Pengujian UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945
Relevan terhadap
(Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugasnya). Pasal 48 (Anggota Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya kecuali karena yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, atau berhalangan) dimaksudkan untuk memperkukuh Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 di atas. Ketika saya membaca Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 48 UU Nomor 23 Tahun 1999 itu, instinct saya mendorong saya untuk berkesimpulan negatif: "Ini negara di dalam negara!" Hal ini berdasar keraguan saya tentang bagaimana mungkin bisa menjadi sangat ekslusif, bahwa Bank Indonesia sekaligus menetapkan dan melaksanakan kebijaksaan moneter (secara independen). Ibaratnya pemerintah menjadi terbungkam, disisihkan peran aktifhya untuk mengatur kebijaksanaan ekonomi yang pasti selalu mengandung kebijaksanaan moneter sebagai derivatnya. Entah dari mana datangnya naskah Undang-Undang Bank Indonesia semacam itu. Pernah diberitakan naskah itu datang dari Jerman yang berhaluan Bundesbank. Kalau benar demikian memang tak mengherankan terasa benar adanya semacam "kediktatoran" ala Jerman. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 Dari pengantar di atas tentulah menjadi lumrah bahwa saat ini telah terjadi "kerunyaman" ( absurdity ) dalam hubungan antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Kemelut besar yang saat ini melanda Bank Indonesia tak terlepas dari kedudukan independensinya yang tidak dapat diterima, baik oleh pemerintah maupun oleh sebagian masyarakat yang tidak menghendaki adanya dualisme soverenitas. Tentu kemelut besar di Bank Indonesia itu terjadi pula karena alasan intern. Kemelut semacam ini telah menjelaskan sendiri ( self-explanatory ), bahwa sebenamya Bank Indonesia telah gagal melaksanakan peran dan tugasnya secara optimal sebagaimana ditentukan oleh Penjelasan Pasal 23 UUD 1945, dan Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 23 Tahun 1999. Bank Indonesia terbukti tidak mampu memelihara kestabilan nilai rupiah, tidak mampu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter secara tepat. Mengatur dan menjaga kelancaran sistim pembayaran pun tidak jelas arah dan ujudnya. Lebih dari itu Bank Indonesia jelas telah gagal dalam mengatur dan mengawasi bank-bank. Perbankan Indonesia menjadi berantakan dan terpuruk seperti yang kita lihat saat ini tidak terlepas dari tidak efektifnya pengawasan Bank Indonesia. Undang-Undang tentang Bank Indonesia ini sudah berlaku satu setengah tahun, lebih tua dari usia pemerintahan Gus Dur, namun tidak ada tanda-tanda akan bisa efektif. Untuk sedikit lebih bersahabat dalam menanggapi independensi Bank Indonesia sebagaimana ditetapkan oleh UU Nomor 23 Tahun 1999, dapatlah kiranya dikemukakan sebagai berikut ini. Keinginan untuk memberikan kedudukan independensi kepada Bank Indonesia tentulah tidak terlepas dari pengalaman sejarah, betapapun pendek sejarah ini. Memang pemerintahan Orde Baru yang totalitarian telah menyalahgunakan kekuasaannya dan menjadikan Bank Indonesia sebagai suatu alat kekuasaan rezim. Bank Indonesia tidak lagi menjadi suatu lembaga terhormat untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya yang mulia demi kemaslahatan bangsa dan negara, tetapi telah menjadi alat kekuasaan bagi para penguasa negara. Jadi independensi bank dimaksudkan untuk menghindari dapat terjadinya campur tangan kotor dari pemerintahan yang tidak bersih, yang penuh dengan pelanggaran dan penyalah-gunaan kekuasaan. Dari sinilah lahir citacita independensi untuk bank sentral itu dan sekaligus melebar ke tingkat ekstrimitasnya, sehingga mengabaikan posisi sub-ordinasi terhadap pemeritahan negara. Sampai-sampai secara eksplisit tersurat ketentuan yang menetapkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 bahwa "pihak lain dilarang melakukan segala macam campur tangan" dan juga bahwa "Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun ". Ini yang absurd sekali ! Di dalam independensi ini tersurat dan tersirat kuat adanya sikap apriori bahwa setiap pemerintah (pemerintahan negara) pastilah akan selalu kotor, akan selalu menyeleng dan menyalahgunakan kekuasaan serta korup. Seolah-olah tidak pernah terbayangkan bahwa suatu pemerintahan dapat pula akan baik, bersih dan berwibawa, sebagaimana reformasi mencita-citakannya. Sebaliknya, independensi itu dilandasi oleh suatu pandangan apriori menyakini bahwa bank sentral kita pastilah akan merupakan suatu lembaga yang tangguh, bersih, bebas dari penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaannya, serba baik, dan terhormat, patut diseganai dan profesional dan seterusnya, Andaikata demikian ini yang digambarkan tentang Bank Indonesia, dengan segala kepatutannya untuk menyandang independensi, maka kita tidak perlu terperanjat melihat kenyataan semrawut yang ada, yang pasti akan menjadi bahan tertawaan. Bank Indonesia telah kebobolan, kecolongan, telah menjadi "sarang penyamun" sebagaimana Anwar Nasution pernah menggambarkannya. Dengan independensinya itu, pimpinan Bank Indonesia bahkan cenderung arogan. Independensi Bank Indonesia terkesan telah menumbuhkan semacam superiority complex dan sekaligus mendorong pimpinan Bank Indonesia lebih berani ngawur dalam membuat pemyataan-pemyataan kebijaksanaan yang sebenamya memerlukan kedalaman pemikiran (misalnya saja mengenai pasar-bebas, spekulasi dan intervensi) belum lama ini. Dengan mutu profesionalisme dan kepemimpinan semacam itu independensi Bank Indonesia dapat saja berubah menjadi malapetaka nasional. Patut diragukan, mampukah Bank Indonesia membendung krisis moneter yang saat ini masih terus mengintai Indonesia. Ibaratnya Bank Indonesia, ataupun pihak-pihak yang menghendaki independensi Bank Indonesia, telah menuding kebobrokan pemerintah, tanpa mampu mawas diri bahwa Bank Indonesia sebenamya sedang menjadi tudingan masyarakat. Mengenai Presiden Abdurrahman Wahid dan gaya kepemimpinannya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang "otoritarian". Dengan mudah dapat dipahami bahwa Presiden Abdurrahman Wahid pasti akan "berselisih" dengan Bank Indonesia berkaitan dengan independensi Bank Indonesia semacam itu. Memang untuk alasan apapun, tentu diharapkan alasan yang baik (reformasi), Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 independensi Bank Indonesia macam ini akan memasung dinamika dan kreativitas penyelenggaraan negara. Pemerintah akan merasakan, seperti diungkapkan di atas, adanya negara di dalam negara. Hal ini sempat ahli (sebagai pembicara utama) kemukakan dalam suatu diskusi reformatif yang diprakarsai oleh Salahuddin Wahid beberapa waktu yang lalu dan mendapat tanggapan positif dan kurang lebihnya afirmatif. Belum lagi kalau penyakit lama kambuh, bahwa pemerintah benar-benar akan main kayu, mencampuradukkan antara reformasi dan deformasi sekaligus, maka independensi Bank Indonesia akan merupakan sumber perselisihan yang akut. Seperti dapat diduga, inilah yang terjadi saat ini. Lebih dari itu, bukan saja tentang independensi Bank Indonesia yang kini dipermasalahkan, tetapi juga tentang posisi dan kekuasaan Bank Indonesia telah menjadi suatu perebutan yang memalukan. Independensi Bank Indonesia semacam itu tentu akan menarik bagi kekuatan (partai-partai) oposisi. Independensi akan bisa menjadi sarana perebutan kekuatan antara pemerintah dengan pihak oposisi, dengan menggunakan otoritas Bank Indonesia sebagai benteng perlawanan politik. Inipun kiranya sedang terjadi pada saat ini. Antara Pemerintah dan Bank Indonesia seharusnyalah terjadi suatu koordinasi integral. Indonesia menganut faham " Penta Politica ", pemisahan kekuasaan antara lima (penta) kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, advisori (DPA) dan auditori (BPK). Bank Indonesia tidak ada kaitannya dengan penta politica ini. Dalam posisi semacam ini maka Bank Indonesia haruslah terkoordinasi dalam pemerintahan negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah, di dalam suatu tingkat sub-ordinasi tertentu. Selanjutnya biarlah lembaga legislatif melakukan pengawasan efektifnya terhadap Pemerintah. Dengan kata lain independensi Bank Indonesia perlu di redefinisi, harus menjadi lebih supel dan fleksible, sehingga tidak terjadi dualisme otoritas dan kebijaksanaan antara pemerintah dan Bank Indonesia. Tanpa itu maka kemelut ekonomi dan moneter di lapangan akan sulit diatasi. Independensi yang menumbuhkan dualisme otoritas semacam itu memang peka akan pertarungan. Dalam pertarungan antara keduanya tentulah akan menguntungkan pihak ketiga yang dapat mempermainkan dan menggerogoti perekonomian nasional kita. Pertengkaran antara pemerintah dan Bank Indonesia saat ini pasti akan lebih Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 memperpuruk rupiah kita, mendorong capital flight, melambungkan tingkat suku bunga, menghambat investasi dan tentulah menunda pembukaan lapangan kerja bagi rakyat. Penyelewengan KLBI dan BLBI akan makin sulit terlacak, pencetakan uang palsu akan makin sukar diungkap. Sementara itu ahli menghargai sikap konsekuen dan taat hukum Syahril Sabirin sampai UU Nomor 23 Tahun 1999 itu di amendemen secara jujur (tanpa ada udang di balik batu). Saya pun menghargai sikap Pemerintah yang tidak menghendaki dualisme soverenitas, yang tidak mustahil dualisme ini merupakan suatu skenario politik besar terhadap Indonesia; Landasan hukum pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 34 (1) Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002; Selanjutnya dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagian Menimbang: Butir a. menyatakan "bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat". Boleh ditanyakan kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini, bagaimana melaksanakan tugas negara ini secara independen. Butir b. "Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir a, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel". Boleh ditanyakan pula kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini bagaimana OJK bisa akuntabel, terhadap siapa, terhadap Bank Indonesia, terhadap Kementerian Keuangan atau kepada DPR, atau kepada diri sendiri? Menurut website OJK, fungsi OJK adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 sektor jasa keuangan. Mengulangi presentasi tertulis saya yang disampaikan di ruang ini pada tanggal 18 September 2014, saya ingin menegaskan ulang tentang OJK sebagai lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur-tangan oihak lain, yang menjadikannya sebagai super-body dalam dunia keuangan Indonesia. Peran OJK dalam perekonomian nasional adalah sangat sektoral, yaitu menyangkut sektor jasa keuangan saja. Selanjutnya sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK tidak dipersoalkan kaitan OJK dengan tugas nasional sesuai dengan Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, serta masalah Sila ke-5 Pancasila, yaitu "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Tugas sektoral OJK di dalam sektor jasa keuangan yang adil, transparan dan akuntabel untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat secara independen, sama sekali tidak menjamin dan bahkan dapat bertentangan dengan tugas-tugas spesifik sesuai dengan doktrin kebangsaan (nasionalisme) dan doktrin kerakyatan yang dianut oleh Negara Republik Indonesia; Memang barangkali OJK dapat melaksanakan tugas sektoralnya secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mewujudkan sistem keuangan tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, namun tanpa merasa terikat (misalnya) dengan masalah riil yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, yaitu makin melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin (Gini ratio 2005 0,34% dan sekarang 2014 0,46%), makin dominannya investasi asing terhadap perekonomian nasional dan makin terdesaknya investor nasional dan ekonomi rakyat. Lebih dari itu meskipun pertumbuhan ekonomi di atas 5,5% (ini pun tidak terlalu tinggi), namun Indonesia makin kehilangan kedaulatan ekonomi: kita makin tidak berdaulat dalam pertanian khususnya pangan dan bibit, obat-obat dasar, teknik industri, teknologi dan energi. Dan lebih hebat lagi kita tidak berdaulat dalam penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya [ayat (3) Pasal 33 UUD 1945] karena berlakunya sistem keuangan yang liberalistik dan kapitalistik, yang OJK berdasar tugasnya malahan dapat mengukuhkan penyelewengan konstitusional ini. Sektor keuangan dapat tetap adil, transparan dan akuntabel serta tumbuh berkelanjutan dan stabil serta melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat sesuai dengan konsideran UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, namun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 independensi yang menjadikan OJK " super body " tidak memungkinkan OJK dapat mengatasi tantangan-tantangan dan keprihatinan perekonomian di atas, bahkan dengan wewenangnya sebagai super body bisa malah mengabaikan dan membahayakan kepentingan nasional demi kestabilan sektor jasa keuangan belaka. Oleh karena itu, peran OJK hendaknya dikembalikan kepada Bank Indonesia atau ke Departemen Keuangan agar terkait dengan tugas-tugas menyelamatkan perekonomian nasional dan kepentingan nasional Indonesia. Janganlah sampai dengan tugas sektoral OJK tadi yang terjadi adalah pembangunan di Indonesia, dan bukan pembangunan Indonesia artinya bangsa Indonesia hanya menjadi penonton atau menjadi kuli di negeri sendiri. Demikian pula jangan sampai dengan pengutamaan kestabilan dan pertumbuhan jasa keuangan maka pembangunan menjadi penggusuran terhadap orang miskin, bukan penggusuran kemiskinan;
Dr. Margarito Kamis, S.H., M.H. Apabila Undang-Undang OJK dikenali secara utuh agak sulit untuk tidak berkesimpulan bahwa ini tampak seperti negara dalam negara. Ahli ingin mengatakan bahwa Pasal 23D UUD 1945 menyatakan, “Negara memiliki suatu Bank Central yang susunan kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensi-nya diatur dengan undang-undang” , tidak dapat dan/atau tidak bermakna bahwa independensi atau Bank Indonesia atau Bank Central itu sebagian kewenangannya mesti diserahkan kepada organ lain yang tidak diperintahkan oleh konstitusi. Makna independensi dalam Pasal 23D UUD 1945 harus dimaknai sebagai patokan penentu relasi antar Bank Indonesia dengan Pemerintah. Jadi, derajat relasi hukum antara fungsi antara pemerintah dengan Bank Indonesia itu yang dimaksud dengan Pasal 23D UUD 1945 bukan mengurangi sebagian kewenangan Bank Indonesia dan kewenangan itu diserahkan kepada lembaga lain di luarnya. Itu sebabnya saya mengawali dengan mengatakan bahwa bila dikenali betul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2012 ini secara konstitusional terlalu sulit untuk tidak menyatakan OJK tampak seperti negara dalam negara; Ahli ingin memperkuatnya dengan mengenali beberapa atau mengungkapkan beberapa saja diantaranya sebab tidak mungkin itu diungkapkan semua karena ahli yakin betul bahwa Majelis pun memiliki penilaian yang tidak mungkin dan/atau sebagaimana yang telah terefleksi dalam risalah sidang, tampak memiliki Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 kemiripan dengan apa yang ahli kemukakan; OJK dengan prinsip independensi melalui Undang-Undang ini dapat mengatur sendiri, membuat sendiri peraturan, dan melaksanakan Undang-Undang. Padahal mestinya ini dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah kecuali hal-hal lain yang memang tidak bisa diatur dan/atau tidak diatur dalam Undang-Undang. Karena keadaan hukum dengan fungsi mereka membutuhkan pengaturan barulah dilakukan, tetapi ini tidak dilakukan. Apa saja yang kan diatur dapat diatur dengan sendirinya oleh mereka tanpa bisa dicampuri oleh Pemerintah, tanpa dapat dicek (dikontrol) oleh DPR. Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung yang yang merupakan pelaksana kekuasan kehakiman pengaturan mengenai gaji pun diatur dengan Peraturan Presiden. Bagaimana OJK dapat mengatur dirinya sendiri, gaji pun diatur sendiri. Betapa luar biasanya OJK ini seperti lembaga negara di dalam negara; Menurut ahli tidak ada lembaga negara yang mempunyai 2 sumber keuangan pendanaan, namun OJK ini dibiayai dengan APBN dan pungutan yang dipungut sendiri dari bank dan jasa keuangan lainnya. Apa argumen konstitusionalnya sehingga dapat membenarkan tindakan tersebut? Siapa yang berani memastikan bahwa tidak ada potensi penyalahgunaan dan bagaimana mungkin bisa dipastikan akuntabilitas dan transparansi OJK dengan kewenangan seperti itu? Padahal bukankah negara hukum yang demokratis yang di atur dalam Undang-Undang Dasar 1945 menghendaki akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan kekuasaan negara? Menurut ahli bahwa pengawasan oleh OJK dimaksudkan untuk perlindungan konsumen dan adanya independensi OJK tidak diperoleh titik relasi dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Bagaimana dapat mengusahakan perekonomian nasional dengan prinsip kekeluargaan dan gotong royong, kalau salah satu organ negara (lembaga negara) mempunyai fungsi yang begitu strategis tidak dapat dicek (dikontrol), dan bekerja semau-maunya karena diatur dalam Undang-Undang. Dengan demikian keberadaan OJK bertentangan dengan prinsip negara hukum [Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 UUD 1945]; [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden dalam persidangan tanggal 5 Mei 2014 menyampaikan keterangan lisan dan keterangan tertulis bertanggal 30 April 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 21 Oktober 2014 yang menguraikan hal-hal sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 I. Pokok Permohonan Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK terhadap UUD 1945. Merujuk kepada permohonan para Pemohon, pada pokoknya para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan UU OJK, khususnya ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1 yang menyatakan "OJK, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini." b. Pasal 5 yang menyatakan "OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan." c. Pasal 34 yang menyatakan: (1) “Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK. (2) Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak lain yang melakukan kegiatan _di sektor jasa keuangan; _ (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner." d. Pasal 37 yang menyatakan:
“ OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. (2) Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK. (4) OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri. (5) Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah." e. Frasa dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 yang menyatakan "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." Merujuk pada dalil-dalil dalam permohonan, para Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa dengan diberlakukannya ketentuan-ketentuan a quo , telah mengakibatkan terjadinya kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon, dengan alasan:
Pasal 23D UUD 1945 yang menyatakan, "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang ". Menurut para Pemohon hanya bank sentral yang dijelaskan secara eksplisit di UUD 1945 yang boleh independen, sehingga frasa independen OJK tidak menemukan pembenaran secara konstitusional.
Pasal 33 UUD 1945, yang menurut para Pemohon berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 OJK diharuskan untuk terintegrasi dengan sistem perekonomian yang diamanatkan konstitusi, sehingga tidak mungkin independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. Dengan demikian, OJK dipaksa dan diarahkan untuk independen dan terpisah dari sistem besar ketatanegaraan yang termaktub dalam konstitusi.
Secara konstitusional aspek pengaturan dan pengawasan OJK juga tidak jelas di UUD 1945 mendapat mandat atau turunan dari pasal berapa, dimana masing-masing kewenangan yang diperoleh OJK berasal dari turunan yang asimetris. Pasal 5 UU OJK juga dapat menimbulkan konsekuensi adanya penumpukan kewenangan dalam satu badan sehingga dapat menimbulkan potensi moral hazard .
Penggunaan APBN yang digunakan sebagai biaya operasional secara konstitusional tidak memiliki landasan hukum dikarenakan OJK tidak berada dalam struktur ketatanegaraan yang rigid dan juga sifat OJK yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 independen sehingga terdapat potensi penyalahgunaan kewenangan keuangan negara. Selain itu, jika terjadi krisis di sektor industri keuangan, bukan tidak mungkin dana APBN akan dipakai untuk menalangi krisis dan seberapa banyak dana publik dan/atau APBN yang boleh dikucurkan masih belum diatur.
Pasal 37 UU OJK akan menimbulkan dampak: (a) mengurangi kemandirian OJK karena OJK merupakan badan publik dengan amanat yang diberikan oleh rakyat melalui DPR; (b) sumber pendanaan dari jasa keuangan di pihak lain juga akan membalik akuntabilitas substantif OJK dari kepentingan publik dan konsumen kepada kepentingan kepada kepentingan industri jasa dan keuangan, f. Para Pemohon menginginkan agar pungutan yang mengatasnamakan negara haruslah jelas dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dalam Undang-Undang. II. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Pembentukan OJK Merupakan Opened Legal Policy Berdasarkan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 Sebelum menanggapi lebih lanjut mengenai materi permohonan para Pemohon, Pemerintah akan terlebih dahulu membahas apakah terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK ini telah tepat dan benar dapat diajukan pengujian konstitusional ( constitutional review ) ke Mahkamah Konstitusi. Mengingat pentingnya pengaturan mengenai sistem perekonomian nasional maka UUD 1945 mengatur mengenai perekonomian nasional diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Nasional. Bab XIV terdiri dari dua pasal yaitu Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, mengenai pengaturan Perekonomian Nasional diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 Sebagaimana telah diketahui bersama prinsip-prinsip dasar pengelolaan perekonomian nasional terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 juga telah mengamanatkan kepada pembentuk Undang-Undang pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan prinsip- prinsip pada Pasal 33 UUD 1945 diatur dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, dalam rangka menjalankan amanat konstitusi tersebut maka telah diterbitkan perundang-undangan mengenai pengelolaan perekonomian nasional berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945, yang salah satunya adalah UU OJK. Pembentukan UU OJK secara keseluruhan oleh pembentuk Undang- Undang adalah dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil dan makmur kepada seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-Undang ", maka DPR bersama Pemerintah telah menyusun UU OJK sehingga pembentukan UU OJK merupakan suatu pilihan kebijakan yang bebas dan terbuka ( opened legal policy ) bagi pembuat Undang-Undang. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka pembentukan UU OJK adalah tepat berdasarkan amanat UUD 1945 khususnya pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan uji materiil ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tersebut tidak dapat diajukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi. Hai ini sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimuat dalam Putusan Nomor 26/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 "Bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, maka Mahkamah tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable . Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah; dan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945, yang menyatakan sebagai berikut: "Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang- Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah". Selain itu, pokok-pokok permasalahan yang diajukan oleh para Pemohon sangat tidak tepat diuji oleh Mahkamah Konstitusi, karena dalil-dalil permohonan menyangkut mengenai implementasi dari norma bukan kesalahan atau pertentangan norma dengan UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Prof. Arief Hidayat dalam sidang pane! pemeriksaan pendahuluan tanggal 25 Maret 2014 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk mengadili apa yang dilakukan oleh suatu lembaga negara dalam suatu pengujian Undang-Undang tetapi mengadili norma yang bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK yang diajukan oleh para Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). B. Tinjauan Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Legal Standing Sebagai Pembayar Pajak Harus Dibuktikan Oleh Pemohon Dengan Menyertakan Bukti SPT Dan Bukti Pembayaran Kewajiban Pajak Pemohon Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (untuk selanjutnya disebut "UU Mahkamah Konstitusi") disebutkan bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Para pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi;
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang- Undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 1945;
hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) dan tidak dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Undang-Undang a quo , sehingga para Pemohon tidak memenuhi syarat sebagai pemohon uji materiil sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi tersebut. Menurut pendapat Pemerintah, legal standing sebagai pembayar pajak yang patuh, tidak dapat diterima begitu saja dengan memiliki dan melampirkan Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP) sebagai bukti. Dengan memiliki NPWP tidak secara serta merta para Pemohon telah membayar pajak, maka seharusnya para Pemohon juga turut menyertakan bukti Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak dan juga pembayaran kewajiban Pajak yang merupakan pelaporan perhitungan dan pembayaran pajak oleh, objek pajak, dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta atau kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tidak Ada Hak Konstitusional Pemohon Yang Dilanggar Dengan Berlakunya Ketentuan UU OJK Yang Diuji Selain itu, Pemerintah tidak melihat adanya pelanggaran hak konstitusional para Pemohon yang sebagaimana didalilkan dalam permohonan para Pemohon yaitu dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK telah merugikan hak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 konstitusionalitasnya sebagai perserorangan warga negara Indonesia dengan didasarkan pada: Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Bahwa para Pemohon dalam permohonan uji materiilnya tidak secara jelas menguraikan mengenai kerugian konstitusional dan hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional Pemohon secara spesifik, aktual atau setidaknya potensial yang dapat dipastikan akan terjadi dikarenakan berlakunya norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bukan merupakan hak-hak dasar atau hak konstitusional warga negara in casu hak para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat. Penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) setiap tahunnya dengan Undang-Undang mempunyai pengertian bahwa dalam penyusunan Undang-Undang APBN, haruslah mendapatkan persetujuan rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh DPR. Selain itu, penggunaan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji permohonan a quo sangat tidak tepat dan tidak berdasar hukum. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 merupakan prinsip persamaan dalam hukum dan pemerintahan ( equality before the law ), prinsip kewajiban menjunjung hukum tidak hanya harus dilaksanakan oleh negara, namun juga wajib dijunjung tinggi oleh seluruh warga negara Indonesia. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 Bahwa penggunaan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dijadikan dasar kedudukan hukum oleh para Pemohon dikarenakan bukan hak konstitusional para Pemohon, namun merupakan suatu kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menerapkan prinsip persamaan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan sebagai pembayar pajak tidak serta merta dapat dasar dalam pengajuan uji materiil suatu Undang-Undang. Permohonan Pemohon merupakan permohonan yang Obscuur Libel Selain itu, permohonan para Pemohon merupakan permohonan yang obscuur libel yaitu nampak pada tidak sesuainya antara posita permohonan para Pemohon dan petitum yang dimintakan oleh para Pemohon dalam permohonannya. Para Pemohon tidak menjelaskan mengapa frasa "...tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan.." bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap meminta petitum agar Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa dimaksud bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga telah melakukan kesalahan yang menyebabkan permohonan Para Pemohon menjadi tidak jelas dan tidak fokus ( obscuur libel ) yaitu pada angka 2 petitum permohonannya yang meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK bertentangan dengan UUD 1945, namun pada angka 3 para Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat permohonan para Pemohon tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur ( obscuur libel ), utamanya dalam mengkonstruksikan kerugian konstitusional seperti apa yang dialami oleh para Pemohon sebagai individu perseorangan warga negara Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Para pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 III. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Para Pemohon A. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Putusan Provisi Para Pemohon Tidak Ada Alasan Yang Spesifik Dan Aktual Serta Penting Dan Mendesaknya Permohonan Provisi Pemohon Harus Dikabulkan Oleh Mahkamah Konstitusi Istilah provisionil dikenal luas dengan istilah "provisionllels vonnis", "provisoire", "voorlopige", "provisionaf, "voorlaufig", "provissorich ainstwelling", "bij vooraad' dan Iain-Iain. Istilah-istilah dimaksud pada pokoknya menjelaskan bahwa putusan provisi adalah putusan yang sifatnya sangat segera dan mendesak untuk dilakukan oleh hakim terhadap salah satu pihak dan bersifat sementara di samping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan. Dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, putusan provisi hanya dikenal pada perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang diatur dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur "Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi". Namun demikian, dalam sejarahnya Mahkamah Konstitusi pernah mengabulkan permohonan provisi yang diajukan oleh Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah dalam perkara Nomor 133/PUUA/1I/2009 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Permohonan provisi yang dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan penundaan penerapan Pasal 32 ayat (1) huruf c juncto Pasal 32 ayat (3) UU KPK oleh Presiden yakni mengenai tindakan administratif berupa penghentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan. Dalam Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat sebagai berikut: "Bahwa dalam praktik pemeriksaan perkara pengujian undang-undang seringkali untuk kasus-kasus tertentu dirasakan perlunya putusan sela dengan tujuan melindungi pihak yang hak konstitusionalnya amat sangat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 terancam sementara pemeriksaan atas pokok pemohonan sedang berjalan". Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka terdapat unsur-unsur yang harus dapat dipenuhi dan dijelaskan secara spesifik dan aktual oleh para Pemohon dalam permohonannya. Terhadap permohonan provisi para Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik dan aktual terkait dengan alasan pentingnya dan mendesaknya mengapa permohonan provisi para Pemohon harus dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dan akibatnya apabila permohonan provisi para Pemohon tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sampai dengan saat ini, OJK telah melakukan kewenangannya untuk melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan serta mengadvokasi kepentingan para konsumen. Dalam melakukan kewenangannya tersebut, tidak terdapat kendala yang berarti dan tidak ada hak konstitusional dari para Pemohon yang telah dilanggar atau terancam untuk dilanggar dengan adanya pelaksanaan kewenangan OJK dimaksud. Dikabulkannya permohonan provisi dapat menimbulkan kerancuan hukum bahkan ketidakpastian hukum di sektor jasa keuangan Selain itu, dalam Putusan Nomor 133/PUU-VI1/2009 Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan: "Bahwa Mahkamah berpendapat putusan sela perlu untuk diterapkan apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak, sementara di pihak lain justru akan memperkuat perlindungan hukum". Dengan adanya pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka sesungguhnya Mahkamah Konstitusi telah menetapkan batasan dikabulkannya permohonan provisi dari para Pemohon pengujian Undang-Undang yaitu apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak. Pemerintah berpendapat bahwa apabila permohonan provisi para Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi akan dapat menimbulkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 kerancuan hukum bahkan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar dan para konsumen di sektor jasa keuangan secara umum dan khususnya di pihak OJK. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka seyogianya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan provisi dari para Pemohon dikarenakan tidak ada keadaan yang sangat mendesak untuk dikabulkannya permohonan provisi dimaksud dan apabila dikabulkan dapat menimbulkan kerancuan hukum dan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar dan para konsumen di sektor jasa keuangan secara umum dan khususnya di pihak OJK. B. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 1 Angka 1 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 OJK Merupakan Lembaga Negara Yang Memiliki Sifat Constitutional Importance Secara yuridis pembentukan UU OJK dilandasi oleh Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusional kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membentuk suatu Undang- Undang, sedangkan Pasal 33 UUD 1945 merupakan landasan konstitusional dibentuknya UU OJK; Pembentukan UU OJK merupakan pengejawantahan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia, yang terdapat dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menentukan salah satu tujuan negara ( common virtues ) yaitu memajukan kesejahteraan umum yang perlu diwujudkan melalui pelembagaan negara Indonesia, dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, yaitu dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian dan memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia, maka program pembangunan nasional harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuh keseluruh sektor riil dari perekonomian masyarakat Indonesia. Pengaturan mengenai perekonomian nasional sebagaimana diamanatkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 pada Pasal 33 UUD 1945 terkait erat dengan sistem keuangan untuk menunjang berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga-lembaga keuangan untuk menopang perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga yang memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan lembaga-lembaga keuangan dimaksud dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Konstitusionalitas suatu norma dalam Undang-Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia. Mengingat konstitusionalitas suatu norma dalam Undang-Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia, maka berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas Pemerintah berpendapat bahwa OJK merupakan suatu lembaga negara independen yang memiliki sifat constitutional importance dikarenakan merupakan salah satu instrument untuk mencapai tujuan bernegara dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi", bahwa ragam struktur organisasi kekuasaan negara dewasa ini sudah berkembang sangat bervariasi, sehingga yang dinamakan organ negara atau lembaga negara tidak lagi hanya terbatas pada tiga fungsi menurut doktrin klasik yang dikembangkan sejak abad ke-18. Lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, Badan Pengawas Pemilu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan sebagainya merupakan contoh lembaga dan/atau komisi baru yang bersifat independen dan memiliki fungsi campuran dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang, namun tetap memiliki sifat constitutional importance . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 Sifat Independensi OJK Merupakan Hal Yang Tidak Terpisahkan Dengan Pembentukan OJK Selain itu, pembentukan UU OJK juga merupakan amanat Pasal 34 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU Bank Indonesia) yang mengamanatkan bahwa "(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang". Lebih lanjut penjelasan Pasai 34 ayat (1) UU Bank Indonesia menyatakan "(1) Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat." Dengan adanya Pasal 34 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia sebagaimana disebutkan di atas, maka sejak semula independensi OJK merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan pembentukan OJK. Namun demikian, meskipun dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah OJK tetap berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Independensi OJK merupakan suatu keharusan dan hal ini disadari oleh pembentuk Undang-Undang yaitu Pemerintah dan DPR, dikarenakan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan OJK hams memiliki independensi. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah dengan tetap berada dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Independensi OJK diwujudkan dalam 2 (dua) hal. Pertama, secara kelembagaan OJK tidak berada di bawah otoritas lain di dalam sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 Pemerintah Negara Republik Indonesia yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otortias Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, OJK melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas dimaksud, secara Ex-Officio . Keberadaan Ex-Officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiscal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-Officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Kedua, independensi OJK tercermin dalam kepemimpinan OJK. Secara orang perseorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam UU OJK. Di samping itu, untuk mendapatkan pimpinan OJK yang tepat, Undang-Undang OJK mengatur seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan. C. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 5 Dan Frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 Dalam posita permohonannya para Pemohon, tidak menjelaskan mengapa frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." bertentangan dengan UUD 1945, namun para Pemohon tetap meminta petitum kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa frasa dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 sehingga menyebabkan permohonan para Pemohon menjadi tidak jelas dan tidak fokus ( Obscuur Libel ). Namun demikian Pemerintah tetap akan menjelaskan mengapa frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 bertentangan dengan UUD 1945 dengan digabungkan pada Penjelasan Pemerintah terkait Pasal 5 UU OJK dikarenakan memiliki keterkaitan yaitu mengenai kewenangan pengaturan dan pengawasan OJK yang terintegrasi terhadap seluruhh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan termasuk tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan. Pengaturan dan Pengawasan Sektor Jasa Keuangan Yang Terintegrasi Merupakan Kebutuhan Untuk Meningkatkan Efektivitas Dan Efisiensi Dalam Menghadapi Globalisasi dan Konglomerasi Sektor Jasa Keuangan Secara historis pembentukan UU OJK didasarkan pada terjadinya Asian Financial Crisis tahun 1997-1998 yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia, khususnya sektor perbankan. Krisis pada tahun 1997-1998 berawal dari krisis nilai tukar di Thailand, krisis tersebut menjalar dengan cepat ke negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina, Indonesia, dan Korea Selatan serta berkembang menjadi krisis perbankan. Krisis perbankan yang melanda Indonesia diakibatkan karena banyak bank yang mengalami krisis likuiditas, yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi dan politik sehingga secara keseluruhan menjadi krisis multidimensi sehingga menyebabkan krisis di Indonesia beriangsung lebih lama dibandingkan negara-negara Asia lainnya dan menyebabkan beban fiskal yang sangat besar, mencapai Rp. 600 triliun. Tidak hanya Asian Financial Crisis tahun 1997-1998, Global Crisis pada tahun 2008 juga memiliki peran mengapa diperlukan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi dalam sektor jasa keuangan. Pada saat krisis global tahun 2008, Indonesia sebagai salah satu negara yang sistem keuangannya berinteraksi di pasar global tidak luput dari tekanan dan ancaman krisis, sehingga menyebabkan salah satu bank di Indonesia harus di- bailout untuk menghindari pengulangan akibat-akibat yang disebabkan Asian Financial Crisis tahun 1997-1998. Krisis pada tahun 1997-1998 dan juga krisis pada tahun 2008 menunjukkan kelemahan dalam hal kelembagaan dan pengaturan pada sektor jasa keuangan bukan hanya dalam sektor perbankan saja. Reformasi di bidang hukum sektor jasa keuangan diharapkan menjadi salah satu solusi untuk menciptakan sistem penyelesaian dan pencegahan krisis keuangan di masa yang akan datang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 Filosofi pembentukan UU OJK bertujuan agar kegiatan sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, mengingat sistem keuangan merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Berdasarkan landasan filosofis dimaksud, perlu dilakukan penataan agar dapat tercapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, memandang diperlukan OJK yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Secara filosofi, OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan harus memiliki independensi di dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Untuk itu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, OJK harus independen atau bebas dari intervensi pihak- pihak berkepentingan, tentunya dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Mengenai landasan sosiologis dapat Pemerintah sampaikan bahwa pembentukan OJK dilatarbelakangi oleh fakta bahwa terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar masing- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Kemudian, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, pembentukan OJK didasarkan pula atas pertimbangan perlunya dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di industri jasa keuangan yang mencakup bidang perbankan, pasar modal dan industri jasa keuangan non bank; Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai pengawasan sektor jasa keuangan menjadi terintegrasi dan koordinasi di antara subsektor jasa keuangan menjadi lebih mudah sehingga pengawasan dan regulasinya menjadi lebih efektif sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan juga perlindungan konsumen sektor jasa keuangan yang lebih kuat, mengingat semakin rumitnya transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Pasal 23D UUD 1945 Merupakan Opened Legal Policy dari Pembuat Undang-Undang dan Pasal 5 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasai 65 dan Pasal 66 UU OJK Tidak Bertentangan Dengan Konstitusi Terhadap dalil para Pemohon yang mendalilkan bahwa kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan merupakan turunan langsung dari Pasal 23D UUD 1945, menurut Pemerintah hal tersebut tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi" pada halaman 92 yang menyatakan: "Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak tercantum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945 hanya menyatakan "Negara memiliki bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang”. Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama ini, yaitu "Bank Indonesia", maka hal itu adalah urusan pembentuk Undang-Undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan Undang-Undang." maka kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat ditentukan oleh pembentuk Undang-Undang melalui Undang-Undang yang dibentuknya dikarenakan Pasal 23D UUD 1945 merupakan ketentuan open legal policy dari pembuat Undang-Undang. Oleh karena itu apabila pembentuk Undang-Undang merasa perlu ada yang diperbaharui dari sistem sektor jasa keuangan termasuk kewenangan suatu lembaga hal tersebut dapat saja dilakukan dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dan mengingat pentingnya sektor jasa keuangan sebagai salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi dalam rangka pembiayaan pembangunan ekonomi nasional agar dapat tercapainya tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, maka menurut Pemerintah kewenangan OJK dalam melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK merupakan kewenangan yang tidak melanggar konstitusi dan kewenangan tersebut menunjukkan bahwa OJK memiliki sifat constitutional importance dikarenakan merupakan salah satu instrumen untuk mencapai tujuan dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Apabila para Pemohon mengkhawatirkan adanya penumpukan kewenangan dalam OJK dan dapat menimbulkan potensi moral hazard , menurut pendapat Pemerintah hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan dikarenakan UU OJK juga telah memisahkan fungsi pengaturan dengan pengawasan sebagai unsur check and balances di dalam OJK. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 Fungsi pengaturan dilakukan oleh Dewan Komisioner (vide Pasal 8) sedangkan fungsi pengawasan dilakukan masing-masing oleh Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal dan Pengawas Industri Keuangan Non Bank (vide Pasal 9 huruf b). Dewan Komisioner sebagai organ tertinggi dalam OJK selain menjalankan fungsi pengaturan, juga berperan untuk memastikan masing-masing Pengawas melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian perlu dicatat bahwa Penjelasan Pasal 9 huruf b menyatakan bahwa pengawasan Dewan Komisioner terhadap pelaksanaan tugas Kepala Eksekutif ditujukan untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerja dari Kepala Eksekutif. Pengawasan tersebut tidak dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada Dewan Komisioner untuk mengintervensi atau turut campur terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang setiap Kepala Eksekutif. Lebih lanjut, dalam rangka check and balances, di internal OJK terdapat Komite Etik, yaitu organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas mengawasi kepatuhan Dewan Komisioner, pejabat dan pegawai OJK terhadap kode etik. (vide Pasal 1 angka 21). Anggota Dewan Komisioner melanggar kode etik dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir. Pelanggaran kode etik dalam ketentuan ini adalah pelanggaran yang dikategorikan pelanggaran berat dan dilaporkan oleh Dewan Komisioner kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (vide Pasal 17 ayat (1)). Dewan Komisioner menetapkan Peraturan Dewan Komisioner mengenai kode etik dan menegakkan kode etik OJK (vide Pasal 32). D. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 Pengaturan Pungutan OJK Dimaksud Telah Sejalan Dengan Ketentuan Pasal 23A UUD 1945 Pengembangan sektor jasa keuangan yang merupakan bagian dari upaya pembangunan nasional dalam rangka upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia ditempuh melalui usaha mewujudkan keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. UU OJK dibentuk dengan tujuan sebagaimana disebutkan di atas, namun guna mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya jaminan sumber pembiayaan yang mampu mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai salah satu unsur yang dapat menjadikan OJK sebagai lembaga yang independen dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Berdasarkan hal tersebut, maka pembentuk Undang-Undang yaitu DPR dan Pemerintah sepakat dalam hal anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat (2) UU OJK. Ketentuan tersebut bermakna bahwa pembiayaan kegiatan OJK, sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Selain itu, dalam Pasal 37 UU OJK mengatur bahwa OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, dan pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK. Sebagaimana telah dijelaskan pula dalam penjelasan pasal tersebut yang menyatakan bahwa pembiayaan kegiatan OJK sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK. Pengaturan pungutan OJK dimaksud telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan Negara diatur dengan undang- undang. Sejalan dengan hal tersebut, UU OJK memberikan kewenangan kepada OJK untuk memungut biaya dari industri jasa keuangan, pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK dan OJK berwenang untuk menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan tersebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 secara akuntabel dan mandiri. Namun demikian, jika jumlah pungutan telah melebihi kebutuhan pembiayaan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara. Praktik pungutan atau iuran dalam sistem hukum sektor jasa keuangan Indonesia juga telah dikenal sebelumnya dengan adanya Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang menyatakan (3) “Bursa Efek dapat menetapkan biaya pencatatan Efek, iuran keanggotaan, dan biaya transaksi berkenaan dengan jasa yang _diberikan; _ (4) Biaya dan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disesuaikan menurut kebutuhan pelaksanaan fungsi Bursa Efek. Selain itu, pungutan, iuran atau premi juga dikenal di dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya pada Bagian Ketiga mengenai Premi. Oleh karena itu, pungutan, iuran, atau premi yang dikenakan kepada para pelaku pasar merupakan praktik yang lazim dalam sistem hukum sektor jasa keuangan di Indonesia dan telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa dalil Para Pemohon yang menyatakan Pungutan yang dilakukan oleh OJK tidak sesuai dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan telah sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945. Mekanisme Penganggaran Dan Pungutan OJK Telah Akuntabel Dan Sesuai Dengan Konstitusi Mengingat pada masa awal pembentukan OJK memerlukan pembiayaan dan OJK masih dalam tahap membangun regulasi dan standard operating procedure dalam kelembagaannya, maka untuk memenuhi kebutuhan OJK diberikan alternatif sumber pembiayaan OJK dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam Pasal 34 UU OJK telah menentukan bahwa penetapan rencana dan anggaran OJK oleh Dewan Komisioner harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Memperhatikan hal tersebut, maka sepanjang masih terdapat unsur APBN dalam pembiayaan kegiatan OJK, maka proses penyediaan APBN untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 pembiayaan tersebut tidak dapat terlepas dari mekanisme penyusunan dan penetapan APBN yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, beserta peraturan pelaksanaannya. Mengenai penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK dan harus dibebankan kepada pihak yang secara langsung menerima manfaat dari efektifnya fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh OJK, serta standar biaya yang lazim digunakan oleh sektor jasa keuangan atau regulator sektor jasa keuangan sejenis, baik domestik maupun internasional. Hal ini dilakukan agar OJK dapat mengimbangi tuntutan dan dinamika sektor jasa keuangan, baik secara domestik maupun internasional. Pengaturan mengenai pelaporan dan akuntabilitas OJK telah diatur di dalam Pasal 38 UU OJK, yang mengatur bahwa OJK menyusun laporan keuangan dan kegiatan secara periodik atau insidentil apabila DPR memerlukan penjelasan. Terkait laporan keuangan, OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan wajib diumumkan kepada publik melalui media cetak dan media elektronik. Selain pengawasan eksternal, mekanisme mengenai pengawasan internal OJK juga telah diatur dalam UU OJK dengan adanya dewan audit sebagai salah satu anggota dewan komisioner. Pungutan OJK Merupakan International Best Practices Agar OJK Dapat Mengimbangi Tuntutan Dan Dinamika Sektor Jasa Keuangan, Baik Secara Domestik Maupun Internasional Selain itu, dapat Pemerintah jelaskan pula bahwa pembiayaan kegiatan pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan oleh industri jasa keuangan dalam bentuk pungutan merupakan praktik yang lazim di banyak negara. Sebagai contoh, Office of the Comptroler of the Currency (OCC) di Amerika Serikat (USA) memungut biaya dari bank secara semi-annuaily yang didasarkan pada skala usaha bank sesuai dengan total asetnya. Selain itu terdapat tambahan pungutan dengan persentase tertentu sesuai dengan peringkat risiko bank. Selain hal tersebut di atas, OCC Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 80 memperoleh pendapatan dari memproses aplikasi perusahaan, Investasi terutama pada US-Treasury, pungutan atas pemeriksaan khusus/investigasi tertentu ( special examination ), pungutan atas perizinan, serta pendapatan lainnya (kegiatan seminar, penjualan publikasi, dan sebagainya). Tidak terlalu berbeda dengan OCC, Office Of Superintendent Of Financial Institute (OSFI) di Kanada memiliki pendanaan bersumber dari pungutan atas penilaian terhadap lembaga keuangan yang diperhitungkan baik berbasis total aset, berbasis premi, maupun berbasis keanggotaan. Pungutan terhadap bank berbasis total aset, pungutan terhadap asuransi berbasis premi. pungutan terhadap loan company (seperti BPR) berbasis keanggotaan. Di samping itu, OSFI juga memperoleh bantuan dari Canadian International Development Agency (CIDA) terutama untuk asistensi internasional, pendapatan dari pemerintah daerah (dalam hal OSFI membantu melakukan pengawasan terhadap beberapa institusi di Pemerintah Daerah berdasarkan kontrak), dan pendapatan dari lembaga pemerintahan. Di belahan benua Asia, Financial Services Supervisory (FSS) Korea selatan memperoleh pendanaan dari Supervisory Fee , yaitu pungutan yang dikenakan kepada lembaga keuangan sehubungan dengan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh FSS, termasuk pemeriksaan yang dilakukan oleh FSS selain Supervisory Fee , FSS juga memungut Issuer Regulatory Fee , yaitu pungutan yang dikenakan kepada Issuer ( Emiten ) sehubungan dengan pengajuan perizinan kepada FSC-Korea sesuai dengan Exchange Act ( Capital Market ). Supervisory Fee dikenakan berdasarkan pada kewajiban ( debt liabilities ) dari institusi lembaga keuangan, sementara Issuer Regulatory Fee dikenakan berdasarkan pada jumlah dan jenis dari surat berharga/sekuritas yang diterbitkan; Selain contoh negara-negara di atas, terdapat banyak contoh negara yang pembiayaan OJKnya sepenuhnya dilakukan melalui pungutan dari industri, misalnya Belgia, Bolivia, Bosnia, Ekuador, Jerman, Hungaria, Islandia, Latvia, Norwegia, Luxemburg, Malta, Mexico, Panama, Swedia, Peru, Switzerland, Turki dan Inggris; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 81 Sementara itu, terdapat juga regulator di beberapa negara yang kegiatannya dibiayai oleh industri dan anggaran negara, misalnya Austria, El-Salvador, Guatelama, Nikaragua, dan Venezuela. Sedangkan regulator yang sepenuhnya dibiayai oleh negara antara lain Chile, China, Costa Rica, Kazakhstan, Lebanon, Jepang dan Uruguay. IV. Dampak Jika Dikabulkannya Permohonan Para Pemohon Dikabulkannya Permohonan A Quo Dapat Mengganggu Pelaksanaan Tugas-Tugas Pengawasan Dan Pengaturan Di Sektor Jasa Keuangan Dan Akan Membahayakan Industri Perbankan Dan Kosumen Serta Perekonomian Nasional Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas, dan mengingat peran penting Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan yang merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional terutama dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, apabila dikabulkannya permohonan a quo dan diterimanya argumentasi para Pemohon, maka hal tersebut akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugas pengawasan di perbankan dan akan membahayakan industri perbankan dan kosumen. Selain itu, dikabulkannya permohonan a quo dapat menimbulkan risiko bagi perekonomian akibat lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan, sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan menjadi terbengkalai. Selain itu berdasarkan ketentuan peralihan Pasal 55 UU Otoritas Jasa Keuangan, kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang pasar modal dan lembaga keuangan telah beralih dari Menteri Keuangan dan Bapepam-LK kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2012 dan kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan telah beralih dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2013. Berdasarkan hal tersebut, apabila permohonan Pemohon dikabulkan maka Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 82 akan menghambat tugas dan fungsi pengawasan pasar modal, lembaga keuangan dan perbankan dikarenakan pengalihan kewenangan pengaturan dan pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dapat menyebabkan kekosongan hukum di pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan sehingga akan berdampak sangat negatif pada perekonomian nasional dan para pelaku pasar. Selain itu, dampak dikabulkannya permohonan Pemohon akan menimbulkan konsekuensi pengawasan sektor jasa keuangan akan kembali menjadi pengawasan sektoral yang tidak terintegrasi, yang berpotensi menimbulkan risiko bagi perekenomian akibat lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan, sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan akan menjadi terbengkalai. V. Kesimpulan Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut di atas, dapat Pemerintah sampaikan kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasai 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK karena permohonan para Pemohon tidak terkait dengan konstitusionalitas norma.
Permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik terkait keadaan yang mendesak mengapa Mahkamah Konstitusi harus mengeluarkan putusan provisi dalam perkara a quo . Selain itu, dikabulkannya permohonan provisi para Pemohon dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar di sektor jasa keuangan dan konsumen termasuk dalam OJK.
Ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 83 Oleh karena itu, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan memutus permohonan uji materiil Pasai 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak Permohonan Provisi para Pemohon untuk seluruhnya;
Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37, dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo etbono ). [2.4] Menimbang bahwa untuk membuktikan keterangannya, Presiden dalam persidangan tanggal 8 Oktober 2014, tanggal 28 Oktober 2014, tanggal 12 November 2014, dan tanggal 1 Desember 2014 mengajukan 13 (tiga belas) ahli yakni Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA., Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M., Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D., Dr. Sihabudin, S.H., M.H., Refly Harun, S.H., LL.M., Dr. Mulia P.Nasution, D.E.S.S., Dr. Harjono, S.H., MCL., Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M, Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H., Prof. Wihana Kirana Jaya, MsocSc., PhD, dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., MS., yang memberikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dalam persidangan tersebut dan/atau menyerahkan keterangan tertulis yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA Apabila hendak disederhanakan, pokok permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 84 perihal konstitusionalitas kehadiran/keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai salah satu lembaga atau komisi negara independen. Sebagai lembaga negara baru yang secara umum diberi tugas melakukan pengawasan secara terintegrasi terhadap seluruh kegiatan pada sektor jasa keuangan, kehadiran OJK dinilai Pemohon (1) tidak memiliki landasan konstitusional (karena tidak memiliki cantolan di dalam UUD 1945), (2) kehadiran OJK hanya dimandatkan dalam UU tentang Bank Indonesia, (3) fungsi pengawasan Bank Indonesia terhadap bank direduksi oleh OJK, (4) independensi OJK, (5) terjadinya penumpukan kewenangan pada OJK sehingga akan menjadi lembaga super-body , dan (6) kehadiran OJK dinilai merugikan pihak yang meiakukan kegiatan di sektor jasa keuangan karena adanya pungutan. Semua alasan tersebutlah yang menjadi alasan atau dasar bagi Pemohon untuk mempersoalkan konstitusionalitas keberadaan OJK; Sehubungan dengan pokok permohonan pengujian ini, secara terbatas, saya hanya akan menjelaskan sisi kelembagaan yang meliputi:
kedudukan, (2) sumber kewenangan, (3) pemindahan fungsi pengawasan bank dari Bl ke OJK, dan terakhir (4) independensi OJK. Adapun perihal pungutan yang dilakukan OJK dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagaimana juga dipersoalkan Pemohon tidak akan diulas. Sebab, menurut ahli masalah itu hanyalah sebuah konsekuensi dari kehadiran sebuah lembaga, di mana jika UU memberi kewenangan untuk itu, maka tidak beralasan untuk mempersoalkan konstitusionalitasnya. Lagi pula, apabila soal kelembagaan OJK telah diselesaikan, masalah kewenangan (termasuk melakukan pungutan) dengan sendirinya akan terurai; Sehubungan dengan masalah kelembagaan, saya akan menerangkan empat pokok pembahasan terkait OJK. Pertama, kedudukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga negara. OJK, sama halnya dengan Bank Indonesia berkedudukan sebagai lembaga negara. Dalam UU 21/2011 didefenisikan, OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Adapun Bank Indonesia didefenisikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 85 Undang-Undang ini; Dari sisi defenisi, memang terdapat sedikit perbedaan antara OJK dan Bank Indonesia terkait penggunaan kata "negara". Di mana, untuk defenisi Bank Indonesia digunakan frasa "lembaga negara" yang independen. Sedangkan OJK hanya disebut sebagai "lembaga" yang independen. Tanpa ada kata "negara"; Hanya saja, pendefenisian seperti itu (tanpa menggunakan frasa "lembaga negara") tidak saja untuk OJK, tetapi juga dipakai mendefenisikan lembaga- lembaga negara lain. Di antaranya, Komisi Pemilihan Umum didefenisikan sebagai, lembaga penyelenggara Pemilu...dst. Tanpa ada kata "negara". Demikian juga dengan Badan Pengawas Pemilu dalam UU 15/2011 yang didefenisikan sebagai, lembaga penyelenggara Pemilu...dst. Hal yang sama juga ditemukan dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga didefenisikan sebagai dengan frasa lembaga mandiri...dst; Pertanyaannya, apakah defenisi yang menggunakan frasa "lembaga negara" atau hanya kata "lembaga" menunjukkan perbedaan status atau kedudukan lembaga tersebut? Dalam arti, hanya lembaga yang menggunakan frasa "lembaga negara" saja yang berkedudukan sebagai lembaga negara, sedangkan yang menggunakan kata "lembaga" tidak berkedudukan sebagai lembaga negara? Apakah demikian? Pada dasarnya adanya frasa "lembaga negara" atau hanya kata "lembaga" tidak mempengaruhi status dan kedudukan sebuah lembaga sebagai lembaga negara. Sebab, sepanjang suatu lembaga dibentuk untuk melaksanakan fungsi- fungsi negara mengamini pendapat Hans Kelsen-, maka lembaga dimaksud adalah lembaga negara. Sejalan dengan soal itu, mengutip Jimly Asshiddiqie, baik "lembaga pemerintahan", "lembaga non-pemerintahan", "lembaga negara" atau "lembaga" saja, semuanya termasuk dalam kategori lembaga negara; Oleh karena itu, sekalipun OJK hanya didefenisikan dengan kata "lembaga" saja, bukan berarti OJK tidak berkedudukan sebagai lembaga negara. Sebab, sudah sangat tegas dinyatakan dalam UU 21/2011 bahwa salah satu tujuan OJK adalah terselenggaranya sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel yang merupakan bagian dari fungsi negara. Adapun OJK dibentuk untuk menjalankan fungsi dimaksud, yaitu untuk mengawasi berjalannya sektor jasa keuangan. Sehingga tidak perlu diragukan lagi bahwa OJK berkedudukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 86 sebagai lembaga negara, sama halnya dengan Bl yang juga berkedudukan sebagai lembaga negara; Walaupun sama-sama berkedudukan sebagai lembaga negara, OJK dan Bank Indonesia memiliki derajat kedudukan yang berbeda sebagai lembaga negara. Bank Indonesia merupakan lembaga yang dibentuk sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 23D UUD 1945 yang menyatakan, negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan UU. Dalam hal ini, kehadiran bank sentral yang kemudian diberi nama dengan Bank Indonesia merupakan mandat UUD 1945. Artinya, sumber norma yang menjadi dasar keberadaan Bank Indonesia adalah UUD 1945; Sedangkan kehadiran OJK merupakan konsekuensi Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan, tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Lalu, berdasarkan ketentuan tersebut dibentuklah lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang diberi nama dengan OJK; Perbedaan dasar hukum pembentukan Bl dan OJK memiliki konsekuensi terhadap tidak samanya kekuatan keduanya. Dalam arti, karena dasar pembentukan Bl berasal dari UUD 1945, maka lembaga ini tidak dapat dibubarkan hanya karena kebijakan pembentuk Undang-Undang. Jika hendak membubarkan Bl atau bank sentral, harus melalui perubahan UUD 1945. Inilah yang menyebabkan keberadaan Bl menjadi kuat. Sementara kedudukan OJK tidak sekuat Bl. Sebab, kekuatan lembaga ini hanya berbasis pada Undang-Undang. Di mana, jika pembentuk Undang-Undang sepakat membubarkan OJK, maka cukup hanya melalui perubahan atau pencabutan Undang-Undang. Artinya, pembubaran OJK tidak harus melalui perubahan UUD 1945 yang jauh lebih sulit; Perbedaan sumber norma pembentukan dua lembaga tersebut tidak dapat dijadikan dasar penilaian konstitusionalitas atau tidaknya lembaga yang ada. Sebab, baik lembaga yang dibentuk karena perintah UUD 1945 maupun lembaga yang hadir karena perintah Undang-Undang sama-sama konstitusional sepanjang dibuat oleh lembaga yang berwenang dan sesuai wewenang yang dimilikinya. Jadi, perbedaan dasar hukum tidak menjadi alasan mempersoalkan konstitusionalitas sebuah lembaga atau komisi negara; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 87 Selain itu, apabila ukuran konstitusionalitas keberadaan sebuah lembaga negara hanya atas dasar ada tidaknya perintah UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon, tentunya bukan hanya OJK yang akan dikatakan inkonstitusional. Sebab, banyak lembaga/komisi negara lainnya yang kehadirannya tidak diperintahkan UUD 1945, melainkan hadir melalui sebuah UU atau bahkan hanya peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Misalnya KPK hadir berdasarkan UU No 30/2002 dan tidak satupun norma dalam UUD 1945 yang memerintahkan pembentukannya. Begitu juga dengan Bawaslu, tidak ditemukan adanya norma yang secara eksplit memerintahkan pembentukannya. Dua lembaga terakhir tersebut juga hadir atas dasar Undang-Undang dan bukan perintah langsung UUD 1945. Di mana, keberadaan dua lembaga tersebut adalah konstitusional. Jadi, akan menjadi sangat keliru jika dasar penilaian konstitusionalitas sebuah lembaga hanya atas kategori ada tidaknya perintah atau cantolan ketentuan UUD 1945 sebagai dasar membentuknya; Selanjutnya yang Kedua, sumber kewenangan Bl dan OJK. Baik Bl maupun OJK sama-sama lembaga negara yang kewenangannya diberikan melalui Undang-Undang, bukan UUD 1945. Terkait kewenangan bank sentral/BI, Pasal 23D UUD 1945 menyatakan, ...suatu bank sentral yang kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Pasal 23D UUD 1945 mendelegasikan pengaturan tentang kewenangan Bl kepada Undang-Undang. Artinya, kewenangan Bl akan diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Bl. Dengan demikian, sumber kewenangan Bl adalah Undang-Undang, bukan UUD 1945. Dalam hal ihwal ini, Bl masuk dalam kategori lembaga negara yang keberadaanya diatur di dalam UUD 1945, tetapi kewenangannya diatur dalam UU, yaitu UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bl; Dalam konteks sumber kewenangan, derajat kedudukan OJK menyamai Bl. Sebab, kewenangan OJK juga berasal dari UU, yaitu UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Dalam hal ini, sekalipun pengakuan keberadaannya tidak bersumber dari UUD 1945, tetapi semua hal terkait keberadaan, kedudukan dan kewenangannya bersumber dari Undang-Undang. Dalam hal sumber kewenangan inilah posisi Bl dan OJK dapat disebandingkan; Ketiga, terkait keabsahan pemindahan fungsi pengaturan dan pengawasan bank dari Bl kepada OJK melalui UU Bank Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pengaturan segala tugas dan wewenang Bl diserahkan kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 88 pembentuk Undang-Undang. Terkait hal itu, pembentuk UU berwenang menentukan apa saja yang akan diatur sebagai kewenangan Bl. Karena itu, tugas, wewenang dan fungsi Bl sebagai bank sentral sepenuhnya menjadi kewenangan DPR dan Presiden (sebagai pembentuk Undang-Undang) menentukannya. Artinya, bila terdapat wewenang yang diberikan kepada bank sentral, lalu kemudian wewenang tersebut diambil atau dialihkan kepada lembaga lain yang juga dibentuk berdasarkan kewenangan pembentuk Undang-Undang, maka hal itu tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya; Sehubungan dengan itu, dalam kaitannya dengan keberadaan Bl dan OJK, di mana Pemohon menilai bahwa Bl lebih memiliki landasan konstitusional dibanding-kan OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank adalah tidak tepat. Sebab, penentuan kewenangan bank sentral merupakan wewenang pembentuk Undang-Undang. Apakah wewenang tertentu diberikan kepada Bl atau mungkin dicabut atau dialihkan dari Bl, berdasarkan Pasal 23D UUD 1945 sepenuhnya menjadi hak DPR dan Presiden. Termasuk memindahkan sebagian kewenangan Bl kepada OJK yang dibentuk berdasarkan mandat Pasal 34 ayat (1) UU Bl; Oleh karena itu, pemindahan kewenangan tersebut konstitusional adanya. Apalagi pemindahan kewenangan dimaksud dilakukan melalui Undang-Undang. Keberadaan OJK yang dibentuk dengan Undang-Undang dan kedudukan Bl yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 sama-sama konstitusional. Di mana, apapun kewenangan yang diberikan pada kedua lembaga negara tersebut tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya sepanjang dilakukan sesuai kewenang Presiden dan DPR sebagai primary legislator ; Terakhir atau yang Keempat adalah persoalan independensi OJK. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, OJK itu adalah sebuah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya...dst. Harus dipahami, bahwa frasa "independen" menunjuk pada kedudukan OJK sebagai lembaga negara yang berada di luar kekuasaan Pemerintah. Dalam hal ini, independensi OJK menunjukkan lembaga ini bukan institusi yang berada di bawah Presiden, melainkan sebuah lembaga negara yang diberikan kewenangan menjalankan fungsi negara yang diberikan kepadanya. Independensi OJK sama dengan Bl. Dalam hal ini, misalnya Bl, jika diletakkan dalam rumpun lembaga negara, Bl berada dalam rumpun eksekutif. Upaya memberikan label " independent " dilakukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 89 untuk memberikan jarak dengan pemegang kekuasaan eksektif agar terhindar dari pengaruh dinamika politik. Jimly Asshiddiqie (2007) menggambarkan hal itu dilakukan sebagai bentuk kesengajaan melepaskan Bank Sentral dari kewenangan mutlak pemegang atau kepala pemerintahan. Karenanya, dengan memberi tambahan independen, BS hadir menjadi semacam a quasi executive entity . Begitu juga OJK, kehadirannya secara konstitusional didasarkan atas ketentuan 33 UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang merupakan turunan dari Pasal 23D UUD 1945. Jadi, sifat independensi bank sentral juga dapat dilekatkan kepada OJK; Kehadiran berbagai komisi negara independen bukan fenomena yang hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di banyak negara di dunia, seperti Inggris, Afrika Selatan, Thailand dan Amerika Serikat. Secara umum, hadirnya komisi negara independen ditujukan untuk menyempurnakan proses demo-kratisasi yang terus berkembang seiring dengan perubahan kondisi sosial politik yang terjadi; Di sisi lain, keberadaan lembaga negara atau komisi negara independen di berbagai negara juga merupakan bentuk koreksi atas kemapanan peng- klasifikasian kekuasaan pemerintah negara yang ada sebelumnya. Di mana, cabang kekuasaan negara hanya dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kekuasaan membuat Undang-Undang (legislatif), kekuasaan pemerintah (eksekutif) dan kekuasaan kehakiman (yudisial). Ketika cabang kekuasaan yang telah ada tersebut dianggap tidak lagi mampu, bahkan sebagiannya dinilai menurun kredibilitasnya dalam melaksanakan tugasnya, sehingga membutuhkan institusi di luar cabang kekuasaan tersebut untuk menutupi kelemahan yang ada; Terkait dengan hal tersebut, Asimow dalam bukunya Administrative Law (2002) menyatakan most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent . Organ negara ( state organs ) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam hal ini, William F. Funk & Richard H. Seamon mengatakan, lembaga independen itu tidak jarang mempunyai kekuasan " quasi legislative ", " quasi executive " dan " quasi judicial ". Sementara itu, komisi yang berada di bawah eksekutif sering disebut dengan executive agencies. Namun executive agencies tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai lembaga independen karena pada prinsipnya dibentuk menjalankan tugas-tugas eksekutif; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 90 Sebuah lembaga negara/komisi negara dikatakan independen bila dinyatakan secara tegas (eksplisit) dalam dasar hukum pembentukkannya, baik yang diatur dalam UUD atau Undang-Undang. Kemudian, pengisian pimpinan lembaga bersangkutan tidak dilakukan oleh satu lembaga saja. Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan Asimov, dalam teori hukum tata negara, sebuah lembaga dikatakan independen apabila pemberhentian anggota lembaga yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang- Undang pembentukan lembaga yang bersangkutan Ciri lainnya menurut William J Fox Junior, presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan ( discretionary decision ) pemberhentian sang pimpinan lembaga. Tidak hanya itu, Funk and Seamon menambahkan bahwa lembaga negara independen bila pimpinan yang kolektif, tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan masa jabatan para pemimpin tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian ( staggered terms ); Dalam konsep atau teori itulah sebetulnya indepensi OJK harus dipahami. Independensi OJK bukan bermakna bahwa peran negara dalam penyelenggaraan perekonomian nasional menjadi berkurang. Sebab, kehadiran OJK bukan dalam rangka menarik keluar urusan yang seharusnya menjadi fungsi pemerintahan negara, melainkan tetap dilakukan oleh negara melalui pembagian urusan terkait perbankan dan perekonomian nasional kepada beberapa lembaga negara. Di mana, awalnya hanya menjadi kewenangan Bl semata, sekarang sebagiannya diserahkan kepada OJK; Selain itu, sekalipun ditempatkan sebagai lembaga negara independen, pelaksanaan tugas OJK juga tetap terikat dan terkait dengan pelaksanaan tugas pemerintah dan Bank Indonesia. Di mana, secara struktural keterkaitan pelaksanaan tugas OJK diwujudkan dalam bentuk dijabatnya dua Komisioner OJK secara ex-oficio oleh pejabat eleson I pada Kementerian Keuangan dan Anggota Dewan Gubernur Bl. Sedangkan 7 orang anggota Dewan Komisioner lainnya diisi melalui proses seleksi. Hal itu menunjukkan bahwa sifat independensi OJK tetap dalam kerangka keterkaitan tugasnya mengawal perekonomian nasional bersama Kementerian Keuangan dan Bl; Selanjutnya, posisi OJK sebagai sebuah lembaga negara yang independen juga memiliki konsekuensi logis terhadap kewenangan yang dimilikinya. Salah satunya, kewenangan membentuk atau menerbitkan berbagai peraturan yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 91 berkedudukan sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang. Di mana, peraturan- peraturan yang dibuat mengikat seluruh pihak dan berlaku ke luar dan ke dalam. Bahkan merujuk pada sistem perundang-undangan kita, lembaga negara/komisi negara mempunyai ruang untuk membentuk peraturan yang sifatnya regeling ; Lalu, bagaimana indepensi OJK jika dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pembentukannya? Karena terintegrasi dengan sistem perekonomian, apakah kemudian independensinya tidak akan terjaga? Dalam hal ini, dapat dipastikan bahwa tugas dan fungsi OJK terkait erat dengan penyelenggaraan perekonomian nasional. Namun bukan berarti hal itu secara serta merta akan merusak atau menghilangkan indenpendensi OJK. Harus diingat, independen adalah sifat objektif kelembagaan OJK dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Hanya saja, dalam pelaksanaan fungisnya tentu saja terbuka ruang untuk terjadi penyimpangan. Walaupun demikian, persoalan ini tentu bukan masalah konstitusionalitas norma Undang-Undang OJK, melainkan soal pelaksanaan norma oleh pejabat di lembaga tersebut; Sebelum mengakhiri keterangan ini, ahli juga akan menyinggung bagaimana hubungan antara Kementerian Keuangan, Bl, dan OJK. Di mana, tiga institusi tersebut memiliki kewenangan yang saling bersinggungan satu sama lain. Lebih-lebih lagi Bl dengan OJK. Secara struktural, Bl dan Kementerian Keuangan menjadi bagian dari Dewan Komisioner OJK. Dengan demikian, kedua institusi tersebut sekalipun bukan mayoritas di OJK, tetapi tetap memiliki kewenangan untuk turut mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibuat OJK. Selain mempengaruhi, kehadiran Bl dan Kementerian Keuangan juga dapat memastikan langkah-langkah pengawasan jasa keuangan yang dilakukan OJK terintegrasi atau terkoordinasi dengan agenda-agenda urusan keuangan yang diurus oleh Pemerintah dan Bank Indonesia; Dari segi tujuan, Kementerian Keuangan bertujuan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Adapun OJK hadir untuk teraturnya sektor jasa keuangan, terwujudnya sistem keuangan yang stabil serta terlindunginya kepentingan konsumen. Sedangkan Bl bertujuan untuk memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ketiga lembaga tersebut saling terkait satu sama lain. Di mana, semua akan mendukung pencapaian mewujudkan pemajuan kesejahteraan umum yang dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 92 Dengan tujuan yang saling berhubungan serta ada jaminan terkoordinasinya tugas tiga lembaga tersebut secara struktural, maka kehadiran OJK justru akan dapat menutupi berbagai kelemahan yang ada sebelumnya. Dengan begitu, pandangan yang menyatakan bahwa kehadiran OJK telah mereduksi dan melemahkan peran Bl justru kehilangan relevansinya. Hal yang terjadi justru sebaliknya, di mana kehadiran OJK akan dapat memperkuat pelaksanaan tugas pengawasan jasa keuangan yang ada. Pada saat bersamaan juga dapat membantu terselenggaranya urusan pemerintahan dibidang keuangan secara lebih baik;
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.HUM Hadirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem tata kelola keuangan di Indonesia ( finance governance ) memberikan harapan positif terhadap upaya penguatan sektor jasa keuangan, agar dapat tumbuh menjadi sektor jasa yang profesional dan berorientasi untuk melayani serta melindungi masyarakat pengguna jasa keuangan secara lebih baik. Tugas pemerintah dalam negara hukum modern ( moderne rechsstaat ) menurut Hughes (1994:
meliputi 7 (tujuh) macam, yaitu: 1 . _Providing economic insfrastructure;
Provision of various_ _collectieve goods and service;
The resolution and adjustment of group conflicts; _ _4. The maintanance of competititon;
Protection of natural resources;
Provision_ _for minimum access by individuals to the goods and services of the economy;
_ Stabilisation of the economy. Jika merujuk pendapat tersebut, kehadiran OJK kiranya dapat memenuhi fungsi untuk mewujudkan stabilitas ekonomi melalui tujuan dari pembentukan OJK sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat; Sesuai dengan amanah Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, telah lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). UU tersebut diberlakukan mulai 1 Januari 2013. Lembaga independen tersebut ditugaskan untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan bank dan non-bank. Lembaga keuangan non-bank yang diawasi oleh OJK adalah Asuransi, Dana Pensiun, Bursa Effek/Pasar Modal, Modal Ventura, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 93 Perusahaan Anjak Piutang, reksadana, perusahaan pembiayaan. Dengan mulai beroperasinya Lembaga tersebut, maka sejak republik ini berdiri baru pertama kalinya lahir Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi lembaga secara terintegrasi yaitu lembaga keuangan bank dan non bank. Lembaga independen tersebut mengambil alih tugas pengawasan lembaga keuangan bank dan non bank yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai pengawas Bank dan Bapepam-LK untuk lembaga keuangan non bank. Pola pembentukan institusi OJK menyerupai pembentukan KPK dan cukup banyak state auxiliary agencies lain yang sifatnya constitutionally important. Artinya, dengan memahami hakikat makna ketentuan-ketentuan dalam konstitusi untuk mewujudkan sistem tatakelola perekonomian yang baik, maka hal itu mendasari konsiderasi pembentukan OJK. Meskipun, sama halnya dengan landasan eksistensi KPK dan beberapa state auxiliary agencies lain, tidak semua hal yang diperlukan dalam kehidupan ketatanegaraan dan pemerintahan harus diatur secara eksplisit dan rinci dalam konstitusi, mengingat cakupan ruang lingkup materi muatan konstitusi yang lazimnya bersifat terbatas sebagai norma dasar tertinggi dalam suatu negara. Namun, dalam suatu hal yang bersifat urgen terdapat hal-hal yang secara konstitusional dianggap penting untuk dibentuk/dilaksanakan dalam praksis ketatanegaraan; Kiranya, konsiderasi UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK sudah konsisten dengan dasar pengaturan bagi lahirnya OJK dan maksud pembentuk UUD Negara RI 1945 untuk mewujudkan tata kelola perekonomian yang baik sebagaimana diatur pada Pasal 34 UU Bank Indonesia yaitu:
. untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat;
. berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan serta pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Penjabaran kewenangan OJK dalam substansi UU OJK juga telah konsisten secara intensional maupun gramatikal dengan delegasi kewenangan yang diberikan terhadap UU Nomor 21 Tahun 2011; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 94 Urgensi OJK Krisis keuangan yang terjadi di Asia merupakan implikasi kelemahan kualitas sistem keuangan di Asia. Pada bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena dampaknya karena struktur ekonomi nasional Indonesia yang masih lemah untuk menghadapi krisis global tersebut. Hal itu menyebabkan kurs rupiah terhadap dolar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997 dan diikuti penutupan 16 bank bermasalah oleh pemerintah pada bulan November 1997. Kemudian, pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam rangka membantu bank-bank bermasalah tersebut. Kebijakan BLBI tersebut tidak berjalan efektif karena dana bantuan tersebut disalahgunakan oleh sejumlah pihak. Hal itu memperburuk citra perbankan dan sistem pengawasan perbankan yang dilakukan oleh BI. Bank Indonesia yang bertindak sebagai pengatur dan pengawas di sektor perbankan diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia agar tercipta sistem perbankan yang sehat secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar serta bermanfaat bagi perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang dialami Indonesia mengharuskan pemerintah melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Pada tahun 1999-2004, pemerintah melakukan program penyehatan perbankan, rekapitalisasi bank umum dan restrukturisasi kredit perbankan, serta pemantapan ketahanan sistem perbankan dan prinsip kehati-hatian bank, yang meliputi pengembangan infrastruktur perbankan, peningkatan Good Corporate Governance dan penyempurnaan pengaturan serta sistem pengawasan bank. Pada tahun 2004, pemerintah memulai implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang merupakan landasan dan arah kebijakan perbankan dalam jangka panjang serta beberapa program dalam Arsitektur Keuangan Indonesia (ASKI), guna menciptakan landasan dalam membangun sistem keuangan yang kokoh dan mampu menunjang kegiatan perekonomian nasional secara berkesinambungan (Herry Rocky, 2012, Perkembangan Perbankan 1990-2010 (http: //herryrocky.blogspot.com/2012/03/perkembangan-perbankan-1990- 2010.html, diakses 9 Juli 2012); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 95 Pengalaman Indonesia menghadapi krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 dan tahun 2008 yang mengakibatkan terjadinya krisis multidimensi yang berdampak sangat besar terhadap perekonomian nasional, memberikan gambaran pentingnya peranan jasa keuangan dalam mendukung perekonomian nasional. Oleh karena itu, pengelolaan sektor jasa keuangan yang baik menjadi penting untuk mencegah terjadinya krisis, sehingga krisis yang pernah dialami diharapkan tidak akan terjadi lagi. Untuk itu, diperlukan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan dalam mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Best Practices OJK di Beberapa Negara Lain dan Kontribusinya bagi Pembentukan OJK di Indonesia Pembentukan OJK kiranya juga merupakan hasil belajar dari best practices sistem pengawasan oleh institusi tunggal dan independen di beberapa negara lain. Beberapa diantaranya dapat disebutkan disini; Pada tanggal 25 Januari 2001, Menteri Keuangan Jerman, Hans Eichel mengumumkan pembentukan otoritas pengawas keuangan terintegrasi, yaitu Bundesanstalt für Finanzdienstleistungsaufsicht (BaFin) dan mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 2002 berdasarkan hukum otoritas jasa keuangan pengawasan tunggal ( Gesetz über die integrierte Finanzdienstleistungsaufsicht ). BaFin merupakan gabungan dari lembaga pengawas terpisah untuk perbankan ( Bundesaufsichtsamt für das Kreditwesen -BAKred), asuransi ( Bundesaufsichtsamt für das VersicherungswesenB AV) dan sekuritas ( Bundesaufsichtsamt für den Wertpapierhandel -BAWe). BaFin memiliki wewenang terkait pengawasan lembaga kredit, perusahaan asuransi, perusahaan investasi dan lembaga keuangan lainnya. BaFin bertujuan untuk menjamin stabilitas dan integritas sistem keuangan Jerman secara menyeluruh, dengan dua tujuan utama yaitu menjaga solvabilitas bank, penyedia jasa keuangan dan perusahaan asuransi dan perlindungan konsumen dan investor. Setelah BaFin dibentuk, Deutsche Bundesbank (Bundesbank) bertugas sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran. Bundesbank merumuskan kebijakan moneter dan perbankan, menjaga nilai mata uang, mempertahankan tingkat kecukupan cadangan aset/siklus kas dan pengelolaan uang kertas, memantau perkembangan bisnis dan menganalisis spektrum yang luas dari masalah ekonomi, serta menjamin kelancaran fungsi pembayaran domestik dan asing dengan menyediakan layanan jasa kliring; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 96 Otoritas Jasa Keuangan di Australia diperankan oleh The Australian Prudential Regulation Authorihy (APRA). Lembaga-lembaga yang diatur oleh APRA diantaranya adalah bank, asuransi, penyedia retirement saving accounts, trustee of superannuation entity. Organisasi APRA terdiri dari sebuah dewan ( board ), seorang pemimpin operasi ( chief executive officer) didukung para staf. Di Australia, APRA dibiayai dari kontribusi (levy) lembaga yang diawasi. APRA mengambil alih tugas dari Reserve Bank of Australia (RBA) dan Insurance and Superannuation Committee (ISC). Lembaga yang dibentuk pada tanggal 1 Juli 1998 tersebut menjalankan fungsi pengawasan micro-prudential lembaga keuangan yang terdiri dari bank, credit union, building society dan perusahaan asuransi. Selain itu, APRA juga mengawasi industri dana pensiun ( superannuation Funds ); Krisis keuangan yang dialami oleh Korea pada tahun 1997-1998 mengakibatkan beberapa konglomerat bisnis besar mengalami kesulitan keuangan, kredit macet di bank-bank Korea meningkat tajam, sehingga melemahkan kesehatan keuangan lembaga perbankan domestik, yang berdampak pada ketidakstabilan keuangan Korea. Hal ini mendorong pemerintah Korea untuk melakukan reformasi kelembagaan dan kebijakan keuangan, maka dibentuklah Korea Deposit Insurance Corporation (KDIC), Financial Supervisory Commission (FSC)/ Financial Supervisory Services (FSS) yang memiliki wewenang sebagai lembaga pengawas tunggal untuk perbankan dan non-perbankan. Dengan perubahan ini Ministry of Finance and Economy (MOFE), FSC/FSS, Bank of Korea (BOK), dan KDIC adalah empat lembaga publik yang bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas dan efisiensi sistem keuangan Korea; Masih cukup banyak negara lain yang juga membentuk institusi semacam OJK untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor keuangan secara terpadu. Meskipun latar belakang pendirian lembaga pengawas jasa keuangan terpadu berbeda di setiap negara, terdapat beberapa faktor yang memicu dilakukannya perubahan terhadap struktur kelembagaan pengawas jasa keuangan. Pertama, munculnya konglomerasi keuangan dan mulai diterapkannya universal banking di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor menjadi tidak efektif karena terjadi gap dalam regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas (dan lembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 97 stabilitas sistem keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Ketiga, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance. Guna __ meningkatkan good governance pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya; Adapun alasan pendirian OJK sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UU OJK adalah telah terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial menciptakan sistem keuangan menjadi kompleks, dinamis, dan saling terkait antar- subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Selain itu, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan; Pembentukan Undang-Undang OJK ini dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral ke sebuah badan atau lembaga yang independen di luar bank sentral. Dasar hukum pemisahan fungsi pengawasan tesebut yaitu Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan:
Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Pengawasan tersebut dilakukan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah serta berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan serta Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukan tugasnya, lembaga yang dinisbatkan menjadi supervisory board ini melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 98 Undang-Undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank melalui koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia terkait keterangan serta data makro yang diperlukan; Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan sebagai amanat Pasal 34 Undang- undang Bank Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip reformasi keuangan, yaitu: independensi, terintegrasi dan menghindari benturan kepentingan. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, OJK berlandaskan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik ( Good Coorporate Governance ). Bank Indonesia memberikan pengertian tentang pemerintahan yang baik tersebut adalah suatu hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Asas-asas tersebut adalah independensi, kepastian hukum, kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, dan integritas. Perspektif Hukum Adminstrasi Negara Fungsi OJK Fungsi OJK tidak lepas dari fungsi pemerintahan ( sturen ) yang melekat pada wewenang pemerintah ( bestuursbevoegdheid ). Dalam melaksanakan fungsi sturen , pemerintah diberikan kewenangan untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum administrasi negara. Pengawasan dilaksanakan melalui kewenangan perijinan ( vergunning ) yang dilekatkan pada kewenangan OJK seperti yang diantaranya diatur pada Pasal 7 huruf h UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu memberikan dan/atau mencabut:
izin usaha;
izin orang perseorangan;
efektifnya pernyataan pendaftaran;
surat tanda terdaftar;
persetujuan melakukan kegiatan usaha;
pengesahan;
persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan. Kewenangan tersebut dalam hukum administrasi diiperlukan sebagai upaya pentaatan terhadap norma hukum administrasi negara; Dimensi perlindungan hukum ( rechtsbescherming ) dalam pelaksanaan fungsi sturen ( sturende functie ) yang antara lain terdapat pada Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011, pada intinya dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang menjadi konsumen/pengguna jasa sektor keuangan dari praktik-praktik yang melanggar prinsip-prinsip tatakelola keuangan perbankan dan non perbankan yang baik ( good financial governance ). Hal itu terlihat dari Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 99 kewenangan OJK untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (Pasal 6 UU Nomor 21 Tahun 2011). Kewenangan tersebut ditujukan guna mewujudkan tujuan pemerintahan ( bestuursdoeleinden ) sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Tujuan tersebut selaras dengan konsiderasi pembentukan UU Nomor 21 Tahun 2011 sebagaimana telah diuraikan di atas. Kewenangan yang diatribusikan kepada OJK sebagaimana terdapat pada Padal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011 merupakan derivasi dari Pasal 34 ayat (1) UU BI Nomor 3 Tahun 2004 yang mengatur bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Dengan demikian, dalam isu konstitusionalitas, karakter constitutionally important dari UU OJK dapat ditelusuri melalui Pasal 34 UU BI yang bersumber pada Pasal 23D UUD 1945, yang mengatur bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Bahkan, secara sistematik, dapat pula ditelusuri landasan konstitusionalnya dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Atribusi kewenangan OJK dalam UU OJK dan pengaturan mengenai institusionalitas OJK merupakan manifestasi dari jiwa konstitusi, khususnya dengan memahami dialektika Pasal 23D dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945; Fungsi utama lembaga keuangan seperti OJK bertujuan untuk mencapai empat tujuan ( goals ) secara umum. Empat tujuan tersebut meliputi:
keamanan dan ketahanan ( safety and soundness ) lembaga keuangan;
pencegahan risiko sistemik;
keadilan dan efisiensi pasar;
perlindungan terhadap konsumen Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 100 dan investor. Tujuan pertama dicapai melalui penerapan peraturan yang ketat dan prinsip kehati-hatian yang mengedepankan pendekatan persuasi. Tujuan pencegahan risiko sistemik merupakan tantangan bagi pengawas yang diberi mandat karena penyebab risiko sistemik tidak dapat diprediksi. Walaupun demikian, pengawas tersebut dapat mengurangi kemungkinan risiko sistemik melalui penerapan aturan yang telah dibentuk. Pencapaian tujuan ketiga lebih kepada pendekatan penegakan aturan ( enforcements ) yang meliputi sanksi, denda, pembekuan usaha, pencabutan izin usaha, dan hukuman lainnya. Kiranya, tujuan tersebut selaras dengan Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat; Kewenangan pengaturan ( regelende bevoegdheid ) dan kewenangan pemerintahan ( besturende bevoegdheid ) yang tercermin dari kewenangan- kewenangan yang diatribusikan kepada OJK dalam teori hukum administrasi negara mencerminkan karakter hukum administrasi negara: norm (norma), instrument (sarana) dan waarborg (jaminan). Hal itu dapat dibandingkan dengan pendapat de Haan, dkk. (1986:
, bahwa: " Minstens zo nauw als het verband tussen norm en instrument is dat tussen norm en waarborg. Ook hier weer nemen wij achtereenvolgens de normering van het overherheidsgedraag en die van het gedrag van burgers tot uitgangspunt. De overheidsnormering vraagt primair om bestuurlijke waarborgen, terwijl de rechtsnormen die het gedrag van burgers beinvloden, rechtsbescerming noodzakelijk maken ". Pengaturan mengenai OJK dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 telah memenuhi dimensi norma, sarana dan jaminan yang menjadi dimensi utama Hukum Administrasi Negara. Hal itu selain menjadi dasar teoretis bagi pengaturan kewenangan OJK, juga merupakan amanah konstitusi yang harus diwujudkan melalui fungsi dan kewenangan OJK. OJK dimaksudkan untuk memberikan jaminan pemerintah ( bestuurlijke waarborgen) terhadap masyarakat konsumen/pengguna OJK yang melakukan aktivitas di sektor jasa keuangan. Fungsi jaminan itu diwujudkan melalui instrumen perijinan terhadap aktivitas keuangan bagi penyelenggara jasa perbankan maupun non perbankan. Kewenangan penetapan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan merupakan salah satu fungsi penormaan pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 101 ( bestuursnormering ) yang diarahkan pada upaya memberikan jaminan pemerintahan (bestuurlijke waarborg ) untuk memberikan petlindungan hukum ( rechtsbescherming ) terhadap masyarakat pengguna jasa keuangan; Perkembangan mutakhir dalam hukum administrasi negara menunjukkan adanya arah penyelenggaraan fungsi pemerintsh yang semakin berfokus pada pengguna pelayanan/konsumen. Dikatakan oleh John McMillan (2009) bahwa: "Compliance with legal standards is the starting premise in all codes of good administration, but the newer codes go further. An emerging principle or standard is the need for agencies to be customer focus delivery of citizen-centred services … Deliver high-quality programs and services that put the citizen first’.The reason for this new emphasis is that people now interact wiath government differently, more frequently, and with heightened expectations. This is a product of the expansion in government benefits, subsidies, licences, taxes, contracts, authorisations, sanctions, penalties, services and regulatory programs. People now relate to government in many ways – as citizens, clients, consumers and customersssed – or, as Prime Minister Rudd recently described it, to engage in." Hadirnya OJK bisa diharapkan akan menjafi institusi independen yang berfokus pada perlindungan masyarakat/ konsumen jasa keuangan. Hal itu juga dinyatakan melalui tujuan pembentukan OJK sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Hal itu akan berimplikasi terhadap pelayanan publik pemerintah di sektor jasa keuangan yang semakin "customer focus delivery of citizen-centred services." Tujuan itu dilaksanakan melalui berbagai kewenangan pengawasan dan perijinan vide Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011, termasuk kewenangan pencabutan ijin yang merupakan salah satu bentuk sanksi dalam hukum administrasi negara, Hal itu diharapkan dapat memperkuat dan melindungi sektor keuangan Indonesia dari potensi terjadinya krisis keuangan melalui peranan OJK untuk mendorong penguatan fondasi sektor keuangan; Kedudukan Pungutan OJK Dalam Pasal 23A UUD 1945 diatur bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 Rumusan itu merupakan hasil dari Perubahan III UUD 1945 tanggal 9 November 2001. Berkaitan dengan keuangan guna membiayai operasional kinerja darI OJK, Pasal 37 UU Nomor 21 Tahun 2011 mengatur beberapa hal prinsip terkait keuangan OJK, sebagai berikut:
OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan;
Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK;
OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri;
Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah; UU OJK mengatur norma yang bersifat mandatory mengenai kewenangan OJK dalam melaksanakan kewenangan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Legalitas ( rechtsmatigheid ) pungutan tersebut dapat diukur dari sifat koherensi norma hukum UU OJK dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945. Kewenangan untuk melakukan pungutan tersebut merupakan implikasi pengaturan Pasal 34 ayat (2) UU OJK, yang mengatur bahwa Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Sifat norma hukum tersebut pada hakikatnya merupakan legal policy yang memberikan kewenangan bagi OJK untuk melakukan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan yang bisa bersifat tambahan dari keuangan yang bersumber dari APBN atau menjadi alternatif dari keuangan OJK yang diperoleh dari APBN. Jika dibandingkan dengan OJK di beberapa negara lain, sumber keuangan OJK-OJK tersebut pada umumnya bersumber dari pihak- pihak yang bergerak di sektor jasa keuangan atas konsiderasi untuk menumbuhkan kemandirian OJK; Jika Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 37 UU OJK ditarik koherensinya secara vertikal ke atas sampai di ranah konstruksi Pasal 23A UUD 1945, maka norma hukum mengenai pungutan dalam UU OJK tersebut memenuhi syarat dan kriteria Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 dari pungutan sebagaimana diatur pada Pasal 23A UUD 1945 tersebut. Selanjutnya, apabila Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 37 UU OJK dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan berikutnya antara lain Pasal 38 UU OJK yang mengatur pelaporan dan akuntabilitas OJK, maka, pada hakikatnya pengaturan mengenai keuangan serta pungutan dalam UU OJK tetap memenuhi asas kelengkapan ( volledigheid , universalitas) dan asas berkala (periodisitas) sebagai asas-asas klasik yang diakui oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Asas kelengkapan ( volledigheid ) pada intinya merupakan asas yang mempertahankan hak budget parlemen secara lengkap sehingga penguasa publik tidak terlepas dari pengawasan DPR; Asas berkala (periodisitas) mengandung makna bahwa pemberian otorisasi dan pengawasan rakyat dengan perantaraanwakilnya secara berkala dalam kebijaksanaan pemerintah guna memenuhi fungsinya. Dengan periodisitas ini memungkinkan pemberian otorisasi dan pengawasan rakyat berjalan secara teratur. Periodisitas ini tidak menghilangkan pengawasan rakyat, tetapi juga harus diperhatikan agar kesempatan pemerintah untuk menjalankan rencananya tetap berlaku. Kedua hal ini merupakan persyaratan pencapaian tujuan demokrasi dalam hukum tata negara. Beberapa ketentuan dalam Pasal 38 UU Nomor 21 Tahun 2012 menunjukkan tetap dipenuhinya asas kelengkapan ( volledigheid ) dan asas berkala dalam pengaturan mengenai keuangan OJK;
OJK wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri atas laporan keuangan semesteran dan tahunan;
OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan;
Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan penjelasan, OJK wajib menyampaikan laporan;
Periode laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember;
OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat;
Laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat; Pengaturan mengenai pengelolaan keuangan dalam OJK baik yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari masyarakat tersebut tetap memenuhi asas-asas yang terkandung dalam Pasal 23 UUD 1945. Pasal 23 UUD 1945 itu mengandung 3 (tiga) asas yang saling berkaitan secara erat, yaitu:
Asas berkala ( periodiciteit beginsel), yaitu anggaran negara tersebut dianggarkan untuk jangka waktu tertentu. 2. Asas terbuka ( openbaar beginsel), yaitu prosedur pembahasan anggaran negara oleh DPR dan Pemerintah dilakukan secara terbuka baik melalui sidang terbatas pemerintah dengan Komisi APBN maupun dalam sidang Pleno (mencerminkan pula asas demokrasi). 3. Asas kedaulatan ( souvereiniteit beginsel), yaitu unsur kedaulatan rakyat melalui perwakilannya merupakan syarat mutlak terciptanya rencana anggaran negara tahunan ( jaarlijke machtiging) ; Ditinjau dari segi pengelolaan keuangan negara yang dikelola oleh OJK, baik yang bersumber dari UU APBN maupun pungutan dari pihak pengelola jasa keuangan, juga sudah memenuhi standar pengelolaan keuangan negara dalam UU Keuangan Negara yang didasarkan atas-asas pengelolaan keuangan negara yang merupakan pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain: • akuntabilitas berorientasi pada hasil; • profesionalitas; • proporsionalitas; • keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; • pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri PP Nomor 11 Tahun 2014 yang mengatur mengenai Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai implementasi dari Pasal 37 ayat (6) UU OJK dimaksudkan untuk memenuhi asas-asas pengelolaan keuangan negara tersebut dalam pelaksanaan pungutan oleh OJK. Pada intinya, pungutan yang dilaksanakan dan dikelola oleh OJK tidak menyimpang dari kaidah pengelolaan keuangan negara dalam APBN, kecuali yang memang diatur secara khusus dalam UU OJK berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan OJK yang bersifat khusus, sebagaimana diatur pada Pasal 35 UU OJK yang mengatur kekhususan berikut:
Anggaran OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya.
Anggaran dan penggunaan anggaran untuk membiayai kegiatan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan standar yang wajar di sektor jasa keuangan dan dikecualikan dari standar biaya umum, proses pengadaan barang dan jasa, dan sistem remunerasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pengadaan barang dan jasa Pemerintah, dan sistem remunerasi; Namun, kekhususan tersebut tidak menyebabkan terputusnya ikatan norma hukum tersebut dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana juga diatur pada Pasal 38 ayat (8) UU OJK yang menentukan bahwa Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dengan demikian, pengaturan mengenai keuangan dan pungutan dalam UU OJK tetap dilaksanakan berdasarkan sistem pengelolaan keuangan negara dalam sistem ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Dr. Maruarar Siahaan, S.H I. Legal Standing Pandangan kami tentang ketidak cukupan legal standing untuk menguji pasal-pasal dalam Undang-Undang Ototritas Jasa Keuangan, kami utarakan dalam hal-hal sebagai berikut:
Meskipun Pemohon telah mencoba menguraikan dasar argumen legal standing nya dalam permohonan pengujian ini, dapat dirasakan bahwa sesungguhnya dengan dasar bahwa Pemohon sebagai pembayar pajak dan aktivis yang juga melakukan advokasi di bidang APBN, tidak terlihat urgensi dan relevansinya. Dasar hukum legal standing harus dikembalikan kepada jurisprudensi tetap Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 dengan 5 (lima) syarat yang memuat adanya hak konstitusional yang diberikan UUD 1945, dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, kerugiannya spesifik dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial, yang terjadi karena ada hubungan kausal antara kerugian konstitusional dengan undang-undang yang diuji dan adanya kemungkinan jika permohonan dikabulkan, kerugian hak konstitusional tidak akan terjadi lagi. Norma dalam Putusan tersebutlah seharusnya yang digunakan sebagai dasar pengakuan legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian di MK, agar terdapat konsistensi dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 Pembayar pajak sebagai dasar hukum legal standing di MK, sesungguhnya baru berdasarkan putusan yang terbatas secara individual yang berdiri sendiri, yang masih diperdebatkan karena umumnya kedudukan demikian jikalau dikaitkan dengan jurisprudensi tetap MK soal legal standing , sesungguhnya masih diakui secara terbatas, dan belum merupakan jurisprudensi tetap yang mengikat;
Indikator bahwa standing untuk mengajukan pengujian dilihat dari aspek kerugian hak konstitusional khususnya jaminan hak atas rasa aman berdasar Pasal 27 UUD 1945, yang berbunyi “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa ada kecuali ” , dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945: “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang __ dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Kedua pasal yang dikutip tidak merujuk tentang hak konstitusional, sebagai hak yang diberikan kepada warga negara oleh konstitusi, dan dengan demikian justru memberikan kewajiban pada negara untuk memenuhi hak konstitusional;
Seandainyapun permohonan Pemohon dikabulkan maka tidak tampak bahwa kerugian hak konstitusional yang disebut mempunyai causal verband dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang yang dimohon untuk diuji, karena menurut hemat kami, kerugian yang diklaim Pemohon, tetap akan terjadi jikalau persoalan tentang hak konstitusi yang disebut dalam UUD 1945, yaitu kerugian konstitutional dalam hubungan dengan hak atas persamaan di depan hukum dan pemerintahan serta hak konstitusi atas “ anggaran ditetapkan dengan Undang-Undang serta dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ”, tetap terjadi, dan Pemohon tidak dapat menjelaskan dan menguraikan hilangnya kerugian konstitusional yang terjadi jika Undang-Undang OJK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Petunjuk bahwa bukanlah para Pemohon yang seharusnya mempunyai legal standing untuk mengajukan pengujian atas UU OJK, dapat dilihat dari seluruh ukuran yang ditentukan dalam jurisprudensi tetap MK yang telah menjadi bagian dari hukum acara, khususnya causal verband antara kerugian Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 konstitusional Pemohon yang dinyatakan dalam permohonan dengan dibentuknya OJK. MK perlu menegaskan sikap dalam pendirian tentang legal standing berdasarkan dalih tax payer tersebut; II. Permohonan Putusan Provisi Dalam tahap pemeriksaan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 saat ini, terlepas dari ketiadaan norma hukum acara, baik dalam UU MK maupun dalam jurisprudensi MK yang mengenal pengaturan provisionel eis , baik karena sisi urgensi kepentingan konstitusional yang harus dilindungi oleh berlakunya satu norma, maupun karena pengaturan yang ada dalam UU MK sendiri yang memuat asas presumption of constitutionality , yang menentukan bahwa semua Undang-Undang yang telah diperlakukan harus dipandang konstitusional sampai dengan dibatalkannya Undang-Undang tersebut dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945, maka tidak relevan lagi berbicara tentang provisi. Secara eksplisit diatur dalam Pasal 58 UU MK, yang menegaskan bahwa: “ Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun _1945”; _ Dengan pengaturan demikian, memang jelas bahwa kepentingan konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 melalui cara bekerjanya lembaga- lembaga jasa keuangan dengan jumlah taruhan yang sungguh besar, suatu kemungkinan saja untuk menghentikan bekerjanya OJK tanpa melalui putusan provisi melainkan putusan akhir, tidak terbayangkan akibatnya, karena dapat menjadi kekacauan atau disaster yang berantai, yang dapat memicu krisis ekonomi. Jikalau lembaga baru i.c. OJK dihentikan sementara saja, akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar, karena beragamnya produk jasa keuangan yang menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks dan saling terkait antara produk dan lembaga jasa keuangan, baik di bidang perbankan, asuransi, dana pensiun, modal ventura, obligasi, SUN dan lain-lain. Tanpa pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi, dengan jumlah dana besar yang bergulir, akan menimbulkan kekacauan besar-besaran, yang boleh jadi mengakibatkan kolapsnya sistem perekonomian dan keuangan Indonesia. Putusan yang bersifat sementara atau permanen demikian akan sangat berbahaya. Oleh karenanya, terkadang menyebabkan timbulnya pikiran bahwa dalam kebijakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 publik dalam bentuk Undang-Undang yang menyangkut Undang-Undang dengan regulasi suatu bidang ekonomi dengan pengaruh yang mendasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tampaknya kemungkinan digunakannya mekanisme pengujian suatu RUU yang telah disetujui bersama sebelum diundangkan – mekanisme yang dikenal dengan judicial preview – di mana semua pihak dapat menumpahkan pikiran dan pendapatnya tentang suatu kebijakan publik yang mendasar, tidak dibayangi ketakutan akan dampak yang timbul secara dahsyat, seandainya suatu Undang-Undang tertentu dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam suatu proses judicial review ; III. Materi Muatan Konstitusi Sebagai Grundnorm dan Constitutional Boundaries Konstitusi modern yang menjadi hukum tertinggi dan menjadi pedoman dalam politik hukum penyelenggaraan negara, bukan hanya memuat norma-norma dasar yang secara kongkrit dirumuskan, melainkan juga memuat prinsip atau asas konstitusi yang terumuskan secara umum dan hanya dalam garis besar. Lebih dari sebagai suatu dokumen yang ringkas dan supel khususnya UUD 1945 – setelah perubahanpun – dengan pembukaan yang merupakan jiwa dan filosofi di atas mana negara Republik Indonesia dibentuk serta tujuan dibentuknya negara R.I. yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, menunjukkan bahwa dia lebih dari sekedar dokumen juridis. Dari Pembukaan UUD 1945, yang menentukan arah dan tujuan dibentuknya negara R.I., sangat jelas bahwa tujuan tersebut didasari oleh suatu pandangan bangsa tentang suatu negara yang disebut sebagai negara kesejahteraan atau welfare state . Bertolak belakang dengan konsep negara dalam pemilikiran liberalisme, dengan peran negara yang terbatas dan bahkan dirumuskan dalam satu kurun waktu sejarah hanya sebagai penjaga malam, maka dalam konsep negara kesejahteraan, peran negara dalam mengupayakan kesejahteraan menjadi sedemikian luasnya, sehingga keberadaan lembaga negara yang ada dalam organisasi kekuasaan, menjadi tidak memadai lagi. Oleh karena besarnya peran negara dalam konsep negara kesejahteraan tersebut, muncul kebutuhan akan lembaga negara yang tidak dikenal dalam praktik semula, dan kemudian terbentuk dalam lembaga negara yang independen; Kebutuhan akan organ yang akan menjalankan kewenangan tertentu dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat mengalami perkembangan, sehingga untuk memenuhi hal itu berdasarkan organ-organ negara yang secara tradisional Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 ada, tidak lagi memadai. Akibatnya perkembangan organ atau lembaga yang independen merupakan kecenderungan yang terjadi secara universal, bahkan di negara-negara yang menganut paham liberalisme yang sangat mempraktikkan peran negara secara terbatas, justru mempelopori kelahiran lembaga-lembaga negara yang independen tersebut. Oleh karenanya, norma dasar konstitusi yang seyogianya mengatur pembentukan organ-organ negara secara ekplisit dan tegas sehingga dapat membentuk struktur organisasi kekuasaan negara dalam konstitusi sepanjang mengenai lembaga negara yang menerima kewenangannya langsung dari konstitusi, tidak lagi mampu memberi gambaran yang total tentang organ-organ yang menerima kewenangannya dari undang-undang dasar, dan berdasarkan delegated auhority of legislation dikuasakan pembentukannya dalam satu Undang-Undang. Secara analogis kita dapat melihat keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002; Dasar konstitusionalitas kelembagaan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemerintahan, dalam suatu negara kesejahteraan tidak selalu hanya merujuk kepada suatu norma fundamental konstitusi yang secara eksplisit ditemukan dalam UUD 1945, karena tugas, fungsi dan tujuan negara secara filosofis, sosiologis dan juridis dapat menjadi landasan pembentukan kebijakan dan peraturan perundangan yang diperlukan dalam penyelenggaran pemerintahan. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara jelas menyebut bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Jikalau norma fundamental dalam UUD 1945 menjadi sumber hukum dan validitas norma hukum dibawahnya yang diperlukan dalam penyelengaraan negara, maka norma fundamental tersebut bersumber pada Grundnorm yang menjadi landasan politik hukum yang selalu menjadi orientasi kedepan, upaya memperbaharui ius constitutum kearah _ius constituendum; _ Untuk menemukan landasan politik hukum dalam pembentukan organ negara yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu yang tidak memadai lagi untuk diserahkan kepada lembaga yang secara tradisional ada dalam organisasi kekuasaan negara, maka untuk mencegah atau mengantisipasi timbulnya kondisi atau keadaan yang dapat menimbulkan pelanggaran terhadap konstitusi ketika mandate konstitusi tidak dapat ditemukan secara tegas, maka melalui suatu naskah akademis, diperhitungkan adanya suatu ruang yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 memungkinkan diskresi pembuat kebijakan dapat terlaksana secara bebas dan baik. Dalam ruang lingkup demikian dengan batas-batas yang diperhitungkan tidak dapat dilanggar pembuat kebijakan, maka dengan konstruksi. Dapat dibangun apa yang disebut ruang dalam mana diskresi pembuat kebijakan bergerak secara bebas. Jikalau kebijakan atau politik hukum yang dipilih untuk dilaksanakan tersebut tampak melampaui batas konstitusi ( constitutional boundary) yang dirumuskan, maka kebijakan demikian dihindari, karena potensil diuji dan dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Indikator konstitusionalitas tersebut dapat dirumuskan melalui interpretasi, konstruksi dan penghalusan terhadap:
Pembukaan UUD 1945, yg memuat pandangan hidup bangsa dalam Pancasila;
Tujuan Bernegara dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945;
Norma Konstitusi yang bersifat HAM dan Bukan, dalam Batang Tubuh UUD 1945. Dengan pencarian makna melalui interpretasi dan konstruksi untuk membentuk ruang gerak dengan batas yang ditentukan untuk tidak dilampaui, maka dapat ditemukan suatu ruang yang bebas bagi diskresi pembuat Undang- Undang, untuk membentuk kebijakan publik berdasar politik hukum yang mengacu pada konstitusi sebagai hukum dasar. Undang-Undang OJK menurut pendapat saya masih dalam ruang yang tidak melanggar constitutional boundary tersebut; IV. Pokok Permohonan 1. Umum Setiap penyelenggara negara berhak dan wajib untuk menafsirkan konstitusi atau UUD 1945 sebelum melaksanakan tugasnya dalam penyelenggaraan Negara, baik sebagai legislator dalam pembuatan Undang- Undang atau dalam pengujian Undang-Undang tersebut. UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis, menyiratkan adanya kostitusi yang tidak tertulis sebagai bagian yang dianggap tidak terpisah, yang ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945, dalam filosofi kehidupan bernegara dan berbangsa serta dalam tujuan yang ditetapkan kearah mana suatu negara yang terbentuk itu akan berjalan. Seluruh konstitusi yang termuat dalam pembukaan dan batang tubuh tersebut juga memuat dan membentuk asas-asas konstitusi yang harus ditemukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 dengan interpretasi, konstruksi dan penghalusan hukum ( rechtsverfijning ), untuk dapat dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang dipandang serasi dengan konstitusi, sebagai kebijakan yang sumber keabsahan atau validitas dan legitimasinya dapat ditetapkan tidak bertentangan dengan UUD 1945; Konsepsi negara kesejahteraan ( welfare state ) yang mewajibkan adanya state intervention dalam penyelenggaran negara untuk mencapai peningkatan kesejahteraan umum dan perlindungan segenap bangsa, merupakan hal yang sangat terbuka dalam mandat konstitusi bagi penyelenggara negara, sehingga lingkungan strategis lokal, nasional dan global harus menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan apakah suatu kebijakan harus dilakukan yang perlu dalam kerangka penyelenggaraan negara bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, dan apakah kebijakan demikian masih dalam kerangka constitutional boundaries yang ditetapkan dalam UUD 1945. __ Ruang dalam kerangka constitutional boundaries tersebut akan memberi petunjuk seberapa jauh pembuat Undang-Undang boleh bergerak dalam melakukan regulasi yang diperlukan untuk menyesuaikan kondisi nasional dengan perkembangan global, yang tidak dapat dielakkan karena interdependensi bagian-bagian dari dunia dengan dunia luar, yang turut menentukan keberhasilan untuk perlindungan dan kesejahteraan warga negara. Diskresi pembuat Undang-Undang harus juga digunakan untuk bergerak dalam ruang constitutional boundaries yang disebut di atas. Keberadaan dan praktik BI dalam pengawasan jasa keuangan, telah menjadi titik tolak disekresi yang berada dalam constitutional boundaries yang dimaksud; Oleh karenanya menentukan mandate konstitusi tidak cukup hanya dengan merujuk suatu pasal tertentu dalam UUD 1945 sebagai dasar dalam menentukan konstitusionalitas norma atau kebijakan yang akan dibentuk, melainkan harus menemukannya dengan tafsir, hermeneutika, konstruksi dan penghalusan. Terlebih lagi bahwa suatu norma konstitusi yang telah memuat suatu perintah secara tegas dalam konstitusi pun memerlukan kehati-hatian, karena suatu norma konstitusi yang biasanya terumuskan secara general (umum) dan hanya mengandung asas, dalam implementasinya mengalirkan norma turunan secara derivative , yang meskipun tidak secara tegas disebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 sebagai norma konstitusi, tetapi merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan demikian saja sebagai bagian dari konstitusi, terutama jika ada delegated authority of legislation yang diberikan kepada pembuat Undang- Undang. Oleh karenanya apa yang disebut sebagai norma yang konstitusional tidak dapat dilihat secara tunggal melainkan harus secara integral dalam doktrin kesatuan konstitusi, dari pembukaan sampai batang tubuh secara tidak terpisah satu dengan yang lain; Pengalaman menunjukkan krisis perbankan yang terjadi bukan berasal dari perbankan, melainkan dari bidang-bidang lain yang merembet kepada perbankan. Produk-produk jasa keuangan yang sudah demikian besar (dari sisi size), dari sisi keterkaitan konglomerasi, dan terakhir dari sisi kompleksitas masalah jasa keuangan, tampaknya menyebabkan BI tidak lagi tepat dan tidak mampu melakukan hal itu semua secara sendirian. Ketidak mampuan BI merespon perkembangan yang pesat di bidang jasa keuangan sudah menjadi kenyataan yang menjadi pengalaman kita sehingga keberadaan BLBI dan lain- lainnya menjadi problem yang harus dipikul sekarang ini. Oleh karenanya membesarnya tugas yang timbul dalam penyelenggaraan negara, dibidang pengawasan dan pengaturan jasa keuangan menjadi keniscayaan.
Lembaga Negara Independen Ketika tugas negara yang terbagi dalam organisasi kekuasaan yang tradisional seperti eksekutif, legislatif dan judikatif dalam menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dirasakan tidak mencukupi lagi, terasa kebutuhan untuk melakukan perluasan organ tersebut tetapi dengan membentuk badan- badan atau lembaga yang independen. Independensi lembaga tersebut terwujud dalam struktur yang berada di luar organisasi penyelenggara pemerintahan yaitu eksekutf, yudikatif dan legislatif. Kecenderungan untuk menetapkan organ baru yang muncul karena kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan, juga boleh lahir dari sikap yang ingin membebaskan lembaga baru dari keterpasungan birokrasi lama, melainkan memulai sesuatu yang baru, dengan ciri yaitu adanya kewenangan regulasi dan pengawasan dalam organ yang sama tetapi dalam mekanisme checks and balance ; Salah satu gejala yang sangat umum dewasa ini diseluruh dunia, adalah banyaknya lahir organ-organ atau lembaga baru yang menjalankan juga tugas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 dan kewenangan pemerintahan dan penyelenggaraan negara, diluar organisasi atau struktur kekuasaan yang lazim atau utama, baik disebut secara khusus dalam UUD, maupun dalam Undang-Undang atau hanya dengan peraturan yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena semakin luasnya tugas-tugas pemerintahan dalam penyelenggaraan kepentingan umum, akan tetapi yang dirasakan perlu dilakukan melalui partisipasi publik yang luas dan demokratis maupun sebagai mekanisme pengawasan yang lebih luas. Badan- atau organ yang bertumbuh tersebut sering disebut sebagai komisi negara atau lembaga negara pembantu (auxiliary state organ) . Bahkan sebelum reformasi pun, organ seperti ini, sudah sangat banyak dan sering dibentuk sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi, meskipun dalam kenyataan jawaban dengan organ baru demikian, boleh jadi merupakan beban secara keuangan, justru menambah kerumitan dalam penyelesaian masalah. Organ atau badan atau lembaga-lembaga independen ini, baik di negara maju maupun negara berkembang, bertumbuh dengan kewenangan yang bersifat regulatif, pengawasan dan monitoring, bahkan tugas-tugas yang bersifat eksekutif. Bahkan kadang-kadang lembaga independen demikian menjalankan ketiga fungsi sekaligus. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan untuk merampingkan organisasi Pemerintahan akibat tuntutan zaman untuk mengurangi peran pemerintahan yang sentralistis tetapi penyelenggaran negara dan pemerintahan dapat berlangsung effektif, effisien dan demokratis dalam memenuhi pelayanan publik. Jimly Asshiddiqie mencatat bahwa di Amerika Serikat lembaga-lembaga independen dengan kewenangan regulasi, pengawasan atau monitoring ini lebih dari 30-an ( Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006, hal 8) . Akan tetapi, seperti ditulis oleh Kenneth F. Warren, pada awal Pemerintahan di Amerika tidak ada badan independen yang memiliki kewenangan mengatur, namun karena sentimen masyarakat terhadap penyalahgunaan ekonomi pasar bebas yang terjadi pada 1800an, Pemerintah menjawab tuntutan masyarakat dengan pertama kalinya membentuk Interstate Commerce Commission, dan sejak itu sampai abad keduapuluh, badan-badan independen demikian telah bertumbuh seperti raksasa dan sangat berkuasa, yang mencerminkan problem dan tantangan yang kompleks dari satu perubahan masyarakat Amerika pada abad Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 baru ekplorasi ruang angkasa ( Kenneth F. Warren Administrative Law In The Political System,,Prentice hall, Upper Saddle River, New Jersey 07458, Third Edition, 1996, hal 78) . Indonesia menurut catatan kami memiliki kurang lebih 44 lembaga, badan atau komisi-komisi negara semacam ini, yang kemungkinan banyak diantaranya sudah tidak aktif lagi karena memang ada yang dibentuk oleh pemerintahan masa lalu, yang mungkin tidak memperoleh anggaran yang cukup lagi untuk mendukung kegiatannya, atau barangkali tidak dipandang relevan lagi; Semua badan, organ atau lembaga demikian, apakah bernama dewan, komisi atau badan, yang menyelenggarakan (sebagian) fungsi pemerintahaan, secara umum disebut juga lembaga negara, yang dibedakan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang disebut juga non-govermental organization (NGO). Istilah-istilah lembaga, badan atau organ sering dianggap identik, sehingga meskipun sesungguhnya dapat berbeda makna dan hakikatnya satu sama lain, orang dapat menggunakan satu istilah untuk arti yang lain. Dalam pembicaraan kita sekarang ini, yang penting untuk dibedakan apakah lembaga atau badan itu merupakan lembaga yang dibentuk oleh dan untuk negara atau oleh dan untuk masyarakat. Lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara . Dalam ”Sengketa Kewenangan Lembaga Negara”, maka kata lembaga negara termuat hanya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya adalah ” memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, hal mana dengan kata-kata yang sama diulangi lagi dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Kejelasan tentang organ mana yang disebut sebagai lembaga negara menurut UUD 1945 sebelum perubahan, baru dapat terlihat secara tegas dalam ketetapan MPRS, baik Nomor XX/MPRS/1966, Nomor XIV/MPRS/1966, Nomor X/MPRS/1969 dan Nomor III/MPR/1978. Dari ketetapan MPRS dan MPR tersebut kita dapat melihat adanya kualifikasi lembaga negara yang berbeda yaitu Lembaga Tertinggi Negara yang disebut MPR dan Lembaga Tinggi Negara yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan Mahkamah Agung. MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah penjelmaan seluruh rakyat sebagai pemegang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 115 kedaulatan, dan dalam realitasnya MPRlah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi . Setelah UUD 1945 mengalami perubahan, kita juga tidak dapat menemukan kejelasan definisi lembaga negara. Kalau dilakukan inventarisasi dalam UUD 1945 setelah perubahan kita memang menemukan lembaga-lembaga negara yang disebut, baik secara tegas yang dibentuk dan menerima kewenangan dari UUD 1945, atau yang hanya disebut adanya satu lembaga untuk fungsi tertentu, yang kemudian nama dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang mengenai lembaga negara tersebut. Misalnya Pasal 22 ayat (5) yang mengatur bahwa ” pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri” dan ayat (6) menentukan bahwa ” ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Demikian juga Pasal 23D UUD 1945 hanya menyebut adanya satu bank sentral, yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang; Dari ketentuan tersebut juga dapat diketahui bahwa penyebutan adanya lembaga negara dalam UUD belum dengan sendiri menentukan bahwa lembaga yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945. Ada kalanya penyebutan dalam UUD 1945 merupakan penugasan kepada pembuat Undang-Undang untuk membentuk lembaga negara, dan mengatur hal-hal yang menyangkut kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam satu Undang-Undang. Dalam hal demikian dia menjadi organ atau lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari Undang-Undang, namun tetap merupakan lembaga negara yang konstitusional. Konsep Independensi Independensi suatu lembaga sesungguhnya diberikan karena dibutuhkan untuk dijadikan dasar dari suatu sikap netral ( impartial ) dan boleh membebaskan diri dari kungkungan conflict of interest diantara subjek pengawasan dan yang memiliki kepentingan lain. Independensi, merupakan prasyarat bagi terwujudnya sikap netral dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Kemandirian dan kemerdekaan lembaga, dengan menempatkannya tidak dibawah kekuasaan eksekutif, legislatif __ maupun yudikatif, tidak menyebabkan bahwa lembaga tersebut menjadi superbody , karena mekanisme pengawasan secara hukum pidana, maupun administrasi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 116 dan tatanegara, merupakan hal yang terjadi secara mekanis dalam proses checks and balances . Baik komisioner OJK sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, independensi dirumuskan sebagai kebebasan dari pelbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri lembaga, baik sebagai intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung, maupun berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari siapapun, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi atau bentuk lain; Mekanisme masa jabatan dan pemilihan pejabat yang duduk dalam lembaga independen tersebut umumnya menjadi metode yang sering digunakan untuk menunjukkan independensi lembaga tersebut, ysng akan terjamin jika secara konsisten dilaksanakan. Seorang yang diangkat dengan mekanisme pemilihan yang biasanya dilakukan oleh DPR, juga dijamin kedudukannya dalam masa jabatan tertentu tidak dapat dihentikan, kecuali karena adanya pelanggaran pidana yang berat menyebabkan pejabat yang bersangkutan harus diberhentikan dari jabatannya. Otoritas Jasa Keuangan yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, memuat seluruh persyaratan sebagai lembaga Negara yang independen; Integrasi Kewenangan Regulasi dan Pengawasan. Tampaknya integrasi kewenangan regulasi dan pengawasan dalam satu lembaga merupakan ciri dari lembaga independen, di mana kewenangan eksekutif, legislatif dan yudikatifnya disatukan dalam satu lembaga. Jika hal demikian terdapat pada OJK, maka menurut hemat kami, tidak mengganggu derajat independensi lembaga induk (BI), yaitu kewenangan BI yang seharusnya tidak boleh diambil tetapi diambil, sehingga berkurang sentralitasnya, dan juga tidak mengurangi kewenangan lembaga induk serta ciri dan fungsi utama lembaga induk atau BI, tidak dikurangi dalam hal sentralitas BI dalam UUD. Sistem keuangan dan perekonomian nasional, terutama berkembangnya lembaga jasa keuangan dengan fungsi utama sebagai intermediasi dengan innovasi finansial, telah menciptakan sistem yang kompleks, dan dalam perkembangannya yang pesat didorong oleh proses globalisasi. Hal tersebut telah mengakibatkan tugas tersebut tidak lagi dapat diserahkan kepada BI sebagai Bank Sentral dengan tugas pokok sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 117 otoritas moneter. Pengalaman masa lalu ketika BI sebagai Bank Sentral menggunakan instrument moneter berupa bantuan liquiditas untuk menyehatkan kondisi bank yang diawasi adalah disebabkan karena bank sentral keinginannya menutupi kelemahan akibat pelanggaran terhadap prudential banking [Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hal. 10] . Hal ini telah mengakibatkan masalah yang tidak dapat dipandang selesai sampai saat ini; Adanya kewenangan yang meliputi fungsi regulasi dan pengawasan bahkan sering ajudikasi sebagai fungsi judikatif terjadi dalam lembaga Negara independen secara universal. Dengan kompleksitas masalah dalam bidang jasa keuangan dengan produknya yang beragam dan pemain yang meliputi asing dengan jumlah dana yang besar, menyebabkan perlunya dilakukan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan jasa keuangan secara lebih terintegrasi ( ibid, hal.3) Kesewenang-wenangan yang mungkin dapat timbul dalam hal demikian, dapat dicegah dengan membangun system checks and balances baik secara internal maupun melalui lembaga lain secara eksternal dalam judicial review dan mekanisme hukum lain yang tersedia. Dampak Globalisasi Terhadap Ekonomi dan Keuangan Nasional Globalisasi, sebagai satu proses transformasi meliputi seluruh aspek kehidupan. Hal itu semakin dirasakan membawa pengaruh mendalam baik dalam kehidupan pribadi secara individual maupun secara kelembagaan dalam kehidupan negara dan masyarakat, ketika gagasan, dana dan nilai-nilai kultural masuk kedalam ruang-ruang kita secara mudah menembus batas ruang dan waktu. Komunikasi yang amat mudah dengan kecepatan tinggi dan transportasi yang murah membawa proses globalisasi tersebut mentransformasi kehidupan manusia dan lembaga yang dikenal dalam negara dan masyarakat. Interaksi sosial, politik, ekonomi, finansial, ilmu pengetahuan, teknologi dan kultural antara satu bagian dunia dengan bagian dunia lain, terjadi dan berlangsung demikian saja dengan satu tekanan klik pada perangkat elektronik. Akibatnya dikatakan bahwa dunia ini telah menjadi rata ( the world is flat ) [ Thomas L. Friedman, The World is Flat, The Globalized World in the Twenty First Century, Penguin Books 2006, hal 7 ]. Globalisasi ada kaitannya dengan dalil bahwa kita sekarang hidup dalam satu dunia ( Anthony Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 118 Giddens, Run Away World, How Globalisation is Reshaping Our Lives,Profile Books,h. 7 ). Dibawah pengaruh globalisasi, kedaulatan negara telah menjadi semakin kabur atau tidak jelas, karena kekuatan global dapat mempengaruhi kehidupan warganegara disatu teritorial tertentu; Meskipun begitu banyak dimensi yang dapat diperlihatkan oleh kata Globalisasi , dan dimana-mana orang mengatakan bahwa kita hidup dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagian besar ditentukan oleh proses global, dimana garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional yang semakin kabur, akan tetapi inti dari persepsi ini adalah terjadinya proses globalisasi ekonomi yang muncul dan berjalan dengan sangat cepat ( Paul Hirst & Grahame Thomson, Globalization in Question, dialih bahasakan P. Sumitro, Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia Dan Kemungkinan Aturan Mainnya, Yayasan Obor Indonesia 2001, hal 1 ). Dikatakan lebih lanjut, bahwa telah muncul, atau sedang muncul, suatu sistem ekonomi yang benar-benar global, dimana didalamnya tercakup ekonomi nasional dan, karena itu strategi pengelolaan ekonomi nasional, semakin memerlukan kreativitas untuk bertahan. Dinamika dasar ekonomi dunia telah mencakup seluruh dunia; ekonomi dunia dikuasai oleh kekuatan pasar bebas yang tak terkendali, dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai pelaku utama dan pembawa perubahan ( ibid) . Satu ciri dari globalisasi ekonomi dapat ditunjuk kebebasan modal bergerak dari satu negara kenegara lain, sehingga dalam keadaan tertentu pergerakan jangka pendek modal memasuki satu negara, dan ketika kemudian tiba-tiba ditarik kembali, akan terjadi gangguan besar bagi sistem moneter negara tersebut. Meski kebijakan moneter Amerika tidak diterapkan keseluruh dunia akan tetapi mata uang dollar menjadi alat pembayaran utama dalam sistem perdagangan internasional. Sistim nilai tukar mengambang dan pusat pusat pasar modal di Amerika sangat berpengaruh pada pasar modal diseluruh dunia, sehingga fluktuasi yang terjadi secara berantai akan membawa dampak ke pasar modal negara lain ( Tetapi saat ini mata uang dollar tidak lagi perkasa, dan terutama karena krisis yang dipicu oleh prime mortgage, orang mulai beralih kemata uang euro (Harian Kompas Oktober 2007 ). Tidak ada pemerintah nasional yang dapat menjalankan dengan effektif Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 119 tata aturan ekonomi apapun, bila tata aturan itu menyimpang dari standar internasional dan merugikan kepentingan TNC yang beroperasi diwilayahnya (Paul Hirst & Grahame Thomson, op.cit hal 19 _); _ Satu transformasi, yaitu perubahan dalam struktur, tampilan atau karakter terjadi secara luas dan besar-besaran, sebagai akibat proses globalisasi. Semua negara, wilayah, lembaga, masyarakat dan individu terkena dampaknya, yang juga mengakibatkan terjadinya perubahan besar dalam interaksi dan interelasi secara kelembagaan, wilayah dan antar masyarakat serta individu. Respon yang memadai terhadapnya tidak dapat diabaikan sama sekali, karena penetrasi yang terjadi secara global telah melampaui dengan mudah batas-batas negara, bahkan-batas-batas yang ingin dijaga dalam rumah keluarga-keluarga. Meskipun proses globalisasi sesungguhnya mempunyai banyak dimensi-sebagaimana telah diuraikan dibagian awal-akan tetapi sesungguhnya orang lebih banyak berbicara tentang proses dan dampaknya dalam bidang ekonomi. Hal itu terjadi karena dampak globalisasi dibidang ekonomi dapat menyengsarakan rakyat diwilayah atau negara tertentu secara signifikan, karena tidak siap dan tidak mampu menghadapi perubahan yang terjadi secara global tersebut. Umumnya negara- negara yang miskin dan sedang berkembang, dengan kemampuan ekonomi dan teknologi yang rendah tidak siap menghadapinya. Apalagi jika kebijakan yang diambil tidak dapat memperhitungkan keadaan domestik secara sosial, ekonomi dan kultural yang tidak memiliki kesiapan yang memadai, diharuskan bersaing secara bebas dan terbuka dengan aktor asing yang lebih canggih. Sesungguhnya transformasi yang terjadi dengan globalisasi sekarang menyebabkan hampir seluruh dunia, sedikit banyak terhubung kedalam sistem dunia yang semakin terintegrasi, dimana parameter pasar mendominasi; Pasal 33 UUD 1945 dan Kebijakan Ekonomi Globalisasi dan integrasi dunia melalui perdagangan bebas dengan filosofi pasar bebas, mau tidak sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dan keuangan Indonesia. Dalam hal demikian perlindungan yang diperlukan dalam menjaga segenap bangsa semakin menjadi besar. Memang kemungkinan UU OJK merupakan salah satu yang diajukan oleh IMF sebagai persyaratan untuk bantuan membenahi ekonomi Indonesia, tetapi tidak selalu Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 120 dapat disimpulkan secara sederhana bahwa hanya karena demikian saja UU OJK tersebut bertentangan dengan UUD 1945; UUD 1945, yang memuat konstitusi Ekonomi, yang telah beberapa kali dijadikan batu penguji terhadap kebijakan ekonomi yang tertuang dalam undang-undang yang dimohonkan review oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 yang menentukan prinsip penguasaan negara, demokrasi ekonomi dan kebersamaan, effisiensi berkeadilan, dan pembangunan yang sustainable serta berwawasan lingkungan oleh Mahkamah diartikan bahwa penguasaan itu tidak selalu dalam arti mutlak 100%, sepanjang penguasaan atas pengelolalan tersebut memberi pada negara posisi yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan, sehingga oleh karenanya juga divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam BUMN yang mengelola sumber daya alam tidak dapat dianggap bertentangan dengan UUD 1945 [ _Pasal 33 ayat (4) UUD 1945: _ “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional] , sepanjang penguasaan negara efti atas cabang produksi strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta sumber daya alam, dan sepanjang Negara memiliki posisi dominan dalam policy making badan usaha melalui komposisi saham. Dengan kata lain dalam tafsiran Mahkamah, privatisasi dan kompetisi sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara dalam arti posisi yang menentukan dalam pengambilan keputusan kebijakan tetap, dalam tangan negara, dapat diterima dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 ( Ibid, hal 336-349 _); _ Dalam krisis keuangan yang dapat menimbulkan krisis global, yang dikatakan seperti tsunami, bagi Indonesia dampak ”globalisasi” secara buruk kelihatannya berjalan satu arah. Kita tidak mampu memberi perlawanan, dan menjadi korban. Sejak era Pemerintah Orde Baru, dua kekuatan utama telah menelan Indonesia, yaitu pertama ”kekuatan deregulasi” yang memaksa keterbukaan akses pasar nasional, yang awalnya hanya meliputi perdagangan, tetapi kemudian meliputi investasi asing. Kedua, pertumbuhan perjanjian dagang regional, ternyata telah menggeser proses regulasi kearah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 121 skala yang berbeda ( Kami menggunakan dua kekuatan itu dari Paul Dickens, op.cit hal 427 _); _ Kritik Stiglitz, yang mengecam pendekatan IMF “ one-size-fits-all”, yang dianggap memberikan solusi dengan cara yang sama dengan tidak mempertimbangkan keadaan nasional yang berbeda, menyatakan l dengan cara yang lugas: ”... Especially at the International Monetary Fund , decisions were made on the basis of what seemed a curious blend of ideology and bad economics, dogma that sometimes seemed to be thinly veiling special interest… While no one was happy about the suffering that often accompanied the IMF programs, inside the IMF, it was simply assumed that whatever suffering occurred was a necessary part of the pain countries had to experience on the way to becoming a successful market economy, and that the measures would, in fact reduced the pain the country would have to face in the long run. The hypocrisy of pretending to help developing countries by forcing them to open up their market to the goods of advanced industrial countries while keeping their own market protected, policies that make the rich richer and the poor more impoverished and increasingly angry (Joseph E. Stiglitz, Globalization And Its Discontents, Allen Lane Penguin Books 2002, hal xiii,xiv dan xv). Dibagian lain Siglitz menyebutkan bahwa kenyataan tidak adanya mekanisme pasar yang sempurna dapat disimak dari pernyataan Joseph Stiglitz : ” presumption that markets, by themselves, lead to efficient outcomes, failed to allow for desirable government interventions in the market and make everyone better off ” ( Putusan MK op.cit hal 330-331 ) _; _ Banyak dimensi yang dapat diperlihatkan oleh kata Globalisasi , dan dimana-mana orang mengatakan bahwa kita hidup dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagian besar ditentukan oleh proses global, dimana garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional yang semakin kabur, akan tetapi inti dari persepsi ini adalah terjadinya proses globalisasi ekonomi yang muncul dan berjalan dengan sangat cepat ( Paul Hirst & Grahame Thomson, Globalization in Question, dialih bahasakan P. Sumitro, Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia Dan Kemungkinan Aturan Mainnya, Yayasan Obor Indonesia 2001, hal 1) . Dikatakan lebih lanjut, bahwa telah muncul, atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 122 sedang muncul, suatu sistem ekonomi yang benar-benar global, dimana didalamnya ekonomi nasional dan, karena itu strategi pengelolaan ekonomi nasional, semakin terpengaruh. Dinamika dasar ekonomi dunia telah mencakup seluruh dunia; ekonomi dunia dikuasai oleh kekuatan pasar bebas yang tak terkendali, dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai pelaku utama dan pembawa perubahan ( _ibid); _ Mahkamah Konstitusi yang diberi mandat untuk mengawal konstitusi, memberi tafsiran atas pasal 33 UUD 1945 sebagai batu ujian konstitusionalitas kebijakan ekonomi yang diadopsi dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan memperhitungkan juga lingkungan strategis global yang berubah. Mahkamah Konstitusi secara khusus telah memberi pengertian ”penguasaan oleh negara” dalam putusan-putusannya sebagai berikut ini : ” ...dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem...,maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas dari pada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik dibidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin ”dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalam wilayah negara, pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu Pasal 33 ayat (3) menentukan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sesesar-besar kemakmuran rakyat”. ”...pengertian ”dikuasai negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, termasuk pula didalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 123 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)” (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-02-022/PUU- I/2003 ). Ini memperkuat keyakinan kita akan apa yang disebut ketidak sempurnaan pasar dan perlunya intervensi Pemerintah sebagaimana disebut Joseph Stiglitz: ” Behind the free market ideology there is a model, often attributed to Adam Smith, which argues that market forces-the profit motive-drive the economy to efficient outcomes as if by invisible hand. One of the great achievements of modern economics is to show the sense in which, and the conditions under which Smith’s conclusion is correct. It turns out that these conditions are highly restrictive. Indeed, more recent advances in economic theory-ironically occurring precisely during the period of the most relentless pursuit of the Washington consensus policies-have shown that whenever information is imperfect and market incomplete, which is to say always, and especially in developing countries, then the invisible hand works most imperfectly. Significantly, there are desirable government interventions which, in principle, can improve upon the efficiency of the market. These restrictions on the conditions under which markets result in efficiency are important-many of the key activities of government can be understood as responses to the resulting market failure” (Joseph E. Stiglitz, op.cit hal 73-74 ). __ Oleh karenanya Pasal 33 UUD 1945 sebagai konstitusi ekonomi Indonesia yang membentuk paradigma negara kesejahteraan ( Kita tidak menyebut paradigma sosialis, untuk menghindari kesan kembali mempertahankan kebijakan ekonomi yang dianut negara-negara komunisme dalam masa perang dingin, yang secara mutlak telah mengalami kekalahan dari sistem kapitalisme) , dengan tafsir mutakhir yang dilakukan Mahkamah Konstitusi, kami yakini dapat diterapkan di Indonesia, dengan memperhatikan tingkat perkembangan kondisi sosial, kultural dan ekonomi dari Negara dan bangsa Indonesia. Dalam menata dan melaksanakan tugasnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang didasarkan pada UUD 1945, kami melihat bahwa pemerintah pusat dan lokal dalam tugas pokoknya untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, ekonomi, dan pembangunan yang effektif dan effisien untuk mendukung terwujudnya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 124 perekonomian nasional yang berfihak pada ekonomi kerakyatan, yang merata, mandiri, handal, berkeadilan dan mampu bersaing dikancah perekonomian Internasional harus dapat memperhatikan paradigma negara kesejahteraan ( welfare state). Pembentukan OJK hemat kami sesuai dengan konsep pengawasan dan intervensi yang dibutuhkan untuk melindungi rakyat dan perekonomian Indonesia dari praktik di bidang jasa keuangan yang merugikan perekonomian masyarakat dan negara, karena sebagai lembaga negara yang independen, OJK adalah bagian dari organ negara, yang memenuhi syarat dalam tugas pengawasan dan pengaturan lembaga jasa keuangan, yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Justru dia menjadi bagian dari campur tangan negara untuk mengawasi dan mengatur jasa keuangan di Indonesia, dengan cara yang independen dan dibebaskan dari benturan kepentingan yang mungkin terjadi, yang menjadi amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pembukaan UUD 1945, sebagaimana telah ditasfirkan oleh Mahkamah Konstitusi; Sekali lagi kami memohon kehati-hatian Majelis yang Mulia Hakim MK, suatu putusan yang meniadakan lembaga OJK seperti yang terjadi pada BP Migas, membawa akibat yang sangat berbeda, karena akan menghilangkan kepastian hukum, kepercayaan investor asing, yang akan terdorong untuk menarik dana besar mereka secara mendadak, sehingga dapat menimbulkan panik dan kekacauan secara berantai, yang boleh menjadi krisis ekonomi; Kesimpulan 1. Pemohon tidak mempunyai dasar legal standing yang memadai untuk memohon pengujian UU OJK;
Karena keterkaitan ekonomi global dengan ekonomi Indonesia, maka Putusan MK, sekalipun hanya menghentikan untuk sementara kegiatan OJK, justru dapat menimbulkan krisis ekonomi di Indonesia;
UU OJK tidak melanggar constitutional boundary Dalam UUD 1945;
Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M Pada dasarnya, pengujian atas UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (lebih lanjut disebut UU OJK) dilakukan oleh karena Pemohon menganggap bahwa; Pertama , OJK ini bukanlah lembaga yang sah secara konstitusional dan karenanya tidak dapat disematkan sifat keindependenan padanya. Kedua , OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, padahal menurut Pemohon, hanya Bank Indonesia-lah yang memiliki sifat-sifat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 125 sebagai bank sentral dengan segala tugas dan fungsinya sehingga tidaklah tepat jika OJK diperbolehkan untuk memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana yang dimaksud di dalam UU OJK. Ketiga , pembentukan OJK menimbulkan banyak kerugian oleh karena OJK mengadakan pungutan terhadap perusahaan sektor jasa keuangan yang dijadikan sumber pendanaan OJK. Karena ini berarti entitas yang diawasi malah menjadi sumber dana dan akan mengganggu independensi OJK, khususnya OJK akan lebih memperhatikan industri jasa dan keuangan dibanding kepentingan publik; Dalam kapasitas sebagai ahli dan untuk merespon permohonan Pemohon tersebut, akan menjelaskan hal-hal sebagai berikut; Pertama, seperti apa sesungguhnya lembaga negara independen secara teoritik dan praktik. Kedua, makna relasi OJK dengan lembaga bank sentral; Ketiga, pungutan yang dilakukan terhadap jasa keuangan apakah dengan serta merta dapat dianggap melanggar prinsip Pasal 23A UUD 1945; Dalam kapasitas sebagai ahli dengan menyatakan sebagai berikut; Perihal Independensi OJK dan Lembaga Negara Independen Tentu saja tak dapat dimungkiri bahwa OJK adalah lembaga negara independen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, UU OJK itu sendiri. Dapat digolongkan sebagai lembaga negara oleh karena merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara dan dalam rangka menjalankan tugas negara di sektor pengawasan terhadap perbankan. Kemudian, diberikan sifat independen oleh karena diharapkan bebas dari campur tangan pihak lain. Oleh karena itu, OJK kemudian dijadikan lembaga negara yang bersifat independen; Lembaga negara independen seringkali diterjemahkan menjadi lembaga negara tersendiri yang terpisah dari cabang kekuasaan yang lainnya. Lembaga yang menjadi independen atas lembaga negara lainnya dan menjalankan fungsi- fungsi tertentu secara permanen (state independent agencies) , maupun yang hanya bersifat menunjang (state auxiliary agencies) , sehingga padanya disematkan kewenangan kelembagaan kuat untuk menjalankan fungsi campuran antara regulatif, administratif, pengawasan, dan fungsi penegakan hukumnya ( Lihat: Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara , Rajawali Pers, Jakarta, 2009, halaman 338-339 _); _ Bahwa menurut Milakovich dan Gordon, komisi negara independen pada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 126 hakikatnya memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial, sehingga keputusan-keputusannya diambil secara kolektif. Selain itu, anggota atau para komisioner lembaga ini tidak melayani apa yang menjadi keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden lainnya ( Michael E.Milakovich, dan George J. Gordon , Public Administration in America , Seventh Edition, USA, Wadsworth and Thomson Learning, 2001 ). Perihal independen ini, Funk dan Seamon menjelaskannya dalam arti anggota bebas dari kontrol presiden, walaupun independensi itu sifatnya relatif, tidak mutlak ( William F Funk and Seamon, 2001 Administrative Law, Examples and Explanations , Aspen Law and Bussiness, New York _); _ Di samping itu, periode jabatannya bersifat ”staggered ”. Artinya, setiap tahun setiap komisioner berganti secara bertahap dan oleh karena itu, seorang presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga-lembaga terkait, karena periodesasi jabatan komisioner tidak mengikuti periodesasi politik kepresidenan. Demikian juga perihal jumlah anggota atau komisioner ini bersifat ganjil dan keputusan diambil secara majoritas suara. Selain itu, keanggotaan lembaga ini biasanya menjaga keseimbangan perwakilan yang bersifat partisan ( ibid). Dengan karakter seperti di atas, maka komisi independen relatif memiliki posisi yang leluasa dalam melakukan fungsinya karena tidak berada di bawah kontrol kekuasaan manapun secara mutlak; Ditambahkan Gordon dan Milakovich, perihal nomenklatur kelembagaan bisa ditarik dalam kesimpulan penggunaan istilah regulatory agencies merujuk kepada semua jenis dependent and independent regulatory boards , commissions, law enforcemen agencies dan executive department yang memiliki kewenangan pengaturan (Op.Cit Gordon and Milakovich). __ Lebih lanjut dijelaskan bahwa: The term of regulatory agencies will refer to a regulatory bodies headed by single individual (most commonly a director); a regulatory commissions is headed by group of commissioners (or sometimes, board member) and both regulatory bodies will refer to both kinds of structures (ibid) . Dikatakan, sebagai pembedaan yang akan menunjukkan perbedaan type of regulators, in their _operational as well as their formal structures (ibid); _ Masih dalam hal yang sama, Funk dan Seamon menjelaskan secara lebih rinci bahwa karakteristik lembaga independen ini adalah, Pertama , dikepalai oleh multi-member groups, yang berbeda dari yang mengepalai agency . Kedua , tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 127 boleh dikuasai secara simple majority oleh partai tertentu, yang artinya bebas dari penguasaan partai tertentu. Ketiga , para komisionernya punya masa jabatan yang fixed dengan cara berjenjang ( staggered terms ), yang artinya mereka tidak berhenti secara bersamaan. Keempat , para anggota hanya bisa diberhentikan dari jabatan menurut apa yang ditentukan di dalam dalam aturan dan tidak dengan cara yang ditentukan oleh Presiden seperti di lembaga eksekutif ( Op.Cit., Funk dan Seamon _); _ Sementara itu, Michael R. Asimov, komisi negara disebutnya sebagai administrative agencies dengan pengertian sebagai units of government created by statute to carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent ( Michael R. Asimov 2002, Administrative Law , Chicago: The BarBri Group ) . Mengenai watak dari sebuah komisi, apakah tergantung pada satu cabang kekuasaan tertentu, atau bersifat independen, Asimov melihatmya dari segi mekanisme pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi negara tersebut. Menurutnya, pemberhentian anggota komisi negara independen hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang-Undang pembentukan komisi bersangkutan. Sedangkan anggota komisi negara biasa, sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden, melalui mekanisme pengaturan yang dimiliki presiden ( _bid); _ Sementara William F. Fox, Jr mengemukakan bahwa komisi negara adalah bersifat independen apabila dinyatakan secara tegas di dalam undang-undang komisi bersangkutan, yang dibuat oleh Congress . Atau, bilamana terdapat pembatasan kewenangan presiden untuk tidak bisa secara bebas memutuskan ( discretionary decision ) pemberhentian pimpinan komisi negara tersebut ( William F. Fox, Jr., Understanding Administrative Law , Danvers: Lexis Publishing, 2000 _); _ Sebuah komisi negara independen adalah lembaga publik yang memiliki independensi, otonomi dan kompetensi pengaturan dalam menjalankan ruang publik yang sensitif, seperti perlindungan persaingan, supervisi capital market , dan pengaturan pelayanan kepentingan ekonomi secara umum . Keberadaan komisi negara independen ini, dijustifikasi oleh adanya kompleksitas pengaturan hal-hal tertentu, serta tugas-tugas yang bersifat supervisory dan sangat membutuhkan keahlian khusus. Kebutuhan untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 128 implementasi secara cepat kewenangan publik di sektor tertentu dan juga bebas dari campur tangan politik dalam pelaksanaan tugas. Bahwa dari berbagai pengertian tersebut, OJK menemukan fungsi independennya secara sangat kuat. Pertama, oleh karena adanya kepentingan dan tugas tertentu yang diinginkan negara untuk dijalankan secara lebih independen dan bebas dari campur tangan mana pun menjadi. Khususnya mengenai kepentingan untuk melakukan pengawasan perbankan secara independen. Dan oleh karena adanya kebutuhan untuk melakukan pengasan secara lebin independen itulah maka UU Bank Indonesia sendiri telah mengamanatkan dibentuknya lembaga tersendiri yang independen dalam melakukan pengawasan sektor jasa keuangan; Kedua , OJK telah memiliki hampir semua ciri keindependenan yang dimaksudkan sebagai ciri penegas dari keindependenan suatu lembaga negara independen. Tentu saja tidak semua, apalagi memang tidak satupun lembaga negara independen di Indonesia yang mengikuti berbagai ciri teoritik untuk lembaga negara independen tersebut. Misalnya soal pergantian yang berjenjang ( staggered terms ). Sampai saat ini, tidak satupun lembaga negara independen yang memiliki sifat pergantian berjenjang. Lagipula, kepentingan pergantian berjenjang adalah untuk mengecilkan kemungkinan penguasaan suatu lembaga negara independen oleh partai politik tertentu. Tetapi selebihnya, OJK dapat dikatakan menjalankan penuh sifat-sifat keindependenan sebagaimana ciri teoritik; Ketiga , haruslah diingat bahwa keindependenan dapat diukur kepentingan konstitusionalnya melalui fungsi yang ingin dikerjakan. Jika ada suatu tugas yang negara ingin lakukan, sangat penting, serta adanya kemungkinan conflict of interest dengan kepentingan Pemerintah, maka disitulah lahir kepentingan konstitusional untuk mengindependenkan tugas tersebut ke suatu lembaga tersendiri dengan harapan tidak akan dipengaruhi oleh cabang kekuasaan manapun. Bank Indonesia dan OJK Perihal OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, memang merupakan hal yang menarik. Sesungguhnya harus diingat beberapa hal yang melatari lahirnya UU Bank Indonesia yang mencantumkan pemisahannya dari Bank Indonesia. Salah satunya krisis yang terjadi di tahun 1997-1998, dan menimbulkan kesimpulan kala itu bahwa terjadi ketidakefektifan pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Oleh karenanya, dipisahkanlah fungsi regulasi dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 129 pengawasannya. Pemisahan ini tentunya adalah open legal policy pembentuk Undang-Undang yang melihat adanya persoalan pengawasan perbankan. Karenanya, pembentukan OJK adalah bagian dari ijtihan negara untuk melakukan perbaikan sektor pengawasan jasa keuangan; Kedua , perihal makna terintegrasi. Makna kata terintegrasi secara hukum tidaklah dapat dikatakan bahwa terintegrasi itu haruslah dipegang oleh satu lembaga saja. Terintegrasi tentu saja bermakna dapatjuga dilakukan oleh multi-pihak, sepanjang dilakukan secara terkordinatif dengan relasi yang baik dan jelas. Sekedar mencontohkan, integrated criminal justice system menjelaskan bahwa sistem penegakan hukum pidana yang terintegrasi tidaklah berarti hanya harus ada satu lembaga yang mengerjakan penegakan hukum pidana. Tetapi dapat juga dengan beberapa lembaga yang diupayakan terformat secara terintegrasi. Inilah yang dapat dilihat dalam relasi antara Bank Indonesia dan OJK dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Tidaklah harus dilakukan oleh satu lembaga saja, tetapi dapat juga dengan multi-pihak. Disinilah peran pembentuk Undang- Undang untuk merumuskan legal policy apa yang akan diambil dalam artian menjelaskan sistem perekonomian yang terintegrasi tersebut. Masih perihal terintegrasi tentunya tidak dapat diterjemahkan sebagai membiarkan adanya campur tangan satu pihak atas pihak yang lain sehingga mengganggu independensi. Terintegrasi memiliki makna kuat termasuk saling kontrol. Seperti layaknya suatu _checks and balances system; _ Karenanya, seharusnya dibalik logikanya bahwa dengan kehadiran OJK bukanlah memperlemah fungsi bank sentral yang sesungguhnya yakni memelihara kestabilan nilai rupiah dengan melaksanakan kebijakan moneter yang berkelanjutan, konsisten, transparan dan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah dalam bidang perekonomian. Dalam tugas tersebut, OJK sangat berfungsi untuk membantu kebijakan secara keseluruhan dalam kaitan menjaga sistem perekonomian nasional yang dikerjakan oleh Pemerintah, OJK, maupun Lembaga Penjamin Simpanan yang memang penting untuk saling bahu-membahu menjaga kestabilan perekonomian nasional; Perihal Pungutan OJK Pada dasarnya, Pasal 34 ayat (2), Pasal 37 ayat (1) s.d. ayat (6) serta penjelasannya mengatur bahwa anggaran OJK bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 130 kemudian juga diatur bahwa yang dimaksud dengan pungutan antara lain adalah pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan serta penelitian dan transaksi perdagangan efek; Aturan ini bermakna banyak. Pertama , pendanaan OJK sesungguhnya dapat dilakukan dengan hanya menggunakan APBN. Dapat juga hanya menggunakan pungutan. Dapan juga dengan menggunakan keduanya. Hal yang sebagai konsekuensi dari penggunaan kata “dan/atau” dalam aturan sebagaimana yang dimaksud di atas. Hanya dibebankan ke APBN tentu tidak tepat oleh karena memang ada pungutan yang seharusnya dibayarkan oleh pihak yang berkepentingan seperti yang diatur di atas. Hanya menggunakan pungutan juga tidak mungkin oleh karena OJK harus beroperasi dari awal dan belum memiliki pendanaan. Maka yang paling mungkin adalah dengan menggabungkan kemungkinan keduanya digunakan. Oleh karena itulah hadir kata “dan/atau”; Kedua , tidaklah dapat dikatakan dengan serta merta bahwa dengan pungutan ini akan mengganggu independensi. Mencontohkan biaya-biaya persidangan perkara yang diatur di Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya. Hal tersebut diatur dalam Perma Nomor 3 Tahun 2012. Dalam Perma tersebut diatur secara jelas perihal biaya-biaya yang dimaksudkan untuk membayar kepentingan pencari keadilan khususnya untuk membiayai kepaniteraan; proses peradilan itu sendiri dan biaya pemberkasan. Bahkan diatur biaya penyelesaian perkara yang berkisar antara Rp. 250.000-Rp. 10.000.000,- Dan kemudian diatur disesuaikan dengan keadaan pengadilan setempat tersebut. Bahkan di beberapa pengadilan, jika ada yang tidak mampu membayar dengan membuktikan bahwa ia benar-benar tidak mampu membayar karena termasuk golongan miskin, maka pengadilan dapat membebaskan dari biaya perkara tersebut; Artinya, pada dasarnya tidaklah dapat dikatakan melakukan pembayaran untuk mengurus biaya perkara dalam proses peradilan dapat mengganggu independensi lembaga tersebut dalam menegakkan keadilan. Sepanjang, hal tersebit diatur dengan jelas dan terang sehingga tidak ada lagi biaya-biaya lain selain dari biaya yang diatur dalam peraturan yang mendasarinya. Hal yang sama dapat dilihat ke konteks OJK. Bahwa sesungguhnya apa yang dibayarkan oleh asa keuangan merupakan bagian dari yang tidak dapat dikatakan akan mengganggu independensi OJK dalam melaksanakan tugas. Hal tersebut bagian dari biaya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 131 yang harus dibayarkan oleh pelaku jasa keuangan untuk membiayai proses yang dikerjakan OJK. Tentu tidak mengganggu independensi OJK sepanjang ditetapkan melalui biaya yang sudah diatur dengan detail, bahkan diguanakan untuk pembiayaan apa saja serta yang paling penting adalah transparansi penggunaannya; Ketiga , perihal pungutan ini melanggar ketentuan UUD 1945 terkhusus Pasal 23A yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” , sesungguhnya tidak serta merta dapat dikatakan melanggar. Apalagi, aturan mengenai pajak dan pungutan bersifat memaksa di negara ini tidaklah diatur secara terkodifikasi dalam satu Undang- Undang yang khusus mengenai pajak dan pungutan bersifat memaksa. Jika dikatakan bahwa harus dengan Undang-Undang tersendiri juga akan sangat repot karena harus membuat begitu banyak Undang-Undang khusus dan tersendiri yang mengatur soal pungutan. Termasuk Undang-Undang khusus pungutan OJK maupun Mahkamah Agung, serta seluruh lembaga-lembaga lainnya yang menggunakan pungutan ataupun pajak; Karenanya, pengaturan lebih lanjut dengan menggunakan aturan pelaksana dari Undang-Undang yang membolehkan pungutan secara praktik masih dapat diterima dan menjadi open legal policy dalam besaran jumlah pungutan sepanjang, -mengutip Putusan MK No. 26/PUU-VII/2009 tentang sifat open legal policy , yakni sepanjang isinya tidak melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable (tidak dapat ditoleransi). Maka sepanjang pungutan tersebut tidak melanggar moralitas, masih rasional jumlahnya serta tidak menimbulkan ketidakdilan, maka masih dapat dibenarkan. Meskipun pada saat yang sama harus memperhatikan kondisi dari pihak yang dipunguti biaya tersebut. Seperti yang diatur dalam Perma untuk biaya perkara maupun Peraturan OJK untuk pungutan atas jasa keuangan; Keempat , jikalaupun dianggap melanggar prinsip Pasal 23A UUD 1945 yang mengamatkan harus diatur dalam Undang-Undang tersendiri, maka harus dapat dilakukan dengan mengupayakan adanya kodifikasi atas keseluruhan pajak dan pungutan bersifat memaksa lainnya. Atau sekurang-kurangnya semua pungutan yang terjadi di MA, LPS, Pemerintah melalui PNBP, maupun OJK dan berbagai lembaga lain haruslah dibuatkan Undang-Undang nya masing-masing. Hal yang tentu mustahil karena mengingat kompleksitas soal hal tersebut; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 132 5. Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., PH.D Pertanyaan yang mendasar adalah, apakah Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa “… tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan...” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 34D Undang-Undang Dasar 1945 ? Dengan perkataan lain pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
Apakah filosofi pemisahan kewenangan stabilitas moneter dan pengawasan perbankan? 2. Apakah filosofi penggabungan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non-bank? 3. Apakah artinya independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK? 4. Bagaimanakah hubungan kelembagaan antara Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem perekonomian Indonesia? 5. Apakah filosofi pembiayaan OJK dilakukan dengan pungutan dari para pelaku pasar? Pendapat Hukum ahli atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah sebagai berikut ini: Filosofi pemisahan kewenangan menjaga stabilitas moneter dan pengawasan perbankan adalah agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang berkelanjutan dan stabil, mampu melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. Hal ini juga merupakan amanat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah memperkirakan perkembangan transaksi sektor jasa keuangan yang tidak bisa dilakukan secara partial, namun harus secara terintegrasi dari berbagai sub sektor jasa keuangan; Filosofi penggabungan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non-bank adalah untuk melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 133 keuangan harus memiliki independensi didalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entititas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi pula mempengaruhi pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi dan informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing sub sektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Disamping itu adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai sub sektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antara lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan- perusahaan yang go publik (sektor Pasar Modal), Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya; Independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK tidak berarti independensi secara mutlak. Independensi tersebut harus diimbangi dengan check and balance , artinya bukan lembaga yang memiliki kebebasan yang tidak terbatas. Independensi dalam arti mengatur sendiri ( self-regulatory bodies ) seperti komisi lain yang ada: Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Independensi OJK artinya juga bahwa OJK tidak berada dibawah otoritas lain atau tidak menjadi bagian dari Pemerintah. Namun OJK tetap wajib menyusun laporan kegiatan secara berkala dan melaporkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan OJK harus tetap memberikan laporan keuangan tahunannya serta diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh BPK. Selanjutnya OJK wajib mengumumkan laporan keuangan tersebut kepada publik melalui media cetak dan media elektronik; Dalam hal OJK mengidentifikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan bank tersebut memburuk, maka OJK dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis. Anggota FKSSK yaitu Menteri Keuangan, Bank Indonesia, OJK dan LPS melakukan pertukaran informasi terkait dengan tugas dan fungsi dari masing-masing lembaga; Filosofi pembiayaan OJK yang berasal dari APBN dan/atau pelaku pasar adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 134 sebagai pembiayaan bagi OJK karena bertugas mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan disektor perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya, dimana pelaku pasar juga akan memperoleh manfaat dari jasa pengawasan yang dilakukan oleh OJK; Berdasarkan uraian saya tersebut di atas, maka Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa “… tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan …” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 34D Undang- Undang Dasar 1945; Menurut Pendapat Hukum saya, apabila permohonan Pemohon dikabulkan mengembalikan semua kegiatan pengawasan perbankan kembali ke Bank Indonesia; tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membawa implikasi yang besar dalam sektor jasa keuangan; Akan tetapi pengembalian kewenangan pengawasan perbankan tersebut membutuhkan pengaturan baru yang memakan waktu yang panjang sehingga terjadi kekosongan hukum yang mengakibatkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum akan menyebabkan investor-investor melepaskan surat- surat berharga yang dimiliknya, hal ini dapat menyebabkan penjualan surat-surat berharga yang dimiliki oleh investor karena harganya yang akan terus merosot akibat adanya ketidakpastian hukum. Keadaan tersebut akan mempengaruhi kondisi fiskal perekonomian negara dikarenakan ABPN yang masih dalam keadaan defisit membutuhkan alternatif pembiayaan untuk menutupi defisit dimaksud dengan menerbitkan surat berharga negara, namun nilai surat berharga dimaksud menjadi berkurang, tidak laku dan pemerintah dapat mengalami keadaan default dalam arti pinjaman menjadi tidak terbayarkan dan defisit tidak dapat ditutup; Hal tersebut akan mengakibatkan krisis keuangan dan perekonomian yang pada akhirnya dapat menyebabkan krisis pemerintahan; Dengan perkataan lain, tindakan hukum yang demikian yaitu mengembalikan fungsi pengawasan perbankan akan membawa akibat negatif bagi ekonomi bangsa; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 135 6. Dr. Sihabudin, S.H., M.H I. Analisis Umum Ketentuan mengenai keuangan negara pertama kali diatur di dalam Konstitusi sejak 18 Agustus 1945 oleh BPUPKI. Namun belum ada satupun pasal yang membahas mengenai kedudukan apalagi kewenangan dari Bank Sentral maupun Bank Indonesia. Pada Pasal 23 UUD 1945 pada saat itu hanya berisi lima pasal mengenai APBN, perpajakan, mata uang, dan pembentukan lembaga tinggi Negara BPK-RI (Badan Pemeriksa Keuangan). Pada Konstitusi RIS Bab IV mengenai Pemerintahan Pasal 165 mulai mengatur mengenai BANK SIRKULASI yang diatur dalam undang-undang Federal dan hanya dibentuk satu di ibukota negara. Kemudian pada masa pemberlakuan UUDS 1950 pengaturan mengenai bank sentral mulai diatur pada Pasal 109 ayat (4) dan Pasal 110 , meski masih menggunakan nama BANK SIRKULASI ; Bank Indonesia mulai diberikan independensi dan diakui secara konstitusional sebagaimana hasil amandemen UUD 1945 pada era reformasi dan disahkannya UU Nomor. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam Undang- Undang tersebut berisi penegasan BI sebagai bank sentral yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah maupun pihak lain. BI diberikan kewenangan pemberian izin usaha bank, pembinaan dan pengawasan perbankan, meski muncul perdebatan di MPR yang meminta fungsi pengawasan bank dialihkan pada lembaga terpisah dari BI (yang dalam UU BI disebut LPJK), sedangkan kewenangan perizinan dan pengaturan masih tetap di bawah BI, dan permintaan itu dikabulkan. Hal tersebut dalam pembahasan amandemen kedua UUD 1945 (6 Desember 1999) menjadi perdebatan anggota MPR, dimana saya kutip salah satu pendapat dari Jubir F-KB, Abdul Khaliq Ahmad: “sebagai Bank Sentral, BI memiliki kewenangan di bidang penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter. BI juga mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta pengaturan dan pengawasan bank. Dengan demikian, kedudukan BI akan menjadi lembaga tinggi Negara sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang sudah ada.. Oleh karena itu dengan dimasukkannya pengaturan tentang BI dalam UUD, independensi BI sebagai Bank Sentral diharapkan akan semakin kukuh dan bebas dari intervensi kekuatan lain. Merebaknya kasus-kasus besar perbankan akhir- akhir ini makin menyadarkan kita bahwa saatnya sekarang meningkatkan kinerja BI dengan pengaturannya secara eksplisit dalam UUD”. Seiring dengan terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 136 menciptakan sistem keuangan yang kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan atau yang disebut konglomerasi keuangan menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga keuangan dalam sistem keuangan. Hal tersebut yang menyebabkan perlunya untuk membentuk lembaga baru agar keseluruhan pengawasan kegiatan keuangan dapat terintegrasi, meski dalam permohonan disebutkan kebutuhan membentuk OJK adalah karena desakan ekonomis dari IMF terhadap pemerintah Indonesia yang disebabkan BI dianggap gagal fungsi; Dasar pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK):
Landasan yuridis: Pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang mengamanatkan pembentukan lembaga pengawas sektor keuangan yang mencakup perbankan, lembaga keunagan non bank, perusahaan pembiayaan dan badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat;
Landasan filsafati: pemenuhan prinsip-prinsip good governance dengan menciptakan spesialisasi dalam pengawasan, pengembangan metode pengawasan yang tepat serta mengurangi luasnya rentang kendali pengawasan agar dalam pengambilan keputusan menjadi efisien dan efektif;
Landasan sosiologis: peran pengaturan dan pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus diarahkan untuk menciptakan efisiensi, persaingan yang sehat, perlindungan konsumen, dan memelihara mekanisme pasar yang sehat melalui prinsip kesetaraan ( level playing field ); II. ANALISIS BUTIR-BUTIR PERMOHONAN 1. Mengenai kedudukan hukum atau legal standing Pemohon, sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “ Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang ”. Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi berbeda dengan hukum acara yang dikenal dan diberlakukan dalam praktik peradilan umum, karena hukum acara Mahkamah Konsitusi mengandung kekhususan-kekhusuan tertentu yang tidak ditemukan dalam praktik di peradilan umum. Salah satu kekhususan dalam hukum acara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 137 Mahkamah Konstitusi, adalah adanya syarat kerugian konstitusional bagi Pemohon yang mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 45. Dalam pikiran saya, konsep kerugian pada dasarnya adalah domain hukum perdata ( private law ), bukan domain hukum konstitusi. Jika dalam hukum perdata kerugian dimaknai sebagai hilang atau terganggunya hak-hak perdata seseorang yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain yang melanggar hak tersebut atau yang melawan hukum. Sedangkan dalam hukum konstitusi Pertama , adanya hak konstitusional yang bersangkutan yang diberikan oleh UUD 45, Kedua , hak konstitusional tersebut dianggap oleh yang bersangkutan telah dirugikan oleh Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Ketiga , kerugian konstitusional tersebut bersifat khusus dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Keempat , adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian tersebut dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji. Terakhir, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Walaupun sekilas tampak bahwa ‘penganuliran’ terhadap pasal atau materi tertentu dari suatu undang-undang merupakan remedy terhadap kerugian konstitusional yang terjadi sebagai akibat dari berlakunya pasal atau materi tertentu dari Undang-Undang tersebut, sesungguhnya ‘penganuliran’ tersebut bukanlah akibat langsung dari adanya kerugian konstitusional tersebut, melainkan akibat dari adanya pertentangan antara pasal atau materi tertentu dari undang-undang tersebut dengan UUD 45 [lihat Pasal 57 ayat (1)] Jika secara perdata, ada atau tidaknya kepentingan tersebut dapat dibuktikan secara formil berdasarkan, salah satunya, ada atau tidaknya hubungan hukum, maka bagaimana membuktikan adanya ‘kepentingan’ dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Dapat disimpulkan bahwa pemohon dapat dikatakan memenuhi legal standing dalam permohonan tersebut, meski masih menimbulkan multi tafsir dalam pemaknaan kerugian secara konstitusional. Dalam permohonan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 138 tersebut para penggugat juga belum menunjukkan secara jelas apa kerugian konstitusional yang mereka dapatkan, apakah unsur “kepentingan” sudah dianggap mewakili? Sehingga Pemohon hanya menjabarkan hak konstitusional yang belum sesuai dengan alasan mereka mengajukan permohonan (seperti: membayar pajak, pemberi aspirasi, kedudukan dalam hukum dan apa dasar OJK disebut melakukan pemborosan sehingga mereka mengalami kerugian secara konstitusional).
Pada angka 24 tidak perlu menyebutkan Undang-undang nomor 13 tahun 1968 khususnya di Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) mengenai kewenangan Pemerintah dan Dewan Moneter yang sudah dihapuskan sejak Undang- Undang tersebut dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Sehingga tidak tepat apabila angka 24 dijadikan landasan yuridis permohonan oleh pemohon terhadap UU OJK;
Pada angka 25, memang dibentuknya OJK dalam rangka mengurangi tugas BI dan agar terjadinya distribusi tanggung jawab yang seimbang. BI sebagai Pembina jangan sekaligus menjadi pengawas. Harapannya Bank Sentral berfungsi sebagai lembaga moneter, sehingga terhindar konflik interest;
Pada angka 31, Pemohon menggunakan istilah “perkawinan” untuk memaknai konglomerasi keuangan, sehingga dalam legal drafter hal ini menyalahi interpretasi gramatikal. Pada butir ini juga menjelaskan mengenai unit link dan penggabungan produk bank dengan asuransi dan produk lembaga keuangan lain yang dikatakan belum ada dalam UU Asuransi dan RUU nya. Padahal terkait hal ini, perbankan diberikan kebebasan dengan membentuk self regulation terkait produknya akibat konglomerasi keuangan yang disebut bancassurance dan ini juga dasar dibentuknya UU OJK bukan sebaliknya. Pada ketentuan peralihan sudah diatur bahwa ‘saat OJK terbentuk, tugas dan wewenang Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Usaha Perasuransian menjadi tugas dan wewenang OJK, jadi hal ini secara legalitas telah memberikan peralihan kewenangan kepada OJK terkait usaha asuransi;
Pada angka 32, angka 38 dan angka 39, dikatakan secara konstitusional, cantolan OJK tidak jelas di UUD 1945 dan berasal dari turunan yang asimetris. Dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 23D mengatur mengenai bank sentral yang tidak secara khusus menyebutkan BI atau OJK. Bunyi Pasal 23D, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 139 “ Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan undang-undang ”. Tidak ada kata “bank Indonesia” yang awalnya diperdebatkan dimasukkan atau cukup menggunakan kata “bank sentral”, dengan ketakutan apabila menggunakan langsung “bank Indonesia” apabila lembaga ini “sakit” akan terganggu kestabilan bank sentral. Jadi Pasal 23D UUD 45 memberikan kedudukan dan kewenangan bagi bank sentral yang nantinya muncul turunan dengan pengaturan di dalam UU bank sentral yang melahirkan UU Bank Indonesia. Perlu digarisbawahi juga adalah pendirian lembaga tinggi atau lembaga Negara tidak harus menggunakan konstitusi sebagai dasar pendirian atau pembentukannya, namun bisa menggunakan Undang-Undang. OJK pendiriannya didasarkan pada UU BI yang mendasarkan pada Pasal 23D UUD 1945. Mengenai OJK yang berasal dari turunan yang asimetris, yaitu OJK berdasarkan PasaL 34 UU BI hanya diberikan kewenangan untuk mengawasi perbankan mengambil alih kewenangan BI saja bukan Menkeu dan Bapepam- LK. Pasal 34 UU BI ayat (1) hanya berbunyi: Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan Undang-Undang . Dalam legal drafting , dalam pasal ini tidak disebutkan OJK secara langsung, tetapi karena penamaan lembaga menggunakan huruf kecil yakni “ lembaga pengawasan sector jasa keuangan ” dimaknai pembuat Undang-Undang tidak memberikan nama lembaga tertentu, sehingga penggunaan nama OJK diperkenankan. Kedua , Pasal 34 UU BI memang hanya menyebutkan bahwa pembentukan LPJK/OJK hanya untuk mengawasi bank yang awalnya kewenangan dari BI, namun di dalam penjelasan Pasal 34 UU BI ( penjelasan merupakan bagian dan satu kesatuan dengan batang tubuh sehingga tidak dapat dimaknai secara terpisah ) menjelaskan mengenai kewenangan OJK tidak hanya mengawasi bank tetapi juga mengawasi lembaga keuangan lainnya dan mengenai sifat independensi OJK.
Angka 37, munculnya mandat yuridis dalam Pasal 34 UU BI merupakan big planning dari IMF dan inspirasi dari FSA inggris ( Finantial Suoervisory Agency of United Kingdom ) yang gagal. Suatu catatan bahwa gagalnya FSA-UK bukan konsepnya yang salah, konsepnya sudah benar dan bagus, hanya persoalan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 140 menangani krisi tidak terjadi koordinasi yang baik dari pihak terkait. Perlu ditekankan bahwa Politik Hukum pembentukan OJK bukan murni dari “permintaan”, namun dari pendekatan historis, hal ini dipengaruhi keadaan politik hukum pada masa reformasi, yaitu muncul pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie sebagai pengganti rezim Soeharto. BJ Habiibie yang menimba ilmu di Jerman tertarik dengan metode yang digunakan oleh Bundesanstalt fur finanzdienstleistungsaufsicht yang memiliki kewenangan mengawasi Bank, perusahaan asuransi, dan dealer sekuritas atas masukan dari Bundesbank (Bank sentral jerman) pada saat itu. Metode ini dikenal dengan metode integrated dengan pendekatan twin peaks . Ini juga bertujuan agar pengawasan berjalan efektif. Memang benar bahwa Financial supervisory authority (FSA) gagal di Inggris, namun percontohan model integrated di Indonesia meniru Jepang dan Korea Selatan, hal ini bisa dibuktikan dengan adanya dokumen kunjungan kerja delegasi pansus RUU OJK pada tanggal 31 Oktober s.d. 6 November 2010. Secara historis munculnya Pasal 34 UU BI ini sebenarnya bukan karena desakan IMF. IMF yang mempunyai anggota 168 (seratus enam puluh delapan) negara, berperan hanya memberi saran yang sifatnya umum, dan letter of intent dibuat oleh Indonesia sendiri, dan juga atas permitaan BI sejak diberikan independensi dalam UU Nomor 23 Tahun 1999.
Angka 40, perlu menjadi catatan bahwa tidak ada Undang-Undang di bidang ekonomi yang lebih kuat antara satu dengan lainnya, kecuali memiliki strata lebih tinggi ( stuffenbaw theory Hans Kelsen dan asas lex superiori derogate legi inferiori ). Namun apabila ada UU yang lebih khusus akan mengalahkan UU yang lebih umum ( lex specialis derogate legi generalis ). Perlu diingat, bahwa hirarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengenal yang disebut dengan Undang-Undang Payung yang dapat dijadikan dasar secara umum bagi Undang-Undang khusus di bawahnya. Meski pernah dalam prolegnas akan dibentuk RUU tentang Demokrasi Ekonomi namun sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Jadi antara UU Perbankan, UU Asuransi, UU Pasar Modal dan sebagainya memiliki derajat yang sama. Pasal 34 UU BI sebagai landasan yuridis BI mengawasi perbankan karena merupakan turunan dari Pasal 23D UUD 1945 namun telah memberikan kewenangannya kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 141 OJK melalui UU OJK pada Pasal 6, Pasal 7 hingga ketentuan peralihan dan penjelasan sebagai satu kesatuan norma.
Angka 44, isi permohonan tersebut kurang memahami perbedaan antara makroprudensial dan mikroprudensial. Meski kewenangan BI sebagian mengenai microprudensial telah diserahkan kepada OJK melalui UU OJK, namun BI masih tetap secara konstitusional merupakan Bank Sentral Republik Indonesia berdasarkan Pasal 23D UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2009. Sehingga dalam forum bank sentral dunia dalam hal ini Basel Committee (BI sampai sekarang bukan anggota Basel Committee namun mengikuti ketentuan Basel Committee dalam hal pengawasan mulai Basel I hingga Basel III) masih tetap dipegang Bank Indonesia sebagai pemegang kewenangan Macroprudensial sebagai Bank Sentral.
Angka 46, pada Konsideran mengingat UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK disebutkan landasan yuridisnya adalah Pasal 33 UUD 1945. Tidak tepat kalau pemohon menghubungkan dengan Pasal 33 ayat (1) karena berbeda sistem dengan OJK, namun Pemohon melupakan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dimana ditemukan ASAS KEMANDIRIAN, dimana kemandirian diartikan sebagai independensi. Hal ini yang dapat menjadi landasan yuridis pembentukan lembaga Negara yaitu OJK yang bersifat independen sebagaimana diatur dalam batang tubuh dan penjelasan Undang-Undang ini.
Angka 51, Pemohon belum memahamii perbedaan antara stabilitas moneter dengan stabilitas sistem keuangan, dimana keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Stabilitas moneter yang dipegang oleh BI merupakan kestabilan mata uang untuk mengendalikan inflasi, sedangkan stabilitas sistem keuangn yang dipegang OJK merupakan stabilitas institusi dan pasar uang untuk menghindari tekanan dan pergerakan harga yang menyebabkan guncangan ekonomi (Aspach O, et al tahun 2006 dalam searching for a metric for financial stability ). Sehingga dengan adanya pemisahan antara macro dan microprudensial mengembalikan fungsi BI sebagai otoritas moneter selaku Bank Sentral di Indonesia. Menurut Jordan (2010), tujuan dari bank sentral berfokus pada instrument makroprudensial dan moneter untuk stabilitas harga sebagaimana bagan berikut : Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 142 Dapat disimpulkan bahwa kewenangan OJK tidak akan bias karena OJK berperan dalam stabilitas sistem keuangan sedangkan BI akan fokus sebagai otoritas moneter dan stabilitas moneter.
Untuk permohonan mengenai Pasal 37 UU OJK, tentang pembiayaan OJK melalui APBN dan/atau pungutan terhadap bank dan lembaga keuangan, bahwa pungutan itu dalam ilmu ekonomi merupakan hal yang wajar, dimana pungutan itu merupakan pemberian atas jasa otoritas yang telah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap lembaga keuangan tersebut, apalagi sistem pungutan ini diatur dan ditentukan oleh Pemerintah, bukan OJK yang menentukan. Ada informasi, bahwa ada 100 (seratus) negara yang memungut biaya untuk operasional kegiatan seperti OJK ini.
Hal yang masih sumir juga adalah mengenai pertanyaan: siapa yang akan mengawasi OJK? Sebenarnya itu pertanyaan klasik, dimana siapa yang akan mengawasi lembaga pengawas? Padahal BI sempat diragukan hingga dibentuklah Badan Supervisi BI di dalam tubuh BI. Pengawasan akan tetap dilakukan yang merupakan fungsi BPK. Sebenarnya Hal pengawasan OJK sudah diatur Pasal 38 UU 21/2011. Hal ini sekaligus menjawab bahwa indepensi OJK bukan bebas sebebas-bebasnya, melainkan ada tanggung jawab dan pengawasan.
Sebagai penutup tanggapan saya adalah jika pengawasan yang sudah berjalan dilakukan oleh OJK sebagai pengawas independen dihentikan beberapa waktu saja, maka akan terjadi dampak ketidak percayaan pada lembaga-lembaga keuangan yang ada, yang berakibat terjadinya gangguan geraknya lembaga keungan dan berdampak sistemik perekonomian dan keuangan nasional. Apalagi jika Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keungan yang dibatalkan, maka akan berdampak negatif (berisiko) yang sangat besar. Microprudential Policy Capital and Liquidity Buffer Macroprudential Risk and Monetary Policy 1. __ Countercylical Capital Buffer and new instruments 2. __ Interest Rate Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 143 7. Refly Harun, S.H., LL.M 1. Sepanjang yang dapat ahli catat, Pemohon dalam permohonan ini mempersoalkan tiga hal, yaitu (1) keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen, (2) kewenangan OJK, dan (3) sumber keuangan OJK;
Sebelum membahas lebih jauh mengenai ketentuan yang dipersoalkan tersebut, izinkanlah ahli mengemukakan pendapat yang terkait dengan legal standing Pemohon. Menurut ahli, Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional yang nyata, baik aktual maupun potensial. Seharusnya yang mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang adalah lembaga atau pihak-pihak yang secara konkret merasa dirugikan dengan ketentuan a quo baik secara potensial maupun aktual. Sepanjang yang dapat ahli simak, Mahkamah terlalu longgar memberikan legal standing terhadap permohonan-permohonan seperti ini. Namun, semua itu terpulang kepada Mahkamah untuk mempertimbangkan hal tersebut. Ahli tidak dalam kapasitas untuk masuk terlalu jauh dalam persoalan ini;
Pemohon mempersoalkan kata "independen" dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK yang berbunyi, " Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini ";
Alasannya, antara lain, frase "independen" dan "independensi" hanya dikenal oleh UUD 1945 melalui ketentuan Pasal 23D yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang ". Dengan demikian, menurut Pemohon, hanya bank sentral yang boleh independen;
Menurut ahli, tidak benar UUD 1945 hanya menyematkan kata "independen" kepada bank sentral. Dalam UUD 1945, kata yang maknanya setara dengan "independen" juga digunakan untuk lembaga-lembaga lain di UUD 1945, yaitu menggunakan kata "mandiri" atau "bebas" atau gabungan keduanya sebagaimana terlihat dalam pasal-pasal berikut: - Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 144 yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri [Pasal 22E ayat (5) Perubahan Ketiga]; - Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri [Pasal 23E ayat (1) Perubahan Ketiga]; - Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim [Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga].
Dilihat dari sifatnya, lembaga-lembaga negara di luar lembaga negara utama, yang kita kenal sebagai bagian dari sistem pembagian atau pemisahan kekuasaan negara (MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, dan BPK), dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu Dependent Regulatory Agencies dan Independent Regulatory Boards and Commissions (Michael E. Milakovich dan George J. Gordon);
Disebut Dependent Regulatory Agencies bila lembaga yang ada merupakan bagian dari departemen atau kabinet atau struktur eksekutif lainnya, seperti Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan, Dewan Riset Nasional, Badan Narkotika Nasional (BNN), Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, dan Iain-Iain;
Disebut Independent Regulatory Boards and Commissions bila lembaga yang ada memiliki ciri-ciri sebagai lembaga yang independen atau mandiri, yaitu: (Michael E. Milakovich dan George J. Gordon) - Memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial; - Anggota atau para komisioner tidak melayani keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden; - Bersifat independen, relatif bebas dari kontrol presiden; - Masa jabatan komisioner biasanya definitif dan cukup panjang; - Periode jabatan bersifat " staggered '. Komisioner berganti secara bertahap sehingga presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga tersebut. - Jumlah komisioner bersifat ganjil dan keputusan diambil secara mayoritas suara. - Keanggotaan lembaga biasanya menjaga keseimbangan perwakilan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 145 yang bersifat partisan.
Di Indonesia sejak era Reformasi telah bermunculan banyak lembaga independen, seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Komisi Informasi Pusat (KIP), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK), dan sebagainya;
Di antara lembaga-lembaga tersebut bahkan ada yang keberadaan dan kewenangannya disebut dalam UUD 1945 secara jelas dan tegas seperti KY. Ada yang keberadaannya saja yang disebut, tetapi kewenangannya tidak jelas disebut, seperti bank sentral. Ada pula yang sebaliknya, kewenangannya disebut tetapi keberadaannya tidak disebut secara tegas, seperti KPU yang disebut dengan hurup kecil dengan frase "suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri", yang dalam praktiknya memunculnya dua lembaga, yaitu KPU dan Bawaslu;
Namun, lebih banyak lagi lembaga-lembaga independen yang baik keberadaan maupun wewenangnya tidak disebut dalam UUD 1945, seperti DKPP, KIP, Komnas HAM, dan sebagainya. OJK termasuk salah satu di antaranya;
Lembaga-lembaga independen yang tidak disebut dalam UUD 1945, baik keberadaan maupun kewenangannya, tidak bisa dikatakan inkonstitusional sepanjang tidak ada pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dilanggar. Dalam konteks OJK, misalnya, patut dipertanyakan apakah OJK mengambil alih fungsi bank sentral sebagaimana disebut dalam Pasal 23D yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang ";
Perlu digarisbawahi bahwa UUD 1945 tidak menyebut secara eksplisit lembaga yang berfungsi sebagai bank sentral - dari sisi original intent ada penolakan untuk mempermanenkan Bank Indonesia dalam konstitusi. Bahkan, ketika pembahasan pasal tentang bank sentral dibahas ada suara-suara untuk membubarkan Bl dan menggantikannya dengan institusi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 146 lain. Selain itu, UUD 1945 juga tidak mengatur kewenangan bank sentral, melainkan menyerahkannya kepada ketentuan Undang-Undang;
Merujuk pada ketentuan tentang "suatu komisi pemilihan umum" dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang melahirkan dua lembaga dalam praktiknya, yaitu KPU dan Bawaslu, hal yang sama bukan tidak mungkin diberlakukan pula pada ketentuan "suatu bank sentral" dalam Pasal 23D UUD 1945;
Secara teoretis dan didasarkan pada putusan Mahkamah terdahulu tentang frase "suatu komisi pemilihan umum" bisa saja fungsi bank sentral dijalankan lebih dari satu lembaga. Bisa pula bank sentral tersebut tidak bernama "Bank Indonesia". Hal-hal tersebut diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. UUD 1945 hanya mengamanatkan bahwa harus ada bank sentral;
Munculnya lembaga-lembaga independen dalam dunia modem adalah suatu kondisi yang tak terelakkan. Paling tidak dua hal ini menjadi pertimbangan kuat bagi munculnya lembaga-lembaga independen tersebut, yaitu (1) karena pranata yang lama sudah tidak memuaskan kinerjanya, tidak independen, bahkan terlibat korupsi-kolusi;
Karena kebutuhan akan spesialisasi dan profesionalisme sebagai akibat bertambah kompleksnya tugas yang diemban;
Terkait dengan independensi suatu lembaga seperti OJK, terdapat dua aspek yang harus digarisbawahi, yaitu independen dari campur tangan politik dan independen dari industri finansial yang diawasi itu sendiri;
Pentingnya independensi pengaturan dan pengawasan finansial dapat dipelajari dari kasus Korea dan Jepang. Krisis tahun 1997 yang juga melanda Korea merupakan akibat dari tidak independennya pengawasan sektor finansial. Pengawasan bank khusus dan lembaga keuangan non- bank berada di bawah kewenangan langsung dari kementerian keuangan dan ekonomi (Lindgren dkk, " Financial Sector Crisis and Restructuring : Lesson from Asia ", IMF Occasional Paper, No. 188, 1999);
Di Jepang juga terjadi permasalahan serupa. Kekuasaan Kementerian Keuangan Jepang pada tahun 1995 sangat luas, mencakup perencanaan keuangan, kewenangan membuat aturan, inspeksi keuangan, dan pemeriksaan/ pengawasan lembaga keuangan. Hal ini menyebabkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 147 rentan terjadinya korupsi oleh pejabatnya. Pada Juni 1998, Jepang mengeluarkan fungsi pengawas lembaga keuangan dari kementerian dan dialihkan kepada Financial Supervisory Authority (FSA), lembaga independen yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, dan asuransi (Lihat Takeo Hoshi dan Takahisho Ito, Financial Regulation in Japan; Fifth Year Review of the Financial Services Agency , 2002, revised 2003 , hal 1-2);
Keberadaan suatu otoritas independen adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi keefektifan sistem pengawasan di sektor jasa keuangan. Argumen ini terkait dengan fungsi/kemampuan otoritas tersebut untuk melindungi diri baik dari intervensi pasar keuangan yang diawasinya maupun campur tangan politik. Hal ini diperlukan agar otoritas tersebut dapat mengembangkan fungsi dan tugasnya, mewujudkan transparansi dan pencapaian tujuan stabiltas keuangan ( Steeven Seelig and Alica Novoa, "Governance Practice at Financial Regulatory and Supervisory Agencies. IMF Working Paper Monitory and Capital Market Departements wp/09/135, Juli 2009 , hal.10);
Otoritas yang independen di sektor keuangan akan lebih mampu menghasilkan regulasi yang efektif, membuat operasi di dalam pasar menjadi lebih efisien, dan yang lebih penting menciptakan sistem dan fungsi pengawasan yang lebih baik dibandingkan ketika berada di bawah lembaga pemerintahan/kementerian (Kenneth Kaoma Mwenda, " Legal Aspects of Financial Services Regulation and The Concept of A United Regulator", the World Bank-Law Justice and Development Series 2006 , hal. 31);
Penting dicatat bahwa ada ketidakkonsistenan Pemohon ketika mempersoalkan kewenangan OJK dalam pengawasan lembaga keuangan bukan bank. Menurut Pemohon, mandat yang diberikan oleh Pasal 34 UU 23/1999 yang telah diubah dengan UU 3/2004 adalah pengawasan bank. Namun, dalam bagian petitum justru pengawasan bank itulah yang diminta untuk dibatalkan (dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat). Petitum itu justru menimbulkan tanda tanya mengenai siapa yang sesungguhnya berkepentingan terhadap permohonan ini; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 148 23. Dari sisi sejarah, pembentukan OJK sebenamya memang hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan Undang-Undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. Pada waktu RUU tersebut diajukan muncul penolakan dari Bl dan DPR. Sebagai kompromi maka disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga harus bertugas mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini agar tidak terlihat bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan bank sentral (lihat Zulkarnain Sitompul, "Menyambut Kehadiran OJK", Pilars No. 02/Th. Vll/12-18 Januari 2004);
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, ahli menyatakan bahwa keberadaan OJK tidak bisa dikatakan bertentangan dengan UUD 1945;
Untuk menutup keterangan ini, ahli ingin mengutip Direktur Finance Research Eko B. Supriyanto dalam opini di Kompas tanggal 4 Maret 2014. "Jika ada pihak-pihak yang hendak melakukan uji materi terhadap UU OJK ke Mahkamah Konstitusi, di satu sisi ini merupakan kebebasan, tetapi di sisi lain ini "kegenitan" semata. Selama ini, proses pembentukan OJK sudah makan waktu teramat panjang sejak 1999 dengan naskah akademi yang memadai, dan pembahasan yang mendalam di DPR dan Pemerintah serta Bl sendiri; Jika uji materi diterima dan dikabulkan MK, akan menimbulkan kekacauan dalam industri keuangan dan perbankan yang melibatkan aset Rp 12.000 triliun. Harus diketahui, OJK bukan seperti SKK Migas yang dapat dimatikan begitu saja. Ini menyangkut sektor perbankan dan keuangan yang ada risiko sistemiknya. Lembaga kepercayaan yang harus dijaga. Saat ini, konglomerasi sektor keuangan butuh lembaga OJK yang independen, dan sudah sewajarnya kita semua mendorong kredibilitas OJK seperti layaknya KPK." 8. Dr. Mulia P. Nasution, D.E.S.S Sehubungan dengan permohonan pengujian ( constitutional review ) Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 34, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64,Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK terhadap UUD 1945" yang dimohonkan oleh para Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 149 Pemohon, yaitu Salamuddin, dkk, perkenankan kami menyampaikan Keterangan Ahli mengenai 2 hal, yaitu: pentingnya OJK sebagai lembaga yang menyelenggarakan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor keuangan dan pengelolaan keuangan OJK, sebagai berikut: I. Pentingnya Otoritas Jasa Keuangan Keberadaan OJK adalah suatu keniscayaan bagi negara kita pada masa kini. Pembentukan OJK adalah hasil dari suatu proses transformasi kelembagaan yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang, yaitu lebih dari satu dekade (1998-2011) di negara kita. Berawal dari kelemahan pengawasan perbankan nasional yang sangat dirasakan pada saat terjadinya Asian Financial Crisis pada tahun 1997-1998, gagasan pembentukan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen muncul sebagai upaya memperbaiki penyelenggaraan pengaturan dan pengawasan terhadap industri jasa keuangan. Pelaksanaan transformasi kelembagaan tersebut diperlukan untuk mencegah agar tidak terulang kembali krisis seperti yang pernah terjadi pada masa yang lalu dan agar lebih mampu menghadapi berbagai permasalahan dan tantanganyang semakin berat sebagai akibat dari perkembangan dan dinamika di sektor industri jasa keuangandi masa depan; Pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan hanya dapat terlaksana secara profesional, apabila lembaga yang diberikan mandat untuk melaksanakan tugas tersebut bersifat mandiri, tidak berada di bawah kekuasaan dan pengaruh lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Krisis perbankan yang melanda Indonesia yang kemudian meluas menjadi krisis ekonomi dan politik pada awal dekade yang lalu, menunjukkan kepada kita betapa pentingnya keberadaan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen dalam penyelenggaraan fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Oleh karena itu, para pembuat Undang-Undang di negara kita persis 10 tahun yang lalu menyepakati untuk mencantumkan amanat pembentukan dengan undang-undang suatu lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen dalam Pasal 34 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; Namun, proses pembentukan lembaga tersebut tidaklah berjalan mulus. Walaupun Undang-Undang telah mengamanatkan pembentukan lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 150 dimaksud akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010, urgensi untuk membentuk suatu lembaga pengawas perbankan yang independen di luar Bank Indonesia tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari beragam pemangku kepentingan. Dari segi konsep, model lembaga independen yang akan dibentuk masih terus dalam pembahasan dan perdebatan, baik di kalangan akademisi, maupun di lingkungan pemerintah sendiri. Secara politik, walaupun proses konsolidasi fiskal, yang berjalan sejak tahun 2000 telah berhasil membawa stabilisasi di bidang perbankan dan keuangan negara, prioritas utama pemerintahan Presiden SBY pada awal periode 2004-2009 adalah melaksanakan berbagai kegiatan yang mendesak yang dapat menggerakkan kembali roda perekonomian, setelah 5 tahun mengalami stagnasi, bahkan sempat mengalami kemunduran, melalui program Pro-Growth, Pro-Job dan Pro-Poor yang dicanangkan oleh Pemerintah. Sampai terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008, konsep pembentukan OJK masih tetap dalam perdebatan. Perdebatan tersebut bukanlah mengenai perlunya independensi lembaga tersebut, karena sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia telah menjadi lembaga yang independen, tetapi terutama urgensi keberadaan lembaga baru di luar Bank Indonesia untuk mengatur dan mengawasi sektor perbankan; Seiring dengan berjalannya waktu, sektor industri jasa keuangan semakin berkembang dan mengalami dinamika yang luar biasa. Tidak terkecuali di negara kita. Dalam kurun waktu tersebut, seiring dengan pemulihan ekonomi dan semakin berkembangnya kegiatan perekonomian di negara kita, produk-produk industri jasa keuangan muncul semakin beragam dan kompleks. Selain itu, sebagaimana juga di sektor industri yang lain, di sektor jasa keuangan juga terjadi konglomerasi, baik secara vertikal, maupun horizontal. Demikian pula, industri jasa keuangan mengalami proses globalisasi yang berdampak signifikan terhadap konsumen, pemilik modal, perekonomian dan publik. Proses globalisasi tersebut dipermudah terutama dengan kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi dan berlakunya norma dan standar yang bersifat internasional, terutama di sektor perbankan. Pada gilirannya, kemudahan untuk beroperasi secara global memperlancar langkah-langkah, konsolidasi, pembentukan holding company , mergers and acquisitions oleh para pelaku industri terutama yang berinduk di luar negeri untuk dapat meningkatkan efisiensi, memperbesar market share atau untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 151 mendominasi pasar demi meraih pertumbuhan usaha dan memaksimalkan profit perusahaan mereka di Indonesia. Pengaturan dan pengawasan yang tidak dilakukan secara terintegrasi akan dapat menyulitkan upaya pencegahan dan penanganan kasus-kasus pelanggaran yang terjadi di sektor jasa keuangan; Sejalan dengan perkembangan tersebut, konsep pembentukan OJK mengalami dinamika, pergeseran, penyesuaian dan penyempurnaan. Menjadi penting agar seluruh sektor jasa keuangan dapat diatur dan diawasi secara terintegrasi. Agar lebih efektif, pengaturan dan pengawasan tersebut perlu dilakukan oleh satu lembaga, yaitu OJK. Dengan demikian, ruang lingkup OJK yang pembentukannya akan ditetapkan dengan Undang-Undang berkembang menjadi lebih luas, yaitu tidak hanya mencakup sektor perbankan, tetapi termasuk pengaturan dan pengawasan sektor industri jasa keuangan secara keseluruhan; Namun sampai terjadinya Global Crisis yang terutama melanda beberapa negara industri pada tahun 2008 yang berdampak terhadap sektor keuangan di Indonesia, agenda untuk menyatukan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di dalam satu lembaga belum menjadi prioritas nasional yang mendesak untuk dilaksanakan, walaupun sudah diamanatkan oleh undang-undang. Dalam dinamika proses perumusan dan penyiapan RUU OJK, pemikiran untuk tidak mengeluarkan fungsi pengaturan dan pengawasan mikro prudential dari Bank Indonesia memiliki alasan yang kuat. Pertama , melakukan transformasi kelembagaan sangat berisiko sehingga perlu dilakukan secara berhati-hati, karena dapat berdampak terhadap industri jasa keuangan yangberperan sangat strategis dalam sistem perekonomian nasional. Kedua , menyiapkan perangkat hukum, struktur organisasi baru, sumber daya manusiaakan membutuhkan waktu yang tidak sedikit, perencanaan yang matang dan pelaksanaan secara seksama. Setelah lembaga baru terbentuk, perlu disusun prosedur kerja ( Standard Operating Procedure atau SOP) dan disiapkan dukungan anggaran dan logistik yang diperlukan, agar organisasi tersebut dapat beroperasi secara penuh. Ketiga , pengalaman di beberapa negara lain menunjukkan bahwa keberadaan lembaga pengawas industri jasa keuangan yang independen di luar bank sentral atau di luar pemerintah tidaklahmenjadi jaminan tidak akan terjadi permasalahan atau kasus- kasus di sektor jasa keuangan. Contohnya, di Inggris dan di Amerika Serikat; Terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008 menyebabkan pentingnya memprioritaskan pembentukan OJK. Sementara itu, dari segi konsep, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 152 dalam kurun waktu 2004-2008, pembahasan mengenai kedudukan dan bentuk kelembagaan OJK telah melalui due process dan diskusi yang mendalam, baik di lingkungan pemerintah, maupun pada pertemuan-pertemuan ( public hearings ) yang diselenggarakan oleh tim pemerintah dengan berbagai pemangku kepentingan. Berbagai masukan telah diperoleh pemerintah untuk menyempurnakan naskah RUU OJK yang akan diajukan kepada DPR. Pertukaran informasi dan pengalaman mengenai sistem dan kelembagaan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di beberapa negara juga dilakukan oleh pemerintah untuk memperkaya referensi dan menjadi bahan pertimbangandalam penyusunan organisasi OJK; Kendati demikian, pembentukan OJK baru dapat terselesaikan pada tahun 2011 setelah krisis berlalu dan melalui proses pembahasan yang panjang dan meleiahkan. Namun ada hikmah dari proses pembahasan yang cukup lama tersebut. Pembahasan Undang-Undang yang dilakukan secara terburu-buru sering kurang mendalam.Sebaliknya pembentukan UU OJK yang menjadi salah satu proses legislasi terlama di negara kita, telah melalui proses diskusi yang mendalam dan pertimbangan yang matang, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan negara akan suatu lembaga pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan secara terintegrasi. Pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi tersebut sangat dibutuhkan pada masa ini dan di masa yang akan datang, karena:
koordinasi otoritas fiskal, moneter dan sektor keuangan perlu diperkuat;
ii. sumber krisis semakin beragam (perbankan, pasar modal, lembaga keuangan non-bank, fiskal; iii. sektor jasa keuangan saling berhubungan ( interconnected );
iv. konglomerasi keuangan semakin dominan;
struktur produk keuangan semakin kompleks ( hybrid products );
