JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12763
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 785 hasil yang relevan dengan "peraturan perpajakan bagi perusahaan multinasional "
Dalam 0.019 detik
Thumbnail
PENYELENGGARAAN | JAMSOSTEK
PP 14 TAHUN 1993

Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  • Ditetapkan: 27 Feb 1993
  • Diundangkan: 27 Feb 1993

Relevan terhadap

Pasal 2Tutup

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pada dasarnya setiap tenaga kerja berhak mengikut program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara. Namun mengingat kemampuan masyarakat pada umumnya dan perusahaan pada khususnya dalam membiayai program dan administrasi, maka perusahaan yang wajib mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara adalah perusahaan yang mempekerjakan 10 (sepuluh) orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp. 1.000.000,-(satu juta rupiah). Namun demikian bagi perusahaan yang belum wajib mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara, dapat mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara atas kemauan sendiri/suka rela. Ayat (4)… Ayat (4) Mengingat sifat penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini adalah pelayanan kesehatan paket dasar, maka bagi pengusaha yang telah memberikan jaminan kesehatan yang lebih baik pada saat ini tidak diperlukan lagi mengikuti program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara. Dengan demikian pengusaha tidak boleh mengurangi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang telah diberikan kepada tenaga kerja. Ayat (5) Peserta Asuransi Sosial Tenaga Kerja berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja yang telah menjadi peserta Asuransi Sosial Tenaga Kerja pada Badan Penyelenggara tetap menjadi peserta program jaminan sosial tenaga kerja berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Ayat (6) Cukup jelas

Thumbnail
Tidak Berlaku
SUMBER DAYA | KAWASAN HUTAN
PP 51 TAHUN 1998

Provisi Sumber Daya Hutan

  • Ditetapkan: 20 Apr 1998
  • Diundangkan: 20 Apr 1998

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah dengan:

1.

Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) atau Resources Royalty Provision adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari hutan Negara.

2.

Hutan Negara adalah kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik.

3.

Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam suatu kawasan hutan yang meliputi kegiatan-kegiatan penebangan kayu, permudaan dan pemeliharaan hutan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku serta berdasarkan azas kelestarian hutan dan azas perusahaan.

4.

Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) adalah hak untuk menebang menurut kemampuan yang meliputi areal hutan paling luas 100 (seratus) hektar untuk jangka waktu selama-lamanya 2 (dua) tahun serta untuk mengambil kayu dan hasil hutan lainnya dalam jumlah yang ditetapkan dalam Surat Izin yang bersangkutan untuk jangka waktu 6 (enam) bulan.

5.

Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) adalah izin penebangan, pengangkutan dan penggunaan kayu dari areal hutan yang telah ditetapkan untuk keperluan non kehutanan atau hutan tanaman industri.

6.

Izin Sah Lainnya (ISL) adalah izin yang diberikan selain untuk HPH, HPHH dan IPK, misalnya hasil lelang.

7.

Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) adalah industri yang mengolah langung kayu bu; at dan/atau bahan baku serpih.

8.

Harga Pasar adalah harga jual rata-rata tertimbang hasil hutan yang berlaku di pasar dalam negeri dan luar negeri.

9.

Biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh hasil hutan yang siap untuk dipasarkan.

10.

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.

Thumbnail
Tidak Berlaku
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
UU 20 TAHUN 1997

Penerimaan Negara Bukan Pajak

  • Ditetapkan: 23 Nov 1997
  • Diundangkan: 23 Nov 1997

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1.

Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan Pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan;

2.

Sumber daya alam adalah segala kekayaan alam yang terdapat di atas, dipermukaan dan di dalam bumi yang dikuasai oleh Negara;

3.

Badan… 3. Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apa-pun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis lembaga, dana pensiun, bentuk usaha tetap berupa cabang, perwakilan, atau agen dari perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, serta bentuk badan usaha lainnya;

4.

Instansi Pemerintah adalah Departemen dan Lembaga Non-Departemen;

5.

Wajib Bayar adalah orang pribadi atau badan yang ditentukan untuk melakukan kewajiban membayar menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6.

