JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12763
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 1.217 hasil yang relevan dengan "kebijakan keuangan "
Dalam 0.019 detik
Thumbnail
Tidak Berlaku
BIDANG ANGGARAN | JABATAN FUNGSIONAL
61/PMK.02/2017

Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis Anggaran.

  • Ditetapkan: 12 Mei 2017
  • Diundangkan: 12 Mei 2017
Thumbnail
Tidak Berlaku
PETUNJUK TEKNIS | JABATAN FUNGSIONAL
38/PMK.06/2017

Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pelelang.

  • Ditetapkan: 03 Mar 2017
  • Diundangkan: 03 Mar 2017

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.

2.

Pejabat Pembina Kepegawaian adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Aparatur Sipil Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

3.

Jabatan Fungsional Pelelang adalah jabatan fungsional yang mempunyai ruang lingkup tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melaksanakan lelang dalam lingkungan instansi pemerintah.

4.

Pelelang adalah PNS pada Kementerian Keuangan yang diangkat sebagai pejabat lelang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan secara lelang.

5.

Pejabat Fungsional Pelelang adalah Pelelang yang diangkat dalam Jabatan Fungsional sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

6.

Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman lelang.

7.

Lelang Eksekusi adalah Lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan, dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan itu, dan/atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

8.

Lelang Noneksekusi Wajib adalah Lelang untuk melaksanakan penjualan barang yang oleh peraturan perundang-undangan diharuskan dijual secara Lelang.

9.

Lelang Noneksekusi Sukarela adalah Lelang atas barang milik swasta, orang atau badan hukum/badan usaha yang dilelang secara sukarela.

10.

Minuta Risalah Lelang yang selanjutnya disebut Minuta adalah asli risalah Lelang berikut lampirannya, yang merupakan dokumen/arsip negara.

11.

Prestasi Kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh setiap Pejabat Fungsional Pelelang pada satuan organisasi sesuai dengan sasaran kerja pegawai dan perilaku kerja.

12.

Perilaku Kerja adalah setiap tingkah laku, sikap atau tindakan yang dilakukan oleh PNS atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

13.

Rencana Kerja Tahunan adalah rencana yang memuat kegiatan tahunan dan target yang akan dicapai sebagai penjabaran dari sasaran dan program yang telah ditetapkan unit kerja.

14.

Risalah Lelang adalah berita acara pelaksanaan Lelang yang dibuat oleh pejabat lelang yang merupakan akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.

15.

Sasaran Kerja Pegawai yang selanjutnya disingkat SKP adalah rencana kerja dan target yang akan dicapai oleh seorang PNS.

16.

Unit Kerja adalah kantor pelayanan pada Kementerian Keuangan yang menangani pelayanan di bidang Lelang.

17.

Target adalah jumlah beban kerja yang akan dicapai dari setiap pelaksanaan tugas jabatan.

18.

Pejabat Penilai adalah atasan langsung dari Pejabat Fungsional Pelelang pada unit yang bersangkutan.

19.

Atasan Pejabat Penilai adalah atasan langsung dari Pejabat Penilai.

20.

Kebutuhan Jabatan Fungsional Pelelang adalah jumlah dan susunan Jabatan Fungsional Pelelang yang diperlukan suatu instansi pemerintah untuk mampu melaksanakan tugas pokok dalam jangka waktu tertentu.

21.

Kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh PNS berupa pengetahuan, keahlian dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya.

22.

Kompetensi Teknis adalah pengetahuan, ketrampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dikembangkan yang spesifik berkaitan dengan bidang teknis jabatan.

23.

Uji Kompetensi Penyesuaian ( Inpassing ) Jabatan Fungsional Pelelang yang selanjutnya disebut Uji Kompetensi adalah suatu proses untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap PNS dengan standar kompetensi jabatan.

24.

Tim Uji Kompetensi Penyesuaian ( Inpassing ) Jabatan Fungsional Pelelang yang selanjutnya disebut Tim Uji Kompetensi Penyesuaian adalah tim yang dibentuk dan ditetapkan oleh instansi pembina Jabatan Fungsional Pelelang yang bertugas melaksanakan Uji Kompetensi.

25.

Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Pelelang yang selanjutnya disingkat SKJ adalah kemampuan minimal yang harus dimiliki oleh seorang Pejabat Fungsional Pelelang untuk dapat melaksanakan tugas, tanggung jawab dan wewenangnya secara profesional, efektif dan efisien.

26.

Direktur Jenderal adalah pimpinan unit Eselon I di Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas antara lain menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang Lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

27.

Kantor Wilayah adalah instansi vertikal dibawah unit Eselon I di Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas antara lain menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang Lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

28.

Tim Penilai Kinerja Instansi adalah tim yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang dan ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian yang bertugas menjamin obyektifitas penilaian oleh pejabat penilai kinerja dan memberikan pertimbangan terhadap usulan kenaikan pangkat dan/atau Jabatan Fungsional Pelelang.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
32/PUU-XVIII/2020

Pemohon keberatan dengan berlakunya pasal 6 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2013 tentang Perasuransian dengan alasan pasal tersebut bertentangan dengan pasal ...

    Relevan terhadap

    Pasal 21Tutup

    Bab X Pembubaran, Likuidasi, dan Kepailitan: Pasal 43, 44, 46 s.d. 49. Bab XIII Pengaturan dan Pengawasan: Pasal 60 s.d. 63 Bab XIV Ketentuan Pidana: Pasal 74. Pemerintah dan/atau DPR dapat saja berpendapat bahwa mereka telah melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 yang 57 mengamanatkan ketentuan tentang usaha perasuransian berbentuk usaha bersama (Mutual) diatur lebih lebih lanjut dengan undang-undang. Jika undang-undang yang dimaksud adalah sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama, maka perintah atau amanat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 belum lah dilaksanakan. Akan tetapi jika undang-undang yang dimaksud adalah sebuah undang- undang tentang perasuransian dimana juga terdapat ketentuan mengenai asuransi usaha bersama, maka UU No. 40/2014 adalah juga sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992, dengan demikian Pemerintah dan DPR telah melaksanakan perintah atau amanat dari Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992. Penjelasan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 tidak memberikan penjelasan mengenai undang-undang yang dimaksud, apakah sebuah undang- undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama atau sebuah undang-undang tentang perasuransian. Kelima Solusi Untuk mengatasi Permasalahan Permodalan untuk memperkuat, memajukan AJB 1912 dan kaitannya dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40/2014 Diperlukan landasan hukum atau payung hukum yang kuat beberupa sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur asuransi usaha bersama atau sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur tentang AJB 1912, sebagaimana dilakukan oleh beberapa Negara mengundangkan undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama untuk memajukan perusahaan asuransi jiwa bersama dan asuransi umum bersama (mutual life insurace and mutual general atau casualtly insurance) yang ada di negara tersebut . Hingga saat ini, undang-undang yang secara khusus mengatur asuransi usaha bersama atau secara khusus untuk AJB 1912 belum ada, tetapi dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang berada di bawah Undang- Undang, sehingga kurang kuat landasan hukumnya dan mudah dilakukan perubahan di mata investor, sehingga kurang memberikan kepastian 58 hukum untuk investasi jangka panjang, sementara sifat investasi di perusahaan asuransi dan terlebih untuk asuransi jiwa sangatlah jangka panjang. Sementara landasan hukum dan perundangan yang khusus mengatur perusahaan asuransi yang berbentuk Perseoran Terbatas (PT) sudah diatur dalam undang-undang sejak tahun 1992 dengan diundangkannya UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang kemudian telah diperbaharui dan diganti dengan UU 40/2014 tentang Perasuransian. UU No. 40/2014 dibuat karena adanya urgensi harmonisasi peraturan perundangan karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah dibentuk dan mulai menjalankan peran dan fungsinya sejak tahun 2012/2013. Seandainya OJK belum dibentuk, ahli tidak yakin bahwa Pemerintah dan DPR akan menjadikan hal itu sebagai prioritas. Karena menurut ahli, adalah suatu yang nyata bahwa perhatian dari Pemerintah dan DPR terhadap sektor asuransi sebelum dibentuk OJK, masih kurang dibandingkan dengan sektor jasa keuangan yang lain seperti sektor perbankan dan pasar modal. Karena itupula lah, pada saat OJK hendak dibentuk, ahli memberikan dukungan yang pertama dari semua sektor jasa keuangan, karena kebetulan pada waktu itu ahli sebagai ketua Dewan Asuransi Indonesia (DAI) dan Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesiad (AAUI), dengan harapan OJK akan memberikan perhatian besar terhadap sektor asuransi. Sementara sektor perbankan dan jasa keuangan yang lain tidak langsung memberikan dukungan terhadap pembentukan OJK pada waktu itu. Dan menurut ahli, OJK saat ini telah memberikan dukungan yang lebih besar untuk sektor asuransi. Kekosongan sebuah undang-undang tentang asuransi usaha bersama juga turut menimbulan hambatan dalam pengembangan AJB 1912, meskipun masih ada faktor lain. Akibatnya AJB 1912 kurang mempuyai daya tarik yang baik dan akses yang baik untuk pemodal atau investor asing. Padahal banyak investor yang berminat untuk berinvestasi di sektor perasuransian khususnya di asuransi jiwa seperti yang sudah terjadi selama ini. 59 Selanjutnya Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 yang bersifat final yang memerintahkan agar dibentuk Undang-Undang tersendiri yang mengatur mengenai usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan MK diucapkan, ahli melihat Putusan MK ini sebagai dukungan MK akan pentingnya suatu undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama. UU No.40/2014 telah mengubah norma mengenai pengaturan usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual), yang di Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang 2 Tahun 1992 diamanatkan atau diperintahkan supaya diatur lebih lanjut dengan ‘Undang-Undang’ dan oleh Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 diubah menjadi diatur lebih lanjut dengan ‘Peraturan Pemerintah’. Ketentuan Pasal tersebut telah dilaksanakan oleh Pemerintah dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama. Ini berarti tingkatan hierarki perundangan yang mengatur secara khusus asuransi usaha bersama berada di bawah undang-undang, sehingga menimbulkan ketidak setaraan dan ivestor dapat melihatnya sebagai kurang memberikan kepastian hukum untuk jangka panjang jika dibandingkan dengan investasi pada perusahaan asuransi berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT). Dari uraian dan analisis yang ahli kemukakan di atas, ahli menyimpulkan:

    (1)

    . Diperlukan suatu Undang-Undang yang khusus mengatur asuransi usaha bersama;

    (2)

    . Ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40/2014 yang selengkapnya berbunyi: Pasal 6 ayat (3) “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah” . 60 Ketentuan Pasal 6 ayat (3) __ ini tidak diartikan sebagai larangan bagi Pemerintah dan DPR untuk membuat satu undang-undang yang khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama. Oleh karena itu, ahli berpendapat adalah perlu, penting Pemerintah dan DPR membuat satu undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama, sebagaimana telah lama dilakukan oleh beberapa negara asing, untuk mendorong kemajuan asuransi usaha bersama di Indonesia. Ahli pun menyampaikan keterangan tambahan yang disampaikan pula dalam persidangan, pada pokoknya adalah sebagai berikut: − Pengaturan asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 hanya terdapat dalam beberapa pasal saja. Pengaturan perasuransian dalam UU 40/2014 jika dilihat lebih lanjut menitikberatkan pada asuransi dalam bentuk perseroan terbatas saja, namun demikian dikarenakan terdapat keteuan yang mengatakan sepanjang relevan dengan bentuk badan usaha bersama maka ketentuan tersebut berlaku. Menurut Ahli, pengaturan asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 tidak dapat dikatakan cukup, namun materi-materi yang terdapat didalamnya dapat dijadikan bahan untuk membentuk undang-undang tersendiri terkait dengan asuransi dalam bentuk badan usaha bersama tersebut. − Terkait dengan permodalan yang terbatas yang menyebabkan asuransi dalam bentuk badan usaha bersama ini lebih sulit maju dibandingkan dengan bentuk badan usaha perseoran , ahli tidak memiliki pendapat terkait itu. Namun, jika melihat pada sisi investor, tentu tidak menutup kemungkinan adanya investor yang tertarik untuk berinvestasi pada asuransi usaha bersama namun menurut investor tentunya jika diatur dalam peraturan pemerintah menjadi kurang kuat keberadaannya sehingga perlu dibuat undang-undang tersendiri. − Asuransi dalam bentuk usaha bersama di negara lain, sepengetahuan Ahli, tetap memakai bentuk mutual insurance dan pengaturannya diatur dalam undang-undang dimana dinyatakan sebagai incorporated company (Skotlandia). Jika bentuk usaha bersama ini akan dicarikan bentuk hukum lain sehingga memiliki akses permodalan yang mudah, menurut ahli berdasarkan kajian yang pernah dilakukan maka dapat berbentuk perkumpulan. 61 [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat memberikan keterangan yang didengarkan dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020, yang keterangan tertulisnya diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 22 September 2020, yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut: A. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam pengujian UU a quo secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan 5 (lima) batas kerugian konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional sebagai berikut:

    1.

    Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 a. Bahwa para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR RI berpandangan bahwa Pasal a quo tidak mengurangi hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, karena apa pun bentuk dari pengaturan asuransi usaha bersama, para Pemohon dapat melaksanakan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai Anggota BPA Asuransi Bersama Bumiputera 1912.

    b.

    Bahwa para Pemohon mendalilkan bekerja sebagai Anggota DPRD, Pegawai Negeri Sipil, Guru, Dosen, Wiraswasta, Pensiunan dan secara keseluruhan para Pemohon mendalilkan sebagai Pemegang Polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dan Anggota BPA. DPR RI berpandangan para Pemohon bukanlah subjek yang dituju dalam ketentuan Pasal a quo karena ketentuan a quo ditujukan oleh pembentuk undang-undang kepada pemerintah untuk mengatur lebih lanjut mengenai Badan Hukum Usaha Bersama dalam Peraturan Pemerintah.

    c.

    Bahwa dalam positanya, para Pemohon banyak memberikan argumentasi tentang kedudukan para Pemohon sebagai Anggota BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dalam mengemban tugas dan 62 amanahnya sebagaimana diamanatkan dalam Anggaran Dasar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Terhadap pernyataan para Pemohon tersebut perlu untuk diperjelas apakah para Pemohon bertindak untuk mewakili BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 atau hanya sebagai perseorangan warga negara Indonesia pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputra 1912? Jika para Pemohon sebagai BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, maka para Pemohon harus membuktikan terlebih dahulu sebagai pihak yang mewakili BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Sedangkan jika para Pemohon mengajukan diri sebagai perorangan warga negara Indonesia pemegang polis, maka para Pemohon tidak bisa mengajukan pengujian Pasal a quo karena Pasal a quo mengatur tentang pendelegasian dari pembentuk undang-undang kepada pemerintah untuk mengatur mengenai badan hukum usaha bersama dalam peraturan pemerintah. Oleh karenanya para Pemohon bukanlah pihak yang menjadi subjek ( addressat norm ) dari ketentuan Pasal a quo , sehingga para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan Permohonan a quo karena tidak memiliki kepentingan hukum langsung terhadap Pasal a quo .

    2.

    Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang a. para Pemohon merasa dirugikan karena dengan berlakunya frasa “ diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal a quo UU Perasuransian telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon tidak mampu menjelaskan keterkaitan antara keberlakuan Pasal a quo dengan kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon karena kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut adalah asumsi yang tidak ada pertautannya dengan ketentuan Pasal a quo sehingga dengan demikian, kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut tidak beralasan hukum. 63 b. para Pemohon merasa dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional atas adanya PP 87/2019 karena keberadaan Peraturan Pemerintah tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. DPR RI berpandangan bahwa jika para Pemohon beranggapan bahwa materi yang ada di dalam PP 87/2019 tersebut merugikan para Pemohon maka hukum telah menyediakan suatu mekanisme untuk mengujikan Peraturan Pemerintah tersebut ke Mahkamah Agung. Dengan demikian kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon tidak benar dan hanya asumsi para Pemohon.

    3.

    Terkait adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa para Pemohon tidak dapat menguraikan kerugian yang dianggap sebagai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon dengan ketentuan Pasal yang dimohonkan pengujian. para Pemohon dalam permohonannya lebih menguraikan substansi dalam PP 87/2019 dan tidak fokus terhadap ketentuan Pasal a quo sehingga tidak jelas pertautan antara kerugian para Pemohon dengan pasal a quo . Oleh karenanya tidak terdapat kerugian hak dan/atau konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial.

    4.

    Terkait adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang- undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana yang telah diuraikan oleh DPR RI dalam angka 1, 2, dan 3, kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon melainkan hanya asumsi para Pemohon saja. Selain itu para Pemohon tidak dapat menguraikan pertautan antara kerugian yang didalilkan dengan ketentuan Pasal a quo sehingga sudah dapat dipastikan tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dengan Pasal a quo . 64 5. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa karena tidak adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apapun terhadap para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. 65 Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. PANDANGAN DPR RI TERHADAP POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa dalam industri perasuransian, baik secara nasional maupun global, terjadi perkembangan yang pesat yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha dan bertambahnya pemanfaatan layanan jasa perasuransian oleh masyarakat. Layanan jasa perasuransian pun semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat akan pengelolaan risiko dan pengelolaan investasi yang semakin tidak terpisahkan, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kegiatan usaha. Pengaturan dalam UU Perasuransian juga mencerminkan perhatian dan dukungan besar bagi upaya pelindungan konsumen jasa perasuransian, upaya antisipasi lingkungan perdagangan jasa yang lebih terbuka pada tingkat regional, dan penyesuaian terhadap praktik terbaik ( best practices ) di tingkat internasional untuk penyelenggaraan, pengaturan, dan pengawasan industri perasuransian.

    2.

    Bahwa berdasarkan Naskah Akademik RUU tentang Usaha Perasuransian yang digunakan sebagai dasar pembentukan undang-undang a quo, dapat dikemukakan bahwa pada saat ini, Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus mengenai badan hukum usaha bersama. Satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915, yang belum pernah diperbaharui. Ketiadaan undang-undang yang mengatur usaha bersama mengakibatkan ketidakjelasan tata kelola badan usaha ini dan dapat menimbulkan keraguan akan perlindungan hak-hak para pemangku kepentingan. Usaha bersama juga menghadapi tantangan dan hambatan yang sama seperti koperasi dalam hal penyediaan modal yang 66 cukup untuk penyelenggaraan usaha asuransi atau usaha reasuransi, mengingat ketiadaan atau ketidakjelasan mekanisme penambahan modal dengan atau tanpa penambahan anggota baru di dalam usaha bersama tersebut. Perkembangan yang terjadi di negara lain berkenaan dengan penyelenggaraan usaha asuransi menggunakan badan usaha bersama juga mendapat perhatian. Walaupun sejumlah usaha bersama di bidang perasuransian tercatat sebagai perusahaan besar di negara-negara seperti Jepang dan Kanada, banyak di antara mereka sedang menggagas upaya untuk lebih berkembang dengan mengubah diri menjadi Perseroan Terbatas sehingga dapat menggumpulkan modal lebih besar. Sampai dengan saat ini satu-satunya perusahaan perasuransian yang berbentuk usaha bersama di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, sedangkan perusahaan perasuransian yang lain berbentuk Perseroan Terbatas. Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, dalam RUU Usaha Perasuransian diusulkan agar perusahaan perasuransian berbentuk Perseroan Terbatas. ( Vide Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Usaha Perasuransian hlm. 49-50) 3. Bahwa UU Perasuransian telah mengakomodir bentuk usaha bersama ( mutual ) dalam Pasal 6 ayat (1) UU a quo , bentuk badan hukum penyelenggara usaha perasuransian adalah: a) Perseroan terbatas; b) Koperasi; atau c) Usaha bersama yang telah ada pada saat undang-undang ini di undangkan. Bahwa dengan adanya ketentuan tersebut menunjukkan pembentuk undang-undang masih mengakui adanya usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama dan ketentuan tersebut telah memberi kepastian hukum, dan usaha bersama yang dimaksud adalah AJB Bumiputera 1912 yang menjadi satu-satunya usaha perasuransian berbadan usaha bersama sampai dengan saat ini yang dinyatakan sebagai badan hukum (Naskah Akademik RUU tentang Usaha Perasuransian hlm 50). Bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut pembentuk undang-undang menentukan politik hukum pengaturan mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai teknis badan usaha 67 bersama didelegasikan kepada Peraturan Pemerintah ( vide Risalah Pembahasan hlm 57-58).

    4.

    Bahwa para Pemohon mendalilkan: “...hak konstitusional para Pemohon telah dilanggar oleh pembentuk undang-undang tidak menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 yang memerintahkan agar dibentuk undang- undang tersendiri yang mengatur mengenai usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama (mutual).” Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut:

    a.

    Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, menyatakan: Frasa “ ... diatur lebih lanjut dengan undang-undang ” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Tahun 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “...diatur lebih lanjut dengan undang-undang dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan” .

    b.

    Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengamanatkan adanya kepastian hukum mengenai pengaturan lebih lanjut tentang usaha bersama ( mutual ), yaitu paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan. Pembentuk undang-undang segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan merumuskan ketentuan Pasal 91 UU a quo yang menyatakan: “Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang- Undang ini diundangkan. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka UU a quo telah memberikan kepastian hukum kepada masyarakat terutama para Pemohon mengenai dasar hukum asuransi usaha perasuransian yang berbentuk badan usaha bersama ( mutual ), dan pembentuk undang-undang telah mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menghendaki adanya kepastian hukum yang mengatur mengenai badan usaha bersama ( mutual ) perasuransian.

    c.

    Bahwa DPR RI berpandangan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tersebut tidak memerintahkan 68 kepada pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang tentang asuransi badan usaha bersama ( mutual ) secara khusus dalam undang-undang tersendiri.

    d.

    Bahwa pembentuk undang-undang dalam menyusun undang-undang tentunya harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) sebagai pedoman utama dalam membentuk peraturan perundang- undangan.

    e.

    Bahwa terkait dengan norma pengaturan pendelegasian kewenangan telah diatur berdasarkan Lampiran UU 12/2011 mulai dari angka 198 sampai dengan angka 216. Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Dari teknis segi bahasa, pendelegasian kewenangan dengan menggunakan frasa “diatur dengan” dan “diatur dalam” tidak dimaksudkan untuk memiliki konsekuensi pendelegasian pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang tersendiri, tetapi lebih kepada “jumlah materi muatan” yang akan didelegasikan kepada peraturan perundang- undangan yang lebih rendah. Berdasarkan Lampiran angka 205 UU 12/2011 disebutkan bahwa , jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan dalam suatu peraturan perundang-undangan gunakan kalimat...”Ketentuan mengenai…diatur dalam…”.

    f.

    Bahwa sebelum diundangkannya UU 40/2014, Pembentuk undang- undang telah mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Namun dalam menindaklanjuti Putusan MK tersebut kedalam undang-undang selain berdasarkan Putusan MK tentunya pembentuk undang-undang memiliki pertimbangan politik hukum tersendiri dengan memperhatikan dinamika hukum yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini telah dirundingkan oleh DPR dan Tim Pemerintah dalam Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK dan LPS Jumat, 29 Agustus 2014 dan dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian dan Rapat 69 Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, Sabtu, 30 Agustus 2014. Bahwa dalam rapat-rapat tersebut pada intinya DPR RI setuju dengan usulan Tim Pemerintah yang memandang bahwa kedepannya lebih didorong agar perusahaan asuransi berbadan hukum perseroan untuk dapat memberikan perlindungan terhadap perusahaan dan konsumen asuransi, namun khusus untuk perusahaan asuransi mutual yang telah ada (Bumiputra 1912) tetap diakui keberadaannya. Sedangkan untuk mengakomodir putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013, Pembentuk undang-undang sepakat untuk mengatur perusahaan asuransi mutual dalam UU a quo yang ketentuan teknisnya didelegasikan kedalam peraturan pemerintah. Hal ini dikarenakan jika diatur secara detail dalam UU a quo , akan menimbulkan kemungkinan untuk dijadikan preseden lahirnya perusahaan-perusahaan asuransi mutual lainnya yang memiliki banyak kelemahan dalam tatakelolanya yang juga sudah banyak ditinggalkan oleh banyak negara lain di dunia. Selengkapnya tertulis pada bagian risalah.

    g.

    Oleh karena itu dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 mengenai pengaturan asuransi usaha bersama ( mutual ) harus ditindaklanjuti dengan undang-undang tersendiri dan tidak diperhatikan oleh Pembentuk Undang-Undang adalah tidak beralasan hukum.

    5.

    Bahwa dalam positanya para Pemohon banyak menguraikan materi muatan dalam PP 87/2019 yang dianggap menghilangkan eksistensi dan kewenangan Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dalam mengelola AJB Bumiputera 1912. Terhadap uraian para Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa jika para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan dalam PP 87/2019 maka para Pemohon seharusnya tidak mengujikannya ke Mahkamah Konstitusi melainkan ke Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang. Oleh karena itu terlihat jelas bahwa permohonan a quo adalah permohonan yang memiliki kesalahan objek ( error in objecto ). 70 C. RISALAH PEMBAHASAN PASAL A QUO UU PERASURANSIAN Selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, DPR RI melampirkan risalah pembahasan UU Perasuransian yang relevan dengan substansi dalam Permohonan a quo sebagai berikut: • Masa Persidangan I Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, dan LPS dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian (Jumat, 29 Agustus 2014) - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA):

    .

    .. Mengenai mutual, kami mempunyai pemikiran pada waktu itu ada 2 yang terpenting : pertama, tidak ada undang-undang yang memberikan landasan hukum yang baik untuk badan hukum mutuall di Indonesia karena itu lah pada waktu itu memang ada perintah untuk dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai hal tersebut. Tapi nyatanya pada saat kami menyelesaikan rancangan undang-undang ini, undang-undang itu tidak pernah ada dan artinya badan mutuall ini, badan usaha bersama ini tidak memiliki landasan hukum mengenai keberadaannya, eksistensinya apalagi mengatur mengenai tata kelola. Jadi kalau tadi yang disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa tidak ada, sulit untuk mengatur menata tata kelola mereka pada walaupun sekarang OJK sudah berusaha untuk melakukan hal tersebut. Pada saat ini tidak ada landasan hukum untuk melakukan bagaimana mutuall atau usaha bersama ini menyelenggarakan kegiatan hukumnya sebagai suatu entitas hukum. Kemudian yang kedua yang kami pertimbangkan pada waktu itu sebagaimana sudah dikemukakan oleh Pak Firdaus, perusahaan yang ada saat ini satu-satunya yang ada memang memiliki masalah. Dan kami pada waktu itu dengan tulus, dengan sejujurnya kami sampaikan sebetulnya keinginan kami untuk mengatakan semuanya PT adalah memberikan mekanisme elegan dimana disepakati di DPR ini untuk menyelamatkan perusahaan ini dengan mengubahnya menjadi PT sebagai suatu upaya penyelamatan sebetulnya tapi melalui kewajiban di undang-undang. Nah, demikian mungkin saya ingin tadi itu adalah gambaran mengapa Pemerintah mengusulkan didalam rancangan undang-undang akhirnya hany PT. Perkembangannya tadi Undang-Undang Koperasi yang baru dibatalkan secara keseluruhan. Kemudian ada Mahkamah Konstitusi yang mengatakan tidak boleh ditutup ruang untuk upaya usaha bersama ini untuk tetap hidup di Indonesia karena itu juga sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Kami dari Pemerintah ingin dan sangat menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena itu, kami sekarang berada pada posisi dan kami ingin tetap menghormati keputusan itu artinya memang kita perlu atur bagaimana usaha bersama ini. Kemudian saya sependapat dengan Pak Harry Azhar kalau usaha bersama yang saat ini landasan hukumnya saja minimun, bisa dibilang tidak ada diakomodasi, kita tentu juga harus fair kepada koperasi jadinya. Itu pikiran logis saja, cara berpikir 71 logisnya. Karena itu, Pemerintah sendiri saat ini secara umum melihat oke kami akan bisa menerima kalau koperasi ditambahkan disitu kembali. Tetapi kalau yang usaha bersama kami ingin mengusulkan kita tidak memperluas pada kemungkinan usaha-usaha bersama yang baru. Kami ingin usulkan oke usaha bersama yang ada kita akui bahkan kami bisa berikan misalnya oke kita berdasarkan undang-undang ini kita berikan status badan hukum khusus kepada yang ada sekarang ini. Tapi selain itu kami ingin menambahkan didalam undang-undang ini sebagai konsekuensinya adalah aturan-aturan lain, aturan-aturan prudensial yang akan bisa membantu OJK nanti yang betul-betul ya tidak mungkin ada koperasi baru yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, kalau usaha bersama tadi kami usulnya betul-betul kita batasi Pak berdasarkan undang-undang ini hanya itu saja yang kita ini. Kita tidak membuka ruang usaha bersama yang baru. Kalau ada yang mirip-mirip seperti itu jadi koperasi saja karena koperasi sudah kita sudah punya landasan hukum undang-undang yang jelas mengenai hal itu. Untuk yang ada oke, kita akui bahkan kita usulkan, kita berikan status badan hukumnya tapi untuk koperasi maupun usaha bersama khusus yang eksisting ini seandainya tetap kita sepakati untuk kita pertahankan, kami mohon untuk dapat ditambahkan aturan-aturan baru, misalnya yang kami mungkin bisa sampaikan pertama koperasi dan usaha bersama tidak boleh menjual polis asuransi kepada non anggota, dia hanya boleh menjual kepada anggotanya. Mungkin akan ada pertanyaan kalau gitu tidak bisa berkembang. Tentu bisa, kalau dia bisa menarik orang terlebih dahulu menjadi anggotanya baru kemudian menjual polis kepada yang bersangkutan. Yang kedua, yang kami mungkin ingin usulkan adalah, saya menggunakan kata mungkin nanti karena didalam diskusi mungkin berkembang yang lain. Yang kedua, bahwa untuk menjadi anggota ini seseorang ini harus membayar iuran pokok atau iuran wajib apapun namanya yang akan kita sebut. Jadi dengan demikian, setiap perkembangan bisnis dengan bertambahnya anggota ini koperasi atau pun usaha bersama ini sudah terlebih dahulu di back up dengan tambahan modal dari calon pemegang polis tersebut. Kemudian yang ketiga, yang ingin kami usulkan adalah ada ketentuan yang secara tegas disini disampaikan bahwa keuntungan itu dinikmati bersama tentunya secara proporsional, kerugian juga harus ditanggung bersama oleh para anggota. Mengenai aturan pembagiannya pengenaan, pembebanannya dan sebagainya kita bisa serahkan kepada OJK mengenai hal tersebut. Nah, dengan adanya usulan yang ketiga ini apabila dapat diterima ini juga sekaligus mendorong, mendesak pada asuransi usaha bersama pada saat ini itu juga men-declear keuntungannya berapa dan kerugiannya berapa akumulasinya saat ini. Dan kemudian mendorong mereka untuk mengemukakan kepada anggota ini loh akumulasi keuntungan yang bisa dibagi atau ini akumulasi kerugian yang harus ditanggung bersama sehingga dengan demikian OJK juga akan mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan diskresi nah ternyata seperti ini situasinya, 72 pilihan ada. ini juga akan meng-involve.....(mic bermasalah) pengawasan dan koreksi terhadap perusahaan asuransi ....usaha bersama...... - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Usaha bersama ini kami sekali ingin mengusul hanya usaha bersama yang ada saat ini tidak untuk dikembangkan lagi. • Terkait dengan Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “Badan Hukum Usaha Bersama” UU PERASURANSIAN dalam Masa Persidangan I Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK dan LPS Jumat, 29 Agustus 2014. Dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian: - KETUA RAPAT (H. ANDI RAHMAT, SE): Saya skors ya pak sekitar 2 menit untuk memberikan kesempatan kepada Bank Indonesia keluar dari ruangan ini __ (RAPAT DISKORS) Terima Kasih Pak. (SKORS DICABUT) Selanjutnya Bapak-bapak yang kami muliakan dan saya hormati, ini kita akan lanjutkan sedikit penjelasan dari Bapak Komisioner OJK ini berkaitan dengan bentuk dan badan hukum dari asuransi Pak. Jadi dalam RUU ini ada 2 bentuk saja yang ditawarkan oleh Pemerintah: yang pertama itu koperasi dan kedua adalah perseroan terbatas oh yang perseroan terbatas koperasi dari, kalau saya tidak salah itu koperasi itu usulannya F-PG kalau tidak salah ya, pokoknya paling banyak F-PG yang paling banyak usulannya sampai lupa mengusulkan. Bapak-bapak sekalian, Jadi ada 2 yang saya putuskan dan ini ada tambahan berkaitan dengan mutuall fund ya, lebih spesifik lagi mutuall fund yang di Indonesia ini cuma ada satu Pak yaitu asuransi AJB dan ini yang kita minta penjelasan kepada OJK karena sampai sekarang ini dan sekarang sudah sampai dalam pengawasan OJK Pak. Kita mau lihat bagaimana OJK mengatasi isu yang berkaitan dengan asuransi Bumiputera ini AJB/Asuransi Jasa Bumiputera. Silahkan Pak firdaus ya. Saya kira langsung saja Pemerintah ya langsung kepada Komisionernya saja. Silahkan Pak Firdaus. - OJK (FIRDAUS) : Bismillahirahmanirahim. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Yang saya hormati Pimpinan Panja RUU Asuransi, Yang saya hormati Bapak-bapak Anggota Panja RUU Asuransi dari Komisi XI, Pertama-tama saya mohon maaf agak terlambat, banyak acara Pak dari habis Magrib itu, ada 2 dulu baru saya jalan agak macet lagi. Bapak-bapak sekalian, Kalau kita baca dari RUU Undang-Undang Asuransi yang lama yang tahun ’92 itu, itu kan memang disitu ada 3 Badan Hukum bentuk asuransi yaitu PT, kemudian Koperasi dan mutuall meskipun waktu tahun ’92 kita bikin memang ada perusahaan asuransi yang berbadan hukum koperasi 1 73 waktu itu tapi kemudian kita cabut izin usahanya oleh Pemerintah itu di tahun 2010 kira-kira dicabut koperasi 1. Kemudian 1 lagi memang berbentuk mutuall. Didalam undang-undang kalau kita baca Undang-Undang Asuransi yang tahun ’92 itu memang disana untuk mutuall kita memberikan amanat bahwa Pemerintah akan membuatkan undang-undang khusus mutuall sehingga belum ada waktu itu pelaksanaannya kita atur dengan peraturan pemerintah. Namun sampai saat ini memang belum dibuatkan undang- undang untuk mutuall. Kemarin ketika ada yang bawa ke Mahkamah Konstitusi maka Mahkamah Konstitusi mengamanatkan agar Pemerintah membuatkan dalam waktu 2,5 tahun sejak keputusan Mahkamah Konstitusi yang keluar 3 bulan yang lalu kira-kira begitu. Nah,sekarang saya ingin katakan bagaimana perkembangannya. Jadi dari 95 asuransi umum, 45 asuransi jiwa dan 41 asuransi itu tidak ada satu pun yang berbentuk koperasi karena memang telah kita cabut. Kalau kita lihat sejarah di perbankan sama Pak di lembaga keuangan lain. Di perbankan juga saat ini juga hanya ada 1 BPR berbentuk koperasi yang lainnya di bank umum maupun BPR yang jumlah lebih dari 1.900 baik yang konvensional maupun yang syariah hanya 1 yang berbentuk koperasi, yang lainnya tidak ada. Yang mutual kita punya juga cuma 1 yaitu ..... Asuransi Bumiputera. Saya ingat ada 2 bank umum : Bukopin pernah bentuk koperasi tapi di tahun ’90 berapa kita ubah, kita rekap itu berubah menjadi PT karena memang ketidakmampuan dari waktu itu pemilik Bukopin adalah juga koperasi-koperasi yang tidak mampu untuk menitip modal sehingga masuk lah pemodal entah itu dari Pemerintah, entah itu dari swasta sehingga berubah menjadi PT Bukopin meskipun kita tetap mempertahankannya namanya Bukopin. Nah, saya bisa mengerti ketika Pemerintah mengajukan itu dalam RUU ini awalnya adalah dalam bentuk PT saja. Kalau lihat kita lihat pernah kita buat juga yang kita yang Pemerintah dan DPR lahirkan yaitu Undang- Undang mengenai Bank Syariah, itu juga hanya berbentuknya PT saja karena kalau kita lihat begini Pak. Koperasi juga sekarang ini kan misalnya itu badan hukum PT, Koperasi, maupun mutuall itu kan tetap saja. Ketika didirikan baru katakanlah dia tetap harus memiliki persyaratan memenuhi persyaratan modal minimum. Kalau koperasi misalnya ketika mau didirikan berarti dia juga harus punya modal misalnya kalau sekarang berlaku ketentuan minimal 100 milyar maka dia harus artinya kalau memang ada koperasi yang mau didirikan asuransi dalam ....koperasi itu harus ada iuran anggota, iuran pokok, dan iuran sukarela dari anggota itu totalnya 100 milyar. Meskipun mungkin bisa tapi rasanya kalau koperasi itu dibentuk barangkali oleh pihak-pihak yang besar mungkin bisa tapi kalau dari masyarakat biasa membentuk koperasi mengumpulkan 100 milyar untuk menjadi modal setor katakanlah begitu untuk sebuah perusahaan asuransi agaknya berat begitu. Mutuall kita lihat Pak. Mutuall itu sejarahnya adalah kalau kita lihat di dunia ini mutuall itu tinggal histori Pak, tinggal sejarah. Kita lihat mutuall-mutuall yang ada di Eropa, ada di Jepang, ada di Canada, ada di Amerika itu memang lahir 200 tahun yang lalu, 150 tahun yang lalu tidak ada yang lahir lagi. Terakhir lagi sebetulnya itu mutuall itu adalah di Fililpina tahun sekitar ‘87 Pak. Itu pun karena begini, ada sebuah perusahaan asuransi BUMN 74 sebetulnya punya anak perusahaan sebetulnya target juga PT limited company. Tapi tiba-tiba dalam rangka agak politis anak perusahaan itu kemudian sahamnya diberikan kepada pemegang polis sehingga diubah dari PT menjadi mutuall karena ciri-ciri dari mutuall itu pemegang polis adalah pemegang saham. Ini terakhir di Filipina tahun ’85-’87. Setelah itu tidak ada lagi di dunia, selain itu usianya memang ratusan tahun. Dia memang kalau survive, survive benar ya seperti di Jepang. Ada yang tidak survive tapi dia di-merger dengan mutuall lainnya karena kalau tidak di-merger dengan mutuall lainnya agak sulit. Nah, kenapa mutuall-mutuall baru tidak lahir lagi di dunia ini? memang kalau kita lihat sekarang di negara lain juga kan modal untuk mendirikan sebuah perusahaan asuransi kan besar sekali Pak. Mungkin juga puluhan triliun, di kita saja yang 100 milyar. Kami bayangkan Pak kalau misalnya ada sebuah mutuall baru mau didirikan agak bayangan kami itu agak imposible. Bagaimana kalau kita lihat menilik sejarah ini misalnya : Bumiputera. Lahir dari 3 orang guru, dia tarifnya cuma kumpul bertiga seperti arisan bilang kalau diantara kita ada yang meninggal ini dari ini ya dari kumpulan kita yang tiap bulan kita bayar sisihkan dari gaji terus berkembang-berkembang. Nah, kalau kita lihat tahun 1912 belum ada pengaturan Pak mengenai persyaratan modal minimum yang harus dipenuhi. Kalau sekarang bagaimana mutuall bisa terbentuk misalnya ketika harus memiliki persyaratan modal 100 milyar yang barangkali yang saya dengar kan dari baik itu dari wacananya kan ingin kedepan ini modal minimum untuk sebuah perusahaan nasional yang baru pun harus dinaikkan karena rasanya 100 milyar sudah tidak cukup sekalian mau menciptakan entry barier hambatan masuk supaya yang masuk di industri asuransi ini tidak lagi perusahaan-perusahaan..... karena kalau kita ingin besarkan usia asuransi kita Pak memang modalnya mahal industri asuransi ini karena memang IT-nya mahal, pengembangan SDM- nya mahal, infrastruktur yang dibangun lain juga mahal. Apalagi kalau kita mau bersaing di dalam kawasan ASEAN ketika berlaku masyarakat ekonomi ASEAN agak sulit kalau ada lahir baru perusahaan-perusahaan asuransi yang modalnya .......tidak besar. Jadi hampir impossible Pak misalnya ada mutuall baru lahir ketika ada pemegang polis yang sepakat untuk kumpulkan uang kira-kira 100 milyar atau lebih untuk mendirikan perusahaan asuransi baru. Sebetulnya ada jalan keluar Pak. Seandainya ini memang tidak ada lagi mutual, mungkin kan dikatakan lah aturan transisinya peralihannya kan bisa dinyatakan bahwa mutuall yang ada tidak dianggap tetap diakui seperti undang-undang yang sekarang berlaku kan dinyatakan bahwa mutuall yang ada tetap dianggap telah memiliki izin dan dianggap sebagai badan hukum ya. Meskipun barangkali perlu dipikirkan saya tidak tahu nanti keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan 2,5 tahun harus dibikinkan undang-undang Mutuall. Memang begini Pak, ketika sebuah asuransi mutuall itu tidak sehat pilihannya tinggal 2, dia tidak bisa suntik modal karena memang perusahaan asuransi mutuall itu kan memang perusahaan yang kita bilang less equity jadi tidak ada ekuitasnya perusahaan asuransi. Kalau PT kan selalu ada Pak, ada aset kemudian ada kewajiban, ada ekuitas. Kalau perusahaan mutuall itu tidak ada ekuitas karena pemegang saham adalah meskipun perusahaan mutual-nya untung seperti negara Jepang mungkin saja ada tapi ekuitasnya dari laba 75 Pak, laba ditahan bukan dari modal. Ketika sebuah mutuall tidak sehat pilihannya ada 3 : apakah dia kalau disuntik sudah tidak bisa, apakah dia itu didapat mutualisasi, diubah badan hukumnya menjadi PT sehingga bisa mengundang pihak investor bisa masuk itu .....mutualisasi, atau kalau tidak dimutualisasi barangkali dia bisa di-merger dengan perusahaan mutuall lainnya sedangkan sekarang kita kan cuma satu-satunya Bumiputera atau dilakukan begini tinggal bilang, pemerintah tinggal bilang kepada pemegang polis yang merangkap juga sebagai pemegang saham karena perusahaan ini rugi, perusahaan ini bermasalah. - KETUA RAPAT : Di AJB itu berapa yang .....berapa sekarang Pak? - OJK (FIRDAUS) : 5 juta Pak. Jadi gini Pak ketika mutuall tidak sehat sebetulnya regulator bisa bilang begini kepada pemegang polis yang sekaligus artinya dia menjadi pemegang saham, dia bilang: “anda nambah artinya membayar premi tambahan untuk menutupi kerugiannya”. Ini kan kalau sebagai pemegang saham kan ada bagi keuntungan, ada bagi rugi kira-kira begitu Pak”. Nah, kalau dia untung dia dapat deviden sebagai pemegang saham. Nah, kalau dia rugi dia harus bagi rugi, bagi rugi kan bisa artinya dia harus nambah preminya untuk menutupi kerugian atau nilai tunai dari polis dia dikurangi, pilihannya itu. Nah, terhadap perusahaan mutuall yang ada tadi ini untuk di ruangan kita saja Pak, memang harus diakui sekarang penyakit yang lama sekali yang sulit sekali mutuall di kita ini kan strukturnya itu ada yang kalau sekarang di Bumipetera ini Pak, ini ada direksi, ada komisaris, ada BPA. BPA itu kan Badan Perwakilan Anggota, dia badan yang mewakili pemegang polis, dipilih itu berdasarkan regional jadi ada katakanlah regional Sumatera, regional Jawa, regional Kalimantan, dan Indonesia bagian timur gitu. Nah, dahulu memang ini tidak tersentuh oleh Pemerintah sehingga mekanisme atau tata kelola pemilihan BPA ini menurut kami ini tidak bagus sehingga siapa yang terpilih menjadi anggota kita itu yang kebanyakan mungkin hampir semuanya tidak ngerti asuransi meksipun dia mungkin barangkali pemegang polis. Siapa BPA itu sekarang? Gubernur, walikota, bupati, rektor, kayak-kayak gitu lah yang jadi Pak yang dianggap barangkali oleh direksi itu mewakili tokoh daerah yang diharapkan dapat menambah bisnis di daerah. Tapi dia sebagai pengambil kebijakan tertinggi karena sidang BPA itu sama dengan RUPS Pak. Semua keputusan-keputusan penting termasuk pertanggungjawaban itu, pergantian direksi dan komisaris itu diputus di Rapat BPA yang kalau di PT adalah RUPS. Nah, mekanisme ini sekarang kami sedang benahi Pak, kami ingin terhadap Bumiputera ini pemilihan BPA misalnya itu harus melalui tata kelola yang benar, yang independen, tidak hanya menunjuk orang yang hanya sekedar tokoh yang tidak mengerti padahal fungsinya sangat penting sebagai itu. Itu didalam struktur organisasi mutuall seperti itu. Nah, kedepan ini memang kami benahi termasuk kami sudah keluarkan aturan OJK ini bahwa BPA yang akan dipilih itu nanti harus lulus fit and proper oleh OJK sehingga kami bisa membantu menyeleksi Pak. __ 76 - KETUA RAPAT : POJK-nya sudah ada Pak? - OJK (FIRDAUS) : Sudah ada Pak POJK-nya sehingga pantas kah dia duduk sebagai BPA karena pengambil keputusan itu menjadi penting. Nah, jadi yang kami sekarang ini apa yang kami lakukan terhadap terus terang memang Bumiputera ini kurang sehat Pak tetapi kami OJK dari dulu dan Pemerintah bertekad tetap harus Bumiputera ini harus eksis karena pemegang polis jumlahnya 5 juta ini Pak karena kejatuhan ini bisa menjatuhkan industri asuransi kira-kira begitu Pak. Kita sering bercanda tetangga dekat kayak Bu, kalau herritage ini kayak Borobudur, dia harus kita pertahankan itu. Jadi ini menjadi sebuah sesuatu yang harus kita pertahankan kira-kira begitu. Tapi kan dia bukan hanya sekedar mempertahankan tapi bagaimana menyebabkan dia harus eksis, harus mampu berbisnis, mampu bersaing kedepan. Nah, kami memang ada rencana beberapa strategi Pak bagaimana menyelamatkan Bumiputera ini karena terus terang kalau kita melakukan the mutualisasi pada Bumiputera agak sulit karena kita belum memiliki Undang-Undang Mutuall. Biasanya proses atau program atau SOP the mutualisasi itu harus kita tempatkan di undang-undang Mutuall. Jadi kalau undang-undang Mutuall itu belum ada, agak sulit kita melakukan the mutualisasi. ...... lain, seperti negara-negara lain .......Pak, ini sekedar gambaran. Misalnya kita akan cari katakan investor strategis dalam negeri Pak, syukur-syukur ini bisa katakanlah misalnya coba cari investor strategisnya katakanlah perusahaan yang mungkin BUMN atau anak perusahaan BUMN. Jadi ini katakan lah BUMN atau anak perusahaan BUMN dia punya asuransi kemudian kita ingin memindahkan ini portofolio bisnis Bumiputera ini kepada anak ini. Ini kita tidak melakukan mutualisasi, ini kita biarkan tetap atau apa induk saja Pak tapi bisnisnya kita kosongkan, portofolionya kita pindahkan kesini sehingga kekurangannya ini kita carikan disini investor yang bisa masuk dana karena dia sudah pindahkan bisnisnya ke anak perusahaan, disini dikosongkan. Hanya dengan begitu Pak, baru kita bisa ini perusahaan asuransi yang dibentuk oleh dalam negeri ini bisa disuntik. Kalau dananya cukup besar barangkali berarti kita coba carikan investor lain bergabung disini entah dari lokal kalau misalnya ada perusahaan asuransi yang mau ikut disini tapi tidak mayority, kita kasih minoritas karena sekedar untuk menutupi lobang yang ada ini katakan lah ketidakseimbangan antara aset dengan liabililties. Nah, kondisinya seperti itu Pak. Tapi percaya lah bahwa kita saat ini sampai saat ini kita tidak ada niatan untuk menghabiskan atau menutup itu tapi justru kita ingin selamat. Tapi lagi dicari kan ini investor strategis yang mau nanti menutup lobang ini dengan cara itu karena kalau langsung masuk Bumiputera tidak bisa Pak, dia sebagai mutuall tidak bisa disuntik. Yang ideal yang sekarang ini lebih mudah kalau tidak dilakukan mutualisasi seperti yang saya ulangi lagi adalah mengalihkan ....... portofolio bisnisnya. OJK diberi wewenang Pak diundang, dia berwenang untuk katakanlah. Kan kita punya wewenang yang namanya bisa menempatkan pengelola statuter, mengganti manajemen. Kalau ada 77 sebuah lembaga keuangan yang sebetulnya masih punya prospek baik tapi kemudian pengelolanya tidak bagus kita minta diganti pemegang sahamnya ga mau ganti karena mungkin ribut bisa saja ini terjadi Pak karena terjadi di sebuah... itu maka OJK seperti yang dikasih wewenang di undang-undang itu bisa mengganti manajemen dengan pengelolaan statuter. OJK juga diberi wewenang seperti yang Bapak-bapak berikan kepada OJK memberikan perintah tertulis, perintah tertulis untuk apa? Memerintahkan perusahaan untuk merger, memaksa perusahaan untuk merger, meminta perusahaan untuk katakanlah kita minta memindahkan portofolio bisnisnya ke perusahaan asuransi sejenis. Kalau bank mungkin ke bank sejenis, dalam upaya apa? Ini semata-mata untuk menyelamatkan pemegang polis. Kalau di bank barangkali untuk menyelamatkan deposan, kita bisa pindahkan portofolio bisnisnya ke lembaga sejenis, jadi itu Pak. Kalau misalnya sekarang ini ada suara-suara misalnya apakah itu kita tetap mengasih izin di undang-undang baru ini PT, kemudian tetap ada koperasi, tetap ada mungkin semangat ’45 nya kemudian ada mutuall katakan seperti yang sekarang ada. Sebetulnya kalau kita bicara realita Pak kedepan pun saya yakin yang akan lahir walaupun ada baru itu hanya PT tapi kalau hanya sekedar menempatkan ya ga ganggu juga bagi kami OJK, toh tidak akan perkirakan kami tidak akan lahir lagi karena yang bentuknya koperasi maupun PT. Sebagai gambaran Pak, kami atau .... mutuall. Kami didatangi oleh katakanlah beberapa koperasi besar. Dia bilang, kami akan bikin asuransi. Saya bilang bentuk hukumnya apa? Malah dia bilang kami akan bentuknya PT Pak anak perusahaan koperasi izinnya karena dia tidak mau bikin perusahaan asuransi bentuknya koperasi, dia bilang nantinya sulit Pak ketika harus nambah modal meminta lagi kepada anggota sulit. Jadi kami akan bikin tapi bentuknya PT sebagai anak perusahaan koperasi, itu sebagai gambaran. Kira-kira begitu Pak kondisinya apa yang sedang kami kerjakan tentang Bumiputera ini. Terus terang kami sekarang melakukan pendekatan kepada investor strategis untuk bisa nantinya menyuntik dalam arti ketika kita gunakan misalnya mekanisme mau memindahkan portofolio bisnis ini ke sebuah perusahaan asuransi yang sudah ada kemudian bisa menyuntik. Yang penting kemudian adalah bagaimana 5 juta pemegang polis Bumiputera ini bisa terselamatkan. Terima Kasih. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Tadi sudah ada penjelasan ya dari Pak Firdaus tentang situasi yang dihadapi oleh satu-satunya industri asuransi yang berbadan hukum mutuall fund di Republik ini. Dan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi ya Pak ya kalau tidak salah juga saya selalu dikasih oleh Pak Isa ini sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi-nya Pak karena kalau saya tadi kan semangatnya PT saja sesuai dengan RUU tapi Pak Isa selalu bilang ada keputusan Mahkamah Konstitusi. Jadi itu memang organ-organ ini tidak bertentangan juga dengan undang-undang gitu. Malah oleh Mahkamah Konstitusi diminta kita untuk mengatur yang namanya mutuall fund ini, kan begitu Pak ya. 78 Nah, sekarang Bapak-bapak sekalian kebetulan asuransi namanya mutuall fund ini namanya Bumiputera. Mungkin Pak Firdaus karena takut dilaporkan buka rahasia, tidak sampaikan kepada kita terus menerus apa yang terjadi didalam Bumiputera ini tetapi kita sama-sama paham lah, tidak perlu disampaikan dalam forum ini bahwa memang ada problem serius di insurance ini sebabnya malam ini kita undang beliau secara khusus disini supaya waktu kita ambil keputusan Pak karena ini terekam semuanya karena sudah mendengarkan apa yang disampaikan. Jadi kalau resiko-resiko berikutnya didalam itu tentu akan dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan undang-undang lah, saya kira begitu ya. Begitu Pak Basuki ya. Bapak -bapak sekalian yang saya hormati, Ini saya mau bertanya kepada Bapak-bapak sekalian, apakah kita akan segera mengambil keputusan atau mendiskusikan materi ini atau kita akan simpan sampai mata kita lebih terang besok pagi? Saya lihat Pak, ini Bapak Edwin saja kondisi kesehatannya masih bagus-bagusnya, ini mengatakan kita ambil keputusan saja. Bagaimana Pak? Memang itu kan yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi itu usaha bersama tapi tafsir yang diapakan di Undang-Undang Dasar secara bersama juga koperasi. Jadi kalau kita tutup itu, kalau di perbankan kita tidak tutup memang artinya tidak boleh ada lagi usaha perbankan, koperasi, dan usaha bersama. Itu artinya kita mematikan Undang-Undang Dasar. Bahwa realitasnya yang tadi disampaikan Pak Firdaus itu tidak jadi masalah, kita yang penting memang tidak melawan Undang-Undang Dasar. __ Jadi saya kira semangat Undang-Undang Dasar itu tidak boleh kita matikan di, kebetulan ini asuransi dibandingkan perbankan memang relatif agak kecil. Siapa tahu nanti muncul tokoh-tokoh mudah yang punya rasa kekeluargaan lebih bagus dari kita sekarang ini. Jadi jangan dimatikan itu yang anunya tetap saja kita apakan, apakah kita nanti diatur oleh undang- undang tersendiri atau apa kita berikan kewenangan kembali kepada OJK untuk mengaturnya seperti didalam Undang-Undang OJK. Kalau usaha bersama itu kan sudah jelas perintah Mahkamah Konstitusi tapi kalau koperasi itu tidak ada perintah atau apa, apakah kita memasukkan dia menjadi menu saja sepanjang Undang-Undang Dasar kita tidak berubah menurut saya menu ini tidak boleh kita matikan. Jadi artinya kalau kita matikan berarti mungkin barangkali 50 tahun yang akan datang kita ubah Undang-Undang Dasar itu kalau seluruh perundang-undanganya kemudian tidak boleh koperasi, tidak boleh mutuall fund. Jadi terjemahan Undang-Undang Dasar menjadi mati didalam undang-undang. - KETUA RAPAT : Ya, pak biasanya Pasal 1 sampai Pasal 4 itu Pak seingat saya. Bapak- bapak sekalian, Ini clear Pak ya. Jadi kita ambil berdasarkan urutan saja Pak. Saya kira bisa kita ambil keputusan ini ya. Bisa ya pak ya? Pemerintah? Oke, silakan kalau mau ada yang ditanggapi. 79 - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Terima kasih. Bapak Pimpinan, Bapak-bapak Anggota yang kami hormati, Sedikit saja mengklarifikasi karena memang pasal ini, DIM ini, ini langsung kita masukkan ke buku III Pak pada waktu itu. Jadi kami belum memberikan gambaran mengenai itu tapi dengan penjelasan dari Pak Firdaus tadi tentu kami akan tentu akan ringkaskan penjelasan. __ Pada saat kami menyusun rancangan undang-undang ini, kami memperhitungkan seperti yang tadi disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa didalam praktek nanti tidak mudah bagi koperasi dan usaha bersama atau mutuall ini untuk bisa mendapatkan modal yang cukup untuk berusaha di bidang asuransi. Apalagi kalau kemudian dia menghadapi masalah kekurangan modal dan sebagainya yang tidak mempunyai mekanisme untuk menambah modal dia. Kemudian didalam perkembangannya, kami terus terang memang tergoda untuk melihat cara pandang yang lain dengan Undang-Undang Koperasi yang baru yang pada akhirnya dicabut secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi. Pada saat Undang- Undang Koperasi yang baru itu ada, ada mekanisme-mekanisme dimana koperasi dimungkinkan untuk menambah modal dengan menerbitkan sertifikat modal koperasi atau apa namanya begitu. Jadi memang cenderung menyerupai mekanisme-mekanisme yang bisa diterapkan di koperasi cenderung menyerupai PT pada saat Undang-Undang Koperasi yang terbaru waktu itu masih ada. Karena itu kami waktu itu membuka kembali diskusi dan pada saat itu kami pun mempertimbangkan untuk menyetujui usulan dari beberapa fraksi didalam DIM yang menginginkan koperasi tetap ada disitu. Tentu kami pemikiran ini menjadi sulit bagi kami setelah Undang-Undang Koperasi ini yang terbaru itu dibatalkan secara keseluruhan dan kita kembali kepada Undang-Undang Koperasi yang lama yang tahun ’92. Mengenai mutuall, kami mempunyai pemikiran pada waktu itu ada 2 yang terpenting : pertama, tidak ada undang-undang yang memberikan landasan hukum yang baik untuk badan hukum mutuall di Indonesia karena itu lah pada waktu itu memang ada perintah untuk dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai hal tersebut. Tapi nyatanya pada saat kami menyelesaikan rancangan undang-undang ini, undang-undang itu tidak pernah ada dan artinya badan mutuall ini, badan usaha bersama ini tidak memiliki landasan hukum mengenai keberadaan, eksistensinya apalagi mengatur tata kelola. Jadi kalau tadi yang disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa tidak ada, sulit untuk mengatur menata tata kelola mereka pada walaupun sekarang OJK sudah berusaha untuk melakukan hal tersebut. Pada saat ini tidak ada landasan hukum untuk melakukan bagaimana mutuall atau usaha bersama ini menyelenggarakan kegiatan hukumnya sebagai suatu entitas hukum. Kemudian yang kedua yang kami pertimbangkan pada waktu itu sebagaimana sudah dikemukakan oleh Pak Firdaus, perusahaan yang ada saat ini satu-satunya yang ada memang memiliki masalah. Dan kami pada waktu itu dengan tulus, dengan sejujurnya kami sampaikan sebetulnya keinginan kami untuk mengatakan semuanya PT adalah memberikan 80 mekanisme elegan dimana disepakati di DPR ini untuk menyelamatkan perusahaan ini dengan mengubahnya menjadi PT sebagai suatu upaya penyelamatan sebetulnya tapi melalui kewajiban di undang-undang. Nah, demikian mungkin saya ingin tadi itu adalah gambaran mengapa Pemerintah mengusulkan didalam rancangan undang-undang akhirnya hany PT. Perkembangannya tadi Undang-Undang Koperasi yang baru dibatalkan secara keseluruhan. Kemudian ada Mahkamah Konstitusi yang mengatakan tidak boleh ditutup ruang untuk upaya usaha bersama ini untuk tetap hidup di Indonesia karena itu juga sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Kami dari Pemerintah ingin dan sangat menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena itu, kami sekarang berada pada posisi dan kami ingin tetap menghormati keputusan itu artinya memang kita perlu atur bagaimana usaha bersama ini. Kemudian saya sependapat dengan Pak Harry Azhar kalau usaha bersama yang saat ini landasan hukumnya saja minimun, bisa dibilang tidak ada diakomodasi, kita tentu juga harus fair kepada koperasi jadinya. Itu pikiran logis saja, cara berpikir logisnya. Karena itu, Pemerintah sendiri saat ini secara umum melihat oke kami akan bisa menerima kalau koperasi ditambahkan disitu kembali. Tetapi kalau yang usaha bersama kami ingin mengusulkan kita tidak memperluas pada kemungkinan usaha-usaha bersama yang baru. Kami ingin usulkan oke usaha bersama yang ada kita akui bahkan kami bisa berikan misalnya oke kita berdasarkan undang-undang ini kita berikan status badan hukum khusus kepada yang ada sekarang ini. Tapi selain itu kami ingin menambahkan didalam undang-undang ini sebagai konsekuensinya adalah aturan-aturan lain, aturan-aturan prudensial yang akan bisa membantu OJK nanti yang betul-betul ya tidak mungkin ada koperasi baru yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, kalau usaha bersama tadi kami usulnya betul-betul kita batasi Pak berdasarkan undang-undang ini hanya itu saja yang kita ini. Kita tidak membuka ruang usaha bersama yang baru. Kalau ada yang mirip-mirip seperti itu jadi koperasi saja karena koperasi sudah kita sudah punya landasan hukum undang-undang yang jelas mengenai hal itu. Untuk yang ada oke, kita akui bahkan kita usulkan, kita berikan status badan hukumnya tapi untuk koperasi maupun usaha bersama khusus yang eksisting ini seandainya tetap kita sepakati untuk kita pertahankan, kami mohon untuk dapat ditambahkan aturanaturan baru, misalnya yang kami mungkin bisa sampaikan pertama koperasi dan usaha bersama tidak boleh menjual polis asuransi kepada non anggota, dia hanya boleh menjual kepada anggotanya. Mungkin akan ada pertanyaan kalau gitu tidak bisa berkembang. Tentu bisa, kalau dia bisa menarik orang terlebih dahulu menjadi anggotanya baru kemudian menjual polis kepada yang bersangkutan. Yang kedua , yang kami mungkin ingin usulkan adalah, saya menggunakan kata mungkin nanti karena didalam diskusi mungkin berkembang yang lain. Yang kedua, bahwa untuk menjadi anggota ini seseorang ini harus membayar iuran pokok atau iuran wajib apapun namanya yang akan kita sebut. Jadi dengan demikian, setiap 81 perkembangan bisnis dengan bertambahnya anggota ini koperasi atau pun usaha bersama ini sudah terlebih dahulu di back up dengan tambahan modal dari calon pemegang polis tersebut. Kemudian yang ketiga , yang ingin kami usulkan adalah ada ketentuan yang secara tegas disini disampaikan bahwa keuntungan itu dinikmati bersama tentunya secara proporsional, kerugian juga harus ditanggung bersama oleh para anggota. Mengenai aturan pembagiannya pengenaan, pembebanannya dan sebagainya kita bisa serahkan kepada OJK mengenai hal tersebut. Nah, dengan adanya usulan yang ketiga ini apabila dapat diterima ini juga sekaligus mendorong, mendesak pada asuransi usaha bersama pada saat ini itu juga men-declear keuntungannya berapa dan kerugiannya berapa akumulasinya saat ini. Dan kemudian mendorong mereka untuk mengemukakan kepada anggota ini loh akumulasi keuntungan yang bisa dibagi atau ini akumulasi kerugian yang harus ditanggung bersama sehingga dengan demikian OJK juga akan mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan diskresi nah ternyata seperti ini situasinya, pilihan ada. ini juga akan meng-involve.....(mic bermasalah) pengawasan dan koreksi terhadap perusahaan asuransi ....usaha bersama...... Apa yang di 3 tadi, Pak Isa coba diulangi? - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Pertama Pak, kami usulkan pertama dia tidak boleh menjual polis kepada non anggota. Kedua, untuk menjadi anggota orang harus melihat......, yang ketiga ...... akumulasi keuntungan atau akumulasi kerugian .... ( suara tidak terdengar ) - KETUA RAPAT: Bapak-bapak sekalian, Sudah nyala belum Pak? - F-PG (DR. H. HARRY AZHAR AZIS, M.A.): Kalau perlu kita berikan kewenangan kepada OJK untuk penjelasan atau ketentuan lebih lanjut kita berikan kewenangan kepada OJK untuk membuat dalam bentuk POJK itu. Saya kira dengan demikian tapi bentuknya dia sebagai menu tetap hidup tapi OJK jangan kecendrungannya untuk mematikan. Jadi justru dalam peraturan OJK itu bagaimana merangsang artinya ada insentif-insentif orang lebih tertarik menjadi anggota usaha bersama atau anggota koperasi. Itu yang harus diapakan. Bahwa dia tidak hidup ya itu realitas yang ada memang tapi jangan kita berikan kewenangan nanti kecendrungan OJK justru mematikan gitu atau meniadakan. Itu yang harus kita kasih pesan yang kuat gitu. Jadi apakah nanti insentif-insentif itu nanti akan apa itu silakan OJK memikirkannya, jangan kita lah yang memikirkannya. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Terima kasih Pak. 82 Kami memang sependapat kalau memang dibuka menunya tentu tidak boleh kemudian secara diskriminatif atau pun secara tendesius gitu kemudian tetap dimatikan tentu kita harus fair gitu. Tapi juga kami nanti tentu mengharapkan OJK juga tidak membuatnya menjadi begitu mudah sehingga malah mengganggu kesehatan perusahaan itu sendiri jadi tetap harus seimbang antara kemudahan dan juga kemampuan perusahaan itu nantinya untuk menjaga kesehatan untuk menjaga keseimbangan antara kewajiban dan sebagainya didalam pelaksanaannya. Kalau begitu kita masukkan juga. Jadi ada semacam konversi pengertian kesehatan di PT itu konversinya di kesehatan koperasi, konversinya di kesehatan di usaha bersama itu kita minta OJK merumuskannya. Konversi mengenai good governance tadi misalnya pernyataan Pak Firdaus, BPA itu menjadi RUPS, nah itu bagaimana konversinya. Itu harus dibuat menjadi governance betul. Nah, kalau di perbankan itu ada satu tambahan yaitu kontribusinya bagi perekonomian nasional mana yang lebih besar. Nah, itu yang nanti orang pada akhirnya itu berebut dan itu kan tujuan dari Undang-Undang Dasar kita dulu yang seperti itu yang sampai sekarang masih hidup jiwanya, tubuhnya saja tidak ada, jiwanya masih ada. Jadi kalau kita sepakat saya kira tinggal dirumuskan bagaimana, nanti baru dalam tim perumus kita apakan. STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Bapak Pimpinan yang kami hormati, Bapak-bapak Anggota Panja, Ada satu sedikit hal lagi. Ini yang mungkin satu hal lagi yang kami mohon pertimbangan juga yaitu segala hal yang terkait dengan ini masih terbuka untuk diskusi, segala hal yang terkait dengan prudensial dari perusahaan asuransi yang berbentuk koperasi atau usaha bersama ini sudah jelas itu adalah wilayah OJK. Jadi mengenai ketentuan kesehatannya, mengenai berapa kira-kira iuran pokok atau iuran wajib yang harus dibayarkan sebelum menjadi anggota dan sebagainya karena itu terkait dengan kekuatan perusahaan, kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban dan sebagainya. __ Hal yang spesifik yang ingin kami sampaikan adalah terkait dengan status badn hukumnya dan juga mengenai hal-hal isu yang meyangkut tata kelolanya. Dalam pandangan sementara kami, melihat kesetaraan- kesetaraan juga bagaimana PT, koperasi, itu mengenai ke- badanhukuman-nya itu adalah tetap itu tetap adalah Pemerintah yang memberikan status dan sebagainya itu. Tapi bahwa izin usaha dan sebagainya ada di otoritas. Jadi kami ingin mengusulkan bahwa aspek badan hukum dan tata kelola ini tetap ada pada Pemerintah ya, tetap pada Pemerintah dalam hal ini nanti lebih spesifik sebetulnya nanti adalah Kementerian Hukum dan HAM yang mengenai hal ini. Tapi hal-hal lain yang menyangkut isu kesehatan keuangan kemudian persyaratan untuk menjadi anggota yang sebetulnya yang tentunya berpengaruh kepada kesehatan perusahaan tentu adalah wilayah OJK untuk mengaturnya lebih lanjut. __ Demikian mungkin sedikit tambahan usulan mengenai hal tersebut Pak. 83 - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Saya kira hal ini sudah padat sekali penjelasannya Pak ya. Sampai- sampai saya ini sudah penjelasan tambahan kayaknya sudah lewat saja, sudah tidak nampung lagi kepala saya, sudah terlalu banyak betul penjelasannya. Jadi sudah tidak muat kepala ini. __ Bapak-bapak sekalian, Mungkin kita bisa ambil keputusan Pak kelihatannya ini. Jadi kita masuk ke bentuk badan hukum ya, bentuk badan hukum itu yang pertama Perseroan Terbatas ya Pak ya, penguasa gimana Pak? penguasa sendiri tidak, penguasan itu sendiri, bagaimana penguasa setuju? Setuju Pak ya? __ (RAPAT : SETUJU) Penguasa sendiri saja duduk, belum mau bagi-bagi sama kita kekuasaan ya. Yang kedua, usaha koperasi, setuju Pak ya? Nah, ini lain ini ada pendapat? Silakan Pak. __ Terima kasih. Didalam Undang-Undang Dasar memang dimungkinkan adanya usaha bersama tapi apakah artinya luas, artinya semua kegiatan usaha memberikan peluang terbukanya usaha bersama atau kah kita bisa batasi bahwa tidak semua jenis usaha harus dilakukan secara bersama kan tidak berarti semua harus dibuka seluas-luasnya untuk bersama kan? Bia tidak diartikan demikian? kalau bisa diartikan demikian maka apakah asuransi merupakan salah satu jenis usaha yang tidak dilakukan bersama? Ini hanya sebagai .....saja. - KETUA RAPAT : Pak, saya perlu ini barangkali ini ada buku menarik ini. Doktor Muhammad Hatta, penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar ’45, ini buku sudah tua sekali Pak sampai warnanya saja sudah berubah, tadi saya dikasih dari belakang. Saya kira perlu ini Pak, kuliah ekonomi juga mestinya kasih buku begini kalau.....konstitusi ini. Saya ......oleh Doktor pendiri negara kita ini, Pasal 33 Undang-Undang Dasar kita tidak bersumber kepada falsafat pragmatisme demikian itu melainkan bersumber kepada falsafat negara Pancasila kita. Dengan jelas ayat (1) dimulai dengan ketegasan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ada 2 keywords, ada 2 kata kunci disini yaitu kata usaha bersama dan kata asas kekeluargaan dirangkaikan menjadi satu kalimat maka kata kunci itu tidak mungkin memberikan tafsiran lain daripada bahwa yang dimaksud dalam ayat itu adalah usaha dan aktivitas koperasi. Jelas ini Muhammad Hatta yang tulis tapi bukan Hatta kita ini kalau Hatta kita ini belum nulis buku dia, sebab kedua istilah itu berasal dari dunia pergerakan koperasi baik didalam maupun didalam negeri. Jadi menarik buku ini, saya sudah copy buku ini nanti dibagi-bagi semua ini termasuk Pak Firdaus, jangan terlalu liberal Pak Firdaus. Kalau Pak Isa ini sudah jelas alirannya agak sosialis Pak Isa. ini. Ya, oke itu Pak ya kalau begitu Pak ya koperasi, setuju Pak? 84 (RAPAT : SETUJU) Yang ketiga adalah usaha bersama, bahasanya ini jadi mutuall Pak. Bagaimana Pak? - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Usaha bersama ini kami sekali ingin mengusul hanya usaha bersama yang ada saat ini tidak untuk dikembangkan lagi. - KETUA RAPAT : Jadi usaha bersama yang ada sekarang ini, begitu Pak ya. Yang eksisting ini saja ya AJB nanti dimasukkan dalam penjelasannya ya Pak usaha bersama yang dimaksud. Dengan catatan kalau muncul lagi itu diarahkan ke bentuk usaha koperasi. Nah, itu tadi pengertiannya Pak Edwin itu tadi. Jadi kita batasi didalam undang-undang ini tapi yang sudah ada kita tidak matikan ya. - KETUA RAPAT : Begitu Pak ya? oke. __ (RAPAT : SETUJU) Jadi usaha bersama dengan catatan penjelasan bahwa yang dimaksudkan itu dengan eksiting sekarang ini dan mendorong agar supaya di masa mendatang kalau ada yang menghendaki jenis usaha yang sama agar mengambil badan hukum yang berbentuk koperasi. Kira-kira begitu lah Pak ya, nanti kita formulasikan bahasanya. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Ini ada saya mau urutannya ini keputusannya terurut ya Pak ya. Jadi kembali kepada tadi perseroan terbatas, koperasi, dan usaha bersama Pak ya yang ada saat ini, begitu ya keputusannya ya. __ (RAPAT : SETUJU) Dan kemudian ada beberapa keputusan tambahan karena itu berkaitan dengan materinya Pak ya, materi yang pertama berkaitan dengan pengaturan tambahan mengenai koperasi usaha bersama. Ini akan kita diskusikan besok pagi Pak ya karena kalau didiskusikan ini malam, ini juga sudah tidak jelas kemana ini. Setuju Pak Isa ya? Jadi peraturan lebih lanjut mengenai koperasi usaha bersama ini akan kita diskusikan besok. Saya harap teman-teman OJK ini, Bapak-bapak OJK ini bisa masih hadir besok tapi Pak Firdaus ini rupanya besok wisuda, anak apa cucu Pak? oh anak makanya saya kaget juga ini, ini jangan salah pilih kita ini, kakek- kakek kita pilih ya tidak Pak ya? selamat Pak wisuda anaknya, selamat, besok ada wisuda. Saya kira Pak Dumoli sama Pak Alim harus tetap bertahan disini. Gitu Pak ya? jadi peraturan lebih lanjutnya lagi akan kita lanjutkan. Mengenai PP Pak ini tambahan saja Pak sekedar pertimbangan 85 juga sebelum besok kita masuk, saya dibisiki dari staf ahli saya juga mungkin dari MenkumHAM juga bisa kasih pertimbangan. Perintah petita- nya Mahkamah Konstitusi itu mengatakan membentuk Undang-Undang tentang Usaha Bersama Pak kalau tidak salah. Jadi kalau saya dikasih masukan, apakah tidak mendegradasi keputusan kalau kita bikinnya itu memerintahkan lagi kepada PP gitu jadi harus dicari celahnya menurut saya gitu ya yang mungkin kita atur ini adalah celahnya gitu tentang usaha bersama ini. Tapi tentu yang kita bicarakan disini usaha bersama dibidang asuransi ya kan, asuransi usaha bersama di bidang non asuransi ada ga Pak? ga ada. Mutuall fund sebenarnya dikenal dalam bidang keuangan tetapi bukan asuransi Pak, itu pengumpulan dana apa yang disebut dengan mutuall fund itu di Amerika itu banyak juga perusahaannya tapi bukan asuransi. Kalau tidak salah saya di Amerika itu bentuknya bukan asuransi istilahnya disebut sebagai mutuall fund, mutuall fund juga ya untuk investasi, fund saja gitu loh. Jadi gitu ya dipertimbangkan saja. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Terima kasih Pimpinan. Saya sekedar ini saja untuk kita diskusikan besok mengenai hal tersebut. Keputusan Mahkamah Konstitusi itu menambahkan saja frasa setelah kalimat yang ada di UndangUndang Nomor 2 tahun ’92. Saat ini undang- undang ini tanpa tambahan dari Mahkamah Konstitusi bunyinya : ”ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Jadi yang diperintahkan diatur dengan undang-undang ini adalah ketentuan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama bukan mengenai usaha bersamanya sendiri. Itu satu. Kemudian Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi menambahkan anak kalimat setelah itu paling lama 2 tahun 6 bulan sejak putusan Mahkamah Konstitusi, kira-kira 3 bulan yang lalu Pak. Jadi kalau kita membaca ini secara lengkap, ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang paling lama 2 tahun bulan setelah atau sejak, nanti kita cek, putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan atau diucapkan. Dengan demikian kami sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, kami melihat ada peluang kita menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi itu dengan mengatur mengenai usaha perasuransian yang dilakukan oleh usaha bersama dengan undang-undang yang akan kita buat ini. Tapi boleh besok pagi kita eksplor lebih lanjut pandangan hukumnya. Itu pandangan kami, kajian-kajian yang kami lakukan secara internal di Kementerian Keuangan. __ Adapun mengenai bentuk hukum dari usaha bersama sendiri, ini bukan secara spesifik menjadi aspek yang diatur diperintahkan oleh Pasal 7 ayat (3) undang-undang yang ada sekarang. Jadi seandainya toh kita atur mengenai usaha perasuransian berbentuk usaha bersama didalam undang-undang yang akan kita buat ini, menurut hemat kami itu dapat kita lakukan. Jadi sekaligus kita penuhi juga keputusan Mahkamah Konstitusi. Kemudian khusus mengenai aspek ke-badanhukuman-nya ya undang- undang ini bisa mendelegasikan kepada siapa saja dan hal ini usulan kami 86 adalah kepada Peraturan Pemerintah. Tapi kami tetap terbuka kalau besok ada diskusi-diskusi lebih lanjut dari aspek legal mengenai hal ini. Terima kasih Pak Pimpinan. __ - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Saya kita itu sekedar tambahan saja. Kita sudah ada keputusan, badan hukumnya ada 3 : perseroan terbatas, koperasi, usaha bersama ....catatannya tadi itu ada diatas Pak. Selanjutnya besok kita akan membicarakan lebih detail lagi mengenai aspek-aspek tambahan dalam Undang-Undang Koperasi itu Pak ya materinya. __ Saya kira kita skors rapat kita ini sampai besok pagi jam 09.00 ya, betul Pak? ya, 09.35 lah kira-kira begitu ya. Jadi kita skors sampai jam 09.30 besok pagi. • Terkait dengan Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “Badan Hukum Usaha Bersama” UU PERASURANSIAN dalam Masa Persidangan IV Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, Sabtu, 30 Agustus 2014. Dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian: - KETUA RAPAT: Bapak-bapak sekalian yang saya hormati, Kita dapat tugas tadi malam untuk melanjutkan materi yang berkaitan dengan usaha bersama ini. Jadi ini masih ada ......soal usaha bersama ini, interpretasinya ini soal undang-undang atau apakah kita undang- undangkan atau cukup Peraturan Pemerintah. Saya kira silakan Pemerintah. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Bapak Pimpinan, Bapak-bapak yang saya hormati, __ Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Berkenaan dengan pandangan mengenai peraturan lebih detail mengenai bentuk badan hukum atau mengenai badan hukum....... kami sebagaimana kami kemukakan tadi malam juga berpandangan bahwa pertama keputusan Mahkamah Konstitusi sebetulnya adalah tidak mengubah secara signifikan dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) tahun.........kecuali menambahkan jangka waktu atau harus diselesaikannya undang-undang yang mengatur mengenai usaha perasuransian berbentuk usaha bersama. Jadi sekali lagi kami sampaikan bahwa kalau kemudian kita membaca Pasal 7 ayat (3) yang sudah dilengkapi dengan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi maka kita akan mendapatkan kalimat ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama. Jadi yang perlu diatur adalah usaha perasuransian oleh badan usaha yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang, paling lama 2 tahun 6 bulan setelah atau sejak dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi. Dari kalimat tersebut, pemahaman kami adalah yang perlu diatur dengan undang-undang itu adalah ketentuan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama, tidak secara spesifik mengenai badan hukum usaha bersamanya itu sendiri tapi mengenai usaha perasuransian oleh badan 87 hukum yang berbentuk usaha bersama karena itu sepanjang kita sudah memuat beberapa aturan pokok mengenai kegiatan usaha perasuransian yang dilakukan oleh usaha bersama maka undang-undang ini juga bisa dipakai sebagai bukti bahwa DPR dan Pemerintah sudah memenuhi keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena disini juga digunakan, diatur dengan undang-undang. Artinya tidak harus spesifik undang-undang khusus mengenai hal tersebut, bisa dilakukan di undang-undang mana pun. Ada pun yang kami pandang sebagai aturan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama itu bisa aturannya spesifik, bisa juga aturan yang diberlakukan sama untuk usaha bersama maupun untuk badan-badan usaha lain PT, koperasi dan sebagainya. Dengan kata lain, didalam undang-undang ini bisa jadi ada peraturan-peraturan yang spesifik mengenai pengaturan usaha perasuransian oleh usaha bersama, kami kemarin juga sudah sampaikan beberapa pemikiran yang mungkin bisa ditambahkan disitu yang merupakan kekhasan dari usaha perasuransian oleh usaha bersamam dan koperasi. Semalam kami usulkan ada 3 hal yaitu bahwa dia tidak boleh menjual polis kepada non anggota, kemudian untuk menjadi anggota orang diminta untuk membayar iuran pokok atau iuran apa pun nanti namanya, kemudian yang ketiga akumulasi keuntungan, akumulasi kerugian itu pada dasarnya harus didistribusikan secara merata kepada seluruh anggota. Itu adalah aturan-aturan mengenai usaha perasuransian yang sifatnya khas, yang sifatnya spesifik bagi usaha bersama. Yang kebetulan nanti kita terapkan untuk koperasi. Sementara aturan yang lain mengenai tingkat solvabilitas, mengenai kewajiban untuk mendapatkan izin usaha, kewajiban untuk memiliki tata kelola membuat aturan tertentu yang ditetapkan oleh OJK. Seluruhnya mungkin kita bisa persamakan antara PT dan koperasi dan usaha bersama atau ya nanti tergantung kita serahkan diskresi kepada OJK didalam peraturan-peraturan pelaksanaannya, peraturan OJKnya apakah memang perlu dibedakan antara PT, usaha bersama dan koperasi. Oleh karena itu, Bapak Pimpinan, Bapak-bapak Anggota Panja yang kami hormati, dalam pandangan kami kalau kita sudah membuat pengaturan pertama menyatakan bahwa badan usaha bersama ini adalah badan hukum dan dapat tetap melanjutkan kegiatan usaha perasuransiannya. Kemudian kita menambahkan 3 atau mungkin beberapa yang nanti spesifik mengenai usaha perasuransian. Kemudian kita mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai tata kelola, mengenai tata cara perubahan bentuk badan hukum dan sebagainya kepada PP dan mengenai aturan-aturan prudensial lain kepada POJK. Menurut kami itu sudah menunjukkan DPR dan Pemerintah sudah membuat undang- undang, ketentuan didalam undang-undang yang mengatur mengenai usaha perasuransian oleh badan hukum berbentuk usaha bersama. Demikian mungkin pandangan-pandangan dan argumen yang kami sampaikan sehingga dalam pandangan kami oh ada satu lagi Bapak Pimpinan, Bapak-bapak yang kami hormati. Kalau untuk misalnya saya sangat mengerti argumen kita harus membuat sebetulnya ketentuan mengenai satu badan hukum, paling tepat idealnya adalah undang- undang. Saya bisa memahami logika itu. Tapi karena kita juga semalam sudah bersepakat, kita tidak membuka usaha bersama yang lain hanya 88 yang eksisting ini dan di kemudian hari kalau ada yang ingin menerapkan pola yang serupa kita dorong untuk menggunakan koperasi. Akan terlalu mahal kita Pak untuk kita mengupayakan undang-undang yang hanya mengatur satu badan hukum private di Indonesia ini. Itu argumen lain yang ingin kami sampaikan sehingga kami melihat bahwa ini bisa kita akomodasi di undang-undang ini, pernyataan badan hukumnya ada di undang-undang yaitu undang-undang ini memang ini satu kekhususan. Kemudian pengaturan-pengaturan lain kita serahkan kepada Peraturan Pemerintah menyangkut tata kelola dan POJK untuk yang menyangkut prudensial di bidang usaha perasuransian. Demikian Pak. Terima Kasih. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Intinya kita sudah mengadopsi keberadaan usaha bersama ini. Soal undang-undangnya nanti juga saya perhatikan perseroan terbatas kan sudah ada undang-undang, koperasi juga sudah ada undang-undang. Nah, usaha bersama ini belum ada, akan dibentuk 2,5 tahun. Ini kan putusannya kapan? 2014? Masih lama Pak, masih ada 2 tahun lagi. Jadi kita ga perlu tambahkan didalam undang-undang ini frasa untuk memerintahkan membentuk lagi undang-undang begitu loh, itu hanya menimbulkan konflik dengan keputusan yang lebih tinggi daripada kita. Jadi cukup kita mengatur bahwa badan usaha didalam asuransi itu ada 3 bentuk hukumnya : perseroan terbatas, koperasi, usaha bersama sudah begitu Pak. Usaha bersama itu ya memang sudah ada memang untuk memberikan alasan hukum saja kepada asuransi, saya juga sudah baca salinan putusan Mahkamah Konstitusi itu walaupun sekilas memang ya sudah begitu Pak. Dan kedua, Pak Isa sebetulnya sih undang-undang ini yang mengatur satu jenis usaha itu banyak Pak, misalnya : BPJS itu kan Jamsostek saja itu yang berubah kan misalnya diubah menjadi BPJS, macam-macam. Jadi ada banyak kan, undang-undang 32, 34 itu tentang pengendara juga cuma satu juga kan. Jadi biarlah itu menjadi materi yang diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi dan menjadi PR Pemerintah dan DPR ya untuk membentuk Undang-Undang tentang Usaha Bersama, apakah nanti itu diputuskan hanya untuk mutuall fund Bumiputera atau apakah nanti Pemerintah baru dia pikir-pikir karena perlu juga mutuall fund yang lain lagi, silakan saja itu kita kasih kesempatan bagi mereka untuk memikirkan. Yang pasti kita dalam undang-undang ini cukup bahwa yang ada sekarang ini sudah kita kasih alas hukum dan oleh karena itu mereka tidak perlu merasa terdiskriminasi lagi. Dan tadi malam sudah dijelaskan Pak Firdaus jan road map penyelesaiannya itu, kalau tidak selesai-selesai ya OJK-nya yang kita ikut ini ya Pak Sugi ya kalau tidak selesai-selesai juga biar.... namanya asuransi jasa Bumiputera. Kalau tidak bisa juga OJK baru kita kirim Pak Isa untuk beresin itu, apakah likuidasi atau ya kan gitu kira-kira. Jadi Pak ya oke ya. Nah, sekarang yang ketiga saya ingin tambahkan Pak ini untuk usaha bersama ini menurut saya ada satu pasal yang mesti kita masukkan tambahan sedikit khusus untuk usaha bersama ini. Kalau koperasi ini banyak di dalam catatan saya ini ada beberapa materi yang akan kita putuskan untuk koperasi dan usaha bersama harus ada pengaturan yang 89 jelas mengenai: satu, polis hanya dapat dijual kepada anggota ya Pak ya? _begitu Pak ya? jadi materi yang mau kita atur itu:

    1.

    Polis hanya dapat_ dijual kepada anggota. Cuma dalam catatan hukum teman-teman tadi malam itu tidak masalah ya? itu polis hanya dapat dijual kepada anggota, tadi malam sudah dijelaskan Pak Isa. Ada tanggapan Pak? Ga apa-apa ya? kita ketok palu ini kalau tidak ada tanggapan? Pak Isa, mau diubah pendapatnya? Bapak tidak ragu-ragu? Ya, sudah yakin ya sudah kita ketok palu. Jadi materinya itu polis hanya dapat dijual kepada anggota yang kita atur dalam bentuk pasal sendiri ya nantinya, ketentuan sendiri. (RAPAT : SETUJU) PETITUM DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:

    1.

    Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga Permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );

    2.

    Menolak Permohonan a quo untuk seluruhnya;

    3.

    Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;

    4.

    Menyatakan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; dan

    5.

    Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita negara republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden memberikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 18 Agustus 2020 dan didengarkan dalam persidangan pada tanggal 19 Agustus 2020, serta keterangan tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 7 September 2020, yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut: 90 TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Sebelum memberikan penjelasan mengenai pokok permasalahannya, perlu kiranya terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap aspek formal yakni legal standing para Pemohon. Untuk itu perkenankan kami memberikan pendapat sebagai berikut:

    1.

    Bahwa dalam permohonannya, para Pemohon keberatan terhadap keberlakuan pasal a quo karena pengaturan lebih lanjut mengenai badan hukum Perusahaan Asuransi berbentuk Usaha Bersama ke dalam Peraturan Pemerintah, dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 yang bersifat final dan mengikat.

    2.

    Bahwa oleh karena yang dijadikan batu uji para Pemohon adalah putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013, maka perkenankan terlebih dahulu kami menyampaikan hal-hal terkait dengan putusan dimaksud:

    a.

    Bahwa permohonan uji materi tersebut diajukan oleh para Pemegang Polis (Pemilik Badan Usaha) Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dengan alasan ketentuan pasal tersebut mengamanatkan pengaturan tentang usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama diatur dengan undang-undang, sedangkan sampai dengan permohonan uji materi tersebut diajukan, masih belum diterbitkan undang-undang tersebut.

    b.

    Bahwa terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan putusan yang amarnya pada pokoknya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU 2 Tahun 1992 yang diajukan permohonan uji materinya tersebut, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan.

    c.

    Bahwa dapat kami sampaikan, pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, sedang dilakukan pembahasan perubahan UU 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan perubahan UU 2 Tahun 1992, yang selanjutnya kami kutip sebagai berikut: “… dengan mempertimbangkan putusan MK tersebut, kepastian hukum bagi badan hukum asuransi Usaha Bersama akan terpenuhi jika amanat 91 putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, pengakuan atau penetapan perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum, perlu dituangkan dalam undang- undang ini, untuk mengakomodir keberadaan satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang sudah ada di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Di samping itu, ketentuan mengenai tata kelola, persyaratan, tata cara persyaratan menjadi badan hukum perseoran terbatas atau koperasi, dan tata cara pembubaran serta ketentuan lain bagi perusahaan perasuransian yang berbentuk badan hukum Usaha Bersama, akan diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah ( vide Naskah Akademik RUU tentang Perasuransian halaman 63 alinea 3).

    d.

    Bahwa apabila dikaitkan dengan tenggang waktu yang diamanatkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan No.32/PUU-XI/2013, maka Pembuat Undang-Undang sebelum tenggang waktu 2 tahun 6 bulan sejak putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, tepatnya pada tanggal 17 Oktober 2014, telah menetapkan UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40 Tahun 2014) yang didalamnya juga mengatur tentang usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama. Sehingga Pemerintah telah menjalankan amanat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas dengan menerbitkan UU 40 Tahun 2014 dalam jangka waktu sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi.

    3.

    Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka maksud dari permohonan para Pemohon, telah terpenuhi yakni dengan telah diakuinya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan, sebagai badan hukum penyelenggara Usaha Perasuransian. Selain itu, permohonan para Pemohon juga telah terpenuhi dengan diaturnya usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014.

    4.

    Bahwa dengan terpenuhinya permohonan para Pemohon tersebut, maka apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011, yang mensyaratkan Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang , maka para Pemohon a quo tidak 92 memenuhi syarat-syarat tersebut, karena pada kenyataannya putusan Mahkamah Konstitusi No.32/PUU-XI/2013 telah ditaati oleh pembuat UU 40 Tahun 2014 sebagaimana telah kami kemukakan di atas.

    5.

    Bahwa selain tidak memenuhi legal standing , permohonan a quo juga telah kehilangan obyek dengan telah diaturnya jenis usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, Pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, Pembentuk Undang-Undang tengah melakukan pembahasan perubahan UU 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan perubahan UU 2 Tahun 1992, sebagaimana disebutkan dalam halaman 63 alinea 3 Naskah Akademik RUU tentang Perasuransian. Bahwa selain itu, lahirnya UU 40 Tahun 2014, dilatarbelakangi oleh suatu keadaan dimana peraturan perundang-undangan sektor jasa keuangan yang ada pada saat itu, khususnya di bidang perasuransian telah tertinggal dibanding dengan kemajuan dan perkembangan di industri maupun standar di praktek internasional. Akibatnya, banyak celah hukum yang apabila tidak segera ditangani dan diantisipasi, berpotensi menimbulkan keadaan yang merugikan masyarakat dan kontra produktif bagi pertumbuhan dan perkembangan industri perasuransian serta sektor jasa keuangan dan perekonomian nasional pada umumnya. Oleh karena itu, Pembuat Undang-Undang, pada saat itu pembentukan UU 40 Tahun 2014, telah melakukan identifikasi masalah, dalam rangka menyusun kerangka pembaharuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian dalam pembaharuan peraturan bidang perasuransian, yakni:

    1.

    Perlunya Penyesuaian Pengaturan Dan Pengawasan Industri Perasuransian Di Indonesia Yang Selaras Dengan Standar Praktik Terbaik ( Best Practices ) Yang Berlaku Secara Internasional. Standar praktik terbaik internasional di bidang perasuransian adalah Insurance Core Principles, Standards, Guidance and Assesment Methodology 93 (selanjutnya disebut ICPs) yang diterbitkan oleh International Association of Insurance Supervisors (selanjutnya disebut IAIS), selaku organisasi internasional yang menaungi para regulator atau supervisor di bidang perasuransian. ICPS tersebut ditetapkan pada tahun 2000 dan terakhir kali diperbaharui pada Oktober 2011. ICPs telah menjadi panduan bagi regulator atau pengawas perasuransian di seluruh dunia dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap industri perasuransian. Sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia harus berkomitmen agar pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan industri perasuransian selaras dengan standar praktik terbaik ( best-practice standard ), sebagaimana ditetapkan dalam ICPs. Dalam upaya meningkatkan daya saing industri perasuransian di Indonesia, baik di kawasan regional maupun internasional, penerapan standar praktik terbaik baik pada sisi pengaturan maupun pengawasannya, merupakan hal yang tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, peraturan terkait perasuransian harus memuat pengaturan mengenai prinsip-prinsip dasar asuransi sesuai dengan ICPs yang telah ditetapkan oleh IAIS. Sistim Pengawasan Usaha Perasuransian di Indonesia Sebagaimana telah kami kemukakan di atas, bahwa usaha perasuransian sangat memerlukan pengawasan dan tidak terkecuali usaha perasuransian di Indonesia. Agar sesuai dengan standar internasional, maka sistem pengawasan asuransi di Indonesia, yang sebelumnya dilakukan oleh Bapepam-LK di bawah Kementerian Keuangan, juga dilakukan penyempurnaan dengan membentuk lembaga baru yang independen yakni Otoritas Jasa Keuangan, yang diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Dengan telah disahkannya UU OJK, maka sistem pengaturan dan pengawasan menjadi terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, dalam hal ini termasuk usaha perasuransian di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, sehingga mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. 94 Usaha perasuransian senantiasa mengalami dinamika, tentunya hal ini juga membawa konsekuensi perlu diimbangi dengan dinamika pengaturan dan pengawasannya, agar pelaksanaannya tidak merugikan masyarakat pengguna jasa asuransi. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK sejatinya adalah merupakan upaya pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh bentuk usaha perasuransian, baik perseroan terbatas, koperasi dan Usaha Bersama, agar tercipta iklim asuransi yang sehat yang dapat melindungi seluruh masyarakat sebagaimana acuan standar praktik terbaik ( best-practice standard ) internasional di bidang perasuransian. Sehingga hendaknya tidak semata-mata diartikan sebagai bentuk intervensi Pemerintah dalam pengurusan internal suatu perusahaan perasuransian.

    2.

    Perlindungan Hukum Kepada Masyarakat Pengguna Jasa Perasuransian Perlindungan hukum kepada masyarakat pengguna jasa asuransi juga merupakan salah satu hal yang diperhatikan oleh pembuat undang-undang. Ketersediaan perlindungan dimaksud ditujukan kepada masyarakat pemegang polis, tertanggung atau peserta secara proporsional dan tepat sasaran. Kedudukan pemegang polis, tertanggung atau peserta dalam perjanjian yang disepakati relatif lemah, karena pengikatannya yang bersifat sukarela dari tertanggung kepada penanggung untuk menyerahkan sejumlah uang berupa premi asuransi dengan harapan Penanggung akan melakukan penggantian kepada Tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari peristiwa tidak pasti di kemudian hari. Dalam beberapa kasus, ternyata masyarakat pemegang polis, tertanggung atau peserta berpotensi kehilangan haknya atas manfaat ekonomis secara material dan signifikan ketika perusahaan asuransi bubar, likuidasi atau pailit. Terjadinya pembubaran, likuidasi atau pailitnya perusahaan asuransi umumnya disebabkan oleh kekeliruan dan kesalahan pelaksanaan prinsip- prinsip tata Kelola perusahaan yang baik (good corporate governance ) sehingga menyebabkan perusahaan mengalami kondisi keuangan yang tidak sehat ( insolvent ). Pada tingkat tertentu, kondisi tersebut dapat mengakibatkan 95 ketidakpercayaan masyarakat ( public distrust) dalam memanfaatkan perusahaan perasuransian untuk tujuan memproteksi risiko-risikonya. Kekhawatiran serupa, khususnya di sektor perbankan, dapat dikurangi dengan keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan (selanjutnya disebut LPS) yang berfungsi untuk melindungi dan menjamin dana para nasabah perbankan. Oleh karenanya, dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat ( public confidence ) dan memberikan arena berkompetisi ( level playing field ) yang setara di antara lembaga-lembaga keuangan di Indonesia, dipandang perlu agar industri perasuransian dilengkapi dengan sistem dan mekanisme perlindungan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta secara proporsional dan tepat sasaran, baik semasa perusahaan perasuransian masih beroperasi normal maupun saat dibubarkan, dilikuidasi atau dipailitkan.

    3.

    Kepastian Hukum Bagi Penyelenggara Usaha Perasuransian UU 40 Tahun 2014 yang dimaksudkan sebagai pengganti UU 2 Tahun 1992, pada dasarnya merupakan salah satu upaya untuk lebih memperkuat industri perasuransian di Indonesia, baik penguatan pada sisi industrinya itu sendiri maupun penguatan pada sisi pengawasannya. Penguatan pada sisi industri diharapkan akan menghasilkan industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif sehingga tahan dari goncangan ekonomi, mampu bersaing dengan industri perasuransian lain, baik secara regional maupun internasional, serta menjadi industri yang senantiasa mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi para pihak yang berkepentingan, khususnya kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Sebagai bagian dari strategi dalam rangka penguatan industri perasuransian, UU 40 Tahun 2014 juga diharapkan dapat lebih memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha asuransi. Selain itu, kepastian hukum diperlukan juga dalam upaya memberikan perlindungan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa kekuatan industri perasuransian di Indonesia, pada akhirnya, sangat dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat pengguna jasa usaha perasuransian. Peningkatan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap industri perasuransian salah satunya dapat dilakukan melalui keberadaan program penjaminan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan penyelesaian 96 sengketa antara pemegang polis, tertanggung, atau peserta dengan perusahaan dengan bantuan lembaga mediasi yang independen dan imparsial. Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengusulkan adanya program penjaminan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan penguatan keberadaan lembaga mediasi yang independen dan imparsial. Berdasarkan ketiga hal yang menjadi perhatian dalam pembaharuan peraturan bidang perasuransian tersebut di atas, Pembuat Undang-Undang menyadari bahwa untuk meciptakan iklim perasuransian yang sehat, yang dapat melindungi seluruh masyarakat, haruslah memenuhi ketiga hal pokok tersebut di atas, oleh karena itu, seluruh usaha perasuransian harus memiliki peraturan tentang standar tata kelola yang baik, yang dituangkan dalam suatu peraturan perundang- undangan. B. Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama Merupakan Bagian Dari Industri Asuransi. Pembuat UU 2 Tahun 1992 juga telah memikirkan bentuk badan hukum usaha perasuransian, termasuk jenis usaha asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, selain usaha asuransi berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Sehingga, dalam UU 2 Tahun 1992 terdapat tiga bentuk usaha asuransi yang diakui, yaitu perseroan terbatas, koperasi dan Usaha Bersama. Bahwa ketiga bentuk badan usaha tersebut di atas memiliki karakteristik yang berbeda, yakni:

    1.

    Karakteristik usaha asuransi berbentuk perseroan terbatas antara lain:

    b.

    Kelangsungan perusahaan lebih terjamin karena tidak tergantung pada milik tertentu.

    c.

    Kepemilikan dapat berubah dengan cara memindah atau menjual sahamnya kepada pihak lain.

    d.

    Perusahaan dapat diperbesar dengan cara dilakukan penambahan modal dengan mengeluarkan saham baru. Kepentingan para pemangku kepentingan dapat terlindungi dengan baik karena kejelasan tata kelolanya.

    e.

    Telah terdapat undang-undang sendiri yakni Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

    2.

    Karakteristik usaha asuransi berbentuk koperasi antara lain:

    a.

    Penerapan asas kekeluargaan kebersamaan dan keadilan. 97 b. Telah memiliki undang-undang sendiri yakni UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.

    c.

    Pengelolaan dilakukan secara demokratis.

    d.

    Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil dan sebanding dengan besar jasa masing-masing anggota, dan lain-lain.

    3.

    Usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama: Saat itu, Indonesia belum memiliki pengaturan mengenai badan hukum Usaha Bersama. Satu-satunya perusahaan asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai dengan Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915. Usaha Bersama, meskipun telah diakui di dalam UU 2 Tahun 1992, namun dari sisi tata kelola masih menghadapi tantangan mengingat pada saat itu, belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang status badan hukum termasuk tata kelola perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagaimana halnya usaha perasuransian berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Pembuat undang-undang, saat pembentukan UU 40 Tahun 2014, berpendapat dari ketiga bentuk badan hukum tersebut di atas, perseroan terbatas merupakan bentuk yang paling ideal dalam menjalankan usaha perasuransian, dengan pertimbangan bahwa mekanisme tata kelolanya telah diatur, sebagaimana telah kami sebut di atas. Demikian juga halnya usaha perasuransian berbentuk koperasi. Namun demikian, Pembuat Undang-Undang Perasuransian tetap berkomitmen untuk melindungi dan mengakui seluruh bentuk usaha asuransi yang telah ada dengan tetap memerikan ruang bagi asuransi Usaha Bersama. Oleh karena itu, dalam UU 40 Tahun 2014, Pembentuk Undang-Undang sepakat untuk memberikan pengakuan hukum kepada usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai salah satu bentuk badan hukum perusahaan perasuransian di Indonesia. ( vide pasal 6 ayat (2) UU 40 Tahun 2014. Hal tersebut seharusnya telah memberikan kepastian hukum bagi AJB Bumiputera dalam menyelanggarakan usaha asuransi dengan bentuk Usaha Bersama di Indonesia. 98 C. Perusahaan Asuransi Usaha Bersama dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Usaha Bersama yang telah ada sebagai salah satu bentuk usaha perasuranasian mendapatkan pengesahan sebagai salah satu badan hukum usaha perasuransian di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 ayat (2) UU 40 Tahun 2014. Pembuat UU telah menetapkan pilihan kebijakan ( open legal policy ) bahwa berlakunya UU 40 Tahun 2014untuk menjamin kepentingan masyarakat sebagai pemegang polis, maka usaha bersama yang dapat menjalankan usaha perasuransian hanya usaha bersama yang telah ada. Dengan klasul “usaha bersama yang telah ada” maka open legal policy Pembuat Undang- Undang tidak lagi memberi peluang lahirnya usaha bersama yang baru yang akan menjalankan usaha perasuransian. Dengan demikian AJB Bumi Putera adalah satu-satunya usaha bersama yang menjalankan usaha perasuransian. Dari sisi tata kelola, usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama masih menghadapi tantangan mengingat sebelum UU 40 Tahun 2014 diterbitkan, belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata kelola perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagaimana halnya usaha perasuransian berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Tata kelola suatu perusahaan merupakan hal yang sangat penting. Dalam kasus tertentu, kesalahan tata Kelola atau kecurangan ( fraud ) dalam pengurusan perusahaan asuransi, akan lebih memperbesar peluang timbulnya ketidakmampuan perusahaan asuransi dalam memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam polis asuransi yang telah diterbitkan. Secara umum, penyelesaian permasalahan kesehatan keuangan perusahaan asuransi berbentuk perseroan terbatas adalah dengan kewajiban untuk menambah modal sehingga rasio kesehatan keuangan memenuhi persyaratan otoritas. Dalam Usaha Bersama, penambahan modal tidak dapat dilakukan karena karakteristik Usaha Bersama tidak membolehkan adanya penambahan modal dari pihak luar selain dari anggota. Disisi lain, karakteristik usaha perasuransian adalah bisnis yang memerlukan modal usaha besar. Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan Usaha Bersama dalam menambah modal, dengan pemahaman Usaha Bersama sebagai kumpulan pihak dan bukan kumpulan modal, sementara di sisi lain Usaha Bersama tetap harus 99 memastikan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, maka terhadap Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama yang telah ada, agar dapat tetap menjalankan usaha dengan memiliki standar perusahaan asuransi yang ideal, perlu diatur pembatasan ruang lingkup asuransi Usaha Bersama dan penyempurnaan ketentuan mengenai tata kelola perusahaan perusahaan asuransi Usaha Bersama. Menyikapi kebutuhan pengaturan akan tata kelola usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama, selain pengakuan atas eksistensi satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian, di dalam UU 40 Tahun 2014 juga memuat mandat pengaturan ketentuan mengenai tata kelola usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama dalam batang tubuhnya, diantaranya sebagai berikut: Pasal 35 ayat (1) UU 40 Tahun 2014: Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c hanya dapat menyelenggarakan jasa asuransi atau jasa asuransi syariah bagi anggotanya . Pasal 35 ayat (2) UU 40 Tahun 2014: Setiap anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c wajib menjadi Pemegang Polis dari perusahaan yang bersangkutan . Pasal 35 ayat (3) UU 40 Tahun 2014: Keanggotaan pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau keanggotaan pada Usaha Bersama sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berakhir apabila: _ a. anggota meninggal dunia ;

    b.

    anggota tidak lagi memiliki polis asuransi dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang bersangkutan selama 6 (enam) bulan _berturut-turut; _ atau c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, keanggotaan harus berakhir . Pasal 35 ayat (4) UU 40 Tahun 2014: Anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berhak atas seluruh keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan . 100 Pasal 35 ayat (5) UU 40 Tahun 2014: Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keuangan untuk menjadi anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta pemanfaatan keuntungan oleh anggota dan pembebanan kerugian di antara anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . D. Penguatan Tata Kelola Perusahaan Asuransi Usaha Bersama dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Bahwa UU 40 Tahun 2014 telah mengakomodir kebutuhan hukum perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama pada pasal-pasal dalam batang tubuhnya, meskipun demikian, sebagai upaya penguatan terhadap Perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang telah ada agar memiliki standar sebagai perusahaan perasuransian yang ideal serta memberikan perlindungan bagi para anggotanya, maka Pembuat Undang-Undang juga memperhatikan hal tersebut dengan mengatur lebih lanjut mengenai badan hukum Usaha Perasuransian berbentuk Usaha Bersama dengan Peraturan Pemerintah. E. Penerbitan PP 87/2019 Merupakan Bentuk Perlindungan Hukum Bagi para Pemegang Polis Yang Merupakan Anggota Usaha Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, asuransi sebagai industri yang menggalang dana dari masyarakat, memerlukan sistem pengawasan terintegrasi, baik eksternal, yang selama ini dilakukan oleh OJK, maupun sistem kontrol dari mekanisme pengambilan keputusan organ perusahaan asuransi itu sendiri. Sistem kontrol pada perusahaan asuransi berbentuk PT dapat dilihat dari adanya pembatasan kekuasaan organ/pengurus perusahaan, antara lain dalam hal pengambilan keputusan oleh direksi pada level tertentu, harus mendapatkan persetujuan dari pemegang saham. Selain itu, direksi yang karena kelalaiannya menyebabkan kerugian bagi perusahaan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian tersebut. Pada koperasi, adanya sistem kontrol internal dapat dilihat dari adanya mekanisme pengambilan keputusan yang melibatkan anggota koperasi melalui Rapat Anggota dengan mengutamakan musyawarah mufakat, dan apabila tidak tercapai, maka dilakukan dengan suara terbanyak. Pengambilan keputusan dengan 101 musyawarah mufakat dianggap sebagai cara yang paling baik, karena keputusan yang dihasilkan diharapkan membawa keuntungan bagi seluruh pemegang polis. Dari kedua bentuk usaha PT maupun koperasi, telah terbentuk adanya mekanisme sistem kontrol pengambilan keputusan bagi organ perusahaan, sehingga diharapkan keputusan yang dihasilkan bukan hanya membawa dampak positif bagi kelangsungan perusahaan tetapi juga memberikan perlindungan hukum bagi seluruh anggota polis. Sebelum UU 40 Tahun 2014 dan PP Usaha Bersama diterbitkan, belum terdapat sistem kontrol pada bentuk Usaha Bersama sebagaimana telah diatur dalam usaha perasuransian berbentuk PT maupun Koperasi. Padahal keberadaan sistem kontrol dalam suatu perusahaan sangat diperlukan sebagai salah satu indikator bahwa suatu perusahaan telah dikelola berdasarkan pada prinsip tata kelola perusahaan yang baik ( Good Corporate Governance ). Untuk mengatasi hal tersebut, dalam PP Usaha Bersama, diatur pembatasan terhadap organ Usaha Bersama. Aturan mengenai pembatasan ini diharapkan tidak hanya dipandang dari sisi Pemohon sebagai anggota pengurus Usaha Bersama, melainkan harus dipandang sebagai upaya Pemerintah agar mekanisme pengambilan keputusan pada usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama benar-benar dilakukan bukan hanya untuk kepentingan konstituen semata, melainkan untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh anggota pemegang polis. Bahwa apabila kemudian para Pemohon mempermasalahkan PP 87/2019 dan dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, menurut pendapat kami hal tersebut tidak tepat karena PP 87/2019 tersebut tidak mengurangi pemberian kepastian hukum bagi Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan dalam menyelenggarakan usahanya, tetapi justru memberikan kejelasan mengenai teknis penyelenggaraan usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama sehingga diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pemegang polis. Bahwa Penerbitan PP 87/2019 yang merupakan delegasi dari pasal 6 ayat (3) UU No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, serta merupakan bentuk perlindungan hukum bagi para pemegang polis yang merupakan anggota Usaha Bersama. 102 F. Pemohon Telah Keliru Dalam Memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 Bahwa para Pemohon telah keliru memaknai putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 seolah-olah Mahkamah Konstitusi mengamanatkan semua hal yang terkait dengan asuransi Usaha Bersama diatur dalam undang-undang tersendiri. Bahwa amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 antara lain berbunyi, “Frasa ".... diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang" dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai ".... ’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang' dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan _setelah putusan Mahkamah ini diucapkan"; _ Bahwa amar putusan tersebut, mengamanatkan pembentuk undang-undang untuk merealisasikan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2 Tahun 1992 yaitu untuk mengatur usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) ke dalam undang-undang dalam kurun waktu paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan setelah putusan Mahkamah diucapkan. G. Pemerintah Telah Melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 3 April 2014 Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tanggal 3 April 2014 sejatinya telah ditindaklanjuti dengan wujud konkrit dari Pembuat Undang-Undang, yaitu dengan merumuskan dan mengatur ketentuan terkait usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama dalam batang tubuh UU 40 Tahun 2014, diantaranya:

    1.

    Penegasan mengenai status Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan sebagai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian, dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan (2);

    2.

    Perizinan usaha Usaha Bersama, dalam ketentuan Pasal 8;

    3.

    Penyelenggaraan usaha perasuransian (termasuk Usaha Bersama) sesuai dengan tata kelola yang baik, dalam Pasal 11;

    4.

    Pengaturan kewajiban organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) untuk memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan, dalam Pasal 12; 103 5. Pengaturan mengenai prinsip dasar penyelenggaraan Usaha Bersama, dalam Pasal 35;

    6.

    Larangan bagi organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) jika izin usaha perusahaan perasuransian dicabut dalam Pasal 43;

    7.

    Kewenangan organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) jika tim likuidasi telah terbentuk, dalam Pasal 46;

    8.

    Kewenangan OJK untuk menonaktifkan organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) dan menetapkan pengelola statuter; serta mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi perusahaan perasuransian dan organ perusahaan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam Pasal 60;

    9.

    Pemeriksaan perusahaan asuransi baik secara berkala atau sewakutu-waktu, dalam Pasal 61;

    10.

    Kewenangan OJK untuk memerintahkan penggantian direksi, dewan komisaris, dalam Pasal 72;

    11.

    Ketentuan pidana bagi organ perusahaan yang melanggar ketentuan dalam UU 40 Tahun 2014, dalam Pasal 74; dan

    12.

    Ketentuan peralihan bagi Usaha Bersama, dalam Pasal 86. Bahwa dengan demikian, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon telah keliru menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 dan dengan telah diakomodirnya pengaturan tentang kebutuhan hukum usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014 sebagaimana telah kami uraikan tersebut di atas, maka amanat putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 tanggal 3 April 2014 dimaksud untuk mengatur ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama dengan Undang-undang dalam kurun waktu paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan, telah terpenuhi. KESIMPULAN Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut di atas, dapat kami sampaikan kesimpulan bahwa kami berpendapat para Pemohon tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, dan tidak memenuhi syarat kerugian konstitusional sebagaimana pendirian Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Mahkamah Konstitusi 104 Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007. Selanjutnya, berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas menurut kami tidak terdapat alasan yang tepat untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian inkonstitusional, apalagi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Pemerintah mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutuskan permohonan pengujian Pasal 6 ayat (3) UU No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian beserta penjelasannya, dapat memberikan putusan sebagai berikut:

    1.

    Menyatakan para Pemohon tidak memiliki dan tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum ( legal standing );

    2.

    Menolak permohonan para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima;

    3.

    Menyatakan ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. POKOK-POKOK TAMBAHAN KETERANGAN PRESIDEN Bahwa pada persidangan hari Rabu tanggal 19 Agustus 2020, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi meminta kepada Pemerintah untuk memberi tambahan Keterangan Presiden atas beberapa pertanyaan sebagai berikut:

    1.

    Terkait pertanyaan mengenai pertimbangan dan pilihan politik hukum dari Pembuat Undang-Undang yang tidak mengatur Usaha Bersama dalam suatu undang-undang tersendiri, dapat kami jelaskan sebagai berikut:

    a.

    Pada saat perumusan Rancangan Undang-undang No. 40 Tahun 2014, undang-undang Usaha Perasuransian yang lama yakni Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian telah berusia dua puluh tahun lebih, sehingga harus segera disesuaikan dengan tantangan, situasi terkini dan kondisi perkembangan sektor jasa keuangan, yang membutuhkan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hak-hak nasabah.

    b.

    Penyesuaian tersebut membuat adanya perbedaan pilihan kebijakan ( open legal policy ) yang dirumuskan Pembuat Undang-Undang dalam penyusunan norma Pasal 7 ayat (3) UU 2 Tahun 1992 dengan pasal 6 UU 105 40 Tahun 2014 mengenai pengaturan badan hukum Usaha Bersama sebagai badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian.

    c.

    Norma yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 2 Tahun 1992 UU 2 Tahun 1992 membuka pintu selebar-lebarnya bagi lahirnya Usaha Bersama sebagai badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian, sebagaimana tercermin dalam rumusannya yang tidak memberi batasan apapun pada usaha bersama sebagai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian, sejajar dengan norma bagi koperasi dan perusahaan perseroan.

    d.

    Namun demikian, saat uji materi 32/2013 diajukan, dan saat yang sama dilakukan penyusunan perubahan UU 2/1992, ternyata AJB Bumiputera yang telah ada sejak tahun 1912, merupakan satu-satunya perusahaan perasuransian berbentuk Usaha Bersama yang menjalankan usaha perasuransian di Indonesia. Dengan adanya kondisi ini, ditambah terbitnya putusan MK No.32/2013, mendorong Pembuat Undang-Undang yang saat itu sedang melakukan pembahasan RUU perubahan UU 2/1992 untuk melakukan kajian. Salah satu yang menjadi perhatian adalah bentuk badan hukum usaha perasuransian, yakni:

    i.

    Perusahaan asuransi merupakan perusahaan padat modal, sehingga perlu dipikirkan apabila perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan dan memerlukan suntikan modal.

    ii. Sistim pertanggungjawaban pengurus yang terpisah dari pemegang polis sebagai konsumen.

    e.

    Setelah dilakukan kajian, agar tujuan tersebut di atas tercapai, maka bentuk badan hukum yang paling ideal / yang paling tepat bagi perusahaan perasuransian ke depan diarahkan berbentuk Perseroan Terbatas, dengan pertimbangan :

    i.

    Dari sisi permodalan sesuai dengan karakteristiknya, usaha asuransi merupakan bentuk usaha yang memerlukan modal besar untuk operasional usahannya. Kebutuhan modal yang besar tersebut dimaksudkan agar perusahaan asuransi dapat terus melakukan ekspansi usaha dan memastikan bahwa kewajiban perusahaan kepada pemegang polis dapat dipenuhi. 106 Pemenuhan kebutuhan modal tersebut hanya dapat dipenuhi apabila badan hukum tersebut memiliki mekanisme penambahan modal dari investor atau pemegang saham, dimana mekanisme tersebut tidak memungkinkan untuk dilakukan oleh bentuk badan hukum usaha bersama. Dalam hal perusahaan asuransi sedang menghadapi permasalahan kesehatan keuangan maka investor atau pemegang saham dapat melakukan penambahan modal sesuai dengan rencana penyehatan keuangan perusahaan. Dengan adanya mekanisme tersebut maka keberlangsungan usaha dapat tetap terjaga. Selain itu, peluang pengembangan usaha perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah dan kompetitif sehingga mampu bersaing dalam era globalisasi dan perdagangan bebas dapat terwujud dengan struktur permodalan yang kuat. Praktek di negara-negara maju seperti Jepang dan Kanada, banyak di antara mereka yang sedang menggagas upaya untuk lebih berkembang dengan mengubah diri menjadi Perseroan Terbatas, sehingga dapat mengumpulkan modal lebih besar.

    ii. Dari sisi perlindungan terhadap pemegang polis Pada bentuk Perseroan Terbatas atas Koperasi, pertanggung jawaban perusahaan ada pada pengurus perusahaan dan pemegang saham, sedangkan pemegang polis bukan merupakan pemilik atau pemagang saham perusahaan sehingga tidak ikut menanggung kerugian. Sehingga apabila terjadi kesalahan tata kelola oleh pengurus yang merugikan konsumen, maka hanya pengurus dan pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawaban. Berbeda dengan bentuk Usaha Bersama, pemegang polis merupakan anggota usaha bersama yang berhak atas keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha Usaha Bersama. Dengan demikian posisi pemegang polis, selain merupakan anggota juga merupakan pemilik usaha bersama sehingga dalam hal usaha bersama mengalami permasalahan kesehatan keuangan maka sebagai pemilik, pemegang polis juga ikut bertanggung jawab dalam upaya penyehatannya, padahal yang mengendalikan perusahaan 107 usaha bersama hanya beberapa pemegang polis yang dipilih menjadi Badan Perwakilan Anggota (BPA). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Pembuat undang-undang menganggap karakteristik Usaha Bersama tidak tepat dengan kebutuhan pengembangan usaha perasuransian, sehingga dengan mempertimbangkan perkembangan situasi sektor jasa keuangan, yang membutuhkan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hak-hak nasabah, maka Pembuat Undang-Undang menetapkan open legal policy dengan membatasi penyelenggaraan usaha perasuransian oleh badan hukum usaha bersama hanya untuk perusahaan berbentuk badan hukum usaha bersama yang telah ada pada saat UU Nomor 40 Tahun 2004 diundangkan, yang tercermin dalam rumusan Pasal 6 ayat (1) UU 40/2014. Mempertimbangkan hanya terdapat satu perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama yang diperbolehkan untuk menyelenggarakan usaha asuransi maka Pembuat Undang-Undang tidak melihat adanya kebutuhan untuk mengatur perusahaan asuransi berbentuk badan hukum Usaha Bersama dalam undang-undang tersendiri.

    f.

    Namun demikian, Pembuat Undang-undang berkomitmen untuk tetap mengakui dan melindungi keberadaan usaha Perasuransian dalam bentuk Usaha Bersama yang telah ada, dengan mengatur Usaha Bersama dalam beberapa pasal dalam undang-undang No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40/2014) termasuk memperkuat tata kelolanya.

    g.

    Mengingat tata kelola tersebut juga menyangkut hal-hal yang bersifat teknis, maka pembuat Undang-Undang memandang hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, in casu Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama (PP 87/2019).

    2.

    Terkait pertanyaan Majelis Hakim mengenai pembatasan-pembatasan yang diatur dalam PP 87/2019, dapat kami sampaikan penjelasan sebagai berikut:

    a.

    Sebagaimana telah kami kemukakan di atas, sebelum pembentukan UU Nomor 40 Tahun 2014, perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama belum memiliki pengaturan mengenai tata kelola penyelenggaran usaha oleh Usaha Bersama. Oleh karena itu, sesuai dengan penjelasan Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2014, dalam PP 87/2019 diatur mengenai tata kelola, 108 persyaratan dan tata cara perubahan menjadi badan hukum perseroan terbatas atau koperasi, serta persyaratan dan tata cara pembubaran badan hukum usaha bersama, termasuk pembatasan-pembatasan wewenang Peserta Rapat Umum Anggota (sebelumnya BPA) dengan tujuan agar Peserta RUA dalam menjalankan tugasnya dapat bertindak secara independen dan terbebas dari konflik kepentingan.

    b.

    Terkait dengan pengawasan dari OJK, yang dianggap sebagai intervensi terhadap kewenangan Peserta Rapat Umum Anggota (sebelumnya BPA). Dapat kami sampaikan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK tersebut sejatinya adalah merupakan upaya pemerintah untuk melakukan perbaikan dan pembenahan atas penyelenggaran usaha asuransi oleh satu- satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama. Diharapkan dengan upaya tersebut dapat tercipat tercipta iklim asuransi yang sehat yang dapat melindungi kepentingan masyarakat khususnya pemegang polis sebagaimana acuan standar praktik terbaik ( best-practice standard ) internasional di bidang perasuransian. Sehingga hendaknya pengaturan pengawasan oleh OJK dalam PP-87/2019 tidak semata-mata diartikan sebagai bentuk intervensi Pemerintah dalam pengurusan internal suatu perusahaan perasuransian.

    3.