vi. fungsi pengawasan lembaga keuangan dengan fungsi pengelolaan moneter dan fiskal memiliki potensi konflik kepentingan; vii. pemisahan fungsi pengawasan sektor keuangan dari otoritas moneter dan otoritas fiskal sesuai dengan trend global terkini. II. Pengelolaan keuangan OJK OJK adalah lembaga yang dibentuk dan mendapatkan pelimpahan sebagian kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan ( pouvoir public ) untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Pembentukan dan pelimpahan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 153 kekuasaan tersebut tidak tercantum dalam UUD, namun dari perjalanan panjang dan dinamika dalam penyelenggaraan pemerintahan di negara kita, keberadaan lembaga yang bertugas untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan tersebut terbukti constitutionally important . Oleh karena itu, untuk memberikan landasan hukum yang kuat, pembentukan OJK tersebut ditetapkan dengan Undang-Undang; Sebagai bagian dari sistem pemerintahan negara, OJK diamanatkan untuk bertugas mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya, OJK perlu diberikan kedudukan dan status hukum yang sepadan, serta kewenangan, prasarana dan sarana yang diperlukan. Salah satu sarana utama yang diperlukan oleh OJK adalah dana. Berbeda dengan bank sentral yang memiliki sumber pendapatan dari pengelolaan moneter dan sistem pembayaran, OJK tidak mempunyai sumber pendapatan sendiri. Oleh karena itu, OJK memerlukan sumber pendanaan dari iuar.Dana tersebut dapat bersumber dari APBN, maupun dari luar APBN, berupa iuran yang dipungut dari sektor industri yang diawasi oleh OJK; Berkenaan dengan sumber pendanaan OJK ini, setidaknya ada dua pertanyaan mendasar. Pertama, manakah yang lebih baik, apakah OJK dibiayai dari APBN atau semata-mata dari pungutan.Apabila OJK dibiayai dari APBN, alokasi anggaran bagi OJK tersebut akan mengurangi dana APBN yang sudah demikian terbatas untuk membiayai penyelenggaraan tugas kementerian negara dan lembaga pemerintahan lainnya. Sehingga apabila dimungkinkan untuk memperoleh pendanaan dari sumber lain, seyogianya OJK tidak tergantung dari sumber penerimaan dari APBN; Oleh karena itu, muncul pertanyaan kedua, yaitu apabila dana tersebut bersumber dari APBN, apakah pengelolaannya oleh OJK selaku Pengguna Anggaran, harus mengikuti pengelolaan anggaran yang berlaku pada umumnya seragam bagi setiap kementerian negara. Jawabannya adalah tidak harus selalu demikian. Sebagaimana kita fahami bersama bahwa dalam pengelolaan anggaran oleh kementerian negara dan lembaga pemerintahan ditetapkan ketentuan- ketentuan yang pada umumnya seragam mulai dari proses perencanaan dan penyusunan anggaran, sampai pada pelaporan dan pertanggungjawaban. Keseragaman dalam ketentuan pengelolaan keuangan APBN tersebut merupakan penerapan dari asas-asas umum yang dianut dalam Undang-Undang di bidang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 154 keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yaitu Asas Tahunan, Asas Universalitas, Asas Kesatuan dan Asas Spesialitas; Namun di dalam doktrin hukum perbendaharaan negara yang juga dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dikenal asas-asas umum lainnya, yaitu Asas Akuntabilitas berorientasi pada hasil, Asas Profesionalitas, dan Asas Proporsionalitas. Asas-asas ini pada hakekatnya memberikan fleksibilitas bagi pengguna anggaran untuk membelanjakan danayang telah diamanatkan kepadanya untuk menghasilkan ouput yang telah ditetapkan dengan cara yang sebaik-baiknya. Dengan demikian pemberian fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBN kepada OJK sebagaimana ditetapkan dalam UU OJK adalah sejalan dengan semangat anggaran berbasis kinerja yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Sebagai suatu organisasi yang dituntut untuk menjalankan tugasnya secara independen dengan standar profesionalitas yang tinggi, pemberlakuan aturan dan mekanisme yang seragam dengan yang berlaku bagi kementerian negara dapat menjadi kendala dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan operasional OJK. Oleh karena itu prinsip " let manager manages " yang menjadi semangat dalam sistem pengelolaan keuangan negara sesudah dimulai reformasi pada tahun 2003 perlu benar-benar-benar dihayati dalam pengaturan pengelolaan keuangan OJK. Sehingga dalam dokumen usulan anggaran yang diajukan oleh OJK kepada pemerintah untuk memperoleh dana APBN, rencana pengeluaran yang akan dilakukan oleh OJK tidak perlu diuraikan secara terperinci seperti halnyauraian usulan anggaran yang diajukan oleh satuan kerja kementerian negara. Demikian pula pada tahap pelaksanaan anggaran, pencairan anggaran yang bersumber dari APBN dapat dilakukan secara berkala berdasarkan rencana penggunaan dana dan realisasi anggaran untuk masing-masing jenis belanja. Sudah barang tentu, hal ini akan mengurangi informasi yang diperoleh Bendahara Umum Negara atas pengelolaan dana APBN tersebut oleh OJK. Oleh karena itu sangat penting peranan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan keuangan OJK. Karena dari laporan berkala yang wajib disampaikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 155 oleh OJK kepada BPK sebagai auditor negara dan laporan pertanggungjawaban tahunan oleh OJK dapat diperoleh informasi mengenai berbagai pengeluaran- pengeluaran tersebut, dan BPK pada saat memeriksa laporan keuangan OJK, dapat melakukan penelusuran rincian dan bukti-bukti dari setiap pengeluaran. Fleksibilitas dalam proses pengusulan anggaran, pencairan dana, pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran yang demikian pada hakekatnya serupa dengan yang diterapkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang mendapatkan dana untuk menyelenggarakan Public Service Obligation ; Apabila OJK membiayai dirinya dari pungutan, sudah barang tentu tidak diperlukan keterikatan kepada ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kementerian negara. Penerimaan dan pengeluaran iuran dikelola oleh OJK terpisah dari APBN. OJK memiliki kewenangan untuk mengatur sistem pengelolaan keuangan yang berlaku. Namun demikian, gambaran secara ringkas mengenai kondisi keuangan OJK perlu disampaikan dalam Nota Keuangan sebagai bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara dan informasi kepada publik yang mencerminkan asas keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; Oleh karena itu, menyangkut pengenaan pungutan oleh OJK, hal utama yang perlu menjadi pertimbangan adalah kewajaran mengenai besarnya iuran tersebut, dan penerapan asas proporsionalitas dalam pengenaannya terhadap masing-masing sektor industri. Karena pada akhirnya setiap pungutan kepada sektor industri, akan menjadi tambahan biaya bagi industri yang dapat dialihkan menjadi beban konsumen. Penutup Sebagai ahli, berusaha untuk memberikan keterangan seobyektif mungkin. Walaupun sebagai mantan Ketua Tim Pelaksana Persiapan Pembentukan OJK, sulit bagi kami untuk tidak terpengaruh suasana hati dalam memberikan keterangan ini. Mengingat penyiapan organisasi OJK adalah tugas yang diamanahkan kepada kami menjelang akhir pengabdian di Kementerian Keuangan. Kami membayangkan, alangkah sedihnya apabila organisasi yang baru saja dibentuk harus dirombak, tanpa alasan yang kuat dan mendesak, padahal keberadaannya pada hakikatnya sejalan dengan semangat UUD untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan dapat berperan sangat positif untuk kemajuan sektor jasa keuangan di negara kita. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 156 Menurut ahli akan lebih baik, apabila kita memprioritaskan penuntasan proses transformasi kelembagaan dengan menyelesaikan agenda amandemen beberapa undang-undang di sektor keuanganyang sangat krusial untuk penataan dan harmonisasi pengaturan di sektor jasa keuangan. Demikian pula meiakukan secara internal, bagi OJK, menuntaskan proses transformasi kelembagaan, dengan melengkapi berbagai Peraturan OJK dan SOP yang diperlukan bagi pelaksanaan kegiatan operasional, manajemen SDM dan keuangan, serta sistem dan teknologi informasi dan komunikasi; Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta ke 9 (1966-1977) pernah mengatakan: "Manusia tanpa cita-cita adalah mati, cita-cita tanpa kerja adalah mimpi dan idaman yang menjadi kenyataan adalah kebahagian". Proses transformasi kelembagaan tidaklah mudah dan tidak ada organisasi yang sempurna, tidak terkecuali institusi OJK yang masih baru. Namun dengan bekerja, bekerja dan bekerja dengan sebaik-baiknya, niscaya OJK akan dapat menjadi lembaga idaman;
Dr. Harjono, S.H., MCL Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan Dari Aspek Konstitusi OJK merupakan lembaga negara baru yang tugasnya melakukan pengaturan dan pengawasan pada lembaga keuangan, maka konstitusionalitasnya seringkali dikaitkan dengan independensi bank sentral, sebagaimana diatur oleh Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945. Ahli berpendapat bahwa perlu untuk dikaji posisi bank sentral yang sebenarnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 karena dengan diketahui posisi bank sentral, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23D UUD 1945 maka secara langsung pula dapat diketahui kedudukan OJK secara hukum. Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mengatur lembaga negara di dalamnya, antara lain MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, KY, KPU, yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun di samping itu, disebut juga adanya lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang pembentukannya diserahkan kepada Presiden, yang akan diatur oleh Undang-Undang, yaitu Dewan Pertimbangan Presiden, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara memiliki sebuah bank sentral. Jadi hubungan antara bank sentral dengan negara adalah hubungan kepemilikan. Bank sentral tidak dimaksudkan sebagai lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 157 negara untuk melaksanakan fungsi utama kenegaraan, sebagaimana dikenal kekuasaan pembuat undang-undang legislatif, eksekutif, dan kekuasaan yudisial; Meskipun bank sentral adalah lembaga negara dalam pengertian lembaga yang dibentuk oleh kekuasaan negara, dan mempunyai kewenangan publik, namun kedudukannya berbeda dengan lembaga negara MPR, DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi, KY, dan KPU. Sebagai Contoh untuk menyebut keberadaan Mahkamah Konstitusi lembaga negara yang melangsungkan fungsi utama kenegaraan lainnya, Undang-Undang Dasar tidak menggunakan kata memiliki Mahkamah Konstitusi, sebagaimana digunakan untuk menyebut bank sentral. Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyatakan bahwa negara memiliki Mahkamah Konstitusi dan lain sebagainya. Bank sentral lebih sebagai lembaga yang kegiatannya dalam bidang perbankan yang susunan, kedudukan dan kewenangan, tanggung jawab, dan independency-nya diatur Undang-Undang. Artinya, bank sentral adalah lembaga bentukan negara yang kewenangan dan independency - nya ditentukan oleh Undang-Undang dan bukan Undang-Undang Dasar 1945, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 menentukan hal apa saja yang perlu diatur dalam Undang-Undang tentang lembaga bank sentral tersebut; Frasa negara memiliki satu bank sentral dalam Pasal 23D UUD 1945 adalah tepat, tetapi tidak tepat untuk menyebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara memiliki MPR, DPR, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil studi dengan memperbandingkan konstitusi negara-negara lain, tidak menemukan ketentuan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pengaturan bank sentral yang dicantumkan dalam pasal konstitusi. Federal Reserve Bank of New York, bank terbesar di dunia yang sangat berpengaruh dalam perekonomian dunia tidak diatur dalam konstitusi Amerika Serikat. Bahkan untuk kurun waktu yang lama, Amerika Serikat tidak mempunyai bank sentral. Federal Reserve Bank of New York sebagai bank sentral Amerika Serikat baru dibentuk dengan undang-undang pada masa pemerintahan Presiden Woodrow Wilson tahun 1931, padahal sejak 1778 Konstitusi Amerika Serikat sudah berlaku; Dari kajian ini tampak jelas bahwa bank sensral meskipun statusnya adalah lembaga negara, artinya dibentuk oleh kewenangan publik dan untuk melaksanakan kekuasaan publik, namun bukanlah sebuah lembaga konstitusi yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi utama alat kelengkapan negara. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 158 Independency bank sentral dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebut dalam Pasal 23D yang dari rumusan pasal tersebut sangat jelas bahwa isinya atau content -nya akan ditentukan oleh Undang-Undang dan bukan ditentukan Undang- Undang Dasar 1945; Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai pilihan kata yang bervariasi untuk menggambarkan sifat kewenangan yang dimiliki oleh satu lembaga negara yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23D digunakan kata independency untuk bank sentral. Pasal 23E digunakan kata bebas dan mandiri untuk BPK. Pasal 24, kata kekuasaan yang merdeka atau kekuasaan kehakiman . Pasal 22E dengan kata mandiri untuk KPU dan Pasal 24 digunakan kata mandiri untuk KY. Dari pilihan kata yang berbeda-beda yang digunakan itu ada makna yang sama terkandung dalam kata pilihan, yaitu bahwa satu lembaga negara dalam menjalankan kewenangannya wajib untuk tidak dipengaruhi oleh pihak luar manapun dan pihak luar dilarang untuk memengaruhi lembaga negara tersebut ketika lembaga negara yang bersangkutan melaksanakan kewenangan. Kewenangan yang tidak boleh dipengaruhi oleh pihak luar tersebut adalah kewenangan inti, yaitu kewenangan fungsional, artinya kewenangan yang ditempatkan dalam relasi dengan kewenangan fungsional yang dimiliki oleh lembaga negara yang lain; Prinsip bahwa kewenangan adalah terbatas dan prinsip kemandirian dan kebebasan dalam menjalankan kewenangan fungsionalnya adalah prinsip yang mendasari good governance atau tata pemerintahan yang baik, yang tujuannya adalah untuk menghindari abuse of power pemegang kekuasaan dan untuk mempersempit moral hazard . Hal itu sangat sejalan dengan peringatan Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely ; Conselor democracy state ( negara hukum) good governance ( pemerintahan yang baik), itu semuanya adalah konsep yang di dalamnya mengandung unsur untuk menghindari konsentrasi kemenangan, yaitu dengan cara melakukan pendistribusian kewenangan fungsional sangat terbatas, serta untuk menjamin bahwa setiap produk kewenangan terhindar dari interact pihak tertentu; Apakah dari prinsip independency bank sentral, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 tersebut harus melekat pada kewenangan bank sentral untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan bank lainnya. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 159 konstitusional, artinya kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 Undang-Undang MK, sehingga akan menjadi kerugian konstitusional kalau pengawasan tersebut tidak dilaksanakan. Sebagaimana telah ternyata sebelumnya bahwa independency bank sentral menurut Pasal 23D akan diatur Undang-Undang, sehingga independency bukan hak konstitusional, dalam arti hak yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, tetapi yang akan ditentukan dan diatur oleh Undang-Undang. Karenanya, kalaupun seandainya kewenangan pengawasan harus melekat kepada independency , maka yang akan mengatur adalah Undang-Undang dan bukan Undang-Undang Dasar 1945; Perbandingan Penguasaan Lembaga Keuangan Di Beberapa Negara Tentang pengaturan struktur pengawasan untuk industri keuangan, termasuk lembaga perbankan yang dipraktikkan oleh negara-negara di dunia, Federal Reserve Bank of San Fransisco membedakan dalam 3 pendekatan, yakni:
Single agent . Pengawas tunggal untuk mengawasi industri keuangan, termasuk bank, asuransi, dan pasar modal;
Separate agencies . Pengawas yang terpisah untuk setiap industri keuangan;
Pengawasan dengan struktur hybrid atau penggabungan antara pendekatan nomor 1 dan nomor 2; Dalam masing-masing pendekatan tersebut, peranan dari bank sentral negara bervariasi antara pendekatan yang satu dengan yang lain. Pendekatan pengawasan tunggal dilakukan oleh Jepang dan Singapura. Di Jepang pengawasan dilakukan oleh GPSA yang didirikan tahun 1998 setelah banyak bank besar yang gagal dan karena timbulnya ketidakpercayaan publik kepada kementerian keuangan. GPSA adalah otoritas pengawas keuangan yang utama yang berada di luar bank sentral dan kewenangannya semakin bertambah dan kuat semenjak tahun 2001; Singapura yang menganut otoritas tunggal yang dilaksanakan oleh Monetary Authority of Singapore , namun berbeda dengan Jepang, Monetary Authority of Singapore juga melakukan fungsi bank sentral. Pendekatan pengawasan oleh otoritas yang terpisah dipraktikkan di Tiongkok dan India. Industri keuangan bank, asuransi, dan pasar modal di India dan Tiongkok diawasi oleh otoritas yang berbeda-beda. Pendekatan hybrid mengombinasikan elemen pengawasan satu otoritas dan elemen pengawasan terpisah dipraktikkan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 160 Malaysia diawasi oleh otoritas yang sama. Sedangkan untuk industri pasar modal diawasi oleh otoritas yang lain; Pada tahun 1999, Korea Selatan mendirikan Korean Financial Supervisory Service (KFSS) melalui sebuah Undang-Undang. Setelah adanya krisis moneter yang melanda Asia. KFSS dibentuk dari kombinasi empat otoritas pengawas yang sebelumnya ada di Korea, yakni 1) banking supervisory authority ;
security supervisory board ;
insurance supervisory board ; dan
nonbank supervisory authority . Sejak tahun 2008 setelah melakukan reorganisasi, KFSS diawasi oleh financial service commission . Kewenangan financial service commission sebelumnya dimiliki oleh Kementerian Keuangan Korea. Berdasarkan KFSS, keberadaan KFSS berada di luar bank sentral; Dari uraian dan perbandingan dalam praktik negara lain dapat ditentukan fakta hukum sebagai berikut.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, bank sentral adalah suatu fungsi yang akan diatur oleh Undang-Undang;
Bank sentral adalah lembaga negara yang dimiliki oleh negara;
Sebagai lembaga negara, bank sentral kedudukannya sangat berbeda dengan lembaga negara utama yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar;
Independency bank sentral akan diatur dan ditentukan kontennya oleh Undang-Undang. Tidak terdapat ketentuan Undang-Undang Dasar bahwa independency bank sentral haruslah disertai hak pengawasan oleh bank sentral kepada lembaga keuangan bank. Undang-Undanglah yang akan mengatur, apakah bank sentral diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada lembaga keuangan bank atau tidak diberi kewenangan untuk melaksanakan pengawasan kepada lembaga keuangan bank; Penyatuan pengawasan atau pemisahan pengawasan terhadap lembaga keuangan, baik bank, asuransi, dan pasar modal adalah kewenangan pembuat Undang-Undang untuk mengaturnya. Pembuat Undang-Undang yang terdiri atas Presiden dan DPR adalah lembaga yang tepat untuk mengatur sistem pengawasan kepada lembaga keuangan karena kedua lembaga, yaitu Presiden dan DPR terlibat secara langsung dalam urusan bidang keuangan negara. Sehingga mempunyai informasi dan data yang akurat dan mengetahui pilihan yang baik untuk mengaturnya dan bukan ditentukan oleh lembaga peradilan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 161 Pembuatan Undang-Undang berhak dan bahkan wajib untuk melakukan perubahan apabila ternyata dalam pelaksanaannya diperlukan perubahan pengaturan atas pengawasan lembaga keuangan agar supaya tercipta tata pengawasan yang lebih baik dalam pengelolaan lembaga keuangan demi terciptanya kestabilan keuangan dan perlindungan kepada konsumen; Perubahan tidak dapat dilakukan apabila peradilan yang menetapkan sistem pengawasan yang harus diterapkan karena dasarnya adalah sistem yang sah dan sistem yang melanggar hukum dan melakukan perubahan untuk penyempurnaan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Perubahan sistem pengawasan dilakukan oleh banyak negara pada saat mengalami krisis keuangan global yang pernah terjadi di sekitar tahun 1997 dan di awal tahun 2000 sekitar tahun 2008; Kesimpulan Ahli berkesimpulan bahwa keberadaan OJK tidak bertentangan secara konstitusional dengan pengaturan bank sentral yang terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 dan keberadaannya diberlakukan untuk menciptakan lembaga keuangan yang sehat serta diperlukan bagi perlindungan konsumen lembaga keuangan di Indonesia; Isu konstitusionalitas lainnya tentang OJK menyangkut kewenangan untuk melakukan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan jasa keuangan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang OJK. Ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Ahli berpendapat bahwa ketentuan pasal ini bermaksud untuk memberi dasar hukum yang jelas dan demi kepastian hukum atas pemungutan yang dilakukan dengan alasan untuk keperluan negara. Pasal ini tidak bermaksud untuk melarang negara melakukan... yang bersifat memaksa kalau memang negara memerlukannya. Dalam praktik, pemungutan ini memang telah dilakukan oleh negara dalam berbagai bentuk, sebagai contoh adalah apa yang disebut sebagai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam transaksi pemindahan hak atas tanah dan bangungan, nilai BPHTB ini dapat dikatakan sangatlah besar karena 5% dari nilai transaksi; Ketentuan Pasal 23A menggunakan rumusan diatur dengan undang- undang yang ditafsirkan harus ada Undang-Undang tersendiri atau khusus yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 162 mengaturnya yang berbeda dengan rumusan diatur dalam Undang-Undang yang pengaturannya dapat tersebar dalam berbagai Undang-Undang. Dalam kenyataannya sampai sekarang, belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur pungutan lain yang bersifat memaksa. Ahli berpendapat bahwa tujuan adanya Undang-Undang tersendiri tidaklah hanya bersifat membuat perbedaan formal belaka, yaitu apakah telah terpenuhinya adanya Undang-Undang tersendiri, tetapi juga menyangkut persoalan-persoalan substantif dari Undang-Undang tersebut; Undang-Undang OJK memungkinkan OJK untuk melakukan pungutan dan jelas bahwa pungutan digunakan untuk keperluan negara. Karena OJK dalam bernegara yang melakukan tugas negara, yaitu tugas yang tidak dapat secara hukum dilakukan oleh lembaga yang bukan lembaga negara; Dari segi kebutuhan, pungutan tersebut dibatasi jumlah yang diperlukan. Artinya, tidak memungut tanpa batas, tanpa dasar berapa jumlah yang akan dipungut. Karena jumlahnya sebatas jumlah yang diperlukan untuk anggaran tahunan yang harus disusun lebih dulu dan mendapat persetujuan DPR. Pasal 36 Undang-Undang OJK menegaskan apabila hasil pungutan melebihi kebutuhan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara. OJK sebagai lembaga negara harus membuat laporan keuangan secara transparan dan akuntabel, sebagaimana diharuskan oleh undang-undang; Secara substansi, aturan keuangan OJK telah mempertimbangkan pengelolaan keuangan negara yang baik. Ahli berpendapat bahwa Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya perlu formalitas adanya Undang-Undang tersendiri saja, tetapi juga substansi, yaitu menyangkut pengelolaan keuangan negara yang jelas peruntukannya, artinya transparan dan akuntabel. Undang- Undang OJK yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan telah mempertimbangkan transparansi, akuntabilitas, serta pembatasan yang rasional, proporsional tentang jumlah yang boleh dipungut; Dengan demikian, meskipun Undang-Undang yang dimaksud oleh Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 belum ada, namun substansi yang seharusnya terdapat pada undang-undang tersebut telah diakomodasi dalam Undang-Undang OJK. Apabila Mahkamah menetapkan bahwa pemungutan keuangan yang terdapat dalam Undang-Undang OJK dan pengelolaannya bertentangan dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 163 Undang-Undang Dasar 1945, hanya sekadar bahwa belum dibuatnya Undang- Undang secara khusus dan harus dibatalkan, maka akibatnya akan banyak pungutan-pungutan lainnya, antara lain BPHTB harus juga batal; Sebagaimana ahli uraikan di atas maka sebagai penafsir Konstitusi, Mahkamah dapat menambahkan hal-hal yang diperlukan agar ketentuan tentang keuangan yang terdapat dalam Undang-Undang OJK menjadi sempurna dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, atau melakukan penafsiran conditionally constitutional pada aspek substansinya. Sementara itu, Mahkamah dapat memberikan kriteria konstitusionalitas terhadap Undang-Undang yang diperlukan untuk melaksanakan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 dan hal ini pernah dilakukan oleh Mahkamah dalam beberapa kali putusannya, termasuk mengenai BHP dan juga mengenai peradilan Tipikor;
Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M. I. Ada empat isu pokok yang perlu ditanggapi terlebih dahulu, yaitu:
Pemisahan kewenangan stabilitas moneter dan pengawasan perbankan serta penggabungan pengawasan antara sistem perbankan dan lembaga keuangan non bank;
Independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK;
Pembiayaan OJK (APBN dan pungutan dari pelaku pasar);
Pelaporan dan akuntabilitas OJK. II. Mengenai isu pertama, pemisahan kewenangan, secara mendasar kita harus memahami pertumbuhan sektor perbankan dan jasa keuangan sebagai sarana kebutuhan kehidupan modern yang berada pada era globalisasi. Lebih-lebih bagi Indonesia, karena tahun depan ia bersama dengan negara-negara ASEAN lain akan memasuki ASEAN Market Community . Sementara itu lahirnya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan konglomerasi kepemilikan di sektor keuangan telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan. Pembentukan OJK dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik ( good governance ), yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran ( fairness ). Khusus mengenai pengawasan di bidang perbankan, OJK memiliki tugas yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 164 berbeda dari Bank Indonesia ("Bl") sebagai bank sentral seperti diamanatkan oleh UUD 1945, sebagaimana yang telah diubah ("UUD 1945"). Dalam situasi demikian, peran sektor perbankan dan keuangan menjadi amat penting. Oleh sebab itu diperlukan satu konsep yang jelas; Apa yang dilakukan UU OJK adalah melakukan pemisahan pengawasan terhadap bank, yang tidak lagi dilakukan oleh Bl. Pengawasan oleh pihak di luar bank sendiri dimaksudkan untuk menjaga kualitas pihak yang diawasi demi kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan konsumen yang berurusan dengan bank. Perlindungan konsumen adalah salah satu fungsi pengawasan OJK; Selanjutnya jasa keuangan harus dibuat terintegrasi. Itulah filosofinya mengapa OJK bukan saja mengawasi bank, tetapi juga sektor-sektor non bank, dalam hal ini pasar modal asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan serta lembaga keuangan lain; Jika sektor perbankan dan sektor keuangan non bank sehat, transaksi bisnis yang lain akan lancar pula, nasional maupun transnasional. Indonesia yang berekonomi kuat hanya akan lahir, jika sektor keuangan dan perbankan juga dilandasi sistem pengawasan yang kuat; III. Dalam masalah kedua, yang berkaitan dengan independensi, menurut Para Pemohon, hanya Bl yang berhak memakai status "independen" karena ada "cantolannya" ada di Pasal 23D UUD 1945. OJK samasekali tidak memiliki "cantolan" dalam UUD 1945. Pada hemat ahli, Pemohon telah menggunakan alurpikir yang salah. Sebab "independen" bukanlah istilah yang dapat dimonopoli. Jadi dapat saja satu lembaga menyatakan dirinya "independen" tanpa harus melihat ada pegangannya dalam UUD 1945. Komisi Pengawas Pesaingan Usaha, misalnya mendeklarasikan dirinya sebagai "suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. [Pasal 30 ayat (2) UU No.5/1999] Demikian juga bagi OJK, independen di sini berarti bebas dari pengaruh siapapun, terutama Pemerintah; IV. Mengenai isu Pembiayaan (Penggunaan APBN dan Pungutan OJK), OJK sebagian dibiayai oleh dana dari APBN dan selebihnya dari dana yang dipungut dari masyarakat yang merupakan pengguna jasa OJK [Pasal (2) UU OJK]. Oleh Para Pemohon, aturan dalam UU OJK ini dipersoalkan karena Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 165 mereka khawatir akan terjadi " abuse of power " Sebagai WNI mereka tidak mau APBN menjadi tergerus akibat digunakan oleh OJK. Tentang hak OJK untuk memungut, para Pemohon bertanya*. "Bagaimana mungkin lembaga yang melakukan pengawasan memungut dari yang diawasinya?" (butir 66 Permohonan). Mengenai APBN, Pemohon tampak bersikap a priori , padahal kalau dibaca Pasal 38 UU OJK, jelas diatur tentang masalah pertanggungjawaban — yang akan diuraikan di bawah. Otoritas di beberapa negara antara lain di Hongkong, Estonia dan Slovakia juga menerapkan pungutan kepada para pelaku kegiatan di sektor jasa keuangan dalam rangka membiayai operasionalnya; Filosofi dari pendanaan ini adalah bahwa lembaga resmi negara, yang independen 1) dapat dibiayai dari APBN dan 2) dengan kekuatan Undang- Undang dibenarkan memungut dengan pertanggungjawaban dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU OJK; Pungutan menjadi sumber dana operasional OJK, sehingga segala kegiatan yang berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan dapat dilakukan dengan lebih independen, mengingat secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah. Pungutan terhadap pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan yang dilakukan OJK sudah sejalan dengan UUD 1945 karena pungutan tersebut didasarkan pada Undang- Undang. V. Isu terakhir berkaitan dengan sistem Pelaporan dan Akuntabilitas. Secara filosofis pelaporan dan akuntabilitas ini harus diikuti dengan ketentuan- ketentuan dalam Pasal 38 UU OJK yang dijabarkan dalam 10 ayat, menyangkut mengenai: - laporan keuangan serta laporan kegiatan; - laporan ke DPR dan Presiden Rl dengan standar dan kebijakan akuntansi yang ditetapkan OJK; - audit yang dilakukan oleh BPK; dan pengumuman laporan tahunan OJK kepada publik melalui media; Pengaturan rinci itu menurut saya telah cukup menjawab kekhawatiran para Pemohon dengan sekalian memahami filosofi konsep pelaporan dan akuntabilitas OJK tersebut; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 166 VI. Secara umum saya ingin menyampaikan bahwa permohonan tidak ditopang argumentasi yang kuat, juga tidak didukung bukti. Berbagai pernyataan yang terdapat dalam permohonan bersifat simplistik, menggampangkan persoalan, dangkal, a priori dan kategori lain semacam itu. Dengan demikian semua tuntutan dalam permohonan sangat patut untuk ditolak.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009.
Kepelabuhanan.
Relevan terhadap
Pembangunan terminal khusus dilakukan oleh pengelola berdasarkan izin dari Menteri. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan yang harus dilengkapi dengan persyaratan:
administrasi;
teknis kepelabuhanan;
keselamatan dan keamanan pelayaran; dan
kelestarian lingkungan. (3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
akte pendirian perusahaan;
izin usaha pokok dari instansi terkait; ditjen Peraturan Perundang-undangan c. Nomor Pokok Wajib Pajak;
bukti penguasaan tanah;
bukti kemampuan finansial;
proposal rencana tahapan kegiatan pembangunan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang; dan
rekomendasi dari Syahbandar pada pelabuhan terdekat. (4) Persyaratan teknis kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
gambar hidrografi, topografi, dan ringkasan laporan hasil survei mengenai pasang surut dan arus;
tata letak dermaga;
perhitungan dan gambar konstruksi bangunan pokok;
hasil survei kondisi tanah;
hasil kajian keselamatan pelayaran termasuk alur- pelayaran dan kolam pelabuhan;
batas-batas rencana wilayah daratan dan perairan dilengkapi titik koordinat geografis serta rencana induk terminal khusus yang akan ditetapkan sebagai Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan tertentu; dan
kajian lingkungan. (5) Persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
alur-pelayaran;
kolam pelabuhan;
rencana penempatan Sarana Bantu Navigasi- Pelayaran;
rencana arus kunjungan kapal. (6) Persyaratan kelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf d berupa studi lingkungan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Pasal 118 (1) Berdasarkan permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2), Menteri melakukan penelitian atas persyaratan permohonan pembangunan Terminal Khusus dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. ditjen Peraturan Perundang-undangan (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan kepada pengelola untuk melengkapi persyaratan. (3) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Menteri setelah persyaratan dilengkapi. (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) telah terpenuhi, Menteri menetapkan izin pembangunan terminal khusus. Pasal 119 Dalam melaksanakan pembangunan terminal khusus, pengelola wajib:
melaksanakan pekerjaan pembangunan terminal khusus sesuai dengan jadwal yang ditetapkan;
bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan terminal khusus yang bersangkutan;
melaksanakan pekerjaan pembangunan paling lama 1 (satu) tahun sejak izin pembangunan diterbitkan;
melaporkan kegiatan pembangunan terminal khusus secara berkala kepada penyelenggara pelabuhan terdekat; dan
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 120 (1) Pengoperasian terminal khusus dilakukan setelah diperolehnya izin dari Menteri. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan dari pengelola setelah memenuhi persyaratan:
pembangunan terminal khusus telah selesai dilaksanakan sesuai dengan izin pembangunan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1);
keamanan, ketertiban, dan keselamatan pelayaran;
laporan pelaksanaan kajian lingkungan;
memiliki sistem dan prosedur pelayanan; dan ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 122...
tersedianya sumber daya manusia di bidang teknis pengoperasian pelabuhan yang memiliki kualifikasi dan sertifikasi. Pasal 121 (1) Berdasarkan permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (2), Menteri melakukan penelitian atas persyaratan permohonan pengoperasian terminal khusus dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan kepada pengelola untuk melengkapi persyaratan. (3) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Menteri setelah persyaratan dilengkapi. (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) telah terpenuhi, Menteri menetapkan izin pengoperasian terminal khusus. Pasal 121 (1) Izin pengoperasian terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 dan Pasal 111.
Permohonan perpanjangan izin pengoperasian terminal khusus diajukan oleh pengelola kepada Menteri dengan melampirkan bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Menteri dapat memberikan atau menolak permohonan perpanjangan izin pengoperasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 122 Pengelola yang telah mendapatkan izin pengoperasian wajib:
bertanggung jawab sepenuhnya atas pengoperasian terminal khusus yang bersangkutan;
melaporkan kegiatan operasional setiap bulan kepada pemberi izin;
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran serta kelestarian lingkungan; dan
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya yang berkaitan dengan usaha pokoknya. Pasal 123 (1) Penggunaan terminal khusus untuk kepentingan umum tidak dapat dilakukan kecuali dalam keadaan darurat dengan izin Menteri. (2) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
terjadi bencana alam atau peristiwa alam lainnya sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya pelabuhan; atau
pada daerah yang bersangkutan tidak terdapat pelabuhan dan belum tersedia moda transportasi lain yang memadai atau pelabuhan terdekat tidak dapat melayani permintaan jasa kepelabuhanan oleh karena keterbatasan kemampuan fasilitas yang tersedia sehingga menghambat kelancaran arus barang. (3) Izin penggunaan terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila fasilitas yang terdapat di terminal khusus tersebut dapat menjamin keselamatan pelayaran dan pelaksanaan pelayanan jasa kepelabuhanan. (4) Penggunaan terminal khusus untuk kepentingan umum hanya bersifat sementara, dan apabila pelabuhan telah dapat berfungsi untuk melayani kepentingan umum, izin penggunaan terminal khusus untuk kepentingan umum dicabut. (5) Penggunaan terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan berdasarkan kerjasama antara penyelenggara pelabuhan dengan pengelola. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 124 (1) Pengoperasian terminal khusus dilakukan sesuai dengan frekuensi kunjungan kapal, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang. (2) Pengoperasian terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditingkatkan secara terus menerus selama 24 (dua puluh empat) jam dalam 1(satu) hari atau selama waktu tertentu sesuai kebutuhan. (3) Peningkatan pengoperasian terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan:
adanya peningkatan frekuensi kunjungan kapal, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang; dan
tersedianya fasilitas keselamatan pelayaran, kepelabuhanan, dan lalu lintas angkutan laut. Pasal 125 (1) Menteri dapat menetapkan peningkatan pelayanan operasional terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) berdasarkan usulan dari pengelola. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan:
kesiapan kondisi alur;
kesiapan pelayanan pemanduan bagi perairan terminal khusus yang sudah ditetapkan sebagai perairan wajib pandu;
kesiapan fasilitas terminal khusus;
kesiapan gudang dan/atau fasilitas lain di luar terminal khusus;
kesiapan keamanan dan ketertiban;
kesiapan sumber daya manusia operasional sesuai kebutuhan;
kesiapan tenaga kerja bongkar muat dan naik turun penumpang atau kendaraan;
kesiapan sarana transportasi darat; dan
rekomendasi dari Syahbandar pada pelabuhan terdekat. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 126 Terminal khusus yang sudah tidak dioperasikan sesuai dengan izin yang telah diberikan:
dapat diserahkan kepada Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota;
dikembalikan seperti keadaan semula;
diusulkan untuk perubahan status menjadi terminal khusus untuk menunjang usaha pokok yang lain; atau
dijadikan pelabuhan. Pasal 127 (1) Izin operasi terminal khusus hanya dapat dialihkan apabila usaha pokoknya dialihkan kepada pihak lain. (2) Pengalihan izin operasi terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Menteri. (3) Dalam hal terjadi perubahan data pada izin operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola paling lama 3 (tiga) bulan setelah terjadinya perubahan wajib melaporkan kepada Menteri untuk dilakukan penyesuaian. Pasal 128 (1) Terminal khusus yang diserahkan kepada Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf a dapat berubah statusnya menjadi pelabuhan setelah memenuhi persyaratan:
sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
layak secara ekonomis dan teknis operasional;
membentuk atau mendirikan Badan Usaha Pelabuhan;
mendapat konsesi dari Otoritas Pelabuhan;
keamanan, ketertiban, dan keselamatan pelayaran; dan
kelestarian lingkungan. (2) Dalam hal terminal khusus berubah status menjadi pelabuhan yang diusahakan secara komersial, tanah daratan dan/atau perairan, fasilitas penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang dikuasai dan dimiliki oleh pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikuasai oleh negara dan diatur oleh Otoritas Pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan (3) Pemberian konsesi dan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara Otoritas Pelabuhan dan pengelola. Pasal 129 Terminal khusus yang diserahkan kepada Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf a penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan. Pasal 130 (1) Izin pengoperasian terminal khusus dapat dicabut apabila pemegang izin:
melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122; atau
menggunakan terminal khusus untuk melayani kepentingan umum tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1). (2) Pencabutan izin pengoperasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan. (3) Apabila telah dilakukan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang izin terminal khusus tidak melakukan usaha perbaikan atas peringatan yang telah diberikan, izin pengoperasian terminal khusus dicabut. Pasal 131 Izin pengoperasian terminal khusus dicabut tanpa melalui proses peringatan, apabila pengelola terminal khusus yang bersangkutan:
melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara; atau
memperoleh izin pengoperasian terminal khusus dengan cara tidak sah. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 132 (1) Pembinaan, pengendalian, dan pengawasan operasional terminal khusus dilaksanakan oleh Syahbandar pada pelabuhan terdekat. (2) Fungsi keselamatan di terminal khusus dilaksanakan oleh Syahbandar pada pelabuhan terdekat. Pasal 133 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara penetapan lokasi, pemberian izin pembangunan dan izin operasi, penggunaan terminal khusus untuk kepentingan umum, peningkatan kemampuan pengoperasian, perubahan status menjadi pelabuhan, prosedur pencabutan izin terminal khusus, penyerahan terminal khusus diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Terminal Untuk Kepentingan Sendiri Pasal 134 (1) Untuk menunjang kegiatan tertentu di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan dapat dibangun terminal untuk kepentingan sendiri. (2) Pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri dilakukan sebagai satu kesatuan dalam penyelenggaraan pelabuhan. Pasal 135 (1) Pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri hanya dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan pengelolaan dari:
Menteri bagi terminal untuk kepentingan sendiri yang berlokasi di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan utama dan pengumpul;
gubernur bagi terminal untuk kepentingan sendiri yang berlokasi di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan pengumpan regional; dan ditjen Peraturan Perundang-undangan c. bupati/walikota bagi terminal untuk kepentingan sendiri yang berlokasi di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan pengumpan lokal. (2) Persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan setelah memenuhi persyaratan:
data perusahaan yang meliputi akte perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan izin usaha pokok;
bukti kerjasama dengan penyelenggara pelabuhan;
gambar tata letak lokasi terminal untuk kepentingan sendiri dengan skala yang memadai, gambar konstruksi dermaga, dan koordinat geografis letak dermaga untuk kepentingan sendiri;
bukti penguasaan tanah;
proposal terminal untuk kepentingan sendiri;
rekomendasi dari Syahbandar pada pelabuhan setempat;
berita acara hasil peninjauan lokasi oleh tim teknis terpadu; dan
studi lingkungan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 136 (1) Untuk mendapatkan persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri, pemohon mengajukan permohonan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Persetujuan atau penolakan permohonan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri, gubenur, atau bupati/walikota paling lama 30 (tiga puluh) __ hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (3) Penolakan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai alasan penolakan. Pasal 137 Pengelola terminal untuk kepentingan sendiri wajib menyediakan ruangan dan sarana kerja yang memadai untuk kelancaran kegiatan pemerintahan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 138 (1) Terminal untuk kepentingan sendiri hanya dapat dioperasikan untuk kegiatan:
lalu lintas kapal atau naik turun penumpang atau bongkar muat barang berupa bahan baku, hasil produksi, dan peralatan penunjang produksi untuk kepentingan sendiri; dan
pemerintahan, penelitian, pendidikan dan pelatihan, dan sosial. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dibuktikan dengan dokumen penumpang dan/atau dokumen muatan barang. Pasal 139 (1) Penggunaan terminal untuk kepentingan sendiri selain untuk melayani kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan umum setelah mendapat konsesi dari penyelenggara pelabuhan. (2) Konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan:
kemampuan dermaga dan fasilitas lainnya yang ada untuk memenuhi permintaan jasa kepelabuhanan;
rencana kegiatan yang dinilai dari segi keamanan, ketertiban dan keselamatan pelayaran dengan rekomendasi dari Syahbandar pada pelabuhan setempat;
upaya peningkatan pelayanan kepada pengguna jasa kepelabuhanan;
pungutan tarif jasa kepelabuhan dilakukan oleh penyelenggara pelabuhan yang bersangkutan; dan
memberlakukan ketentuan sistem dan prosedur pelayanan jasa kepelabuhanan pada pelabuhan yang bersangkutan. Pasal 140 Dalam hal terjadi bencana alam atau peristiwa lainnya yang mengakibatkan tidak berfungsinya terminal, pengelola terminal untuk kepentingan sendiri wajib memberikan pelayanan jasa kepelabuhanan untuk kepentingan umum dengan ketentuan:
pengoperasian dilakukan oleh penyelenggara pelabuhan; ditjen Peraturan Perundang-undangan b. hak dan kewajiban pengelola terminal untuk kepentingan sendiri harus terlindungi;
pelayanan jasa kepelabuhanan diberlakukan ketentuan pelayanan jasa kepelabuhanan untuk pelabuhan; dan
pungutan tarif jasa kepelabuhanan diberlakukan oleh penyelenggara pelabuhan. Pasal 141 Pengelola terminal untuk kepentingan sendiri dalam melaksanakan pengelolaan dermaga wajib:
bertanggung jawab sepenuhnya atas dampak yang ditimbulkan selama pembangunan dan pengoperasian terminal untuk kepentingan sendiri yang bersangkutan;
melaporkan kegiatan operasional terminal untuk kepentingan sendiri kepada penyelenggara pelabuhan laut secara berkala; dan
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepelabuhanan, lalu lintas angkutan di perairan, keselamatan pelayaran, pengerukan dan reklamasi, serta pengelolaan lingkungan; dan
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi pemerintah lainnya yang berkaitan dengan usaha pokoknya. Pasal 142 (1) Persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri dicabut apabila pengelola:
melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141;
menggunakan terminal untuk kepentingan sendiri untuk melayani kepentingan umum tanpa konsesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2). (2) Pencabutan persetujuan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan. (3) Apabila telah dilakukan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengelola terminal untuk kepentingan sendiri tidak melakukan usaha perbaikan atas peringatan yang telah diberikan, persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri dicabut. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 143 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VII PENARIFAN Pasal 144 Setiap pelayanan jasa kepelabuhanan dikenakan tarif sesuai dengan jasa yang diberikan. Pasal 145 Besaran tarif pelayanan jasa kepelabuhanan ditetapkan berdasarkan:
kepentingan pelayanan umum;
peningkatan mutu pelayanan jasa kepelabuhanan;
kepentingan pengguna jasa;
peningkatan kelancaran pelayanan jasa;
pengembalian biaya; dan
pengembangan usaha. Pasal 146 (1) Tarif penggunaan perairan dan/atau daratan serta jasa kepelabuhanan yang diselenggarakan oleh Otoritas Pelabuhan ditetapkan oleh Otoritas Pelabuhan setelah dikonsultasikan dengan Menteri. (2) Tarif jasa kepelabuhanan yang diusahakan oleh Badan Usaha Pelabuhan ditetapkan oleh Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan jenis, struktur, dan golongan tarif yang ditetapkan oleh Menteri dan merupakan pendapatan Badan Usaha Pelabuhan. (3) Tarif jasa kepelabuhanan bagi pelabuhan yang diusahakan secara tidak komersial oleh Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. ditjen Peraturan Perundang-undangan (4) Tarif jasa kepelabuhanan bagi pelabuhan yang diusahakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan daerah dan merupakan penerimaan daerah. Pasal 147 Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, struktur, dan golongan tarif jasa kepelabuhanan, mekanisme penetapan tarif yang terkait dengan penggunaan perairan dan/atau daratan dan jasa kepelabuhanan serta tarif jasa kepelabuhanan yang diusahakan oleh Badan Usaha Pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VIII PELABUHAN DAN TERMINAL KHUSUS YANG TERBUKA BAGI PERDAGANGAN LUAR NEGERI Pasal 148 (1) Untuk menunjang kelancaran perdagangan luar negeri pelabuhan utama dan terminal khusus tertentu dapat ditetapkan sebagai pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas pertimbangan:
pertumbuhan dan pengembangan ekonomi nasional;
kepentingan perdagangan internasional;
kepentingan pengembangan kemampuan angkutan laut nasional;
posisi geografis yang terletak pada lintasan pelayaran internasional;
Tatanan Kepelabuhanan Nasional yang diwujudkan dalam Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
fasilitas pelabuhan;
keamanan dan kedaulatan negara; dan
kepentingan nasional lainnya. Pasal 149 (1) Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atas usulan penyelenggara pelabuhan utama setelah memenuhi persyaratan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi:
aspek ekonomi; ditjen Peraturan Perundang-undangan b. aspek keselamatan dan keamanan pelayaran;
aspek teknis fasilitas kepelabuhanan;
fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi instansi pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, instansi bea cukai, imigrasi, dan karantina; dan
jenis komoditas khusus. Pasal 150 (1) Terminal khusus tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atas usulan penyelenggara pengelola terminal khusus setelah memenuhi persyaratan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi:
aspek administrasi;
aspek ekonomi;
aspek keselamatan dan keamanan pelayaran;
aspek teknis fasilitas kepelabuhanan;
fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi instansi pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, instansi bea cukai, imigrasi, dan karantina; dan
jenis komoditas khusus. Pasal 151 (1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dan Pasal 150, Menteri melakukan penelitian atas persyaratan permohonan penetapan pelabuhan dan terminal khusus tertentu yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan kepada penyelenggara pelabuhan dan pengelola untuk melengkapi persyaratan. (3) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kembali kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. ditjen Peraturan Perundang-undangan (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) telah terpenuhi, Menteri menetapkan pelabuhan dan terminal khusus tertentu yang terbuka bagi perdagangan luar negeri. Pasal 152 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan pelabuhan dan terminal khusus tertentu yang terbuka bagi perdagangan luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IX SISTEM INFORMASI PELABUHAN Pasal 153 (1) Sistem informasi pelabuhan mencakup pengumpulan, pengelolaan, penganalisaan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan informasi pelabuhan untuk:
mendukung operasional pelabuhan;
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat atau publik; dan
mendukung perumusan kebijakan di bidang kepelabuhanan. (2) Sistem informasi pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh:
Menteri untuk sistem informasi pelabuhan pada tingkat nasional;
gubernur untuk sistem informasi pelabuhan pada tingkat provinsi; dan
bupati/walikota untuk sistem informasi pelabuhan pada tingkat kabupaten/kota. (3) Pemerintah daerah menyelenggarakan sistem informasi pelabuhan sesuai dengan kewenangannya berdasarkan pedoman dan standar yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 154 Sistem informasi pelabuhan paling sedikit memuat:
kedalaman alur dan kolam pelabuhan;
kapasitas dan kondisi fasilitas pelabuhan;
arus peti kemas, barang, dan penumpang di pelabuhan;
arus lalu lintas kapal di pelabuhan;
kinerja pelabuhan; ditjen Peraturan Perundang-undangan f. operator terminal di pelabuhan;
tarif jasa kepelabuhanan; dan
Rencana Induk Pelabuhan dan/atau rencana pembangunan pelabuhan. Pasal 155 Badan Usaha Pelabuhan menyampaikan laporan bulanan kegiatan terminal kepada Otoritas Pelabuhan setiap bulan paling lambat pada tanggal 5 (lima) bulan berikutnya. Pasal 156 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 meliputi:
arus kunjungan kapal;
arus bongkar muat peti kemas dan barang;
arus penumpang;
kinerja operasional; dan
kinerja peralatan dan fasilitas. Pasal 157 Otoritas Pelabuhan mengevaluasi laporan bulanan yang disampaikan oleh Badan Usaha Pelabuhan untuk dijadikan sebagai bahan penyusunan sistem informasi pelabuhan dan disampaikan kepada Menteri dengan tembusan kepada gubernur. Pasal 158 Unit Penyelenggara Pelabuhan wajib menyampaikan informasi kepada Menteri yang memuat paling sedikit mengenai:
kedalaman kolam pelabuhan;
arus kunjungan kapal;
arus bongkar muat peti kemas dan barang;
arus penumpang;
kinerja operasional;
kinerja peralatan dan fasilitas;
kedalaman alur; dan
perkembangan jumlah Badan Usaha Pelabuhan yang mengoperasikan terminal. Pasal 159 Menteri berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 mengolah data dan informasi untuk dijadikan sebagai bahan informasi pelabuhan kepada masyarakat. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 160 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengolahan dan laporan serta penyusunan sistem informasi pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 161 Pengelola kawasan industri yang memerlukan fasilitas pelabuhan wajib menyediakan lahan yang dialokasikan untuk kegiatan kepelabuhanan. Pasal 162 (1) Penyelenggaraan pelabuhan laut serta pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan yang diusahakan secara komersial harus memenuhi ketentuan:
kegiatan pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan dilaksanakan oleh Otoritas Pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan;
kegiatan pemerintahan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran dilaksanakan oleh Syahbandar; dan
kegiatan pengusahaan dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan yang mengusahakan pelabuhan laut untuk melayani angkutan penyeberangan. (2) Penyelenggara pelabuhan laut serta pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan yang belum diusahakan secara komersial dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Pemerintah, Unit Pelaksana Teknis pemerintah provinsi, atau Unit Pelaksana Teknis pemerintah kabupaten/kota. Pasal 163 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pelabuhan laut serta pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan diatur dengan Peraturan Menteri. ditjen Peraturan Perundang-undangan BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 164 (1) Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, Pemerintah, pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan pelabuhan tetap menyelenggarakan kegiatan pengusahaan di pelabuhan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. (2) Dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, kegiatan usaha pelabuhan yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. (3) Kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang telah diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara tetap diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dimaksud . BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 165 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari Peraturan Pemerintah ini yang mengatur mengenai kepelabuhanan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 166 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4145) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 167 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. ditjen Peraturan Perundang-undangan ditjen Peraturan Perundang-undangan Untuk... P E N J E L A S A N A T A S PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN I. UMUM Pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran memiliki peranan yang sangat penting dan strategis sehingga penyelenggaraannya dikuasasi oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan nasional, dan memperkukuh ketahanan nasional. Pembinaan pelabuhan yang dilakukan oleh Pemerintah meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Aspek pengaturan mencakup perumusan dan penentuan kebijakan umum maupun teknis operasional. Aspek pengendalian mencakup pemberian pengarahan bimbingan dalam pembangunan dan pengoperasian pelabuhan. Sedangkan aspek pengawasan dilakukan terhadap penyelenggaraan kepelabuhanan. Pembinaan kepelabuhanan dilakukan dalam satu kesatuan Tatanan Kepelabuhanan Nasional yang ditujukan untuk mewujudkan kelancaran, ketertiban, keamanan dan keselamatan pelayaran dalam pelayanan jasa kepelabuhanan, menjamin kepastian hukum dan kepastian usaha, mendorong profesionalisme pelaku ekonomi di pelabuhan, mengakomodasi teknologi angkutan, serta meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing dengan tetap mengutamakan pelayanan kepentingan umum. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pengaturan untuk bidang kepelabuhanan memuat ketentuan mengenai penghapusan monopoli dalam penyelenggaran pelabuhan, pemisahan antara fungsi regulator dan operator serta memberikan peran serta pemerintah daerah dan swasta secara proporsional di dalam penyelenggaraan kepelabuhanan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Untuk kepentingan tersebut di atas maka dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai Rencana Induk Pelabuhan Nasional, penetapan lokasi, rencana induk pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan, penyelenggaran kegiatan di pelabuhan, perizinan pembangunan dan pengoperasian pelabuhan atau terminal, terminal khusus dan terminal untuk kepentingan sendiri, penarifan, pelabuhan dan terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dan sistem informasi pelabuhan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam Rencana Induk Pelabuhan Nasional memuat lokasi pelabuhan yang sudah ada maupun lokasi pelabuhan yang direncanakan akan dibangun. Ayat (2) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (3) Menteri yang terkait dengan kepelabuhanan antara lain, menteri yang membidangi urusan lingkungan hidup, perikanan, perindustrian, pertambangan, dan perdagangan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Perubahan kondisi lingkungan strategis akibat bencana adalah berubahnya perencanaan pemanfaatan kawasan yang memerlukan fasilitas pelabuhan akibat bencana. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Letak wilayah administratif memuat nama desa/kelurahan atau sebutan lain, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri manufaktur yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang telah memiliki Izin Usaha Industri. Huruf k Fasilitas umum lainnya antara lain tempat peribadatan, tempat rekreasi, olah raga, jalur hijau, dan kesehatan. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas . Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Keadaan darurat antara lain kapal terbakar. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kegiatan pemerintahan lainnya yang bersifat tidak tetap antara lain kegiatan kehutanan dan pertambangan yang diselenggarakan oleh instansi yang berwenang dalam rangka mencegah pembalakan liar ( illegal logging ) dan penambangan liar ( illegal minning ) yang ke luar masuk melalui pelabuhan. Pasal 38 Ayat (1) Kegiatan pengaturan meliputi penetapan kebijakan di bidang kepelabuhanan. Kebijakan di bidang kepelabuhanan merupakan kebijakan umum dan teknis kepelabuhanan yang meliputi penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur serta perizinan di bidang kepelabuhanan. Kegiatan pembinaan dilakukan dengan memperhatikan seluruh aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan terhadap kegiatan pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan pelabuhan guna mewujudkan tatanan kepelabuhanan nasional yang diarahkan untuk:
memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, dan nyaman;
meningkatkan penyelenggaraan kegiatan kepelabuhanan;
mengembangkan kemampuan dan peranan kepelabuhanan serta keselamatan dan keamanan pelayaran dengan menjamin tersedianya alur-pelayaran, kolam pelabuhan, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang memadai;
mencegah dan menanggulangi pencemaran yang bersumber dari kegiatan kepelabuhanan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf d... Kegiatan pengendalian meliputi pemberian arahan, bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat pengguna jasa kepelabuhanan, pendidikan dan pelatihan serta sertifikasi, dan perizinan di bidang kepelabuhanan serta petunjuk dalam melaksanakan pembangunan, operasional dan pengembangan pelabuhan. Kegiatan pengawasan meliputi:
pemantauan dan penilaian terhadap kegiatan pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan pelabuhan; dan
tindakan korektif terhadap pelaksanaan kegiatan pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan pelabuhan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Jaringan jalan adalah jalan akses (acces road) ke terminal. Huruf c Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf d Keamanan dan ketertiban secara umum di pelabuhan dijamin oleh Otoritas Pelabuhan yang dilakukan secara terpadu dan untuk itu dapat dibentuk satuan pengaman oleh Otoritas Pelabuhan, namun untuk masing-masing terminal menjadi tanggung jawab Badan Usaha Pelabuhan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kondisi tertentu adalah terjadinya sesuatu yang dapat menghambat pemberian pelayanan jasa kepelabuhanan yang harus segera dilakukan pemulihan dan tidak dapat menunggu pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sehingga diperlukan tindakan yang dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan atau pengelola Terminal Untuk Kepentingan Sendiri seizin Otoritas Pelabuhan. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (4) Kondisi tertentu adalah anggaran pemerintah pada tahun anggaran berjalan tidak tersedia untuk pemeliharaan penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan jaringan jalan. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Peraturan pemerintah tersendiri adalah peraturan pemerintah yang mengatur mengenai kenavigasian. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Jasa terkait dengan kepelabuhanan adalah kegiatan yang menunjang kelancaran operasional dan memberikan nilai tambah bagi pelabuhan antara lain perkantoran, fasilitas pariwisata dan perhotelan, instalasi air bersih, listrik dan telekomunikasi, jaringan air limbah dan sampah, pelayanan bunker, dan tempat tunggu kendaraan bermotor. __ Pasal 69 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Keikutsertaan Badan Usaha Pelabuhan menjaga keselamatan, keamanan, dan ketertiban yang menyangkut angkutan di perairan adalah hanya terbatas di tambatan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 74 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Sanksi adalah pengakhiran perjanjian dalam hal Badan Usaha Pelabuhan tidak melaksanakan kewajibannya termasuk kewajiban memberikan pelayanan jasa kepelabuhanan sesuai standar kinerja pelayanan yang ditetapkan oleh Otoritas Pelabuhan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Pasal 75 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kerjasama pemanfaatan adalah pengoperasian fasilitas pokok dan fasilitas penunjang pelabuhan oleh Badan Usaha Pelabuhan dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 76 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyewaan lahan, penyewaan gudang, dan/atau penyewaan penumpukan adalah pemanfaatan lahan tanah pelabuhan, fasilitas gudang dan fasilitas penumpukan oleh Badan Usaha Pelabuhan, Badan Usaha lainnya atau perorangan dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 98... Pasal 88 Ayat (1) Sisi darat antara lain berupa gudang, gedung, dan lapangan penumpukan. Ayat (2) Sisi perairan antara lain berupa dermaga, fasilitas tambat, reklamasi, dan talud. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Ayat (1) Pengoperasian pelabuhan dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan fasilitas dan sumber daya manusia operasional sesuai dengan frekuensi kunjungan kapal, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 98 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Kondisi alur antara lain kedalaman, pasang surut, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran . Huruf b Cukup jelas. Huruf c Fasilitas pelabuhan antara lain lampu penerangan, dermaga, gudang, dan lapangan penumpukan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Sumber daya manusia operasional sesuai kebutuhan yaitu petugas instansi pemerintah pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, kekarantinaan, kepabeanan dan keimigrasian. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Melaporkan kegiatan operasional dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan teknologi informasi . Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya antara lain ketentuan di bidang perpajakan serta bea dan cukai. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Ayat (1) Kegiatan tertentu adalah kegiatan untuk menunjang kegiatan usaha pokok yang tidak terlayani oleh pelabuhan terdekat dengan kegiatan usahanya karena sifat barang atau kegiatannya memerlukan pelayanan khusus atau karena lokasinya jauh dari pelabuhan. ditjen Peraturan Perundang-undangan Ayat (2) Huruf a Ditetapkan menjadi bagian dari pelabuhan terdekat yaitu bahwa pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan pengoperasian terminal khusus dilakukan oleh penyelenggara pelabuhan terdekat dan pengawasan serta pelaksanaan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran dilaksanakan oleh Syahbandar pada pelabuhan terdekat. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 111 Huruf a Badan usaha adalah badan hukum Indonesia yang didirikan berdasarkan ketentuan hukum Republik Indonesia, termasuk anak perusahaan sesuai dengan usaha pokok yang sejenis dan pemasok bahan baku dan peralatan penunjang produksi untuk keperluan badan usaha yang bersangkutan. Kegiatan usaha pokok antara lain pertambangan, energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dok dan galangan kapal, penelitian, pendidikan dan pelatihan, serta sosial. Huruf b Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. __ Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya antara lain ketentuan di bidang pertambangan, energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dok dan galangan kapal, penelitian, pendidikan dan pelatihan, sosial, perpajakan, serta bea dan cukai. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Kondisi alur antara lain kedalaman perairan, pasang surut, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf b Cukup jelas. Huruf c Fasilitas terminal khusus antara lain lampu penerangan, dermaga, gudang, dan lapangan penumpukan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Sumber daya manusia operasional sesuai kebutuhan yaitu petugas instansi pemerintah pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, kekarantinaan, kepabeanan dan keimigrasian. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 132 Ayat (1) Pembinaan, pengendalian, dan pengawasan operasional terminal khusus dilaksanakan oleh Syahbandar pada pelabuhan terdekat dalam kaitan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pengelola terminal khusus antara lain menyangkut penggunaan perairan, pelayanan pandu, pelayanan jasa kepelabuhanan yang dilakukan untuk melayani pihak ketiga karena kegiatan- kegiatan tersebut merupakan kewenangan dari Pemerintah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Ayat (1) Kegiatan tertentu meliputi pertambangan, energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dok dan galangan kapal, penelitian, pendidikan dan pelatihan, serta sosial. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 135 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Bukti kerjasama dapat berupa kerjasama pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Cukup jelas. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Fasilitas lainnya antara lain peralatan bongkar muat, gudang, akses jalan masuk, dan sumber daya manusia yang menangani. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 140 Bencana alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. ditjen Peraturan Perundang-undangan Peristiwa lainnya dapat berupa bencana non-alam antara lain gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit serta berupa bencana sosial yang antara lain konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat dan teror. Pasal 141 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. __ Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya antara lain ketentuan di bidang pertambangan, energi, kehutanan, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, dok dan galangan kapal, penelitian, pendidikan dan pelatihan, sosial, perpajakan, serta bea dan cukai. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup jelas. Pasal 144 Cukup jelas. Pasal 145 Cukup jelas. Pasal 146 Cukup jelas. Pasal 147 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 148 Ayat (1) Terminal khusus tertentu adalah terminal khusus yang dibangun dan dioperasikan untuk menunjang kegiatan usaha yang hasil produksinya untuk diekspor. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 149 Cukup jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup jelas. Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 Cukup jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Dalam menyampaikan laporan, Badan Usaha Pelabuhan dapat menggunakan teknologi informasi yang tersedia ( e-portnet ). Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. ditjen Peraturan Perundang-undangan Pasal 161 Cukup jelas. Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penentuan waktu 3 (tiga) tahun dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan waktu yang cukup bagi Pemerintah merencanakan pengembangan pelabuhan dan Badan Usaha Milik Negara. Untuk keperluan pengembangan tersebut atas perintah Menteri dilakukan:
evaluasi aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan usaha pelabuhan; dan
audit secara menyeluruh terhadap aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan usaha pelabuhan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “tetap diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara” adalah Badan Usaha Milik Negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1991, Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1991, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1991, dan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1991, tetap menyelenggarakan kegiatan usaha di pelabuhan yang meliputi:
kegiatan yang diatur dalam Pasal 90 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
penyediaan kolam pelabuhan sesuai dengan peruntukannya berdasarkan pelimpahan dari Pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
pelayanan jasa pemanduan berdasarkan pelimpahan dari Pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
penyediaan dan pengusahaan tanah sesuai kebutuhan berdasarkan pelimpahan dari Pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. ditjen Peraturan Perundang-undangan ditjen Peraturan Perundang-undangan
Pengujian UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan [Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), (7), Pasal 17 ayat (2), huruf a, c, d ...
Relevan terhadap
ayat (1) 1 untuk diri Wajib Pajak 2.880.000,00 12.000.000,00 13.200.000,00 15.840,000,00 2 Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin 1.440.000,00 1.200.000,00 1.200.000,00 1.320.000,00 3 Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dgn penghasilan suami 2.880.000,00 12.000.000,00 13.200.000,00 15.840.000,00 4 Tambahan untuk setiap tanggungan 1.440.000,00 1.200.000,00 1.200.000,00 1.320.000,00 Dengan memperhatikan data pada tabel tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa secara keseluruhan, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan UU PPh Tahun 2008 jauh lebih besar jika dibandingkan dengan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak menurut UU PPh Tahun 1983 maupun UU PPh Tahun 2000 berikut aturan pelaksanaannya. Selain itu, dapat ditegaskan pula bahwa perubahan terhadap besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak tidak harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang, tetapi cukup dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan sebagai pelaksanaan 88 amanat Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang memberikan delegasi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk menyesuaikan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang terlebih dahulu dikonsultasikan dengan DPR sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan mengenai besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak merupakan permasalahan implementasi suatu Undang-Undang (dalam hal ini Undang-Undang a quo ), yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan isu konstitusionalitas. Bahwa atas Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 telah diuji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 1/PUU-VII/2009 tanggal 20 Mei 2009 yang amar putusannya menyatakan bahwa permohonan Pemohon ditolak. Oleh karena itu sudah sepatutnya pengujian terhadap pasal dimaksud dikesampingkan.
Pasal 14 ayat (1) Dalam rangka pengenaan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak dibutuhkan informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Oleh karena itu perlu diberikan kemudahan melalui mekanisme lain yang tidak didasarkan pada pembukuan yaitu melalui penerapan norma penghitungan penghasilan netto. Pasal 14 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 mengamanatkan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk membuat Norma Penghitungan Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas yang tidak mampu menyelenggarakan pembukuan. Dalam menentukan besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Neto, Direktur Jenderal Pajak harus mendasarkan pada hasil penelitian, atau data lain dan dengan memperhatikan kewajaran. Untuk lebih mencerminkan tingkat kewajaran dari kondisi usaha Wajib Pajak, besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Netto perlu dilakukan penyempurnaan secara terus menerus. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 14 ayat (1) adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000. (Bukti Pemt.42) 4. Pasal 14 ayat (7) Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU PPh Tahun 2008, Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 89 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto. (Bukti Pemt. 2e) Berdasarkan Pasal 14 Ayat (7) UU PPh Tahun 2008 Menteri Keuangan dapat melakukan penyesuaian batasan peredaran bruto sebesar Rp 4.800.000.000,00 di atas dengan memperhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
Pasal 17 ayat (2) Tarif tertinggi untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebesar 30% (tiga puluh persen) dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penurunan tarif ini dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan DPR pada saat pembahasan dalam rangka menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 17 ayat (2) huruf a Tarif tertinggi untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 28% mulai tahun pajak 2010 diturunkan menjadi 25% yang telah diatur dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a UU PPh Tahun 2008. Bahwa norma Pasal 17 ayat (2) huruf a sama sekali tidak mengatur mengenai pelimpahan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai besarnya tarif ataupun hal lain terkait dengan pasal tersebut. Oleh karena itu sudah sepatutnya Majelis mengesampingkan pengujian terhadap pasal dimaksud.
Pasal 17 ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d Pengenaan pajak atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan amanat Pasal 17 ayat (2) huruf c besarnya pajak atas penghasilan berupa dividen tersebut diberikan batasan paling tinggi 10% dan bersifat final. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 17 ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tersebut telah mengatur besarnya pajak atas penghasilan berupa dividen sebesar 10% (Bukti Pemt.43) . Tarif sebesar 10% tersebut tidak melebihi batas tarif tertinggi yang ditentukan oleh Undang- Undang. Dengan demikian sangatlah jelas bahwa peraturan pemerintah tersebut tidak menambah berat beban Wajib Pajak.
Pasal 17 ayat (3) 90 Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 adalah sebesar sebagai berikut: Tabel 4 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif s.d. Rp 50.000.000,00 5% Di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 15% Di atas Rp 250.000.000,00 s.d.Rp 500.000.000,00 25% Di atas Rp 500.000.000,00 30% (Untuk Wajib Pajak Badan tidak terdapat adanya lapisan penghasilan kena pajak) Bahwa besarnya lapisan penghasilan kena pajak tersebut berdasarkan Pasal 17 ayat (3) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan disesuaikan dengan faktor penyesuaian yang didasarkan pada kondisi perkembangan perekonomian antara lain tingkat inflasi.
Pasal 17 ayat (7) Penetapan tarif tersendiri atas jenis-jenis penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dibatasi tidak melebihi tarif tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yaitu sebesar 30% dan tarif tertinggi bagi Wajib Pajak badan yaitu sebesar 28%. Dalam ketentuan Pasal ini Pemerintah diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menetapkan besarnya tarif tersendiri berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan UU PPh Tahun 2008 Pasal 4 ayat (2). Meskipun demikian Pemerintah dalam melaksanakan kewenangan menetapkan besarnya tarif tersendiri untuk Pasal 4 ayat (2) harus memenuhi syarat sebagai berikut: 91 1. Tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (tidak lebih tinggi dari 30%) dan tarif tertinggi bagi Wajib Pajak badan (tahun pajak 2009 tidak lebih tinggi dari 28% dan mulai tahun pajak 2010 tidak lebih tinggi dari 25%).
Dengan mempertimbangkan aspek kesederhanaan, keadilan, dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Pasal 19 ayat (2) Menteri Keuangan berdasarkan Pasal ini diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) dengan mempertimbangkan:
Perkembangan harga yang mencolok; atau
Perubahan kebijakan di bidang moneter, yang dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dan penghasilan, sehingga mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Namun demikian, Menteri Keuangan dalam menetapkan besarnya tarif pajak tersendiri atas penilaian kembali aktiva tetap dibatasi yaitu tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (tidak lebih tinggi dari 30%) dan tarif tertinggi bagi Wajib Pajak badan (tahun pajak 2009 tidak lebih tinggi dari 28% dan mulai tahun pajak 2010 tidak lebih tinggi dari 25%).
