Pengalihan Bentuk Perusahaan Negara Percetakan Negara Republik Indonesia Menjadi Perusahaan Umum (Perum) ...
Relevan terhadap
Semua pembiayaan dalam rangka pelaksanaan tugas Satuan Pengawasan Intern, Dewan Pengawas serta tenaga ahli, dibebankan kepada Perusahaan dan secara jelas dianggarkan dalam anggaran Perusahaan.
Perusahaan dilarang membiayai pengeluaran yang dilakukan oleh Departemen/Instansi yang membina dan mengawasi Perusahaan dalam rangka pembinaan dan pengawasan Perusahaan.
Menteri melakukan pengawasan umum atas jalannya Perusahaan.
Pada Perusahaan dibentuk Dewan Pengawas yang bertanggung jawab kepada Menteri.
Dewan Pengawas bertugas untuk melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan Perusahaan termasuk pelaksanaan rencana kerja dan anggaran Perusahaan.
Dewan Pengawas melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung. jawabnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap Perusahaan dan menjalankan keputusan-keputusan dan petunjuk- petunjuk dari Menteri.
Untuk tiap tahun buku oleh Direksi disusun perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca dan perhitungan laba-rugi.
Neraca dan perhitungan laba-rugi tersebut dikirimkan kepada Menteri dengan tembusan kepada Menteri Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Direktur Jenderal dan Dewan Pengawas selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun buku menurut cara yang ditetapkan oleh Menteri.
Cara penilaian pos dalam perhitungan tahunan harus disebutkan.
Jika dalam waktu 3 (tiga) bulan sesudah menerima perhitungan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), oleh Menteri tidak diajukan keberatan tertulis, maka perhitungan tahunan itu dianggap telah disahkan.
Perhitungan tahunan disahkan oleh Menteri setelah dinilai bersama oleh Menteri dan Menteri Keuangan berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau Badan yang ditunjuknya.
Pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) memberi pembebasan kepada Direksi terhadap segala sesuatunya yang termuat dalam perhitungan tahunan tersebut.
Direktur Utama diwajibkan menyampaikan laporan triwulanan dan laporan berkala lainnya sesuai batas jangka waktu yang ditetapkan, beserta laporan lainnya menurut ketentuan Anggaran Dasar dan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada Pejabat/Instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Usaha Perasuransian
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 11 Pebruari 1992 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Pebruari 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN UMUM Sasaran utama pembangunan jangka panjang sebagaimana tertera dalam Garis-garis Besar Haluan Negara adalah terciptanya landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatannya sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan ekonomi memerlukan dukungan investasi dalam jumlah yang memadai yang pelaksanaannya harus berdasarkan kemampuan sendiri dan oleh karena itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengerahkan dana investasi, khususnya yang bersumber dari tabungan masyarakat. Usaha perasuransian sebagai salah satu lembaga keuangan menjadi penting peranannya, karena dari kegiatan usaha ini diharapkan dapat semakin meningkat lagi pengerahan dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan. Dalam pada itu, pembangunan tidak luput dari berbagai risiko yang dapat mengganggu hasil pembangunan yang telah dicapai. Sehubungan dengan itu dibutuhkan hadirnya usaha Perasuransian yang tangguh, yang dapat menampung kerugian yang dapat timbul oleh adanya berbagai risiko. Kebutuhan akan jasa usaha perasuransian juga merupakan salah satu sarana finansial dalam tata kehidupan ekonomi rumah tangga, baik dalam menghadapi risiko finansial yang timbul sebagai akibat dari risiko yang paling mendasar, yaitu risiko alamiah datangnya kematian, maupun dalam menghadapi berbagai risiko atas harta benda yang dimiliki. Kebutuhan akan hadirnya usaha perasuransian juga dirasakan oleh dunia usaha mengingat di satu pihak terdapat berbagai risiko yang secara sadar dan rasional dirasakan dapat mengganggu kesinambungan kegiatan usahanya, di lain pihak dunia usaha sering kali tidak dapat menghindarkan diri dari suatu sistim yang memaksanya untuk menggunakan jasa usaha perasuransian. Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan berperan dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan lainnya. Sejauh ini kehadiran usaha perasuransian hanya didasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUH Dagang) yang mengatur asuransi sebagai suatu perjanjian. Sementara itu usaha asuransi merupakan usaha yang menjanjikan perlindungan kepada pihak tertanggung dan sekaligus usaha ini juga menyangkut dana masyarakat. Dengan kedua peranan usaha asuransi tersebut, dalam perkembangan pembangunan ekonomi yang semakin meningkat maka semakin terasa kebutuhan akan hadirnya industri perasuransian yang kuat dan dapat diandalkan. Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka usaha perasuransian merupakan bidang usaha yang memerlukan pembinaan dan pengawasan secara berkesinambungan dari Pemerintah, dalam rangka pengamanan kepentingan masyarakat. Untuk itu diperlukan perangkat peraturan dalam bentuk Undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang lebih kokoh, yang dapat merupakan landasan,baik bagi gerak usaha dari perusahaan-perusahaan di bidang ini maupun bagi Pemerintah dalam rangka melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Undang-undang ini pada dasarnya menganut azas spesialisasi usaha dalam jenis-jenis usaha di bidang perasuransian. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa usaha perasuransian merupakan usaha yang memerlukan keahlian serta ketrampilan teknis yang khusus dalam penyelenggaraannya. Undang-undang ini juga menegaskan adanya kebebasan pada tertanggung dalam memilih perusahaan asuransi. Dalam rangka perlindungan atas hak tertanggung, Undang-undang ini juga menetapkan ketentuan yang menjadi pedoman tentang penyelenggaraan usaha, dengan mengupayakan agar praktek usaha yang dapat menimbulkan konflik kepentingan sejauh mungkin dapat dihindarkan, serta mengupayakan agar jasa yang ditawarkan dapat terselenggara atas dasar pertimbangan obyektif yang tidak merugikan pemakai jasa. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Pengelompokan jenis usaha perasuransian dalam Pasal ini didasarkan pada pengertian bahwa perusahaan yang melakukan usaha asuransi adalah perusahaan yang menanggung risiko asuransi. Di samping itu, di bidang perasuransian terdapat pula perusahaan-perusahaan yang kegiatan usahanya tidak menanggung risiko asuransi, yang dalam Pasal ini kegiatannya dikelompokkan sebagai usaha penunjang usaha asuransi. Walaupun demikian sebagai sesama penyedia jasa di bidang perasuransian, perusahaan di bidang usaha asuransi dan perusahaan di bidang usaha penunjang usaha asuransi merupakan mitra usaha yang saling membutuhkan dan saling melengkapi, yang secara bersama-sama perlu memberikan kontribusi bagi kemajuan sektor perasuransian di Indonesia. Selain pengelompokan menurut jenis usaha, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial dan yang bersifat komersial. Usaha asuransi yang bersifat sosial adalah dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Sosial, yang bersifat wajib berdasarkan Undang-undang dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat. Pasal 4 Berdasarkan ketentuan ini setiap perusahaan perasuransian hanya dapat pula menjalankan jenis usaha yang telah ditetapkan. Dengan demikian tidak dimungkinkan adanya sebuah perusahaan asuransi yang sekaligus menjalankan usaha asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal ini pengertian dana pensiun terbatas pada dana pensiun lembaga keuangan. Pasal 5 Jasa yang dapat diberikan oleh Perusahaan Konsultan Akturia mencakup antara lain konsultasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan analisis dan penghitungan cadangan, penyusunan laporan akturia, penilaian kemungkinan terjadinya risiko dan perancangan produk asuransi jiwa. Pasal 6 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipandang perlu mengingat tertanggung adalah pihak yang paling berkepentingan atas obyek yang dipertanggungkannya sehingga sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa adanya pengaruh dan tekanan dari pihak manapun dapat menentukan sendiri perusahaan asuransi yang akan menjadi penanggungnya. Ayat (2) Dalam asas kebebasan untuk memilih pananggung ini terkandung maksud bahwa tertanggung bebas untuk menempatkan penutupan obyek asuransinya pada Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Kerugian yang memperoleh izin usaha di Indonesia. Ayat (3) Agar pelaksanaan dari ketentuan ini dapat disesuaikan dengan perkembangan usaha perasuransian di Indonesia, maka ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan asuransi dan atau penempatan reasuransinya diatur dalam peraturan pelaksanaan dari Undang-undang ini. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Mengingat Undang-undang mengenai bentuk hukum Usaha Bersama (Mutual) belum ada, maka untuk sementara ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 8 Ayat (1) Dalam ayat ini ditentukan bahwa warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dapat menjadi pendiri perusahaan perasuransian, baik dengan pemilikan sepenuhnya maupun dengan membentuk usaha patungan dengan pihak asing. Termasuk dalam pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, dan Badan Usaha Milik Swasta. Ayat (2) Perusahaan perasuransian yang didirikan atau dimiliki oleh perusahaan perasuransian dalam negeri dan perusahaan perasuransian asing yang mempunyai kegiatan usaha sejenis dimaksudkan untuk menumbuhkan penyelenggaraan kegiatan usaha perasuransian yang lebih profesional.Selain itu kerjasama perusahaan perasuransian yang sejenis juga dimaksudkan untuk lebih memungkinkan terjadinya proses alih teknologi. Sesuai dengan tujuan dari ketentuan ini yang dimaksudkan untuk lebih menumbuhkan profesionalisme dalam pengelolaan usaha, maka kepemilikan bersama atas perusahaan perasuransian oleh Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi dalam negeri dengan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi luar negeri harus tetap didasarkan pada jenis usaha masing-masing partner dalam kepemilikan tersebut. Contoh mengenai hal tersebut adalah sebegai berikut:
Perusahaan Reasuransi luar negeri dengan Perusahaan Asuransi Kerugian dalam negeri dapat mendirikan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi.