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang harus dibayar pada suatu saat, atau dalam suatu periode tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;

7.

Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

Pasal 2Tutup

Ayat (1) Huruf a Jenis penerimaan yang termasuk kelompok penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dalam Pemerintah, antara lain, penerimaan jasa giro, Sisa Anggaran Pembangunan, dan Sisa Anggaran Rutin. Huruf b Jenis penerimaan yang termasuk kelompok penerimaan yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam, antara lain royalti di bidang perikanan, royalti di bidang kehutanan dan royalti di bidang pertambangan. Khusus mengenai penerimaan dari minyak dan gas bumi walaupun sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara terdapat unsur royalti, namun karena di dalamnya terkandung banyak unsur-unsur perpajakan, maka penerimaan yang merupakan bagian Pemerintah dari minyak dan gas bumi tidak termasuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. Huruf c Jenis penerimaan yang termasuk kelompok penerimaan dari hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan, antara lain, dividen, bagian laba Pemerintah, dana pembangunan semesta, dan hasil penjualan saham Pemerintah. Huruf d… Huruf d Jenis penerimaan yang termasuk kelompok penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah, antara lain, pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan pelatihan, pemberian hak paten, merek, hak cipta, pemberian visa dan paspor, serta pengelolaan kekayaan Negara yang tidak dipisahkan. Huruf e Jenis penerimaan yang termasuk kelompok penerimaan yang berdasarkan putusan pengadilan, antara lain, lelang barang rampasan Negara dan denda. Huruf f Hibah yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f ini adalah penerimaan Negara berupa bantuan hibah dan atau sumbangan dari dalam dan luar negeri baik swasta maupun pemerintah yang menjadi hak Pemerintah. Hibah dalam bentuk natura, antara lain, yang secara langsung untuk mengatasi keadaan darurat seperti bencana alam atau wabah penyakit tidak dicatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Ayat (3)… Ayat (3) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Thumbnail
DANA PENSIUN | LEMBAGA KEUANGAN
PP 77 TAHUN 1992

Dana Pensiun Lembaga Keuangan.

  • Ditetapkan: 30 Nov 1992
  • Diundangkan: 30 Nov 1992

Relevan terhadap

Pasal 21Tutup
(1)

Pengurus atas permintaan Peserta pada saat pensiun, membeli anuitas seumur hidup dari Perusahaan Asuransi Jiwa yang dipilihnya, dengan syarat :

a.

anuitas yang dipilihnya menyediakan Manfaat Pensiun bagi Janda/Duda atau Anak sekurang-kurangnya 60% dan sebanyak-banyaknya 100% dari Manfaat Pensiun yang diterima Peserta;

b.

anuitas yang dipilih memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Dana Pensiun dan peraturan pelaksanaannya serta Peraturan Dana Pensiun.

(2)

Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a tidak berlaku dalam hal pembelian anuitas didasarkan pada permintaan dan pilihan Janda/Duda atau Anak.

Pasal 22Tutup

Dalam hal seluruh Manfaat Pensiun yang telah dibayarkan baik kepada pensiunan, Janda/Dudanya maupun Anak yang berhak ternyata lebih kecil dari yang dibayarkan kepada perusahaan Asuransi Jiwa untuk membeli anuitas seumur hidup, maka selisihnya harus dibayarkan kepada ahli waris berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Sebagai contoh apabila pada saat Peserta pensiun dan akumulasi iuran yang dipergunakan untuk membeli anuitas seumur hidup berjumlah Rp. 25.000.000,- dan ternyata Manfaat Pensiun yang dibayarkan kemudian bagi pihak-pihak diatas hanya mencapai Rp. 20.000.000,- maka ahli waris berhak menerima pembayaran selisihnya sekaligus, yaitu sebesar Rp. 5.000.000,-

Pasal 4Tutup
(1)

Peraturan Dana Pensiun ditetapkan oleh Pendiri dan sekurang-kurangnya memuat ketentuan sebagai berikut:

a.

tanggal pembentukan Dana Pensiun dan nama Dana Pensiun yang secara jelas menunjukkan nama Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang menjadi Pendiri;

b.