Pasal 21 ayat (5) Pada prinsipnya pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dipotong pajak berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh Tahun 2008. Namun demikian dalam rangka kelancaran dan kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dalam kondisi tertentu, dengan kuasa Undang-Undang, Pemerintah diberikan wewenang melalui Peraturan Pemerintah untuk mengatur pengenaan pajak dengan tarif tersendiri. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 21 ayat (5) adalah sebagai berikut:
Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas 92 Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah. • Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994. (Bukti Pemt. 44) b. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus. • Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009. (Bukti Pemt. 45) 12. Pasal 22 ayat (1) huruf c dan ayat (2) Dalam rangka pengenaan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak, sudah sewajarnya terhadap Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan ekonomis yang lebih tinggi dikenakan pajak lebih dibandingkan dengan yang mempunyai kemampuan ekonomis lebih rendah. Dengan dasar pemikiran tersebut, berdasarkan Pasal ini Menteri Keuangan diberikan wewenang:
Menetapkan Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat mewah, baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah.
Menetapkan dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak dari penjualan barang sebagaimana dimaksud pada angka 1. Namun demikian, dalam melaksanakan wewenang tersebut Menteri Keuangan harus mempertimbangkan, antara lain:
Penunjukan pemungut pajak secara selektif, demi pelaksanaan pemungutan pajak secara efektif dan efisien;
Tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang; dan
Prosedur pemungutan yang sederhana sehingga mudah dilaksanakan. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 22 ayat (1) huruf c dan ayat (2) adalah sebagai berikut: • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 (Bukti Pemt. 46) ; dan • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 stdtd Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008. (Bukti Pemt.47 ) 13. Pasal 25 ayat (8) 93 Berdasarkan pasal ini Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengatur pengenaan pajak atas orang pribadi yang bertolak ke luar negeri. Pengenaan pajak tersebut adalah dalam rangka mendorong partisipasi setiap Warga Negara untuk ikut membiayai pembangunan melalui pembayaran pajak. Dengan demikian sudah selayaknya Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak. Walaupun demikian dengan Peraturan Pemerintah diatur mengenai Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri yang dikecualikan dari kewajiban membayar pajak sepanjang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan antara lain pelajar yang menuntut ilmu di luar negeri dan pekerja yang akan berangkat ke luar negeri. Pemungutan Fiskal Luar Negeri bersifat pembayaran di muka, yang dibayarkan ketika seseorang yang memenuhi ketentuan akan berangkat ke luar negeri ( pay as you go ), jadi bukan jenis pungutan pajak baru. Hanya metode memungut pajak, how to collect taxes through event (misalnya ke luar negeri). Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 25 ayat (8) adalah sebagai berikut: • Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2008 (Bukti Pemt.48 ) ; • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-51/PJ/2008 (Bukti Pemt.49 ) ; dan • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2008 stdtd PER-14/PJ/2009. (Bukti Pemt. 50) VII. Penjelasan Mengenai Pokok Permohonan Pengujian Materiil UU PPh Tahun 2008 Bahwa terhadap ketentuan pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan permohonan pengujian materiil, pemerintah berpendapat sebagai berikut:
Pemohon dalam positanya mendalilkan, bahwa pasal-pasal dalam undang- undang a quo bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Namun dalam petitumnya Pemohon meminta agar pasal-pasal dalam undang-undang a quo dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945. Disitu terlihat 94 adanya inkonsistensi antara posita dengan petitum yang tertuang dalam surat permohonan Pemohon. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pasal-pasal dalam undang-undang a quo justru untuk memberikan perlindungan hukum yang adil kepada setiap Wajib Pajak. Pasal-Pasal a quo justru dimaksudkan untuk memberi kejelasan dan kepastian hukum sehingga setiap Wajib Pajak akan terhindar dari perlakuan sewenang-wenang. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Dalam surat Permohonannya Pemohon tidak menguraikan secara jelas dalam hal apa dan dalam situasi yang seperti apa pasal-pasal aquo dapat mengancam kehormatan, martabat, dan harta benda Pemohon. Pemohon hanya mengatakan secara umum pasal-pasal a quo melanggar Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Padahal sebagaimana dikemukakan di atas pasal-pasal aquo memberikan pendelegasian wewenang kepada pemerintah justru untuk menjalankan amanah yang diperintahkan oleh Undang-Undang a quo yang merupakan hasil kesepakatan bersama Pemerintah dan DPR. Pasal-Pasal a quo justru untuk memberikan kepastian hukum yang adil kepada tiap Wajib Pajak. Itu berarti perlindungan tiap Wajib Pajak dari perlakuan sewenang- wenang dari aparat Pemerintah. Itu berarti pula sejalan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan dengan demikian sejalan dengan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Dalam bagian posita surat permohonannya Pemohon menyatakan, bahwa Peraturan Pemerintah 131 Tahun 2000 tidak adil dan tidak sesuai dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dan Dasar Negara Pancasila,“ karena andaikata yang membayar bunga tersebut “orang kaya” maka seharusnya (sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008) dikenakan dengan tarif pajak 35 %, tetapi kenyataannya tetap dikenakan pajak dengan tarif 20 %.” (Lihat Surat Permohonan halaman 11). Pernyataan Pemohon ini menjadi tidak jelas, apakah Pemohon sedang mengajukan 95 pengujian peraturan pemerintah terhadap UUD 1945 atau peraturan pemerintah terhadap Undang-Undang, yang keduanya jelas diluar kompetensi Mahkamah Konstitusi. Pemohon tidak pula menjelaskan dalam hal bagaimana dan dalam situasi seperti apa Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 itu melanggar Pasal 28G ayat 1. Padahal sebagaimana di atas telah dikemukakan, bahwa pasal- pasal a quo justru untuk memberikan perlindungan hukum kepada setiap Wajib Pajak, yaitu kepastian hukum yang adil sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Itu berarti tidak melanggar Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Pemohon mendalilkan pula, bahwa pasal-pasal a quo melanggar Pasal 28H ayat 4 UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang- wenang oleh siapapun.” Pemohon dalam surat permohonannya tidak menjelaskan, dalam hal apa dan bagaimana pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo telah melanggar atau bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Pasal-pasal dalam undang-undang a quo tidak mengandung substansi hukum yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melarang Wajib Pajak mempunyai hak milik, atau bahkan mengambil alih miliknya secara sewenang-wenang. Pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo sekali lagi, justru merupakan pelaksanaan amanah yang diperintahkan oleh UUD 1945 yang merupakan dasar hukum bagi negara yaitu pemerintah untuk mengenakan pajak kepada Wajib Pajak. Jadi, tidak benar bila pembebanan pajak kepada Wajib Pajak yang didasarkan kepada Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang jelas, dinilai sebagai mengambil alih hak milik Wajib Pajak secara sewenang-wenang. Ini jelas keliru dan menyesatkan. Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang jelas sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo, justru dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum yang adil bagi setiap Wajib Pajak. Karena itu pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo tidak melanggar Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. 96 2. Terhadap pengujian Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur sebagai berikut: Pasal 4 ayat (2) _“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh _koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; _ _b. penghasilan berupa hadiah undian; _ c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima _oleh perusahaan modal ventura; _ d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah _dan/atau bangunan; dan _ e. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” Pasal 17 ayat (7) “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)” . Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan wewenang pengaturan pengenaan pajak secara final terhadap penghasilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, karena menurut Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 memberikan wewenang kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Selain itu dalam praktek ketatanegaraan dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia dikenal sistem hirarki dan delegasi wewenang sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan sebagai berikut: _“Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : _ _a) UUD 1945; _ _b) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; _ 97 _c) Peraturan Pemerintah; _ _d) Peraturan Presiden; dan _ e) Peraturan Daerah.” __ Sebagaimana diketahui bahwa dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, peraturan tertinggi di bawah UUD 1945 selalu berbentuk Undang-Undang, dimana yang berwenang membentuk Undang-Undang adalah DPR atas persetujuan bersama dengan Presiden. Apabila ketentuan dalam Undang-Undang masih belum cukup dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka pendelegasian kewenangan pengaturan baru dapat dilakukan dengan tiga alternatif syarat, yaitu:
Adanya perintah yang tegas mengenai subyek lembaga pelaksana yang diberi delegasi kewenangan, dan bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan;
Adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan; atau
Adanya perintah yang tegas mengenai pendelegasian kewenangan dari Undang- Undang atau lembaga pembentuk Undang-Undang kepada lembaga penerima delegasi kewenangan, tanpa penyebutan bentuk peraturan yang mendapat delegasi; Ketiga persyaratan tersebut bersifat alternatif dan salah satunya harus ada dalam rangka pemberian delegasi kewenangan pengaturan (rule-making power). Lembaga pelaksana Undang-Undang, baru dapat memiliki kewenangan untuk menetapkan sesuatu peraturan yang mengikat umum jika oleh Undang-Undang sebagai “primary legislation” memang diperintahkan atau diberi kewenangan untuk itu (Bukti Pemt.
13d) . Di Indonesia sendiri, dewasa ini, ada Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah. Juga ada Peraturan Menteri dan bahkan masih banyak Peraturan Direktur Jenderal yang masih berlaku sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat umum yang masih disebut sebagai Surat Keputusan, seperti Keputusan Dirjen Bea Cukai, Keputusan Direktur Jenderal Pajak, dan sebagainya. Sudah menjadi konvensi ketatanegaraan di Indonesia bahwa berbagai Undang- Undang yang mengatur pajak dan pungutan lain itu memberikan mandat atau delegasi wewenang kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dalam rangka menjalankan norma-norma hukum yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut, seperti: 98 1. Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang a quo yang memberi delegasi kepada pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah, berkaitan dengan pajak bersifat final atas a.penghasilan berupa deposito;
Penghasilan berupa hadiah undian;
Penghasilan dari transaksi saham;
..dst;
Pasal 17 ayat (7);
Pasal 14 ayat (1);
Pasal 14 ayat (7); dst, sebagaimana didalilkan Pemohon. Pendelegasian wewenang oleh Undang-Undang kepada pemerintah, yakni Presiden, Menteri-Menteri dari suatu departemen untuk membuat suatu peraturan atau norma umum adalah suatu praktek pemerintahan yang sudah lazim dan diterima sebagai sebuah konvensi pemerintahan. Dalam kaitannya dengan hal itu, ahli hukum Tata Negara Hans Kelsen menyatakan pendapatnya sebagai berikut : “ Kadang-kadang pembentukan norma-norma umum itu dibagi kedalam dua tahapan atau lebih. Sejumlah konstitusi memberikan wewenang pembuatan norma-norma umum kepada otoritas adminstratif tertentu, seperti kepala negara (presiden) atau menteri kabinet, guna menjabarkan ketentuan Undang-Undang. Norma-norma umum semacam ini, yang tidak dikeluarkan oleh organ legislatif melainkan oleh organ lain atas dasar norma-norma umum yang dikeluarkan oleh legislatif disebut peraturan atau ordonansi. Menurut sejumlah konstitusi, organ-organ administratif tertentu----- terutama kepala negara (presiden) atau menteri kabinet sebagai pimpinan departemen pemerintahan tertentu----- di bawah keadaan-keadaan luar biasa, diberi wewenang membuat norma-norma umum untuk mengatur masalah- masalah yang biasanya diatur oleh organ legislatif melalui Undang-Undang .” Sejalan dengan pemikiran itu maka norma hukum yang lebih tinggi dapat menentukan:
Organ dan prosedur pembuatan norma hukum yang lebih rendah;
Substansi norma hukum yang lebih rendah. Dalam konteks perkembangan hubungan konstitusi dengan proses pembuatan Undang-Undang, ahli konstitusi CF. Strong menyatakan sebagai berikut: “Bahwa sejumlah hukum dasar yang diadopsi atau dirancang oleh para penyusun konstitusi dengan tujuan untuk memberikan ruang lingkup seluas mungkin bagi 99 proses Undang-Undang biasa untuk mengembangkan konstitusi itu dalam aturan- aturan yang sudah disiapkan.” (Bukti Pemt. 52) Dengan demikian sebuah konstitusi menggariskan prinsip umum yang mendasari hubungan hak dan kewajiban antara negara, yaitu pemerintah, dengan rakyat, berkenaan dengan pajak dan pungutan lain. Prinsip umum ini kemudian dikembangkan melalui proses pembuatan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaanya. Pasal 23A UUD 1945, sesungguhnya meletakkan prinsip umum, yaitu “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang .” Itu bermakna, bahwa pemerintah selaku pihak yang mewakili negara dapat mengenakan pajak dan pungutan lain kepada rakyat atas dasar Undang-Undang. Atas dasar prinsip umum itulah Pemerintah dan DPR menyetujui berbagai Undang-Undang Pajak dan pungutan lainnya. Selanjutnya atas dasar Undang-Undang tersebut dikeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan untuk tujuan menjalankan amanah yang tertuang dalam norma Undang-Undang Pajak dan pungutan lain itu. Bahwa norma hukum yang tertuang dalam Undang-Undang dapat didelegasikan pelaksanaannya kepada peraturan-peraturan yang kedudukannya lebih rendah daripada Undang-Undang, baik secara implisit maupun eksplisit dibenarkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut mengatur sebagai berikut: “ _Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : _ a. _UUD 1945; _ b. _Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; _ c. _Peraturan Pemerintah; _ d. _Peraturan Presiden; _ e. Peraturan Daerah.” Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, 100 lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.” Berkaitan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7), kedua ketentuan tersebut memuat secara tegas bentuk peraturan perundang-undangan yang didelegasikan dan muatan materi yang diatur sehingga memenuhi syarat pendelegasian. Berkaitan dengan muatan materi yang didelegasikan berupa penentuan tarif termasuk tarif yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000, Pemerintah berpendapat bahwa, penentuan tarif tersebut tidak terlepas dan berdiri sendiri dari pengaturan dalam Undang-Undang. Sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008, tarif yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tersebut terikat pada ketentuan Pasal 17 ayat (1) yaitu tidak diperkenankan lebih tinggi dari tarif tertinggi yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1). Berdasarkan penjelasan di atas, sudah jelas bahwa Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 .
Terhadap pengujian Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang berbunyi “ Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR ” Pemerintah dapat menjelaskan bahwa pelimpahan kewenangan menetapkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR merupakan amanat/perintah yang tegas dari UU PPh Tahun 2008. UU PPh Tahun 2008 itu sendiri merupakan produk bersama antara Presiden dan DPR sebagai wakil rakyat, sehingga Pelimpahan kewenangan untuk menetapkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dengan Peraturan Menteri Keuangan adalah sudah sepengetahuan dan sudah mendapat persetujuan DPR. UU PPh Tahun 2008 sendiri merupakan amanat langsung dari Pasal 23A UUD 1945. Sehingga kedudukan Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak dilaksanakan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan 101 harga kebutuhan pokok setiap tahunnya yang dinamis. Dewasa ini perubahan ekonomi dan moneter dunia berlangsung begitu cepatnya. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara maju berimbas juga kepada perekonomian negara berkembang yang juga dirasakan oleh rakyat Indonesia. Dengan perubahan perekonomian dan moneter yang begitu cepat, apabila sekiranya aturan-aturan yang ada dalam UU PPh Tahun 2008 dirasakan memberatkan bagi Wajib Pajak, maka Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengatur lebih lanjut penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak. Penghasilan Tidak Kena Pajak tersebut dimaksudkan untuk memberikan keringanan bagi Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Baik UU PPh Tahun 1983, UU PPh Tahun 2000 maupun UU PPh Tahun 2008 menetapkan batasan jumlah penghasilan yang tidak dikenakan pajak atau dikenal dengan istilah Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagai pengurang penghasilan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar. Adapun ketentuan mengenai Penghasilan Tidak Kena Pajak diatur dalam Pasal 7 baik dalam Pasal 7 UU PPh Tahun 1983, Pasal 7 UU PPh Tahun 2000 maupun Pasal 7 UU PPh Tahun 2008. Untuk memperoleh gambaran yang objektif mengenai ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak dalam rumusan Pasal 7 baik dalam UU PPh Tahun 1983, UU PPh Tahun 2000 dan UU PPh Tahun 2008, di bawah ini disajikan tabel: Tabel 5 Perbandingan Rumusan Pasal 7 UU PPh Tahun1983, UU PPh Tahun 2000 dan UU PPh Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 102 (1) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak yang besarnya :
Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak;
Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lain;
Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap orang keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan sebesar:
Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:
Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada permulaan tahun pajak atau pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri. Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Besarnya penghasilan tidak kena pajak tersebut dalam ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan . Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan pada tabel tersebut di atas, materi yang diatur dalam ketiga rumusan tersebut pada prinsipnya adalah mengatur hal yang sama, yaitu mengatur mengenai besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak ( vide ayat (1)) , ketentuan bahwa penerapan Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah kondisi pada awal tahun pajak ( vide ayat (2)) , dan ketentuan bahwa besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak pada dasarnya dapat disesuaikan dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan ( vide ayat (3)) . Dapat disampaikan pula bahwa Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan telah 2 (dua) kali mengubah besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk 103 disesuaikan dengan perkembangan kehidupan sosial, politik dan ekonomi serta sebagai bagian dari kebijakan fiskal pemerintah, yaitu melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Menurut Pemerintah, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan UU PPh Tahun 2008 lebih besar dibandingkan dengan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak menurut UU PPh Tahun 2000, baik secara sendiri- sendiri maupun secara keseluruhan. Hal ini dapat digambarkan dalam tabel berikut. Tabel 6 Penghasilan Tidak Kena Pajak Berdasarkan UU PPh Tahun 2000 Dan UU PPh Tahun 2008 No Keterangan UU PPh 2000 UU PPh 2008 Pasal 7 ayat (1) KMK No. 564/KMK.03/ 2004 %) PMK No. 137/PMK.03/ 2005 %) Pasal 7 ayat (1) %) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) 1 untuk diri Wajib Pajak 2.880.000,00 12.000.000 317 13.200.000 10 15.840.000 20 2 Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin 1.440.000,00 1.200.000 (17) 1.200.000 0 1.320.000 10 Jumlah 1+2 4.320.000 13.200.000 206 14.400.000 9 17.160.000 19 3 Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami 2.880.000 12.000.000 317 13.200.000 10 15.840.000 20 Jumlah 1+2+3 7.200.000 25.200.000 250 27.600.000 10 33.000.000 20 4 Tambahan untuk setiap tanggungan (paling banyak 3 orang) 1.440.000 1.200.000 (17) 1.200.000 0 1.320.000 10 Jumlah 1+2+3+4 8.640.000 26.400.000 205 28.800.000 9 34.320.000 19 Keterangan: *) kenaikan (kolom 4:
**) kenaikan (kolom 6:
***) kenaikan (kolom 8:
104 Menurut tabel tersebut di atas, dapat dilihat adanya kenaikan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak sejak diberlakukannya UU PPh Tahun 2000 sampai dengan UU PPh Tahun 2008, dengan uraian sebagai berikut:
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk diri Wajib Pajak, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp 2.880.000,00 berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp 12.000.000,00 dan kemudian disesuaikan kembali dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/ 2005 menjadi Rp13.200.000,00. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk diri Wajib Pajak adalah sebesar Rp15.840.000,00.
Besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak Kawin, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp1.440.000,00 berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp1.200.000,00 dan tetap tidak berubah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak Kawin meningkat menjadi Rp1.320.000,00.
Besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang istri bekerja yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp2.880.000,00 berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp12.000.000,00 dan kemudian disesuaikan kembali dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005 menjadi Rp13.200.000,00. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk istri bekerja yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami adalah sebesar Rp15.840.000,00.
Besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk tanggungan Wajib Pajak paling banyak 3 (tiga) orang, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp1.440.000,00 per orang, berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp1.200.000,00 per orang, dan tetap tidak berubah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 105 besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk tanggungan Wajib Pajak paling banyak 3 (tiga) orang meningkat menjadi Rp1.320.000,00 per orang. Dengan memperhatikan fakta-fakta tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa secara keseluruhan, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan UU PPh Tahun 2008 jauh lebih besar jika dibandingkan dengan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak menurut UU PPh Tahun 1983 maupun UU PPh Tahun 2000 berikut aturan pelaksanaannya. Selain itu, dapat ditegaskan pula bahwa perubahan terhadap besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak tidak harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang, tetapi cukup dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan sebagai pelaksanaan amanat Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang memberikan kewenangan atributif kepada Menteri Keuangan untuk menyesuaikan besarnya Penghasilan Tidak kena Pajak yang terlebih dahulu dikonsultasikan dengan DPR sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Perlu kami sampaikan pula bahwa atas Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 telah diuji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 1/PUU-VII/2009 tanggal 20 Mei 2009 yang amar putusannya menyatakan bahwa permohonan Pemohon ditolak. Oleh karena itu sudah sepatutnya pengujian terhadap pasal dimaksud dikesampingkan.
Terhadap Pasal 14 Ayat (1) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk menentukan penghasilan netto dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak ” dan Pasal 14 Ayat (7) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan” , Pemerintah berpendapat bahwa dalam rangka pengenaan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak, diperlukan informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi tersebut, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Akan tetapi pada kenyataannya tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Bagi Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Akan tetapi, Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. 106 Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan. Norma Penghitungan Penghasilan Netto sangat membantu bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan Netto. Norma Penghitungan disusun berdasarkan hasil penelitian, kondisi ekonomi, atau data lain dan dengan memperhatikan kewajaran. Sebagaimana diketahui bahwa perubahan perekonomian global pada saat ini begitu cepat, seperti krisis ekonomi dan moneter yang melanda negara-negara maju yang dampaknya juga dirasakan oleh negara-negara berkembang. Untuk merespon perkembangan perekonomian yang begitu cepat diperlukan pengaturan sesegera mungkin. Sebagai contoh, apabila terjadi perubahan ekonomi yang begitu cepat, sedangkan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dan batas peredaran bruto yang ada sudah tidak sesuai dengan keadaan perekonomian dan kemampuan Wajib Pajak, maka diperlukan pengaturan sesegera mungkin agar pembebanan pajak kepada masyarakat tidak turut menambah kesulitan hidup rakyat banyak khususnya Wajib Pajak. Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan bebas bukan merupakan kewajiban, hal ini hanya suatu pilihan. Apabila Wajib Pajak Orang Pribadi merasa dirugikan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto maka dapat memilih alternatif lain yaitu dengan menyelenggarakan pembukuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi untuk menentukan penghasilan Netto. Pelimpahan kewenangan untuk menyesuaikan Norma Penghitungan Penghasilan Netto oleh Direktur Jenderal Pajak dan penyesuaian besarnya batas peredaran bruto dengan Peraturan Menteri Keuangan merupakan amanat dan perintah tegas UU PPh Tahun 2008. UU PPh Tahun 2008 sendiri merupakan amanat langsung dari Pasal 23A UUD 1945. Sehingga Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 14 ayat (7) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 .
Terhadap Pasal 17 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah ”; 107 Pasal 17 Ayat (2a) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun 2010 ”; Pasal 17 Ayat (2c) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa deviden yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final ’; dan Pasal 17 Ayat (2d) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan Peraturan Pemerintah ”, Pemerintah berpendapat bahwa perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (2a) UU PPh Tahun 2008 bertujuan untuk mengurangi beban pajak yang harus ditanggung masyarakat. Menurut penjelasan Pasal 17 ayat (2) UU PPh Tahun 2008, pembahasan perubahan tarif tersebut dikemukakan oleh Pemerintah kepada DPR untuk dibahas dalam rangka penyusunan RAPBN. Jadi walaupun perubahan tarif tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah, DPR sebagai wakil rakyat tetap ikut serta untuk membahasnya. Pelimpahan wewenang pengaturan perubahan atau penurunan tarif kepada Peraturan Pemerintah diperbolehkan karena hal tersebut merupakan amanat/perintah dari UU PPh Tahun 2008. UU PPh Tahun 2008 sendiri merupakan amanat langsung dari Pasal 23A UUD 1945. Sehingga ketentuan dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (2a) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Terhadap Pasal 17 Ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan ”, Pemerintah berpendapat bahwa penyesuaian besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan tingkat inflasi setiap tahunnya. Dewasa ini perubahan ekonomi dan moneter dunia berlangsung begitu cepat. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara maju berimbas juga kepada perekonomian negara berkembang yang juga dirasakan oleh rakyat Indonesia. Dengan perubahan perekonomian dan moneter yang begitu cepat, perlu kiranya respon yang cepat dari pemerintah untuk pengaturan pajak agar bisa dihindari potensi kerugian pajak. Oleh karena itu sekiranya aturan-aturan yang ada dalam UU PPh Tahun 2008 dirasakan memberatkan Wajib Pajak, maka Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk 108 mengatur lebih lanjut penyesuaian lapisan Penghasilan Kena Pajak. Kebijakan pemerintah mengenai lapisan Penghasilan Kena Pajak, selama ini memberikan banyak kemudahan-kemudahan bagi Wajib Pajak. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi tarif tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menghapus lapisan tarif 10%, sehingga lapisan tarif berkurang dari 5 (lima) menjadi menjadi 4 (empat) lapisan serta memperluas lapisan penghasilan kena pajak ( income bracket ) yang semula lapisan tertinggi di atas Rp 200.000.000,00 menjadi di atas Rp 500.000.000,00, untuk lapisan terendah yang semula Rp 0,00 s.d. Rp 25.000.000,00 menjadi Rp 0,00 s.d. Rp 50.000.000,00. Lebih rinci mengenai perubahan tarif tersebut tampak pada tabel sebagai berikut: Tabel 7 Perbandingan Tarif PPh Wajib Pajak Orang Pribadi antara UU PPh Tahun 2000 dengan UU PPh Tahun 2008 Undang-Undang PPh Tahun 2000 Undang-Undang PPh Tahun 2008 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif S.d Rp 25.000.000,00 5% S.d. Rp 50.000.000,00 5% Di atas Rp25.000.000,00 s.d. Rp 50.000.000,00 10% Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp 100.000.000,00 15% Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 15% Di atas Rp100.000.000,00 s.d.Rp200.000.000,00 25% Di atas Rp250.000.000,00 s.d.Rp500.000.000,00 25% Di atas Rp200.000.000,00 35% Di atas Rp500.000.000,00 30% Dari tabel tersebut di atas, perubahan lapisan penghasilan kena pajak dan tarif dalam UU PPh Tahun 2008 banyak memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak. Hal ini baru ditinjau dari sudut tarif dan lapisan penghasilan kena pajak, masih banyak lagi kemudahan bagi Wajib Pajak, antara lain:
Kenaikan batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak;
Penurunan Tarif Dividen;
Penambahan batasan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan;
Pembebasan pembayaran Fiskal Luar Negeri; dan
Penetapan angsuran untuk pengusaha tertentu. 109 Pelimpahan kewenangan pengaturan penyesuaian besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak kepada Keputusan Menteri Keuangan merupakan amanat langsung UU PPh Tahun 2008. Hal itu diperbolehkan sepanjang dalam Undang-Undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksanaan atau subyek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Sedangkan UU PPh Tahun 2008 merupakan amanat atau perintah langsung dari UUD 1945. Jadi Pasal 17 Ayat (3) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 .
Terhadap Pasal 19 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)”, Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan untuk menetapkan tarif pajak tersendiri atas selisih penilaian aktiva tetap ini bertujuan untuk mengantisipasi perubahan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan di bidang moneter yang dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang dapat mengakibatkan timbulnya beban biaya yang kurang wajar. Jadi penerbitan Peraturan Menteri Keuangan ini bertujuan untuk melindungi Wajib Pajak dari beban pajak yang melebihi kemampuan Wajib Pajak dan Pelimpahan kewenangan pengaturan tarif tersendiri terhadap selisih revaluasi aset kepada Peraturan Menteri Keuangan merupakan amanat langsung UU PPh Tahun 2008 yang sudah melalui pembahasan dengan DPR sebagai representasi warga negara. Hal itu diperbolehkan sepanjang dalam Undang-Undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksana atau subyek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Oleh karena itu Pasal 19 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Terhadap Pasal 21 Ayat (5) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah ”, Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan wewenang pengaturan tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud 110 pada Pasal 21 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan pemerintah bertujuan untuk kelancaran dan kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dalam kondisi tertentu, dengan kuasa Undang- Undang, Pemerintah diberikan wewenang melalui Peraturan Pemerintah untuk mengatur pengenaan pajak dengan tarif tersendiri. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 21 ayat (5) adalah sebagai berikut:
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah. Dengan pertimbangan bahwa pemotongan tersebut akan mengurangi gaji, upah, uang pensiun, dan sebagainya yang diterima atau diperoleh para Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, Pensiunan termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya, sedangkan pada umumnya penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah tersebut belum mencapai suatu tingkat yang memadai, maka pemerintah selaku pemberi kerja memandang perlu untuk menanggung Pajak Penghasilan yang terutang oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan pensiunan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau pensiunan yang diterima secara tetap yang dananya dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus. Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus pada umumnya jumlahnya relatif besar dibandingkan penghasilan rutin yang diterima sebelumnya. Oleh karena itu Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur penerapan tarif progresif yang lebih rendah dari ketentuan umum tarif pajak penghasilan agar manfaat yang diperoleh menjadi lebih besar dan memberikan keringanan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian hukum. 111 Jadi pelimpahan wewenang pengaturan tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Lembaga pelaksana undang-undang baru dapat memiliki kewenangan untuk menetapkan sesuatu peraturan yang mengikat umum jika oleh undang-undang sebagai “primary legislation” memang diperintahkan atau diberi kewenangan untuk itu. Selain itu dalam praktek ketatanegaraan dan tata urutan perundang-undangan di Indonesia dikenal sistem hirarki dan delegasi wewenang sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Terhadap Pasal 22 Ayat (1) huruf c UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Menteri Keuangan dapat menetapkan: Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah ” dan Pasal 22 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur bahwa “Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” , Pemerintah berpendapat bahwa pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu. Pelimpahan kewenangan pengaturan pemungutan pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah merupakan amanat/perintah tegas dari UU PPh Tahun 2008. Pemungutan PPh Pasal 22 ini bersifat sebagai pembayaran di muka, yang diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan di akhir tahun. Jadi bukan bukan PPh final. Ini hanya metode how to collect taxes through others (withholding system) . Hal itu diperbolehkan sepanjang dalam undang-undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksanaan atau subjek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Sehingga Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . 112 10.Terhadap Pasal 25 Ayat (8) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur bahwa “ Wajib Pajak orang pribadi yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak keluar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah ”, Pemerintah berpendapat bahwa pengenaan Fiskal Luar Negeri terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang tidak memiliki NPWP dan telah berusia 21 tahun bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Fiskal Luar Negeri tersebut, diatur juga pengecualian pembayaran Fiskal Luar Negeri bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri. Tidak semua Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang bertolak ke luar negeri diwajibkan membayar Fiskal Luar Negeri. Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang memiliki NPWP dibebaskan dari kewajiban membayar Fiskal Luar Negeri demikian pula pelajar yang menuntut ilmu di luar negeri tidak diwajibkan membayar Fiskal Luar Negeri sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan. Hal tersebut berlaku pula bagi pekerja yang akan berangkat ke luar negeri juga dibebaskan dari Fiskal Luar Negeri asalkan memenuhi syarat- syarat yang ditentukan. Pemungutan Fiskal Luar Negeri juga bersifat pembayaran di muka, yang dibayarkan ketika seseorang akan berangkat ke luar negeri ( pay as you go ), jadi bukan jenis pungutan pajak baru. Hanya metode memungut pajak, how to collect taxes through event (misalnya ke luar negeri). Fiskal luar negeri bukan jenis pajak bersifat final. Perlu disampaikan juga bahwa menurut Pasal 25 ayat (8) huruf a UU PPh Tahun 2008, pengenaan Fiskal Luar Negeri hanya berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2010. Bahwa pasal-pasal dari Undang-Undang a quo yang diminta oleh Pemohon untuk dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945, justru sebaliknya, yaitu, bahwa pasal-pasal dari Undang-Undang a quo merupakan pelaksanaan amanah Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945. Pasal-Pasal dalam Undang-Undang a quo (UU PPh Tahun 2008) justru untuk menjamin dan melindungi hak asasi manusia, yaitu hak tiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Secara keseluruhan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji adalah mengenai pelimpahan wewenang pengaturan kepada Peraturan Pemerintah, Peraturan 113 Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pada prinsipnya pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut diperbolehkan karena merupakan amanat/perintah tegas dari UU PPh Tahun 2008. Hal itu diperbolehkan sepanjang undang-undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksanaan atau subjek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Selain itu Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Jadi Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . Selanjutnya mengenai pokok permohonan pengujian materiil terhadap 15 norma UU PPh Tahun 2008 mengenai pelimpahan/pendelegasian wewenang pengaturan lebih lanjut dari UU PPh Tahun 2008 kepada Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan sebagainya. Pemerintah berpendapat bahwa dalam rangka pemungutan pajak yang berlandaskan peraturan perundang-undangan, serta sesuai dengan kemampuan Wajib Pajak dan keadaan perekonomian bangsa Indonesia, diperlukan pembuatan pengaturan pemungutan pajak yang cepat dan sesederhana mungkin. Pembuatan pengaturan melalui Undang-Undang dirasa akan memakan waktu lama sehingga diperlukan fleksibilitas pengaturan yang tinggi agar dapat mengakomodir kepentingan pengamanan penerimaan negara dari pajak. Hal ini menimbulkan pemikiran untuk menerapkan prinsip efisiensi dalam pembuatan aturan-aturan yang menjadi landasan pemungutan pajak. Efisiensi dalam pembuatan aturan di bidang perpajakan menyangkut beberapa aspek antara lain aspek prosedur, biaya, sumber daya, dan kegunaan.
Prosedur Pembuatan Untuk membuat suatu Undang-Undang dibutuhkan prosedur yang panjang dan melalui proses yang melibatkan berbagai pihak baik dari eksekutif maupun legislatif. Proses yang panjang dari pembuatan suatu Undang-Undang yang tidak mampu mengakomodir perubahan dalam masyarakat tentu berdampak negatif pada banyak hal termasuk rasa keadilan dalam masyarakat terkait pembebanan pajak. Di sisi Pemerintah, ketidakselarasan tersebut berdampak pada kepentingan penerimaan negara yang pada akhirnya mempengaruhi kepentingan nasional dalam hal 114 pembiayaan belanja negara. Tidak demikian halnya dengan pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang tidak terlalu membutuhkan proses yang panjang dan tidak terlalu menuntut keterlibatan banyak pihak. Pemilihan bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dalam bidang perpajakan terlepas dari muatan atau isi pengaturan, dapat dikatakan mengedepankan efisiensi dalam prosedur pembuatannya dan terpenuhinya rasa keadilan bagi Wajib Pajak. Namun demikian, pertimbangan efisiensi tidak diharapkan berubah bentuk menjadi kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, untuk dapat menjalankan prinsip efisiensi ini, diperlukan koridor dari Undang-Undang itu sendiri sebagai batasan terhadap kewenangan yang diberikan.
Biaya Pengukuran pada biaya biasanya berbanding lurus dengan prosedur pembuatan. Semakin pendek prosedur yang dilewati maka akan semakin kecil biaya yang diperlukan sehingga efisiensi dari biaya akan dapat diperoleh. Biaya yang dibutuhkan dalam pembuatan Peraturan Direktur Jenderal Pajak dapat dikatakan akan lebih sedikit dibanding biaya yang diperlukan dalam pembuatan sebuah Undang-Undang.
Sumber Daya Prinsip efisiensi mengedepankan pemanfataan sumber daya minimal dengan pencapaian tujuan yang optimal. Dalam pembuatan peraturan perpajakan dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal Pajak kebutuhan sumber daya diharapkan tidak sebesar kebutuhan dalam pembuatan Undang-Undang.
Kegunaan Suatu peraturan perundang-undangan haruslah memiliki kegunaan atau manfaat. Salah satu kegunaan suatu peraturan pemungutan pajak adalah memberikan legitimasi secara hukum kepada otoritas perpajakan dalam melakukan pemungutan pajak. Jenis atau bentuk pengaturan tidak menjadi masalah sepanjang peraturan perundang-undangan tersebut dapat diterapkan dan memiliki manfaat yang diharapkan. Perkembangan aktivitas ekonomi yang sangat cepat, dapat menimbulkan potensi kehilangan sumber penerimaan pajak. Untuk itu diperlukan pengaturan secepat mungkin yang akan mengakomodasi perkembangan ekonomi, menutup celah 115 penghindaran pemajakan, dan yang terpenting mengamankan penerimaan negara yang menampung kepentingan rakyat banyak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gustav Radbruch yang menguraikan adanya tiga unsur dalam pembentukan hukum yaitu: filosofi (keadilan), sosiologis (kemanfaatan), dan yuridis (kepastian hukum). Radbruch berpendapat bahwa sepanjang tidak bertentangan dengan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi lagi suatu peraturan hukum memiliki validitas. Selain prinsip efisiensi di atas, prinsip lain yang mendukung pendelegasian wewenang dalam pengaturan pemungutan pajak adalah diterapkannya asas kesederhanaan, baik dari struktur tarif maupun tata cara pemungutannya. Melalui penerapan prinsip efisiensi dan kesederhaan maka biaya pemungutan bagi administrasi perpajakan dan juga biaya yang dikeluarkan Wajib Pajak dalam rangka pelaksanaan kewajiban pembayaran pajak dapat ditekan. Hal ini berdampak positif terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dan pada akhirnya kepada penerimaan dari pajak itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas, menurut Pemerintah, pelimpahan/pendelegasian wewenang pengaturan lebih lanjut dari UU PPh Tahun 2008 kepada Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan sebagainya diperbolehkan dengan alasan fleksibilitas dengan memperhatikan efisiensi dan kesederhaan sepanjang pengaturan tersebut tidak menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat ditolerir dan tidak secara nyata dilarang oleh UUD 1945 . VIII.Dampak Seandainya Permohonan Pengujian Materiil UU PPh Tahun 2008 Dikabulkan. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas Pemerintah kembali menyimpulkan bahwa Pemohon telah keliru dalam memahami pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan permohonan pengujian materiil, sebab tidak benar telah ada ketidakpastian hukum sehubungan dengan pendelegasian atau pelimpahan kewenangan pengaturan lebih lanjut UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Pendelegasian atau pelimpahan kewenangan pengaturan kepada peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang tersebut merupakan persetujuan bersama pembuat undang-undang yaitu DPR sebagai wakil rakyat dan Pemerintah, melalui Undang-Undang yang secara 116 tegas mengamanatkan untuk membuat peraturan perundang-undangan pelaksanaan UU PPh Tahun 2008. Sebaliknya, apabila permohonan pengujian pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan Pemohon dikabulkan dengan menyatakan pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat maka hal tersebut justru akan menimbulkan dampak buruk berupa:
Bila pasal-asal a quo dalam UU PPh Tahun 2008 oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka akibatnya sudah sangat jelas, yaitu tidak ada dasar hukum yang memadai bagi peraturan pemerintah, Menteri Keuangan, dan Direktur Jenderal Pajak untuk mengenakan pajak kepada para Wajib Pajak. Yang akibat lebih jauhnya adalah merosotnya pendapatan negara dari pajak. Bila hal itu terjadi, maka kemampuan negara untuk mengadakan dan membiayai pelayanan masyarakat (publik) seperti pembangunan dan pemeliharaan fasilitas publik, seperti jalan, irigasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain sebagainya akan merosot pula. Padahal pengadaan dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas umum itu sangat vital dan essensial bagi pemenuhan hak-hak asasi manusia, utamanya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Berkenaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, UUD 1945, antara lain, mengatur sebagai berikut :
Pasal 27 ayat (2) : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” b. Pasal 28A : “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” c. Pasal 28C ayat (1) : “ Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. ” d. Pasal 28D ayat (2) : “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” e. Pasal 28H ayat (1) : 117 “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” f. Pasal 28H ayat (3) : “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” g. Pasal 28 I ayat (3) : “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” h. Pasal 28 I ayat (4) : “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” __ Selain hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 tersebut di atas, pemerintah mempunyai kewajiban di bawah hukum internasional, yakni Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan hukum internasional itu, Pemerintah Republik Indonesia mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai berikut: (Bukti Pemt. 53) 1. Pasal 6 : Hak atas pekerjaan;
Pasal 7 : Hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan;
Pasal 8 : Hak-hak serikat pekerja;
Pasal 9 : Hak atas jaminan sosial dan asuransi sosial;
Pasal 10 : Hak-hak keluarga;
Pasal 11 : Hak atas standar kehidupan yang layak;
Pasal 12 : Hak untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental;
Pasal 13-14 : Hak atas Pendidikan;
Pasal 15 : Hak atas kehidupan budaya dan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan. Pasal 15 KIHESB tersebut di atas, negara, yakni pemerintah, merupakan pihak yang dibebani kewajiban untuk melindungi, memajukan, melaksanakan penegakan dan 118 pemenuhan Hak Asasi Manusia, yaitu dalam hal ini adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Pemerintah jelas membutuhkan biaya yang besar untuk pengadaan dan pemeliharaan fasilitas umum, seperti infrastruktur jalan, irigasi, fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan, yang selain dapat membuka lapangan kerja juga untuk memenuhi hak-hak rakyat atas pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial lainnya. Pemerintah memerlukan biaya yang besar pula untuk fasilitasi program- program pengembangan kebudayaan masyarakat. Uraian panjang tersebut di atas membawa kita pada suatu pengertian, bahwa pasal- pasal dari Undang-Undang a quo yang diminta oleh Pemohon untuk dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945, justru sebaliknya, yaitu, bahwa pasal-pasal dari Undang-Undang a quo merupakan pelaksanaan amanah Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945. Pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo (UU PPh Tahun 2008) justru untuk menjamin dan melindungi hak asasi manusia, yaitu hak tiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Lebih dari 30 (tiga puluh) peraturan pelaksanaan UU PPh Tahun 2008, ratusan peraturan pelaksanaan perundang-undangan pajak lainnya (PPN dan PPn BM, PBB, BPHTB dan Bea Meterai) dan ratusan peraturan daerah yang mengatur pungutan yang bersifat memaksa, harus dicabut dan diatur kembali dalam bentuk pasal-pasal di dalam Undang-Undang, hanya untuk memenuhi keinginan Pemohon, agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Berdasarkan analisa perhitungan penerimaan negara, apabila permohonan pengujian materiil UU PPh Tahun 2008 dikabulkan, maka diperkirakan negara akan berpotensi kehilangan penerimaan kurang lebih sebesar Rp 69 Triliun (Enam Puluh Sembilan Triliun Rupiah) untuk Tahun Pajak 2010 (Bukti Pemt. 54) hanya untuk Pajak Penghasilan saja. Hal ini akan menghambat laju pembangunan dan menghalangi terwujudnya tujuan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dana sebesar Rp 69 Triliun apabila dipergunakan untuk kepentingan rakyat dapat dipergunakan:
Untuk membangun sekolah dasar inpres sebanyak 53.076 sekolah dasar inpres, b. Untuk membangun jalan beraspal sepanjang 138.000 km, c. Untuk membangun Puskesmas didaerah terpencil sebanyak 92.000 puskesmas. (Bukti Pemt. 55) 119 IX. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian ( constitutional review ) Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, dan untuk selanjutnya memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, (legal standing). 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Menyatakan ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1),Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono). __ [2.4] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalinya, Pemerintah telah mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-55 sebagai berikut:
Bukti Pemt-1 : Fotokopi UUD 1945 beserta Amandemen;
Pasal 23;
Pasal 23A;
Pasal 23B;
Pasal 23C;
Pasal 23D;
Pasal 24A ayat (1);
Pasal 24C ayat (1);
Pasal 28D ayat (1);
Pasal 28G ayat (1);
Pasal 28 H ayat (4).
Bukti Pemt-2 : Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 120 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
Pasal 2 ayat (1);
Pasal 4 ayat (2) c. Pasal 7 ayat (3), d. Pasal 14 ayat (1), d. Pasal 14 ayat (2), e. Pasal 14 ayat (7), f. Pasal 17 ayat (2), g. Pasal 17 ayat (2) huruf a, h. Pasal 17 ayat (2) huruf c, i. Pasal 17 ayat (2) huruf d, j. Pasal 17 ayat (3), k. Pasal 17 ayat (7), l. Pasal 19 ayat (2), m. Pasal 20 ayat (2), n. Pasal 21 ayat (5), o. Pasal 22 ayat (1c), p. Pasal 22 ayat (2), q. Pasal 25 ayat (8) 3. Bukti Pemt-3 :
Pasal 10 ayat (1);
Pasal 51 ayat (1) 4. Bukti Pemt-4 : Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009:
Pasal 1, angka 1;
Pasal 38;
Pasal 39A;
Pasal 39;
Pasal 40;
Pasal 41 A;
Pasal 41 B;
Pasal 41 C;
Pasal 43.
Bukti Pemt-5 : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 6. Bukti Pemt-6 : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2009 7. Bukti Pemt-7 : Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 12 Tahun 1994 8. Bukti Pemt-8 : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 9. Bukti Pemt-9 : Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 121 10. Bukti Pemt-10 : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai 11. ^Bukti Pemt-11 : Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia 12. ^Bukti Pemt-12 : Prof.Dr.Maria Farida Indrati S.,S.H.,M.H., dalam bukunya “Ilmu Perundang-undangan 1, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan”, Penerbit Kanisius, Cetakan Ke-5, Tahun 2007:
Hal 18 “Norma merupakan suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya atau lingkungannya.”;
Hal 20 Hans kelsen dalam bukunya “ General Theory Of Law and States ”, New York, Russel and Russel, menyatakan bahwa ada dua system norma yaitu norma yang static ( nomostatics ) dan norma yang dinamik ( nomodynamics );
Hal 35-37 DWP Ruiter dalam kepustakaan di Eropa Kontinental, peraturan perundang undangan atau wet in materiele zin mengandung tiga unsur… d. Hal 215-232 Fungsi dari pelaksanaan peraturan perundang- undangan… 13. Bukti Pemt-13 : Prof.Dr.Jimly Asshidiqie, buku perihal Undang-Undang di Indonesia, Sekjen & kepaniteraan MK Jakarta, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama Tahun 2006:
Hal 32 Jeremy Bentham dan John Austin, misalnya Hal 33 122 b. Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H., dalam buku “Perihal Undang-Undang Di Indonesia”, c. hal 377 “kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada....” d. hal 381 ”Apabila Undang-Undang dirasakan belum cukup mengatur, dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, dapat dilakukan pendelegasian kewenangan pengaturan dengan memperhatikan tiga syarat alternativ yaitu: …” e. hal 396 “…pendelegasian kewenangan pengaturan baru dapat dilakukan dengan tiga alternativ syarat: …” 14. ^Bukti Pemt-14 : Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
Pasal 7 ayat 1, b. Pasal 7 ayat 4 15. ^Bukti Pemt-15 : Nasakah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999 – 2000, Buku VII, Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Tahun 2008. Hal 39- 113 16. ^Bukti Pemt-16 : Heru Subiyantoro dan Singgih Riphat (ed), Kebijakan Fiskal, Pemikiran, konsep dan Implementasi, (Kompas, 2004) hal 130 17. Bukti Pemt-17 : Kebijakan Ekonomi Publik Di Indonesia Subtansi dan Urgensi, kumpulan Tulisan Dr. Guritno Mangkoesoebroto, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1994 Hal 107 18. Bukti Pemt-18 : Nota Keuangan dan APBN 2000, Departemen Keuangan RI 19. Bukti Pemt-19 : Laporan Penerimaan Pajak DJPBn dan APBN-P Tahun 123 20. ^Bukti Pemt-20 : R.santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Perpajakan, Refika Aditama, Bandung, 2003:
Hal 2, “pengertian pajak menurut Prof.DR.PJA.Adriani sebagaimana dikutip oleh R.Santoso Brotodihardjo dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum Perpajakan, menyatakan bahwa pajak adalah iuran kepada negara........” b. Hal 3 “ Leroy Baeulieu, dalam bukunya traite de la science des Finances . Tahun 1906... “ c. Hal 5 “Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul Pajak berdasarkan asas gotong royong,Universitas Padjadjaran, Bandung, 1964, sebagaimana dikutip oleh R.santoso Brotodihardjo, “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang........” d. hal 212 “Pajak mempunyai dua fungsi yaitu.... “ 21. ^Bukti Pemt-21 : IBFD international Tax Glossary yang diterbitkan oleh IBFD tahun 2005 Hal 393 “pajak didefinisikan sebagai “a government levy which is not....” 22. Bukti Pemt-22 : H.Bohari,S.H., Pengantar Hukum Pajak. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2001 :
Hal 41 ”Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations b. Hal 42 ”W.J de langen seorang ahli pajak kebangsaan Belanda .......yang menyebutkan 7 asas pokok perpajakan sebagai berikut : 124 c. Hal 43 ”Dalam literatur yang sama Adolf Wagner mempunyai dimensi yang lain dalam memandang asas pemungutan pajak.......empat postulat untuk terpenuhinya prinsip pemungutan pajak yang ideal yaitu....“ 23. ^Bukti Pemt-23 : Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara :
Pasal 1 angka 1;
Pasal 2 huruf a;
Pasal 3 ayat (1);
Pasal 6;
Pasal 8;
Pasal 11 ayat (3);
^Bukti Pemt-24 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001 tentang pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank .Indonesia;
Bukti Pemt-25 : Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi;
^Bukti Pemt-26 : Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan berupa Bunga Obligasi;
Bukti Pemt-27 : Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas hadiah undian;
Bukti Pemt-28 : Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 395/PJ/2001 tentang pengenaan Pajak Penghasilan atas hadiah dan penghargaan;
Bukti Pemt-29 : Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek;
Bukti Pemt-30 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 tentang pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek;
Bukti Pemt-31 : Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang 125 Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di Bursa;
^Bukti Pemt-32 : Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 stdd PP Nomor 71 Tahun 2008 (perubahan ketiga) tentang pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
^Bukti Pemt-33 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 sebagimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 (perubahan kedua) tentang pelaksanaan pembayaran dan pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan;
^Bukti Pemt-34 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/ 2009 tentang pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan;
^Bukti Pemt-35 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/ 2009 tentang tata cara pemberian pengecualian dari kewajiban pembayaran atau Pemungutan Pajak Penghasilan atas .penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan 36. ^Bukti Pemt-36 : Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2008 stdd PP No 40 tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi 37. Bukti Pemt-37 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan dan Penatausahaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi 126 38. Bukti Pemt-38 : Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 tentang pembayaran pajak atas penghasilan dari persewaan Tanah dan/atau Bangunan 39. ^Bukti Pemt-39 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 sebgaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002 tentang pelaksanaan pembayaran dan pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan 40. ^Bukti Pemt-40 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak 41. ^Bukti Pemt-41 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005 tentang penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak 42. ^Bukti Pemt-42 : Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 536/PJ./2000 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak yang dapat menghitung Penghasilan Neto dengan menggunakan Norma Penghitungan 43. Bukti Pemt-43 : Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas deviden yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri 44. Bukti Pemt-44 : Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan para Pensiunan atas Penghasilan yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah 45. Bukti Pemt-45 : Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus 46. Bukti Pemt-46 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 127 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah 47. ^Bukti Pemt-47 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 sebagimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya 48. ^Bukti Pemt-48 : Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri Yang bertolak ke luar negeri 49. ^Bukti Pemt-49 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 51/PJ/2008 tentang tata cara pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Anggota Keluarga 50. ^Bukti Pemt-50 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 53/PJ/2008 sebagaimana telah diubah dengan PER-14/PJ/2009 tentang tata cara pembayaran, pengecualian pembayaran dan pengelolaan administrasi Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang akan bertolak ke Luar Negeri 51. Bukti Pemt-51 : Hans Kelsen, teori umum tentang hukum dan negara. Nusamedia dan nuansa, Bandung,2006 Hal 187-191 : “Kadang kadang pembentukan norma norma umum itu dibagi kedalam dua tahapan atau lebih....” 52. Bukti Pemt-52 : CF Strong, Konstitusi konstitusi politik modern kajian tentang sejarah dan bentuk bentuk konstitusi Dunia, Nusamedia dan nuansa, Bandung, 2004,Hal 91 : “dalam konteks perkembangan hubungan konstitusi.......menyatakan sebagai berikut : bahwa sejumlah hukum dasar yang diadopsi atau dirancang oleh para penyusun konstitusi 53. Bukti Pemt-53 : Kovenan Internasional Hak – Hak ekonomi, sosial, dan 128 budaya (KIHESB) yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on economic Social and Cultural Rights :
Pasal 6 ;
Pasal 7;
Pasal 8;
Pasal 9;
Pasal 10;
Pasal 11;
Pasal 12;
Pasal 13;
Pasal 14;
Pasal 15.
