Tata Cara Pengajuan Usul, Penelitian, dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah dan Piutang Negara/Daerah ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/lembaga ·pemerintah non kementerian negara/lembaga negara yang merupakan perangkat Pemerintah Pusat.
Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pejabat Pengelola Keuangan Daerah adalah kepala badan/ dinas/biro keuangan/bagian keuangan yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah.
.Panitia Urusan Piutang Negara Cabang, yang untuk se!anjutnya disebut PUPN Cabang, adalah Panitia yang bertugas mengurus Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960.
DJPLN adalah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara. Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara. Kantor Pelayanan adalah Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara.
Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat.
Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
Direksi Perusahaan Negara/Daerah adalah organ Perusahaan Negara/Daerah yang bertanggung jawab atas pengurusan Perusahaan Negara/Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Piutang Negara adalah jum!ah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarka 1JP L; 6' MENTERI KEUANGAN REPUBLI K INDONESIA peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.
Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.
Piutang Perusahaan Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Perusahaan Negara dan/atau hak Perusahaan Negara yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat la'innya yang sah.
Piutang Perusahaan Daerah, adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Perusahaan Daerah dan/atau hak Perusahaan Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.
Penanggung Utang Kepada Negara/Daerah/Perusahaan Negara/Perusahaan Daerah, yang untuk selanjutnya disebut Penanggung Utang, adalah Badan atau orang yang berutang kepada Negara/Daerah/Perusahaan Negara/Perusahaan Daerah menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun.
Penghapusan Secara Bersyarat adalah kegiatan untuk menghapuskan Piutang Negara/Daerah atau Piutang Perusahaan Negara/Daerah dari pembukuan Pemerintah Pusat/Daerah atau pembukuan Perusahaan Negara/Daerah dengan tidak menghapuskan hak tagih Negara/Daerah atau hak tagih Perusahaan Negara/Daerah.
Penghapusan Secara Mutlak adalah kegiatan penghapusan Piutang Negara/Daerah atau Piutang Perusahaan Negara/Daerah dengan menghapuskan hak tagih Negara/Daerah atau hak tagih Perusahaan Negara/Daerah. PSBDT adalah Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Nomor 300/KMK.01/2002. Sementara Belum Dapat Ditagih Keputusan Menteri Keuangan MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Pengujian UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang [Pasal 16 ayat (1)] ...
Relevan terhadap
Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali; 27 (2) Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 tetap sah dan mengikat debitor. Pasal 69 ayat (2) Dalam melaksanakan tugasnya, kurator a. Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Debitor atau salah satu organ Debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan;
Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit. Pemerintah dapat menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa pada dasarnya pengaturan tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang dimaksudkan:
untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang bersamaan terdapat beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor;
untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya;
untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor;
Bahwa sejak tanggal diucapkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga, maka debitor demi hukum kehilangan haknya untuk mengurus seluruh aset harta kekayaannya, disisi lain tuntutan hukum yang diajukan oleh kreditor terhadap debitor guna memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta debitor juga gugur [ vide Pasal 21, Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang], walaupun terhadap harta kekayaan debitor sejak didaftarkan pailit oleh kreditor 28 dapat dilakukan penyitaan ( vide Pasal 10 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang);
Bahwa dalam keadaan seperti tersebut di atas, maka diperlukan sarana/lembaga untuk melindungi kepentingan debitor dan kreditor, Undang-Undang aquo menyediakan sarana dimaksud yaitu Kurator, yang bertugas untuk melakukan pengurusan/pemberesan seluruh harta kekayaan debitor, tindakan demikian dimaksudkan untuk melindungi kepentingan hukum debitor maupun kreditor, dengan demikian ketentuan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, menurut Pemerintah justru berfungsi sebagal penyeimbang kepentingan berbagai pihak, yaitu dengan tujuan agar tidak menimbulkan kerugian terhadap debitor dan tidak memberikan perlakuan yang tidak semestinya kepada para kreditor;
Bahwa pengurusan/pemberesan harta kekayaan debitor oleh Kurator sejak diucapkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga, dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian akan terpenuhinya hak-hak kreditor atas harta kekayaan debitor, menurut Pemerintah jika pengurusan/pemberesan harta pailit tersebut dilakukan setelah putusan pailit tersebut telah mempunyai kekuataan hukum mengikat (inkracht van gewijsde) maka kepentingan kreditor untuk memperoleh hak-haknya tidak akan terlindungi, karena selama proses upaya hukum (kasasi maupun peninjauan kembali) yang dimohonkan oleh debitor pailit, dapat saja terjadi tindakan-tindakan curang yang dapat merugikan kepentingan kreditor. Misalnya debitor mengalihkan tagihannya kepada afiliasinya, melakukan pembayaran hutang kepada kreditor yang merupakan afiliasinya atau mengalihkan harta kekayaannya kepada pihak afiliasinya dengan harga yang relatif lebih murah, dan lain sebagainya; Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Pemerintah berpendapat bahwa dalil- dalil yang dikemukakan oleh Pemohon yang menyatakan telah timbul kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah nyata-nyata tidak terjadi balk secara faktuai maupun potenslal. Jikalaupun anggapan Pemohon tersebut benar adanya, maka kerugian yang didalilkan oleh Pemohon semata-mata berkaitan dengan implementasi norma dalam tatanan praktik, yaitu dalam proses penegakan hukum dan pelaksanaan putusan pailit yang dilakukan oleh Kurator yaitu dalam rangka melaksanakan pengurusan/pemberesan harta debitor pailit guna memenuhi hak- hak para kreditor, karena itu menurut Pemerintah ketentuan aquo justru bertujuan untuk memberikan keseimbangan dan keadilan, baik terhadap debitor maupun 29 kreditor (stabili ty of interest), juga ketentuan aquo telah mewujudkan adanya kepastian hukum terhadap pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit, sehingga menurut Pemerintah ketentuan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah memohon kepada yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagal berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing ) __ 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet _ontvankelijk verklaard); _ 3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.4] Menimbang bahwa DPR RI pada tanggal 15 Maret 2010 memberikan keterangan tertulis yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Ketentuan Pasal UU Kepailitan yang dimohonkan uji materiil terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemohon dalam Permohonan a quo mengajukan uji materiil Ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepailitan, yang berbunyi: 30 ‐ Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2): (1) Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali _; _ (2) Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya Kasasi dan Peninjauan Kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana dimaksud _dalam Pasal 17 tetap sah dan mengikat debitur; _ ‐ Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b: _(2) Dalam hal melakukan tugasnya, kurator: _ a. tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor atau salah satu organ debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan. b. dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit. Para Pemohon beranggapan ketentuan Pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: Pasal 28D ayat (1): (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 28H ayat (4) UUD 1945: “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun” B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 16 AYAT (1) DAN AYAT (2), PASAL 69 HURUF A DAN HURUF B UU KEPAILITAN 31 Pemohon dalam permohonan a quo , mengemukakan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 69 huruf a dan huruf b, yaitu sebagai berikut:
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 10 angka 1 berpendapat, “dengan dijatuhkannya Putusan Perkara Pailit Nomor 52/Pailit/2009/PN.Niaga.JKT.PST. tanggal 14 Oktober 2009, sekalipun Putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap, namun karena luasnya kewenangan Kurator yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) UU Kepailitan sehingga berpotensi penyalahgunaan wewenang oleh kurator, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian besar dan hilangnya hak-hak dasar debitor pailit, seluruh karyawan dan pihak terkait lainnya, keadaan mana merupakan pelanggaran hak konstitusional pemohon”. 2. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 10 angka 4 berpendapat, “kedudukan Debitor Pailit dengan adanya Pasal 16 ayat (1) sangat lemah, karena meskipun debitor pailit mengajukan kasasi atau peninjauan kembali terhadap putusan pailit, kurator tetap dapat melaksanakan pemberesan harta pailit, sehingga tidak ada kepastian _hukum hal mana bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945”; _ 3. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 11 angka 6 berpendapat, “Kurator sangat berpotensi menyalahgunakan kewenangannya dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepailitan, di mana kurator bebas menentukan kehendaknya sendiri dan tidak terbatas dalam hal menjual, menyewakan, melelang, menjaminkan harta pailit, dan menentukan harga atas harta debitor pailit, hal ini bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun” ; C. Keterangan DPR-RI. Terhadap dalil-dalil Para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo dapat dijelaskan sebagai berikut :
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 32 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya _dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ _a. perorangan warga negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan _Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara.” Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa “ yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak- hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”. Oleh karena itu, menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Batasan mengenai kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang harus memenuhi 5 33 (lima) syarat ( vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak Pemohon. Menanggapi permohonan Pemohon a quo , DPR RI berpandangan bahwa meskipun Pemohon memiliki kualifikasi sebagai subjek hukum dalam permohonan a quo sesuai Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, namun merujuk ukuran kerugian konstitusional yang dibatasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-V/2007), Pemohon dalam permohonan a quo tidak membuktikan secara aktual kerugian konstitusional dan kerugian potensial, serta tidak terdapat causal verband kerugian yang didalilkan Pemohon dengan ketentuan Pasal Undang-Undang a quo yang dimohonkan pengujian. Adapun pandangan DPR terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon yaitu:
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan korator berpotensi menyalahgunakan kewenangannya , karena memliki kewenangan yang luas sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 69 huruf a dan huruf b UU Kepailitan, sehingga mengakibatkan kerugian konstitusional Pemohon , DPR berpandangan, 34 hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan penerapan norma dalam pelaksanaan UU Kepailitan;
Bahwa dalam penerapan norma UU Kepailitan, masing-masing pihak baik kreditor, debitor, maupun kurator memiliki potensi untuk melakukan penyelahgunaan kewenangannya (tidak beritikad baik). Oleh karena itu untuk meniadakan atau paling tidak meminimalkan penyalahgunaan kewenangan khususnya yang dilakukan oleh Kurator yang beritikad tidak baik, UU Kepailtan mengatur hal-hal sebagai berikut:
Hakim pengawas mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit oleh Kurator ( vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 65 UU Kepailitan);
Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit ( vide Pasal 72 UU Kepailitan);
Kurator harus menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan [ vide Pasal 74 ayat (1)];
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat terbuka untuk umum dan dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma. [ vide Pasal 74 ayat (2)];
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan kewenangan kurator dalam melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepalitan bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang- wenang oleh siapa pun” , DPR berpandangan bahwa esensi/prinsip dasar dari Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini ( vide Pasal 1 angka 1 UU Kepailitan). Oleh karena itu pengambilan alihan kepemilikan harta debitor pailit (Pemohon) melalui Sita Umum bukan suatu pengambilalihan hak kepemilikan secara sewenang-wenang melainkan berdasarkan putusan pernyataan 35 pailit oleh pengadilan niaga dan pengurusan serta pemberesannya pun dilakukan dibawah pengawasan hakim pengawas dan berdasarkan UU Kepalitan, sehingga dengan demikian justru sangat sejalan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Berdasarkan uraian-uraian diatas maka DPR RI berpandangan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi batasan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-V/2007, karena itu sudah sepatutnya apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia secara bijaksana menyatakan Permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvantkelijk verklaard). Namun demikian jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, selanjutnya bersama ini disampaikan Keterangan DPR RI atas Pengujian Materiil Undang-Undang a quo 2. Pengujian Materiil atas Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepailitan Terhadap pandangan-pandangan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo , pada kesempatan ini DPR RI ingin menyampaikan penjelasan/keterangan sebagai berikut :
Bahwa Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, mengandung beberapa asas, yaitu:
Asas Keseimbangan mengandung pengertian bahwa Undang- Undang ini memuat ketentuan mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan baik oleh Kreditor maupun Debitor yang tidak beritikad baik.
Asas Kelangsungan Usaha mengandung pengertian bahwa Undang- Undang ini memuat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
Asas Keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini juga ditujukan untuk mencegah 36 terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor yang lainnya.
Asas Integrasi mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
Bahwa prinsip atau substansi yuridis dari putusan pernyataan pailit adalah mengubah status hukum seseorang (debitor) menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. Syarat utama untuk dapat dinyatakan pailit adalah bahwa seorang Debitor mempunyai paling sedikit 2 (dua) Kreditor dan tidak membayar lunas salah satu utangnya yang sudah jatuh waktu. Dalam pengaturan pembayaran ini, tersangkut baik kepentingan debitor sendiri, maupun kepentingan para kreditornya. Dengan adanya putusan pernyataan pailit tersebut, diharapkan agar harta pailit debitor dapat digunakan untuk membayar kembali seluruh utang debitor secara adil dan merata serta berimbang;
Bahwa untuk kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap kepentingan kreditor dan debitor, maka Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan secara tegas mengatur bahwa Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak Putusan pernyataan Pailit diucapkan meskipun ada upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali . Hal tersebut sangat logis dan berdasar, mengingat secara yuridis sejak dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, debitor pailit status hukumnya menjadi tidak cakap melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus budel pailit. Oleh karena itu berdasarkan Undang-Undang kewenangannya dialihkan/dilakukan kepada Kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dan hal tersebut juga sebagai upaya untuk mencegah tindakan debitor pailit yang beritikad tidak baik untuk mengalihkan atau memindahtangankan budel pailit atau melakukan perbuatan hukum yang dapat mengurangi nilai budel pailit, misalnya adanya perbuatan curang dari Debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditor. 37 4. Bahwa di samping hal tersebut di atas, dalam hukum acara perdata dikenal putusan dapat dilaksanakan meskipun ada upaya hukum lainnya seperti diatur dalam ketentuan Pasal 54 Reglement acara perdata (S. 1908 – 522) yang berbunyi: “Pelaksanaan sementara putusan-putusan hakim meskipun ada banding atau perlawanan dapat diperintahkan bila:
Putusan didasarkan atas suatu alasan hak otentik;
Putusan didasarkan atas surat di bawah tangan yang diakui oleh pihak terhadap siapa dapat dipakai sebagai dasar, atau yang dianggap diakui menurut hukum, juga dianggap diakui jika perkara diputus tanpa kehadiran Tergugat ( verstek );
Dalam hal telah ada penghukuman dengan keputusan hakim yang mendahuluinya yang terhadapnya tidak dapat diajukan perlawanan atau tidak dapat dimintakan banding. 5. Kewenangan yang diberikan kepada kurator antara lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepailitan diimbangi dengan tanggung jawab yang juga dibebankan kepada Kurator sebagaimana yang diatur dalam Pasal 72 UU Kepailitan yang menyebutkan ” Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian _terhadap harta pailit”; _ 6. Kewenangan dan tanggung jawab kurator tersebut merupakan implementasi dari asas keseimbangan dan asas keadilan yang dianut dalam UU Kepailitan. Dalam wujud asas keseimbangan bahwa terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik. Demikian pula sebagai implementasi Asas Keadilan bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya; 38 7. Dengan demikian, kewenangan yang diberikan kepada kurator juga diimbangi tanggung jawab yang berat kepadanya. Pengurusan dan pemberesan harta pailit merupakan tugas berat bagi kurator. Di samping itu pula bentuk tanggung jawab Kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit antara lain dilakukan melalui penyampaian laporan-laporan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 74 UU Kepailitan, di mana dalam Pasal tersebut mengharuskan Kurator menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan. Laporan tersebut bersifat terbuka untuk umum dan dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma.
Peranan Kurator sebagaimana yang diatur dalam UU Kepailitan oleh kalangan dunia usaha diharapkan bisa menjadi bagian pedoman untuk menyelesaikan permasalahan utang piutang secara efektif. Diharapkan pula bahwa kurator dapat bersifat lebih teliti dan hati-hati untuk menghindari kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi misalnya adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya atau juga kecurangan- kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor yang berusaha melarikan harta kekayaan diri sendiri atau menguntungkan salah satu kreditor;
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepailitan bertentngan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “ Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambilalih secara sewenang-wenang oleh siapa pun ”, DPR berpandangan yang dilarang oleh Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 adalah pengambilalihan hak milik secara sewenang-wenang, sedangkan prinsip dasar/substansi yuridis dari lembaga kepailitan adalah pengambil-alihan kepemilikan harta debitur pailit melalui Sita Umum yang pengurusan dan/atau pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan hakim pengawas, hal tersebut bukanlah suatu pengambilalihan hak kepemilikan secara sewenang-wenang melainkan 39 berdasarkan suatu proses hukum melalui prosedur putusan pernyataan pailit oleh pengadilan niaga dan pengurusannya pun dilakukan dibawah pengawasan hakim pengawas dan berdasarkan UU Kepailitan, sehingga dengan demikian justru sangat sejalan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945; Bahwa berdasarkan keterangan DPR RI di atas, maka dapat disimpulkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepailitan tidak bertentangan dengan 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon kiranya Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan Para Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak–tidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menyatakan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepailitan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepailitan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.5] Menimbang bahwa Pihak Terkait pada tanggal 22 Januari 2010 memberikan keterangan tertulis dan pada tanggal 18 Maret 2010 memberikan keterangan lisan yang pada pokoknya sebagai berikut: I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi a. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, berbunyi: "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, 40 lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusf'. b. Bahwa ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, menyatakan: "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum". c. Bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU No. 24 Tahun 2003, Bukti PT-3), yang berbunyi : "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan _terakhir yang putusannya bersifat final untuk: _ 1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara _Republik Indonesia Tahun 1945; _ 2. memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun _1945; _ 3. memutus _pembubaran partai politik; dan _ 4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. d. Bahwa karena objek permohonan pengujian ini adalah materi muatan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 terhadap UUD 1945, maka secara hukum, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian atas materi muatan Undang-Undang _a quo; _ II. Kedudukan Hukum ( legal standing ) Pihak Terkait 1. Bahwa Pihak Terkait adalah perseorangan yang bergabung di dalam wadah Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia dan menjadi Pengurus Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia, dengan tujuan memperjuangkan kepentingan buruh sebagaimana diperlihatkan dalam Anggaran Dasar Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (Bukti PT-4); Pengakuan Mahkamah Konstitusi atas kedudukan hukum Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (tercatat sebagai Serikat Pekerja/Serikat Buruh di kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Jakarta Barat 41 melalui surat Nomor 258/077-73 tertanggal 8 Februari 2006, dengan Nomor Bukti Pencatatan Nomor 299/III/S.P/II/2006, Bukti PT-5), dalam beracara dihadapan Mahkamah Konstitusi, setidaknya diperlihatkan melalui Putusan Perkara Nomor 2/PUU-VI/2008, yang telah memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia dengan kualifikasi sebagai perseorangan atau kumpulan perseorangan sebagaimana dimaksud Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003;
Bahwa dengan merujuk pada Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa Pihak Terkait memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk memperjuangkan kepentingan buruh dalam hal jaminan pemberian upah dan hak-hak finansial lainnya terkait dengan status pailit dari perusahaan yang mempekerjakan mereka. Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menyatakan : "Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan _haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara"; _ 3. Bahwa Pihak Terkait merupakan pihak yang memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yaitu sebagai kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama di dalam sebuah serikat buruh Federasi Ikatan __ Serikat Buruh Indonesia, serta Pihak Terkait juga memiliki hubungan sebab dan akibat ( causal verband) antara __ kerugian konstitusional dengan akibat hukum dari pernyataan tidak berlakunya ketentuan undang-undang a quo yang dimohonkan untuk diuji; Bahwa dalam perkara ini, Pihak Terkait adalah kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama di dalam sebuah serikat buruh Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia, sebuah serikat buruh yang telah dijamin dalam bingkai konstitusi pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang tumbuh dan berkembang secara swadaya dan dapat dikualifikasikan sebagai kelompok orang (dalam hal ini buruh) , yang selama ini mempunyai kepedulian serta menjalankan aktifitasnya dalam perlindungan dan penegakkan hak-hak buruh di Indonesia, yang tugas dan peranan Pihak Terkait dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan perlindungan, pembelaan, dan penegakkan keadilan terhadap hak-hak buruh di Indonesia, tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa, ras, dan agama, sebagaimana tercermin dalam ketentuan Pasal 7 dan Pasal 9 Anggaran Dasar Pihak Terkait; 42 Sehingga dengan demikian, Pihak Terkait dalam kedudukannya sebagai pimpinan kelompok buruh dapat dikatakan sebagai kumpulan perorangan yang mempunyai kepentingan sama, sehingga telah memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait pengujian materiil atas materi muatan suatu Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi;
Bahwa merujuk Pasal 14 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang- Undang, berbunyi: _Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah: _ a. pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar _keterangannya; atau _ b. pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud. 5. Bahwa dasar Permohonan Pemohon adalah adanya Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang menyebabkan putusan pengadilan niaga dapat dijalankan terlebih dahulu (uit voerbar bij voraard). Sehingga, Pihak Terkait berkepentingan secara tidak langsung, apabila permohonan Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karena, Pihak Terkait sebagai organisasi perburuhan yang melakukan advokasi-advokasi terhadap masalah-masalah perburuhan, termasuk masalah kepailitan yang terjadi pada sebuah perusahaan, akan mengalami dampak terhadap ketentuan a quo, apabila ketentuan tersebut tidak dibatalkan;
Bahwa Pihak Terkait berkepentingan secara tidak langsung, apabila permohonan Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karena, Pihak Terkait sebagai organisasi perburuhan yang melakukan advokasi- advokasi terhadap masalah-masalah perburuhan, termasuk masalah kepailitan yang terjadi pada sebuah perusahaan, akan bersentuhan dengan Kurator yang segala kewenangannya; Buruh sebagai pihak yang bekerja pada orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri atau bukan miliknya atau mewakili perusahaan yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan 43 membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain, akan menjadi Kreditor ketika putusan pailit diucapkan; Dalam Pasal 39 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, diatur mengenai adanya hak Kurator untuk melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat puluh lima) hari sebelumnya; Dengan demikian, Kurator berdasarkan putusan Pengadilan Niaga yang putusannya dapat dijalankan terlebih dahulu, dapat sewaktu-waktu memutuskan hubungan kerja buruh yang bekerja pada Debitor Pailit dalam tenggang waktu 45 hari sebelumnya, dan buruh tidak dapat menolak pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh Kurator, dikarenakan Pasal 29 dan Pasal 31 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU menggugurkan seluruh tuntutan hukum di Pengadilan (termasuk Pengadilan Hubungan Industrial) terhadap Debitor bahkan sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan;
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Pihak Terkait sebagai organisasi perburuhan yang mengabdi untuk memperjuangkan hak dan kepentingan kaum buruh juga memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pihak Terkait sesuai dengan maksud di dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor O6/PMK/2005 menyatakan: "Pihak Terkait yang dimaksud Pasal 13 ayat (1) huruf g adalah pihak yang berkepentingan langsung atau tidak langsung dengan pokok permohonan". Dengan demikian, Pihak Terkait berpendapat bahwa Pihak Terkait memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pihak Terkait dalam permohonan pengujian Undang-Undang a quo terhadap UUD 1945; III. Argumentasi Pihak Terkait 1. Bahwa dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang a quo dinyatakan: "Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan _kembali”; _ 2. Bahwa Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang a quo tersebut di atas, menunjukkan bahwa sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, maka 44 putusan tersebut dapat dijalankan walaupun ada upaya hukum biasa dan luar biasa;
Bahwa pelaksanaan putusan pemyataan pailit berwujud suatu pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit oleh Kurator, yang salah satu kewenangan Kurator dalam pemberesan harta pailit adalah tindakan terhadap kelanjutan hubungan kerja/hubungan hukum kreditor preferens buruh dengan debitor pailit. Kewenangan Kurator sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, dapat berakibat pada putusnya hubungan kerja yang tidak dapat diajukan keberatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial, karena Pasal 29 dan Pasal 31 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU telah menggugurkan seluruh tuntutan hukum di Pengadilan, bahkan sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan;
Bahwa menurut Imran Nating, S.H., M.H., dalam bukunya berjudul "Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Paililt", halaman 95, bahwa Debitor Pailit berkewajiban menyerahkan seluruh kewenangan pengurusan harta pailit dan usahanya pada Kurator dan tidak lagi menjalankan sendiri, serta Debitor tidak dapat menghalangi, baik sengaja maupun tidak, pelaksanaan tugas Kurator; Bahwa Kewenangan Kurator yang demikian luas dalam pengurusan harta pailit setelah putusan pernyataan pailit, juga dapat menimbulkan tindakan pemutusan hubungan kerja terhadap buruh Debitor dan akan menyebabkan kekhawatiran buruh yang bekerja pada Debitor Pailit serta hanya akan berakibat membuat rasa nyaman dalam bekerja menjadi hilang, sehingga keterpurukan perusahaan yang sudah dinyatakan pailit dapat semakin terpuruk dan tidak mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan urusan utang piutangnya; Bahwa pada hakikatnya, setiap perusahaan akan mempertahankan dirinya untuk tidak pailit atau bangkrut, karena hal ini selain dapat menyebabkan berhentinya usaha dan pelunasan segala utang piutangnya, juga dapat menyebabkan putusnya hubungan kerja buruh yang bekerja, sehingga dapat mengakibatkan pertambahan pengangguran; Dengan demikian, upaya Debitor Pailit untuk mempertahankan usahanya dengan mengajukan upaya hukum biasa dan luar biasa adalah suatu upaya 45 yang patut untuk dipertimbangkan. Serta, penyelesaian perkara kepailitan dalam UU Kepailitan dan PKPU tidaklah memakan waktu yang terlalu lama, namun demikian bagi Debitor Pailit dengan adanya tenggang waktu bagi dirinya untuk tetap bertahan, maka Debitor Pailit dapat bekerja bersama- sama dengan buruh, untuk mencari jalan keluar guna melunasi utang piutang Debitor Pailit. Dalam kasus kepailitan yang sedang dialami Pemohon, betapa Pemohon sangat kesulitan dalam mencari klien/ order untuk tetap dapat bertahan dan mempertahankan buruhnya lebih dari 1.000 orang, karena tanggung jawab perusahaan telah dialihkan kepada Kurator oleh Pengadilan Niaga berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU; Bahkan, kecemasan buruh Pemohon, dapat kita jumpai dalam aksi-aksi unjuk rasa yang mereka lakukan, karena khawatir adanya tindakan Kurator dalam memutuskan hubungan kerja dengan mereka (buruh), dan bukan tidak mungkin hal tersebut dilakukan oleh Kurator, karena Kurator diberikan kewenangan berdasarkan Pasal 39 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. Dan, segala perbuatan yang dilakukan oleh Kurator (termasuk tindakan melakukan pemutusan hubungan kerja dengan buruh) tetap sah dan mengikat Debitor Pailit, walaupun putusan pernyataan pailit dibatalkan dalam tingkatan kasasi atau peninjauan kembali, sebagaimana tersebut di dalam Pasal 16 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU; Bahwa oleh karena, demi pertimbangan upaya hukum Debitor Pailit dalam tindakannya mempertahankan dirinya melalui tingkatan kasasi dan peninjauan kembali, serta sebagai penghati-hati agar dikemudian hari tidak sulit bila putusan __ pernyataan pailit diubah atau bila Debitor Pailit mampu untuk melunasi perkara utang piutangnya, maka permohonan Pemohon dalam pembatalan Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU patut untuk dikabulkan.
Bahwa dalam ketentuan Pasal 180 HIR/Pasal 191 RBg, telah ditentukan mengenai syarat-syarat dan ketentuan putusan yang bersifat dapat dijalankan terlebih dahulu (uit voerbar voraard) dan ketentuan tersebut berlaku di seluruh tingkatan pengadilan tingkat pertama, termasuk seharusnya juga berlaku pada Pengadilan Niaga sebagai pengadilan tingkat pertama. Sehingga, ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU 7 46 sepanjang frasa "meskipun terhadap putusan tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali", telah diskriminatif, dan tidak memenuhi rasa kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka telah terbukti adanya kerugian konstitusional Pemohon, sehingga ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang a quo sepanjang frasa "meskipun terhadap putusan tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali", harus dapat dinyatakan bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; IV. Petitum Berdasarkan uraian tersebut, Pihak Terkait memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus perkara permohonan hak uji materiil Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan amar Putusan sebagai berikut:
Menerima Permohonan Pihak Terkait sebagai Pihak Terkait;
Menyatakan materi muatan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sepanjang frasa "meskipun terhadap putusan tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali", bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tabun 1945; 3. Menyatakan materi muatan Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tabun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sepanjang frasa "meskipun terhadap putusan tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali", harus dimaknai "setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van _gewijsde); _ 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Atau, bila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, Pihak Terkait memohon putusan seadil-adilnya. 47 [2.6] Menimbang bahwa untuk memperkuat dalilnya, Pihak Terkait mengajukan Bukti Surat/Tulisan yang diberi tanda Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-5 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
Bukti PT-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesaia Tahun 1945;
Bukti PT-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Bukti PT-4 : Fotokopi Anggaran Dasar Federasai Ikatan Serikat Buruh Indonesia;
Bukti PT-5 : Fotokopi Tanda Bukti Pencatatan Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia tercatat sebagai Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Jakarta Barat melalui Surat Nomor 258/077-73 tertanggal 8 Februari 2006, dengan Nomor Bukti Pencatatan Nomor 299/III/S.P/II/2006; [2.7] Menimbang bahwa Pemohon dan Pihak Terkait menyampaikan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 24 Maret 2010 dan tanggal 25 Maret 2010 , yang pada pokoknya para pihak tetap dengan pendiriannya; [2.8] Menimbang bahwa untuk mempersingakat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa permasalahan utama dari permohonan Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Rupublik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443, selanjutnya disebut UU Kepailitan) terhadap Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); 48 [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan:
kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan _a quo; _ dan b. kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon; Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 ; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah menguji konstitusionalitas norma Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan terhadap UUD 1945 sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; 49 c. badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK;
adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang bahwa Pemohon adalah badan hukum privat yakni PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia yang didirikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor C2-6475.HT.01.01.TH.90, tanggal 13 Desember 1990 dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 18 Mei 1993, Nomor 40, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 2183 ( vide Bukti P-3 ); [3.7] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta Putusan- Putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; 50 [3.8] Menimbang bahwa Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan karena Pasal a quo telah memberikan kewenangan yang sangat luas kepada kurator sehingga berpotensi menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi Pemohon selaku debitor pailit yang akan mengancam dinegasikannya hak-hak dasar Pemohon beserta seluruh pihak yang terkait antara lain hak kelangsungan hidup karyawan, mitra kerja Pemohon dan pihak lainnya yang notabene jumlahnya ribuan jiwa atas keputusan pailit yang pada kenyataannya masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap ( inkracht van gewijsde ) dalam perkara pailit Nomor 52/Pailit/2009/PN.Niaga.JKT.PST tanggal 14 Oktober 2009. [3.9] Menimbang bahwa dengan dijatuhkannya putusan Perkara Pailit Nomor 52/Pailit/2009/PN.Niaga.JKT.PST tanggal 14 Oktober 2009, Pemohon mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung RI, namun selama proses hukum berjalan sampai didapatnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum mengikat, secara de facto telah terjadi tindakan Kurator yang melampaui kewenangannya yang bukan hanya disebabkan oleh pemberian kewenangan yang terlalu luas oleh UU Kepailitan melainkan lebih dari itu terjadi penafsiran oleh Kurator dan Hakim Pengawas yang semuanya bersumber dari rumusan Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan telah mengabaikan prinsip-prinsip keseimbangan, kepastian hukum, dan keadilan; [3.10] Menimbang bahwa melalui pandangan inilah, Pemohon memiliki hubungan sebab akibat ( causal verband ) serta potensi untuk dapat dirugikan hak konstitusionalnya sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; [3.11] Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menurut Mahkamah, Pemohon prima facie mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian pasal-pasal a quo ; [3.12] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo , dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) , selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok Permohonan; 51 Pendapat Mahkamah [3.13] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon beserta alat bukti surat/tulisan dan keterangan ahli yang diajukan, keterangan Pemerintah dan keterangan DPR serta kesimpulan Pemohon dan kesimpulan Pihak Terkait sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Dalam Provisi [3.14] Menimbang bahwa dalam permohonan provisinya tentang keberlakuan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) UU Kepailitan, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal a quo dapat menimbulkan potensi yang menjadikan Pemohon menjadi suatu perusahaan yang betul-betul pailit sehingga tidak dapat lagi menjalankan usahanya ( vide Perbaikan Permohonan halaman 16). Berdasarkan dalilnya tersebut, Pemohon kemudian memohon putusan provisi kepada Mahkamah untuk memerintahkan penghentian sementara penggunaan kewenangan kurator dalam menjalankan kewenangannya dalam Perkara Pailit Nomor 52/Pailit/2009/PN.Niaga.JKT.PST tanggal 14 Oktober 2009 sampai adanya putusan akhir dari Mahkamah dalam perkara a quo . Atas dalil Pemohon tersebut, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: • Bahwa kewenangan penghentian sementara penggunaan kewenangan kurator dalam menjalankan kewenangannya pada perkara pailit bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang sudah diatur secara tegas dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang kemudian diulang kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk 1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, 2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 3) Memutus pembubaran partai politik, dan 4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Sejalan dengan itu, Pasal 29 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 52 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076) menegaskan juga kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut di atas; • Bahwa selain itu, permohonan provisi yang diajukan Pemohon tidak terkait langsung dengan pokok permohonan a quo. Pertama , dalam Pengujian Undang-Undang (judicial review), putusan Mahkamah hanya menguji norma abstrak, tidak mengadili kasus konkret seperti penghentian sementara kewenangan kurator dalam perkara pailit yang menimpa Pemohon sehingga oleh karena permohonan provisi Pemohon sudah masuk ke kasus konkret maka Mahkamah tidak dapat mengabulkannya. Kedua , sejalan dengan alasan yang pertama maka Mahkamah harus menolak permohonan putusan provisi terkait penghentian sementara penggunaan kewenangan kurator dalam perkara pailit karena putusan Mahkamah tentang norma dalam kasus Pengujian Undang-Undang (judicial review) bersifat erga omnes . Artinya, putusan Mahkamah berlaku umum dan mengikat untuk semua kasus di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, Mahkamah tidak dapat memutus kasus konkret yang tertuju hanya terhadap satu kasus seperti dalam permohonan a quo karena kalau hal itu dilakukan berarti bertentangan dengan sifat erga omnes tersebut. Ketiga , putusan Mahkamah bersifat prospektif sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU MK serta Pasal 38 dan Pasal 39 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, sehingga apa pun amar putusan Mahkamah dalam perkara a quo tidak berlaku surut terhadap perkara konkret yang sudah berlangsung; Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Mahkamah menolak permohonan provisi yang dimohonkan Pemohon; Dalam Pokok Permohonan [3.15] Menimbang bahwa adapun pokok permohonan yang diajukan oleh Pemohon, pada dasarnya menguji konstitusionalitas Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan sepanjang frasa “ meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali ” yang menurut Pemohon harus dimaknai “ sejak putusan 53 pailit dimaksud mempunyai kekuatan hukum tetap ”. Pemohon beralasan sebagai berikut: Bahwa pemaknaan atau penafsiran tersebut berkaitan dengan kewenangan kurator in casu Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepailitan sehingga secara mutatis mutandis harus ditunda keberlakuannya dan dilakukan pembatasan kewenangan kurator sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; Bahwa dengan adanya frasa “ meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali ” dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang a quo berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang oleh kurator yang pada akhirnya berakibat menimbulkan kerugian besar dan hilangnya hak-hak dasar dari debitor. Hal ini mengakibatkan kedudukan debitor pailit menjadi lemah di mana kurator tetap dapat melaksanakan pemberesan harta pailit sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan hilangnya proporsionalitas atau keseimbangan hak antara kurator dan debitor serta tidak sejalan dengan asas praduga tak bersalah. Selain itu, frasa dalam Pasal a quo berpotensi atau dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) oleh kurator, karena kurator bebas menentukan kehendaknya sendiri dan tidak terbatas dalam hal menjual, menyewakan, melelang, dan menjaminkan harta pailit termasuk menentukan harganya sehingga hal ini berakibat merugikan dan melanggar hak-hak dasar Pemohon. Berdasarkan hal tersebut, Pemohon menganggap frasa “ meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali ” dalam Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H UUD 1945; [3.16] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan Pemerintah yang menyatakan kerugian yang didalilkan oleh Pemohon semata-mata berkaitan dengan implementasi norma, yaitu dalam proses penegakan hukum dan pelaksanaan putusan pailit guna memenuhi hak kreditor sehingga menurut Pemerintah ketentuan a quo justru bertujuan untuk memberikan keseimbangan dan keadilan baik terhadap debitor maupun kreditor ( stability of interest ). Selain itu, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan a quo telah 54 mewujudkan adanya kepastian hukum terhadap pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit; [3.17] Menimbang bahwa Mahkamah telah pula mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) yang menerangkan kerugian konstitusional Pemohon karena penyalahgunaan kewenangan oleh kurator yang memiliki kewenangan luas sebagaimana diatur dalam Pasal a quo bukanlah persoalan konstitusonalitas, melainkan persoalan penerapan norma dalam pelaksanaan UU Kepailitan. Oleh karena itu, untuk meniadakan atau meminimalkan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh kurator yang tidak beritikad baik, menurut DPR dalam UU Kepailitan terdapat pembatasan- pembatasan terhadap kewenangan kurator. Bahwa esensi/prinsip dasar dari kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas; [3.18] Menimbang bahwa pembentukan UU Kepailitan dilatarbelakangi untuk menghindari beberapa faktor. Pertama , perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor. Kedua , kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya. Ketiga , kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri; [3.19] Menimbang bahwa pada prinsipnya tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan terhadap harta pailit sejak adanya putusan pailit Pengadilan Niaga sebagai konsekuensi dari sifat serta merta ( uitvoorbaar bij voorraad ) putusan pernyataan pailit [ vide Pasal 8 ayat (7) Undang-Undang a quo ]. Namun demikian tidak berarti kurator secara sewenang-wenang dapat melaksanakan kewenanganya karena harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut; i) apakah kurator berwenang melakukannya?; ii) apakah saat pengurusan dan/atau pemberesan tersebut merupakan waktu yang tepat terutama dari segi ekonomi dan bisnis untuk melakukannya?; iii) apakah dalam rangka pengurusan dan/atau pemberesan kurator terlebih dahulu memerlukan persetujuan/izin/keikutsertaan dari pihak-pihak tertentu, seperti dari hakim 55 pengawas, pengadilan niaga, panitia kreditor, debitor dan sebagainya?; iv) apakah pengurusan dan/atau pemberesan tersebut kurator memerlukan prosedur tertentu, seperti melalui sidang yang dihadiri/dipimpin oleh hakim pengawas?; v) bagaimana cara yang layak dari segi hukum, kebiasaan, dan sosial bagi kurator dalam menjalankan kewenangannya?; [3.20] Menimbang bahwa kewenangan yang melekat pada kurator tidak bebas dari pertanggungjawaban hukum perdata jika akibat kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pihak-pihak yang berkepentingan terhadap harta pailit. Bahkan tidak hanya debitor, namun kreditor juga dapat menggugat secara perdata terhadap kurator ( vide Pasal 72 UU Kepailitan). Selain itu terdapat upaya perlawanan kepada hakim pengawas jika keberatan terhadap kegiatan yang dilakukan kurator [ vide Pasal 77 ayat (1) UU Kepailitan], bahkan keberatan terhadap ketetapan hakim pengawas dapat naik banding ke pengadilan niaga [ vide Pasal 68 ayat (1) UU Kepailitan]. [3.21] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Pasal a quo melanggar prinsip perlakuan, perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil serta diperkuat oleh pendapat ahli (Kurnia Thoha) yang berpendapat bahwa Pasal a quo lebih menekankan perlindungan kepada kreditor karena begitu luasnya kewenangan dari kurator. Mahkamah berpendapat, Pasal a quo justru bertujuan untuk memberikan keseimbangan, keadilan, dan kepastian hukum dalam pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit baik terhadap debitor maupun kreditor. Keberadaan Pasal a quo tidak menutup hak debitor untuk melakukan upaya hukum kasasi atau PK, sebaliknya tidak pula menutup hak kreditor untuk mendapatkan pemenuhan piutangnya. Bahwa dengan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga maka status hukum debitor tidak cakap melakukan perbuatan hukum, seperti menguasai dan mengurusi harta sehingga sejak adanya putusan pailit dari Pengadilan Niaga secara serta merta hak menguasai dan mengurusi hartanya dialihkan dan/atau dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Bahwa dengan keberadaan Pasal a quo dengan demikian diharapkan dapat mencegah tindakan debitor yang beritikad buruk untuk mengalihkan atau memindahtangankan hartanya atau melakukan perbuatan hukum yang dapat 56 mengurangi nilai hartanya, sebaliknya harta tersebut dapat digunakan untuk membayar kembali seluruh utang debitor secara adil, merata, dan berimbang kepada kreditor. [3.22] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal a quo berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang oleh kurator dengan mengambil alih secara sewenang-wewenang hak milik Pemohon sehingga bertentangan dengan Pasal 28H UUD 1945 dan diperkuat oleh pendapat ahli (Darminto Hartono) yang menerangkan bahwa Pasal a quo memberikan kewenangan yang demikian penuh kepada kurator sehingga tujuan dari UU Kepailitan dapat disalahgunakan dan tidak akan tercapai. Menurut Mahkamah kerugian yang dialami Pemohon in casu TPI tidak berkaitan dengan permasalahan konstitusionalitas norma, melainkan permasalahan penerapan norma. Dalam rangka mencegah penyalahgunaan wewenang atas harta pailit yang dilakukan oleh kurator telah tersedia upaya hukum yang dimuat dalam UU Kepailitan, yaitu Pemohon dapat mengajukan keberatan atas tindakan yang dilakukan oleh kurator, baik melalui penggantian kurator maupun permintaan pertanggungjawaban secara perdata kepada pengadilan. Dalam hal kepailitan, baik pihak debitor, kreditor maupun kurator memiliki potensi untuk melakukan penyalahgunaan kewenangannya atau bertindak dengan itikad buruk. Oleh karena itu, untuk menghindarkan atau meminimalkan hal tersebut tersedia upaya-upaya hukum dalam UU Kepailitan yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan. Dengan demikian Mahkamah berpendapat dalil-dalil Pemohon dalam pokok permohonan merupakan pelaksanaan Undang-Undang dan tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian, sehingga dalil-dalil Pemohon tidak beralasan hukum;
KONKLUSI Berdasarkan seluruh penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; 57 [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan provisi Pemohon tidak tepat dan tidak beralasan hukum; [4.4] Dalil-dalil Pemohon dalam pokok permohonan tidak terbukti; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dengan mengingat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076) 5. AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan, Dalam Provisi: Menolak permohonan provisi Pemohon; Dalam Pokok Permohon: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim pada hari Selasa tanggal satu bulan Februari tahun dua ribu sebelas oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, sebagai Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, Harjono, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva dan diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal dua puluh dua bulan Maret tahun dua ribu sebelas oleh kami delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD, sebagai Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, 58 Harjono, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Saiful Anwar sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait/Kuasanya. KETUA, ttd Moh. Mahfud MD ANGGOTA-ANGGOTA, ttd Achmad Sodiki ttd Muhammad Alim ttd Harjono ttd Maria Farida Indrati ttd M. Akil Mochtar ttd Ahmad Fadlil Sumadi ttd Hamdan Zoelva PANITERA PENGGANTI ttd Saiful Anwar
Pengujian UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah [Pasal 6 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b ...
