Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional di Bidang Keuangan Negara
Penilaian Kembali Aktiva Tetap untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan yang Diajukan pada Tahun 2015 dan Tahun 2016. ...
Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (“UU PPP”). 4. Mahkamah dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Cara Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang (“PMK 2/2021”) juga menegaskan kembali kewenangan tersebut sebagaimana ternyata dalam bunyi Pasal 1 angka 3 juncto Pasal 2 PMK 2/2021. Dalam Pasal 2 ayat (2) PMK 2/2021 diatur bahwa permohonan dapat berupa permohonan uji formil dan/atau pengujian materiil, sedangkan ayat (3) dari pasal tersebut menentukan bahwa pengujian formil adalah “pengujian terhadap proses pembentukan undang- undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang- undang atau Perppu sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945”. Oleh karena itu, Mahkamah memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 baik secara formil maupun materiil. 5. Permohonan Pemohon ini merupakan pengujian formil atas UU HPP [vide Bukti P-1], di mana UU HPP ini dibentuk dengan tujuan untuk “a. meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian; b. mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera; c. mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum; d. melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan; dan e. meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak” dengan cara “mengatur kebijakan strategis yang meliputi: a. perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang- Undang (“UU KUP”); b. perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Pemerintah telah melaksanakan serangkaian kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan berbagai kalangan, termasuk para akademisi, pengamat ekonomi dan perpajakan, asosiasi pengusaha, organisasi profesi, serikat pekerja, dan para pemuka organisasi sosial dan keagamaan. Selaras dengan hal tersebut, dalam pembahasan di Panja RUU di DPR, juga terdapat berbagai masukan dan usulan dari Fraksi- fraksi dan anggota Panja DPR yang muncul dari penyerapan aspirasi masyarakat. Melalui diskusi dan pembahasan yang sangat konstruktif, Pemerintah dan Panja RUU DPR telah menyepakati substansi RUU yang sungguh- sungguh dapat memenuhi kepentingan Pemerintah untuk melaksanakan reformasi perpajakan dan meningkatkan penerimaan perpajakan, namun tetap dapat menjaga kondisi masyarakat dan dunia usaha, terutama masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah agar tidak terbebani dengan perubahan kebijakan perpajakan ini serta tetap menjaga momentum pemulihan ekonomi yang tertekan akibat Pandemi Covid-19. Oleh karena itu, pada kesempatan yang sangat baik ini, Pemerintah menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggitingginya kepada para pimpinan dan anggota DPR yang telah membahas dan menyepakati RUU ini. Sesuai dengan berbagai masukan dari stakeholder, serta usulan DPR, maka judul RUU KUP disepakati berubah menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan dengan menggunakan metodologi omnibus sesuai dengan substansi yang diatur, yang memuat 6 (enam) kelompok materi utama yang terdiri dari 9 BAB dan 19 Pasal, yaitu mengubah beberapa ketentuan yang diatur dalam beberapa UU perpajakan, baik UU Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), UU Pajak Penghasilan (UU PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN), UU Cukai, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dan memperkenalkan Pajak Karbon ” (vide halaman 4-5). Setelah dicermati dengan saksama, ternyata batang tubuh UU HPP tidak hanya memuat aturan atau ketentuan baru, melainkan juga melakukan perubahan atas beberapa undang-undang, dengan perincian sebagai berikut: i. BAB I: ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP, terdiri dari 1 pasal (Pasal 1); ii. BAB II: KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN, memuat 1 pasal (Pasal 2) yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU KUP; iii. BAB III: PAJAK PENGHASILAN, memuat 1 pasal (Pasal 3) yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU PPh;
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Manajemen Eksekutif pada Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah ...
Relevan terhadap
Manajemen Eksekutif bertugas untuk melaksanakan penyiapan rekomendasi arah kebijakan dan program strategis nasional di bidang ekonomi dan keuangan syariah.
Perubahan ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak ...