Perusahaan Asuransi Kerugian luar negeri dengan Perusahaan Reasuransi dalam negeri dapat mendirikan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Khusus bagi Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, fungsi dan tugas sebagai penyelenggara program tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini berarti bahwa Pemerintah memang menugaskan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan suatu Program Asuransi Sosial yang telah diputuskan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah. Dengan demikian bagi Badan Usha Milik Negara termaksud tidak diperlukan adanya izin usaha dari Menteri. Ayat (2) Untuk mendukung suatu kegiatan usaha perasuransian yang bertanggungjawab, perlu adanya anggaran dasar, susunan organisasi yang baik, Jumlah modal yang memadai, status kepemilikan yang jelas, tenaga ahli asuransi yang diperlukan sesuai dengan bidangnya, rencana kerja yang layak sesuai dengan kondisi, dan hal-hal lain yang dikemudian hari diperkirakan dapat mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat. Yang dimaksud dengan keahlian di bidang perasuransian dalam ketentuan ini mencakup antara lain keahlian di bidang aktuaria, underwriting, manajemen risiko. penilai kerugian asuransi, dan sebagainya, sesuai dengan kegiatan usaha perasuransian yang dijalankan. Ayat (3) Dalam pengertian istilah ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing, termasuk pula pengertian tentang proses Indonesianisasi. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan industri perasuransian nasional semakin dapat bertumpu pada kekuatan sendiri. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Batas tingkat solvabilitas (Solvency Margin) merupakan tolok ukur kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Batas tingkat solvabilitas ini merupakan selisih antara kekayaan terhadap kewajiban, yang perhitungannya didasarkan pada cara perhitungan tertentu sesuai dengan sifat usaha asuransi. Retensi sendiri dalam hal ini merupakan bagian pertanggungan yang menjadi beban atau tanggung jawab sendiri sesuai dengan tingkat kemampuan keuangan perusahaan asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan. Reasuransi merupakan bagian pertanggungan yang dipertanggungkan ulang pada perusahaan asuransi lain dan atau Perusahaan Reasuransi. Dalam hubungannya dengan investasi, yang akan diatur adalah kebijaksanaan investasi Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Reasuransi dalam menentukan investasinya pada jenis investasi yang aman dan produktif. Sesuai dengan sifat usaha asuransi di mana timbulnya beban kewajiban tidak menentu, maka Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi perlu membentuk dan memelihara cadangan yang diperhitungkan berdasarkan pertimbangan teknis asuransi dan dimaksudkan untuk menjaga agar perusahaan yang bersangkutan dapat memenuhi kewajibannya kepada pemegang polis. Asuransi adalah perjanjian atau kontrak yang dituangkan dalam bentuk polis. Sebagai suatu perjanjian atau kontrak maka ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya tidak boleh merugikan kepentingan pemegang polis. Untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, penetapan tingkat premi harus tidak memberatkan tertanggung, tidak mengancam kelangsungan usaha penanggung, dan tidak bersifat diskriminatif. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, peraturan pelaksanaan yang mencakup masalah penyelesaian klaim akan menetapkan batas waktu maksimum antara saat adanya kepastian mengenai jumlah klaim yang harus dibayar dengan saat pembayaran klaim tersebut oleh penanggung. Salah satu ketentuan yang berhubungan dengan penyelenggaraan usaha adalah mengenai pembayaran premi asuransi kepada penanggung atas risiko yang ditutupnya, sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosisal sebenarnya menyelenggarakan salah satu jenis asuransi, yaitu asuransi jiwa atau asuransi kerugian atau kombinasi antara keduanya. Oleh karena itu, terlepas dari peraturan perundang-undangan yang membentuknya, Menteri sebagai pembina dan pengawas usaha perasuransian berwenang dan berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi sosial tersebut, sedangkan mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap Program Asuransi Sosial dilakukan oleh Menteri teknis yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang yang mengatur Program Asuransi Sosial dimaksud. Pasal 15 Ayat (1) Pemeriksaan dimaksudkan untuk meneliti secara langsung kebenaran laporan yang disampaikan perusahaan, baik kesehatan keuangan maupun praktek penyelenggaraan usaha, sesuai dengan ketentuan Undang-undang. Pemeriksaan dimaksud dapat dilakukan secara berkala maupun setiap saat apabila dipandang perlu dengan tujuan agar perlindungan terhadap masyarakat dapat dijamin dan penyimpangan yang terjadi pada perusahaan dapat diketahui sedini mungkin. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Keputusan mengenai pemberian peringatan, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin usaha merupakan tahapan tindakan yang dapat diberlakukan pada perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini. Dalam hal tertentu Menteri dapat mendengar pendapat pihak-pihak yang diperlukan. Ayat (2) Tahapan tindakan yang diperlukan merupakan urutan yang harus dilalui sebelum dilakukan pencabutan izin usaha. Namun demikian terhadap Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf b dan huruf c tidak dapat diterapkan. Hal ini mengingat bahwa apabila terjadi hal-hal yang dapat menganggu kelangsungan usaha dari Badan Usaha Milik Negara tersebut, maka tindak lanjutnya didasarkan pada peraturan perundang-undangan mengenai Program Asuransi Sosial tersebut serta peraturan perundang-undangan tentang pembentukan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan. Ayat (3) Tergantung pada tingkat dan jenis pelanggaran yang dilakukan, Menteri dapat memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan upaya pembenahan dengan memerintahkan dilakukannya tindakan yang dianggap perlu yang diikuti perkembangannya secara terus-menerus, tanpa mengorbankan perlindungan terhadap perusahaan ataupun tertanggung. Dalam peraturan pelaksanaan yang mengatur tata cara pengenaan sanksi, akan ditetapkan batas waktu maksimum yang disediakan bagi perusahaan yang bersangkutan untuk menyusun rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat ini untuk diajukan kepada Menteri. Batas waktu tersebut tidak dapat melebihi 4 bulan sejak dimulainya masa pembatasan kegiatan usaha. Rencana kerja yang telah diajukan selanjutnya akan dipergunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan tindak lanjut pengenaan sanksi. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Dalam hal Menteri mempertimbangkan bahwa upaya yang dilakukan tidak menunjukkan perbaikan atau dalam hal perusahaan tidak melakukan usaha untuk mengupayakan perbaikan, maka Menteri akan mencabut izin usaha perusahaan yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Apabila suatu perusahaan asuransi telah dicabut izin usahanya, maka kekayaan perusahaan tersebut perlu dilindungi agar para pemegang polis tetap dapat memperoleh haknya secara proporsional. Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, Menteri diberi wewenang berdasarkan Undang-undang ini untuk meminta Pengadilan agar perusahaan asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit, sehingga kekayaan perusahaan tidak dipergunakan untuk kepentingan pengurus atau pemilik perusahaan tanpa mengindahkan kepentingan para pemegang polis. Selain itu, dengan adanya kewenangan untuk mengajukan permintaan pailit tersebut, maka Menteri dapat mencegah berlangsungnya kegiatan tidak sah dari perusahaan yang telah dicabut izin usahanya, sehingga kemungkinan terjadinya kerugian yang lebih luas pada masyarakat dapat dihindarkan. Ayat (2) Hak utama dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa dalam hal kepailitan, hak pemegang polis mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lainnya, kecuali dalam hal kewajiban untuk negara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas
Tata Cara Perhitungan Dan Penyetoran Kewajiban Pertamina Kepada Pemerintah Atas Hasil Operasi Pertamina Sendiri ...
