Penetapan Universitas Airlangga Sebagai Badan Hukum Milik Negara.
Relevan terhadap
Kekayaan awal Universitas berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, berupa seluruh kekayaan Negara yang tertanam pada Universitas, kecuali tanah.
Nilai kekayan awal Universitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dilakukan penilaian oleh Tim Penilai dan Inventaris Barang Milik Negara Pada Universitas Airlangga adalah sebagai berikut :
bangunan sejumlah 43 (empat puluh tiga) unit, seluas 151.865,58 m2 (seratus lima puluh satu ribu delapan ratus enam puluh lima koma lima puluh delapan meter persegi), senilai Rp.252.964.541.410,00 (duaratus limapuluh dua milyar sembilan ratus enam puluh empat juta lima ratus empat puluh satu ribu empat ratus sepuluh rupiah);
alat angkutan kendaraan bermotor sejumlah 134 (seratu's tiga puluh empat) unit, senilai Rp.7.073.466.500,00 (Tujuh milyar tujuh puluh tiga juta empat ratus enam puluh enam ribu lima ratus rupiah);
peralatan kantor, mesin, peralatan laboratorium, dan aset tetap lainnya sejumlah 482.465 (empat ratus delapan puluh dua ribu empat ratus enam puluh lima) unit, senilai Rp.58.661.000.792,00 (Lima puluh delapan milyar enam ratus enam puluh satu juta tujuh ratus sembilan puluh dua rupiah).
Kekayaan awal Universitas selain berasal dari kekayaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berasal dari perolehan lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Semua kekayaan dalam segala bentuk termasuk kekayaan intelektual, fasilitas dan benda di luar tanah tercatat sah sebagai hak milik Universitas.
Kekayaan Universitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) pengelolaannya dilaksanakan oleh Universitas untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Universitas.
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Relevan terhadap
Ayat (1) Kendaraan bermotor untuk penumpang adalah kendaraan bermotor yang dipergunakan untuk mengangkut penumpang, baik dengan maupun tanpa tempat bagasi. Ketentuan ini dimaksudkan terutama untuk menjaga keselamatan dan kenyamanan penumpang. Oleh karena itu penggunaan kendaraan bermotor untuk barang dilarang digunakan untuk mengangkut penumpang. Ayat (2) Kendaraan bermotor untuk barang adalah kendaraan bermotor yang peruntukkannya guna mengangkut barang. Ayat (3) Dalam keadaan tertentu, terutama di daerah yang sarana transportasinya belum memadai, masih diperlukan kelonggaran dalam penerapan ketentuan ayat (1) dan ayat (2), dengan tetap mengutamakan keselamatan dan keamanan lalu lintas. Oleh sebab itu pelaksanaannya perlu dilakukan dengan syarat- syarat yang ketat.
Tata Cara Penyusunan Laporan Keuangan Konsolidasian Bendahara Umum Negara.
Relevan terhadap
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara bertindak sebagai UAP-BUN-IP melaksanakan SA-IP.
Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Investasi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara c.q. Direktorat yang mengelola kekayaan negara yang dipisahkan sebagai penggabung Laporan Investasi Pemerintah.
Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Investasi Pemerintah wajib menyusun Laporan Keuangan Semesteran dan Tahunan.
Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
Laporan Realisasi Anggaran yang menyajikan informasi mengenai penerimaan dan pengeluaran pembiayaan terkait Investasi Pemerintah termasuk Divestasi;
Neraca yang menyajikan posisi Investasi/Penyertaan Pemerintah pada Perusahaan Negara dan Lembaga Keuangan Internasional; dan
Catatan atas Laporan Keuangan yang menjelaskan secara detail masing- masing perkiraan dalam Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca serta melampirkan Ikhtisar Laporan Keuangan Perusahaan Negara mayoritas dan non-mayoritas serta posisi penyertaan modal negara pada Lembaga Keuangan Internasional.
Laporan Keuangan Semesteran disampaikan kepada UA-BUN paling lambat tanggal 27 Juli tahun anggaran berjalan.
Laporan Keuangan Tahunan disampaikan kepada UA-BUN paling lambat tanggal 25 Februari setelah tahun anggaran berakhir.
Laporan Keuangan Tahunan yang telah diaudit ( audited ) disampaikan kepada UA-BUN paling lambat tanggal 30 April setelah tahun anggaran berakhir.
Tata cara penyusunan Laporan Keuangan Investasi Pemerintah mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai Sistem Akuntansi Investasi Pemerintah. Bagian Ketujuh Pelaporan Keuangan Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Belanja Subsidi dan Belanja Lain Lain Pasal 12 (1) Direktorat Jenderal Anggaran bertindak sebagai UAP-BUN-BSBL melaksanakan SA-BSBL.
Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Belanja Subsidi dan Belanja Lain-Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Anggaran c.q. Direktorat Anggaran III sebagai penggabung Laporan Belanja Subsidi dan Belanja Lain-Lain.
Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Belanja Subsidi dan Belanja Lain-Lain wajib menyusun Laporan Keuangan Semesteran dan Tahunan.
Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
Laporan Realisasi Anggaran yang menyajikan informasi Belanja Subsidi dan Belanja Lain-Lain;
Neraca yang menyajikan posisi Aset dan Kewajiban yang terkait Belanja Subsidi dan Belanja Lain-Lain; dan
Catatan atas Laporan Keuangan yang menjelaskan secara detail masing- masing perkiraan dalam Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca.
