Pajak Penghasilan
Relevan terhadap
Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak tidak diperbolehkan dikurangkan :
pembayaran dividen atau pembagian laba lainnya dari perseroan atau badan lainnya kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk pembagian Sisa Hasil Usaha dari koperasi yang bukan pengembalian Sisa Hasil Usaha sehubungan dengan jasa anggota, dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham, sekutu atau anggota;
pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah, c. premi asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, kecuali jika dibayarkan pihak pemberi kerja dan premi yang demikian itu dianggap sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak;
pemberian kenikmatan perjalanan cuti, kenikmatan rekreasi, dan kenikmatan lainnya yang diperuntukkan bagi keperluan pegawai dari Wajib Pajak, termasuk kenikmatan pemakaian kendaraan bermotor perusahaan dan kenikmatan perumahan, kecuali perumahan di daerah terpencil berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan;
pembayaran yang melebihi kewajaran sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan, yang dibayarkan kepada pemegang saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa;
harta yang dihibahkan, bantuan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b;
Pajak Penghasilan;
biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau yang menjadi tanggungannya;
sumbangan.
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari setahun tidak diperbolehkan dikurangkan sekaligus, melainkan dibebankan melalui amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (10). Pasal 10...
Ayat (1) Ketentuan ini mengatur wewenang Menteri Keuangan untuk menetapkan badan tertentu, baik swasta maupun pemerintah sebagai pemungut Pajak Penghasilan, yang telah sangat dibatasi untuk mengurangi pungutan-pungutan pendahuluan yang berlebihan. Pajak Penghasilan, dipungut atas Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha dengan atau melalui pemungut pajak tersebut. Undang-undang ini dengan tegas menentukan, bahwa hanya dari kegiatan usaha di bidang impor dan kegiatan usaha di bidang lain yang memperoleh pembayaran barang dan jasa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dilakukan dengan atau melalui pemungut pajak yang ditunjuk itu saja yang dapat dipungut Pajak Penghasilan. Dengan pembayaran barang dan jasa dari belanja negara dimaksudkan ialah, pembayaran pembelian barang dan pembayaran penggantian jasa dengan menggunakan Keuangan Negara baik Pusat maupun Daerah. Ayat (2) Besarnya Pajak Penghasilan yang dipungut tersebut dengan sendirinya harus ditentukan sedemikian rupa, sehingga mendekati jumlah Pajak Penghasilan yang terhutang atas Wajib Pajak bersangkutan. Untuk itu Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan dasar dan besarnya pungutan, yang disesuaikan dengan besarnya Pajak Penghasilan yang akan terhutang untuk seluruh tahun pajak yang dihitung berdasarkan undang-undang ini.
Ketentuan dalam pasal ini mengatur tentang pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan, yang mengandung pengertian-pengertian a. berapa besarnya angsuran;
dasar penghitungan besarnya angsuran. Ayat (1) Untuk mempermudah pengertian, diberikan contoh penghitungan angsuran pembayaran pajak untuk tahun 1985 sebagai berikut Pajak Penghasilan yang terhutang tahun pajak 1984.............. Rp. 10.000.000,- Dikurangi:
Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja Rp. 3.000.000,- b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain dari kegiatan usaha Rp. 2.000.000,- c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain atas penghasilan dari modal (sewa, bunga, dsb.) Rp. 500.000,- d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri Rp. 1.500.000,- Rp. 7.000.000,- Selisih Rp. 3.000.000,- Selisih sebesar Rp. 3.000.000,- ini dibagi dengan banyaknya masa pajak dalam tahun 1985. Apabila masa pajak yang dipakai untuk melunasi pajak dalam tahun berjalan adalah satu bulan, maka dalam satu tahun pajak ada dua belas masa pajak, maka jumlah angsuran setiap masa pajak Rp. 3.000.000,- = Rp.
000,- Ayat (2) Dengan dilakukannya pembaharuan undang-undang perpajakan ini, maka apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak telah diisi sebagaimana mestinya, dan penghitungan pajak yang terhutang telah dilakukan dengan benar serta jumlah pajak yang terhutang itu telah dibayar lunas, maka tidak akan ada lagi ketetapan pajak yang akan dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Apabila... Apabila ada ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak, maka itu berarti,bahwa pajak yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan dan yang telah dibayar atau dilunasi oleh Wajib Pajak, ternyata kurang daripada yang seharusnya menurut undang-undang. Oleh karena itu,apabila ada ketetapan pajak, maka pengertian, Pajak Penghasilan yang terhutang pada dasarnya adalah berdasarkan ketetapan pajak itu. Kecuali apabila dalam tahun berikutnya penghasilan Wajib Pajak bertambah besar dan penghitungan pajak dilakukan dengan benar, maka Pajak Penghasilan yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan tahun yang berikutnya akan lebih besar. Jumlah angsuran pajak dalam tahun berjalan sesudah itu yang dilunasi oleh Wajib Pajak sendiri adalah pajak menurut Surat Pemberitahuan. Tahunan tahun berikutnya itu dibagi dua belas. Pada prinsipnya, dengan demikian, Pajak Penghasilan yang terhutang adalah jumlah Pajak Penghasilan yang diketahui dari tahun pajak yang terakhir. Jika Pajak Penghasilan yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan yang disampaikan lebih kecil daripada pajak yang telah disetor selama tahun pajak yang bersangkutan dan oleh karena itu Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau permohonan untuk memperhitungkan dengan hutang pajak lain, sebelum diputus oleh Direktur Jenderal Pajak mengenai pengembalian atau perhitungan kelebihan tersebut, besarnya angsuran bulanan sama besar dengan bulan- bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan itu disampaikan. Setelah adanya keputusan Direktur Jenderal Pajak, maka angsuran dari bulan yang berikutnya, setelah tanggal keputusan itu, didasarkan atas jumlah pajak yang terhutang menurut keputusan tersebut. Apabila pajak yang terhutang menurut ketetapan atau Surat Pemberitahuan Tahunan terakhir mengandung kompensasi kerugian dari tahun-tahun sebelumnya, maka pajak yang menjadi dasar untuk menentukan besarnya angsuran dalam tahun berjalan, dihitung kembali berdasarkan pajak yang terhutang sebelum dilakukan... dilakukan kompensasi kerugian. Dalam hal ketetapan atau Surat Pemberitahuan Tahunan tidak ada, karena Wajib Pajak merupakan Wajib Pajak baru, maka pengaturan tentang besarnya angsuran sebagai perkiraan jumlah pajak yang akan terhutang, diatur dalam Peraturan Pemerintah berdasarkan ketentuan Pasal 27. Ayat (3) Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap masa pajak sedapat mungkin diusahakan sesuai dengan besarnya pajak yang terhutang untuk masa pajak yang bersangkutan. Untuk Wajib Pajak lembaga keuangan misalnya, besarnya angsuran ini adalah lebih sesuai jika didasarkan pada Laporan Keuangan terakhir, sedang Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah di dasarkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja perusahaan tahun pajak yang bersangkutan. Jenis usaha apa saja yang dapat menghitung besarnya angsuran pajak untuk setiap masa pajak dengan menggunakan dasar lain daripada Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Ketetapan Pajak terakhir akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Relevan terhadap 4 lainnya
Wajib Pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud.
Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai harta dikurangi nilai utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harta yang diperoleh Wajib Pajak sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015.
Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.
Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan sebesar:
6% (enam persen) atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan diinvestasikan pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
surat berharga negara;
8% (delapan persen) atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak diinvestasikan pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau 402 2. surat berharga negara;
6% (enam persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan:
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
diinvestasikan pada: a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau b) surat berharga negara;
8% (delapan persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ketentuan:
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
tidak diinvestasikan pada: a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau b) surat berharga negara; atau e. 11% (sebelas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yakni sebesar jumlah harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan.
Nilai harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung besarnya jumlah harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditentukan berdasarkan:
nilai nominal, untuk harta berupa kas atau setara kas;
nilai yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu Nilai Jual Objek Pajak, untuk tanah dan/atau bangunan dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor, untuk kendaraan bermotor;
nilai yang dipublikasikan oleh PT Aneka Tambang Tbk., untuk emas dan perak;
nilai yang dipublikasikan oleh PT Bursa Efek Indonesia, untuk saham dan waran ( warrant ) yang diperjualbelikan di PT Bursa Efek Indonesia; dan/atau 403 e. nilai yang dipublikasikan oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia, untuk surat berharga negara dan efek bersifat utang dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh perusahaan, sesuai kondisi dan keadaan harta pada akhir Tahun Pajak terakhir.
Dalam hal tidak terdapat nilai yang dapat dijadikan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b sampai dengan huruf e, nilai harta ditentukan berdasarkan nilai dari hasil penilaian kantor jasa penilai publik.
Badan-Badan Tertentu yang Ditetapkan Sebagai Pemungut Pajak atas Penghasilan Dari Wajib Pajak yang Melakukan Kegiatan Usaha, Dasar Pemungutan, Tarip S ...
Relevan terhadap
KEPUfUSAN MENfERI KEUANGAN 'IENTANG BADAN-BADAN 'IERIENTU YANG DI 'IETAPKAN SEBAGAI PEMUNGUf PAJAK ATAS PENGfASILAN DARI WAJIB PA: -: - JAK YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA, DASAR PEMUNGUf AN, TARIF, SER TA TATA CARA PELAKSANAANNYA. Pasal 1 (1) PeI11LIDgut pajak atas penghasilan dari wajib pajak yang mela- kukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 adalah a. Direktorat Jendral Bea dan Cukai;
Direktorat Jendral Anggaran;
Bendaharawan Rutin dan Bendaharawan Proyek, baik di ting_ kat Pemerintahan Pusat maupun di tingkat Pemerintahan Da- erah;
Badan - badan lain yang melakukan pe: rrbayaran untuk barang dan jasa dari Belanja Negara dan Belanja Daerah.
Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 selanjutnya disingkat PPh Pasal 22.
Wajib Pajak PPh Pasal 22 adalah Wajib Pajak yang melakukan kegiatan impor atau kegiatan usaha lain yang memperoleh pem ' bayaran lll1tuk barang dan j asa dari Belanj a Negara dan Belan=- j a Daerah. MENTER! KEUANGAN
Keputusan Menteri Keuangan No. 965/ KMK.04 /1983 Tanggal : 31 Desenber 1983 PPh Pasal 22 terhutang clan dipungut pada saat :
peIIllillgutan Bea Masuk oleh Direktorat Jendral Bea clan Cukai ;
pembayaran untuk barang dan/atau jasa oleh Direktorat Jen - dral .Anggaran, Bendaharawan Pernertntah, serta bad.an lain. Pasal 3 Dasar peIIllillgutan PPh Pasal 22 adalah penghasilan netto dari :
pernasukan barang impor ;
penyerahan barang dan/atau jasa yang pembayarannya dari Be- lanja Negara dan Be1anja Daerah.