^Bukti Pemt-54 : Realisasi Penerimaan Tahun 2007-2008, Estimasi Penerimaan Tahun 2009, dan Potensial Loss Penerimaan Pajak Tahun 2010 Terkait Permohonan Uji Materiil Undang-Undang PPh Tahun 2008 55. ^Bukti Pemt-55 : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang pedoman teknis pembangunan gedung Negara Selain itu, untuk menguatkan keterangannya, Pemerintah mengajukan 5 (lima) orang ahli yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 12 Januari 2010 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis sebagai berikut: Keterangan Ahli Pemerintah 1. Ahli Pemerintah Prof.DR. Philipus. M. Hadjon, S.H., LL.M. Ø Bahwa intinya adalah pajak dan semua pungutan yang sifatnya memaksa oleh negara harus diatur dengan Undang-Undang; Ø Bahwa dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengenai pendelegasian itu ada dua istilah hukum yang digunakan; “dengan” atau “berdasarkan”; Ø Bahwa rumusan yang ada di dalam Pasal 23A itu mengenai pajak; Ø Bahwa dari sudut pandang hukum tata negara pajak di situ pertama-tama adalah menyangkut objek pajak; Ø Bahwa apa saja yang bisa dikenakan pajak oleh negara, intinya dari Pasal 23A tadi; Ø Bahwa titik tolak dari sana yang diperintahkan oleh Undang-Undang Dasar untuk diatur dengan Undang-Undang ialah objek pajak; 129 Ø Bahwa mengenai objek pajak itu sendiri sejak awal termasuk Undang-Undang taat apa yang bisa dipungut pajak itu ditetapkan oleh Undang-Undang termasuk pajak daerah pun harus ditetapkan dengan Undang-Undang tidak bisa daerah menentukan sendiri apa yang menjadi pajak daerah; Ø Bahwa perlu dicermati dulu dari ketentuan Pasal 23A mengenai pendelegasian wewenang; Ø Bahwa pendelegasian wewenang merupakan hal yang lazim sekali apabila kaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) pendelegasian di sini ini bukan pendelegasian penetapan tarif karena tarifnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1); Ø Bahwa yang didelegasikan itu adalah suatu diskresi. Konsep diskresi itu karena ada kata “dapat”, jadi dalam hukum tata negara dan hukum administrasi kalau kewenangan itu diawali dengan kata “dapat” itu menunjukkan disreksi; Ø Bahwa bagi yang berwenang dalam bidang ini punya pilihan untuk berkaitan dengan tarif. Tapi di sini bukan delegasi blanko, karena ada batasannya. Sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi, sebetulnya delegasi ini tidak melanggar ketentuan UUD; Ø Bahwa yang dipermasalahkan oleh Pemohon juga PP Nomor 131 Tahun 2000; Ø Bahwa yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah UUD adalah Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi. Jadi tidak pada tempatnya kalau mempermasalahkan konstitusionalitas PP. Kalau persoalan PP bukan persoalan konstitusionalitas tetapi persoalan legalitas, dan parameternya adalah Undang-Undang dan bukan parameter UUD; Ø Bahwa menyangkut Pasal 7 ayat (3), apakah penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak tidak dapat didelegasikan kepada Menteri Keuangan; Ø Bahwa penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak berada dalam ranah teknik, dan di sisi lain bukan delegasi blanko karena harus dikonsultasikan dengan DPR ini satu yang sifatnya imperatif mengenai kewenangan; Ø Bahwa menyangkut Pasal 14 ayat (1) juncto Pasal 14 ayat (7) rasio legis delegasi kewenangan dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (7) adalah Pendelegasian kewenangan dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (7) di satu sisi merupakan hal teknis dan di sisi lain mengantisipasi kondisi yang berubah-ubah; Ø Bahwa menyangkut Pasal 17 ayat (2), ayat (2) huruf a, ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d. Pertanyaannya apakah pendelegasian kewenangan penurunan tarif itu 130 inkonstitusional? Rasio legis pengaturan pajak dengan Undang-Undang adalah pajak adalah perampasan atas kekayaan pribadi. Kekayaan pribadi merupakan hak kodrat jadi sifatnya _nalienable right; _ Ø Bahwa untuk kepentingan publik hak bisa kodrat dirampas hanya dengan persetujuan rakyat. Instrumen hukum dalam hukum tata negara adalah Undang- Undang. Dalam pasal-pasal ini tarif tertinggi telah ditetapkan oleh Undang-Undang sehingga delegasi kepada peraturan pemerintah untuk penurunan tarif pajak ini tidak bertentangan dengan rasio legis pengaturan pajak dengan Undang-Undang, dan Pasal 23A itu sebetulnya mengenai objek pajaknya yang paling utama; Ø Bahwa menyangkut Pasal 17 ayat (3) ketentuan Pasal 17 ayat (3) bertentangan rasio legis pengaturan pajak harus dengan Undang-Undang besarnya penghasilan kena pajak hal teknis, oleh karena itu delegasi kewenangan tidaklah inkonstitusional; Ø Bahwa Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 21 ayat (5) menyangkut pasal ini perkecualian adalah penetapan tarif pajak inkonstitusional? Ini juga prinsipnya sama pendelegasian kewenangan dalam Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5) bukan delegasi blanko karena dibatasi dengan ketentuan, dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat (2) “sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi,” Pasal 21 ayat (5) kecuali ditetapkan lain dengan peraturan pemerintah; Ø Bahwa menyangkut Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (2) adalah karakteristik wewenang tersebut dalam Pasal 22 ayat (1) huruf e; Ø Bahwa Pasal 22 ayat (1), dari ketentuan ini dapat mencirikan adanya wewenang diskresi. Diskresi mengandung makna ada pilihan choice dalam penggunaan wewenang; Ø Bahwa rasio legis ketentuan a quo adalah peran serta masyarakat dalam mengumpulkan pajak dan bukan menyangkut PPh final; Ø Bahwa kewenangan adalah konsep hukum publik, kewenangan DPR lahir secara atribusi, wewenang DPR itu diberikan oleh Undang-Undang Dasar; Ø Bahwa DPR itu wakil rakyat tapi janganlah dirumuskan wewenang DPR adalah juga wewenang rakyat, ini analogis sesat. Rakyat itu mempunyai hak dan kewajiban bukan kewenangan sehingga kalau bicara soal wewenang memutus tidak pada rakyat dalam konteks pajak, Undang-Undang Pajak. Wewenang memutus itu ada pada DPR jadi tidak bisa dikatakan wewenang DPR adalah juga wewenang rakyat; Ø Bahwa Pasal 25 ayat (8) apa rasio legis pasal ini? Pasal ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya; 131 Ø Bahwa berdasarkan analisi yang dilakukan materi muatan pasal-pasal Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang diajukan permohonan uji materil Perkara Nomor 128/PUU-VII/2009 tidaklah inkonstitusional;
Ahli Pemerintah Drs. A. Anshari Ritonga, S.H., M.H. Ø Bahwa pelimpahan wewenang melalui Undang-Undang kepada pemerintah, Menteri Keuangan dan kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam menentukan tarif, menentukan lapisan penghasilan kena pajak untuk dikenakan tarif dan penetuan pajak fiskal bagi orang yang tidak memiliki NPWP dan penentuan norma yang ditugaskan kepada Direktorat Jenderal Pajak; Ø Bahwa tinjauan hukum dalam rangka konsepsional sumber hukum dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan adalah tinjauan terhadap ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal yang diajukan pengujian; Ø Bahwa terhadap tindakan hukum sebagai sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia itu mengacu kepada TAP MPRS Nomor 20 Tahun 1966 yang kemudian dikukuhkan dengan TAP MPR Nomor 5 Tahun 1973 pada waktu itu masih ditentukan mulai dari Undang-Undang Dasar, undang-undang, Keputusan MPR, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang, Peraturan Pemerintah baru peraturan pelaksanaan termasuk instruksi Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan dan peraturan lainnya; Ø Bahwa hal itu kemudian diperbaiki beberapa kali dengan Putusan MPR sehingga terakhir dengan Keputusan MPR Nomor 3 Tahun 2000 dimana urutannya menjadi Undang-Undang Dasar, Ketetapan MPR, undang-undang dan atau setara dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah; Ø Bahwa dengan direvisi Undang-Undang Dasar 1945 khusunya Pasal 2 dimana struktur, fungsi dan kewenangan MPR berubah maka Ketetapan MPR tidak menjadi sumber hukum lagi sehingga urutannya Undang-Undang Dasar, undang-undang sekaligus memang dengan Perppu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang baru Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah; Ø Bahwa tata urutan tersebut kalau dikaji atau ditinjau dengan pendekatan hukum ini secara teori berjenjang yang dikemukakan oleh Kelsen dan ditindak lanjuti oleh Hansnafiaski {sic} dimana menyebut sebagai urutan itu adalah sebagai staat fundamental norm sebagai dasar-dasar pokok, dimana oleh Kelsen sebenarnya 132 grundnorm sebagai asas yang disebut sebenarnya Hamid Atamimi adalah Pancasila itu sebagai grund fundamental staat grundnorm tetapi oleh Hans Kelsen dipisahkan antara staat fundamental norm dengan staat grund gescheit sebagai Undang- Undang Dasar; Ø Bahwa kalau dikaitkan dengan staat fundamental norm sebagai pembukaan UUD 1945 staat gescheit sebagai UUD baru formale gescheit sebagai Undang-Undang dan sebagai peraturan pelaksanaannya ini yang berlaku, yang disebutnya sebagai urutan yang berjenjang yang berlaku ketentuan yang lebih rendah harus mengacu dan tidak bertentangan dengan ketentuan atau Undang-Undang yang lebih tinggi; Ø Bahwa dengan demikian yang diatur dalam tata norma hukum, sumber hukum dan tata perundang-undangan sudah sejalan dengan teori yang berlaku tersebut; Ø Bahwa sekarang pendelegasian yang diberikan dalam Undang-Undang semua tercantum dalam pasal-pasal tersebut sesuai dengan fungsi DPR, Pasal 20 UUD 1945 mengatakan DPR sebagai hak budgetnya sebagai legislator sebagai pembuat Undang-Undang, maka kewenangan DPR untuk membuat dan menetapkan Undang-Undang tentu sudah mengkaji segala dampak dan segala kemungkinan, sehingga ditetapkan ada pendelegasian tersebut, ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (2); Ø Bahwa oleh karena itu adanya pendelegasian wewenang dalam Undang-Undang kepada pemerintah untuk menetapkan melalui Peraturan Pemerintah kepada Menteri Keuangan sebenarnya sudah sejalan dengan norma hukum atau sumber hukum dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia; Ø Bahwa pelimpahan wewenang diberikan kepada pemerintah melalui peraturan pemerintah atau Menteri Keuangan atau Direktur Pajak dikatakan bertentangan dengan Pasal 23A; Ø Bahwa Pasal 23A bagian dari pada hal-hal mengenai keuangan yang diatur dalam UUD. Hal-hal yang mengenai UUD itu ada 5 pasal, Pasal 23 mengenai APBN dan Pasal 23A mengenai Pajak untuk negara sedangkan Pasal 23B dalam macam harga dan mata uang ditetapkan dalam Undang-Undang, lalu Pasal 23C hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan Undang-Undang, lalu Pasal 23D mengenai negara memiliki bank sesuai kedudukannya diatur dengan Undang- Undang; Ø Bahwa dari seluruh hal-hal yang mengenai keuangan yang diatur dengan UUD seluruhnya diatur dengan Undang-Undang; 133 Ø Bahwa dalam pelaksanaanya Pasal 23 tersebut dan Pasal 73 juga ada pelimpahan kepada Menteri Keuangan atau kepada pemerintah. Pasal 23 yaitu mengenai APBN disebutkan Pasal 8 ayat (2) dalam Undang-Undang APBN Tahun 2005. Rincian lebih lanjut dalam anggaran belanja pemerintah pusat sebagaimana Pasal 7 diatur dengan Keputusan Presiden. Dalam APBN 2010 Nomor 40 tahun 2009 Pasal 10 ayat (3) juga pengaturan lebih lanjut dari di DIPA sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh presiden. Pasal 9 ayat (2) menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian dan perimbangan DAU diatur oleh Menteri Keuangan. Jadi dalam hal ini dalam Pasal 23 juga semua ada pendelegasian yang diatur melalui Undang-Undang; Ø Bahwa Pasal 23B dan Pasal 23D mengenai mata uang juga di situ disebutkan mata uang itu harus bagaimana nominalnya atau bagaimana materilnya, bagaimana nilainya intrisiknya; Ø Bahwa dengan demikian maka pengaturan pada Pasal 23A yaitu pajak diatur dengan Undang-Undang adalah juga sejalan dengan pasal Undang-Undang yang diatur dalam tata urutan tersebut; Ø Bahwa pelaksanaan Pasal 23C, jelas di situ adalah hal-hal lain untuk mengatur mengenai keuangan negara diatur Undang-Undang. Mengenai keuangan negara termasuk pemungutan pajak semuanya dan sebagainya, dimana dalam Pasal 6, Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Keuangan Negara, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 mengenai Keuangan Negara menyebut presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolanya dan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dan kekuasaan yang dimaksud dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam pemilikan kekayaan negara; Ø Bahwa Pasal 8 disebut dalam rangka pelaksanaan kekuasaan pengelolaan fiskal tersebut Menteri Keuangan melakukan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang dan Pasal 9, Menteri pemimpin lembaga sebagai pengguna anggaran atau kementrian negara dalam melaksanakan tugasnya melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke kas negara. Jadi di situ juga ada pendelegasian baik kepada pemerintah, baik kepada Menteri Keuangan; Ø Bahwa Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 17 UUD 1945 menyebut Pasal 4 ayat (1) Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945 dan Pasal 5 ayat 134 (2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Dan Pasal 17 ayat (1) Presiden dibantu oleh Menteri Keuangan; Ø Bahwa pengeluaran Peraturan Pemerintah dalam mengatur melaksanakan Undang- Undang adalah sejalan dengan Pasal 4, Pasal 5 UUD 1945 tersebut, dengan demikian tentu tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dimaksud oleh Pemohon; Ø Bahwa terkait dengan Pasal 23A, pasal-pasal yang diajukan pengujiannya oleh Pemohon, khusunya mengenai penentuan tarif final atau tarif pajak; Ø Bahwa pada dasarnya tarif pajak itu ditentukan dengan Undang-Undang, yaitu Pasal 17 ayat (1) sudah jelas menurut kelipatan pajaknya, hanya memang dalam pengurangan ditentukan pajak itu akan diturunkan pajaknya yang sekarang maksimum 30% menjadi 25%. Penurunan itu yang didelegasikan kepada pemerintah sehingga tarif yang diharapkan bukan semakin naik pasti semakin turun, jadi semakin rendah, artinya beban pajak yang ditentukan kepada masyarakat akibat kewenangan yang diberikan kepada pemerintah tidak akan menambah beban pajak. Jadi kerugian nyata atau kerugian aktual tidak akan terjadi atas kewenangan dari pemerintah tersebut; Ø Bahwa Penentuan lapisan tarif juga sama di berikan kewenangan kepada pemerintah pusat lapisan tarif, dalam arti menikmati tarif yang lebih rendah dengan PKB yang lebih besar. Artinya akan mengurangi pajak bagi wajib pajak bukan menambah beban pajak; Ø Bahwa pajak fiskal luar negeri atau bagi orang pergi keluar negeri yang tidak memiliki nomor pokok diberikan pajak, itu adalah alternatif artinya apabila masyarakat menganggap dengan kena fiskal itu karena kewajiban maka sebenarnya sesuai ketentuan semua orang harus mendaftarkan diri,dengan mendaftarkan diri otomatis memang tidak akan kena fiskal luar negeri; Ø Bahwa sedangkan pemberian wewenang norma juga itu adalah alternatif, artinya bagi orang yang memilih alternatif tidak menyelenggarakan pembukuan maka tidak bisa dihitung penghasilan Nettonya, maka harus dibuatkan norma. Oleh karena itu apabila dengan diberikan kewenangan kepada pemerintah atau Dirjen Pajak menentukan norma Pemohon atau wajib pajak merasa dirugikan, maka akan mengikuti alternatif melaksanakan, menyelenggarakan pembukuan. Dimana pada prinsipnya Pasal 28 mengatakan seluruh wajib menyelenggarakan pembukuan, 135 tetapi karena memang bagi wajib pajak yang golongan kecil dianggap melaksanakan pembukuan dengan membutuhkan biaya maka diberikan alternatif boleh tidak menyelenggarakan pembukuan maka ditetapkan norma; Ø Bahwa norma tersebut bermacam-macam banyak sekali, untuk jenis pajak antara dokter spesialis dengan yang bukan spesialis normanya berbeda. Izin usaha yang satu dengan yang lain normanya berbeda. Berbeda harga pokok berbeda bahan mentah, berbeda pemilikan modal, berbeda treatment- nya maka normanya akan berbeda; Ø Bahwa kalau norma itu diatur dengan Undang-Undang bisa dikatakan bagaimana Undang-Undang harus berubah. Dengan pertimbangan itu maka diberikan pendelegasian kepada pemerintah tetapi apabila dengan wewenang yang diberikan didelegasikan norma itu kepada Direktur Jenderal Pajak, wajib pajak atau Pemohon merasa dirugikan maka bisa mengambil alternatif dengan cara menyelenggarakan pembukuan. Karena pada prinsipnya seluruh wajib pajak menyelenggarakan pembukuan. Dengan menyelenggarakan pembukuan tentu tidak ada kerugian materil, tentu ada kerugian norma;
Ahli Pemerintah Prof. DR. Gunadi, M.SC. Ak. Ø Bahwa yuridiksi itu merupakan atribut dari kedaulatan, dan negara yang berdaulat mempunyai yusdiksi termasuk juridiksi pemajakan sehubungan dengan orang atau objek yang berada di wilayahnya; Ø Bahwa di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Belanda, Indonesia menyuratkan yuridiksi pemajakan dalam konstitusinya. Sedangkan beberapa negara lain termasuk Inggris tidak. Walaupun demikian ketentuan pajak di Inggris juga mendasarkan pada prinsip legalitas dengan berpedoman pada yuridiksi no tax _without representation; _ Ø Bahwa sesuai dengan asas legalitas tersebut maka tidak ada pembayaran pajak atau beban lainnya tanpa adanya persetujuan berupa Undang-Undang oleh parlemen; Ø Bahwa prinsip tersebut merupakan salah satu pilar mekanisme sistem demokrasi dalam arti persetujuan yang diberikan para wakil pembayar pajak dalam parlemen dianggap sebagai garansi demokrasi atas pemajakan yang dipungut pemerintah; Ø Bahwa Undang-Undang Perpajakan merupakan peraturan yang sering mengalami perubahan karena mengikuti realita kehidupan ekonomi dan sosial serta lingkungan 136 termasuk sistem dan metode serta kebijakan pemajakan yang dinamis dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Walaupun dalam negara demokrasi ada doktrin pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dan sesuai dengan asas legalitas, perpajakan harus diatur dengan Undang-Undang; Ø Bahwa salah satu hal yang paling membingungkan yang dihadapi eksekutif dan legislatif adalah seberapa detail ketentuan yang harus diatur dalam Undang-Undang dan bagaimana distribusi kewenangan penyusunan perpajakan antara legislatif dan eksekutif; Ø Bahwa penerapan atas pertanyaan ini dapat berbeda untuk tiap negara tergantung kepada tradisi, kebiasaan, konstitusi, hukum administrasi praktik hukum tiap negara dan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak yang telah disetujui lembaga legislatif negara dimaksud. Kadangkala ketentuan dasar pengatur legalitas delegasi kewenangan, menyusun ketentuan perpajakan dapat bersifat elastis; Ø Bahwa membuat peraturan berbagai masalah yang memerlukan fleksibilitas tinggi, kesigapan dan kecepatan bertindak. Walaupun pada umumnya Undang-Undang Pajak yang disusun bagi wajib pajak, transaksi kena pajak, tarif pajak, sanksi dan pemungutan. Namun berdasar delegasi dalam konstitusi terutama Undang-Undang Pajak itu sendiri lembaga eksekutif dapat memberikan peraturan pelaksanaan; Ø Bahwa yang dapat diatur termasuk ketentuan detail berdasar delegasi Undang- Undang, prosedur dantata cara administrasi untuk menjalankan ketentuan Undang- Undang; Ø Bahwa setelah delegasi pengaturan demikian, sepertinya menunjukan adanya suatu ketidakpastian atau indefiniteness atau kekurang lengkapan dalam pengaturan perpajakan. Kekuranglengkapan ini umumnya dapat dianggap sebagai suatu intensive policy atau kebijakan yang diinginkan oleh para pembuat Undang-Undang. Dan proses demikian disebut flying in the general cost. Ini berlaku baik di negara penganut common law maupun di negara penganut sistem kontinental; Ø Bahwa yurisdiksi pemajakan Indonesia disuratkan pada Pasal 23A UUD 1945 yagn berbunyi “p ajak dan Pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara _diatur dengan undang-undang.”; _ Ø Bahwa __ dengan merujuk pada asas legalitas dalam UUD 1945 tersebut, disusunlah Undang-Undang Perpajakan termasuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagai dasar hukum pemungutan pajak penghasilan 137 yang sampai sekarang sudah empat kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008; Ø Bahwa sebagaimana terjadi di semua hampir negara pemungut pajak dan berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 serta beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan itu sendiri atau praktik ketatanegaran dan peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun semangat flying in the general cost terutama dalam pengaturan yang membutuhkan fleksibilitas yang tinggi dan kesigapan serta kecepatan bertindak dalam masalah-masalah yang mungkin timbul, maka terdapat delegasi pengaturan dalam Undang-Undang kepada peraturan pemerintah Menteri Keuangan atau Direktur Jenderal Pajak; Ø Bahwa secara konstitusional berdasarkan Pasal 5 ayat (2) untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya, pemerintah diberi wewenang untuk membuat peraturan berdasarkan perintah dalam Undang-Undang. Karena itu pelimpahan wewenang pengaturan lebih lanjut pelaksanaan pajak penghasilan dalam UU PPh 2008 adalah pengaturan yang merupakan kebijakan delegasi kewenangan yang diinginkan atau intentional policy oleh para pembentuk Undang- Undang melalui prosedur dan proses yang valid dan _legitimate; _ Ø Bahwa melalui prosedur dan proses legislatif yang valid dan legitimate karena sesuai dengan ketentuan Pasal 20 UUD 1945 Undang-Undang telah dibahas dan dapat persetujuan dari Pemerintah dan DPR sebagai representasi dari rakyat termasuk para pembayar pajak, walaupun dari segi materi suatu pengaturan pendelegasian tidak dapat mengubah materi yang ada dalam Undang-Undang, yang dijalankannya peraturan pemerintah adalah sarana yang disediakan UUD 1945 untuk menjalankan atau mengatur lebih lanjut atas satu atau beberapa ketentuan Undang-Undang; Ø Bahwa garis-garis besar ketentuan tersebut diatur di dalam Undang-Undang yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Namun, rinciannya atau garis kecilnya dibentuk oleh Pemerintah berdasar garis besar tanpa memerlukan persetujuan DPR lagi, yang telah menyetujui garis besarnya; Ø Bahwa dalam bahasa Pasal 23 UUD 1945 DPR sebagai representasi rakyat termasuk para pembayar pajak yang semua di sini terutama yang membayar PBB bersama Pemerintah telah melaksanakan ketentuan Pasal 23 UUD 1945 yaitu yang mengatur pungutan pajak penghasilan dengan Undang-Undang, yang antara lain telah terjadi pengaturan mengenai subjek, objek, tarif, sanksi, dan pungutan pajak 138 paling kurang dalam garis-garis besar, termasuk pelimpahan pengaturan pelaksanaan garis-garis besar tersebut di dalam peraturan yang lebih rendah; Ø Bahwa pengaturan berdasarkan pendelegasian demikian sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan dalam praktik ketatanegaraan maupun Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang- undangan; Ø Bahwa pendelegasian peraturan tersebut dapat dibenarkan berdasarkan pemikiran dalam menjalankan tata pemerintahan negara pengaturan tidak cukup hanya dengan Undang-Undang saja namun Undang-Undang dapat mendelegasikan kewenangan pengaturan kepada peraturan yang lebih rendah; Ø Bahwa sehubungan dengan Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7) Undang-undang merupakan kebijakan tertulis dan bersifat makro, umum, dan mendasar karena itu UU PPh dapat mewujudkan arah dan pelaksanaan kebijakan pemajakan atas suatu kategori penghasilan di Indonesia. Berdasar strukturnya terdapat tiga tipe pemajakan atas penghasilan yaitu global, unitary atau synthetic income tax systems yaitu memajaki semua kategori penghasilan dari berbagai sumber dari satu formula tarif dengan schedular atau analytical income tax systems yaitu memajaki berbagai kategori penghasilan dari berbagai sumber dengan berbagai formula tarif yang berbeda dengan maksud pembedaan beban pemajakan atas capital atau passive income yang umumnya lebih berat dibandingkan dengan active income termasuk penghasilan dari kekaryaan dan dual sticks atau composite audit income tax _systems; _ Ø Bahwa definisi objek pajak atau penghasilan secara umum paling kurang terdapat dua konsep yaitu recent concept , konsep pertambahan kemampuan ekonomis yang komprehensif sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Yang kedua adalah source concept , ini konsep kanalisasi kategori penghasilan. Menurut beberapa sumber secara limitatif sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 huruf b ayat (1) Ordonansi Pajak Penghasilan 1944; Ø Bahwa di dalam UU PPh ini sekaligus ingin menerapkan dua konsep tadi, yaitu pemajakan secara global dan pemajakan secara scheduler , yaitu jenis-jenis penghasilan dikenakan satu formula tarif. Karena di dalam UU PPh ini dimunculkan Pasal 4 ayat (2) sehingga dengan demikian Pasal 4 ayat (2) ini merupakan suatu legal policy dan sekaligus internal policy daripada pembuat Undang-Undang untuk merumuskan sistem perpajakan tersebut; 139 Ø Bahwa aplikasi dari semangat flying the general cost ini terutama dalam pengaturan yang membutuhkan fleksibilitas yang tinggi dan kesigapan serta kecepatan bertindak atas beberapa kategori objek pajak dan masalah lain besaran tarif pajak maka dimunculkan sekaligus delegasi peraturan kepada Peraturan Pemerintah dalam Pasal 17 ayat (7) yang garis-garis besarnya tarif ini ada dirumuskan di situ dengan ketentuan maksimal adalah sebesar tarif menurut Pasal 31 yaitu 30% orang pribadi dan 20% wajib pajak badan; Ø Bahwa sehubungan dengan validitas hukum terdapat tiga elemen yang harus dijelaskan. Yang pertama adalah justice atau keadilan, yang kedua legal , yang ketiga adalah ekspediansi atau kegunaan atau kemanfaatan; Ø Bahwa pendelegasian pengaturan schedule yang bersifat final dalam bentuk peraturan pemerintah ini sekurang-kurangnya, berdasarkan prinsip ekspediensi yaitu ekspediensi pengaturan, kepastian penerimaan dan hukum pemajakan, kesederhanaan dan kemudahan, murahnya biaya transportasi dan kekuatan perpajakan serta kenyamanan bayar pajak dapat dibenarkan dan karenanya dapat dianggap cukup valid. Walaupun mungkin dirasa belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip keadilan; Ø Bahwa dikatakan belum sepenuhnya memenuhi prinsip keadilan karena di dalam teori ada dua keadilan yaitu horisontal dan vertikal, walupun secara vertical lequited dapat diperdebatkan karena schedule tax system memang tujuannya adalah untuk memberikan sesuatu pembedaan pemajakan antara capital income termasuk bunga deposito dengan active income termasuk penghasilan dari jasa kekayaan; Ø Bahwa system final tax system pemajakakan dengan tarif tunggal sepadan dan final agar mudah dan sederhana memang sengaja mengesampingkan kompleksitas tarif progresif sebagai pewujudan dari prinsip vertical equaty , namun dari sisi horisontal equaty dan efisiensi of tax system ini schedule dengan tax system bagaimana diperkenalkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh,secara rasional dapat diterima; Ø Bahwa sehubungan dengan ketentuan di Pasal 4 ayat (2) huruf e yang menyebutkan penghasilan tertentu itu lainnya nampak pendelegasian itu bukannya tanpa batas; Ø Bahwa sebetulnya kepastian hukum dan terbatasnya ketentuan flying in the general cost dalam ayat tersebut dapat pada kata tertentu yang harus dibaca merujuk pada beberapa kriteria kategori penghasilan, yang dapat menjadi sasaran scheduler final _income tax system; _ 140 Ø Bahwa __ beberapa kriteria yang merupakan garis-garis besar ini ada di dalam penjelasan mengenai pajak penghasilan dapat mendorong investasi atas masyarakat; Ø Bahwa kesederhanaan pemungutan pajak atas penghasilan; Ø Bahwa efisiensi pemungutan pajak yaitu murahnya biaya administrasi dan kepatuhan pajak; Ø Bahwa pemerataan dalam pemungutan pajak dari semua wajib pajak penghasilan; Ø Bahwa terdapat pengaruh perkembangan ekonomi dan moneter dari pemajakan sebagaimana dimaksud. Dengan demikian hanya kategori penghasilan yang paling kurang memenuhi kelima syarat tersebut yang dibenarkan untuk dijadikan kategori penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh; Ø Bahwa kategori penghasilan selain yang memenuhi persyaratan 5 tadi harus dimasukan dalam kelompok kategori penghasilan komprehensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang menjadi sasaran dari _unitary tax system; _ Ø Bahwa sehubungan dengan Pasal 7 ayat (3) pemberian kelonggaran personal berupa pembebasan sejumlah penghasilan dari pengenaan pajak yang dihubungkan dengan wajib pajak dalam Pasal 7 UU PPh, yang dalam disebut sebagai penghasilan tidak kena pajak ini menunjukan karakteristik daripada penghasilan orang pribadi sebagai pajak obyektif personal; Ø Bahwa ada beberapa fungsi daripada P3P yang pertama adalah membebaskan kelompok small hard to tax income dari __ sistem PPh secara tidak langsung. Yang kedua efisiensi perpajakan dengan mengecualikan mereka dari pengenaan PPh dan NPWP serta serta menyampaikan SPT dan yang ketiga sistem pajak penghasilan membebaskan sebagian penghasilan sebesar dari semua wajib pajak orang pribadi dengan dari pengenaan pajak. Karena besaran PTKP akan mempengaruhi jumlah pajak yang terhutang bagi sebagian dan mengurangi penerimaan dan anggaran belanja negara sebesar penerimaan pajak dari sebagian yang lain, maka untuk kepastian hukum besaran nominal jumlah inisial TKP diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPh; Ø Bahwa sedangkan perubahannya ini karena menyangkut bidang tugas dari Menteri Keuangan ini maka didelegasikan pada Menteri keuangan dan sekaligus dasar policy dari pembuat Undang-Undang untuk kesalahan tersebut. Namun garis-garis besarnya juga diatur di dalam Undang-Undang yaitu; yang pertama setelah konsultasi dengan DPR karena akan mempengaruhi jumlah penerimaan pajak dan 141 penerimaannegara, yang kedua mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter dan ketiga perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya; Ø Bahwa istilah perkembangan harga setiap tahunnya. Sepertinya membuka peluang besaran PTKP yang terjadi adalah perubahan kenaikan PTKP. Kenaikan PTKP ini akan mengurangi beban pajak, bukan menambah beban pajak masyarakat sehingga pengaturan kepada Menteri Keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945; Ø Bahwa mengenai Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (7) ini menyangkut norma penghasilan dapat disampaikan norma penghasilan ini adalah merupakan standar assesment {sic} yaitu tuntunan pada wajib pajak yang belum mampu untuk melaksanakan kewajiban pembukuan untuk melakukan kewajiban perpajakan dengan baik sesuai dengan prinsip self assesment. Dan ini karena namanya standar self assesment terkait. Jadi kemudahan kepada wajib pajak untuk tidak menggunakan pembukuan tapi harus menyelenggarakan catatan; Ø Bahwa dari catatan ini dirasa belum cukup memberikan suatu data dan informasi untuk menghitung penghasilan Netto kena pajak. Oleh karena itu penghasilan Netto kena pajaknya dihitung berdasarkan norma penghasilan, jadi sifatnya norma penghasilan ini memberikan satu kemudahan kepada wajib pajak; Ø Bahwa apa yang berlaku di sini adalah bukannya suatu pemajakan yang optimal tapi suatu adalah the theory of the second best . Jadi kalau tidak bisa terjadi pemajakan yang optimal maka dicarikan suatu kebijakan yang sub optimal, yaitu dengan pemberian norma penghitungan. Sehingga dengan demikian prinsip keadilan ini akan dikesampingkan. Jadi kalau wajib pajak ingin dapatkan keadilan yang penuh maka jangan memakai norma tetapi kembali kepada sistem yang pokok pada main row yaitu mengadakan pembukuan dan menghitung penghasilan kena pajaknya berdasarkan actual income menurut pembukuan. Dengan demikian akan tercapai adalah adanya suatu kesepakatan; Ø Bahwa karena norma ini setiap tahun perlu ada suatu perubahan sesuai dengan perubahan dan sebagainya, ini agak bersifat teknis maka kewenangan untuk mengadakan perubahan didelegasikan kepada Direktur Jenderal Pajak dan ini juga sudah sesuai dengan kaidah pembuatan Undang-Undang karena sudah secara bersama-sama disetujui antara Pemerintah dan DPR dalam membuat Undang- Undang; 142 Ø Bahwa sehubungan dengan Pasal 19 ayat (2) ini merupakan suatu policy yang akan ditempuh oleh perpajakan apabila terjadi suatu devaluasi atau suatu summary. Jadi suatu inflasi yang jumlahnya cukup besar. Untuk menghadapai hal yang sebenarnya ini didelegasikan kepada Menteri Keuangan sesuai dengan bidang pemerintahannya. Ini yang dilakukan sesuai dengan derevaluasi perketat dan indeksasi bea dan penghasilan; Ø Bahwa tarifnya sekaligus diberikan kepada wewenang kepada Menteri Keuangan, ini merupakan suatu intens policy dari para legislator dan di sini diberikan suatu garis-garis besar atau suatu kriteria yaitu tarifnya tersendiri tidak melebihi pajak tertinggi sebagaimana di maksud Pasal 19; Ø Bahwa di dalam teori ini akan terdapat suatu gejala tingkat inflasi ini akan menyebabkan keuntungan dari guidance ini __ akan menyebabkan suatu pembuncitan atau bouncing effect ini maka harus dihilangkan pembuncitan ini dengan suatu indeksasi; Ø Bahwa pendelegasian yang diberikan Menteri Keuangan itu kecenderungannya akan mengurangi jumlah penghasilan kena pajak sekaligus tarifnya juga dikurangkan untuk mengurangi over take action dari adanya suatu inflasi; Ø Bahwa delegasi pengaturan dalam Pasal 19 ayat (2) UU PPh ini sejalan dengan memberikan garis-garis besar yang jelas dan berpotensi pajak masyarakat; Ø Bahwa selain pengaturan tersebut legitimate juga dapat dikatakan tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 karena justru akan meringankan beban pajak masyarakat; Ø Bahwa dalam Pasal 25 ayat (8) ini sifatnya sanksi policy karena ini berlaku sampai dengan akhir tahun 2010 dan ini merupakan cara lain di dalam sistem perpajakan; Ø Bahwa pajak atas penghasilan berdasarkan prinsip ability to pay bisa diukur juga selain dari penghasilan juga dari expediture. Jadi di sini Pasal 25 ayat (8) itu memperkenalkan suatu sistem pemajakan berdasarkan _expediture; _ Ø Bahwa hakekatnya pajak ini bersifat optional karena dapat dihindari apabila yang berpergian dimaksud mendaftarkan diri untuk ber-NPWP. Dengan demikian ketentuan ini berpotensi tidak menimbulkan beban pajak sehingga bukan kompetensi Pasal 23A UUD 1945; Ø Bahwa seandainya yang bersangkutan dengan berbagai alasan kurang suka berurusan dengan NPWP sehingga suka membayar beban pajak secara sistematis menurut Pasal 24 ayat (1) mengenai Pajak ini bukan merupakan beban final tetapi 143 sebagai angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan,yang menurut Pasal 28 ayat (1) huruf e dapat dikreditkan dengan utang pajak yang bersangkutan dalam tahun pajak tersebut; Ø Bahwa dengan demikian pembayaran pajak menurut Pasal 25 ayat (8) merupakan bagian dari pungutan pajak penghasilan yang diatur dalam UU PPh Tahun 2008 atas kuasa Pasal 23 UUD 1945; Ø Bahwa betapa kurang mudahnya untuk mengalami peraturan perundang-undang pajak sehingga sedikit orang dapat memahami peraturan perpajakan tetapi banyak orang mengetahui apa yang kurang benar dengan peraturan perpajakan;
Ahli Pemerintah Abdul Hakim Garuda Nusantara. S.H., LL.M. Ø Bahwa dalam surat permohonannya Pemohon tidak menguraikan secara jelas dalam hal apa dan dalam situasi yang seperti apa, pasal-pasal a quo dapat mengancam kehormatan, martabat dan harta benda Pemohon. Pemohon hanya mengatakan secara umum pasal-pasal a quo melanggar Pasal 28G ayat (1), padahal sebagaimana dikemukakan di atas pasal-pasal a quo memberikan delegasi wewenang kepada pemerintah justru untuk menjalankan amanah yang diperintahkan oleh Undang-Undang a quo yang merupakan hasil kesepakatan bersama Pemerintah dan DPR-RI; Ø Bahwa pasal-pasal a quo justru untuk memberikan kepastian hukum yang adil kepada setiap wajib pajak, itu berarti perlindungan tiap wajib pajak dari perlakuan sewenang-wenang dari aparat pemerintah, itu berarti pula sejalan dengan Pasal 28D ayat (1). Dan dengan demikian sejalan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945; Ø Bahwa Pemohon tidak pula menjelaskan dalam hal bagaimana dan dalam situasi seperti apa hak-hak Pemohon sebagaimana tertuang dalam Pasal 28G ayat (1) dilanggar; Ø Bahwa Pemohon dalam surat permohonannya tidak menjelaskan dalam hal apa dan bagaimana pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang a quo telah melanggar atau bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; Ø Bahwa Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang a quo tidak mengandung substansi hukum yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melarang wajib pajak mempunyai hak milik atau bahkan mengambil alih miliknya secara sewenang- wenang. Pasal-Pasal a quo sekali lagi justru merupakan pelaksanaan amanah yang diperintahkan oleh Undang-Undang a quo , yang merupakan dasar hukum bagi 144 negara yaitu pemerintah untuk mengenakan pajak kepada wajib pajak. Jadi, tidak benar bila pembebanan pajak kepada wajib pajak yang didasarkan kepada undang- undang dan peraturan perundang-undangan yang jelas, dinilai sebagai mengambil alih hak milik wajib pajak secara sewenang-wenang. Ini jelas keliru dan menyesatkan. Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan yang jelas sebagaimana tertuang dalam Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang a quo justru dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum yang adil bagi setiap wajib pajak. Karena itu Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang a quo tidak melanggar Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; Ø Bahwa bila pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan oleh MK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka akibatnya sudah sangat jelas yaitu tidak ada dasar hukum yang memadai bagi Dirjen Pajak untuk mengenakan pajak kepada para wajib pajak. Yang akibat lebih jauhnya adalah merosotnya pendapatan negara dari pajak. Bila hal itu terjadi, maka kemampuan negara untuk mengadakan dan membiayai pelayanan masyarakat (publik) seperti, pembangunan dan pemeliharaan fasilitas publik, seperti, jalan, irigasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain sebagainya akan merosot pula. Padahal pengadaan dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas umum itu sangat vital dan esensial bagi pemenuhan hak-hak asasi manusia utamanya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya; Ø Bahwa berkenaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu UUD 1945, antara lain, mengatur sebagai berikut :
Pasal 28A: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” b. Pasal 28C ayat (1): “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” c. Pasal 28D ayat (2): “ Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” d. Pasal 27 (2) : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” 145 e. Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” f. Pasal 28H ayat (3): “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat.” g. Pasal 28I ayat (3): “ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” h. Pasal 28I ayat (4): “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”; Ø Bahwa selain hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 tersebut di atas, pemerintah mempunyai kewajiban di bawah hukum internasional, yakni Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005; Ø Bahwa berdasarkan ketentuan hukum internasional itu, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai berikut: - Hak atas pekerjaan, hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, hak-hak serikat pekerjaan, hak atas jaminan sosial dan asuransi sosial, hak-hak keluarga, hak atas standar kehidupan yang layak, hak untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental, hak atas Pendidikan, hak atas kehidupan budaya dan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan. Ø Bahwa dalam kutipan Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, negara, yakni pemerintah merupakan pihak yang dibebani kewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakan dan pemenuhan HAM, yaitu dalam hal ini hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; Ø Bahwa pemerintah jelas membutuhkan biaya yang besar untuk pengadaan dan pemeliharaan fasilitas umum seperti infrastruktur jalan, irigasi, fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan, yang selain dapat membuka lapangan kerja juga untuk memenuhi hak-hak rakyat atas pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial lainnya; Ø Bahwa Pemerintah memerlukan biaya yang besar pula untuk fasilitasi program- program pengembangan kebudayaan masyarakat; 146 Ø Bahwa bila pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum akan membawa akibat tidak ada dasar hukum yang memadai bagi pemerintah untuk mengenakan pajak penghasilan bagi wajib pajak dan akibat lanjutannya merosotnya pendapatan negara dari sektor pajak yang hal itu akan membuat kemampuan pemerintah untuk memenuhi hak-hak asasi manusia yaitu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya menjadi merosot pula. Ini akan membawa akibat terabaikannya bahkan terlanggarnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat;
Ahli Pemerintah Prof. Anna Erliyana, S.H., M.H. Ø Bahwa Pemohon mengajukan empat pasal dari UUD 1945, yaitu Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4); Ø Bahwa berkenaan dengan Pasal 23A teori-teori pajak sangat menunjang pasal ini karena pada intinya pajak itu sumber pembangunan untuk Pemerintah. Jadi dengan upaya paksa pemerintah dibolehkan untuk memungut pajak karena tanpa pajak tidak akan ada finance untuk public goods dan service seperti penerangan jalan maupun kebersihan secara umum; Ø Bahwa pemungutan pajak pada intinya bergantung pada pendapatan, jadi tidak mungkin orang yang tidak punya pendapatan akan dipajaki dan orang yang mempunyai pendapatan dengan tingkat pendapatan tertentu baru bisa dipajaki. Sedangkan Pasal 28D ayat (1) itu mengenai jaminan perlindungan hukum berdasarkan Undang-Undang Perpajakan itu sudah ada jaminan perlindungan hukum bagi setiap warga negara; Ø Bahwa Pasal 28G ayat (1) itu intinya adalah hak atas rasa aman. Kalau ditelusuri hak atas aman itu sangat erat kaitannya dengan konsep-konsep yang tercantum dalam Undang-Undang Pidana khususnya KUHP dan sepuluh hak atas rasa aman yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Jadi di situ kaitannya adalah ketentuan-ketentuan pidana bagaimana seseorang rasa amannya terganggu karena ada ancaman pembunuhan, ada ancaman penganiayaan, ada ancaman kesusilaan, ada pencemaran nama baik, dan seterusnya. Jadi tidak ada kaitannya dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perpajakan; Ø Bahwa pajak itu masuk dalam kaitannya dengan hukum publik. Yang sangat menarik di situ yang disoroti adalah macam kewenangan hukum publik di bidang legislatif dan eksekutif. Legislatif dan eksekutif selalu bekerja sama, dalam arti tidak 147 ada satu perundang-undangan yang diterbitkan oleh lembaga legislatif yang bisa dilaksanakan tanpa bantuan eksekutif. Legislatif menerbitkan undang-undang dengan materi dengan membentuk Undang-Undang dengan penciptaan hukum sedangkan eksekutif bisa menteri dengan materi dan menciptakan hukum baru yang masih bersifat umum dan abstrak; Ø Bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 memberikan delegasi untuk mengatur lebih lanjut Undang-Undang Perpajakan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Direktur Dirjen Pajak. Dari 15 pasal-pasal itu baru tujuh ada peraturan pelaksanaannya. Kemudian dari 15 itu juga, dua seharusnya tidak dimasukan dalam pengujian yaitu Pasal 17 ayat (2a) karena tidak mengatur lebih lanjut. Sedangkan Pasal 7 ayat (3) pernah dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pada 20 Mei 2009; Ø Bahwa delegasi peraturan ada 19 (sembilan belas) ketentuan ternyata dari 19 (sembilan belas) ketentuan baru 4 (empat) PP yang terbit. Dan selanjutnya dapat mencermati Pasal 4 ayat (2), karena dari 15 pasal yang diajukan pengujian ini yang paling penting adalah Pasal 4 ayat (2) karena ini erat kaitannya dengan legal standing Pemohon. Apakah Pemohon melampirkan;
Penghasilan berupa bunga deposito tabungan, obligasi dan b. Surat utang negara, penghasilan berupa hadiah undian, c. Penghasilan dari transaksi saham dan seterusnya sampai d. Jadi legal standing Pemohon dapat terlihat titik tumpunya pada Pasal 4 ayat (2); Ø Bahwa delegasi peraturan berikutnya adalah melalui Peraturan Menteri Keuangan meliputi 31 ketentuan dan baru diterbitkan dua. Sehubungan dengan Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 22 ayat (2); Ø Bahwa pemerintah sebetulnya masih malas mengatur lebih lanjut, demikian juga delegasi peraturan menyebut Direktur Jenderal Pajak meliputi delapan ketentuan, baru terbit satu yaitu berdasarkan Pasal 14 ayat (1); Ø Bahwa dari seluruh peraturan pelaksana yang terbit, itu pun setelah dicermati lagi separuh atau sebagian besar terbit bukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, artinya peraturan yang lahir lebih lama lagi; Ø Bahwa delegasi kewenangan itu memang penting sekali dalam pelaksanaan ketatanegaraan dan pelaksanaan pemerintahan; 148 Ø Bahwa ada pleksibiliti, peraturan yang dibuat pemerintah lebih luwes dibanding peraturan yang dibuat badan legislatif. Kemudian juga ada time Phrasal {sic} pemerintah perlu segera melaksanakan berbagai urusan pemerintahan; Ø Bahwa dalam hukum pajak inilah sebenarnya diantara berbagai cabang hukum administrasi negara, maka hukum pajak adalah keterwakilan yang paling ke depan karena dia mencerminkan un an codified branch and civil law system. Karena akan terasa sekali dalam hukum pajak itu kebertingkatan atau hierarkis peraturan itu bisa diterapkan; [2.5] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan Kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Januari 2010 yang pada pokoknya tetap pada dalil permohonannya; [2.6] Menimbang bahwa Pemerintah telah menyampaikan Kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Januari 2010 yang pada pokoknya tetap pada dalil permohonannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka segala sesuatu yang terjadi dipersidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Putusan ini. 149 3 . PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo ialah menguji konstitusionalitas Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893, selanjutnya disebut UU 36/2008 juncto UU Nomor 17/2000 juncto UU Nomor 10/94 juncto UU Nomor 7/91 juncto UU Nomor 7/83) terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan:
kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan _a quo; _ b. kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon; Terhadap kedua hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut; Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945; 150 [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (8) UU 36/2008 terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) [3.5] Menimbang bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia (Bukti P-3) yang juga adalah seorang akademikus (Bukti P-4) yang dikenakan beban kewajiban membayar pajak penghasilan sebagaimana yang diatur dalam UU 36/2008 juncto UU Nomor 17/2000 juncto UU Nomor 10/94 juncto UU Nomor 7/91 juncto UU Nomor 7/83 Pemohon merasa sangat berkepentingan dan dirugikan hak konstitusionalnya oleh sejumlah materi/muatan dalam pasal-pasal yang dimohonkan pengujian a quo karena: • Pengenaan pajak secara final sebesar 20% untuk deposito yang diatur dalam PP Nomor 131 Tahun 2000; • Pemohon merasa berdosa telah mengajarkan sesuatu yang salah karena UU Pajak Penghasilan bertentangan dengan UUD 1945; • Pelimpahan pengaturan itu menyebabkan Pemohon tidak dapat menentukan atau mengatur sendiri (melalui DPR) mengenai pajak; • Jika ini dikabulkan maka warga negara tidak akan dirugikan; [3.6] Bahwa pasal-pasal a quo karena didelegasikan lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, maka sangat merugikan Pemohon, yaitu hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 telah dilanggar. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ). 151 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa pasal-pasal yang dimohonkan pengujian a quo telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon: a. Pasal 4 ayat (2) _”Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ _a. penghasilan berupa bunga deposito ...; _ _b. penghasilan berupa hadiah undian ...; _ _c. penghasilan dari transaksi saham ...; _ _d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta ...; dan _ _e. penghasilan tertentu lainnya; _ yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” __ b. Pasal 17 ayat (7) __ ”Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).” c. Pasal 7 ayat (3) __ ”Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.” d. Pasal 14 ayat (1) __ ”Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk menentukan penghasilan Netto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.” e. Pasal 14 ayat (7) __ ”Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan.” f. Pasal 17 ayat (2) __ ”Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.” __ __ 152 g. Pasal 17 ayat (2) huruf a __ ”Menurunkan tarif pajak tertinggi menjadi paling rendah 25% dengan Peraturan Pemerintah.” h. Pasal 17 ayat (2) huruf c __ ”Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.” i. Pasal 17 ayat (2) huruf d: __ ”Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah.” j. Pasal 17 ayat (3): ”Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.” k. Pasal 19 ayat (2): ”Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).” l. Pasal 21 ayat (5): ”Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.” m. Pasal 22 ayat (1) huruf c: ”Menteri Keuangan dapat menetapkan: Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.” n. Pasal 22 ayat (2): ”Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.” __ __ __ 153 o. Pasal 25 ayat (8): ”Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Pasal-pasal tersebut di atas telah menyebabkan kerugian konstitusional Pemohon karena: • Penetapan pajak harus dengan Undang-Undang bukan dengan peraturan yang lebih rendah (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan, Direktur Jenderal Pajak); • Tidak memenuhi unsur materi pajak, karena peraturan di bawah Undang- Undang tidak dapat menetapkan subjek, objek, beban dan sanksi pajak; • Pengenaan pajak tanpa persetujuan DPR adalah perampokan, karenanya harus diatur dalam Undang-Undang; • PP 131/2000 tidak adil karena tidak membedakan antara yang kaya dengan yang miskin; • Pangaturan tarif pajak dengan PP tidak menjamin kepastian hukum yang adil; Pasal-pasal tersebut di atas bertentangan dengan UUD 1945: • Pasal 23A __ ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur _dengan Undang-Undang”; _ • Pasal 28D ayat (1) ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” ; • Pasal 28G ayat (1) __ ”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat _sesuatu yang merupakan hak asasi”; _ • Pasal 28H ayat (4) __ ”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak _boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”; _ __ 154 [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-5) dan dua orang ahli, yaitu Drs. Abi Kusno, M.M. dan Prof. Dr. Mohammad Zein yang pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:
Ahli Drs. Abi Kusno, MM. Ø bahwa berdasarkan Pasal 23A UUD 1945, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam Undang-Undang. Tetapi memang secara eksplisit tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana cara penetapannya. Masalah yang dihadapi sekarang, Undang-Undang Pajak yang berlaku adalah Undang- Undang yang terbaru tahun 2008 yang memberikan pendelegasian wewenang yang sangat besar kepada Pemerintah untuk menetapkan tarif pajak, subjek pajak dan objek pajak, karena kewenangan ini sangat luas diberikan kepada Pemerintah, inilah yang dapat menimbulkan kerugian seperti yang disebutkan oleh Pemohon;
Ahli Prof. Dr. Mohammad Zein Ø bahwa keadilan dalam perpajakan itu adalah masalah pertimbangan nilai (value judgement), sehingga tidaklah mungkin untuk melakukan suatu scientific validity terhadap keadilan. Dalam Undang-Undang Perpajakan terlihat lebih banyak diatur oleh Pemerintah, karena DPR seolah memberi kuasa kepada Pemerintah untuk mengatur segala sesuatunya. Pengaturan itu, karena keadaan, tidak disertai rambu- rambu yang jelas. Hal yang dianggap kurang adil adalah pajak penghasilan yang final, seolah-olah wajib pajak hilang haknya untuk menghitung pajak berdasarkan pembukuannya. Hal ini tidak dipersoalkan apakah wajib pajak memperoleh laba atau rugi, tetap saja harus bayar pajak. Bahwa wajib pajak kehilangan haknya untuk melakukan pengkreditan pajak-pajak yang dibayarkan terlebih dahulu; [3.9] Menimbang bahwa Pemerintah menyadari bahwa yang akan diuji adalah terbatas pada apakah suatu Undang-Undang, sebagian atau seluruhnya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak; khususnya apabila pengujian yang dimohonkan adalah pengujian isi atau muatan Undang-Undang, atau yang disebut sebagai pengujian materiil, seperti permohonan pengujian yang sedang diajukan oleh Pemohon. 155 Rumusan Undang-Undang pada umumnya lebih memusatkan perhatian pada kerangka dan garis besar kebijakan yang bersifat mendasar dalam menjalankan roda dan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Pengaturan yang lebih lanjut dari suatu kebijakan dalam Undang-Undang diatur oleh Pemerintah atau lembaga pelaksana Undang-Undang lainnya dalam bentuk peraturan perundang- undangan yang lebih rendah. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Namun karena kewenangan legislatif itu pada intinya ada di tangan rakyat yang berdaulat maka kewenangan untuk membentuk peraturan pelaksana Undang-Undang juga harus dipahami berasal dari rakyat. Untuk itu Pemerintah dan lembaga pelaksana Undang-Undang lainnya tidak menetapkan sesuatu peraturan perundang-undangan apapun kecuali atas dasar perintah atau delegasi kewenangan mengatur yang diberikan oleh DPR melalui Undang-Undang. Dapat dipahami bersama UU 36/2008 juga dibuat oleh DPR yang merupakan representasi dari seluruh warga negara bersama dengan Pemerintah yang telah menyepakati adanya pendelegasian kewenangan atributif kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang termasuk melalui pasal-pasal yang saat ini diajukan pengujian materinya; UU 36/2008 juga sama sekali tidak memuat suatu larangan ataupun pengurangan hak dari wakil-wakil Pemohon di DPR untuk mengatur mengenai pajak. Oleh karena itu sangat tidak beralasan apabila Pemohon menyatakan bahwa pasal- pasal UU 36/2008 yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Oleh karena itu pelimpahan wewenang lebih lanjut oleh UU 36/2008 in casu tentang pengaturan perpajakan adalah norma yang merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang yang tidak dapat diuji kecuali dalam pembahasannya terdapat muatan yang bersifat sewenang-wenang ( willekeur ) dan melampaui kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang yang berlaku atau semena-mena ( detournement de pouvoir ); [3.10] Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, Pemerintah mengajukan Ahli yang memberikan keterangan pada pokoknya sebagai berikut: 156 1. Ahli Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H. Ø bahwa pendelegasian wewenang merupakan hal yang lazim sekali apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU 36/2008. Pendelegasian di sini bukan pendelegasian penetapan tarif karena tarifnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU 36/2008, yang didelegasikan itu adalah suatu diskresi. Konsep diskresi itu karena ada kata “dapat”, jadi dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara kalau kewenangan itu diawali dengan kata “dapat” itu menunjukkan diskresi. Bagi yang berwenang dalam bidang ini mempunyai pilihan untuk menentukan isi yang berkaitan dengan tarif, akan tetapi di sini bukan delegasi blanko, karena ada batasannya. Sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi, sebetulnya delegasi ini tidak melanggar ketentuan UUD 1945, sedangkan yang dipermasalahkan oleh Pemohon terhadap PP Nomor 131 Tahun 2000, dalam hal ini yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 adalah Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi. Jadi tidak pada tempatnya kalau mempermasalahkan konstitusionalitas PP. Persoalan PP bukan persoalan konstitusionalitas tetapi persoalan legalitas, dan parameternya adalah Undang-Undang dan bukan parameter UUD 1945;
Ahli Drs. A. Anshari Ritonga, S.H., M.H. Ø bahwa sekarang pendelegasian yang diberikan dalam Undang-Undang semua tercantum dalam pasal-pasal tersebut sesuai dengan fungsi DPR. Pasal 20 UUD 1945 menyatakan bahwa DPR mempunyai hak budget dan mempunyai hak legislasi, atau sebagai pembentuk Undang-Undang. Pelaksanaan kewenangan DPR untuk membentuk Undang-Undang tentu sudah didasarkan pada kajian atas segala dampak dan kemungkinan, sehingga dilaksanakanlah pendelegasian tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 ( sic ). Oleh karena itu adanya pendelegasian wewenang dari Undang-Undang kepada Pemerintah untuk menetapkan melalui Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri Keuangan, sebenarnya sudah sejalan dengan norma hukum atau sumber hukum dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia;
Ahli Prof. Dr. Gunadi, M.Sc. Ak. Ø bahwa pembuatan peraturan untuk berbagai masalah memerlukan fleksibilitas tinggi, kesigapan dan kecepatan bertindak, walaupun pada umumnya Undang- 157 Undang Pajak yang disusun bagi wajib pajak, transaksi kena pajak, tarif pajak, sanksi dan pemungutan. Namun berdasar delegasi dalam konstitusi terutama Undang-Undang Pajak itu sendiri lembaga eksekutif dapat membuat peraturan pelaksanaan; Ø bahwa yang dapat diatur termasuk ketentuan detail berdasar delegasi Undang- Undang, prosedur dan tata cara administrasi untuk menjalankan ketentuan Undang- Undang; Ø bahwa setelah delegasi pengaturan demikian, sepertinya menunjukkan adanya suatu ketidakpastian ( indefiniteness ) atau kekuranglengkapan ( incompleteness ) dalam pengaturan perpajakan. Kekuranglengkapan ini umumnya dapat dianggap sebagai suatu intentional policy atau kebijakan yang diinginkan oleh para pembuat Undang-Undang dan proses demikian disebut flying in the general clause. Ini berlaku baik di negara penganut common law maupun di negara penganut sistem kontinental; Ø bahwa pendelegasian pengaturan schedule yang bersifat final dalam bentuk Peraturan Pemerintah ini sekurang-kurangnya berdasarkan prinsip ekspediensi, yaitu ekspediensi pengaturan, kepastian penerimaan dan hukum pemajakan, kesederhanaan dan kemudahan, murahnya biaya transportasi dan kekuatan perpajakan, serta kenyamanan bayar pajak dapat dibenarkan dan karenanya dapat dianggap cukup valid, walaupun mungkin dirasa belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip keadilan;
Ahli Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., LL.M. Ø bahwa bila pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum akan membawa akibat tidak ada dasar hukum yang memadai bagi Pemerintah untuk mengenakan pajak penghasilan bagi wajib pajak, dan akibat lanjutannya merosotnya pendapatan negara dari sektor pajak. Hal itu akan membuat kemampuan pemerintah untuk memenuhi hak-hak asasi manusia, yaitu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya menjadi merosot pula. Ini akan membawa akibat terabaikannya bahkan terlanggarnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat;
Ahli Prof. Anna Erliyana, S.H., M.H. Ø bahwa hukum pajak itu masuk dalam kelompok hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara penguasa dengan rakyatnya. Hal yang sangat menarik, di 158 situ yang disoroti adalah macam kewenangan hukum publik di bidang legislatif dan eksekutif. Legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden) selalu bekerja sama, dalam arti tidak ada satu perundang-undangan yang diterbitkan oleh lembaga legislatif yang dapat dilaksanakan tanpa bantuan eksekutif. Legislatif membentuk Undang-Undang dengan menciptakan hukum baru, sedangkan eksekutif, misalnya menteri, dapat menciptakan hukum baru yang masih bersifat umum dan abstrak; [3.11] Menimbang bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, bukan menguji Peraturan Pemerintah. Oleh karena permohonan Pemohon adalah keberatan terhadap Peraturan Pemerintah maka permohonan Pemohon yang berkenaan dengan Peraturan Pemerintah tidak termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi; Pendapat Mahkamah [3.12] Menimbang bahwa Mahkamah telah memeriksa dan menilai bukti-bukti surat serta keterangan ahli dari Pemohon dan Pemerintah serta kesimpulan Pemohon dan Pemerintah yang diterima Mahkamah, maka Mahkamah akan mempertimbangkan dua isu hukum yaitu: • Apakah pendelegasian wewenang penetapan pajak oleh Undang-Undang kepada peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan hukum; • Apakah kerugian konstitusional Pemohon diakibatkan oleh bentuk peraturannya yang bukan Undang-Undang ataukah karena substansi peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang; [3.13] Menimbang bahwa sebelum menjawab dua isu pokok tersebut di atas Mahkamah akan mengemukakan tugas dan kewajiban negara kesejahteraan ( welfare state ) atau negara hukum materiil serta dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat. Bahwa fungsi hukum dalam upaya mewujudkan kesejahteraan umum telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang 159 berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia ”; Terdapat dua hal penting dalam kutipan tersebut di atas, yaitu prinsip ‘ the rule of law ’ dan prinsip ‘fungsi hukum’ ( legal function ). Masalahnya adalah bagaimana dalam rangka mencapai tujuan tersebut di atas, kedua prinsip tersebut dapat berjalan seimbang, artinya dalam masyarakat yang serba kompleks ini prinsip the rule of law tetap menjadi landasan dalam upaya mencapai tujuan negara yang harus memenuhi kepentingan umum secara efisien, cepat dan pantas ( sensibly ). The welfare and regulatory state is state commited to programs, government is a problem solver, as well as the guardian of law. Kenyataannya, semakin negara dapat memenuhi tuntutan ( demands) masyarakat semakin bertambah pula tuntutan masyarakat yang acap kali tidak seimbang dengan kemampuan negara untuk memenuhinya ( state action creates expectation, demands increase faster than the systems’s ability to meet them ). Harapan masyarakat tumbuh secara konstan. Pola pertumbuhan ekspektasi masyarakat seperti halnya pola pertumbuhan kepentingan sangat sulit berubah, hal ini seringkali menuju pada situasi keadaan kritis sehingga ‘ modern welfare state is ungovernable’ . Meningkatnya harapan masyarakat secara eksesif tidak selalu dapat dipenuhi oleh negara, seiring pula dengan tidak selalu tersedianya kebutuhan negara akan peraturan perundang-undangan sebagai sarana dan landasan pemenuhan tuntutan masyarakat tersebut. Seringkali lahir suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah mendahului lahirnya Undang-Undang, misalnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum telah lahir lebih dahulu dari Undang-Undang tentang Hak Milik. Padahal baik ketentuan pembebasan tanah maupun pengadaan tanah seringkali menyangkut hak milik atas tanah yang seharusnya menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria. Hal itu semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah ( delegated regulations ), maka tercapainya tujuan ( doelmatigheid ) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan 160 dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum; [3.14] Menimbang bahwa ketentuan hukum dalam Peraturan Pemerintah harus tetap memenuhi asas-asas pemerintahan yang baik dan bersih sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, antara lain tidak boleh melanggar asas keterbukaan, kepastian hukum, dan keadilan. Bahwa kerugian yang Pemohon alami dengan diberikannya kewenangan oleh UU 36/2008 kepada Pemerintah, Menteri Keuangan, dan Direktur Jenderal Pajak adalah karena Pemohon sebagai warga negara (melalui DPR) tidak dapat menentukan pengaturan atas pajak sebagaimana yang dikehendaki oleh UUD 1945 tidak beralasan hukum. Pembuatan Peraturan Pemerintah pun tidak lepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Pemohon sendiri sebagai warga negara tidak dapat langsung menentukan pajaknya, karena yang mempunyai wewenang legislasi adalah Dewan Perwakilan Rakyat; [3.15] Menimbang bahwa atas dasar pemikiran demikian, maka Mahkamah menilai: __ [3.15.1] Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah ( legal policy ), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang- Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Dengan demikian maka pasal-pasal yang diuji konstitusionalnya tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, sehingga dalil Pemohon tidak beralasan hukum. [3.15.2] Bahwa isu hukum kerugian konstitusional terkait dengan pengenaan pajak sebagai akibat pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak), tidaklah beralasan hukum, karena pelimpahan pengaturan tersebut merupakan delegasi kewenangan yang sah. Selain itu, pengujian terhadap peraturan tersebut bukanlah kewenangan konstitusional Mahkamah. Memang tidak mustahil dapat terjadi pada 161 suatu negara yang pemerintahannya otoriter, muncul Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang bertentangan dengan UUD, sehingga pasal yang bersifat demokratis dibelenggu oleh ketentuan yang lebih rendah yang otoriter ( nucleus of norms, be surrounded by corona of highly oppressive norms, imposed upon the people as a whole). Misalnya, kebebasan pers seperti yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 dapat diberangus dengan Keputusan Menteri jika kepentingan penguasa terganggu ( press censorship ). Namun di dalam tata hukum Indonesia sudah ada mekanisme judicial review , sehingga seandainya pun terdapat Peraturan Pemerintah yang mengandung ketidakadilan sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, maka bagi Pemohon sebagai warga negara yang dirugikan terbuka peluang untuk mengajukan pengujian materiil ( judicial review ) kepada Mahkamah Agung; [3.16] Menimbang pula bahwa Mahkamah sependapat dengan ahli Philipus M Hadjon yang menyatakan bahwa pendelegasian wewenang merupakan hal yang wajar apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU 36/2008. Pendelegasian di sini bukan pendelegasian penetapan tarif karena tarifnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU 36/2008, yang didelegasikan adalah suatu diskresi. Bagi Pemerintah yang memperoleh kewenangan untuk memilih kebijakan yang berkaitan dengan tarif melalui delegasi, akan tetapi bukan delegasi blanko, karena ada batasannya. Sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi, sebetulnya delegasi ini tidak melanggar ketentuan UUD 1945. Dengan demikian pasal-pasal yang diujikan konstitusionalitasnya tidak bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 28G ayat (1) sehingga dalil-dalil Pemohon tidak beralasan hukum; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan dan penilaian hukum pada paragraf [3.12] dan paragraf [3.15] , maka menurut Mahkamah dalil Pemohon tidak beralasan hukum;
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing) ; 162 [4.3] Dalil-dalil Pemohon tidak beralasan hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, M. Arsyad Sanusi, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota pada hari Rabu tanggal tiga bulan Maret tahun dua ribu sepuluh, dan diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari Kamis tanggal sebelas bulan Maret tahun dua ribu sepuluh, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Ina Zuchriyah Tjando sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan tanpa dihadiri oleh Dewan Perwakilan Rakyat. KETUA, ttd. Moh. Mahfud MD. ANGGOTA-ANGGOTA, ttd Achmad Sodiki ttd M. Akil Mochtar 163 ttd. Maria Farida Indrati ttd Muhammad Alim ttd Harjono ttd tt Ahmad Fadlil Sumadi ttd Hamdan Zoelva Panitera Pengganti ttd Ina Zuchriyah Tjando
Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006.
Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tah ...
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar ...
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Pengujian UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara [Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12] ...
Relevan terhadap
(1) Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan cara menjual atau menyewakan Hak Manfaat atas Barang Milik Negara atau cara lain yang sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN. B. Bahwa dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, khususnya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, Pasal 11 ayat (1), Menteri Keuangan setelah meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah Republik Indonesia telah menjaminkan aset negara senilai triliunan rupiah sebagai alas/jaminan ( underlying asset ) penerbitan SBSN Pemerintah Republik Indonesia. C. Bahwa tindakan Pemerintah c.q. Menteri Keuangan tersebut telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia dan pengelola pendidikan tinggi, maupun dan juga merugikan seluruh warga negara Republik Indonesia, karena dengan diberlakukannya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, maka Negara tidak lagi mampu sepenuhnya memberikan jaminan layanan, khususnya layanan di bidang pendidikan tinggi, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang selanjutnya dituangkan secara rinci dalam pasal- pasal sebagai berikut: 9 Pasal 28H ayat (2) ”Setiap warga negara berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai _persamaan dan keadilan”; _ Pasal 34 ayat (3) ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum _yang layak”; _ D. Dengan dalih bahwa pemindahtanganan Barang Milik (Aset) Negara tersebut bersifat khusus, yaitu, antara lain:
penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara;
tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan ( legal title ) Barang Milik Negara; dan (3) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan, sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, Pemerintah telah menganggap tidak melakukan pelanggaran dan merasa bahwa aset yang dijadikan alas penerbitan SBSN tersebut tetap aman di tangan Pemerintah dan bebas dari ancaman (penyitaan) dari pihak lain; Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan bahwa materi muatan dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b; Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah Perubahan Kedua yang disahkan pada tanggal 18 Agustus tahun 2000 Pasal 28H ayat (2).