Laporan Keuangan Semesteran disampaikan kepada UA-BUN paling lambat tanggal 27 Juli tahun anggaran berjalan.
Laporan Keuangan Tahunan disampaikan kepada UA-BUN paling lambat tanggal 25 Februari setelah tahun anggaran berakhir.
Laporan Keuangan Tahunan yang telah diaudit ( audited ) disampaikan kepada UA-BUN paling lambat tanggal 30 April setelah tahun anggaran berakhir.
Tata cara penyusunan Laporan Keuangan Belanja Subsidi dan Belanja Lain- Lain mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai Tata Cara Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Belanja Subsidi dan Belanja Lain-Lain. Bagian Kedelapan Pelaporan Keuangan Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus Pasal 13 (1) Direktorat Jenderal Perbendaharaan bertindak sebagai UAP-BUN-TK melaksanakan SA-TK.
Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan sebagai penggabung Laporan Transaksi Khusus.
Transaksi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
Pendapatan melalui rekening BUN yang selama ini dikelola oleh Direktorat Jenderal Anggaran c.q. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak;
Pendapatan dan Belanja Jasa Perbendaharaan;
Koreksi Pendapatan dan Belanja setelah Laporan Keuangan ditetapkan; dan
Penerimaan dan Pengeluaran Penerimaan Fihak Ketiga.
Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus wajib menyusun Laporan Keuangan Semesteran dan Tahunan.
Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
Laporan Realisasi Anggaran yang menyajikan informasi Transaksi Khusus;
Neraca yang menyajikan posisi Aset, Kewajiban dan Ekuitas yang terkait Transaksi Khusus; dan
Catatan atas Laporan Keuangan yang menjelaskan secara detail masing- masing perkiraan dalam Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca.
Laporan Keuangan Semesteran disampaikan kepada UA-BUN paling lambat tanggal 27 Juli tahun anggaran berjalan.
Laporan Keuangan Tahunan disampaikan kepada UA-BUN paling lambat tanggal 25 Februari setelah tahun anggaran berakhir. (8) Laporan Keuangan Tahunan yang telah diaudit (a udited ) disampaikan kepada UA-BUN paling lambat tanggal 30 April setelah tahun anggaran berakhir. (9) Tata cara penyusunan Laporan Keuangan Transaksi Khusus mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai Sistem Akuntansi Transaksi Khusus. Bagian Kesembilan Pelaporan Keuangan Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Badan Lainnya Pasal 14 (1) Direktorat Jenderal Perbendaharaan bertindak sebagai UAP-BUN-BL melaksanakan SA-BL. (2) Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Badan Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya dilaksanakan oleh Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan sebagai penggabung Laporan Badan Lainnya. (3) Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Badan Lainnya wajib mengkompilasi Laporan Keuangan dari Badan Lainnya menjadi Ikhtisar Laporan Keuangan Badan Lainnya (ILKBL). (4) Ikhtisar Laporan Keuangan Badan Lainnya Semesteran disampaikan kepada UA-BUN selambat-lambatnya tanggal 27 Juli tahun anggaran berjalan. (5) Ikhtisar Laporan Keuangan Badan Lainnya Tahunan disampaikan kepada UA-BUN selambat-lambatnya tanggal 25 Februari setelah tahun anggaran berakhir. (6) Tata cara dan bentuk ILKBL mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Lainnya. Bagian Kesepuluh Pelaporan Keuangan Unit Akuntansi Kuasa Bendahara Umum Negara Pasal 15 (1) Direktorat Pengelolaan Kas Negara selaku UAKBUN-Pusat dan KPPN selaku UAKBUN-Daerah/KPPN wajib menyusun Laporan Arus Kas. (2) Laporan Arus Kas disusun berdasarkan dokumen sumber penerimaan dan pengeluaran kas.
Laporan Arus Kas disajikan berdasarkan ketentuan mengenai Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. (4) Laporan Arus Kas Semesteran disampaikan kepada UA-BUN paling lambat tanggal 20 Juli tahun anggaran berjalan. (5) Laporan Arus Kas Tahunan disampaikan kepada UA-BUN paling lambat tanggal 31 Januari setelah tahun anggaran berakhir. Bagian Kesebelas Pelaporan Keuangan Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Pasal 16 (1) Satuan Kerja yang menerima anggaran dari BA-BUN (UAKPA-BUN) wajib menyusun laporan keuangan tahunan. (2) Laporan keuangan tahunan disusun berdasarkan dokumen sumber penerimaan dan pengeluaran kas. (3) Laporan Keuangan tahunan disajikan berdasarkan Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. (4) Laporan Keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada UAP-BUN yang membawahi satuan kerja yang bersangkutan paling lambat tanggal 31 Januari setelah berakhirnya tahun anggaran. BAB IV PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN KONSOLIDASIAN BENDAHARA UMUM NEGARA Pasal 17 (1) Laporan Keuangan BUN disusun dengan mengkonsolidasikan seluruh laporan keuangan dari masing-masing entitas pelaporan UAP-BUN dengan cara:
Laporan Arus Kas BUN disusun berdasarkan Laporan Arus Kas UAP- BUN-AP;
Neraca BUN disusun dengan mengkonsolidasikan Neraca masing- masing UAP-BUN;
Laporan Realisasi Anggaran Belanja BUN disusun dengan mengkonsolidasikan Laporan Realisasi Anggaran Belanja masing- masing UAP-BUN;
Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan BUN disusun dari Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan SiAP; dan
Laporan Realisasi Anggaran Pembiayaan BUN disusun dengan mengkonsolidasikan Laporan Realisasi Anggaran Pembiayaan masing- masing UAP-BUN.
