Pedoman Penataan Organisasi di Lingkungan Departemen Keuangan.
Pengujian UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara [Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12] ...
Relevan terhadap
(1) Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan cara menjual atau menyewakan Hak Manfaat atas Barang Milik Negara atau cara lain yang sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN. B. Bahwa dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, khususnya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, Pasal 11 ayat (1), Menteri Keuangan setelah meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah Republik Indonesia telah menjaminkan aset negara senilai triliunan rupiah sebagai alas/jaminan ( underlying asset ) penerbitan SBSN Pemerintah Republik Indonesia. C. Bahwa tindakan Pemerintah c.q. Menteri Keuangan tersebut telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia dan pengelola pendidikan tinggi, maupun dan juga merugikan seluruh warga negara Republik Indonesia, karena dengan diberlakukannya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, maka Negara tidak lagi mampu sepenuhnya memberikan jaminan layanan, khususnya layanan di bidang pendidikan tinggi, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang selanjutnya dituangkan secara rinci dalam pasal- pasal sebagai berikut: 9 Pasal 28H ayat (2) ”Setiap warga negara berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai _persamaan dan keadilan”; _ Pasal 34 ayat (3) ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum _yang layak”; _ D. Dengan dalih bahwa pemindahtanganan Barang Milik (Aset) Negara tersebut bersifat khusus, yaitu, antara lain:
penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara;
tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan ( legal title ) Barang Milik Negara; dan (3) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan, sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, Pemerintah telah menganggap tidak melakukan pelanggaran dan merasa bahwa aset yang dijadikan alas penerbitan SBSN tersebut tetap aman di tangan Pemerintah dan bebas dari ancaman (penyitaan) dari pihak lain; Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan bahwa materi muatan dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b; Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah Perubahan Kedua yang disahkan pada tanggal 18 Agustus tahun 2000 Pasal 28H ayat (2).
Menyatakan bahwa materi muatan dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b; Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Demikianlah permohonan Pemohon, kiranya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat segera memeriksa dan memutus yang seadil-adilnya. 10 [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Bukti P-4 : Fotokopi Referensi Surat Kabar Harian Republika tanggal 30 Juni 2009, tanggal 16 November 2009, tanggal 28 November 2009, tanggal 2 Desember 2009;
Bukti P-5 : Fotokopi Akta Notaris Nomor 40, tanggal 16 Januari 1997 tentang Pendirian/Anggaran Dasar Yayasan Patria Artha;
Bukti P-6 : Fotokopi Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 106/D/O/2009, tanggal 21 Juli 2009 tentang Pemberian Ijin Penyelenggaraan Program-Program Baru dan Penggabungan STIE Patria Artha di Makassar Dengan STMIK Boalemo di Makassar Menjadi Universitas Patria Artha di Makassar Diselenggarakan Oleh Yayasan Patria Artha di Makassar;
Bukti P-7 : Surat Kuasa Pemohon kepada Kuasa Hukum bertanggal 1 November 2009;
Bukti P-8 : Fotokopi Berita Acara Pengambilan Sumpah Pengacara Praktek, tanggal 4 Januari 1997 atas nama Muh. Faisal Silenang, SH., dan Berita Acara Pengambilan Sumpah Pengacara Praktek, tanggal 19 Maret 1996 atas nama Said, SH;
Bukti P-9 : Fotokopi Kartu Anggota Peradi atas nama Muh. Faisal Silenang, SH., dan Said, SH; Selain itu, Pemohon juga telah mengajukan dua orang ahli, yaitu Prof. Dr. Muchsan dan Drs. Siswo Sujanto, DEA, yang memberi keterangan di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 16 Februari 2010, sebagai berikut:
Ahli Prof. Dr. Muchsan • Bahwa kalau melihat negara sebagai penguasa, berarti tidak diperbolehkan Negara menggunakan kaidah-kaidah hukum privat/perdata di dalam 11 memperoleh benda-benda tersebut. Misalnya di dalam rangka memperoleh tanah, benda-benda yang berbentuk tanah, negara hanya disediakan empat lembaga hukum, yaitu pencabutan, pembebasan, pelepasan, dan pengadaan yang dasar hukumnya berbeda-beda. Sedangkan untuk benda non tanah, negara disediakan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 dengan pelelangan, dengan penunjukkan langsung atau pengadaan langsung. • Bahwa semangat dari Undang-Undang Dasar 1945, negara dalam hal ini diberi kedudukan sebagai lembaga publik sehingga dalam rangka memperoleh benda itu sebetulnya tertutup menggunakan hukum perdata, karena kalau negara menggunakan hukum perdata maka kedudukan yuridis negara sebagai penguasa bergeser, yaitu dapat menjadi pemilik atau penyewa, atau mungkin pengguna hak pakai dan sebagainya. Dengan demikian dengan semangat tersebut, kalau pasal atau Undang-Undang bertentangan dengan semangat atau jiwa UUD 1945 maka dengan sendirinya merupakan suatu produk hukum yang tidak sesuai dengan semangat atau jiwa Undang-Undang Dasar 1945; • Bahwa terkait dengan Pasal 28H, yang namanya jiwa atau semangat adalah yang menghidupi seluruh pasal demi pasal, sehingga semangat tersebut harus termanifesir di dalam pasal demi pasalnya. Dengan demikian semua pasal yang ada di dalam Undang-Undang Dasar 1945 harus terjiwai dengan semangat ini; • Bahwa sehubungan dengan kerugian secara in concreto , sebagai ahli tidak dapat melihat atau menjabarkannya. Artinya, kerugian secara konkret mungkin kerugian moril atau imateriil dari pihak Pemohon, tetapi segala sesuatu yang bertentangan dengan semangat atau jiwa suatu Undang-Undang ataupun Undang-Undang Dasar itu sudah barang tentu merugikan, artinya mungkin merugikan seluruh bangsa Indonesia. Misalnya kalau semangat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah ekonomi kerakyatan, tetapi dalam kenyataannya ekonomi liberal maka dengan sendirinya akan merugikan seluruh bangsa Indonesia. Tidak hanya individual tetapi merupakan suatu universal dari suatu nation ; • Bahwa bertumpu pada statement saksi maka jika suatu benda negara dibebani dengan hak-hak keperdataan, yang menurut prinsip dalam publik domain tidak diperkenankan sebab ini merupakan suatu benda publik yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Padahal dengan dibebani surat 12 berharga dan sebagainya, yang dasarnya adalah perjanjian maka prinsip tersebut tidak diperkenankan dalam publik domain; • Bahwa menafsirkan Pasal 33 ayat (3) terutama mengenai tanah harus dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960), sebab Undang-Undang tersebut sebagai pelaksana dari Pasal 33 ayat (3), sehingga mestinya Undang-Undang Pokok Pertanahan bukan agraria, sebab kalau agraria maka termasuk pertambangan dan sebagainya; • Bahwa khusus mengenai tanah terdapat beberapa prinsip, pertama , hak menguasai negara ada di atas segala-galanya sehingga meskipun terdapat hak milik perorangan yang penuh, namun tetap dikuasai oleh negara. Kedua , semua benda termasuk tanah itu berfungsi sosial ( vide Pasal 6 UU 5/1960). Sehingga kepentingan umum, kepentingan negara diutamakan dari pada kepentingan individu-individu; • Bahwa mengenai kemanfaatan, seharusnya dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, hal itu sudah final. Artinya, hasil dari penggunaan benda merupakan kepentingan umum yang bermanfaat bagi bangsa atau bagi negara; • Bahwa kata kepentingan umum itu juga include manfaat, kegunaannya untuk bangsa ini, sehingga kalau SBSN akhirnya atau bermuara kepada APBN atau APBD, padahal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sumber keuangan negara di antaranya ada pajak dan sebagainya namun tidak ada kata-kata atau suatu ketentuan SBSN merupakan sumber pendapatan negara. Bisa jadi masuk dalam pendapatan tetapi bukan suatu prinsip sehingga tidak dapat diandalkan sebagai suatu pendapatan yang pasti; • Bahwa kerugian dalam hal ini bukan kerugian perdata, karena peradilan Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan publik bukan peradilan perdata, sehingga masalah kerugian tidak seperti dalam perdata harus jelas moril, imateriil dan sebagainya. Kalau suatu hal yang bertentangan dengan semangat atau jiwa Undang-Undang Dasar maka merugikan seluruh bangsa, terutama untuk generasi penerus, dengan demikian apabila kerugian dijelaskan secara rinci. Hal itu merupakan kerugian dalam privat recht , namun karena Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan publik, maka yang digunakan adalah hukum publik; 13 2. Ahli Drs. Siswo Sujanto, DEA. • Bahwa pemikiran atau konsepsi yang dipahami oleh para pejabat pemerintahan atau oleh para politisi akan berpengaruh terhadap pemikiran/kompetensi dalam penyusunan produk hukum. Terkait dengan itu, pemahaman terhadap konsep peran negara dalam penyusunan produk hukum oleh para pejabat pemerintah maupun para politisi perlu diperjelas; • Bahwa melihat peran dan fungsi kewajiban negara terhadap warga negaranya didasarkan pada dalil atau landasan pemikiran baik filosofis, konsepsi teoritik maupun landasan konstitusional sebagai berikut:
Di dalam landasan filosofis, negara melindungi dan mensejahterakan seluruh rakyatnya. Oleh karena itu, negara harus memiliki sarana yang memadai dan terjamin agar tugas atau fungsi kewajibannya dapat terlaksana dengan baik;
Dalam konsep teoritik tentang negara, terlepas dari sistem ekonomi yang dianut suatu negara yaitu sistem kapitalis yang merupakan perwujudan falsafah liberalisme yang mengutamakan kepentingan individu maupun sistem sosialis yang bersifat etatis dengan menyerahkan semua kekuasaan di bidang perekonomian di tangan Pemerintah, fungsi Pemerintah dalam menjamin terselengaranya kebebasaan maupun kesejahteraan masyarakat adalah sangat penting. Dalam sistem perekonomian kapitalis yang memberikan kebebasaan kepada masyarakat untuk melakukan produksi, konsumsi dan distribusi diperlukan peran Pemerintah untuk melakukan pengaturan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk penyediaan barang-barang yang berupa kebutuhan dasar masyarakat yang kemudian di kenal dengan istilah public goods. Kebutuhan dasar tersebut antara lain adalah perlindungan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, keadilan, pekerjaan umum. Sementara itu, dalam sistem perekonomian sosialis Pemerintah atau negara bersifat omnipoten , artinya fungsi Pemerintah atau negara, bukan hanya terbatas pada penyediaan barang-barang kebutuhan dasar melainkan juga kebutuhan lainnya yang sebenarnya dapat disediakan oleh masyarakat melalui mekanisme pasar;
Bahwa dalam pandangan yang lebih modern sebagaimana disampaikan oleh seorang ahli keuangan negara yaitu Richard Maskrid fungsi Pemerintah melalui kebijakan anggaran belanja negara adalah menjamin 14 keseimbangan dalam pengalokasian sumber daya, menjamin keseimbangan dalam pembagian pendapatan dan kekayaan dan menjamin terselenggaranya stabilitas ekonomi nasional;
Bahwa kalau memperhatikan sistem pemerintahan Indonesia. Peran dan fungsi negara sebagai dikemukakan dalam teori di atas, dengan jelas dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian secara rinci dituangkan dalam berbagai pasalnya yang merupakan suatu landasan konstitusional, antara lain menyatakan, “ kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”, dengan demikian peran atau tugas Pemerintah Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Peran dan fungsi pemerintah atau negara tersebut antara lain tercermin dalam Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945, termasuk setelah dilakukan perubahan; • Bahwa selanjutnya untuk merealisasikan peran dan fungsi Pemerintah, diperlukan adanya jaminan sekurang-kurangnya dalam dua hal, yaitu Pemerintah selaku otoritas dan Pemerintah sebagai individu. Khusus Pemerintah selaku otoritas, pertama , Pemerintah yang menjamin kepentingan masyarakat atau public interest harus memiliki kewenangan secara politik dan hukum untuk dapat menjamin terwujudnya peran dan fungsinya. Kedua , Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat harus memiliki jaminan bahwa asetnya yang merupakan instrumen untuk mendukung terwujudnya peran dan fungsi Pemerintah tersebut selalu aman ditangannya dan tidak mendapat ancaman dari pihak lain; 15 [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Pemerintah yang diwakili oleh Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, menyampaikan keterangan tertulis, sebagai berikut: Sebelum Pemerintah menanggapi permohonan pengujian Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) terhadap Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang diajukan Pemohon, maka Pemerintah perlu menyampaikan sejak awal bahwa permohonan ini sudah seharusnya ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi; Pemerintah bahkan dapat menyatakan bahwa permohonan a quo tidak layak untuk diajukan Pemohon ke Mahkamah Konstitusi, karena Pemohon tidak benar dan tidak tepat dalam menggunakan maupun menuliskan pasal-pasal penguji dalam perkara Constitutional Review ini. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang ditulis dalam permohonan Pemohon yaitu ” Setiap warga negara berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan ”, yang tidak sesuai dengan bunyi teks Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebenarnya yang menyatakan ” Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan ”; Kekeliruan Pemohon berlanjut pada penulisan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang dinyatakannya yaitu ” Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum yang layak ”, yang tidak sesuai dengan teks sebenarnya yaitu ” Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak ”; Pemerintah berpendapat bahwa kesalahan pengutipan bunyi pasal-pasal konstitusi oleh Pemohon ini merupakan kesalahan fatal yang sudah cukup untuk menunjukkan ketidakseriusan Pemohon dalam mengajukan permohonan a quo ; Walaupun persidangan ini didasarkan pada suatu kekeliruan nyata yang dilakukan oleh Pemohon, namun sesuai dengan agenda persidangan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah, Pemerintah tetap serius menanggapi permohonan yang diajukan Pemohon ini, terutama untuk memberikan penjelasan mengenai 16 tidak adanya pertentangan antara UU SBSN dengan UUD 1945, setidak-tidaknya untuk meluruskan kekeliruan pemikiran dan pemahaman Pemohon mengenai penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN); Setelah Pemerintah membaca permohonan Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dianggap telah merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, atau setidak-tidaknya Pemohon mengalami kerugian yang bersifat potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, maka Pemerintah secara tegas menyatakan bahwa permohonan tersebut didasarkan pada alasan yang tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur ( obscuur libel ), utamanya dalam mengkonstruksikan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. Pernyataan Pemerintah di atas didasarkan pada pertanyaan yang harus dijelaskan lebih dahulu mengenai siapa yang sebenarnya dirugikan atas keberlakuan Undang-Undang a quo , khususnya terhadap penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset Surat Berharga Syariah Negara? Apakah hanya Pemohon saja, yayasan yang di ketuainya, dirinya selaku Pembina Universitas Patria Artha Makassar, atau Universitas Patria Artha Makassar? Hal ini perlu dipertanyakan karena Pemohon tidak menjelaskan secara tegas dalam permohonannya tentang siapa yang sebenarnya dirugikan. Dalam permohonannya, Pemohon hanya menjelaskan kedudukan Pemohon selaku perorangan warga negara Indonesia yang bertindak selaku ketua yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, pelatihan, penerapan, dan pengembangan Ilmu Keuangan Negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dengan berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Pemohon tidak dapat menjelaskan dalam permohonannya, underlying asset SBSN yang mana, sebagaimana kriteria berdasarkan Pasal 10 ayat (2) huruf a dan huruf b UU SBSN, yang dipermasalahkannya. Pemohon tidak dapat menerangkan dengan jelas kriteria BMN yang mana dari aset SBSN yang dirasakan merugikan dirinya, karena tentunya harus ada penjelasan yang lebih 17 terperinci dan mendasar dari Pemohon atas adanya kriteria aset BMN berdasarkan huruf a dan huruf b tersebut, apakah mempermasalahkan huruf a dan huruf b, huruf a saja, atau huruf b saja. Namun jika melihat pada hasil sidang panel terdahulu dalam perkara ini, tampaknya Pemohon lebih memfokuskan permohonan pengujian ini pada underlying asset berupa tanah dan/atau bangunan (huruf a saja) yang digunakan sebagai aset SBSN. Seandainya benar quod non Pemohon hanya mempermasalahkan kriteria BMN berdasarkan Pasal 10 ayat (2) huruf a saja, maka permohonan terhadap Pasal 10 ayat (2) huruf b yang diajukan hanya untuk sekedar ikut diuji saja tanpa disertai alasan keberatannya, membuat Pemerintah semakin yakin bahwa permohonan ini patut untuk dinyatakan ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam menjawab permohonan ini, Pemerintah menggunakan teks sebenarnya dari pasal-pasal konstitusi yaitu Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai pasal penguji yang berbunyi: “ Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan ”. Kalau pun Pemohon menggunakan pasal dimaksud dan menyebutkan telah terjadi kerugian yang dialaminya terkait dengan jabatannya selaku pimpinan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan tinggi, maka Pemerintah mempertanyakan maksud Pemohon menggunakan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 ini sebagai dasar baginya untuk mempermasalahkan digunakannya BMN sebagai underlying asset penerbitan SBSN dengan “kemudahan” dan “perlakuan khusus” untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai “persamaan dan keadilan” terhadap peristiwa yang pernah dialami atau yang berpotensi dialami oleh Pemohon terkait dengan BMN yang menjadi underlying asset SBSN. Pemerintah perlu mengutip komentar Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. atas Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 ini yaitu bahwa pasal ini mengatur tentang hak untuk mendapatkan perlakuan yang khusus yang biasa dikenal dengan affirmative action sebagai pengecualian atas ketentuan hak asasi manusia yang antidiskriminasi dengan pertimbangan bahwa orang atau kelompok orang yang bersangkutan berada dalam keadaan yang tertinggal dari perkembangan masyarakat pada umumnya, sehingga kepadanya dibutuhkan tindakan dan kebijakan yang bersifat khusus. 18 Lebih lanjut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. menyatakan bahwa perlakuan yang bersifat khusus ini sebenarnya diskriminatif juga, namun dalam makna yang positif untuk menolong agar yang bersangkutan dapat mengejar ketertinggalan. Diskriminasi dalam kategori ini disebut kategori diskriminasi positif atau biasa dinamakan affirmative action sebagai pelaksanaan affirmative policy . Hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan khusus yang demikian dipandang juga sebagai hak asasi manusia. Mahkamah Konstitusi pun telah berpendapat mengenai adanya affirmative action dalam pertimbangan putusan perkara Nomor 116/PUU-VII/2009 yang mengakui adanya perlakuan khusus bagi masyarakat asli Papua untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dengan cara diangkat, selain melalui proses pemilihan, yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang. Perlakuan khusus ini untuk melaksanakan affirmative policy yaitu pengistimewaan untuk sementara waktu yang memberikan peluang bagi masyarakat asli Papua memiliki wakil di DPRP melalui pengangkatan guna mendorong orang asli Papua untuk terlibat baik dalam pemikiran maupun tindakan bagi kepentingan Provinsi Papua dengan harapan akan terjadi perubahan kualitas orang asli Papua dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Guna memberikan tambahan penjelasan mengenai affirmative action dan __ affirmative policy , Pemerintah dapat menggambarkan usaha untuk pencapaian kesetaraan kesempatan dengan pemberian perlakuan khusus yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang mewajibkan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau Perusahaan Angkutan Umum memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit. Dengan adanya aturan tersebut, Pemerintah berpendapat, sangat berlebihan jika ada orang “normal” yang tidak temasuk ke dalam kategori khusus seperti di atas yang mempermasalahkannya karena merasa haknya terkurangi atau berpotensi terkurangi akibat dibuatnya fasilitas untuk orang-orang khusus 19 tersebut misalnya jalur jalan yang khusus dibuat tidak terjal bagi penyandang cacat pengguna kursi roda. Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat, bahwa selain Pemohon tidak tepat dalam menggunakan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai pasal penguji dalam perkara ini, Pemohon juga tidak dapat menjelaskan perlakuan khusus ( affirmative action ) semacam apa yang diharapkan Pemohon yang telah terkurangi atau berpotensi terkurangi akibat digunakannya BMN sebagai underlying asset SBSN berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. Begitu juga dengan penggunaan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 sebagai pasal penguji yang menyatakan “ Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak ”, karena justru SBSN diterbitkan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) termasuk membiayai pembangunan proyek, yang termasuk di dalamnya, langsung atau tidak langsung, untuk penyediaan fasilitas umum, fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pendidikan. Mengutip komentar Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. atas Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 dapat disampaikan intinya bahwa pada pasal ini terdapat kewajiban Negara, dalam hal bukan hanya Pemerintah (eksekutif) saja, tetapi juga legislatif dan yudikatif untuk memenuhi kewajiban menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas pelayanan umum yang layak. Jika dikaitkan dengan tujuan penerbitan SBSN yang telah disampaikan di atas, Pemerintah jelas telah melakukan salah satu upaya untuk dapat memenuhi kewajibannya dalam menyediakan fasilitas kesehatan, fasilitas pelayanan umum yang layak dengan cara menghimpun dana investor melalui penerbitan SBSN. Dalam kesempatan yang mulia ini, Pemerintah merasa perlu untuk menyampaikan bahwa selama beberapa tahun anggaran terakhir ini, pemenuhan pembiayaan defisit APBN dilakukan melalui penerbitan Surat Berharga Negara yang di dalamnya termasuk SBSN atau Sukuk Negara. Hal ini menunjukkan bahwa peran SBSN sebagai sumber pembiayaan APBN semakin menjadi andalan Pemerintah. Pernyataan Pemerintah ini dapat menjelaskan bahwa penerbitan SBSN dengan menggunakan BMN sebagai underlying asset sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, sehingga menjadi suatu hal yang berlebihan jika Pemohon justru merasa ada kerugian. 20 Terhadap permohonan ini, Pemerintah hanya dapat menduga-duga seandainya benar quod non Pemohon telah mengalami suatu peristiwa berkaitan dengan BMN yang menyebabkannya tidak dapat memanfaatkan BMN, maka hal itu bukanlah alasan yang tepat dan kuat untuk mengajukan permohonan pengujian UU SBSN di Mahkamah Konstitusi, karena bisa jadi peristiwa yang dialami Pemohon hanyalah masalah penerapan peraturan atau ketentuan lain, bukan UU SBSN, khususnya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. Pada penjelasan ini Pemerintah dapat menyimpulkan bahwa Pemohon telah salah dan keliru dalam memahami ketentuan UU SBSN, karena Pemohon telah membaca dan memahami Undang-Undang tersebut tidak menyeluruh, tidak komprehensif, tetapi hanya sebagian-sebagian, parsial. Oleh karena itu, Pemerintah memohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima. Walaupun Pemerintah telah berpendapat bahwa permohonan ini sebagai permohonan yang tidak jelas ( obscuur libel ), namun dalam persidangan yang mulia ini, Pemerintah berkewajiban dan sangat berkepentingan untuk memberikan penjelasan mengenai keberadaan UU SBSN khususnya ketentuan mengenai penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN, agar dapat menjadi sarana pencerahan bagi masyarakat umum yang menyaksikan dan menghadiri persidangan ini, termasuk Pemohon. Sebagai konsep ekonomi yang berbasis syariah, penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara mutlak harus menggunakan underlying transaction yang antara lain dapat berupa jual beli atau sewa menyewa atas “hak manfaat” BMN, jasa ( services ), pembangunan proyek atau objek pembiayaan lainnya. Penggunaan underlying transaction tersebut dimaksudkan agar terhindar dari adanya unsur-unsur (1) Riba , yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang ( money for money );
Maysir , yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan
Gharar , yaitu unsur ketidakpastian terkait dengan penyerahan, kualitas, dan kuantitas. __ Barang Milik Negara (BMN) yang akan digunakan sebagai Aset SBSN dapat berupa tanah dan/atau bangunan termasuk proyek yang akan atau sedang 21 dibangun yang harus memiliki nilai ekonomis, dalam kondisi baik/layak, telah tercatat dalam Dokumen Penatausahaan BMN, bukan merupakan alat utama sistem persenjataan, tidak sedang dalam sengketa, dan tidak sedang digunakan sebagai Aset SBSN dalam penerbitan yang lain. Pembatasan penggunaan BMN yang dapat dijadikan sebagai underlying penerbitan SBSN menunjukkan bahwa Pemerintah sangat selektif dan sangat hati- hati dalam menggunakan BMN tersebut. Di samping itu telah diatur juga dalam UU SBSN, khususnya Pasal 9 ayat (1) bahwa penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN tersebut harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPR. Ini menunjukkan bahwa Pemerintah sangat transparan dan akuntabel dalam penggunaan dan pengelolaan BMN. Penggunaan BMN sebagai aset SBSN dilakukan dengan cara Menteri Keuangan memindahtangankan Hak Manfaat atas BMN, sehingga pemindahtanganan BMN dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan BMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pengertian Hak Manfaat di Indonesia baru dikenal setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Dalam UU SBSN tersebut, Hak Manfaat didefinisikan sebagai hak untuk memiliki dan mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu dilakukan pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut. Dengan kata lain, pada saat dilakukan jual beli atau sewa menyewa atas hak manfaat BMN untuk dijadikan aset SBSN maka tidak ada perpindahan hak kepemilikan ( legal title), sehingga kepemilikan atas BMN tersebut tetap berada pada Pemerintah. Perlu disampaikan pula dalam kesempatan ini bahwa terdapat perbedaan konsep pemindahtanganan berdasarkan UU SBSN dengan UU Perbendaharaan Negara, dimana dalam hal penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN, UU SBSN merupakan lex specialist dari UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Hal ini secara tegas disebutkan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU SBSN bahwa : “ Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. _Sifat pemindahtanganan dimaksud, antara lain: _ 22 (i) Penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang _Milik Negara; _ (ii) _Tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik Negara; _ dan (iii) Tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan .” Penjelasan Pemerintah di atas, yang membandingkan UU SBSN dengan UU Perbendaharaan Negara tersebut adalah sebagai keterangan tambahan yang diharapkan dapat memberikan gambaran dan pemahaman bahwa antara kedua Undang-Undang tersebut tidak terdapat pertentangan sama sekali, khususnya mengenai penggunaan BMN sebagai underlying asset SBSN karena pemindahtanganan yang terjadi adalah pengalihan hak manfaat atas BMN saja yang hanya digunakan semata-mata untuk keperluan penerbitan SBSN, selain juga untuk meluruskan proses Constitutional Review ini karena adanya upaya Pemohon untuk menguji keberadaan UU SBSN yang dipertentangkan terhadap UU Perbendaharaan Negara pada permohonannya, yang seyogianya tidak dilakukan Pemohon di Mahkamah Konstitusi yang mulia ini. Saat ini, penerbitan SBSN terutama dilakukan dengan menggunakan struktur ijarah sale and lease back . Dalam mekanisme penerbitan SBSN dengan akad Ijarah Sale and Lease Back ini, Pemerintah wajib membeli kembali BMN yang telah dijual hak manfaatnya dan dijadikan sebagai aset SBSN, pada saat jatuh tempo atau pada saat terjadi default ( in the event of default ). Dalam hal BMN yang akan digunakan sebagai Aset SBSN sedang digunakan oleh Kementerian atau Lembaga selain Kementerian Keuangan, maka Menteri Keuangan terlebih dahulu memberitahukan kepada Kementerian atau Lembaga pengguna BMN dimaksud. Berdasarkan UU SBSN, Menteri Keuangan diberi kewenangan menggunakan BMN untuk dijadikan sebagai Aset SBSN. Penggunaan BMN sebagai Aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi pengguna BMN untuk tetap menggunakan BMN dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya, sehingga tanggung jawab untuk pengelolaan BMN ini tetap melekat pada instansi pengguna BMN sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Penggunaan BMN sebagai aset SBSN, oleh sebagian masyarakat sering dipahami sebagai jaminan ( collateral) atau gadai. Pemahaman tersebut sangatlah 23 tidak tepat. Pemerintah sejak awal telah dan akan menegaskan kembali bahwa penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN sama sekali tidak pernah ditujukan untuk menjaminkan atau menggadaikan BMN kepada investor. Secara hukum, jaminan adalah perjanjian tambahan yang harus didahului dengan perjanjian utang piutang antara para pihak. Dimana dalam jaminan, salah satu pihak dapat menyita objek jaminan apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian para pihak. Sehingga dalam jaminan ada hak salah satu pihak untuk melakukan penyitaan atas objek penjaminan. Hal ini berbeda dengan penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN yaitu bahwa BMN yang digunakan sebagai aset SBSN atau underlying asset bukanlah sebagai jaminan ( collateral) atau gadai. Hal tersebut sangat jelas diatur dalam perjanjian antara Pemerintah dan Perusahaan Penerbit SBSN bahwa BMN yang dijadikan sebagai aset SBSN tetap berada dalam penguasaan Pemerintah, sehingga tidak akan terjadi peralihan hak kepemilikan ( legal title ) atas BMN tersebut. Hal ini didukung dalam salah satu dokumen hukum penerbitan SBSN , dimana Perusahaan Penerbit SBSN sebagai Wali Amanat memberikan pernyataan sepihak untuk menjual kembali aset SBSN hanya kepada Pemerintah dalam hal Pemerintah gagal bayar ( in the event of default ) atau pada saat SBSN jatuh tempo. Dari pihak Pemerintah, dibuat pula dokumen hukum dimana Pemerintah memberikan pernyataan sepihak untuk membeli kembali aset SBSN pada saat Perusahaan Penerbit menjual aset SBSN tersebut. Dengan penjelasan Pemerintah tersebut di atas, kekhawatiran Pemohon dengan berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN dapat menjadi sebab negara tidak dapat memenuhi hak kontitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia, terutama terhadap BMN yang seandainya benar quod non digunakan oleh Pemohon atau Universitas Patria Artha Makassar dengan meminta pengujiannya terhadap Pasal 28 H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, adalah kekhawatiran Pemohon yang berlebihan saja, tanpa didasarkan pada alasan hukum yang sah. Oleh karena itu, sekali lagi Pemerintah memohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijak menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima. Pemerintah perlu juga mengemukakan bahwa akibat adanya kekeliruan pemahaman terhadap penggunaan BMN sebagai aset SBSN dan adanya 24 pengajuan permohonan uji materiil terhadap Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN akan sangat berdampak negatif terhadap kepercayaan investor, bukan hanya pada SBSN akan tetapi juga terhadap Surat Berharga Negara secara keseluruhan yang selama ini telah terbangun dengan baik. Kepercayaan investor selama ini kepada Pemerintah semakin meningkat, terbukti dari peringkat kredit rating Indonesia mengalami peningkatan. Saat ini rating Indonesia yang dikeluarkan oleh 3 (tiga) lembaga rating internasional masing-masing Moodys: Ba2, Standard &Poor: BB-, dan Fitch: BB+. Ini berarti bahwa posisi rating Indonesia hampir mencapai investment grade . Peningkatan rating tersebut antara lain merepresentasikan adanya perbaikan pengelolaan keuangan publik dan fundamental ekonomi, penurunan rasio utang terhadap PDB, pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah kondisi krisis ekonomi global, dan pengelolaan APBN yang prudent dan kredibel . Lebih lanjut, dampak negatif dari kekeliruan pemahaman terhadap penggunaan BMN sebagai aset SBSN tersebut, dan apabila terjadi pencabutan atas Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN akan dapat berakibat sulitnya Pemerintah untuk memenuhi pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang telah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk di dalamnya biaya pendidikan, kesejahteraan, kesehatan masyarakat, reformasi birokrasi, dan pembangunan infrastruktur. Di samping itu, dengan terhambatnya penerbitan SBSN oleh Pemerintah akibat dipermasalahkannya penggunaan BMN sebagai Aset SBSN, maka akan berdampak pada upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan pasar keuangan syariah di Indonesia. Hal ini mengingat SBSN merupakan instrumen investasi terutama bagi lembaga keuangan syariah seperti perbankan syariah, asuransi syariah dan reksadana syariah. Selain itu, SBSN merupakan sarana yang dapat digunakan untuk menarik investor dari negara- negara Timur Tengah yang sangat membutuhkan instrumen investasi yang sesuai dengan prinsip syariah. Dalam kesempatan ini kiranya Pemerintah juga perlu menyampaikan bahwa sampai saat ini Pemerintah telah menerbitkan Surat Berharga Negara senilai Rp979 triliun, diantaranya SBSN atau Sukuk Negara yang nilainya setara dengan Rp27,54 triliun (termasuk di dalamnya SBSN Valas sebesar USD650 juta), yang 25 dimiliki baik oleh investor dalam negeri maupun luar negeri termasuk investor dari negara-negara Timur Tengah. Apabila permohonan Pemohon tidak ditolak, maka kepercayaan investor akan runtuh, karena penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN dianggap tidak berdasarkan pada ketetapan hukum yang kuat, dan bahkan tidak menutup kemungkinan Pemerintah dapat dianggap default . Jatuhnya kepercayaan investor SBSN akan berimbas pada runtuhnya kepercayaan investor SUN dan pada gilirannya akan menghancurkan nilai SBN yang berjumlah RP979 triliun yang dimiliki oleh investor dalam dan luar negeri, baik investor institusi seperti bank, asuransi, dana pensiun, reksadana, maupun investor individu di tanah air. Situasi ini berpotensi menciptakan cross-default terhadap kewajiban negara lainnya berupa pinjaman luar negeri yang saat ini sekitar Rp640 triliun. Selanjutnya, hilangnya kepercayaan investor SBN dan kreditor pinjaman luar negeri tidak hanya akan menutup akses pembiayaan APBN, tetapi juga awal dari krisis ekonomi dan keuangan dengan magnitude yang sangat besar. Dengan demikian, ketidakpahaman terhadap konsep beberapa ketentuan yang diatur dalam UU SBSN, serta ketidakpekaan Pemohon terhadap situasi sosial politik dalam memunculkan permasalahan tersebut saat ini, sungguh merupakan gangguan yang sangat serius terhadap stabilitas politik dan ekonomi yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia secara keseluruhan. Bahwa kekhawatiran Pemohon akibat dijadikannya BMN sebagai underlying asset SBSN telah dan dapat berpotensi menyebabkan dirinya tidak dapat lagi menikmati atau memanfaatkan fasilitas milik Pemerintah dan Negara Republik Indonesia, seandainya benar quod non terutama yang digunakan oleh Pemohon atau Universitas Patria Artha Makassar, adalah kekhawatiran Pemohon yang berlebihan, tanpa didasarkan pada alasan hukum yang sah. Bahwa penerbitan SBSN yang menggunakan BMN sebagai underlying asset -nya, telah dituangkan dalam UU SBSN maupun berbagai bentuk perikatan (Akad) yang memproteksi beralihnya BMN secara fisik kepada investor, karena yang beralih adalah hak manfaatnya saja dan itupun hanya bersifat sementara, karena hak manfaat yang beralih tersebut akan kembali kepada Pemerintah ketika SBSN jatuh tempo. Berdasarkan ketentuan dalam UU SBSN dan akad-akadnya tersebut, tidak ada kemungkinan bagi investor untuk mengklaim BMN yang 26 dijadikan aset SBSN agar beralih secara fisik kepada investor, bahkan ketika Pemerintah gagal bayar sekalipun. Bahwa berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas, Pemerintah berpendapat tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas keberlakuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, karena kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu. Dengan seluruh uraian yang Pemerintah sampaikan dalam Pendahuluan Keterangan Pemerintah ini, Pemerintah mengharapkan tidak perlu lagi ada alasan untuk meragukan konstitusionalitas dari Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara yang sedang diuji ini, baik secara negatif, yaitu terbukti tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun secara positif, yaitu bahwa pasal-pasal tersebut jelas bertujuan untuk menjalankan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena itu Pemerintah mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan dengan amar:
Menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima;
Menyatakan ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono). [2.4] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Pemerintah mengajukan tiga orang saksi, yaitu Drs. Triantoro, Ir. Hanawijaya, M.M., dan 27 M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M., serta enam orang ahli yaitu K.H. Ma’ruf Amin, Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP., Gahet Ascobat, Farouk Abdullah Alwyni, Ir. Muhammad Syakir Sula, FIS., dan Ary Zulfikar, S.H., yang memberikan keterangan di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 16 Februari 2010, sebagai berikut:
Saksi Drs. Triantoro • Bahwa dasar hukum SBSN adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan beberapa peraturan yang lainnya, termasuk juga Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 4/PMK-08/2009 tentang Pengelolaan SBSN yang berasal dari barang milik negara; • Bahwa Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan telah meyampaikan memberi pemberitahuan atau pro notification, penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset dalam penerbitan SBSN kepada 10 kementerian lembaga, termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-2 94/MK.6 2009 tanggal 2 Oktober 2009, dan selanjutnya Direktur Jenderal Keuangan Negara atas nama Menteri Keuangan telah menyampaikan pemeberitahuan atau notification, penggunaan barang milik negara atau underlying asset, dalam penerbitan SBSN kepada 9 kementrian lembaga termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-19/MK 06/2010 tanggal 2 Februari 2010 antara lain menyatakan bahwa untuk penerbitan SBSN seri IFR 003 dan seri IFR 004 dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 22 KM 08 2009 dan Nomor 23 KMK 08/2009 tanggal 10 November 2009 telah ditetapkan barang negara pada 9 kementrian/lembaga termasuk Depdiknas sebagaimana terlampir menjadi underlying asset penerbitan SBSN. • Bahwa selama BMN dimaksud dipergunakan sebagai aset SBSN, maka pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara dimaksud, sesuai dengan penggunaan awalnya untuk pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, dan tidak dapat melakukan pemindah tanganan kepemilikan atas BMN dimaksud kecuali dikarenakan ada peundang-undangan yang mengharuskan pemindahtanganan tersebut. Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas dapat disimpulkan;
penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan pengalihan status kepemilikan dan atau status pengguanaan atas barang milik negara tersebut maupun perubahan fungsinya; 28 2. barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan permasalahan dari sisi akuntansi mengingat pemilikan milik negara tidak berpindah sehingga tetap tercantum dalam sistem informasi manajemen akuntansi barang kepemilikan negara atau SIMAK BMN atau neraca on balanced dari kementerian pendidikan nasional;
Kementrian Pendidikan Nasional selaku pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara, yang dijadikan sebagai underline asset untuk melaksanakan tugas dan fungsi kementerian pendidikan nasional;
Saksi Ir. Hanawijaya, M.M. • Bahwa saksi selaku Direktur dari Bank Syariah Mandiri yang merupakan bank syariah milik negara terbesar di Indonesia, sangat layak apabila mewakili industri keuangan syariah dan menyambut baik adanya upaya Pemerintah mempercepat peningkatan keuangan syariah di Indonesia. • Bahwa pertumbuhan instrumen sukuk __ dalam negeri yang dikeluarkan oleh perusahaan korporasi sangat lamban. Berdasarkan data olahan departemen keuangan pada tahun 2003, sukuk korporasi hanya berjumlah 6 buah atau senilai 740 miliyar. Hingga Desember 2006, sukuk __ korporasi di Indonesia yang telah diterbitkan berjumlah 17 sukuk __ yang nilainya 2,2 triliun. Sampai 1 Desember 2007, total obligasi syariah dan medium term notes yang diterbitkan sudah mencapai 32 jenis. Di sisi lain, Pemerintah untuk menerbitkan sukuk negara masih terganjal dengan belum adanya regulasi yang mengatur ketentuan tersebut. Padahal sebagai instrumen berbasis syariah, sukuk jelas memiliki tipikal dan aturan yang berbeda dengan surat utang negara biasa. Sampai pada akhirnya diterbitkan UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN yang merupakan pedoman bagi terbitnya sukuk negara sekaligus sebagai instrumen mendorong tumbuhnya investasi bagi investor dan lembaga keuangan syariah; • Bahwa potensi permintaan sukuk Republik Indonesia sebagai instrumen alternatif dalam berinvestasi diprediksi cukup besar. Hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor sebagai berikut;
Indonesia mempunyai jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, yang melakukan penawaran efek syariah masih sangat sedikit. Proporsi atau maisire produk syariah dibanding produk konvensional masih sangat kecil; 29 b. Asumsi permintaan akan instrumen sukuk negara yang masih sangat besar tersebut dibuktikan dengan peningkatan volume pembelian dengan investor. Total volume pemesanan pembelian sukuk ritel SR 001 adalah Rp. 5,556 triliun atau mencapai 313,9% dari target penjualan awal yang disampaikan agen penjual yaitu 1,77 triliun.