Relevan terhadap
Untuk dapat ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4), Pengusaha Kena Pajak mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak secara elektronik melalui portal Wajib Pajak.
(1a) Dalam hal permohonan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah tidak dapat disampaikan secara elektronik melalui portal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat menyampaikan permohonan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah:
secara langsung; atau
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir, ke KPP, kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan, atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan kelengkapan dokumen sebagai berikut:
untuk Pengusaha Kena Pajak Mitra Utama Kepabeanan, dilampiri surat penetapan sebagai Mitra Utama Kepabeanan;
untuk Pengusaha Kena Pajak Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator) , dilampiri surat penetapan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator) ;
untuk pabrikan atau produsen, dilampiri surat pernyataan mengenai keberadaan tempat untuk melakukan kegiatan produksi;
untuk Pedagang Besar Farmasi, dilampiri Sertifikat Distribusi Farmasi atau Izin Pedagang Besar Farmasi, dan Sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik;
untuk Distributor Alat Kesehatan, dilampiri Sertifikat Distribusi Alat Kesehatan atau Izin Penyalur Alat Kesehatan, dan Sertifikat Cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik; atau
untuk perusahaan yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara, dilampiri Laporan Keuangan Konsolidasi Badan Usaha Milik Negara induk yang telah diaudit oleh auditor independen untuk tahun pajak terakhir sebelum permohonan diajukan.
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4).
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan berupa:
menerima permohonan Pengusaha Kena Pajak dengan menerbitkan keputusan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam 13 ayat (4); atau
menolak permohonan Pengusaha Kena Pajak dengan menerbitkan pemberitahuan penolakan dimaksud, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam 13 ayat (4).
Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
Apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan; dan
Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan keputusan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah.
Berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak menetapkan Pengusaha Kena Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah secara jabatan dengan menerbitkan keputusan penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah.
Terhadap Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi ketentuan Wajib Pajak Persyaratan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf f merupakan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, dengan ketentuan sebagai berikut:
Pengusaha Kena Pajak dimaksud tidak perlu menyampaikan permohonan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan keputusan penetapan secara jabatan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah.
Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c yang melakukan kegiatan tertentu, diberikan Pengembalian Pendahuluan atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai pada setiap Masa Pajak.
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan sebagai Mitra Utama Kepabeanan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Mitra Utama Kepabeanan;
Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat ( Authorized Economic Operator ) sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Operator Ekonomi Bersertifikat ( Authorized Economic Operator );
pabrikan atau produsen selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, yang memiliki tempat untuk melakukan kegiatan produksi;
Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf d;
Pedagang Besar Farmasi yang memiliki:
Sertifikat Distribusi Farmasi atau Izin Pedagang Besar Farmasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pedagang besar farmasi; dan
Sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cara distribusi obat yang baik;
Distributor Alat Kesehatan yang memiliki:
Sertifikat Distribusi Alat Kesehatan atau Izin Penyalur Alat Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyalur alat kesehatan; dan
Sertifikat Cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cara distribusi alat kesehatan yang baik; atau i. perusahaan yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara dengan kepemilikan saham lebih dari 50% (lima puluh persen) yang laporan keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan Badan Usaha Milik Negara induk sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan/atau
ekspor Jasa Kena Pajak.
Untuk dapat ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Pengusaha Kena Pajak merupakan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f;
Pengusaha Kena Pajak telah menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai selama 12 (dua belas) bulan terakhir;
Pengusaha Kena Pajak tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; dan
Pengusaha Kena Pajak tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
Petunjuk Teknis Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan, Keringanan, dan Pengembalian Penerimaan Negara Bukan Pajak ...
Relevan terhadap
Kebijakan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf c meliputi:
kebijakan yang menyebabkan kerugian bagi Wajib Bayar;
kebijakan yang mewajibkan Wajib Bayar untuk mendukung program nasional dan mengakibatkan Wajib Bayar tidak mendapatkan keuntungan yang optimum; dan/atau
kebijakan pemberian keringanan PNBP Terutang kepada Wajib Bayar dengan mempertimbangkan kearifan lokal, aspek keadilan sosial, budaya, dan lingkungan.
