan di kabupaten/kota.
Pengawasan 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK. 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Air Minum 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan pelayanan air minum.
Penetapan peraturan daerah provinsi mengenai kebijakan dan strategi pengembangan air minum lintas kabupaten/kota di wilayahnya.
Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota mengenai kebijakan dan strategi pengembangan air minum di daerah kabupaten/kota.
Pembentukan Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPP-SPAM).
— 2. — 3. Penetapan BUMN penyelenggara SPAM lintas provinsi.
Penetapan BUMD provinsi sebagai penyelenggara SPAM lintas kabupaten/kota.
Penetapan BUMD sebagai penyelenggara SPAM di kabupaten/kota.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelayanan PS air minum secara nasional termasuk penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Penetapan peraturan daerah NSPK pelayanan PS air minum berdasarkan SPM yang disusun pemerintah.
Penetapan peraturan daerah NSPK pelayanan PS air minum berdasarkan SPM yang disusun pemerintah dan provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Memberikan izin penyelenggaraan pelayanan PS air minum lintas provinsi.
Memberikan izin penyelenggaraan untuk lintas kabupaten/kota.
Memberikan izin penyelenggaraan pengembangan SPAM di wilayahnya.
Penentuan alokasi air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM.
— 6. — 2. Pembinaan 1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar provinsi, yang bersifat khusus, strategis, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
Penyelesaian masalah dan permasalahan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Penyelesaian masalah dan permasalahannya di dalam wilayah kabupaten/kota.
Fasilitasi peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum secara nasional.
Peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum di lingkungan wilayah provinsi.
Peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum di wilayah kabupaten/kota termasuk kepada Badan Pengusahaan Pelayanan (operator) BUMD. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan standar kompetensi teknis SDM untuk kelompok ahli dan terampil bidang air minum.
— 3. — 3. Pembangunan 1. Fasilitasi pemenuhan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM secara nasional.
Penetapan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM di lingkungan wilayah provinsi.
Penetapan pemenuhan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM di wilayah kabupaten/kota.
— 2. — 2. Pengembangan SPAM di wilayah kabupaten/kota untuk pemenuhan SPM.
Fasilitasi penyelenggaraan bantuan teknis penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.
Fasilitasi penyelenggaraan (bantuan teknis) penyelenggaraan pengembangan SPAM di wilayah provinsi.
Fasilitasi penyelenggaraan (bantuan teknis) kepada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di wilayahnya dalam penyelenggaraan pengembangan SPAM. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah pelayanan lintas provinsi.
Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah pelayanan lintas kabupaten/kota setelah berkoordinasi dengan daerah kabupaten/kota.
Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah administrasi kabupaten/kota.
Fasilitasi penyediaan prasarana dan sarana air minum dalam rangka kepentingan strategis nasional.
Penyediaan PS air minum untuk daerah bencana dan daerah rawan air skala provinsi.
Penyediaan PS air minum untuk daerah bencana dan daerah rawan air skala kabupaten/kota.
Penanganan bencana alam tingkat nasional. 6. Penanganan bencana alam tingkat provinsi 6. Penanganan bencana alam tingkat kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.
Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM yang berada di wilayah provinsi.
Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM yang berada di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Evaluasi kinerja pelayanan penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.
Evaluasi kinerja pelayanan air minum di lingkungan wilayah provinsi.
Evaluasi terhadap penyelenggaraan pengembangan SPAM yang utuh di wilayahnya.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan PS air limbah.
Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS air limbah di wilayah provinsi mengacu pada kebijakan nasional.
Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS air limbah di wilayah kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional dan provinsi.
Air Limbah 2. Pembentukan lembaga penyelenggara pelayanan PS air limbah lintas provinsi.
Pembentukan lembaga tingkat provinsi sebagai penyelenggara PS air limbah di wilayah provinsi.
Pembentukan lembaga tingkat kabupaten/kota sebagai penyelenggara PS air limbah di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelayanan PS air limbah secara nasional termasuk SPM.
Penetapan peraturan daerah NSPK berdasarkan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah.
Penetapan peraturan daerah berdasarkan NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah dan provinsi.
Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah yang bersifat lintas provinsi.
Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah lintas kabupaten/kota.
Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah di wilayah kabupaten/kota.
Penetapan standar kompetensi teknis SDM untuk kelompok ahli dan terampil bidang air limbah.
— 5. — 2. Pembinaan 1. Fasilitasi penyelesaian permasalahan antar provinsi yang bersifat khusus, strategis baik yang bersifat nasional maupun internasional.
Fasilitasi penyelesaian masalah yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Penyelesaian masalah pelayanan di lingkungan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi peran serta dunia usaha tingkat nasional dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah.
Fasilitasi peran serta dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kerjasama dengan dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan PS air limbah.
Fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota.
Penyelenggaraan (bantek) pada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di wilayahnya dalam penyelenggaraan PS air limbah.
Pembangunan 1. Fasilitasi pengembangan PS air limbah skala kota untuk kota-kota metropolitan dan kota besar dalam rangka kepentingan strategis nasional.
Fasilitasi pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Penyelenggaraan pembangunan PS air limbah untuk daerah kabupaten/kota dalam rangka memenuhi SPM. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah lintas provinsi.
Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota.
Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah kabupaten/kota.
Penanganan bencana alam tingkat nasional. 3. Penanganan bencana alam tingkat provinsi. 3. Penanganan bencana alam tingkat lokal (kabupaten/kota).
Pengawasan 1. Pengendalian dan pengawasan atas penyelenggaraan pengembangan PS air limbah.
Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan PS air limbah di wilayahnya.
Monitoring penyelenggaraan PS air limbah di kabupaten/kota.
Evaluasi atas kinerja pengelolaan PS air limbah secara nasional.
Evaluasi atas kinerja pengelolaan PS air limbah di wilayah provinsi lintas kabupaten/kota.
Evaluasi terhadap penyelenggaraan pengembangan air limbah di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan SPM. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan PS persampahan.
Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi mengacu pada kebijakan nasional.
Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS persampahan di kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional dan provinsi.
Penetapan lembaga tingkat nasional penyelenggara pengelolaan persampahan (bila diperlukan).
Penetapan lembaga tingkat provinsi penyelenggara pengelolaan persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Penetapan lembaga tingkat kabupaten/kota penyelenggara pengelolaan persampahan di wilayah kabupaten/kota.
Penetapan NSPK pengelolaan persampahan secara nasional termasuk SPM.
Penetapan peraturan daerah NSPK pengelolaan persampahan mengacu kepada SPM yang ditetapkan oleh pemerintah.
Penetapan peraturan daerah berdasarkan NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah dan provinsi.
Persampahan 4. Memberikan izin penyelenggara pengelolaan persampahan lintas provinsi.
Memberikan izin penyelenggara pengelolaan persampahan lintas kabupaten/kota.
Pelayanan perizinan dan pengelolaan persampahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan 1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar provinsi.
Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar kabupaten/kota.
— 2. Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama pemda/dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan.
Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama pemda/dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota.
Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan kabupaten/kota.
Fasilitasi bantuan teknis penyelenggaraan pengembangan PS persampahan.
Memberikan bantuan teknis dan pembinaan lintas kabupaten/kota.
Memberikan bantuan teknis kepada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di kabupaten/kota.
Pembangunan 1. Fasilitasi penyelenggaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan secara nasional (lintas provinsi).
Fasilitasi penyelenggaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan secara nasional di wilayah provinsi.
Penyelengaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan lintas provinsi.
Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota.
Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan dan pengendalian pengembangan persampahan secara nasional.
Pengawasan dan pengendalian pengembangan persampahan di wilayah provinsi.
Pengawasan terhadap seluruh tahapan pengembangan persampahan di wilayah kabupaten/kota.
Evaluasi kinerja penyelenggaraan PS persampahan secara nasional.
Evaluasi kinerja penyelenggaraan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Evaluasi kinerja penyelenggaraan di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan drainase dan pematusan genangan.
Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi provinsi berdasarkan kebijakan dan strategi nasional.
Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi.
Penetapan NSPK penyelenggaraan drainase dan pematusan genangan.
Penetapan peraturan daerah NSPK provinsi berdasarkan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah di wilayah provinsi.
Penetapan peraturan daerah NSPK drainase dan pematusan genangan di wilayah kabupaten/kota berdasarkan SPM yang disusun pemerintah pusat dan provinsi.
Pembinaan 1. Fasilitasi bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan drainase.
Bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan).
— 7. Drainase 2. Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan secara nasional.
Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan di wilayah provinsi.
Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembangunan 1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir lintas kabupaten/kota.
Penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir di wilayah kabupaten/kota serta koordinasi dengan daerah sekitarnya.
Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase dan pengendalian banjir di kawasan khusus dan strategis nasional.
Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase di wilayah provinsi.
Penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase di wilayah kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan rencana induk penyelenggaraan prasarana sarana drainase dan pengendalian banjir skala nasional.
Penyusunan rencana induk PS drainase skala regional/lintas daerah.
Penyusunan rencana induk PS drainase skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan 1. Evaluasi kinerja penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir secara nasional.
Evaluasi di provinsi terhadap penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir di wilayah provinsi.
Evaluasi terhadap penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir secara lintas provinsi.
Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir lintas kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Permukiman 1. Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) yang berdiri sendiri:
Pengaturan 1. Penetapan kebijakan teknis Kasiba dan Lisiba nasional. 1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi Kasiba/Lisiba di wilayah provinsi.
Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi Kasiba/Lisiba di wilayah kabupaten/kota.
Penyusunan NSPK Kasiba dan Lisiba secara nasional. 2. Penetapan Peraturan Daerah NSPK Kasiba dan Lisiba di wilayah provinsi.
Penetapan Peraturan Daerah NSPK Kasiba dan Lisiba di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan Kasiba dan Lisiba.
Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dalam pembangunan Kasiba dan Lisiba.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi penyelesaian masalah Kasiba/Lisiba yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan nasional.
Fasilitasi penyelesaian pembangunan Kasiba/Lisiba antar kabupaten/kota.
— c.Pembangunan 1. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba strategis nasional.
Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba di kabupaten/kota.
Fasilitasi kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba.
Fasilitasi kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba.
— 3. Penetapan izin lokasi Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota.
Penetapan izin lokasi Kasiba/Lisiba di kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan dan pengendalian kebijakan nasional penyelenggaraan Kasiba dan Lisiba.
Pengawasan pelaksanaan kelayakan program Kasiba dan Lisiba di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan Kasiba dan Lisiba di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Evaluasi kebijakan nasional penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba.
Evaluasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba di provinsi.
Evaluasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.
Permukiman Kumuh/ Nelayan:
Pengaturan 1. Penetapan kebijakan nasional tentang penanggulangan permukiman kumuh perkotaan dan nelayan.
— 1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi penanggulangan permukiman kumuh/nelayan di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penyusunan NSPK kawasan permukiman. 2. — 2. Penetapan peraturan daerah tentang pencegahan timbulnya permukiman kumuh di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan dalam penanganan permukiman kumuh secara nasional. (bantuan teknis) 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dalam penanganan permukiman kumuh di wilayah provinsi.
— c. Pembangunan 1. Fasilitasi program penanganan permukiman kumuh bagi lokasi yang strategis secara nasional.
Fasilitasi penyelenggaraan penanganan permukiman kumuh di wilayahnya.
Penyelenggaraan penanganan kawasan kumuh perkotaan di kabupaten/kota.
Fasilitasi dan bantuan teknis untuk peremajaan/perbaikan permukiman kumuh/nelayan dengan Rumah Susun Sewa (RUSUNAWA).
Fasilitasi peremajaan/ perbaikan permukiman kumuh/nelayan.
Pengelolaan peremajaan/ perbaikan permukiman kumuh/nelayan dengan rusunawa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Pengawasan 1. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian penanganan permukiman kumuh nasional.
— 1. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian permukiman kumuh di wilayah kabupaten/kota.
Evaluasi kebijakan nasional penanganan permukiman kumuh.
Monitoring evaluasi pelaksanaan program penanganan permukiman kumuh di wilayahnya.
Evaluasi pelaksanaan program penanganan permukiman kumuh di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK .
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.
Pembangunan Kawasan a.Pengaturan 1. Penetapan kebijakan pembangunan kawasan strategis nasional.
— 1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penyusunan NSPK pembangunan kawasan strategis nasional.
— 2. Penetapan peraturan daerah NSPK pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan kawasan strategis nasional.
— 1. — 2. Fasilitasi penyelesaian masalah pembangunan kawasan yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan nasional.
Fasilitasi penyelesaian masalah pembangunan kawasan di wilayah provinsi.
— c.Pembangunan 1. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan kawasan strategis nasional.
— 1. Penyelenggaraan pembangunan kawasan strategis nasional.
Pengawasan 1. Pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan strategis nasional.
Pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan di wilayah provinsi.
Melaksanakan pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Evaluasi kebijakan nasional program pembangunan kawasan nasional.
Evaluasi pelaksanaan program pembangunan kawasan di provinsi.
Evaluasi pelaksanaan program pembangunan kawasan di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.
Pengaturan 1. Penetapan peraturan perundang-undangan, norma, standar, prosedur dan kriteria/bangunan gedung dan lingkungan 1. Penetapan peraturan daerah Provinsi, mengenai bangunan gedung dan lingkungan mengacu pada norma, standar, prosedur dan kriteria nasional.
Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota, mengenai bangunan gedung dan lingkungan mengacu pada norma, standar, prosedur dan kriteria nasional.
Bangunan Gedung dan Lingkungan 2. Penetapan kebijakan dan strategi nasional bangunan gedung dan lingkungan.
Penetapan kebijakan dan strategi wilayah provinsi mengenai bangunan gedung dan lingkungan.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota mengenai bangunan gedung dan lingkungan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan kebijakan pembangunan dan pengelolaan gedung dan rumah negara.
— 3. Penetapan kelembagaan bangunan gedung di kabupaten/kota.
Penyelenggaraan IMB gedung fungsi khusus. 4. — 4. Penyelenggaraan IMB gedung.
— 5. — 5. Pendataan bangunan gedung.
— 6. — 6. Penetapan persyaratan administrasi dan teknis untuk bangunan gedung adat, semi permanen, darurat, dan bangunan gedung yang dibangun di lokasi bencana.
— 7. — 7. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan 1. Pemberdayaan kepada pemerintah daerah dan penyelenggara bangunan gedung dan lingkungannya.
Pemberdayaan kepada pemerintah daerah dan penyelenggara bangunan gedung dan lingkungannya.
Pemberdayaan kepada masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungannya.
Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dan teknis Pemerintah daerah untuk bangunan gedung dan lingkungan.
Fasilitasi penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.
Pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.
Pembangunan 1. Fasilitasi bantuan teknis penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.
Penyelenggaraan model bangunan gedung dan lingkungan.
Penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan dengan berbasis pemberdayaan masyarakat.
Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah.
Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah provinsi.
Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala nasional atau internasional.
Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota.
Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala lokal.
Pengawasan 1. Pengawasan secara nasional terhadap pelaksanaan peraturan perundang- undangan, pedoman, dan standar teknis bangunan gedung dan lingkungannya, serta gedung dan rumah negara.
Pengawasan secara regional terhadap pelaksanaan peraturan perundang- undangan, pedoman dan standar teknis bangunan gedung dan lingkungannya gedung dan rumah negara.
Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan, pedoman dan standar teknis dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungannya.
Pengawasan dan penertiban pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung fungsi khusus.
— 2. Pengawasan dan penertiban pembangunan, pemanfaatan, dan pembongkaran bangunan gedung.
Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang 3. Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang 3. Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dilindungi dan dilestarikan yang berskala nasional atau internasional. dilindungi dan dilestarikan yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota. dilindungi dan dilestarikan yang berskala lokal.
Jasa Konstruksi 1. Pengaturan 1. Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan usaha, termasuk upaya mendorong kemitraan fungsional sinergis.
Fasilitasi untuk mendapatkan dukungan lembaga keuangan dalam memberikan prioritas pelayanan, kemudahan dan akses untuk memperoleh pendanaan.
Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan penyelenggaraan konstruksi.
Fasilitasi untuk mendapatkan dukungan lembaga pertanggungan dalam memberikan prioritas, 1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan jasa konstruksi yang telah ditetapkan.
— 3. — 4. — 1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan jasa konstruksi yang telah ditetapkan.
— 3. — 4. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelayanan, kemudahan dan akses untuk memperoleh jaminan pertanggungan resiko.
Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan keahlian dan teknik konstruksi.
Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan SDM bidang konstruksi.
— 6. — 5. — 6. — 2. Pemberdayaan 1. Pemberdayaan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nasional serta asosiasi badan usaha dan profesi tingkat nasional.
Peningkatan kemampuan teknologi, sistem informasi, penelitian dan 1. Pengembangan sistem informasi jasa konstruksi dalam wilayah provinsi yang bersangkutan.
Penelitian dan pengembangan jasa konstruksi dalam wilayah 1. Pengembangan sistem informasi jasa konstruksi dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
Penelitian dan pengembangan jasa konstruksi dalam wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengembangan teknologi bidang konstruksi.
Pemberdayaan penerapan keahlian dan teknik konstruksi kepada LPJK nasional serta asosiasi profesi tingkat nasional.
Perintisan penyelenggaraan pelatihan tenaga terampil konstruksi sebagai model.
Fasilitasi proses sertifikasi tenaga terampil konstruksi.
— provinsi yang bersangkutan.
Pengembangan sumber daya manusia bidang jasa konstruksi di tingkat provinsi.
Peningkatan kemampuan teknologi jasa konstruksi dalam wilayah provinsi yang bersangkutan.
Pelaksanaan pelatihan, bimbingan teknis dan penyuluhan dalam wilayah provinsi.
Pelaksanaan pemberdayaan terhadap LPJK daerah dan asosiasi di provinsi yang bersangkutan. kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pengembangan sumber daya manusia bidang jasa konstruksi di tingkat kabupaten/kota.
Peningkatan kemampuan teknologi jasa konstruksi dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan 5. Melaksanakan pelatihan, bimbingan teknis dan penyuluhan dalam wilayah kabupaten/kota.
Penerbitan perizinan usaha jasa konstruksi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengawasan 1. Pengawasan guna tertib usaha mengenai persyaratan perizinan dan ketentuan ketenagakerjaan.
Pengawasan terhadap LPJK- Nasional serta asosiasi badan usaha dan profesi tingkat nasional.
Pengawasan guna tertib penyelenggaraan dan tertib pemanfaatan pekerjaan konstruksi (ketentuan keteknikan, K3, keselamatan umum,lingkungan, tata ruang, tata bangunan dan ketentuan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan konstruksi).
Pengawasan tata lingkungan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Pengawasan sesuai kewenangannya untuk terpenuhinya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Pengawasan terhadap LPJK daerah dan asosiasi di provinsi yang bersangkutan.
Pengawasan tata lingkungan dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pengawasan sesuai kewenangannya untuk terpenuhinya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
— D. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERUMAHAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pembiayaan 1. Pembangunan Baru 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang pembiayaan perumahan.
Penetapan kebijakan, strategi, dan program provinsi di bidang pembiayaan perumahan.
Penetapan kebijakan, strategi, dan program kabupaten/kota di bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan norma, standar, pedoman, dan manual (NSPM) nasional bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM provinsi bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM kabupaten/kota bidang pembiayaan perumahan.
Pengembangan sistem pembiayaan dan instrumen pembiayaan.
Koordinasi penyelenggaraan dan mendorong terciptanya pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan perumahan.
Pelaksanaan, penerapan dan penyesuaian pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat nasional.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat provinsi.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat nasional.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat provinsi.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa.
Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa.
Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perbaikan 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang pembiayaan perumahan.
Penetapan kebijakan, strategi, dan program provinsi di bidang pembiayaan perumahan 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program kabupaten/kota di bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM nasional bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM provinsi bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM kabupaten/kota bidang pembiayaan perumahan.
Pengembangan sistem pembiayaan dan instrumen pembiayaan.
Koordinasi penyelenggaraan dan mendorong terciptanya pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan perumahan.
Pelaksanaan, penerapan dan penyesuaian pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat nasional.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat provinsi.
Fasilitasi bantuan bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat kabupaten/kota.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat nasional.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat provinsi.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik.
Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik.
Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiyaan perumahan di tingkat provinsi.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Pembinaan Perumahan Formal 1. Pembangunan Baru 1.a.Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
a.Koordinasi masukan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
a.Memberikan masukan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.— b.Koordinasi peninjauan kembali (review) kesesuaian dengan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait.
Peninjauan kembali kesesuaian peraturan perundang-undangan bidang perumahan di kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan di atasnya.
Perumusan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan pada skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan pada skala kabupaten/kota.
Penyusunan pedoman efisiensi pasar dan industri perumahan.
Koordinasi upaya efisensi pasar dan industri perumahan skala provinsi.
Pelaksanaan upaya efisiensi pasar dan industri perumahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk NSPM, serta kebijakan dan Strategi nasional perumahan.
Koordinasi pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk NSPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan skala provinsi.
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan, produk NSPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan.
Bantuan teknis penyelenggaraan perumahan (basis kawasan, lembaga pendampingan, kelompok masyarakat).
Koordinasi pelaksanaan bantuan teknis penyelenggaraan perumahan.
Pelaksanaan teknis penyelenggaraan perumahan.
Fasilitasi terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, 6. Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan 6. Memanfaatkan badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN,BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen banguan, konsultan, kontraktor dan pengembang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang. pengembang.
Penyusunan standar, pedoman dan manual (SPM) perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan Prasarana, Sarana, Utilitas (PSU).
Penyusunan pedoman perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan PSU lintas kabupaten/kota.
Penyusunan pedoman dan manual perencanaan, pembangunan dan pengelolaan PSU skala kabupaten/kota.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk SPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan.
Koordinasi pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk SPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan dan provinsi bersangkutan.
Melaksanakan hasil sosialisasi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas penyelenggara dan pelaku pembangunan perumahan (pemerintah, swasta dan masyarakat).
Koordinasi pelaksanaan peningkatan kapasitas penyelenggara dan pelaku pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kegiatan melalui pelaku pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Bantuan teknis penyelenggaraan perumahan (basis kawasan, lembaga pendampingan, kelompok masyarakat).
Koordinasi pelaksanaan bantuan teknis penyelenggaraan perumahan.
Penyelenggaraan perumahan sesuai teknik pembangunan.
Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN, BUMD, Koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha ngunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang tingkat nasional.
Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang di provinsi.
Pembinaan dan kerjasama dengan badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN,BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak regional.
Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak lokal.
Perumusan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) nasional.
Perumusan RPJP dan RPJM provinsi. 13. Perumusan RPJP dan RPJM kabupaten/kota.
Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan secara nasional.
Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan skala provinsi.
Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan skala kabupaten/kota.
Pengalokasian pendanaan pembangunan Rumah Susun Sewa (Rusunawa) dan Rumah Susun Milik (Rusunami) sebagai stimulan di perkotaan, 15. Pelaksanaan pembangunan Rusunawa dan Rusunami sebagai stimulan di perkotaan, perbatasan internasional, pusat kegiatan 15. Pembangunan Rusunawa dan Rusunami lengkap dengan penyediaan tanah, PSU dan melakukan pengelolaan dan pemeliharaan diperkotaan, perbatasan internasional, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA perbatasan internasional, pusat kegiatan perdagangan/produksi. perdagangan/produksi dan fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota. pusat kegiatan, perdagangan/produksi.
Pengalokasian pendanaan pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, rumah susun (Rusun) dan rumah khusus (Rusus).
Pelaksanaan pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, Rusun, Rusus dan fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota.
Pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, Rusun dan Rusus dengan melaksanakan pengelolaan dan pemeliharaan.
Pengalokasian pendanaan untuk pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba.
Pelaksanaan pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba serta fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota.
Pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba serta fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota, penyediaan tanah, PSU umum. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Pengalokasian pendanaan untuk pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta penyiapan depo pada daerah rawan bencana.
Pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta pengelolaan depo dan pendistribusiannya.
Pelaksanaan pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta pengelolaan depo dan pendistribusian logistik penyediaan lahan, pengaturan, pemanfaatan seluruh bantuan.
Perbaikan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan perumahan.
Perumusan kebijakan dan strategi pembangunan dan pengembangan perumahan skala provinsi.
Perumusan kebijakan dan strategi pembangunan dan pengembangan perumahan skala kabupaten/kota.
Perumusan Standar, Prosedur dan Operasi (SPO) baku penanganan pengungsi akibat bencana nasional (alam maupun konflik sosial).
Perumusan SPO baku penanganan pengungsi akibat bencana skala provinsi.
Pelaksanaan SPO baku penanganan pengungsi akibat bencana skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perumusan kebijakan Public Service Obligation (PSO) perumahan.
— 3. — 4. Penyusunan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, khususnya di perbatasan internasional.
Penyusunan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, khususnya di perbatasan antar kabupaten/kota.
Pelaksanaan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, di kabupaten/kota.
Penyusunan dan penyelenggaraan skema bantuan perumahan tidak susun, susun, khusus dan PSU.
Koordinasi penetapan sasaran penerima bantuan perumahan dan pengawasannya.
Pelaksanaan dan atau penerima bantuan perumahan.
Penyusunan pedoman pengendalian harga sewa rumah (tidak susun, susun khusus).
Koordinasi pengendalian penetapan harga sewa rumah.
Penetapan harga sewa rumah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Fasilitasi pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi.
Koordinasi usulan pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi lintas kawasan se- kabupaten/kota.
Pemanfaatan 1. Penyelenggaraan bantuan pembangunan dan kelembagaan perumahan melalui format anggaran khusus (dana dekonsenterasi, dana tugas pembantuan dan dana alokasi khusus).
Koordinasi usulan penerima bantuan pembangunan dan kelembagaan perumahan di provinsi serta penyelenggaraan perumahan dengan dana dekonsentrasi.
Pelaksanaan bantuan pembangunan dan kelembagaan serta penyelenggaraan perumahan dengan dana tugas pembantuan.
Penyelenggaraan bantuan investasi rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulau-pulau kecil.
Koordinasi penetapan penerima bantuan investasi rumah susun untuk MBR dan rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulau-pulau kecil.
Pelaksanaan pembangunan rumah susun untuk MBR dan rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulau-pulau kecil. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan bantuan pembangunan PSU. 3. Koordinasi penetapan penerima bantuan PSU. 3. Pengelolaan PSU bantuan pusat.
Fasilitasi pembentukan kelembagaan perumahan skala nasional.
Fasilitasi pembentukan kelembagaan perumahan skala provinsi.
Pembentukan kelembagaan perumahan kabupaten/kota.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan perumahan.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan perumahan di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan perumahan.
Penyusunan SPM pembangunan, penghunian dan pengelolaan perumahan nasional (Rumah Tidak Susun, Rusun, dan Rusus).
Koordinasi penyusunan pedoman pembangunan, penghunian dan pengelolaan perumahan lintas kabupaten/kota.
Penyusunan pedoman dan manual penghunian, dan pengelolaan perumahan setempat dengan acuan umum SPM nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Monitoring dan evaluasi terhadap penghunian dan pengelolaan rusun dan rusus penerima bantuan investasi.
Pengawasan langsung terhadap penghunian dan pengelolaan rusun dan rusus penerima bantuan investasi ke kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian pengelolaan rusun dan rusus.
Pembinaan Perumahan Swadaya 1. Pembangunan Baru 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional tentang perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi tentang perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota tentang perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemugaran 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelaku pembangunan perumahan swadaya. pelaku pembangunan perumahan swadaya. pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi Kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Perbaikan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perluasan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemeliharaan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemanfaatan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengembangan Kawasan 1. Sistem Pengembangan Kawasan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam pengembangan kawasan.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam pengembangan kawasan.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam pengembangan kawasan.
Penyusunan Rencana Nasional dalam Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4- Nasional).
Penyusunan Rencana Provinsi dalam Pembangunan Dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4D-Provinsi).
Penyusunan Rencana Kabupaten/Kota dalam Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4D-Kabupaten/Kota).
Pembinaan teknis penyusunan RP4D. 3. Pembinaan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya.
Pembinaan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya.
Fasilitasi dan bantuan teknis penyusunan RP4D. 4. Fasilitasi dan bantuan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya.
Penyusunan RP4D di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan kawasan dan RP4D.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di skala kabupaten/kota.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam pengembangan kawasan dan penyusunan RP4D.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di wilayahnya.
Kawasan Skala Besar 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Kawasan Khusus 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala khusus di wilayahnya.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Keterpaduan Prasarana Kawasan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Keserasian Kawasan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembinaan Hukum, Peraturan Perundang- undangan dan Pertanahan untuk 1. Pembangunan Baru 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. Perumahan 2. Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemugaran 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penangangan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat Kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di Kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perbaikan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang Pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perluasan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di Provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemeliharaan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penangangan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemanfaatan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan Provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pembinaan Teknologi dan Industri 1. Pembangunan Baru 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemugaran 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perbaikan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemeliharaan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemanfaatan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pengembangan Pelaku Pembangunan Perumahan, Peranserta Masyarakat dan 1. Pembangunan Baru 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. Sosial Budaya 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemugaran 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan .
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perbaikan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perluasan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemeliharaan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemanfaatan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. E. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENATAAN RUANG SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pengaturan 1. Penetapan peraturan perundang- undangan bidang penataan ruang 2. Penetapan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) bidang penataan ruang.
Penetapan penataan ruang perairan di luar 12 (dua belas) mil dari garis pantai.
Penetapan kriteria penentuan dan kriteria perubahan fungsi ruang suatu kawasan yang berskala besar dan berdampak penting dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang.
Penetapan peraturan daerah bidang penataan ruang tingkat provinsi 2. Penetapan pedoman pelaksanaan NSPK bidang penataan ruang.
Penetapan penataan ruang perairan di luar 4 (empat) mil sampai 12 (dua belas) mil dari garis pantai.
Penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan lintas kabupaten/kota dalam rangka penyusunan tata ruang khususnya untuk menjaga keseimbangan ekosistem, sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh pemerintah.
Penetapan peraturan daerah bidang penataan ruang di tingkat kabupaten/kota 2. — 3. Penetapan penataan ruang perairan sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai.
Penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan/lahan wilayah dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan kawasan strategis nasional.
Penetapan kawasan-kawasan andalan.
Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang penataan ruang.
Penetapan kawasan strategis provinsi.
Pemberian arahan pengelolaan kawasan andalan sebagai bagian RTRWP.
— 5. Penetapan kawasan strategis kabupaten/kota 6. — 7. — 2. Pembinaan 1. Koordinasi penyelenggaraan penataan ruang pada semua tingkatan wilayah.
Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang.
Sosialisasi SPM bidang penataan ruang.
Koordinasi penyelenggaraan penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang.
Sosialisasi SPM bidang penataan ruang.
— 2. Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang.
Sosialisasi SPM bidang penataan ruang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang terhadap pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Pendidikan dan pelatihan.
Penelitian dan pengembangan.
Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang nasional.
Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat.
Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat.
Koordinasi dan fasilitasi penataan ruang lintas provinsi.
Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang terhadap kabupaten/kota.
Pendidikan dan pelatihan.
Penelitian dan pengembangan.
Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang provinsi.
Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat.
Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat.
Koordinasi dan fasilitasi penataan ruang lintas kabupaten/kota.
— 5. Pendidikan dan pelatihan.
Penelitian dan pengembangan.
Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang kabupaten/kota.
Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat.
Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pembinaan penataan ruang untuk lintas provinsi. 11.Pembinaan penataan ruang untuk lintas kabupaten/kota. 11. — 3. Pembangunan a. Perencanaan Tata Ruang 1. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWN b. Pemanfaatan Ruang 1. Penyusunan program dan anggaran nasional di bidang penataan ruang, serta fasilitasi dan koordinasi antar provinsi.
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi.
Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWP.
Penyusunan program dan anggaran provinsi di bidang penataan ruang , serta fasilitasi dan koordinasi antar kabupaten/kota.
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK).
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten/kota.
Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWK.
Penyusunan program dan anggaran kabupaten/kota di bidang penataan ruang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemanfaatan kawasan strategis nasional.
— 4. Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWN 5. Pemanfaatan investasi di kawasan andalan dan kawasan strategis nasional serta kawasan lintas provinsi bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.
Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang.
Pemanfaatan kawasan strategis provinsi.
— 4. Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWP.
Pemanfaatan investasi di kawasan strategis provinsi dan kawasan lintas kabupaten/kota bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.
Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang.
Pemanfaatan kawasan strategis kabupaten/kota.
Pemanfaatan NSPK bidang penataan ruang.
Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWK.
Pemanfaatan investasi di kawasan strategis kabupaten/kota dan kawasan lintas kabupaten/kota bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.
Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyusunan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air, neraca penatagunaan udara, neraca penatagunaan sumberdaya alam lainnya.
Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWN dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis nasional.
— 8. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWP dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi.
Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis provinsi.
— 8. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWK dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten/kota.
Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis nasional.
Pengendalian Pemanfaatan Ruang.
Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional termasuk lintas provinsi.
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional.
Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang nasional.
Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis provinsi.
Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi termasuk lintas lintas kabupaten/kota.
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.
Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang provinsi.
Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota.
Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWN.
Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWN.
Pengambilalihan kewenangan pemerintah provinsi dalam hal pemerintah provinsi tidak dapat memenuhi SPM di bidang penataan ruang.
Pemberian pertimbangan atau penyelesaian permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat provinsi.
Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWP.
Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWP.
Pengambilalihan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam hal pemerintah kabupaten/kota tidak dapat memenuhi SPM di bidang penataan ruang.
Pemberian pertimbangan atau penyelesaian permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat kabupaten/kota.
Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWK.
Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWK.
— 7. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Fasilitasi penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan penataan antara provinsi dengan kabupaten/kota.
— 8. Fasilitasi penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan penataan antar kabupaten/kota.
Pembentukan lembaga yang bertugas melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang tingkat provinsi.
— 9. Pembentukan lembaga yang bertugas melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang tingkat kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah nasional.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah provinsi.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah provinsi.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah .
— 1. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah kabupaten/kota.
— 3. — F. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah 1. Perumusan Kebijakan 1.a.Penetapan pedoman dan standar perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah.
Ɇ c. Ɇ 2. Penetapan pedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM).
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah pada skala provinsi.
Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah provinsi.
Ɇ 2. Pelaksanaan SPM provinsi.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah pada skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota.
Penetapan pedoman dan standar perencanaan pembangunan daerah kecamatan/desa.
Pelaksanaan SPM kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan pedoman dan standar pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri.
Penetapan pedoman dan standar pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala nasional.
a.Penetapan pedoman dan standar pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional.
— 3. Pelaksanaan kerjasama antara provinsi dengan swasta mengacu pada pedoman yang ditetapkan Pemerintah.
Pelaksanaan pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala provinsi.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.
Pelaksanaan/penjabaran petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.
Pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah kabupaten/kota dan antara daerah kabupaten/kota dengan swasta, dalam dan luar negeri.
Pelaksanaan pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala kabupaten/kota.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.Penetapan pedoman dan standar keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala nasional.
Ɇ 7. Penetapan pedoman dan standar manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional.
a.Penetapan pedoman dan standar pelayanan perkotaan.
a.Penetapan pedoman dan standar keserasian pengembangan perkotaan dan pedesaan skala provinsi.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala provinsi.
Penetapan petunjuk pelaksanaan manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala provinsi.
a.Penetapan keserasian pengambangan perkotaan dan perdesaan skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.
Penetapan petunjuk pelaksanaan manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/kota.
a.Pelaksanaan pedoman dan standar pelayanan perkotaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 9.a.Penetapan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala nasional.
Ɇ 10. Penetapan pedoman dan standar pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala provinsi.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pengembangan pembangunan perwilayahan skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala provinsi.
Pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala provinsi.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala kabupaten/ kota.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pengembangan pembangunan perwilayahan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala kabupaten/kota.
Pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Penetapan pedoman dan standar pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional.
Pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.
Pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/ kota.
Bimbingan, Konsultasi dan Koordinasi 1. Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala nasional.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala nasional.
a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala nasional.
Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala provinsi.
Konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala provinsi.
a.Konsultasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala provinsi.
Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala kabupaten/kota.
a.Kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 4.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional.
Ɇ 5.a.Bimbingan supervisi dan konsultasi pelayanan perkotaan skala nasional.
Ɇ 4.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.
Ɇ 5.a.Konsultasi pelayanan perkotaan skala provinsi.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi kerjasama pembangunan antar kecamatan/desa dan antara kecamatan/desa dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/kota.
a.Konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan di daerah kecamatan/desa.
a.Konsultasi pelayanan perkotaan skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 6.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala nasional.
Ɇ 7. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional.
Ɇ 6.a.Pelaksanaan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala provinsi.
Ɇ 7. Pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau- pulau kecil skala provinsi.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi pelayanan perkotaan di kecamatan/ desa.
a.Konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala kabupaten/ kota.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan di kecamatan/ desa.
Pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau- pulau kecil skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional.
Ɇ 9.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional.
Ɇ 8.a.Konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.
Ɇ 9.a.Konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi.
Ɇ 8.a.Konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/kota.
Perencanaan kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan di kecamatan/desa.
a.Konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/ kota.
Perencanaan kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan di kecamatan/desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan Evaluasi (Monev) 1.a.Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala nasional.
Ɇ c. Ɇ 2. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala nasional.
a.Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala provinsi.
Ɇ c. Ɇ 2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah kabupaten/kota dan antara daerah kabupaten/kota dengan swasta, dalam dan luar negeri skala provinsi.
a.Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala kabupaten/kota.
Penetapan petunjuk teknis pembangunan skala kecamatan/desa.
Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah kecamatan/desa.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar kecamatan/desa dan antara kecamatan/desa dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala provinsi.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perhubungan Darat 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) 1. Pedoman dan penetapan tata cara penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan.
— 1. — 2. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan nasional.
Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan provinsi.
Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan kabupaten/kota.
Pedoman tata cara penyusunan dan penetapan kelas jalan. 3. — 3. — 4. Pedoman persyaratan penentuan lokasi, rancang bangun, dan penyelenggaraan terminal penumpang.
— 4. — 5. Pedoman tata cara penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang.
— 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan.
— 6. — 7. Pedoman penetapan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan tidak bermotor.
— 7. — 8. Pedoman tata cara pelaksanaan pengujian tipe kendaraan bermotor.
— 8. — 9. Pedoman tata cara penerbitan dan pencabutan sertifikat kompetensi penguji kendaraan bermotor.
— 9. — 10. Pedoman persyaratan dan kriteria teknis unit pengujian berkala kendaraan bermotor.
— 10. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pedoman tata cara pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.
— 11. — 12. Pedoman tata cara pelaksanaan kalibrasi peralatan uji kendaraan bermotor.
— 12. — 13. Pedoman tata cara pelaksanaan pemeriksaaan kendaraan bermotor di jalan.
— 13. — 14. Pedoman dan tata cara pelaksanaan pemeriksaan kendaraan bermotor (STNK dan BPKB).
— 14. — 15. Pedoman persyaratan teknis dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum kendaraan bermotor.
— 15. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16. Pedoman penyelenggaraan angkutan penumpang dengan kendaraan umum.
— 16. — 17. Pedoman penyelenggaraan angkutan barang. 17.— 17. — 18. Pedoman penyelenggaraan angkutan barang berbahaya, alat berat dan peti kemas serta angkutan barang khusus.
— 18. — 19. Pedoman perhitungan tarif angkutan penumpang. 19.— 19. — 20. Pedoman persyaratan teknis, rancang bangun, dan tata cara pengoperasian serta kalibrasi alat penimbangan kendaraan bermotor.
— 20. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 21. Pedoman persyaratan teknis, tata cara, penentuan lokasi, rancang bangun, dan pengoperasian fasilitas parkir untuk umum.
— 21 Pemberian izin penyelenggaraan dan pembangunan fasilitas parkir untuk umum.
Pedoman analisis dampak lalu lintas. 22. — 22. — 23. Pedoman tata cara penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas. 23 — 23. — 24. — 24. Pengawasan dan pengendalian operasional terhadap penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan nasional dan jalan provinsi.
Pengawasan dan pengendalian operasional terhadap penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan kabupaten/kota.
Pedoman penyidikan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan oleh PPNS.
— 25. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 26. Pedoman penyelenggaraan pendidikan dan latihan mengemudi. 26 — 26. Pengawasan penyelenggaraan pendidikan dan latihan mengemudi.
Pedoman penyelenggaraan dan tata cara memperoleh dan pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM).
— 27. — 28. Pedoman tata cara dan persyaratan penerbitan serta pencabutan sertifikat pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu.
— 28. — 29. Pedoman pengumpulan, pengolahan dan analisis kecelakaan lalu lintas.
— 29. — 30. Pedoman penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas.
— 30. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe A. 31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe B. 31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe C.
Penetapan norma, standar, kriteria, dan pengesahan rancang bangun terminal penumpang Tipe A.
Pengesahaan rancang bangun terminal penumpang Tipe B.
Pengesahaan rancang bangun terminal penumpang Tipe C.
Persetujuan pengoperasian terminal penumpang Tipe A. 33.Persetujuan pengoperasian terminal penumpang Tipe B.
Pembangunan pengoperasian terminal penumpang Tipe A, Tipe B, dan Tipe C.
Penetapan norma, standar, kriteria rancang bangun terminal angkutan barang.
— 34. — 35.— 35.— 35. Pembangunan terminal angkutan barang.
— 36.— 36. Pengoperasian terminal angkutan barang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 37.Pelaksanaan uji tipe dan penerbitan sertifikat uji tipe kendaraan bermotor.
— 37. — 38.Registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor, serta penerbitan dan pencabutan sertifikat registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor yang tipenya sudah mendapatkan sertifikat uji tipe.
— 38. — 39.Penelitian dan pengesahan rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor untuk karoseri, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan dan kendaraan bermotor yang dimodifikasi berupa perubahan sumbu dan jarak sumbu.
— 39. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 40.Meregistrasi kendaraan bermotor dan menerbitkan sertifikat registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor yang dibuat berdasarkan rancang bangun yang sudah disahkan.
— 40. — 41.Penerbitan dan pencabutan sertifikat kompetensi penguji dan tanda kualifikasi teknis tenaga penguji.
— 41. — 42.Pembangunan fasilitas dan peralatan uji tipe. 42. — 42. — 43.Akreditasi unit pengujian berkala kendaraan bermotor. 43. — 43. — 44.Penerbitan sertifikat tanda lulus uji tipe. 44. — 44. — 45.Pelaksanaan kalibrasi peralatan uji kendaraan bermotor. 45. — 45. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 46.Akreditasi unit pelaksana pendaftaran kendaraan bermotor.
— 46. — 47.Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk angkutan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah provinsi atau lintas batas negara.
Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk angkutan yang wilayah pelayanannya melebihi wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk kebutuhan angkutan yang wilayah pelayanannya dalam satu kabupaten/kota.
Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan nasional.
Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan provinsi.
Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Pemberian izin trayek angkutan lintas batas negara dan antar kota antar provinsi.
Pemberian izin trayek angkutan antar kota dalam provinsi.
Pemberian izin trayek angkutan perdesaan/angkutan kota.
Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan nasional.
Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan provinsi.
Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 51.Pemberian izin trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah provinsi.
Pemberian izin trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.
— 52.Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang melayani lebih dari satu wilayah provinsi.
Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang wilayah pelayanannya melebihi kebutuhan kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang wilayah pelayanannya dalam satu kabupaten/kota.
Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani khusus untuk pelayanan ke dan dari tempat tertentu yang memerlukan tingkat pelayanan tinggi/wilayah operasinya lebih dari satu provinsi.
Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani khusus untuk pelayanan ke dan dari tempat tertentu yang memerlukan tingkat pelayanan tinggi/wilayah operasinya melebihi wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 54.Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian izin operasi angkutan sewa.
Pemberian izin operasi angkutan sewa. 54. Pemberian rekomendasi operasi angkutan sewa.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian izin operasi angkutan pariwisata.
Pemberian rekomendasi izin operasi angkutan pariwisata.
Pemberian izin usaha angkutan pariwisata.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin usaha angkutan barang.
— 56. Pemberian izin usaha angkutan barang.
Pemberian persetujuan pengangkutan barang berbahaya, beracun dan alat berat.
— 57. — 58.Penetapan tarif dasar penumpang kelas ekonomi antar kota antar provinsi.
Penetapan tarif penumpang kelas ekonomi antar kota dalam provinsi.
Penetapan tarif penumpang kelas ekonomi angkutan dalam kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 59.Penetapan persyaratan teknis dan tata cara penempatan, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendalian dan pengaman pemakai jalan, alat pengawasan dan pengamanan jalan serta fasilitas pendukung di jalan.
— 59. — 60.Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan nasional.
Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan provinsi.
Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 61.Penetapan lokasi alat pengawasan dan pengamanan jalan.
— 61. — 62.Akreditasi unit penimbangan kendaraan bermotor. 62. — 62. — 63.Sertifikasi petugas unit penimbangan kendaraan bermotor.
— 63. — 64.Kalibrasi alat penimbangan kendaraan bermotor. 64. — 64. — 65.Pengawasan terhadap pengoperasian unit penimbangan kendaraan bermotor.
Pengoperasian dan pemeliharaan unit penimbangan kendaraan bermotor.
— 66.Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan nasional.
Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan provinsi.
Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 67.Penyelenggaraan analisis dampak lalu lintas (andalalin) di jalan nasional.
Penyelenggaraan andalalin di jalan provinsi. 67. Penyelenggaraan andalalin di jalan kabupaten/kota.
Sertifikasi kompentensi penilai andalalin. 68. — 68. — 69.Penetapan persyaratan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang LLAJ.
— 69. — 70.Pengusulan pengangkatan dan pemberhentian PPNS bidang LLAJ.
— 70. — 71.Pengawasan pelaksanaan penyidikan bidang LLAJ. 71. — 71. — 72.Penetapan kualifikasi tenaga instruktur sekolah mengemudi. 72. — 72. — 73.Akreditasi pendidikan dan latihan mengemudi. 73. — 73. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 74.Penetapan kualifikasi pengemudi. 74. — 74. — 75.Akreditasi unit pelaksana penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM).
— 75. — 76.Penyelenggaraan pemberian SIM dan pendaftaran kendaraan bermotor.
— 76. — 77.Penyelenggaraan pemberian SIM internasional. 77. — 77. — 78.Akreditasi unit pelaksana penerbitan sertifikat kompetensi pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu.
— 78. — 79.Sertifikasi pengemudi angkutan penumpang umum. 79. — 79. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 80.Sertifikasi pengemudi dan pembantu pengemudi kendaraan pengangkut barang berbahaya dan beracun serta barang khusus.
— 80. — 81.Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan nasional dan jalan tol.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan provinsi.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan kabupaten/kota.
Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu nasional.
Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu provinsi.
Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu kabupaten/kota.
Pedoman persyaratan tenaga auditor keselamatan jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
— 83. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 84.Pedoman persyaratan tenaga investigator kecelakaan lalu lintas nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
— 84. — 85.Penerbitan dan pencabutan sertifikat tenaga auditor keselamatan jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
— 85. — 86.Penerbitan dan pencabutan sertifikat tenaga investigator kecelakaan lalu lintas jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
— 86. — 87.Penerbitan sertifikat registrasi uji tipe untuk rancang bangun kendaraan bermotor.
— 87. — 88.Pemeriksaan mutu rancang bangun kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan.
— 88. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 89.Pengesahan modifikasi kendaraan bermotor dengan tidak mengubah tipe.
— 89. — 90.Penelitian dan penilaian kesesuaian fisik kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan dengan Surat Keputusan (SK) rancang bangun kendaraan bermotor yang diterbitkan oleh pemerintah.
— 90. — 91.Penerbitan surat keterangan bebas uji berkala pertama kali. 91. — 91. — 92.Pengawasan pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.
— 92. Pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.
Penilaian kinerja tenaga penguji berkala kendaraan bermotor. 93. — 93. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 94.Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya. 94. Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya.
Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya.
— 95. Pemberian izin operasi angkutan sewa berdasarkan kuota yang ditetapkan pemerintah.
— 96.— 96. Pengoperasian alat penimbang kendaraan bermotor di jalan.
— 97.Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan nasional kecuali jalan tol.
Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan provinsi.
Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan kabupaten/kota.
Pelaksanaan penyidikan pelanggaran ketentuan pidana Undang-undang tentang LLAJ.
Pelaksanaan penyidikan pelanggaran:
Perda provinsi bidang LLAJ.
Pelaksanaan penyidikan pelanggaran:
Perda kabupaten/kota bidang LLAJ. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan.
Pelanggaran ketentuan pengujian berkala.
Perizinan angkutan umum.
Pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan.
Pelanggaran ketentuan pengujian berkala.
Perizinan angkutan umum.
Pengawasan pemberian SIM, pendaftaran kendaraan bermotor, dan sertifikat pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu.
— 99. — 100.Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas tingkat nasional.
Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas di wilayah provinsi.
Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas di wilayah kabupaten/kota.
— 101. — 101.Pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 102. — 102. — 102. Pemberian izin usaha bengkel umum kendaraan bemotor.
— 103. — 103. Pemberian izin trayek angkutan kota yang wilayah pelayanannya dalam satu wilayah kabupaten/kota.
— 104. — 104. Penentuan lokasi fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota.
— 105. — 105. Penentuan lokasi fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota.
— 106. — 106. Pengoperasian fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota.
— 107. — 107. Pemberian izin usaha mendirikan pendidikan dan latihan mengemudi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Lalu Lintas Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (LLASDP) 1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau antar provinsi.
Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau antar kabupaten/kota dalam provinsi.
Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau dalam kabupaten/kota.
Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional, dan antar negara, serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara.
Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi.
Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Pedoman penetapan lintas penyeberangan. 3. — 3. — 4. Penetapan lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional, dan antar negara dan jaringan jalur kereta api dan antar negara.
Penetapan lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi.
Penetapan lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pedoman rancang bangun kapal Sungai, Danau, dan Penyeberangan (SDP).
— 5. — 6. Pengadaan kapal SDP. 6. Pengadaan kapal SDP. 6. Pengadaan kapal SDP.
Pedoman registrasi kapal sungai dan danau. 7. — 7. — 8. Pedoman pengoperasian kapal SDP. 8. — 8. — 9. Pedoman persyaratan pelayanan kapal SDP. 9. — 9. — 10. Pedoman pemeliharaan/ perawatan kapal SDP. 10.— 10.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pedoman tata cara pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau.
— 11.— 12. Pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau 7 GT.
Pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau < 7 GT.
— 13. Pedoman penyelenggaraan pelabuhan SDP. 13.— 13.— 14. Pedoman penetapan lokasi pelabuhan SDP. 14.— 14.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penetapan lokasi pelabuhan penyeberangan. 15.Rekomendasi lokasi pelabuhan penyeberangan. 15.Rekomendasi lokasi pelabuhan penyeberangan.
— 16.— 16.Penetapan lokasi pelabuhan sungai dan danau.
Pedoman pembangunan pelabuhan SDP. 17.— 17.— 18. Pembangunan pelabuhan SDP. 18.Pembangunan pelabuhan SDP. 18.Pembangunan pelabuhan SDP.
Penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan. 19.— 19.Penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan.
Pengawasan penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara.
— 20.— 21. — 21.— 21.Penyelenggaraan pelabuhan sungai dan danau. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 22. Pedoman penyusunan rencana induk, Daerah Lingkungan Kerja (DLKr)/Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) pelabuhan SDP.
— 22. — 23. — 23.Pemberian rekomendasi rencana induk pelabuhan penyeberangan, DLKr/DLKp yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api.
Pemberian rekomendasi rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi, nasional dan antar negara.
Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan Penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara.
Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi 24. Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan SDP yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Pedoman sertifikasi pelabuhan SDP. 25.— 25. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 26. Penetapan sertifikasi pelabuhan SDP. 26.— 26. — 27. Pedoman pemeliharaan/ perawatan pelabuhan SDP. 27.— 27. — 28. Pedoman penetapan kelas alur pelayaran sungai dan danau. 28.— 28. — 29. — 29.Penetapan kelas alur pelayaran sungai. 29. — 30. Pedoman tata cara berlalu lintas di sungai dan danau. 30.— 30. — 31. Pedoman perambuan sungai, danau dan penyeberangan. 31.— 31. — 32. Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan.
Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan.
Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 33. — 33.— 33. Izin pembuatan tempat penimbunan kayu (logpon), jaring terapung dan kerambah di sungai dan danau.
Pemetaan alur sungai untuk kebutuhan transportasi. 34.Pemetaan alur sungai lintas kabupaten/kota dalam provinsi untuk kebutuhan transportasi.
Pemetaan alur sungai kabupaten/kota untuk kebutuhan transportasi.
Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau.
Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau.
Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau kabupaten/kota.
— 36.Izin pembangunan prasarana yang melintasi alur sungai dan danau.
— 37. Pedoman penyelenggaraan angkutan SDP. 37.— 37. — 38. Pedoman tarif angkutan SDP. 38.— 38. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 39. Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara, serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara.
Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi.
Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi pada lintas antar provinsi dan antar negara.
Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi antar kabupaten/kota dalam provinsi.
Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi dalam kabupaten/kota.
Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP pada jaringan jalan nasional dan antar negara.
Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi.
Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Pedoman tarif jasa kepelabuhanan SDP. 42. — 42. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 43. Penetapan tarif jasa pelabuhan SDP yang tidak diusahakan yang dikelola pemerintah.
— 43. Penetapan tarif jasa pelabuhan SDP yang tidak diusahakan yang dikelola kabupaten/kota.
Pedoman/persyaratan pelayanan angkutan SDP. 44. — 44. — 45. Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan pada jaringan jalan nasional dan antar negara.
Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi pada jaringan jalan provinsi.
Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota pada jaringan jalan kabupaten/kota 46. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan sungai dan danau.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan sungai dan danau.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaran angkutan sungai dan danau.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan pada lintas antar provinsi dan antar negara.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi pada jaringan jalan provinsi.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan dalam kabupaten/kota pada jaringan jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 48. Pengawasan angkutan barang berbahaya dan khusus melalui angkutan SDP.
Pengawasan angkutan barang berbahaya dan khusus melalui angkutan SDP.
— 2. Perkeretaapian 1. Penetapan rencana induk perkeretaapian nasional. 1. Penetapan rencana induk perkeretaapian provinsi;
Penetapan rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota.
Pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah meliputi :
Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional dan perkeretaapian lokal yang jaringannya melebihi satu provinsi;
Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi meliputi:
Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian provinsi dan perkeretaapian kabupaten /kota yang jaringannya melebihi wilayah kabupaten /kota;
Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota meliputi :
Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penetapan persyaratan, norma, pedoman, standar, kriteria dan prosedur penyelenggaraan perkeretaapian yang berlaku secara nasional;
Pelaksanaan perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional;
Penetapan kompetensi Pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang perkeretaapian, pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada pemerintah daerah dan masyarakat;dan e. Pengawasan terhadap pelaksanaan norma, persyaratan, pedoman, b. Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis kepada kabupaten/kota, pengguna dan penyedia jasa; dan
Pengawasan terhadap pelaksanaan perkeretaapian provinsi.
— e.— b. Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis kepada pengguna dan penyedia jasa; dan
Pengawasan terhadap pelaksanaan perkeretaapian kabupaten /kota.
— e. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA standar, kriteria dan prosedur yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat dan pengawasan terhadap pelaksanaan perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional.
Penetapan persyaratan kelaikan operasi prasarana kereta api umum.
— 3. — 4. Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api.
Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api.
Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api.
Penetapan persyaratan perawatan prasarana kereta api. 5. — 5. — 6. Penetapan persyaratan kelaikan operasi sarana kereta api. 6. — 6. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah satu provinsi.
Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah satu kabupaten/ kota dalam satu provinsi.
Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya dalam kabupaten/kota.
Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan melebihi satu provinsi.
Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan melebihi satu wilayah kabupaten/kota dalam provinsi.
Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan dalam wilayah kabupaten /kota.
Pengujian prasarana kereta api. 9. — 9. — 10. Penetapan akreditasi atau lembaga penguji berkala prasarana kereta api.
— 10. — 11. Pemberian sertifikat prasarana kereta api yang telah dinyatakan lulus uji pertama dan uji berkala.
— 11. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Pemberian sertifikat tenaga tanda kecakapan pengoperasian prasarana kereta api.
— 12. — 13. Penetapan penunjukan badan hukum atau lembaga lain yang menyelenggarakan pendidikan dan/atau pelatihan tenaga pengoperasian prasarana kereta api.
— 13. — 14.Penetapan persyaratan dan kualifikasi tenaga perawatan prasarana kereta api.
— 14. — 15. — 15. Penutupan perlintasan untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin dan tidak ada penanggungjawabnya, dilakukan oleh pemilik dan/atau Pemerintah Daerah.
Penutupan perlintasan untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin dan tidak ada penanggungjawabnya, dilakukan oleh pemilik dan/atau Pemerintah Daerah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16.Pelaksanaan uji pertama dan uji berkala sarana kereta api. 16. — 16. — 17. Pemberian sertifikat kelaikan sarana kereta api yang telah dinyatakan lulus uji pertama dan uji berkala.
— 17. — 18. Pelimpahan wewenang kepada badan usaha atau lembaga untuk melaksanakan pengujian berkala sarana kereta api.
— 18. — 19. Penerbitan sertifikat tenaga penguji sarana kereta api yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi tertentu.
— 19. — 20. Penetapan persyaratan perawatan sarana kereta api. 20. — 20. — 21. Penetapan persyaratan dan kualifikasi tenaga perawatan 21. — 21. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA sarana kereta api.
Pemberian sertifikat tanda kecakapan awak kereta api. 22. — 22. — 23. Penunjukan untuk melaksanakan pendidikan dan/atau pelatihan awak sarana kereta api kepada badan hukum atau lembaga 23. — 23. — 24. Penetapan jaringan pelayanan kereta api antar kota lintas batas negara, antar kota melebihi satu provinsi.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api antar kota melebihi satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api dalam satu kabupaten/ kota.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api perkotaan melampaui satu provinsi.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api perkotaan melampaui satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api perkotaan berada dalam kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 26. Penetapan persetujuan angkutan orang dengan menggunakan gerbong kereta api dalam kondisi tertentu.
Penetapan persetujuan angkutan orang dengan menggunakan gerbong kereta api dalam kondisi tertentu yang pengoperasian di dalam wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan persetujuan angkutan orang dengan menggunakan gerbong kereta api dalam kondisi tertentu yang pengoperasian di dalam wilayah kabupaten/kota.
Pemberian izin usaha kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum.
— 27. — 28. Izin operasi kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum untuk pelayanan angkutan lintas batas negara berdasarkan perjanjian antar negara dan untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang melintas layanannya melebihi 28. Izin operasi kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya melebihi satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Izin operasi kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA satu provinsi.
Penetapan tarif penumpang kereta api dalam hal pelayanan angkutan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan pelayanan angkutan yang disediakan untuk pengembangan wilayah, untuk layanan angkutan lintas batas negara berdasarkan perjanjian antar negara dan untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya melebihi satu provinsi.
Penetapan tarif penumpang kereta api dalam hal pelayanan angkutan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan pelayanan angkutan yang disediakan untuk pengembangan wilayah, untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya melebihi satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan tarif penumpang kereta api dalam hal pelayanan angkutan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan pelayanan angkutan yang disediakan untuk pengembangan wilayah, untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya dalam satu kabupaten/kota.
Pembentukan badan untuk pemeriksaan dan penelitian mengenai penyebab setiap kecelakakaan kereta api.
— 30. — 31. Penetapan persyaratan PPNS bidang perkeretaapian. 31. — 31. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 32. Pengangkatan dan pemberhentian PPNS bidang perkeretaapian.
— 32. — 3. Perhubungan Laut 1. Kapal berukuran tonase kotor sama dengan atau lebih dari 7 (GT 7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Kapal berukuran tonase kotor sama dengan atau lebih dari 7 (GT 7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Kapal berukuran tonase kotor sama dengan atau lebih dari 7 (GT 7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal.
— a. — b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal.
— b. — c. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal di atas GT 300.
Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal sampai dengan GT 300 ditugaspembantuankan c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kepada provinsi.
Pengaturan pengukuran kapal. d. Pelaksanaan pengukuran kapal sampai dengan GT 300 ditugaspembantuankan kepada provinsi.
— e. Pengaturan pendaftaran kapal. e. — e. — f. Pengaturan pas kapal perairan daratan. f. — f. — g. Menetapkan tanda panggilan ( call sign ) kapal. g. — g. — h. — h. Pelaksanaan pengawasan keselamatan kapal.
— i. — i. Pelaksanaan pemeriksaan radio/elektronika kapal.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA j. — j. Pelaksanaan pengukuran kapal. j. — k. — k. Penerbitan pas perairan daratan. k. — l. — l. Pencatatan kapal dalam buku register pas perairan daratan.
— m. — m. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi. m. — n. — n. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal.
— o. — o. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal. o. — p. — p. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA q. — q. Penerbitan dokumen pengawakan kapal. q. — r. — r. — r. Pemberian surat izin berlayar.
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 (GT <7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 (GT <7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 (GT <7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal.
— a. — b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal.
— b. — c. Pengaturan pengukuran kapal. c. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Pengaturan pas kapal perairan daratan. d. — d. — e. — e. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal.
— f. — f. — f. Pelaksanaan pengawasan keselamatan kapal.
— g. — g. Pelaksanaan pengukuran kapal.
— h. — h. Penerbitan pas perairan daratan.
— i. — i. Pencatatan kapal dalam buku register pas perairan daratan.
— j. — j. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi kapal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA k. — k. — k. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal.
— l. — l. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal.
— m. — m. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal.
— n. — n. Penerbitan dokumen pengawakan kapal.
— o. — o. Pemberian surat izin berlayar.
Kapal berukuran tonase kotor lebih dari atau sama dengan GT 7 (GT 7) yang berlayar di laut:
Kapal berukuran tonase kotor lebih dari atau sama dengan GT 7 (GT 7) yang berlayar di laut:
Kapal berukuran tonase kotor lebih dari atau sama dengan GT 7 (GT 7) yang berlayar di laut:
Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal.
— a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal.
— b. — c. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal. c. — c. — d. Pengawasan pelaksanaan keselamatan kapal. d. — d. — e. Pelaksanaan pengukuran kapal. e. — e. — f. Pelaksanaan pendaftaran kapal. f. — f. — g. Penetapan tanda panggilan ( call sign ) kapal. g. — g. — h. Penerbitan surat tanda kebangsaan kapal. h. — h. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. Pencatatan kapal dalam buku register surat tanda kebangsaan kapal.
— i. — j. Penerbitan pas kecil. j. — j. — k. Pencatatan kapal dalam buku register pas kecil. k. — k. — l. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi kapal. l. — l. — m. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal. m. — m. — n. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal. n. — n. — o. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal. o. — o. — p. Pelaksanaan pemeriksaan radio/elektronika kapal. p. — p. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA q. Penerbitan dokumen pengawakan kapal. q. — q. — r. Pemberian surat izin berlayar. r. — r. — 4. Kapal berukuran tonase kotor kurang dari GT 7 (GT < 7) yang berlayar di laut:
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari GT 7 (GT < 7) yang berlayar di laut:
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari GT 7 (GT < 7) yg berlayar di laut:
Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal.
— a. — b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal.
— b. — c. Pengaturan pengukuran kapal. c. — c. — d. Pengaturan surat tanda kebangsaan kapal (pas kecil). d. — d. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. — e. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal.
— f. — f. — f. Pelaksanaan pengawasan keselamatan kapal.
g. — g. Pelaksanaan pengukuran kapal.
— h. — h. Penerbitan pas kecil .
— i. — i. Pencatatan kapal dalam buku register pas kecil.
— j. — j. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi kapal.
— k. — k. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal.
— l. — l. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA m. — m. — m. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal.
— n. — n. Penerbitan dokumen pengawakan kapal.
Pemberian surat izin berlayar. o. — o. — 5. Persetujuan lokasi pelabuhan laut. 5. — 5. Penetapan penggunaan tanah lokasi pelabuhan laut.
Penetapan rencana induk pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 6. — 7. Pengelolaan pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional lama.
Pengelolaan pelabuhan regional lama. 7. Pengelolaan pelabuhan lokal lama.
Pengelolaan pelabuhan baru yang dibangun oleh pemerintah. 8. Pengelolaan pelabuhan baru yang dibangun oleh provinsi.
Pengelolaan pelabuhan baru yang dibangun oleh kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 9. — 10.Penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 10. — 11.Penetapan keputusan pelaksanaan pengoperasian pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 11. — 12.Pertimbangan teknis penambahan dan atau pengembangan fasilitas pokok pelabuhan laut internasional hub, internasional, dan nasional.
— 12. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13.Penetapan pengoperasian 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 13. — 14.Penetapan pelabuhan laut untuk melayani angkutan peti kemas. 14. — 14. — 15.Pertimbangan teknis penetapan pelabuhan laut untuk melayani curah kering dan curah cair.
— 15. — 16.Persetujuan pengelolaan Dermaga Untuk Kepentingan Sendiri (DUKS) yang berlokasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 16. — 17.Pemberian izin kegiatan pengerukan dan/atau reklamasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub, 17. — 17. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA internasional dan nasional.
Penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.
— 18. — 19.— 19. Rekomendasi penetapan rencana induk pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
Rekomendasi penetapan rencana induk pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 20. Penetapan rencana induk pelabuhan laut regional. 20. — 21.— 21. — 21. Penetapan rencana induk pelabuhan lokal.
— 22. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan umum. 22. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan umum.
— 23. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan khusus. 23. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan khusus.
— 24. Penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan 24. Penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelabuhan laut regional. pelabuhan laut lokal.
— 25. Penetapan pelaksanaan pembangunan pelabuhan khusus regional.
Penetapan pelaksanaan pembangunan pelabuhan khusus lokal.
— 26. Penetapan keputusan pelaksanaan pengoperasian pelabuhan laut regional.
Penetapan keputusan pelaksanaan pengoperasian pelabuhan laut lokal.
— 27. Penetapan izin pengoperasian pelabuhan khusus regional.
Penetapan izin pengoperasian pelabuhan khusus lokal.
— 28. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub.
Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub.
— 29. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional.
Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional.
— 30. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut nasional.
Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 31.— 31. — 31. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut regional.
— 32. Penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut regional. 32. Penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal.
— 33. Izin kegiatan pengerukan di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut regional.
— 34.— 34. Izin reklamasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut regional.
— 35.— 35. Pertimbangan teknis terhadap penambahan dan/atau pengembangan fasilitas pokok pelabuhan laut regional.
— 36.— 36. — 36. Pertimbangan teknis terhadap penambahan dan/atau pengembangan fasilitas pokok SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelabuhan laut lokal.
— 37. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan laut regional.
— 38.— 38. Izin kegiatan pengerukan di wilayah perairan pelabuhan khusus regional.
Izin kegiatan pengerukan di wilayah perairan pelabuhan khusus lokal.
— 39. Izin kegiatan reklamasi di wilayah perairan pelabuhan khusus regional.
Izin kegiatan reklamasi di wilayah perairan pelabuhan khusus lokal.
— 40. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan khusus regional.
— 41.— 41. Penetapan DUKS di pelabuhan regional. 41. Penetapan DUKS di pelabuhan lokal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 42.— 42. — 42. Pelaksanaan rancang bangun fasilitas pelabuhan bagi pelabuhan dengan pelayaran lokal (kabupaten/kota).
— 43. — 43. Izin kegiatan pengerukan di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal.
— 44. — 44. Izin kegiatan reklamasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal.
— 45. — 45. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan laut lokal.
— 46. — 46. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan khusus lokal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 47.— 47. Rekomendasi penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.
Rekomendasi penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.
— 48. — 48. Penetapan besaran tarif jasa kepelabuhanan pada pelabuhan lokal yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Izin usaha perusahaan angkutan laut bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar provinsi dan internasional.
Izin usaha perusahaan angkutan laut bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam wilayah provinsi setempat.
Izin usaha perusahaan angkutan laut bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam kabupaten/kota setempat.
— 50. Izin usaha pelayaran rakyat bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan 50. Izin usaha pelayaran rakyat bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA antar kabupaten/kota wilayah kabupaten/kota dalam wilayah provinsi setempat, pelabuhan antar/provinsi dan internasional (lintas batas). setempat.
— 51. Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan angkutan laut nasional yang lingkup kegiatannya melayani lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan angkutan laut nasional yang lingkup kegiatannya melayani lintas pelabuhan dalam satu kabupaten/kota.
— 52. Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan pelayaran rakyat yang lingkup kegiatannya 52. Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan pelayaran rakyat yang lingkup kegiatannya melayani SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA melayani lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, lintas pelabuhan antar provinsi serta lintas pelabuhan internasional (lintas batas). lintas pelabuhan dalam satu kabupaten/kota.
— 53. Pelaporan pengoperasian kapal secara tidak tetap dan tidak teratur ( tramper ) bagi perusahaan angkutan laut yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Pelaporan pengoperasian kapal secara tidak tetap dan tidak teratur ( tramper ) bagi perusahaan angkutan laut yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota setempat.
— 54. Pelaporan penempatan kapal dalam trayek tetap dan teratur ( liner ) dan pengoperasian kapal secara 54. Pelaporan penempatan kapal dalam trayek tetap dan teratur ( liner ) dan pengoperasian kapal secara SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA tidak tetap dan tidak teratur ( tramper ) bagi perusahaan pelayaran rakyat yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam wilayah provinsi setempat, pelabuhan antar provinsi dan internasional (lintas batas). tidak tetap dan tidak teratur ( tramper ) bagi perusahaan pelayaran rakyat yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota setempat.
Izin operasi angkutan laut khusus. 55. — 55. — 56. — 56. Izin usaha tally di pelabuhan. 56. Izin usaha tally di pelabuhan.
— 57. Izin usaha bongkar muat barang dari dan ke kapal. 57. Izin usaha bongkar muat barang dari dan ke kapal.
— 58. Izin usaha ekspedisi/ Freight 58. Izin usaha ekspedisi/ Freight Forwarder . SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Forwarder .
— 59. Izin usaha angkutan perairan pelabuhan. 59. — 60. — 60. Izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut/ peralatan penunjang angkutan laut.
— 61. — 61. Izin usaha depo peti kemas. 61. — 62. Penetapan tarif angkutan laut dalam negeri untuk penumpang kelas ekonomi.
— 62. — 63. Penyusunan jaringan trayek angkutan laut dalam negeri. 63. — 63. — 64. Penetapan trayek angkutan laut perintis dan penempatan kapalnya.
— 64. — 65. — 65. — 65. Penetapan lokasi pemasangan dan pemeliharaan alat SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengawasan dan alat pengamanan (rambu-rambu), danau dan sungai lintas kabupaten/kota 66. — 66. — 66. Pemberian rekomendasi dalam penerbitan izin usaha dan kegiatan salvage serta persetujuan Pekerjaan Bawah Air (PBA) dan pengawasan kegiatannya dalam kabupaten/kota.
Penetapan perairan pandu luar biasa. 67. — 67. — 68. Penetapan perairan wajib pandu. 68. — 68. — 69. Pelimpahan kewenangan pemanduan. 69. — 69. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perhubungan Udara 1. Angkutan Udara 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang angkutan udara.
Penerbitan izin usaha angkutan udara niaga.
Penerbitan izin kegiatan angkutan udara.
Penetapan persetujuan rute penerbangan.
— 1. — 2. Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan izin usaha angkutan udara niaga dan melaporkan ke Pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan izin kegiatan angkutan udara dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan Jaringan dan Rute Penerbangan dan melaporkan ke pemerintah.
Mengusulan rute penerbangan baru ke dari daerah yang bersangkutan.
— 2. — 3. — 4. — 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Persetujuan penambahan atau pengurangan kapasitas angkutan udara rute penerbangan.
— 8. Persetujuan terbang Flight Approval (FA) untuk:
Penerbangan ke dan/dari luar negeri.
Perubahan jadwal penerbangan dalam negeri bagi perusahaan angkutan 6. Pemantauan pelaksanaan persetujuan rute penerbangan dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan penambahan atau pengurangan kapasitas angkutan udara dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan izin terbang/FA yang dikeluarkan oleh pemerintah dan melaporkan ke pemerintah.
— 7. — 8. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA udara berjadwal.
Penerbangan dalam negeri bagi perusahaan angkutan udara tidak berjadwal antar provinsi dengan pesawat udara di atas 30 tempat duduk.
— 10. — 9. Persetujuan izin terbang/FA perusahaan angkutan udara tidak berjadwal antar kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi dengan pesawat udara di atas 30 tempat duduk dan melaporkan ke Pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan izin terbang/FA perusahaan angkutan udara non berjadwal antar kabupaten/kota dalam 1 9. — 10.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Penetapan tarif angkutan udara (batas atas) dan tarif referensi angkutan udara.
Pemberian Sertifikasi personil petugas pengamanan operator penerbangan.
Sertifikasi personil pasasi. (satu) provinsi dengan pesawat udara diatas 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan tarif angkutan udara (batas atas) dan tarif referensi angkutan udara dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap personil petugas pengamanan operator penerbangan dan personil petugas pasasi dan melaporkan ke pemerintah.
— 11.— 12.— 13.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Penerbitan izin general sales agent .
— 16. — 17. — 18. — 14.Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan general sales agent dan melaporkan ke pemerintah.
Pemberian izin Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU).
Pemberian arahan dan petunjuk terhadap kegiatan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU).
Pemantauan, penilaian, dan tindakan korektif terhadap pelaksanaan kegiatan EMPU dan melaporkan kepada pemerintah.
Pengawasan dan pengendalian izin EMPU.
— 15.— 16.— 17.— 18.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 19. Penetapan standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara:
Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara;
Pemberian rekomendasi atau teguran apabila tidak sesuai dengan standar yang 19.— 20.— 19.— 20.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA telah ditetapkan;
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara;
— 21.Pengusulan bandar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri. Pengusulan bandar udara di wilayah kerjanya yang terbuka untuk angkutan udara ke/dari luar negeri disertai alasan dan data 21.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 22. Penetapan besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara pusat penyebaran dan bandar udara bukan pusat penyebaran yang ruang udara disekitarnya dikendalikan.
Pengawasan tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara pusat penyebaran dan bandar udara bukan pusat penyebaran yang ruang udara di sekitarnya dikendalikan. Pemantauan penilaian dan tindakan korektif terhadap pelaksanaan tarif jasa bandar dukung yang memadai. Mengusulkan penetapan tersebut kepada pemerintah.
— 23.— 22.— 23.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pesawat Udara udara, bagi bandar udara di wilayah kerjanya. Memberikan laporan secara periodik kepada pemerintah atas hasil kegiatan pengawasan pelaksanaan tarif jasa bandar udara bagi bandar udara di wilayah kerjanya.
Pemberian tindakan korektif terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan di bidang angkutan udara.
Pemberian tanda kebangsaan dan pendaftaran pesawat udara.
— 2. — 1. — 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Sertifikasi kelaikan udara.
Sertifikasi tipe pesawat udara.
Sertifikasi tipe validasi pesawat udara.
Sertifikasi tipe tambahan pesawat udara.
Sertifikasi produksi.
Sertifikasi operator pesawat udara.
Sertifikasi pengoperasian pesawat udara.
Sertifikasi perekayasaan produk aeronautika.
Sertifikasi pendaftaran pesawat udara.
— 4. — 5. — 6. — 7. — 8. — 9. — 10. — 11. — 3. — 4. — 5. — 6. — 7. — 8. — 9. — 10. — 11. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Dokumen limitasi produksi.
Sertifikasi distributor produk aeronautika.
Sertifikasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan penerbangan (penerbang, teknik, flight engineer, flight operation officer dan awak kabin).
Sertifikasi penerbang.
Sertifikasi teknik.
Sertifikasi juru mesin pesawat udara.
Sertifikasi navigasi pesawat udara.
Sertifikasi awak kabin.
— 13. — 14. — 15. — 16. — 17. — 18. — 19. — 12. — 13. — 14. — 15. — 16. — 17. — 18. — 19. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20. Sertifikasi personil ahli perawatan pesawat udara.
Sertifikasi personil penunjang operasi pesawat udara/ Flight Operation Officer (FOO).
Sertifikasi Ground Support Equipment (GSE).
Penerbitan izin pengadaan pesawat udara.
Sertifikasi persetujuan izin organisasi perawatan pesawat udara.
Sertifikasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan penerbangan (penerbangan, teknik, flight engineer, flight operation officer dan awak 20. — 21. — 22. — 23. — 24. — 25. — 20. — 21. — 22. — 23. — 24. — 25. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kabin).
Persetujuan rancang bangun komponen pesawat udara.
Persetujuan izin persetujuan rancang bangun perubahan pesawat udara.
Penetapan standar laik udara serta pedoman keselamatan pesawat udara, auditing management keselamatan udara, penyidikan, penanggulangan kecelakaan, bencana pesawat udara. 29. Pemeriksaan dokumen dan persyaratan administrasi pengoperasian pesawat udara sesuai CASR 21 meliputi pemeriksaan FA, C of A,C of R, flight plan , wether forcase , loading cargo , dispach report .
Membantu pelaksanaan ramp 26. — 27. — 28. — 29. — 30. — 26. — 27. — 28. — 29. — 30. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA check dengan persyaratan SDM sebagai berikut: Min. D-II penerbang, teknik pesawat udara, S-1 teknik aeronautika, mesin, umum dan telah mengikuti airworthiness course , mengikuti dasar penerbangan bagi S-1 umum.
Pemeriksaan dokumen dan persyaratan administrasi awak sesuai CASR 61 & 65 meliputi pemeriksaan:
Licensi Captain , Cockpit ;
Lisensi Pramugari dan Pramugara;
Manifest;
Fuel Quantity pesawat udara.
Membantu pelaksanaan ramp 31. — 32. — 31. — 32. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Bandar Udara check dengan persyaratan SDM sebagai berikut:
Min D-II penerbang, D-II teknik pesawat udara, S-1 teknik aeronautika, mesin umum;
Telah mengikuti airworthiness course , mengikuti dasar-dasar penerbangan bagi S-1 umum.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang bandar udara.
Penetapan lokasi bandar udara umum.
— 1. — 2. Pemberian rekomendasi penetapan lokasi bandar udara umum.
Pemantauan terhadap 1. — 2. Pemberian rekomendasi penetapan lokasi bandar udara umum.
Pemantauan terhadap SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
— pelaksanaan keputusan penetapan lokasi bandar udara umum dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemberian rekomendasi penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
Pemantauan terhadap penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah pada bandar udara yang belum terdapat kantor pelaksanaan keputusan penetapan lokasi bandar udara umum dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara < 30 tempat duduk.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan/izin pembangunan bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
Pemberian sertifikat operasi bandar udara.
Sertifikasi pengatur pergerakan pesawat udara di appron. adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan/izin pembangunan bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan kepada pemerintah.
— 8. Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan pengatur pesawat udara di apron, Pertolongan Kecelakaan Penerbangan- Pemadam Kebakaran (PKP- PK), salvage , pengamanan bandar udara dan GSE, pada bandar udara yang 6. — 7. — 8. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Sertifikasi PKP-PK dan salvage .
Sertifikasi petugas pengamanan bandar udara.
Pemberian sertifikasi personil teknik bandar udara.
Penetapan bandar udara internasional.
Pengunaan bandar udara belum terdapat kantor adbandara.
— 10. — 11. Pemantauan terhadap personil teknik bandar udara dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan bandar udara internasional dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 9. — 10. — 11. — 12. — 13. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA khusus untuk umum.
Pembentukan Komite Nasional Fasilitasi (KOMNASFAL) Udara.
Pembentukan Komite Fasilitasi (KOMFAL) bandar udara.
Penetapan batas-batas kawasan keselamatan operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
— 14. — 15. Dapat menjadi anggota KOMFAL apabila bandar udara berdekatan dengan wilayah kerjanya.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan batas-batas kawasan keselamatan operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan 14. — 15. — 16. — 17. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Pemberian tindakan korektif terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan di bidang bandar udara.
Penetapan standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara: batas-batas kawasan keselamatan operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 19. — 20. — 18. — 19. — 20. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Pemantauan terhadap kelengkapan sertifikat kelayakan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara.
Penilaian terhadap kemampuan peralatan penunjang operasi bandar udara.
Tindakan korektif terhadap peralatan penunjang operasi bandar udara dengan cara memberikan laporan kepada pemerintah.
Sertifikat kelaikan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara diterbitkan oleh pemerintah.
— b. — c. — d. — a. — b. — c. — d. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Pelaksanaan pemeriksaan terhadap peralatan pelayanan darat pesawat udara dapat dilaksanakan oleh badan hukum yang memenuhi persyaratan.
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara.
Penetapan standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara:
— f. — 21. — 22. — e. — f. — 21. — 22. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Pemberian rekomendasi atau teguran apabila tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Pemberian arahan dan petunjuk pelaksanaan berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Pemberian bimbingan dan penyuluhan terhadap a. — b. — c. — d. — a. — b. — c. — d. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara.
Pemantauan terhadap kelengkapan sertifikat kelayakan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara.
Penilaian terhadap kemampuan peralatan penunjang operasi bandar udara.
Tindakan korektif terhadap peralatan penunjang operasi bandar udara dengan cara memberikan laporan kepada 23. — a. — b. — c. — 23. — a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pemerintah.
Sertifikat kelaikan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara diterbitkan oleh pemerintah.
Pelaksanaan pemeriksaan terhadap peralatan pelayanan darat pesawat udara dapat dilaksanakan oleh badan hukum yang memenuhi persyaratan.
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara.
— d. — e. — f. — 24. Ijin pembangunan bandar udara khusus yang d. — e. — f. — 24. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 25. Penetapan tatanan kebandarudaraan nasional.
Pengawasan dan pengendalian pembangunan bandar udara umum.
Tindakan korektif terhadap penyimpangan rencana melayani pesawat udara dengan kapasitas < 30 (tiga puluh) tempat duduk dan ruang udara disekitarnya tidak dikendalikan dan terletak dalam 2 (dua) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi, sesuai dengan batas kewenangan wilayahnya. Pemberitahuan pemberian ijin pembangunan bandar udara khusus.
— 26. — 27. — 25. — 26. — 27. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pembangunan/pengembangan dari ketetapan tatanan kebandarudaraan.
— 29. Pengaturan sistem pendukung penerbangan di bandar udara 28. Pemberian arahan dan petunjuk pelaksanaan kepada penyelenggara bandar udara, serta kantor terkait lainnya tentang tatanan kebandarudaraan dan memberikan perlindungan hukum terhadap lokasi tanah dan/atau perairan serta ruang udara untuk penyelenggaraan bandar udara umum serta pengoperasian bandar udara dalam bentuk Peraturan Pemerintah Daerah.
— 28. — 29. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara).
Pengawasan dan pengendalian sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara).
Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara).
Pemberian rekomendasi/ teguran apabila sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan 30. — 31. — 32. — 30. — 31. — 32. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA penunjang operasi bandar udara) tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara).
Penetapan standar rencana induk bandar udara, Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) di sekitar bandar udara, kawasan kebisingan dan daerah lingkungan kerja di sekitar bandar udara.
— 34. — 33. — 34. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Keselamatan Penerbangan (Kespen) 35. Rekomendasi mendirikan bangunan pada rencana induk bandar udara, KKOP di sekitar bandar udara, kawasan kebisingan di sekitar bandar udara dan DLKr yang telah ditetapkan pada bandar udara pusat penyebaran dan bukan pusat penyebaran yang ruang udara di sekitarnya dikendalikan.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kespen.
Audit terkait dengan sertifikasi operasi bandar udara.
Sertifikasi personil fasilitas/peralatan elektronika dan listrik penerbangan.
— 1. — 2. — 3. Pemantauan terhadap personil fasilitas/peralatan elektonika dan listrik 35. — 1. — 2. — 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Sertifikasi fasilitas/peralatan elektronika dan listrik penerbangan.
Sertifikasi fasilitas/peralatan GSE.
Sertifikasi personil navigasi penerbangan. penerbangan dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap sertifikasi fasilitas/peralatan elektonika dan listrik penerbangan dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara. 5. Pemantauan terhadap kegiatan GSE dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 4. — 5. — 6. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Melakukan pemantauan terhadap personil navigasi penerbangan.
Sertifikasi personil GSE.
Penetapan persetujuan pemberian izin (pengangkutan angkutan bahan dan/atau barang berbahaya).
Penetapan standar persyaratan pengangkutan bahan dan/atau barang berbahaya.
Penetapan/izin operasi bandar 7. — 8. Pemantauan terhadap personil GSE dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 10. — 11. Pemantauan terhadap 7. — 8. — 9. — 10. — 11. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
Penetapan/izin operasi bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
Penetapan standar operasi prosedur yang terkait dengan pengamanan bandar udara. pelaksanaan penetapan/izin operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan/izin operasi bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan standar operasi prosedur yang 12. — 13. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Penetapan standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan:
Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan. terkait dengan pengamanan bandar udara dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 15. — a. — 14. — 15. — a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pemberian rekomendasi atau teguran apabila tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan.
Penetapan pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara.
Sertifikat personil pengangkutan bahan dan/atau barang berbahaya:
Pemerintah melakukan supervisi dalam proses b. — c. — 16. — 17. — a. — b. — c. — 16. — 17. — a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelaksanaan penerbitan sertifikat.
Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan.
Dalam melakukan supervisi pemerintah dapat langsung berhubungan dengan Dinas Perhubungan Provinsi atau personil yang diberikan otorisasi.
Sertifikasi peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Sertifikasi peralatan pengoperasian bandar udara.
— c. — 18. — 19. — b. — c. — 18. — 19. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20. Sertifikasi peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara.
Sertifikasi personil operasi pesawat udara.
Sertifikasi personil pelayanan pengoperasian bandar udara.
Pemerintah melakukan supervisi dalam proses pelaksanaan penerbitan sertifikat.
Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan.
Dalam melakukan supervisi pemerintah dapat langsung 20. — 21. — 22. — a. — b. — c. — 20. — 21. — 22. — a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA berhubungan dengan Dinas Provinsi atau Personil yang diberikan otorisasi.
Sertifikasi personil pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara:
Pemerintah melakukan supervisi dalam proses pelaksanaan penerbitan sertifikat.
Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan.
Dalam melakukan supervisi Pemerintah dapat langsung 23. — a. — b. — c. — 23. — a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA berhubungan dengan Dinas Provinsi atau Personil yang diberikan otorisasi.
Pengesahan program penanggulangan gawat darurat di bandar udara:
Dalam melakukan supervisi Pemerintah dapat langsung berhubungan dengan Dinas Perhubungan Provinsi atau Personil yang diberikan otorisasi.
Personil yang memiliki kualifikasi yang dibuktikan dengan letter of authorization /sertifikat otorisasi pemerintah. Masa berlaku otorisasi 1 tahun dan dapat diperpanjang.
Pengesahan program 24. — a. — b. — 25. — 24. — a. — b. — 25. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengamanan bandar udara:
Pemerintah melakukan supervisi dalam proses pelaksanaan pengesahan sertifikat.
Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan.
Dalam melakukan supervisi pemerintah dapat langsung berhubungan dengan Dinas Perhubungan Provinsi atau Personil yang diberikan otorisasi.
Penelitian awal terhadap insiden di appron berdasarkan a. — b. — c. — 26. Membantu kelancaran pemeriksaan pendahuluan a. — b. — c. — 26. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA peraturan pemerintah. kecelakaan pesawat udara:
Membantu kelancaran Tim investigasi dalam pencapaian lokasi kecelakaan.
Membantu kelancaran dalam melaksanakan tugas monitor pesawat udara milik pemerintah dan dalam melaksanakan koordinasi dengan unit terkait.
Membantu kelancaran keimigrasian Tim Investigasi warga asing. H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah B3 yang antara lain mencakup:
Penetapan Limbah B3 berdasarkan sumber spesifik, karakteristik, Lethal Dose Fifty (LD50), Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP), kronis, dan list (daftar).
Penetapan status B3.
Tempat penyimpanan sementara, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3.
Ɇ a. — b. — c. — 1. Ɇ a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Notifikasi B3 dan limbah B3.
Pengawasan pengelolaan limbah B3.
Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala nasional.
Pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 skala nasional.
Pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3.
Menyelenggarakan registrasi B3.
Pengawasan pengelolaan (B3).
— e. — f. — g. — 2. Pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3 skala provinsi.
— 4. — d. — e. — f. — g. — 2. Pengawasan pelaksanaan pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota.
— 4. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Memberikan rekomendasi pengangkutan limbah B3.
Izin pengumpulan limbah B3 skala nasional.
Izin pemanfaatan limbah B3.
Izin pengolahan limbah B3.
Izin operasi peralatan pengolahan limbah B3.
Izin operasi penimbunan limbah B3.
Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 skala nasional.
— 6. Izin pengumpulan limbah B3 skala provinsi ( sumber limbah lintas kabupaten/kota) kecuali minyak pelumas/oli bekas.
— 8. — 9. — 10. — 11. Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 pada skala provinsi.
— 6. Izin pengumpulan limbah B3 pada skala kabupaten/kota kecuali minyak pelumas/oli bekas.
— 8. — 9. — 10. — 11. Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 pada skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. — 13. — 14. — 15. — 16. Ɇ 12. Rekomendasi izin pengumpulan limbah B3 skala nasional.
Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala provinsi.
Pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 skala provinsi.
— 16. Ɇ 12. — 13. Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala kabupaten/kota.
Pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 kabupaten/kota.
Izin lokasi pengolahan limbah B3.
Izin penyimpanan sementara limbah B3 di industri atau usaha suatu kegiatan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 1. Pengaturan dan penetapan pedoman penerapan AMDAL dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/ UPL).
Penilaian AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan:
Strategis dan/atau menyangkut pertahanan keamanan negara.
Berlokasi lebih dari satu wilayah provinsi.
Berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain.
Penilaian AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup di provinsi, sesuai dengan standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pembinaan dan pengawasan terhadap penilaian AMDAL di kabupaten/kota.
— b. — c. — 1. Penilaian AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup di kabupaten/ kota, sesuai dengan standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pemberian rekomendasi UKL dan UPL.
— b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Berlokasi di wilayah laut di luar kewenangan daerah.
Berlokasi di lintas batas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penilaian AMDAL oleh provinsi dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam rangka uji petik.
Pembinaan terhadap pelaksanaan penilaian AMDAL dan pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh provinsi.
— e. — 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam wilayah provinsi dalam rangka uji petik.
Pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian rekomendasi UKL/UPL yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam wilayah Provinsi.