Konsolidasi Laporan Keuangan BUN dilakukan dengan cara:
Menjumlahkan pos-pos Pendapatan Negara dan Hibah pada Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan SiAP ke dalam Laporan Realisasi Anggaran BUN;
Menjumlahkan pos-pos Belanja yang sama pada Laporan Realisasi Anggaran Belanja BUN ke dalam Laporan Realisasi Anggaran BUN;
Menjumlahkan pos-pos Pembiayaan pada Laporan Realisasi Anggaran Pembiayaan BUN ke dalam Laporan Realisasi Anggaran BUN;
Menjumlahkan pos-pos yang sama pada Neraca seluruh UAP-BUN ke dalam Neraca BUN;
Menjumlahkan pos-pos yang sama pada Laporan Arus Kas seluruh UAKBUN-Daerah/KPPN dan UAKBUN-Pusat ke dalam Laporan Arus Kas BUN;
Mengurangi pos-pos yang sama pada Laporan Realisasi Anggaran seluruh UAP-BUN ke dalam Laporan Realisasi Anggaran BUN;
Mengurangi pos-pos yang sama pada Neraca seluruh UAP-BUN ke dalam Neraca BUN;
Mengurangi pos-pos yang sama pada Laporan Arus Kas seluruh UAKBUN-Daerah/KPPN dan UAKBUN-Pusat ke dalam Laporan Arus Kas BUN; dan
Melakukan eliminasi antara pos-pos yang saling berhubungan ( reciprocal elimination ).
Laporan Keuangan Konsolidasian BUN disertai dengan Catatan atas Laporan Keuangan. BAB V PERNYATAAN TANGGUNG JAWAB DAN PERNYATAAN TELAH DI- REVIEW Bagian Kesatu Pernyataan Tanggung jawab Pasal 18 (1) Unit Akuntansi Bendahara Umum Negara/Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara/Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara wajib membuat Pernyataan Tanggung Jawab ( Statement of Responsibility ) atas Laporan Keuangan.
Pernyataan Tanggung Jawab ( Statement of Responsibility ) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat pernyataan bahwa pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (BA-BUN) telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai dan akuntansi keuangan telah diselenggarakan sesuai dengan dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Pernyataan Tanggung Jawab ( Statement of Responsibility ) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan paragraf penjelasan atas suatu kejadian yang belum termuat dalam laporan keuangan.
Bentuk dan isi dari Pernyataan Tanggung Jawab ( Statement of Responsibility ) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dibuat mengacu pada Lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pelimpahan Kedudukan, Tugas dan Wewenang Menteri Keuangan pada Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Jawatan (Perjan) Kepada Menteri Negara Adan Usa ...
Relevan terhadap
Kabupaten Bener Meriah memiliki kewenangan atas pemungutan pajak dan retribusi daerah sejak terbentuknya perangkat daerah Kabupaten Bener Meriah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kabupaten Bener Meriah berhak mendapatkan alokasi dana perimbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kabupaten Aceh Tengah wajib memberikan bantuan dana kepada Kabupaten Bener Meriah selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, sekurang- kurangnya sebesar dana yang dialokasikan untuk kegiatan pemerintahan di daerah pemekaran selama belum dimekarkan.
Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengalokasikan anggaran biaya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk menunjang kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan sampai dengan ditetapkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bener Meriah.
Sebelum terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Penjabat Bupati Bener Meriah menyusun Rencana Pembiayaan Kegiatan Kabupaten (RPKK) sebagai dasar pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan dengan Keputusan Penjabat Bupati.
Rencana Pembiayaan Kegiatan Kabupaten (RPKK) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam.
Penjabat Bupati Bener Meriah melaksanakan penatausahaan keuangan daerah dan menyampaikan laporan pelaksanaan Rencana Pembiayaan Kegiatan Kabupaten (RPKK) setiap triwulan kepada Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam.
Penjabat Bupati Bener Meriah menyusun dan menetapkan perhitungan Rencana Pembiayaan Kegiatan Kabupaten (RPKK) dengan keputusan Penjabat Bupati sebagai dasar pertanggungjawaban keuangan daerah kepada Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam.
Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun ...
Relevan terhadap
Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 masing-masing daerah untuk Tahun Anggaran 2010 merupakan perkiraan.
Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 masing-masing daerah untuk Tahun Anggaran 2010 didasarkan atas rencana penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010.
Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 masing-masing daerah Tahun Anggaran 2010 adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
Dana Bagi Hasil, yang selanjutnya disebut DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, selanjutnya disebut PPh WPOPDN, adalah Pajak Penghasilan terutang oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan.
Pajak Penghasilan Pasal 21, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4893);
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Republik Indonesia Tahun Anggaran 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5075);
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);
Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.07/2008 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah;
Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 terhadap UUD 1945 ...