    Terkait dengan pertanyaan Majelis Hakim mengenai AJB Bumiputera menjadi satu-satunya usaha bersama yang tersisa, dapat kami berikan penjelasan bahwa hal tersebut telah tertulis pada halaman 62 aline 3 Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Perasuransian Tahun 2014, yakni “… Satu-satunya Perusahaan Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915, yang belum pernah diperbaharui. Sejak tahun 2013, yakni pada saat kewenangan pengawasan perusahaan asuransi beralih dari Kementerian Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan hingga periode Juni 2020, AJB Bumiputera merupakan perusahaan asuransi berbentuk badan hukum Usaha Bersama. Sebagai satu-satunya Perusahaan Asuransi berbadan hukum usaha bersama, posisi AJB Bumiputera di industri asuransi jiwa berdasarkan aset perusahaan selama kurun waktu tahun 2013 hingga Juni 2020, dapat terlihat sebagaimana tabel di bawah ini. 109 Uraian 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019* Juni 2020* Jumlah Pelaku Asuransi (Termasuk Syariah) ● Bentuk Badan Hukum Perseroan 134 135 140 140 146 145 144 146 - Asuransi Jiwa 48 49 54 54 60 59 59 60 - Asuransi Umum 82 81 80 80 79 79 78 79 - Reasuransi 4 5 6 6 7 7 7 7 ● Bentuk Badan Hukum Usaha Bersama 1 1 1 1 1 1 1 1 - AJB Bumiputera 1912 1 1 1 1 1 1 1 1 Jumlah Aset Industri Asuransi Komersial (Termasuk Syariah) ● Total Aset Industri Asuransi Komersial(dala m Triliun Rp)**) 388,8 482,5 504,5 582,5 688,8 716,4 769,0 720,9 ● Total Aset Industri Asuransi Jiwa Komersial (dalam Triliun Rp) *) 281,4 355,7 365,7 438,7 534,3 543,0 578,4 522,8 ● Total Aset AJB Bumiputera 1912 (dalam Triliun Rp) ) 10,9 14,2 15,0 13,4 11,9 10,5 10,2 10,1 ● Aset Share AJB Bumiputera 1912 di Industri Asuransi Komersial 2,8% 2,9% 3,0% 2,3% 1,7% 1,5% 1,3% 1,3% ● Aset Share AJB Bumiputera 1912 di Industri Asuransi Jiwa Komersial __ 3,9% 4,0% 4,1% 3,1% 2,2% 1,9% 1,8% 1,8% ● Peringkat Aset AJB Bumiputera Diantara Industri Asuransi Jiwa) 9 10 9 10 13 12 16 16 110 Keterangan: *) berdasarkan laporan keuangan anaudited **) Jumlah Aset Industri Asuransi Komersial, total aset industri asuransi jiwa komersial, dan aset AJB Bumiputera 1912 tidak termasuk aset lain berupa cadangan premi yang ditangguhkan AJB Bumiputera 1912 sebesar Rp12,34 triliun. ***) penentuan posisi peringkat aset AJB Bumiputera 1912 tidak memasukan aset lain berupa cadangan premi yang ditangguhkan AJB Bumiputera 1912 sebesar Rp12,34 triliun. Selain dari sisi aset, jumlah peserta yang menjadi tertanggung dalam polis AJB Bumiputera 1912, dapat kami sampaikan bahwa terdapat kecenderungan penurunan jumlah peserta yang menjadi tertanggung dalam polis AJB Bumiputera 1912 berdasarkan data dari periode tahun 2017 hingga Juni 2020, sebagaimana tercatat sebagai berikut: No Portofolio Peserta Desember 2017 Desember 2018 Desember 2019 Juni 2020 1 Asuransi Perorangan 2.927.050 2.521.233 2.204.934 2.008.470 2 Asuransi Kumpulan 2.014.736 1.470.877 983.775 847.246 3 Jumlah (1+2) 4.941.786 3.992.110 3.188.709 2.855.716 4. Terkait dengan pertanyaan Majelis Hakim mengenai kapan naskah akademik diterbitkan, apakah setelah putusan MK atau sebelum putusan MK. Terhadap hal tersebut dapat kami sampaikan bahwa pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diucapkan, Pemerintah sedang melakukan perumusan perubahan UU Nomor 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan Rancangan Undang-Undang Perasuransian sebagaimana tertuang dalam halaman 63 alinea 3 Naskah Akademik, sebagai berikut: “… dengan mempertimbangkan putusan MK tersebut, kepastian hukum bagi badan hukum asuransi Usaha Bersama akan terpenuhi jika amanat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, pengakuan atau penetapan perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum, perlu dituangkan dalam undang- undang ini, untuk mengakomodir keberadaan satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang sudah ada di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Di samping itu, ketentuan mengenai tata kelola, persyaratan, tata cara persyaratan menjadi badan hukum perseoran terbatas atau koperasi, dan tata cara pembubaran serta 111 ketentuan lain bagi perusahaan perasuransian yang berbentuk badan hukum Usaha Bersama, akan diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa dalam naskah akademis terdapat respon Pembuat Undang-Undang atas Putusan MK No. 32/2013. Pembuat Undang-Undang menghormati Putusan MK No. 32/2013 dengan mengakui dan mengatur secara umum bentuk badan hukum usaha bersama (yang telah ada pada saat UU Nomor 40 Tahun 2014 diundangkan) dalam suatu undang-undang, yaitu UU Nomor 40 Tahun 2014 itu sendiri. Sedangkan, peraturan lebih lanjutnya diatur dalam suatu peraturan pemerintah. Dengan demikian, konsep pilihan hukum yang dituangkan dalam naskah akademis sudah barang tentu memperhatikan putusan MK No. 32/2013. Selain itu, untuk mendukung keterangannya, Presiden juga mengajukan keterangan saksi atas nama Isa Rachmatarwata dan Wicipto Setiadi , yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 20 Oktober 2020 dan 5 November 2020, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: A. Isa Rachmatarwata − Saksi merupakan salah satu penyusun UU 40/2014 dan pada saat itu saksi merupakan Kepala Biro Perasuransian di Bapepam-LK; − Latar belakang dibentuknya UU 40/2014 adalah pemerintah merasa perlu untuk melakukan perbaikan dalam hal pengaturan maupun pengawasan dalam penyelenggaraan usaha perasuransian. Penyelenggaraan usaha perasuransian pada waktu itu harus dibenahi agar kualitas penyelenggaraannya meningkat, pertama, dalam hal permodalan UU 40/2014 dapat memberikan kepastian hukum baik bagi pemodal maupun konsumen, dengan adanya UU a quo diharapkan dapat mendatangkan modal yang berasal dari investor lebih banyak terhadap usaha perasuransian di Indonesia karena Indonesia tidak boleh menutup kemungkinan masuknya investor kedalam industri usaha asuransi apapun bentuknya, pemerintah dalam hal ini memberikan berbagai pengukutan tingkat kesehatan perusahaan asuransi dalam hal permodalan juga dimana hal ini perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas industri perasuransian di Indonesia. Kedua adalah risk management , dimana pemerintah menginginkan seluruh perusahaan asuransi yang sudah ada, apapun 112 bentuknya, dapat meningkat kualitas risk management- nya karena investor terutama investor asing tentunya mempertimbangkan hal tersebut ketika akan menanamkan modalnya pada perusahaan asuransi. Ketiga , pemerintah juga perlu menyediakan exit strategy untuk perusahaan-perusahaan asuransi yang tidak mampu memenuhi persyaratan baik dalam hal permodalan, manajemen resiko dan lain-lain supaya dapat meninggalkan industri asuransi dengan baik dan tetap menjaga kepentingan para pemegang polis. Keempat, pengawasan dalam industri perasuransian pun dibenahi, apakah tetap berada pada Kementerian Keuangan atau beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)? Keempat hal tersebut merupakan beberapa hal yang dibenahi terkait dengan industri perasuransian yang diatur dalam UU 40/2014. − Terkait dengan Asuransi Usaha Bersama, merupakan salah satu bentuk badan usaha asuransi yang paling terbatas akses terhadap permodalan, hal ini tentunya berbeda dengan asuransi yang berbentuk perseroan terbatas dan juga koperasi terlebih lagi pengaturan terhadap badan usaha asuransi berbentuk usaha bersama sebelum UU 40/2014 belum diatur baik dalam UU 2/1992 maupun peraturan perundang-undangan dibawahnya. Padahal bentuk badan usaha asuransi usaha bersama ini juga membutuhkan modal dalam rangka memperkuat usahanya. Dalam perkembangannya, salah satu perusahaan yang menjalankan usaha asuransi usaha bersama yaitu AJB Bumiputera mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap ketentuan kesehatan perusahaan asuransi dan karena itu kemudia pemerintah membentuk UU 40/2014 yang memberikan pengaturan terhadap asuransi usaha bersama. − Saksi menjelaskan terkait dengan usulan pengaturan dari pemerintah mengenai bentuk badan usaha bersama, dimana pada konsep UU yang dibuat oleh pemerintah dan kemudian disampaikan kepada DPR, bentuk badan hukum yang disampaikan memang hanya 2 bentuk yaitu perseroan terbatas dan koperasi, namun di dalam peraturan peralihan, pemerintah tetap mengakui keberadaan AJB Bumiputera yang merupakan satu-satunya bentuk badan usaha bersama yang telah ada. Setelah beberapa kali diskusi yang dilakukan di DPR bersama dengan sejumlah perwakilan industri, pemerintah mendapatkan masukan bahwa asuransi dalam bentuk usaha 113 bersama harus dimuat dalam ketentuan pokok dan kemudian pemerintah kemudian menyetujui dan bersama dengan DPR bersepakat untuk menambahkan usaha bersama sebagai salah satu badan usaha asuransi. Namun, dikarenakan pengaturan dalam UU a quo cukup banyak dan tidak mungkin mengatur secara detil terkait tata kelola badan usaha asuransi usaha bersama ini dalam UU a quo maka kemudian dalam Pasal 6 ayat (3) UU a quo dimuat pengaturan terkait tata kelola lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sedangkan pengawasan terhadap asuransi usaha bersama, pada saat itu pembentuk undang-undang meyakini OJK dapat mengaturnya di dalam peraturan perundang-undangan yang bisa diterbitkan oleh OJK. − Menurut saksi, pada saat disusunnya UU 40/2014, tidak ada lagi usaha asuransi dalam bentuk usaha koperasi. Pernah ada, namun asuransi berbentuk koperasi tersebut tidak mampu memenuhi beberapa kewajibannya dan tidak mampu mendapatkan modal tambahan untuk dapat memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut. B. Wicipto Setiadi − Saksi menjabat sebagai kepala BPHN dan sebelumnya menjabat sebagai Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan pada saat UU 40/2014 disusun. − Rancangan UU 40/2014 merupakan inisiatif pemerintah dan merupakan salah satu RUU yang dimasukan dalam prolegnas pada waktu itu. − Pada saat pembahasan terkait dengan asuransi usaha bersama memang terjadi diskusi terkait pengaturannya dan pemerintah harus menaati putusan Mahkamah yang ada, diskusi pun akhirnya tertuju pada apakah diatur dengan undang-undang tersendiri atau tidak. Namun, atas kajian dari Kementerian Keuangan serta stakeholder yang mengatur bisnis perasuransian pada saat itu, keberadaan asuransi usaha bersama hanya terdapat satu dan sesuai dengan diskusi yang berkembang pada saat itu menjadi tidak efektif jika diatur dalam undang-undang tersendiri. Atas dasar pertimbangan tersebut maka asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 tetap diakui keberadaannya dan disepakati pula untuk ketentuan lebih lanjut diatur dengan peraturan pemerintah. Dan hasil dari rancangan UU 40/2014 pada waktu itu pula disepakati pada saat rancangan undang-undang a quo dibahas di DPR. 114 − Pertimbangan untuk tidak mengatur asuransi usaha bersama dalam undang- undang tersendiri sebenarnya terkait dengan perkembangan dari bisnis asuransi usaha bersama tersebut, karena dari hasil kajian bersama nampaknya pemerintah tidak akan membuka lagi asuransi dalam bentuk badan usaha bersama. Jika keadaannya demikian maka pengaturan terkait asuransi dalam bentuk badan usaha bersama telah diatur dalam UU 40/2014 dan pengaturan tata kelola sajalah yang diatur dalam peraturan pemerintah, hal demikian dianggap lebih efektif serta efisien dibanding dengan membentuk undang-undang tersendiri, karena jika memang harus dalam undang-undang maka pada waktu itu belum tentu dapat dimasukan dalam prolegnas sehingga membutuhkan waktu lagi untuk membentuk undang- undang terkait asuransi usaha bersama tersebut. [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan para Pemohon yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020, yang pada pokoknya para Pemohon tetap pada pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan Presiden yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020, yang pada pokoknya Presiden tetap pada pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.

    3.

    PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan 115 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Nomor 48/2009). Salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618, selanjutnya disebut UU 40/2014) terhadap UUD 1945, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:

    a.

    perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);

    b.

    kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

    c.

    badan hukum publik atau privat; atau

    d.

    lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:

    a.

    kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; 116 b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:

    a.

    adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

    b.

    hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

    c.

    kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

    d.

    adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

    e.

    adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksudkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:

    1.

    Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang rumusannya sebagai berikut: Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan pemerintah. 117 2. Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon VIII (selanjutnya disebut sebagai para Pemohon) adalah perseorangan warga negara Indonesia yang juga merupakan pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 dan juga anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912. Kedudukan para Pemohon baik sebagai pemegang polis asuransi maupun sebagai anggota BPA AJB Bumiputera 1912 tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari bentuk usaha perasuransian AJB Bumiputera 1912 yang berbentuk Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) dimana pemegang polis sekaligus sebagai pemilik dari AJB Bumiputera 1912 dan sama-sama memiliki hak suara untuk memilih maupun dipilih sebagai anggota BPA.

    3.

    Dalam kualifikasinya tersebut para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terhalangi dengan berlakunya frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Seperti diterangkan para Pemohon, ketentuan dalam norma a quo telah menyebabkan para Pemohon baik sebagai pemegang polis maupun sebagai anggota BPA AJB Bumiputera 1912 tidak memiliki kepastian hukum dan juga perlakuan tidak adil atas penyelenggaraan usaha perasuransian dalam bentuk Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ).

    4.

    Bahwa untuk membuktikan kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang juga merupakan pemegang polis asuransi juwa bersama (AJB) Bumiputera 1912 dan juga anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912, para Pemohon mengajukan alat bukti berupa identitas diri yaitu fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) [vide bukti P-3], fotokopi Surat Pemegang Polis [vide bukti P-8 sampai dengan bukti P-12 dan bukti P-14 serta bukti P-15] dan Akta Pernyataan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Nomor 05 tanggal 02 Agustus 2016 [vide bukti P-4]. Bahwa berdasarkan uraian dari para Pemohon tersebut di atas, baik dalam kualifikasi para Pemohon sebagai pemegang polis maupun anggota Badan Perwakilan anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912, menurut Mahkamah secara faktual para Pemohon telah dapat menjelaskan hak-hak konstitusional yang 118 dimilikinya dan hak dimaksud dapat dianggap dirugikan dan anggapan kerugian dimaksud menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi apabila para Pemohon tetap menjalankan usaha perasuransian AJB Bumiputera 1912 yang didasarkan pada norma yang dimohonkan pengujian. Di samping uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah para Pemohon juga telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara kerugian hak-hak konstitusional yang dimilikinya yang dianggap dirugikan dengan berlakunya frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu para Pemohon beranggapan bahwa jika permohonan ini dikabulkan maka kerugian sebagaimana diuraikan di atas tidak akan terjadi. Dengan demikian terlepas terbukti atau tidaknya dalil permohonan para Pemohon berkaitan dengan pokok permohonan, Mahkamah berpendapat, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo . [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo , selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, para Pemohon mengemukakan dalil-dalil (selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara) yang pada pokoknya sebagai berikut:

    1.

    Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, AJB Bumiputera 1912 merupakan asuransi yang berbentuk usaha bersama dan satu-satunya di Indonesia, dimana dengan bentuk usaha bersama tersebut memiliki perbedaan pengelolaan dengan asuransi yang berbentuk perseroan terbatas;

    2.

    Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, terkait dengan isu pengaturan usaha perasuransian berbentuk usaha bersama yang sebelumnya termuat dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang 119 Usaha Perasuransian (UU 2/1992) telah pernah diajukan ke Mahkamah dan telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, dan Mahkamah telah menegaskan terhadap ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh pembentuk undang- undang ketika membentuk UU 40/2014 dimana substansi yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU 2/1992 diubah dengan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sehingga norma a quo tersebut justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 32/PUU-XI/2013;

    3.

    Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, dengan berlakunya Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 tersebut yang justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 selain berdampak pada kewibawaan lembaga pemutusnya juga berdampak pada penegakan hukum serta konstitusi yang sedang berlangsung dimana dalam hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum serta keadilan bagi para Pemohon yang sebelumnya telah mendapatkannya dalam Putusan Mahkamah sebelumnya menjadi terhalangi.

    4.

    Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Undang- Undang”. [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-15 dan keterangan ahli, atas nama Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum, dan Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK., yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020, 24 September 2020, dan 20 Oktober 2020, selain itu para Pemohon pun menyerahkan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); 120 [3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan yang didengarkan dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020 beserta keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 September 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); [3.10] Menimbang bahwa Presiden telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 Agustus 2020 dan didengar dalam persidangan pada tanggal 19 Agustus 2020, dan telah mengajukan 2 (dua) orang saksi, yaitu Isa Rachmatarwata dan Wicipto Setiadi yang masing- masing didengar keterangannya dalam persidangan pada tanggal 20 Oktober 2020 dan 5 November 2020, serta telah menyerahkan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); [3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli para Pemohon, keterangan saksi Presiden, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, kesimpulan tertulis para Pemohon, dan kesimpulan tertulis Presiden sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan dalil-dalil permohonan para Pemohon. [3.12] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”, menurut para Pemohon, Pasal 6 ayat (3) tersebut tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014 yang dalam pertimbangan hukum dan amarnya memerintahkan kepada Pembentuk undang-undang untuk membuat norma bahwa Asuransi Usaha Bersama diatur lebih lanjut dengan undang- undang, dan Mahkamah memberi waktu dua tahun enam bulan kepada Pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama. Namun, ternyata Perubahan Undang-Undang tentang Perasuransian, in casu UU 40/2014 tidak mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 121 32/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa Asuransi Usaha Bersama diatur dengan undang-undang. Pembentuk undang-undang justru mendegradasinya menjadi mengatur dengan peraturan pemerintah. Oleh karena itu menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; [3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal berikut: [3.13.1] Bahwa berkenaan dengan perekonomian sebagai ‘Usaha Bersama’, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 , Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. Pembukaan UUD 1945 tersebut kemudian dijabarkan salah satunya dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat (1) yang menyatakan Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, perekonomian Indonesia harus disusun sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan, namun tidak menutup ruang usaha dalam bentuk lain. Lebih lanjut Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 merupakan pedoman bagi negara untuk menyusun perekonomian sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimaktubkan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Dari aspek historis, sebagaimana termuat dalam lampiran UUD 1945 (sebelum perubahan), Pasal 33 dicantumkan untuk menegaskan bahwa kemakmuran masyarakat adalah utama, perekonomian disusun berdasar asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai Negara, hanya cabang produksi yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh ada di tangan individu/swasta, sedangkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah termasuk cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak itu. 122 Mohammad Hatta selaku perancang Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa kemunculan norma pasal tersebut dilatarbelakangi oleh semangat kolektivitas yang didasarkan pada semangat tolong-menolong ( Mohammad Hatta , Beberapa Fasal Ekonomi: Djalan Keekonomian dan Koperasi, Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian PP&K, 1954, __ halaman 265 ). Selain Mohammad Hatta, Soepomo sebagai salah seorang founding fathers berpandangan __ bahwa ..the private sectors may be involved only in non-startegic sectors-that do not effect the lives of most people...if the state does not control the strategic sectors, they will fall under the control of private-individuals and the people will be oppressed by them” (terjemahan bebas, sektor swasta mungkin hanya terlibat dalam sektor non strategis yang tidak mempengaruhi kehidupan kebanyakan orang ... jika negara tidak mengontrol sektor-sektor strategis, mereka akan berada di bawah kendali swasta-individu dan rakyat akan ditindas oleh mereka (Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 1, Februari Tahun 2010, hlm. 121). Bahwa selain itu, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013, tanggal 8 Mei 2014, (alinea pertama hlm. 240) telah mempertimbangkan makna usaha bersama sebagai berikut: Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 beserta Penjelasannya tersebut, koperasi merupakan bagian penting dari tata susunan ekonomi nasional atau tata susunan ekonomi Indonesia. Suatu tata susunan ekonomi mesti dirancang sesuai dengan nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa yang membentuk negara ini, nilai yang kemudian menjadi karakternya sebagaimana diuraikan di muka, yaitu nilai dan karakter kolektif, yang merupakan kebalikan dari nilai individualistik yang tidak dianut oleh UUD 1945. Koperasi sebagai bagian dari suatu tata susunan ekonomi mesti didesain, disosialisasikan, diperjuangkan, dan dilaksanakan, bukan tata susunan yang diserahkan kepada mekanisme pasar, meski pasar harus menjadi perhatian penting dalam percaturan perekonomian internasional. Dengan demikian maka sistem perekonomian nasional adalah merupakan sistem perekonomian yang berkarakter. Nilai yang dijunjung tinggi yang kemudian menjadi karakternya tersebut telah dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yaitu suatu tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, nilai sosial yang dijunjung tinggi dan diimplementasikan oleh bangsa yang kemudian menjadi karakternya tersebut di dalam UUD 1945 dirumuskan menjadi demokrasi ekonomi yang bertumpu pada dasar usaha bersama dan asas kekeluargaan. Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka telah jelas bahwa usaha bersama sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 adalah amanat tegas agar negara membentuk perekonomian dengan asas kekeluargaan yang saling bergotong-royong untuk meningkatkan perekonomian 123 demi memajukan kesejahteraan umum, bukan individu semata sebagai perwujudan tujuan dari Pembukaan UUD 1945. [3.13.2] Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan Perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance) sebagaimana praktik yang sudah berlangsung, yaitu adanya Asuransi Usaha Bersama seperti AJB Bumi Putera 1912, telah ternyata membuktikan bahwa perusahaan usaha bersama tersebut tidak hanya berbentuk koperasi melainkan juga perusahaan asuransi, yaitu asuransi jiwa bersama. Penegasan tersebut sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014, dalam Paragraf [3.10.3] , khususnya baris terakhir menyatakan: … Bahwa eksistensi Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumi Putera 1912 sebagai salah satu bukti sejarah konsep asuransi dengan prinsip dan asas kebersamaan atau usaha bersama ( mutual ). Dengan demikian, sejarah perasuransian di Indonesia untuk pertama kali telah dibentuk perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) yang dikenal dengan AJB Bumi Putera 1912 yang bertahan sampai saat ini. Artinya, Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 telah diejawantahkan bahwa usaha bersama yang dapat berbentuk koperasi maupun usaha bersama yang berbentuk perusahaan Asuransi Usaha Bersama yang dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan derajat bangsa Indonesia (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013). Bahwa sesuai fakta sejarah mengenai Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) yang ada sejak sebelum Indonesia merdeka tersebut, pembentuk undang-undang dalam Undang-Undang Perasuransian sebelum dilakukan perubahan telah memberi penguatan terhadap Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ), yaitu dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang menyatakan, “Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama ( mutual ) diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang“ . Dengan demikian, keberadaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) diakui dan diberi penguatan oleh pembentuk undang-undang untuk berkembang dan bersaing baik dengan usaha asuransi dalam bentuk perseroan maupun usaha asuransi dalam bentuk koperasi, dan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 semakin mengukuhkan penguatan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) dengan memerintahkan pembentuk 124 undang-undang dalam waktu dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan untuk membentuk dan mengundangkan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama di luar undang-undang tentang usaha perasuransian. Oleh karena itu berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka Asuransi Usaha Bersama merupakan usaha yang harus dibentuk dengan undang-undang sebagai amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. [3.13.3] Bahwa lebih lanjut, praktik usaha asuransi berbentuk usaha bersama di Indonesia memang hanya dimiliki oleh AJB Bumiputera. Namun, usaha asuransi berbentuk usaha bersama di negara lain berkembang dan maju menjadi perusahaan asuransi yang besar seperti di Jepang, Perancis, Denmark, Norwegia, Swedia, Belgia, Finlandia, Polandia, Slovenia, Spanyol, Amerika Serikat, serta di Afrika Selatan. Di Selandia Baru justru diadopsi dan didominasi oleh perusahaan asuransi jiwa. Bahkan perusahaan asuransi yang mengadopsi bentuk usaha bersama justru berkembang dengan sukses dan menjadi perusahaan multi-nasional yang memiliki cabang di banyak negara, seperti The Folksam Group di negara Swedia, Liberty Mutual Insurance di Amerika Serikat, The MACIF Group di negara Perancis, dan Old Mutual Life Assurance Company di negara Afrika Selatan. Keberhasilan perusahaan asuransi dalam bentuk usaha bersama di berbagai negara tersebut didukung dengan memberikan ruang pengaturannya dalam bentuk undang-undang, antara lain seperti: Selandia Baru, dengan Insurance (Prudential Supervision) Act 2010 dan Farmers’ Mutual Group Act 2007 Number 1 Private Act , Kanada, dengan Mutual Insurance Companies Act Chapter 306 of Revised Statutes 1989 dan Mutual Fire Insurance Companies Act 1960- Chapter 262, Inggris dan Scotlandia (United Kingdom), dengan Friendly Societies Act 1992, Perancis, dengan Code de la Mutualié, Jerman, dengan Versichegerungsaufsichtsgezetz yang telah diubah terakhir pada Tahun 2020. Dengan demikian, maka terlihat dengan jelas bahwa untuk mendukung Asuransi Usaha Bersama perlu diatur dengan undang-undang; [3.13.4] Bahwa selain penegasan tersebut di atas, hal yang tidak dapat diabaikan adalah kekuatan eksekutorial putusan badan peradilan. Sebagaimana diketahui bahwa secara universal putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya, ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya 125 saja, melainkan juga pelaksanaannya atau eksekusinya secara paksa. Suatu putusan dapat dilaksanakan apabila kepala putusan atau disebut irah-irah memuat kalimat yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” , pencantuman irah-irah ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan tersebut. Sehingga, peniadaan irah-irah tersebut mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum. Selain itu, pada asasnya, putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti serta mengikat antara para pihak yang berperkara. Bahwa terkait dengan kekuatan eksekutorial putusan badan peradilan, secara doktriner, bahwa putusan badan peradilan yang memerlukan eksekusi nyata (riil) adalah amar putusan yang bersifat condemnatoir (penghukuman), sedangkan putusan yang bersifat constitutief atau declaratoir tidak memerlukan eksekusi nyata (riil). Namun demikian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan norma dari undang-undang adalah inkonstitusional dan kemudian diikuti amar yang memerintahkan kepada pembentuk undang-undang dalam jangka waktu tertentu untuk membentuk undang-undang sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, maka kedua amar tersebut di samping mengandung amar yang bersifat constitutief atau declaratoir juga memuat amar yang bersifat penghukuman ( condemnatoir) . Artinya, amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga memuat perintah untuk melakukan suatu tindakan, yaitu membentuk undang-undang yang baru/tersendiri dalam jangka waktu dua setengah tahun sejak putusan itu diucapkan. Dalam konteks Putusan Mahkamah Konstitusi, putusan yang berkekuatan hukum tetap tercermin dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,...”. Kemudian Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

    a.

    menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Kata “final” dalam kedua pasal tersebut di atas, dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK, yaitu: 126 Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat ( final and binding ). Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat bagi semua pihak sejak putusan itu diucapkan, terutama dalam hal ini pembentuk undang-undang. Artinya, semua putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial, terlebih terhadap putusan yang disertai amar yang bersifat penghukuman ( condemnatoir ), sebagaimana diuraikan di atas. Bahwa oleh karena itu persoalan yang menjadi pertanyaan penting dan fundamental adalah apa akibat hukum apabila putusan Mahkamah Konstitusi yang amarnya mengabulkan permohonan para Pemohon bahkan terkandung permintaan agar pembentuk undang-undang atau pihak lain untuk melakukan perbuatan tertentu tidak ditaati. Menurut Mahkamah, tindakan tidak mentaati putusan adalah ‘pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi’. Hal tersebut berakibat adanya ketidakpastian hukum yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Akibat lainnya adalah terjadinya penundaan keadilan ( constitutionalism justice delay ) yang basisnya adalah nilai-nilai konstitusi Indonesia. Akibat hukum lain yang dapat ditimbulkan adalah ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang dapat memunculkan rivalitas lembaga negara yang diperlihatkan oleh DPR dan Presiden melalui pembentukan undang-undang yang dikeluarkan seolah mengabaikan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, keadaan demikian tentu dapat menyebabkan ketidakstabilan negara hukum utamanya penegakan nilai-nilai konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi adalah hukum yang dibentuk oleh badan peradilan yang kewenangannya didasarkan langsung dari UUD 1945, di mana ketika Mahkamah Konstitusi mengadili suatu perkara mendasarkan pada pasal-pasal yang termuat di dalam UUD 1945 sebagai hukum materiil. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Kata hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak hanya UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan di bawahnya melainkan juga termasuk putusan pengadilan. 127 Sehingga ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi adalah pengabaian terhadap UUD 1945. Bahwa dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi karena alasan-alasan yang bersifat kekinian sehingga tidak tepat lagi untuk diakomodir/dipenuhi atau tidak dapat dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang ataupun pihak lain, sepanjang alasan tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas suatu norma, bukan semata- mata alasan yang bersifat teknis dan pragmatis, maka terhadap putusan Mahkamah Konstitusi demikian dapat diajukan pengujian kembali untuk dilakukan ‘peninjauan’ terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sebagaimana hal demikian telah pernah dikabulkan oleh Mahkamah. Bukan dengan sengaja menafsirkan putusan dimaksud dan selanjutnya tidak mentaatinya. [3.13.5] Bahwa selanjutnya berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang dipersoalkan oleh para Pemohon yang sangat terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Menurut Mahkamah, sesungguhnya dalam putusan tersebut, baik dalam pertimbangan hukum maupun amarnya secara expressis verbis memerintahkan Pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama dalam dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan. Selengkapnya amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 menyatakan: Mengadili, Menyatakan:

    1.

    Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

    1.
    1. Frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “... ‘ diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan _Mahkamah ini diucapkan”; _ __ 1.2. Frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... ‘ diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan _setelah putusan Mahkamah ini diucapkan”; _ __ 128 2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
    3.

    Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Bahwa sesuai amar Putusan Mahkamah tersebut maka pembentuk undang-undang diberi waktu dua tahun enam bulan untuk membentuk Undang- Undang tentang Asuransi Usaha Bersama ( Mutual Insurance ). Namun, kenyataannya pembentuk undang-undang bukan membentuk undang-undang sebagaimana perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 melainkan hanya memuat satu pasal dalam UU 40/2014 bahkan pembentuk undang-undang mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang kemudian oleh Mahkamah juga telah diputus bahwa Asuransi Usaha Bersama dibentuk dengan undang-undang. Bahwa dalam persidangan baik Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan yang pada pokoknya:

    a.

    Perusahaan AJB Bumi Putera 1912 hanya satu-satunya dan tidak dimungkinkan akan ada penambahan perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutua l) lagi di Indonesia.

    b.

    Dalam Usaha Bersama, penambahan modal tidak dapat dilakukan karena karakteristik Usaha Bersama tidak membolehkan adanya penambahan modal dari pihak luar selain dari anggota. Di sisi lain, karakteristik usaha perasuransian adalah bisnis yang memerlukan modal usaha besar.

    c.

    Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan Usaha Bersama dalam menambah modal, dengan pemahaman Usaha Bersama sebagai kumpulan pihak dan bukan kumpulan modal, sementara di sisi lain Usaha Bersama tetap harus memastikan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, maka terhadap Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama yang telah ada, agar dapat tetap menjalankan usaha dengan memiliki standar perusahaan asuransi yang ideal, perlu diatur pembatasan ruang lingkup Asuransi Usaha Bersama dan penyempurnaan ketentuan mengenai tata kelola perusahaan-perusahaan Asuransi Usaha Bersama.

    d.

    Bahwa UU 40/2014 telah mengakomodir kebutuhan hukum perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama pada pasal-pasal dalam batang tubuhnya, meskipun demikian, sebagai upaya penguatan terhadap perusahaan asuransi 129 berbentuk Usaha Bersama yang telah ada agar memiliki standar sebagai perusahaan perasuransian yang ideal serta memberikan perlindungan bagi para anggotanya, maka pembuat undang-undang juga memperhatikan hal tersebut dengan mengatur lebih lanjut mengenai badan hukum Usaha Perasuransian berbentuk Usaha Bersama dengan Peraturan Pemerintah. Bahwa penjelasan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut, menurut Mahkamah telah menafsirkan lain dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Putusan Mahkamah Konstitusi a quo sangat jelas dan gamblang menyatakan bahwa frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... ‘diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan ”. Artinya, ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama ( Mutual ) harus diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang tersendiri terpisah dari asuransi berbentuk perseroan dan asuransi berbentuk koperasi. Bahwa tindakan pembentuk undang-undang yang menafsirkan berbeda dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 merupakan tindakan yang keliru bahkan secara faktual tindakan pembentuk undang-undang yang tidak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki kekuatan eksekutorial merupakan bentuk ketiadaktaatan terhadap hukum. Terlebih lagi, pembentuk undang-undang secara sadar menafsirkan lain yang justru mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Tindakan menafsirkan amar suatu putusan badan peradilan adalah juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap asas universal ‘ res judicata pro viratate habetur’ yang menjadi landasan setiap putusan hakim yang harus dianggap benar, sepanjang putusan itu tidak dibatalkan kemudian oleh putusan hakim yang lain. Dengan kata lain, putusan hakim tidak boleh ditafsirkan lain dan harus dilaksanakan sebagaimana bunyi amar putusannya dan bunyi amar putusan dimaksud dianggap benar hingga dibatalkan oleh putusan hakim yang lainnya. 130 Bahwa alasan pembentuk undang-undang sebagaimana telah diuraikan di atas, bukan merupakan alasan konstitusional melainkan alasan teknis-pragmatis belaka. Seharusnya pembentuk undang-undang membuat undang-undang mengenai Asuransi Usaha Bersama agar menjadi maju dan berkembang sehingga dapat bersaing dengan asuransi perseroan dan asuransi koperasi. Sebagaimana di negara-negara lain seperti yang telah Mahkamah uraikan dalam Paragraf [3.13.3] , terlebih untuk Indonesia yang secara fakta sejarah telah memiliki Asuransi Usaha Bersama dalam hal ini AJB Bumiputera 1912 yang sampai saat ini keberadaannya masih diakui, justru harus didorong agar dapat mengembangkan industri perasuransian dengan bentuk usaha bersama, apalagi hal itu merupakan amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Di samping alasan tersebut di atas, penguatan eksistensi Asuransi Usaha Bersama juga mencerminkan adanya tekad dari negara dalam mempertahankan warisan kultur dan semangat gotong royong ( legacy ) dalam membangun perekonomian yang hingga saat ini masih relevan dibutuhkan yang menjadi ciri utama falsafah bangsa Indonesia. Sebab, mengakomodir pengaturan asuransi sebagai usaha bersama ( mutual) , sebagaimana AJB Bumi Putera 1912 di dalam undang-undang adalah juga bagian dari bentuk legitimasi bangsa Indonesia terhadap aspek legacy tersebut di atas. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon mengenai ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 beralasan menurut hukum, yaitu mengganti frasa yang semula berbunyi “diatur dalam Peraturan Pemerintah” menjadi “diatur dengan undang-undang”, sehingga ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Undang- Undang”. Perubahan norma dimaksud semata-mata agar tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (1) yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Oleh karenanya, adalah tindakan inkonstitusional jika pembentuk undang-undang menafsirkan lain atau berbeda dengan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah. [3.15] Menimbang bahwa untuk menyelesaikan pembentukan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama sebagaimana dikemukakan di atas, Mahkamah berpendapat diperlukan jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini 131 diucapkan. Waktu dua tahun adalah waktu yang cukup bagi pembentuk undang- undang (DPR dan Presiden) untuk menyelesaikan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ). [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ __ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).

    5.

    AMAR PUTUSAN Mengadili, 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;

    1.

    1 Menyatakan frasa “... diatur dalam Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum 132 mengikat; __ __ 1.2 Menyatakan frasa “... diatur dalam Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), diubah sehingga menjadi diatur dengan Undang-Undang, sehingga selengkapnya Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), menjadi “ Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Undang- Undang”. __ 1.3 Memerintahkan DPR dan Presiden untuk menyelesaikan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan. __ 2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. -------------------------------------------------------------------------------- 6. PENDAPAT BERBEDA ( DISSENTING OPINION ) Terhadap putusan Mahkamah ini, terdapat dua orang Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang memiliki pendapat berbeda ( dissenting opinion ) sebagai berikut: [6.1] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mempersoalkan frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Para Pemohon memohonkan agar pasal a quo dimaknai menjadi “diatur dengan Undang-Undang” sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu yaitu Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013, bertanggal 3 April 2014, yang amarnya menyatakan “ diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan”. Berkenaan dengan permohonan para Pemohon tersebut, Kami memberikan pendapat berbeda. 133 [6.2] Menimbang bahwa setelah dicermati secara saksama, para Pemohon menerangkan kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara Indonesia, Pemegang Polis AJB Bumiputera 1912 serta sebagai Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) dari berbagai daerah perwakilan. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 para Pemohon sebagai perseorangan dan pemegang polis diberikan kedudukan hukum karena pemilik badan usaha adalah para Pemegang Polis sebagaimana diatur dan disebutkan dalam Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 pada bagian Mukadimah, maupun dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 5, Pasal 7, dan Pasal 36 sampai dengan Pasal 45. Namun demikian, pemberian kedudukan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tidaklah serta merta dapat diberikan untuk perkara a quo dikarenakan pada saat Perkara Nomor 32/PUU-XI/2013 diajukan belum ada kejelasan status badan hukum usaha bersama. Namun, setelah diundangkannya UU 40/2014 usaha bersama yang telah ada dikukuhkan statusnya sebagai badan hukum usaha bersama dan organ badan hukum usaha bersama diatur dalam peraturan pelaksana UU 40/2014 yaitu PP 87/2019. Ketentuan Pasal 1 angka 8 PP 87/2019 mengatur adanya organ direksi, di mana direksi sebagai organ usaha bersama berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan usaha bersama untuk kepentingan usaha bersama, sesuai dengan maksud dan tujuan usaha bersama, serta mewakili usaha bersama baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan PP a quo dan anggaran dasar usaha bersama. Ketentuan Pasal 1 angka 8 PP 87/2019 dikuatkan kembali dalam Pasal 54 ayat (1) PP a quo yang menyatakan bahwa “Direksi baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama berwenang mewakili usaha bersama baik di dalam maupun di luar pengadilan”. Kewenangan Direksi untuk mewakili usaha bersama tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan, Anggaran Dasar, atau keputusan Rapat Umum Anggota (RUA). Bahwa selanjutnya, terkait dengan anggapan kerugian hak konstitusionalnya, para Pemohon menjelaskan kedudukannya sebagai Badan Perwakilan Anggota (BPA) untuk berbagai daerah pemilihan. Namun, pada saat UU 40/2014 dan PP 87/2019 berlaku sudah tidak ada lagi istilah BPA karena ketentuan Pasal 120 ayat (3) PP 87/2019 menyatakan bahwa BPA usaha bersama yang telah ada pada saat PP 87/2019 diundangkan, dinyatakan sebagai RUA dan memiliki tugas serta kewenangan sesuai dengan ketentuan dalam PP a quo . Adapun anggota 134 BPA __ yang telah ada pada saat PP a quo diundangkan, tanggal 26 Desember 2019, dinyatakan sebagai Peserta RUA [vide Pasal 120 ayat (4) PP 87/2019]. [6.3] Menimbang bahwa dengan mencermati secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya telah ternyata tidak tampak adanya hubungan kausal ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional yang diderita para Pemohon dengan berlakunya norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Karena, pada pokoknya yang dipersoalkan para Pemohon adalah beberapa ketentuan dalam PP 87/2019 yang dianggap para Pemohon telah menghilangkan eksistensi BPA karena mengubahnya menjadi RUA, dan mengurangi kewenangan BPA dalam mengelola AJB Bumiputera 1912. Termasuk di dalamnya para Pemohon juga mempersoalkan masa jabatan anggota BPA yang beralih menjadi anggota RUA sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 120 PP a quo yang menentukan selama satu tahun. Menurut para Pemohon, ketentuan demikian merugikan karena semula masa jabatan anggota BPA adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk maksimal dua periode berturut-turut. [6.3.1] Bahwa Jika mencermati secara saksama PP 87/2019, masa jabatan anggota RUA tersebut pada prinsipnya sama dengan anggota BPA yakni lima tahun dan dapat dipilih kembali. Ketentuan satu tahun yang dipersoalkan para Pemohon sebagai anggapan kerugian konstitusional tersebut hanyalah Ketentuan Peralihan dari anggota BPA menjadi anggota RUA yang sifatnya sementara waktu ( temporary ) sampai terbentuknya anggota RUA (vide Pasal 120 ayat (4) dan ayat (5) PP 87/2019). Selain itu, para Pemohon juga mempersoalkan anggapan kerugian yang dialaminya dikaitkan dengan tidak dibolehkannya anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah menjadi peserta RUA sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 ayat (3) PP 87/2019 yang dikaitkan dengan adanya pembatasan terhadap hak seseorang, in casu anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah untuk menjadi pemegang polis. [6.3.2] Bahwa uraian alasan para Pemohon yang mengait-kaitkan hak untuk menjadi anggota (pemegang polis) dan syarat untuk menjadi anggota RUA dalam batas penalaran yang wajar sungguh sulit untuk dipahami korelasinya dengan anggapan kerugian hak konstitusional yang dialaminya. Karena, pada prinsipnya 135 siapapun dapat menjadi pemegang polis AJB Bumiputera atau anggota sepanjang memenuhi syarat keanggotaan yaitu perseorangan berkewarganegaraan Indonesia atau pemegang polis badan hukum, lembaga, kelompok, atau perkumpulan yang tunduk pada hukum Indonesia (vide Pasal 8 PP 87/2019). Sementara itu, pembatasan yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada prinsipnya pembatasan atau syarat menjadi anggota RUA. Salah satu pembatasan tersebut adalah tidak membolehkan anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah. Pembatasan demikian adalah wajar dan tidak bertentangan dengan konstitusi di mana secara filosofis bertujuan untuk menjamin agar keputusan yang diambil oleh RUA dalam melaksanakan kewenangannya, yang tidak dimiliki oleh direksi atau dewan komisaris, tidak berafiliasi dengan kepentingan politik apapun atau independen. [6.3.3] Bahwa Lebih lanjut, para Pemohon juga menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya dikaitkan dengan adanya kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dianggap para Pemohon telah mengintervensi kewenangan BPA AJB Bumiputera 1912 sebagaimana menurut para Pemohon intervensi tersebut termaktub antara lain dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 19, Pasal 23 ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 24 ayat (6), ayat (7), ayat (8), Pasal 35 UU 40/2014 sehingga menurut para pemohon intervensi demikian dapat memperlambat proses pengambilan keputusan RUA (vide. permohonan para Pemohon hlm. 14 sampai dengan hlm. 17). Istilah RUA yang dimaksud dulunya adalah BPA. Berkenaan dengan uraian para Pemohon tersebut, penting ditegaskan bahwa pada saat BPA dibentuk tidak ada keterlibatan OJK dalam penyelenggaraan asuransi karena OJK sendiri baru dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU 21/2011). Artinya, pada saat BPA dibentuk memang belum ada OJK sebagai lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan (Pasal 5 UU 21/2011). Sebagai lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan OJK berwenang mengatur dan mengawasi perusahaan asuransi apapun dalam rangka memberikan perlindungan bagi para anggotanya, termasuk di dalamnya mengatur dan mengawasi badan hukum usaha bersama AJB Bumiputera 1912. 136 [6.4] Menimbang bahwa berdasarkan uraian kedudukan hukum di atas, telah jelas para Pemohon tidak dapat menguraikan apa sesungguhnya kerugian hak konstitusional yang dialami para Pemohon dengan berlakunya norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, sehingga tidak ada hubungan kausal ( causal verband ) antara kerugian para Pemohon dengan berlakunya norma pasal a quo . Dengan demikian seharusnya Mahkamah menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. [6.5] Menimbang bahwa uraian/pendapat hukum mengenai PP 87/2019 di atas bukan ditujukan untuk menilai keabsahan (legalitas) PP 87/2019 terhadap Undang- Undang atau bahkan terhadap UUD 1945, melainkan semata-mata karena para Pemohon dalam menjelaskan kerugian konstitusionalnya selalu merujuk pada PP 87/2019 a quo. [6.6] Menimbang bahwa andaipun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, tidak terdapat pula persoalan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 dikarenakan Pasal 6 ayat (1) UU 40/2014 menentukan bentuk badan hukum penyelenggara usaha perasuransian adalah perseroan terbatas, koperasi, dan usaha bersama. Badan hukum usaha bersama dimaksud adalah usaha bersama yang telah ada pada saat UU 40/2014 diundangkan yang dikukuhkan oleh UU a quo sebagai badan hukum usaha bersama. Sampai saat UU a quo diundangkan hanya ada satu badan hukum usaha bersama yaitu AJB Bumiputera 1912. UU a quo telah ternyata tidak hanya mengukuhkan AJB Bumiputera 1912 sebagai badan hukum usaha bersama tetapi juga mengatur secara garis besar mengenai tata kelola penyelenggara perasuransian oleh badan hukum usaha bersama. Pengaturan tersebut meliputi perizinan usaha bersama (Pasal 8 UU 40/2014); penerapan tata kelola perusahaan asuransi yang baik, termasuk usaha bersama (Pasal 11 UU 40/2014); pengaturan kewajiban organ perusahaan perasuransian, termasuk usaha bersama untuk memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan (Pasal 12 UU 40/2014); pengaturan prinsip dasar penyelenggaraan usaha bersama (Pasal 35 UU 40/2014); larangan bagi organ perusahaan asuransi, termasuk usaha bersama jika izin usaha perusahaan dicabut (Pasal 43 UU 40/2014); kewenangan organ perusahaan, termasuk usaha bersama, jika tim likuidasi telah dibentuk (Pasal 46 UU 40/2014); kewenangan OJK menonaktifkan 137 organ perusahaan, termasuk usaha bersama, dan menetapkan pengelola statuter, serta mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi perusahaan perasuransian dan organ perusahaan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 60 UU 40/2014); pemeriksanaan perusahaan perasuransian secara berkala atau sewaktu-waktu (Pasal 61 UU 40/2014); kewenangan OJK untuk memerintahkan penggantian direksi dan dewan komisaris (Pasal 72 UU 40/2014); ketentuan pidana bagi organ perusahaan yang melanggar UU 40/2014, dan ketentuan peralihan untuk penyesuaian usaha bersama dalam kurun waktu paling lama tiga tahun (Pasal 86 UU 40/2014). [6.6.1] Bahwa lebih lanjut, UU 40/2014 menjelaskan bahwa apabila di kemudian hari setelah UU 40/2014 diundangkan ada pihak-pihak yang akan menyelenggarakan usaha asuransi umum, usaha asuransi jiwa, usaha asuransi umum syariah, atau usaha asuransi jiwa syariah dengan bentuk usaha bersama, UU a quo menjelaskan agar bentuk badan hukumnya didorong berbentuk koperasi dengan pertimbangan kejelasan tata kelola dan prinsip usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan (vide Penjelasan Pasal 6 UU 40/2014). Artinya, dengan UU 40/2014 pembentuk undang-undang telah mengukuhkan AJB Bumiputera 1912 sebagai satu-satunya badan hukum usaha bersama. Namun, ke depannya usaha bersama apabila ada lagi oleh UU a quo didorong dalam bentuk koperasi. Koperasi pada hakikatnya adalah wadah usaha bersama untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi. Bentuk badan usaha bersama ( mutual ) ini sejiwa dengan badan usaha koperasi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, yang dalam usahanya bertumpu kepada kemampuan anggotanya serta berorientasi pada peningkatan kesejahteraan para anggotanya, bukan seperti perusahaan yang lebih berpihak dan menguntungkan para pemilik modal. Dengan demikian, bentuk koperasi untuk usaha bersama seandainya ke depan akan dibentuk adalah sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. [6.6.2] Bahwa berdasarkan pengaturan tersebut di atas maka pembentuk undang- undang, in casu Pembentuk UU 40/2014 pada prinsipnya telah melaksanakan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 walaupun tidak diatur dalam undang-undang tersendiri. Selain itu, UU 40/2014 tidak hanya mengukuhkan status badan hukum usaha bersama tetapi juga mengatur tata kelolanya, di mana untuk pengaturan lebih lanjutnya ditetapkan dalam PP 87/2019. 138 Dengan penjelasan dan argumentasi di atas dapat disimpulkan bahwa Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 tidak bertentangan dengan Konstitusi karena status hukum bagi usaha bersama yang ada yaitu AJB Bumiputera 1912 sebagai badan hukum telah ditegaskan dalam UU 40/2014 [vide Pasal 6 ayat (1) huruf c dan ayat (2)]. Selain telah memberikan kepastian hukum bahwa perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama adalah badan hukum dan ditegaskan pula bahwa AJB Bumiputera 1912 merupakan satu-satunya usaha bersama yang menyelenggarakan usaha perasuransian; telah diaturnya prinsip-prinsip umum tata kelola suatu perusahaan asuransi yang berlaku bagi usaha bersama dalam UU 40/2014 dan kekhususan bidang AJB Bumiputera 1912 di bidang asuransi; serta adanya fakta hukum bahwa hanya ada satu objek hukum atas pengaturan tata kelola usaha bersama, maka kebijakan pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) yang mendelegasikan pengaturan tata kelola usaha bersama ke dalam Peraturan Pemerintah telah didasarkan pada landasan hukum dan pemikiran yang jelas dan berdaya guna serta berhasil guna sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan] sehingga memberikan kepastian hukum. Dengan demikian tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 sebagaimana didalilkan para Pemohon. [6.7] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, Kami berpendapat bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, oleh karenanya seharusnya permohonan para Pemohon tidak diterima. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non , seharusnya Mahkamah menyatakan pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. *** Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P. Sitompul, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal sepuluh, bulan Desember, tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum 139 pada hari Kamis, tanggal empat belas, bulan Januari, tahun dua ribu dua puluh satu , selesai diucapkan pukul 13.26 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P. Sitompul, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Dian Chusnul Chatimah sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Wahiduddin Adams ttd. Arief Hidayat ttd. Saldi Isra PANITERA PENGGANTI, ttd. Dian Chusnul Chatimah

    Pasal 36Tutup

    “Peserta RUA memiliki masa tugas selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali”. Bahwa hal tersebut menunjukkan ketidak selarasan dalam membuat sebuah Peraturan, yang mana menurut para Pemohon Peraturan Pemerintah tersebut sudah sewajarnya tidak diterbitkan, karena hal tersebut tidak sesuai dengan Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 yaitu Ketentuan lebih lanjut mengenai asuransi berbentuk usaha bersama diatur dengan undang-undang dan bukan dengan Peraturan Pemerintah. Untuk itu apabila permohonan para Pemohon dikabulkan yaitu Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40/2014 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka segala kerugian para Pemohon seperti dalam uraian di atas dapat dihindarkan atau tidak lagi terjadi.

    4)

    Persyaratan umum untuk dapat dipilih menjadi Peserta RUA sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 berbeda dengan persyaratan yang telah ada dalam Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 untuk dapat menjadi anggota BPA. para Pemohon keberatan dengan adanya Pasal 31 ayat (3) huruf d Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama yang menyebutkan: “Untuk dapat dipilih menjadi Peserta RUA, Anggota harus _memenuhi persyaratan umum sebagai berikut: _ _a. warga negara Indonesia; _ _b. sehat jasmani dan rohani; _ _c. memiliki pengalaman organisasi; _ 11 d. tidak menjadi anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil _kepala daerah; _ e. tidak sedang menjadi tersangka atau terdakwa dalam proses _peradilan; dan _ f. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan”. Bahwa Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama dalam Pasal 31 ayat (3) huruf d tersebut sangatlah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama yang menyebutkan “ Anggota adalah pemegang polis pada usaha bersama ”, hal ini sangat tidak adil bagi orang yang menjadi anggota tetapi tidak dapat menjadi peserta RUA yang mana RUA merupakan Rapat Umum Anggota. para Pemohon melihat hal tersebut adalah bentuk diskriminasi hak-hak anggota pemegang polis. Yang menjadi pertanyaan mendasar para Pemohon adalah, Apakah anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah tidak boleh menjadi pemegang polis di dalam Asuransi Usaha Bersama? 5) Bahwa Pasal 31 ayat (3) huruf d Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tersebut juga bertentangan dengan larangan rangkap jabatan oleh anggota DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 236 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“Undang-Undang MD3”): _(1). Anggota DPR dilarang merangkap jabatan sebagai: _ _a. pejabat negara lainnya; _ _b. hakim pada badan peradilan; atau _ c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD. (2). Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR serta hak sebagai anggota DPR. 12 (3). Anggota DPR dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bahwa berdasarkan hal tersebut secara eksplisit tidak ada peraturan yang melarang anggota DPR/DPRD untuk menjadi Anggota Pemegang Polis karena bahwasanya anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah juga manusia biasa yang membutuhkan asuransi jiwa seperti Asuransi Jiwa Berbentuk Badan Usaha Bersama (AJB Bumiputera 1912) tetapi dengan adanya pasal 31 ayat (3) butir d Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama yang menyebutkan larangan kepada Calon Kepala/Wakil kepala daerah atau Kepala/Wakil kepala daerah untuk melakukan pemegangan polis tersebut, sehingga sangat membatasi hak pemegang polis dan menciptakan ketidak adilan, terhadap hak-hak pemegang polis sebagai anggota Badan Perwakilan Anggota yang dalam Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 disebut dengan Rapat Umum Anggota.

    6)

    Bahwa dengan adanya Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian dan adanya Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama, Pihak OJK (Otoritas Jasa Keuangan) terlalu intervensi terhadap kewenangan BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, hal tersebut tertuang di Pasal-Pasal, sebagai berikut:

    a.

    Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 menyebutkan Perubahan Anggaran Dasar yang telah di Tetapkan RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK paling lama 7 hari kerja setelah ditetapkan RUA untuk mendapatkan persetujuan , Pasal 5 ayat (3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pasal 5 ayat (4) Perubahan Anggaran Dasar telah mendapatkan persetujuan OJK wajib dinyatakan dalam akta notaris dalam bahasa Indonesia paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak mendapatkan persetujuan OJK . 13 b. Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 menyebutkan; OJK dapat memerintah usaha bersama untuk melakukan perubahan anggaran dasar sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan pemerintah ini dan peraturan perundang – undangan di bidang perasuransian, Pasal 7 ayat (3) Usaha bersama wajib menjalankan perintah dari OJK untuk melakukan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

    c.

    Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 menyebutkan:

    (1)

    Direksi menyampaikan agenda RUA kepada OJK untuk mendapatkan persetujuan.

    (2)

    OJK memberikan jawaban atas permohonan persetujuan agenda RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.

    d.

    Pasal 23 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 yang menyebutkan bahwa:

    (4)

    Dalam hal Dewan Komisaris tidak menyelenggarakan RUA luar biasa yang merupakan usulan Peserta RUA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (6) huruf a dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (21) Peserta RUA mengajukan permohonan izin penyelenggaraan RUA dan menyampaikan agenda RUA kepada OJK untuk memperoleh persetujuan.

    (5)

    OJK dapat memberikan izin atas penyelenggaraan RUA luar biasa dan persetujuan agenda RUA yang diajukan oleh Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

    (6)

    Dalam hal OJK memberikan izin atas penyelenggaraan RUA luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5), surat persetujuan OJK tersebut paling sedikit memuat ketentuan mengenai:

    a.

    tanggal, waktu, dan tempat dilaksanakannya RUA; dan

    b.

    agenda RUA.

    e.

    Pasal 24 ayat (6), ayat (7), ayat (8) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 menyebutkan: 14 (6) Dalam hal RUA kedua tidak memenuhi kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (21) OJK menetapkan batasan kuorum untuk RUA ketiga berdasarkan permohonan Usaha Bersama.

    (7)

    Pemanggilan Peserta RUA untuk RUA ketiga harus disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penetapan kuorum oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

    (8)

    Dalam pemanggilan Peserta RUA untuk RUA ketiga harus disebutkan bahwa RUA kedua telah dilaksanakan dan tidak mencapai kuorum dan RUA ketiga akan dilaksanakan.

    f.

    Pasal 35 Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 menyebutkan:

    (1)

    Direksi menyampaikan 1 (satu) orang calon Peserta RUA urutan pertama dari setiap wilayah pemilihan kepada OJK untuk mendapatkan persetujuan.

    (2)

    Dalam hal calon Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mendapatkan persetujuan OJK, Direksi menyampaikan kembali kepada OJK 1 (satu) orang calon Peserta RUA urutan berikutnya dari wilayah pemilihan yang sama untuk mendapatkan persetujuan.

    (3)

    Persetujuan oleh OJK diberikan setelah dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan kepada calon Peserta RUA.

    (4)

    Dalam hal seluruh calon Peserta RUA dari setiap wilayah pemilihan telah disetujui oleh OJK, Direksi menyelenggarakan RUA untuk mengesahkan Peserta RUA.

    (5)

    Direksi mengumumkan Peserta RUA yang telah disahkan dalam RUA melalui media elektronik dan cetak nasional yang beredar di setiap wilayah pemilihan.

    (6)

    Tata cara mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan serta pemberian persetujuan OJK terhadap calon Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan di sektor jasa keuangan. 15 7) Bahwa hal-hal sebagaimana tersebut pada point di atas menunjukkan sebagian kecil intervensi OJK atas kewenangan BPA AJB Bumiputera 1912 sebagai satu-satunya Usaha Bersama di Indonesia dan tentunya masih banyak lagi pasal-pasal lain yang menunjukkan secara gamblang bentuk Intervensi OJK di dalam Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama. Bahwa banyaknya pasal-pasal yang menunjukkan intervensi dari OJK yang menurut hemat para Pemohon hal tersebut menghilangkan marwah AJB Bumiputera 1912 sebagai Asuransi yang bersifat Usaha Bersama (Mutual), berdiri sebelum Repubik Indonesia ini merdeka dan sangat memberatkan eksistensi dan keberadaan AJB Bumiputera 1912 yang bersifat Usaha Bersama (Mutual) dimana berdasarkan Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 kekuasaan tertinggi diwakili oleh Badan Perwakilan Anggota, seharusnya dalam menetapkan dan mengambil setiap kebijakan membutuhkan proses yang cepat dan tepat dengan birokrasi yang sederhana, seperti contohnya di dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama, jelas nampak adanya birokrasi yang membutuhkan waktu dan proses yang lama dan hal ini tentu sangat memberatkan para Pemohon dan AJB Bumiputera 1912 dikarenakan pada suatu perusahaan dalam memutuskan suatu kebijakan yang penting dan krusial untuk kelancaran kinerja Perusahaan dalam hal ini adalah AJB Bumiputera 1912. Bahwa dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama, maka para Pemohon tidak dapat memutuskan suatu kebijakan yang dianggap penting dan krusial secara cepat dikarenakan harus ada persetujuan melalui OJK, padahal pada kenyataannya pembahasan-pembahasan penting setiap saat dapat terjadi.

    10.

    Bahwa segala kerugian yang dialami oleh para Pemohon mulai dari tidak adanya undang-undang khusus yang mengatur tentang asuransi berbentuk usaha bersama maupun adanya PP 87 Tahun 2019 yang mengatur berbeda dengan Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 tidak akan terjadi apabila 16 pengaturan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 mengikuti Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 yaitu Ketentuan lebih lanjut mengenai asuransi berbentuk usaha bersama diatur dengan undang-undang dan bukan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Untuk itu apabila permohonan para Pemohon dikabulkan yaitu Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka segala kerugian para Pemohon seperti dalam uraian di atas dapat dihindarkan atau tidak lagi terjadi;

    11.

    Bahwa untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum, jika Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, agar tidak merugikan operasionalisasi asuransi berbentuk usaha bersama (AJB Bumiputera 1912), maka ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 yang berbunyi: Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah , dapat diberikan putusan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang frasa “ diatur dalam Peraturan Pemerintah” tidak dimaknai sebagai “diatur dengan undang- undang”;

    12.

    Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka para Pemohon telah memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi, maupun sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan penjelasan mengenai syarat-syarat untuk menjadi Pemohon pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. Bahwa kedudukan para Pemohon selaku Pemegang Polis dan sebagai Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 dalam konstitusionalitasnya ibarat “dua sisi mata uang” yang tidak dapat terpisahkan antara satu dengan lainnya karena Anggota BPA AJB Bumiputera 1912 adalah harus Pemegang Polis dan Pemegang Polis mempunyai hak suara memilih maupun dipilih sebagai anggota BPA inilah ciri khas atau karakteristik dari Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain. 17 C. POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa Undang-Undang 40/2014 yang diuji adalah ketentuan pada Pasal 6 ayat (3) yang memuat ketentuan sebagai berikut: Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 2. Bahwa para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang- Undang 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang selengkapnya mengatur sebagai berikut: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 3. Bahwa AJB Bumiputera 1912 adalah perusahaan asuransi terkemuka di Indonesia yang berdiri tanggal 12 Pebruari 1912, dalam perjalanannya telah mengalami beberapa kali perubahan Anggaran Dasar dan telah pernah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia, berturut-turut: - Tertanggal 12-121967 Nomor : 99, tambahan Lembaran Negara Nomor: 16/1967; - Tertanggal 05-03-1999 Nomor : 19, tambahan Lembaran Negara Nomor: 1/1999; Berdasarkan hasil Sidang Luar Badan Perwakilan Anggota (BPA) memutuskan serta mengesahkan Perubahan Anggaran Dasar Asuransi Jiwa Bersama 1912 dan kemudian berdasarkan Keputusan Sidang Luar Biasa tersebut yang dibuat dihadapan Notaris Agus Madjid, SH pada tanggal 10 Mei 2011 Notaris di Jakarta, dengan Akta No. 15 menetapkan berlakunya Anggaran Dasar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912;

    4.

    Bahwa Berdasarkan ketentuan Anggaran Dasar No. 15 Bab IV Pasal 8 ayat (1) secara tegas-tegas menyebutkan bahwa; Badan Perwakilan Anggota (BPA) merupakan Lembaga tertinggi di AJB. Bumiputera 1912. Anggaran Dasar Pasal 8 ayat (2): “ Badan Perwakilan Anggota (BPA) mengangkat dan memberhentikan Dewan Komisaris dan Direksi ”;

    5.

    Bahwa AJB. Bumiputera 1912 bersifat Usaha bersama (Mutual Insurence ) yang dikelola dengan prinsip-prinsip dasar berlakunya konsep dan praktik Good Corporate Governance dari ketentuan Anggaran Dasar tersebut diatas, kedudukan dan posisi Badan Perwakilan Anggota (BPA) dalam Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 sangat dominan dan kuat serta mempunyai hak 18 otoritas untuk mengendalikan jalannya perusahaan tersebut. Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 adalah satu-satunya Perusahaan Asuransi Jiwa yang berbentuk “mutual” di Indonesia dan oleh karenanya Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 tidak memiliki akses modal sebagaimana halnya Perusahaan Asuransi yang berbentuk Perseroan Terbatas; Bahwa hal tersebut sejalan dan sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim dalam Perkara PUU No.32/PUU-XI/2013 pada point (3.10.3) – point (3.10.4) halaman 90 - 91, adapun pertimbangan Majelis Hakim Pemeriksa dalam Perkara PUU No.32/PUU-XI/2013 pada point (3.10.3,) dan point (3.10.4) sebagai berikut:

    a.

    Point (3.10.3) Menimbang bahwa dalam sejarah perasuransian di Indonesia, salah satu jasa perasuransian adalah Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912. Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 merupakan usaha Asuransi Jiwa Nasional yang lahir di masa pergerakan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan derajat ekonomi bangsa. Selain itu, kebutuhan akan jasa usaha perasuransian juga merupakan salah satu sarana finansial dalam tata kehidupan ekonomi rumah tangga, baik dalam menghadapi risiko finansial yang timbul sebagai akibat dari risiko yang paling mendasar, yaitu risiko alamiah datangnya kematian, maupun dalam menghadapi berbagai risiko atas harta benda yang dimiliki. Kebutuhan akan hadirnya usaha perasuransian juga dirasakan oleh dunia usaha mengingat disatu pihak terdapat berbagai risiko yang sacara sadar dan rasional dirasakan dapat mengganggu kesinambungan kegiatan usahanya, dilain pihak dunia usaha sering kali tidak dapat menghindarkan diri dari suatu sistem yang memaksanya untuk menggunakan jasa usaha perasuransian. Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan berperang dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan lainnya. Bahwa eksistensi Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 sebagai salah satu bukti sejarah konsep asuransi dengan prinsip asas kebersamaan atau usaha bersama (mutual).

    b.