— e. — 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi seluruh jenis usaha dan/atau kegiatan di luar usaha dan/atau kegiatan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembinaan terhadap pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh kabupaten/kota bagi usaha dan/atau yang wajib dilengkapi AMDAL yang menjadi urusan wajib pemerintah.
Pengaturan AMDAL, UKL dan UPL.
Pembinaan terhadap pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh kabupaten/kota bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dan UKL/UPL dalam wilayah provinsi.
Pembinaan terhadap pelaksanaan pemberian rekomendasi UKL/UPL yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam wilayah provinsi. yang wajib dilengkapi AMDAL dalam wilayah kabupaten/kota.
— 6. ² SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air 1. Pengelolaan kualitas air skala nasional dan/atau lintas batas negara.
Penetapan kelas air pada sumber air skala nasional dan/atau merupakan lintas batas wilayah negara.
Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas air pada sumber air skala nasional dan/atau merupakan lintas batas negara.
Pengendalian pencemaran air pada sumber air skala nasional dan/atau lintas batas negara.
Koordinasi pengelolaan kualitas air skala provinsi.
Penetapan kelas air pada sumber air skala provinsi.
Koordinasi pemantauan kualitas air pada sumber air skala provinsi.
Penetapan pengendalian pencemaran air pada sumber air skala provinsi.
Pengelolaan kualitas air skala kabupaten/kota.
Penetapan kelas air pada sumber air skala kabupaten/kota.
Pemantauan kualitas air pada sumber air skala kabupaten/kota.
Pengendalian pencemaran air pada sumber air skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengawasan pengendalian pencemaran air skala nasional.
Penetapan baku mutu air lebih ketat dan/atau penambahan parameter pada air skala nasional dan/atau lintas batas negara.
Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala nasional pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya.
Pengawasan pelaksanaan pengendalian pencemaran air skala provinsi.
Penetapan baku mutu air lebih ketat dan/atau penambahan parameter dari kriteria mutu air skala provinsi.
Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala provinsi pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya skala provinsi.
Pengawasan terhadap penaatan persyaratan yang tercantum dalam izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air.
Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala kabupaten/kota pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya.
Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Pengaturan baku mutu air limbah untuk berbagai kegiatan.
Penetapan baku mutu dan peruntukan sungai lintas provinsi.
Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air skala provinsi.
Penetapan baku mutu air limbah untuk berbagai kegiatan sama atau lebih ketat dari pemerintah.
Pembinaan, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan pemberian izin pembuangan limbah cair lintas kabupaten/kota.
Perizinan pembuangan air limbah ke air atau sumber air.
Perizinan pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah.
— 4. Pengelolaan Kualitas Udara dan Pengendalian Pencemaran Udara.
Pengelolaan Kualitas Udara skala Nasional dan/atau lintas batas negara.
Penetapan baku mutu udara ambien nasional, kebisingan dan getaran lingkungan.
Ɇ 2. Penetapan baku mutu udara ambien daerah lebih ketat atau sama dengan baku mutu udara ambien nasional.
Ɇ 2. Pemantauan kualitas udara ambien, emisi sumber bergerak dan tidak bergerak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama.
Penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebisingan kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama skala nasional.
Penetapan Indeks Standar Pencemar Udara.
Penetapan status mutu udara ambien daerah.
Penetapan baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama dan penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebisingan kendaraan bermotor lama skala provinsi.
Pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara skala provinsi.
Ɇ 4. Pengujian emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor lama secara berkala.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara lintas provinsi atau lintas batas negara atau skala global (asap kebakaran hutan, hujan asam dan gas rumah kaca) skala nasional.
Pengaturan pengelolaan kualitas udara dan pengendalian pencemaran udara skala nasional.
Pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran 6. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara skala provinsi.
Pembinaan dan pengawasan baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama dan penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebisingan kendaraan bermotor lama skala provinsi.
Pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara skala 6. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara skala kabupaten/kota 7. — 8. Pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA udara.
Penetapan standar pengelolaan kualitas udara dalam ruangan. provinsi.
Pemantauan kualitas udara dalam ruangan. pencemaran udara dari sumber bergerak dan tidak bergerak skala kabupaten/kota.
Pemantauan kualitas udara ambien dan dalam ruangan.
Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Pesisir dan Laut 1. Penetapan baku mutu air laut skala nasional.
Penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan pesisir dan laut skala nasional.
Pemberian izin dumping ke laut.
Penetapan baku mutu air laut skala provinsi.
Penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan pesisir dan laut skala provinsi.
Penetapan lokasi dalam pengelolaan konservasi laut skala provinsi.
Pengaturan terhadap pencegahan pencemaran dan perusakan wilayah pesisir dan laut skala kabupaten/kota.
Pengaturan terhadap pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan wilayah pesisir dan laut skala kabupaten/kota.
Penetapan lokasi untuk pengelolaan konservasi laut. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi dalam pengelolaan konservasi laut.
Pengawasan terhadap kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan oleh provinsi dan kabupaten/kota.
Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala nasional.
Pengaturan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan wilayah pesisir dan laut yang bersifat lintas provinsi atau lintas negara.
Pengawasan terhadap kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan oleh kabupaten/kota.
Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala provinsi.
Pengaturan pengendalian pencemaran dan kerusakan wilayah pesisir dan laut skala provinsi.
Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah provinsi atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.
Pengawasan penaatan instrumen pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan skala kabupaten/kota. 5. Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala kabupaten/kota.
Pengaturan pelaksanaan terhadap monitoring kualitas lingkungan pesisir dan laut skala kabupaten/kota.
Penegakan hukum terhadap peraturan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan pesisir laut yang dikeluarkan oleh daerah kabupaten/kota atau yang dilimpahkan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kewenangannya oleh pemerintah.
Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Tanah Akibat Kebakaran Hutan dan/atau Lahan 1. Penetapan kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Pengkoordinasian penanggulangan dampak dan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan skala nasional dan/atau lintas batas negara.
— 2. Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup skala provinsi yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Pengkoordinasian penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan skala provinsi.
— 2. Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup skala kabupaten/kota yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan atas pelaksanaan pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala nasional.
— 4. Pengawasan atas pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala provinsi.
Pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang dampaknya skala provinsi.
Pengawasan atas pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala kabupaten/kota.
Pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan skala kabupaten/kota.
Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Tanah Untuk Kegiatan 1. Penetapan kriteria nasional baku kerusakan lahan dan/atau tanah nasional untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan 1. Penetapan kriteria provinsi baku kerusakan lahan dan/atau tanah provinsi untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan 1. Penetapan kriteria kabupaten/kota baku kerusakan lahan dan/atau tanah kabupaten/kota untuk SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Produksi Biomassa tanaman.
— 3. Pengawasan atas pelaksanaan pengendalian kerusakan tanah yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala nasional.
Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa skala nasional. tanaman berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah nasional.
— 3. Pengawasan atas pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah akibat kegiatan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak skala provinsi.
Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa skala provinsi. kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah nasional.
Penetapan kondisi lahan dan/atau tanah.
Pengawasan atas pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah akibat kegiatan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak skala kabupaten/kota.
Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Akibat Bencana 1. Penetapan pedoman mekanisme penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat bencana.
— 3. — 1. Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat bencana skala provinsi.
Penetapan kawasan yang beresiko rawan bencana.
— 1. Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat bencana skala kabupaten/kota.
Penetapan kawasan yang beresiko rawan bencana skala kabupaten/kota.
Penetapan kawasan yang beresiko menimbulkan bencana lingkungan skala kabupaten/kota.
Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Standar Kompetensi Personil Bidang Lingkungan Hidup 1. Penetapan kebijakan, koordinasi penerapan, pembinaan dan pengawasan umum dalam SNI dan standar kompetensi personil bidang pengelolaan lingkungan hidup.
Pembinaan dan pengawasan penerapan SNI dan standar kompetensi personil bidang pengelolaan lingkungan hidup pada skala provinsi.
Pembinaan dan pengawasan penerapan SNI dan standar kompetensi personil bidang pengelolaan lingkungan hidup pada skala kabupaten/kota.
Pengembangan Perangkat 1. Penetapan kebijakan pengembangan instrumen 1. Penetapan peraturan daerah di bidang penerapan 1. Penetapan peraturan daerah di bidang SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Ekonomi Lingkungan ekonomi dan pedoman penerapannya dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Pembinaan dan pengawasan penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
— instrumen ekonomi yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Pembinaan dan pengawasan penerapan instrumen ekonomi yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
— penerapan instrumen ekonomi untuk pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan untuk daerah yang bersangkutan.
Penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan, Ekolabel, 1. Penetapan kebijakan, koordinasi penerapan, pembinaan dan pengawasan umum sistem manajemen lingkungan, ekolabel, 1. Pembinaan dan pengawasan penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan yang 1. Pembinaan dan pengawasan penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Produksi Bersih, dan Teknologi Berwawasan Lingkungan produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan yang mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan pada skala provinsi. teknologi berwawasan lingkungan yang mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan pada skala kabupaten/kota.
Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) 1. Penetapan kebijakan diklat di bidang lingkungan hidup.
Penyelenggaraan diklat di bidang lingkungan hidup yang bersifat strategis.
Penetapan kurikulum/materi ajar di bidang lingkungan hidup yang berlaku secara nasional.
Penyelenggaraan diklat di bidang lingkungan hidup sesuai permasalahan lingkungan hidup skala provinsi.
Penetapan kurikulum/materi ajar tambahan di bidang lingkungan hidup sesuai dengan karakteristik dan permasalahan provinsi.
— 1. Evaluasi hasil pelaksanaan diklat di kabupaten/kota.
Penyelenggaraan diklat di bidang lingkungan hidup sesuai permasalahan lingkungan hidup skala kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pedoman penyelenggaraan diklat. 4. — 4. — 13. Pelayanan Bidang Lingkungan Hidup 1. Penetapan standar pelayanan minimal di bidang pengendalian lingkungan hidup.
Penyelenggaraan pelayanan di bidang pengendalian lingkungan hidup skala provinsi.
Penyelenggaraan pelayanan di bidang pengendalian lingkungan hidup skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Otonomi Daerah Bidang Lingkungan 1. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang pengendalian lingkungan hidup.
Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan daerah di bidang pengendalian lingkungan hidup.
Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah di bidang pengendalian lingkungan hidup.
— 2. — 3. — 1. — 2. — 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penegakan Hukum Lingkungan 1. Penegakan hukum lingkungan. 1. Penegakan hukum lingkungan skala provinsi. 1. Penegakan hukum lingkungan skala kabupaten/kota.
Perjanjian Internasional di Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pelaksanaan komitmen perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan yang meliputi pengesahan, pemantauan penaatan, serta dokumentasi dan diseminasi.
Pengawasan pengendalian pelaksanaan konvensi dan protokol.
Pelaksanaan dan pemantauan penaatan atas perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan skala provinsi.
Pemantauan pengendalian pelaksanaan konvensi dan protokol skala provinsi.
Pelaksanaan dan pemantauan penaatan atas perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan skala kabupaten/kota.
Pemantauan pengendalian pelaksanaan konvensi dan protokol skala kabupaten/kota.
Perubahan Iklim dan Perlindungan Atmosfir 1. Penetapan kebijakan pengendalian dampak perubahan iklim.
Penetapan kebijakan pelaksanaan pengendalian dampak perubahan iklim skala provinsi.
Penetapan kebijakan pelaksanaan pengendalian dampak perubahan iklim skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan kebijakan perlindungan lapisan ozon dan deposisi asam serta pemantauan.
— 2. Penetapan kebijakan perlindungan lapisan ozon dan pemantauan skala provinsi.
Pemantauan dampak deposisi asam skala provinsi.
Penetapan kebijakan perlindungan lapisan ozon dan pemantauan skala kabupaten/kota.
Pemantauan dampak deposisi asam skala kabupaten/kota.
Laboratorium Lingkungan 1. Penetapan kebijakan di bidang laboratorium lingkungan.
Pembinaan dan pengawasan terhadap laboratorium lingkungan.
Penunjukan laboratorium lingkungan yang telah diakreditasi/direkomendasi untuk melakukan analisis lingkungan.
Pembinaan laboratorium lingkungan.
Penyediaan laboratorium lingkungan sesuai dengan kebutuhan daerah.
— 2. Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) 1. Keanekaragaman Hayati 1. Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala nasional.
Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala provinsi.
Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala nasional.
Penetapan kebijakan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala nasional.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala nasional.
Penetapan dan pelaksanaan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala provinsi.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota.
Penetapan dan pelaksanaan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengaturan dan penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala nasional.
Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala nasional.
Penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala provinsi.
Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala provinsi.
Penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota.
Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota. I. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANAHAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Izin Lokasi 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria izin lokasi.
a. Pemberian izin lokasi lintas provinsi.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ 1. Ɇ 2.a. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan.
Kompilasi bahan koordinasi.
Pelaksanaan rapat koordinasi.
Pelaksanaan peninjauan lokasi.
Ɇ 2.a. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan.
Kompilasi bahan koordinasi.
Pelaksanaan rapat koordinasi.
Pelaksanaan peninjauan lokasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ h. Pembatalan ijin lokasi atas usulan pemerintah provinsi dengan pertimbangan kepala kantor wilayah BPN provinsi e. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) provinsi dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait.
Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan izin lokasi yang diterbitkan.
Penerbitan surat keputusan izin lokasi.
Pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan pembatalan surat keputusan izin lokasi atas usulan kabupaten/kota e. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari kantor pertanahan kabupaten/kota dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait.
Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan izin lokasi yang diterbitkan.
Penerbitan surat keputusan izin lokasi.
Pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan pembatalan surat keputusan izin lokasi dengan pertimbangan kepala kantor SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan izin lokasi. dengan pertimbangan kepala kantor wilayah BPN provinsi;
Monitoring dan pembinaan perolehan tanah.
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria pengadaan tanah untuk kepentingan umum 2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas provinsi.
Ɇ b. Ɇ 1. Ɇ 2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas kabupaten/kota.
Penetapan lokasi.
Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan peraturan 1. Ɇ 2.a. Penetapan lokasi.
Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ h. Ɇ perundang-undangan.
Pelaksanaan penyuluhan.
Pelaksanaan inventarisasi.
Pembentukan Tim Penilai Tanah (khusus DKI).
Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari Lembaga/Tim Penilai Tanah.
Pelaksanaan musyawarah.
Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian. peraturan perundang- undangan.
Pelaksanaan penyuluhan.
Pelaksanaan inventarisasi.
Pembentukan Tim Penilai Tanah f. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari Lembaga/Tim Penilai Tanah.
Pelaksanaan musyawarah.
Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. Ɇ j. — k. — 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Pelaksanaan pemberian ganti kerugian.
Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian.
Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan kepala kantor pertanahan kabupaten/kota.
— i. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian.
Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian.
Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan kepala kantor pertanahan kabupaten/kota.
— 3. Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelesaian 1. — 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA sengketa tanah garapan.
— 2. Penyelesaian sengketa tanah garapan lintas kabupaten/kota dan untuk Provinsi DKI Jakarta:
Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan.
Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa.
Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan.
Koordinasi dengan instansi terkait untuk menetapkan langkah- langkah 2.a.Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan.
Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa.
Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan.
Koordinasi dengan kantor pertanahan untuk menetapkan langkah-langkah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penanganan sengketa tanah garapan. penanganannya.
Fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak.
— penanganannya.
Fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak.
Ɇ 4. Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah Untuk Pembangunan 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
Ɇ 1. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Ɇ 3. — 4. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
— 3. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
Pembinaan dan pengawasan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
Pembentukan tim pengawasan pengendalian.
Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
— 5. Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah, serta Ganti Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah 1. — 1. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kelebihan maksimum dan tanah absentee.
a.Pembentukan panitia pertimbangan landreform nasional.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ 2.a. Pembentukan panitia pertimbangan landreform provinsi.
Penyelesaian permasalahan penetapan subyek dan obyek tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.
— d. — 2.a. Pembentukan panitia pertimbangan landreform dan sekretariat panitia.
Pelaksanaan sidang yang membahas hasil inventarisasi untuk penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.
Pembuatan hasil sidang dalam berita acara.
Penetapan tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee sebagai obyek SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Ɇ f. Ɇ 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan subyek dan obyek tanah, ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.
— f. — 3. Pembinaan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee. landreform berdasarkan hasil sidang panitia.
Penetapan para penerima redistribusi tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee berdasarkan hasil sidang panitia.
Penerbitan surat keputusan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan Tanah Ulayat 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.
Ɇ 1. — 2.a. Pembentukan panitia peneliti lintas kabupaten/kota.
Penelitian dan kompilasi hasil penelitian.
Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat.
Pengusulan rancangan peraturan daerah provinsi tentang penetapan tanah ulayat.
— 2.a. Pembentukan panitia peneliti.
Penelitian dan kompilasi hasil penelitian.
Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat.
Pengusulan rancangan peraturan daerah tentang penetapan tanah ulayat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.
Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.
Ɇ 3. — e. Pengusulan pemetaan dan pencatatan tanah ulayat dalam daftar tanah kepada kantor pertanahan kabupaten/kota.
Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.
— 7. Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian 1. — 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.
Ɇ 2. Penyelesaian masalah tanah kosong. 2.a. Inventarisasi dan identifikasi tanah kosong untuk pemanfaatan tanaman pangan semusim.
Penetapan bidang- bidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat digunakan untuk tanaman pangan semusim bersama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian.
Penetapan pihak-pihak yang memerlukan tanah untuk tanaman pangan semusim dengan mengutamakan masyarakat setempat.
Fasilitasi perjanjian SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan 3. Pembinaan pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong. kerjasama antara pemegang hak tanah dengan pihak yang akan memanfaatkan tanah dihadapan/diketahui oleh kepala desa/lurah dan camat setempat dengan perjanjian untuk dua kali musim tanam.
Penanganan masalah yang timbul dalam pemanfaatan tanah kosong jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.
Izin Membuka Tanah 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemberian izin membuka tanah.
— 1. — 2. Penyelesaian permasalahan pemberian izin membuka tanah.
— 2.a. Penerimaan dan pemeriksaan permohonan.
Pemeriksaan lapang dengan memperhatikan kemampuan tanah, status tanah dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan ijin membuka tanah.
Pengawasan dan pengendalian pemberian izin membuka tanah. (Tugas Pembantuan) c. Penerbitan izin membuka tanah dengan memperhatikan pertimbangan teknis dari kantor pertanahan kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian penggunaan izin membuka tanah.
— (Tugas Pembantuan) SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/kota.
— 1. Perencanaan penggunaan tanah lintas kabupaten/kota yang berbatasan.
— 1. — 2.a. Pembentukan tim koordinasi tingkat kabupaten/kota.
Kompilasi data dan informasi yang terdiri dari :
Peta pola Penatagunaan tanah atau peta wilayah tanah usaha atau peta persediaan tanah dari kantor pertanahan setempat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2) Rencana Tata Ruang Wilayah.
Rencana pembangunan yang akan menggunakan tanah baik rencana pemerintah, pemerintah kabupaten/kota, maupun investasi swasta.
Analisis kelayakan letak lokasi sesuai dengan ketentuan dan kriteria teknis dari instansi terkait.
Penyiapan draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah.
Pelaksanaan rapat koordinasi terhadap draft rencana letak SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kegiatan penggunaan tanah dengan instansi terkait.
Konsultasi publik untuk memperoleh masukan terhadap draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah.
Penyusunan draft final rencana letak kegiatan penggunaan tanah.
Penetapan rencana letak kegiatan penggunaan tanah dalam bentuk peta dan penjelasannya dengan keputusan bupati/walikota.
Sosialisasi tentang rencana letak kegiatan penggunaan tanah kepada instansi terkait. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/ kota.
— j. Evaluasi dan penyesuaian rencana letak kegiatan penggunaan tanah berdasarkan perubahan RTRW dan perkembangan realisasi pembangunan.
— J. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.
Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.
— 2. Sosialisasi 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pemutakhiran data penduduk skala nasional.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pemutakhiran data penduduk skala provinsi.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.
Pendaftaran Penduduk 3. Penyelenggaraan 1. Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.
Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.
Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. — 2. — 2. Penyelenggaraan pelayanan pendaftaran penduduk dalam sistem administrasi kependudukan skala kabupaten/kota, meliputi:
Pencatatan dan pemutakhiran biodata penduduk serta penerbitan Nomor Induk Kependudukan (NIK);
Pendaftaran perubahan alamat;
Pendaftaran pindah datang penduduk dalam wilayah Republik Indonesia;
Pendaftaran Warga Negara Indonesia tinggal sementara;
Pendaftaran pindah datang Antarnegara; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Pendaftaran penduduk yang tinggal di perbatasan Antarnegara;
Pendataan penduduk rentan Administrasi Kependudukan;
Penerbitan dokumen kependudukan hasil pendaftaran penduduk;
Penatausahaan pendaftaran penduduk.
Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.
Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.
Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia 1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala nasional.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala provinsi.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan 1. Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.
Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.
Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.
Kebijakan 1. Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.
Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.
— 2. Sosialisasi 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala nasional.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala provinsi.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.
Pencatatan Sipil 3. Penyelenggaraan 1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional. 1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi. 1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. — 2. — 2. Penyelenggaraan pelayanan pencatatan sipil dalam sistem administrasi kependudukan skala kabupaten/kota meliputi:
Pencatatan kelahiran;
Pencatatan lahir mati;
Pencatatan perkawinan;
Pencatatan perceraian;
Pencatatan kematian;
Pencatatan pengangkatan anak, pengakuan anak dan pengesahan anak;
Pencatatan perubahan nama;
Pencatatan perubahan status kewarganegaraan; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. Pencatatan peristiwa penting lainnya;
Pencatatan perubahan dan pembatalan akta;
Penerbitan dokumen kependudukan hasil pencatatan sipil;
Penatausahaan dokumen pencatatan sipil.
Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.
Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi.
Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia 1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala nasional.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala provinsi.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional. 1. Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi.
Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.
— 2. Sosialisasi 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.
Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan 3. Penyelenggaraan 1. Koordinasi penyelenggaraan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Koordinasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Koordinasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data.
— 4. Penyelenggaraan komunikasi data kependudukan skala nasional.
Pembangunan dan pengembangan perangkat lunak.
a.Pembangunan bank data kependudukan nasional.
Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data skala provinsi.
Penyediaan perangkat keras dan perlengkapan lainnya serta sarana jaringan komunikasi data di provinsi.
Penyelenggaraan komunikasi data kependudukan skala provinsi.
Pembangunan replikasi data kependudukan di provinsi.
a.Pembangunan bank data kependudukan provinsi.
Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data skala kabupaten/kota.
Penyediaan perangkat keras dan perlengkapan lainnya serta jaringan komunikasi data sampai dengan tingkat kecamatan atau kelurahan sebagai tempat pelayanan dokumen penduduk.
Pelaksanaan sistem informasi administrasi kependudukan.
Pembangunan replikasi data kependudukan di kabupaten/kota.
a.Pembangunan bank data kependudukan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 7. — 8. Penyajian dan diseminasi informasi penduduk skala nasional.
a.Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan nasional.
Ɇ b. Ɇ 7. Ɇ 8. Penyajian dan diseminasi informasi penduduk skala provinsi.
a.Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan provinsi.
Ɇ b. Pembangunan tempat perekaman data kependudukan di kecamatan.
Perekaman data hasil pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta pemutakhiran data penduduk menggunakan sistem informasi administrasi kependudukan.
Penyajian dan diseminasi informasi penduduk.
a.Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan kabupaten/ kota.
Perlindungan data pribadi penduduk dalam proses dan hasil pendaftaran penduduk serta pencatatan sipil. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia 1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala nasional.
Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala provinsi.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala provinsi.
Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala kabupaten/kota.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala kabupaten/ kota.
Perkembangan Kependudukan 2. Sosialisasi 1. Sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
Sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan 1. Pengkajian efektivitas kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
— 1. Pengkajian efektivitas kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
— 1. Pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.
Pembuatan analisis pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. — 4. — 3. — 4. Pelaporan pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, dan perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
Koordinasi dan kerjasama antar daerah dalam pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan.
Pelaporan pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk, dan perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Fasilitasi 1. Pembinaan dan fasilitasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan dan penyerasian penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
Pembinaan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan 1. Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.
Perencanaan Kependudukan 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan.
Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Sosialisasi 1. Fasilitasi dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.
Fasilitasi dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.
— 3. Penyelenggaraan 1.a.Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan pada tataran horizontal, vertikal, dan diagonal antar lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah pengelola bidang kependudukan skala nasional.
— 1.a.Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan pada tataran horizontal, vertikal, dan diagonal antar lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah pengelola bidang kependudukan skala provinsi.
— 1.a.Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan antar dan dengan lembaga pemerintah dan non pemerintah pada skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan dalam rangka tertib administrasi kependudukan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan dan pengembangan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala nasional.
Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran skala nasional.
Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik.
Penetapan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala provinsi.
Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran skala provinsi.
Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik.
Penetapan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran.
Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala nasional.
Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala provinsi.
Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala kabupaten/kota.
Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.
Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.
Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Bimbingan teknis, advokasi, fasilitasi, dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.
Bimbingan teknis, advokasi, fasilitasi, dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan 1. Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.
Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.
Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala kabupaten/kota. K. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 1. Pengarusutamaan Gender (PUG) 1. Kebijakan Pelaksanaan PUG 1. Penetapan kebijakan nasional pelaksanaan PUG.
Koordinasi, fasilitasi, dan mediasi pelaksanaan kebijakan PUG skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah pelaksanaan PUG di provinsi.
Koordinasi, fasilitasi dan mediasi pelaksanaan kebijakan PUG skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah pelaksanaan PUG di kabupaten/ kota.
Koordinasi, fasilitasi dan mediasi pelaksanaan PUG skala kabupaten/kota.
Kelembagaan PUG 1. Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, Pusat Studi Wanita (PSW), lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala nasional.
Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, PSW, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala provinsi.
Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, PSW, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Pengembangan dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala nasional.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG secara nasional dan provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala provinsi.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala kabupaten/kota.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan PUG 1. Pemberian bantuan teknis dan fasilitasi pelaksanaan PUG (penetapan panduan umum analisis gender , perencanaan anggaran yang responsif gender , materi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) PUG) skala nasional.
Pemberian bantuan teknis, fasilitasi pelaksanaan PUG (analisis gender , perencanaan anggaran yang responsif gender , dan pengembangan materi KIE PUG) skala provinsi.
Pelaksanaan analisis gender , perencanaan anggaran yang responsif gender , dan pengembangan materi KIE PUG skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan politik skala nasional.
Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala nasional.
Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM dan politik skala provinsi.
Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala provinsi.
Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM dan politik skala kabupaten/kota.
Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan 1. Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan 1.Penetapan kebijakan nasional peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.
Penyelenggaraan kebijakan provinsi peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.
Penyelenggaraan kebijakan kabupaten/kota peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama dibidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota.
Pengintegrasian Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan 1. Fasilitasi pengintegrasian isu gender dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.
Fasilitasi pengintegrasian upaya peningkatan kualitas hidup perempuan dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.
Pengintegrasian upaya peningkatan kualitas hidup perempuan dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 3. Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan 1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota.
Kebijakan Perlindungan Perempuan 1. Penetapan kebijakan nasional perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana.
Penyelengaraan kebijakan provinsi perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.
Penyelenggaraan kebijakan kabupaten/kota perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 5. Pengintegrasian Kebijakan Perlindungan Perempuan 1. Fasilitasi pengintegrasian kebijakan nasional perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana.
Fasilitasi pengintegrasian kebijakan provinsi perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.
Fasilitasi pengintegrasian kebijakan kabupaten/kota perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 6. Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Perempuan 1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala nasional.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota.
Perlindungan Anak 1. Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 1. Penetapan kebijakan nasional dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak.
Ɇ 1. Pelaksanaan kebijakan dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah tentang kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan daerah untuk kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Pengintegrasian Hak-Hak Anak dalam Kebijakan dan Program Pembangunan 1. Pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan nasional.
Pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan skala provinsi.
Pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan skala kabupaten/ kota.
Koordinasi Pelaksanaan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 1. Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.
Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Lembaga Masyarakat dan Dunia Usaha 1. Penguatan Lembaga/ Organisasi Masyarakat dan Dunia Usaha untuk Pelaksanaan PUG dan Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 1. Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.
Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Pengembangan dan Penguatan Jaringan Kerja Lembaga Masyarakat dan Dunia Usaha untuk Pelaksanaan PUG, Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 1. Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.
Penetapan strategi rekayasa sosial untuk mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan perlindungan anak.
Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Fasilitasi lembaga masyarakat untuk melaksanakan rekayasa sosial untuk mewujudkan KKG dan perlindungan anak skala provinsi.
Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.
Fasilitasi lembaga masyarakat untuk melaksanakan rekayasa sosial untuk mewujudkan KKG dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.
Data dan Informasi Gender dan Anak 1. Data Terpilah menurut Jenis Kelamin dari di Setiap Bidang Terkait 1. Pengembangan dan penetapan kebijakan nasional sistem informasi gender dan anak.
Penjabaran dan penetapan kebijakan sistem informasi gender dan anak skala provinsi dengan merujuk pada kebijakan nasional.
Penjabaran dan penetapan kebijakan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota dengan merujuk pada kebijakan nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Data dan Informasi Gender dan Anak 1. Pengembangan dan penyusunan panduan umum, mekanisme pengumpulan, pengolahan, analisis, diseminasi dan dokumentasi sistem informasi gender dan anak.
Advokasi, mediasi dan fasilitasi pelaksanaan sistem infomasi gender dan anak.
Koordinasi pelaksanaan sistem informasi gender dan anak skala provinsi.
Fasilitasi pelaksanaan sistem informasi gender dan anak.
Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan dan analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan dan analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan sistem informasi gender dan anak.
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) 1. Promosi dan advokasi data dan informasi terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala nasional.
Kompilasi data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala provinsi.
Analisis, pemanfaatan, penyebarluasan dan pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Kompilasi data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan, dan anak skala nasional.
Pengembangan metode analisis gender dan penyusunan model informasi data skala nasional.
Analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan, pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala nasional.
Pemantauan dan evaluasi kebijakan dan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender skala nasional.
Analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan, pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala provinsi.
Penyusunan model informasi data (mediasi dan advokasi) skala provinsi.
Pemantauan dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender dan anak skala provinsi.
Ɇ 2. Pemantauan dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota.
Penyusunan model informasi data (mediasi dan advokasi) skala kabupaten/kota.
Ɇ 5. Ɇ L. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELUARGA BERENCANA DAN KELUARGA SEJAHTERA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pelayanan Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Jaminan dan Pelayanan KB, Peningkatan Partisipasi Pria, Penanggulangan Masalah Kesehatan Reproduksi, serta Kelangsungan Hidup Ibu, Bayi dan Anak 1.a.Penetapan kebijakan dan pengembangan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, dan kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala nasional.
Ɇ 1.a.Penetapan kebijakan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi serta kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala provinsi.
Pemberian dukungan operasional jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.
a. Penetapan kebijakan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan dukungan pelayanan rujukan KB dan kesehatan reproduksi, operasionalisasi jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ 2.a.Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengembangan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala nasional.
Ɇ 2.a. Pemberian dukungan pelaksanaan pedoman upaya peningkatan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.
Penetapan dan pengembangan jaringan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, termasuk pelayanan KB di rumah sakit skala kabupaten/kota.
a. Penetapan perkiraan sasaran pelayanan KB, sasaran peningkatan perencanaan kehamilan, sasaran peningkatan partisipasi pria, sasaran “ Unmet Need ”, sasaran penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta sasaran kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 3.a.Pengelolaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala nasional.
Ɇ b. Ɇ 3.a.Pengelolaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.
Ɇ b. Penyerasian dan penetapan kriteria serta kelayakan tempat pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota.
a. Pelaksanaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota.
Pemantauan tingkat drop out peserta KB. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ c. Pengembangan materi penyelenggaraan jaminan dan pelayanan KB dan pembinaan penyuluh KB.
Perluasan jaringan dan pembinaan pelayanan KB.
Penyelenggaraan dukungan pelayanan rujukan KB dan kesehatan reproduksi.
Penyelenggaraan dan fasilitasi upaya peningkatan kesadaran keluarga berkehidupan seksual yang aman dan memuaskan, terbebas dari HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS).
Pembinaan penyuluh KB. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h. Ɇ 4.a. Penyediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi skala nasional.
Ɇ c. Ɇ h. Ɇ 4.a. Penyediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi skala provinsi.
Ɇ c. Ɇ h. Peningkatan kesetaraan dan keadilan gender terutama partisipasi KB pria dalam pelaksanaan program pelayanan KB dan kesehatan reproduksi.
a. Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan kontrasepsi mantap dan kontrasepsi jangka panjang yang lebih terjangkau, aman, berkualitas dan merata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan distribusi dan pengadaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi, dan pelayanannya dengan prioritas keluarga miskin dan kelompok rentan skala kabupaten/kota.
Penjaminan ketersediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi bagi peserta mandiri skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5.a. Penetapan pedoman dan pengembangan model promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala nasional.
Ɇ 5.a. Pemberian dukungan penyelenggaraan promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala provinsi.
Ɇ 5.a. Pelaksanaan promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan informed choice dan informed consent dalam program KB.
Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) 1. Kebijakan dan Pelaksanaan KRR dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi 1.a.Penetapan kebijakan dan pengembangan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) skala nasional.
Ɇ 1.a.Penetapan kebijakan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
Pemberian dukungan operasional KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
a. Penetapan kebijakan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan dukungan operasional KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengembangan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala nasional.
Ɇ 3.a. Pengelolaan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala nasional.
a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
Ɇ 3.a. Pengelolaan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
a.Penetapan perkiraan sasaran pelayanan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA skala kabupaten/kota.
Penyerasian dan penetapan kriteria serta kelayakan tempat pelayanan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota.
a. Penyelenggaraan pelayanan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ b. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ b. Penyelenggaraan kemitraan pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor Lembaga Swadaya Organisasi Masyarakat (LSOM) skala kabupaten/kota.
Penetapan fasilitas pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.
Penetapan sasaran KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Ɇ 4. Pengembangan SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala nasional.
Ɇ 4. Pendayagunaan SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala provinsi. f .Penetapan prioritas kegiatan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/kota.
Pemanfaatan tenaga SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.
Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Pengembangan Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga 1.a.Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan dukungan pelayanan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional.
Ɇ 3.a. Pengelolaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional.
Ɇ 2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi.
Ɇ 3.a. Pengelolaan operasional ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi.
Ɇ 2.a. Penyerasian penetapan kriteria pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.
Penetapan sasaran Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), dan Bina Keluarga Lansia (BKL) skala kabupaten/ kota.
a. Penyelenggaraan BKB, BKR, dan BKL termasuk pendidikan pra- melahirkan skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ c. Pelaksanaan model-model kegiatan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.
Pembinaan teknis peningkatan pengetahuan, keterampilan, kewirausahaan dan manajemen usaha bagi keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I alasan ekonomi dalam kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pendampingan/ magang bagi para kader/anggota kelompok UPPKS skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kemitraan untuk aksesibilitas permodalan, teknologi, dan manajemen serta pemasaran guna peningkatan UPPKS skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Ɇ g. Ɇ g. Peningkatan kualitas lingkungan keluarga skala kabupaten/kota.
Penguatan Pelembagaan Keluarga Kecil Berkualitas 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Penguatan Pelembagaan Keluarga Kecil Berkualitas dan Jejaring Program 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional.
Ɇ 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional.
a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi.
Ɇ 2.a.Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi.
a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan dukungan operasional penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota.
a.Penetapan perkiraan sasaran pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ b. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ b. Pemanfaatan pedoman pelaksanaan penilaian angka kredit jabatan fungsional penyuluh KB.
Penetapan petunjuk teknis pengembangan peran Institusi Masyarakat Pedesaan/Perkotaan (IMP) dalam program KB nasional.
Penetapan formasi dan sosialisasi jabatan fungsional penyuluh KB.
Pendayagunaan pedoman pemberdayaan dan penggerakan institusi masyarakat program KB nasional dalam rangka kemandirian.
Penetapan petunjuk teknis peningkatan peran serta mitra program KB nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. a. Pengelolaan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ 3.a. Pengelolaan operasional penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi.
Penyiapan pelaksanaan pengkajian dan pengembangan program KB nasional, serta pemanfaatan hasil kajian dan penelitian.
Ɇ d. Ɇ e. Ɇ 3.a. Pelaksanaan pengelolaan personil, sarana dan prasarana dalam mendukung program KB nasional, termasuk jajaran medis teknis tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Penyediaan dan pemberdayaan tenaga fungsional penyuluh KB.
Penyediaan dukungan operasional penyuluh KB.
Penyediaan dukungan operasional IMP dalam program KB nasional.
Pelaksanaan pembinaan teknis IMP dalam program KB nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Ɇ g. Ɇ h. Ɇ i. Ɇ j. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ h. Ɇ i. Ɇ j. Ɇ f. Pelaksanaan peningkatan kerjasama dengan mitra kerja program KB nasional dalam rangka kemandirian.
Penyiapan pelaksanaan pengkajian dan pengembangan program KB nasional di kabupaten/kota.
Pemanfaatan hasil kajian dan penelitian.
Pendayagunaan kerjasama jejaring pelatih terutama pelatihan klinis kabupaten/kota.
Pendayagunaan SDM program terlatih, serta perencanaan dan penyiapan kompetensi SDM program yang dibutuhkan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA k. Ɇ k. Ɇ k. Pendayagunaan bahan pelatihan sesuai dengan kebutuhan program peningkatan kinerja SDM.
Advokasi dan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Advokasi dan KIE 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi, KIE, serta konseling program KB nasional.
– 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria pengembangan advokasi dan KIE skala nasional.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi.
Fasilitasi operasional advokasi dan KIE skala provinsi.
a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman pengembangan advokasi dan KIE skala nasional.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi dan KIE skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan operasional advokasi KIE skala kabupaten/ kota.
a. Penetapan perkiraan sasaran advokasi dan KIE skala kabupaten/kota.
Penyerasian dan penetapan kriteria advokasi dan KIE skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a. Pengelolaan advokasi dan KIE skala nasional.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ 3.a. Pengelolaan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ 3.a. Pelaksanaan advokasi, KIE, serta konseling program KB dan KRR.
Pelaksanaan KIE ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan kelembagaan dan jaringan institusi program KB.
Pemanfaatan prototipe program KB/Kesehatan Reproduksi (KR), KRR, ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas.
Pelaksanaan promosi KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS, dan bahaya NAPZA dan perlindungan hak-hak reproduksi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Informasi dan Data Mikro Kependudukan dan Keluarga 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Data Mikro Kependudukan dan Keluarga 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional.
Ɇ 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
Fasilitasi operasional pengelolaan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman pengembangan informasi dan data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.
a. Penetapan perkiraan sasaran pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.
Informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a. Pengelolaan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ 3.a. Pengelolaan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ 3.a. Pelaksanaan operasional sistem informasi manajemen program KB nasional.
Pemutakhiran, pengolahan, dan penyediaan data mikro kependudukan dan keluarga.
Pengelolaan data dan informasi program KB nasional serta penyiapan sarana dan prasarana.
Pemanfaaan data dan informasi program KB nasional untuk mendukung pembangunan daerah.
Pemanfaatan operasional jaringan komunikasi data dalam pelaksanaan e-government dan melakukan diseminasi informasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Keserasian Kebijakan Kependudukan 1. Penyerasian dan Keterpaduan Kebijakan Kependudukan 1. Penetapan kebijakan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.
Pengkajian dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan.
Pelaksanaan kebijakan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.
Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di provinsi.
Penyelenggaraan kebijakan teknis operasional dan pelaksanaan program kependudukan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan di daerah kabupaten/kota.
Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di daerah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a. Pengelolaan dan penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan sektoral dan daerah.
Ɇ 3.a. Penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan di provinsi.
Ɇ 3.a. Penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan di daerah kabupaten/kota.
Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di daerah kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Pembinaan 1. Pengembangan dan penetapan kebijakan pembinaan, dan penyelenggaraan monitoring, evaluasi, fasilitasi, asistensi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional.
Dukungan pelaksanaan monitoring, evaluasi, asistensi, fasilitasi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional.
Monitoring, evaluasi, asistensi, fasilitasi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional di kabupaten/kota. M. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG SOSIAL SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan Bidang Sosial 1. Penetapan kebijakan bidang sosial skala nasional. 1. Penetapan kebijakan bidang sosial skala provinsi mengacu pada kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan bidang sosial skala kabupaten/kota mengacu pada kebijakan provinsi dan/atau nasional.
Perencanaan Bidang Sosial 1. Penyusunan perencanaan bidang sosial skala nasional.
Penyusunan perencanaan bidang sosial skala provinsi.
Penyusunan perencanaan bidang sosial skala kabupaten/kota.
Kerjasama Bidang Sosial 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria kerjasama bidang sosial.
Penyelenggaraan kerjasama bidang sosial skala provinsi. 1. Penyelenggaraan kerjasama bidang sosial skala kabupaten/kota.
Pembinaan Bidang Sosial 1. Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala nasional.
Penetapan pedoman dan standarisasi.
Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala provinsi.
Sinkronisasi dan harmonisasi pelaksanaan pedoman dan standarisasi.
Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala kabupaten/kota.
Sinkronisasi dan harmonisasi pelaksanaan pedoman dan standarisasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan akreditasi dan sertifikasi.
Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala nasional.
Pengajuan usulan dan rekomendasi untuk penetapan akreditasi dan sertifikasi.
Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala provinsi.
Seleksi dan kelengkapan bahan usulan untuk penetapan akreditasi dan sertifikasi.
Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala kabupaten/kota.
Identifikasi dan Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial 1. Penetapan jenis dan kriteria sasaran penanggulangan masalah sosial skala nasional.
Identifikasi sasaran penanggulangan masalah sosial skala provinsi.
Identifikasi sasaran penanggulangan masalah sosial skala kabupaten/kota.
Pengembangan dan Pendayagunaan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) 1. Penetapan pedoman, jenis, standar dan kriteria PSKS skala nasional.
Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala nasional.
Penggalian dan pendayagunaan PSKS skala provinsi.
Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala provinsi.
Penggalian dan pendayagunaan PSKS skala kabupaten/kota.
Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pelaksanaan Program/Kegiatan Bidang sosial 1. Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial meliputi uji coba, percontohan, kerjasama luar negeri, dan penanggulangan masalah sosial skala nasional.
Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial skala provinsi dan atau kerjasama antar kabupaten/kota.
Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial skala kabupaten/kota.
Pengawasan Bidang Sosial 1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan, dan kebijakan bidang sosial.
Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan bidang sosial, dan kebijakan skala provinsi.
Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan bidang sosial skala kabupaten/ kota.
Pelaporan Pelaksanaan Program di Bidang Sosial 1. Pelaporan pelaksanaan program di bidang sosial skala nasional kepada Presiden.
Pelaporan pelaksanaan program bidang sosial skala provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Menteri Sosial.
Pelaporan pelaksanaan program bidang sosial skala kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Sosial. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Sarana dan Prasarana Sosial 1. Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala nasional.
Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala provinsi.
Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala kabupaten/kota.
Pembinaan Tenaga Fungsional Pekerja Sosial 1. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala nasional.
Penyelenggaraan pendidikan profesi pekerjaan sosial skala nasional.
Pendidikan dan pelatihan jabatan fungsional pekerja sosial skala nasional.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala provinsi.
Pengusulan calon peserta pendidikan profesi pekerjaan sosial skala provinsi.
Pengusulan calon peserta pendidikan dan profesi pekerja sosial skala provinsi.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala kabupaten/kota.
Pengusulan calon peserta pendidikan profesi pekerjaan sosial skala kabupaten/kota.
Pengusulan calon peserta pendidikan dan pelatihan pekerja sosial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial 1. Penetapan pedoman sistem informasi kesejahteraan sosial.
Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala nasional.
— 2. Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala provinsi.
— 2. Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota.
Penganugerahan Tanda Kehormatan 1. Pengusulan dan pemberian rekomendasi kepada Presiden untuk penganugerahan satya lencana kebaktian sosial.
Penganugerahan penghargaan Menteri Sosial.
Pengusulan dan pemberian rekomendasi atas usulan penganugerahan satya lencana kebaktian sosial kepada Presiden melalui Menteri Sosial.
Pemberian penghargaan di bidang sosial skala provinsi.
Penyiapan bahan kelengkapan usulan penganugerahan satya lencana kebaktian sosial kepada Presiden melalui Gubernur dan Menteri Sosial.
Pemberian penghargaan di bidang sosial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pelestarian Nilai-Nilai 1. Penetapan pedoman pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan kejuangan dan kesetiakawanan sosial.
Pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan serta nilai- nilai kesetiakawanan sosial sesuai pedoman skala provinsi.
Pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan serta nilai-nilai kesetiakawanan sosial sesuai pedoman yang ditetapkan oleh pusat atau provinsi skala kabupaten/kota.
Pemeliharaan Taman Makam Pahlawan (TMP) 1. Standarisasi, pemeliharaan, dan perbaikan TMP Nasional.
Pembangunan, perbaikan, pemeliharaan, TMP di provinsi.
Pembangunan, perbaikan, pemeliharaan, TMP di kabupaten/kota.
Pemeliharaan Makam Pahlawan Nasional (MPN) 1. Standarisasi, pemeliharaan dan perbaikan MPN. 1. — 1. — 14. Nilai-nilai Kepahlawanan, Keperintisan Kejuangan dan Kesetiakawanan Sosial 4. Penganugerahan Gelar Pahlawan dan Perintis Kemerdekaan 1. Pengusulan dan pemberian rekomendasi kepada Presiden untuk penetapan dan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan.
Pemberian rekomendasi atas usulan pengangkatan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan.
Penyiapan bahan kelengkapan usulan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penyelenggaraan Peringatan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional 1. Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional.
Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional tingkat provinsi.
Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional tingkat kabupaten/kota.
Penanggulangan Korban Bencana 1. Penetapan pedoman penanggulangan bencana.
Penanggulangan bencana skala dan/atau berdampak nasional.
Penanggulangan korban bencana skala provinsi.
— 1. Penanggulangan korban bencana skala kabupaten/kota.
— 16. Pengumpulan Uang atau Barang (Sumbangan Sosial) 1. Penetapan kebijakan dan pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala nasional.
Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala nasional.
Pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala provinsi.
Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala provinsi.
Pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala kabupaten/kota.
Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengelolaan (penerimaan dan penyaluran) sumbangan sosial masyarakat baik dalam maupun luar negeri.
— 3. — 17. Undian 1. Penetapan kebijakan dan pemberian izin undian skala nasional.
Pengendalian dan pengawasan serta pemantauan pelaksanaan undian di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi izin undian skala provinsi.
Pengendalian dan pengawasan pelaksanaan undian di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi izin undian skala kabupaten/kota bila diperlukan.
Pengendalian dan pelaksanaan undian di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Jaminan Sosial bagi Penyandang Cacat Fisik dan Mental, dan Lanjut Usia Tidak Potensial Terlantar, yang berasal dari Masyarakat Rentan dan Tidak Mampu 1. Penetapan pedoman penyelenggaraan jaminan sosial.
Pelaksanaan pemberian jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar, yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala nasional.
— 2. Pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala provinsi.
— 2. Pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 19. Pengasuhan dan Pengangkatan Anak 1. Penetapan organisasi sosial/yayasan yang diberi izin untuk pengasuhan anak.
Pemberian izin pengangkatan anak bagi anak yang berada dalam asuhan organisasi sosial antar Warga Negara Indonesia (WNI) dan antara WNI dengan Warga Negara Asing (WNA).
— 2. Pemberian izin pengangkatan anak antar WNI.
— 2. Pemberian rekomendasi pengangkatan anak skala kabupaten/kota. N. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Ketenagakerjaan 1. Kebijakan, Perencanaan, Pembinaan, dan Pengawasan 1. Penetapan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan pusat dan penetapan kebijakan daerah serta pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pusat dan provinsi, penetapan kebijakan daerah dan pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Koordinasi dan pengintegrasian penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Penetapan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan kelembagaan/Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Perencanaan tenaga kerja nasional, pembinaan perencanaan tenaga kerja daerah provinsi dan kabupaten/kota, 3. Penanggungjawab penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketenagakerjaan di provinsi.
Perencanaan tenaga kerja daerah provinsi, pembinaan perencanaan tenaga kerja mikro, pembinaan dan penyelenggaraan sistem 3. Penanggungjawab penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
Perencanaan tenaga kerja daerah kabupaten/kota, pembinaan perencanaan tenaga kerja mikro pada instansi/tingkat perusahaan, pembinaan dan penyelenggaraan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA sektoral, dan mikro serta pembinaan dan pengembangan sistem informasi ketenagakerjaan nasional. informasi ketenagakerjaan, serta pembinaan perencanaan tenaga kerja dan sistem informasi ketenagakerjaan kabupaten/kota skala provinsi. sistem informasi ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur 1. Penetapan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Perencanaan formasi, karir, dan pendidikan dan pelatihan (diklat) 1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana 1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan di provinsi. ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Penetapan kriteria dan standar pemangku jabatan perangkat daerah yang melaksanakan urusan 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketenagakerjaan skala 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketenagakerjaan skala SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pemerintahan bidang ketenagakerjaan.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi pusat. provinsi.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi provinsi. kabupaten/kota.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi kabupaten/kota.
Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Tenaga Kerja 1.a.Standarisasi kompetensi dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala nasional.
— 2.a.Standarisasi, pelatihan dan pelaksanaan pengukuran 1.a.Pembinaan dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala provinsi.
Pelatihan diseminasi program untuk kabupaten/kota di wilayah provinsi.
a.Pelaksanaan pelatihan dan pengukuran produktivitas skala 1.a.Pembinaan dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala kabupaten/kota.
— 2.a.Pelaksanaan pelatihan dan pengukuran produktivitas skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA produktivitas skala nasional.
Pembinaan dan penyelenggaraan kerja sama internasional dalam rangka peningkatan produktivitas. provinsi.
Pelaksanaan program peningkatan produktivitas di wilayah provinsi.
Pelaksanaan program peningkatan produktivitas di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan pelaksanaan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan kerja serta penerbitan perizinan magang ke luar negeri.
Pengawasan pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga 3. Pengawasan pelaksanaan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan kerja serta penerbitan rekomendasi perizinan magang ke luar negeri.
Pengawasan pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga 3. Penyelenggaraan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan serta pengesahan kontrak/perjanjian magang dalam negeri.
Koordinasi pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga pelatihan kerja skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA sertifikasi profesi dan lembaga pelatihan kerja skala nasional. pelatihan kerja skala provinsi.
Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri 1.a.Penyusunan sistem dan penyebarluasan informasi pasar kerja secara nasional.
Pemberian pelayanan informasi pasar kerja dan bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala nasional.
Pembinaan dan penyusunan sistem pemberdayaan pengantar kerja berskala nasional.
a.Penyusunan sistem dan penyebarluasan informasi pasar kerja di wilayah provinsi.
Pemberian pelayanan informasi pasar kerja dan bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala provinsi.
Pembinaan, monitoring, evaluasi, dan pendataan jabatan fungsional pengantar kerja tingkat provinsi.
a.Penyebarluasan informasi pasar kerja dan pendaftaran pencari kerja (pencaker) dan lowongan kerja.
Penyusunan, pengolahan dan penganalisisan data pencaker dan data lowongan kerja skala kabupaten/kota.
Pemberian pelayanan informasi pasar kerja, bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d.Monitoring, evaluasi, dan sosialisasi jabatan fungsional pengantar kerja.
Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja berskala nasional.
— e.Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja tingkat provinsi.
Pembinaan pejabat fungsional pengantar kerja.
Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja di wilayah kerja kabupaten/kota.
a. Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS) dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan lintas provinsi/berskala nasional.
a. Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan skala provinsi.
a.Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.— 3. Pemberian rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/ job fair skala nasional.
Penerbitan rekomendasi untuk perizinan pendirian LPTKS dan lembaga penyuluhan dan bimbingan jabatan yang akan melakukan kegiatan skala provinsi.
Pemberian rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/ job fair skala provinsi.
Penerbitan rekomendasi untuk perizinan pendirian LPTKS dan lembaga penyuluhan dan bimbingan jabatan yang akan melakukan kegiatan skala kabupaten/kota.
Pemberikan rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/ job fair skala kabupaten/kota.
Sosialisasi dan evaluasi penempatan tenaga kerja penyandang cacat, lanjut usia (lansia) dan perempuan skala nasional.
Fasilitasi dan pembinaan penempatan bagi pencari kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala provinsi.
Fasilitasi penempatan bagi pencari kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5.a.Penerbitan Surat Persetujuan Penempatan (SPP) Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) skala nasional.
— 6.a.Penerbitan izin operasional Tenaga Kerja Sukarela (TKS) Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela luar negeri dan lembaga sukarela Indonesia.
a.Penerbitan SPP AKAD skala provinsi.
— 6.a.Penerbitan rekomendasi izin operasional TKS Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang akan beroperasi lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam satu provinsi.
a.Penyuluhan, Rekrutmen, seleksi dan pengesahan pengantar kerja, serta penempatan tenaga kerja AKAD/Antar Kerja Lokal (AKL).
Penerbitan SPP AKL skala kabupaten/kota.
a.Penerbitan rekomendasi izin operasional TKS Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang akan beroperasi pada 1 (satu) kabupaten/kota.
Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian pendayagunaan TKS, b.Pelaksanaan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan b.Pelaksanaan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan pendayagunaan TKS dan lembaga sukarela skala SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Tenaga Kerja Mandiri (TKM), dan lembaga sukarela skala nasional.
— 7.a.Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) baru.
Pengesahan RPTKA perpanjangan lintas provinsi. pendayagunaan TKS dan lembaga sukarela skala provinsi.
Koordinasi, integrasi dan sinkronisasi program pendayagunaan TKM skala provinsi.
a.— b.Pengesahan RPTKA perpanjangan yang tidak mengandung perubahan jabatan, jumlah orang, dan lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah provinsi. kabupaten/kota.
Pendaftaran dan fasilitasi pembentukan TKM.
a.— b.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.Pengesahan RPTKA perubahan seperti perubahan jabatan, perubahan lokasi, perubahan jumlah Tenaga Kerja Asing (TKA) dan perubahan kewarganegaraan.
a. Pemberian rekomendasi visa kerja dan penerbitan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) baru.
Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi.
— 8.a. — b.Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
— 8.a. — b.Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.Penyusunan jabatan terbuka atau tertutup bagi TKA.
— c.— 9. Pembinaan dan pengendalian penggunaan TKA skala nasional.
Pembinaan penerapan teknologi tepat guna skala nasional.
Pembinaan model-model perluasan dan pengembangan kesempatan secara nasional antara lain melalui usaha mandiri 9. Monitoring dan evaluasi penggunaan TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam wilayah provinsi.
Pembinaan dan penerapan teknologi tepat guna skala provinsi.
Koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi pelaksanaan program usaha mandiri dan sektor informal serta program padat karya 9. Monitoring dan evaluasi penggunaan TKA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pelaksanaan pelatihan/bimbingan teknis, penyebarluasan dan penerapan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan program perluasan kerja melalui bimbingan usaha mandiri dan sektor informal serta program padat karya skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dan sektor informal, serta program padat karya. skala provinsi.
Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri 1.a.Pembinaan, pengendalian, dan pengawasan penempatan TKI ke luar negeri.
Pelaksanaan penempatan TKI oleh pemerintah.
Pembuatan perjanjian/pelaksanaan kerjasama bilateral dan multilateral dengan negara-negara penempatan TKI.
a.Monitoring dan evaluasi penempatan TKI ke luar negeri yang berasal dari wilayah provinsi.
— 2. Fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral penempatan TKI yang pelaksanaannya di wilayah provinsi.
a.Pelaksanaan penyuluhan , pendaftaran dan seleksi calon TKI di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan pelaksanaan rekrutmen calon TKI di wilayah kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral penempatan TKI yang pelaksanaannya di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penerbitan Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (SIPPTKIS)/ Surat Izin Usaha Penempatan (SIUP)- Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan rekomendasi rekrutmen calon TKI serta Penerbitan Surat Izin Pengerahan (SIP).
Verifikasi dokumen TKI, penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), penerbitan rekomendasi paspor TKI yang bersifat khusus dan crash program .
Penerbitan perizinan pendirian kantor cabang di wilayah provinsi dan rekomendasi perpanjangan SIPPTKIS/PPTKIS.
Verifikasi dokumen TKI di wilayah provinsi.
Penerbitan rekomendasi izin pendirian kantor cabang PPTKIS di wilayah kabupaten/kota.
Penerbitan rekomendasi paspor TKI di wilayah kabupaten/kota berdasarkan asal/alamat calon TKI. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penyelenggaraan Sistem Komputerisasi Terpadu Penempatan TKI di Luar Negeri (SISKO TKLN) dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI.
a.Penentuan standar perjanjian kerja, penelitian terhadap substansi perjanjian kerja serta pengesahan perjanjian kerja.
— 5. Penyebarluasan sistem informasi penempatan TKI dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI di wilayah provinsi.
a.Sosialisasi substansi perjanjian kerja penempatan TKI ke luar negeri skala provinsi.
— 5. Penyebarluasan sistem informasi penempatan TKI dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI di wilayah kabupaten/kota.
a.Sosialisasi terhadap substansi perjanjian kerja penempatan TKI ke luar negeri skala kabupaten/kota.
Penelitian dan pengesahan perjanjian penempatan TKI ke luar negeri. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyelenggaraan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) (pelaksanaannya dapat didekonsentrasikan kepada Gubernur).
a.Penyelenggaraan program perlindungan, pembelaan, dan advokasi TKI.
Penentuan standar tempat penampungan calon TKI dan Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLK-LN).
Penetapan standar dan penunjukan lembaga- lembaga yang terkait 7. Fasilitasi penyelenggaraan PAP.
a.Pembinaan, pengawasan penempatan dan perlindungan TKI di wilayah provinsi.
Penerbitan perizinan tempat penampungan di wilayah provinsi.
— 7. — 8.a.Pembinaan, pengawasan, dan monitoring penempatan maupun perlindungan TKI di kabupaten/kota.
Penerbitan rekomendasi perizinan tempat penampungan di wilayah kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dengan program penempatan TKI (lembaga asuransi, perbankan, dan sarana kesehatan).
Fasilitasi kepulangan dan pemulanganTKI secara nasional.
Fasilitasi kepulangan TKI di pelabuhan debarkasi di wilayah provinsi.
Pelayanan kepulangan TKI yang berasal dari kabupaten/kota.
Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja 1.a.Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu provinsi.
a.Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
a.Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya dalam satu wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi.
Pencatatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada perusaha- an yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi.
Pendaftaran PKB, perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari satu wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Pencatatan PKWT pada perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Pendaftaran PKB, perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
Pencatatan PKWT pada perusahaan yang skala berlakunya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
a.Pendaftaran Perjanjian Pekerjaan antara Perusahaan Pemberi Kerja dengan 2.a.Pendaftaran Perjanjian Pekerjaan antara Perusahaan Pemberi Kerja dengan 2.a. Penerbitan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berdomisili di kabupaten/kota dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi.
Penerbitan rekomendasi pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi.
Pencegahan dan penyelesaian perselisih- an hubungan industrial, mogok kerja, dan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Penerbitan rekomendasi pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Pencegahan dan penyelesaian perselisih- an hubungan indus- trial, mogok kerja, dan pendaftaran perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
Pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berdomisili di kabupaten/kota atas rekomendasi pusat dan atau provinsi.
Pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja, dan penutupan perusahaan di SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA penutupan perusahaan skala nasional.
Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala nasional.
Koordinasi penyusunan formasi, pendaftaran dan seleksi calon arbiter dan konsiliator, pengangkatan dan pemberhentian serta penerbitan legitimasi mediator, konsiliator, dan arbiter. penutupan perusahaan skala provinsi.
Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala provinsi.
Penyusunan formasi, pendaftaran dan seleksi calon mediator, arbiter, dan konsiliator di wilayah provinsi. wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala kabupaten/kota.
Penyusunan dan pengusulan formasi serta melakukan pembinaan mediator, konsiliator, arbiter di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pendaftaran dan seleksi calon hakim ad-hoc hubungan industrial pada Mahkamah Agung.
a.Bimbingan aplikasi pengupahan skala nasional.
Penetapan kebijakan pengupahan nasional dan penelaahan terhadap upah minimum yang ditetapkan pemerintah provinsi.
Pendaftaran dan seleksi calon hakim ad-hoc pengadilan hubungan industrial yang wilayahnya meliputi provinsi.
a.Bimbingan aplikasi pengupahan lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penyusunan dan penetapan upah minimum provinsi, kabupaten/kota, dan melaporkan kepada menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pendaftaran dan seleksi calon hakim ad-hoc pengadilan hubungan industrial yang wilayahnya meliputi kabupaten/ kota.
a.Bimbingan aplikasi pengupahan di perusahaan skala kabupaten/kota.
Penyusunan dan pengusulan penetapan upah minimum kabupaten/kota kepada gubernur. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8.a.Koordinasi pembinaan penyelenggaraan jaminan sosial, fasilitas, dan kesejahtaraan tenaga kerja/buruh skala nasional.
— 9. Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala nasional.
a.Koordinasi pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja skala provinsi.
Koordinasi pembinaan penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan tenaga kerja skala provinsi.
Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala provinsi.
a.Pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan di perusahaan skala kabupaten/kota.
Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Koordinasi pelaksanaan verifikasi keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) skala nasional.
Koordinasi hasil pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh dari provinsi.
Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh untuk duduk dalam lembaga- lembaga ketenagakerjaan nasional berdasarkan 10. Koordinasi pelaksanaan verifikasi keanggotaan SP/SB skala provinsi.
Koordinasi hasil pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala provinsi dan melaporkannya kepada pemerintah.
Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala provinsi untuk duduk dalam lembaga-lembaga ketenagakerjaan provinsi berdasarkan 10. Verifikasi keanggotaan SP/SB skala kabupaten/kota.
Pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala kabupaten/kota dan melaporkannya kepada provinsi.
Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh untuk duduk dalam lembaga- lembaga ketenagakerjaan kabupaten/kota berdasarkan hasil verifikasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA hasil verifikasi. hasil verifikasi.
Pembinaan Ketenagaker- jaan 1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala nasional.
Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala nasional.
Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala nasional.
Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap 1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala provinsi.
Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap 1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala nasional.
a.Penetapan rencana tahunan audit dan sertifikasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
— 6. Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan dan kesehatan kerja pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala provinsi.
a.Pelaksanaan penerapan SMK3 skala provinsi.
Pelaksanaan koordinasi dan audit SMK3 skala provinsi.
Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, kesehatan dan keselamatan kerja perusahaan dan pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
a.Pelaksanaan penerapan SMK3 skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan koordinasi dan audit SMK3 skala kabupaten/kota.
Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA yang bersifat strategis dan berskala nasional.
Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis dan berskala nasional.
Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional. yang bersifat strategis skala provinsi.
Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis skala provinsi.
Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Fasilitasi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional.
Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional.
a. Penyelenggaraan diklat teknis/fungsional pengawasan ketenagakerjaan.
— 9. Fasilitasi penyelenggaraan pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
a. Pengusulan calon peserta diklat pengawasan ketenagakerjaan kepada pemerintah.
Bekerjasama dengan pusat menyelenggarakan diklat teknis 9. Fasilitasi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
a. Pengusulan calon peserta diklat pengawasan ketenagakerjaan kepada pemerintah dan/atau pemerintah provinsi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian pegawai pengawas ketenagakerjaan.
Penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan.
Penerbitan kartu Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang ketenagakerjaan. pengawasan ketenagakerjaan.
Pengusulan calon pegawai pengawas ketenagakerjaan skala provinsi kepada pemerintah.
Pengusulan penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan skala provinsi kepada pemerintah.
Pengusulan kartu PPNS bidang ketenaga- kerjaan skala provinsi kepada pemerintah.
Pengusulan calon pegawai pengawas ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah.
Pengusulan penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah.
Pengusulan kartu PPNS bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penetapan sertifikasi, penunjukan, penerbitan lisensi bagi lembaga personil, dan kader ketenagakerjaan.
— 15. — 2. Ketransmigra- sian 1. Kebijakan, Perencanaan, Pembinaan, dan Pengawasan 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.
Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang 1. Pelaksanaan kebijakan pusat dan perumusan kebijakan daerah serta pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi.
Pengendalian, evaluasi, dan pelaporan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang ketransmigrasian skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pusat dan provinsi, perumusan kebijakan daerah dan pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA ketransmigrasian skala nasional.
Koordinasi dan integrasi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional.
Perumusan kebijakan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala nasional.
Sinkronisasi dan pengendalian pelaksanaan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi.
Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala provinsi berdasarkan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah.
Integrasi pelaksanaan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota berdasarkan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Perancangan pembangunan transmigrasi nasional, serta pembinaan dan pengembangan sistem informasi ketransmigrasian skala nasional.
Pemberdayaan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.
Perancangan pembangunan transmigrasi daerah provinsi, serta pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi ketransmigrasian skala provinsi.
Pemberdayaan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi.
Perancangan pembangunan transmigrasi daerah kabupaten/kota, serta pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Pembinaan SDM Aparatur 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, 1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan monitoring, 1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan monitoring, evaluasi pembinaan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kriteria, dan monitoring, evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional.
Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintahan daerah provinsi.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah provinsi.
Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah kabupaten/kota.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional.
Perumusan kriteria dan standar pemangku jabatan perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian di instansi pusat. pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah provinsi.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketransmigrasian skala pemerintah daerah provinsi.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian instansi provinsi. daerah kabupaten/kota.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketransmigrasian skala pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian instansi kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyiapan Permukiman dan Penempatan 1.a.Perencanaan penyiapan permukiman dan penempatan transmigrasi untuk kepentingan nasional dan daerah.
— 1.a. Pengusulan rencana lokasi pembangunan Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) atau Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT) skala provinsi berdasarkan hasil pembahasan dengan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pengusulan rencana pengarahan, perpindahan, dan penempatan transmigrasi skala provinsi berdasarkan hasil pembahasan dengan pemerintah daerah kabupaten/kota.
a.Pengalokasian tanah untuk pembangunan WPT atau LPT di wilayah kabupaten/kota.
Pengusulan rencana lokasi pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.— d.— 2.a.Penyediaan tanah untuk pembangunan WPT atau LPT untuk kepentingan nasional dan daerah.
— c.— d.— 2.a.Koordinasi penyediaan tanah untuk pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
— c.Pengusulan rencana kebutuhan SDM untuk mendukung pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.
Pengusulan rencana pengarahan dan perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota.
a.Penyelesaian legalitas tanah untuk rencana pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.
Penetapan alokasi penyediaan tanah untuk rencana pembangunan WPT dan LPT skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyusunan dan penetapan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT dalam rangka kepentingan nasional dan daerah.
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian dalam rangka kepentingan nasional dan daerah.
a.Pengembangan dan pelayanan investasi dan kemitraan dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala nasional dan daerah.
— 3. Pengusulan rancangan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
KIE ketransmigrasian skala provinsi.
a.Penyediaan informasi pengembangan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
Mediasi dan koordinasi pelayanan investasi dalam rangka 3. Penyediaan data untuk penyusunan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.
KIE ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
a.Penyediaan informasi pengembangan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.
Pelayanan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.Pengembangan kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi skala nasional.
— 7. Pembangunan WPT atau LPT dalam rangka kepentingan nasional dan daerah.
a.Penyiapan calon transmigran skala nasional. pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
a.Mediasi kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi skala provinsi.
— 7. Koordinasi pelaksanaan pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
a.Koordinasi pelaksanaan penyiapan calon transmigran skala provinsi.
a.Penjajagan kerjasama dengan daerah kabupaten/kota lain.
Pembuatan naskah kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi.
Sinkronisasi pembangunan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala kabupaten/kota.
a.Pendaftaran dan seleksi calon transmigran skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — 9. Peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala nasional.
Fasilitasi perpindahan dan penempatan transmigran skala nasional.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan penyiapan permukiman dan penempatan b. — 9. Koordinasi pelaksanaan peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pelayanan perpindahan dan penempatan transmigran skala provinsi.
Pengendalian dan supervisi penyiapan permukiman dan penempatan transmigran skala b.Penetapan status calon transmigran skala kabupaten/kota berdasarkan kriteria pemerintah.
Peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala kabupaten/kota.
Pelayanan penampungan calon transmigran skala kabupaten/kota.
Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan penyiapan permukiman dan penempatan transmigran di wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA transmigran skala nasional. provinsi. kabupaten/kota.
Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi 1. Perencanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala nasional.
Peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT skala nasional.
Pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT skala nasional.
Sinkronisasi dan pengusulan rencana pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT skala provinsi.
Pengusulan rencana pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala kabupaten/kota.
Sinkronisasi peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota.
Sinkronisasi pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT skala nasional.
Penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar.
a.Evaluasi dan pengukuran tingkat keberhasilan pembangunan transmigrasi dan pengalihan 4. Koordinasi pelaksanaan pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala provinsi.
a.Koordinasi dan sinkronisasi penyajian data dan informasi tentang perkembangan WPT atau LPT skala provinsi.
Sinkronisasi pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota.
Sinkronisasi penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala kabupaten/kota.
a.Penyediaan data dan informasi tentang perkembangan WPT dan LPT skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA tanggungjawab pembinaan khusus WPT atau LPT skala nasional.
— 7. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala nasional.
Pengusulan calon WPT atau LPT yang dapat dialihkan tanggungjawab pembinaan khususnya dalam skala provinsi.
Pengendalian dan supervisi pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala provinsi.
Pengusulan calon WPT atau LPT yang dapat dialihkan tanggungjawab pembinaan khususnya dalam skala kabupaten/kota.
Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengarahan Dan Fasilitasi Perpindahan Transmigrasi 1.a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala nasional.
Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala nasional.
— 1.a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala provinsi.
Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala provinsi.
— 1.a.Pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Peningkatan motivasi perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d.— 2.a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan penyerasian rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi lintas provinsi.
— d.— 2.a.Fasilitasi, bimbingan teknis, penyusunan dan penyerasian rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala provinsi.
— d.Penyamaan persepsi, kesepahaman, kesepakatan mengenai pembangunan ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
a.Identifikasi dan analisis keserasian penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan skala kabupaten/kota.
Pemilihan dan penetapan daerah dan kelompok sasaran perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.— c.— c.Penyusunan rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota.
Fasilitasi kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung skala nasional.
a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelayanan perpindahan transmigrasi skala nasional.
Mediasi kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung skala provinsi.
a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelayanan perpindahan transmigrasi skala provinsi.
Pelaksanaan kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang skala kabupaten/kota.
a.Pelayanan pendaftaran dan seleksi perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — c. — d. — e. — b. — c. — d. — e. — b.Pelayanan pelatihan dalam rangka penyesuaian kompetensi perpindahan transmigrasi.
Pelayanan penampungan, permakanan, kesehatan, perbekalan, dan informasi perpindahan transmigrasi.
Pelayanan pengangkutan dalam proses perpindahan transmigrasi.
Pelayanan dan pengaturan penempatan, adaptasi lingkungan dan konsoliasi penempatan transmigrasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala nasional.
Pengendalian dan supervisi pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala provinsi.
Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi di wilayah kabupaten/kota. O. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kelembagaan Koperasi 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi.
a.Pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi.
— 3. Pengesahan dan perubahan Anggaran Dasar (AD) yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang koperasi.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran koperasi.
a.Pengesahan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta penetapan pembubaran koperasi lintas kabupaten/kota. (Tugas Pembantuan) b.Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan perubahan AD yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran koperasi.
a.Pengesahan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. (Tugas Pembantuan) b.Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan pengesahan perubahan AD yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pembubaran koperasi.
a.Pembinaan dan Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi di tingkat nasional.
ɔ 4. Fasilitasi pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat provinsi.
a.Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat provinsi.
Fasilitasi pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat provinsi (Tugas Pembantuan) .
Fasilitasi pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan pedoman pemerintah di tingkat kabupaten/kota.
a.Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat kabupaten/kota (Tugas Pembantuan).
Pemberdayaan Koperasi 1. Penetapan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi:
Prinsip kesehatan dan prinsip kehati-hatian usaha KSP dan USP;
Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi:
Penciptaan usaha simpan pinjam yang sehat di tingkat provinsi sesuai dengan kebijakan pemerintah;
Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi:
Penciptaan usaha simpan pinjam yang sehat di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan pemerintah; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Tata cara penyampaian laporan tahunan bagi KSP dan USP;
Tata cara pembinaan KSP dan USP;
Pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP;
Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP yang tidak melaksanakan kewajibannya;
Bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP lintas kabupaten/kota;
Pembinaan KSP dan USP lintas kabupaten/kota;
Fasilitasi pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP lintas kabupaten/kota;
Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP lintas kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajibannya;
Bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota;
Pembinaan KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota;
Fasilitasi pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota;
Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajibannya; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi.
Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi.
Perlindungan kepada koperasi.
Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah provinsi.
Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi lintas kabupaten/kota.
Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah provinsi.
Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
Pemberdayaan UKM 1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat nasional meliputi:
Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;
Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat provinsi meliputi:
Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;
Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat kabupaten/kota meliputi:
Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Persaingan;
Prasarana;
Informasi;
Kemitraan;
Perijinan;
Perlindungan.
Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat nasional meliputi:
Produksi;
Pemasaran;
Sumber daya manusia;
Teknologi.
Persaingan;
Prasarana;
Informasi;
Kemitraan;
Perijinan;
Perlindungan.
Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat provinsi meliputi:
Produksi;
Pemasaran;
Sumber daya manusia;
Teknologi.
Persaingan;
Prasarana;
Informasi;
Kemitraan;
Perijinan;
Perlindungan.
Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat kabupaten/kota meliputi:
Produksi;
Pemasaran;
Sumber daya manusia;
Teknologi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat nasional meliputi:
Kredit perbankan;
Penjaminan lembaga bukan bank;
Modal ventura;
Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN;
Hibah;
Jenis pembiayaan lain.
Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat provinsi meliputi:
Kredit perbankan;
Penjaminan lembaga bukan bank;
Modal ventura;
Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN;
Hibah;
Jenis pembiayaan lain.
Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat kabupaten/kota meliputi:
Kredit perbankan;
Penjaminan lembaga bukan bank;
Modal ventura;
Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN;
Hibah;
Jenis pembiayaan lain.
Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi 1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan koperasi dan UKM.
Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM lintas kabupaten/kota.
Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam wilayah kabupaten/kota. P. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENANAMAN MODAL SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan Penanaman Modal 1. Kebijakan Penanaman Modal 1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal Indonesia dalam bentuk rencana umum penanaman modal nasional dan rencana strategis nasional sesuai dengan program pembangunan nasional.
Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah provinsi dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah sesuai dengan program pembangunan daerah provinsi, berkoordinasi dengan Pemerintah.
Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah kabupaten/kota dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah sesuai dengan program pembangunan daerah kabupaten/kota, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala nasional terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal.
Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan nasional dibidang penanaman modal meliputi:
Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala provinsi terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoordinasi dengan Pemerintah.
Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah provinsi di bidang penanaman modal meliputi:
Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala kabupaten/kota terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi.
Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah kabupaten/kota di bidang penanaman modal meliputi: SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (1) Bidang usaha yang tertutup.
Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan.
Bidang usaha yang menjadi prioritas tinggi dalam skala nasional.
Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup.
Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan.
Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi dalam skala provinsi.
Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup.
Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan.
Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (4) Penyusunan peta investasi Indonesia, potensi sumber daya nasional termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar.
Usulan pemberian fasilitas fiskal dan non fiskal.
Penyusunan peta investasi daerah provinsi dan potensi sumber daya daerah terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar berdasarkan masukan dari daerah kabupaten/kota.
Usulan dan pemberian fasilitas penanaman modal di luar fasilitas fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi (4) Penyusunan peta investasi daerah kabupaten/kota dan identifikasi potensi sumber daya daerah kabupaten/kota terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar.
Usulan dan pemberian insentif penanaman modal di luar faslitas fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan Kebijakan Penanaman Modal 1. Kerjasama Penanaman Modal 4. Mengkaji, merumuskan dan menyusun, dan menetapkan kebijakan dan ketentuan peraturan perundang- undangan dibidang penanaman modal.
Mengkaji, merumuskan, menyusun kebijakan, mengoordinasikan dan melaksanakan kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal. kewenangan provinsi.
Menetapkan peraturan daerah provinsi tentang penanaman modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Mendorong, melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat provinsi. kewenangan kabupaten/kota.
Menetapkan peraturan daerah kabupaten/kota tentang penanaman modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Promosi Penanaman Modal 2. Mengkaji, merumuskan, menyusun kebijakan, mengoordinasikan dan melaksanakan kerjasama internasional di bidang penanaman modal.
Mengkaji, merumuskan dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan dalam promosi penanaman modal.
Mendorong, melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat provinsi.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat provinsi.
Melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pelayanan Penanaman Modal 2. Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
Mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala nasional.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal.
Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal daerah Provinsi baik di dalam negeri maupun ke luar negeri yang melibatkan lebih dari satu kabupaten/kota.
Mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala Provinsi.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pela yananan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal 2. Melaksanakan promosi penanaman modal daerah kabupaten/kota baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun materi promosi skala kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Melayani dan memfasilitasi:
Penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat resiko kerusakan lingkungan yang tinggi; yang bersifat lintas kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah.
— modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;
Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;
Penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e.Penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan
Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut undang-undang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memeiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan nonperizinan yang menjadi kewenangan provinsi.
Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan provinsi.
Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan non perizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.
Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal 5. Pemberian persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal skala nasional.
Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi atau 5. Pemberian usulan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan provinsi.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di provinsi.
Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan berkoordinasi dengan Pemerintah atau pemerintah 5. Pemberian usulan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di kabupaten/kota.
Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan Pemerintah dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Penanaman Modal pemerintah kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala nasional.
Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala provinsi.
Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah dan pemerintah kabupaten/kota. pemerintah provinsi.
Mengkaji, merumuskan dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/kota.
Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah dan pemerintah provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penyebar- luasan, Pendidikan dan Pelatihan Penanaman Modal 3. Mengoordinasikan pengumpulan dan pengolahan data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala nasional.
Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal nasional.
Membina dan mengawasi pelaksanaan penanaman modal di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di bidang sistem informasi penanaman modal.
Mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala provinsi.
Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah.
Membina dan mengawasi pelaksanaan instansi penanaman modal kabupaten/kota di bidang sistem informasi penanaman modal.
Mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala kabupaten/kota.
Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah.
Membina dan mengawasi pelaksanaan di bidang sistem informasi penanaman modal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Mengoordinasikan pelaksanaan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, perjanjian kerjasama internasional di bidang penanaman modal baik kerjasama bilateral, sub regional, regional, dan multilateral, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala nasional kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha;
Mengoordinasikan pelaksanaan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala provinsi kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha.
Melaksanakan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/ kota kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala nasional.
Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala provinsi.
Melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala kabupaten/ kota. Q. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan Bidang Kebudayaan 1. Kebudayaan 1. Rencana induk pengembangan kebudayaan nasional.
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang kebudayaan.
Kriteria nasional sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan.
Rencana induk pengembangan kebudayaan skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai perlindungan HKI bidang kebudayaan.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kriteria sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan .
Rencana induk pengembangan kebudayaan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai perlindungan HKI bidang kebudayaan.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kriteria sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Kerjasama luar negeri bidang kebudayaan. 4. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kerja sama luar negeri di bidang kebudayaan skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kerja sama luar negeri di bidang kebudayaan skala kabupaten/ kota.
Tradisi 1. Penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa.
Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi serta penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala kabupaten/kota . SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perfilman 1. Penetapan kebijakan nasional bidang perfilman.
Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing.
Usaha perfilman, yang meliputi produksi, pengedaran, dan penayangan film.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan operasional perfilman skala provinsi.
Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang usaha perfilman yang meliputi produksi, pengedaran, penayangan film.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan operasional perfilman skala kabupaten/kota.
Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing skala kabupaten/kota.
Pemberian perizinan usaha perfilman di bidang pembuatan film, pengedaran film, penjualan dan penyewaan film (VCD, DVD), pertunjukan film (bioskop), pertunjukan film keliling, penayangan film melalui media elektronik, dan tempat hiburan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Standarisasi di bidang profesi, dan teknologi perfilman.
Kerjasama luar negeri di bidang perfilman.
Kebijakan peredaran, pertunjukan dan penayangan film serta rekaman video.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang standarisasi profesi dan teknologi perfilman.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kerjasama luar negeri di bidang perfilman.
Pengawasan peredaran film dan rekaman video (VCD/DVD) skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang kegiatan standarisasi profesi dan teknologi perfilman.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kerjasama luar negeri di bidang perfilman.
Pengawasan dan pendataan film dan rekaman video yang beredar, perusahaan persewaan dan penjualan rekaman video serta kegiatan evaluasi dan laporan pelaksanaan kebijakan perfilman skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Standarisasi nasional di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film.
Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kegiatan standarisasi di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kegiatan standarisasi di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film skala kabupaten/ kota.
Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala kabupaten/kota.
Kesenian 1. Standarisasi pemberian izin untuk pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai standarisasi pemberian izin pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai standarisasi pemberian izin pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Izin pengiriman/ penerimaan misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala nasional.
Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat nasional dan internasional.
Standar Pelayanan Minimal (SPM) di bidang kesenian.
Penetapan pedoman dan pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara.
Penerbitan rekomendasi pengiriman misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala provinsi.
Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat provinsi.
Penerapan dan monitoring implementasi SPM bidang kesenian skala provinsi.
Pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara skala provinsi.
Penerbitan rekomendasi pengiriman misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala kabupaten/kota.
Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat kabupaten/kota.
Penerapan dan monitoring implementasi SPM bidang kesenian skala kabupaten/ kota.
Pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan pedoman penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan bidang kesenian skala nasional.
Penetapan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni).
Penetapan pedoman nasional pembentukan dan/atau pengelolaan infrastruktur bidang kesenian (misalnya galeri nasional Indonesia dan pusat kebudayaan Indonesia).
Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan kesenian skala provinsi.
Penerapan dan pelaksanaan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni) skala provinsi.
Pelaksanaan pembentukan dan/atau pengelolaan pusat kegiatan kesenian skala provinsi (misalnya taman budaya).
Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan kesenian skala kabupaten/ kota.
Penerapan dan pelaksanaan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni) skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pembentukan dan/atau pengelolaan pusat kegiatan kesenian skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan kebijakan nasional peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional.
Perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam rangka perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala kabupaten/kota.
Sejarah 1. Penetapan pedoman penulisan sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal, dan sejarah kebudayaan.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi, di bidang penulisan sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang penulisan sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan pedoman pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan.
Penetapan pedoman inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah.
Penetapan pedoman pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah tingkat nasional.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi dan di bidang inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan.
Penetapan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan nasional.
Penetapan pedoman database dan sistem informasi geografi sejarah.
Penetapan pedoman koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah.
Penerapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai database dan sistem informasi geografi sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah skala provinsi.
Penerapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai database dan sistem informasi geografi sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan pedoman penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) bidang sejarah.
Pelaksanaan pedoman dan penetapan kebijakan provinsi penyelenggaraan diklat bidang sejarah skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota penyelenggaraan diklat bidang sejarah skala kabupaten/kota.
Purbakala 1. Penetapan pedoman pelaksanaan hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage ".
Penetapan dan pelaksanaan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya (BCB)/situs skala nasional.
Pelaksanaan pedoman mengenai hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage" skala provinsi.
Penerapan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman mengenai hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage" skala kabupaten/kota.
Penerapan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan BCB/situs skala nasional.
Penetapan kebijakan permuseuman.
Penetapan pedoman penelitian arkeologi.
Penetapan pedoman pendirian museum.
Penetapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air sesuai peraturan perundang- undangan.
Penetapan BCB/situs skala provinsi.
Penerapan kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaan museum di provinsi.
Penerapan pedoman penelitian arkeologi.
Penerapan pedoman pendirian museum yang dimiliki provinsi.
Penerapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air skala provinsi.
Penetapan BCB/situs skala kabupaten/kota.
Penerapan kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaan museum di kabupaten/kota.
Penerapan pedoman penelitian arkeologi.
Penerapan pedoman pendirian museum yang dimiliki kabupaten/kota.
Penerapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan Bidang Kebudayaan 1. Penyelenggaraan 1. Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala nasional, meliputi:
Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa.
Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Pengembangan jaringan informasi kebudayaan.
Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala provinsi, meliputi:
Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa.
Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Pengembangan jaringan informasi kebudayaan.
Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala kabupaten/kota, meliputi:
Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa.
Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Pengembangan jaringan informasi kebudayaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga kepercayaan dan lembaga adat.
Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Monitoring dan evaluasi kegiatan skala nasional meliputi:
Pelaksanaan dan hasil kegiatan.
Pengendalian dan pengawasan kegiatan.
Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga adat dan masyarakat.
Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Monitoring dan evaluasi kegiatan skala provinsi meliputi:
Pelaksanaan dan hasil kegiatan.
Pengendalian dan pengawasan kegiatan.
Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga adat dan masyarakat.
Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Monitoring dan evaluasi kegiatan skala kabupaten/kota meliputi:
Pelaksanaan dan hasil kegiatan.
Pengendalian dan pengawasan kegiatan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilai-nilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat.
Peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat nasional.
Peningkatan produksi, peredaran, ekspor impor, festival, pekan film dan apresiasi film.
Pelaksanaan kebijakan sejarah nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilai-nilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat.
Pelaksanaan peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat provinsi.
Pelaksanaan peningkatan apresiasi film skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan sejarah daerah skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilai-nilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat.
Pelaksanaan peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat kabupaten/kota.
Pelaksanaan peningkatan apresiasi film skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan sejarah lokal skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penerbitan rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian ke luar negeri.
Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di berbagai daerah untuk kepentingan nasional dan internasional.
Koordinasi kegiatan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern secara nasional.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program perfilman.
Pengajuan usul rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian Indonesia ke luar negeri dari provinsi.
Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di provinsi.
Penyelenggaraan koordinasi kegiatan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern di provinsi.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional perfilman skala provinsi.
Pengajuan usul rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian Indonesia ke luar negeri dari kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern di kabupaten/kota.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional perfilman skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba berskala nasional yang dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan.
Pemberian izin pembuatan film kepada tim produksi asing di Indonesia.
Pemberian rekomendasi penyelenggaraan festival film internasional dan festival film Indonesia.
Koordinasi dan fasilitasi organisasi/lembaga perfilman.
Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video.
Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba secara berjenjang dan berkala di tingkat provinsi.
Koordinasi dan pengawasan pembuatan film oleh tim asing di provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan kegiatan- kegiatan festival film dan pekan film daerah di provinsi.
Fasilitasi organisasi/lembaga perfilman di provinsi.
Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video di provinsi.
Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba secara berjenjang dan berkala di tingkat kabupaten/kota.
Pengawasan pembuatan film oleh tim asing di kabupaten/ kota.
Pemberian izin pelaksanaan kegiatan-kegiatan festival film dan pekan film di kabupaten/ kota.
Fasilitasi organisasi/lembaga perfilman di kabupaten/kota.
Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman.
Perizinan membawa BCB keluar wilayah Republik Indonesia.
Penyebarluasan informasi sejarah nasional.
Pemberian penghargaan bidang sejarah tingkat nasional.
Pelaksanaan kongres sejarah tingkat nasional.
Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat nasional.
Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman di tingkat provinsi.
Perizinan membawa BCB ke luar provinsi.
Penyebarluasan informasi sejarah lokal di provinsi.
Pelaksanaan pemberian penghargaan bidang sejarah lokal di provinsi.
Pelaksanaan kongres sejarah tingkat daerah di provinsi.
Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat lokal di provinsi.
Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman di tingkat kabupaten/kota.
Perizinan membawa BCB ke luar kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penyebarluasan informasi sejarah lokal di kabupaten/ kota.
Pelaksanaan pemberian penghargaan bidang sejarah lokal di kabupaten/kota.
Pelaksanaan kongres sejarah tingkat daerah di kabupaten/ kota.
Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat lokal di kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Pelaksanaan seminar dalam perspektif sejarah nasional.
Pelaksanaan musyawarah kerja nasional bidang sejarah.
Pengkajian dan penulisan sejarah nasional, sejarah kebudayaan dan sejarah wilayah.
Pemetaan sejarah nasional.
Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah antar departemen/kementerian instansi pusat dan antar daerah.
Pelaksanaan seminar/ lokakarya sejarah lokal dalam perspektif nasional di provinsi.
Pelaksanaan musyawarah kerja daerah bidang sejarah skala provinsi.
Pengkajian dan penulisan sejarah daerah dan sejarah kebudayaan daerah di provinsi.
Pemetaan sejarah skala provinsi.
Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah di provinsi.
Pelaksanaan seminar/ lokakarya sejarah lokal dalam perspektif nasional di kabupaten/kota.
Pelaksanaan musyawarah kerja daerah bidang sejarah skala kabupaten/kota.
Pengkajian dan penulisan sejarah daerah dan sejarah kebudayaan daerah di kabupaten/kota.
Pemetaan sejarah skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah di kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 23. Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia.
Registrasi BCB/situs dan kawasan skala nasional.
Pengusulan penetapan warisan budaya dunia dan penetapan BCB/situs skala nasional.
Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemanfaatan BCB/situs peringkat nasional dan warisan budaya dunia skala internasional.
Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia skala provinsi.
Registrasi BCB/situs dan kawasan provinsi.
Pengusulan penetapan BCB/situs nasional kepada pusat dan penetapan BCB/situs skala provinsi.
Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.
Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia skala kabupaten/kota.
Registrasi BCB/situs dan kawasan skala kabupaten/ kota.
Pengusulan penetapan BCB/situs provinsi kepada provinsi dan penetapan BCB/situs skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 27. Koordinasi, dan peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs.
Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs bawah air lebih dari 12 (duabelas) mil laut.
Pengembangan dan pemanfaatan museum nasional.
Registrasi museum dan koleksi.
Penyelenggaraan akreditasi museum.
Koordinasi, dan fasilitasi peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.
Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs di atas 4 (empat) sampai dengan 12 (duabelas) mil laut dari garis pantai atas rekomendasi pemerintah.
Pengembangan dan pemanfaatan museum provinsi.
Registrasi museum dan koleksi di provinsi.
Penyelenggaraan akreditasi museum di provinsi.
Koordinasi, dan fasilitasi, peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/kota.
Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs bawah air sampai dengan 4 (empat) mil laut dari garis pantai atas rekomendasi pemerintah.