Relevan terhadap
Pertamina diwajibkan melunasi kewajiban termaksud dalam Pasal 1 Keputusan ini dengan menyetorkannya ke Rekening "Bendahara Umum Negara" Departemen Keuangan pada Bank Indonesia.
Pembayaran dimaksud pada ayat (1) Pasal ini harus dilakukan setiap bulan pada bulan berikutnya.
Besarnya pembayaran setiap bulan seperti dimaksud pada ayat (2) Pasal ini adalah 1/12 (satu per dua belas) dari kewajiban termaksud dalam Pasal 1 Keputusan ini, berdasarkan Anggaran tahun berjalan.
Pada bulan berikutnya setelah berakhir sesuatu triwulan, maka pembayaran-pembayaran kewajiban termaksud dalam Pasal 1 Keputusan ini, yang dilakukan selama triwulan yang bersangkutan harus disesuaikan dengan kewajiban yang seharusnya terhutang atas dasar perhitungan Penerimaan Bersih Usaha (Net Operating Income) menurut laporan keuangan triwulanan Pertamina.
Jika setelah dilakukan penyesuaian perhitungan termaksud pada ayat (4) Pasal ini ternyata terdapat kekurangan atau kelebihan atas kewajiban yang seharusnya terhutang untuk triwulan yang bersangkutan, maka kekurangan atau kelebihan pembayaran kewajiban tersebut diperhitungkan dengan pembayaran kewajiban bulan berikutnya.
Jika setelah dilakukan pemeriksaan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ternyata bahwa jumlah pembayaran-pembayaran selama tahun yang bersangkutan kurang atau lebih dari jumlah kewajiban yang seharusnya terhutang, maka kekurangan atau kelebihan pembayaran tersebut diperhitungkan dengan pembayaran kewajiban tahun berikutnya.
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Rumah Susun
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1985 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TTD SOEHARTO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 75 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1985 TENTANG RUMAH SUSUN I. UMUM Tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata, sebagai salah satu usaha untuk mengisi cita-cita perjuangan bangsa Indonesia bagi terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu unsur pokok kesejahteraan rakyat adalah terpenuhinya kebutuhan akan perumahan, yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap warga negara Indonesia dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Di samping itu, pembangunan perumahan merupakan salah satu unsur yang penting dalam strategi pengembangan wilayah, yang menyangkut aspek-aspek yang luas di bidang kependudukan, dan berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi dan kehidupan sosial dalam rangka pemantapan Ketahanan Nasional. Dari hal-hal tersebut di atas, jelaslah bahwa perumahan merupakan masalah nasional, yang dampaknya sangat dirasakan di seluruh wilayah tanah air, terutama di daerah pekotaan yang berkembang pesat. Oleh karena itu, sebagaimana diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara pembangunan perumahan untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat perlu ditangani secara mendasar, menyeluruh, terarah, dan terpadu, oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dengan keikutsertaan secara aktif usaha swasta dan swadaya masyarakat. Pembangunan perumahan yang telah dirintis sejak Pelita I perlu ditingkatkan dan dikembangkan, khususnya perumahan dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Sehubungan dengan uraian tersebut di atas, maka kebijaksanaan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk :
memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat, secara adil dan merata, serta mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia.