Menyatakan bahwa materi muatan dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b; Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Demikianlah permohonan Pemohon, kiranya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat segera memeriksa dan memutus yang seadil-adilnya. 10 [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Bukti P-4 : Fotokopi Referensi Surat Kabar Harian Republika tanggal 30 Juni 2009, tanggal 16 November 2009, tanggal 28 November 2009, tanggal 2 Desember 2009;
Bukti P-5 : Fotokopi Akta Notaris Nomor 40, tanggal 16 Januari 1997 tentang Pendirian/Anggaran Dasar Yayasan Patria Artha;
Bukti P-6 : Fotokopi Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 106/D/O/2009, tanggal 21 Juli 2009 tentang Pemberian Ijin Penyelenggaraan Program-Program Baru dan Penggabungan STIE Patria Artha di Makassar Dengan STMIK Boalemo di Makassar Menjadi Universitas Patria Artha di Makassar Diselenggarakan Oleh Yayasan Patria Artha di Makassar;
Bukti P-7 : Surat Kuasa Pemohon kepada Kuasa Hukum bertanggal 1 November 2009;
Bukti P-8 : Fotokopi Berita Acara Pengambilan Sumpah Pengacara Praktek, tanggal 4 Januari 1997 atas nama Muh. Faisal Silenang, SH., dan Berita Acara Pengambilan Sumpah Pengacara Praktek, tanggal 19 Maret 1996 atas nama Said, SH;
Bukti P-9 : Fotokopi Kartu Anggota Peradi atas nama Muh. Faisal Silenang, SH., dan Said, SH; Selain itu, Pemohon juga telah mengajukan dua orang ahli, yaitu Prof. Dr. Muchsan dan Drs. Siswo Sujanto, DEA, yang memberi keterangan di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 16 Februari 2010, sebagai berikut:
Ahli Prof. Dr. Muchsan • Bahwa kalau melihat negara sebagai penguasa, berarti tidak diperbolehkan Negara menggunakan kaidah-kaidah hukum privat/perdata di dalam 11 memperoleh benda-benda tersebut. Misalnya di dalam rangka memperoleh tanah, benda-benda yang berbentuk tanah, negara hanya disediakan empat lembaga hukum, yaitu pencabutan, pembebasan, pelepasan, dan pengadaan yang dasar hukumnya berbeda-beda. Sedangkan untuk benda non tanah, negara disediakan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 dengan pelelangan, dengan penunjukkan langsung atau pengadaan langsung. • Bahwa semangat dari Undang-Undang Dasar 1945, negara dalam hal ini diberi kedudukan sebagai lembaga publik sehingga dalam rangka memperoleh benda itu sebetulnya tertutup menggunakan hukum perdata, karena kalau negara menggunakan hukum perdata maka kedudukan yuridis negara sebagai penguasa bergeser, yaitu dapat menjadi pemilik atau penyewa, atau mungkin pengguna hak pakai dan sebagainya. Dengan demikian dengan semangat tersebut, kalau pasal atau Undang-Undang bertentangan dengan semangat atau jiwa UUD 1945 maka dengan sendirinya merupakan suatu produk hukum yang tidak sesuai dengan semangat atau jiwa Undang-Undang Dasar 1945; • Bahwa terkait dengan Pasal 28H, yang namanya jiwa atau semangat adalah yang menghidupi seluruh pasal demi pasal, sehingga semangat tersebut harus termanifesir di dalam pasal demi pasalnya. Dengan demikian semua pasal yang ada di dalam Undang-Undang Dasar 1945 harus terjiwai dengan semangat ini; • Bahwa sehubungan dengan kerugian secara in concreto , sebagai ahli tidak dapat melihat atau menjabarkannya. Artinya, kerugian secara konkret mungkin kerugian moril atau imateriil dari pihak Pemohon, tetapi segala sesuatu yang bertentangan dengan semangat atau jiwa suatu Undang-Undang ataupun Undang-Undang Dasar itu sudah barang tentu merugikan, artinya mungkin merugikan seluruh bangsa Indonesia. Misalnya kalau semangat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah ekonomi kerakyatan, tetapi dalam kenyataannya ekonomi liberal maka dengan sendirinya akan merugikan seluruh bangsa Indonesia. Tidak hanya individual tetapi merupakan suatu universal dari suatu nation ; • Bahwa bertumpu pada statement saksi maka jika suatu benda negara dibebani dengan hak-hak keperdataan, yang menurut prinsip dalam publik domain tidak diperkenankan sebab ini merupakan suatu benda publik yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Padahal dengan dibebani surat 12 berharga dan sebagainya, yang dasarnya adalah perjanjian maka prinsip tersebut tidak diperkenankan dalam publik domain; • Bahwa menafsirkan Pasal 33 ayat (3) terutama mengenai tanah harus dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960), sebab Undang-Undang tersebut sebagai pelaksana dari Pasal 33 ayat (3), sehingga mestinya Undang-Undang Pokok Pertanahan bukan agraria, sebab kalau agraria maka termasuk pertambangan dan sebagainya; • Bahwa khusus mengenai tanah terdapat beberapa prinsip, pertama , hak menguasai negara ada di atas segala-galanya sehingga meskipun terdapat hak milik perorangan yang penuh, namun tetap dikuasai oleh negara. Kedua , semua benda termasuk tanah itu berfungsi sosial ( vide Pasal 6 UU 5/1960). Sehingga kepentingan umum, kepentingan negara diutamakan dari pada kepentingan individu-individu; • Bahwa mengenai kemanfaatan, seharusnya dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, hal itu sudah final. Artinya, hasil dari penggunaan benda merupakan kepentingan umum yang bermanfaat bagi bangsa atau bagi negara; • Bahwa kata kepentingan umum itu juga include manfaat, kegunaannya untuk bangsa ini, sehingga kalau SBSN akhirnya atau bermuara kepada APBN atau APBD, padahal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sumber keuangan negara di antaranya ada pajak dan sebagainya namun tidak ada kata-kata atau suatu ketentuan SBSN merupakan sumber pendapatan negara. Bisa jadi masuk dalam pendapatan tetapi bukan suatu prinsip sehingga tidak dapat diandalkan sebagai suatu pendapatan yang pasti; • Bahwa kerugian dalam hal ini bukan kerugian perdata, karena peradilan Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan publik bukan peradilan perdata, sehingga masalah kerugian tidak seperti dalam perdata harus jelas moril, imateriil dan sebagainya. Kalau suatu hal yang bertentangan dengan semangat atau jiwa Undang-Undang Dasar maka merugikan seluruh bangsa, terutama untuk generasi penerus, dengan demikian apabila kerugian dijelaskan secara rinci. Hal itu merupakan kerugian dalam privat recht , namun karena Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan publik, maka yang digunakan adalah hukum publik; 13 2. Ahli Drs. Siswo Sujanto, DEA. • Bahwa pemikiran atau konsepsi yang dipahami oleh para pejabat pemerintahan atau oleh para politisi akan berpengaruh terhadap pemikiran/kompetensi dalam penyusunan produk hukum. Terkait dengan itu, pemahaman terhadap konsep peran negara dalam penyusunan produk hukum oleh para pejabat pemerintah maupun para politisi perlu diperjelas; • Bahwa melihat peran dan fungsi kewajiban negara terhadap warga negaranya didasarkan pada dalil atau landasan pemikiran baik filosofis, konsepsi teoritik maupun landasan konstitusional sebagai berikut:
Di dalam landasan filosofis, negara melindungi dan mensejahterakan seluruh rakyatnya. Oleh karena itu, negara harus memiliki sarana yang memadai dan terjamin agar tugas atau fungsi kewajibannya dapat terlaksana dengan baik;
Dalam konsep teoritik tentang negara, terlepas dari sistem ekonomi yang dianut suatu negara yaitu sistem kapitalis yang merupakan perwujudan falsafah liberalisme yang mengutamakan kepentingan individu maupun sistem sosialis yang bersifat etatis dengan menyerahkan semua kekuasaan di bidang perekonomian di tangan Pemerintah, fungsi Pemerintah dalam menjamin terselengaranya kebebasaan maupun kesejahteraan masyarakat adalah sangat penting. Dalam sistem perekonomian kapitalis yang memberikan kebebasaan kepada masyarakat untuk melakukan produksi, konsumsi dan distribusi diperlukan peran Pemerintah untuk melakukan pengaturan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk penyediaan barang-barang yang berupa kebutuhan dasar masyarakat yang kemudian di kenal dengan istilah public goods. Kebutuhan dasar tersebut antara lain adalah perlindungan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, keadilan, pekerjaan umum. Sementara itu, dalam sistem perekonomian sosialis Pemerintah atau negara bersifat omnipoten , artinya fungsi Pemerintah atau negara, bukan hanya terbatas pada penyediaan barang-barang kebutuhan dasar melainkan juga kebutuhan lainnya yang sebenarnya dapat disediakan oleh masyarakat melalui mekanisme pasar;
Bahwa dalam pandangan yang lebih modern sebagaimana disampaikan oleh seorang ahli keuangan negara yaitu Richard Maskrid fungsi Pemerintah melalui kebijakan anggaran belanja negara adalah menjamin 14 keseimbangan dalam pengalokasian sumber daya, menjamin keseimbangan dalam pembagian pendapatan dan kekayaan dan menjamin terselenggaranya stabilitas ekonomi nasional;
Bahwa kalau memperhatikan sistem pemerintahan Indonesia. Peran dan fungsi negara sebagai dikemukakan dalam teori di atas, dengan jelas dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian secara rinci dituangkan dalam berbagai pasalnya yang merupakan suatu landasan konstitusional, antara lain menyatakan, “ kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”, dengan demikian peran atau tugas Pemerintah Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Peran dan fungsi pemerintah atau negara tersebut antara lain tercermin dalam Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945, termasuk setelah dilakukan perubahan; • Bahwa selanjutnya untuk merealisasikan peran dan fungsi Pemerintah, diperlukan adanya jaminan sekurang-kurangnya dalam dua hal, yaitu Pemerintah selaku otoritas dan Pemerintah sebagai individu. Khusus Pemerintah selaku otoritas, pertama , Pemerintah yang menjamin kepentingan masyarakat atau public interest harus memiliki kewenangan secara politik dan hukum untuk dapat menjamin terwujudnya peran dan fungsinya. Kedua , Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat harus memiliki jaminan bahwa asetnya yang merupakan instrumen untuk mendukung terwujudnya peran dan fungsi Pemerintah tersebut selalu aman ditangannya dan tidak mendapat ancaman dari pihak lain; 15 [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Pemerintah yang diwakili oleh Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, menyampaikan keterangan tertulis, sebagai berikut: Sebelum Pemerintah menanggapi permohonan pengujian Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) terhadap Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang diajukan Pemohon, maka Pemerintah perlu menyampaikan sejak awal bahwa permohonan ini sudah seharusnya ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi; Pemerintah bahkan dapat menyatakan bahwa permohonan a quo tidak layak untuk diajukan Pemohon ke Mahkamah Konstitusi, karena Pemohon tidak benar dan tidak tepat dalam menggunakan maupun menuliskan pasal-pasal penguji dalam perkara Constitutional Review ini. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang ditulis dalam permohonan Pemohon yaitu ” Setiap warga negara berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan ”, yang tidak sesuai dengan bunyi teks Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebenarnya yang menyatakan ” Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan ”; Kekeliruan Pemohon berlanjut pada penulisan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang dinyatakannya yaitu ” Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum yang layak ”, yang tidak sesuai dengan teks sebenarnya yaitu ” Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak ”; Pemerintah berpendapat bahwa kesalahan pengutipan bunyi pasal-pasal konstitusi oleh Pemohon ini merupakan kesalahan fatal yang sudah cukup untuk menunjukkan ketidakseriusan Pemohon dalam mengajukan permohonan a quo ; Walaupun persidangan ini didasarkan pada suatu kekeliruan nyata yang dilakukan oleh Pemohon, namun sesuai dengan agenda persidangan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah, Pemerintah tetap serius menanggapi permohonan yang diajukan Pemohon ini, terutama untuk memberikan penjelasan mengenai 16 tidak adanya pertentangan antara UU SBSN dengan UUD 1945, setidak-tidaknya untuk meluruskan kekeliruan pemikiran dan pemahaman Pemohon mengenai penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN); Setelah Pemerintah membaca permohonan Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dianggap telah merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, atau setidak-tidaknya Pemohon mengalami kerugian yang bersifat potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, maka Pemerintah secara tegas menyatakan bahwa permohonan tersebut didasarkan pada alasan yang tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur ( obscuur libel ), utamanya dalam mengkonstruksikan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. Pernyataan Pemerintah di atas didasarkan pada pertanyaan yang harus dijelaskan lebih dahulu mengenai siapa yang sebenarnya dirugikan atas keberlakuan Undang-Undang a quo , khususnya terhadap penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset Surat Berharga Syariah Negara? Apakah hanya Pemohon saja, yayasan yang di ketuainya, dirinya selaku Pembina Universitas Patria Artha Makassar, atau Universitas Patria Artha Makassar? Hal ini perlu dipertanyakan karena Pemohon tidak menjelaskan secara tegas dalam permohonannya tentang siapa yang sebenarnya dirugikan. Dalam permohonannya, Pemohon hanya menjelaskan kedudukan Pemohon selaku perorangan warga negara Indonesia yang bertindak selaku ketua yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, pelatihan, penerapan, dan pengembangan Ilmu Keuangan Negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dengan berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Pemohon tidak dapat menjelaskan dalam permohonannya, underlying asset SBSN yang mana, sebagaimana kriteria berdasarkan Pasal 10 ayat (2) huruf a dan huruf b UU SBSN, yang dipermasalahkannya. Pemohon tidak dapat menerangkan dengan jelas kriteria BMN yang mana dari aset SBSN yang dirasakan merugikan dirinya, karena tentunya harus ada penjelasan yang lebih 17 terperinci dan mendasar dari Pemohon atas adanya kriteria aset BMN berdasarkan huruf a dan huruf b tersebut, apakah mempermasalahkan huruf a dan huruf b, huruf a saja, atau huruf b saja. Namun jika melihat pada hasil sidang panel terdahulu dalam perkara ini, tampaknya Pemohon lebih memfokuskan permohonan pengujian ini pada underlying asset berupa tanah dan/atau bangunan (huruf a saja) yang digunakan sebagai aset SBSN. Seandainya benar quod non Pemohon hanya mempermasalahkan kriteria BMN berdasarkan Pasal 10 ayat (2) huruf a saja, maka permohonan terhadap Pasal 10 ayat (2) huruf b yang diajukan hanya untuk sekedar ikut diuji saja tanpa disertai alasan keberatannya, membuat Pemerintah semakin yakin bahwa permohonan ini patut untuk dinyatakan ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam menjawab permohonan ini, Pemerintah menggunakan teks sebenarnya dari pasal-pasal konstitusi yaitu Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai pasal penguji yang berbunyi: “ Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan ”. Kalau pun Pemohon menggunakan pasal dimaksud dan menyebutkan telah terjadi kerugian yang dialaminya terkait dengan jabatannya selaku pimpinan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan tinggi, maka Pemerintah mempertanyakan maksud Pemohon menggunakan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 ini sebagai dasar baginya untuk mempermasalahkan digunakannya BMN sebagai underlying asset penerbitan SBSN dengan “kemudahan” dan “perlakuan khusus” untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai “persamaan dan keadilan” terhadap peristiwa yang pernah dialami atau yang berpotensi dialami oleh Pemohon terkait dengan BMN yang menjadi underlying asset SBSN. Pemerintah perlu mengutip komentar Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. atas Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 ini yaitu bahwa pasal ini mengatur tentang hak untuk mendapatkan perlakuan yang khusus yang biasa dikenal dengan affirmative action sebagai pengecualian atas ketentuan hak asasi manusia yang antidiskriminasi dengan pertimbangan bahwa orang atau kelompok orang yang bersangkutan berada dalam keadaan yang tertinggal dari perkembangan masyarakat pada umumnya, sehingga kepadanya dibutuhkan tindakan dan kebijakan yang bersifat khusus. 18 Lebih lanjut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. menyatakan bahwa perlakuan yang bersifat khusus ini sebenarnya diskriminatif juga, namun dalam makna yang positif untuk menolong agar yang bersangkutan dapat mengejar ketertinggalan. Diskriminasi dalam kategori ini disebut kategori diskriminasi positif atau biasa dinamakan affirmative action sebagai pelaksanaan affirmative policy . Hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan khusus yang demikian dipandang juga sebagai hak asasi manusia. Mahkamah Konstitusi pun telah berpendapat mengenai adanya affirmative action dalam pertimbangan putusan perkara Nomor 116/PUU-VII/2009 yang mengakui adanya perlakuan khusus bagi masyarakat asli Papua untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dengan cara diangkat, selain melalui proses pemilihan, yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang. Perlakuan khusus ini untuk melaksanakan affirmative policy yaitu pengistimewaan untuk sementara waktu yang memberikan peluang bagi masyarakat asli Papua memiliki wakil di DPRP melalui pengangkatan guna mendorong orang asli Papua untuk terlibat baik dalam pemikiran maupun tindakan bagi kepentingan Provinsi Papua dengan harapan akan terjadi perubahan kualitas orang asli Papua dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Guna memberikan tambahan penjelasan mengenai affirmative action dan __ affirmative policy , Pemerintah dapat menggambarkan usaha untuk pencapaian kesetaraan kesempatan dengan pemberian perlakuan khusus yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang mewajibkan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau Perusahaan Angkutan Umum memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit. Dengan adanya aturan tersebut, Pemerintah berpendapat, sangat berlebihan jika ada orang “normal” yang tidak temasuk ke dalam kategori khusus seperti di atas yang mempermasalahkannya karena merasa haknya terkurangi atau berpotensi terkurangi akibat dibuatnya fasilitas untuk orang-orang khusus 19 tersebut misalnya jalur jalan yang khusus dibuat tidak terjal bagi penyandang cacat pengguna kursi roda. Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat, bahwa selain Pemohon tidak tepat dalam menggunakan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai pasal penguji dalam perkara ini, Pemohon juga tidak dapat menjelaskan perlakuan khusus ( affirmative action ) semacam apa yang diharapkan Pemohon yang telah terkurangi atau berpotensi terkurangi akibat digunakannya BMN sebagai underlying asset SBSN berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. Begitu juga dengan penggunaan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 sebagai pasal penguji yang menyatakan “ Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak ”, karena justru SBSN diterbitkan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) termasuk membiayai pembangunan proyek, yang termasuk di dalamnya, langsung atau tidak langsung, untuk penyediaan fasilitas umum, fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pendidikan. Mengutip komentar Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. atas Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 dapat disampaikan intinya bahwa pada pasal ini terdapat kewajiban Negara, dalam hal bukan hanya Pemerintah (eksekutif) saja, tetapi juga legislatif dan yudikatif untuk memenuhi kewajiban menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas pelayanan umum yang layak. Jika dikaitkan dengan tujuan penerbitan SBSN yang telah disampaikan di atas, Pemerintah jelas telah melakukan salah satu upaya untuk dapat memenuhi kewajibannya dalam menyediakan fasilitas kesehatan, fasilitas pelayanan umum yang layak dengan cara menghimpun dana investor melalui penerbitan SBSN. Dalam kesempatan yang mulia ini, Pemerintah merasa perlu untuk menyampaikan bahwa selama beberapa tahun anggaran terakhir ini, pemenuhan pembiayaan defisit APBN dilakukan melalui penerbitan Surat Berharga Negara yang di dalamnya termasuk SBSN atau Sukuk Negara. Hal ini menunjukkan bahwa peran SBSN sebagai sumber pembiayaan APBN semakin menjadi andalan Pemerintah. Pernyataan Pemerintah ini dapat menjelaskan bahwa penerbitan SBSN dengan menggunakan BMN sebagai underlying asset sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, sehingga menjadi suatu hal yang berlebihan jika Pemohon justru merasa ada kerugian. 20 Terhadap permohonan ini, Pemerintah hanya dapat menduga-duga seandainya benar quod non Pemohon telah mengalami suatu peristiwa berkaitan dengan BMN yang menyebabkannya tidak dapat memanfaatkan BMN, maka hal itu bukanlah alasan yang tepat dan kuat untuk mengajukan permohonan pengujian UU SBSN di Mahkamah Konstitusi, karena bisa jadi peristiwa yang dialami Pemohon hanyalah masalah penerapan peraturan atau ketentuan lain, bukan UU SBSN, khususnya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. Pada penjelasan ini Pemerintah dapat menyimpulkan bahwa Pemohon telah salah dan keliru dalam memahami ketentuan UU SBSN, karena Pemohon telah membaca dan memahami Undang-Undang tersebut tidak menyeluruh, tidak komprehensif, tetapi hanya sebagian-sebagian, parsial. Oleh karena itu, Pemerintah memohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima. Walaupun Pemerintah telah berpendapat bahwa permohonan ini sebagai permohonan yang tidak jelas ( obscuur libel ), namun dalam persidangan yang mulia ini, Pemerintah berkewajiban dan sangat berkepentingan untuk memberikan penjelasan mengenai keberadaan UU SBSN khususnya ketentuan mengenai penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN, agar dapat menjadi sarana pencerahan bagi masyarakat umum yang menyaksikan dan menghadiri persidangan ini, termasuk Pemohon. Sebagai konsep ekonomi yang berbasis syariah, penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara mutlak harus menggunakan underlying transaction yang antara lain dapat berupa jual beli atau sewa menyewa atas “hak manfaat” BMN, jasa ( services ), pembangunan proyek atau objek pembiayaan lainnya. Penggunaan underlying transaction tersebut dimaksudkan agar terhindar dari adanya unsur-unsur (1) Riba , yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang ( money for money );
Maysir , yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan
Gharar , yaitu unsur ketidakpastian terkait dengan penyerahan, kualitas, dan kuantitas. __ Barang Milik Negara (BMN) yang akan digunakan sebagai Aset SBSN dapat berupa tanah dan/atau bangunan termasuk proyek yang akan atau sedang 21 dibangun yang harus memiliki nilai ekonomis, dalam kondisi baik/layak, telah tercatat dalam Dokumen Penatausahaan BMN, bukan merupakan alat utama sistem persenjataan, tidak sedang dalam sengketa, dan tidak sedang digunakan sebagai Aset SBSN dalam penerbitan yang lain. Pembatasan penggunaan BMN yang dapat dijadikan sebagai underlying penerbitan SBSN menunjukkan bahwa Pemerintah sangat selektif dan sangat hati- hati dalam menggunakan BMN tersebut. Di samping itu telah diatur juga dalam UU SBSN, khususnya Pasal 9 ayat (1) bahwa penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN tersebut harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPR. Ini menunjukkan bahwa Pemerintah sangat transparan dan akuntabel dalam penggunaan dan pengelolaan BMN. Penggunaan BMN sebagai aset SBSN dilakukan dengan cara Menteri Keuangan memindahtangankan Hak Manfaat atas BMN, sehingga pemindahtanganan BMN dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan BMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pengertian Hak Manfaat di Indonesia baru dikenal setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Dalam UU SBSN tersebut, Hak Manfaat didefinisikan sebagai hak untuk memiliki dan mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu dilakukan pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut. Dengan kata lain, pada saat dilakukan jual beli atau sewa menyewa atas hak manfaat BMN untuk dijadikan aset SBSN maka tidak ada perpindahan hak kepemilikan ( legal title), sehingga kepemilikan atas BMN tersebut tetap berada pada Pemerintah. Perlu disampaikan pula dalam kesempatan ini bahwa terdapat perbedaan konsep pemindahtanganan berdasarkan UU SBSN dengan UU Perbendaharaan Negara, dimana dalam hal penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN, UU SBSN merupakan lex specialist dari UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Hal ini secara tegas disebutkan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU SBSN bahwa : “ Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. _Sifat pemindahtanganan dimaksud, antara lain: _ 22 (i) Penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang _Milik Negara; _ (ii) _Tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik Negara; _ dan (iii) Tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan .” Penjelasan Pemerintah di atas, yang membandingkan UU SBSN dengan UU Perbendaharaan Negara tersebut adalah sebagai keterangan tambahan yang diharapkan dapat memberikan gambaran dan pemahaman bahwa antara kedua Undang-Undang tersebut tidak terdapat pertentangan sama sekali, khususnya mengenai penggunaan BMN sebagai underlying asset SBSN karena pemindahtanganan yang terjadi adalah pengalihan hak manfaat atas BMN saja yang hanya digunakan semata-mata untuk keperluan penerbitan SBSN, selain juga untuk meluruskan proses Constitutional Review ini karena adanya upaya Pemohon untuk menguji keberadaan UU SBSN yang dipertentangkan terhadap UU Perbendaharaan Negara pada permohonannya, yang seyogianya tidak dilakukan Pemohon di Mahkamah Konstitusi yang mulia ini. Saat ini, penerbitan SBSN terutama dilakukan dengan menggunakan struktur ijarah sale and lease back . Dalam mekanisme penerbitan SBSN dengan akad Ijarah Sale and Lease Back ini, Pemerintah wajib membeli kembali BMN yang telah dijual hak manfaatnya dan dijadikan sebagai aset SBSN, pada saat jatuh tempo atau pada saat terjadi default ( in the event of default ). Dalam hal BMN yang akan digunakan sebagai Aset SBSN sedang digunakan oleh Kementerian atau Lembaga selain Kementerian Keuangan, maka Menteri Keuangan terlebih dahulu memberitahukan kepada Kementerian atau Lembaga pengguna BMN dimaksud. Berdasarkan UU SBSN, Menteri Keuangan diberi kewenangan menggunakan BMN untuk dijadikan sebagai Aset SBSN. Penggunaan BMN sebagai Aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi pengguna BMN untuk tetap menggunakan BMN dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya, sehingga tanggung jawab untuk pengelolaan BMN ini tetap melekat pada instansi pengguna BMN sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Penggunaan BMN sebagai aset SBSN, oleh sebagian masyarakat sering dipahami sebagai jaminan ( collateral) atau gadai. Pemahaman tersebut sangatlah 23 tidak tepat. Pemerintah sejak awal telah dan akan menegaskan kembali bahwa penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN sama sekali tidak pernah ditujukan untuk menjaminkan atau menggadaikan BMN kepada investor. Secara hukum, jaminan adalah perjanjian tambahan yang harus didahului dengan perjanjian utang piutang antara para pihak. Dimana dalam jaminan, salah satu pihak dapat menyita objek jaminan apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian para pihak. Sehingga dalam jaminan ada hak salah satu pihak untuk melakukan penyitaan atas objek penjaminan. Hal ini berbeda dengan penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN yaitu bahwa BMN yang digunakan sebagai aset SBSN atau underlying asset bukanlah sebagai jaminan ( collateral) atau gadai. Hal tersebut sangat jelas diatur dalam perjanjian antara Pemerintah dan Perusahaan Penerbit SBSN bahwa BMN yang dijadikan sebagai aset SBSN tetap berada dalam penguasaan Pemerintah, sehingga tidak akan terjadi peralihan hak kepemilikan ( legal title ) atas BMN tersebut. Hal ini didukung dalam salah satu dokumen hukum penerbitan SBSN , dimana Perusahaan Penerbit SBSN sebagai Wali Amanat memberikan pernyataan sepihak untuk menjual kembali aset SBSN hanya kepada Pemerintah dalam hal Pemerintah gagal bayar ( in the event of default ) atau pada saat SBSN jatuh tempo. Dari pihak Pemerintah, dibuat pula dokumen hukum dimana Pemerintah memberikan pernyataan sepihak untuk membeli kembali aset SBSN pada saat Perusahaan Penerbit menjual aset SBSN tersebut. Dengan penjelasan Pemerintah tersebut di atas, kekhawatiran Pemohon dengan berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN dapat menjadi sebab negara tidak dapat memenuhi hak kontitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia, terutama terhadap BMN yang seandainya benar quod non digunakan oleh Pemohon atau Universitas Patria Artha Makassar dengan meminta pengujiannya terhadap Pasal 28 H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, adalah kekhawatiran Pemohon yang berlebihan saja, tanpa didasarkan pada alasan hukum yang sah. Oleh karena itu, sekali lagi Pemerintah memohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijak menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima. Pemerintah perlu juga mengemukakan bahwa akibat adanya kekeliruan pemahaman terhadap penggunaan BMN sebagai aset SBSN dan adanya 24 pengajuan permohonan uji materiil terhadap Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN akan sangat berdampak negatif terhadap kepercayaan investor, bukan hanya pada SBSN akan tetapi juga terhadap Surat Berharga Negara secara keseluruhan yang selama ini telah terbangun dengan baik. Kepercayaan investor selama ini kepada Pemerintah semakin meningkat, terbukti dari peringkat kredit rating Indonesia mengalami peningkatan. Saat ini rating Indonesia yang dikeluarkan oleh 3 (tiga) lembaga rating internasional masing-masing Moodys: Ba2, Standard &Poor: BB-, dan Fitch: BB+. Ini berarti bahwa posisi rating Indonesia hampir mencapai investment grade . Peningkatan rating tersebut antara lain merepresentasikan adanya perbaikan pengelolaan keuangan publik dan fundamental ekonomi, penurunan rasio utang terhadap PDB, pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah kondisi krisis ekonomi global, dan pengelolaan APBN yang prudent dan kredibel . Lebih lanjut, dampak negatif dari kekeliruan pemahaman terhadap penggunaan BMN sebagai aset SBSN tersebut, dan apabila terjadi pencabutan atas Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN akan dapat berakibat sulitnya Pemerintah untuk memenuhi pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang telah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk di dalamnya biaya pendidikan, kesejahteraan, kesehatan masyarakat, reformasi birokrasi, dan pembangunan infrastruktur. Di samping itu, dengan terhambatnya penerbitan SBSN oleh Pemerintah akibat dipermasalahkannya penggunaan BMN sebagai Aset SBSN, maka akan berdampak pada upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan pasar keuangan syariah di Indonesia. Hal ini mengingat SBSN merupakan instrumen investasi terutama bagi lembaga keuangan syariah seperti perbankan syariah, asuransi syariah dan reksadana syariah. Selain itu, SBSN merupakan sarana yang dapat digunakan untuk menarik investor dari negara- negara Timur Tengah yang sangat membutuhkan instrumen investasi yang sesuai dengan prinsip syariah. Dalam kesempatan ini kiranya Pemerintah juga perlu menyampaikan bahwa sampai saat ini Pemerintah telah menerbitkan Surat Berharga Negara senilai Rp979 triliun, diantaranya SBSN atau Sukuk Negara yang nilainya setara dengan Rp27,54 triliun (termasuk di dalamnya SBSN Valas sebesar USD650 juta), yang 25 dimiliki baik oleh investor dalam negeri maupun luar negeri termasuk investor dari negara-negara Timur Tengah. Apabila permohonan Pemohon tidak ditolak, maka kepercayaan investor akan runtuh, karena penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN dianggap tidak berdasarkan pada ketetapan hukum yang kuat, dan bahkan tidak menutup kemungkinan Pemerintah dapat dianggap default . Jatuhnya kepercayaan investor SBSN akan berimbas pada runtuhnya kepercayaan investor SUN dan pada gilirannya akan menghancurkan nilai SBN yang berjumlah RP979 triliun yang dimiliki oleh investor dalam dan luar negeri, baik investor institusi seperti bank, asuransi, dana pensiun, reksadana, maupun investor individu di tanah air. Situasi ini berpotensi menciptakan cross-default terhadap kewajiban negara lainnya berupa pinjaman luar negeri yang saat ini sekitar Rp640 triliun. Selanjutnya, hilangnya kepercayaan investor SBN dan kreditor pinjaman luar negeri tidak hanya akan menutup akses pembiayaan APBN, tetapi juga awal dari krisis ekonomi dan keuangan dengan magnitude yang sangat besar. Dengan demikian, ketidakpahaman terhadap konsep beberapa ketentuan yang diatur dalam UU SBSN, serta ketidakpekaan Pemohon terhadap situasi sosial politik dalam memunculkan permasalahan tersebut saat ini, sungguh merupakan gangguan yang sangat serius terhadap stabilitas politik dan ekonomi yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia secara keseluruhan. Bahwa kekhawatiran Pemohon akibat dijadikannya BMN sebagai underlying asset SBSN telah dan dapat berpotensi menyebabkan dirinya tidak dapat lagi menikmati atau memanfaatkan fasilitas milik Pemerintah dan Negara Republik Indonesia, seandainya benar quod non terutama yang digunakan oleh Pemohon atau Universitas Patria Artha Makassar, adalah kekhawatiran Pemohon yang berlebihan, tanpa didasarkan pada alasan hukum yang sah. Bahwa penerbitan SBSN yang menggunakan BMN sebagai underlying asset -nya, telah dituangkan dalam UU SBSN maupun berbagai bentuk perikatan (Akad) yang memproteksi beralihnya BMN secara fisik kepada investor, karena yang beralih adalah hak manfaatnya saja dan itupun hanya bersifat sementara, karena hak manfaat yang beralih tersebut akan kembali kepada Pemerintah ketika SBSN jatuh tempo. Berdasarkan ketentuan dalam UU SBSN dan akad-akadnya tersebut, tidak ada kemungkinan bagi investor untuk mengklaim BMN yang 26 dijadikan aset SBSN agar beralih secara fisik kepada investor, bahkan ketika Pemerintah gagal bayar sekalipun. Bahwa berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas, Pemerintah berpendapat tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas keberlakuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, karena kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu. Dengan seluruh uraian yang Pemerintah sampaikan dalam Pendahuluan Keterangan Pemerintah ini, Pemerintah mengharapkan tidak perlu lagi ada alasan untuk meragukan konstitusionalitas dari Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara yang sedang diuji ini, baik secara negatif, yaitu terbukti tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun secara positif, yaitu bahwa pasal-pasal tersebut jelas bertujuan untuk menjalankan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena itu Pemerintah mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan dengan amar:
Menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima;
Menyatakan ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono). [2.4] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Pemerintah mengajukan tiga orang saksi, yaitu Drs. Triantoro, Ir. Hanawijaya, M.M., dan 27 M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M., serta enam orang ahli yaitu K.H. Ma’ruf Amin, Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP., Gahet Ascobat, Farouk Abdullah Alwyni, Ir. Muhammad Syakir Sula, FIS., dan Ary Zulfikar, S.H., yang memberikan keterangan di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 16 Februari 2010, sebagai berikut:
Saksi Drs. Triantoro • Bahwa dasar hukum SBSN adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan beberapa peraturan yang lainnya, termasuk juga Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 4/PMK-08/2009 tentang Pengelolaan SBSN yang berasal dari barang milik negara; • Bahwa Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan telah meyampaikan memberi pemberitahuan atau pro notification, penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset dalam penerbitan SBSN kepada 10 kementerian lembaga, termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-2 94/MK.6 2009 tanggal 2 Oktober 2009, dan selanjutnya Direktur Jenderal Keuangan Negara atas nama Menteri Keuangan telah menyampaikan pemeberitahuan atau notification, penggunaan barang milik negara atau underlying asset, dalam penerbitan SBSN kepada 9 kementrian lembaga termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-19/MK 06/2010 tanggal 2 Februari 2010 antara lain menyatakan bahwa untuk penerbitan SBSN seri IFR 003 dan seri IFR 004 dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 22 KM 08 2009 dan Nomor 23 KMK 08/2009 tanggal 10 November 2009 telah ditetapkan barang negara pada 9 kementrian/lembaga termasuk Depdiknas sebagaimana terlampir menjadi underlying asset penerbitan SBSN. • Bahwa selama BMN dimaksud dipergunakan sebagai aset SBSN, maka pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara dimaksud, sesuai dengan penggunaan awalnya untuk pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, dan tidak dapat melakukan pemindah tanganan kepemilikan atas BMN dimaksud kecuali dikarenakan ada peundang-undangan yang mengharuskan pemindahtanganan tersebut. Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas dapat disimpulkan;
penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan pengalihan status kepemilikan dan atau status pengguanaan atas barang milik negara tersebut maupun perubahan fungsinya; 28 2. barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan permasalahan dari sisi akuntansi mengingat pemilikan milik negara tidak berpindah sehingga tetap tercantum dalam sistem informasi manajemen akuntansi barang kepemilikan negara atau SIMAK BMN atau neraca on balanced dari kementerian pendidikan nasional;
Kementrian Pendidikan Nasional selaku pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara, yang dijadikan sebagai underline asset untuk melaksanakan tugas dan fungsi kementerian pendidikan nasional;
Saksi Ir. Hanawijaya, M.M. • Bahwa saksi selaku Direktur dari Bank Syariah Mandiri yang merupakan bank syariah milik negara terbesar di Indonesia, sangat layak apabila mewakili industri keuangan syariah dan menyambut baik adanya upaya Pemerintah mempercepat peningkatan keuangan syariah di Indonesia. • Bahwa pertumbuhan instrumen sukuk __ dalam negeri yang dikeluarkan oleh perusahaan korporasi sangat lamban. Berdasarkan data olahan departemen keuangan pada tahun 2003, sukuk korporasi hanya berjumlah 6 buah atau senilai 740 miliyar. Hingga Desember 2006, sukuk __ korporasi di Indonesia yang telah diterbitkan berjumlah 17 sukuk __ yang nilainya 2,2 triliun. Sampai 1 Desember 2007, total obligasi syariah dan medium term notes yang diterbitkan sudah mencapai 32 jenis. Di sisi lain, Pemerintah untuk menerbitkan sukuk negara masih terganjal dengan belum adanya regulasi yang mengatur ketentuan tersebut. Padahal sebagai instrumen berbasis syariah, sukuk jelas memiliki tipikal dan aturan yang berbeda dengan surat utang negara biasa. Sampai pada akhirnya diterbitkan UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN yang merupakan pedoman bagi terbitnya sukuk negara sekaligus sebagai instrumen mendorong tumbuhnya investasi bagi investor dan lembaga keuangan syariah; • Bahwa potensi permintaan sukuk Republik Indonesia sebagai instrumen alternatif dalam berinvestasi diprediksi cukup besar. Hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor sebagai berikut;
Indonesia mempunyai jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, yang melakukan penawaran efek syariah masih sangat sedikit. Proporsi atau maisire produk syariah dibanding produk konvensional masih sangat kecil; 29 b. Asumsi permintaan akan instrumen sukuk negara yang masih sangat besar tersebut dibuktikan dengan peningkatan volume pembelian dengan investor. Total volume pemesanan pembelian sukuk ritel SR 001 adalah Rp. 5,556 triliun atau mencapai 313,9% dari target penjualan awal yang disampaikan agen penjual yaitu 1,77 triliun.
Adapun total jumlah pemesanan sukuk negara ritel seri SR 002 yang disampaikan oleh masyarakat melalu 18 agen penjual yang telah ditunjuk oleh Pemerintah adalah sebesar 8 triliun lebih.
Selain itu, terdapat potensi pemesanan pembelian sebesar Rp. 715 miliar. Hal ini telah melampaui kuota penjualan yang diberikan kepada seluruh agen penjual e. Berdasarkan paparan di atas tampak jelas bahwa instrumen sukuk memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan instrumen keuangan syariah di Indonesia. Peran-peran tersebut adalah sebagai motor penggerak syariah di Indonesia adalah bank syariah.
Dengan adanya instrumen sukuk membuat bank syariah lebih termotivasi untuk lebih mengembangkan secara agresif tanpa khawatir terbatasnya instrumen untuk placement apabila terjadi ekses _fund; _ • Bahwa dengan adanya sukuk menambah ragam produk investasi berbasis syariah bagi bank syariah. Saat ini alternatif produk investasi yang sudah ada antara lain Sertifikat Bank Indonesia Syariah atau SBIS, Sertifikat Investasi Mudharah antar bank atau SIMA, reksadana syariah, deposito antar bank syariah; • Bahwa dengan adanya sukuk memperluas dan mendiversikasi basis investor. Catatan saksi, di Bank Syariah Mandiri jumlah nasabah baru yang masuk sebesar 14 ribuan lebih, yang merupakan basis investor baru atau nasabah baru yang menyebabkan dana pihak ketiga Bank Syariah Mandiri melalui tabungan Bank Syariah Mandiri bertambah secara tidak langsung karena hasil dari return sukuk yang dibayarkan Pemerintah melalui BSM itu akan dikreditkan ke tabungan investor-investor tersebut; • Bahwa sukuk memperkuat dan meningkatkan peran sistem keuangan berbasis syariah di dalam negeri. • Bahwa manfaat sukuk bagi lembaga keuangan syariah adalah sukuk merupakan alternatif instrumen kelola likuiditas, yang hanya terbatas SBIS 30 syariah dan sekarang ada tambahan baru sukuk yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Sukuk merupakan alternatif untuk portofolio Yang dimiliki Bank Syariah Mandiri, sukuk memiliki motif investasi antara lain hanya boleh dimiliki oleh bank syariah sampai dengan jangka waktunya, sehingga tidak akan ada unsur spekulatif di dalam. • Sebagai pintu masuk, sukuk bisa juga sebagai pintu masuk yang efektif dalam mempercepat pertumbuhan aset bank syariah yaitu melalui penetrasi kepada masyarakat menengah ke atas yang selama ini menempatkan sebagian dananya melalui surat berharga bank-bank konvensional, sudah ada buktinya tambahan nasabah baru kami yang sebelumnya belum memiliki rekening di bank syariah yang pertama sekitar14 ribuan orang. • Bahwa meningkatnya daya tawar dan reputasi bank syariah di mata masyarakat karena ternyata bank syariah juga memiliki instrumen yang cukup beragam dan sekelas dengan bank konvensional. • Bahwa sukuk meningkatkan fee best income bagi Bank Syariah Mandiri, yaitu Bank Syariah Mandiri sebagai agen dari sukuk ritel mendapatkan fee best income sebesar 650 juta dan terakhir sebagai agen penerbit SR 002 mendapatkan fee best sebesar 495 juta rupiah; • Bahwa Surat SPSR ritel atau sukuk negara ritel adalah salah satu investasi bagi investor atau instrumen pembiayaan APBN bagi Pemerintah. Sama halnya dengan instrumen 001 dan 002 yang diterbitkan pada 2 Agustus 2008. • Bahwa sebagai investor lembaga keuangan syariah. Bank Syariah Mandiri menyadari bahwa underlying transaction yang dilakukan oleh Pemerintah tidak menyebabkan adanya perpindahan dari adanya aset negara itu apabila terjadi Pemerintah gagal bayar.
Saksi M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M. • Bahwa selaku praktisi pengajar keuangan syariah keuangan dan juga selaku investor individu dari sukuk negara yang selama ini mengharapkan adanya instrumen investasi yang dapat memberikan tidak hanya benefit di dunia tetapi juga insya Allah benefit di akhirat, minimal semacam peace of mine atau perasaan yang menenangkan pada saat kita berinvestasi pada instrumen investasi tersebut; 31 • Bahwa keuntungan yang saksi peroleh dalam berinvestasi di sukuk negara khususnya sukuk ritel Republik Indonesia SR 001, antara lain imbal hasil yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah atau dalam hal ini imbal jasanya berdasarkan akad idzharah/sale berdasarkan fatwa MUI Nomor 71 dan Nomor 72 dan juga telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 yaitu tentang Surat Berharga Syariah Negara; • Bahwa sukuk yang dikeluarkan oleh negara relatif aman, karena Republik Indonesia mempunyai reputasi sebagai pembayar utang yang sangat baik dan tidak mengalami default . Khusus untuk Sukuk Ritel Republik Indonesia imbal jasa yang saksi terima sebagai investor dapat diterima setiap bulan; • Bahwa sukuk menjadi instrument investasi yang sangat akuntabel karena dikeluarkan dengan underlaying asset yang transparan sehingga dalam hal pengeluaran sukuk ini menjadi kredibel dimata investor. Sebagai investor saksi sangat memahami bahwa yang dijadilan underlaying dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara adalah berupa hak manfaat dari barang milik negara, sebagai investor saksi akan mendapatkan sejumlah imbalan yang berasal dari penyewaaan kembali hak manfaat aset SBSN kepada Pemerintah yang dituangkan dalam akad ijarah, dan saksi sangat yakin bahwa dana yang diinvestasikan kepada sukuk negara akan aman, bahkan dalam hal misalnya pemerintah gagal bayar atas SBSN yang dimiliki oleh investor maka berdasarkan Undang-Undang SBSN dana tersebut akan disediakan dalam APBN dan investor melalui perusahaan penerbit SBSN sebagai wali amanat atau wakil investor hanya akan menjual aset SBSN kepada Pemerintah sesuai dengan dokumen penerbitan pada saat sukuk negara jatuh tempo; • Bahwa keuntungan dan kemanfaatan yang ada di instrument investasi sukuk negara seharusnya menjadi pendorong bagi masyarakat Republik Indonesia untuk lebih berkeinginan melakukan investasi bagi dirinya dan negaranya bukan malah mempermasalahkan keberadaan sukuk negara;
Ahli KH. Ma’ruf Amin • Bahwa penerbitan sukuk negara sudah lama diinginkan dan dicita-citakan tetapi terkendala ketika itu oleh belum adanya Undang-Undang yang menjadi landasan, yaitu Undang-Undang yang tidak bertentangan dengan Undang- Undang yang ada serta sesuai dengan ketentuan syariah. Akhirnya para ahli hukum nasional dan para ahli syariah berijtihad untuk mewujudkannya dalam 32 rangka membiayai APBN, kemudian lahirlah Undang-Undang SBSN yang di dalamnya tercapailah kesesuaian antara hukum negara dan hukum syariah. Menurut istilah ahli, terdapat persesuaian syara’an waqanunan . Hal tersebut merupakan satu prestasi di bidang hukum yang luar biasa; • Bahwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia memberikan masukan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut dengan menunjuk tim untuk mendampingi. Dewan Syaraiah Nasional juga menunjuk tim untuk duduk dalam Komite Syariah SBSN dan Dewan Syariah Nasional juga mengeluarkan fatwa-fatwa berkenaan dengan SBSN, anatara lain fatwa Nomor 69 tentang surat berharga syariah negara, fatwa Nomor 70 tentang metode penerbitan surat berharga syariah negara, fatwa Nomor 71 tentang sale and lease back , fatwa Nomor 72 tentang surat berharga syariah negara ijarah, sale and lease back , dan setiap Pemerintah menerbitkan SBSN, Dewan Syariah Nasional membentuk tim dalam mendampingi Pemerintah dalam pembuatan skema dan perjanjian yang terkait dengan penerbitan SBSN; • Bahwa Dewan Syariah Nasional juga memberikan pernyataan kesesuian syariah untuk setiap emisi SBSN, untuk memberikan pernyataan ini Dewan Syariah Nasional MUI me review ulang atas sebuah skema dan perjanjian yang telah dipandang final, yaitu melalui akad-akad dalam penerbitan SBSN, dimana barang milik negara tidak akan beralih secara fisik karena yang beralih adalah hak manfaatnya saja itupun hanya bersifat sementara karena hak manfaat yang beralih tersebut akan kembali kepada Pemerintah ketika SBSN jatuh tempo. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk adanya kekhawatiran hilangnya atau lepasnya barang milik negara melalui SBSN;
Ahli Ir. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP. • Bahwa secara umum sukuk yang ada di dunia dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama, adalah sukuk yang berbasis aset riil atau disebut asset base sukuk. Kedua, adalah sukuk yang melekat pada dan dijaminkan oleh asset riel yang disebut sebagai asset back sukuk. • Asset base sukuk, aset riil hanya digunakan untuk membuat struktur transaksi agar sesuai dengan prinsip syariah. Dalam prinsip syariah, setiap transaksi harus memenuhi tiga rukun, yaitu pertama adanya para pihak, kedua, adanya objek transaksi, dalam bahasa Arab disebut ma’kud alaih atau dalam bahasa Inggris disebut underlying asset, juga harga objek dari transaksi tersebut. 33 Ketiga, adanya kesepakatan. Oleh karenanya aset riil yang dijadikan dasar penerbitan sukuk biasanya tidak dijadikan sumber pembayaran dan tidak dijaminkan untuk pembayarannya. Secara lebih formal sukuk didefinisikan sebagai an investment sukuk is a certificate of equal value representing shares in ownership of tangible asset usufruct and services or in the ownership of the asset of particular project or special investment activity. Sedangkan untuk jenis sukuk yang kedua yang disebut sebagai asset back sukuk adalah aset riil yang dipisahkan kepemilikannya kepada special purpose vehicle juga dijadikan sumber pembayaran dan dijaminkan untuk pembayarannya. Perbedaan ini secara teoritis memberikan tingkat risiko yang berbeda. Secara lebih formal asset backed securities didefinisikan sebagai an asset backed security is a security who’s value and income payments are derived from and collateralised or backed by a specified full of underlying asset . • Bahwa dilihat dari sisi risiko investor pada jenis sukuk yang pertama yaitu asset base sukuk sebenarnya mempunyai tingkat risiko yang sama dengan memberikan uang tanpa jaminan aset riil atau disebut sebagai unsecured . Sedangkan investor pada jenis sukuk yang kedua yaitu asset back sukuk mempunyai jaminan atau disebut secured berupa aset riil yang dipisahkan kepemilikannya walaupun di beberapa negara jaminan itu berarti hak tagih atas aset riil bukan hak kepemilikan penuh atas aset riil itu sendiri. Sukuk yang diterbitkan oleh korporasi kadang berupa asset base sukuk dan kadang berupa asset back sukuk . Sedangkan sukuk yang diterbitkan oleh negara sampai saat ini biasanya berupa asset base sukuk.
Ahli Gahet Ascobat • Bahwa dari sisi pasar sukuk global menunjukkan perkembangan cukup signifikan dimulai tahun 2002 pada saat Pemerintah Malaysia pertama menerbitkan sukuk global dalam mata uang US dollar. Mencapai puncaknya pada tahun 2007 dan karena krisis keuangan global pada tahun 2008 mengalami penurunan dan tahun 2009 yang lalu telah mengalami peningkatan lagi yang antara lain alasan peningkatan market sukuk secara global tersebut adalah penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Indonesia selaku pioneer di tahun 2009; • Bahwa di pasar domestik Indonesia pun sukuk telah ada sejak tahun 2002 yang diterbitkan oleh korporasi, dengan berpartisipasinya Pemerintah dalam 34 menerbitkan SBSN di tahun 2008 dan tahun 2009 maka industri ini mendapatkan suplai atau persediaan instrumen syariah yang sangat dinanti- nanti oleh pelaku pasar. • Bahwa beberapa transaksi sukuk yang telah dilakukan di pasar internasional oleh pemerintahan, antara lain Pemerintah Malaysia, Qatar, Dubai, Indonesia, Bahrain, pada tahun 2009 yang lalu terjadi kelebihan permintaan cukup besar dan cukup signifikan yaitu transaksi Pemerintah kita secara global mengalami kelebihan permintaan sebesar 7 kali lipat. Penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Bahrain di tahun 2009 juga mengalami kelebihan permintaan sebanyak 5 kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi investor syariah secara global, permintaan dan kebutuhan atas instrumen ini memang sangat besar dan instrumen ini juga sangat langka tersedia di pasar. Di Indonesia sendiri dari sisi penerbitan sukuk terdapat ukuran yang semakin meningkat dan untuk memenuhi kebutuhan investor yang semakin meningkat pemerintah sudah memberi supply sedemikian besar dan ini juga berhasil diserap oleh pelaku pasar dan investor di Indonesia • Bahwa seluruh transaksi sukuk secara global yang dilakukan oleh pemerintahan di dunia selain di Indonesia yang melakukan penerbitan sukuk global di tahun 2009 yaitu pemerintahan Malaysia Negara bagian di Jerman, Pemerintah Dubay, Pakistan telah melakukan penerbitan sukuk secara global atau berkali-kali dan poin yang penting untuk dicermati disini adalah bahwa dari sisi struktur yang diterapkan oleh berbagai pemerintahan ini nyaris seluruhnya adalah berdasarkan struktur ijarah atau berdasarkan sewa menyewa atas suatu asset, merupakan struktur yang mirip dengan yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia dalam penerbitan SBSN; • Bahwa dalam perkembangan pasar dan perkembangan regulasi, tidak hanya dialami dan dijalankan oleh Pemerintah Indonesia saja tetapi juga di negara- negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Mesir, Turki, Kazastan, Uni Emirat Arab, Pakistan dimana Negara-negara tersebut memang mengembangkan peraturan-peraturan yang akomodatif untuk penerbitan sukuk baik oleh pemerintahan maupun oleh korporasi tetapi di luar negara-negara mayoritas berpenduduk muslim seperti Inggris, Perancis, kemudian Hongkong, Korea, dan Jepang telah atau sedang menyusun perundang-undangan atau perangkat regulasi untuk memfasilitasi kemungkinan pemerintahan atau 35 koperasi di negara masing-masing tersebut untuk dapat menerbitkan instrumen berbasis syariah atau sukuk yang menggunakan atau memerlukan underlying _asset; _ • Bahwa __ transaksi sukuk oleh Pemerintah Indonesia sangat sukses, hal ini menunjukkan sedemikian besarnya animo dari investor seperti transaksi dalam hal mata uang rupiah di tahun 2008, tahun 2009 dan baru-baru ini tahun 2010 melalui sukuk ritel habis diserap investor dan mengalami kelebihan permintaan. Selain itu, transaksi Pemerintah Indonesia dalam mata uang US dolar pun mengalami kelebihan permintaan sebanyak 7 kali, hal ini menunjukkan transaksi tersebut sangat sukses dan diminati oleh investor; • Bahwa salah satu kunci transaksi ini diminati dan diserap habis oleh market dan investor adalah karena struktur yang diterapkan adalah struktur yang diterima secara luas dan merupakan market best practice yang telah dilakukan oleh penerbit-penerbit lainnya sebelum Pemerintah Indonesia, sebagai contoh, struktur sukuk global Pemerintah Indonesia dalam mata uang US dolar adalah sebesar 650 juta pada April 2009, dengan strukturnya secara gambaran umum adalah sebagai berikut:
Pemerintah mengalihkan hak manfaat atas beberapa kantor pemerintahan selaku aset sukuk kepada suatau perusahaan penerbit yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, tidak dimiliki oleh investor asing.
Pemerintah tetap menggunakan aset-aset sukuk tersebut seperti sedia kala tidak ada disruption, tidak ada perubahan karena aset itu langsung disewakan penerbit kepada Pemerintah sejak hari pertama transaksi dilangsungkan dan hal tersebut berlangsung terus sampai dengan sukuk tersebut jatuh tempo.
Sertifikat kepemilikan atau barang-barang milik Negara tersebut tidak berpindah dari Pemerintah dan tidak berpindah ketangan investor asing dalam kasus ini. Pada saat jatuh tempo atau dalam hal terjadi gagal bayar atau wanprestasi dipihak Pemerintah, aset sukuk pun hanya dapat dijual kembali oleh investor atau perusahaan penerbit kepada Pemerintah Indonesia, sehingga tidak ada kondisi hak manfaatnya hilang atau kepemilikannya hilang berpindah dari tangan Pemerintah.
Bahwa pada saat penerbitan, sukuk global mendapat credit rating agency sebagai instrumen yang merefleksikan sebagai risiko kredit dan rating 36 Pemerintah yaitu BA 3 berdasarkan analisa moody’s dan BB- menurut standar S&P dan BB menurut Fitch hal tersebut sama seperti rating Pemerintah Indonesia pada saat itu; • Bahwa transaksi tersebut telah memperoleh begitu banyak penghargaan dari berbagai publikasi internasional atas peranannya dalam berhasil membuka kembali pasar sukuk secara global dan juga memberi contoh bagi negara lain yang sekarang sedang mengembangkan perangkat regulasi untuk juga mengikuti jejak Indonesia dalam mengakses likuiditas yang sangat besar dikalangan investor syariah; • Bahwa dari sisi transaksi sukuk global yang diterapkan oleh Pemerintah Indoneisa, tidak jauh berbeda dengan transaksi sukuk global yang diterapkan oleh pemerintahan lain, antara lain contohnya Pemerintah Malaysia di tahun 2002, Pemerintah Qatar di tahun 2003, Pemerintah Pakistan di tahun 2005. Struktur yang diterapkan persis sama yaitu ijarah ( sale and lease back ) dari sisi Underlying asset , Pemerintah Malaysia menggunakan tanah dan bangunan milik negara yang berlokasi di Kuala Lumpur, Pemerintah Qatar menggunakan tanah yang berlokasi di Doha Qatar, Pemerintah Pakistan menggunakan jalan raya Lahore-Islamabad Motorway, dan Pemerintah kita menggunakan gedung kantor pemerintahan. Penggunaan aset dalam ke empat transaksi sukuk ini juga sama sepenuhnya digunakan oleh kembali oleh Pemerintah, disewakan kembali kepada Pemerintah, sehingga Pemerintah negara-negara masing- masing bisa terus menggunakan, memelihara dan jika perlu mengasuransikan aset sukuk tersebut secara normal; • Bahwa yang terjadi pada saat jatuh tempo atau terjadi Dissolution Event atau gagal bayar atau Interrupted Default dalam keempat transaksi tersebut, maka akan langsung dijual kembali kepada pemerintah negara masing-masing yaitu kepada Malaysia, Qatar, Pakistan dan Indonesia karena feature tersebut tidak ada objek jaminan dan keempat transaksi ini adalah transaksi yang _unsecured; _ 7. Ahli Farouk Abdullah Alwyni • Bahwa ahli melihat dari sisi peranan sukuk negara dalam kaitannya dengan potensi untuk menarik investasi khususnya investasi dari negara Timur Tengah. Ketika berbicara tentang investor Timur Tengah biasanya terfokus pada GCC ( Gulf Cooporation Council ) yang terdiri dari Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab. Negara-negara ini diperkirakan mempunyai 37 reserve sekitar 1,3 Triliun Dollar sebagai hasil dari akumulasi ketika harga minyak naik pada tahun 2003. Pada awalnya negara-negara ini mempunyai tujuan investasi tradisional di Amerika dan di Eropa karena instrumen- instrumen surat berharga di negara Amerika Serikat dan Eropa sudah sedemikian terbangunnya; • Bahwa kebanyakan investor dari Timur Tengah adalah mereka yang mempunyai investasi dalam bentuk Financial Capital , sehingga investasinya mengarah kepada surat-surat berharga. Dengan mulai berkembangnya sistem keuangan islam maka mulai terjadi diversifikasi penempatan dana bukan hanya di pasar tradisional Eropa dan Amerika Serikat tetapi juga di negara-negara mereka sendiri dan terakhir di Malaysia yang cukup aktif untuk mencoba memposisikan diri menjadi Alternative Financial Destination , Alternative Investment Destination bagi negara-negara dari teluk ini. • Bahwa kalau melihat perkembangan keuangan Islam dewasa ini jumlah aset dari Top 500 bank-bank Islam ini mencapai 822 Milyar Dollar pada akhir tahun 2009. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya, pertama, fenomena akumulasi modal di teluk sebagai dampak kenaikan harga minyak yang signifikan, yang terjadi kembali sejak tahun 2003. Kedua , kesadaran keislaman diantara kaum muslimin kelas menengah atas, baik di dunia muslim sendiri ataupun di Eropa dan di Amerika Serikat, dan faktor Eleven September yang dalam beberapa hal menimbulkan kecurigaan di Amerika Serikat terhadap dana-dana yang berasal dari Timur Tengah juga turut memacu keinginan untuk mencari Alternative Investment Destination , sebagai contoh dalam kasus DP World ( Dubai Ports World ) dimana rencana investasi yang tertolak oleh kongres di Amerika Serikat. Hal-hal tersebut menumbuhkan secara bersamaan kebutuhan akan alternatif investasi yang berdampak kepada perkembangan keuangan Islam. Dalam kaitan dengan hal ini, krisis yang terjadi di Amerika dan di negara Eropa pada umumnya diawali pada tahun 2008 juga membuat para investor mencari Alternative Investment Destination bahwa sebenarnya di negara-negara seperti eropa dan Amerika menjadi kondisi-kondisi yang merugikan, sehingga terjadi proses pergerakan kapital ke negara-negara Asia, terutama Malaysia yang cukup proaktif dalam melihat potensi besar dari Sukuk; 38 • Bahwa Malaysia pada tahun 2002 mendapat insentif senilai $600.000.000 dan yang terakhir Malaysia membentuk International Islamic Financial Centre yang banyak memberikan insentif __ untuk perkembangan keuangan Islam, di lain sisi negara-negara yang sebelumnya juga telah menikmati dana dari teluk tersebut, dalam hal ini Inggris misalnya. Berusaha juga mempertahankan kapital-kapital yang telah ada di sana, dan pada satu kesempatan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menyatakan ingin menjadikan London sebagai pusat keuangan Islam di Eropa, selain Inggris juga usaha-usaha dari mayoritas penduduknya bukan muslim, seperti Jerman dan Prancis, dan terakhir yang cukup aktif adalah Hongkong dan Singapura. Singapura bahkan telah membentuk Islamic Bank besar, Islamic Bank of Asia dengan modal $500.000.000, dimana Pemerintah Singapura melalui Development Bank Of Singapura menjadi pemegang saham mayoritas 50 % + 1 saham dan selebihnya ditarik Investor dari Timur Tengah diantaranya dari Bahrain, dan Saudi Arabia. • Bahwa dari uraian di atas, Indonesia sebagai negara yang sedang membangun dan memerlukan pendanaan yang besar, perlu juga melihat potensi ini, terlebih lagi Indonesia negara muslim yang terbesar di dunia. Mengeluarkan sukuk merupakan satu usaha penting dalam rangka menarik Investor Timur Tengah khususnya Negara-negara Teluk. Terlebih lagi model investasi dari Negara- negara Teluk umumnya adalah untuk financial capital atau investasi di pasar modal atau pasar uang. Sukuk global Indonesia pertama yang senilai Rp 650.000.000, yang di keluarkan tahun lalu sekitar 70 % nya diambil oleh Investor Timur Tengah, sehingga terlihat bahwa upaya yang telah dilakukan telah membuahkan hasil; • Bahwa ke depan dengan kebutuhan pembangunan dan lain sebagainya, ini merupakan satu strategi untuk lebih menarik capital ke dalam negeri. Preferensi investor Timur Tengah yang untuk sekarang ini lebih comfortable berhubungan dengan negara atau Badan Usaha Milik Negara dalam hubungan bisnis dengan Indonesia, membuat suatu negara menjadi suatu instrumen efektif untuk menarik dana mereka ke Indonesia. Perkembangan pasar uang dan pasar modal Syariah juga menjadi satu faktor penting dalam menarik Investasi fortfolio dari Negara-negara Teluk. Di samping itu, perlu pula dicatat bahwa pada akhirnya negara bukan hanya berpotensi menarik Investor Timur 39 Tengah, tetapi juga Investor-investor lain seperti dari Amerika sendiri dan Eropa, yang pada kenyataannya menyumbang sekitar 30% dari pembeli sukuk global yang dikeluarkan di Indonesia; • Bahwa sukuk pada hakikatnya dapat menjadi instrumen penarik investasi yang lebih luas dari Conventional Bond menginggat pasar sukuk tidak terbatas dari investor syariah tetapi juga investor konvensional karena sukuk dapat di beli oleh Conventional Investors dan Syariah Investors tetapi Conventional Bond terbatas pada Conventional Investors, jadi mengeluarkan sukuk mempunyai benefit yang berganda; • Bahwa sukuk __ negara dan perkembangan soal keuangan Syariah khusunya lembaga keuangan Syariah. Pasar uang syariah merupakan bagian integral dari berfungsinya sistem perbankan Islam. Pasar uang syariah menyediakan fasilitas pendanaan dan penyesuaian fortofolio dalam jangka pendek, disamping itu instrumen-instrumen keuangan dan investasi antar bank akan memfasilitasi mekanisme transfer dari bank-bank surplus ke bank yang defisit, yang dengan demikian menjadi pendanaan likuiditas yang baik dalam rangka menjaga stabilitas sistem. Salah satu tantangan bagi pengembangan keuangan Syariah, sebagai praktisi, ahli melihat masih terbatasnya instrumen pasar uang syariah, Islamic Money Market Instrument , yang dapat di perjual belikan di pasar sekunder. __ Adanya Sukuk Negara akan sangat bermanfaat bagi pengembangan sistem keuangan di Indonesia yang khususnya bagi lembaga- lembaga keuangan Syariah yang sering membutuhkan Liquid Instrumen untuk penempatan dana berlebih untuk jangak waktu menegah dan panjang. __ • Bahwa usaha untuk mengembangkan keuangan Syariah di Indonesia, yang saat ini masih di bawah 5 % dengan total aset sekitar 6 miliar dollar di quartal ketiga, di bandingkan dengan Malaysia yang diproyeksikan akan mencapai 20% di tahun 2010 dengan total aset mencapai 46 miliar dollar di tahun 2007, perlu disertai dengan rangka pendukung lainnya, yang diantaranya adalah dengan tersedianya instrumen pasar uang syariah yang cukup liquid. Sukuk __ negara dalam hal ini, merupakan satu faktor pendukung yang penting bagi Indonesia untuk terus mengembangkan potensi lembaga keuangan Syariah ini, fungsi penting Sukuk Negara lainnya instrumen ini merupakan salah satu acceptable instrument dapat dijadikan jaminan, untuk mendapatkan hal lain fasility untuk kebutuhan fasilitas pembiayaan perdagangan Internasional dari 40 bank-bank Internasional, sekedar perbandingan sedikit mungkin bahwa Pemerintah Singapura dalam rangka mengembangkan perbankan syariahnya juga telah mengelolakan program sukuk pertamanya senilai $ 134 juta, yang khususnya ditujukan untuk mendukung kebutuhan kelebihan likuiditas. Kesimpulannya adalah bahwa, sukuk negara mempunyai peranan penting, yaitu paling tidak, pertama , dalam menarik financial capital dari luar negeri umumnya dan negara-negara timur tengah khususnya, dalam rangka membiayai program pembangunan negara, dan kedua dalam rangka pengembangan perbankan syariah melalui mekanisme peningkatan likuiditas pasar uang syariah;
Ahli Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ., FIIS. • Bahwa menurut data statistik Desember 2008, masyarakat Indonesia yang 88,22% penduduknya adalah muslim tentu membutuhkan instrumen bisnis dan produk-produk halal yang sesuai dengan syariah, karena itu menjadi kewajiban pemerintah memberikan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat muslim tersebut. Saat ini hampir semua lembaga keuangan syariah sudah ada di Indonesia, mulai dari perbankan, asuransi, reksa dana, obligasi, corporate , sukuk, saham syariah, penjaminan syariah, pegadaian syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah sudah ada di Indonesia. • Bahwa perbankan syariah ada 25 unit usaha dengan 6 bank umum syariah, dengan market share kurang lebih 2,3 %, asuransi sekitar 40 perusahaan asuransi yang telah membuka unit syariah dengan 3 perusahaan penuh kurang lebih market share 2%, reksadana ada sekitar 46 unit dengan market share sekitar 2%, dan seterusnya sampai kepada lembaga keuangan mikro syariah, BPRS ada 159, kemudian baitumaal watambil yang lebih kecil lagi ada sekitar 4000 menyebar di seluruh Indonesia, dan koperasi syariah ada sekitar 300. Peran sukuk terhadap lembaga keuangan syariah ini adalah sebagai pendorong untuk mempercepat proses market share yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia; • Bahwa sebagai instrumen investasi maupun sebagai fee base income, sukuk negara diperlukan untuk instrument fortopolio investasi. Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut yang sangat dibutuhkan masyarakat tentu akan sangat lambat kalau tidak didorong oleh instrumen- instrumen investasi seperti sukuk; 41 • Bahwa di Indonesia saat sekarang ini sebetulnya sudah ada beberapa Undang- Undang untuk syariah selain sukuk atau Undang-Undang SBSN, yaitu Undang- Undang Perbankan Syariah, Undang-Undang Pengelolaan Zakat dan Undang- Undang Wakaf yang kesemuanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan makanan produk halal dan instrument-instrumen bisnis syariah. Bahkan, umat Islam masih membutuhkan sejumlah Undang-Undang lagi yang terkait dengan instrumen syariah. Misalnya, Undang-Undang Asuransi Syariah masih Undang-Undang Penjaminan Syariah, Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro Syariah, dan sebagainya; • Bahwa seperti disebutkan oleh Bapak Adang Dorojatun dari anggota DPR, bahwa lembaga keuangan syariah sudah merupakan instrumen global, bahkan negara-negara yang ada di luar sudah begitu banyak menggunakan konsep syariah, seperti Singapura, negara-negara yang non-muslim, Inggris, Hongkong, mereka ingin menjadi pemilik ekonomi syariah. Oleh karena itu, justru Indonesia seharusnya akan menjadi negara yang terdepan, di dalam mengembangkan konsep ekonomi syariah. Dengan demikian, jika di Indonesia instrumen syariah justru ada yang mempertanyakan atau menggugat, mungkin kita perlu belajar ke negara-negara non-muslim tersebut atau kalau perlu belajar ke negara-negara lain seperti Eropa, bahkan terakhir Rusia juga sudah mulai menggunakan instrumen syariah;
Ahli Ary Zulfikar, S.H. Bahwa terdapat empat hal yang ingin ahli sampaikan, pertama, penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara sesuai dengan Undang-Undang SBSN. Kedua , BMN dalam penerbitan sukuk negara bukan sebagai collateral atau jaminan. Ketiga, dalam hal kondisi event of default oleh Pemerintah dalam pembayaran imbalan maupun nilai sukuk apakah BMN dapat dieksekusi oleh investor? Keempat , dokumen-dokumen yang diperlukan dalam penerbitan sukuk negara. Terhadap keempat hal tersebut, ahli menjelaskan sebagai berikut: Penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara sesuai dengan Undang-Undang SBSN a. bahwa di dalam penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN, SBSN adalah Surat Berharga Negara yang merupakan instrumen pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan bertujuan untuk membiayai APBN yang pada gilirannya 42 akan digunakan juga untuk menyediakan fasilitas yang layak sebagaimana yang diamanatkan di dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
bahwa dasar penerbitan SBSN adalah aset SBSN, yang berupa BMN yang memiliki nilai ekonomis sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 butir 3 dan Pasal 10, Pasal 11 Undang-Undang SBSN juncto Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 69 sampai dengan 72. Artinya, nilai ekonomis atas BMN dijadikan dasar dalam menetapkan nilai nominal sukuk negara;
Bahwa atas penggunaan BMN tersebut juga wajib meperoleh persetujuan dari DPR. Pasal 9 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang SBSN. Dengan demikian, di dalam penggunaan BMN itu sendiri Pemerintah juga mendapatkan persetujuan dari DPR sebagaimana diamanatkan baik di dalam Undang-Undang SBSN maupun Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Mekanisme penggunaan BMN dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas BMN atau cara lain sesuai dengan akad yang digunakan. Penekanan dalam penjualan dan penyewaan adalah, hak manfaat, sebagaimana tadi telah disampaikan oleh Pemerintah bahwa pemindahan BMN dalam konteks aset BMN bersifat khusus. Penjualan dan atau penyewaan dilakukan, pertama , hanya atas hak manfaat, kedua , tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan legal title , ketiga , tidak dilakukan pengalihan fisik BMN sehingga sama sekali tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintah. Hal sebagaimana diatur juga di dalam Penjelasan dalam paragraf 1 Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang SBSN. BMN dalam penerbitan sukuk negara bukan sebagai collateral atau jaminan Mengingat sukuk negara merupakan Surat Berharga Negara maka pembeli sukuk negara (Investor) hanya memegang bukti kepemilikan baik dalam bentuk warkat atau tanpa warkat vide Pasal 2 berikut Penjelasan Undang-Undang SBSN. Investor tidak memegang jaminan kebendaan atas BMN. Investor hanya memiliki bukti kepemilikan Surat Berharga yang pembayarannya dijamin oleh Pemerintah. Merujuk Pasal 49 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang SBSN. Dengan demikian, dalam struktur sukuk negara tidak ada aset SBSN atau BMN yang dijaminkan dalam bentuk jaminan kebendaan, hak tanggungan atau bentuk lainnya gadai dan lain sebagainya kepada investor; 43 Dalam hal terjadi kondisi event of default , Pemerintah wajib menyediakan pembayaran imbalan dan nilai nominal dalam APBN, hal tersebut diatur di dalam Pasal 9 ayat (3) dan Penjelasannya juncto Pasal 12 Undang-Undang SBSN. Dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Perbendaharaan Negara, APBN dalam satu anggaran meliputi salah satu penerimaan yang perlu dibayar kembali baik dalam tahun anggaran bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Artinya, Pemerintah dalam konteks penerbitan SBSN sudah mengalokasikan pembayaran terhadap imbalan maupun nilai nominal apabila jatuh tempo sukuk negara tersebut. Dalam hal terjadinya event of default pemegang sukuk tidak mempunyai hak untuk mengeksekusi asset SBSN, mengingat aset SBSN bukan objek jaminan dan investor tidak memegang hak jaminan kebendaan, sehingga investor hanya dapat menuntut pemerintah untuk membayar kewajiban atas imbalan dan nilai nominal dari sumber-sumber lain dari APBN sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang SBSN. Mekanisme dari pembayaran kembali jika jatuh tempo Pemerintah akan membeli kembali hak manfaat atas aset SBSN yang dijadikan dasar penerbitan dari sumber dana yang dialokasikan dalam APBN. Hal tersebut diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang SBSN; Dokumen-dokumen yang akan disiapkan dalam penerbitan Surat Berharga Syariat Negara. SBSN yang pernah diterbitkan oleh Pemerintah adalah SBSN ijarah sale and lease back . Terdapat tiga transaksi, yaitu:
Antara Pemerintah dengan perusahaan penerbit SBSN Indonesia, Perusahaan penerbit SBSN Indonesia adalah perusahaan yang didirikan berdasarkan PP Nomor 57 Tahun 2008, menandatangani suatu perjanjian jual beli akad bai’ atas hak manfaat BMN dari Pemerintah selaku penjual kepada perusahaan penerbit SBSN Indonesia selaku pembeli. Perusahaan penerbit SBSN adalah perusahaan yang didrikan oleh Pemerintah, dimana Pemerintah menjual hak manfaat atas BMN kepada perusahaan penerbit SBSN Indonesia.
Perusahaan penerbit SBSN menerbitkan Surat Berharga Syariah Negara sebagai bukti atas bagian pernyataan terhadap asset SBSN. Dengan demikian dari dasar nilai ekonomis terkait dengan BMN itu dijadikan dasar dalam penerbitan sukuk nilai nominal sama dengan nilai aset BMN. Dalam transaksi kedua adalah pembayaran imbalan dan/atau nilai nominal atas SBSN kepada 44 pemegang SBSN, investor, dari pembayaran imbalan ijarah oleh Pemerintah untuk pembayaran imbalan dan pada saat jatuh tempo untuk pembayaran nilai nominal;
Pada saat yang bersamaan juga antara perusahaan penerbit SBSN dan Pemerintah menandatangani suatu perjanjian sewa meyewa, akad ijarah, dimana Pemerintah menyewa aset SBSN kepada perusahaan penerbit SBSN Indonesia untuk digunakan dalam menjalankan kegiatan umum pemerintahan dan/atau untuk kepentingan Pemerintah. Pemerintah selaku penyewa aset SBSN juga melakukan fungsi perawatan dan pengelolaan atas aset SBSN berdasarkan perjanjian pengeloalaan aset. Sehingga pada saat awalnya transaksi pertama dilakukan akad bai’ pada saat yang bersamaan juga dilakukakan perjanjian sewa menyewa, akad ijarah. Dalam transaksi yang ketiga adalah adanya satu dokumen yang memuat pernyataan untuk menjual yang dibuat oleh perusahaan penerbit SBSN dan pernyataan membeli yang dibuat oleh Pemerintah jika SBSN jatuh tempo atau buy back . Pemerintah akan membeli kembali aset SBSN dari perusahaan penerbit SBSN dan perusahaan penerbit SBSN hanya akan menjual asset tersebut kepada Pemerintah. Sehingga pada saat kemudian sukuk itu jatuh tempo otomatis aset BMN tersebut akan kembali kepada Pemerintah. Kesimpulannya adalah dalam skema sukuk, aset SBSN hanya digunakan sebagai underlying asset atau dasar penerbitan SBSN kepada investor. Artinya adalah nilai-nilai nominal sukuk yang akan diterbitkan minimal sama dengan nilai secara ekonomis atas hak manfaat aset BMN. • Kesimpulan:
Bahwa penjualan dan/atau penyewaan atas aset SBSN hanya hak atas manfaat tidak ada pemindahan hak milik legal title dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga tidak mengganggu fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah.
Bahwa aset SBSN berupa BMN bukan merupakan objek jaminan kebendaan atau collateral k arena bentuknya bukan perjanjian utang piutang.
Bahwa pemegang pemilik SBSN atau investor tidak mempunyai hak eksekusi atas BMN karena tidak mempunyai hak jaminan kebendaan atas BMN. Sehingga dalam hal terjadi default tidak akan mempengaruhi status 45 BMN serta mengganggu fungsi penyelenggaraan pemerintahan terkait dengan BMN tersebut.