Relevan terhadap
“Apabila Debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan _tersebut”; _ Pasal 15 ayat (1) huruf b: “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan Akta Notaris _atau Akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: _ a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada _membebankan Hak Tanggungan; _ _b. tidak memuat kuasa substitusi; _ c. mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan. ditafsirkan terhadap parate executie hak tanggungan berdasarkan UU 4/1996demikian, jelas hal tersebut menafikan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU 18/2003; dan Iebih jauh bertentangan dengan ketentuan UUD 1945, Sebab:
Pasal 1 ayat (1) UU 18/2003, yang berbunyi: “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”. __ b. bahwa hak konstitusional Pemohon yang dilindungi UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” __ dan Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. __ 10 2. Bahwa kata “kekuasaan sendiri” yang tercantum dalam Pasal 6 UU 4/1996 tersebut dimaksudkan oleh pembentuk Undang-Undang adalah untuk menbedakan dengan ketentuan hipotik sebelumnya. Dalam ketentuan hipotik sebelumnya, penjual dengan “kekuasaan sendiri” tersebut merupakan “janji” dan harus dikonstatir secara tegas-tegas pada perjanjian pokoknya, sedangkan dalam UU 4/1996 hal tersebut tidak usah diperjanjikan lagi karena telah mengikat bersumberkan pada Undang-Undang tersebut.
Sedangkan kontekstual Pasal 15 ayat (1) huruf b bukan mengatur tentang eksekusi hak tanggungan, akan tetapi mengatur tentang kuasa pembebanan hak tanggungan oleh seorang Debitor kepada krediturnya dimana kekuasaan tersebut tidak dapat disubstitusikan kepada pihak lainnya.
Bahwa apabila kita simak dengan teliti ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan dalam penjelasan Undang-Undang tersebut atas pasal itu jelas-jelas bahwa ketentuan Pasal 15 Undang-Undang a quo __ adalah mengatur tentang pemasangan hak tanggungan terhadap suatu objek tanah dan bukan mengatur tentang tata cara eksekusi hak tanggungan, oleh karena itu maka ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b yang telah ditafsirkan oleh Termohon sedemikian rupa dan tidak ada relevansinya dengan suatu pengajuan parate executie hak tanggungan menjadikan hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan selain itu bertentangan pula dengan Pasal 1 ayat (1) UU 18/2003 yang berbunyi: “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”. 5. Bahwa penolakan demikian pun telah menganulir amanah Pasal 1 ayat (1) UU 18/2003 dan Iebih jauh lagi karenanya bertentangan dengan ketentuan konstitusional Pemohon yang diatur dalam UUD 1945 sehingga karenanya dengan segala kerendahan hati Pemohon mengajukan permohonan a quo __ untuk mengajukan “uji materil” terhadap ketentuan Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 bertentangan dengan UUD 1945. VII. Petitum Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas, kiranya Ketua Mahkamah Konstitusi atau Ketua Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa berkenan untuk 11 menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon a quo, __ dan dengan memberi putusan sebagai berikut:
Mengabulkan Permohonan Pemohon seluruhnya;
Menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 adalah inkonstitusional __ sepanjang dimaknai sebagai suatu larangan dalam suatu pengajuan parate executie hak tanggungan yang dilakukan oleh seorang kuasa bahkan oleh seorang advokat pun.
Menyatakan karenanya bahwa ketentuan Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 sepanjang dimaknai sebagai suatu larangan dalam suatu pengajuan parate executie hak tanggungan yang dilakukan oleh seorang kuasa bahkan oleh seorang advokat pun tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil- adilnya (ex aequo et bono) [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat atau tertulis yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-12, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Surat Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kantor Wilayah V Bandar Lampung Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bandar Lampung Nomor S-1018/WKN.5/KP.03/2008 perihal “Permohonan Penjualan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan”, bertanggal 30 Desember 2008;
Bukti P-2 : Fotokopi Surat Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Direktorat Lelang Nomor S-43/KN.7/2009 perihal “Apakah pengajuan eksekusi hak tanggungan secara ‘parate eksekusi’ memang harus dilakukan oleh principal-nya sendiri dan tidak boleh dikuasakan kepada seorang advokat?!”, bertanggal 18 Februari 2009; 12 3. Bukti P-3 : Fotokopi Kartu Tanda Pengenal Advokat atas nama Uung Gunawan, S.H., M.H;
Bukti P-4 : Fotokopi Petikan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor D- 39.KP.04.13-Th.1994 tentang Pengangkatan Sebagai Penasihat Hukum, bertanggal 10 Mei 1994;
Bukti P-5 : Fotokopi Sertifikat Nomor 144/UM/80/PTB mengenai Keterangan Lulus Ujian Penasihat Hukum/Pengacara Praktek atas nama Uung Gunawan, bertanggal 12 Desember 1980, yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung;
Bukti P-6 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
Bukti P-7 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
Bukti P-8 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-9 : Fotokopi Salinan Risalah Lelang Nomor 355/2008 yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bogor;
Bukti P-10 : Fotokopi Salinan Risalah Lelang Nomor 098/2010 yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Surabaya;
Bukti P-11 : Fotokopi Salinan Risalah Lelang Nomor 41/2008 yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bandung;
Bukti P-12 : Fotokopi Salinan Risalah Lelang Nomor 682/2008 yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bandung. Selain itu, Pemohon juga mengajukan Ahli Zulkifli Harahap yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 15 Maret 2011 yang menerangkan hal-hal pada pokoknya sebagai berikut: Pasal 15 ayat (1) huruf b Undang-Undang 4/1996 menyatakan bahwa surat kuasa membebankan hak tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dengan memenuhi persyaratan tidak memuat kuasa substitusi. Dalam penjelasan dinyatakan, ” Yang dimaksud dengan pengertian substitusi menurut undang- 13 undang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Bukan merupakan substitusi, jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya Direksi Bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada Kepala Cabangnya atau pihak lain. ” Substitusi adalah pengalihan, yaitu pengalihan pengurusan dari a menjadi b. Hal tersebut yang tidak diperbolehkan. Proses eksekusi hak tanggungan dilakukan apabila ada debitor yang cidera janji atau wanprestasi terhadap perjanjian pokoknya, sehingga kreditor diberikan hak preferen untuk melakukan penjualan barang jaminan melalui lelang. Sesuai dengan Penjelasan Pasal 6 UU 4/1996, tidak mungkin seseorang menjual barang jaminan tanpa adanya sesuatu yang telah diperjanjikan terlebih dahulu. Dengan didaftarkan hak tanggungan maka penerima hak tanggungan memiliki hak yang didahulukan untuk menerima pelunasan atas utang-utangnya. Pasal 15 UU 4/1996 menyangkut Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SK-MHT). Pasal 15 ayat (2) menyatakan, “ Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). ” Jangka waktu untuk tanah yang sudah bersertifikat adalah satu bulan, dan untuk tanah-tanah yang harus didaftarkan atau belum bersertifikat adalah tiga bulan. SK-MHT termasuk lembaga kuasa, sedangkan APHT termasuk lembaga pembebanan hak. SK-MHT adalah pengantar untuk melakukan APHT. Kekuasaan dalam Pasal 6 UU 4/1996 mengacu kepada hak preferen yang diperoleh dari janji-janji yang dibuat dalam APHT. Perbuatan hukum kreditor untuk menghadap pihak-pihak terkait, dapat diwakili. UU 4/1996 menyatakan bahwa dalam pembuatan SK-MHT dan akte pemberian hak tanggungan harus ada keyakinan dari notaris atau PPAT bahwa pemberi hak tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang dibebankan. 14 Hal yang tidak dapat disubstitusikan adalah dalam rangka pembebanan haknya, jadi pemilik jaminan yang memberikan pembebanan haknya kepada bank, bukan pada saat eksekusi. Dalam hal parate executie , kepentingan pemegang hak dapat diwakilkan karena tindakan mewakilkan bukan merupakan substitusi. [2.3] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 15 Maret 2011 telah didengar keterangan Pemerintah ( opening statement ) yang selanjutnya memberikan keterangan tertulis bertanggal 27 Mei 2011 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 7 Juni 2011, selengkapnya sebagai berikut: I. Pendahuluan Bahwa permohonan yang diajukan Pemohon, pada intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 dianggap telah merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, atau setidak-tidaknya Pemohon mengalami kerugian yang bersifat potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Pasal 6 UU 4/1996 menyatakan “ Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut ”. Sedangkan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 pada intinya menyatakan bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan, salah satunya adalah tidak memuat kuasa substitusi. Bahwa menurut Pemohon dengan diberlakukannya ketentuan a quo, telah menyebabkan dirinya terhalang untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan menurut profesinya sebagai seorang advokat, karena tidak dapat melakukan permohonan parate executie . Pemerintah berpendapat, permohonan yang diajukan Pemohon didasarkan kepada pemahaman yang keliru, tidak berdasar, dan terlalu mengada-ada (obscuur libel), utamanya di dalam mengkonstruksikan adanya kerugian konstitusional yang dialami 15 oleh Pemohon, karena menurut Pemerintah yang dialami oleh Pemohon adalah berkaitan dengan implementasi keberlakuan Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji. Dengan perkataan lain, permohonan a quo bukan merupakan objek yang dapat dilakukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi. __ Namun demikian, untuk memberi pencerahan kepada Pemohon dan sekaligus kepada masyarakat secara umum, Pemerintah akan menyampaikan keterangan sebagai berikut. __ II. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK disebutkan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewajiban konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan tersebut di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” __ adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD1945 maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan :
kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul 16 karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ( vide sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), yang harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Pemohon yang kedudukannya sebagai warga negara Indonesia, dengan pekerjaan sebagai seorang advokat dalam permohonannya menyatakan bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 telah merugikan kewenangan konstitusionalnya. Ketentuan a quo dianggap merugikan Pemohon, dan karenanya ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Untuk menanggapi hal tersebut, Pemerintah patut mempertanyakan:
apakah sudah tepat Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan pasal-pasal pada Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut? b. apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud tersebut bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi? c. apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang terjadi dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji? Lebih lanjut dapat dipertanyakan siapa yang sebenarnya dirugikan atas keberlakuan Undang-Undang a quo, apakah hanya Pemohon saja, dirinya yang berprofesi sebagai advokat atau orang lain secara umum, orang lain yang berprofesi advokat, 17 karena Pemohon tidak menjelaskan secara tegas dalam permohonannya tentang siapa yang sebenarnya dirugikan. Dalam permohonannya, Pemohon hanya menjelaskan kedudukan Pemohon selaku perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dengan berlakunya Pasal 6 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996. Bahwa menurut Pemerintah, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996, khususnya mengenai tidak dapat diperkenankannya ada pemberian kuasa substitusi pada Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, tidak pernah dibuat dan disusun bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk merugikan kepentingan bangsa dan negara serta rakyat Indonesia, termasuk Pemohon, tetapi justru ketentuan dimaksud digunakan untuk menjadi dasar yang jelas dan tegas bagi debitor dan kreditor dalam penjaminan hutang piutang yang dilakukan antara mereka, khususnya ketika akan dilakukan eksekusi atas objek jaminannya. Dengan demikian menurut Pemerintah, Pemohon selaku warga negara sama sekali tidak pernah terkurangi hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal-pasal tersebut. Bahwa sesuai dengan penggunaan pasal penguji yang digunakan Pemohon dalam permohonannya yaitu Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, maka Pemerintah mempertanyakan penggunaan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut oleh Pemohon sebagai dasar baginya untuk mempermasalahkan ditolaknya Pemohon selaku advokat untuk mengajukan permohonan parate executie dikaitkan dengan “pekerjaan dan penghidupan yang layak”, “pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata “pekerjaan” adalah pencaharian; yang dijadikan pokok penghidupan; sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah. Sedangkan arti kata “penghidupan”, adalah pencaharian. Dan 18 arti kata “layak” adalah wajar, pantas, patut, mulia, terhormat. Pemerintah berpendapat bahwa keberlakuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya tersebut sama sekali tidak bermaksud untuk menghalangi Pemohon untuk mendapatkan nafkah, pencahariannya, apalagi untuk menyebabkan Pemohon menjadi tidak terhormat. Pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya tersebut, juga tidak bermaksud untuk tidak mengakui Pemohon yang berprofesi sebagai advokat, dan juga tidak untuk menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum dan tidak memberikan perlakuan yang sama di hadapan hukum kepada diri Pemohon. Bahwa berdasarkan hal tersebut, Pemerintah meminta kepada Pemohon melalui Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan dan membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas keberlakuan Pasal 6 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996, karena itu kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Pemerintah juga berpendapat permohonan Pemohon tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur (obscuur libel), utamanya dalam mengkonstruksikan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. Oleh karena itu, Pemerintah memohon agar Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). III. Penjelasan Umum Pembangunan ekonomi merupakan bagian yang penting dari pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat Bangsa Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka memelihara kesinambungan serta meningkatkan akselerasi bergeraknya roda pembangunan tersebut, maka kegiatan usaha dan investasi di Indonesia perlu terus didorong. Dalam kegiatan usaha para 19 pelaku usaha memerlukan dana sebagai modal usaha. Seiring dengan perkembangan zaman, maka sebagian dana diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Dalam pelaksanaannya pemberian kredit tersebut memerlukan suatu lembaga jaminan yang dapat melindungi kepentingan kreditor (pemberi kredit) maupun debitor (penerima kredit). Sebagaimana diketahui, sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) berlaku, di Indonesia terdapat dualisme hukum pertanahan yaitu berlakunya Hukum Adat yang mengatur hak-hak adat seperti Hak Ulayat, Hak Milik, Hak Gogolan, dll, dan Hukum Barat yang mengatur hak-hak barat seperti Hak Eigendom, Erfpacht, Opstal, Huur dan Gebruik. Dualisme hukum tanah tersebut mengakibatkan pula terjadinya dualisme hukum jaminan seperti Hypotheek dan Credietverband. Hypotheek digunakan sebagai jaminan atas hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Perdata Barat, sedangkan Credietverband digunakan sebagai jaminan atas hak-hak tanah yang tunduk pada Hukum Adat. Setelah berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, dibentuklah lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan sebagai pengganti Hypotheek dan Creditverband yang diatur dalam Pasal 51 UUPA. Akan tetapi lebih dari 30 tahun sejak dinyatakan berlakunya Hak Tanggungan oleh UUPA lembaga tersebut belum dapat berfungsi secara efektif, oleh karena Undang-Undang yang mengatur secara lengkap mengenai Hak Tanggungan sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan Pasal 51 UUPA belum terbentuk. Sehubungan dengan hal tersebut, berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal 57 UUPA, di dalam praktiknya masih diberlakukan ketentuan Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam KUHPerdata Indonesia, dan ketentuan Credietverband dalam Staatblad 1908-542 yang telah diubah dengan Staatblad 1937-190 sepanjang menyangkut hal-hal belum terdapat pengaturannya dalam UUPA. Sejalan dengan berkembangnya perekonomian di Indonesia, khususnya di bidang perkreditan, maka keperluan adanya pengaturan lembaga jaminan Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah berdasarkan Pasal 51 UUPA semakin dirasakan mendesak, sehingga lahirlah UU 4/1996 yang mengatur lembaga jaminan yang dikenal dengan Hak Tanggungan secara lengkap sebagai satu-satunya 20 lembaga jaminan atas tanah dalam hukum tanah nasional yang tertulis. Undang- Undang tersebut selanjutnya dikenal dengan sebutan Undang-Undang Hak Tanggungan. Salah satu upaya mendasar di dalam mendorong laju gerak pembangunan yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi adalah dengan menggalakkan iklim usaha yang kondusif termasuk memberi kemudahan, kepastian dan perlindungan dalam penyelenggaraan kegiatan usahanya. Manajemen perekonomian berisikan upaya pemerintahan negara dalam mengarahkan perekonomian, agar dapat tumbuh secara berkelanjutan dan berjalan dengan stabil dan berkeadilan yang dilakukan melalui berbagai kebijakan di bidang ekonomi. Kebijakan ekonomi pemerintah dilandasi oleh sistem perekonomian yang berorientasi pada penerapan demokrasi ekonomi dengan mengutamakan peran aktif masyarakat yang bertujuan menciptakan kemakmuran bagi semua orang bukan hanya bagi orang seorang. Undang-Undang Hak Tanggungan memberi kemudahan, kepastian dan perlindungan dalam penyelenggaraan kegiatan usaha khususnya di bidang permodalan, penyaluran dana kredit dan perlindungannya melalui lembaga jaminan dalam hal debitor cidera janji (wanprestasi) dan akan dilakukan eksekusi terhadap debitor yang wanprestasi. Sebagai ilustrasi, dalam tahun 2010 saja, jumlah bidang tanah yang dimohon untuk didaftar dan diterbitkan sertipikatnya pada 109 Kantor Pertanahan (jumlah Kantor Pertanahan di Indonesia adalah 426 Kantor Pertanahan) adalah 39.405 bidang dan jumlah bidang tanah yang telah diterbitkan sertipikat yang dimohon untuk diberikan Hak Tanggungan dan diterbitkan sertipikatnya adalah 7.688 bidang (19.51%) dengan nilai 2.202.219.003.609,00 rupiah. Hal ini menunjukan pentingnya jaminan kepastian bagi kreditor maupun debitor dalam pelaksanaan penyaluran dana kredit dan perlindungannya melalui lembaga jaminan hutang. Dengan demikian, maksud diterbitkannya UU 4/1996 untuk melindungi kepentingan berbagai pihak terkait yaitu:
kreditor pemegang Hak Tanggungan, dengan hak _preference; _ b. debitor pemberi Hak Tanggungan, dengan larangan bagi kreditor untuk membuat janji untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila Debitor cidera janji;
pihak ketiga yang berkepentingan terhadap Hak Atas Tanah, dengan mensyaratkan didaftarkannya Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan, sehingga memenuhi asas publisitas. 21 Sesuai Pasal 1 angka 1 UU 4/1996 yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. UU 4/1996 pada prinsipnya mengatur hal-hal sebagai berikut:
objek Hak Tanggungan;
pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;
tata cara pemberian, pendaftaran dan peralihan dan hapusnya Hak Tanggungan;
eksekusi Hak Tanggungan;
pencoretan Hak Tanggungan; dan
sanksi administratif. Dalam rangka pemberian Hak Tanggungan diatur bahwa pemberian Hak Tanggungan di atas hak-hak atas tanah harus didahului dengan perjanjian utang- piutang sebagai perjanjian pokok, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selanjutnya disebut APHT. Dalam hal pembuatan APHT, Pemberi Hak Tanggungan berhalangan hadir, maka diperkenankan penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, sejalan dengan itu, surat kuasa harus diberikan langsung oleh Pemberi Hak Tanggungan dan harus memenuhi persyaratan mengenai muatannya. Pemberian kuasa tersebut wajib dilakukan di depan Notaris atau PPAT dengan suatu akta otentik yang disebut Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). SKMHT tersebut sah apabila memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan sebagai berikut:
tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan;
tidak memuat kuasa substitusi;
mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan. Apabila objek Hak Tanggungan belum didaftar, maka jangka waktu penggunaan 22 SKMHT dibatasi selama tiga bulan, dikarenakan untuk keperluan pembuatan APHT diperlukan penyerahan lebih banyak surat-surat dokumen kepada PPAT. Selain itu, jangka waktu tiga bulan tersebut dapat pula diberlakukan kepada objek Hak Tanggungan yang belum bersertipikat atau belum tercatat atas nama debitor. Apabila SKMHT tidak diikuti dengan pembuatan APHT oleh PPAT, maka SKMHT batal demi hukum. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) sesuai namanya berfungsi dan digunakan untuk memasang Hak Tanggungan, dan berakhir dengan ditandatanganinya APHT ditindaklanjuti dengan didaftarkan ke Kantor Pertanahan dan diterbitkan Sertipikat Hak Tanggungan. IV. Penjelasan Pemerintah Atas Pasal-Pasal Undang-Undang Hak Tanggungan yang Dimohonkan Pengujian Dalam Pasal 6 UU 4/1996 diatur bahwa apabila debitor cidera janji, Pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 6 dicantumkan bahwa hak untuk menjual Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan yang diutamakan yang dipunyai oleh Pemegang Hak Tanggungan atau Pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu Pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh Pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, Pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari Pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan. Berdasarkan Pasal 6 dan penjelasannya, hak untuk menjual objek Hak Tanggungan demi hukum atau berdasarkan Undang-Undang, hanya Pemegang Hak Tanggungan pertamalah yang dapat menjadi eksekutor atau penjual dalam lelang eksekusi Pasal 6 UU 4/1996. 23 Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pasal 6 UU 4/1996 pada prinsipnya hanya memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan pertama selaku eksekutor untuk mengajukan permohonan parate executie melalui pelelangan umum dan bukan melalui kuasa, sedangkan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 adalah mengatur surat kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan yang tidak terkait dengan Pasal 6 UU 4/1996. Pelelangan umum berdasarkan vendu reglement staatblad 1908-189 menjadi kewenangan Kantor Lelang, yang berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2006 juncto Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan juncto Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, fungsi Kantor Lelang dijalankan oleh Kantor Pelayananan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Pasal 6 UU 4/1996 dalam koridor hukum publik memberikan kuasa atas kewenangan hukum publik kepada Pemegang Hak Tanggungan Pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, karena kewenangannya yang bersifat hukum publik tersebut tidak menyebutkan adanya pemberian kuasa, dan hal-hal yang diatur dalam hukum publik tersebut bersifat mandatory (wajib), __ sehingga yang melaksanakan Pasal 6 UU 4/1996 adalah wajib Pemegang Hak Tanggungan Pertama, kecuali Undang-Undang nyata-nyata menyebutkan diperbolehkannya pemberian kuasa kepada pihak lain termasuk advokat untuk menjual objek Hak Tanggungan. UU 4/1996 terutama Pasal 6 UU 4/1996 tidak ada secara jelas/nyata menyebutkan diperbolehkannya pemberian kuasa kepada pihak lain termasuk advokat untuk menjual objek Hak Tanggungan. Pasal 6 UU 4/1996 ditinjau dari sifat hukumnya merupakan peraturan yang bersifat hukum materiil yang di dalamnya mengandung sifat hukum formil. Artinya menjadi hukum acara mengenai pelaksanaan Hak Pemegang Hak Tanggungan Pertama atas kekuasaan sendiri untuk menjual objek Hak Tanggungan, jika debitor cidera janji. Dalam hal ini Pasal 6 UU 4/1996 yang bersifat hukum formil tidak menyebutkan adanya pemberian kuasa kepada pihak lain termasuk advokat, maka dalam pelaksanaan eksekusi/hukum acara Pasal 6 UU 4/1996 tersebut tidak melibatkan penerima kuasa yang baru selain oleh si Pemegang Hak Tanggungan sendiri. 24 Bahwa di dalam menanggapi permohonan uji materiil Pemohon selaku advokat, semestinya Pasal 6 tidak dilihat sebagai pasal yang berdiri sendiri. Jika dilihat dari sisi kepemilikan yang masih ada pada si debitor/pemberi Hak Tanggungan, maka setiap perbuatan hukum dari Pemegang Hak Tanggungan Pertama terkait pelaksanaan janji-janji yang dicantumkan dalam APHT [termasuk janji untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri diperoleh Pasal 11 ayat (2) huruf e] harus dilaksanakan dengan adanya batas-batas kewenangan, bahwa kepemilikan masih ada pada debitor, sehingga kewenangan menjual itu hanya boleh dilakukan oleh si Pemegang Hak Tanggungan Pertama yang je!as/nyata disebut dalam Undang-Undang Hak Tanggungan. Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan kekuasaan Pemegang Hak Tanggungan Pertama kepada pihak lain termasuk kepada advokat telah melebihi kewenangan yang diberikan atas dasar janji-janji sesuai Pasal 11 ayat (2) huruf e atau Pemegang Hak Tanggungan Pertama telah mengambil alih atau memposisikan dirinya sama dengan kewenangan hukum seorang pemilik barang yang sesungguhnya masih berada di tangan debitor/pemberi Hak Tanggungan. Bahwa dalam pembuatan Risalah Lelang selaku berita acara lelang, penjual selaku eksekutor akan menandatangani Risalah Lelang bersama-sama dengan pembeli lelang dan pejabat lelang. Dengan demikian, pelimpahan kekuasaan Pemegang Hak Tanggungan Pertama kepada pihak lain termasuk kepada advokat akan berakibat advokat selaku eksekutor yang akan menandatangani Risalah Lelang. Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan kekuasaan Pemegang Hak Tanggungan Pertama kepada pihak lain termasuk kepada advokat, akan berakibat advokat selaku kuasa bertindak menjadi eksekutor dan penjual yang menandatangani Risalah Lelang, hal ini jelas-jelas telah melebihi kewenangan yang diberikan atas dasar janji-janji sesuai Pasal 11 ayat (2) huruf e, yang berbunyi “Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji”. Jika Pasal 6 dikaitkan dengan Pasal 12 UU 4/1996, dimana dalam Pasal 12 UU 4/1996 diatur janji yang memberikan kewenangan kepada Pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji adalah batal demi hukum. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan “Pemegang hak 25 tanggungan dilarang untuk serta merta untuk menjadi pemilik objek Hak Tanggungan”. Dengan demikian pasal ini membatasi kepemilikan langsung atas objek Hak Tanggungan yang dapat diartikan sekaligus membatasi perbuatan- perbuatan hukum dari si Pemegang Hak Tanggungan Pertama bertindak seolah-olah dalam kapasitas seorang pemilik. Dengan logika hukum dapat dikatakan, jika A menyerahkan barang jaminannya kepada B untuk jaminan hutang dengan janji adanya hak menjual barang dalam hal A cidera janji, maka hal itu tidak akan menimbulkan hak pada si B untuk menguasakan kepada si C menjual barang jaminan tersebut. Selain dari alasan normatif di atas, dari landasan pragmatisme (aspek ekonomi), pemberian kuasa kepada advokat akan menambah biaya pelaksanaan Pasal 6 UU 4/1996, karena Debitor selain membayar pokok hutang, juga harus membayar beban biaya atas jasa bantuan hukum advokat (biasanya dibuat sebagai penambah jumlah hutang) yang semestinya tidak harus ada. Hal tersebut akan menghilangkan hak konstitusional dari debitor atas hasil penjualan barangnya. Hai ini juga mengakibatkan pelaksanaan hukum tidak konsisten dengan esensi UU 4/1996 dan sifat parate executie yang menyederhanakan proses dan mengurangi pembebanan biaya. Pemerintah berpendapat bahwa di dalam menanggapi permohonan uji materiil Pemohon selaku advokat, semestinya Pasal 6 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b tidak dilihat sebagai pasal yang berdiri sendiri, karena Undang-Undang Hak Tanggungan sebagaimana yang telah diuraikan di atas bertujuan untuk menjamin perlindungan terhadap semua pihak (kreditor, debitor dan pihak-pihak lain berkepentingan terhadap hak atas tanah). Selain itu, kewenangan advokat untuk memberikan jasa bantuan hukum di dalam eksekusi Hak Tanggungan juga dijamin oleh UU 4/1996. Pemerintah dapat menyampaikan bahwa Pemohon tidak dirugikan haknya dengan keberlakuan Pasal 6 UU 4/1996, oleh karena dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UU 4/1996, Pemohon masih dimungkinkan untuk memberikan jasa bantuan hukum melalui pelaksanaan titel eksekutorial yang tercanturn dalam Sertipikat Hak Tanggungan melalui mekanisme Hukum Acara Perdata sebagaimana ditentukan dalam Pasal 224 Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan 258 Reglement Buiten Gewesten (RBG). Pelaksanaan eksekusi tersebut dilaksanakan dengan mengajukan 26 permohonan eksekusi (fiat eksekusi) oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dengan menyerahkan sertipikat Hak Tanggungan sebagai dasarnya. Kemudian, eksekusi akan dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri melalui pelelangan umum yang dilakukan oleh KPKNL. Dalam hal eksekutor adalah Ketua Pengadilan Negeri, maka advokat dapat saja bertindak selaku kuasa hukum dari bank selaku pemegang Hak Tanggungan, namun bukan sebagai eksekutor (pelaksana eksekusi), oleh karena kewenangan Ketua Pengadilan Negeri selaku eksekutor disebutkan dalam Pasal 224 HIR dan 258 RBG. Dengan demikian jelas advokat dapat bertindak selaku kuasa dalam memberikan jasa bantuan hukum dalam rangka eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf b melalui fiat pengadilan, karena yang bertindak sebagai eksekutor adalah Ketua Pengadilan Negeri. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, kepentingan Pemohon selaku advokat telah diakomodir oleh Undang-Undang Hak Tanggungan, dengan kata lain Undang- Undang Hak Tanggungan secara keseluruhan tidak melanggar hak konstitusional Pemohon yang diatur dalam Undang-Undang Advokat dan dijamin Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 oleh karena Pemohon selaku advokat masih bisa memperoleh haknya untuk memberikan jasa bantuan hukum. Pemerintah berpendapat bahwa jikalaupun/seandainya anggapan Pemohon benar adanya quod non dan permohonan pengujian ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka dapat berdampak pada hal-hal sebagai berikut:
Hak Tanggungan akan kehilangan makna yang sangat esensi dan merupakan roh-nya hak jaminan yang mempunyai kekuatan parate executie untuk melakukan eksekusi dalam rangka pelunasan piutang atas kekuasaan sendiri tanpa melalui pengadilan semata-mata hanya karena kepentingan profesi advokat, padahal advokat masih diberi kemungkinan untuk dapat berperan memberi jasa bantuan hukum dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan melalui fiat eksekusi pengadilan negeri setempat;
UU 4/1996 tidak lagi menjadi Undang-Undang yang memberi kemudahan dan efektifitas dalam pelaksanaan eksekusi jaminan hutang yang sangat dibutuhkan dalam dunia usaha yang permodalannya diperoleh melalui perkreditan;
UU 4/1996 tidak lagi menjadi Undang-Undang yang memberikan perlindungan 27 terhadap kreditor pemegang Hak Tanggungan dari perbuatan debitor yang beritikad tidak baik untuk melunasi hutangnya, sehingga tidak ada lagi pijakan dan dasar utama bagi kreditor dalam memperoleh pelunasan piutangnya; Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka apabila Pasal 6 dan Pasal 15 ayat (1) dinyatakan dicabut atau diberlakukan konstitusional bersyarat sebagaimana yang diinginkan Pemohon, maka Hak Tanggungan kehilangan daya tarik dan kekuatannya untuk mendorong berkembangnya iklim usaha yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia seluruhnya. Dengan demikian, apabila permohonan Pemohon dikabulkan, maka jelas kepentingan- kepentingan Pemohon semata-mata akan merugikan kepentingan nasional. Pemerintah berpendapat bahwa penegakan hukum mestilah memperhatikan 3 faktor penting, yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Apabila kepastian yang lebih diutamakan, maka tentulah keadilan dan kemanfaatan menjadi ternegasikan. Sebaliknya mengutamakan kemanfaatan dapat mengakibatkan ternegasikannya kepastian hukum itu sendiri. Oleh karena itu, Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi yang terhormat untuk mempertimbangkan kepentingan nasional yang akan dirugikan dari kepentingan Pemohon yang mana kepentingannya secara prinsip telah memperoleh perhatian yang cukup dalam UU 4/1996 untuk dapat berperan memberi jasa bantuan hukum. Selain itu, terlalu berlebihan kiranya jika hak konstitusional advokat diukur semata-mata dari kepentingannya untuk bertindak selaku kuasa dalam pelaksanaan parate executie Hak Tanggungan, padahal diketahui pekerjaan seorang advokat tidak hanya melaksanakan kuasa parate executie saja. Bertolak dari peristiwa hukum yang dialami Pemohon selaku advokat yang permohonannya untuk melaksanakan parate executie di KPKNL Bandar Lampung telah ditolak, Pemerintah berpendapat tidak tepat kiranya menjadi dasar Pengujlan Materiil Pasal 6 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 terhadap ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi, oleh karena penolakan Kepala KPKNL Bandar Lampung terhadap permohonan Pemohon selaku advokat adalah merupakan keputusan pejabat tata usaha negara yang merupakan beschikking. Penolakan permohonan parate executie tersebut telah diuji di 28 pengadilan tata usaha negara dan telah diputus dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sesuai putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 35/G/2009/PTUN-JKT tanggal 13 Juli 2009 (bukti I) juncto Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 213/B/2009/PTTUN.JKT tanggal 11 Januari 2010 (bukti II) juncto putusan Mahkamah Agung Nomor 212 K/TUN/2010 tertanggal 26 Agustus 2010 (bukti III), dengan amar menolak gugatan Penggugat dalam hal ini adalah Pemohon dalam perkara a quo. Pemerintah berpendapat bahwa sikap yang diambil oleh Kepala KPKNL Bandar Lampung ini juga berlaku untuk seluruh kantor KPKNL yang ada di Indonesia ketika menghadapi permasalahan serupa dengan Pemohon. Sikap ini selain pertimbangan yuridis bahwa: “Pasal 6 UU 4/1996 tidak ada secara jelas/nyata menyebutkan diperbolehkannya pemberian kuasa kepada pihak lain termasuk advokat untuk menjual objek Hak Tanggungan”, juga didasari pada pertimbangan pragmatis yaitu untuk melindungi debitor dari “pelimpahan kekuasaan Pemegang Hak Tanggungan Pertama kepada pihak lain termasuk kepada advokat, akan berakibat advokat selaku kuasa bertindak menjadi eksekutor dan penjual yang menandatangi Risalah Lelang (lelang berdasarkan Pasal 6 UU 4/1996 termasuk jenis lelang eksekusi), hal ini jelas- jelas telah melebihi kewenangan yang diberikan atas dasar janji-janji sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) huruf e”, serta pemberian kuasa kepada advokat akan menambah biaya terkait pelaksanaan Pasal 6 UU 4/1996, yang pada akhirnya akan menambah beban dari si debitor/pemberi Hak Tanggungan dan menghilangkan hak konstitusional dari debitor atas hasil penjualan barangnya, sedangkan esensi UU 4/1996 bermaksud untuk menyederhanakan proses pelaksanaan eksekusi jaminan dan mengurangi pembebanan biaya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang digunakan Pemohon sebagai pasal pengujian dalam permohonan pengujian di Mahkamah Konstitusi ini, Pemerintah berpendapat bahwa permohonan Pemohon ini tidak tepat. Pemerintah berpendapat bahwa perlu ada pembedaan perlakuan antara menguji ketentuan suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945, dengan menguji pelaksanaan suatu ketentuan Undang-Undang yang dilakukan Pemerintah, dalam hal ini terhadap suatu produk surat yang dikeluarkan Pemerintah, karena dalam masalah ini, juga sudah ada putusan pengadilan yang membenarkan tindakan yang dilakukan 29 Pemerintah. V. Permohonan Petitum UU 4/1996 pada umumnya, in casu ketentuan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon sebagai satu kesatuan dari keseluruhan UU 4/1996 telah ternyata tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon, dan karenanya menurut Pemerintah ketentuan a quo tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sehubungan dengan hal-hal yang telah diuraikan di atas, Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi yang mengadili permohonan pengujian UU 4/1996 terhadap UUD 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima _(niet ontvankelijke verklaard); _ 2. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. __ Namun demikian apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.4] Menimbang bahwa untuk membuktikan keterangannya, Pemerintah mengajukan Ahli Prof. Dr. Mariam Darus, S.H., FCBArb. dan Ahli Prof. Dr. Herowati Poesoko, S.H., M.H. , yang telah didengarkan keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 21 Juni 2011 pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Prof. Dr. Mariam Darus, S.H., FCBArb. Prof. Subekti, S.H. dan Prof. Mahadi, S.H. mengemukakan bahwa karakter sistem hukum ialah kesatuan hukum secara menyeluruh (konkrit) didukung oleh sejumlah tiang, pilar, asas-asas (abstrak) yang terpadu dan harmonis mewujudkan kepastian hukum. 30 Ranah hukum UU 4/1996 adalah hukum benda dan hukum perjanjian yang keduanya dipayungi oleh hukum harta kekayaan ( vermogensrecht ) yang diatur dalam buku kedua dan buku ketiga KUH Perdata. Asas-asas UU 4/1996 sebagai hukum benda adalah: i) sistem tertutup ( gesloten system ), yaitu seseorang tidak diperkenankan mengadakan hak kebendaan selain dari yang diatur Undang-Undang; ii) Droit de suite, yaitu hak atas benda mengikuti bendanya di dalam tangan siapapun ia berada. Droit de preference , yaitu pemegang hak tanggungan pertama memiliki hak didahulukan untuk dipenuhi tagihannya dari pemegang hak tanggungan yang lahir sesudahnya. iii) asas spesialitas, yaitu pertelaan mengenai objek hak tanggungan. iv) asas publisitas, yaitu pencatatan dan pembebanan objek hak tanggungan di dalam buku tanah, sehingga terbuka dan dapat diketahui umum. v) asas mudah dan pasti pelaksana eksekusinya. vi) asas accesoir , yaitu hak tanggungan adalah perjanjian ikutan ( accesoir ) dan tidak merupakan hak yang berdiri sendiri ( zelfstandingrecht ). Adanya dan hapusnya perjanjian ikutan ( accesorium ) tergantung dari perjanjian pokok. vii) asas pemisahan horizontal, yaitu hak atas tanah dapat terpisah dari benda- benda yang melekat di atasnya. viii) asas iktikad baik, yaitu para pihak dalam pelaksanaan hak tanggungan harus jujur. Pengertian iktikad baik dalam hak kebendaan mempunyai arti subjektif, berbeda dengan hukum perjanjian, dimana iktikad baik bersifat objektif atau kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat. Sedangkan dalam asas-asas hukum perjanjian, terkandung i) asas kebebasan berkontrak; ii) asas itikad baik; iii) asas persamaan; iv) asas perjanjian mengikat sebagai undang-undang; v) asas kebiasaan; vi) asas konsensualisme; dan vii) asas keseimbangan. Cara menafsirkan ketentuan-ketentuan dalam suatu Undang-Undang, diatur dalam Pasal 1342, 1343, dan Pasal 1348 KUH Perdata. Hak tanggungan dalam Pasal 6 UUHT mengemukakan beberapa elemen, yaitu a) Debitor ingkar janji; b) kreditur pemegang hak tanggungan tingkat pertama 31 berhak menjual objek tanggungan atas kekuasaan sendiri; c) melalui pelelangan umum; dan d) mengambil pelunasan utangnya dari hasil penjualan tersebut. Dalam sejarahnya, UUHT adalah reformasi dari lembaga hipotek yang diatur dalam KUH Perdata Buku II, Bab XXI Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232. Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 ternyata diambil dari Pasal 1178 KUH Perdata. Pitlo, dalam bukunya Het Zakenrechts naar Het Nederlands Burgerlijk Wetboek , penerbit Tjeenk Willink, 1954, halaman 447, menerangkan “ Pemegang hipotik sesungguhnya bertindak atas namanya sendiri melaksanakan haknya sendiri. Penjualan oleh pemegang hipotik itu adalah suatu bentuk dari penjualan executorial”. Pasal 6 UU 4/1996 yang mengatur tentang parate executie sejalan pula dengan jaminan umum yang terdapat dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Dari penjelasan Pitlo, dilakukan penafsiran analogi bahwa hak untuk melakukan parate executie hanya dapat dilaksanakan oleh pemegang hak tanggungan pertama. Eksistensi dari hak tersebut diciptakan oleh Undang-Undang, dan tidak lahir dari perjanjian. Jika ditafsirkan sebagai kuasa, maka harus merujuk kepada perjanjian kuasa yang tercantum dalam KUH Perdata mulai Pasal 1792. UU 4/1996 menentukan bahwa janji-janji harus didaftar. Pendaftaran adalah suatu sistem dimana terdapat asas publikasi, yaitu setiap orang yang sudah membaca janji-janji yang berakar dari hukum perjanjian, maka hukum perjanjian otomatis mempunyai aspek hukum publik. Pengertian Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 dapat dilihat pada penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf b yang menyatakan bahwa subsitusi menurut Undang- Undang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Menurut Ahli, tidak ada masalah jika ada kuasa di luar materi yang terkandung dalam Pasal 6 UU 4/1996. Hal yang tidak boleh adalah parate executie yang diatur oleh Pasal 6 tersebut. Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena pengaturan parate executie dengan Undang-Undang memenuhi asas-asas sebagai berikut:
Tercapai kesejahteraan spiritual bagi masyarakat maupun individu melalui pembaharuan atau pelestarian; 32 2. Memenuhi asas keseimbangan;
Memenuhi asas itikad baik;
Memenuhi asas jaminan umum;
Memenuhi asas hutang wajib dibayar, should and have to , dan;
Memenuhi asas kepastian hukum. Perbedaan prinsip antara parate executie yang ditentukan Undang-Undang dengan perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata adalah; jika menggunakan perjanjian sebagai rujukan, tidak akan ada kepastian hukum karena perjanjian kuasa berdasarkan atas asas kebebasan berkontrak, yang dapat diputuskan sewaktu- waktu, sehingga kalau penjualan sudah terjadi ( parate executie ) dan banyak anggota masyarakat yang berkeberatan dengan keadaan itu, akan terjadi gugatan- gugatan kepada pengadilan; dan karena apa yang ditentukan Undang-Undang wajib dipatuhi karena Undang-Undang mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara yang mengandung asas kepastian hukum.