(2) (1) (2) (3) Pasal ·4 Tarif peIIllillgutan PPh Pasal 22 adalah 25% ( dua puluh lirna persen ) dari penghasilan netto ; Penghi tungan penghas ilan rietto untuk mas ing - mas ing j enis usaha dilakukan berdasarkan bµku petunjuk sebagairnana dirnu at pada larnp: lran I dan larnpiran II Keputusan ini. - Pasal 5 Direktur Jendral Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuk olehnya berkewajiban rnelakukan pengawasan atas pelaksanaan peIIllillgutan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 22 dalam lingkungannya. Direktur Jendral .Anggaran atau pejabat yang ditunjuk oleh- nya berkewajiban rnelakukan pengawasan atas kebenaran pernu- ngutan dan penyetoran PPhPasal 22 yang telah dilakukan oleh Bendaharawan sebagairnana dirnaksud dalarn Pasal 1 ayat (1) hu ruf c. - Pirnpinan Proyek yang bersangkutan berkewaj iban rnelakukan pe ngawasan atas kebenaran pernungutan dan penyetoran PPh PasaI 22 yang telah dilakukan oleh badan lain, sebagairnana dirnak sud dalarn Pasal 1 ayat (1) huruf d. - (4) Bendaharawan tersebut pada ayat (2) berkewajiban rnelarnpir- kan bukti setoran PPh Pasal 22 pada Surat Pertanggung Ja- waban yang dikirirn ke Kantor Perbendaharaan Negara. Pasal 6 Pelaksanaan peIIllillgutan PPh Pasal 22 dan pernenuhan kewajiban la innya diatur dalarn buku petunjuk sebagairnana dirnuat pada lam =- piran I dan larnpiran II Keputusan ini. Pasal 7 Keputusan ini rnulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984. Agar supaya setiap orang rnengetahuinya, rnernerintahkan pengunruIIl an Keputusan ini dengan penempatannya dalarn Berita Negara Rep~ blik Indonesia ~~~tapkan di J A K A R T A • ~~? I/ ~ 1 ~ --E,p ggal 31 Deserrber 1983 www.jdih.kemenkeu.go.id .. MENTER! KEUANGAN LAMPIRAN I KEPlfIUSAN MEN1ERI KEUANGAN REPUBLIK INJU.JESIA NO. 965 I KMK.04 I l983 TANGGAL : 31 DESEMBER 1983 BUKU PETIJNJUK . TENT.ANG TATA CARA PEMJNGlITAN, PENYE1DRAN DAN PEI.APORAN PPh PASAL 22 YANG DILAKUK.AN OLEH DIREKTORAT JENDRAL ANGGARAN, BENDAHARAWAN DAN BADAN-BADAN LAIN. I. UMUM 1. Dasar hukum. Pemungutan Pajak Penghasilan oleh Direktorat Jendral Anggaran, Bendaharawan dan Badan-Badan lain atas penghasilan dari usaha didasarlcan pada Pasal 22 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 juncto Pasal 5 Peraturan Penerintah ~ publik Indonesia tentang pelaksanaan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. 2 . Pemungut Pajak. Dalam hal ini adalah :
Di rektorat Jendral Anggaran b. Bendaharawan Rutin dan Proyek, Pus at dan Dae rah ;
Badan lain yang nelakukan penbayaran untuk barang dan jasa dari Belanja Negara (tennasuk Belanja Daerah). 3 . Ruang lingk: uf? . Ruang lingkup dalam hal ini adalah :
Penhayaran yang diterima oleh rekanan dari Direktorat Jendral Anggaran, untuk barang dan/atau jasa. b. Penhayaran yang di terima oleh rekanan dari Bendaharawan Rutine dan Benda harawan Proyek baik Pemerintah Pusat maupun Daerah serta Badan lain, un: - tukbarang dan/atau jasa. 4. Saat pemungutan . Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Pennmgut Pajak dilakukan pada saat pe nhayaran kepada rekanan. Dalam hal penhayaran dilakukan lan g sung dengan Su r at Perintah ~: rrbayar (SPM) oleh Kantor Perbendaharaan Negara/Kantor Pe: rrbantu Perbendaharaan Negara, ma ka pemotongan dilakukan oleh Kantor Perbendaharaan Negara/ Kantor Pembantu Perbendaharaan Negara yang bersangkutan pada saat pe: rrbayaran.
Bukti Pemlingutan PPh Pas al 22. 5 .1. Sebagai bukti pemungutan PPh Pas al 22 oleh pennmgut pajak diberikan - Bukti Pennmgutan PPh Pas . al 22. Bukti pennmgutan dibuat dalam rangkap tiga : lenhar ke - 1 : tmtuk Wajib Pajak yang dikenakan pemtmgutan PPh Pasal 22 ;
.. - _ 'I • • .. ., • .. • • 1 MENTER! KEUANGAN Keputusan ~nteri Keuangan No. 965/KMK.04 I 1983 Tanggal : 31 Iesenber 1983 lenbar ke - 3 : lilltuk arsip Pemlillgut Pajak yang bersangkutan. Fonnulir Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dapat diperoleh dengan cuma-cuma pada Direktorat Jendral Pajak.
No: rrnr Pokok Wajib Pajak ( NPWP ) ;
harga barang dan/atau nilai jasa yang dipergunakan sebagai dasar p~ mungutan PPh Pasal 22 ;
nOIIDr urut dan tanggal pemungutan e. jumlah pemungutan PPh . Pas al 22 ; II • TATA CARA PEMUNGUTAN. I. Das at p~mungutan. Dasar pemungutan PPh Pas al 22 adalah penghasilan netto dengan renerapkan Nor maP~ghitungan terhadap jumlah harga barang dan/atau nilai jasa yang diba -=- yarkan oleh pemungut Pajak kepada rekanan.
Tarif PPh Pa5al 22 dan penerapannya. Besamya tarif pemungutan PPh Pas al 22 adalah 25% ( duapuluh lima persen) . Nonna Penghitlillgan Penghasilan netto bagi rekanan adalah 6% (enam persen). Besamya PPh Pasal 22 yang diplillgut atas penbayaran lilltuk barang dan I atau nilai jasa kepada rekanan adalah : 25% X 6% X harga barang dan/atau nilai - jasa.