Relevan terhadap
Di atas pensiun pokok, kepada penerima pensiun diberikan tunjangan keluarga dan tunjangan lain menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil. Dengan alasan yang pada pokoknya bahwa penerapan pasal yang mengatur dana pensiun tersebut di atas merupakan pemborosan anggaran negara, karena retribusi dan pajak yang dibayar oleh Pemohon merupakan bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang seharusnya dikelola secara tertib, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan masyarakat dan juga seharusnya dipergunakan untuk peningkatan pelayanan dasar masyarakat dan pembangunan sarana dan prasarana umum yang bermanfaat untuk masyarakat; [3.8] Menimbang bahwa berdasarkan dalil Pemohon tersebut di atas, menurut Mahkamah, Pemohon memenuhi kualifikasi sebagai warga negara Indonesia pembayar pajak yang dapat dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, oleh karena itu, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan _a quo; _ 21 [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo , selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan Pendapat Mahkamah [3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden”. Karena Pasal tersebut menggunakan kata “dapat” maka Mahkamah tidak harus mendengar keterangan DPR, DPD, dan/atau Presiden dalam melakukan pengujian atas suatu Undang-Undang. Dengan kata lain, Mahkamah dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh karena permasalahan hukum dalam permohonan a quo sudah jelas, Mahkamah memandang tidak ada urgensi dan relevansi untuk meminta keterangan dan/atau risalah rapat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, sehingga Mahkamah langsung memutus permohonan _a quo; _ [3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, dan bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.11.1] Bahwa Pasal 45 ayat (1) UU MK menyatakan, “ Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim ”; [3.11.2] Bahwa Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 UU 22 12/1980 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa UU 12/1980 adalah produk pemerintahan orde baru yang Pasal- Pasalnya mengandung upaya meninabobokkan anggota DPR dan MPR di kala itu agar tidak dapat kritis kepada pemerintah, dan ketentuan-ketentuan yang menjadi rujukan UU 12/1980 sudah dicabut, maka UU 12/1980 sudah kehilangan roh. Lagipula UU 12/1980 sudah berusia lebih dari 30 tahun, dengan demikian isinya sudah banyak ketinggalan zaman dan tidak layak diterapkan dalam era sekarang ini;
Bahwa DPR/MPR adalah lembaga politik, maka anggotanya seharusnya tidak mendapatkan pensiun, karena masa kerjanya terlalu pendek yang berbeda dengan pegawai negeri sipil, oleh karena itu hal tersebut merupakan pemborosan anggaran negara;
Bahwa Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 UU 12/1980 tidak memberikan persamaan pengakuan, jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum serta persamaan hukum bagi semua anggota legislatif, karena dalam UU 12/1980 DPD tidak disebut berhak mendapatkan pensiun, hal tersebut dapat menyebabkan kecemburuan bagi anggota DPD dan juga kepada anggota DPRD Provinsi, serta anggota DPRD Kabupaten/Kota, yang bersama-sama dengan anggota DPR dipilih secara langsung oleh rakyat, namun tidak mendapatkan perlakuan istimewa seperti anggota DPR yaitu memperoleh dana pensiun. Oleh karena itu semua anggota legislatif baik anggota DPR, maupun anggota DPD, anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota sebaiknya tidak diberi fasilitas yang memboroskan keuangan negara, apalagi dana pensiun; [3.11.3] Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah perlu terlebih dahulu mengemukakan UU 12/1980 dalam dasar hukum (Mengingat), mencantumkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan lembaran Negara Nomor 3041, selanjutnya disebut UU Kepegawaian), yang dalam Pasal 10 23 dan Pasal 11 UU Kepegawaian tersebut beserta penjelasannya telah menyatakan sebagai berikut: Pasal 10: Setiap Pegawai Negeri yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, berhak atas pensiun. Pasal 11: Setiap Pegawai Negara yang diangkat menjadi Pejabat Negara, dibebaskan untuk sementara waktu dari jabatan organiknya selama menjadi Pejabat Negara tanpa kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri . Penjelasan Pasal 10 dan Pasal 11: - Pasal 10 Pensiun adalah jaminan hari tua dan sebagai balas jasa terhadap Pegawai Negeri yang telah bertahun-tahun mengabdikan dirinya kepada Negara. Pada pokoknya adalah menjadi kewajiban dari setiap orang untuk berusaha menjamin hari tuanya, dan untuk ini setiap Pegawai Negeri wajib menjadi peserta dari sesuatu badan asuransi sosial yang dibentuk oleh Pemerintah. Karena pensiun bukan saja sebagai jaminan hari tua, tetapi juga adalah sebagai balas jasa, maka Pemerintah memberikan sumbangannya kepada Pegawai Negeri. Iuran pensiun Pegawai Negeri dan sumbangan Pemerintah tersebut dipupuk dan dikelola oleh badan asuransi sosial. - Pasal 11 _Yang dimaksud dengan Pejabat Negara ialah: _ _1. Presiden dan Wakil Presiden; _ _2. Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat; _ _3. Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; _ _4. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah Agung; _ _5. Anggota Dewan Pertimbangan Agung; _ _6. Menteri; _ 7. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan _sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; _ _8. Gubernur Kepala Daerah; _ _9. Bupati Kepala Daerah/Walikotamadya Kepala Daerah; _ 10.Pejabat lain yang ditetapkan dengan peraturan perUndang-Undangan. [3.11.4] Bahwa dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Udang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Kepegawaian menentukan: _Pejabat Negara terdiri atas : _ _a. Presiden dan Wakil Presiden; _ 24 _b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; _ _c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat; _ d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, _serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan ; _ _e. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung; _ f. _Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; _ _g. Menteri, dan jabatan yang setingkat Menteri; _ h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan _sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; _ i. _Gubernur dan Wakil Gubernur; _ j. _Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota; dan _ k. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang. [3.11.5] Bahwa dalam Pasal 1 UU 12/1980 huruf a sampai huruf f menentukan: _Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: _ _a. Lembaga Tertinggi Negara, adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat; _ b. Lembaga Tinggi Negara, adalah Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Agung, tidak _termasuk Presiden; _ c. Pimpinan Lembaga Tertinggi Negara, adalah Ketua dan Wakil Ketua Majelis _Permusyawaratan Rakyat; _ _d. Pimpinan Lembaga Tinggi Negara, adalah: _ _1. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung; _ _2. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat; _ _3. Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan; _ _4. Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung; _ e. Anggota Lembaga Tertinggi Negara, adalah Anggota Majelis Permusyawaratan _Rakyat; _ f. Anggota Lembaga Tinggi Negara, adalah Anggota Dewan Pertimbangan Agung, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Badan Pemeriksa _Keuangan, dan Hakim Mahkamah Agung; _ [3.11.6] Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, sangat jelas bahwa UU 12/1980 bukan hanya mengatur pemberian dana pensiun untuk anggota DPR saja, melainkan juga untuk lembaga tinggi lainnya seperti tersebut di atas; [3.11.7] Bahwa ketentuan yang mengatur mengenai pensiun untuk pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara serta mantan pimpinan lembaga tertinggi/tinggi negara dan mantan anggota lembaga tinggi negara dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 UU 12/1980 merupakan pengaturan lebih lanjut terhadap hak 25 pensiun yang diterima oleh anggota lembaga tertinggi/tinggi negara serta bekas pimpinan lembaga tertinggi/tinggi negara dan bekas anggota lembaga tinggi negara dalam hal ini antara lain untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan penghasilan yang diterima setiap bulan, hal tersebut merupakan penghargaan atas jasa terhadap negara atau pemerintah yang bukan dimaksudkan untuk pemborosan anggaran negara; [3.11.8] Bahwa UU 12/1980 tidak mengatur mengenai hak dana pensiun untuk mantan anggota DPRD dan anggota DPD. Menurut Mahkamah tidak diaturnya dana pensiun bagi anggota DPRD hal tersebut merupakan legal policy dari pembentuk Undang-Undang yang menjadi kewenangannya. Adapun tidak dimasukkannya mantan anggota DPD untuk menerima dana pensiun, menurut Mahkamah oleh karena Undang-Undang a quo diundangkan pada tahun 1980, sedangkan pembentukan DPD baru dicantumkan dalam UUD 1945 pada Perubahan Ketiga (vide Bab VII A, Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945) pada tahun 2001. Apabila Pasal-Pasal a quo dibatalkan, konsekuensinya bukan hanya mantan anggota DPR saja yang tidak akan mendapat hak dana pensiun, namun mantan anggota maupun pimpinan lembaga tinggi negara lainnya sebagaimana tercantum dalam paragraf [3.11.4] dan paragraf [3.11.5] juga tidak akan mendapat hak dana pensiun; [3.12] Menimbang bahwa UU 12/1980 yang menurut Pemohon sudah ketinggalan zaman dan tidak layak diterapkan dalam era sekarang ini, menurut Mahkamah tidak berarti serta merta Undang-Undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945; [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ 26 [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan _a quo; _ [4.3] Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili , Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu M. Akil Mochtar, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Harjono, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu , tanggal dua puluh dua, bulan Mei, tahun dua ribu tiga belas , dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal lima, bulan September, tahun dua ribu tiga belas, selesai diucapkan pukul 14.55 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu M. Akil Mochtar, selaku Ketua merangkap Anggota, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Harjono, Maria Farida Indrati, Anwar Usman, dan Patrialis Akbar, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Saiful Anwar sebagai Panitera Pengganti, serta 27 dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. M. Akil Mochtar ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Hamdan Zoelva ttd. Muhammad Alim ttd. Arief Hidayat ttd. Ahmad Fadlil Sumadi ttd. Harjono ttd. Maria Farida Indrati ttd. Anwar Usman ttd. Patrialis Akbar PANITERA PENGGANTI, ttd. Saiful Anwar
Di atas pensiun pokok, kepada penerima pensiun diberikan tunjangan keluarga dan tunjangan lain menurut peraturan perUndang-Undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil. Selanjutnya UUD 1945 berbunyi: Pasal 23 ayat (1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan hukum dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. D. Argumentasi Konstitusional sebagai berikut:
Bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/ Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara Serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara adalah produk pemerintahan Orde Baru dimana keliahatan sekali isi di dalam pasal-pasalnya mengandung upaya menina- bobokkan anggota DPR dan MPR kala itu agar tidak bisa kritis kepada pemerintah. Mereka diberi permen-permen manis dalam bentuk uang yang sebar wah, baik tunjangan dan lain-lain sampai dana pensiun. 9 2. Bahwa karena Undang-Undang ini sudah berusia lebih dari 30 (tiga puluh) tahun, maka isinya sudah banyak ketinggalan zaman dan sudah tidak layak diterapkan di dalam era sekarang ini.
Bahwa isi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara Serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara sudah di atur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang susunan dan kedudukan anggota DPR, DPD dan DPRD.
Dalam Undang-Undang Susduk DPR dalam Pasal 2 dijelaskan...Pasal 2 MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Sementara Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tidak mengatur anggota DPD mendapatkan hak dana pensiun.