Pengembangan dan pemanfaatan museum kabupaten/kota.
Registrasi museum dan koleksi di kabupaten/kota.
Penyelenggaraan akreditasi museum di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 32. Penambahan dan penyelamatan koleksi museum nasional.
Penambahan dan penyelamatan koleksi museum di provinsi.
Penambahan dan penyelamatan koleksi museum di kabupaten/kota.
Kebijakan Bidang Kepariwisa- taan 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan:
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP) nasional.
Pengembangan sistem informasi pariwisata nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan skala provinsi:
RIPP provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pengembangan sistem informasi pariwisata.
Pelaksanaan kebijakan nasional, provinsi dan penetapan kebijakan skala kabupaten/kota:
RIPP kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan nasional, provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pengembangan sistem informasi pariwisata. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Standarisasi bidang pariwisata.
Pedoman manajemen pengembangan destinasi pariwisata.
Pedoman pembinaan dan penyelenggaraan izin usaha pariwisata.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam penerapan standarisasi bidang pariwisata.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan pedoman pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pembinaan usaha dan penyelenggaraan usaha pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam penerapan standarisasi bidang pariwisata.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan pedoman pengembangan destinasi pariwisata skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan kebijakan dalam pembinaan usaha dan penyelenggaraan usaha pariwisata skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Pedoman perencanaan pemasaran.
Pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/ event budaya dan pariwisata.
Pedoman dan penyelenggaraan widya wisata (familiarization trip/tour). i. Pedoman kerjasama pemasaran nasional dan internasional.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman perencanaan pemasaran skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/ event budaya dan pariwisata skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman dan penyelenggaraan widya wisata skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman kerjasama pemasaran skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman perencanaan pemasaran skala kabupaten/kota.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/ event budaya dan pariwisata skala kabupaten/ kota.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman dan penyelenggaraan widya wisata skala kabupaten/ kota.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman kerjasama pemasaran skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemberian izin usaha pariwisata skala nasional.
Fasilitasi kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata.
Fasilitasi kerjasama pengembangan destinasi pariwisata skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala nasional.
Pemberian izin usaha pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi.
Fasilitasi kerjasama pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala provinsi.
Pemberian izin usaha pariwisata skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kerjasama pengem-bangan destinasi pariwisata skala kabupaten/ kota.
Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Bidang Kepariwisa- taan 1. Penyelenggaraan 1. Penyelenggaraan promosi skala nasional dan internasional :
Penyelenggaraan widya wisata (familiarization 1. Penyelenggaraan promosi skala provinsi :
Penyelenggaraan widya wisata skala provinsi serta 1. Penyelenggaraan promosi skala kabupaten/kota:
Penyelenggaraan widya wisata skala kabupaten/kota SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA trip/tour) skala nasional dan internasional.
Penyelenggaraan pameran/ event, roadshow skala nasional.
Pengadaan sarana pemasaran skala nasional/kawasan/ internasional.
Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di luar negeri.
Pembentukan pusat pelayanan informasi pariwisata skala nasional. mengirim dan menerima peserta grup widya wisata.
Peserta/penyelenggara pameran/ event, roadshow bekerja sama dengan pemerintah.
Pengadaan sarana pemasaran skala provinsi.
Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di dalam negeri skala provinsi.
Penyediaan informasi pariwisata ke pusat pelayanan informasi pariwisata nasional dan pembentukan pusat serta mengirim dan menerima peserta grup widya wisata.
Peserta/penyelenggara pameran/ event, roadshow bekerja sama dengan pemerintah/provinsi.
Pengadaan sarana pemasaran skala kabupaten/ kota.
Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di dalam negeri skala kabupaten/kota.
Penyediaan informasi pariwisata ke pusat pelayanan informasi pariwisata provinsi dan pembentukan pusat SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Pelaksanaan event promosi di luar negeri.
Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala nasional.
Penetapan branding pariwisata skala nasional. pelayanan informasi pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan event promosi di luar negeri dengan koordinasi pemerintah.
Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala provinsi.
Penerapan branding pariwisata nasional dan penetapan tagline pariwisata skala provinsi. pelayanan informasi pariwisata skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan event promosi di luar negeri dengan koordinasi pemerintah dan provinsi.
Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala kabupaten/kota.
Penerapan branding pariwisata nasional dan penetapan tagline pariwisata skala kabupaten/ kota.
Kebijakan Bidang Kebudayaan dan Pariwisata 1. Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata nasional.
Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata skala provinsi.
Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata nasional skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Kebijakan pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata nasional.
Kebijakan penelitian kebudayaan dan pariwisata nasional.
Rancangan induk penelitian arkeologi nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi penelitian kebudayaan dan pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan rancangan induk penelitian arkeologi nasional oleh provinsi berkoordinasi dengan Balai Arkeologi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota penelitian kebudayaan dan pariwisata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan rancangan induk penelitian arkeologi nasional oleh kabupaten/kota berkoordinasi dengan Balai Arkeologi. R. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEPEMUDAAN DAN OLAH RAGA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kepemudaan 1. Kebijakan di bidang Kepemudaan 1. Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala nasional :
Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral.
Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas.
Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala provinsi :
Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral.
Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas.
Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota :
Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral.
Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Kemitraan dan kewirausahaan.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ).
Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan.
Pengaturan sistem penganugerahan prestasi.
Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana.
Pengembangan jaringan dan sistem informasi.
Kemitraan dan kewirausahaan.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ).
Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan.
Pengaturan sistem penganugerahan prestasi.
Peningkatan prasarana dan sarana.
Pengembangan jaringan dan sistem informasi.
Kemitraan dan kewirausahaan.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ).
Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan.
Pengaturan sistem penganugerahan prestasi.
Peningkatan prasarana dan sarana.
Pengembangan jaringan dan sistem informasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan k. Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan.
Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan.
Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif.
Hubungan internasional.
Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala nasional :
Aktivitas kepemudaan yang berskala nasional dan internasional.
Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan.
Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan.
Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif.
Ɇ 1. Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala provinsi :
Aktivitas kepemudaan yang berskala provinsi.
Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan.
Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan.
Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif.
Ɇ 1. Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota :
Aktivitas kepemudaan yang berskala kabupaten/kota, provinsi, nasional dan internasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas provinsi.
Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda berskala nasional.
Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat nasional.
Kerjasama antar provinsi dan internasional.
Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas kabupaten/kota.
Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda.
Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat provinsi.
Kerjasama antar kabupaten/kota skala provinsi, pemerintah dan internasional b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas kecamatan skala kabupaten/kota.
Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda.
Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat kabupaten/kota.
Kerjasama antar kecamatan skala kabupaten/kota, provinsi, pemerintah dan internasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Koordinasi 1. Koordinasi bidang kepemudaan skala nasional :
Koordinasi antar Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND).
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.
Koordinasi antar pemerintah dan daerah.
Koordinasi antar negara.
Koordinasi bidang ke- pemudaan skala provinsi :
Koordinasi antar dinas instansi terkait.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.
Koordinasi antar provinsi dan kabupaten/kota.
Ɇ 1. Koordinasi bidang kepemudaan skala kabupaten/kota :
Koordinasi antar dinas instansi terkait.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.
Koordinasi antar kecamatan skala kabupaten/kota.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pembinaan dan Pengawasan 1. Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala nasional:
Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan.
Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala provinsi:
Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan.
Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota:
Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan.
Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan.
Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan.
Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan.
Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Olahraga 1. Kebijakan di Bidang Keolahragaan h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.
Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala nasional :
Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga.
Penyelenggaraan keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan keolahragaan.
Pengelolaan keolahraagaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.
Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala provinsi :
Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga.
Penyelenggaraan keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan keolahragaan.
Pengelolaan keolahragaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.
Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota :
Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga.
Penyelenggaraan keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan keolahragaan.
Pengelolaan keolahragaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga.
Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pendanaan keolahragaan.
Pengembangan IPTEK keolahragaan.
Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan.
Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga.
Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pendanaan keolahragaan.
Pengembangan IPTEK keolahragaan.
Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan.
Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga.
Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pendanaan keolahragaan.
Pengembangan IPTEK keolahragaan.
Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA k. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat.
Pengembangan manajemen olahraga.
Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga.
Pengembangan IPTEK olahraga.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat.
Pengembangan manajemen olahraga.
Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga.
Pengembangan IPTEK olahraga.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat.
Pengembangan manajemen olahraga.
Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga.
Pengembangan IPTEK olahraga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA p. Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga.
Pembangunan dan pengembangan industri olahraga.
Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga.
Pengaturan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan.
Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga.
Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga.
Pembangunan dan pengembangan industri olahraga.
Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga.
Pengaturan pelaksanaan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan.
Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga.
Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga.
Pembangunan dan pengembangan industri olahraga.
Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga.
Pengaturan pelaksanaan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan.
Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA u. Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan.
Kriteria lembaga keolahragaan.
Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat.
Hubungan internasional di bidang keolahragaan.
Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan.
Kriteria lembaga keolahragaan.
Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat.
Ɇ u. Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan.
Kriteria lembaga keolahragaan.
Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan 1. Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala nasional :
Aktivitas keolahragaan skala nasional dan internasional.
Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas provinsi.
Kerjasama antar provinsi dan internasional.
Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga.
Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala provinsi :
Aktivitas keolahragaan skala provinsi, nasional dan internasional.
Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas kabupaten/kota.
Kerjasama antar kabupaten/kota skala provinsi, pemerintah dan internasional.
Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga.
Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota :
Aktivitas keolahragaan skala kabupaten/kota, provinsi, nasional dan internasional.
Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas kecamatan skala kabupaten/kota.
Kerjasama antar kecamatan skala kabupaten/kota, provinsi, pemerintah dan internasional.
Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Koordinasi e. Pendanaan keolahragaan.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.
Koordinasi bidang keolahragaan skala nasional :
Koordinasi antar Departemen/LPND.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.
Pendanaan keolahragaan.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.
Koordinasi bidang keolahragaan skala provinsi:
Koordinasi antar dinas/instansi terkait.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah dan masyarakat.
Pendanaan keolahragaan.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.
Koordinasi bidang keolahragaan skala kabupaten/kota :
Koordinasi antar dinas/instansi terkait.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah dan masyarakat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pembinaan dan Pengawasan c. Koordinasi antara pemerintah dan daerah serta masyarakat.
Koordinasi pihak luar negeri/internasional.
Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala nasional :
Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan.
Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan.
Koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota.
Ɇ 1. Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala provinsi:
Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan.
Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan.
Koordinasi antara kabupaten/kota dan kecamatan.
Ɇ 1. Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota :
Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan.
Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar pemerintah/ departemen, LPND dan daerah.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan.
Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di provinsi.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan.
Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di kabupaten/ kota.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan industri olahraga.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga.
Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan industri olahraga.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga. g Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan industri olahraga.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA k. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana.
Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana.
Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana. S. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KESATUAN BANGSA DAN POLITIK DALAM NEGERI SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Bina Ideologi dan Wawasan Kebangsaan 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Kegiatan 1. Pelaksanaan dan fasilitasi kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Pelaksanaan dan fasilitasi kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA skala nasional. penghargaan kebangsaan skala provinsi. nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesatuan bangsa dan politik (kesbangpol) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Kewaspadaan Nasional 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelijen keamanan (intelkam), bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, 1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik 1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala nasional. pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi. dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Kegiatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan 1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala nasional. evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi. pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA skala nasional. skala provinsi. penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala nasional.
Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi.
Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.
Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.
Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.
Ketahanan Seni, Budaya, Agama dan Kemasyarakatan 2. Pelaksanaan Kegiatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah 1. Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA skala nasional/ internasional. sosial kemasyarakatan skala provinsi.
Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.
Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan 1. Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA skala nasional. skala provinsi.
Politik Dalam Negeri 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilihan umum (pemilu), pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) skala nasional.
Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.
Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Kegiatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan 1. Pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional. pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi. fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.
Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.
Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kesbangpol dan sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.
Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.
Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.
Ketahanan Ekonomi 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan organisasi kemasyarakatan (ormas) perekonomian skala 1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian 1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA nasional. skala provinsi. kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Kegiatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional/ internasional.
Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.
Pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, 1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional. pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi. perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional. usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi. perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional.
Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.
Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota. T. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG OTONOMI DAERAH, PEMERINTAHAN UMUM, ADMINISTRASI KEUANGAN DAERAH, PERANGKAT DAERAH, KEPEGAWAIAN, DAN PERSANDIAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Otonomi Daerah 1. Urusan Pemerintahan:
Kebijakan b. Pembinaan, Sosialisasi Bimbingan, Konsultasi, Supervisi, Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi serta Pengawasan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan 1. Penetapan kebijakan nasional pembagian urusan pemerintahan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan skala nasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Ɇ 2. Penetapan kebijakan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Ɇ 2. Penetapan kebijakan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Harmonisasi d. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) 2. Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan.
— 2. Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan pada masing-masing lintas Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND).
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria LPPD.
Penyelenggaraan pembinaan sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan di wilayah provinsi.
Harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan daerah provinsi dengan pemerintah.dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Penyusunan LPPD provinsi.
Penyelenggaraan pembinaan sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan di wilayah kabupaten/kota.
Harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan dalam wilayah kabupaten/kota dengan pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi.
Penyusunan LPPD kabupaten/kota SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Database 2. Ɇ 3. Evaluasi LPPD skala nasional.
Pengolahan database LPPD skala nasional.
Penyampaian LPPD provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Evaluasi LPPD kabupaten/kota.
Pengolahan database LPPD skala provinsi.
Penyampaian LPPD kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.
Ɇ 1. Pengolahan database LPPD skala kabupaten/kota.
Penataan Daerah dan Otonomi Khusus (Otsus):
Kebijakan 1. Penetapan kebijakan penataan daerah dan otsus.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria perubahan batas, nama dan pemindahan ibukota provinsi dan/atau kabupaten.
Pengusulan penataan daerah dan otsus skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan perubahan batas, nama dan/atau pemindahan ibukota provinsi dan/atau kabupaten.
Pengusulan penataan daerah skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan perubahan batas, nama dan/atau pemindahan ibukota daerah dalam rangka penataan daerah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pembentukan Daerah 3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan kecamatan.
a.Penetapan perubahan batas, nama, dan pemindahan ibukota daerah.
Ɇ 3. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Pengusulan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah tentang pembentukan kecamatan.
a.Pengusulan perubahan batas provinsi, nama dan pemindahan ibukota daerah.
Pelaksanaan perubahan batas, nama dan pemindahan ibukota provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Pengusulan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Pembentukan kecamatan.
a.Pengusulan perubahan batas kabupaten/kota, nama dan pemindahan ibukota daerah.
Pelaksanaan perubahan batas, nama kabupaten/kota dan pemindahan ibukota kabupaten. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Pembinaan, Sosialisasi, Observasi dan Pengkajian Penataan Daerah dan Otsus d. Monitoring dan Evaluasi serta Pengawasan dan Pengendalian Penataan Daerah dan Otsus 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.
Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria monitoring dan evaluasi serta pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus.
Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.
Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi.
Ɇ 2. Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah.
Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.
Ɇ 2. Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus dalam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Pembangunan Sistem ( Database ) Penataan Daerah dan Otsus f. Pelaporan 3. Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus.
Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala nasional.
Ɇ 1. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah dan otsus.
Pengolahan data penataan daerah dan otsus skala nasional.
Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi.
Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala provinsi.
Penyampaian data dan informasi penataan daerah skala provinsi ke pemerintah.
Menindaklanjuti pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah dan otsus.
Pengolahan database laporan penataan daerah dan otsus skala provinsi.
Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus dalam wilayah kabupaten/kota.
Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala kabupaten/kota.
Penyampaian data dan informasi penataan daerah skala kabupaten/kota ke provinsi dan pemerintah.
Menindaklanjuti pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah.
Pengolahan database laporan penataan daerah skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyampaian laporan penataan daerah dan otsus skala nasional kepada Presiden.
Penyampaian laporan penataan daerah dan otsus skala provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Penyampaian laporan penataan daerah skala kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.
Fasilitasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) dan Hubungan Antar Lembaga (HAL):
DPOD 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria berkaitan dengan DPOD.
Pertimbangan formulasi perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Penyiapan bahan masukan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah provinsi untuk sidang DPOD.
Penyusunan tata tertib bahan masukan penetapan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) provinsi bagi sidang DPOD.
Penyiapan bahan masukan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah kabupaten/kota untuk sidang DPOD.
Penyusunan tata tertib bahan masukan penetapan DAU dan DAK bagi sidang DPOD. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) c. Fasilitasi Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria berkaitan dengan tata cara penyusunan Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah (KDH) dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)/Pimpinan DPRD.
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah.
Pengawasan Perda provinsi, kabupaten/kota.
Penetapan pembentukan Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.
Penyusunan Perda provinsi.
Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah kepada pemerintah.
Penyampaian Perda kepada pemerintah untuk dievaluasi.
Membentuk Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.
Penyusunan Perda kabupaten/kota.
Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah kepada gubernur.
Menyampaikan Perda kepada pemerintah untuk dievaluasi.
Membentuk Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi Pemberdayaan Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.
Fasilitasi pembentukan Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah membentuk Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama kabupaten/kota.
— 4. Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah:
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) :
Kebijakan (2) Pembinaan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria SPM.
Pembinaan penerapan SPM.
Penetapan perencanaan, penganggaran, dan penerapan SPM skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM skala provinsi.
Penetapan perencanaan, penganggaran, dan penerapan SPM skala kabupaten/kota.
Penerapan SPM kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah:
Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM.
Pengembangan kapasitas penerapan dan pencapaian SPM.
a.Penetapan kebijakan tentang norma, standar, prosedur dan kriteria evaluasi mengenai:
Pengukuran kinerja.
Pengembangan sistem informasi evaluasi.
Kriteria pembinaan evaluasi daerah.
Pelaksanaan evaluasi terhadap provinsi.
Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM kabupaten/kota.
Fasilitasi dan supervisi penerapan dan pencapaian SPM kabupaten/kota.
a. Ɇ b. Pelaksanaan evaluasi terhadap kabupaten/kota mengenai:
— 3. — 1.a.— b. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Pengembangan Kapasitas Daerah :
Kebijakan (2) Pelaksanaan 1. Penetapan kerangka nasional pengembangan kapasitas daerah.
Pedoman penyusunan rencana tindak peningkatan kapasitas daerah.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan pengembangan kapasitas daerah.
Pengukuran kinerja.
Pengembangan sistem informasi evaluasi.
Kriteria pembinaan evaluasi daerah.
Penetapan perencanaan dan penganggaran pengembangan kapasitas daerah.
Penetapan rencana tindak peningkatan kapasitas provinsi.
Implementasi rencana tindak peningkatan kapasitas provinsi.
Penetapan perencanaan dan penganggaran pengembangan kapasitas daerah.
Penetapan rencana tindak peningkatan kapasitas kabupaten/kota.
Implementasi rencana tindak peningkatan kapasitas kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (3) Pembinaan 2. Fasilitasi pedoman penyusunan rencana tindak peningkatan kapasitas daerah.
Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas provinsi.
Koordinasi nasional pengembangan kapasitas daerah.
Fasilitasi implementasi rencana tindak provinsi.
Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas kabupaten/kota.
Koordinasi pengembangan kapasitas provinsi.
Fasilitasi implementasi rencana tindak kabupaten/kota.
Ɇ 2. Koordinasi pengembangan kapasitas kabupaten/kota.
Pejabat Negara:
Tata Tertib DPRD:
Kebijakan (2) Pembinaan 1. Penetapan pedoman tata tertib DPRD.
Fasilitasi penyusunan tata tertib DPRD provinsi.
Monitoring dan evaluasi tata tertib DPRD provinsi.
Penetapan pedoman tata tertib DPRD provinsi.
Fasilitasi penyusunan tata tertib DPRD kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi tata tertib DPRD kabupaten/kota.
Penetapan pedoman tata tertib DPRD kabupaten/kota.
— 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Peresmian Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota DPRD Provinsi/Kabupaten /Kota.
Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah (KDH) dan Wakil KDH:
Kebijakan (2) Pelaksanaan 1. Peresmian pengangkatan dan pemberhentian anggota DPRD provinsi.
Penetapan Pedoman Tata Cara Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian KDH dan Wakil KDH.
Pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian KDH dan Wakil KDH.
Peresmian pengangkatan dan pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota.
— 1. Fasilitasi pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
— 1. — 1. Fasilitasi pemilihan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Kedudukan Protokoler dan Keuangan DPRD:
Kebijakan (2) Pembinaan 2. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemilihan KDH dan Wakil KDH.
Penetapan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD.
Fasilitasi penyusunan kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi.
Monitoring dan evaluasi kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemilihan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.
Pelaksanaan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi.
Fasilitasi penyusunan kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota.
— 1. Pelaksanaan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota.
Ɇ 2. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Kedudukan Keuangan KDH dan Wakil KDH:
Kebijakan (2) Pembinaan f. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) KDH:
Kebijakan (2) Pembinaan 1. Penetapan pedoman kedudukan keuangan KDH dan Wakil KDH.
Fasilitasi kedudukan keuangan gubernur dan wakil gubernur.
Penetapan pedoman LKPJ.
Fasilitasi penyusunan LKPJ gubernur.
Pelaksanaan pedoman kedudukan keuangan gubernur dan wakil gubernur.
Fasilitasi kedudukan keuangan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.
Pelaksanaan pedoman LKPJ gubernur.
Fasilitasi penyusunan LKPJ bupati/walikota.
Pelaksanaan pedoman kedudukan keuangan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.
— 1. Pelaksanaan pedoman LKPJ bupati/walikota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah :
Kebijakan (2) Pembinaan 2. Monitoring dan evaluasi LKPJ gubernur.
Penetapan pedoman tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang serta kedudukan keuangan gubernur sebagai wakil pemerintah.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah.
Monitoring dan evaluasi LKPJ bupati/walikota.
Pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah.
— 2. — 1. — 1. — 2. Pemerintahan Umum 1. Fasilitasi Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan dan Kerjasama: SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Fasilitasi Dekonsentrasi b. Fasilitasi Tugas Pembantuan 1. Penetapan kebijakan nasional penyelenggaraan dekonsentrasi.
Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi.
Ɇ 1. Penetapan kebijakan nasional penyelenggaraan tugas pembantuan.
Gubernur melaksanakan dan melaporkan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang didekonsentrasikan.
Gubernur mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah provinsi dan kabupaten/ kota.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan dekonsentrasi di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan pelaporan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan oleh pemerintah.
Ɇ 2. Ɇ 3. Ɇ 1. Pelaksanaan dan pelaporan penyelenggaraan tugas pembantuan oleh pemerintah dan/atau pemerintah provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Fasilitasi Kerjasama Daerah dengan Pihak Ketiga 2. Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada provinsi/kabupaten/kota/desa.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari provinsi kepada kabupaten/kota/desa.
Penetapan kebijakan nasional di bidang kerjasama dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan kerjasama pemerintah dengan pihak ketiga.
Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada kabupaten/kota/desa.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari kabupaten/kota kepada desa.
Penetapan kebijakan provinsi di bidang kerjasama dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.
Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada desa.
Ɇ 1. Penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang kerjasama dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Kerjasama Antar Daerah 3. Koordinasi dan fasilitasi kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.
Ɇ 1. Penetapan kebijakan kerjasama antar daerah.
Fasilitasi kerjasama antar provinsi.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan kerjasama antar daerah.
Koordinasi dan fasilitasi kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga.
Pelaporan pelaksanaan kerjasama provinsi dengan pihak ketiga kepada pemerintah.
Pelaksanaan kerjasama antar provinsi.
Fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama antar kabupaten/kota.
Ɇ 4. Ɇ 5. Pelaporan pelaksanaan kerjasama pemerintah kabupaten/kota dengan pihak ketiga kepada provinsi.
Pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota.
Ɇ 3. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Pembinaan Wilayah 4. Ɇ 1. Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan.
Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan.
Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar provinsi.
Pelaporan pelaksanaan kerjasama antar provinsi kepada pemerintah.
Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan di provinsi dengan berpedoman kepada kebijakan pemerintah.
Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar kabupaten/kota di wilayahnya.
Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar kabupaten/kota.
Pelaporan pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota kepada provinsi.
Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan di kabupaten/kota dengan berpedoman kepada kebijakan pemerintah dan provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar kecamatan/desa/kelurahan di wilayahnya.
Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar kecamatan/desa/kelurahan di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Koordinasi Pelayanan Umum 4. Koordinasi penetapan kebijakan dan fasilitasi usaha kecil dan menengah skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa.
Koordinasi dan fasilitasi kebijakan nasional dalam bidang pelayanan umum.
Pelaksanaan dan fasilitasi usaha kecil dan menengah skala provinsi.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa skala provinsi.
Pelaksanaan pelayanan umum skala provinsi.
Pelaksanaan dan fasilitasi kebijakan usaha kecil dan menengah skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pelayanan umum skala kabupaten/kota.
Trantibum dan Linmas a. Ketentraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat 1. Penetapan kebijakan nasional dalam bidang: (a) Ɇ 1. Penetapan kebijakan provinsi dengan merujuk kebijakan nasional dalam bidang: (a) Penegakan Perda/Peraturan Kepala Daerah.
Penetapan kebijakan kabupaten/kota dengan merujuk kebijakan nasional dalam bidang: (a) Penegakan Perda/Peraturan Kepala Daerah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (c) Kepolisipamongprajaan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). (d) Perlindungan masyarakat.
Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala nasional.
Pembinaan kepolisipamongprajaan dan PPNS.
Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala nasional. (b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (c) Kepolisipamongprajaan dan PPNS. (d) Perlindungan masyarakat.
Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala provinsi.
Pelaksanaan kepolisipamongprajaan dan PPNS skala provinsi.
Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala provinsi. (b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (c) Kepolisipamongprajaan dan PPNS. (d) Perlindungan masyarakat.
Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kepolisipamongprajaan dan PPNS skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Koordinasi Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) 3. Wilayah Perbatasan:
Pengelolaan Perbatasan Antar Negara 5. Koordinasi antar instansi terkait.
Koordinasi penegakan HAM skala nasional.
Penetapan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara.
Pelaksanaan pengelolaan perbatasan antar negara.
Koordinasi pengelolaan perbatasan antar negara.
Koordinasi dengan instansi terkait skala provinsi.
Koordinasi penegakan HAM skala provinsi.
– 2. Dukungan pelaksanaan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara.
Dukungan koordinasi antar kabupaten/kota yang berbatasan dengan negara lain.
Koordinasi dengan instansi terkait skala kabupaten/ kota.
Koordinasi penegakan HAM skala kabupaten/kota.
– 2. Dukungan pelaksanaan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara.
Dukungan koordinasi antar kecamatan/desa/kelurahan yang berbatasan dengan negara lain. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Perbatasan Daerah c. Toponimi dan Pemetaan Wilayah 4. Pelaksanaan penyelesaian perselisihan perbatasan antar negara.
Penetapan kebijakan, pelaksanaan, dan penegasan perbatasan daerah.
Penetapan kebijakan toponimi dan pemetaan wilayah.
Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala nasional.
Inventarisasi laporan toponimi dan pemetaan.
– 1. Dukungan pelaksanaan penegasan perbatasan provinsi dan kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Penetapan kebijakan provinsi mengacu pada kebijakan nasional mengenai toponimi dan pemetaan wilayah provinsi.
Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala provinsi.
Inventarisasi dan laporan toponimi dan pemetaan skala provinsi.
Penetapan kebijakan dan pelaksanaan perbatasan kecamatan dan desa/kelurahan di kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional mengenai toponimi dan pemetaan wilayah kabupaten/kota.
Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala kabupaten/kota.
Inventarisasi dan laporan toponimi dan pemetaan skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Pengembangan Wilayah Perbatasan e. Penetapan Luas Wilayah 1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan.
Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan antar negara dan antar provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan antar negara dan antar provinsi.
Penetapan kebijakan luas wilayah.
Koordinasi dan fasilitasi penetapan luas wilayah provinsi, kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan antar kabu- paten/kota skala provinsi.
Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan provinsi.
Inventarisasi perubahan luas wilayah provinsi yang diakibatkan oleh alam antara lain delta, abrasi.
Pemetaan luas wilayah sesuai peruntukannya.
Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan skala kabupaten/kota.
Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan kabupaten/kota.
Inventarisasi perubahan luas wilayah kabupaten/kota yang diakibatkan oleh alam antara lain delta, abrasi.
Pemetaan luas wilayah sesuai peruntukannya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Kawasan Khusus:
Kawasan Sumber Daya Alam; Kehutanan, Energi dan Sumber Daya Mineral b. Kawasan Sumber Daya Buatan; Pelabuhan, Bandar Udara, Perkebunan, Peternakan, Industri, Pariwisata, Perdagangan, Otorita, Bendungan dan Sejenisnya 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Kawasan Kepentingan Umum; Kawasan Fasilitas Sosial dan Umum d. Kawasan Kelautan dan Kedirgantaraan 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan skala kabupaten/kota.
Manajemen Pencegahan dan Penanggulangan Bencana:
Mitigasi Pencegahan Bencana 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/ pencegahan bencana.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/pencegahan bencana skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/pencegahan bencana skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penanganan Bencana c. Penanganan Pasca Bencana d. Kelembagaan e. Penanganan Kebakaran 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan penanganan bencana.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan bencana skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan bencana skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana skala kabupaten/ kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Organisasi dan Kelembagaan Pengelolaan Keuangan Daerah 1. Penetapan dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan organisasi, kelembagaan dan pembinaan sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah.
Pelaksanaan penataan organisasi, kelembagaan dan peningkatan kapasitas sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah provinsi dan kabupaten/ kota.
Pelaksanaan penataan organisasi, kelembagaan dan peningkatan kapasitas sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah kabupaten/kota.
Administrasi Keuangan Daerah 2. Anggaran Daerah 1. Penetapan pedoman rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah.
Penetapan kebijakan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah.
Penetapan pedoman perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan provinsi dan kabupaten/ kota.
Penetapan peraturan daerah (Perda) tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah.
Penetapan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah provinsi.
Perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan provinsi.
Penetapan Perda tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah.
Penetapan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah kabupaten/kota.
Perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pedoman penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan perubahan APBD.
Penetapan pedoman evaluasi APBD dan perubahan APBD provinsi.
Evaluasi Raperda tentang APBD, dan perubahan APBD provinsi.
Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar provinsi.
Penetapan Perda tentang APBD dan perubahan APBD.
Penetapan pedoman evaluasi APBD dan perubahan APBD kabupaten/kota, sesuai dengan pedoman evaluasi yang ditetapkan pemerintah.
Evaluasi Raperda tentang APBD, dan perubahan APBD kabupaten/ kota.
Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar kabupaten/kota.
Penetapan Perda tentang APBD dan perubahan APBD.
Penetapan pedoman evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa, sesuai dengan pedoman evaluasi yang ditetapkan pemerintah.
Evaluasi Rancangan Peraturan Desa (Raperdes) tentang APB Desa.
Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ) antara pemerintah dan provinsi.
Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan daerah antar provinsi.
Fasilitasi perencanaan dan penganggaran daerah.
Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ) antara provinsi dan kabupaten/ kota.
Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan daerah antar kabupaten/kota.
Fasilitasi perencanaan dan penganggaran daerah kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ) antara kabupaten/kota dan desa.
Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan antar desa.
Fasilitasi perencanaan dan penganggaran pemerintahan desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pendapatan dan Investasi Daerah :
Pajak dan Retribusi Daerah 1.a.Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan pajak daerah, retribusi daerah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) lainnya.
— c.Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pajak dan retribusi daerah, serta PAD lainnya.
a.Penetapan kebijakan pengelolaan pajak dan retribusi daerah provinsi.
Pelaksanaan pengelolaan pajak dan retribusi daerah provinsi.
Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan pajak dan retribusi daerah serta PAD lainnya kabupaten/kota.
a.Penetapan kebijakan pengelolaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/ kota.
Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan retribusi desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Investasi dan Aset Daerah 2. Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah.
Evaluasi Raperda pajak, retribusi daerah provinsi, dan Perda pajak dan retribusi daerah, dan pungutan lainnya provinsi dan kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan investasi dan aset daerah.
Fasilitasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan umum dan khusus tentang pengelolaan investasi dan aset daerah.
Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah skala provinsi.
Evaluasi Raperda pajak, retribusi daerah dan pungutan lainnya kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi.
Pelaksanaan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah skala kabupaten/kota.
Evaluasi Raperdes tentang retribusi dan pungutan lainnya.
Penetapan kebijakan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Lembaga Keuangan Mikro 3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi.
Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala nasional.
Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro.
Fasilitasi, monitoring dan evaluasi, pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro.
Pembinaan dan pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/ kota.
Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala provinsi.
Penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi.
Pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi.
Pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota.
Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/ kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Pinjaman Daerah 3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi.
Penetapan kebijakan umum tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta Badan Layanan Umum (BLU) daerah.
Fasilitasi, monitoring, evaluasi dan pelaksanaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU daerah.
Pembinaan dan pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi.
Pelaksanaan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.
Pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa.
Penetapan kebijakan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.
Pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Dana Perimbangan :
Dana Alokasi Umum (DAU) b. Dana Alokasi Khusus (DAK) 1. Penetapan formula penghitungan alokasi DAU provinsi/kabupaten/kota.
Penetapan pedoman umum pengelolaan DAU.
Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAU.
Penetapan kebijakan DAK dan kriteria penghitungannya.
Penghitungan dan penetapan alokasi DAK.
Pengelolaan data dasar penghitungan alokasi DAU provinsi dan koordinasi data dasar penghitungan alokasi DAU kabupaten/kota.
Pengelolaan DAU provinsi.
Pelaporan pengelolaan DAU provinsi, dan monitoring serta evaluasi penggunaan DAU kabupaten/kota.
Usulan program dan kegiatan provinsi untuk didanai dari DAK serta koordinasi usulan DAK kabupaten/kota.
— 1. Pengelolaan data dasar penghitungan alokasi DAU kabupaten/kota.
Pengelolaan DAU kabupaten/ kota.
Pelaporan pengelolaan DAU kabupaten/kota.
Usulan program dan kegiatan kabupaten/kota untuk didanai dari DAK.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Dana Bagi Hasil (DBH) 3. Penetapan petunjuk teknis (juknis) pengelolaan DAK.
Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAK provinsi dan kabupaten/kota.
Pengendalian dan pengkajian pengelolaan DAK provinsi dan kabupaten/kota 1. Penetapan kebijakan DBH.
Penetapan daerah penghasil Sumber Daya Alam (SDA).
Penghitungan dan penetapan alokasi DBH bagi provinsi dan kabupaten/kota.
Pengelolaan DAK (bagi provinsi yang menerima DAK).
Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAK kabupaten/kota.
Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DAK.
Penyiapan data realisasi penerima DBH provinsi.
Fasilitasi kabupaten/kota terhadap konflik penentuan daerah penghasil SDA.
Penetapan alokasi DBH di kabupaten/kota.
Pengelolaan DAK (bagi kabupaten/kota yang menerima DAK).
— 5. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DAK.
Penyiapan data realisasi penerima DBH kabupaten/kota.
— 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Evaluasi laporan pengelolaan DBH. 4. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DBH. 4. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DBH.
Pelaksanaan, Penatausahaan, Akuntansi dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 1. Penetapan kebijakan norma, standar prosedur dan kriteria pelaksanaan, penatausahaan, akuntansi pengelolaan keuangan daerah dan desa.
Penetapan pedoman penyusunan laporan keuangan daerah/desa dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi, kabupaten/kota dan APB desa.
Penetapan pedoman evaluasi laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi, kabupaten/kota dan APB desa.
Penetapan kebijakan tentang sistem dan prosedur akuntansi pengelolaan keuangan daerah provinsi.
Penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan tentang sistem dan prosedur akuntansi pengelolaan keuangan daerah kabupaten/kota dan desa.
Penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota dan APB desa.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Evaluasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi.
Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ).
Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan APB desa.
Evaluasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/ kota.
Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggung-jawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ).
Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota.
Evaluasi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APB desa.
Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ).
Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pelaksanaan APB desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perangkat Daerah 1. Kebijakan 1. Penetapan pedoman umum tentang perangkat daerah.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan perangkat daerah.
Penetapan pedoman teknis perangkat daerah.
Penetapan pedoman tatalaksana perangkat daerah.
Penetapan pedoman analisis jabatan perangkat daerah.
Pelaksanaan pedoman umum tentang perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan perangkat daerah skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman teknis perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan pedoman tatalaksana perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan pedoman analisis jabatan perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan pedoman umum tentang perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan perangkat daerah skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman teknis perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman tatalaksana perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman analisis jabatan perangkat daerah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pengembangan Kapasitas 1. Penetapan kebijakan tentang pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah.
Koordinasi pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah.
Pelaksanaan pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah.
Fasilitasi 1. Penetapan kebijakan fasilitasi penataan kelembagaan perangkat daerah, yang meliputi pemberian bimbingan, supervisi, pelatihan, dan kerjasama.
Fasilitasi penataan kelembagaan perangkat daerah kabupaten/kota.
— 4. Pembinaan dan Pengendalian 1. Penetapan kebijakan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah.
Pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah kabupaten/kota.
— 1. Penerapan dan pengendalian organisasi perangkat daerah.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembatalan peraturan daerah tentang perangkat daerah. 3. — 3. — 5. Monitoring dan Evaluasi 1. Penetapan kebijakan monitoring dan evaluasi perangkat daerah.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi perangkat daerah provinsi.
Penetapan databas e perangkat daerah skala nasional.
— 2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi perangkat daerah kabupaten/kota.
Koordinasi penyusunan database perangkat daerah skala provinsi.
— 2. Penyediaan bahan monitoring dan evaluasi perangkat daerah.
Penyediaan bahan database perangkat daerah skala kabupaten/kota.
Kepegawaian 1. Formasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan kebijakan formasi PNS secara nasional setiap tahun anggaran.
Penetapan persetujuan formasi Pegawai Negeri Sipil Pusat (PNSP) di lingkungan Departemen/LPND setiap tahun anggaran.
Penyusunan formasi Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) di provinsi setiap tahun anggaran.
Penetapan formasi PNSD di provinsi setiap tahun anggaran.
Penyusunan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.
Penetapan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan formasi PNSP/Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan Daerah setiap tahun anggaran.
Koordinasi usulan penetapan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.
Usulan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.
Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengadaan PNS.
Pelaksanaan pengadaan PNSP di lingkungan Departemen/LPND.
Koordinasi pelaksanaan pengadaan PNS secara nasional.
Pelaksanaan pengadaan PNSD Provinsi 2. Usulan penetapan Nomor Induk Pegawai (NIP) 3. Koordinasi pelaksanaan pengadaan PNSD kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengadaan PNSD kabupaten/kota 2. Usulan penetapan NIP 3. Ɇ 3. Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan CPNS.
Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga.
Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan provinsi.
Penempatan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD) provinsi.
Penetapan kebijakan pengangkatan CPNSD di lingkungan kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Ɇ 3. Pelaksanaan orientasi tugas dan pra jabatan, sepanjang telah memiliki lembaga diklat yang telah terakreditasi.
Pelaksanaan orientasi tugas dan pra jabatan, sepanjang telah memiliki lembaga diklat yang telah terakreditasi.
Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan CPNS menjadi PNS.
Penetapan CPNSP menjadi PNSP Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga.
– 4. Penetapan menjadi PNSP dan PNSD bagi CPNSP dan CPNSD yang tewas atau cacat karena dinas 1. Ɇ 2. Penetapan CPNSD menjadi PNSD di lingkungan provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pengangkatan CPNSD menjadi PNSD kabupaten/kota.
Ɇ 1. Ɇ 2. Penetapan CPNSD menjadi PNSD di lingkungan kabupaten/kota.
Ɇ 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria diklat jabatan PNS.
Penetapan sertifikasi lembaga diklat pemerintah.
Koordinasi dan pelaksanaan diklat di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan daerah.
Penetapan kebutuhan diklat PNSD provinsi.
Usulan penetapan sertifikasi lembaga diklat provinsi.
Koordinasi dan pelaksanaan diklat skala provinsi.
Penetapan kebutuhan diklat PNSD kabupaten/kota.
Usulan penetapan sertifikasi lembaga diklat kabupaten/ kota.
Pelaksanaan diklat skala kabupaten/kota.
Kenaikan Pangkat 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria kenaikan pangkat.
a.Penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD menjadi gol/ruang I/b s/d IV/b.
Ɇ 2.a.Penetapan kenaikan pangkat PNSD provinsi menjadi gol/ruang I/b s/d IV/b.
Ɇ 2.a.Penetapan kenaikan pangkat PNSD kabupaten/kota menjadi golongan ruang I/b s/d III/d. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD menjadi golongan/ruang IV/c, IV/d, dan IV/e.
Koordinasi pelaksanaan kenaikan pangkat di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan daerah.
Penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.
Penetapan kenaikan pangkat PNSD kabupaten/kota menjadi gol/ruang IV/a dan IV/b.
Koordinasi pelaksanaan kenaikan pangkat di lingkungan kabupaten/kota.
Usulan penetapan kenaikan pangkat PNSD provinsi/kab/kota menjadi golongan ruang IV/c, IV/d, dan IV/e dan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.
Ɇ 3. Ɇ 4. Usulan penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.
Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian dalam dan dari Jabatan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan.
Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS provinsi dalam dan dari jabatan struktural eselon II kebawah atau jabatan 1. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS kabupaten/kota dalam dan dari jabatan struktural eselon II atau jabatan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon I PNSP dan PNSD dan jabatan fungsional jenjang utama.
Konsultasi/koordinasi pengangkatan sekda kabupaten/kota 4. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional jenjang setingkat, PNSP fungsional yang jenjangnya setingkat.
a. Penetapan pengangkatan sekretaris daerah kabupaten/kota.
Usulan pengangkatan dan pemberhentian sekda provinsi 3. Usulan konsultasi pengangkatan dan pemberhentian sekda Kabupaten/kota 4. Koordinasi pengangkatan, pemindahan dalam dan dari jabatan struktural eselon II di lingkungan kabupaten/kota. fungsional yang jenjangnya setingkat, kecuali pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian sekda kabupaten/kota.
usulan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian sekda kabupaten/kota.
Usulan konsultasi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian eselon II PNS kabupaten/kota 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Departemen/LPND/ Kesekretariatan lembaga.
Perpindahan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Antar Instansi 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria perpindahan PNS antar instansi.
Penetapan perpindahan PNS antar kabupaten/kota dan antar provinsi.
Penetapan perpindahan PNS provinsi/kabupaten/kota ke Departemen/LPND atau sebaliknya.
Penetapan perpindahan PNSP antar Departemen ke LPND/kesekretariatan lembaga atau sebaliknya.
Penetapan perpindahan PNSD antar kab/kota dalam satu provinsi.
Penetapan perpindahan PNSD dari kabupaten/kota ke provinsi atau sebaliknya dalam satu provinsi.
Penetapan perpindahan PNSD dilingkungan provinsi 4. Ɇ 1. Penetapan perpindahan PNSD kabupaten/kota.
Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemberhentian sementara dari jabatan negeri.
Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I, jabatan fungsional jenjang utama, kecuali sekda provinsi.
Penetapan pemberhentian sementara bagi PNSP di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional setingkat.
Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi PNSD provinsi yang menduduki jabatan struktural eselon I kebawah dan jabatan struktural eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang setingkat.
Ɇ 3. Ɇ 1. Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi semua PNSD di kabupaten/kota.
Ɇ 3. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10.Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil (PNS) Akibat Tindak Pidana 1. Pemberhentian sementara PNS untuk golongan IV/c ke atas. 1. Pemberhentian sementara PNSD untuk golongan IV/c ke bawah.
Pemberhentian sementara PNSD untuk golongan III/d ke bawah.
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemberhentian PNS atau CPNS.
Penetapan pemberhetian PNS dan PNSD golongan ruang IV/c, IV/d dan IV/e.
Penetapan pemberhentian PNS yang tewas, cacat karena dinas atau mencapai batas usia pensiun gol/ruang IV/c, IV/d dan IV/e.
Penetapan pemberhentian PNSD provinsi gol/ruang IV/b ke bawah dan pemberhentian sebagai calon PNSD provinsi.
Penetapan pemberhentian PNSD kabupaten/kota Gol/ruang IV/a s/d IV/b dan pemberhentian dengan hormat sebagai calon PNSD provinsi yang tidak memenuhi syarat diangkat menjadi PNS.
Ɇ 1. Penetapan pemberhentian PNSD kabupaten/kota gol/ruang III/d ke bawah dan pemberhentian sebagai CPNSD kabupaten/kota.
Ɇ 3. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pemberhentian PNSP gol/ruang IV/b ke bawah. pensiun.
Ɇ 4. Ɇ 12.Pemutakhiran Data Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemutakhiran data PNS.
Penyelenggaraan dan pemiliharaan informasi kepegawaian.
Koordinasi pelaksanaan pemutakhiran data PNS secara nasional.
Pelaksanaan pemutakhiran data PNS di provinsi.
– 3. Koordinasi pelaksanaan pemutakhiran data PNS di kabupaten/kota.
Pelaksanaan pemutakhiran data PNSD di kabupaten/ kota.
Ɇ 3. Ɇ 13.Pengawasan dan Pengendalian 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengawasan dan pengendalian kepegawaian.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian skala provinsi.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Melakukan tindakan administratif atas pelanggaran pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Koordinasi dalam pelaksanaan tindakan administratif atas pelanggaran pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian di lingkungan kabupaten/ kota.
Ɇ 4. Ɇ 5. Ɇ 2. Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ 5. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan sangsi terhadap pelanggaran administrasi kepegawaian di daerah.
Ɇ 6. Ɇ 14.Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan manajemen PNS.
Penyelenggaraan manajemen PNS meliputi perencaan, pengembangan kualitas sumber daya PNS, administrasi kepegawaian, pengawasan dan pengendalian.
Melakukan perumusan kesejahteraan PNS.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan manajemen PNSP dan PNSD skala nasional.
Menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan manajemen PNS dilingkungan provinsi.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan manajemen PNSD skala provinsi.
Ɇ 4. Ɇ 1. Menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan manajemen PNS dilingkungan kabupaten/ kota.
Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan dan pembinaan SDM persandian nasional.
Penetapan kebijakan dan pembinaan peralatan sandi (palsan) nasional.
Penetapan kebijakan dan pembinaan sistem sandi (sissan) nasional.
Penetapan kebijakan dan pembinaan kelembagaan persandian nasional.
Penyelenggaraan pembinaan SDM persandian skala provinsi.
Penyelenggaraan pembinaan palsan skala provinsi.
Penyelenggaraan pembinaan sissan skala provinsi.
Penyelenggaraan pembinaan kelembagaan persandian skala provinsi.
Penyelenggaraan persandian skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan palsan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan sissan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kelembagaan persandian skala kabupaten/kota.
Persandian 2. Pembinaan SDM 1. Perencanaan kebutuhan SDM persandian nasional.
Rekrutmen SDM persandian nasional.
Perencanaan kebutuhan SDM persandian skala provinsi.
Rekrutmen calon SDM persandian skala provinsi.
Perencanaan kebutuhan SDM persandian skala kabupaten/kota.
Rekrutmen calon SDM persandian skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan diklat sandi skala nasional.
Pemberian akreditasi lembaga diklat sandi:
Pemberian izin penyelenggaraan lembaga diklat sandi.
Persetujuan program diklat sandi.
Persetujuan SDM lermbaga diklat sandi.
Fasilitasi/persetujuan tenaga pengajar dan widyaiswara sandi.
Pemberian/pencabutan sertifikasi profesi/tenaga ahli:
Penentuan standar jabatan persandian.
Penyelenggaraan diklat sandi skala provinsi.
Usulan akreditasi lembaga diklat sandi:
Usulan izin penyelenggaraan lembaga diklat sandi.
Usulan program diklat sandi.
Usulan SDM lembaga diklat sandi.
Usulan persetujuan tenaga pengajar dan widyaiswara sandi.
Usulan sertifikasi profesi/tenaga ahli:
— 3. — 4. — a. — b. — c. — d. — 5. — a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penentuan dan penilaian jabatan fungsional (jabfung) sandiman/ Operator Transmisi Sandi (OTS).
Pemberian tanda penghargaan bidang persandian.
Pembinaan dan pengawasan bagi SDM purna tugas.
Pembentukan Tim Penilai Instansi untuk melakukan penilaian terhadap pejabat fungsional sandiman/OTS skala provinsi.
Usulan pemberian tanda penghargaan bidang persandian.
Pembinaan dan pengawasan bagi SDM purna tugas.
Ɇ 6. Usulan pemberian tanda penghargaan bidang persandian.
— 3. Pembinaan Palsan 1. Penentuan standarisasi dan perencanaan kebutuhan palsan skala nasional.
Pengkajian dan uji coba laboratorium dan lapangan.
Perencanaan kebutuhan palsan skala provinsi.
— 1. Perencanaan kebutuhan palsan skala kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala nasional.
Pemeliharaan palsan tingkat II s/d tingkat III.
Penentuan penghapusan palsan skala nasional.
Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala provinsi.
Pemeliharaan palsan tingkat I.
Penghapusan palsan skala provinsi.
Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala kabupaten/kota.
Pemeliharaan palsan tingkat O.
Penghapusan palsan skala kabupaten/kota.
Pembinaan Sissan 1. Penentuan standarisasi dan perencanaan kebutuhan sissan skala nasional.
Penentuan prototype dan uji coba sissan.
Pengadaan sissan untuk jaring persandian nasional.
Penentuan prosedur tetap (protap) penyimpanan sissan skala nasional.
Perencanaan kebutuhan sissan skala provinsi.
— 3. Pengadaan sissan untuk jaring persandian skala provinsi.
Penyelenggaraan protap penyimpanan sissan skala provinsi.
Perencanaan kebutuhan sissan skala kabupaten/kota.
Ɇ 3.Pengadaan sissan untuk jaring persandian skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan protap penyimpanan sissan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penentuan pemberlakuan/penggantian Sissan jaring persandian skala nasional.
Penentuan penghapusan palsan tingkat pusat.
Penentuan pemberlakuan/penggantian sissan jaring persandian skala provinsi.
Penyiapan palsan tingkat provinsi dan kabupaten/ kota untuk penghapusan.
Penentuan pemberlakuan/penggantian sissan jaring persandian skala kabupaten/kota.
— 5. Pembinaan Kelembagaan 1. Penetapan kebijakan kelembagaan dan pola hubungan komunikasi persandian antara instansi pemerintah.
Penetapan kebijakan pola hubungan komunikasi persandian pemerintah dengan daerah.
Penetapan kebijakan Jaring Komunikasi Sandi (JKS).
— 2. Penyelenggaraan hubungan komunikasi persandian antara pemerintah provinsi dengan pemerintah dan/atau kabupaten/kota.
— 1. — 2. Penyelenggaraan hubungan komunikasi persandian antara pemerintah provinsi dengan pemerintah dan/atau kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal) 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria wasdal persandian instansi pemerintah dan daerah.
Pengawasan dan pengendalian operasional persandian nasional dan provinsi.
— 2. Pengawasan operasional persandian bidang tertentu kabupaten/kota di wilayahnya.
— 2. — 7. Pengkajian 1. Pengkajian SDM persandian nasional meliputi palsan, sissan, dan kelembagaan persandian nasional.
— 1. — U. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pemerintahan Desa dan Kelurahan 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan nasional.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.
Penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Administrasi Pemerintahan Desa dan Kelurahan 1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Pengembangan Desa dan Kelurahan 1. Penetapan pedoman pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan serta batas desa dan kelurahan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.
Fasilitasi pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan, batas desa dan kelurahan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.
Penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan, batas desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) 1.a.Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
a.Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa skala provinsi.
a.Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.— 2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala nasional.
Monitoring dan evaluasi peran BPD skala nasional.
— 2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan peran BPD skala provinsi.
Penyelenggaraan bimbingan, konsultasi, pelatihan dan pendidikan bagi anggota BPD.
Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala kabupaten/ kota.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan peran BPD skala kabupaten/kota.
Keuangan dan Aset Desa 1. Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa.
Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.
Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.
Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.
Pengembangan Kapasitas Pemerintah Desa dan Kelurahan 1.a.Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional.
— 1.a.Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala provinsi.
— 1.a.Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan bimbingan, konsultasi, pelatihan dan pendidikan bagi pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Penguatan Kelembagaan dan Pengembangan Partisipasi Masyarakat 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan skala nasional.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemantapan Data Profil Desa dan Profil Kelurahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pegolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota.
Penguatan Kelembagaan Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota.
Pelatihan Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota.
Pengembangan Manajemen Pembangunan Partisipatif 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan dan supervisi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.
Pelaksanaan pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota.
Peningkatan Peran Masyarakat dalam Penataan dan Pendayagunaan Ruang Kawasan Perdesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.
Pembinaan dan supervisi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Adat dan Pengembangan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan nasional.
Penetapan pedoman, norma, standar, kriteria dan prosedur di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota.
Penetapan pedoman, norma, standar, kriteria dan prosedur di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemberdayaan Adat Istiadat dan Budaya Nusantara 1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Perempuan 1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan perempuan skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan perempuan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi pemberdayaan perempuan skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) 1. Koordinasi dan fasilitasi PKK skala nasional.
Pembinaan dan supervisi PKK skala nasional.
Monitoring dan evaluasi PKK skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan PKK skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan PKK skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan PKK skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kesejahteraan Sosial 1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.
Pembinaan dan supervisi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/ kota.
Pengembangan dan Perlindungan Tenaga Kerja 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan nasional. 1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan pedoman, norma, stándar, prosedur dan kriteria pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala nasional.
Penyelenggaraan pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala provinsi.
Penyelenggaraan pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Ekonomi Penduduk Miskin 1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengembangan Usaha Ekonomi Keluarga dan Kelompok Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.
Monitoring evaluasi dan pelaporan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/kota.
Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/ kota.
Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Perdesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan dan supervisi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.
Penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota.
Pengembangan Produksi dan Pemasaran Hasil Usaha Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.
Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.
Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota.
Pengembangan Pertanian Pangan dan Peningkatan Ketahanan Pangan Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan nasional.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.
Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi Konservasi dan Rehabilitasi Lingkungan 1. Koordinasi dan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelengaraan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan lingkup skala kabupaten/ kota.
Fasilitasi Pemanfataan Lahan dan Pesisir Pedesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi terhadap fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi peraturan kebijakan nasional dalam fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelengaraan fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemanfaatan lahan dan peisisr di pedesaan skala provinsi.
Pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir perdesaan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala kabupaten/kota.
Fasilitasi Prasarana dan Sarana Pedesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota.
Fasilitasi Pemetaan Kebutuhan dan Pengkajian Teknologi Tepat Guna 1. Koordinasi dan fasilitasi pemetaan kebutuhan teknologi tepat guna dan pengkajian teknologi tepat guna skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemetaan kebutuhan teknologi tepat guna dan pengkajian teknologi tepat guna skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi kebutuhan teknologi teknologi tepat guna skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi kebutuhan teknologi tepat guna skala nasional.
Monitoring dan evaluasi kebutuhan teknologi tepat guna skala nasional.
Pembinaan dan supervisi kebutuhan teknologi tepat guna skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan kebutuhan teknologi tepat guna skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pemanfaatan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemanfaatan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.
Pemasyarakatan dan Kerjasama Teknologi Pedesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.
Monitoring evaluasi dan pelaporan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota.
Monitoring evaluasi dan pelaporan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota. V. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG STATISTIK SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAH DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Statistik Umum 1. Kebijakan 2. Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi 3. Fasilitasi dan pembinaan 1. Penetapan pedoman sistem dan prosedur, norma, konsep, definisi, standarisasi, dan ukuran– ukuran.
Pelaksanaan pengawasan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan statistik daerah.
Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik daerah.
Penyelenggaraan kerjasama antar lembaga untuk mengembangkan statistik skala provinsi.
Pelaksanaan pengawasan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan statistik skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kerjasama antar lembaga untuk mengembangkan statistik skala kabupaten/kota.
Ɇ 1. Ɇ 2. Statistik Dasar 1. Statistik dasar meliputi:
Sensus 1. Penyelenggaraan statistik dasar meliputi:
Sensus penduduk (akhiran angka nol).
Pemberian dukungan penyelenggaraan statistik dasar skala provinsi:
Ɇ 1. Pemberian dukungan penyelenggaraan statistik dasar skala kabupaten/kota:
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAH DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Survei Antar Sensus b. Sensus pertanian (akhiran angka tiga).
Sensus ekonomi (akhiran angka enam).
Penyelenggaraan survei antar sensus:
Survei penduduk antar sensus (akhiran angka lima).
Survei pertanian antar sensus (akhiran angka delapan).
Survei ekonomi antar sensus (akhiran angka satu).
Ɇ c. Ɇ 1. Pemberian dukungan penyelenggaraan survei antar sensus skala provinsi:
Ɇ b. Ɇ c. Ɇ b. Ɇ c. Ɇ 1. Pemberian dukungan penyelenggaraan survei antar sensus skala kabupaten/ kota:
Ɇ b. Ɇ c. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAH DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Survei Berskala Nasional d. Survei Sosial dan Ekonomi 2. Statistik Lintas Sektor Berskala Nasional 1. Penyelenggaraan survei berskala nasional:
Survei-survei bidang ekonomi.
Survei-survei bidang kesejahteraan rakyat.
Penyelenggaraan survei sosial dan ekonomi:
Survei-survei sosial dan ekonomi lain untuk memperoleh indikator- indikator sosial dan ekonomi.
Penyelenggaraan statistik lintas sektor berskala nasional.
Pemberian dukungan survei berskala nasional di tingkat provinsi di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat:
Ɇ b. Ɇ 1. Pemberian dukungan survei sosial dan ekonomi:
— 1. — 1. Pemberian dukungan survei berskala nasional di tingkat kabupaten/kota di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat:
Ɇ b. Ɇ 1. Pemberian dukungan survei sosial dan ekonomi:
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAH DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Statistik Sektoral 1. Koordinasi Statistik Antar Sektoral 1. Koordinasi statistik antar sektoral.
Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik sektoral, provinsi dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan statistik sektoral skala provinsi.
— 1. Penyelenggaraan statistik sektoral skala kabupaten/ kota.
— 4. Statistik Khusus 1. Pengembangan Jejaring Statistik Khusus 1. Pengembangan jejaring statistik khusus. 1. Pengembangan jejaring statistik khusus skala provinsi. 1. Pengembangan jejaring statistik khusus skala kabupaten/kota. W. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEARSIPAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kearsipan 1. Kebijakan 1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan kearsipan secara nasional, meliputi :
Penetapan norma, standar dan pedoman penyelenggaraan kearsipan di lingkungan provinsi berdasarkan kebijakan kearsipan nasional meliputi :
Penetapan norma, standar dan pedoman penyelenggaraan kearsipan di lingkungan kabupaten/kota berdasarkan kebijakan kearsipan nasional, meliputi :
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan kearsipan dinamis secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan arsip dinamis di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan dinamis di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan kearsipan secara statis.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan statis di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan statis di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Penetapan kebijakan dan pengembangan sistem kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan sistem kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan sistem kearsipan di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan dan pengembangan jaringan kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan kearsipan di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan dan pengembangan sumber daya manusia kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia kearsipan di lingkungan kabupaten/ kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan pembentukan dan pengembangan organisasi kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Penetapan kebijakan di bidang sarana dan prasarana kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penggunaan sarana dan prasarana kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penggunaan sarana dan prasarana kearsipan di lingkungan kabupaten/ kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Pembinaan 1. Pembinaan kearsipan terhadap lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, lembaga vertikal, provinsi dan kabupaten/ kota.
Pembinaan kearsipan terhadap perangkat daerah provinsi, badan usaha milik daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Pembinaan kearsipan terhadap perangkat daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan.
Penyelamatan, Pelestarian dan Pengamanan 1. Pemberian persetujuan jadwal retensi arsip. 1. Pemberian persetujuan jadwal retensi arsip kabupaten/kota terhadap arsip yang telah memiliki pedoman retensi.
— 2. Pemberian persetujuan pemusnahan arsip. 2. Pemberian persetujuan pemusnahan arsip kabupaten/kota terhadap arsip yang telah memiliki pedoman retensi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengelolaan arsip statis lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, badan usaha milik negara, perusahaan swasta dan perorangan berskala nasional.
Pengelolaan arsip statis perangkat daerah provinsi, lintas daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah provinsi serta swasta dan perorangan berskala provinsi.
Pengelolaan arsip statis perangkat daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah kabupaten/kota, perusahaan swasta dan perorangan berskala kabupaten/kota.
Akreditasi dan Sertifikasi 1. Pemberian akreditasi dan sertifikasi kearsipan. 1. — 1. ³ 5. Pengawasan/Supervisi 1. Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, lembaga vertikal serta provinsi.
Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan perangkat daerah provinsi dan lembaga kearsipan kabupaten/kota.
Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan perangkat daerah kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan.
Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan pembinaan kearsipan oleh lembaga kearsipan provinsi.
Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan pembinaan oleh lembaga kearsipan kabupaten/kota.
— X. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERPUSTAKAAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perpustakaan 1. Kebijakan 1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan perpustakaan secara nasional, meliputi :
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan perpustakaan.
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan dan pengembangan sistem perpustakaan secara nasional.
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan provinsi berpedoman kebijakan nasional, meliputi :
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan perpustakaan di skala provinsi berdasarkan kebijakan nasional.
Ɇ 1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan kabupaten/kota berpedoman kebijakan provinsi dan nasional, meliputi :
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan perpustakaan di skala kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Penetapan kebijakan dan pengembangan jaringan perpustakaan secara nasional.
Penetapan kebijakan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) perpustakaan secara nasional.
Penetapan kebijakan pembentukan dan pengembangan organisasi perpustakaan secara nasional.
Penetapan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan SDM perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Penetapan paraturan dan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan SDM perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.
Penetapan dan peraturan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan Teknis Perpustakaan 1. Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan :
Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.
Pengembangan SDM.
Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar.
Kerjasama dan jaringan perpustakaan.
Pengembangan minat baca.
Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan di wilayah provinsi :
Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.
Pengembangan SDM.
Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar.
Kerjasama dan jaringan perpustakaan.
Pengembangan minat baca.
Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan di wilayah kabupaten/kota :
Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.
Pengembangan SDM.
Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar.
Kerjasama dan jaringan perpustakaan.
Pengembangan minat baca.
Penyelamatan dan Pelestarian Koleksi Nasional 1. Penetapan kebijakan pelestarian koleksi nasional. 1. Penetapan kebijakan pelestarian koleksi daerah provinsi berdasarkan kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan pelestarian koleksi daerah kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelestarian Karya Cetak dan Karya Rekam, terkait koleksi nasional.
Koordinasi pelestarian tingkat nasional, regional, dan internasional.
Pelaksanaan Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, terkait koleksi daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Koordinasi pelestarian tingkat daerah provinsi.
– 3. Koordinasi pelestarian tingkat daerah kabupaten/kota.
Pengembangan Jabatan Fugsional Pustakawan 1. Penetapan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan secara nasional.
Penetapan kebijakan penilaian angka kredit pustakawan.
Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan madya dan pustakawan utama.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan di skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Ɇ 3. Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan pelaksana sampai dengan pustakawan penyelia dan pustakawan pertama sampai dengan pustakawan muda.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan di skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.
Ɇ 3. Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan pelaksana sampai dengan pustakawan penyelia dan pustakawan pertama sampai dengan pustakawan muda. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan standar kompetensi jabatan fungsional pustakawan.
Ɇ 4. Ɇ 5. Akreditasi Perpustakaan dan Sertifikasi Pustakawan 1. Pemberian akreditasi perpustakaan.
Pemberian sertifikasi pustakawan.
Pemberian akreditasi perpustakaan di wilayah provinsi.
Pemberian sertifikasi pustakawan di wilayah provinsi.
Ɇ 2. Ɇ 6. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Teknis dan Fungsional Perpustakaan 1. Pengembangan dan penetapan kurikulum dan modul diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Pemberian akreditasi diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Ɇ 3. Ɇ 1. Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Ɇ 3. Ɇ Y. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pos dan Telekomunikasi 1. Pos 1. Perumusan kebijakan di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli.
— 1. — 2. Perumusan pengaturan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli.
— 2. — 3. Pemberian bimbingan teknis bidang produk pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli.
— 3. — 4. — 4.— 4. Penyelenggaraan pelayanan pos di perdesaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. — 5.— 5. Pemberian rekomendasi untuk pendirian kantor pusat jasa titipan.
Pemberian perizinan penyelenggaraan jasa titipan.
Pemberian izin jasa titipan untuk kantor cabang.
Pemberian izin jasa titipan untuk kantor agen.
— 7. Penertiban jasa titipan untuk kantor cabang. 7. Penertiban jasa titipan untuk kantor agen.
Pelaksanaan analisa dan evaluasi penyelenggaraan kegiatan di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli serta penertiban penyelenggaraan pos dan jasa titipan.
— 8. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Telekomunikasi 1. Perumusan kebijakan di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.
— 1. — 2. Perumusan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.
— 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pemberian bimbingan teknis di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.
Pemberian bimbingan teknis di bidang sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, kinerja operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal skala wilayah.
— 4. Pemberian perizinan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, jasa telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan penyelenggaraan kewajiban pelayanan universal.
— 4. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. — 5.Pemberian izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pemerintah dan badan hukum yang cakupan areanya provinsi sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio.
Pemberian izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pemerintah dan badan hukum yang cakupan areanya kabupaten/kota sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio.
— 6.Pengawasan layanan jasa telekomunikasi. 6. — 7. — 7. Pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap lokal wireline (end to end) cakupan provinsi.
Pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap tertutup lokal wireline (end to end) cakupan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. — 8. Koordinasi dalam rangka pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi.
Pemberian rekomendasi wilayah prioritas untuk pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi.
— 9. — 9. Pemberian izin terhadap Instalatur Kabel Rumah/Gedung (IKR/G).
Pelaksanaan evaluasi penyelenggaraan kegiatan di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal dan teknologi informasi.
Pengawasan/ pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang cakupan areanya provinsi.
Pengawasan/pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang cakupan areanya kabupaten/kota, pelaksanaan pembangunan telekomunikasi perdesaan, penyelenggaraan warung telekomunikasi, warung seluler atau sejenisnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pemberian Izin Amatir Radio (IAR) dan Izin Penguasaan Perangkat Radio Amatir (IPPRA), termasuk untuk warga negara asing, Izin Komunikasi Radio Antar Penduduk (IKRAP) dan Izin Penguasaan Perangkat Komunikasi Radio Antar Penduduk (IPPKRAP).
— 11. — 12. Pelaksanaan penyelenggaraan ujian amatir radio.
— 12. — 13. — 13. Pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator.
Pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Pedoman penyelenggaraan warung telekomunikasi/ warung internet/ warung seluler atau sejenisnya.
— 14. — 15. Pedoman panggilan darurat telekomunikasi.
— 15. Penanggung jawab panggilan darurat telekomunikasi.
Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit (Orsat) 1. Perumusan kebijakan di bidang penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.
— 1. — 2. Perumusan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.
— 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pelaksanaan penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.
— 3. — 4. Pemberian perizinan penggunaan frekuensi radio dan orsat.
— 4. — 5. Pelaksanaan analisa dan evaluasi di bidang operasi frekuensi radio dan orsat.
— 5. — 6. Perumusan rencana dan alokasi spektrum frekuensi radio dan orsat.
— 6. — 7. Penetapan tabel alokasi spektrum frekuensi radio Indonesia dan orsat.
— 7. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan rencana induk frekuensi radio. 8. — 8. — 9. Penyusunan dan penetapan kajian teknis sistem alat dan atau perangkat yang menggunakan frekuensi radio.
— 9. — 10.Penetapkan persetujuan alokasi frekuensi radio (allotment). 10. — 10.— 11.Pelaksanaan koordinasi penggunaan spektrum frekuensi radio dan orsat dalam forum skala bilateral, regional dan internasional.
— 11.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12.Perumusan hasil koordinasi forum tersebut untuk dapat dilaksanakan sesuai ketentuan internasional.
— 12.— 13.Penghimpunan dan tindak lanjut pengaduan negara lain tentang adanya gangguan interferensi frekuensi radio yang bersumber dari Indonesia.
— 13.— 14.Tindak lanjut pengaduan adanya interferensi yang bersumber dari negara lain.
— 14.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15.Pelaksanaan penetapan (assignment) penggunaan frekuensi radio sesuai alokasi frekuensi radio.
— 15.— 16.Pelaksanaan teknikal analisis. 16.— 16.— 17.Pengelolaan loket penerimaan berkas izin frekuensi radio.
— 17.— 18.Penetapan ketentuan dan persyaratan perizinan frekuensi radio.
— 18.— 19.Pelaksanaan penetapan biaya hak penggunaan frekuensi radio.
— 19.— 20.Penerbitan izin stasiun radio. 20.— 20.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 21.Pelaksanaan verifikasi izin stasiun radio. 21.— 21.— 22.Pelaksanaan penugasan kepada unit pelaksana teknis untuk monitoring spektrum frekuensi radio.
— 22.— 23.Pelaksanaan inspeksi instalasi alat/perangkat yang menggunakan spektrum dan kesesuaian standarnya.
— 23.— 24.Pelaksanaan penegakan hukum. 24.— 24.— 25.Pelaksanaan rekayasa teknik spektrum. 25.— 25.— 26.Pengelolaan sarana dan prasarana monitoring frekuensi radio dan orsat.
— 26.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 27.Pengelolaan database frekuensi radio Indonesia.
— 27.— 28.Penetapan peraturan, standar pedoman penggunaan spektrum frekuensi radio dan orsat.
— 28.— 29.Pedoman pembangunan sarana dan prasarana menara telekomunikasi.
— 29.— 30.Penetapan pedoman kriteria pembuatan tower .
— 30.Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menara telekomunikasi sebagai sarana dan prasarana telekomunikasi.
— 31.Pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi lintas kabupaten/kota atau jalan provinsi.
Pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 32.— 32. — 32.Pemberian izin Hinder Ordonantie (Ordonansi Gangguan).
— 33. — 33.Pemberian izin instalansi penangkal petir.
— 34. — 34. Pemberian izin instalansi genset.
Bidang Standarisasi Pos dan Telekomunikasi 1. Perumusan kebijakan di bidang teknik pos dan telekomunikasi, teknik komunikasi radio, pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.
— 1. — 2. Perumusan standar di bidang teknik pos dan telekomunikasi, teknik komunikasi radio, pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.
— 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pemberian bimbingan teknis di bidang standar pos dan telekomunikasi, standar teknik komunikasi radio, standar pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.
Pemberian bimbingan teknis di bidang standar pos dan telekomunikasi, standar teknik komunikasi radio, standar pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.
— 4. Pemantauan dan penertiban standar pos dan telekomunikasi.
— 4. — 5. Perumusan persyaratan teknis dan standar pelayanan alat/perangkat pos dan telekomunikasi.
— 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan penerapan standar teknis dan standar pelayanan alat/perangkat pos dan telekomunikasi skala nasional.
Pengawasan terhadap penerapan standar teknis dan standar pelayanan alat/ perangkat pos dan telekomunikasi skala provinsi.
Pengendalian dan penertiban terhadap pelanggaran standarisasi pos dan telekomunikasi.
Kerjasama standar teknik tingkat internasional.
— 7. — 8. — 8. — 8. Pemberian izin usaha perdagangan alat perangkat telekomunikasi.
Kelembagaan Internasional Pos dan Telekomunikasi 1. Perumusan kebijakan di bidang kelembagaan dan penanganan fora multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi, informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perumusan pedoman, norma, kriteria dan prosedur di bidang kelembagaan dan penanganan fora multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi, informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.
— 2. — 3. Pelaksanaan kerjasama kelembagaan multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.
— 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. — 4. Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pos dan telekomunikasi serta penggunaan frekuensi radio di daerah perbatasan dengan negara tetangga.
Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pos dan telekomunikasi serta penggunaan frekuensi radio di daerah perbatasan dengan negara tetangga.
Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan kelembagaan internasional dan kegiatan fora internasional di bidang pos, telekomunikasi informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.
— 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Sarana Komunikasi Dan Diseminasi Informasi 1. Penyiaran 1. Penetapan arah kebijakan penyelenggaraan penyiaran dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi penyiaran, kecenderungan permintaan pasar, ekonomi, sosial, budaya dan kondisi lingkungan lainnya.
— 1. — 2. Penetapan tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran.
Evaluasi persyaratan administrasi dan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan penyiaran.
— 3. — 3. Pemberian rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan televisi.
Pemberian rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan radio. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penerbitan izin penyelenggaraan penyiaran radio dan televisi bagi seluruh lembaga penyiaran.
— 4. Pemberian izin lokasi pembangunan studio dan stasiun pemancar radio dan/atau televisi.
Penetapan pedoman teknis pelaksanaan uji coba siaran radio dan televisi.
— 5. — 6. Penetapan kebijakan pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan oleh salah satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran.
— 6. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penetapan kebijakan kepemilikan silang antara lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran radio, lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran televisi, perusahaan media cetak, dan lembaga penyiaran berlangganan baik langsung maupun tidak langsung.
— 7. — 8. Penetapan kebijakan kepemilikan modal asing pada lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan.
— 8. — 9. Pemetaan usaha penyiaran radio dan televisi.
— 9. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10.Penetapan wilayah layanan penyiaran radio dan televisi.
— 10. — 11.Pengaturan dan penetapan sistem stasiun jaringan penyiaran radio dan televisi.
— 11. — 12. Penetapan standar teknologi penyiaran radio dan televisi.
— 12. — 13. Penetapan pedoman teknis sarana dan prasarana penyiaran radio dan televisi.
— 13. — 2. Kelembagaan Komunikasi Sosial 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga media tradisional.
Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan komunikasi sosial skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan komunikasi sosial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga komunikasi perdesaan.
— 2. — 3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga profesi.
— 3. — 4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga pemantau media.
— 4. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Kelembagaan Komunikasi Pemerintah 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang politik, hukum dan keamanan.
— 1. — 2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang perekonomian.
— 2. — 3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang kesejahteraan rakyat.
— 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang badan usaha milik negara.
— 4. — 4. Kelembagaan Komunikasi Pemerintah Daerah 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah I.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah II.
— 2. — 3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah III.
— 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah IV.
— 4. — 5. Penerbitan panduan paket informasi nasional.
Koordinasi dan pelaksanaan diseminasi informasi nasional.
Pelaksanaan diseminasi informasi nasional.
Kemitraan Media 1. Perumusan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang kemitraan media radio, media televisi dan media cetak.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perumusan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang kemitraan media komunitas.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kemitraan media skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kemitraan media skala kabupaten/kota. Z. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Lahan Pertanian 1. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian tingkat nasional.
Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian tingkat provinsi.
Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian tingkat kabupaten/kota.
Penetapan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian nasional (lintas provinsi).
Penyusunan peta pengembangan, rehabiltasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian wilayah provinsi (lintas kabupaten).
Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian nasional (lintas provinsi).
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian provinsi (lintas kabupaten).
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian wilayah kabupaten/kota.
Tanaman Pangan dan Hortikultura 4. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian nasional.
Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian wilayah provinsi.
Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5.a. — b. — 6. — 7. — 8. Penetapan sasaran areal tanam nasional.
Penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala nasional .
a. Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan pertanian wilayah provinsi.
— 6. Pengaturan dan penerapan kawasan pertanian terpadu wilayah provinsi.
Penetapan sentra komoditas pertanian wilayah provinsi.
Penetapan sasaran areal tanam wilayah provinsi.
Penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala provinsi.
a. Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan pertanian wilayah kabupaten/ kota.
Pengembangan lahan pertanian wilayah kabupaten/kota.
Pengaturan dan penerapan kawasan pertanian terpadu wilayah kabupaten/kota.
Penetapan sentra komoditas pertanian wilayah kabupaten/kota.
Penetapan sasaran areal tanam wilayah kabupaten/kota.
Penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Air Irigasi 1. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pemanfaatan air irigasi.
a. — b.— 3. — 4.a. Penetapan kebijakan pengembangan dan pembinaan pemberdayaan kelembagaan petani pemakai air.
— 1. Bimbingan pengembangan jaringan irigasi.
a. Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air irigasi.
— 3. Bimbingan teknis pengelolaan sumber-sumber air dan air irigasi.
a. Pemantauan dan evaluasi pengembangan dan pembinaan pemberdayaan kelembagaan petani pemakai air.
— 1. Pembangunan dan rehabilitasi pemeliharaan jaringan irigasi di tingkat usaha tani dan desa.
a. Bimbingan dan pengawasan pemanfaatan dan pemeliharaan jaringan irigasi.
Bimbingan dan pengawasan pemanfaatan sumber-sumber air dan air irigasi.
— 4.a. Bimbingan pengembangan dan pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan Perkumpulan Petani Pemakai Air Tanah (P3AT).
Bimbingan dan pelaksanaan konservasi air irigasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan kebijakan dan pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan air untuk usaha tani dan desa.
Pemantauan dan evaluasi pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan air untuk usaha tani.
Bimbingan penerapan teknologi optimalisasi pengelolaan air untuk usaha tani.
Pupuk 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pupuk.
Pendaftaran dan pengawasan formula pupuk.
a.Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk.
— c. — 1. Pemantauan dan evaluasi penggunaan pupuk.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah provinsi.
— c. — 1. Bimbingan penggunaan pupuk.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan dan pembinaan unit usaha pelayanan pupuk.
Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pupuk. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. — 5. Penetapan standar mutu pupuk.
Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pupuk.
Pengawasan standar mutu pupuk.
Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pupuk.
Bimbingan penerapan standar mutu pupuk.
Pestisida 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pestisida.
Pendaftaran dan pengawasan formula pestisida.
a.Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida.
— c. — 1. Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah provinsi.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah provinsi.
— c. — 1. Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan dan pembinaan unit pelayanan pestisida.
Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pestisida. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. — 5. Penetapan standar mutu pestisida.
Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pestisida.
Pengawasan standar mutu pestisida.
Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pestisida.
Bimbingan penerapan standar mutu pestisida.
Alat dan Mesin Pertanian 1. Penetapan kebijakan alat dan mesin pertanian.
— 3. Pendaftaran prototipe alat dan mesin pertanian.
Penetapan standar mutu alat dan mesin pertanian.
Pengujian mutu alat dan mesin pertanian dalam rangka standarisasi.
Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin pertanian wilayah provinsi.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin pertanian wilayah provinsi.
Penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin pertanian.
Penerapan standar mutu alat dan mesin pertanian.
— 1. Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin pertanian wilayah kabupaten/kota.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin pertanian di wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan alat dan mesin pertanian sesuai standar.
Penerapan standar mutu alat dan mesin pertanian.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.Penetapan pedoman pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pengujian alat dan mesin pertanian.
— c. — d. — e. — f. — 6.a. Pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan mesin pertanian wilayah provinsi.
— c. — d. — e. — f. — 6.a. Pengawasan standar mutu dan alat mesin pertanian wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengembangan jasa alat dan mesin pertanian.
Pemberian izin pengadaan dan peredaran alat dan mesin pertanian.
Analisis teknis, ekonomis dan sosial budaya alat dan mesin pertanian sesuai kebutuhan lokalita.
Bimbingan penggunaan dan pemeliharaan alat dan mesin pertanian.
Pembinaan dan pengembangan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA bengkel/pengrajin alat dan mesin pertanian.
Benih Tanaman 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman perbenihan tanaman.
— 2. Pelepasan dan penarikan varietas tanaman.
Pengaturan pemasukan dan pengeluaran benih dari dan keluar wilayah negara RI.
Penetapan standar mutu dan pedoman pengawasan dan sertifikasi benih.
— 1.a.Pemantauan dan evaluasi penerapan pedoman perbenihan tanaman.
Penyusunan kebijakan benih antar lapang.
Identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal.
Pemantauan benih dari luar negeri di wilayah provinsi.
Pengawasan penerapan standar mutu benih wilayah provinsi.
Pengaturan penggunaan benih wilayah provinsi.
a. Bimbingan penerapan pedoman perbenihan tanaman wilayah kabupaten/kota.
Penyusunan kebijakan benih antar lapang wilayah kabupaten/kota.
— 3. Pemantauan benih dari luar negeri di wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan standar mutu benih wilayah kabupaten/kota.
Pengaturan penggunaan benih wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.— b.— c.— d.— e.— f. — g.— 6.a.Pengawasan dan sertifikasi benih.
— c. — d. — e. — f. — g. — 6.a.Pembinaan dan pengawasan penangkar benih.
Pembinaan dan pengawasan perbanyakan peredaran dan penggunaan benih.
Bimbingan dan pemantauan produksi benih.
Bimbingan penerapan standar teknis perbenihan yang meliputi sarana, tenaga dan metode.
Pemberian izin produksi benih.
Pengujian dan penyebarluasan benih varietas unggul spesifik lokasi.
Perbanyakan dan penyaluran mata tempel dan benih tanaman. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h.— i. — j. — 7.a.— b.— h. — i. — j. — 7.a.Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah provinsi.
— h. Pelaksanaan dan bimbingan dan distribusi pohon induk.
Penetapan sentra produksi benih tanaman.
Pengembangan sistem informasi perbenihan.
a.Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan balai benih milik swasta.
Pembiayaan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat.
a.Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat wilayah provinsi.
a.Bimbingan pengembangan dan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan/kredit agribisnis. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.— c.— d.— b.— c.— d.— b.Bimbingan penyusunan rencana usaha agribisnis.
Bimbingan pemberdayaan lembaga keuangan mikro pedesaan.
Pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan pengendalian kredit wilayah kabupaten/kota.
Perlindungan Tanaman 1. Penetapan kebijakan perlindungan tanaman.
Pengaturan dan penetapan norma dan standar teknis pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan analisis mitigasi dampak fenomena iklim.
— 2. Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
— 2. Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. — 4. — 5. — 6. — 7. — 3. Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah provinsi.
Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah 3. Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan dan penanggulangan wabah hama dan penyakit tanaman skala nasional. provinsi.
Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit tanaman wilayah provinsi. kabupaten/kota.
Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit tanaman wilayah kabupaten/kota.
Perizinan Usaha 1. Penetapan pedoman perizinan usaha tanaman pangan dan hortikultura.
— 1. Pemberian izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengawasan izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Pemberian izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Teknis Budidaya 1. Penetapan pedoman teknis budidaya tanaman pangan dan hortikultura.
— 1. Bimbingan penerapan pedoman teknis pola tanam, perlakuan terhadap tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman teknis pola tanam, perlakuan terhadap tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kabupaten/kota.
Pembinaan Usaha 1. Penetapan pedoman pembinaan usaha tanaman pangan dan hortikultura.
— 3. — 1. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah provinsi.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Pelaksanaan studi analis mengenai dampak lingkungan (amdal)/Upaya Pengelolaan Lingkungan hidup (UKL)-Upaya Pemantauan Lingkungan hidup (UPL) di bidang tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan studi amdal/UKL- UPL di bidang tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. — 5. Penetapan pedoman kompensasi karena eradikasi dan jaminan penghasilan bagi petani yang mengikuti program pemerintah.
Penetapan program kerjasama/kemitraan usaha tanaman pangan dan hortikultura.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman kompensasi karena eradikasi dan jaminan penghasilan bagi petani yang mengikuti program pemerintah wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan pedoman kompensasi karena eradikasi dan jaminan penghasilan bagi petani yang mengikuti program pemerintah wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil 1.a.Penetapan kebijakan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura.
— 1.a.Pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
a.Bimbingan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan pedoman perkiraan kehilangan tanaman pangan dan hortikultura.
Penetapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura.
a.Penetapan pedoman teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil.
— 2. Bimbingan penghitungan perkiraan kehilangan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Pengawasan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah provinsi.
— kabupaten/kota.
Penghitungan perkiraan kehilangan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13. Pemasaran 1. Penetapan pedoman pemasaran hasil tanaman pangan dan hortikultura.
Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura tingkat nasional dan internasional.
Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri.
Penetapan kebijakan harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura.
Pemantauan dan evaluasi pemasaran hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah provinsi.
Pemantauan dan evaluasi harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan pemasaran hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Sarana Usaha 1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman pengembangan sarana usaha.
— 1.a.Pemantauan dan evaluasi pengembangan sarana usaha wilayah provinsi.
Bimbingan teknis pembangunan dan sarana 1.a.Bimbingan pengembangan sarana usaha wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil tanaman pangan wilayah provinsi. (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil tanaman pangan wilayah kabupaten/ kota.
Pengembangan Statistik dan Sistem Informasi Tanaman Pangan dan Hortikultura 1. Penetapan kebijakan dan pedoman perstatistikan tanaman pangan dan hortikultura.
Pembinaan dan pengelolaan data dan statistik serta sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura.
Penyusunan statistik tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Penyusunan statistik tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan dan Evaluasi 1. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang tanaman pangan dan hortikultura.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perkebunan 1. Lahan Perkebunan 1.a.Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan.
— c. — 2.a.Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan nasional.
a.Bimbingan dan pengawasan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian perkebunan.
Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan.
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan.
a. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan wilayah provinsi.
a.Penetapan kebutuhan dan pengembangan lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi, dan pengendalian lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
a.Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — c. — d. — e. — 3. Penetapan sasaran areal tanam nasional.
Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan perkebunan wilayah provinsi.
— d. Pengaturan dan penerapan kawasan perkebunan terpadu wilayah provinsi.
— 3. Penetapan sasaran areal tanam wilayah provinsi.
Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengaturan dan penerapan kawasan perkebunan terpadu wilayah kabupaten/kota.
Penetapan sentra komoditas perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Penetapan sasaran areal tanam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemanfaatan Air Untuk Perkebunan 1.a.Penetapan kebijakan, pedoman, bimbingan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan.
— c. — 2.a.Penetapan kebijakan pengembangan teknologi dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan.
— 1.a.Bimbingan pemanfaatan sumber-sumber air untuk perkebunan.
Bimbingan pemanfaatan air permukaan dan air tanah untuk perkebunan.
Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan.
a.Bimbingan pengembangan sumber-sumber air untuk perkebunan.
Bimbingan pengembangan teknologi irigasi air permukaan dan air bertekanan untuk perkebunan.
a.Pemanfaatan sumber-sumber air untuk perkebunan.
Pemanfaatan air permukaan dan air tanah untuk perkebunan.
Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan.
a.Pengembangan sumber- sumber air untuk perkebunan.
Pengembangan teknologi irigasi air permukaan dan irigasi bertekanan untuk perkebunan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — c. Pemantauan dan evaluasi pengembangan air untuk perkebunan.
Pemantauan dan evaluasi pengembangan air untuk perkebunan.
Pupuk 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pupuk.
Pendaftaran dan pengawasan formula pupuk.
a.Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk.
Pemantauan dan evaluasi penggunaan pupuk.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah provinsi.
Bimbingan penggunaan pupuk.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — c. — d. — 4. Penetapan standar mutu pupuk.
— c. — d. Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pupuk.
Pengawasan standar mutu pupuk.
Pengembangan dan pembinaan unit usaha pelayanan pupuk.
Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pupuk.
Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pupuk.
Bimbingan penerapan standar mutu pupuk. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pestisida 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pestisida.
Pendaftaran dan pengawasan formula pestisida.
a.Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida.
— c. — d. — 4. Penetapan standar mutu pestisida.
Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah provinsi.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah provinsi.
— c. — d. Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pestisida.
Pengawasan standar mutu pestisida.
Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan unit usaha pelayanan pestisida.
Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pestisida.
Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pestisida.
Bimbingan penerapan standar mutu pestisida. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Alat dan Mesin Perkebunan 1. Penetapan kebijakan alat dan mesin perkebunan.
— 3. Pendaftaran prototipe alat dan mesin perkebunan.
Penetapan kebijakan standar mutu alat dan mesin perkebunan.
Pengujian mutu alat dan mesin perkebunan dalam rangka standarisasi.
a.Penetapan pedoman pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pengujian alat dan mesin 1. Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin perkebunan wilayah provinsi.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin perkebunan wilayah provinsi.
Penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin perkebunan.
Penerapan standar mutu alat dan mesin perkebunan.
— 6.a.Pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan mesin perkebunan wilayah provinsi.
Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan alat dan mesin perkebunan sesuai standar.
Penerapan standar mutu alat dan mesin perkebunan.
— 6.a.Pengawasan standar mutu dan alat mesin perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA perkebunan.
— c. — d. — e. — f. — b. — c. — d. — e. — f. — b. Pembinaan dan pengembangan jasa alat dan mesin perkebunan.
Pemberian izin pengadaan dan peredaran alat dan mesin perkebunan.
Analisis teknis, ekonomis dan sosial budaya alat dan mesin perkebunan sesuai kebutuhan lokalita.
Bimbingan penggunaan dan pemeliharaan alat dan mesin perkebunan.
Pembinaan dan pengembangan bengkel/pengrajin alat dan mesin perkebunan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Benih Perkebunan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman perbenihan perkebunan.
— 2. Pelepasan dan penarikan varietas perkebunan.
Pengaturan pemasukan dan pengeluaran benih perkebunan dari dan keluar wilayah negara RI.
a.Penetapan standar mutu pengawasan dan sertifikasi benih perkebunan.
a.Pemantauan dan evaluasi penerapan pedoman perbenihan perkebunan.
Penyusunan kebijakan benih perkebunan antar lapang (antar kabupaten).
Identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal.
Pemantauan benih impor wilayah provinsi.
a.Pengawasan penerapan standar mutu benih perkebunan wilayah provinsi.
a.Bimbingan penerapan pedoman perbenihan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Penerapan kebijakan dan pedoman perbenihan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal.
Pemantauan benih impor wilayah kabupaten/kota.
a.Bimbingan penerapan standar mutu benih perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — c. — d. — e. — f. — g. — h. — b. Pengaturan penggunaan benih perkebunan wilayah provinsi.
Pengawasan dan sertifikasi benih perkebunan.
— e. — f. — g. — h. — b. Pengaturan penggunaan benih perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan penangkar benih perkebunan.
Pembinaan dan pengawasan perbanyakan peredaran dan penggunaan benih perkebunan.
Bimbingan dan pemantauan produksi benih perkebunan.
Bimbingan penerapan standar teknis perbenihan perkebunan yang meliputi sarana, tenaga dan metode.
Pemberian izin produksi benih perkebunan.
Pengujian dan penyebarluasan benih perkebunan varietas unggul spesifik lokasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. — j. — k. — l. — m.— n. — i. — j. — k. — l. — m.Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah provinsi.
— i. Perbanyakan dan penyaluran mata tempel dan benih perkebunan tanaman.
Pelaksanaan dan bimbingan dan distribusi pohon induk.
Penetapan sentra produksi benih perkebunan.
Pengembangan sistem informasi perbenihan perkebunan.
Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan balai benih milik swasta. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pembiayaan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman pembiayaan bidang perkebunan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat.
— c.— d.— 1.a.Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat wilayah provinsi.