pembentukan kekayaan Dana Pensiun yang terpisah dari kekayaan Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang menjadi Pendiri;

c.

persyaratan untuk menjadi Peserta;

d.

hak Peserta untuk menentukan usia pensiun;

e.

hak dan kewajiban Pengurus;

f.

hak Peserta untuk menetapkan pilihan jenis investasi yang tersedia;

g.

pilihan jenis investasi yang tersedia bagi Peserta, serta tata cara pemilihan dan perubahannya;

h.

tata cara penentuan nilai kekayaan tiap-tiap Peserta yang harus dilakukan oleh Pengurus;

i.

hak Peserta untuk memilih bentuk anuitas seumur hidup, dan memilih Perusahaan Asuransi Jiwa dalam rangka pembayaran Manfaat Pensiun, beserta tata caranya;

j.

tata cara penarikan suatu jumlah dana tertentu oleh Peserta apabila dimungkinkan, pembayaran Manfaat Pensiun sekaligus dan pengalihan kepesertaan ke Dana Pensiun Lembaga Keuangan lain;

k.

tata cara penunjukan dan penggantian pihak yang berhak atas Manfaat Pensiun apabila Peserta meninggal dunia;

l.

biaya yang dapat dipungut dari Peserta, atau dibebankan pada rekening Peserta;

m.

tata cara perubahan Peraturan Dana Pensiun;

(2)

Kekayaan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dihimpun dari:

a.

iuran Peserta;

b.

hasil investasi;

c.

pengalihan dari Dana Pensiun lain.

(3)

Pilihan jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf g ditetapkan oleh Pendiri dan harus memenuhi ketentuan investasi yang ditetapkan Menteri.

Thumbnail
TENAGA KERJA | JAMINAN SOSIAL
UU 3 TAHUN 1992

Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  • Ditetapkan: 17 Feb 1992
  • Diundangkan: 17 Feb 1992

Relevan terhadap

Pasal 4Tutup
(1)

Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.

(2)

Program jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(3)

Persyaratan dan tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 35Tutup

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memcrintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 Pebruari 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA UMUM Pembangunan sektor ketenagakerjaan sebagai bagian dari upaya pembangunan sumberdaya manusia merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dengan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, diarahkan pada peningkatan harkat, martabat dan kemampuan manusia, serta kepercayaan pada diri sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur baik materiil maupun spiritual. Peranserta tenaga kerja dalam pembangunan nasional semakin meningkat dengan disertai berbagai tantangan dan risiko yang dihadapinya. Oleh karena itu kepada tenaga kerja perlu diberikan perlindungan, pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraannya, sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitias nasional. Bentuk perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan kesejahteraan dimaksud diselenggarakan dalam bentuk program jaminan sosial tenaga kerja yang bersifat dasar, dengan berasaskan usaha bersama, kekeluargaan, dan gotong-royong sebagaimana terkandung dalam jiwa dan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pada dasarnya program ini menekankan pada perlindungan bagi tenaga kerja yang relatif mempunyai kedudukan yang lebih lemah. Oleh karena itu pengusaha memikul tanggung jawab utama, dan secara moral pengusaha mempunyai kewajiban untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja. Di samping itu, sudah sewajarnya apabila tenaga kerja juga berperan aktif dan ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja demi terwujudnya perlindungan tenaga kerja dan keluarganya dengan baik. Sudah menjadi kodrat, bahwa manusia itu berkeluarga dan berkewajiban menanggung kebutuhan keluarganya. Oleh karenanya, kesejahteraan yang perlu dikembangkan bukan hanya bagi tenaga kerja sendiri, tetapi juga bagi keluarganya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas, yang harus tetap terpelihara termasuk pada saat tenaga kerja kehilangan sebagian atau seluruh penghasilannya sebagai akibat terjadinya risiko-risiko sosial antara lain kecelakaan kerja, sakit, meninggal dunia, dan hari tua. Dalam rangka menciptakan landasan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja, Undang-undang ini mengatur penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja sebagai perwujudan pertanggungan sosial sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. Pada hakekatnya program jaminan sosial tenaga kerja ini memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang. Jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek, antara lain:

a.

memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya;

b.

merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenaga (dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja. Penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja dimaksudkan dalam Undang-undang ini sebagai pelaksanaan Pasal 10 dan Pasal 15 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Akan tetapi mengingat objek yang mendapat jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang-undang ini diprioritaskan bagi tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan, perorangan dengan menerima upah, maka kepada tenaga kerja di luar hubungan kerja atau dengan kata lain tidak bekerja pada perusahaan, pengaturan tentang jaminan sosial tenaga kerjanya akan diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah. Adapun ruang lingkup yang diatur di dalam Undang-undang ini meliputi:

1.

Jaminan Kecelakaan Kerja. Kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja merupakan risiko yang dihadapi oleh tenaga kerja yang melakukan pekerjaan. Untuk menanggulangi hilangnya sebagian atau seluruh penghasilannya yang diakibatkan oleh kematian atau cacad karena kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka perlu adanya jaminan Kecelakaan Kerja. Mengingat gangguan mental akibat kecelakaan kerja sifatnya sangat relatif sehingga sulit ditetapkan derajat cacadnya, maka jaminan atau santunan hanya diberikan dalam hal terjadinya cacad mental tetap yang mengakibatkan tenaga kerja yang bersangkutan tidak bisa bekerja lagi.

2.

Jaminan Kematian. Tenaga Kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja akan mengakibatkan terputusnya penghasilan, dan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itu, diperlukan Jaminan Kematian dalam upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa uang.

3.

Jaminan Hari Tua. Hari tua dapat mengakibatkan terputusnya upah karena tidak lagi mampu bekerja. Akibat terputusnya upah tersebut dapat menimbulkan kerisauan bagi tenaga kerja dan mempengaruhi ketenangan kerja sewaktu mereka masih bekerja, terutama bagi mereka yang penghasilannya rendah. Jaminan Hari Tua memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang dibayarkan sekaligus dan atau berkala pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun atau memenuhi persyaratan tertentu.

4.

Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan merupakan upaya kesehatan di bidang penyembuhan (kuratif). Oleh karena, upaya penyembuhan memerlukan dana yang tidak sedikit dan memberatkan jika dibebankan kepada perorangan, maka sudah selayaknya diupayakan penanggulangan kemampuan masyarakat melalui program jaminan sosial tenaga kerja. Di samping itu pengusaha tetap berkewajiban mengadakan pemeliharaan kesehatan tenaga kerja yang meliputi upaya peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif). Dengan demikian diharapkan tercapainya derajat kesehatan tenaga kerja yang optimal sebagai potensi yang produktif bagi pembangunan. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan selain untuk tenaga kerja yang bersangkutan juga untuk keluarganya. Mengingat Jaminan sosial tenaga kerja merupakan program lintas sektoral yang saling mempengaruhi dengan usaha peningkatan kesejahteraan sosial lainnya, maka program jaminan sosial tenaga kerja dilaksanakan secara bertahap dan saling menunjang dengan usaha-usaha pelayanan masyarakat dalam bidang kesehatan, kesempatan kerja, keselamatan dan kesehatan kerja. Pengawasan terhadap Undang-undang ini, dan peraturan pelaksanaannya dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan Angka 12 Cukup jelas Pasal 2 Yang dimaksud dengan usaha sosial dan usaha-usaha lain yang diperlakukan sama dengan perusahaan adalah yayasan, badan-badan, lembaga-lembaga ilmiah serta badan usaha lainnya dengan nama apapun yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan tenaga kerja. Pasal 3 Ayat (1) Dalam penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja ini dapat digunakan mekanisme asuransi untuk menjamin solvabilitas dan kecukupan dana guna memenuhi hak-hak peserta dan kewajiban lain dari Badan Penyelenggara dengan tidak meninggalkan watak sosialnya. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja adalah orang yang bekerja pada setiap bentuk usaha (perusahaan ) atau perorangan dengan menerima upah termasuk tenaga harian lepas, borongan, dan kontrak. Mengingat jaminan sosial tenaga kerja merupakan hak dari tenaga kerja, maka ketentuan ini menegaskan bahwa setiap perusahaan atau perorangan wajib menyelenggarakannya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Lihat Penjelasan Umum Ayat (2) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatur jaminan sosial tenaga kerja lainnya yang dapat diberikan kepada tenaga kerja dalam rangka meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja itu sendiri, beserta keluarganya antara lain program jaminan pesangon sebagai akibat pemutusan hubungan kerja. Pasal 7 Ayat (1) Tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, setiap saat menghadapi risiko sosial berupa peristiwa yang dapat mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya penghasilan. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan perlindungan tenaga kerja dalam program jaminan sosial tenaga kerja yang bertujuan untuk memberikan ketenangan bekerja dan menjamin kesejahteraan tenaga kerja berserta keluarganya. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Magang merupakan tenaga kerja yang secara nyata belum penuh menjadi tenaga kerja atau karyawan suatu perusahaan, tetapi telah melakukan pekerjaan di perusahaan. Demikian pula murid atau siswa yang melakukan pekerjaan dalam rangka kerja praktek, berhak atas Jaminan Kecelakaan Kerja apabila tertimpa kecelakaan kerja. Huruf b Pemborong yang bukan pengusaha dianggap bekerja pada pengusaha yang memborongkan pekerjaan. Huruf c Narapidana yang dipekerjakan pada perusahaan perlu diberi perlindungan berupa jaminan Kecelakaan Kerja, jika tertimpa kecelakaan kerja. Pasal 9 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Santunan berupa uang diberikan kepada tenaga kerja atau keluarganya. Pembayaran santunan ini pada prinsipnya diberikan secara berkala dengan maksud agar tenaga kerja atau keluarganya dapat memenuhi sebagian kebutuhan hidupnya secara terus menerus. Selain pembayaran santunan secara berkala dapat juga diberikan sekaligus. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong ke arah kegiatan yang bersifat produktif dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya. Pasal 10 Ayat (1) Di samping pengusaha wajib melaporkan kejadian kecelakaan, maka keluarga, Serikat Pekerja, kawan-kawan sekerja serta masyarakat dibenarkan memberitahukan kejadian kecelakaan tersebut kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas

Pasal 1Tutup

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1.

Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.

2.

Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

3.

Pengusaha adalah:

a.

orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

b.

orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c.

orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia, mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

4.

Perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang mempekerjakan tenaga kerja dengan tujuan mencari untung atau tidak, baik milik swasta maupun milik negara.

5.

Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada tenaga kerja untuk sesuatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang ditetapkan menurut suatu perjanjian, atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan tenaga kerja, termasuk tunjangan, baik untuk tenaga kerja sendiri maupun keluarganya.

6.

Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui.

7.

Cacad adalah keadaan hilang alau berkurangnya fungsi anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan.

8.

Sakit adalah setiap gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan.

9.

Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan.

10.

Pegawai pengawas ketenagakerjaan adalah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri.

11.

Badan penyelenggara adalah badan hukum yang bidang usahanya menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja. 12. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan.

Thumbnail
PERFILMAN
UU 8 TAHUN 1992

Perfilman

  • Ditetapkan: 25 Mar 1992
  • Diundangkan: 25 Mar 1992

Relevan terhadap

Pasal 28Tutup
(1)

Pertunjukan film hanya dapat dilakukan dalam gedung atau tempat yang diperuntukkan bagi pertunjukan film.

(2)

Pertunjukan film, selain di tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan bukan oleh perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), hanya dapat dilakukan untuk tujuan tertentu.

(3)

Penayangan film dilakukan melalui stasiun pemancar penyiaran atau perangkat clektronik lainnya yang khusus ditujukan untuk menjangkau khalayak pemirsa.