Adapun total jumlah pemesanan sukuk negara ritel seri SR 002 yang disampaikan oleh masyarakat melalu 18 agen penjual yang telah ditunjuk oleh Pemerintah adalah sebesar 8 triliun lebih.
Selain itu, terdapat potensi pemesanan pembelian sebesar Rp. 715 miliar. Hal ini telah melampaui kuota penjualan yang diberikan kepada seluruh agen penjual e. Berdasarkan paparan di atas tampak jelas bahwa instrumen sukuk memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan instrumen keuangan syariah di Indonesia. Peran-peran tersebut adalah sebagai motor penggerak syariah di Indonesia adalah bank syariah.
Dengan adanya instrumen sukuk membuat bank syariah lebih termotivasi untuk lebih mengembangkan secara agresif tanpa khawatir terbatasnya instrumen untuk placement apabila terjadi ekses _fund; _ • Bahwa dengan adanya sukuk menambah ragam produk investasi berbasis syariah bagi bank syariah. Saat ini alternatif produk investasi yang sudah ada antara lain Sertifikat Bank Indonesia Syariah atau SBIS, Sertifikat Investasi Mudharah antar bank atau SIMA, reksadana syariah, deposito antar bank syariah; • Bahwa dengan adanya sukuk memperluas dan mendiversikasi basis investor. Catatan saksi, di Bank Syariah Mandiri jumlah nasabah baru yang masuk sebesar 14 ribuan lebih, yang merupakan basis investor baru atau nasabah baru yang menyebabkan dana pihak ketiga Bank Syariah Mandiri melalui tabungan Bank Syariah Mandiri bertambah secara tidak langsung karena hasil dari return sukuk yang dibayarkan Pemerintah melalui BSM itu akan dikreditkan ke tabungan investor-investor tersebut; • Bahwa sukuk memperkuat dan meningkatkan peran sistem keuangan berbasis syariah di dalam negeri. • Bahwa manfaat sukuk bagi lembaga keuangan syariah adalah sukuk merupakan alternatif instrumen kelola likuiditas, yang hanya terbatas SBIS 30 syariah dan sekarang ada tambahan baru sukuk yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Sukuk merupakan alternatif untuk portofolio Yang dimiliki Bank Syariah Mandiri, sukuk memiliki motif investasi antara lain hanya boleh dimiliki oleh bank syariah sampai dengan jangka waktunya, sehingga tidak akan ada unsur spekulatif di dalam. • Sebagai pintu masuk, sukuk bisa juga sebagai pintu masuk yang efektif dalam mempercepat pertumbuhan aset bank syariah yaitu melalui penetrasi kepada masyarakat menengah ke atas yang selama ini menempatkan sebagian dananya melalui surat berharga bank-bank konvensional, sudah ada buktinya tambahan nasabah baru kami yang sebelumnya belum memiliki rekening di bank syariah yang pertama sekitar14 ribuan orang. • Bahwa meningkatnya daya tawar dan reputasi bank syariah di mata masyarakat karena ternyata bank syariah juga memiliki instrumen yang cukup beragam dan sekelas dengan bank konvensional. • Bahwa sukuk meningkatkan fee best income bagi Bank Syariah Mandiri, yaitu Bank Syariah Mandiri sebagai agen dari sukuk ritel mendapatkan fee best income sebesar 650 juta dan terakhir sebagai agen penerbit SR 002 mendapatkan fee best sebesar 495 juta rupiah; • Bahwa Surat SPSR ritel atau sukuk negara ritel adalah salah satu investasi bagi investor atau instrumen pembiayaan APBN bagi Pemerintah. Sama halnya dengan instrumen 001 dan 002 yang diterbitkan pada 2 Agustus 2008. • Bahwa sebagai investor lembaga keuangan syariah. Bank Syariah Mandiri menyadari bahwa underlying transaction yang dilakukan oleh Pemerintah tidak menyebabkan adanya perpindahan dari adanya aset negara itu apabila terjadi Pemerintah gagal bayar.
Saksi M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M. • Bahwa selaku praktisi pengajar keuangan syariah keuangan dan juga selaku investor individu dari sukuk negara yang selama ini mengharapkan adanya instrumen investasi yang dapat memberikan tidak hanya benefit di dunia tetapi juga insya Allah benefit di akhirat, minimal semacam peace of mine atau perasaan yang menenangkan pada saat kita berinvestasi pada instrumen investasi tersebut; 31 • Bahwa keuntungan yang saksi peroleh dalam berinvestasi di sukuk negara khususnya sukuk ritel Republik Indonesia SR 001, antara lain imbal hasil yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah atau dalam hal ini imbal jasanya berdasarkan akad idzharah/sale berdasarkan fatwa MUI Nomor 71 dan Nomor 72 dan juga telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 yaitu tentang Surat Berharga Syariah Negara; • Bahwa sukuk yang dikeluarkan oleh negara relatif aman, karena Republik Indonesia mempunyai reputasi sebagai pembayar utang yang sangat baik dan tidak mengalami default . Khusus untuk Sukuk Ritel Republik Indonesia imbal jasa yang saksi terima sebagai investor dapat diterima setiap bulan; • Bahwa sukuk menjadi instrument investasi yang sangat akuntabel karena dikeluarkan dengan underlaying asset yang transparan sehingga dalam hal pengeluaran sukuk ini menjadi kredibel dimata investor. Sebagai investor saksi sangat memahami bahwa yang dijadilan underlaying dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara adalah berupa hak manfaat dari barang milik negara, sebagai investor saksi akan mendapatkan sejumlah imbalan yang berasal dari penyewaaan kembali hak manfaat aset SBSN kepada Pemerintah yang dituangkan dalam akad ijarah, dan saksi sangat yakin bahwa dana yang diinvestasikan kepada sukuk negara akan aman, bahkan dalam hal misalnya pemerintah gagal bayar atas SBSN yang dimiliki oleh investor maka berdasarkan Undang-Undang SBSN dana tersebut akan disediakan dalam APBN dan investor melalui perusahaan penerbit SBSN sebagai wali amanat atau wakil investor hanya akan menjual aset SBSN kepada Pemerintah sesuai dengan dokumen penerbitan pada saat sukuk negara jatuh tempo; • Bahwa keuntungan dan kemanfaatan yang ada di instrument investasi sukuk negara seharusnya menjadi pendorong bagi masyarakat Republik Indonesia untuk lebih berkeinginan melakukan investasi bagi dirinya dan negaranya bukan malah mempermasalahkan keberadaan sukuk negara;
Ahli KH. Ma’ruf Amin • Bahwa penerbitan sukuk negara sudah lama diinginkan dan dicita-citakan tetapi terkendala ketika itu oleh belum adanya Undang-Undang yang menjadi landasan, yaitu Undang-Undang yang tidak bertentangan dengan Undang- Undang yang ada serta sesuai dengan ketentuan syariah. Akhirnya para ahli hukum nasional dan para ahli syariah berijtihad untuk mewujudkannya dalam 32 rangka membiayai APBN, kemudian lahirlah Undang-Undang SBSN yang di dalamnya tercapailah kesesuaian antara hukum negara dan hukum syariah. Menurut istilah ahli, terdapat persesuaian syara’an waqanunan . Hal tersebut merupakan satu prestasi di bidang hukum yang luar biasa; • Bahwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia memberikan masukan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut dengan menunjuk tim untuk mendampingi. Dewan Syaraiah Nasional juga menunjuk tim untuk duduk dalam Komite Syariah SBSN dan Dewan Syariah Nasional juga mengeluarkan fatwa-fatwa berkenaan dengan SBSN, anatara lain fatwa Nomor 69 tentang surat berharga syariah negara, fatwa Nomor 70 tentang metode penerbitan surat berharga syariah negara, fatwa Nomor 71 tentang sale and lease back , fatwa Nomor 72 tentang surat berharga syariah negara ijarah, sale and lease back , dan setiap Pemerintah menerbitkan SBSN, Dewan Syariah Nasional membentuk tim dalam mendampingi Pemerintah dalam pembuatan skema dan perjanjian yang terkait dengan penerbitan SBSN; • Bahwa Dewan Syariah Nasional juga memberikan pernyataan kesesuian syariah untuk setiap emisi SBSN, untuk memberikan pernyataan ini Dewan Syariah Nasional MUI me review ulang atas sebuah skema dan perjanjian yang telah dipandang final, yaitu melalui akad-akad dalam penerbitan SBSN, dimana barang milik negara tidak akan beralih secara fisik karena yang beralih adalah hak manfaatnya saja itupun hanya bersifat sementara karena hak manfaat yang beralih tersebut akan kembali kepada Pemerintah ketika SBSN jatuh tempo. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk adanya kekhawatiran hilangnya atau lepasnya barang milik negara melalui SBSN;
Ahli Ir. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP. • Bahwa secara umum sukuk yang ada di dunia dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama, adalah sukuk yang berbasis aset riil atau disebut asset base sukuk. Kedua, adalah sukuk yang melekat pada dan dijaminkan oleh asset riel yang disebut sebagai asset back sukuk. • Asset base sukuk, aset riil hanya digunakan untuk membuat struktur transaksi agar sesuai dengan prinsip syariah. Dalam prinsip syariah, setiap transaksi harus memenuhi tiga rukun, yaitu pertama adanya para pihak, kedua, adanya objek transaksi, dalam bahasa Arab disebut ma’kud alaih atau dalam bahasa Inggris disebut underlying asset, juga harga objek dari transaksi tersebut. 33 Ketiga, adanya kesepakatan. Oleh karenanya aset riil yang dijadikan dasar penerbitan sukuk biasanya tidak dijadikan sumber pembayaran dan tidak dijaminkan untuk pembayarannya. Secara lebih formal sukuk didefinisikan sebagai an investment sukuk is a certificate of equal value representing shares in ownership of tangible asset usufruct and services or in the ownership of the asset of particular project or special investment activity. Sedangkan untuk jenis sukuk yang kedua yang disebut sebagai asset back sukuk adalah aset riil yang dipisahkan kepemilikannya kepada special purpose vehicle juga dijadikan sumber pembayaran dan dijaminkan untuk pembayarannya. Perbedaan ini secara teoritis memberikan tingkat risiko yang berbeda. Secara lebih formal asset backed securities didefinisikan sebagai an asset backed security is a security who’s value and income payments are derived from and collateralised or backed by a specified full of underlying asset . • Bahwa dilihat dari sisi risiko investor pada jenis sukuk yang pertama yaitu asset base sukuk sebenarnya mempunyai tingkat risiko yang sama dengan memberikan uang tanpa jaminan aset riil atau disebut sebagai unsecured . Sedangkan investor pada jenis sukuk yang kedua yaitu asset back sukuk mempunyai jaminan atau disebut secured berupa aset riil yang dipisahkan kepemilikannya walaupun di beberapa negara jaminan itu berarti hak tagih atas aset riil bukan hak kepemilikan penuh atas aset riil itu sendiri. Sukuk yang diterbitkan oleh korporasi kadang berupa asset base sukuk dan kadang berupa asset back sukuk . Sedangkan sukuk yang diterbitkan oleh negara sampai saat ini biasanya berupa asset base sukuk.
Ahli Gahet Ascobat • Bahwa dari sisi pasar sukuk global menunjukkan perkembangan cukup signifikan dimulai tahun 2002 pada saat Pemerintah Malaysia pertama menerbitkan sukuk global dalam mata uang US dollar. Mencapai puncaknya pada tahun 2007 dan karena krisis keuangan global pada tahun 2008 mengalami penurunan dan tahun 2009 yang lalu telah mengalami peningkatan lagi yang antara lain alasan peningkatan market sukuk secara global tersebut adalah penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Indonesia selaku pioneer di tahun 2009; • Bahwa di pasar domestik Indonesia pun sukuk telah ada sejak tahun 2002 yang diterbitkan oleh korporasi, dengan berpartisipasinya Pemerintah dalam 34 menerbitkan SBSN di tahun 2008 dan tahun 2009 maka industri ini mendapatkan suplai atau persediaan instrumen syariah yang sangat dinanti- nanti oleh pelaku pasar. • Bahwa beberapa transaksi sukuk yang telah dilakukan di pasar internasional oleh pemerintahan, antara lain Pemerintah Malaysia, Qatar, Dubai, Indonesia, Bahrain, pada tahun 2009 yang lalu terjadi kelebihan permintaan cukup besar dan cukup signifikan yaitu transaksi Pemerintah kita secara global mengalami kelebihan permintaan sebesar 7 kali lipat. Penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Bahrain di tahun 2009 juga mengalami kelebihan permintaan sebanyak 5 kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi investor syariah secara global, permintaan dan kebutuhan atas instrumen ini memang sangat besar dan instrumen ini juga sangat langka tersedia di pasar. Di Indonesia sendiri dari sisi penerbitan sukuk terdapat ukuran yang semakin meningkat dan untuk memenuhi kebutuhan investor yang semakin meningkat pemerintah sudah memberi supply sedemikian besar dan ini juga berhasil diserap oleh pelaku pasar dan investor di Indonesia • Bahwa seluruh transaksi sukuk secara global yang dilakukan oleh pemerintahan di dunia selain di Indonesia yang melakukan penerbitan sukuk global di tahun 2009 yaitu pemerintahan Malaysia Negara bagian di Jerman, Pemerintah Dubay, Pakistan telah melakukan penerbitan sukuk secara global atau berkali-kali dan poin yang penting untuk dicermati disini adalah bahwa dari sisi struktur yang diterapkan oleh berbagai pemerintahan ini nyaris seluruhnya adalah berdasarkan struktur ijarah atau berdasarkan sewa menyewa atas suatu asset, merupakan struktur yang mirip dengan yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia dalam penerbitan SBSN; • Bahwa dalam perkembangan pasar dan perkembangan regulasi, tidak hanya dialami dan dijalankan oleh Pemerintah Indonesia saja tetapi juga di negara- negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Mesir, Turki, Kazastan, Uni Emirat Arab, Pakistan dimana Negara-negara tersebut memang mengembangkan peraturan-peraturan yang akomodatif untuk penerbitan sukuk baik oleh pemerintahan maupun oleh korporasi tetapi di luar negara-negara mayoritas berpenduduk muslim seperti Inggris, Perancis, kemudian Hongkong, Korea, dan Jepang telah atau sedang menyusun perundang-undangan atau perangkat regulasi untuk memfasilitasi kemungkinan pemerintahan atau 35 koperasi di negara masing-masing tersebut untuk dapat menerbitkan instrumen berbasis syariah atau sukuk yang menggunakan atau memerlukan underlying _asset; _ • Bahwa __ transaksi sukuk oleh Pemerintah Indonesia sangat sukses, hal ini menunjukkan sedemikian besarnya animo dari investor seperti transaksi dalam hal mata uang rupiah di tahun 2008, tahun 2009 dan baru-baru ini tahun 2010 melalui sukuk ritel habis diserap investor dan mengalami kelebihan permintaan. Selain itu, transaksi Pemerintah Indonesia dalam mata uang US dolar pun mengalami kelebihan permintaan sebanyak 7 kali, hal ini menunjukkan transaksi tersebut sangat sukses dan diminati oleh investor; • Bahwa salah satu kunci transaksi ini diminati dan diserap habis oleh market dan investor adalah karena struktur yang diterapkan adalah struktur yang diterima secara luas dan merupakan market best practice yang telah dilakukan oleh penerbit-penerbit lainnya sebelum Pemerintah Indonesia, sebagai contoh, struktur sukuk global Pemerintah Indonesia dalam mata uang US dolar adalah sebesar 650 juta pada April 2009, dengan strukturnya secara gambaran umum adalah sebagai berikut:
Pemerintah mengalihkan hak manfaat atas beberapa kantor pemerintahan selaku aset sukuk kepada suatau perusahaan penerbit yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, tidak dimiliki oleh investor asing.
Pemerintah tetap menggunakan aset-aset sukuk tersebut seperti sedia kala tidak ada disruption, tidak ada perubahan karena aset itu langsung disewakan penerbit kepada Pemerintah sejak hari pertama transaksi dilangsungkan dan hal tersebut berlangsung terus sampai dengan sukuk tersebut jatuh tempo.
Sertifikat kepemilikan atau barang-barang milik Negara tersebut tidak berpindah dari Pemerintah dan tidak berpindah ketangan investor asing dalam kasus ini. Pada saat jatuh tempo atau dalam hal terjadi gagal bayar atau wanprestasi dipihak Pemerintah, aset sukuk pun hanya dapat dijual kembali oleh investor atau perusahaan penerbit kepada Pemerintah Indonesia, sehingga tidak ada kondisi hak manfaatnya hilang atau kepemilikannya hilang berpindah dari tangan Pemerintah.