mewujudkan pemukiman yang serasi dan seimbang, sesuai dengan pola tata ruang kota dan tata daerah serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna. Sejalan dengan arah kebijaksanaan umum tersebut, maka di daerah pekotaan yang berpenduduk padat sedangkan tanah yang tersedia sangat terbatas, perlu dikembangkan pembangunan perumahan dan pemukiman dalam bentuk rumah susun yang lengkap, seimbang, dan serasi dengan lingkungannya. Pengertian Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal dan arah vertikal yang terbagi dalam satu-satuan yang masing-masing jelas batas-batasnya, ukuran dan luasnya, dan dapat dimiliki dan dihuni secara terpisah. Selain satuan-satuan yang penggunaannya terpisah, ada bagian-bersama dari bangunan tersebut serta benda- bersama dan tanah-bersama yang di atasnya didirikan rumah susun, yang karena sifat dan fungsinya harus digunakan dan dinikmati bersama dan tidak dapat dimiliki secara perseorangan. Hak pemilikan atas satuan rumah susun merupakan kelembagaan hukum baru, yang perlu diatur dengan undang-undang, dengan memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat Indonesia. Dengan undang-undang ini diciptakan dasar hukum hak milik atas satuan rumah susun, yang meliputi:
hak pemilikan perseorangan atas satuan-satuan rumah susun yang digunakan secara terpisah;
hak bersama atas bagian-bagian dari bangunan rumah susun;
hak bersama atas benda-benda;
hak bersama atas tanah. yang semuanya merupakan satu kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan. Pengaturan dan pembinaan rumah susun merupakan tanggung jawab dan wewenang Pemerintah. Untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang setinggi-tingginya, sebagian urusan tersebut dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan asas pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. Untuk menggalakkan usaha pembangunan rumah susun dan memudahkan pihak-pihak yang ingin memiliki satuan rumah susun; Undang-undang ini mengatur kemungkinan untuk memperoleh kredit konstruksi dan kredit pemilikan rumah dengan menggunakan lembaga hipotik atau fidusia. Khususnya bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah yang ingin memiliki satuan rumah susun, mendapatkan prioritas dan kemudahan-kemudahan baik langsung maupun tidak langsung agar harganya dapat terjangkau. Pembangunan rumah susun memerlukan persyaratan-persyaratan teknis dan administratif yang lebih berat. Untuk menjamin keselamatan bangunan, keamanan, dan ketenteraman serta ketertiban penghunian, dan keserasian dengan lingkungan sekitarnya, maka satuan rumah susun baru dapat dihuni setelah mendapat izin kelayakan untuk dihuni dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penghuni satuan rumah susun tidak dapat menghindarkan diri atau melepaskan kebutuhannya untuk menggunakan bagian-bersama, benda-bersama, dan tanah- bersama, karena kesemuanya merupakan kebutuhan fungsional yang saling melengkapi. Satuan rumah susun yang merupakan milik perseorangan dikelola sendiri oleh pemiliknya, sedangkan yang merupakan hak bersama harus digunakan dan dikelola secara bersama karena menyangkut kepentingan dan kehidupan orang banyak. Penggunaan dan pengelolaannya harus diatur dan dilakukan oleh suatu perhimpunan penghuni yang diberi wewenang dan tanggung jawab. Oleh karena itu penghuni rumah susun wajib membentuk perhimpunan penghuni, yang mempunyai tugas dan wewenang mengelola dan memelihara rumah susun beserta lingkungannya, dan menetapkan peraturan-peraturan mengenai tata tertib penghunian. Perhimpunan penghuni oleh Undang- undang ini diberi kedudukan sebagai badan hukum dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, sehingga dapat bertindak ke luar dan ke dalam atas nama pemilik, dan dengan wewenang yang dimilikinya dapat mewujudkan ketertiban dan ketenteraman dalam lingkungan rumah susun. Perhimpunan penghuni dapat membentuk atau menunjuk badan pengelola yang bertugas untuk menyelenggarakan pengelolaan yang meliputi pengawasan terhadap penggunaan bagian-bersama, benda-bersama, tanah-bersama, dan pemeliharaan serta perbaikannya. Dana yang dipergunakan untuk membiayai pengelolaan dan pemeliharaan rumah susun, diperoleh dari pemungutan iuran dari para penghuninya. Pembangunan rumah susun ditujukan terutama untuk tempat hunian, khususnya bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Namun demikian pembangunan rumah susun harus dapat mewujudkan pemukiman yang lengkap dan fungsional, sehingga diperlukan adanya bangunan gedung ber tingkat lainnya untuk keperluan bukan hunian yang terutama berguna bagi pengembangan kehidupan masyarakat ekonomi lemah. Oleh karena itu dalam pembangunan rumah susun yang digunakan bukan untuk hunian yang fungsinya memberikan lapangan kehidupan masyarakat, misalnya untuk tempat usaha, pertokoan, perkantoran, dan sebagainya, ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini diberlakukan dengan penyesuaian menurut kepentingannya. Undang-undang ini mengatur hal-hal yang bersifat pokok-pokok saja, sedangkan ketentuan pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah dan/atau peraturan perundang-undangan yang lain. II. PASAL DEMI PASAL
Badan-Badan Tertentu yang Ditetapkan Sebagai Pemungut Pajak atas Penghasilan Dari Wajib Pajak yang Melakukan Kegiatan Usaha, Dasar Pemungutan, Tarip S ...
Relevan terhadap
Keputusan Menteri Keuangan No. 965/ KMK.04 /1983 Tanggal : 31 Desenber 1983 PPh Pasal 22 terhutang clan dipungut pada saat :
peIIllillgutan Bea Masuk oleh Direktorat Jendral Bea clan Cukai ;
pembayaran untuk barang dan/atau jasa oleh Direktorat Jen - dral .Anggaran, Bendaharawan Pernertntah, serta bad.an lain. Pasal 3 Dasar peIIllillgutan PPh Pasal 22 adalah penghasilan netto dari :
pernasukan barang impor ;
penyerahan barang dan/atau jasa yang pembayarannya dari Be- lanja Negara dan Be1anja Daerah.