(4)

Ketentuan mengenai pertunjukan dan penayangan film sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18Tutup

Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud dengan laboratorium pengolahan film adalah tempat memproses pita seluloid yang telah berisi rekaman gambar (exposed) sehingga menjadi film negatif induk. Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Yang dimaksud dengan pencetakan film adalah perbanyakan dari film negatif induk menjadi sejumlah salinan rekaman (copy) positif. Penggandaan film adalah perbanyakan pita video atau piringan video dan/atau hasil penemuan teknologi lainnya. Huruf h Pencantuman sarana lainnya di sini dimaksudkan untuk menampung perkembangan usaha jasa teknik pada masa yang akan datang sesuai dengan perkembangan teknologi. Pasal 19 Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kelancaran ekspor film yang sudah lulus sensor, baik oleh perusahaan ekspor maupun oleh perusahaan yang menjualnya atau perusahaan yang berusaha di bidang pengedaran film. Di samping memenuhi ketentuan perizinan di bidang perfilman, perusahaan tersebut tetap harus memenuhi ketentuan perizinan untuk ekspor. Pasal 20 Berbeda dengan usaha ekspor film, usaha impor film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan impor yang memiliki izin usaha perfilman. Hal ini disebabkan karena impor hanya dilakukan atas dasar pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dengan mengimpor film yang bermutu baik dan selaras dengan arah dan tujuan perfilman diharapkan dapat merangsang pertumbuhan produksi dan peningkatan mutu film Indonesia. Pasal 22 Dalam ketentuan ini yang dimaksudkan dengan di tempat kedudukan lembaga sensor film adalah di Ibukota Negara Republik Indonesia. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan film untuk tujuan khusus adalah film untuk tujuan tertentu seperti film pendidikan, film instruksi, film untuk keperluan seminar, atau festival yang tidak bersifat komersial. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 24 Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kelancaran pengedaran film secara langsung oleh perusahaan pembuatan film untuk produksinya sendiri. Yang dimaksud dengan pengedaran meliputi kegiatan penyebarluasan film dan reklame film kepada konsumen. Pasal 25 Film yang dimaksud meliputi film dan reklame film, baik hasil produksi perusahaan pembuatan film dalam negeri maupun film impor. Pasal 26 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan agar film yang diedarkan tidak menimbulkan dampak negatif yang terkait dengan nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat di daerah yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 27 Ayat (1) Pertunjukan film adalah pemutaran film dalam bentuk pita seluloid yang dilakukan melalui proyektor mekanik dalam gedung atau tempat yang diperuntukkan bagi pertunjukan film. Ayat (2) Penayangan film adalah pemutaran film dalam bentuk pita seluloid, pita video, dan piringan video yang dilakukan melalui proyektor elektronik dari stasiun pemancar penyiaran dan/atau perangkat elektronik lainnya. Pasal 28 Ayat (1) Gedung yang dibangun untuk pertunjukan film lazim disebut gedung bioskop. Yang dimaksud dengan tempat adalah ruang yang bukan gedung, yang diperuntukkan bagi pertunjukan film. Ayat (2) Ketentuan ini lebih bersifat kelonggaran yang diberikan bagi keperluan tertentu seperti:

a.

kegiatan sosial masyarakat, acara keluarga, acara perkawinan, dan kegiatan lainnya untuk penerangan/penyuluhan dan hiburan yang dilakukan oleh Pemerintah atau badan-badan/organisasi lainnya dengan tidak memungut bayaran;

b.

pertunjukan film secara berkeliling dengan memungut bayaran. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pengaturan penayangan film sesuai dengan penggolongan usia penonton dilakukan sesuai dengan waktu yang tepat dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Ayat (1) Maksud ketentuan ini adalah untuk memungkinkan Pemerintah dapat menarik suatu film dari peredaran, pertunjukan, dan/atau penayangan terhadap film yang telah lulus sensor apabila film yang bersangkutan ternyata menimbulkan gangguan keamanan, ketertiban, ketenteraman, atau keselarasan hidup masyarakat. Ayat (2) Ayat ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada produser atau pemilik film yang merasa dirugikan untuk membela haknya dengan mengajukan gugatan terhadap pemerintah melalui peradilan. Pasal 32 Untuk dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan bagi masyarakat Indonesia, diperlukan izin dari departemen yang membidangi pembinaan perfilman. Apabila pertunjukan dan/atau penayangan di luar lingkungan perwakilan asing, diperlukan izin keramaian dan pertunjukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 11Tutup