Dikecualikart dari pemun@tan PPh Pa5aI 22 adalah :
penbayaran (yang bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah) reliputi jum lah kurang dari Rp. 50. 000, - - (limapuluh ribu rupiah) ;
Wajib Pajak yang menyerahkan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang di · keluarkan oleh Direktorat Jendral Pajak ;
Saat pertyetoran. PPh. Pasal 22 yang telah dipungut dalam suatu Masa Pajak harus disetorkan se larrbat-lambatnya tujuh hari setelah berakhimya Masa Pajak yang bersangkut-=- an. Penyetoran dilakukan pada Kantor Kas Negara, Kantor Pos dan Giro serta Bank Pemerintah yang ditlilljuk, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak dalam rang_ kap empat lenbar ke - 1 : lilltuk dikirimkan ke Kantor Perbendaharaan Negara atau Kan- tor Penbantu Perbendaharaan Negara sebagai lampiran Surat- Pertanggung Jawaban yang bersangkutan ; lenbar ke - 2 untuk dikirimkan ke Direktorat Jendral Pajak oleh Pemmgut n-.: ,....1,... ,..-1....---! 1 ..... _.,: +,..h .... ......., U-oc~ • MENTER! KEUANGAN le: nbar ke - 3 ditahan oleh Kas Negara atau Kantor Pos tm.tuk kenrudian diki rimkan kepada Direktorat Jendral Pajak bersama-sama segi - penbayaran ; lenbar ke - 4 :
tm.tuk arsip Pemtmgut Pajak.
Fonnulir Surat Setoran Pajak dapat diperoleh dengan curna-c~ pada Direkto- rat Jendral Pajak.
Pada fonnulir Surat Setoran , Pajak harus dicantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Pe:
rm.mgut Pajak. · · 4. Bilamana Pe:
rm.mgut Pajak belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak maka ia wajib rnemintanya kepada Direktorat Jendral Pajak. IV. TATA CARA PELAPORAN. \ Pe:
rm.mgut Pajak harus ~lapoikan hasil pemtm.gutan PPh Pasal 22 yang telah dipu- ngutnya dalam suatu Masa Pajak kepada Direktorat Jendral Pajak selanbat-lanbat nya 7 (tujuh) hari setelah saat penyetoran. - Pelaporan dilakukan dengan ~nggmakan Surat Penberi tahuan Masa PPh Pasal 22, disertai larrpiran-larrpiran :
le: nbar ke - 2 dari Surat Setoran Pajak ;
lenbar ke - 2 dari Bukti Pe:
rm.mgutan PPh Pasal 22 ;
segi hittm.g dari penjtnnlahan PPh Pasa1 22 yang telah dipungut berdasaikan angka-angka yang tercantum pada Bukti Pemungutan PPh Pasal 22. • MENTER! KEUANGAN LAMPIRAN II KEPUfUSAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INOONESIA No. 965/.KMK.04/ 1983 I. UM UM. Tanggal 31 Desember 1983 TATA CARA PEMUNGlITAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENQ-IASILAN PASAL 22 YANG DILAKUKAN OLEH DIREKTORAT JENDRAL BEA DAN CUKAI 1. Dasar Hukt.nn. Pennmgutan Pajak Penghasilan oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai di dasarkan pada Pasal 22 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. 2. Ruang lingkup. Pemasukan barang kedalam Daerah Pabean oleh Wajib Pajak.
Saat Pemungutan. Pennmgutan PPh Pasal 22 dilakukan oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai bersamaan dengan saat pennmgutan Bea Masuk; dalam hal tidak atau ditunda pemungutan Bea Masuk, pada saat pemasukan barang ke dalam daerah pabean. 4. Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 4.1. Sebagai bukti Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai diberikan Bukti Pennmgutan PPh Pasal 22. Bukti Pemungutan dibuat dalam rangkap tiga : lembar ke-1 untuk Importir sebagai Wajib Pajak PPh Pasal 22; lembar ke-2 untuk dikirim ke Direktorat Jendral Pajak seba- gai lampiran Surat Pemberitahuan Ma.set; lembar ke-3 untuk arsip Direktorat Jendral Bea dan CukaL 4.2. Pada Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dicanturnkan dengan jelas a. nama dan alamat Importir;
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ;
tanggal dan Nomor Pemberitahuan Pemasukan Barang Un~Jk Di- pakai (PPUD) ;
nilai daram US$ dan Rupiah yang dipergunakan sebagai dasar pennmgutan PPh Pasal 22 ;
nomor urut dan tanggal pemungutan f. jumlah pennmgutan PPh Pasal 22. II . TATA CARA PEMUNGlITAN.
Dasar Pemungutan Pengha5ilan netto yang diperoleh dengan menerapkan Nonna Penghitung_ an. www.jdih.kemenkeu.go.id MENTERI KEUANGAN 2.·Tarif PPh Pasal 22 dan Penerapannya. Lampiran II Keputusan Menteri Keuangan No. 965/KMK.04/ 1983 Tanggal : 31 Desember 1983 2.1. Besarnya tarif PPh Pasal 22 adalah 25 %. Nonna Penghitungan penghasilan netto Importir yang memiliki Angka Pengenal Im- por ( API ), Angka Pengenal Impor Sementara ( APIS) atau Angka Pengenal Impor Terbatas ( APIT ) adalah 10 % X Nilai Dasar Impor ( CIF ). 2.2. Besarnya PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai atas Impor yang dilakukan oleh Importir yang memiliki API, APIS, atau APIT adalah 25 % X 10 % X Nilai Da sar Impor ( CIF ) . - 2.3. Nonna Penghi.tungan penghasilan netto Importir yang tidak me miliki API, APIS, atau APIT serta orang atau badan yang me-=- masukkan barang sebagai barang penumpang dan/atau kiriman adalah 30 % dari Nilai Dasar Impor (CIF). Besarnya PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai menjadi 25 % X 30 % X Nilai Dasar Impor (CIF) yang menjadi dasar penghitungan bea masuk. III. TATA CARA PENYETORAN PPh PASAL 22.