Prof. Dr. Herowati Poesoko, S.H., M.H. Dari Pasal 6 UU 4/1996, ternyata dalam hak/kewenangan pemegang hak tanggungan pertama terkandung ciri-ciri hak relatif (P. van Dijk, 1985, hal. 52). Hak relatif yang dimaksudkan adalah:
hak relatif hanya berlaku untuk seorang tertentu. Terkait Pasal 6 UU 4/1996, ciri hak relatif secara ex lege hanya berlaku bagi pemegang hak tanggungan pertama secara pribadi untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri, bukan kuasa termasuk seorang advokat.
hak relatif mempunyai tuntutan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu, memberikan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu. Terkait Pasal 6 UU 4/1996, hak relatif bagi pemegang hak tanggungan pertama mengajukan kepada kantor lelang untuk melakukan penjualan objek hak tanggungan milik debitor yang cidera janji secara lelang melalui pelelangan umum.
objek hak relatif adalah prestasi. Terkait dengan Pasal 6 UU 4/1996, prestasi dari hasil penjualan melalui lelang digunakan sebagai sumber pelunasan piutang yang diterimakan kepada pemegang hak tanggungan pertama. 33 Berpijak pada Pasal 6 yang terkandung ciri-ciri hak relatif yang substansinya preskriptif, maka hak menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri hanya berlaku bagi pemegang Hak Tanggungan pertama secara pribadi. Pengajuan parate executie oleh kuasa hukum (advokat) bertentangan dengan Pasal 6 UU 4/1996. Pasal 20 ayat (4) UU 4/1996 menyatakan, “ Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara bertentangan dengan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) batal demi hukum ”. Pemberian kuasa atau pengajuan parate executie oleh seorang kuasa bahkan seorang advokat, merupakan perjanjian. Sahnya suatu perjanjian ditentukan, dalam Pasal 1320 BW (KUH Perdata), yaitu a) sepakat mereka yang mengikatkan diri; b) unsur kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c) tentang sesuatu hal tertentu; dan d) sebab yang tidak terlarang atau sebab yang halal. Ternyata, pemberian kuasa oleh pemegang Hak Tanggungan pertama kepada seorang advokat untuk mengajukan parate executie , merupakan sebab yang terlarang menurut Undang-Undang. Karena bertentangan dengan Pasal 6, sebagai norma yang mempunyai ciri-ciri hak relatif. Pasal 6 dengan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 tidak ada hubungan secara langsung. Lahirnya parate executie pada Hak Tanggungan melalui proses SKMHT, APHT, dan pendaftaran, sehingga pemegang Hak Tanggungan pertama memiliki sifat preferen , droit de suite , specialiteit , dan publisitas. Tanpa melalui proses yang demikian, pemegang Hak Tanggungan pertama hanya berkedudukan sebagai kreditor kedua atau sebagai kreditor konkuren, sehingga tidak memiliki hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Advokat menyatakan, “ Jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat, berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien ”. Antara Undang-Undang Advokat Pasal 1 ayat (2) dengan UU 4/1996, yang dimaksudkan dengan Pasal 6 juncto Pasal 20 ayat (1) huruf a dan Pasal 20 ayat (4), terdapat antinomi atau konflik norma. Pasal 6 UU 4/1996 karakter normatifnya 34 berbentuk perintah secara ex lege , tetapi Pasal 2 ayat (1) adalah izin. Sehingga antara perintah dengan izin terdapat konflik (subalternasi). Apabila terdapat konflik norma, harus dikembalikan kepada asas lex specialis derogat lex generalis , artinya UU 4/1996 lebih diutamakan ( lex specialis ) karena secara khusus hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri hanya berlaku bagi pemegang Hak Tanggungan Pertama secara pribadi; sedangkan UU 8/2003 Pasal 1 ayat (2) merupakan lex generalis . Dengan demikian, UU 4/1996 atau parate executie tidak menafikan UU Advokat. Penolakan Direktur Lelang Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang merupakan instansi vertikal dari bawahannya, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bandar Lampung terhadap pengajuan parate executie oleh seorang kuasa atau seorang advokat tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena UU 4/1996 ( parate executie ) tidak menafikan Undang-Undang Advokat. Advokat masih dapat menjadi kuasa sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3) juncto Pasal 14 ayat (2) UU 4/1996, karena eksekusinya melalui pengadilan yang menurut hukum acara perdata, sebagaimana Pasal 123 HIR/147 RBG menyatakan bahwa dalam mengajukan proses di pengadilan dapat dibantu oleh seorang kuasa hukum atau advokat. Dalam hal kantor lelang menerima permohonan parate executie dan melaksanakan penjualannya, penjualan lelang tersebut melanggar UU 4/1996. Kalau melanggar Undang-Undang, menurut Pasal 1320 ayat (4) karena melanggar ketertiban umum, maka hal tersebut batal demi hukum. [2.5] Menimbang bahwa Pemohon menyerahkan kesimpulan tertulis bertanggal 30 Juli 2011 ( sic ) yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 30 Juni 2011. Pemerintah mengajukan kesimpulan tertulis bertanggal 30 Juni 2011 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 1 Juli 2011, disertai dokumen bukti terkait; [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam berita acara persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan putusan ini; 35 3. PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian materiil Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara RepubIik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara RepubIik Indonesia Nomor 3632, selanjutnya disebut UU 4/1996), yang menyatakan: Pasal 6 UU 4/1996: “ Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. ” Pasal 15 ayat (1) huruf b: “ Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris _atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: _ a. ... b. _Tidak memuat kuasa substitusi; _ c. ... ” terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), yaitu: Pasal 27 ayat (2): “ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. ” Pasal 28D ayat (1): “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. ” 36 [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok Permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut:
kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan _a quo; _ b. kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon; Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang disebutkan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.4] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah mengenai pengujian Undang-Undang in casu UU 4/1996 terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( legal standing ) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); 37 b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia, berprofesi sebagai advokat, yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) UU 4/1996; [3.8] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan pendirian Mahkamah sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.5] dan paragraf [3.6], Mahkamah berpendapat, Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian pasal dalam Undang-Undang a quo ; 38 [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, serta Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing ) maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.10] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 terhadap Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945; [3.11] Menimbang bahwa Pasal 6 UU 4/1996 menyatakan, “ Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. ” Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 menyatakan, “ Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi _persyaratan sebagai berikut: _ a. ... b. _Tidak memuat kuasa substitusi; _ c. ... ” [3.12] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan dirinya, sebagai advokat, telah ditolak permohonannya untuk menjadi kuasa dari PT. Bank UOB dalam mengajukan parate executie , oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bandar Lampung (KPKNL), dengan alasan eksekusi hak tanggungan harus dilakukan oleh pemegang hak tanggungan sendiri dan tidak dapat dikuasakan kepada orang lain (merujuk frasa “kekuasaan sendiri”) sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996; Menurut Pemohon, hal demikian bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya disebut UU 18/2003) dalam kedudukannya sebagai seorang advokat dan menjadi kuasa suatu Bank untuk 39 melakukan pekerjaannya mewakili Bank, sehingga menghilangkan kesempatan untuk memperoleh penghasilan dari jasa advokat; Bahwa oleh karena dalam praktik penerapan pasal-pasal a quo berbeda, ada yang membolehkan advokat sebagai kuasa melaksanakan parate executie dan ada pula yang tidak membolehkan. Hal demikian menimbulkan diskriminasi dan ketidakpastian hukum, sehingga menimbulkan ketidakadilan; [3.13] Menimbang bahwa pengaturan parate executie dalam Pasal 20 ayat (1) huruf (a) UU 4/1996 menyatakan, ” _Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan: _ (a) hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan _sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau _ ” Adapun Pasal 6 Undang-Undang a quo menyatakan, “ Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut .” Dengan demikian, dalam hal debitor cidera janji maka hak relatif tersebut berlaku. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama bersifat relatif ( relatief recht ), artinya berlaku hanya untuk seseorang tertentu atau lebih yang dapat melaksanakannya ( Een relatief recht–ook wel persoonlijk recht genoemd—is een recht dat slechts in relatie tot een of meer bepaalde personen kan worden uitgeoefend ). Hak tersebut menciptakan tuntutan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu, memberikan sesuatu, dan/atau tidak melakukan sesuatu. Dalam hal ini khusus diberikan kepada pemegang Hak Tanggungan pertama untuk mengajukan permintaan agar Kantor Lelang melakukan penjualan objek Hak Tanggungan milik debitor melalui pelelangan umum. Secara a contrario parate executie yang dilakukan oleh seorang kuasa (termasuk advokat) bertentangan dengan Pasal 6 UU 4/1996; [3.14] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan sebagai advokat tunduk pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 18/2003 yang menyatakan, ” Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini ” bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “ Tiap-tiap warga negara 40 berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ” dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”. Kuasa yang diterima seseorang (advokat) adalah perjanjian yang didasarkan pada syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW. Pasal tersebut menyatakan adanya empat unsur yang harus dipenuhi dalam perjanjian, yaitu syarat subjektif berupa kata sepakat dan cakap membuat suatu perjanjian, dan syarat objektif berupa sesuatu hal tertentu dan suatu sebab yang tidak dilarang. Parate executie , karena merupakan hak relatif yang hanya dapat diberikan kepada pemegang Hak Tanggungan pertama, jika diberikan dengan surat kuasa kepada seseorang lain yang tidak berhak melaksanakan parate executie , akan menjadikan batal sifat perjanjian kuasa tersebut karena tidak memenuhi syarat keempat dari perjanjian, yaitu suatu sebab yang tidak dilarang; [3.15] Menimbang bahwa ketentuan Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 mengandung hak relatif, jadi bersifat khusus ( lex specialis ), sedangkan Pasal 1 angka 2 UU 18/2003 bersifat umum ( lex generalis ). Oleh sebab itu, sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generali , maka Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 ( lex specialis ) mengesampingkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 18/2003 yang bersifat umum ( legi generali ); [3.16] Menimbang bahwa Penjelasan Pasal 15 ayat (1) b UU 4/1996 menyatakan, ” Yang dimaksud dengan pengertian substitusi menurut Undang-undang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Bukan merupakan substitusi, jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya Direksi Bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada Kepala Cabangnya atau pihak lain ”. Dengan demikian yang dilarang ialah jika pemegang hak tanggungan pertama memberi kuasa kepada pihak lain dengan pengalihan hak untuk mengganti posisinya menjual objek hak tanggungan dengan kekuasaan sendiri ( parate executie ) jika debitor ingkar janji; 41 [3.17] Menimbang bahwa menurut Pemohon dalam praktiknya pasal-pasal UU 4/1996 a quo diterapkan berbeda satu dengan yang lain. Ada yang membolehkan advokat sebagai kuasa melaksanakan parate executie dan ada pula yang tidak membolehkan advokat sebagai kuasa parate executie , sehingga menimbulkan diskriminasi, ketidakpastian hukum, serta ketidakadilan. Menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan persoalan implementasi dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas dari pasal-pasal yang dimohonkan pengujian; [3.18] Menimbang bahwa sesungguhnya masih terdapat peluang Pemohon untuk menjadi kuasa hukum para pihak berkaitan dengan implementasi UU 4/1996, misalnya melakukan tugas mengurus administrasi dan pekerjaan lain sebagai petugas dari kreditor pemegang hak tanggungan pertama. Keberadaan Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 yang mengandung hak relatif ( relatief recht ) berlaku bagi siapa saja (tidak bersifat diskriminatif), karenanya tidak merugikan Pemohon dan tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; [3.19] Menimbang bahwa dari keseluruhan uraian tersebut di atas, dalam hubungannya satu dengan yang lain, menurut Mahkamah, dalil-dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 tidak beralasan menurut hukum;
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan tidak beralasan hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana 42 telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); 5 . AMAR P U T U S AN Mengadili, Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal lima bulan Desember tahun dua ribu sebelas dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh satu bulan Desember tahun dua ribu sebelas oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA ttd. Moh. Mahfud MD 43 ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Achmad Sodiki ttd. Maria Farida Indrati ttd. Hamdan Zoelva ttd. Ahmad Fadlil Sumadi ttd. Anwar Usman ttd. Harjono ttd. Muhammad Alim PANITERA PENGGANTI, ttd. Mardian Wibowo
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan
Relevan terhadap
Dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan :
Kesatuan pengelolaan hutan selanjutnya disingkat KPH, adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
Kepala KPH adalah pimpinan, pemegang kewenangan dan penanggung jawab pengelolaan hutan dalam wilayah yang dikelolanya.
Tata hutan adalah kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, mencakup kegiatan pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi yang terkandung didalamnya dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari.
Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.
Pemanfaatan kawasan adalah kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya.
Pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya.
Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya.
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya.
Pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan baik berupa kayu dan/atau bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan/atau volume tertentu.
Izin pemanfaatan hutan adalah izin yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang terdiri dari izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu pada areal hutan yang telah ditentukan.
Izin usaha pemanfaatan kawasan yang selanjutnya disingkat IUPK adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan kawasan pada hutan lindung dan/atau hutan produksi.
Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan yang selanjutnya disingkat IUPJL adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan jasa lingkungan pada hutan lindung dan/atau hutan produksi.
Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu yang selanjutnya disingkat IUPHHK dan/atau izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang selanjutnya disebut IUPHHBK adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan/atau bukan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan dan pemasaran.
IUPHHK restorasi ekosistem dalam hutan alam adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.
IUPHHK dan/atau IUPHHBK dalam hutan tanaman adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan/atau bukan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.
Izin pemungutan hasil hutan kayu yang selanjutnya disingkat IPHHK adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan, pengangkutan, dan pemasaran untuk jangka waktu dan volume tertentu.
Hutan tanaman industri yang selanjutnya disingkat HTI adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri kehutanan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan.
Hutan tanaman rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
Hutan tanaman hasil rehabilitasi yang selanjutnya disingkat HTHR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun melalui kegiatan merehabilitasi lahan dan hutan pada kawasan hutan produksi untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi lahan dan hutan dalam rangka mempertahankan daya dukung, produktivitas dan peranannya sebagai sistem penyangga kehidupan.
Sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan atau sistem teknik bercocok tanaman hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman dan memanen.
Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat.
Hutan desa adalah hutan negara yang belum dibebani izin/hak, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.
Iuran izin usaha pemanfaatan hutan yang selanjutnya disingkat IIUPH adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan hutan atas suatu kawasan hutan tertentu.
Provisi sumber daya hutan yang selanjutnya disingkat PSDH adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang izin sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.
Dana reboisasi yang selanjutnya disingkat DR adalah dana yang dipungut dari pemegang IUPHHK dalam hutan alam pada hutan produksi untuk mereboisasi dan merehabilitasi hutan.
Perorangan adalah Warga Negara Republik Indonesia yang cakap bertindak menurut hukum.
Surat keterangan sahnya hasil hutan adalah dokumen- dokumen yang merupakan bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan.
Industri primer hasil hutan kayu adalah pengolahan kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.
Industri primer hasil hutan bukan kayu adalah pengolahan hasil hutan berupa bukan kayu menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.
Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Relevan terhadap
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4890 DAFTAR UJI PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH PENDAHULUAN Dalam rangka pencapaian visi, misi, dan tujuan serta pertanggungjawaban kegiatan Instansi Pemerintah, pimpinan Instansi Pemerintah wajib menerapkan setiap unsur dari Sistem Pengendalian Intern. Untuk memastikan bahwa Sistem Pengendalian Intern tersebut sudah dirancang dan diimplementasikan dengan baik, dan secara memadai diperbaharui untuk memenuhi keadaan yang terus berubah perlu dilakukan pemantauan secara terus-menerus. Secara khusus, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 43 Peraturan Pemerintah ini, pimpinan Instansi Pemerintah melakukan pemantauan antara lain melalui evaluasi terpisah atas Sistem Pengendalian Internnya masing- masing untuk mengetahui kinerja dan efektivitas Sistem Pengendalian Intern serta cara meningkatkannya. Pemantauan juga berguna untuk mengidentifikasi dan mengatasi risiko utama seperti penggelapan, pemborosan, penyalahgunaan, dan salah-kelola ( mismanagement ). Daftar Uji Pengendalian Intern Pemerintah dimaksudkan untuk membantu pimpinan Instansi Pemerintah dan evaluator dalam menentukan sampai seberapa jauh pengendalian intern suatu Instansi Pemerintah dirancang dan berfungsi serta, jika perlu, untuk membantu menentukan apa, bagian mana, dan bagaimana penyempurnaan dilakukan. Daftar Uji Pengendalian Intern Pemerintah terdiri dari lima bagian sesuai dengan unsur Sistem Pengendalian Intern: lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan. Masing-masing bagian berisi suatu daftar faktor utama yang harus dipertimbangkan saat mengevaluasi Sistem Pengendalian Intern terkait dengan masing-masing unsurnya. Faktor-faktor ini LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 60 TAHUN 2008 TANGGAL : 28 AGUSTUS 2008 menggambarkan isu atau hal penting dari setiap unsur Sistem Pengendalian Intern. Termasuk dalam masing-masing faktor tersebut adalah butir-butir yang harus dipertimbangkan oleh pengguna pada saat melakukan evaluasi. Butir-butir tersebut dimaksudkan untuk membantu pengguna mempertimbangkan hal-hal spesifik yang menunjukkan seberapa jauh Sistem Pengendalian Intern berfungsi. Pengguna harus mempertimbangkan butir-butir tersebut untuk menentukan:
kesesuaian penerapan butir tersebut dalam situasi tertentu, (2) kemampuan Instansi Pemerintah dalam menerapkan butir tersebut, (3) kelemahan pengendalian yang mungkin terjadi, dan (4) pengaruh butir tersebut terhadap kemampuan Instansi Pemerintah dalam mencapai visi, misi, dan tujuannya. Pada setiap butir diberikan ruang kosong untuk mencatat komentar atau catatan mengenai situasi terkait butir tersebut. Komentar dan catatan biasanya tidak berupa ‘ya’ atau ‘tidak’, tetapi umumnya meliputi informasi mengenai bagaimana Instansi Pemerintah menangani masalah tersebut. Pengguna juga boleh menggunakan ruang kosong ini untuk mengindikasikan masalah yang ditemukan sebagai kelemahan pengendalian. Daftar uji ini juga dimaksudkan untuk membantu pengguna mengambil kesimpulan mengenai implementasi unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern Instansi Pemerintah. Untuk itu, ruang kosong disediakan pada akhir setiap bagian untuk mencatat penilaian keseluruhan dan mengidentifikasi tindakan yang harus diambil atau dipertimbangkan. Ruang kosong tambahan juga disediakan untuk penilaian ringkas keseluruhan pada akhir daftar uji ini. Daftar Uji Pengendalian Intern Pemerintah dapat dijadikan panduan bagi pimpinan Instansi Pemerintah dan evaluator. Daftar uji ini hanya merupakan referensi awal serta dapat disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan risiko masing-masing Instansi Pemerintah. Dalam menerapkan daftar uji ini perlu dipertimbangkan tujuan Instansi Pemerintah dan aspek biaya-manfaat. Pengguna harus mempertimbangkan butir-butir yang relevan serta menghilangkan atau menambah butir lainnya jika perlu sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi Instansi Pemerintah. Selain itu, pengguna dapat mengatur ulang atau menyusun kembali butir-butir tersebut untuk memenuhi kebutuhannya dengan tetap mengikuti format unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern. Daftar Uji Pengendalian Intern ini dikembangkan dengan menggunakan banyak sumber informasi dan ide-ide yang berbeda-beda. Sumber utamanya adalah Internal Control Management and Evaluation Tool dari General Accounting Office (GAO), ketentuan-ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam pasal-pasal dan penjelasan Peraturan Pemerintah ini, serta peraturan perundang-undangan lainnya. BAGIAN I LINGKUNGAN PENGENDALIAN Unsur sistem pengendalian intern yang pertama adalah lingkungan pengendalian. Lingkungan pengendalian diwujudkan melalui:
penegakan integritas dan nilai etika;
komitmen terhadap kompetensi;
kepemimpinan yang kondusif;
pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;
pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;
penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia;
perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan h. hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai tercapai tidaknya suatu lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dan manajemen yang sehat. A. PENEGAKAN INTEGRITAS DAN NILAI ETIKA KOMENTAR/CATATAN 1. Instansi Pemerintah telah menyusun dan menerapkan aturan perilaku serta kebijakan lain yang berisi tentang standar perilaku etis, praktik yang dapat diterima, dan praktik yang tidak dapat diterima termasuk benturan kepentingan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Aturan perilaku tersebut sifatnya menyeluruh dan langsung berkenaan dengan hal-hal seperti pembayaran yang tidak wajar, kelayakan penggunaan sumber daya, benturan kepentingan, kegiatan politik pegawai, gratifikasi, dan penerapan kecermatan profesional.
Secara berkala pegawai menandatangani pernyataan komitmen untuk menerapkan aturan perilaku tersebut.
Pegawai memperlihatkan bahwa yang bersangkutan mengetahui perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima, hukuman yang akan dikenakan terhadap perilaku yang tidak dapat diterima dan tindakan yang harus dilakukan jika yang bersangkutan mengetahui adanya sikap perilaku yang tidak dapat diterima.
Suasana etis dibangun pada setiap tingkat pimpinan Instansi Pemerintah dan dikomunikasikan di lingkungan Instansi Pemerintah yang bersangkutan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah membina serta mendorong terciptanya budaya yang menekankan pentingnya nilai-nilai integritas dan etika. Hal ini bisa dicapai melalui komunikasi lisan dalam rapat, diskusi, dan melalui keteladanan dalam kegiatan sehari- hari.
Pegawai memperlihatkan adanya dorongan sejawat untuk menerapkan sikap perilaku dan etika yang baik.
Pimpinan Instansi Pemerintah melakukan tindakan yang cepat dan tepat segera setelah timbulnya gejala masalah.
Pekerjaan yang terkait dengan masyarakat, anggota badan legislatif, pegawai, rekanan, auditor, dan pihak lainnya dilaksanakan dengan tingkat etika yang tinggi. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Laporan keuangan, anggaran, dan pelaksanaan program yang disampaikan kepada badan legislatif, Intansi Pemerintah, dan pihak yang berkepentingan disajikan dengan wajar dan akurat.
Pimpinan Instansi Pemerintah mengungkapkan masalah dalam instansi yang bersangkutan serta menerima komentar dan rekomendasi pada saat auditor dan evaluator melakukan tugasnya.
Atas kekurangan tagihan dari rekanan atau kelebihan pembayaran dari pengguna jasa segera dilakukan perbaikan.
Instansi Pemerintah memiliki proses penanganan tuntutan dan kepentingan pegawai secara cepat dan tepat.
Tindakan disiplin yang tepat dilakukan terhadap penyimpangan atas kebijakan dan prosedur atau atas pelanggaran aturan perilaku. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah mengambil tindakan atas pelanggaran kebijakan, prosedur, atau aturan perilaku.
Jenis sanksi dikomunikasikan kepada seluruh pegawai di lingkungan Instansi Pemerintah sehingga pegawai mengetahui konsekuensi dari penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan.
Pimpinan Instansi Pemerintah menjelaskan dan mempertanggungjawabkan adanya intervensi atau pengabaian atas pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Terdapat pedoman yang mengatur situasi, frekuensi, dan tingkat pimpinan yang diperkenankan melakukan intervensi dan pengabaian.
Intervensi atau pengabaian terhadap pengendalian intern didokumentasikan secara lengkap termasuk alasan dan tindakan khusus yang diambil.
Pengabaian pengendalian intern tidak boleh dilakukan oleh pimpinan Instansi Pemerintah tingkat bawah kecuali dalam keadaan darurat dan segera dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah yang lebih tinggi, serta didokumentasikan.
Pimpinan Instansi Pemerintah menghapus kebijakan atau penugasan yang dapat mendorong perilaku tidak etis. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan tujuan yang realistis dan dapat dicapai dan tidak menekan pegawai untuk mencapai tujuan lain yang tidak realistis.
Pimpinan Instansi Pemerintah sesuai dengan kewenangannya memberikan penghargaan untuk meningkatkan penegakan integritas dan kepatuhan terhadap nilai-nilai etika.
Kompensasi dan kenaikan jabatan atau promosi didasarkan pada prestasi dan kinerja. B. KOMITMEN TERHADAP KOMPETENSI KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah mengidentifikasi dan menetapkan kegiatan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dan fungsi pada masing-masing posisi dalam Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah menganalisis tugas yang perlu dilaksanakan atas suatu pekerjaan dan memberikan pertimbangan serta pengawasan yang diperlukan.
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan dan memutakhirkan uraian jabatan atau perangkat lain untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan tugas khusus.
Instansi Pemerintah menyusun standar kompetensi untuk setiap tugas dan fungsi pada masing-masing posisi dalam Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pengetahuan, keahlian, dan kemampuan yang diperlukan untuk setiap jabatan diidentifikasi dan diberitahukan kepada pegawai.
Terdapat proses untuk memastikan bahwa pegawai yang terpilih untuk menduduki suatu jabatan telah memiliki pengetahuan, keahlian, dan kemampuan yang diperlukan.
Instansi Pemerintah menyelenggarakan pelatihan dan pembimbingan untuk membantu pegawai mempertahankan dan meningkatkan kompetensi pekerjaannya. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Terdapat program pelatihan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pegawai.
Instansi Pemerintah sudah menekankan perlunya pelatihan berkesinambungan dan memiliki mekanisme pengendalian untuk membantu memastikan bahwa seluruh pegawai sudah menerima pelatihan yang tepat.
Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki keahlian manajemen yang diperlukan dan sudah dilatih untuk memberikan pembimbingan yang efektif bagi peningkatan kinerja.
Penilaian kinerja didasarkan pada penilaian atas faktor penting pekerjaan dan dengan jelas mengidentifikasi pekerjaaan yang telah dilaksanakan dengan baik dan yang masih memerlukan peningkatan.
Pegawai mendapat pembimbingan yang obyektif dan konstruktif untuk peningkatan kinerja.
Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki kemampuan manajerial dan pengalaman teknis yang luas dalam pengelolaan Instansi Pemerintah. C. KEPEMIMPINAN YANG KONDUSIF KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki sikap yang selalu mempertimbangkan risiko dalam pengambilan keputusan.
Pimpinan Instansi Pemerintah menerapkan manajemen berbasis kinerja.
Pimpinan Instansi Pemerintah mendukung fungsi tertentu dalam penerapan SPIP, antara lain pencatatan dan pelaporan keuangan, sistem manajemen informasi, pengelolaan pegawai, dan pengawasan baik intern maupun ekstern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah menyelenggarakan akuntansi dan anggaran untuk pengendalian kegiatan dan evaluasi kinerja.
penyelenggara akuntansi yang didesentralisasi memiliki tanggung jawab membuat laporan kepada pejabat keuangan pusat.
penyelenggaraan manajemen keuangan, akuntansi dan anggaran dikendalikan oleh pejabat pengelola keuangan sehingga terdapat sinkronisasi dengan barang milik negara.
Pimpinan Instansi Pemerintah menggunakan fungsi manajemen informasi untuk mendapatkan data operasional yang penting dan mendukung upaya penyempurnaan sistem informasi sesuai perkembangan teknologi informasi.
Pimpinan Instansi Pemerintah memberi perhatian yang besar pada pegawai operasional dan menekankan pentingnya pembinaan sumber daya manusia yang baik.
Pimpinan Instansi Pemerintah memandang penting dan merespon informasi hasil pengawasan.
Perlindungan atas aset dan informasi dari akses dan penggunaan yang tidak sah.
Interaksi yang intensif dengan pimpinan pada tingkatan yang lebih rendah.
Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki sikap yang positif dan responsif terhadap pelaporan yang berkaitan dengan keuangan, penganggaran, program, dan kegiatan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah mengetahui dan ikut berperan dalam isu penting pada laporan keuangan serta mendukung penerapan prinsip- prinsip dan estimasi akuntansi yang konservatif.
Pimpinan Instansi Pemerintah mengungkapkan semua informasi keuangan, anggaran, dan program yang diperlukan agar kondisi kegiatan dan keuangan Instansi Pemerintah tersebut dapat dipahami sepenuhnya.
Pimpinan Instansi Pemerintah menghindari penekanan pada pencapaian hasil-hasil jangka pendek.
Pegawai tidak menyampaikan laporan pencapaian target yang tidak tepat atau tidak akurat.
Fakta tidak dibesar-besarkan dan estimasi anggaran tidak ditinggikan sehingga menjadi tidak wajar.
Tidak ada mutasi pegawai yang berlebihan di fungsi-fungsi kunci, seperti pengelolaan kegiatan operasional dan program, akuntansi atau pemeriksaan intern, yang mungkin menunjukkan adanya masalah dengan perhatian Instansi Pemerintah terhadap pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
tidak adanya mutasi pimpinan Instansi Pemerintah yang berlebihan yang berkaitan dengan masalah-masalah pengendalian intern.
pegawai yang menduduki posisi penting tidak keluar (mengundurkan diri) dengan alasan yang tidak terduga.
adanya tingkat perputaran ( turnover ) pegawai yang tinggi yang dapat melemahkan pengendalian intern.
perputaran pegawai yang tidak berpola yang mengindikasikan kurangnya perhatian pimpinan Instansi Pemerintah terhadap pengendalian intern. D. STRUKTUR ORGANISASI KOMENTAR/CATATAN 1. Struktur organisasi Instansi Pemerintah disesuaikan dengan ukuran dan sifat kegiatan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Struktur organisasi mampu memfasilitasi arus informasi di dalam Instansi Pemerintah yang bersangkutan secara menyeluruh.
Pimpinan Instansi Pemerintah secara jelas menyatakan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam menentukan tingkat sentralisasi atau desentralisasi organisasi.
Pimpinan Instansi Pemerintah memberikan kejelasan wewenang dan tanggung jawab. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab atas kegiatan atau fungsi utama sepenuhnya menyadari tugas dan tanggung jawabnya.
Bagan organisasi yang tepat dan terbaru yang menunjukkan bidang tanggung jawab utama disampaikan kepada semua pegawai.
Pimpinan Instansi Pemerintah memahami pengendalian intern yang menjadi tanggung jawabnya dan memastikan bahwa pegawainya juga memahami tanggung jawab masing- masing.
Kejelasan hubungan dan jenjang pelaporan intern dalam Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Hubungan dan jenjang pelaporan ditetapkan serta secara efektif memberikan informasi yang dibutuhkan pimpinan Instansi Pemerintah untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Pegawai memahami hubungan dan jenjang pelaporan yang telah ditetapkan.
Pimpinan Instansi Pemerintah dapat dengan mudah saling berkomunikasi.