Bahwa Dewan Perwakilan Daerah lahir setelah masa reformasi, dan layak disebut sebagai lembaga tertinggi negara, jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980. Tetapi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 DPD tidak disebut berhak menerima dana pensiun. Bukankah ini menunjukkan jika Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 diskriminatif dan ketinggalan jaman.
Bahwa setelah Pemohon pelajari pengaturan Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi Negara pertamakali muncul dalam Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara dan Ketetapan MPR Nomor III Tahun 1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.
Bahwa khusus Ketetapan MPR Nomor III Tahun 1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara disebut dalam konsideran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980. Jadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 bukanlah peraturan yang pertamakali mengatur kewenangan Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi Negara.
Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 2 dan angka 4 Ketetapan MPR Nomor 1 Tahun 2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum 10 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara dan Ketetapan MPR Nomor III Tahun 1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Bahwa karena ke 2 Ketetapan MPR yang menjadi rujukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 sudah dicabut makan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1980 sudah kehilangan roh, sebab rujukannya sudah tidak berlaku lagi.
Bahwa dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peratuan Perndang-Undangan dinyatakan sumber hukum adalah UUD 1945, Ketetatapn MPR lalu UU/Perpu. Jelas status Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1980 hirarkinya berada dibawah Ketetapan MPR. Pertanyaannya jika Ketetapan MPR yang mengatur tentang Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi Negara sudah tidak berlaku apakah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 masih memiliki legitimasi hukum? 11. Bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 juga mengatur tunjangan- tunjangan anggota dan pimpinan lembaga Tertinggi/tinggi negara (DPR/MPR), padahal Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 juga mengatur hal seperti itu, ini menunjukkan jika Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 sudah tidak relevan mengatur tentang hak protokoler DPR/MPR. Sebab kebutuhan gaji plus tunjungan sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tersendiri.
Bahwa lembaga DPR/MPR adalah lembaga politik, maka orang yang terpilih adalah hasil dari pemilihan umum legislatif. Karena legislatif adalah lembaga politik maka tidak seharusnya mendapatkan dana pensiun. Sebab masa kerjanya terlalu pendek, berbeda dengan pegawai negeri.
Anehnya lagi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 memberikan dana pensiun tidak hanya kepada anggota DPR yang menjabat selama 5 (lima) tahun, yang menjabat sebentar dan meningga dunia juga mendapatkan dana pensiun. Ini menunjukkan betapa anggota DPR begitu diistimewakan khususnya Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980. 11 14. Penjelasannya, jika ada anggota DPR meninggal, istri/suami akan mendapatkan dana pensiun, yang lebih celaka lagi, anggota DPR yang mengalami pergantian antar waktu, baik yang mengganti dan yang diganti sama-sama mendapatkan dana pensiun. Secara tidak langsung Undang- Undang a quo memberikan arti, meskipun ada anggota DPR menjabat 3 (tiga) bulan karena dia mengalami pergantian antar waktu, maka dia berhak mendapatkan hak dana pensiun.
Pasal 198 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 manyatakan Pimpinan dan anggota DPR mempunyai hak keuangan dan administratif. Ayat (2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pimpinan DPR dan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Itu artinya tanpa ada Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1980, hak protokoler dan keuangan DPR dan MPR sudah diatur secara tegas dan jelas dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
Bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 yang mengatur dana pensiun DPR jelas merupakan pemborosan anggaran. Anggota DPR setiap 5 (lima) tahun ganti orang, jika saja, setiap tahunnya ada anggota 400 DPR baru, berapa anggaran negara yang harus menyiapkan untuk dana pensiun mereka? 17. Bahwa Undang-Undang a quo dapat menyebabkan kecemburuan bagi anggota DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Sebab semua anggota legislatif adalah jabatan politik tidak ada yang mengistimewakan DPR dibanding anggota DPD dan DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota. Semuanya sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat, sama-sama mencari simpati dari konstituen, justur anggota DPRD kabupaten/kota seperti Pemohon pekerjaannya lebih berat, karena setiap hari mereka bertemu dengan konstituen. Beda dengan DPR yang belum tentu setiap bulan bertemu dengan konstituen.
Bahwa Pemohon menganggap pasal a quo jelas tidak memberikan persamaan pengakuan, jaminan perlindungan hukum dan kepatian hukum serta persamaan hukum bagi semua anggota legislatif. Sebab pada prinsipnya tugas dan kewenangan antara anggota DPR, dan DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota adalah sama dan tidak ada keistimewaan 12 satu lembaga dengan yang lainnya. Sehingga Pemohon menganggap Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa gaji anggota DPR per-bulan rata-rata Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) itu sudah sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan tabungan di hari tua. Bahwa dikhawatirkan Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 UU Nomor 12 Tahun 1980 menjadikan orang berebut menjadi anggota DPR karena tergiur begitu mewah dan sejahteranya fasilitas saat menjabat maupun setelah menjabat. Sehingga jadi anggota DPR bukan lagi pengabdian, tetapi mencari penghidupan. Sementara anggota DPRD seperti Pemohon yang pengabdiannya tidak kenal siang dan malam, justru tidak mendapatkan kesejahteraan seperti anggota DPR. Dan Pemohon berpendapat sebaiknya semua anggota legislatif baik DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota tidak diberi fasilitas yang memboroskan anggaran negara, apalagi dana pensiun.