Bahwa pada saat penerbitan, sukuk global mendapat credit rating agency sebagai instrumen yang merefleksikan sebagai risiko kredit dan rating 36 Pemerintah yaitu BA 3 berdasarkan analisa moody’s dan BB- menurut standar S&P dan BB menurut Fitch hal tersebut sama seperti rating Pemerintah Indonesia pada saat itu; • Bahwa transaksi tersebut telah memperoleh begitu banyak penghargaan dari berbagai publikasi internasional atas peranannya dalam berhasil membuka kembali pasar sukuk secara global dan juga memberi contoh bagi negara lain yang sekarang sedang mengembangkan perangkat regulasi untuk juga mengikuti jejak Indonesia dalam mengakses likuiditas yang sangat besar dikalangan investor syariah; • Bahwa dari sisi transaksi sukuk global yang diterapkan oleh Pemerintah Indoneisa, tidak jauh berbeda dengan transaksi sukuk global yang diterapkan oleh pemerintahan lain, antara lain contohnya Pemerintah Malaysia di tahun 2002, Pemerintah Qatar di tahun 2003, Pemerintah Pakistan di tahun 2005. Struktur yang diterapkan persis sama yaitu ijarah ( sale and lease back ) dari sisi Underlying asset , Pemerintah Malaysia menggunakan tanah dan bangunan milik negara yang berlokasi di Kuala Lumpur, Pemerintah Qatar menggunakan tanah yang berlokasi di Doha Qatar, Pemerintah Pakistan menggunakan jalan raya Lahore-Islamabad Motorway, dan Pemerintah kita menggunakan gedung kantor pemerintahan. Penggunaan aset dalam ke empat transaksi sukuk ini juga sama sepenuhnya digunakan oleh kembali oleh Pemerintah, disewakan kembali kepada Pemerintah, sehingga Pemerintah negara-negara masing- masing bisa terus menggunakan, memelihara dan jika perlu mengasuransikan aset sukuk tersebut secara normal; • Bahwa yang terjadi pada saat jatuh tempo atau terjadi Dissolution Event atau gagal bayar atau Interrupted Default dalam keempat transaksi tersebut, maka akan langsung dijual kembali kepada pemerintah negara masing-masing yaitu kepada Malaysia, Qatar, Pakistan dan Indonesia karena feature tersebut tidak ada objek jaminan dan keempat transaksi ini adalah transaksi yang _unsecured; _ 7. Ahli Farouk Abdullah Alwyni • Bahwa ahli melihat dari sisi peranan sukuk negara dalam kaitannya dengan potensi untuk menarik investasi khususnya investasi dari negara Timur Tengah. Ketika berbicara tentang investor Timur Tengah biasanya terfokus pada GCC ( Gulf Cooporation Council ) yang terdiri dari Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab. Negara-negara ini diperkirakan mempunyai 37 reserve sekitar 1,3 Triliun Dollar sebagai hasil dari akumulasi ketika harga minyak naik pada tahun 2003. Pada awalnya negara-negara ini mempunyai tujuan investasi tradisional di Amerika dan di Eropa karena instrumen- instrumen surat berharga di negara Amerika Serikat dan Eropa sudah sedemikian terbangunnya; • Bahwa kebanyakan investor dari Timur Tengah adalah mereka yang mempunyai investasi dalam bentuk Financial Capital , sehingga investasinya mengarah kepada surat-surat berharga. Dengan mulai berkembangnya sistem keuangan islam maka mulai terjadi diversifikasi penempatan dana bukan hanya di pasar tradisional Eropa dan Amerika Serikat tetapi juga di negara-negara mereka sendiri dan terakhir di Malaysia yang cukup aktif untuk mencoba memposisikan diri menjadi Alternative Financial Destination , Alternative Investment Destination bagi negara-negara dari teluk ini. • Bahwa kalau melihat perkembangan keuangan Islam dewasa ini jumlah aset dari Top 500 bank-bank Islam ini mencapai 822 Milyar Dollar pada akhir tahun 2009. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya, pertama, fenomena akumulasi modal di teluk sebagai dampak kenaikan harga minyak yang signifikan, yang terjadi kembali sejak tahun 2003. Kedua , kesadaran keislaman diantara kaum muslimin kelas menengah atas, baik di dunia muslim sendiri ataupun di Eropa dan di Amerika Serikat, dan faktor Eleven September yang dalam beberapa hal menimbulkan kecurigaan di Amerika Serikat terhadap dana-dana yang berasal dari Timur Tengah juga turut memacu keinginan untuk mencari Alternative Investment Destination , sebagai contoh dalam kasus DP World ( Dubai Ports World ) dimana rencana investasi yang tertolak oleh kongres di Amerika Serikat. Hal-hal tersebut menumbuhkan secara bersamaan kebutuhan akan alternatif investasi yang berdampak kepada perkembangan keuangan Islam. Dalam kaitan dengan hal ini, krisis yang terjadi di Amerika dan di negara Eropa pada umumnya diawali pada tahun 2008 juga membuat para investor mencari Alternative Investment Destination bahwa sebenarnya di negara-negara seperti eropa dan Amerika menjadi kondisi-kondisi yang merugikan, sehingga terjadi proses pergerakan kapital ke negara-negara Asia, terutama Malaysia yang cukup proaktif dalam melihat potensi besar dari Sukuk; 38 • Bahwa Malaysia pada tahun 2002 mendapat insentif senilai $600.000.000 dan yang terakhir Malaysia membentuk International Islamic Financial Centre yang banyak memberikan insentif __ untuk perkembangan keuangan Islam, di lain sisi negara-negara yang sebelumnya juga telah menikmati dana dari teluk tersebut, dalam hal ini Inggris misalnya. Berusaha juga mempertahankan kapital-kapital yang telah ada di sana, dan pada satu kesempatan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menyatakan ingin menjadikan London sebagai pusat keuangan Islam di Eropa, selain Inggris juga usaha-usaha dari mayoritas penduduknya bukan muslim, seperti Jerman dan Prancis, dan terakhir yang cukup aktif adalah Hongkong dan Singapura. Singapura bahkan telah membentuk Islamic Bank besar, Islamic Bank of Asia dengan modal $500.000.000, dimana Pemerintah Singapura melalui Development Bank Of Singapura menjadi pemegang saham mayoritas 50 % + 1 saham dan selebihnya ditarik Investor dari Timur Tengah diantaranya dari Bahrain, dan Saudi Arabia. • Bahwa dari uraian di atas, Indonesia sebagai negara yang sedang membangun dan memerlukan pendanaan yang besar, perlu juga melihat potensi ini, terlebih lagi Indonesia negara muslim yang terbesar di dunia. Mengeluarkan sukuk merupakan satu usaha penting dalam rangka menarik Investor Timur Tengah khususnya Negara-negara Teluk. Terlebih lagi model investasi dari Negara- negara Teluk umumnya adalah untuk financial capital atau investasi di pasar modal atau pasar uang. Sukuk global Indonesia pertama yang senilai Rp 650.000.000, yang di keluarkan tahun lalu sekitar 70 % nya diambil oleh Investor Timur Tengah, sehingga terlihat bahwa upaya yang telah dilakukan telah membuahkan hasil; • Bahwa ke depan dengan kebutuhan pembangunan dan lain sebagainya, ini merupakan satu strategi untuk lebih menarik capital ke dalam negeri. Preferensi investor Timur Tengah yang untuk sekarang ini lebih comfortable berhubungan dengan negara atau Badan Usaha Milik Negara dalam hubungan bisnis dengan Indonesia, membuat suatu negara menjadi suatu instrumen efektif untuk menarik dana mereka ke Indonesia. Perkembangan pasar uang dan pasar modal Syariah juga menjadi satu faktor penting dalam menarik Investasi fortfolio dari Negara-negara Teluk. Di samping itu, perlu pula dicatat bahwa pada akhirnya negara bukan hanya berpotensi menarik Investor Timur 39 Tengah, tetapi juga Investor-investor lain seperti dari Amerika sendiri dan Eropa, yang pada kenyataannya menyumbang sekitar 30% dari pembeli sukuk global yang dikeluarkan di Indonesia; • Bahwa sukuk pada hakikatnya dapat menjadi instrumen penarik investasi yang lebih luas dari Conventional Bond menginggat pasar sukuk tidak terbatas dari investor syariah tetapi juga investor konvensional karena sukuk dapat di beli oleh Conventional Investors dan Syariah Investors tetapi Conventional Bond terbatas pada Conventional Investors, jadi mengeluarkan sukuk mempunyai benefit yang berganda; • Bahwa sukuk __ negara dan perkembangan soal keuangan Syariah khusunya lembaga keuangan Syariah. Pasar uang syariah merupakan bagian integral dari berfungsinya sistem perbankan Islam. Pasar uang syariah menyediakan fasilitas pendanaan dan penyesuaian fortofolio dalam jangka pendek, disamping itu instrumen-instrumen keuangan dan investasi antar bank akan memfasilitasi mekanisme transfer dari bank-bank surplus ke bank yang defisit, yang dengan demikian menjadi pendanaan likuiditas yang baik dalam rangka menjaga stabilitas sistem. Salah satu tantangan bagi pengembangan keuangan Syariah, sebagai praktisi, ahli melihat masih terbatasnya instrumen pasar uang syariah, Islamic Money Market Instrument , yang dapat di perjual belikan di pasar sekunder. __ Adanya Sukuk Negara akan sangat bermanfaat bagi pengembangan sistem keuangan di Indonesia yang khususnya bagi lembaga- lembaga keuangan Syariah yang sering membutuhkan Liquid Instrumen untuk penempatan dana berlebih untuk jangak waktu menegah dan panjang. __ • Bahwa usaha untuk mengembangkan keuangan Syariah di Indonesia, yang saat ini masih di bawah 5 % dengan total aset sekitar 6 miliar dollar di quartal ketiga, di bandingkan dengan Malaysia yang diproyeksikan akan mencapai 20% di tahun 2010 dengan total aset mencapai 46 miliar dollar di tahun 2007, perlu disertai dengan rangka pendukung lainnya, yang diantaranya adalah dengan tersedianya instrumen pasar uang syariah yang cukup liquid. Sukuk __ negara dalam hal ini, merupakan satu faktor pendukung yang penting bagi Indonesia untuk terus mengembangkan potensi lembaga keuangan Syariah ini, fungsi penting Sukuk Negara lainnya instrumen ini merupakan salah satu acceptable instrument dapat dijadikan jaminan, untuk mendapatkan hal lain fasility untuk kebutuhan fasilitas pembiayaan perdagangan Internasional dari 40 bank-bank Internasional, sekedar perbandingan sedikit mungkin bahwa Pemerintah Singapura dalam rangka mengembangkan perbankan syariahnya juga telah mengelolakan program sukuk pertamanya senilai $ 134 juta, yang khususnya ditujukan untuk mendukung kebutuhan kelebihan likuiditas. Kesimpulannya adalah bahwa, sukuk negara mempunyai peranan penting, yaitu paling tidak, pertama , dalam menarik financial capital dari luar negeri umumnya dan negara-negara timur tengah khususnya, dalam rangka membiayai program pembangunan negara, dan kedua dalam rangka pengembangan perbankan syariah melalui mekanisme peningkatan likuiditas pasar uang syariah;
Ahli Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ., FIIS. • Bahwa menurut data statistik Desember 2008, masyarakat Indonesia yang 88,22% penduduknya adalah muslim tentu membutuhkan instrumen bisnis dan produk-produk halal yang sesuai dengan syariah, karena itu menjadi kewajiban pemerintah memberikan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat muslim tersebut. Saat ini hampir semua lembaga keuangan syariah sudah ada di Indonesia, mulai dari perbankan, asuransi, reksa dana, obligasi, corporate , sukuk, saham syariah, penjaminan syariah, pegadaian syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah sudah ada di Indonesia. • Bahwa perbankan syariah ada 25 unit usaha dengan 6 bank umum syariah, dengan market share kurang lebih 2,3 %, asuransi sekitar 40 perusahaan asuransi yang telah membuka unit syariah dengan 3 perusahaan penuh kurang lebih market share 2%, reksadana ada sekitar 46 unit dengan market share sekitar 2%, dan seterusnya sampai kepada lembaga keuangan mikro syariah, BPRS ada 159, kemudian baitumaal watambil yang lebih kecil lagi ada sekitar 4000 menyebar di seluruh Indonesia, dan koperasi syariah ada sekitar 300. Peran sukuk terhadap lembaga keuangan syariah ini adalah sebagai pendorong untuk mempercepat proses market share yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia; • Bahwa sebagai instrumen investasi maupun sebagai fee base income, sukuk negara diperlukan untuk instrument fortopolio investasi. Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut yang sangat dibutuhkan masyarakat tentu akan sangat lambat kalau tidak didorong oleh instrumen- instrumen investasi seperti sukuk; 41 • Bahwa di Indonesia saat sekarang ini sebetulnya sudah ada beberapa Undang- Undang untuk syariah selain sukuk atau Undang-Undang SBSN, yaitu Undang- Undang Perbankan Syariah, Undang-Undang Pengelolaan Zakat dan Undang- Undang Wakaf yang kesemuanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan makanan produk halal dan instrument-instrumen bisnis syariah. Bahkan, umat Islam masih membutuhkan sejumlah Undang-Undang lagi yang terkait dengan instrumen syariah. Misalnya, Undang-Undang Asuransi Syariah masih Undang-Undang Penjaminan Syariah, Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro Syariah, dan sebagainya; • Bahwa seperti disebutkan oleh Bapak Adang Dorojatun dari anggota DPR, bahwa lembaga keuangan syariah sudah merupakan instrumen global, bahkan negara-negara yang ada di luar sudah begitu banyak menggunakan konsep syariah, seperti Singapura, negara-negara yang non-muslim, Inggris, Hongkong, mereka ingin menjadi pemilik ekonomi syariah. Oleh karena itu, justru Indonesia seharusnya akan menjadi negara yang terdepan, di dalam mengembangkan konsep ekonomi syariah. Dengan demikian, jika di Indonesia instrumen syariah justru ada yang mempertanyakan atau menggugat, mungkin kita perlu belajar ke negara-negara non-muslim tersebut atau kalau perlu belajar ke negara-negara lain seperti Eropa, bahkan terakhir Rusia juga sudah mulai menggunakan instrumen syariah;
Ahli Ary Zulfikar, S.H. Bahwa terdapat empat hal yang ingin ahli sampaikan, pertama, penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara sesuai dengan Undang-Undang SBSN. Kedua , BMN dalam penerbitan sukuk negara bukan sebagai collateral atau jaminan. Ketiga, dalam hal kondisi event of default oleh Pemerintah dalam pembayaran imbalan maupun nilai sukuk apakah BMN dapat dieksekusi oleh investor? Keempat , dokumen-dokumen yang diperlukan dalam penerbitan sukuk negara. Terhadap keempat hal tersebut, ahli menjelaskan sebagai berikut: Penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara sesuai dengan Undang-Undang SBSN a. bahwa di dalam penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN, SBSN adalah Surat Berharga Negara yang merupakan instrumen pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan bertujuan untuk membiayai APBN yang pada gilirannya 42 akan digunakan juga untuk menyediakan fasilitas yang layak sebagaimana yang diamanatkan di dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
bahwa dasar penerbitan SBSN adalah aset SBSN, yang berupa BMN yang memiliki nilai ekonomis sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 butir 3 dan Pasal 10, Pasal 11 Undang-Undang SBSN juncto Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 69 sampai dengan 72. Artinya, nilai ekonomis atas BMN dijadikan dasar dalam menetapkan nilai nominal sukuk negara;
Bahwa atas penggunaan BMN tersebut juga wajib meperoleh persetujuan dari DPR. Pasal 9 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang SBSN. Dengan demikian, di dalam penggunaan BMN itu sendiri Pemerintah juga mendapatkan persetujuan dari DPR sebagaimana diamanatkan baik di dalam Undang-Undang SBSN maupun Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Mekanisme penggunaan BMN dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas BMN atau cara lain sesuai dengan akad yang digunakan. Penekanan dalam penjualan dan penyewaan adalah, hak manfaat, sebagaimana tadi telah disampaikan oleh Pemerintah bahwa pemindahan BMN dalam konteks aset BMN bersifat khusus. Penjualan dan atau penyewaan dilakukan, pertama , hanya atas hak manfaat, kedua , tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan legal title , ketiga , tidak dilakukan pengalihan fisik BMN sehingga sama sekali tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintah. Hal sebagaimana diatur juga di dalam Penjelasan dalam paragraf 1 Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang SBSN. BMN dalam penerbitan sukuk negara bukan sebagai collateral atau jaminan Mengingat sukuk negara merupakan Surat Berharga Negara maka pembeli sukuk negara (Investor) hanya memegang bukti kepemilikan baik dalam bentuk warkat atau tanpa warkat vide Pasal 2 berikut Penjelasan Undang-Undang SBSN. Investor tidak memegang jaminan kebendaan atas BMN. Investor hanya memiliki bukti kepemilikan Surat Berharga yang pembayarannya dijamin oleh Pemerintah. Merujuk Pasal 49 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang SBSN. Dengan demikian, dalam struktur sukuk negara tidak ada aset SBSN atau BMN yang dijaminkan dalam bentuk jaminan kebendaan, hak tanggungan atau bentuk lainnya gadai dan lain sebagainya kepada investor; 43 Dalam hal terjadi kondisi event of default , Pemerintah wajib menyediakan pembayaran imbalan dan nilai nominal dalam APBN, hal tersebut diatur di dalam Pasal 9 ayat (3) dan Penjelasannya juncto Pasal 12 Undang-Undang SBSN. Dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Perbendaharaan Negara, APBN dalam satu anggaran meliputi salah satu penerimaan yang perlu dibayar kembali baik dalam tahun anggaran bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Artinya, Pemerintah dalam konteks penerbitan SBSN sudah mengalokasikan pembayaran terhadap imbalan maupun nilai nominal apabila jatuh tempo sukuk negara tersebut. Dalam hal terjadinya event of default pemegang sukuk tidak mempunyai hak untuk mengeksekusi asset SBSN, mengingat aset SBSN bukan objek jaminan dan investor tidak memegang hak jaminan kebendaan, sehingga investor hanya dapat menuntut pemerintah untuk membayar kewajiban atas imbalan dan nilai nominal dari sumber-sumber lain dari APBN sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang SBSN. Mekanisme dari pembayaran kembali jika jatuh tempo Pemerintah akan membeli kembali hak manfaat atas aset SBSN yang dijadikan dasar penerbitan dari sumber dana yang dialokasikan dalam APBN. Hal tersebut diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang SBSN; Dokumen-dokumen yang akan disiapkan dalam penerbitan Surat Berharga Syariat Negara. SBSN yang pernah diterbitkan oleh Pemerintah adalah SBSN ijarah sale and lease back . Terdapat tiga transaksi, yaitu:
Antara Pemerintah dengan perusahaan penerbit SBSN Indonesia, Perusahaan penerbit SBSN Indonesia adalah perusahaan yang didirikan berdasarkan PP Nomor 57 Tahun 2008, menandatangani suatu perjanjian jual beli akad bai’ atas hak manfaat BMN dari Pemerintah selaku penjual kepada perusahaan penerbit SBSN Indonesia selaku pembeli. Perusahaan penerbit SBSN adalah perusahaan yang didrikan oleh Pemerintah, dimana Pemerintah menjual hak manfaat atas BMN kepada perusahaan penerbit SBSN Indonesia.
Perusahaan penerbit SBSN menerbitkan Surat Berharga Syariah Negara sebagai bukti atas bagian pernyataan terhadap asset SBSN. Dengan demikian dari dasar nilai ekonomis terkait dengan BMN itu dijadikan dasar dalam penerbitan sukuk nilai nominal sama dengan nilai aset BMN. Dalam transaksi kedua adalah pembayaran imbalan dan/atau nilai nominal atas SBSN kepada 44 pemegang SBSN, investor, dari pembayaran imbalan ijarah oleh Pemerintah untuk pembayaran imbalan dan pada saat jatuh tempo untuk pembayaran nilai nominal;
Pada saat yang bersamaan juga antara perusahaan penerbit SBSN dan Pemerintah menandatangani suatu perjanjian sewa meyewa, akad ijarah, dimana Pemerintah menyewa aset SBSN kepada perusahaan penerbit SBSN Indonesia untuk digunakan dalam menjalankan kegiatan umum pemerintahan dan/atau untuk kepentingan Pemerintah. Pemerintah selaku penyewa aset SBSN juga melakukan fungsi perawatan dan pengelolaan atas aset SBSN berdasarkan perjanjian pengeloalaan aset. Sehingga pada saat awalnya transaksi pertama dilakukan akad bai’ pada saat yang bersamaan juga dilakukakan perjanjian sewa menyewa, akad ijarah. Dalam transaksi yang ketiga adalah adanya satu dokumen yang memuat pernyataan untuk menjual yang dibuat oleh perusahaan penerbit SBSN dan pernyataan membeli yang dibuat oleh Pemerintah jika SBSN jatuh tempo atau buy back . Pemerintah akan membeli kembali aset SBSN dari perusahaan penerbit SBSN dan perusahaan penerbit SBSN hanya akan menjual asset tersebut kepada Pemerintah. Sehingga pada saat kemudian sukuk itu jatuh tempo otomatis aset BMN tersebut akan kembali kepada Pemerintah. Kesimpulannya adalah dalam skema sukuk, aset SBSN hanya digunakan sebagai underlying asset atau dasar penerbitan SBSN kepada investor. Artinya adalah nilai-nilai nominal sukuk yang akan diterbitkan minimal sama dengan nilai secara ekonomis atas hak manfaat aset BMN. • Kesimpulan:
Bahwa penjualan dan/atau penyewaan atas aset SBSN hanya hak atas manfaat tidak ada pemindahan hak milik legal title dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga tidak mengganggu fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah.
Bahwa aset SBSN berupa BMN bukan merupakan objek jaminan kebendaan atau collateral k arena bentuknya bukan perjanjian utang piutang.
Bahwa pemegang pemilik SBSN atau investor tidak mempunyai hak eksekusi atas BMN karena tidak mempunyai hak jaminan kebendaan atas BMN. Sehingga dalam hal terjadi default tidak akan mempengaruhi status 45 BMN serta mengganggu fungsi penyelenggaraan pemerintahan terkait dengan BMN tersebut.
Struktur skema sukuk adalah dalam bentuk jual beli atas hak manfaat dengan undertaking untuk menjual atau membeli kembali atas hak manfaat BMN antara Pemerintah dengan perusahaan penerbit SBSN Indonesia; [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat, menyampaikan keterangan tertulis, sebagai berikut: A. KETENTUAN PASAL UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA (SBSN) YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD TAHUN 1945. Pemohon dalam Permohonan a quo mengajukan permohonan pengujian atas Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN, yang menyatakan: Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b: (1) Barang Milik Negara dapat digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN yang untuk selanjutnya Barang Milik Negara dimaksud sebagai aset SBSN. _(2) Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: _ _a. tanah dan/atau bangunan; _ _b. selain tanah dan/atau bangunan; _ Pasal 11 ayat (1): (1) Penggunaan Barang Milik Negara sebagai aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas barang milik negara atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN. Pemohon beranggapan ketentuan pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. 46 B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 10 AYAT (1) DAN AYAT (2) HURUF A DAN HURUF B, SERTA PASAL 11 AYAT (1) UU SBSN. Pemohon dalam permohonan a quo , mengemukakan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (2) telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1), yaitu sebagai berikut:
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 3 beranggapan, bahwa ketentuan pasal-pasal Undang-Undang a quo nyata terlihat akan menimbulkan potensi kerugian konstitusional yaitu apabila dalam jangka waktu sebagaimana dijaminkan aset SBSN oleh Pemerintah kepada pihak tertentu gagal bayar (default), maka pada saat itu berarti objek tersebut akan dikuasai oleh pihak ketiga (pemegang gadai) objek jaminan Pemerintah. Sehingga beralihnya objek jaminan ini menimbulkan kerugian yang nyata bagi Pemohon berupa tidak dapat lagi memanfaatkan fasilitas umum tersebut yang merupakan publik domain . Oleh karena menurut Pemohon barang milik negara sebagai dasar penerbitan SBSN adalah barang yang diperuntukan untuk umum dan dimasukkan dalam publik domain, dimana tidak dapat dijadikan objek perdagangan.
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 3 juga mengemukakan dengan digunakannya barang milik negara sebagai dasar penerbitan SBSN berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan, dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas barang milik negara atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN, maka hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon selaku warga negara Indonesia terhadap objek jaminan barang milik negara tersebut sudah hilang untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna memperoleh persamaan dan keadilan. __ C. KETERANGAN DPR. Terhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo pada kesempatan ini DPR dalam penyampaian 47 pandangannya terlebih dahulu mengenai kedudukan hukum (legal standing) sebagai berikut:
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon a. Bahwa dalam permohonan halaman 2, Pemohon adalah sebagai perorangan WNI sebagai Ketua Yayasan Patria Artha yang mengkhususkan kegiatannya di bidang pendidikan, pelatihan, penerapan, dan pengembangan ilmu keuangan negara di Republik Indonesia, merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dengan berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN;
Bahwa mencermati dalil-dalil Pemohon dan permohonan a quo DPR berpandangan sesungguhnya permohonan Pemohon tidak menunjukan dan membuktikan secara konkrit dan nyata adanya kerugian konstitusional yang spesifik ataupun kerugian konstitusional yang potensial, namun yang terurai hanya anggapan dan tafsir dari Pemohon sendiri, bahwa menurut penalaran yang wajar kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon sesungguhnya belum dipastikan terjadi. Karena itu DPR berpandangan permohonan Pemohon mengenai kerugian konstitusional yang didalilkan tidak spesifik, tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur (obscuur libels) ;
Bahwa walaupun Pemohon sebagai subjek hukum berkedudukan selaku perorangan WNI sesuai dengan Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, namun tentu terlebih dahulu perlu dipertanyakan, apakah benar Pemohon sebagai perorangan warga negara yang merasa dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, karena Pemohon dalam permohonannya tidak menguraikan secara spesifik, terinci dan konkrit mengenai aset barang milik negara, apakah tanah dan/atau bangunan, ataukah selain tanah dan/atau bangunan yang merugikan diri Pemohon yang dikarenakan barang milik negara tersebut menjadi objek jaminan yang digunakan sebagai aset SBSN? d. Bahwa atas dasar permohonan yang obscuur libels tersebut, dan seandainya terjadi peristiwa sebagaimana yang didalilkan Pemohon, maka DPR berpandangan bahwa hal ini bukan persoalan 48 konstitusionalitas norma Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN, tetapi merupakan persoalan penerapan normanya, karena tidak terdapat causal verband yang nyata dan serta-merta oleh berlakunya ketentuan pasal-pasal Undang-Undang a quo mengakibatkan kerugian konstitusional bagi diri Pemohon;
Bahwa terhadap dalil-dalil Pemohon a quo, DPR berpandangan bahwa meskipun Pemohon memiliki kualifikasi sebagai subjek hukum dalam permohonan a quo sesuai Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, namun merujuk batasan kerugian konstitusional yang dibatasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-V/2007), Pemohon dalam permohonan a quo tidak membuktikan secara actual kerugian konstitusional dan kerugian potensial, serta tidak terdapat causal verban d antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan ketentuan pasal Undang-Undang a quo yang dimohonkan pengujian. Berdasarkan uraian-uraian di atas maka DPR berpandangan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi batasan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu, karena itu sudah sepatutnya apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia secara bijaksana menyatakan Permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, selanjutnya bersama ini disampaikan keterangan DPR RI atas Pengujian Materiil Undang-Undang a quo 2. Pengujian Materiil atas Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. Terhadap pandangan-pandangan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo , pada kesempatan ini DPR RI ingin menyampaikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa konsep keuangan islam (Islamic finance) secara bertahap mulai diterapkan oleh beberapa negara di kawasan Timur Tengah pada 49 periode tahun 1960-an, yang terus berkembang dan diadopsi tidak hanya oleh negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, melainkan juga oleh berbagai negara di kawasan Asia dan Eropa. Untuk mendukung perkembangan keuangan Islam tersebut telah didirikan berbagai lembaga keuangan syariah dan diterbitkan berbagai instrumen keuangan berbasis syariah. Selain itu juga telah dibentuk lembaga internasional untuk merumuskan infrastruktur sistem keuangan Islam, yaitu International Islamic Financial Market (IIFM), Islamic Financial Services Board (IFSB), Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) dan telah pula didirikan lembaga Rating Islam.
Bahwa konsep keuangan Islam didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan, karena itu instrumen keuangan Islam senantiasa selaras dan memenuhi prinsip-prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat. Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur : (1) Riba yaitu unsur bunga; (2) Maysir yaitu unsur spekulasi; (3) Gharar yaitu unsur ketidakpastian. Karakteristik lain dari instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung (undelying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi keuangan konvensional pada umumnya.
Bahwa secara filosofis pengembangan instrumen yang berbasis syariah perlu segera dilaksanakan selain untuk mendukung pemanfaatan aset negara secara efisien dan untuk mendorong terciptanya sistem keuangan yang berbasis di dalam negeri, juga untuk memperkuat basis sumber pembiayaan anggaran negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Bahwa salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah, atau dikenal secara internasional dengan istilah Sukuk. Instrumen keuangan ini pada prinsipnya sama seperti surat berharga konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan sebagai pengganti bunga, 50 adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) atas sejumlah tertentu aset sebesar nilai nominal Sukuk yang diterbitkan dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-pinsip syariah. Aset yang dapat digunakan di dalam transaksi tersebut merupakan barang milik negara (BMN).
Bahwa secara sosiologis pembiayaan keuangan negara melalui penerbitan surat berharga oleh Pemerintah berupa Sukuk negara mempunyai implikasi yang luas terhadap pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi, antara lain melalui penciptaan good governance di sektor publik. Dalam hal ini perdagangan Sukuk di pasar keuangan syariah akan memfasilitasi terselenggaranya pengawasan secara langsung oleh publik atas kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan.
Bahwa secara yuridis instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan instrumen keuangan konvensional, sehingga perlu pengelolaan dan pengaturan secara khusus, baik yang menyangkut instrumen maupun perangkat hukum yang diperlukan untuk mengatur Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Bahwa terkait dengan dalil Pemohon yang dikaitkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara khususnya Pasal 49 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 50 huruf d, DPR berpandangan bahwa perlu adanya pemahaman tentang kepemilikan atas hak manfaat (beneficial ownership) dan juga kepemilikan hukum (legal ownership) atas suatu aset yang dikenal dalam konsep trust. Hal tersebut mengingat pemindahtanganan barang milik negara (BMN) dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan proses pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Bahwa dalam penerbitan SBSN, proses transaksi aset barang milik negara tersebut adalah sebagai berikut: Ø Penjualan/penyewaan BMN hanya atas hak manfaat BMN, tidak disertai dengan pemindahan hak kepemilikan _(legal title); _ 51 Ø Pemerintah akan menyewa kembali BMN dari Special Purpose Vehicle (SPV)/perusahaan penerbit; Ø Tidak terjadi pengalihan fisik BMN sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas pemerintahan; Ø Tidak terdapat permasalahan dari sisi akuntansi mengingat hak kepemilikan atas BMN tidak berpindah sehingga tetap on balance _sheet; _ Ø Pada saat jatuh tempo SBSN atau dalam hal terjadi default, aset SBSN akan tetap dikuasai oleh Pemerintah, karena dalam penerbitan SBSN ada dokumen purchase undertaking yaitu Pemerintah wajib membeli kembali, membatalkan sewa atas aset SBSN dan dokumen sale undertaking yaitu SPV wajib menjual aset SBSN kepada pemerintah sebesar nilai nominal SBSN;
Bahwa hal tersebut juga sudah diuraikan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang a quo .
Bahwa mencermati dalil-dalil Pemohon menunjukan bahwa Pemohon perlu memahami Undang-Undang a quo secara komprehensif dan tidak hanya memahami secara parsial atau sebagian-sebagian, sehingga menimbulkan pemahaman yang keliru terhadap pemahaman tentang penggunaan BMN sebagai aset SBSN, padahal dalam Undang-Undang a quo sudah diatur juga antisipasi apabila terjadi peristiwa default sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang a quo yang memberikan kewenangan kepada Menteri selaku pemerintah untuk membeli kembali aset SBSN, membatalkan akad sewa, dan mengakhiri akad penerbitan SBSN lainnya pada saat SBSN jatuh tempo.
Bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang a quo yang terkait dengan aset SBSN tersebut telah dibahas dan disetujui dalam Rapat Panitia Kerja Ke-4 tanggal 15 Maret 2008.