(2) (1) (2) (3) Pasal ·4 Tarif peIIllillgutan PPh Pasal 22 adalah 25% ( dua puluh lirna persen ) dari penghasilan netto ; Penghi tungan penghas ilan rietto untuk mas ing - mas ing j enis usaha dilakukan berdasarkan bµku petunjuk sebagairnana dirnu at pada larnp: lran I dan larnpiran II Keputusan ini. - Pasal 5 Direktur Jendral Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuk olehnya berkewajiban rnelakukan pengawasan atas pelaksanaan peIIllillgutan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 22 dalam lingkungannya. Direktur Jendral .Anggaran atau pejabat yang ditunjuk oleh- nya berkewajiban rnelakukan pengawasan atas kebenaran pernu- ngutan dan penyetoran PPhPasal 22 yang telah dilakukan oleh Bendaharawan sebagairnana dirnaksud dalarn Pasal 1 ayat (1) hu ruf c. - Pirnpinan Proyek yang bersangkutan berkewaj iban rnelakukan pe ngawasan atas kebenaran pernungutan dan penyetoran PPh PasaI 22 yang telah dilakukan oleh badan lain, sebagairnana dirnak sud dalarn Pasal 1 ayat (1) huruf d. - (4) Bendaharawan tersebut pada ayat (2) berkewajiban rnelarnpir- kan bukti setoran PPh Pasal 22 pada Surat Pertanggung Ja- waban yang dikirirn ke Kantor Perbendaharaan Negara. Pasal 6 Pelaksanaan peIIllillgutan PPh Pasal 22 dan pernenuhan kewajiban la innya diatur dalarn buku petunjuk sebagairnana dirnuat pada lam =- piran I dan larnpiran II Keputusan ini. Pasal 7 Keputusan ini rnulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984. Agar supaya setiap orang rnengetahuinya, rnernerintahkan pengunruIIl an Keputusan ini dengan penempatannya dalarn Berita Negara Rep~ blik Indonesia ~~~tapkan di J A K A R T A • ~~? I/ ~ 1 ~ --E,p ggal 31 Deserrber 1983 www.jdih.kemenkeu.go.id .. MENTER! KEUANGAN LAMPIRAN I KEPlfIUSAN MEN1ERI KEUANGAN REPUBLIK INJU.JESIA NO. 965 I KMK.04 I l983 TANGGAL : 31 DESEMBER 1983 BUKU PETIJNJUK . TENT.ANG TATA CARA PEMJNGlITAN, PENYE1DRAN DAN PEI.APORAN PPh PASAL 22 YANG DILAKUK.AN OLEH DIREKTORAT JENDRAL ANGGARAN, BENDAHARAWAN DAN BADAN-BADAN LAIN. I. UMUM 1. Dasar hukum. Pemungutan Pajak Penghasilan oleh Direktorat Jendral Anggaran, Bendaharawan dan Badan-Badan lain atas penghasilan dari usaha didasarlcan pada Pasal 22 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 juncto Pasal 5 Peraturan Penerintah ~ publik Indonesia tentang pelaksanaan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. 2 . Pemungut Pajak. Dalam hal ini adalah :
Di rektorat Jendral Anggaran b. Bendaharawan Rutin dan Proyek, Pus at dan Dae rah ;
Badan lain yang nelakukan penbayaran untuk barang dan jasa dari Belanja Negara (tennasuk Belanja Daerah). 3 . Ruang lingk: uf? . Ruang lingkup dalam hal ini adalah :
Penhayaran yang diterima oleh rekanan dari Direktorat Jendral Anggaran, untuk barang dan/atau jasa. b. Penhayaran yang di terima oleh rekanan dari Bendaharawan Rutine dan Benda harawan Proyek baik Pemerintah Pusat maupun Daerah serta Badan lain, un: - tukbarang dan/atau jasa. 4. Saat pemungutan . Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Pennmgut Pajak dilakukan pada saat pe nhayaran kepada rekanan. Dalam hal penhayaran dilakukan lan g sung dengan Su r at Perintah ~: rrbayar (SPM) oleh Kantor Perbendaharaan Negara/Kantor Pe: rrbantu Perbendaharaan Negara, ma ka pemotongan dilakukan oleh Kantor Perbendaharaan Negara/ Kantor Pembantu Perbendaharaan Negara yang bersangkutan pada saat pe: rrbayaran.
Bukti Pemlingutan PPh Pas al 22. 5 .1. Sebagai bukti pemungutan PPh Pas al 22 oleh pennmgut pajak diberikan - Bukti Pennmgutan PPh Pas . al 22. Bukti pennmgutan dibuat dalam rangkap tiga : lenhar ke - 1 : tmtuk Wajib Pajak yang dikenakan pemtmgutan PPh Pasal 22 ;
.. - _ 'I • • .. ., • .. • • 1 MENTER! KEUANGAN Keputusan ~nteri Keuangan No. 965/KMK.04 I 1983 Tanggal : 31 Iesenber 1983 lenbar ke - 3 : lilltuk arsip Pemlillgut Pajak yang bersangkutan. Fonnulir Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dapat diperoleh dengan cuma-cuma pada Direktorat Jendral Pajak.
No: rrnr Pokok Wajib Pajak ( NPWP ) ;
harga barang dan/atau nilai jasa yang dipergunakan sebagai dasar p~ mungutan PPh Pasal 22 ;
nOIIDr urut dan tanggal pemungutan e. jumlah pemungutan PPh . Pas al 22 ; II • TATA CARA PEMUNGUTAN. I. Das at p~mungutan. Dasar pemungutan PPh Pas al 22 adalah penghasilan netto dengan renerapkan Nor maP~ghitungan terhadap jumlah harga barang dan/atau nilai jasa yang diba -=- yarkan oleh pemungut Pajak kepada rekanan.
Tarif PPh Pa5al 22 dan penerapannya. Besamya tarif pemungutan PPh Pas al 22 adalah 25% ( duapuluh lima persen) . Nonna Penghitlillgan Penghasilan netto bagi rekanan adalah 6% (enam persen). Besamya PPh Pasal 22 yang diplillgut atas penbayaran lilltuk barang dan I atau nilai jasa kepada rekanan adalah : 25% X 6% X harga barang dan/atau nilai - jasa.