— c.— d.— 1.a.Bimbingan pengembangan dan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan/kredit perkebunan.
Bimbingan penyusunan rencana usaha perkebunan.
Bimbingan pemberdayaan lembaga keuangan mikro pedesaan.
Pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan pengendalian kredit wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Perlindungan Perkebunan 1. Penetapan kebijakan perlindungan perkebunan.
a.Pengaturan dan penetapan norma dan standar teknis pengendalian OPT dan analisis mitigasi dampak fenomena iklim.
— c. — d. — 1. — 2.a.Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
— 2.a.Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. — f. — 3. Penetapan dan penanggulangan wabah OPT skala nasional.
Penanganan gangguan usaha perkebunan skala nasional.
Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah provinsi.
Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit menular tanaman wilayah provinsi.
Penanganan gangguan usaha perkebunan wilayah provinsi.
Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit menular tanaman wilayah kabupaten/kota.
Penanganan gangguan usaha perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Perizinan Usaha 1.a.Penetapan pedoman perizinan usaha perkebunan (budidaya dan industri pengolahan).
— 1.a.Pemberian izin usaha perkebunan lintas kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan izin usaha perkebunan lintas kabupaten/kota.
a.Pemberian izin usaha perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan izin usaha perkebunan di wilayah kabupaten/kota.
Teknis Budidaya 1. Penetapan pedoman teknis budidaya perkebunan. 1. Bimbingan penerapan pedoman teknis budidaya perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman teknis budidaya perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan Usaha 1.a. Penetapan pedoman pembinaan usaha perkebunan.
— 1.a. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah provinsi.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha perkebunan wilayah provinsi.
a. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d. — 2. Penetapan program kerjasama/kemitraan usaha perkebunan.
Pelaksanaan studi amdal/UKL- UPL di bidang perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha perkebunan wilayah provinsi.
Pelaksanaan studi amdal/UKL- UPL di bidang perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha perkebunan.
Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil 1.a.Penetapan kebijakan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan.
— 2. Penetapan pedoman perkiraan kehilangan hasil perkebunan.
a.Pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan peningkatan mutu hasil perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan penghitungan perkiraan kehilangan hasil perkebunan wilayah provinsi.
a.Bimbingan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan peningkatan mutu hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Penghitungan perkiraan kehilangan hasil perkebunan wilayah kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil perkebunan.
a.Penetapan pedoman teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil.
— 3. Pengawasan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil perkebunan wilayah provinsi.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah provinsi.
— 3. Bimbingan penerapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota.
Pemasaran 1. Penetapan pedoman pemasaran hasil perkebunan.
Promosi komoditas perkebunan tingkat nasional dan internasional.
Pemantauan dan evaluasi pemasaran hasil perkebunan wilayah provinsi.
Promosi komoditas perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan pemasaran hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Promosi komoditas perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri.
Penetapan kebijakan harga komoditas perkebunan.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah provinsi.
Pemantauan dan evaluasi harga komoditas perkebunan wilayah provinsi.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan harga komoditas perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Sarana Usaha 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman pengembangan sarana usaha.
— 1.a.Pemantauan dan evaluasi pengembangan sarana usaha wilayah provinsi.
Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil perkebunan wilayah provinsi.
a.Bimbingan pengembangan sarana usaha wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan Statistik dan Sistem Informasi Perkebunan 1. Penetapan kebijakan dan pedoman perstatistikan perkebunan.
Pembinaan dan pengelolaan 1. Penyusunan statistik perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan sistem 1. Penyusunan statistik perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan sistem SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA data dan statistik serta sistem informasi perkebunan. informasi perkebunan wilayah provinsi. informasi perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan dan Evaluasi 1. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang perkebunan.
— 1. — 3. Peternakan dan Kesehatan Hewan 1. Kawasan Peternakan 1. Penetapan pedoman tata cara penetapan dan pengawasan kawasan peternakan.
a.Penetapan peta potensi peternakan.
— c.— 1. Penetapan dan pengawasan kawasan peternakan wilayah provinsi.
a.Penetapan peta potensi peternakan wilayah provinsi.
Penetapan dan pengawasan kawasan peternakan wilayah provinsi.
Penetapan peta potensi peternakan wilayah provinsi.
Penetapan dan pengawasan kawasan peternakan wilayah kabupaten/kota.
a.Penetapan peta potensi peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penetapan kawasan industri peternakan rakyat.
Pengembangan lahan hijauan pakan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan pedoman penetapan padang pengembalaan. 3. Penerapan pedoman penetapan padang pengembalaan.
Penetapan padang pengembalaan.
Alat dan Mesin Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) 1.a.Penetapan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
— 2. Penetapan pedoman dan standar mutu kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
a.Penetapan pedoman pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan 1.a. Penerapan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pemantauan, identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
Penerapan standar mutu dan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan Kesmavet wilayah provinsi.
a. Pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan mesin peternakan dan kesehatan 1.a.Penerapan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/ kota.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
Pengawasan penerapan standar mutu alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
a.Pengawasan penerapan standar mutu alat dan mesin peternakan dan kesehatan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengujian alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
— c.— d.— hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Penerapan pedoman pengawasan produksi, peredaan, penggunaan dan pengujian alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
— hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pengujian alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengembangan pelayanan jasa alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/ kota.
Analisis teknis, ekonomis dan sosial budaya alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan sesuai kebutuhan lokalita wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e.— f. — g.— h.— e. Penerapan standar dukungan rekayasa teknologi peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan rekayasa dan pemeliharaan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pengawasan penerapan teknologi bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Bimbingan penggunaan dan pemeliharaan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengembangan bengkel/ pengrajin alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet kabupaten/kota.
Pelaksanaan temuan-temuan teknologi baru di bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kajian, pengenalan dan pengembangan teknologi tepat guna bidang peternakan dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. — i. Pembinaan kerjasama teknologi bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi. kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kerjasama dengan lembaga-lembaga teknologi peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet kabupaten/kota.
Pemanfaatan Air untuk Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kesmavet 1. Penetapan pedoman pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.
Penetapan kebijakan dan pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.
Bimbingan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pemantauan dan evaluasi pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.
Bimbingan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/ kota. 2. Bimbingan penerapan teknologi optimalisasi pengelolaan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.
Obat hewan, Vaksin, Sera dan Sediaan 1. Penetapan kebijakan obat hewan. 1. Penerapan kebijakan obat hewan wilayah provinsi. 1. Penerapan kebijakan obat hewan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Biologis 2. Penerbitan sertifikat Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB).
a.Penetapan standar mutu obat hewan.
— c. — 4. Pengawasan produksi dan peredaran obat hewan di tingkat produsen dan importir.
Penetapan pedoman produksi, peredaran dan penggunaan obat hewan.
Pemetaan identifikasi dan inventarisasi kebutuhan obat hewan wilayah provinsi.
a. Penerapan dan pengawasan standar mutu obat hewan wilayah provinsi.
— c. — 4. Pembinaan dan pengawasan peredaran obat hewan di tingkat distributor.
Pembinaan dan pengawasan peredaran obat hewan di tingkat distributor.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan obat hewan wilayah kabupaten/kota.
a.Penerapan standar mutu obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan peredaran dan penggunaan obat hewan tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemakaian obat hewan di tingkat peternak.
Bimbingan peredaran obat hewan tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Pemeriksaan, pengadaan, penyimpanan, pemakaian dan peredaran obat hewan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.Pengujian mutu dan sertifikasi obat hewan.
— c. — d. — e. — f. — 6.a. — b. — c. — d. — e. — f. — 6.a. Pelaksanaan pemeriksaan penanggung jawab wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penyimpanan dan pemakaian obat hewan.
Pelaksanaan penerbitan perizinan bidang obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan penerbitan penyimpanan mutu dan perubahan bentuk obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan bahan produk asal hewan dari residu obat hewan (daging, telur dan susu) wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemakaian, penyimpanan, penggunaan sediaan vaksin, sera dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. — h. — i. — g. — h. — i. — bahan diagnostik biologis untuk hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan sediaan premik wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan pendaftaran obat hewan tradisional/pabrikan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan kelembagaan/Asosiasi bidang Obat Hewan (ASOHI) wilayah kabupaten/kota.
Pakan Ternak 1. Penetapan kebijakan pakan ternak.
a.Penetapan pedoman produksi pakan ternak (konsentrat dan 1. Penerapan kebijakan pakan ternak di wilayah provinsi.
a. Bimbingan produksi pakan ternak dan bahan baku 1. Penerapan kebijakan pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
a. Bimbingan produksi pakan dan bahan baku pakan ternak SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA hijauan pakan) dan bahan baku pakan.
— 3.a.Penetapan standar mutu pakan ternak.
— c. — 4.a.Penetapan pedoman pengawasan mutu pakan ternak.
— pakan ternak wilayah provinsi.
— 3.a. Penerapan standar mutu pakan ternak wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan labelisasi dan sertifikasi pakan ternak wilayah provinsi.
Labelisasi dan sertifikasi mutu pakan ternak.
a. Pengawasan mutu pakan dan bahan baku pakan wilayah provinsi.
Pengadaan, perbanyakan dan penyaluran benih hijauan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan teknologi pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
a. Bimbingan standar mutu pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
— c. — 4.a. Pengawasan mutu pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
Pengadaan, perbanyakan dan penyaluran benih hijauan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d.— e. — f. — g. — pakan wilayah provinsi.
— d. Pembinaan dan pengawasan produksi pakan dan bahan baku pakan wilayah provinsi.
— f. — g. — pakan wilayah kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kebun benih hijauan pakan.
Bimbingan pembuatan, penggunaan dan peredaran pakan jadi wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pembuatan, penggunaan dan peredaran pakan konsentrat wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pembuatan, penggunaan dan peredaran pakan tambahan dan pelengkap pengganti (additive and supplement) wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan usaha mini feedmil pedesaan (home industry) SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h.— i. — j. — k.— l. — h. — i. — j. — k. — l. — wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pemeriksaan pakan jadi wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pemeriksaan pakan konsentrat wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pemeriksaan pakan tambahan dan pengganti (additive and supplement) wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan produksi benih hijauan pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan kerjasama perluasan produksi hijauan pakan ternak wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Bibit Ternak 1.a.Penetapan kebijakan perbibitan ternak.
— 2.a.Penetapan pedoman perbibitan (standar mutu, sertifikasi) dan plasma nutfah.
— c. — d. — 1.a. Penerapan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan perbibitan ternak wilayah provinsi.
Penerapan dan pengawasan standar perbibitan ternak wilayah provinsi.
a. Pembinaan dan pengawasan produksi ternak bibit wilayah provinsi.
Penerapan dan pengawasan pedoman perbibitan (standar mutu) wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi dan penetapan standar mutu genetik bibit ternak wilayah provinsi.
— 1.a. — b. — 2.a. Bimbingan seleksi ternak bibit wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan standar perbibitan dan plasma nutfah wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan registrasi/pencatatan ternak bibit wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pembuatan dan pengesahan silsilah ternak. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengaturan pemasukan dan pengeluaran bibit/benih ternak.
a. Produksi ternak bibit murni dan unggul.
— 5. Penetapan pedoman dan pengaturan pengelolaan plasma nutfah peternakan.
a.Produksi semen beku dan embrio ternak bibit unggul.
— 3. Pengawasan peredaran lalu lintas bibit/benih ternak di wilayah provinsi.
a. Penetapan kabupaten/kota sebagai lokasi penyebaran ternak bibit wilayah provinsi.
Penetapan penggunaan bibit unggul wilayah provinsi.
Penerapan kebijakan konservasi (pelestarian) ternak bibit murni dan unggul/plasma nutfah peternakan wilayah provinsi.
a.Pembinaan dan pengadaan semen beku wilayah provinsi.
Pembinaan dan pemantauan pelaksanaan inseminasi buatan, progeny test dan 3. Pengawasan peredaran bibit/benih ternak wilayah kabupaten/kota.
a. Penetapan lokasi dan penyebaran bibit ternak wilayah kabupaten/kota.
Penetapan penggunaan bibit unggul wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelestarian plasma nutfah peternakan wilayah kabupaten/kota.
a.Pengadaan/produksi dan pengawasan semen beku wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan inseminasi buatan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d. — e. — 7.a.Penetapan pedoman pengawasan dan produksi bibit ternak.
— transfer embrio wilayah provinsi.
— d. — e. Pembinaan distribusi mani beku (straw) wilayah provinsi.
a.Pemantauan dan pengawasan penerapan standar teknis mutu bibit Day Old Chick Final Stock wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengawasan penerapan standar teknis mutu bibit ternak wilayah c. Bimbingan dan pengawasan pelaksanaan inseminasi buatan oleh masyarakat.
Produksi mani beku ternak lokal (lokal spesifik) wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan produksi mani beku lokal (lokal spesifik) untuk kabupaten/kota.
a.Bimbingan penerapan standar-standar teknis dan sertifikasi perbibitan meliputi sarana, tenaga kerja, mutu dan metode wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan peredaran mutu bibit wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d. — e. — f. — g. — provinsi.
Pengaturan kawasan sumber- sumber bibit dan plasma nutfah wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan sertifikasi produksi bibit ternak wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi rekayasa teknologi mutu genetik (inseminasi buatan, embrio transfer) wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi tenaga ahli perbibitan (surat ijin melakukan inseminasi buatan, pemeriksaan kebuntingan, asisten reproduksi) wilayah provinsi.
Pembinaan pembibitan ternak di unit pelaksana teknis dinas c. Pelaksanaan penetapan penyaluran ternak bibit yang dilakukan oleh swasta wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan registrasi hasil inseminasi buatan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan kastrasi ternak non bibit wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan perizinan produksi ternak bibit wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan pengadaan dan/atau produksi SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h. — i. — j. — k. — wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengadaan bibit ternak wilayah provinsi.
Pembinaan mutu genetik ternak dengan rekayasa teknologi tepat guna (inseminasi buatan dan embrio transfer) wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi embrio ternak wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi embrio ternak wilayah provinsi. mudigah, alih mudigah serta pemantauan pelaksanaan dan registrasi hasil mudigah wilayah kabupaten/kota.
Pengadaan dan pengawasan bibit ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan inseminasi buatan yang dilakukan oleh swasta wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan sertifikasi pejantan unggul sebagai pemacek wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan produksi mani beku ternak lokal (lokal spesifik) wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA l. — m.— n. — o. — p. — l. Penetapan sertifikasi produksi benih mani beku wilayah provinsi.
Pembinaan sumber bibit ternak (hasil inseminasi buatan crossing ) wilayah provinsi.
Pembinaan sumber bibit ternak (hasil inseminasi buatan crossing ) wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan breeding replacement melalui rearing cool (mempercepat penyediaan bibit) wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan penyaringan bibit di kawasan produksi peternakan wilayah provinsi.
Bimbingan pengadaan produksi mani beku ternak produksi dalam negeri wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan penyebaran bibit unggul wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan penyebaran bibit unggul wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan uji reformans recording dan seleksi wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan identifikasi perbibitan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pembiayaan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman pengembangan investasi dan permodalan melalui lembaga perbankan dan non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat.
— c. — d. — e. — 1.a.Penerapan kebijakan dan pemantauan pengembangan investasi dan kebijakan permodalan melalui lembaga perbankan dan non perbankan wilayah provinsi.
— c. — d. — e. Pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan kredit program wilayah provinsi.
a.Penerapan kebijakan dan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan dan non perbankan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pengembangan dan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan/kredit program wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penyusunan rencana usaha agribisnis wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemberdayaan lembaga keuangan mikro pedesaan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan dan pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan kredit program wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. — f. Pembinaan dan pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan kredit program wilayah provinsi. kabupaten/kota.
— 8. Kesehatan Hewan (Keswan), Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman keswan, kesmavet dan kesejahteraan hewan.
— c. — d. — 1.a.Penerapan kebijakan dan pedoman keswan, kesmavet dan kesejahteraan hewan wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan praktek hygiene -sanitasi produsen Produk Asal Hewan (PAH).
Sertifikasi dan surveilans Nomor Kontrol Veteriner (NKV) unit usaha PAH yang memenuhi syarat.
Pengawasan peredaran lalu lintas produk hewan dari/ke wilayah provinsi dan lintas kabupaten/kota.
a.Penerapan kebijakan dan pedoman keswan, kesmavet dan kesejahteraan hewan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan praktek hygiene -sanitasi pada produsen dan tempat penjajaan PAH.
Monitoring penerapan persyaratan hygiene -sanitasi pada unit usaha PAH yang mendapat NKV.
Pengawasan lalu lintas produk ternak dari/ke wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. — f. — g. — 2.a.Pengamatan, penyidikan dan pemetaan penyakit hewan nasional.
— e. Pembinaan penerapan kesejahteraan hewan.
— g. — 2.a.Pengamatan, penyidikan dan pemetaan penyakit hewan wilayah provinsi.
— e. Bimbingan dan penerapan kesejahteraan hewan.
Bimbingan pembangunan dan pengelolaan pasar hewan dan unit-unit pelayanan keswan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan pengawasan pembangunan dan operasional pasar hewan dan unit-unit pelayanan keswan wilayah kabupaten/kota.
a.Pengamatan, penyidikan dan pemetaan penyakit hewan wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan kesehatan masyarakat veteriner. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a.Pengaturan dan penetapan norma, standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan.
— 4. Pembinaan pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet skala nasional.
a.Penetapan dan penanggulangan wabah termasuk zoonosis tertentu berskala nasional.
— 3.a.Penerapan dan pengawasan norma standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah provinsi.
— 4. Pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet wilayah provinsi.
a.Penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah provinsi.
a.Penerapan dan pengawasan norma, standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan urusan kesejahteraan hewan.
Bimbingan pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet wilayah kabupaten/kota.
a.Penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d. — e. — 6. Penetapan standar teknis minimal Rumah Potong Hewan (RPH) dan Rumah Potong Unggas (RPU) keamanan dan mutu produk hewan, laboratorium kesmavet, satuan pelayanan peternakan terpadu, rumah sakit hewan dan pelayanan keswan.
Pencegahan penyakit hewan menular wilayah provinsi.
Penutupan dan pembukaan kembali status daerah wabah tingkat provinsi.
Pengaturan dan pengawasan pelaksanaan pelarangan pemasukan hewan, bahan asal hewan ke/dari wilayah Indonesia antar provinsi di wilayah provinsi.
Penetapan dan identifikasi kebutuhan standar teknis minimal RPH/RPU, keamanan dan mutu produk hewan, laboratorium kesmavet, satuan pelayanan peternakan terpadu, rumah sakit hewan dan pelayanan keswan.
Pencegahan penyakit hewan menular wilayah kabupaten/kota.
Penutupan dan pembukaan kembali status daerah wabah kabupaten/kota.
Pengaturan dan pengawasan pelaksanaan pelarangan pemasukan hewan, bahan asal hewan ke/dari wilayah Indonesia antar provinsi di wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan dan standar teknis minimal RPH/RPU, keamanan dan mutu produk hewan, laboratorium kesmavet, satuan pelayanan peternakan terpadu, rumah sakit hewan dan pelayanan keswan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penetapan pedoman pengawasan lalu lintas ternak, produk ternak dan hewan kesayangan.
a.Penetapan pedoman pelayanan keswan.
— c.— 7. Pengawasan lalu lintas ternak, produk ternak dan hewan kesayangan dari/ke wilayah provinsi dan lintas kabupaten/kota.
a.Pembinaan dan pengawasan pelayanan keswan.
— c. — 7. Pengawasan lalu lintas ternak, produk ternak dan hewan kesayangan dari/ke wilayah kabupaten/kota.
a.Bimbingan pelaksanaan unit pelayanan keswan (pos keswan, praktek dokter hewan mandiri, klinik hewan).
Bimbingan dan pelaksanaan pengamatan, pemetaan, pencatatan kejadian dan penanggulangan penyakit hewan.
Bimbingan pelaksanaan penyidikan epidemiologi penyakit hewan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d.— e.— f. — g.— d. — e. Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis RPH dan RPU, rumah sakit hewan/unit pelayanan keswan terpadu, pet shop , poultry shop dan distributor obat hewan.
— g. — d. Bimbingan pelayanan kesehatan hewan pada lembaga-lembaga maupun perorangan yang mendapat ijin konservasi satwa liar.
Bimbingan dan pengawasan pelayanan keswan, kesmavet di RPH, tempat pemotongan hewan sementara, tempat pemotongan hewan darurat dan usaha susu.
Bimbingan pengaturan pelayanan kesehatan hewan pada lalu lintas tata niaga hewan (hewan besar, sedang dan kecil).
Bimbingan pelaksanaan sosialisasi dan surveilance Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h.— i. — j. — k.— l. — h. Pembinaan dan pengawasan RPH dan RPU.
— j. — k.Pemeriksaan dan pengawasan residu produk pangan asal hewan.
Pembinaan dan sertifikasi pelayanan medik veteriner (dokter hewan praktek, klinik hewan dan rumah sakit hewan).
Bimbingan pelaksanaan standarisasi jagal hewan.
Bimbingan pelaksanaan pelaporan dan pendataan penyakit individual/menular yang mewabah.
Bimbingan pelaksanaan penutupan wilayah pada penyakit hewan yang menular yang mewabah.
Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan peredaran produk pangan asal hewan dan pengolahan produk pangan asal hewan.
Bimbingan pelaksanaan dan pengawasan larangan pemotongan ternak betina produktif. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA m. — n.— o.— p.— q.— m. Pembinaan, pengawasan dan pengujian ternak dan bahan asal hewan untuk tujuan ekspor (ternak, daging, susu, hewan kesayangan, hewan liar, dll).
— o. Pembinaan dan pengawasan penyidikan penyakit hewan.
Pembinaan penyidikan dan epidemiologi penyakit hewan, parasit, bakteri, virus dan penyakit hewan lainnya.
Pembinaan pemberantasan dan pencegahan wabah m.Bimbingan pelaksanaan pemantauan penyakit zoonosis.
Bimbingan pelaksaaan peredaran produk pangan asal hewan dan produk hewani non pangan.
Bimbingan pengamatan dan penyidikan epidemiologi penyakit hewan parasit, bakteri, virus dan penyakit hewan lainnya.
— q. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA r. — s.— t. — u. — v.— w. — penyakit hewan menular strategis mewabah.
Pembinaan peramalan wabah penyakit hewan menular wilayah provinsi.
Pembinaan penutupan dan pembukaan kembali wilayah penyakit hewan menular lintas kabupaten/kota.
Pembinaan pembuatan peta situasi penyebaran penyakit hewan di provinsi.
Pembinaan dan pengawasan dan pemantauan penyakit hewan zoonosis.
Pembinaan pelayanan dan pengamanan wilayah terpadu pada kejadian wabah/epidemik.
Pembinaan penerapan r. — s. Penutupan dan pembukaan kembali wilayah penyakit hewan menular skala kabupaten/kota.
— u. — v. — w. Bimbingan penerapan norma, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA x.— y.— z. — 9.a.Penetapan pedoman dan standar dan sertifikasi pelayanan medik/paramedik veteriner.
— standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah provinsi.
— y. — z. — 9.a.Pembinaan dan pelaporan pelayanan medik/paramedik veteriner di lembaga-lembaga pemerintahan dan unit-unit pelayanan medik/paramedik veteriner di tingkat provinsi.
— standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan dan pengawasan urusan kesejahteraan hewan.
Sertifikasi keswan yang keluar/masuk wilayah kabupaten/kota.
Sertifikasi kesehatan bahan asal hewan yang keluar/masuk wilayah kabupaten/kota.
a.Pelaksanaan pelayanan medik/paramedik veteriner di kabupaten/kota.
Pelaporan pelayanan medik/ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10.a. Pedoman, standar dan norma penyidikan penyakit hewan.
— c.— 10.a.Pembinaan dan pengawasan penyidikan penyakit hewan.
Pembinaan penyidikan dan epidemiologi penyakit hewan, parasit, bakteri dan penyakit hewan lainnya.
— paramedik veteriner dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit hewan menular/non menular, penyakit individual, penyakit parasiter, virus, bakteri, penyakit reproduksi dan gangguan reproduksi.
a.Bimbingan pengamatan dan penyidikan epidemiologi penyakit hewan parasit, bakteri, virus dan penyakit hewan lainnya.
Bimbingan penerapan norma, standar teknis pelayanan kesehatan hewan.
Sertifikasi kesehatan hewan yang keluar/masuk wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penyebaran dan Pengembangan Peternakan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman penyebaran dan pengembangan peternakan.
— 2.a.Penetapan pedoman lalu lintas ternak antar daerah.
— c. — 3.a. — 1.a.Penerapan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan dan pedoman penyebaran dan pengembangan peternakan wilayah provinsi.
— 2.a.Pemantauan lalu lintas ternak wilayah provinsi.
— c. — 3.a. Pembinaan penetapan pedoman lalu lintas ternak bibit wilayah provinsi.
a.Pelaksanaan kebijakan penyebaran pengembangan peternakan wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan penyebaran ternak yang dilakukan swasta wilayah kabupaten/kota.
a.Pemantauan lalu lintas ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan melaksanakan kebijakan penyebaran dan pengembangan peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan penyebaran ternak yang dilakukan swasta.
a. Bimbingan pelaksanaan penetapan penyebaran ternak wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — 4. — 5. — 6. — 7. — 8. — b. — 4. — 5. — 6. — 7. — 8. — b. Bimbingan pelaksanaan penetapan penyebaran, registrasi dan redistribusi ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan identifikasi dan seleksi ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan identifikasi calon penggaduh wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan seleksi lokasi.
Bimbingan pelaksanaan seleksi calon penggaduh.
Pelaksanaan identifikasi lokasi terhadap penyebaran ternak. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. — 10. — 9. — 10. — 9. Bimbingan pelaksanaan sistem dan pola penyebaran ternak.
Bimbingan pelaksanaan evaluasi pelaporan penyebaran dan pengembangan ternak.
Perizinan/ Rekomendasi 1.a.Penetapan pedoman pendaftaran perijinan usaha peternakan dan kesehatan hewan.
— c. — d. — e. — 1.a.Pembinaan pemberian perizinan usaha di bidang peternakan dan kesehatan hewan di wilayah provinsi.
— c. — d. — e. — 1.a.Pemberian izin usaha budidaya peternakan wilayah kabupaten/kota.
Pemberian izin rumah sakit hewan/pasar hewan.
Pemberian izin praktek dokter hewan.
Pemberian izin laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet.
Pendaftaran usaha peternakan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. — g. — 2. Penetapan pedoman, norma dan standar pelayanan medik veteriner.
Pendaftaran mutu pakan.
a.Pendaftaran prototipe alat dan mesin peternakan dan keswan.
— f. — g. — 2. Pembinaan dan sertifikasi pelayanan medik veteriner (dokter hewan praktek, klinik hewan dan rumah sakit hewan).
Rekomendasi pendaftaran mutu pakan.
a.Penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin peternakan dan keswan wilayah provinsi.
— f. Pemberian izin usaha RPH/RPU.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha peternakan.
— 3. — 4.a.Pemberian izin pengadaan dan peredaran alat dan mesin peternakan dan keswan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan alat dan mesin peternakan dan keswan sesuai standar wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendaftaran obat hewan.
Pemberian izin usaha obat hewan sebagai produsen dan importir.
a.Pemberian izin pemasukan dan pengeluaran bibit ternak dari dan keluar negeri.
— 8.a.Pemberian persetujuan pemasukan hewan dan produk hewan dari luar negeri serta sertifikat pengeluaran dan produk hewan ke luar negeri.
— 5. — 6. Pemberian izin usaha obat hewan sebagai distributor wilayah provinsi.
a.Pemberian izin pengeluaran ternak bibit dan potong dari dan ke wilayah provinsi.
Pemantauan dan rekomendasi pemasukan dan pengeluaran dari dan keluar negeri.
a.Pemberian rekomendasi pemasukan/ pengeluaran hewan/ternak dan produk hewan dari dan antar provinsi/pulau.
— 5. — 6. Pemberian izin usaha obat hewan di tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan, poultry shop dan pet shop wilayah kabupaten/kota.
a.— b. Bimbingan dan pemantauan ternak bibit asal impor wilayah kabupaten/ kota.
a.Pemberian surat keterangan asal hewan dan produk hewan.
Pemberian surat keterangan asal/kesehatan bahan asal SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan instalasi karantina hewan sementara.
Penetapan pedoman usaha budidaya hewan kesayangan.
Penetapan pedoman, standar alat angkut/transportasi produk peternakan.
a.Penetapan pedoman pemberian NKV.
— 9. Pemberian rekomendasi instalasi karantina hewan di wilayah provinsi.
Pembinaan izin usaha budidaya hewan kesayangan wilayah provinsi.
Pembinaan usaha alat angkut/transportasi produk peternakan.
a.Pembinaan dan pemberian NKV untuk unit usaha produk pangan asal hewan wilayah provinsi.
— ternak dan hasil bahan asal ternak.
Pemberian rekomendasi instalasi karantina hewan di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan izin usaha budidaya hewan kesayangan kabupaten/kota.
Pemberian izin usaha alat angkut/transportasi produk peternakan.
a.Bimbingan standar teknis unit usaha produk pangan asal hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan penerapan NKV wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11.Pembinaan Usaha 1. Penetapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan.
Penerapan dan pengawasan pelaksanaan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah provinsi.
Penerapan dan pengawasan pelaksanaan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah kabupaten/kota.
a.Penetapan pedoman pembinaan usaha peternakan yang meliputi budidaya pembinaan mutu, pengolahan hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan, penetapan tarif pemasaran dan kelembagaan usaha.
a.Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis pembinaan mutu dan pengolahan hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi.
a.Bimbingan penerapan standar-standar teknis, pembinaan mutu dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
— b. Pembinaan dan pengawasan lembaga sistem mutu produk peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi.
Bimbingan pemantauan dan pengawasan lembaga sistem mutu produk peternakan dan hasil bahan asal wilayah kabupaten/kota.
— c. Pembinaan dan pengawasan peningkatan mutu hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi.
Bimbingan peningkatan mutu hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. — d. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan unit pengolahan alat transportasi, unit penyimpanan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi.
Bimbingan pengelolaan unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan hasil bahan asal hewan wilayah kabupaten/kota.
— e. Promosi komoditas peternakan wilayah provinsi. e. Promosi komoditas peternakan wilayah kabupaten/kota.
— f. Pembinaan analisis usaha tani dan pemasaran hasil peternakan wilayah provinsi.
Bimbingan analisis usaha tani dan pemasaran hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
— g. Pembinaan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah provinsi.
Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah kabupaten/kota.
— h. Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis peternakan dan kesehatan hewan, pembinaan mutu dan pengelolaan hasil peternakan, h. Bimbingan pelaksanaan standardisasi teknis analisa usaha, pembinaan mutu dan pengolahan hasil serta pemasaran. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. — j. — k. — l. — kelembagaan usaha tani, pelayanan dan izin usaha.
— j. Pembinaan dan pengawasan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha peternakan wilayah provinsi.
Pembinaan dan pelaksanaan studi amdal/UKL-UPL di bidang peternakan wilayah provinsi.
Pembinaan mutu dan pengelolaan hasil produk olahan peternakan dan keswan.
Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan dan pelaksanaan studi amdal/UKL-UPL di bidang peternakan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA m.— m.Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan amdal wilayah provinsi.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah kabupaten/kota.
Penetapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan.
Pembinaan dan pengawasan penerapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah kabupaten/kota.
Sarana Usaha 1.a.Penetapan kebijakan, pedoman, norma dan standar sarana usaha.
— 1.a.Bimbingan penerapan pedoman, norma, standar sarana usaha wilayah provinsi.
Bimbingan teknis pembangunan sarana fisik (bangunan), penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil peternakan wilayah provinsi.
a.Bimbingan penerapan pedoman, norma, standar sarana usaha wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan teknis pembangunan sarana fisik (bangunan), penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil peternakan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13. Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil 1. Penetapan kebijakan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan.
Penetapan metode perkiraan kehilangan hasil budidaya peternakan.
Penetapan standar unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan dan kemasan hasil peternakan.
a.Penetapan pedoman panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan.
— 1. Pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah provinsi.
Bimbingan perhitungan perkiraan kehilangan hasil budidaya peternakan wilayah provinsi.
Pengawasan standar unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan dan kemasan hasil peternakan wilayah provinsi.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah provinsi.
— 1. Bimbingan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Perhitungan perkiraan kehilangan hasil budidaya peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan standar unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan dan kemasan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Pemasaran 1. Penetapan pedoman pemasaran hasil peternakan.
Promosi komoditas peternakan nasional dan internasional.
Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri.
Pemantauan dan evaluasi pemasaran hasil peternakan wilayah provinsi.
Promosi komoditas peternakan wilayah provinsi.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah provinsi.
Bimbingan pemasaran hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Promosi komoditas peternakan wilayah kabupaten/kota.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan sistem statistik dan informasi peternakan dan keswan 1. Penetapan kebijakan pengembangan sistem statistik dan informasi peternakan nasional.
Bimbingan penerapan sistem perstatistikan dan informasi peternakan wilayah provinsi.
Penerapan sistem perstatistikan dan informasi peternakan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengelolaan sistem statistik dan informasi peternakan nasional.
Pengolahan sistem statistik dan informasi peternakan wilayah provinsi.
Pengumpulan, pengolahan dan analisis data peternakan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan kebijakan dan pedoman perstatistikan peternakan dan keswan nasional.
Pembinaan dan pengawasan penerapan perstatistikan peternakan dan keswan wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan perstatistikan peternakan dan keswan wilayah kabupaten/kota.
a.Pembinaan dan pengelolaan sistem statistik dan informasi peternakan dan kesehatan hewan nasional.
a.Pembinaan dan pengawasan penerapan sistem informasi wilayah provinsi.
a.Bimbingan penerapan sistem informasi wilayah kabupaten/kota.
— b. Pembinaan dan pengawasan pengumpulan, pengelolaan, analisis, penyajian dan pelayanan data dan statistik peternakan dan kesehatan hewan wilayah provinsi.
— c. — c. Pembinaan dan pengawasan manajemen pengumpulan, pengolahan data komoditas/produksi peternakan dan sumberdaya strategis lintas kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. — d. Pembinaan dan pengawasan pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian dan pelayanan data dan statistik komoditas strategis.
— e. — e. Pembinaan dan pengawasan pelayanan informasi pembangunan peternakan dan keswan wilayah provinsi.
— f. — g. — f. Pembinaan dan pengawasan terminal cyber space agribisnis peternakan dan keswan wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pengumpulan, analisis dan informasi kebutuhan produk peternakan dan keswan wilayah provinsi.
— g. — 16. Pengawasan dan Evaluasi 1. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan 1. — 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA prosedur di bidang peternakan dan keswan dan kesmavet.
Ketahanan Pangan 1. Ketahanan Pangan 1.a.Pengaturan, pengawasan dan pembinaan peningkatan ketersediaan dan keragaman pangan.
— c. — d. — 2.a.Pengaturan dan koordinasi cadangan pangan pemerintah 1.a.Identifikasi ketersediaan dan keragaman produk pangan.
Identifikasi kebutuhan produksi dan konsumsi masyarakat.
Koordinasi pencegahan dan pengendalian masalah pangan sebagai akibat menurunnya ketersediaan pangan karena berbagai sebab.
— 2.a.Pembinaan cadangan pangan masyarakat.
a.Identifikasi potensi sumberdaya dan produksi pangan serta keragaman konsumsi pangan masyarakat.
Pembinaan peningkatan produksi dan produk pangan berbahan baku lokal.
Pembinaan pengembangan penganekaragaman produk pangan.
Pencegahan dan pengendalian masalah pangan sebagai akibat menurunnya ketersediaan pangan.
a.Identifikasi cadangan pangan masyarakat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dan pembinaan cadangan pangan masyarakat.
— c. — 3.a.Pengaturan dan pengawasan peningkatan akses pangan untuk masyarakat miskin dan rawan pangan.
— c. — b. Pengembangan dan pengaturan cadangan pangan pokok tertentu provinsi.
Koordinasi dan pengendalian cadangan pangan pemerintah dan masyarakat.
a.Koordinasi penanganan kerawanan pangan provinsi.
Koordinasi pencegahan dan penanggulangan masalah pangan sebagai akibat menurunnya mutu, gizi dan keamanan pangan.
Pengendalian kerawanan pangan wilayah provinsi.
Pengembangan dan pengaturan cadangan pangan pokok tertentu kabupaten/kota.
Pembinaan dan monitoring cadangan pangan masyarakat.
a.Penanganan dan penyaluran pangan untuk kelompok rawan pangan tingkat kabupaten/kota.
Pencegahan dan penanggulangan masalah pangan sebagai akibat menurunnya mutu, gizi dan keamanan pangan.
Identifikasi kelompok rawan pangan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4.a.Peningkatan infrastruktur distribusi dan koordinasi pengendalian stabilitas harga pangan strategis.
— c. — d. — e. — 4.a.Identifikasi infrastruktur distribusi pangan.
Pengembangan infrastruktur distribusi pangan provinsi dan koordinasi pengembangan infrastruktur provinsi.
Koordinasi pencegahan penurunan akses pangan masyarakat dan peningkatan akses pangan masyarakat.
Informasi harga di provinsi.
Pengembangan jaringan pasar di wilayah provinsi.
a.Identifikasi infrastruktur distribusi pangan kabupaten/kota.
Pengembangan infrastruktur distribusi pangan kabupaten/kota.
Pencegahan dan pengendalian masalah pangan sebagai akibat penurunan akses pangan.
Informasi harga di kabupaten/kota.
Pembangunan pasar untuk produk pangan yang dihasilkan masyarakat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5.a.Pembinaan peningkatan keragaman konsumsi serta mutu, gizi dan keamanan pangan.
— c. — d. — e. — f. — 5.a.Identifikasi pangan pokok masyarakat.
— c. Pembinaan peningkatan mutu konsumsi masyarakat menuju gizi seimbang berbasis bahan baku lokal.
Pembinaan mutu dan keamanan produk pangan pabrikan di provinsi.
— f. — 5.a.Identifikasi pangan pokok masyarakat.
Peningkatan mutu konsumsi masyarakat.
— d. Pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan produk pangan masyarakat.
Analisis mutu, gizi dan keamanan produk pangan masyarakat.
Analisis mutu dan gizi konsumsi masyarakat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. — 6.a.Fasilitasi peran serta masyarakat dan bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
— c. — d. — 7. Pengendalian pemantapan ketahanan pangan nasional.
Pengembangan kelembagaan sertifikasi produk pangan segar dan pabrikan skala kecil/rumah tangga.
a.Identifikasi LSM dan tokoh masyarakat provinsi.
Pengembangan dan fasilitasi forum masyarakat provinsi.
Pengembangan µ trust fund µ provinsi.
Pengalokasian APBD provinsi untuk ketahanan pangan.
Pengumpulan dan analisis informasi ketahanan pangan provinsi.
Pembinaan dan pengawasan produk pangan segar dan pabrikan skala kecil/rumah tangga.
a.Identifikasi LSM dan tokoh masyarakat kabupaten/kota.
Pengembangan dan fasilitasi forum masyarakat kabupaten/kota.
Pengembangan µ trust fund µ di kabupaten/kota.
Pengalokasian APBD kabupaten/kota untuk ketahanan pangan.
Pengumpulan dan analisis informasi ketahanan pangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Keamanan Pangan 1. Perumusan standar Batas Minimum Residu (BMR).
Penyusunan modul pelatihan inspektur, fasilitator, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) keamanan pangan.
Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan nasional.
a.Monitoring otoritas kompeten provinsi.
— 1. Pembinaan penerapan standar BMR wilayah provinsi.
Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah provinsi.
Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan provinsi.
a.Monitoring otoritas kompeten kabupaten/kota.
Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah provinsi.
Penerapan standar BMR wilayah kabupaten/kota.
Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan kabupaten/kota.
a.— b. Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah kabupaten/kota.
Penunjang 1. Karantina Pertanian 1. Penetapan kebijakan dan pedoman perkarantinaan pertanian (hewan dan tumbuhan).
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan perkarantinaan pertanian (hewan dan tumbuhan).
— 2. — 2. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Pertanian 1. Penetapan kebijakan SDM pertanian tingkat nasional.
Penetapan persyaratan jabatan pada institusi pertanian.
Perencanaan, pengembangan, mutasi jabatan fungsional (rumpun ilmu hayat dan non rumpun ilmu hayat) nasional.
Pengkajian SDM pertanian.
Penetapan norma, standarisasi kelembagaan pendidikan keahlian pertanian.
Penetapan kebijakan SDM pertanian tingkat provinsi.
Penerapan persyaratan jabatan pada institusi pertanian di wilayah provinsi.
Perencanaan, pengembangan, mutasi jabatan fungsional (rumpun ilmu hayat dan non rumpun ilmu hayat) wilayah provinsi.
— 5. — 1. Penetapan kebijakan SDM pertanian tingkat kabupaten/kota.
Penerapan persyaratan jabatan pada institusi pertanian di wilayah kabupaten/kota.
Perencanaan, pengembangan, mutasi jabatan fungsional (rumpun ilmu hayat dan non rumpun ilmu hayat) di wilayah kabupaten/kota.
— 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penyelenggaraan pendidikan keahlian pertanian.
Penetapan norma, standar dan akreditasi kelembagaan pendidikan keterampilan pertanian.
Penetapan dan pelaksanaan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan tenaga fungsional pendidikan keahlian dan keterampilan pertanian.
Penetapan standar dan prosedur sistem dan metode pendidikan dan keahlian dan keterampilan pertanian.
Penetapan norma dan standar kelembagaan pelatihan pertanian.
Penyelenggaraan pendidikan keterampilan pertanian.
Penerapan norma, standar dan akreditasi kelembagaan pendidikan keterampilan pertanian.
Penetapan sertifikasi dan akreditasi jabatan fungsional pendidikan keterampilan pertanian.
Penerapan standarisasi dan prosedur sistem dan metode pendidikan keterampilan.
Penerapan norma dan standar kelembagaan pelatihan pertanian.
Penyiapan tenaga didik/peserta pendidikan keahlian dan keterampilan.
— 8. — 9. — 10.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Penyelenggaraan pelatihan keahlian pertanian.
Penetapan dan pelaksanaan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan tenaga fungsional widyaiswara pertanian.
Penetapan standar dan prosedur sistem dan metode pelatihan pertanian.
Penyelenggaraan pelatihan keterampilan pertanian.
Pelaksanaan akreditasi jabatan fungsional widyaiswara.
Perencanaan dan standarisasi dan prosedur sistem dan metode pelatihan pertanian.
— 12.— 13.— 3. Penyuluhan Pertanian 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penyuluhan pertanian.
Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian provinsi.
Penetapan, norma dan standar kelembagaan penyuluhan pertanian.
Penerapan kebijakan dan pedoman penyuluhan pertanian.
Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian wilayah kabupaten/kota.
Penetapan kelembagaan penyuluhan pertanian di provinsi sesuai norma dan standar.
Penerapan kebijakan dan pedoman penyuluhan pertanian.
Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian wilayah kecamatan/desa.
Penetapan kelembagaan penyuluhan pertanian di kabupaten/kota sesuai norma dan standar. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan penyuluh pertanian.
a Penetapan standar dan prosedur sistem kerja penyuluhan pertanian.
— 6. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat nasional.
Penerapan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan penyuluh pertanian.
a Penerapan standar dan prosedur sistem kerja penyuluhan pertanian.
— 6. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat provinsi.
Penerapan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan penyuluh pertanian.
a Penerapan standar dan prosedur sistem kerja penyuluhan pertanian.
Perencanaan penyuluhan pertanian di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten/kota.
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 1. Penetapan kebijakan arah dan prioritas penelitian dan pengembangan pertanian.
Penelitian yang menghasilkan teknologi di bidang pertanian.
— 2. Pemantauan dan pengawasan penerapan teknologi pertanian spesifik lokasi.
— 2. Bimbingan, pendampingan dan pengawasan penerapan teknologi hasil penelitian dan pengkajian. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, supervisi dan fasilitasi pengkajian, diseminasi dan penerapan teknologi/hasil pertanian.
Pembinaan, supervisi dan fasilitasi pengembangan dan penerapan hasil pengkajian teknologi spesifik lokasi.
— 5. Perlindungan Varietas 1. Pengawasan penerapan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT).
Pengaturan dan pemberian hak PVT kepada penemu varietas baru.
Pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal yang sebaran geografisnya meliputi lintas provinsi.
Izin penggunaan varietas lokal untuk pembuatan varietas turunan esensial yang sebaran geografisnya meliputi lintas provinsi.
— 2. — 3. Pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal yang sebaran geografisnya meliputi lintas kabupaten/kota.
Izin penggunaan varietas lokal untuk pembuatan varietas turunan esensial yang sebaran geografisnya meliputi lintas kabupaten/kota.
— 2. — 3. Pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal yang sebaran geografisnya pada satu kabupaten/kota.
Izin penggunaan varietas lokal untuk pembuatan varietas turunan esensial yang sebaran geografisnya pada satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Sumber Daya Genetik (SDG) 1.a.Menetapkan kebijakan pengelolaan (pelestarian dan pemanfaatan) sumber daya genetik yang berkaitan dengan akses dan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan SDG secara berkelanjutan.
— 2. Pengaturan pemasukan dan pengeluaran plasma nutfah Convention on International Trade Endanger Species (CITES).
a.Pengaturan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan SDG yang terdapat di beberapa kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut.
Pengawasan penyusunan perjanjian akses terhadap pembagian keuntungan dari pemanfaatan SDG yang ada di provinsi tersebut (kalau satu jenis SDG terdapat di beberapa kabupaten/kota).
— 1.a.Pengaturan hasil pembagian keuntungan yang diperoleh untuk konservasi SDG dan kesejahteraan masyarakat.
Pengawasan penyusunan perjanjian akses terhadap pembagian keuntungan dari pemanfaatan SDG yang ada di wilayahnya.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Standarisasi dan Akreditasi 1. Perumusan kebijakan sektor pertanian di bidang standarisasi.
Penyusunan rencana dan penetapan program standarisasi sektor pertanian.
Koordinasi standarisasi nasional sektor pertanian.
Perumusan rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) sektor pertanian melalui konsensus untuk ditetapkan sebagai SNI.
Penetapan pemberlakuan SNI wajib.
Rekomendasi usulan kebijakan sektor pertanian di bidang standarisasi sesuai pengalaman di daerah.
Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program standarisasi sektor pertanian.
Koordinasi standarisasi sektor pertanian di provinsi.
Koordinasi pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan sesuai kebutuhan daerah.
Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta memberikan usulan pemberlakuan wajib SNI.
Rekomendasi usulan kebijakan sektor pertanian di bidang standarisasi sesuai pengalaman di daerah.
Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program nasional di bidang standarisasi di daerah.
Koordinasi standarisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.
Pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan.
Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta mengusulkan usulan pemberlakuan wajib SNI. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Fasilitasi kelembagaan sektor pertanian yang akan mengajukan akreditasi.
Penilaian kesesuaian terhadap pemohon akreditasi di sektor pertanian.
Penetapan sistem dan pelaksanaan sertifikasi sektor pertanian.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan sistem sertifikasi sektor pertanian.
Pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi dalam lingkungan pertanian.
Pembinaan dan pengawasan lembaga sertifikasi dan 6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di provinsi.
— 8. Penerapan sistem sertifikasi yang mendukung standarisasi sektor pertanian di provinsi.
— 10. Dukungan pengembangan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di provinsi.
Kerjasama standarisasi dan penyampaian rekomendasi 6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di kabupaten/kota.
— 8. Penerapan sistem sertifikasi yang mendukung standarisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.
— 10. Pengembangan pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di kabupaten/kota.
Kerjasama standarisasi dalam rangka penerapan standar dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA laboratorium penguji dalam mendukung penerapan standarisasi di sektor pertanian.
Pengembangan dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian.
Menyusun dan melaksanakan program pemasyarakatan standarisasi sektor pertanian.
Penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian. teknis dalam rangka penerapan standar dan peningkatan daya saing produk pertanian.
Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian di provinsi.
Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standarisasi di provinsi.
Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di provinsi. peningkatan daya saing produk pertanian.
Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standarisasi di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di kabupaten/kota. AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria inventarisasi hutan, dan inventarisasi hutan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan inventarisasi hutan daerah aliran sungai (DAS) skala nasional.
Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi, hutan lindung dan taman hutan raya dan skala DAS lintas kabupaten/kota.
Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam wilayah kabupaten/kota.
Pengukuhan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penunjukan Kawasan Hutan, Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru 1. Pelaksanaan penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
Pemberian pertimbangan teknis penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
Pengusulan penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
Penataan Batas dan Pemetaan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru 1. Penyelenggaraan tata batas, penataan dan pemetaan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru 1. Pelaksanaan penetapan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
— 1. — 6. Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penetapan pengelola kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan.
Pengusulan dan pertimbangan teknis pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala provinsi.
Pengusulan pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala kabupaten/kota dengan pertimbangan gubernur. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penatagunaan Kawasan Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penatagunaan kawasan hutan, pelaksanaan penetapan fungsi, perubahan status dan fungsi hutan serta perubahan hak dari lahan milik menjadi kawasan hutan, pemberian perizinan penggunaan dan tukar menukar kawasan hutan.
Pertimbangan teknis perubahan status dan fungsi hutan, perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan.
Pengusulan perubahan status dan fungsi hutan dan perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan.
Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan penetapan pembentukan wilayah pengelolaan hutan, penetapan wilayah pengelolaan dan institusi wilayah pengelolaan, serta arahan pencadangan.
Pelaksanaan penyusunan rancang bangun, pembentukan dan pengusulan penetapan wilayah pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi serta pertimbangan teknis institusi wilayah pengelolaan hutan.
Pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi, serta institusi wilayah pengelolaan hutan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (Dua Puluh Tahunan) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit kesatuan pengelolaan hutan produksi KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit KPHP.
Rencana Pengelolaan Jangka Menengah (Lima Tahunan) Unit KPHP 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah unit KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah unit KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah unit KPHP.
Rencana Pengelolaan Jangka Pendek (Tahunan) Unit KPHP 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP.
Pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Rencana Kerja Usaha Dua Puluh Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Rencana Pengelolaan Lima Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana kerja lima tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja lima tahunan unit pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja lima tahunan unit pemanfaatan hutan produksi.
Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Penilaian dan pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan produksi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penataan Batas Luar Areal Kerja Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi.
— 1. Pertimbangan teknis untuk pengesahan, koordinasi dan pengawasan pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi lintas kabupaten/kota.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi dalam kabupaten/kota 1. Pertimbangan teknis untuk pengesahan, dan pengawasan pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi dalam kabupaten/kota.
— 16. Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan (Jangka Panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHL. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 17. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit KPHL 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL.
Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit KPHL 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL.
Pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL.
Rencana Kerja Usaha (Dua Puluh Tahunan) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan lindung. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Penilaian dan pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Penataan Areal Kerja Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung kepada pemerintah 1. Pertimbangan teknis pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung kepada provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 23. Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan (Jangka Panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.
Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit KPHK 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHK.
Rencana Pengelolaan Jangka Pendek (Tahunan) Unit KPHK 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek (tahunan) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan jangka pendek (tahunan) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan jangka pendek (tahunan) unit KPHK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 26. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (Dua Puluh Tahunan) Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang (dua puluh tahunan) untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala provinsi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang (dua puluh tahunan) untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota.
Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala provinsi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 28. Rencana Pengelolaan Jangka Pendek Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, dan taman buru.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, dan taman buru skala provinsi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota 29. Penataan Blok (Zonasi) Cagar Alam, Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan penataan blok (zonasi) cagar alam, suaka marga satwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 30. Pengelolaan Taman Hutan Raya 1. Pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah (lima tahunan) dan jangka panjang (dua puluh tahunan).
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria:
Pemanfaatan taman hutan raya b. Penataan blok c. Rehabilitasi 1. Pengelolaan taman hutan raya, penyusunan rencana pengelolaan (jangka menengah dan jangka panjang) dan pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek serta penataan blok (zonasi) dan pemberian perizinan usaha pemanfaatan serta rehabilitasi di taman hutan raya skala provinsi.
— 1. Pengelolaan taman hutan raya, penyusunan rencana pengelolaan dan penataan blok (zonasi) serta pemberian perizinan usaha pariwisata alam dan jasa lingkungan serta rehabilitasi di taman hutan raya skala kabupaten/kota.
— 31. Rencana Kehutanan 1. Penetapan sistem perencanaan kehutanan dan penyusunan rencana-rencana kehutanan tingkat nasional.
Penyusunan rencana-rencana kehutanan tingkat provinsi.
Penyusunan rencana-rencana kehutanan tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 32. Sistem Informasi Kehutanan (Numerik dan Spasial) 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan sistem informasi kehutanan (numerik dan spasial) tingkat nasional.
Penyusunan sistem informasi kehutanan (numerik dan spasial) tingkat provinsi.
Penyusunan sistem informasi kehutanan (numerik dan spasial) tingkat kabupaten/kota.
Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan pemberian serta perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi.
Pertimbangan teknis kepada menteri untuk pemberian dan perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pertimbangan teknis kepada gubernur untuk pemberian dan perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu serta pemberian perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu pada hutan produksi.
Pemberian perizinan pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pemberian perizinan pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 35. Pemanfaatan Kawasan Hutan dan Jasa Lingkungan pada Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan.
Pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Industri Pengolahan Hasil Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria industri primer hasil hutan dan pemberian izin industri primer hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi > 6.000 m ^3 .
Pemberian izin industri primer hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi 6.000 m ^3 serta pertimbangan teknis izin industri primer dengan kapasitas > 6.000 m ^3 .
Pertimbangan teknis pemberian izin industri primer hasil hutan kayu.
Penatausahaan Hasil Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan pengaturan penatausahaan hasil hutan.
Pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala provinsi.
Pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 38. Pemanfaatan Kawasan Hutan pada Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyelenggaraan perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) Convention on International Trade Endangered Species (CITES) serta pemanfaatan jasa lingkungan skala nasional.
Pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Penerimaan Negara Bukan Pajak Bidang Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pemungutan penerimaan negara bukan pajak.
— 1. Pelaksanaan pemungutan penerimaan negara bukan pajak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 40. Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove 1. Penetapan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi hutan dan lahan serta lahan kritis.
Penetapan lahan kritis skala nasional.
Penyusunan dan penetapan rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS.
Penetapan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan dan lahan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
— 2. Penetapan lahan kritis skala provinsi.
Pertimbangan teknis rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS.
Penetapan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala provinsi.
— 2. Penetapan lahan kritis skala kabupaten/kota.
Pertimbangan teknis rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS.
Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan taman hutan raya skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 41. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai 5. Ɇ 1. Penetapan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan DAS, penetapan kriteria dan urutan DAS/Sub DAS prioritas serta penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu.
Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan dan lahan di luar kawasan hutan skala provinsi.
Pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala provinsi.
Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan dan lahan di luar kawasan hutan skala kabupaten/kota.
Pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala kabupatan/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 42. Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove 1. Pelaksanaan rehabilitasi dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
— 1. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala provinsi.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan, dan lahan di luar kawasan hutan skala provinsi.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan, dan lahan di luar kawasan hutan skala kabupaten/kota.
Reklamasi Hutan pada Areal yang Dibebani Izin Penggunaan Kawasan Hutan 1. Penyusunan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi hutan serta penilaian hasil reklamasi hutan.
Pengesahan rencana reklamasi hutan.
Pertimbangan teknis rencana reklamasi dan pemantauan pelaksanaan reklamasi hutan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 44. Reklamasi Hutan Areal Bencana Alam 1. Penyusunan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi hutan serta penyelenggaraan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala nasional.
Penyusunan rencana dan pelaksanaan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala provinsi 1. Penyusunan rencana dan pelaksanaan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Masyarakat Se- tempat di Dalam dan di Sekitar Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Pemantauan, evaluasi dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Bimbingan masyarakat, pengembangan kelembagaan dan usaha serta kemitraan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Pengembangan Hutan Hak dan Aneka Usaha Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan hutan hak dan aneka usaha kehutanan.
Pemantauan, evaluasi dan fasilitasi hutan hak dan aneka usaha kehutanan.
Penyusunan rencana, pembinaan pengelolaan hutan hak dan aneka usaha kehutanan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 47. Hutan Kota 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria hutan kota.
Pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, pemanfaatan, perlindungan dan pengamanan hutan kota (khusus DKI), fasilitasi, pemantauan dan evaluasi hutan kota.
Pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, pemanfaatan, perlindungan dan pengamanan hutan kota.
Perbenihan Tanaman Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria perbenihan tanaman hutan, penetapan dan pembangunan sumberdaya genetik, pemberian izin ekspor/impor, karantina dan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit serta akreditasi lembaga sertifikasi benih/bibit tanaman hutan.
Pertimbangan teknis calon areal sumber daya genetik, pelaksanaan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit tanaman hutan.
Inventarisasi dan identifikasi serta pengusulan calon areal sumberdaya genetik, pembinaan penggunaan benih/bibit, pelaksanaan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit tanaman hutan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 49. Pengusahaan Pariwisata Alam pada Kawasan Pelestarian Alam, dan Pengusahaan Taman Buru, Areal Buru dan Kebun Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian perizinan usaha pariwisata alam pada kawasan pelestarian alam dan pengusahaan taman buru.
Pertimbangan teknis pengusahaan pariwisata alam dan taman buru serta pemberian perizinan pengusahaan kebun buru skala provinsi.
Pertimbangan teknis pengusahaan pariwisata alam dan taman buru serta pemberian perizinan pengusahaan kebun buru skala kabupaten/kota.
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam serta taman buru.
— 1. — 51. Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan pengawetan tumbuhan dan satwa liar dilindungi dan tidak dilindungi.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 52. Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar.
Pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi serta pengendalian pemanfaatan tumbuhan satwa liar yang tidak dilindungi skala nasional.
Pengawasan pemberian izin pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES.
— 1. Pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES.
— 53. Lembaga Konservasi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian perizinan kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari).
Pertimbangan teknis izin kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari) skala provinsi.
Pertimbangan teknis izin kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari) skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 54. Perlindungan Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan perlindungan hutan pada hutan negara skala nasional.
Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala nasional.
Pelaksanaan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat serta taman hutan raya skala provinsi.
Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala provinsi.
Pelaksanaan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat serta taman hutan raya skala kabupaten/kota.
Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 55. Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan, pemberian perizinan penelitian oleh lembaga asing, pemberian perizinan penelitian pada kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan dengan tujuan khusus penelitian dan pengembangan, pemantauan dan evaluasi kegiatan penelitian yang dilakukan oleh asing, provinsi dan kabupaten/kota.
Koordinasi dan penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan di tingkat provinsi dan/atau yang memiliki dampak antar kabupaten/kota dan pemberian perizinan penelitian pada hutan produksi dan hutan lindung yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus skala provinsi.
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan di tingkat kabupaten/kota dan pemberian perizinan penelitian pada hutan produksi serta hutan lindung yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus skala kabupaten/kota.
Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional kehutanan serta akreditasi lembaga diklat kehutanan.
Pelaksanaan diklat teknis dan fungsional kehutanan skala provinsi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 57. Penyuluhan Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan penyuluhan kehutanan.
Penguatan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan skala provinsi.
Penguatan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengendalian Bidang Kehutanan 1. Koordinasi, bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala nasional.
Koordinasi, bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala provinsi.
Bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala kabupaten/kota.
Pengawasan Bidang Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan pengawasan terhadap tugas dekonsentrasi dan pembantuan, pinjaman dan hibah luar negeri serta efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang kehutanan.
Pengawasan terhadap efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan oleh kabupaten/kota dan kinerja penyelenggara provinsi serta penyelenggaraan oleh kabupaten/kota di bidang kehutanan.
Pengawasan terhadap efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan oleh desa/masyarakat, kinerja penyelenggara kabupaten/kota dan penyelenggaraan oleh desa/masyarakat di bidang kehutanan. BB. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Mineral, Batu Bara, Panas Bumi, dan Air Tanah 1. Penetapan kebijakan pengelolaan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah nasional.
Pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah.
Pembuatan dan penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria di bidang pengelolaan pertambangan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta kompetensi kerja pertambangan.
Ɇ 2. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah provinsi di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah.
Ɇ 1. Ɇ 2. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah kabupaten/kota di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan kriteria kawasan pertambangan dan wilayah kerja usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi setelah mendapat pertimbangan dan/atau rekomendasi provinsi dan kabupaten/kota.
Penetapan cekungan air tanah setelah mendapat pertimbangan provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah lintas provinsi.
Penyusunan data dan informasi usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi lintas kabupaten/kota.
Penyusunan data dan informasi cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.
Penyusunan data dan informasi wilayah kerja usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi skala kabupaten/kota.
Penyusunan data dan informasi cekungan air tanah skala kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pemberian izin usaha pertambangan mineral dan batubara, panas bumi, pada wilayah lintas provinsi dan di wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil laut.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi pada wilayah lintas provinsi dan di wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil.
Pembuatan dan penetapan klasifikasi, kualifikasi serta pedoman usaha jasa pertambangan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Ɇ 9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) serta yang mempunyai wilayah kerja lintas provinsi.
Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal.
Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN lintas kabupaten/kota.
Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal lintas kabupaten/kota.
Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN di wilayah kabupaten/kota.
Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi, pada wilayah lintas provinsi atau yang berdampak nasional dan di wilayah laut.
Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah lintas kabupaten/kota atau yang berdampak regional.
Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan Kuasa Pertambangan (KP) lintas provinsi, Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang diterbitkan berdasarkan Undang- Undang tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan.
Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KK dan PKP2B yang telah 14. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan KP lintas kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KP lintas kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan pengusahaan KP dalam wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KP dalam wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan.
Penetapan wilayah konservasi dan pencadangan sumber daya mineral, batubara dan panas bumi nasional serta air tanah.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut.
Penetapan wilayah konservasi air tanah lintas kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota. kabupaten/kota.
Penetapan wilayah konservasi air tanah dalam wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung dalam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Pengelolaan, pembinaan, dan pengawasan wilayah kerja KP dan kontrak kerja sama pengusahaan pertambangan panas bumi yang dikeluarkan sebelum diterbitkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi yang berdampak nasional.
Penetapan kebijakan batasan produksi mineral, batubara dan panas bumi.
Penetapan kebijakan batasan pemasaran dan pemanfaatan mineral, batubara dan panas bumi.
Ɇ 19. Ɇ 20. Ɇ 18. Ɇ 19. Ɇ 20. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 21. Penetapan kebijakan kemitraan dan kerjasama serta pengembangan masyarakat dalam pengelolaan mineral, batubara dan panas bumi.
Perumusan dan penetapan tarif iuran tetap dan iuran produksi mineral, batubara dan panas bumi.
Penetapan kebijakan pemanfaatan dan penggunaan dana pengembangan batubara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Ɇ 22. Ɇ 23. Ɇ 21. Ɇ 22. Ɇ 23. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 24. Penetapan pedoman nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan lintas negara.
Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan Sistem Informasi Geografis (SIG) wilayah kerja pertambangan nasional.
Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara nasional.
Penetapan nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.
Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan SIG wilayah kerja pertambangan di wilayah provinsi.
Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara di wilayah provinsi.
Penetapan nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah dalam wilayah kabupaten/ kota.
Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan SIG wilayah kerja pertambangan di wilayah kabupaten/kota.
Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 27. Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota.
Geologi 1. Penetapan kebijakan nasional bidang geologi.
Pelaksanaan pemetaan geologi dan peta tematik, inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, panas bumi, migas, air tanah nasional dan kawasan pengembangan yang bersifat strategis serta pelaksanaan eksplorasi panas bumi.
Penetapan kawasan karst dan kawasan lindung geologi nasional.
Ɇ 2. Pelaksanaan inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, batubara, panas bumi, migas dan air tanah pada wilayah provinsi.
Pelaksanaan inventarisasi kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah provinsi.
Ɇ 2. Pelaksanaan inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, batubara, panas bumi, migas dan air tanah pada wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan inventarisasi kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan kriteria pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi.
Penetapan pedoman, kriteria norma, standar, prosedur geologi, lingkungan geologi, geologi teknik, kebencanaan dan kawasan lingkungan geologi.
Pelaksanaan inventarisasi geologi, lingkungan geologi, geologi teknik, kebencanaan dan kawasan lingkungan geologi secara nasional dan kawasan pengembangan strategis.
Penetapan zonasi pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.
Penetapan pengelolaan lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi di wilayah lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan inventarisasi lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi pada wilayah provinsi.
Penetapan zonasi pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah kabupaten/kota.
Penetapan pengelolaan lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan inventarisasi lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penetapan kebijakan dan pengaturan mitigasi bencana geologi serta pedoman pengelolaan kawasan lindung geologi dan kawasan rawan bencana.
Inventarisasi, pemetaan, pemeriksaan, pemantauan, penyelidikan dan penelitian, dan kawasan rawan bencana geologi daerah vital serta strategis dan/atau memiliki dampak nasional.
Pemberian peringatan dini bencana gunung api dan gempa bumi/tsunami dan penetapan langkah- langkah mitigasi untuk bencana geologi.
Pelaksanaan kebijakan mitigasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.
Inventarisasi dan pengelolaan, kawasan rawan bencana geologi pada wilayah provinsi dan/atau memiliki dampak lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan koordinasi mitigasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan mitigasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota.
Inventarisasi dan pengelolaan, kawasan rawan bencana geologi, pada wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan koordinasi mitigasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Pengelolaan data dan informasi bencana geologi.
Pembinaan tenaga fungsional penyelidik bumi nasional dan pengamat gunung api.
Pengelolaan data dan informasi geologi nasional.
Pengelolaan informasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan pembinaan fungsional penyelidik bumi nasional pada wilayah provinsi.
Pengelolaan data dan informasi geologi pada wilayah provinsi.
Pengelolaan informasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pembinaan fungsional penyelidik bumi nasional pada wilayah kabupaten/kota.
Pengelolaan data dan informasi geologi pada wilayah kabupaten/kota.
Ketenagalistrikan 1. Penetapan kebijakan pengelolaan energi dan ketenagalistrikan nasional.
Penetapan peraturan perundang-undangan di bidang energi dan ketenagalistrikan.
Ɇ 2. Penetapan peraturan daerah provinsi di bidang energi dan ketenagalistrikan.
Ɇ 2. Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota di bidang energi dan ketenagalistrikan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan pedoman, standar dan kriteria pengelolaan energi dan ketenagalistrikan.
Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan Jaringan Transmisi Nasional (JTN).
Pemberian izin usaha ketenagalistrikan yang dilakukan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK).
Ɇ 4. Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) regional.
Ɇ 3. Ɇ 4. Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) kabupaten/kota.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemberian Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum (IUKU) yang sarana maupun energi listriknya lintas provinsi dan usaha penyediaan tenaga listrik yang terhubung ke dalam JTN.
Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen PKUK dan pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh pemerintah.
Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada PKUK dan pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah.
Pemberian IUKU yang sarana maupun energi listriknya lintas kabupaten/kota.
Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh provinsi.
Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh provinsi.
Pemberian IUKU yang sarana maupun energi listriknya dalam kabupaten/kota.
Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh kabupaten/kota.
Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pemberian Izin Usaha penyediaan tenaga listrik untuk Kepentingan Sendiri (IUKS) yang sarana instalasinya mencakup lintas provinsi.
Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada PKUK dan pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah.
Pemberian izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan usaha asing/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal asing.
Pemberian IUKS yang sarana instalasinya mencakup lintas kabupaten/kota.
Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh provinsi.
Ɇ 9. Pemberian IUKS yang sarana instalasinya dalam kabupaten/kota.
Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh kabupaten/kota.
Pemberian izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan usaha dalam negeri/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal dalam negeri. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan sertifikasi bidang ketenagalistrikan dan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah.
Penetapan kebijakan dan penyediaan listrik pedesaan secara nasional.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional.
Penetapan pedoman, standar dan kriteria penerangan jalan umum.
Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya diberikan oleh provinsi.
Koordinasi dan penyediaan listrik pedesaan pada wilayah regional.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.
Ɇ 12. Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya diberikan oleh kabupaten/kota.
Penyediaan listrik pedesaan di wilayah kabupaten/kota.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas) 1. Penetapan mekanisme penyampaian laporan produksi penghitungan (lifting) bagian daerah.
Penetapan wilayah kerja kontrak kerja sama bidang minyak dan gas bumi.
Penetapan standar dan norma untuk izin pembukaan kantor perwakilan perusahaan.
Penghitungan produksi dan realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi bersama pemerintah.
Pemberian rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain di luar kegiatan migas pada lintas kabupaten/kota.
Ɇ 1. Penghitungan produksi dan realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi bersama pemerintah.
Pemberian rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain di luar kegiatan migas pada wilayah kabupaten/kota.
Pemberian izin pembukaan kantor perwakilan perusahaan di sub sektor migas.
Minyak dan Gas Bumi 2. Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi 1. Pemberian izin usaha pada kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi, yang terdiri dari kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga.
Pengawasan jumlah armada pengangkut Bahan Bakar Minyak (BBM) di daerah provinsi yang meliputi jumlah armada dan kapasitas pengangkutan BBM.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ 2. Inventarisasi jumlah badan usaha kegiatan hilir yang beroperasi di daerah provinsi.
Penetapan harga bahan bakar minyak jenis minyak tanah pada tingkat konsumen rumah tangga dan usaha kecil.
Pengawasan pencantuman Nomor Pelumas Terdaftar (NPT) pada pelumas yang beredar di pasaran sesuai peraturan perundang-undangan.
Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Ɇ 6.a.Pengaturan dan pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian BBM di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ɇ 5. Koordinasi pengawasan pengendalian pendistribusian dan tata niaga bahan bakar minyak dari agen dan pangkalan dan sampai konsumen di wilayah provinsi.
a.Pemantauan dan inventarisasi penyediaan, penyaluran dan kualitas harga BBM serta melakukan analisa dan evaluasi terhadap kebutuhan/penyediaan BBM lintas kabupaten/kota.
Ɇ 5. Pengawasan pengendalian pendistribusian dan tata niaga bahan bakar minyak dari agen dan pangkalan dan sampai konsumen akhir di wilayah kabupaten/kota.
a.Pemantauan dan inventarisasi penyediaan, penyaluran dan kualitas harga BBM serta melakukan analisa dan evaluasi terhadap kebutuhan/penyediaan BBM di wilayah kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi lokasi pendirian kilang dan tempat penyimpanan migas. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ c. Ɇ c.Pemberian izin lokasi pendirian Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU).
Kegiatan Usaha Jasa Penunjang Minyak dan Gas Bumi 1. Pemberian rekomendasi Pembelian dan Penggunaan (P2) dan Pemilikan Penguasaan dan Penyimpanan (P3) bahan peledak untuk kegiatan migas.
Pemberian rekomendasi pendirian gudang bahan peledak dalam rangka kegiatan usaha migas di daerah operasi daratan dan di daerah operasi paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Pemberian rekomendasi pendirian gudang bahan peledak dalam rangka kegiatan usaha migas di daerah operasi daratan dan di daerah operasi pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha penunjang migas.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional.
Pengawasan terhadap kegiatan usaha perusahaan jasa penunjang minyak dan gas bumi untuk bidang usaha jasa penyediaan komoditi dan jasa boga dan bidang usaha jasa penyediaan material dan peralatan termasuk pelayanan purna jual yang berdomisili di provinsi yang bersangkutan.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.
Ɇ 3. Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) 1. Penetapan pedoman dan standar penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.
Penetapan pedoman akreditasi bagi lembaga diklat penyelenggara diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.
Penetapan standar kurikulum berbasis kompetensi diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.
Ɇ 2. Pengusulan lembaga diklat provinsi agar terakreditasi sebagai penyelenggara pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.
Ɇ 1. Ɇ 2. Ɇ 3. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Fasilitasi penyelenggaraan assessment melalui lembaga assessment Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dinas daerah provinsi/kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis untuk kepala dinas provinsi dan kabupaten/kota yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral.
Penyertaan dan atau memfasilitasi penyelenggaraan assessment bekerjasama dengan lembaga assessment DESDM.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis untuk kepala sub dinas kabupaten/kota dan kepala seksi dinas kabupaten/kota yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral setelah lembaga diklat terakreditasi.
Penyertaan dan atau memfasilitasi penyelenggaraan assessment bekerjasama dengan lembaga assessment DESDM.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis sektor energi dan sumber daya mineral bagi perangkat daerah yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis sektor energi dan sumber daya mineral bagi perangkat daerah yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral berdasarkan pedoman dan standar penyelenggaraan, kurikulum/silabus dan lembaga diklat terakreditasi.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan fungsional tertentu untuk pengangkatan pertama kali dan jenjang madya inspektur tambang/ minyak dan gas bumi/ ketenagalistrikan/ penyelidik bumi.
Pemberian bimbingan dan konsultasi diklat teknis dan fungsional tertentu di sektor energi dan sumber daya mineral lingkup nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan fungsional tertentu untuk pengangkatan pertama kali dan jenjang muda inspektur tambang/ minyak dan gas bumi/ ketenagalistrikan/ penyelidik bumi berdasarkan pedoman dan standar penyelenggaraan, kurikulum/silabus dan lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) terakreditasi.
Pemberian bimbingan dan konsultasi diklat teknis dan fungsional tertentu di sektor energi dan sumber daya mineral lingkup provinsi dan kabupaten/kota.
Ɇ 8. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Koordinasi penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala nasional.
Pembinaan dan pemantauan dan evaluasi lembaga diklat daerah dalam penyelenggaraan diklat sektor ESDM.
Koordinasi penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala provinsi.
Ɇ 9. Penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala kabupaten/kota.
Ɇ CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kelautan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut nasional, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan landas kontinen serta sumberdaya alam yang ada di bawahnya meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian dan pengawasan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya alam yang ada di dalamnya.
Penetapan kebijakan, norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut nasional, ZEEI dan landas kontinen.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan terpadu sumberdaya laut antar daerah.
Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya alam di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut kewenangan provinsi dan pemberian informasi apabila terjadi pelanggaran di luar batas kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan terpadu dan pemanfaatan sumberdaya laut antar kabupaten/kota dalam wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya alam di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota dan pemberian informasi apabila terjadi pelanggaran di luar batas kewenangan kabupaten/kota.
Koordinasi pengelolaan terpadu dan pemanfaatan sumberdaya laut di wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan masyarakat pesisir.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyerasian riset kelautan meliputi riset, survei dan eksplorasi sumberdaya hayati dan non hayati, teknologi dan pengembangan jasa kelautan.
Pelaksanaan kebijakan perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir antar kabupaten/kota dalam wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi penyerasian riset kelautan di wilayah kewenangan laut provinsi dalam rangka pengembangan jasa kelautan.
Pelaksanaan dan koordinasi perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut.
Pemberdayaan masyarakat pesisir di wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan sistem perencanaan dan pemetaan serta riset potensi sumberdaya dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam kelautan termasuk benda berharga dari kapal tenggelam.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam hayati dan perairan laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kapasitas kelembagaan dan Sumberdaya Manusia (SDM) bidang kelautan dan perikanan.
Pelaksanaan pengawasan pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam berdasarkan wilayah kewenangannya dengan pemerintah dan kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM di bidang kelautan dan perikanan.
Pelaksanaan koordinasi pengawasan dan pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam berdasarkan wilayah kewenangannya dengan pemerintah dan provinsi.
Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM di bidang kelautan dan perikanan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria batas-batas wilayah maritim yang meliputi batas-batas wilayah laut pengelolaan daerah dan batas-batas wilayah laut antar negara.
Pengesahan pemberlakuan perjanjian internasional di bidang kelautan.
Penetapan dan pelaksanaan kebijakan reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut dalam kewenangan provinsi.
Pelaksanaan koordinasi dalam hal pengaturan batas-batas wilayah maritim yang berbatasan dengan wilayah antar negara di perairan laut dalam kewenangan provinsi.
— 12. Pelaksanaan kebijakan reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut dalam kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan koordinasi dan kerjasama dengan daerah lain terutama dengan wilayah yang berbatasan dalam rangka pengelolaan laut terpadu.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemetaan potensi wilayah dan sumberdaya kelautan nasional.
Pengharmonisasian peraturan pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan wilayah laut di luar 12 (dua belas) mil.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya.
Pelaksanaan dan koordinasi pemetaan potensi sumberdaya kelautan di wilayah perairan laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan penyerasian dan pengharmonisasian pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan wilayah laut di dalam kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya.
Pelaksanaan pemetaan potensi sumberdaya kelautan di wilayah perairan laut kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan penyerasian dan pengharmonisasian pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan wilayah laut di dalam kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 19. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria jenis ikan yang dilindungi.
Pelaksanaan kebijakan rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya antar kabupaten/kota di wilayah laut provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi penetapan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia.
Pelaksanaan dan koordinasi penetapan jenis ikan yang dilindungi.
Pelaksanaan koordinasi antar kabupaten/kota dalam hal pelaksanaan rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya.
Pelaksanaan penetapan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia.
Pelaksanaan perlindungan jenis ikan yang dilindungi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 22. Pelaksanaan mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi.
Pelaksanaan dan koordinasi mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan koordinasi pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan koordinasi pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 25. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyusunan zonasi dan tata ruang perairan di wilayah laut nasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah laut nasional.
Pelaksanaan koordinasi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya di wilayah provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi penyusunan zonasi dan tata ruang perairan dalam wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi penyusunan zonasi dan tata ruang perairan dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 28. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian tata ruang laut nasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan di perairan laut nasional dan ZEEI.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi sumberdaya pesisir, pulau-pulau kecil dan laut.
Perencanaan, pemanfaatan pengawasan dan pengendalian tata ruang laut wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan kewenangan provinsi.
Rehabilitasi sumberdaya pesisir, pulau-pulau kecil dan laut di wilayah kewenangan provinsi.
Perencanaan, pemanfaatan pengawasan dan pengendalian tata ruang laut wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan kewenangan kabupaten/kota.
Rehabilitasi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengalami kerusakan (kawasan mangrove, lamun dan terumbu karang). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Umum 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria dan pelaksanaan perkarantinaan ikan domestik dan internasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan skala nasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan.
Perencanaan pembangunan perikanan skala nasional.
— 2. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan provinsi.
Koordinasi penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan skala provinsi.
Perencanaan pembangunan perikanan skala provinsi.
— 2. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Koordinasi penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan skala kabupaten/kota.
Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perikanan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan dan fasilitasi teknis.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pola kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pelaksanaan kerjasama internasional di bidang perikanan skala nasional.
Bimbingan teknis pelaksanaan standarisasi, akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan.
Bimbingan teknis kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan antar kabupaten/kota.
Penyusunan zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan dalam wilayah provinsi.
Penyusunan rencana dan pelaksanaan kerjasama internasional bidang perikanan skala provinsi.
Pelaksanaan teknis standarisasi, akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan.
Pelaksanaan kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan dalam wilayah kabupaten/kota.
Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan penyusunan zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan dalam wilayah kabupaten/kota.
Penyusunan rencana dan pelaksanaan kerjasama internasional bidang perikanan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pengembangan sistem, pengumpulan, analisis, penyajian dan penyebaran data informasi statistik perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Bimbingan dan pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data dan statistik serta informasi bidang perikanan di wilayah laut kewenangan provinsi.
Peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan pengembangan wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil.
Pelaksanaan sistem informasi perikanan di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan bimbingan teknis dalam peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan di wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan.
Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.
Koordinasi pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah perairan kewenangan provinsi.
Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.
Pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah perairan kabupaten/kota.
Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.
Perikanan Tangkap 1. Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut di luar 12 mil.
Estimasi stok ikan nasional dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB).
Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut kewenangan provinsi.
Koordinasi dan pelaksanaan estimasi stok ikan di wilayah perairan kewenangan provinsi.
Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Koordinasi dan pelaksanaan estimasi stok ikan di wilayah perairan kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar provinsi.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan.
Pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan nasional termasuk ZEEI dan landas kontinen.
Fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan kewenangan provinsi.
Dukungan pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan wilayah kewenangan provinsi.
— 4. Pelaksanaan dan koordinasi perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan kewenangan kabupaten/kota.
Dukungan pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan berukuran di atas 30 GT dan di bawah 30 GT yang menggunakan tenaga kerja asing.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan pemerintah.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria usaha perikanan tangkap.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan nelayan kecil.
Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan berukuran di atas 10 GT sampai dengan 30 GT serta tidak menggunakan tenaga kerja asing.
Penetapan kebijakan dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan usaha perikanan tangkap dalam wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan nelayan kecil.
Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan sampai dengan 10 GT serta tidak menggunakan tenaga kerja asing.
Penetapan kebijakan dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan usaha perikanan tangkap dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan nelayan kecil. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap.
a.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan.
Pelaksanaan kebijakan peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap kewenangan provinsi.
a.Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap kewenangan kabupaten/kota.
a.Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 13. Pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria operasional dan penempatan Syahbandar di pelabuhan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan kapal perikanan.
Ɇ 13. Dukungan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain.
— 15. Pelaksanaan kebijakan pembangunan kapal perikanan.
Pengelolaan dan penyelenggaraan pelelangan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
Dukungan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain.
— 15. Pelaksanaan kebijakan pembangunan kapal perikanan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16. Pelaksanaan pendaftaran kapal perikanan di atas 30 GT.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembuatan alat penangkapan ikan.
Pemberian persetujuan pengadaan, pembangunan dan pemasukan kapal perikanan dari luar negeri (impor).
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria produktivitas kapal penangkap ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan.
Pendaftaran kapal perikanan di atas 10 GT sampai dengan 30 GT.
Pelaksanaan kebijakan pembuatan alat penangkap ikan.
— 19. Dukungan dalam penetapan kebijakan produktivitas kapal penangkap ikan.
Pelaksanaan kebijakan penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan.
Pendaftaran kapal perikanan sampai dengan 10 GT.
Pelaksanaan kebijakan pembuatan alat penangkap ikan.
— 19. Dukungan dalam penetapan kebijakan produktivitas kapal penangkap ikan.
Pelaksanaan kebijakan penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 21. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemeriksaan fisik kapal perikanan serta pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal perikanan berukuran di atas 30 GT.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut nasional.
Pelaksanaan kebijakan pemeriksaaan fisik kapal perikanan berukuran di atas 10 GT sampai dengan 30 GT.
Pelaksanaan kebijakan dan standarisasi kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan yang menjadi kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pemeriksaan fisik kapal perikanan berukuran sampai dengan 10 GT.
Pelaksanaan kebijakan dan standarisasi kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 24. Rekayasa dan teknologi penangkapan ikan. 24. Dukungan rekayasa dan pelaksanaan teknologi penangkapan ikan.
Dukungan rekayasa dan pelaksanaan teknologi penangkapan ikan.
Perikanan Budidaya 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria mutu benih/induk ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria balai benih ikan air tawar, air payau dan laut.
Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut.
Pelaksanaan kebijakan mutu benih/induk ikan.
Pelaksanaan kebijakan, pembangunan dan pengelolaan balai benih ikan air tawar, air payau dan laut.
Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut.
Pelaksanaan kebijakan mutu benih/induk ikan.
Pelaksanaan kebijakan, pembangunan dan pengelolaan balai benih ikan air tawar, air payau dan laut. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan.
Pelaksanaan kebijakan akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan.
Pelaksanaan kebijakan akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan.
Penetapan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam.
Pelaksanaan kebijakan rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan.
Pelaksanaan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan.
Pelaksanaan teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam.
Pelaksanaan kebijakan rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan.
Pelaksanaan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan.
Pelaksanaan teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan usaha perikanan serta penerbitan Izin Usaha Perikanan (IUP) di bidang pembudidayaan ikan menggunakan tenaga kerja asing.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembudidayaan ikan dan perlindungannya.
Pelaksanaan kebijakan perizinan dan penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang tidak menggunakan tenaga kerja asing di wilayah provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan dan perlindungannya.
Pelaksanaan kebijakan perizinan dan penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang tidak menggunakan tenaga kerja asing di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan dan perlindungannya SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria wabah dan wilayah wabah penyakit ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria sistem informasi benih ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknologi pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan.
Koordinasi dan pelaksanaan sistem informasi benih ikan lintas kabupaten/kota.
Koordinasi dan pelaksanaan teknologi pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan.
Pelaksanaan sistem informasi benih ikan di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan teknologi pembudidayaan ikan spesifik lokasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria keramba jaring apung.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan keramba jaring apung di perairan umum lintas kabupaten/kota dan wilayah laut kewenangan provinsi.
Pemberian bimbingan, pemantauan dan pemeriksaan higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan.
Pembinaan dan pengembangan kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan keramba jaring apung di perairan umum dan wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengawasan dan Pengendalian 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan dan perlindungan plasma nutfah perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan perbenihan, pembudidayaan ikan dan sistem pengendalian hama dan penyakit ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan, pemantauan dan pengawasan lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan mutu benih dan induk, pakan ikan, obat ikan dan bahan bakunya.
Pengawasan pemanfaatan dan perlindungan plasma nutfah perikanan.
Pengawasan perbenihan, pembudidayaan ikan dan sistem pengendalian hama dan penyakit ikan.
Pembinaan, pemantauan dan pengawasan lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Pengawasan mutu benih dan induk, pakan ikan, obat ikan dan bahan bakunya.
Pengawasan pemanfaatan dan perlindungan plasma nutfah perikanan.
Pengawasan perbenihan, pembudidayaan ikan dan sistem pengendalian hama dan penyakit ikan.
Pembinaan, pemantauan dan pengawasan lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Pengawasan mutu benih dan induk, pakan ikan, obat ikan dan bahan bakunya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan Penerapan Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) atau Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) di unit pengolahan hasil perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan mutu ekspor hasil perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau-pulau kecil.
Pengawasan PMMT atau HACCP di unit pengolahan hasil perikanan.
Pengawasan mutu ekspor hasil perikanan.
Koordinasi pelaksanaan pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau- pulau kecil di wilayah kewenangan provinsi.
Pengawasan PMMT atau HACCP di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan.
Pemantauan mutu ekspor hasil perikanan.
Pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau- pulau kecil di wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut 8. Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pengolahan dan Pemasaran 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan dan pengelolaan pusat pemasaran ikan.
a.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi pengawasan mutu dan pengolahan hasil perikanan.
Pelaksanaan kebijakan pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya.
Pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan pusat pemasaran ikan.
a.Pelaksanaan kebijakan penerbitan sertifikat kesehatan dan/atau sertifikat mutu terhadap produk perikanan dalam rangka jaminan mutu dan jaminan pangan.
Pelaksanaan kebijakan pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya.
Pembangunan, perawatan dan pengelolaan pasar ikan.
a.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Pembinaan pengujian mutu secara laboratoris terhadap produk hasil perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan dan pengelolaan laboratorium pengujian dan pengolahan mutu hasil perikanan.
Pelaksanaan pengujian mutu secara laboratoris terhadap produk hasil perikanan.
Pelaksanaan kebijakan pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP.
Pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan laboratorium pengujian dan pengolahan mutu hasil perikanan.
— 4. Pelaksanaan pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan.
Bimbingan pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup.
Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan.
Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup.
Pelaksanaan kebijakan investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan.
Pelaksanaan kebijakan perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyuluhan dan Pendidikan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan di bidang kelautan dan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyuluhan kelautan dan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan serta penyelenggaraan diklat fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan bidang kelautan dan perikanan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan penyuluhan kelautan dan perikanan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan serta penyelenggaraan diklat fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan bidang kelautan dan perikanan di kabupaten/kota.
Pelaksanaan penyuluhan kelautan dan perikanan di kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan di kabupaten/kota. DD. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERDAGANGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perdagangan Dalam Negeri 1. Penetapan pedoman serta pembinaan dan pengawasan pemberian izin usaha perdagangan (SIUP).
Penetapan pedoman dan fasilitasi serta pemberian izin perdagangan jasa bisnis (survey, broker, properti), jasa distribusi (waralaba, penjualan langsung, keagenan/distributor, perwakilan perusahaan perdagangan asing) dan jasa lainnya di bidang perdagangan tertentu.
Pembinaan dan pengawasan dalam pelaksanaan pemberian izin usaha perdagangan.
Pembinaan dan pengawasan perdagangan jasa bisnis, jasa distribusi dan jasa lainnya di bidang perdagangan di wilayah provinsi.
Pemberian izin usaha perdagangan di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin/pendaftaran jasa bisnis dan jasa distribusi di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi, serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala nasional (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk Importir, Distributor dan Subdistributor, SIUP Bahan Berbahaya untuk Distributor, Pengakuan Pedagang Gula dan Kayu antar Pulau, serta komoditi lain yang akan ditetapkan sebagai barang yang perdagangannya diawasi atau diatur tataniaganya).
Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala provinsi (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk Toko Bebas Bea, SIUP Bahan Berbahaya untuk Pengecer dan Rekomendasi SIUP Minuman Beralkohol untuk Distributor dan Subdistributor, Rekomendasi SIUP Bahan Berbahaya untuk Distributor).
Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala kabupaten/kota (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk Pengecer, Penjualan Langsung untuk diminum di tempat, Pengecer dan Penjualan Langsung untuk diminum di tempat untuk Minuman Beralkohol mengandung Rempah sampai dengan 15%, Rekomendasi SIUP Bahan Berbahaya, Rekomendasi Pengakuan Pedagang Kayu antar Pulau). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pedoman, pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM), koordinasi, pengendalian, pengawasan penyelenggaraan dan penyajian informasi wajib daftar perusahaan skala nasional.
Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta fasilitasi kegiatan perdagangan di wilayah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar.
Koordinasi, pengendalian, pengawasan, pelaporan dan penyajian informasi hasil penyelenggaraan wajib daftar perusahaan skala provinsi.
Koordinasi, dukungan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan, fasilitasi, monitoring dan evaluasi kegiatan perdagangan di wilayah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar di provinsi.
Pengawasan, pelaporan pelaksanaan dan penyelenggaraan serta penyajian informasi pelaksanaan wajib daftar perusahaan skala kabupaten/kota.
Dukungan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan perdagangan di daerah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan pedoman pembinaan dan pengawasan, pemberian izin, monitoring, evaluasi; pemberian izin sarana perdagangan (pasar/toko modern) dan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) tertentu skala nasional dan internasional.
Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga.
Koordinasi, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi sarana perdagangan (pasar/toko modern dan gudang) dan persetujuan penyelenggaraan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) skala nasional.
Penyelenggaraan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga di provinsi.
Pembinaan dan pengawasan, pemberian izin dan rekomendasi skala tertentu, monitoring dan evaluasi sarana perdagangan (pasar/toko modern dan gudang) dan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) skala lokal.
Penyelenggaraan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala nasional.
Penetapan pedoman dan petunjuk teknis pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen.
Pelayanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala nasional.
Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala provinsi.
Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen di provinsi.
Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen.
Pelayanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala provinsi.
Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala kabupaten/kota.
Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen di kabupaten/kota.
Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen.
Pelayanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12.Pembinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen Skala Nasional.
Fasilitasi operasional Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
Fasilitasi pembentukan Perwakilan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (PBPKN) provinsi.
Penetapan kebijakan dan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Pembinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen skala provinsi.
— 14.Koordinasi pembentukan dan fasilitasi operasional PBPKN provinsi.
Koordinasi pembentukan BPSK dengan kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Pembinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen skala kabupaten/kota.
— 14.— 15.Pengusulan pembentukan BPSK di kabupaten/kota kepada pemerintah berkoordinasi dengan provinsi dan fasilitasi operasional BPSK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16.Penetapan kebijakan dan petunjuk teknis pembinaan Lembaga Pemberdayaan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
Koordinasi dan kerjasama internasional serta lintas sektoral dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Pengkajian dan evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Penetapan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis dan atau tatacara pengawasan barang beredar dan jasa.
Koordinasi kegiatan LPKSM dengan kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait skala provinsi dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Koordinasi evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Pelaksanaan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis pengawasan barang beredar dan jasa.
Pendaftaran dan pengembangan LPKSM.
Koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait skala kabupaten/kota dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Pelaksanaan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis pengawasan barang beredar dan jasa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20.Pembinaan dan pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala nasional.
Koordinasi pengawasan barang beredar dan jasa skala nasional.
Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala nasional.
Pembinaan dan pemberdayaan Petugas Pengawas Barang Beredar dan Jasa (PPBJ) skala nasional.
Pembinaan dan pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pengawasan barang beredar dan jasa skala provinsi.
Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala provinsi.
Pembinaan dan pemberdayaan PPBJ skala provinsi.
Pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan pengawasan barang beredar dan jasa skala kabupaten/kota.
Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan pemberdayaan PPBJ skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 24.Pembinaan dan pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK) skala nasional.
Penetapan dan penyelenggaraan pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala nasional.
Pembinaan dan pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Wajib Daftar Perusahaan (PPNS- WDP) skala nasional.
Pembinaan dan pemberdayaan PPNS-PK skala provinsi.
Koordinasi, penyelenggaraan dan pelaporan pemberian rekomendasi atas pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala provinsi.
Pembinaan dan pemberdayaan PPNS-WDP skala provinsi.
Pembinaan dan pemberdayaan PPNS-PK skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan, pelaporan dan rekomendasi atas pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan pemberdayaan PPNS- WDP skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 27.Penetapan pedoman dan fasilitasi sistem informasi perdagangan, dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala nasional.
Fasilitasi dan pelaporan pelaksanaan sistem informasi perdagangan dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala provinsi.
Pelaksanaan dan pelaporan sistem informasi perdagangan dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala kabupaten/kota.
Metrologi Legal 1. Penetapan dan pembinaan sistem metrologi legal.
Pembinaan dan pengembangan SDM metrologi legal.
Pembinaan dan pengendalian pembangunan metrologi legal skala provinsi.
Fasilitasi, koordinasi, penyelenggaraan, pengawasan dan pengendalian SDM metrologi skala provinsi.
Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan metrologi legal setelah memperoleh penilaian dari pemerintah yang didasarkan rekomendasi provinsi.
Fasilitasi dan pembinaan serta pengendalian SDM metrologi skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a.Pengelolaan dan penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal.
Ɇ c. Ɇ 4. Pelaksanaan kegiatan metrologi legal yang memerlukan penanganan khusus.
a.Koordinasi, rekomendasi penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal kabupaten/kota.
Pelaksanaan verifikasi standar satuan ukuran milik provinsi dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan interkomparasi skala provinsi.
Koordinasi dan pelaksanaan kegiatan tera dan tera ulang alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya (UTTP) di wilayah kabupaten/kota.
a.Fasilitasi standar ukuran dan laboratorium metrologi legal.
Ɇ c. Ɇ 4. Pelayanan tera dan tera ulang UTTP setelah melalui penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal oleh pemerintah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penyelenggaraan kerjasama internasional metrologi legal.
Fasilitasi penyuluhan dan pengamatan UTTP, Barang Dalam Kemasan Terbungkus (BDKT) dan Satuan Internasional (SI).
Pembinaan dan penerbitan izin tipe UTTP, izin tanda pabrik UTTP.
Fasilitasi dan penyelenggaraan kerjasama metrologi legal skala provinsi.
Fasilitasi dan penyelenggaraan penyuluhan dan pengamatan UTTP, BDKT dan SI.
Koordinasi dan pembinaan pembuat UTTP, importir UTTP dan merekomendasikan pelaksanaan permohonan izin tipe dan izin tanda pabrik serta menerbitkan perpanjangan izin tanda pabrik dan izin reparatir UTTP.
Fasilitasi penyelenggaraan kerjasama metrologi legal skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan penyuluhan dan pengamatan UTTP, BDKT dan SI.
Pembinaan operasional reparatir UTTP. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Pengawasan dan penyidikan tindak pidana Undang- Undang Metrologi Legal (UUML).
Penetapan dan pembinaan sistem metrologi legal untuk pemerintah daerah khusus yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang- undangan.
Pengawasan dan penyidikan tindak pidana UUML.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang ditunjuk secara khusus oleh undang-undang maka koordinasi, fasilitasi dan penyelenggaraan metrologi legal menjadi urusan provinsi.
Pengawasan dan penyidikan tindak pidana UUML.
— 3. Perdagangan Luar Negeri 1. Penetapan kebijakan dan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang ekspor meliputi:
Barang yang diatur ekspornya;
Barang yang diawasi ekspornya;
Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang ekspor.
Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang ekspor. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Barang yang dilarang ekspornya.
Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan bidang ekspor meliputi:
Barang yang diatur ekspornya;
Barang yang diawasi ekspornya;
Barang yang dilarang ekspornya.
Penetapan kebijakan dan pedoman pelaksanaan bidang impor meliputi:
Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala provinsi.
Monitoring dan pelaporan pelaksanaan kebijakan bidang ekspor.
Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan bidang impor.
Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala kabupaten/kota.
Monitoring dan pelaporan pelaksanaan kebijakan bidang ekspor.
Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan bidang impor. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Barang yang diatur tata niaganya;
Barang yang dilarang impornya.
Pelaksanaan kebijakan bidang impor meliputi:
Barang yang diatur tata niaganya;
Barang yang dilarang impornya.
Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang impor skala nasional.
Pengawasan dan pengendalian mutu barang meliputi:
Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang impor.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan bidang impor skala provinsi.
Pengambilan contoh, pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi mutu barang meliputi:
Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang impor.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan bidang impor skala kabupaten/kota.
Pengambilan contoh, pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi mutu barang meliputi: SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Penetapan kebijakan dan mekanisme pengawasan untuk membuktikan kesesuaian barang terhadap standar;
Penelusuran teknis terhadap penilaian kesesuaian yang dilaksanakan oleh lembaga penguji, inspeksi teknis dan sertifikasi;
Registrasi terhadap lembaga penilaian kesesuaian.
Pengambilan contoh yang dilakukan oleh Petugas Pengambil Contoh (PPC) yang teregistrasi;
Pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi dilakukan oleh lembaga uji, inspeksi teknis, sertifikasi yang terakreditasi dan teregistrasi.
— a. Pengambilan contoh yang dilakukan oleh PPC yang teregistrasi;
Pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi dilakukan oleh lembaga uji, inspeksi teknis, sertifikasi yang terakreditasi dan teregistrasi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Pembinaan dan pengembangan SDM Penguji Mutu Barang (PMB) meliputi pengaturan, penentuan kriteria, uji kompetensi, registrasi, pendidikan dan latihan, penilaian dan penetapan angka kredit, bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi PMB.
Penetapan kebijakan, petunjuk pelaksanaan penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) barang ekspor, penunjukan instansi penerbitan SKA dan penelusuran asal barang, pelatihan dan sertifikasi petugas penandatangan SKA.
Penilaian dan pelaporan angka kredit PMB tingkat provinsi.
Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan penerbitan SKA dan penelusuran asal barang.
Penilaian dan pelaporan angka kredit PMB tingkat kabupaten/kota.
Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan penerbitan SKA dan penelusuran asal barang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10.Sosialisasi, evaluasi, penerbitan SKA dan penelusuran asal barang oleh daerah.
Penetapan kebijakan penerbitan Angka Pengenal Importir (API).
Sosialisasi kebijakan, monitoring dan evaluasi penerbitan API.
Sosialisasi, penerbitan dan pelaporan penerbitan SKA penelusuran asal barang di tingkat provinsi yang ditunjuk.
Penerbitan API.
Sosialisasi kebijakan dan pelaporan penerbitan API.
Sosialisasi, penerbitan dan pelaporan penerbitan SKA penelusuran asal barang di tingkat kabupaten/kota yang ditunjuk.
Penyediaan bahan masukan untuk penerbitan API.
Sosialisasi kebijakan dan pelaporan penerbitan API. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13.Penetapan kebijakan dan fasilitasi ekspor dan impor, sosialisasi, koordinasi pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Partisipasi dan penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional.
Sosialisasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kesepakatan.
Penyediaan bahan masukan, sosialisasi, fasilitasi, koordinasi pelaksanaan, monitoring dan pelaporan, penyediaan informasi potensi ekspor daerah sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan.
Penyediaan bahan masukan dalam rangka penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional.
Sosialisasi, monitoring dan evaluasi, pelaporan pelaksanaan kesepakatan skala provinsi.
Penyediaan bahan masukan, sosialisasi, fasilitasi, koordinasi pelaksanaan monitoring dan pelaporan, penyediaan informasi potensi ekspor daerah sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan.
Penyediaan bahan masukan dalam rangka penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional.
Sosialisasi, monitoring dan evaluasi, pelaporan pelaksanaan kesepakatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16.Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.
Fasilitasi pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.
Fasilitasi pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.
Kerjasama Perdagangan Internasional 1. Penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan multilateral.
Penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan regional seperti: kerjasama Association of South East Asian Nation (ASEAN), Asia Pasific Economic Conference (APEC), Asia Europe Meeting (ASEM), dan kerjasama ekonomi sub regional.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional dan koordinasi kerjasama ekonomi sub regional.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengaturan, penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan bilateral, seperti:
Free Trade Agreement (FTA);
Economic Partnership Agreement (EPA) ;
Comprehensive Trade and Economic Partnership (CTEP);
Comprehensive Economic Partnership (CEP);
Trade and Investment Framework (TIF);
Trade and Investment Council (TIC);
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan bilateral dan sosialisasi kerjasama perdagangan lintas batas.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan bilateral. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Trade and Investment Framework Agreement (TIFA);
Pengaturan, penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi pengamanan perdagangan meliputi: dumping , subsidi, dan safeguard .
Monitoring dan sosialisasi dumping , subsidi, dan safeguard .
Monitoring dan sosialisasi dumping , subsidi, dan safeguard. 5. Pengembangan Ekspor Nasional 1. Penetapan kebijakan bidang pengembangan ekspor secara nasional.
Pelaksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala nasional maupun internasional.
Penyediaan bahan kebijakan pengembangan ekspor skala provinsi.
Pelaksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala provinsi.
Penyediaan bahan kebijakan pengembangan ekspor skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Perdagangan Berjangka Komoditi, Alternatif Pembiayaan Sistem Resi Gudang, Pasar Lelang 1. Pembinaan, pengaturan dan pengawasan perdagangan berjangka komoditi.
Pembinaan, pengaturan dan pengawasan sistem resi gudang.
Pembinaan, pengaturan dan pengawasan penyelenggaraan pasar lelang.
Koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan berjangka komoditi.
Pembinaan komoditas dalam rangka memperoleh akses pembiayaan resi gudang.
Pembinaan, pengaturan dan pengawasan yang bersifat teknis terhadap penyelenggaraan dan pelaku pasar lelang skala provinsi.
Koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan berjangka komoditi.
Pembinaan komoditas dalam rangka memperoleh akses pembiayaan resi gudang.
Pembinaan, pengaturan dan pengawasan yang bersifat teknis terhadap penyelenggaraan dan pelaku pasar lelang skala kabupaten/kota. EE. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERINDUSTRIAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perizinan 1. Penetapan kebijakan Izin Usaha Industri (IUI) dan kawasan industri.
Penerbitan IUI bagi industri yang mengolah dan menghasilkan Bahan Beracun Berbahaya (B3), industri minuman beralkohol, industri teknologi tinggi yang strategis, industri kertas berharga, industri senjata dan amunisi.
Penerbitan IUI yang lokasinya lintas provinsi.
Penerbitan izin kawasan industri yang lokasinya lintas provinsi.
— 2. Penerbitan IUI skala investasi di atas Rp 10 milyar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Penerbitan rekomendasi IUI yang diterbitkan oleh pemerintah.
Penerbitan izin kawasan industri yang lokasinya lintas kabupaten/kota.
— 2. Penerbitan tanda daftar industri dan IUI skala investasi s/d Rp 10 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Penerbitan berita acara pemeriksaan dalam rangka penerbitan IUI oleh pemerintah dan provinsi.
Penerbitan izin usaha kawasan industri yang lokasinya di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Usaha Industri 1. Penetapan bidang usaha industri prioritas nasional, cabang industri yang penting dan strategis bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Penetapan pengelompokan bidang usaha industri atau skala usaha.
Penetapan bidang usaha industri yang terbuka dan tertutup untuk penanaman modal dan yang dicadangkan untuk industri kecil.
Penetapan bidang usaha industri prioritas provinsi.
— 3. — 1. Penetapan bidang usaha industri prioritas kabupaten/kota.
— 3. — 3. Fasilitas Usaha Industri 1. Penetapan kebijakan pemberian fasilitas/insentif fiskal dan moneter dalam rangka pengembangan industri tertentu.
Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan Industri Kecil Menengah (IKM).
— 2. Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan IKM di provinsi.
— 2. Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan IKM di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perlindung- an Usaha Industri 1. Perumusan kebijakan dan penetapan tarif bea masuk impor.
Perumusan dan penetapan kebijakan perlindungan bagi industri.
— 2. Pemberian perlindungan kepastian berusaha terhadap usaha industri lintas kabupaten/kota.
— 2. Pemberian perlindungan kepastian berusaha terhadap usaha industri di kabupaten/kota.
Perencana- an dan Program 1. Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri nasional.
Penyusunan Rencana Strategis (Renstra) di bidang industri.
Penyusunan rencana pembangunan tahunan industri nasional.
Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri provinsi.
Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) provinsi di bidang industri.
Penyusunan rencana kerja provinsi di bidang industri.
Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri kabupaten/kota.
Penyusunan RPJM SKPD kabupaten/kota di bidang industri.
Penyusunan rencana kerja kabupaten/kota di bidang industri. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemasaran 1. Penetapan kebijakan peningkatan pemasaran produk industri dalam negeri.
Promosi produk industri nasional.
— 2. Promosi produk industri provinsi .
— 2. Promosi produk industri kabupaten/kota.
Teknologi 1. Penetapan kebijakan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
— 1. — 2. Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri di provinsi.
Fasilitasi pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri termasuk lintas kabupaten/kota.
— 2. Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri di kabupaten/kota.
Fasilitasi pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
Standarisasi 1. Penetapan kebijakan standarisasi berdasarkan sistem standarisasi nasional.
Perumusan, fasilitasi penerapan dan pengawasan standar.
Kerjasama nasional, regional dan internasional bidang standarisasi.
— 2. Fasilitasi dan pengawasan terhadap penerapan standar yang akan dikembangkan di provinsi.
Kerjasama bidang standarisasi tingkat provinsi.
— 2. Fasilitasi dan pengawasan terhadap penerapan standar yang akan dikembangkan di kabupaten/kota.
Kerjasama bidang standarisasi tingkat kabupaten/kota.
Sumber Daya Manusia (SDM) 1. Penetapan kebijakan pembinaan dan pengembangan SDM industri dan aparatur pembina industri.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan standar kompetensi dan kurikulum pendidikan dan pelatihan (diklat) SDM industri dan aparatur pembina industri.
Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri lintas provinsi.
Penerapan standar kompetensi SDM industri dan aparatur pembina industri di provinsi.
Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri lintas kabupaten/kota.
Penerapan standar kompetensi SDM industri dan aparatur pembina industri di kabupaten/kota.
Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri di kabupaten/kota.
Permodalan 1. Perumusan kebijakan bantuan pendanaan untuk pemberdayaan industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank.
Fasilitasi akses permodalan bagi industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank di provinsi.
Fasilitasi akses permodalan bagi industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank di kabupaten/kota.
Lingkungan Hidup 1. Penetapan kebijakan pembinaan industri yang berwawasan lingkungan dan pengawasan pencemaran yang diakibatkan oleh industri.
Pemberian bantuan teknis kepada kabupaten/kota dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industri.
Pembinaan industri dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industri tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi kerjasama internasional di bidang industri yang terkait dengan lingkungan hidup.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembinaan industri bersih yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan.
Pengawasan terhadap pencemaran lingkungan yang diakibatkan kegiatan industri di kabupaten/kota.
Kerjasama Industri 1. Penetapan kebijakan untuk peningkatan kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya.
Penetapan pola kemitraan antara industri dengan sektor ekonomi lainnya.
Koordinasi dan fasilitasi kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya lintas kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi kerjasama pengembangan industri melalui pola kemitraan usaha lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya di kabupaten/kota.
Fasilitasi kerjasama pengembangan industri melalui pola kemitraan usaha di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan kebijakan kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional bidang industri.
Koordinasi dan fasilitasi kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional untuk pemberdayaan industri lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan hasil-hasil kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional untuk pemberdayaan industri di kabupaten/kota.
Kelembaga- an 1. Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat nasional dan internasional.
Penetapan kebijakan pengembangan lembaga pendukung/unit pelaksana teknis penelitian dan pengembangan (litbang), diklat dan pelayanan pada IKM.
Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat nasional dan membantu unit pelaksana teknis tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat provinsi.
— 3. Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat provinsi dan membantu unit pelaksana teknis tingkat kabupaten/kota.
Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat kabupaten/kota.
— 3. Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Sarana dan Prasarana 1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah-wilayah pusat pertumbuhan industri dan lokasi pembangunan industri termasuk kawasan industri dan sentra industri kecil.
Penyusunan tata ruang provinsi industri dalam rangka pengembangan pusat- pusat industri yang terintegrasi serta koordinasi penyediaan sarana dan prasarana (jalan, air, listrik, telepon, unit pengolahan limbah IKM) untuk industri yang mengacu pada tata ruang nasional.
Penyusunan tata ruang kabupaten/kota industri dalam rangka pengembangan pusat-pusat industri yang terintegrasi serta koordinasi penyediaan sarana dan prasarana (jalan, air, listrik, telepon, unit pengolahan limbah IKM) untuk industri yang mengacu pada tata ruang regional (provinsi).
Informasi Industri 1. Penetapan kebijakan informasi industri.
Penyusunan pedoman dan pengumpulan, analisis dan diseminasi data nasional bidang industri.
— 2. Pengumpulan, analisis dan diseminasi data bidang industri tingkat provinsi dan pelaporan kepada pemerintah.
— 2. Pengumpulan, analisis dan diseminasi data bidang industri tingkat kabupaten/kota dan pelaporan kepada provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16. Pengawasan Industri 1. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan industri dalam rangka desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah.
Perumusan sistem, pembinaan dan pengaturan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang industri.
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas desentralisasi bidang industri tingkat provinsi.
— 1. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas desentralisasi bidang industri tingkat kabupaten/kota.
— 17. Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan 1. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian di provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian di kabupaten/kota. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025
Relevan terhadap
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4700 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Pengantar...……………………………………………………………... 1 1.2 Pengertian...……………………………………………………………... 3 1.3 Maksud dan Tujuan...……………………………………………...... 3 1.4 Landasan...……………………………………………………………... 3 1.5 Tata Urut...……………………………………………………………... 4 BAB II KONDISI UMUM 5 II.1 Kondisi Pada Saat Ini...……………………………………………...... 5 II.2 Tantangan...………………………………………………..................... 21 II.3 Modal Dasar...……………………………………………….................. 34 BAB III VISI DAN MISI PEMBANGUNAN NASIONAL TAHUN 2005–2025 36 BAB IV ARAH, TAHAPAN, DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG TAHUN 2005–2025 41 IV.1 Arah Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005–2025 .……….. 45 IV.1.1 Mewujudkan Masyarakat yang Berakhlak Mulia, Bermoral, Beretika, Berbudaya, dan Beradab...………………………………… 45 IV.1.2 Mewujudkan Bangsa yang Berdaya-saing....…………………….... 46 IV.1.3 Mewujudkan Indonesia yang Demokratis Berlandaskan Hukum 57 IV.1.4 Mewujudkan Indonesia yang Aman, Damai dan Bersatu...…….. 62 IV.1.5 Mewujudkan Pembangunan yang Lebih Merata dan Berkeadilan...……………………………………………………………… 65 IV.1.6 Mewujudkan Indonesia yang Asri dan Lestari...……………… 70 IV.1.7 Mewujudkan Indonesia menjadi Negara Kepulauan yang Mandiri, Maju, Kuat dan Berbasiskan Kepentingan Nasional.... 74 IV.1.8 Mewujudkan Indonesia yang Berperan Aktif dalam Pergaulan Internasional...…………………………………………………………….. 75 IV.2 Tahapan dan Skala Prioritas...………………………………………… 76 IV.2.1 RPJM ke-1 (2005–2009) .………………………………………………… 77 IV.2.2 RPJM ke-2 (2010–2014)...………………………………………………. 79 IV.2.3 RPJM ke-3 (2015–2019)...………………………………………………. 80 IV.2.4 RPJM ke-4 (2020–2024)...………………………………………………. 82 BAB V PENUTUP 84 LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN 2005–2025 BAB I PENDAHULUAN I.1 PENGANTAR 1. Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia telah mengisi kemerdekaan selama 60 tahun sejak Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam era dua puluh tahun pertama setelah kemerdekaan (1945–1965), bangsa Indonesia mengalami berbagai ujian yang sangat berat. Indonesia telah berhasil mempertahankan kemerdekaan dan menegakkan kedaulatan negara. Persatuan dan kesatuan bangsa berhasil pula dipertahankan dengan meredam berbagai benih pertikaian, baik pertikaian bersenjata maupun pertikaian politik diantara sesama komponen bangsa. Pada masa itu para pemimpin bangsa berhasil menyusun rencana pembangunan nasional. Namun, suasana yang penuh ketegangan dan pertikaian telah menyebabkan rencana-rencana tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik.
Selanjutnya pada kurun waktu 1969–1997 bangsa Indonesia berhasil menyusun rencana pembangunan nasional secara sistematis melalui tahapan lima tahunan. Pembangunan tersebut merupakan penjabaran dari Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang memberikan arah dan pedoman bagi pembangunan negara untuk mencapai cita-cita bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tahapan pembangunan yang disusun dalam masa itu telah meletakkan dasar-dasar bagi suatu proses pembangunan berkelanjutan dan berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat, seperti tercermin dalam berbagai indikator ekonomi dan sosial. Proses pembangunan pada kurun waktu tersebut sangat berorientasi pada output dan hasil akhir. Sementara itu, proses dan terutama kualitas institusi yang mendukung dan melaksanakan tidak dikembangkan dan bahkan ditekan secara politis sehingga menjadi rentan terhadap penyalahgunaan dan tidak mampu menjalankan fungsinya secara profesional. Ketertinggalan pembangunan dalam sistem dan kelembagaan politik, hukum, dan sosial menyebabkan hasil pembangunan menjadi timpang dari sisi keadilan dan dengan sendirinya mengancam keberlanjutan proses pembangunan itu sendiri.
Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter yang berkembang menjadi krisis multidimensi, yang selanjutnya berdampak pada perubahan (reformasi) di seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi tersebut memberikan semangat politik dan cara pandang baru sebagaimana tercermin pada perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan substansial dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terkait dengan perencanaan pembangunan adalah a) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak diamanatkan lagi untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN); b) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat; dan c) desentralisasi dan penguatan otonomi daerah.
Tidak adanya GBHN akan mengakibatkan tidak adanya lagi rencana pembangunan jangka panjang pada masa yang akan datang. Pemilihan secara langsung memberikan keleluasaan bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden untuk menyampaikan visi, misi, dan program pembangunan pada saat berkampanye. Keleluasaan tersebut berpotensi menimbulkan ketidaksinambungan pembangunan dari satu masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden ke masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden berikutnya. Desentralisasi dan penguatan otonomi daerah berpotensi mengakibatkan perencanaan pembangunan daerah tidak sinergi antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya serta antara pembangunan daerah dan pembangunan secara nasional.
Untuk itu, seluruh komponen bangsa sepakat menetapkan sistem perencanaan pembangunan melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) yang di dalamnya diatur perencanaan jangka panjang (20 tahun), jangka menengah (5 tahun), dan pembangunan tahunan.
Belajar dari pengalaman masa lalu dengan mempertimbangkan perubahan- perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diperlukan perencanaan pembangunan jangka panjang untuk menjaga pembangunan yang berkelanjutan dalam rangka mencapai tujuan dan cita- cita bernegara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
memajukan kesejahteraan umum;
mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
ikut menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional tersebut perlu ditetapkan visi, misi, dan arah pembangunan jangka panjang Indonesia.
Berbagai pengalaman yang didapatkan selama 60 tahun mengisi kemerdekaan merupakan modal yang berharga dalam melangkah ke depan untuk menyelenggarakan pembangunan nasional secara menyeluruh, bertahap, dan berkelanjutan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. I.2 PENGERTIAN Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional yang merupakan jabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional untuk masa 20 tahun ke depan yang mencakupi kurun waktu mulai dari tahun 2005 hingga tahun 2025. I.3 MAKSUD DAN TUJUAN Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025, selanjutnya disebut RPJP Nasional, adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional periode 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2025, ditetapkan dengan maksud memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sesuai dengan visi, misi, dan arah pembangunan yang disepakati bersama sehingga seluruh upaya yang dilakukan oleh pelaku pembangunan bersifat sinergis, koordinatif, dan saling melengkapi satu dengan lainnya di dalam satu pola sikap dan pola tindak. I.4 LANDASAN Landasan idiil RPJP Nasional adalah Pancasila dan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan landasan operasionalnya meliputi seluruh ketentuan peraturan perundang- undangan yang berkaitan langsung dengan pembangunan nasional, yaitu:
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/2001 Tentang Visi Indonesia Masa Depan;
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. I.5 TATA URUT Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 disusun dalam tata urut sebagai berikut: Bab I Pendahuluan. Bab II Kondisi Umum. Bab III Visi dan Misi Pembangunan Nasional Tahun 2005–2025. Bab IV Arah, Tahapan, dan Prioritas Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005–2025. Bab V Penutup. BAB II KONDISI UMUM II.1 KONDISI PADA SAAT INI Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, yang meliputi bidang sosial budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup. Di samping banyak kemajuan yang telah dicapai, masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan. Untuk itu, masih diperlukan upaya mengatasinya dalam pembangunan nasional 20 tahun ke depan. A. Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama 1. Pembangunan bidang sosial budaya dan keagamaan terkait erat dengan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia. Kondisi kehidupan masyarakat dapat tercermin pada aspek kuantitas dan struktur umur penduduk serta kualitas penduduk, seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.
Di bidang kependudukan, upaya untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk harus terus menerus dilakukan sehingga dari waktu ke waktu laju pertumbuhan penduduk telah dapat diturunkan.
Upaya untuk membangun kualitas manusia tetap menjadi perhatian penting. Sumber daya manusia (SDM) merupakan subjek dan sekaligus objek pembangunan, mencakup seluruh siklus hidup manusia sejak di dalam kandungan hinggá akhir hayat. Kualitas SDM menjadi makin baik yang, antara lain, ditandai dengan meningkatnya indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia menjadi 0,697 pada tahun 2003 ( Human Development Report , 2005). Secara rinci nilai tersebut merupakan komposit dari angka harapan hidup saat lahir (66,8 tahun), angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas (87,9 persen), angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi (66 persen), dan produk domestik bruto (PDB) per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli ( purchasing power parity ) sebesar US $3.361. Indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia menempati urutan ke-110 dari 177 negara.
Status kesehatan masyarakat Indonesia secara umum masih rendah dan jauh tertinggal dibandingkan dengan kesehatan masyarakat negara-negara ASEAN lainnya, yang ditandai, antara lain, dengan masih tingginya angka kematian ibu melahirkan, yaitu 307 per 100 ribu kelahiran hidup (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia/SDKI, 2002–2003), tingginya angka kematian bayi dan balita. Selain itu, gizi kurang terutama pada balita masih menjadi masalah besar dalam upaya membentuk generasi yang mandiri dan berkualitas.
Taraf pendidikan penduduk Indonesia mengalami peningkatan yang, antara lain, diukur dengan meningkatnya angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas, meningkatnya jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah menamatkan pendidikan jenjang SMP/MTs ke atas; meningkatnya rata-rata lama sekolah; dan meningkatnya angka partisipasi sekolah untuk semua kelompok usia. Walaupun demikian, kondisi tersebut belum memadai untuk menghadapi persaingan global yang makin ketat pada masa depan. Hal tersebut diperburuk oleh tingginya disparitas taraf pendidikan antarkelompok masyarakat, terutama antara penduduk kaya dan miskin, antara wilayah perkotaan dan perdesaan, antardaerah, dan disparitas gender.
Pemberdayaan perempuan dan anak, telah menunjukkan peningkatan yang tercermin dari peningkatan kualitas hidup perempuan dan anak, tetapi belum di semua bidang pembangunan. Di samping itu, partisipasi pemuda dalam pembangunan juga makin membaik seiring dengan budaya olahraga yang meluas di kalangan masyarakat. Taraf kesejahteraan sosial masyarakat cukup memadai sejalan dengan berbagai upaya pemberdayaan, pelayanan, rehabilitasi, dan perlindungan sosial bagi masyarakat rentan termasuk bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dan pecandu narkotik dan obat-obat terlarang.
Pembangunan di bidang budaya sudah mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya pemahaman terhadap keberagaman budaya, pentingnya toleransi, dan pentingnya sosialisasi penyelesaian masalah tanpa kekerasan, serta mulai berkembangnya interaksi antarbudaya. Namun, di sisi lain upaya pembangunan jatidiri bangsa Indonesia, seperti penghargaan pada nilai budaya dan bahasa, nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, dan rasa cinta tanah air dirasakan makin memudar. Hal tersebut, disebabkan antara lain, karena belum optimalnya upaya pembentukan karakter bangsa, kurangnya keteladanan para pemimpin, lemahnya budaya patuh pada hukum, cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, dan kurang mampunya menyerap budaya global yang lebih sesuai dengan karakter bangsa, serta ketidakmerataan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.
Dalam bidang agama, kesadaran melaksanakan ajaran agama dalam masyarakat tampak beragam. Pada sebagian masyarakat, kehidupan beragama belum menggambarkan penghayatan dan penerapan nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan beragama pada masyarakat itu masih pada tataran simbol-simbol keagamaan dan belum pada substansi nilai-nilai ajaran agama. Akan tetapi, ada pula sebagian masyarakat yang kehidupannya sudah mendekati, bahkan sesuai dengan ajaran agama. Dengan demikian, telah tumbuh kesadaran yang kuat di kalangan pemuka agama untuk membangun harmoni sosial dan hubungan internal dan antarumat beragama yang aman, damai, dan saling menghargai. Namun, upaya membangun kerukunan intern dan antarumat beragama belum juga berhasil dengan baik, terutama di tingkat masyarakat. Ajaran agama mengenai etos kerja, penghargaan pada prestasi, dan dorongan mencapai kemajuan belum bisa diwujudkan sebagai inspirasi yang mampu menggerakkan masyarakat untuk membangun. Selain itu, pesan-pesan moral agama belum sepenuhnya dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. B. Ekonomi 1. Menjelang timbulnya krisis ekonomi pada tahun 1997, pembangunan ekonomi sesungguhnya sedang dalam optimisme yang tinggi sehubungan dengan keberhasilan pencapaian pembangunan jangka panjang pertama. Namun, berbagai upaya perwujudan sasaran pembangunan praktis terhenti akibat krisis yang melumpuhkan perekonomian nasional. Rapuhnya perekonomian di negara-negara kawasan Asia Tenggara menunjukkan bahwa pondasi ekonomi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia belum kuat menahan gejolak eksternal. Pertumbuhan cukup tinggi yang berhasil dipertahankan cukup lama lebih banyak didorong oleh peningkatan akumulasi modal, tenaga kerja dan pengurasan sumber daya alam daripada peningkatan dalam produktivitas perekonomian secara berkelanjutan. Dari krisis tersebut terangkat kelemahan mendasar bahwa kemajuan selama ini belum diikuti oleh peningkatan efisiensi dan perbaikan tata kelola kelembagaan ekonomi yang akhirnya meruntuhkan kepercayaan para pelaku, baik di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena itu, di samping rentan terhadap gangguan eksternal, struktur perekonomian seperti itu akan sulit berkembang jika dihadapkan pada kondisi persaingan yang lebih ketat, baik pada pemasaran hasil produksi maupun pada peningkatan investasi, dalam era perekonomian dunia yang makin terbuka.
Krisis tahun 1997 telah meruntuhkan pondasi perekonomian nasional. Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun nilai tukar merosot drastis mencapai sekitar Rp15.000,00 per US $ 1. Implikasinya, utang pemerintah dan swasta membengkak dan mengakibatkan permintaan agregat domestik terus menurun sampai dengan pertengahan 1998. Akibatnya, PDB mengalami kontraksi sekitar 13 persen pada tahun tersebut. Banyaknya perusahaan yang bangkrut mengakibatkan jumlah pengangguran meningkat tajam hampir tiga kali lipat, yaitu sekitar 14,1 juta orang; jumlah masyarakat miskin meningkat hampir dua kali lipat, dari sekitar 28 juta orang pada tahun 1996 menjadi sekitar 53 juta orang pada tahun 1998. Hingga tahun 2004, angka kemiskinan masih tinggi (sekitar 30 juta jiwa) dan jumlah pengangguran masih sekitar 10 juta jiwa.
Dengan berbagai program penanganan krisis yang diselenggarakan selama periode transisi politik, kondisi mulai membaik sejak tahun 2000. Perbaikan kondisi tersebut ditunjukkan dengan beberapa indikator sebagai berikut. Defisit anggaran negara turun dari 3,9 persen PDB pada tahun 1999/2000 menjadi 1,1 persen PDB pada tahun 2004, stok utang Pemerintah/PDB dapat ditekan di bawah 60 persen, dan cadangan devisa terus meningkat dalam empat tahun terakhir menjadi USD 35,4 miliar pada tahun 2004. Nilai tukar dapat distabilkan pada tingkat sekitar Rp9.000,00 per US $ 1 dan inflasi ditekan di angka sekitar 6,0 persen pada tahun 2004. Terkendalinya nilai tukar dan laju inflasi tersebut memberikan ruang gerak bagi kebijakan moneter untuk secara bertahap menurunkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Penurunan suku bunga SBI tersebut diikuti penurunan suku bunga simpanan perbankan secara signifikan, tetapi belum sepenuhnya diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan. Meskipun belum optimal, penurunan suku bunga itu telah dimanfaatkan oleh perbankan untuk melakukan restrukturisasi kredit, memperkuat struktur permodalan, dan meningkatkan penyaluran kredit, terutama yang berjangka waktu relatif pendek. Di sektor riil, kondisi yang stabil tersebut memberikan kesempatan kepada dunia usaha untuk melakukan restrukturisasi keuangan secara internal.
Berbagai kinerja di atas telah berhasil memperbaiki stabilitas ekonomi makro. Walaupun demikian, kinerja tersebut belum mampu memulihkan pertumbuhan ekonomi ke tingkat seperti sebelum krisis. Hal tersebut karena motor pertumbuhan masih mengandalkan konsumsi. Sektor produksi belum berkembang karena sejumlah permasalahan berkenaan dengan tidak kondusifnya lingkungan usaha, yang menyurutkan gairah investasi, di antaranya praktik ekonomi biaya tinggi, termasuk praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta berbagai aturan yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu, sulitnya pemulihan sektor investasi dan ekspor juga disebabkan oleh lemahnya daya saing nasional, terutama dengan makin ketatnya persaingan ekonomi antarnegara. Lemahnya daya saing tersebut, juga diakibatkan oleh rendahnya produktivitas SDM serta rendahnya penguasaan dan penerapan teknologi di dalam proses produksi. Permasalahan lain yang juga punya pengaruh kuat ialah terbatasnya kapasitas infrastruktur di dalam mendukung peningkatan efisiensi distribusi. Penyelesaian yang berkepanjangan dari semua permasalahan sektor riil di atas akan mengganggu kinerja kemajuan dan ketahanan perekonomian nasional, yang pada gilirannya dapat mengurangi kemandirian bangsa.
Walaupun secara bertahap berkurang, jumlah penduduk miskin masih cukup tinggi, baik di kawasan perdesaan maupun di perkotaan, terutama pada sektor pertanian dan kelautan. Oleh karena itu, kemiskinan masih menjadi perhatian penting dalam pembangunan 20 tahun yang akan datang. Luasnya wilayah dan beragamnya kondisi sosial budaya masyarakat menyebabkan masalah kemiskinan di Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda. Masalah kemiskinan bersifat multidimensi, karena bukan hanya menyangkut ukuran pendapatan, melainkan karena juga kerentanan dan kerawanan orang atau masyarakat untuk menjadi miskin. Selain itu, kemiskinan juga menyangkut kegagalan dalam pemenuhan hak dasar dan adanya perbedaan perlakuan seseorang atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. C. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 1. Kemampuan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek mengalami peningkatan. Berbagai hasil penelitian, pengembangan, dan rekayasa teknologi telah dimanfaatkan oleh pihak industri dan masyarakat. Jumlah publikasi ilmiah terus meningkat meskipun tergolong masih sangat rendah di tingkat internasional. Hal itu mengindikasikan peningkatan kegiatan penelitian, transparansi ilmiah, dan aktivitas diseminasi hasil penelitian dan pengembangan.
Walaupun demikian, kemampuan nasional dalam penguasaan dan pemanfaatan iptek dinilai masih belum memadai untuk meningkatkan daya saing. Hal itu ditunjukan, antara lain, oleh masih rendahnya sumbangan iptek di sektor produksi, belum efektifnya mekanisme intermediasi, lemahnya sinergi kebijakan, belum berkembangnya budaya iptek di masyarakat, dan terbatasnya sumber daya iptek. D. Sarana dan Prasarana Kondisi sarana dan prasarana di Indonesia saat ini masih ditandai oleh rendahnya aksesibilitas, kualitas, ataupun cakupan pelayanan. Akibatnya, sarana dan prasarana yang ada belum sepenuhnya dapat menjadi tulang punggung bagi pembangunan sektor riil termasuk dalam rangka mendukung kebijakan ketahanan pangan di daerah, mendorong sektor produksi, serta mendukung pengembangan wilayah.
Pengembangan prasarana penampung air, seperti waduk, embung, danau, dan situ, masih belum memadai sehingga belum dapat memenuhi penyediaan air untuk berbagai kebutuhan, baik pertanian, rumah tangga, perkotaan, maupun industri terutama pada musim kering yang cenderung makin panjang di beberapa wilayah sehingga mengalami krisis air. Dukungan prasarana irigasi yang mengalami degradasi masih belum dapat diandalkan karena hanya mengandalkan sekitar 10 persen jaringan irigasi yang pasokan airnya relatif terkendali karena berasal dari bangunan- bangunan penampung air, dan sisanya hanya mengandalkan ketersediaan air di sungai. Selain itu, laju pengembangan sarana dan prasarana pengendali daya rusak air juga masih belum mampu mengimbangi laju degradasi lingkungan penyebab banjir sehingga bencana banjir masih menjadi ancaman bagi banyak wilayah. Sejalan dengan perkembangan ekonomi wilayah, banyak daerah telah mengalami defisit air permukaan, sedangkan di sisi lain konversi lahan pertanian telah mendorong perubahan fungsi prasarana irigasi sehingga perlu dilakukan penyesuaian dan pengendalian. Pada sisi pengembangan institusi pengelolaan sumber daya air, lemahnya koordinasi antarinstansi dan antardaerah otonom telah menimbulkan pola pengelolaan sumber daya air yang tidak efisien, bahkan tidak jarang saling berbenturan. Pada sisi lain, kesadaran dan partisipasi masyarakat, sebagai salah satu prasyarat terjaminnya keberlanjutan pola pengelolaan sumber daya air, masih belum mencapai tingkat yang diharapkan karena masih terbatasnya kesempatan dan kemampuan yang dimiliki.
Krisis ekonomi berdampak pada menurunnya kualitas sarana dan prasarana, terutama jalan dan perkeretaapian yang kondisinya sangat memprihatinkan. Pada tahun 2004 sekitar 46,3 persen total panjang jalan mengalami kerusakan ringan dan berat serta terdapat 32,8 persen panjang jalan kereta api yang ada sudah tidak dioperasikan lagi. Selain itu, jaringan transportasi darat dan jaringan transportasi antarpulau belum terpadu. Sebagai negara kepulauan atau maritim, masih banyak kebutuhan transportasi antarpulau yang belum terpenuhi, baik dengan pelayanan angkutan laut maupun penyeberangan. Peran armada nasional menurun, baik untuk angkutan domestik maupun internasional sehingga pada tahun 2004 masing-masing hanya mampu memenuhi 54 persen dan 3,5 persen. Padahal sesuai dengan konvensi internasional yang berlaku, armada nasional berhak atas 40 persen pangsa pasar untuk muatan ekspor-impor dan 100 persen untuk angkutan domestik. Untuk angkutan udara, dengan penerapan kebijakan multi-operator angkutan udara perusahaan penerbangan relatif mampu menyediakan pelayanan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Di samping masalah yang disebabkan oleh krisis ekonomi, pembangunan prasarana transportasi mengalami kendala terutama yang terkait dengan keterbatasan pembiayaan pembangunan, operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana transportasi, serta rendahnya aksesibilitas pembangunan sarana dan prasarana transportasi di beberapa wilayah terpencil belum terpadunya pembangunan transportasi dan pembangunan daerah bagi kelompok masyarakat umum, sehingga penyediaan transportasi terbatas pelayanannya. Demikian pula kualitas pelayanan angkutan umum yang makin menurun, terjadi tingkat kemacetan dan polusi di beberapa kota besar yang makin parah, serta tingkat kecelakaan yang makin tinggi. Di sisi lain, peran serta swasta belum berkembang terkait dengan kelembagaan dan peraturan perundang- undangan yang belum kondusif.
Dalam era globalisasi, informasi mempunyai nilai ekonomi untuk mendorong pertumbuhan serta peningkatan daya saing bangsa. Masalah utama dalam pembangunan pos dan telematika adalah terbatasnya kapasitas, jangkauan, serta kualitas sarana dan prasarana pos dan telematika yang mengakibatkan rendahnya kemampuan masyarakat mengakses informasi. Kondisi itu menyebabkan semakin lebarnya kesenjangan digital, baik antardaerah di Indonesia maupun antara Indonesia dan negara lain. Dari sisi penyelenggara pelayanan sarana dan prasarana pos dan telematika (sisi supply ), kesenjangan digital itu disebabkan oleh (a) terbatasnya kemampuan pembiayaan operator sehingga kegiatan pemeliharaan sarana dan prasarana yang ada dan pembangunan baru terbatas; (b) belum terjadinya kompetisi yang setara dan masih tingginya hambatan masuk ( barrier to entry ) sehingga peran dan mobilisasi dana swasta belum optimal; (c) belum berkembangnya sumber dan mekanisme pembiayaan lain untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana pos dan telematika, seperti kerja sama pemerintah-swasta, pemerintah-masyarakat, serta swasta-masyarakat; (d) masih rendahnya optimalisasi pemanfaatan sarana dan prasarana yang ada sehingga terdapat aset nasional yang tidak digunakan ( idle ); (e) terbatasnya kemampuan adopsi dan adaptasi teknologi; (f) terbatasnya pemanfaatan industri dalam negeri sehingga ketergantungan terhadap komponen industri luar negeri masih tinggi; dan (g) masih terbatasnya industri aplikasi dan materi ( content ) yang dikembangkan oleh penyelenggara pelayanan sarana dan prasarana. Terkait dengan kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan sarana dan prasarana dari sisi permintaan, kesenjangan digital disebabkan oleh (a) terbatasnya daya beli ( ability to pay ) masyarakat terhadap sarana dan prasarana pos dan telematika; (b) masih rendahnya kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan dan mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi; dan (c) terbatasnya kemampuan masyarakat untuk mengolah informasi menjadi peluang ekonomi, yaitu menjadikan sesuatu mempunyai nilai tambah ekonomi.
Di bidang sarana dan prasarana energi termasuk kelistrikan, permasalahan pokok yang dihadapi, antara lain masih besarnya kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan energi termasuk tenaga listrik yang kondisinya makin kritis di berbagai daerah karena masih rendahnya kemampuan investasi dan pengelolaan penyediaan sarana dan prasarana energi; masih rendahnya efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sarana dan prasarana yang sudah terpasang dalam satu dasawarsa terakhir; masih tingginya ketergantungan konsumen terhadap bahan bakar minyak; masih dominannya peralatan dan material penunjang yang harus diimpor; serta adanya regulasi-regulasi yang tidak konsisten. Pemenuhan kebutuhan energi yang tidak merata serta dihadapkan pada luasnya wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan dengan densitas penduduk yang bervariasi cukup menyulitkan pengembangan berbagai jenis sarana dan prasarana energi yang optimal. Hal itu juga dipengaruhi oleh lokasi potensi cadangan energi primer yang tersebar dan sebagian besar jauh dari pusat beban; keterbatasan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi; tingginya pertumbuhan permintaan berbagai jenis energi setiap tahun; serta kondisi daya beli masyarakat yang masih rendah.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan perumahan hingga tahun 2020 diperkirakan mencapai lebih dari 30 juta unit sehingga kebutuhan rumah per tahun diperkirakan mencapai 1,2 juta unit. Data tahun 2004 mencatat bahwa sebanyak 4,3 juta jumlah rumah tangga belum memiliki rumah. Penyediaan air minum juga tidak mengalami kemajuan yang berarti. Berdasarkan Data Statistik Perumahan dan Permukiman Tahun 2004, jumlah penduduk (perkotaan dan pedesaan) yang mendapatkan akses pelayanan air minum perpipaan baru mencapai 18,3 persen, hanya sedikit meningkat dibandingkan dengan 10 tahun sebelumnya (14,7 persen). Demikian juga halnya dengan penanganan persampahan di kawasan perkotaan dan perdesaan baru mencapai 18,41 persen atau mencapai 40 juta jiwa, sedangkan cakupan pelayanan drainase baru melayani 124 juta jiwa. E. Politik 1. Perkembangan proses demokratisasi sejak tahun 1998 sampai dengan proses penyelenggaraan Pemilu tahun 2004 telah memberikan peluang untuk mengakhiri masa transisi demokrasi menuju arah proses konsolidasi demokrasi. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilaksanakan sebanyak empat kali telah mengubah dasar-dasar konsensus dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, baik pada tataran kelembagaan negara maupun tataran masyarakat sipil . Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian memberikan ruang diterbitkannya berbagai peraturan dan perundang-undangan di bidang politik sebagai penjabarannya telah menjadi bagian penting dalam upaya merumuskan format politik baru bagi konsolidasi demokrasi. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah secara tegas menata kembali struktur dan kewenangan lembaga-lembaga negara termasuk beberapa penyelenggaraan negara tambahan, seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, serta beberapa Komisi lainnya. Adanya penataan tersebut telah memberikan peluang ke arah terwujudnya pengawasan dan penyeimbangan ( checks and balances ) kekuasaan politik. Perubahan format politik tersebut terumuskan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Sebagai negara yang baru beberapa tahun memasuki proses demokratisasi, proses penataan kelembagaan tidak jarang menimbulkan konflik-konflik kepentingan.
Berkenaan dengan Pemilu, keberhasilan penting yang telah diraih adalah telah dilaksanakannya pemilu langsung anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, aman, dan demokratis pada tahun 2004. Selain itu, pemilihan kepala daerah secara langsung pun sudah mampu dilaksanakan secara baik di seluruh Indonesia sejak tahun 2005. Hal itu merupakan modal awal yang penting bagi lebih berkembangnya demokrasi pada masa selanjutnya.
Perkembangan demokrasi selama ini ditandai pula dengan terumuskannya format hubungan pusat-daerah yang baru. Akan tetapi, hal itu terlihat masih berjalan pada konteks yang prosedural dan sifatnya masih belum substansial. Format yang sudah dibangun didasarkan pada Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang pada intinya lebih mendorong kemandirian daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan mengatur mengenai hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, serta hubungan antarpemerintah daerah. Dewasa ini, pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah masih mengalami berbagai permasalahan, antara lain disebabkan kurangnya koordinasi pusat-daerah dan masih belum konsistennya sejumlah peraturan perundangan, baik antardaerah maupun antara pusat dan daerah.
Perkembangan demokrasi ditandai pula dengan adanya konsensus mengenai format baru hubungan sipil-militer yang menjunjung tinggi supremasi sipil dan hubungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terkait dengan kewenangan dalam melaksanakan sistem pertahanan dan keamanan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Meskipun demikian, format baru yang dihasilkan itu masih menghadapi persoalan mengenai pelaksanaannya yang sekadar bersifat prosedural dan harus diperjuangkan lebih lanjut agar dapat terwujud secara lebih substantif. Selanjutnya, perkembangan demokrasi yang lain adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian telah terwujud pula suatu kesepakatan nasional baru mengenai netralitas pegawai negeri sipil (PNS), TNI, dan Polri terhadap politik.
Kemajuan demokrasi terlihat pula dengan telah berkembangnya kesadaran- kesadaran terhadap hak-hak masyarakat dalam kehidupan politik, yang dalam jangka panjang diharapkan mampu menstimulasi masyarakat lebih jauh untuk makin aktif berpartisipasi dalam mengambil inisiatif bagi pengelolaan urusan-urusan publik. Kemajuan itu tidak terlepas dari berkembangnya peran partai politik, organisasi non-pemerintah dan organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya. Walaupun demikian, perkembangan visi dan misi partai politik ternyata belum sepenuhnya sejalan dengan perkembangan kesadaran dan dinamika kehidupan sosial politik masyarakat dan tuntutan demokratisasi. Di samping itu, kebebasan pers dan media telah jauh berkembang yang antara lain ditandai dengan adanya peran aktif pers dan media dalam menyuarakan aspirasi masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Walaupun demikian, kalangan pers belum dapat mengatasi dampak dari kebebasan tersebut antara lain masih berpihak pada kepentingan industri daripada kepentingan publik yang lebih luas.
Dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan perjalanan politik luar negeri, Indonesia telah melakukan banyak hal dan mencapainya dengan baik. Walaupun demikian masih banyak hal yang belum diupayakan secara optimal berdasarkan potensi dan sumber daya yang ada. Apabila tidak dikelola secara memadai, kedudukan geopolitik yang strategis dengan kekayaan sumber daya alam (SDA), populasi, dan proses demokrasi yang semakin baik sebagai keunggulan komparatif untuk membangun kepemimpinan Indonesia di tataran global justru dapat menjadi sumber kerawanan bagi kepentingan Republik Indonesia. Menumbuhkan penguatan citra Indonesia sebagai negara yang mampu memadukan aspirasi umat Islam dengan upaya konsolidasi demokrasi; memberikan perhatian yang sangat serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional; meningkatkan penegakan hukum dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diskriminatif; dan mendorong pemulihan ekonomi yang lebih menjanjikan serta perlindungan hak-hak dasar warga negara secara lebih konsisten merupakan dasar-dasar kebijakan yang terus dikembangkan. Seluruh pencapaian itu menjadi aset penting bagi pelaksanaan politik luar negeri dan penyelenggaraan hubungan luar negeri Indonesia. Di samping itu, kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan yang mempunyai posisi geopolitik yang strategis dengan kekayaan SDA, populasi, dan proses demokratisasi yang semakin baik merupakan kekuatan dan keunggulan komparatif sebagai potensi untuk membangun kepemimpinan Indonesia pada tataran global melalui inisiatif dan kontribusi pemikiran komitmen Indonesia pada terbentuknya tatanan hubungan internasional yang lebih adil, damai dan berimbang, serta menolak unilateralisme.
Bagi Indonesia, sebagai negara yang baru membangun demokrasi, pilihan kebijakan luar negeri tidak lagi semata-mata menyangkut perspektif luar negeri yang berdiri sendiri. Pertautan dinamika internasional dan domestik cenderung makin mewarnai proses penentuan kebijakan luar negeri. Walaupun demikian, satu hal prinsip yang tetap tidak boleh diabaikan, yakni seluruh proses perumusan kebijakan luar negeri ditujukan bagi pemenuhan kepentingan nasional Indonesia dalam berbagai bidang. Dalam rangka pelaksanaan kebijakan luar negeri yang berorientasi kepada kepentingan nasional, Indonesia berupaya untuk memperkuat kelembagaan regional di tengah kecenderungan menguatnya unilateralisme.
Dengan pesatnya perkembangan globalisasi, maka dalam mengembangkan kehidupan politik demokratis yang berlandaskan hukum, faktor perkembangan pasar dunia mendapatkan perhatian yang lebih khusus karena akan sangat memengaruhi hubungan yang dinamis antara negara dan masyarakat. Dengan demikian, selain faktor negara dan masyarakat, faktor pasar makin tidak mungkin untuk diabaikan begitu saja. F. Pertahanan Keamanan 1. Upaya pertahanan dan keamanan negara telah memberikan kontribusi bagi pembentukan NKRI dan penyelenggaraan pembangunan dalam upaya pencapaian cita-cita negara, seperti yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam perjalanan sejarah bangsa dan dalam setiap dinamika arah dan kebijakan politik negara, sistem pertahanan rakyat semesta terbukti telah menjadi sistem yang mampu menegakkan kedaulatan NKRI serta menjaga keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa.
Pada masa masyarakat dan bangsa Indonesia mengisi kemerdekaan dengan penyelenggaraan pembangunan, sistem politik telah menjadikan dwifungsi ABRI sebagai bagian dari sistem pertahanan rakyat semesta. Pada awalnya dwifungsi ABRI ini mampu menciptakan stabilitas nasional yang merupakan prasyarat pembangunan. Walaupun demikian, dalam perkembangannya pelaksanaan dwifungsi tersebut berdampak tidak menguntungkan bagi profesionalisme TNI dan Polri serta bersifat kontraproduktif bagi dinamika masyarakat keseluruhan. Pelaksanaan fungsi sosial dan politik tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan strategi, teknologi, dan pembiayaan pertahanan-keamanan tidak terarah pada pembentukan kekuatan pertahanan minimal untuk menegakkan kedaulatan NKRI serta menjaga keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. Kemampuan TNI dalam melaksanakan fungsinya di bidang pertahanan negara sampai saat ini masih memperihatinkan. Hal itu ditandai tidak saja menyangkut kondisi alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang tidak mencukupi atau mayoritas peralatan yang usang secara umur dan teknologi, tetapi juga menyangkut sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraannya. Di samping itu, sebagian proses pengadaan, pemeliharaan, pengoperasian, dan pemenuhan suku cadang alutsista TNI masih memiliki ketergantungan pada negara-negara lain.
Gerakan reformasi pada tahun 90-an menghendaki perubahan secara total di segala bidang penyelenggaraan negara termasuk tuntutan terhadap reposisi TNI dan Polri. Penyempurnaan terhadap reposisi dan peran TNI dan Polri dikukuhkan melalui Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya, ketetapan MPR tersebut diperkuat lagi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Walaupun demikian, reposisi tersebut berdampak pada adanya ketidakterkaitan penanganan masalah pertahanan dan masalah keamanan dalam negeri yang seharusnya bersama-sama dengan keamanan sosial merupakan satu kesatuan dalam keamanan nasional. Dengan demikian, reformasi di bidang pertahanan dan keamanan tidak hanya menyangkut pemisahan antara TNI dan Polri, tetapi juga mengenai penataan lebih lanjut hubungan antara keduanya secara kelembagaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya masing- masing. G. Hukum dan Aparatur 1. Dalam era reformasi upaya perwujudan sistem hukum nasional terus dilanjutkan mencakup beberapa hal. Pertama, pembangunan substansi hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis telah mempunyai mekanisme untuk membentuk hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan ditetapkannya undang-undang tersebut, proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan serta meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan. Kedua, penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif terus dilanjutkan. Perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membawa perubahan mendasar di bidang kekuasaan kehakiman dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai hak menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Komisi Judisial yang akan melakukan pengawasan terhadap sikap tindak dan perilaku hakim. Peningkatan kemandirian hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman membawa perubahan bagi terselenggaranya check and balances dalam penyelenggaraan negara dengan beralihnya kewenangan administratif, organisasi, dan keuangan lembaga peradilan kepada Mahkamah Agung. Peningkatan kemandirian tidak berarti lepas dari kontrol dan pengawasan. Dengan dibentuknya Komisi Judisial yang komposisi keanggotaannya cukup representatif, pengawasan dan kontrol terhadap kemandirian lembaga peradilan dan pembentukan sistem hukum nasional dapat dilakukan agar lebih berhasil guna, sehingga penyelenggaraan fungsi negara di bidang hukum dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien. Ketiga, pelibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional yang dicita-citakan.
Hingga saat ini, pelaksanaan program pembangunan aparatur negara masih menghadapi berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Permasalahan tersebut, antara lain masih terjadinya praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk KKN dan belum terwujudnya harapan masyarakat atas pelayanan yang cepat, murah, manusiawi, dan berkualitas. Upaya yang sungguh-sungguh untuk memberantas KKN dan meningkatkan kualitas pelayanan publik sebenarnya telah banyak dilakukan. Walaupun demikian, hasil yang dicapai belum cukup menggembirakan. Kelembagaan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, masih belum terlihat efektif dalam membantu pelaksanaan tugas dan sistem manajemen pemerintahan juga belum efisien dalam menghasilkan dan menggunakan sumber-sumber daya. Upaya- upaya untuk meningkatkan profesionalisme birokrasi masih belum sepenuhnya dapat teratasi mengingat keterbatasan dana pemerintah. H. Wilayah dan Tata Ruang 1. Tata ruang Indonesia saat ini dalam kondisi krisis. Krisis tata ruang terjadi karena pembangunan yang dilakukan di suatu wilayah masih sering dilakukan tanpa mengikuti rencana tata ruang, tidak mempertimbangkan keberlanjutan dan daya dukung lingkungan, serta tidak memerhatikan kerentanan wilayah terhadap terjadinya bencana alam. Keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek seringkali menimbulkan keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan sehingga menurunkan kualitas dan kuantitas sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta memperbesar risiko timbulnya korban akibat bencana alam. Selain itu, sering terjadi konflik pemanfaatan ruang antarsektor, contohnya konflik antara kehutanan dan pertambangan. Beberapa penyebab utama terjadinya permasalahan tersebut adalah (a) belum tepatnya kompetensi sumber daya manusia dalam bidang pengelolaan penataan ruang, (b) rendahnya kualitas dari rencana tata ruang, (c) belum diacunya perundangan penataan ruang sebagai payung kebijakan pemanfaatan ruang bagi semua sektor; dan (d) lemahnya penerapan hukum berkenaan dengan pemanfaatan ruang dan penegakan hukum terhadap pelanggaran berkenaan dengan pemanfaatan ruang.
Pada umumnya masyarakat yang berada di wilayah-wilayah tertinggal masih mempunyai keterbatasan akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi, dan politik serta terisolir dari wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu, kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan pembangunan yang besar dari pemerintah. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal, termasuk yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil, antara lain, (1) terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang relatif lebih maju;
kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar;
kebanyakan wilayah-wilayah tersebut miskin sumber daya, khususnya sumber daya alam dan manusia;
belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) secara langsung; dan
belum optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah tersebut.
Banyak wilayah yang memiliki produk unggulan dan lokasi strategis di luar Pulau Jawa belum dikembangkan secara optimal. Hal itu disebabkan, antara lain (1) adanya keterbatasan informasi pasar dan teknologi untuk pengembangan produk unggulan;
belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di daerah;
belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak pada petani dan pelaku usaha swasta;
belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah;
masih lemahnya koordinasi, sinergi, dan kerja sama diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, lembaga nonpemerintah, dan masyarakat, serta antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, dalam upaya meningkatkan daya saing produk unggulan;
masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha skala kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran, dalam upaya mengembangkan peluang usaha dan kerja sama investasi;
keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah; serta (8) belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerja sama antarwilayah untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.
Wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi SDA yang cukup besar serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Walaupun demikian, pembangunan di beberapa wilayah perbatasan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan di wilayah negara tetangga. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah tersebut umumnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi warga negara tetangga. Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi · inward looking · sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan negara. Akibatnya, wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Sementara itu, pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolasi dan sulit dijangkau, diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya serta belum banyak tersentuh oleh pelayanan dasar dari pemerintah.
Pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan saat ini masih sangat terpusat di pulau Jawa-Bali, sedangkan pertumbuhan kota-kota menengah dan kecil, terutama di luar Jawa, berjalan lambat dan tertinggal. Pertumbuhan perkotaan yang tidak seimbang ini ditambah dengan adanya kesenjangan pembangunan antarwilayah menimbulkan urbanisasi yang tidak terkendali. Secara fisik, hal itu ditunjukkan oleh (1) meluasnya wilayah perkotaan karena pesatnya perkembangan dan meluasnya kawasan pinggiran ( fringe-area ) terutama di kota-kota besar dan metropolitan;
meluasnya perkembangan fisik perkotaan di kawasan ‘sub-urban’ yang telah ‘mengintegrasi’ kota-kota yang lebih kecil di sekitar kota inti dan membentuk konurbasi yang tak terkendali;
meningkatnya jumlah desa- kota; dan
terjadinya reklasifikasi (perubahan daerah rural menjadi daerah urban, terutama di Jawa). Kecenderungan perkembangan semacam itu berdampak negatif terhadap perkembangan kota-kota besar dan metropolitan itu sendiri maupun kota-kota menengah dan kecil di wilayah lain.
Dampak negatif yang ditimbulkan di kota-kota besar dan metropolitan, antara lain, adalah (1) terjadinya eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam di sekitar kota-kota besar dan metropolitan untuk mendukung dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
terjadinya secara terus menerus konversi lahan pertanian produktif menjadi kawasan permukiman, perdagangan, dan industri;
menurunnya kualitas lingkungan fisik kawasan perkotaan akibat terjadinya perusakan lingkungan dan timbulnya polusi;
menurunnya kualitas hidup masyarakat di perkotaan karena permasalahan sosial-ekonomi, serta penurunan kualitas pelayanan kebutuhan dasar perkotaan; serta (5) tidak mandiri dan terarahnya pembangunan kota-kota baru sehingga justru menjadi tambahan beban bagi kota inti. Dampak negatif lain yang ditimbulkan terhadap kota-kota di wilayah lain, yaitu (1) tidak meratanya penyebaran penduduk perkotaan dan terjadinya ‘konsentrasi’ penduduk kota di Pulau Jawa, khususnya di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), (20 persen dari total jumlah penduduk perkotaan Indonesia tinggal di sana);
tidak optimalnya fungsi ekonomi perkotaan, terutama di kota-kota menengah dan kecil, dalam menarik investasi dan tempat penciptaan lapangan pekerjaan; dan
tidak optimalnya peranan kota dalam memfasilitasi pengembangan wilayah.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di perdesaan umumnya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan yang tinggal di perkotaan. Hal itu merupakan konsekuensi dari perubahan struktur ekonomi dan proses industrialisasi, baik investasi ekonomi oleh swasta maupun pemerintah, sehingga infrastruktur dan kelembagaan cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Selain itu, kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi yang dikembangkan di wilayah perdesaan. Akibatnya, peran kota yang diharapkan dapat mendorong perkembangan perdesaan justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan perdesaan. I. Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 1. Sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan, sekaligus, sebagai penopang sistem kehidupan. Adapun jasa-jasa lingkungan meliputi keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, pengaturan air secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih merupakan penopang kehidupan manusia. Hasil pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup telah mampu menyumbang 24,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan 48 persen terhadap penyerapan tenaga kerja. Namun, pengelolaan sumber daya alam tersebut masih belum berkelanjutan dan masih mengabaikan kelestarian fungsi lingkungan hidup sehingga daya dukung lingkungan menurun dan ketersediaan sumber daya alam menipis. Menurunnya daya dukung dan ketersediaan sumber daya alam juga terjadi karena kemampuan iptek yang rendah sehingga tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk.
Kondisi sumber daya hutan saat ini sudah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar ( illegal logging ) dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya tuntutan atas lahan dan sumber daya hutan yang tidak pada tempatnya, meluasnya perambahan dan konversi hutan alam, serta meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin. Tahun 2004, kerusakan hutan dan lahan di Indonesia sudah mencapai 59,2 juta hektar dengan laju deforestasi setiap tahun mencapai 1,6-2 juta hektar.
Sumber daya kelautan belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini karena beberapa hal, antara lain, (1) belum adanya penataan batas maritim;
adanya konflik dalam pemanfaatan ruang di laut;
belum adanya jaminan keamanan dan keselamatan di laut;
adanya otonomi daerah menyebabkan belum ada pemahaman yang sama terhadap pengelolaan sumber daya kelautan;
adanya keterbatasan kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola sumber daya kelautan; dan
belum adanya dukungan riset dan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan.
Pencemaran air, udara, dan tanah juga masih belum tertangani secara tepat karena semakin pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang memerhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan. Keberadaan masyarakat adat yang sangat bergantung pada sumber daya alam dan memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam juga belum diakui. Kearifan lokal sangat diperlukan untuk menjamin ketersediaan sumber daya alam dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Desentralisasi pembangunan dan otonomi daerah juga telah mengakibatkan meningkatnya konflik pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam, baik antarwilayah, antara pusat dan daerah, serta antarpenggunaan. Untuk itu, kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara tepat akan dapat mendorong perilaku masyarakat untuk menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam 20 tahun mendatang agar Indonesia tidak mengalami krisis sumber daya alam, khususnya krisis air, krisis pangan, dan krisis energi. II.2 TANTANGAN A. Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama 1. Dalam 20 tahun mendatang, Indonesia menghadapi tekanan jumlah penduduk yang makin besar. Jumlah penduduk yang pada tahun 2005 sebesar 219,9 juta orang diperkirakan meningkat mencapai sekitar 274 juta orang pada tahun 2025. Sejalan dengan itu berbagai parameter kependudukan diperkirakan akan mengalami perbaikan yang ditunjukkan dengan menurunnya angka kelahiran, meningkatnya usia harapan hidup, dan menurunnya angka kematian bayi. Meskipun demikian, pengendalian kuantitas dan laju pertumbuhan penduduk penting diperhatikan untuk menciptakan penduduk tumbuh seimbang dalam rangka mendukung terjadinya bonus demografi yang ditandai dengan jumlah penduduk usia produktif lebih besar daripada jumlah penduduk usia non-produktif. Kondisi tersebut perlu dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kualitas SDM, daya saing, dan kesejahteraan rakyat. Di samping itu, persebaran dan mobilitas penduduk perlu pula mendapatkan perhatian sehingga ketimpangan persebaran dan kepadatan penduduk antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa serta antara wilayah perkotaan dan perdesaan dapat dikurangi.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia yang diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM) mengakibatkan rendahnya produktivitas dan daya saing perekonomian nasional. Pembangunan kesehatan dan pendidikan memiliki peranan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Di bidang kesehatan tantangan pembangunan yang dihadapi, antara lain, adalah mengurangi kesenjangan status kesehatan masyarakat dan akses terhadap pelayanan kesehatan antarwilayah, tingkat sosial ekonomi, dan gender; meningkatkan jumlah dan penyebaran tenaga kesehatan yang kurang memadai; meningkatkan akses terhadap fasilitas kesehatan; dan mengurangi beban ganda penyakit yaitu pola penyakit yang diderita oleh sebagian besar masyarakat adalah penyakit infeksi menular, namun pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular serta meningkatnya penyalahgunaan narkotik dan obat-obat terlarang. Sementara itu, tantangan yang dihadapi pembangunan pendidikan adalah menyediakan pelayanan pendidikan yang berkualitas untuk meningkatkan jumlah proporsi penduduk yang menyelesaikan pendidikan dasar sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, menurunkan jumlah penduduk yang buta aksara, serta menurunkan kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup tinggi antarkelompok masyarakat, termasuk antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk perkotaan dan perdesaan, antara penduduk di wilayah maju dan tertinggal, dan antarjenis kelamin. Tantangan dalam pembangunan pendidikan lainnya adalah meningkatkan kualitas dan relevansi termasuk mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antardaerah, antarjenis kelamin, dan antara penduduk kaya dan miskin sehingga pembangunan pendidikan dapat berperan dalam mendorong pembangunan nasional secara menyeluruh termasuk dalam mengembangkan kebanggaan kebangsaan, akhlak mulia, kemampuan untuk hidup dalam masyarakat yang multikultur, serta meningkatkan daya saing. Pembangunan pendidikan ditantang untuk menyediakan pelayanan pendidikan sepanjang hayat untuk memanfaatkan bonus demografi.
Kualitas hidup dan peran perempuan dan anak di berbagai bidang pembangunan masih rendah. Hal itu, antara lain, ditandai oleh rendahnya angka indeks pembangunan gender (IPG) dan tingginya tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak; serta kurang memadainya kesejahteraan, partisipasi dan perlindungan anak. Dengan demikian, tantangan di bidang pembangunan perempuan dan anak adalah meningkatkan kualitas dan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan; menurunkan tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak; serta meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak. Sementara itu, tantangan di bidang pemuda dan olahraga adalah mengoptimalkan partisipasi pemuda dalam pembangunan serta meningkatkan budaya dan prestasi olahraga. Tantangan lainnya adalah menurunkan beban permasalahan kesejahteraan sosial yang semakin beragam dan meningkat akibat terjadinya berbagai krisis sosial, seperti menipisnya nilai budaya dan agama; menurunkan ekses dan gejala sosial dampak dari disparitas kondisi sosial ekonomi masyarakat dan terjadinya bencana sosial dan bencana alam; dan meningkatkan pemenuhan kebutuhan sosial dasar masyarakat.
Derasnya arus globalisasi yang didorong oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi menjadi tantangan bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan jati diri bangsa sekaligus memanfaatkannya untuk pengembangan toleransi terhadap keragaman budaya dan peningkatan daya saing melalui penerapan nilai-nilai Pancasila dan penyerapan nilai- nilai universal.
Pembangunan manusia pada intinya adalah pembangunan manusia seutuhnya. Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan agama adalah mengaplikasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, mewujudkan kerukunan intern dan antarumat beragama, serta memberikan rasa aman dan perlindungan dari tindak kekerasan. B. Ekonomi 1. Pembangunan ekonomi sampai saat ini, meskipun telah menghasilkan berbagai kemajuan, masih jauh dari cita-citanya untuk mewujudkan perekonomian yang tangguh dan menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, tantangan besar kemajuan perekonomian 20 tahun mendatang adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkualitas secara berkelanjutan untuk mewujudkan secara nyata peningkatan kesejahteraan sekaligus mengurangi ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain yang lebih maju.
Secara eksternal, tantangan tersebut dihadapkan pada situasi persaingan ekonomi antarnegara yang makin runcing akibat makin pesat dan meluasnya proses globalisasi. Basis kekuatan ekonomi yang masih banyak mengandalkan upah tenaga kerja yang murah dan ekspor bahan mentah dari eksploitasi sumber-sumber daya alam tak terbarukan, untuk masa depan perlu diubah menjadi perekonomian yang produk-produknya mengandalkan keterampilan SDM serta mengandalkan produk-produk yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global sehingga ekspor bahan mentah dapat dikurangi kemudian digantikan dengan ekspor produk yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global. Perkembangan ekonomi regional di kawasan Asia Timur dan Asia Selatan yang pesat dengan tumbuhnya raksasa ekonomi global di masa depan, seperti Cina dan India, merupakan salah satu fokus utama yang perlu dipertimbangkan secara cermat di dalam menyusun pengembangan struktur dan daya saing perekonomian nasional. Dengan demikian, integrasi perekonomian nasional ke dalam proses globalisasi dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dan sekaligus dapat meminimalkan dampak negatif yang muncul.
Secara internal, tantangan tersebut dihadapkan pada situasi pertambahan penduduk nasional yang masih relatif tinggi dan rasio penduduk usia produktif yang diperkirakan mencapai tingkat maksimal (sekitar 50 persen dari total penduduk) pada periode tahun 2020–2030. Dalam periode tersebut, angkatan kerja diperkirakan meningkat hampir dua kali lipat jumlahnya dari kondisi saat ini. Dengan komposisi pendidikan angkatan kerja yang pada tahun 2004 sekitar 50 persen berpendidikan setingkat SD, dalam 20 tahun ke depan komposisi pendidikan angkatan kerja diperkirakan akan didominasi oleh angkatan kerja yang berpendidikan setingkat SMP sampai dengan SMU. Dengan demikian, kapasitas perekonomian pada masa depan dituntut untuk mampu tumbuh dan berkembang agar mampu menyediakan tambahan lapangan kerja yang layak.
Tantangan internal yang penting lainnya adalah terlalu teraglomerasinya aktivitas perekonomian di pulau Jawa yang melebihi daya dukung optimal lingkungan hidupnya. Pada masa yang akan datang, perekonomian juga dituntut untuk mampu berkembang secara lebih proporsional di seluruh wilayah tanah air dengan mendorong perkembangan ekonomi di luar pulau Jawa, dalam rangka pemerataan pembangunan untuk mengurangi kesenjangan regional. Selain akan bermanfaat untuk menjaga keseimbangan lingkungan, terutama di pulau Jawa, hal tersebut juga akan berguna untuk memperkuat perekonomian domestik yang ditunjukkan oleh diversifikasi perekonomian sekaligus perbaikan di dalam kesempatan kerja dan berusaha sehingga pada gilirannya akan meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat secara nasional.
Kemajuan ekonomi perlu didukung oleh kemampuan suatu bangsa di dalam mengembangkan potensi dirinya untuk mewujudkan kemandirian. Kepentingan utama dalam pembangunan tersebut adalah mempertahankan kedaulatan perekonomian serta mengurangi ketergantungan ekonomi dari pengaruh luar, tetapi tetap berdaya saing. Dengan pemahaman itu, tantangan utama kemajuan ekonomi adalah mengembangkan aktivitas perekonomian yang didukung oleh penguasaan dan penerapan teknologi serta peningkatan produktivitas SDM, mengembangkan kelembagaan ekonomi yang efisien yang menerapkan praktik-praktik terbaik dan prinsip- prinsip pemerintahan yang baik, serta menjamin ketersediaan kebutuhan dasar dalam negeri.
Pemecahan masalah kemiskinan perlu didasarkan pada pemahaman suara masyarakat miskin dan adanya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat secara bertahap, yaitu hak sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Tantangan yang dihadapi, antara lain, yaitu kurangnya pemahaman terhadap hak-hak dasar masyarakat miskin, kurangnya keberpihakan dalam perencanaan dan penganggaran, lemahnya sinergi dan koordinasi kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, rendahnya partisipasi dan terbatasnya akses masyarakat miskin terutama perempuan dalam pengambilan keputusan baik dalam keluarga maupun masyarakat, serta keterbatasan pemahaman dalam mengembangkan potensi daerah berpenduduk miskin padahal investasi daerah miskin di pedesaan dan daerah kumuh perkotaan dalam bukti empiris dapat menghasilkan atau mengembangkan potensi bagi sentra kegiatan ekonomi. C. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Persaingan yang makin tinggi pada masa yang akan datang menuntut peningkatan kemampuan dalam penguasaan dan penerapan iptek dalam rangka menghadapi perkembangan global menuju ekonomi berbasis pengetahuan. Dalam rangka meningkatkan kemampuan iptek nasional, tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan kontribusi iptek untuk meningkatkan kemampuan dalam memenuhi hajat hidup bangsa; menciptakan rasa aman; memenuhi kebutuhan kesehatan dasar, energi, dan pangan; memperkuat sinergi kebijakan iptek dengan kebijakan sektor lain; mengembangkan budaya iptek di kalangan masyarakat; meningkatkan komitmen bangsa terhadap pengembangan iptek; mengatasi degradasi fungsi lingkungan; mengantisipasi dan menanggulangi bencana alam; serta meningkatkan ketersediaan dan kualitas sumber daya iptek, baik SDM, sarana dan prasarana, maupun pembiayaan iptek. D. Sarana dan Prasarana 1. Pemenuhan kebutuhan penyediaan air baku di berbagai sektor kehidupan menghadapi tantangan utama, yaitu meningkatkan pasokan air baku yang ditempuh melalui pengembangan prasarana penampung air yang dapat dikelola bersama oleh masyarakat. Selain itu, pengembangan sarana dan prasarana pengendali daya rusak air harus mampu mengantisipasi perkembangan daerah-daerah permukiman dan industri baru. Intervensi sarana dan prasarana juga perlu dilakukan untuk mengurangi laju sedimentasi sejalan dengan upaya-upaya konservasi dan reboisasi terutama dengan mengembangkan bangunan-bangunan pengendali sedimen yang dapat dikelola oleh masyarakat. Pengelolaan jaringan irigasi belum diselenggarakan dengan pengutamaan peran masyarakat petani dengan dukungan penuh dari pemerintah dan pihak pengguna air irigasi. Peningkatan kemampuan kelembagaan pengelola sarana dan prasarana sumber daya air harus terus dikembangkan sesuai prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya air terpadu ( integrated water resources management ). Upaya mempertahankan kondisi kualitas air yang ada serta pemulihan terhadap kualitas air yang telah tercemar diwujudkan melalui pendekatan pengelolaan lingkungan hidup dan penerapan teknologi.
Tantangan yang dihadapi oleh sektor transportasi pada masa yang akan datang adalah mengembangkan sistem transportasi nasional yang efisien dan efektif, terjangkau, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Untuk itu diperlukan peningkatan transportasi yang terpadu antarmoda dan intramoda serta selaras dengan pengembangan wilayah, mewujudkan pelayanan transportasi yang mendukung pembangunan ekonomi sosial dan budaya, serta mendukung kesatuan dan persatuan NKRI dan perwujudan negara kepulauan. Tantangan utama dalam rangka meningkatkan kapasitas sumber daya agar dapat melaksanakan pembangunan transportasi nasional adalah meningkatkan kapasitas kelembagaan dan peraturan yang kondusif, meningkatkan iklim kompetisi yang sehat, meningkatkan peran serta negara, swasta, dan masyarakat dalam pelayanan tranportasi publik, mengembangkan alternatif pembiayaan dan investasi, dan mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi transportasi yang tepat guna, hemat energi, dan ramah lingkungan.
Globalisasi, kemajuan teknologi, dan tuntutan kebutuhan masyarakat yang makin meningkat untuk mendapatkan akses informasi menuntut adanya penyempurnaan dalam hal penyelenggaraan pembangunan pos dan telematika. Oleh karena itu, perlu adanya integrasi antara pendidikan dengan teknologi informasi serta sektor-sektor strategis lainnya. Walaupun pembangunan pos dan telematika saat ini telah mengalami berbagai kemajuan, informasi masih merupakan barang yang dianggap mewah dan hanya dapat diakses dan dimiliki oleh sebagian kecil masyarakat. Oleh sebab itu, tantangan utama yang dihadapi dalam sektor itu adalah meningkatkan penyebaran dan pemanfaatan arus informasi dan teledensitas pelayanan pos dan telematika masyarakat pengguna jasa. Tantangan lainnya adalah konvergensi teknologi informasi dan komunikasi yang menghilangkan sekat antara telekomunikasi, teknologi informasi dan penyiaran, pendidikan dan etika moral.
Tantangan utama yang dihadapi dalam sektor energi adalah meningkatkan keandalan pasokan energi, sarana dan prasarana, serta proses dan penyalurannya untuk keperluan domestik karena belum ada kebijakan tarif lokal untuk memenuhi kebutuhan berbagai jenis energi serta sarana dan prasarananya. Di samping itu, lokasi sumber daya energi yang potensial yang sebagian besar berada di luar pulau Jawa, selama ini pengembangannya terbatas hanya untuk menyalurkan energi konvensional dari lokasi sumber daya ke pusat permintaan energi, sedangkan sarana dan prasarana energi lainnya terutama energi terbarukan masih sangat tertinggal.
Tantangan yang dihadapi untuk memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat dan mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh, adalah (a) melakukan reformasi secara serentak, khususnya yang berkaitan dengan perpajakan, retribusi/biaya perizinan daerah, pertanahan dan tata ruang, sebagai upaya untuk menekan dan mengurangi harga rumah sehingga dapat meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat; (b) menyempurnakan pola subsidi sektor perumahan yang tepat sasaran, transparan, akuntabel, dan pasti, khususnya subsidi bagi masyarakat berpendapatan rendah; (c) mendorong adanya insentif perpajakan kepada dunia usaha agar berpartisipasi secara langsung dalam penyediaan perumahan; dan (d) melakukan penguatan swadaya masyarakat dalam pembangunan rumah melalui pemberian fasilitas kredit mikro perumahan, fasilitasi untuk pemberdayaan masyarakat, dan bantuan teknis kepada kelompok masyarakat yang berswadaya dalam pembangunan rumah. Dengan demikian, penyediaan perumahan dapat diselenggarakan dengan tidak hanya mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat, melainkan juga melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Dengan makin terbatasnya sumber dana yang dapat dimobilisasi oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan sarana dan prasarana, anggaran pemerintah akan lebih difokuskan pada penyediaan sarana dan prasarana yang secara ekonomi dan sosial bermanfaat, tetapi secara finansial kurang layak. Untuk proyek sarana dan prasarana yang layak secara finansial akan dibangun dengan memanfaatkan dana-dana masyarakat dan membuka peluang kerja sama dengan badan usaha, terutama swasta dalam rangka penyelenggaraan pembangunan sarana dan prasarana. Hal itu, merupakan tantangan yang menuntut dilakukannya berbagai penyempurnaan aturan main, terutama yang berkaitan dengan struktur industri penyediaan sarana dan prasarana serta pentingnya reformasi di sektor keuangan guna memfasilitasi kebutuhan akan dana- dana jangka panjang masyarakat yang tersimpan di berbagai lembaga keuangan. E. Politik 1. Tantangan terberat dalam kurun waktu 20 tahun mendatang dalam pembangunan politik adalah menjaga proses konsolidasi demokrasi secara berkelanjutan. Dalam menjaga momentum demokrasi tersebut, tantangan yang akan dihadapi adalah melaksanakan reformasi struktur politik, menyempurnakan proses politik, dan mengembangkan budaya politik yang lebih demokratis agar demokrasi berjalan bersamaan dan berkelanjutan sehingga sasaran tercapainya demokrasi yang bersifat prosedural dan substansial dapat tercapai. Tantangan lain yang dihadapi untuk menjaga konsolidasi demokrasi adalah perlunya menyepakati pentingnya konstitusi yang lebih demokratis. Proses perubahan yang sudah berlangsung 4 (empat) kali masih menyisakan berbagai persoalan ketidaksempurnaan dalam hal filosofi maupun substansi konstitusional, terutama dalam kaitannya dengan pelembagaan dan penerapan nilai-nilai demokrasi secara luas.
Konsolidasi demokrasi memerlukan dukungan seluruh masyarakat Indonesia yang bersatu padu dalam wadah NKRI. Tantangan utamanya adalah meneguhkan kembali makna penting persatuan nasional dengan memerhatikan berbagai keanekaragaman latar belakang dan kondisi. Hal itu meliputi aspek desentralisasi, keadilan sosial, serta sensitif politik yang belum tuntas penyelesaiannya, seperti masalah federalisme, masalah pemberlakuan syariat Islam, dan masalah hubungan negara dan agama. Tantangan lain dalam melaksanakan konsolidasi demokrasi adalah melaksanakan rekonsiliasi nasional untuk menyelesaikan dan menuntaskan persoalan-persoalan yang masih mengganjal pada masa yang lalu, seperti pelanggaran HAM berat dan tindakan-tindakan kejahatan politik yang dilakukan atas nama negara. Terkait dengan telah dirumuskannya format hubungan pusat dan daerah yang baru, tantangan ke depan adalah menciptakan hubungan pusat dengan daerah yang benar-benar mampu memadukan kepentingan dalam upaya memperkuat ikatan NKRI dan tetap menjaga berkembangnya iklim demokrasi hingga ke tingkat lokal atau dinamika di berbagai daerah 3. Tantangan lain untuk menjaga konsolidasi demokrasi adalah perlunya mereformasi birokrasi sipil dan TNI-Polri. Konsolidasi demokrasi memerlukan pelaksana kebijakan yang reformis di dalam pemerintahan dan memerlukan dukungan birokrasi yang memenuhi syarat profesionalisme, kredibilitas dan kapasitas, serta efisiensi dan efektivitas. Di samping itu, salah satu tantangan demokrasi terbesar adalah masih belum kuatnya masyarakat sipil, baik dari segi ekonomi maupun pendidikan. Oleh karena itu, dalam kurun waktu dua puluh tahun ke depan, pendidikan politik akan merupakan alat transformasi sosial menuju demokrasi. Masyarakat sipil yang kuat sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat dalam merespon dan memahami dinamika pasar global dan pasar dalam negeri serta saling berinteraksi antara negara, masyarakat sipil, dan pasar dalam mewujudkan negara yang demokratis. Tantangan lain untuk menjaga proses konsolidasi demokrasi adalah mendorong terbangunnya partai politik yang mandiri dan memiliki kapasitas untuk melaksanakan pendidikan politik rakyat, mengagregasi dan menyalurkan aspirasi politik rakyat, serta menyeleksi pimpinan politik yang akan mengelola penyelenggaraan negara secara profesional.
Konsolidasi demokrasi akan dihadapkan pula pada tantangan bagaimana melembagakan kebebasan pers/media massa. Akses masyarakat terhadap informasi yang bebas dan terbuka, dalam banyak hal, akan lebih memudahkan kontrol atas pemenuhan kepentingan publik. Peran media massa yang bebas sangat menentukan dalam proses menemukan, mencegah, mempublikasikan berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan dan korupsi. Tantangan lain adalah mengatasi berbagai dampak negatif perkembangan industri pers yang cenderung berpihak pada kepentingan kapitalis dan bukan mengedepankan kepentingan masyarakat luas. Keseluruhan upaya tersebut berada dalam konteks menempatkan peranan pers sebagai salah satu pilar dari perkembangan demokrasi suatu negara.
Berkenaan dengan hubungan luar negeri, tantangan dalam dua puluh tahun mendatang adalah menempatkan posisi Indonesia secara tepat atas isi-isu global dengan memanfaatkan posisi strategis Indonesia secara maksimal bagi kepentingan nasional dan merevitalisasi konsep identitas nasional dalam politik luar negeri. Selain itu, bersama negara-negara berkembang lainnya, diplomasi Indonesia juga perlu terus mendorong ke arah terciptanya tatanan ekonomi dunia yang lebih adil, meningkatnya dukungan dan peran berbagai pelaku dalam menyelenggarakan hubungan luar negeri, dan terlaksananya hubungan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia. Sikap Pelaksanaan politik luar negeri RI yang bebas dan aktif ditujukan pula untuk mendukung upaya memperkuat peranan kelembagaan regional, terutama untuk memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang pada tingkat regional. Tantangan lain yang dihadapi adalah melaksanakan strategi yang tepat dalam menghadapi potensi konflik teritorial dengan negara-negara tetangga melalui upaya untuk menindaklanjuti United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang merupakan salah satu langkah strategis, baik dalam konteks penguatan perlindungan terhadap kedaulatan wilayah dari segi hukum internasional maupun pemanfaatan nilai-nilai ekonomi karena Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Di samping itu, kecenderungan-kecenderungan unilateralisme ke depan akan dapat menyebabkan lumpuhnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai institusi utama dalam diplomasi multilateral untuk menegakkan perdamaian dan keamanan internasional. Untuk menghindari hal tersebut, Indonesia perlu ikut menyuarakan dan memperjuangkan makna penting multilateralisme secara global dengan mengedepankan perlunya reformasi dan demokratisasi PBB menjadi tantangan yang harus diwujudkan secara konsisten dan berkelanjutan. F. Pertahanan Keamanan 1. Perubahan geopolitik internasional yang ditandai dengan memudarnya prinsip multilateralisme dan menguatnya pendekatan unilateralisme yang berdampak pada berkembangnya doktrin pertahanan pre-emptive strike akan mengubah sama sekali tataran politik internasional dan dapat menembus batas-batas yurisdiksi sebuah negara di luar kewajaran hukum internasional yang berlaku saat ini. Selain itu, menguatnya kemampuan militer negara tetangga yang secara signifikan melebihi kemampuan pertahanan Republik Indonesia telah melemahkan posisi tawar dalam ajang diplomasi internasional. Oleh karena itu, salah satu tantangan utama pembangunan kemampuan pertahanan dan keamanan yang harus diatasi pada masa mendatang adalah membangun kekuatan pertahanan yang melampaui kekuatan pertahanan minimal, sehingga disegani di kawasan regional dan internasional.
Potensi dan ancaman konflik berintensitas rendah yang didukung dengan perkembangan metode dan alat teknologi tinggi diperkirakan akan makin meningkat pada masa mendatang. Potensi dan ancaman tersebut adalah terorisme, konflik komunal, kejahatan transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara terutama di wilayah yurisdiksi laut Indonesia dan wilayah perbatasan, serta berkembangnya variasi tindak kriminal konvensional. Tantangan lain dalam pembangunan pertahanan dan keamanan adalah meningkatkan profesionalisme Polri seiring dengan peningkatan kesejahteraan anggotanya agar mampu melindungi dan mengayomi masyarakat, mencegah tindak kejahatan, menuntaskan tindak kriminalitas, serta meningkatkan profesionalisme TNI seiring dengan peningkatan kesejahteraan prajurit serta penguatan kapasitas lembaga intelijen dan kontra intelijen dalam rangka menciptakan keamanan nasional.