Pimpinan Instansi Pemerintah melaksanakan evaluasi dan penyesuaian secara periodik terhadap struktur organisasi sehubungan dengan perubahan lingkungan strategis.
Instansi Pemerintah menetapkan jumlah pegawai yang sesuai, terutama untuk posisi pimpinan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Pegawai tidak boleh bekerja lembur secara berlebihan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
Pimpinan Instansi Pemerintah tidak merangkap tugas dan tanggung jawab bawahannya lebih dari satu orang. E. PENDELEGASIAN WEWENANG DAN KOMENTAR/CATATAN TANGGUNG JAWAB 1. Wewenang diberikan kepada pegawai yang tepat sesuai dengan tingkat tanggung jawabnya dalam rangka pencapaian tujuan Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
wewenang dan tanggung jawab ditetapkan dengan jelas di dalam Instansi Pemerintah dan dikomunikasikan kepada semua pegawai.
Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki tanggung jawab sesuai kewenangannya dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya.
Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki prosedur yang efektif untuk memantau hasil kewenangan dan tanggung jawab yang didelegasikan.
Pegawai yang diberi wewenang memahami bahwa wewenang dan tanggung jawab yang diterimanya terkait dengan pihak lain dalam Instansi Pemerintah yang bersangkutan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
uraian tugas secara jelas menunjukkan tingkat wewenang dan tanggung jawab yang didelegasikan pada jabatan yang bersangkutan.
uraian tugas dan evaluasi kinerja merujuk pada pengendalian intern terkait tugas, tanggung jawab, dan akuntabilitas.
Pegawai yang diberi wewenang memahami bahwa pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab terkait dengan penerapan SPIP. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pegawai, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya, diberdayakan untuk mengatasi masalah atau melakukan perbaikan.
Untuk penyelesaian pekerjaan, terdapat keseimbangan antara pendelegasian kewenangan yang diterima dengan keterlibatan pimpinan yang lebih tinggi. F. KEBIJAKAN DAN PRAKTIK PEMBINAAN KOMENTAR/CATATAN SUMBER DAYA MANUSIA 1. Penetapan kebijakan dan prosedur sejak rekrutmen sampai dengan pemberhentian pegawai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah mengkomunikasikan kepada pengelola pegawai mengenai kompetensi pegawai baru yang diperlukan atau berperan serta dalam proses penerimaan pegawai.
Instansi Pemerintah sudah memiliki standar atau kriteria rekrutmen dengan penekanan pada pendidikan, pengalaman, prestasi, dan perilaku etika.
uraian dan persyaratan jabatan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang.
terdapat program orientasi bagi pegawai baru dan program pelatihan berkesinambungan untuk semua pegawai.
promosi, remunerasi, dan pemindahan pegawai didasarkan pada penilaian kinerja.
penilaian kinerja didasarkan pada tujuan dan sasaran dalam rencana strategis Instansi Pemerintah bersangkutan.
nilai integritas dan etika termasuk kriteria dalam penilaian kinerja.
pegawai diberikan umpan balik dan pembimbingan untuk meningkatkan kinerja serta diberikan saran perbaikan.
sanksi disiplin atau tindakan pembimbingan diberikan atas pelanggaran kebijakan atau kode etik.
pemberhentian pegawai dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang- undangan.
Penelusuran latar belakang calon pegawai dalam proses rekrutmen. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
calon pegawai yang sering berpindah pekerjaan diberi perhatian khusus.
standar penerimaan pegawai harus mensyaratkan adanya investigasi atas catatan kriminal calon pegawai.
referensi dan atasan calon pegawai di tempat kerja sebelumnya harus dikonfirmasi.
ijazah pendidikan dan sertifikasi profesi harus dikonfirmasi.
Supervisi periodik yang memadai terhadap pegawai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah memberikan panduan, penilaian, dan pelatihan di tempat kerja kepada pegawai untuk memastikan ketepatan pelaksanaan pekerjaan, mengurangi kesalahpahaman, serta mendorong berkurangnya tindakan pelanggaran.
Pimpinan Instansi Pemerintah memastikan bahwa pegawai memahami dengan baik tugas, tanggung jawab, dan harapan pimpinan Instansi Pemerintah. G. PERWUJUDAN PERAN APARAT KOMENTAR/CATATAN PENGAWASAN INTERN PEMERINTAH YANG EFEKTIF 1. Di dalam Instansi Pemerintah, terdapat mekanisme untuk memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
aparat pengawasan intern pemerintah, yang independen, melakukan pengawasan atas kegiatan Instansi Pemerintah.
aparat pengawasan intern pemerintah membuat laporan hasil pengawasan setelah melaksanakan tugas pengawasan.
untuk menjaga mutu hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah, secara berkala dilaksanakan telaahan sejawat.
Di dalam Instansi Pemerintah terdapat mekanisme peringatan dini dan peningkatan efektivitas manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. __ 3. Di dalam Instansi Pemerintah, terdapat upaya memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan ( good governance ) tugas dan fungsi Instansi Pemerintah.
Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah yang mengelola anggaran, akuntansi dan perbendaharaan sehingga tercipta mekanisme saling uji. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Instansi Pemerintah memiliki hubungan kerja yang baik dengan Intansi Pemerintah yang mengelola anggaran, akuntansi dan perbendaharaan, serta melakukan pembahasan secara berkala tentang pelaporan keuangan dan anggaran, pengendalian intern serta kinerja.
Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah yang melaksanakan tanggung jawab pengendalian yang bersifat lintas instansi. Bagian Ikhtisar Lingkungan Pengendalian Berikan Kesimpulan Umum dan Tindakan-tindakan yang diperlukan di sini: BAGIAN II PENILAIAN RISIKO Unsur pengendalian intern yang kedua adalah penilaian risiko. Penilaian risiko diawali dengan penetapan maksud dan tujuan Instansi Pemerintah yang jelas dan konsisten baik pada tingkat instansi maupun pada tingkat kegiatan. Selanjutnya Instansi Pemerintah mengidentifikasi secara efisien dan efektif risiko yang dapat menghambat pencapaian tujuan tersebut, baik yang bersumber dari dalam maupun luar instansi. Terhadap risiko yang telah diidentifikasi dianalisis untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan. Pimpinan Instansi Pemerintah merumuskan pendekatan manajemen risiko dan kegiatan pengendalian risiko yang diperlukan untuk memperkecil risiko. Pimpinan Instansi Pemerintah atau evaluator harus berkonsentrasi pada penetapan tujuan instansi, pengidentifikasian dan analisis risiko serta pengelolaan risiko pada saat terjadi perubahan. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai efektivitas penilaian risiko yang dilaksanakan oleh pimpinan Instansi Pemerintah dalam rangka penerapan Sistem Pengendalian Intern. A. PENETAPAN TUJUAN INSTANSI SECARA KOMENTAR/CATATAN KESELURUHAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan tujuan Instansi Pemerintah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan dalam bentuk misi, tujuan dan sasaran, sebagaimana dituangkan dalam rencana strategis dan rencana kinerja tahunan.
Tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan disusun sesuai dengan persyaratan program yang ditetapkan dengan peraturan perundang- undangan.
Tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan harus cukup spesifik, terukur, dapat dicapai, realistis, dan terikat waktu.
Seluruh tujuan Instansi Pemerintah secara jelas dikomunikasikan pada semua pegawai sehingga pimpinan Instansi Pemerintah mendapatkan umpan balik, yang menandakan bahwa komunikasi tersebut berjalan secara efektif.
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan strategi operasional yang konsisten dengan rencana strategis Instansi Pemerintah dan rencana penilaian risiko. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Rencana strategis mendukung tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan.
Rencana strategis mencakup alokasi dan prioritas penggunaan sumber daya.
Rencana strategis dan anggaran dirancang secara rinci sesuai dengan tingkatan Instansi Pemerintah.
Asumsi yang mendasari rencana strategis dan anggaran Instansi Pemerintah, konsisten dengan kondisi yang terjadi sebelumnya dan kondisi saat ini.
Instansi Pemerintah memiliki rencana strategis yang terpadu dan penilaian risiko, yang mempertimbangkan tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan dan risiko yang berasal dari faktor intern dan ekstern, serta menetapkan suatu struktur pengendalian penanganan risiko. B. PENETAPAN TUJUAN PADA TINGKATAN KOMENTAR/CATATAN KEGIATAN 1. Penetapan tujuan pada tingkatan kegiatan harus berdasarkan pada tujuan dan rencana strategis Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Semua kegiatan penting didasarkan pada tujuan dan rencana strategis Instansi Pemerintah secara keseluruhan.
Tujuan pada tingkatan kegiatan dikaji ulang secara berkala untuk memastikan bahwa tujuan tersebut masih relevan dan berkesinambungan.
Tujuan pada tingkatan kegiatan saling melengkapi, saling menunjang, dan tidak bertentangan satu dengan lainnya.
Tujuan pada tingkatan kegiatan relevan dengan seluruh kegiatan utama Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Tujuan pada tingkatan kegiatan ditetapkan untuk semua kegiatan operasional penting dan kegiatan pendukung.
Tujuan pada tingkatan kegiatan konsisten dengan praktik dan kinerja sebelumnya yang efektif serta kinerja industri/bisnis yang mungkin dapat diterapkan pada kegiatan Instansi Pemerintah.
Tujuan pada tingkatan kegiatan mempunyai unsur kriteria pengukuran.
Tujuan pada tingkatan kegiatan didukung sumber daya Instansi Pemerintah yang cukup. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan sudah diidentifikasi.
Jika tidak tersedia sumber daya yang cukup, pimpinan Instansi Pemerintah harus memiliki rencana untuk mendapatkannya.
Pimpinan Instansi Pemerintah mengidentifikasi tujuan pada tingkatan kegiatan yang penting terhadap keberhasilan tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah mengidentifikasi hal yang harus ada atau dilakukan agar tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan tercapai.
Tujuan pada tingkatan kegiatan yang penting harus mendapat perhatian dan direviu secara khusus serta capaian kinerjanya dipantau secara teratur oleh pimpinan Instansi Pemerintah.
Semua tingkatan pimpinan Instansi Pemerintah terlibat dalam proses penetapan tujuan pada tingkatan kegiatan dan berkomitmen untuk mencapainya. C. IDENTIFIKASI RISIKO KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah menggunakan metodologi identifikasi risiko yang sesuai untuk tujuan Instansi Pemerintah dan tujuan pada tingkatan kegiatan secara komprehensif. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Metode kualitatif dan kuantitatif digunakan untuk mengidentifikasi risiko dan menentukan peringkat risiko relatif secara terjadwal dan berkala.
Cara suatu risiko diidentifikasi, diperingkat, dianalisis, dan diatasi telah dikomunikasikan kepada pegawai yang berkepentingan.
Pembahasan identifikasi risiko dilakukan pada rapat tingkat pimpinan Instansi Pemerintah.
Identifikasi risiko merupakan bagian dari prakiraan rencana jangka pendek dan jangka panjang, serta rencana strategis.
Identifikasi risiko merupakan hasil dari pertimbangan atas temuan audit, hasil evaluasi, dan penilaian lainnya.
Risiko yang diidentifikasi pada tingkat pegawai dan pimpinan tingkat menengah menjadi perhatian pimpinan Instansi Pemerintah yang lebih tinggi.
Risiko dari faktor eksternal dan internal diidentifikasi dengan menggunakan mekanisme yang memadai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Instansi Pemerintah mempertimbangkan risiko dari perkembangan teknologi.
Risiko yang timbul dari perubahan kebutuhan atau harapan badan legislatif, pimpinan Instansi Pemerintah, dan masyarakat sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari peraturan perundang-undangan baru sudah diidentifikasi.
Risiko yang timbul dari bencana alam, tindakan kejahatan, atau tindakan terorisme sudah dipertimbangkan.
Identifikasi risiko yang timbul dari perubahan kondisi usaha, politik, dan ekonomi sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari rekanan utama sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari interaksi dengan Instansi Pemerintah lainnya dan pihak di luar pemerintahan sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari pengurangan kegiatan dan pengurangan pegawai Instansi Pemerintah sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari rekayasa ulang proses bisnis ( business process reengineering ) atau perancangan ulang proses operasional sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari gangguan pemrosesan sistem informasi dan tidak tersedianya sistem cadangan sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari pelaksanaan program yang didesentralisasi sudah diidentifikasi.
Risiko yang timbul dari tidak terpenuhinya kualifikasi pegawai dan tidak adanya pelatihan pegawai sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari ketergantungan terhadap rekanan atau pihak lain dalam pelaksanaan kegiatan penting Instansi Pemerintah sudah diidentifikasi.
Risiko yang timbul dari perubahan besar dalam tanggung jawab pimpinan Instansi Pemerintah sudah diidentifikasi.
Risiko yang timbul dari akses pegawai yang tidak berwenang terhadap aset yang rawan sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari kelemahan pengelolaan pegawai.
Risiko yang timbul dari ketidaktersediaan dana untuk pembiayaan program baru atau program lanjutan sudah dipertimbangkan.
Penilaian atas faktor lain yang dapat meningkatkan risiko telah dilaksanakan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Risiko yang timbul dari kegagalan pencapaian misi, tujuan, dan sasaran masa lalu atau keterbatasan anggaran sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari pembiayaan yang tidak memadai, pelanggaran penggunaan dana, atau ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di masa lalu sudah dipertimbangkan.
Risiko melekat pada misi Instansi Pemerintah, program yang komplek dan penting, serta kegiatan khusus lainnya sudah diidentifikasi.
Risiko Instansi Pemerintah secara keseluruhan dan pada setiap tingkatan kegiatan penting sudah diidentifikasi. D. ANALISIS RISIKO KOMENTAR/CATATAN 1. Analisis risiko dilaksanakan untuk menentukan dampak risiko terhadap pencapaian tujuan Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan proses formal dan informal untuk menganalisis risiko berdasarkan kegiatan sehari-hari.
Kriteria klasifikasi risiko rendah, menengah atau tinggi sudah ditetapkan.
Pimpinan dan pegawai Instansi Pemerintah yang berkepentingan diikutsertakan dalam kegiatan analisis risiko.
Risiko yang diidentifikasi dan dianalisis relevan dengan tujuan kegiatan.
Analisis risiko mencakup perkiraan seberapa penting risiko bersangkutan.
Analisis risiko mencakup perkiraan kemungkinan terjadinya setiap risiko dan menentukan tingkatannya.
Cara terbaik mengelola atau mengurangi risiko dan tindakan khusus yang harus dilaksanakan sudah ditetapkan.
Pimpinan Instansi Pemerintah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menentukan tingkat risiko yang dapat diterima. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pendekatan penentuan tingkat risiko yang dapat diterima bervariasi antar Instansi Pemerintah tergantung dari varian dan toleransi risiko.
Pendekatan yang diterapkan dirancang agar tingkat risiko yang dapat diterima tetap wajar dan pimpinan Instansi Pemerintah bertanggung jawab atas penetapannya.
Kegiatan pengendalian khusus untuk mengelola serta mengurangi risiko secara keseluruhan dan di setiap tingkatan kegiatan, sudah ditetapkan dan penerapannya selalu dipantau. E. MENGELOLA RISIKO SELAMA PERUBAHAN KOMENTAR/CATATAN 1. Instansi Pemerintah memiliki mekanisme untuk mengantisipasi, mengidentifikasi, dan bereaksi terhadap risiko yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan dalam pemerintahan, ekonomi, industri, peraturan, operasional atau kondisi lain yang dapat mempengaruhi tercapainya maksud dan tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan atau maksud dan tujuan suatu kegiatan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Semua kegiatan di dalam Instansi Pemerintah yang mungkin akan sangat terpengaruh oleh perubahan sudah dipertimbangkan dalam prosesnya.
Perubahan rutin sudah ditangani melalui identifikasi risiko dan proses analisis yang ditetapkan.
Risiko yang diakibatkan oleh kondisi yang berubah-ubah secara signifikan sudah ditangani pada tingkat yang cukup tinggi di dalam Instansi Pemerintah sehingga dampaknya terhadap organisasi sudah dipertimbangkan dan tindakan yang layak sudah diambil.
Instansi Pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap risiko yang ditimbulkan oleh perubahan yang mungkin memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap Instansi Pemerintah dan yang menuntut perhatian pimpinan tingkat atas. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Instansi Pemerintah secara khusus sudah memberikan perhatian terhadap risiko yang ditimbulkan akibat menerima pegawai baru untuk menempati posisi kunci atau akibat tingginya keluar-masuk pegawai di suatu bidang.
Sudah ada mekanisme untuk menentukan risiko yang terkandung akibat diperkenalkannya sistem informasi baru atau berubahnya sistem informasi dan risiko yang terlibat dalam pelatihan pegawai dalam menggunakan sistem baru ini dan menerima perubahan.
Pimpinan Instansi Pemerintah sudah memberikan pertimbangan khusus terhadap risiko yang diakibatkan oleh perkembangan dan ekspansi yang cepat atau penciutan yang cepat serta pengaruhnya terhadap kemampuan sistem dan perubahan rencana, maksud, dan tujuan strategis.
Sudah diberikan pertimbangan terhadap risiko yang terlibat saat memperkenalkan perkembangan dan penerapan teknologi baru yang penting serta pemanfaatannya dalam proses operasional.
Risiko sudah dianalisis secara menyeluruh saat Instansi Pemerintah akan memulai kegiatan untuk menyediakan suatu keluaran atau jasa baru.
Risiko yang diakibatkan oleh pelaksanaan kegiatan di suatu area geografis baru sudah ditetapkan. Bagian Ikhtisar Penilaian Risiko Berikan Kesimpulan Umum dan Tindakan-tindakan yang diperlukan di sini: BAGIAN III KEGIATAN PENGENDALIAN Unsur sistem pengendalian intern yang ketiga adalah kegiatan pengendalian. Kegiatan pengendalian intern adalah kebijakan dan prosedur yang dapat membantu memastikan dilaksanakannya arahan pimpinan Instansi Pemerintah untuk mengurangi risiko yang telah diidentifikasi selama proses penilaian risiko. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai tercapai tidaknya suatu lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dan manajemen yang sehat. Kegiatan pengendalian yang diterapkan dalam suatu Instansi Pemerintah dapat berbeda dengan yang diterapkan pada Instansi Pemerintah lain. Perbedaan penerapan ini antara lain disebabkan oleh perbedaan:
visi, misi, dan tujuan;
lingkungan dan cara beroperasi;
tingkat kerumitan organisasi;
sejarah atau latar belakang serta budaya; dan
risiko yang dihadapi. Kegiatan pengendalian terdiri atas:
reviu atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan;
pembinaan sumber daya manusia;
pengendalian atas pengelolaan sistem informasi;
pengendalian fisik atas aset;
penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja;
pemisahan fungsi;
otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting;
pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian;
pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya;
akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan
dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai apakah kegiatan pengendalian intern pada suatu Instansi Pemerintah sudah memadai. A. PENERAPAN UMUM KOMENTAR/CATATAN 1. Kebijakan dan prosedur yang ada berkaitan dengan kegiatan Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Semua tujuan yang relevan dan risikonya untuk masing-masing kegiatan penting sudah diidentifikasi pada saat pelaksanaan penilaian risiko.
Pimpinan Instansi Pemerintah telah mengidentifikasi tindakan dan kegiatan pengendalian yang diperlukan untuk menangani risiko tersebut dan memberikan arahan penerapannya.
Kegiatan pengendalian yang diidentifikasi sebagai hal yang diperlukan sudah diterapkan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Kegiatan pengendalian yang diatur dalam pedoman pelaksanaan kebijakan dan prosedur sudah diterapkan dengan tepat dan memadai.
Pegawai dan atasannya memahami tujuan dari kegiatan pengendalian tersebut.
Petugas pengawas mereviu ber- fungsinya kegiatan pengendalian yang sudah ditetapkan dan selalu waspada terhadap adanya kegiatan pengendalian yang berlebihan.
Terhadap penyimpangan, masalah dalam penerapan, atau informasi yang membutuhkan tindak lanjut, telah diambil tindakan secara tepat waktu.
Kegiatan pengendalian secara berkala dievaluasi untuk memastikan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut masih sesuai dan berfungsi sebagaimana diharapkan. B. REVIU ATAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH YANG BERSANGKUTAN __ 1. Reviu pada Tingkat Puncak – Pimpinan Instansi Pemerintah memantau pencapaian kinerja Instansi Pemerintah tersebut dibandingkan rencana sebagai tolok ukur kinerja. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah terlibat dalam penyusunan rencana strategis dan rencana kerja tahunan.
Pimpinan Instansi Pemerintah terlibat dalam pengukuran dan pelaporan hasil yang dicapai.
Pimpinan Instansi Pemerintah secara berkala mereviu kinerja dibandingkan rencana.
Inisiatif signifikan dari Instansi Pemerintah dipantau pencapaian targetnya dan tindak lanjut yang telah diambil.
Reviu Manajemen pada Tingkat Kegiatan – Pimpinan Instansi Pemerintah mereviu kinerja dibandingkan tolok ukur kinerja. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah pada setiap tingkatan kegiatan mereviu laporan kinerja, menganalisis kecenderungan, dan mengukur hasil dibandingkan target, anggaran, prakiraan, dan kinerja periode yang lalu.
Pejabat pengelola keuangan dan pejabat pelaksana tugas operasional mereviu serta membandingkan kinerja keuangan, anggaran, dan operasional dengan hasil yang direncanakan atau diharapkan.
Kegiatan pengendalian yang tepat telah dilaksanakan, antara lain seperti rekonsiliasi dan pengecekan ketepatan informasi. C. PEMBINAAN SUMBER DAYA MANUSIA __ __ KOMENTAR/CATATAN 1. Pemahaman bersama atas visi, misi, tujuan, nilai, dan strategi Instansi Pemerintah telah tercermin dalam rencana strategis, rencana kerja tahunan, dan pedoman panduan kerja lainnya dan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten kepada seluruh pegawai.
Instansi Pemerintah memiliki strategi pembinaan sumber daya manusia yang utuh dalam bentuk rencana strategis, rencana kerja tahunan, dan dokumen perencanaan sumber daya manusia lainnya yang meliputi kebijakan, program, dan praktek pengelolaan pegawai yang akan menjadi panduan bagi Instansi Pemerintah tersebut.
Instansi Pemerintah memiliki strategi perencanaan sumber daya manusia yang spesifik dan eksplisit, yang dikaitkan dengan keseluruhan rencana strategis, dan yang memungkinkan dilakukannya identifikasi kebutuhan pegawai baik pada saat ini maupun di masa mendatang.
Instansi Pemerintah telah memiliki persyaratan jabatan dan menetapkan kinerja yang diharapkan untuk setiap posisi pimpinan.
Pimpinan Instansi Pemerintah membangun kerja sama tim, mendorong penerapan visi Instansi Pemerintah, dan mendorong adanya umpan balik dari pegawai.
Sistem manajemen kinerja Instansi Pemerintah mendapat prioritas tertinggi dari pimpinan Instansi Pemerintah yang dirancang sebagai panduan bagi pegawai dalam mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan.
Instansi Pemerintah telah memiliki prosedur untuk memastikan bahwa pegawai dengan kompetensi yang tepat yang direkrut dan dipertahankan.
Pegawai telah diberikan orientasi, pelatihan dan kelengkapan kerja untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab, meningkatkan kinerja, meningkatkan kemampuan, serta memenuhi tuntutan kebutuhan organisasi yang berubah-ubah.
Sistem kompensasi cukup memadai untuk mendapatkan, memotivasi, dan mempertahankan pegawai serta insentif dan penghargaan disediakan untuk mendorong pegawai melakukan tugas dengan kemampuan maksimal.
Instansi Pemerintah memiliki program kesejahteraan dan fasilitas untuk meningkatkan kepuasan dan komitmen pegawai.
Pengawasan atasan dilakukan secara berkesinambungan untuk memastikan bahwa tujuan pengendalian intern bisa dicapai.
Pegawai diberikan evaluasi kinerja dan umpan balik yang bermakna, jujur, dan konstruktif untuk membantu pegawai memahami hubungan antara kinerjanya dan pencapaian tujuan Instansi Pemerintah.
Pimpinan Instansi Pemerintah melakukan kaderisasi untuk memastikan tersedianya pegawai dengan kompetensi yang diperlukan. D. PENGENDALIAN ATAS PENGELOLAAN KOMENTAR/CATATAN SISTEM INFORMASI Pengendalian atas pengelolaan sistem informasi dilakukan untuk memastikan akurasi dan kelengkapan informasi. Pengendalian dilakukan melalui pengendalian umum dan pengendalian aplikasi.
Pengendalian Umum a. Pengamanan Sistem Informasi 1) Instansi Pemerintah secara berkala melaksanakan penilaian risiko secara periodik yang komprehensif. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: a) Penilaian risiko dilaksanakan dan didokumentasikan secara teratur dan pada saat sistem, fasilitas, atau kondisi lainnya berubah. b) Penilaian risiko tersebut sudah mempertimbangkan sensitivitas dan keandalan data. c) Penetapan risiko akhir dan persetujuan pimpinan Instansi Pemerintah didokumentasikan.
Pimpinan Instansi Pemerintah mengembangkan rencana yang secara jelas menggambarkan program pengamanan serta kebijakan dan prosedur yang mendukungnya.
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan organisasi untuk mengimplementasikan dan mengelola program pengamanan.
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan uraian tanggung jawab pengamanan secara jelas.
Instansi Pemerintah mengimplementasikan kebijakan yang efektif atas pegawai yang terkait dengan program pengamanan.
Instansi Pemerintah memantau efektivitas program pengamanan dan melakukan perubahan program pengamanan jika diperlukan. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: a) Pimpinan Instansi Pemerintah secara berkala menilai kelayakan kebijakan pengamanan dan kepatuhan terhadap kebijakan tersebut. b) Tindakan korektif diterapkan dan diuji dengan segera dan efektif serta dipantau secara terus- menerus.
Pengendalian atas Akses 1) Instansi Pemerintah mengklasifikasikan sumber daya sistem informasi berdasarkan kepentingan dan sensitivitasnya. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: a) Klasifikasi sumber daya dan kriteria terkait sudah ditetapkan dan dikomunikasikan kepada pemilik sumber daya. b) Pemilik sumber daya memilah- milah sumber daya informasi berdasarkan klasifikasi dan kriteria yang sudah ditetapkan dengan memperhatikan penetapan dan penilaian risiko serta mendokumentasikannya.
Pemilik sumber daya mengidentifikasi pengguna yang berhak dan otorisasi akses ke informasi secara formal.
Instansi Pemerintah menetapkan pengendalian fisik dan pengendalian logik untuk mencegah dan mendeteksi akses yang tidak diotorisasi.
Instansi Pemerintah memantau akses ke sistem informasi, melakukan investigasi atas pelanggaran, dan mengambil tindakan perbaikan dan penegakan disiplin.
Pengendalian atas Pengembangan dan Perubahan Perangkat Lunak Aplikasi 1) Fitur pemrosesan sistem informasi dan modifikasi program diotorisasi.
Seluruh perangkat lunak yang baru dan yang dimutakhirkan sudah diuji dan disetujui.
Instansi Pemerintah telah menetapkan prosedur untuk memastikan terselenggaranya pengendalian atas kepustakaan perangkat lunak ( software libraries ) termasuk pemberian label, pembatasan akses, dan penggunaan kepustakaan perangkat lunak yang terpisah.
Pengendalian atas Perangkat Lunak Sistem 1) Instansi Pemerintah membatasi akses ke perangkat lunak sistem berdasarkan tanggung jawab pekerjaan dan otorisasi akses tersebut didokumentasikan.
Akses ke dan penggunaan perangkat lunak sistem dikendalikan dan dipantau.
Instansi Pemerintah mengendalikan perubahan yang dilakukan terhadap perangkat lunak sistem.
Pemisahan Tugas 1) Tugas yang tidak dapat digabungkan sudah diidentifikasi dan kebijakan untuk memisahkan tugas tersebut sudah ditetapkan.
Pengendalian atas akses sudah ditetapkan untuk pelaksanaan pemisahan tugas.
Instansi Pemerintah melakukan pengendalian atas kegiatan pegawai melalui penggunaan prosedur, supervisi, dan reviu.
Kontinuitas pelayanan 1) Instansi Pemerintah melakukan penilaian, pemberian prioritas, dan pengidentifikasian sumber daya pendukung atas kegiatan komputerisasi yang kritis dan sensitif.
Instansi Pemerintah sudah mengambil langkah-langkah pencegahan dan minimalisasi potensi kerusakan dan terhentinya operasi komputer antara lain melalui penggunaan prosedur back- up data dan program, penyimpanan back-up data di tempat lain, pengendalian atas lingkungan, pelatihan staf, serta pengelolaan dan pemeliharaan perangkat keras.
Pimpinan Instansi Pemerintah sudah mengembangkan dan mendokumentasikan rencana komprehensif untuk mengatasi kejadian tidak terduga ( contingency plan ), misalnya langkah pengamanan apabila terjadi bencana alam, sabotase, dan terorisme.
Instansi Pemerintah secara berkala menguji rencana untuk mengatasi kejadian tidak terduga dan melakukan penyesuaian jika diperlukan.
Pengendalian Aplikasi a. Pengendalian Otorisasi 1) Instansi Pemerintah mengendalikan dokumen sumber. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: a) Akses ke dokumen sumber yang masih kosong dibatasi. b) Dokumen sumber diberikan nomor urut tercetak ( prenumbered ).
Atas dokumen sumber dilakukan pengesahan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: a) Dokumen sumber yang penting memerlukan tanda tangan otorisasi. b) Untuk sistem aplikasi batch , harus digunakan lembar kendali batch yang menyediakan informasi seperti tanggal, nomor kendali, jumlah dokumen, dan jumlah kendali ( control totals ) dari field kunci. c) Reviu independen terhadap data dilakukan sebelum data dientri ke dalam sistem aplikasi.
Akses ke terminal entri data dibatasi.
File induk dan laporan khusus digunakan untuk memastikan bahwa seluruh data yang diproses telah diotorisasi.
Pengendalian Kelengkapan 1) Transaksi yang dientri dan diproses ke dalam komputer adalah seluruh transaksi yang telah diotorisasi.
Rekonsiliasi data dilaksanakan untuk memverifikasi kelengkapan data.
Pengendalian Akurasi 1) Desain entri data digunakan untuk mendukung akurasi data.
Validasi data dan editing dilaksanakan untuk mengidentifikasi data yang salah.
Data yang salah dengan segera dicatat, dilaporkan, diinvestigasi, dan diperbaiki.
Laporan keluaran direviu untuk mempertahankan akurasi dan validitas data.
Pengendalian terhadap Keandalan Pemrosesan dan File Data 1) Terdapat prosedur untuk memastikan bahwa hanya program dan file data versi terkini yang digunakan selama pemrosesan.
Terdapat program yang memiliki prosedur untuk memverifikasi bahwa versi file komputer yang sesuai yang digunakan selama pemrosesan.
Terdapat program yang memiliki prosedur untuk mengecek internal file header labels sebelum pemrosesan.
Terdapat aplikasi yang mencegah perubahan file secara bersamaan. E. PENGENDALIAN FISIK ATAS ASET KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan, mengimplementasikan, dan mengkomunikasikan rencana identifikasi, kebijakan, dan prosedur pengamanan fisik kepada seluruh pegawai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Kebijakan dan prosedur pengamanan fisik telah ditetapkan, diimplementasikan, dan dikomunikasikan ke seluruh pegawai.
Instansi pemerintah telah mengembangkan rencana untuk identifikasi dan pengamanan aset infrastruktur.
Aset yang berisiko hilang, dicuri, rusak, digunakan tanpa hak seperti uang tunai, surat berharga, perlengkapan, persediaan, dan peralatan, secara fisik diamankan dan akses ke aset tersebut dikendalikan.
Aset seperti uang tunai, surat berharga, perlengkapan, persediaan, dan peralatan secara periodik dihitung dan dibandingkan dengan catatan pengendalian; setiap perbedaan diperiksa secara teliti.
Uang tunai dan surat berharga yang dapat diuangkan dijaga dalam tempat terkunci dan akses ke aset tersebut secara ketat dikendalikan.
Formulir seperti blangko cek dan Surat Perintah Membayar, diberi nomor urut tercetak ( prenumbered ), secara fisik diamankan, dan akses ke formulir tersebut dikendalikan.
Penanda tangan cek mekanik dan stempel tanda tangan secara fisik dilindungi dan aksesnya dikendalikan dengan ketat.
Peralatan yang berisiko dicuri diamankan dengan dilekatkan atau dilindungi dengan cara lainnya.
Identitas aset dilekatkan pada meubelair, peralatan, dan inventaris kantor lainnya.
persediaan dan perlengkapan disimpan di tempat yang diamankan secara fisik dan dilindungi dari kerusakan.
Seluruh fasilitas dilindungi dari api dengan menggunakan alarm kebakaran dan sistem pemadaman kebakaran.
Akses ke gedung dan fasilitas dikendalikan dengan pagar, penjaga, atau pengendalian fisik lainnya.
Akses ke fasilitas di luar jam kerja dibatasi dan dikendalikan.
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan, mengimplementasikan, dan mengkomunikasikan rencana pemulihan setelah bencana ( disaster recovery plan ) kepada seluruh pegawai. F. PENETAPAN DAN REVIU INDIKATOR DAN KOMENTAR/CATATAN UKURAN KINERJA 1. Ukuran dan indikator kinerja ditetapkan untuk tingkat Instansi Pemerintah, kegiatan, dan pegawai.
Instansi Pemerintah mereviu dan melakukan validasi secara periodik atas ketetapan dan keandalan ukuran dan indikator kinerja.
Faktor penilaian pengukuran kinerja dievaluasi untuk meyakinkan bahwa faktor tersebut seimbang dan terkait dengan misi, sasaran, dan tujuan serta mengatur insentif yang pantas untuk mencapai tujuan dengan tetap memperhatikan peraturan perundang- undangan.
Data capaian kinerja dibandingkan secara terus-menerus dengan sasaran yang ditetapkan dan selisihnya dianalisis lebih lanjut. G. PEMISAHAN FUNGSI KOMENTAR/CATATAN Pimpinan Instansi Pemerintah menjamin bahwa seluruh aspek utama transaksi atau kejadian tidak dikendalikan oleh 1 (satu) orang. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Tidak seorangpun diperbolehkan mengendalikan seluruh aspek utama transaksi atau kejadian.
Tanggung jawab dan tugas atas transaksi atau kejadian dipisahkan di antara pegawai berbeda yang terkait dengan otorisasi, persetujuan, pemrosesan dan pencatatan, pembayaran atau pemerimaan dana, reviu dan audit, serta fungsi-fungsi penyimpanan dan penanganan aset.
Tugas dilimpahkan secara sistematik ke sejumlah orang untuk memberikan keyakinan adanya checks and balances .
Jika memungkinkan, tidak seorangpun diperbolehkan menangani sendiri uang tunai, surat berharga, dan aset berisiko tinggi lainnya.
Saldo bank direkonsiliasi oleh pegawai yang tidak memiliki tanggung jawab atas penerimaan, pengeluaran, dan penyimpanan kas.
Pimpinan Instansi Pemerintah mengurangi kesempatan terjadinya kolusi karena adanya kesadaran bahwa kolusi mengakibatkan ketidakefektifan pemisahan fungsi. H. OTORISASI ATAS TRANSAKSI DAN KOMENTAR/CATATAN KEJADIAN YANG PENTING Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan dan mengkomunikasikan syarat dan ketentuan otorisasi kepada pegawai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Terdapat pengendalian untuk memberikan keyakinan bahwa hanya transaksi dan kejadian yang valid diproses dan dientri, sesuai dengan keputusan dan arahan pimpinan Instansi Pemerintah.
Terdapat pengendalian untuk memastikan bahwa hanya transaksi dan kejadian signifikan yang dientri adalah yang telah diotorisasi dan dilaksanakan hanya oleh pegawai sesuai lingkup otoritasnya.
Otorisasi yang secara spesifik memuat kondisi dan syarat otorisasi dikomunikasikan secara jelas kepada pimpinan dan pegawai Instansi Pemerintah.
Terdapat persyaratan otorisasi yang sejalan dengan arahan dan dalam batasan yang ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan pimpinan Instansi Pemerintah. I. PENCATATAN YANG AKURAT DAN TEPAT KOMENTAR/CATATAN WAKTU ATAS TRANSAKSI DAN KEJADIAN 1. Transaksi dan kejadian diklasifikasikan dengan tepat dan dicatat dengan segera sehingga tetap relevan, bernilai, dan berguna bagi pimpinan Instansi Pemerintah dalam mengendalikan kegiatan dan dalam pengambilan keputusan.
Klasifikasi dan pencatatan yang tepat dilaksanakan untuk seluruh siklus transaksi atau kejadian yang mencakup otorisasi, pelaksanaan, pemrosesan, dan klasifikasi akhir dalam pencatatan ikhtisar. J. PEMBATASAN AKSES ATAS SUMBER DAYA KOMENTAR/CATATAN DAN PENCATATANNYA Pimpinan Instansi Pemerintah memberikan akses hanya kepada pegawai yang berwenang dan melakukan reviu atas pembatasan tersebut secara berkala. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Risiko penggunaan secara tidak sah atau kehilangan dikendalikan dengan membatasi akses ke sumber daya dan pencatatannya hanya kepada pegawai yang berwenang. __ 2. Penetapan pembatasan akses untuk penyimpanan secara periodik direviu dan dipelihara.
Pimpinan Instansi Pemerintah mempertimbangkan faktor-faktor seperti nilai aset, kemudahan dipindahkan, kemudahan ditukarkan ketika menentukan tingkat pembatasan akses yang tepat. K. AKUNTABILITAS TERHADAP SUMBER KOMENTAR/CATATAN DAYA DAN PENCATATANNYA Pimpinan Instansi Pemerintah menugaskan pegawai yang bertanggung jawab terhadap penyimpanan sumber daya dan pencatatannya serta melakukan reviu atas penugasan tersebut secara berkala. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pertanggungjawaban atas penyimpanan, penggunaan, dan pencatatan sumber daya ditugaskan pegawai khusus.
Penetapan pertanggungjawaban akses untuk penyimpanan sumber daya secara periodik direviu dan dipelihara.
Pembandingan berkala antara sumber daya dengan pencatatan akuntabilitas dilakukan untuk menentukan kesesuaiannya dan, jika tidak sesuai, dilakukan audit.