Dikecualikart dari pemun@tan PPh Pa5aI 22 adalah :
penbayaran (yang bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah) reliputi jum lah kurang dari Rp. 50. 000, - - (limapuluh ribu rupiah) ;
Wajib Pajak yang menyerahkan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang di · keluarkan oleh Direktorat Jendral Pajak ;
Saat pertyetoran. PPh. Pasal 22 yang telah dipungut dalam suatu Masa Pajak harus disetorkan se larrbat-lambatnya tujuh hari setelah berakhimya Masa Pajak yang bersangkut-=- an. Penyetoran dilakukan pada Kantor Kas Negara, Kantor Pos dan Giro serta Bank Pemerintah yang ditlilljuk, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak dalam rang_ kap empat lenbar ke - 1 : lilltuk dikirimkan ke Kantor Perbendaharaan Negara atau Kan- tor Penbantu Perbendaharaan Negara sebagai lampiran Surat- Pertanggung Jawaban yang bersangkutan ; lenbar ke - 2 untuk dikirimkan ke Direktorat Jendral Pajak oleh Pemmgut n-.: ,....1,... ,..-1....---! 1 ..... _.,: +,..h .... ......., U-oc~ • MENTER! KEUANGAN le: nbar ke - 3 ditahan oleh Kas Negara atau Kantor Pos tm.tuk kenrudian diki rimkan kepada Direktorat Jendral Pajak bersama-sama segi - penbayaran ; lenbar ke - 4 :
tm.tuk arsip Pemtmgut Pajak.
Fonnulir Surat Setoran Pajak dapat diperoleh dengan curna-c~ pada Direkto- rat Jendral Pajak.
Pada fonnulir Surat Setoran , Pajak harus dicantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Pe:
rm.mgut Pajak. · · 4. Bilamana Pe:
rm.mgut Pajak belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak maka ia wajib rnemintanya kepada Direktorat Jendral Pajak. IV. TATA CARA PELAPORAN. \ Pe:
rm.mgut Pajak harus ~lapoikan hasil pemtm.gutan PPh Pasal 22 yang telah dipu- ngutnya dalam suatu Masa Pajak kepada Direktorat Jendral Pajak selanbat-lanbat nya 7 (tujuh) hari setelah saat penyetoran. - Pelaporan dilakukan dengan ~nggmakan Surat Penberi tahuan Masa PPh Pasal 22, disertai larrpiran-larrpiran :
le: nbar ke - 2 dari Surat Setoran Pajak ;
lenbar ke - 2 dari Bukti Pe:
rm.mgutan PPh Pasal 22 ;
segi hittm.g dari penjtnnlahan PPh Pasa1 22 yang telah dipungut berdasaikan angka-angka yang tercantum pada Bukti Pemungutan PPh Pasal 22. • MENTER! KEUANGAN LAMPIRAN II KEPUfUSAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INOONESIA No. 965/.KMK.04/ 1983 I. UM UM. Tanggal 31 Desember 1983 TATA CARA PEMUNGlITAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENQ-IASILAN PASAL 22 YANG DILAKUKAN OLEH DIREKTORAT JENDRAL BEA DAN CUKAI 1. Dasar Hukt.nn. Pennmgutan Pajak Penghasilan oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai di dasarkan pada Pasal 22 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. 2. Ruang lingkup. Pemasukan barang kedalam Daerah Pabean oleh Wajib Pajak.
Saat Pemungutan. Pennmgutan PPh Pasal 22 dilakukan oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai bersamaan dengan saat pennmgutan Bea Masuk; dalam hal tidak atau ditunda pemungutan Bea Masuk, pada saat pemasukan barang ke dalam daerah pabean. 4. Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 4.1. Sebagai bukti Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai diberikan Bukti Pennmgutan PPh Pasal 22. Bukti Pemungutan dibuat dalam rangkap tiga : lembar ke-1 untuk Importir sebagai Wajib Pajak PPh Pasal 22; lembar ke-2 untuk dikirim ke Direktorat Jendral Pajak seba- gai lampiran Surat Pemberitahuan Ma.set; lembar ke-3 untuk arsip Direktorat Jendral Bea dan CukaL 4.2. Pada Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dicanturnkan dengan jelas a. nama dan alamat Importir;
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ;
tanggal dan Nomor Pemberitahuan Pemasukan Barang Un~Jk Di- pakai (PPUD) ;
nilai daram US$ dan Rupiah yang dipergunakan sebagai dasar pennmgutan PPh Pasal 22 ;
nomor urut dan tanggal pemungutan f. jumlah pennmgutan PPh Pasal 22. II . TATA CARA PEMUNGlITAN.