Struktur skema sukuk adalah dalam bentuk jual beli atas hak manfaat dengan undertaking untuk menjual atau membeli kembali atas hak manfaat BMN antara Pemerintah dengan perusahaan penerbit SBSN Indonesia; [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat, menyampaikan keterangan tertulis, sebagai berikut: A. KETENTUAN PASAL UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA (SBSN) YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD TAHUN 1945. Pemohon dalam Permohonan a quo mengajukan permohonan pengujian atas Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN, yang menyatakan: Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b: (1) Barang Milik Negara dapat digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN yang untuk selanjutnya Barang Milik Negara dimaksud sebagai aset SBSN. _(2) Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: _ _a. tanah dan/atau bangunan; _ _b. selain tanah dan/atau bangunan; _ Pasal 11 ayat (1): (1) Penggunaan Barang Milik Negara sebagai aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas barang milik negara atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN. Pemohon beranggapan ketentuan pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. 46 B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 10 AYAT (1) DAN AYAT (2) HURUF A DAN HURUF B, SERTA PASAL 11 AYAT (1) UU SBSN. Pemohon dalam permohonan a quo , mengemukakan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (2) telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1), yaitu sebagai berikut:
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 3 beranggapan, bahwa ketentuan pasal-pasal Undang-Undang a quo nyata terlihat akan menimbulkan potensi kerugian konstitusional yaitu apabila dalam jangka waktu sebagaimana dijaminkan aset SBSN oleh Pemerintah kepada pihak tertentu gagal bayar (default), maka pada saat itu berarti objek tersebut akan dikuasai oleh pihak ketiga (pemegang gadai) objek jaminan Pemerintah. Sehingga beralihnya objek jaminan ini menimbulkan kerugian yang nyata bagi Pemohon berupa tidak dapat lagi memanfaatkan fasilitas umum tersebut yang merupakan publik domain . Oleh karena menurut Pemohon barang milik negara sebagai dasar penerbitan SBSN adalah barang yang diperuntukan untuk umum dan dimasukkan dalam publik domain, dimana tidak dapat dijadikan objek perdagangan.
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 3 juga mengemukakan dengan digunakannya barang milik negara sebagai dasar penerbitan SBSN berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan, dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas barang milik negara atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN, maka hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon selaku warga negara Indonesia terhadap objek jaminan barang milik negara tersebut sudah hilang untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna memperoleh persamaan dan keadilan. __ C. KETERANGAN DPR. Terhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo pada kesempatan ini DPR dalam penyampaian 47 pandangannya terlebih dahulu mengenai kedudukan hukum (legal standing) sebagai berikut:
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon a. Bahwa dalam permohonan halaman 2, Pemohon adalah sebagai perorangan WNI sebagai Ketua Yayasan Patria Artha yang mengkhususkan kegiatannya di bidang pendidikan, pelatihan, penerapan, dan pengembangan ilmu keuangan negara di Republik Indonesia, merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dengan berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN;
Bahwa mencermati dalil-dalil Pemohon dan permohonan a quo DPR berpandangan sesungguhnya permohonan Pemohon tidak menunjukan dan membuktikan secara konkrit dan nyata adanya kerugian konstitusional yang spesifik ataupun kerugian konstitusional yang potensial, namun yang terurai hanya anggapan dan tafsir dari Pemohon sendiri, bahwa menurut penalaran yang wajar kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon sesungguhnya belum dipastikan terjadi. Karena itu DPR berpandangan permohonan Pemohon mengenai kerugian konstitusional yang didalilkan tidak spesifik, tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur (obscuur libels) ;
Bahwa walaupun Pemohon sebagai subjek hukum berkedudukan selaku perorangan WNI sesuai dengan Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, namun tentu terlebih dahulu perlu dipertanyakan, apakah benar Pemohon sebagai perorangan warga negara yang merasa dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, karena Pemohon dalam permohonannya tidak menguraikan secara spesifik, terinci dan konkrit mengenai aset barang milik negara, apakah tanah dan/atau bangunan, ataukah selain tanah dan/atau bangunan yang merugikan diri Pemohon yang dikarenakan barang milik negara tersebut menjadi objek jaminan yang digunakan sebagai aset SBSN? d. Bahwa atas dasar permohonan yang obscuur libels tersebut, dan seandainya terjadi peristiwa sebagaimana yang didalilkan Pemohon, maka DPR berpandangan bahwa hal ini bukan persoalan 48 konstitusionalitas norma Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN, tetapi merupakan persoalan penerapan normanya, karena tidak terdapat causal verband yang nyata dan serta-merta oleh berlakunya ketentuan pasal-pasal Undang-Undang a quo mengakibatkan kerugian konstitusional bagi diri Pemohon;
Bahwa terhadap dalil-dalil Pemohon a quo, DPR berpandangan bahwa meskipun Pemohon memiliki kualifikasi sebagai subjek hukum dalam permohonan a quo sesuai Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, namun merujuk batasan kerugian konstitusional yang dibatasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-V/2007), Pemohon dalam permohonan a quo tidak membuktikan secara actual kerugian konstitusional dan kerugian potensial, serta tidak terdapat causal verban d antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan ketentuan pasal Undang-Undang a quo yang dimohonkan pengujian. Berdasarkan uraian-uraian di atas maka DPR berpandangan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi batasan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu, karena itu sudah sepatutnya apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia secara bijaksana menyatakan Permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, selanjutnya bersama ini disampaikan keterangan DPR RI atas Pengujian Materiil Undang-Undang a quo 2. Pengujian Materiil atas Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. Terhadap pandangan-pandangan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo , pada kesempatan ini DPR RI ingin menyampaikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa konsep keuangan islam (Islamic finance) secara bertahap mulai diterapkan oleh beberapa negara di kawasan Timur Tengah pada 49 periode tahun 1960-an, yang terus berkembang dan diadopsi tidak hanya oleh negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, melainkan juga oleh berbagai negara di kawasan Asia dan Eropa. Untuk mendukung perkembangan keuangan Islam tersebut telah didirikan berbagai lembaga keuangan syariah dan diterbitkan berbagai instrumen keuangan berbasis syariah. Selain itu juga telah dibentuk lembaga internasional untuk merumuskan infrastruktur sistem keuangan Islam, yaitu International Islamic Financial Market (IIFM), Islamic Financial Services Board (IFSB), Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) dan telah pula didirikan lembaga Rating Islam.
Bahwa konsep keuangan Islam didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan, karena itu instrumen keuangan Islam senantiasa selaras dan memenuhi prinsip-prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat. Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur : (1) Riba yaitu unsur bunga; (2) Maysir yaitu unsur spekulasi; (3) Gharar yaitu unsur ketidakpastian. Karakteristik lain dari instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung (undelying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi keuangan konvensional pada umumnya.
Bahwa secara filosofis pengembangan instrumen yang berbasis syariah perlu segera dilaksanakan selain untuk mendukung pemanfaatan aset negara secara efisien dan untuk mendorong terciptanya sistem keuangan yang berbasis di dalam negeri, juga untuk memperkuat basis sumber pembiayaan anggaran negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Bahwa salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah, atau dikenal secara internasional dengan istilah Sukuk. Instrumen keuangan ini pada prinsipnya sama seperti surat berharga konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan sebagai pengganti bunga, 50 adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) atas sejumlah tertentu aset sebesar nilai nominal Sukuk yang diterbitkan dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-pinsip syariah. Aset yang dapat digunakan di dalam transaksi tersebut merupakan barang milik negara (BMN).
Bahwa secara sosiologis pembiayaan keuangan negara melalui penerbitan surat berharga oleh Pemerintah berupa Sukuk negara mempunyai implikasi yang luas terhadap pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi, antara lain melalui penciptaan good governance di sektor publik. Dalam hal ini perdagangan Sukuk di pasar keuangan syariah akan memfasilitasi terselenggaranya pengawasan secara langsung oleh publik atas kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan.
Bahwa secara yuridis instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan instrumen keuangan konvensional, sehingga perlu pengelolaan dan pengaturan secara khusus, baik yang menyangkut instrumen maupun perangkat hukum yang diperlukan untuk mengatur Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Bahwa terkait dengan dalil Pemohon yang dikaitkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara khususnya Pasal 49 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 50 huruf d, DPR berpandangan bahwa perlu adanya pemahaman tentang kepemilikan atas hak manfaat (beneficial ownership) dan juga kepemilikan hukum (legal ownership) atas suatu aset yang dikenal dalam konsep trust. Hal tersebut mengingat pemindahtanganan barang milik negara (BMN) dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan proses pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Bahwa dalam penerbitan SBSN, proses transaksi aset barang milik negara tersebut adalah sebagai berikut: Ø Penjualan/penyewaan BMN hanya atas hak manfaat BMN, tidak disertai dengan pemindahan hak kepemilikan _(legal title); _ 51 Ø Pemerintah akan menyewa kembali BMN dari Special Purpose Vehicle (SPV)/perusahaan penerbit; Ø Tidak terjadi pengalihan fisik BMN sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas pemerintahan; Ø Tidak terdapat permasalahan dari sisi akuntansi mengingat hak kepemilikan atas BMN tidak berpindah sehingga tetap on balance _sheet; _ Ø Pada saat jatuh tempo SBSN atau dalam hal terjadi default, aset SBSN akan tetap dikuasai oleh Pemerintah, karena dalam penerbitan SBSN ada dokumen purchase undertaking yaitu Pemerintah wajib membeli kembali, membatalkan sewa atas aset SBSN dan dokumen sale undertaking yaitu SPV wajib menjual aset SBSN kepada pemerintah sebesar nilai nominal SBSN;
Bahwa hal tersebut juga sudah diuraikan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang a quo .
Bahwa mencermati dalil-dalil Pemohon menunjukan bahwa Pemohon perlu memahami Undang-Undang a quo secara komprehensif dan tidak hanya memahami secara parsial atau sebagian-sebagian, sehingga menimbulkan pemahaman yang keliru terhadap pemahaman tentang penggunaan BMN sebagai aset SBSN, padahal dalam Undang-Undang a quo sudah diatur juga antisipasi apabila terjadi peristiwa default sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang a quo yang memberikan kewenangan kepada Menteri selaku pemerintah untuk membeli kembali aset SBSN, membatalkan akad sewa, dan mengakhiri akad penerbitan SBSN lainnya pada saat SBSN jatuh tempo.
Bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang a quo yang terkait dengan aset SBSN tersebut telah dibahas dan disetujui dalam Rapat Panitia Kerja Ke-4 tanggal 15 Maret 2008.
Bahwa terkait dengan penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN hanya terbatas pada penggunaan hak manfaat (beneficial title) bukan pemindahan hak kepemilikan (legal title) . Hal ini __ terdapat dalam tanggapan Fraksi-Fraksi di DPR dalam Rapat Kerja Komisi XI pada tanggal 4 Juli 2007 antara lain: 52 1. “...dalam transaksi SBSN tidak terjadi pemindahtanganan BMN secara fisik kepada pihak lain, sehingga tidak terjadi perubahan kepemilikan (legal title). Hal ini perlu dijelaskan dan dijabarkan dengan lebih terperinci dan memerlukan ketentuan yang mengatur sekuritisasi dan pengaturan sub-lease dari investor kepada pemerintah dikarenakan status pemerintah merupakan (beneficial title) penerbit (issuer) ”. 2. “…juga sepakat bahwa penggunaan BMN tersebut dalam penerbitan SBSN hanya terbatas pada penggunaan hak manfaat saja, sehingga tidak terjadi pemindahtanganan BMN secara fisik kepada pihak lain“. 3. “…Penggunaan BMN sebagai underlying asset dalam penerbitan SBSN perlu dicarikan formula yang paling optimal, dengan rambu- rambu yang jelas dan terukur”. m. Tanggapan Fraksi sebagaimana dimaksud di atas, juga disampaikan dalam Rapat Paripurna tanggal 9 April 2008 pada saat penyampaian Pendapat Akhir Fraksi-Fraksi di DPR sebagai berikut:
“ Penggunaan BMN sebagai underlying dijelaskan dalam RUU SBSN hanya terbatas pada penggunaan hak manfaat (beneficial title). __ Dengan demikian dalam transaksi SBSN tidak terjadi pemindahtanganan BMN secara fisik kepada pihak lain, sehingga tidak terjadi perubahan kepemilikan (legal title).” 2. “Terkait dengan aset yang akan dijadikan penjamin, maka perlu diperhatikan mengenai kebijakan aset yang dijaminkan tersebut. Sehingga sampai dengan masa jatuh tempo SBSN tersebut besaran aset yang dijaminkan tidak lepas dari tangan pemerintah. Untuk itu peranan perusahaan penerbit SBSN dan juga koordinasi yang kuat antara kementerian terkait dengan masalah pengelolaan tersebut, perlu diperkuat sehingga tidak menimbulkan masalah di masa yang akan datang”. Bahwa berdasarkan pada pandangan-pandangan tersebut, DPR berpendapat bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. 53 Dengan demikian DPR memohon kiranya Ketua/Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak– tidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menyatakan Keterangan DPR dikabulkan untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Menyatakan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.6] Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 Februari 2010, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa isu hukum utama permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian materiil terhadap Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852, 54 selanjutnya disebut UU 19/2008) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan Pokok Permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut:
kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan _a quo; _ b. kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon; __ Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang disebutkan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian Undang-Undang in casu UU 19/2008 terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan _a quo; _ Kedudukan hukum ( legal standing ) __ Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat bertindak sebagai pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; 55 b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) __ Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut: [3.7.1] Bahwa Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai dosen dan Ketua Yayasan dan Pembina Universitas Patri Artha Makassar sebagaimana dibuktikan dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk milik Pemohon dan Akta Pendirian/Anggaran Dasar Yayasan “Patri Artha”, bertanggal 14 Januari 1997 Nomor 40, oleh Sitske Limowa, S.H., Notaris di Ujung Pandang/Makassar; 56 [3.7.2] Bahwa sebagai perorangan warga negara Indonesia, Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, yaitu hak atas kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan [Pasal 28H ayat (2) UUD 1945]; [3.7.3] Bahwa hak konstitusional Pemohon dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 tersebut dirugikan oleh berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, dan Pasal 11 UU 19/2008; __ [3.8] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU MK dan syarat kerugian seperti termuat dalam paragraf [3.5] dan paragraf [3.6] , dihubungkan dengan dalil kerugian para Pemohon dalam paragraf [3.7] , Mahkamah berpendapat, prima facie Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang a quo ; [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, serta memutus permohonan a quo , dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.9] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, dan Pasal 11 UU 19/2008 yang menyatakan: “Pasal 10 1 __ Barang Milik Negara dapat digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN, yang _untuk selanjutnya Barang Milik Negara dimaksud disebut sebagai Aset SBSN; _ 2 _Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: _ __ a. tanah dan/atau bangunan, dan __ b. selain tanah dan/atau bangunan, Pasal 11 1 Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan cara menjual 57 atau menyewakan Hak Manfaat atas Barang Milik Negara atau cara lain yang _sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN”; _ yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, __ dengan alasan-alasan hukum sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 UU 19/2008 telah menghilangkan hak konstitusional Pemohon atas tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan, untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan;
Apabila dikaitkan dengan tanggung jawab negara untuk menyediakan fasilitas pelayanan umum yang layak, rumusan pasal yang dimohonkan pengujian justru memberikan kewenangan kepada Menteri untuk menjual atau menyewakan hak manfaatnya atau cara lain yang sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN);
Barang Milik Negara sebagai dasar penerbitan SBSN adalah publik domain yang diperuntukkan untuk kepentingan umum sehingga tidak dapat dijadikan objek perdagangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (4) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan, “Barang Milik Negara/Daerah dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada Pemerintah Pusat/Daerah, dan ayat (5) “Barang Milik Negara/Daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman” ; [3.10] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-9, dan dua orang ahli yaitu Prof. Dr. Muchsan dan Drs. Siswo Sujanto, DEA., yang didengar keterangannya di bawah sumpah, selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut: Ahli Prof. Dr. Muchsan • Semangat dari UUD 1945 adalah negara diberi kedudukan sebagai lembaga publik sehingga dalam rangka memperoleh benda, negara tertutup menggunakan hukum perdata, karena kalau negara menggunakan hukum perdata maka kedudukan yuridis negara sebagai penguasa bergeser, yaitu dapat menjadi pemilik atau penyewa, atau mungkin pengguna hak pakai dan 58 sebagainya, sehingga kalau pasal atau Undang-Undang bertentangan dengan semangat atau jiwa UUD 1945 maka dengan sendirinya merupakan suatu produk hukum yang tidak sesuai dengan semangat atau jiwa UUD 1945; • Terkait dengan Pasal 28H UUD 1945, yang disebut jiwa atau semangat adalah yang menghidupi seluruh pasal demi pasal, sehingga semangat tersebut harus termanifesir di dalam pasal demi pasalnya. Dengan demikian semua pasal yang ada di dalam UUD 1945 harus terjiwai dengan semangat ini; • Sehubungan dengan kerugian secara in concreto , sebagai ahli tidak dapat melihat atau menjabarkannya. Artinya, kerugian moril atau imateriel dari pihak Pemohon, tetapi segala sesuatu yang bertentangan dengan semangat atau jiwa suatu Undang-Undang ataupun UUD sudah barang tentu merugikan dalam arti merugikan seluruh bangsa Indonesia. Misalnya kalau semangat di dalam UUD 1945 adalah ekonomi kerakyatan, tetapi dalam kenyataannya ekonomi liberal maka dengan sendirinya akan merugikan seluruh bangsa Indonesia; • Bertumpu pada statement saksi maka jika suatu benda negara dibebani dengan hak-hak keperdataan, menurut prinsip dalam publik domain adalah tidak diperkenankan karena merupakan suatu benda publik yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; • Menafsirkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terutama mengenai tanah harus dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960), sebab Undang-Undang tersebut adalah sebagai pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sehingga namanya seharusnya Undang- Undang Pokok Pertanahan bukan Undang-Undang Pokok Agraria, sebab kalau agraria maka termasuk pertambangan dan sebagainya; • Khusus mengenai tanah terdapat beberapa prinsip, pertama , hak menguasai negara ada di atas segala-galanya sehingga meskipun terdapat hak milik perorangan yang penuh, namun tetap dikuasai oleh negara. Kedua , semua benda termasuk tanah adalah berfungsi sosial ( vide Pasal 6 UU 5/1960), sehingga kepentingan umum atau kepentingan negara lebih diutamakan daripada kepentingan individu-individu; • Mengenai kemanfaatan, seharusnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, hasil dari penggunaan benda merupakan kepentingan umum yang bermanfaat bagi bangsa atau bagi negara; 59 • Kata kepentingan umum juga include manfaat, kegunaannya untuk bangsa ini, sehingga kalau SBSN akhirnya bermuara kepada APBN atau APBD, padahal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sumber keuangan negara di antaranya ada pajak dan sebagainya namun tidak ada kata-kata atau suatu ketentuan SBSN merupakan sumber pendapatan Negara. Bisa jadi masuk dalam pendapatan negara tetapi bukan suatu prinsip sehingga tidak dapat diandalkan sebagai suatu pendapatan yang pasti; • Kerugian dalam konteks ini adalah bukan kerugian perdata, karena peradilan Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan publik, sehingga masalah kerugian tidak seperti dalam perdata harus jelas moril, imateriel dan sebagainya. Kalau suatu hal yang bertentangan dengan semangat atau jiwa UUD maka merugikan seluruh bangsa, terutama untuk generasi penerus. Dengan demikian apabila kerugian dijelaskan secara rinci, menurut ahli, hal itu merupakan kerugian dalam privat recht ; Ahli Drs. Siswo Sujanto, DEA. • Melihat peran dan kewajiban negara terhadap warga negaranya didasarkan pada dalil atau landasan pemikiran baik filosofis, konsepsi teoritik maupun landasan konstitusional sebagai berikut:
Di dalam landasan filosofis, negara melindungi dan mensejahterakan seluruh rakyatnya. Oleh karena itu, negara harus memiliki sarana yang memadai dan terjamin agar tugas atau fungsi kewajibannya dapat terlaksana dengan baik;
Dalam konsep teoritik tentang negara, terlepas dari sistem ekonomi yang dianut suatu negara yaitu sistem kapitalis, yang merupakan perwujudan falsafah liberalisme yang mengutamakan kepentingan individu maupun sistem sosialis yang bersifat etatis dengan menyerahkan semua kekuasaan di bidang perekonomian di tangan Pemerintah, fungsi Pemerintah dalam menjamin terselenggaranya kebebasaan maupun kesejahteraan masyarakat adalah sangat penting. Dalam sistem perekonomian kapitalis yang memberikan kebebasaan kepada masyarakat untuk melakukan produksi, konsumsi dan distribusi diperlukan peran Pemerintah untuk melakukan pengaturan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk penyediaan barang-barang yang berupa kebutuhan dasar masyarakat yang 60 kemudian di kenal dengan istilah public goods. Kebutuhan dasar tersebut antara lain adalah perlindungan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, keadilan, pekerjaan umum. Sementara itu, dalam sistem perekonomian sosialis Pemerintah atau negara bersifat omnipoten , artinya fungsi Pemerintah atau negara, bukan hanya terbatas pada penyediaan barang- barang kebutuhan dasar melainkan juga kebutuhan lainnya yang sebenarnya dapat disediakan oleh masyarakat melalui mekanisme pasar;
Dalam pandangan yang lebih modern sebagaimana disampaikan oleh seorang ahli keuangan negara yaitu Richard Maskrid, fungsi Pemerintah melalui kebijakan anggaran belanja negara adalah menjamin keseimbangan dalam pengalokasian sumber daya, menjamin keseimbangan dalam pembagian pendapatan dan kekayaan dan menjamin terselenggaranya stabilitas ekonomi nasional;
Kalau memperhatikan sistem Pemerintahan Indonesia, peran dan fungsi negara sebagai dikemukakan dalam teori di atas, dengan jelas dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian secara rinci dituangkan dalam berbagai pasalnya yang merupakan suatu landasan konstitusional, antara lain menyatakan, “ kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”. Dengan demikian peran atau tugas Pemerintah Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Peran dan fungsi Pemerintah atau negara tersebut antara lain tercermin dalam Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 UUD 1945, termasuk setelah dilakukan perubahan;
Selanjutnya untuk merealisasikan peran dan fungsi Pemerintah sebagaimana diuraikan tersebut di atas, diperlukan adanya jaminan 61 sekurang-kurangnya dalam dua hal, yaitu Pemerintah selaku otoritas dan pemerintah sebagai individu. Khusus Pemerintah selaku otoritas, pertama , Pemerintah yang menjamin kepentingan masyarakat atau public interest harus memiliki kewenangan secara politik dan hukum untuk dapat menjamin terwujudnya peran dan fungsinya. Kedua , Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat harus memiliki jaminan bahwa asetnya yang merupakan instrumen untuk mendukung terwujudnya peran dan fungsi pemerintah tersebut selalu aman di tangannya dan tidak mendapat ancaman dari pihak lain; [3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil dan bukti-bukti yang diajukan Pemohon, Pemerintah telah memberikan keterangan tertulis, yang selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut: • Sebagai konsep ekonomi yang berbasis syariah, penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara mutlak harus menggunakan underlying transaction yang antara lain dapat berupa jual beli atau sewa menyewa atas “hak manfaat” BMN, jasa ( services ), pembangunan proyek atau objek pembiayaan lainnya. Penggunaan underlying transaction tersebut dimaksudkan agar terhindar dari adanya unsur-unsur (1) Riba , yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang ( money for money );
Maysir , yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan
Gharar , yaitu unsur ketidakpastian terkait dengan penyerahan, kualitas, dan kuantitas. __ • Barang Milik Negara (BMN) yang akan digunakan sebagai aset SBSN dapat berupa tanah dan/atau bangunan termasuk proyek yang akan atau sedang dibangun yang harus memiliki nilai ekonomis, dalam kondisi baik/layak, telah tercatat dalam Dokumen Penatausahaan BMN, bukan merupakan alat utama sistem persenjataan, tidak sedang dalam sengketa, dan tidak sedang digunakan sebagai aset SBSN dalam penerbitan yang lain. • Pembatasan penggunaan BMN yang dapat dijadikan sebagai underlying penerbitan SBSN menunjukkan bahwa Pemerintah sangat selektif dan sangat hati-hati dalam menggunakan BMN tersebut. Di samping itu telah diatur juga dalam UU SBSN, khususnya Pasal 9 ayat (1) bahwa penggunaan BMN 62 sebagai underlying penerbitan SBSN tersebut harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPR. • Penggunaan BMN sebagai aset SBSN dilakukan dengan cara Menteri Keuangan memindahtangankan hak manfaat atas BMN, sehingga pemindahtanganan BMN dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan BMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. • Pengertian hak manfaat di Indonesia baru dikenal setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Dalam UU SBSN tersebut, Hak Manfaat didefinisikan sebagai hak untuk memiliki dan mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu dilakukan pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut. Dengan kata lain, pada saat dilakukan jual beli atau sewa menyewa atas hak manfaat BMN untuk dijadikan aset SBSN maka tidak ada perpindahan hak kepemilikan ( legal title), sehingga kepemilikan atas BMN tersebut tetap berada pada Pemerintah. • Terdapat perbedaan konsep pemindahtanganan berdasarkan UU SBSN dengan UU Perbendaharaan Negara, dimana dalam hal penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN, UU SBSN merupakan lex specialist dari UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU SBSN bahwa: “ Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sifat _pemindahtanganan dimaksud, antara lain: _ (i) Penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang _Milik Negara; _ _(ii) Tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik Negara; _ dan (iii) Tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan .” • Penerbitan SBSN dilakukan dengan menggunakan struktur ijarah / sale and lease back , dimana Pemerintah wajib membeli kembali BMN yang telah dijual hak manfaatnya dan dijadikan sebagai aset SBSN, pada saat jatuh tempo atau 63 pada saat terjadi default ( in the event of default ). Dalam hal BMN yang akan digunakan sebagai aset SBSN sedang digunakan oleh Kementerian atau Lembaga selain Kementerian Keuangan, maka Menteri Keuangan terlebih dahulu memberitahukan kepada Kementerian atau Lembaga pengguna BMN dimaksud. Berdasarkan UU SBSN, Menteri Keuangan diberi kewenangan menggunakan BMN untuk dijadikan sebagai aset SBSN. Penggunaan BMN sebagai aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi pengguna BMN untuk tetap menggunakan BMN dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya, sehingga tanggung jawab untuk pengelolaan BMN ini tetap melekat pada instansi pengguna BMN sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. • Penggunaan BMN sebagai aset SBSN, oleh sebagian masyarakat sering dipahami sebagai jaminan ( collateral ) atau gadai. Pemahaman tersebut sangatlah tidak tepat. Secara hukum jaminan adalah perjanjian tambahan yang harus didahului dengan perjanjian utang piutang antara para pihak. Dimana dalam jaminan, salah satu pihak dapat menyita objek jaminan apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian para pihak, sehingga dalam jaminan ada hak salah satu pihak untuk melakukan penyitaan atas objek penjaminan. Hal ini berbeda dengan penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN yaitu bahwa BMN yang digunakan sebagai aset SBSN atau underlying asset bukanlah sebagai jaminan ( collateral ) atau gadai. Hal tersebut sangat jelas diatur dalam perjanjian antara Pemerintah dan Perusahaan Penerbit SBSN bahwa BMN yang dijadikan sebagai aset SBSN tetap berada dalam penguasaan Pemerintah, sehingga tidak akan terjadi peralihan hak kepemilikan ( legal title ) atas BMN tersebut. Hal ini didukung dalam salah satu dokumen hukum penerbitan SBSN, dimana Perusahaan Penerbit SBSN sebagai Wali Amanat memberikan pernyataan sepihak untuk menjual kembali aset SBSN hanya kepada Pemerintah dalam hal Pemerintah gagal bayar ( in the event of default ) atau pada saat SBSN jatuh tempo. Dari pihak Pemerintah, dibuat pula dokumen hukum dimana Pemerintah memberikan pernyataan sepihak untuk membeli kembali aset SBSN pada saat Perusahaan Penerbit menjual aset SBSN tersebut. • Rating Indonesia terkait dengan SBSN yang dikeluarkan oleh 3 (tiga) lembaga rating internasional adalah Moodys: Ba2, Standard & Poor: BB-, dan Fitch: 64 BB+, yang berarti bahwa posisi rating Indonesia hampir mencapai investment grade . Hal tersebut merepresentasikan adanya perbaikan pengelolaan keuangan publik dan fundamental ekonomi, penurunan rasio utang terhadap PDB, pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah kondisi krisis ekonomi global, dan pengelolaan APBN yang prudent dan kredibel; [3.12] Menimbang bahwa untuk menguatkan keterangannya, Pemerintah mengajukan tiga orang saksi, yaitu Drs. Triantoro, Ir. Hanawijaya, M.M., dan M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M., serta enam orang ahli yaitu K.H. Ma’ruf Amin, Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP., Gahet Ascobat, Farouk Abdullah Alwyni, Ir. Muhammad Syakir Sula, FIS., dan Ary Zulfikar, S.H., yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan, selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut: Saksi Drs. Triantoro • Dasar hukum SBSN adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan beberapa peraturan yang lainnya, termasuk juga Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 4/PMK-08/2009 tentang Pengelolaan SBSN yang berasal dari barang milik negara; • Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan telah menyampaikan pro notification penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset dalam penerbitan SBSN kepada 10 kementerian lembaga, termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-2 94/MK.6 2009 tanggal 2 Oktober 2009, dan selanjutnya Direktur Jenderal Keuangan Negara atas nama Menteri Keuangan telah menyampaikan notification penggunaan barang milik negara atau underlying asset, dalam penerbitan SBSN kepada 9 kementerian lembaga termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-19/MK 06/2010 tanggal 2 Februari 2010, antara lain menyatakan bahwa untuk penerbitan SBSN seri IFR 003 dan seri IFR 004 dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 22 KM 08 2009 dan Nomor 23 KMK 08/2009 tanggal 10 November 2009 telah ditetapkan barang milik negara pada 9 kementerian/lembaga termasuk Depdiknas menjadi underlying asset penerbitan SBSN. • Selama BMN dimaksud dipergunakan sebagai aset SBSN, pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara dimaksud, sesuai dengan penggunaan awalnya untuk pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, dan 65 tidak dapat melakukan pemindahtanganan kepemilikan atas BMN dimaksud kecuali dikarenakan ada perundang-undangan yang mengharuskan pemindahtanganan tersebut. Dengan demikian terkait dengan SBSN dapat disimpulkan:
Penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan pengalihan status kepemilikan dan atau status penggunaan atas barang milik negara tersebut maupun perubahan fungsinya;
Barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan permasalahan dari sisi akuntansi mengingat pemilikan milik negara tidak berpindah sehingga tetap tercantum dalam sistem informasi manajemen akuntansi barang kepemilikan negara atau SIMAK BMN atau neraca on balanced dari kementerian pendidikan nasional;
Kementerian Pendidikan Nasional selaku pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara yang dijadikan sebagai underlying asset untuk melaksanakan tugas dan fungsi kementerian pendidikan nasional; Saksi Ir. Hanawijaya, M.M. • Pertumbuhan instrumen sukuk __ dalam negeri yang dikeluarkan oleh perusahaan korporasi sangat lamban. Berdasarkan data olahan departemen keuangan pada tahun 2003, sukuk korporasi hanya berjumlah 6 buah atau senilai 740 milyar. Hingga Desember 2006, sukuk __ korporasi di Indonesia yang telah diterbitkan berjumlah 17 sukuk __ yang nilainya 2,2 triliun. Sampai 1 Desember 2007, total obligasi syariah dan medium term notes yang diterbitkan sudah mencapai 32 jenis. Di sisi lain, untuk menerbitkan sukuk negara, Pemerintah masih terganjal karena belum adanya regulasi yang mengatur ketentuan tersebut. Padahal sebagai instrumen berbasis syariah, sukuk jelas memiliki tipikal dan aturan yang berbeda dengan surat utang negara biasa. Sampai pada akhirnya diterbitkan UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN yang merupakan pedoman bagi terbitnya sukuk negara sekaligus sebagai instrumen mendorong tumbuhnya investasi bagi investor dan lembaga keuangan syariah; • Instrumen sukuk memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan instrumen keuangan syariah di Indonesia. Peran-peran tersebut adalah sebagai motor penggerak syariah di Indonesia. Dengan adanya instrumen sukuk membuat bank syariah lebih termotivasi untuk lebih mengembangkan secara 66 agresif tanpa khawatir terbatasnya instrumen untuk placement apabila terjadi ekses _fund; _ • Sukuk dapat juga sebagai pintu masuk yang efektif dalam mempercepat pertumbuhan aset bank syariah yaitu melalui penetrasi kepada masyarakat menengah ke atas yang selama ini menempatkan sebagian dananya melalui surat berharga bank-bank konvensional. Sukuk juga meningkatkan fee base income bagi Bank Syariah Mandiri, yaitu sebagai agen dari sukuk ritel mendapatkan fee base income sebesar 650 juta dan terakhir sebagai agen penerbit SR 002 mendapatkan fee base sebesar 495 juta rupiah; • Surat SBSN ritel atau sukuk negara ritel adalah salah satu investasi bagi investor atau instrumen pembiayaan APBN bagi pemerintah. Sama halnya dengan instrumen 001 dan 002 yang diterbitkan pada 2 Agustus 2008; • Sebagai investor lembaga keuangan syariah, Bank Syariah Mandiri menyadari bahwa underlying transaction yang dilakukan oleh Pemerintah tidak menyebabkan adanya perpindahan aset negara apabila terjadi Pemerintah gagal bayar; Saksi M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M. • Selaku praktisi pengajar keuangan syariah dan juga selaku investor individu dari sukuk negara yang selama ini mengharapkan adanya instrumen investasi yang dapat memberikan tidak hanya benefit di dunia tetapi juga insya Allah benefit di akhirat, minimal semacam peace of mind atau perasaan yang menenangkan pada saat kita berinvestasi pada instrumen investasi tersebut; • Keuntungan yang saksi peroleh dalam berinvestasi di sukuk negara khususnya sukuk ritel Republik Indonesia SR 001, antara lain imbal hasil yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah atau dalam hal ini imbal jasanya berdasarkan akad ijarah berdasarkan fatwa MUI Nomor 71 dan Nomor 72 dan juga telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 yaitu tentang Surat Berharga Syariah Negara; • Sukuk yang dikeluarkan oleh negara relatif aman, karena Republik Indonesia mempunyai reputasi sebagai pembayar utang yang sangat baik dan tidak mengalami default . Khusus untuk Sukuk Ritel Republik Indonesia imbal jasa yang saksi terima sebagai investor dapat diterima setiap bulan; 67 • Sukuk menjadi instrumen investasi yang sangat akuntabel karena dikeluarkan dengan underlying asset yang transparan sehingga dalam hal pengeluaran sukuk ini menjadi kredibel di mata investor. Sebagai investor, saksi sangat memahami bahwa yang dijadilan underlying dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara adalah berupa hak manfaat dari barang milik negara, sebagai investor saksi akan mendapatkan sejumlah imbalan yang berasal dari penyewaaan kembali hak manfaat aset SBSN kepada Pemerintah yang dituangkan dalam akad ijarah, dan saksi sangat yakin bahwa dana yang diinvestasikan kepada sukuk negara akan aman, bahkan dalam hal misalnya pemerintah gagal bayar atas SBSN yang dimiliki oleh investor maka berdasarkan Undang-Undang SBSN dana tersebut akan disediakan dalam APBN dan investor melalui perusahaan penerbit SBSN sebagai wali amanat atau wakil investor hanya akan menjual aset SBSN kepada Pemerintah sesuai dengan dokumen penerbitan pada saat sukuk negara jatuh tempo; • Keuntungan dan kemanfaatan yang ada di instrumen investasi sukuk negara seharusnya menjadi pendorong bagi masyarakat Republik Indonesia untuk lebih berkeinginan melakukan investasi bagi dirinya dan negaranya bukan justru mempermasalahkan keberadaan sukuk negara; Ahli KH. Ma’ruf Amin • Penerbitan sukuk negara sudah lama diinginkan dan dicita-citakan tetapi terkendala ketika itu belum adanya Undang-Undang yang menjadi landasan, yaitu Undang-Undang yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang ada serta sesuai dengan ketentuan syariah. Akhirnya para ahli hukum nasional dan para ahli syariah berijtihad untuk mewujudkannya dalam rangka membiayai APBN, kemudian lahirlah Undang-Undang SBSN yang di dalamnya tercapailah kesesuaian antara hukum negara dan hukum syariah. Menurut istilah Ahli, terdapat persesuaian syaara’an waqanunan . Hal tersebut merupakan satu prestasi di bidang hukum yang luar biasa; • Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia memberikan masukan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut dengan menunjuk tim untuk mendampingi. Dewan Syaraiah Nasional juga menunjuk tim untuk duduk dalam Komite Syariah SBSN dan Dewan Syariah Nasional juga mengeluarkan fatwa- fatwa berkenaan dengan SBSN, antara lain Fatwa Nomor 69 tentang surat berharga syariah negara, Fatwa Nomor 70 tentang metode penerbitan surat 68 berharga syariah negara, Fatwa Nomor 71 tentang sale and lease back , Fatwa Nomor 72 tentang surat berharga syariah negara ijarah, sale and lease back , dan setiap Pemerintah menerbitkan SBSN, Dewan Syariah Nasional membentuk tim dalam mendampingi Pemerintah dalam pembuatan skema dan perjanjian yang terkait dengan penerbitan SBSN; • Dewan Syariah Nasional juga memberikan pernyataan kesesuaian syariah untuk setiap emisi SBSN, untuk memberikan pernyataan ini Dewan Syariah Nasional MUI me review ulang atas sebuah skema dan perjanjian yang telah dipandang final, yaitu melalui akad-akad dalam penerbitan SBSN, dimana barang milik negara tidak akan beralih secara fisik karena yang beralih adalah hak manfaatnya saja itupun hanya bersifat sementara karena hak manfaat yang beralih tersebut akan kembali kepada Pemerintah ketika SBSN jatuh tempo. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk adanya kekhawatiran hilangnya atau lepasnya barang milik negara melalui SBSN; Ahli Ir. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP. • Secara umum sukuk yang ada di dunia dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama, adalah sukuk yang berbasis aset riil atau disebut asset base sukuk. Kedua, adalah sukuk yang melekat pada dan dijaminkan oleh asset riel yang disebut sebagai asset back sukuk. • Asset base sukuk/ asset riel hanya digunakan untuk membuat struktur transaksi agar sesuai dengan prinsip syariah. Dalam prinsip syariah, setiap transaksi harus memenuhi tiga rukun, yaitu pertama adanya para pihak, kedua, adanya objek transaksi, dalam bahasa Arab disebut ma’kud alaih atau dalam bahasa Inggris disebut underlying asset, juga harga objek dari transaksi tersebut. Ketiga, adanya kesepakatan. Oleh karenanya aset riil yang dijadikan dasar penerbitan sukuk biasanya tidak dijadikan sumber pembayaran dan tidak dijaminkan untuk pembayarannya. Secara lebih formal sukuk didefinisikan sebagai an investment sukuk is a certificate of equal value representing shares in ownership of tangible asset usufruct and services or in the ownership of the asset of particular project or special investment activity. Sedangkan untuk jenis sukuk yang kedua yang disebut sebagai asset back sukuk adalah aset riil yang dipisahkan kepemilikannya kepada special purpose vehicle juga dijadikan sumber pembayaran dan dijaminkan untuk pembayarannya. Perbedaan ini secara teoritis memberikan tingkat risiko yang berbeda. Secara lebih formal 69 asset backed securities didefinisikan sebagai an asset backed security is a security who’s value and income payments are derived from and collateralised or backed by a specified full of underlying asset . • Dilihat dari sisi risiko investor pada jenis sukuk yang pertama yaitu asset base sukuk sebenarnya mempunyai tingkat risiko yang sama dengan memberikan uang tanpa jaminan aset riil atau disebut sebagai unsecured . Sedangkan investor pada jenis sukuk yang kedua yaitu asset back sukuk mempunyai jaminan atau disebut secured berupa aset riil yang dipisahkan kepemilikannya walaupun di beberapa negara jaminan itu berarti hak tagih atas aset riil bukan hak kepemilikan penuh atas aset riil itu sendiri. Sukuk yang diterbitkan oleh korporasi kadang berupa asset base sukuk dan kadang berupa asset back sukuk . Sedangkan sukuk yang diterbitkan oleh negara sampai saat ini biasanya berupa asset base sukuk . Ahli Gahet Ascobat • Dari sisi pasar sukuk global menunjukkan perkembangan cukup signifikan dimulai tahun 2002 pada saat Pemerintah Malaysia pertama kali menerbitkan sukuk global dalam mata uang US dollar dan mencapai puncaknya pada tahun 2007, karena krisis keuangan global pada tahun 2008 mengalami penurunan, dan kemudian pada tahun 2009 mengalami peningkatan lagi yang disebabkan penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Indonesia selaku pioneer pada tahun 2009. Dengan berpartisipasinya pemerintah dalam menerbitkan SBSN di tahun 2008 dan tahun 2009 maka industri ini mendapatkan suplai atau persediaan instrumen syariah yang sangat dinanti-nanti oleh pelaku pasar; • Beberapa transaksi sukuk yang telah dilakukan di pasar internasional oleh pemerintahan, antara lain Pemerintah Malaysia, Qatar, Dubai, Indonesia, dan Bahrain pada tahun 2009 terjadi kelebihan permintaan cukup besar dan cukup signifikan, yaitu transaksi untuk Pemerintah Indonesia secara global mengalami kelebihan permintaan sebesar tujuh kali lipat. Penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Bahrain juga mengalami kelebihan permintaan sebanyak lima kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi investor syariah secara global, permintaan dan kebutuhan atas instrumen ini memang sangat besar dan instrumen ini juga sangat langka tersedia di pasar; • Di Indonesia dilihat dari sisi penerbitan sukuk mengalami peningkatan dan untuk memenuhi kebutuhan investor yang semakin meningkat pemerintah 70 sudah memberi supply sedemikian besar dan berhasil diserap oleh pelaku pasar dan investor di Indonesia; • Seluruh transaksi sukuk secara global yang dilakukan oleh pemerintahan di dunia selain di Indonesia, yaitu Malaysia, negara bagian di Jerman, Dubai, dan Pakistan telah melakukan penerbitan sukuk secara global dengan berdasarkan struktur ijarah atau berdasarkan sewa menyewa atas suatu aset, yang merupakan struktur yang mirip dengan yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia dalam penerbitan SBSN; • Dalam perkembangan pasar dan perkembangan regulasi, tidak hanya yang dialami dan dijalankan oleh Pemerintah Indonesia dan negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Mesir, Turki, Kazakhstan, Uni Emirat Arab, dan Pakistan mengembangkan peraturan-peraturan yang akomodatif untuk penerbitan sukuk baik oleh pemerintahan maupun oleh korporasi tetapi di luar negara-negara mayoritas berpenduduk muslim seperti Inggris, Perancis, kemudian Hongkong, Korea, dan Jepang telah atau sedang menyusun perundang-undangan atau perangkat regulasi untuk memfasilitasi kemungkinan pemerintahan atau koperasi di negara masing-masing tersebut untuk dapat menerbitkan instrumen berbasis syariah atau sukuk yang menggunakan atau memerlukan _underlying asset; _ • Transaksi sukuk oleh Pemerintah Indonesia baik dalam mata uang rupiah maupun US dolar sangat sukses dan mengalami kelebihan permintaan, hal ini menunjukkan transaksi tersebut sangat sukses dan diminati oleh investor. Salah satu kunci suksesnya transaksi tersebut adalah karena struktur yang diterapkan adalah struktur yang diterima secara luas dan merupakan market best practice yang telah dilakukan oleh penerbit-penerbit lainnya sebelum Pemerintah Indonesia, adalah sebagai berikut:
Pemerintah mengalihkan hak manfaat atas beberapa kantor pemerintahan selaku aset sukuk kepada suatau perusahaan penerbit yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, tidak dimiliki oleh investor asing.
Pemerintah tetap menggunakan aset-aset sukuk tersebut seperti sedia kala tidak ada disruption, tidak ada perubahan karena aset itu langsung disewakan penerbit kepada Pemerintah sejak hari pertama transaksi dilangsungkan dan hal tersebut berlangsung terus sampai dengan sukuk tersebut jatuh tempo. 71 c. Sertifikat kepemilikan atau barang-barang milik negara tersebut tidak berpindah dari Pemerintah dan tidak berpindah ke tangan investor asing dalam kasus ini. Pada saat jatuh tempo atau dalam hal terjadi gagal bayar atau wanprestasi di pihak Pemerintah aset sukuk pun hanya dapat dijual kembali oleh investor atau perusahaan penerbit kepada Pemerintah Indonesia, sehingga tidak ada kondisi hak manfaatnya hilang atau kepemilikannya hilang berpindah dari tangan Pemerintah.
Pada saat penerbitan, sukuk global mendapat credit rating agency sebagai instrumen yang merefleksikan sebagai risiko kredit dan rating Pemerintah yaitu BA3 berdasarkan analisa Moody’s, BB- menurut standar S&P, dan BB menurut Fitch, hal tersebut sama seperti rating Pemerintah Indonesia pada saat itu; • Apabila terjadi dissolution event atau gagal bayar atau interrupted default dalam keempat transaksi pada saat jatuh tempo maka akan langsung dijual kembali kepada pemerintah negara masing-masing yaitu kepada Malaysia, Qatar, Pakistan, dan Indonesia karena feature tersebut tidak ada objek jaminan dan keempat transaksi ini adalah transaksi yang _unsecured; _ Ahli Farouk Abdullah Alwyni • Ahli melihat dari sisi peranan sukuk negara dalam kaitannya dengan potensi untuk menarik investasi, khususnya investasi dari negara Timur Tengah, karena kebanyakan investor dari Timur Tengah adalah mereka yang mempunyai investasi dalam bentuk financial capital , sehingga investasinya mengarah kepada surat-surat berharga. Dengan mulai berkembangnya sistem keuangan Islam maka mulai terjadi diversifikasi penempatan dana bukan hanya di pasar tradisional Eropa dan Amerika Serikat tetapi juga di negara-negara mereka sendiri dan terakhir di Malaysia yang cukup aktif untuk mencoba memposisikan diri menjadi alternative financial destination , alternative investment destination bagi negara-negara dari teluk tersebut. • Indonesia sebagai negara yang sedang membangun dan memerlukan pendanaan yang besar, perlu juga melihat potensi ini, terlebih lagi Indonesia negara muslim yang terbesar di dunia. Mengeluarkan sukuk merupakan satu usaha penting dalam rangka menarik investor Timur Tengah khususnya Negara-negara Teluk. Terlebih lagi model investasi dari Negara-negara Teluk umumnya adalah untuk financial capital atau investasi di pasar modal atau 72 pasar uang. Sukuk global Indonesia pertama senilai USD 650.000.000, dikeluarkan pada tahun 2009 sekitar 70%-nya diambil oleh Investor Timur Tengah, sehingga terlihat bahwa upaya yang dilakukan telah membuahkan hasil; • Ke depan sukuk negara merupakan satu strategi untuk lebih menarik capital ke dalam negeri. Preferensi investor Timur Tengah yang untuk sekarang ini lebih comfortable berhubungan dengan negara atau Badan Usaha Milik Negara dalam hubungan bisnis dengan Indonesia, membuat suatu negara menjadi suatu instrumen efektif untuk menarik dana mereka ke Indonesia. Perkembangan pasar uang dan pasar modal syariah juga menjadi satu faktor penting dalam menarik investasi portofolio dari negara-negara Teluk. Di samping itu, pada akhirnya negara bukan hanya berpotensi menarik investor Timur Tengah, tetapi juga investor-investor lain seperti Amerika dan Eropa yang pada kenyataanya menyumbang sekitar 30% dari pembeli sukuk global yang dikeluarkan di Indonesia; • Sukuk pada hakikatnya dapat menjadi instrumen penarik investasi yang lebih luas dari conventional bond mengingat pasar sukuk tidak terbatas dari investor syariah tetapi juga investor konvensional karena sukuk bisa dibeli oleh conventional investors dan syariah investors tetapi conventional bond terbatas pada conventional investors , jadi mengeluarkan sukuk mempunyai benefit yang berganda; • Menurut ahli, dapat disimpulkan bahwa sukuk negara mempunyai peranan penting, yaitu pertama , dalam menarik financial capital dari luar negeri umumnya dan negara-negara Timur Tengah khususnya dalam rangka membiayai program pembangunan negara, dan kedua dalam rangka pengembangan perbankan syariah melalui mekanisme peningkatan likuiditas pasar uang syariah; Ahli Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ., FIIS. • Menurut data statistik Desember 2008, masyarakat Indonesia yang 88,22% penduduknya adalah muslim tentu membutuhkan instrumen bisnis dan produk- produk halal yang sesuai dengan syariah, karena itu menjadi kewajiban Pemerintah memberikan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat muslim tersebut. Saat ini hampir semua lembaga keuangan syariah sudah ada di Indonesia, mulai dari perbankan, asuransi, reksadana, obligasi, 73 corporate , sukuk, saham syariah, penjaminan syariah, pegadaian syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah sudah ada di Indonesia; • Peran sukuk terhadap lembaga keuangan syariah adalah sebagai pendorong untuk mempercepat proses market share yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Sebagai instrumen investasi maupun sebagai fee base income, sukuk negara diperlukan untuk instrument portofolio investasi. Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut yang sangat dibutuhkan masyarakat tentu akan sangat lambat kalau tidak didorong oleh instrumen- instrumen investasi seperti sukuk; • Lembaga keuangan syariah sudah merupakan instrumen global, bahkan negara-negara lain sudah begitu banyak menggunakan konsep syariah seperti Singapura, sedangkan Inggris dan Hongkong ingin menjadi pemilik ekonomi syariah. Oleh karena itu, seharusnya Indonesia menjadi negara yang terdepan di dalam mengembangkan konsep ekonomi syariah; Ahli Ary Zulfikar, S.H. • Penjualan dan/atau penyewaan atas aset SBSN hanya hak atas manfaat tidak ada pemindahan hak milik ( legal title ) dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga tidak mengganggu fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah. • Aset SBSN berupa BMN bukan merupakan objek jaminan kebendaan atau collateral k arena bentuknya bukan perjanjian utang piutang. • Pemegang pemilik SBSN atau investor tidak mempunyai hak eksekusi atas BMN karena tidak mempunyai hak jaminan kebendaan atas BMN, sehingga dalam hal terjadi default tidak akan mempengaruhi status BMN serta mengganggu fungsi penyelenggaraan pemerintahan terkait dengan BMN tersebut. • Struktur skema sukuk adalah dalam bentuk jual beli atas hak manfaat dengan undertaking untuk menjual atau membeli kembali atas hak manfaat BMN antara Pemerintah dengan perusahaan penerbit SBSN Indonesia; [3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil dan bukti-bukti yang diajukan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memberikan keterangan tertulis, yang selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, pada pokoknya sebagai berikut: 74 • Konsep keuangan Islam (Islamic finance) secara bertahap mulai diterapkan oleh beberapa negara di kawasan Timur Tengah pada periode tahun 1960-an, yang terus berkembang dan diadopsi tidak hanya oleh negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, melainkan juga oleh berbagai negara di kawasan Asia dan Eropa. Untuk mendukung perkembangan keuangan Islam tersebut telah didirikan berbagai lembaga keuangan syariah dan diterbitkan berbagai instrumen keuangan berbasis syariah. Selain itu juga telah dibentuk lembaga internasional untuk merumuskan infrastruktur sistem keuangan Islam, yaitu International Islamic Financial Market (IIFM), Islamic Financial Services Board (IFSB), Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), dan telah pula didirikan lembaga rating Islam. • Konsep keuangan Islam didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan, karena itu instrumen keuangan Islam senantiasa selaras dan memenuhi prinsip-prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak bersifat adil, halal, thayyib , dan maslahat . Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur:
Riba yaitu unsur bunga;
Maysir yaitu unsur spekulasi;
Gharar yaitu unsur ketidakpastian. Karakteristik lain dari instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung (underlying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi keuangan konvensional pada umumnya. • Secara filosofis pengembangan instrumen yang berbasis syariah perlu segera dilaksanakan selain untuk mendukung pemanfaatan aset negara secara efisien dan untuk mendorong terciptanya sistem keuangan yang berbasis di dalam negeri, juga untuk memperkuat basis sumber pembiayaan anggaran negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah, atau dikenal secara internasional dengan istilah Sukuk. Instrumen keuangan ini pada prinsipnya sama seperti surat berharga konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) atas sejumlah tertentu aset sebesar nilai nominal Sukuk yang diterbitkan dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-pinsip syariah. Aset yang 75 dapat digunakan di dalam transaksi tersebut merupakan barang milik negara (BMN). • Secara sosiologis pembiayaan keuangan negara melalui penerbitan surat berharga oleh pemerintah berupa Sukuk negara mempunyai implikasi yang luas terhadap pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi, antara lain melalui penciptaan good governance di sektor publik. Dalam hal ini perdagangan Sukuk di pasar keuangan syariah akan memfasilitasi terselenggaranya pengawasan secara langsung oleh publik atas kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan. • Secara yuridis, instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan instrumen keuangan konvensional, sehingga perlu pengelolaan dan pengaturan secara khusus, baik yang menyangkut instrumen maupun perangkat hukum yang diperlukan untuk mengatur Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). • Terkait dengan dalil Pemohon yang mengaitkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara khususnya Pasal 49 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 50 huruf d, DPR berpandangan bahwa perlu adanya pemahaman tentang kepemilikan atas hak manfaat (beneficial ownership) dan kepemilikan hukum (legal ownership) atas suatu aset yang dikenal dalam konsep trust. Hal tersebut mengingat pemindahtanganan barang milik negara (BMN) dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan proses pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. • UU SBSN sudah mengantisipasi apabila terjadi peristiwa default sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang a quo yang memberikan kewenangan kepada Menteri selaku Pemerintah untuk membeli kembali aset SBSN, membatalkan akad sewa, dan mengakhiri akad penerbitan SBSN lainnya pada saat SBSN jatuh tempo; [3.14] Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 Februari 2010, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; 76 Pendapat Mahkamah [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil Pemohon beserta alat bukti surat/tulisan (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-9), keterangan para ahli dari Pemohon, keterangan tertulis Pemerintah, keterangan para saksi dan para ahli dari Pemerintah, keterangan tertulis DPR, serta kesimpulan tertulis dari Pemohon, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan pasal yang dimohonkan pengujian in casu Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 UU 19/2008 menghilangkan hak konstitusional Pemohon yang ditentukan dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, karena dengan berlakunya kedua pasal Undang-Undang a quo , nyata terlihat bahwa kerugian yang dialami oleh Pemohon secara konstitusional merujuk pada potensi kerugian, yaitu apabila dalam jangka waktu dijaminkannya aset SBSN berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan oleh Pemerintah kepada pihak tertentu gagal bayar ( default ), berarti objek tersebut akan dikuasai oleh pihak ketiga (pemegang gadai) objek jaminan Pemerintah. Dengan beralihnya objek jaminan tersebut, pada saat itulah timbul kerugian yang nyata bagi Pemohon karena tidak dapat lagi memanfaatkan fasilitas umum berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan tersebut. Alasan bahwa kerugian yaitu tidak dapat lagi memanfaatkan fasilitas umum berupa tanah, dan lain-lain, tidak tepat menurut hukum karena tidak terjadi peralihan hak atas aset yang dijaminkan. Eksistensi dan penerapan Undang-Undang a quo justru memberi manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan termasuk Pemohon, terutama karena menjadi salah satu sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); Bahwa lagi pula penggunaan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai batu uji, menurut Mahkamah adalah tidak tepat menurut hukum karena Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 adalah jaminan konstitusional terhadap mereka yang mengalami peminggiran, ketertinggalan, pengucilan, pembatasan, pembedaan, kesenjangan partisipasi dalam politik dan kehidupan publik yang bersumber dari ketimpangan struktural dan sosial-kultural masyarakat secara terus menerus (diskriminasi), baik formal maupun informal, dalam lingkup publik maupun privat atau yang dikenal dengan affirmative action, sehingga 77 diperlukan tindakan khusus sementara dengan tujuan membuka peluang dan kesempatan bagi mereka agar dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan publik secara adil dan seimbang; Tindakan afirmatif mengacu pada kebijakan yang berkenaan dengan ras, etnis, cacat fisik, karir militer, gender , orang-orang tua, atau kelas sosial menjadi pertimbangan dalam upaya untuk mempromosikan kesempatan yang sama atau meningkatkan kemampuan kelompok yang tertinggal atau yang kurang diuntungkan untuk mencapai keadilan. Oleh karena itu, tindakan khusus sementara ( affirmative action) bukanlah sebagai bentuk diskriminasi, melainkan suatu koreksi, asistensi, dan kompensasi terhadap perlakuan diskriminatif dan tidak adil yang dialami warga negara tertentu, dengan maksud untuk mempercepat tercapainya persamaan “ de facto ” antara dirinya dengan warga negara yang lain. Tindakan khusus ini bersifat sementara, untuk mempercepat tercapainya kesetaraan substantif. Artinya, apabila sudah terjadi kesetaraan, maka tindakan khusus sementara ( affirmative action) harus dihentikan; Terkait dengan kerugian yang didalilkan Pemohon bahwa sebagai perorangan warga negara kehilangan hak konstitusionalnya atas tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan sebagai akibat diterbitkannya SBSN, tidak terdapat hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian yang didalilkan dengan pasal yang dimohonkan pengujian, karena pasal yang dimohonkan pengujian hanya berupa pengaturan penggunaan Barang Milik Negara dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara yang merupakan pilihan kebijakan yang bersifat terbuka ( opened legal policy ) dalam rangka pengelolaan keuangan negara untuk meningkatkan daya dukung APBN dengan menggunakan instrumen keuangan berbasis syariah yang oleh pembentuk Undang-Undang dipandang memiliki peluang besar yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk membiayai pembangunan nasional ( vide konsideran menimbang huruf b UU 19/2008); Dengan demikian, terhadap konstruksi hukum para Pemohon bahwa telah terjadi kerugian konstitusional dengan dasar Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai batu ujinya, menurut Mahkamah adalah tidak berdasar dan tidak beralasan hukum; 78 2. Bahwa oleh karena pengaturan penggunaan Barang Milik Negara dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara dipandang sebagai pilihan kebijakan yang bersifat terbuka ( opened legal policy ) dari pembentuk Undang- Undang maka mutatis mutandis pertimbangan Mahkamah juga berlaku terhadap dalil Pemohon yang menyatakan pasal yang dimohonkan pengujian justru memberikan kewenangan kepada Menteri untuk menjual atau menyewakan hak manfaatnya atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN;
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Barang Milik Negara sebagai dasar penerbitan SBSN termasuk publik domain yang diperuntukkan bagi kepentingan umum sehingga tidak dapat dijadikan objek perdagangan, menurut Mahkamah, dalil tersebut tidak benar karena BMN bukan dijadikan objek perdagangan melainkan hanya dijadikan objek tanggungan yang berupa hak mendapatkan manfaat. BMN sebagai dasar penerbitan SBSN ( underlying asset ) bukan merupakan jaminan ( collateral ) yang dapat dipindahtangankan, sedangkan yang dapat dipindahtangankan hanya SBSN-nya saja. Undang- Undang a quo memiliki kekhususan antara lain dalam hal sifat pemindahtanganannya berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU 19/2008 yang menyatakan, “Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sifat pemindahtanganan dimaksud, antara lain: (i) penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara; (ii) tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) __ Barang Milik Negara; dan (iii) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan ”;
Pasal 49 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan, “Barang Milik Negara/Daerah dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada Pemerintah Pusat/Daerah,” dan ayat (5) menyatakan, “Barang Milik Negara/Daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman”. Kedua ayat tersebut berbeda objeknya dengan BMN sebagai dasar penerbitan SBSN ( underlying asset ) sebab menurut Pasal 12 UU 19/2008 79 apabila sudah jatuh tempo Pemerintah wajib membeli kembali bahkan dapat membatalkan akad sewa secara sepihak dengan membayar nilai nominal SBSN kepada pemegang SBSN, sehingga tidak akan terjadi pemindahan atau penyerahan BMN. Adapun Pasal 12 ayat (1) UU 19/2008 tersebut menyatakan, “Menteri wajib membeli kembali Aset SBSN, membatalkan Akad sewa, dan mengakhiri Akad penerbitan SBSN lainnya pada saat SBSN jatuh tempo” , sedangkan Pasal 12 ayat (2) UU 19/2008 menyatakan, “Dalam rangka pembelian kembali Aset SBSN, pembatalan Akad sewa dan pengakhiran Akad penerbitan SBSN lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri membayar nilai nominal SBSN atau kewajiban pembayaran lain sesuai Akad penerbitan SBSN kepada pemegang SBSN” ;
Bahwa sehubungan dengan dalil Pemohon yang menyatakan tidak dapat memanfaatkan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan karena dijadikan aset SBSN, menurut Mahkamah dalil tersebut adalah tidak tepat, karena Pemohon bukan selaku instansi pengguna barang milik negara, melainkan sebagai penyewa dari barang milik negara yang digunakan oleh instansi pengguna . Apabila Pemohon sebagai instansi Pemerintah selaku pengguna barang milik negara maka Pemohon tetap dapat menggunakan barang milik negara tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (3) UU 19/2008 yang menyatakan, “ Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi pengguna Barang Milik Negara untuk tetap menggunakan Barang Milik Negara dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya ...”. Jika yang dimaksud pemanfaatan barang tersebut adalah sebagai penyewa, maka penyewa tidak kehilangan haknya apabila BMN tersebut dijadikan underlying asset atas penerbitan SBSN;
Bahwa selain daripada itu, terkait dengan barang milik negara yang dijadikan aset SBSN, UU 19/2008 telah mengaturnya secara ketat dan rinci, sebagaimana termuat dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 9, yang menyatakan: “ Pasal 6 (1) Penerbitan SBSN dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. 80 (2) SBSN yang dapat diterbitkan baik oleh Pemerintah maupun Perusahaan Penerbit SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah semua jenis SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (3) Penerbitan SBSN yang dilakukan melalui Perusahaan Penerbit SBSN ditetapkan oleh Menteri. Pasal 7 (1) Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia. (2) Khusus untuk penerbitan SBSN dalam rangka pembiayaan proyek, Menteri berkoordinasi dengan menteri yang bertanggung jawab di bidang perencanaan pembangunan nasional. Pasal 8 (1) Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. (2) Menteri berwenang menetapkan komposisi Surat Berharga Negara dalam rupiah maupun valuta asing, serta menetapkan komposisi Surat Berharga Negara dalam bentuk Surat Utang Negara maupun SBSN dan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin penerbitan Surat Berharga Negara secara hati-hati. (3) Dalam hal-hal tertentu, SBSN dapat diterbitkan melebihi Nilai Bersih Maksimal yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang selanjutnya dilaporkan sebagai Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran tahun yang bersangkutan. Pasal 9 (1) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) termasuk pembayaran semua kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal yang timbul sebagai akibat penerbitan SBSN dimaksud serta Barang Milik Negara yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN. 81 (2) Pemerintah wajib membayar Imbalan dan Nilai Nominal setiap SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun Perusahaan Penerbit SBSN, sesuai dengan ketentuan dalam Akad penerbitan SBSN. (3) Dana untuk membayar Imbalan dan Nilai Nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut. (4) Dalam hal pembayaran kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal dimaksud melebihi perkiraan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (5) Semua kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan _ayat (4) dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan”; _ [3.16] Menimbang bahwa Mahkamah sependapat dengan keterangan enam orang ahli dari Pemerintah, masing-masing KH Ma’ruf Amin, H. Adiwarman A Karim, Gahet Ascobat, Farouk Abdullah Alwyni, Muhammad Syakir Sula, dan Ary Zulfikar, bahwa pada pokoknya SBSN tidak merugikan negara tetapi justru menguntungkan negara khususnya dalam membiayai APBN, dan barang milik negara yang dijadikan underlying asset tetap dapat digunakan oleh instansi yang bersangkutan karena hanya hak atas manfaat yang dijadikan underlying asset , tidak ada pemindahan hak milik ( legal title) dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga tidak mengganggu fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pandangan dan pendapat hukum Mahkamah sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.15] dan paragraf [3.16] di atas, menurut Mahkamah, tidak terdapat pertentangan antara norma Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU 19/2008 dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Selain itu, dari fakta persidangan telah terungkap tidak terdapat adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan pasal dari Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, Mahkamah menilai Pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalil permohonannya, sehingga permohonan Pemohon harus dikesampingkan; 82 4. KONKLUSI Berdasarkan pertimbangan atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing) untuk mengajukan permohonan _a quo; _ [4.3] Pokok permohonan tidak beralasan hukum; __ Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316); 5 . AMAR PUTUSAN Mengadili Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Senin tanggal tiga bulan Mei tahun dua ribu sepuluh dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari ini, Jumat tanggal tujuh bulan Mei tahun dua ribu sepuluh oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Arsyad Sanusi, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva masing- masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera 83 Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasa, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Moh. Mahfud MD. ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. td Achmad Sodiki ttd. M. Arsyad Sanusi ttd. M. Akil Mochtar ttd. Maria Farida Indrati ttd. Harjono ttd. Muhammad Alim ttd. Ahmad Fadlil Sumadi ttd. Hamdan Zoelva PANITERA PENGGANTI ttd. Cholidin Nasir
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Relevan terhadap
Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Pengenaan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:
peta jalan pajak karbon; dan/atau
peta jalan pasar karbon.
Peta jalan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a memuat:
strategi penurunan emisi karbon;
sasaran sektor prioritas;
keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan; dan/atau
keselarasan antarberbagai kebijakan lainnya.
Kebijakan peta jalan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. 414 (6) Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.
Saat terutang pajak karbon ditentukan:
pada saat pembelian barang yang mengandung karbon;
pada akhir periode tahun kalender dari aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu; atau
saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO 2 e) atau satuan yang setara.
Dalam hal harga karbon di pasar karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (8) lebih rendah dari Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO 2 e) atau satuan yang setara, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO 2 e) atau satuan yang setara.
Ketentuan mengenai:
penetapan tarif pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (8);
perubahan tarif pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (9); dan/atau
dasar pengenaan pajak, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Ketentuan mengenai penambahan objek pajak yang dikenai pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim.
Wajib Pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon, pengimbangan emisi karbon, dan/atau mekanisme lain sesuai peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dapat diberikan: 415 a. pengurangan pajak karbon; dan/atau
perlakuan lainnya atas pemenuhan kewajiban pajak karbon.
Ketentuan mengenai:
tata cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, dan mekanisme pengenaan pajak karbon; dan
tata cara pengurangan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (13) huruf a dan/atau perlakuan lainnya atas pemenuhan kewajiban pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (13) huruf b, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Ketentuan mengenai:
subjek pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (5); dan/atau
alokasi penerimaan dari pajak karbon untuk pengendalian perubahan iklim sebagaimana dimaksud pada ayat (12), diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan terkait pajak karbon dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. 416 BAB VII CUKAI