Bahwa Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyatakan; Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa frasa kata APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran hanya segelintir anggota DPR.
Bahwa Pemohon berpendapat, lebih tepat dana pensiuan yang diperuntukkan kepada mantan anggota DPR dialihkan kepada pendidikan dan kesehatan, hal ini tentu akan lebih bermanfaat buat kesejahteraan rakyat dan sesuai Pasal 23 ayat (1) UUD 1945.
Bahwa setelah dipelajari Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 penerapannya menyebabkan anggaran belanja negara boros dan penggunaannya tidak efisien.
Bahwa Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 mencerminkan pembedaan kedudukan dan perlakuan ( unequal treatment ), 13 ketidakadilan ( injustice ), ketidakpastian hukum ( legal uncertainty ), dan bersifat diskriminatif terhadap Pemohon. Bukankah kalau sudah begitu wajar Pemohon menganggap apabila pasal a quo bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka jika keberadaan Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tetap diberlakukan jelas merugikan hak hak konstitusional Pemohon dan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Sehingga dengan demikian ketentuan Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara Serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara harus dinyatakan ”tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Petitum Berdasarkan segala yang diuraikan di atas, Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya;
Menyatakan: Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara Serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara bertentangan terhadap Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Menyatakan: Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara Serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia 14 sebagaimana mestinya; Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-5 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan Dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara Serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara Dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara ;
Bukti P-3 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk, atas nama I Wayan Dendra, S.H., M.H.;
Bukti P-4 : Fotokopi Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 171.438/61/011/2009, tentang Peresmian Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2009;
Bukti P-5 : Fotokopi Kartu NPWP atas nama I Wayan Dendra; [2.3] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan Dan Anggota Lembaga 15 Tertinggi/Tinggi Negara Serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara Dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3182, selanjutnya disebut UU 12/1980) terhadap Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan:
kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo ;
kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan _a quo; _ Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), selanjutnya disebut UU MK juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas undang-undang in casu Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 UU 12/1980 16 terhadap Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan- putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu: 17 a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, periode 2009-2014, yang juga pembayar pajak, pada pokoknya mendalilkan bahwa Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: Pasal 23 ayat (1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Menurut Pemohon hak konstitusionalnya tersebut telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 UU 12/1980, yang menyatakan:
Sistem Akuntansi Transaksi Khusus.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Sistem Akuntansi Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat SA-TK adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan untuk seluruh transaksi penerimaan dan pengeluaran aset pemerintah yang terkait dengan fungsi Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, yang tidak tercakup dalam Sub Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SABUN) lainnya.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan dan hibah.
Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disingkat KKKS adalah Badan Usaha atau Bentuk Badan Usaha Tetap yang diberikan wewenang untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana.
Kontraktor Perjanjian Kerja Sama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut Kontraktor PKP2B adalah badan usaha yang melakukan pengusahaan pertambangan batubara, baik dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Aset yang Menganggur (Iddle Asset) adalah aset milik pemerintah pusat yang tidak digunakan untuk mendukung pelaksanan tugas pokok dan fungsi Kementerian/Lembaga selaku Pengguna Barang sehingga wajib diserahkan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang untuk ditetapkan status penggunaannya.
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia.
Bank Dalam Likuiditas yang selanjutnya disingkat BDL adalah bank yang telah dicabut izin usahanya karena tidak dapat memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan dan tata cara pencabutan izin usaha, pembubaran, dan likuidasi bank karena dianggap tidak mungkin diselamatkan lagi meskipun telah dilakukan berbagai upaya penyehatan.
Perusahaan Pengelola Aset yang selanjutnya disingkat PPA adalah Perusahaan Perseroan di bidang pengelolaan aset yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah dengan tujuan untuk melakukan pengelolaan aset Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang tidak berperkara untuk dan atas nama Menteri Keuangan.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan transaksi khusus pada tingkat satuan kerja di lingkup Bendahara Umum Negara.
Unit Akuntansi Koordinator Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang menjadi koordinator dan bertugas melakukan kegiatan penggabungan laporan keuangan seluruh UAKPA- BUN TK yang berada langsung di bawahnya.
Unit Akuntansi Penggabungan Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAPKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang bertugas untuk melakukan kegiatan penggabungan laporan keuangan seluruh UAKPA-BUN TK dan/atau yang melalui UAKKPA BUN TK yang berada langsung di bawahnya.
Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAP BUN TK adalah unit akuntansi pada Unit Eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus.
Unit Akuntansi Kuasa Pengelola Barang Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat UAKPB-BUN adalah satuan kerja/unit akuntansi yang diberi kewenangan untuk mengurus/ menatausahakan/mengelola Barang Milik Negara yang dalam penguasaan Bendahara Umum Negara Pengelola Barang.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disebut DJPBN adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertindak sebagai UAP BUN TK.
Badan Kebijakan Fiskal yang selanjutnya disingkat BKF adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertugas mengurus kerja sama internasional dan perjanjian hukum internasional.
Direktorat Jenderal Anggaran yang selanjutnya disingkat DJA adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertugas mengelola PNBP di bawah BA BUN.
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disingkat DJKN adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan yang yang bertugas mengelola Barang Milik Negara.
Dana Perhitungan Fihak Ketiga yang selanjutnya disebut Dana PFK sejumlah dana yang dipotong langsung dari gaji pokok dan tunjangan keluarga pegawai negeri/pejabat negara, dan iuran kesehatan yang disetor oleh Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, serta Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil Pusat/Daerah untuk disalurkan kepada pihak ketiga.