    Point (3.10.4) Menimbang bahwa usaha bersama (mutual) sangat berbeda dengan perusahaan perseroan dimana Perusahaan perseroan merupakan persekutuan modal yang melakukan kegiatan usaha berdasar 19 pada akumulasi modal dengan tujuan mencari keuntungan sedangkan usaha bersama (mutual) merupakan persekutuan orang yaitu kebersamaan para anggotanya dengan tujuan menyejahterakan seluruh anggotanya. Menurut Mahkamah, badan usaha bersama (mutual) telah sesuai dengan bentuk usaha yang dimanatkan oleh Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan, “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Ketentuan tersebut sesuai dengan prinsip usaha bersama (mutual), karena bentuk usaha bersama (mutual) mempunyai peran dalam menyusun perekonomian yang berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi yang mengutamakan kemakmuran bersama para anggotanya atau masyarakat. Hal tersebut berbeda dengan apabila dibandingkan dengan perusahaan perseroan yang lebih mengutamakan akumulasi modal dari pemegang saham dan keuntungannyapun merupakan keuntungan individu pemegang saham. Bahwa dari pertimbangan Majelis Pemeriksa dalam PUU Nomor 32/PUU- XI/2013 sebagaimana tersebut di atas, dapatlah ditarik suatu asumsi kesimpulan sebagai berikut:

    1.

    Bahwa Mahkamah Konsitusi mengakui keberadaan asuransi jiwa bersama yang bersifat usaha bersama (mutual) sebagai warisan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi kapitalis para penjajah. Hal tersebut dilihat dari kehendak para pendiri selaku pejuang dalam mendirikan usaha asuransi yang bersifat usaha bersama (mutual) yang sekarang bernama “Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912”.

    2.

    Mahkamah Konstitusi tetap konsen mempertahankan keberadaan asuransi berbentuk usaha bersama (mutual) dalam hal ini adalah Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 untuk diatur dengan suatu peraturan perundang-undangan bersifat “Lex Spesialis” sama halnya dengan usaha koperasi yang diatur dengan undang-undang tersendiri.

    3.

    Bahwa Mahkamah Konstitusi tidak menghendaki bentuk usaha bersama (AJB. Bumiputera 1912) sebagaimana yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 33 UUD 1945 hilang tergerus dengan modernisasi perekonomian yang bersifat kapitalis di negara Republik Indonesia serta perekonomian yang berbentuk usaha bersama (AJB. Bumiputera 1912) dapat bersaing 20 dengan perusahaan-perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas dalam sistem perekonomian bangsa Indonesia ke depan.

    6.

    Bahwa Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dalam merubah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menjadi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian utamanya mengenai bentuk peraturan perundang-undangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai asuransi berbentuk usaha bersama telah melakukan langkah mundur yang fundamental. Dimana dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang 2/1992 yang awalnya mengatur: Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) diatur lebih lanjut dengan Undang-undang . Kemudian diubah oleh Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40/2014 menjadi: Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah . Padahal Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014 telah memerintahkan bahwa Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) harus diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang tersendiri dan dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014 amarnya berbunyi: _1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; _ 1.1. Frasa ”…diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “…’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan”. 1.2. Frasa “…diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “…’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah Putusan Mahkamah ini _diucapkan” ; _ __ 21 2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik _Indonesia sebagaimana mestinya; _ 3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya”. Bahwa perbuatan membentuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama, bertentangan sama sekali dengan Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut diatas yang dengan jelas-jelas mewajibkan dan memerintahkan agar Pemerintah dan DPR membentuk Undang-Undang tersendiri guna mengatur tentang Asuransi Usaha Bersama atau Mutual Insurance , namun Undang- Undang yang mengatur Usaha Bersama ini sampai dengan sekarang (permohonan pengujian Undang-Undang diajukan) belum terealisasi dan justru Pemerintah mengeluarkan Peraturan yang mengatur tentang Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama cq . AJB. Bumiputera 1912 diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama dengan mengacu pada ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40/2014; Bahwa menurut para Pemohon, perubahan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menjadi Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang dilakukan oleh Pemerintah bersama DPR RI bukanlah melaksanakan perintah Putusan PUU No. 32/PUU-XI/2013, dimana dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengatur tentang Perasuransian secara umum dan tidak secara spesifik mengatur tentang Usaha Asuransi yang berbentuk Mutual (usaha bersama), hal ini terlihat dalam BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, tidak ada sama sekali memuat dan menjabarkan tentang Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama (mutual), ketentuan mengenai Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama (mutual) hanya diatur dalam Bab III (Bentuk Badan Hukum dan Kepemilikan Perusahaan Perasuransian) Pasal 6 dan Bab VI (Tata Kelola Usaha Perasuransian Berbentuk Koperasi dan Usaha Bersama) Pasal 35 Undang- Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 22 Pasal 6 Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;

    (1)

    Bentuk Badan Hukum Penyelenggara Usaha Perasuransian adalah;

    a.

    perseroan terbatas;

    b.

    koperasi: atau c. usaha bersama yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan.

    (2)

    Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf c dinyatakan Sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang ini.

    (3)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama Sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 35 Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;

    (1)

    Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah Berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf c hanya dapat menyelenggarakan jasa asuransi atau jasa asuransi syariah bagi anggotanya.

    (2)

    Setiap anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah Berbentuk koperasi atau anggota usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf c wajib menjadi Pemegang Polis dari perusahaan yang bersangkutan.

    (3)

    Keanggotaan pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah Berbentuk koperasi atau keanggotaan pada usaha bersama sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf c berakhir apabila ;

    a.

    anggota meninggal dunia ;

    b.

    anggota tidak lagi memiliki polis asuransi dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi syariah yang bersangkutan selama 6 (enam) bulan berturut-turut ; atau

    c.

    sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, keanggotaan harus berakhir.

    (4)

    Anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf c berhak atas seluruh keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    (5)

    Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keuangan untuk menjadi Anggota Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) sertapemanfaatan keuntungan oleh anggota dan pembebanan kerugian diantara anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c diatur dalam peraturan otoritas jasa keuangan. Bahwa menurut para Permohon, Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengatur Asuransi secara umum yang bersifat Lex generalis , sedangkan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi RI dalam perkara PUU No. 32/PUU0XI/2013 perlu dibentuk Undang-Undang yang mengatur tentang Asuransi berbentuk usaha besama (mutual) yang bersifat 23 Lex Spesialis, sama halnya dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Bahwa para Pemohon telah berusaha untuk mendapatkan Naskah Akademik dalam pembentukan Undang-Undang No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian, akan tetapi mengingat keterbatasan waktu dan kondisi darurat pandemi Covid-19 di Tanah Air dan adanya sistem Work From Home yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah termasuk Lembaga DPR RI, terdapat kesulitan bagi para Pemohon untuk bekerja secara maksimal guna mendapatkan Naskah Akademik terhadap Undang-Undang tersebut. para Pemohon telah mengirimkan Surat kepada Pajabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI dengan Surat Nomor 29/ZAA-SKL/2020 pada tanggal 29 Mei 2020, yang sampai perbaikan disampaikan tidak ada jawaban sama sekali terhadap Surat para Pemohon tersebut.

    7.

    Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah jelas menyebutkan “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar.” Kemudian Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang MK juga menyebutkan: “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .” Yang dimaksud dengan putusan bersifat final telah diterangkan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Kemudian Pasal 47 UU MK mengatur: Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum ;

    8.

    Bahwa Sifat final putusan MK ini menunjukkan setidaknya 3 hal mendasar, yaitu: ^ Pertama, putusan MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum. Kedua, putusan MK merupakan tingkat pertama dan terakhir, sehingga tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh, seperti halnya banding ataupun kasasi pada peradilan umum. Putusan yang tidak dapat dilakukan upaya 24 hukum lebih lanjut berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara langsung memperoleh kekuatan mengikat. Tidak adanya upaya hukum lebih lanjut ini sengaja dibuat dengan maksud agar Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dapat menyelesaikan persoalan dan memberikan kepastian hukum secara cepat sesuai dengan prinsip peradilan cepat dan sederhana. Hal ini mengingat perkara yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi merupakan perkara yang berkaitan dengan ketatanegaraan, sehingga membutuhkan kepastian hukum dan terikat dengan limitasi waktu agar tidak mengganggu keberlangsungan agenda ketatanegaraan. (Fajar Laksono, dkk., “Implikasi dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU- X/2012 tentang SBI atau RSBI”, Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 4, Desember 2013, h,65) Ketiga, karena telah memperoleh kekuatan hukum, maka putusan Mahkamah Konstitusi memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan. Pada konteks yang ketiga inilah putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak yang berperkara yaitu Pemohon, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ataupun pihak terkait yang diizinkan masuk ke dalam proses perkara, namun juga mengikat bagi semua pihak dan semua orang, lembaga-lembaga negara, serta badan-badan hukum yang berada dalam yurisdiksi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dikatakan bersifat erga omnes, yang ditujukan kepada semua orang. (Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia , Cetakan Pertama, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, h. 208-209);

    9.

    Perbedaan yang sangat mendasar antara putusan yang dikeluarkan oleh MK dengan institusi peradilan lainnya yaitu mengenai upaya hukum lanjutan atas putusannya. Jika putusan yang dikeluarkan oleh institusi peradilan lainnya (Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya) dapat dilakukan upaya hukum lanjutan, baik berupa banding, kasasi, maupun peninjauan kembali, putusan MK tidak mengadopsi mekanisme tersebut. Dikatakan di dalam konstitusi bahwa MK merupakan peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. ^ Dipertegas kembali di dalam Pasal 10 UU MK bahwa makna sifat final putusan MK juga mencakup di dalamnya kekuatan 25 mengikat. Artinya, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

    10.

    Putusan MK dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah wujud dan bentuk judicial control dalam mekanisme cheks and balances di antara cabang kekuasaan negara khususnya checks and balances dari kekuasaan kehakiman terhadap kekuasaan legislatif atau pembuatan undang- undang. Mekanisme pengawasan yang dilakukan didasarkan pada penyelarasan terhadap konstitusi sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi yang menjadi sumber legitimasi aturan perundang-undangan yang berada di bawahnya, baik atas perintah UUD 1945 maupun sebagai penjabaran dan pelaksanaannya. Supremasi Konstitusi yang ditegakkan oleh MK melalui kewenangan uji materil terhadap undang-undang yang dihasilkan legislatif adalah untuk menjamin bahwa undang-undang yang dihasilkan tersebut sesuai dengan UUD. Secara tegas UUD 1945 memberi kewenangan tersebut kepada MK dalam kerangka pembagian kekuasaan ( separation of powers ) dan karenanya jikalau MK sewaktu-waktu menyatakan satu undang-undang yang dihasilkan pembuat undang-undang dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat atau batal hal itu dilakukan bukan sebagai indikasi superioritas MK terhadap cabang kekuasaan legislatif melainkan hanya melaksanakan kewajiban suci dan khidmat yang dilimpahkan oleh Konstitusi padanya (Maruarar Siahaan, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16 Juli 2009: h, 357 – 378);

    11.

    Bahwa tidak dipatuhinya putusan pengadilan termasuk putuan MK tentu saja akan membawa dampak pada kewibawaan lembaga yang memutusnya, serta penegakan hukum dan konstitusi pada umumnya. Secara logis, jika MK merupakan pengawal konstitusi sebagaimana selalu dinyatakan, maka tidak terlaksananya putusan MK sebagaimana mestinya sedikit banyak dapat menimbulkan terjadinya proses deligitimasi terhadap UUD 1945, yang pada hakikatnya dapat menggoyahkan stabilitas penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya menjadi sesuatu hal yang penting untuk memastikan putusan MK dapat terlaksana. (Maruarar Siahaan, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16 Juli 2009: h, 357 – 378);

    12.

    Bahwa keberadaan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan: “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, 26 dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” sangat terkait dengan konsekuensi dianutnya prinsip negara hukum Indonesia. Sebagaimana dinyatakan oleh Hamdan Zoelva dari F-PBB sebagai salah satu anggota PAH I BP MPR-RI yaitu: “Negara Hukum sebagai Dasar Negara mengandung arti bahwa pelaksanaan kekuasaan Pemerintahan Negara didasarkan pada hukum dan konstitusi…” Jadi Negara dalam pelaksanaan kekuasaan Pemerintahan Negara harus selalu didasarkan pada hukum dan untuk menghindari jangan sampai hukum ini diterjemahkan sedemikian rupa sesuai dengan keinginan pemerintah atau penguasa. Dengan demikian jelaslah bahwa jaminan hak atas kepastian hukum yang adil dilatarbelakangi oleh keinginan agar jangan sampai hukum ini diterjemahkan sedemikian rupa sesuai dengan keinginan pemerintah atau penguasa ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Buku VIII, Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi dan Agama. Sekretariat Jenderal MKRI, 2010, h. 267);

    13.

    Bahwa Pandangan doktrinal ahli hukum tentang pemaknaan kepastian hukum adalah kepastian hukum merupakan wujud asas legalitas (legaliteit) yang dimaknai oleh Sudargo Gautama dari dua sisi, yakni : pertama , dari sisi warga negara, sebagai kelanjutan dari prinsip pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan adalah pelanggaran terhadap hak-hak individual itu hanya dapat dilakukan apabila diperbolehkan dan berdasarkan peraturan-peraturan hukum; dan kedua , dari sisi negara, yaitu tiap tindakan negara harus berdasarkan hukum. Peraturan perundang-undangan yang diadakan terlebih dahulu merupakan batas kekuasaan bertindak negara. (Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1973. h. 9). Pandangan lainnya dari Indroharto konsep kepastian hukum merupakan konsep yang mengharuskan, bahwa hukum objektif yang berlaku untuk setiap orang tersebut, harus jelas dan taati. Di sini, Indroharto menekankan kepastian hukum juga menyangkut kepastian norma hukum. (Indroharto, Rangkuman Asas-Asas Umum Tata Usaha Negara , Jakarta, 1984. h. 212-213).

    14.

    Bahwa Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 57 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa dalam hal permohonan dikabulkan, MK sekaligus menyatakan suatu Undang- 27 Undang yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 baik seluruhya maupun sebagian dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum ( legally null and void ). Dalam praktik diketemukan terdapat model-model lain dalam putusan- putusan MK yang masing-masing memiliki karakteristik. Model putusan konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ) dan model putusan inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ) pada dasarnya kedua model putusan tersebut merupakan model putusan yang secara hukum tidak membatalkan dan menyatakan tidak berlaku suatu norma, akan tetapi kedua model putusan tersebut memuat atau mengandung adanya penafsiran ( interpretative decision ) terhadap suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari Undang-Undang ataupun Undang-Undang secara keseluruhan yang pada dasarnya dinyatakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan konstitusi dan tetap mempunyai kekuatan hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Syukri Asy'ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali, Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang: Studi Putusan Tahun 2003-2012, h. 1); D. PETITUM Berdasarkan uraian dalil-dalil para Pemohon di atas, izinkanlah para Pemohon meminta kepada Yang Mulai Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan mengadili perkara permohonan ini untuk memutus hal-hal sebagai berikut:

    1.

    Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;

    2.

    Menyatakan Frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... diatur dengan Undang-Undang”;

    3.

    Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Atau Jika Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ex aequo et bono 28 [2.2] Menimbang bahwa untuk mendukung dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-15, sebagai berikut:

    1.

    Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;

    2.

    Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar 1945;

    3.

    Bukti P-3 : Fotokopi identitas para Pemohon;

    4.

    Bukti P-4 : Fotokopi Akta Notaris Maria Gunarti S.H., M.Kn., Nomor 19 tentang Pernyataan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, bertanggal 23 April 2015, dan Akta Notaris Maria Gunarti S.H., M.Kn., Nomor 05 tentang Pernyataan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, bertanggal 02 Agustus 2016;

    5.

    Bukti P-5 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama;

    6.

    Bukti P-6 : Fotokopi Petikan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Nomor 15;

    7.

    Bukti P-7 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU- XI/2013;

    8.

    Bukti P-8 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 215100159571 atas nama Ny. Hj. Nurhasanah, S.H., M.H.;

    9.

    Bukti P-9 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 215100281532, Nomor polis 215100281515, dan Nomor Polis 215100281527 atas nama Prof. DR. H. Ibnu Hajar Damanik, M.Si.;

    10.

    Bukti P-10 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 212100480756 atas nama DR. Maryono S.Kar., M.Hum.;

    11.

    Bukti P-11 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 96237496, dan Nomor Polis 211102405277 atas nama Prof. Gede Sri Darma, D.B.A.;

    12.

    Bukti P-12 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 211103864964 atas nama Khairul Huda; 29 13. Bukti P-13 : Fotokopi Surat Nomor 29/ZAA-SKL/2020 perihal Permohonan Data-Data Pendukung tentang Pembentukan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;

    14.

    Bukti P-14 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 215100406711 atas nama Prof. DR. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng.;

    15.

    Bukti P-15 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 214104139695, atas nama Ny. Septina Primawati. Selain itu, untuk mendukung dalil permohonannya, para Pemohon juga mengajukan tiga orang ahli atas nama Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum., dan Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK., yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020, tanggal 24 September 2020, dan tanggal 20 Oktober 2020, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: A. Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H. − Bahwa Pokok masalah dalam perkara ini adalah adanya norma hukum di Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang substansinya bertentangan dengan Putusan MK yaitu Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014. Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 mengatur: Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah . Sementara itu amar Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 dalam pengujian Pasal 7 ayat (3) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang putusan ini dibuat lebih dahulu daripada dibentuknya UU 40/2014 menyebutkan Frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai __ “…’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah Putusan Mahkamah ini diucapkan. − Bahwa telah dinyatakan oleh MK di bagian pertimbangan [3.10.2] Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013 yaitu berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 2/1992, usaha perasuransian dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perusahaan perseroan (PERSERO), koperasi, atau usaha bersama ( mutual ). Kesemuanya itu agar memperoleh perlindungan dan kepastian 30 hukum dalam menjalankan usahanya maka setiap bentuk usaha perasuransian memerlukan pengaturan dalam bentuk Undang-Undang. Kemudian di bagian pertimbangan selanjutnya dalam Putusan MK [3.10.5] disebutkan bahwa Undang-Undang yang mengatur mengenai bentuk usaha bersama ( mutual ) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 7 ayat (3) UU 2/1992 yang hingga sekarang belum dibentuk dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi penyelenggara asuransi yang berdasarkan usaha bersama ( mutual ) seperti AJB Bumiputera. Pada sisi lain, penyelenggara asuransi yang berdasarkan perusahaan perseroan dan koperasi telah memperoleh kepastian hukum dengan adanya undang- undang yang mengatur khusus untuk itu. Oleh karena itu, menurut MK, untuk menghindari berlarut-larutnya ketidakpastian hukum dan ketidakadilan tersebut, MK harus memastikan batas waktu yang cukup dan adil bagi pembentukan undang-undang dimaksud yaitu dua tahun enam bulan setelah putusan MK ini diucapkan. − Bahwa apa yang diperintahkan oleh MK dalam putusan Nomor 32/PUU- XI/2013 baik di bagian amar putusan maupun pertimbangan hukum ternyata dalam praktiknya tidak ditindaklanjuti oleh Pembentuk UU yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden ( vide Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945). Sampai saat ini setelah 6 tahun sejak putusan Nomor 32/PUU-XI/2013 ternyata UU yang mengatur tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) tidak juga dibentuk. Bahkan tidak hanya tidak membentuk UU yang mengatur tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) sebagaimana diperintahkan putusan MK, pembentuk UU saat membentuk UU 40/2014 yang dimaksudkan sebagai pengganti UU 2/1992 justru menurunkan derajat pengaturan mengenai perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama yaitu dari awalnya diatur dengan UU diubah menjadi diatur dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. − Bahwa atas permasalahan dalam perkara ini dapat diberikan tinjauan dari beberapa aspek yaitu Pertama , bagaimana sifat putusan MK; Kedua , bagaimana kewajiban pembentuk UU untuk melaksanakan/menindaklanjuti putusan MK; dan Ketiga ; apa upaya 31 hukum yang dapat ditempuh oleh warga negara/para pihak apabila ditemukan UU yang dibentuk bertentangan dengan Putusan MK; dan Keempat ; apa akibat hukum jika suatu UU dibentuk tanpa berdasarkan pada putusan MK. SIFAT PUTUSAN MK − Bahwa terhadap aspek pertama yaitu bagaimana sifat putusan MK maka dapat diberikan keterangan terlebih dahulu tentang kelahiran MK melalui perubahan Ketiga UUD 1945 yaitu Pasal 24C Pada tahun 2001 adalah sejalan dengan dipertegasnya dianutnya paham negara hukum dalam UUD 1945. Dalam negara hukum harus dijaga paham konstitusional. Artinya, tidak boleh ada UU dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan UUD. Hal itu sesuai dengan penegasan bahwa UUD sebagai puncak dalam tata urutan peraturan perundang undangan di Indonesia. (Buku “Panduan Pemasyarakatan UUD 1945 sesuai dengan urutan Bab, Pasal dan ayat”. Sekretariat Jenderal MPR, 2007, hlm. 116). Dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 disebutkan bahwa Pembentukan MK ini, merupakan salah satu wujud nyata dari perlunya keseimbangan dan kontrol di antara lembaga-lembaga negara. Hal ini, juga sebagai penegasan terhadap prinsip negara hukum dan perlunya perlindungan hak asasi (hak konstitusional) yang telah dijamin konstitusi serta sebagai sarana penyelesaian beberapa permasalahan yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan (hlm. 592 -593) − Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum . Sementara Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 menyebutkan: Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar . 32 Ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat dipahami berdasarkan niat, semangat, atau situasi kebatinan para perumus perubahan UUD 1945 sehingga pada akhirnya menyepakati rumusan mengenai sifat putusan MK yang bersifat final. Dalam rapat Rapat Pleno PAH I ke-51 BP MPR tanggal 29 Juli 2000, Hamdan Zoelva dari F-PBB antara lain menyatakan: Dalam usulan Perubahan UUD ini, kita semua telah sepakat adanya Mahkamah Konstitusi. Kita telah sepakat pula bahwa Mahkamah ini nantinya memiliki wewenang untuk menguji secara materi atas undang- undang, serta memberikan putusan atas pertentangan antar undang- undang. Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilakukan upaya apapun untuk membatalkannya. Hasil kerja PAH I BP MPR terkait rancangan perubahan Bab IX UUD 1945 dilaporkan pada Rapat ke-5 BP MPR, 23 Oktober 2001. Terkait dengan MK, Jacob Tobing menyampaikan rumusan-rumusan yang dihasilkan PAH I BP MPR, antara lain: Pasal 24A ayat (2) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara dari tingkat pertama dan tingkat terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang (dan peraturan perundang-undangan di bawahnya) terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan perselisihan, kewenangan atau kompetensi antar lembaga (negara), memutuskan pembubaran partai politik (atas tuntutan yang sah) yang memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pada Rapat Paripurna ke-6 MPR, 8 November 2001. Jacob Tobing menyampaikan Rancangan Perubahan Ketiga UUD 1945. Terkait dengan MK, rumusannya telah dikumpulkan ke dalam Pasal 24C yang terdiri atas 6 (enam) ayat. Terkait dengan putusan MK, disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1), yaitu: __ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil tentang hasil pemilihan umum. 33 Rancangan tersebut kemudian dibawa ke Rapat Paripurna ke-7 MPR guna mendapatkan pandangan akhir dari fraksi-fraksi sebelum disahkan menjadi bagian dari Perubahan Ketiga UUD 1945. Secara umum, meskipun memberikan masukan, tetapi pada dasarnya pandangan akhir yang disampaikan fraksi-fraksi secara tegas menyepakati rumusan rancangan yang dilaporkan tersebut. __ Jika Pasal tersebut dicermati dapat dijelaskan bahwa MK merupakan badan peradilan tingkat pertama dan terakhir. Atau dapat dikatakan, badan peradilan satu-satunya yang putusannya bersifat final dan mengikat, untuk mengadili perkara pengujian UU, sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilihan umum. Dengan demikian, dalam hal pelaksanaan kewenangannya, MK tidak mengenal adanya mekanisme banding atau kasasi. ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman , Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Revisi, Juli 2010, hlm. 594 - 595) __ Dengan demikian pengertian tingkat pertama dan terakhir di sini adalah di bawah maupun di atas MK tidak ada badan pengadilan lain, sehingga putusan MK langsung sebagai putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde vonnis ). Untuk itu tidak ada upaya hukum lainnya, baik berupa banding atau kasasi yang dapat ditempuh dan menjadikan putusannya bersifat final. ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman , Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Revisi, Juli 2010, hlm. 718) Lain halnya dengan kewajiban MK untuk memberikan putusan atas pendapat DPR, terhadap dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam hal ini, UUD tidak menyatakan MK sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. MK hanya diletakkan sebagai salah satu mekanisme yang harus 34 dilalui dalam proses pemberhentian ( impeachment ) Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban konstitusional MK adalah untuk membuktikan dari sudut pandang hukum, mengenai benar tidaknya dugaan pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden. ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman , Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Revisi, Juli 2010, hlm. 594 - 595) − Bahwa apa yang dimaksud putusan MK bersifat final kemudian diperjelas dan dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut sebagai UU MK). Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK menerangkan Putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Apabila dikaitkan dengan Pasal 47 UU MK yang menyebutkan: Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum maka putusan MK telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara langsung memperoleh kekuatan mengikat untuk dilaksanakan serta membawa akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan sejak putusan selesai diucapkan dalam sidang pleno. − Bahwa Menurut Sri Soemantri, putusan yang bersifat final harus bersifat mengikat dan tidak bisa dianulir oleh lembaga apapun. Dalam bahasa Inggris, pengertian yuridis final dan mengikat itu selalu bersatu, yaitu final and binding . Dengan demikian, jika bersifat final harus diikuti dengan mengikat sehingga sah memiliki kepastian hukum. Kata final itu implisit telah mengikat dan tidak bisa dianulir sehingga tidak perlu ditambahi dengan kata-kata mengikat (Sri Soemantri, “Catatan-catatan Terhadap RUU Mahkamah Konstitusi”, disampaikan pada Seminar di Universitas Islam Indonesia, 11 Mei 2002, hlm. 8, yang dikutip kembali oleh Abdul 35 Rasyid Thalib dalam Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm.

    491)

    . Menurut Indroharto, kata final, artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan penetapan tertulis itu harus benar-benar sudah merupakan akibat hukum yang definitif (Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, 1991, hlm. 116). − Bahwa mengenai kewenangan MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final telah diberikan tafsir konstitusional oleh MK melalui Putusan Nomor 129/PUU-VII/2009 dan putusan Nomor 36/PUU-IX/2011 tentang pengujian Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK. Dalam putusan ini MK menegaskan pasal yang dimohonkan untuk diuji dalam permohonan a quo materinya adalah pemuatan kembali atau pengulangan materi kewenangan MK yang terdapat dalam Pasal 24C UUD 1945. apabila MK menguji materi pasal yang dimohonkan dalam permohonan a quo , maka secara tidak langsung MK akan pula menguji materi yang terdapat dalam Pasal 24C UUD 1945, yang berarti MK akan menguji konstitusionalitas dari materi UUD 1945 dimana MK berpendapat bahwa hal demikian bukan menjadi kewenangan MK. Selain itu keberadaan Pasal 24C UUD 1945 yang menyebutkan kewenangan MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final merupakan pilihan dari pembuat UUD 1945 dan MK tidak mempunyai kewenangan untuk menilai pilihan pembuat UUD 1945 tersebut. − Bahwa dengan demikian jawaban atas pertanyaan bagaimana sifat putusan Mahkamah Konstitusi setelah melihat risalah perubahan UUD 1945, UU MK, dan Putusan MK dapat disimpulkan putusan MK bersifat final yang sifat final ini menunjukkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) hal, yaitu: Pertama, bahwa Putusan MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum; Kedua; karena telah memperoleh kekuatan hukum maka Putusan MK memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan. Hal ini karena Putusan MK berbeda dengan putusan peradilan umum yang hanya mengikat para pihak berperkara ( interparties ). Semua pihak wajib mematuhi dan melaksanakan Putusan MK karena putusan MK 36 tidak hanya mengikat bagi pihak yang mengajukan perkara di MK, melainkan mengikat juga semua warga negara seperti halnya UU mengikat secara umum bagi semua warga negara ( erga omnes ). Ketiga; karena merupakan pengadilan pertama dan terakhir, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Sebuah putusan apabila tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde ) dan memperoleh kekuatan mengikat ( resjudicata pro veritate habetur ). KEWAJIBAN PEMBENTUK UNDANG-UNDANG UNTUK MELAKSANAKAN/ MENINDAKLANJUTI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI − Bahwa Pasal 56 ayat (3) UU MK menyebutkan: Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 . Kemudian Pasal 57 ayat (1) UU MK menyatakan: Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang- undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat . Konstruksi Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 57 ayat (1) UU MK ini pada dasarnya merupakan putusan yang berkategori self-implementing . Putusan yang bersifat self-implementing , diartikan bahwa putusan akan langsung efektif berlaku tanpa memerlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan berupa langkah-langkah implementasi perubahan undang-undang yang diuji. Dalam hal ini, dengan diumumkannya putusan MK dalam sidang terbuka untuk umum dan diumumkan dalam Berita Negara sebagai norma hukum baru, dapat segera dilaksanakan; − Bahwa dalam model putusan MK yang berkategori self-implementing MK menyatakan secara sekaligus bahwa suatu UU yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 baik seluruhya maupun sebagian dan pernyataan bahwa yang telah dinyatakan bertentangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Dalam putusan self-implementing MK tidak 37 membuat norma baru karena hanya sebagai negative legislator melalui suatu pernyataan atau deklaratif. Sifat putusan deklaratif tidak membutuhkan satu aparat khusus untuk melaksanakan putusan. Namun demikian, sebagai syarat untuk diketahui secara umum, putusan demikian diumumkan dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan (Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi , (Jakarta: Konstitusi Press, 2010, hlm. 250-251); − Bahwa dengan dimuat dalam Berita Negara maka seluruh penyelenggara negara dan warga negara terikat untuk tidak menerapkan dan melaksanakan lagi norma hukum yang telah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK. Oleh karena itu, jika terdapat suatu perbuatan yang dilakukan atas dasar UU yang sudah dinyatakan oleh MK baik seluruhnya maupun sebagian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka perbuatan tersebut dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum dan demi hukum batal sejak semula ( ad initio ) (Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi , (Jakarta: Konstitusi Press, 2010, hlm 251- 252); − Bahwa dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perkembangan yang menarik dalam pengujian UU, khususnya dalam hal putusan yang dijatuhkan MK. Jika semula jenis putusan MK hanya seperti yang diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 57 ayat UU MK yaitu berupa amar yang mengabulkan permohonan, menyatakan permohonan tidak dapat diterima, dan menolak permohonan untuk sebagian atau seluruhnya dengan menyatakan suatu undang-undang, pasal, ayat atau frasa bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat ( legally null and void ), maka dalam perkembangannya, MK pun menciptakan varian putusan yakni konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ), inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ), putusan yang menunda pemberlakuan putusan ( limited constitutional ), dan putusan yang merumuskan norma baru; − Bahwa putusan konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ) artinya adalah permohonan dikabulkan secara bersyarat sesuai yang ditentukan MK. Putusan konstitusional bersyarat bertujuan untuk 38 mempertahankan konstitusionalitas suatu ketentuan dengan syarat-syarat yang ditentukan MK. Putusan inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ) merupakan kebalikan dari putusan konstitusional bersyarat yang berarti pasal yang dimohonkan untuk diuji, dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945. Artinya, pasal yang dimohonkan diuji tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan oleh MK tidak dipenuhi. Pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addresaat putusan MK. − Bahwa model putusan yang pemberlakuannya ditunda ( limited constitutional ) artinya adalah MK menoleransi berlakunya aturan yang sebenarnya bertentangan dengan konstitusi hingga batas waktu tertentu. Model putusan limeted constitustional bertujuan untuk memberi ruang transisi aturan yang bertentangan dengan konstitusi untuk tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai waktu tertentu karena disadarkan atas pertimbangan kemanfaatan. Model putusan yang pemberlakuannya ditunda mengandung perintah kepada pembentuk UU untuk memperbaharui landangan konstitusional yang dibatasi oleh waktu. Adapun model putusan yang merumuskan norma baru adalah MK mengubah atau membuat baru bagian tertentu dari isi suatu UU yang diuji, sehingga norma dari UU itu juga berubah dari yang sebelumnya. Model putusan yang merumuskan norma baru didasarkan suatu keadaan tertentu dan dianggap mendesak untuk segera dilaksanakan. Dengan demikian ada problem implementasi jika putusan MK hanya menyatakan suatu norma bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka akan timbul kekosongan norma sementara norma tersebut sedang, akan, bahkan telah diimplementasikan namun menimbulkan persoalan konstitusional terutama dalam penerapannya. − Bahwa secara umum putusan-putusan MK yang bersifat self-implementing dapat diketemukan dari sejumlah putusan MK yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku (null and void) ataupun amarnya terdapat perumusan norma. Contoh putusan yang dapat langsung dilaksanakan adalah Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 39 yang membatalkan pasal-pasal tentang Penghinaan Presiden dalam KUHP, yaitu Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137. Sejak putusan ini diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum maka tidak seorang pun dapat dipidana berdasarkan pasal-pasal itu. Kepolisian tidak dapat menjadikan pasal-pasal itu sebagai dasar penyelidikan dan penyidikan. Demikian pula penuntutan oleh kejaksaan. Putusan MK berlaku serta merta, meskipun belum ada perubahan terhadap KUHP. Sementara putusan self-implementing dalam model putusan yang merumuskan norma baru contohnya yaitu Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004 perihal pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945. Dalam bagian mengadili putusan tersebut, MK menyatakan bagian tertentu dalam pasal-pasal yang diajukan permohonan sebagai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibat dari penghapusan tersebut, maka pasal- pasal tersebut menjadi Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2004 mengatur sebagai berikut “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPR”. Dengan Dengan putusan MK maka pasal tersebut menjadi: ”Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD.” − Bahwa meskipun Putusan MK mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai dibacakan, namun tidak semua putusan MK yang mengabulkan permohonan Pemohon dapat langsung dilaksanakan ( implementing ), karena untuk pelaksanaan putusan MK tersebut masih memerlukan tindak lanjut dengan pembentukan UU baru atau UU perubahan. Inilah yang putusan yang disebut dengan non-self implementing . Dikatakan demikian karena putusan tersebut mempengaruhi norma-norma lain dan memerlukan revisi atau pembentukan UU baru atau peraturan yang lebih operasional dalam pelaksanannya. − Bahwa putusan non-self implementing/non-self executing dapat diketemukan pada model putusan selain yang membatalkan dan menyatakan tidak berlaku ( null and void ), yaitu pada model putusan konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ), model putusan inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ), model putusan 40 yang pemberlakuannya ditunda ( limited constitutional ), dan model putusan yang merumuskan norma baru. Contohnya adalah putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, MK memutuskan bahwa ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008 konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang tidak menghilangkan hak pilih warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Putusan ini juga memberikan pedoman berupa syarat dan cara yang harus dipenuhi bagi warga Negara yang tidak terdaftar dalam DPT apabila akan menggunakan hak pilihnya. Sebagai tindak lanjut dari putusan tersebut, KPU pada tanggal 6 Juli 2009 mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perubahan Terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pemungutan Dan Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2009. Dalam Peraturan tersebut diatur mengenai teknis pelaksanaan penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT dengan berlandaskan pada putusan MK a quo . − Bahwa terkait dengan putusan yang bersifat non-self implementing dapat difahami bahwa model putusan tersebut masih memerlukan tahapan berikutnya, yaitu tindak lanjut oleh addressat putusan. Hal ini karena implementasi kebijakan publik yang baru tersebut membutuhkan dasar hukum yang baru sebagai dasar pelaksanaan kebijakan publik yang ditetapkan dalam putusan MK. Perubahan hukum yang terjadi dengan putusan atas UU yang diuji MK yang mengharuskan proses pembentukan UU yang baru sesuai dengan politik hukum yang digariskan dalam putusan MK. Kesadaran akan adanya putusan MK yang bersifat non-self implementing telah diakomodir dengan adanya norma dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang salah satunya berisi tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi. − Bahwa amar Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014 yang menyatakan: Frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” 41 dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... ‘ diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan” merupakan model putusan inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ) yang membutuhkan tindak lanjut oleh Pembentuk UU. Sejak adanya Putusan MK ini maka Pasal 7 ayat (3) adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addressat putusan MK. − Bahwa Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan/dibacakan. Meskipun putusan MK mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai dibacakan namun Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013 yang mengabulkan permohonan pemohon ini tidak dapat langsung dilaksanakan ( self implementing/self executing ), karena untuk pelaksanaan putusan MK tersebut masih memerlukan tindak lanjut dengan pembentukan UU baru. Sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menyebutkan Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang _berisi:

    d.

    tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi_ , dan sesuai dengan Pasal 10 ayat (2) UU 12/2011 yang menyebutkan Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden , maka seharusnya DPR dan Presiden menindaklanjuti Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 dengan cara membentuk UU tentang Usaha perasuransian yang Berbentuk Usaha Bersama dalam jangka waktu sebagaimana telah ditentutkan oleh Putusan MK. UPAYA HUKUM APABILA DITEMUKAN UU YANG DIBENTUK BERTENTANGAN DENGAN PUTUSAN MK − Bahwa terhadap putusan MK yang yang menyatakan suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari UU yang ditelah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ( legally null and void ) maka pemuatan putusan MK dalam Berita Negara 42 sebagaimana ditentukan dalam pasal 57 ayat (3) UU MK dirasa cukup untuk diketahui secara umum bahwa seluruh penyelenggara negara dan warga negara terikat untuk tidak menerapkan dan melaksanakan lagi materi yang ditelah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tersebut sehingga jika dilanggar dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum dan batal demi hukum sejak semula ( ad initio ); − Bahwa terhadap putusan MK yang berkategori konstitusional bersyarat, putusan inkonstitusional bersyarat, dan putusan yang merumuskan norma baru maka tidak cukup dengan memuat dalam berita Negara sebagaimana ditentukan dalam pasal 57 ayat (3) UU MK untuk diketahui secara umum bahwa seluruh penyelenggara negara dan warga negara, melainkan terhadap putusan ini Addressat putusan MK dituntut untuk membentuk UU melalui proses legislasi dan peraturan perundang-undangan di bawah UU melalui proses regulasi yang sesuai dengan perintah MK melalui putusannya. − Bahwa putusan MK umumnya tidak dilengkapi dengan instrumen yang dapat memaksakan pelaksanaannya, baik melalui kekuatannya sendiri maupun dengan cara-cara lain, implementasi putusan MK menekankan pada self-respect dan kesadaran hukum pihak-pihak yang terkait dengan putusan, apakah itu pembentuk UU atau lembaga-lembaga negara lain selaku adressat putusan. Selain itu, implementasi putusan MK sangat bergantung pada cabang kekuasaan lain atau organ-organ kekuasaan lainnya, apakah putusan-putusannya diterima dan apakah mereka siap untuk mematuhinya (Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi , Edisi Revisi, Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2019, hlm. 48) − Bahwa terlepas dari tidak adanya instrumen pemaksa pada MK untuk memaksakan implementasi putusannya yang belum dilaksanakan, maka MK tentu saja berkepentingan untuk melihat putusannya dilaksanakan. Satu putusan yang tidak terlaksana sebagaimana layaknya dalam jangka waktu yang pantas, tentu saja akan membawa dampak pada kewibawaan lembaga yang memutusnya, serta penegakan hukum dan konstitusi pada umumnya. Secara logis, jika MK merupakan pengawal konstitusi 43 sebagaimana selalu dinyatakan, maka tidak terlaksananya putusan MK sebagaimana mestinya sedikit banyak dapat menimbulkan terjadinya proses deligitimasi terhadap UUD 1945, yang pada hakekatnya dapat menggoyahkan stabilitas penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. (Maruarar Siahaan, “Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum Konstitusi”, Jurnal Hukum, Volume 16, Nomor 3, Juli 2009, hlm. 363); − Bahwa dalam praktiknya masih ditemukan putusan MK yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya ( non-executiable ) oleh pihak yang seharusnya menindaklanjuti putusan tersebut ( addressat ) contohnya adalah Putusan Nomor 92/PUU-X/2012. Melalui putusan tersebut, MK menyatakan bahwa seluruh ketentuan dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan yang telah mereduksi kewenangan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana telah ditentukan oleh UUD 1945 atau setidaknya telah mengurangi fungsi, tugas dan kewenangannya yang dikehendaki konstitusi harus dinyatakan inkonstitusional. Melalui putusan itu juga, MK menegaskan bahwa DPD mempunyai hak konstitusional sebagaimana diamanahkan oleh Konstitusi Pasal 22D ayat (1) dan (2), yang di antaranya adalah mengajukan rancangan undang-undang, ikut membahas rancangan undang-undang, penyusunan prolegnas dan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang. Faktanya, secara substansial putusan MK tersebut dimuat kembali dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; − Bahwa Addresat putusan MK yang tidak senang atau tidak setuju mempunyai 4 (empat) pilihan menghadapi putusan MK tersebut. Pertama, ia dapat patuh terhadap putusan tersebut dan menerimanya secara sukarela serta melaksanakannya. Atau kedua, dia dapat mengabaikan putusan MK dan berharap bahwa apapun wewenang yang dimiliki MK dan lembaga lain untuk melaksanakan, putusan itu menjadi tidak efektif. 44 Ketiga, dia dapat mencoba membatalkan putusan melalui amandemen UUD atau jika ada prosedur yang tersedia secara resmi menolak putusan. Opsi terakhir dan yang paling ekstrim atau yang keempat adalah dengan menyerang MK sebagai lembaga dengan berupaya mengurangi wewenangnya atau kekuasaan efektifnya (Tom, Judicial Review in New Democracies, Constitutional Court in Asian Cases , Cambridge University Press 2003, hlm. 78-79); − Bahwa Penegakan hukum konstitusi yang tercermin dalam kewenangan MK sebagai bagian dari sistem pemisahan kekuasaan ( separation of powers ) dan checks and balances hanya efektif jikalau putusan MK diterima dan dilaksanakan oleh penyelenggara cabang kekuasaan negara lainnya, terutama Pembentuk UU. Upaya yang bisa dilakukan dalam rangka memastikan Putusan MK dilakukan sebagaimana juga diterapkan di MK beberapa negara seperti Austria dan Afrika Selatan adalah dalam kasus tertentu yang memenuhi persyaratan dilakukan penundaan keberlakuan putusan mengingat pembentuk UU membutuhkan waktu untuk menyusun atau merevisi UU agar sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Maka, Adanya penundaan keberlakuan putusan adalah solusi terbaik untuk menanggapi keadaan tersebut. Beberapa putusan MK Indonesia pada prinsipnya telah mengakomodir adanya penundaan pelaksanaan putusan tersebut. Salah satunya dapat dilihat pada Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 berkaitan dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Substansi pasal tersebut adalah pengadilan khusus tindak pidana korupsi, yang diberikan jangka waktu selama 3 (tiga) tahun oleh Mahkamah Konstitusi; − Bahwa Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014 yang menyatakan: Frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... ‘ diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan” pada dasarnya telah mengkomodir penundaan 45 keberlakuan putusan dalam rangka memberikan waktu kepada pembentuk undang-undang yaitu dua tahun enam bulan untuk menyusun undang- undang sebagaimana perintah putusan Mahkamah Konstitusi. Namun faktanya pembentuk UU justru tidak melaksanakan putusan tersebut dan memilih membuat pengaturan yang berbeda dengan apa yang telah diatur oleh MK; − Bahwa terhadap tindakan pembentuk UU yang mengatur secara berbeda dengan apa yang telah diputuskan oleh MK pada dasarnya merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang telah dijamin oleh UUD 1945 yaitu hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1). Hal ini mengingat pemohon setelah permohonannya dikabulkan oleh MK seharusnya kerugian konstitusional yang didalilkan saat mengajukan permohonan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Namun dengan tidak dilaksanakannya putusan MK hal ini berarti kerugian konstitusionalnya akan tetap terjadi. Selain itu putusan MK telah mempunyai akibat hukum yang jelas dan tegas, serta tidak ada upaya hukum lanjutan sejak putusan tersebut selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. sehingga tidak ada pilihan lain bagi Addresat putusan MK selain melaksanakan putusan MK. dengan demikian tidak dilaksanakannya putusan MK oleh addresat putusan MK telah menimbulkan situasi ketidakpastian hukum; − Bahwa dengan tetap terjadinya kerugian konstitusional oleh pemohon dalam perkara yang putusan MK nya tidak ditindaklanjuti oleh Pembentuk UU serta adanya ketidakpastian hukum yang terjadi akibat diabaikannya putusan pengadilan (baca MK) maka sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 serta Pasal 51 UU MK dan Yurisprudensi tetap MK yang tertuang dalam Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 juncto Perkara Nomor 11/PUU- V/2007 maka pemohon dalam perkara yang putusan MK nya tidak ditindaklanjuti oleh pembentuk UU bisa mengajukan permohonan pengujian UU ke MK. Selain pemohon maka dengan mengingat sifat putusan MK yang berlaku mengikat tidak hanya bagi pihak yang sedang berperkara di MK melainkan juga mengikat semua pihak (erga omnes) maka dimungkinkan juga pihak selain pemohon dalam perkara 46 sebelumnya untuk mengajukan permohonan sepanjang mempunyai kedudukan hukum. AKIBAT HUKUM JIKA SUATU UU DIBENTUK TANPA BERDASARKAN PADA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI − Bahwa sesuai pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011 maka MK menyatakan: Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, antara lain, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final ...”. Ketentuan tersebut jelas bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat umum ( erga omnes ) yang langsung dilaksanakan ( self executing ). Putusan MK sama seperti UU yang harus dilaksanakan oleh negara, seluruh warga masyarakat, dan pemangku kepentingan yang ada. Putusan MK merupakan putusan yang sifatnya final dan mengikat yang harus ditindaklanjuti oleh DPR dan Presiden sebagai bentuk perwujudan sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 sekaligus sebagai konsekuensi faham negara hukum demokratis yang konstitusional. − Bahwa sifat putusan MK adalah final dan mengikat. Kekuatan mengikat putusan MK berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak yang berperkara yaitu pemohon, Pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak-pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara dan badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia. Ia berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat UU (Ni’matul Huda, Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2018, hlm. 193); − Bahwa Dalam kaitannya dengan praktik hasil uji materi UU terhadap UUD 1945 khususnya tatkala MK memberi tafsir terhadap isi ketentuan pasal atau ayat dari undang-undang yang dimohonkan pengujiannya baik yang bersifat conditionally constitutional maupun conditionally unconstitutional juga perumusan norma baru, jika ditelisik lebih jauh, sesungguhnya adalah perintah agar addresat putusan yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan UU mematuhi dan melaksanakan persyaratan konstitusional yang dimandatkan oleh MK. 47 − Bahwa UU 12/2011 telah menyediakan sarana/mekanisme bagi DPR dan Presiden untuk dapat menindaklanjuti Putusan MK yaitu melalui Pasal 10 ayat (1) UU P3 yang menyatakan sebagai berikut: “materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunya berisi tentang tindak lanjut atas putusan MK. Selanjutnya di Pasal 10 ayat (2) dinyatakan, tindak lanjut putusan MK tersebut dilakukan oleh DPR atau Presiden. Keberadaan Pasal ini semakin menegaskan bahwa Putusan MK wajib dijadikan rujukan dalam pembentukan UU oleh DPR dan Presiden, hal ini dimaksudkan agar UU yang dibentuk sesuai dengan jiwa putusan MK sehingga materinya tidak bertentangan dengan UUD 1945 Lebih-lebih terhadap putusan yang dinyatakan bersyarat oleh MK, sebab pada tahap inilah peran pembentuk UU dituntut untuk menjaga konsistensi penafsiran putusan MK yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk UU; − Bahwa sebagai negara yang menganut demokrasi konstitusional, maka mengandung konsekuensi logis bahwa konstitusi ditempatkan sebagai hukum dasar Negara Indonesia, artinya pada satu sisi UUD 1945 harus dipedomani dan dilaksanakan oleh seluruh seluruh masyarakat dan penyelenggara negara, serta pada sisi yang lain konstitusi harus ditempatkan sebagai rujukan dalam pencarian solusi atas persoalan kenegaraan dan kebangsaan yang muncul. Sebagai lembaga yang melaksanakan tugas dan fungsi untuk menegakkan nilai-nilai konstitusi Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, sepatutnya setiap putusan MK harus ditaati dan dilaksanakan oleh para pihak yang terkait dengan putusan tersebut termasuk ketaatan seluruh elemen bangsa pada putusan tersebut. Sebab membangun kesetiaan dan ketaatan terhadap konstitusi salah satunya adalah ketaatan terhadap putusan MK juga. − Bahwa Putusan MK yang bersifat non self implementing tidak selalu mudah untuk diimplementasikan. Putusan MK yang telah membentuk hukum atau instrumen hukum baru dengan menyatakan satu UU, pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak didukung dengan suatu instrumen yang dapat memaksakan bahwa putusan tersebut harus dilaksanakan, baik melalui kekuatannya sendiri maupun dengan cara lain-lain yang berada dibawah kendali MK; 48 − Bahwa ketundukan dan ketaatan terhadap putusan MK merupakan bentuk nyata dari kesetiaan terhadap konstitusi itu sendiri, dengan kata lain ketidaktaatan terhadap putusan MK adalah bentuk ketidaksetiaan dan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi itu sendiri atau yang disebut sebagai constitution disobedience. Postulat tersebut tentu didasarkan pada pemikiran bahwa MK yang secara fungsional melaksanakan tugas menegakan nilai-nilai konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, tentu putusan yang dikeluarkan oleh MK merupakan cerminan dari konstitusi yang sedang berlangsung. ^ oleh sebab itu pembangkangan terhadap putusan MK adalah pembangkangan terhadap konstitusi itu sendiri (constitution disobedience). − Bahwa tindakan pembangkangan terhadap putusan MK sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi berakibat sebagai berikut; Pertama , tidak dilaksanakannya putusan MK yang mencerminkan adanya pembangkangan terhadap putusan MK dapat mengacaukan kepastian hukum yang telah dikeluarkan oleh MK. Kedua , pembangkangan terhadap putusan MK tersebut berakibat terjadinya constitutionalism justice delay atau penundaan keadilan yang basisnya adalah nilai-nilai konstitusi Indonesia , sebab keadilan terhadap hak-hak konstitusional warga negara yang dilindungi oleh putusan MK tidak dilaksanakan karena adanya pembangkangan terhadap putusan MK. Ketiga, __ terjadinya rivalitas lembaga negara yang diperlihatkan oleh DPR dan Presiden melalui pembentukan UU yang dikeluarkan seolah mengabaikan putusan-putusan Mahkamah konstitusi. Kondisi ini tentu menyebabkan ketidakstabilan negara hukum utamanya penegakan nilai-nilai konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. − Bahwa fenomena pembangkangan terhadap putusan MK sebagai salah satu bentuk constitution disobedience tidak bisa dibiarkan berkepanjangan dengan bentuk-bentuk pembangkangan yang mulai sering terjadi akhir- akhir ini, sebab akan merusak sistem demokrasi konstitusi yang telah dibangun sejak reformasi Indonesia yang ditandai dengan reformasi konstitusi pada tahun 1999-2002. Pembangkangan terhadap putusan MK akan berakibat fatal, dari potensi terjadinya reduksi fungsi lembaga MK hingga terjadinya constitutional justice delay. Ketaatan terhadap putusan 49 MK tidak bisa hanya bertumpu pada kesadaran hukum masyarakat dan lembaga negara, namun perlu ditunjang juga oleh instrumen “pemaksa” untuk menciptakan situasi taat tersebut. Oleh sebab itu diperlukan berbagai alternatif untuk menjaga stabilitas ketaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang secara fungsional merupakan pengawal konstitusi. Alternatif yang dapat dipergunakan adalah dengan dilakukan koreksi kembali ( judicial review ) terhadap UU yang substansinya berisikan pengaturan yang bertentangan dengan putusan MK − Bahwa dalam praktiknya MK sudah pernah membatalkan ketentuan dalam UU yang isinya mengatur materi muatan yang bertentangan dengan Putusan MK sebelumnya. MK melalui Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 dalam perkara pengujian UU 4/2014 tentang Penetapan Perppu 1/2013 tentang Perubahan kedua UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi UU menyatakan bahwa pelibatan Komisi Yudisial sebagaimana ketentuan UU 4/2014 adalah merupakan bentuk penyelundupan hukum karena hal tersebut secara jelas bertentangan dengan Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006, yang menegaskan secara konstitusional bahwa hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan Komisi Yudisial yang mendapatkan kewenangan berdasarkan Pasal 24B UUD 1945. Terhadap tindakan penyelundupan hukum yang demikian maupun tindakan yang inkonstitusional lainnya harus dikoreksi oleh MK melalui upaya Judicial Review demi menjaga tegaknya konstitusi. Dalam amar putusan perkara ini menyatakan UU 4/2014 bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. − Bahwa pembatalan ketentuan UU yang substansinya mengatur materi muatan yang bertentangan dengan Putusan MK sebelumnya juga pernah dilakukan oleh MK dalam Putusan Nomor 79/PUU-XII/2014 yang membatalkan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dalam pertimbangan putusan ini, MK menyatakan bahwa pembentuk UU dalam membentuk UU 17/2014 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD utamanya menyangkut jaminan atas kewenangan konstitusional DPD dalam proses legislasi ternyata tidak memasukkan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang telah 50 membatalkan beberapa ketentuan dalam UU 27/2009 karena bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK 79/PUU-XII/2014 merupakan bentuk ketegasan MK atas tindakan pembentuk UU yang sengaja menyimpangi atau mengabaikan Putusan MK Nomor 92/PUU- X/2012 dalam penyusunan UU 17/2014, padahal selayaknya pembentuk UU memperhatikan, mempertimbangkan dan melaksanakan Putusan MK sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip negara hukum. Ahli pun menyampaikan keterangan tambahan yang disampaikan pula dalam persidangan, pada pokoknya adalah sebagai berikut: − Bahwa menurut ahli, bagian pertimbangan hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan oleh karena itu sifatnya mengikat sama seperti amar putusan. Namun, tidak semua bagian dari pertimbangan Mahkamah tersebut memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan amar putusan. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan ratio decidendi maka bagian pertimbangan hukum merupakan alasan yang menentukan untuk diambilkan suartu putusan dalam amar, sementara jika obiter dicta merupakan serangkaian pendapat hukum yang tidak berkenaan langsung dengan amar putusan namun hal tersebut berada dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi. − Terkait dengan hak konstitusional warga negara yang diatur dalam undang- undang atau peraturan pemerintah, menurut ahli, peraturan pemerintah merupakan peraturan perundang-undangan yang sifatnya delegasi dari undang- undang sehingga peletakan hak konstitusional warga negara dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut memiliki implikasi yang berbeda terutama terkait dengan aspek jaminan kepastian hukum. Peraturan pemerintah idealnya secara substansi tidak dapat mengatur hal-hal yang tidak didelegasikan dan undang-undang itu sendiri sifat pengaturannya terbuka dan tidak terbatas seperti peraturan pemerintah. − Terkait dengan apakah hakim Mahkamah Konstitusi dapat memiliki pendapat berbeda dari putusan sebelumnya ?, menurut ahli, dari beberapa putusan Mahkamah sendiri hal tersebut dimungkinkan terjadi dengan syarat terdapat alasan baru karena hakim Mahkamah Konstitusi merupakan hakim yang memiliki 51 kemandirian dan tidak terikat dengan lembaga atau apapun terlebih terhadap kemandirian hakim tersebut dijamin dalam UUD 1945. − Terkait dengan frasa “...diatur dengan” dan frasa “...diatur dalam“, menurut ahli, terhadap kedua frasa tersebut Mahkamah sudah pernah membuat tafsir dari kedua frasa tersebut. Tafsiran Mahkamah terhadap frasa “diatur dengan” adalah harus diatur dengan undang-undang sendiri, sedangkan frasa “diatur dalam“ adalah dapat diatur dalam satu undang-undang. Namun, menurut ahli, cara memaknai kedua frasa tersebut dapat dilihat dari makna ketika dirumuskannya norma dimana salah satu frasa itu ada. − Terkait dengan politik hukum Undang-Undang Perasuransian yang mendelegasikan pengaturan Asuransi Usaha Bersama mengapa diatur melalui peraturan pemerintah dan bukan melalui undang-undang sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi, menurut ahli, hal tersebut jelas ada dalam risalah persidangan yang diserahkan oleh DPR namun dalam praktiknya pengingkaran tersebut sudah jamak dilakukan. Hal tersebut menurut ahli dapat dilihat melalui intensif electoral dimana DPR ingin kelihatan berperan oleh konstituennya atau terkait dengan anggaran dari pembentukan undang-undang yang jauh lebih besar daripada pembentukan peraturan pemerintah. Pembentukan peraturan pemerintah walaupun memiliki substansi pengaturan yang sama dengan undang-undangnya namun hal tersebut berbeda, jika asuransi usaha bersama diatur melalui undang-undang tentu rakyat dapat menentukan arah politik hukumnya secara tidak langsung melalui DPR, ruang partisipasi masyarakat tersebut tidak sama ketika diatur melalui peraturan pemerintah. − Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam hal ini bertujuan untuk memastikan agar pembentuk undang-undang dalam membuat peraturan perundang-undangan tetap terikat dengan batasan-batasan atau tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 atau peraturan perundang-undangan lain sejenis atau yang setingkat. B. Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum − Bahwa Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 berbeda dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2020. Hal tersebut dikarenakan Pasal 7 UU 2/1992 tidak mengatur secara spesifik terkait dengan asuransi usaha bersama sebagai badan hukum. Pasal tersebut hanya mendukung 52 asuransi usaha bersama sebagai salah satu dari tiga jenis usaha asuransi sedangkan terkait dengan badan hukum dari asuransi usaha bersama masih harus diatur lebih lanjut melalui undang-undang. Berbeda dengan Pasal 6 UU 40/2020 yang mengakui asuransi usaha bersama sebagai badan hukum, namun pada Pasal 6 ayat (3) UU 40/2020 pengaturan asuransi usaha bersama lebih lanjut melalui peraturan pemerintah dan hal tersebut justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-VIII/2013; − Bahwa menurut ahli, yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang terhadap asuransi usaha bersama adalah keliru, hal tersebut karena yang menjadi kehendak dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU- VIII/2013 adalah membentuk Undang-Undang Asuransi Usaha Bersama dan tidak dapat ditafsirkan lain. Dengan tidak dilaksanakannya putusan a quo , maka unsur kegotong-royongan yang terdapat di dalam Asuransi Usaha Bersama menjadi hilang perlahan. C. Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK Kesatu Sejarah Singkat AJB 1912. Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 adalah satu-satunya di Indonesia sebagai Perusahaan Asuransi Jiwa yang berbentuk Asuransi usaha bersama atau dalam Bahasa Inggeris disebut “Mutual Insurace” yang lahir di masa pergerakan nasional yang pada awalnya bertujuan untuk memberikan kesejahteraan bagi para guru-guru pada saat itu, dan kemudian berkembang menjadi satu perusahaan asuransi yang telah banyak memberikan manfaat dan kesejahteraan masyarakat pemengang polis atau nasabah AJB 1912. Selain memberikan proteksi, perlindungan jaminan asuransi dan kesejahteraan masyarakat pemegang polis dan nasabah, AJB 1912 telah berkembang sedemikan rupa menjadi tempat persemaian dan pelatihan bagi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam industri perasuransian nasional, karena:

    (1)

    . AJB 1912 menyelenggarakan pelatihan tentang asuransi dan teknis asuransi khususnya asuransi jiwa bagi SMD atau karyawannya, yang kemudian SMD tersebut menjadi maju, dan sebagian dari mereka tetap bekerja di AJB 1912; dan sebagian lagi pindah ke perusahaan asuransi 53 yang kemudian didirikan oleh pemodal atau investor di bidang asuransi, dan menjadi pimpinan di perusahaan-perusahaan asuransi jiwa.

    (2)

    . Keberadaan dan kesuksesan AJB telah mendorong pemodal mendirikan perusahaan Asuransi di Indonesia; dan

    (3)

    . AJB 1912 telah menjadi tonggak sejarah dalam dunia asuransi dan menjadi asset nasional, serta kebanggaan bagi perasuransian nasional dan juga bagi masyarakat pemegang polis dan nasabah sampai di masa kejayaannya.