Bahwa terkait dengan penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN hanya terbatas pada penggunaan hak manfaat (beneficial title) bukan pemindahan hak kepemilikan (legal title) . Hal ini __ terdapat dalam tanggapan Fraksi-Fraksi di DPR dalam Rapat Kerja Komisi XI pada tanggal 4 Juli 2007 antara lain: 52 1. “...dalam transaksi SBSN tidak terjadi pemindahtanganan BMN secara fisik kepada pihak lain, sehingga tidak terjadi perubahan kepemilikan (legal title). Hal ini perlu dijelaskan dan dijabarkan dengan lebih terperinci dan memerlukan ketentuan yang mengatur sekuritisasi dan pengaturan sub-lease dari investor kepada pemerintah dikarenakan status pemerintah merupakan (beneficial title) penerbit (issuer) ”. 2. “…juga sepakat bahwa penggunaan BMN tersebut dalam penerbitan SBSN hanya terbatas pada penggunaan hak manfaat saja, sehingga tidak terjadi pemindahtanganan BMN secara fisik kepada pihak lain“. 3. “…Penggunaan BMN sebagai underlying asset dalam penerbitan SBSN perlu dicarikan formula yang paling optimal, dengan rambu- rambu yang jelas dan terukur”. m. Tanggapan Fraksi sebagaimana dimaksud di atas, juga disampaikan dalam Rapat Paripurna tanggal 9 April 2008 pada saat penyampaian Pendapat Akhir Fraksi-Fraksi di DPR sebagai berikut:
“ Penggunaan BMN sebagai underlying dijelaskan dalam RUU SBSN hanya terbatas pada penggunaan hak manfaat (beneficial title). __ Dengan demikian dalam transaksi SBSN tidak terjadi pemindahtanganan BMN secara fisik kepada pihak lain, sehingga tidak terjadi perubahan kepemilikan (legal title).” 2. “Terkait dengan aset yang akan dijadikan penjamin, maka perlu diperhatikan mengenai kebijakan aset yang dijaminkan tersebut. Sehingga sampai dengan masa jatuh tempo SBSN tersebut besaran aset yang dijaminkan tidak lepas dari tangan pemerintah. Untuk itu peranan perusahaan penerbit SBSN dan juga koordinasi yang kuat antara kementerian terkait dengan masalah pengelolaan tersebut, perlu diperkuat sehingga tidak menimbulkan masalah di masa yang akan datang”. Bahwa berdasarkan pada pandangan-pandangan tersebut, DPR berpendapat bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. 53 Dengan demikian DPR memohon kiranya Ketua/Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak– tidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menyatakan Keterangan DPR dikabulkan untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Menyatakan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.6] Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 Februari 2010, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa isu hukum utama permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian materiil terhadap Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852, 54 selanjutnya disebut UU 19/2008) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan Pokok Permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut:
kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan _a quo; _ b. kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon; __ Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang disebutkan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian Undang-Undang in casu UU 19/2008 terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan _a quo; _ Kedudukan hukum ( legal standing ) __ Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat bertindak sebagai pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; 55 b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) __ Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut: [3.7.1] Bahwa Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai dosen dan Ketua Yayasan dan Pembina Universitas Patri Artha Makassar sebagaimana dibuktikan dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk milik Pemohon dan Akta Pendirian/Anggaran Dasar Yayasan “Patri Artha”, bertanggal 14 Januari 1997 Nomor 40, oleh Sitske Limowa, S.H., Notaris di Ujung Pandang/Makassar; 56 [3.7.2] Bahwa sebagai perorangan warga negara Indonesia, Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, yaitu hak atas kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan [Pasal 28H ayat (2) UUD 1945]; [3.7.3] Bahwa hak konstitusional Pemohon dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 tersebut dirugikan oleh berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, dan Pasal 11 UU 19/2008; __ [3.8] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU MK dan syarat kerugian seperti termuat dalam paragraf [3.5] dan paragraf [3.6] , dihubungkan dengan dalil kerugian para Pemohon dalam paragraf [3.7] , Mahkamah berpendapat, prima facie Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang a quo ; [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, serta memutus permohonan a quo , dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.9] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, dan Pasal 11 UU 19/2008 yang menyatakan: “Pasal 10 1 __ Barang Milik Negara dapat digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN, yang _untuk selanjutnya Barang Milik Negara dimaksud disebut sebagai Aset SBSN; _ 2 _Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: _ __ a. tanah dan/atau bangunan, dan __ b. selain tanah dan/atau bangunan, Pasal 11 1 Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan cara menjual 57 atau menyewakan Hak Manfaat atas Barang Milik Negara atau cara lain yang _sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN”; _ yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, __ dengan alasan-alasan hukum sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 UU 19/2008 telah menghilangkan hak konstitusional Pemohon atas tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan, untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan;
Apabila dikaitkan dengan tanggung jawab negara untuk menyediakan fasilitas pelayanan umum yang layak, rumusan pasal yang dimohonkan pengujian justru memberikan kewenangan kepada Menteri untuk menjual atau menyewakan hak manfaatnya atau cara lain yang sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN);
Barang Milik Negara sebagai dasar penerbitan SBSN adalah publik domain yang diperuntukkan untuk kepentingan umum sehingga tidak dapat dijadikan objek perdagangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (4) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan, “Barang Milik Negara/Daerah dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada Pemerintah Pusat/Daerah, dan ayat (5) “Barang Milik Negara/Daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman” ; [3.10] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-9, dan dua orang ahli yaitu Prof. Dr. Muchsan dan Drs. Siswo Sujanto, DEA., yang didengar keterangannya di bawah sumpah, selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut: Ahli Prof. Dr. Muchsan • Semangat dari UUD 1945 adalah negara diberi kedudukan sebagai lembaga publik sehingga dalam rangka memperoleh benda, negara tertutup menggunakan hukum perdata, karena kalau negara menggunakan hukum perdata maka kedudukan yuridis negara sebagai penguasa bergeser, yaitu dapat menjadi pemilik atau penyewa, atau mungkin pengguna hak pakai dan 58 sebagainya, sehingga kalau pasal atau Undang-Undang bertentangan dengan semangat atau jiwa UUD 1945 maka dengan sendirinya merupakan suatu produk hukum yang tidak sesuai dengan semangat atau jiwa UUD 1945; • Terkait dengan Pasal 28H UUD 1945, yang disebut jiwa atau semangat adalah yang menghidupi seluruh pasal demi pasal, sehingga semangat tersebut harus termanifesir di dalam pasal demi pasalnya. Dengan demikian semua pasal yang ada di dalam UUD 1945 harus terjiwai dengan semangat ini; • Sehubungan dengan kerugian secara in concreto , sebagai ahli tidak dapat melihat atau menjabarkannya. Artinya, kerugian moril atau imateriel dari pihak Pemohon, tetapi segala sesuatu yang bertentangan dengan semangat atau jiwa suatu Undang-Undang ataupun UUD sudah barang tentu merugikan dalam arti merugikan seluruh bangsa Indonesia. Misalnya kalau semangat di dalam UUD 1945 adalah ekonomi kerakyatan, tetapi dalam kenyataannya ekonomi liberal maka dengan sendirinya akan merugikan seluruh bangsa Indonesia; • Bertumpu pada statement saksi maka jika suatu benda negara dibebani dengan hak-hak keperdataan, menurut prinsip dalam publik domain adalah tidak diperkenankan karena merupakan suatu benda publik yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; • Menafsirkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terutama mengenai tanah harus dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960), sebab Undang-Undang tersebut adalah sebagai pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sehingga namanya seharusnya Undang- Undang Pokok Pertanahan bukan Undang-Undang Pokok Agraria, sebab kalau agraria maka termasuk pertambangan dan sebagainya; • Khusus mengenai tanah terdapat beberapa prinsip, pertama , hak menguasai negara ada di atas segala-galanya sehingga meskipun terdapat hak milik perorangan yang penuh, namun tetap dikuasai oleh negara. Kedua , semua benda termasuk tanah adalah berfungsi sosial ( vide Pasal 6 UU 5/1960), sehingga kepentingan umum atau kepentingan negara lebih diutamakan daripada kepentingan individu-individu; • Mengenai kemanfaatan, seharusnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, hasil dari penggunaan benda merupakan kepentingan umum yang bermanfaat bagi bangsa atau bagi negara; 59 • Kata kepentingan umum juga include manfaat, kegunaannya untuk bangsa ini, sehingga kalau SBSN akhirnya bermuara kepada APBN atau APBD, padahal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sumber keuangan negara di antaranya ada pajak dan sebagainya namun tidak ada kata-kata atau suatu ketentuan SBSN merupakan sumber pendapatan Negara. Bisa jadi masuk dalam pendapatan negara tetapi bukan suatu prinsip sehingga tidak dapat diandalkan sebagai suatu pendapatan yang pasti; • Kerugian dalam konteks ini adalah bukan kerugian perdata, karena peradilan Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan publik, sehingga masalah kerugian tidak seperti dalam perdata harus jelas moril, imateriel dan sebagainya. Kalau suatu hal yang bertentangan dengan semangat atau jiwa UUD maka merugikan seluruh bangsa, terutama untuk generasi penerus. Dengan demikian apabila kerugian dijelaskan secara rinci, menurut ahli, hal itu merupakan kerugian dalam privat recht ; Ahli Drs. Siswo Sujanto, DEA. • Melihat peran dan kewajiban negara terhadap warga negaranya didasarkan pada dalil atau landasan pemikiran baik filosofis, konsepsi teoritik maupun landasan konstitusional sebagai berikut:
Di dalam landasan filosofis, negara melindungi dan mensejahterakan seluruh rakyatnya. Oleh karena itu, negara harus memiliki sarana yang memadai dan terjamin agar tugas atau fungsi kewajibannya dapat terlaksana dengan baik;
Dalam konsep teoritik tentang negara, terlepas dari sistem ekonomi yang dianut suatu negara yaitu sistem kapitalis, yang merupakan perwujudan falsafah liberalisme yang mengutamakan kepentingan individu maupun sistem sosialis yang bersifat etatis dengan menyerahkan semua kekuasaan di bidang perekonomian di tangan Pemerintah, fungsi Pemerintah dalam menjamin terselenggaranya kebebasaan maupun kesejahteraan masyarakat adalah sangat penting. Dalam sistem perekonomian kapitalis yang memberikan kebebasaan kepada masyarakat untuk melakukan produksi, konsumsi dan distribusi diperlukan peran Pemerintah untuk melakukan pengaturan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk penyediaan barang-barang yang berupa kebutuhan dasar masyarakat yang 60 kemudian di kenal dengan istilah public goods. Kebutuhan dasar tersebut antara lain adalah perlindungan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, keadilan, pekerjaan umum. Sementara itu, dalam sistem perekonomian sosialis Pemerintah atau negara bersifat omnipoten , artinya fungsi Pemerintah atau negara, bukan hanya terbatas pada penyediaan barang- barang kebutuhan dasar melainkan juga kebutuhan lainnya yang sebenarnya dapat disediakan oleh masyarakat melalui mekanisme pasar;
Dalam pandangan yang lebih modern sebagaimana disampaikan oleh seorang ahli keuangan negara yaitu Richard Maskrid, fungsi Pemerintah melalui kebijakan anggaran belanja negara adalah menjamin keseimbangan dalam pengalokasian sumber daya, menjamin keseimbangan dalam pembagian pendapatan dan kekayaan dan menjamin terselenggaranya stabilitas ekonomi nasional;
Kalau memperhatikan sistem Pemerintahan Indonesia, peran dan fungsi negara sebagai dikemukakan dalam teori di atas, dengan jelas dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian secara rinci dituangkan dalam berbagai pasalnya yang merupakan suatu landasan konstitusional, antara lain menyatakan, “ kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”. Dengan demikian peran atau tugas Pemerintah Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Peran dan fungsi Pemerintah atau negara tersebut antara lain tercermin dalam Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 UUD 1945, termasuk setelah dilakukan perubahan;
Selanjutnya untuk merealisasikan peran dan fungsi Pemerintah sebagaimana diuraikan tersebut di atas, diperlukan adanya jaminan 61 sekurang-kurangnya dalam dua hal, yaitu Pemerintah selaku otoritas dan pemerintah sebagai individu. Khusus Pemerintah selaku otoritas, pertama , Pemerintah yang menjamin kepentingan masyarakat atau public interest harus memiliki kewenangan secara politik dan hukum untuk dapat menjamin terwujudnya peran dan fungsinya. Kedua , Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat harus memiliki jaminan bahwa asetnya yang merupakan instrumen untuk mendukung terwujudnya peran dan fungsi pemerintah tersebut selalu aman di tangannya dan tidak mendapat ancaman dari pihak lain; [3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil dan bukti-bukti yang diajukan Pemohon, Pemerintah telah memberikan keterangan tertulis, yang selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut: • Sebagai konsep ekonomi yang berbasis syariah, penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara mutlak harus menggunakan underlying transaction yang antara lain dapat berupa jual beli atau sewa menyewa atas “hak manfaat” BMN, jasa ( services ), pembangunan proyek atau objek pembiayaan lainnya. Penggunaan underlying transaction tersebut dimaksudkan agar terhindar dari adanya unsur-unsur (1) Riba , yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang ( money for money );
Maysir , yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan
Gharar , yaitu unsur ketidakpastian terkait dengan penyerahan, kualitas, dan kuantitas. __ • Barang Milik Negara (BMN) yang akan digunakan sebagai aset SBSN dapat berupa tanah dan/atau bangunan termasuk proyek yang akan atau sedang dibangun yang harus memiliki nilai ekonomis, dalam kondisi baik/layak, telah tercatat dalam Dokumen Penatausahaan BMN, bukan merupakan alat utama sistem persenjataan, tidak sedang dalam sengketa, dan tidak sedang digunakan sebagai aset SBSN dalam penerbitan yang lain. • Pembatasan penggunaan BMN yang dapat dijadikan sebagai underlying penerbitan SBSN menunjukkan bahwa Pemerintah sangat selektif dan sangat hati-hati dalam menggunakan BMN tersebut. Di samping itu telah diatur juga dalam UU SBSN, khususnya Pasal 9 ayat (1) bahwa penggunaan BMN 62 sebagai underlying penerbitan SBSN tersebut harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPR. • Penggunaan BMN sebagai aset SBSN dilakukan dengan cara Menteri Keuangan memindahtangankan hak manfaat atas BMN, sehingga pemindahtanganan BMN dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan BMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. • Pengertian hak manfaat di Indonesia baru dikenal setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Dalam UU SBSN tersebut, Hak Manfaat didefinisikan sebagai hak untuk memiliki dan mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu dilakukan pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut. Dengan kata lain, pada saat dilakukan jual beli atau sewa menyewa atas hak manfaat BMN untuk dijadikan aset SBSN maka tidak ada perpindahan hak kepemilikan ( legal title), sehingga kepemilikan atas BMN tersebut tetap berada pada Pemerintah. • Terdapat perbedaan konsep pemindahtanganan berdasarkan UU SBSN dengan UU Perbendaharaan Negara, dimana dalam hal penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN, UU SBSN merupakan lex specialist dari UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU SBSN bahwa: “ Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sifat _pemindahtanganan dimaksud, antara lain: _ (i) Penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang _Milik Negara; _ _(ii) Tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik Negara; _ dan (iii) Tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan .” • Penerbitan SBSN dilakukan dengan menggunakan struktur ijarah / sale and lease back , dimana Pemerintah wajib membeli kembali BMN yang telah dijual hak manfaatnya dan dijadikan sebagai aset SBSN, pada saat jatuh tempo atau 63 pada saat terjadi default ( in the event of default ). Dalam hal BMN yang akan digunakan sebagai aset SBSN sedang digunakan oleh Kementerian atau Lembaga selain Kementerian Keuangan, maka Menteri Keuangan terlebih dahulu memberitahukan kepada Kementerian atau Lembaga pengguna BMN dimaksud. Berdasarkan UU SBSN, Menteri Keuangan diberi kewenangan menggunakan BMN untuk dijadikan sebagai aset SBSN. Penggunaan BMN sebagai aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi pengguna BMN untuk tetap menggunakan BMN dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya, sehingga tanggung jawab untuk pengelolaan BMN ini tetap melekat pada instansi pengguna BMN sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. • Penggunaan BMN sebagai aset SBSN, oleh sebagian masyarakat sering dipahami sebagai jaminan ( collateral ) atau gadai. Pemahaman tersebut sangatlah tidak tepat. Secara hukum jaminan adalah perjanjian tambahan yang harus didahului dengan perjanjian utang piutang antara para pihak. Dimana dalam jaminan, salah satu pihak dapat menyita objek jaminan apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian para pihak, sehingga dalam jaminan ada hak salah satu pihak untuk melakukan penyitaan atas objek penjaminan. Hal ini berbeda dengan penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN yaitu bahwa BMN yang digunakan sebagai aset SBSN atau underlying asset bukanlah sebagai jaminan ( collateral ) atau gadai. Hal tersebut sangat jelas diatur dalam perjanjian antara Pemerintah dan Perusahaan Penerbit SBSN bahwa BMN yang dijadikan sebagai aset SBSN tetap berada dalam penguasaan Pemerintah, sehingga tidak akan terjadi peralihan hak kepemilikan ( legal title ) atas BMN tersebut. Hal ini didukung dalam salah satu dokumen hukum penerbitan SBSN, dimana Perusahaan Penerbit SBSN sebagai Wali Amanat memberikan pernyataan sepihak untuk menjual kembali aset SBSN hanya kepada Pemerintah dalam hal Pemerintah gagal bayar ( in the event of default ) atau pada saat SBSN jatuh tempo. Dari pihak Pemerintah, dibuat pula dokumen hukum dimana Pemerintah memberikan pernyataan sepihak untuk membeli kembali aset SBSN pada saat Perusahaan Penerbit menjual aset SBSN tersebut. • Rating Indonesia terkait dengan SBSN yang dikeluarkan oleh 3 (tiga) lembaga rating internasional adalah Moodys: Ba2, Standard & Poor: BB-, dan Fitch: 64 BB+, yang berarti bahwa posisi rating Indonesia hampir mencapai investment grade . Hal tersebut merepresentasikan adanya perbaikan pengelolaan keuangan publik dan fundamental ekonomi, penurunan rasio utang terhadap PDB, pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah kondisi krisis ekonomi global, dan pengelolaan APBN yang prudent dan kredibel; [3.12] Menimbang bahwa untuk menguatkan keterangannya, Pemerintah mengajukan tiga orang saksi, yaitu Drs. Triantoro, Ir. Hanawijaya, M.M., dan M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M., serta enam orang ahli yaitu K.H. Ma’ruf Amin, Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP., Gahet Ascobat, Farouk Abdullah Alwyni, Ir. Muhammad Syakir Sula, FIS., dan Ary Zulfikar, S.H., yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan, selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut: Saksi Drs. Triantoro • Dasar hukum SBSN adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan beberapa peraturan yang lainnya, termasuk juga Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 4/PMK-08/2009 tentang Pengelolaan SBSN yang berasal dari barang milik negara; • Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan telah menyampaikan pro notification penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset dalam penerbitan SBSN kepada 10 kementerian lembaga, termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-2 94/MK.6 2009 tanggal 2 Oktober 2009, dan selanjutnya Direktur Jenderal Keuangan Negara atas nama Menteri Keuangan telah menyampaikan notification penggunaan barang milik negara atau underlying asset, dalam penerbitan SBSN kepada 9 kementerian lembaga termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-19/MK 06/2010 tanggal 2 Februari 2010, antara lain menyatakan bahwa untuk penerbitan SBSN seri IFR 003 dan seri IFR 004 dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 22 KM 08 2009 dan Nomor 23 KMK 08/2009 tanggal 10 November 2009 telah ditetapkan barang milik negara pada 9 kementerian/lembaga termasuk Depdiknas menjadi underlying asset penerbitan SBSN. • Selama BMN dimaksud dipergunakan sebagai aset SBSN, pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara dimaksud, sesuai dengan penggunaan awalnya untuk pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, dan 65 tidak dapat melakukan pemindahtanganan kepemilikan atas BMN dimaksud kecuali dikarenakan ada perundang-undangan yang mengharuskan pemindahtanganan tersebut. Dengan demikian terkait dengan SBSN dapat disimpulkan:
Penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan pengalihan status kepemilikan dan atau status penggunaan atas barang milik negara tersebut maupun perubahan fungsinya;
Barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan permasalahan dari sisi akuntansi mengingat pemilikan milik negara tidak berpindah sehingga tetap tercantum dalam sistem informasi manajemen akuntansi barang kepemilikan negara atau SIMAK BMN atau neraca on balanced dari kementerian pendidikan nasional;
Kementerian Pendidikan Nasional selaku pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara yang dijadikan sebagai underlying asset untuk melaksanakan tugas dan fungsi kementerian pendidikan nasional; Saksi Ir. Hanawijaya, M.M. • Pertumbuhan instrumen sukuk __ dalam negeri yang dikeluarkan oleh perusahaan korporasi sangat lamban. Berdasarkan data olahan departemen keuangan pada tahun 2003, sukuk korporasi hanya berjumlah 6 buah atau senilai 740 milyar. Hingga Desember 2006, sukuk __ korporasi di Indonesia yang telah diterbitkan berjumlah 17 sukuk __ yang nilainya 2,2 triliun. Sampai 1 Desember 2007, total obligasi syariah dan medium term notes yang diterbitkan sudah mencapai 32 jenis. Di sisi lain, untuk menerbitkan sukuk negara, Pemerintah masih terganjal karena belum adanya regulasi yang mengatur ketentuan tersebut. Padahal sebagai instrumen berbasis syariah, sukuk jelas memiliki tipikal dan aturan yang berbeda dengan surat utang negara biasa. Sampai pada akhirnya diterbitkan UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN yang merupakan pedoman bagi terbitnya sukuk negara sekaligus sebagai instrumen mendorong tumbuhnya investasi bagi investor dan lembaga keuangan syariah; • Instrumen sukuk memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan instrumen keuangan syariah di Indonesia. Peran-peran tersebut adalah sebagai motor penggerak syariah di Indonesia. Dengan adanya instrumen sukuk membuat bank syariah lebih termotivasi untuk lebih mengembangkan secara 66 agresif tanpa khawatir terbatasnya instrumen untuk placement apabila terjadi ekses _fund; _ • Sukuk dapat juga sebagai pintu masuk yang efektif dalam mempercepat pertumbuhan aset bank syariah yaitu melalui penetrasi kepada masyarakat menengah ke atas yang selama ini menempatkan sebagian dananya melalui surat berharga bank-bank konvensional. Sukuk juga meningkatkan fee base income bagi Bank Syariah Mandiri, yaitu sebagai agen dari sukuk ritel mendapatkan fee base income sebesar 650 juta dan terakhir sebagai agen penerbit SR 002 mendapatkan fee base sebesar 495 juta rupiah; • Surat SBSN ritel atau sukuk negara ritel adalah salah satu investasi bagi investor atau instrumen pembiayaan APBN bagi pemerintah. Sama halnya dengan instrumen 001 dan 002 yang diterbitkan pada 2 Agustus 2008; • Sebagai investor lembaga keuangan syariah, Bank Syariah Mandiri menyadari bahwa underlying transaction yang dilakukan oleh Pemerintah tidak menyebabkan adanya perpindahan aset negara apabila terjadi Pemerintah gagal bayar; Saksi M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M. • Selaku praktisi pengajar keuangan syariah dan juga selaku investor individu dari sukuk negara yang selama ini mengharapkan adanya instrumen investasi yang dapat memberikan tidak hanya benefit di dunia tetapi juga insya Allah benefit di akhirat, minimal semacam peace of mind atau perasaan yang menenangkan pada saat kita berinvestasi pada instrumen investasi tersebut; • Keuntungan yang saksi peroleh dalam berinvestasi di sukuk negara khususnya sukuk ritel Republik Indonesia SR 001, antara lain imbal hasil yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah atau dalam hal ini imbal jasanya berdasarkan akad ijarah berdasarkan fatwa MUI Nomor 71 dan Nomor 72 dan juga telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 yaitu tentang Surat Berharga Syariah Negara; • Sukuk yang dikeluarkan oleh negara relatif aman, karena Republik Indonesia mempunyai reputasi sebagai pembayar utang yang sangat baik dan tidak mengalami default . Khusus untuk Sukuk Ritel Republik Indonesia imbal jasa yang saksi terima sebagai investor dapat diterima setiap bulan; 67 • Sukuk menjadi instrumen investasi yang sangat akuntabel karena dikeluarkan dengan underlying asset yang transparan sehingga dalam hal pengeluaran sukuk ini menjadi kredibel di mata investor. Sebagai investor, saksi sangat memahami bahwa yang dijadilan underlying dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara adalah berupa hak manfaat dari barang milik negara, sebagai investor saksi akan mendapatkan sejumlah imbalan yang berasal dari penyewaaan kembali hak manfaat aset SBSN kepada Pemerintah yang dituangkan dalam akad ijarah, dan saksi sangat yakin bahwa dana yang diinvestasikan kepada sukuk negara akan aman, bahkan dalam hal misalnya pemerintah gagal bayar atas SBSN yang dimiliki oleh investor maka berdasarkan Undang-Undang SBSN dana tersebut akan disediakan dalam APBN dan investor melalui perusahaan penerbit SBSN sebagai wali amanat atau wakil investor hanya akan menjual aset SBSN kepada Pemerintah sesuai dengan dokumen penerbitan pada saat sukuk negara jatuh tempo; • Keuntungan dan kemanfaatan yang ada di instrumen investasi sukuk negara seharusnya menjadi pendorong bagi masyarakat Republik Indonesia untuk lebih berkeinginan melakukan investasi bagi dirinya dan negaranya bukan justru mempermasalahkan keberadaan sukuk negara; Ahli KH. Ma’ruf Amin • Penerbitan sukuk negara sudah lama diinginkan dan dicita-citakan tetapi terkendala ketika itu belum adanya Undang-Undang yang menjadi landasan, yaitu Undang-Undang yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang ada serta sesuai dengan ketentuan syariah. Akhirnya para ahli hukum nasional dan para ahli syariah berijtihad untuk mewujudkannya dalam rangka membiayai APBN, kemudian lahirlah Undang-Undang SBSN yang di dalamnya tercapailah kesesuaian antara hukum negara dan hukum syariah. Menurut istilah Ahli, terdapat persesuaian syaara’an waqanunan . Hal tersebut merupakan satu prestasi di bidang hukum yang luar biasa; • Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia memberikan masukan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut dengan menunjuk tim untuk mendampingi. Dewan Syaraiah Nasional juga menunjuk tim untuk duduk dalam Komite Syariah SBSN dan Dewan Syariah Nasional juga mengeluarkan fatwa- fatwa berkenaan dengan SBSN, antara lain Fatwa Nomor 69 tentang surat berharga syariah negara, Fatwa Nomor 70 tentang metode penerbitan surat 68 berharga syariah negara, Fatwa Nomor 71 tentang sale and lease back , Fatwa Nomor 72 tentang surat berharga syariah negara ijarah, sale and lease back , dan setiap Pemerintah menerbitkan SBSN, Dewan Syariah Nasional membentuk tim dalam mendampingi Pemerintah dalam pembuatan skema dan perjanjian yang terkait dengan penerbitan SBSN; • Dewan Syariah Nasional juga memberikan pernyataan kesesuaian syariah untuk setiap emisi SBSN, untuk memberikan pernyataan ini Dewan Syariah Nasional MUI me review ulang atas sebuah skema dan perjanjian yang telah dipandang final, yaitu melalui akad-akad dalam penerbitan SBSN, dimana barang milik negara tidak akan beralih secara fisik karena yang beralih adalah hak manfaatnya saja itupun hanya bersifat sementara karena hak manfaat yang beralih tersebut akan kembali kepada Pemerintah ketika SBSN jatuh tempo. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk adanya kekhawatiran hilangnya atau lepasnya barang milik negara melalui SBSN; Ahli Ir. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP. • Secara umum sukuk yang ada di dunia dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama, adalah sukuk yang berbasis aset riil atau disebut asset base sukuk. Kedua, adalah sukuk yang melekat pada dan dijaminkan oleh asset riel yang disebut sebagai asset back sukuk. • Asset base sukuk/ asset riel hanya digunakan untuk membuat struktur transaksi agar sesuai dengan prinsip syariah. Dalam prinsip syariah, setiap transaksi harus memenuhi tiga rukun, yaitu pertama adanya para pihak, kedua, adanya objek transaksi, dalam bahasa Arab disebut ma’kud alaih atau dalam bahasa Inggris disebut underlying asset, juga harga objek dari transaksi tersebut. Ketiga, adanya kesepakatan. Oleh karenanya aset riil yang dijadikan dasar penerbitan sukuk biasanya tidak dijadikan sumber pembayaran dan tidak dijaminkan untuk pembayarannya. Secara lebih formal sukuk didefinisikan sebagai an investment sukuk is a certificate of equal value representing shares in ownership of tangible asset usufruct and services or in the ownership of the asset of particular project or special investment activity. Sedangkan untuk jenis sukuk yang kedua yang disebut sebagai asset back sukuk adalah aset riil yang dipisahkan kepemilikannya kepada special purpose vehicle juga dijadikan sumber pembayaran dan dijaminkan untuk pembayarannya. Perbedaan ini secara teoritis memberikan tingkat risiko yang berbeda. Secara lebih formal 69 asset backed securities didefinisikan sebagai an asset backed security is a security who’s value and income payments are derived from and collateralised or backed by a specified full of underlying asset . • Dilihat dari sisi risiko investor pada jenis sukuk yang pertama yaitu asset base sukuk sebenarnya mempunyai tingkat risiko yang sama dengan memberikan uang tanpa jaminan aset riil atau disebut sebagai unsecured . Sedangkan investor pada jenis sukuk yang kedua yaitu asset back sukuk mempunyai jaminan atau disebut secured berupa aset riil yang dipisahkan kepemilikannya walaupun di beberapa negara jaminan itu berarti hak tagih atas aset riil bukan hak kepemilikan penuh atas aset riil itu sendiri. Sukuk yang diterbitkan oleh korporasi kadang berupa asset base sukuk dan kadang berupa asset back sukuk . Sedangkan sukuk yang diterbitkan oleh negara sampai saat ini biasanya berupa asset base sukuk . Ahli Gahet Ascobat • Dari sisi pasar sukuk global menunjukkan perkembangan cukup signifikan dimulai tahun 2002 pada saat Pemerintah Malaysia pertama kali menerbitkan sukuk global dalam mata uang US dollar dan mencapai puncaknya pada tahun 2007, karena krisis keuangan global pada tahun 2008 mengalami penurunan, dan kemudian pada tahun 2009 mengalami peningkatan lagi yang disebabkan penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Indonesia selaku pioneer pada tahun 2009. Dengan berpartisipasinya pemerintah dalam menerbitkan SBSN di tahun 2008 dan tahun 2009 maka industri ini mendapatkan suplai atau persediaan instrumen syariah yang sangat dinanti-nanti oleh pelaku pasar; • Beberapa transaksi sukuk yang telah dilakukan di pasar internasional oleh pemerintahan, antara lain Pemerintah Malaysia, Qatar, Dubai, Indonesia, dan Bahrain pada tahun 2009 terjadi kelebihan permintaan cukup besar dan cukup signifikan, yaitu transaksi untuk Pemerintah Indonesia secara global mengalami kelebihan permintaan sebesar tujuh kali lipat. Penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Bahrain juga mengalami kelebihan permintaan sebanyak lima kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi investor syariah secara global, permintaan dan kebutuhan atas instrumen ini memang sangat besar dan instrumen ini juga sangat langka tersedia di pasar; • Di Indonesia dilihat dari sisi penerbitan sukuk mengalami peningkatan dan untuk memenuhi kebutuhan investor yang semakin meningkat pemerintah 70 sudah memberi supply sedemikian besar dan berhasil diserap oleh pelaku pasar dan investor di Indonesia; • Seluruh transaksi sukuk secara global yang dilakukan oleh pemerintahan di dunia selain di Indonesia, yaitu Malaysia, negara bagian di Jerman, Dubai, dan Pakistan telah melakukan penerbitan sukuk secara global dengan berdasarkan struktur ijarah atau berdasarkan sewa menyewa atas suatu aset, yang merupakan struktur yang mirip dengan yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia dalam penerbitan SBSN; • Dalam perkembangan pasar dan perkembangan regulasi, tidak hanya yang dialami dan dijalankan oleh Pemerintah Indonesia dan negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Mesir, Turki, Kazakhstan, Uni Emirat Arab, dan Pakistan mengembangkan peraturan-peraturan yang akomodatif untuk penerbitan sukuk baik oleh pemerintahan maupun oleh korporasi tetapi di luar negara-negara mayoritas berpenduduk muslim seperti Inggris, Perancis, kemudian Hongkong, Korea, dan Jepang telah atau sedang menyusun perundang-undangan atau perangkat regulasi untuk memfasilitasi kemungkinan pemerintahan atau koperasi di negara masing-masing tersebut untuk dapat menerbitkan instrumen berbasis syariah atau sukuk yang menggunakan atau memerlukan _underlying asset; _ • Transaksi sukuk oleh Pemerintah Indonesia baik dalam mata uang rupiah maupun US dolar sangat sukses dan mengalami kelebihan permintaan, hal ini menunjukkan transaksi tersebut sangat sukses dan diminati oleh investor. Salah satu kunci suksesnya transaksi tersebut adalah karena struktur yang diterapkan adalah struktur yang diterima secara luas dan merupakan market best practice yang telah dilakukan oleh penerbit-penerbit lainnya sebelum Pemerintah Indonesia, adalah sebagai berikut:
Pemerintah mengalihkan hak manfaat atas beberapa kantor pemerintahan selaku aset sukuk kepada suatau perusahaan penerbit yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, tidak dimiliki oleh investor asing.
Pemerintah tetap menggunakan aset-aset sukuk tersebut seperti sedia kala tidak ada disruption, tidak ada perubahan karena aset itu langsung disewakan penerbit kepada Pemerintah sejak hari pertama transaksi dilangsungkan dan hal tersebut berlangsung terus sampai dengan sukuk tersebut jatuh tempo. 71 c. Sertifikat kepemilikan atau barang-barang milik negara tersebut tidak berpindah dari Pemerintah dan tidak berpindah ke tangan investor asing dalam kasus ini. Pada saat jatuh tempo atau dalam hal terjadi gagal bayar atau wanprestasi di pihak Pemerintah aset sukuk pun hanya dapat dijual kembali oleh investor atau perusahaan penerbit kepada Pemerintah Indonesia, sehingga tidak ada kondisi hak manfaatnya hilang atau kepemilikannya hilang berpindah dari tangan Pemerintah.