PPh Pasal 22 yang telah dipungut dalam setiap hari kerja harus disetorkan pada hari kerja berikutnya. PPh Pasal 22 yang dipungut pada tanggal 31 Maret harus disetor - kan pada hari i tu j uga. Penyetoran dilakukan pada Kantor Kas Negara, Kantor Pos dan Giro serta Bank Pemerintah yang ditunjuk, dengan menggunakan Surat Se toran Pajak dalam rangkap empat : - lembar ke-1 : dan lembar ke-2 setelah dibubuhi tanda terima oleh Kas Negara/Kantor Pos dan Giro/Bank, dikembalikan kepada Direktorat Jendral Bea dan Cukai; lembar ke-2 oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai dikirim ke Direktorat Jendral Pajak sebagai lampiran SuratPem beritahuan Masa; - lembar ke-3 ditahan oleh Kas Negara/Kantor Pos dan Giro I Bank, untuk kemudian bersama-sama dengan segi pembayaran, dikirim ke Direktorat Jendral Pajak; lembar ke-4 : untuk arsip Kas Negara/Kantor Pos dan Giro/Bank.
Pada fonnulir Surat Setoran Pajak harus dicantturikan Nomor PokokWa jib Pajak dari PeIIIllllgut Pajak. IV. TATA CARA PELAPORAN 1. Direktorat Jendral Bea dan Cukai harus melaporkan PPh Pasal 22 yang telah dipungut kepada Direktorat Jendral Pajak dalam jangka waktu 7 (tujuh} hari setelah penyetoran. Pelaporan dilakukan dengan menggunakan fonnulir Surat Pemberita - 'I...._- ~ -- ,6 ___ T'\T'\1- T'\ ___ ., ....,...., T--- MENTERI KEUANGAN Lampiran II Keputusan Menteri Keuangan No. 965/KMK.04/ 1983 Tanggal : 31 Desember 1983 2. Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 22 Impor disertai lampiran a. tindasan PPUD;
lembar ke-2 Surat Setoran Pajak;
lembar ke-2 Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 Impor;
daftar dari Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 Impor dan PPUD/Nota Pembetulan.
Jumlah uang yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak, harus sa- ma dengan seluruh penjumlahan sebagaimana tercantum dalam Segi Hitung dari Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dan harus sama pula de ngan p. enjumlahan pemungutan PPh Pasal 22 yang tercantum dalam - PPUD dan/atau Nota Pembetulan yang bersangkutan. V. L A I N - L A I N 1. PPUD yang dikirimkan kepada Direktorat Jendral Pajak harus ditan datangani oleh pejabat Direktorat Jendral Bea dan Cukai yang be,f wenang.
Apabila Importir mengajukan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22, maka pada ruang bawah PPUD harus dicantumkan tanggal dan Nomor Su rat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang bersangkutan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Relevan terhadap
Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. ***) (2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. ***) (3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. ***) (4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang. ***) BAB VIIB ***) PEMILIHAN UMUM
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
KEBIJAKAN PAJAK MENGHADAPI DAMPAK COVID-19 KEBIJAKAN PAJAK MENGHADAPI DAMPAK COVID-19 Pandemi COVID-19 telah berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. Pemerintah berusaha melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, salah satunya dengan memberikan kebijakan pajak . Penurunan Tarif PPh Badan Secara Bertahap Tarif umum turun dari 25% menjadi: 22% 20% 2020 2021 mulai 2022 19% 17% 2020 2021 mulai 2022 Tarif PPh Badan Go Public* 3% lebih rendah dari tarif umum: * Dengan persyaratan tertentu yang diatur oleh PP Perlakuan Pajak Kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Pengenaan PPN atas impor barang tidak berwujud dan jasa Pengenaan PPh/pajak transaksi elektronik atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang dilakukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran signifikan Tata cara lebih lanjut akan diatur melalui Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan Bagi Wajib Pajak Permohonan keberatan diperpanjang menjadi 9 bulan Bagi DJP Perpanjangan jangka waktu penyelesaian: Permohonan restitusi melalui pemeriksaan menjadi 18 bulan Permohonan keberatan menjadi 18 bulan Permohonan pengurangan/penghapusan sanksi administrasi menjadi 12 bulan Permohonan pengurangan/pembatalan ketetapan pajak atau pembatalan hasil pemeriksaan menjadi 12 bulan Khusus untuk penyelesaian pencairan lebih bayar pajak diperpanjang 1 bulan dari 1 menjadi 2 bulan Perpanjangan Jangka Waktu Pengajuan oleh Wajib Pajak dan Penyelesaian oleh DJP PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2O2O www.pajak.go.id/ covid19 Untuk info terkini terkait kebijakan DJP di masa pandemi COVID-19 silakan kunjungi Cukai (DJBC) Nirwala Dwi Heryanto. Hingga 8 Mei 2020 saja, total etil alkohol yang diberikan pembebasan cukai mencapai 68.596.360 liter untuk sektor komersial dan 322.770 liter untuk sektor nonkomersial. “Jika tidak dibebaskan, tarif per liternya Rp20.000,” sebut Nirwala. Hingga awal Mei, total pengguna fasilitas dari sektor nonkomersial sudah mencapai 56 entitas, salah satunya Universitas Brawijaya. Ketua Satgas COVID-19 Universitas Brawijaya dr. Aurick