Ancaman dan gangguan bagi kedaulatan negara, keselamatan bangsa, dan keutuhan wilayah sangat terkait dengan bentang dan posisi geografis yang sangat strategis, kekayaan alam yang melimpah, serta belum tuntasnya pembangunan karakter dan kebangsaan, terutama pemahaman mengenai masalah multikulturalisme yang dapat berdampak pada munculnya gerakan separatisme dan konflik horizontal. Sementara itu, kemampuan pertahanan dan keamanan saat ini dihadapkan pada situasi kekurangan jumlah dan ketidaksiapan alutsista dan alat utama lainnya yang jika tidak dilakukan upaya percepatan penggantian, peningkatan, dan penguatan akan menyulitkan penegakkan kedaulatan negara, penyelamatan bangsa, dan penjagaan keutuhan wilayah di masa mendatang. Keadaan tersebut diperburuk oleh terjadinya kelemahan sistemik komponen cadangan dan pendukung pertahanan yang merupakan prasyarat berfungsinya sistem pertahanan semesta. Oleh karena itu, tantangan yang juga harus diatasi untuk membangun kemampuan pertahanan dan keamanan adalah meningkatkan jumlah dan kondisi alutsista TNI untuk mencapai kekuatan yang melampaui kekuatan pertahanan minimal; mengembangkan alat utama Polri, lembaga intelijen, dan kontra intelijen sesuai dengan kemajuan teknologi; dan meningkatkan kesiapan komponen cadangan dan pendukung pertahanan termasuk membangun kemampuan industri pertahanan nasional. Upaya lebih lanjut dalam pengembangan industri pertahanan nasional memerlukan dukungan berbagai kalangan agar dapat menciptakan kemandirian alutsista TNI dan alat utama (alut) Polri yang dibarengi dengan penataan lebih lanjut pola interaksi antara TNI dan Polri terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya masing-masing.
Upaya memodernkan alutsista TNI secara bertahap terhambat oleh embargo yang dilakukan oleh beberapa negara. Kondisi itu diperparah dengan relatif rendahnya upaya pemanfaatan industri nasional dalam memenuhi kebutuhan peralatan pertahanan dan keamanan. Ketidaksesuaian di antara kebutuhan peralatan di satu sisi serta kemampuan teknis dan finansial industri nasional di sisi lain juga merupakan salah satu penyebab ketertinggalan dan ketergantungan peralatan pertahanan dan keamanan terhadap negara lain. Dengan demikian, untuk mewujudkan kemandirian dalam pembangunan pertahanan dan keamanan diperlukan industri pertahanan dan keamanan nasional yang tangguh. G. Hukum dan Aparatur 1. Tantangan ke depan di dalam mewujudkan sistem hukum nasional yang mantap adalah mewujudkan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM berdasarkan keadilan dan kebenaran.
Saat ini birokrasi belum mengalami perubahan mendasar. Banyak permasalahan belum terselesaikan. Permasalahan itu makin meningkat kompleksitasnya dengan desentralisasi, demokratisasi, globalisasi, dan revolusi teknologi informasi. Proses demokratisasi yang dijalankan telah membuat rakyat makin sadar akan hak dan tanggung jawabnya. Untuk itu, partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara termasuk dalam pengawasan terhadap birokrasi perlu terus dibangun dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Tingkat partisipasi masyarakat yang rendah akan membuat aparatur negara tidak dapat menghasilkan kebijakan pembangunan yang tepat. Kesiapan aparatur negara dalam mengantisipasi proses demokratisasi perlu dicermati agar mampu memberikan pelayanan yang dapat memenuhi aspek transparansi, akuntabilitas, dan kualitas yang prima dari kinerja organisasi publik. Globalisasi juga membawa perubahan yang mendasar pada sistem dan mekanisme pemerintahan. Revolusi teknologi dan informasi (TI) akan mempengaruhi terjadinya perubahan manajemen penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Pemanfaatan TI dalam bentuk e-government, e-procurement, e-business dan cyber law selain akan menghasilkan pelayanan publik yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah, juga akan meningkatkan diterapkannya prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik. H. Wilayah dan Tata Ruang 1. Pengaturan tata ruang sesuai peruntukan merupakan tantangan pada masa yang akan datang yang harus dihadapi untuk mengatasi krisis tata ruang yang telah terjadi. Untuk itu diperlukan penataan ruang yang baik dan berada dalam satu sistem yang menjamin konsistensi antara perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang. Penataan ruang yang baik diperlukan bagi (a) arahan lokasi kegiatan, (b) batasan kemampuan lahan, termasuk di dalamnya adalah daya dukung lingkungan dan kerentanan terhadap bencana alam, (c) efisiensi dan sinkronisasi pemanfaatan ruang dalam rangka penyelenggaraan berbagai kegiatan. Penataan ruang yang baik juga harus didukung dengan regulasi tata ruang yang searah, dalam arti tidak saling bertabrakan antarsektor, dengan tetap memerhatikan keberlanjutan dan daya dukung lingkungan, serta kerentanan wilayah terhadap terjadinya bencana.
Pengurangan kesenjangan pembangunan antarwilayah perlu dilakukan tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, tetapi juga untuk menjaga stabilitas dan kesatuan nasional. Tujuan penting dan mendasar yang akan dicapai untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah bukan untuk memeratakan pembangunan fisik di setiap daerah, terutama untuk mengurangi kesenjangan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, baik di masing- masing daerah maupun antardaerah. Dalam kaitan itu, perlu diperhatikan pemanfaatan potensi dan peluang dari keunggulan sumber daya alam kelautan yang selama ini belum optimal sebagai satu kesatuan pengelolaan sumber daya alam di dalam setiap wilayah.
Sementara itu, dari sisi eksternal secara pasti persaingan global akan semakin kuat berpengaruh pada pembangunan nasional pada masa yang akan datang. Perekonomian nasional akan menjadi lebih terbuka sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan daerah-daerah di Indonesia. Sejak tahun 2003, AFTA telah diberlakukan secara bertahap di lingkup negara-negara ASEAN, dan perdagangan bebas akan berlangsung sepenuhnya mulai tahun 2008. Selanjutnya, mulai tahun 2010 perdagangan bebas di seluruh wilayah Asia Pasifik akan dilaksanakan. Dalam kaitan itu, tantangan bagi daerah-daerah ialah menyiapkan diri menghadapi pasar global untuk mendapatkan keuntungan secara maksimal sekaligus mengurangi kerugian dari persaingan global melalui pengelolaan sumber daya yang efisien dan efektif. Oleh karena itu, tantangannya ialah memanfaatkan potensi dan peluang keunggulan di masing-masing daerah dalam rangka mendukung daya saing nasional sekaligus meminimalkan dampak negatif globalisasi. I. Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 1. Dengan menelaah kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup saat ini, apabila tidak diantisipasi dengan kebijakan dan tindakan yang tepat akan dihadapkan pada tiga ancaman, yaitu krisis pangan, krisis air, dan krisis energi. Ketiga krisis itu menjadi tantangan nasional jangka panjang yang perlu diwaspadai agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, yaitu terancamnya persatuan bangsa, meningkatnya semangat separatisme, dan menurunnya kesehatan masyarakat. Meningkatnya jumlah penduduk yang pesat menyebabkan kemampuan penyediaan pangan semakin terbatas. Hal itu disebabkan oleh meningkatnya konversi lahan sawah dan lahan pertanian produktif lainnya, rendahnya peningkatan produktivitas hasil pertanian, dan menurunnya kondisi jaringan irigasi dan prasarana irigasi. Selain itu, praktik pertanian konvensional mengancam kelestarian sumber daya alam dan keberlanjutan sistem produksi pertanian. Di lain pihak, bertambahnya kebutuhan lahan pertanian dan penggunaan lainnya akan mengancam keberadaan hutan dan terganggunya keseimbangan tata air. Memburuknya kondisi hutan akibat deforestasi yang meningkat pesat dan memburuknya penutupan lahan di wilayah hulu daerah aliran sungai menyebabkan menurunnya ketersediaan air yang mengancam turunnya debit air waduk dan sungai pada musim kemarau serta berkurangnya pasokan air untuk pertanian dan pengoperasian pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Sementara itu, kelangkaan ketersediaan energi tak terbarukan juga terus terjadi karena pola konsumsi energi masih menunjukkan ketergantungan pada sumber energi tak terbarukan. Tantangan utama dalam penyediaan energi adalah meningkatkan kemampuan produksi minyak dan gas bumi yang sekaligus memperbesar penerimaan devisa, memperbanyak infrastruktur energi untuk memudahkan layanan kepada masyarakat, serta mengurangi ketergantungan terhadap minyak dan meningkatkan kontribusi gas, batubara, serta energi terbarukan seperti biogas, biomassa, panas bumi ( geothermal ), energi matahari, arus laut, dan tenaga angin. Selain itu, terdapat kemungkinan pengembangan energi tenaga nuklir yang memerlukan penelitian mendalam tentang keamanan teknologi yang digunakan, lokasi geografis, dan risiko yang mungkin akan dihadapi.
Kemajuan dapat diperoleh dengan memanfaatkan (a) sumber daya alam daratan (seperti hutan, tambang, dan lahan untuk budidaya yang cakupannya dibatasi oleh wilayah kedaulatan negara) dan (b) sumber daya kelautan, yang tersebar di wilayah laut teritorial, zona ekonomi ekslusif sampai dengan 200 mil laut dan hak pengelolaan di wilayah laut lepas yang jaraknya dapat lebih dari 200 mil laut. Mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya kelautan untuk perhubungan laut, perikanan, pariwisata, pertambangan, industri maritim, bangunan laut, dan jasa kelautan menjadi tantangan yang perlu dipersiapkan agar dapat menjadi tumpuan masa depan bangsa. Sumbangan sumber daya kelautan terhadap perekonomian nasional yang cukup besar merupakan urutan kedua setelah jasa-jasa. Bahkan, terdapat kecenderungan daya saing industri pada saat ini telah bergeser ke arah industri berbasis kelautan. Pembangunan kelautan pada masa mendatang memerlukan dukungan politik dan pemihakan yang nyata dari seluruh pemangku kepentingan, yang tentunya menjadi tantangan seluruh komponen bangsa.
Meningkatnya kasus pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh laju pertumbuhan penduduk yang terkonsentrasi di wilayah perkotaan, perubahan gaya hidup yang konsumtif, serta rendahnya kesadaran masyarakat perlu ditangani secara berkelanjutan. Kemajuan transportasi dan industrialisasi, pencemaran sungai dan tanah oleh industri, pertanian, dan rumah tangga memberi dampak negatif yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan sistem lingkungan secara keseluruhan dalam menyangga kehidupan manusia. Keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang juga menghadapi tantangan akan adanya perubahan iklim dan pemanasan global yang berdampak pada aktivitas dan kehidupan manusia. Sementara itu, pemanfaatan keanekaragaman hayati belum berkembang sebagaimana mestinya. Pengembangan nilai tambah kekayaan keanekaragaman hayati dapat menjadi alternatif sumber daya pembangunan yang dapat dinikmati, baik oleh generasi sekarang maupun mendatang, sehingga memerlukan berbagai penelitian, perlindungan, dan pemanfaatan secara lestari selain upaya ke arah pematenan (hak atas kekayaan intelektual/HAKI). Oleh karena itu, penyelamatan ekosistem beserta flora-fauna di dalamnya menjadi bagian integral dalam membangun daya saing Indonesia. II.3 MODAL DASAR Modal dasar pembangunan nasional adalah seluruh sumber kekuatan nasional, baik yang efektif maupun potensial, yang dimiliki dan didayagunakan bangsa Indonesia dalam pembangunan nasional.
Wilayah Indonesia, yang dideklarasikan pada tanggal 13 Desember 1957 dan diterima menjadi bagian dari hukum laut internasional (UNCLOS, 1982), menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan wilayah laut terluas, jumlah pulau terbanyak, dan pantai terpanjang kedua di dunia. Letak geografis Indonesia yang berada di khatulistiwa serta di antara dua benua dan dua samudera sangat strategis bagi hubungan antarbangsa di dunia. Wilayah Indonesia yang seperti itu sangat penting disadari karena merupakan kekuatan sekaligus kelemahan dan memberikan peluang serta ancaman yang menjadi basis bagi kebijakan pembangunan di berbagai bidang, baik di bidang sosial dan budaya, ekonomi industri, wilayah, lingkungan hidup, pertahanan keamanan, maupun hukum dan aparatur negara.
Kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang terdapat di darat, laut, udara dan dirgantara terbatas jumlahnya sehingga pendayagunaannya harus dilakukan secara bertanggungjawab untuk kemakmuran rakyat.
Penduduk dalam jumlah besar dengan budaya sangat beragam merupakan sumber daya potensial dan produktif bagi pembangunan nasional.
Perkembangan politik yang telah melalui tahap awal reformasi telah memberikan perubahan yang mendasar bagi demokratisasi di bidang politik dan ekonomi serta desentralisasi di bidang pemerintahan dan pengelolaan pembangunan. BAB III VISI DAN MISI PEMBANGUNAN NASIONAL TAHUN 2005–2025 Berdasarkan kondisi bangsa Indonesia saat ini, tantangan yang dihadapi dalam 20 tahunan mendatang dengan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dan amanat pembangunan yang tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, visi pembangunan nasional tahun 2005–2025 adalah: Visi pembangunan nasional tahun 2005–2025 itu mengarah pada pencapaian tujuan nasional, seperti tertuang dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Visi pembangunan nasional tersebut harus dapat diukur untuk dapat mengetahui tingkat kemandirian, kemajuan, keadilan dan kemakmuran yang ingin dicapai. Kemandirian adalah hakikat dari kemerdekaan, yaitu hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan menentukan apa yang terbaik bagi diri bangsanya. Oleh karena itu, pembangunan, sebagai usaha untuk mengisi kemerdekaan, haruslah pula merupakan upaya membangun kemandirian. Kemandirian bukanlah kemandirian dalam keterisolasian. Kemandirian mengenal adanya kondisi saling ketergantungan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam suatu negara maupun bangsa. Terlebih lagi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas ketergantungan antarbangsa semakin kuat. Kemandirian yang demikian adalah paham yang proaktif dan bukan reaktif atau defensif. Kemandirian merupakan konsep yang dinamis karena mengenali bahwa kehidupan dan kondisi saling ketergantungan senantiasa berubah, baik konstelasinya, perimbangannya, maupun nilai-nilai yang mendasari dan mempengaruhinya. Bangsa mandiri adalah bangsa yang mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang telah maju dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Oleh karena itu, untuk membangun kemandirian, mutlak harus dibangun kemajuan ekonomi. Kemampuan untuk berdaya saing menjadi kunci untuk mencapai kemajuan sekaligus kemandirian. Kemandirian suatu bangsa tercermin, antara lain, pada ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memenuhi tuntutan kebutuhan dan kemajuan pembangunannya; kemandirian aparatur pemerintah dan aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya; ketergantungan pembiayaan pembangunan yang bersumber dari dalam negeri yang makin kokoh sehingga ketergantungan kepada sumber dari luar negeri menjadi kecil; dan kemampuan memenuhi sendiri kebutuhan pokok. Apabila karena sumber daya alam tidak lagi memungkinkan, kelemahan itu diimbangi dengan keunggulan lain sehingga tidak membuat ketergantungan dan kerawanan serta mempunyai daya tahan tinggi terhadap perkembangan dan gejolak ekonomi dunia. Secara lebih mendasar lagi, kemandirian sesungguhnya mencerminkan sikap seseorang atau sebuah bangsa mengenai dirinya, masyarakatnya, serta semangatnya dalam menghadapi tantangan-tantangan. Karena menyangkut sikap, kemandirian pada dasarnya adalah masalah budaya dalam arti seluas- luasnya. Sikap kemandirian harus dicerminkan dalam setiap aspek kehidupan, baik hukum, ekonomi, politik, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan. Tingkat kemajuan suatu bangsa dinilai berdasarkan berbagai ukuran. Ditinjau dari indikator sosial, tingkat kemajuan suatu negara diukur dari kualitas sumber daya manusianya. Suatu bangsa dikatakan makin maju apabila sumber daya manusianya memiliki kepribadian bangsa, berakhlak mulia, dan berkualitas pendidikan yang tinggi. Tingginya kualitas pendidikan penduduknya ditandai oleh makin menurunnya tingkat pendidikan terendah serta meningkatnya partisipasi pendidikan dan jumlah tenaga ahli serta profesional yang dihasilkan oleh sistem pendidikan. Kemajuan suatu bangsa juga diukur berdasarkan indikator kependudukan, ada kaitan yang erat antara kemajuan suatu bangsa dengan laju pertumbuhan penduduk, termasuk derajat kesehatan . Bangsa yang sudah maju ditandai dengan laju pertumbuhan penduduk yang lebih kecil; angka harapan hidup yang lebih tinggi; dan kualitas pelayanan sosial yang lebih baik. Secara keseluruhan kualitas sumber daya manusia yang makin baik akan tercermin dalam produktivitas yang makin tinggi. Ditinjau dari tingkat perkembangan ekonomi, kemajuan suatu bangsa diukur dari tingkat kemakmurannya yang tercermin pada tingkat pendapatan dan pembagiannya. Tingginya pendapatan rata-rata dan ratanya pembagian ekonomi suatu bangsa menjadikan bangsa tersebut lebih makmur dan lebih maju. Negara yang maju pada umumnya adalah negara yang sektor industri dan sektor jasanya telah berkembang. Peran sektor industri manufaktur sebagai penggerak utama laju pertumbuhan makin meningkat, baik dalam segi penghasilan, sumbangan dalam penciptaan pendapatan nasional maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Selain itu, dalam proses produksi berkembang keterpaduan antarsektor, terutama sektor industri, sektor pertanian, dan sektor-sektor jasa; serta pemanfaatan sumber alam yang bukan hanya ada pada pemanfaatan ruang daratan, tetapi juga ditransformasikan kepada pemanfaatan ruang kelautan secara rasional, efisien, dan berwawasan lingkungan, mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara. Lembaga dan pranata ekonomi telah tersusun, tertata, dan berfungsi dengan baik, sehingga mendukung perekonomian yang efisien dengan produktivitas yang tinggi. Negara yang maju umumnya adalah negara yang perekonomiannya stabil. Gejolak yang berasal dari dalam maupun luar negeri dapat diredam oleh ketahanan ekonominya. Selain memiliki berbagai indikator sosial ekonomi yang lebih baik, bangsa yang maju juga telah memiliki sistem dan kelembagaan politik, termasuk hukum yang mantap. Lembaga politik dan kemasyarakatan telah berfungsi berdasarkan aturan dasar, yaitu konstitusi yang ditetapkan oleh rakyatnya. Bangsa yang maju juga ditandai oleh adanya peran serta rakyat secara nyata dan efektif dalam segala aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, maupun pertahanan dan keamanan. Dalam aspek politik, sejarah menunjukkan adanya keterkaitan erat antara kemajuan suatu bangsa dan sistem politik yang dianutnya. Bangsa yang maju pada umumnya menganut sistem demokrasi, yang sesuai dengan budaya dan latar belakang sejarahnya. Bangsa yang maju adalah bangsa yang hak-hak warganya, keamanannya, dan ketenteramannya terjamin dalam kehidupannya. Selain unsur-unsur tersebut, bangsa yang maju juga harus didukung dengan infrastruktur yang maju. Kemandirian dan kemajuan suatu bangsa tidak hanya dicerminkan oleh perkembangan ekonomi semata, tetapi mencakup aspek yang lebih luas. Kemandirian dan kemajuan juga tercermin dalam keseluruhan aspek kehidupan, dalam kelembagaan, pranata-pranata, dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan politik dan sosial. Pembangunan bangsa Indonesia bukan hanya sebagai bangsa yang mandiri dan maju, melainkan juga bangsa yang adil dan makmur. Sebagai pelaksana dan penggerak pembangunan sekaligus objek pembangunan, rakyat mempunyai hak, baik dalam merencanakan, melaksanakan, maupun menikmati hasil pembangunan. Pembangunan haruslah dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh karena itu, masalah keadilan merupakan ciri yang menonjol pula dalam pembangunan nasional. Keadilan dan kemakmuran harus tercermin pada semua aspek kehidupan. Semua rakyat mempunyai kesempatan yang sama dalam meningkatkan taraf kehidupan; memperoleh lapangan pekerjaan; mendapatkan pelayanan sosial, pendidikan dan kesehatan; mengemukakan pendapat; melaksanakan hak politik; mengamankan dan mempertahankan negara; serta mendapatkan perlindungan dan kesamaan di depan hukum. Dengan demikian, bangsa adil berarti tidak ada diskriminasi dalam bentuk apapun, baik antarindividu, gender, maupun wilayah. Bangsa yang makmur adalah bangsa yang sudah terpenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, sehingga dapat memberikan makna dan arti penting bagi bangsa-bangsa lain di dunia. Dalam mewujudkan visi pembangunan nasional tersebut ditempuh melalui 8 (delapan) misi pembangunan nasional sebagai berikut:
Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia , bermoral , beretika , berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila adalah memperkuat jati diri dan karakter bangsa melalui pendidikan yang bertujuan membentuk manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mematuhi aturan hukum, memelihara kerukunan internal dan antarumat beragama, melaksanakan interaksi antarbudaya, mengembangkan modal sosial, menerapkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, dan memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia dalam rangka memantapkan landasan spiritual, moral, dan etika pembangunan bangsa.
Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing adalah mengedepankan pembangunan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing; meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan iptek melalui penelitian, pengembangan, dan penerapan menuju inovasi secara berkelanjutan; membangun infrastruktur yang maju serta reformasi di bidang hukum dan aparatur negara; dan memperkuat perekonomian domestik berbasis keunggulan setiap wilayah menuju keunggulan kompetitif dengan membangun keterkaitan sistem produksi, distribusi, dan pelayanan termasuk pelayanan jasa dalam negeri.
Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum adalah memantapkan kelembagaan demokrasi yang lebih kokoh; memperkuat peran masyarakat sipil; memperkuat kualitas desentralisasi dan otonomi daerah; menjamin pengembangan media dan kebebasan media dalam mengomunikasikan kepentingan masyarakat; dan melakukan pembenahan struktur hukum dan meningkatkan budaya hukum dan menegakkan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif, dan memihak pada rakyat kecil.
Mewujudkan Indonesia aman , damai , dan bersatu adalah membangun kekuatan TNI hingga melampui kekuatan esensial minimum serta disegani di kawasan regional dan internasional; memantapkan kemampuan dan meningkatkan profesionalisme Polri agar mampu melindungi dan mengayomi masyarakat; mencegah tindak kejahatan, dan menuntaskan tindak kriminalitas; membangun kapabilitas lembaga intelijen dan kontra- intelijen negara dalam penciptaan keamanan nasional; serta meningkatkan kesiapan komponen cadangan, komponen pendukung pertahanan dan kontribusi industri pertahanan nasional dalam sistem pertahanan semesta.
Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan adalah meningkatkan pembangunan daerah; mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh, keberpihakan kepada masyarakat, kelompok dan wilayah/daerah yang masih lemah; menanggulangi kemiskinan dan pengangguran secara drastis; menyediakan akses yang sama bagi masyarakat terhadap berbagai pelayanan sosial serta sarana dan prasarana ekonomi; serta menghilangkan diskriminasi dalam berbagai aspek termasuk gender.
Mewujudkan Indonesia asri dan lestari adalah memperbaiki pengelolaan pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan, dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung, dan kenyamanan dalam kehidupan pada masa kini dan masa depan, melalui pemanfaatan ruang yang serasi antara penggunaan untuk permukiman, kegiatan sosial ekonomi, dan upaya konservasi; meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan yang berkesinambungan; memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan; memberikan keindahan dan kenyamanan kehidupan; serta meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan.
Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional adalah menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan; meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang berwawasan kelautan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan; mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan kemakmuran; dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan.
Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional adalah memantapkan diplomasi Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional; melanjutkan komitmen Indonesia terhadap pembentukan identitas dan pemantapan integrasi internasional dan regional; dan mendorong kerja sama internasional, regional dan bilateral antarmasyarakat, antarkelompok, serta antarlembaga di berbagai bidang. BAB IV ARAH, TAHAPAN, DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG TAHUN 2005–2025 Tujuan pembangunan jangka panjang tahun 2005–2025 adalah mewujudkan bangsa yang maju, mandiri, dan adil sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju masyarakat adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945. Sebagai ukuran tercapainya Indonesia yang maju, mandiri, dan adil, pembangunan nasional dalam 20 tahun mendatang diarahkan pada pencapaian sasaran-sasaran pokok sebagai berikut. A. Terwujudnya masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab ditandai oleh hal-hal berikut:
Terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan falsafah Pancasila yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi iptek.
Makin mantapnya budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya peradaban, harkat, dan martabat manusia Indonesia, dan menguatnya jati diri dan kepribadian bangsa. B. Terwujudnya bangsa yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera ditunjukkan oleh hal-hal berikut:
Tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkesinambungan sehingga pendapatan perkapita pada tahun 2025 mencapai tingkat kesejahteraan setara dengan negara-negara berpenghasilan menengah, dengan tingkat pengangguran terbuka yang tidak lebih dari 5 persen dan jumlah penduduk miskin tidak lebih dari 5 persen.
Meningkatnya kualitas sumber daya manusia, termasuk peran perempuan dalam pembangunan. Secara umum peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia ditandai dengan meningkatnya indeks pembangunan manusia (IPM) dan indeks pembangunan gender (IPG), serta tercapainya penduduk tumbuh seimbang.
Terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah Indonesia. Sektor pertanian, dalam arti luas, dan pertambangan menjadi basis aktivitas ekonomi yang dikelola secara efisien sehingga menghasilkan komoditi berkualitas, industri manufaktur yang berdaya saing global, motor penggerak perekonomian, serta jasa yang perannya meningkat dengan kualitas pelayanan lebih bermutu dan berdaya saing.
Tersusunnya jaringan infrastruktur perhubungan yang andal dan terintegrasi satu sama lain. Terpenuhinya pasokan tenaga listrik yang andal dan efisien sesuai kebutuhan, termasuk hampir sepenuhnya elektrifikasi rumah tangga dan elektrifikasi perdesaan dapat terpenuhi. Terselenggaranya pelayanan pos dan telematika yang efisien dan modern guna terciptanya masyarakat informasi Indonesia. Terwujudnya konservasi sumber daya air yang mampu menjaga keberlanjutan fungsi sumber daya air.
Meningkatnya profesionalisme aparatur negara pusat dan daerah untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, dan bertanggung jawab, serta profesional yang mampu mendukung pembangunan nasional. C. Terwujudnya Indonesia yang demokratis , berlandaskan hukum dan berkeadilan ditunjukkan oleh hal-hal berikut:
Terciptanya supremasi hukum dan penegakkan hak-hak asasi manusia yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta tertatanya sistem hukum nasional yang mencerminkan kebenaran, keadilan, akomodatif, dan aspiratif. Terciptanya penegakan hukum tanpa memandang kedudukan, pangkat, dan jabatan seseorang demi supremasi hukum dan terciptanya penghormatan pada hak-hak asasi manusia.
Menciptakan landasan konstitusional untuk memperkuat kelembagaan demokrasi.
Memperkuat peran masyarakat sipil dan partai politik dalam kehidupan politik.
Memantapkan pelembagaan nilai-nilai demokrasi yang menitikberatkan pada prinsip-prinsip toleransi, non-diskriminasi, dan kemitraan.
Terwujudnya konsolidasi demokrasi pada berbagai aspek kehidupan politik yang dapat diukur dengan adanya pemerintah yang berdasarkan hukum, birokrasi yang professional dan netral, masyarakat sipil, masyarakat politik dan masyarakat ekonomi yang mandiri, serta adanya kemandirian nasional. D. Terwujudnya rasa aman dan damai bagi seluruh rakyat serta terjaganya keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kedaulatan negara dari ancaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri ditandai oleh hal-hal berikut:
Terwujudnya keamanan nasional yang menjamin martabat kemanusiaan, keselamatan warga negara, dan keutuhan wilayah dari ancaman dan gangguan pertahanan dan keamanan, baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri.
TNI yang profesional, komponen cadangan dan pendukung pertahanan yang kuat terutama bela negara masyarakat dengan dukungan industri pertahanan yang andal.
Polri yang profesional, partisipasi kuat masyarakat dalam bidang keamanan, intelijen, dan kontra intelijen yang efektif, serta mantapnya koordinasi antara institusi pertahanan dan keamanan. E. Terwujudnya pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan ditandai oleh hal-hal berikut:
Tingkat pembangunan yang makin merata ke seluruh wilayah diwujudkan dengan peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, termasuk berkurangnya kesenjangan antarwilayah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemandirian pangan dapat dipertahankan pada tingkat aman dan dalam kualitas gizi yang memadai serta tersedianya instrumen jaminan pangan untuk tingkat rumah tangga.
Terpenuhi kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang yang berkelanjutan, efisien, dan akuntabel untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh.
Terwujudnya lingkungan perkotaan dan perdesaan yang sesuai dengan kehidupan yang baik, berkelanjutan, serta mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat. F. Terwujudnya Indonesia yang asri dan lestari ditandai oleh hal-hal berikut:
Membaiknya pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup yang dicerminkan oleh tetap terjaganya fungsi, daya dukung, dan kemampuan pemulihannya dalam mendukung kualitas kehidupan sosial dan ekonomi secara serasi, seimbang, dan lestari.
Terpeliharanya kekayaan keragaman jenis dan kekhasan sumber daya alam untuk mewujudkan nilai tambah, daya saing bangsa, serta modal pembangunan nasional.
Meningkatnya kesadaran, sikap mental, dan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup untuk menjaga kenyamanan dan kualitas kehidupan. G. Terwujudnya Indonesia sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional ditandai oleh hal-hal berikut:
Terbangunnya jaringan sarana dan prasarana sebagai perekat semua pulau dan kepulauan Indonesia.
Meningkat dan menguatnya sumber daya manusia di bidang kelautan yang didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal yang terkait dalam kerangka pertahanan negara.
Membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan.
Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut. H. Terwujudnya peranan Indonesia yang meningkat dalam pergaulan dunia internasional ditandai oleh hal-hal berikut:
Memperkuat dan mempromosikan identitas nasional sebagai negara demokratis dalam tatanan masyarakat internasional.
Memulihkan posisi penting Indonesia sebagai negara demokratis besar yang ditandai oleh keberhasilan diplomasi di fora internasional dalam upaya pemeliharaan keamanan nasional, integritas wilayah, dan pengamanan kekayaan sumber daya alam nasional.
Meningkatnya kepemimpinan dan kontribusi Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional dalam rangka mewujudkan tatanan dunia yang lebih adil dan damai.
Terwujudnya kemandirian nasional dalam konstelasi global.
Meningkatnya investasi perusahaan-perusahaan Indonesia di luar negeri. Untuk mencapai tingkat kemajuan, kemandirian, serta keadilan yang diinginkan, arah pembangunan jangka panjang selama kurun waktu 20 tahun mendatang adalah sebagai berikut. IV.1 ARAH PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG TAHUN 2005–2025 IV.1.1 MEWUJUDKAN MASYARAKAT YANG BERAKHLAK MULIA, BERMORAL, BERETIKA, BERBUDAYA, DAN BERADAB Terciptanya kondisi masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, dan beretika sangat penting bagi terciptanya suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis. Di samping itu, kesadaran akan budaya memberikan arah bagi perwujudan identitas nasional yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan menciptakan iklim kondusif dan harmonis sehingga nilai-nilai kearifan lokal akan mampu merespon modernisasi secara positif dan produktif sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan.
Pembangunan agama diarahkan untuk memantapkan fungsi dan peran agama sebagai landasan moral dan etika dalam pembangunan, membina akhlak mulia, memupuk etos kerja, menghargai prestasi, dan menjadi kekuatan pendorong guna mencapai kemajuan dalam pembangunan. Di samping itu, pembangunan agama diarahkan pula untuk meningkatkan kerukunan hidup umat beragama dengan meningkatkan rasa saling percaya dan harmonisasi antarkelompok masyarakat sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis.
Pembangunan dan pemantapan jati diri bangsa ditujukan untuk mewujudkan karakter bangsa dan sistem sosial yang berakar, unik, modern, dan unggul. Jati diri tersebut merupakan kombinasi antara nilai luhur bangsa, seperti religius, kebersamaan dan persatuan, serta nilai modern yang universal yang mencakup etos kerja dan prinsip tata kepemerintahan yang baik. Pembangunan jati diri bangsa tersebut dilakukan melalui transformasi, revitalisasi, dan reaktualisasi tata nilai budaya bangsa yang mempunyai potensi unggul dan menerapkan nilai modern yang membangun. Untuk memperkuat jati diri dan kebanggaan bangsa, pembangunan olah raga diarahkan pada peningkatan budaya dan prestasi olah raga.
Budaya inovatif yang berorientasi iptek terus dikembangkan agar bangsa Indonesia menguasai iptek serta mampu berjaya pada era persaingan global. Pengembangan budaya iptek tersebut dilakukan dengan meningkatkan penghargaan masyarakat terhadap iptek melalui pengembangan budaya membaca dan menulis, masyarakat pembelajar, masyarakat yang cerdas, kritis, dan kreatif dalam rangka pengembangan tradisi iptek dengan mengarahkan masyarakat dari budaya konsumtif menuju budaya produktif. Bentuk-bentuk pengungkapan kreativitas, antara lain melalui kesenian, tetap didorong untuk mewujudkan keseimbangan aspek material, spiritual, dan emosional. Pengembangan iptek serta kesenian diletakkan dalam kerangka peningkatan harkat, martabat, dan peradaban manusia. IV.1.2 MEWUJUDKAN BANGSA YANG BERDAYA-SAING Kemampuan bangsa untuk berdaya saing tinggi adalah kunci bagi tercapainya kemajuan dan kemakmuran bangsa. Daya saing yang tinggi, akan menjadikan Indonesia siap menghadapi tantangan-tantangan globalisasi dan mampu memanfaatkan peluang yang ada. Untuk memperkuat daya saing bangsa, pembangunan nasional dalam jangka panjang diarahkan untuk (a) mengedepankan pembangunan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing; (b) memperkuat perekonomian domestik berbasis keunggulan di setiap wilayah menuju keunggulan kompetitif dengan membangun keterkaitan sistem produksi, distribusi, dan pelayanan di dalam negeri; (c) meningkatkan penguasaan, pemanfaatan, dan penciptaan pengetahuan; dan (d) membangun infrastruktur yang maju; serta (e) melakukan reformasi di bidang hukum dan aparatur negara. A. Membangun Sumber Daya Manusia yang Berkualitas 1. Pembangunan sumber daya manusia memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan manusia Indonesia yang maju dan mandiri sehingga mampu berdaya saing dalam era globalisasi. Dalam kaitan itu, pembangunan sumber daya manusia diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang antara lain ditandai dengan meningkatnya indeks pembangunan manusia (IPM) dan indeks pembangunan gender (IPG), serta tercapainya penduduk tumbuh seimbang yang ditandai dengan angka reproduksi neto (NRR) sama dengan 1, atau angka kelahiran total (TFR) sama dengan 2,1.
Pengendalian jumlah dan laju pertumbuhan penduduk diarahkan pada peningkatan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi yang terjangkau, bermutu dan efektif menuju terbentuknya keluarga kecil yang berkualitas. Di samping itu, penataan persebaran dan mobilitas penduduk diarahkan menuju persebaran penduduk yang lebih seimbang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan melalui pemerataan pembangunan ekonomi dan wilayah dengan memerhatikan keragaman etnis dan budaya serta pembangunan berkelanjutan. Sistem administrasi kependudukan penting pula dilakukan untuk mendukung perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di tingkat nasional dan daerah serta mendorong terakomodasinya hak penduduk dan perlindungan sosial.
Pembangunan pendidikan dan kesehatan merupakan investasi dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia sehingga penting perannya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Pembangunan pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang berharkat, bermartabat, berakhlak mulia, dan menghargai keberagaman sehingga mampu bersaing dalam era global dengan tetap berlandaskan pada norma kehidupan masyarakat Indonesia dan tanpa diskriminasi. Komitmen pemerintah terhadap pendidikan harus tercermin pada kualitas sumber daya manusia, peningkatan kualitas ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta politik anggaran dan terintegrasinya seluruh pendidikan kedinasan ke dalam perguruan tinggi. Pelayanan pendidikan yang mencakup semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Oleh karena itu, perlu disediakan pendidikan dasar yang bermutu dan terjangkau disertai dengan pembebasan biaya pendidikan. Penyediaan pelayanan pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan sosial ekonomi Indonesia pada masa depan termasuk untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui pendalaman penguasaan teknologi. Pembangunan pendidikan diarahkan pula untuk menumbuhkan kebanggaan kebangsaan, akhlak mulia, serta kemampuan peserta didik untuk hidup bersama dalam masyarakat yang beragam yang dilandasi oleh penghormatan pada hak-hak asasi manusia (HAM). Penyediaan pelayanan pendidikan sepanjang hayat sesuai perkembangan iptek perlu terus didorong untuk meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas penduduk Indonesia termasuk untuk memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan bagi penduduk usia produktif yang jumlahnya semakin besar.
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berdasarkan perikemanusiaan, pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, serta pengutamaan dan manfaat dengan perhatian khusus pada penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut (manula), dan keluarga miskin. Pembangunan kesehatan dilaksanakan melalui peningkatan upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan yang disertai oleh peningkatan pengawasan, pemberdayaan masyarakat, dan manajemen kesehatan. Upaya tersebut dilakukan dengan memerhatikan dinamika kependudukan, epidemiologi penyakit, perubahan ekologi dan lingkungan, kemajuan iptek, serta globalisasi dan demokratisasi dengan semangat kemitraan dan kerja sama lintas sektor. Penekanan diberikan pada peningkatan perilaku dan kemandirian masyarakat serta upaya promotif dan preventif. Pembangunan nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu setiap kebijakan publik selalu memerhatikan dampaknya terhadap kesehatan. Pembangunan dan perbaikan gizi dilaksanakan secara lintas sektor yang meliputi produksi pangan, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi pangan tingkat rumah tangga dengan kandungan gizi yang cukup, seimbang, serta terjamin keamanannya dalam rangka mencapai status gizi yang baik.
Pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak diarahkan pada peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan, kesejahteraan, dan perlindungan anak di berbagai bidang pembangunan; penurunan jumlah tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak; serta penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data dan statistik gender.
Pembangunan pemuda diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan karakter kebangsaan ( nation building ) dan partisipasi pemuda di berbagai bidang pembangunan, terutama di bidang ekonomi, sosial budaya, iptek dan politik, serta memiliki wawasan kebangsaan dan beretika bangsa Indonesia. Di samping itu, pembangunan olahraga diarahkan pada peningkatan budaya olahraga dan prestasi olahraga di kalangan masyarakat. B. Memperkuat Perekonomian Domestik dengan Orientasi dan Berdaya Saing Global 7. Perekonomian dikembangkan dengan memperkuat perekonomian domestik serta berorientasi dan berdaya saing global. Untuk itu dilakukan transformasi bertahap dari perekonomian berbasis keunggulan komparatif sumber daya alam menjadi perekonomian yang berkeunggulan kompetitif. Interaksi antardaerah didorong dengan membangun keterkaitan sistem produksi, distribusi, dan pelayanan antardaerah yang kokoh. Upaya tersebut dilakukan dengan prinsip-prinsip dasar: mengelola peningkatan produktivitas nasional melalui inovasi, penguasaan, penelitian, pengembangan dan penerapan iptek menuju ekonomi berbasis pengetahuan serta kemandirian dan ketahanan bangsa secara berkelanjutan; mengelola kelembagaan ekonomi yang melaksanakan praktik terbaik dan kepemerintahan yang baik secara berkelanjutan, dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.
Perekonomian dikembangkan berlandaskan prinsip demokrasi ekonomi yang memerhatikan kepentingan nasional sehingga terjamin kesempatan berusaha dan bekerja bagi seluruh masyarakat dan mendorong tercapainya penanggulangan kemiskinan. Pengelolaan kebijakan perekonomian perlu memerhatikan secara cermat dinamika globalisasi, komitmen nasional di berbagai fora perjanjian ekonomi internasional, dan kepentingan nasional dengan mengutamakan kelompok masyarakat yang masih lemah, serta menjaga kemandirian dan kedaulatan ekonomi bangsa.
Kelembagaan ekonomi dikembangkan sesuai dinamika kemajuan ekonomi dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintah yang baik di dalam menyusun kerangka regulasi dan perizinan yang efisien, efektif, dan non-diskriminatif; menjaga, mengembangkan, dan melaksanakan iklim persaingan usaha secara sehat serta melindungi konsumen; mendorong pengembangan standardisasi produk dan jasa untuk meningkatkan daya saing; merumuskan strategi dan kebijakan pengembangan teknologi sesuai dengan pengembangan ekonomi nasional; dan meningkatkan daya saing usaha kecil dan menengah (UKM) di berbagai wilayah Indonesia sehingga menjadi bagian integral dari keseluruhan kegiatan ekonomi dan memperkuat basis ekonomi dalam negeri.
Peranan pemerintah yang efektif dan optimal diwujudkan sebagai fasilitator, regulator, sekaligus sebagai katalisator pembangunan di berbagai tingkat guna efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, terciptanya lingkungan usaha yang kondusif dan berdaya saing, dan terjaganya keberlangsungan mekanisme pasar.
Struktur perekonomian diperkuat dengan mendudukkan sektor industri sebagai motor penggerak yang didukung oleh kegiatan pertanian dalam arti luas, kelautan, dan pertambangan yang menghasilkan produk-produk secara efisien, modern, dan berkelanjutan serta jasa-jasa pelayanan yang efektif, yang menerapkan praktik terbaik dan ketatakelolaan yang baik agar terwujud ketahanan ekonomi yang tangguh.
Pengembangan iptek untuk ekonomi diarahkan pada peningkatan kualitas dan kemanfaatan iptek nasional dalam rangka mendukung daya saing secara global. Hal itu dilakukan melalui peningkatan, penguasaan, dan penerapan iptek secara luas dalam sistem produksi barang/jasa, pembangunan pusat-pusat keunggulan iptek, pengembangan lembaga penelitian yang handal, perwujudan sistem pengakuan terhadap hasil pertemuan dan hak atas kekayaan intelektual, pengembangan dan penerapan standar mutu, peningkatan kualitas dan kuantitas SDM iptek, peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana iptek. Berbagai langkah tersebut dilakukan untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berbasis pengetahuan, serta pengembangan kelembagaan sebagai keterkaitan dan fungsional sistem inovasi dalam mendorong pengembangan kegiatan usaha.
Kebijakan pasar kerja diarahkan untuk mendorong terciptanya sebanyak- banyaknya lapangan kerja formal serta meningkatkan kesejahteraan pekerja informal. Pasar kerja yang fleksibel, hubungan industrial yang harmonis dengan perlindungan yang layak, keselamatan kerja yang memadai, serta terwujudnya proses penyelesaian industrial yang memuaskan semua pihak merupakan ciri-ciri pasar kerja yang diinginkan. Selain itu, pekerja diharapkan mempunyai produktivitas yang tinggi sehingga dapat bersaing serta menghasilkan nilai tambah yang tinggi dengan pengelolaan pelatihan dan pemberian dukungan bagi program- program pelatihan yang strategis untuk efektivitas dan efisiensi peningkatan kualitas tenaga kerja sebagai bagian integral dari investasi sumber daya manusia. Sebagian besar pekerja, termasuk tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, akan dibekali dengan pengakuan kompetensi sesuai dinamika kebutuhan industri dan dinamika persaingan global.
Investasi diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi secara berkelanjutan dan berkualitas dengan mewujudkan iklim investasi yang menarik; mendorong penanaman modal asing bagi peningkatan daya saing perekonomian nasional; serta meningkatkan kapasitas infrastruktur fisik dan pendukung yang memadai. Investasi yang dikembangkan dalam rangka penyelenggaraan demokrasi ekonomi akan dipergunakan sebesar-besarnya untuk pencapaian kemakmuran bagi rakyat.
Efisiensi, modernisasi, dan nilai tambah sektor primer terutama sektor pertanian dalam arti luas, kelautan, dan pertambangan ditingkatkan agar mampu bersaing di pasar lokal dan internasional serta untuk memperkuat basis produksi secara nasional. Hal itu merupakan faktor strategis karena berkenaan dengan pembangunan perdesaan, pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan, dan penguatan ketahanan pangan. Semua itu harus dilaksanakan secara terencana dan cermat untuk menjamin terwujudnya transformasi seluruh elemen perekonomian nasional ke arah lebih maju dan lebih kokoh pada era globalisasi.
Peningkatan efisiensi, modernisasi, dan nilai tambah pertanian dalam arti luas dan kelautan dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan dengan mengembangkan agribisnis yang dinamis dan efisien, yang melibatkan partisipasi aktif petani dan nelayan. Peningkatan itu diselenggarakan melalui revitalisasi kelembagaan pada tingkat operasional, optimalisasi sumber daya, dan pengembangan sumber daya manusia pelaku usaha agar mampu meningkatkan daya saing melalui peningkatan produktivitas serta merespon permintaan pasar dan memanfaatkan peluang usaha. Selain bermanfaat bagi peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan pada umumnya, upaya tersebut dapat menciptakan diversifikasi perekonomian perdesaan yang pada gilirannya meningkatkan sumbangan di dalam pertumbuhan perekonomian nasional. Perhatian perlu diberikan pada upaya-upaya pengembangan kemampuan masyarakat, pengentasan kemiskinan secara terarah, serta perlindungan terhadap sistem perdagangan dan persaingan yang tidak adil.
Pembangunan industri diarahkan untuk mewujudkan industri yang berdaya saing, baik di pasar lokal maupun internasional, dan terkait dengan pengembangan industri kecil dan menengah, dengan struktur industri yang sehat dan berkeadilan serta mendorong perkembangan ekonomi di luar Pulau Jawa. Struktur industri dalam hal penguasaan usaha akan disehatkan dengan meniadakan praktik-praktik monopoli dan berbagai distorsi pasar melalui penegakan persaingan usaha yang sehat dan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang baik dan benar. Struktur industri dalam hal skala usaha akan diperkuat dengan menjadikan industri kecil dan menengah sebagai basis industri nasional yang sehat, sehingga mampu tumbuh dan terintegrasi dalam mata rantai pertambahan nilai dengan industri hilir dan industri berskala besar.
Dalam rangka memperkuat daya saing perekonomian secara global, sektor industri perlu dibangun guna menciptakan lingkungan usaha mikro (lokal) yang dapat merangsang tumbuhnya rumpun industri yang sehat dan kuat melalui (1) pengembangan rantai pertambahan nilai melalui diversifikasi produk (pengembangan ke hilir), pendalaman struktur ke hulunya, atau pengembangan secara menyeluruh (hulu-hilir);
penguatan hubungan antarindustri yang terkait secara horizontal termasuk industri pendukung dan industri komplemen, termasuk dengan jaringan perusahaan multinasional terkait, serta penguatan hubungan dengan kegiatan sektor primer dan jasa yang mendukungnya; dan
penyediaan berbagai infrastruktur bagi peningkatan kapasitas kolektif yang, antara lain, meliputi sarana dan prasarana fisik (transportasi, komunikasi, energi, serta sarana dan prasarana teknologi; prasarana pengukuran, standardisasi, pengujian, dan pengendalian kualitas; serta sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan tenaga kerja industri).
Jasa infrastruktur dan keuangan dikembangkan sesuai dengan kebijakan pengembangan ekonomi nasional agar mampu mendukung secara efektif peningkatan produksi dan daya saing global dengan menerapkan sistem dan standar mengelolanya sesuai dengan praktik terbaik ( the best practice ) internasional, yang mampu mendorong peningkatan ketahanan serta nilai tambah perekonomian nasional dan yang mampu mendukung kepentingan strategis di dalam pengembangan sumber daya manusia di dalam negeri yang meliputi pengembangan keprofesian, penguasaan dan pemanfaatan teknologi nasional, dan peningkatan kepentingan nasional dalam pengentasan kemiskinan dan pengembangan kegiatan perekonomian perdesaan.
Perdagangan luar negeri yang lebih menguntungkan dan mendukung perekonomian nasional agar mampu memaksimalkan manfaat sekaligus meminimalkan efek negatif dari proses integrasi dengan dinamika globalisasi. Upaya tersebut diselenggarakan melalui (a) perkuatan posisi nasional di dalam berbagai fora kerja sama perdagangan internasional (skala global, regional, bilateral, dan multilateral) untuk meningkatkan daya saing dan akses pasar ekspor nasional sekaligus mengamankan kepentingan strategis nasional dalam rangka mengentaskan kemiskinan, menurunkan tingkat pengangguran, mengembangkan perdesaan, dan melindungi aktivitas perekonomian nasional dari persaingan dan praktik perdagangan internasional yang tidak sehat, dan (b) pengembangan citra, standar produk barang dan jasa nasional yang berkualitas internasional, serta fasilitasi perdagangan internasional yang berdaya saing.
Perdagangan dalam negeri diarahkan untuk memperkokoh sistem distribusi nasional yang efisien dan efektif yang menjamin kepastian berusaha untuk mewujudkan (a) berkembangnya lembaga perdagangan yang efektif dalam perlindungan konsumen dan persaingan usaha secara sehat, (b) terintegrasinya aktivitas perekonomian nasional dan terbangunnya kesadaran penggunaan produksi dalam negeri, (c) meningkatnya perdagangan antar wilayah/daerah, dan (d) terjaminnya ketersediaan bahan pokok dan barang strategis lainnya dengan harga yang terjangkau.
Kepariwisataan dikembangkan agar mampu mendorong kegiatan ekonomi dan meningkatkan citra Indonesia, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, serta memberikan perluasan kesempatan kerja. Pengembangan kepariwisataan memanfaatkan keragaman pesona keindahan alam dan potensi nasional sebagai wilayah wisata bahari terluas di dunia secara arif dan berkelanjutan, serta mendorong kegiatan ekonomi yang terkait dengan pengembangan budaya bangsa.
Pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) diarahkan agar menjadi pelaku ekonomi yang makin berbasis iptek dan berdaya saing dengan produk impor, khususnya dalam menyediakan barang dan jasa kebutuhan masyarakat sehingga mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam perubahan struktural dan memperkuat perekonomian domestik. Untuk itu, pengembangan UKM dilakukan melalui peningkatan kompetensi perkuatan kewirausahaan dan peningkatan produktivitas yang didukung dengan upaya peningkatan adaptasi terhadap kebutuhan pasar, pemanfaatan hasil inovasi dan penerapan teknologi dalam iklim usaha yang sehat. Pengembangan UKM secara nyata akan berlangsung terintegrasi dalam modernisasi agribisnis dan agroindustri, termasuk yang mendukung ketahanan pangan, serta perkuatan basis produksi dan daya saing industri melalui pengembangan rumpun industri, percepatan alih teknologi, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Sektor keuangan dikembangkan agar senantiasa memiliki kemampuan di dalam menjaga stabilitas ekonomi dan membiayai tujuan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas serta mampu memiliki daya tahan terhadap kemungkinan gejolak krisis melalui implementasi sistem jaring pengaman sektor keuangan Indonesia, peningkatan kontribusi lembaga jasa keuangan bank dan non-bank dalam pendanaan pembangunan terutama peningkatan akses pendanaan bagi keluarga miskin, baik di perdesaan maupun di perkotaan, serta peningkatan kualitas pertumbuhan perbankan nasional. Dengan demikian, setiap jenis investasi, baik jangka pendek maupun jangka panjang, akan memeroleh sumber pendanaan yang sesuai dengan karakteristik jasa keuangan. Selain itu, semakin beragamnya lembaga keuangan akan memberikan alternatif pendanaan lebih banyak bagi seluruh lapisan masyarakat.
Perbaikan pengelolaan keuangan negara bertumpu pada sistem anggaran yang transparan, bertanggung jawab, dan dapat menjamin efektivitas pemanfaatan. Dalam rangka meningkatkan kemandirian, peran pinjaman luar negeri dijaga pada tingkat yang aman. Sementara itu, sumber utama dalam negeri yang berasal dari pajak terus ditingkatkan efektivitasnya. Kepentingan utama pembiayaan pemerintah adalah penciptaan pembiayaan pembangunan yang dapat menjamin kemampuan peningkatan pelayanan publik, baik di dalam penyediaan pelayanan dasar, prasarana dan sarana fisik serta ekonomi, maupun mendukung peningkatan daya saing ekonomi. C. Penguasaan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 26. Pembangunan iptek diarahkan untuk menciptakan dan menguasai ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan dasar maupun terapan, serta mengembangkan ilmu sosial dan humaniora untuk menghasilkan teknologi dan memanfaatkan teknologi hasil penelitian, pengembangan, dan perekayasaan bagi kesejahteraan masyarakat, kemandirian, dan daya saing bangsa melalui peningkatan kemampuan dan kapasitas iptek yang senantiasa berpedoman pada nilai agama, nilai budaya, nilai etika, kearifan lokal, serta memerhatikan sumber daya dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Pembangunan iptek diarahkan untuk mendukung ketahanan pangan dan energi; penciptaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi; penyediaan teknologi transportasi, kebutuhan teknologi pertahanan, dan teknologi kesehatan; pengembangan teknologi material maju; serta peningkatan jumlah penemuan dan pemanfaatannya dalam sektor produksi. Dukungan tersebut dilakukan melalui pengembangan sumber daya manusia iptek, peningkatan anggaran riset, pengembangan sinergi kebijakan iptek lintas sektor, perumusan agenda riset yang selaras dengan kebutuhan pasar, peningkatan sarana dan prasarana iptek, dan pengembangan mekanisme intermediasi iptek. Dukungan tersebut dimaksudkan untuk penguatan sistem inovasi dalam rangka mendorong pembangunan ekonomi yang berbasis pengetahuan. Di samping itu, diupayakan peningkatan kerja sama penelitian domestik dan internasional antarlembaga penelitian dan pengembangan (litbang), perguruan tinggi dan dunia usaha serta penumbuhan industri baru berbasis produk litbang dengan dukungan modal ventura. D. Sarana dan Prasarana yang Memadai dan Maju 28. Peran pemerintah akan lebih difokuskan pada perumusan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana, sementara peran swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana akan makin ditingkatkan terutama untuk proyek-proyek yang bersifat komersial. Kerja sama dengan swasta dalam pembangunan sarana dan prasarana diarahkan untuk (a) menyediakan sarana dan prasarana transportasi untuk pelayanan distribusi komoditi perdagangan dan industri serta pergerakan penumpang dan barang, baik dalam lingkup nasional maupun internasional; (b) menghilangkan kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan serta efektivitas dan efisiensi tenaga listrik; (c) meningkatkan teledensitas pelayanan telematika masyarakat pengguna jasa; dan (d) memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat dan mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh.
Pembangunan prasarana sumber daya air diarahkan untuk mewujudkan fungsi air sebagai sumber daya sosial ( social goods ) dan sumber daya ekonomi ( economic goods ) yang seimbang melalui pengelolaan yang terpadu, efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan sehingga dapat menjamin kebutuhan pokok hidup dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan diwujudkan melalui pendekatan pengelolaan kebutuhan ( demand management ) yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan, pengonsumsian air, dan pendekatan pengelolaan pasokan ( supply management ) yang ditujukan untuk meningkatkan kapasitas dan keandalan pasokan air. Pengelolaan prasarana sumber daya air diarahkan untuk mewujudkan peningkatan keandalan layanan melalui kemitraan dengan dunia usaha tanpa membebani masyarakat, penguatan kelembagaan masyarakat, dan memerhatikan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Selain itu, pola hubungan hulu-hilir akan terus dikembangkan agar pola pengelolaan yang lebih berkeadilan dapat tercapai. Pengembangan dan penerapan sistem pemanfaatan terpadu ( conjunctive use ) antara air permukaan dan air tanah akan digalakkan terutama untuk menciptakan sinergi dan menjaga keberlanjutan ketersediaan air tanah. Pengendalian daya rusak air mengutamakan pendekatan nonkonstruksi melalui konservasi sumber daya air dan keterpaduan pengelolaan daerah aliran sungai. Peningkatan partisipasi masyarakat dan kemitraan di antara pemangku kepentingan terus diupayakan tidak hanya pada saat bencana, tetapi juga pada tahap pencegahan serta pemulihan pascabencana.
Pembangunan transportasi diarahkan untuk mendukung kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antardaerah; membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional; serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional. Untuk itu, pembangunan transportasi dilaksanakan dengan mengembangkan jaringan pelayanan secara antarmoda dan intramoda; menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan transportasi yang memberikan kepastian hukum dan iklim usaha yang kondusif; mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam penyediaan pelayanan; meningkatkan iklim kompetisi secara sehat agar dapat meningkatkan efisiensi dan memberikan alternatif bagi pengguna jasa dengan tetap mempertahankan keberpihakan pemerintah sebagai regulator terhadap pelayanan umum yang terjangkau kepada masyarakat; menyediakan pelayanan angkutan umum masal di daerah perkotaan yang didukung pelayanan pengumpan, yang aman, nyaman, tertib, terjangkau dan ramah lingkungan serta bersinergi dengan kebijakan tata guna lahan; serta meningkatkan budaya berlalu lintas yang tertib dan disiplin. Untuk pelayanan transportasi di daerah perbatasan, terpencil, dan perdesaan dikembangkan sistem transportasi perintis yang berbasis masyarakat ( community based ) dan wilayah. Untuk mendukung daya saing dan efisiensi angkutan penumpang dan barang diarahkan pada perwujudan kebijakan yang menyatukan persepsi dan langkah para pelaku penyedia jasa transportasi dalam konteks pelayanan global; mempercepat dan memperlancar pergerakan penumpang dan barang melalui perbaikan manajemen transportasi antarmoda; meningkatkan pembangunan jalan bebas hambatan pada koridor-koridor strategis; meningkatkan pangsa angkutan barang melalui kereta api, angkutan barang antarpulau, baik melalui sistem Ro-Ro maupun angkutan laut konvensional yang didukung oleh peningkatan peran armada nasional serta angkutan komoditi khusus dengan moda transportasi udara ( fresh good and high value ); mengembangkan sistem transportasi nasional yang andal dan berkemampuan tinggi yang bertumpu pada aspek keselamatan, dan keterpaduan antarmoda, antarsektor, antarwilayah, aspek sosial budaya, dan profesionalitas sumber daya manusia transportasi serta menerapkan dan mengembangkan teknologi transportasi yang tepat guna, hemat energi, dan ramah lingkungan.
Pembangunan pos dan telematika diarahkan untuk mendorong terciptanya masyarakat berbasis informasi ( knowledge-based society ) melalui penciptaan landasan kompetisi jangka panjang penyelenggaraan pos dan telematika dalam lingkungan multioperator; pengantisipasian implikasi dari konvergensi telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran, baik mengenai kelembagaan maupun peraturan termasuk yang terkait dengan isu keamanan, kerahasiaan, privasi, dan integritas informasi; penerapan hak kekayaan intelektual; peningkatan legalitas yang nantinya dapat mengakibatkan konvergensi pasar dan industri; pengoptimalan pembangunan dan pemanfaatan prasarana pos dan telematika dan prasarana nontelekomunikasi dalam penyelenggaraan telematika; penerapan konsep teknologi netral yang responsif terhadap kebutuhan pasar dan industri dengan tetap menjaga keutuhan sistem yang telah ada; peningkatan sinergi dan integrasi prasarana jaringan menuju next generation network ; peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap potensi pemanfaatan telematika serta pemanfaatan dan pengembangan aplikasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi; pengembangan industri dalam negeri; dan industri konten sebagai upaya penciptaan nilai tambah dari informasi.
Pembangunan sarana dan prasarana energi dan ketenagalistrikan diarahkan pada pengembangan sarana dan prasarana energi untuk meningkatkan akses dan pelayanan konsumen terhadap energi melalui (1) pengembangan kemampuan pemenuhan kebutuhan tenaga listrik nasional secara memadai dan dapat memiliki kehandalan yang tinggi melalui rehabilitasi dan repowering pembangkit yang ada serta pembangkit baru;
pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik yang memiliki sistem tata kelembagaan yang terstruktur dengan mengoptimalkan dalam sistem dan proses pengelolaan ketenagalistrikan yang berfungsi secara efisien, produktif, dan profesional, sehingga dapat memberikan peluang yang lebih luas dan kondusif bagi investasi swasta yang terpisah dari misi sosial, serta mampu melibatkan secara luas peran pemerintah daerah, khususnya untuk wilayah nonkomersial;
pengembangan diversifikasi energi untuk pembangkit listrik yang baru terutama pada pembangkit listrik yang berbasis batubara dan gas secara terbatas dan bersifat jangka menengah agar dapat menggantikan penggunaan bahan bakar minyak dan dalam jangka panjang akan mengedepankan energi terbarukan, khususnya bioenergi, geothermal, tenaga air, tenaga angin, tenaga surya, bahkan tenaga nuklir dengan mempertimbangkan faktor keselamatan secara ketat;
pengembangan industri penunjang ketenagalistrikan nasional yang mengedepankan peningkatan kandungan lokal, pengembangan daya guna iptek yang melibatkan dunia usaha, pendidikan, pemerintah, dan masyarakat secara terintegrasi dan bersifat strategis berbasis transfer pengetahuan ( knowledge transfer ) termasuk pengembangan standarisasi produk dan sertifikasi kelistrikan nasional;
pengembangan sistem ketenagalistrikan yang berwawasan lingkungan (6) pembangunan jaringan pipanisasi BBM, kilang, depot, dan terminal transit;
pembangunan jaringan pipanisasi gas yang terintegrasi;
pembangunan sarana dan prasarana transportasi batubara dari lokasi pertambangan ke pelabuhan serta sarana dan prasarana distribusinya; serta (9) pengembangan sarana dan prasarana pembangkit panas bumi dan energi alternatif terbarukan, terutama mikrohidro dan energi surya.
Pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan sektor-sektor terkait lainnya, seperti industri, perdagangan, transportasi, pariwisata, dan jasa sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan melalui pendekatan tanggap kebutuhan ( demand responsive approach ) dan pendekatan terpadu dengan sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup, sumber daya air, serta kesehatan. E. Reformasi Hukum dan Birokrasi 34. Pembangunan hukum diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, terutama dunia usaha dan dunia industri; serta menciptakan kepastian investasi, terutama penegakan dan perlindungan hukum. Pembangunan hukum juga diarahkan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya tindak pidana korupsi serta mampu menangani dan menyelesaikan secara tuntas permasalahan yang terkait kolusi, korupsi, nepotisme (KKN). Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan materi hukum dengan tetap memerhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM), kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta berdaya saing global.
Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang-bidang lainnya. IV.1.3 MEWUJUDKAN INDONESIA YANG DEMOKRATIS BERLANDASKAN HUKUM Demokratis yang berlandaskan hukum merupakan landasan penting untuk mewujudkan pembangunan Indonesia yang maju, mandiri dan adil. Demokrasi dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan, dan memaksimalkan potensi masyarakat, serta meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan negara. Hukum pada dasarnya bertujuan untuk memastikan munculnya aspek-aspek positif dan menghambat aspek negatif kemanusiaan serta memastikan terlaksananya keadilan untuk semua warga negara tanpa memandang dan membedakan kelas sosial, ras, etnis, agama, maupun gender. Hukum yang ditaati dan diikuti akan menciptakan ketertiban dan keterjaminan hak-hak dasar masyarakat secara maksimal. Untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis dan adil dilakukan dengan memantapkan pelembagaan demokrasi yang lebih kokoh; memperkuat peran masyarakat sipil sehingga proses pembangunan partisipatoris yang bersifat bottom up bisa berjalan; menumbuhkan masyarakat tanggap ( responsive community) yang akan mendorong semangat sukarela ( spirit of voluntarism ) yang sejalan dengan makna gotong royong; memperkuat kualitas desentralisasi dan otonomi daerah; menjamin perkembangan dan kebebasan media dalam mengomunikasikan kepentingan masyarakat; melakukan pembenahan struktur hukum dan meningkatkan budaya hukum dan menegakkan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif, dan memihak pada rakyat kecil.
Penyempurnaan struktur politik yang dititikberatkan pada proses pelembagaan demokrasi dilakukan dengan (a) mempromosikan dan menyosialisasikan pentingnya keberadaan sebuah konstitusi yang kuat dan memiliki kredibilitas tinggi sebagai pedoman dasar bagi sebuah proses demokratisasi berkelanjutan; (b) menata hubungan antara kelembagaan politik, kelembagaan pertahanan keamanan dalam kehidupan bernegara; (c) meningkatkan kinerja lembaga-lembaga penyelenggara negara dalam menjalankan kewenangan dan fungsi-fungsi yang diberikan oleh konstitusi dan peraturan perundangan; (d) memantapkan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah serta mencegah disintegrasi wilayah dan perpecahan bangsa; (e) melaksanakan rekonsiliasi nasional secara tuntas; dan (f) menciptakan pelembagaan demokrasi lebih lanjut untuk mendukung berlangsungnya konsolidasi demokrasi secara berkelanjutan.
Penataan peran negara dan masyarakat dititikberatkan pada pembentukan kemandirian dan kedewasaan masyarakat serta pembentukan masyarakat madani yang kuat dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Di samping itu, penataan peran negara dan masyarakat diarahkan pada penataan fungsi- fungsi yang positif dari pranata-pranata kemasyarakatan, lembaga adat, dan partai politik untuk membangun kemandirian masyarakat dalam mengelola berbagai potensi konflik sosial yang dapat merusak serta memberdayakan berbagai potensi positif masyarakat bagi pembangunan. Upaya untuk mendorong perwujudan masyarakat sipil yang kuat perlu juga memerhatikan pengaruh pasar dalam kehidupan sosial politik nasional agar tidak terjadi ekses-ekses negatif dan kesenjangan sosial yang merugikan kehidupan masyarakat.
Penataan proses politik yang dititikberatkan pada pengalokasian/ representasi kekuasaan diwujudkan dengan (a) meningkatkan secara terus menerus kualitas proses dan mekanisme seleksi publik yang lebih terbuka bagi para pejabat politik dan publik serta (b) mewujudkan komitmen politik yang tegas terhadap pentingnya kebebasan media massa serta keleluasaan berserikat, berkumpul, dan berpendapat setiap warganegara berdasarkan aspirasi politiknya masing-masing.
Pengembangan budaya politik yang dititikberatkan pada penanaman nilai- nilai demokratis diupayakan melalui (a) penciptaan kesadaran budaya dan penanaman nilai-nilai politik demokratis, terutama penghormatan nilai- nilai HAM, nilai-nilai persamaan, anti kekerasan, serta nilai-nilai toleransi, melalui berbagai wacana dan media serta (b) upaya mewujudkan berbagai wacana dialog bagi peningkatan kesadaran mengenai pentingnya memelihara persatuan bangsa.
Peningkatan peranan komunikasi dan informasi yang ditekankan pada pencerdasan masyarakat dalam kehidupan politik dilakukan dengan (a) mewujudkan kebebasan pers yang lebih mapan, terlembaga serta menjamin hak masyarakat luas untuk berpendapat dan mengontrol jalannya penyelenggaraan negara secara cerdas dan demokratis; (b) mewujudkan pemerataan informasi yang lebih besar dengan mendorong munculnya media-media massa daerah yang independen; (c) mewujudkan deregulasi yang lebih besar dalam bidang penyiaran sehingga dapat lebih menjamin pemerataan informasi secara nasional dan mencegah monopoli informasi; (d) menciptakan jaringan informasi yang bersifat interaktif antara masyarakat dan kalangan pengambil keputusan politik untuk menciptakan kebijakan yang lebih mudah dipahami masyarakat luas; (e) menciptakan jaringan teknologi informasi dan komunikasi yang mampu menghubungkan seluruh link informasi yang ada di pelosok nusantara sebagai suatu kesatuan yang mampu mengikat dan memperluas integritas bangsa; (f) memanfaatkan jaringan teknologi informasi dan komunikasi secara efektif agar mampu memberikan informasi yang lebih komprehensif kepada masyarakat internasional supaya tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat meletakkan Indonesia pada posisi politik yang menyulitkan: serta (g) meningkatkan peran lembaga independen di bidang komunikasi dan informasi untuk lebih mendukung proses pencerdasan masyarakat dalam kehidupan politik dan perwujudan kebebasan pers yang lebih mapan.
Pembangunan hukum diarahkan pada makin terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap bersumber pada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang mencakup pembangunan materi hukum, struktur hukum termasuk aparat hukum, sarana dan prasarana hukum; perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran dan budaya hukum yang tinggi dalam rangka mewujudkan negara hukum; serta penciptaan kehidupan masyarakat yang adil dan demokratis. Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan hukum dengan tetap memerhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan HAM, kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban, dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib dan teratur sehingga penyelenggaraan pembangunan nasional akan makin lancar.
Pembangunan materi hukum diarahkan untuk melanjutkan pembaruan produk hukum untuk menggantikan peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang mencerminkan nilai-nilai sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia serta mampu mendorong tumbuhnya kreativitas dan melibatkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional yang bersumber pada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mencakup perencanaan hukum, pembentukan hukum, penelitian dan pengembangan hukum. Di sisi lain, perundang-undangan yang baru juga harus mampu mengisi kekurangan/kekosongan hukum sebagai pengarah dinamika lingkungan strategis yang sangat cepat berubah. Perencanaan hukum sebagai bagian dari pembangunan materi hukum harus diselenggarakan dengan memerhatikan berbagai aspek yang memengaruhi, baik di dalam masyarakat sendiri maupun dalam pergaulan masyarakat internasional yang dilakukan secara terpadu dan meliputi semua bidang pembangunan sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara serta dapat mengantisipasi perkembangan zaman. Pembentukan hukum diselenggarakan melalui proses terpadu dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta sehingga menghasilkan produk hukum beserta peraturan pelaksanaan yang dapat diaplikasikan secara efektif dengan didukung oleh penelitian dan pengembangan hukum yang didasarkan pada aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Penelitian dan pengembangan hukum diarahkan pada semua aspek kehidupan sehingga hukum nasional selalu dapat mengikuti perkembangan dan dinamika pembangunan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, baik kebutuhan saat ini maupun masa depan. Untuk meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan hukum diperlukan kerja sama dengan berbagai komponen lembaga terkait, baik di dalam maupun di luar negeri.
Pembangunan struktur hukum diarahkan untuk memantapkan dan mengefektifkan berbagai organisasi dan lembaga hukum, profesi hukum, dan badan peradilan sehingga aparatur hukum mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya secara profesional. Kualitas dan kemampuan aparatur hukum dikembangkan melalui peningkatan kualitas dan profesionalisme melalui sistem pendidikan dan pelatihan dengan kurikulum yang akomodatif terhadap setiap perkembangan pembangunan serta pengembangan sikap aparatur hukum yang menunjung tinggi kejujuran, kebenaran, keterbukaan dan keadilan, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, serta bertanggung jawab dalam bentuk perilaku yang teladan. Aparatur hukum dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya secara profesional perlu didukung oleh sarana dan prasarana hukum yang memadai serta diperbaiki kesejahteraannya agar di dalam melaksanakan tugas dan kewajiban aparatur hukum dapat berjalan dengan baik dan terhindar dari pengaruh dan intervensi pihak-pihak dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Penerapan dan penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) dilaksanakan secara tegas, lugas, profesional, dan tidak diskriminatif dengan tetap berdasarkan pada penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM), keadilan, dan kebenaran, terutama dalam penyelidikan, penyidikan, dan persidangan yang transparan dan terbuka dalam rangka mewujudkan tertib sosial dan disiplin sosial sehingga dapat mendukung pembangunan serta memantapkan stabilitas nasional yang mantap dan dinamis. Penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM) dilakukan terhadap berbagai tindak pidana, terutama yang akibatnya dirasakan langsung oleh masyarakat luas, antara lain tindak pidana korupsi, kerusakan lingkungan, dan penyalahgunaan narkotik. Dalam rangka menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, penegakan hukum di laut secara terus-menerus harus ditingkatkan sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam perundang-undangan nasional dan hukum internasional. Pemantapan lembaga peradilan sebagai implikasi satu atap dengan lembaga Mahkamah Agung secara terus-menerus melakukan pengembangan lembaga peradilan; peningkatan kualitas dan profesionalisme hakim pada semua lingkungan peradilan; dukungan serta perbaikan sarana dan prasarana pada semua lingkungan peradilan sehingga dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap citra lembaga peradilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan.
Peningkatan perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum yang tinggi terus ditingkatkan dengan lebih memberikan akses terhadap segala informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat, dan akses kepada masyarakat terhadap pelibatan dalam berbagai proses pengambilan keputusan pelaksanaan pembangunan nasional sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Akibatnya, akan terbentuk perilaku warga negara Indonesia yang mempunyai rasa memiliki dan taat hukum. Peningkatan perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum yang tinggi harus didukung oleh pelayanan dan bantuan hukum dengan biaya yang terjangkau, proses yang tidak berbelit, dan penetapan putusan yang mencerminkan rasa keadilan.
Penuntasan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan aparatur negara dicapai dengan penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik pada semua tingkat, lini pemerintahan, dan semua kegiatan; pemberian sanksi yang seberat-beratnya kepada pelaku penyalahguna kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; peningkatan intensitas dan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui pengawasan internal, pengawasan fungsional, dan pengawasan masyarakat; serta peningkatan etika birokrasi dan budaya kerja serta pengetahuan dan pemahaman para penyelenggara negara terhadap prinsip-prinsip ketatapemerintahan yang baik. IV.1.4 MEWUJUDKAN INDONESIA YANG AMAN, DAMAI DAN BERSATU Dengan potensi ancaman yang tidak ringan serta kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang beragam, bangsa dan negara Indonesia memerlukan kemampuan pertahanan negara yang kuat untuk menjamin tetap tegaknya kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adanya gangguan keamanan dalam berbagai bentuk kejahatan dan potensi konflik horisontal akan meresahkan dan berakibat pada pudarnya rasa aman masyarakat. Terjaminnya keamanan dan adanya rasa aman bagi masyarakat merupakan syarat penting bagi terlaksananya pembangunan di berbagai bidang.
Keamanan nasional diwujudkan melalui keterpaduan pembangunan pertahanan, pembangunan keamanan dalam negeri, dan pembangunan keamanan sosial yang diselenggarakan berdasarkan kondisi geografi, demografi, sosial, dan budaya serta berwawasan nusantara.
Pembangunan pertahanan yang mencakup sistem dan strategi pertahanan, postur dan struktur pertahanan, profesionalisme TNI, pengembangan teknologi pertahanan dalam mendukung ketersediaan alutsista, komponen cadangan, dan pendukung pertahanan diarahkan pada upaya terus- menerus untuk mewujudkan kemampuan pertahanan yang melampaui kekuatan pertahanan minimal agar mampu menegakkan kedaulatan negara dan menjaga keselamatan bangsa serta keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat yang tersebar dan beragam termasuk pulau-pulau terluar, wilayah yurisdiksi laut hingga meliputi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan landasan kontinen, serta ruang udara nasional. Selanjutnya, kemampuan pertahanan tersebut terus ditingkatkan agar memiliki efek penggentar yang disegani untuk mendukung posisi tawar dalam ajang diplomasi.
Sistem dan strategi pertahanan nasional secara terus menerus disempurnakan untuk mewujudkan sistem pertahanan semesta berdasarkan kapabilitas pertahanan agar secara simultan mampu mengatasi ancaman dan memiliki efek penggentar. Dalam sistem pertahanan semesta tersebut, pertahanan nasional akan didesain agar mempunyai kemampuan menangkal ancaman di wilayah terluar Indonesia dan kemampuan untuk mempertahankan wilayah daratan serta mengawasi dan melindungi wilayah yurisdiksi laut Indonesia dan ruang udara nasional.
Postur dan struktur pertahanan diarahkan untuk dapat menjawab berbagai kemungkinan tantangan, permasalahan aktual, dan pembangunan kapabilitas jangka panjang yang sesuai dengan kondisi geografis dan dinamika masyarakat. Postur dan struktur pertahanan matra darat diarahkan untuk mampu mengatasi kondisi medan dan topografis yang beragam, melakukan pergerakan cepat antarwilayah dan antarpulau dan mengatasi ancaman dengan efisien. Postur dan struktur matra laut diarahkan untuk membangun kemampuan untuk mengatasi luasnya wilayah laut nusantara di permukaan dan kedalaman dan memberikan dukungan dan kompatibilitas terhadap pergerakan matra darat dan udara. Postur dan struktur matra udara diarahkan untuk dapat mengawasi terutama ruang udara nasional dan sebagian ruang udara regional, mampu melampui kebutuhan minimal penjagaan ruang udara nasional, memulai pemanfaatan ruang angkasa, dan memberikan dukungan operasi bersama antarmatra.
Peningkatan profesionalisme Tentara Nasional Indonesia dilaksanakan dengan tetap menjaga netralitas politik dan memusatkan diri pada tugas- tugas pertahanan dalam bentuk operasi militer untuk perang maupun operasi militer selain perang melalui fokus pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan alutsista. Sebagai komponen utama pertahanan, sumber daya manusia TNI disiapkan dengan memenuhi kecukupan jumlah personil setiap matra yang diwujudkan dalam kondisi selalu terlatih; memiliki penguasaan lapangan yang tinggi; memiliki penguasaan operasional dan perawatan peralatan perang modern; memiliki doktrin dan organisasi militer yang solid; memiliki manajemen pribadi yang baik; mampu mengemban pelaksanaan tugas kemanusiaan, tanggap terhadap kemajuan teknologi dan perkembangan sosial masyarakat; serta memiliki kompetensi dalam masa purna tugas. Peningkatan profesionalisme dari sumber daya manusia TNI tersebut dimbangi dengan meningkatkan kesejahteraan melalui kecukupan gaji, penyediaan dan fasilitasi rumah tinggal, jaminan kesehatan, peningkatan pendidikan, dan penyiapan skema asuransi masa tugas.
Peningkatan kondisi dan jumlah alutsista setiap matra dilaksanakan menurut validasi postur dan struktur pertahanan untuk dapat melampaui kebutuhan kekuatan pertahanan minimal. Pemenuhan kebutuhan alutsista dipenuhi secara bertahap sejalan dengan kemampuan keuangan negara atas dasar perkembangan teknologi, prinsip kemandirian, kemudahan interoperabilitas dan perawatan, serta aliansi strategis. Pengembangan alutsista diarahkan dengan strategi akuisisi alat teknologi tinggi dengan efek deterrence dan pemenuhan kebutuhan dasar operasional secara efektif dan efisien dengan mendayagunakan dan mengembangkan potensi dalam negeri, termasuk industri pertahanan nasional dalam prinsip keberlanjutan.
Pemantapan komponen cadangan dan pendukung pertahanan negara dalam kerangka basis strategi teknologi, dan pembiayaan terus ditingkatkan dalam proses yang bersifat kontinyu maupun terobosan. Peningkatan kemampuan komponen dukungan pertahanan tersebut meliputi penguasaan kemampuan pemanfaatan kondisi sumber daya alam dan buatan, sinkronisasi pembangunan sarana dan prasarana nasional terhadap kepentingan pertahanan, partisipasi masyarakat madani dalam penyusunan kebijakan pertahanan, komponen bela negara masyarakat, dukungan mutualisme industri pertahanan nasional secara langsung maupun kemampuan konversi industri, serta keberlanjutan pembiayaan melalui rekayasa keuangan.
Perlindungan wilayah yurisdiksi laut Indonesia ditingkatkan dalam upaya melindungi sumber daya laut bagi kemakmuran sebesar-besarnya rakyat. Perlindungan terhadap wilayah yurisdiksi laut Indonesia dilakukan dengan meningkatkan kekuatan dan kemampuan pertahanan untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum internasional serta meningkatkan kemampuan deteksi dan penangkalan di laut. Perlindungan wilayah yurisdiksi udara Indonesia ditingkatkan sebagai upaya untuk menjaga kedaulatan nasional secara menyeluruh dengan membangun sistem pemantauan dan deteksi nasional di wilayah udara serta meningkatkan kemampuan menangkal penerbangan illegal.
Pembangunan keamanan diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme Polri beserta institusi terkait dengan masalah keamanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam rangka mewujudkan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.
Peningkatan profesionalisme Polri dicapai melalui pembangunan kompetensi pelayanan inti, perbaikan rasio polisi terhadap penduduk, pembinaan sumber daya manusia, pemenuhan kebutuhan alat utama, serta peningkatan pengawasan dan mekanisme kontrol lembaga kepolisian. Arah pengembangan organisasi dan fungsi kepolisian disesuaikan dengan perubahan kondisi lingkungan strategis faktor pengendali utamanya adalah antisipasi perkembangan karakter kewilayahan dan faktor-faktor demografis. Profesionalisme sumber daya manusia kepolisian ditingkatkan melalui penyempurnaan seleksi, perbaikan pendidikan dan pelatihan, dan pembangunan spirit of the corps . Peningkatan profesionalisme tersebut diikuti oleh peningkatan bertahap kesejahteraan aparat kepolisian melalui kenaikan penghasilan, penyediaan dan fasilitasi rumah tinggal, jaminan kesehatan, dan tunjangan purna tugas. Peran serta masyarakat dalam penciptaan keamanan masyarakat akan dibangun melalui mekanisme pemolisian masyarakat. Pemolisian masyarakat berarti masyarakat turut bertanggung jawab dan berperan aktif dalam penciptaan keamanan dan ketertiban dalam bentuk kerja sama dan kemitraan dengan polisi dalam menjaga keamanan dan ketertiban.
Peningkatan profesionalisme lembaga intelijen dan kontra intelijen dalam mendeteksi, melindungi, dan melakukan tindakan pencegahan berbagai ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang berpengaruh terhadap kepentingan keamanan nasional. IV.1.5 MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN YANG LEBIH MERATA DAN BERKEADILAN Pembangunan yang merata dan dapat dinikmati oleh seluruh komponen bangsa di berbagai wilayah Indonesia akan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan, mengurangi gangguan keamanan, serta menghapuskan potensi konflik sosial untuk tercapainya Indonesia yang maju, mandiri dan adil.
Pengembangan wilayah diselenggarakan dengan memerhatikan potensi dan peluang keunggulan sumberdaya darat dan/atau laut di setiap wilayah, serta memerhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan daya dukung lingkungan. Tujuan utama pengembangan wilayah adalah peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat serta pemerataannya. Pelaksanaan pengembangan wilayah tersebut dilakukan secara terencana dan terintegrasi dengan semua rencana pembangunan sektor dan bidang. Rencana pembangunan dijabarkan dan disinkronisasikan ke dalam rencana tata ruang yang konsisten, baik materi maupun jangka waktunya.
Percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh didorong sehingga dapat mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi yang sinergis, tanpa mempertimbangkan batas wilayah administrasi, tetapi lebih ditekankan pada pertimbangan keterkaitan mata- rantai proses industri dan distribusi. Upaya itu dapat dilakukan melalui pengembangan produk unggulan daerah, serta mendorong terwujudnya koordinasi, sinkronisasi, keterpaduan dan kerja sama antarsektor, antarpemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam mendukung peluang berusaha dan investasi di daerah.
Keberpihakan pemerintah ditingkatkan untuk mengembangkan wilayah- wilayah tertinggal dan terpencil sehingga wilayah-wilayah tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat mengurangi ketertinggalan pembangunannya dengan daerah lain. Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan, selain dengan pemberdayaan masyarakat secara langsung melalui skema pemberian dana alokasi khusus, termasuk jaminan pelayanan publik dan keperintisan, perlu pula dilakukan penguatan keterkaitan kegiatan ekonomi dengan wilayah-wilayah cepat tumbuh dan strategis dalam satu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’.
Wilayah-wilayah perbatasan dikembangkan dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi inward looking menjadi outward lookin g sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Pendekatan pembangunan yang dilakukan, selain menggunakan pendekatan yang bersifat keamanan, juga diperlukan pendekatan kesejahteraan. Perhatian khusus diarahkan bagi pengembangan pulau- pulau kecil di perbatasan yang selama ini luput dari perhatian.
Pembangunan kota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil diseimbangkan pertumbuhannya dengan mengacu pada sistem pembangunan perkotaan nasional. Upaya itu diperlukan untuk mencegah terjadinya pertumbuhan fisik kota yang tidak terkendali ( urban sprawl & conurbation ), seperti yang terjadi di wilayah pantura Pulau Jawa, serta untuk mengendalikan arus migrasi masuk langsung dari desa ke kota-kota besar dan metropolitan, dengan cara menciptakan kesempatan kerja, termasuk peluang usaha, di kota-kota menengah dan kecil, terutama di luar Pulau Jawa. Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi sejak tahap awal.
Pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan dikendalikan dalam suatu sistem wilayah pembangunan metropolitan yang kompak, nyaman, efisien dalam pengelolaan, serta mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan melalui (1) penerapan manajemen perkotaan yang meliputi optimasi dan pengendalian pemanfaatan ruang serta pengamanan zona penyangga di sekitar kota inti dengan penegakan hukum yang tegas dan adil, serta peningkatan peran dan fungsi kota-kota menengah dan kecil di sekitar kota inti agar kota-kota tersebut tidak hanya berfungsi sebagai kota tempat tinggal ( dormitory town ) saja, tetapi juga menjadi kota mandiri;
pengembangan kegiatan ekonomi kota yang ramah lingkungan seperti industri jasa keuangan, perbankan, asuransi, dan industri telematika serta peningkatan kemampuan keuangan daerah perkotaan; dan
perevitalan kawasan kota yang meliputi pengembalian fungsi kawasan melalui pembangunan kembali kawasan; peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial, budaya; serta penataan kembali pelayanan fasilitas publik, terutama pengembangan sistem transportasi masal yang terintegrasi antarmoda.
Percepatan pembangunan kota-kota kecil dan menengah ditingkatkan, terutama di luar Pulau Jawa, sehingga diharapkan dapat menjalankan perannya sebagai ‘motor penggerak’ pembangunan wilayah-wilayah di sekitarnya maupun dalam melayani kebutuhan warga kotanya. Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan, antara lain, memenuhi kebutuhan pelayanan dasar perkotaan sesuai dengan tipologi kota masing-masing.
Peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan dengan kegiatan ekonomi di wilayah perdesaan didorong secara sinergis (hasil produksi wilayah perdesaan merupakan backward linkages dari kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan) dalam suatu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’. Peningkatan keterkaitan tersebut memerlukan adanya perluasan dan diversifikasi aktivitas ekonomi dan perdagangan (nonpertanian) di pedesaan yang terkait dengan pasar di perkotaan.
Pembangunan perdesaan didorong melalui pengembangan agroindustri padat pekerja, terutama bagi kawasan yang berbasiskan pertanian dan kelautan; peningkatan kapasitas sumber daya manusia di perdesaan khususnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya; pengembangan jaringan infrastruktur penunjang kegiatan produksi di kawasan perdesaan dan kota-kota kecil terdekat dalam upaya menciptakan keterkaitan fisik, sosial dan ekonomi yang saling komplementer dan saling menguntungkan; peningkatan akses informasi dan pemasaran, lembaga keuangan, kesempatan kerja, dan teknologi; pengembangan social capital dan human capital yang belum tergali potensinya sehingga kawasan perdesaan tidak semata-mata mengandalkan sumber daya alam saja; intervensi harga dan kebijakan perdagangan yang berpihak ke produk pertanian, terutama terhadap harga dan upah.
Rencana tata ruang digunakan sebagai acuan kebijakan spasial bagi pembangunan di setiap sektor, lintas sektor, maupun wilayah agar pemanfaatan ruang dapat sinergis, serasi, dan berkelanjutan. Rencana Tata Ruang Wilayah disusun secara hierarki. Dalam rangka mengoptimalkan penataan ruang perlu ditingkatkan (a) kompetensi sumber daya manusia dan kelembagaan di bidang penataan ruang, (b) kualitas rencana tata ruang, dan (c) efektivitas penerapan dan penegakan hukum dalam perencanaan, pemanfaatan, maupun pengendalian pemanfaatan ruang.
Menerapkan sistem pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif, serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi. Selain itu, perlu dilakukan penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah melalui perumusan berbagai aturan pelaksanaan land reform serta penciptaan insentif/disinsentif perpajakan yang sesuai dengan luas, lokasi, dan penggunaan tanah agar masyarakat golongan ekonomi lemah dapat lebih mudah mendapatkan hak atas tanah. Selain itu, menyempurnakan sistem hukum dan produk hukum pertanahan melalui inventarisasi dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan pertanahan dengan mempertimbangkan aturan masyarakat adat, serta peningkatan upaya penyelesaian sengketa pertanahan baik melalui kewenangan administrasi, peradilan, maupun alternative dispute resolution . Selain itu, akan dilakukan penyempurnaan kelembagaan pertanahan sesuai dengan semangat otonomi daerah dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang pertanahan di daerah.
Kapasitas pemerintah daerah terus dikembangkan melalui peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah, kapasitas kelembagaan pemerintah daerah, kapasitas keuangan pemerintah daerah, serta kapasitas lembaga legislatif daerah. Selain itu, pemberdayaan masyarakat akan terus dikembangkan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan; peningkatan akses pada modal usaha dan sumber daya alam; pemberian kesempatan luas untuk menyampaikan aspirasi terhadap kebijakan dan peraturan yang menyangkut kehidupan mereka; serta peningkatan kesempatan dan kemampuan untuk mengelola usaha ekonomi produktif yang mendatangkan kemakmuran dan mengatasi kemiskinan.
Peningkatan kerja sama antardaerah akan terus ditingkatkan dalam rangka memanfaatkan keunggulan komparatif maupun kompetitif setiap daerah; menghilangkan ego pemerintah daerah yang berlebihan; serta menghindari timbulnya inefisiensi dalam pelayanan publik. Pembangunan kerja sama antardaerah melalui sistem jejaring antardaerah akan sangat bermanfaat sebagai sarana berbagi pengalaman, berbagi keuntungan dari kerja sama, maupun berbagi tanggung jawab pembiayaan secara proporsional, baik dalam pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana maupun dalam pembangunan lainnya.
Sistem ketahanan pangan diarahkan untuk menjaga ketahanan dan kemandirian pangan nasional dengan mengembangkan kemampuan produksi dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup di tingkat rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal.
Koperasi yang didorong berkembang luas sesuai kebutuhan menjadi wahana yang efektif untuk meningkatkan posisi tawar dan efisiensi kolektif para anggotanya, baik produsen maupun konsumen di berbagai sektor kegiatan ekonomi sehingga menjadi gerakan ekonomi yang berperan nyata dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Sementara itu, pemberdayaan usaha mikro menjadi pilihan strategis untuk meningkatkan pendapatan kelompok masyarakat berpendapatan rendah dalam rangka mengurangi kesenjangan pendapatan dan kemiskinan melalui peningkatan kapasitas usaha dan ketrampilan pengelolaan usaha serta sekaligus mendorong adanya kepastian, perlindungan, dan pembinaan usaha.
Dalam rangka pembangunan berkeadilan, pembangunan kesejahteraan sosial juga dilakukan dengan memberi perhatian yang lebih besar pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung, termasuk masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, tertinggal, dan wilayah bencana.