Pada saat penerbitan, sukuk global mendapat credit rating agency sebagai instrumen yang merefleksikan sebagai risiko kredit dan rating Pemerintah yaitu BA3 berdasarkan analisa Moody’s, BB- menurut standar S&P, dan BB menurut Fitch, hal tersebut sama seperti rating Pemerintah Indonesia pada saat itu; • Apabila terjadi dissolution event atau gagal bayar atau interrupted default dalam keempat transaksi pada saat jatuh tempo maka akan langsung dijual kembali kepada pemerintah negara masing-masing yaitu kepada Malaysia, Qatar, Pakistan, dan Indonesia karena feature tersebut tidak ada objek jaminan dan keempat transaksi ini adalah transaksi yang _unsecured; _ Ahli Farouk Abdullah Alwyni • Ahli melihat dari sisi peranan sukuk negara dalam kaitannya dengan potensi untuk menarik investasi, khususnya investasi dari negara Timur Tengah, karena kebanyakan investor dari Timur Tengah adalah mereka yang mempunyai investasi dalam bentuk financial capital , sehingga investasinya mengarah kepada surat-surat berharga. Dengan mulai berkembangnya sistem keuangan Islam maka mulai terjadi diversifikasi penempatan dana bukan hanya di pasar tradisional Eropa dan Amerika Serikat tetapi juga di negara-negara mereka sendiri dan terakhir di Malaysia yang cukup aktif untuk mencoba memposisikan diri menjadi alternative financial destination , alternative investment destination bagi negara-negara dari teluk tersebut. • Indonesia sebagai negara yang sedang membangun dan memerlukan pendanaan yang besar, perlu juga melihat potensi ini, terlebih lagi Indonesia negara muslim yang terbesar di dunia. Mengeluarkan sukuk merupakan satu usaha penting dalam rangka menarik investor Timur Tengah khususnya Negara-negara Teluk. Terlebih lagi model investasi dari Negara-negara Teluk umumnya adalah untuk financial capital atau investasi di pasar modal atau 72 pasar uang. Sukuk global Indonesia pertama senilai USD 650.000.000, dikeluarkan pada tahun 2009 sekitar 70%-nya diambil oleh Investor Timur Tengah, sehingga terlihat bahwa upaya yang dilakukan telah membuahkan hasil; • Ke depan sukuk negara merupakan satu strategi untuk lebih menarik capital ke dalam negeri. Preferensi investor Timur Tengah yang untuk sekarang ini lebih comfortable berhubungan dengan negara atau Badan Usaha Milik Negara dalam hubungan bisnis dengan Indonesia, membuat suatu negara menjadi suatu instrumen efektif untuk menarik dana mereka ke Indonesia. Perkembangan pasar uang dan pasar modal syariah juga menjadi satu faktor penting dalam menarik investasi portofolio dari negara-negara Teluk. Di samping itu, pada akhirnya negara bukan hanya berpotensi menarik investor Timur Tengah, tetapi juga investor-investor lain seperti Amerika dan Eropa yang pada kenyataanya menyumbang sekitar 30% dari pembeli sukuk global yang dikeluarkan di Indonesia; • Sukuk pada hakikatnya dapat menjadi instrumen penarik investasi yang lebih luas dari conventional bond mengingat pasar sukuk tidak terbatas dari investor syariah tetapi juga investor konvensional karena sukuk bisa dibeli oleh conventional investors dan syariah investors tetapi conventional bond terbatas pada conventional investors , jadi mengeluarkan sukuk mempunyai benefit yang berganda; • Menurut ahli, dapat disimpulkan bahwa sukuk negara mempunyai peranan penting, yaitu pertama , dalam menarik financial capital dari luar negeri umumnya dan negara-negara Timur Tengah khususnya dalam rangka membiayai program pembangunan negara, dan kedua dalam rangka pengembangan perbankan syariah melalui mekanisme peningkatan likuiditas pasar uang syariah; Ahli Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ., FIIS. • Menurut data statistik Desember 2008, masyarakat Indonesia yang 88,22% penduduknya adalah muslim tentu membutuhkan instrumen bisnis dan produk- produk halal yang sesuai dengan syariah, karena itu menjadi kewajiban Pemerintah memberikan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat muslim tersebut. Saat ini hampir semua lembaga keuangan syariah sudah ada di Indonesia, mulai dari perbankan, asuransi, reksadana, obligasi, 73 corporate , sukuk, saham syariah, penjaminan syariah, pegadaian syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah sudah ada di Indonesia; • Peran sukuk terhadap lembaga keuangan syariah adalah sebagai pendorong untuk mempercepat proses market share yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Sebagai instrumen investasi maupun sebagai fee base income, sukuk negara diperlukan untuk instrument portofolio investasi. Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut yang sangat dibutuhkan masyarakat tentu akan sangat lambat kalau tidak didorong oleh instrumen- instrumen investasi seperti sukuk; • Lembaga keuangan syariah sudah merupakan instrumen global, bahkan negara-negara lain sudah begitu banyak menggunakan konsep syariah seperti Singapura, sedangkan Inggris dan Hongkong ingin menjadi pemilik ekonomi syariah. Oleh karena itu, seharusnya Indonesia menjadi negara yang terdepan di dalam mengembangkan konsep ekonomi syariah; Ahli Ary Zulfikar, S.H. • Penjualan dan/atau penyewaan atas aset SBSN hanya hak atas manfaat tidak ada pemindahan hak milik ( legal title ) dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga tidak mengganggu fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah. • Aset SBSN berupa BMN bukan merupakan objek jaminan kebendaan atau collateral k arena bentuknya bukan perjanjian utang piutang. • Pemegang pemilik SBSN atau investor tidak mempunyai hak eksekusi atas BMN karena tidak mempunyai hak jaminan kebendaan atas BMN, sehingga dalam hal terjadi default tidak akan mempengaruhi status BMN serta mengganggu fungsi penyelenggaraan pemerintahan terkait dengan BMN tersebut. • Struktur skema sukuk adalah dalam bentuk jual beli atas hak manfaat dengan undertaking untuk menjual atau membeli kembali atas hak manfaat BMN antara Pemerintah dengan perusahaan penerbit SBSN Indonesia; [3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil dan bukti-bukti yang diajukan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memberikan keterangan tertulis, yang selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, pada pokoknya sebagai berikut: 74 • Konsep keuangan Islam (Islamic finance) secara bertahap mulai diterapkan oleh beberapa negara di kawasan Timur Tengah pada periode tahun 1960-an, yang terus berkembang dan diadopsi tidak hanya oleh negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, melainkan juga oleh berbagai negara di kawasan Asia dan Eropa. Untuk mendukung perkembangan keuangan Islam tersebut telah didirikan berbagai lembaga keuangan syariah dan diterbitkan berbagai instrumen keuangan berbasis syariah. Selain itu juga telah dibentuk lembaga internasional untuk merumuskan infrastruktur sistem keuangan Islam, yaitu International Islamic Financial Market (IIFM), Islamic Financial Services Board (IFSB), Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), dan telah pula didirikan lembaga rating Islam. • Konsep keuangan Islam didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan, karena itu instrumen keuangan Islam senantiasa selaras dan memenuhi prinsip-prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak bersifat adil, halal, thayyib , dan maslahat . Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur:
Riba yaitu unsur bunga;
Maysir yaitu unsur spekulasi;
Gharar yaitu unsur ketidakpastian. Karakteristik lain dari instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung (underlying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi keuangan konvensional pada umumnya. • Secara filosofis pengembangan instrumen yang berbasis syariah perlu segera dilaksanakan selain untuk mendukung pemanfaatan aset negara secara efisien dan untuk mendorong terciptanya sistem keuangan yang berbasis di dalam negeri, juga untuk memperkuat basis sumber pembiayaan anggaran negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah, atau dikenal secara internasional dengan istilah Sukuk. Instrumen keuangan ini pada prinsipnya sama seperti surat berharga konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) atas sejumlah tertentu aset sebesar nilai nominal Sukuk yang diterbitkan dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-pinsip syariah. Aset yang 75 dapat digunakan di dalam transaksi tersebut merupakan barang milik negara (BMN). • Secara sosiologis pembiayaan keuangan negara melalui penerbitan surat berharga oleh pemerintah berupa Sukuk negara mempunyai implikasi yang luas terhadap pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi, antara lain melalui penciptaan good governance di sektor publik. Dalam hal ini perdagangan Sukuk di pasar keuangan syariah akan memfasilitasi terselenggaranya pengawasan secara langsung oleh publik atas kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan. • Secara yuridis, instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan instrumen keuangan konvensional, sehingga perlu pengelolaan dan pengaturan secara khusus, baik yang menyangkut instrumen maupun perangkat hukum yang diperlukan untuk mengatur Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). • Terkait dengan dalil Pemohon yang mengaitkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara khususnya Pasal 49 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 50 huruf d, DPR berpandangan bahwa perlu adanya pemahaman tentang kepemilikan atas hak manfaat (beneficial ownership) dan kepemilikan hukum (legal ownership) atas suatu aset yang dikenal dalam konsep trust. Hal tersebut mengingat pemindahtanganan barang milik negara (BMN) dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan proses pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. • UU SBSN sudah mengantisipasi apabila terjadi peristiwa default sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang a quo yang memberikan kewenangan kepada Menteri selaku Pemerintah untuk membeli kembali aset SBSN, membatalkan akad sewa, dan mengakhiri akad penerbitan SBSN lainnya pada saat SBSN jatuh tempo; [3.14] Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 Februari 2010, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; 76 Pendapat Mahkamah [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil Pemohon beserta alat bukti surat/tulisan (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-9), keterangan para ahli dari Pemohon, keterangan tertulis Pemerintah, keterangan para saksi dan para ahli dari Pemerintah, keterangan tertulis DPR, serta kesimpulan tertulis dari Pemohon, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan pasal yang dimohonkan pengujian in casu Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 UU 19/2008 menghilangkan hak konstitusional Pemohon yang ditentukan dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, karena dengan berlakunya kedua pasal Undang-Undang a quo , nyata terlihat bahwa kerugian yang dialami oleh Pemohon secara konstitusional merujuk pada potensi kerugian, yaitu apabila dalam jangka waktu dijaminkannya aset SBSN berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan oleh Pemerintah kepada pihak tertentu gagal bayar ( default ), berarti objek tersebut akan dikuasai oleh pihak ketiga (pemegang gadai) objek jaminan Pemerintah. Dengan beralihnya objek jaminan tersebut, pada saat itulah timbul kerugian yang nyata bagi Pemohon karena tidak dapat lagi memanfaatkan fasilitas umum berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan tersebut. Alasan bahwa kerugian yaitu tidak dapat lagi memanfaatkan fasilitas umum berupa tanah, dan lain-lain, tidak tepat menurut hukum karena tidak terjadi peralihan hak atas aset yang dijaminkan. Eksistensi dan penerapan Undang-Undang a quo justru memberi manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan termasuk Pemohon, terutama karena menjadi salah satu sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); Bahwa lagi pula penggunaan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai batu uji, menurut Mahkamah adalah tidak tepat menurut hukum karena Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 adalah jaminan konstitusional terhadap mereka yang mengalami peminggiran, ketertinggalan, pengucilan, pembatasan, pembedaan, kesenjangan partisipasi dalam politik dan kehidupan publik yang bersumber dari ketimpangan struktural dan sosial-kultural masyarakat secara terus menerus (diskriminasi), baik formal maupun informal, dalam lingkup publik maupun privat atau yang dikenal dengan affirmative action, sehingga 77 diperlukan tindakan khusus sementara dengan tujuan membuka peluang dan kesempatan bagi mereka agar dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan publik secara adil dan seimbang; Tindakan afirmatif mengacu pada kebijakan yang berkenaan dengan ras, etnis, cacat fisik, karir militer, gender , orang-orang tua, atau kelas sosial menjadi pertimbangan dalam upaya untuk mempromosikan kesempatan yang sama atau meningkatkan kemampuan kelompok yang tertinggal atau yang kurang diuntungkan untuk mencapai keadilan. Oleh karena itu, tindakan khusus sementara ( affirmative action) bukanlah sebagai bentuk diskriminasi, melainkan suatu koreksi, asistensi, dan kompensasi terhadap perlakuan diskriminatif dan tidak adil yang dialami warga negara tertentu, dengan maksud untuk mempercepat tercapainya persamaan “ de facto ” antara dirinya dengan warga negara yang lain. Tindakan khusus ini bersifat sementara, untuk mempercepat tercapainya kesetaraan substantif. Artinya, apabila sudah terjadi kesetaraan, maka tindakan khusus sementara ( affirmative action) harus dihentikan; Terkait dengan kerugian yang didalilkan Pemohon bahwa sebagai perorangan warga negara kehilangan hak konstitusionalnya atas tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan sebagai akibat diterbitkannya SBSN, tidak terdapat hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian yang didalilkan dengan pasal yang dimohonkan pengujian, karena pasal yang dimohonkan pengujian hanya berupa pengaturan penggunaan Barang Milik Negara dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara yang merupakan pilihan kebijakan yang bersifat terbuka ( opened legal policy ) dalam rangka pengelolaan keuangan negara untuk meningkatkan daya dukung APBN dengan menggunakan instrumen keuangan berbasis syariah yang oleh pembentuk Undang-Undang dipandang memiliki peluang besar yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk membiayai pembangunan nasional ( vide konsideran menimbang huruf b UU 19/2008); Dengan demikian, terhadap konstruksi hukum para Pemohon bahwa telah terjadi kerugian konstitusional dengan dasar Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai batu ujinya, menurut Mahkamah adalah tidak berdasar dan tidak beralasan hukum; 78 2. Bahwa oleh karena pengaturan penggunaan Barang Milik Negara dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara dipandang sebagai pilihan kebijakan yang bersifat terbuka ( opened legal policy ) dari pembentuk Undang- Undang maka mutatis mutandis pertimbangan Mahkamah juga berlaku terhadap dalil Pemohon yang menyatakan pasal yang dimohonkan pengujian justru memberikan kewenangan kepada Menteri untuk menjual atau menyewakan hak manfaatnya atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN;
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Barang Milik Negara sebagai dasar penerbitan SBSN termasuk publik domain yang diperuntukkan bagi kepentingan umum sehingga tidak dapat dijadikan objek perdagangan, menurut Mahkamah, dalil tersebut tidak benar karena BMN bukan dijadikan objek perdagangan melainkan hanya dijadikan objek tanggungan yang berupa hak mendapatkan manfaat. BMN sebagai dasar penerbitan SBSN ( underlying asset ) bukan merupakan jaminan ( collateral ) yang dapat dipindahtangankan, sedangkan yang dapat dipindahtangankan hanya SBSN-nya saja. Undang- Undang a quo memiliki kekhususan antara lain dalam hal sifat pemindahtanganannya berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU 19/2008 yang menyatakan, “Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sifat pemindahtanganan dimaksud, antara lain: (i) penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara; (ii) tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) __ Barang Milik Negara; dan (iii) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan ”;
Pasal 49 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan, “Barang Milik Negara/Daerah dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada Pemerintah Pusat/Daerah,” dan ayat (5) menyatakan, “Barang Milik Negara/Daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman”. Kedua ayat tersebut berbeda objeknya dengan BMN sebagai dasar penerbitan SBSN ( underlying asset ) sebab menurut Pasal 12 UU 19/2008 79 apabila sudah jatuh tempo Pemerintah wajib membeli kembali bahkan dapat membatalkan akad sewa secara sepihak dengan membayar nilai nominal SBSN kepada pemegang SBSN, sehingga tidak akan terjadi pemindahan atau penyerahan BMN. Adapun Pasal 12 ayat (1) UU 19/2008 tersebut menyatakan, “Menteri wajib membeli kembali Aset SBSN, membatalkan Akad sewa, dan mengakhiri Akad penerbitan SBSN lainnya pada saat SBSN jatuh tempo” , sedangkan Pasal 12 ayat (2) UU 19/2008 menyatakan, “Dalam rangka pembelian kembali Aset SBSN, pembatalan Akad sewa dan pengakhiran Akad penerbitan SBSN lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri membayar nilai nominal SBSN atau kewajiban pembayaran lain sesuai Akad penerbitan SBSN kepada pemegang SBSN” ;
Bahwa sehubungan dengan dalil Pemohon yang menyatakan tidak dapat memanfaatkan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan karena dijadikan aset SBSN, menurut Mahkamah dalil tersebut adalah tidak tepat, karena Pemohon bukan selaku instansi pengguna barang milik negara, melainkan sebagai penyewa dari barang milik negara yang digunakan oleh instansi pengguna . Apabila Pemohon sebagai instansi Pemerintah selaku pengguna barang milik negara maka Pemohon tetap dapat menggunakan barang milik negara tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (3) UU 19/2008 yang menyatakan, “ Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi pengguna Barang Milik Negara untuk tetap menggunakan Barang Milik Negara dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya ...”. Jika yang dimaksud pemanfaatan barang tersebut adalah sebagai penyewa, maka penyewa tidak kehilangan haknya apabila BMN tersebut dijadikan underlying asset atas penerbitan SBSN;
Bahwa selain daripada itu, terkait dengan barang milik negara yang dijadikan aset SBSN, UU 19/2008 telah mengaturnya secara ketat dan rinci, sebagaimana termuat dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 9, yang menyatakan: “ Pasal 6 (1) Penerbitan SBSN dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. 80 (2) SBSN yang dapat diterbitkan baik oleh Pemerintah maupun Perusahaan Penerbit SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah semua jenis SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (3) Penerbitan SBSN yang dilakukan melalui Perusahaan Penerbit SBSN ditetapkan oleh Menteri. Pasal 7 (1) Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia. (2) Khusus untuk penerbitan SBSN dalam rangka pembiayaan proyek, Menteri berkoordinasi dengan menteri yang bertanggung jawab di bidang perencanaan pembangunan nasional. Pasal 8 (1) Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. (2) Menteri berwenang menetapkan komposisi Surat Berharga Negara dalam rupiah maupun valuta asing, serta menetapkan komposisi Surat Berharga Negara dalam bentuk Surat Utang Negara maupun SBSN dan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin penerbitan Surat Berharga Negara secara hati-hati. (3) Dalam hal-hal tertentu, SBSN dapat diterbitkan melebihi Nilai Bersih Maksimal yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang selanjutnya dilaporkan sebagai Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran tahun yang bersangkutan. Pasal 9 (1) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) termasuk pembayaran semua kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal yang timbul sebagai akibat penerbitan SBSN dimaksud serta Barang Milik Negara yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN. 81 (2) Pemerintah wajib membayar Imbalan dan Nilai Nominal setiap SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun Perusahaan Penerbit SBSN, sesuai dengan ketentuan dalam Akad penerbitan SBSN. (3) Dana untuk membayar Imbalan dan Nilai Nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut. (4) Dalam hal pembayaran kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal dimaksud melebihi perkiraan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (5) Semua kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan _ayat (4) dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan”; _ [3.16] Menimbang bahwa Mahkamah sependapat dengan keterangan enam orang ahli dari Pemerintah, masing-masing KH Ma’ruf Amin, H. Adiwarman A Karim, Gahet Ascobat, Farouk Abdullah Alwyni, Muhammad Syakir Sula, dan Ary Zulfikar, bahwa pada pokoknya SBSN tidak merugikan negara tetapi justru menguntungkan negara khususnya dalam membiayai APBN, dan barang milik negara yang dijadikan underlying asset tetap dapat digunakan oleh instansi yang bersangkutan karena hanya hak atas manfaat yang dijadikan underlying asset , tidak ada pemindahan hak milik ( legal title) dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga tidak mengganggu fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pandangan dan pendapat hukum Mahkamah sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.15] dan paragraf [3.16] di atas, menurut Mahkamah, tidak terdapat pertentangan antara norma Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU 19/2008 dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Selain itu, dari fakta persidangan telah terungkap tidak terdapat adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan pasal dari Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, Mahkamah menilai Pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalil permohonannya, sehingga permohonan Pemohon harus dikesampingkan; 82 4. KONKLUSI Berdasarkan pertimbangan atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing) untuk mengajukan permohonan _a quo; _ [4.3] Pokok permohonan tidak beralasan hukum; __ Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316); 5 . AMAR PUTUSAN Mengadili Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Senin tanggal tiga bulan Mei tahun dua ribu sepuluh dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari ini, Jumat tanggal tujuh bulan Mei tahun dua ribu sepuluh oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Arsyad Sanusi, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva masing- masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera 83 Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasa, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Moh. Mahfud MD. ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. td Achmad Sodiki ttd. M. Arsyad Sanusi ttd. M. Akil Mochtar ttd. Maria Farida Indrati ttd. Harjono ttd. Muhammad Alim ttd. Ahmad Fadlil Sumadi ttd. Hamdan Zoelva PANITERA PENGGANTI ttd. Cholidin Nasir
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran dan Kementerian Negara/Lembaga
Relevan terhadap
Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4406 LAMPIRAN I A PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2004 TANGGAL 5 AGUSTUS 2004 KLASIFIKASI FUNGSI DAN SUB FUNGSI Kode Fungsi dan Sub Fungsi 01 Pelayanan Umum 01 01 Lembaga Eksekutif dan Legislatif, Keuangan dan Fiskal, serta Urusan Luar Negeri 01 02 Bantuan Luar Negeri 01 03 Pelayanan Umum 01 04 Penelitian Dasar dan Pengembangan Iptek 01 05 Pinjaman Pemerintah 01 06 Pembangunan Daerah 01 07 Litbang Pelayanan Umum Pemerintahan 01 90 Pelayanan Umum Pemerintahan Lainnya 02 Pertahanan 02 01 Pertahanan Negara 02 02 Dukungan Pertahanan 02 03 Bantuan Militer Luar Negeri 02 04 Litbang Pertahanan 02 90 Pertahanan lainnya 03 Ketertiban dan Keamanan 03 01 Kepolisian 03 02 Penanggulangan Bencana 03 03 Pembinaan Hukum 03 04 Peradilan 03 05 Lembaga Pemasyarakatan 03 06 Litbang Ketertiban, Keamanan dan Hukum 03 90 Ketertiban, Keamanan dan Hukum Lainnya 04 Ekonomi 04 01 Perdagangan, Pengembangan Usaha, Koperasi, dan UKM 04 02 Tenaga Kerja 04 03 Pertanian, Kehutanan, Perikanan dan Kelautan 04 04 Pengairan 04 05 Bahan Bakar dan Energi 04 06 Pertambangan 04 07 Industri dan Konstruksi Kode Fungsi dan Sub Fungsi 04 08 Transportasi 04 09 Telekomunikasi dan Informatika 04 10 Litbang Ekonomi 04 90 Ekonomi lainnya 05 Lingkungan Hidup 05 01 Manajemen Limbah 05 02 Manajemen Air Limbah 05 03 Penanggulangan Polusi 05 04 Konservasi Sumberdaya Alam 05 05 Tata Ruang dan Pertanahan 05 06 Litbang Perlindungan Lingkungan Hidup 05 90 Perlindungan Lingkungan Hidup Lainnya 06 Perumahan dan Fasilitas Umum 06 01 Pengembangan Perumahan 06 02 Pemberdayaan Komunitas Pemukiman 06 03 Penyediaan Air Minum 06 04 Penerangan jalan 06 05 Litbang Perumahan dan pemukiman 06 90 Perumahan dan Pemukiman Lainnya 07 Kesehatan 07 01 Obat dan Perbekalan Kesehatan 07 02 Pelayanan Kesehatan Perorangan 07 03 Pelayanan Kesehatan Masyarakat 07 04 Keluarga Berencana 07 05 Litbang Kesehatan 07 90 Kesehatan lainnya 08 Pariwisata dan Budaya 08 01 Pengembangan Pariwisata dan Budaya 08 02 Pembinaan Kepemudaan dan Olahraga 08 03 Pembinaan Penerbitan dan Penyiaran 08 04 Litbang Pariwisata, Budaya, Kepemudaan dan Olahraga 08 90 Pariwisata dan Budaya Lainnya 09 Agama 09 01 Peningkatan Kehidupan Beragama Kode Fungsi dan Sub Fungsi 09 02 Kerukunan Hidup Beragama 09 03 Litbang Agama 09 90 Pelayanan Keagamaan Lainnya 10 Pendidikan 10 01 Pendidikan Anak Usia Dini 10 02 Pendidikan Dasar 10 03 Pendidikan Menengah 10 04 Pendidikan Non Formal & In Formal 10 05 Pendidikan Kedinasan 10 06 Pendidikan Tinggi 10 07 Pelayanan Bantuan terhadap Pendidikan 10 08 Pendidikan Keagamaan 10 09 Litbang Pendidikan 10 90 Pendidikan Lainnya 11 Perlindungan Sosial 11 01 Perlindungan dan Pelayanan Orang Sakit dan Cacat 11 02 Perlindungan dan Pelayanan Lansia 11 03 Perlindungan dan Pelayanan Sosial Keluarga Pahlawan, Perintis Kemerdekaan dan Pejuang 11 04 Perlindungan dan Pelayanan Sosial Anak-anak dan Keluarga 11 05 Pemberdayaan Perempuan 11 06 Penyuluhan dan Bimbingan Sosial 11 07 Bantuan Perumahan 11 08 Bantuan dan Jaminan Sosial 11 09 Litbang Perlindungan Sosial 11 90 Perlindungan Sosial lainnya PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI LAMPIRAN I B PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK NOMOR 21 TAHUN 2004 TANGGAL 5 AGUSTUS 2004 PENJELASAN LAMPIRAN I A TENTANG KLASIFIKASI FUNGSI DAN SUB FUNGSI Kode Fungsi dan Sub Fungsi 01 PELAYANAN UMUM 01.01 LEMBAGA EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF, KEUANGAN DAN FISKAL, SERTA URUSAN LUAR NEGERI - Administrasi, operasi atau dukungan untuk lembaga eksekutif, legislatif, keuangan dan fiskal, manajemen kas negara, utang pemerintah, operasional perpajakan - Kegiatan kementerian keuangan - Kegiatan luar negeri termasuk menlu, kegiatan diplomat, misi-misi internasional dll. - Penyediaan dan penyebaran informasi, dokumentasi, statistik keuangan dan fiskal. Termasuk: - kegiatan kantor kepala eksekutif pada semua level – presiden, wakil presiden, gubernur, bupati/walikota dll. Semua tingkatan lembaga legislatif – MPR, DPR, BPK, DPRD; lembaga penasehat, administrasi, serta staf yang ditunjuk secara politis untuk membantu lembaga eksekutif dan legislatif; serta semua badan atau kegiatan yang bersifat tetap atau sementara yang ditujukan untuk membantu lembaga eksekutif dan legislatif; - kegiatan keuangan dan fiskal dan pelayanan pada seluruh tingkatan pemerintahan; - kegiatan politik dalam negeri; - penyediaan dan penyebaran informasi, dokumentasi, statistik mengenai politik dalam negeri. Tidak termasuk: - kantor-kantor kementerian, baik di pusat maupun di daerah, komite antar departemen dll. yang terkait dengan fungsi tertentu (diklasifikasikan sesuai dengan fungsi masing-masing); - pembayaran cicilan utang dan berbagai kewajiban pemerintah sehubungan dengan utang pemerintah (01.05); - bantuan pemerintah RI kepada negara lain dalam rangka bantuan ekonomi (01.02). Kode Fungsi dan Sub Fungsi 01.02 BANTUAN LUAR NEGERI - administrasi kerjasama ekonomi dengan negara-negara berkembang dan negara- negara transisi, administrasi bantuan luar negeri yang disalurkan melalui lembaga internasional; - operasional untuk misi-misi bantuan ekonomi terhadap negara-negara tertentu; - kontribusi untuk dana pembangunan ekonomi yang diadministrasikan oleh lembaga internasional/regional; - bantuan ekonomi dalam bentuk hibah atau pinjaman. Tidak termasuk bantuan militer untuk negara asing (02.03), bantuan untuk operasi perdamaian internasional (02.03) 01.03 PELAYANAN UMUM - pelayanan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat yang tidak dilakukan oleh fungsi tertentu, antara lain administrasi kepegawaian, bidang perencanaan, ekonomi nasional, statistik, dan administrasi kependudukan. Tidak termasuk: - administrasi kepegawaian yang terkait dengan fungsi-fungsi tertentu; - administrasi perencanaan, ekonomi, statistik nasional, yang terkait dengan fungsi- fungsi tertentu.
04 PENELITIAN DASAR DAN PENGEMBANGAN IPTEK - administrasi, operasi dan koordinasi dari lembaga pemerintah yang berhubungan dengan penelitian dasar dan pengembangan Iptek; - hibah, pinjaman atau subsidi dalam rangka mendukung penelitian dasar dan pengembangan Iptek yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga non pemerintah, seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi; Tidak termasuk penelitian terapan dan pengembangan yang terkait dengan fungsi tertentu.
05 PINJAMAN PEMERINTAH pembayaran bunga dan kewajiban-kewajiban lainnya yang terkait dengan pinjaman. Tidak termasuk biaya administrasi untuk pengelolaan hutang pemerintah (01.01) 01.06 PEMBANGUNAN DAERAH - Transfer umum antar level pemerintahan yang tidak ditentukan penggunaannya; - Administrasi dan operasi dalam rangka pembangunan daerah, pengembangan wilayah dan pemberdayaan masyarakat. Kode Fungsi dan Sub Fungsi 01.07 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN UMUM PEMERINTAHAN - administrasi dan operasi dari lembaga pemerintah yang berhubungan dengan penelitian terapan dan pengembangan yang ada hubungannya dengan pelayanan umum pemerintahan; - hibah, pinjaman atau subsidi dalam rangka mendukung penelitian terapan yang berhubungan dengan pelayanan pemerintah umum yang dilaksanakan oleh lembaga- lembaga non pemerintah, seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tidak termasuk : - penelitian dasar dan pengembangan Iptek (01.04); - biaya administrasi untuk pengelolaan utang pemerintah (01.01).
90 PELAYANAN UMUM PEMERINTAHAN LAINNYA administrasi dan operasi terhadap pelayanan umum pemerintahan yang tidak termasuk kegiatan-kegiatan yang sudah diklasifikasikan dalam 01.01 s.d. 01.07, seperti: tugas- tugas pemilihan umum Tidak termasuk pemberdayaan komunitas pemukiman (06.02) 02 PERTAHANAN 02.01 PERTAHANAN NEGARA - administrasi dan operasi militer untuk seluruh angkatan; - operasi untuk rekayasa, perhubungan, komunikasi, intelejen, kepegawaian dan kekuatan pertahanan non tempur lainnya. Termasuk atase militer di luar negeri, rumah sakit militer di lapangan. Tidak termasuk misi bantuan militer (02.03), rumah sakit militer tetap (07.03), sekolah/pendidikan militer (10.05), pensiunan militer (11.03) 02.02 DUKUNGAN PERTAHANAN administrasi dan operasi kekuatan pertahan sipil, perumusan keadaan darurat, organisasi yang melibatkan lembaga sipil dan penduduk. Tidak termasuk pelayanan perlindungan masyarakat (03.02), pembelian dan penyimpanan alat dan bahan dalam keadaan darurat untuk bencana alam (03.02).
03 BANTUAN MILITER LUAR NEGERI - administrasi dan bantuan militer serta operasi perdamaian kepada pemerintah asing, lembaga internasional, dan sekutu. Kode Fungsi dan Sub Fungsi 02.04 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTAHANAN - administrasi dan operasi dari lembaga pemerintah yang berhubungan dengan penelitian terapan dan pengembangan yang ada hubungannya dengan pertahanan; - hibah, pinjaman atau subsidi dalam rangka mendukung penelitian terapan yang berhubungan dengan pertahanan yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga non pemerintah, seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tidak termasuk penelitian dasar dan pengembangan Iptek (01.04) 02.90 PERTAHANAN LAINNYA administrasi dan operasi terhadap pertahanan yang tidak termasuk kegiatan-kegiatan yang sudah diklasifikasikan dalam 02.01 s.d. 02.04. Tidak termasuk veteran militer (11.03) 03 KETERTIBAN DAN KEAMANAN 03.01 KEPOLISIAN - Administrasi dan operasi kepolisian, termasuk pendaftaran orang asing, pengesahan izin kerja dan jalan, pemeliharaan data dan statistik kepolisian, ketentuan lalu lintas, pencegahan penyelundupan; - Operasi rutin dan luar biasa kepolisian, laboratorium kepolisian, pendidikan kepolisian Tidak termasuk pendidikan umum yang diajarkan dalam lembaga kepolisian (10.05). Tidak termasuk dukungan pertahanan (02.02), angkatan yang khusus dibuat untuk pemadaman hutan (04.03).