Yudha Nagara, Sp.EM mengaku sangat terbantu dengan fasilitas tersebut. “Kami jelas merasakan manfaatnya,” ujarnya. Universitas Brawijaya membentuk Satgas COVID-19 dan meramu berbagai kegiatan, termasuk penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). “Kami menggunakan protokol yang ada di rumah sakit, yaitu penyediaan hand sanitizer . Rencananya beli sendiri, tetapi ternyata cost -nya mahal. Usut punya usut, Fakultas Pertanian ternyata memiliki mesin produksi. Lalu, komposisinya dari teman- teman Farmasi dan pengujiannya oleh teman-teman Mikrobiologi di Fakultas Kedokteran,” cerita dokter spesialias emergency medicine tersebut. Awalnya, hand sanitizer tersebut ditujukan untuk penggunaan internal kampus, termasuk mahasiswa profesi di rumah sakit pendidikan yang jumlahnya mencapai 700 orang. Namun, kemudian hand sanitizer tersebut juga dipasok ke rumah sakit pendidikan, pondok pesantren, lapas di area Malang, serta beberapa instansi pemerintahan. “Produksi tetap akan kami lanjutkan karena ancaman COVID-19 masih terus ada,” ungkapnya. Kebijakan DJBC lainnya ialah fasilitas penundaaan pembayaran cukai. Pemesanan pita cukai yang diajukan oleh pengusaha pabrik pada 9 April-9 Juli 2020 diberikan penundaan pembayaran selama 90 hari. “Per 30 April 2020, sudah 78 pabrik memanfaatkan fasilitas penundaan pembayaran cukai dengan nilai cukai lebih dari Rp10,5 triliun,” kata Nirwala. Selain itu, DJBC juga menerbitkan relaksasi ketentuan impor alat kesehatan untuk penanganan COVID-19 berupa pembebasan dari kewajiban izin edar. dalam penanganan Covid-19, yakni penyesuaian alokasi TKDD, refocusing TKDD, relaksasi penyaluran TKDD, dan refocusing belanja APBD agar fokus pada penanganan Covid-19. Perpres 54/2020 mengamanatkan penyesuaian atau penghematan alokasi TKDD. “Total penghematan TKDD sekitar Rp94,2 triliun. Dari angka itu, kita harapkan daerah bisa melakukan realokasi dan refocusing untuk intervensi penanganan Covid-19, terutama bagi tiga hal utama tadi,” ujar pria yang pernah menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara tersebut. Pihaknya meminta daerah untuk melakukan perhitungan kembali anggarannya. Untuk mempercepat penyesuaian APBD, Kementerian Keuangan bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dengan mengeluarkan surat keputusan bersama (SKB). Hingga awal Mei, Astera menyatakan daerah yang patuh dengan SKB tersebut masih sedikit. “Saat awal SKB, ada sekitar 380 daerah yang terpaksa kita sanksi. DAU-nya hanya kita bayarkan 65 persen. Tapi begitu daerah melakukan perbaikan, DAU langsung kita salurkan di kesempatan pertama tidak menunggu bulan berikutnya,” jelas Astera. Ia menyebut langkah itu manjur meningkatkan kepatuhan daerah. “Ini suatu hal yang saya rasa baik. Sebenarnya kapasitas daerah untuk menangani Covid-19 masih ada, dalam arti mereka masih memiliki space, sepanjang mereka disiplin dalam melakukan realokasi dan refocusing anggaran,” tutur Astera. Hingga minggu kedua bulan Mei, space dimaksud sudah di kisaran Rp57 triliun dan angkanya masih akan terus bergerak. “Ini meningkatkan kepercayaan diri. Kita yakin daerah masih punya kemampuan untuk menangani Covid-19,” tutupnya. “Kita juga ada PMK yang bersama Ditjen Bea Cukai, yaitu PMK 34/2020. Pajak dalam rangka impor tidak dipungut dulu karena dibutuhkan kecepatan atas pengadaan barang-barang yang dalam kondisi normal juga diperlukan tapi tidak sebanyak sekarang,” Hestu Yoga Saksama Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas), DJP Dorong Pemda lakukan refocusing "Kebijakan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) juga memiliki concern pada tiga hal tadi. Mulai dari kesehatan, bantuan sosial, hingga penguatan ekonomi, termasuk di dalamnya UMKM," Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti menegaskan. Secara garis besar, terdapat empat pokok kebijakan TKDD
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
5 MEDIAKEUANGAN 4 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020 Nufransa Wira Sakti, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi APBN, Instrumen Menjaga Kestabilan Ekonomi KemenkeuRI www.kemenkeu.go.id @KemenkeuRI KemenkeuRI KemenkeuRI majalahmediakeuangan A khirnya sampailah kita di penghujung tahun 2019. Tahun di mana pesta demokrasi memilih wakil rakyat dan pemilihan presiden dilakukan secara bersamaan dan menjadikan ruang publik hiruk pikuk dalam suasana terpecah belah. Beruntung semua berakhir dengan damai dan mulus dengan kembali menetapkan Joko Widodo sebagai presiden ke delapan. Tahun politik 2019 ini juga cukup banyak membawa Kementerian Keuangan ke dalan pusaran berita dan publikasi terutama terkait isu utang negara, pajak, gaji ASN, dan isu lainnya tentang keuangan negara. Salah satunya terkait tentang dana riset. Kurangnya anggaran negara untuk bidang riset yang dilontarkan oleh salah satu pengusaha besar di bidang market place , telah membuat isu ini menggelinding juga ke ranah politik. Tak pelak, isu ini juga berdampak pada