    (4)

    . Usia perusahaan 108 tahun adalah perjalanan dan usia perusahaan yang sangat panjang, hal itu menjadi bukti bahwa perusahaan ini dicintai dan diminati oleh masyarakat yang membutuhkan perlindungan dan jaminan asuransi dengan beraneka produk atau lini usaha. Memang saat ini dan beberapa tahun yang lalu AJB 1912 mengalami permasalahan dalam permodalan. Kedua Sifat, Prinsip Asuransi, dan Keuntungan bagi Pemegang Polis dari Perusahaan yang berbentuk Asuransi Jiwa Bersama atau (Mutual Insurance) Sifat dan Prinsip Asuransi Jiwa Bersama adalah gotong royong dan tolong menolong. Karena sesungguhnya semua pemegang polis otomatis menjadi ikut sebagai pemilik perusahaan. Berbeda dengan sifat dan prinsip asuransi komersial berbentuk Perseroan Terbatas atau PT, dimana pemilik nya adalah hanya pemodal atau pemegang saham yaitu mereka yang menyetorkan modal ke perusahaan asuransi. Tujuannya adalah untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin bagi pemegang saham atau pemilik modal. Ketiga Asuransi usaha bersama atau Mutual Insurance di beberapa Negara, Peraturan Perundangan yang menjadi landasan hukum dan ketentuan operasional nya dituangkan atau dibuat dalam Undang-undang. Seperti di beberapa Negara di bawah ini: Selandia Baru Mutual Insurance Act 1955 . 54 Canada Mutual Insurance Act Chapter 306 of Revised Statutes 1989 dan Mutual Fire Insurance Companies Act 1960-Chapter 262 . Inggris (United Kingdom) Friendly Societies Act 1992 Scotlandia Friendly Societies Act 1992 yang memuat ketentuan asuransi usaha bersama dapat menjadi Incorporated Organization . Selandia Baru (New Zealand) Mutual Insurance Act 1955 . Farmers’ Mutual Group Act 2007 No. 1 Private Act . Sebuah Undang- undang yang khusus untuk FMG Insurace . Di Negara-negara tersebut di atas asuransi usaha bersama (mutual insurance) telah berkembang maju sudah sejak lama dan menjadi kebanggaan pemegang polis atau pesertanya. Selain di Negara-negara tersebut di atas, Asuransi usaha bersama (Mutual Insurance) berkembang dan maju menjadi perusahaan asuransi yang besar-besar seperti di Jepang, di Perancis, Negara-negara Skandinavia (Denmark, Norwegia, dqan Swedia), di Amerika juga banyak Asuransi usaha bersama. Keempat Apakah perintah atau amanat Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian untuk membuat Undang-Undang tentang asuransi usaha bersama dilakukan atau tidak dilakukan hingga UU No. 2/1992 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, dan diundangkan UU No. 40/2014 tentang Perasuransian. Mengapa perintah atau amanat Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 untuk membuat sebuah undang-undang yang mengatur tentang asuransi usaha bersama tidak dilaksanakan hingga UU No. 2/1992 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, dan diundangkan UU No. 40/2014 tentang Perasuransian? 55 Menurut ahli hal ini dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut pandang: Yang Pertama: Pemerintah dan/atau DPR memandang hal itu bukanlah suatu prioritas pada waktu itu, sehingga baik Pemerintah dan DPR tidak mengajukan suatu rancangan undang-undang (RUU) yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama untuk dibahas dan disetujui untuk diundangkan. Yang Kedua: Pengelola atau Pengurus AJB 1912 juga kurang memberikan perhatian yang besar terhadap hal itu. Karena, jika Pemerintah dan DPR tidak membuat dan mengajukan suatu RUU tentang asuransi usaha bersama, maka Pengelola atau Pengurus AJB 1912 sesungguhnya dapat juga membuat sebuah Draft atau Rancangan Undang-Undang Akademik, dengan meminta bantuan dari ahli-ahli hukum atau dosen-dosen dari Fakultas Hukum. Kemudian diajukan ke Pemerintah dan atau DPR untuk dijadikan sebagai RUU tentang Asuransi usaha bersama, dan selanjutnya dibahas dan dijadikan sebagai UU. Sepanjang pengetahuan saya hal itu tidak dilakukan oleh Pengurus AJB 1912. 22 tahun lamanya dari sejak diundangkan UU No. 2/1992 hingga diundangkan UU No. 40/2014, adalah waktu yang lama. Dalam menjawab tantangan dan kompetisi atau persaingan dalam industri asuransi yang ketat sejak pasar industri asuransi lebih dibuka ke investor asing beberapa tahun yang silam, telah mengakibatkan kekuatan permodalan menjadi satu syarat mutlak untuk dapat maju dan berkembang bagi perusahaan asuransi, selain pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governace) . Jika perusahaan asuransi tidak mempunyai permodalan yang kuat atau tidak mempunyai akses terhadap permodalan melalui investasi dari investor yang kuat dan/atau melalui pasar modal, maka akan sulit perusahaan tersebut untuk dapat bersaing dan semakin maju, sehingga akan dapat memberikan jaminan asuransi dan pelayanan yan semakin baik. Kekurangan permodalan bahkan dapat menurunkan pelayanan 56 perusahaan asuransi dan berdampak buruk terhadap keberlangsungan perusahaan asuransi. Untuk dapat meningkatkan permodalan suatu perusahaan asuransi, terdapat paling tidak ada 2 (dua) cara untuk meningkatkan permodalan yaitu:

    (1)

    . para pemegang saham atau investor menyetorkan uang untuk memperbesar modal perusahaan;

    (2)

    . dilakukan melalui pasar modal dengan cara menerbitkan saham atau saham yang ada diperdagangkan di pasar modal. Untuk meningkatkan permodalan perusahaan melalui satu atau kedua- duanya cara tersebut, diperlukan beberapa persyaratan dan kondisi, antara lain peraturan perundangan yang memberikan kepastian terhadap keamanan dan jaminan investasi yang dilakukan oleh investor yang juga disebut kepastian hukum investasi, terutama bagi investor asing hal ini sangat penting. Dan dalam kenyataannya investor yang kuat untuk industri asuransi adalah investor-investor dari negara-negara asing (foreign investors). Yang Ketiga: Pemerintah dan DPR dapat berpandangan bahwa mereka telah melaksanakan perintah atau amanat dari Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992. Karena UU No. 40/2014 jika dilihat dari pasal-pasal dan ketentuan yang diatur di dalam nya, juga memuat sejumlah Pasal yang memuat ketentuan tentang asuransi usaha bersama, hal itu bisa dilihat dari Bab- bab dan Pasal-Pasal dari UU No. 40/2014 di bawah ini, yaitu: Bab I Ketentuan Umum: Pasal 1. Bab IV Tata Kelola Usaha Perasuransian Berbentuk Koperasi dan Usaha Bersama: Pasal 35. Bab V Penyelenggaraan Usaha:

    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    PELAPORAN KEUANGAN | TRANSAKSI KHUSUS
    127/PMK.05/2018

    Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.05/2015 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus ...

    • Ditetapkan: 21 Sep 2018
    • Diundangkan: 24 Sep 2018

    Relevan terhadap 8 lainnya

    Pasal 1Tutup

    Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

    1.

    Sistem Akuntansi clan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus yang selanjutnya disebut SATK adalah serangkaian prosedur manuc.l maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan untuk seluruh transaksi penerimaan clan pengeluaran serta aset clan kewajiban pemerintah yang terkait dengan fungsi khusus Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, serta tidak tercakup dalam Sub Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SABUN) lainnya. 2 . Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari Pengguna Anggaran (PA) untuk melaksanakan sebagian kewenangan tanggung jawab penggunaan anggaran Bagian Anggaran yang bersangkutan. clan pad a 3. Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat KPB adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.

    4.

    Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disebut UAKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan transaksi khusus pada tingkat satuan kerja di lingkup Bendahara Umum Negara (BUN). 5 ^. Unit Akuntansi dan Koordinator Kuasa Pelaporan Pengguna Keuangan Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disebut UAKKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang menjadi koorcinator dan bertugas melakukan kegiatan penggabungan dan penyusunan laporan keuangan seluruh UAKPA BUN TK yang berada langsung di bawahnya.

    6.

    Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disebut UAP BUN TK adalah unit akuntansi pada unit eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh UAKPA BUNTK.

    7.

    Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Koordinator Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disebut UAKP BUN TK adalah unit akuntansi pada Unit Eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh UAP BUNTK.

    8.

    Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kuasa Pengelola Barang Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut UAKPLB BUN adalah satuan kerja/unit akuntansi yang diberi kewenangan untuk men gurus/ menatausahakan / mengelola Barang Milik Negara yang dalam penguasaan BUN pengelola barang.

    9.

    Direktorat Jenderal Anggaran yang selanjutnya disingkat DJA adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang penganggaran.

    10.

    Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disebut DJPb adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perbendaharaan negara.

    11.

    Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disingkat DJKN adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tug as merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang negara, dan lelang.

    12.

    Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang selanjutnya disingkat DJPK adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perimbangan keuangan.

    13.

    Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yang selanjutnya disingkat DJPPR adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertugas merumuskan serta melaksanakan ke bij akan dan standarisasi teknis di bi dang pengelolaan pembiayaan dan : -isiko.

    14.

    Badan Kebijakan Fiskal yang selanjutnya disingkat BKF adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas melaksanakan analisis di bi dang ke bij akan fiskal.

    15.

    Penerimaan Negara selanjutnya disingkat Bukan Pajak yang PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan dan hibah.

    16.

    Fasilitas Penyiapan Proyek adalah fasilitas fiskal yang disediakan oleh Menteri Keuangan kepada penanggung jawab proyek kerjasama yang dibiayai dari sumber sebagaimana diatur dalan: Peraturan Menteri Keuangan mengenai fasilitas dalam rangka penyiapan dan pelaksanaan transaksi proyek kerjasama pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur.

    17.

    Dukungan Kelayakan adalah dukungan pemerintah dalam bentuk kontribusi fiskal yang bersifat finansial yang diberikan terhadap proyek kerjasama pemerintah dan badan usaha oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang keuangan dan kekayaan negara.

    18.

    Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 19 . BMN _yang tidak digunakan untuk Menyelenggarakan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara/ Lembaga yang selanjutnya disebut BMN Idle adalah BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk kepen tingan penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian negara/ lembaga.

    20.

    Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa adalah aset yang dikuasai Negara berdasarkan:

    a.

    Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/ 032/ PEPERPU/1958 tentang Larangan Adanya Organisasi yang Didirikan oleh dan/atau untuk Orang-Orang Warga Negara c www.jdih.kemenkeu.go.id dari Negara Asing yang Tidak Mempunyai Hubungan Diplomatik dengan Negara Republik Indonesia jo. Keputusan Penguasa Perang Pusat Nomor Kpts/ Peperpu/ 0439 / 1 958 tentang Penempatan Semua Sekolah/ Kursus yang Sebagian atau Seluruhnya Milik dan/atau Diusahakan oleh Organisasi yang Didirikan oleh dan/atau Orang-Orang Tionghoa Perantauan (Hoa Kiauw) yang Bukan Warga Negara dari Negara A sing, yang Telah Mempunyai Hubungan Diplomatik dengan Republik Indonesia dan/atau Telah Memperoleh Pengakuan dari Negara Republik Indonesia di Bawah Pengawasan Pemerintah Republik Indonesia jo. Undang­ Undang Nomor 50 Prp. Tahun 1 960 tentang Larangan Organisasi-organisasi dan Pengawasan Terhadap Perusahaan- Perusahaan Orang Asing Tertentu;

    b.

    Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1 962 tentang Larangan Adanya Organisasi yang Tidak Sesuai dengan Kepribadian Indonesia: Menghambat Penyelesaian Revolusi atm.: : . Bertentangan dengan Cita-Cita Sosialisme Indonesia;

    c.

    Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1 96'.: Z Keadaan Tertib Nasional J ^O. Keputusar: Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/ Pemimpin Besar Revolusi Nomor 52/ KOTI/ 1 964; dan

    d.

    Instruksi Radiogram Kaskogam Nomor T- 0403 / G-5 / 5 / 66 tentang Pengawasan PEPELRADA terhadap Pengambilalihan Sekolah-Sekolah Tionghoa oleh Mahasiswa­ Mahasiswa dan Pelajar-Pelajar Setempat. 2 1. Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disingkat KKKS adalah badan usaha atau bentuk badan usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama dengan instansi pelaksana kegiatan usaha hulu minyak bumi dan gas bumi. 22 . Barang yang Menjadi Milik/ Kekayaan Negara yang Berasal dari KKKS yang selanjutnya disebut BMN yang Berasal dari KKKS adalah seluruh barang dan peralatan yang diperoleh atau dibeli KKKS dan yang secara langsung digunakan dalam kegiatan usaha hulu.

    23.

    Kontraktor Perjanjian Kerja Sama/ Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut Kontraktor PKP2B adalah badan usaha yang melakukan pengusahaan pertambangan batubara, baik untuk Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) .

    24.

    Barang yang Menjadi Milik/ Kekayaan Negara yang Berasal dari Kontraktor PKP2B yang selanjutnya disebut BMN yang Berasal dari Kontraktor PKP2B adalah seluruh barang dan peralatan yang diperoleh Kontraktor untuk kegiatan pengusahaan pertambangan batubara dan/atau barang dan peralatan yang tidak terjual, tidak dipindahkan atau tidak dialihkan oleh Kontraktor setelah pengakhiran perjanjian yang telah melewati jangka waktu yang telah ditetapkan menjadi milik Pemerintah termasuk barang kontraktor yang pada pengakhiran perjanjian akan digunakan untuk kepentingan um um.

    25.

    Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat BLBI adalah fasilitas yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada perbankan untuk menJaga kestabilan sistem pembayaran dan sistem perbankan, agar tidak terganggu oleh adanya ketidakseimbangan likuiditas, antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank.

    26.

    PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) yang selanjutnya disingkat PT PPA adalah perusahaan perseroan yang didirikan oleh pemerin tah dengan tujuan untuk melakukan pengelolaan aset negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang tidak berperkara untuk dan atas nama Menteri Keuangan berdasarkan perjanjian pengelolaan aset.

    27.

    Aset Eks Kelolaan PT PPA adalah kekayaan negara yang berasal dari kekayaan BPPN yang sebelumnya diserahkelolakan kepada PT PPA, dan telah dikem balikan pengelolaannya kepada Menteri Keuangan.

    28.

    Aset yang Diserahkelolakan kepada PT PPA adalah kekayaan negara yang berasal dari BPPN yang tidak terkait dengan perkara, berupa aset properti, aset saham, aset reksa dana, dan/atau aset kredit, yang sebelumnya berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32 / PMK. 06/ 2006 tentang Pengelolaan Kekayaan Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional oleh PT PPA, dikelola oleh PT PPA. 29 . Aset Eks Pertamina adalah aset-aset yang tidak turut dijadikan Penyertaan Modal Negara dalam Neraca Pembukaan PT. Pertamina sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 23/ PMK.06/ 2008 tentang Penetapan Neraca Pembukaan Perseroan (Persero) PT. Pertamina Per 1 7 September 2003, serta telah ditetapkan sebagai BMN yang berasal dari Aset Eks Pertamina berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 92/ KMK. 06/ 2008 tentang Pen eta pan Status Aset Eks Pertamina Se bagai Barang Milik Negara.

    30.

    Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah. 3 1 . Selisih K urs adalah selisih yang dihasilkan dari pelaporan jumlah unit mata uang asing yang sama dalam mata uang pelaporan pada kurs yang berbeda. 32 . Dokumen Sumber adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi keuangan yang digunakan sebagai sumber atau bukti untuk menghasilkan data akuntansi.

    33.

    Buku Besar Kas adalah kumpulan akun-akun yang digunakan untuk meringkas transaksi yang telah dicatat dalam jurnal akuntansi berdasarkan basis kas. 34 . Buku Besar Akrual adalah kumpulan akun-akun yang digunakan untuk meringkas transaksi yang telah dicatat dalam jurnal akuntansi berdasarkan basis akrual.

    35.

    Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungj awa ban per: ierin tah atas pelaksanaan APBN berupa laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan saldo anggaran lebih, dan catatan atas laporan keuangan.

    36.

    Laporan Realisasi Anggaran yang selanjutnya disingkat LRA adalah laporan yang menyajikan informasi realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/ defisit dan pembiayaan, s1sa lebih/kurang pembiayaan anggaran yang masing­ masing diperbandingkan dengan anggarannya dalam 1 (satu) periode.

    37.

    Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah, yaitu aset, utang, dan ekui tas pad a tanggal terten tu.

    38.

    Laporan Operasional yang selanjutnya disingkat LO adalah laporan yang menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang menambah ekuitas dan penggunaannya yang dikelola oleh pemerintah pusat/ daerah untuk penyelenggaraan pemerintah dalam periode pelaporan. kegiatan 1 (satu) 39. Laporan Perubahan Ekuitas yang selanjutnya disingkat LPE adalah laporan yang menyajikan informasi kenaikan atau penurunan ekuitas tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

    40.

    Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disebut CaLK adalah laporan yang menyajikan informasi tentang penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam LRA, Neraca, Laporan Arus Kas, LO, LPE, dan laporan perubahan saldo anggaran lebih untuk pengungkapan yang memadai. 4 1. Reviu adalah prosedur penelusuran angka-angka dalam Laporan Keuangan, permintaan keterangan dan analitik yang menjadi dasar memadai bagi Aparat Pengawas Intern Pemerintah untuk memberi keyakinan terbatas bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas Laporan Keuangan tersebut sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.

    42.

    Suspen Penerimaan adalah transaksi penerimaan yang diterima kasnya di kas negara tetapi tidak teridentifikasi dan/atau tidak diakui oleh satuan kerja pada kementerian negara/ lembaga dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.

    2.

    Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Thumbnail
    DIREKTORAT JENDERAL KEKAYAAN NEGARA | DEPARTEMEN KEUANGAN
    19/PMK.01/2010

    Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Departemen Keuangan.

    • Ditetapkan: 25 Jan 2010
    • Diundangkan: 25 Jan 2010

    Relevan terhadap

    MenimbangTutup
    a.

    bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas dan optimalisasi pengelolaan kekayaan negara serta kinerja Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, perlu dilakukan peningkatan kualitas telaahan dan kajian, pemecahan konsepsional serta penyusunan rekomendasi mengenai strategi pengembangan dan penanganan di bidang harmonisasi kebijakan, optimalisasi kekayaan negara, restrukturisasi, privatisasi, efektivitas kekayaan negara dipisahkan, serta peraturan perundang-undangan dan kebijakan lainnya;

    b.

    bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas telaahan dan kajian, pemecahan konsepsional serta penyusunan rekomendasi mengenai strategi pengembangan dan penanganan di bidang harmonisasi kebijakan, optimalisasi kekayaan negara, restrukturisasi, privatisasi, efektivitas kekayaan negara dipisahkan, serta peraturan perundang- undangan dan kebijakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, diperlukan Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Departemen Keuangan;

    c.

    bahwa Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi melalui surat Nomor B/152.1/M.PAN-RB/12/2009 tanggal 29 Desember 2009 telah menyetujui pembentukan 3 (tiga) Tenaga Pengkaji di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Departemen Keuangan;

    d.

    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Departemen Keuangan;

    Pasal 4Tutup

    Tenaga Pengkaji terdiri dari:

    a.

    Tenaga Pengkaji Harmonisasi Kebijakan;

    b.

    Tenaga Pengkaji Optimalisasi Kekayaan Negara;

    c.

    Tenaga Pengkaji Restrukturisasi, Privatisasi, dan Efektivitas Kekayaan Negara Dipisahkan. Pasal 5 (1) Tenaga Pengkaji Harmonisasi Kebijakan mempunyai tugas menelaah dan mengkaji serta menyusun rekomendasi di bidang peraturan perundang- undangan dan kebijakan lainnya serta penanganan hukum kekayaan negara, piutang negara, dan lelang. (2) Tenaga Pengkaji Optimalisasi Kekayaan Negara mempunyai tugas menelaah dan mengkaji serta menyusun rekomendasi di bidang optimalisasi kekayaan negara. (3) Tenaga Pengkaji Restrukturisasi, Privatisasi, dan Efektivitas Kekayaan Negara Dipisahkan mempunyai tugas menelaah dan mengkaji serta menyusun rekomendasi di bidang restrukturisasi, privatisasi, dan efektivitas kekayaan negara dipisahkan. BAB III TATA KERJA Pasal 6 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Tenaga Pengkaji menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik di antara Tenaga Pengkaji maupun dengan unit-unit di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Departemen Keuangan. Pasal 7 (1) Direktur Jenderal Kekayaan Negara Departemen Keuangan dapat memberikan penugasan secara khusus kepada Tenaga Pengkaji. (2) Penugasan secara khusus kepada Tenaga Pengkaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Departemen Keuangan. Pasal 8 (1) Dalam melaksanakan tugasnya, Tenaga Pengkaji berhak meminta data dan informasi yang diperlukan kepada seluruh unit eselon I di lingkungan Departemen Keuangan sesuai dengan bidang tugasnya. (2) Unit Eselon I di lingkungan Departemen Keuangan memberikan data dan informasi yang diminta oleh Tenaga Pengkaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 9 Tenaga Pengkaji menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara Departemen Keuangan dengan tembusan kepada unit kerja terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Departemen Keuangan.

    Thumbnail
    PUTUSAN PENGADILAN | PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
    21 P/HUM/2017

    Uji materiil terhadap PP 72 tahun 2016 ttg perubahan atas PP 44 2005 ttg tata cara penyertaan dan penatausahan modal negara pada BUMN dan PT ...

      Relevan terhadap

      Halaman 26Tutup

      ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 26 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017 berikut (Bukti P-8): “Penguasaan negara dimaknai, rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan ( beleid ) dan tindakan pengurusan ( bestuursdaad ), pengaturan ( regelendaad ), pengelolaan ( beheersdaad ), dan pengawasan ( toezichthoudensdaad ) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan ( bestuursdaad ) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan ( vergunning ), lisensi ( licentie ), dan konsesi ( consessie ). Fungsi pengaturan oleh negara ( regelendaad ) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) dan/atau sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara ( toezichthoudensdaad ) dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat”; 4. Bahwa dengan peralihan saham Pemerintah kepada BUMN holding sebagaimana dikehendaki Pasal 2A PP 72/2016, maka segala kebijakan anak perusahaan tergantung BUMN induknya, termasuk dalam hal pengalihan asset atau kekayaan. Hal ini membuka peluang dan berpotensi terjadi pengalihan kekayaan anak perusahaan BUMN (yang notabene sebelumnya merupakan BUMN yang kekayaannya dimiliki negara) kepada pihak lain tanpa melalui mekanisme yang diatur dalam UU BUMN maupun UU Keuangan Negara. Sebuah BUMN bisa saja dijual (privatisasi/divestasi) dengan cara dijadikan dulu anak perusahaan BUMN holding dan setelah itu kapan saja dapat dijual oleh BUMN induknya tanpa melalui mekanisme yang diatur dalam UU BUMN dan UU Keuangan Negara serta tanpa perlu persetujuan DPR, dengan demikian Pasal 2A PP 72/2016 telah menciptakan mekanisme “privatisasi model baru”; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26

      Halaman 19Tutup

      ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 19 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017 barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”. Jadi berdasarkan ketentuan dalam UU Keuangan Negara kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN merupakan keuangan negara, sehingga kebijakan dan perlakuanya harus melalui mekanisme APBN; 7. Bahwa penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau perseroan terbatas harus melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Hal ini juga telah dijelaskan oleh Pemerintah sesuai dengan Keterangan Pemerintah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 (hal. 88-89 dan 108) (Bukti P-10) yang menyatakan “Pada saat Pemerintah melakukan investasi berupa Penyertaan Modal Negara kepada perusahaan negara, keputusan investasi tersebut harus melalui persetujuan DPR RI yang merupakan representasi dari rakyat dan alokasinya tercantum dalam UU APBN serta dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku, begitu pula dengan divestasi yang akan dilakukan oleh Pemerintah”; __ Masih dalam Putusan yang sama di bagian yang berbeda (hal. 105), Pemerintah kembali menegaskan tentang keharusan dilakukan proses dengan DPR sebagaimana dinyatakan “Dikarenakan sub bidang fiskal-moneter dan kekayaan negara yang dipisahkan berkaitan dengan hak dan kewajiban negara, maka keuangan negara tersebut harus dikelola dan dipertanggungjawabkan dengan cara pengelolaan keuangan negara di mana harus dibicarakan dan diawasi oleh representasi rakyat”; Dari uraian tersebut di atas, maka jelas bahwa ketentuan Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 bertentangan dengan Keterangan Pemerintah sendiri yang telah disampaikannya dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Hal ini semakin memperkuat alasan untuk menyatakan Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 bertentangan dengan UU Keuangan Negara; Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 Mengkerdilkan Fungsi DPR RI dan Bertentangan dengan Rekomendasi DPR RI; 8. Bahwa Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 yang menyatakan “Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19

      Halaman 31Tutup

      ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 31 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017 8. Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 002/PUU-I/2003 (Bukti P- 8); __ 9. Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 (Bukti P-9); __ 10. Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 (Bukti P- 10); __ 11. Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Bukti P-11); __ 12. Fotokopi Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: PER-02/MBU/2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap BUMN (Bukti P-12); __ 13. Fotokopi Surat Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor S-645/MBU/WK/10/2014 tanggal 9 Oktober 2014 tentang Penyampaian Hasil Panja Aset Badan Usaha Milik Negara dan Putusan Mahkamah Konstitusi (Bukti P-13); __ 14. Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (Bukti P-14); __ 15. Fotokopi Keterangan Ahli Faisal Basri, SE., MA. (Ahli Ekonomi) tentang Holding BUMN sebagai Jalan Pintas yang Sesat (Bukti P-15); __ 16. Fotokopi Keterangan Ahli Ir. Agus Pambagyo, MEA., CPN. (Ahli Kebijakan Publik) tentang Legalisasi Penghancuran BUMN Melalui PP No. 72/2016 (Bukti P-16); __ 17. Fotokopi Keterangan Ahli Dr. Dian Puji N. Simatupang, S.H., M.H. (Ahli Hukum Keuangan Negara) tentang Status Hukum Keuangan Dan Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Dalam Badan Usaha Milik Negara Menurut Perspektif Hukum Anggaran Negara Dan Keuangan Publik (Bukti P-17); __ 18. Fotokopi Keterangan Ahli Iqbal Tawakal Pasaribu, SH. (Staf Ahli Anggota DPR RI) tentang PP 72/2016 Menghilangkan Kuasa Negara atas BUMN (Bukti P-18); __ 19. Fotokopi Keterangan Ahli Apung Widadi, SE. (Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran – FITRA) tentang PP 72/2016 bertentangan dengan Peraturan yang Lebih Tinggi (Bukti P-19); __ Menimbang, bahwa permohonan keberatan hak uji materiil tersebut telah disampaikan kepada Termohon pada tanggal 17 Maret 2017 berdasarkan Surat Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 21/PER- PSG/III/21P/HUM/2017 , tanggal 17 Maret 2017 _; _ Menimbang, bahwa terhadap permohonan Para Pemohon tersebut, Termohon telah mengajukan jawaban namun tenggang waktu pengajuan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 31

      Thumbnail
      Tidak Berlaku
      ULTRA MIKRO | PEMBIAYAAN
      22/PMK.05/2017

      Pembiayaan Ultra Mikro.

      • Ditetapkan: 23 Feb 2017
      • Diundangkan: 23 Feb 2017

      Relevan terhadap

      Pasal 1Tutup

      Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

      1.

      Pembiayaan Ultra Mikro adalah penyediaan dana yang bersumber dari Pemerintah atau bersama dengan Pemerintah Daerah dan/atau pihak lain untuk memberikan fasilitas pembiayaan kepada usaha mikro.

      2.

      Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah.

      3.

      Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

      4.

      Pusat Investasi Pemerintah yang selanjutnya disingkat PIP adalah unit pelaksana investasi yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK- BLU) yang mempunyai tugas dan tanggung jawab pelaksanaan Investasi Pemerintah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri.

      5.

      Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.

      6.

      Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

      7.

      Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

      8.

      Trustee adalah Bank yang melakukan kegiatan penitipan dengan pengelolaan atas harta milik pihak yang memiliki dan menitipkan hartanya ( settlor ) berdasarkan perjanjian tertulis antara bank dengan settlor untuk kepentingan pihak yang menerima manfaat.

      9.

      Penyalur adalah lembaga yang ditunjuk dan memperoleh pembiayaan dari PIP untuk menyalurkan Pembiayaan Ultra Mikro.

      10.

      Lembaga Keuangan Bukan Bank yang selanjutnya disingkat LKBB adalah badan usaha bukan bank ataupun bukan perusahaan asuransi, yang kegiatan usahanya langsung ataupun tidak langsung menghimpun dana dari masyarakat dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya untuk pembiayaan usaha.

      11.

      Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

      12.

      Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah satuan kerja perangkat daerah atau unit kerja pada satuan kerja perangkat daerah di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

      13.

      Koperasi adalah Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan/atau Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (KSPPS).

      14.

      Sistem Informasi Kredit Program yang selanjutnya disingkat SIKP adalah sistem informasi elektronik yang digunakan untuk menatausahakan dan menyediakan informasi penyaluran kredit program.

      15.

      Debitur adalah pihak yang menerima Pembiayaan Ultra Mikro dari Penyalur.

      16.

      Lembaga Linkage adalah lembaga perantara yang melakukan perjanjian kerjasama dengan Penyalur untuk meneruskan pembiayaan kepada Debitur.

      17.

      Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

      18.

      Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.

      19.

      Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal.

      20.

      Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi Bendahara Umum Negara.

      Thumbnail
      Tidak Berlaku
      BIDANG ANGGARAN | ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA
      142/PMK.02/2018

      Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negar ...

      • Ditetapkan: 29 Okt 2018
      • Diundangkan: 29 Okt 2018
      Thumbnail
      PROVINSI, KABUPATEN, DAN KOTA | ALOKASI TUNJANGAN PROFESI
      71/PMK.07/2011

      Pedoman Umum dan Alokasi Tunjangan Profesi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah Kepada Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota Tahun Anggaran 2011. ...

      • Ditetapkan: 05 Apr 2011
      • Diundangkan: 05 Apr 2011

      Relevan terhadap

      MenimbangTutup

      bahwa dalam rangka melaksanakan kebijakan perbaikan penghasilan bagi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pedoman Umum dan Alokasi Tunjangan Profesi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah Kepada Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota Tahun Anggaran 2011;

      Thumbnail
      PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI | HUKUM KEUANGAN NEGARA
      41/PUU-XVIII/2020

      Uji materi Pasal 2 ayat (6) dan pasal 32 ayat (2) UU Ketentuan Umum Perpajakan

        Relevan terhadap

        Pasal 204Tutup

        “Setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat maka Kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta Debitor mengenai piutang mereka yang belum dibayar.” 88 g. Berdasarkan pasal-pasal tersebut jika dihubungkan dengan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP maka Kurator sebagai Wakil Wajib Pajak bertanggung jawab secara pribadi dan/atau tanggung renteng atas hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang timbul sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, proses pemberesan harta pailit hingga saat kepailitan berakhir. Dalam kasus Pemohon, sebagaimana telah Pemohon ungkapkan dalam permohonannya, Wajib Pajak telah membayar utang pajak dalam proses kepailitan sejumlah Rp. 2.549.161.883,- (dua milyar lima ratus empat puluh sembilan juta seratus puluh satu ribu delapan ratus delapan puluh tiga rupiah), namun jumlah tersebut belum dapat melunasi utang pajak yang ada, sehingga Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini KPP Wajib Pajak Besar Satu menagihkan sisa utang pajak yang belum terlunasi oleh harta Wajib Pajak tersebut kepada Wakil Wajib Pajak yaitu Pengurus perusahaan yang menjabat dan bertanggung jawab atas utang pajak pada saat utang pajak tersebut terjadi, termasuk di dalamnya Pemohon, sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP. Hal ini pun dilakukan KPP Wajib Pajak Besar Satu setelah kepailitan PT UCI berakhir, dimana semua kreditornya di ranah hukum privat pun, sesuai Pasal 204 UU Kepailitan dan PKPU, memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta Debitor.

        h.

        Terkait jumlah utang pajak yang menurut Pemohon berbeda jumlahnya antara pada saat proses kepailitan dan setelah proses kepailitan, hal tersebut bukanlah hal yang terjadi tanpa dasar hukum atau pun perbuatan sewenang-wenang. Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pajak dan kemudian menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sesuai Pasal 13 ayat (1) huruf a UU KUP yang mengatur sebagai berikut: “Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:

        a.

        apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain 89 pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; ” i. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak setelah Wajib Pajak pailit atau pun setelah kepailitan Wajib Pajak berakhir bukanlah sesuatu hal yang dilarang oleh Undang-Undang bahkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 759K/Pdt.Sus-Pailit/2016 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 907 K/Pdt.Sus-Pailit/2017 mengabulkan keberatan Direktorat Jenderal Pajak terkait tagihannya dalam kepailitan dan menetapkan utang pajak yang harus diakui oleh Kurator adalah sejumlah apa yang ditagihkan dalam Surat Ketetapan Pajak yang diajukan Direktorat Jenderal Pajak walaupun ketetapan pajak tersebut diterbitkan setelah jatuhnya putusan pailit atas Wajib Pajak. Kembali pada delapan jalan kegagalan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan oleh Lon L. Fuller, sesungguhnya filosofi tersebut sudah ada dan terealisasi juga dalam pembentukan peraturan perundang- undangan di Indonesia dalam bentuk asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas-asas materi muatan peraturan perundang- undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019, sebagai berikut:

        1.

        Pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas-asas sebagai berikut:

        a.

        kejelasan tujuan;

        b.

        kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

        c.

        kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

        d.

        dapat dilaksanakan;

        e.

        kedayagunaan dan kehasilgunaan;

        f.

        kejelasan rumusan; dan

        g.

        keterbukaan Terdapat 4 asas yang relevan untuk kita tinjau bersama terkait perkara uji materi ini, keempat asas tersebut adalah:

        a.

        Asas kejelasan tujuan Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus 90 mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Sebagaimana Pemerintah telah uraikan sebelumnya bahwa Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP memiliki tujuan yang jelas yaitu ingin memberikan pengaturan yang pasti akan syarat- syarat/kondisi dapat dihapuskannya NPWP dan pengaturan yang pasti pula tentang siapa-siapa yang menjadi wakil Wajib Pajak, jenis tanggung jawabnya dan cara menunjuk wakil tersebut.

        b.

        Asas dapat dilaksanakan Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Adanya pengaturan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP memberikan dampak efektivitas dan kejelasan dalam penghapusan NPWP dan penagihan pajak terutama dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan wakilnya, serta efektifitas ini pun didukung dengan diberikannya disinsentif untuk menunda/tidak membayarkan pajaknya dengan benar kepada Pengurus karena harus bertanggung jawab nantinya secara pribadi dan/atau secara renteng.

        c.

        Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Adanya pengaturan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP sangat dibutuhkan dan bermanfaat untuk menjaga kepastian hukum dan keadilan dalam pembayaran pajak. Pasal 2 ayat (6) memberikan kepastian hukum dalam hal kondisi- kondisi penghapusan NPWP, Pasal 32 ayat (2) UU KUP selain menjamin kepastian hukum terkait Wakil Wajib Pajak dan tanggung jawabnya, juga menjaga keadilan, berupa semua orang baik 91 perorangan maupun badan usaha wajib melunasi/membayar kewajiban perpajakannya. Tanpa Pasal 32 ayat (2) UU KUP, maka Wajib Pajak Orang Pribadi akan bertanggung jawab hingga harta pribadi, sedangkan Pengurus Wajib Pajak badan dapat terlepas dari sanksi karena berlindung dibalik pemisahan harta badan hukum dan pengurusnya, padahal kita pahami bersama bahwa badan hukum adalah subjek hukum yang dalam prakteknya setiap kegiatannya digerakan oleh pengurus di dalamnya. Dapat kita bayangkan moral hazard yang akan terjadi tanpa adanya Pasal 32 ayat (2) UU KUP maka Pengurus perusahaan memiliki insentif yang nyata untuk menunda atau bahkan tidak membayar pajak, jika sanksi administrasi telah terakumulasi sedemikian besar hingga lebih besar dari harta yang dimiliki perusahaan, maka Pengurus dapat dengan sengaja mempailitkan perusahaan dan menyerahkan mekanisme pelunasan utangnya melalui mekanisme kepailitan dimana sesungguhnya sudah dapat dipastikan hak atas kas negara dalam hal ini pajak tidak akan terbayar lunas, dan setelah itu Pengurus dapat memulai lagi membentuk atau menjadi pengurus di perusahaan baru/perusahaan lainnya lagi kecuali jika ia dinyatakan pailit, bersalah menimbulkan kepailitan, dan/atau melakukan tindak pidana yang merugikan atau berkaitan dengan keuangan negara, maka Pengurus tersebut baru bisa menjadi pengurus sebuah perusahaan lainnya setelah 5 tahun dirinya pailit, dinyatakan bersalah menimbulkan kepailitan, dan/atau melakukan tindak pidana yang merugikan atau berkaitan dengan keuangan negara, yang mana proses pembuktian dan peradilannya bisa memakan waktu bertahun-tahun dan di masa proses peradilan yang bertahun-tahun tersebut sudah berapa lama utang pajak menjadi sekedar angka tagihan yang tidak terlunasi dan sudah berapa banyak perusahaan bisa dijadikan batu loncatan para pengurus untuk melakukan modus yang serupa. Dengan demikian, Pasal 2 ayat (6) dan pasal 32 ayat (2) UU KUP adalah sangat memiliki kedayagunaan dan kehasilgunaan bagi sistem perpajakan di Indonesia secara keseluruhan. 92 d. Asas kejelasan rumusan Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Pengaturan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP sudah jelas dan tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya karena sangat jelas bagaimana normanya dirumuskan dan konsekuensi hukum yang ditimbulkannya.

        2.

        materi penyusunan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas:

        a.

        pengayoman;

        b.

        kemanusiaan;

        c.

        kebangsaan;

        d.

        kekeluargaan;

        e.

        kenusantaraan;

        f.

        bhinneka tunggal ika;

        g.

        keadilan;

        h.

        kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

        i.

        ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

        j.

        keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Tiga asas dalam Pasal 6 undang-undang di atas yang terkait erat dengan uji materi a quo adalah:

        a.

        asas keadilan Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP mencerminkan keadilan yang proporsional bahwa semua Wajib Pajak yang akan melakukan penghapusan NPWP harus memenuhi syarat yang sama, dan semua Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan 93 wajib membayar dan melunasi seluruh utang pajaknya, utang yang mana jika tidak dilunasi diancam dengan tanggung jawab pribadi akan pelunasannya kecuali dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak mengenai hal yang sebaliknya. Hal ini tentunya merupakan keadilan yang proporsional bagi Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan. Bahwa dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP juga diatur terkait hak wakil Wajib Pajak untuk dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak jika ia benar-benar tidak dapat dibebani tanggung jawab pribadi secara tanggung renteng. Hal ini juga merupakan perwujudan asas keadilan dan dalam rangka melindungi hak-hak wakil Wajib Pajak yang memang secara faktual terbukti tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban untuk melunasi utang pajak. Hal ini juga merupakan pembatasan kewenangan Direktorat Jenderal Pajak agar tidak semena-mena dalam menggunakan ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP.

        b.

        asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP memberikan kepastian pengaturan dan memberikan tanggung jawab atas hak dan kewajiban pembayaran pajak yang sama bagi semua pihak yang menjadi Wakil Wajib Pajak tanpa membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial sehingga telah memenuhi asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.

        c.

        asas ketertiban dan kepastian hukum Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang- undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. 94 Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP memberikan kepastian pengaturan atas syarat penghapusan NPWP dan memberikan kepastian sejauh apa tanggung jawab atas hak dan kewajiban pembayaran pajak bagi semua pihak yang menjadi Wakil Wajib Pajak. Hal ini juga di dasarkan pada alasan yang logis, tujuan yang jelas dan kemanfaatan bagi masyarakat luas sehingga kepastian hukum yang diberikan pun sekaligus menjamin keadilan dan persamaan kedudukan di mata hukum. Dengan demikian menjadi jelas bahwa Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP telah memberikan hak atas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengatur sebagai berikut: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” E. Penerapan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP Dalam Praktiknya 1. Pasal 2 ayat (6) UU KUP tentang Penghapusan NPWP Bahwa untuk melaksanakan amanah Pasal 2 ayat (5) Undang- Undang KUP, Menteri Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, yang salah satu materinya mengatur mengenai tata cara penghapusan NPWP (PMK-147). Dalam Pasal 30 PMK-147 diatur bahwa Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dapat melakukan penghapusan NPWP terhadap Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Penghapusan NPWP tersebut dilakukan dalam hal:

        a.

        Wajib Pajak dilikuidasi atau dibubarkan karena penghentian atau penggabungan usaha;

        b.

        Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau 95 c. Wajib Pajak yang memiliki lebih dari 1 (satu) NPWP, tidak termasuk NPWP cabang. Selain syarat subjektif dan objektif, untuk penghapusan NPWP juga memperhatikan ketentuan bahwa terhadap Wajib Pajak tidak dalam kondisi:

        a.

        mempunyai utang pajak;

        b.

        tidak sedang dilakukan tindakan penegakan upaya hukum pajak, baik administrasi maupun pidana perpajakan;

        c.

        tidak sedang dalam proses penyelesaian persetujuan bersama ( mutual agreement procedure );

        d.

        tidak sedang dalam proses penyelesaian kesepakatan harga transfer ( advance pricing agreement );

        e.

        seluruh NPWP cabang telah dihapus; dan

        f.

        tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya hukum di bidang perpajakan Hal ini ditujukan untuk ketertiban administrasi dan kemudahan dalam pelaksanaan hak maupun kewajiban perpajakan sehingga tetap menjamin kepastian hukum, baik bagi DJP maupun bagi Wajib Pajak. Penghapusan NPWP tidak serta merta menghapuskan kewajiban perpajakan maupun hak perpajakan dari Wajib Pajak.

        2.

        Pasal 32 ayat (2) UU KUP tentang Tanggung Jawab Wakil Wajib Pajak Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Penanggung Pajak yang dilakukan tindakan penagihan pajak merujuk pada Pasal 1 angka 3 UU PPSP mengatur bahwa Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam hal yang mempunyai utang pajak adalah Wajib Pajak Badan, 96 maka serangkaian tindakan Penagihan mulai dari teguran sampai dengan menjual barang yang disita, dilakukan terhadap Penanggung Pajak meliputi:

        a.

        badan itu sendiri; dan

        b.

        Wakil (Direksi, Komisaris, Pemegang Saham dan orang yang nyata- nyata mengambil kebijaksanaan dan/atau keputusan dalam menjalankan perusahaan). Wakil sebagaimana dimaksud pada Pasal 32 ayat (1) UU KUP bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut. Hal ini berlaku termasuk kepada Wajib Pajak yang mengalami kepailitan dan wakilnya. Namun demikian, dalam prakteknya pada saat Wajib Pajak dinyatakan pailit, Direktorat Jenderal Pajak mengikuti lebih dahulu proses pemberesan dalam kepailitan dan dalam hal kepailitan berakhir sedangkan utang pajak belum terlunasi, maka selaras dengan Pasal 204 UU kepailitan dan PKPU, Direktorat Jenderal Pajak kembali menagihkan kewajiban pajak kepada Wakil Wajib Pajak misalnya Pengurus perusahaan. Bahwa berdasarkan data administrasi Direktorat Jenderal Pajak jumlah piutang pajak per 31 Desember 2019 mencapai 72,38 Triliun Rupiah. Dari jumlah tersebut piutang pajak dari Wajib Pajak yang pailit adalah sejumlah 10,5 Triliun Rupiah atau 14,3% dan berkategori macet. Jumlah piutang ini mencerminkan tingkat kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan self assessment -nya, sehingga menunjukan pula betapa peran pengawasan Pemerintah masih sangat dibutuhkan baik dalam bentuk pemeriksaan pajak, penagihan pajak maupun dalam bidang pengaturan-pengaturan yang memberikan disinsentif bagi Wajib Pajak, termasuk wakilnya, yang tidak patuh dalam menjalankan self assessment -nya. Dengan peran Pemerintah dalam pengawasan, pemeriksaan dan kebijakan pengaturan, pemerintah mengharapkan agar jumlah piutang pajak dari waktu ke waktu turun atau dicairkan melalui kegiatan penagihan pajak. 97 Dalam pelaksanaan kegiatan penagihan pajak oleh Kantor Pelayanan Pajak (selanjutnya disebut KPP) di seluruh Indonesia, mengacu pada ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku atas utang pajak Wajib Pajak Badan, KPP melakukan tindakan penagihan kepada Wajib Pajak Badan itu sendiri maupun kepada Wakil (Direksi, Komisaris, Pemegang Saham dan/atau orang nyata-nyata mempunyai kewenangan dalam menentukan keputusan dan/atau kebijaksanaan menjalankan perusahaan). Bahwa dalam menentukan Penanggung Pajak dalam hal ini wakil dari Wajib Pajak Badan, KPP melakukan profiling Penanggung Pajak dengan mengacu pada dokumen eksternal seperti akta pendirian dan/atau perubahan kepengurusan dan dokumen internal seperti pelaporan Surat Pemberitahuan (selanjutnya disebut SPT), dan upaya hukum Wajib Pajak. Hal ini menunjukkan bahwa DJP tidak serta merta menentukan Penanggung Pajak yang bertanggung jawab terhadap pembayaran utang Pajak, tetapi melalui kegiatan profiling dengan menjunjung tinggi asas keadilan dan kepastian hukum agar tidak berlaku semena-mena terhadap masyarakat yang tidak seharusnya dilakukan kegiatan penagihan. Bahwa setiap penanggung pajak dimintai pertanggungjawaban atas seluruh utang pajak badan, kecuali dalam kedudukannya tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban untuk melunasi utang pajak. Pada kenyataannya, banyak ditemukan perusahaan dikendalikan oleh orang- orang yang namanya tidak tercantum dalam akta perusahaan atau dokumen internal DJP, sehingga tidak memungkinkan untuk meminta pertanggungjawaban pelunasan utang pajak kepada pengurus (Direktur, Komisaris dan Pemegang Saham) yang namanya tercantum dalam akta perusahaan. Dalam upaya membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar- benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab, hal-hal yang dilakukan DJP antara lain:

        a.

        Melakukan pemanggilan pembahasan utang pajak dan menindaklanjuti dengan Berita Acara Permintaan Keterangan (BAPK); 98 b. Meneliti pelaporan SPT dan upaya hukum yang pernah dilakukan oleh Wajib Pajak; dan/atau

        c.

        Melakukan pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak (delinquency audit). Bahwa dalam konteks Wajib Pajak pailit, Pasal 32 ayat (1) UU KUP mengatur bahwa wakil Wajib Pajak pailit adalah kurator. Klausul dalam ayat ini dimaknai bahwa dalam hal wajib pajak pailit tindakan penagihan juga ditujukan kepada Kurator, karena mengingat harta Wajib Pajak (dalam pailit) yang menurut UU PPSP merupakan objek sita masuk kedalam boedel pailit dan harta pailit tersebut sedang dalam pengurusan dan pemberesan aset oleh Kurator. Bahwa klausul ini tidak dalam konteks membatasi kegiatan penagihan dalam hal Wajib Pajak pailit adalah ke kurator saja, tetapi pengurus dalam hal ini wakil Wajib Pajak notabene adalah Penanggung Pajak tetap mempunyai kewajiban untuk melunasi utang pajak dalam hal atas boedel pailit tersebut tidak cukup untuk melunasi utang pajak, karena pada prinsipnya dalam UU PPSP utang pajak harus dilunasi oleh Penanggung Pajak. Kegiatan penagihan DJP terhadap Wajib Pajak pailit, selain dilakukan terhadap Kurator melalui pemberitahuan Surat Paksa, tindakan penagihan juga dilakukan terhadap wakil Wajib Pajak badan dalam hal ini direksi, komisaris dan/atau pemegang saham karena pada umumnya pembagian harta pailit yang diterima untuk pembayaran utang pajak tidak cukup untuk melunasi utang pajak. Hal ini dilakukan demi optimalisasi pencapaian target penerimaan negara melalui kegiatan penagihan Pajak. Pertanggungjawaban atas utang pajak oleh Penanggung Pajak dilakukan sampai dengan harta pribadi milik Penanggung Pajak. Sesuai dengan ketentuan dalam UU PPSP, Penyitaan terhadap Penanggung Pajak Badan dapat dilaksanakan terhadap barang milik perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain. Penyitaan dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup oleh Jurusita Pajak 99 untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Penjelasan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 135 tahun 2000 mengatur bahwa ketentuan tentang penyitaan terhadap barang-barang milik Penanggung Pajak Badan, pada dasarnya dilakukan terhadap barang milik perusahaan. Namun apabila nilai barang tersebut tidak mencukupi atau barang milik perusahaan tidak dapat ditemukan atau karena kesulitan dalam melaksanakan penyitaan terhadap barang milik perusahaan, maka penyitaan dapat dilakukan terhadap barang-barang milik pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal atau ketua untuk yayasan kecuali mereka dapat membuktikan bahwa tidak ikut bertanggung jawab sehubungan dengan terjadinya utang pajak tersebut. Bahwa contoh pelaksanaan penagihan di lapangan misalnya dalam perkara antara Penanggung Pajak PT Andaman Delmar (dalam pailit) yang menggugat KPP Pratama Pati karena KPP Pratama Pati telah melakukan kegiatan penagihan Pajak terhadap Penanggung Pajak PT Andaman Delmar, melalui Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT- 002927.99/2019/PP/M.XIB Tahun 2019 perkara, Pengadilan Pajak memutuskan bahwa tindakan penagihan yang telah dilakukan KPP Pratama Pati terhadap Penanggung Pajak PT Andaman Delmar (dalam pailit) telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam pertimbangan hakim diketahui bahwa menurut Majelis Hakim kurator adalah wakil wajib pajak yang dinyatakan pailit, namun berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, kurator adalah pihak yang dalam kedudukannya tidak dapat dibebani tanggung jawab pembayaran pajak secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, meskipun pengajuan tuntutan mengenai hak atau kewajiban mengenai harta pailit diajukan melalui kurator. F. Analisa Dampak 1. Dalam hal permohonan Pemohon uji materi ini diterima oleh Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, maka sebelum berhitung tentang jumlah potensi kerugian dalam rupiah, maka perlu juga Pemerintah sampaikan bahwa hal ini akan menjadi titik munculnya berbagai ketidakpastian hukum terkait tanggung jawab 100 Wakil Wajib Pajak, tidak hanya di ranah penagihan pajak wajib pajak yang sedang dalam proses pemberesan pailit, namun juga di semua lini pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wakil Wajib Pajak seperti pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan pajak baik kepada Wajib Pajak yang ditengah-tengah proses penegakan hukum pajak ini kemudian pailit maupun Wajib Pajak yang kemudian kepailitannya berakhir.

        2.

        Selain ketidakpastian hukum terkait tanggung jawab Wakil Wajib Pajak di berbagai lini pengumpulan pajak, Negara berpotensi untuk kehilangan penerimaan pajak yang berasal dari ketidaktertagihan utang pajak Wajib Pajak yang dinyatakan Pailit. Berdasarkan data yang dimiliki DJP, selama 20 tahun terakhir setidaknya terdapat kurang lebih 480 Wajib Pajak yang pailit yang sampai dengan saat ini masih memiliki utang pajak sebesar 10,58 Triliun Rupiah. Utang pajak ini termasuk kategori piutang pajak macet dikarenakan DJP dari proses kepailitan, tidak memperoleh pelunasan utang pajak wajib pajak pailit. Dari utang pajak perusahaan yang mengalami kepailitan pada tahun 1999 hingga Juli 2020 sebesar 10,7 Triliun Rupiah yang dapat terbayarkan dari pemberesan di dalam kepailitan adalah hanya sebesar 148,2 Miliar Rupiah saja, sehingga menyisakan beban utang pajak 10,5 Triliun Rupiah yang saat ini yang tercatat Piutang macet dan menjadi beban dalam Laporan keuangan Pemerintah Pusat yang menimbulkan potensial loss penerimaan negara dari kegiatan penagihan pajak.

        3.

        Selain itu, kedepannya apabila permohonan Pemohon uji materi ini diterima oleh Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, maka mekanisme kepailitan akan dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang lain sebagai upaya/modus untuk menghindar dari kewajiban pembayaran utang pajak, karena dengan dinyatakan Pailit Penanggung Pajak sudah tidak lagi memiliki tanggung jawab terhadap pelunasan utang pajak. DJP akan semakin sulit untuk menagih piutang pajak yang berdasarkan Laporan Perkembangan Piutang Pajak tahun 2019 nilainya mencapai 72,38 Triliun Rupiah. Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah berkesimpulan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP 101 yang dimohonkan untuk diuji materi oleh Pemohon merupakan instrumen yang dipilih oleh pembuat undang-undang ( open legal policy ) guna melakukan pengawasan agar terdapat asas keseimbangan, checks and balances sebagai kunci keberhasilan dari sistem self assessment. IV. Petitum Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) ketentuan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:

        1)

        Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;

        2)

        Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );

        3)

        Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijk verklaard );

        4)

        Menyatakan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Keterangan Tambahan Presiden: I. Dasar Penagihan Pajak Kepada Wajib Pajak Pailit Dan Kepada Wakil Wajib Pajak Pailit Wakil Wajib Pajak yang pailit tetap dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi dan/atau secara renteng adalah sesuai dengan Keterangan Presiden yang telah dibacakan di dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi pada tanggal 18 Agustus 2020 yaitu:

        a.

        Landasan Teori yang meliputi: fiduciary duty Direksi, teori keagenan ( agency theory ), teori sinyal ( signaling theory ), dan teori good corporate governance. Pada intinya __ kesemua teori ini memberikan gambaran bagaimana Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang melakukan piercing the corporate veil secara 102 langsung guna kepentingan perpajakan adalah kebijakan yang memberikan disinsentif kepada Pengurus/Direksi sebagai pihak yang mengelola dan bertanggungjawab atas jalannya sebuah perusahaan. Disinsentif berupa sanksi yang membebankan tanggungjawab pemenuhan kewajiban perpajakan dari sebuah perusahaan menjadi kewajiban pribadi Direksi/Pengurusnya dilakukan agar mendorong Direksi memastikan pemenuhan/pelunasan kewajiban perpajakan perusahaan yang dikelolanya. Hal ini diperlukan karena pelunasan kewajiban pajak adalah kewajiban yang bersifat memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945.

        b.

        Ketentuan paragraf 9 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) yang menyatakan, “Putusan Pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan” tidak dapat digunakan untuk melepaskan seorang Direksi/Pengurus dari tanggung jawab memenuhi kewajiban perpajakan karena:

        1.

        Paragraf 9 Penjelasan Umum UU Kepailitan dan PKPU berlaku untuk perorangan atau badan yang pailit, bukan untuk Direksi/Pengurus dari badan yang pailit secara pribadi.

        2.

        Andaikata yang dimaksud adalah status hukum seseorang menjadi tidak cakap kemudian hal tersebut menghilangkan tanggung jawab perusahaan atas pelunasan utang pajak maka hal tersebut tidaklah tepat. Paragraf 10 Penjelasan Umum UU Kepailitan dan PKPU menegaskan bahwa "kepailitan tidak membebaskan seseorang yang dinyatakan pailit dari kewajiban untuk membayar utang-utangnya." c. Dengan demikian, berdasarkan teori-teori sebagaimana telah diuraikan dalam keterangan presiden dan selaras dengan Paragraf 10 Penjelasan Umum serta Pasal 204 UU Kepailitan dan PKPU yang menyatakan bahwa setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat maka Kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta Debitor mengenai piutang mereka yang belum dibayar. Oleh karenanya selaras dengan hal 103 tersebut Direktorat Jenderal Pajak memiliki kewenangan untuk menagih utang pajak yang belum terlunasi dari proses kepailitan.

        d.

        Secara umum timbulnya utang pajak berbanding lurus dengan tambahan kemampuan ekonomi Wajib Pajak pada saat itu. Apabila Wajib Pajak memperoleh laba, maka secara serta merta akan terutang pajak, sebaliknya apabila Wajib Pajak merugi maka tidak akan ada utang pajak yang timbul. Oleh karenanya tidak dapat menempatkan alasan ketidakmampuan secara finansial Wajib Pajak saat ini, yang menyebabkan jatuhnya pailit, dengan kemampuan finasial saat munculnya kewajiban perpajakan sebelum terjadinya pailit. Munculnya utang pajak secara umum diakibatkan karena pengurus pada saat itu tidak segera melunasi kewajiban perpajakannya secara self assesment saat syarat subjektif dan objektifnya terpenuhi. Adalah suatu konsekuensi hukum yang wajar dan logis menurut undang- undang di bidang perpajakan jika Pemohon selaku Pengurus/Direktur dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi dan tanggung renteng atas utang pajak yang timbul semasa kepengurusannya e. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) maupun dalam UU Kepailitan dan PKPU yang berlaku di lingkup privat tentu akan mengedepankan adanya pemisahan harta antara harta perusahaan dengan harta pengurus kecuali Pengurus secara nyata melakukan kesalahan yang kemudian diputuskan oleh Pengadilan. Hal ini juga yang didengungkan Pemohon dengan menggunakan teori business judgement rule. Hal ini tidak tepat, karena teori ini lebih dikaitkan pada keputusan bisnis perusahaan karena sifatnya yang memiliki risiko gagal atau berhasil, sehingga sepanjang syarat-syarat business judgement rule telah terpenuhi maka kerugian perusahaan tidak dapat dibebankan kepada pengurus. Namun, logika yang sama tidak dapat digunakan dalam membahas kewajiban yang dibebankan konstitusi kepada setiap subjek di suatu negara yaitu Pajak.

        f.

        Pembebasan pengurus dari kerugian/kepailitan perusahaan dengan dasar teori business judgement rule tidak dapat menjadi alasan melepaskan dari tanggung jawab pemenuhan kewajiban perpajakan, karena penghitungan kewajiban perpajakan yang dilakukan secara self asseesment telah mempertimbangkan adanya kerugian atau laba perusahaan. Sehingga 104 dalam hal perusahaan dinyatakan pailit bukan karena kelalaian pengurus, tidak serta merta menjadikan kesimpulan/pernyataan bahwa Pengurus tidak bertanggunjawab atas tunggakan pajak yang timbul akibat “kelalaian perusahaan memenuhi kewajiban perpajakannya” sebagai Wajib Pajak. Karena kepailitan dapat terjadi secara tiba-tiba di luar kemampuan pengurus mencegahnya, sedangkan kewajiban perpajakan adalah tugas/kewajiban yang jelas kapan harus dipastikan dipenuhinya oleh pengurus sebagai pelaksanaan fiduciary duty nya.

        g.

        Pelaksanaan fiduciary duty pengurus harus mencakup pada duty /tanggung jawab memastikan bahwa perusahaan telah melaksanakan kewajiban perpajakannya secara taat sesuai dengan periode/jatuh tempo pembayaran pajak. Kewajiban ini adalah dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai wajib pajak untuk membayar pajak yang merupakan kewajiban kepada Negara, yang tidak dapat diabaikan melainkan harus dipatuhi karena pajak sebagai sumber penerimaan Negara untuk membiayai penyelenggaraan Negara yang bersifat memaksa. Oleh karena itu, permintaan pertanggungjawaban renteng secara pribadi Pengurus sebagai Wakil Wajib Pajak Perusahaan atas hutang pajak pada periode kepengurusan nya merupakan bagian dari tanggung jawab berdasarkan prinsip fiduciary duty , bukan business judgement rule .

        h.

        Dengan demikian, jelas bahwa norma pengaturan Pasal 32 ayat (2) UU KUP sudah tepat dan penggunaan teori business judgement rule, yang sangat __ mengedepankan hubungan privat, tidak dapat diterapkan untuk “menghilangkan” tanggung __ jawab pengurus memastikan perusahaan memenuhi kewajiban perpajakannya secara taat. Dalam hal pun perusahaan keberatan dengan penetapan tunggakan pajak __ oleh __ Direktorat Jenderal Pajak, peraturan perundang-undangan perpajakan telah menyediakan forum untuk penyelesaian permasalahan tersebut pada ranah judisial. Membatalkan ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP dan memaknainya sebagaimana maksud Pemohon dalam uji materi a quo akan membuka celah peningkatan ketidakpatuhan/penghindaran pembayaran pajak oleh perusahaan yang tidak dapat dipungkiri memang menjadi benih yang sangat sering muncul dalam pertimbangan keuntungan perusahaan sebagai tujuan pengurus mengelola perusahaan. 105 i. Dapat kita bayangkan moral hazard yang akan terjadi tanpa adanya Pasal 32 ayat (2) UU KUP maka Pengurus perusahaan memiliki insentif yang nyata untuk menunda atau bahkan tidak membayar pajak, jika sanksi administrasi telah terakumulasi sedemikian besar hingga lebih besar dari harta yang dimiliki perusahaan, maka Pengurus dapat memanfaatkan kepailitan perusahaan dan menyerahkan mekanisme pelunasan utangnya melalui mekanisme kepailitan dimana sesungguhnya sudah dapat dipastikan hak atas kas negara dalam hal ini pajak tidak akan terbayar lunas. Keberhasilan pola ini akan berulang kembali apabila Pengurus memulai lagi membentuk atau menjadi pengurus di perusahaan baru/perusahaan lainnya dan dengan label putusan kepailitan bukan karena kesalahan pengurus melepaskan diri dari kelalaian/kesengajaan tidak memastikan kepatuhan perusahaan dalam melaksanakan kewajiban pembayaran pajaknya. Bahkan dapat mendorong melakukan tindak pidana yang merugikan atau berkaitan dengan keuangan Negara, karena proses pembuktian dan peradilannya yang memakan waktu bertahun-tahun tersebut menyebabkan utang pajak hanya sekedar menjadi angka tagihan yang tidak terlunasi disisi lain Pengurus dapat dengan mudah setelah 5 tahun dinyatakan pailit kembali menjadi pengurus pada perusahaan lain dan mengulangi modus yang serupa.

        j.

        Ada pun terkait tanggung jawab kurator dalam kepailitan Wajib Pajak, Pasal 16, Pasal 21 dan Pasal 204 UU Kepailitan dan PKPU mengatur sebagai berikut:

        Pasal 204Tutup

        Setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat maka Kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta Debitor mengenai piutang mereka yang belum dibayar. Berdasarkan pasal-pasal tersebut jika dihubungkan dengan Pasal 32 ayat 106 (1) dan ayat (2) UU KUP maka Kurator sebagai Wakil Wajib Pajak bertanggungjawab secara pribadi dan/atau tanggung renteng atas hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang timbul sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, proses pemberesan harta pailit hingga saat kepailitan berakhir.

        k.

        Bahwa dalam konteks Wajib Pajak pailit, Pasal 32 ayat (1) UU KUP mengatur bahwa Wakil Wajib Pajak pailit adalah kurator. Klausul dalam ayat ini dimaknai bahwa dalam hal Wajib Pajak pailit, tindakan penagihan juga ditujukan kepada Kurator, karena mengingat harta Wajib Pajak (dalam pailit) yang menurut undang-undang perpajakan adalah merupakan objek sita, masuk kedalam boedel pailit dan harta pailit tersebut sedang dalam pengurusan dan pemberesan aset oleh Kurator.

        l.

        Adapun ketetapan-ketetapan pajak yang terbit selama proses pailit atau proses pemberesan harta pailit Wajib Pajak tersebut, tidak masuk ke dalam boedel pailit karena diterbitkan setelah lewat batas akhir pengajuan tagihan, akan tetapi atas utang pajak yang belum terlunasi tersebut, sepanjang belum daluwarsa penagihan, sesuai Pasal 22 UU KUP, maka Direktorat Jenderal Pajak tetap mempunyai kewenangan, sebagaimana diatur dalam UU KUP dan Undang-Undang di bidang perpajakan, untuk melakukan penagihan atas utang pajak baik kepada Penanggung Pajak lainnya misalnya Pengurus.

        m.