02 PENANGGULANGAN BENCANA administrasi dan operasional dari penanggulangan bencana, pencegahan kebakaran, SAR nasional, dan badan-badan lain yang bertujuan untuk melaksanakan penanggulangan bencana, perlindungan dan keselamatan masyarakat umumnya, dukungan pencegahan kebakaran dan SAR nasional, dan training. Termasuk pelayanan perlindungan sipil untuk penjaga gunung, penjaga pantai. Tidak termasuk pertahan sipil (02.02), angkatan yang khusus dibuat untuk pemadaman hutan (04.02). Kode Fungsi dan Sub Fungsi 03.03 PEMBINAAN HUKUM - administrasi dan operasi untuk lembaga hukum; pembinaan aparatur penegak hukum; - pengembangan hukum nasional; - pelayanan hukum dari pemerintah dan non pemerintah. Tidak termasuk lembaga pemasyarakatan (03.05) 03.04 PERADILAN - administrasi dan operasi untuk peradilan; - operasi dan dukungan atas program dan kegiatan yang berhubungan dengan peradilan; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi, dan statistik yang berhubungan dengan peradilan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program peradilan. Termasuk administrasi untuk pengadilan tinggi, ombudsmen, peradilan agama. Tidak termasuk administrasi lembaga pemasyarakatan (03.05).
05 LEMBAGA PEMASYARAKATAN administrasi, operasional dan dukungan lembaga pemasyarakatan dan lembaga penahanan lainnya.
06 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETERTIBAN, KEAMANAN DAN HUKUM - administrasi dan operasional dari lembaga pemerintah yang berhubungan dengan penelitian terapan dan pengembangan yang ada hubungannya dengan hukum, ketertiban, dan keamanan; - hibah, pinjaman atau subsidi dalam rangka mendukung penelitian terapan yang berhubungan dengan hukum, ketertiban dan keamanan yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga non pemerintah, seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tidak termasuk penelitian dasar dan pengembangan Iptek (01.04).
90 HUKUM, KETERTIBAN DAN KEAMANAN LAINNYA administrasi dan operasi terhadap hukum, ketertiban, dan keamanan yang tidak termasuk kegiatan-kegiatan yang sudah diklasifikasikan dalam 03.01 s.d. 03.06. 04 EKONOMI… Kode Fungsi dan Sub Fungsi 04 EKONOMI 04.01 PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA, KOPERASI, DAN UKM - administrasi atas hubungan dan pelayanani, perdagangan luar negeri, pengembangan usaha, koperasi dan UKM, penyusunan dan penerapan kebijakan; - peraturan tentang perdagangan dan pengembangan usaha, koperasi dan UKM, pasar komoditas dan modal; - operasi dan dukungan atas lembaga yang berhubungan dengan paten, hak cipta dll.; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program perdagangan dan pengembangan usaha, koperasi dan UKM.
02 TENAGA KERJA - administrasi dan operasi yang berhubungan dengan bidang ketenagakerjaan; - peraturan tentang ketenagakerjaan; - operasi dan dukungan atas lembaga yang berhubungan dengan mediasi ketenagakerjaan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program ketenagakerjaan.
03 PERTANIAN, KEHUTANAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN - administrasi dari pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan - operasi dan dukungan atas program dan kegiatan yang berhubungan dengan pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi, dan statistik yang berhubungan dengan pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan. Termasuk penanaman bibit kehutanan; Tidak termasuk proyek pembangunan multi guna (04.90), dan pengairan (04.04) 04.04 PENGAIRAN - administrasi dan operasi yang berhubungan dengan pengairan; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi, dan statistik yang berhubungan dengan pengairan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program pengairan. Termasuk proyek pembangunan jaringan pengairan Kode Fungsi dan Sub Fungsi 04.05 BAHAN BAKAR DAN ENERGI - administrasi dari bahan bakar padat, minyak dan gas bumi, bahan bakar nuklir, energi listrik dan non listrik; - konservasi, penemuan, pengembangan, dan eksploitasi dari bahan bakar padat, minyak dan gas bumi, bahan bakar nuklir, energi listrik dan non listrik; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi, dan statistik yang berhubungan dengan bahan bakar padat, minyak dan gas bumi, bahan bakar nuklir, energi listrik dan non listrik; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program bahan bakar padat, minyak dan gas bumi, bahan bakar nuklir, energi listrik dan non listrik. Tidak termasuk transportasi dengan bahan bakar padat, bahan bakar minyak dan gas, bahan bakar nuklir (04.08);
06 PERTAMBANGAN - administrasi dan operasi yang berhubungan dengan pertambangan; - konservasi, penemuan, pengembangan dan eksploitasi dari pertambangan; - pengawasan dan pengaturan yang berhubungan dengan pertambangan; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi, dan statistik yang berhubungan dengan pertambangan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program pertambangan. Termasuk pengeluaran izin, aturan tingkat produksi dan keselamatan, pengawasan keselamatan yang berhubungan dengan pertambangan. Tidak termasuk: - industri pengolahan batu bara, penyulingan minyak, dan nuklir (04.05); - hibah, pinjaman, dan subsidi untuk kontruksi perumahan, bangunan industri, jalan, fasilitas umum (diklasifikasikan berdasar fungsinya);
07 INDUSTRI DAN KONSTRUKSI - administrasi dan operasi yang berhubungan dengan industri dan konstruksi; - konservasi, penemuan, pengembangan dan eksploitasi dari industri dan konstruksi; - pengawasan dan pengaturan yang berhubungan dengan industri dan konstruksi; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi, dan statistik yang berhubungan dengan industri dan konstruksi; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program industri dan konstruksi. Kode Fungsi dan Sub Fungsi Termasuk pengeluaran izin, aturan tingkat produksi dan keselamatan, pengawasan keselamatan yang berhubungan dengan industri dan konstruksi. Tidak termasuk: - industri pengolahan batu bara, penyulingan minyak, dan nuklir (04.05); - hibah, pinjaman, dan subsidi untuk kontruksi perumahan, bangunan industri, jalan, fasilitas umum (diklasifikasikan berdasar fungsinya); - peraturan standar perumahan (06.01).
08 TRANSPORTASI - administrasi dari operasi, penggunaan, konstruksi, pemeliharaan dari transportasi jalan raya, transportasi air, transportasi kereta api, transportasi udara, dan bentuk transportasi lainnya; - pengawasan dan pengaturan yang berhubungan dengan dari transportasi jalan raya, transportasi air, transportasi kereta api, transportasi udara, dan bentuk transportasi lainnya; - konstruksi atau operasi dari fasilitas lainnya pendukung transportasi jalan raya, transportasi air, transportasi kereta api, transportasi udara, dan bentuk transportasi lainnya; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi, dan statistik yang berhubungan dengan transportasi jalan raya, transportasi air, transportasi kereta api, transportasi udara, dan bentuk transportasi lainnya; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program transportasi jalan raya, transportasi air, transportasi kereta api, transportasi udara, dan bentuk transportasi lainnya.
09 TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA - administrasi dari konstruksi, perbaikan, pengembangan, operasi dan pemeliharaan sistem telekomunikasi dan informatika; - peraturan yang berhubungan dengan sistem telekomunikasi; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi, dan statistik tentang telekomunikasi; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program telekomunikasi; Termasuk pengembangan teknologi telematika. Tidak termasuk radio dan satelit navigasi untuk transportasi air (04.08), penyiaran radio dan televisi (08.03) 04.10 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI - administrasi dan operasi dari lembaga pemerintahan dalam penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan ekonomi, perdagangan, pengembangan usaha koperasi dan UKM, ketenagakerjaan, pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, bahan bakar dan energi, pertambangan, industri dan konstruksi, transportasi, komunikasi dan industri lainnya; Kode Fungsi dan Sub Fungsi - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan perdagangan, pengembangan usaha koperasi dan UKM, ketenagakerjaan, pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, bahan bakar dan energi, pertambangan, industri dan konstruksi, transportasi, dan telekomunikasi; Tidak termasuk penelitian dasar dan pengembangan Iptek (01.04).
90 EKONOMI LAINNYA - Termasuk meteorologi dan geofisika, multi proyek, penyimpanan dan distribusi; - administrasi, operasi atau dukungan yang berhubungan dengan ekonomi yang tidak terklasifikasi dalam 04.01 s.d. 04.10 05 PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP 05.01 MANAJEMEN LIMBAH - administrasi, pengawasan, pemeriksaan, operasi atau dukungan untuk pengelolaan limbah - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung operasi, konstruksi, pemeliharaan ataupun peningkatan sistem pengelolaan limbah. Termasuk : pengembangan sistem persampahan (daerah) dan Limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) (pemerintah pusat) 05.02 MANAJEMEN AIR LIMBAH - administrasi, pengawasan, pemeriksaan, operasi ataupun dukungan untuk pengelolaan air limbah; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung operasi, konstruksi, pemeliharaan ataupun peningkatan sistem pengelolaan air limbah.
03 PENANGGULANGAN POLUSI - administrasi, pengawasan, pemeriksaan, operasi ataupun dukungan untuk penanggulangan polusi; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung operasi, konstruksi, pemeliharaan ataupun peningkatan sistem penanggulangan polusi.
04 KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM - administrasi, pengawasan, pemeriksaan, operasi ataupun dukungan untuk kegiatan- kegiatan yang berhubungan dengan konservasi sumber daya alam; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung operasi, konstruksi, pemeliharaan ataupun peningkatan sistem konservasi sumber daya alam. Kode Fungsi dan Sub Fungsi 05.05 TATA RUANG DAN PERTANAHAN - administrasi, pengawasan, pemeriksaan, operasi untuk pengelolaan tata ruang dan pertanahan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung operasi untuk pengelolaan tata ruang dan pertanahan.
06 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP - Administrasi dan operasi dari lembaga-lembaga pemerintah yang terlibat dalam penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan perlindungan lingkungan hidup; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan perlindungan lingkungan hidup yang dilaksanakan oleh lembaga non pemerintah seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tidak termasuk penelitian dasar dan pengembangan Iptek (01.04) 05.90 PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP LAINNYA - administrasi, pengelolaan, peraturan, pengendalian, operasi dan dukungan untuk kegiatan-kegiatan yang behubungan dengan kebijakan, perancanaan, program dan anggaran untuk meningkatkan perlindungan lingkungan hidup; penyiapan dan penegakan peraturan dan standar untuk perlindungan lingkungan hidup; penyiapan dan penyebaran informasi, dokumen dan statistik tentang lingkungan hidup; - termasuk kegiatan perlindungan lingkungan hidup yang tidak termasuk dalam 05.01 s.d. 05.06. 06 PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN 06.01 PENGEMBANGAN PERUMAHAN - administrasi perumahan; peningkatan, pemantauan dan evaluasi kegiatan pengembangan perumahan; peraturan standar perumahan; - perumahan pengganti perumahan kumuh, penyediaan tanah, pengembangan perumahan untuk orang cacat; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi dan statistik mengenai perumahan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung pengembangan, peningkatan dan pemeliharaan atas penyediaan perumahan. Tidak termasuk: - peraturan dan standar konstruksi (04.07); - bantuan uang dan barang untuk perumahan (11.07). Kode Fungsi dan Sub Fungsi 06.02 PEMBERDAYAAN KOMUNITAS PEMUKIMAN - administrasi pemukiman, dan peraturan pendukung pemukiman; - perencanaan untuk pemukiman baru dan yang direhabilitasi, perencanaan pengembangan fasilitas pemukiman; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi dan statistik mengenai pemukiman.
03 PENYEDIAAN AIR MINUM - administrasi penyediaan air minum, pengawasan dan pengaturan mengenai penyediaan air minum; - konstruksi dan operasi dari sistem pendukung penyediaan air minum; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi dan statistik penyediaan air minum; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung operasi, konstruksi, pemeliharaan ataupun peningkatan sistem penyediaan air minum.
04 PENERANGAN JALAN - administrasi penerangan jalan, pengembangan dan pengaturan tentang standarisasi penerangan; - instalasi, operasi, pemeliharaan, peningkatan dan lain-lain untuk penerangan jalan. Tidak termasuk penerangan untuk jalan bebas hambatan (04.05) 06.05 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN - administrasi dan operasi dari lembaga pemerintah dalam penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan perumahan dan pemukiman - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan perumana dan pemukiman yang dilaksanakan oleh lembaga non pemerintah seperti lembaga penelitian dan prguruan tinggi. Tidak termasuk penelitian dasar dan pengembangan Iptek (01.04) 06.90 PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN LAINNYA - administrasi, operasi atau dukungan dalam kebijakan, perencanaan, program dan anggaran yang berhubungan dengan perumahan dan pemukiman lainnya; - penyiapan dan penegakan peraturan dan standarisasi yang berhubungan dengan perumahan dan permukiman lainnya; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi dan statistik mengenai perumahan dan permukiman lainnya. Kode Fungsi dan Sub Fungsi Termasuk administrasi, operasi ataupun dukungan yang berhubungan dengan perumahan dan pemukiman yang tidak dapat diklasifikasikan dalam 06.01 s.d. 06.05 07 KESEHATAN 07.01 OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN - penyediaan obat-obatan, alat-alat medis, peralatan terapi medis; - administrasi, operasi ataupun dukungan untuk penyediaan obat-obatan, alat-alat medis, dan peralatan terapi medis. Termasuk perbaikan peralatan terapi medis Tidak termasuk sewa peralatan terapi medis (07.02) 07.02 PELAYANAN KESEHATAN PERORANGAN - penyediaan pelayanan medis umum, pelayanan medis khusus, pelayanan gigi, pelayanan paramedik; - administrasi, inspeksi, operasi atau dukungan untuk penyediaan medis umum, pelayanan medis khusus, pelayanan gigi, pelayanan paramedik. - penyediaan pelayanan rumah sakit umum, rumah sakit khusus, rumah sakit ibu anak, kebidanan; - administrasi, inspeksi, operasi atau dukungan untuk penyediaan pelayanan rumah sakit umum, rumah sakit ibu anak, kebidanan. Termasuk: - pelayanan spesialis ortodensi; - pemeriksaan gigi; - sewa peralatan terapi medis; - lembaga pelayanan lansia dengan pengawasan medis, pusat pelayanan medis yang bertujuan untuk menyembuhkan pasien. Tidak termasuk alat kedokteran gigi (07.01), laboratorium pemeriksaan kesehatan (07.03) 07.03 PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT - penyediaan pelayanan kesehatan masyarakat; - administrasi, pemeriksaan, operasi atau dukungan untuk pelayanan kesehatan masyarakat; - penyusunan dan penyebaran informasi berkenaan kesehatan masyarakat. Termasuk pelayanan kesehatan untuk kelompok tertentu, pelayanan kesehatan yang tidak berhubungan dengan rumah sakit, klinik, laboratorium kesehatan masyarakat. Tidak termasuk laboratorium analisis medis (07.02) Kode Fungsi dan Sub Fungsi 07.04 KELUARGA BERENCANA - administrasi, operasi, ataupun dukungan untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kebijakan, perencanaan, program dan anggaran keluarga berencana, - penyiapan dan penegakan peraturan dan standarisasi kesehatan, penyusunan dan penyebaran informasi, dokumen, dan statistik keluarga berencana.
05 LITBANG KESEHATAN - administrasi dan operasi dari lembaga-lembaga pemerintah yang melakukan penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan kesehatan; Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan kesehatan yang dilaksanakan oleh lembaga non pemerintah seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tidak termasuk penelitian dasar dan pengembangan Iptek (01.04) 07.90 KESEHATAN LAINNYA - administrasi, operasi, ataupun dukungan untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kebijakan, perencanaan, program dan anggaran kesehatan, penyiapan dan penegakan peraturan dan standarisasi kesehatan, penyusunan dan penyebaran informasi, dokumen, dan statistik kesehatan. - Termasuk kegiatan kesehatan lainnya yang tidak terklasifikasi dalam 07.01 s.d.
03 PEMBINAAN PENERBITAN DAN PENYIARAN - administrasi penyiaran dan penerbitan, pengawasan dan pengaturan penyiaran dan penerbitan; - operasi atau dukungan untuk penyiaran dan penerbitan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung pengadaan fasilitas media televisi dan radio; pengadaan fasilitas penerbitan. Tidak termasuk percetakan negara (01.03), penyelenggaran pendidikan melalui televisi dan radio (08.03).
04 LITBANG PARIWISATA DAN BUDAYA - administrasi dan operasi dari lembaga-lembaga pemerintah yang melakukan penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan pariwisata dan budaya; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan pariwisata dan budaya yang dilaksanakan oleh lembaga non pemerintah seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tidak termasuk penelitian terapan dan pengembangan Iptek (01.04) 08.90 PARIWISATA DAN BUDAYA LAINNYA - administrasi, operasi, ataupun dukungan untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kebijakan, perencanaan, program dan anggaran pariwisata, olah raga, dan budaya, penyiapan dan penegakan peraturan dan standarisasi pariwisata, olah raga, dan budaya, penyusunan dan penyebaran informasi, dokumen, dan statistik pariwisata, olah raga dan budaya lainnya. - Termasuk kegiatan pariwisata, olah raga dan budaya lainnya yang tidak terklasifikasi dalam 08.01 s.d. 08.04. 09 AGAMA 09.01 PENINGKATAN KEHIDUPAN BERAGAMA - penyediaan pelayanan agama, administrasi keagamaan; - operasi atau dukungan atas penyediaan fasilitas keagamaan; - pembayaran untuk petugas keagamaan, hibah, pinjaman, atau subsidi untuk peningkatan kehidupan beragama. Kode Fungsi dan Sub Fungsi 09.02 KERUKUNAN HIDUP BERAGAMA - pengawasan dan pengaturan atas keagamaan; - hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung kerukunan hidup beragama.
03 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEAGAMAAN - administrasi dan operasi dari lembaga-lembaga pemerintah yang melakukan penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan keagamaan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan keagamaan yang dilaksanakan oleh lembaga non pemerintah seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tidak termasuk penelitian terapan dan pengembangan Iptek (01.04) 09.90 PELAYANAN KEAGAMAAN LAINNYA - administrasi, operasi, ataupun dukungan untuk kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan kebijakan, perencanaan, program dan anggaran keagamaan, penyiapan dan penegakan peraturan dan standarisasi masalah keagamaan, penyusunan dan penyebaran informasi, dokumen, dan statistik keagamaan. - Termasuk kegiatan keagamaan lainnya yang tidak terklasifikasi dalam 09.01 s.d.
02 PENDIDIKAN DASAR - penyediaan pendidikan pendidikan dasar baik umum maupun agama; - administrasi, pemeriksaan, operasi ataupun dukungan untuk pendidikan dasar; - beasiswa, hibah, pinjaman dan tunjangan untuk mendukung siswa tingkat pendidikan dasar. Tidak termasuk pelayanan bantuan terhadap pendidikan (10.07) Kode Fungsi dan Sub Fungsi 10.03 PENDIDIKAN MENENGAH - penyediaan pendidikan menengah baik umum maupun agama; - administrasi, pemerikasaan, operasi ataupun dukungan untuk pendidikan menengah; - beasiswa, hibah, pinjaman dan tunjangan untuk mendukung siswa tingkat menengah. Tidak termasuk pendidikan non formal dan informal (10.04) 10.04 PENDIDIKAN NON FORMAL & INFORMAL - penyediaan pendidikan nonformal dan informal; - administrasi, pemerikasaan, operasi ataupun dukungan untuk pendidikan nonformal dan informal; - beasiswa, hibah, pinjaman dan tunjangan untuk mendukung pendidikan nonformal dan informal.
05 PENDIDIKAN KEDINASAN - penyediaan pendidikan kedinasan; - administrasi, pemerikasaan, operasi ataupun dukungan untuk pendidikan kedinasan; - beasiswa, hibah, pinjaman dan tunjangan untuk mendukung siswa pendidikan kedinasan. Tidak termasuk pelatihan yang terkait dengan fungsi tertentu.
06 PENDIDIKAN TINGGI - penyediaan pendidikan tinggi; - administrasi, pemeriksaan, operasi ataupun dukungan untuk pendidikan tinggi; - beasiswa, hibah, pinjaman dan tunjangan untuk mendukung mahasiswa; - penyediaan pendidikan tinggi keagamaan. Tidak termasuk pendidikan nonformal dan informal (10.04) 10.07 PELAYANAN BANTUAN TERHADAP PENDIDIKAN - penyediaan pelayanan bantuan terhadap pendidikan; - administrasi, pemerikasaan, operasi ataupun dukungan untuk transportasi, makanan, penginapan, kesehatan umum dan gigi yang ditujukan untuk siswa pada berbagai tingkatan. Kode Fungsi dan Sub Fungsi 10.08 PENDIDIKAN KEAGAMAAN - penyediaan pendidikan keagamaan; - administrasi, pemerikasaan, operasi ataupun dukungan untuk pendidikan keagamaan; - beasiswa, hibah, pinjaman dan tunjangan untuk mendukung siswa pendidikan keagamaan.
09 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN - administrasi dan operasi dari lembaga-lembaga pemerintah yang melakukan penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan pendidikan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan pendidikan yang dilaksanakan oleh lembaga non pemerintah seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tidak termasuk penelitian dasar dan pengembangan Iptek (01.04) 10.90 PENDIDIKAN LAINNYA - administrasi, operasi, ataupun dukungan untuk kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan kebijakan, perencanaan, program dan anggaran pendidikan, penyiapan dan penegakan peraturan dan standarisasi pendidikan, penyusunan dan penyebaran informasi, dokumen, dan statistik pendidikan. - Termasuk kegiatan pendidikan lainnya yang tidak terklasifikasi dalam 10.01 s.d.
02 PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN LANSIA - penyediaan perlindungan dan pelayanan sosial dalam bentuk uang dan barang kepada lansia; - administrasi, operasi ataupun dukungan atas skema perlindungan lansia; - manfaat uang dan barang lainnya untuk lansia; - termasuk pensiunan PNS dan TNI/Polri. Tidak termasuk orang tua yang pensiun dini karena sakit dan cacat (11.01). Kode Fungsi dan Sub Fungsi 11.03 PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN SOSIAL KELUARGA PAHLAWAN, PERINTIS KEMERDEKAAN DAN PEJUANG - penyediaan perlindungan dan pelayanan sosial dalam bentuk uang dan barang kepada keluarga pahlawan, perintis kemerdekaan dan pejuang maupun ahli warisnya; - administrasi, operasi ataupun dukungan atas skema perlindungan keluarga pahlawan, perintis kemerdekaan dan pejuang; - manfaat uang dan barang lainnya untuk keluarga pahlawan, perintis kemerdekaan dan pejuang.
04 PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN SOSIAL ANAK-ANAK DAN KELUARGA - penyediaan perlindungan dan pelayanan sosial dalam bentuk uang dan barang kepada anak-anak dan keluarga tertentu; - administrasi, operasi ataupun dukungan atas skema perlindungan anak-anak dan keluarga; - manfaat uang dan barang lainnya untuk anak-anak dan keluarga. Tidak termasuk pelayanan keluarga berencana (07.04).
05 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN - penyediaan perlindungan sosial kepada perempuan; - administrasi, operasi ataupun dukungan atas pemberdayaan perempuan;
06 PENYULUHAN DAN BIMBINGAN SOSIAL - penyediaan perlindungan sosial dalam bentuk uang dan barang untuk/kepada orang yang dapat bekerja tetapi belum mendapatkan pekerjaan yang sesuai; - administrasi, operasi ataupun dukungan atas skema perlindungan pengangguran; - manfaat uang dan barang lainnya untuk penggangguran. Tidak termasuk program dan skema untuk memobilisasi tenaga kerja dan menurunkan pengangguran (04.02), dan penyediaan uang dan barang untuk pengangguran yang memasuki usia pensiun (11.02).
07 BANTUAN PERUMAHAN - penyediaan perlindungan sosial dalam bentuk non kas untuk membantu rumah tangga dalam pemenuhan biaya perumahan; - administrasi, operasi ataupun dukungan atas skema bantuan perumahan; - manfaat non kas lainnya, seperti bantuan sewa, penyediaan rumah dengan harga terjangkau. Kode Fungsi dan Sub Fungsi 11.08 BANTUAN DAN JAMINAN SOSIAL - penyediaan perlindungan sosial dalam bentuk uang dan barang untuk masyarakat tertinggal dan terlantar; - administrasi, operasi ataupun dukungan atas skema perlindungan masyarakat tertinggal dan terlantar; - manfaat uang dan barang lainnya untuk masyarakat tertinggal dan terlantar.