bisnis market place sang pengusaha tersebut. Di tahun 2019 ini Presiden Jokowi menetapkan anggaran sebesar Rp1 triliun untuk dana riset dan selanjutnya akan membentuk Badan Riset Nasional. Hal ini diwujudkan dalam pembentukan Kementerian Riset dan Teknologi yang merangkap sebagai Kepala Badan Riset Nasional pada pemerintahan yang baru. Tax ratio yang selama ini hanya menjadi diskusi ekonomi makro, telah menjadi konsumsi kampanye Pilpres dan menjadi perhatian banyak masyarakat. Perlu diakui bahwa meningkatnya pendapatan negara menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Rasio pajak ( tax ratio ) Indonesia tahun 2018 mencapai sebesar 11,5 persen, yaitu meningkat 0,1 persen dibanding tahun sebelumnya. Walaupun terjadi peningkatan pertama kalinya setelah rasio pajak menurun terus menurus selama lima tahun terakhir, rasio pajak ini masih kecil bila dibanding negara Asia Pasific lainnya (OECD,2019). Tahun 2019 juga diwarnai dengan diperkenalkannya dana untuk penanganan bencana dalam APBN. Selain itu telah dilakukan juga piloting untuk memberikan asuransi bagi beberapa gedung dan aset Barang Milik Negara yang dianggap penting di daerah rawan bencana. Dalam APBN 2019 juga telah dikembangkan kerangka pendanaan risiko bencana, skema transfer risiko dan skema APBN. Sementara itu, anggaran pendidikan di tahun 2019 tetap konsisten dengan porsi 20 persen dari total belanja. Fokus belanja pendidikan di tahun 2019 adalah untuk menyiapkan generasi emas Indonesia 2045 agar sehat, cerdas, dan berkarakter. Dana pendidikan melalui beasiswa dan BOS diharapkan dapat mengangkat generasi penerus bangsa untuk membawa dirinya dan keluarga terlepas dari jerat kemiskinan. Program peningkatan kualitas SDM ini akan dilanjutkan juga dalam bentuk program pra kerja di APBN 2020. Tahun 2019 juga menjadi tahun transisi dari pemerintahan Kabinet Kerja ke Kabinet Indonesia Maju. Beberapa kementerian/lembaga memerlukan waktu untuk dapat merealisasikan anggarannya karena adanya perubahan nomenklatur. Beberapa menteri/pimpinan lembaga juga mengalami pergantian. Namun demikian APBN 2020 tetap harus dijalankan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Di tengah kondisi global yang sedang tidak cerah, APBN 2020 harus dapat menjadi alat untuk menjaga kestabilan ekonomi secara nasional. APBN dapat berperan untuk membuat perekonomian negara bertahan dalam guncangan global. Menghadapi tahun 2020, kita tetap optimis namun waspada terhadap perkembangan ekonomi global.
DPR). Dari berbagai instrumen itu, nanti akan kita dorong, termasuk reformasi kelembagaannya, sehingga bisa fokus dan sangat valid ,” katanya menjelaskan. Terdapat beberapa target indikator yang ingin diraih Indonesia melalui penyusunan dan implementasi RIRN 2017- 2045. Pertama, dari sisi rasio anggaran riset. Kontribusi swasta terhadap belanja riset diharapkan bisa mendekati 75 persen, sedangkan kontribusi pemerintah baik pusat dan daerah diharapkan berada di kisaran 25 persen. Saat ini diketahui, sebanyak 86 persen belanja riset masih didominasi oleh pemerintah. Sementara sisanya sebesar 14 persen berasal dari swasta dan universitas. Tidak hanya itu, RIRN juga menargetkan total belanja riset Indonesia bisa mencapai 1,68 persen dari PDB pada 2025 mendatang, naik dibandingkan belanja saat ini yang hanya sebesar 0,25 persen dari PDB. Kedua, dari sisi SDM. RIRN mematok target rasio kandidat SDM IPTEK terhadap jumlah penduduk Indonesia. Pada 2025 diharapkan terdapat 3.200 orang per 1 juta penduduk, serta 8.600 orang per 1 juta penduduk pada 2045. RIRN menyebutkan, kecukupan jumlah SDM ini perlu dipenuhi agar kontribusi riset bisa berperan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebab, mereka berpotensi menjadi pelaku ekonomi yang berbasis IPTEK di masa depan. Ketiga, terkait produktivitas periset. Pada 2025 pemerintah menargetkan dari setiap 100 periset, terdapat sedikitnya 8 publikasi internasional bereputasi, serta 22 publikasi internasional bereputasi per 100 periset pada 2045. Untuk mencapai itu semua, pemerintah perlu membangun ekosistem yang ramah bagi kegiatan riset. Selain terkait kelembagaan riset, pemerintah menjalankan sejumlah strategi guna menumbuhsuburkan kegiatan riset. Mulai dari peningkatan kerjasama riset dengan industri, pemberlakuan pengurangan pajak hingga tiga kali lipat bagi perusahaan yang bersedia mengalokasikan anggarannya untuk kegiatan riset ( triple tax deduction ), serta pemberian insentif bagi industri yang melakukan hilirisasi produk-produk hasil riset. Selain itu, guna memunculkan tunas periset baru, pemerintah mendorong peneliti muda di bangku sekolah untuk terlibat dalam banyak kegiatan penelitian. Dimyati juga menuturkan, pemerintah tengah menyiapkan program sertifikasi bagi masyarakat peneliti, yang bukan dari lembaga penelitian, untuk dapat disetarakan. Dana abadi untuk kegiatan riset Sejumlah strategi yang hendak dilakukan guna membangun ekosistem yang ramah bagi kegiatan riset tidak lepas dari