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh Menteri/Pimpinan Lembaga serta disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dasar untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran negara dan pencairan dana atas beban APBN serta dokumen pendukung kegiatan akuntansi pemerintah.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan/digunakan oleh Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran untuk mencairkan alokasi dana yang sumber dananya dari DIPA.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kuasa BUN Pusat untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan SPM.
Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data berupa disket atau media penyimpanan digital lainnya yang berisikan data transaksi, data buku besar, dan/atau data lainnya.
Dokumen Sumber adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi keuangan yang digunakan sebagai sumber atau bukti untuk menghasilkan data akuntansi.
Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan Pengguna Anggaran yang berkewajiban menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada Entitas Pelaporan.
Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih entitas akuntansi yang berkewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan.
Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berupa Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Laporan Realisasi Anggaran yang selanjutnya disingkat LRA adalah laporan yang menggambarkan realisasi pendapatan, belanja, dan pembiayaan selama suatu periode.
Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah yaitu aset, utang dan ekuitas dana pada tanggal tertentu.
Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disebut CaLK adalah laporan yang menyajikan informasi tentang penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam LRA, Neraca, dan Laporan Arus Kas dalam rangka pengungkapan yang memadai.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat PB adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan Barang Milik Negara/Daerah.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah kuasa yang bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat KPB adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.
Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/ subsistem yang berbeda berdasarkan Dokumen Sumber yang sama.
Reviu adalah prosedur penelusuran angka-angka dalam laporan keuangan, permintaan keterangan dan analitik yang menjadi dasar memadai bagi Aparat Pengawas Intern Pemerintah untuk memberi keyakinan terbatas bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas laporan keuangan tersebut sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Keuangan negara
Relevan terhadap
Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c :
dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD;
dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah.
Dalam rangka pengelolaan Keuangan Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah mempunyai tugas sebagai berikut :
menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;
menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;
menyusun laporan keuangan yang merupakan per-tanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah mempunyai tugas sebagai berikut:
menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.
APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang.
APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah .
Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyeleng-garaan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Pengelolaan Saldo Anggaran Lebih.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Pendapatan Negara dan Hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri.
Belanja Negara adalah semua pengeluaran negara yang digunakan untuk membiayai belanja Pemerintah Pusat dan transfer ke daerah.
Surplus/Defisit adalah selisih lebih/kurang antara pendapatan dan belanja selama 1 (satu) periode pelaporan.
Pembiayaan Bersih adalah selisih antara penerimaan pembiayaan setelah dikurangi pengeluaran pembiayaan dalam periode tahun anggaran tertentu.
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran/Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran, yang selanjutnya disebut SiLPA/SiKPA, adalah selisih lebih/kurang antara realisasi penerimaan dan pengeluaran APBN selama 1 (satu) periode pelaporan.
Saldo Anggaran Lebih, yang selanjutnya disingkat SAL, adalah akumulasi SiLPA/SiKPA tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah/dikurangi dengan koreksi pembukuan.
Koreksi Pembukuan adalah seluruh transaksi koreksi terhadap SAL.
Rekening Kas Umum Negara adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada Bank Sentral.
Subrekening Kas Umum Negara, yang merupakan bagian dari Rekening Kas Umum Negara adalah rekening Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara yang digunakan untuk memperlancar pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara pada Bank Sentral.
Rekening Kas Saldo Anggaran Lebih adalah rekening Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara yang digunakan untuk menampung SiLPA/SiKPA dari tahun anggaran sebelumnya pada Bank Sentral.
Rekening Kas Penempatan adalah rekening Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara yang digunakan dalam rangka penempatan uang negara pada Bank Sentral dan/atau Bank Umum.
Rekening Khusus adalah rekening Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara yang digunakan untuk menampung sementara dana pinjaman dan/atau hibah luar negeri tertentu berupa initial deposit untuk kebutuhan pembiayaan kegiatan selama periode tertentu dan setelah digunakan diisi kembali dengan mengajukan penggantian ( replenishment ) kepada Pemberi Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri (PPHLN) pada Bank Sentral dan/atau bank yang ditunjuk.
Rekening Penerimaan adalah rekening Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara yang digunakan untuk menampung penerimaan negara pada Bank Sentral dan Bank Umum/Badan Lainnya.
Rekening Pengeluaran adalah rekening Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara yang digunakan untuk membayar pengeluaran negara pada Bank Sentral dan Bank Umum/Badan Lainnya.
Rekening Bendahara Pengeluaran adalah rekening pada bank umum/kantor pos yang dipergunakan untuk menampung uang bagi keperluan belanja negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/satuan kerja Kementerian Negara/Lembaga.
Rekening Kas Badan Layanan Umum adalah rekening yang digunakan untuk mengelola uang negara pada Badan Layanan Umum di Bank Umum.
Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara.
Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, yang selanjutnya disingkat KPPN, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, yang memperoleh kewenangan sebagai Kuasa Bendahara Umum Negara. BAB II RUANG LINGKUP Pasal 2 Pengelolaan SAL meliputi kegiatan:
Perhitungan SAL;
Penyimpanan Dana SAL;
Penggunaan SAL;
Akuntansi dan Pelaporan SAL; dan
Penyelesaian Selisih Angka SAL.
Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tah ...