09 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERLINDUNGAN SOSIAL - administrasi dan operasi dari lembaga-lembaga pemerintah yang melakukan penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan perlindungan sosial; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan perlindungan sosial yang dilaksanakan oleh lembaga non pemerintah seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tidak termasuk penelitian dasar dan pengembangan Iptek (01.04) 11.90 PERLINDUNGAN SOSIAL LAINNYA - administrasi, operasi, ataupun dukungan untuk kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan kebijakan, perencanaan, program dan anggaran perlindungan sosial, penyiapan dan penegakan peraturan dan standarisasi kesejahteraan sosial, penyusunan dan penyebaran informasi, dokumen, dan statistik perlindungan sosial. - Termasuk kegiatan perlindungan sosial lainnya yang tidak terklasifikasi dalam 11.01 s.d. 11.09. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan, ttd Lambock V. Nahattands LAMPIRAN II A PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2004 TANGGAL 5 AGUSTUS 2004 KLASIFIKASI BELANJA Kode Belanja dan Jenis Pengeluaran BELANJA PENYELENGGARAAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH 51 Belanja Pegawai 51 1 Gaji dan Tunjangan 51 2 Honorarium, Vakasi, Lembur dan lain-lain. 51 3 Kontribusi Sosial 51 3 1 Pensiun & Uang Tunggu 51 3 2 Asuransi Kesehatan 52 Belanja Barang 52 1 Barang dan Jasa 52 2 Pemeliharaan 52 3 Perjalanan 53 Belanja Modal 53 1 Tanah 53 2 Peralatan dan Mesin 53 3 Gedung dan Bangunan 53 4 Jaringan 53 9 Aset Fisik Lainnya 54 Pembayaran Bunga Utang 54 1 Utang Dalam Negeri 54 1 1 Pemerintah 54 1 2 Bank Indonesia 54 1 3 Lainnya 54 2 Utang Luar Negeri 54 2 1 Pemerintah 54 2 2 Lainnya 55 Subsidi 55 1 Perusahaan Negara 55 1 1 Lembaga Keuangan 55 1 2 Non-Lembaga Keuangan Kode Belanja dan Jenis Pengeluaran 55 2 Perusahaan Swasta 55 2 1 Lembaga Keuangan 55 2 2 Non-Lembaga Keuangan 56 Bantuan Sosial 56 1 Dana Kompensasi Sosial 56 2 Lembaga Pendidikan dan Peribadatan 57 Hibah 57 1 Pemerintah Luar Negeri 57 2 Organisasi International 58 Belanja Lain-lain TRANSFER PEMERINTAH PUSAT 61 Dana Perimbangan 61 1 Dana Bagi Hasil 61 1 1 Perpajakan 61 1 2 Sumber Daya Alam 61 2 Dana Alokasi Umum 61 2 1 Propinsi 61 2 2 Kabupaten/Kota 61 3 Dana Alokasi Khusus 61 3 1 Dana Reboisasi 61 3 2 Non Dana Reboisasi 62 Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian 62 1 Dana Otonomi Khusus 62 1 1 Papua 62 2 Dana Penyesuaian 62 2 1 Murni 62 2 2 Ad-hoc PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI LAMPIRAN II B PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2004 TANGGAL 5 AGUSTUS 2004 PENJELASAN LAMPIRAN II A TENTANG KLASIFIKASI BELANJA Belanja dan Jenis Pengeluaran Kode 51 Belanja Pegawai Kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang yang diberikan kepada pegawai pemerintah, baik yang bertugas di dalam maupun di luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. 51 1 Gaji dan Tunjangan Kompensasi yang harus dibayarkan kepada pegawai pemerintah berupa gaji pokok dan berbagai tunjangan yang diterima berkaitan dengan jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan (tunjangan istri/suami, tunjangan anak, tunjangan jabatan struktural/fungsional, uang makan/lauk pauk, tunjangan beras, tunjangan PPh, tunjangan kemahalan), baik dalam bentuk uang maupun barang. 51 2 Honorarium, Vakasi, Lembur Kompensasi yang harus dibayarkan kepada pegawai pemerintah berupa honorarium tim dan sebagainya, lembur, vakasi, tunjangan khusus, dan berbagai pembiayaan kepegawaian lainnya sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk pegawai di lingkungan kementerian negara/lembaga yang dialihkan ke daerah dankantor-kantor di lingkungan kementerian negara/lembaga yang dilikuidasi 51 3 Kontribusi Sosial Pembayaran yang dilakukan terhadap unit organisasi/lembaga/badan tertentu untuk mendapatkan hak tunjangan sosial bagi pegawai Pemerintah. 51 3 1 Pensiun dan Uang Tunggu Pengeluaran/belanja pensiun/uang tunggu pegawai pemerintah yang disalurkan melalui PT Taspen dan PT Asabri. 51 3 2 Asuransi Kesehatan Pengeluaran/belanja pemerintah yang disalurkan melalui PT. Askes. 52 Belanja Barang Pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan Belanja dan Jenis Pengeluaran Kode 52 1 Barang dan Jasa Pengeluaran yang dilakukan untuk membiayai keperluan kantor sehari-hari, pengadaan/penggantian inventaris kantor, langganan daya dan jasa dan lain-lain pengeluaran yang diperlukan untuk membiayai pekerjaan yang bersifat nonfisik dan secara langsung menunjang tugas pokok dan fungsi Kementerian negara/lembaga. 52 2 Pemeliharaan Pengeluaran yang dilakukan untuk membiayai pemeliharaan gedung kantor, rumah dinas, kendaraan bermotor, dan lain-lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan, termasuk perbaikan peralatan dan sarana gedung. 52 3 Perjalanan Pengeluaran yang dilakukan untuk membiayai perjalanan dinas dalam rangka pelaksanaan tugas, dan fungsi serta jabatan. 53 Belanja Modal Pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal, baik dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bagungan, jaringan, maupun dalam bentuk fisik lainnya, seperti buku, binatang dan lain sebagainya 53 1 Tanah Pengeluaran yang diperlukan untuk pengadaan/pembelian/ pembebasan/ penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat tanah, serta lain-lain yang bersifat administratif sehubungan dengan pembentukan modal. 53 2 Peralatan dan Mesin Pengeluaran yang diperlukan untuk pengadaan alat-alat dan mesin-mesin yang dipergunakan dalam kegiatan pembentukan modal, termasuk didalamnya biaya untuk penambahan, penggantian dan peningkatan kualitas peralatan dan mesin. 53 3 Gedung dan Bangunan Pengeluaran yang diperlukan untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembentukan modal untuk pembangunan gedung dan bangunan, termasuk didalamnya pengadaan berbagai barang kebutuhan pembangunan gedung dan bangunan. 53 4 Jaringan Pengeluaran yang diperlukan untuk penambahan, penggantian, peningkatan pembangunan, pembuatan serta perawatan prasarana dan sarana yang berfungsi atau merupakan bagian dari jaringan, seperti jalan, jembatan dan jaringan irigasi atau air bersih. Belanja dan Jenis Pengeluaran Kode 53 9 Aset Fisik Lainnya Pengeluaran dipergunakan dalam kegiatan pembentukan modal dalam bentuk aset fisik lainnya seperti buku, binatang dan lain-lain yang tidak termasuk dalam klasifikasi 53.1 s.d. 53.4. 54 Pembayaran Bunga Utang Pembayaran yang dilakukan atas kewajiban penggunaan pokok utang ( principal outstanding ), baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri, yang dihitung berdasarkan posisi pinjaman. 54 1 Utang Dalam Negeri Pembayaran bunga utang dalam mata uang rupiah. 54 1 1 Pemerintah Pembayaran bunga utang atas surat utang negara, obligasi dalam negeri, dan lainnya yang harus dibayar Pemerintah. 54 1 2 Bank Indonesia Pembayaran bunga utang kepada Bank Indonesia. 54 1 3 Lainnya Pembayaran bunga utang selain atas surat utang negara dan selain kepada Bank Indonesia. 54 2 Utang Luar Negeri Pembayaran bunga utang dalam mata uang negara pemberi pinjaman. 54 2 1 Pemerintah Pembayaran bunga utang kepada pemerintah negara/lembaga internasional pemberi pinjaman. 54 2 2 Lainnya Pembayaran bunga utang luar negeri, selain pemerintah negara/lembaga internasional. 55 Subsidi Alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak, sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat terjangkau oleh masyarakat. 55 1 Perusahaan Negara Subsidi Pemerintah kepada Perusahaan Negara. 55 1 1 Lembaga Keuangan Subsidi Pemerintah kepada Perusahaan Negara yang merupakan lembaga keuangan. Belanja dan Jenis Pengeluaran Kode 55 1 2 Non-Lembaga Keuangan Subsidi Pemerintah kepada Perusahaan Negara yang merupakan non- lembaga keuangan. 55 2 Perusahaan Swasta Subsidi Pemerintah kepada Perusahaan Swasta. 55 2 1 Lembaga Keuangan Subsidi Pemerintah kepada Perusahaan Swasta yang merupakan lembaga keuangan. 55 2 2 Non-Lembaga Keuangan Subsidi Pemerintah kepada Perusahaan Swasta yang merupakan non- lembaga keuangan. 56 Bantuan Sosial Transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Bantuan sosial dapat langsung diberikan kepada anggota masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan antara lain, bantuan untuk lembaga non pemerintah bidang pendidikan dan keagamaan. 56 1 Dana Kompensasi Sosial Transfer dalam bentuk uang yang diberikan kepada masyarakat, sebagai dampak dari adanya kenaikan harga BBM. 56 2 Lembaga Pendidikan dan Keagamaan. Transfer dalam bentuk uang yang diberikan kepada lembaga pendidikan dan/atau lembaga keagamaan. 57 Hibah Transfer rutin/modal yang sifatnya tidak wajib kepada negara lain atau kepada organisasi internasional. 57 1 Pemerintah Luar Negeri Pemberian hibah kepada pemerintahan negara lain. 57 2 Organisasi International Pemberian hibah kepada organisasi internasional. 58 Belanja Lain-lain Pengeluaran/belanja pemerintah pusat yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam jenis belanja pegawai (51) s.d. hibah (57). Belanja dan Jenis Pengeluaran Kode TRANSFER PEMERINTAH PUSAT 61 Dana Perimbangan 61 1 Dana Bagi Hasil 61 1 1 Perpajakan Pengeluaran yang bersumber dari perpajakan (PPh, PBB dan BPHTB) yang dibagihasilkan kepada daerah sesuai dengan peraturan yang berlaku. 61 1 2 Sumber Daya Alam Pengeluaran yang bersumber dari sumber daya alam (minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan) yang dibagi hasilkan kepada daerah sesuai dengan peraturan yang berlaku. 61 2 Dana Alokasi Umum Pengeluaran yang dilakukan pemerintah dalam rangka pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 61 2 1 Propinsi Pengeluaran DAU yang merupakan bagian Propinsi. 61 2 2 Kabupaten/Kota Pengeluaran DAU yang merupakan bagian kabupaten/Kota. 61 3 Dana Alokasi Khusus 61 3 1 Dana Reboisasi 61 3 2 Non Dana Reboisasi 62 Dana otonomi khusus dan penyesuaian 62 1 Dana otonomi khusus 62 2 Dana Penyesuaian PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI LAMPIRAN III PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2004 TANGGAL 5 AGUSTUS 2004 TATA CARA PENGISIAN FORMULIR RKA-KL I. Pendahuluan RKA-KL sebagai dokumen usulan anggaran (budget request) memuat sasaran terukur yang penyusunannya dilakukan secara berjenjang dari tingkat kantor/satuan kerja ke tingkat yang lebih tinggi ( bottom-up ) untuk melaksanakan penugasan dari menteri/pimpinan lembaga ( top down). Dengan demikian dalam menyusun suatu Rencana Kerja dan Anggaran yang menerapkan anggaran berdasarkan prestasi/kinerja perlu terlebih dahulu ditentukan atau ditetapkan:
Program yang akan dilaksanakan oleh suatu kementerian negara/lembaga dan unit yang bertanggungjawab atas pelaksanaannya;
Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai sasaran dari program dan unit kerja yang bertanggungjawab atas pelaksanaannya;
Keluaran yang akan dihasilkan oleh suatu satuan kerja sebagai unit operasional terkecil dari suatu kementerian negara/lembaga dan unit kerja yang bertanggungjawab atas pelaksanaannya;
Biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu keluaran tertentu yang diharapkan oleh kementerian negara/lembaga dari unit kerja yang bertanggungjawab atas pelaksanaannya;
Anggaran untuk melaksanakan suatu kegiatan yang akan menghasilkan suatu keluaran berdasarkan target kinerja yang ingin dicapai dan biaya per unit keluaran;
Penghimpunan anggaran dari masing-masing satuan kerja menjadi RKA unit kerja eselon I dan RKA- KL. II. Formulir dan Petunjuk Pengisian RKA-KL Formulir yang digunakan dalam penyusunan RKA-KL adalah sebagai berikut: No. Kode dan Nama Formulir Informasi Pokok Penyusun 1 2 3 4 1. Formulir 1.1 Rincian Kegiatan dan Keluaran Satuan kerja, lokasi, program (dengan kode fungsi dan sub fungsi), kegiatan, indikator kinerja, sasaran keluaran (pada tahun berjalan dan tahun yang direncanakan), dan pelaksana kegiatan, baik yang dilakukan oleh kantor pusat atau kantor daerah. Satuan Kerja 2. Formulir 1.2 Rincian Anggaran Belanja Satuan Kerja, fungsi dan sub-fungsi, program, kegiatan, jumlah belanja masing-masing kegiatan untuk tahun anggaran berjalan, tahun yang direncanakan dan tahun berikutnya. Satuan Kerja 3. Formulir 1.3 Rincian Anggaran Belanja per Jenis Belanja Rincian anggaran belanja masing- masing kegiatan per jenis belanja dan sumber dana. Satuan Kerja 4. Formulir 1.4 Rincian Anggaran Pendapatan per MAP. Satuan Kerja, fungsi dan sub-fungsi, program, kelompok pendapatan, Mata Anggaran Penerimaan (MAP) mulai dari realisasi TA setahun yang lalu, sasaran tahun berjalan, TA yang direncanakan dan TA berikutnya. Satuan Kerja 5. Formulir 1.5 Rincian Perhitungan Biaya per Kegiatan Rincian Biaya dalam rangka menghitung biaya untuk masing- masing kegiatan dan sub kegiatan. Satuan Kerja No. Kode dan Nama Formulir Informasi Pokok Penyusun 6. Formulir 2.1 Rincian Kegiatan dan Keluaran Unit Organisasi, program (dengan kode fungsi dan sub fungsi), kegiatan, indikator kinerja, sasaran keluaran (pada tahun berjalan dan tahun yang direncanakan), dan pelaksana kegiatan, baik yang dilakukan oleh kantor pusat atau kantor daerah. Unit Organisasi 7. Formulir 2.2 Rincian Anggaran Belanja Unit Organisasi, sub-fungsi, program, kegiatan, jumlah belanja masing- masing kegiatan untuk tahun anggaran berjalan, tahun yang direncanakan dan tahun berikutnya. Unit Organisasi 8. Formulir 2.3 Rincian Anggaran Belanja per Jenis Belanja Unit Organisasi, sub-fungsi, program, kegiatan, rincian anggaran belanja untuk tahun anggaran yang direncanakan. Unit Organisasi 9. Formulir 2.4 Rincian Anggaran Belanja dan Pendapatan Unit Organisasi, sub-fungsi, program, kelompok pendapatan, Mata Anggaran Penerimaan (MAP) mulai dari realisasi TA setahun yang lalu, sasaran tahun berjalan, TA yang direncanakan dan TA berikutnya. Unit Organisasi 10. Formulir 3.1 Rincian Kegiatan dan Keluaran Kementerian Negara/Lembaga, Unit Organisasi, program (dengan kode fungsi dan sub fungsi), kegiatan, indikator kinerja, sasaran keluaran (pada tahun berjalan dan tahun yang direncanakan), dan pelaksana kegiatan, baik yang dilakukan oleh kantor pusat atau kantor daerah. Kementerian Negara/Lembaga 11. Formulir 3.2 Rincian Anggaran Belanja Kementerian Negara/Lembaga, Unit Organisasi, sub-fungsi, program, kegiatan, jumlah belanja masing- masing kegiatan untuk tahun anggaran berjalan, tahun yang direncanakan dan tahun berikutnya. Kementerian Negara/Lembaga 12. Formulir 3.3 Rincian Anggaran Belanja per Jenis Belanja Kementerian Negara/Lembaga, Unit Organisasi, sub-fungsi, program, kegiatan, rincian anggaran belanja untuk tahun anggaran yang direncanakan. Kementerian Negara/Lembaga No. Kode dan Nama Formulir Informasi Pokok Penyusun 13. Formulir 3.4 Rincian Anggaran Belanja dan Pendapatan Kementerian Negara/Lembaga, Unit Organisasi, sub-fungsi, program, kelompok pendapatan, Mata Anggaran Penerimaan (MAP) mulai dari realisasi TA setahun yang lalu, sasaran tahun berjalan, TA yang direncanakan dan TA berikutnya. Kementerian Negara/Lembaga Arus dokumen dalam penyusunan RKA-KL adalah sebagai berikut: No. Keterangan Kementerian Negara/ Lembaga Unit Kerja Eselon I Unit operasional (Eselon II dan Eselon III) 1 2 3 4 5 1. Formulir 1.5 2. Formulir 1.1 3. Formulir 1.2 4. Formulir 1.3 5. Formulir 1.4 6. Formulir 2.1 7. Formulir 2.2 8. Formulir 2.3 9.. Formulir 2.4 10. Formulir 3.1 11. Formulir 3.2 12. Formulir 3.3 13. Formulir 3.4 Pengisian formulir dimulai dengan masing-masing Satuan Kerja mengisi Formulir 1.1 (Rincian Kegiatan dan Keluaran untuk Satuan Kerja) kemudian mengisi Formulir 1.2 (Rincian Anggaran Belanja Satuan Kerja), Formulir 1.3 (Rincian Anggaran Belanja per Jenis Belanja) dan Formulir 1.4 (Rincian Anggaran Pendapatan per MAP). Untuk mengisi alokasi biaya untuk masing-masing kegiatan pada Formulir 1.2 dan 1.3 perlu membuat perhitungan sesuai dengan Formulir 1.5 . Selanjutnya untuk masing-masing organisasi tingkat Eselon I dan kementerian negara/lembaga tinggal menjumlahkan sesuai dengan urutan diagram di atas. Pengisian masing-masing formulir adalah sebagai berikut: Formulir 1.1 1. Header diisi dengan:
Nama dan kode satuan kerja (termasuk kode kementerian negara/lembaga dan kode unit unit organisasi).
Nama dan kode lokasi (termasuk kode propinsi dan kabupaten/kota).
Nama dan kode program (termasuk kode fungsi dan sub fungsi).
Sasaran program, yaitu uraian tentang hasil ( outcome ) yang menjadi sasaran program.
Kolom 1 diisi dengan nomor masing-masing kegiatan dan sub nomor untuk masing-masing indikator keluaran dari kegiatan dimaksud.
Kolom 2 diisi dengan nama masing-masing kegiatan dan indikator keluaran dari kegiatan dimaksud.
Kegiatan adalah sekumpulan tindakan pengerahan sumberdaya baik yang berupa personil (sumberdaya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumberdaya tersebut sebagai masukan ( input) untuk menghasilkan keluaran ( output ) dalam bentuk barang/ jasa. Contoh Nama Kegiatan: - Administrasi Umum. - Peningkatan Efisiensi Pengeluaran Negara.
Indikator Keluaran adalah sesuatu yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan berupa barang atau jasa. Contoh Indikator Keluaran : - Pelayanan Administrasi Umum. - Penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM).
Kolom 3 diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan. Contoh Satuan Keluaran : - Orang (yang dilayani). - Km (jalan yang yang diperbaiki). - Buah (Surat ijin yang diterbitkan).
Kolom 4 sampai dengan Kolom 7 diisi dengan sasaran keluaran yaitu jumlah atau kuantitas yang hendak dicapai oleh Satuan Kerja pada TA tertentu.
Kolom 4 diisi dengan sasaran keluaran yang telah dicapai oleh Satuan Kerja pada tahun 200X-2 atau 2 tahun sebelum tahun yang direncanakan.
Kolom 5 diisi dengan sasaran keluaran atau kuantitas yang akan dicapai oleh Satuan Kerja pada tahun 200X-1 atau setahun sebelum tahun yang direncanakan.
Kolom 6 diisi dengan sasaran keluaran atau kuantitas yang akan dicapai oleh Satuan Kerja pada tahun 200X atau tahun yang direncanakan.
Kolom 7 diisi dengan sasaran keluaran atau kuantitas yang akan dicapai oleh Satuan Kerja pada tahun 200X+1 atau setahun setelah tahun yang direncanakan.
Kolom 8 diisi dengan tingkat kewenangan pelaksanaan kegiatan dimaksud, yaitu a. KP untuk Kantor Pusat.
KD untuk Kantor Daerah (Instansi Pusat di daerah).
DK untuk Dekonsentrasi.
TP untuk Tugas Pembantuan.
Kolom 9 diisi dengan kode lokasi tempat kegiatan dilaksanakan.
Kolom 10 diisi dengan pejabat pelaksana kegiatan yang bertanggung jawab atas penyelesaian kegiatan atau pencapaian keluaran. Formulir 1.2 1. Header diisi dengan :
Nama dan kode satuan kerja (termasuk kode kementerian negara/lembaga dan kode unit unit organisasi).
Nama dan kode lokasi (termasuk kode propinsi dan kabupaten/kota).
Nama dan kode program (termasuk kode fungsi dan sub fungsi).
Kolom 1 diisi dengan kode kegiatan.
Kolom 2 diisi dengan uraian kegiatan yang dilaksanakan.
Kolom 3 diisi dengan jumlah realisasi anggaran untuk kegiatan dimaksud pada 2 tahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-2).
Kolom 4 diisi dengan jumlah anggaran untuk kegiatan dimaksud pada tahun anggaran yang berjalan atau setahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-1).
Kolom 5 s.d. Kolom 7 diisi diisi dengan jumlah anggaran untuk kegiatan dimaksud pada tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X), dengan rincian :
Kolom 5 diisi dengan jumlah dana yang telah ditetapkan atau disepakati tahun anggaran sebelumya (Prakiraan Maju TA 200X-1).
Kolom 6 diisi dengan perubahan yaitu perkiraan biaya atas pengaruh inflasi/deflasi, tambahan ataupun pengurangan atas perubahan kapasitas atas program dan kegiatan, ataupun tambahan atau pengurangan atas perubahan program dan kegiatan setelah dilakukan evaluasi program dan kegiatan.
Kolom 7 diisi dengan jumlah kumulatif kolom 5 dan kolom 6.
Kolom 8 diisi sumber dana membiayai jumlah belanja tersebut pada kolom 7, yaitu Rupiah Murni (RM), Pinjaman Luar Negeri (PLN) atau Hibah Luar Negeri (HLN).
Kolom 9 diisi dengan Prakiraan Maju TA 200X+1, yaitu jumlah perkiraan biaya untuk melaksanakan program dan kegiatan sesuai dengan perkiraan kapasitas tahun yang akan datang (TA 200X+1) dengan perkiraan biaya tahun berjalan.
Kolom 10 diisi sumber dana membiayai jumlah belanja tersebut pada kolom 9, yaitu Rupiah Murni (RM), Pinjaman Luar Negeri (PLN) atau Hibah Luar Negeri (HLN). Formulir 1.3 1. Header diisi dengan:
Nama dan kode satuan kerja (termasuk kode kementerian negara/lembaga dan kode unit unit organisasi).
Nama dan kode lokasi (termasuk kode propinsi dan kabupaten/kota).
Nama dan kode program (termasuk kode fungsi dan sub fungsi).
Kolom 1 diisi dengan kode kegiatan.
Kolom 2 diisi dengan uraian kegiatan yang dilaksanakan.
Kolom 3 s.d. Kolom 9 diisi dengan jumlah biaya untuk melaksanakan masing-masing program dan kegiatan yang dirinci berdasarkan jenis belanja. Perhitungan biaya masing-masing program dan kegiatan untuk tiap jenis belanja disesuaikan dengan Formulir 1.5.
Kolom 3 diisi dengan jumlah belanja pegawai yang sudah mengikat, yaitu untuk pembayaran gaji dan tunjangan.
Kolom 4 diisi dengan jumlah belanja pegawai yang tidak mengikat, yaitu untuk pembayaran honor, lembur dan lain-lain belanja pegawai.
Kolom 5 diisi dengan jumlah belanja barang yang sudah mengikat, sebagai contoh biaya langganan daya dan jasa serta pengeluaran lain yang tidak dapat dihindarkan untuk dibiayai.
Kolom 6 diisi dengan jumlah belanja barang yang tidak mengikat, yaitu untuk pembayaran belanja barang dan jasa selain tersebut pada kolom5.
Kolom 7 dan 8 masing-masing diisi dengan belanja modal dan bantuan sosial yang tidak mengikat.
Kolom 9 diisi dengan jumlah belanja dari kolom 3 sampai dengan kolom 8.
Kolom 10 diisi sumber dana membiayai jumlah belanja tersebut pada kolom 9, yaitu Rupiah Murni (RM), Pinjaman Luar Negeri (PLN) atau Hibah Luar Negeri (HLN).
Kolom 11 diisi dengan tingkat kewenangan penggunaan dana sebagaimana tersebut pada kolom 9. Cara pengisian sama dengan Formulir 1.5 kolom 8.
Kolom 12 diisi dengan keterangan lain yang diperlukan. Formulir 1.4 1. Header diisi dengan :
Nama dan kode satuan kerja (termasuk kode kementerian negara/lembaga dan kode unit unit organisasi).
Nama dan kode lokasi (termasuk kode propinsi dan kabupaten/kota).
Nama dan kode program (termasuk kode fungsi dan sub fungsi).
Kolom 1 diisi dengan kode kegiatan.
Kolom 2 diisi dengan uraian kegiatan, kelompok pendapatan, sub kelompok pendapatan dan Mata Anggaran Penerimaan (MAP) yang akan menjadi penerimaan negara pada kegiatan dimaksud.
Kolom 3 diisi dengan jumlah realisasi pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada 2 tahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-2).
Kolom 4 diisi dengan jumlah sasaran pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada setahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-1) atau tahun berjalan.
Kolom 5 diisi dengan jumlah estimasi pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X).
Kolom 6 diisi dengan jumlah estimasi pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada satu tahun setelah yang tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X+1).
Kolom 7 diisi dengan keterangan tambahan yang diperlukan. Formulir 1.5 1. Header diisi dengan:
Nama dan kode satuan kerja (termasuk kode kementerian negara/lembaga dan kode unit unit organisasi).
Nama dan kode lokasi (termasuk kode propinsi dan kabupaten/kota).
Nama dan kode program (termasuk kode fungsi dan sub fungsi).
Kolom 1 diisi dengan kode yang sesuai dengan komlom 2, seperti kode kegiatan, kode sub kegiatan, kode jenis belanja dan kode jenis pengeluaran.
Kolom 2 diisi dengan uraian yang sesuai, yaitu kegiatan, sub kegiatan, jenis belanja dan jenis pengeluaran.
Nama kegiatan sebagaimana tersebut pada Formulir 1.1 kolom 2.
Sub Kegiatan merupakan bagian dari kegiatan yang mempunyai pelaksana tersendiri di bawah kontrol pelaksana kegiatan.
Jenis Belanja diisi dengan nama jenis belanja sebagaimana Klasifikasi Anggaran menunut Jenis Belanja terlampir.
Jenis perhitungan biaya untuk masing-masing jenis belanja dan/atau pengeluaran yang pengeluaran adalah rincian lebih lanjut dari Jenis Belanja.
Kolom 3 penyediaan biaya untuk masing-masing jenis belanja dan/atau pengeluaran pada tahun anggaran berjalan.
Kolom 4,5 dan 6 direncanakan pada tahun anggaran yang direncanakan.
Kolom 4 diisi dengan volume masukan yang dibutuhkan.
Kolom 5 diisi dengan harga satuan atau indeks biaya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku untuk masing-masing masukan.
Kolom 6 diisi dengan biaya pada masing-masing jenis belanja dan atau jenis pengeluaran (perkalian kolom 4 dengan kolom 5).
Kolom 7 diisi dengan sumber dana dan cara penarikan dana yang digunakan untuk membiayai perhitungan biaya tersebut pada kolom 6, yaitu:
Untuk Sumber dana diisi dengan : Rupiah Murni (RM) atau Pinjaman Luar Negeri (PLN) dan Hibah Luar Negeri (HLN).
Untuk Cara Penarikan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri diisi dengan: PL (Pembayaran Langsung), RK (Rekening Khusus) atau PP (Pembiayaan Pendahuluan). Sedangkan untuk Rupiah Murni dikosongkan.
Kolom 8 diisi dengan tingkat kewenangan penggunaan dana sebagaimana tersebut pada kolom 6, yaitu:
KP untuk Kantor Pusat.
KD untuk Kantor Daerah (Instansi Pusat di daerah).
DK untuk Dekonsentrasi.
TP untuk Tugas Perbantuan.
Kolom 9 diisi perhitungan biaya untuk masing-masing jenis belanja dan/atau pengeluaran yang dilakukan pada tahun anggaran berikutnya.
Kolom 10 diisi dengan sumber dana dan cara penarikan yang digunakan untuk membiayai perhitungan biaya tersebut pada kolom 9. Cara pengisian sama dengan kolom 7.
Kolom 11 diisi dengan tingkat kewenangan penggunaan dana sebagaimana tersebut pada kolom 9. Cara pengisian sama dengan kolom 8. Formulir 2.1 1. Header diisi dengan:
Nama dan kode Unit Organisasi (termasuk kode kementerian negara/lembaga).
Nama dan kode Sub Fungsi (termasuk kode fungsi).
Nama dan kode program (termasuk kode fungsi dan sub fungsi).
Sasaran program, yaitu uraian tentang hasil ( outcome ) yang menjadi sasaran program.
Kolom 1 diisi dengan nomor masing-masing kegiatan dan sub nomor untuk masing-masing indikator keluaran dari kegiatan dimaksud.
Kolom 2 diisi dengan nama masing-masing kegiatan dan indikator keluaran dari kegiatan dimaksud. Cara pengisian sama dengan Formulir 1.1 kolom 2.
Kolom 3 diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan.
Kolom 4 sampai dengan Kolom 7 diisi dengan sasaran keluaran yaitu jumlah atau kuantitas yang hendak dicapai oleh Unit Organisasi pada TA tertentu.
Kolom 4 diisi dengan sasaran keluaran yang telah dicapai pada tahun 200X-2 atau 2 tahun sebelum tahun yang direncanakan.
Kolom 5 diisi dengan sasaran keluaran atau kuantitas yang akan dicapai oleh Unit Organisasi pada tahun 200X-1 atau pada tahun anggaran berjalan.
Kolom 6 diisi dengan sasaran keluaran atau kuantitas yang akan dicapai oleh Unit Organisasi pada tahun 200X atau tahun yang direncanakan.
Kolom 7 diisi dengan sasaran keluaran atau kuantitas yang akan dicapai oleh Unit Organisasi pada tahun 200X+1 atau setahun setelah tahun yang direncanakan.
Kolom 8 diisi dengan keterangan tambahan. Formulir 2.2 1. Header diisi dengan :
Nama dan kode Unit Organisasi (termasuk kode kementerian negara/lembaga).
Nama dan kode program (termasuk kode fungsi dan sub fungsi).
Kolom 1 diisi dengan kode program dan kegiatan.
Kolom 2 diisi dengan uraian program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Unit Organisasi.
Kolom 3 diisi dengan jumlah realisasi anggaran untuk kegiatan dimaksud pada 2 tahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-2).
Kolom 4 diisi dengan jumlah anggaran untuk kegiatan dimaksud pada tahun anggaran yang berjalan atau setahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-1).
Kolom 5 s.d. Kolom 7 diisi diisi dengan jumlah anggaran untuk kegiatan dimaksud pada tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X), dengan rincian :
Kolom 5 diisi dengan jumlah dana yang telah ditetapkan atau disepakati tahun anggaran sebelumya (Prakiraan Maju TA 200X-1).
Kolom 6 diisi dengan perubahan yaitu perkiraan biaya atas pengaruh inflasi/deflasi, tambahan ataupun pengurangan atas perubahan kapasitas atas program dan kegiatan, ataupun tambahan atau pengurangan atas perubahan program dan kegiatan setelah dilakukan evaluasi program dan kegiatan.
Kolom 7 diisi dengan jumlah kumulatif kolom 5 dan kolom 6.
Kolom 8 diisi sumber dana membiayai jumlah belanja tersebut pada kolom 7, yaitu Rupiah Murni (RM), Pinjaman Luar Negeri (PLN) atau Hibah Luar Negeri (HLN).
Kolom 9 diisi Kolom 8 diisi dengan tingkat kewenangan penggunaan dana, yaitu:
KP untuk Kantor Pusat.
KD untuk Kantor Daerah (Instansi Pusat di daerah).
DK untuk Dekonsentrasi.
TP untuk Tugas Perbantuan.
Kolom 10 diisi dengan Prakiraan Maju TA 200X+1, yaitu jumlah perkiraan biaya untuk melaksanakan program dan kegiatan sesuai dengan perkiraan kapasitas tahun yang akan datang (TA 200X+1) dengan perkiraan biaya tahun berjalan. Formulir 2.3 1. Header diisi dengan :
Nama dan kode Unit Organisasi (termasuk kode kementerian negara/lembaga.
Nama dan kode program (termasuk kode fungsi dan sub fungsi).
Kolom 1 diisi dengan kode program dan kegiatan.
Kolom 2 diisi dengan uraian program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Unit Organisasi.
Kolom 3 s.d. Kolom 9 diisi dengan jumlah biaya untuk melaksanakan masing-masing program dan kegiatan yang dirinci berdasarkan jenis belanja. Perhitungan biaya masing-masing program dan kegiatan untuk tiap jenis belanja disesuaikan dengan Formulir 1.5.
Kolom 3 diisi dengan jumlah belanja pegawai yang sudah mengikat, yaitu untuk pembayaran gaji dan tunjangan.
Kolom 4 diisi dengan jumlah belanja pegawai yang tidak mengikat, yaitu untuk pembayaran honor, lembur dan lain-lain belanja pegawai.
Kolom 5 diisi dengan jumlah belanja barang yang sudah mengikat, sebagai contoh biaya langganan daya dan jasa serta pengeluaran lain yang tidak dapat dihindarkan untuk dibiayai.
Kolom 6 diisi dengan jumlah belanja barang yang tidak mengikat, yaitu untuk pembayaran belanja barang dan jasa selain tersebut pada kolom5.
Kolom 7 dan 8 masing-masing diisi dengan belanja modal dan bantuan sosial yang tidak mengikat.
Kolom 9 diisi dengan jumlah belanja dari kolom 3 sampai dengan kolom 8.
Kolom 10 diisi sumber dana membiayai jumlah belanja tersebut pada kolom 9, yaitu Rupiah Murni (RM), Pinjaman Luar Negeri (PLN) atau Hibah Luar Negeri (HLN).
Kolom 11 diisi dengan tingkat kewenangan penggunaan dana sebagaimana tersebut pada kolom 9. Cara pengisian sama dengan Formulir 1.5 kolom 8.
Kolom 12 diisi dengan keterangan lain yang diperlukan. Formulir 2.4 1. Header diisi dengan :
Nama dan kode satuan kerja (termasuk kode kementerian negara/lembaga dan kode unit unit organisasi).
Nama dan kode fungsi dan sub fungsi.
Kolom 1 diisi dengan kode program dan kode kegiatan.
Kolom 2 diisi dengan uraian program, kegiatan, kelompok pendapatan, sub kelompok pendapatan dan Mata Anggaran Penerimaan (MAP) yang akan menjadi penerimaan negara pada program dan kegiatan dimaksud.
Kolom 3 diisi dengan jumlah realisasi pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada 2 tahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-2).
Kolom 4 diisi dengan jumlah sasaran pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada setahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-1) atau tahun berjalan.
Kolom 5 diisi dengan jumlah estimasi pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X).
Kolom 6 diisi dengan jumlah estimasi pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada satu tahun setelah yang tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X+1).
Kolom 7 diisi dengan keterangan tambahan yang diperlukan. Formulir 3.1 1. Header diisi dengan:
Nama dan kode kode kementerian negara/lembaga.
Nama dan kode Sub Fungsi (termasuk kode fungsi).
Nama dan kode program (termasuk kode fungsi dan sub fungsi).
Sasaran program, yaitu uraian tentang hasil ( outcome ) yang menjadi sasaran program.
Kolom 1 diisi dengan nomor masing-masing kegiatan dan sub nomor untuk masing-masing indikator keluaran dari kegiatan dimaksud.
Kolom 2 diisi dengan nama masing-masing kegiatan dan indikator keluaran dari kegiatan dimaksud. Cara pengisian sama dengan Formulir 1.1 kolom 2.
Kolom 3 diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan.
Kolom 4 sampai dengan Kolom 7 diisi dengan sasaran keluaran yaitu jumlah atau kuantitas yang hendak dicapai oleh Unit Organisasi pada kementerian negara/lembaga pada TA tertentu.
Kolom 4 diisi dengan sasaran keluaran yang telah dicapai pada tahun 200X-2 atau 2 tahun sebelum tahun yang direncanakan.
Kolom 5 diisi dengan sasaran keluaran atau kuantitas yang akan dicapai oleh Unit Organisasi pada tahun 200X-1 atau pada tahun anggaran berjalan.
Kolom 6 diisi dengan sasaran keluaran atau kuantitas yang akan dicapai oleh Unit Organisasi pada tahun 200X atau tahun yang direncanakan.
Kolom 7 diisi dengan sasaran keluaran atau kuantitas yang akan dicapai oleh Unit Organisasi pada tahun 200X+1 atau setahun setelah tahun yang direncanakan.
Kolom 8 diisi dengan keterangan tambahan. Formulir 3.2 1. Header diisi dengan nama dan kode kementerian negara/lembaga.
Kolom 1 diisi dengan kode unit organisasi, program dan kegiatan.
Kolom 2 diisi dengan nama unit organisasi, uraian program dan kegiatan.
Kolom 3 diisi dengan jumlah realisasi anggaran untuk kegiatan dimaksud pada 2 tahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-2).
Kolom 4 diisi dengan jumlah anggaran untuk kegiatan dimaksud pada tahun anggaran yang berjalan atau setahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-1).
Kolom 5 s.d. Kolom 7 diisi diisi dengan jumlah anggaran untuk kegiatan dimaksud pada tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X), dengan rincian :
Kolom 5 diisi dengan jumlah dana yang telah ditetapkan atau disepakati tahun anggaran sebelumya (Prakiraan Maju TA 200X-1).