kebutuhan anggaran. Sebagaimana diketahui, saat ini, anggaran riset Indonesia ( Gross of Expenditure on Research and Development , GERD) baru mencapai 0,25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Diakui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah terus mengupayakan yang terbaik guna meningkatkan anggaran riset menuju jumlah idealnya. Salah satunya melalui dana abadi riset. “Ide dana abadi riset bahwa di dalam anggaran pendidikan kita sebesar 20 persen dari APBN, perlu adanya pemihakan kepada penelitian. Jadi mulai tahun 2019 dialokasikan (dana abadi riset) sekitar Rp1 triliun,” ungkap Menkeu. Dana abadi riset ini menjadi salah satu terobosan pemerintah guna mengatasi keterbatasan anggaran riset. Di luar dana abadi riset, pemerintah pada 2019 telah mengalokasikan anggaran penelitian sebesar Rp35,7 triliun. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, sebesar Rp33,8 triliun pada 2018 dan sebesar Rp24,9 triliun pada 2016. Selanjutnya pada 2020, pemerintah kembali mengaloaksikan dana abadi riset. Kali ini, besarannya hingga lima kali lipat dana abadi riset tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp5 triliun. Dengan demikian, total dana abadi riset Indonesia saat ini nyaris mencapai Rp6 triliun. Menristek Bambang Brodjonegoro menyampaikan, nantinya penggunaan dana abadi tersebut ditujukan terutama untuk kegiatan riset dan inovasi yang mendukung tiga hal. Pertama, peningkatan pada nilai tambah sumber daya alam. Kedua, peningkatan substitusi impor dengan produk sama, tapi bernilai tambah atau berharga lebih murah dan mudah didapat. Ketiga, berguna bagi kebutuhan masyarakat, khususnya UMKM dengan teknologi yang tepat guna. Sementara itu, dia menyebutkan, dana abadi riset ditujukan kepada peneliti, perekayasa, atau inovator yang diharapkan menghasilkan produk yang memberikan nilai dan dampak yang besar untuk pembangunan nasional, khususnya pembangunan ekonomi. “Serta penggunaannya akan melewati sistem seleksi yang sangat ketat sehingga benar-benar menghasilkan program yang tepat dan baik,” katanya. Kuatkan koordinasi lembaga riset Sebagaimana diketahui, pengelolaan anggaran riset (selain dana abadi riset) selama ini tersebar di 52 kementerian dan Lembaga (K/L). Dari total 52 K/L tersebut, sebanyak tujuh lembaga dedikatif untuk riset (BPPT, LIPI, Bapeten, LAPAN), sedangkan 45 lainnya merupakan kementerian yang memiliki kegiatan penelitian dan pengembangan. Itu sebabnya Menkeu Sri Mulyani Indrawati begitu menyoroti pentingnya pemanfaatan anggaran riset secara optimal. Jika (dana riset) dikelola oleh K/L yang mindset -nya hanya birokratis dan bukan dalam rangka menyelesaikan masalah atau meng- adress suatu isu, maka anggaran (riset) yang besar tidak mencerminkan kemampuan dan kualitas untuk bisa menghasilkan riset,” sebutnya. Sehubungan dengan itu Dimyati menyebutkan, dari sekian banyak institusi yang melakukan riset, tidak jarang riset yang dihasilkan saling bertumpang tindih. “(Bahkan), kadang-kadang riset itu betul-betul copy paste dengan riset yang diadakan di litbang K/L. Jadi tidak satu framework ,” ungkapnya. Itu sebabnya, pemerintah membangun Badan RIset dan Inovasi Nasional (BRIN). Badan ini merupakan amanah Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2019. Fungsi utama BRIN ialah untuk mengintegrasikan segala kegiatan riset, mulai dari perencanaan, program, anggaran, serta sumber daya secara terpadu. Dengan demikian, segala kegiatan riset baik yang ada di perguruan tinggi, lembaga pnelitian dan pengembangan baik pusat maupun daerah, serta di sejumlah kementerian, tidak berjalan sendiri-sendiri tanpa tujuan. “Hal terpenting adalah menghindarkan dari berbagai tumpang tindih pelaksanaan kegiatan riset, serta menghindarkan inefisiensi penggunaan sumber daya, khususnya anggaran yang relatif masih kecil, namun difokuskan pada kegiatan riset yang dapat memberikan nilai dan dampak yang luas bagi masyarakat bangsa dan negara, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan dating,” jelas Menristek. Nantinya segala program dan anggaran riset sepenuhnya berada di bawah pengawasan BRIN. “Meski demikian, lembaga- lembaga (riset) yang saat ini ada, diharapkan masih tetap eksis. Namun dengan penyesuaian organisasi yang sejalan dengan tugas-tugas yang akan diberikan setelah dikoordinasikan oleh BRIN”, harapnya. 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 KemenristekDIKTI: Rp2,84 triliun KKP: Rp2,37 triliun Kementan: Rp2,13 triliun Kementerian ESDM : Rp1,63 triliun Kemendikbud Rp1,49 triliun Kemenhan Rp1,43 triliun Kemenkes Rp1,27 triliun LIPI Rp1,18 triliun Kemenhub Rp1,05 triliun BPPT Rp0,98 triliun Batan Rp0,81 triliun Kemenag Rp0,79 triliun Lapan Rp0,78 triliun Kemensos Rp0,63 triliun Kemenperin Rp0,59 triliun Kemen PU & Pera Rp0,57 triliun Kemenlu Rp0,48 triliun Kemen LHK Rp0,33 triliun Lemhannas Rp0,31 triliun Kemenkeu Rp0,29 triliun 2016 2017 2018 2019 47 MEDIAKEUANGAN 46 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020