Yang dimaksud dengan kemampuan nasional adalah sumber daya, baik manusia, potensi, maupun fasilitas yang tersedia di Indonesia. Sumber daya manusia, antara lain, terdiri dari produser, karyawan film, dan artis film. Potensi dan fasilitas, antara lain, dapat berupa kekayaan dan keindahan alam, jasa teknik, dan hasil budaya bangsa. Ketentuan ini dimaksudkan agar perusahaan perfilman menghargai, ikut memiliki, serta ikut memelihara dan mencintai kemampuan nasional yang tersedia. Pasal 12 Ayat (1) Sekalipun ketentuan ini tidak memberikan kesempatan kepada warga negara asing, tidak tertutup kemungkinan adanya kerjasama di bidang pembuatan film atau kegiatan lainnya, yang pada dasarnya tidak dalam arti membentuk perusahaan patungan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kebebasan berkarya adalah kebebasan untuk menghasilkan karya berdasarkan kemampuan imajinasi, daya cipta, rasa, ataupun karsa, baik dalam bentuk, makna, ataupun caranya. Dengan kebebasan berkarya, diharapkan mampu mengembangkan kreativitas perfilman dalam rangka pengembangan budaya bangsa. Yang dimaksud dengan bertanggung jawab adalah mengacu pada akibat yang ditimbulkan oleh hasil karya tersebut dalam kaitannya dengan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4. Ayat (2) Yang dimaksud dengan nilai-nilai keagamaan adalah nilai-nilai universal yang terdapat dalam setiap agama. Pancantuman nilai-nilai keagamaan itu tidak dimaksudkan untuk menghambat kreativitas dalam berkarya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pembuatan film meliputi kegiatan membuat film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, baik dalam bentuk film cerita maupun film noncerita. Ayat (2) Film untuk tujuan khusus adalah film yang dibuat oleh instansi Pemerintah, lembaga, atau organisasi dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsinya, seperti film-film penyuluhan pertanian, kesehatan, atau film yang dibuat oleh kelompok orang atau perseorangan; misalnya, film-film acara perkawinan dan ulang tahun. Ayat (3) Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia, baik sebagian maupun seluruhnya dapat dilakukan atas dasar izin dari Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan perfilman. Dalam pembuatan film dimaksud, diusahakan sedapat mungkin untuk mengikutsertakan tenaga-tenaga Indonesia di tempat lokasi. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan reklame film adalah sarana publikasi dan promosi film, baik yang berbentuk iklan, poster, stillphoto, slide, klise, triler, banner, pamflet, brosur, ballyhoo, folder, plakat maupun sarana publikasi dan promosi lainnya. Pembuatan reklame film dilakukan oleh perusahaan pembuatan film atau perusahaan lain yang bergerak di bidang reklame film. Mengingat beberapa jenis dan bentuk reklame film pada kenyataannya dibuat oleh perseorangan berdasarkan keahlian, pembuatan reklame film dapat pula dilakukan oleh usaha-usaha berskala kecil ataupun perseorangan. Ayat (2) Pembuatan reklame film wajib memperhatikan kesesuaian isi film yang direklamekan; dimaksudkan agar masyarakat benar-benar dapat menikmati film yang isinya sesuai dengan reklame film yang bersangkutan. Pasal 16 Artis film adalah tenaga profesi yang mendapatkan penghasilan dari kegiatan yang berhubungan dengan pemeranan tokoh-tokoh dalam cerita film. Karyawan film adalah tenaga profesi yang mendapatkan penghasilan karena melakukan karya kreatif dan artistik dalam pembuatan film dan reklame film. Hubungan hukum antara artis dan karyawan film dengan perusahaan pembuatan film dilakukan berdasarkan perjanjian kerja di antara mereka. Ketentuan ini memberikan penegasan mengenai perlunya jaminan dan perlindungan hukum, seperti jaminan sosial dan asuransi bagi artis dan karyawan berkenaan dengan hal-hal yang bertalian dengan segi-segi profesi ataupun peran yang dimainkannya. Dengan demikian, setiap perjanjian kerja antara artis atau karyawan dan perusahaan pembuatan film harus memuat tentang jaminan sosial tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun bentuk perlindungan hukum lainnya, misalnya, apabila seorang artis merasa bahwa peran dalam suatu adegan bukanlah karya yang dimainkannya dan hal tersebut dinilainya merugikan dirinya secara profesi atau moral, maka artis yang bersangkutan dapat melakukan tuntutan berdasarkan perjanjian kerja yang dimilikinya. Pasal 17 Pada dasarnya, usaha jasa teknik dilakukan oleh perusahaan jasa teknik, namun perusahaan pembuatan film dapat pula melakukan usaha jasa teknik untuk film produksinya sendiri.