Pembangunan kesejahteraan sosial dalam rangka memberikan perlindungan pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung disempurnakan melalui penguatan lembaga jaminan sosial yang didukung oleh peraturan-peraturan perundangan, pendanaan, serta sistem nomor induk kependudukan (NIK). Pemberian jaminan sosial dilaksanakan dengan mempertimbangkan budaya dan kelembagaan yang sudah berakar di masyarakat.
Sistem perlindungan dan jaminan sosial disusun, ditata, dan dikembangkan untuk memastikan dan memantapkan pemenuhan hak-hak rakyat akan pelayanan sosial dasar. Sistem jaminan sosial nasional (SJSN) yang sudah disempurnakan bersama sistem perlindungan sosial nasional (SPSN) yang didukung oleh peraturan perundang–undangan dan pendanaan serta sistem Nomor Induk Kependudukan (NIK) dapat memberikan perlindungan penuh kepada masyarakat luas. secara bertahap sehingga Pengembangan SPSN dan SJSN dilaksanakan dengan memperhatikan budaya dan sistem yang sudah berakar di kalangan masyarakat luas.
Pemenuhan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya diarahkan pada (1) penyelenggaraan pembangunan perumahan yang berkelanjutan, memadai, layak, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat serta didukung oleh prasarana dan sarana permukiman yang mencukupi dan berkualitas yang dikelola secara profesional, kredibel, mandiri, dan efisien;
penyelenggaraan pembangunan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya yang mandiri mampu membangkitkan potensi pembiayaan yang berasal dari masyarakat dan pasar modal, menciptakan lapangan kerja, serta meningkatkan pemerataan dan penyebaran pembangunan; dan
pembangunan pembangunan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya yang memperhatikan fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup.
Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang berupa air minum dan sanitasi diarahkan pada (1) peningkatan kualitas pengelolaan aset ( asset management ) dalam penyediaan air minum dan sanitasi;
pemenuhan kebutuhan minimal air minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat;
penyelenggaraan pelayanan air minum dan sanitasi yang kredibel dan profesional; dan
penyediaan sumber-sumber pembiayaan murah dalam pelayanan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.
Penanggulangan kemiskinan diarahkan pada penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat secara bertahap dengan mengutamakan prinsip kesetaraan dan nondiskriminasi. Sejalan dengan proses demokratisasi, pemenuhan hak dasar rakyat diarahkan pada peningkatan pemahaman tentang pentingnya mewujudkan hak-hak dasar rakyat. Kebijakan penanggulangan kemiskinan juga diarahkan pada peningkatan mutu penyelenggaraan otonomi daerah sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin. IV.1.6 MEWUJUDKAN INDONESIA YANG ASRI DAN LESTARI Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan modal pembangunan nasional dan, sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan. Sumber daya alam yang lestari akan menjamin tersedianya sumber daya yang berkelanjutan bagi pembangunan. Lingkungan hidup yang asri akan meningkatkan kualitas hidup manusia . Oleh karena itu, untuk mewujudkan Indonesia yang maju, mandiri, dan adil, sumber daya alam dan lingkungan hidup harus dikelola secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional. Penerapan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan di seluruh sektor dan wilayah menjadi prasyarat utama dalam pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan.
Mendayagunakan Sumber Daya Alam yang Terbarukan. Sumber daya alam terbarukan, baik di darat dan di laut, harus dikelola dan dimanfaatkan secara rasional, optimal, efisien, dan bertanggung jawab dengan mendayagunakan seluruh fungsi dan manfaat secara seimbang. Pengelolaan sumber daya alam terbarukan yang sudah berada dalam kondisi kritis diarahkan pada upaya untuk merehabilitasi dan memulihkan daya dukungnya yang selanjutnya diarahkan pada pemanfaatan jasa lingkungan sehingga tidak semakin merusak dan menghilangkan kemampuannya sebagai modal bagi pembangunan yang berkelanjutan. Hasil atau pendapatan yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam terbarukan diinvestasikan kembali guna menumbuhkembangkan upaya pemulihan, rehabilitasi, dan pencadangan untuk kepentingan generasi sekarang maupun generasi mendatang. Di samping itu, pemanfaatan sumber daya alam yang terbarukan akan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri dengan memanfaatkan sumber daya berbasis kelautan dan hasil-hasil pertanian sebagai energi alternatif.
Mengelola Sumber Daya Alam yang Tidak Terbarukan. Pengelolaan sumber daya alam tak terbarukan, seperti bahan tambang, mineral, dan sumber daya energi diarahkan untuk tidak dikonsumsi secara langsung, melainkan diperlakukan sebagai masukan, baik bahan baku maupun bahan bakar, untuk proses produksi yang dapat menghasilkan nilai tambah yang optimal di dalam negeri. Selain itu, sumber daya alam tak terbarukan pemanfaatannya harus seefisien mungkin dan menerapkan strategi memperbesar cadangan dan diarahkan untuk mendukung proses produksi di dalam negeri. Pemanfaatan sumber daya energi yang tidak terbarukan, seperti minyak dan gas bumi, terutama diarahkan untuk memenuhi kebutuhan energi yang terjangkau masyarakat di dalam negeri dan untuk mendukung industri berbasis hidrokarbon, seperti industri petrokimia, industri pupuk dalam mendukung sektor pertanian di dalam negeri. Keluarannya ( output ) diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai modal kumulatif. Hasil atau pendapatan yang diperoleh dari kelompok sumber daya alam tersebut diarahkan untuk percepatan pertumbuhan ekonomi dengan diinvestasikan pada sektor-sektor lain yang produktif, juga untuk upaya reklamasi, konservasi, dan memperkuat pendanaan dalam pencarian sumber-sumber energi alternatif yang menjadi jembatan dari energi fosil ke energi yang terbarukan, seperti energi yang memanfaatkan nuklir dan panas bumi dan atau bahan substitusi yang terbarukan dan atau bahan substitusi yang terbarukan seperti biomassa, biogas, mikrohidro, energi matahari, arus laut, panas bumi ( geothermal ) dan tenaga angin yang ramah lingkungan. Pengembangan sumber-sumber energi alternatif itu disesuaikan dengan kondisi masyarakat dengan tetap mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Di samping itu, pengembangan energi juga mempertimbangkan harga energi yang memperhitungkan biaya produksi, menginternalisasikan biaya lingkungan, serta mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, pembangunan energi terus diarahkan kepada keragaman energi dan konservasi energi dengan memerhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengembangan energi juga dilaksanakan dengan memerhatikan komposisi penggunaan energi (diversifikasi) yang optimal bagi setiap jenis energi.
Menjaga Keamanan Ketersediaan Energi. Menjaga keamanan ketersediaan energi diarahkan untuk menyediakan energi dalam waktu yang terukur antara tingkat ketersediaan sumber- sumber energi dan tingkat kebutuhan masyarakat.
Menjaga dan Melestarikan Sumber Daya Air. Pengelolaan sumber daya air diarahkan untuk menjamin keberlanjutan daya dukungnya dengan menjaga kelestarian fungsi daerah tangkapan air dan keberadaan air tanah; mewujudkan keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan melalui pendekatan demand management yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan dan konsumsi air dan pendekatan supply management yang ditujukan untuk meningkatan kapasitas dan keandalan pasokan air; serta memperkokoh kelembagaan sumber daya air untuk meningkatkan keterpaduan dan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.
Mengembangkan Potensi Sumber Daya Kelautan. Arah pembangunan ke depan perlu memerhatikan pendayagunaan dan pengawasan wilayah laut yang sangat luas. Dengan cakupan dan prospek sumber daya kelautan yang sangat luas, arah pemanfaatannya harus dilakukan melalui pendekatan multisektor, integratif, dan komprehensif agar dapat meminimalkan konflik dan tetap menjaga kelestariannya. Di samping itu, mengingat kompleksnya permasalahan dalam pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil, pendekatan keterpaduan dalam kebijakan dan perencanaan menjadi prasyarat utama dalam menjamin keberlanjutan proses ekonomi, sosial, dan lingkungan. Selain itu, kebijakan dan pengelolaan pembangunan kelautan harus merupakan keterpaduan antara sektor lautan dan daratan serta menyatu dalam strategi pembangunan nasional sehingga kekuatan darat dan laut dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan bangsa.
Meningkatkan Nilai Tambah atas Pemanfaatan Sumber Daya Alam Tropis yang Unik dan Khas. Diversifikasi produk dan inovasi pengolahan hasil sumber daya alam terus dikembangkan agar mampu menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai tambah yang tinggi, termasuk untuk pengembangan mutu dan harga yang bersaing dalam merebut persaingan global. Arah ini harus menjadi acuan bagi pengembangan industri yang berbasis sumber daya alam selain tetap menekankan pada pemeliharaan sumber daya alam yang ada dan sekaligus meningkatkan kualitas dan kuantitasnya. Perhatian khusus diberikan kepada masyarakat lokal agar dapat memeroleh akses yang memadai dan menikmati hasil dari pemanfaatan sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Dengan demikian, pembangunan pada masa yang akan datang tidak hanya berlandaskan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi semata, melainkan juga keberpihakan kepada aspek sosial dan lingkungan.
Memerhatikan dan Mengelola Keragaman Jenis Sumber Daya Alam yang Ada di Setiap Wilayah. Kebijakan pengembangan sumber daya alam yang khas pada setiap wilayah dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, mengembangkan wilayah strategis dan cepat tumbuh, serta memperkuat kapasitas dan komitmen daerah untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Peningkatan partisipasi masyarakat akan pentingnya pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah antara lain melalui pemberdayaan terhadap berbagai institusi sosial dan ekonomi di tingkat lokal, serta pengakuan terhadap hak-hak adat dan ulayat atas sumber daya alam. Pengelolaan sumber daya alam di luar pulau Jawa, terutama di kawasan tertinggal diberikan perhatian khusus agar dapat dikembangkan potensinya untuk percepatan pembangunan wilayah, tetapi tetap mengedepankan aspek keberlanjutan bagi generasi mendatang. Untuk itu, diperlukan tata ruang wilayah yang mantap disertai penegakan agar menjadi pedoman pemanfaatan sumber daya alam yang optimal dan lestari.
Mitigasi Bencana Alam Sesuai dengan Kondisi Geologi Indonesia. Secara geografis Indonesia berada di wilayah pertemuan tiga lempeng tektonik. Kebijakan pembangunan berwawasan lingkungan memberikan ruang untuk mengembangkan kemampuan dan penerapan sistem deteksi dini serta sosialisasi dan diseminasi informasi secara dini terhadap ancaman kerawanan bencana alam kepada masyarakat. Untuk itu, perlu ditingkatkan identifikasi dan pemetaan daerah-daerah rawan bencana agar dapat diantisipasi secara dini. Hal itu dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat dan memberikan perlindungan terhadap manusia dan harta benda karena adanya perencanaan wilayah yang peduli/peka terhadap bencana alam.
Mengendalikan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan. Dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan hidup yang baik perlu penerapan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan secara konsisten di segala bidang. Pembangunan ekonomi diarahkan pada pemanfaatan jasa lingkungan yang ramah lingkungan sehingga tidak mempercepat terjadinya degradasi dan pencemaran lingkungan. Pemulihan dan rehabilitasi kondisi lingkungan hidup diprioritaskan pada upaya peningkatan daya dukung lingkungan dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
Meningkatkan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam perlu didukung oleh peningkatan kelembagaan pengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup; penegakan hukum lingkungan yang adil dan tegas serta sistem politik yang kredibel dalam mengendalikan konflik; peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas; perluasan penerapan etika lingkungan; serta perkembangan asimilasi sosial budaya yang makin mantap sehinggga lingkungan dapat memberikan kenyamanan dan keindahan dalam kehidupan. Selanjutnya, cara pandang terhadap lingkungan hidup yang berwawasan etika lingkungan perlu didorong melalui internalisasi ke dalam kegiatan produksi dan konsumsi, dengan cara menanamkan nilai dan etika lingkungan dalam kehidupan sehari-hari termasuk proses pembelajaran sosial, serta pendidikan formal pada semua tingkatan.
Meningkatkan Kesadaran Masyarakat untuk Mencintai Lingkungan Hidup. Kebijakan itu diarahkan terutama bagi generasi muda sehingga tercipta sumber daya manusia yang berkualitas dan peduli terhadap isu sumber daya alam dan lingkungan hidup. Dengan demikian, pada masa yang akan datang mereka mampu berperan sebagai penggerak bagi penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. IV.1.7 MEWUJUDKAN INDONESIA MENJADI NEGARA KEPULAUAN YANG MANDIRI, MAJU, KUAT DAN BERBASISKAN KEPENTINGAN NASIONAL Pembangunan kelautan pada masa yang akan datang diarahkan pada pola pembangunan berkelanjutan berdasarkan pengelolaan sumber daya laut berbasiskan ekosistem, yang meliputi aspek-aspek sumber daya manusia dan kelembagaan, politik, ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan teknologi.
Membangkitkan wawasan dan budaya bahari, antara lain, melalui (a) pendidikan dan penyadaran masyarakat tentang kelautan yang dapat diwujudkan melalui semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; (b) melestarikan nilai-nilai budaya serta wawasan bahari serta merevitalisasi hukum adat dan kearifan lokal di bidang kelautan; dan (c) melindungi dan menyosialisasikan peninggalan budaya bawah air melalui usaha preservasi, restorasi, dan konservasi.
Meningkatkan dan menguatkan peranan sumber daya manusia di bidang kelautan yang diwujudkan, antara lain, dengan (a) mendorong jasa pendidikan dan pelatihan yang berkualitas di bidang kelautan untuk bidang-bidang keunggulan yang diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja dan (b) mengembangkan standar kompetensi sumber daya manusia di bidang kelautan. Selain itu, perlu juga dilakukan peningkatan dan penguatan peranan ilmu pengetahuan dan teknologi, riset, dan pengembangan sistem informasi kelautan.
Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal terkait di dalamnya, termasuk kewajiban-kewajiban yang telah digariskan oleh hukum laut United Nation Convention on the Law Of Sea (UNCLOS) 1982. Indonesia telah meratifikasi UNCLOS pada tahun 1986 sehingga mempunyai kewajiban, antara lain, (a) menyelesaikan hak dan kewajiban dalam mengelola sumber daya kelautan berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982; (b) menyelesaikan penataan batas maritim (perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen); (c) menyelesaikan batas landas kontinen di luar 200 mil laut; (d) menyampaikan laporan data nama geografis sumber daya kelautan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di sisi lain, Indonesia juga perlu pengembangan dan penerapan tata kelola dan kelembagaan nasional di bidang kelautan, yang meliputi (a) pembangunan sistem hukum dan tata pemerintahan yang mendukung ke arah terwujudnya Indonesia sebagai Negara Kepulauan serta (b) pengembangan sistem koordinasi, perencanaan, monitoring, dan evaluasi.
Melakukan upaya pengamanan wilayah kedaulatan yurisdiksi dan aset Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang meliputi (a) peningkatan kinerja pertahanan dan keamanan secara terpadu di wilayah perbatasan; (b) pengembangan sistem monitoring, control, and survaillance (MCS) sebagai instrumen pengamanan sumber daya, lingkungan, dan wilayah kelautan; (c) pengoptimalan pelaksanaan pengamanan wilayah perbatasan dan pulau- pulau kecil terdepan; dan (d) peningkatan koordinasi keamanan dan penanganan pelanggaran di laut.
Mengembangkan industri kelautan secara sinergi, optimal, dan berkelanjutan yang meliputi (a) perhubungan laut; (b) industri maritim; (c) perikanan; (d) wisata bahari; (e) energi dan sumber daya mineral; (f) bangunan laut; dan (g) jasa kelautan.
Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut dilakukan melalui (a) pengembangan sistem mitigasi bencana; (b) pengembangan early warning system ; (c) pengembangan perencanaan nasional tanggap darurat tumpahan minyak di laut; (d) pengembangan sistem pengendalian hama laut, introduksi spesies asing, dan organisme laut yang menempel pada dinding kapal; serta (e) pengendalian dampak sisa-sisa bangunan dan aktivitas di laut.
Meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di kawasan pesisir dilakukan dengan mengembangkan kegiatan ekonomi produktif skala kecil yang mampu memberikan lapangan kerja lebih luas kepada keluarga miskin. IV.1.8 MEWUJUDKAN INDONESIA YANG BERPERAN AKTIF DALAM PERGAULAN INTERNASIONAL Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial merupakan amanat konstitusi yang harus diperjuangkan secara konsisten. Sebagai negara yang besar secara geografis dan jumlah penduduk, Indonesia sesungguhnya memiliki peluang dan potensi untuk mempengaruhi dan membentuk opini internasional dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional. Dalam rangka mewujudkan Indonesia maju, mandiri, adil dan makmur, Indonesia sangat penting untuk berperan aktif dalam politik luar negeri dan kerja sama lainnya baik di tingkat regional maupun internasional, mengingat konstelasi politik dan hubungan internasional lainnya yang terus mengalami perubahan-perubahan yang sangat cepat.
Peranan hubungan luar negeri terus ditingkatkan dengan penekanankan pada proses pemberdayaan posisi Indonesia sebagai negara, termasuk peningkatan kapasitas dan integritas nasional melalui keterlibatan di organisasi-organisasi internasional, yang dilakukan melalui optimalisasi pemanfaatan diplomasi dan hubungan luar negeri dengan memaknai secara positif berbagai peluang yang menguntungkan bagi kepentingan nasional yang muncul dari perspektif baru dalam hubungan internasional yang dinamis.
Penguatan kapasitas dan kredibilitas politik luar negeri dalam rangka ikut serta menciptakan perdamaian dunia, keadilan dalam tata hubungan internasional, dan ikut berupaya mencegah timbulnya pertentangan yang terlalu tajam di antara negara-negara yang berbeda ideologi, dan sistem politik maupun kepentingan agar tidak mengancam keamanan internasional sekaligus mencegah munculnya kekuatan yang terlalu bersifat hegemonik-unilateralistik di dunia.
Peningkatan kualitas diplomasi di fora internasional dalam upaya pemeliharaan keamanan nasional, integritas wilayah, dan pengamanan kekayaan sumber daya alam, baik daratan maupun lautan, serta antisipasi terhadap berbagai isu baru dalam hubungan internasional yang akan ditangani dengan parameter utamanya adalah pencapaian secara optimal kepentingan nasional.
Peningkatan efektivitas dan perluasan fungsi jaringan kerjasama yang ada demi membangun kembali solidaritas Association of South East Asian Nation (ASEAN) di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan keamanan menuju terbentuknya komunitas ASEAN yang lebih solid.
Pemeliharaan perdamaian dunia melalui upaya peningkatan saling pengertian politik dan budaya, baik antarnegara maupun antarmasyarakat dunia serta peningkatan kerja sama internasional dalam membangun tatanan hubungan dan kerja sama ekonomi internasional yang lebih seimbang.
Penguatan jaringan hubungan dan kerja sama yang produktif antar aktor- aktor negara dan aktor-aktor nonnegara yang menyelenggarakan hubungan luar negeri. IV. 2 TAHAPAN DAN SKALA PRIORITAS Untuk mencapai sasaran pokok sebagaimana dimaksud di atas, pembangunan jangka panjang membutuhkan tahapan dan skala prioritas yang akan menjadi agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah. Tahapan dan skala prioritas yang ditetapkan mencerminkan urgensi permasalahan yang hendak diselesaikan, tanpa mengabaikan permasalahan lainnya. Oleh karena itu, tekanan skala prioritas dalam setiap tahapan berbeda-beda, tetapi semua itu harus berkesinambungan dari periode ke periode berikutnya dalam rangka mewujudkan sasaran pokok pembangunan jangka panjang. Setiap sasaran pokok dalam delapan misi pembangunan jangka panjang dapat ditetapkan prioritasnya dalam masing-masing tahapan. Prioritas masing-masing misi dapat diperas kembali menjadi prioritas utama. Prioritas utama menggambarkan makna strategis dan urgensi permasalahan. Atas dasar tersebut, tahapan dan skala prioritas utama dapat disusun sebagai berikut. IV.2.1 RPJM ke-1 (2005 – 2009) Berlandaskan pelaksanaan dan pencapaian pembangunan tahap sebelumnya, RPJM I diarahkan untuk menata kembali dan membangun Indonesia di segala bidang yang ditujukan untuk menciptakan Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dan yang tingkat kesejahteraan rakyatnya meningkat. Indonesia yang aman dan damai ditandai dengan meningkatnya rasa aman dan damai serta terjaganya NKRI berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika melalui tertanganinya berbagai kerawanan dan tercapainya landasan pembangunan kemampuan pertahanan nasional, serta meningkatnya keamanan dalam negeri termasuk keamanan sosial sehingga peranan Indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia semakin meningkat. Kondisi itu didukung oleh berkembangnya nilai baru yang positif dan produktif pada setiap aspek kehidupan dalam rangka memantapkan budaya nasional, termasuk wawasan dan budaya bahari; menguat dan meluasnya pemahaman tentang identitas nasional sebagai negara demokrasi dalam tatanan masyarakat internasional; dan meningkatnya pelestarian serta pengembangan kekayaan budaya untuk memperkokoh kedaulatan NKRI berlandaskan falsafah Pancasila. Indonesia yang adil dan demokratis ditandai dengan meningkatnya keadilan dan penegakan hukum; terciptanya landasan hukum untuk memperkuat kelembagaan demokrasi; meningkatnya kesetaraan gender di berbagai bidang pembangunan; terciptanya landasan bagi upaya penegakan supremasi hukum dan penegakan hak-hak asasi manusia yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan tertatanya sistem hukum nasional. Bersamaan dengan itu, pelayanan kepada masyarakat makin membaik dengan meningkatnya penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah yang tercermin dengan terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah dan tidak bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang lebih tinggi; serta tertatanya kelembagaan birokrasi dalam mendukung percepatan terwujudnya tata kepemerintahan yang baik. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia ditandai dengan menurunnya angka pengangguran dan jumlah penduduk miskin sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas; berkurangnya kesenjangan antarwilayah, termasuk meningkatnya pengelolaan pulau-pulau kecil terdepan; meningkatnya kualitas sumber daya manusia, termasuk sumber daya manusia di bidang kelautan yang didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan membaiknya pengelolaan sumber daya alam dan mutu lingkungan hidup. Kondisi itu dicapai dengan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan iklim yg lebih kondusif, termasuk membaiknya infrastruktur. Percepatan pembangunan infrastruktur lebih didorong melalui peningkatan peran swasta dengan meletakkan dasar-dasar kebijakan dan regulasi serta reformasi dan restrukturisasi kelembagaan, terutama untuk sektor transportasi, energi dan kelistrikan, serta pos dan telematika. Bersamaan dengan itu dilaksanakan revitalisasi kelembagaan pusat-pusat pertumbuhan yang memiliki lokasi strategis, antara lain kawasan ekonomi khusus (KEK) dan kawasan andalan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia, antara lain, ditandai oleh meningkatnya indeks pembangunan manusia (IPM) dan indeks pembangunan gender (IPG) yang diarahkan untuk membangun bangsa yang berkarakter cerdas, adil dan beradab, berkepribadian nasional, tangguh, kompetitif, bermoral, dan berdasarkan falsafah Pancasila yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragama, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi luhur, toleran terhadap keberagaman, bergotong-royong, patriotik, dinamis, dan berorientasi iptek; meningkatkan kualitas dan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan; meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan perempuan dan anak; dan mengendalikan jumlah dan laju pertumbuhan penduduk. Bersamaan dengan hal tersebut ditingkatkan mitigasi bencana alam sesuai dengan kondisi geologi Indonesia. Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan didukung oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan hidup dan menyadari keadaan wilayah yang rawan bencana sehingga makin peduli dan antisipatif. Hal itu didukung oleh pengembangan kelembagaan dan peningkatan kapasitas di setiap tingkatan pemerintahan dalam rangka penanggulangan bencana serta diacunya rencana tata ruang secara hierarki dari tingkatan nasional, pulau, provinsi, hingga kabupaten/kota sebagai payung kebijakan spasial semua sektor dalam rangka mencegah dampak kerusakan lingkungan hidup dan meminimalkan dampak bencana. IV.2.2 RPJM ke-2 (2010 – 2014) Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJM ke-1, RPJM ke-2 ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian. Kondisi aman dan damai di berbagai daerah Indonesia terus membaik dengan meningkatnya kemampuan dasar pertahanan dan keamanan negara yang ditandai dengan peningkatan kemampuan postur dan struktur pertahanan negara serta peningkatan kemampuan lembaga keamanan negara. Kondisi itu sejalan dengan meningkatnya kesadaran dan penegakan hukum, tercapainya konsolidasi penegakan supremasi hukum dan penegakan hak asasi manusia, serta kelanjutan penataan sistem hukum nasional. Sejalan dengan itu, kehidupan bangsa yang lebih demokratis semakin terwujud ditandai dengan membaiknya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah serta kuatnya peran masyarakat sipil dan partai politik dalam kehidupan bangsa. Posisi penting Indonesia sebagai negara demokrasi yang besar makin meningkat dengan keberhasilan diplomasi di fora internasional dalam upaya pemeliharaan keamanan nasional, integritas wilayah, dan pengamanan kekayaan sumber daya alam nasional. Selanjutnya, kualitas pelayanan publik yang lebih murah, cepat, transparan, dan akuntabel makin meningkat yang ditandai dengan terpenuhinya standar pelayanan minimum di semua tingkatan pemerintah. Kesejahteraan rakyat terus meningkat ditunjukkan oleh membaiknya berbagai indikator pembangunan sumber daya manusia, antara lain meningkatnya pendapatan per kapita; menurunnya angka kemiskinan dan tingkat pengangguran sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas disertai dengan berkembangnya lembaga jaminan sosial; meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat yang didukung dengan pelaksanaan sistem pendidikan nasional yang mantap; meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat; meningkatnya kesetaraan gender; meningkatnya tumbuh kembang optimal, kesejahteraan, dan perlindungan anak; terkendalinya jumlah dan laju pertumbuhan penduduk; menurunnya kesenjangan kesejahteraan antarindividu, antarkelompok masyarakat, dan antardaerah; dipercepatnya pengembangan pusat-pusat pertumbuhan potensial di luar Jawa; serta makin mantapnya nilai-nilai baru yang positif dan produktif dalam rangka memantapkan budaya dan karakter bangsa. Daya saing perekonomian meningkat melalui penguatan industri manufaktur sejalan dengan penguatan pembangunan pertanian dan peningkatan pembangunan kelautan dan sumber daya alam lainnya sesuai potensi daerah secara terpadu serta meningkatnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; teknologi; percepatan pembangunan infrastruktur dengan lebih meningkatkan kerja sama antara pemerintah dan dunia usaha; peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan; serta penataan kelembagaan ekonomi yang mendorong prakarsa masyarakat dalam kegiatan perekonomian. Kondisi itu didukung oleh pengembangan jaringan infrastruktur transportasi, serta pos dan telematika; peningkatan pemanfaatan energi terbarukan, khususnya bioenergi, panas bumi, tenaga air, tenaga angin, dan tenaga surya untuk kelistrikan; serta pengembangan sumber daya air dan pengembangan perumahan dan permukiman. Bersamaan dengan itu, industri kelautan yang meliputi perhubungan laut, industri maritim, perikanan, wisata bahari, energi dan sumber daya mineral dikembangkan secara sinergi, optimal, dan berkelanjutan. Dalam kerangka pencapaian pembangunan yang berkelanjutan, pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup makin berkembang melalui penguatan kelembagaan dan peningkatan kesadaran masyarakat yang ditandai dengan berkembangnya proses rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup yang disertai dengan menguatnya partisipasi aktif masyarakat; terpeliharanya keanekaragaman hayati dan kekhasan sumber daya alam tropis lainnya yang dimanfaatkan untuk mewujudkan nilai tambah, daya saing bangsa, serta modal pembangunan nasional pada masa yang akan datang; mantapnya kelembagaan dan kapasitas antisipatif serta penanggulangan bencana di setiap tingkatan pemerintahan; serta terlaksananya pembangunan kelautan sebagai gerakan yang didukung oleh semua sektor. Kondisi itu didukung dengan meningkatnya kualitas perencanaan tata ruang serta konsistensi pemanfaatan ruang dengan mengintegrasikannya ke dalam dokumen perencanaan pembangunan terkait dan penegakan peraturan dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang. IV.2.3 RPJM ke-3 (2015 – 2019) Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJM ke-2, RPJM ke-3 ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat. Sejalan dengan kondisi aman dan damai yang makin mantap di seluruh wilayah Indonesia, kemampuan pertahanan nasional dan keamanan dalam negeri makin menguat yang ditandai dengan terbangunnya profesionalisme institusi pertahanan dan keamanan negara serta meningkatnya kecukupan kesejahteraan prajurit serta ketersediaan alat utama sistem persenjataan TNI dan alat utama Polri melalui pemberdayaan industri pertahanan nasional. Kehidupan demokrasi bangsa makin mengakar dalam kehidupan bangsa sejalan dengan makin mantapnya pelembagaan nilai-nilai demokrasi dengan menitikberatkan pada prinsip toleransi, nondiskriminasi dan kemitraan dan semakin mantapnya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Kondisi itu mendorong tercapainya penguatan kepemimpinan dan kontribusi Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional dalam rangka mewujudkan tatanan dunia yang lebih adil dan damai dalam berbagai aspek kehidupan. Bersamaan dengan itu kesadaran dan penegakan hukum dalam berbagai aspek kehidupan berkembang makin mantap serta profesionalisme aparatur negara di pusat dan daerah makin mampu mendukung pembangunan nasional. Kesejahteraan rakyat terus membaik, meningkat sebanding dengan tingkat kesejahteraan negara-negara berpenghasilan menengah, dan merata yang didorong oleh meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yang disertai terwujudnya lembaga jaminan sosial. Kualitas sumber daya manusia terus membaik ditandai oleh meningkatnya kualitas dan relevansi pendidikan, termasuk yang berbasis keunggulan lokal dan didukung oleh manajemen pelayananan pendidikan yang efisien dan efektif; meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat; meningkatnya kesetaraan gender; meningkatnya tumbuh kembang optimal, serta kesejahteraan dan perlindungan anak; tercapainya kondisi penduduk tumbuh seimbang; dan mantapnya budaya dan karakter bangsa. Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang semakin mantap dicerminkan oleh terjaganya daya dukung lingkungan dan kemampuan pemulihan untuk mendukung kualitas kehidupan sosial dan ekonomi secara serasi, seimbang, dan lestari; terus membaiknya pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya alam yang diimbangi dengan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup dan didukung oleh meningkatnya kesadaran, sikap mental, dan perilaku masyarakat; serta semakin mantapnya kelembagaan dan kapasitas penataan ruang di seluruh wilayah Indonesia. Daya saing perekonomian Indonesia semakin kuat dan kompetitif dengan semakin terpadunya industri manufaktur dengan pertanian, kelautan dan sumber daya alam lainnya secara berkelanjutan; terpenuhinya ketersediaan infrastruktur yang didukung oleh mantapnya kerja sama pemerintah dan dunia usaha, makin selarasnya pembangunan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi dan industri serta terlaksananya penataan kelembagaan ekonomi untuk mendorong peningkatan efisiensi, produktivitas, penguasaan dan penerapan teknologi oleh masyarakat dalam kegiatan perekonomian. Ketersediaan infrastruktur yang sesuai dengan rencana tata ruang ditandai oleh berkembangnya jaringan infrastruktur transportasi; terpenuhinya pasokan tenaga listrik yang handal dan efisien sesuai kebutuhan sehingga elektrifikasi rumah tangga dan elektrifikasi perdesaan dapat tercapai, serta mulai dimanfaatkannya tenaga nuklir untuk pembangkit listrik dengan mempertimbangkan faktor keselamatan secara ketat; terselenggaranya pelayanan pos dan telematika yang efisien dan modern guna terciptanya masyarakat informasi Indonesia; terwujudnya konservasi sumber daya air yang mampu menjaga keberlanjutan fungsi sumber daya air dan pengembangan sumber daya air serta terpenuhinya penyediaan air minum untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Selain itu, pengembangan infrastruktur perdesaan akan terus dikembangkan, terutama untuk mendukung pembangunan pertanian. Sejalan dengan itu, pemenuhan kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung bagi seluruh masyarakat terus meningkat karena didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien, dan akuntabel. Kondisi itu semakin mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman kumuh. IV.2.4 RPJM ke-4 (2020 – 2024) Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJM ke-3, RPJM ke-4 ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saing. Kelembagaan politik dan hukum telah tercipta ditandai dengan terwujudnya konsolidasi demokrasi yang kokoh dalam berbagai aspek kehidupan politik serta supremasi hukum dan penegakan hak-hak asasi manusia ; terwujudnya rasa aman dan damai bagi seluruh rakyat ; serta terjaganya keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kedaulatan negara dari ancaman, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kondisi itu didukung oleh mantapnya kemampuan pertahanan dan keamanan negara yang ditandai oleh terwujudnya TNI yang profesional dengan komponen cadangan dan pendukung pertahanan yang kuat; terwujudnya sinergi kinerja antara POLRI dan partisipasi masyarakat dalam bidang keamanan, intelijen, dan kontra intelijen yang efektif yang disertai kemampuan industri pertahanan yang handal; terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam mendorong supremasi hukum; terwujudnya tata kepemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa yang berdasarkan hukum, serta birokrasi yang profesional dan netral; terwujudnya masyarakat sipil, masyarakat politik, dan masyarakat ekonomi yang mandiri, serta terwujudnya kemandirian nasional dalam konstelasi gobal. Kesejahteraan masyarakat yang terus meningkat ditunjukkan oleh makin tinggi dan meratanya tingkat pendapatan masyarakat dengan jangkauan lembaga jaminan sosial yang lebih menyeluruh; mantapnya sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing, antara lain ditandai oleh meningkat dan meratanya akses, tingkat kualitas, dan relevansi pendidikan seiring dengan makin efisien dan efektifnya manajemen pelayanan pendidikan; meningkatnya kemampuan Iptek; meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat; meningkatnya tumbuh kembang optimal, kesejahteraan dan perlindungan anak; dan terwujudnya kesetaraan gender; bertahannya kondisi dan penduduk tumbuh seimbang. Sejalan dengan tingkat kemajuan bangsa, sumber daya manusia Indonesia diharapkan berkarakter cerdas, tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral berdasarkan falsafah Pancasila yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragama, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, toleran terhadap keberagaman, bergotong royong, patriotik, dinamis dan berorientasi Iptek. Kesadaran, sikap mental, dan perilaku masyarakat makin mantap dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup untuk menjaga kenyamanan dan kualitas kehidupan sehingga masyarakat mampu berperan sebagai penggerak bagi konsep pembangunan berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Struktur perekonomian makin maju dan kokoh ditandai dengan daya saing perekonomian yang kompetitif dan berkembangnya keterpaduan antara industri, pertanian, kelautan dan sumber daya alam, dan sektor jasa. Lembaga dan pranata ekonomi telah tersusun, tertata, serta berfungsi dengan baik. Kondisi itu didukung oleh keterkaitan antara pelayanan pendidikan, dan kemampuan Iptek yang makin maju sehingga mendorong perekonomian yang efisien dan produktivitas yang tinggi; serta berkembangnya usaha dan investasi dari perusahaan-perusahaan Indonesia di luar negeri termasuk di zona ekonomi eksklusif dan lautan bebas dalam rangka peningkatan perekonomian nasional. Sejalan dengan itu, pertumbuhan ekonomi yang semakin berkualitas dan berkesinambungan dapat dicapai sehingga pendapatan per kapita pada tahun 2025 mencapai kesejahteraan setara dengan negara-negara berpendapatan menengah dengan tingkat pengangguran terbuka dan jumlah penduduk miskin yang makin rendah. Kondisi maju dan sejahtera makin terwujud dengan terselenggaranya jaringan transportasi pos dan telematika yang andal bagi seluruh masyarakat yang menjangkau seluruh wilayah NKRI; tercapainya elektrifikasi perdesaan dan elektrifikasi rumah tangga; serta terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung bagi seluruh masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien, dan akuntabel sehingga terwujud kota tanpa permukiman kumuh. Dalam rangka memantapkan pembangunan yang berkelanjutan, keanekaragaman hayati dan kekhasan sumber daya alam terus dipelihara dan dimanfaatkan untuk terus mempertahankan nilai tambah dan daya saing bangsa serta meningkatkan modal pembangunan nasional pada masa yang akan datang. BAB V PENUTUP Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 yang berisi visi, misi, dan arah pembangunan nasional merupakan pedoman bagi pemerintah dan masyarakat di dalam penyelenggaraan pembangunan nasional 20 tahun ke depan. RPJPN ini juga menjadi acuan di dalam penyusunan RPJP Daerah dan menjadi pedoman bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam menyusun visi, misi, dan program prioritas yang akan menjadi dasar dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) lima tahunan dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Keberhasilan pembangunan nasional dalam mewujudkan visi Indonesia yang mandiri , maju , adil , dan makmur perlu didukung oleh (1) komitmen dari kepemimpinan nasional yang kuat dan demokratis;
konsistensi kebijakan pemerintah;
keberpihakan kepada rakyat; dan
peran serta masyarakat dan dunia usaha secara aktif. ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Pengujian UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara [Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12] ...
Relevan terhadap
(1) Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan cara menjual atau menyewakan Hak Manfaat atas Barang Milik Negara atau cara lain yang sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN. B. Bahwa dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, khususnya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, Pasal 11 ayat (1), Menteri Keuangan setelah meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah Republik Indonesia telah menjaminkan aset negara senilai triliunan rupiah sebagai alas/jaminan ( underlying asset ) penerbitan SBSN Pemerintah Republik Indonesia. C. Bahwa tindakan Pemerintah c.q. Menteri Keuangan tersebut telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia dan pengelola pendidikan tinggi, maupun dan juga merugikan seluruh warga negara Republik Indonesia, karena dengan diberlakukannya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, maka Negara tidak lagi mampu sepenuhnya memberikan jaminan layanan, khususnya layanan di bidang pendidikan tinggi, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang selanjutnya dituangkan secara rinci dalam pasal- pasal sebagai berikut: 9 Pasal 28H ayat (2) ”Setiap warga negara berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai _persamaan dan keadilan”; _ Pasal 34 ayat (3) ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum _yang layak”; _ D. Dengan dalih bahwa pemindahtanganan Barang Milik (Aset) Negara tersebut bersifat khusus, yaitu, antara lain:
penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara;
tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan ( legal title ) Barang Milik Negara; dan (3) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan, sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, Pemerintah telah menganggap tidak melakukan pelanggaran dan merasa bahwa aset yang dijadikan alas penerbitan SBSN tersebut tetap aman di tangan Pemerintah dan bebas dari ancaman (penyitaan) dari pihak lain; Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan bahwa materi muatan dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b; Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah Perubahan Kedua yang disahkan pada tanggal 18 Agustus tahun 2000 Pasal 28H ayat (2).
Menyatakan bahwa materi muatan dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b; Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Demikianlah permohonan Pemohon, kiranya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat segera memeriksa dan memutus yang seadil-adilnya. 10 [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Bukti P-4 : Fotokopi Referensi Surat Kabar Harian Republika tanggal 30 Juni 2009, tanggal 16 November 2009, tanggal 28 November 2009, tanggal 2 Desember 2009;
Bukti P-5 : Fotokopi Akta Notaris Nomor 40, tanggal 16 Januari 1997 tentang Pendirian/Anggaran Dasar Yayasan Patria Artha;
Bukti P-6 : Fotokopi Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 106/D/O/2009, tanggal 21 Juli 2009 tentang Pemberian Ijin Penyelenggaraan Program-Program Baru dan Penggabungan STIE Patria Artha di Makassar Dengan STMIK Boalemo di Makassar Menjadi Universitas Patria Artha di Makassar Diselenggarakan Oleh Yayasan Patria Artha di Makassar;
Bukti P-7 : Surat Kuasa Pemohon kepada Kuasa Hukum bertanggal 1 November 2009;
Bukti P-8 : Fotokopi Berita Acara Pengambilan Sumpah Pengacara Praktek, tanggal 4 Januari 1997 atas nama Muh. Faisal Silenang, SH., dan Berita Acara Pengambilan Sumpah Pengacara Praktek, tanggal 19 Maret 1996 atas nama Said, SH;
Bukti P-9 : Fotokopi Kartu Anggota Peradi atas nama Muh. Faisal Silenang, SH., dan Said, SH; Selain itu, Pemohon juga telah mengajukan dua orang ahli, yaitu Prof. Dr. Muchsan dan Drs. Siswo Sujanto, DEA, yang memberi keterangan di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 16 Februari 2010, sebagai berikut:
Ahli Prof. Dr. Muchsan • Bahwa kalau melihat negara sebagai penguasa, berarti tidak diperbolehkan Negara menggunakan kaidah-kaidah hukum privat/perdata di dalam 11 memperoleh benda-benda tersebut. Misalnya di dalam rangka memperoleh tanah, benda-benda yang berbentuk tanah, negara hanya disediakan empat lembaga hukum, yaitu pencabutan, pembebasan, pelepasan, dan pengadaan yang dasar hukumnya berbeda-beda. Sedangkan untuk benda non tanah, negara disediakan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 dengan pelelangan, dengan penunjukkan langsung atau pengadaan langsung. • Bahwa semangat dari Undang-Undang Dasar 1945, negara dalam hal ini diberi kedudukan sebagai lembaga publik sehingga dalam rangka memperoleh benda itu sebetulnya tertutup menggunakan hukum perdata, karena kalau negara menggunakan hukum perdata maka kedudukan yuridis negara sebagai penguasa bergeser, yaitu dapat menjadi pemilik atau penyewa, atau mungkin pengguna hak pakai dan sebagainya. Dengan demikian dengan semangat tersebut, kalau pasal atau Undang-Undang bertentangan dengan semangat atau jiwa UUD 1945 maka dengan sendirinya merupakan suatu produk hukum yang tidak sesuai dengan semangat atau jiwa Undang-Undang Dasar 1945; • Bahwa terkait dengan Pasal 28H, yang namanya jiwa atau semangat adalah yang menghidupi seluruh pasal demi pasal, sehingga semangat tersebut harus termanifesir di dalam pasal demi pasalnya. Dengan demikian semua pasal yang ada di dalam Undang-Undang Dasar 1945 harus terjiwai dengan semangat ini; • Bahwa sehubungan dengan kerugian secara in concreto , sebagai ahli tidak dapat melihat atau menjabarkannya. Artinya, kerugian secara konkret mungkin kerugian moril atau imateriil dari pihak Pemohon, tetapi segala sesuatu yang bertentangan dengan semangat atau jiwa suatu Undang-Undang ataupun Undang-Undang Dasar itu sudah barang tentu merugikan, artinya mungkin merugikan seluruh bangsa Indonesia. Misalnya kalau semangat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah ekonomi kerakyatan, tetapi dalam kenyataannya ekonomi liberal maka dengan sendirinya akan merugikan seluruh bangsa Indonesia. Tidak hanya individual tetapi merupakan suatu universal dari suatu nation ; • Bahwa bertumpu pada statement saksi maka jika suatu benda negara dibebani dengan hak-hak keperdataan, yang menurut prinsip dalam publik domain tidak diperkenankan sebab ini merupakan suatu benda publik yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Padahal dengan dibebani surat 12 berharga dan sebagainya, yang dasarnya adalah perjanjian maka prinsip tersebut tidak diperkenankan dalam publik domain; • Bahwa menafsirkan Pasal 33 ayat (3) terutama mengenai tanah harus dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960), sebab Undang-Undang tersebut sebagai pelaksana dari Pasal 33 ayat (3), sehingga mestinya Undang-Undang Pokok Pertanahan bukan agraria, sebab kalau agraria maka termasuk pertambangan dan sebagainya; • Bahwa khusus mengenai tanah terdapat beberapa prinsip, pertama , hak menguasai negara ada di atas segala-galanya sehingga meskipun terdapat hak milik perorangan yang penuh, namun tetap dikuasai oleh negara. Kedua , semua benda termasuk tanah itu berfungsi sosial ( vide Pasal 6 UU 5/1960). Sehingga kepentingan umum, kepentingan negara diutamakan dari pada kepentingan individu-individu; • Bahwa mengenai kemanfaatan, seharusnya dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, hal itu sudah final. Artinya, hasil dari penggunaan benda merupakan kepentingan umum yang bermanfaat bagi bangsa atau bagi negara; • Bahwa kata kepentingan umum itu juga include manfaat, kegunaannya untuk bangsa ini, sehingga kalau SBSN akhirnya atau bermuara kepada APBN atau APBD, padahal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sumber keuangan negara di antaranya ada pajak dan sebagainya namun tidak ada kata-kata atau suatu ketentuan SBSN merupakan sumber pendapatan negara. Bisa jadi masuk dalam pendapatan tetapi bukan suatu prinsip sehingga tidak dapat diandalkan sebagai suatu pendapatan yang pasti; • Bahwa kerugian dalam hal ini bukan kerugian perdata, karena peradilan Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan publik bukan peradilan perdata, sehingga masalah kerugian tidak seperti dalam perdata harus jelas moril, imateriil dan sebagainya. Kalau suatu hal yang bertentangan dengan semangat atau jiwa Undang-Undang Dasar maka merugikan seluruh bangsa, terutama untuk generasi penerus, dengan demikian apabila kerugian dijelaskan secara rinci. Hal itu merupakan kerugian dalam privat recht , namun karena Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan publik, maka yang digunakan adalah hukum publik; 13 2. Ahli Drs. Siswo Sujanto, DEA. • Bahwa pemikiran atau konsepsi yang dipahami oleh para pejabat pemerintahan atau oleh para politisi akan berpengaruh terhadap pemikiran/kompetensi dalam penyusunan produk hukum. Terkait dengan itu, pemahaman terhadap konsep peran negara dalam penyusunan produk hukum oleh para pejabat pemerintah maupun para politisi perlu diperjelas; • Bahwa melihat peran dan fungsi kewajiban negara terhadap warga negaranya didasarkan pada dalil atau landasan pemikiran baik filosofis, konsepsi teoritik maupun landasan konstitusional sebagai berikut:
Di dalam landasan filosofis, negara melindungi dan mensejahterakan seluruh rakyatnya. Oleh karena itu, negara harus memiliki sarana yang memadai dan terjamin agar tugas atau fungsi kewajibannya dapat terlaksana dengan baik;
Dalam konsep teoritik tentang negara, terlepas dari sistem ekonomi yang dianut suatu negara yaitu sistem kapitalis yang merupakan perwujudan falsafah liberalisme yang mengutamakan kepentingan individu maupun sistem sosialis yang bersifat etatis dengan menyerahkan semua kekuasaan di bidang perekonomian di tangan Pemerintah, fungsi Pemerintah dalam menjamin terselengaranya kebebasaan maupun kesejahteraan masyarakat adalah sangat penting. Dalam sistem perekonomian kapitalis yang memberikan kebebasaan kepada masyarakat untuk melakukan produksi, konsumsi dan distribusi diperlukan peran Pemerintah untuk melakukan pengaturan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk penyediaan barang-barang yang berupa kebutuhan dasar masyarakat yang kemudian di kenal dengan istilah public goods. Kebutuhan dasar tersebut antara lain adalah perlindungan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, keadilan, pekerjaan umum. Sementara itu, dalam sistem perekonomian sosialis Pemerintah atau negara bersifat omnipoten , artinya fungsi Pemerintah atau negara, bukan hanya terbatas pada penyediaan barang-barang kebutuhan dasar melainkan juga kebutuhan lainnya yang sebenarnya dapat disediakan oleh masyarakat melalui mekanisme pasar;
Bahwa dalam pandangan yang lebih modern sebagaimana disampaikan oleh seorang ahli keuangan negara yaitu Richard Maskrid fungsi Pemerintah melalui kebijakan anggaran belanja negara adalah menjamin 14 keseimbangan dalam pengalokasian sumber daya, menjamin keseimbangan dalam pembagian pendapatan dan kekayaan dan menjamin terselenggaranya stabilitas ekonomi nasional;
Bahwa kalau memperhatikan sistem pemerintahan Indonesia. Peran dan fungsi negara sebagai dikemukakan dalam teori di atas, dengan jelas dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian secara rinci dituangkan dalam berbagai pasalnya yang merupakan suatu landasan konstitusional, antara lain menyatakan, “ kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”, dengan demikian peran atau tugas Pemerintah Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Peran dan fungsi pemerintah atau negara tersebut antara lain tercermin dalam Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945, termasuk setelah dilakukan perubahan; • Bahwa selanjutnya untuk merealisasikan peran dan fungsi Pemerintah, diperlukan adanya jaminan sekurang-kurangnya dalam dua hal, yaitu Pemerintah selaku otoritas dan Pemerintah sebagai individu. Khusus Pemerintah selaku otoritas, pertama , Pemerintah yang menjamin kepentingan masyarakat atau public interest harus memiliki kewenangan secara politik dan hukum untuk dapat menjamin terwujudnya peran dan fungsinya. Kedua , Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat harus memiliki jaminan bahwa asetnya yang merupakan instrumen untuk mendukung terwujudnya peran dan fungsi Pemerintah tersebut selalu aman ditangannya dan tidak mendapat ancaman dari pihak lain; 15 [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Pemerintah yang diwakili oleh Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, menyampaikan keterangan tertulis, sebagai berikut: Sebelum Pemerintah menanggapi permohonan pengujian Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) terhadap Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang diajukan Pemohon, maka Pemerintah perlu menyampaikan sejak awal bahwa permohonan ini sudah seharusnya ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi; Pemerintah bahkan dapat menyatakan bahwa permohonan a quo tidak layak untuk diajukan Pemohon ke Mahkamah Konstitusi, karena Pemohon tidak benar dan tidak tepat dalam menggunakan maupun menuliskan pasal-pasal penguji dalam perkara Constitutional Review ini. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang ditulis dalam permohonan Pemohon yaitu ” Setiap warga negara berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan ”, yang tidak sesuai dengan bunyi teks Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebenarnya yang menyatakan ” Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan ”; Kekeliruan Pemohon berlanjut pada penulisan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang dinyatakannya yaitu ” Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum yang layak ”, yang tidak sesuai dengan teks sebenarnya yaitu ” Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak ”; Pemerintah berpendapat bahwa kesalahan pengutipan bunyi pasal-pasal konstitusi oleh Pemohon ini merupakan kesalahan fatal yang sudah cukup untuk menunjukkan ketidakseriusan Pemohon dalam mengajukan permohonan a quo ; Walaupun persidangan ini didasarkan pada suatu kekeliruan nyata yang dilakukan oleh Pemohon, namun sesuai dengan agenda persidangan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah, Pemerintah tetap serius menanggapi permohonan yang diajukan Pemohon ini, terutama untuk memberikan penjelasan mengenai 16 tidak adanya pertentangan antara UU SBSN dengan UUD 1945, setidak-tidaknya untuk meluruskan kekeliruan pemikiran dan pemahaman Pemohon mengenai penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN); Setelah Pemerintah membaca permohonan Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dianggap telah merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, atau setidak-tidaknya Pemohon mengalami kerugian yang bersifat potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, maka Pemerintah secara tegas menyatakan bahwa permohonan tersebut didasarkan pada alasan yang tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur ( obscuur libel ), utamanya dalam mengkonstruksikan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. Pernyataan Pemerintah di atas didasarkan pada pertanyaan yang harus dijelaskan lebih dahulu mengenai siapa yang sebenarnya dirugikan atas keberlakuan Undang-Undang a quo , khususnya terhadap penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset Surat Berharga Syariah Negara? Apakah hanya Pemohon saja, yayasan yang di ketuainya, dirinya selaku Pembina Universitas Patria Artha Makassar, atau Universitas Patria Artha Makassar? Hal ini perlu dipertanyakan karena Pemohon tidak menjelaskan secara tegas dalam permohonannya tentang siapa yang sebenarnya dirugikan. Dalam permohonannya, Pemohon hanya menjelaskan kedudukan Pemohon selaku perorangan warga negara Indonesia yang bertindak selaku ketua yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, pelatihan, penerapan, dan pengembangan Ilmu Keuangan Negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dengan berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Pemohon tidak dapat menjelaskan dalam permohonannya, underlying asset SBSN yang mana, sebagaimana kriteria berdasarkan Pasal 10 ayat (2) huruf a dan huruf b UU SBSN, yang dipermasalahkannya. Pemohon tidak dapat menerangkan dengan jelas kriteria BMN yang mana dari aset SBSN yang dirasakan merugikan dirinya, karena tentunya harus ada penjelasan yang lebih 17 terperinci dan mendasar dari Pemohon atas adanya kriteria aset BMN berdasarkan huruf a dan huruf b tersebut, apakah mempermasalahkan huruf a dan huruf b, huruf a saja, atau huruf b saja. Namun jika melihat pada hasil sidang panel terdahulu dalam perkara ini, tampaknya Pemohon lebih memfokuskan permohonan pengujian ini pada underlying asset berupa tanah dan/atau bangunan (huruf a saja) yang digunakan sebagai aset SBSN. Seandainya benar quod non Pemohon hanya mempermasalahkan kriteria BMN berdasarkan Pasal 10 ayat (2) huruf a saja, maka permohonan terhadap Pasal 10 ayat (2) huruf b yang diajukan hanya untuk sekedar ikut diuji saja tanpa disertai alasan keberatannya, membuat Pemerintah semakin yakin bahwa permohonan ini patut untuk dinyatakan ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam menjawab permohonan ini, Pemerintah menggunakan teks sebenarnya dari pasal-pasal konstitusi yaitu Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai pasal penguji yang berbunyi: “ Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan ”. Kalau pun Pemohon menggunakan pasal dimaksud dan menyebutkan telah terjadi kerugian yang dialaminya terkait dengan jabatannya selaku pimpinan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan tinggi, maka Pemerintah mempertanyakan maksud Pemohon menggunakan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 ini sebagai dasar baginya untuk mempermasalahkan digunakannya BMN sebagai underlying asset penerbitan SBSN dengan “kemudahan” dan “perlakuan khusus” untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai “persamaan dan keadilan” terhadap peristiwa yang pernah dialami atau yang berpotensi dialami oleh Pemohon terkait dengan BMN yang menjadi underlying asset SBSN. Pemerintah perlu mengutip komentar Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. atas Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 ini yaitu bahwa pasal ini mengatur tentang hak untuk mendapatkan perlakuan yang khusus yang biasa dikenal dengan affirmative action sebagai pengecualian atas ketentuan hak asasi manusia yang antidiskriminasi dengan pertimbangan bahwa orang atau kelompok orang yang bersangkutan berada dalam keadaan yang tertinggal dari perkembangan masyarakat pada umumnya, sehingga kepadanya dibutuhkan tindakan dan kebijakan yang bersifat khusus. 18 Lebih lanjut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. menyatakan bahwa perlakuan yang bersifat khusus ini sebenarnya diskriminatif juga, namun dalam makna yang positif untuk menolong agar yang bersangkutan dapat mengejar ketertinggalan. Diskriminasi dalam kategori ini disebut kategori diskriminasi positif atau biasa dinamakan affirmative action sebagai pelaksanaan affirmative policy . Hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan khusus yang demikian dipandang juga sebagai hak asasi manusia. Mahkamah Konstitusi pun telah berpendapat mengenai adanya affirmative action dalam pertimbangan putusan perkara Nomor 116/PUU-VII/2009 yang mengakui adanya perlakuan khusus bagi masyarakat asli Papua untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dengan cara diangkat, selain melalui proses pemilihan, yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang. Perlakuan khusus ini untuk melaksanakan affirmative policy yaitu pengistimewaan untuk sementara waktu yang memberikan peluang bagi masyarakat asli Papua memiliki wakil di DPRP melalui pengangkatan guna mendorong orang asli Papua untuk terlibat baik dalam pemikiran maupun tindakan bagi kepentingan Provinsi Papua dengan harapan akan terjadi perubahan kualitas orang asli Papua dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Guna memberikan tambahan penjelasan mengenai affirmative action dan __ affirmative policy , Pemerintah dapat menggambarkan usaha untuk pencapaian kesetaraan kesempatan dengan pemberian perlakuan khusus yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang mewajibkan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau Perusahaan Angkutan Umum memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit. Dengan adanya aturan tersebut, Pemerintah berpendapat, sangat berlebihan jika ada orang “normal” yang tidak temasuk ke dalam kategori khusus seperti di atas yang mempermasalahkannya karena merasa haknya terkurangi atau berpotensi terkurangi akibat dibuatnya fasilitas untuk orang-orang khusus 19 tersebut misalnya jalur jalan yang khusus dibuat tidak terjal bagi penyandang cacat pengguna kursi roda. Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat, bahwa selain Pemohon tidak tepat dalam menggunakan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai pasal penguji dalam perkara ini, Pemohon juga tidak dapat menjelaskan perlakuan khusus ( affirmative action ) semacam apa yang diharapkan Pemohon yang telah terkurangi atau berpotensi terkurangi akibat digunakannya BMN sebagai underlying asset SBSN berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. Begitu juga dengan penggunaan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 sebagai pasal penguji yang menyatakan “ Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak ”, karena justru SBSN diterbitkan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) termasuk membiayai pembangunan proyek, yang termasuk di dalamnya, langsung atau tidak langsung, untuk penyediaan fasilitas umum, fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pendidikan. Mengutip komentar Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. atas Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 dapat disampaikan intinya bahwa pada pasal ini terdapat kewajiban Negara, dalam hal bukan hanya Pemerintah (eksekutif) saja, tetapi juga legislatif dan yudikatif untuk memenuhi kewajiban menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas pelayanan umum yang layak. Jika dikaitkan dengan tujuan penerbitan SBSN yang telah disampaikan di atas, Pemerintah jelas telah melakukan salah satu upaya untuk dapat memenuhi kewajibannya dalam menyediakan fasilitas kesehatan, fasilitas pelayanan umum yang layak dengan cara menghimpun dana investor melalui penerbitan SBSN. Dalam kesempatan yang mulia ini, Pemerintah merasa perlu untuk menyampaikan bahwa selama beberapa tahun anggaran terakhir ini, pemenuhan pembiayaan defisit APBN dilakukan melalui penerbitan Surat Berharga Negara yang di dalamnya termasuk SBSN atau Sukuk Negara. Hal ini menunjukkan bahwa peran SBSN sebagai sumber pembiayaan APBN semakin menjadi andalan Pemerintah. Pernyataan Pemerintah ini dapat menjelaskan bahwa penerbitan SBSN dengan menggunakan BMN sebagai underlying asset sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, sehingga menjadi suatu hal yang berlebihan jika Pemohon justru merasa ada kerugian. 20 Terhadap permohonan ini, Pemerintah hanya dapat menduga-duga seandainya benar quod non Pemohon telah mengalami suatu peristiwa berkaitan dengan BMN yang menyebabkannya tidak dapat memanfaatkan BMN, maka hal itu bukanlah alasan yang tepat dan kuat untuk mengajukan permohonan pengujian UU SBSN di Mahkamah Konstitusi, karena bisa jadi peristiwa yang dialami Pemohon hanyalah masalah penerapan peraturan atau ketentuan lain, bukan UU SBSN, khususnya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. Pada penjelasan ini Pemerintah dapat menyimpulkan bahwa Pemohon telah salah dan keliru dalam memahami ketentuan UU SBSN, karena Pemohon telah membaca dan memahami Undang-Undang tersebut tidak menyeluruh, tidak komprehensif, tetapi hanya sebagian-sebagian, parsial. Oleh karena itu, Pemerintah memohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima. Walaupun Pemerintah telah berpendapat bahwa permohonan ini sebagai permohonan yang tidak jelas ( obscuur libel ), namun dalam persidangan yang mulia ini, Pemerintah berkewajiban dan sangat berkepentingan untuk memberikan penjelasan mengenai keberadaan UU SBSN khususnya ketentuan mengenai penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN, agar dapat menjadi sarana pencerahan bagi masyarakat umum yang menyaksikan dan menghadiri persidangan ini, termasuk Pemohon. Sebagai konsep ekonomi yang berbasis syariah, penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara mutlak harus menggunakan underlying transaction yang antara lain dapat berupa jual beli atau sewa menyewa atas “hak manfaat” BMN, jasa ( services ), pembangunan proyek atau objek pembiayaan lainnya. Penggunaan underlying transaction tersebut dimaksudkan agar terhindar dari adanya unsur-unsur (1) Riba , yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang ( money for money );
Maysir , yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan
Gharar , yaitu unsur ketidakpastian terkait dengan penyerahan, kualitas, dan kuantitas. __ Barang Milik Negara (BMN) yang akan digunakan sebagai Aset SBSN dapat berupa tanah dan/atau bangunan termasuk proyek yang akan atau sedang 21 dibangun yang harus memiliki nilai ekonomis, dalam kondisi baik/layak, telah tercatat dalam Dokumen Penatausahaan BMN, bukan merupakan alat utama sistem persenjataan, tidak sedang dalam sengketa, dan tidak sedang digunakan sebagai Aset SBSN dalam penerbitan yang lain. Pembatasan penggunaan BMN yang dapat dijadikan sebagai underlying penerbitan SBSN menunjukkan bahwa Pemerintah sangat selektif dan sangat hati- hati dalam menggunakan BMN tersebut. Di samping itu telah diatur juga dalam UU SBSN, khususnya Pasal 9 ayat (1) bahwa penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN tersebut harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPR. Ini menunjukkan bahwa Pemerintah sangat transparan dan akuntabel dalam penggunaan dan pengelolaan BMN. Penggunaan BMN sebagai aset SBSN dilakukan dengan cara Menteri Keuangan memindahtangankan Hak Manfaat atas BMN, sehingga pemindahtanganan BMN dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan BMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pengertian Hak Manfaat di Indonesia baru dikenal setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Dalam UU SBSN tersebut, Hak Manfaat didefinisikan sebagai hak untuk memiliki dan mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu dilakukan pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut. Dengan kata lain, pada saat dilakukan jual beli atau sewa menyewa atas hak manfaat BMN untuk dijadikan aset SBSN maka tidak ada perpindahan hak kepemilikan ( legal title), sehingga kepemilikan atas BMN tersebut tetap berada pada Pemerintah. Perlu disampaikan pula dalam kesempatan ini bahwa terdapat perbedaan konsep pemindahtanganan berdasarkan UU SBSN dengan UU Perbendaharaan Negara, dimana dalam hal penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN, UU SBSN merupakan lex specialist dari UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Hal ini secara tegas disebutkan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU SBSN bahwa : “ Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. _Sifat pemindahtanganan dimaksud, antara lain: _ 22 (i) Penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang _Milik Negara; _ (ii) _Tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik Negara; _ dan (iii) Tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan .” Penjelasan Pemerintah di atas, yang membandingkan UU SBSN dengan UU Perbendaharaan Negara tersebut adalah sebagai keterangan tambahan yang diharapkan dapat memberikan gambaran dan pemahaman bahwa antara kedua Undang-Undang tersebut tidak terdapat pertentangan sama sekali, khususnya mengenai penggunaan BMN sebagai underlying asset SBSN karena pemindahtanganan yang terjadi adalah pengalihan hak manfaat atas BMN saja yang hanya digunakan semata-mata untuk keperluan penerbitan SBSN, selain juga untuk meluruskan proses Constitutional Review ini karena adanya upaya Pemohon untuk menguji keberadaan UU SBSN yang dipertentangkan terhadap UU Perbendaharaan Negara pada permohonannya, yang seyogianya tidak dilakukan Pemohon di Mahkamah Konstitusi yang mulia ini. Saat ini, penerbitan SBSN terutama dilakukan dengan menggunakan struktur ijarah sale and lease back . Dalam mekanisme penerbitan SBSN dengan akad Ijarah Sale and Lease Back ini, Pemerintah wajib membeli kembali BMN yang telah dijual hak manfaatnya dan dijadikan sebagai aset SBSN, pada saat jatuh tempo atau pada saat terjadi default ( in the event of default ). Dalam hal BMN yang akan digunakan sebagai Aset SBSN sedang digunakan oleh Kementerian atau Lembaga selain Kementerian Keuangan, maka Menteri Keuangan terlebih dahulu memberitahukan kepada Kementerian atau Lembaga pengguna BMN dimaksud. Berdasarkan UU SBSN, Menteri Keuangan diberi kewenangan menggunakan BMN untuk dijadikan sebagai Aset SBSN. Penggunaan BMN sebagai Aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi pengguna BMN untuk tetap menggunakan BMN dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya, sehingga tanggung jawab untuk pengelolaan BMN ini tetap melekat pada instansi pengguna BMN sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Penggunaan BMN sebagai aset SBSN, oleh sebagian masyarakat sering dipahami sebagai jaminan ( collateral) atau gadai. Pemahaman tersebut sangatlah 23 tidak tepat. Pemerintah sejak awal telah dan akan menegaskan kembali bahwa penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN sama sekali tidak pernah ditujukan untuk menjaminkan atau menggadaikan BMN kepada investor. Secara hukum, jaminan adalah perjanjian tambahan yang harus didahului dengan perjanjian utang piutang antara para pihak. Dimana dalam jaminan, salah satu pihak dapat menyita objek jaminan apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian para pihak. Sehingga dalam jaminan ada hak salah satu pihak untuk melakukan penyitaan atas objek penjaminan. Hal ini berbeda dengan penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN yaitu bahwa BMN yang digunakan sebagai aset SBSN atau underlying asset bukanlah sebagai jaminan ( collateral) atau gadai. Hal tersebut sangat jelas diatur dalam perjanjian antara Pemerintah dan Perusahaan Penerbit SBSN bahwa BMN yang dijadikan sebagai aset SBSN tetap berada dalam penguasaan Pemerintah, sehingga tidak akan terjadi peralihan hak kepemilikan ( legal title ) atas BMN tersebut. Hal ini didukung dalam salah satu dokumen hukum penerbitan SBSN , dimana Perusahaan Penerbit SBSN sebagai Wali Amanat memberikan pernyataan sepihak untuk menjual kembali aset SBSN hanya kepada Pemerintah dalam hal Pemerintah gagal bayar ( in the event of default ) atau pada saat SBSN jatuh tempo. Dari pihak Pemerintah, dibuat pula dokumen hukum dimana Pemerintah memberikan pernyataan sepihak untuk membeli kembali aset SBSN pada saat Perusahaan Penerbit menjual aset SBSN tersebut. Dengan penjelasan Pemerintah tersebut di atas, kekhawatiran Pemohon dengan berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN dapat menjadi sebab negara tidak dapat memenuhi hak kontitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia, terutama terhadap BMN yang seandainya benar quod non digunakan oleh Pemohon atau Universitas Patria Artha Makassar dengan meminta pengujiannya terhadap Pasal 28 H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, adalah kekhawatiran Pemohon yang berlebihan saja, tanpa didasarkan pada alasan hukum yang sah. Oleh karena itu, sekali lagi Pemerintah memohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijak menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima. Pemerintah perlu juga mengemukakan bahwa akibat adanya kekeliruan pemahaman terhadap penggunaan BMN sebagai aset SBSN dan adanya 24 pengajuan permohonan uji materiil terhadap Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN akan sangat berdampak negatif terhadap kepercayaan investor, bukan hanya pada SBSN akan tetapi juga terhadap Surat Berharga Negara secara keseluruhan yang selama ini telah terbangun dengan baik. Kepercayaan investor selama ini kepada Pemerintah semakin meningkat, terbukti dari peringkat kredit rating Indonesia mengalami peningkatan. Saat ini rating Indonesia yang dikeluarkan oleh 3 (tiga) lembaga rating internasional masing-masing Moodys: Ba2, Standard &Poor: BB-, dan Fitch: BB+. Ini berarti bahwa posisi rating Indonesia hampir mencapai investment grade . Peningkatan rating tersebut antara lain merepresentasikan adanya perbaikan pengelolaan keuangan publik dan fundamental ekonomi, penurunan rasio utang terhadap PDB, pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah kondisi krisis ekonomi global, dan pengelolaan APBN yang prudent dan kredibel . Lebih lanjut, dampak negatif dari kekeliruan pemahaman terhadap penggunaan BMN sebagai aset SBSN tersebut, dan apabila terjadi pencabutan atas Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN akan dapat berakibat sulitnya Pemerintah untuk memenuhi pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang telah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk di dalamnya biaya pendidikan, kesejahteraan, kesehatan masyarakat, reformasi birokrasi, dan pembangunan infrastruktur. Di samping itu, dengan terhambatnya penerbitan SBSN oleh Pemerintah akibat dipermasalahkannya penggunaan BMN sebagai Aset SBSN, maka akan berdampak pada upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan pasar keuangan syariah di Indonesia. Hal ini mengingat SBSN merupakan instrumen investasi terutama bagi lembaga keuangan syariah seperti perbankan syariah, asuransi syariah dan reksadana syariah. Selain itu, SBSN merupakan sarana yang dapat digunakan untuk menarik investor dari negara- negara Timur Tengah yang sangat membutuhkan instrumen investasi yang sesuai dengan prinsip syariah. Dalam kesempatan ini kiranya Pemerintah juga perlu menyampaikan bahwa sampai saat ini Pemerintah telah menerbitkan Surat Berharga Negara senilai Rp979 triliun, diantaranya SBSN atau Sukuk Negara yang nilainya setara dengan Rp27,54 triliun (termasuk di dalamnya SBSN Valas sebesar USD650 juta), yang 25 dimiliki baik oleh investor dalam negeri maupun luar negeri termasuk investor dari negara-negara Timur Tengah. Apabila permohonan Pemohon tidak ditolak, maka kepercayaan investor akan runtuh, karena penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN dianggap tidak berdasarkan pada ketetapan hukum yang kuat, dan bahkan tidak menutup kemungkinan Pemerintah dapat dianggap default . Jatuhnya kepercayaan investor SBSN akan berimbas pada runtuhnya kepercayaan investor SUN dan pada gilirannya akan menghancurkan nilai SBN yang berjumlah RP979 triliun yang dimiliki oleh investor dalam dan luar negeri, baik investor institusi seperti bank, asuransi, dana pensiun, reksadana, maupun investor individu di tanah air. Situasi ini berpotensi menciptakan cross-default terhadap kewajiban negara lainnya berupa pinjaman luar negeri yang saat ini sekitar Rp640 triliun. Selanjutnya, hilangnya kepercayaan investor SBN dan kreditor pinjaman luar negeri tidak hanya akan menutup akses pembiayaan APBN, tetapi juga awal dari krisis ekonomi dan keuangan dengan magnitude yang sangat besar. Dengan demikian, ketidakpahaman terhadap konsep beberapa ketentuan yang diatur dalam UU SBSN, serta ketidakpekaan Pemohon terhadap situasi sosial politik dalam memunculkan permasalahan tersebut saat ini, sungguh merupakan gangguan yang sangat serius terhadap stabilitas politik dan ekonomi yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia secara keseluruhan. Bahwa kekhawatiran Pemohon akibat dijadikannya BMN sebagai underlying asset SBSN telah dan dapat berpotensi menyebabkan dirinya tidak dapat lagi menikmati atau memanfaatkan fasilitas milik Pemerintah dan Negara Republik Indonesia, seandainya benar quod non terutama yang digunakan oleh Pemohon atau Universitas Patria Artha Makassar, adalah kekhawatiran Pemohon yang berlebihan, tanpa didasarkan pada alasan hukum yang sah. Bahwa penerbitan SBSN yang menggunakan BMN sebagai underlying asset -nya, telah dituangkan dalam UU SBSN maupun berbagai bentuk perikatan (Akad) yang memproteksi beralihnya BMN secara fisik kepada investor, karena yang beralih adalah hak manfaatnya saja dan itupun hanya bersifat sementara, karena hak manfaat yang beralih tersebut akan kembali kepada Pemerintah ketika SBSN jatuh tempo. Berdasarkan ketentuan dalam UU SBSN dan akad-akadnya tersebut, tidak ada kemungkinan bagi investor untuk mengklaim BMN yang 26 dijadikan aset SBSN agar beralih secara fisik kepada investor, bahkan ketika Pemerintah gagal bayar sekalipun. Bahwa berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas, Pemerintah berpendapat tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas keberlakuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, karena kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu. Dengan seluruh uraian yang Pemerintah sampaikan dalam Pendahuluan Keterangan Pemerintah ini, Pemerintah mengharapkan tidak perlu lagi ada alasan untuk meragukan konstitusionalitas dari Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara yang sedang diuji ini, baik secara negatif, yaitu terbukti tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun secara positif, yaitu bahwa pasal-pasal tersebut jelas bertujuan untuk menjalankan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena itu Pemerintah mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan dengan amar:
Menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima;
Menyatakan ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono). [2.4] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Pemerintah mengajukan tiga orang saksi, yaitu Drs. Triantoro, Ir. Hanawijaya, M.M., dan 27 M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M., serta enam orang ahli yaitu K.H. Ma’ruf Amin, Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP., Gahet Ascobat, Farouk Abdullah Alwyni, Ir. Muhammad Syakir Sula, FIS., dan Ary Zulfikar, S.H., yang memberikan keterangan di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 16 Februari 2010, sebagai berikut:
Saksi Drs. Triantoro • Bahwa dasar hukum SBSN adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan beberapa peraturan yang lainnya, termasuk juga Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 4/PMK-08/2009 tentang Pengelolaan SBSN yang berasal dari barang milik negara; • Bahwa Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan telah meyampaikan memberi pemberitahuan atau pro notification, penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset dalam penerbitan SBSN kepada 10 kementerian lembaga, termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-2 94/MK.6 2009 tanggal 2 Oktober 2009, dan selanjutnya Direktur Jenderal Keuangan Negara atas nama Menteri Keuangan telah menyampaikan pemeberitahuan atau notification, penggunaan barang milik negara atau underlying asset, dalam penerbitan SBSN kepada 9 kementrian lembaga termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-19/MK 06/2010 tanggal 2 Februari 2010 antara lain menyatakan bahwa untuk penerbitan SBSN seri IFR 003 dan seri IFR 004 dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 22 KM 08 2009 dan Nomor 23 KMK 08/2009 tanggal 10 November 2009 telah ditetapkan barang negara pada 9 kementrian/lembaga termasuk Depdiknas sebagaimana terlampir menjadi underlying asset penerbitan SBSN. • Bahwa selama BMN dimaksud dipergunakan sebagai aset SBSN, maka pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara dimaksud, sesuai dengan penggunaan awalnya untuk pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, dan tidak dapat melakukan pemindah tanganan kepemilikan atas BMN dimaksud kecuali dikarenakan ada peundang-undangan yang mengharuskan pemindahtanganan tersebut. Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas dapat disimpulkan;
penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan pengalihan status kepemilikan dan atau status pengguanaan atas barang milik negara tersebut maupun perubahan fungsinya; 28 2. barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan permasalahan dari sisi akuntansi mengingat pemilikan milik negara tidak berpindah sehingga tetap tercantum dalam sistem informasi manajemen akuntansi barang kepemilikan negara atau SIMAK BMN atau neraca on balanced dari kementerian pendidikan nasional;
Kementrian Pendidikan Nasional selaku pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara, yang dijadikan sebagai underline asset untuk melaksanakan tugas dan fungsi kementerian pendidikan nasional;
Saksi Ir. Hanawijaya, M.M. • Bahwa saksi selaku Direktur dari Bank Syariah Mandiri yang merupakan bank syariah milik negara terbesar di Indonesia, sangat layak apabila mewakili industri keuangan syariah dan menyambut baik adanya upaya Pemerintah mempercepat peningkatan keuangan syariah di Indonesia. • Bahwa pertumbuhan instrumen sukuk __ dalam negeri yang dikeluarkan oleh perusahaan korporasi sangat lamban. Berdasarkan data olahan departemen keuangan pada tahun 2003, sukuk korporasi hanya berjumlah 6 buah atau senilai 740 miliyar. Hingga Desember 2006, sukuk __ korporasi di Indonesia yang telah diterbitkan berjumlah 17 sukuk __ yang nilainya 2,2 triliun. Sampai 1 Desember 2007, total obligasi syariah dan medium term notes yang diterbitkan sudah mencapai 32 jenis. Di sisi lain, Pemerintah untuk menerbitkan sukuk negara masih terganjal dengan belum adanya regulasi yang mengatur ketentuan tersebut. Padahal sebagai instrumen berbasis syariah, sukuk jelas memiliki tipikal dan aturan yang berbeda dengan surat utang negara biasa. Sampai pada akhirnya diterbitkan UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN yang merupakan pedoman bagi terbitnya sukuk negara sekaligus sebagai instrumen mendorong tumbuhnya investasi bagi investor dan lembaga keuangan syariah; • Bahwa potensi permintaan sukuk Republik Indonesia sebagai instrumen alternatif dalam berinvestasi diprediksi cukup besar. Hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor sebagai berikut;
Indonesia mempunyai jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, yang melakukan penawaran efek syariah masih sangat sedikit. Proporsi atau maisire produk syariah dibanding produk konvensional masih sangat kecil; 29 b. Asumsi permintaan akan instrumen sukuk negara yang masih sangat besar tersebut dibuktikan dengan peningkatan volume pembelian dengan investor. Total volume pemesanan pembelian sukuk ritel SR 001 adalah Rp. 5,556 triliun atau mencapai 313,9% dari target penjualan awal yang disampaikan agen penjual yaitu 1,77 triliun.
Adapun total jumlah pemesanan sukuk negara ritel seri SR 002 yang disampaikan oleh masyarakat melalu 18 agen penjual yang telah ditunjuk oleh Pemerintah adalah sebesar 8 triliun lebih.
Selain itu, terdapat potensi pemesanan pembelian sebesar Rp. 715 miliar. Hal ini telah melampaui kuota penjualan yang diberikan kepada seluruh agen penjual e. Berdasarkan paparan di atas tampak jelas bahwa instrumen sukuk memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan instrumen keuangan syariah di Indonesia. Peran-peran tersebut adalah sebagai motor penggerak syariah di Indonesia adalah bank syariah.
Dengan adanya instrumen sukuk membuat bank syariah lebih termotivasi untuk lebih mengembangkan secara agresif tanpa khawatir terbatasnya instrumen untuk placement apabila terjadi ekses _fund; _ • Bahwa dengan adanya sukuk menambah ragam produk investasi berbasis syariah bagi bank syariah. Saat ini alternatif produk investasi yang sudah ada antara lain Sertifikat Bank Indonesia Syariah atau SBIS, Sertifikat Investasi Mudharah antar bank atau SIMA, reksadana syariah, deposito antar bank syariah; • Bahwa dengan adanya sukuk memperluas dan mendiversikasi basis investor. Catatan saksi, di Bank Syariah Mandiri jumlah nasabah baru yang masuk sebesar 14 ribuan lebih, yang merupakan basis investor baru atau nasabah baru yang menyebabkan dana pihak ketiga Bank Syariah Mandiri melalui tabungan Bank Syariah Mandiri bertambah secara tidak langsung karena hasil dari return sukuk yang dibayarkan Pemerintah melalui BSM itu akan dikreditkan ke tabungan investor-investor tersebut; • Bahwa sukuk memperkuat dan meningkatkan peran sistem keuangan berbasis syariah di dalam negeri. • Bahwa manfaat sukuk bagi lembaga keuangan syariah adalah sukuk merupakan alternatif instrumen kelola likuiditas, yang hanya terbatas SBIS 30 syariah dan sekarang ada tambahan baru sukuk yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Sukuk merupakan alternatif untuk portofolio Yang dimiliki Bank Syariah Mandiri, sukuk memiliki motif investasi antara lain hanya boleh dimiliki oleh bank syariah sampai dengan jangka waktunya, sehingga tidak akan ada unsur spekulatif di dalam. • Sebagai pintu masuk, sukuk bisa juga sebagai pintu masuk yang efektif dalam mempercepat pertumbuhan aset bank syariah yaitu melalui penetrasi kepada masyarakat menengah ke atas yang selama ini menempatkan sebagian dananya melalui surat berharga bank-bank konvensional, sudah ada buktinya tambahan nasabah baru kami yang sebelumnya belum memiliki rekening di bank syariah yang pertama sekitar14 ribuan orang. • Bahwa meningkatnya daya tawar dan reputasi bank syariah di mata masyarakat karena ternyata bank syariah juga memiliki instrumen yang cukup beragam dan sekelas dengan bank konvensional. • Bahwa sukuk meningkatkan fee best income bagi Bank Syariah Mandiri, yaitu Bank Syariah Mandiri sebagai agen dari sukuk ritel mendapatkan fee best income sebesar 650 juta dan terakhir sebagai agen penerbit SR 002 mendapatkan fee best sebesar 495 juta rupiah; • Bahwa Surat SPSR ritel atau sukuk negara ritel adalah salah satu investasi bagi investor atau instrumen pembiayaan APBN bagi Pemerintah. Sama halnya dengan instrumen 001 dan 002 yang diterbitkan pada 2 Agustus 2008. • Bahwa sebagai investor lembaga keuangan syariah. Bank Syariah Mandiri menyadari bahwa underlying transaction yang dilakukan oleh Pemerintah tidak menyebabkan adanya perpindahan dari adanya aset negara itu apabila terjadi Pemerintah gagal bayar.
Saksi M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M. • Bahwa selaku praktisi pengajar keuangan syariah keuangan dan juga selaku investor individu dari sukuk negara yang selama ini mengharapkan adanya instrumen investasi yang dapat memberikan tidak hanya benefit di dunia tetapi juga insya Allah benefit di akhirat, minimal semacam peace of mine atau perasaan yang menenangkan pada saat kita berinvestasi pada instrumen investasi tersebut; 31 • Bahwa keuntungan yang saksi peroleh dalam berinvestasi di sukuk negara khususnya sukuk ritel Republik Indonesia SR 001, antara lain imbal hasil yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah atau dalam hal ini imbal jasanya berdasarkan akad idzharah/sale berdasarkan fatwa MUI Nomor 71 dan Nomor 72 dan juga telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 yaitu tentang Surat Berharga Syariah Negara; • Bahwa sukuk yang dikeluarkan oleh negara relatif aman, karena Republik Indonesia mempunyai reputasi sebagai pembayar utang yang sangat baik dan tidak mengalami default . Khusus untuk Sukuk Ritel Republik Indonesia imbal jasa yang saksi terima sebagai investor dapat diterima setiap bulan; • Bahwa sukuk menjadi instrument investasi yang sangat akuntabel karena dikeluarkan dengan underlaying asset yang transparan sehingga dalam hal pengeluaran sukuk ini menjadi kredibel dimata investor. Sebagai investor saksi sangat memahami bahwa yang dijadilan underlaying dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara adalah berupa hak manfaat dari barang milik negara, sebagai investor saksi akan mendapatkan sejumlah imbalan yang berasal dari penyewaaan kembali hak manfaat aset SBSN kepada Pemerintah yang dituangkan dalam akad ijarah, dan saksi sangat yakin bahwa dana yang diinvestasikan kepada sukuk negara akan aman, bahkan dalam hal misalnya pemerintah gagal bayar atas SBSN yang dimiliki oleh investor maka berdasarkan Undang-Undang SBSN dana tersebut akan disediakan dalam APBN dan investor melalui perusahaan penerbit SBSN sebagai wali amanat atau wakil investor hanya akan menjual aset SBSN kepada Pemerintah sesuai dengan dokumen penerbitan pada saat sukuk negara jatuh tempo; • Bahwa keuntungan dan kemanfaatan yang ada di instrument investasi sukuk negara seharusnya menjadi pendorong bagi masyarakat Republik Indonesia untuk lebih berkeinginan melakukan investasi bagi dirinya dan negaranya bukan malah mempermasalahkan keberadaan sukuk negara;
Ahli KH. Ma’ruf Amin • Bahwa penerbitan sukuk negara sudah lama diinginkan dan dicita-citakan tetapi terkendala ketika itu oleh belum adanya Undang-Undang yang menjadi landasan, yaitu Undang-Undang yang tidak bertentangan dengan Undang- Undang yang ada serta sesuai dengan ketentuan syariah. Akhirnya para ahli hukum nasional dan para ahli syariah berijtihad untuk mewujudkannya dalam 32 rangka membiayai APBN, kemudian lahirlah Undang-Undang SBSN yang di dalamnya tercapailah kesesuaian antara hukum negara dan hukum syariah. Menurut istilah ahli, terdapat persesuaian syara’an waqanunan . Hal tersebut merupakan satu prestasi di bidang hukum yang luar biasa; • Bahwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia memberikan masukan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut dengan menunjuk tim untuk mendampingi. Dewan Syaraiah Nasional juga menunjuk tim untuk duduk dalam Komite Syariah SBSN dan Dewan Syariah Nasional juga mengeluarkan fatwa-fatwa berkenaan dengan SBSN, anatara lain fatwa Nomor 69 tentang surat berharga syariah negara, fatwa Nomor 70 tentang metode penerbitan surat berharga syariah negara, fatwa Nomor 71 tentang sale and lease back , fatwa Nomor 72 tentang surat berharga syariah negara ijarah, sale and lease back , dan setiap Pemerintah menerbitkan SBSN, Dewan Syariah Nasional membentuk tim dalam mendampingi Pemerintah dalam pembuatan skema dan perjanjian yang terkait dengan penerbitan SBSN; • Bahwa Dewan Syariah Nasional juga memberikan pernyataan kesesuian syariah untuk setiap emisi SBSN, untuk memberikan pernyataan ini Dewan Syariah Nasional MUI me review ulang atas sebuah skema dan perjanjian yang telah dipandang final, yaitu melalui akad-akad dalam penerbitan SBSN, dimana barang milik negara tidak akan beralih secara fisik karena yang beralih adalah hak manfaatnya saja itupun hanya bersifat sementara karena hak manfaat yang beralih tersebut akan kembali kepada Pemerintah ketika SBSN jatuh tempo. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk adanya kekhawatiran hilangnya atau lepasnya barang milik negara melalui SBSN;
Ahli Ir. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP. • Bahwa secara umum sukuk yang ada di dunia dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama, adalah sukuk yang berbasis aset riil atau disebut asset base sukuk. Kedua, adalah sukuk yang melekat pada dan dijaminkan oleh asset riel yang disebut sebagai asset back sukuk. • Asset base sukuk, aset riil hanya digunakan untuk membuat struktur transaksi agar sesuai dengan prinsip syariah. Dalam prinsip syariah, setiap transaksi harus memenuhi tiga rukun, yaitu pertama adanya para pihak, kedua, adanya objek transaksi, dalam bahasa Arab disebut ma’kud alaih atau dalam bahasa Inggris disebut underlying asset, juga harga objek dari transaksi tersebut. 33 Ketiga, adanya kesepakatan. Oleh karenanya aset riil yang dijadikan dasar penerbitan sukuk biasanya tidak dijadikan sumber pembayaran dan tidak dijaminkan untuk pembayarannya. Secara lebih formal sukuk didefinisikan sebagai an investment sukuk is a certificate of equal value representing shares in ownership of tangible asset usufruct and services or in the ownership of the asset of particular project or special investment activity. Sedangkan untuk jenis sukuk yang kedua yang disebut sebagai asset back sukuk adalah aset riil yang dipisahkan kepemilikannya kepada special purpose vehicle juga dijadikan sumber pembayaran dan dijaminkan untuk pembayarannya. Perbedaan ini secara teoritis memberikan tingkat risiko yang berbeda. Secara lebih formal asset backed securities didefinisikan sebagai an asset backed security is a security who’s value and income payments are derived from and collateralised or backed by a specified full of underlying asset . • Bahwa dilihat dari sisi risiko investor pada jenis sukuk yang pertama yaitu asset base sukuk sebenarnya mempunyai tingkat risiko yang sama dengan memberikan uang tanpa jaminan aset riil atau disebut sebagai unsecured . Sedangkan investor pada jenis sukuk yang kedua yaitu asset back sukuk mempunyai jaminan atau disebut secured berupa aset riil yang dipisahkan kepemilikannya walaupun di beberapa negara jaminan itu berarti hak tagih atas aset riil bukan hak kepemilikan penuh atas aset riil itu sendiri. Sukuk yang diterbitkan oleh korporasi kadang berupa asset base sukuk dan kadang berupa asset back sukuk . Sedangkan sukuk yang diterbitkan oleh negara sampai saat ini biasanya berupa asset base sukuk.
Ahli Gahet Ascobat • Bahwa dari sisi pasar sukuk global menunjukkan perkembangan cukup signifikan dimulai tahun 2002 pada saat Pemerintah Malaysia pertama menerbitkan sukuk global dalam mata uang US dollar. Mencapai puncaknya pada tahun 2007 dan karena krisis keuangan global pada tahun 2008 mengalami penurunan dan tahun 2009 yang lalu telah mengalami peningkatan lagi yang antara lain alasan peningkatan market sukuk secara global tersebut adalah penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Indonesia selaku pioneer di tahun 2009; • Bahwa di pasar domestik Indonesia pun sukuk telah ada sejak tahun 2002 yang diterbitkan oleh korporasi, dengan berpartisipasinya Pemerintah dalam 34 menerbitkan SBSN di tahun 2008 dan tahun 2009 maka industri ini mendapatkan suplai atau persediaan instrumen syariah yang sangat dinanti- nanti oleh pelaku pasar. • Bahwa beberapa transaksi sukuk yang telah dilakukan di pasar internasional oleh pemerintahan, antara lain Pemerintah Malaysia, Qatar, Dubai, Indonesia, Bahrain, pada tahun 2009 yang lalu terjadi kelebihan permintaan cukup besar dan cukup signifikan yaitu transaksi Pemerintah kita secara global mengalami kelebihan permintaan sebesar 7 kali lipat. Penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Bahrain di tahun 2009 juga mengalami kelebihan permintaan sebanyak 5 kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi investor syariah secara global, permintaan dan kebutuhan atas instrumen ini memang sangat besar dan instrumen ini juga sangat langka tersedia di pasar. Di Indonesia sendiri dari sisi penerbitan sukuk terdapat ukuran yang semakin meningkat dan untuk memenuhi kebutuhan investor yang semakin meningkat pemerintah sudah memberi supply sedemikian besar dan ini juga berhasil diserap oleh pelaku pasar dan investor di Indonesia • Bahwa seluruh transaksi sukuk secara global yang dilakukan oleh pemerintahan di dunia selain di Indonesia yang melakukan penerbitan sukuk global di tahun 2009 yaitu pemerintahan Malaysia Negara bagian di Jerman, Pemerintah Dubay, Pakistan telah melakukan penerbitan sukuk secara global atau berkali-kali dan poin yang penting untuk dicermati disini adalah bahwa dari sisi struktur yang diterapkan oleh berbagai pemerintahan ini nyaris seluruhnya adalah berdasarkan struktur ijarah atau berdasarkan sewa menyewa atas suatu asset, merupakan struktur yang mirip dengan yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia dalam penerbitan SBSN; • Bahwa dalam perkembangan pasar dan perkembangan regulasi, tidak hanya dialami dan dijalankan oleh Pemerintah Indonesia saja tetapi juga di negara- negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Mesir, Turki, Kazastan, Uni Emirat Arab, Pakistan dimana Negara-negara tersebut memang mengembangkan peraturan-peraturan yang akomodatif untuk penerbitan sukuk baik oleh pemerintahan maupun oleh korporasi tetapi di luar negara-negara mayoritas berpenduduk muslim seperti Inggris, Perancis, kemudian Hongkong, Korea, dan Jepang telah atau sedang menyusun perundang-undangan atau perangkat regulasi untuk memfasilitasi kemungkinan pemerintahan atau 35 koperasi di negara masing-masing tersebut untuk dapat menerbitkan instrumen berbasis syariah atau sukuk yang menggunakan atau memerlukan underlying _asset; _ • Bahwa __ transaksi sukuk oleh Pemerintah Indonesia sangat sukses, hal ini menunjukkan sedemikian besarnya animo dari investor seperti transaksi dalam hal mata uang rupiah di tahun 2008, tahun 2009 dan baru-baru ini tahun 2010 melalui sukuk ritel habis diserap investor dan mengalami kelebihan permintaan. Selain itu, transaksi Pemerintah Indonesia dalam mata uang US dolar pun mengalami kelebihan permintaan sebanyak 7 kali, hal ini menunjukkan transaksi tersebut sangat sukses dan diminati oleh investor; • Bahwa salah satu kunci transaksi ini diminati dan diserap habis oleh market dan investor adalah karena struktur yang diterapkan adalah struktur yang diterima secara luas dan merupakan market best practice yang telah dilakukan oleh penerbit-penerbit lainnya sebelum Pemerintah Indonesia, sebagai contoh, struktur sukuk global Pemerintah Indonesia dalam mata uang US dolar adalah sebesar 650 juta pada April 2009, dengan strukturnya secara gambaran umum adalah sebagai berikut:
Pemerintah mengalihkan hak manfaat atas beberapa kantor pemerintahan selaku aset sukuk kepada suatau perusahaan penerbit yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, tidak dimiliki oleh investor asing.