Dasar Pemungutan Pengha5ilan netto yang diperoleh dengan menerapkan Nonna Penghitung_ an. www.jdih.kemenkeu.go.id MENTERI KEUANGAN 2.·Tarif PPh Pasal 22 dan Penerapannya. Lampiran II Keputusan Menteri Keuangan No. 965/KMK.04/ 1983 Tanggal : 31 Desember 1983 2.1. Besarnya tarif PPh Pasal 22 adalah 25 %. Nonna Penghitungan penghasilan netto Importir yang memiliki Angka Pengenal Im- por ( API ), Angka Pengenal Impor Sementara ( APIS) atau Angka Pengenal Impor Terbatas ( APIT ) adalah 10 % X Nilai Dasar Impor ( CIF ). 2.2. Besarnya PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai atas Impor yang dilakukan oleh Importir yang memiliki API, APIS, atau APIT adalah 25 % X 10 % X Nilai Da sar Impor ( CIF ) . - 2.3. Nonna Penghi.tungan penghasilan netto Importir yang tidak me miliki API, APIS, atau APIT serta orang atau badan yang me-=- masukkan barang sebagai barang penumpang dan/atau kiriman adalah 30 % dari Nilai Dasar Impor (CIF). Besarnya PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai menjadi 25 % X 30 % X Nilai Dasar Impor (CIF) yang menjadi dasar penghitungan bea masuk. III. TATA CARA PENYETORAN PPh PASAL 22.
PPh Pasal 22 yang telah dipungut dalam setiap hari kerja harus disetorkan pada hari kerja berikutnya. PPh Pasal 22 yang dipungut pada tanggal 31 Maret harus disetor - kan pada hari i tu j uga. Penyetoran dilakukan pada Kantor Kas Negara, Kantor Pos dan Giro serta Bank Pemerintah yang ditunjuk, dengan menggunakan Surat Se toran Pajak dalam rangkap empat : - lembar ke-1 : dan lembar ke-2 setelah dibubuhi tanda terima oleh Kas Negara/Kantor Pos dan Giro/Bank, dikembalikan kepada Direktorat Jendral Bea dan Cukai; lembar ke-2 oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai dikirim ke Direktorat Jendral Pajak sebagai lampiran SuratPem beritahuan Masa; - lembar ke-3 ditahan oleh Kas Negara/Kantor Pos dan Giro I Bank, untuk kemudian bersama-sama dengan segi pembayaran, dikirim ke Direktorat Jendral Pajak; lembar ke-4 : untuk arsip Kas Negara/Kantor Pos dan Giro/Bank.
Pada fonnulir Surat Setoran Pajak harus dicantturikan Nomor PokokWa jib Pajak dari PeIIIllllgut Pajak. IV. TATA CARA PELAPORAN 1. Direktorat Jendral Bea dan Cukai harus melaporkan PPh Pasal 22 yang telah dipungut kepada Direktorat Jendral Pajak dalam jangka waktu 7 (tujuh} hari setelah penyetoran. Pelaporan dilakukan dengan menggunakan fonnulir Surat Pemberita - 'I...._- ~ -- ,6 ___ T'\T'\1- T'\ ___ ., ....,...., T--- MENTERI KEUANGAN Lampiran II Keputusan Menteri Keuangan No. 965/KMK.04/ 1983 Tanggal : 31 Desember 1983 2. Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 22 Impor disertai lampiran a. tindasan PPUD;
lembar ke-2 Surat Setoran Pajak;
lembar ke-2 Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 Impor;
daftar dari Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 Impor dan PPUD/Nota Pembetulan.
Jumlah uang yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak, harus sa- ma dengan seluruh penjumlahan sebagaimana tercantum dalam Segi Hitung dari Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dan harus sama pula de ngan p. enjumlahan pemungutan PPh Pasal 22 yang tercantum dalam - PPUD dan/atau Nota Pembetulan yang bersangkutan. V. L A I N - L A I N 1. PPUD yang dikirimkan kepada Direktorat Jendral Pajak harus ditan datangani oleh pejabat Direktorat Jendral Bea dan Cukai yang be,f wenang.
Apabila Importir mengajukan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22, maka pada ruang bawah PPUD harus dicantumkan tanggal dan Nomor Su rat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang bersangkutan.
Susunan Organisasi Departemen
Relevan terhadap
Pasal 9 Direktorat Jenderal Moneter terdiri dari: (1) Sekretariat Direktorat Jenderal; (2) Direktorat Penerimaan Minyak; (3) Direktorat Lembaga Keuangan; (4) Direktorat Hubungan Keuangan Internasional; (5) Direktorat Iuran Pembangunan Daerah; (6) Direktorat Investasi dan Kekayaan Negara; (7) Direktorat Persero dan Pembinaan Keuangan Badan Usaha Negara. Pasal 10 Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara terdiri dari: (1) Sekretariat Direktorat Jenderal; (2) Direktorat Perencanaan dan Analisa; (3) Direktorat Pengawasan Anggaran Negara; (4) Direktorat Akuntan Negara; (5) Direktorat Pengawasan Perminyakan; (6) Direktorat Pembukuan Keuangan Negara; (7) Direktorat Pengawasan Kas Negara. Pasal 11
Departemen Keuangan sebagai bagian dari Pemerintahan Negara, dipimpin
oleh seorang Menteri yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Pasal 2 Tugas-pokok Departemen Keuangan adalah menyelenggarakan sebagian tugas
umum pemerintahan dan pembangunan di bidang keuangan. BAB II SUSUNAN ORGANISASI Pasal 3 Departemen Keuangan terdiri dari: (1) Menteri; (2) Sekretariat Jenderal; (3) Inspektorat Jenderal; (4) Direktorat Jenderal Anggaran; (5) Direktorat Jenderal Pajak; (6) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; (7) Direktorat Jenderal Moneter; (8) Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara; (9) Badan Pendidikan dan Latihan; (10) Pusat; (11) Instansi Vertikal di Wilayah. Pasal 4
Penunjukan/Penetapan Tempat Kedudukan dan Daerah Wewenang Kanwil Ditjen Pengawasan Keuangan Negara, Kantor Akuntan Negara dan Kantor Pengawasan Anggar ...