Kolom 6 diisi dengan perubahan yaitu perkiraan biaya atas pengaruh inflasi/deflasi, tambahan ataupun pengurangan atas perubahan kapasitas atas program dan kegiatan, ataupun tambahan atau pengurangan atas perubahan program dan kegiatan setelah dilakukan evaluasi program dan kegiatan.
Kolom 7 diisi dengan jumlah kumulatif kolom 5 dan kolom 6.
Kolom 8 diisi sumber dana membiayai jumlah belanja tersebut pada kolom 7, yaitu Rupiah Murni (RM), Pinjaman Luar Negeri (PLN) atau Hibah Luar Negeri (HLN).
Kolom 9 diisi Kolom 8 diisi dengan tingkat kewenangan penggunaan dana, yaitu:
KP untuk Kantor Pusat.
KD untuk Kantor Daerah (Instansi Pusat di daerah).
DK untuk Dekonsentrasi.
TP untuk Tugas Perbantuan.
Kolom 10 diisi dengan Prakiraan Maju TA 200X+1, yaitu jumlah perkiraan biaya untuk melaksanakan program dan kegiatan sesuai dengan perkiraan kapasitas tahun yang akan datang (TA 200X+1) dengan perkiraan biaya tahun berjalan. Formulir 3.3 1. Header diisi dengan nama dan kode kementerian negara/lembaga.
Kolom 1 diisi dengan kode unit organisasi, program dan kegiatan.
Kolom 2 diisi dengan nama unit organisasi, uraian program dan kegiatan.
Kolom 3 s.d. Kolom 9 diisi dengan jumlah biaya untuk melaksanakan masing-masing program dan kegiatan yang dirinci berdasarkan jenis belanja. Perhitungan biaya masing-masing program dan kegiatan untuk tiap jenis belanja disesuaikan dengan Formulir 1.5.
Kolom 3 diisi dengan jumlah belanja pegawai yang sudah mengikat, yaitu untuk pembayaran gaji dan tunjangan.
Kolom 4 diisi dengan jumlah belanja pegawai yang tidak mengikat, yaitu untuk pembayaran honor, lembur dan lain-lain belanja pegawai.
Kolom 5 diisi dengan jumlah belanja barang yang sudah mengikat, sebagai contoh biaya langganan daya dan jasa serta pengeluaran lain yang tidak dapat dihindarkan untuk dibiayai.
Kolom 6 diisi dengan jumlah belanja barang yang tidak mengikat, yaitu untuk pembayaran belanja barang dan jasa selain tersebut pada kolom 5.
Kolom 7 dan 8 masing-masing diisi dengan belanja modal dan bantuan sosial yang tidak mengikat.
Kolom 9 diisi dengan jumlah belanja dari kolom 3 sampai dengan kolom 8.
Kolom 10 diisi sumber dana membiayai jumlah belanja tersebut pada kolom 9, yaitu Rupiah Murni (RM), Pinjaman Luar Negeri (PLN) atau Hibah Luar Negeri (HLN).
Kolom 11 diisi dengan tingkat kewenangan penggunaan dana sebagaimana tersebut pada kolom 9. Cara pengisian sama dengan Formulir 1.5 kolom 8.
Kolom 12 diisi dengan keterangan lain yang diperlukan. Formulir 3.4 1. Header diisi dengan nama dan kode kementerian negara/lembaga.
Kolom 1 diisi dengan kode Unit Organisasi, kode program dan kode kegiatan.
Kolom 2 diisi dengan nama Unit Organisasi, uraian program, kegiatan, kelompok pendapatan, sub kelompok pendapatan dan Mata Anggaran Penerimaan (MAP) yang akan menjadi penerimaan negara pada program dan kegiatan dimaksud.
Kolom 3 diisi dengan jumlah realisasi pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada 2 tahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-2).
Kolom 4 diisi dengan jumlah sasaran pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada setahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-1) atau tahun berjalan.
Kolom 5 diisi dengan jumlah estimasi pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X).
Kolom 6 diisi dengan jumlah estimasi pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada satu tahun setelah yang tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X+1).
Kolom 7 diisi dengan keterangan tambahan yang diperlukan. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1994/1995
Relevan terhadap
Ayat (1) (dalam rupiah) Penerimaan pajak sebesar Rp 33.991.900.000.000,00 dari: 0110 Pajak penghasilan (PPh) 18.842.900.000.000,00 0120 Pajak pertambahan nilai (PPN) 13.238.600.000.000,00 0130 Pajak lainnya 281.700.000.000,00 0134 Bea meterai 261.700.000.000,00 0135 Bea lelang 20.000.000.000,00 0140 Pajak Bumi dan bangunan (PBB) 1.628.700.000.000,00 Penerimaaan bea masuk dan cukai sebesar Rp.6.066.100.000.000,00 terdiri dari : 0210 Penerimaan bea masuk 3.443.300.000.000,00 0220 Penerimaan cukai 2.622.800.000.000,00 0221 Cukai tembakau 2.463.700.000.000,00 0222 Cukai gula 81.000.000.000,00 0223 Cukai bir 57.000.000.000,00 0224 Cukai alkohol sulingan 21.100.000.000,00 Penerimaan lain-lain sebesar Rp.15.386.600.000.000,00 terdiri dari : 0311 Penerimaan minyak bumi dan gas alam 12.851.200.000.000,00 0314 Pajak ekspor, pungutan ekspor 16.400.000.000,00 0315 Penerimaan dari laba bersih minyak 2.519.000.000.000,00 Penerimaan… Penerimaan bukan pajak sebesar Rp. 4.292.500.000.000,00 terdiri dari : 0320 Penerimaan bukan pajak, di luar negeri 17.500.000.000,00 0330 Penerimaan khusus 2.350.000.000.000,00 0331 Penerimaan khusus pembagian laba dari perusahaan negara bank pemerintah, BUMN 1.550.000.000.000,00 0332 Penerimaan lain-lain (penerimaan kembali pinjaman) 800.000.000.000,00 0410 Penerimaan pendidikan 261.877.200.000,00 0411 Uang pendidikan 259.141.200.000,00 0412 Uang ujian masuk,kenaikan tingkat, akhir pendidikan 2.736.000.000,00 0510 Penerimaan penjualan 33.972.700.000,00 0511 Penjualan hasil pertanian, perkebuna 890.000.000,00 0512 Penjualan hasil peternakan 2.711.000.000,00 0513 Penjualan hasil perikanan 500.000.000,00 0514 Penjualan sitaan, rampasan 7.888.000.000,00 0515 Penjualan rumah, tanah 327.000.000,00 0516 Penjualan barang yang telah dihapuskan, yang lebih, yang rusak 1.418.600.000,00 0517 Penjualan obat-obatan vaksin,hasil farmasi lainnya 743.000.000,00 0518 Penjualan penerbitan,potret, film, poster,gambar, peta 493.500.000,00 0519 Penjualan… 0519 Penjualan dokumen-dokumen pelelangan 6.257.100.000,00 0521 Penjualan kendaraan bermotor 123.500.000,00 0522 Penjualan sewa beli 11.000.000.000,00 0523 Penjualan lain-lain 1.621.000.000,00 0600 Penerimaan sewa dan jasa 1.166.726.700.000,00 0610 Penerimaan sewa 14.797.400.000,00 0611 Sewa rumah negeri, rumah dinas 4.527.900.000,00 0612 Sewa gedung 1.997.500.000,00 0613 Sewa benda-benda tak bergerak lainnya 574.000.000,00 0614 Sewa benda-benda bergerak (alat-alat berat,kendaraan bermotor 7.581.000.000,00 0615 Sewa lainnya 117.000.000,00 0620 Penerimaan jasa 1.151.929.300.000,00 0621 Penerimaan rumah sakit, dan instansi kesehatan lainnya 58.024.000.000,00 0622 Penerimaan tempat hiburan, taman, museum 1.390.000.000,00 0623 Pemberian surat keterangan 56.240.000.000,00 0624 Penerimaan sertifikat pendaftaran tanah 28.000.000.000,00 0625 Pemberian hak dan perijinan 150.159.000.000,00 0626 Penerimaan sensor,karantina pengawasan,pemeriksaan 6.754.000.000,00 0627 Penerimaan jasa tenaga,jasa pekerjaan 89.051.000.000,00 0628 Penerimaan… 0628 Penerimaan jasa dalam urusan nikah,talak,cerai dan rujuk (NTCR) 15.500.000.000,00 0629 Penerimaan jasa bandar udara dan pelabuhan 17.404.000.000,00 0630 Penerimaan jasa lembaga keuangan (jasa giro) 69.788.800.000,00 0631 Penerimaan iuran hasil hutan,laut,royalti,denda 605.984.000.000,00 0632 Penerimaan iuran lelang untuk fakir miskin 1.500.000.000,00 0633 Penerimaan jasa kantor catatan sipil 11.600.000.000,00 0634 Penerimaan biaya penagihan pajak-pajak negara dengan surat paksa 1.000.000.000,00 0635 Penerimaan jasa lainnya 39.534.500.000,00 0710 Penerimaan kejaksaan dan peradilan 13.639.000.000,00 0711 Legalisasi,tanda tangan 3.534.500.000,00 0712 Pengesahan surat di bawah tangan 15.000.000,00 0713 Uang meja (leges) 750.000.000,00 0714 Hasil denda,denda tilang 6.500.000.000,00 0715 Ongkos perkara 820.000.000,00 0716 Penerimaan kejaksaan dan peradilan lainnya 2.200.000.000,00 0800 Penerimaan kembali dan penerimaan lain-lain 448.784.400.000,00 0810 Penerimaan… 0810 Penerimaan kembali tahun anggaran yang lalu 229.900.000,00 0811 Penerimaan kembali kelebihan pembayaran, terlanjur membayar belanja pegawai tahun anggaran yang lalu (bukan gaji PNS DO berdasarkan SPMU-DO) 229.900.000,00 0830 Penerimaan lain-lain 448.554.500.000,00 0831 Penerimaan kembali porsekot, uang muka gaji 463.700.000,00 0832 Penerimaan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan 2.324.500.000,00 0833 Penerimaan ganti rugi atas kerugian yang di derita oleh negara 1.722.600.000,00 0834 Penerimaan anggaran rutin yang tidak digunakan (SIAR) 2.000.000.000,00 0835 Penerimaan anggaran pembangunan yang tidak digunakan (SIAP) 30.000.000.000,00 0836 Penerimaan anggaran lainnya 307.043.700.000,00 0837 Penerimaan kembali perhitungan sisa lebih subsidi gaji PNS daerah otonom berdasarkan SPM Nihil KPKN 100.000.000.000,00 0838 Penerimaan… 0838 Penerimaan kembali kelebihan pembayaran, terlanjur membayar gaji, pensiun daerah otonom (tanpa memandang tahun anggaran kapan penyetoran dilakukan) 3.000.000.000,00 0839 Penerimaan kembali pensiun daerah otonom 2.000.000.000,00 Ayat (2) Cukup jelas
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Pendapatan negara adalah semua penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan yang digunakan untuk membiayai belanja negara;
Penerimaan… 2. Penerimaan dalam negeri adalah semua penerimaan yang diterima negara dalam bentuk penerimaan pajak, penerimaan bea masuk dan cukai, penerimaan lain-lain, dan penerimaan bukan pajak;
Penerimaan pembangunan adalah penerimaan yang berasal dari nilai lawan rupiah bantuan dan atau pinjaman luar negeri;
Belanja negara adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan;
Pengeluaran rutin adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, baik pusat maupun daerah, serta untuk memenuhi kewajiban atas hutang dalam negeri dan luar negeri;
Pengeluaran Pembangunan adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai proyek-proyek pembangunan;
Sisa kredit anggaran adalah sisa kewajiban pembiayaan proyek pembangunan pada akhir tahun anggaran;
Sisa anggaran lebih adalah selisih antara realisasi pendapatan negara dan belanja negara;
Sektor adalah kumpulan Subsektor;
Subsektor adalah kumpulan program;
Bantuan program adalah nilai lawan rupiah dari bantuan dan/atau pinjaman luar negeri dalam bentuk pangan dan bukan pangan serta pinjaman yang dapat dirupiahkan;
Bantuan proyek adalah nilai lawan rupiah dari bantuan dan/atau pinjaman luar negeri yang digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan. Pasal 2…
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Relevan terhadap
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain :
tata cara penghitungan dan penyaluran bagian Daerah dari penerimaan Negara yang berasal dari pembagian Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, sektor pertambangan minyak dan gas alam, dan sektor perikanan untuk Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
rumus Dana Alokasi Umum yang memuat bobot Daerah Propinsi, bobot Daerah Kabupaten/Kota, mekanisme penyaluran bagian Daerah kepada Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Dana Alokasi Khusus yang memuat persentase minimum dana pendamping, sektor/kegiatan yang tdak dapat dibiayai, penggunaan Dana Alokasi Khusus, dan peranan menteri yang membidangi perencanaan pembangunan nasional dan menteri teknis terkait serta mekanisme penyaluran bagian Daerah kepada Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 11 Ayat (1) Pinjaman dalam negeri dapat bersumber dari Pemerintah Pusat dan/atau lembaga komersial dan/atau penerbitan obligasi Daerah. Ayat (2) Mekanisme pinjaman dari sumber luar negeri melalui Pemerintah Pusat mengandung pengertian bahwa Pemerintah Pusat akan melakukan evaluasi dari berbagai aspek mengenai dapat tidaknya usulan Pinjaman Daerah untuk diproses lebih lanjut. Dengan demikian pemrosesan lebih lanjut usulan Pinjaman Daerah secara tidak langsung sudah mencerminkan persetujuan Pemerintah Pusat atas usulan termaksud. Ayat (3) Yang dimaksud dengan pinjaman jangka panjang adalah Pinjaman Daerah dengan jangka waktu lebih dari satu tahun dengan persyaratan bahwa biaya pembayaran kembali pinjaman, berupa pokok pinjaman dan/atau bunga dan/atau semua biaya lain, sebagian atau seluruhnya akan dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Jangka waktu pinjaman jangka panjang tersebut tidak boleh melebihi umur ekonomis prasarana tersebut. Ayat (4) Yang dimaksud dengan pinjaman jangka pendek adalah Pinjaman Daerah dengan jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun dengan persyaratan bahwa biaya pembayaran kembali pinjaman, berupa pokok pinjaman dan/atau bunga dan/atau semua biaya lain, akan dilunasi seluruhnya dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Pasal 12 Ayat (1) Persetujuan DPRD terhadap usulan Pemerintah Daerah untuk mendapatkan pinjaman dilakukan secara seksama dengan mempertimbangkan, antara lain, kemampuan Daerah untuk membayar dan batas maksimum pinjaman. Ayat (2) Yang dimaksud dengan kemampuan Daerah untuk memenuhi kewajibannya adalah kemampuan Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran, baik atas kewajiban pinjaman tersebut maupun pengeluaran lainnya seperti gaji pegawai serta biaya operasional dan pemeliharaan. Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat keterbukaan dan pertanggungjawaban yang jelas kepada masyarakat tentang kewajiban pinjaman tersebut. Pasal 13 Ayat (1) Batas jumlah Pinjaman Daerah adalah jumlah pinjaman maksimum yang dapat diterima oleh Daerah dengan memperhatikan indikator kemampuan Daerah untuk meminjam maupun dalam pengembalian pinjaman, yaitu suatu rasio yang menunjukkan tersedianya sejumlah dana dalam periode waktu tertentu untuk menutup kewajiban pembayaran pinjaman. Ayat (2) Penjamin yang dimaksud pada ayat ini adalah penjamin Daerah terhadap antara lain pinjaman perusahaan milik Daerah dan pinjaman swasta dalam rangka pelaksanaan proyek Daerah. Ayat (3) Peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain, adalah Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Kepegawaian, Undang-undang Perbendaharaan Negara, dan KUHP. Pasal 14 Ayat (1) Dengan menempatkan kewajiban Daerah atas pinjaman Daerah sebagai salah satu prioritas dalam pengeluaran APBD, pemenuhan kewajiban termaksud diharapkan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan pengeluaran lain yang harus diprioritaskan Daerah, misalnya pengeluaran yang apabila tidak dilakukan dapat menimbulkan kerawanan sosial. Dengan demikian pemenuhan kewajiban atas pinjaman Daerah tidak dapat dikesampingkan apabila target penerimaan APBD tidak tercapai. Ayat (2) Pelaksanaan ketentuan ayat ini dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan keuangan Daerah.
Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pembayaran Pajak Penghasilan Bagi Orang Pribadi yang Bertolak Ke Luar Negeri
Relevan terhadap
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak berlaku bagi :
Anggota Korps Diplomatik, Pegawai Perwakilan Negara Asing, staf dari Badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, tenaga ahli dalam rangka kerjasama teknik, dan staf dari Badan/Organisasi Internasional yang mendapat persetujuan Pemerintah Republik Indonesia, sepanjang mereka bukan Warga Negara Indonesia dan di samping jabatan resmi tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha di Indonesia;
Anggota keluarga dan pembantu rumah tangga yang bukan War- ga Negara Indonesia dari mereka yang tersebut pada huruf a;
Pejabat Negara, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Pegawai Negeri Sipil yang bertolak ke luar negeri dalam rangka dinas yang menggunakan paspor dinas dan dilengkapi dengan surat tugas atau surat perjalanan ke luar negeri untuk setiap kali keberangkatan;
Anggota keluarga dari mereka yang tersebut pada huruf c dalam hal keberangkatannya ke luar negeri dalam rangka penempatan di luar negeri;
Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang mendapat tugas sebagai pasukan Perserikatan Bangsa Bangsa atau dalam rangka latihan bersama dengan pasukan negara lain di luar negeri;
Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tugas di bidang keamanan dan pelayanan pemerintahan di daerah perbatasan yang melaksanakan tugas dinas ke luar negeri dalam rangka kerjasama dengan Negara yang berbatasan;
Anggota… g. Anggota misi kesenian, misi olahraga dan misi keagamaan yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia ke luar negeri dengan persetujuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga atau Menteri Agama;
Petugas Imigrasi yang melakukan tugas pendataan keimigrasian di atas pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional;
Jemaah haji yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Departemen Agama dan petugas pelaksana pemberangkatan haji yang pembiayaannya dibebankan pada dan Ongkos Naik Haji;
Mahasiswa atau pelajar Indonesia yang akan belajar di luar negeri serta guru Indonesia dalam rangka program resmi pertukaran mahasiswa, pelajar atau guru yang diselenggarakan Pemerintah atau badan asing dengan persetujuan dari Menteri terkait;
Para pekerja Warga Negara Indonesia yang akan bekerja di luar negeri dalam rangka program pengiriman Tenaga Kerja Indonesia dengan persetujuan Menteri Tenaga Kerja;
Penduduk Indonesia yang bertempat tinggal tetap di daerah perbatasan yang melakukan perjalanan dinas batas wilayah Republik Indonesia dengan mempergunakan Pas Lintas Batas sesuai dengan perjanjian lintas batas dengan negara lain;
Penduduk Indonesia yang bertempat tinggal tetap di Pulau Batam yang mempunyai Kartu Tanda Penduduk yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang di pulau yang bersangkutan, sepanjang mereka telah dipotong Pajak Penghasilan oleh pemberi peng- hasilan atau telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan telah memenuhi kewajiban Pajak Penghasilannya pada Kantor Pelayanan Pajak Batam;
Orang… n. Orang asing yang berada di Indonesia dengan visa turis, visa transit, visa sosial budaya, visa kunjungan usaha dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia serta berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal tetap di luar negeri yang memiliki tanda pengenal resmi sebagai penduduk negeri tersebut dan tidak menerima atau memperoleh peng-hasilan dari Indonesia, sepanjang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka 12 (dua belas) bulan, dan pembebasan tersebut hanya diberikan untuk 2 (dua) kali dalam masa 1 (satu) tahun takwim;
Tenaga kerja warga negara asing pendatang yang bekerja di Pulau Batam, Pulau Bintan dan Pulau Karimun, sepanjang mereka telah dipotong Pajak Penghasilan oleh pemberi kerja;
Orang asing yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang tidak bermaksud menetap di Indonesia dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sepanjang atas penghasilan tersebut telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh pemberi penghasilan;
Mahasiswa atau pelajar asing yang berada di Indonesia dalam rangka belajar dengan rekomendasi dari pimpinan sekolah atau Perguruan tinggi yang bersangkutan dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia;
Orang… s. Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan penelitian di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan di bawah koordinasi Lembaga Imu Pengetahuan Indonesia atau lembaga resmi pemerintah lainnya serta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sepanjang tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia;
Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka pelaksanaan program kerjasama teknik dengan mendapat persetujuan Sekretariat Kabinet serta tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia;
Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan tugas sebagai anggota misi keagamaan di bawah koordinasi Departemen Agama dan misi kemanusiaan di bawah koordinasi Departemen Sosial;
Orang asing yang karena sesuatu hal diperintahkan oleh Peme-rintah Indonesia untuk meninggalkan wilayah Indonesia;
Awak dari pesawat terbang dan kapal laut serta kendaraan umum angkutan darat yang beroperasi di jalur internasional atau melakukan penerbangan, pelayaran dan operasi berdasarkan perjanjian carter pengangkutan;
Penyandang cacat atau orang sakit yang akan berobat ke luar negeri atas biaya organisasi sosial termasuk 1 (satu) orang pendamping, dengan persetujuan Menteri Kesehatan. Pasal 4…
Pembayaran Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah atau Tanah dan Bangunan. ...
Relevan terhadap
Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang pembayarannya bersumber dari Anggaran Belanja Negara atau Anggaran Belanja Daerah, dipungut Pajak Penghasilan oleh Bendaharawan atau pejabat yang berwenang melakukan pembayaran dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib menyetor Pajak Penghasilan yang telah dipungut ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum pelaksanaan pembayaran kepada Wajib Pajak yang berhak menerimanya.
Penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama Wajib Pajak yang menerima pembayaran.
Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan laporan kepada Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (1) Penemuan kewajiban PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari penghasilan hak atas tanah atau tanah dan bangunan yang dilakukan Wajib Pajak kepada Pemerintah. Yang pembayarannya bersumber dari Anggaran Belanja Negara atau ANggaran Belanja Daerah dilakukan melalui pemungutan PPh oleh Pejabat yang berwenang melakukan pembayaran tersebut. Penemuan kewajiban Pajak Penghasilan tersebut dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Ayat (2) dan Ayat (3) Pemungutan Pajak Penghasilan tersebut bukan merupakan pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, karena dikenakan bukan dalam rangka kegiatan usaha pokok Wajib Pajak, tetapi merupakan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25. Oleh karena itu dalam Surat Setoran Pajak (SSP) tetap dicantumkan nama, alamat dan Nomor Pajak Wajib Pajak NPWP) dari Wajib Pajak yang bersangkutan, dan bukan nama, alamat dan NPWP Pejabat pemungut. Penyetoran Pajak Penghasilan melalui Bank Persepsi maupun Kantor Pos dan Giro dilakukan sebelum pembayaran kepada pihak Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dilaksanakan. Asli SSP tersebut diberikan kepada penerima penghasilan bersamaan dengan pembayaran penghasilan yang bersangkutan. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 6…
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perseorangan dalam negeri dari :
pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan kepada Wajib Pajak lainnya, atau b. pengalihan hak atas tanah atau tanah dan bangunan kepada Pemerintah selain untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, atau c. pelepasan atau penyerahan hak atas tanah atau tanah dan bangunan kepada Pemerintah untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus, yang jumlah brutonya kurang dari Rp.60.000.000,-(enam puluh juta rupiah), Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan tidak wajib dibayar dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) atau tidak wajib dipungut dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perseorangan dalam negeri dari pelepasan atau penyerahan hak atas tanah atau tanah dan bangunan kepada Pemerintah dengan ganti rugi yang akan dipergunakan untuk kepentingan umum yang pembangunannya memerlukan persyaratan khusus dan dananya bersumber dari Anggaran Belanja Negara atau Anggaran Belanja Daerah, Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan tidak wajib dipungut dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). Pasal 3…
Bank Umum
Relevan terhadap
Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) diajukan sekurang- kurangnya oleh direksi dan wajib dilampiri dengan: 7 K: 1vuL.u~.; Hi M.~ri~e!": f ; i: -: ,~,.~, .... i.~"": Nomu..: : 220/i.HK.. 017 / 1 'J9-3 . Ta .. ,g 51 iJ.l 2.b F1Phrunr: l 1·n3 MENTERI KEUANGAN a .. anggaran dasar/akta pendirian yang telah b .. disahkan oleh instansi yang berwe~ang; daftar pemegang sahara berikut rincian penyertaan masing-rnasing bagi Bank Umum yang berbentuk hukum Perusahaan Perseroan (PERSERO), Perusahaan Daerah dan Perseroan Terbatas, atau daftar anggota berikut penjelasan jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib serta daftar pihak yang melakukan penyertaan berikut jumlah penyertaannya bagi Bank Umum yang berbentuk hukum Koperasi, disertai dengan berkas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2);
daftar susunan direksi dan dewan komisaris disertai dengan:
pas foto terakhir ukuran 4 x 6 cm;
contoh tanda tangan dan paraf;
berkas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;
. susunan organisasi beserta sistem dan prosedur kerja, termasuk susunan personalianya;
bukti pelunasan modal disetor minimum, dalam bentuk fotocopy bilyet deposi-:
o atas nama "Menteri Keuangan q .. q .. salab seorang pemilik Bank Umum yang bersangkutan ^11 pada Bank Umum di Indonesia, dengan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Keuangan dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran; 8 MENTERI KEUANGAN le,-tuultallterilaaaan Jollor a 220/Dll.017/1ff3 Tagal I 26 1wnui 199J f. bukt.i kesiapan operasi.onal. lainnya antara lain berupa:
daftar aktiva tetap dan inventaris;
bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa-menyewa gedung kantor;
foto gedung kantor dan tata letak ruangan;
contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional Bank Umum;
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
surat pernyataan tidak merangkap jabatan sebagai anggota direksi atau jaba: : an eksekuti.f lainnya pada perusahaan lain bagi anggota direksi;
surat pernyataan dari anggota direksi dan anggota dewan komisaris bahwa yang bersangkutan mempunyai atau tidak mempunyai hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan anggota direksi dan anggota dewan komisaris lainnya;
surat pernyataan dari anggota direksi bahwa yang bersangkutan baik secara. sendiri-sendiri maupun bersama-sama tidak memiliki saham melebihi 25% ( dua puluh l.ima per seratus) pada suatu perusahaan lain. 9 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 220/KMK.017/1993 Tanggal: 26 Februari 1993 MENTERI KEUANGAN
Pajak Bumi dan Bangunan.
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tangal 27 Desember 1985 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TTD SOEHARTO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 68 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1985 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN I. UMUM Dalam Negara Republik Indonesia yang kehidupan rakyat dan perekonomiannya sebagian besar bercorak agraris, bumi termasuk perairan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya mempunyai fungsi penting dalam membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu bagi mereka yang memperoleh manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, karena mendapat sesuatu hak dari kekuasaan negara, wajar menyerahkan sebagian dari kenikmatan yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran pajak. Sebelum berlakunya Undang-undang ini, terhadap tanah yang tunduk pada hukum adat telah dipungut pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 dan terhadap tanah yang tunduk pada hukum barat dipungut pajak berdasarkan Ordonansi Verponding Indonesia 1923, dan Ordonansi Verponding 1928. Di samping itu terdapat pula pungutan pajak atas tanah dan bangunan yang didasarkan pada Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 serta lain-lain pungutan daerah atas tanah dan bangunan. Sistem perpajakan yang berlaku selama ini, khususnya pajak kebendaan dan kekayaan telah menimbulkan tumpang tindih antara satu pajak dengan pajak lainnya sehingga mengakibatkan beban pajak berganda bagi masyarakat. Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan yang berlaku dengan sistem yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan sehingga dapat mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta meratakan pendapatan masyarakat. Oleh karena itu Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908, Ordonansi Verponding Indonesia 1923, Ordonansi Verponding 1928, Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, Ordonansi Pajak Jalan 1942, Pasal 14 huruf j, huruf k, dan huruf l Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda), dan lain-lain peraturan perundang-undangan tentang pungutan daerah sepanjang mengenai tanah dan bangunan perlu dicabut. Peraturan Perundang-undangan lainnya terutama yang selama ini menjadi dasar bagi penyelenggaraan pungutan oleh Daerah, khususnya seperti pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor masih berlaku. Dengan mengadakan pembaharuan sistem perpajakan melalui penyederhanaan yang meliputi macam-macam pungutan atas tanah dan/atau bangunan, tarif pajak dan cara pembayarannya, diharapkan kesadaran perpajakan dari masyarakat akan meningkat sehingga penerimaan pajak akan meningkat pula. Obyek Pajak dalam Undang-undang ini adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di wilayah Republik Indonesia. Dalam mencerminkan keikutsertaan dan kegotongroyongan masyarakat di bidang pembiayaan pembangunan, maka semua obyek pajak dikenakan pajak. Dalam Undang- undang ini, bumi dan/atau bangunan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dikenakan Pajak. Penentuan Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan atas obyek pajak yang digunakan oleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Hasil penerimaan pajak ini diarahkan kepada tujuan untuk kepentingan masyarakat di daerah yang bersangkutan, maka sebagian besar hasil penerimaan pajak ini diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Penggunaan pajak yang demikian oleh daerah akan merangsang masyarakat untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak mereka yang sekaligus mencerminkan sifat kegotongroyongan rakyat dalam pembiayaan pembangunan. Karena Pajak Bumi dan Bangunan sebagian besar akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah maka dirasa perlu untuk menetapkan tempat-tempat pembayaran yang lebih mudah dan dekat sehingga Pemerintah Daerah yang bersangkutan dapat segera memanfaatkan hasil penerimaan pajak guna membiayai pembangunan dimasing-masing wilayahnya. Tempat yang lebih dekat tersebut adalah seperti Bank, Kantor Pos dan Giro serta tempat- tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Bagi wajib pajak dimungkinkan memperoleh pengurangan atas pembayaran pajaknya, karena sebab-sebab tertentu atau dalam hal obyek pajak ditimpa bencana alam atau sebab lain yang luar biasa, sehingga wajib pajak tidak mampu membayar hutang pajaknya. II. PASAL DEMI PASAL
Ayat (1) Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa obyek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik Negara sesuai pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Contoh : - pesantren atau sejenis dengan itu; - madrasah; - tanah wakaf; - rumah sakit umum. Ayat (2) Yang dimaksud dengan obyek pajak dalam ayat ini adalah obyek pajak yang dimiliki/dikuasai/digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu wajar Pemerintah Pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Mengenai bumi dan/atau bangunan milik perorangan dan/atau badan yang digunakan oleh negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan. Ayat (3) Obyek pajak berupa bangunan diberi batas nilai Bangunan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) untuk tiap satuan bangunan. Contoh :
Nilai jual bangunan.......... Rp 1.800.000,- Batas nilai jual Bangunan Tidak Kena Pajak................... Rp 2.000.000,- Nilai jual bangunan kena pajak..Rp Nihil 2. Nilai jual bangunan ........ Rp 10.000.000,- Batas nilai jual bangunan Tidak Kena Pajak .................. Rp 2.000.000,- Nilai jual bangunan kena pajak Rp 8.000.000,- 3. Nilai jual bangunan ........ Rp 500.000.000,- Batas nilai jual bangunan Tidak Kena Pajak .................. Rp 2.000.000,- Nilai jual bangunan kena pajak Rp 498.000.000, Ayat (4) Cukup jelas