        Dengan demikian, penagihan pajak kepada Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak dilakukan dengan berdasarkan Undang-Undang di bidang perpajakan yaitu UU KUP dan Undang-Undang di bidang perpajakan yang memang merupakan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur terkait penagihan pajak. Adapun eksistensi dari UU PT dan UU Kepailitan dan PKPU adalah sebagai Undang-Undang yang mengatur di ranah privat bukan di ranah publik, sehingga seharusnya tidak ada permasalahan hukum terkait Undang-Undang mana yang lebih khusus (lex specialist) diantara UU KUP dengan UU PT serta UU Kepailitan dan PKPU, karena UU KUP mengatur di ranah publik (hak dan kewajiban perpajakan) sedangkan UU PT dan UU Kepailitan dan PKPU mengatur hubungan keperdataan di ranah privat diantara para subjek hukumnya. 107 n. Perlu kita perhatikan bahwa tingkat pembayaran utang pajak melalui proses kepailitan jika dirata-ratakan secara statistik tidak melebihi dari 1,38% selama kurun waktu tahun 20 tahun yaitu semenjak tahun 1999 hingga tahun 2020 (bulan Agustus). Hal ini sebagaimana tercermin dalam tabel di bawah ini: Berdasarkan data pada tabel di atas maka sangat logis dan berdasar jika Direktorat Jenderal Pajak diberikan kewenangan untuk menagihkan pelunasan utang pajak kepada Wakil Wajib Pajak secara pribadi dan/atau secara renteng sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP.

        o.

        Secara sistematis di dalam UU KUP dan Undang-Undang di bidang perpajakan pun mengatur jaminan bagi terlunasinya utang pajak. Berdasarkan Pasal 18 UU KUP, Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.

        p.

        Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UU KUP atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan STP, SKPKB, serta SKPKBT, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak 108 sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) UU KUP dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

        q.

        Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.

        r.

        Penanggung Pajak yang dilakukan tindakan penagihan pajak merujuk pada Pasal 1 angka 28 UU KUP mengatur bahwa Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam hal yang mempunyai utang pajak adalah Wajib Pajak Badan, maka tindakan penagihan dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang meliputi:

        1.

        Badan/perseroan itu sendiri dan 2. Wakil wajib pajak badan oleh pengurus (Direksi, Komisaris, Pemegang Saham dan orang yang nyata-nyata mengambil kebijaksanaan dan/atau keputusan dalam menjalankan perusahaan). II. Penagihan Pajak PT United Coal Indonesia a. Kegiatan penagihan pajak kepada PT United Coal Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang memang secara khusus mengatur kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi Wajib Pajak baik ketika Wajib Pajak dalam keadaan normal maupun dalam keadaan pailit. Serangkaian kegiatan penagihan pajak yang diatur dalam peraturan tersebut berlaku bagi semua Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak dengan kondisi apa pun. Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak atas proses penagihan pajak yang dilakukan, juga telah diatur secara khusus dalam peraturan perpajakan yaitu seperti keberatan ke Kantor Wilayah DJP, banding ke Pengadilan Pajak maupun mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak. 109 b. PT United Coal Indonesia dinyatakan pailit berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 32/Pdt.Sus.Pailit/2014 /PN.Niaga.JKT.PST tanggal 24 November 2015.

        c.

        Total Tagihan utang pajak yang diajukan kepada Kurator adalah Rp.

        43.

        334.542.465,- (empat puluh tiga miliar tiga ratus tiga puluh empat juta lima ratus empat puluh dua ribu empat ratus enam puluh lima rupiah) terdiri dari 35 SKPKB/STP sejumlah Rp. 44.205.348.442,00 (empat puluh empat miliar dua ratus lima juta tiga ratus empat puluh delapan ribu empat ratus empat puluh dua rupiah) yang dikurangi dengan pembayaran yang telah dilakukan Wajib Pajak sejumlah Rp. 870.805.977,00. (delapan ratus tujuh puluh juta delapan ratus lima ribu sembilan ratus tujuh puluh tujuh rupiah) Tagihan utang pajak disampaikan kepada Kurator dengan surat nomor S- 6382/ WPJ.19/KP.01/2015 tanggal 17 Desember 2015. Adapun ke 35 SKPKB/STP tersebut adalah sebagai berikut: No Nomor SKPKB/STP Tanggal SKPKB/ST P Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00007/106/13/091/13 11-Mar-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 2 00007/107/13/091/14 28-Jan-14 218.095.841 STP PPN dan Terlambat Lapor 3 00008/107/13/091/14 28-Jan-14 148.070.494 STP PPN dan Terlambat Lapor 4 00009/107/13/091/14 29-Jan-14 133.731.749 STP PPN dan Terlambat Lapor 5 00010/107/13/091/14 29-Jan-14 67.282.203 STP PPN dan Terlambat Lapor 6 00011/107/13/091/14 29-Jan-14 64.805.678 STP PPN dan Terlambat Lapor 7 00017/106/12/091/13 01-Feb-13 291.941.719 STP PPh pasal 25 Angsuran 8 00020/107/12/091/14 29-Jan-14 204.683.426 STP PPN dan Terlambat Lapor 9 00021/106/13/091/13 03-Apr-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 10 00022/106/12/091/13 05-Feb-13 297.555.983 STP PPh pasal 25 Angsuran 11 00030/106/12/091/13 05-Feb-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 12 00041/106/13/091/13 30-Apr-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 13 00073/106/12/091/12 08-Okt-12 436.363.654 STP PPh pasal 25 Angsuran 14 00139/106/12/091/12 03-Des-12 444.855.263 STP PPh pasal 25 Angsuran 15 00049/107/14/091/15 28-May-15 1.500.000 STP PPN dan Terlambat Lapor 16 00002/107/15/091/15 28-May-15 1.000.000 STP PPN dan Terlambat Lapor 110 17 00013/101/15/091/15 28-May-15 300.000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 18 00093/101/14/091/15 28-May-15 1.200.000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 19 00064/101/13/091/15 28-May-15 100.000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 20 00051/107/14/091/15 3-Jun-15 500.000 STP PPN dan Terlambat Lapor 21 00105/106/14/091/15 13-Jul-15 1.000.000 STP PPh pasal 25 Angsuran 22 00183/207/10/091/15 28-Mei-15 1.013.029.486 SKPKB PPN DN 23 00184/207/10/091/15 25-May-15 65.293.500 SKPKB PPN DN 24 00182/207/10/091/15 25-May-15 318.214.632 SKPKB PPN DN 25 00185/207/10/091/15 25-May-15 154.414.672 SKPKB PPN DN 26 00186/207/10/091/15 25-May-15 101.773.778 SKPKB PPN DN 27 00050/103/14/091/15 21-Aug-15 270.903 STP PPh 23 Terlambat Setor dan Terlambat Lapor 28 00051/103/14/091/15 21-Aug-15 206.814 STP PPh 23 Terlambat Setor dan Terlambat Lapor 29 00018/109/10/091/15 10-Dec-15 121.563.538 STP Bunga Penagihan PPN 30 00019/109/10/091/15 10-Dec-15 7.835.220 STP Bunga Penagihan PPN 31 00020/109/10/091/15 10-Dec-15 38.185.756 STP Bunga Penagihan PPN 32 00021/109/10/091/15 10-Dec-15 18.529.761 STP Bunga Penagihan PPN 33 00022/109/10/091/15 10-Dec-15 12.221.853 STP Bunga Penagihan PPN 34 00014/206/13/091/15 16-Dec-15 33.745.131.050 SKPKB PPh 35 00169/207/11/091/15 17-Dec-15 5.150.381.649 SKPKB PPN DN Jumlah Rp.44.205.348.442, 00 d. Total tagihan utang pajak yang diakui oleh Kurator dalam rapat pencocokan piutang dan verifikasi pajak adalah sejumlah yang dajukan oleh KPP, yaitu sebesar Rp.43.334.542.465,- (empat puluh tiga miliar tiga ratus tiga puluh empat juta lima ratus empat puluh dua ribu empat ratus enam puluh lima rupiah) .

        e.

        Total hasil penjualan harta pailit yang berhasil diperoleh oleh Kurator sebesar Rp.45.436.242.290,00 (empat puluh lima miliar empat ratus tiga puluh enam juta dua ratus empat puluh dua ribu dua ratus sembilan puluh rupiah). Harta Pailit bersih setelah dikurangi biaya kepailitan dan fee kurator adalah sebesar Rp.30.987.247.383,00 (tiga puluh miliar sembilan ratus delapan puluh tujuh juta dua ratus empat puluh tujuh ribu tiga ratus delapan puluh tiga rupiah). Dari harta pailit tersebut jumlah pembagian yang diperoleh KPP Wajib Pajak Besar Satu sebesar Rp.2.549.161.883,00 (dua 111 miliar lima ratus empat puluh Sembilan juta seratus enam puluh satu ribu delapan ratus delapan puluh tiga rupiah), yang kemudian bertambah menjadi Rp.2.677.919.334,00 (dua miliar enam ratus tujuh puluh tujuh juta sembilan ratus sembilan belas ribu tiga ratus tiga puluh empat rupiah), setelah mendapat tambahan atas bunga bank sebesar Rp.128.757.451,00 (seratus dua puluh delapan juta tujuh ratus lima puluh tujuh ribu empat ratus lima puluh satu rupiah). Atas hasil pembagian harta pailit tersebut telah disetor ke kas negara tanggal 23 November 2018.

        f.

        Pembagian kepada KPP Wajib Pajak Besar Satu sebesar Rp.2.549.161.883,00 (dua miliar lima ratus empat puluh Sembilan juta seratus enam puluh satu ribu delapan ratus delapan puluh tiga rupiah) adalah 5,88% dari nilai seluruh tagihan pajak yang diakui oleh Kurator. Sedangkan Kreditor Separatis PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menerima Rp.14.000.000.000,- (empat belas milyar rupiah) atau sebesar 4,99% dari nilai seluruh tagihan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk yang diakui.

        g.

        Selain menagih utang pajak dalam proses kepailitan melalui Kurator, pada tahun-tahun selama kepailitan berlangsung, KPP Wajib Pajak Besar Satu, berdasarkan Pasal 29 UU KUP, melakukan pemeriksaan pajak atas PT United Coal Indonesia atas kewajiban-kewajiban perpajakannya yang telah timbul dan terutang namun belum dilaporkan dan/atau belum dibayar sebelum PT United Coal Indonesia dinyatakan pailit. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, sesuai Pasal 13 ayat (1) UU KUP, diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dengan rincian sebagai berikut:

        1)

        Terbit Tahun 2016 SKPKB PPh Badan tahun pajak 2011 Nomor 00026/206/11/091/16 sejumlah Rp.106.535.880.440,00 (seratus enam miliar lima ratus tiga puluh lima juta selapan ratus delapan puluh ribu empat ratus empat puluh rupiah).

        2)

        Terbit Tahun 2017 sebesar Rp.46.431.017.912,00 (empat puluh enam miliar empat ratus tiga puluh satu juta tujuh belas ribu Sembilan ratus dua belas rupiah) terdiri atas:  SKPKB PPN tahun pajak 2012 sebesar Rp.10.427.130.781,00 (sepuluh miliar empat ratus dua puluh tujuh juta serratus tiga puluh 112 ribu tujuh ratus delapan puluh satu rupiah) terdiri 9 ketetapan sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00019/107/12/091/17 23-May-17 206,633,351 STP PPN Hasil Pemeriksaan (Pasal 14 ayat 4 UU KUP) 2 00073/207/12/091/17 23-May-17 1,962,892,565 SKPKB PPN Hasil Pemeriksaan 3 00074/207/12/091/17 23-May-17 1,574,459,693 SKPKB PPN 4 00075/207/12/091/17 23-May-17 962,086,542 SKPKB PPN 5 00076/207/12/091/17 23-May-17 880,698,291 SKPKB PPN 6 00077/207/12/091/17 23-May-17 1,327,527,437 SKPKB PPN 7 00078/207/12/091/17 23-May-17 1,189,167,347 SKPKB PPN 8 00079/207/12/091/17 23-May-17 2,301,980,518 SKPKB PPN 9 00080/207/12/091/17 23-May-17 21,685,037 SKPKB PPN  SKPKB dan STP PPN, PPh tahun pajak 2013 sebesar Rp.30.072.927.803,00 (tiga puluh miliar tujuh puluh dua juta Sembilan ratus dua puluh tujuh ribu delapan ratus tiga rupiah), yang terdiri dari 16 SKPKB dan 7 STP sebagai berikut: No . SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00041/107/13/091/17 21-Dec-17 305,336,630 STP PPN 2 00042/107/13/091/17 21-Dec-17 318,060,956 STP PPN 3 00043/107/13/091/17 21-Dec-17 285,464,974 STP PPN 4 00044/107/13/091/17 21-Dec-17 317,116,241 STP PPN 5 00045/107/13/091/17 21-Dec-17 230,517,085 STP PPN 6 00046/107/13/091/17 21-Dec-17 1,177,485,636 STP PPN 7 00003/245/13/091/17 21-Dec-17 796,717,447 SKPKB PPh 8 00021/203/13/091/17 21-Dec-17 246,492,039 SKPKB PPh 9 00030/201/13/091/17 21-Dec-17 308,460,799 SKPKB PPh 10 00031/201/13/091/17 21-Dec-17 505,270,948 SKPKB PPh 11 00014/177/13/091/17 22-Dec-17 53,832,260 STP PPN 12 00018/277/13/091/17 22-Dec-17 398,358,724 STP PPN 13 00081/207/13/091/17 22-Dec-17 1,094,683,598 STP PPN 14 00082/207/13/091/17 22-Dec-17 1,322,364,683 STP PPN 15 00083/207/13/091/17 22-Dec-17 1,130,660,572 STP PPN 16 00084/207/13/091/17 22-Dec-17 960,313,223 STP PPN 17 00085/207/13/091/17 22-Dec-17 1,130,328,722 STP PPN 18 00086/207/13/091/17 22-Dec-17 2,259,491,065 STP PPN 19 00087/207/13/091/17 22-Dec-17 2,353,651,073 STP PPN 20 00088/207/13/091/17 22-Dec-17 2,112,440,811 STP PPN 21 00089/207/13/091/17 22-Dec-17 2,346,660,183 STP PPN 22 00090/207/13/091/17 22-Dec-17 1,705,826,428 STP PPN 23 00091/207/13/091/17 22-Dec-17 8,713,393,706 STP PPN 113  SKPKB dan STP PPN dan PPh tahun Pajak 2014 sebesar Rp.5.908.774.309,00 (lima miliar Sembilan ratus delapan juta tujuh ratus tujuh puluh empat ribu tiga ratus sembilan rupiah), yang terdiri dari 6 SKPKB dan 4 STP sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00025/107/14/091/17 21-Dec-17 223,827,822 STP PPN 2 00026/107/14/091/17 21-Dec-17 160,368,482 STP PPN 3 00027/107/14/091/17 21-Dec-17 114,459,301 STP PPN 4 00028/107/14/091/17 21-Dec-17 8,990,527 STP PPN 5 00002/203/14/091/17 21-Dec-17 459,515,248 SKPKB PPh 6 00004/206/14/091/17 21-Dec-17 1,185,031,550 SKPKB PPh 7 00058/207/14/091/17 21-Dec-17 1,656,325,884 SKPKB PPN 8 00059/207/14/091/17 21-Dec-17 1,186,726,765 SKPKB PPN 9 00060/207/14/091/17 21-Dec-17 846,998,830 SKPKB PPN 10 00061/207/14/091/17 21-Dec-17 66,529,900 SKPKB PPN  STP Pengawasan atas kewajiban perpajakan berupa pelaporan dan/atau pembayaran pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2016 sebesar Rp.22.185.019,00 (dua puluh dua juta seratus delapan puluh lima ribu Sembilan belas rupiah) terdiri dari 77 STP sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/ST P (Rp.) Keterangan 1 00004/103/15/091/17 23-Jan-17 203,186 STP Terlambat Setor 2 00006/103/15/091/17 24-Jan-17 12,596 STP PPh 23 Terlambat Setor 3 00062/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 4 00063/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 5 00065/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 6 00066/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 7 00067/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 8 00069/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 9 00070/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 10 00072/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 11 00075/101/16/091/17 22-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 12 00077/101/16/091/17 22-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 13 00079/101/16/091/17 23-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 114 14 00080/101/16/091/17 23-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 15 00034/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 16 00035/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 17 00036/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 18 00037/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 19 00038/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 20 00039/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 21 00040/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 22 00041/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 23 00042/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 24 00043/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 25 00044/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 26 00045/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 27 00020/107/12/091/17 29-May-17 3,513,807 STP PPN DN Terlambat Setor 28 00021/107/12/091/17 31-May-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 29 00003/140/12/091/17 2-Jun-17 170,287 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 30 00004/140/12/091/17 2-Jun-17 85,143 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 31 00005/103/12/091/17 2-Jun-17 100,000 STP PPh 23 Terlambat Lapor 32 00005/140/12/091/17 2-Jun-17 100,000 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 33 00008/103/13/091/17 2-Jun-17 100,000 STP PPh 23 Terlambat Lapor 34 00006/101/12/091/17 6-Jun-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 35 00006/140/12/091/17 7-Jun-17 100,000 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 36 00006/106/13/091/17 6-Jul-17 1,000,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 37 00003/107/13/091/17 10-Jul-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 38 00066/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 39 00067/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 40 00068/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 41 00069/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 42 00070/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 115 43 00071/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 44 00072/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 45 00073/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 46 00074/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 47 00075/106/16/091/17 11-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 48 00076/106/16/091/17 11-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 49 00077/106/16/091/17 11-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 50 00014/106/15/091/17 12-Sep-17 1,000,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 51 00015/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 52 00016/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 53 00017/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 54 00017/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 55 00018/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 56 00018/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 57 00019/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 58 00019/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 59 00020/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 60 00020/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 61 00021/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 62 00021/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 63 00022/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 64 00022/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 65 00023/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 66 00024/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 67 00025/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 68 00126/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 69 00127/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 70 00128/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 71 00129/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 116 72 00130/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 73 00131/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 74 00132/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 75 00133/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 76 00134/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 77 00023/106/15/091/17 15-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 3) Terbit Tahun 2018 sebesar Rp.2.200.000,00 (dua juta dua ratus ribu rupiah), yang merupakan STP Pengawasan sebanyak 13 STP sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00009/106/16/091/18 25-Jan-18 1,000,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 2 00042/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 3 00043/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 4 00044/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 5 00045/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 6 00046/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 7 00047/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 8 00048/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 9 00049/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 10 00050/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 11 00053/101/17/091/18 7-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 12 00054/101/17/091/18 7-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 13 00056/101/17/091/18 8-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor h. Atas sisa utang pajak yang tidak terbayarkan melalui proses kepailitan dan utang pajak yang ditemukan kemudian berdasarkan pemeriksaan pajak sebagaimana telah disajikan secara detail di atas, maka KPP Wajib Pajak Besar Satu melaksanakan kegiatan penagihan aktif kepada Penanggung Pajak/Wakil Wajib Pajak sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dengan total pajak terutang sejumlah Rp. 193.625.721.483,00 117 (seratus sembilan puluh tiga miliar enam ratus dua puluh lima juta tujuh ratus dua puluh satu ribu empat ratus delapan puluh tiga rupiah).

        i.

        Penanggung Pajak menurut Pasal 1 angka 28 UU KUP adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

        j.

        Adapun rangkaian tindakan penagihan pajak yang dilakukan berupa: tindakan persuasif dengan mengundang rapat Penanggung Pajak melalui Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1942/WPJ.19/ KP.01/2018 tanggal 11 Mei 2018 dan Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1172/WPJ.19/KP.01/2019 tanggal 27 Mei 2019, Surat Teguran dan Surat Paksa, yang ditindaklanjuti dengan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) dengan detil sebagai berikut:

        1)

        Surat Teguran No. Nomor Surat Teguran Tanggal 1 ST-00023/WPJ .1 9/KP.0104/2017 20-Mar-17 2 ST-00024/WPJ .1 9/KP.0104/2017 20-Mar-17 3 ST-00025/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 4 ST-00071/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 5 ST-00072/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 6 ST-00073/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 7 ST-00074/W PJ. 19/KP. 0104/20 17 22-May-17 8 ST-00075/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 9 ST-00076/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 10 ST-00104/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Jun-17 11 ST-00138/WPJ. 19/KP.0104/2017 07-Sep-17 12 ST-00 139/WPJ .19/KP.01 04/2017 7-Sep-17 13 ST-00152/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Sep-17 14 ST-00153/WPJ. 19/KP.0104/2017 12-Sep-17 15 ST-00235/WPJ .19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 16 ST-00236/WPJ .19/KP . 01 04/2017 13-Nov-17 17 ST-00237/WPJ.19/KP.0104/201 7 13-Nov-17 18 ST-00238/WPJ. 1 9/KP.01 04/2017 13-Nov-17 19 ST-00239/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 20 ST-00240/WPJ.19/KP .0 104/20 17 13-Nov-17 21 ST-00241/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 22 ST-00242/WPJ. 1 9/KP.0104/2017 13-Nov-17 23 ST-001 35/WPJ .1 9/KP. 01 04/2018 23-Mar-18 24 ST-00136/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 25 ST-00137/WPJ. 1 9/KP.0104/2018 23-Mar-18 26 ST-00138/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 118 27 ST-00139/WPJ .1 9/KP. 0104/2018 23-Mar-18 28 ST-001 40/WPJ .19/KP. 01 04/2018 23-Mar-18 29 ST-00141/WPJ. 19/KP.0104/2018 23-Mar-18 30 ST-00142/WPJ .1 9/KP.0104/2018 23-Mar-18 31 ST-00143/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 32 ST-00144/WPJ. 19/KP.0104/2018 23-Mar-18 2) Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Sita No. Surat Paksa Tanggal Surat Perintah Melaksanakan Sita (SPMP) 1 SP-00472/WPJ.19/KP.0104/2015 14-Dec-15 SIT-00004 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 2 SP-00473/WPJ. 19/KP.0104/2015 14-Dec-15 3 SP-00126/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 4 SP-00127/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 5 SP-00128/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 6 SP-00072/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 7 SP-00073/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 8 SP-00074/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 9 SP-00075/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 10 SP-00076/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 11 SP-00077/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 12 SP-00078/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 13 SP-00079/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 14 SP-00080/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 15 SP-00081/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 16 SP-00082/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 17 SP-00083/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 18 SP-00084/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 19 SP-00085/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 20 SP-00086/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 21 SP-00129/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 SIT-00005 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 22 SP-00130/WPJ. 19/KP.0104/2017 24-Jul-17 23 SP-00150/WPJ.19/KP.0104/2017 17-Oct-17 24 SP-00055/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 25 SP-00056/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 26 SP-00057/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 27 SP-00058/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 28 SP-00059/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 29 SP-00060/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 30 SP-00061/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 31 SP-00062/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 32 SP-00063/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 33 SP-00064/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 34 SP-00065/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 35 SP-00066/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 36 SP-00067/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 37 SP-00068/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 119 38 SP-00069/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 39 SP-00070/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 40 SP-00071/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 41 SP-00087/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 SIT-00006 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 42 SP-00088/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 43 SP-00249/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 44 SP-00250/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 45 SP-00251/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 46 SP-00252/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 47 SP-00253/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 48 SP-00254/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 49 SP-00255/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 50 SP-00256/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 51 SP-00257/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 52 SP-00258/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 53 SP-00259/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 54 SP-00260/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 55 SP-00261/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 56 SP-00262/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 57 SP-00263/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 58 SP-00264/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 59 SP-00265/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 60 SP-00266/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 61 SP-00267/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 SIT-00007 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 62 SP-00268/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 63 SP-00269/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 64 SP-00270/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 65 SP-00271/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 66 SP-00272/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 67 SP-00273/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 68 SP-00274/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 69 SP-00275/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 70 SP-00276/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 71 SP-00277/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 72 SP-00278/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 73 SP-00279/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 74 SP-00280/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 75 SP-00281/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 76 SP-00282/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 77 SP-00283/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 78 SP-00284/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 79 SP-00285/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 80 SP-00286/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 k. Berdasarkan SPMP tersebut dilakukan pemblokiran rekening Pemohon di Bank BCA melalui surat nomor S-2341/WPJ.19/ KP.01/2019 tanggal 29 Oktober 2019, Pencegahan kepada Penanggung Pajak melalui Keputusan 120 Menteri Keuangan Nomor KMK-613/KM.3/2019 tanggal 15 November 2019 untuk Taufik Surya Darma dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK- 614/KM.3/2019 tanggal 15 November 2019 untuk Herumanto Zaini.

        l.

        Tindakan penagihan kepada Wakil Wajib Pajak, dalam hal ini Pemohon sebagai Direktur Utama PT United Coal Indonesia, sesuai Pasal 32 ayat (2) UU KUP adalah hal yang logis dan diperlukan. Hal ini terlihat dari total tagihan pajak yang terdiri dari SKPKB dan STP di atas, membuktikan bahwa Pemohon, sebagai Direktur Utama PT United Coal Indonesia, selama mengurus perusahaan tidak menjalankan tugasnya untuk memastikan terlunasinya kewajiban perpajakan PT United Coal Indonesia. Kewajiban perpajakan ini meliputi kegiatan menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya dengan benar. Dari rangkaian STP saja terlihat bahwa PT United Coal Indonesia, selama dibawah pengurusan Pemohon, bukan hanya tidak membayar kewajiban perpajakannya dengan benar, bahkan laporan perpajakannya yang rutin pun banyak tidak dilakukan atau terlambat. III. Pengecualian dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP Pada prakteknya, banyak ditemukan modus dari perusahaan untuk menghindari kewajiban membayar utang pajak melalui mekanisme pembuatan akta perubahan perseroan dengan mencantumkan nama pihak-pihak yang sebenarnya tidak pernah menjalankan kepengurusan/mengendalikan perseroan sebagai pengurus perseroan tersebut. Mengacu pada Pasal 32 ayat (2) UU KUP bahwa dalam hal pengurus tersebut dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa yang bersangkutan tidak dapat dimintakan tanggung jawab dalam pelunasan utang pajak perseroan, maka Direktorat Jenderal Pajak berwenang tidak melakukan tindakan penagihan atas utang pajak perseroan tersebut kepada yang bersangkutan. Pembuktian tersebut utamanya dilakukan pengurus yang bersangkutan kepada Direktur Jenderal Pajak, disamping Direktorat Jenderal Pajak juga dapat menghimpun dan menganalisis data dan/atau informasi dari pihak internal maupun eksternal berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Dalam praktiknya pembuktian yang dilakukan pengurus yang merasa bukan sebagai Penanggung Pajak antara lain: 121 a. Menyampaikan data dan informasi berupa surat keterangan atau sejenisnya dari pengurus dan pemegang saham yang lain bahwa yang bersangkutan bukan pengurus perseroan dan tidak pernah menjalankan kepengurusan perseroan;

        b.

        Menyampaikan bukti bahwa yang bersangkutan tidak pernah menerima penghasilan dari perseroan tersebut;dan/atau c. Menyampaikan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa yang bersangkutan bukan pengurus perseroan. Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka memverifikasi dan menganalisis informasi, data dan/atau dokumen yang diperoleh dari pengurus yang merasa bukan sebagai Penanggung Pajak tersebut, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan:

        a.

        Penelitian Administrasi 1. Menghimpun informasi, data dan/atau dokumen dari pihak internal maupun eksternal. Dari internal Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengecekkan dari sistem informasi yang ada meliputi pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), upaya hukum, intelijen perpajakan, dan data lainnya; Data pihak eksternal diperoleh dari data perseroan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, laporan hasil permintaan keterangan atau informasi dari pihak ketiga (pengurus lainnya, pegawai perseroan, lawan transaksi dan sebagainya) 2. Melakukan analisis terkait informasi, data dan/atau dokumen baik yang diperoleh dari internal Direktorat Jenderal Pajak, pengurus perseroan, maupun pihak ketiga lainnya tersebut;

        3.

        Menuangkan hasil analisis tersebut dalam Laporan Uraian Penelitian dengan hasil apakah yang bersangkutan sebagai Penanggung Pajak yang bertanggungjawab secara pribadi dan/atau renteng terhadap pelunasan utang pajak perseroan atau sebaliknya b. Melakukan pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak ( delinquency audit ) sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.75/2002 tentang Pemeriksaan Untuk Tujuan Penagihan Pajak ( Delinquency Audit ). 122 1. Pemeriksaan dilakukan oleh petugas pemeriksa pajak untuk memperoleh data dan/atau informasi terkait Penanggung Pajak yang sebenarnya, harta dan upaya hukum;

        2.

        Dapat dilakukan secara bersama-sama dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan atau hanya melalui pemeriksaan untuk tujuan lain;

        3.

        Dalam pelaksanaan pemeriksaan, tim Pemeriksa Pajak akan melakukan hal-hal sebagai berikut: a) mencari alamat tempat/gudang penyimpanan harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak; b) meminjam bukti kepemilikan harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak; c) membuat daftar harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang sesuai dengan kondisi terkini; d) mencari informasi perihal wakil dari Penanggung Pajak, antara lain keluarga, direksi, komisaris dan pemegang saham mayoritas, beserta alamat sesuai dengan bukti identitas terakhir; dan e) melakukan konfirmasi dan permintaan keterangan serta bukti tentang identitas harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang KUP antara lain kepada: Notaris/PPAT, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pemerintah Daerah, Bank, Kepolisian, dan Konsultan Pajak 4. Hasilnya akan dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan yang menjadi dasar Direktorat Jenderal Pajak untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai pengurus yang bertanggung jawab secara pribadi dan/atau renteng dalam pelunasan utang pajak perseroan atau tidak. Proses sebagaimana diuraikan di atas, termasuk ke dalam rangkaian proses penagihan pajak yang diatur dalam beberapa peraturan pelaksanaan di Direktorat Jenderal Pajak diantaranya: a) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. 123 b) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran Dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. c) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.75/2002 tentang Pemeriksaan Untuk Tujuan Penagihan Pajak ( Delinquency Audit ). d) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan. e) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ/2012 tentang Kebijakan Penagihan Pajak. f) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencegahan Dalam Rangka Penagihan Pajak. g) Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-20/PJ/2018 tanggal 12 Januari 2018 hal Penegasan dan Pelaksanaan Pemblokiran, Pencegahan dan Penyanderaan. h) Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor Nomor S-234/PJ.04/2018 tanggal 23 April 2018 hal Optimalisasi Tindakan Penagihari sebagai Tindak Lanjut Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-20/PJ/2018 perihal Penegasan atas Pelaksanaan Pemblokiran, Pencegahan, dan Penyanderaan. Berdasarkan tahapan-tahapan pelaksanaan penagihan pajak, dan tahapan- tahapan untuk dapat menentukan apakah seseorang dapat dikecualikan atau tidak sebagai Wakil Wajib Pajak yang harus bertanggung jawab secara pribadi dan/atau renteng sebagaimana telah diuraikan di atas, maka terlihat bahwa untuk menentukan kriteria tersebut Direktorat Jenderal Pajak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya harus melaksanakan segala rangkaian proses secara cermat dan berdasarkan dokumen sumber yang valid dan terpercaya. Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak merasa keberatan, peraturan perundang-undangan perpajakan telah membuka jalur melakukan upaya hukum yang jelas yaitu melalui proses gugatan ke Pengadilan Pajak, keberatan ke Kantor Wilayah DJP, dan/atau banding ke Pengadilan Pajak. IV. Petitum Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan 124 pengujian ( constitutional review ) ketentuan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut :

        1)

        Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;

        2)

        Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );

        3)

        Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijk verklaard );

        4)

        Menyatakan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ) [2.4] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Presiden/Pemerintah telah mengajukan dokumen (sebagai lampiran) yang diberi tanda PEM-1 sampai dengan PEM-211, di mana Lampiran PEM-1 sampai PEM-36 merupakan rincian tagihan pajak kepada Kurator PT UCI sejumlah Rp.43.334.542.465,- karena Wajib Pajak melakukan pembayaran utang pajak sejumlah Rp.870.805.977,-; Lampiran PEM-37 sampai dengan PEM-169 merupakan tagihan pajak hasil pemeriksaan pajak yang terbit setelah Wajib Pajak PT UCI pailit; serta Lampiran PEM-170 sampai dengan PEM-211 merupakan dokumen yang menunjukkan alur proses penagihan kepada Penanggung Pajak PT UCI. Berikut ini daftar Lampiran dimaksud.

        1.

        PEM-1 S-6382/WPJ.19/ KP.01/2015 17-Des-15 2. PEM-2 SKP/STP No. 00007/106/13/091/13 11-Mar-13 3. PEM-3 SKP/STP No. 00007/107/13/091/14 28-Jan-14 4. PEM-4 SKP/STP No. 00008/107/13/091/14 28-Jan-14 5. PEM-5 SKP/STP No. 00009/107/13/091/14 29-Jan-14 6. PEM-6 SKP/STP No. 000010/107/13/091/14 29-Jan-14 7. PEM-7 SKP/STP No. 000011/107/13/091/14 29-Jan-14 8. PEM-8 SKP/STP No. 000017/106/12/091/13 01-Feb-13 9. PEM-9 SKP/STP No. 000020/107/12/091/14 29-Jan-14 125 10. PEM-10 SKP/STP No. 000021/106/13/091/13 03-Apr-13 11. PEM-11 SKP/STP No. 000022/106/12/091/13 05-Feb-13 12. PEM-12 SKP/STP No. 000030/106/12/091/13 05-Feb-13 13. PEM-13 SKP/STP No. 000041/106/13/091/13 30-Apr-13 14. PEM-14 SKP/STP No. 000073/106/12/091/12 08-Okt-12 15. PEM-15 SKP/STP No. 00139/106/12/091/12 03-Des-12 16. PEM-16 SKP/STP No. 000049/107/14/091/15 28-Mei-15 17. PEM-17 SKP/STP No. 00002/107/15/091/15 28-Mei-15 18. PEM-18 SKP/STP No. 00013/101/15/091/15 28-Mei-15 19. PEM-19 SKP/STP No. 00093/101/14/091/15 28-Mei-15 20. PEM-20 SKP/STP No. 00064/101/13/091/15 28-Mei-15 21. PEM-21 SKP/STP No. 00051/107/14/091/15 3-Jun-15 22. PEM-22 SKP/STP No. 00105/106/14/091/15 13-Jul-15 23. PEM-23 SKP/STP No. 00182/207/10/091/15 25-Mei-15 24. PEM-24 SKP/STP No. 00183/207/10/091/15 25-Mei-15 25. PEM-25 SKP/STP No. 00184/207/10/091/15 25-Mei-15 26. PEM-26 SKP/STP No. 00185/207/10/091/15 25-Mei-15 27. PEM-27 SKP/STP No. 00186/207/10/091/15 25-Mei-15 28. PEM-28 SKP/STP No. 00050/103/14/091/15 21-Aug-15 29. PEM-29 SKP/STP No. 00051/103/14/091/15 21-Aug-15 30. PEM-30 SKP/STP No. 00018/109/10/091/15 10-Dec-15 31. PEM-31 SKP/STP No. 00019/109/10/091/15 10-Dec-15 32. PEM-32 SKP/STP No. 00020/109/10/091/15 10-Dec-15 33. PEM-33 SKP/STP No. 00021/109/10/091/15 10-Dec-15 34. PEM-34 SKP/STP No. 00022/109/10/091/15 10-Dec-15 35. PEM-35 SKP/STP No. 00014/206/13/091/15 16-Dec-15 36. PEM-36 SKP/STP No. 00169/207/11/091/15 17-Dec-15 37. PEM-37 SKP/STP No. 00026/206/11/091/16 29-Nov-16 38. PEM-38 SKP/STP No. 00019/107/12/091/17 23-Mei-17 39. PEM-39 SKP/STP No. 00073/207/12/091/17 23-Mei-17 40. PEM-40 SKP/STP No. 00074/207/12/091/17 23-Mei-17 41. PEM-41 SKP/STP No. 00075/207/12/091/17 23-Mei-17 42. PEM-42 SKP/STP No. 00076/207/12/091/17 23-Mei-17 126 43. PEM-43 SKP/STP No. 00077/207/12/091/17 23-Mei-17 44. PEM-44 SKP/STP No. 00078/207/12/091/17 23-Mei-17 45. PEM-45 SKP/STP No. 00079/207/12/091/17 23-Mei-17 46. PEM-46 SKP/STP No. 00080/207/12/091/17 23-Mei-17 47. PEM-47 SKP/STP No. 00041/107/13/091/17 21-Dec-17 48. PEM-48 SKP/STP No. 00042/107/13/091/17 21-Dec-17 49. PEM-49 SKP/STP No. 00043/107/13/091/17 21-Dec-17 50. PEM-50 SKP/STP No. 00044/107/13/091/17 21-Dec-17 51. PEM-51 SKP/STP No. 00045/107/13/091/17 21-Dec-17 52. PEM-52 SKP/STP No. 00046/107/13/091/17 21-Dec-17 53. PEM-53 SKP/STP No. 00003/245/13/091/17 21-Dec-17 54. PEM-54 SKP/STP No. 00021/203/13/091/17 21-Dec-17 55. PEM-55 SKP/STP No. 00030/201/13/091/17 21-Dec-17 56. PEM-56 SKP/STP No. 00031/201/13/091/17 21-Dec-17 57. PEM-57 SKP/STP No. 00014/177/13/091/17 22-Dec-17 58. PEM-58 SKP/STP No. 00018/277/13/091/17 22-Dec-17 59. PEM-59 SKP/STP No. 00081/207/13/091/17 22-Dec-17 60. PEM-60 SKP/STP No. 00082/207/13/091/17 22-Dec-17 61. PEM-61 SKP/STP No. 00083/207/13/091/17 22-Dec-17 62. PEM-62 SKP/STP No. 00084/207/13/091/17 22-Dec-17 63. PEM-63 SKP/STP No. 00085/207/13/091/17 22-Dec-17 64. PEM-64 SKP/STP No. 00086/207/13/091/17 22-Dec-17 65. PEM-65 SKP/STP No. 00087/207/13/091/17 22-Dec-17 66. PEM-66 SKP/STP No. 00088/207/13/091/17 22-Dec-17 67. PEM-67 SKP/STP No. 00089/207/13/091/17 22-Dec-17 68. PEM-68 SKP/STP No. 00090/207/13/091/17 22-Dec-17 69. PEM-69 SKP/STP No. 00091/207/13/091/17 22-Dec-17 70. PEM-70 SKP/STP No. 00025/107/14/091/17 21-Dec-17 71. PEM-71 SKP/STP No. 00026/107/14/091/17 21-Dec-17 72. PEM-72 SKP/STP No. 00027/107/14/091/17 21-Dec-17 73. PEM-73 SKP/STP No. 00028/107/14/091/17 21-Dec-17 74. PEM-74 SKP/STP No. 00002/203/14/091/17 21-Dec-17 75. PEM-75 SKP/STP No. 00004/206/14/091/17 21-Dec-17 127 76. PEM-76 SKP/STP No. 00058/207/14/091/17 21-Dec-17 77. PEM-77 SKP/STP No. 00059/207/14/091/17 21-Dec-17 78. PEM-78 SKP/STP No. 00060/207/14/091/17 21-Dec-17 79. PEM-79 SKP/STP No. 00061/207/14/091/17 21-Dec-17 80. PEM-80 SKP/STP No. 00004/103/15/091/17 23-Jan-17 81. PEM-81 SKP/STP No. 00006/103/15/091/17 24-Jan-17 82. PEM-82 SKP/STP No. 00062/101/16/091/17 21-Mar-17 83. PEM-83 SKP/STP No. 00063/101/16/091/17 21-Mar-17 84. PEM-84 SKP/STP No. 00065/101/16/091/17 21-Mar-17 85. PEM-85 SKP/STP No. 00066/101/16/091/17 21-Mar-17 86. PEM-86 SKP/STP No. 00067/101/16/091/17 21-Mar-17 87. PEM-87 SKP/STP No. 00069/101/16/091/17 21-Mar-17 88. PEM-88 SKP/STP No. 00070/101/16/091/17 21-Mar-17 89. PEM-89 SKP/STP No. 00072/101/16/091/17 21-Mar-17 90. PEM-90 SKP/STP No. 00075/101/16/091/17 22-Mar-17 91. PEM-91 SKP/STP No. 00077/101/16/091/17 22-Mar-17 92. PEM-92 SKP/STP No. 00079/101/16/091/17 23-Mar-17 93. PEM-93 SKP/STP No. 00080/101/16/091/17 23-Mar-17 94. PEM-94 SKP/STP No. 00034/107/16/091/17 17-Mar-17 95. PEM-95 SKP/STP No. 00035/107/16/091/17 17-Mar-17 96. PEM-96 SKP/STP No. 00036/107/16/091/17 17-Mar-17 97. PEM-97 SKP/STP No. 00037/107/16/091/17 17-Mar-17 98. PEM-98 SKP/STP No. 00038/107/16/091/17 17-Mar-17 99. PEM-99 SKP/STP No. 00039/107/16/091/17 17-Mar-17 100. PEM-100 SKP/STP No. 00040/107/16/091/17 17-Mar-17 101. PEM-101 SKP/STP No. 00041/107/16/091/17 17-Mar-17 102. PEM-102 SKP/STP No. 00042/107/16/091/17 17-Mar-17 103. PEM-103 SKP/STP No. 00043/107/16/091/17 17-Mar-17 104. PEM-104 SKP/STP No. 00044/107/16/091/17 17-Mar-17 105. PEM-105 SKP/STP No. 00045/107/16/091/17 17-Mar -17 106. PEM-106 SKP/STP No. 00020/107/12/091/17 29-Mei-17 107. PEM-107 SKP/STP No. 00021/107/12/091/17 31-Mei-17 108. PEM-108 SKP/STP No. 00003/140/12/091/17 2-Jun-17 128 109. PEM-109 SKP/STP No. 00004/140/12/091/17 2-Jun-17 110. PEM-110 SKP/STP No. 00005/140/12/091/17 2-Jun-17 111. PEM-111 SKP/STP No. 00005/103/12/091/17 2-Jun-17 112. PEM-112 SKP/STP No. 00008/103/13/091/17 2-Jun-17 113. PEM-113 SKP/STP No. 00006/101/12/091/17 6-Jun-17 114. PEM-114 SKP/STP No. 00006/140/12/091/17 7-Jun-17 115. PEM-115 SKP/STP No. 00006/106/13/091/17 6-Jul-17 116. PEM-116 SKP/STP No. 00003/107/13/091/17 10-Jul-17 117. PEM-117 SKP/STP No. 00066/106/16/091/17 8-Sep-17 118. PEM-118 SKP/STP No. 00067/106/16/091/17 8-Sep-17 119. PEM-119 SKP/STP No. 00068/106/16/091/17 8-Sep-17 120. PEM-120 SKP/STP No. 00069/106/16/091/17 8-Sep-17 121. PEM-121 SKP/STP No. 00070/106/16/091/17 8-Sep-17 122. PEM-122 SKP/STP No. 00071/106/16/091/17 8-Sep-17 123. PEM-123 SKP/STP No. 00072/106/16/091/17 8-Sep-17 124. PEM-124 SKP/STP No. 00073/106/16/091/17 8-Sep-17 125. PEM-125 SKP/STP No. 00074/106/16/091/17 8-Sep-17 126. PEM-126 SKP/STP No. 00075/106/16/091/17 11-Sep-17 127. PEM-127 SKP/STP No. 00076/106/16/091/17 11-Sep-17 128. PEM-128 SKP/STP No. 00077/106/16/091/17 11-Sep-17 129. PEM-129 SKP/STP No. 00014/106/15/091/17 12-Sep-17 130. PEM-130 SKP/STP No. 00015/106/15/091/17 12-Sep-17 131. PEM-131 SKP/STP No. 00016/106/15/091/17 12-Sep-17 132. PEM-132 SKP/STP No. 00017/101/15/091/17 12-Sep-17 133. PEM-133 SKP/STP No. 00017/106/15/091/17 12-Sep-17 134. PEM-134 SKP/STP No. 00018/101/15/091/17 12-Sep-17 135. PEM-135 SKP/STP No. 00018/106/15/091/17 12-Sep-17 136. PEM-136 SKP/STP No. 00019/101/15/091/17 12-Sep-17 137. PEM-137 SKP/STP No. 00019/106/15/091/17 12-Sep-17 138. PEM-138 SKP/STP No. 00020/101/15/091/17 12-Sep-17 139. PEM-139 SKP/STP No. 00020/106/15/091/17 12-Sep-17 140. PEM-140 SKP/STP No. 00021/101/15/091/17 12-Sep-17 141. PEM-141 SKP/STP No. 00021/106/15/091/17 12-Sep-17 129 142. PEM-142 SKP/STP No. 00022/101/15/091/17 12-Sep-17 143. PEM-143 SKP/STP No. 00022/106/15/091/17 12-Sep-17 144. PEM-144 SKP/STP No. 00023/101/15/091/17 12-Sep-17 145. PEM-145 SKP/STP No. 00024/101/15/091/17 12-Sep-17 146. PEM-146 SKP/STP No. 00025/101/15/091/17 12-Sep-17 147. PEM-147 SKP/STP No. 00126/107/15/091/17 12-Sep-17 148. PEM-148 SKP/STP No. 00127/107/15/091/17 12-Sep-17 149. PEM-149 SKP/STP No. 00128/107/15/091/17 12-Sep-17 150. PEM-150 SKP/STP No. 00129/107/15/091/17 12-Sep-17 151. PEM-151 SKP/STP No. 00130/107/15/091/17 12-Sep-17 152. PEM-152 SKP/STP No. 00131/107/15/091/17 12-Sep-17 153. PEM-153 SKP/STP No. 00132/107/15/091/17 12-Sep-17 154. PEM-154 SKP/STP No. 00133/107/15/091/17 12-Sep-17 155. PEM-155 SKP/STP No. 00134/107/15/091/17 12-Sep-17 156. PEM-156 SKP/STP No. 00023/106/15/091/17 15-Sep-17 157. PEM-157 SKP/STP No. 00009/106/16/091/18 25-Jan-18 158. PEM-158 SKP/STP No. 00042/101/17/091/18 6-Feb-18 159. PEM-159 SKP/STP No. 00043/101/17/091/18 6-Feb-18 160. PEM-160 SKP/STP No. 00044/101/17/091/18 6-Feb-18 161. PEM-161 SKP/STP No. 00045/101/17/091/18 6-Feb-18 162. PEM-162 SKP/STP No. 00046/101/17/091/18 6-Feb-18 163. PEM-163 SKP/STP No. 00047/101/17/091/18 6-Feb-18 164. PEM-164 SKP/STP No. 00048/101/17/091/18 6-Feb-18 165. PEM-165 SKP/STP No. 00049/101/17/091/18 6-Feb-18 166. PEM-166 SKP/STP No. 00050/101/17/091/18 6-Feb-18 167. PEM-167 SKP/STP No. 00053/101/17/091/18 7-Feb-18 168. PEM-168 SKP/STP No. 00054/101/17/091/18 7-Feb-18 169. PEM-169 SKP/STP No. 00056/101/17/091/18 8-Feb-18 170. PEM-170 Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1942/WPJ.19/ KP.01/2018 11-Mei-18 130 171. PEM-171 Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1172/WPJ.19/ KP.01/2019 172. PEM-172 ST-00023/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 173. PEM-173 ST-00024/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 174. PEM-174 ST-00025/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 175. PEM-175 ST-00071/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 176. PEM-176 ST-00072/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 177. PEM-177 ST-00073/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 178. PEM-178 ST-00074/W PJ. 19/KP. 0104/20 17 22-Mei-17 179. PEM-179 ST-00075/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 180. PEM-180 ST-00076/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 181. PEM-181 ST-00104/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Jun-17 182. PEM-182 ST-00138/WPJ. 19/KP.0104/2017 7-Sep-17 183. PEM-183 ST-00 139/WPJ .19/KP.01 04/2017 7-Sep-17 184. PEM-184 ST-00152/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Sep-17 185. PEM-185 ST-00153/WPJ. 19/KP.0104/2017 12-Sep-17 186. PEM-186 ST-00235/WPJ .19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 187. PEM-187 ST-00236/WPJ .19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 188. PEM-188 ST-00237/WPJ.19/KP.0104/201 7 13-Nov-17 189. PEM-189 ST-00238/WPJ.19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 190. PEM-190 ST-00239/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 191. PEM-191 ST-00240/WPJ.19/KP.0104/20 17 13-Nov-17 192. PEM-192 ST-00241/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 193. PEM-193 ST-00242/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 194. PEM-194 ST-00135/WPJ.19/KP. 01 04/2018 23-Mar-18 195. PEM-195 ST-00136/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 196. PEM-196 ST-00137/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 197. PEM-197 ST-00138/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 198. PEM-198 ST-00139/WPJ.19/KP. 0104/2018 23-Mar-18 199. PEM-199 ST-00140/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 200. PEM-200 ST-00141/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 201. PEM-201 ST-00142/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 131 202. PEM-202 ST-00143/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 203. PEM-203 ST-00144/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 204. PEM-204 Daftar Surat Paksa yang telah diberitahukan kepada Penaggung Pajak PT United Coal Indonesia 29-Okt-19 205. PEM-205 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT- 00004/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 206. PEM-206 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT- 00005/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 207. PEM-207 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT-SKP/STP No. 00006/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 208. PEM-208 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT-SKP/STP No. 00007/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 209. PEM-209 S-2341/WPJ.19/KP.01/2019 (Blokir Rekening) 29-Okt-19 210. PEM-210 Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-613/KM.3/2019 untuk Taufik Surya Darma (Pencegahan) 15-Nov-19 211. PEM-211 Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-614/KM.3/2019 untuk Herumanto Zaini (Pencegahan) 15-Nov-19 Selain itu Presiden/Pemerintah mengajukan empat orang Ahli. Dua orang Ahli menyampaikan keterangan keterangan lisan di hadapan sidang 14 Oktober 2020, yang dilengkapi keterangan tertulis yaitu Dr. Abdul Anshari Ritonga, S.E., S.H., M.A dan Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H. Adapun dua Ahli lain, yaitu Dr. Dian Puji N Simatupang, S.H., M.H dan Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn., menyampaikan keternagan secara tertulis. Keterngan masing-masing ahli pada pokoknya sebagai berikut. 132 1. Abdul Anshari Ritonga Tentang Pasal 32 ayat (2) UU KUP Sesuai Pasal 32 ayat (2) dan penjelasannya UU KUP, untuk Wajib Pajak Badan, yang bertangggung jawab menjalankan hak dan kewajiban perpajakan atas pembayaran pajak dan pemenuhan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak Badan adalah Pengurus dari Badan tesebut. Tanggung Jawab Pengurus dimaksud adalah tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab renteng. Subjek hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban hukum. Menurut Kamus Hukum, subject vaan een recht ; Subjek orang yang berhak; manusia pribadi atau badan hukum yang berhak bertindak atau melakukan perbuatan hukum Pasal 1 angka 2 dan Pasal 2 UU KUP antara lain berbunyi: Subjek hukum pajak terdiri dari orang pribadi dan/atau badan yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan sistem self assesment dalam perpajakan yang berlaku di Indonesia, subjek hukum pajak yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif berkewajiban mendaftarkan diri, menghitung dan membayar pajak terhutang, serta melaporkan kewajiban perpajakannya ke Kantor Pajak, Direktorat Jenderal Pajak. Namun, Badan sebagai subjek hukum pajak, secara fisik tidak dapat bertindak, berbuat dan bergerak untuk melakukan kewajiban perpajakannya dimaksud. Pengertian badan sebagai pribadi hukum ( recht person) menurut Teori Badan Hukum pendapat Wolfgang Fiedmann dalam bukunya Legal Theory , dapat dibedakan pengertiannya berdasarkan: i) Teori Fiksi, ii) Teori Konsesi, iii) Teori Organ/Realis dan iv) Teori Kenyataan Juridis. Menurut Teori Fiksi, keberadaan Badan sebagai pribadi hukum ( rechts person ) hanyalah anggapan atau fiksi saja, karena tidak dapat bertindak atau berbuat untuk melaksanakan hak dan kewajiban hukumnya. Oleh karena itu, yang bertindak dan bertanggung jawab memenuhi kewajiban Badan adalah pengurus yang dikuasakan untuk mengurus perusahaan. Pengertian Badan sebagai Wajib Pajak dalam UU Perpajakan adalah menggunakan Teori Fiksi tersebut, seperti yang diatur dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a, dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP sebagaimana diuraikan di atas. 133 Pasal 1 angka (2) dan Pasal 2 ayat (1) UU KUP memgatur: wajib pajak adalah yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, yang terdiri dari orang pribadi dan badan. Orang pribadi yang berkewajiban hukum adalah yang cakap hukum. Orang yang tidak cakap hukum seperti orang yang tidak waras, anak-anak yang belum dewasa atau yang dibawah pengampuan, maka tidak dapat berkewajiban hukum. Wajib Pajak adalah Badan atau Badan Hukum yang secara fisik tidak dapat bergerak, bertindak dan berbuat, berati tidak akan dapat melakukan kewajibannya sendiri. Oleh karena Badan yang secara fisik tidak cakap hukum, maka kewajiban perpajakan dari Badan yang yang seharusnya melaksanakan, menjadi tangggung jawab pribadi dan tanggung jawab renteng dari Pengurus. Kewajiban pajak hanya ada apabila ada objeknya (misalnya: ada tambahan kemampuan ekonomi, antara lain berupa penghasilan atau laba, atau ada kewajiban memungut, memotong pajak dan membayarnya ke kas negara) yang ada pajaknya terhutang, tetapi tidak dibayar sebagaimana mestinya oleh Pengurus yang bertanggung jawab. Apabila pada waktunya kewajiban tersebut tidak dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku, maka akan dapat berdampak ada pajak terhutang yang tidak atau kurang dibayar. Karena kesalahan pengurus yang tidak membayar pajak terhutang dari WP Badan yang diurusnya sebagaimana mestinya, maka kewajiaban membayar hutang pajak tersebut adalah menjadi tanggung jawab pengurus, karena kesalahannya tidak melaksanakan pembayaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Badan (secara fisik) tidak dapat dipersalahkan, karena badan itu hanya anggapan (fiksi) saja ada sebagai subjek yang dapat memenuhi kewajiban perpajakannya. Tetapi kenyataannya secara fisik tidak dapat bertindak atau berbuat, tidak bisa menghitung dan tidak dapat bergerak untuk melakukan kewajiabannya sebagai wajib pajak. Maka semua kewajiban Badan tersebut menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pengurus. Pasal 1233 dan Pasal 1234 KUH Perdata mengatur bahwa “ Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak 134 berbuat sesuatu” . Dengan demikian perikatan berupa badan dan/atau badan hukum adalah subjek hukum perdata yang berhak dan berkewajiban hukum. Objek pajak adalah peristiwa-peristiwa hukum, perbuatan, kejadian dan keadaan terkait hukum yang bersifat perdata yang terukur dan bernilai. Oleh karenanya subjek hukum perdata juga dapat menjadi subjek pajak, dan prinsip- perinsip perdata berupa mediasi dan kompromi juga berlaku dalam hukum pajak, seperti penundaan, pangangsuran, pengurangan pembayaran pajak sesuai ketentuan peraturaan perundang-undangan perpajakan. Pasal inilah yang menjadi dasar penentuan subjek pajak terdiri dari orang pribadi dan badan (sebagai subjek hukum perdata) berupa perikatan dan/atau badan. Subjek pajak yang memenuhi persyaratan objektip menjadi Wajib Pajak yang terdiri dari Wajib Pajak Orang pribadi dan wajib pajak badan. Pasal 1 angka 5 UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur hal yang sama, yaitu “ Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertangggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai denggan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan”. Sekalipun kemudian badan yang diurusnya menjadi pailit atau dibubarkan, tidak akan menghapus kewajibannya melunasi pajak yang terhutang yang sudah ada sebelum pembubaran atau pemailitan tersebut. Dengan alasan antara lain, a) Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara berdasarkan Undang-undang. b) Timbulnya pajak terhutang adalah karena pengurus tidak meaksanakan kewajiban perpajakannya, memenuhi pembayaran sebagaimana mestinya. c) Seandainya oleh pengurus memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana mestinya, maka tidak akan ada pajak terhutang yang harus dibayar pada saat perusahaan bubar atau dipailitkan. d) Adanya kewajiban pengurus harus membayar pajak terhutang setelah perusahaan bubar atau pailit, adalah karena kesalahan pengurus sendiri membuat hutang pajak, yang terjadi sebelum perusahaan tersebut bubar atau dipailitkan. Maksud frasa kata/anak kalimat dalam Pasal 32 ayat (2): “ kecu ali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terhutang tersebut ” adalah terkait ketentuan Pasal 32 135 ayat (4) dan penjelasannya, yang mengatur pengertian pengurus Badan termasuk orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan, walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akta pendirian maupun akta perubahan, termasuk Komisaris Perusahaan/Badan dan pemegang saham mayoritas atau pengendali. Misalnya apabila kejadian, pengawas/pemeriksa memutuskan telah terjadi penyimpangan melawan hukum dalam satu kebijakan Pengurus/Direksi dalam melaksanakan perusahaan, kalau sewaktu rapat mengambil keputusan kebijakan yang dinyatakan ada penyimpangan tersebut ada seorang Komisaris perusahaan sebagai penasehat, menyatakan tidak sependapat atau berpendapat lain dan tidak setuju atas kebijakan yang diambil Direksi, maka Komisaris tersebut dapat lepas dari sanksi atas kesalahan dimaksud. Demikian pula dalam kepemimpinan pengurus secara kolektif kolegial, apabila ada salah seorang pengurus yang tidak setuju atau dissenting opinion sewaktu pengambilan keputusan, namun karena sudah jadi keputusan rapat dia juga harus turut menandatanganinya Apabila pelaksanaan keputusan yang diambil dinyatakan salah atau melawan hukum, maka yang bersangkutan lepas dari tangggug jawab akibat kesalahan tersebut. Tentang Pasal 2 ayat (6): Pemberian NPWP sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 6 dan Pasal 2 ayat (1) UU KUP adalah sebagai sarana administrasi perpajakan, yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. NPWP tersebut diberikan hanya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Pentingnya identitas NPWP di samping nama wajib pajak, adalah untuk menjamin kepastian bagi Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, bahwa benar pemenuhan perpajakan dilakukan oleh yang bersanggkutan dan untuk yang bersangkutan, agar terhindar dari kemungkinan ada nama yang sama. Juga bagi Wajib Pajak yang mempunyai cabang banyak di alamat yang berbeda, dapat dilakukan memenuhi kewajiban perpajakannya dimana saja 136 untuk diperhitungkan sebagai pemenuhan kewajiban pajak bagi pemilik NPWP yang sama. Penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6), baik karena permohonan Wajib Pajak dan atau karena kewenangan Direktur Jenderal Pajak, adalah berdasarkan ada atau terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif dari seseorang yang akan diberikan atau dicabut NPWP- nya. NPWP tidak ada kaitan dengan jumlah pajak terhutang yang tidak atau belum dibayar, tetapi diberikan semata-mata untuk identitas dalam memenuhi kewajiban perpajakan bagi yang terpenuhi persyaratan subjetif dan objektif yang akan diberikan atau dicabut NPWP-nya. Apabila ditemukan seseorang yang memenuhi persyaratan subjektif, tetapi yang bersangkutan tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP, maka dinas (Direktorat Jenderal Pajak) akan memberikan NPWP secara jabatan, tanpa melalui permohonan Wajib Pajak. Atas objek pajak yang ditemukan, akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Jabatan atas pajak yang terhutang ditambah dengan dendanya sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk melakukan pencabutan NPWP harus terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa tidak ada lagi kewajiban perpajakannya. Apabila hasil pemeriksaan memutuskan dapat/untuk dicabut NPWP, kemudian belakangan ditemui masih ada objek pajak yang tidak dilaporkan pada saat pemeriksaan, yang masih ada pajak terhutang/yang harus dibayar, maka NPWP akan diterbitkan kembali untuk menagih pajak terhutang. NPWP perusahaan yang dinyatakan pailit, sesuai ketentuan baru dapat dihapuskan apabila sudah tidak ada lagi kewajibann perpajakannya. Kalau masih ada pajak terutang yang belum dibayar, maka NPWP tidak boleh dihapus, karena NPWP tersebut masih diperlukan sebagai sarana untuk membayar pajak. Pemohon menerangkan sejak Perusahaan PT UCI dinyatakan pailit: (i) Pemohon secara hukum tidak lagi dapat bertindak untuk dan atas nama PT UCI dan tidak lagi bertanggung jawab sebagai peribadi atas perusahaan; (ii) semua hak dan kewajiban Direksi (Pemohon) telah beralih kepada Kurator yang ditunjuk; 137 (iii) Pemohon demi hukum tidak dapat lagi dibebani pertanggung jawaban secara pribadi. Ahli menerangkan Pasal 1 angka 5 UU 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) mengatur, “Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit dibawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-undang ini”. Pasal 1 angka 11 berbunyi, “Setiap orang adalah orang peseorangan atau korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum”. Pasal 16 ayat (1) UU KPKPU mengatur bahwa tugas dan wewenang Kurator adalah melaksanakan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Tugas Kurator terbatas hanya terkait pengurusan dan pemberesan aset debitor yang dinyatakan pailit, untuk digunakan pembayaran hutang debitor atas piutang kreditor. Oleh karena itu, selain tugas Kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tersebut tidak ada tugas Direksi (Pengurus) yang dialihkan kepada Kurator, dan semua tugas wewenang kecuali terkait pemberesan harta pailit tetap sepenuhnya masih menjadi tangggung jawab Direksi (Pengurus). Tanggung jawab atas pengelolaan perusahaan yang salah, yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang terjadi sebelum dipailitkan, tetap menjadi tanggung jawab pengurus yang bersangkutan. Apabila hasil pemberesan Kurator terhadap aset Debitor belum cukup melunasi piutang atau tagihan dari para Kreditor, maka menurut UU 37/2004 tentang Kepailitan, kreditor dan debitor berhak: i) Pasal 204: setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat, maka Kreditor memeroleh kembali hak eksekusi terhadap harta dari Debitor mengenai pitutang mereka yang belum dibayar. ii) Pasal 215, “Setelah berakhirnya kepailitan sebagaimana dimaksud Pasal 166, Pasal 202 dan Pasal 207, maka Debitor atau ahli warisnya berhak mengajukan permohonan reahabilitasi kepada Pengadilan yang telah mengucapkan putusan pernyataan pailit”. 138 iii) Pasal 216, “Permohonan rehabilitasi baik oleh Debitor maupun ahli warisnya tidak akan dikabulkan, kecuali apabila pada surat permohonan tersebut dilampirkan bukti yang menyatakan bahwa semua Kredior yang diakui sudah memperoleh pembayaran secara memuaskan”. __ Terkait tanggung jawab pengurus atas kewajiban perusahaan (Badan) yang menjadi tanggung jawab pengurus sebagai tanggug jawab pribadi dan tanggung jawab renteng (dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP), ketentuan dalam UU 37/2004 tentang KPKPU mengatur bahwa: i) Pasal 23, “Debitor pailit sebagaimana dimaksud Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi isteri atau suami dari Debitor Pailit yang menikah dalam persatuan harta”. ii) Pasal 24, “Debitor demi hukum kehilanggan haknya untuk mengguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”. Kaitan hak dan kewajiban suatu Badan dengan pemberesan aset dari Badan yang pailit oleh Kurator, hanya terkait pelunasan atas sebagian atau seluruhnya utang Badan sebagai Debitor, sesuai yang ditentukan oleh Kurator dan Hakim Pengawas. Dengan dinyatakannya suatu Badan pailit, tidak berarti hutang Badan tersebut akan terselesaikan seluruhnya setelah selesai Pemberesan budel aset pailit. Apabila masih ada piutang yang belum dilunasi masih terbuka hak Kreditor utk menagihnya lagi (lihat ketentuan Pasal 204 UU KPKPU). Terkait hak Kreditor yang terbuka kembali untuk menagih piutangnya yang belum dilunasi sebagaimana dimaksud Pasal 204 UU KPKPU, maka: i) Untuk Kreditor karena perjanjian (Pasal 1 angka 2 UU KPKU) yang telah menyampaikan semua tagihannya pada saat pencocokan piutang (Pasal 115 UU KPKPU), dan Kurator juga setelah berunding dengan Kreditor telah memasukkan semua piutang tersebut dalam Daftar Piutang (Pasal 116 dan Pasal 117 UU KPKPU); demikian pula Debitor telah menyerahkan daftar semua aset/harta kekayaannya termasuk harta isterinya kepada Kurator (Pasal 21 dan Pasal 23 UU KPKPU), maka apabila ternyata sudah tidak ada lagi aset Debitor, dan Badan/Perusahaan sudah dinyatakan pailit dan/atau bubar sehingga sudah tidak ada kegiatan lagi dan/atau sudah berhenti, secara fisik tidak ada lagi kegiatan, maka penagihan untuk melunasi 139 kekurangan pembayaran piutang yang belum dibayar, sudah tidak dapat lagi dilakukan. Karena pengurus yang sudah tidak aktif lagi tidak dapat diminta atau dipaksa untuk melunasinya. Dengan pengertian lain, pembayaran piutang dari hasil pemberesan aset Debitor oleh Kurator yang menjadi pebayaran atas piutang Kreditor yang meminta untuk dilakukan pailit tersebut. ii) Terhadap utang pajak yang timbul karena Undang-undang (Pasal 1 angka 2 UU KPKU) yang telah terdaftar di Kurator, yang belum semua dilunasi dari hasil pemberesan aset Debitor oleh Kurator, maka atas pajak terutang yang belum dibayar berlaku ketentuan Pasal 204 UU KPKPU dimaksud. Sesuai ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, penagihannya dilakukan kepada Direksi yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak terhutang yang belum dibayar tersebut. Dan tangggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab renteng bagi pengurus, yang dapat ditagih secara paksa, apabila tidak dibayar sesuai ketentuan yang berlaku. Atas pajak terhutang yang tidak atau belum sepenuhnya dibayar, dapat ditagih dengan penagihan paksa berdasarkan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Nomor 19 Tahun 2000 (UU PPSP), dengan cara: (i) dengan surat Paksa; apabila hutang masih belum dilunasi, dilakukan penyitaan. Kemudian apabila masih belum dibayar, dilanjutkan dengan pelelangan aset dari penanggung pajak terhutang (Pasal 12 dan Pasal 25 UU PPSP); (ii) Apabila diketahui ada upaya untuk menghindari atau tidak bersedia membayar utang pajak, maka dapat disita uangnya di Bank dengan melakukan pemblokiran atas rekening penaggung pajak di Bank (Pasal 17 UU PPSP); (iii) kalau diketahui ada iktikad tidak baik misalnya, mau menghindar keluar negeri, dapat diusulkan untuk dilakukan pencegahan/ pencekalan kepada yang bersangkutan (Pasal 29 UU PPSP); (iv) kalau utang pajaknya besar dan ada iktikad tidak baik untuk menghindar membayar pajak, misalnya berupaya memindahkan aset, maka dapat dilakukan paksa badan ( gijzeling ) selama 6 bulan dan dapat diperpanjang lagi 6 bulan berikutnya apabila masih tetap belum dibayar, sesuai ketentuan Pasal 33 UU PPSP. 140 Terkait pendapat Pemohon bahwa NPWP Perusahaan yang dinyatakan pailit karena insolven hapus demi hukum, Ahli menjelaskan seperti yang dijelaskan dalam tanggapan Pasal 2 ayat (6) di muka, NPWP diberikan apabila terpenuhi persyaratan subjektif dan objektif, khususnya ada objek pajak yang harus terhutang pajak. NPWP diberikan sebagai sarana administrasi membayar pajak dengan menggunakan identitas NPWP disamping nama wajib pajak. Demikian pula halnya penghapusan NPWP, baru dapat dihapus apabila tidak terpenuhi lagi persyaratan subjektif dan objektif. Sepanjang masih ada objek pajak terhutang dan/atau pajak terhutang yang belum dibayar maka NPWP belum boleh dihapuskan. Terkait pendapat Pemohon yang mengkaitkan dengan ketentuan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Penerapan Pasal 97 ayat (3) dan Pasal 97 ayat (5) UU PT (Surat Pemohon/ butir 3.18, butir 3.20 pada “III. Pokok- Pokok dan Alasan-alasan Permohonan” antara lain isinya: setiap angggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila terbukti melakukan kesalahan. Pertanggung-jawaban pribadi tersebut dikecualikan sepanjang anggota Direksi tersebut tidak melakukan kesalahan atau kelalaian, mengurus perseroan sesuai ketentuan hukum, dengan iktikad baik dan hati-hati, tidak memiliki benturan kepentingan, dan telah mengambil Tindakan untuk mencegah timbulnya atau tidak berlanjutnya kerugian. Ketentuan yang sama juga yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP: (“apabila dapat membuktikan dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab tersebut”), salah satu yang diajukan uji materil oleh Pemohon Sekalipun melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) telah membebaskan Direksi dan Komisaris dari pertanggungjawaban yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) dan Pasal 97 ayat (5) dimaksud, hal itu adalah terkait tanggung jawab pengegolaan perusahaan berdasarkan perinsip pengelolaan perusahaan yang baik ( good corporate governance ). Demikian pula Putusan Pengadilan Niaga terkait kepailitan PT UCI, yang tidak menetapkan karena ada kesalahan Direksi (butir 3.25 Surat Pemohon) adalah dalam pengurusan Perusahaan terkait penyebab kepailitan perusahaan. Tetapi terkait hutang pajak 141 yang sudah ada sebelumnya tetapi tidak dilakukan pembayaran, masih tetap terhutang dan menjadi tanggung jawab pengurus. Hutang Pajak hanya dapat hapus atau akan berkurang apabila: (i) dibayar lunas ke kas negara atau di tempat lain/bank yang ditunjuk, (ii) diperhitungkan (dikompensasikan) dengan kelebihan pembayaran pajak yang lain, (iii) melalui pemindahbukuan (PBK) dengan persetujuan Dirjen Pajak, (iv) dibayar dari pemberesan aset Debitur oleh Kurator bagi perusahaan/Badan yang pailit, (v) dengan keputusan instansi berwenang (Direktur Jenderal Pajak) melalui keputusan permohonan keberatan, atau permohonan pembetulan, pengurangan, penghapusan, dan pembatalan sebagaimana diatur Pasal 16 dan Pasal 36 UU KUP, (vi) putusan pegadilan atau putusan peninjauan Kembali di MA, dan (vii) kadaluarsa penagihan. Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang (Pasal 23A UUD 1945). Hutang pajak adalah kewajiban perusahaan yang terhutang karena memiliki objek pajak kena pajak. Kalau perusaan rugi, atau tidak ada objek pajak yang timbul atau yang dikuasainya untuk dikenakan pajak, maka tidak akan timbul hutang pajak. Oleh karena itu, hutang pajak Badan timbul karena pengurus Badan lalai atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya. Kelalaian atau pelanggaran sengaja dari pengurus yang dapat menimbulkan kerugian negara, dapat dikenakan sanksi denda atau pidana kurungan atau penjara sebagai mana diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP. Pembebasan Direksi (pengurus) sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (3) dan ayat (5) UU PT, adalah terkait pengelolaan perusahaan berdasarkan pengelolaan perusahaan sesuai prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik ( good corporate governance ) atas tidak tercapainya Rencana Kerja Perusahaan, yang berdampak rugi atau menurunnya aset atau equity perusahaan. Sepanjang telah dikelola dengan iktikad baik, sesuai prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik, tidak menyimpang dari ketentuan peraturan yang berlaku, dan tidak ada conflict of interest , maka Pengurus/Direksi dibebaskan dari kegagalan yang telah terjadi. Namun apabila ada kewajiban membayar pajak terhutang yang belum atau kurang dibayar, tetap akan menjadi tanggung jawab pengurus/direksi secara peribadi dan tanggung jawab renteng sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, 142 sebab timbulnya utang pajak karena kesalahan Pengurus/Direksi yang bersangkutan. Berdasarkan prinsip-prisip Pengelolaan Perusahaan yang baik, yang menjadi aset, liablity atau equity perusahaan yang tercantum dalam neraca kekayaan perusahaan adalah setelah laba kena pajak. Artinya pajak terhutang sudah diperhitungkan telah dibayar, sehingga dikeluarkan dari neraca laba-rugi perusahaan. Oleh karenanya, kalau hutang pajak belum dibayarkan kepada kas negara berarti sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengurus yang bertanggung jawab melaksanakannya. Tentang Pemblokiran Rekening Bank dan Pencekalan Pemohon oleh Kantor Imigrasi atas Permintaan Direktur Jenderal Pajak Pemohon mempermasalahkan: i) dilakukannya pencekalan terhadap pemohon oleh Kantor Imigrasi atas permintaan Direktur Jenderal pajak; dan ii) dilakukannya pemblokiran rekening Bank Pemohon di BCA atas permintaan Direktur Jenderal Pajak (butir 2.13; alasan kerugian Kelima dan Keenam dalam surat Pemohon). Sesuai ketentuan Penagihan Pajak berdasarkan UU 19/2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (UU PPSP), terhadap penunggak pajak dapat dilakukan penagihan jika sudah diperingatkan tetapi tidak melunasi utang pajaknya, melalui tindakan melakukan upaya memaksa wajib pajak untuk melakukan pembayaran atas utang pajaknya dengan cara: i) Dilakukan penagihan dengan Surat Paksa sesuai ketentuan Pasal 8 UU PPSP, melalui penyitaan aset penunggak pajak. Apabila tetap tidak dibayar, kemudian menjualnya melalui lelang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan untuk dipakai pembayar pajaknya yang terhutang. ii) Memblokir rekening Bank Penunggak Pajak, dan selanjutnya meminta pemilik untuk mencairkannnya sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU PPSP, hasil pencairannya untuk melunasi utang pajaknya. iii) Apabila ada iktikad tidak baik dari penunggak pajak, dihawatirkan akan menghindar ke Luar Negeri, maka diusulkan untuk dilakukan pencegahan atau pencekalan sesuai ketentuan Pasal 29 UU PPSP, atau v) Dengan adanya iktikad tidak baik dan/atau atas rekening di Bank yang diblokir tidak bersedia mencairkannya, maka dapat dilakukan paksa badan atau penyanderaan ( gijzeling ) sesuai ketentuan Pasal 33 UU PPSP. 143 Apabila dalam upaya Wajib Pajak menghindari atau menggelapkan pajak terhutang dengan melanggar peraturan perundang-undangan yang menimbulkan kerugian negara yang tergolong tindak pidana, maka dapat dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan antara lain Pasal 39 UU KUP berupa sanksi penjara paling singkat 6 bulan atau paling lama 6 tahun, dengan denda pasing sedikit 2 kali atau paling banyak 4 kali pajak terhutang yang tidak atau kurang dibayar. Penerapan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP Dengan dilakukan pemblokiran rekening Bank dan pencekalan kepada Pemohon dalam rangka pelaksanaan penagihan pajak, menurut Pemohon telah menimbulkan kerugian konstitusional, ketidakadilan, dan tidak adanya perlindungan hukum, yang mendasari pengajuan materil atas kedua Pasal UU KUP tersebut. Dalam mendukung pendapat Pemohon mengatakan telah terjadi kerugian konstitusional, ketidakadilan dan tidak adanya perlindungan hukum akibat penerapan kedua Pasal UU KUP di atas, Pemohon mengacu “persyaratan moral hukum ( inner morality of law )” dari pendapat Lon Fuller (N.E. Simmonds, 1986:

        118)

        ; (Surat Pemohon: butir 3.4 dan 3.5 pada III. Pokok-pokok dan Alasan- Alasan Permohonan). Ada 8 syarat untuk terpenuhinya kaidah persyaratan moral hukum internal ( inner morality of law ) menurut Lon Fuller, yaitu: i) harus ada aturan ( rules ), ii) harus berlaku ke depan (prospektif), bukan ke belakang (retrospektif), iii) aturan tersebut harus diumumkan, iv) aturan tersebut harus sesuai akal sehat ( intelligible ), v) aturan tidak boleh saling kontradiktif, vi) aturan tersebut harus mungkin diikuti, vii) aturan tidak boleh diubah secara konstan, dan viii) harus ada kesesuaian ( congruence ) antara aturan yang tertulis dengan yang diterapkan oleh penegak hukum. (Surat Pemohon: butir 3.5) Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP ditinjau dari “ inner morality of law” Lon Fuller; dalam materi dan penerapannya dapat dijelaskan antara lain: i) adalah berdasarkan UU KUP dan telah ada dibuat aturan pelaksanaannya; ii) sudah banyak ditemukan Wajib Pajak yang melaksanakan tax planning dalam rangka menghindari pajak, dengan membubarkan atau mempailitkan 144 perusahaan, dan ini masih mungkin terjadi di masa yang akan datang. Maka perlu ditunjuk pengurus yang bertanggung jawab atas utang pajak secara pribadi, yang timbul karena kesalahannya; iii) UU KUP dan peraturan pelaksanaannya telah diumumkan di Lembaran Negara; iv) karena badan sebagai rechts persoon tidak dapat bergerak atau bertindak dan berbuat sendiri, maka harus ada orang pribadi yang membantu melaksanakan kewajibannya yaitu pengurus, dan hal ini sesuai dengan Teori Fiksi dari keberadaan Badan sebagai subjek hukum; v) ketentuan Pasal 32 ayat (2) sinkron dengan Pasal 97 ayat (3) dan ayat (5) UU 40/2004 tentang PT. Pemohon tidak ada mengemukakan apakah ada yang tidak sinkron baik secara horizontal maupun vertikal dengan pasal-pasal tersebut dengan ketentuan yang lain; vi) penerapan kedua Pasal yang diuji sudah berjalan dan banyak dilaksanakan selama ini; vii) sejak diundangkan UU KUP bunyi Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) tersebut tidak pernah berubah; viii) atas penerapan kedua pasal yang dilakukan uji materil tersebut, sudah ada beberapa wajib pajak menempuh hal yang sama. Pada dasarnya adalah karena merasa berat untuk memikul beban hutang pajak, padahal penyebab timbulnya hutang pajak tersebut adalah karena kesalahannya, seperti halnya yang terjadi dan dihadapi oleh Pemohon ini. Atas ke-8 persyaratan Lon Fuller tersebut, Pemohon tidak ada menyebutkan secara tegas butir yang mana dari ke-8 persyaratan tersebut yang telah membuat/menimbulkan kerugian konstitusionalnya, yang tidak memberikan keadilan dan perlindungan hukum. Dengan demikian menurut Ahli, penerapan Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang menunjuk Pemohon sebagai Pengurus/Direktur PT UCI yang berkewajiban melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan termasuk membayar pajak terhutang dari perusahaan PT UCI, adalah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yang berlaku umum untuk semua pengurus perusahaan/badan. Apabila dalam mengurus/mengendalikan perusahaan Pemohon memenuhi kewajiban membayar semua pajak perusahaan yang terhutang, maka tidak akan ada utang pajak perusahaan yang akan menjadi tanggungan Pemohon secara pribadi. Pemberian NPWP adalah karena ada memiliki objek pajak yang terhutang pajak, dan pencabutan atau penghapusan NPWP dilakukan kalau tidak ada lagi 145 objek pajak yang akan terhutang pajak. Hal ini ketentuan yang berlaku umum tanpa membedakan para penanggung pajak. Dengan penjelasan seperti diuraikan di atas, maka atas penerapan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP tidak ada yang menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon. Undang-undang itu berlaku bagi semua Wajib Pajak dengan kasus yang sama, oleh karenanya tidak ada menimbulkan ketidakadilan bagi pribadi Pemohon dan tidak juga kerugian secara konstitusionsl bagi pribadi yang bersangkutan. Menanggapi Pertanyaan Hakim dan para Pihak ▪ Berdasarkan ketentuan undang-undang, sama halnya dengan wajib pajak yang sudah meninggal, NPWP wajib pajak yang pailit tidak otomatis hilang. ▪ Pasal 2 angka 6 dan Pasal 1 ayat (2) mengatur syarat pemberian nomor pokok adalah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Seandainya seseorang belum berstatus wajib pajak, tapi diketahui objeknya memenuhi persyaratan untuk dikenai pajak, dan yang bersangkutan memenuhi persyaratan sebagai subjek pajak, maka petugas pajak akan memberikan NPWP secara jabatan. ▪ Dasar pemberian nomor pokok adalah terpenuhi persyaratan subjektif dan objektif. NPWP dihapus apabila tidak terpenuhi lagi persyaratan subjektif dan objektif, tidak ada subyek pajaknya lagi dan juga tidak ada utang pajaknya. ▪ Terhadap kasus pailit sama perlakuannya dengan manusia yang sudah meninggal ketika ada warisan yang belum terbagi. Warisan yang belum terbagi adalah subjek pengganti. Hal ini hampir sama dengan apabila badan sudah pailit maka nomor pokok yang bernama tetap hidup sebagai pengganti pihak yang harus membayar pajaknya. ▪ Pasal 1 ayat (2) sampai ayat (5) UU Kepailitan mengatur bahwa piutang terjadi karena perjanjian atau pailit karena hukum. ▪ Pajak timbul karena hukum. Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara. ▪ Dalam hal wajib pajak adalah badan, maka kewajiban membayar pajak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengurus. 146 ▪ Perusahaan dalam perkara in casu mengatakan sudah membayar pajak, dan hal ini disahkan oleh pengurus dalam RUPS, atau pemilik saham dalam RUPS, sudah berdasarkan laba setelah kena pajak. Karena laba dihitung setelah kena pajak, maka pajaknya sudah dikeluarkan. Lalu ke mana pajaknya itu? Atau mungkin ada laporan palsu. ▪ Seharusnya laba sudah kena pajak karena hal itu menjadi landasan membaca deviden. ▪ Laporan palsu mengenai pembayaran pajak diancam Pasal 263 KUHP mengenai pemalsuan, dan ditindaklanjuti Pasal 39 UU Pajak. Di RUPS sudah diputuskan laba kena pajak, tetapi ternyata tidak ada pajaknya. ▪ Atau mungkin pajaknya sudah diperhitungkan dan sudah dikeluarkan, tapi masih ada pada perusahaan. Jika terjadi demikian maka yang salah adalah Pengurus karena pengurus yang mengelolanya. ▪ Kemungkinan lain adalah dana sudah diambil tapi tidak diserahkan kepada kas negara. ▪ Utang perusahaan terdiri dari dua jenis, yaitu utang karena perjanjian dan utang pajak. ▪ Utang perusahaan diklarifikasi dalam prinsip-prinsip perusahaan yang sehat ( good governance ) yang setiap tahun disahkan dalam RUPS bahwa pengurus (direksi dan komisaris) dibebaskan dari pertanggungjawaban. Tetapi tetap pada klausul, yaitu dikecualikan apabila di kemudian hari diketahui ada kesalahan yang membuat terjadinya penyimpangan. ▪ Utang (karena perjanjian) demikian memang tanggung jawab perusahaan yang sudah pailit. Tidak mungkin lagi ada tambahan beban kalau sudah pailit. ▪ Tetapi menyangkut utang pajak tidak demikian. Pajak yang terutang selama 5 tahun tetap boleh ditagih. Oleh karena itu sesudah perusahaan pailit, pajak 5 tahun ke belakang tetap dapat dihitung dan pajaknya tetap akan ditimpakan kepada perusahaan dan siapa penanggung jawab perusahaan (direksi). ▪ Pasal 30 ayat (1) mengatakan utang pajak dapat ditetapkan dalam tempo 5 tahun. Artinya, apabila perusahaan sudah dipailitkan kemudian dihitung pajaknya yang ada saat dia dinyatakan pailit, misalnya baru Rp.40.000.000,- yang dilaporkan terlebih dahulu kepada kurator. Selanjutnya utang pajak yang ada lima tahun sebelumnya tetap dapat ditetapkan dan dapat pula ada tambahan pajak tersebut diberikan kepada kurator lagi untuk dimasukkan 147 sebagai piutang. Namun jika sudah lewat pendaftaran dan tidak masuk daftar piutang kurator, utang pajak tetap harus ditagihkan kepada pihak yang bertanggung jawab. ▪ Tagihan seharusnya ditujukan kepada perusahaan, tapi Pasal 32 ayat (2) menyatakan bahwa yang bertanggung jawab adalah pengurus. ▪ Apabila hasil pemberesan tidak cukup untuk melunasi semua piutang yang masuk pada kurator, maka timbul lagi penagihan kepada yang bersangkutan. ▪ Jika dianggap bahwa perusahaan pailit tidak perlu melunasi utang pajak, maka para pembayar pajak akan berlomba-lomba membuat pelaksanaan demikian dan mendirikan perusahaan baru.

        2.

        Teddy Anggoro Ahli menyimpulkan Pemohon meminta agar pengecualian yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP melingkupi pengurus dalam hal ini direksi PT yang PT tersebut telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Adapun terhadap Pasal 2 ayat (6) UU KUP, Pemohon menghendaki agar penghapusan NPWP oleh Direktur Jenderal juga termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terkait dengan kesimpulan tersebut, saya setelah membaca dan memahami dengan cermat masing-masing pasal dan petitum Pemohon, maka saya menyampaikan pendapat saya yang terbagi menjadi 8 (delapan) argumentasi sebagai berikut: Konsep Tanggung Jawab Direksi Jika merujuk pada sejarah sejak pertama kali diperkenalkan konsep badan hukum yang disebut Juristic Person maka terdapat dua prinsip yang dipegang teguh dan menjadi dasarnya, yaitu:

        1.

        Limited Liability , yang artinya pribadi kodrati yang memisahkan kekayaannya untuk menjadi kekayaan pribadi hukum hanya bertanggung jawab sebatas kekayaan yang ia sertakan menjadi kekayaan pribadi hukum tersebut. Prinsip ini berbicara khusus untuk pemegang saham;

        2.

        Separate Legal Personality , yang artinya pribadi kodrati yang menggerakan atau mempersonifikasi pribadi hukum merupakan subyek hukum yang terpisah dengan dengan pribadi hukum yang digerakan. Dalam teori korporasi, hal ini disebut Agency Relation atau Hubungan Kuasa. Oleh karena 148 itu, sering didengar klausul dalam dokumen hukum, bahwa “direksi bertindak untuk dan atas nama Perseroan Terbatas.” Diperkenalkannya 2 (dua) prinsip tersebut untuk suatu badan usaha dianggap sebagai satu-satunya kontribusi terbesar hukum bagi dunia bisnis dan pedagangan. B. C. Hunt (1936) menyebutnya, “ that brillian intellectual achievement of the Roman lawyers, the juristic person, a subject of rights and liabilities as is a natural person .” Di antara puja-puji akan konsep korporasi yang berhasil menggerakan ekonomi dunia, terselip celah atau lobang ( loophole ) untuk digunakan oleh manusia/pribadi kodrati untuk melakukan perbuatan tercela, curang, merugikan pihak lain, dan menguntungkan dirinya sendiri atau orang yang ia kehendaki untuk untung. Dua contoh masyhur saya sampaikan yang mewakili setiap sistem hukum mayoritas di dunia. Pertama, kasus Enron, sebuah perusahaan energi yang pernah didaulat menjadi The Most Innovative Large Company in America oleh lembaga riset kekayaan ternama Forbes. Direksi dan sharesholder telah melakukan fraud dengan melakukan high risk accounting practice dengan memanfaatkan celah dari sisi akuntansi, mempercantik laporan keuangan dan memanfaatkan special purpose entities untuk memindahkan uang perusahaan. Direksi dan shareholder pada tahun 2001, artinya 19 tahun yang lalu, telah merugikan pemegang sahamnya sebesar $40 Billion, kalau sekarang mencapai 600 Triliun rupiah atau seperempat APBN Indonesia. Kedua, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang merupakan perusahaan dagang milik para pedagang belanda yang diberikan hak istimewa ( octrooi ) oleh kerajaan Belanda, sampai memiliki tentara dan mata uang sendiri serta berdiplomasi dengan negara. Catatan kompas, 12 Juli 2020, menyebutkan pada masa jayanya (periode 1600-1750, adapun masa waktu VOC adalah 200 tahun) VOC bernilai 78 Juta Gulden, kalau sekarang setara 7,9 Triliun US Dollar. Sebagai perbandingan, nilai kongsi dagang Belanda ini setara dengan gabungan PDB Jepang dan Jerman di era modern saat ini. Komparasi lain, menurut Business Insider, yakni VOC setara dengan nilai dari 20 perusahaan dengan kapitalisasi terbesar dunia yang meliputi Apple, Microsoft, Amazon, ExxonMobil, Berkshire Hathaway, Tencent, dan Wells Fargo. Namun mereka bankrupt karena direksi dan pemegang sahamnya yang korup. 149 Kedua contoh di atas menyadarkan para Scholar dan pemikir korporasi untuk menciptakan pengecualian atas dua prinsip mendasar konsep korporasi. Untuk Prinsip Limited Liability , diperkenalkan pengecualian yang disebut own and control doctrine , di Indonesia dikenal dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 15 Tahun 2019 disebut dengan "Pemilik Manfaat dari Korporasi" atau di negeri anglo-saxon dikenal dalam konsep Beneficiary Ownership . Dimana pemilik belum tentu pengontrol, sedangkan yang bertanggung jawab ( liable ) adalah pengontrol. Adapun prinsip separate legal personality , dikecualikan dengan Piercing the Corporate Veil doctrine . Dimana tanggung jawab direksi dapat dimintakan karena kesalahannya yang didasari itikad tidak baik yang telah menyebabkan kerugian perusahaan dan pihak ketiga. Hal ini dalam undang-undang perseroan terbatas diatur dalam pasal 97 dan 104. Sehubungan dengan apa yang saya sampaikan sebelumnya, bahwa tanggung jawab direksi atas perusahaan yang dia urus adalah suatu hukum yang berlaku di dunia saat ini. Yang mana hal tersebut merupakan hasil perkembangan keilmuan dan praktek korporasi. Business Judgement Rule Merupakan Imunitas Bagi Good Faith and Intra Vires Director Ketika pertanggungjawaban pengurus dituntut oleh pemegang saham atau pihak ketiga yang dirugikan. Maka pihak pengurus dapat dipastikan akan menggunakan doktrin Business Judgement Rule sebagai argumentasi untuk melindungi dirinya dari pertanggungjawaban tersebut. Pada kesempatan ini penting untuk ditegaskan bahwa Business Judgement Rule merupakan imunitas bersyarat bagi seorang direksi, bukan merupakan bentuk bentuk perlindungan total dalam pengertian tidak dapat tersentuh ( untouchable ) dari pertanggung jawaban. Hal ini diartikan oleh Roger LeRoy Miller dan Gaylord A. Jentz (2009) sebagai: “A rule that immunizes corporate management from liability for action that result in corporate losses or damages if the action is undertaken in good faith and are within both the power of the corporation and the authority of management to make.” Artinya pengurus ketika dimintai pertanggungjawaban dia harus membuktikan kepada pengadilan bahwa ia melakukan pengurusan dengan good faith , power of corporation , dan kewenangan yang dimiliki oleh direksi 150 ( intra vires ). Yang ingin saya tekankan adalah, Pertama, direksi harus diperiksa dan membuktikan atas pertanggungjawaban yang dimintakan kepadanya. Kedua, Direksi harus membuktikan bahwa ia tidak memiliki itikad buruk. Ketiga, Direksi harus membuktikan ia intra vires (mengambil keputusan dalam kewenangannya), yang mana kewenangan ini tidak saja berdasarkan peraturan internal perusahaan tetapi peraturan eksternal seperti Peraturan Perundang- undangan. Sehubungan dengan petitum pemohon yang meminta dikecualikan pertanggungjawaban pengurus dalam hal kepailitan tidak lah dibenarkan secara hukum, dan argumentasi yang membawa-bawa doktrin business judgement rule adalah tidak tepat. Karena doktrin tersebut justru menghendaki pengurus untuk diperiksa dan membuktikan itikad baik dan ketaatannya terhadap peraturan yang mengikat dirinya, dalam hal ini peraturan perpajakan. Sehingga tegas, Business Judgement Rule merupakan imunitas atau dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan kebal. Kondisi kebal ini harus dibuktikan dengan serangan atau ujian, sebagaimana terjadi pada tubuh manusia ketika terkena infeksi virus ataupun bakteri patogen hingga kemudian tubuh merespon dengan membangun sistem kekebalan. Dalam konteks hukum perusahaan, serangan atau ujian yang dimaksud adalah persidangan atau pemeriksaan. Makna imunitas dalam Business Judgement Rule ini tentu berbeda dengan tidak dapat disentuh atau untouchable sebagaimana dimaksud dalam permohonan pemohon. Memang yang menjadi pertanyaan bagaimana dengan kondisi dimana Perseroan Terbatas pailit. Maka jawabannya adalah sama, tidak ada perbedaan dengan kondisi normal. Karena pailit hanya lah cara pembayaran utang debitur secara kolektif. Penjelasan lebih lengkap mengenai kepailitan akan saya paparkan lebih lanjut di bagian bawah. Pertanggungjawaban Direksi meliputi berbagai jenis Pajak, antara lain Pajak Penghasilan (PPh), meliputi PPh Tahunan Badan, PPh yang dilaporkan secara bulanan/insidentil (masa), dan sebagainya termasuk PPh yang dipotong/dipungut dari karyawan/pihak lain (rumpun withholding tax seperti gaji, honor dan sebagainya), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 151 Direksi sebagai personifikasi Perseroan Terbatas. Dimana Perseroan Terbatas merupakan subyek hukum. Maka setiap kewajiban yang ditetapkan oleh perundang-undangan harus ditaati dan dilaksanakan oleh Perseroan Terbatas tersebut. Bagaimana caranya? Tentu dengan perbuatan direksi untuk dan atas nama Perseroan Terbatas. Sehubungan dengan permohonan uji materi ini. Maka dapat dipastikan bahwa setiap perseroan terbatas di Indonesia selaku Wajib Pajak (yang memenuhi syarat subjektif dan objektif) berkewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri, tidak perlu menunggu ketetapan pajak dari fiskus. Mengapa ini ditekankan? Karena ketika perseroan terbatas tidak memenuhi syarat subjektif dan objektif (misalnya tidak memiliki pemasukan atau dalam keadaan merugi), maka pada periode itu undang-undang memberikan kelonggaran untuk pemenuhan kewajiban perpajakannya, misalnya SPT PPh Tahunan menjadi nihil (tidak perlu bayar) dan kerugian dapat dikompensasikan pada periode SPT Tahunan berikutnya. Namun sebaliknya jika perusahaan tersebut memiliki penghasilan dan mendapatkan keuntungan maka timbul kewajiban untuk menghitung, melapor, membayar pajak, dan jika tidak dipenuhi akan menimbulkan sanksi administratif yang dapat terakumulasi seiring waktu. Kewajiban pengurus Perseroan Terbatas tersebut meliputi juga jenis PPh yang dipotong/dipungut dari karyawan/pihak lain (rumpun withholding tax seperti gaji, upah, honorarium, tunjangan, pesangon, uang pensiun, dan sebagainya), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tetap dikenakan pajaknya walaupun Wajib Pajak mengalami rugi usaha. Dalam jenis pajak ini, negara memberikan amanat kepada Perseroan Terbatas yang diwakili oleh pengurus untuk melaksanakan pemotongan/pemungutan, pelaporan dan pembayaran pajaknya pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Karena itulah, jika jenis pajak yang dipotong/dipungut tadi oleh pengurus sengaja tidak disetorkan kepada kas negara, maka negara memberikan ancaman dengan dijerat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 ayat (1) huruf i UU KUP. Berdasarkan gambaran umum kewajiban perpajakan tersebut, sangat jelas bahwa kewajiban untuk melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan Perseroan Terbatas baik yang meliputi berbagai jenis Pajak, antara lain Pajak Penghasilan (PPh), meliputi PPh Tahunan Badan, PPh yang dilaporkan secara 152 bulanan/insidentil (masa), dan sebagainya termasuk PPh yang dipotong/dipungut dari karyawan/pihak lain (rumpun withholding tax seperti gaji, honor dan sebagainya), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN), semuanya adalah tanggung jawab dari Direksi. Jika melihat pada rumusan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, maka kewajiban yang sifatnya absolut adalah untuk memastikan kepada direksi baik sendiri- sendiri atau kolegial melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan perusahaan sejak pembukuan, menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya secara patuh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika tidak dilaksanakan hal ini akan menjadi utang pajak, timbul sanksi administratif dan konsekuensi lainnya. Demikian juga terhadap kewajiban PPh Tahunan Badan. Berdasarkan pasal 32 ayat (2) UU KUP tersebut, maka secara otomatis Direksi sebagai pengurus wajib melakukan pembukuan, menghitung keuntungan yang didapat selama 1 tahun buku, membayarkan dan melaporkan pajaknya. Jika pengurus kemudian dikecualikan sesuai dengan permohonan pemohon dalam uji materi ini. Maka akan terjadi nanti keadaan dimana direksi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas kewajiban pembayaran PPh Tahunan Badan ketika Perseroan Terbatas yang ia atau mereka urus dipailitkan. Karena hukum kepailitan mengatur setelah keadaan pailit pengurusan dan pemberesan boedel pailit beralih kepada Kurator. Tetapi tidak mengambil alih tanggung jawab Direksi untuk pemenuhan kewajiban perpajakan Perseroan Terbatas yang diwakilinya tersebut. Jika harta pailit cukup untuk membayar semua hutang, maka tidak akan ada masalah. Tetapi ketika harta pailit tidak cukup, maka sangat logis negara memiliki mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban untuk memenuhi kewajiban perpajakan berupa utang pajak yang masih belum dilunasi tersebut kepada Direksi atau pengurus yang bersangkutan. Pertanggungjawaban direksi sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004 Hal yang menjadi krusial dalam permohonan uji materi ini adalah, sejauh apa direksi bertanggung jawab dalam hal Perseroan Terbatas yang dia atau mereka urus jatuh dalam keadaan pailit. Yang pertama harus ditinjau adalah bagaimana UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengartikan kepailitan itu. UU mengatur Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan 153 debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Lebih lanjut Pasal 69 ayat (1), mengatur Tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Sehingga tegas, bahwa yang menjadi lingkup penugasan kurator adalah harta pailit ( boedel pailit). Boedel pailit ini melingkupi aktiva (harta) dan pasiva (utang), tetapi tidak masuk kesalahan dari debitur pailit atau pengurus debitur pailit jika Perseroan Terbatas. Hal ini dapat dilihat pada pasal 26 ayat (1) dan (2), yang berbunyi: "(1) Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator;

        (2)

        Dalam hal tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitor pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap Debitor Pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit." Ketentuan ini jelas menegaskan bahwa, utang yang disebabkan kesalahan debitor pailit dan/atau pengurus debitor pailit adalah terpisah tanggung jawabnya dengan boedel pailit yang ada. Lebih tegas lagi, Pasal 3 ayat (1) juncto Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU ini menyebutkan bahwa direksi dapat digugat untuk dimintai pertanggung jawabannya jika kepailitan terjadi sebagai akibat dari kelalaian atau kesalahannya. Hal ini dapat dilakukan kurator jika boedel pailit tidak cukup melunasi hutang-hutangnya. Sehingga perlu dipertegas, adalah salah jika banyak ahli yang berpendapat untuk melihat adanya tanggung jawab direksi maka harus merujuk pada putusan pernyataan pailit yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini menunjukan ahli-ahli tersebut tidak ahli di bidang korporasi dan kepailitan, atau sekurang-kurangnya mereka khilaf dalam membaca UU Kepailitan. Yang dengan tegas mengatur bahwa permintaan tanggung jawab direksi adalah upaya hukum yang terpisah dari putusan pernyataan pailit yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa "karena putusan penyataan pailit tidak menyebut tanggung jawab direksi, maka direksi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atau tanggung jawabnya telah beralih sepenuhnya kepada kurator". Simpulan tersebut adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan hukum kepailitan. 154 Tanggung Jawab Direksi Tidak Berpindah Kepada Kurator, Selain Pengurusan dan Pemberesan Boedel Pailit Pertanyaan berikutnya, mengenai akibat putusan pernyataan pailit terhadap tanggung jawab direksi adalah sesuatu yang harus disampaikan dalam keterangan saya ini agar terang permasalahan ini. Sebelumnya sudah disebutkan bahwa jika merujuk pada tugas Kurator yang diatur dalam Pasal 69 UU Kepailitan dan PKPU dibatasi pada pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Dimana kewenangan melakukan tugas tersebut menurut Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU muncul sejak putusan pernyataan pailit, meskipun putusan tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali. Kemudian untuk melihat apakah apakah tanggung jawab direksi termasuk hal-hal yang berpindah atau beralih ke Kurator dengan adanya putusan pernyataan pailit. Kita bisa temukan dalam Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU yang mengatur Akibat Kepailitan, pasal ini menyebutkan Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Jadi tegas sekali, bahwa yang beralih kepada kurator adalah hanya kekayaan. Adapun tanggung jawab atas kesalahan direksi selama pengurusannya, tetap menjadi tanggung jawab direksi tersebut. Harus dibayangkan bahwa undang-undang mengatur tugas kurator sebagai pengumpul harta pailit, penjual harta pailit, dan pembayar utang debitor secara kolektif. Itupun hanya terbatas pada harta pailit yang tersedia. Bukan sebagai pengganti Direksi atau penerima tanggung jawab atas perbuatan direksi sebelum pailit. Tanggung Jawab Direksi Pasca Kepailitan Berakhir tetapi belum dilikuidasi Menjadi pertanyaan berikutnya bagaimana pertanggungjawaban organ perseroan jika kepailitan Perseroan Terbatas telah berakhir, tetapi belum dilikuidasi. Yang pertama harus dijelaskan, bahwa berakhirnya kepailitan menurut Pasal 202 UU Kepailitan dan PKPU adalah setelah dibayarkan jumlah penuh utang kreditur, atau daftar pembagian penutup menjadi mengikat. Sehingga jelas UU Kepailitan dan PKPU, mengatur jika berakhirnya kepailitan hanya 155 disebabkan oleh 2 hal. Pertama utang para kreditur dibayar penuh. Kedua, daftar pembagian penutup menjadi mengikat karena kreditor tidak mendapatkan pembayaran penuh piutangnya. Berakhirnya kepailitan, dimana para kreditor tidak dibayar penuh, menurut Pasal 204 (bagian Keadaan Hukum Debitor Setelah Berakhirnya Pemberesan) menimbulkan konsekuensi kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta debitor mengenai piutang yang belum dibayar. Hal ini sejalan dengan prinsip umum kebendaan dalam hukum perdata, dimana Pasa 1131 KUHPerdata mengatur bahwa Semua kekayaan debitor, bergerak atau tidak bergerak, yang ada saat ini maupun yang akan datang menjadi jaminan pelunasan hutangnya. Sehingga pada kesempatan ini saya sampaikan bahwa berakhirnya kepailitan perseroan terbatas, sekalipun telah dilikuidasi. Tidak menyebabkan hapusnya sisa piutang kreditur yang belum terbayar lunas dalam proses kepailitan. Ini lah keadilan dalam konteks keperdataan, bahwa utang tidak akan pernah hapus tanpa 3 (tiga) hal, yaitu Pembayaran oleh debitur, Pembebasan oleh Kreditur, dan Daluarsa. Mengenai ketentuan pasal 142 UU PT yang mengatur pembubaran PT salah satunya karena keadaan insolvensi, hal tersebut tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Kepailitan dan PKPU. Karena dalam UU Kepailitan Pasal 178 mengatur keadaan insolvensi adalah suatu keadaan dimana rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima atau pengesahan perdamaian ditolak oleh hakim. Jadi keadaan insolvensi, itu jauh dari istilah bubarnya perseroan. Oleh karena itu, seluruh kepailitan yang berakhir di Indonesia, tidak pernah berakhir dengan likuidasi. Karena kepailitan dan likuidasi di Indonesia adalah 2 perbuatan hukum yang berbeda. Dari penjelasan ini, jika boedel pailit tidak mencukupi untuk membayar penuh seluruh utang. Maka setelah kepailitan berakhir, sisa utang yang belum dibayarkan kepada kreditur tersebut. Dapat ditagihkan kreditur kepada pengurus PT jika belum dilikuidasi, atau jika setelah dilikuidasi, maka kreditur dapat menuntut kepada person dalam organ perseroan, jika ada dasar dan alasan untuk menuntut itu, dalam hal ini tidak dibayarkannya utang kreditor pada 156 masa sebelum jatuh putusan pernyataan pailit adalah karena kesalahan pengurus perusahaan. Hal ini diatur dengan tegas dalam Pasal 104 ayat (2) dan (3) UU PT yang menyebutkan, bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. Bahkan Tanggung jawab tersebut berlaku juga bagi anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Sehingga jelas, tidak ada satupun alasan bagi direksi untuk lepas pertanggungjawaban ketika terjadi kepailitan yang mana boedel palit tidak cukup membayar seluruh utang. Kewenangan piercing the corporate veil terhadap Direksi Pada pembahasan awal, telah dijelaskan bahwa tidak ada perlindungan mutlak prinsip separated legal personality kepada pengurus perusahaan yang tidak beritikad baik yang telah menimbulkan kerugian PT. Pertanyaan berikutnya, siapakah yang berwenang untuk menyingkap tabir tanggung jawab terbatas direksi dan dewan komisaris. Berdasarkan pasal 97 ayat (6) dan Pasal 114 ayat (6) UUPT tegas disebutkan Pengadilan. Tetapi ketentuan UUPT ini mengatur gugatan privat dalam hal ini oleh pemegang saham atau pihak ketiga. Adapun piercing the corporate veil pengurus, terkait dengan tuntutan negara atau publik, maka iya tunduk pada ketentuan UU yang mengaturnya. Jika pajak, diatur dalam peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan, jika PNBP diatur dalam ketentuan PNBP dan seterusnya. Sehingga keberadaan pasal 32 UU KUP yang mewajibkan pengurus bertanggung jawab, kecuali pengurus tersebut dapat membuktikan kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab adalah sejalan dengan doktrin piercing the corporate veil. Pasal 32 Tidak Hanya Berbicara Perseroan Terbatas, Tetapi Seluruh Bentuk Usaha 157 Jika melihat permohonan pemohon, dalam kapasitasnya sebagai Direktur suatu PT, yang menghendaki tafsir terhadap pasal 32 yang tidak hanya berbicara tentang PT. maka permohonan tafsir tersebut tidaklah tepat. UU KUP dalam pasal 1 angka 3 mendefiniskan badan bukan semata PT, tetapi sangat luas. Meliputi CV, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, ormas, kontrak investasi kolektif (KIK), dan Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang sebagian besar tidak memiliki tanggung jawab terbatas ( limited liability ). Sehingga jika uji materil ini dikabulkan, saya membayangkan bagaimana sulitnya nanti negara menagihkan utang pajak badan. Karena akan ada pengurus firma, CV, Kongsi, ormas, KIK dan BUT yang berdalih mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas utang pajak ketika badan yang mereka urus tersebut pailit, dengan dasar Pasal 32 mengecualikan pertanggungjawaban wakil yang badan usahanya pailit. Padahal tanggung jawab mereka tersebut terhadap badan-badan usaha tersebut adalah tanggung jawab pribadi. Menanggapi Pertanyaan Hakim dan para Pihak ▪ Pengurus dikatakan beriktikad baik dalam konteks business judgment rule jika memenuhi empat kriteria dalam Pasal 97 ayat (5) UU 40/2007 (UU PT), yaitu: ▪ Kerugian bukan karena kesalahan atau kelalaiannya. ▪ Pengurusan dilakukan dengan iktikad baik dan kehati-hatian. Pengurus tidak punya kepentingan terhadap dirinya sendiri; tidak ada benturan kepentingan; tidak ada kepentingan terhadap dirinya sendiri ( have no conflict of interest ). ▪ Berdasarkan kewenangannya ( intra vires ). Kewenangan dalam hal ini adalah ketaatan direksi terhadap peraturan yang dibuat oleh perusahaan terhadap direksi. ▪ Tanggung jawab pengurus yang melanggar, menurut UU PT, akan diminta sampai dengan kerugiannya. ▪ Dalam Putusan Pengadilan mengenai pailit tidak akan ada pernyataan mengenai direksi bersalah atau tidak bersalah. ▪ Pernyataan pailit adalah upaya kreditur untuk mendapatkan pelunasan utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih berdasarkan Pasal 21 ayat (2). Dengan demikian putusan pailit hanya akan bicara tentang hal itu saja. 158 ▪ Amerika dan Singapura mempunyai sistem perkreditan atau utang piutang yang sudah ▪ sangat prudent dan hati-hati. Di kedua negara itu dikenal debt forgiveness atau penghapusan utang. Penghapusan utang di Indonesia menjadi otoritas kreditor, sementara debt forgiveness di negara-negara maju diberikan oleh hukum atau undang-undang. ▪ Sehingga sangat mungkin ketika terjadi kepailitan dan pemberesan, ternyata masih ada utang namun direksinya sudah mengurus dengan benar, maka negara harus berperan. ▪ Bagaimana cara memperoleh pelunasan jika direksi bekerja sudah benar? Dalam konteks ini banyak yang tetap memaksakan untuk memeriksa tanggung jawab direksi melalui pengadilan. Banyak kasus kepailitan kemudian menggantung dalam konteks ini. ▪ Pailit digunakan untuk menghindari pajak karena UU Kepailitan menyaratkan bahwa kepailitan tidak harus dalam keadaan tidak mampu bayar, tetapi cukup dengan dua kreditor, yaitu satu kreditor telah jatuh tempo dan dapat ditagih. ▪ Jadi kepailitan ini seperti pisau yang dapat digunakan untuk membereskan utang-utang, namun bisa juga untuk menghindari tanggung jawab. ▪ Bahkan ada tren di mana kepailitan digunakan untuk membeli aset dari lawan bisnisnya dengan harga murah. Karena ketika dengan dua syarat pemailitan yang sangat mudah tadi, lawan atau pesaingnya dipailitkan lantas barang masuk dalam proses penjualan yang harus lelang, kemudian tinggal diatur lelangnya supaya tidak segera laku sehingga dapat dijual dengan harga likuidasi atau harga paling rendah. ▪ Aturan bahwa kurator tidak otomatis menjadi likuidator dipahami dari peraturan Mahkamah Agung tahun 2020. Banyak proses kepailitan yang sudah berakhir, tapi tidak berakhir dengan likuidasi, sehingga memunculkan banyak PT “hantu”. Oleh karena itu Mahkamah Agung menetapkan bahwa kurator nanti akan bertindak sebagai likuidator.

        3.

        Dian Puji N Simatupang Sehubungan dengan pengujian Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007, ahli menyampaikan keterangan dari aspek hukum administrasi negara dan keuangan publik mengenai dua hal, yaitu: 159 1. Kewenangan Direktur Jenderal Pajak dalam pengelolaan perpajakan;

        2.

        Pengaturan khusus dalam perpajakan Kewenangan merupakan kekuasaan publik yang diatur dengan undang- undang, apalagi berkaitan dengan pajak sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 memang harus diatur dengan undang-undang. Pengaturan perpajakan dalam undang-undang merupakan bentuk mandatory regulation , artinya mengenai perpajakan dan pungutan lainnya yang bersifat memaksa tidak lain dan tidak bukan harus diatur dengan undang-undang, dan tidak dengan pengaturan lain di bawah undang-undang. Penggunaan frasa “diatur” undang-undang dalam Pasal 23A UUD NRI 1945 jelas menunjukkan undang-undang perpajakan akan mengatur mengenai kewenangan, syarat prosedur, dan subtansi dalam pelaksanaan kegiatan perpajakan secara menyeluruh. Dalam hal kemudian undang-undang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai wewenang, syarat prosedur, dan substansi pelaksanaan ke dalam peraturan di bawahnya hakikatnya merupakan kebijakan politik hukum yang terbuka ( open legal policy ), yang tidak membuat norma baru atau keadaan baru dalam peraturan di bawahnya. Kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menghapus nomor pokok wajib pajak (NPWP) dalam hal wajib pajak dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha dimaksudkan untuk memberikan keyakinan yang memadai ( reasonable assurance ), setiap tindakan administrasi pemerintahan dalam perpajakan telah dilaksanakan secara khusus untuk memberikan kepastian pada penerimaan negara melalui proses perpajakan. Ikut sertanya Direktur Jenderal Pajak yang berwenang dalam menghapus NPWP bagi wajib __ pajak dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Pasal 35 UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, di mana piutang negara khususnya dari perpajakan mempunyai hak mendahului (hak preferens) dibandingkan hak yang dimiliki lainnya. Dengan demikian, adanya kewenangan dalam Pasal 2 ayat (6) UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007 dimaksudkan memberikan:

        1.

        keyakinan memadai ( reasonable assurance ) dalam pengambilan tindakan hukum perpajakan yang membawa pengaruh pada penerimaan negara;

        2.

        bagian dari hak mendahului negara (hak preferen) untuk memastikan piutang pajak tetap dapat dibayarkan sesuai dengan ketentuan; 160 3. memastikan kemungkinan penghapusan dilakukan berdasarkan alas hukum dan alas fakta, dengan prosedur tersendiri dalam ranah hukum publik, yang membedakan dengan prinsip dan konsep dalam ranah hukum privat, khususnya mengenai kepailitan dan pemberesan utang. Diaturnya wewenang Dirjen Pajak dalam memberikan persetujuan atas penghapusan NPWP khusus karena wajib pajak dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha memperhatikan prinsip dalam pengenaan perpajakan, salah satunya, adalah keadilan, yaitu dalam hal pengenaan pajak bagi wajib pajak semuanya tanpa kecuali, tetapi dalam keadaan tertentu diberikan tindakan hukum tertentu yang ditetapkan setelah terdapat alas hukum dan alas fakta yang memadai. Adanya wewenang Dirjen Pajak dalam menghapus NPWP sebagai suatu tindakan administrasi pemerintahan dalam kegiatan yang bersifat perdata, khususnya penghentian atau penggabungan usaha dalam teori hukum dinamakan sebagai konsep contrarius actus , yaitu dalam hal ketentuan publik mengatur berbeda beberapa tindakan keperdataan, maka ketentuan publik yang harus ditaati. Kecuali, ketentuan perdatanya, misalnya kepailitan menyatakan tidak berlaku ketentuan publik ini secara tegas-tegas. Dengan diaturnya kewenangan Dirjen Pajak untuk menghapus secara hukum terdapat pengaturan antar-tata hukum di mana kewenangan publik mengatur beberapa prinsip pelaksanaan dalam kegiatan keperdataan. Konsep ini dimungkinkan dengan beberapa alasan:

        1.

        guna melaksanakan wewenang dan kewajiban pemerintahan atau bestuursdwang , di mana Direktur Jenderal Pajak untuk memperhatikan semua kepentingan secara prosesual, yang kemudian diatur dalam undang- undang sebagai suatu kebijakan politik hukum terbuka ( open legal policy ), yang dimaksudkan guna memberikan keadilan semua tetap ditagihkan pajak, kecuali dengan syarat prosedur publik tertentu dalam kegiatan termasuk hubungan keperdataan;

        2.

        penggunaan wewenang publik dalam hubungan keperdataan dimaksudkan memberikan keyakinan memadai semua tindakan administrasi pemerintahan perpajakan tetap dapat dilaksanakan tanpa kecuali, tetapi untuk keadaan tertentu dimungkinkan dengan campur tangan kewenangan publik melalui Direktur Jenderal Pajak. 161 Kegiatan penghentian dan penggabungan usaha memang termasuk kegiatan hukum keperdataan, sehingga berlaku prinsip dan ketentuan hukum perdata dalam hal ini hukum perusahaan atau hukum perusahaan. Akan tetapi, kewajiban dalam perpajakan sebagai suatu bentuk bestuursdwang merupakan wewenang publik, sehingga untuk menjembatani antara tindakan hukum keperdataan dan hukum publik perpajakan dilakukan dengan memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai badan atau pejabat administrasi pemerintahan yang mempunyai wewenang publik. Tim pemberesan atau kurator tidak dapat bertindak dalam ranah hukum publik kecuali undang-undang perpajakan memberikan wewenang delegasian kepadanya untuk dan atas nama Direktur Jenderal Pajak. Dengan demikian, kewenangan Direktur Jenderal Pajak dalam penghapusan NPWP justru tepat secara hukum untuk menghindari adanya kelalaian dalam hak mendahului perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU 1/2004 dan peraturan perundang-undangan perpajakan pada umumnya. Dari segi prosedur dan syarat, kewenangan tersebut kemudian dilakukan dengan penetapan standar operasional prosedur dan menggunakan alas hukum dan alas fakta yang prosesual atau berlaku umum untuk siapapun. Mengenai putusan pengadilan niaga yang telah berkekuatan hukum tetap dan menjatuhkan pailit sesuai dengan peraturan perundang-undangan, secara hukum putusan tersebut tidak mengikat ketentuan dan prinsip administrasi pemerintahan yang berlaku umum. Kedudukan badan peradilan dan badan pemerintahan dalam posisi yang seimbang dan tidak saling menegasikan, tetapi mengawasi dan menyeimbangkan ( check and balance ). Dengan demikian, putusan pengadilan niaga yang telah berkekuatan hukum tetap apabila ada yang berkaitan dengan prosedur dalam tindakan administrasi pemerintahan tidak dapat secara serta merta mengesampingkan prosedur dan syarat sebagaimana diatur dalam undang-undang sebagai bentuk bestuursdwang karena menjalankan kewenangan dalam undang-undang. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007 yang menjadikan piutang pajak menjadi tanggung jawab secara pribadi atau renteng atas pembayaran pajak tentu didasarkan pada tanggung jawab mutlak dalam pembayaran pajak yang bersifat preferens tersebut. Dalam hal pembayaran ini akan kemungkinan 162 ditanggung secara pribadi atau renteng tentu akan diatur berdasarkan pada alas hukum dan alas fakta yang memadai dan prosesual. Alas fakta yang memadai dan prosesual merupakan bukti konkret dan faktual yang menunjukkan adanya kausalitas antara pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban pribadi masing-masing dalam kegiatan usaha tersebut. Misalnya, keputusan korporasi yang ditetapkan dan diputus direksi yang menimbulkan penerimaan bagi korporasi, yang kemudian dinikmati korporasi dan pengurusnya merupakan suatu bentuk kausalitas yang memadai dan faktual konkret. Namun, penerapan Pasal 32 UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007 juga disertai dengan pengecualian dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan bukti yang menyakinkan para pengurus tidak berada dalam tanggung jawab atas pajak terutang tersebut. Hal demikian merupakan bentuk diskresionary decision atau keputusan diskresional yang terikat di mana Direktur Jenderal Pajak dapat membebaskan pengurus dalam hal piutang pajak berdasarkan bukti yang menyakinkan memadai bahwa kedudukannya sebagai pengurus tidak mempunyai kausalitas yang terkait dengan piutang pajaknya. Kewenangan tersebut lazimnya akan diikuti dengan penetapan standar operasional prosedur pengambilan keputusan secara patut dan akuntanbel. Dengan demikian, prosesnya jika keberatan dan banding dapat diajukan ke pengadilan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut hukum keuangan publik dan perpajakan, beralihnya tanggung jawab pembayaran pajak perusahaan kepada pribadi pengurus merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab hukum yang bersifat antisipatif guna menghindari adanya penghindaran pembayaran pajak. Dalam hal ini, pengurus dianggap mengetahui secara langsung dan faktual siapa saja dan di mana saja potensi yang harus dimintakan pembayaran pajak terutang. Dengan demikian, pengurus akan mengupayakan hubungan hukumnya dengan para pihak tersebut untuk membayarkan piutang pajak perusahaan. Konsep pengalihan tanggung jawab hukum yang bersifat antisipatif dilakukan agar ketidakjelasan dalam pembayaran pajak tidak boleh terjadi karena ketiadaan data dan informasi pelacakan pihak yang bertanggung jawab. Dengan demikian, menarik pengurus sebagai pihak yang bertanggung jawab secara pribadi atau rentang 163 dimaksudkan untuk melakukan pengecekan jejak pihak yang harus membayar piutang pajak. Dengan demikian, hal tersebut dilakukan untuk memberikan kepastian terhadap pembayaran piutang pajak sebagai suatu bentuk pajak terutang yang harus dibayarkan secara preferens kepada negara. Di sisi lain, memberikan keyakinan yang memadai semua piutang pajak dapat diselesaikan dan dituntaskan secara transparan dan akuntabel. Berkaitan dengan bestuursdwang dalam pembayaran pajak yang tidak memerlukan pengadilan, hal tersebut sepanjang diatur dalam undang-undang merupakan kekuasaan publik untuk dilaksanakan terlebih dahulu. Dalam hal wajib pajak keberatan dan banding dapat mengajukan ke pengadilan pajak, sebagai suatu bentuk mekanisme check and balance dalam kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara. Pengaturan khusus negara dalam kegiatan perpajakan yang berkaitan dengan kegiatan keperdataan diatur sebagai bagian dari penerapan asas contrarius actus , dalam hal suatu kegiatan keperdataan diatur tunduk pada ketentuan hukum publik, undang-undang harus merumuskan dan mengaturnya dalam suatu undang-undang. Kecuali, undang-undang kegiatan perdata mengatur tegas misalnya, “ketentuan perpajakan mengenai kegiatan perusahaan diatur dan tunduk pada undang-undang ini.” Jika tidak ada pengaturan seperti demikian, tidak dapat mekanisme keperdataan mengesampingkan norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian, secara teori hukum umum, konsep contrarius actus menghormati sistem hukum publik dan hukum privat, tidak saling menegasikan atau tidak saling menafsirkan atau mencampuradukkan tindakan. Jika hukum publik akan dikesampingkan dalam hukum perdata, ketentuan hukum perdata menegaskan tidak berlakunya hukum publik tersebut dalam ranah hukum perdata ini dengan suatu undang-undang. Demikian juga, hukum publik menegaskan tidak berlakunya hukum perdata dalam ranah hukum publik dengan mengaturnya dalam suatu norma tersendiri. Secara diagramatis dapat digambarkan sebagai berikut. Hukum Publik Hukum Privat Mengesampingkan hukum perdata dengan menormakan dalam undang- undang Mengesampingkan hukum publik dengan mengatur tegas tidak berlakunya 164 ketentuan hukum publik dalam ranah tindakan hukum privat Berdasarkan gambaran tersebut, sekiranya tidak dapat dicampuradukkan prinsip dan norma hukum keperdataan dengan prinsip dan norma hukum perpajakan, mengingat keduanya berada dalam ranah hukumnya masing- masing.

        4.