Pemerintah tetap menggunakan aset-aset sukuk tersebut seperti sedia kala tidak ada disruption, tidak ada perubahan karena aset itu langsung disewakan penerbit kepada Pemerintah sejak hari pertama transaksi dilangsungkan dan hal tersebut berlangsung terus sampai dengan sukuk tersebut jatuh tempo.
Sertifikat kepemilikan atau barang-barang milik Negara tersebut tidak berpindah dari Pemerintah dan tidak berpindah ketangan investor asing dalam kasus ini. Pada saat jatuh tempo atau dalam hal terjadi gagal bayar atau wanprestasi dipihak Pemerintah, aset sukuk pun hanya dapat dijual kembali oleh investor atau perusahaan penerbit kepada Pemerintah Indonesia, sehingga tidak ada kondisi hak manfaatnya hilang atau kepemilikannya hilang berpindah dari tangan Pemerintah.
Bahwa pada saat penerbitan, sukuk global mendapat credit rating agency sebagai instrumen yang merefleksikan sebagai risiko kredit dan rating 36 Pemerintah yaitu BA 3 berdasarkan analisa moody’s dan BB- menurut standar S&P dan BB menurut Fitch hal tersebut sama seperti rating Pemerintah Indonesia pada saat itu; • Bahwa transaksi tersebut telah memperoleh begitu banyak penghargaan dari berbagai publikasi internasional atas peranannya dalam berhasil membuka kembali pasar sukuk secara global dan juga memberi contoh bagi negara lain yang sekarang sedang mengembangkan perangkat regulasi untuk juga mengikuti jejak Indonesia dalam mengakses likuiditas yang sangat besar dikalangan investor syariah; • Bahwa dari sisi transaksi sukuk global yang diterapkan oleh Pemerintah Indoneisa, tidak jauh berbeda dengan transaksi sukuk global yang diterapkan oleh pemerintahan lain, antara lain contohnya Pemerintah Malaysia di tahun 2002, Pemerintah Qatar di tahun 2003, Pemerintah Pakistan di tahun 2005. Struktur yang diterapkan persis sama yaitu ijarah ( sale and lease back ) dari sisi Underlying asset , Pemerintah Malaysia menggunakan tanah dan bangunan milik negara yang berlokasi di Kuala Lumpur, Pemerintah Qatar menggunakan tanah yang berlokasi di Doha Qatar, Pemerintah Pakistan menggunakan jalan raya Lahore-Islamabad Motorway, dan Pemerintah kita menggunakan gedung kantor pemerintahan. Penggunaan aset dalam ke empat transaksi sukuk ini juga sama sepenuhnya digunakan oleh kembali oleh Pemerintah, disewakan kembali kepada Pemerintah, sehingga Pemerintah negara-negara masing- masing bisa terus menggunakan, memelihara dan jika perlu mengasuransikan aset sukuk tersebut secara normal; • Bahwa yang terjadi pada saat jatuh tempo atau terjadi Dissolution Event atau gagal bayar atau Interrupted Default dalam keempat transaksi tersebut, maka akan langsung dijual kembali kepada pemerintah negara masing-masing yaitu kepada Malaysia, Qatar, Pakistan dan Indonesia karena feature tersebut tidak ada objek jaminan dan keempat transaksi ini adalah transaksi yang _unsecured; _ 7. Ahli Farouk Abdullah Alwyni • Bahwa ahli melihat dari sisi peranan sukuk negara dalam kaitannya dengan potensi untuk menarik investasi khususnya investasi dari negara Timur Tengah. Ketika berbicara tentang investor Timur Tengah biasanya terfokus pada GCC ( Gulf Cooporation Council ) yang terdiri dari Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab. Negara-negara ini diperkirakan mempunyai 37 reserve sekitar 1,3 Triliun Dollar sebagai hasil dari akumulasi ketika harga minyak naik pada tahun 2003. Pada awalnya negara-negara ini mempunyai tujuan investasi tradisional di Amerika dan di Eropa karena instrumen- instrumen surat berharga di negara Amerika Serikat dan Eropa sudah sedemikian terbangunnya; • Bahwa kebanyakan investor dari Timur Tengah adalah mereka yang mempunyai investasi dalam bentuk Financial Capital , sehingga investasinya mengarah kepada surat-surat berharga. Dengan mulai berkembangnya sistem keuangan islam maka mulai terjadi diversifikasi penempatan dana bukan hanya di pasar tradisional Eropa dan Amerika Serikat tetapi juga di negara-negara mereka sendiri dan terakhir di Malaysia yang cukup aktif untuk mencoba memposisikan diri menjadi Alternative Financial Destination , Alternative Investment Destination bagi negara-negara dari teluk ini. • Bahwa kalau melihat perkembangan keuangan Islam dewasa ini jumlah aset dari Top 500 bank-bank Islam ini mencapai 822 Milyar Dollar pada akhir tahun 2009. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya, pertama, fenomena akumulasi modal di teluk sebagai dampak kenaikan harga minyak yang signifikan, yang terjadi kembali sejak tahun 2003. Kedua , kesadaran keislaman diantara kaum muslimin kelas menengah atas, baik di dunia muslim sendiri ataupun di Eropa dan di Amerika Serikat, dan faktor Eleven September yang dalam beberapa hal menimbulkan kecurigaan di Amerika Serikat terhadap dana-dana yang berasal dari Timur Tengah juga turut memacu keinginan untuk mencari Alternative Investment Destination , sebagai contoh dalam kasus DP World ( Dubai Ports World ) dimana rencana investasi yang tertolak oleh kongres di Amerika Serikat. Hal-hal tersebut menumbuhkan secara bersamaan kebutuhan akan alternatif investasi yang berdampak kepada perkembangan keuangan Islam. Dalam kaitan dengan hal ini, krisis yang terjadi di Amerika dan di negara Eropa pada umumnya diawali pada tahun 2008 juga membuat para investor mencari Alternative Investment Destination bahwa sebenarnya di negara-negara seperti eropa dan Amerika menjadi kondisi-kondisi yang merugikan, sehingga terjadi proses pergerakan kapital ke negara-negara Asia, terutama Malaysia yang cukup proaktif dalam melihat potensi besar dari Sukuk; 38 • Bahwa Malaysia pada tahun 2002 mendapat insentif senilai $600.000.000 dan yang terakhir Malaysia membentuk International Islamic Financial Centre yang banyak memberikan insentif __ untuk perkembangan keuangan Islam, di lain sisi negara-negara yang sebelumnya juga telah menikmati dana dari teluk tersebut, dalam hal ini Inggris misalnya. Berusaha juga mempertahankan kapital-kapital yang telah ada di sana, dan pada satu kesempatan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menyatakan ingin menjadikan London sebagai pusat keuangan Islam di Eropa, selain Inggris juga usaha-usaha dari mayoritas penduduknya bukan muslim, seperti Jerman dan Prancis, dan terakhir yang cukup aktif adalah Hongkong dan Singapura. Singapura bahkan telah membentuk Islamic Bank besar, Islamic Bank of Asia dengan modal $500.000.000, dimana Pemerintah Singapura melalui Development Bank Of Singapura menjadi pemegang saham mayoritas 50 % + 1 saham dan selebihnya ditarik Investor dari Timur Tengah diantaranya dari Bahrain, dan Saudi Arabia. • Bahwa dari uraian di atas, Indonesia sebagai negara yang sedang membangun dan memerlukan pendanaan yang besar, perlu juga melihat potensi ini, terlebih lagi Indonesia negara muslim yang terbesar di dunia. Mengeluarkan sukuk merupakan satu usaha penting dalam rangka menarik Investor Timur Tengah khususnya Negara-negara Teluk. Terlebih lagi model investasi dari Negara- negara Teluk umumnya adalah untuk financial capital atau investasi di pasar modal atau pasar uang. Sukuk global Indonesia pertama yang senilai Rp 650.000.000, yang di keluarkan tahun lalu sekitar 70 % nya diambil oleh Investor Timur Tengah, sehingga terlihat bahwa upaya yang telah dilakukan telah membuahkan hasil; • Bahwa ke depan dengan kebutuhan pembangunan dan lain sebagainya, ini merupakan satu strategi untuk lebih menarik capital ke dalam negeri. Preferensi investor Timur Tengah yang untuk sekarang ini lebih comfortable berhubungan dengan negara atau Badan Usaha Milik Negara dalam hubungan bisnis dengan Indonesia, membuat suatu negara menjadi suatu instrumen efektif untuk menarik dana mereka ke Indonesia. Perkembangan pasar uang dan pasar modal Syariah juga menjadi satu faktor penting dalam menarik Investasi fortfolio dari Negara-negara Teluk. Di samping itu, perlu pula dicatat bahwa pada akhirnya negara bukan hanya berpotensi menarik Investor Timur 39 Tengah, tetapi juga Investor-investor lain seperti dari Amerika sendiri dan Eropa, yang pada kenyataannya menyumbang sekitar 30% dari pembeli sukuk global yang dikeluarkan di Indonesia; • Bahwa sukuk pada hakikatnya dapat menjadi instrumen penarik investasi yang lebih luas dari Conventional Bond menginggat pasar sukuk tidak terbatas dari investor syariah tetapi juga investor konvensional karena sukuk dapat di beli oleh Conventional Investors dan Syariah Investors tetapi Conventional Bond terbatas pada Conventional Investors, jadi mengeluarkan sukuk mempunyai benefit yang berganda; • Bahwa sukuk __ negara dan perkembangan soal keuangan Syariah khusunya lembaga keuangan Syariah. Pasar uang syariah merupakan bagian integral dari berfungsinya sistem perbankan Islam. Pasar uang syariah menyediakan fasilitas pendanaan dan penyesuaian fortofolio dalam jangka pendek, disamping itu instrumen-instrumen keuangan dan investasi antar bank akan memfasilitasi mekanisme transfer dari bank-bank surplus ke bank yang defisit, yang dengan demikian menjadi pendanaan likuiditas yang baik dalam rangka menjaga stabilitas sistem. Salah satu tantangan bagi pengembangan keuangan Syariah, sebagai praktisi, ahli melihat masih terbatasnya instrumen pasar uang syariah, Islamic Money Market Instrument , yang dapat di perjual belikan di pasar sekunder. __ Adanya Sukuk Negara akan sangat bermanfaat bagi pengembangan sistem keuangan di Indonesia yang khususnya bagi lembaga- lembaga keuangan Syariah yang sering membutuhkan Liquid Instrumen untuk penempatan dana berlebih untuk jangak waktu menegah dan panjang. __ • Bahwa usaha untuk mengembangkan keuangan Syariah di Indonesia, yang saat ini masih di bawah 5 % dengan total aset sekitar 6 miliar dollar di quartal ketiga, di bandingkan dengan Malaysia yang diproyeksikan akan mencapai 20% di tahun 2010 dengan total aset mencapai 46 miliar dollar di tahun 2007, perlu disertai dengan rangka pendukung lainnya, yang diantaranya adalah dengan tersedianya instrumen pasar uang syariah yang cukup liquid. Sukuk __ negara dalam hal ini, merupakan satu faktor pendukung yang penting bagi Indonesia untuk terus mengembangkan potensi lembaga keuangan Syariah ini, fungsi penting Sukuk Negara lainnya instrumen ini merupakan salah satu acceptable instrument dapat dijadikan jaminan, untuk mendapatkan hal lain fasility untuk kebutuhan fasilitas pembiayaan perdagangan Internasional dari 40 bank-bank Internasional, sekedar perbandingan sedikit mungkin bahwa Pemerintah Singapura dalam rangka mengembangkan perbankan syariahnya juga telah mengelolakan program sukuk pertamanya senilai $ 134 juta, yang khususnya ditujukan untuk mendukung kebutuhan kelebihan likuiditas. Kesimpulannya adalah bahwa, sukuk negara mempunyai peranan penting, yaitu paling tidak, pertama , dalam menarik financial capital dari luar negeri umumnya dan negara-negara timur tengah khususnya, dalam rangka membiayai program pembangunan negara, dan kedua dalam rangka pengembangan perbankan syariah melalui mekanisme peningkatan likuiditas pasar uang syariah;
Ahli Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ., FIIS. • Bahwa menurut data statistik Desember 2008, masyarakat Indonesia yang 88,22% penduduknya adalah muslim tentu membutuhkan instrumen bisnis dan produk-produk halal yang sesuai dengan syariah, karena itu menjadi kewajiban pemerintah memberikan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat muslim tersebut. Saat ini hampir semua lembaga keuangan syariah sudah ada di Indonesia, mulai dari perbankan, asuransi, reksa dana, obligasi, corporate , sukuk, saham syariah, penjaminan syariah, pegadaian syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah sudah ada di Indonesia. • Bahwa perbankan syariah ada 25 unit usaha dengan 6 bank umum syariah, dengan market share kurang lebih 2,3 %, asuransi sekitar 40 perusahaan asuransi yang telah membuka unit syariah dengan 3 perusahaan penuh kurang lebih market share 2%, reksadana ada sekitar 46 unit dengan market share sekitar 2%, dan seterusnya sampai kepada lembaga keuangan mikro syariah, BPRS ada 159, kemudian baitumaal watambil yang lebih kecil lagi ada sekitar 4000 menyebar di seluruh Indonesia, dan koperasi syariah ada sekitar 300. Peran sukuk terhadap lembaga keuangan syariah ini adalah sebagai pendorong untuk mempercepat proses market share yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia; • Bahwa sebagai instrumen investasi maupun sebagai fee base income, sukuk negara diperlukan untuk instrument fortopolio investasi. Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut yang sangat dibutuhkan masyarakat tentu akan sangat lambat kalau tidak didorong oleh instrumen- instrumen investasi seperti sukuk; 41 • Bahwa di Indonesia saat sekarang ini sebetulnya sudah ada beberapa Undang- Undang untuk syariah selain sukuk atau Undang-Undang SBSN, yaitu Undang- Undang Perbankan Syariah, Undang-Undang Pengelolaan Zakat dan Undang- Undang Wakaf yang kesemuanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan makanan produk halal dan instrument-instrumen bisnis syariah. Bahkan, umat Islam masih membutuhkan sejumlah Undang-Undang lagi yang terkait dengan instrumen syariah. Misalnya, Undang-Undang Asuransi Syariah masih Undang-Undang Penjaminan Syariah, Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro Syariah, dan sebagainya; • Bahwa seperti disebutkan oleh Bapak Adang Dorojatun dari anggota DPR, bahwa lembaga keuangan syariah sudah merupakan instrumen global, bahkan negara-negara yang ada di luar sudah begitu banyak menggunakan konsep syariah, seperti Singapura, negara-negara yang non-muslim, Inggris, Hongkong, mereka ingin menjadi pemilik ekonomi syariah. Oleh karena itu, justru Indonesia seharusnya akan menjadi negara yang terdepan, di dalam mengembangkan konsep ekonomi syariah. Dengan demikian, jika di Indonesia instrumen syariah justru ada yang mempertanyakan atau menggugat, mungkin kita perlu belajar ke negara-negara non-muslim tersebut atau kalau perlu belajar ke negara-negara lain seperti Eropa, bahkan terakhir Rusia juga sudah mulai menggunakan instrumen syariah;
Ahli Ary Zulfikar, S.H. Bahwa terdapat empat hal yang ingin ahli sampaikan, pertama, penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara sesuai dengan Undang-Undang SBSN. Kedua , BMN dalam penerbitan sukuk negara bukan sebagai collateral atau jaminan. Ketiga, dalam hal kondisi event of default oleh Pemerintah dalam pembayaran imbalan maupun nilai sukuk apakah BMN dapat dieksekusi oleh investor? Keempat , dokumen-dokumen yang diperlukan dalam penerbitan sukuk negara. Terhadap keempat hal tersebut, ahli menjelaskan sebagai berikut: Penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara sesuai dengan Undang-Undang SBSN a. bahwa di dalam penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN, SBSN adalah Surat Berharga Negara yang merupakan instrumen pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan bertujuan untuk membiayai APBN yang pada gilirannya 42 akan digunakan juga untuk menyediakan fasilitas yang layak sebagaimana yang diamanatkan di dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
bahwa dasar penerbitan SBSN adalah aset SBSN, yang berupa BMN yang memiliki nilai ekonomis sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 butir 3 dan Pasal 10, Pasal 11 Undang-Undang SBSN juncto Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 69 sampai dengan 72. Artinya, nilai ekonomis atas BMN dijadikan dasar dalam menetapkan nilai nominal sukuk negara;
Bahwa atas penggunaan BMN tersebut juga wajib meperoleh persetujuan dari DPR. Pasal 9 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang SBSN. Dengan demikian, di dalam penggunaan BMN itu sendiri Pemerintah juga mendapatkan persetujuan dari DPR sebagaimana diamanatkan baik di dalam Undang-Undang SBSN maupun Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Mekanisme penggunaan BMN dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas BMN atau cara lain sesuai dengan akad yang digunakan. Penekanan dalam penjualan dan penyewaan adalah, hak manfaat, sebagaimana tadi telah disampaikan oleh Pemerintah bahwa pemindahan BMN dalam konteks aset BMN bersifat khusus. Penjualan dan atau penyewaan dilakukan, pertama , hanya atas hak manfaat, kedua , tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan legal title , ketiga , tidak dilakukan pengalihan fisik BMN sehingga sama sekali tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintah. Hal sebagaimana diatur juga di dalam Penjelasan dalam paragraf 1 Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang SBSN. BMN dalam penerbitan sukuk negara bukan sebagai collateral atau jaminan Mengingat sukuk negara merupakan Surat Berharga Negara maka pembeli sukuk negara (Investor) hanya memegang bukti kepemilikan baik dalam bentuk warkat atau tanpa warkat vide Pasal 2 berikut Penjelasan Undang-Undang SBSN. Investor tidak memegang jaminan kebendaan atas BMN. Investor hanya memiliki bukti kepemilikan Surat Berharga yang pembayarannya dijamin oleh Pemerintah. Merujuk Pasal 49 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang SBSN. Dengan demikian, dalam struktur sukuk negara tidak ada aset SBSN atau BMN yang dijaminkan dalam bentuk jaminan kebendaan, hak tanggungan atau bentuk lainnya gadai dan lain sebagainya kepada investor; 43 Dalam hal terjadi kondisi event of default , Pemerintah wajib menyediakan pembayaran imbalan dan nilai nominal dalam APBN, hal tersebut diatur di dalam Pasal 9 ayat (3) dan Penjelasannya juncto Pasal 12 Undang-Undang SBSN. Dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Perbendaharaan Negara, APBN dalam satu anggaran meliputi salah satu penerimaan yang perlu dibayar kembali baik dalam tahun anggaran bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Artinya, Pemerintah dalam konteks penerbitan SBSN sudah mengalokasikan pembayaran terhadap imbalan maupun nilai nominal apabila jatuh tempo sukuk negara tersebut. Dalam hal terjadinya event of default pemegang sukuk tidak mempunyai hak untuk mengeksekusi asset SBSN, mengingat aset SBSN bukan objek jaminan dan investor tidak memegang hak jaminan kebendaan, sehingga investor hanya dapat menuntut pemerintah untuk membayar kewajiban atas imbalan dan nilai nominal dari sumber-sumber lain dari APBN sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang SBSN. Mekanisme dari pembayaran kembali jika jatuh tempo Pemerintah akan membeli kembali hak manfaat atas aset SBSN yang dijadikan dasar penerbitan dari sumber dana yang dialokasikan dalam APBN. Hal tersebut diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang SBSN; Dokumen-dokumen yang akan disiapkan dalam penerbitan Surat Berharga Syariat Negara. SBSN yang pernah diterbitkan oleh Pemerintah adalah SBSN ijarah sale and lease back . Terdapat tiga transaksi, yaitu:
Antara Pemerintah dengan perusahaan penerbit SBSN Indonesia, Perusahaan penerbit SBSN Indonesia adalah perusahaan yang didirikan berdasarkan PP Nomor 57 Tahun 2008, menandatangani suatu perjanjian jual beli akad bai’ atas hak manfaat BMN dari Pemerintah selaku penjual kepada perusahaan penerbit SBSN Indonesia selaku pembeli. Perusahaan penerbit SBSN adalah perusahaan yang didrikan oleh Pemerintah, dimana Pemerintah menjual hak manfaat atas BMN kepada perusahaan penerbit SBSN Indonesia.
Perusahaan penerbit SBSN menerbitkan Surat Berharga Syariah Negara sebagai bukti atas bagian pernyataan terhadap asset SBSN. Dengan demikian dari dasar nilai ekonomis terkait dengan BMN itu dijadikan dasar dalam penerbitan sukuk nilai nominal sama dengan nilai aset BMN. Dalam transaksi kedua adalah pembayaran imbalan dan/atau nilai nominal atas SBSN kepada 44 pemegang SBSN, investor, dari pembayaran imbalan ijarah oleh Pemerintah untuk pembayaran imbalan dan pada saat jatuh tempo untuk pembayaran nilai nominal;
Pada saat yang bersamaan juga antara perusahaan penerbit SBSN dan Pemerintah menandatangani suatu perjanjian sewa meyewa, akad ijarah, dimana Pemerintah menyewa aset SBSN kepada perusahaan penerbit SBSN Indonesia untuk digunakan dalam menjalankan kegiatan umum pemerintahan dan/atau untuk kepentingan Pemerintah. Pemerintah selaku penyewa aset SBSN juga melakukan fungsi perawatan dan pengelolaan atas aset SBSN berdasarkan perjanjian pengeloalaan aset. Sehingga pada saat awalnya transaksi pertama dilakukan akad bai’ pada saat yang bersamaan juga dilakukakan perjanjian sewa menyewa, akad ijarah. Dalam transaksi yang ketiga adalah adanya satu dokumen yang memuat pernyataan untuk menjual yang dibuat oleh perusahaan penerbit SBSN dan pernyataan membeli yang dibuat oleh Pemerintah jika SBSN jatuh tempo atau buy back . Pemerintah akan membeli kembali aset SBSN dari perusahaan penerbit SBSN dan perusahaan penerbit SBSN hanya akan menjual asset tersebut kepada Pemerintah. Sehingga pada saat kemudian sukuk itu jatuh tempo otomatis aset BMN tersebut akan kembali kepada Pemerintah. Kesimpulannya adalah dalam skema sukuk, aset SBSN hanya digunakan sebagai underlying asset atau dasar penerbitan SBSN kepada investor. Artinya adalah nilai-nilai nominal sukuk yang akan diterbitkan minimal sama dengan nilai secara ekonomis atas hak manfaat aset BMN. • Kesimpulan:
Bahwa penjualan dan/atau penyewaan atas aset SBSN hanya hak atas manfaat tidak ada pemindahan hak milik legal title dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga tidak mengganggu fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah.
Bahwa aset SBSN berupa BMN bukan merupakan objek jaminan kebendaan atau collateral k arena bentuknya bukan perjanjian utang piutang.
Bahwa pemegang pemilik SBSN atau investor tidak mempunyai hak eksekusi atas BMN karena tidak mempunyai hak jaminan kebendaan atas BMN. Sehingga dalam hal terjadi default tidak akan mempengaruhi status 45 BMN serta mengganggu fungsi penyelenggaraan pemerintahan terkait dengan BMN tersebut.
Struktur skema sukuk adalah dalam bentuk jual beli atas hak manfaat dengan undertaking untuk menjual atau membeli kembali atas hak manfaat BMN antara Pemerintah dengan perusahaan penerbit SBSN Indonesia; [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat, menyampaikan keterangan tertulis, sebagai berikut: A. KETENTUAN PASAL UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA (SBSN) YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD TAHUN 1945. Pemohon dalam Permohonan a quo mengajukan permohonan pengujian atas Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN, yang menyatakan: Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b: (1) Barang Milik Negara dapat digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN yang untuk selanjutnya Barang Milik Negara dimaksud sebagai aset SBSN. _(2) Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: _ _a. tanah dan/atau bangunan; _ _b. selain tanah dan/atau bangunan; _ Pasal 11 ayat (1): (1) Penggunaan Barang Milik Negara sebagai aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas barang milik negara atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN. Pemohon beranggapan ketentuan pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. 46 B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 10 AYAT (1) DAN AYAT (2) HURUF A DAN HURUF B, SERTA PASAL 11 AYAT (1) UU SBSN. Pemohon dalam permohonan a quo , mengemukakan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (2) telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1), yaitu sebagai berikut:
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 3 beranggapan, bahwa ketentuan pasal-pasal Undang-Undang a quo nyata terlihat akan menimbulkan potensi kerugian konstitusional yaitu apabila dalam jangka waktu sebagaimana dijaminkan aset SBSN oleh Pemerintah kepada pihak tertentu gagal bayar (default), maka pada saat itu berarti objek tersebut akan dikuasai oleh pihak ketiga (pemegang gadai) objek jaminan Pemerintah. Sehingga beralihnya objek jaminan ini menimbulkan kerugian yang nyata bagi Pemohon berupa tidak dapat lagi memanfaatkan fasilitas umum tersebut yang merupakan publik domain . Oleh karena menurut Pemohon barang milik negara sebagai dasar penerbitan SBSN adalah barang yang diperuntukan untuk umum dan dimasukkan dalam publik domain, dimana tidak dapat dijadikan objek perdagangan.
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 3 juga mengemukakan dengan digunakannya barang milik negara sebagai dasar penerbitan SBSN berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan, dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas barang milik negara atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN, maka hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon selaku warga negara Indonesia terhadap objek jaminan barang milik negara tersebut sudah hilang untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna memperoleh persamaan dan keadilan. __ C. KETERANGAN DPR. Terhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo pada kesempatan ini DPR dalam penyampaian 47 pandangannya terlebih dahulu mengenai kedudukan hukum (legal standing) sebagai berikut:
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon a. Bahwa dalam permohonan halaman 2, Pemohon adalah sebagai perorangan WNI sebagai Ketua Yayasan Patria Artha yang mengkhususkan kegiatannya di bidang pendidikan, pelatihan, penerapan, dan pengembangan ilmu keuangan negara di Republik Indonesia, merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dengan berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN;
Bahwa mencermati dalil-dalil Pemohon dan permohonan a quo DPR berpandangan sesungguhnya permohonan Pemohon tidak menunjukan dan membuktikan secara konkrit dan nyata adanya kerugian konstitusional yang spesifik ataupun kerugian konstitusional yang potensial, namun yang terurai hanya anggapan dan tafsir dari Pemohon sendiri, bahwa menurut penalaran yang wajar kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon sesungguhnya belum dipastikan terjadi. Karena itu DPR berpandangan permohonan Pemohon mengenai kerugian konstitusional yang didalilkan tidak spesifik, tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur (obscuur libels) ;
Bahwa walaupun Pemohon sebagai subjek hukum berkedudukan selaku perorangan WNI sesuai dengan Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, namun tentu terlebih dahulu perlu dipertanyakan, apakah benar Pemohon sebagai perorangan warga negara yang merasa dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, karena Pemohon dalam permohonannya tidak menguraikan secara spesifik, terinci dan konkrit mengenai aset barang milik negara, apakah tanah dan/atau bangunan, ataukah selain tanah dan/atau bangunan yang merugikan diri Pemohon yang dikarenakan barang milik negara tersebut menjadi objek jaminan yang digunakan sebagai aset SBSN? d. Bahwa atas dasar permohonan yang obscuur libels tersebut, dan seandainya terjadi peristiwa sebagaimana yang didalilkan Pemohon, maka DPR berpandangan bahwa hal ini bukan persoalan 48 konstitusionalitas norma Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN, tetapi merupakan persoalan penerapan normanya, karena tidak terdapat causal verband yang nyata dan serta-merta oleh berlakunya ketentuan pasal-pasal Undang-Undang a quo mengakibatkan kerugian konstitusional bagi diri Pemohon;
Bahwa terhadap dalil-dalil Pemohon a quo, DPR berpandangan bahwa meskipun Pemohon memiliki kualifikasi sebagai subjek hukum dalam permohonan a quo sesuai Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, namun merujuk batasan kerugian konstitusional yang dibatasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-V/2007), Pemohon dalam permohonan a quo tidak membuktikan secara actual kerugian konstitusional dan kerugian potensial, serta tidak terdapat causal verban d antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan ketentuan pasal Undang-Undang a quo yang dimohonkan pengujian. Berdasarkan uraian-uraian di atas maka DPR berpandangan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi batasan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu, karena itu sudah sepatutnya apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia secara bijaksana menyatakan Permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, selanjutnya bersama ini disampaikan keterangan DPR RI atas Pengujian Materiil Undang-Undang a quo 2. Pengujian Materiil atas Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. Terhadap pandangan-pandangan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo , pada kesempatan ini DPR RI ingin menyampaikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa konsep keuangan islam (Islamic finance) secara bertahap mulai diterapkan oleh beberapa negara di kawasan Timur Tengah pada 49 periode tahun 1960-an, yang terus berkembang dan diadopsi tidak hanya oleh negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, melainkan juga oleh berbagai negara di kawasan Asia dan Eropa. Untuk mendukung perkembangan keuangan Islam tersebut telah didirikan berbagai lembaga keuangan syariah dan diterbitkan berbagai instrumen keuangan berbasis syariah. Selain itu juga telah dibentuk lembaga internasional untuk merumuskan infrastruktur sistem keuangan Islam, yaitu International Islamic Financial Market (IIFM), Islamic Financial Services Board (IFSB), Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) dan telah pula didirikan lembaga Rating Islam.
Bahwa konsep keuangan Islam didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan, karena itu instrumen keuangan Islam senantiasa selaras dan memenuhi prinsip-prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat. Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur : (1) Riba yaitu unsur bunga; (2) Maysir yaitu unsur spekulasi; (3) Gharar yaitu unsur ketidakpastian. Karakteristik lain dari instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung (undelying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi keuangan konvensional pada umumnya.
Bahwa secara filosofis pengembangan instrumen yang berbasis syariah perlu segera dilaksanakan selain untuk mendukung pemanfaatan aset negara secara efisien dan untuk mendorong terciptanya sistem keuangan yang berbasis di dalam negeri, juga untuk memperkuat basis sumber pembiayaan anggaran negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Bahwa salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah, atau dikenal secara internasional dengan istilah Sukuk. Instrumen keuangan ini pada prinsipnya sama seperti surat berharga konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan sebagai pengganti bunga, 50 adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) atas sejumlah tertentu aset sebesar nilai nominal Sukuk yang diterbitkan dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-pinsip syariah. Aset yang dapat digunakan di dalam transaksi tersebut merupakan barang milik negara (BMN).
Bahwa secara sosiologis pembiayaan keuangan negara melalui penerbitan surat berharga oleh Pemerintah berupa Sukuk negara mempunyai implikasi yang luas terhadap pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi, antara lain melalui penciptaan good governance di sektor publik. Dalam hal ini perdagangan Sukuk di pasar keuangan syariah akan memfasilitasi terselenggaranya pengawasan secara langsung oleh publik atas kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan.
Bahwa secara yuridis instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan instrumen keuangan konvensional, sehingga perlu pengelolaan dan pengaturan secara khusus, baik yang menyangkut instrumen maupun perangkat hukum yang diperlukan untuk mengatur Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Bahwa terkait dengan dalil Pemohon yang dikaitkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara khususnya Pasal 49 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 50 huruf d, DPR berpandangan bahwa perlu adanya pemahaman tentang kepemilikan atas hak manfaat (beneficial ownership) dan juga kepemilikan hukum (legal ownership) atas suatu aset yang dikenal dalam konsep trust. Hal tersebut mengingat pemindahtanganan barang milik negara (BMN) dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan proses pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Bahwa dalam penerbitan SBSN, proses transaksi aset barang milik negara tersebut adalah sebagai berikut: Ø Penjualan/penyewaan BMN hanya atas hak manfaat BMN, tidak disertai dengan pemindahan hak kepemilikan _(legal title); _ 51 Ø Pemerintah akan menyewa kembali BMN dari Special Purpose Vehicle (SPV)/perusahaan penerbit; Ø Tidak terjadi pengalihan fisik BMN sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas pemerintahan; Ø Tidak terdapat permasalahan dari sisi akuntansi mengingat hak kepemilikan atas BMN tidak berpindah sehingga tetap on balance _sheet; _ Ø Pada saat jatuh tempo SBSN atau dalam hal terjadi default, aset SBSN akan tetap dikuasai oleh Pemerintah, karena dalam penerbitan SBSN ada dokumen purchase undertaking yaitu Pemerintah wajib membeli kembali, membatalkan sewa atas aset SBSN dan dokumen sale undertaking yaitu SPV wajib menjual aset SBSN kepada pemerintah sebesar nilai nominal SBSN;
Bahwa hal tersebut juga sudah diuraikan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang a quo .
Bahwa mencermati dalil-dalil Pemohon menunjukan bahwa Pemohon perlu memahami Undang-Undang a quo secara komprehensif dan tidak hanya memahami secara parsial atau sebagian-sebagian, sehingga menimbulkan pemahaman yang keliru terhadap pemahaman tentang penggunaan BMN sebagai aset SBSN, padahal dalam Undang-Undang a quo sudah diatur juga antisipasi apabila terjadi peristiwa default sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang a quo yang memberikan kewenangan kepada Menteri selaku pemerintah untuk membeli kembali aset SBSN, membatalkan akad sewa, dan mengakhiri akad penerbitan SBSN lainnya pada saat SBSN jatuh tempo.
Bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang a quo yang terkait dengan aset SBSN tersebut telah dibahas dan disetujui dalam Rapat Panitia Kerja Ke-4 tanggal 15 Maret 2008.
Bahwa terkait dengan penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN hanya terbatas pada penggunaan hak manfaat (beneficial title) bukan pemindahan hak kepemilikan (legal title) . Hal ini __ terdapat dalam tanggapan Fraksi-Fraksi di DPR dalam Rapat Kerja Komisi XI pada tanggal 4 Juli 2007 antara lain: 52 1. “...dalam transaksi SBSN tidak terjadi pemindahtanganan BMN secara fisik kepada pihak lain, sehingga tidak terjadi perubahan kepemilikan (legal title). Hal ini perlu dijelaskan dan dijabarkan dengan lebih terperinci dan memerlukan ketentuan yang mengatur sekuritisasi dan pengaturan sub-lease dari investor kepada pemerintah dikarenakan status pemerintah merupakan (beneficial title) penerbit (issuer) ”. 2. “…juga sepakat bahwa penggunaan BMN tersebut dalam penerbitan SBSN hanya terbatas pada penggunaan hak manfaat saja, sehingga tidak terjadi pemindahtanganan BMN secara fisik kepada pihak lain“. 3. “…Penggunaan BMN sebagai underlying asset dalam penerbitan SBSN perlu dicarikan formula yang paling optimal, dengan rambu- rambu yang jelas dan terukur”. m. Tanggapan Fraksi sebagaimana dimaksud di atas, juga disampaikan dalam Rapat Paripurna tanggal 9 April 2008 pada saat penyampaian Pendapat Akhir Fraksi-Fraksi di DPR sebagai berikut:
“ Penggunaan BMN sebagai underlying dijelaskan dalam RUU SBSN hanya terbatas pada penggunaan hak manfaat (beneficial title). __ Dengan demikian dalam transaksi SBSN tidak terjadi pemindahtanganan BMN secara fisik kepada pihak lain, sehingga tidak terjadi perubahan kepemilikan (legal title).” 2. “Terkait dengan aset yang akan dijadikan penjamin, maka perlu diperhatikan mengenai kebijakan aset yang dijaminkan tersebut. Sehingga sampai dengan masa jatuh tempo SBSN tersebut besaran aset yang dijaminkan tidak lepas dari tangan pemerintah. Untuk itu peranan perusahaan penerbit SBSN dan juga koordinasi yang kuat antara kementerian terkait dengan masalah pengelolaan tersebut, perlu diperkuat sehingga tidak menimbulkan masalah di masa yang akan datang”. Bahwa berdasarkan pada pandangan-pandangan tersebut, DPR berpendapat bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. 53 Dengan demikian DPR memohon kiranya Ketua/Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak– tidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menyatakan Keterangan DPR dikabulkan untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Menyatakan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.6] Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 Februari 2010, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa isu hukum utama permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian materiil terhadap Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852, 54 selanjutnya disebut UU 19/2008) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan Pokok Permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut:
kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan _a quo; _ b. kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon; __ Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang disebutkan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian Undang-Undang in casu UU 19/2008 terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan _a quo; _ Kedudukan hukum ( legal standing ) __ Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat bertindak sebagai pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; 55 b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) __ Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut: [3.7.1] Bahwa Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai dosen dan Ketua Yayasan dan Pembina Universitas Patri Artha Makassar sebagaimana dibuktikan dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk milik Pemohon dan Akta Pendirian/Anggaran Dasar Yayasan “Patri Artha”, bertanggal 14 Januari 1997 Nomor 40, oleh Sitske Limowa, S.H., Notaris di Ujung Pandang/Makassar; 56 [3.7.2] Bahwa sebagai perorangan warga negara Indonesia, Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, yaitu hak atas kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan [Pasal 28H ayat (2) UUD 1945]; [3.7.3] Bahwa hak konstitusional Pemohon dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 tersebut dirugikan oleh berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, dan Pasal 11 UU 19/2008; __ [3.8] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU MK dan syarat kerugian seperti termuat dalam paragraf [3.5] dan paragraf [3.6] , dihubungkan dengan dalil kerugian para Pemohon dalam paragraf [3.7] , Mahkamah berpendapat, prima facie Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang a quo ; [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, serta memutus permohonan a quo , dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.9] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, dan Pasal 11 UU 19/2008 yang menyatakan: “Pasal 10 1 __ Barang Milik Negara dapat digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN, yang _untuk selanjutnya Barang Milik Negara dimaksud disebut sebagai Aset SBSN; _ 2 _Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: _ __ a. tanah dan/atau bangunan, dan __ b. selain tanah dan/atau bangunan, Pasal 11 1 Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan cara menjual 57 atau menyewakan Hak Manfaat atas Barang Milik Negara atau cara lain yang _sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN”; _ yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, __ dengan alasan-alasan hukum sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 UU 19/2008 telah menghilangkan hak konstitusional Pemohon atas tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan, untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan;
Apabila dikaitkan dengan tanggung jawab negara untuk menyediakan fasilitas pelayanan umum yang layak, rumusan pasal yang dimohonkan pengujian justru memberikan kewenangan kepada Menteri untuk menjual atau menyewakan hak manfaatnya atau cara lain yang sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN);
Barang Milik Negara sebagai dasar penerbitan SBSN adalah publik domain yang diperuntukkan untuk kepentingan umum sehingga tidak dapat dijadikan objek perdagangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (4) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan, “Barang Milik Negara/Daerah dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada Pemerintah Pusat/Daerah, dan ayat (5) “Barang Milik Negara/Daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman” ; [3.10] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-9, dan dua orang ahli yaitu Prof. Dr. Muchsan dan Drs. Siswo Sujanto, DEA., yang didengar keterangannya di bawah sumpah, selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut: Ahli Prof. Dr. Muchsan • Semangat dari UUD 1945 adalah negara diberi kedudukan sebagai lembaga publik sehingga dalam rangka memperoleh benda, negara tertutup menggunakan hukum perdata, karena kalau negara menggunakan hukum perdata maka kedudukan yuridis negara sebagai penguasa bergeser, yaitu dapat menjadi pemilik atau penyewa, atau mungkin pengguna hak pakai dan 58 sebagainya, sehingga kalau pasal atau Undang-Undang bertentangan dengan semangat atau jiwa UUD 1945 maka dengan sendirinya merupakan suatu produk hukum yang tidak sesuai dengan semangat atau jiwa UUD 1945; • Terkait dengan Pasal 28H UUD 1945, yang disebut jiwa atau semangat adalah yang menghidupi seluruh pasal demi pasal, sehingga semangat tersebut harus termanifesir di dalam pasal demi pasalnya. Dengan demikian semua pasal yang ada di dalam UUD 1945 harus terjiwai dengan semangat ini; • Sehubungan dengan kerugian secara in concreto , sebagai ahli tidak dapat melihat atau menjabarkannya. Artinya, kerugian moril atau imateriel dari pihak Pemohon, tetapi segala sesuatu yang bertentangan dengan semangat atau jiwa suatu Undang-Undang ataupun UUD sudah barang tentu merugikan dalam arti merugikan seluruh bangsa Indonesia. Misalnya kalau semangat di dalam UUD 1945 adalah ekonomi kerakyatan, tetapi dalam kenyataannya ekonomi liberal maka dengan sendirinya akan merugikan seluruh bangsa Indonesia; • Bertumpu pada statement saksi maka jika suatu benda negara dibebani dengan hak-hak keperdataan, menurut prinsip dalam publik domain adalah tidak diperkenankan karena merupakan suatu benda publik yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; • Menafsirkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terutama mengenai tanah harus dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960), sebab Undang-Undang tersebut adalah sebagai pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sehingga namanya seharusnya Undang- Undang Pokok Pertanahan bukan Undang-Undang Pokok Agraria, sebab kalau agraria maka termasuk pertambangan dan sebagainya; • Khusus mengenai tanah terdapat beberapa prinsip, pertama , hak menguasai negara ada di atas segala-galanya sehingga meskipun terdapat hak milik perorangan yang penuh, namun tetap dikuasai oleh negara. Kedua , semua benda termasuk tanah adalah berfungsi sosial ( vide Pasal 6 UU 5/1960), sehingga kepentingan umum atau kepentingan negara lebih diutamakan daripada kepentingan individu-individu; • Mengenai kemanfaatan, seharusnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, hasil dari penggunaan benda merupakan kepentingan umum yang bermanfaat bagi bangsa atau bagi negara; 59 • Kata kepentingan umum juga include manfaat, kegunaannya untuk bangsa ini, sehingga kalau SBSN akhirnya bermuara kepada APBN atau APBD, padahal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sumber keuangan negara di antaranya ada pajak dan sebagainya namun tidak ada kata-kata atau suatu ketentuan SBSN merupakan sumber pendapatan Negara. Bisa jadi masuk dalam pendapatan negara tetapi bukan suatu prinsip sehingga tidak dapat diandalkan sebagai suatu pendapatan yang pasti; • Kerugian dalam konteks ini adalah bukan kerugian perdata, karena peradilan Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan publik, sehingga masalah kerugian tidak seperti dalam perdata harus jelas moril, imateriel dan sebagainya. Kalau suatu hal yang bertentangan dengan semangat atau jiwa UUD maka merugikan seluruh bangsa, terutama untuk generasi penerus. Dengan demikian apabila kerugian dijelaskan secara rinci, menurut ahli, hal itu merupakan kerugian dalam privat recht ; Ahli Drs. Siswo Sujanto, DEA. • Melihat peran dan kewajiban negara terhadap warga negaranya didasarkan pada dalil atau landasan pemikiran baik filosofis, konsepsi teoritik maupun landasan konstitusional sebagai berikut:
Di dalam landasan filosofis, negara melindungi dan mensejahterakan seluruh rakyatnya. Oleh karena itu, negara harus memiliki sarana yang memadai dan terjamin agar tugas atau fungsi kewajibannya dapat terlaksana dengan baik;
Dalam konsep teoritik tentang negara, terlepas dari sistem ekonomi yang dianut suatu negara yaitu sistem kapitalis, yang merupakan perwujudan falsafah liberalisme yang mengutamakan kepentingan individu maupun sistem sosialis yang bersifat etatis dengan menyerahkan semua kekuasaan di bidang perekonomian di tangan Pemerintah, fungsi Pemerintah dalam menjamin terselenggaranya kebebasaan maupun kesejahteraan masyarakat adalah sangat penting. Dalam sistem perekonomian kapitalis yang memberikan kebebasaan kepada masyarakat untuk melakukan produksi, konsumsi dan distribusi diperlukan peran Pemerintah untuk melakukan pengaturan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk penyediaan barang-barang yang berupa kebutuhan dasar masyarakat yang 60 kemudian di kenal dengan istilah public goods. Kebutuhan dasar tersebut antara lain adalah perlindungan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, keadilan, pekerjaan umum. Sementara itu, dalam sistem perekonomian sosialis Pemerintah atau negara bersifat omnipoten , artinya fungsi Pemerintah atau negara, bukan hanya terbatas pada penyediaan barang- barang kebutuhan dasar melainkan juga kebutuhan lainnya yang sebenarnya dapat disediakan oleh masyarakat melalui mekanisme pasar;
Dalam pandangan yang lebih modern sebagaimana disampaikan oleh seorang ahli keuangan negara yaitu Richard Maskrid, fungsi Pemerintah melalui kebijakan anggaran belanja negara adalah menjamin keseimbangan dalam pengalokasian sumber daya, menjamin keseimbangan dalam pembagian pendapatan dan kekayaan dan menjamin terselenggaranya stabilitas ekonomi nasional;
Kalau memperhatikan sistem Pemerintahan Indonesia, peran dan fungsi negara sebagai dikemukakan dalam teori di atas, dengan jelas dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian secara rinci dituangkan dalam berbagai pasalnya yang merupakan suatu landasan konstitusional, antara lain menyatakan, “ kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”. Dengan demikian peran atau tugas Pemerintah Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Peran dan fungsi Pemerintah atau negara tersebut antara lain tercermin dalam Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 UUD 1945, termasuk setelah dilakukan perubahan;
Selanjutnya untuk merealisasikan peran dan fungsi Pemerintah sebagaimana diuraikan tersebut di atas, diperlukan adanya jaminan 61 sekurang-kurangnya dalam dua hal, yaitu Pemerintah selaku otoritas dan pemerintah sebagai individu. Khusus Pemerintah selaku otoritas, pertama , Pemerintah yang menjamin kepentingan masyarakat atau public interest harus memiliki kewenangan secara politik dan hukum untuk dapat menjamin terwujudnya peran dan fungsinya. Kedua , Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat harus memiliki jaminan bahwa asetnya yang merupakan instrumen untuk mendukung terwujudnya peran dan fungsi pemerintah tersebut selalu aman di tangannya dan tidak mendapat ancaman dari pihak lain; [3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil dan bukti-bukti yang diajukan Pemohon, Pemerintah telah memberikan keterangan tertulis, yang selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut: • Sebagai konsep ekonomi yang berbasis syariah, penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara mutlak harus menggunakan underlying transaction yang antara lain dapat berupa jual beli atau sewa menyewa atas “hak manfaat” BMN, jasa ( services ), pembangunan proyek atau objek pembiayaan lainnya. Penggunaan underlying transaction tersebut dimaksudkan agar terhindar dari adanya unsur-unsur (1) Riba , yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang ( money for money );
Maysir , yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan
Gharar , yaitu unsur ketidakpastian terkait dengan penyerahan, kualitas, dan kuantitas. __ • Barang Milik Negara (BMN) yang akan digunakan sebagai aset SBSN dapat berupa tanah dan/atau bangunan termasuk proyek yang akan atau sedang dibangun yang harus memiliki nilai ekonomis, dalam kondisi baik/layak, telah tercatat dalam Dokumen Penatausahaan BMN, bukan merupakan alat utama sistem persenjataan, tidak sedang dalam sengketa, dan tidak sedang digunakan sebagai aset SBSN dalam penerbitan yang lain. • Pembatasan penggunaan BMN yang dapat dijadikan sebagai underlying penerbitan SBSN menunjukkan bahwa Pemerintah sangat selektif dan sangat hati-hati dalam menggunakan BMN tersebut. Di samping itu telah diatur juga dalam UU SBSN, khususnya Pasal 9 ayat (1) bahwa penggunaan BMN 62 sebagai underlying penerbitan SBSN tersebut harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPR. • Penggunaan BMN sebagai aset SBSN dilakukan dengan cara Menteri Keuangan memindahtangankan hak manfaat atas BMN, sehingga pemindahtanganan BMN dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan BMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. • Pengertian hak manfaat di Indonesia baru dikenal setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Dalam UU SBSN tersebut, Hak Manfaat didefinisikan sebagai hak untuk memiliki dan mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu dilakukan pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut. Dengan kata lain, pada saat dilakukan jual beli atau sewa menyewa atas hak manfaat BMN untuk dijadikan aset SBSN maka tidak ada perpindahan hak kepemilikan ( legal title), sehingga kepemilikan atas BMN tersebut tetap berada pada Pemerintah. • Terdapat perbedaan konsep pemindahtanganan berdasarkan UU SBSN dengan UU Perbendaharaan Negara, dimana dalam hal penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN, UU SBSN merupakan lex specialist dari UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU SBSN bahwa: “ Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sifat _pemindahtanganan dimaksud, antara lain: _ (i) Penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang _Milik Negara; _ _(ii) Tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik Negara; _ dan (iii) Tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan .” • Penerbitan SBSN dilakukan dengan menggunakan struktur ijarah / sale and lease back , dimana Pemerintah wajib membeli kembali BMN yang telah dijual hak manfaatnya dan dijadikan sebagai aset SBSN, pada saat jatuh tempo atau 63 pada saat terjadi default ( in the event of default ). Dalam hal BMN yang akan digunakan sebagai aset SBSN sedang digunakan oleh Kementerian atau Lembaga selain Kementerian Keuangan, maka Menteri Keuangan terlebih dahulu memberitahukan kepada Kementerian atau Lembaga pengguna BMN dimaksud. Berdasarkan UU SBSN, Menteri Keuangan diberi kewenangan menggunakan BMN untuk dijadikan sebagai aset SBSN. Penggunaan BMN sebagai aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi pengguna BMN untuk tetap menggunakan BMN dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya, sehingga tanggung jawab untuk pengelolaan BMN ini tetap melekat pada instansi pengguna BMN sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. • Penggunaan BMN sebagai aset SBSN, oleh sebagian masyarakat sering dipahami sebagai jaminan ( collateral ) atau gadai. Pemahaman tersebut sangatlah tidak tepat. Secara hukum jaminan adalah perjanjian tambahan yang harus didahului dengan perjanjian utang piutang antara para pihak. Dimana dalam jaminan, salah satu pihak dapat menyita objek jaminan apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian para pihak, sehingga dalam jaminan ada hak salah satu pihak untuk melakukan penyitaan atas objek penjaminan. Hal ini berbeda dengan penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN yaitu bahwa BMN yang digunakan sebagai aset SBSN atau underlying asset bukanlah sebagai jaminan ( collateral ) atau gadai. Hal tersebut sangat jelas diatur dalam perjanjian antara Pemerintah dan Perusahaan Penerbit SBSN bahwa BMN yang dijadikan sebagai aset SBSN tetap berada dalam penguasaan Pemerintah, sehingga tidak akan terjadi peralihan hak kepemilikan ( legal title ) atas BMN tersebut. Hal ini didukung dalam salah satu dokumen hukum penerbitan SBSN, dimana Perusahaan Penerbit SBSN sebagai Wali Amanat memberikan pernyataan sepihak untuk menjual kembali aset SBSN hanya kepada Pemerintah dalam hal Pemerintah gagal bayar ( in the event of default ) atau pada saat SBSN jatuh tempo. Dari pihak Pemerintah, dibuat pula dokumen hukum dimana Pemerintah memberikan pernyataan sepihak untuk membeli kembali aset SBSN pada saat Perusahaan Penerbit menjual aset SBSN tersebut. • Rating Indonesia terkait dengan SBSN yang dikeluarkan oleh 3 (tiga) lembaga rating internasional adalah Moodys: Ba2, Standard & Poor: BB-, dan Fitch: 64 BB+, yang berarti bahwa posisi rating Indonesia hampir mencapai investment grade . Hal tersebut merepresentasikan adanya perbaikan pengelolaan keuangan publik dan fundamental ekonomi, penurunan rasio utang terhadap PDB, pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah kondisi krisis ekonomi global, dan pengelolaan APBN yang prudent dan kredibel; [3.12] Menimbang bahwa untuk menguatkan keterangannya, Pemerintah mengajukan tiga orang saksi, yaitu Drs. Triantoro, Ir. Hanawijaya, M.M., dan M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M., serta enam orang ahli yaitu K.H. Ma’ruf Amin, Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP., Gahet Ascobat, Farouk Abdullah Alwyni, Ir. Muhammad Syakir Sula, FIS., dan Ary Zulfikar, S.H., yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan, selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut: Saksi Drs. Triantoro • Dasar hukum SBSN adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan beberapa peraturan yang lainnya, termasuk juga Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 4/PMK-08/2009 tentang Pengelolaan SBSN yang berasal dari barang milik negara; • Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan telah menyampaikan pro notification penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset dalam penerbitan SBSN kepada 10 kementerian lembaga, termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-2 94/MK.6 2009 tanggal 2 Oktober 2009, dan selanjutnya Direktur Jenderal Keuangan Negara atas nama Menteri Keuangan telah menyampaikan notification penggunaan barang milik negara atau underlying asset, dalam penerbitan SBSN kepada 9 kementerian lembaga termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-19/MK 06/2010 tanggal 2 Februari 2010, antara lain menyatakan bahwa untuk penerbitan SBSN seri IFR 003 dan seri IFR 004 dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 22 KM 08 2009 dan Nomor 23 KMK 08/2009 tanggal 10 November 2009 telah ditetapkan barang milik negara pada 9 kementerian/lembaga termasuk Depdiknas menjadi underlying asset penerbitan SBSN. • Selama BMN dimaksud dipergunakan sebagai aset SBSN, pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara dimaksud, sesuai dengan penggunaan awalnya untuk pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, dan 65 tidak dapat melakukan pemindahtanganan kepemilikan atas BMN dimaksud kecuali dikarenakan ada perundang-undangan yang mengharuskan pemindahtanganan tersebut. Dengan demikian terkait dengan SBSN dapat disimpulkan:
Penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan pengalihan status kepemilikan dan atau status penggunaan atas barang milik negara tersebut maupun perubahan fungsinya;
Barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan permasalahan dari sisi akuntansi mengingat pemilikan milik negara tidak berpindah sehingga tetap tercantum dalam sistem informasi manajemen akuntansi barang kepemilikan negara atau SIMAK BMN atau neraca on balanced dari kementerian pendidikan nasional;
Kementerian Pendidikan Nasional selaku pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara yang dijadikan sebagai underlying asset untuk melaksanakan tugas dan fungsi kementerian pendidikan nasional; Saksi Ir. Hanawijaya, M.M. • Pertumbuhan instrumen sukuk __ dalam negeri yang dikeluarkan oleh perusahaan korporasi sangat lamban. Berdasarkan data olahan departemen keuangan pada tahun 2003, sukuk korporasi hanya berjumlah 6 buah atau senilai 740 milyar. Hingga Desember 2006, sukuk __ korporasi di Indonesia yang telah diterbitkan berjumlah 17 sukuk __ yang nilainya 2,2 triliun. Sampai 1 Desember 2007, total obligasi syariah dan medium term notes yang diterbitkan sudah mencapai 32 jenis. Di sisi lain, untuk menerbitkan sukuk negara, Pemerintah masih terganjal karena belum adanya regulasi yang mengatur ketentuan tersebut. Padahal sebagai instrumen berbasis syariah, sukuk jelas memiliki tipikal dan aturan yang berbeda dengan surat utang negara biasa. Sampai pada akhirnya diterbitkan UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN yang merupakan pedoman bagi terbitnya sukuk negara sekaligus sebagai instrumen mendorong tumbuhnya investasi bagi investor dan lembaga keuangan syariah; • Instrumen sukuk memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan instrumen keuangan syariah di Indonesia. Peran-peran tersebut adalah sebagai motor penggerak syariah di Indonesia. Dengan adanya instrumen sukuk membuat bank syariah lebih termotivasi untuk lebih mengembangkan secara 66 agresif tanpa khawatir terbatasnya instrumen untuk placement apabila terjadi ekses _fund; _ • Sukuk dapat juga sebagai pintu masuk yang efektif dalam mempercepat pertumbuhan aset bank syariah yaitu melalui penetrasi kepada masyarakat menengah ke atas yang selama ini menempatkan sebagian dananya melalui surat berharga bank-bank konvensional. Sukuk juga meningkatkan fee base income bagi Bank Syariah Mandiri, yaitu sebagai agen dari sukuk ritel mendapatkan fee base income sebesar 650 juta dan terakhir sebagai agen penerbit SR 002 mendapatkan fee base sebesar 495 juta rupiah; • Surat SBSN ritel atau sukuk negara ritel adalah salah satu investasi bagi investor atau instrumen pembiayaan APBN bagi pemerintah. Sama halnya dengan instrumen 001 dan 002 yang diterbitkan pada 2 Agustus 2008; • Sebagai investor lembaga keuangan syariah, Bank Syariah Mandiri menyadari bahwa underlying transaction yang dilakukan oleh Pemerintah tidak menyebabkan adanya perpindahan aset negara apabila terjadi Pemerintah gagal bayar; Saksi M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M. • Selaku praktisi pengajar keuangan syariah dan juga selaku investor individu dari sukuk negara yang selama ini mengharapkan adanya instrumen investasi yang dapat memberikan tidak hanya benefit di dunia tetapi juga insya Allah benefit di akhirat, minimal semacam peace of mind atau perasaan yang menenangkan pada saat kita berinvestasi pada instrumen investasi tersebut; • Keuntungan yang saksi peroleh dalam berinvestasi di sukuk negara khususnya sukuk ritel Republik Indonesia SR 001, antara lain imbal hasil yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah atau dalam hal ini imbal jasanya berdasarkan akad ijarah berdasarkan fatwa MUI Nomor 71 dan Nomor 72 dan juga telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 yaitu tentang Surat Berharga Syariah Negara; • Sukuk yang dikeluarkan oleh negara relatif aman, karena Republik Indonesia mempunyai reputasi sebagai pembayar utang yang sangat baik dan tidak mengalami default . Khusus untuk Sukuk Ritel Republik Indonesia imbal jasa yang saksi terima sebagai investor dapat diterima setiap bulan; 67 • Sukuk menjadi instrumen investasi yang sangat akuntabel karena dikeluarkan dengan underlying asset yang transparan sehingga dalam hal pengeluaran sukuk ini menjadi kredibel di mata investor. Sebagai investor, saksi sangat memahami bahwa yang dijadilan underlying dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara adalah berupa hak manfaat dari barang milik negara, sebagai investor saksi akan mendapatkan sejumlah imbalan yang berasal dari penyewaaan kembali hak manfaat aset SBSN kepada Pemerintah yang dituangkan dalam akad ijarah, dan saksi sangat yakin bahwa dana yang diinvestasikan kepada sukuk negara akan aman, bahkan dalam hal misalnya pemerintah gagal bayar atas SBSN yang dimiliki oleh investor maka berdasarkan Undang-Undang SBSN dana tersebut akan disediakan dalam APBN dan investor melalui perusahaan penerbit SBSN sebagai wali amanat atau wakil investor hanya akan menjual aset SBSN kepada Pemerintah sesuai dengan dokumen penerbitan pada saat sukuk negara jatuh tempo; • Keuntungan dan kemanfaatan yang ada di instrumen investasi sukuk negara seharusnya menjadi pendorong bagi masyarakat Republik Indonesia untuk lebih berkeinginan melakukan investasi bagi dirinya dan negaranya bukan justru mempermasalahkan keberadaan sukuk negara; Ahli KH. Ma’ruf Amin • Penerbitan sukuk negara sudah lama diinginkan dan dicita-citakan tetapi terkendala ketika itu belum adanya Undang-Undang yang menjadi landasan, yaitu Undang-Undang yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang ada serta sesuai dengan ketentuan syariah. Akhirnya para ahli hukum nasional dan para ahli syariah berijtihad untuk mewujudkannya dalam rangka membiayai APBN, kemudian lahirlah Undang-Undang SBSN yang di dalamnya tercapailah kesesuaian antara hukum negara dan hukum syariah. Menurut istilah Ahli, terdapat persesuaian syaara’an waqanunan . Hal tersebut merupakan satu prestasi di bidang hukum yang luar biasa; • Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia memberikan masukan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut dengan menunjuk tim untuk mendampingi. Dewan Syaraiah Nasional juga menunjuk tim untuk duduk dalam Komite Syariah SBSN dan Dewan Syariah Nasional juga mengeluarkan fatwa- fatwa berkenaan dengan SBSN, antara lain Fatwa Nomor 69 tentang surat berharga syariah negara, Fatwa Nomor 70 tentang metode penerbitan surat 68 berharga syariah negara, Fatwa Nomor 71 tentang sale and lease back , Fatwa Nomor 72 tentang surat berharga syariah negara ijarah, sale and lease back , dan setiap Pemerintah menerbitkan SBSN, Dewan Syariah Nasional membentuk tim dalam mendampingi Pemerintah dalam pembuatan skema dan perjanjian yang terkait dengan penerbitan SBSN; • Dewan Syariah Nasional juga memberikan pernyataan kesesuaian syariah untuk setiap emisi SBSN, untuk memberikan pernyataan ini Dewan Syariah Nasional MUI me review ulang atas sebuah skema dan perjanjian yang telah dipandang final, yaitu melalui akad-akad dalam penerbitan SBSN, dimana barang milik negara tidak akan beralih secara fisik karena yang beralih adalah hak manfaatnya saja itupun hanya bersifat sementara karena hak manfaat yang beralih tersebut akan kembali kepada Pemerintah ketika SBSN jatuh tempo. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk adanya kekhawatiran hilangnya atau lepasnya barang milik negara melalui SBSN; Ahli Ir. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP. • Secara umum sukuk yang ada di dunia dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama, adalah sukuk yang berbasis aset riil atau disebut asset base sukuk. Kedua, adalah sukuk yang melekat pada dan dijaminkan oleh asset riel yang disebut sebagai asset back sukuk. • Asset base sukuk/ asset riel hanya digunakan untuk membuat struktur transaksi agar sesuai dengan prinsip syariah. Dalam prinsip syariah, setiap transaksi harus memenuhi tiga rukun, yaitu pertama adanya para pihak, kedua, adanya objek transaksi, dalam bahasa Arab disebut ma’kud alaih atau dalam bahasa Inggris disebut underlying asset, juga harga objek dari transaksi tersebut. Ketiga, adanya kesepakatan. Oleh karenanya aset riil yang dijadikan dasar penerbitan sukuk biasanya tidak dijadikan sumber pembayaran dan tidak dijaminkan untuk pembayarannya. Secara lebih formal sukuk didefinisikan sebagai an investment sukuk is a certificate of equal value representing shares in ownership of tangible asset usufruct and services or in the ownership of the asset of particular project or special investment activity. Sedangkan untuk jenis sukuk yang kedua yang disebut sebagai asset back sukuk adalah aset riil yang dipisahkan kepemilikannya kepada special purpose vehicle juga dijadikan sumber pembayaran dan dijaminkan untuk pembayarannya. Perbedaan ini secara teoritis memberikan tingkat risiko yang berbeda. Secara lebih formal 69 asset backed securities didefinisikan sebagai an asset backed security is a security who’s value and income payments are derived from and collateralised or backed by a specified full of underlying asset . • Dilihat dari sisi risiko investor pada jenis sukuk yang pertama yaitu asset base sukuk sebenarnya mempunyai tingkat risiko yang sama dengan memberikan uang tanpa jaminan aset riil atau disebut sebagai unsecured . Sedangkan investor pada jenis sukuk yang kedua yaitu asset back sukuk mempunyai jaminan atau disebut secured berupa aset riil yang dipisahkan kepemilikannya walaupun di beberapa negara jaminan itu berarti hak tagih atas aset riil bukan hak kepemilikan penuh atas aset riil itu sendiri. Sukuk yang diterbitkan oleh korporasi kadang berupa asset base sukuk dan kadang berupa asset back sukuk . Sedangkan sukuk yang diterbitkan oleh negara sampai saat ini biasanya berupa asset base sukuk . Ahli Gahet Ascobat • Dari sisi pasar sukuk global menunjukkan perkembangan cukup signifikan dimulai tahun 2002 pada saat Pemerintah Malaysia pertama kali menerbitkan sukuk global dalam mata uang US dollar dan mencapai puncaknya pada tahun 2007, karena krisis keuangan global pada tahun 2008 mengalami penurunan, dan kemudian pada tahun 2009 mengalami peningkatan lagi yang disebabkan penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Indonesia selaku pioneer pada tahun 2009. Dengan berpartisipasinya pemerintah dalam menerbitkan SBSN di tahun 2008 dan tahun 2009 maka industri ini mendapatkan suplai atau persediaan instrumen syariah yang sangat dinanti-nanti oleh pelaku pasar; • Beberapa transaksi sukuk yang telah dilakukan di pasar internasional oleh pemerintahan, antara lain Pemerintah Malaysia, Qatar, Dubai, Indonesia, dan Bahrain pada tahun 2009 terjadi kelebihan permintaan cukup besar dan cukup signifikan, yaitu transaksi untuk Pemerintah Indonesia secara global mengalami kelebihan permintaan sebesar tujuh kali lipat. Penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Bahrain juga mengalami kelebihan permintaan sebanyak lima kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi investor syariah secara global, permintaan dan kebutuhan atas instrumen ini memang sangat besar dan instrumen ini juga sangat langka tersedia di pasar; • Di Indonesia dilihat dari sisi penerbitan sukuk mengalami peningkatan dan untuk memenuhi kebutuhan investor yang semakin meningkat pemerintah 70 sudah memberi supply sedemikian besar dan berhasil diserap oleh pelaku pasar dan investor di Indonesia; • Seluruh transaksi sukuk secara global yang dilakukan oleh pemerintahan di dunia selain di Indonesia, yaitu Malaysia, negara bagian di Jerman, Dubai, dan Pakistan telah melakukan penerbitan sukuk secara global dengan berdasarkan struktur ijarah atau berdasarkan sewa menyewa atas suatu aset, yang merupakan struktur yang mirip dengan yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia dalam penerbitan SBSN; • Dalam perkembangan pasar dan perkembangan regulasi, tidak hanya yang dialami dan dijalankan oleh Pemerintah Indonesia dan negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Mesir, Turki, Kazakhstan, Uni Emirat Arab, dan Pakistan mengembangkan peraturan-peraturan yang akomodatif untuk penerbitan sukuk baik oleh pemerintahan maupun oleh korporasi tetapi di luar negara-negara mayoritas berpenduduk muslim seperti Inggris, Perancis, kemudian Hongkong, Korea, dan Jepang telah atau sedang menyusun perundang-undangan atau perangkat regulasi untuk memfasilitasi kemungkinan pemerintahan atau koperasi di negara masing-masing tersebut untuk dapat menerbitkan instrumen berbasis syariah atau sukuk yang menggunakan atau memerlukan _underlying asset; _ • Transaksi sukuk oleh Pemerintah Indonesia baik dalam mata uang rupiah maupun US dolar sangat sukses dan mengalami kelebihan permintaan, hal ini menunjukkan transaksi tersebut sangat sukses dan diminati oleh investor. Salah satu kunci suksesnya transaksi tersebut adalah karena struktur yang diterapkan adalah struktur yang diterima secara luas dan merupakan market best practice yang telah dilakukan oleh penerbit-penerbit lainnya sebelum Pemerintah Indonesia, adalah sebagai berikut:
Pemerintah mengalihkan hak manfaat atas beberapa kantor pemerintahan selaku aset sukuk kepada suatau perusahaan penerbit yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, tidak dimiliki oleh investor asing.
Pemerintah tetap menggunakan aset-aset sukuk tersebut seperti sedia kala tidak ada disruption, tidak ada perubahan karena aset itu langsung disewakan penerbit kepada Pemerintah sejak hari pertama transaksi dilangsungkan dan hal tersebut berlangsung terus sampai dengan sukuk tersebut jatuh tempo. 71 c. Sertifikat kepemilikan atau barang-barang milik negara tersebut tidak berpindah dari Pemerintah dan tidak berpindah ke tangan investor asing dalam kasus ini. Pada saat jatuh tempo atau dalam hal terjadi gagal bayar atau wanprestasi di pihak Pemerintah aset sukuk pun hanya dapat dijual kembali oleh investor atau perusahaan penerbit kepada Pemerintah Indonesia, sehingga tidak ada kondisi hak manfaatnya hilang atau kepemilikannya hilang berpindah dari tangan Pemerintah.
Pada saat penerbitan, sukuk global mendapat credit rating agency sebagai instrumen yang merefleksikan sebagai risiko kredit dan rating Pemerintah yaitu BA3 berdasarkan analisa Moody’s, BB- menurut standar S&P, dan BB menurut Fitch, hal tersebut sama seperti rating Pemerintah Indonesia pada saat itu; • Apabila terjadi dissolution event atau gagal bayar atau interrupted default dalam keempat transaksi pada saat jatuh tempo maka akan langsung dijual kembali kepada pemerintah negara masing-masing yaitu kepada Malaysia, Qatar, Pakistan, dan Indonesia karena feature tersebut tidak ada objek jaminan dan keempat transaksi ini adalah transaksi yang _unsecured; _ Ahli Farouk Abdullah Alwyni • Ahli melihat dari sisi peranan sukuk negara dalam kaitannya dengan potensi untuk menarik investasi, khususnya investasi dari negara Timur Tengah, karena kebanyakan investor dari Timur Tengah adalah mereka yang mempunyai investasi dalam bentuk financial capital , sehingga investasinya mengarah kepada surat-surat berharga. Dengan mulai berkembangnya sistem keuangan Islam maka mulai terjadi diversifikasi penempatan dana bukan hanya di pasar tradisional Eropa dan Amerika Serikat tetapi juga di negara-negara mereka sendiri dan terakhir di Malaysia yang cukup aktif untuk mencoba memposisikan diri menjadi alternative financial destination , alternative investment destination bagi negara-negara dari teluk tersebut. • Indonesia sebagai negara yang sedang membangun dan memerlukan pendanaan yang besar, perlu juga melihat potensi ini, terlebih lagi Indonesia negara muslim yang terbesar di dunia. Mengeluarkan sukuk merupakan satu usaha penting dalam rangka menarik investor Timur Tengah khususnya Negara-negara Teluk. Terlebih lagi model investasi dari Negara-negara Teluk umumnya adalah untuk financial capital atau investasi di pasar modal atau 72 pasar uang. Sukuk global Indonesia pertama senilai USD 650.000.000, dikeluarkan pada tahun 2009 sekitar 70%-nya diambil oleh Investor Timur Tengah, sehingga terlihat bahwa upaya yang dilakukan telah membuahkan hasil; • Ke depan sukuk negara merupakan satu strategi untuk lebih menarik capital ke dalam negeri. Preferensi investor Timur Tengah yang untuk sekarang ini lebih comfortable berhubungan dengan negara atau Badan Usaha Milik Negara dalam hubungan bisnis dengan Indonesia, membuat suatu negara menjadi suatu instrumen efektif untuk menarik dana mereka ke Indonesia. Perkembangan pasar uang dan pasar modal syariah juga menjadi satu faktor penting dalam menarik investasi portofolio dari negara-negara Teluk. Di samping itu, pada akhirnya negara bukan hanya berpotensi menarik investor Timur Tengah, tetapi juga investor-investor lain seperti Amerika dan Eropa yang pada kenyataanya menyumbang sekitar 30% dari pembeli sukuk global yang dikeluarkan di Indonesia; • Sukuk pada hakikatnya dapat menjadi instrumen penarik investasi yang lebih luas dari conventional bond mengingat pasar sukuk tidak terbatas dari investor syariah tetapi juga investor konvensional karena sukuk bisa dibeli oleh conventional investors dan syariah investors tetapi conventional bond terbatas pada conventional investors , jadi mengeluarkan sukuk mempunyai benefit yang berganda; • Menurut ahli, dapat disimpulkan bahwa sukuk negara mempunyai peranan penting, yaitu pertama , dalam menarik financial capital dari luar negeri umumnya dan negara-negara Timur Tengah khususnya dalam rangka membiayai program pembangunan negara, dan kedua dalam rangka pengembangan perbankan syariah melalui mekanisme peningkatan likuiditas pasar uang syariah; Ahli Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ., FIIS. • Menurut data statistik Desember 2008, masyarakat Indonesia yang 88,22% penduduknya adalah muslim tentu membutuhkan instrumen bisnis dan produk- produk halal yang sesuai dengan syariah, karena itu menjadi kewajiban Pemerintah memberikan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat muslim tersebut. Saat ini hampir semua lembaga keuangan syariah sudah ada di Indonesia, mulai dari perbankan, asuransi, reksadana, obligasi, 73 corporate , sukuk, saham syariah, penjaminan syariah, pegadaian syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah sudah ada di Indonesia; • Peran sukuk terhadap lembaga keuangan syariah adalah sebagai pendorong untuk mempercepat proses market share yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Sebagai instrumen investasi maupun sebagai fee base income, sukuk negara diperlukan untuk instrument portofolio investasi. Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut yang sangat dibutuhkan masyarakat tentu akan sangat lambat kalau tidak didorong oleh instrumen- instrumen investasi seperti sukuk; • Lembaga keuangan syariah sudah merupakan instrumen global, bahkan negara-negara lain sudah begitu banyak menggunakan konsep syariah seperti Singapura, sedangkan Inggris dan Hongkong ingin menjadi pemilik ekonomi syariah. Oleh karena itu, seharusnya Indonesia menjadi negara yang terdepan di dalam mengembangkan konsep ekonomi syariah; Ahli Ary Zulfikar, S.H. • Penjualan dan/atau penyewaan atas aset SBSN hanya hak atas manfaat tidak ada pemindahan hak milik ( legal title ) dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga tidak mengganggu fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah. • Aset SBSN berupa BMN bukan merupakan objek jaminan kebendaan atau collateral k arena bentuknya bukan perjanjian utang piutang. • Pemegang pemilik SBSN atau investor tidak mempunyai hak eksekusi atas BMN karena tidak mempunyai hak jaminan kebendaan atas BMN, sehingga dalam hal terjadi default tidak akan mempengaruhi status BMN serta mengganggu fungsi penyelenggaraan pemerintahan terkait dengan BMN tersebut. • Struktur skema sukuk adalah dalam bentuk jual beli atas hak manfaat dengan undertaking untuk menjual atau membeli kembali atas hak manfaat BMN antara Pemerintah dengan perusahaan penerbit SBSN Indonesia; [3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil dan bukti-bukti yang diajukan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memberikan keterangan tertulis, yang selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, pada pokoknya sebagai berikut: 74 • Konsep keuangan Islam (Islamic finance) secara bertahap mulai diterapkan oleh beberapa negara di kawasan Timur Tengah pada periode tahun 1960-an, yang terus berkembang dan diadopsi tidak hanya oleh negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, melainkan juga oleh berbagai negara di kawasan Asia dan Eropa. Untuk mendukung perkembangan keuangan Islam tersebut telah didirikan berbagai lembaga keuangan syariah dan diterbitkan berbagai instrumen keuangan berbasis syariah. Selain itu juga telah dibentuk lembaga internasional untuk merumuskan infrastruktur sistem keuangan Islam, yaitu International Islamic Financial Market (IIFM), Islamic Financial Services Board (IFSB), Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), dan telah pula didirikan lembaga rating Islam. • Konsep keuangan Islam didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan, karena itu instrumen keuangan Islam senantiasa selaras dan memenuhi prinsip-prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak bersifat adil, halal, thayyib , dan maslahat . Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur:
Riba yaitu unsur bunga;
Maysir yaitu unsur spekulasi;
Gharar yaitu unsur ketidakpastian. Karakteristik lain dari instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung (underlying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi keuangan konvensional pada umumnya. • Secara filosofis pengembangan instrumen yang berbasis syariah perlu segera dilaksanakan selain untuk mendukung pemanfaatan aset negara secara efisien dan untuk mendorong terciptanya sistem keuangan yang berbasis di dalam negeri, juga untuk memperkuat basis sumber pembiayaan anggaran negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah, atau dikenal secara internasional dengan istilah Sukuk. Instrumen keuangan ini pada prinsipnya sama seperti surat berharga konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) atas sejumlah tertentu aset sebesar nilai nominal Sukuk yang diterbitkan dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-pinsip syariah. Aset yang 75 dapat digunakan di dalam transaksi tersebut merupakan barang milik negara (BMN). • Secara sosiologis pembiayaan keuangan negara melalui penerbitan surat berharga oleh pemerintah berupa Sukuk negara mempunyai implikasi yang luas terhadap pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi, antara lain melalui penciptaan good governance di sektor publik. Dalam hal ini perdagangan Sukuk di pasar keuangan syariah akan memfasilitasi terselenggaranya pengawasan secara langsung oleh publik atas kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan. • Secara yuridis, instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan instrumen keuangan konvensional, sehingga perlu pengelolaan dan pengaturan secara khusus, baik yang menyangkut instrumen maupun perangkat hukum yang diperlukan untuk mengatur Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). • Terkait dengan dalil Pemohon yang mengaitkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara khususnya Pasal 49 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 50 huruf d, DPR berpandangan bahwa perlu adanya pemahaman tentang kepemilikan atas hak manfaat (beneficial ownership) dan kepemilikan hukum (legal ownership) atas suatu aset yang dikenal dalam konsep trust. Hal tersebut mengingat pemindahtanganan barang milik negara (BMN) dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan proses pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. • UU SBSN sudah mengantisipasi apabila terjadi peristiwa default sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang a quo yang memberikan kewenangan kepada Menteri selaku Pemerintah untuk membeli kembali aset SBSN, membatalkan akad sewa, dan mengakhiri akad penerbitan SBSN lainnya pada saat SBSN jatuh tempo; [3.14] Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 Februari 2010, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; 76 Pendapat Mahkamah [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil Pemohon beserta alat bukti surat/tulisan (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-9), keterangan para ahli dari Pemohon, keterangan tertulis Pemerintah, keterangan para saksi dan para ahli dari Pemerintah, keterangan tertulis DPR, serta kesimpulan tertulis dari Pemohon, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan pasal yang dimohonkan pengujian in casu Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 UU 19/2008 menghilangkan hak konstitusional Pemohon yang ditentukan dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, karena dengan berlakunya kedua pasal Undang-Undang a quo , nyata terlihat bahwa kerugian yang dialami oleh Pemohon secara konstitusional merujuk pada potensi kerugian, yaitu apabila dalam jangka waktu dijaminkannya aset SBSN berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan oleh Pemerintah kepada pihak tertentu gagal bayar ( default ), berarti objek tersebut akan dikuasai oleh pihak ketiga (pemegang gadai) objek jaminan Pemerintah. Dengan beralihnya objek jaminan tersebut, pada saat itulah timbul kerugian yang nyata bagi Pemohon karena tidak dapat lagi memanfaatkan fasilitas umum berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan tersebut. Alasan bahwa kerugian yaitu tidak dapat lagi memanfaatkan fasilitas umum berupa tanah, dan lain-lain, tidak tepat menurut hukum karena tidak terjadi peralihan hak atas aset yang dijaminkan. Eksistensi dan penerapan Undang-Undang a quo justru memberi manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan termasuk Pemohon, terutama karena menjadi salah satu sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); Bahwa lagi pula penggunaan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai batu uji, menurut Mahkamah adalah tidak tepat menurut hukum karena Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 adalah jaminan konstitusional terhadap mereka yang mengalami peminggiran, ketertinggalan, pengucilan, pembatasan, pembedaan, kesenjangan partisipasi dalam politik dan kehidupan publik yang bersumber dari ketimpangan struktural dan sosial-kultural masyarakat secara terus menerus (diskriminasi), baik formal maupun informal, dalam lingkup publik maupun privat atau yang dikenal dengan affirmative action, sehingga 77 diperlukan tindakan khusus sementara dengan tujuan membuka peluang dan kesempatan bagi mereka agar dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan publik secara adil dan seimbang; Tindakan afirmatif mengacu pada kebijakan yang berkenaan dengan ras, etnis, cacat fisik, karir militer, gender , orang-orang tua, atau kelas sosial menjadi pertimbangan dalam upaya untuk mempromosikan kesempatan yang sama atau meningkatkan kemampuan kelompok yang tertinggal atau yang kurang diuntungkan untuk mencapai keadilan. Oleh karena itu, tindakan khusus sementara ( affirmative action) bukanlah sebagai bentuk diskriminasi, melainkan suatu koreksi, asistensi, dan kompensasi terhadap perlakuan diskriminatif dan tidak adil yang dialami warga negara tertentu, dengan maksud untuk mempercepat tercapainya persamaan “ de facto ” antara dirinya dengan warga negara yang lain. Tindakan khusus ini bersifat sementara, untuk mempercepat tercapainya kesetaraan substantif. Artinya, apabila sudah terjadi kesetaraan, maka tindakan khusus sementara ( affirmative action) harus dihentikan; Terkait dengan kerugian yang didalilkan Pemohon bahwa sebagai perorangan warga negara kehilangan hak konstitusionalnya atas tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan sebagai akibat diterbitkannya SBSN, tidak terdapat hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian yang didalilkan dengan pasal yang dimohonkan pengujian, karena pasal yang dimohonkan pengujian hanya berupa pengaturan penggunaan Barang Milik Negara dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara yang merupakan pilihan kebijakan yang bersifat terbuka ( opened legal policy ) dalam rangka pengelolaan keuangan negara untuk meningkatkan daya dukung APBN dengan menggunakan instrumen keuangan berbasis syariah yang oleh pembentuk Undang-Undang dipandang memiliki peluang besar yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk membiayai pembangunan nasional ( vide konsideran menimbang huruf b UU 19/2008); Dengan demikian, terhadap konstruksi hukum para Pemohon bahwa telah terjadi kerugian konstitusional dengan dasar Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai batu ujinya, menurut Mahkamah adalah tidak berdasar dan tidak beralasan hukum; 78 2. Bahwa oleh karena pengaturan penggunaan Barang Milik Negara dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara dipandang sebagai pilihan kebijakan yang bersifat terbuka ( opened legal policy ) dari pembentuk Undang- Undang maka mutatis mutandis pertimbangan Mahkamah juga berlaku terhadap dalil Pemohon yang menyatakan pasal yang dimohonkan pengujian justru memberikan kewenangan kepada Menteri untuk menjual atau menyewakan hak manfaatnya atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN;
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Barang Milik Negara sebagai dasar penerbitan SBSN termasuk publik domain yang diperuntukkan bagi kepentingan umum sehingga tidak dapat dijadikan objek perdagangan, menurut Mahkamah, dalil tersebut tidak benar karena BMN bukan dijadikan objek perdagangan melainkan hanya dijadikan objek tanggungan yang berupa hak mendapatkan manfaat. BMN sebagai dasar penerbitan SBSN ( underlying asset ) bukan merupakan jaminan ( collateral ) yang dapat dipindahtangankan, sedangkan yang dapat dipindahtangankan hanya SBSN-nya saja. Undang- Undang a quo memiliki kekhususan antara lain dalam hal sifat pemindahtanganannya berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU 19/2008 yang menyatakan, “Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sifat pemindahtanganan dimaksud, antara lain: (i) penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara; (ii) tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) __ Barang Milik Negara; dan (iii) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan ”;
Pasal 49 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan, “Barang Milik Negara/Daerah dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada Pemerintah Pusat/Daerah,” dan ayat (5) menyatakan, “Barang Milik Negara/Daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman”. Kedua ayat tersebut berbeda objeknya dengan BMN sebagai dasar penerbitan SBSN ( underlying asset ) sebab menurut Pasal 12 UU 19/2008 79 apabila sudah jatuh tempo Pemerintah wajib membeli kembali bahkan dapat membatalkan akad sewa secara sepihak dengan membayar nilai nominal SBSN kepada pemegang SBSN, sehingga tidak akan terjadi pemindahan atau penyerahan BMN. Adapun Pasal 12 ayat (1) UU 19/2008 tersebut menyatakan, “Menteri wajib membeli kembali Aset SBSN, membatalkan Akad sewa, dan mengakhiri Akad penerbitan SBSN lainnya pada saat SBSN jatuh tempo” , sedangkan Pasal 12 ayat (2) UU 19/2008 menyatakan, “Dalam rangka pembelian kembali Aset SBSN, pembatalan Akad sewa dan pengakhiran Akad penerbitan SBSN lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri membayar nilai nominal SBSN atau kewajiban pembayaran lain sesuai Akad penerbitan SBSN kepada pemegang SBSN” ;
Bahwa sehubungan dengan dalil Pemohon yang menyatakan tidak dapat memanfaatkan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan karena dijadikan aset SBSN, menurut Mahkamah dalil tersebut adalah tidak tepat, karena Pemohon bukan selaku instansi pengguna barang milik negara, melainkan sebagai penyewa dari barang milik negara yang digunakan oleh instansi pengguna . Apabila Pemohon sebagai instansi Pemerintah selaku pengguna barang milik negara maka Pemohon tetap dapat menggunakan barang milik negara tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (3) UU 19/2008 yang menyatakan, “ Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi pengguna Barang Milik Negara untuk tetap menggunakan Barang Milik Negara dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya ...”. Jika yang dimaksud pemanfaatan barang tersebut adalah sebagai penyewa, maka penyewa tidak kehilangan haknya apabila BMN tersebut dijadikan underlying asset atas penerbitan SBSN;
Bahwa selain daripada itu, terkait dengan barang milik negara yang dijadikan aset SBSN, UU 19/2008 telah mengaturnya secara ketat dan rinci, sebagaimana termuat dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 9, yang menyatakan: “ Pasal 6 (1) Penerbitan SBSN dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. 80 (2) SBSN yang dapat diterbitkan baik oleh Pemerintah maupun Perusahaan Penerbit SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah semua jenis SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (3) Penerbitan SBSN yang dilakukan melalui Perusahaan Penerbit SBSN ditetapkan oleh Menteri. Pasal 7 (1) Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia. (2) Khusus untuk penerbitan SBSN dalam rangka pembiayaan proyek, Menteri berkoordinasi dengan menteri yang bertanggung jawab di bidang perencanaan pembangunan nasional. Pasal 8 (1) Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. (2) Menteri berwenang menetapkan komposisi Surat Berharga Negara dalam rupiah maupun valuta asing, serta menetapkan komposisi Surat Berharga Negara dalam bentuk Surat Utang Negara maupun SBSN dan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin penerbitan Surat Berharga Negara secara hati-hati. (3) Dalam hal-hal tertentu, SBSN dapat diterbitkan melebihi Nilai Bersih Maksimal yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang selanjutnya dilaporkan sebagai Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran tahun yang bersangkutan. Pasal 9 (1) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) termasuk pembayaran semua kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal yang timbul sebagai akibat penerbitan SBSN dimaksud serta Barang Milik Negara yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN. 81 (2) Pemerintah wajib membayar Imbalan dan Nilai Nominal setiap SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun Perusahaan Penerbit SBSN, sesuai dengan ketentuan dalam Akad penerbitan SBSN. (3) Dana untuk membayar Imbalan dan Nilai Nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut. (4) Dalam hal pembayaran kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal dimaksud melebihi perkiraan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (5) Semua kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan _ayat (4) dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan”; _ [3.16] Menimbang bahwa Mahkamah sependapat dengan keterangan enam orang ahli dari Pemerintah, masing-masing KH Ma’ruf Amin, H. Adiwarman A Karim, Gahet Ascobat, Farouk Abdullah Alwyni, Muhammad Syakir Sula, dan Ary Zulfikar, bahwa pada pokoknya SBSN tidak merugikan negara tetapi justru menguntungkan negara khususnya dalam membiayai APBN, dan barang milik negara yang dijadikan underlying asset tetap dapat digunakan oleh instansi yang bersangkutan karena hanya hak atas manfaat yang dijadikan underlying asset , tidak ada pemindahan hak milik ( legal title) dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga tidak mengganggu fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pandangan dan pendapat hukum Mahkamah sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.15] dan paragraf [3.16] di atas, menurut Mahkamah, tidak terdapat pertentangan antara norma Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU 19/2008 dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Selain itu, dari fakta persidangan telah terungkap tidak terdapat adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan pasal dari Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, Mahkamah menilai Pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalil permohonannya, sehingga permohonan Pemohon harus dikesampingkan; 82 4. KONKLUSI Berdasarkan pertimbangan atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing) untuk mengajukan permohonan _a quo; _ [4.3] Pokok permohonan tidak beralasan hukum; __ Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316); 5 . AMAR PUTUSAN Mengadili Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Senin tanggal tiga bulan Mei tahun dua ribu sepuluh dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari ini, Jumat tanggal tujuh bulan Mei tahun dua ribu sepuluh oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Arsyad Sanusi, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva masing- masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera 83 Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasa, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Moh. Mahfud MD. ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. td Achmad Sodiki ttd. M. Arsyad Sanusi ttd. M. Akil Mochtar ttd. Maria Farida Indrati ttd. Harjono ttd. Muhammad Alim ttd. Ahmad Fadlil Sumadi ttd. Hamdan Zoelva PANITERA PENGGANTI ttd. Cholidin Nasir