Thumbnail
PAJAK PENGHASILAN | DAERAH TERPENCIL
PP 63 TAHUN 1992

Pengertian Daerah Terpencil dan Jenis Imbalan dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan dalam Pelaksanaan Uu No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan ...

  • Ditetapkan: 19 Sep 1992
  • Diundangkan: 19 Sep 1992
Thumbnail
Tidak Berlaku
PEMBAYARAN | TANAH DAN BANGUNAN
PP 48 TAHUN 1994

Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

  • Ditetapkan: 27 Des 1994
  • Diundangkan: 27 Des 1994

Relevan terhadap

Pasal 6Tutup

Bagi Wajib Pajak badan yang usaha pokoknya melakukan penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, pembayaran Pajak Penghasilannya adalah sebagai berikut:

a.

Untuk penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan usaha pokoknya, ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan;

b.

Untuk penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang bukan dalam rangka usaha pokoknya, misalnya penjualan bangunan kantor yang digunakan sendiri oleh perusahaan real estate, berlaku ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Thumbnail
Tidak Berlaku
PENYELENGGARAAN | USAHA PERANSURANSIAN
PP 73 TAHUN 1992

Penyelenggaraan Usaha Perasuransian

  • Ditetapkan: 30 Okt 1992
  • Diundangkan: 30 Okt 1992

Relevan terhadap

Pasal 3Tutup
(1)

Perusahaan Perasuransian dalam rangka melaksanakan kegiatan usahanya harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a.

Dalam anggaran dasar dinyatakan bahwa:

1.

maksud dan tujuan pendirian perusahaan hanya untuk menjalankan salah satu jenis usaha perasuransian;

2.

perusahaan tidak memberikan pinjaman kepada pemegang saham.

b.

Susunan organisasi perusahaan sekurang.kurangnya meliputi fungsi.fungsi sebagai berikut:

1.

Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan, dan fungsi pelayanan;

2.

Bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan keuangan dan fungsi pelayanan;

3.

Bagi Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria, yaitu fungsi teknis sesuai dengan bidang jasa yang diselenggarakannya.

c.

Memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang.undangan yang berlaku.

d.

Mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidang usahanya dalam jumlah yang memadai untuk mengelola kegiatan usahanya.

e.

Melaksanakan pengelolaan perusahaan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini, yang sekurang.kurangnya didukung dengan:

1.

Sistem pengembangan sumber daya manusia;

2.

Sistem administrasi, 3. Sistem pengelolaan data.

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai huruf d dan huruf e ditetapkan olch Menteri.

Pasal 44Tutup
(1)

Bagi Perusahaan Perasuransian yang telah mendapat izin usaha pada saat Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, izin usahanya dinyatakan telap berlaku, dan diwajibkan menyesuaikan diri dengan kctentuan.ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini serta peraturan pelaksanaannya.

(2)

Perusahaan Pialang Asuransi yang telah mendapat izin usaha pada saat Peraturan Pcmerintah ini ditetapkan, wajib memperbarui izin usahanya sebagai Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi.

(3)

Penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Thumbnail
PEMOTONGAN | PAJAK PENGHASILAN
PP 51 TAHUN 1994

Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan Diskonto Sertifikat Bank Indonesia.

  • Ditetapkan: 29 Des 1994
  • Diundangkan: 29 Des 1994
  • 1
  • ...
  • 74
  • 75
  • 76
  • ...
  • 79