Pimpinan Instansi Pemerintah menginformasikan dan mengkomunikasikan tanggung jawab atas akuntabilitas sumber daya dan catatan kepada pegawai dalam organisasi dan meyakinkan bahwa petugas tersebut memahami tanggung jawabnya. L. DOKUMENTASI YANG BAIK ATAS SISTEM KOMENTAR/CATATAN PENGENDALIAN INTERN SERTA TRANSAKSI DAN KEJADIAN PENTING Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki, mengelola, memelihara, dan secara berkala memutakhirkan dokumentasi yang mencakup seluruh Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Terdapat dokumentasi tertulis yang mencakup Sistem Pengendalian Intern Instansi Pemerintah dan seluruh transaksi dan kejadian penting.
Dokumentasi tersedia setiap saat untuk diperiksa.
Dokumentasi atas Sistem Pengendalian Intern mencakup identifikasi, penerapan, dan evaluasi atas tujuan dan fungsi Instansi Pemerintah pada tingkatan kegiatan serta pengendaliannya yang tercermin dalam kebijakan administratif, pedoman akuntansi, dan pedoman lainnya.
Dokumentasi atas Sistem Pengendalian Intern mencakup dokumentasi yang menggambarkan sistem informasi otomatis, pengumpulan dan penanganan data, serta pengendalian umum dan pengendalian aplikasi.
Terdapat dokumentasi atas transaksi dan kejadian penting yang lengkap dan akurat sehingga memudahkan penelusuran transaksi dan kejadian penting sejak otorisasi, inisiasi, pemrosesan, hingga penyelesaian.
Terdapat dokumentasi, baik dalam bentuk cetakan maupun elektronis, yang berguna bagi pimpinan Instansi Pemerintah dalam mengendalikan kegiatannya dan bagi pihak lain yang terlibat dalam evaluasi dan analisis kegiatan.
Seluruh dokumentasi dan catatan dikelola dan dipelihara secara baik serta dimutakhirkan secara berkala. Bagian Ikhtisar Kegiatan Pengendalian Berikan Kesimpulan Umum dan Tindakan-tindakan yang diperlukan di sini: BAGIAN IV INFORMASI DAN KOMUNIKASI Unsur pengendalian intern keempat adalah informasi dan komunikasi. Instansi Pemerintah harus memiliki informasi yang relevan dan dapat diandalkan baik informasi keuangan maupun nonkeuangan, yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa eksternal serta internal. Informasi tersebut harus direkam dan dikomunikasikan kepada pimpinan Instansi Pemerintah dan lainnya di seluruh Instansi Pemerintah yang memerlukannya dalam bentuk serta dalam kerangka waktu, yang memungkinkan yang bersangkutan melaksanakan pengendalian intern dan tanggung jawab operasional. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai apakah Instansi Pemerintah telah menerapkan unsur informasi yang tepat dan komunikasi secara baik sehingga menunjang Sistem Pengendalian Intern dan manajemen yang sehat. A. INFORMASI KOMENTAR/CATATAN 1. Informasi dari sumber internal dan eksternal didapat dan disampaikan kepada pimpinan Instansi Pemerintah sebagai bagian dari pelaporan Instansi Pemerintah sehubungan dengan pencapaian kinerja operasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Informasi internal yang penting dalam mencapai tujuan Instansi Pemerintah, termasuk informasi yang berkaitan dengan faktor-faktor keberhasilan yang kritis, sudah diidentifikasi dan secara teratur dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah.
Instansi Pemerintah sudah mendapatkan dan melaporkan kepada pimpinan semua informasi eksternal relevan, yang dapat mempengaruhi tercapainya misi, maksud, dan tujuan Instansi Pemerintah, terutama yang berkaitan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan serta perubahan politik dan ekonomis.
Pimpinan Instansi Pemerintah di semua tingkatan telah memperoleh informasi internal dan eksternal yang diperlukan.
Informasi terkait sudah diidentifikasi, diperoleh dan didistribusikan kepada pihak yang berhak dengan rincian yang memadai, bentuk, dan waktu yang tepat, sehingga memungkinkan mereka dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efisien dan efektif. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah sudah menerima informasi hasil analisis yang dapat membantu dalam mengidentifikasi tindakan khusus yang perlu dilaksanakan.
Informasi sudah disiapkan dalam bentuk rincian yang tepat sesuai dengan tingkatan pimpinan Instansi Pemerintah.
Informasi yang relevan diringkas dan disajikan secara memadai sehingga memungkinkan dilakukannya pengecekan secara rinci sesuai keperluan.
Informasi disediakan tepat waktu agar dapat dilaksanakannya pemantauan kejadian, kegiatan, dan transaksi sehingga memungkinkan dilakukannya tindakan korektif secara cepat.
Pimpinan yang bertanggung jawab terhadap suatu program sudah menerima informasi operasional dan keuangan untuk membantu mengukur dan menentukan pencapaian rencana kinerja strategis, tahunan dan target Instansi Pemerintah sehubungan dengan pertanggungjawaban penggunaan sumber daya.
Informasi operasional sudah disediakan bagi pimpinan Instansi Pemerintah sehingga mereka dapat menentukan apakah pelaksanaan program sudah sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Informasi keuangan dan anggaran yang memadai sudah disediakan guna mendukung penyusunan pelaporan keuangan internal dan eksternal. B. KOMUNIKASI KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah harus memastikan terjalinnya komunikasi internal yang efektif. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah sudah memberikan arahan yang jelas kepada seluruh tingkatan organisasi bahwa tanggung jawab pengendalian intern adalah masalah penting dan harus diperhatikan secara serius.
Tugas yang dibebankan kepada pegawai sudah dikomunikasikan dengan jelas dan sudah dimengerti aspek pengendalian internnya, peranan masing-masing pegawai, dan hubungan pekerjaan antar pegawai.
Pegawai sudah diinformasikan bahwa, jika ada hal yang tidak diharapkan terjadi dalam pelaksanaan tugas, perhatian harus diberikan bukan hanya kepada kejadian tersebut, tetapi juga pada penyebabnya, sehingga kelemahan potensial pengendalian intern bisa diidentifikasi dan diperbaiki sebelum kelemahan tersebut menimbulkan kerugian lebih lanjut terhadap Instansi Pemerintah.
Sikap perilaku yang bisa dan tidak bisa diterima serta konsekuensinya sudah dikomunikasikan secara jelas kepada pegawai.
Pegawai memiliki saluran komunikasi informasi ke atas selain melalui atasan langsungnya, dan ada keinginan yang tulus dari pimpinan Instansi Pemerintah untuk mendengar keluhan sebagai bagian dari proses manajemen.
Adanya mekanisme yang memungkinkan informasi mengalir ke seluruh bagian dengan lancar dan menjamin adanya komunikasi yang lancar antar kegiatan fungsional.
Pegawai mengetahui adanya saluran komunikasi informal atau terpisah yang bisa berfungsi apabila jalur informasi normal gagal digunakan.
Pegawai mengetahui adanya jaminan tidak akan ada tindakan ‘balas dendam’ ( reprisal ) jika melaporkan informasi yang negatif, perilaku yang tidak benar, atau penyimpangan.
Adanya mekanisme yang memungkinkan pegawai menyampaikan rekomendasi penyempurnaan kegiatan, dan pimpinan Instansi Pemerintah memberikan penghargaan terhadap rekomendasi yang baik berupa hadiah langsung atau bentuk penghargaan lainnya.
Pimpinan Instansi Pemerintah sering berkomunikasi dengan aparat pengawasan intern pemerintah, dan terus melaporkan kepada aparat pengawasan intern pemerintah mengenai kinerja, risiko, inisiatif penting, dan kejadian penting lainnya.
Pimpinan Instansi Pemerintah harus memastikan bahwa sudah terjalin komunikasi eksternal yang efektif yang memiliki dampak signifikan terhadap program, proyek, operasi dan kegiatan lain termasuk penganggaran dan pendanaannya. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Adanya saluran komunikasi yang terbuka dan efektif dengan masyarakat, rekanan, konsultan, dan aparat pengawasan intern pemerintah serta kelompok lainnya yang bisa memberikan masukan yang signifikan terhadap kualitas pelayanan Instansi Pemerintah.
Semua pihak eksternal yang berhubungan dengan Instansi Pemerintah sudah diinformasikan mengenai kode etik yang berlaku dan juga sudah mengerti bahwa tindakan yang tidak benar, seperti pemberian komisi, tidak diperkenankan.
Komunikasi dengan eksternal sangat didorong untuk dapat mengetahui berfungsinya pengendalian intern.
Pengaduan, keluhan, dan pertanyaan mengenai layanan instansi pemerintah, ditindaklanjuti dengan baik karena dapat menunjukkan adanya permasalahan dalam pengendalian.
Pimpinan Instansi Pemerintah memastikan bahwa saran dan rekomendasi aparat pengawasan intern pemerintah, auditor, dan evaluator lainnya sudah dipertimbangkan sepenuhnya dan ditindaklanjuti dengan memperbaiki masalah atau kelemahan yang diidentifikasi.
Komunikasi dengan badan legislatif, Instansi Pemerintah pengelola anggaran dan perbendaharaan, Instansi Pemerintah lain, media, dan masyarakat harus berisi informasi sehingga misi, tujuan, risiko yang dihadapi Instansi Pemerintah lebih dapat dipahami. C. BENTUK DAN SARANA KOMUNIKASI KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah menggunakan berbagai bentuk dan sarana dalam mengkomunikasikan informasi penting kepada pegawai dan lainnya. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah sudah menggunakan bentuk dan sarana komunikasi efektif, berupa buku pedoman kebijakan dan prosedur, surat edaran, memorandum, papan pengumuman, situs internet dan intranet, rekaman video, e-mail, dan arahan lisan.
Pimpinan telah melakukan komunikasi dalam bentuk tindakan positif saat berhubungan dengan pegawai di seluruh organisasi dan memperlihatkan dukungan terhadap pengendalian intern.
Instansi Pemerintah mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi untuk meningkatkan kegunaan dan keandalan komunikasi informasi secara terus menerus. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Manajemen sistem informasi dilaksanakan berdasarkan suatu rencana strategis sistem informasi yang merupakan bagian dari rencana strategis Instansi Pemerintah secara keseluruhan.
Adanya mekanisme untuk mengidentifikasi berkembangnya kebutuhan informasi.
Sebagai bagian dari manajemen informasi, Instansi Pemerintah telah memantau, menganalisis, mengevaluasi, dan memanfaatkan perkembangan dan kemajuan teknologi untuk dapat memberikan pelayanan lebih cepat dan efisien.
Pimpinan Instansi Pemerintah secara terus menerus memantau mutu informasi yang dikelola, diukur dari segi kelayakan isi, ketepatan waktu, keakuratan, dan kemudahan aksesnya.
Dukungan pimpinan Instansi Pemerintah terhadap pengembangan teknologi informasi ditunjukkan dengan komitmennya dalam menyediakan pegawai dan pendanaan yang memadai terhadap upaya pengembangan tersebut. Bagian Ikhtisar Informasi dan Komunikasi Berikan Kesimpulan Umum dan Tindakan-tindakan yang diperlukan di sini: BAGIAN V PEMANTAUAN Pemantauan merupakan unsur pengendalian intern yang kelima atau terakhir. Pemantauan Sistem Pengendalian Intern dilaksanakan melalui pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya. Pemantauan berkelanjutan diselenggarakan melalui kegiatan pengelolaan rutin, supervisi, pembandingan, rekonsiliasi, dan tindakan lain yang terkait dalam pelaksanaan tugas. Evaluasi terpisah diselenggarakan melalui penilaian sendiri, reviu, dan pengujian efektivitas Sistem Pengendalian Intern yang dapat dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah atau pihak eksternal pemerintah dengan menggunakan daftar uji pengendalian intern. Tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya harus segera diselesaikan dan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme penyelesaian rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya yang ditetapkan. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai apakah Instansi Pemerintah telah menerapkan unsur pemantauan secara baik sehingga dapat menunjang Sistem Pengendalian Intern dan manajemen yang sehat. A. PEMANTAUAN BERKELANJUTAN KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki strategi untuk meyakinkan bahwa pemantauan berkelanjutan efektif dan dapat memicu evaluasi terpisah pada saat persoalan teridentifikasi atau pada saat sistem berada dalam keadaan kritis, serta pada saat pengujian secara berkala diperlukan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Strategi pimpinan Instansi Pemerintah menyediakan umpan balik rutin, pemantauan kinerja, dan mengendalikan pencapaian tujuan.
Adanya strategi pemantauan yang meliputi metode untuk menekankan pimpinan program atau operasional bahwa mereka bertanggung jawab atas pengendalian intern dan pemantauan efektivitas kegiatan pengendalian sebagai bagian dari tugas mereka secara teratur dan setiap hari.
Adanya strategi pemantauan yang meliputi metode untuk menekankan pimpinan program bahwa mereka bertanggung jawab atas pengendalian intern dan bahwa tugas mereka adalah untuk memantau efektivitas kegiatan pengendalian secara teratur.
Adanya strategi pemantauan yang mencakup identifikasi kegiatan operasi penting dan sistem pendukung pencapaian misi yang memerlukan reviu dan evaluasi khusus.
Adanya strategi yang meliputi rencana untuk mengevaluasi secara berkala kegiatan pengendalian atas kegiatan operasi penting dan sistem pendukung pencapaian misi.
Dalam proses melaksanakan kegiatan rutin, pegawai Instansi Pemerintah mendapatkan informasi berfungsinya pengendalian intern secara efektif. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Laporan operasional sudah terintegrasi atau direkonsiliasi dengan data laporan keuangan dan anggaran dan digunakan untuk mengelola operasional berkelanjutan, serta pimpinan Instansi Pemerintah memperhatikan adanya ketidakakuratan atau penyimpangan yang bisa mengindikasikan adanya masalah pengendalian intern.
Pimpinan yang bertanggung jawab atas kegiatan operasional membandingkan informasi kegiatan atau informasi operasional lainnya yang didapat dari kegiatan sehari-hari dengan informasi yang didapat dari sistem informasi dan menindaklanjuti semua ketidakakuratan atau masalah lain yang ditemukan.
Pegawai operasional harus menjamin keakuratan laporan keuangan unit dan bertanggung jawab jika ditemukan kesalahan.
Komunikasi dengan pihak eksternal harus dapat menguatkan data yang dihasilkan secara internal atau harus dapat mengindikasikan adanya masalah dalam pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pengaduan rekanan mengenai praktik tidak adil oleh Instansi Pemerintah harus diselidiki.
Badan legislatif dan badan pengawas mengkomunikasikan informasi kepada Instansi Pemerintah mengenai kepatuhan atau hal lain yang mencerminkan berfungsinya pengendalian intern dan pimpinan Instansi Pemerintah menindaklanjuti semua masalah yang ditemukan.
Kegiatan pengendalian yang gagal mencegah atau mendeteksi adanya masalah yang timbul harus direviu.
Struktur organisasi dan supervisi yang memadai dapat membantu mengawasi fungsi pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pengeditan dan pengecekan otomatis serta kegiatan penatausahaan digunakan untuk membantu dalam mengontrol keakuratan dan kelengkapan pemrosesan transaksi.
Pemisahan tugas dan tanggung jawab digunakan untuk membantu mencegah penyelewengan.
Aparat pengawasan intern pemerintah harus independen dan memiliki wewenang untuk melapor langsung ke pimpinan Instansi Pemerintah dan tidak melakukan tugas operasional apapun bagi kepentingan pimpinan Instansi Pemerintah.
Data yang tercatat dalam sistem informasi dan keuangan secara berkala dibandingkan dengan aset fisiknya dan, jika ada selisih, harus telusuri. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Tingkat persediaan barang, perlengkapan, dan aset lainnya sudah dicek secara berkala; selisih antara jumlah yang tercatat dengan jumlah aktual harus dikoreksi dan penyebab selisih tersebut harus dijelaskan.
Frekuensi pembandingan antara pencatatan dan fisik aktual didasarkan atas tingkat kerawanan aset.
Tanggung jawab untuk menyimpan, menjaga, dan melindungi aset dan sumber daya lain dibebankan kepada orang yang ditugaskan.
Pimpinan Instansi Pemerintah mengambil langkah untuk menindaklanjuti rekomendasi penyempurnaan pengendalian internal yang secara teratur diberikan oleh aparat pengawasan intern pemerintah, auditor, dan evaluator lainnya.
Rapat dengan pegawai digunakan untuk meminta masukan tentang efektivitas pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Masalah, informasi, dan masukan yang relevan berkaitan dengan pengendalian intern yang muncul pada saat pelatihan, seminar, rapat perencanaan, dan rapat lainnya diterima dan digunakan oleh pimpinan untuk mengatasi masalah atau untuk memperkuat sistem pengendalian intern.
Saran dari pegawai mengenai pengendalian intern harus dipertimbangkan dan ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.
Pimpinan Instansi Pemerintah mendorong pegawai untuk mengidentifikasi kelemahan pengendalian intern dan melaporkannya ke atasan langsungnya.
Pegawai secara berkala diminta untuk menyatakan secara tegas apakah mereka sudah mematuhi kode etik atau peraturan sejenis mengenai perilaku yang diharapkan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pegawai secara berkala menyatakan kepatuhan mereka terhadap kode etik.
Tanda tangan diperlukan untuk membuktikan dilaksanakannya fungsi pengendalian intern penting, misalnya rekonsiliasi. B. EVALUASI TERPISAH KOMENTAR/CATATAN 1. Ruang lingkup dan frekuensi evaluasi pengendalian intern secara terpisah telah memadai bagi Instansi Pemerintah. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Hasil penilaian risiko dan efektivitas pemantauan yang berkelanjutan dipertimbangkan saat menentukan lingkup dan frekuensi evaluasi terpisah.
Kegiatan evaluasi terpisah seringkali diperlukan pada saat adanya kejadian misalnya perubahan besar dalam rencana atau strategi manajemen, pemekaran atau penciutan Instansi Pemerintah, atau perubahan operasional atau pemrosesan informasi keuangan dan anggaran.
Evaluasi secara berkala dilakukan terhadap bagian dari pengendalian intern secara memadai.
Evaluasi terpisah dilakukan oleh pegawai yang mempunyai keahlian tertentu yang disyaratkan dan dapat melibatkan aparat pengawasan intern pemerintah atau auditor eksternal.
Metodologi evaluasi pengendalian intern Instansi Pemerintah haruslah logis dan memadai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Metodologi yang dipergunakan telah mencakup self assessment dengan menggunakan daftar periksa ( check list ), daftar kuesioner, atau perangkat lainnya.
Evaluasi terpisah tersebut meliputi suatu reviu terhadap rancangan pengendalian intern dan pengujian langsung ( direct testing ) atas kegiatan pengendalian intern.
Dalam Instansi Pemerintah yang menggunakan sistem informasi berbasis komputer, evaluasi terpisah dilakukan dengan menggunakan teknik audit berbantuan komputer untuk mengidentifikasi indikator inefisiensi, pemborosan, atau penyalahgunaan.
Tim evaluasi terpisah menyusun suatu rencana evaluasi untuk meyakinkan terlaksananya kegiatan tersebut secara terkoordinasi.
Jika proses evaluasi terpisah dilakukan oleh pegawai Instansi Pemerintah, maka harus dipimpin oleh seorang pejabat dengan kewewenangan, kemampuan, dan pengalaman memadai.
Tim evaluasi terpisah harus memahami secara memadai mengenai visi, misi, dan tujuan Instansi Pemerintah serta kegiatannya.
Tim evaluasi terpisah sudah memahami bagaimana pengendalian intern Instansi Pemerintah seharusnya berkerja dan bagaimana implementasinya.
Tim evaluasi terpisah menganalisis hasil evaluasi dibandingkan dengan kriteria yang sudah ditetapkan.
Proses evaluasi didokumentasikan sebagaimana mestinya.
Jika evaluasi terpisah dilaksanakan oleh aparat pengawasan intern pemerintah, maka aparat pengawasan intern pemerintah tersebut harus memiliki sumber daya, kemampuan, dan independensi yang memadai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Aparat pengawasan intern pemerintah memiliki staf dengan tingkat kompetensi dan pengalaman yang cukup.
Aparat pengawasan intern pemerintah secara organisasi independen dan melapor langsung ke pimpinan tertinggi di dalam Instansi Pemerintah.
Tanggung jawab, lingkup kerja, dan rencana pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah harus sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah yang bersangkutan.
Kelemahan yang ditemukan selama evaluasi terpisah segera diselesaikan. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Kelemahan yang ditemukan segera dikomunikasikan kepada orang yang bertanggung jawab atas fungsi tersebut dan atasan langsungnya.
Kelemahan dan masalah pengendalian intern yang serius segera dilaporkan ke pimpinan tertinggi Instansi Pemerintah. C. PENYELESAIAN AUDIT KOMENTAR/CATATAN 1. Instansi Pemerintah sudah memiliki mekanisme untuk meyakinkan ditindaklanjutinya temuan audit atau reviu lainnya dengan segera. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah segera mereviu dan mengevaluasi temuan audit, hasil penilaian, dan reviu lainnya yang menunjukkan adanya kelemahan dan yang mengidentifikasi perlunya perbaikan.
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan tindakan yang memadai untuk menindaklanjuti temuan dan rekomendasi.
Tindakan korektif untuk menyelesaikan masalah yang menarik perhatian pimpinan Instansi Pemerintah dilaksanakan dalam jangka waktu yang ditetapkan.
Dalam hal terdapat ketidaksepakatan dengan temuan atau rekomendasi, pimpinan Instansi Pemerintah menyatakan bahwa temuan atau rekomendasi tersebut tidak tepat atau tidak perlu ditindaklanjuti.
Pimpinan Instansi Pemerintah mempertimbangkan untuk melakukan konsultasi dengan auditor (seperti BPK, aparat pengawasan intern pemerintah, dan auditor eksternal lainnya) dan pereviu jika diyakini akan membantu dalam proses penyelesaian audit.
Pimpinan Instansi Pemerintah tanggap terhadap temuan dan rekomendasi audit dan reviu lainnya guna memperkuat pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah yang berwenang mengevaluasi temuan dan rekomendasi dan memutuskan tindakan yang layak untuk memperbaiki atau meningkatkan pengendalian.
Tindakan pengendalian intern yang diperlukan, diikuti untuk memastikan penerapannya.
Instansi Pemerintah menindaklanjuti temuan dan rekomendasi audit dan reviu lainnya dengan tepat. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Masalah yang berkaitan dengan transaksi atau kejadian tertentu dikoreksi dengan segera.
Penyebab yang diungkapkan dalam temuan atau rekomendasi diteliti oleh pimpinan Instansi Pemerintah.
Tindakan diambil untuk memperbaiki kondisi atau mengatasi penyebab terjadinya temuan.
Pimpinan Instansi Pemerintah dan auditor memantau temuan audit dan reviu serta rekomendasinya untuk meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan telah dilaksanakan.
Pimpinan Instansi Pemerintah secara berkala mendapat laporan status penyelesaian audit dan reviu sehingga pimpinan dapat meyakinkan kualitas dan ketepatan waktu penyelesaian setiap rekomendasi. Bagian Ikhtisar Pemantauan Berikan Kesimpulan Umum dan Tindakan-tindakan yang diperlukan di sini: BAGIAN VI IKHTISAR PENGENDALIAN INTERN SECARA KESELURUHAN A. LINGKUNGAN PENGENDALIAN KOMENTAR/CATATAN Pimpinan dan pegawai Instansi Pemerintah memiliki sikap perilaku yang positif dan mendukung pengendalian intern dan manajemen bersih. Pimpinan Instansi Pemerintah harus menyampaikan pesan bahwa nilai-nilai integritas dan etis tidak boleh dikompromikan. Pimpinan Instansi Pemerintah menunjukkan suatu komitmen terhadap kompetensi / kemampuan pegawainya dan menggunakan kebijakan dan praktik pembinaan sumber daya manusia yang baik. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki kepemimpinan yang kondusif yang mendukung pengendalian intern yang efektif. Struktur organisasi Instansi Pemerintah dan metode pendelegasian wewenang dan tanggung jawab memberikan kontribusi terhadap efektivitas pengendalian intern. Instansi Pemerintah memiliki hubungan kerja yang baik dengan badan legislatif serta auditor internal dan eksternal. B. PENILAIAN RISIKO KOMENTAR/CATATAN Pimpinan Instansi Pemerintah sudah menetapkan tujuan keseluruhan Instansi Pemerintah yang jelas dan konsisten serta tujuan tingkatan kegiatan yang mendukungnya. Pimpinan Instansi Pemerintah sudah melakukan identifikasi risiko secara menyeluruh, mulai dari sumber internal maupun eksternal, yang dapat mempengaruhi kemampuan Instansi Pemerintah dalam mencapai tujuannya. Analisis risiko sudah dilaksanakan, dan Instansi Pemerintah sudah mengembangkan pendekatan yang memadai untuk mengelola risiko. Selain itu, sudah ada mekanisme untuk mengidentifikasi perubahan yang dapat mempengaruhi kemampuan Instansi Pemerintah tersebut dalam mencapai visi, misi, dan tujuannya. C. KEGIATAN PENGENDALIAN KOMENTAR/CATATAN Kebijakan, prosedur, teknik, dan mekanisme pengendalian yang memadai sudah dikembangkan dan sudah diterapkan untuk memastikan adanya kepatuhan terhadap arahan yang sudah ditetapkan. Kegiatan pengendalian yang tepat sudah dikembangkan untuk setiap kegiatan Instansi Pemerintah dan diterapkan sebagaimana mestinya. D. INFORMASI DAN KOMUNIKASI KOMENTAR/CATATAN Sistem informasi untuk mengidentifikasi dan mencatat informasi operasional dan keuangan yang penting yang berhubungan dengan peristiwa internal dan eksternal telah ada dan diimplementasikan. Informasi tersebut dikomunikasikan kepada pimpinan dan pihak lain di lingkungan Instansi Pemerintah dalam bentuk yang memungkinkan pihak tersebut melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efisien dan efektif. Pimpinan Instansi Pemerintah memastikan bahwa komunikasi internal telah terjalin dengan efektif. Pimpinan Instansi Pemerintah juga harus memastikan bahwa komunikasi eksternal yang efektif juga terjalin dengan kelompok- kelompok yang dapat mempengaruhi pencapaian visi, misi, dan tujuan Instansi Pemerintah. Pimpinan Instansi Pemerintah menggunakan berbagai bentuk komunikasi yang sesuai dengan kebutuhannya serta mengelola, mengembangkan, dan memperbaiki sistem informasinya dalam upaya meningkatkan komunikasi secara berkesinambungan. E. PEMANTAUAN KOMENTAR/CATATAN Pemantauan pengendalian intern menilai kualitas kinerja pengendalian intern Instansi Pemerintah secara terus-menerus sebagai bagian dari proses pelaksanaan kegiatan sehari-hari. Selain itu, evaluasi terpisah terhadap pengendalian intern dilakukan secara berkala dan kelemahan yang ditemukan diteliti lebih lanjut. Sudah ada prosedur untuk memastikan bahwa seluruh temuan audit dan reviu lainnya segera dievaluasi, ditentukan tanggapan yang tepat, dan dilaksanakan tindakan perbaikannya. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Pelimpahan Kedudukan, Tugas dan Wewenang Menteri Keuangan pada Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Jawatan (Perjan) Kepada Menteri Negara Adan Usa ...
Standar Reviu atas Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga.
Pengujian UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan [Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), (7), Pasal 17 ayat (2), huruf a, c, d ...
Relevan terhadap
ayat (1) 1 untuk diri Wajib Pajak 2.880.000,00 12.000.000,00 13.200.000,00 15.840,000,00 2 Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin 1.440.000,00 1.200.000,00 1.200.000,00 1.320.000,00 3 Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dgn penghasilan suami 2.880.000,00 12.000.000,00 13.200.000,00 15.840.000,00 4 Tambahan untuk setiap tanggungan 1.440.000,00 1.200.000,00 1.200.000,00 1.320.000,00 Dengan memperhatikan data pada tabel tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa secara keseluruhan, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan UU PPh Tahun 2008 jauh lebih besar jika dibandingkan dengan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak menurut UU PPh Tahun 1983 maupun UU PPh Tahun 2000 berikut aturan pelaksanaannya. Selain itu, dapat ditegaskan pula bahwa perubahan terhadap besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak tidak harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang, tetapi cukup dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan sebagai pelaksanaan 88 amanat Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang memberikan delegasi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk menyesuaikan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang terlebih dahulu dikonsultasikan dengan DPR sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan mengenai besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak merupakan permasalahan implementasi suatu Undang-Undang (dalam hal ini Undang-Undang a quo ), yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan isu konstitusionalitas. Bahwa atas Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 telah diuji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 1/PUU-VII/2009 tanggal 20 Mei 2009 yang amar putusannya menyatakan bahwa permohonan Pemohon ditolak. Oleh karena itu sudah sepatutnya pengujian terhadap pasal dimaksud dikesampingkan.
Pasal 14 ayat (1) Dalam rangka pengenaan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak dibutuhkan informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Oleh karena itu perlu diberikan kemudahan melalui mekanisme lain yang tidak didasarkan pada pembukuan yaitu melalui penerapan norma penghitungan penghasilan netto. Pasal 14 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 mengamanatkan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk membuat Norma Penghitungan Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas yang tidak mampu menyelenggarakan pembukuan. Dalam menentukan besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Neto, Direktur Jenderal Pajak harus mendasarkan pada hasil penelitian, atau data lain dan dengan memperhatikan kewajaran. Untuk lebih mencerminkan tingkat kewajaran dari kondisi usaha Wajib Pajak, besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Netto perlu dilakukan penyempurnaan secara terus menerus. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 14 ayat (1) adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000. (Bukti Pemt.42) 4. Pasal 14 ayat (7) Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU PPh Tahun 2008, Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 89 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto. (Bukti Pemt. 2e) Berdasarkan Pasal 14 Ayat (7) UU PPh Tahun 2008 Menteri Keuangan dapat melakukan penyesuaian batasan peredaran bruto sebesar Rp 4.800.000.000,00 di atas dengan memperhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
Pasal 17 ayat (2) Tarif tertinggi untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebesar 30% (tiga puluh persen) dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penurunan tarif ini dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan DPR pada saat pembahasan dalam rangka menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 17 ayat (2) huruf a Tarif tertinggi untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 28% mulai tahun pajak 2010 diturunkan menjadi 25% yang telah diatur dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a UU PPh Tahun 2008. Bahwa norma Pasal 17 ayat (2) huruf a sama sekali tidak mengatur mengenai pelimpahan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai besarnya tarif ataupun hal lain terkait dengan pasal tersebut. Oleh karena itu sudah sepatutnya Majelis mengesampingkan pengujian terhadap pasal dimaksud.
Pasal 17 ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d Pengenaan pajak atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan amanat Pasal 17 ayat (2) huruf c besarnya pajak atas penghasilan berupa dividen tersebut diberikan batasan paling tinggi 10% dan bersifat final. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 17 ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tersebut telah mengatur besarnya pajak atas penghasilan berupa dividen sebesar 10% (Bukti Pemt.43) . Tarif sebesar 10% tersebut tidak melebihi batas tarif tertinggi yang ditentukan oleh Undang- Undang. Dengan demikian sangatlah jelas bahwa peraturan pemerintah tersebut tidak menambah berat beban Wajib Pajak.
Pasal 17 ayat (3) 90 Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 adalah sebesar sebagai berikut: Tabel 4 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif s.d. Rp 50.000.000,00 5% Di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 15% Di atas Rp 250.000.000,00 s.d.Rp 500.000.000,00 25% Di atas Rp 500.000.000,00 30% (Untuk Wajib Pajak Badan tidak terdapat adanya lapisan penghasilan kena pajak) Bahwa besarnya lapisan penghasilan kena pajak tersebut berdasarkan Pasal 17 ayat (3) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan disesuaikan dengan faktor penyesuaian yang didasarkan pada kondisi perkembangan perekonomian antara lain tingkat inflasi.
Pasal 17 ayat (7) Penetapan tarif tersendiri atas jenis-jenis penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dibatasi tidak melebihi tarif tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yaitu sebesar 30% dan tarif tertinggi bagi Wajib Pajak badan yaitu sebesar 28%. Dalam ketentuan Pasal ini Pemerintah diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menetapkan besarnya tarif tersendiri berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan UU PPh Tahun 2008 Pasal 4 ayat (2). Meskipun demikian Pemerintah dalam melaksanakan kewenangan menetapkan besarnya tarif tersendiri untuk Pasal 4 ayat (2) harus memenuhi syarat sebagai berikut: 91 1. Tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (tidak lebih tinggi dari 30%) dan tarif tertinggi bagi Wajib Pajak badan (tahun pajak 2009 tidak lebih tinggi dari 28% dan mulai tahun pajak 2010 tidak lebih tinggi dari 25%).
Dengan mempertimbangkan aspek kesederhanaan, keadilan, dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Pasal 19 ayat (2) Menteri Keuangan berdasarkan Pasal ini diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) dengan mempertimbangkan:
Perkembangan harga yang mencolok; atau
Perubahan kebijakan di bidang moneter, yang dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dan penghasilan, sehingga mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Namun demikian, Menteri Keuangan dalam menetapkan besarnya tarif pajak tersendiri atas penilaian kembali aktiva tetap dibatasi yaitu tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (tidak lebih tinggi dari 30%) dan tarif tertinggi bagi Wajib Pajak badan (tahun pajak 2009 tidak lebih tinggi dari 28% dan mulai tahun pajak 2010 tidak lebih tinggi dari 25%).
Pasal 21 ayat (5) Pada prinsipnya pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dipotong pajak berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh Tahun 2008. Namun demikian dalam rangka kelancaran dan kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dalam kondisi tertentu, dengan kuasa Undang-Undang, Pemerintah diberikan wewenang melalui Peraturan Pemerintah untuk mengatur pengenaan pajak dengan tarif tersendiri. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 21 ayat (5) adalah sebagai berikut:
Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas 92 Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah. • Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994. (Bukti Pemt. 44) b. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus. • Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009. (Bukti Pemt. 45) 12. Pasal 22 ayat (1) huruf c dan ayat (2) Dalam rangka pengenaan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak, sudah sewajarnya terhadap Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan ekonomis yang lebih tinggi dikenakan pajak lebih dibandingkan dengan yang mempunyai kemampuan ekonomis lebih rendah. Dengan dasar pemikiran tersebut, berdasarkan Pasal ini Menteri Keuangan diberikan wewenang:
Menetapkan Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat mewah, baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah.