Kebijakan yang menyebabkan kerugian bagi Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a antara lain:
pemegang ijin usaha yang tidak dapat menjalankan kegiatan usahanya karena perubahan peraturan perundang-undangan; atau
kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang membatasi jumlah penumpang dalam sarana transportasi umum.
Kebijakan yang mewajibkan Wajib Bayar untuk mendukung program nasional dan mengakibatkan Wajib Bayar tidak mendapatkan keuntungan yang optimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b antara lain:
badan usaha bidang infrastruktur yang diberikan penugasan oleh pemerintah untuk melaksanakan kegiatan pembangunan infrastruktur; atau
badan usaha bidang pertambangan yang diberikan penugasan oleh pemerintah untuk melaksanakan kegiatan peningkatan nilai tambah yang memiliki nilai ekonomi dan sosial yang strategis.
Kebijakan pemberian keringanan PNBP Terutang kepada Wajib Bayar dengan mempertimbangkan kearifan lokal, aspek keadilan sosial, budaya, dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c di antaranya:
pemberian keringanan PNBP Terutang bagi masyarakat kurang mampu atau usaha mikro kecil (UMK);
kebijakan untuk mendukung penerapan teknologi;
kebijakan untuk mempercepat pembangunan daerah; dan/atau
kebijakan untuk mendukung kelestarian alam.
Investasi Pemerintah pada Perusahaan Umum (Perum) BULOG dalam Pengadaan Cadangan Beras Pemerintah
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Perusahaan Umum (Perum) BULOG yang selanjutnya disebut Perum BULOG adalah badan usaha milik negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai badan usaha milik negara, yang seluruh modalnya dimiliki negara berupa kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham, yang menyelenggarakan usaha logistik pangan serta usaha lainnya yang dapat menunjang tercapainya maksud dan tujuan perusahaan.
Cadangan Beras Pemerintah yang selanjutnya disingkat CBP adalah persediaan beras dan/atau gabah yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah.
Investasi Pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau aset keuangan dalam jangka panjang untuk investasi dalam bentuk saham, surat utang, dan/atau investasi langsung guna memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Rekening Investasi Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RIBUN adalah rekening tempat penampungan dana dan/atau imbal hasil Investasi Pemerintah.
Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Komite Investasi Pemerintah yang selanjutnya disingkat KIP adalah lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi supervisi dalam pengelolaan Investasi Pemerintah.
Operator Investasi Pemerintah yang selanjutnya disingkat OIP adalah pelaksana fungsi operasional yang ditunjuk atau ditetapkan oleh Menteri.
Pernyataan Kebijakan Investasi Pemerintah yang selanjutnya disingkat PKIP adalah dokumen yang disusun oleh KIP yang berisi pedoman umum antara lain mengenai pengelolaan investasi yang mencakup perencanaan, pemilihan, dan alokasi, atas sumber daya dan risiko.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing pembantu pengguna anggaran bendahara umum negara baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari bagian anggaran bendahara umum negara.
Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi ...
Relevan terhadap
Pasal II 1. Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum peraturan Pemerintah ini diundangkan berlaku ketentuan sebagai berikut:
untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sebelum berlakunya Peraturan pemerintah ini, pengenaan Pajak Penghasilan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nornor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak terhitung sejak Peraturan pemerintah ini berlaku, pengenaan Pajak penghasilan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. 2. Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berraku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaa,n dari Peraturan pemerintah Nomor 5l rahun 2008 tentang Pajak penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indcnesia 1^'ahun 2008 Nomor 109, Tarnbahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nornor 4881) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan penrerintah Nomor 40 Tahun 2oo9 tentang Perubahan atas Peraturan pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2oag Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nonror 5014), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan pemerintah ini. 3. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku diundangkan. pada tanggal Agar Agar setiap pengundangan penempatannya Indonesia. orang mengetahuinya, memerintahkan Peraturan Pemerintah ini dengan dalam Lembaran Negara Republik Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Februari 2022 JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 Februari 2022 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2022 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2OO8 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI Umum Pada sebagian besar negara berkembang, upaya meningkatkan kapasitas dan kapabilitas konstruksi merupakan hal yang sangat perlu dilakukan, termasuk upaya meningkatkan efisiensi biaya, waktu, dan kualitas pekerjaan konstruksi. Sektor konstruksi ^juga memiliki peran yang penting dalam menciptakan lapangan kerja, mendorong investasi, serta mendukung mobilitas barang dan ^jasa. Dalam rangka meningkatkan iklim usaha konstruksi yang lebih kondusif, maka diperlukan dukungan kebijakan administrasi perpajakan yang berpihak pada sektor konstruksi. Corona Virus Disease 2Ol9 (COVID-19) yang telah ditetapkan sebagai pandemik oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization), telah berdampak pada kemerosotan aktivitas sosial, ekonomi, dan kehidupan masyarakat di Indonesia, termasuk sektor konstruksi sebagai pelaku usaha ekonomi. Oleh karena itu, perlu adanya intervensi Pemerintah melalui penyesuaian ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana teiah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2OO9 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, berupa penyesuaian tarif Pajak Penghasilan final atas Jasa Konstruksi. Dengan penyesuaian tarif Pajak Penghasilan final atas Jasa Konstruksi, Pemerintah berharap kebijakan ini dapat membantu sektor konstruksi dalam menghadapi dampak pandemik COVID-19 sehingga keberlangsungan proses bisnis dari hulu ke hilir tetap terjaga. Kebijakan penerapan tarif Pajak Penghasilan final atas Jasa Konstruksi pada prinsipnya ditujukan dalam rangka kemudahan dan kesederhanaan para pelaku usaha sektor konstruksi untuk melakukan kewajiban perpajakannya. Namun, dengan mempertimbangkan asas keadilan dan kesetaraan maka kebijakan penerapan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final perlu dilakukan evaluasi dalam kurun waktu tertentu. Hasil evaluasi tersebut dapat berupa pemberlakuan pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang pajak penghasilan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Relevan terhadap 1 lainnya
Sinergi bagan akun standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf d dilakukan paling sedikit melalui penyelarasan program dan kegiatan serta keluaran dengan kewenangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 175 Pemerintah dapat memberikan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan TKD dalam hal Pemerintah Daerah tidak melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 sampai dengan Pasal 174. Pasal 176 Sinergi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 didukung dengan:
penyusunan konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah secara nasional sesuai dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Daerah;
penyajian informasi keuangan Daerah secara nasional; dan
pemantauan dan evaluasi pendanaan desentralisasi. Pasal L77 Pemerintah membangun sistem informasi pembangu.nan Daerah, pengelolaan Keuangan Daerah, dan informasi lainnya melalui platform digital yang terinterkoneksi dengan sistem informasi konsolidasi kebijakan fiskal nasional. Pasal 178 Dalam rangka penyajian informasi keuangan Daerah secara nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 huruf b, Pemerintah Daerah menyediakan informasi keuangan Daerah secara digital dalam ^jaringan. Pasal 179 (1) Pemerintah melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala paling sedikit terhadap:
pelaksanaan TKD; dan
pelaksanaan APBD. (2) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177. (3) Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan Pemerintah dalam pengambilan kebijakan fiskal nasional, TKD, dan/atau pemberian sanksi atau insentif kepada Pemerintah Daerah. Pasal 180 Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 sampai dengan Pasal 179 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 181 (1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. (2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Pasal 182 Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir. Pasal 183 Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (4), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar. Pasal 184 Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 185 Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181, Pasa1 183, dan Pasal 184 merupakan pendapatan negara.