        Hendry Julian Noor Harus diakui tidak mudah membaca undang-undang, karena tidak hanya sekedar membaca bunyi kata-katanya saja ( naar de letter van de wet ) tetapi harus mencari arti, makna dan tujuannya [Lihat Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar , Yogyakarta: Liberty, hlm.50]. Oliver Wendell Holmes (1841-1935) ^ mengatakan bahwa “ the rational study of the law is still to a large extent the study of history. History must be part of the study, because without it we cannot know the precise scope of rules. It is a part of the rational study, because it is the first step toward an enlightened scepticism, that is, towards a deliberate reconsideration of the worth of those rules ” [Lihat Oliver Wendell Holmes, 2009 ( First published in 1897), The Path of the Law, Bedford Massachusetts: The Floating Press-Applewoods Books, hlm.24; Romli Atmasasmita, 2018, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis , Jakarta: Prenadamedia Group, hlm.15). Pernyataan a quo menunjukkan betapa pentingnya dalam mempelajari hukum adalah juga harus mempelajari sejarah dan pengalaman yang telah dialami oleh bangsa tersebut, tentunya dengan melihat nilai kemaslahatan dari pengalaman dan/atau sejarah tersebut. ^ Berkaitan hal tersebut, salah satu bentuk interpretasi adalah interpretasi historis, yaitu penafsiran makna undang- undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya perundang- undangan tersebut. Interpretasi historis juga meliputi sejarah hukum [Lihat Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar , Yogyakarta: Liberty, hlm.58-59; Anthon Freddy Susanto, 2005, Semiotika Hukum: Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna , Bandung: Refika Aditama, hlm.59). Menurut Pontier, interpretasi sejarah hukum adalah penentuan makna dari formulasi sebuah kaidah hukum dengan mencari pertautan pada penulis-penulis atau secara umum pada konteks kemasyarakatan di masa lampau [Lihat Eddy 165 O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana , Jakarta: Erlangga, hlm.77]. Selain itu, interpretasi yang juga penting untuk memahami maksud dan tujuan satu ketentuan hukum, adalah juga interpretasi teleologis. ^ Interpretasi teleologis merupakan penafsiran hakim dengan menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang, lebih memperhatikan tujuan dari undang-undang daripada bunyi kata-kata saja. [Lihat Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.61]. Dengan menggunakan interpretasi historis dan teleologis, sejak awal dapat dipahami bahwa pajak digunakan sebagai salah satu instrumen Pemerintah yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara guna mewujudkan tujuan negara. Definisi otentik pajak diatur dalam Pasal 1 Angka 1 UU KUP: “ … kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” . Salah satu fungsi pajak adalah sebagai budgeter, di mana pajak merupakan alat atau sumber untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya kepada kas negara yang kemudian digunakan untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran negara, termasuk untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat [Lihat S.F. Marbun, 2012, Hukum Administrasi Negara I, Yogyakarta: FH UII Press, hlm.317; Bdk M. Farouq S, 2018, Hukum Pajak di Indonesia: Suatu Pengantar Ilmu Hukum Terapan di Bidang Perpajakan, Jakarta: Prenadamedia Group, hlm.119; S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Liberty, hlm.135]. Dari sudut pandang hukum administrasi negara, fungsi tersebut relevan dengan konsep good governance dalam aktivitas pelaksanaan fungsi menyelenggarakan kepentingan umum oleh pemerintah, yang juga terkait pula dengan tiga tugas dasar pemerintah [Lihat Philipus M. Hadjon “ Hukum Administrasi sebagai Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Good Governance” dalam Philipus M. Hadjon, dkk., 2012, Hukum Administrasi dan Good Governance , Jakarta: Penerbit Universitas Trisaksi, hlm.9], yaitu: Pertama, menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat. Kedua, mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, swasta, dan masyarakat. Ketiga, memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainnya 166 dengan kehendak rakyat. Dengan “tugas berat” demikian, hukum pajak dapat dikatakan bagian dari rezim hukum publik. Menurut Korten, dalam sektor ekonomi, tanggung jawab utama pemerintah adalah menyediakan infrastruktur yang diperlukan untuk memajukan perdagangan (kehidupan ekonomi) dan menegakkan hukum yang berkaitan dengan hak atas kekayaan dan kontrak (perjanjian) [Lihat David C. Korten, 1997, When Corporations Rule the World (Bila Korporasi Menguasai Dunia) , Jakarta: Professional Books, hlm.115]. Hal tersebut sebagaimana pendapat Posner, bahwa pasar ekonomi diasumsikan sangat rapuh dan cenderung beroperasi sangat tidak efisien (tidak jelas) jika dibiarkan sendiri dan tanpa ada campur tangan pemerintah [Lihat Richard A. Posner “Theories of Economic Regulation” dalam The Bell Journal of Economics and Management Science , Vol. 5, No. 2, Autumn, 1974, hlm.336). Pembahasan dalam perkara a quo , dapat dikatakan seolah kembali kepada perdebatan klasik yang bahkan mungkin sampai sekarang terus berulang, yaitu ranah hukum manakah yang harus lebih didahulukan untuk kemudian dapat dilaksanakan terlebih dahulu, dalam hal ini apakah rezim hukum publik yang diatur dalam UU KUP, ataukah rezim hukum privat yang dalam hal ini “diwakili” oleh UU PKPU dan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Harus diakui persinggungan antara hukum publik dan hukum privat ini, serta perdebatan di antaranya masih kerap terjadi. Penjelasan ini terlebih dahulu akan dimulai dengan sedikit menguraikan definisi kedua hukum tersebut, meskipun harus diakui bahwa suatu sengketa pendapat yang tidak pernah terurai secara tuntas salah satunya adalah mengenai pemberian batasan atau definisi terhadap suatu pengertian. Selama ilmu pengetahuan terus berkembang, maka sesuai sifat alamiahnya, perdebatan mengenai definisi juga seolah tak akan pernah habis. Pendapat dari Jacobs Israel de Haan dalam bukunya Rechtskundige Significa tersebut , menggambarkan bahwa sangatlah ketat dan sulit untuk merumuskan suatu definisi. Dikatakan oleh Jacobs Israel de Haan: “... het zelfde woordt beeft nooit dezelfden betekenis voor twee menschen, omdat nooit twee menschen met denzelfden aanleg woorden geboren en het zelfde leven hebben beleefd. Dit is zeker juist; het is juist omdat twee menschen nooit indentiekzijn, omdat het twee 167 menschen zijn”, diterjemahkan sebagai berikut: “... perkataan yang sama tidak pernah mempunyai pengertian yang sama untuk dua orang, karena tidak pernah dua orang dilahirkan dengan bakat yang sama dan pengalaman yang sama. Hal ini pasti benar; dan kebenaran ini disebabkan karena dua orang tidak mungkin identik, mengingat adanya dua orang” [Lihat Jacobs Israel de Haan, 1919, Rechtskundige Significa, Amsterdam: N.V. Johannes Muller, hlm.21; dan Arifin P. Soeria Atmadja, 1986, _Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara: _ Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Gramedia, hlm.9]. Berdasarkan pendapat Hans Kelsen, hukum privat adalah suatu ranah hukum yang menggambarkan hubungan-hubungan hukum antar subjek-subjek hukum yang sederajat atau memiliki kedudukan yang sama secara hukum. Hubungan hukum privat yang tipikal adalah transaksi hukum, terutama kontrak, sebagai suatu norma individual yang diciptakan melalui kontrak, agar pihak- pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut berperilaku secara timbal balik sesuai dengan yang diperjanjikan [Lihat Hans Kelsen, 2015, Pengantar Teori Hukum , Bandung: Nusa Media, hlm.140-141). Sedangkan hukum publik didefinisikan sebagai suatu ranah hukum yang menggambarkan hubungan-hubungan hukum yang mana salah satu subjek hukum yang satu memiliki kedudukan lebih tinggi secara hukum dari pada subjek yang lain, dan yang menjadi tipikal dari ranah hukum ini adalah hubungan antara negara dengan warga negara. Dengan beberapa tipikal berupa adanya petunjuk administratif yang dikeluarkan oleh negara dan norma individual yang dikeluarkan oleh lembaga administratif yang mana hal-hal tersebut dibuat agar penerima petunjuk dan norma tersebut bertindak sesuai dengan petunjuk dan norma administratif tersebut [Lihat Ibid. ]. Sejak lama terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum tentang pembagian hukum publik dan hukum privat. Terdapat beberapa kriteria untuk membedakan dua jenis hukum ini, yaitu pertama , mengenai kepentingan, hukum publik mengatur kepentingan umum/publik dan hukum privat mengatur kepentingan khusus/perdata. Kedua , mengenai cara mempertahankannya, hukum publik dipertahankan oleh pemerintah dan hukum privat oleh perorangan. Ketiga , mengenai asas hukum, hukum publik memuat asas-asas istimewa dan hukum privat memuat asas-asas biasa. Keempat , mengenai hubungan hukum, hukum publik mengatur hubungan secara vertikal 168 (pemerintah dengan warga negara) dan hukum privat mengatur hubungan secara horizontal (antar warga negara). Kelima , mengenai sifat hukum, hukum publik adalah hukum a priori memaksa dan hukum privat tidak a priori memaksa [Lihat E. Utrecht, L.J. van Apeldoorn, N.E. Algra dan H.C.J.G. Jansen, serta Sudikno Mertukusumo dalam Ridwan HR, 2016, Hukum Administrasi Negara , Jakarta: Rajagrafindo Persada, hlm.70]. In casu a quo, pasal-pasal a quo yang tengah diuji dalam sidang yang mulia ini adalah pasal-pasal yang masih memenuhi prinsip-prinsip untuk mewujudkan kepastian hukum, dengan argumentasi sebagai berikut: Pertama Terkait persinggungan antara hukum privat dan hukum pidana sebagai hukum publik ini, pada dasarnya apabila dengan melihat salah satu doktrin, di mana logikanya hukum publik didahulukan dari pada hukum privat sepanjang dimaknai bahwa hukum publik tersebut adalah konstitusi [Lihat Paul Scholten, 1934, Metode Umum Hukum Perdata : diterjemahkan oleh Siti Soemarti Hartono, S.H. Mr. C. Asser, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda , Bagian Umum. Preprint, edition 1, Digital Paul Scholten Project, Amsterdam, Februari 2015, diperoleh dari http: //www.paulscholten.eu/research/ article/indonesian/]. Dengan menggunakan logika penemuan hukum argumentum a contrario serta dengan menginterpretasikan pendapat Bachsan Mustafa yang mengutip Paul Scholten, bahwa apabila hukum publik tidak mengadakan peraturan- peraturan lain, maka di manapun itu hukum perdata diberlakukan sebagai hukum umum, yang apabila di- a contrario -kan, adalah apabila hukum publik mengadakan pengaturan terhadap suatu hal, maka hukum perdata menjadi tidak diberlakukan. Argumentum a contrario adalah penafsiran dengan menggunakan pengertian sebaliknya dari peristiwa konkrit yang dihadapi [Lihat Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana , Jakarta: Penerbit Erlangga, hlm.70; bdk Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar , Yogyakarta: Liberty, hlm.67 dan 69; ^ Bachsan Mustafa, 1985, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: Penerbit Alumni, hlm.61]. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Loer, dalam disertasinya yang berjudul Publikrecht tegenover privaatrecht, dirinya menyatakan bahwa negara 169 itu tidak tunduk pada hukum privat, karena pemikiran yang demikian tidaklah logis. Pemikiran tersebut berangkat dari asumsi bahwa negara tidaklah sama dengan rakyat biasa [Lihat Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1988, Kedudukan Jaksa dalam Hukum Perdata, Jakarta: PT. Bina Aksara, hlm.57]. Dalam negara hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum ( everything must be done according to law ) yang pada dasarnya negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah [Lihat H.W.R. Wade, 1971, Administrative Law , Oxford: Clarendon Press, hlm.6; bdk Ridwan HR, Op.Cit. , hlm.21]. ^ Hukum ditempatkan sebagai aturan dalam penyelenggaraan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan, sementara tujuan hukum itu diantaranya “ ... opgelegd om de samenleving vreedzam, rechtvaardig, en doelmatig te ordenen ”, yang artinya bahwa sasaran dari negara hukum adalah terciptanya kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan yang berpijak pada keadilan, kedamaian, dan kebermaknaan [Ridwan HR, Op.Cit. , hlm.22]. Kembali kepada pendapat Paul Scholten tersebut, terkait dengan pajak, Konstitusi Republik Indonesia atau UUD 1945 tepatnya Pasal 23A mengatur: “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” . Ketentuan tersebut memberikan landasan konstitusional perpajakan yang harus diatur dengan undang-undang, yang mana merupakan produk hukum yang dibuat bersama antara pemerintah sebagai perwakilan eksekutif (yang mengurus negara) dengan DPR sebagai pemegang kuasa legislatif yang merupakan perwakilan rakyat. Dengan “kesepakatan bersama” tersebut, maka pada dasarnya telah memberikan legitimasi dan bahkan legalitas bagi pemerintah untuk kemudian “memungut” pajak yang telah disepakati oleh rakyat melalui wakilnya tersebut. Bahkan di Inggris dikenal prinsip ini berbunyi, “ no taxation without respresentation”. Adapun di Amerika, menggunakan prinsip: “ taxation without representation is robbery” [Lihat S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Op.Cit. , hlm.132 dan 64; bdk dengan istilah de heerschappij van de wet atau kekuasaan undang-undang yang diterangkan H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dalam Ridwan H.R., 2003, Hukum Administrasi Negara , Yogyakarta: UII Press, hlm. 81-82]. __ Kenapa penting untuk diatur dalam undang-undang? Karena telah terjadi perubahan konsep pembayaran pajak, yang sebelumnya dilakukan secara 170 sukarela dan bahkan penuh dengan kebanggaan, namun sekarang bahkan butuh upaya paksa untuk agar dapat membayar pajak, oleh karenanya dengan sifat memaksa demikian, maka perlu diatur dalam undang-undang. Fakta lainnya pula adalah bahwa dalam melaksanakan tugas-tugasnya pemerintah bangsa yang modern akan membutuhkan biaya yang sangat besar, di mana pemungutan pajak merupakan salah satu jalannya (Lihat S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Op.Cit. , hlm.131-132]. “ Pembenaran ” pemungutan pajak tersebut setidaknya didukung oleh beberapa teori sebagai berikut: Pertama, teori daya pikul (teori untuk dasar memungut pajak yang adil), bahwa setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan daya pikulnya masing-masing. Menurut de Langen, makna teori ini adalah bahwa seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri dan keluarganya. Sedangkan Cohen Stuart menganalogikan bahwa daya pikul seseorang sama dengan daya pikul jembatan yang melewati jembatan tersebut, tanpa amblasnya jembatan tersebut. Kedua teori tersebut pada dasarnya menegaskan bahwa seluruh penghasilan seseorang identik dengan kekuatan pikul jembatan, sedangkan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk hidup primer disamakan dengan bobot jembatan tersebut [Lihat Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Bandung: PT Refika Aditama, hlm.28-29]. Kedua, teori daya beli, yang mengibaratkan pajak layaknya pompa yang menyedot daya beli seseorang/anggota masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui saluran lain, misalnya perbaikan fasilitas umum dan pelayanan publik. Sehingga, dalam hal ini adalah untuk kesejahteraan masyarakat [Lihat Ibid., hlm.29]. Ketiga , teori kewajiban pajak mutlak, yang berdasar pada orgaantheorie dari Otto von Gierke yang menyatakan bahwa negara itu merupakan satu kesatuan, yang di dalamnya setiap warga negara terikat. Tanpa ada organ atau lembaga tersebut, individu tidak mungkin hidup, sehingga dapat membebani setiap anggota masyarakatnya dengan kewajiban, termasuk membayar pajak [Lihat Ibid., hlm.30]. Keempat, teori pembenaran pajak menurut Pancasila, yang mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Pajak di sini dianggap sebagai bentuk 171 gotong royong (tolong-menolong) yang memang merupakan suatu nilai yang hidup dalam masyakarat Indonesia, termasuk nilai kekeluargaan yang membuat setiap orang mempunyai kewajiban untuk saling membantu, mempertahankan, melangsungkan hidup keluarga (negara dan masyarakat). Tegasnya, berdasarkan teori ini, kepentingan umum tersebut dianggap sebagai hak asasi yang dapat mengalahkan kepentingan individu, dengan tetap memberikan kewajiban bagi pemerintah untuk tidak sewenang-wenang, dan harus memungut pajak berdasarkan undang-undang [Lihat Ibid. ]. Dengan berdasarkan teori-teori tersebut dapat dipertegas bahwa ketentuan perpajakan tersebut, khususnya yang diatur dalam UU KUP tersebut telah bersifat konstitusional dan bahkan dapat dibenarkan secara teoretik. Kedua Hutang pajak bersifat memaksa dan mempunyai kedudukan yang bersifat istimewa atau preferen [Lihat M. Farouq S., Op.Cit., hlm.210]. Dalam tataran doktrin, hutang pajak merupakan hutang yang bersifat khusus, berada pada rezim hukum publik, yang tentunya sifatnya berbeda dengan ketentuan dalam bidang hukum perdata, namun dapat menggunakan asas-asas dan prinsip-prinsip hutang-piutang dalam hukum perdata, kecuali jika ditentukan sebaliknya. Oleh karenanya, prinsip yang termuat dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang berbunyi bahwa semua barang, baik bergerak atau tidak bergerak yang dimiliki oleh debitur, baik di masa sekarang ataupun masa mendatang menjadi jaminan semua hutang-hutangnya, dan demi hukum, jika debitur berhenti membayar hutangnya, barang-barang miliknya tersebut, melalui proses di muka pengadilan, dapat disita oleh kreditur, dijual di muka umum, dan hasilnya digunakan untuk melunasi hutangnya (Lihat Rochmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Bandung: PT Eresco, hlm.106-107; bdk Elyta Ras Ginting, 2019, Hukum Kepailitan: Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.393-397. Lihat pula M. Farouq S., Op.Cit., hlm.212]. Selanjutnya, dalam hal (ternyata) debitur tersebut memiliki hutang kepada beberapa kreditur, namun karena sifat dan kedudukan khusus dari hutang pajak, maka sebagaimana pula diatur oleh Pasal 21 UU KUP, negara melalui Direktur Jenderal Pajak memiliki hak mendahului untuk melakukan sita 172 atas barang-barang wajib pajak yang menjadi jaminan untuk utang-utangnya tersebut. Hak mendahului negara adalah terhadap hutang pajak, baik mengenai pokok pajak, bunga, denda administrasi, kenaikan dan biaya pengalihan [Lihat Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Op.Cit., hlm.107]. Dapat dipahami bahwa pengaturan demikian ini ditujukan untuk mendahulukan dan/atau memberikan kedudukan utama piutang negara di atas piutang perdata, dengan mengingat bahwa pajak tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum dalam hal ini kepentingan kehidupan negara dan bangsa Indonesia agar dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karenanya, sangat wajar jika kemudian kepentingan umum harus didahulukan dari pada kepentingan pribadi/individu [Lihat Ibid., hlm.108]. Dengan doktrin dan ketentuan yang demikian, apabila hendak menggunakan analogi dalam penyelesaian kasus pajak dengan rezim hukum lain, yakni hukum pidana juga menarik untuk dicermati. Dalam doktrin hukum pidana, hukum pidana pajak disebut sebagai ius singulare karena memiliki sistem norma dan sanksi tersendiri. Bersama-sama dengan hukum pidana militer yang disebut sebagai ius speciale , hukum pidana pajak merupakan hukum pidana khusus tertua di dunia [Lihat Bambang Poernomo, 1984, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di Luar Kodifikasi Hukum Pidana , Jakarta: Bina Aksara, hlm.19; Sigid Suseno dan Nella Sumika Putri, 2013, Hukum Pidana Indonesia: Perkembangan dan Pembaruan, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm.195]. Bahkan dari segi sanksi, pajak yang diselundupi atau tidak dibayarkan, meskipun atas perbuatan tersebut telah dijatuhi sanksi pidana, namun tidak menghapuskan hutang pajaknya. Suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak (misalnya tidak taat membayar pajak) dapat merupakan tindak pidana sekaligus merupakan perbuatan melawan hukum di bidang administrasi, misalnya tidak memasukkan surat pemberitahuan atau memasukkan surat pemberitahuan yang diwajibkan oleh undang-undang pajak yang data-datanya tidak benar atau palsu. Dalam hal demikian, sanksi pidana dijatuhkan hanya merupakan hukuman bagi perbuatannya, dan bahkan dijatuhkan sanksi pidana tersebut memperkuat alasan untuk melakukan penelitian mendalam perihal pajak yang seharusnya dibayarkan oleh Wajib 173 Pajak yang tidak taat membayar pajak tersebut dan jika diperlukan juga denda administrasinya. Sanksi pidana merupakan kewenangan pengadilan pidana, sedangkan untuk “penagihan” pembayaran hutang pajak dan sanksi administrasi tersebut tetap merupakan wewenang administrasi pajak, yaitu Direktur Jenderal Pajak yang kemudian menjatuhkan sanksi melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Tegasnya, sifat kumulasi antara sanksi pidana dan sanksi administrasi sangatlah dimungkinkan. Lihat Rochmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan 3, PT Eresco, Bandung, hlm. 34-37). Tegasnya, di samping memiliki norma dan sanksi hukum yang mengandung sifat administratif dan pidana, hukum yang mengatur pajak juga didasarkan pada asas-asas yang bersifat ekonomis dan finansial [Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., hlm.191]. Dengan doktrin demikian, dapat dipahami bahwa jika sudah dikenakan sanksi badan dan/atau bahkan sanksi denda pun, yang mana sanksi pidana secara sifatnya adalah mengekang hak asasi manusia, namun juga sama sekali tidak “membebaskan” atau setidaknya “meringankan” wajib pajak terkait dengan kewajiban hutang pajaknya, yang bahkan masih mungkin juga dikenakan sanksi administrasi terhadapnya. Sehingga, alasan pailit dapat dikatakan masih terlalu ringan dibandingkan dengan “sanksi berlapis atau sanksi kumulasi” yang sangat mungkin diterapkan dalam hal tindak pidana pajak. Ketiga Terkait dalil Pemohon bahwa apa yang dia lakukan atas nama business judgement rule seharusnya tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi terhadapnya, kiranya perlu dipahami terlebih dahulu bahwa antara perseroan dengan direksi, ada suatu hubungan kepercayaan atau fiduciary relationship [Lihat Prasetio, Penerapan “Business... (Ringkasan Disertasi), Op.Cit. , hlm.2] , yang kemudian melahirkan kewajiban bagi direksi yang lazim disebut dengan istilah fiduciary duty. Fiduciary duty is perhaps the most important concept in the Anglo- American law cooperation. The word "fiduciary" comes from the Latin fides, meaning faith or confidence, and was originally used in the common law to describe the nature of the duties imposed on a trustee. Perhaps because many of the earliest corporation cases involve chari table corporations, courts began 174 to analogize the duties of a director in managing corporate property to the duties of trustee in managing trust property [Lihat Lewis D. Solomon, (et. al), 1994, Policy Materials and Problems , St Paul: West Publishing Co., hlm.672; Jeffrey D. Bauman, 2010, Corporations Law and Policy: Materials and Problems, St Paul: West Publisher, hlm.634]. Terkait fiduciary duty, Bryan A. Garner menyatakan sebagai berikut: Fiduciary duty is a duty of utmost good faith, trust, confidence, and candor owed by a fiduciary to the beneficiary or a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the best interests ofthe other person (such as the duty that one partner owes to another. Apabila diterjemahkan secara bebas dapat dipahami sebagai bahwa fiduciary duty adalah tugas yang harus dipenuhi dengan itikad baik, dapat dipercaya, kesetiaan, dan keterbukaan yang harus diberikan oleh pelaksananya kepada penerima manfaat atau kewajiban untuk bertindak dengan kejujuran dan kesetiaan yang tinggi dan dilakukan demi kepentingan pemberi fiduciary duty tersebut [Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law dictionary , Texas: West Group, hlm.581]. Erman Rajagukguk mendefinisikan fiduciary duty direksi sebagai kewajiban direksi dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan kepentingan perusahaan (duty of loyalty) . __ Teori yang juga berkembang di sistem hukum common law ini pada prinsipnya menghendaki pelaksana fiduciary duty untuk tidak terlibat dalam conflict interest, yaitu menempatkan kepentingannya di atas kepentingan korporasi. Pelanggaran terhadap prinsip ini, maka meniadakan doktrin BJR. Artinya direksi yang tidak menjalankan duty of loyalty, tak akan dapat berlindung dibalik doktrin BJR apabila kebijakan yang dibuatnya tersebut membawa kerugian bagi korporasi dan terhadap dirinya dituntut pertanggungjawaban hukum [Lihat Robert W. Hamilton dan Richard D. Freer, 2011, The Law of Corporations in a Nutshell , Minnesota: West Publisher, hlm.171]. Duty of loyalty terbagi 2, yaitu duty to act bona fide in (bahwa direksi melakukan tugas pengurusan dan perwakilan semata-mata hanya untuk kepentingan perseroan) dan duty to exercise power for proper purposes (bahwa kebebasan direksi terbatas pada tujuan dan kepentingan perseroan) dan tindakan tersebut dilakukan dengan kehati-hatian (duty of care) [Lihat 175 Hasbullah F. Sjawie, 2015, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Kencana, hlm.186-187 dan hlm.198; Hotasi Nababan, 2012, Jangan Pidanakan Perdata: Menggugat Perkara Sewa Pesawat Merpati , Jakarta: Q Communication, hlm.92]. __ Keduanya merupakan dasar dari fiduciary duty [Jeffrey D. Bauman, Op.Cit., hlm.129; bdk Julian Velasco “How Many Fiduciary Duties Are There in Corporate Law?” dalam Southern California Law Review, Vol.83, 2010, hlm.1232-1233] . Tindakan yang dijalankan dengan penuh kehati-hatian, antara lain tindakan tersebut diambil dengan itikad baik untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung, dan telah mengambil tindakan untuk mencegah dan berlanjutnya kerugian tersebut [Lihat Hotasi Nababan, Loc.Cit. ]. Sebagaimana dijelaskan oleh Jeffrey D. Bauman, bahwa duty of care menuntut direktur atau direksi dalam bertindak adalah untuk kepentingan terbaik perusahaan dengan tetap berhati-hati dalam mengambil keputusan dan mengawasi urusan perusahaan. Sedangkan duty of loyalty menuntut direktur atau direksi untuk menempatkan kepentingan perusahaan di atas kepentingannya sendiri [ Jeffrey D. Bauman, Loc.Cit. ]. Adapun Hamilton dan Freer menyebutkan bahwa fiduciary duty tersebut mengandung 3 hal utama, yaitu good faith, care, dan loyalty [Lihat Robert W. Hamilton dan Richard D. Freer, Op.Cit., hlm.150] . Berlandas pada fiduciary duty , Direksi dituntut untuk bertindak dengan penuh kepedulian semata untuk kepentingan perseroan ( duty of care ), selalu mendasarkan diri pada itikad baik ( duty of good faith ), penuh kehati-hatian ( duty of prudently ), dan dengan penuh tanggung jawab ( full sense od responsibility ) yang tentunya berlandaskan pada kejujuran, dan hal ini sebenarnya merupakan satu kesatuan dari Tata Kelola Perusahaan Yang Baik atau yang dikenal dengan Good Corporate Governance [Lihat Henry R. Cheeseman, 2001, Business Law: Ethical, International & E-Commerce Environment, New Jersey: Prentice Hall Inc., hlm.759-766; Prasetio , Op.Cit. , hlm.2-3]. __ 176 Kewajiban yang demikian, tiada lain karena dalam dunia usaha (termasuk dalam korporasi), manajer atau direktur dari korporasi tersebut memiliki kewajiban untuk melakukan bisnis. Bahkan dapat dikatakan bahwa pada jabatan direktur akan selalu melekat fiduciary duty. [Lihat Robert W. Hamilton dan Richard D. Freer, Op.Cit., hlm.151]. Mereka (manajer dan direktur) diberikan kewenangan (melalui fiduciary duty tersebut) untuk melakukan hal tersebut (melakukan bisnis), dan harus dipahami bahwa tugas (melalui fiduciary duty tersebut) adalah dilakukan demi kepentingan korporasi [Lihat Ibid .]. Adapun dalam konteks business judgement rule diatur dalam Pasal 97 UU PT: (1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1); _ (2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab ^ (Penjelasan Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “penuh tanggung jawab” _adalah memperhatikan Perseroan dengan seksama dan tekun); _ (3) Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud _pada ayat (2); _ (4) Dalam hal direksi terdiri dari 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung _renteng bagi setiap anggota direksi; _ (5) Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian _sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:

        a.

        _ _Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

        b.

        Telah_ melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk _kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

        c.

        Tidak_ mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung _atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

        d.

        Telah_ mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut (Penjelasan Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Perseroan 177 Terbatas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian” termasuk juga langkah-langkah untuk memperoleh informasi mengenai tindakan pengurusan yang dapat mengakibatkan kerugian, antara lain melalui forum rapat Direksi) _; _ Dengan ketentuan demikian, maka berdasarkan Pasal 97 ayat (2) UU PT, kepengurusan perusahaan yang berada di tangan direksi, haruslah dilakukan dengan berdasarkan itikad baik, bertanggung jawab, dan tujuannya dilakukan kepengurusan perseroan. Apabila tindakan direksi yang menimbulkan kerugian tidak dilandasi itikad baik, maka ia dapat dikategorikan telah melakukan pelanggaran fiduciary duty yang melahirkan tanggung jawab pribadi [Lihat Henrikus Renjaan, 2017, Pentingnya Impelementasi Prinsip Kemandirian Direksi Terhadap Proses Penghapusan Piutang Bank BUMN di Indonesia, Disertasi, Yogyakarta: FH UGM, hlm.78-79; Ridwan Khairandy, 2014, Hukum Perseroan Terbatas, Yogyakarta: UII Press, hlm.304]. Pada Pasal 97 ayat (5) terdapat kata “ Anggota direksi tidak dapat _dipertanggungjawabkan atas kerugian... apabila dapat membuktikan:

        .

        ..”,_ dengan ketentuaan yang demikian terlihat bahwa konteks pembuktian business judgement rule di Indonesia berbeda secara diameteral dengan di Amerika, di mana pihak yang berkewajiban untuk membuktikan bahwa pengambilan keputusan bisnis dalam hal pengurusan perseroan telah dilakukan dengan itikad baik, penuh kehati-hatian, dan semata untuk kepentingan serta maksud dan tujuan perseroan ada pada pihak direksi, bukan pada orang yang “menggugatnya”. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa beban pembuktian telah dilaksanakannya business judgement rule tersebut ada pada pihak direksi [Lihat Hasbullah F. Sjawie, Op.Cit., hlm.121-122]. Berdasarkan penjelasan di atas, maka terhadap dalil tersebut, dapat diajukan argumentasi penolakan sebagai berikut: Pertama, timbulnya hutang pajak menurut ajaran materiil, hutang pajak timbul karena undang-undang, bukan karena ketetapan fiskus. Sehingga, apabila kemudian sebelum keluarnya ketetapan wajib pajak tersebut meninggal dunia, maka hutang pajak akan beralih kepada ahli warisnya, karena bunyi UU KUP memang mengatur bahwa pajak pendapatan sudah timbul pada permulaan tahun pajak, sehingga (tanpa perlu menunggu adanya ketetapan fiskus) kewajiban pembayaran 178 pajak tersebut telah ada demi hukum [Lihat S.F. Marbun, Op.Cit. , hlm.327; bdk S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Op.Cit. , hlm.131-138]. Kedua, sebagaimana keterangan Termohon bahwa secara umum timbulnya utang pajak berbanding lurus dengan tambahan kemampuan ekonomi Wajib Pajak pada saat itu. Apabila Wajib Pajak memperoleh laba, maka serta merta akan terutang pajak, sebaliknya apabila Wajib Pajak merugi maka tidak akan ada utang pajak yang timbul. Oleh karenanya tidak dapat menempatkan alasan ketidakmampuan secara finansial Wajib Pajak saat ini, yang menyebabkan jatuhnya pailit, dengan kemampuan finasial saat munculnya kewajiban perpajakan sebelum terjadinya pailit. Munculnya utang pajak secara umum diakibatkan karena pengurus pada saat itu tidak segera melunasi kewajiban perpajakannya secara self assesment saat syarat subjektif dan objektifnya terpenuhi. Adalah suatu konsekuensi hukum yang wajar dan logis menurut undang-undang di bidang perpajakan jika Pemohon selaku Pengurus/Direktur dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi dan tanggung renteng atas utang pajak yang timbul semasa kepengurusannya. Tegasnya, seandainya ketika hutang pajak tersebut timbul Pemohon telah melakukan pengelolaan dengan baik, maka tidak seharusnya hutang pajak tersebut bertumpuk dan sampai harus menjadi tanggung jawab pribadi Pemohon seperti sekarang ini. Kata “kelola” secara gramatikal bermakna mengendalikan atau menyelenggarakan, adapun dalam konteks perusahaan, bermakna menjalankan dan/atau mengurus. Sehingga, kata “pengelolaan” bermakna sebagai proses dan/atau perbuatan dan/atau cara mengelola [Lihat Pusat Bahasa Depdiknas, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, hlm.719]. Istilah tersebut diambil dari istilah dari hukum perusahaan berupa beheer van daden (mengurus perseroan), yang dirumuskan secara positif dalam Pasal 92 ayat (1) UU PT: “ Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan ”. Adapun maknanya adalah setiap perbuatan yang perlu atau termasuk golongan perbuatan yang biasa dilakukan untuk mengurus atau memelihara perserikatan perdata [Lihat Prasetio, 2013, Penerapan “ Business Judgement Rule” Dalam Restrukturisasi Transaksi Komersial PT (Persero), Berdasarkan 179 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Ringkasan Disertasi) , Yogyakarta: PDIH FH UGM, hlm.100]. Sebagai penutup, kiranya penting untuk melihat pendapat Rochmat Soemitro, bahwa dalam mengatur perihal perpajakan dalam undang-undang tersebut telah dicantumkan perihal siapa (subjek) yang dikenakan kewajiban pajak, apa (objek) yang dikenakan pajak, dan berapa besarnya (tarif) yang harus dibayarkan, maka menurutnya hal demikian sudah dapat memberikan kepastian hukum dalam menjamin “hak pungut” pajak oleh negara melalui Direktur Jenderal Pajak [Lihat Rochmat Soemitro, 1988, Pajak Ditinjau Dari Segi Hukum, Bandung: Eresco, hlm.1-2]. Jikapun dirasa terjadi ketidakadilan (menurut Wajib Pajak), maka menurutnya saluran hukum untuk mencari keadilan, yaitu baik melalui lembaga surat keberatan maupun melalui surat banding ke Majelis Pertimbangan Pajak [Lihat Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Bandung: Refika Aditama, hlm.42]. Ahli berkesimpulan bahwa Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU 6/1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU 16/2009 (UU KUP) tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. [2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.

        3.

        PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik 180 Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999, selanjutnya disebut UU KUP) terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:

        a.

        perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);

        b.

        kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

        c.

        badan hukum publik atau privat; atau

        d.

        lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu: 181 a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;

        b.

        ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:

        a.

        adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

        b.

        hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

        c.

        kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

        d.

        adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

        e.

        adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:

        1.

        Bahwa hal yang dimohonkan Pemohon adalah agar: a) Pasal 32 ayat (2) UU UU KUP yang menyatakan, “Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut”, dimaknai termasuk pengurus yang 182 badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; b) Pasal 2 ayat (6) UU KUP yang menyatakan, “Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:

        a.

        diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;

        b.

        Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;

        c.

        Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau

        d.

        dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”, dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

        2.

        Bahwa Pemohon menyatakan memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Hak konstitusional tersebut dirugikan oleh ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP karena Pemohon sebagai Direktur dan Penanggung Pajak perusahaan (badan hukum), yang perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit, tetap dikenai tagihan utang pajak oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak; serta di sisi lain NPWP atas nama Pemohon tidak dihapus oleh Dirjen Pajak meskipun perusahaan yang dikelola Pemohon telah dinyatakan pailit;

        4.

        Bahwa Pemohon menyatakan diri sebagai Warga Negara Indonesia (vide Lampiran berupa KTP atas nama Pemohon) yang menjadi Direktur dan Penanggung Pajak perusahaan PT United Coal Indonesia (PT. UCI) hingga ketika perusahaan tersebut dinyatakan pailit, yang status hukum pailit demikian berdasar pada Putusan Pengadilan Niaga Jakarta (vide Bukti P-3); 183 5. Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP mengakibatkan secara faktual Pemohon tetap dikenai tagihan oleh Dirjen Pajak agar melunasi utang pajak PT UCI karena Pemohon adalah Direktur dan Penanggung Pajak PT UCI, padahal PT UCI sendiri telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, di mana proses kurasi sudah selesai dilaksanakan oleh kurator;

        6.

        Bahwa Pemohon sebagai Warga Negara Indonesia dilindungi haknya secara hukum oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebagaimana didalilkan Pemohon sendiri dalam permohonannya;

        7.

        Bahwa anggapan kerugian yang dialami Pemohon, yaitu penagihan utang pajak PT UCI oleh Dirjen Pajak kepada Pemohon, dimungkinkan untuk tidak lagi terjadi ketika Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon dimaknai “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”; demikian pula kerugian bahwa tagihan pajak tersebut, yang dimungkinkan ditujukan Dirjen Pajak kepada Pemohon karena NPWP Pemohon masih aktif padahal PT UCI (sebagai badan hukum yang menggunakan NPWP Pemohon sebagai identitas Wajib Pajak) telah pailit, akan tidak lagi terjadi jika Pasal 2 ayat (6) UU 28/2007 dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Dirjen Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;

        8.

        Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil permohonan Pemohon, Mahkamah menilai Pemohon telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara anggapan kerugian konstitusionalitas yang dijelaskan dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian, oleh karenanya, Pemohon mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam perkara a quo ; [3.6] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. 184 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas bersyarat Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:

        1.

        Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan Pemohon karena tetap membebankan pelunasan utang pajak kepada penanggung pajak perusahaan ( in casu Pemohon) meskipun perusahaan dimaksud telah dinyatakan pailit dan sedang dibereskan kurator;

        2.

        Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 2 ayat (6) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan Pemohon karena tidak menghapus NPWP atas nama perusahaan (di mana penanggung pajak perusahaan, in casu adalah Pemohon) padahal perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit dan sedang dilakukan pemberesan oleh kurator. Tidak adanya penghapusan NPWP tersebut mengakibatkan Pemohon ditagih pelunasan utang pajak dan jumlah/nominal utang pajak tersebut terus bertambah;

        3.

        Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan, pertama, Pasal 32 ayat (2) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Kedua, Pasal 2 ayat (6) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. [3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14, serta mengajukan dua orang Ahli bernama Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeni, S.H., dan Prof. Dr. Tjip Ismail, S.H., yang keduanya telah didengar keahliannya dalam sidang bertanggal 22 September 2020 serta telah diterima pula keterangan tertulis dari kedua Ahli tersebut. Pemohon juga mengajukan tiga orang Saksi 185 bernama Andrey U Sitanggang , Vychung Chongson , dan Rio Ferry Sihombing , yang telah didengar keterangannya dalam persidangan tanggal 22 September 2020; [3.9] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan secara tertulis bertanggal 18 Agustus 2020, serta menyampaikan keterangan secara lisan (diwakili oleh Anggota DPR bernama Mukhamad Misbakhun ) dalam persidangan tanggal 18 Agustus 2020; [3.10] Menimbang bahwa Presiden juga telah memberikan keterangan terkait permohonan Pemohon berupa dua keterangan tertulis, yaitu Keterangan Presiden tanpa tanggal dan Keterangan Tambahan Presiden tanpa tanggal, September 2020, disertai Lampiran. Presiden telah pula mengajukan 4 (empat) ahli yang keempatnya mengajukan keterangan tertulis, yaitu Dr. Abdul Anshari Ritonga, S.E., S.H., M.A., Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H., Dr. Dian Puji N Simatupang, S.H., M.H., dan Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn. Dua di antara Ahli tersebut, yaitu Dr. Abdul Anshari Ritonga, S.E., S.H., M.A dan Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H., telah pula didengar penjelasannya dalam persidangan tanggal 14 Oktober 2020; [3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara cermat dalil permohonan Pemohon dan alat bukti yang diajukan, isu konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah berkenaan dengan permohonan a quo adalah apakah seorang Penanggung Pajak suatu perusahaan (perusahaan sebagai Wajib Pajak Badan) dapat tetap dikenai tagihan pelunasan utang pajak manakala perusahaan bersangkutan telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan. Dalam kaitannya dengan itu, Mahkamah harus pula mempertimbangkan apakah bagi Wajib Pajak Badan yang telah dinyatakan pailit, NPWP perusahaan bersangkutan tetap ada sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan, ataukah undang-undang harus memerintahkan Dirjen Pajak untuk menghapus NPWP demikian sebagaimana dimohonkan Pemohon. [3.12] Menimbang bahwa Mahkamah perlu memberikan pendapat mengenai kejelasan permohonan Pemohon. Secara umum Mahkamah dapat memahami isi permohonan Pemohon, apalagi telah dijelaskan oleh Pemohon serta dijawab oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, serta telah pula diterangkan oleh para ahli. 186 Namun, jika dibaca terpisah dari posita, rumusan Petitum Nomor 2 dalam permohonan Pemohon memberikan dua pemahaman berbeda, yaitu:

        a.

        apakah makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dimaksudkan Pemohon sebagai perluasan makna kata “Wakil” yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP; atau

        b.

        apakah makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” merupakan perluasan makna frasa “mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut” sebagaimana termaktub dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP. Namun, dengan menghubungkan makna antara Pasal 32 ayat (2) dengan Pasal 32 ayat (1) UU KUP, Mahkamah memahami bahwa makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” yang dirumuskan Pemohon dalam Petitum Nomor 2 dimaksudkan sebagai perluasan kategori pihak yang tidak dibebani tanggung jawab atas pajak terutang. Dengan kalimat lain, Pemohon memohonkan agar Mahkamah memaknai Pasal 32 ayat (2) antara lain bahwa pengurus badan hukum, yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit, tidak dibebani tanggung jawab untuk melunasi pajak terutang; [3.13] Menimbang bahwa NPWP pada dasarnya adalah nomor registrasi atau nomor identitas yang dikeluarkan oleh negara, in casu Dirjen Pajak bagi Wajib Pajak. Menurut Mahkamah, sebagai sebuah identitas, NPWP bukan merupakan hal yang menyebabkan munculnya tagihan pajak. Tagihan pajak atau utang pajak muncul karena aktivitas keuangan yang dilakukan oleh setiap Wajib Pajak baik perorangan atau pun badan hukum, sementara NPWP merupakan identitas yang digunakan sebagai salah satu instrumen untuk menagihkan utang pajak tersebut kepada Wajib Pajak. Artinya, sebenarnya, terhadap tagihan pajak dapat dibebankan, baik pada orang yang memiliki NPWP atau orang yang tidak memiliki NPWP, yang disebabkan adanya perhitungan aktivitas keuangan yang memberikan nilai tambah dan keuntungan kepada Wajib Pajak. NPWP juga bukan merupakan sebuah aktivitas maupun dokumen hukum yang memunculkan status Wajib Pajak. Status 187 Wajib Pajak lahir ketika entitas tertentu, baik perorangan atau pun badan hukum, melakukan kegiatan ekonomi khususnya kegiatan finansial yang menghasilkan nilai lebih/keuntungan. [3.14] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan permohonan Pemohon, seandainya permohonan dikabulkan, yaitu Pasal 32 ayat (2) UU KUP dimaknai “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”, maka NPWP perusahaan (di mana Pemohon bertindak sebagai penanggung pajak) memang akan hapus, namun menurut Mahkamah hapusnya NPWP demikian tidak lantas menghilangkan status perusahaan dan/atau Pemohon sebagai Wajib Pajak. Hal demikian karena status Wajib Pajak timbul bukan karena adanya NPWP melainkan karena terpenuhinya syarat subjektif dan syarat objektif yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU 7/1983); Pasal 2 ayat (1) UU 7/1983 antara lain mengatur bahwa, “(1) Yang menjadi Subyek Pajak adalah:

        a.
        1. orang pribadi atau perseorangan;
        2)

        warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak;

        b.

        badan yang terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga, dan bentuk usaha tetap.” Adapun Pasal 4 ayat (1) UU 7/1983 antara lain mengatur bahwa, “(1) Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya:

        a.

        gaji, upah, komisi, bonus, atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan;

        b.

        honorarium, hadiah undian dan penghargaan;

        c.

        laba bruto usaha;

        d.

        keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta karena likuidasi;

        e.

        penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya;

        f.

        bunga; 188 g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang, dibayarkan oleh perseroan, pembayaran dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada pengurus dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada anggota;

        h.

        royalti;

        i.

        sewa dari harta;

        j.

        penerimaan atau perolehan pembayaran berkala”; [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan hal demikian, menurut Mahkamah dalam konteks permasalahan konkret yang dihadapi Pemohon, isu konstitusionalitas penghapusan NPWP tidak dapat dipisahkan dari ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 UU 7/1983 yang mengatur mengenai subjek dan objek pajak. Kewajiban bagi Wajib Pajak agar mempunyai NPWP diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU KUP. Ketentuan ini mengatur kewajiban bagi setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif agar mendaftarkan diri kepada Dirjen Pajak yang kemudian kepadanya diberikan NPWP. Sebagaimana diuraikan Mahkamah sebelumnya, kewajiban perpajakan tidak lahir karena terbitnya NPWP, melainkan sejak adanya kegiatan ekonomi yang mengakibatkan adanya suatu pertambahan nilai. Demikian pula apabila Wajib Pajak memperoleh laba maka serta merta akan timbul utang pajak, sebaliknya apabila Wajib Pajak merugi maka tidak akan timbul utang pajak. Konsep teoritis demikian juga ditegaskan oleh Pasal 2 ayat (4a) UU KUP yang menyatakan, “Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau … dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif … ”. Dengan demikian, menurut Mahkamah jika Pemohon berkehendak agar dengan hapusnya NPWP perusahaan di mana Pemohon menjadi penanggung pajak lantas berakibat hapusnya pula kewajiban perpajakan perusahaan bersangkutan, maka hal demikian tidak akan tercapai seandainya pun Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon yaitu menambahkan makna pada Pasal 2 ayat (6) UU KUP agar penghapusan NPWP oleh Dirjen Pajak meliputi juga bagi Wajib Pajak badan yang telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; Dengan kata lain, Mahkamah berpendapat bahwa NPWP, sesuai nama panjangnya yaitu “Nomor Pokok...” sebenarnya lebih tepat dilihat sekadar sebagai sebuah nomor identitas atau angka penanda bagi Wajib Pajak, dan bukan sebuah sumber materiil yang memunculkan suatu kewajiban perpajakan. Menghilangkan 189 atau menghapuskan kewajiban perpajakan, seandainya diperlukan, tidak dapat dilakukan hanya dengan penghapusan nomor pokok wajib pajak atau nomor identitas lain yang berfungsi sama dengan itu; [3.16] Menimbang bahwa selain berkaitan langsung dengan NPWP, permohonan Pemohon menurut Mahkamah sebenarnya hendak mempersoalkan konstitusionalitas penagihan pajak perusahaan kepada Pemohon sebagai penanggung pajak, padahal perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit. Untuk menjawab isu konstitusionalitas demikian Mahkamah perlu menguraikan perihal utang perusahaan, jenis pajak, pihak yang membayar pajak perusahaan dan penanggung pajak badan, serta hubungan antara perusahaan dengan pengurus/direksi badan hukum; [3.17] Menimbang bahwa utang perusahaan pada dasarnya merupakan salah satu pilihan sumber pembiayaan perusahaan. Setidaknya, utang dapat dipahami sebagai dua hal, yaitu a) sebagai kewajiban membayar/melunasi yang timbul dari hubungan kontraktual keperdataan di mana satu pihak meminjam dan pihak lainnya meminjamkan, yang hubungan kontraktual ini memunculkan keberadaan debitur dan kreditur; b) kewajiban membayar/melunasi yang timbul sebagai konsekuensi hubungan perpajakan, dalam ranah hukum publik atau hukum administrasi, antara warga negara (termasuk badan hukum) dengan negara, di mana memunculkan status hukum Wajib Pajak dan Pemungut Pajak (Negara diwakili petugas pajak/fiskus); Bahwa secara universal utang dalam konteks yang pertama, yaitu utang sebagai hubungan kontraktual antara dua pihak atau lebih, adalah kewajiban penerima pinjaman (disebut pihak yang berutang atau debitur) kepada pemberi pinjaman (disebut pihak yang berpiutang atau kreditur) untuk mengembalikan atau membayar kembali sejumlah uang/pembiayaan. Sementara utang dalam konteks kedua, yaitu utang pajak adalah kewajiban perseorangan termasuk badan hukum untuk membayar sejumlah uang kepada negara bukan karena negara pernah meminjamkan sejumlah uang/pembiayaan kepada yang bersangkutan sebelumnya, melainkan sebagai pungutan yang diwajibkan oleh negara kepada Wajib Pajak, antara lain, untuk pembiayaan pembangunan negara. [3.18] Menimbang bahwa Pajak merupakan hak konstitusional Negara atas rakyatnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan, 190 “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian hak negara untuk memungut pajak adalah hak mutlak yang tidak dapat ditolak. Namun hal demikian tidak lantas negara, melalui fiskus (petugas/instansi pengumpul pajak), dapat bertindak sewenang- wenang dalam menentukan besaran dan tata cara pemungutan pajak. Pasal 23A UUD 1945 di atas menegaskan bahwa “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa” hanya boleh diterapkan selama ditujukan “untuk keperluan negara”. Pasal a quo juga mengatur bahwa pajak dan pungutan ini harus “diatur dengan undang-undang”. Pengaturan pajak dengan undang-undang tidak lain bertujuan agar setiap pembebanan pajak mendapat persetujuan dari lembaga yang merupakan representasi rakyat (asas no taxation without representation ). [3.19] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan pajak yang dipungut kepada badan hukum, Mahkamah perlu mempertimbangkan juga mengenai apa atau siapa yang dimaksud sebagai badan hukum. Dengan kata lain, Mahkamah melalui Putusan ini perlu memperjelas kembali mengenai badan hukum sebagai subjek hukum dan bagaimana sebuah badan hukum (yang bukan orang atau manusia) dapat menjalankan aktivitas sehari-hari, baik aktivitas hukum maupun yang bukan hukum. Mahkamah memandang bahwa badan hukum merupakan kepanjangan atau perluasan dari kepentingan manusia, baik kepentingan perorangan (individu) maupun kepentingan bersama (kolektif). Bentuk badan hukum mula-mula (tradisional) adalah usaha dagang, koperasi, dan yayasan. Usaha dagang merupakan badan hukum yang dikuasai dan diijalankan oleh perorangan, sementara koperasi dan yayasan merupakan badan usaha yang dikuasai atau dijalankan secara kolektif. Badan hukum yang dikuasai bersama dapat dikatakan pada mulanya merupakan penyatuan individu atau kerjasama individu yang bersifat kontraktual. Kerja sama, yang mulanya hanya melibatkan gabungan individu, selanjutnya oleh hukum diwadahi sebagai sebuah organisasi kerja sama baik kerja sama dalam hal penggabungan modal, penggabungan tenaga, ataupun yang lainnya. Selanjutnya badan hukum berkembang semakin kompleks menjadi perseroan terbatas, bahkan berkembang bentuk perusahaan multinasional dengan karakteristik berbeda; 191 [3.20] Menimbang bahwa badan hukum dengan demikian merupakan sebuah status bagi perhimpunan atau organisasi yang beranggotakan perorangan/individu. Namun, badan hukum bukan-lah individu itu sendiri. Hal istimewa dari status sebuah badan hukum ini adalah bahwa organisasi yang berstatus badan hukum dianggap mempunyai hak dan kewajiban yang relatif sama dengan hak dan kewajiban manusia/orang; Akan tetapi dalam praktiknya hak dan kewajiban badan hukum tentu tidak dapat dilaksanakan/ditunaikan sendiri oleh badan hukum bersangkutan. Hal demikian tidak lain karena badan hukum “hanya” sebuah status dan bukan manusia/orang, sementara kemampuan untuk berpikir, bersikap, maupun bertindak secara fisik hanya dimiliki oleh manusia/orang. Berdasarkan kondisi alamiah demikian, maka badan hukum sebagai sebuah status/organisasi membutuhkan keberadaan manusia/orang untuk mengurus atau menjalankan status/organisasi tersebut. Di titik ini lah kemudian, menurut Mahkamah, muncul keberadaan manusia/orang yang menjadi representasi atau perwakilan dari suatu badan hukum. Selanjutnya hukum (peraturan perundang-undangan) memilah atau mengklasifikasi badan hukum menjadi beberapa bentuk/jenis yang masing-masing jenis mempunyai sebutan atau istilah tertentu bagi pihak yang mewakili badan hukum tersebut. Sebutan demikian antara antara lain direksi, pengurus, pemilik, bendahara, sekutu, dan sebagainya. [3.21] Menimbang bahwa karena badan hukum merupakan sebuah status yang dikonstruksikan dari perorangan/individu, maka prinsip pemajakannya pun mengikuti prinsip pemajakan perorangan. Dalam perpajakan, selain istilah subjek pajak -yang merujuk pada perorangan dan badan- dikenal pula istilah objek pajak. Objek pajak merujuk pada harta yang dikenai pajak, yaitu harta yang berada di bawah penguasaan subjek pajak. Kedua pengertian tersebut menunjukkan bahwa pajak pada dasarnya adalah sebuah pungutan resmi oleh negara yang pungutan demikian mengikuti subjek pajak dan objek pajak; Badan hukum pun wajib mematuhi ketentuan mengenai jenis dan besaran pajak yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan mengenai pajak, antara lain baik pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pajak badan. Semua undang-undang yang mengatur jenis dan besaran tarif demikian berlaku mengikat bagi badan hukum sebagai wajib pajak selama undang- 192 undang bersangkutan belum diubah, dibatalkan, atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945; Dengan konstruksi bahwa (pungutan) pajak timbul seketika/bersamaan dengan terciptanya nilai lebih (laba atau keuntungan) dari suatu transaksi ekonomi, maka sebenarnya secara logika tidak mungkin ada tagihan pajak yang tidak dapat dibayar. Dengan catatan tidak dapat dibayar di sini diartikan sebagai tidak ada sumber dana untuk melunasinya. Pada praktiknya laba memang tidak selalu seiring dengan ketersediaan cashflow , namun selama masih terdapat laba/keuntungan maka pajak pasti dapat ditunaikan mengingat logika pungutan pajak adalah mengambil sebagian dari keuntungan/penghasilan yang sudah ada/terjadi. Hal ini berbeda dengan logika pungutan yang dikenakan terhadap suatu kegiatan yang baru akan dilakukan, misalnya biaya perijinan; Apalagi sudah sangat jelas di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007), yaitu pada Penjelasan Pasal 70 ayat (1) dijelaskan bahwa, “Yang dimaksud dengan “laba bersih” adalah keuntungan tahun berjalan setelah dikurangi pajak”. Ketentuan lain dalam UU 40/2007, antara lain Pasal 71, menegaskan bahwa laba perusahaan yang dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham adalah laba bersih (bahkan laba bersih setelah disisihkan sebagian sebagai dana cadangan). Kedua ketentuan tersebut merupakan mekanisme kerja yang wajib dilaksanakan bagi sebuah badan hukum, in casu Perseroan Terbatas. Artinya, jika suatu PT telah melaksanakan ketentuan pendirian dan/atau ketentuan operasional PT sebagaimana dirumuskan oleh UU 40/2007, maka menurut penalaran yang wajar seharusnya tidak terjadi kegagalan dalam melunasi/membayar pajak. Berdasarkan hal demikian, Mahkamah berpendapat terjadinya keterlambatan pembayaran pajak oleh wajib pajak adalah ketika pajak ditunda pembayarannya oleh wajib pajak, namun kemudian bagian dari laba atau keuntungan yang seharusnya dibayarkan kepada negara sebagai pajak tersebut terpakai untuk kepentingan lain. Pada akhirnya wajib pajak mengalami kesulitan bahkan tidak mampu melunasi utang pajak atau tagihan pajak; [3.22] Menimbang bahwa di sisi lain Mahkamah perlu menegaskan bahwa pajak tidak boleh dihitung/dikenakan untuk kegiatan perusahaan yang telah dinyatakan pailit dan sedang dalam pemberesan kurator karena perusahaan dalam posisi 193 demikian tentunya tidak sedang beroperasi untuk memperoleh laba/keuntungan, kecuali secara nyata dapat diketahui bahwa masih ada kegiatan perusahaan yang dilakukan atas persetujuan hakim pengawas dan kegiatan demikian mendatangkan kewajiban perpajakan. Mahkamah berpendapat pajak tetap dapat dikenakan atas keuntungan/laba yang telah timbul akibat operasional perusahaan sebelum perusahaan dinyatakan pailit, dan juga dapat dikenakan atas keuntungan yang baru diterima ketika perusahaan telah berstatus pailit. Adalah sangat mungkin sebagian laba atau bahkan keseluruhan laba secara teknis baru diterima perusahaan beberapa saat setelah transaksi terjadi, di mana laba diterima pada saat perusahaan sudah dinyatakan pailit. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, maka terhadap persoalan yang dialami Pemohon yang sesungguhnya, yaitu adanya keberatan atas tagihan pajak badan (perseroan) yang sudah dinyatakan pailit namun penagihannya ditujukan kepada Pemohon sebagai perorangan (mantan pengurus perusahaan sebelum pailit), menurut Mahkamah hal tersebut merupakan permasalahan implementasi dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma UU, sehingga bukan menjadi wewenang Mahkamah untuk menilainya. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas berkenaan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 2 ayat (6) UU KUP adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.23] Menimbang bahwa selanjutnya terhadap Pasal 32 ayat (2) UU KUP, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.12] di atas, Pemohon pada pokoknya memohonkan agar Mahkamah memaknai Pasal 32 ayat (2) antara lain bahwa pengurus badan hukum, yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit, tidak dibebani tanggung jawab untuk melunasi pajak terutang. Terhadap permohonan demikian, pertimbangan Mahkamah tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan hukum yang telah diuraikan di atas. Dengan konstruksi bahwa seharusnya pajak telah dapat dibayarkan setelah laba/keuntungan diterima, bahkan sebelum laba dibagikan sebagai dividen kepada para pemegang saham, maka menurut Mahkamah tidak ada alasan hukum apapun yang dapat melepaskan tanggung jawab perusahaan akan pajak dimaksud. 194 Bahwa berangkat dari kondisi demikian, maka tidak terbayarkan atau tidak terlunasinya pajak merupakan kelalaian atau kesengajaan dari pengurus, sehingga menjadi tanggung jawab pengurus perusahaan. Tentu saja, secara teknis, ada beberapa faktor eksternal atau peristiwa force majeur yang dapat menggagalkan upaya pembayaran pajak, atau bisa juga terjadi human error berupa kesalahan hitung atas beban pajak yang seharusnya dibayarkan. Namun hal demikian menurut Mahkamah tidak lantas mengakibatkan norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP menjadi bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa adanya peristiwa di luar kemampuan manusia pada umumnya, yang mungkin menggagalkan upaya pemenuhan kewajiban perpajakan, merupakan kewenangan Dirjen Pajak dan badan peradilan pajak untuk menilainya. Bahkan dalam Pasal 32 ayat (2) UU a quo sudah diberikan pengecualian bahwa wakil wajib pajak tidak bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara tanggung renteng untuk melunasi utang pajak selama “dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut”; [3.24] Menimbang bahwa untuk menjawab konstitusionalitas norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang membebankan tanggung jawab pelunasan pajak kepada pengurus, menurut Mahkamah norma a quo harus dibaca secara utuh dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU KUP yang mengatur: “Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal:

        a.

        badan oleh pengurus;

        b.

        badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;

        c.

        badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;

        d.

        badan dalam likuidasi oleh likuidator;

        e.

        suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau

        f.

        anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya”. Bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU a quo mengatur suatu badan hukum sebagai wajib pajak diwakili oleh: a) pengurus; b) kurator dalam hal badan dinyatakan pailit; c) orang/badan yang ditugaskan melakukan pemberesan dalam hal badan dibubarkan; atau d) likuidator dalam hal badan dilikuidasi. Dengan tetap merujuk pada konstruksi timbulnya pajak dan/atau utang pajak sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah kelalaian atau kesengajaan yang 195 mengakibatkan tidak terbayarkannya pajak secara nalar hanya dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada pengurus yang aktif mengurusi badan hukum ketika belum dinyatakan pailit, dibubarkan, atau dilikuidasi. Hal demikian karena pengurus- lah yang memutuskan apakah akan langsung membayar pajak ketika perusahaan memperoleh laba/keuntungan (atau pemasukan lain) atau menunda pembayarannya hingga berujung pada kegagalan membayar pajak. Dengan kata lain, tanggung jawab penyelesaian kewajiban pajak badan ada pada pengurus badan tersebut. Apabila berpijak pada ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU a quo, maka penunjukan subjek hukum sebagai wakil adalah sangat tergantung pada subjek hukum utama yang akan diwakilinya. Dalam kasus a quo , terhadap badan yang telah dinyatakan pailit maka tanggung jawab pengurus berpindah kepada wakil badan yang dalam hal ini adalah kurator. Berdasarkan hal demikian, tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, Mahkamah berpendapat pemberesan utang-utang badan yang telah dinyatakan pailit terhadap pihak lain haruslah dilakukan oleh kurator bersama- sama dengan penyelesaian/pemberesan kewajiban-kewajiban lainnya. Adapun tanggung jawab yang harus ditanggung oleh pengurus badan sangat tergantung pada sejauh mana kerugian timbul akibat adanya unsur kelalaian atau kesengajaan dari pengurus pada saat masih aktif menjalankan kepengurusan badan yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan mekanisme penyelesaian kerugian yang bermula dari kelalaian atau kesengajaan pengurus, hal demikian bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi; [3.25] Menimbang bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Menurut Mahkamah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berlaku kepada semua orang, dalam hal ini direksi suatu badan hukum mempunyai hak konstitusional untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; dan begitu pula masyarakat serta semua pihak yang mempunyai hubungan (kerja) dengan badan hukum tertentu mempunyai hak konstitusional yang sama pula yaitu memeroleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 196 Bahwa ditetapkannya pengurus sebagai wakil dari suatu wajib pajak berbentuk badan tentunya bertujuan untuk menjamin kepastian bahwa tindakan suatu badan hukum dapat dimintai pertanggungjawaban, setara dengan dijaminnya hak suatu badan hukum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu demi kepentingan badan hukum dimaksud (yang notabene kepentingan demikian berujung pada kepentingan pengurus dan pemegang saham). Pengurus menjadi pihak utama yang dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan/tindakan suatu badan hukum karena memang dalam keseharian pengurus lah yang menjalankan atau mengoperasikan badan hukum. [3.26] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum demikian, Mahkamah menilai pembebanan tanggung jawab suatu badan hukum (yang tidak dapat bertindak apa-apa tanpa bantuan manusia) kepada seorang atau sekelompok pengurus bukanlah hal yang bertentangan dengan UUD 1945. Demikian pula dalam hal kewajiban perpajakan perusahaan, dengan pertimbangan hukum yang sama Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan yang membebankan penyelesaian kewajiban perpajakan suatu badan ( in casu utang pajak perusahaan pailit) kepada pengurus badan yang diwakili oleh kurator adalah bersesuaian dengan UUD 1945. Bahwa persesuaian norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP dengan norma UUD 1945 terutama dalam hal memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil kepada semua pihak yang berinteraksi dengan badan hukum, di mana Pemohon menjadi pengurus badan hukum, sebagaimana diatur Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah, salah satu wujud hak pihak lain yang berinteraksi dengan badan hukum adalah hak Negara untuk menerima pembayaran pajak dari suatu badan hukum tertentu melalui pihak atau orang yang bertindak sebagai pengurus badan hukum tersebut; Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas berkenaan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.27] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. 197 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).

        5.

        AMAR PUTUSAN Mengadili: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Suhartoyo, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, dan Manahan M.P. Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis , tanggal dua belas, bulan November , tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis , tanggal empat belas, bulan Januari , tahun dua ribu dua puluh satu , selesai diucapkan pukul 10.50 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Suhartoyo, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, dan 198 Manahan M.P. Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Arief Hidayat ttd. Suhartoyo ttd. Saldi Isra ttd. Wahiduddin Adams ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Manahan M.P. Sitompul PANITERA PENGGANTI, ttd. Mardian Wibowo

        • 1
        • ...
        • 85
        • 86
        • 87
        • ...
        • 122