Menetapkan dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak dari penjualan barang sebagaimana dimaksud pada angka 1. Namun demikian, dalam melaksanakan wewenang tersebut Menteri Keuangan harus mempertimbangkan, antara lain:
Penunjukan pemungut pajak secara selektif, demi pelaksanaan pemungutan pajak secara efektif dan efisien;
Tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang; dan
Prosedur pemungutan yang sederhana sehingga mudah dilaksanakan. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 22 ayat (1) huruf c dan ayat (2) adalah sebagai berikut: • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 (Bukti Pemt. 46) ; dan • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 stdtd Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008. (Bukti Pemt.47 ) 13. Pasal 25 ayat (8) 93 Berdasarkan pasal ini Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengatur pengenaan pajak atas orang pribadi yang bertolak ke luar negeri. Pengenaan pajak tersebut adalah dalam rangka mendorong partisipasi setiap Warga Negara untuk ikut membiayai pembangunan melalui pembayaran pajak. Dengan demikian sudah selayaknya Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak. Walaupun demikian dengan Peraturan Pemerintah diatur mengenai Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri yang dikecualikan dari kewajiban membayar pajak sepanjang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan antara lain pelajar yang menuntut ilmu di luar negeri dan pekerja yang akan berangkat ke luar negeri. Pemungutan Fiskal Luar Negeri bersifat pembayaran di muka, yang dibayarkan ketika seseorang yang memenuhi ketentuan akan berangkat ke luar negeri ( pay as you go ), jadi bukan jenis pungutan pajak baru. Hanya metode memungut pajak, how to collect taxes through event (misalnya ke luar negeri). Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 25 ayat (8) adalah sebagai berikut: • Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2008 (Bukti Pemt.48 ) ; • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-51/PJ/2008 (Bukti Pemt.49 ) ; dan • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2008 stdtd PER-14/PJ/2009. (Bukti Pemt. 50) VII. Penjelasan Mengenai Pokok Permohonan Pengujian Materiil UU PPh Tahun 2008 Bahwa terhadap ketentuan pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan permohonan pengujian materiil, pemerintah berpendapat sebagai berikut:
Pemohon dalam positanya mendalilkan, bahwa pasal-pasal dalam undang- undang a quo bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Namun dalam petitumnya Pemohon meminta agar pasal-pasal dalam undang-undang a quo dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945. Disitu terlihat 94 adanya inkonsistensi antara posita dengan petitum yang tertuang dalam surat permohonan Pemohon. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pasal-pasal dalam undang-undang a quo justru untuk memberikan perlindungan hukum yang adil kepada setiap Wajib Pajak. Pasal-Pasal a quo justru dimaksudkan untuk memberi kejelasan dan kepastian hukum sehingga setiap Wajib Pajak akan terhindar dari perlakuan sewenang-wenang. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Dalam surat Permohonannya Pemohon tidak menguraikan secara jelas dalam hal apa dan dalam situasi yang seperti apa pasal-pasal aquo dapat mengancam kehormatan, martabat, dan harta benda Pemohon. Pemohon hanya mengatakan secara umum pasal-pasal a quo melanggar Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Padahal sebagaimana dikemukakan di atas pasal-pasal aquo memberikan pendelegasian wewenang kepada pemerintah justru untuk menjalankan amanah yang diperintahkan oleh Undang-Undang a quo yang merupakan hasil kesepakatan bersama Pemerintah dan DPR. Pasal-Pasal a quo justru untuk memberikan kepastian hukum yang adil kepada tiap Wajib Pajak. Itu berarti perlindungan tiap Wajib Pajak dari perlakuan sewenang- wenang dari aparat Pemerintah. Itu berarti pula sejalan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan dengan demikian sejalan dengan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Dalam bagian posita surat permohonannya Pemohon menyatakan, bahwa Peraturan Pemerintah 131 Tahun 2000 tidak adil dan tidak sesuai dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dan Dasar Negara Pancasila,“ karena andaikata yang membayar bunga tersebut “orang kaya” maka seharusnya (sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008) dikenakan dengan tarif pajak 35 %, tetapi kenyataannya tetap dikenakan pajak dengan tarif 20 %.” (Lihat Surat Permohonan halaman 11). Pernyataan Pemohon ini menjadi tidak jelas, apakah Pemohon sedang mengajukan 95 pengujian peraturan pemerintah terhadap UUD 1945 atau peraturan pemerintah terhadap Undang-Undang, yang keduanya jelas diluar kompetensi Mahkamah Konstitusi. Pemohon tidak pula menjelaskan dalam hal bagaimana dan dalam situasi seperti apa Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 itu melanggar Pasal 28G ayat 1. Padahal sebagaimana di atas telah dikemukakan, bahwa pasal- pasal a quo justru untuk memberikan perlindungan hukum kepada setiap Wajib Pajak, yaitu kepastian hukum yang adil sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Itu berarti tidak melanggar Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Pemohon mendalilkan pula, bahwa pasal-pasal a quo melanggar Pasal 28H ayat 4 UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang- wenang oleh siapapun.” Pemohon dalam surat permohonannya tidak menjelaskan, dalam hal apa dan bagaimana pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo telah melanggar atau bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Pasal-pasal dalam undang-undang a quo tidak mengandung substansi hukum yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melarang Wajib Pajak mempunyai hak milik, atau bahkan mengambil alih miliknya secara sewenang-wenang. Pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo sekali lagi, justru merupakan pelaksanaan amanah yang diperintahkan oleh UUD 1945 yang merupakan dasar hukum bagi negara yaitu pemerintah untuk mengenakan pajak kepada Wajib Pajak. Jadi, tidak benar bila pembebanan pajak kepada Wajib Pajak yang didasarkan kepada Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang jelas, dinilai sebagai mengambil alih hak milik Wajib Pajak secara sewenang-wenang. Ini jelas keliru dan menyesatkan. Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang jelas sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo, justru dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum yang adil bagi setiap Wajib Pajak. Karena itu pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo tidak melanggar Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. 96 2. Terhadap pengujian Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur sebagai berikut: Pasal 4 ayat (2) _“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh _koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; _ _b. penghasilan berupa hadiah undian; _ c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima _oleh perusahaan modal ventura; _ d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah _dan/atau bangunan; dan _ e. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” Pasal 17 ayat (7) “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)” . Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan wewenang pengaturan pengenaan pajak secara final terhadap penghasilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, karena menurut Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 memberikan wewenang kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Selain itu dalam praktek ketatanegaraan dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia dikenal sistem hirarki dan delegasi wewenang sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan sebagai berikut: _“Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : _ _a) UUD 1945; _ _b) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; _ 97 _c) Peraturan Pemerintah; _ _d) Peraturan Presiden; dan _ e) Peraturan Daerah.” __ Sebagaimana diketahui bahwa dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, peraturan tertinggi di bawah UUD 1945 selalu berbentuk Undang-Undang, dimana yang berwenang membentuk Undang-Undang adalah DPR atas persetujuan bersama dengan Presiden. Apabila ketentuan dalam Undang-Undang masih belum cukup dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka pendelegasian kewenangan pengaturan baru dapat dilakukan dengan tiga alternatif syarat, yaitu:
Adanya perintah yang tegas mengenai subyek lembaga pelaksana yang diberi delegasi kewenangan, dan bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan;
Adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan; atau
Adanya perintah yang tegas mengenai pendelegasian kewenangan dari Undang- Undang atau lembaga pembentuk Undang-Undang kepada lembaga penerima delegasi kewenangan, tanpa penyebutan bentuk peraturan yang mendapat delegasi; Ketiga persyaratan tersebut bersifat alternatif dan salah satunya harus ada dalam rangka pemberian delegasi kewenangan pengaturan (rule-making power). Lembaga pelaksana Undang-Undang, baru dapat memiliki kewenangan untuk menetapkan sesuatu peraturan yang mengikat umum jika oleh Undang-Undang sebagai “primary legislation” memang diperintahkan atau diberi kewenangan untuk itu (Bukti Pemt.
13d) . Di Indonesia sendiri, dewasa ini, ada Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah. Juga ada Peraturan Menteri dan bahkan masih banyak Peraturan Direktur Jenderal yang masih berlaku sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat umum yang masih disebut sebagai Surat Keputusan, seperti Keputusan Dirjen Bea Cukai, Keputusan Direktur Jenderal Pajak, dan sebagainya. Sudah menjadi konvensi ketatanegaraan di Indonesia bahwa berbagai Undang- Undang yang mengatur pajak dan pungutan lain itu memberikan mandat atau delegasi wewenang kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dalam rangka menjalankan norma-norma hukum yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut, seperti: 98 1. Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang a quo yang memberi delegasi kepada pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah, berkaitan dengan pajak bersifat final atas a.penghasilan berupa deposito;
Penghasilan berupa hadiah undian;
Penghasilan dari transaksi saham;
..dst;
Pasal 17 ayat (7);
Pasal 14 ayat (1);
Pasal 14 ayat (7); dst, sebagaimana didalilkan Pemohon. Pendelegasian wewenang oleh Undang-Undang kepada pemerintah, yakni Presiden, Menteri-Menteri dari suatu departemen untuk membuat suatu peraturan atau norma umum adalah suatu praktek pemerintahan yang sudah lazim dan diterima sebagai sebuah konvensi pemerintahan. Dalam kaitannya dengan hal itu, ahli hukum Tata Negara Hans Kelsen menyatakan pendapatnya sebagai berikut : “ Kadang-kadang pembentukan norma-norma umum itu dibagi kedalam dua tahapan atau lebih. Sejumlah konstitusi memberikan wewenang pembuatan norma-norma umum kepada otoritas adminstratif tertentu, seperti kepala negara (presiden) atau menteri kabinet, guna menjabarkan ketentuan Undang-Undang. Norma-norma umum semacam ini, yang tidak dikeluarkan oleh organ legislatif melainkan oleh organ lain atas dasar norma-norma umum yang dikeluarkan oleh legislatif disebut peraturan atau ordonansi. Menurut sejumlah konstitusi, organ-organ administratif tertentu----- terutama kepala negara (presiden) atau menteri kabinet sebagai pimpinan departemen pemerintahan tertentu----- di bawah keadaan-keadaan luar biasa, diberi wewenang membuat norma-norma umum untuk mengatur masalah- masalah yang biasanya diatur oleh organ legislatif melalui Undang-Undang .” Sejalan dengan pemikiran itu maka norma hukum yang lebih tinggi dapat menentukan:
Organ dan prosedur pembuatan norma hukum yang lebih rendah;
Substansi norma hukum yang lebih rendah. Dalam konteks perkembangan hubungan konstitusi dengan proses pembuatan Undang-Undang, ahli konstitusi CF. Strong menyatakan sebagai berikut: “Bahwa sejumlah hukum dasar yang diadopsi atau dirancang oleh para penyusun konstitusi dengan tujuan untuk memberikan ruang lingkup seluas mungkin bagi 99 proses Undang-Undang biasa untuk mengembangkan konstitusi itu dalam aturan- aturan yang sudah disiapkan.” (Bukti Pemt. 52) Dengan demikian sebuah konstitusi menggariskan prinsip umum yang mendasari hubungan hak dan kewajiban antara negara, yaitu pemerintah, dengan rakyat, berkenaan dengan pajak dan pungutan lain. Prinsip umum ini kemudian dikembangkan melalui proses pembuatan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaanya. Pasal 23A UUD 1945, sesungguhnya meletakkan prinsip umum, yaitu “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang .” Itu bermakna, bahwa pemerintah selaku pihak yang mewakili negara dapat mengenakan pajak dan pungutan lain kepada rakyat atas dasar Undang-Undang. Atas dasar prinsip umum itulah Pemerintah dan DPR menyetujui berbagai Undang-Undang Pajak dan pungutan lainnya. Selanjutnya atas dasar Undang-Undang tersebut dikeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan untuk tujuan menjalankan amanah yang tertuang dalam norma Undang-Undang Pajak dan pungutan lain itu. Bahwa norma hukum yang tertuang dalam Undang-Undang dapat didelegasikan pelaksanaannya kepada peraturan-peraturan yang kedudukannya lebih rendah daripada Undang-Undang, baik secara implisit maupun eksplisit dibenarkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut mengatur sebagai berikut: “ _Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : _ a. _UUD 1945; _ b. _Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; _ c. _Peraturan Pemerintah; _ d. _Peraturan Presiden; _ e. Peraturan Daerah.” Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, 100 lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.” Berkaitan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7), kedua ketentuan tersebut memuat secara tegas bentuk peraturan perundang-undangan yang didelegasikan dan muatan materi yang diatur sehingga memenuhi syarat pendelegasian. Berkaitan dengan muatan materi yang didelegasikan berupa penentuan tarif termasuk tarif yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000, Pemerintah berpendapat bahwa, penentuan tarif tersebut tidak terlepas dan berdiri sendiri dari pengaturan dalam Undang-Undang. Sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008, tarif yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tersebut terikat pada ketentuan Pasal 17 ayat (1) yaitu tidak diperkenankan lebih tinggi dari tarif tertinggi yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1). Berdasarkan penjelasan di atas, sudah jelas bahwa Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 .
Terhadap pengujian Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang berbunyi “ Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR ” Pemerintah dapat menjelaskan bahwa pelimpahan kewenangan menetapkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR merupakan amanat/perintah yang tegas dari UU PPh Tahun 2008. UU PPh Tahun 2008 itu sendiri merupakan produk bersama antara Presiden dan DPR sebagai wakil rakyat, sehingga Pelimpahan kewenangan untuk menetapkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dengan Peraturan Menteri Keuangan adalah sudah sepengetahuan dan sudah mendapat persetujuan DPR. UU PPh Tahun 2008 sendiri merupakan amanat langsung dari Pasal 23A UUD 1945. Sehingga kedudukan Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak dilaksanakan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan 101 harga kebutuhan pokok setiap tahunnya yang dinamis. Dewasa ini perubahan ekonomi dan moneter dunia berlangsung begitu cepatnya. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara maju berimbas juga kepada perekonomian negara berkembang yang juga dirasakan oleh rakyat Indonesia. Dengan perubahan perekonomian dan moneter yang begitu cepat, apabila sekiranya aturan-aturan yang ada dalam UU PPh Tahun 2008 dirasakan memberatkan bagi Wajib Pajak, maka Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengatur lebih lanjut penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak. Penghasilan Tidak Kena Pajak tersebut dimaksudkan untuk memberikan keringanan bagi Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Baik UU PPh Tahun 1983, UU PPh Tahun 2000 maupun UU PPh Tahun 2008 menetapkan batasan jumlah penghasilan yang tidak dikenakan pajak atau dikenal dengan istilah Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagai pengurang penghasilan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar. Adapun ketentuan mengenai Penghasilan Tidak Kena Pajak diatur dalam Pasal 7 baik dalam Pasal 7 UU PPh Tahun 1983, Pasal 7 UU PPh Tahun 2000 maupun Pasal 7 UU PPh Tahun 2008. Untuk memperoleh gambaran yang objektif mengenai ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak dalam rumusan Pasal 7 baik dalam UU PPh Tahun 1983, UU PPh Tahun 2000 dan UU PPh Tahun 2008, di bawah ini disajikan tabel: Tabel 5 Perbandingan Rumusan Pasal 7 UU PPh Tahun1983, UU PPh Tahun 2000 dan UU PPh Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 102 (1) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak yang besarnya :
Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak;
Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lain;
Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap orang keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan sebesar:
Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:
Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada permulaan tahun pajak atau pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri. Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Besarnya penghasilan tidak kena pajak tersebut dalam ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan . Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan pada tabel tersebut di atas, materi yang diatur dalam ketiga rumusan tersebut pada prinsipnya adalah mengatur hal yang sama, yaitu mengatur mengenai besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak ( vide ayat (1)) , ketentuan bahwa penerapan Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah kondisi pada awal tahun pajak ( vide ayat (2)) , dan ketentuan bahwa besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak pada dasarnya dapat disesuaikan dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan ( vide ayat (3)) . Dapat disampaikan pula bahwa Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan telah 2 (dua) kali mengubah besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk 103 disesuaikan dengan perkembangan kehidupan sosial, politik dan ekonomi serta sebagai bagian dari kebijakan fiskal pemerintah, yaitu melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Menurut Pemerintah, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan UU PPh Tahun 2008 lebih besar dibandingkan dengan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak menurut UU PPh Tahun 2000, baik secara sendiri- sendiri maupun secara keseluruhan. Hal ini dapat digambarkan dalam tabel berikut. Tabel 6 Penghasilan Tidak Kena Pajak Berdasarkan UU PPh Tahun 2000 Dan UU PPh Tahun 2008 No Keterangan UU PPh 2000 UU PPh 2008 Pasal 7 ayat (1) KMK No. 564/KMK.03/ 2004 %) PMK No. 137/PMK.03/ 2005 %) Pasal 7 ayat (1) %) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) 1 untuk diri Wajib Pajak 2.880.000,00 12.000.000 317 13.200.000 10 15.840.000 20 2 Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin 1.440.000,00 1.200.000 (17) 1.200.000 0 1.320.000 10 Jumlah 1+2 4.320.000 13.200.000 206 14.400.000 9 17.160.000 19 3 Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami 2.880.000 12.000.000 317 13.200.000 10 15.840.000 20 Jumlah 1+2+3 7.200.000 25.200.000 250 27.600.000 10 33.000.000 20 4 Tambahan untuk setiap tanggungan (paling banyak 3 orang) 1.440.000 1.200.000 (17) 1.200.000 0 1.320.000 10 Jumlah 1+2+3+4 8.640.000 26.400.000 205 28.800.000 9 34.320.000 19 Keterangan: *) kenaikan (kolom 4:
**) kenaikan (kolom 6:
***) kenaikan (kolom 8:
104 Menurut tabel tersebut di atas, dapat dilihat adanya kenaikan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak sejak diberlakukannya UU PPh Tahun 2000 sampai dengan UU PPh Tahun 2008, dengan uraian sebagai berikut:
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk diri Wajib Pajak, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp 2.880.000,00 berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp 12.000.000,00 dan kemudian disesuaikan kembali dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/ 2005 menjadi Rp13.200.000,00. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk diri Wajib Pajak adalah sebesar Rp15.840.000,00.
Besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak Kawin, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp1.440.000,00 berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp1.200.000,00 dan tetap tidak berubah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak Kawin meningkat menjadi Rp1.320.000,00.
Besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang istri bekerja yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp2.880.000,00 berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp12.000.000,00 dan kemudian disesuaikan kembali dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005 menjadi Rp13.200.000,00. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk istri bekerja yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami adalah sebesar Rp15.840.000,00.
Besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk tanggungan Wajib Pajak paling banyak 3 (tiga) orang, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp1.440.000,00 per orang, berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp1.200.000,00 per orang, dan tetap tidak berubah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 105 besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk tanggungan Wajib Pajak paling banyak 3 (tiga) orang meningkat menjadi Rp1.320.000,00 per orang. Dengan memperhatikan fakta-fakta tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa secara keseluruhan, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan UU PPh Tahun 2008 jauh lebih besar jika dibandingkan dengan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak menurut UU PPh Tahun 1983 maupun UU PPh Tahun 2000 berikut aturan pelaksanaannya. Selain itu, dapat ditegaskan pula bahwa perubahan terhadap besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak tidak harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang, tetapi cukup dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan sebagai pelaksanaan amanat Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang memberikan kewenangan atributif kepada Menteri Keuangan untuk menyesuaikan besarnya Penghasilan Tidak kena Pajak yang terlebih dahulu dikonsultasikan dengan DPR sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Perlu kami sampaikan pula bahwa atas Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 telah diuji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 1/PUU-VII/2009 tanggal 20 Mei 2009 yang amar putusannya menyatakan bahwa permohonan Pemohon ditolak. Oleh karena itu sudah sepatutnya pengujian terhadap pasal dimaksud dikesampingkan.
Terhadap Pasal 14 Ayat (1) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk menentukan penghasilan netto dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak ” dan Pasal 14 Ayat (7) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan” , Pemerintah berpendapat bahwa dalam rangka pengenaan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak, diperlukan informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi tersebut, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Akan tetapi pada kenyataannya tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Bagi Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Akan tetapi, Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. 106 Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan. Norma Penghitungan Penghasilan Netto sangat membantu bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan Netto. Norma Penghitungan disusun berdasarkan hasil penelitian, kondisi ekonomi, atau data lain dan dengan memperhatikan kewajaran. Sebagaimana diketahui bahwa perubahan perekonomian global pada saat ini begitu cepat, seperti krisis ekonomi dan moneter yang melanda negara-negara maju yang dampaknya juga dirasakan oleh negara-negara berkembang. Untuk merespon perkembangan perekonomian yang begitu cepat diperlukan pengaturan sesegera mungkin. Sebagai contoh, apabila terjadi perubahan ekonomi yang begitu cepat, sedangkan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dan batas peredaran bruto yang ada sudah tidak sesuai dengan keadaan perekonomian dan kemampuan Wajib Pajak, maka diperlukan pengaturan sesegera mungkin agar pembebanan pajak kepada masyarakat tidak turut menambah kesulitan hidup rakyat banyak khususnya Wajib Pajak. Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan bebas bukan merupakan kewajiban, hal ini hanya suatu pilihan. Apabila Wajib Pajak Orang Pribadi merasa dirugikan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto maka dapat memilih alternatif lain yaitu dengan menyelenggarakan pembukuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi untuk menentukan penghasilan Netto. Pelimpahan kewenangan untuk menyesuaikan Norma Penghitungan Penghasilan Netto oleh Direktur Jenderal Pajak dan penyesuaian besarnya batas peredaran bruto dengan Peraturan Menteri Keuangan merupakan amanat dan perintah tegas UU PPh Tahun 2008. UU PPh Tahun 2008 sendiri merupakan amanat langsung dari Pasal 23A UUD 1945. Sehingga Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 14 ayat (7) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 .
Terhadap Pasal 17 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah ”; 107 Pasal 17 Ayat (2a) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun 2010 ”; Pasal 17 Ayat (2c) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa deviden yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final ’; dan Pasal 17 Ayat (2d) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan Peraturan Pemerintah ”, Pemerintah berpendapat bahwa perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (2a) UU PPh Tahun 2008 bertujuan untuk mengurangi beban pajak yang harus ditanggung masyarakat. Menurut penjelasan Pasal 17 ayat (2) UU PPh Tahun 2008, pembahasan perubahan tarif tersebut dikemukakan oleh Pemerintah kepada DPR untuk dibahas dalam rangka penyusunan RAPBN. Jadi walaupun perubahan tarif tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah, DPR sebagai wakil rakyat tetap ikut serta untuk membahasnya. Pelimpahan wewenang pengaturan perubahan atau penurunan tarif kepada Peraturan Pemerintah diperbolehkan karena hal tersebut merupakan amanat/perintah dari UU PPh Tahun 2008. UU PPh Tahun 2008 sendiri merupakan amanat langsung dari Pasal 23A UUD 1945. Sehingga ketentuan dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (2a) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Terhadap Pasal 17 Ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan ”, Pemerintah berpendapat bahwa penyesuaian besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan tingkat inflasi setiap tahunnya. Dewasa ini perubahan ekonomi dan moneter dunia berlangsung begitu cepat. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara maju berimbas juga kepada perekonomian negara berkembang yang juga dirasakan oleh rakyat Indonesia. Dengan perubahan perekonomian dan moneter yang begitu cepat, perlu kiranya respon yang cepat dari pemerintah untuk pengaturan pajak agar bisa dihindari potensi kerugian pajak. Oleh karena itu sekiranya aturan-aturan yang ada dalam UU PPh Tahun 2008 dirasakan memberatkan Wajib Pajak, maka Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk 108 mengatur lebih lanjut penyesuaian lapisan Penghasilan Kena Pajak. Kebijakan pemerintah mengenai lapisan Penghasilan Kena Pajak, selama ini memberikan banyak kemudahan-kemudahan bagi Wajib Pajak. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi tarif tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menghapus lapisan tarif 10%, sehingga lapisan tarif berkurang dari 5 (lima) menjadi menjadi 4 (empat) lapisan serta memperluas lapisan penghasilan kena pajak ( income bracket ) yang semula lapisan tertinggi di atas Rp 200.000.000,00 menjadi di atas Rp 500.000.000,00, untuk lapisan terendah yang semula Rp 0,00 s.d. Rp 25.000.000,00 menjadi Rp 0,00 s.d. Rp 50.000.000,00. Lebih rinci mengenai perubahan tarif tersebut tampak pada tabel sebagai berikut: Tabel 7 Perbandingan Tarif PPh Wajib Pajak Orang Pribadi antara UU PPh Tahun 2000 dengan UU PPh Tahun 2008 Undang-Undang PPh Tahun 2000 Undang-Undang PPh Tahun 2008 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif S.d Rp 25.000.000,00 5% S.d. Rp 50.000.000,00 5% Di atas Rp25.000.000,00 s.d. Rp 50.000.000,00 10% Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp 100.000.000,00 15% Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 15% Di atas Rp100.000.000,00 s.d.Rp200.000.000,00 25% Di atas Rp250.000.000,00 s.d.Rp500.000.000,00 25% Di atas Rp200.000.000,00 35% Di atas Rp500.000.000,00 30% Dari tabel tersebut di atas, perubahan lapisan penghasilan kena pajak dan tarif dalam UU PPh Tahun 2008 banyak memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak. Hal ini baru ditinjau dari sudut tarif dan lapisan penghasilan kena pajak, masih banyak lagi kemudahan bagi Wajib Pajak, antara lain:
Kenaikan batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak;
Penurunan Tarif Dividen;
Penambahan batasan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan;
Pembebasan pembayaran Fiskal Luar Negeri; dan
Penetapan angsuran untuk pengusaha tertentu. 109 Pelimpahan kewenangan pengaturan penyesuaian besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak kepada Keputusan Menteri Keuangan merupakan amanat langsung UU PPh Tahun 2008. Hal itu diperbolehkan sepanjang dalam Undang-Undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksanaan atau subyek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Sedangkan UU PPh Tahun 2008 merupakan amanat atau perintah langsung dari UUD 1945. Jadi Pasal 17 Ayat (3) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 .
Terhadap Pasal 19 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)”, Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan untuk menetapkan tarif pajak tersendiri atas selisih penilaian aktiva tetap ini bertujuan untuk mengantisipasi perubahan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan di bidang moneter yang dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang dapat mengakibatkan timbulnya beban biaya yang kurang wajar. Jadi penerbitan Peraturan Menteri Keuangan ini bertujuan untuk melindungi Wajib Pajak dari beban pajak yang melebihi kemampuan Wajib Pajak dan Pelimpahan kewenangan pengaturan tarif tersendiri terhadap selisih revaluasi aset kepada Peraturan Menteri Keuangan merupakan amanat langsung UU PPh Tahun 2008 yang sudah melalui pembahasan dengan DPR sebagai representasi warga negara. Hal itu diperbolehkan sepanjang dalam Undang-Undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksana atau subyek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Oleh karena itu Pasal 19 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Terhadap Pasal 21 Ayat (5) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah ”, Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan wewenang pengaturan tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud 110 pada Pasal 21 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan pemerintah bertujuan untuk kelancaran dan kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dalam kondisi tertentu, dengan kuasa Undang- Undang, Pemerintah diberikan wewenang melalui Peraturan Pemerintah untuk mengatur pengenaan pajak dengan tarif tersendiri. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 21 ayat (5) adalah sebagai berikut:
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah. Dengan pertimbangan bahwa pemotongan tersebut akan mengurangi gaji, upah, uang pensiun, dan sebagainya yang diterima atau diperoleh para Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, Pensiunan termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya, sedangkan pada umumnya penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah tersebut belum mencapai suatu tingkat yang memadai, maka pemerintah selaku pemberi kerja memandang perlu untuk menanggung Pajak Penghasilan yang terutang oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan pensiunan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau pensiunan yang diterima secara tetap yang dananya dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus. Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus pada umumnya jumlahnya relatif besar dibandingkan penghasilan rutin yang diterima sebelumnya. Oleh karena itu Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur penerapan tarif progresif yang lebih rendah dari ketentuan umum tarif pajak penghasilan agar manfaat yang diperoleh menjadi lebih besar dan memberikan keringanan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian hukum. 111 Jadi pelimpahan wewenang pengaturan tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Lembaga pelaksana undang-undang baru dapat memiliki kewenangan untuk menetapkan sesuatu peraturan yang mengikat umum jika oleh undang-undang sebagai “primary legislation” memang diperintahkan atau diberi kewenangan untuk itu. Selain itu dalam praktek ketatanegaraan dan tata urutan perundang-undangan di Indonesia dikenal sistem hirarki dan delegasi wewenang sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Terhadap Pasal 22 Ayat (1) huruf c UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Menteri Keuangan dapat menetapkan: Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah ” dan Pasal 22 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur bahwa “Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” , Pemerintah berpendapat bahwa pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu. Pelimpahan kewenangan pengaturan pemungutan pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah merupakan amanat/perintah tegas dari UU PPh Tahun 2008. Pemungutan PPh Pasal 22 ini bersifat sebagai pembayaran di muka, yang diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan di akhir tahun. Jadi bukan bukan PPh final. Ini hanya metode how to collect taxes through others (withholding system) . Hal itu diperbolehkan sepanjang dalam undang-undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksanaan atau subjek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Sehingga Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . 112 10.Terhadap Pasal 25 Ayat (8) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur bahwa “ Wajib Pajak orang pribadi yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak keluar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah ”, Pemerintah berpendapat bahwa pengenaan Fiskal Luar Negeri terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang tidak memiliki NPWP dan telah berusia 21 tahun bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Fiskal Luar Negeri tersebut, diatur juga pengecualian pembayaran Fiskal Luar Negeri bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri. Tidak semua Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang bertolak ke luar negeri diwajibkan membayar Fiskal Luar Negeri. Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang memiliki NPWP dibebaskan dari kewajiban membayar Fiskal Luar Negeri demikian pula pelajar yang menuntut ilmu di luar negeri tidak diwajibkan membayar Fiskal Luar Negeri sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan. Hal tersebut berlaku pula bagi pekerja yang akan berangkat ke luar negeri juga dibebaskan dari Fiskal Luar Negeri asalkan memenuhi syarat- syarat yang ditentukan. Pemungutan Fiskal Luar Negeri juga bersifat pembayaran di muka, yang dibayarkan ketika seseorang akan berangkat ke luar negeri ( pay as you go ), jadi bukan jenis pungutan pajak baru. Hanya metode memungut pajak, how to collect taxes through event (misalnya ke luar negeri). Fiskal luar negeri bukan jenis pajak bersifat final. Perlu disampaikan juga bahwa menurut Pasal 25 ayat (8) huruf a UU PPh Tahun 2008, pengenaan Fiskal Luar Negeri hanya berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2010. Bahwa pasal-pasal dari Undang-Undang a quo yang diminta oleh Pemohon untuk dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945, justru sebaliknya, yaitu, bahwa pasal-pasal dari Undang-Undang a quo merupakan pelaksanaan amanah Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945. Pasal-Pasal dalam Undang-Undang a quo (UU PPh Tahun 2008) justru untuk menjamin dan melindungi hak asasi manusia, yaitu hak tiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Secara keseluruhan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji adalah mengenai pelimpahan wewenang pengaturan kepada Peraturan Pemerintah, Peraturan 113 Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pada prinsipnya pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut diperbolehkan karena merupakan amanat/perintah tegas dari UU PPh Tahun 2008. Hal itu diperbolehkan sepanjang undang-undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksanaan atau subjek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Selain itu Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Jadi Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . Selanjutnya mengenai pokok permohonan pengujian materiil terhadap 15 norma UU PPh Tahun 2008 mengenai pelimpahan/pendelegasian wewenang pengaturan lebih lanjut dari UU PPh Tahun 2008 kepada Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan sebagainya. Pemerintah berpendapat bahwa dalam rangka pemungutan pajak yang berlandaskan peraturan perundang-undangan, serta sesuai dengan kemampuan Wajib Pajak dan keadaan perekonomian bangsa Indonesia, diperlukan pembuatan pengaturan pemungutan pajak yang cepat dan sesederhana mungkin. Pembuatan pengaturan melalui Undang-Undang dirasa akan memakan waktu lama sehingga diperlukan fleksibilitas pengaturan yang tinggi agar dapat mengakomodir kepentingan pengamanan penerimaan negara dari pajak. Hal ini menimbulkan pemikiran untuk menerapkan prinsip efisiensi dalam pembuatan aturan-aturan yang menjadi landasan pemungutan pajak. Efisiensi dalam pembuatan aturan di bidang perpajakan menyangkut beberapa aspek antara lain aspek prosedur, biaya, sumber daya, dan kegunaan.
Prosedur Pembuatan Untuk membuat suatu Undang-Undang dibutuhkan prosedur yang panjang dan melalui proses yang melibatkan berbagai pihak baik dari eksekutif maupun legislatif. Proses yang panjang dari pembuatan suatu Undang-Undang yang tidak mampu mengakomodir perubahan dalam masyarakat tentu berdampak negatif pada banyak hal termasuk rasa keadilan dalam masyarakat terkait pembebanan pajak. Di sisi Pemerintah, ketidakselarasan tersebut berdampak pada kepentingan penerimaan negara yang pada akhirnya mempengaruhi kepentingan nasional dalam hal 114 pembiayaan belanja negara. Tidak demikian halnya dengan pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang tidak terlalu membutuhkan proses yang panjang dan tidak terlalu menuntut keterlibatan banyak pihak. Pemilihan bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dalam bidang perpajakan terlepas dari muatan atau isi pengaturan, dapat dikatakan mengedepankan efisiensi dalam prosedur pembuatannya dan terpenuhinya rasa keadilan bagi Wajib Pajak. Namun demikian, pertimbangan efisiensi tidak diharapkan berubah bentuk menjadi kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, untuk dapat menjalankan prinsip efisiensi ini, diperlukan koridor dari Undang-Undang itu sendiri sebagai batasan terhadap kewenangan yang diberikan.
Biaya Pengukuran pada biaya biasanya berbanding lurus dengan prosedur pembuatan. Semakin pendek prosedur yang dilewati maka akan semakin kecil biaya yang diperlukan sehingga efisiensi dari biaya akan dapat diperoleh. Biaya yang dibutuhkan dalam pembuatan Peraturan Direktur Jenderal Pajak dapat dikatakan akan lebih sedikit dibanding biaya yang diperlukan dalam pembuatan sebuah Undang-Undang.
Sumber Daya Prinsip efisiensi mengedepankan pemanfataan sumber daya minimal dengan pencapaian tujuan yang optimal. Dalam pembuatan peraturan perpajakan dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal Pajak kebutuhan sumber daya diharapkan tidak sebesar kebutuhan dalam pembuatan Undang-Undang.
Kegunaan Suatu peraturan perundang-undangan haruslah memiliki kegunaan atau manfaat. Salah satu kegunaan suatu peraturan pemungutan pajak adalah memberikan legitimasi secara hukum kepada otoritas perpajakan dalam melakukan pemungutan pajak. Jenis atau bentuk pengaturan tidak menjadi masalah sepanjang peraturan perundang-undangan tersebut dapat diterapkan dan memiliki manfaat yang diharapkan. Perkembangan aktivitas ekonomi yang sangat cepat, dapat menimbulkan potensi kehilangan sumber penerimaan pajak. Untuk itu diperlukan pengaturan secepat mungkin yang akan mengakomodasi perkembangan ekonomi, menutup celah 115 penghindaran pemajakan, dan yang terpenting mengamankan penerimaan negara yang menampung kepentingan rakyat banyak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gustav Radbruch yang menguraikan adanya tiga unsur dalam pembentukan hukum yaitu: filosofi (keadilan), sosiologis (kemanfaatan), dan yuridis (kepastian hukum). Radbruch berpendapat bahwa sepanjang tidak bertentangan dengan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi lagi suatu peraturan hukum memiliki validitas. Selain prinsip efisiensi di atas, prinsip lain yang mendukung pendelegasian wewenang dalam pengaturan pemungutan pajak adalah diterapkannya asas kesederhanaan, baik dari struktur tarif maupun tata cara pemungutannya. Melalui penerapan prinsip efisiensi dan kesederhaan maka biaya pemungutan bagi administrasi perpajakan dan juga biaya yang dikeluarkan Wajib Pajak dalam rangka pelaksanaan kewajiban pembayaran pajak dapat ditekan. Hal ini berdampak positif terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dan pada akhirnya kepada penerimaan dari pajak itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas, menurut Pemerintah, pelimpahan/pendelegasian wewenang pengaturan lebih lanjut dari UU PPh Tahun 2008 kepada Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan sebagainya diperbolehkan dengan alasan fleksibilitas dengan memperhatikan efisiensi dan kesederhaan sepanjang pengaturan tersebut tidak menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat ditolerir dan tidak secara nyata dilarang oleh UUD 1945 . VIII.Dampak Seandainya Permohonan Pengujian Materiil UU PPh Tahun 2008 Dikabulkan. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas Pemerintah kembali menyimpulkan bahwa Pemohon telah keliru dalam memahami pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan permohonan pengujian materiil, sebab tidak benar telah ada ketidakpastian hukum sehubungan dengan pendelegasian atau pelimpahan kewenangan pengaturan lebih lanjut UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Pendelegasian atau pelimpahan kewenangan pengaturan kepada peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang tersebut merupakan persetujuan bersama pembuat undang-undang yaitu DPR sebagai wakil rakyat dan Pemerintah, melalui Undang-Undang yang secara 116 tegas mengamanatkan untuk membuat peraturan perundang-undangan pelaksanaan UU PPh Tahun 2008. Sebaliknya, apabila permohonan pengujian pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan Pemohon dikabulkan dengan menyatakan pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat maka hal tersebut justru akan menimbulkan dampak buruk berupa:
Bila pasal-asal a quo dalam UU PPh Tahun 2008 oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka akibatnya sudah sangat jelas, yaitu tidak ada dasar hukum yang memadai bagi peraturan pemerintah, Menteri Keuangan, dan Direktur Jenderal Pajak untuk mengenakan pajak kepada para Wajib Pajak. Yang akibat lebih jauhnya adalah merosotnya pendapatan negara dari pajak. Bila hal itu terjadi, maka kemampuan negara untuk mengadakan dan membiayai pelayanan masyarakat (publik) seperti pembangunan dan pemeliharaan fasilitas publik, seperti jalan, irigasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain sebagainya akan merosot pula. Padahal pengadaan dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas umum itu sangat vital dan essensial bagi pemenuhan hak-hak asasi manusia, utamanya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Berkenaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, UUD 1945, antara lain, mengatur sebagai berikut :
Pasal 27 ayat (2) : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” b. Pasal 28A : “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” c. Pasal 28C ayat (1) : “ Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. ” d. Pasal 28D ayat (2) : “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” e. Pasal 28H ayat (1) : 117 “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” f. Pasal 28H ayat (3) : “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” g. Pasal 28 I ayat (3) : “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” h. Pasal 28 I ayat (4) : “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” __ Selain hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 tersebut di atas, pemerintah mempunyai kewajiban di bawah hukum internasional, yakni Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan hukum internasional itu, Pemerintah Republik Indonesia mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai berikut: (Bukti Pemt. 53) 1. Pasal 6 : Hak atas pekerjaan;
Pasal 7 : Hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan;
Pasal 8 : Hak-hak serikat pekerja;
Pasal 9 : Hak atas jaminan sosial dan asuransi sosial;
Pasal 10 : Hak-hak keluarga;
Pasal 11 : Hak atas standar kehidupan yang layak;
Pasal 12 : Hak untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental;
Pasal 13-14 : Hak atas Pendidikan;
Pasal 15 : Hak atas kehidupan budaya dan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan. Pasal 15 KIHESB tersebut di atas, negara, yakni pemerintah, merupakan pihak yang dibebani kewajiban untuk melindungi, memajukan, melaksanakan penegakan dan 118 pemenuhan Hak Asasi Manusia, yaitu dalam hal ini adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Pemerintah jelas membutuhkan biaya yang besar untuk pengadaan dan pemeliharaan fasilitas umum, seperti infrastruktur jalan, irigasi, fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan, yang selain dapat membuka lapangan kerja juga untuk memenuhi hak-hak rakyat atas pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial lainnya. Pemerintah memerlukan biaya yang besar pula untuk fasilitasi program- program pengembangan kebudayaan masyarakat. Uraian panjang tersebut di atas membawa kita pada suatu pengertian, bahwa pasal- pasal dari Undang-Undang a quo yang diminta oleh Pemohon untuk dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945, justru sebaliknya, yaitu, bahwa pasal-pasal dari Undang-Undang a quo merupakan pelaksanaan amanah Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945. Pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo (UU PPh Tahun 2008) justru untuk menjamin dan melindungi hak asasi manusia, yaitu hak tiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Lebih dari 30 (tiga puluh) peraturan pelaksanaan UU PPh Tahun 2008, ratusan peraturan pelaksanaan perundang-undangan pajak lainnya (PPN dan PPn BM, PBB, BPHTB dan Bea Meterai) dan ratusan peraturan daerah yang mengatur pungutan yang bersifat memaksa, harus dicabut dan diatur kembali dalam bentuk pasal-pasal di dalam Undang-Undang, hanya untuk memenuhi keinginan Pemohon, agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Berdasarkan analisa perhitungan penerimaan negara, apabila permohonan pengujian materiil UU PPh Tahun 2008 dikabulkan, maka diperkirakan negara akan berpotensi kehilangan penerimaan kurang lebih sebesar Rp 69 Triliun (Enam Puluh Sembilan Triliun Rupiah) untuk Tahun Pajak 2010 (Bukti Pemt. 54) hanya untuk Pajak Penghasilan saja. Hal ini akan menghambat laju pembangunan dan menghalangi terwujudnya tujuan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dana sebesar Rp 69 Triliun apabila dipergunakan untuk kepentingan rakyat dapat dipergunakan:
Untuk membangun sekolah dasar inpres sebanyak 53.076 sekolah dasar inpres, b. Untuk membangun jalan beraspal sepanjang 138.000 km, c. Untuk membangun Puskesmas didaerah terpencil sebanyak 92.000 puskesmas. (Bukti Pemt. 55) 119 IX. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian ( constitutional review ) Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, dan untuk selanjutnya memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, (legal standing). 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Menyatakan ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1),Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono). __ [2.4] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalinya, Pemerintah telah mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-55 sebagai berikut:
Bukti Pemt-1 : Fotokopi UUD 1945 beserta Amandemen;
Pasal 23;
Pasal 23A;
Pasal 23B;
Pasal 23C;
Pasal 23D;
Pasal 24A ayat (1);
Pasal 24C ayat (1);
Pasal 28D ayat (1);
Pasal 28G ayat (1);
Pasal 28 H ayat (4).
Bukti Pemt-2 : Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 120 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
Pasal 2 ayat (1);
Pasal 4 ayat (2) c. Pasal 7 ayat (3), d. Pasal 14 ayat (1), d. Pasal 14 ayat (2), e. Pasal 14 ayat (7), f. Pasal 17 ayat (2), g. Pasal 17 ayat (2) huruf a, h. Pasal 17 ayat (2) huruf c, i. Pasal 17 ayat (2) huruf d, j. Pasal 17 ayat (3), k. Pasal 17 ayat (7), l. Pasal 19 ayat (2), m. Pasal 20 ayat (2), n. Pasal 21 ayat (5), o. Pasal 22 ayat (1c), p. Pasal 22 ayat (2), q. Pasal 25 ayat (8) 3. Bukti Pemt-3 :
Pasal 10 ayat (1);
Pasal 51 ayat (1) 4. Bukti Pemt-4 : Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009:
Pasal 1, angka 1;
Pasal 38;
Pasal 39A;
Pasal 39;
Pasal 40;
Pasal 41 A;
Pasal 41 B;
Pasal 41 C;
Pasal 43.
Bukti Pemt-5 : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 6. Bukti Pemt-6 : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2009 7. Bukti Pemt-7 : Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 12 Tahun 1994 8. Bukti Pemt-8 : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 9. Bukti Pemt-9 : Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 121 10. Bukti Pemt-10 : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai 11. ^Bukti Pemt-11 : Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia 12. ^Bukti Pemt-12 : Prof.Dr.Maria Farida Indrati S.,S.H.,M.H., dalam bukunya “Ilmu Perundang-undangan 1, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan”, Penerbit Kanisius, Cetakan Ke-5, Tahun 2007:
Hal 18 “Norma merupakan suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya atau lingkungannya.”;
Hal 20 Hans kelsen dalam bukunya “ General Theory Of Law and States ”, New York, Russel and Russel, menyatakan bahwa ada dua system norma yaitu norma yang static ( nomostatics ) dan norma yang dinamik ( nomodynamics );
Hal 35-37 DWP Ruiter dalam kepustakaan di Eropa Kontinental, peraturan perundang undangan atau wet in materiele zin mengandung tiga unsur… d. Hal 215-232 Fungsi dari pelaksanaan peraturan perundang- undangan… 13. Bukti Pemt-13 : Prof.Dr.Jimly Asshidiqie, buku perihal Undang-Undang di Indonesia, Sekjen & kepaniteraan MK Jakarta, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama Tahun 2006:
Hal 32 Jeremy Bentham dan John Austin, misalnya Hal 33 122 b. Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H., dalam buku “Perihal Undang-Undang Di Indonesia”, c. hal 377 “kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada....” d. hal 381 ”Apabila Undang-Undang dirasakan belum cukup mengatur, dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, dapat dilakukan pendelegasian kewenangan pengaturan dengan memperhatikan tiga syarat alternativ yaitu: …” e. hal 396 “…pendelegasian kewenangan pengaturan baru dapat dilakukan dengan tiga alternativ syarat: …” 14. ^Bukti Pemt-14 : Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
Pasal 7 ayat 1, b. Pasal 7 ayat 4 15. ^Bukti Pemt-15 : Nasakah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999 – 2000, Buku VII, Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Tahun 2008. Hal 39- 113 16. ^Bukti Pemt-16 : Heru Subiyantoro dan Singgih Riphat (ed), Kebijakan Fiskal, Pemikiran, konsep dan Implementasi, (Kompas, 2004) hal 130 17. Bukti Pemt-17 : Kebijakan Ekonomi Publik Di Indonesia Subtansi dan Urgensi, kumpulan Tulisan Dr. Guritno Mangkoesoebroto, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1994 Hal 107 18. Bukti Pemt-18 : Nota Keuangan dan APBN 2000, Departemen Keuangan RI 19. Bukti Pemt-19 : Laporan Penerimaan Pajak DJPBn dan APBN-P Tahun 123 20. ^Bukti Pemt-20 : R.santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Perpajakan, Refika Aditama, Bandung, 2003:
Hal 2, “pengertian pajak menurut Prof.DR.PJA.Adriani sebagaimana dikutip oleh R.Santoso Brotodihardjo dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum Perpajakan, menyatakan bahwa pajak adalah iuran kepada negara........” b. Hal 3 “ Leroy Baeulieu, dalam bukunya traite de la science des Finances . Tahun 1906... “ c. Hal 5 “Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul Pajak berdasarkan asas gotong royong,Universitas Padjadjaran, Bandung, 1964, sebagaimana dikutip oleh R.santoso Brotodihardjo, “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang........” d. hal 212 “Pajak mempunyai dua fungsi yaitu.... “ 21. ^Bukti Pemt-21 : IBFD international Tax Glossary yang diterbitkan oleh IBFD tahun 2005 Hal 393 “pajak didefinisikan sebagai “a government levy which is not....” 22. Bukti Pemt-22 : H.Bohari,S.H., Pengantar Hukum Pajak. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2001 :
Hal 41 ”Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations b. Hal 42 ”W.J de langen seorang ahli pajak kebangsaan Belanda .......yang menyebutkan 7 asas pokok perpajakan sebagai berikut : 124 c. Hal 43 ”Dalam literatur yang sama Adolf Wagner mempunyai dimensi yang lain dalam memandang asas pemungutan pajak.......empat postulat untuk terpenuhinya prinsip pemungutan pajak yang ideal yaitu....“ 23. ^Bukti Pemt-23 : Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara :
Pasal 1 angka 1;
Pasal 2 huruf a;
Pasal 3 ayat (1);
Pasal 6;
Pasal 8;
Pasal 11 ayat (3);
^Bukti Pemt-24 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001 tentang pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank .Indonesia;
Bukti Pemt-25 : Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi;
^Bukti Pemt-26 : Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan berupa Bunga Obligasi;
Bukti Pemt-27 : Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas hadiah undian;
Bukti Pemt-28 : Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 395/PJ/2001 tentang pengenaan Pajak Penghasilan atas hadiah dan penghargaan;
Bukti Pemt-29 : Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek;
Bukti Pemt-30 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 tentang pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek;
Bukti Pemt-31 : Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang 125 Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di Bursa;
^Bukti Pemt-32 : Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 stdd PP Nomor 71 Tahun 2008 (perubahan ketiga) tentang pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
^Bukti Pemt-33 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 sebagimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 (perubahan kedua) tentang pelaksanaan pembayaran dan pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan;
^Bukti Pemt-34 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/ 2009 tentang pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan;
^Bukti Pemt-35 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/ 2009 tentang tata cara pemberian pengecualian dari kewajiban pembayaran atau Pemungutan Pajak Penghasilan atas .penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan 36. ^Bukti Pemt-36 : Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2008 stdd PP No 40 tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi 37. Bukti Pemt-37 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan dan Penatausahaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi 126 38. Bukti Pemt-38 : Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 tentang pembayaran pajak atas penghasilan dari persewaan Tanah dan/atau Bangunan 39. ^Bukti Pemt-39 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 sebgaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002 tentang pelaksanaan pembayaran dan pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan 40. ^Bukti Pemt-40 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak 41. ^Bukti Pemt-41 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005 tentang penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak 42. ^Bukti Pemt-42 : Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 536/PJ./2000 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak yang dapat menghitung Penghasilan Neto dengan menggunakan Norma Penghitungan 43. Bukti Pemt-43 : Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas deviden yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri 44. Bukti Pemt-44 : Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan para Pensiunan atas Penghasilan yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah 45. Bukti Pemt-45 : Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus 46. Bukti Pemt-46 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 127 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah 47. ^Bukti Pemt-47 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 sebagimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya 48. ^Bukti Pemt-48 : Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri Yang bertolak ke luar negeri 49. ^Bukti Pemt-49 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 51/PJ/2008 tentang tata cara pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Anggota Keluarga 50. ^Bukti Pemt-50 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 53/PJ/2008 sebagaimana telah diubah dengan PER-14/PJ/2009 tentang tata cara pembayaran, pengecualian pembayaran dan pengelolaan administrasi Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang akan bertolak ke Luar Negeri 51. Bukti Pemt-51 : Hans Kelsen, teori umum tentang hukum dan negara. Nusamedia dan nuansa, Bandung,2006 Hal 187-191 : “Kadang kadang pembentukan norma norma umum itu dibagi kedalam dua tahapan atau lebih....” 52. Bukti Pemt-52 : CF Strong, Konstitusi konstitusi politik modern kajian tentang sejarah dan bentuk bentuk konstitusi Dunia, Nusamedia dan nuansa, Bandung, 2004,Hal 91 : “dalam konteks perkembangan hubungan konstitusi.......menyatakan sebagai berikut : bahwa sejumlah hukum dasar yang diadopsi atau dirancang oleh para penyusun konstitusi 53. Bukti Pemt-53 : Kovenan Internasional Hak – Hak ekonomi, sosial, dan 128 budaya (KIHESB) yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on economic Social and Cultural Rights :
Pasal 6 ;
Pasal 7;
Pasal 8;
Pasal 9;
Pasal 10;
Pasal 11;
Pasal 12;
Pasal 13;
Pasal 14;
Pasal 15.
^Bukti Pemt-54 : Realisasi Penerimaan Tahun 2007-2008, Estimasi Penerimaan Tahun 2009, dan Potensial Loss Penerimaan Pajak Tahun 2010 Terkait Permohonan Uji Materiil Undang-Undang PPh Tahun 2008 55. ^Bukti Pemt-55 : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang pedoman teknis pembangunan gedung Negara Selain itu, untuk menguatkan keterangannya, Pemerintah mengajukan 5 (lima) orang ahli yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 12 Januari 2010 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis sebagai berikut: Keterangan Ahli Pemerintah 1. Ahli Pemerintah Prof.DR. Philipus. M. Hadjon, S.H., LL.M. Ø Bahwa intinya adalah pajak dan semua pungutan yang sifatnya memaksa oleh negara harus diatur dengan Undang-Undang; Ø Bahwa dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengenai pendelegasian itu ada dua istilah hukum yang digunakan; “dengan” atau “berdasarkan”; Ø Bahwa rumusan yang ada di dalam Pasal 23A itu mengenai pajak; Ø Bahwa dari sudut pandang hukum tata negara pajak di situ pertama-tama adalah menyangkut objek pajak; Ø Bahwa apa saja yang bisa dikenakan pajak oleh negara, intinya dari Pasal 23A tadi; Ø Bahwa titik tolak dari sana yang diperintahkan oleh Undang-Undang Dasar untuk diatur dengan Undang-Undang ialah objek pajak; 129 Ø Bahwa mengenai objek pajak itu sendiri sejak awal termasuk Undang-Undang taat apa yang bisa dipungut pajak itu ditetapkan oleh Undang-Undang termasuk pajak daerah pun harus ditetapkan dengan Undang-Undang tidak bisa daerah menentukan sendiri apa yang menjadi pajak daerah; Ø Bahwa perlu dicermati dulu dari ketentuan Pasal 23A mengenai pendelegasian wewenang; Ø Bahwa pendelegasian wewenang merupakan hal yang lazim sekali apabila kaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) pendelegasian di sini ini bukan pendelegasian penetapan tarif karena tarifnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1); Ø Bahwa yang didelegasikan itu adalah suatu diskresi. Konsep diskresi itu karena ada kata “dapat”, jadi dalam hukum tata negara dan hukum administrasi kalau kewenangan itu diawali dengan kata “dapat” itu menunjukkan disreksi; Ø Bahwa bagi yang berwenang dalam bidang ini punya pilihan untuk berkaitan dengan tarif. Tapi di sini bukan delegasi blanko, karena ada batasannya. Sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi, sebetulnya delegasi ini tidak melanggar ketentuan UUD; Ø Bahwa yang dipermasalahkan oleh Pemohon juga PP Nomor 131 Tahun 2000; Ø Bahwa yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah UUD adalah Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi. Jadi tidak pada tempatnya kalau mempermasalahkan konstitusionalitas PP. Kalau persoalan PP bukan persoalan konstitusionalitas tetapi persoalan legalitas, dan parameternya adalah Undang-Undang dan bukan parameter UUD; Ø Bahwa menyangkut Pasal 7 ayat (3), apakah penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak tidak dapat didelegasikan kepada Menteri Keuangan; Ø Bahwa penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak berada dalam ranah teknik, dan di sisi lain bukan delegasi blanko karena harus dikonsultasikan dengan DPR ini satu yang sifatnya imperatif mengenai kewenangan; Ø Bahwa menyangkut Pasal 14 ayat (1) juncto Pasal 14 ayat (7) rasio legis delegasi kewenangan dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (7) adalah Pendelegasian kewenangan dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (7) di satu sisi merupakan hal teknis dan di sisi lain mengantisipasi kondisi yang berubah-ubah; Ø Bahwa menyangkut Pasal 17 ayat (2), ayat (2) huruf a, ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d. Pertanyaannya apakah pendelegasian kewenangan penurunan tarif itu 130 inkonstitusional? Rasio legis pengaturan pajak dengan Undang-Undang adalah pajak adalah perampasan atas kekayaan pribadi. Kekayaan pribadi merupakan hak kodrat jadi sifatnya _nalienable right; _ Ø Bahwa untuk kepentingan publik hak bisa kodrat dirampas hanya dengan persetujuan rakyat. Instrumen hukum dalam hukum tata negara adalah Undang- Undang. Dalam pasal-pasal ini tarif tertinggi telah ditetapkan oleh Undang-Undang sehingga delegasi kepada peraturan pemerintah untuk penurunan tarif pajak ini tidak bertentangan dengan rasio legis pengaturan pajak dengan Undang-Undang, dan Pasal 23A itu sebetulnya mengenai objek pajaknya yang paling utama; Ø Bahwa menyangkut Pasal 17 ayat (3) ketentuan Pasal 17 ayat (3) bertentangan rasio legis pengaturan pajak harus dengan Undang-Undang besarnya penghasilan kena pajak hal teknis, oleh karena itu delegasi kewenangan tidaklah inkonstitusional; Ø Bahwa Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 21 ayat (5) menyangkut pasal ini perkecualian adalah penetapan tarif pajak inkonstitusional? Ini juga prinsipnya sama pendelegasian kewenangan dalam Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5) bukan delegasi blanko karena dibatasi dengan ketentuan, dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat (2) “sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi,” Pasal 21 ayat (5) kecuali ditetapkan lain dengan peraturan pemerintah; Ø Bahwa menyangkut Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (2) adalah karakteristik wewenang tersebut dalam Pasal 22 ayat (1) huruf e; Ø Bahwa Pasal 22 ayat (1), dari ketentuan ini dapat mencirikan adanya wewenang diskresi. Diskresi mengandung makna ada pilihan choice dalam penggunaan wewenang; Ø Bahwa rasio legis ketentuan a quo adalah peran serta masyarakat dalam mengumpulkan pajak dan bukan menyangkut PPh final; Ø Bahwa kewenangan adalah konsep hukum publik, kewenangan DPR lahir secara atribusi, wewenang DPR itu diberikan oleh Undang-Undang Dasar; Ø Bahwa DPR itu wakil rakyat tapi janganlah dirumuskan wewenang DPR adalah juga wewenang rakyat, ini analogis sesat. Rakyat itu mempunyai hak dan kewajiban bukan kewenangan sehingga kalau bicara soal wewenang memutus tidak pada rakyat dalam konteks pajak, Undang-Undang Pajak. Wewenang memutus itu ada pada DPR jadi tidak bisa dikatakan wewenang DPR adalah juga wewenang rakyat; Ø Bahwa Pasal 25 ayat (8) apa rasio legis pasal ini? Pasal ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya; 131 Ø Bahwa berdasarkan analisi yang dilakukan materi muatan pasal-pasal Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang diajukan permohonan uji materil Perkara Nomor 128/PUU-VII/2009 tidaklah inkonstitusional;
Ahli Pemerintah Drs. A. Anshari Ritonga, S.H., M.H. Ø Bahwa pelimpahan wewenang melalui Undang-Undang kepada pemerintah, Menteri Keuangan dan kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam menentukan tarif, menentukan lapisan penghasilan kena pajak untuk dikenakan tarif dan penetuan pajak fiskal bagi orang yang tidak memiliki NPWP dan penentuan norma yang ditugaskan kepada Direktorat Jenderal Pajak; Ø Bahwa tinjauan hukum dalam rangka konsepsional sumber hukum dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan adalah tinjauan terhadap ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal yang diajukan pengujian; Ø Bahwa terhadap tindakan hukum sebagai sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia itu mengacu kepada TAP MPRS Nomor 20 Tahun 1966 yang kemudian dikukuhkan dengan TAP MPR Nomor 5 Tahun 1973 pada waktu itu masih ditentukan mulai dari Undang-Undang Dasar, undang-undang, Keputusan MPR, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang, Peraturan Pemerintah baru peraturan pelaksanaan termasuk instruksi Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan dan peraturan lainnya; Ø Bahwa hal itu kemudian diperbaiki beberapa kali dengan Putusan MPR sehingga terakhir dengan Keputusan MPR Nomor 3 Tahun 2000 dimana urutannya menjadi Undang-Undang Dasar, Ketetapan MPR, undang-undang dan atau setara dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah; Ø Bahwa dengan direvisi Undang-Undang Dasar 1945 khusunya Pasal 2 dimana struktur, fungsi dan kewenangan MPR berubah maka Ketetapan MPR tidak menjadi sumber hukum lagi sehingga urutannya Undang-Undang Dasar, undang-undang sekaligus memang dengan Perppu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang baru Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah; Ø Bahwa tata urutan tersebut kalau dikaji atau ditinjau dengan pendekatan hukum ini secara teori berjenjang yang dikemukakan oleh Kelsen dan ditindak lanjuti oleh Hansnafiaski {sic} dimana menyebut sebagai urutan itu adalah sebagai staat fundamental norm sebagai dasar-dasar pokok, dimana oleh Kelsen sebenarnya 132 grundnorm sebagai asas yang disebut sebenarnya Hamid Atamimi adalah Pancasila itu sebagai grund fundamental staat grundnorm tetapi oleh Hans Kelsen dipisahkan antara staat fundamental norm dengan staat grund gescheit sebagai Undang- Undang Dasar; Ø Bahwa kalau dikaitkan dengan staat fundamental norm sebagai pembukaan UUD 1945 staat gescheit sebagai UUD baru formale gescheit sebagai Undang-Undang dan sebagai peraturan pelaksanaannya ini yang berlaku, yang disebutnya sebagai urutan yang berjenjang yang berlaku ketentuan yang lebih rendah harus mengacu dan tidak bertentangan dengan ketentuan atau Undang-Undang yang lebih tinggi; Ø Bahwa dengan demikian yang diatur dalam tata norma hukum, sumber hukum dan tata perundang-undangan sudah sejalan dengan teori yang berlaku tersebut; Ø Bahwa sekarang pendelegasian yang diberikan dalam Undang-Undang semua tercantum dalam pasal-pasal tersebut sesuai dengan fungsi DPR, Pasal 20 UUD 1945 mengatakan DPR sebagai hak budgetnya sebagai legislator sebagai pembuat Undang-Undang, maka kewenangan DPR untuk membuat dan menetapkan Undang-Undang tentu sudah mengkaji segala dampak dan segala kemungkinan, sehingga ditetapkan ada pendelegasian tersebut, ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (2); Ø Bahwa oleh karena itu adanya pendelegasian wewenang dalam Undang-Undang kepada pemerintah untuk menetapkan melalui Peraturan Pemerintah kepada Menteri Keuangan sebenarnya sudah sejalan dengan norma hukum atau sumber hukum dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia; Ø Bahwa pelimpahan wewenang diberikan kepada pemerintah melalui peraturan pemerintah atau Menteri Keuangan atau Direktur Pajak dikatakan bertentangan dengan Pasal 23A; Ø Bahwa Pasal 23A bagian dari pada hal-hal mengenai keuangan yang diatur dalam UUD. Hal-hal yang mengenai UUD itu ada 5 pasal, Pasal 23 mengenai APBN dan Pasal 23A mengenai Pajak untuk negara sedangkan Pasal 23B dalam macam harga dan mata uang ditetapkan dalam Undang-Undang, lalu Pasal 23C hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan Undang-Undang, lalu Pasal 23D mengenai negara memiliki bank sesuai kedudukannya diatur dengan Undang- Undang; Ø Bahwa dari seluruh hal-hal yang mengenai keuangan yang diatur dengan UUD seluruhnya diatur dengan Undang-Undang; 133 Ø Bahwa dalam pelaksanaanya Pasal 23 tersebut dan Pasal 73 juga ada pelimpahan kepada Menteri Keuangan atau kepada pemerintah. Pasal 23 yaitu mengenai APBN disebutkan Pasal 8 ayat (2) dalam Undang-Undang APBN Tahun 2005. Rincian lebih lanjut dalam anggaran belanja pemerintah pusat sebagaimana Pasal 7 diatur dengan Keputusan Presiden. Dalam APBN 2010 Nomor 40 tahun 2009 Pasal 10 ayat (3) juga pengaturan lebih lanjut dari di DIPA sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh presiden. Pasal 9 ayat (2) menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian dan perimbangan DAU diatur oleh Menteri Keuangan. Jadi dalam hal ini dalam Pasal 23 juga semua ada pendelegasian yang diatur melalui Undang-Undang; Ø Bahwa Pasal 23B dan Pasal 23D mengenai mata uang juga di situ disebutkan mata uang itu harus bagaimana nominalnya atau bagaimana materilnya, bagaimana nilainya intrisiknya; Ø Bahwa dengan demikian maka pengaturan pada Pasal 23A yaitu pajak diatur dengan Undang-Undang adalah juga sejalan dengan pasal Undang-Undang yang diatur dalam tata urutan tersebut; Ø Bahwa pelaksanaan Pasal 23C, jelas di situ adalah hal-hal lain untuk mengatur mengenai keuangan negara diatur Undang-Undang. Mengenai keuangan negara termasuk pemungutan pajak semuanya dan sebagainya, dimana dalam Pasal 6, Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Keuangan Negara, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 mengenai Keuangan Negara menyebut presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolanya dan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dan kekuasaan yang dimaksud dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam pemilikan kekayaan negara; Ø Bahwa Pasal 8 disebut dalam rangka pelaksanaan kekuasaan pengelolaan fiskal tersebut Menteri Keuangan melakukan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang dan Pasal 9, Menteri pemimpin lembaga sebagai pengguna anggaran atau kementrian negara dalam melaksanakan tugasnya melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke kas negara. Jadi di situ juga ada pendelegasian baik kepada pemerintah, baik kepada Menteri Keuangan; Ø Bahwa Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 17 UUD 1945 menyebut Pasal 4 ayat (1) Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945 dan Pasal 5 ayat 134 (2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Dan Pasal 17 ayat (1) Presiden dibantu oleh Menteri Keuangan; Ø Bahwa pengeluaran Peraturan Pemerintah dalam mengatur melaksanakan Undang- Undang adalah sejalan dengan Pasal 4, Pasal 5 UUD 1945 tersebut, dengan demikian tentu tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dimaksud oleh Pemohon; Ø Bahwa terkait dengan Pasal 23A, pasal-pasal yang diajukan pengujiannya oleh Pemohon, khusunya mengenai penentuan tarif final atau tarif pajak; Ø Bahwa pada dasarnya tarif pajak itu ditentukan dengan Undang-Undang, yaitu Pasal 17 ayat (1) sudah jelas menurut kelipatan pajaknya, hanya memang dalam pengurangan ditentukan pajak itu akan diturunkan pajaknya yang sekarang maksimum 30% menjadi 25%. Penurunan itu yang didelegasikan kepada pemerintah sehingga tarif yang diharapkan bukan semakin naik pasti semakin turun, jadi semakin rendah, artinya beban pajak yang ditentukan kepada masyarakat akibat kewenangan yang diberikan kepada pemerintah tidak akan menambah beban pajak. Jadi kerugian nyata atau kerugian aktual tidak akan terjadi atas kewenangan dari pemerintah tersebut; Ø Bahwa Penentuan lapisan tarif juga sama di berikan kewenangan kepada pemerintah pusat lapisan tarif, dalam arti menikmati tarif yang lebih rendah dengan PKB yang lebih besar. Artinya akan mengurangi pajak bagi wajib pajak bukan menambah beban pajak; Ø Bahwa pajak fiskal luar negeri atau bagi orang pergi keluar negeri yang tidak memiliki nomor pokok diberikan pajak, itu adalah alternatif artinya apabila masyarakat menganggap dengan kena fiskal itu karena kewajiban maka sebenarnya sesuai ketentuan semua orang harus mendaftarkan diri,dengan mendaftarkan diri otomatis memang tidak akan kena fiskal luar negeri; Ø Bahwa sedangkan pemberian wewenang norma juga itu adalah alternatif, artinya bagi orang yang memilih alternatif tidak menyelenggarakan pembukuan maka tidak bisa dihitung penghasilan Nettonya, maka harus dibuatkan norma. Oleh karena itu apabila dengan diberikan kewenangan kepada pemerintah atau Dirjen Pajak menentukan norma Pemohon atau wajib pajak merasa dirugikan, maka akan mengikuti alternatif melaksanakan, menyelenggarakan pembukuan. Dimana pada prinsipnya Pasal 28 mengatakan seluruh wajib menyelenggarakan pembukuan, 135 tetapi karena memang bagi wajib pajak yang golongan kecil dianggap melaksanakan pembukuan dengan membutuhkan biaya maka diberikan alternatif boleh tidak menyelenggarakan pembukuan maka ditetapkan norma; Ø Bahwa norma tersebut bermacam-macam banyak sekali, untuk jenis pajak antara dokter spesialis dengan yang bukan spesialis normanya berbeda. Izin usaha yang satu dengan yang lain normanya berbeda. Berbeda harga pokok berbeda bahan mentah, berbeda pemilikan modal, berbeda treatment- nya maka normanya akan berbeda; Ø Bahwa kalau norma itu diatur dengan Undang-Undang bisa dikatakan bagaimana Undang-Undang harus berubah. Dengan pertimbangan itu maka diberikan pendelegasian kepada pemerintah tetapi apabila dengan wewenang yang diberikan didelegasikan norma itu kepada Direktur Jenderal Pajak, wajib pajak atau Pemohon merasa dirugikan maka bisa mengambil alternatif dengan cara menyelenggarakan pembukuan. Karena pada prinsipnya seluruh wajib pajak menyelenggarakan pembukuan. Dengan menyelenggarakan pembukuan tentu tidak ada kerugian materil, tentu ada kerugian norma;
Ahli Pemerintah Prof. DR. Gunadi, M.SC. Ak. Ø Bahwa yuridiksi itu merupakan atribut dari kedaulatan, dan negara yang berdaulat mempunyai yusdiksi termasuk juridiksi pemajakan sehubungan dengan orang atau objek yang berada di wilayahnya; Ø Bahwa di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Belanda, Indonesia menyuratkan yuridiksi pemajakan dalam konstitusinya. Sedangkan beberapa negara lain termasuk Inggris tidak. Walaupun demikian ketentuan pajak di Inggris juga mendasarkan pada prinsip legalitas dengan berpedoman pada yuridiksi no tax _without representation; _ Ø Bahwa sesuai dengan asas legalitas tersebut maka tidak ada pembayaran pajak atau beban lainnya tanpa adanya persetujuan berupa Undang-Undang oleh parlemen; Ø Bahwa prinsip tersebut merupakan salah satu pilar mekanisme sistem demokrasi dalam arti persetujuan yang diberikan para wakil pembayar pajak dalam parlemen dianggap sebagai garansi demokrasi atas pemajakan yang dipungut pemerintah; Ø Bahwa Undang-Undang Perpajakan merupakan peraturan yang sering mengalami perubahan karena mengikuti realita kehidupan ekonomi dan sosial serta lingkungan 136 termasuk sistem dan metode serta kebijakan pemajakan yang dinamis dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Walaupun dalam negara demokrasi ada doktrin pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dan sesuai dengan asas legalitas, perpajakan harus diatur dengan Undang-Undang; Ø Bahwa salah satu hal yang paling membingungkan yang dihadapi eksekutif dan legislatif adalah seberapa detail ketentuan yang harus diatur dalam Undang-Undang dan bagaimana distribusi kewenangan penyusunan perpajakan antara legislatif dan eksekutif; Ø Bahwa penerapan atas pertanyaan ini dapat berbeda untuk tiap negara tergantung kepada tradisi, kebiasaan, konstitusi, hukum administrasi praktik hukum tiap negara dan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak yang telah disetujui lembaga legislatif negara dimaksud. Kadangkala ketentuan dasar pengatur legalitas delegasi kewenangan, menyusun ketentuan perpajakan dapat bersifat elastis; Ø Bahwa membuat peraturan berbagai masalah yang memerlukan fleksibilitas tinggi, kesigapan dan kecepatan bertindak. Walaupun pada umumnya Undang-Undang Pajak yang disusun bagi wajib pajak, transaksi kena pajak, tarif pajak, sanksi dan pemungutan. Namun berdasar delegasi dalam konstitusi terutama Undang-Undang Pajak itu sendiri lembaga eksekutif dapat memberikan peraturan pelaksanaan; Ø Bahwa yang dapat diatur termasuk ketentuan detail berdasar delegasi Undang- Undang, prosedur dantata cara administrasi untuk menjalankan ketentuan Undang- Undang; Ø Bahwa setelah delegasi pengaturan demikian, sepertinya menunjukan adanya suatu ketidakpastian atau indefiniteness atau kekurang lengkapan dalam pengaturan perpajakan. Kekuranglengkapan ini umumnya dapat dianggap sebagai suatu intensive policy atau kebijakan yang diinginkan oleh para pembuat Undang-Undang. Dan proses demikian disebut flying in the general cost. Ini berlaku baik di negara penganut common law maupun di negara penganut sistem kontinental; Ø Bahwa yurisdiksi pemajakan Indonesia disuratkan pada Pasal 23A UUD 1945 yagn berbunyi “p ajak dan Pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara _diatur dengan undang-undang.”; _ Ø Bahwa __ dengan merujuk pada asas legalitas dalam UUD 1945 tersebut, disusunlah Undang-Undang Perpajakan termasuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagai dasar hukum pemungutan pajak penghasilan 137 yang sampai sekarang sudah empat kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008; Ø Bahwa sebagaimana terjadi di semua hampir negara pemungut pajak dan berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 serta beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan itu sendiri atau praktik ketatanegaran dan peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun semangat flying in the general cost terutama dalam pengaturan yang membutuhkan fleksibilitas yang tinggi dan kesigapan serta kecepatan bertindak dalam masalah-masalah yang mungkin timbul, maka terdapat delegasi pengaturan dalam Undang-Undang kepada peraturan pemerintah Menteri Keuangan atau Direktur Jenderal Pajak; Ø Bahwa secara konstitusional berdasarkan Pasal 5 ayat (2) untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya, pemerintah diberi wewenang untuk membuat peraturan berdasarkan perintah dalam Undang-Undang. Karena itu pelimpahan wewenang pengaturan lebih lanjut pelaksanaan pajak penghasilan dalam UU PPh 2008 adalah pengaturan yang merupakan kebijakan delegasi kewenangan yang diinginkan atau intentional policy oleh para pembentuk Undang- Undang melalui prosedur dan proses yang valid dan _legitimate; _ Ø Bahwa melalui prosedur dan proses legislatif yang valid dan legitimate karena sesuai dengan ketentuan Pasal 20 UUD 1945 Undang-Undang telah dibahas dan dapat persetujuan dari Pemerintah dan DPR sebagai representasi dari rakyat termasuk para pembayar pajak, walaupun dari segi materi suatu pengaturan pendelegasian tidak dapat mengubah materi yang ada dalam Undang-Undang, yang dijalankannya peraturan pemerintah adalah sarana yang disediakan UUD 1945 untuk menjalankan atau mengatur lebih lanjut atas satu atau beberapa ketentuan Undang-Undang; Ø Bahwa garis-garis besar ketentuan tersebut diatur di dalam Undang-Undang yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Namun, rinciannya atau garis kecilnya dibentuk oleh Pemerintah berdasar garis besar tanpa memerlukan persetujuan DPR lagi, yang telah menyetujui garis besarnya; Ø Bahwa dalam bahasa Pasal 23 UUD 1945 DPR sebagai representasi rakyat termasuk para pembayar pajak yang semua di sini terutama yang membayar PBB bersama Pemerintah telah melaksanakan ketentuan Pasal 23 UUD 1945 yaitu yang mengatur pungutan pajak penghasilan dengan Undang-Undang, yang antara lain telah terjadi pengaturan mengenai subjek, objek, tarif, sanksi, dan pungutan pajak 138 paling kurang dalam garis-garis besar, termasuk pelimpahan pengaturan pelaksanaan garis-garis besar tersebut di dalam peraturan yang lebih rendah; Ø Bahwa pengaturan berdasarkan pendelegasian demikian sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan dalam praktik ketatanegaraan maupun Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang- undangan; Ø Bahwa pendelegasian peraturan tersebut dapat dibenarkan berdasarkan pemikiran dalam menjalankan tata pemerintahan negara pengaturan tidak cukup hanya dengan Undang-Undang saja namun Undang-Undang dapat mendelegasikan kewenangan pengaturan kepada peraturan yang lebih rendah; Ø Bahwa sehubungan dengan Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7) Undang-undang merupakan kebijakan tertulis dan bersifat makro, umum, dan mendasar karena itu UU PPh dapat mewujudkan arah dan pelaksanaan kebijakan pemajakan atas suatu kategori penghasilan di Indonesia. Berdasar strukturnya terdapat tiga tipe pemajakan atas penghasilan yaitu global, unitary atau synthetic income tax systems yaitu memajaki semua kategori penghasilan dari berbagai sumber dari satu formula tarif dengan schedular atau analytical income tax systems yaitu memajaki berbagai kategori penghasilan dari berbagai sumber dengan berbagai formula tarif yang berbeda dengan maksud pembedaan beban pemajakan atas capital atau passive income yang umumnya lebih berat dibandingkan dengan active income termasuk penghasilan dari kekaryaan dan dual sticks atau composite audit income tax _systems; _ Ø Bahwa definisi objek pajak atau penghasilan secara umum paling kurang terdapat dua konsep yaitu recent concept , konsep pertambahan kemampuan ekonomis yang komprehensif sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Yang kedua adalah source concept , ini konsep kanalisasi kategori penghasilan. Menurut beberapa sumber secara limitatif sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 huruf b ayat (1) Ordonansi Pajak Penghasilan 1944; Ø Bahwa di dalam UU PPh ini sekaligus ingin menerapkan dua konsep tadi, yaitu pemajakan secara global dan pemajakan secara scheduler , yaitu jenis-jenis penghasilan dikenakan satu formula tarif. Karena di dalam UU PPh ini dimunculkan Pasal 4 ayat (2) sehingga dengan demikian Pasal 4 ayat (2) ini merupakan suatu legal policy dan sekaligus internal policy daripada pembuat Undang-Undang untuk merumuskan sistem perpajakan tersebut; 139 Ø Bahwa aplikasi dari semangat flying the general cost ini terutama dalam pengaturan yang membutuhkan fleksibilitas yang tinggi dan kesigapan serta kecepatan bertindak atas beberapa kategori objek pajak dan masalah lain besaran tarif pajak maka dimunculkan sekaligus delegasi peraturan kepada Peraturan Pemerintah dalam Pasal 17 ayat (7) yang garis-garis besarnya tarif ini ada dirumuskan di situ dengan ketentuan maksimal adalah sebesar tarif menurut Pasal 31 yaitu 30% orang pribadi dan 20% wajib pajak badan; Ø Bahwa sehubungan dengan validitas hukum terdapat tiga elemen yang harus dijelaskan. Yang pertama adalah justice atau keadilan, yang kedua legal , yang ketiga adalah ekspediansi atau kegunaan atau kemanfaatan; Ø Bahwa pendelegasian pengaturan schedule yang bersifat final dalam bentuk peraturan pemerintah ini sekurang-kurangnya, berdasarkan prinsip ekspediensi yaitu ekspediensi pengaturan, kepastian penerimaan dan hukum pemajakan, kesederhanaan dan kemudahan, murahnya biaya transportasi dan kekuatan perpajakan serta kenyamanan bayar pajak dapat dibenarkan dan karenanya dapat dianggap cukup valid. Walaupun mungkin dirasa belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip keadilan; Ø Bahwa dikatakan belum sepenuhnya memenuhi prinsip keadilan karena di dalam teori ada dua keadilan yaitu horisontal dan vertikal, walupun secara vertical lequited dapat diperdebatkan karena schedule tax system memang tujuannya adalah untuk memberikan sesuatu pembedaan pemajakan antara capital income termasuk bunga deposito dengan active income termasuk penghasilan dari jasa kekayaan; Ø Bahwa system final tax system pemajakakan dengan tarif tunggal sepadan dan final agar mudah dan sederhana memang sengaja mengesampingkan kompleksitas tarif progresif sebagai pewujudan dari prinsip vertical equaty , namun dari sisi horisontal equaty dan efisiensi of tax system ini schedule dengan tax system bagaimana diperkenalkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh,secara rasional dapat diterima; Ø Bahwa sehubungan dengan ketentuan di Pasal 4 ayat (2) huruf e yang menyebutkan penghasilan tertentu itu lainnya nampak pendelegasian itu bukannya tanpa batas; Ø Bahwa sebetulnya kepastian hukum dan terbatasnya ketentuan flying in the general cost dalam ayat tersebut dapat pada kata tertentu yang harus dibaca merujuk pada beberapa kriteria kategori penghasilan, yang dapat menjadi sasaran scheduler final _income tax system; _ 140 Ø Bahwa __ beberapa kriteria yang merupakan garis-garis besar ini ada di dalam penjelasan mengenai pajak penghasilan dapat mendorong investasi atas masyarakat; Ø Bahwa kesederhanaan pemungutan pajak atas penghasilan; Ø Bahwa efisiensi pemungutan pajak yaitu murahnya biaya administrasi dan kepatuhan pajak; Ø Bahwa pemerataan dalam pemungutan pajak dari semua wajib pajak penghasilan; Ø Bahwa terdapat pengaruh perkembangan ekonomi dan moneter dari pemajakan sebagaimana dimaksud. Dengan demikian hanya kategori penghasilan yang paling kurang memenuhi kelima syarat tersebut yang dibenarkan untuk dijadikan kategori penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh; Ø Bahwa kategori penghasilan selain yang memenuhi persyaratan 5 tadi harus dimasukan dalam kelompok kategori penghasilan komprehensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang menjadi sasaran dari _unitary tax system; _ Ø Bahwa sehubungan dengan Pasal 7 ayat (3) pemberian kelonggaran personal berupa pembebasan sejumlah penghasilan dari pengenaan pajak yang dihubungkan dengan wajib pajak dalam Pasal 7 UU PPh, yang dalam disebut sebagai penghasilan tidak kena pajak ini menunjukan karakteristik daripada penghasilan orang pribadi sebagai pajak obyektif personal; Ø Bahwa ada beberapa fungsi daripada P3P yang pertama adalah membebaskan kelompok small hard to tax income dari __ sistem PPh secara tidak langsung. Yang kedua efisiensi perpajakan dengan mengecualikan mereka dari pengenaan PPh dan NPWP serta serta menyampaikan SPT dan yang ketiga sistem pajak penghasilan membebaskan sebagian penghasilan sebesar dari semua wajib pajak orang pribadi dengan dari pengenaan pajak. Karena besaran PTKP akan mempengaruhi jumlah pajak yang terhutang bagi sebagian dan mengurangi penerimaan dan anggaran belanja negara sebesar penerimaan pajak dari sebagian yang lain, maka untuk kepastian hukum besaran nominal jumlah inisial TKP diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPh; Ø Bahwa sedangkan perubahannya ini karena menyangkut bidang tugas dari Menteri Keuangan ini maka didelegasikan pada Menteri keuangan dan sekaligus dasar policy dari pembuat Undang-Undang untuk kesalahan tersebut. Namun garis-garis besarnya juga diatur di dalam Undang-Undang yaitu; yang pertama setelah konsultasi dengan DPR karena akan mempengaruhi jumlah penerimaan pajak dan 141 penerimaannegara, yang kedua mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter dan ketiga perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya; Ø Bahwa istilah perkembangan harga setiap tahunnya. Sepertinya membuka peluang besaran PTKP yang terjadi adalah perubahan kenaikan PTKP. Kenaikan PTKP ini akan mengurangi beban pajak, bukan menambah beban pajak masyarakat sehingga pengaturan kepada Menteri Keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945; Ø Bahwa mengenai Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (7) ini menyangkut norma penghasilan dapat disampaikan norma penghasilan ini adalah merupakan standar assesment {sic} yaitu tuntunan pada wajib pajak yang belum mampu untuk melaksanakan kewajiban pembukuan untuk melakukan kewajiban perpajakan dengan baik sesuai dengan prinsip self assesment. Dan ini karena namanya standar self assesment terkait. Jadi kemudahan kepada wajib pajak untuk tidak menggunakan pembukuan tapi harus menyelenggarakan catatan; Ø Bahwa dari catatan ini dirasa belum cukup memberikan suatu data dan informasi untuk menghitung penghasilan Netto kena pajak. Oleh karena itu penghasilan Netto kena pajaknya dihitung berdasarkan norma penghasilan, jadi sifatnya norma penghasilan ini memberikan satu kemudahan kepada wajib pajak; Ø Bahwa apa yang berlaku di sini adalah bukannya suatu pemajakan yang optimal tapi suatu adalah the theory of the second best . Jadi kalau tidak bisa terjadi pemajakan yang optimal maka dicarikan suatu kebijakan yang sub optimal, yaitu dengan pemberian norma penghitungan. Sehingga dengan demikian prinsip keadilan ini akan dikesampingkan. Jadi kalau wajib pajak ingin dapatkan keadilan yang penuh maka jangan memakai norma tetapi kembali kepada sistem yang pokok pada main row yaitu mengadakan pembukuan dan menghitung penghasilan kena pajaknya berdasarkan actual income menurut pembukuan. Dengan demikian akan tercapai adalah adanya suatu kesepakatan; Ø Bahwa karena norma ini setiap tahun perlu ada suatu perubahan sesuai dengan perubahan dan sebagainya, ini agak bersifat teknis maka kewenangan untuk mengadakan perubahan didelegasikan kepada Direktur Jenderal Pajak dan ini juga sudah sesuai dengan kaidah pembuatan Undang-Undang karena sudah secara bersama-sama disetujui antara Pemerintah dan DPR dalam membuat Undang- Undang; 142 Ø Bahwa sehubungan dengan Pasal 19 ayat (2) ini merupakan suatu policy yang akan ditempuh oleh perpajakan apabila terjadi suatu devaluasi atau suatu summary. Jadi suatu inflasi yang jumlahnya cukup besar. Untuk menghadapai hal yang sebenarnya ini didelegasikan kepada Menteri Keuangan sesuai dengan bidang pemerintahannya. Ini yang dilakukan sesuai dengan derevaluasi perketat dan indeksasi bea dan penghasilan; Ø Bahwa tarifnya sekaligus diberikan kepada wewenang kepada Menteri Keuangan, ini merupakan suatu intens policy dari para legislator dan di sini diberikan suatu garis-garis besar atau suatu kriteria yaitu tarifnya tersendiri tidak melebihi pajak tertinggi sebagaimana di maksud Pasal 19; Ø Bahwa di dalam teori ini akan terdapat suatu gejala tingkat inflasi ini akan menyebabkan keuntungan dari guidance ini __ akan menyebabkan suatu pembuncitan atau bouncing effect ini maka harus dihilangkan pembuncitan ini dengan suatu indeksasi; Ø Bahwa pendelegasian yang diberikan Menteri Keuangan itu kecenderungannya akan mengurangi jumlah penghasilan kena pajak sekaligus tarifnya juga dikurangkan untuk mengurangi over take action dari adanya suatu inflasi; Ø Bahwa delegasi pengaturan dalam Pasal 19 ayat (2) UU PPh ini sejalan dengan memberikan garis-garis besar yang jelas dan berpotensi pajak masyarakat; Ø Bahwa selain pengaturan tersebut legitimate juga dapat dikatakan tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 karena justru akan meringankan beban pajak masyarakat; Ø Bahwa dalam Pasal 25 ayat (8) ini sifatnya sanksi policy karena ini berlaku sampai dengan akhir tahun 2010 dan ini merupakan cara lain di dalam sistem perpajakan; Ø Bahwa pajak atas penghasilan berdasarkan prinsip ability to pay bisa diukur juga selain dari penghasilan juga dari expediture. Jadi di sini Pasal 25 ayat (8) itu memperkenalkan suatu sistem pemajakan berdasarkan _expediture; _ Ø Bahwa hakekatnya pajak ini bersifat optional karena dapat dihindari apabila yang berpergian dimaksud mendaftarkan diri untuk ber-NPWP. Dengan demikian ketentuan ini berpotensi tidak menimbulkan beban pajak sehingga bukan kompetensi Pasal 23A UUD 1945; Ø Bahwa seandainya yang bersangkutan dengan berbagai alasan kurang suka berurusan dengan NPWP sehingga suka membayar beban pajak secara sistematis menurut Pasal 24 ayat (1) mengenai Pajak ini bukan merupakan beban final tetapi 143 sebagai angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan,yang menurut Pasal 28 ayat (1) huruf e dapat dikreditkan dengan utang pajak yang bersangkutan dalam tahun pajak tersebut; Ø Bahwa dengan demikian pembayaran pajak menurut Pasal 25 ayat (8) merupakan bagian dari pungutan pajak penghasilan yang diatur dalam UU PPh Tahun 2008 atas kuasa Pasal 23 UUD 1945; Ø Bahwa betapa kurang mudahnya untuk mengalami peraturan perundang-undang pajak sehingga sedikit orang dapat memahami peraturan perpajakan tetapi banyak orang mengetahui apa yang kurang benar dengan peraturan perpajakan;
Ahli Pemerintah Abdul Hakim Garuda Nusantara. S.H., LL.M. Ø Bahwa dalam surat permohonannya Pemohon tidak menguraikan secara jelas dalam hal apa dan dalam situasi yang seperti apa, pasal-pasal a quo dapat mengancam kehormatan, martabat dan harta benda Pemohon. Pemohon hanya mengatakan secara umum pasal-pasal a quo melanggar Pasal 28G ayat (1), padahal sebagaimana dikemukakan di atas pasal-pasal a quo memberikan delegasi wewenang kepada pemerintah justru untuk menjalankan amanah yang diperintahkan oleh Undang-Undang a quo yang merupakan hasil kesepakatan bersama Pemerintah dan DPR-RI; Ø Bahwa pasal-pasal a quo justru untuk memberikan kepastian hukum yang adil kepada setiap wajib pajak, itu berarti perlindungan tiap wajib pajak dari perlakuan sewenang-wenang dari aparat pemerintah, itu berarti pula sejalan dengan Pasal 28D ayat (1). Dan dengan demikian sejalan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945; Ø Bahwa Pemohon tidak pula menjelaskan dalam hal bagaimana dan dalam situasi seperti apa hak-hak Pemohon sebagaimana tertuang dalam Pasal 28G ayat (1) dilanggar; Ø Bahwa Pemohon dalam surat permohonannya tidak menjelaskan dalam hal apa dan bagaimana pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang a quo telah melanggar atau bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; Ø Bahwa Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang a quo tidak mengandung substansi hukum yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melarang wajib pajak mempunyai hak milik atau bahkan mengambil alih miliknya secara sewenang- wenang. Pasal-Pasal a quo sekali lagi justru merupakan pelaksanaan amanah yang diperintahkan oleh Undang-Undang a quo , yang merupakan dasar hukum bagi 144 negara yaitu pemerintah untuk mengenakan pajak kepada wajib pajak. Jadi, tidak benar bila pembebanan pajak kepada wajib pajak yang didasarkan kepada undang- undang dan peraturan perundang-undangan yang jelas, dinilai sebagai mengambil alih hak milik wajib pajak secara sewenang-wenang. Ini jelas keliru dan menyesatkan. Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan yang jelas sebagaimana tertuang dalam Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang a quo justru dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum yang adil bagi setiap wajib pajak. Karena itu Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang a quo tidak melanggar Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; Ø Bahwa bila pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan oleh MK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka akibatnya sudah sangat jelas yaitu tidak ada dasar hukum yang memadai bagi Dirjen Pajak untuk mengenakan pajak kepada para wajib pajak. Yang akibat lebih jauhnya adalah merosotnya pendapatan negara dari pajak. Bila hal itu terjadi, maka kemampuan negara untuk mengadakan dan membiayai pelayanan masyarakat (publik) seperti, pembangunan dan pemeliharaan fasilitas publik, seperti, jalan, irigasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain sebagainya akan merosot pula. Padahal pengadaan dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas umum itu sangat vital dan esensial bagi pemenuhan hak-hak asasi manusia utamanya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya; Ø Bahwa berkenaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu UUD 1945, antara lain, mengatur sebagai berikut :
Pasal 28A: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” b. Pasal 28C ayat (1): “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” c. Pasal 28D ayat (2): “ Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” d. Pasal 27 (2) : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” 145 e. Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” f. Pasal 28H ayat (3): “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat.” g. Pasal 28I ayat (3): “ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” h. Pasal 28I ayat (4): “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”; Ø Bahwa selain hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 tersebut di atas, pemerintah mempunyai kewajiban di bawah hukum internasional, yakni Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005; Ø Bahwa berdasarkan ketentuan hukum internasional itu, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai berikut: - Hak atas pekerjaan, hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, hak-hak serikat pekerjaan, hak atas jaminan sosial dan asuransi sosial, hak-hak keluarga, hak atas standar kehidupan yang layak, hak untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental, hak atas Pendidikan, hak atas kehidupan budaya dan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan. Ø Bahwa dalam kutipan Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, negara, yakni pemerintah merupakan pihak yang dibebani kewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakan dan pemenuhan HAM, yaitu dalam hal ini hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; Ø Bahwa pemerintah jelas membutuhkan biaya yang besar untuk pengadaan dan pemeliharaan fasilitas umum seperti infrastruktur jalan, irigasi, fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan, yang selain dapat membuka lapangan kerja juga untuk memenuhi hak-hak rakyat atas pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial lainnya; Ø Bahwa Pemerintah memerlukan biaya yang besar pula untuk fasilitasi program- program pengembangan kebudayaan masyarakat; 146 Ø Bahwa bila pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum akan membawa akibat tidak ada dasar hukum yang memadai bagi pemerintah untuk mengenakan pajak penghasilan bagi wajib pajak dan akibat lanjutannya merosotnya pendapatan negara dari sektor pajak yang hal itu akan membuat kemampuan pemerintah untuk memenuhi hak-hak asasi manusia yaitu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya menjadi merosot pula. Ini akan membawa akibat terabaikannya bahkan terlanggarnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat;
Ahli Pemerintah Prof. Anna Erliyana, S.H., M.H. Ø Bahwa Pemohon mengajukan empat pasal dari UUD 1945, yaitu Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4); Ø Bahwa berkenaan dengan Pasal 23A teori-teori pajak sangat menunjang pasal ini karena pada intinya pajak itu sumber pembangunan untuk Pemerintah. Jadi dengan upaya paksa pemerintah dibolehkan untuk memungut pajak karena tanpa pajak tidak akan ada finance untuk public goods dan service seperti penerangan jalan maupun kebersihan secara umum; Ø Bahwa pemungutan pajak pada intinya bergantung pada pendapatan, jadi tidak mungkin orang yang tidak punya pendapatan akan dipajaki dan orang yang mempunyai pendapatan dengan tingkat pendapatan tertentu baru bisa dipajaki. Sedangkan Pasal 28D ayat (1) itu mengenai jaminan perlindungan hukum berdasarkan Undang-Undang Perpajakan itu sudah ada jaminan perlindungan hukum bagi setiap warga negara; Ø Bahwa Pasal 28G ayat (1) itu intinya adalah hak atas rasa aman. Kalau ditelusuri hak atas aman itu sangat erat kaitannya dengan konsep-konsep yang tercantum dalam Undang-Undang Pidana khususnya KUHP dan sepuluh hak atas rasa aman yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Jadi di situ kaitannya adalah ketentuan-ketentuan pidana bagaimana seseorang rasa amannya terganggu karena ada ancaman pembunuhan, ada ancaman penganiayaan, ada ancaman kesusilaan, ada pencemaran nama baik, dan seterusnya. Jadi tidak ada kaitannya dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perpajakan; Ø Bahwa pajak itu masuk dalam kaitannya dengan hukum publik. Yang sangat menarik di situ yang disoroti adalah macam kewenangan hukum publik di bidang legislatif dan eksekutif. Legislatif dan eksekutif selalu bekerja sama, dalam arti tidak 147 ada satu perundang-undangan yang diterbitkan oleh lembaga legislatif yang bisa dilaksanakan tanpa bantuan eksekutif. Legislatif menerbitkan undang-undang dengan materi dengan membentuk Undang-Undang dengan penciptaan hukum sedangkan eksekutif bisa menteri dengan materi dan menciptakan hukum baru yang masih bersifat umum dan abstrak; Ø Bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 memberikan delegasi untuk mengatur lebih lanjut Undang-Undang Perpajakan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Direktur Dirjen Pajak. Dari 15 pasal-pasal itu baru tujuh ada peraturan pelaksanaannya. Kemudian dari 15 itu juga, dua seharusnya tidak dimasukan dalam pengujian yaitu Pasal 17 ayat (2a) karena tidak mengatur lebih lanjut. Sedangkan Pasal 7 ayat (3) pernah dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pada 20 Mei 2009; Ø Bahwa delegasi peraturan ada 19 (sembilan belas) ketentuan ternyata dari 19 (sembilan belas) ketentuan baru 4 (empat) PP yang terbit. Dan selanjutnya dapat mencermati Pasal 4 ayat (2), karena dari 15 pasal yang diajukan pengujian ini yang paling penting adalah Pasal 4 ayat (2) karena ini erat kaitannya dengan legal standing Pemohon. Apakah Pemohon melampirkan;
Penghasilan berupa bunga deposito tabungan, obligasi dan b. Surat utang negara, penghasilan berupa hadiah undian, c. Penghasilan dari transaksi saham dan seterusnya sampai d. Jadi legal standing Pemohon dapat terlihat titik tumpunya pada Pasal 4 ayat (2); Ø Bahwa delegasi peraturan berikutnya adalah melalui Peraturan Menteri Keuangan meliputi 31 ketentuan dan baru diterbitkan dua. Sehubungan dengan Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 22 ayat (2); Ø Bahwa pemerintah sebetulnya masih malas mengatur lebih lanjut, demikian juga delegasi peraturan menyebut Direktur Jenderal Pajak meliputi delapan ketentuan, baru terbit satu yaitu berdasarkan Pasal 14 ayat (1); Ø Bahwa dari seluruh peraturan pelaksana yang terbit, itu pun setelah dicermati lagi separuh atau sebagian besar terbit bukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, artinya peraturan yang lahir lebih lama lagi; Ø Bahwa delegasi kewenangan itu memang penting sekali dalam pelaksanaan ketatanegaraan dan pelaksanaan pemerintahan; 148 Ø Bahwa ada pleksibiliti, peraturan yang dibuat pemerintah lebih luwes dibanding peraturan yang dibuat badan legislatif. Kemudian juga ada time Phrasal {sic} pemerintah perlu segera melaksanakan berbagai urusan pemerintahan; Ø Bahwa dalam hukum pajak inilah sebenarnya diantara berbagai cabang hukum administrasi negara, maka hukum pajak adalah keterwakilan yang paling ke depan karena dia mencerminkan un an codified branch and civil law system. Karena akan terasa sekali dalam hukum pajak itu kebertingkatan atau hierarkis peraturan itu bisa diterapkan; [2.5] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan Kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Januari 2010 yang pada pokoknya tetap pada dalil permohonannya; [2.6] Menimbang bahwa Pemerintah telah menyampaikan Kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Januari 2010 yang pada pokoknya tetap pada dalil permohonannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka segala sesuatu yang terjadi dipersidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Putusan ini. 149 3 . PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo ialah menguji konstitusionalitas Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893, selanjutnya disebut UU 36/2008 juncto UU Nomor 17/2000 juncto UU Nomor 10/94 juncto UU Nomor 7/91 juncto UU Nomor 7/83) terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan:
kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan _a quo; _ b. kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon; Terhadap kedua hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut; Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945; 150 [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (8) UU 36/2008 terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) [3.5] Menimbang bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia (Bukti P-3) yang juga adalah seorang akademikus (Bukti P-4) yang dikenakan beban kewajiban membayar pajak penghasilan sebagaimana yang diatur dalam UU 36/2008 juncto UU Nomor 17/2000 juncto UU Nomor 10/94 juncto UU Nomor 7/91 juncto UU Nomor 7/83 Pemohon merasa sangat berkepentingan dan dirugikan hak konstitusionalnya oleh sejumlah materi/muatan dalam pasal-pasal yang dimohonkan pengujian a quo karena: • Pengenaan pajak secara final sebesar 20% untuk deposito yang diatur dalam PP Nomor 131 Tahun 2000; • Pemohon merasa berdosa telah mengajarkan sesuatu yang salah karena UU Pajak Penghasilan bertentangan dengan UUD 1945; • Pelimpahan pengaturan itu menyebabkan Pemohon tidak dapat menentukan atau mengatur sendiri (melalui DPR) mengenai pajak; • Jika ini dikabulkan maka warga negara tidak akan dirugikan; [3.6] Bahwa pasal-pasal a quo karena didelegasikan lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, maka sangat merugikan Pemohon, yaitu hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 telah dilanggar. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ). 151 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa pasal-pasal yang dimohonkan pengujian a quo telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon: a. Pasal 4 ayat (2) _”Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ _a. penghasilan berupa bunga deposito ...; _ _b. penghasilan berupa hadiah undian ...; _ _c. penghasilan dari transaksi saham ...; _ _d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta ...; dan _ _e. penghasilan tertentu lainnya; _ yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” __ b. Pasal 17 ayat (7) __ ”Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).” c. Pasal 7 ayat (3) __ ”Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.” d. Pasal 14 ayat (1) __ ”Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk menentukan penghasilan Netto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.” e. Pasal 14 ayat (7) __ ”Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan.” f. Pasal 17 ayat (2) __ ”Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.” __ __ 152 g. Pasal 17 ayat (2) huruf a __ ”Menurunkan tarif pajak tertinggi menjadi paling rendah 25% dengan Peraturan Pemerintah.” h. Pasal 17 ayat (2) huruf c __ ”Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.” i. Pasal 17 ayat (2) huruf d: __ ”Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah.” j. Pasal 17 ayat (3): ”Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.” k. Pasal 19 ayat (2): ”Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).” l. Pasal 21 ayat (5): ”Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.” m. Pasal 22 ayat (1) huruf c: ”Menteri Keuangan dapat menetapkan: Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.” n. Pasal 22 ayat (2): ”Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.” __ __ __ 153 o. Pasal 25 ayat (8): ”Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Pasal-pasal tersebut di atas telah menyebabkan kerugian konstitusional Pemohon karena: • Penetapan pajak harus dengan Undang-Undang bukan dengan peraturan yang lebih rendah (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan, Direktur Jenderal Pajak); • Tidak memenuhi unsur materi pajak, karena peraturan di bawah Undang- Undang tidak dapat menetapkan subjek, objek, beban dan sanksi pajak; • Pengenaan pajak tanpa persetujuan DPR adalah perampokan, karenanya harus diatur dalam Undang-Undang; • PP 131/2000 tidak adil karena tidak membedakan antara yang kaya dengan yang miskin; • Pangaturan tarif pajak dengan PP tidak menjamin kepastian hukum yang adil; Pasal-pasal tersebut di atas bertentangan dengan UUD 1945: • Pasal 23A __ ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur _dengan Undang-Undang”; _ • Pasal 28D ayat (1) ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” ; • Pasal 28G ayat (1) __ ”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat _sesuatu yang merupakan hak asasi”; _ • Pasal 28H ayat (4) __ ”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak _boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”; _ __ 154 [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-5) dan dua orang ahli, yaitu Drs. Abi Kusno, M.M. dan Prof. Dr. Mohammad Zein yang pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:
Ahli Drs. Abi Kusno, MM. Ø bahwa berdasarkan Pasal 23A UUD 1945, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam Undang-Undang. Tetapi memang secara eksplisit tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana cara penetapannya. Masalah yang dihadapi sekarang, Undang-Undang Pajak yang berlaku adalah Undang- Undang yang terbaru tahun 2008 yang memberikan pendelegasian wewenang yang sangat besar kepada Pemerintah untuk menetapkan tarif pajak, subjek pajak dan objek pajak, karena kewenangan ini sangat luas diberikan kepada Pemerintah, inilah yang dapat menimbulkan kerugian seperti yang disebutkan oleh Pemohon;
Ahli Prof. Dr. Mohammad Zein Ø bahwa keadilan dalam perpajakan itu adalah masalah pertimbangan nilai (value judgement), sehingga tidaklah mungkin untuk melakukan suatu scientific validity terhadap keadilan. Dalam Undang-Undang Perpajakan terlihat lebih banyak diatur oleh Pemerintah, karena DPR seolah memberi kuasa kepada Pemerintah untuk mengatur segala sesuatunya. Pengaturan itu, karena keadaan, tidak disertai rambu- rambu yang jelas. Hal yang dianggap kurang adil adalah pajak penghasilan yang final, seolah-olah wajib pajak hilang haknya untuk menghitung pajak berdasarkan pembukuannya. Hal ini tidak dipersoalkan apakah wajib pajak memperoleh laba atau rugi, tetap saja harus bayar pajak. Bahwa wajib pajak kehilangan haknya untuk melakukan pengkreditan pajak-pajak yang dibayarkan terlebih dahulu; [3.9] Menimbang bahwa Pemerintah menyadari bahwa yang akan diuji adalah terbatas pada apakah suatu Undang-Undang, sebagian atau seluruhnya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak; khususnya apabila pengujian yang dimohonkan adalah pengujian isi atau muatan Undang-Undang, atau yang disebut sebagai pengujian materiil, seperti permohonan pengujian yang sedang diajukan oleh Pemohon. 155 Rumusan Undang-Undang pada umumnya lebih memusatkan perhatian pada kerangka dan garis besar kebijakan yang bersifat mendasar dalam menjalankan roda dan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Pengaturan yang lebih lanjut dari suatu kebijakan dalam Undang-Undang diatur oleh Pemerintah atau lembaga pelaksana Undang-Undang lainnya dalam bentuk peraturan perundang- undangan yang lebih rendah. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Namun karena kewenangan legislatif itu pada intinya ada di tangan rakyat yang berdaulat maka kewenangan untuk membentuk peraturan pelaksana Undang-Undang juga harus dipahami berasal dari rakyat. Untuk itu Pemerintah dan lembaga pelaksana Undang-Undang lainnya tidak menetapkan sesuatu peraturan perundang-undangan apapun kecuali atas dasar perintah atau delegasi kewenangan mengatur yang diberikan oleh DPR melalui Undang-Undang. Dapat dipahami bersama UU 36/2008 juga dibuat oleh DPR yang merupakan representasi dari seluruh warga negara bersama dengan Pemerintah yang telah menyepakati adanya pendelegasian kewenangan atributif kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang termasuk melalui pasal-pasal yang saat ini diajukan pengujian materinya; UU 36/2008 juga sama sekali tidak memuat suatu larangan ataupun pengurangan hak dari wakil-wakil Pemohon di DPR untuk mengatur mengenai pajak. Oleh karena itu sangat tidak beralasan apabila Pemohon menyatakan bahwa pasal- pasal UU 36/2008 yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Oleh karena itu pelimpahan wewenang lebih lanjut oleh UU 36/2008 in casu tentang pengaturan perpajakan adalah norma yang merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang yang tidak dapat diuji kecuali dalam pembahasannya terdapat muatan yang bersifat sewenang-wenang ( willekeur ) dan melampaui kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang yang berlaku atau semena-mena ( detournement de pouvoir ); [3.10] Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, Pemerintah mengajukan Ahli yang memberikan keterangan pada pokoknya sebagai berikut: 156 1. Ahli Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H. Ø bahwa pendelegasian wewenang merupakan hal yang lazim sekali apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU 36/2008. Pendelegasian di sini bukan pendelegasian penetapan tarif karena tarifnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU 36/2008, yang didelegasikan itu adalah suatu diskresi. Konsep diskresi itu karena ada kata “dapat”, jadi dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara kalau kewenangan itu diawali dengan kata “dapat” itu menunjukkan diskresi. Bagi yang berwenang dalam bidang ini mempunyai pilihan untuk menentukan isi yang berkaitan dengan tarif, akan tetapi di sini bukan delegasi blanko, karena ada batasannya. Sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi, sebetulnya delegasi ini tidak melanggar ketentuan UUD 1945, sedangkan yang dipermasalahkan oleh Pemohon terhadap PP Nomor 131 Tahun 2000, dalam hal ini yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 adalah Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi. Jadi tidak pada tempatnya kalau mempermasalahkan konstitusionalitas PP. Persoalan PP bukan persoalan konstitusionalitas tetapi persoalan legalitas, dan parameternya adalah Undang-Undang dan bukan parameter UUD 1945;
Ahli Drs. A. Anshari Ritonga, S.H., M.H. Ø bahwa sekarang pendelegasian yang diberikan dalam Undang-Undang semua tercantum dalam pasal-pasal tersebut sesuai dengan fungsi DPR. Pasal 20 UUD 1945 menyatakan bahwa DPR mempunyai hak budget dan mempunyai hak legislasi, atau sebagai pembentuk Undang-Undang. Pelaksanaan kewenangan DPR untuk membentuk Undang-Undang tentu sudah didasarkan pada kajian atas segala dampak dan kemungkinan, sehingga dilaksanakanlah pendelegasian tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 ( sic ). Oleh karena itu adanya pendelegasian wewenang dari Undang-Undang kepada Pemerintah untuk menetapkan melalui Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri Keuangan, sebenarnya sudah sejalan dengan norma hukum atau sumber hukum dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia;
Ahli Prof. Dr. Gunadi, M.Sc. Ak. Ø bahwa pembuatan peraturan untuk berbagai masalah memerlukan fleksibilitas tinggi, kesigapan dan kecepatan bertindak, walaupun pada umumnya Undang- 157 Undang Pajak yang disusun bagi wajib pajak, transaksi kena pajak, tarif pajak, sanksi dan pemungutan. Namun berdasar delegasi dalam konstitusi terutama Undang-Undang Pajak itu sendiri lembaga eksekutif dapat membuat peraturan pelaksanaan; Ø bahwa yang dapat diatur termasuk ketentuan detail berdasar delegasi Undang- Undang, prosedur dan tata cara administrasi untuk menjalankan ketentuan Undang- Undang; Ø bahwa setelah delegasi pengaturan demikian, sepertinya menunjukkan adanya suatu ketidakpastian ( indefiniteness ) atau kekuranglengkapan ( incompleteness ) dalam pengaturan perpajakan. Kekuranglengkapan ini umumnya dapat dianggap sebagai suatu intentional policy atau kebijakan yang diinginkan oleh para pembuat Undang-Undang dan proses demikian disebut flying in the general clause. Ini berlaku baik di negara penganut common law maupun di negara penganut sistem kontinental; Ø bahwa pendelegasian pengaturan schedule yang bersifat final dalam bentuk Peraturan Pemerintah ini sekurang-kurangnya berdasarkan prinsip ekspediensi, yaitu ekspediensi pengaturan, kepastian penerimaan dan hukum pemajakan, kesederhanaan dan kemudahan, murahnya biaya transportasi dan kekuatan perpajakan, serta kenyamanan bayar pajak dapat dibenarkan dan karenanya dapat dianggap cukup valid, walaupun mungkin dirasa belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip keadilan;
Ahli Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., LL.M. Ø bahwa bila pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum akan membawa akibat tidak ada dasar hukum yang memadai bagi Pemerintah untuk mengenakan pajak penghasilan bagi wajib pajak, dan akibat lanjutannya merosotnya pendapatan negara dari sektor pajak. Hal itu akan membuat kemampuan pemerintah untuk memenuhi hak-hak asasi manusia, yaitu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya menjadi merosot pula. Ini akan membawa akibat terabaikannya bahkan terlanggarnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat;
Ahli Prof. Anna Erliyana, S.H., M.H. Ø bahwa hukum pajak itu masuk dalam kelompok hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara penguasa dengan rakyatnya. Hal yang sangat menarik, di 158 situ yang disoroti adalah macam kewenangan hukum publik di bidang legislatif dan eksekutif. Legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden) selalu bekerja sama, dalam arti tidak ada satu perundang-undangan yang diterbitkan oleh lembaga legislatif yang dapat dilaksanakan tanpa bantuan eksekutif. Legislatif membentuk Undang-Undang dengan menciptakan hukum baru, sedangkan eksekutif, misalnya menteri, dapat menciptakan hukum baru yang masih bersifat umum dan abstrak; [3.11] Menimbang bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, bukan menguji Peraturan Pemerintah. Oleh karena permohonan Pemohon adalah keberatan terhadap Peraturan Pemerintah maka permohonan Pemohon yang berkenaan dengan Peraturan Pemerintah tidak termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi; Pendapat Mahkamah [3.12] Menimbang bahwa Mahkamah telah memeriksa dan menilai bukti-bukti surat serta keterangan ahli dari Pemohon dan Pemerintah serta kesimpulan Pemohon dan Pemerintah yang diterima Mahkamah, maka Mahkamah akan mempertimbangkan dua isu hukum yaitu: • Apakah pendelegasian wewenang penetapan pajak oleh Undang-Undang kepada peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan hukum; • Apakah kerugian konstitusional Pemohon diakibatkan oleh bentuk peraturannya yang bukan Undang-Undang ataukah karena substansi peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang; [3.13] Menimbang bahwa sebelum menjawab dua isu pokok tersebut di atas Mahkamah akan mengemukakan tugas dan kewajiban negara kesejahteraan ( welfare state ) atau negara hukum materiil serta dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat. Bahwa fungsi hukum dalam upaya mewujudkan kesejahteraan umum telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang 159 berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia ”; Terdapat dua hal penting dalam kutipan tersebut di atas, yaitu prinsip ‘ the rule of law ’ dan prinsip ‘fungsi hukum’ ( legal function ). Masalahnya adalah bagaimana dalam rangka mencapai tujuan tersebut di atas, kedua prinsip tersebut dapat berjalan seimbang, artinya dalam masyarakat yang serba kompleks ini prinsip the rule of law tetap menjadi landasan dalam upaya mencapai tujuan negara yang harus memenuhi kepentingan umum secara efisien, cepat dan pantas ( sensibly ). The welfare and regulatory state is state commited to programs, government is a problem solver, as well as the guardian of law. Kenyataannya, semakin negara dapat memenuhi tuntutan ( demands) masyarakat semakin bertambah pula tuntutan masyarakat yang acap kali tidak seimbang dengan kemampuan negara untuk memenuhinya ( state action creates expectation, demands increase faster than the systems’s ability to meet them ). Harapan masyarakat tumbuh secara konstan. Pola pertumbuhan ekspektasi masyarakat seperti halnya pola pertumbuhan kepentingan sangat sulit berubah, hal ini seringkali menuju pada situasi keadaan kritis sehingga ‘ modern welfare state is ungovernable’ . Meningkatnya harapan masyarakat secara eksesif tidak selalu dapat dipenuhi oleh negara, seiring pula dengan tidak selalu tersedianya kebutuhan negara akan peraturan perundang-undangan sebagai sarana dan landasan pemenuhan tuntutan masyarakat tersebut. Seringkali lahir suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah mendahului lahirnya Undang-Undang, misalnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum telah lahir lebih dahulu dari Undang-Undang tentang Hak Milik. Padahal baik ketentuan pembebasan tanah maupun pengadaan tanah seringkali menyangkut hak milik atas tanah yang seharusnya menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria. Hal itu semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah ( delegated regulations ), maka tercapainya tujuan ( doelmatigheid ) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan 160 dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum; [3.14] Menimbang bahwa ketentuan hukum dalam Peraturan Pemerintah harus tetap memenuhi asas-asas pemerintahan yang baik dan bersih sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, antara lain tidak boleh melanggar asas keterbukaan, kepastian hukum, dan keadilan. Bahwa kerugian yang Pemohon alami dengan diberikannya kewenangan oleh UU 36/2008 kepada Pemerintah, Menteri Keuangan, dan Direktur Jenderal Pajak adalah karena Pemohon sebagai warga negara (melalui DPR) tidak dapat menentukan pengaturan atas pajak sebagaimana yang dikehendaki oleh UUD 1945 tidak beralasan hukum. Pembuatan Peraturan Pemerintah pun tidak lepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Pemohon sendiri sebagai warga negara tidak dapat langsung menentukan pajaknya, karena yang mempunyai wewenang legislasi adalah Dewan Perwakilan Rakyat; [3.15] Menimbang bahwa atas dasar pemikiran demikian, maka Mahkamah menilai: __ [3.15.1] Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah ( legal policy ), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang- Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Dengan demikian maka pasal-pasal yang diuji konstitusionalnya tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, sehingga dalil Pemohon tidak beralasan hukum. [3.15.2] Bahwa isu hukum kerugian konstitusional terkait dengan pengenaan pajak sebagai akibat pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak), tidaklah beralasan hukum, karena pelimpahan pengaturan tersebut merupakan delegasi kewenangan yang sah. Selain itu, pengujian terhadap peraturan tersebut bukanlah kewenangan konstitusional Mahkamah. Memang tidak mustahil dapat terjadi pada 161 suatu negara yang pemerintahannya otoriter, muncul Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang bertentangan dengan UUD, sehingga pasal yang bersifat demokratis dibelenggu oleh ketentuan yang lebih rendah yang otoriter ( nucleus of norms, be surrounded by corona of highly oppressive norms, imposed upon the people as a whole). Misalnya, kebebasan pers seperti yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 dapat diberangus dengan Keputusan Menteri jika kepentingan penguasa terganggu ( press censorship ). Namun di dalam tata hukum Indonesia sudah ada mekanisme judicial review , sehingga seandainya pun terdapat Peraturan Pemerintah yang mengandung ketidakadilan sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, maka bagi Pemohon sebagai warga negara yang dirugikan terbuka peluang untuk mengajukan pengujian materiil ( judicial review ) kepada Mahkamah Agung; [3.16] Menimbang pula bahwa Mahkamah sependapat dengan ahli Philipus M Hadjon yang menyatakan bahwa pendelegasian wewenang merupakan hal yang wajar apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU 36/2008. Pendelegasian di sini bukan pendelegasian penetapan tarif karena tarifnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU 36/2008, yang didelegasikan adalah suatu diskresi. Bagi Pemerintah yang memperoleh kewenangan untuk memilih kebijakan yang berkaitan dengan tarif melalui delegasi, akan tetapi bukan delegasi blanko, karena ada batasannya. Sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi, sebetulnya delegasi ini tidak melanggar ketentuan UUD 1945. Dengan demikian pasal-pasal yang diujikan konstitusionalitasnya tidak bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 28G ayat (1) sehingga dalil-dalil Pemohon tidak beralasan hukum; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan dan penilaian hukum pada paragraf [3.12] dan paragraf [3.15] , maka menurut Mahkamah dalil Pemohon tidak beralasan hukum;
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing) ; 162 [4.3] Dalil-dalil Pemohon tidak beralasan hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, M. Arsyad Sanusi, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota pada hari Rabu tanggal tiga bulan Maret tahun dua ribu sepuluh, dan diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari Kamis tanggal sebelas bulan Maret tahun dua ribu sepuluh, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Ina Zuchriyah Tjando sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan tanpa dihadiri oleh Dewan Perwakilan Rakyat. KETUA, ttd. Moh. Mahfud MD. ANGGOTA-ANGGOTA, ttd Achmad Sodiki ttd M. Akil Mochtar 163 ttd. Maria Farida Indrati ttd Muhammad Alim ttd Harjono ttd tt Ahmad Fadlil Sumadi ttd Hamdan Zoelva Panitera Pengganti ttd Ina Zuchriyah Tjando
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar ...