Pengesahan Persetujuan Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia
Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwak ...
Relevan terhadap
Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggung jawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir (2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi realisasi APBN, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan kementerian/ lembaga. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 www.mahkamahkonstitusi.go.id Bahwa pada Buku Panduan tentang Anggaran dan Pengawasan Keuangan yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal DPR-RI hasil kerjasama dengan United Nations Development Programe (UNDP) dapat ditemukan 11 (sebelas) tahapan Penyusunan, Pembahasan, dan Penetapan APBN, seperti terlihat pada tabel di bawah ini: (bukti P-12) Tabel: Timeline Penyusunan, Pembahasan dan Penetapan APBN Nomor Aktivitas Pelaksana Waktu Catatan 1. Penyiapan dokumen awal berupa rencana kegiatan kementerian/ lembaga negara untuk kemudian diserahkan pada Departemen Keuangan Kementerian/ Lembaga Negara Januari – Mei tahun sebelumnya 2. Pengolahan dokumen awal menjadi paket pokok- pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro Departemen Keuangan/ Bappenas Januari – Mei tahun sebelumnya 3. Rapat kabinet dihadiri seluruh menteri yang melahirkan RAPBN usulan pemerintah untuk tahun depan Jajaran kabinet Pertengahan Mei tahun sebelumnya 4. Penyerahan dan pembahasan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro untuk dijadikan bahan penyusun RUU APBN dan Nota Keuangan Panitia Anggaran, Menteri Keuangan, Menneg PPN/ Kepala Bappenas, Gubernur BI Pertengahan Mei tahun sebelumnya 5. Penyampaian pidato pengantar RUU APBN dan nota keuangan pemandangan umum dan jawaban pemerintah Presiden/ Kepala Negara, Paripurna DPR, fraksi-fraksi DPR 16 Agustus tahun sebelumnya 6. Pembicaraan tingkat I RUU APBN dan nota keuangan Panitia anggaran dan jajaran menteri/ Kepala Lembaga Negara September- Oktober tahun sebelumnya 7. Pembicaraan tingkat II dan pengambilan keputusan atas RUU APBN Panitia anggaran, fraksi-fraksi, jajaran pemerintah Akhir Oktober tahun sebelumnya 8. Pelaksanaan APBN Pemerintah dan DPR 1 Januari – 31 Desember Tahun berjalan 9. Laporan realisasi semester Pemerintah, cq. Akhir Juli Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 www.mahkamahkonstitusi.go.id I dan prognosis semester II Departemen Keuangan dan Panitia Anggaran tahun berjalan 10. Penyampaian RUU Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN Presiden dan Paripurna DPR Akhir juli tahun selanjutnya 11. Pengajuan, pembahasan dan penetapan RUU APBN perubahan Pemerintah dan DPR Sewaktu- waktu pada tahun berjalan Jika diperlukan Bahwa pada Pasal 156 UU Nomor 27 Tahun 2009, diatur pelaksanaan kewenangan Pasal 71 huruf g UU 27 Tahun 2009 dilakukan dengan cara, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut: a. Pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam _rangka menyusun rancangan APBN; _ b. Pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh _Presiden; _ c. Pembahasan rencana perubahan UU APBN d. Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan _atas undang-undang tentang APBN; dan _ e. Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. __ Bahwa dalam Permohonan ini, Pemohon fokus pada tahapan pertama dan kedua, yaitu: Pembicaraan pendahuluan serta Pembahasan dan Penetapan APBN. Bahwa berdasarkan Pasal 157 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009: Pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan rancangan APBN dilakukan segera setelah Pemerintah menyampaikan bahan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal _pada pertengahan bulan Mei, yang meliputi: _ a. kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun anggaran _berikutnya; _ b. kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap _kementerian/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran; dan _ c. rincian unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan. Bahwa kemudian dijelaskan pada Pasal 158, yaitu: Kegiatan dalam tahap Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 www.mahkamahkonstitusi.go.id _pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 meliputi: _ __ a. rapat kerja yang diadakan oleh komisi dengan Pemerintah untuk membahas alokasi anggaran menurut fungsi, program, dan kegiatan kementerian/ _lembaga; dan _ b. rapat kerja yang diadakan oleh Badan Anggaran dengan Pemerintah dan Bank Indonesia untuk penyelesaian akhir kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, dengan memperhatikan pemandangan umum fraksi, jawaban Pemerintah, saran dan pendapat Badan Musyawarah, keputusan rapat kerja komisi dengan Pemerintah mengenai alokasi anggaran menurut fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga. Bahwa setelah proses Pembicaraan pendahuluan selesai, berdasarkan Pasal 159 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009: "Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen pendukungnya kepada DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya" Bahwa proses pembahasan rancangan Undang-Undang tentang APBN dilakukan seperti halnya pembahasan rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden atau DPR, yang diatur pada Pasal 148 sampai dengan Pasal 151 UU Nomor 27 Tahun 2009, yang pada prinsipnya dilakukan melalui dua (2) tingkat pembicaraan, yaitu:
Tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus;
Tingkat II dalam rapat paripurna. Bahwa dalam Pembicaraan Tingkat I, DPR, Presiden dan Kementerian/Lembaga terkait melakukan Pembahasan lebih lanjut terhadap rancangan Undang-Undang APBN dan dokumen lainyang secara umum telah dibahas sebelumnya di pemeriksaan pendahuluan pada pertengahan bulan Mei; Bahwa pada Pembicaraan Tingkat II dalam Paripurna dilakukan PENGAMBILAN KEPUTUSAN berapa persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan dan penyampaian pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. Pada pembicaraan Tingkat II dalam Paripurna ini tidak dimungkinkan lagi terjadinya pembahasan terhadap rancangan Undang-Undang tentang APBN. Bahwa idealnya, kewenangan pembahasan rancangan Undang-Undang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 www.mahkamahkonstitusi.go.id APBN oleh DPR pada pembicaraan pendahuluan serta Pembahasan APBN hanya mencakup hal-hal yang bersifat makro-strategis, kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan kementerian/lembaga, bukan bersifat rinci sampai pada rincian kegiatan seperti yang terjadi saat ini; Bahwa DPR memiliki tiga fungsi yang sangat luas, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. DPR juga memiliki kewenangan dan tugas yang kompleks. Dari aspek tugas dan wewenang yang kompleks tersebut, waktu yang tidak mencukupi untuk melakukan pembahasan rancangan UU tentang APBN, dan kompetensi anggota DPR, maka pembahasan anggaran yang sangat terperinci adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dilakukan DPR; Bahwa pada kenyataannya DPR memang tidak mampu membahas anggaran secara terperinci; Bahwa karena DPR tidak mampu membahas seluruh anggaran secara terperinci, maka potensi anggaran yang dibahas terperinci hanyalah anggaran yang terkait dengan kepentingan anggota DPR bukan kepentingan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan pada Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, sehingga menimbulkan potensi konflik kepentingan. Potensi konflik kepentingan ini dapat memicu praktik calo anggaran dan korupsi; Bahwa namun demikian, untuk kepentingan transparansi, akuntabilitas dan pelaksanaan Fungsi pengawasan DPR, maka sebuah dokumen APBN harus termasuk dokumen anggaran yang rinci yang telah disiapkan sebelumnya oleh kementerian/lembaga berdasarkan pembahasan yang bersifat makro-strategis bersama DPR, dan kemudian disetujui dan ditetapkan oleh DPR pada Paripurna, sehingga publik dapat mengawasi pelaksanaan APBN dan DPR bisa menjalankan fungsi pengawasan terhadap Dokumen APBN yang rinci tersebut; Bahwa kewenangan DPR untuk membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN sebagaimana diatur di Pasal 157 ayat (1) huruf c sepanjang frase "rincian" UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 seharusnya dibatalkan dan dicabut karena bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Bahwa kewenangan DPR untuk menyetujui secara rinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja seperti diatur dalam Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003, dan Pasal 159 ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 haruslah dipahami bukan merupakan kewenangan untuk melakukan pembahasan secara terperinci sampai dengan jenis Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 www.mahkamahkonstitusi.go.id belanja; Bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 dan Pasal 159 ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 tersebut perlu dipahami dengan konstruksi logika sebagai berikut: I. SUDUT PANDANG KEWENANGAN ABSOLUT DPR Bahwa keberadaan Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003, Pasal 157 ayat (1) huruf c sepanjang frase "rincian" dan Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 telah memberikan kewenangan yang absolut kepada DPR dalam pembahasan keuangan negara. Segala hal-hal yang absolut dalam pengelolaan negara pada dasarnya tidak diperkenankan. Pembatasan- pembatasan kewenangan terhadap lembaga negara diperlukan sebagaimana digagas dalam konsep separation of power. Secara filosofis Lord Acton berujar bahwa; "power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely; " Bahwa kecenderungan menyimpangnya kekuasaan terhadap kekuasaan yang absolut merupakan kemutlakan. Acton memastikan bahwa setiap pemegang kekuasaan negara yang memiliki kewenangan mutlak dalam mengelola negara dapat dipastikan akan menyimpangkan kewenangannya. Itu sebabnya tidak satu wadah lembaga negara pun yang memiliki kewenangan mutlak. Satu sama lain memiliki kewenangan menyeimbangkan atau setidak-tidaknya kewenangan yang menyebabkan terhindarnya suatu lembaga negara dalam melakukan penyimpangan. Donald S Lutz menuturkan bahwa pembagian kekuasaan berkaitan dengan pemisahan fungsi (Donald S Lutz, Principles of Constitutional Design, Cambridge University Press, 2006, hlm. 112); Bahwa kewenangan DPR dalam mengelola keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 dan Pasal 159 ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 merupakan kewenangan yang mutlak. Hal itu disebabkan DPR berwenang menentukan anggaran dan pengelolaan anggaran dari hulu hingga hilir mata anggaran dalam keuangan negara. Pasal a quo memberikan kewenangan DPR untuk menyetujui APBN mulai dari unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, hingga jenis belanja dalam pengelolaan keuangan negara; Bahwa dalam studi mengenai reformasi pengelolaan anggaran yang dilakukan oleh Jun Ma dan Yilin Hou diketahui bahwa pengelolaan anggaran yang terfokus kepada lembaga legislatif dan melalui kewenangan pembentukan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 www.mahkamahkonstitusi.go.id Undang-Undang (baca: APBN) merupakan model pengelolaan keuangan Amerika pada era kolonial dan awal-awal kemerdekaan bangsa Amerika. Padahal di masa yang sama negara-negara Eropa sudah menerapkan sistem pengajuan anggaran dilakukan oleh eksekutif dengan merencanakan program dan kebutuhan anggarannya kepada legislatif untuk disetujui atau tidak disetujui. Sedangkan Amerika (hingga 1912) menentukan bahwa penentuan anggaran diserahkan kepada legislatif tanpa ada ruang untuk eksekutif (Jun Ma dan Yilin Hou, 2009, him. S 54-55). Sehingga dapat dipahami bahwa pola terfokus dalam pengelolaan anggaran kepada DPR yang diterapkan Indonesia saat ini bisa dipastikan merupakan model kuno yang tidak dipakai oleh negara-negara modern yang mengandalkan akuntabilitas anggaran. Bahwa berdasarkan pendapat Weber dan Wildaysky, pemerintah sebagai "kapten kapal" tidak mengendalikan pemerintahan secara menyeluruh. Bahwa kewenangan tersebut menciptakan keabsolutan penentuan mata anggaran dalam pengelolaan keuangan negara. DPR dapat menentukan siapa yang berhak menerima proyek hingga menentukan hal paling terkecil dalam belanja negara. Padahal semestinya DPR hanya menentukan anggaran makro bersama pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara. DPR tidak semestinya terlibat dalam penentuan anggaran-anggaran teknis dalam belanja negara (mikro). Fakta hukum yang terjadi saat ini DPR menentukan anggaran makro hingga mikro dalam mata anggaran APBN. Padahal kekuasaan DPR di Indonesia sangat berbeda dengan kekuasaan parlemen di Ingris Raya. Roger Masterman mengutip pernyataan AV Dicey yang menjelaskan bahwa supremasi parlemen itu bermakna bahwa tidak satu pun yang bisa menghalangi parlemen dalam membentuk undang-undang (baca: Roger Masterman, The Separation of Powers in the Contemporary Constitution, Cambridge University Press, 2011, hlm. 20). Konteks kekuasaan parlemen di Inggris tidak dapat diterapkan di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensil yang memisahkan kekuasaan lebih murni antara DPR dan Pemerintah. Sehingga kewenangan DPR mengatur APBN hulu hingga hilir menurut Pemohon tidak tepat. Sehingga keabsolutan dalam pengaturan anggaran berada "di tangan" DPR digugat dalam permohonan ini di hadapan Majelis Mahkamah Konstitusi; Bahwa lebih jauh lagi, DPR dapat "sesuka hati" dalam penundaan penetapan mata anggaran dengan memberikan tanda bintang. Bahkan setelah Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 www.mahkamahkonstitusi.go.id persetujuan dalam rapat paripurna sekalipun, acapkali DPR dalam praktiknya memberikan tanda bintang terhadap unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Padahal secara umum mata anggaran telah disepakati dalam Rapat Paripurna; Bahwa pemberian tanda bintang tersebut tidak saja menyebabkan tertundanya pelaksanaan program pemerintah, tetapi juga telah menciptakan pelbagai kemungkinan transaksi-transaksi yang bertentangan dengan hukum. Jamak diketahui bahwa dalam praktiknya, pemberian tanda bintang telah menciptakan sarana korupsi barn antara anggota DPR dan lembaga-lembaga negara, perusahaan-perusahaan, maupun orang perorangan dalam penyelenggaraan mata anggaran keuangan negara; Bahwa kasus-kasus yang melibatkan anggota DPR dalam peradilan tindak pidana korupsi dan/atau yang sedang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi seringkali berkaitan dengan permainan mata anggafan oleh anggota DPR. Transaksi "liar" itu terjadi disebabkan oleh terlalu kuatnya kewenangan DPR dalam menentukan mata anggaran hingga satuan tiga (unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja); __ II. FUNGSI BUDGETING /ANGGARAN DPR BERSIFAT MAKRO Bahwa benar Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 mengatur: DPR memiliki fungsi _legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan; _ Bahwa berdasarkan ketentuan pada Pasal 70 ayat (2) UU Nomor 27 tahun 2009 diatur, fungsi anggaran DPP dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan Undang-Undang tentang APBN yang diajukan Presiden; __ Bahwa Fungsi Anggaran DPR, seperti disampaikan Ahli Hukum Keuangan Negara: ARIFIN P. SOERIA ATMADJA dalam persidangan MK dalam Perkara Nomor 2/SKLN-X/2012 adalah: "Menurut Jesse Burkhead dalam Goverment Budgeting, serta Robert D. Lee, Jr. dan Ronald W. dalam Public Budgeting Systems, menyatakan: fungsi hak atau fungsi anggaran hanya terbatas pada rencana pendapatan belanja dari organisasi dan fungsi saja tidak termasuk program kegiatan jenis belanja yang merupakan domain eksekutif dan sudah menjadi tugas pemerintah di bidang administrasi Negara... "(Risalah Sidang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 www.mahkamahkonstitusi.go.id Perkara Nomor 2/SKLN-X/2012 tanggal 24 April 2012, halaman 27). (bukti P43) __ Bahwa menurut ahli hukum keuangan negara, SISWO SUJANTO mengungkapkan dalam tulisannya: "Hak parlemen di bidang keuangan negara, dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Pada awal kelahiran hak tersebut, lembaga legislatif memiliki kebebasan yang sangat luas dalam pembahasan dan penetapan anggaran yang diusulkan oleh pemerintah. Akan tetapi kebebasan lembaga legislatif dalam pembahasan dan penetapan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara secara signifikan telah semakin berkurang. Karena berbagai keterbatasan, kebebasan lembaga legislatif cenderung mengalami kemerosotan. Menurut teori, bila diamati, keterbatasan dimaksud dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, keterbatasan waktu (time constraint), kedua, keterbatasan kompetensi (competency constraint), dan ketiga, keterbatasan pendidikan (educational constraint)." (sumber: http: //www.keuanganpublik.com/2008/01/hak- budget-danketerbatasan-lembaga.html) (bukti P-14) __ Bahwa terkait dengan ketentuan pada Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 dan Pasal 159 ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009, Ahli Hukum Keuangan Negara, SISWO SUJANTO mengungkapkan persetujuannya dengan APBN yang rinci untuk kepentingan pengawasan pelaksanaan nantinya. Akan tetapi, ahli ini memberikan penekanan pada kewenangan DPR tersebut, yaitu: "Namun demikian, ketentuan dalam Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa 'APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja' tidaklah harus disambut dengan euforia yang berlebihan oleh para anggota DPR. Dua hal perlu diperhatikan dalam masalah ini. Pertama, dari sudut kelembagaan, bahwa DPR merupakan lembaga pengambil kebijakan (policy making institution ), bukan lembaga pelaksana (executing institution). Oleh karena itu, lembaga tersebut harus memiliki kemampuan mengambil keputusan yang bersifat makro-strategis. Untuk itu, lembaga tersebut harus didukung oleh para anggota yang mampu berfikir konsepsional dan bersifat makro-strategis. Kedua, dari sudut individu, bahwa dengan mengacu keterbatasan ( constraint ) para anggota DPR sebagaimana dikemukakan di atas, para anggota DPR bukanlah individu-individu yang memiliki kemampuan pemikiran yang bersifat mikro- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 www.mahkamahkonstitusi.go.id teknis sebagaimana layaknya para pejabat di lembaga eksekutif. Praktik yang selama ini dilakukan oleh para anggota DPR di berbagai Komisi Sektoral yang membahas rancangan anggaran kementerian/lembaga hingga rincian yang paling detil, yaitu proyek maupun kegiatan, layaknya para budgeter (pejabat penyusun anggaran) adalah euforia yang selayaknya harus segera dihentikan. Euforia tersebut tampaknya bersumber dari ketidakpahaman yang dikombinasikan dengan kepentingan masing-masing individu ataupun fraksi dalam lembaga legislatif." (sumber: http: //www.keuanganpublik.com/2008/01/hak-budget-dan- keterbatasan-lembaga.html) Bahwa keterbatasan DPR tersebut terlihat dari molornya pembahasan rincian anggaran APBN setiap tahunnya, yaitu seperti terlihat di tabel di bawah ini: __ Tahun Anggaran Rapat Paripurna Pengesahan APBN Batas Waktu Penyelesaian Pembahasan Rincian Anggaran APBNP 2010 03 Mei 2010 Pasal 16c UU Nomor APBNP 2010 : 15 Mei 2010 APBNP 2011 22 Juli 2011 SE-442/MK.02/2011 : 16 Agustus 2011 APBN 2011 26 Oktober 2010 SE-676/MK.02/2010: 12 November 2010 APBN 2012 28 Oktober 2011 SE-01 /MK.2/2011 : 14 November 2011 Bahwa pada praktiknya, hambatan waktu penyelesaian pembahasan rincian anggaran di kolom 3 tabel di atas masih mungkin diundur untuk jangka waktu yang tidak pasti. Hal ini terlihat dari praktik pemblokiran/perbintangan anggaran dengan alasan yang tidak jelas di DPR; Bahwa ketidakmampuan DPR untuk membahas secara rinci juga terlihat dalam data FITRA tentang adanya ribuan mata anggaran pemerintah pusat setiap tahunnya. Seperti terlihat pada tabel dibawah ini: (perihal pemblokiran atau perbintangan anggaran akan dibahas lebih rinci pada bagian berikutnya) Tahun Jumlah Mata Anggaran Nilai 2011 6.101 mata anggaran Rp. 63,4 Triliun 2012 Rp. 78.5 triliun Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 www.mahkamahkonstitusi.go.id Bahwa ketidakmampuan DPR untuk membahas secara rinci tersebut disebabkan oleh banyak faktor, seperti: waktu yang sempit (hanya sekitar dua bulan: September sampai akhir Oktober) sehingga akan mengakibatkan pembahasan makro-strategis juga tidak akan maksimal jika DPR masih memaksakan membahas secara rinci per mata anggaran hingga "jenis kegiatan". Masalah kemampuan teknis juga telah disinggung sebelumnya dari ahli hukum keuangan negara SISWO SUJANTO; Bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqodas mengungkapkan pembahasan anggaran di DPR sampai satuan yang terkecil (satuan 3) membuka peluang konflik kepentingan antara anggota DPR dan mata anggaran yang disusun. _(sumber: _ http.//nasional.kompas.com/read/2012/ 03/01/15543214/Pimpinan. KPK. Kritik. Pemba hasan.Anigaran.di.DPR) Hal ini kemudian berakibat pada tingginya potensi korupsi anggaran di DPR; (bukti P-15) Bahwa hal itu ditegaskan oleh Penasehat KPK Abdullah Hehamahua pada 30 September 2010. Berdasarkan hasil pengkajian KPK di tahun sebelumnya, ditemukan sejumlah potensi korupsi dalam penyusunan dan pembahasan anggaran, salah satu penyebabnya adalah pembahasan anggaran yang sangat rinci (sampai satuan 3). _(sumber: _ http: //international.okezone.com/read/ 2010/09/30/339/377871/kpkpembahasan -apbn- di-dpr-lahan-korupsi), Bahwa berdasarkan uraian di atas perlu dipisahkan antara kewenangan DPR melakukan Pembahasan di tingkat makro-strategis yang tidak sampai terperinci pada jenis belanja, dengan kewenangan DPR untuk menyetujui terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja; Bahwa semestinya dalam pengaturan anggaran modern, kewenangan untuk menentukan anggaran (baca: unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja) diserahkan kepada kekuasaan eksekutif. Sedangkan kewenangan legislatif adalah untuk memberikan masukan dan menyetujui penentuan anggaran tersebut (Jun Ma dan Yulin Hao, Budgeting for Accountability, A Comparative Study of Budget Reforms in the United States during the Progressive Era and in Contemporary China, Public Administration Review, Dec., 2009; 69, S1, ProQuest, hlm. S.55); Bahwa kewenangan yang diberikan UU Keuangan Negara dan MD3 kepada DPR telah membuka praktik "lobi politik" anggota DPR kepada pihak-pihak Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 www.mahkamahkonstitusi.go.id berkepentingan (eksekutif dan pihak ketiga lainnya). Hal itu dapat dibuktikan dari banyaknya kasus-kasus yang melibatkan anggota Badan Anggaran dan anggota DPR dalam kasus-kasus korupsi. Campos dan Giovannoni menyebutkan bahwa kewenangan yang menciptakan kekuatan lobi dapat berujung kepada penyuapan dan korupsi (Nauro F Campos dan Francesco Giovannoni, Lobbying, Corruption and Political Influence, Public Choice, Springer, Vol. 131, Nomor ''/2, Apr., 2007, hlm.2); Bahwa dengan demikian II. A. frase "rincian" pada Pasal 157 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah kewenangan yang berlebihan dan berpotensi menimbulkan penyimpangan anggaran dan korupsi, sehingga bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 II.B. Kewenangan DPR untuk menyetujui APBN secara terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja seperti diatur pada Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionaly constitutional) sepanjang memenuhi syarat: dokumen APBN yang terinci sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja adalah kewenangan untuk menyetujui dan menetapkan dokumen APBN pada tahapan pembahasan tingkat II yaitu PARIPURNA, sehingga dokumen APBN tersebut bersifat terbuka dan dapat digunakan untuk menjalankan Fungsi Pengawasan DPR dan dapat diakses Publik. III. Perbintangan/Pemblokiran Anggaran Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengandung KETIDAKPASTIAN HUKUM Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 www.mahkamahkonstitusi.go.id sehingga bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Bahwa Pasal 71 huruf g Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, mengatur: _DPR mempunyai tugas dan wewenang:
membahas bersama Presiden_ dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden Bahwa Pasal 156 huruf a dan b UU Nomor 27 tahun 2009, mengatur: Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam _Pasal 71 huruf g, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut: _ a. Pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia _dalam rangka menyusun rancangan APBN; _ b. Pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta _nota keuangannya oleh Presiden; _ Bahwa pada kenyataannya terdapat perbedaan tafsir dalam penerapan Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU Nomor 27 Tahun 2009 tersebut sehingga menimbulkan KETIDAKPASTIAN HUKUM; Bahwa praktik pemblokiran atau perbintangan anggaran terjadi setiap tahunnya, menurut catatan FITRA, pada tahun 2011 terdapat 6.101 mata anggaran sebesar Rp. 63,4 triliun dan pada tahun 2012 sebesar Rp. 78,5 triliun yang diblokir/diberikan tanda bintang; Bahwa rencana pembangunan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi adalah salah satu mata anggaran yang menjadi korban praktik perbintangan/ pemblokiran anggaran oleh DPR-RI melalui Komisi III DPR-RI. Bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengatakan pada publik agar praktik perbintangan/pemblokiran anggaran dihentikan. (sumber: http: //www. republika. co. id/berita/nasional/umum/12/10/30/mcoo6 9- sbyjangan-lagiada-anggaran-tanda-bintang) (bukti P-17) Bahwa praktik perbintangan/pemblokiran anggaran adalah bukti adanya perbedaan tafsir terhadap Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU Nomor 27 Tahun 2009; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 www.mahkamahkonstitusi.go.id Bahwa praktik perbintangan/pemblokiran anggaran akan membuka ruang percaloan anggaran antara oknum DPR dengan Kementerian/Lembaga karena proses pembahasan tersebut terjadi di luar rentang dan jangka waktu pembahasan rancangan Undang-Undang tentang APBN yang diatur oleh UU Nomor 27 Tahun 2009; Bahwa pemberian tanda bintang oleh DPR pada dasarnya menciptakan ketidakpastian hukum dalam penentuan mata anggaran dalam APBN. Hal itu terjadi disebabkan setelah rapat paripurna, DPR dapat kembali memberikan tanda bintang terhadap unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja APBN. Bahkan dalam kasus Hambalang, salah satu pagu anggaran APBN diberikan tanda bintang/diblokir. Padahal DPR tidak mempunyai kewenangan untuk memblokir setiap pagu anggaran yang telah diusulkan dan diajukan oleh Kementrian/Lembaga. DPR memang mempunyai kewenangan untuk mengkoreksi anggaran, namun tidak dengan semena-mena untuk membintangi/membokir; Bahwa sebagaimana dikemukakan Cristina Leston-Bandeira, meskipun kekuasaan mengubah budget merupakan kekuasaan amat penting dari parlemen, namun bukan berarti parlemen diberikan kekuasaan untuk mengubah anggaran berdasarkan kehendak pribadi dan kelompoknya (Cristina Leston-Bandeira, From Legislation to Legitimation, The Role of Portuguese Parliament, Routledge, 2004, him. 100); Bahwa penyebab adanya praktik perbintangan/pemblokiran anggaran sangat beragam: mulai dari belum lengkapnya rencana anggaran yang disiapkan, adanya ketentuan khusus dari DPR atau Kementerian Keuangan, hingga alasan yang dicari-cari untuk mengulur waktu pembahasan setelah paripurna dilakukan; Bahwa seharusnya Pemerintah telah menyusun dengan baik perencanaan anggaran sejak awal sehingga potensi penyimpangan atau anggaran titipan dalam proses pembahasan dapat diminimalisir; Bahwa perencanaan dan pelaksanaan anggaran haruslah mengacu pada prinsip anggaran berbasis kinerja dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia; Bahwa jika perbedaan tafsir Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU Nomor 27 Tahun 2009 dibiarkan, maka hal ini akan berakibat pada terus terjadinya tindakan-tindakan yang tidak konstitusional dan berpotensi penyimpangan anggaran serta korupsi; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 www.mahkamahkonstitusi.go.id Bahwa potensi penyimpangan dan percaloan anggaran tersebut bertentangan dengan tujuan penyusunan APBN yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti diatur pada Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Bahwa praktik perbintangan/pemblokiran anggaran harus dihentikan; Bahwa dengan demikian Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU Nomor 27 Tahun 2009 harus dinyatakan KONSTITUSIONAL BERSYARAT ( conditionally constitusional) sepaniang dimaknai: tidak ada lagi proses pembahasan setelah rapat paripurna penetapan rancangan Undang-Undang tentang APBN ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN, sehingga praktik perbintangan atau pemblokiran anggaran yang dibahas setelah paripurna dilakukan TIDAK KONSTITUSIONAL; IV. Proses dan Ruang Lingkup Pembahasan APBN-P IV.A. Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah BERTENTANGAN dengan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; IV.B. Pasal 156 butir c angka (2) dan Pasal 161 Undang-Undang 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menimbulkan KETIDAKPASTIAN HUKUM sehingga bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Bahwa Pasal 156 butir c angka (2) UU Nomor 27 Tahun 2009 mengatur: Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam _Pasal 71 huruf g, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut: _ _c. pembahasan: _ (2) penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran _yang bersangkutan, apabila terjadi: _ a) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan _asumsi yang digunakan dalam APBN; _ _b) perubahan pokok-pokok kebijakan frskal; _ Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 www.mahkamahkonstitusi.go.id c) keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan/atau d) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembaayaan anggaran yang berjalan. Bahwa Pasal 161 UU Nomor 27 Tahun 2009 mengatur: (1) Dalam hal terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan, Pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan. (2) Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan sebagaimana _dimaksud pada ayat (1) berupa prognosis: _ a. penurunan pertumbuhan ekonomi, minimal I% (satu persen) di _bawah asumsi yang telah ditetapkan; dan/atau _ b. deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal 10% (sepuluh persen) dari asumsi yang telah ditetapkan. (3) Perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud _pada ayat (1) berupa prognosis: _ a. Penurunan penerimaan perpajakan minimal 10% (sepuluh persen) _dari pagu yang telah ditetapkan; _ b. Kenaikan atau penurunan belanja kementerian/lembaga minimal _10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan; _ c. kebutuhan belanja yang bersifat mendesak dan belum tersedia pagu _anggarannya; dan/atau _ d. Kenaikan defisit minimal 10% (sepuluh persen) dari rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) yang telah ditetapkan (4) Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang, setelah rancangan undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR. (5) Dalam hal tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 www.mahkamahkonstitusi.go.id pada ayat (2) dan ayat (3), pembahasan perubahan APBN dilakukan dalam rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan keuangan Pemerintah. __ Bahwa sejumlah kasus korupsi dan praktik mafia anggaran yang ditangani KPK adalah proyekproyek baru yang terdapat APBN Perubahan, di antaranya adalah:
Kasus suap terkait pembangunan Wisma Atlet senilai Rp.
672.000.000,- yang bersumber dari APBN-Perubahan Tahun 2010 (proses: Putusan inkracht di Mahkamah Agung dengan terdakwa M. _Nazaruddin); _ 2. Kasus pengadaan, pemasangan, dan perawatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang merugikan keuangan Negara Rp. 2.729.473.128,- dan Rp. 173.514.818,- yang bersumber dari anggaran APBN-Perubahan tahun 2008 (proses: sudah divonis bersalah di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat _dengan terdakwa: Timas Ginting dan Neneng Sriwahyuni); _ 3. Pengadaan kitab suci Al Quran APBN-Perubahan 2011 dan APBN 2012 pada Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama _(proses: _ _persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dengan terdakwa: _ _Dzulkarnain Djabar); _ 4. Dan lain-lain akan dikemukakan di persidangan. Bahwa perubahan terhadap APBN hanya dimungkinkan jika memenuhi syarat sebagaimana diatur pada Pasal 156 butir c angka (2) dan Pasal 161 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 27 tahun 2009 dan turunannya, sehingga jika tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka tidak perlu dilakukan perubahan pada APBN; Bahwa pada prinsipnya, APBN Perubahan adalah sama dengan APBN yang berbentuk undangundang, menggunakan keuangan negara, dan bertujuan seperti halnya diatur pada Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; Bahwa oleh karena APBN Perubahan sama dengan APBN, maka seharusnya proses pembahasan APBN-Perubahan juga harus memenuhi prinsip-prinsip seperti pada APBN, khususnya pada fase Pembahasan dan Penetapan APBN seperti diatur pada Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 www.mahkamahkonstitusi.go.id Bahwa peluang korupsi pada proses pembahasan APBN-Perubahan tercipta karena singkatnya waktu pembahasan (maksimum hanya 1 bulan berdasarkan Pasal 161 ayat (4) UU Nomor 27 Tahun 2009), pihak yang terlibat terbatas yang bahkan dalam kondisi seperti Pasal 161 ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009, pembahasan APBN-Perubahan dapat dilakukan hanya oleh Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan pada laporan keuangan pemerintah; Bahwa proses yang sangat singkat, tidak terbuka, tidak melibatkan pihak-pihak yang terkait dan bahkan tanpa perencanaan yang matang sangat potensial disimpangi dan potensial korup. Hal ini berakibat pada bocornya anggaran dan keuangan negara sehingga bertentangan dengan tujuan APBN sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; Bahwa mata anggaran baru atau proyek-proyek baru seharusnya direncanakan dengan matang dan dibahas dalam rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya, karena kalau pun dalam APBN Perubahan dianggarkan proyek baru, hal ini akan memicu korupsi dan inefisiensi pada saat pencairan anggaran dan pelaksanaan kegiatan yang sangat singkat di akhir tahun berjalan; Bahwa dengan demikian: IV.A. Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Maielis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; IV.B. Pasal 156 butir c angka (2) dan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menimbulkan KETIDAKPASTIAN HUKUM sehingga hams dinyatakan KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionals constitutional) sepanjang dimaknai: proses pembahasan dan penetapan Perubahan APBN harus sama dengan proses pembahasan dan penetapan APBN, dan Perubahan APBN hanya dapat dilakukan terhadap anggaran unit kegiatan dan jenis belanja yang telah ada, sehingga TIDAK MENGADAKAN mata anggaran baru/proyek-proyek baru yang sebelumnya tidak dianggarkan pada APBN. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 www.mahkamahkonstitusi.go.id D. PETITUM Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, maka para Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang Terhormat pada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus Uji Materil sebagai berikut: Dalam Pokok Perkara:
Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan Pengujian Undang- Undang yang diajukan para Pemohon;
Menyatakan: a) Pasal 104 sepanjang frase "yang bersifat tetap" dan Pasal 105 ayat (1) sepanjang frase "pada permulaan masa keanggotaan DPR dan" UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sepanjang frase "yang bersifat tetap" BERTENTANGAN dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; b) Bahwa dengan demikian Mahkamah Konstitusi perlu menyatakan Pasal 107 ayat (1) huruf e UU MD3 konstitusional bersyarat (conditionaly constitutional) sepanjang memenuhi syarat: Badan Anggaran tidak mempunyai kewenangan untuk membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN yang belum dibahas oleh komisi-komisi terkait di DPR dan kementerian/lembaga terkait. Sehingga Badan Anggaran hanya mempunyai kewenangan untuk melakukan singkronisasi hasil pembahasan Komisi terhadap alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga dan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga; c) Pasal 157 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sepanjang frase "rincian" adalah kewenangan yang berlebihan berpotensi menimbulkan penyimpangan anggaran dan korupsi, sehingga bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 www.mahkamahkonstitusi.go.id d) Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionaly constitutional), sepanjang memenuhi syarat: dokumen APBN yang terinci sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja adalah kewenangan untuk menyetujui dan menetapkan dokumen APBN pada tahapan pembahasan Tingkat II yaitu PARIPURNA, sehingga dokumen APBN tersebut bersifat terbuka dan dapat digunakan untuk menjalankan Fungsi Pengawasan DPR dan dapat diakses Publik. e) Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU Nomor 27 Tahun 2009 harus dinyatakan KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionally constitusional), sepanjang dimaknai: tidak ada lagi proses pembahasan setelah rapat paripurna penetapan rancangan Undang- Undang tentang APBN ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN, sehingga praktik perbintangan atau pemblokiran anggaran yang dibahas setelah paripurna dilakukan TIDAK KONSTITUSIONAL; f) Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Pasal 156 butir c angka 2 dan Pasal 161 Undang-Undang 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menimbulkan KETIDAKPASTIAN HUKUM sehingga harus dinyatakan KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionaly constitutional), sepanjang dimaknai: proses pembahasan dan penetapan perubahan APBN harus sama dengan proses pembahasan dan penetapan APBN, dan Perubahan APBN hanya dapat dilakukan terhadap anggaran unit kegiatan dan jenis belanja yang telah ada, sehingga TIDAK MENGADAKAN mata anggaran baru/proyek-proyek baru yang sebelumnya tidak dianggarkan pada APBN; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 www.mahkamahkonstitusi.go.id 3. Menyatakan: a) Pasal 104 sepanjang frase "yang bersifat tetap" dan Pasal 105 ayat (1) sepanjang frase "pada permulaan masa keanggotaan DPR dan" UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; b) Bahwa dengan demikian Mahkamah Konstitusi perlu menyatakan Pasal 107 ayat (1) huruf e UU MD3 konstitusional bersyarat (conditionaly constitutional), sepanjang memenuhi syarat: Badan Anggaran tidak mempunyai kewenangan untuk membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN yang belum dibahas oleh komisi-komisi terkait di DPR dan kementerian/lembaga terkait. Sehingga Badan Anggaran hanya mempunyai kewenangan untuk melakukan singkronisasi hasil pembahasan komisi terhadap alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga dan rencana kerja dan anggaran kementerian /lembaga; c) Pasal 157 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sepanjang frase "rincian" tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; d) Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionaly constitutional) sepanjang memenuhi syarat: dokumen APBN yang terinci sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja adalah kewenangan untuk menyetujui dan menetapkan dokumen APBN pada tahapan pembahasan Tingkat II yaitu PARIPURNA, sehingga dokumen APBN tersebut bersifat terbuka dan dapat digunakan untuk menjalankan Fungsi Pengawasan DPR dan dapat diakses Publik. e) Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU Nomor 27 Tahun 2009 harus dinyatakan KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionally Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 www.mahkamahkonstitusi.go.id constitusional), sepanjang dimaknai: tidak ada lagi proses pembahasan setelah rapat paripurna penetapan rancangan Undang-Undang tentang APBN ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN, sehingga praktik perbintangan atau pemblokiran anggaran yang dibahas setelah paripurna dilakukan TIDAK KONSTITUSIONAL; f) Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; g) Pasal 156 butir c angka 2 dan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menimbulkan KETIDAKPASTIAN HUKUM sehingga harus dinyatakan KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionaly constitutional) sepanjang dimaknai: proses pembahasan dan penetapan perubahan APBN harus sama dengan proses pembahasan dan penetapan APBN, dan perubahan APBN hanya dapat dilakukan terhadap anggaran unit kegiatan dan jenis belanja yang telah ada, sehingga TIDAK MENGADAKAN mata anggaran baru/proyek-proyek baru yang sebelumnya tidak dianggarkan pada APBN.
Bilamana Majelis Hakim pada Mahkamah Konstitusi mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya—ex _aequo et bono; _ [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-17, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Bukti P-4 : Fotokopi Akte Notaris Nomor 186 tanggal 19 Oktober 2011 di Jakarta oleh Notaris Dr. Irawan Soerodjo, S.H., Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 www.mahkamahkonstitusi.go.id M.Si.
Bukti P-5 : Fotokopi Akte Notaris Nomor 6 tanggal 20 September 2006 di Jakarta oleh Notaris Henry Siregar, S.H., 6. Bukti P-6 : Fotokopi Akte Notaris Nomor 7 tanggal 19 September 2009 di Jakarta oleh Notaris R. Suryawan Budi Prasetiyanto, S.H., M.K., 7. Bukti P-7 : Fotokopi Akte Notaris Nomor 53 tanggal 11 Juni 2009 oleh Notaris H. Rizul Sudarmadi, S.H., 8. Bukti P-8 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan nomor 1508130210800001 dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 15.903.488.3-201.000;
Bukti P-9 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan nomor 3510061601840004 dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 44.416.936.1.542.000;
Bukti P-10 : Fotokopi Kompendium Bidang Hukum Keuangan Negara, disusun oleh Prof. Dr. Arifin Soeriaatmadja, S.H., diterbitkan oleh BPHN, 2010;
Bukti P-11 : Fotokopi kliping berita on-line berjudul, “PPATK Telusuri 2.000 Laporan Transaksi Mencurigakan Anggota DPR.” 12. Bukti P-12 : Fotokopi Buku Panduan tentang Anggaran dan Pengawasan Keuangan diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal DPR-RI hasil kerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP);
Bukti P-13 : Fotokopi Risalah Sidang MK Perkara Nomor 2/SKLN- X/2012, tanggal 24 April 2012;
Bukti P-14 : Fotokopi artikel on-line berjudul, “Hak Budget dan Keterbatasan Lembaga Legislatif” oleh ahli keuangan negara, Siswo Sujanto;
Bukti P-15 : Fotokopi berita on-line berjudul, “Pimpinan KPK Kritik Pembahasan Anggaran di DPR” 16. Bukti P-16 : Fotokopi berita on-line berjudul, “KPK: Pembahasan APBN di DPR, Lahan Korupsi” 17. Bukti P-17 : Fotokopi berita on-line berjudul, “SBY: Jangan Lagi ada Anggaran ‘Tanda Bintang’” Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 www.mahkamahkonstitusi.go.id Selain itu, Pemohon juga mengajukan 8 (delapan) orang ahli, yaitu Siswo Sujanto, Ahmad Erani Yustika, Ari Dwipayana, Kuskridho Ambardi, Saldi Isra, Zainal Arifin Mochtar, Iwan Gardono Sujatmiko, dan Rimawan Pradiptyo yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 24 Juni 2013, 11 Juli 2013, 25 Juli 2013 dan 21 Agustus 2013, yang pada pokoknya sebagai berikut:
Siswo Sujanto - Kasus yang diajukan oleh Pemohon adalah sebuah kasus yang terjadi dalam lingkup hukum keuangan negara, yaitu yang terjadi dalam hubungan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam rangka penetapan Undang-Undang APBN, serta dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang APBN. Oleh karena itu tanpa memiliki pretensi yang berlebihan dan mengurangi arti penjelasan dari sudut disiplin ilmu lainnya, ahli berpendapat bahwa penjelasan dari sudut ilmu hukum keuangan negara sudah selayaknya dipandang memiliki relevansi yang relatif tinggi dibandingkan dengan penjelasan dari sudut disiplin ilmu lainnya. - Dengan mengacu pada asas proposionalitas, yaitu dengan menempatkan disiplin ilmu hukum keuangan negara sebagai instrumen untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang timbul dalam bidang hukum keuangan negara. Dalam praktik selama ini mengingat disiplin ilmu hukum keuangan negara di Indonesia belum berkembang sekedar untuk mencari pembenaran bahwa masalah-masalah keuangan negara telah dianalisis dari aspek hukum, kasus-kasus yang terjadi dalam lingkup keuangan negara sering kali dianalisis oleh berbagai pihak dengan menggunakan sudut pandang dari berbagai disiplin hukum lainnya. - Penjelasan yang akan disampaikan akan dibagi dalam 3 bagian, yaitu pertama terkait dengan konsepsi, kedua implementasi, dan ketiga pendapat dan kesimpulan. Menurut sudut ilmu hukum keuangan negara, pengelolaan keuangan negara terbagi dalam dua aspek, yaitu aspek politis dan aspek administratif. Dalam ilmu hukum keuangan negara aspek politik keuangan negara ini secara substansi mengatur hubungan hukum antara lembaga Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 www.mahkamahkonstitusi.go.id legislatif dan lembaga eksekutif dalam rangka penyusunan, dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara. - Secara konkrit aspek politik keuangan negara tersebut terkait dengan pelaksanaan pemikiran atau ide yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar, yakni mengatur bagaimana amanah Undang-Undang Dasar yang meliputi penyelenggaraan pemerintah negara dan pemenuhan hak-hak asasi warga negara harus diwujudkan. Amanah Undang-Undang Dasar dimaksud diwujudkan dalam bentuk kegiatan pengelolaan rumah tangga negara, baik dari aspek kegiatan yang dilaksanakan, maupun dari aspek pembiayaannya. Dari aspek pembiayaan pada hakikatnya menjawab pertanyaan, bagaimana pemerintah dapat membiayai kegiatan pemerintah dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan dan pemenuhan hak-hak warga negara tersebut? Pertanyaan masyarakat awam terkait dengan masalah anggaran dan peran lembaga legislatif sebagai lembaga politik di suatu negara selalu berkisar pada, mengapa anggaran negara harus dibahas oleh lembaga legislatif? Mungkinkah lembaga legislatif menyusun anggaran negara untuk dilaksanakan oleh pemerintah? Sementara itu gagasan agar lembaga legislatif memiliki kewenangan untuk menyusun anggaran negara pernah berkembang di Indonesia. Pemikiran semacam itu muncul dari para anggota dewan ketika dewan perwakilan rakyat mengalami masa kebebasan dari keterhubungannya sebagai lembaga politik di masa lalu, yaitu sejak dicanangkannya reformasi di Indonesia. - Anggaran negara adalah sebuah kesepakatan politik. Tradisi pembahasan anggaran negara oleh lembaga legislatif secara historis dimulai di Inggris sekitar Tahun 1200-an ketika paham parlementarisme berkembang di negara tersebut dan juga di Perancis. Ide pembahasan di lembaga legislatif dimulai ketika masyarakat menolak untuk membayar pajak, ketika itu masyarakat menyatakan bahwa tidak akan membayar pajak kecuali rakyat memiliki wakil di parlemen yang akan membela kepentingannya. Pergolakan yang ditandai dengan lahirnya Magna Carta tersebut mengusung slogan yang terkenal pada saat itu, yaitu “No taxation without representation.” Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Ide dasar yang berkembang pada masa itu adalah adanya keinginan rakyat untuk dapat mengetahui secara pasti kegunaan uang yang dipungut dari mereka dalam bentuk pungutan memaksa melalui suatu sistem perpajakan. Kendati keberhasilan perjuangan rakyat untuk dapat berperan dalam menentukan anggaran negara melalui lembaga perwakilan, ternyata baru sekitar 5 abad kemudian Tahun 1200-an tersebut dianggap sebagai tonggak sejarah kelahiran hak legislatif dalam penetapan anggaran negara yang kini dikenal secara luas dengan nama hak budget lembaga legislatif. - Dalam alur yang sederhana lahirnya hak budget lembaga legislatif dapat diilustrasikan seperti di bawah ini. Keinginan pemerintah untuk memungut sejumlah uang yang akan digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan pemerintah direspon oleh rakyat melalui perwakilannya di lembaga legislatif dalam bentuk permintaan agar pemerintah secara transparan dapat menjelaskan program-program kegiatan yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu setahun mendatang, dan juga rincian dana yang dibutuhkan yang nantinya akan dipungut dari masyarakat. Hal inilah yang memaksa pemerintah menyusun semacam proposal dalam bentuk rencana kerja yang selanjutnya diikuti dengan rincian pendanaannya, proposal tersebut selanjutnya dikaji oleh lembaga legislatif untuk kemudian diberikan persetujuan untuk dilaksanakan bilamana dipandang layak. - Namun demikian diterimanya rencana kerja pemerintah yang diikuti dengan rinciannya dalam bentuk uang dimaksud oleh lembaga legislatif tidak serta merta memberikan otorisasi kepada pemerintah untuk membebankan segala biaya kepada masyarakat dalam bentuk izin pemungutan pajak. Dengan pertimbangan besarnya penerimaan domanial yang berasal dari kekayaan kerajaan, lembaga legislatif kemudian dapat menyetujui besarnya dana yang akan ditarik pemerintah dari masyarakat. - Ilustrasi di atas kiranya dapat menjelaskan bahwa penyampaian rencana kerja yang disertai dengan rencana pembiayaan di satu sisi, dan rencana pendapatan di sisi lain, mengandung pengertian bahwa pemerintah wajib menyampaikan rencana anggaran negara kepada lembaga legislatif untuk dibahas. Sementara itu, lembaga legislatif memiliki kewenangan untuk melakukan pembahasan dan memberikan persetujuan sebelum rencana tersebut dilaksanakan. Selanjutnya, hasil pembahasan lembaga legislatif Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 www.mahkamahkonstitusi.go.id yang merupakan kesepakatan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dimaksud, kemudian dituangkan dalam suatu produk hukum yang dikenal dengan Undang-Undang. - Dengan demikian, dari sudut politik, anggaran negara adalah suatu bentuk kesepakatan politik antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif yang berisi persetujuan untuk melakukan pengeluaran pada suatu kurun waktu di masa yang akan datang untuk membiayai program kerja yang telah disetujui di satu sisi, dan persetujuan untuk mengupayakan pendanaan guna membiayai pengeluaran tersebut pada kurun waktu yang sama di sisi lain. - Sebagaimana layaknya suatu kesepakatan, kesepakatan antara kedua lembaga politik tersebut juga memiliki konsekuensi logis dalam bentuk hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Di sisi lembaga legislatif, hak yang timbul dengan adanya kesepakatan dimaksud adalah hak untuk melakukan pengawasan terhadap persetujuan yang telah dituangkan dalam suatu produk perundang-undangan. Hak pengawasan lembaga tersebut pada hakikatnya mencakup baik pada sisi pelaksanaan pengeluaran negara, maupun sisi penerimaan negara karena melalui kedua sisi itulah pelaksanaan persetujuan diwujudkan. - Hak lainnya yang sangat penting, artinya adalah untuk meminta pertanggungjawaban kepada eksekutif, terhadap pelaksanaan rencana kerja maupun rencana pembiayaannya. Sementara itu, kewajibannya adalah memberikan dukungan maupun konsultasi akan pelaksanaan kesepakatan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. - Seperti hakikat nama yang melekat, lembaga eksekutif pada prinsipnya adalah pelaksana dari persetujuan yang telah ditetapkan. Terkait dengan peran tersebut, semua kebijakan yang disusun oleh pemerintah adalah kebijakan operasional dalam rangka pelaksanaan kesepakatan. Di sisi lain kewajiban lembaga eksekutif adalah menyusun pertanggungjawaban pada akhir periode atas berbagai program dan kegiatan yang telah disetujui oleh lembaga legislatif. Pertanggungjawaban dimaksud di samping mencakup kinerja lembaga eksekutif dalam mewujudkan program-program kerja yang telah direncanakan, juga mencakup pertanggungjawaban keuangan yang terdiri dari pertanggungjawaban atas pemungutan dana-dana yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 www.mahkamahkonstitusi.go.id bersumber dari masyarakat dan penggunaan dana tersebut untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan. - Dengan pola dan mekanisme sebagaimana diutarakan di atas, pembagian peran antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam penyusunan anggaran negara menjadi jelas. Anggaran negara pada hakikatnya harus dipersiapkan oleh lembaga eksekutif dan selanjutnya dibahas untuk kemudian disetujui oleh lembaga eksekutif. Pembagian peran antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif sebagaimana dikemukakan di atas, telah memberikan inspirasi bagi lahirnya prinsip transparansi fiskal (fiscal transparency) di era modern. Prinsip tersebut pada intinya antara lain menekankan adanya kejelasan peran antara pihak yang mengusulkan dan pihak yang memutuskan, antara pengambil keputusan dan pihak pelaksana keputusan. - Selanjutnya, bila dicermati pola dan mekanisme yang berkembang dalam penyusunan anggaran antara dua lembaga politik tersebut, kemudian juga melahirkan berbagai prinsip dasar (golden principal) dalam pengelolaan anggaran negara yang hingga kini masih relevan. Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip unteoritas, prinsip periodesitas, prinsip spesialitas, prinsip unitas, dan terakhir prinsip universalitas. Prinsip unteoritas atau prinsip reabel menekankan bahwa anggaran negara harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari lembaga legislatif sebelum dilaksanakan. Yang penting dari beberapa prinsip tersebut, di samping prinsip unteoritas adalah prinsip spesialitas, yaitu prinsip yang menyatakan bahwa anggaran yang ditetapkan oleh lembaga legislatif harus bersifat spesifik. Dalam arti bahwa alokasi anggaran yang disediakan hanya diperuntukkan untuk suatu kegiatan yang telah ditetapkan, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang dan tidak dapat dipergunakan untuk tujuan lainnya. Prinsip-prinsip dimaksud kemudian melahirkan sejumlah ketentuan yang kini dapat ditemukan dalam berbagai pasal dalam ketentuan perundang-undangan, terkait dengan pengelolaan keuangan negara. - Haruskah lembaga legislatif melakukan pembahasan rancangan undang- undang anggaran yang diajukan oleh pemerintah hingga pada substansi yang demikian rinci? Perlukah ada pembatasan terhadap kewenangan lembaga legislatif dalam pembahasan rancangan Undang-Undang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 www.mahkamahkonstitusi.go.id Anggaran? Pertanyaan semacam ini selalu muncul ketika masyarakat melihat bahwa lembaga legislatif mengajukan berbagai pertanyaan kepada kementerian lembaga yang sangat detail atau bahkan ketika lembaga legislatif tidak dapat menepati batas waktu pembahasan yang telah tersedia. Sehingga penetapan Undang-Undang APBN melampaui batas tanggal yang telah ditetapkan. Akibatnya sudah dapat diperkirakan, yaitu pemerintah tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk dapat melaksanakan berbagai kegiatan yang telah tertuang dalam Undang-Undang APBN. - Hal lembaga legislatif di bidang keuangan negara pada prinsipnya meliputi dua aspek. Yaitu Pertama , berupa pemberian persetujuan kepada pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran negara dan untuk memungut penerimaan negara yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran yang telah disetujui dalam pembahasan bersama pemerintah. Kedua , berupa pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk melaksanakan keputusan yang telah ditetapkan. - Aspek pertama yang kemudian dikenal dengan nama otorisasi parlemen atau otorisasi parlementer, menampilkan karakteristik yang berbeda di sisi penerimaan dan di sisi pengeluaran negara. Di bidang penerimaan negara, persetujuan yang diberikan oleh Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara merupakan pemberian kewenangan kepada pemerintah dalam arti sebenarnya, yaitu kewenangan untuk melaksanakan pemungutan penerimaan negara dan bersifat imperatif. Dalam hal ini, sesuai sifatnya dibedakan antara kewenangan pemungutan penerimaan yang bersifat dari pajak dan penerimaan yang berasal dari penerimaan bukan pajak. - Di sisi pengeluaran, kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada pemerintah, dalam hal ini para menteri, pada hakikatnya bukan bersifat imperatif, kecuali untuk beberapa jenis pengeluaran wajib seperti misalnya gaji. Artinya, kendati alokasi anggaran untuk suatu kementerian telah ditetapkan oleh lembaga legislatif, Menteri Keuangan karena alasan ekonomi dapat saja menetapkan agar sebagian dana kementerian tersebut tidak dipergunakan. - Terkait dengan makna yang tersirat dalam hak pajak tersebut di atas, otorisasi parlemen kepada pemerintah selalu bersifat prealable atau bersifat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 www.mahkamahkonstitusi.go.id mendahulu. Artinya, pemerintah tidak dapat melakukan pengeluaran maupun penerimaan negara tanpa terlebih dahulu memperoleh izin dari lembaga legislatif yang dituangkan dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. - Pemikiran inilah yang kemudian melahirkan prinsip unteoritas dalam pengeluaran negara. Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip dimaksud selanjutnya mendasari lahirnya berbagai ketentuan dalam pengelolaan keuangan negara, seperti misalnya larangan bagi semua pihak untuk melakukan pengeluaran bila terjadi alokasi anggaran dalam Undang- Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. - Hak parlemen di bidang keuangan negara dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Pada awal kelahiran, hak tersebut, lembaga legislatif memiliki kebebasan yang sangat luas dalam pembahasan dan penetapan anggaran yang diusulkan oleh pemerintah. Kebebesan tersebut tercermin dalam bentuk kewenangan lembaga legislatif untuk menetapkan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, kapan saja mereka pandang telah siap tanpa terikat pada batas waktu. - Para anggota lembaga legislatif berwenang untuk meminta penjelasan dalam bentuk apa pun kepada pemerintah bila penjelasan dimaksud dipandang akan diperlukan dalam rangka pengambilan keputusan untuk menetapkan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang sedang dalam pembahasan. Bahkan, para anggota legislatif dapat saja tidak menyetujui alokasi anggaran yang diusulkan oleh pemerintah walaupun hal ini akan berakibat terhadap batalnya kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah. - Dalam perjalanan sejarah kebebasan lembaga legislatif dalam pembahasan dan penetapan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, secara signifikan telah semakin berkurang. Berbagai keterbatasan (constrain) telah menyebabkan kebebasan lembaga legislatif cenderung mengalami kemerosotan. - Menurut teori, bila diamati, keterbatasan dimaksud dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, keterbatasan waktu (time constrain) . Kedua, keterbatasan kompetensi (competency constrain) . Dan ketiga, keterbatasan pendidikan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 www.mahkamahkonstitusi.go.id (educational constrain) . Dengan mendasarkan pada prinsip prioditas anggaran yang membatasi pelaksanaan anggaran pada umumnya, hanya dalam kurun waktu satu tahun di satu sisi dan prinsip unteoritas yang menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat melakukan tindakan apa pun dalam hal pengeluaran negara, kecuali telah ditetapkan dalam Undang- Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, kini lembaga legislatif berkewajiban memutuskan dan menetapkan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesegera mungkin, yaitu sebelum tahun anggaran dimulai. - Kewajiban tersebut telah menempatkan lembaga legislatif pada posisi yang sangat sulit. Bila rata-rata lembaga eksekutif memiliki waktu yang cukup longgar dalam penyusunan kegiatan dan kemudian menuangkannya dalam rancangan anggaran, yaitu kurang-lebih sekitar 12 hingga 16 bulan sebelum dokumen rancangan anggaran tersebut disampaikan kepada lembaga legislatif untuk dibahas. Lembaga legislatif hanya memiliki waktu yang relatif pendek, yaitu kurang-lebih sekitar tiga bulan. - Kendati para anggota legislatif pada umumnya merasakan bahwa waktu yang disediakan untuk pembahasan terlalu pendek dan menginginkan seperti pada masa-masa lalu, keterbatasan dalam jadwal penyelenggaraan pemerintahan, dan juga pemikiran yang berkembang tentang tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk dalam hal ini adalah tata kelola keuangan negara, memaksa lembaga legislatif untuk mematuhi jadwal yang telah ditetapkan. - Dari hasil penelitian, jadwal pembahasan penetapan anggaran di berbagai negara diatur dalam ketentuan yang berbeda. Di suatu negara, ketentuan tentang jadwal pembahasan dan penetapan anggaran negara dapat ditetapkan dalam Undang-Undang dasar karena pengaturan tersebut merupakan pengaturan hubungan antarlembaga politik, yaitu legislatif dan eksekutif. Namun di negara lain, termasuk Indonesia karena dianggap lebih bersifat teknis, pemberian waktu tersebut cukup diatur dalam undang- undang. - Keterbatasan lain dalam pembahasan dan penetapan anggaran bagi lembaga legislatif adalah keterbatasan kompetensi. Hal ini tentunya bukan ingin mengatakan bahwa para anggota lembaga yang merupakan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 www.mahkamahkonstitusi.go.id representasi rakyat tersebut tidak memiliki kompetensi untuk melakukan pembahasan terhadap program maupun kegiatan yang diusulkan oleh pemerintah, akan tetapi kompetensi yang dimiliki tidaklah dapat disebandingkan dengan kompetensi para pejabat publik di lingkup eksekutif. Keterbatasan kompetensi tersebut, antara lain disebabkan terutama karena para anggota legislatif adalah politisi yang tidak berkecimpung di dalam bidang-bidang yang menjadi objek pembahasan. - Selanjutnya, keterbatasan yang juga sering dipermasalahkan pada lembaga legislatif adalah keterbatasan di bidang pendidikan. Seperti halnya keterbatasan kompetensi, keterbatasan pendidikan ini juga terkait dengan kemampuan individu para anggota lembaga legislatif. Tentunya sebagaimana telah dikemukakan di atas, sudah disadari bahwa para anggota legislatif merupakan politisi yang lebih memfokuskan perhatiannya kepada masalah-masalah politik dan hukum. - Pemberian alokasi dana lembaga legislatif untuk suatu kegiatan diusulkan oleh lembaga eksekutif pada prinsipnya adalah definitif. Namun dalam hal- hal tertentu, pemerintah baru dapat menyampaikan rencana kegiatan dalam bentuk global tanpa mampu memberikan rincian kegiatan yang lebih detail. Dalam situasi seperti ini, sebenarnya lembaga eksekutif telah menempatkan lembaga legislatif dalam situasi yang sangat sulit. Untuk mengatasi situasi tersebut, kemudian ditempuhlah suatu langkah yaitu memberikan otorisasi anggaran dalam bentuk alokasi yang bersifat kondisional. - Selanjutnya tentang penerapan konsep pengelolaan keuangan sebagaimana dikemukakan dalam bagian terdahulu. Di Indonesia dapat ditelusuri sebagai berikut. - Pertama, hak budget dalam Undang-Undang Dasar 1945. Berbeda dengan undang-undang dasar beberapa negara termasuk Republik Indonesia Serikat yang mengatur hubungan politik antara lembaga legislatif dan eksekutif di bidang keuangan negara secara rinci, Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur masalah tersebut dalam suatu ayat yaitu dalam Pasal 23 ayat (1) yang dituangkan dalm Bab VIII. Hal ini tampaknya terkait dengan pemikiran awal para penyusun bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dalam format yang singkat, akan tetapi harus fleksibel. Implementasi budget dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 www.mahkamahkonstitusi.go.id sebagai konsekuensi sifat Undang-Undang Dasar 1945 yang singkat, khususnya dalam pengaturan masalah keuangan negara mengharuskan adanya ketentuan lain yang tingkatannya lebih rendah yang mengatur secara lebih rinci berbagai prinsip maupun berbagai aspek dalam masa tersebut. Di samping itu, tampaknya perlu dipahami bahwa secara prinsip Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur ketentuan dasar dan tidak bersifat operasional. - Praktik ketaatan negara di Indonesia khususnya di bidang penyusunan anggaran negara boleh dikatakan cukup unik, praktik ini tidak terlepas dari dasar filosofis bangsa Indonesia yang menginginkan cara hidup yang demokrasi dengan cara yang berbeda dibandingkan negara-negara demokrasi di belahan barat. Kendala waktu yang secara teori merupakan hambatan yang tidak terhindarkan dalam pembahasan usulan anggaran di lembaga legislatif disikapi dengan cara sederhana dan penuh kekeluargaan. Namun ditinjau dari aspek hukum keuangan negara, konvensi tersebut akan menimbulkan ganjalan dan akan tetap menyisihkan beberapa pertanyaan. - Sebagaimana dikemukakan yaitu apakah tahapan pembicaraan pendahuluan dimaksud merupakan tahapan administratif ataukan merupakan tahapan politik? Selanjutnya, apakah keputusan dibuat dalan pembicaraan pendahuluan tersebut mengikat kedua belah pihak ataupun tidak? - Berbagai pertanyaan tersebut perlu dikemukakan mengingat bahwa setelah selesai proses interaksi dalam masa pembicaraan pendahuluan tersebut, kementerian lembaga baru akan melaksanakan pembahasan anggaran dengan Kementerian Keuangan selaku pengelola fiskal budget authority . Hal ini menunjukkan bahwa hingga tahapan ini mestinya masih merupakan tahapan administratif. - Selanjutnya pertanyaan yang harus dijawab adalah kenapa ada pembintangan di dalam alokasi anggaran? Dengan memperhatikan maksud dan substansi pemberian otorisasi parlemen yang bersifat kondisional, praktik semacam itu dilakukan pula dalam sistem pengelolaan anggaran di Indonesia. Praktik pemberian alokasi kondisional tersebut di Indonesia dilakukan dengan membubuhkan tanda bintang pada alokasi anggaran yang bersangkutan. Pemberian tanda bintang ini pada prinsipnya untuk Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 www.mahkamahkonstitusi.go.id memberi perhatian kepada kementerian lembaga yang bersangkutan bahwa alokasi anggaran tersebut tidak dapat direalisasikan kecuali terpenuhi syarat yang telah ditetapkan pada saat penetapan Undang-Undang APBN oleh lembaga legislatif. - Berikutnya adalah terkait dengan masalah perubahan anggaran. Beranjak dari kelemahan sebagaimana dijadikan alasan lahirnya pemikiran tentang perubahan anggaran seperti yang diungkapkan di bagian-bagian sebelumnya, praktik perubahan anggaran dalam pengelolaan anggaran di Indonesia pun tidak dapat dihindarkan. - Berbeda dengan ide dasar yang seharusnya dijadikan acuan praktik di Indonesia ternyata jauh menyimpang. Berbagai pihak membuat penafsiran secara inkontekstual terhadap makna termonologi perubahan itu sendiri. Berbagai pihak-pihak tidak menggunakan filosofi maupun konsepsi disiplin ilmu hukum keuangan negara, ketika memutuskan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dengan tanpa mengindahkan maksud dan tujuan perubahan itu sendiri, dari sudut filosofi maupun konsepsi disiplin ilmu hukum keuangan negara, berbagai pihak berpendapat bahwa perubahan undang-undang adalah merupakan sebagian isi Undang-Undang itu sendiri. Oleh karena itu dengan cara pikir salah tersebut, perubahan Undang-Undang APBN bukan dilakukan dengan cara mengkoreksi kegiatan yang telah ada melainkan dilakukan dengan mengganti kegiatan yang ada dengan kegiatan baru atau dengan jalan menambahkan kegiatan yang sama sekali belum pernah ada. - Berikutnya tentang keberadaan dan kewenangan badan anggaran dewan perwakilan rakyat. Ditinjau dari sudut hukum keuangan negara secara kelembagaan keberadaan badan anggaran DPR dan komisi dalam pengelolaan keuangan negara di sisi politis yaitu dalam penyusunan dan penetapan anggaran sebagai pokok poin lembaga perwakilan rakyat sangat penting. Oleh karena itu, keberadaan lembaga tersebut menurut Undang- Undang sudah sesuai dengan kebutuhan. Praktik yang berkembang yang didorong oleh kepentingan individu seyogianya tidak dijadikan pembenaran untuk melakukan penghapusan lembaga itu sendiri. Namun demikian berbagai ketentuan terkait yang melatarbelakangi kepentingan individu seharusnya dihapuskan. Hal ini terkait dengan hak budget DPR yang justru Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 www.mahkamahkonstitusi.go.id selalu memicu perdebatan antara badan anggaran dan komisi sektoral yaitu berupa kewenangan lembaga legislatif untuk dapat mengajukan usul yang dapat mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan maupun pengeluaran dalam RUU APBN terkait dengan pembahasan program kegiatan bersama kementerian lembaga. - Kedua tentang kewenangan DPR untuk membahas APBN secara terperinci. Persetujuan lembaga legislatif terhadap APBN harus dalam format yang sangat rinci. Hal ini didasarkan pada prinsip spesialitas anggaran yang pada hakikatnya memudahkan lembaga legislatif untuk mengawasi atau mengedalikan pemerintah agar tidak melakukan penyimpangan terhadap penggunaan alokasi anggaran. Rinci atau tidaknya penetapan anggaran memang sangat tergantung kepada kebutuhan dan kultur masing-masing negara. Namun sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa efektivitas pengawasan lembaga legislatif terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara berbanding terbalik dengan rinci tidaknya anggaran yang ditetapkannya, artinya semakin rinci anggaran yang ditetapkan akan semakin efektif dan mudah bagi DPR untuk melakukan pengawasan dan semakin sulit lembaga eksekutif melakukan penyimpangan terhadap persetujuan yang telah diberikan. - Sebaliknya, bila alokasi anggaran diberikan tidak cukup rinci atau bahkan dalam bentuk global akan semakin sulit aspek pengawasan yang dilakukan oleh lembaga legislatif. Pemberian alokasi yang bersifat tidak rinci akan memberikan kemungkinan bagi lembaga eksekutif untuk melakukan penyimpangan terhadap persetujuan yang telah diberikan oleh lembaga legislatif karena berbagai penafsiran. Pemberian persetujuan yang tidak rinci seolah-olah dapat diibaratkan bahwa lembaga legislatif memberikan cek kosong kepada pihak lembaga eksekutif. Namun demikian ketentuan dalam Pasal 15 ayat (6) Undang-Undang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja tidaklah harus disambut dengan euforia yang berlebihan oleh para anggota dewan perwakilan rakyat. - Dua hal perlu diperhatikan dalam masalah ini. Pertama dari sudut kelembagaan bahwa DPR merupakan lembaga pengambil kebijakan atau Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 www.mahkamahkonstitusi.go.id policy making institution bukan lembaga pelaksana. Oleh karena itu lembaga tersebut harus memiliki kemampuan mengambil keputusan yang bersifat makro strategis untuk itu lembaga tersebut harus didukung oleh para anggota yang mampu berpikir konsepsional dan bersifat makro strategis. Kedua dari sudut individu bahwa dengan mengacu pada keterbatasan para anggota DPR sebagaimana dikemukakan di atas para anggota DPR bukanlah individu-individu yang memiliki kemampuan pemikiran yang bersifat mikro teknis sebagaimana layaknya para pejabat di lembaga tersebut. Praktik yang selama ini dilakukan oleh para anggota DPR di berbagai komisi sektoral yang membahas rancangan anggaran kementerian lembaga hingga rincian yang paling detail yaitu proyek maupun kegiatan layaknya para budgeter adalah euforia yang seharusnya segera dihentikan. Euforia tersebut tampaknya bersumber dari ketidakpahaman yang dikombinasikan dengan kepentingan masing-masing individu ataupun fraksi dalam lembaga legislatif. - Pembintangan dan pemblokiran anggaran dari sudut konsepsi langkah yang dilakukan lembaga legislatif justru memberikan kemudahan dan jaminan pendanaan terhadap kegiatan pemerintah yang karena satu dan lain hal belum secara konkret dituangkan dalam keputusan. - Ditiadakannya langkah pemberian tanda bintang terhadap alokasi anggaran dalam keadaan tertentu justru dapat menimbulkan hambatan program kerja lembaga eksekutif. Keempat program dan ruang lingkup pembahasan APBNP. Dari sudut konsep teoritik perubahan terhadap anggaran yang telah ditetapkan bersama antara eksekutif dan legislatif merupakan satu hal yang umum terjadi bahkan akan selalu terjadi. Dalam kaitan ini yang perlu dilakukan adalah membatasi substansi perubahan itu sendiri dengan mengembalikan pada makna yang terkandung dalam gagasan untuk melakukan perbuatan tersebut. - Kesimpulan: bahwa pengaturan hal-hal dalam ketentuan Undang-Undang khususnya Undang-Undang Keuangan Negara yang dimohonkan oleh para Pemohon untuk di-review Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut di atas telah didasarkan pada historis filosofis yang mendasari konsepsi hukum keuangan negara yang sejalan dengan kaidah yang tertuang dalam hukum dasar yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 www.mahkamahkonstitusi.go.id pengaturan dimaksud tidak mengandung kesalahan sehingga tidak perlu dilakukan perubahan. Namun demikian pelaksanaan ketentuan tersebut dalam praktik yang didasarkan pada penafsiran yang kurang tepat yang perlu dilakukan perbaikan agar tidak menimbulkan moral hazard yang didasari pada kepentingan individu, atau penguasa, ataupun kelompok. - Saran: Agar disusun ketetapan supaya DPR sebagai lembaga legislatif lebih memfokuskan pada pemikiran yang bersifat makro strategis dalam penyusunan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara. - Pembahasan APBN hanya terbatas pada capaian di tingkat fungsi dan kelembagaan kementerian. - Rincian yang tertuang dalam RKAKL yang memuat kegiatan dan alokasi anggaran yang sangat rinci agar digunakan sebagai alat uji atau justifikasi bilamana memang diperlukan. - Lingkup perubahan APBN yang natinya dituangkan dalam Undang-Undang APBN-P agar dibatasi kegiatan pada kegiatan yang telah ada dan telah dituangkan dalam undang-undang APBN; - Pemerintah punya waktu sekitar 1 tahun, 12 sampai dengan 16 bulan untuk menyusun anggaran. Sementara Dewan Perwakilan Rakyat itu punya keterbatasan waktu, yaitu semenjak RUU APBN diserahkan, yaitu pertengahan Agustus hingga 31 Oktober atau sama dengan 2,5 bulan. Yang paling penting adalah bahwa sebenarnya pengkaitan antara kerincian anggara di dalam Undang-Undang APBN dibandingkan dengan tingkat pengawasannya itu berbanding terbalik. - Kalau pemerintah itu diberi anggaran dengan cara yang longgar, maka artinya pemerintah itu boleh menafsirkan apa saja ke tingkat yang peling detail. Bahwa ditetapkannya secara rinci itu memberikan batasan karena ada unsur yang atau ada prinsip yang disebut dengan prinsip spesialitas, maka setiap anggaran itu hanya bisa dikeluarkan untuk tujuan sebagaimana sudah ditetapkan. Sehingga dengan demikian, semakin longgar anggaran dalam pemberian alokasinya, artinya pada butir-butirannya itu akan menyebabkan pemerintah itu justru bisa melakukan untuk apa saja. - Bahwa satu keputusan yang sangat rinci akan mempermudah pengawasan, tetapi tidak berarti bahwa dengan merinci itu dominansi itu ada di tangan mereka. Keputusan harus dilakukan secara rinci demi kewenangan di dalam Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 www.mahkamahkonstitusi.go.id melakukan pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Kemudian yang berikutnya adalah perubahan APBN. Kita menyadari APBN itu pasti akan berubah, sampai kapan pun yang namanya APBNP akan selalu ada. Hanya yang harus diperhatikan adalah kapan sebenarnya perubahan itu bisa dilakukan untuk suatu perencanaan yang baik. Anggaran itu akan dilaksanakan minimal setengah jalan. Oleh sebab itu, selalu dikatakan APBNP diajukan setelah 1 semester, dan 1 semester itu artinya setelah bulan Juni. Sehingga waktunya tinggal 6 bulan berikutnya ditambah dengan pembahasan-pembahasan, artinya tinggal 2-3 bulan. - Praktik yang berkembang sekarang di Indonesia adalah pemikiran melakukan perubahan anggaran itu dalam pengertian undang-undangnya yang diubah. Sehingga isinya boleh apa saja, sebagaimana tadi disampaikan kegiatan baru yang kemarin lupa atau belum sempat dipikirkan, dituangkan di situ. Padahal waktu yang tersisa tinggal 2-3 bulan. Dalam konsep teoritiknya, perubahan itu hanya boleh dilakukan terhadap sesuatu yang sudah pernah diusulkan, kecuali untuk kondisi-kondisi yang sangat luar biasa, kondisi darurat misalnya. Tetapi di luar itu yang disebut dengan APBNP harus berkaitan dengan sesuatu yang sudah ada karena terkait dengan ketidakmampuan, ketidakcermatan di dalam menyusun formula ataupun asumsi yang ada. Sehingga diperlukan ada perubahan- perubahan dalam volume, perubahan-perubahan dalam harga, perubahan- perubahan dalam penghitungan. - Hubungan eksekutif dan legislatif pada hakikatnya pembuatan kesepakatan dalam kondisi yang setara hanya di sana dikatakan, kesetaraan yang tidak setara. Karena lembaga legislatif adalah wakil rakyat. Eksekutif kemudian meminta uang. Permintaan uang inilah yang mengatakan berapa besarannya dan masyarakat akan memberikan izin, sehingga sebenarnya tidak terlihat di sini ada pengertian dominasi dan tidak dominasi, tapi apapun yang terjadi namanya lembaga legislatif mempunyai level yang lebih tinggi. Oleh sebab itu tidak salah kalau Undang-Undang Dasar 1945 pun mengatakan dalam hal penyusunan anggaran lembaga legislatif memiliki kekuatan atau level yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemerintah. Artinya dia memberikan persetujuan, dan di dalam prinsip unteoritas Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 www.mahkamahkonstitusi.go.id pemerintah tidak akan pernah bisa melaksanakan kegiatannya tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ahmad Erani Yustika - Pemerintah pada umumnya memiliki dua instrumen yang penting, yakni instrumen fiskal APBN dan instrumen moneter. Dalam instrument fiskal inilah kita harus memastikan bahwa APBN yang dikelola oleh pemerintah benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. - Dalam salah satu agenda untuk membuat dan memastikan bahwa APBN yang dikelola oleh pemerintah itu betul-betul nantinya bermanfaat bagi masyarakat, maka DPR diberi kewenangan yang sangat luas untuk melakukan fungsi anggaran di luar fungsi pokok lainnya, yakni legislasi dan pengawasan. - Tidak ada celah untuk bisa menegasikan fungsi DPR untuk melakukan tugas dalam penganggaran ini, dan ini dijamin oleh Undang-Undang. Sekaligus dengan adanya fungsi anggaran DPR, maka DPR memiliki ruang yang sangat besar untuk terlibat dalam proses perumusan anggaran, dalam hal ini APBN. - Inilah yang sekarang ini menjadi bahan perdebatan karena dalam beberapa hal khususnya di level praktiknya, perumusan anggaran seperti yang diharapakan itu tidak sesuai dengan kenyataan, khususnya ketika DPR dan pemerintah melakukan koordinasi dan negoisasi untuk banyak aspek termasuk di dalam program pembangunan disini sudah didapatkan satu kejelasan bahwa fungsi penganggaran ini penting dan harus dimanfaatkan oleh DPR. - Bahwa keterlibatan DPR dalam perumusan anggaran itu adalah turut serta dalam menentukan politik anggaran dan ini yang sudah hilang pada saat berbicara mengenai fungsi perumusan anggaran DPR di dalam pembahasan APBN. - Selama ini yang terlihat pembahasan APBN itu lebih pada level yang sangat teknis berbicara mengenai program nanti dialokasikan untuk proyek-proyek seperti apa dan seterusnya. Tanpa diketahui sebetulnya substansi politik Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 www.mahkamahkonstitusi.go.id anggaran yang sudah dijalankan oleh pemerintah maupun DPR dalam anggaran yang akan datang itu wujudnya semacam apa. Inilah yang hilang. - Makna perumusan anggaran dalam konteks ini ahli maknai sebagai keikutsertaan parlemen untuk menentukan politik anggaran. Di dalam APBN itu ada banyak fungsi, tetapi tiga hal yang sangat penting dari APBN adalah fungsi stabilisasi, alokasi, dan distribusi. - Pada tiga hal inilah politik anggaran yang disampaikan oleh DPR itu harus nampak. Pada sisi stabilisasi politik anggaran yang diinginkan oleh DPR untuk menanggapi rancangan yang disampaikan DPR harus muncul. Demikian juga untuk alokasi. - Sebagai ilustrasi, jika pemerintah menyampaikan bahwa pembangunan Indonesia bagian timur tetinggal dibandingkan dengan pembangunan Indonesia bagian barat, maka anggaran seperti apa yang menunjukkan adanya alokasi untuk pembangunan Indonesia di bagian timur? Ini ilustrasi bagaimana alokasi itu mesti ada juga ada politik anggarannya. Bukan sekedar uang atau anggaran dibagi-bagi secara merata antarwilayah. - Dan yang ketiga adalah distribusi. Ketika misalnya pertumbuhan ekonomi hari ini tumbuh cukup tinggi, tapi di sisi lain diimbangi bahkan diikuti dengan ketimpangan pendapatan yang makin besar, maka fungsi distribusi seperti apa yang hendak dijalankan oleh pemerintah. Ruang semacam ini terbuka lebar bagi parlemen untuk melakukan tanggapan-tanggapan semacam itu. - Dengan demikian, fungsi anggaran dalam konteks ini pada titik ini adalah bagaimana parlemen memformulasikan politik anggaran, sehingga ketika berhadapan dengan pemerintah, itu memiliki pandangan yang kira-kira bisa “diadu” siapa yang lebih memiliki keberpihakan kepada masyarakat dalam menjalankan amanat pemanfaatan APBN tadi. - Secara definitif politik anggaran bisa diambil dari berbagai macam sudut pandang. Menurut ahli, yang pertama politik anggaran itu mestinya harus diihat sebagai bahwa APBN itu merupakan instrumen ideologis dan bukan sekadar instrumen teknokratis. - Artinya, konstitusi yang memiliki pesan-pesan penting itu tadi, secara ideologi harus termaktub di dalam fungsi stabilisasi, alokasi, maupun distribusi APBN. Jangan sampai kemudian kita memiliki dasar negara, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 www.mahkamahkonstitusi.go.id mempunyai konstitusi yang berbeda dengan negara lain, tetapi format dan alokasi APBN itu sama saja dengan negara-negara tersebut. - Oleh karena itu, makna bahwa APBN itu sebagai politik anggaran itu pertama-tama harus ada cantolan di konstitusi maupun ideologi. - Pemerintah dan DPR selalu mengkonseptualisasikan anggaran defisit, tetapi dalam kenyataannya, itu dibangun di atas dua hal yang sama-sama eksis. Yang pertama adalah adanya inefisiensi dalam alokasi belanja, ada pemborosan, ada korupsi, marked up , dan seterusnya. Di sisi lain, ada inoptimalisasi penerimaan yang bisa dilihat dari tax ratio yang sangat rendah, kebocoran pajak, dan seterusnya, maupun pendapatan negara untuk pajak. - Di dalam teks mana pun, literatur mana pun, tidak ada kesalahan untuk mendesain anggaran defisit. Hanya kalau itu dilakukan di atas alas inefisiensi belanja dan inoptimalisasi penerimaan, maka itu secara moral, tidak absah. Ini penting untuk digarisbawahi dan politik anggaran berimbang harus dimaknai tadi itu bahwa selama memang sudah ada optimalisasi penerimaan dan efisiensi belanja, maka kekurangan itu boleh diambilkan dari sumber yang lain. Tetapi selama itu tidak diperbolehkan, maka anggaran defisit itu batal secara moral. - Yang ketiga adalah spirit keadilan. Penting untuk dipahami karena seluruh napas konstitusi kita berbicara mengenai aspek ini. - Kemudian, terdapat suatu kenyataan bahwa APBN dari sisi program- programnya, alokasi, hampir sama dari waktu ke waktu. Padahal, persoalan ekonomi yang muncul misalnya, itu ada perubahan-perubahan yang mendasar. Kalau dilihat alokasi persentase APBN dari tahun 1999 misalnya, pascakrisis ekonomi besar tahun 1997-1998 dengan hari ini, maka relatif sama. Padahal persoalan-persoalan dijumpai itu, sudah ada perbedaan. Mestinya APBN itu harus bisa beradaptasi, mengakomodasi persoalan- persoalan yang muncul, perubahan-perubahan yang terus terjadi tadi. - Yang terakhir adalah bahwa APBN harus menyantuni, harus menafkahi seluruh kewajiban yang dipenuhi dalam bentuk undang-undang. Sampai hari ini misalnya, APBN itu belum pernah bisa memenuhi mandat dalam Undang-Undang Kesehatan, di mana 5% dari anggaran itu dipakai untuk Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 www.mahkamahkonstitusi.go.id kesehatan. Selama ini masih sekitar di bawah 2,5%. Dari aspek itu, maka ada ketimpangan dalam memanfaatkan itu. - Ada dua hal, sebetulnya, bagi pemerintah untuk mendesain APBN. Yang pertama, yang disebut sebagai sistem anggaran konvensional ( conventional budgeting system ). Dalam model ini, pemerintah biasanya akan menentukan terlebih dahulu anggaran patokan selainnya. Misalnya pada tahun ini, pemerintah sudah menyiapkan RAPBN Tahun 2014. Yang dilakukan oleh pemerintah ialah menyiapkan dulu baseline anggarannya. Biasanya memakai patokan anggaran tahun 2013. Setelah itu, baru akan ditambahkan oleh empat faktor berikut ini. Yang pertama adalah inflasi. Misalnya, diasumsikan inflasi tahun depan katakanlah, 5%-6%, maka anggaran akan ditambah dengan 5%-6%. - Yang berikutnya, ada program-program inisiatif baru yang biasanya tidak terlalu banyak. Misalnya tahun 2014, pemerintah melihat ada problem krisis ekonomi yang belum selesai, akan ditambahkan untuk mencegah krisis; - Berikutnya adalah cash load programme , jadi untuk beban anggaran wajib, seperti Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Pendidikan, misalnya 20% dari APBN. Baru yang terakhir, induksi perubahan kebijakan untuk beberapa hal yang pokok. Apabila sebafai contoh, pemerintah berpikiran bahwa tahun depan, akibat dari adanya kenaikan harga BBM ini, dirasakan perlu untuk membantu beberapa kelompok masyarakat, misalnya UMKM, atau kelompok miskin lainnya, dilanjutkan dengan BLSM maupun yang lain, maka akan disampaikan di sini. Kurang-lebih, inilah model penyusunan anggaran konvensional yang ada. - Model yang kedua adalah memakai prinsip priority based budgeting system . Di dalam model ini, pemerintah fokus kepada output-nya dan tidak pada sumber dayanya seperti yang konvensional tadi itu. Pemerintah tidak melihat terlebih dahulu kira-kira anggaran yang dimiliki, sumber daya yang dipunyai seperti apa, caranya tetapi fungsi utama pemerintah, khususnya dalam perekonomian itu disusun terlebih dahulu, apakah pemerintah harus melakukan intervensi pada seluruh urusan ekonomi, atau hanya sekedar beberapa aspek terkait dengan mandat konstitusi, misalnya itu dirumuskan oleh pemerintah. Baru, apabila fungsi utama tadi itu sudah dirumuskan, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 www.mahkamahkonstitusi.go.id maka pemerintah bergerak kepada level berikutnya, yakni menyusun program kepada prioritas yang ingin ditangani. - Ahli mengharapkan agar pemerintah lebih banyak mengadopsi kepada anggaran berbasis prioritas, meskipun kebetulan dalam beberapa hal sebagaian sudah dijalankan oleh pemerintah. Kalau kemudian ini dilakukan, maka sebetulnya DPR itu nanti akan lebih banyak fokus untuk mengindentifikasi fungsi yang mesti dijalankan oleh pemerintah tadi itu, dengan menggunakan APBN. Jadi, badan anggaran berbicara mengenai narasi-narasi besar tidak terjebak kepada program-program sangat detail yang jumlahnya ribuan, sehingga itu menutup isu besar yang disebut politik anggaran; - Masalah-masalah strategis, persoalan-persoalan prioritas itulah yang diharapkan hidup dibunyikan oleh parlemen badan anggaran. Misalnya isu mengenai ketimpangan pendapatan yang sekarang makin meningkat, kebutuhan reforma agraria karena petani kita lahannya makin lama makin sempit, sehingga mereka tidak bisa meningkatkan level kesejahteraannya. Kemudian apakah kebijakan perpajakan kita selama ini sudah sesuai dengan semangat keadilan sosial. Itu yang mestinya disampaikan, yang dinegosiasikan, didesakan oleh anggota parlemen lewat badan anggaran, kalau kemudian itu tadi yang dilakukan. - Ketiga. Sebagian besar dari isu strategis tadi, sebetulnya terpantul dari asumsi makro ekonomi yang ada di dalam pembukaan APBN, asumsi makro ekonomilah sebetulnya itu yang menjadi dasar terpenting dari yang disebut dengan politik anggaran tadi itu, dari tahun ke tahun asumsi makro ekonomi itu hanya berbicara pada hal-hal seperti: pertumbuhan ekonominya berapa, inflasinya berapa, tingkat suku bunganya berapa, nilai tukarnya berapa, ICP-nya berapa, berapa barell minyak, gas dan seterusnya. Tapi tidak pernah mencoba untuk melakukan hal yang lain. Bahkan kerap kali asumsi makro ekonomi itu tidak didasari oleh hal yang sama tapi sekedar negosiasi antara parlemen dan pemerintah, sebagai contoh, baru saja disetujui RAPBN-P Tahun 2013. Pemerintah ingin pertumbuhan ekonomi 6,2%, parlemen berharap agar itu bisa 6,5%. Akhirnya ada perbedaan, negosiasi, ditetapkan 6,3%. Dasar 6,3% itu hanya negosiasi saja tanpa ada dasar teknokratis untuk melakukan itu, sehingga wajar saja kalau kemudian Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 www.mahkamahkonstitusi.go.id asumsi makro ekonomi itu banyak meleset. Pengalaman di negara lain, asumsi makro ekonomi itu diberikan kepada orang atau lembaga yang lebih kredibel secara akademik, misalnya di Belanda ada biro perencanaan, di Australia itu diserahkan kepada para ekonom yang ditunjuk oleh pemerintah dan memiliki kredibilitas. Kemudian di Amerika Serikat diserahkan kepada Congressional Budget Office . Kanada itu diberikan kepada sektor privat, di Chili bahkan NGO yang diberi mandat untuk memfasilitasi para ekonom yang dianggap memiliki kredibilitas untuk menyampaikan pandangan mengenai asumsi makro ekonomi, dan itulah yang diambil oleh pemerintah. Itu untuk menghindari agar asumsi makro ekonomi itu tidak terlalu dibebani dengan aspek-aspek yang sangat politisi sekali, sehingga itu nanti di lapangan tidak banyak bisa dicapai, dan itu menganggu kredibilitas pemerintah baik dari kacamata luar negeri maupun investor domestik. - Perubahan APBN secara teknis, secara teoritis masih dimungkinkan untuk bisa dilakukan, hanya memang harus ada indikator-indikator yang terukur, sebelum tahun 1998-1999, jarang sekali ada APBN perubahan, tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini hampir selalu itu menjadi tradisi pemerintah dan DPR melakukan APBN perubahan tadi itu. - Melihat urgensi dari APBN perubahan itu sebetulnya tidak terlalu kuat, kecuali kalau misalnya ada kasus-kasus tertentu katakanlah turbulensi ekonomi yang membuat seluruh ini tadi itu bisa dilakukan. Tetapi beberapa hal terakhir ini ahli melihat bahwa APBNP itu harus dilakukan karena lemahnya pemerintah dalam menyusun secara kredibel asumsi makro ekonomi. Sebetulnya akhir tahun yang lalu misalnya, pertumbuhan ekonomi itu hampir semua lembaga-lembaga internasional maupun lembaga kajian domestik menyampaikan bahwa paling tinggi pertumbuhan ekonomi hanya pada level 6,4% setahun ini. Tapi pemerintah tanpa diketahui berdasarkan negosiasi dengan DPR atau karena faktor apa, memberikan 6,8% dan begitu selesai triwulan pertama, diumumkan pertumbuhan ekonomi 6,02%, pemerintah terkesan panik, Sekarang dibikin, bertujuan untuk asumsi makro ekonomi pada angka 6,3%. Menurut ahli angka itu berat untuk dicapai, kalaupun dapat 6,1% saja. Perubahan APBN poinnya adalah bahwa itu harus dilakukan seandainya ada indikator-indikator terukur. Ahli sebutkan di Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 www.mahkamahkonstitusi.go.id sini boleh dilakukan seandainya ada indikasi nantinya batas defisit fiskal akan terlampaui, misalnya dengan menggunakan konsesus 3%. - Yang kedua, kalau misalnya ada masalah dengan keseimbangan primer antara penerimaan dikurangi dengan pengeluaran di luar utang luar negeri. Atau misalnya pertumbuhan ekonomi yang melesat, perbedaannya menjadi terlalu jauh. Tapi semuanya itu harus ada ukuran-ukuran yang pasti. Dengan menggunakan itu, maka perubahan APBN akan memiliki dasar yang kuat dan tidak dimungkinkan nanti akan muncul beberapa persoalan- persoalan moral hazard yang selama ini sering terjadi, misalnya seperti kasus TPIID yang beberapa waktu itu terjadi. - DPR harus dipahami sebagai institusi politik, lembaga politik yang tidak dalam banyak hal tidak memungkinkan untuk berbicara untuk berkerja dalam level yang sangat teknis. Apalagi ditambah dengan kenyataan ada time constraint, compentence constraint, dan seterusnya itu lebih tidak memungkinkan lagi mereka melakukan itu. - Bahwa kalau dlihat dari postur parlemen tadi, ditambah dengan beberapa concern tadi maka yang harus diperjuangkan oleh DPR dalam hal APBN inilah politik anggarannya. Jika itu sudah bisa dilakukan, maka akan mengubah secara mendasar dalam banyak hal. - Yang kedua, mengenai level yang sangat detail, program yang sangat terinci, maka itu akan paralel dengan konvensional budgeting system . Tetapi kalau berbicara atau pemerintah sudah mengadopsi periodic types budgeting yang orientasi ke output , maka fungsi DPR adalah melihat output - nya seperti apa, konsentrasinya ke sana, dan DPR memungkinkan untuk melakukan itu. Oleh karena itu asumsi makro ekonomi kan bagian dari output yang diharapkan. Kalau kemudian asusmsi makro ekonomi itu ternyata dalam realisasinya jauh sekali dibandingkan perencanaan, maka ada masalah banyak di situ, itulah yang harus dimasuki oleh DPR. - Rincian-rincian, program-program, dan seterusnya itu urusan lembaga yang lain kalau berbicara mengenai aspek efesiensi/efektivitas ada BPK dan seterusnya yang akan masuk ke sana. Mengenai APBN Perubahan, substansinya adalah dalam perencanaan pasti akan ada pergeseran dalam implementasi, tetapi apakan kemudian perencanaan harus dilakukan revisi di tengah perjalanan? Itu soal yang berbeda. Artinya misalnya ahli selama Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 www.mahkamahkonstitusi.go.id ini banyak bersinggungan dengan pekerjaan Bank Indonesia, dan mereka juga menyusun recana anggaran baik untuk kebijakan moneter maupun operasional. Hampir semuanya juga tidak bisa sesuai rinci dengan perencanaan, tetapi selama perubahan-perubahan tadi itu tidak mengganggu hal-hal yang mendasar, maka sebetulnya tidak diperlukan. Tinggal DPR nanti melakukan eveluasi antara perencanaan dan realisasi tidak sesuai masalahnya di mana? Itu akan menjadi perbaikan dalam negosiasi di masa yang akan datang itu ininya. - Atau yang kedua, perubahan APBN menyangkut kepada isu yang terkait dengan aspek-aspek yang strategis di asumsi makro ekonominya. Misalnya diubah asumsi pertumbuhan ekonomi dari 6,8% menjadi 6,3% sekarang. Tetapi rincian-rincian, gerbong-gerbong di balakangnya, proyek-proyek, dan lain sebagainya itu tidak perlu, kecuali dalam hal terjadi peristiwa ekonomi yang sangat besar seperti krisis ekonomi atau sejenisnya;
Ari Dwipayana - Demokrasi hari ini telah mencapai titik yang tidak mungkin kembali, Indonesia memilih jalan demokrasi sebagai pilihan sadar untuk mewujudkan pemerintahan dari, oleh, dan untuk mencapai kehendak rakyat. Dengan demikian demokrasi seharusnya dimaknai bukan semata-mata berhenti pada keberadaan pemerintahan yang dibentuk atas mandat elektoral rakyat secara prosedural oleh pemilihan umum. Demokrasi juga bukan sekedar diukur dari keberadaan institusi formal yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas nama rakyat. Namun demokrasi memiliki makna yang jauh lebih dalam sebagai jembatan emas untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. - Kehendak untuk mewujudkan kesejahteraan melalui jalan demokrasi, tentu bukan sesuatu yang mudah. Karena harus disadari bahwa demokrasi selalu memiliki sisi gelap. Berbagai studi empirik tentang demokrasi memperingatkan bahwa sisi gelap demokrasi itu ditandai dengan hadirnya fenomena korupsi politik di mana kekuasaan formal yang diperoleh melalui prosedural demokratis dimanfaatkan dan didayagunakan untuk melakukan aksi perburuan rente atau rent-seeking terhadap sumber dana negara maupun dimanfaatkan untuk memperdagangkan otoritas dan pengaruh. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 www.mahkamahkonstitusi.go.id Studi yang dilakukan oleh John Girling tahun 1997, Kang tahun 2002, dan Michael Johnston tahun 2005 memberikan gambaran sebagaimana fenomena political corruption, legalise corruption, atau lebih spesifik lagi political party corruption justru masih mendapatkan peluang dalam sistem dan institusi demokrasi yang sedang berkembang. - Singkatnya, ketiga studi itu meyakini bahwa korupsi politik bukan semata- mata persoalan moral individual, melainkan problem yang melekat dalam struktur peluang politik yang tersedia. Sehingga dalam banyak hal kehadiran struktur peluang itulah yang justru menyebabkan korupsi menjadi fungsional. - Berpijak pada pandangan sejumlah ahli di atas, fokus perhatian bersama seharusnya ditujukan pada upaya melihat kembali faktor pendorong dan struktur peluang politik yang memungkinkan tindakan perburuan rente atau korupsi politik itu bisa terjadi. Di sini ahli melihat arti penting dan urgensi apa yang disampaikan oleh Pemohon dalam permohonan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan negara dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 terhadap Undang- Undang Dasar 1945. - Pertanyaan pertama dan terutama adalah apa yang menjadi faktor pendorong dari maraknya perburuan rente dalam sistem demokrasi multipartai saat ini. Beberapa studi menunjukan bahwa faktor utama yang menjelaskan aksi perburuan rente adalah strategi partai untuk mencari pendanaan alternatif di tengah krisis finansial yang dihadapi partai-partai dalam konteks sistem demokrasi multipartai kompetitif. Dalam menghadapi proses kompetisi politik yang semakin berbiaya tinggi, partai-partai mengalami kesulitan untuk menggalang sumber pendanaan partai dari internal baik berbentuk iuran atau donasi anggota partai, sehingga tidak ada pilihan lain untuk mencari sumber pendanaan alternatif pada sumber- sumber eksternal. - Pada saat yang bersamaan, subsidi negara pada partai yang sering disebut bantuan keuangan partai politik yang merupakan dana resmi dari APBN atau sering disebut dengan dana budgeter cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Selain itu partai-partai juga dibatasi ruang geraknya sehingga tidak bisa mencari dana sendiri melalui badan usaha Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 www.mahkamahkonstitusi.go.id milik partai. Akhirnya sumber dana partai yang tersisa hanya dua sumber eksternal, yaitu donasi dari kelompok-kelompok bisnis baik perorangan maupun korporasi maupun melalui penggalangan sumber dana negara ilegal yang juga sering disebut sebagai penggalangan dana non-budgeter . - Dalam latar belakang seperti itu, partai-partai yang dalam Pemilu bersaing satu dengan yang lainnya, selanjutnya mempunyai kepentingan yang sama untuk menggalang sumber pendanaan alternatif melalui pendayagunaan kekuasaan formal di pemerintahan atau yang sering disebut dalam istilah ilmu politik, studi kepartaian sebagai partai in-public office baik di ranah eksekutif maupun di legislatif. Dengan demikian, kadar partai yang menduduki posisi strategis di parlemen, dalam hal ini wajah partai di public office menjadi sumber dana alternatif yang sangat penting. - Penelitian yang pernah ahli lakukan menggambarkan bahwa donasi yang dikumpulkan dari anggota DPR bukan semata-mata iuran atas kebijakan partai, melainkan donasi informal terhadap kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh partai. Mulai dari kegiatan fraksi, sayap partai, biaya konsolidasi, biaya pemenangan Pilkada, subsidi pada organisasi cabang partai di daerah serta biaya konstituen. - Berbagai jenis donasi informal ini kemudian menimbulkan ketimpangan antara penghasilan sebagai anggota DPR dengan berbagai jenis pengeluaran untuk kegiatan partai. Hal inilah yang kemudian ditutupi dengan bekerjanya praktik high rent-seeking . Fenomena semakin banyaknya donasi dan munculnya rent seeking ini seringkali menjadi wilayah “abu-abu”. Karena partai tidak pernah secara formal menginstruksikan pada anggota DPR untuk menggalang sumber dana untuk partai. Namun elit pengendali partai di central office memberikan semacam penugasan pada orang-orang “kepercayaan”. Atau sering disebut dalam istilah studi-studi politik dan juga kepartaian dan juga fenomena political corruption sebagai proksi untuk menduduki posisi strategis di DPR seperti badan anggaran, pimpinan komisi, dan alat kelengkapan lainnya. Dan orang-orang yang telah diberi kepercayaan itu memiliki tanggungan untuk menghidupi partai dan membiayai aktivitas partai seperti yang diminta oleh elit partai yang menugaskannya. Singkatnya, para proksi itulah ketika diberi kepercayaan untuk menduduki posisi strategis. Artinya, pada saat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 www.mahkamahkonstitusi.go.id yang bersamaan mengemban tanggung jawab membiayai aktifitas-aktifitas yang diselenggarakan oleh partai. Hal inilah selanjutnya memunculkan fenomena perburuan rente melalui upaya pemanfaatan kewenangan formal yang dimiliki sebagai anggota DPR baik kuasa legislasi, kuasa penganggaran, kuasa pengawasan, maupun kuasa dalam rekrutmen pejabat publik. - Dalam konteks krisis finansial yang dihadapi oleh partai politik seperti digambarkan di atas yang mendorong partai-partai untuk menggalang sumber pendanaan alternatif dari dana non budgeter negara, maka struktur peluang justru muncul dari sistem dan desain kelembagaan di lembaga perwakilan itu sendiri yang membuka ruang lebar bagi aksi perburuan rente itu bisa terjadi. - Ada beberapa struktur peluang politik yang bisa diidentifikasikan dengan jelas. Pertama adalah keberadaan kelembagaan yang berkarakter oligarkis dalam sebuah institusi representasi politik. DPR memang memiliki alat kelengkapan seperti komisi-komisi yang menjalankan fungsinya mulai dari fungsi legislasi, penganggaran, pengawasan, dan rekrutmen pejabat publik. Namun dalam konteks menjalankan fungsi penganggaran, justru muncul badan anggaran yang mewujud menjadi lembaga suprakomisi yang memiliki kewenangan yang sangat kuat. - Badan anggaran bukan semata-mata sebagai institusi ad hoc yang menjalankan fungsi sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja anggaran kementerian dan lembaga, melainkan telah berkedudukan sebagai institusi yang bersifat tetap dan mempunyai kewenangan mambahas rancangan Undang-Undang tentang APBN bersama presiden yang dapat diwakili oleh menteri. - Dengan demikian, badan anggaran dapat berperan seperti lembaga suprakomisi-komisi dalam membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN. Dalam posisi sebagai lembaga suprakomisi seperti itu, tidak aneh kemudian badan anggaran telah menjadi arena yang sangat strategis bagi partai-partai dalam menempatkan orang-orang kepercayaannya dalam proses penggalangan dana politik. Indikasinya sederhana, partai-partai cenderung menempatkan bendahara partai atau anggota-anggota partai yang dipandang bisa bermain anggaran di badan anggaran. Indikasi lain, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 www.mahkamahkonstitusi.go.id bisa diperlihatkan melalui kasus-kasus yang menjerat anggota Badan Anggaran DPR-RI yang menunjukkan kekuasaan yang dimiliki oleh badan anggaran yang sangat besar dan bahkan bisa menentukan mata anggaran dalam APBN yang belum dibahas di komisi-komisi. Ini mempertegas kembali bahwa keberadaan institusi yang berkarakter oligarkis akan menciptakan peluang bagi aksi perburuan rente. - Struktur peluang politik yang kedua, terkait dengan soal kewenangan DPR untuk membahas APBN secara terperinci, praktik pembintangan dan ruang lingkup pembahasan APBN perubahan. Kekuasaan untuk membahas secara terperinci membuat DPR bukan hanya memiliki kewenangan yang bersifat makrostrategis, melainkan sampai pada jenisbelanja. Hal ini membuat ruang manuver politik yang cukup besar dari hulu sampai ke hilir, demikian pula dengan praktik penundaan penetapan mata anggaran dengan pemberian tanda bintang, pemberian ruang manuver yang besar tanpa adanya check and balances justru akan bisa membuka peluang terjadinya perburuan rente atau transaksi-transaksi yang bertentangan dengan hukum. Karena itu bagaimanapun prinsip dasar dalam politik bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan. - Semakin besar kekuasaan, maka makin besar peluang disalahgunakan. Hal ini juga berlaku pada ruang lingkup kewenangan yang sangat kuat atau bahkan mutlak yang diberikan pada DPR, serta tidak bisa di- check dan di- balances oleh institusi lain dan itu akan bisa disalahgunakan. Sedangkan peluang korupsi pada proses pembahasan APBN Perubahan muncul ketika proses pembahasan dilakukan dengan waktu yang sangat terbatas dan hanya melibatkan pihak-pihak yang terbatas. Tidak aneh kemudian dalam karakter oligarkis ini hanya segelintir pihak yang tahu mengenai berbagai proyek baru yang sebelumnya tidak dianggarkan pada APBN. Bahkan menariknya sampai ketua DPR terkesan di media terheran-heran ketika dana kompensasi Lapindo masuk dalam APBN Perubahan Tahun 2013. - Kalau kita ingin tetap menuju kesejahteraan melalui jalan demokrasi, tidak ada pilihan lain bagi kita untuk menata kembali kualitas demokrasi kita. Berbicara tentang penataan kualitas demokrasi, termasuk juga upaya mempersempit struktur peluang politik bagi tindakan perburuan rente. Untuk itu ada berapa agenda yang perlu didorong ke depan, pertama adalah Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 www.mahkamahkonstitusi.go.id mengatasi krisis finansial yang dialami oleh partai dengan cara mereformasi pembiayaan partai dengan mengenalkan konsep matching fund , yaitu model kombinasi antarpembiayaan negara dengan pembiayaan internal. Tentu saja model ini harus diikuti dengan tata kelola keuangan partai yang lebih transparan dan akuntabel, serta reformasi belanja politik yang lebih murah. - Kedua, mempersempit struktur peluang politik bagi upaya partai atau politisi untuk mencari sumber pendanaan alternatif secara ilegal. Agenda yang paling penting adalah rekonstruksi posisi kewenangan DPR RI dalam fungsi penganggaran, termasuk dalam rekonstruksi adalah badan anggaran dijadikan lembaga ad hoc yang mempunyai kewenangan sinkronisasi proses penganggaran di komisi-komisi. Kewenangan DPR-RI dalam penganggaran difokuskan pada hal-hal bersifat makrostrategis, sedangkan aspek perincian jenis belanja diserahkan sebagai ranah teknokratis yang menjadi kompetensi dari eksekutif. Namun demikian, kewenangan DPR-RI untuk pengawasan justru perlu ditingkatkan dengan berpijak pada hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan. - Korupsi politik adalah wajah gelap demokrasi. Hadirnya wajah gelap demokrasi inilah yang membuat jalan menuju kesejahteraan seluruh rakyat menjadi semakin berliku dan penuh jebakan. Proses dan institusi demokrasi bisa dibajak oleh sekelompok kecil elit yang selanjutnya elit oligarki tersebut memanfaatkan semua instrumen demokrasi bukan untuk mencapai tujuan kemakmuran seluruh rakyat, selain didayagunakan untuk kepentingan ekonomi, politik segelintir elit semata, dan itulah artinya tujuan mulia demokrasi sebagai jembatan emas untuk mewujudkan kesejahteraan akan sulit terwujud.
Kuskridho Ambardi - Ada satu hal yang harus dicermati di fungsi anggaran itu, yaitu umumnya adalah mulia pada awalnya, pada prinsipnya karena dari sana DPR bisa memberikan arah terhadap pembangunan di Republik ini, misalnya fungsi anggaran itu dengan memberikan satu arah alokasi anggaran tertentu, sehingga kemudian dalam sektor-sektor tertentu yang dianggap bahwa di sana itu ada kebutuhan untuk membangun, maka kemudian bisa dipenuhi. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Dengan kekuasaan anggaran yang dimilikinya, maka kemudian DPR melalui Banggar bisa mengalokasikan anggaran untuk pembangunan infrastruktur, dan dengan sendirinya di sana karena ada banyak sektor dan kemudian dalam APBN itu ada 6.000-an item, maka ada semacam kekuasaan di mana DPR berfungsi sangat ideal. Infrastruktur misalnya diprioritaskan, pendidikan bisa diprioritaskan, militer bisa diprioritaskan. Di sana lah letak kemuliaan dari fungsi anggaran tersebut. - Akan tetapi, kemudian ada satu problem di sana dengan kekuasaan besar yang dimiliki oleh DPR, dan kemudian di sana lebih spesifik lagi itu dijalankan oleh Banggar, ada persoalan karena di sana ada gejala yang selama ini sudah berlangsung adanya pemusatan kekuasaan itu. - Banggar tidak hanya mengurusi hal-hal makro tetapi kemudian hal-hal mikro pun itu juga diurusi. Jadi misalnya kalau berbicara tentang alokasi anggaran yang bersifat makro, sektoral, dan seterusnya, dan kemudian Banggar mampu untuk bergerak ke hilirnya, maka di sana yang terjadi adalah pemusatan kekuasaan karena kekuasaan di tingkat hulu itu kemudian ditambah lagi sampai tingkat hilir. - Tidak saja mereka mengalokasikan budget itu secara prinsipil makro, tetapi juga kemudian sampai kepada organisasi, unit kegiatan, dan seterusnya, sehingga di sana ada pencampuran fungsi legislasi, fungsi sebagai lembaga legislator parlemen, dan kemudian juga fungsi sebagai eksekusi atau eksekutor, atau kemudian di sana juga bersentuhan dengan fungsi eksekutif. Di sana ada satu proses semacam pemusatan kekuasaan dalam satu tangan. - Kemudian yang kedua di sana ada juga terlihat semacam bahaya, ada yang dinamakan dalam leksikon ilmu politik dengan kekuasaan veto. Jadi kalau dalam aturannya itu kekuasaan anggaran itu dijalankan oleh Pemerintah bersama dengan DPR melalui komisi, tetapi setelah sidang komisi selesai dan pleno selesai, kemudian Banggar ini mempunyai kekuatan veto, kekuatan veto itu diwujudkan dalam hal-hal kecil, misalnya mengubah unit proyek, kemudian juga misalnya menambah hal-hal yang lain untuk menentukan proyek-proyek mana yang berhasil dan kemudian mana yang dibatalkan. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Dan berikutnya, adalah istilah sistem bintang, sistem bintang itu memberikan kekuasaan kepada badan anggaran untuk memberikan catatan terhadap proyek-proyek tertentu, apakah itu dijalankan atau tidak. - Dengan adanya pemusatan kekuasaan itu maka kemudian akan terbuka peluang yang buruk karena kemudian menjadi kekuasaan Banggar menjadi berlipat atau dalam istilah super komisi atau suprakomisi, dia mengatasi komisi. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mengontrol Badan Anggaran tersebut. Dalam dunia politik itu ketika itu berlipat-lipat maka di sana terbuka kemungkinan bahaya akan muncul dan biasanya itu akan di atasi dengan penerapan prinsip yang lain dalam dunia politik yang lain, yakni check and balances . Yang menjadi pertanyaan kemudian siapa yang akan mengecek badan anggaran ini dan kemudian kalau lebih besar lagi itu adalah DPR. - Misalnya kalau kemudian pemusatan kekuasaan itu begitu besarnya, yang satu-satunya mekanisme yang bisa dijalankan di sana untuk mengecek kekuasaan itu adalah Pemilu. Tetapi Pemilu tersebut berlangsung lima tahun sekali, sementara kegiatan APBN itu berlangsung tiap tahun dan tidak ada kontrol di sana. Oleh karena itu, muncul judicial review untuk melihat sumber-sumber kekuasaan Banggar tersebut. Misalnya tentang periode yang tetap lima tahun tanpa ada kontrol, kemudian pemusatan kekuasaan, yakni membikin keputusan dari hulu sampai hilir dan kemudian sistem bintang. Maka di sana sebetulnya terlihat adanya bahaya dan oleh karena itu kemudian perlu untuk mengeksplorasi pasal-pasal yang menjadi sumber kekuasaan anggaran dari Banggar tersebut karena di sana terbuka kemungkinan untuk melakukan abuse . - Selama tiga tahun, dari tahun 2005 sampai tahun 2008 ahli melakukan studi untuk melihat dari mana partai itu mendapatkan dananya. Tentu saja secara teoritis di sana itu anggaran yang didapat partai atau dana yang didapat partai, besumber dari sejumlah sumber. Misalnya iuran anggota yang sering disebut, kemudian sumbangan dari para pengurus, sumbangan dari luar yang tidak mengikat, itu biasanya pengusaha, kemudian dari sumber Pemerintah. - Mereka juga melakukan laporan itu secara formal ke KPU dengan pagu tertentu karena itu memang Undang-Undang mengharuskan atau peraturan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 80 www.mahkamahkonstitusi.go.id mengharuskan begitu. Tetapi dalam studi tiga tahun itu, ketika ahli merekonstruksi, apakah memang benar misalnya belanja yang dikeluarkan oleh partai itu sesuai dengan kenyataannya sebagaimana diberikan laporannya kepada KPU? Ternyata itu tidak seperti yang dituliskan. Itu hanya perkiraan mungkin sepertiga dari total anggaran yang dikeluarkan oleh partai. - Sisa anggaran itu yang jauh lebih besar didapatkan oleh partai kemungkinan didapatkan dari sumber non budgeter sifatnya, dana-dana yang ilegal yang itu diperoleh dengan cara rente. Dari rente itu misalnya dengan model penguasaan proyek hulu sampai hilir, eksekusinya di tangan mereka, ada sistem bintang. Dari sana kemudian mereka bisa memiliki kemampuan atau kekuasaan untuk memilih siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam proyek. Dan kemudian berapa anggaran yang dikeluarkan dan termasuk di sana adalah yang informal itu adalah kickback - nya berapa? - Dengan studi ahli yang panjang selama tiga tahun, dengan banyak bukti- bukti yang kemudian muncul di media. Kasus ini menjadi bobotnya semakin besar. - korupsi politik yang dilakukan oleh para politisi yang berasal dari Banggar maupun bukan dari Banggar, itu pada dasarnya adalah karena ketidakjelasan dan kekuasaan dan batas kekuasaan tersebut dan kemudian kebutuhan bahwa mereka membutuhkan sejumlah dana untuk partainya. Mungkin sebagian di sana juga untuk pribadi. - Oleh karena itu di sana ada satu hal, satu poin utama. Banggar ini kemudian perlu dilihat lagi kekuasaannya dan setelah itu kemudian pasal- pasal yang menopang kekuasaan itu. Kalau seandainya ini dibandingkan dengan negara-negara lain, biasanya kekuasaan Banggar itu dibatasi melalui aturan hukum karena kemudian satu-satunya yang bisa mengontrol DPR dan Banggar adalah publik. Publik mempunyai keterbatasan melalui mekanisme Pemilu yang lima tahunan atau empat tahunan itu. - Karena kekuasaan itu begitu besar dan kemudian mekanisme untuk mengontrol kekuasaan itu terbatas dari segi waktu, dan kemudian dari segi detailnya, maka kemudian bagaimana kita mengontrol kekuasaan itu supaya tidak terjadi penyalahgunaan adalah dengan memperjernih sumber- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 81 www.mahkamahkonstitusi.go.id sumber kekuasaan dan batas kewenangan yang bisa diperoleh oleh Banggar tersebut.
Saldi Isra - Dalam permohonan a quo , pada pokoknya yang dimohonkan diuji dan nilai konstitusionalitasnya oleh para Pemohon adalah pertama, keberadaan dan kewenangan Badan Anggaran DPR RI menyangkut Pasal 104 sepanjang frasa yang bersifat tetap dan Pasal 105 ayat (1) sepanjang frasa pada permulaan masa keanggotaan DPR, dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang DPR, DPRD, dan DPD, serta Pasal 107 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. - Kedua, kewenangan DPR untuk membahas RAPBN secara terperinci sampai satuan tiga sebagaimana diatur dalam Pasal 157 ayat (1) huruf c sepanjang frasa rincian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Serta kewenangan DPR dalam Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009. - Ketiga, tentang perbintangan atau pemblokiran anggaran dalam Pasal 71 huruf g, Pasal 156 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004. Dan yang keempat, proses dan ruang lingkup pembahasan APBNP dalam Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 156 butir c angka 2, dan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. - Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. Frasa dibahas bersama menunjukkan proses pembahasan dan persetujuan RAPBN sama-sama dengan pembahasan dan persetujuan sebuah Undang- Undang biasa. Walaupun demikian, RUU APBN selalu harus diajukan Pemerintah, tidak ada yang menjadi inisiatif DPR. Karena itu kalau dicermati dengan teliti struktur dan posisi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, sekalipun dinyatakan tetap dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah dan DPR, ia tidak diletakkan dalam pasal proses legislasi biasa, yaitu Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 82 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Kalau kita lihat struktur Undang-Undang Dasar 1945 kita tahu bahwa pembentukan atau pembahasan RAPBN itu pada ujungnya akan berubah menjadi Undang-Undang. - Tetapi dalam struktur konstitusi kita, pasal untuk legislasi biasa berbeda dengan pasal legislasi untuk fungsi anggaran atau hal terkait dengan keuangan negara. Tentunya pemilihan struktur dan posisi yang begitu memiliki logika yang tidak sederhana. Dalam konteks ini, pada prinsipnya pembahasan RUU APBN oleh DPR lebih sebagai upaya untuk memberikan persetujuan atas rancangan APBN yang disusun oleh Pemerintah. Sebab pemerintahlah yang mengetahui secara detail itemitem pendapatan negara dan program-program yang mesti dilakukan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Sementara DPR berada lebih dalam posisi sebagai wakil rakyat yang harus mengetahui arah penyusunan rencana anggaran dalam tahun ke depan. - Dalam soal struktur dan posisi ini, sepanjang perjalanan praktik penyelenggaraan negara di bawah UUD 1945 tidak pernah terjadi perubahan cara pandang para penyusun Undang-Undang Dasar 1945. Ini dapat dilihat meskipun telah dilakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 mulai tahun 1999 sampai 2002. Dan hal keuangan negara ini telah dilakukan penambahan sejumlah pasal baru dalam perubahan struktur dan posisinya masih tidak digabungkan dengan posisi legislasi biasa. Padahal, sebagaimana kita ketahui ketika perubahan dilakukan di antara semangat yang berada dalam suasana perubahan adalah bagaimana memperkuat peran DPR. - Dalam faktanya semangat tersebut tidak membuat posisi dan struktur pengaturan pasal-pasal yang menyangkut hal keuangan berubah atau digabungkan dengan pasal-pasal legislasi biasa. - Walaupun begitu, saat ini masih muncul pertanyaan, sampai di manakah batas kewenangan DPR dalam proses pembahasan APBN? Apakah hanya sampai pada level menetapkan pokok-pokok fiskal, kerangka ekonomi makro, dan penetapan prioritas anggaran, atau juga sampai pada level menentukan detail alokasi anggaran, program, dan kegiatan kementerian atau lembaga? Untuk menjawab pertanyaan di atas kiranya perlu membalik Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 83 www.mahkamahkonstitusi.go.id kembali risalah-risalah terkait dengan kelahiran Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, beserta risalah pembahasan perubahan pasal tersebut. - Jika ditilik dokumen pembahasan pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 oleh BPUPK tidak terlalu banyak ditemukan ada komentar mengenai pembahasan terkait dengan batas pelaksanaan fungsi anggaran DPR. - Para pendiri negara yang terlibat aktif dalam perumusan UUD 1945 khususnya terkait dengan keuangan dan perekonomian, lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk membahas dan memperdebatkan sendi-sendi dasar perekonomian nasional. Misalnya, apakah menerapakan sistem ekonomi pasar atau sistem ekonomi kerakyatan. Sedangkan terkait dengan bagaimana anggaran disusun, hanya terbaca secara umum dari usul-usul yang dikemukakan anggota BPUPK, di antaranya adalah yang disampaikan Mohammad Hatta. - Hatta menyampaikan tahun keuangan berjalan, dari 1 April setiap tahun sampai 31 Maret tahun berikutnya, yang sekarang itu sudah diubah, rancangan belanja negara untuk tahun yang akan datang dimajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling lambat sebulan sebelumnya, sebelum tahun keuntungan yang akan datang itu bermula anggaran belanja ditetapkan dengan Undang-Undang. - Selain Hatta, juga ada pendapat Ulfah yang mengusulkan rencana keuangan negeri untuk satu tahun ditetapkan oleh badan perwakilan rakyat, tambah kepala negara, dan menteri-menteri. - Begitu juga dengan Soepomo ketika berbicara pembahasan dan penerapan pendapatan belanja negara, ia menegaskan peran persetujuan DPR terhadap anggaran pendapatan belanja Negara, Soepomo menyampaikan, “Jadi Pemerintah tiap-tiap tahun wajib minta persetujuan dari dewan perwakilan rakyat untuk menetapkan anggaran penghasilan dan belanja. Inilah yang dinamakan dengan begrotingsrecht dengan perwakilan rakyat.” - Sementara anggota BPUPK yang lain juga menyampaikan usul terkait perekonomian, tidak bicara tentang bagaimana anggaran dibahas dan ditetapkan. Melainkan lebih banyak membahas tentang sumber pendapatan negara, bank sentral, dan pemeriksaan keuangan. - Sebagaimana disinggung di atas, penekanan seperti yang disampaikan Soepomo bahwa peran DPR adalah memberikan persetujuan atas Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 84 www.mahkamahkonstitusi.go.id anggaran penghasilan dan belanja yang diajukan Pemerintah. Fungsi anggaran DPR berdasarkan pernyataan Soepomo di atas berada pada ranah memberikan persetujuan saja. Jika demikian, tentunya posisi DPR dalam membahas APBN hanya sampai pada tingkat memeriksa apakah anggaran yang diajukan Pemerintah telah sesuai atau tidak dengan kebijakan makro yang ditetapkan. Sebab dasar memberikan atau tidak memberikan persetujuan adalah kesesuaian anggaran pendapatan belanja negara dengan kebijakan umum negara yang telah disepakati DPR dan Pemerintah. - Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi dalam pembahasan perubahan Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945. Terkait dengan peran DPR dalam penyusunan anggaran karena APBN juga dituangkan dalam undang- undang, maka penyusunan atau pembahasan pun dilakukan secara bersama antara DPR dan Pemerintah. - Hanya saja para pengubah Undang-Undang Dasar tidak sampai membicarakan secara lebih jauh mengenai batas-batas peran DPR dan penyusun APBN. Kalau pun ada yang mengusulkan peran lebih detail sepanjang yang dapat dibaca dari risalah Undang-Undang Dasar 1945 terkait bab keuangan negara, hanya ada satu orang anggota DPR yang memberikan pendapatnya. - Pendapat dimaksud disampaikan oleh Amri Husni Siregar dari Fraksi Reformasi dalam Rapat Komisi A Sidang Tahunan MPR pada tanggal 6 November 2001. Ia berbicara tentang bagaimana meningkatkan peran DPR dalam proses pembahasan RUU APBN, sebab DPR dalam pengalaman yang ada sebelumnya belum sepenuhnya dapat melaksanakan hak budget- nya. - Untuk meningkatkan peran tersebut diperlukan keterlibatan lebih jauh dalam menyusun ABPN. Selengkapnya ia menyatakan, “Ada satu masalah di dalam penyusunan anggaran pendapatan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat senyata-nyatanya belum sepenuhnya bisa melaksankan hak budget-nya. Antara lain misalnya seperti pagu anggaran untuk setiap kementerian, artinya departemen atau tiap sektor masih ditentukan” - Ditambahkan oleh Amri Husni, “Saya punya obsesi dan mungkin kita sepakat bahwa sebetulnya yang namanya hak budget itu mencakup segala Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 85 www.mahkamahkonstitusi.go.id hal mengenai budget termasuk pagu anggaran, kita yang menetapkan. Misalnya sektor pendidikan itu berapa, sektor Departemen Diknas itu berapa, dari mana persentasenya keseluruhan total, baru itu diisi oleh Pemerintah setiap susunannya oleh DPR.” - Pendapat salah seorang MPR di atas setidaknya memberi titik terang atas pertanyaan sampai dimana batas-batas keterlibatan DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran. Selain menentukan kerangka ekonomi mikro dan prioritas anggaran, keterlibatan DPR hanya sampai tingkat menentukan pagu anggaran dan/atau besaran alias persentase anggaran bagi masing-masing kementerian dan lembaga. - Membahas dan memberikan persetujuan sampai level menentukan pagu anggaran untuk masing-masing departemen atau kementerian dapat diletakan dalam kerangka bahwa DPR tidak boleh memberi cek kosong bagi Pemerintah atau kementerian dan lembaga. - Dalam hal ini, DPR mesti mengetahui dan menyetujui besaran anggaran masing-masing kementerian di lembaga. Hal ini sekaligus akan menjadi alat ukur bagi Badan Pemeriksa Keuangan dalam memeriksa atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dan sekaligus menjadi basis pengawasan DPR. - Hanya saja menentukan pagu anggaran tidak berarti bahwa DPR juga dapat masuk pada ranah menentukan anggaran setiap program dan kegiatan di masing-masing kementerian atau lembaga. Sebab program dan kegiatan haruslah sepenuhnya dijadikan wewenang Pemerintah untuk menyusun menentukannya. Jika pun akan terlihat DPR harusnya cukup mengawasi apakah program dan kegiatan yang disusun sesuai atau tidak dengan kebijakan umum dan prioritas yang telah ditentukan. - Sebagai lembaga yang diberi fungsi pengawasan, pembahasan, dan persetujuan dalam legislasi RAPBN harus dimaknai secara tepat sesuai dengan fungsi konstitusional tersebut, keterlibatan DPR dalam pelaksanaan pembahasan dan persetujuan harus dimaknai sebagai pintu masuk untuk dapat melaksanakan fungsi pengawasan keuangan negara. - Dalam posisi itu sekiranya DPR ikut menentukan sampai detail anggaran di kementerian dan lembaga, DPR dapat dikatakan memosisikan diri sebagai Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 86 www.mahkamahkonstitusi.go.id Pemerintah atau eksekutif. Dengan posisi seperti itu, DPR sebetulnya menjadi kehilangan legitimasi untuk melaksanakan fungsi pengawasan - Kalau DPR sudah ikut menyusun sampai detail itu sebetulnya tidak lagi fungsi pengawasan, DPR sudah masuk ke ranah eksekutif, begitu dia masuk ke ranah eksekutif sebetulnya dia kehilangan legitimasi untuk meneruskan fungsi pengawasan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu untuk mempertahankan posisi dan fungsi pengawasan peran DPR dalam membahas persetujuan RAPBN harus dikembalikan kepada makna begrotingsrecht Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana yang dimaksudkan oleh para pendiri negara. - Bagaimana pun, semakin jauh DPR terlibat dalam proses penentuan anggaran, maka tindakan tersebut akan semakin merusak dan merobohkan prinsip check and balances antara DPR dan Pemerintah dalam proses penyusunan anggaran. - Ketiga, terkait dengan perencanaan pembangunan, sebagaimana kita ketahui perencanaan pembangunan dalam kurun waktu tertentu atau tahun tertentu dilakukan oleh Bappenas. Jadi kita tahu bagaimana pembangunan direncanakan itu disusun oleh Bappenas. Lalu perencanaan tersebut didesain dalam anggaran oleh Kementerian Keuangan dalam bentuk berapa uang yang harus dibelanjakan untuk memenuhi desain pembangunan yang telah dipersiapkan oleh Bappenas. - Dalam posisi seperti itu, dengan kewenangan DPR yang bisa masuk terlalu jauh, misalnya sampai kepada satuan tiga maka sangat mungkin terjadi penyimpangan atau disparitas antara apa yang didesain oleh Pemerintah, dalam hal ini Bappenas dan DPR dengan apa yang disepakati di Dewan Perwakilan Rakyat. - Tadi salah seorang Saksi sudah menjelaskan apa dampak dari ini terhadap proses atau perencanaan pembangunan nasional. Yang kita takutkan, semakin jauh pola pembangunan dari apa yang direncanakan maka itu berpotensi menegasikan atau melunturkan makna apa yang ada dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa penyusunan keuangan negara itu dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Saya khawatir kalau kemudian DPR bisa mengubah sedemikian rupa apa yang direncanakan oleh Pemerintah Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 87 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Yang keempat, terkait dengan legitimasi proses penyusunan APBN maupun APBN-Perubahan. Kita tahu di dalam banyak kasus, banyak mata anggaran karena DPR sudah masuk ke wilayah yang sangat detail yang kemudian diberi tanda bintang oleh DPR. - Lalu tanda bintang ini itu dibahas di luar jalur pembahasan APBN sebagaimana biasanya. Kalau ini mau disigi secara formal, harusnya apapun yang diubah di dalam struktur anggaran, besar anggaran, dan segala macamnya, termasuk menghilangkan tanda bintang, itu harus dilakukan dengan proses penyusunan Undang-Undang biasa. Yang terjadi selama ini adalah penghilangan atau perubahan tanda bintang itu tidak melalui proses penyusunan Undang-Undang biasa. - Jadi Ahli berpandangan, cara-cara seperti itu tidak sesuai dengan prinsip pembetukkan Undang-Undang. Yang kita ketahui karena ini disusun bersama, kalau ada perubahan mestinya juga hasil pembahasan dan persetujuan bersama. - Kalau ada kemudian item-item tertentu yang diubah atau diubah di luar struktur pembahasan biasa ini adalah tindakan yang tidak bisa diteruskan, alias adalah tindakan inkonstitusional.
Zainal Arifin Mochtar - Pada dasarnya, permohonan ini didasarkan atas dalil bahwa terjadi pelanggaran atas Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 oleh karena kewenangan DPR termasuk badan anggaran DPR RI yang terlalu besar dalam kedua Undang-Undang tersebut di atas. - Sehingga tercipta permainan politik transaksi kepentingan di luar kepentingan rakyat, serta menyebabkan praktik pelaksanaan pembahasan anggaran yang membengkakkan kewenangan DPR hingga satuan tiga. - Dalam perkara ini memang terlihat adanya pembengkakan kewenangan yang besar melalui aturan yang mengatur tentang peran DPR, serta implikasinya dalam sistem penganggaran keuangan negara. - Philip Bobbitt dalam cara pandang six modalities of constitutional argument . Yakni satu, cara pandang secara historis. Yang kedua, cara pandang secara tekstual. Yang ketiga, cara pandang secara struktural. Yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 88 www.mahkamahkonstitusi.go.id keempat, cara pandang secara doktrinal. Yang kelima, cara pandang secara etika dan yang keenam, adalah cara pandang secara prudential. - Jika dilihat secara historik, dibuka risalah Undang-Undang Dasar 1945. Terlihat jelas dari para pembentuk Undang-Undang ketika itu, perihal kewenangan DPR soal anggaran, yakni berada pada pengesahan atas anggaran yang diajukan oleh presiden yang kemudian beralih menjadi pembahasan bersama dengan DPR, dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Hal ini terjadi memang karena kuatnya keinginan, agar DPR berperan lebih dibanding praktik yang terjadi di masa orde baru. Yang mana, pada masa orde baru, DPR sama sekali tidak mengutak-atik anggaran yang disampaikan oleh Pemerintah. Akan tetapi pada pembacaan di risalah ini, sama sekali tidak ditemukan pembicaraan soal batasan kewenangan DPR yang akan membahas hingga secara rinci, hingga sampai unit organisasi fungsi program kegiatan dan jenis belanja. - Bahwa karenanya dapat dimaknai pembahasan yang dilakukan DPR atas usulan Pemerintah setelah melalui pertimbangan DPD. Tidaklah dapat dikatakan hingga praktik satuan tiga. Bahwa artinya, praktik penganggaran yang terjadi di masa terdahulu lebih merupakan praktik yang hadir karena kemampuan penguasaan Pemerintah orde baru terhadap DPR dan bukanlah dikarenakan kelemahan aturan kewenangan anggaran DPR RI. Yang terjadi kemudian, perumusan Undang-Undang Keuangan Negara dan MD3 yang mengarah pada penerjemahan kewenangan DPR RI perihal pembahasan yang menuju ke arah kewenangan absolut. - Yang kedua, dari sudut pandang tekstual. Menarik untuk membahas struktur kalimat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 khususnya bab kedelapan tentang hal keuangan. Yang mana pada ayat (2) diatur bahwa Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden Untuk dibahas bersama dengan DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Menariknya, pada ayat (3) yakni ketika DPR tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh presiden. Maka Pemerintah menjalankan APBN tahun berikutnya. Karenanya praktik pembahasan seharusnya dapat lebih diartikan sebagai upaya menuju ke persetujuan yang dilakukan oleh DPR. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 89 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Bahwa yang menarik dari tekstual ini kemudian adalah kelahiran badan anggaran yang berperan atau menjadi mirip dengan pengejawantahan komisi-komisi di DPR yang lebih memiliki kewenangan untuk pembahasan terperinci atas anggaran. Apalagi praktik badan anggaran ikut membahas Rancangan Undang-Undang APBN yang belum dibahas, menimbulkan praktik penggelembungan kewenangan anggaran yang dimiliki oleh badan anggaran. Praktik komisi-komisi dan badan anggaran yang melakukan pembahasan hingga satuan tiga ini, tentu saja merupakan kewenangan yang terlampau jauh dibanding tekstual yang seharusnya dimiliki oleh DPR. - Yang ketiga, cara pandang struktural. Cara pandang inilah yang bisa menjelaskan bagaimana seharusnya bangunan sesungguhnya dari kewenangan DPR dalam wilayah anggaran. Bahwa tidak dapat dipungkiri peran parlemen dalam konteks negara demokrasi sangat penting, khususnya dalam melakukan pengawasan terhadap Pemerintah. Dalam hal keuangan, interparlementariunion pada tahun 1986 mengkomparasikan berbagai negara mencatatkan bahwa negara demokrasi di dunia ini pada dasarnya membedakan peran Pemerintah sebagai penginisiasi, dan mempersiapkan, kemudian mengusulkan rancangan Undang-Undang atau the right to initiate and prepare money bills . Perihal pendapatan dan belanja negara. Sedangkan peran parlemen berada pada pengawasan dan persetujuan atas usulan soal pendapatan dan belanja negara (the rights to exercise over side and to authorize the executive to raise revenue and spend money) - Bahwa dalam konteks check and balances , ada tiga tugas penting anggaran negara dalam formulasi anggaran. Persetujuan anggaran dan formulasi anggaran, persetujuan anggaran, dan pelaksanaan anggaran. Tugas formulasi dan persetujuan berada pada dua lembaga, yakni eksekutif dan legislatif. Sedangkan implementasi berada pada tugas birokrasi. Hal ini disebutkan oleh David Samuels dalam “Fiscal horizontal accountability? Toward a theory of budgetary “check and balances” in presidential system. - Bahwa dalam tugas dan fungsi itu, tidak ada satu pun yang bisa menegasikan peran DPR dalam mengubah anggaran yang diajukan Pemerintah. Meskipun ada juga negara seperti Brazil hingga tahun 2000 yang lebih banyak memberikan kewenangan kepada presiden dan tidak Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 90 www.mahkamahkonstitusi.go.id memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan perubahan apa pun. Sehingga, ini yang sering disebut sebagai ahli, sebagai budget dictators . Tetapi pada dasarnya, DPR punya kewenangan tersebut. Akan tetapi, tidak berada pada wilayah teknis, lebih banyak berada pada wilayah menentukan agenda utama penerimaan dan belanja negara. Apalagi jika dibiarkan, maka legislatif akan kehilangan makna pengawasan contact check and balances karena di awal dia ikut menentukan belanja hingga satuan tiga. - Yang keempat. Secara sudut pandang doktrinal, penyusunan anggaran negara pada pola hubungan Pemerintah dan parlemen, ini menunjukkan adanya problem di wilayah teknis dan demokrasi. Apa yang dimaksudkan wilayah teknis? Sesungguhnya adalah bahwa sulit ditolak kapasitas teknis Pemerintah dalam penyusunan dan mempersiapkan anggaran jauh lebih baik dibanding kapasitas teknis yang dimiliki oleh DPR. Hal ini dikatakan misalnya oleh Warren Krafchik dan Joachim Wehner dalam The Role of Parliament in the Budget Process, Institute for democracy di South Afrika . Dia menyatakan bahwa Pemerintah diisi secara sistem yang merit dengan memperhatikan kapasitas-kapasitas kemampuan teknis, termasuk soal penyusunan anggaran. Sedangkan DPR, diisi melalui politis populis melalui jalur yang nonmerit. Pada konteks inilah, wilayah kewenangan doktrinal memang berada pada wilayah kekuasaan Pemerintah dalam mempersiapkan hal teknis keuangan negara, hingga hitungan teknis tentang belanja-belanja barang, hingga satuan yang paling mendasar. - Bahwa berbanding terbalik dengan DPR yang tidak memiliki kapasitas teknis tersebut, sehingga disematkan padanya lebih pada konteks demokrasi perwakilan rakyat Indonesia yang melakukan penentuan kebijakan makro ekonomi berdasarkan keinginan dan kondisi rakyat Indonesia. Makanya kemudian, dalam konteks tersebut DPR atau parlemen di negara mana pun, itu lebih berperan sebagai penentu arah kebijakan yang lebih bersifat makro dan tidak berada pada wilayah teknis administratif anggaran negara. - Yang kelima. Bahwa secara sudut pandang etik, kondisi DPR saat ini yang sedang mengalami begitu banyak sorotan oleh praktik-praktik kotor di parlemen membutuhkan tindakan negara untuk memperbaiki posisi Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 91 www.mahkamahkonstitusi.go.id tersebut. Praktik DPR yang banyak dikuasai oleh kepentingan elit partai politik maupun kepentingan pribadi dalam sistem pemilu berbiaya mahal membutuhkan pemikiran lebih mendalam perihal porsi yang sebaiknya disematkan kepada DPR. - Artinya, informasi soal kebutuhan rakyat berdasarkan realita sesungguhnya seringkali berbias dengan kepentingan nonrakyat atau kemudian menjadi kepentingan politik. Padahal, seperti yang dikatakan oleh Barry Anderson, legislature required reliable and unbiased information to be able to participate constructively in formulating the budget. - Bahwa sesungguhnya, legislatif sangat membutuhkan hal-hal yang tidak bias dan sangat reliable informasi untuk memberikan peran yang konstruktif di dalam formulasi budget . Ketika ketiadaan itu, maka itu bisa menjadi hambatan etis yang akan menjadi persoalan besar perihal kredibilitas dan akuntabilitas yang sangat diperlukan dalam kaitan keuangan negara. - Bahwa artinya, dengan ketiadaan prasyarat besar soal kemampuan menangkap kepentingan rakyat, maka secara etis sulit untuk menempatkan DPR memiliki kewenangan yang begitu luas. Karena dengan begitu, sangat mudah untuk menuju ke arah penyalahgunaan kewenangan. - Bahwa karenanya cita-cita besar yang diinginkan oleh pembentuk negara ini melalui Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, yakni APBN adalah wujud dari pengolaan keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat lagi-lagi sulit untuk bisa tercipta. - Yang keenam dan yang terakhir. Bahwa secara prudensial, sekian lama praktik sudah berlangsung hampir 10 tahun memberikan kewenangan besar ini telah menempatkan begitu banyak kerugian yang diderita oleh rakyat Indonesia. Praktik-praktik korupsi yang dipertontonkan secara telanjang telah menunjukkan bahwa model peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan begitu besar kepada DPR, termasuk kepada badan anggaran telah menempatkan DPR menjadi lembaga yang sangat dipersepsikan korup. - Ini terbukti dari berbagai survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga. Bahwa hal ini tentu saja merugikan sistem demokrasi itu sendiri karena berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap DPR dan merusak Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 92 www.mahkamahkonstitusi.go.id sistem ketatanegaraan dan demokrasi itu sendiri. Karenanya negara ini punya potensi besar untuk kemudian memperbaiki format dan sistem pelaksanaan penganggaran keuangan negara dengan pelibatan porsi yang terbatas, porsi yang dapat ditentukan secara lebih detail kepada DPR dan Pemerintah. - Oleh karenanya, sangat beralasan menurut saya, alasan Pemohon yang menghendaki dikoreksinya aturan-aturan yang menyebabkan begitu banyak terjadi praktik penyalahgunaan kewenangan tersebut dan karenanya memang segera harus diakhiri.
Iwan Gardono Sudjamitko - Reformasi telah menghasilkan perubahan seperti pergantian presiden, kebebasan bagi pers, parpol dan serikat buruh, Pemilu yang lebih bebas, otonomi daerah, dan amandemen UUD. Namun di era reformasi terjadi gejala negatif yang meningkat adalah korupsi seperti "mark-up" APBN/D, tender/lisensi sumber daya alam, penjualan aset, pembobolan bank, serta manipulasi pajak. Pada saat ini korupsi yang menonjol adalah tiga lembaga yakni DPR-parpol, Pemda, dan Polri yang telah meningkat kekuasaan dan kewenangan mereka setelah reformasi. Analisis sosiologi politik berikut akan membahas struktur dan dinamika kekuasaan antara negara dengan masyarakat dan menunjukkan bahwa: reformasi telah meningkatkan kekuasaan-kewenangan yang besar di ketiga lembaga tersebut namun tanpa kontrol dan akuntabilitas publik yang memadai sehingga meningkatkan korupsi. Hal ini sesuai dengan dalil Lord Acton, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." - Realitas Korupsi: Analisis gambar besar korupsi akan lebih jelas jika dilihat dengan pendekatan realisme kritis yang melihat gejala berlapis, tiga dimana peristiwa ("event") berada di lapis atas, mekanisme di tengah, serta struktur di bawah (Danermark, dkk, 2002). Pada lapis atas atau permukaan terlihat pelaku yakni para elit DPR-parpol, Pemda (menurut Kemendagri, hampir 300 gubernur, bupati, walikota serta wakilnya), dan Polri. Namun kasus yang belum terungkap diketiga lembaga tersebut masih banyak. Pelaku korupsi ini merupakan luaran ("output") yang dihasilkan oleh "mekanisme negatif yang berada dilapis tengah yang terdiri dari kelompok dan jaringan seperti mafia yang canggih dan terorganisir serta lintas lembaga: DPR, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 93 www.mahkamahkonstitusi.go.id khususnya Banggar, Kementerian, Polri, Pemda, pengusaha, parpol dan makelar. "Mekanisme negatif yang dominan adalah "mark-up" APBN/D dan bagi bagi proyek di ketiga lembaga tersebut dan pemberian lisensi (HPH, tambang) di Pemda. Keadaan ini disebabkan oleh kebutuhan akan dana pemilu dan pilkada ("politik uang") dan kas parpol selain untuk konsumsi (gaya hidup) pelakunya. Berbagai faktor mendukung hal ini seperti peraturan yang multitafsir atau "abu-abu" yang telah dirancang dengan sengaja serta kerahasiaan yang tinggi dalam pelaksaan kegiatan atau proyek. - "Mekanisme Positif ': Namun tidak semua anggota DPR, Polri dan Pemda berada di "mekanisme negatif karena ada juga "mekanisme positif yang fungsional sebagai koreksi terhadap korupsi. Di Pemda terdapat pimpinan (gubernur, bupati, walikota) yang berprestasi membangun daerah. Demikian juga di DPR dan Polri masih ada pejabat yang menghasilkan kebijakan dan tindakan yang reformis. Mereka yang melakukan koreksi ini dapat disebabkan oleh faktor moral, agama dan idealisme dan disini terlihat bahwa "kesempatan" korupsi tidak digunakan karena ada "niat" (kuat) yang menentangnya. Dalam beberapa kasus terdapat peran dari orang dalam atau " whistle-blowers " yang membantu membongkar korupsi merupakan mekanisme positif internal. - Perubahan Struktur: Mekanisme negatif disebabkan oleh perubahan struktur kekuasaan dan kewenangan, seperti UU tentang DPR, Otonomi Daerah, Polri, yang terjadi setelah reformasi. Keadaan ini "membebaskan" DPR yang hanya dianggap "stempel" dari pemeritah sehingga menjadi lembaga yang sangat kuat (" legislative-heavy "). Namun transparansi dan kontrol pada DPR tidak meningkat walaupun sudah ada UU Keterbukaan Informasi Publik sejak tahun 2010. Selain itu mayoritas warga dapil seringkali pasif dan tidak atau kurang peduli untuk mengontrol anggota DPR. Demikian pula desentralisasi dan otonomi daerah memperkuat Pemda karena "Iepas"nya mereka dari kontrol pusat (Kemendagri) tanpa penguatan masyarakat daerah sehingga terjadi kekuasaan-kewenangan berlebih (" power-authority surplus "). Di beberapa negara, masyarakat lokal diperkuat sebelum atau saat desentralisasi, misalnya pemberdayaan warga Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 94 www.mahkamahkonstitusi.go.id desa di India atau komunitas akar rumput di Bolivia sehingga kekuasaan pemda dapat diimbangi (" checks and balances ") dari bawah oleh masyarakat. Dalam kasus Polri, reformasi telah "membebaskan" Polri dari kontrol ABRI-TNI dimana sekarang mereka berada di bawah Presiden dan memperoleh anggaran yang sepuluh kali lebih besar dari Rp. 3.2. triliun di 1999 menjadi Rp. 39.8 triliun di 2012. Namun kontrol pada mereka (anggaran, penanganan kasus, promosi anggota) relatif lemah oleh Kompolnas yang memang tidak diberi kewenangan yang cukup; - Memberantas Korupsi: Pemberantasan korupsi diketiga lembaga tersebut dapat dilakukan dengan pengawasan dan penindakan pada pelaku atau aktor di lapisan atas dan kelompok dan jaringan di lapisan tengah. Pada lapisan bawah atau struktur diperlukan revisi atau pembatalan peraturan yang memberi peluang korupsi. Pada lapisan atas telah dilakukan koreksi ekstemal oleh warga, organisasi masyarakat serta lembaga seperti BPK, BPKP, PPATK, KPK dan pengadilan. Selain itu, koreksi ini dapat dilakukan secara internal oleh Badan Kehormatan DPR, Inspektorat di Pemda dan Polri. Selama ini telah terdapat tindakan, misalnya Badan Kehormatan DPR yang mengawasi perilaku anggota DPR. Pada Pemda telah dilakukan berbagai upaya transparansi dan koreksi, misalnya APBD Kabupaten harus disetujui Propinsi dan Propinsi oleh Kemendagri. Sementara itu, solusi yang ada di Polri sekarang adalah sosialisasi anti KKN dan peran Kompolnas. Peningkatan peran pimpinan DPR, Pemda dan Polri yang lebih tegas dan anti korupsi sebagai aktor kekuasaan sangat dibutuhkan sebagai agen pembaruan di ketiga lembaga tersebut. - Revisi oleh DPR, Pemda, Polri: Pada lapisan bawah atau struktur diperlukan revisi peraturan guna membatasi kekuasaan atau kewenangan pihak yang berpotensi mendukung korupsi. Revisi peraturan diketiga lembaga tersebut dapat dilakukan oleh mereka sendiri seperti UU oleh DPR dan Pemerintah, revisi Perda oleh Pemda dan berbagai aturan Polri oleh pimpinan Polri. Pemerintah (Kemendagri) perlu melanjutkan pembatalan Perda bermasalah dan rencana Kemenkeu memberi insentif dan disinsentif fiskal pada Pemda (Kompas, 1 Juli 2013). DPR dan pemerintah perlu merevisi UU Kepolisian sehingga terjadi kontrol yang lebih kuat yang perlu Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 95 www.mahkamahkonstitusi.go.id dilakukan oleh Kompolnas yang diperkuat dan Kompolda (Komisi Kepolisian Daerah). Demikian juga perlu dibentuk lembaga dengan kewenangan lebih besar setingkat kementerian (misalnya, Kementerian Kepolisian atau Keamanan Publik) seperti TNI yang dikontrol oleh Kemenhan, khususnya dalam anggaran. - Peran MK, MA , MPR: Selain itu peraturan di DPR, Pemda dan Polri dapat dibatalkan atau dikoreksi oleh MK untuk Undang-Undang dan MA untuk peraturan dibawah Undang-Undang jika ada yang memohon pengujian peraturan tersebut. Dalam hal ini MK sebagai " negative legislator " dapat melakukan koreksi Undang-Undang politik, Pemilu dan lembaga negara, agar mencegah kesempatan korupsi oleh anggota DPR. Demikian juga peran MA yang membatalkan berbagai aturan dibawah Undang-Undang yang memberi kesempatan korupsi. Memberantas korupsi perlu dilakukan pula oleh MPR dalam amandemen ke 5 dengan mencantumkan lembaga anti korupsi (KPK) dan korupsi di UUD seperti di Filipina. UUD bukan hanya berisi cita-cita bangsa namun harus juga mencantumkan hambatannya dan korupsi dianggap oleh 87% responden sebagai salah satu masalah besar di Indonesia (Roy Morgan Research, the Jakarta Post, June 25, 2013). - Peran negara dan Masyarakat: Upaya yang penting untuk memberantas korupsi adalah dengan diberiakukannya "portal transparansi" di DPR, Pemda dan Polri maupun lembaga negara lainnya. Hal ini berguna untuk menghilangkan kerahasiaan informasi yang sebenarnya bukan rahasia dan dapat diakses oleh publik. Kerahasiaan yang salah dan palsu ini menghasilkan kekuasaan dan kewenangan berlebih yang berpotensi besar untuk korupsi. Dengan "portal transparansi" ini kontrol oleh publik dapat dilakukan pada lapis atas (pelaku), tengah (jaringan) maupun bawah (peraturan yang ada). Peningkatan kontrol terhadap kewenangan ini akan mencegah kesewenangan dan korupsi. Pola seperti ini terdapat di Brazil dan Timor Leste, dimana semua data yang boleh diketahui publik disediakan secara sangat rinci dan sangat mudah diakses oleh warga melalui internet. Dengan sistem ini, penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Federal Brazil atau proyek seperti pembangunan jembatan di Timor Leste dapat diakses melalui internet. Ketersediaan informasi ini dapat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 96 www.mahkamahkonstitusi.go.id menginklusi dan memberdayakan masyarakat, khususnya warga, universitas, LSM, intelektual, dan media untuk melakukan kontrol dan koreksi secara masalyang berkelanjutan sehingga terjadi gerakan sosial memerangi korupsi. Upaya mengatasi korupsi yang dilakukan oleh negara dan masyarakat akan menghasilkan "Perang Rakyat Semesta" terhadap korupsi sehingga dapat mengurangi korupsi secara nyata dan hasilnya akan terlihat dalam berbagai indikator korupsi. Keberhasilan mengatasi korupsi akan meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia menjadi lebih adil dan makmur, namun jika gagal akan terjadi keadaan yang sebaliknya. - Pembahasan terdahulu menunjukkan peningkatan penyimpangan yang terjadi pada DPR, khususnya Badan Anggaran, sehingga timbul pertanyaan apakah hal ini terjadi karena peran aktor dan jaringan atau peraturan/norma (UU Nomor 17/2005 dan UU Nomor 27/2009) yang memberi peluang dan bertentangan dengan UUD Pasal 23 ayat (1) UUD 1945? Hal ini menunjukkan bahwa kasus di Badan Anggaran DPR ini memang disatu pihak dapat disimpulkan merupakan pelanggaran norma yang dilakukan oleh beberapa anggota Badan Anggaran. Namun dilain pihak dapat juga dikatakan apakah aturan/norma yang ada kurang dapat mencegah penyimpangan yang ada? Apakah aturan (Undang-Undang) yang ada bersifat ambigu, kurang mencerminkan atau bertentangan dengan UUD? - Pembahasan dalam butir 8 menunjukkan bahwa salah satu faktor yang berperan mendukung korupsi adalah adanya "kerahasiaan palsu atau salah" mengenai sesuatu yang seharusnya tidak dirahasiakan. Dalam hal ini informasi mengenai proses dan hasil APBN seringkali tidak transparan seperti yang diajukan oleh Pemohon (Butir II.B. halaman 27 dan 28). Bahkan kerahasiaan ini terjadi didalam DPR sendiri dimana dalam satu kasus, pimpinan DPR serta Komisi (BUMN) kaget dengan adanya anggaran sebesar Rp. 5,75 triliun yang belum disetujui namun muncul dalam sidang paripuma. Hal ini disebut oleh seorang politikus sebagai "penyelundupan anggaran" (Tempo, 4 Agustus, 2013: 99-102). - Jelaslah bahwa "kerahasiaan palsu" ini telah berpotensi mendorong tindakan dan potensi korupsi seperti yang dibahas para pemohon (YLBHI, FITRA, IBC, ICW, Sdr Ferl Amsari, Sdr. Hifdzil Alim) yakni: (halaman 33-34). Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 97 www.mahkamahkonstitusi.go.id 11.1. Kewenangan membahas RUU APBN sebelum dibahas oleh Komisi- komisi.
Rimawan Pradiptyo - Melihat keberatan dari Pemohon ada beberapa poin, khususnya adalah pertama tentang kewenangan DPR untuk membahas RAPBN secara terperinci sampai satuan tiga, kemudian mekanisme perbintangan ataupun juga pemblokiran anggaran dan oleh banggar, yang ketiga adalah proses dan ruang lingkup pembahasan APBNP. - Sebagai peneliti di bidang crime economics atau law and economics , ahli banyak mendalami terkait dengan masalah korupsi dan korupsi yang ada di Indonesia, itu adalah sebenarnya bukan lagi korupsi yang sistemik; - Jadi kalau di Indonesia sebenarnya dari research yang kami lakukan sifat korupsi yang ada di Indonesia bukanlah korupsi yang sistemik, tidak lagi korupsi yang sistemik, tetapi merupakan korupsi yang bersifat struktural. Yaitu adalah korupsi yang terjadi akibat sistem yang berlaku di suatu negara cenderung memberikan insentif yang lebih tinggi untuk melakukan korupsi Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 99 www.mahkamahkonstitusi.go.id daripada insentif untuk mematuhi hukum, atau hukum sengaja dibuat agar tidak kredibel. - Hal ini disebabkan oleh perumusan kebijakan yang tidak berorientasi pada optimalisasi kemakmuran masyarakat, perumusan kebijakan yang mengedepankan rasionalitas pribadi daripada mengedepankan rasionalitas subjek, dan yang terakhir adalah perumusan kebijakan yang tidak didasarkan pada studi mendalam berdasarkan fakta atau hard evidence , namun lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik jangka pendek. - Apa yang terjadi sekarang adalah terjadi perubahan struktural dari yang dahulu adalah kita sebenarnya pemerintahnya adalah otoriter, sekarang menjadi demokrasi dan kita menghadapi suatu paramida yang berbeda; - Peran politisi sangat besar sekali dan kekuasaan politisi sangat besar sekali. Berikutnya, namun kemudian yang kalau kita lihat, bangun yang kita miliki ini sebenarnya seolah-olah bisa diandaikan kita mesinnya itu adalah tetap mesin orde lama, tetapi bungkusnya itu adalah bungkus reformasi. Seperti halnya kalau kita ibaratkan kita memiliki Colt 120, mesinnya Col T 120 tetapi badannya itu adalah badan Alphard. Seolah-olah canggih, tapi sebenarnya di dalamnya itu terjadi permasalahan yang sangat mendasar. Bangun birokrasi masih didasarkan pada sistem orde baru, DPR masih minim fungsi legislasi, namun kuat di fungsi anggaran. Terdapat kecenderungan peningkatan peran DPR, seolah-olah DPR menjadi eksekutif; - Permasalahan yang mendasar di Indonesia adalah banyaknya kebijakan yang tidak didasarkan pada teori. Misalkan adalah optimalisasi anggaran oleh banggar, tidak ada optimalisasi anggaran oleh banggar. Yang ada adalah maksimalisasi anggaran, karena maksimalisasi anggaran nantinya akan dipergunakan untuk alokasi di bidang-bidang yang sebenarnya tidak optimal. - Berikutnya, yaitu adalah identifikasi tentang kompleksitas peraturan di Indonesia. Jadi kalau kita lihat di sini, banyak keanehan di Indonesia. Ada fenomena tetapi tidak ada peraturan, ada peraturan tetapi tanpa dasar teori. Contohnya adalah BBM bersubsidi, optimalisasi BBM oleh Banggar tidak ada teorinya. Peraturan dibuat tanpa memperhitungkan rasionalitas pelaku, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 100 www.mahkamahkonstitusi.go.id yaitu adalah Undang-Undang MD3, kewenangan banggar hingga satuan tiga. - Boleh saja data ada di depan kita, tetapi sebesar apa pun kekuatan kita dalam melihat data itu sangat terpengaruh oleh kekuatan rasionalitas kita dan sudah banyak bukti yang ada di dalam behavior economics , bahwa manusia tidak memiliki rasionalitas yang terbatas tapi memiliki apa yang disebut dengan bounded rationality . - Apa sebenarnya peran dari APBN? Peran APBN itu sebenarnya ada tiga, yaitu adalah pembiayaan, penyediaan barang publik, dan layanan masyarakat. - Merupakan bentuk campur tangan Pemerintah mengatasi kegagalan pasar dan eksternalitas, serta stimulus ekonomi. - Berikutnya, permasalahan yang terjadi adalah setiap kali kita memiliki gelombang konjungtur di dalam perekonomian, pertanyaannya, apakah kita siap untuk kemudian menghadapi boom ataupun krisis? Problemnya adalah kita tidak memiliki dana cadangan untuk menghadapi krisis. Jadi kalau kita lihat, APBN tidak ada bedanya sebenarnya dengan bagaimana kita menganggarkan untuk rumah tangga kita. Itu sebabnya setiap rumah tangga mungkin memiliki Tahungan. Saving itu digunakan selain untuk pembelanjaan di masa depan, dan juga untuk berjaga-jaga, motif berjaga- jaga. Saat ini kita sedang menuju ke dalam kondisi depresi, kondisi krisis. - Pertanyaannya adalah adakah dana Pemerintah untuk menanggulangi krisis. Ini yang terlihat bahwa apa pun yang kita miliki itu selalu di- spend . Ketika kita dalam kondisi minyak satu, minyak dua; - Berapa pun yang kita pendapatan yang kita miliki itu semuanya digunakan untuk APBN. Hal yang sama juga terjadi dalam kondisi krisis moneter. Semuanya sama, tidak ada perbedaan. Idealnya kalau kita melakukan counter cyclical , maka dalam kondisi bum, maka akan lebih banyak dilakukan saving . Lalu ketika dalam kondisi krisis, dia akan dilakukan ekspansi fiskal, namun ini tidak terjadi. - Apa dampak dari Undang-Undang MD3? Pada tahun 2001, asumsi makro dibahas di rapat kerja banggar waktu itu dan hanya dibutuhkan waktu dua setengah jam dan tidak diperlukan seorang menteri untuk datang. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 101 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Setelah adanya MD3, lalu kita mengalami tsunami Aceh dan juga peningkatan ICP yang sangat tinggi pada saat itu sehingga Pemerintah terpaksa harus berkonsultasi dengan DPR secara intensif dan dimungkinkan di sini diciptakanlah apa yang disebut dengan APBNP. Benar bahwa APBNP ada di dalam koridor MD3. Tapi pertanyaannya adalah mengapa APBNP harus digunakan? APBNP hanya bisa digunakan kalau memang ada shock yang dari eksternal maupun dari internal yang itu tidak sesuai dengan asumsi dasar yang awalnya itu ditetapkan. - Ketika ada tsunami Aceh, ada peningkatan ICP, wajar kemudian kalau kita memiliki APBNP. Pasca itu sampai tahun 2012 tidak ada tsunami, tidak ada gunung meletus, tetapi mengapa setiap tahun selalu ada APBNP? Ini adalah kesalahan sejarah; - Kita lihat tatib DPR 2005-2009 Pasal 39, Banggar membahas dan mengajukan usul penyempurnaan RAPBN dengan Pemerintah. Yang lebih dahsyat lagi adalah Tatib DPR Tahun 2010-2014 Pasal 61 dan Pasal 65, “Tugas Banggar, satu, bersama Pemerintah menentukan kebijakan fiskal dan prioritas anggaran tiap kementerian dan lembaga.” Ini adalah kewenangan yang sudah terlalu jauh, mengapa tidak ditambahkan saja kebijakan fiskal dan moneter? Sehingga kebijakan fiskal itu adalah kewenangan dari Pemerintah, terutama Kementerian Keuangan. Dengan demikian, sepertinya yang terjadi seperti ini, DPR itu sudah melangkah menjadi eksekutif. - Bahwa tata tertib DPR ini terkait dengan kepentingan internal, mengatur secara internal. Tapi ketika berhadapan dengan Pemerintah, tidak pelak lagi bahwa SOP internal ini akhirnya ditularkan ke eksternal. Ini yang menjadi masalah. - Permasalah yang lain adalah legislatif kurang memiliki informasi dan pengetahuan teknis terkait dengan penyusunan APBN, sehingga kita mendapatkan asymmetric information dan asymmetric capability . DPR tidak dibantu oleh lembaga dengan kapasitas memadai seperti OCB ataupun juga GAO yang ada di Amerika. DPR juga tidak dibantu lembaga independen yang paham tentang APBN. Masalahnya adalah seringkali asumsi makro sering menjadi altar message untuk evaluasi Pemerintah. Ini yang salah kaprah. Seperti kita ketahui, asumsi makro adalah asumsi untuk Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 www.mahkamahkonstitusi.go.id penerimaan dan asumsi tidak harus ditepati. Tetapi mengapa untuk membahas asumsi makro, seorang Kepala BKF harus menyisakan waktu 15 hari kerja untuk membicarakan asumsi makro. - Tentang optimalisasi anggaran, ini adalah teori ekonomi yang membicarakan optimalisasi anggaran. Ada dua hal, yaitu adalah maksimalisasi kesejahteraan atau meminimalisasi biaya. - Yang disebut dengan optimalisasi itu berbeda dengan maksimalisasi. Maksimalisasi itu tidak ada kaitannya dengan constraint , tidak ada pembatasnya, tetapi optimalisasi itu selalu ada batasnya. Yang satu bergerak ke kiri, yang satunya bergerak ke kanan. Itu yang akan kita lihat dari sini, yaitu adalah optimalisasi, maksimalisasi kesejahteraan, atau minimalisasi biaya. - Apa yang dilakukan Banggar adalah maksimalisasi biaya, maksimalisasi anggaran. Jadi, BL-1 itu adalah RAPBN dengan x itu adalah kondisi alokasi RAPBN. Kemudian Banggar melakukan permainan, mencoba menggeser yang namanya asumsi makro agar asumsi makro ini kelihatan optimal untuk didongkrak kemudian. - Perbedaan antara x-1 dengan x-2 yang ada di atas sana, itu akan digunakan nantinya untuk alokasi-alokasi yang sifatnya sebenarnya mungkin tidak diperlukan. Kasus-kasus seperti Hambalang, kasus-kasus seperti Wisma Atlet, kasus-kasus seperti pengadaan Al quran, ini terkait dengan masalah hal-hal seperti ini. Ini yang merupakan salah satu dari korupsi struktural. - Potensi korupsi di penganggaran itu ada di mana? DPR memiliki hak budget. Tapi, mengapa kalau DPR memiliki hak budget , DPR tidak memiliki kewajiban budget? Mengapa kewajiban budget ada di birokrat, namun hak budget ada di DPR? Bagaimana pertanggungan DPR dengan alokasi sumber daya melalui hak budget bahwa itu adalah yang terbaik bagi perekonomian? Masalah koordinasi antara komisi-komisi dan Banggar ini bermasalah. Komisi sudah melakukan pembahasan, tapi itu seringkali dianulir oleh Banggar dan demikian sebaliknya. - Konsep-konsep tentang dana aspirasi, ini juga bermasalah. Level pembahasan mengapa harus satuan III, kenapa tidak di satuan II seperti Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 www.mahkamahkonstitusi.go.id yang ada di negara-negara maju? Bagaimana DPR menindaklanjuti hasil dari BPK? Ini adalah hal yang lain. - Sistem pembahasan APBN kita adalah ultra myopic , kita hanya melihat APBN Tahun 2013 adalah APBN Tahun 2012 ditambah 10% sampai 15%. - Di negara lain, modelnya adalah tiga tahunan, itu sebabnya kemudian mereka memiliki APBNP. Tapi di Indonesia itu aneh, satu tahunan dan ada APBNP. Satu tahun itu adalah anggarannya, pelaksanaannya hanya enam bulan, proyek yang berjalan sebelum bulan Mei. Dan pada tanggal 14 Desember, seluruh proyek harus sudah tutup. - Ada enam asumsi makro, tiga di antaranya adalah faktor eksogen yang tidak bisa dikontrol sama sekali. Pertama ICP, lifting minyak, dan kurs ini adalah tidak bisa dikontrol tiga yang lainnya itu dikontrol itu adalah inflasi, pertumbuhan ekonomi dan tingkat bunga. - Problemnya adalah kemudian mengapa pembahasan asumsi makro sampai bertele-tele? Yang kedua adalah mengapa pertumbuhan ekonomi selalu di dorong agar tinggi karena dampaknya adalah mencari gap itu tadi dan ini tidak rasional, dalam kondisi sekarang, di dalam perekonomian di mana agregat demand itu turun karena resesi perekonomian dunia tidak logis untuk kemudian mematok pertumbuhan ekonomi 6,5%. Sangat tidak logis, tapi pertumbuhan ekonomi yang ada di APBN itu bukan merupakan estimasi yang terbaik dari para pakar yang paham di bidang APBN, tapi merupakan bargaining dari BKF dan kemudian Banggar dan Banggar selalu meminta yang lebih tinggi dari pada apa yang yang bisa di- achieved oleh perekonomian ini. Sehingga akan mengakibatkan apa yang disebut dengan over heating . - Pra 2005 dan pasca 2005 atau pun 2005, lima tahun-lima tahun ke depan, kalau kita lihat antara APBN dan realisasi tidak ada satu pun asumsi makro itu yang tepat karena memang ini adalah asumsi. - Dalam penyusunan APBN yang rasional berikutnya, berikutnya lagi, saya ingin masuk langsung kepada public choice theory . Bagaimanapun juga yang namanya partai politik itu memiliki tujuan memenangkan Pemilu, politisi itu menginginkan terpilih lagi sebagai anggota parlemen, dan pengambilan keputusan untuk kebijakan ekonomi selalu merupakan terdiri dari hubungan di antara kelima bidang ini. Di mana ke lima agen ini sering Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 www.mahkamahkonstitusi.go.id kali memiliki tujuan yang berbeda beda, sehingga di sini hasil dari kebijakan Pemerintah biasanya suboptimal ditinjau dari kacamata ekonomika, tetapi kebijakan akan semakin tidak optimal lagi jika legislatif berusaha berperan sebagai sang eksekutif atau sebaliknya. - Yang dilakukan selanjutnya adalah kita memunculkan apa yang disebut dengan evidence based policy yang terjadi di Indonesia adalah salah kaprah bahwa penyerapan itu menjadi key performance indicator dari Pemerintah. Selalu, ketika bulan Juli orang selalu mengatakan penyerapan baru 30%, penyerapan baru 20%. - Harusnya pertanyaan yang harus kita berikan adalah jika kita memiliki 1.500 triliun di bulan Januari, lalu pertanyaannya, setelah bulan Desember berikutnya kira-kira kesejahteraan masyarakat akan meningkat berapa persen? Itu yang disebut dengan evidence based policy yang didasarkan pada outcome measure dan bukan didasarkan pada output. - Penyerapan adalah output sementara kesejahteraan itu adalah outcome , kalau kita hanya berbicara outcome measure-nya adalah output tidak ada bedanya dengan di keluarga kita memiliki 4 ahli penyerapan, yaitu adalah anak-anak kami yang masih kecil sering kali minta Choki-Choki dan lain sebagainya, itulah ahli penyerapan. Apakah Pemerintah, kementerian dan lembaga disamakan dengan anak kecil? Ini yang menjadi masalah. Sehingga yang harus dimunculkan adalah evidence based policy dengan menggunakan economic evaluation yang gunanya untuk memonitoring pelaksanaan program kebijakan dan evaluasi dampak program dan kebijakan. - Berikutnya, sistem penyusunan anggaran yang rasional adalah terkait dengan optimalisasi alokasi sumber daya, bisa minimalisasi biaya, bisa maksimalisasi welfare , tetapi optimalisasi koordinasi lembaga ada legislatf aktif atau eksekutif aktif. Yang dimaksud dengan kata aktif adalah adanya koordinasi dan pembagian kerja yang jelas antara legislatif dan eksekutif. Pihak yang aktif adalah pihak yang memiliki informasi terbaik dan kapasitas sumber daya manusia yang terbaik dan sayangnya hal itu tidak berada pada banggar atau pun juga DPR. - Bahwa dari data mengenai distribusi pendidikan anggota DPR terdapat fakta bahwa di sana masih ada yang berpendidikan SLTA. Sementara kalau Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 www.mahkamahkonstitusi.go.id di BKF misalkan tidak ada staf BKF yang umurnya lebih dari 50 tahun dan sebagian besar mereka adalah doktor bahkan eselon IV pun itu adalah seorang doktor. Lalu pertanyaannya, bagaimana ketika mereka harus berinteraksi sementara hak anggaran itu sebagian besar ada di DPR? Ini yang menjadi asimetris sebenarnya. - Fakta menunjukan kapasitas SDM DPR lebih lemah dari pada eksekutif. Akses informasi anggota DPR tidak sebaik eksekutif. Kekuasaan eksekutif lebih terbatas dan lebih terkontrol atau lebih terkontrol dari pada DPR. Eksekutif tidak memiliki insentif untuk melakukan political business cycle . Rekomendasi kami adalah DPR dan eksekutif seharusnya menentukan kebijakan jangka panjang perekonomian. Misalkan, pernahkah kita berpikir bagaimana Indonesia 1.000 tahun yang akan datang? Kita tidak pernah berpikir seperti itu, karena yang kita pikirkan hanyalah enam bulanan dan bahkan hanya satu tahunan saja. - Kita tidak pernah berpikir bagaimana menciptakan Indonesia 300 tahun? Itu yang dilakukan oleh bangsa-bangsa besar seperti Inggris dan bahkan bangsa-bangsa tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura. - Eksekutif diperkenankan menyusun RAPBN sampai satuan tiga dan legislatif memastikan atau mengawasi efektivitas dan efisiensi APBN, maksimal hingga ke satuan dua saja. Yang keempat adalah efisiensi dan efektivitas APBN, dimonitor dan dievaluasi dengan menggunakan analisis economy evaluation atau impact evaluation , sehingga yang diukur itu adalah bukan lagi penyerapan, tetapi adalah outcome measure -nya, yaitu adalah seberapa besar peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pemohon juga mengajukan 1 (satu) orang saksi bernama Yuna Farhan yang didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 25 Juli 2013, yang pada pokoknya sebagai berikut: - Saksi memaparkan kesaksian mengenai hasil pemantauan FITRA dalam proses pembahasan anggaran di DPR selama 10-12 tahun; - Hasil pemantauan dan kajian yang dilakukan FITRA terkait dengan fungsi anggaran DPR dalam melakukan pembahasan Undang-Undang APBN. Terdiri dari kewenangan fungsi anggaran DPR, khususnya pada Badan Anggaran. Kemudian pembahasan rincian anggaran, pembahasan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 www.mahkamahkonstitusi.go.id anggaran di luar siklus anggaran, blokir anggaran atau tanda bintang, dan perubahan anggaran. - Konstitusi menyatakan salah satu fungsi DPR adalah fungsi anggaran. Fungsi anggaran ini dijabarkan dalam kedua undang-undang, yaitu Undang- Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Di mana salah satu yang diamanatkan adalah pembentukan alat kelengkapan Badan Anggaran, yang salah satu tugasnya adalah membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok pembahasan pokok- pokok kebijakan fiskal. - Berdasarkan hasil pemantauan sejak diberlakukannya Badan Anggaran yang bersifat tetap, saksi melihat bahwa fungsi Badan Anggaran cenderung tumpang tindih, khususnya dengan tugas yang juga dimiliki oleh alat kelengkapan lain yang berada di DPR, yaitu Komisi XI yang juga membahas berkaitan dengan asumsi ekonomi makro dan juga dengan Komisi VII yang juga membahas soal ICP dan produksi minyak, yang ini juga terkait dengan asumsi ekonomi makro. - Pada praktiknya, asumsi ekonomi makro yang dibahas pada tingkat komisi ini juga masih dapat berubah pada pembahasan di tingkat Badan Anggaran. Saksi melihat ada dua kali pembahasan, yang pertama pembahasan di Komisi VII dan di Komisi XI. Kemudian nanti pada saat dibahas kembali pada saat pembahasan di Badan Anggaran dan ini juga masih dapat berubah. - Seperti kita ketahui banyak yang beranggapan, termasuk juga anggota DPR bahwa fungsi anggaran hanya melekat pada Badan Anggaran, padahal fungsi ini melekat pada setiap anggota DPR. Dalam dalam ketentuan, DPR dapat membahas anggaran yang mengakibatkan berubahnya anggaran. Baik pada sisi pendapatan maupun belanja, sepanjang tidak melebihi batasan defisit. Namun pada praktiknya, fungsi anggaran untuk mengubah pendapatan dan belanja terletak pada Badan Anggaran. - Pada saat Pemerintah mengajukan RAPBN kepada DPR, Badan Anggaran akan membahas secara agregat proyeksi kebijakan pendapatan belanja dan pembiayaan, dan juga asumsi ekonomi makro dimana hasil pembahasan pada asumsi ekonomi makro ini dapat menghasilkan sejumlah Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 www.mahkamahkonstitusi.go.id alokasi anggaran dari hasil optimalisasi, atau ini yang sering dikenal dengan dana optimalisasi. - Sebagai gambaran, jika Pemerintah mengajukan pendapatan Rp 1.000 triliun, kemudian mengajukan belanja Rp 1.100 triliun, DPR bisa melakukan perubahan pendapatan menjadi Rp 1.100 dan belanjanya misalnya berkurang menjadi Rp 1.000 triliun, maka akan diperoleh dana optimalisasi sebesar Rp 200 triliun. - Persoalannya tidak ada satu pun ketentuan yang mengatur bagaimana mekanisme pengalokasian dana optimalisasi ini. Meskipun dana optimalisasi juga dihasilkan pada saat pembicaraan pendahuluan APBN atau pembahasan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal pada bulan Mei dan Juni, namun dana hasil optimalisasi hasil pembicaraan pendahuluan ini juga masih dapat berubah kembali pada saat pembahasan anggaran pasca presiden menyampaikan nota keuangan dan RAPBN ke DPR. - Umumnya, dana optimalisasi ini baru diputuskan atau diketahui pada saat menjelang akhir pembahasan anggaran. Karena pembahasan anggaran dilakukan secara bersamaan antara Komisi dan Badan Anggaran. Akibatnya terjadi penambahan anggaran pada kementerian/lembaga, pada mitra-mitra komisi yang dimana mitra-mitra komisi dan kementerian/ lembaga ini harus segera membuat dan dibahas rincian kegiatannya, baik rincian kegiatan baru ataupun penambahan volume. - Seperti biasa dana optimalisasi ini juga sangat rawan terhadap penyimpangan karena pada praktiknya, beberapa tambahan anggaran seperti kasus-kasus praktik korupsi yang terjadi saat ini, dana optimalisasi, kemudian dana optimalisasi ini bisa digunakan sebagai dana penyesuaian. Kemudian Wisma Atlit, kasus Hambalang, dan pengadaan Al quran di mana semua ini diperoleh dari dana optimalisasi. - Sebagai gambaran, saksi memiliki data mengenai dana optimalisasi RAPBN dan APBN 2013. Sebagai gambaran misalnya pendapatan RAPBN yang diajukan Pemerintah 2013 adalah Rp1.500 triliun. Kemudian belanja Rp1.600 Triliun. Kemudian setelah dibahas oleh DPR, pendapatan dan belanja ini bisa bertambah atau pun berkurang. Jadi kita lihat dipendapatan itu berkurang dan di belanja itu mengalami penambahan. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Kemudian juga saksi bisa melihat bahwa ada kementerian-kementerian lembaga yang mendapatkan dana optimalisasi besar. Jadi setelah DPR membahas RAPBN yang berdasarkan RKP, kementerian-kementerian lembaga ini hanya mengelompokkan lima, mendapatkan tambahan alokasi berdasarkan bersumber dari dana optimalisasi. Misalnya, Kementerian Pekerjaan Umum Rp 8,8 triliun, KPU Rp 7,3 triliun, Kemendikbud Rp 7 triliun, Kemenhub Rp 5,3 triliun, Kemenhan Rp 4,2 triliun. - Tambahan-tambahan anggaran pada saat pembahasan anggaran ini akan sangat menyulitkan kementerian lembaga, di mana mereka juga harus merumuskan kegiatan-kegiatan baru ataupun menambah, menambah anggaran yang sebelumnya mereka tidak rencanakan. Nah pada akhirnya, Rp 7 triliun ini menjadi perencanaan yang bisa dikatakan bahwa ini menjadi perencanaan yang tidak, tidak optimal. Dan ada juga kementerian lembaga yang dipangkas cukup besar, seperti Kementerian Pertanian, DPD, Seskab, termasuk MK, dan KPK. - Lima kementerian lembaga yang justru dipangkas terbesar dan kami juga melihat tidak ada informasi naik turunnya dari alokasi anggaran ini. Artinya tidak ada penjelasan mengapa alokasi anggaran kementerian lembaga ini naik dan kementerian lembaga yang lain turun? - Menurut hasil dari kajian Bappenas, kami melihatnya bahwa dana optimalisasi ini bisa menimbulkan terjadinya distorsi rencana dan anggaran. Bappenas mencoba membandingkan, misalnya antara rencana kerja Pemerintah 2012 dengan rencana kerja anggaran kementerian lembaga 2012 dimana terdapat penambahan jumlah indikator atau output, atau bisa katakan sub indikator atau sub kegiatan dari 1.715 menjadi 3.991. Dan tentunya ketika ada penambahan rincian atau sub dari kegiatan indikator ini, kementerian lembaga juga harus kembali bekerja keras untuk menyusun TOR dari rincian anggaran tersebut. - Bahwa dari hasil pemantauan yang saksi lakukan sangat tidak mungkin DPR, terutama komisi yang membahas anggaran bersama mitra atau kementerian lembaganya mampu membahas seluruh rincian anggaran. - Pertama, DPR tidak memiliki kapasitas dan cukup waktu untuk membahas puluhan ribu mata anggaran atau line item. Hal ini berakibat pada, pada akhirnya berakibat pada pemberian tanda bintang atau blokir anggaran Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 www.mahkamahkonstitusi.go.id karena belum selesai dibahas atau pada akhirnya paripurna anggaran hanya sekedar formalitas belaka. - Oleh karena itu, seharusnya DPR memiliki fokus pada kinerja dan hasil kegiatan yang bersifat inisiatif baru, serta prakiraan maju untuk menjaga konsistensi penerapan dari kerangka pengeluaran jangka menengah atau MTEF. - Bahwa sebetulnya APBN hanya formalitas, karena tidak, tidak memiliki cukup waktu dan harus membahas rincian anggaran. Pada akhirnya, ketika Undang-Undang mengamanatkan bahwa pembahasan APBN harus ditetapkan terinci sampai berdasarkan klasifikasi menurut fungsi ekonomi dan jenis belanjanya, pada akhirnya, rapat paripurna pengesahan APBN lebih sekedar formalitas belaka. Seperti bisa dilihat pada saat APBN perubahan 2010 dilakukan pengesahan APBN 3 Mei, pada tanggal 3 Mei 2010. Namun, kalau kita melihat batas waktu dari rincian anggaran itu baru diselesaikan pada 15 Mei. Begitu pula APBN 2011 diparipurnakan 26 Oktober, namun baru selesai finalnya 12 November 2010, dan selanjutnya. - Beberapa kelemahan yang kami lihat ketika pembahasan anggaran di luar Paripurna APBN, dimana tidak ada lagi pihak-pihak yang melakukan pengawasan dan pemantauan publik maupun media akan cenderung melihat bahwa pembahasan APBN sudah selesai. Namun pada praktiknya, sebetulnya pembahasan di luar siklus APBN masih terus terjadi. - Perubahan berkaitan dengan blokir anggaran, saksi melihat juga bahwa karena waktu tidak memiliki dan tidak cukup, maka DPR juga menggunakan salah satu kewenangannya yaitu melakukan blokir anggaran atau memberikan tanda bintang. Dari hasil catatan kami, pemantauan kami pada tahun 2011 misalnya ada 6.101 mata anggaran senilai Rp 63,4 triliun yang diblokir atau diberikan tanda bintang. Pada tahun 2012, ada Rp 78,5 triliun yang diblokir oleh DPR. Dan pada tahun 2013, ada Rp 163 triliun yang diblokir oleh DPR pertanggal 5 Desember. - Padahal rencana anggaran belanja Pemerintah Pusat itu sudah harus selesai 30 November dan saksi melihat bahwa blokir anggaran ini pada akhirnya akan dibahas atau didiskusikan di luar dari siklus pembahasan anggaran yang resmi. Saksi juga melihat proses pemblokiran anggaran ini menjadi ruang dari praktik perburuan rente atau praktik korupsi karena Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 www.mahkamahkonstitusi.go.id pemblokiran anggaran dicabut hanya dengan membutuhkan persetujuan pimpinan komisi atau banggar atau anggota banggar pada komisi tersebut, dan ini memberikan ruang lebih tertutup yang cenderung bersifat informal dan praktik-praktik korupsi yang telah terjadi saat ini mengonfirmasi terjadinya praktik pembintangan anggaran sebagai ruang atau titik rawan dari terjadinya praktik korupsi seperti kasus Hambalang, Wisma Atlet, dana penyesuaian, dan lain-lain. - Bahwa Undang-Undang memberikan jaminan bahwa perubahan anggaran dapat dilakukan sepanjang terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan pergeseran anggaran. Namun, pada praktiknya perubahan anggaran ini justru menjadi praktik yang wajib dilakukan setiap tahun. Padahal, jika kita melihat bahwa sebetulnya perubahan anggaran bisa saja tidak dilakukan apabila penyusunan atau perencanaan anggaran dilakukan secara presisi atau lebih tepat dalam memperkirakan terjadinya perubahan-perubahan asumsi. - Saksi melihat juga perubahan asumsi perubahan anggaran merupakan ruang yang sangat terbuka untuk terjadinya praktik korupsi. Pertama, waktu pembahasan. Hal ini terjadi karena waktu pembahasan yang relatif singkat dan membahas penambahan anggaran yang dalam jumlah yang relatif besar. Waktu pembahasan perubahan anggaran berbeda dengan waktu pembahasan APBN murni. Waktu pembahasan anggaran perubahan hanya satu bulan di mana DPR harus membahas perubahan-perubahan anggaran dalam jumlah yang relatif besar. - Pada tahun 2012 terjadi belanja pusat pada APBN Rp964 triliun, dan belanja pusat pada APBNP Rp1.069.534.000.000,00. Ini menunjukkan bahwa hampir terjadi penambahan anggaran Rp100 triliun di mana harus dibahas dalam waktu satu bulan. - Praktik ini yang menyebabkan pada akhirnya anggaran menjadi tidak efektif, tidak terserap, dan rawan mark-up . Salah satu contohnya adalah kasus Al- Quran di mana terjadi penambahan anggaran untuk pengadaan Al-Quran dalam jumlah yang relatif besar pada saat perubahan-perubahan anggaran. - DPR saat ini terjebak dalam euforia karena memiliki kewenangan yang besar dalam membahas anggaran namun tidak disertai dengan akuntabilitas yang memadai. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Oleh karena itu, perlu ada kepastian hukum khususnya berkaitan dengan diskresi badan anggaran, terutama berkaitan dengan ketika ada dana optimalisasi dan juga berkaitan dengan blokir anggaran. Badan anggaran juga seharusnya bisa mengunci asumsi ekonomi makro dan pagu pendapatan dan belanja agar tidak berubah lagi pada saat pembahasan selanjutnya. - Pembatasan mengenai dana optimalisasi juga perlu dibatasi, khususnya hanya pada kegiatan-kegiatan yang memang tercantum dalam rencana kerja Pemerintah bersifat mendesak ataupun digunakan hanya untuk mengurangi defisit APBN. Fungsi anggaran DPR membahas pada level kebijakan anggaran dan capaian kinerja, hal ini mengingat bahwa DPR tidak akan mampu untuk membahas rincian seluruh anggaran. - Meminimalisir kegiatan perubahan anggaran hanya diperuntukkan untuk kegiatan-kegiatan yang sudah berada dalam RKP, kemudian yang bersifat bukan kegiatan baru dan hanya digunakan untuk menutup defisit. [2.3] Menimbang bahwa Pemerintah menyampaikan opening statement secara lisan dalam persidangan tanggal 5 Juni 2013, serta menyerahkan keterangan tertulis tanpa tanggal bulan Juni 2013 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Agustus 2013 yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut : I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON 1. Menurut para Pemohon ketentuan Pasal 104, Pasal 105 ayat (1) dan Pasal 107 ayat (1) huruf c UU MD3, yang mengatur mengenai keberadaan Badan Anggaran yang bersifat tetap akan berpotensi menimbulkan praktik oligarki dan berpotensi disimpangi baik untuk kepentingan perorangan, pebisnis bahkan pendanaan kegiatan partai politik;
Menurut para Pemohon ketentuan Pasal 107 ayat (1) huruf c sepanjang frase “membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden” dalam __ UU MD3 menimbulkan ketidakpastian hukum karena dapat ditafsirkan seolah-olah Badan Anggaran dapat berperan seperti komisi di DPR untuk membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN;
Menurut para Pemohon, kewenangan DPR untuk membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 157 ayat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 www.mahkamahkonstitusi.go.id (1) huruf c sepanjang frase “rincian” dalam UU MD3 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 4. Menurut para Pemohon, kewenangan DPR untuk menyetujui secara rinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) UU MD3 haruslah dipahami bukan merupakan kewenangan untuk melakukan Pembahasan secara terperinci sampai dengan jenis belanja sebagaimana angka 3.
Bahwa pada intinya menurut Pemohon ketentuan Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 156 huruf a, huruf b dan huruf c angka 2, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU MD3 dan Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 159 ayat (5) UU Keuangan Negara bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 www.mahkamahkonstitusi.go.id Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ( vide putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Atas hal-hal tersebut di atas, kiranya perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan ketentuan Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) huruf, Pasal 156 huruf a, huruf b dan huruf c angka 2, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU MD3 dan Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 159 ayat (5) UU Keuangan Negara. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 www.mahkamahkonstitusi.go.id Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon. Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk menilai dan memutuskannya. III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI 1. Bahwa tujuan bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara tersebut dibentuk pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 23 UUD 1945 menyatakan bahwa “ Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah” bahwa penetapan APBN itu harus dilakukan dengan persetujuan para wakil rakyat, karena keuangan negara itu sendiri merupakan hak milik rakyat. Keterlibatan DPR dalam pembahasan APBN merupakan perwujudan dari fungsi DPR sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.” 3. Bahwa menurut Pemerintah, pembahasan Anggaran oleh DPR pada hakikatnya adalah pelaksanaan hak budget DPR guna menjamin bahwa RAPBN yang diajukan Pemerintah telah sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 115 www.mahkamahkonstitusi.go.id UUD 1945 yang menyatakan bahwa APBN digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dalam hal ini, pembahasan RAPBN oleh DPR merupakan pembicaraan yang bersifat strategis terkait fungsi anggaran untuk mencapai tujuan bernegara. RAPBN yang telah dibahas oleh DPR secara strategis tersebut selanjutnya dirinci menurut unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja untuk berbagai keperluan baik dalam kerangka pendekatan otorisasi maupun pendekatan analisis.
Bahwa makna, maksud dan tujuan penetapan susunan dan anggota Badan Anggaran pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang adalah justru untuk menjaga konsistensi dalam pelaksanaan tugas dan pertanggungjawaban badan anggaran dalam menentukan kebijakan fiskal secara umum dan prioritas, membahas Undang-Undang tentang APBN, melakukan sinkronisasi, membahas pokok-pokok penjelasan serta membahas rancangan Undang-Undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
Secara prinsip dalam melaksanakan tugasnya Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi. Anggota komisi dalam Badan Anggaran harus mengupayakan alokasi anggaran yang diputuskan komisi dan menyampaikan hasil pelaksanaan tugas, hal ini menunjukkan bahwa dalam melaksanakan kewajibannya dibidang Anggaran telah memperhatikan semua komisi yang ada dalam DPR.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa fungsi anggaran DPR terkait erat dengan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi menetapkan kebijakan yang harus dijadikan pegangan dalam penyusunan program dan anggaran. Sedangkan fungsi pengawasan bertindak mengawasi kualitas pelaksanaan APBN dan APBD. Dalam praktik, tentu diperlukan pembedaan yang jelas mengenai pengawasan terhadap pelaksanaan APBN dan APBD itu di lapangan, sampai sejauh mana kegiatan pengawasan dimaksud merupakan bagian dari fungsi pengawasan atau merupakan bagian dari fungsi anggaran. Sehingga menurut Pemerintah persetujuan DPR secara terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 116 www.mahkamahkonstitusi.go.id merupakan penerapan azas spesialitas anggaran yaitu kejelasan peruntukan suatu anggaran, yang pada dasarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan kepada Pemerintah.
Bahwa fungsi Badan Anggaran DPR adalah berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan dalam bentuk program-program kerja pemerintahan dan pembangunan untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Oleh sebab itu, pelaksanaan fungsi anggaran DPR dimulai dengan penjabaran berbagai kebijakan- kebijakan yang tertuang berupa program-program kerja pemerintahan dan pembangunan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelaksanaan fungsi anggaran DPR tidak hanya berkaitan dengan persoalan angka-angka anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah serta bagaimana distribusi dan alokasinya untuk pelaksanaan program-program pemerintahan dan proyek-proyek pembangunan. Bahkan penyusunan angggaran pendapatan dan belanja tahunan itu harus pula mengacu kepada perencanaan yang dituangkan dalam bentuk Undang-Undang, yaitu UU tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang kemudian dijabarkan setiap tahunnya dengan UU tentang APBN.
Keseimbangan peran antara DPR dan Pemerintah haruslah ideal, dalam penyusunan anggaran, dari sisi Pemerintah, peran yang dilaksanakan oleh Badan Anggaran dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) yang menentukan aneka program dan proyek- proyek pembangunan untuk kepentingan rakyat dan selanjutnya menyusun program pembangunan dari kacamata pemerintahan.
Terkait dengan permohonan para Pemohon yang menguji kewenangan DPR yang tercantum dalam Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU MD3 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menurut Pemerintah, RAPBN adalah satu-satunya RUU yang pengajuannya hanya bisa dilakukan oleh Pemerintah kepada Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 117 www.mahkamahkonstitusi.go.id DPR. Pembahasan antara Pemerintah dengan DPR mengenai APBN pada dasarnya untuk mendapat persetujuan/penolakan. Menurut Pemerintah, rapat paripurna merupakan forum tertinggi/terakhir pengambilan keputusan atas RAPBN yang diajukan oleh Pemerintah. Dalam hal DPR tidak menyetujui, maka digunakan anggaran tahun sebelumnya. Sejalan dengan pemikiran tersebut, bagi kesinambungan pemerintahan maka sesuai UU Keuangan Negara, APBN harus disetujui oleh DPR selambat-lambatnya 2 bulan sebelum tahun anggaran dimulai. Bahwa menurut Pemerintah, terjadinya pemblokiran anggaran yang dilakukan DPR, merupakan wujud dari persetujuan bersyarat terhadap suatu alokasi anggaran, terjadi karena alasan yang bersifat teknis, dikarenakan terkadang Pemerintah baru dapat menyampaikan rencana kegiatan secara garis besar, dan belum menyampaikan rincian kegiatan secara detail. Padahal di sisi lain, penetapan anggaran dan perumusannya menjadi Undang-Undang harus segera dilakukan. Pencantuman tanda bintang oleh DPR dapat dipertanggungjawabkan karena dari sisi legislatif, hal ini tidak mengurangi kewenangan DPR untuk melakukan pengawasan, sedangkan dari sisi eksekutif, memberikan jaminan pendanaan sehingga rencana kerja Pemerintah tidak terhambat.
Terkait dengan permohonan para Pemohon yang menguji proses dan ruang lingkup pembahasan APBN-P yang tercantum dalam Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) dan Pasal 156 butir c angka 2 UU MD3 menurut Pemerintah yang direncanakan dalam RAPBNP adalah suatu keadaan yang sangat mendesak dimana hal-hal yang dapat menyebabkan perubahan APBN sesuai Pasal 71 huruf g dikarenakan perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN, perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan dan antar jenis belanja serta keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
Pemerintah berpandangan di masa mendatang, diharapkan peran Badan Anggaran DPR dapat diperkuat kapasitas kelembagaannya agar dapat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 118 www.mahkamahkonstitusi.go.id mendukung upaya penguatan fungsi anggaran DPR dalam menjalankan tugas bersama Pemerintah. Meskipun yang mengajukan Rancangan APBN adalah Pemerintah, tetapi untuk membahas rancangan itu secara bersama guna mencapai persetujuan bersama atas materi dan dasar hukumnya dalam bentuk Undang-Undang, kapasitas DPR, khususnya Badan Anggaran haruslah cukup kuat dan memadai.
Pemerintah sangat menghargai usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat dalam ikut memberikan sumbangan dan partisipasi pemikiran dalam membangun penguatan Badan Anggaran. Di masa depan pemikiran-pemikiran masyarakat tersebut akan menjadi sebuah rujukan yang sangat berharga bagi pembentuk Undang-Undang. IV. KESIMPULAN 1) Berdasarkan penjelasan tersebut, Pemerintah memohon kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa permohonan pengujian Undang-Undang a quo berkenan untuk memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono) . [2.4] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR- RI) menyampaikan keterangan lisan dalam persidangan tanggal 5 Juni 2013, serta menyampaikan keterangan tertulis tertanggal 5 Juni 2013 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 19 September 2013, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: A. KETENTUAN UNDANG-UNDANG KEUANGAN NEGARA DAN UNDANG- UNDANG MPR, DPR, DPD, dan DPRD YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Para Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian materiil terhadap Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara, Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 156 huruf a dan huruf b dan huruf c angka 2, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 159 ayat (5), dan Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 119 www.mahkamahkonstitusi.go.id B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN Para Pemohon dalam permohonan a quo , mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian materill terhadap UUD 1945 yang pada pokoknya sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo C. KETERANGAN DPR RI Terhadap permohonan pengujian UU Keuangan dan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut: I. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulya untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. II. Pengujian UU Keuangan Negara dan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD Terhadap pandangan-pandangan Pemohon dalam permohonan a quo , DPR memberi keterangan sebagai berikut:
Bahwa dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa dalam menciptakan pengelolaan keuangan negara yang profesional, khususnya dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tidak dapat terlepas dari keberadaan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia selaku lembaga legislatif yang memiliki kewenangan terhadap fungsi anggaran sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 120 www.mahkamahkonstitusi.go.id 3. Dalam rangka melaksanakan fungsi anggaran sebagaimana tercantum dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 tersebut, kemudian Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan yang kemudian ditentukan bahwa Rancangan UU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan dari DPD.
Bahwa untuk melaksanakan pelaksanaan fungsi anggaran sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 20A ayat (1) juncto Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dan dalam rangka mewujudkan penguatan dan pengefektifan pelaksanaan fungsi anggaran, maka Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia membentuk Alat Kelengkapaan Dewan (AKD) yang mendukung fungsi anggaran dalam menyusun APBN tersebut, Pembentukan AKD dimaksud harus lebih baik dan bersifat professional baik dari segi kualitas maupun kedudukan yang ada dalam struktur Alat Kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Penguatan dimaksud dilakukan dengan mengubah nomenklatur Panitia Anggaran yang secara harfiah lebih bersifat atau paling tidak bermakna sementara menjadi Badan Anggaran yang lebih bersifat institusi yang tetap.
Bahwa Badan Anggaran yang bersifat tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD dan DPRD, yang berbunyi “Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan yang besifat tetap”, dan yang selanjutnya bahwa “DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang,” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD, diatur dalam rangka memperkuat pengelolaan keuangan Negara yang dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab yang bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 121 www.mahkamahkonstitusi.go.id 6. Bahwa pengaturan mengenai belanja negara dan pembahasan APBN yang dibahas sampai dengan organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja, sebagaimana diatur dalam Pasal 107 ayat (1) huruf c: Pasal 157 ayat (1), Pasal 159 ayat (5) UU MPR, DPR, DPD dan DPRD serta Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara bertujuan agar Dewan Perwakilan Rakyat selaku lembaga legislatif yang memiliki fungsi anggaran, dapat mengetahui, menyetujui, dan menetapkan fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja pemerintah dan mencegah terjadi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara khususnya APBN.
Bahwa terkait dengan tugas dan kewenangan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 71 huruf g UU MPR, DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi “ DPR mempunyai tugas dan wewenang membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden ” yang selanjutnya diatur pelaksanaannya dalam Pasal 156 UU MPR, DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi: ”Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf g, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut:
pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka menyusun rancangan APBN;
pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan penyampaian rancangan Undang-Undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh Presiden;
pembahasan:
laporan realisasi semester pertama dan prognosis 6 (enam) bulan berikutnya;
penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi: a) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN; b) perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 122 www.mahkamahkonstitusi.go.id c) keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan/atau d) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan; e) pembahasan dan penetapan rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang tentang APBN; dan f) pembahasan dan penetapan rancangan Undang-Undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. pada prinsipnya ketentuan tersebut adalah telah sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “ Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakila Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.” 8. Bahwa dalam pembahasan RUU APBN terdapat beberapa proses yang dilalui seperti pembicaraan pendahuluan dan penyampaian nota keuangan, merupakan suatu siklus pembahasan dan penetapan APBN yang bertujuan untuk menciptakan suatu pengelolaan keuangan Negara yang berorientasi pada prinsip akutabilitas, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Bahwa pengaturan dalam Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) yang berbunyi sebagai berikut:
Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang, setelah rancangan undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR.
Dalam hal tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 123 www.mahkamahkonstitusi.go.id dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), pembahasan perubahan APBN dilakukan dalam rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan keuangan Pemerintah pada prinsipnya juga merupakan suatu siklus pembahasan dan penetapan APBN sebagaimana disebutkan dalam butir 7 di atas.
Bahwa dengan demikian terhadap pendapat para Pemohon yang menyatakan anggaran pendapatan dan belanja negara yang disahkan melalui Undang-Undang membuka ruang bagi DPR memainkan politik transaksi kepentingan diluar kepentingan rakyat dikaitkan dengan ketentuan yang mengatur pelaksanaan fungsi anggaran DPR RI sebagaimana diatur dalam pasal-pasal a quo , DPR RI berpandangan hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan dalam penerapan norma, dan terhadap hal tersebut sudah ada mekanisme penanganannya yang selama ini telah dan sedang berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Demikian Keterangan DPR kami sampaikan sebagai bahan pertimbangan bagi Ketua/Majelis Hakim Konstitusi dalam mengambil putusan sebagai berikut:
Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk seluruhnya;
Menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara, Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1), Pasal 156, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 159 ayat (5) dan Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945.
Menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara, Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1), Pasal 156, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 159 ayat (5) dan Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. [2.5] Menimbang bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menyampaikan keterangan lisan dalam persidangan tanggal 21 Agustus 2013, serta menyerahkan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 Agustus 2013 yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 124 www.mahkamahkonstitusi.go.id A. Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi yang Terbukti Dilakukan oleh Anggota DPR-RI yang sebagiannya juga Merangkap sebagai Anggota Banggar DPR-RI Bahwa berdasarkan data penanganan perkara yang dilakukan KPK sejak Tahun 2004-2012, maka sebagaimana tercantum dalam Laporan Tahunan KPK Tahun 2012 menunjukkan dan dapat disimpulkan menjadi beberapa hal, yaitu sebagai berikut: Kesatu, pada katagorisasi perkara yang didasarkan atas jabatan, yaitu pelaku yang berasal dari kelompok penyelenggara negara maka anggota DPR-RI/DPRD menempati posisi terbesar (65 orang) dari seluruh perkara yang ditangani KPK; Kedua, pada katagorisasi kasus berdasarkan jenis perkara, tindak pidana korupsi yang terkait dengan penyalahgunaan anggaran menempati posisi 3 besar (38 perkara) dari seluruh pelaku yang berasal dari anggota dewan, setelah kasus penyuapan (116 perkara) dan kasus pengadaan barang dan jasa (107 perkara); Ketiga, berdasarkan butir kesatu dan kedua maka lebih dari 50% perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK dilakukan oleh pelaku yang berasal dari anggota DPR-RI/DPRD berkaitan dengan penyalahgunaan anggaran. Berdasarkan jumlah, jenis, dan pelaku perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan anggota DPR-RI/DPRD, perbuatan yang dilakukan oleh para anggota parlemen tersebut berkaitan dan karenanya tidak dapat dipisahkan dari fakta dan indikasi penyalahgunaan kewenangan sebagai anggota DPR-RI/DPRD yang sebagiannya juga merupakan anggota Banggar DPR-RI. Kewenangan menjadi bersifat semacam transaksional karena kewenangan yang bersifat dan ditujukan bagi kepentingan publik digunakan untuk kepentingan pribadinya sendiri dan/atau orang lain, maupun kelompoknya. Hal ini menjadi salah satu sorotan dan perhatian publik, yaitu adanya sinyalemen atau dugaan kuat bekerjanya 'Mafia Anggaran' yang mampu mengatur alokasi anggaran APBN, serta mengutip fee atas pengaturan tersebut. Beberapa kasus tindak pidana korupsi yang menarik perhatian publik adalah tindak pidana korupsi yang melibatkan 3 (tiga) anggota Badan Anggaran DPR-RI, yaitu Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 125 www.mahkamahkonstitusi.go.id M. Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Wa Ode Nurhayati. Keseluruhan kasus di atas, modus operandinya hamper sama, yaitu dengan melibatkan aktor, atau 'oknum' yang berasal dari pihak legislatif, eksekutif (kementerian/Iembaga pusat dan pemerintah daerah), dan pengusaha serta pihak terkait lainnya. Dalam sidang perkara dengan Terdakwa M. Nazaruddin (sekarang sebagai terpidana dan tersangka kasus lain yang sedang dalam proses penyidikan) sebagai anggota DPR-RI dan anggota Banggar telah terbukti bahwa Terdakwa menerima hadiah berupa 5 (lima) lembar cek senilai Rp:
675.700.000,- dari Mohamad El Idris sekaligus Manager Marketing PT. Duta Graha Indah (PT. DGI) karena Terdakwa telah berhasil mengupayakan PT. DGI sebagai pemenang proyek pembangunan Wisma Atlet Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan. Pemberian tersebut diterima Terdakwa melalui staf bagian Keuangan PT. Anak Negeri milik Terdakwa sebagai fee 13% dari nilai kontrak proyek pembangunan Wisma Atlet tersebut. Selain Terdakwa, fee tersebut juga diberikan antara Iain kepada Wafid Muharam (Sesmenpora), Mindo Rosalina Manullang, dan Panitia Pengadaan. Keberhasilan Terdakwa mengupayakan PT. DGI sebagai pemenang proyek pembangunan Wisma Atlet tersebut adalah atas bantuan Angelina Sondakh selaku anggota Banggar dari Komisi X DPR Rl berdasarkan permintaan Terdakwa. Dalam persidangan juga terbukti bahwa pemberian fee tersebut di atas merupakan suap atau uang pelicin yang berasal dari penggelembungan nilai proyek (mark up). Upaya Terdakwa untuk menggolkan proyek tersebut dilakukan melalui jaringan informal, dimana Terdakwa adalah juga pemilik holding company korporasi di atas atau setidaknya pengendali perusahaan tersebut dan sekaligus berkedudukan dan menjabat sebagai Anggota Banggar DPR-RI. Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Nomor 69/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST dengan Terdakwa M. Nazaruddin (halaman 483 dan 487) menyebutkan: "Bahwa Terdakwa duduk sebagai anggota Badan Anggaran DPR Rl berdasarkan keputusan DPR Rl Nomor 48/DPR Rl/l/2009-2010 tentang Pembentukan dan Pengesahan Susunan Keanggotaan Badan Anggaran DPR Rl masa keanggotaan tahun 2009-2014 kemudian diperbaharui dengan Keputusan DPR Rl Nomor 01 A/PIMP/l/2010-2011 tentang Perubahan ketujuh atas Keputusan DPR Rl NoAQ/DPR Rl/l/2009-2010 tentang Pembentukan dan Pengesahan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 126 www.mahkamahkonstitusi.go.id Susunan Keanggotaan Badan Anggaran DPR Rl Masa Keanggotaan tahun 2009- 2014 Tahun Sidang 2009-2010." (Putusan hal 483) "Menimbang, bahwa dari rangkaian fakta-fakta hukum di atas dipandang telah cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa telah mengetahui atau patut menduga bahwa penerimaan hadiah berupa cheque tersebut terkait dengan kekuasaan dan kewenangannya serta pertemanan dengan anggota Komisi X DPR Rl yang mempunyai mitra kerja dengan Kemenpora, meskipun Terdakwa tetap menyangkal hingga dalam Pleidoinya mengatakan tidak mengetahui pemberian saksi Mohamad El Idris kepada saksi Yulianis tentang pemberian uang komisi tersebut dengan alasan karena Terdakwa telah melepaskan kepengurusan dan kepemilikan atas perusahaan yang ada di group Permai setelah menjadi anggota Komisi III DPR Rl, dimana Jabatan Terdakwa tidak terkait dengan penganggaran Kementerian Pemuda dan Olah Raga..." (Putusan hal 487) Hal ini juga terjadi dalam perkara dan persidangan tindak pidana korupsi yang dilakukan Terdakwa Wa Ode Nurhayati. Dalam kapasitasnya sebagai anggota Banggar DPR-RI, yang bersangkutan telah menggunakan pengaruh jabatannya terkait pengalokasian Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) tahun 2011 sebesar Rp 7,7 triliun untuk 524 daerah kabupaten dan kota yang dilakukan secara tidak transparan. Keadaan dimaksud mendorong berbagai daerah untuk berlomba-lomba "me-lobby" Banggar DPR-RI guna mendapatkan alokasi dana tersebut. Dalam persidangan terungkap bahwa Zamzami, Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Aceh Besar, bersama-sama dengan Taufik Reza, pengusaha Aceh Besar, dan Zoel Bahar Syah, Ketua KADIN Pidie Jaya, telah mengumpulkan sejumlah uang untuk menggolkan anggaran DPID untuk Aceh Besar, Pidie Jaya dan Bener Meriah. Dana itu diserahkan kepada Wa Ode Nurhayati melalui perantaraan Sefa Yolanda yang berasal dari Fahd A. Raflq dan Haris Andi Surahman. Penerimaan uang tersebut telah terbukti dalam persidangan perkara aquo sebagaimana disebutkan dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Nomor 30/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST dengan Terdakwa Wa Ode Nurhayati (halaman 432 dan 436) yang menyebutkan: "Menimbang, bahwa dari rangkaian fakta perbuatan Terdakwa Wa Ode Nurhayati, S.Sos. tersebut, yang telah menerima sejumlah uang hingga sebesar Rp. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 127 www.mahkamahkonstitusi.go.id 6.250.000.000,- (enam milyar dua ratus lima puluh juta rupiah), yang mana uang tersebut terkait dengan dana alokasi DPID untuk Aceh Besar, Bener Meriah, Pidie Jaya, dan dana penyesuaian bidang kesehatan Kabupaten Minahasa, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa Wa Ode Nurhayati S.Sos, tersebut dapat dikualifisir sebagai perbuatan yang telah menerima hadiah sebagaimana dimaksud dalam unsur ke dua Pasal 12 huruf a, dengan demikian unsur menerima hadiah atau janji telah terpenuhi dan ada dalam perbuatan Terdakwa" (Putusan hal 432) Menimbang, bahwa dari rangkaian fakta hukum tersebut, maka Majelis Hakim berpendapat, bahwa perbuatan Terdakwa yang telah menerima sejumlah uang dari saksi Fahd El Fouz dan saksi Saul Paulus David Nelwan untuk mengurus dana DPID Tahun Anggaran 2011, yang mana Terdakwa Wa Ode Nurhayati, S.Sos, adalah sebagai Anggota DPR-RI dan juga sebagai Anggota Badan Anggaran DPR-RI, maka perbuatan Terdakwa tersebut dapat dikualifisir sebagai perbuatan diketahui bahwa pemberian uang tersebut merupakan hadiah atau janji untuk menggerakkan agar Terdakwa Wa Ode Nurhayati, S. Sos, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, dengan demikian unsur ketiga dari Pasal 12 huruf a yaitu padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya telah terpenuhi dan ada dalam perbuatan Terdakwa" (Putusan hal 436) Begitupun dengan perkara Tindak Pidana Korupsi lainnya, Terdakwa (sekarang Terpidana) Angelina Pingkan Sondakh telah terbukti menerima hadiah yang diakibatkan oleh tindakannya dalam melakukan sesuatu berkaitan dengan jabatannya selaku anggota DPR-RI dan Anggota Banggar. Hal dimaksud terkait dengan pengurusan anggaran pada Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Kementerian Pendidikan Nasional antara tahun 2010-2011. Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Nomor 54/Pid.B.TPK/2012/PN. JKT.PST dengan Terdakwa Angelina Sondakh (halaman 324) menyebutkan: "Menimbang, bahwa dengan memperhatikan fakta-fakta sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan unsur ke-2 dan ke-3 di atas dapat diketahui bahwa terdapat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 128 www.mahkamahkonstitusi.go.id beberapa perbuatan yang tergolong sejenis yaitu perbuatan Terdakwa yang telah menerima dari Permai Grup yang seluruhnya berjumlah Rp. 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah) dan sebesar US$ 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) yang dilakukan secara berturut-turut, yakni kurang lebih sebanyak 4 kali penerimaan uang dalam kurun waktu 2010, yang merupakan pemujudan dari kehendak Terdakwa yang berhubungan dengan jabatannya, yakni sebagai anggota badan anggaran Komisi X DPR Rl, yang telah menyanggupi akan mengusahakan supaya anggaran yang dialokasikan untuk sejumlah proyek Universitas Negeri di Kemendiknas dapat disesuaikan dengan permintaan Permai Grup dengan meminta imbalah fee sebesar 5% dari nilai proyek yang akan digiring tersebut sebagaimana kesepakatan yang dibuat oleh Terdakwa dengan saksi Mindo Rosalina Manulang... dst". B. Kajian berupa Assessment KPK mengenai Pelaksanaan Fungsi dan Kewenangan DPR-RI/DPRD dalam Bidang Anggaran (budgeting) yang Berkaitan dengan Banggar serta Fungsi dan Kewenangan Pengawasan DPR-RI, Bahwa KPK telah melakukan kajian berupa assessment terkait Perencanaan dan Penyusunan APBN di DPR pada tahun 2009, yang pada pokoknya ditemukan adanya 3 (tiga) kelemahan dalam proses tersebut yaitu:
Potensi korupsi; Adanya kerawanan terjadinya korupsi pada saat dilakukan pembahasan Rancangan APBN di Banggar dan Komisi yang disebabkan adanya kewenangan yang begitu besar dari DPR dalam pembahasan rancangan anggaran.
Kelemahan proses kerja (business process) a. Pembahasan APBN di DPR berulang dalam satu siklus.
Kurangnya efisiensi dan efektivitas rapat pembahasan.
Kehadiran anggota DPR yang tidak optimal karena merangkap anggota Banggar dan Komisi.
Kelemahan kelembagaan.
Kurangnya dukungan riset dan informasi terhadap proses pembahasan APBN oleh anggota DPR.
Ruang lingkup dan pasangan kerja Komisi DPR masih perlu dispesialisasikan. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 129 www.mahkamahkonstitusi.go.id Berdasarkan uraian dalam perkara yang melibatkan anggota DPR-RI yang juga merupakan anggota Banggar DPR-RI dan kajian berupa assessment tersebut di atas, maka dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
DPR-RI dan Banggar DPR-RI memiliki kewenangan yang sangat besar mengenai fungsi anggaran, namun pembahasannya seringkali dilaksanakan secara tertutup dan adanya pendekatan informal dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi anggaran sehingga sulit untuk dilakukan pengawasan;
Keberadaan dan kewenangan Banggar DPR-RI serta kewenangan DPR-RI yang sangat besar tersebut juga menyebabkan fungsi pengawasan menjadi tak terkendali dan berpeluang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan karena pembahasan rancangan APBN dilakukan secara terperinci ("Satuan 3") yaitu untuk menyetujui APBN mulai dari unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, hingga jenis belanja dalam pengelolaan keuangan negara;
Selain itu juga terdapat potensi konflik kepentingan (conflict of interest) karena dengan pembahasan secara terperinci tersebut, maka tidak ada garis pemisah antara fungsi perencanaan, fungsi pelaksanaan, dan fungsi pengawasan, sehingga acapkali Para Anggota DPR-RI mempunyai peluang yang besar untuk menentukan, siapa yang dapat menerima proyek pemerintah dan siapa yang menjadi kontraktor untuk melaksanakan proyek tersebut.
Rapat-rapat pembahasan di Komisi dan Banggar DPR-RI dapat saja diwarnai dengan "perebutan" alokasi anggaran negara untuk kepentingan daerah pemilihannya, kelompok atau kepentingan yang memiliki akses. Juga disinyalir bisa lebih buruk lagi, adanya dugaan "pemerataan" atau "arisan" diantara kelompok kepentingan tersebut.
Adanya kelemahan-kelemahan dalam proses perencanaan dan penyusunan APBN di DPRI-RI yaitu terjadi potensi korupsi, kelemahan proses kerja (Business Process), dan kelemahan kelembagaan.
Pembahasan Anggaran Tambahan (ABT) yang saat ini disebut sebagai APBN-P, yang pengesahan oleh DPR kurang memperhatikan kewajaran, kemungkinan pelaksanaan dengan sisa tahun waktu anggaran yang ada, sehingga berpotensi menimbulkan korupsi pada saat pelaksanaan anggaran oleh Kementerian/Lembaga yaitu penyimpangan pelaksanaan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 130 www.mahkamahkonstitusi.go.id pengadaan dan pertanggungjawaban fiktif pelaksanaan pengadaan. De facto , kewenangan budgeting berhimpitan dengan kewenangan pengawasan DPR-RI. Yang menjadi masalah, tidak ada rumusan parameter dan indikator kinerja dalam melaksanakan kewenangan budgeting dan pengawasan. Kekuasaan DPR yang besar dalam rangka pelaksanaan fungsi budgeting dan pengawasan atas penggunaan anggaran tersebut akan bertemu dengan ketiadaan parameter dan indikator kinerja. Hal ini dapat “menimbulkan dan memperluas ruang abu-abu” yang bisa “dinegosiasikan” diantara para pihak yang mempunyai kepentingan sehingga menyebabkan potensi korupsi. Pihak yang diawasi bisa saja mempergunakan segala cara untuk tetap mendapatkan alokasi anggaran bagi proyek-proyek yang tidak diperlukan atau tidak efisien. Kondisi akan bertambah rumit bila disertai dengan tidak jelas pengukuran kinerja sehingga semakin luas "ruang abu-abu yang bisa dinegosiasikan". Kewenangan DPR dalam pengawasan yang sangat besar, tanpa mekanisme akuntabilitas kepada publik juga memberi ruang yang besar bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Platform Partai Politik yang tidak sepenuhnya jelas, menyebabkan sukar ditemukan politik anggaran seperti apa yang diperjuangkan oleh fraksi-fraksi yang ada di DPR. Kenyataan bahwa sebagian besar anggaran belanja negara sudah dikunci untuk pembayaran bunga hutang dan belanja pegawai, menyebabkan ruang fiskal untuk melaksanakan pemenuhan hak-hak rakyat seperti yang diamanatkan oleh konstitusi menjadi semakin terbatas. Perlu disampaikan pula, berdasarkan keseluruhan uraian di atas, pelaksanaan tugas dan kewenangan sebagai anggota DPR tersebut dapat bertentangan dengan hal-hal yang tersebut di dalam sumpah atau janjinya. Anggota DPR harus memegang sumpah atau janji berdasarkan Pasal 76 Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009, yang menyatakan sebagai berikut: _"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: _ bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan _Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; _ Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 131 www.mahkamahkonstitusi.go.id bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh- sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan _bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan; _ bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia." Lebih lanjut dalam Pasal 5 angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME yang mengatur bahwa selaku penyelenggara negara maka anggota DPR wajib “melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dengan demikian tindakan sebagian anggota DPR-RI/DPRD yang terlibat tindak pidana korupsi maupun tindakan/perilaku dalam pelaksanaan fungsi dan kewenangan budgeting dan pengawasan seperti diuraikan di atas dapat dianggap sebagai pelanggaran atas sumpah/janji dan kewajiban anggota DPR-RI/DPRD. Berdasarkan uraian tersebut di atas, KPK berpendapat bahwa kewenangan DPR-RI dan Badan Anggaran DPR-RI yang terlalu besar berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan/korupsi sehingga pengaturan kewenangan DPR-RI dalam fungsi anggaran (budgeting) harus diatur dan dilakukan secara transparan, akuntabel, memiliki rumusan paramater atau indikator yang jelas, tidak menimbulkan konflik kepentingan, tidak bersifat transaksional. [2.6] Menimbang bahwa para Pemohon telah menyampaikan kesimpulan tertulis bertanggal 28 Agustus 2013 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah juga pada tanggal 28 Agustus 2013, yang pada pokoknya para Pemohon tetap pada pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 132 www.mahkamahkonstitusi.go.id 3. PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286, selanjutnya disebut UU 17/2003), serta Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) huruf e, Pasal 156 huruf a, huruf b dan huruf c, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 159 ayat (5) huruf g, dan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043, selanjutnya disebut UU 27/2009), terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo ;
kedudukan hukum ( legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan _a quo; _ __ Terhadap kedua hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 133 www.mahkamahkonstitusi.go.id Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.4] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Pasal 15 ayat (5) UU 17/2003, Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 156 huruf a, huruf b, dan huruf c angka (2), Pasal 157 ayat (1), Pasal 159 ayat (5) dan Pasal 161 UU 27/2009 terhadap Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum (Legal Standing) para __ Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 134 www.mahkamahkonstitusi.go.id [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan- putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan paragraf [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut: [3.7.1] Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV adalah Organisasi Non Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh dan berkembang secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang didirikan atas dasar kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia yang memiliki kepedulian serta secara rutin melakukan pengawasan terhadap proses pembahasan dan penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN); melakukan pengawasan terhadap penggunaan APBN dan penganggaran secara umum di Indonesia; [3.7.2] Bahwa Pemohon V dan Pemohon VI adalah perseorangan warga negara Indonesia yang membayar pajak kepada negara, menganggap hak konstitusionalnya dirugikan atau setidaknya berpotensi dilanggar hak Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 135 www.mahkamahkonstitusi.go.id konstitusionalnya dengan berlakunya norma a quo karena keberadaan pasal tersebut menyebabkan penyusunan APBN disimpangi dan dikorupsi; [3.8] Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat- syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon setidaknya memiliki potensi kerugian hak-hak konstitusional akibat berlakunya norma a quo. Berlakunya norma a quo, menurut Mahkamah, __ berpotensi merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon sebagai perseorangan warga negara (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama), khususnya dalam penetapan dan penggunaan anggaran negara dalam APBN. Dengan demikian, para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo , dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.10] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan sebagai berikut:
Pasal 15 ayat (5) UU 17/2003 yang menyatakan, “APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi mengakibatkan penyimpangan dalam penetapan anggaran;
Pasal 71 huruf (g) UU 27/2009 yang menyatakan, “DPR mempunyai tugas _dan wewenang:
.. g. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan_ pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang- undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan terdapat perbedaan tafsir dalam penerapannya sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum;
Frasa “yang bersifat tetap” dalam Pasal 104 UU 27/2009 yang selengkapnya menyatakan, “Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 136 www.mahkamahkonstitusi.go.id kelengkapan DPR yang bersifat tetap” dan frasa “pada permulaan masa keanggotaan DPR dan...” dalam __ Pasal 105 ayat (1) UU 27/2009 yang selengkapnya menyatakan, “DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap- tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dengan alasan bahwa pada tahapan pembahasan dan penetapan APBN, fungsi Badan Anggaran adalah untuk melakukan sinkronisasi hasil pembahasan komisi terhadap alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga dan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga. Menurut para Pemohon untuk pelaksanaan tugas tersebut, tidak diperlukan sebuah alat kelengkapan Badan Anggaran yang bersifat tetap, sehingga susunan keanggotaan tidak perlu ditetapkan pada awal masa keanggotaan DPR, melainkan dapat diganti setiap tahun pembahasan APBN dengan anggota yang juga bergantian;
Frasa “membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden” dalam Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 yang selengkapnya menyatakan, _“Badan Anggaran bertugas:
..c. membahas rancangan undang-_ undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementrian/lembaga” bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1), Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan memberikan ketidakpastian hukum karena dapat ditafsirkan seolah-olah Badan Anggaran dapat berperan seperti komisi-komisi di DPR untuk membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN;
Pasal 156 huruf a dan huruf b UU 27/2009 yang menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 _huruf g, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut:
pembicaraan_ pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka _menyusun rancangan APBN;
pembahasan dan penetapan APBN yang_ didahului dengan penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh Presiden...” , dan Pasal 156 huruf c angka 2 UU 27/2009 yang menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 137 www.mahkamahkonstitusi.go.id sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf g, DPR menyelenggarakan _kegiatan sebagai berikut:
.. c. pembahasan:
.. 2) penyesuaian APBN dengan_ perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan _perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi: _ a) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang _digunakan dalam APBN; _ _b) perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; _ c) keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran _antar unit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan/atau _ d) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan; ” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan terdapat perbedaan tafsir dalam penerapannya sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum; __ 6. Frasa “rincian” dalam __ Pasal 157 ayat (1) huruf c UU 27/2009 yang selengkapnya menyatakan, “ Pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan rancangan APBN dilakukan segera setelah Pemerintah menyampaikan bahan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan _fiskal pada pertengahan bulan Mei, yang meliputi:
.. c. rincian unit organisasi,_ fungsi, program, dan kegiatan” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dengan alasan hal tersebut merupakan kewenangan yang berlebihan yang berpotensi menimbulkan penyimpangan anggaran dan korupsi;
Pasal 159 ayat (5) UU 27/2009 yang menyatakan, “APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan menimbulkan ketidakpastian hukum;
Pasal 161 ayat (1) sampai dengan ayat (5) UU 27/2009, yang menyatakan: (1) Dalam hal terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan, Pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan. (2) Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan sebagaimana _dimaksud pada ayat (1) berupa prognosis: _ Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 138 www.mahkamahkonstitusi.go.id a. penurunan pertumbuhan ekonomi, minimal 1% (satu persen) di _bawah asumsi yang telah ditetapkan; dan/atau _ b. deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal 10% (sepuluh persen) dari asumsi yang telah ditetapkan. (3) Perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud _pada ayat (1) berupa prognosis: _ a. penurunan penerimaan perpajakan minimal 10% (sepuluh persen) _dari pagu yang telah ditetapkan; _ b. kenaikan atau penurunan belanja kementerian/lembaga minimal 10% _(sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan; _ c. kebutuhan belanja yang bersifat mendesak dan belum tersedia pagu _anggarannya; dan/atau _ d. kenaikan defisit minimal 10% (sepuluh persen) dari rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) yang telah ditetapkan. (4) Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang, setelah rancangan undang-undang tentang peru bahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR. (5) Dalam hal tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), pembahasan perubahan APBN dilakukan dalam rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan keuangan Pemerintah.” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) karena menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi melanggar prinsip untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat karena pembahasan APBN-P dilakukan dalam proses yang berbeda dengan pembahasan APBN; Untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-17 serta mengajukan ahli-ahli yaitu Siswo Sujanto, Ahmad Erani Yustika, Ari Dwipayana, Kuskridho Ambadi, Saldi Isra , Zainal Arifin Mochtar, Iwan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 139 www.mahkamahkonstitusi.go.id Gardono Sudjatmiko dan Rimawan Pradiptyo serta saksi bernama Yuna Farhan yang telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 24 Juni 2013, 11 Juli 2013, 25 Juli 2013, dan 21 Agustus 2013 dan telah dimuat lengkap pada bagian Duduk Perkara; [3.11] Menimbang bahwa Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan yang pada pokoknya menerangkan bahwa pasal-pasal yang dimohonkan pengujian merupakan pasal-pasal yang tidak bertentangan dengan konstitusi; [3.12] Menimbang bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) telah memberikan keterangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa terdapat sejumlah besar kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK berasal dari permasalahan yang terjadi pada pembahasan dan penetapan anggaran di rapat-rapat komisi maupun di badan anggaran DPR RI. KPK menerangkan pada pokoknya bahwa kewenangan DPR RI dan Badan Anggaran DPR RI yang terlalu besar dalam konteks kewenangan budgeting berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan atau korupsi, sehingga pengaturan kewenangan DPR RI dalam fungsi anggaran harus diatur dan dilakukan secara transparan, akuntabel, memiliki rumusan parameter dan/atau indikator yang jelas, tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan tidak bersifat transaksional. Keterangan selengkapnya dari Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan keterangan-keterangan lainnya telah diuraikan secara lengkap dalam bagian Duduk Perkara; Pendapat Mahkamah Pokok Permohonan [3.13] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mendengar dan membaca dengan saksama permohonan dan keterangan para Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR-RI, keterangan ahli dan saksi dari para Pemohon, keterangan KPK, memeriksa bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, serta membaca kesimpulan para Pemohon dan kesimpulan Pemerintah, menurut Mahkamah, terdapat isu konstitusional yang harus dijawab Mahkamah dalam permohonan a quo , yaitu: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 140 www.mahkamahkonstitusi.go.id 1. Apakah keberadaan Badan Anggaran DPR-RI yang bersifat tetap bertentangan dengan konstitusi, khususnya terhadap Pasal 23 ayat (1) UUD 1945? 2. Apakah kewenangan Badan Anggaran DPR-RI dalam membahas Rancangan Undang-Undang tentang APBN bersama Presiden dan kewenangan DPR dalam membahas Rancangan Undang-Undang APBN hingga rincian unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja bertentangan dengan konstitusi, khususnya terhadap Pasal 20A ayat (1), Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945? 3. Apakah tindakan DPR-RI untuk melakukan penundaan pencairan anggaran dengan memberikan tanda “bintang” bertentangan dengan konstitusi, khususnya terhadap Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945? 4. Apakah proses dan ruang lingkup pembahasan APBN Perubahan (APBN-P) oleh DPR-RI dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan konstitusi, khususnya terhadap Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945? [3.14] Menimbang bahwa sebelum menilai permohonan para Pemohon khususnya mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009, Mahkamah mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: - Pasal 60 ayat (1) UU MK menyatakan, “ Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali ”, yang juga sejalan dengan ketentuan Pasal __ 42 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang __ Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya __ disebut PMK Nomor 06/PMK/2005) yang menyatakan, “ Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali ”; __ - Pasal 60 ayat (2) UU MK menyatakan , “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”, yang juga sejalan dengan Pasal 42 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005 yang menyatakan, “Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 141 www.mahkamahkonstitusi.go.id yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang _menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda”; _ - Bahwa mengenai konstitusionalitas Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 telah dipertimbangkan dan diputus Mahkamah pada Putusan Mahkamah Nomor 92/PUU-X/2012, tanggal 27 Maret 2013 dengan amar putusan khusus untuk norma a quo antara lain, “...Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya” - Bahwa para Pemohon perkara Nomor 92/PUU-X/2012 pada pokoknya mengemukakan dalam permohonannya bahwa Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 telah mereduksi kewenangan Pemohon (Dewan Perwakilan Daerah) untuk ikut serta dalam memberikan persetujuan suatu rancangan undang- undang yang terkait dengan kewenangannya. - Bahwa para Pemohon dalam perkara a quo antara lain mengemukakan dalam permohonannya bahwa Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1), Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan frase “membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden” memberikan ketidakpastian hukum karena dapat ditafsirkan seolah-olah Badan Anggaran dapat berperan seperti Komisi-komisi di DPR untuk membahas rancangan undang-undang tentang APBN; Bahwa terhadap permohonan para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, terdapat perbedaan antara permohonan a quo dengan permohonan Nomor 92/PUU-X/2012 yang telah diputus oleh Mahkamah. Para Pemohon a quo antara lain memohon mengenai konstitusionalitas kewenangan dan masa keberlakuan badan anggaran di DPR RI, sedangkan dalam perkara yang telah diputus Mahkamah dalam Putusan Nomor 92/PUU-X/2012, tanggal 27 Maret 2013 adalah khusus mengenai tidak disebutkannya keikutsertaan DPD dalam pembahasan anggaran oleh Badan Anggaran di dalam norma a quo . Dengan demikian terdapat perbedaan alasan antara permohonan a quo dengan permohonan sebelumnya yang telah diputus Mahkamah, sehingga permohonan para Pemohon terhadap Pasal 107 ayat (1) huruf c akan dipertimbangkan pula dalam putusan ini; [3.15] Menimbang bahwa sebelum menilai isu konstitusional di atas, Mahkamah terlebih dahulu mengemukakan pendapat secara umum mengenai Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 142 www.mahkamahkonstitusi.go.id penyelenggaraan kekuasaan dalam penyusunan dan penetapan anggaran negara menurut konsititusi: Bahwa UUD 1945 mengatur mengenai proses pengajuan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara dalam Pasal 23 UUD 1945, yang menyatakan, (1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu. Makna Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), pada pokoknya berarti Presiden mengajukan anggaran dan DPR menyetujui anggaran tersebut. Pasal 23 ini memberikan satu deskripsi bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan negara yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemerintahan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 4 UUD 1945 adalah yang paling mengetahui hal ihwal program pembangunan yang hendak dilaksanakannya sehingga oleh konstitusi diberikan kewenangan konstitusional yang bersifat eksklusif kepada Presiden untuk mengajukan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) yang kemudian dibahas bersama dan disetujui oleh DPR. Hal itu pulalah yang membedakan Rancangan Undang-Undang (RUU) lainnya yang dapat diajukan baik oleh DPR, Presiden, atau RUU tertentu oleh DPD dengan RUU APBN. Ketentuan tersebut sesuai dengan sistem pemerintahan negara yang dianut Indonesia, yaitu sistem presidensial. UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menjalankan kekuasaan penggunaan anggaran, termasuk merencanakan program dan anggaran pemerintahan negara yang akan dilaksanakan setiap tahun. Anggaran tersebut diajukan oleh Presiden dalam bentuk RUU. Kewenangan DPR dalam hal ini adalah untuk memberikan persetujuan terhadap program maupun rencana anggaran yang diajukan Presiden tersebut, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 143 www.mahkamahkonstitusi.go.id dalam hal ini memberikan persetujuan dan otorisasi terhadap rancangan anggaran yang diajukan oleh Presiden. Selanjutnya DPR selaku wakil rakyat melakukan kontrol dan pengawasan atas penggunaan anggaran yang telah disetujui bersama. Norma inilah yang pada hakikatnya menjelaskan makna dari fungsi anggaran DPR yang dinyatakan dalam Pasal 20A UUD 1945; Fungsi Anggaran DPR yang diatur dalam norma a quo sangat berkaitan dengan prinsip pembagian kekuasaan antar-lembaga negara yang berdasarkan UUD 1945 menganut prinsip checks and balances antar-lembaga negara yaitu bahwa hubungan satu lembaga negara dengan lembaga negara yang lain dilakukan berdasarkan prinsip kekuasaan dibatasi kekuasaan ( power limited by power) dan bukan kekuasaan mengawasi kekuasaan lain ( power supervises other powers ), apalagi kekuasaan dikontrol oleh kekuasaan lain ( power controls other powers ). Kekuasaan pemerintahan dipandang sebagai kekuasaan yang sangat besar yang harus dibatasi sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan ( abuse of power ). Checks and balances menjaga agar suatu cabang pemerintahan tidak terlalu kuat kekuasaannya. Pasal 20A UUD 1945 menyatakan bahwa, “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.” Berkaitan dengan penetapan anggaran dalam bentuk APBN, fungsi anggaran DPR tidak terlalu jauh ikut membuat perencanaan anggaran akan tetapi hanya memberikan persetujuan atas rencana yang diajukan oleh Presiden. Hal ini karena adanya prinsip pembagian kekuasaan dan checks and balances tersebut mengakibatkan kewenangan DPR dibatasi dan ditegaskan pada fungsi pengawasan jalannya pemerintahan, sedangkan fungsi perencanaan adalah termasuk pada fungsi eksekutif, yaitu merencanakan dan melaksanakan atau mengeksekusi jalannya pemerintahan. Pembahasan antara DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 adalah dalam rangka kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap RUU yang diajukan oleh Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, dalam hal ini kewenangan DPR adalah menyetujui atau tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 adalah dalam rangka implementasi fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 144 www.mahkamahkonstitusi.go.id Berdasarkan pokok pertimbangan tersebut, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan setiap isu konstitusional di atas: Konstitusionalitas Badan Anggaran DPR yang Bersifat Tetap [3.16] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan frasa “yang bersifat tetap” dalam Pasal 104 UU 27/2009 yang selengkapnya menyatakan, “Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap”, dan frasa “pada permulaan masa keanggotaan DPR dan...” dalam Pasal 105 ayat (1) UU 27/2009 yang selengkapnya menyatakan, “DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap- tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon beralasan bahwa pada tahapan pembahasan dan penetapan APBN, fungsi Badan Anggaran adalah untuk melakukan sinkronisasi hasil pembahasan setiap Komisi DPR terhadap alokasi anggaran untuk setiap fungsi, program, dan kegiatan serta rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga. Untuk pelaksanaan tugas tersebut, tidak diperlukan sebuah alat kelengkapan Badan Anggaran yang bersifat tetap sehingga susunan keanggotaan Badan Anggaran tidak perlu ditetapkan pada awal masa keanggotaan DPR, melainkan dapat diganti setiap tahun pembahasan APBN dengan anggota yang juga bergantian; Bahwa UU 27/2009 menyatakan Badan Anggaran merupakan salah satu alat kelengkapan DPR. Keanggotaan Badan Anggaran berdasarkan Pasal 105 pada pokoknya menentukan bahwa anggota Badan Anggaran merupakan anggota DPR dari setiap komisi yang dipilih oleh komisi. Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran ditetapkan oleh DPR dalam Rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang. Sebuah komisi merupakan unit kerja utama yang membidangi masalah-masalah tertentu yang aktivitasnya berkaitan dengan fungsi-fungsi DPR, substansinya dikerjakan di dalam komisi. Dalam menjalankan fungsi anggaran, setiap komisi akan membahas rancangan anggaran yang diajukan oleh Pemerintah sesuai dengan bidang tugas masing-masing komisi. Pada masa sidang 2009-2014, komisi yang memiliki kekhususan di bidang keuangan, perencanaan pembangunan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 145 www.mahkamahkonstitusi.go.id nasional, perbankan, lembaga keuangan bukan bank adalah Komisi XI. Berkaitan dengan fungsi Badan Anggaran, Pasal 96 ayat (2) UU 27/2009 mengatur mengenai tugas komisi di bidang anggaran yang salah satunya adalah, “menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, huruf c, dan huruf d, kepada Badan Anggaran untuk sinkronisasi” . Dalam pembahasan APBN terutama yang berkaitan dengan pembahasan program dan kegiatan kementerian/lembaga, tidak hanya dibahas oleh Komisi XI, namun terkait juga dengan komisi lain, sehingga diperlukan pembahasan lebih lanjut di Badan Anggaran untuk melakukan sinkronisasi hasil pembahasan tersebut; Bahwa Pasal 107 ayat (1) menyatakan, Badan Anggaran DPR memiliki tugas: a. membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan _anggaran; _ b. menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada _usulan komisi terkait; _ c. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan _kegiatan kementerian/lembaga; _ d. melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana _kerja dan anggaran kementerian/lembaga; _ _e. membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan _ f. membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Dengan demikian, Badan Anggaran pada pokoknya bertugas melakukan sinkronisasi pembahasan anggaran yang dilakukan di setiap komisi. Hasil sinkronisasi tersebut kemudian disempurnakan lagi di komisi untuk kemudian diserahkan kembali kepada Badan Anggaran untuk bahan akhir penetapan APBN [ vide Pasal 96 ayat (2) UU 27/2009]; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 146 www.mahkamahkonstitusi.go.id Pasal 96 UU 27/2009 yang mengatur mengenai tugas komisi dan Pasal 107 UU 27/2009 yang mengatur mengenai tugas Badan Anggaran terdapat perbedaan antara tugas dan fungsi dari Badan Anggaran dan komisi. Keberadaan Badan Anggaran merupakan salah satu alat kelengkapan yang memegang fungsi penting dalam penyelenggaraan fungsi anggaran DPR. Pembahasan rancangan anggaran di setiap komisi membutuhkan proses sinkronisasi melalui suatu badan yang beranggotakan perwakilan dari setiap komisi. Pasal 20A ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang,” merupakan dasar konstitusional pembentukan alat kelengkapan DPR yang ketentuan lebih lanjutnya termasuk tata cara persidangan dan alat kelengkapan, diatur dalam UU 27/2009. Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah”, merupakan dasar konstitusional kewenangan DPR dalam menyetujui atau tidak menyetujui RAPBN sebagai salah satu perwujudan fungsi anggaran DPR. Dalam menjalankan fungsi tersebut, DPR memerlukan alat kelengkapan, yang di antaranya, adalah komisi dan Badan Anggaran. Mengenai sifat dan susunan keanggotaan Badan Anggaran, menurut Mahkamah, merupakan kebebasan dari pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, karena konstitusi tidak mengatur apakah alat kelengkapan DPR termasuk Badan Anggaran harus bersifat tetap atau bersifat sementara (ad hoc) . Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pasal 104 UU 27/2009 yang menentukan Badan Anggaran sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, begitupula mengenai pembentukan Badan Anggaran di awal tahun sidang merupakan kebijakan pembentuk Undang-Undang yang bersifat terbuka. Permasalahan penyimpangan atau praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum anggota Badan Anggaran dalam membahas APBN, menurut Mahkamah, tidak ditentukan oleh sifat tetap atau tidak tetapnya Badan Anggaran tersebut; Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon mengenai konstitusionalitas sepanjang frasa “yang bersifat tetap” dalam Pasal Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 147 www.mahkamahkonstitusi.go.id 104 UU 27/2009 dan sepanjang frasa “pada permulaan masa keanggotaan DPR dan...” dalam Pasal 105 ayat (1) UU 27/2009 __ tidak beralasan menurut hukum; Kewenangan Badan Anggaran Membahas RUU APBN [3.17] Menimbang bahwa kewenangan konstitusional DPR untuk membahas APBN diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan, “Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah” . Pasal tersebut menegaskan dua hal, yaitu: Pertama , dalam sistem checks and balances yang dianut oleh UUD 1945, hanya Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara, yang dapat mengajukan RUU APBN. Kedua , rancangan anggaran dalam bentuk Rancangan Undang-Undang tersebut dibahas oleh DPR bersama Presiden. Kewenangan DPR membahas rancangan APBN tersebut selain terkait dengan fungsi anggaran yaitu membahas rancangan anggaran dalam bentuk Rancangan Undang-Undang juga terkait dengan fungsi legislasi yang dimiliki DPR; Bahwa dalam melaksanakan fungsinya membahas RAPBN, DPR membentuk alat kelengkapan berupa komisi dan Badan Anggaran yang beranggotakan perwakilan dari setiap komisi. Fungsi utama Badan Anggaran adalah untuk melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan dari setiap Komisi. Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 menyatakan, “Badan Anggaran _bertugas:
..c. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama_ Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementrian/lembaga.” Menurut Pemohon, frasa “membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden” memberikan kesan seolah-olah Badan Anggaran diberikan kewenangan yang terlalu luas, yaitu membahas RAPBN, yang seharusnya kewenangan tersebut cukup dilaksanakan oleh DPR dan secara teknis dilaksanakan oleh masing-masing komisi. Menurut Mahkamah, komisi dan Badan Anggaran merupakan alat kelengkapan DPR yang masing-masing tugasnya diatur dalam Pasal 96 dan Pasal 107 UU 27/2009. Hubungan antara komisi dan Badan Anggaran juga diatur dalam pasal-pasal tersebut sebagai berikut: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 148 www.mahkamahkonstitusi.go.id 1. Komisi bertugas menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan mengenai RAPBN, dan hasil pembahasan usul penyempurnaan RAPBN, alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementrian/lembaga, laporan keuangan negara dan pelaksanaan APBN kepada Badan Anggaran untuk sinkronisasi; [vide Pasal 96 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 27/2009];
Komisi bertugas menyempurnakan hasil sinkronisasi Badan Anggaran berdasarkan usul komisi dan komisi menyerahkan kembali kepada Badan Anggaran hasil pembahasan sebagai bahan akhir dalam penetapan APBN [vide Pasal 96 ayat (2) huruf f dan huruf g UU 27/2009];
Badan Anggaran bertugas menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi terkait; [vide Pasal 107 ayat (1) huruf b UU 27/2009];
Badan Anggaran bertugas membahas RAPBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementrian/lembaga. [vide Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009];
Badan Anggaran bertugas melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga. [vide Pasal 107 ayat (1) huruf d UU 27/2009];
Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi [vide Pasal 107 ayat (2) UU 27/2009]; Bahwa berdasarkan norma yang mengatur hubungan antara komisi dan Badan Anggaran tersebut, fungsi utama Badan Anggaran adalah untuk melakukan sinkronisasi pembahasan terkait anggaran yang telah dilakukan oleh masing- masing komisi. Pasal 107 ayat (2) juga membatasi alokasi anggaran apa saja yang dapat dibahas oleh Badan Anggaran, yaitu terbatas pada alokasi anggaran yang telah diputuskan oleh komisi. Oleh karena itu, tidak tepat apabila kemudian Badan Anggaran dianggap sebagai alat kelengkapan DPR yang kewenangannya melebihi komisi atau supra komisi. Pasal 23 UUD 1945 menentukan bahwa DPR memiliki kewenangan untuk membahas RAPBN bersama Presiden, namun tidak menentukan seperti apa mekanisme yang dapat digunakan oleh DPR dalam pembahasan tersebut. Pembagian tugas pembahasan RUU, khususnya RAPBN kepada komisi dan Badan Anggaran merupakan mekanisme yang dipilih Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 149 www.mahkamahkonstitusi.go.id pembentuk Undang-Undang dalam implementasi Pasal 23 UUD 1945 tersebut. Selama komisi dan Badan Anggaran yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut merupakan alat kelengkapan DPR, dan pengesahan RAPBN menjadi APBN tetap dilaksanakan dalam rapat paripurna DPR maka norma Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak pula bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945; Kewenangan DPR Membahas RAPBN Secara Rinci Persoalan konstitusional selanjutnya yang harus dijawab adalah seberapa rinci rancangan anggaran yang harus diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama dengan DPR dan seberapa luas ruang lingkup kewenangan DPR dalam mengubah rencana anggaran yang telah diajukan oleh Presiden; Bahwa Pasal 71 huruf (g) UU 27/2009 menyatakan, “DPR mempunyai tugas dan _wewenang: _ ... g. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.” Menurut Mahkamah Pasal a quo sesuai dengan rumusan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Rancangan undang-undang anggaran dan pendapatan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah” . Pasal tersebut menentukan kewenangan DPR untuk membahas RAPBN bersama Presiden. Hal yang dipersoalkan oleh para Pemohon adalah berkaitan dengan seberapa rinci RAPBN harus diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama dan disetujui DPR. Pengaturan mengenai seberapa rinci pembahasan RAPBN tersebut kemudian dinyatakan oleh Pasal 15 ayat (5) UU 17/2003, dengan rumusan yang sama terdapat dalam Pasal 159 ayat (5) UU 27/2009, yang menyatakan, “APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis _belanja”; _ Dengan memperhatikan pembagian dan pembatasan kewenangan melalui sistem checks and balances yang telah dipertimbangkan oleh Mahkamah di atas, pada pokoknya penetapan APBN dilakukan oleh dua pemegang cabang kekuasaan yaitu oleh Presiden dan DPR. Kedua lembaga tersebut memiliki peran dan batasan kewenangan yang berbeda. Presiden Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 150 www.mahkamahkonstitusi.go.id mengajukan RAPBN sebagai instrumen penyelenggaraan pemerintahan yang secara spesifik dilaksanakan oleh kementerian/lembaga. Sementara itu, DPR menjalankan fungsi anggaran, atau fungsi membahas dan menyetujui anggaran yang diajukan Presiden dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran yang sudah disetujui bersama. Menurut Mahkamah, berdasarkan prinsip pembatasan kekuasaan, kewenangan DPR terkait APBN adalah:
Membahas dan menyetujui bersama Presiden atas RAPBN yang telah diajukan Presiden;
Mengawasi pelaksanaan APBN yang sudah disetujui bersama tersebut; Dengan demikian DPR secara konstitusional memiliki wewenang membahas dan menyetujui RAPBN. Pasal 159 ayat (5) UU 27/2009 menyatakan, “ APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja ”. Menurut ketentuan tersebut, pembahasan antara Presiden dan DPR dalam rangka persetujuan RAPBN meliputi unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Menurut Mahkamah, pembahasan terinci sampai pada tingkat kegiatan dan jenis belanja kementerian/lembaga dapat menimbulkan persoalan konstitusional apabila dilihat dari kewenangan konstitusional DPR sebagaimana telah diuraikan di atas. Persoalan tersebut bersumber dari keikutsertaan DPR dalam membahas RAPBN yang terperinci sampai dengan kegiatan dan jenis belanja. Hal tersebut tidak sesuai dengan fungsi dan kewenangan DPR sebagai lembaga perwakilan yang seharusnya tidak ikut menentukan perencanaan yang sifatnya sangat rinci sampai dengan tingkat kegiatan dan jenis belanja. Adapun kegiatan dan jenis belanja merupakan urusan penyelenggaraan pemerintahan negara yang dilaksanakan oleh Presiden sebagai perencana dan pelaksana APBN. Menurut Mahkamah, selain itu, pembahasan terperinci sampai pada tingkat kegiatan dan jenis belanja (satuan tiga) dalam APBN merupakan implementasi program atas perencanaan yang merupakan wilayah kewenangan Presiden, karena pelaksanaan rincian anggaran sangat terkait dengan situasi dan kondisi serta dinamika sosial ekonomi pada saat rencana tersebut di- implementasikan. Ketika DPR melalui Badan Anggaran memiliki kewenangan untuk membahas RAPBN secara terperinci sampai dengan tingkat kegiatan dan jenis belanja maka pada saat itu DPR telah melewati kewenangannya dalam Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 151 www.mahkamahkonstitusi.go.id melakukan fungsi anggaran dan telah terlalu jauh memasuki pelaksanaan perencanaan anggaran yang merupakan ranah kekuasaan eksekutif. Menurut Mahkamah harus ada batasan mengenai rincian anggaran yang dapat dibahas atau diubah oleh DPR. Selain itu, proses perencanaan anggaran adalah proses kerja yang sangat spesifik dan teknis, sehingga hanya dipahami secara mendetail dan terperinci oleh masing-masing penyelenggara negara tersebut; [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas dalam kaitannya satu dengan yang lain, agar kewenangan DPR tersebut sesuai dengan batas-batas yang ditentukan oleh konstitusi dalam proses pembahasan dan penetapan APBN, Mahkamah perlu memberi penafsiran konstitusional terhadap Pasal 107 ayat (1), Pasal 157 ayat (1) huruf c, dan Pasal 159 ayat (5) UU 27/2009 serta Pasal 15 ayat (5) UU 17/2003 sebagaimana yang akan disebutkan dalam amar putusan di bawah; Konstitusionalitas Penundaan Pencairan (Pemberian Tanda Bintang) Anggaran oleh DPR [3.19] Menimbang bahwa menurut Pemohon, Pasal 71 huruf g UU 27/2009 yang menyatakan, _“DPR mempunyai tugas dan wewenang:
.. g. Membahas_ bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden”, dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU 27/2009 yang menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal _71 huruf g, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut:
Pembicaraan_ pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka menyusun _perancangan APBN;
Pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan_ penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh Presiden”. Implementasi ketentuan tersebut, __ ditafsirkan oleh DPR dengan melakukan praktik pemblokiran atau pemberian tanda bintang terhadap mata anggaran kementerian/lembaga sehingga penafsiran tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurut Pemohon hal ini terjadi karena adanya pembahasan mata anggaran setelah rapat paripurna penetapan RAPBN ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 152 www.mahkamahkonstitusi.go.id Bahwa sesuai dengan pembagian kewenangan antara Presiden dan DPR dalam penyelenggaraan APBN seperti yang telah dipertimbangkan di atas, menurut Mahkamah, kewenangan DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran adalah terbatas pada persetujuan dan pengawasan anggaran. Meskipun UU 27/2009 tidak secara eksplisit mengatur mengenai proses pembahasan dan penetapan RAPBN menjadi APBN di dalam Badan Anggaran maupun di dalam rapat paripurna, pengaturan tentang proses pembahasan dan penetapan RAPBN menjadi APBN tidak dibenarkan untuk menyalahi prinsip pembatasan kewenangan DPR dalam prinsip checks and balances yang dianut oleh konstitusi. Hal ini penting untuk menjamin adanya keseimbangan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif sesuai dengan porsi masing-masing. Praktik penundaan pencairan (pemberian tanda bintang) anggaran pada mata anggaran oleh DPR yang mengakibatkan mata anggaran tersebut tidak mendapat otorisasi untuk digunakan sudah masuk pada pelaksanaan APBN yang telah ditetapkan sebelumnya, dan bukan termasuk pada salah satu fungsi pengawasan oleh DPR yang dimaksud oleh UUD 1945. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, untuk adanya kejelasan dan ketegasan mengenai kewenangan DPR ketika menyelenggarakan fungsinya dalam penyusunan dan penetapan APBN maka Undang-Undang, dalam hal ini UU APBN, harus secara tegas menyetujui atau tidak menyetujui mata anggaran tertentu dengan tanpa persyaratan seperti dengan melakukan penundaan pencairan (pemberian tanda bintang). Dengan adanya persyaratan dalam pencairan APBN, sangat berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan. Oleh karena itu, Pasal 71 huruf (g) UU 27/2009 yang menyatakan, “DPR _mempunyai tugas dan wewenang:
Membahas bersama Presiden dengan_ memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden” dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU 27/2009 yang menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf g, DPR _menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut:
Pembicaraan pendahuluan_ dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka menyusun perancangan _APBN;
Pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan_ penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh Presiden; ” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 153 www.mahkamahkonstitusi.go.id dimaknai, “masih ada lagi proses pembahasan setelah RUU APBN diundangkan menjadi UU APBN”. Dengan demikian, permohonan Pemohon a quo beralasan menurut hukum _; _ Konstitusionalitas Proses dan Ruang Lingkup Pembahasan Perubahan APBN oleh DPR [3.20] Menimbang bahwa menurut Pemohon, ketentuan mengenai Perubahan APBN (APBN-P) yang diatur dalam Pasal 161 UU 27/2009, berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi melanggar prinsip APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat karena pembahasan APBN-P dilakukan dalam proses yang berbeda dengan pembahasan APBN; Bahwa Perubahan terhadap APBN yang terjadi di pertengahan tahun anggaran menurut Mahkamah merupakan hal yang tidak dapat dihindari karena dalam satu tahun anggaran terdapat kemungkinan perubahan terhadap kondisi perekonomian, baik secara nasional maupun global yang dapat mempengaruhi pengelolaan anggaran dan pendapatan belanja negara. Faktor yang dapat mendasari perubahan ini dinyatakan dalam undang-undang dalam bentuk: i) Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan; ii) Perubahan postur APBN yang sangat signifikan [vide Pasal 161 ayat (1) UU 27/2009]. Selanjutnya Pasal a quo menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan yaitu berupa prognosis: i) penurunan pertumbuhan ekonomi, minimal 1% (satu persen) di bawah asumsi yang telah ditetapkan; dan/atau ii) deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal 10% (sepuluh persen) dari asumsi yang telah ditetapkan [vide Pasal 161 ayat (2) UU 27/2009]. Adapun yang dimaksud dengan perubahan postur APBN yang sangat signifikan yaitu berupa prognosis: i) penurunan penerimaan perpajakan minimal 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan; ii) kenaikan atau penurunan belanja kementerian/lembaga minimal 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan; iii) kebutuhan belanja yang bersifat mendesak dan belum tersedia pagu anggarannya; dan/atau iv) kenaikan defisit minimal 10% (sepuluh persen) dari rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) yang telah ditetapkan [vide Pasal 161 ayat (3) UU 27/2009]; Selain itu, ketentuan mengenai perubahan APBN juga diatur dalam Pasal 156 huruf c angka 2 yang pada pokoknya menyatakan bahwa salah satu Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 154 www.mahkamahkonstitusi.go.id tugas DPR adalah melakukan pembahasan mengenai penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi: i) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN; ii) perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; iii) keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan/atau iv) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan [vide Pasal 156 huruf c angka 2 UU 27/2009]; Menurut Mahkamah, UUD 1945 tidak mengatur mengenai alasan dan proses perubahan terhadap APBN dalam bentuk penetapan APBN-P, namun demikian Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa tujuan dari pengelolaan keuangan negara dalam bentuk APBN adalah untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Dengan berpegang pada prinsip konstitusi tersebut maka perubahan APBN di tengah tahun anggaran adalah konstitusional selama bertujuan untuk kepentingan kemakmuran rakyat; Bahwa mengenai proses perubahan APBN dalam bentuk penetapan APBN- P, pada prinsipnya harus berlaku sama sebagaimana halnya APBN, sehingga penetapan APBN-P haruslah dalam bentuk Undang-Undang. Proses ini diatur dalam Undang-Undang yang menyatakan bahwa perubahan APBN dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait. Apabila tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan, pembahasan perubahan APBN dilakukan dalam rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan keuangan Pemerintah [vide Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU 27/2009]. Menurut Mahkamah, apabila hanya mengenai pergeseran anggaran antarunit organisasi dan antarprogram maka hal tersebut tidaklah diperlukan perubahan APBN dalam bentuk perubahan Undang-Undang APBN karena tidak menambah, atau mengurangi pagu anggaran. Dengan demikian permohonan Pemohon mengenai Pasal 161 UU 27/2009 tidak beralasan menurut hukum; [3.21] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka segala ketentuan dalam UU 17/2003 dan UU 27/2009 yang didalamnya memuat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 155 www.mahkamahkonstitusi.go.id frasa “ kegiatan dan jenis belanja “ harus dimaknai sama dengan pasal atau ketentuan yang telah dipertimbangkan sebelumnya; [3.22] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), d a n Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan : Dalam Pokok Permohonan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.2. Frasa “ kegiatan, dan jenis belanja ” dalam Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.3. Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286] selengkapnya menjadi, “ APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, dan program ”;
2.1. Pasal 71 huruf g Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai, “masih ada lagi proses pembahasan setelah RUU _APBN diundangkan menjadi UU APBN”; _ 1.2.2. Pasal 71 huruf g Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 157 www.mahkamahkonstitusi.go.id 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, “masih ada lagi proses pembahasan setelah RUU APBN diundangkan menjadi UU _APBN”; _ 1.2.3. Frasa “ dan kegiatan ” dalam Pasal 107 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 _; _ 1.2.4. Frasa “ dan kegiatan ” dalam Pasal 107 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.5. Pasal 107 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] selengkapnya menjadi, “... c. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, dan program kementerian/lembaga ”;
2.6. Pasal 156 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 158 www.mahkamahkonstitusi.go.id Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai, “masih ada lagi proses pembahasan _setelah RUU APBN diundangkan menjadi UU APBN”; _ 1.2.7. Pasal 156 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, “masih ada lagi proses pembahasan setelah RUU APBN diundangkan menjadi _UU APBN”; _ 1.2.8. Frasa “antarkegiatan, dan antarjenis belanja” dalam Pasal 156 huruf c angka 2 huruf (c) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.9. Frasa “antarkegiatan, dan antarjenis belanja” dalam Pasal 156 huruf c angka 2 huruf (c) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 159 www.mahkamahkonstitusi.go.id 1.2.10. Pasal 156 huruf c angka 2 huruf (c) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] selengkapnya menjadi, “... c. keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya _pergeseran anggaran antarunit organisasi; dan/atau _ ”;
2.11. Frasa “ dan kegiatan ” dalam Pasal 157 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.12. Frasa “ dan kegiatan ” dalam Pasal 157 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.13. Pasal 157 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] selengkapnya menjadi, “... c. rincian unit organisasi, fungsi, dan program ”;
2.14. Frasa “ kegiatan, dan jenis belanja ” dalam Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 160 www.mahkamahkonstitusi.go.id Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.15. Frasa “ kegiatan, dan jenis belanja ” dalam Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.16. Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] selengkapnya menjadi, “ ... (5) APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit _organisasi, fungsi, dan program”; _ 2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, dan Patrialis Akbar, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal dua puluh delapan, bulan Januari, tahun dua ribu empat belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh dua, bulan Mei, tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan pukul 16.53 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap Anggota Arief Hidayat, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 161 www.mahkamahkonstitusi.go.id Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Patrialis Akbar, Aswanto, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Ery Satria Pamungkas sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd Hamdan Zoelva ANGGOTA-ANGGOTA, ttd Arief Hidayat ttd Anwar Usman ttd Ahmad Fadlil Sumadi ttd Maria Farida Indrati ttd Muhammad Alim ttd Patrialis Akbar ttd Aswanto ttd Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd Ery Satria Pamungkas Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah
Relevan terhadap
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4614 LAMPIRAN I.A.1 PERATURAN PEMERINTAH RI NOMOR: 8 TAHUN 2006 TANGGAL : 3 APRIL 2006 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH PUSAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH PUSAT UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── 20X1 20X0 No. Uraian Anggaran Realisasi % Realisasi ──────────────────────────────────────────────────────────────── 1 PENDAPATAN 2 PENDAPATAN PERPAJAKAN 3 Pendapatan Pajak Penghasilan xxx xxx xx xxx 4 Pendapatan Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah xxx xxx xx xxx 5 Pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan xxx xxx xx xxx 6 Pendapatan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan xxx xxx xx xxx 7 Pendapatan Cukai xxx xxx xx xxx 8 Pendapatan Bea Masuk xxx xxx xx xxx 9 Pendapatan Pajak Ekspor xxx xxx xx xxx 10 Pendapatan Pajak Lainnya xxx xxx xx xxx 11 Jumlah Pendapatan ───────────────────────────────── Perpajakan (3 s/d xxxx xxxx xx xxxx 10) ───────────────────────────────── 12 13 PENDAPATAN NEGARA BUKAN PAJAK 14 Pendapatan Sumber Daya Alam xxx xxx xx xxx 15 Pendapatan Bagian Pemerintah atas Laba xxx xxx xx xxx 16 Pendapatan Negara Bukan Pajak Lainnya xxx xxx xx xxx 17 Jumlah Pendapatan ───────────────────────────────── Negara Bukan Pajak xxxx xxxx xx xxxx (14 s/d 16) ───────────────────────────────── 18 19 PENDAPATAN HIBAH 20 Pendapatan Hibah xxx xxx xx xxx 21 Jumlah Pendapatan Hibah (20 s/d 20) xxx xxx xx xxx 22 JUMLAH PENDAPATAN ───────────────────────────────── (11 + 17 + 21) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 23 24 BELANJA 25 BELANJA OPERASI 26 Belanja Pegawai xxx xxx xx xxx 27 Belanja Barang xxx xxx xx xxx 28 Bunga xxx xxx xx xxx 29 Subsidi xxx xxx xx xxx 30 Hibah xxx xxx xx xxx 31 Bantuan Sosial xxx xxx xx xxx 32 Belanja Lain-lain xxx xxx xx xxx 33 Jumlah Belanja Operasi ───────────────────────────────── (26 s/d 32) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 34 35 BELANJA MODAL xxx xxx xx xxx 36 Belanja Tanah xxx xxx xx xxx 37 Belanja Peralatan dan Mesin xxx xxx xx xxx 38 Belanja Gedung dan Bangunan xxx xxx xx xxx 39 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan xxx xxx xx xxx 40 Belanja Aset Tetap Lainnya xxx xxx xx xxx 41 Belanja Aset Lainnya xxx xxx xx xxx 42 Jumlah Belanja Modal (36 s/d 41) xxx xxx xx xxx 43 JUMLAH BELANJA ───────────────────────────────── (33 + 42) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 44 45 TRANSFER 46 DANA PERIMBANGAN 47 Dana Bagi Hasil Pajak xxx xxx xx xxx 48 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam xxx xxx xx xxx 49 Dana Alokasi Umum xxx xxx xx xxx 50 Dana Alokasi Khusus xxx xxx xx xxx 51 Jumlah Dana Perimbangan ───────────────────────────────── (47 s/d 50) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 52 53 TRANSFER LAINNYA (disesuaikan dengan program yang ada) 54 Dana Otonomi Khusus xxx xxx xx xxx 55 Dana Penyesuaian xxx xxx xx xxx 56 Jumlah Transfer Lainnya (54 s/d 55) xxx xxx xx xxx 57 JUMLAH TRANSFER ───────────────────────────────── (51 + 56) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 58 JUMLAH BELANJA DAN ───────────────────────────────── TRANSFER (43 + 57) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 59 SURPLUS/DEFISIT ───────────────────────────────── (22 - 58) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 60 61 62 PEMBIAYAAN 63 PENERIMAAN 64 PENERIMAAN PEMBIAYAAN DALAM NEGERI 65 Penggunaan SiLPA xxx xxx xx xxx 66 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri-Sektor Perbankan xxx xxx xx xxx 67 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri-Obligasi xxx xxx xx xxx 68 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri-Lainnya xxx xxx xx xxx 69 Penerimaan dari Divestasi xxx xxx xx xxx 70 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara xxx xxx xx xxx 71 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah xxx xxx xx xxx 72 Jumlah Penerimaan ───────────────────────────────── Pembiayaan Dalam xxxx xxxx xx xxxx Negeri (65 s/d 71) ───────────────────────────────── 73 74 PENERIMAAN PEMBIAYAAN LUAR NEGERI 75 Penerimaan Pinjaman Luar Negeri xxx xxx xx xxx 76 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Lembaga Internasional xxx xxx xx xxx 77 Jumlah Pembiayaan Luar ───────────────────────────────── Negeri (75 s/d 76) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 78 JUMLAH PENERIMAAN xxxx xxxx xx xxxx PEMBIAYAAN (72 + 77) ───────────────────────────────── 79 80 PENGELUARAN 81 PENGELUARAN PEMBIAYAAN DALAM NEGERI 82 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Sektor Perbankan xxx xxx xx xxx 83 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Obligasi xxx xxx xx xxx 84 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Lainnya xxx xxx xx xxx 85 Pengeluaran Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) xxx xxx xx xxx 86 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara xxx xxx xx xxx 87 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah xxx xxx xx xxx 88 Jumlah Pengeluaran ───────────────────────────────── Pembiayaan Dalam xxxx xxxx xx xxxx Negeri (82 s/d 87) ───────────────────────────────── 89 90 PENGELUARAN PEMBIAYAAN LUAR NEGERI 91 Pembayaran Pokok Pinjaman Luar Negeri xxx xxx xx xxx 92 Pemberian Pinjaman kepada Lembaga Internasional xxx xxx xx xxx 93 Jumlah Pengeluaran ───────────────────────────────── Pembiayaan Luar xxxx xxxx xx xxxx Negeri (91 s/d 92) ───────────────────────────────── 94 JUMLAH PENGELUARAN xxxx xxxx xx xxxx PEMBIAYAAN (88 + 93) ───────────────────────────────── 95 PEMBIAYAAN NETO xxxx xxxx xx xxxx 96 Sisa Lebih (Kurang) - xxxx - xxxx Pembiayaan Anggaran (59 + 95) ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-A.2 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── 20X1 20X0 No. Uraian Anggaran Realisasi % Realisasi ──────────────────────────────────────────────────────────────── I. IKHTISAR MENURUT SUMBER DANA X Uraian Sumber Dana XX Uraian Fungsi XXX XXX XX XXX XX.XX Uraian Sub Fungsi XXX XXX XX XXX XXXX Uraian Program XXX XXX XX XXX Jumlah Belanja Sub ──────────────────────────────── Fungsi XX.XX XXX XXX XX XXX Jumlah Belanja ──────────────────────────────── Fungsi XX XXX XXX XX XXX Jumlah Belanja Sumber ──────────────────────────────── Dana X XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── JUMLAH BELANJA XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── II. IKHTISAR MENURUT ESELON I XX Uraian Eselon I XXX XXX XX XXX XX Uraian Eselon I XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── JUMLAH BELANJA XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── III. IKHTISAR MENURUT PUSAT-WILAYAH XXXX Pusat XXX XXX XX XXX XXXX Uraian Wilayah XXX XXX XX XXX XXXX Uraian Wilayah XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── JUMLAH BELANJA XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── IV. IKHTISAR MENURUT JENIS BELANJA-MAK XX Uraian Jenis Belanja XXX XXX XX XXX XXXX Uraian Jenis Belanja XXX XXX XX XXX XXXXXX Uraian MAK XXX XXX XX XXX XXXXXX Uraian MAK XXX XXX XX XXX Jumlah Belanja ──────────────────────────────── XXXX XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── XXXX Uraian Jenis Belanja XXX XXX XX XXX XXXXXX Uraian MAK XXX XXX XX XXX XXXXXX Uraian MAK XXX XXX XX XXX Jumlah Belanja ──────────────────────────────── XXXX XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── Jumlah Belanja XX XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── JUMLAH BELANJA XXX XXX XX XXX ────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-A.3 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN BENDAHARA UMUM NEGARA LAPORAN REALISASI ANGGARAN BENDAHARA UMUM NEGARA UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── 20X1 20X0 No. Uraian Anggaran Realisasi % Realisasi ──────────────────────────────────────────────────────────────── 1 A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH 2 I. Pendapatan Dalam Negeri 3 1. Pendapatan Perpajakan 4 a. Pajak Dalam Negeri xxx xxx xx xxx 5 b. Pajak Perdagangan Internasional xxx xxx xx xxx 6 7 2. Pendapatan Negara Bukan Pajak 8 a. Pendapatan Sumber Daya Alam xxx xxx xx xxx 9 b. Bagian Laba BUMN xxx xxx xx xxx 10 c. PNBP Lainnya xxx xxx xx xxx 11 12 II. Pendapatan Hibah xxx xxx xx xxx 13 14 B. BELANJA NEGARA 15 I. Belanja Pemerintah Pusat 16 1. Pembayaran Bunga Utang 17 a. Utang Dalam Negeri xxx xxx xx xxx 18 b. Utang Luar Negeri xxx xxx xx xxx 19 2. Subsidi 20 a. Subsidi BBM xxx xxx xx xxx 21 b. Subsidi Non- BBM xxx xxx xx xxx 22 c. Subsidi dalam rangka PSO xxx xxx xx xxx 23 3. Hibah xxx xxx xx xxx 24 4. Bantuan Sosial xxx xxx xx xxx 25 5. Belanja lain-lain xxx xxx xx xxx 26 27 II. Belanja Untuk Daerah 28 1. Dana Perimbangan 29 a. Dana Bagi Hasil xxx xxx xx xxx 30 b. Dana Alokasi Umum xxx xxx xx xxx 31 c. Dana Alokasi Khusus xxx xxx xx xxx 32 33 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian xxx xxx xx xxx 34 35 C. Keseimbangan Primer xxx xxx xx xxx 36 D. Surplus/Defisit Anggaran (A - B) xxx xxx xx xxx 37 E. Pembiayaan (E.I + E.II) 38 I. Pembiayaan Dalam Negeri - - - - 39 1. Perbankan Dalam Negeri xxx xxx xx xxx 40 2. Non-Perbankan dalam Negeri xxx xxx xx xxx 41 42 II. Pembiayaan Luar Negeri (neto) 43 1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (bruto) xxx xxx xx xxx 44 2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri xxx xxx xx xxx ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-A.4 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH PROVINSI LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH PROVINSI UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 20X1 dan 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── 20X1 20X0 No. Uraian Anggaran Realisasi % Realisasi ──────────────────────────────────────────────────────────────── 1 PENDAPATAN 2 PENDAPATAN ASLI DAERAH 3 Pendapatan Pajak Daerah xxx xxx xx xxx 4 Pendapatan Retribusi Daerah xxx xxx xx xxx 5 Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan xxx xxx xx xxx 6 Lain-lain PAD yang sah xxx xxx xx xxx 7 Jumlah Pendapatan ───────────────────────────────── Asli Daerah (3 s/d 6) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 8 9 PENDAPATAN TRANSFER 10 TRANSFER PEMERINTAH PUSAT - DANA PERIMBANGAN 11 Dana Bagi Hasil Pajak xxx xxx xx xxx 12 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam xxx xxx xx xxx 13 Dana Alokasi Umum xxx xxx xx xxx 14 Dana Alokasi Khusus xxx xxx xx xxx 15 Jumlah Pendapatan Transfer Dana ───────────────────────────────── Perimbangan xxxx xxxx xx xxxx (11 s/d 14) ───────────────────────────────── 16 17 TRANSFER PEMERINTAH PUSAT - LAINNYA 18 Dana Otonomi Khusus xxx xxx xx xxx 19 Dana Penyesuaian xxx xxx xx xxx 20 Jumlah Pendapatan ───────────────────────────────── Transfer Lainnya xxxx xxxx xx xxxx (18 s/d 19) ───────────────────────────────── 21 Total Pendapatan xxxx xxxx xx xxxx Transfer (15 + 20) ───────────────────────────────── 22 23 LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH 24 Pendapatan Hibah xxx xxx xx xxx 25 Pendapatan Dana Darurat xxx xxx xx xxx 26 Pendapatan Lainnya xxx xxx xx xxx 27 Jumlah Pendapatan ───────────────────────────────── Lain-lain yang Sah xxx xxx xx xxx (24 s/d 26) ───────────────────────────────── 28 JUMLAH PENDAPATAN xxxx xxxx xx xxxx (7 + 21 + 27) ───────────────────────────────── 29 BELANJA 30 BELANJA OPERASI 31 Belanja Pegawai xxx xxx xx xxx 32 Belanja Barang xxx xxx xx xxx 33 Bunga xxx xxx xx xxx 34 Subsidi xxx xxx xx xxx 35 Hibah xxx xxx xx xxx 36 Bantuan Sosial xxx xxx xx xxx 37 Jumlah Belanja ───────────────────────────────── Operasi (31 s/d 36) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 38 39 BELANJA MODAL 40 Belanja Tanah xxx xxx xx xxx 41 Belanja Peralatan dan Mesin xxx xxx xx xxx 42 Belanja Gedung dan Bangunan xxx xxx xx xxx 43 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan xxx xxx xx xxx 44 Belanja Aset Tetap Lainnya xxx xxx xx xxx 45 Belanja Aset Lainnya xxx xxx xx xxx 46 Jumlah Belanja Modal ───────────────────────────────── (40 s/d 45) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 47 48 BELANJA TAK TERDUGA 49 Belanja Tak Terduga xxx xxx xx xxx 50 Jumlah Belanja Tak ───────────────────────────────── Terduga (49 s/d 49) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 51 Jumlah Belanja xxxx xxxx xx xxxx (37 + 46 + 50) ───────────────────────────────── 52 53 TRANSFER 54 TRANSFER/BAGI HASIL PENDAPATAN KE KABUPATEN/KOTA 55 Bagi Hasil Pajak ke Kabupaten/Kota xxx xxx xx xxx 56 Bagi Hasil Retribusi ke Kabupaten/Kota xxx xxx xx xxx 57 Bagi Hasil Pendapatan Lainnya ke Kabupaten/Kota xxx xxx xx xxx 58 Jumlah Transfer ───────────────────────────────── Bagi Hasil xxxx xxxx xx xxxx Pendapatan ke Kab./Kota (55 s/d 57) ───────────────────────────────── 59 JUMLAH BELANJA xxxx xxxx xx xxxx DAN TRANSFER (51 + 58) ───────────────────────────────── ───────────────────────────────── 60 SURPLUS/DEFISIT xxx xxx xx xxx (28 - 59) ───────────────────────────────── 61 62 PEMBIAYAAN 63 64 PENERIMAAN PEMBIAYAAN 65 Penggunaan SiLPA xxx xxx xx xxx 66 Pencairan Dana Cadangan xxx xxx xx xxx 67 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan xxx xxx xx xxx 68 Pinjaman Dalam Negeri- Pemerintah Pusat xxx xxx xx xxx 69 Pinjaman Dalam Negeri- Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx xx xxx 70 Pinjaman Dalam Negeri- Lembaga Keuangan Bank xxx xxx xx xxx 71 Pinjaman Dalam Negeri- Lembaga Keuangan Bukan Bank xxx xxx xx xxx 72 Pinjaman Dalam Negeri- Obligasi xxx xxx xx xxx 73 Pinjaman Dalam Negeri- Lainnya xxx xxx xx xxx 74 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara xxx xxx xx xxx 75 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah xxx xxx xx xxx 76 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx xx xxx 77 Jumlah Penerimaan ───────────────────────────────── (66 s/d 77) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 78 79 PENGELUARAN PEMBIAYAAN 80 Pembentukan Dana Cadangan xxx xxx xx xxx 87 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah xxx xxx xx xxx 81 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Pemerintah Pusat xxx xxx xx xxx 82 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx xx xxx 83 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Lembaga Keuangan Bank xxx xxx xx xxx 84 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Lembaga Keuangan Bukan Bank xxx xxx xx xxx 85 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Obligasi xxx xxx xx xxx 86 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Lainnya xxx xxx xx xxx 88 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara xxx xxx xx xxx 89 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah xxx xxx xx xxx 90 Pemberian Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx xx xxx 91 Jumlah Pengeluaran ───────────────────────────────── (81 s/d 91) xxx xxx xx xxx ───────────────────────────────── 92 PEMBIAYAAN NETO xxxx xxxx xx xxxx 93 94 ───────────────────────────────── 95 Sisa Lebih Pembiayaan xxxx xxxx xx xxxx Anggaran (61-93) ───── ──────────────────────────── ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-A.5 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 20X1 dan 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── 20X1 20X0 No. Uraian Anggaran Realisasi % Realisasi ──────────────────────────────────────────────────────────────── 1 PENDAPATAN 2 PENDAPATAN ASLI DAERAH 3 Pendapatan Pajak Daerah xxx xxx xx xxx 4 Pendapatan Retribusi Daerah xxx xxx xx xxx 5 Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan xxx xxx xx xxx 6 Lain-lain PAD yang sah xxx xxx xx xxx 7 Jumlah Pendapatan Asli ───── ──────────────────────────── Daerah (3 s/d 6) xxxx xxxx xx xxxx 8 ───── ──────────────────────────── 9 PENDAPATAN TRANSFER 10 TRANSFER PEMERINTAH PUSAT - DANA PERIMBANGAN 11 Dana Bagi Hasil Pajak xxx xxx xx xxx 12 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam xxx xxx xx xxx 13 Dana Alokasi Umum xxx xxx xx xxx 14 Dana Alokasi Khusus xxx xxx xx xxx 15 Jumlah Pendapatan ───── ──────────────────────────── Transfer Dana xxxx xxxx xx xxxx Perimbangan (11 s/d 14) ───── ──────────────────────────── 16 17 TRANSFER PEMERINTAH PUSAT - LAINNYA 18 Dana Otonomi Khusus xxx xxx xx xxx 19 Dana Penyesuaian xxx xxx xx xxx 20 Jumlah Pendapatan ───── ──────────────────────────── Transfer Pemerintah xxxx xxxx xx xxxx Pusat - Lainnya (18 s/d 19) ───── ──────────────────────────── 21 22 TRANSFER PEMERINTAH PROVINSI 23 Pendapatan Bagi Hasil Pajak xxx xxx xx xxx 24 Pendapatan Bagi Hasil Lainnya xxx xxx xx xxx 25 Jumlah Transfer ───── ──────────────────────────── Pemerintah Provinsi xxxx xxxx xx xxxx (23 s/d 24) ───── ──────────────────────────── 26 Total Pendapatan xxxx xxxx xx xxxx Transfer (15 + 20 + 25) ───── ──────────────────────────── 27 28 LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH 29 Pendapatan Hibah xxx xxx xx xxx 30 Pendapatan Dana Darurat xxx xxx xx xxx 31 Pendapatan Lainnya xxx xxx xx xxx 32 Jumlah Lain-lain ───── ──────────────────────────── Pendapatan yang Sah xxx xxx xx xxx (29 s/d 31) ───── ──────────────────────────── 33 JUMLAH PENDAPATAN xxxx xxxx xx xxxx (7 + 26 + 32) ───── ──────────────────────────── 34 35 BELANJA 36 BELANJA OPERASI 37 Belanja Pegawai xxx xxx xx xxx 38 Belanja Barang xxx xxx xx xxx 39 Bunga xxx xxx xx xxx 40 Subsidi xxx xxx xx xxx 41 Hibah xxx xxx xx xxx 42 Bantuan Sosial xxx xxx xx xxx 43 Jumlah Belanja Operasi ───── ──────────────────────────── (37 s/d 42) xxxx xxxx xx xxxx ───── ──────────────────────────── 44 45 BELANJA MODAL 46 Belanja Tanah xxx xxx xx xxx 47 Belanja Peralatan dan Mesin xxx xxx xx xxx 48 Belanja Gedung dan Bangunan xxx xxx xx xxx 49 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan xxx xxx xx xxx 50 Belanja Aset Tetap Lainnya xxx xxx xx xxx ──────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-B.4 ILUSTRASI FORMAT NERACA PEMERINTAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA NERACA PEMERINTAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA PER 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 ASET 2 3 ASET LANCAR 4 Kas di Kas Daerah xxx xxx 5 Kas di Bendahara Pengeluaran xxx xxx 6 Kas di Bendahara Penerimaan xxx xxx 7 Investasi Jangka Pendek xxx xxx 8 Piutang Pajak xxx xxx 9 Piutang Retribusi xxx xxx 10 Bagian Lancar Pinjaman kepada Perusahaan Negara xxx xxx 11 Bagian Lancar Pinjaman kepada Perusahaan Daerah xxx xxx 12 Bagian Lancar Pinjaman kepada Pemerintah Pusat xxx xxx 13 Bagian Lancar Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx 14 Bagian Lancar Tagihan Penjualan Angsuran xxx xxx 15 Bagian lancar Tuntutan Ganti Rugi xxx xxx 16 Piutang Lainnya xxx xxx 17 Persediaan xxx xxx 18 Jumlah Aset Lancar ──────────────────────────── (4 s/d 17) xxx xxx 19 ──────────────────────────── 20 INVESTASI JANGKA PANJANG 21 Investasi Nonpermanen 22 Pinjaman Kepada Perusahaan Negara xxx xxx 23 Pinjaman Kepada Perusahaan Daerah xxx xxx 24 Pinjaman Kepada Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx 25 Investasi dalam Surat Utang Negara xxx xxx 26 Investasi dalam Proyek Pembangunan xxx xxx 27 Investasi Nonpermanen Lainnya xxx xxx 28 Jumlah Investasi Nonpermanen (22 s/d 27) xxx xxx 29 Investasi Permanen 30 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah xxx xxx 31 Investasi Permanen Lainnya xxx xxx 32 Jumlah Investasi Permanen ──────────────────────────── (30 s/d 31) xxx xxx ──────────────────────────── 33 Jumlah Investasi Jangka xxx xxx Panjang (28 + 32) ──────────────────────────── 34 35 ASET TETAP 36 Tanah xxx xxx 37 Peralatan dan Mesin xxx xxx 38 Gedung dan Bangunan xxx xxx 39 Jalan, Irigasi, dan Jaringan xxx xxx 40 Aset Tetap Lainnya xxx xxx 41 Konstruksi dalam Pengerjaan xxx xxx 42 Akumulasi Penyusutan (xxx) (xxx) 43 Jumlah Aset Tetap ──────────────────────────── (36 s/d 42) xxx xxx 44 ──────────────────────────── 45 DANA CADANGAN 46 Dana Cadangan xxx xxx ──────────────────────────── 47 Jumlah Dana Cadangan (46) xxx xxx 48 ──────────────────────────── 49 ASET LAINNYA 50 Tagihan Penjualan Angsuran xxx xxx 51 Tuntutan Perbendaharaan xxx xxx 52 Tuntutan Ganti Rugi xxx xxx 53 Kemitraan dengan Fihak Ketiga xxx xxx 54 Aset Tak Berwujud xxx xxx 55 Aset Lain-Lain xxx xxx 56 Jumlah Aset Lainnya ──────────────────────────── (50 s/d 55) xxx xxx 57 ──────────────────────────── 58 JUMLAH ASET xxxx xxxx (18+33+43+47+56) ──────────────────────────── 59 60 KEWAJIBAN 61 62 KEWAJIBAN JANGKA PENDEK 63 Utang Perhitungan Pihak Ketiga (PFK) xxx xxx 64 Utang Bunga xxx xxx 65 Bagian Lancar Utang Dalam Negeri - Pemerintah Pusat xxx xxx 66 Bagian Lancar Utang Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx 67 Bagian Lancar Utang Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank xxx xxx 68 Bagian Lancar Utang Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank xxx xxx 69 Bagian Lancar Utang Dalam Negeri - Obligasi xxx xxx 70 Bagian Lancar Utang Jangka Panjang Lainnya xxx xxx 71 Utang Jangka Pendek Lainnya xxx xxx 72 Jumlah Kewajiban Jangka ──────────────────────────── Pendek (63 s/d 71) xxx xxx 73 ──────────────────────────── 74 KEWAJIBAN JANGKA PANJANG 75 Utang Dalam Negeri - Pemerintah Pusat xxx xxx 76 Utang Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx 77 Utang Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank xxx xxx 78 Utang Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank xxx xxx 79 Utang Dalam Negeri - Obligasi xxx xxx 80 Utang Jangka Panjang Lainnya xxx xxx 81 Jumlah Kewajiban Jangka ──────────────────────────── Panjang (78 s/d 80) xxx xxx ──────────────────────────── 82 JUMLAH KEWAJIBAN xxx xxx (72+81) ──────────────────────────── 83 84 EKUITAS DANA 85 86 EKUITAS DANA LANCAR 87 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) xxx xxx 88 Pendapatan yang Ditangguhkan xxx xxx 89 Cadangan Piutang xxx xxx 90 Cadangan Persediaan xxx xxx 91 Dana yang Harus Disediakan untuk Pembayaran Utang Jangka Pendek (xxx) (xxx) 92 Jumlah Ekuitas Dana ──────────────────────────── Lancar (85 s/d 92) xxx xxx 93 ──────────────────────────── 94 EKUITAS DANA INVESTASI 95 Diinvestasikan dalam Investasi Jangka Panjang xxx xxx 96 Diinvestasikan dalam Aset Tetap xxx xxx 97 Diinvestasikan dalam Aset Lainnya xxx xxx 98 Dana yang Harus Disediakan untuk Pembayaran Utang Jangka Panjang (xxx) (xxx) 99 Jumlah Ekuitas Dana ──────────────────────────── Investasi (96 s/d 99) xxx xxx 100 ──────────────────────────── 101 EKUITAS DANA CADANGAN 102 Diinvestasikan dalam Dana Cadangan xxx xxx 103 Jumlah Ekuitas Dana Cadangan (103) xxx xxx 104 JUMLAH EKUITAS DANA ──────────────────────────── (93+100+104) xxx xxx 105 ──────────────────────────── 106 107 JUMLAH KEWAJIBAN DAN xxxx xxxx EKUITAS DANA (82+105) ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-B.5 ILUSTRASI FORMAT NERACA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH NERACA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH PER 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 ASET 2 3 ASET LANCAR xxx xxx 4 Kas di Bendahara Pengeluaran xxx xxx 5 Kas di Bendahara Penerimaan xxx xxx 6 Piutang xxx xxx 7 Bagian Lancar Tagihan Penjualan Angsuran xxx xxx 8 Bagian Lancar Tuntutan Ganti Rugi xxx xxx 9 Persediaan xxx xxx ──────────────────────────── 10 Jumlah Aset Lancar (4 s/d 9) xxx xxx 11 ──────────────────────────── 12 ASET TETAP 13 Tanah xxx xxx 14 Peralatan dan Mesin xxx xxx 15 Gedung dan Bangunan xxx xxx 16 Jalan, Irigasi, dan Jaringan xxx xxx 17 Aset Tetap Lainnya xxx xxx 18 Konstruksi Dalam Pengerjaan xxx xxx ──────────────────────────── 19 Jumlah Aset Tetap (13 s/d 18) xxx xxx 20 ──────────────────────────── 21 ASET LAINNYA 22 Tagihan Penjualan Angsuran xxx xxx 23 Tuntutan Ganti Rugi xxx xxx 24 Kemitraan dengan Pihak Ketiga xxx xxx 25 Aset Tak Berwujud xxx xxx 26 Aset Lain-Lain xxx xxx 27 Jumlah Aset Lainnya ──────────────────────────── (22 s/d 26) xxx xxx 28 ──────────────────────────── ──────────────────────────── 29 JUMLAH ASET (10+19+27) xxxx xxxx ──────────────────────────── 30 ──────────────────────────── 31 KEWAJIBAN 32 xxx xxx 33 KEWAJIBAN JANGKA PENDEK xxx xxx 34 Uang Muka dari Berndahara Umum Daerah xxx xxx 35 Pendapatan yang Ditangguhkan xxx xxx 36 Jumlah Kewajiban Jangka ──────────────────────────── Pendek (34 s/d 35) xxx xxx ──────────────────────────── 37 JUMLAH KEWAJIBAN (36) xxx xxx ──────────────────────────── 38 39 EKUITAS DANA 40 41 EKUITAS DANA LANCAR xxx xxx 42 Cadangan Piutang xxx xxx 43 Cadangan Persediaan xxx xxx 44 Jumlah Ekuitas Dana ──────────────────────────── Lancar (42 s/d 43) xxx xxx ──────────────────────────── 45 46 EKUITAS DANA INVESTASI xxx xxx 47 Diinvestasikan dalam Aset Tetap xxx xxx 48 Diinvestasikan dalam Aset Lainnya xxx xxx 49 Jumlah Ekuitas Dana ──────────────────────────── Investasi (47 s/d 48) xxx xxx ──────────────────────────── 50 JUMLAH EKUITAS DANA xxx xxx (44+49) ──────────────────────────── 51 ──────────────────────────── 52 JUMLAH KEWAJIBAN DAN xxxx xxxx EKUITAS DANA (37 + 50) ──────────────────────────── 53 ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-B.6 ILUSTRASI FORMAT NERACA BENDAHARA UMUM DAERAH NERACA BENDAHARA UMUM DAERAH PER 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 ASET 2 3 ASET LANCAR 4 Kas di Kas Daerah xxx xxx 5 Kas di Bendahara Pengeluaran xxx xxx 6 Kas di Bendahara Penerimaan xxx xxx 7 Piutang Pajak xxx xxx 8 Piutang Retribusi xxx xxx 9 Investasi Jangka Pendek xxx xxx 10 Bagian Lancar Pinjaman kepada Perusahaan Negara xxx xxx 11 Bagian Lancar Pinjaman kepada Perusahaan Daerah xxx xxx 12 Bagian Lancar Pinjaman kepada Pemerintah Pusat xxx xxx 13 Bagian Lancar Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx 14 Bagian Lancar Tuntutan Perbendaharaan xxx xxx 15 Jumlah Aset Lancar ──────────────────────────── (4 s/d 14) xxx xxx ──────────────────────────── 16 17 INVESTASI JANGKA PANJANG 18 Investasi Nonpermanen 19 Pinjaman Kepada Perusahaan Negara 20 Pinjaman Kepada Perusahaan Daerah 21 Pinjaman Kepada Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx 22 Investasi dalam Surat Utang Negara xxx xxx 23 Investasi dalam Proyek Pembangunan xxx xxx 24 Investasi Nonpermanen Lainnya xxx xxx 25 Jumlah Investasi Nonpermanen (19 s/d 24) xxx xxx 26 Investasi Permanen 27 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah xxx xxx 28 Investasi Permanen Lainnya xxx xxx 29 Jumlah Investasi Permanen ──────────────────────────── (27 s/d 28) xxx xxx ──────────────────────────── 30 Jumlah Investasi Jangka xxx xxx Panjang (25 + 29) ──────────────────────────── 31 32 DANA CADANGAN 33 Dana Cadangan xxx xxx 34 Jumlah Dana Cadangan ──────────────────────────── (33) xxx xxx 35 ──────────────────────────── 36 ASET LAINNYA 37 Tuntutan Perbendaharaan xxx xxx 38 Aset Lain-lain xxx xxx 39 Jumlah Aset Lainnya ──────────────────────────── (37 s/d 38) xxx xxx 40 ──────────────────────────── 41 JUMLAH ASET (15+30+34+39) xxxx xxxx 42 ──────────────────────────── 43 KEWAJIBAN 44 45 KEWAJIBAN JANGKA PENDEK 46 Utang Perhitungan Pihak Ketiga (PFK) xxx xxx 47 Utang Bunga xxx xxx 48 Bagian Lancar Utang Jangka Panjang xxx xxx 49 Utang Jangka Pendek Lainnya xxx xxx 50 Jumlah Kewajiban Jangka ──────────────────────────── Pendek (46 s/d 49) xxx xxx 51 ──────────────────────────── 52 KEWAJIBAN JANGKA PANJANG 53 Utang Dalam Negeri - Sektor Perbankan xxx xxx 54 Utang Dalam Negeri - Obligasi xxx xxx 55 Utang Jangka Panjang Lainnya xxx xxx 56 Jumlah Kewajiban Jangka ──────────────────────────── Panjang (53 s/d 55) xxx xxx 57 ──────────────────────────── 58 JUMLAH KEWAJIBAN (50+56) xxx xxx 59 ──────────────────────────── 60 EKUITAS DANA 61 62 EKUITAS DANA LANCAR xxx xxx 63 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) xxx xxx 64 Dana yang Harus Disediakan untuk Pembayaran Utang Jangka Pendek xxx xxx 65 Jumlah Ekuitas Dana Lancar ──────────────────────────── (63 s/d 64) xxx xxx 66 ──────────────────────────── 67 EKUITAS DANA INVESTASI 68 Diinvestasikan dalam Investasi Jangka Panjang xxx xxx 69 Diinvestasikan dalam Aset Tetap xxx xxx 70 Diinvestasikan dalam Aset Lainnya xxx xxx 71 Dana yang Harus Disediakan untuk Pembayaran Utang Jangka Panjang xxx xxx 72 Jumlah Ekuitas Dana ──────────────────────────── Investasi (68 s/d 71) xxx xxx 73 ──────────────────────────── 74 EKUITAS DANA CADANGAN 75 Diinvestasikan dalam Dana Cadangan xxx xxx 76 Jumlah Ekuitas Dana ──────────────────────────── Cadangan (75) xxx xxx 77 ──────────────────────────── 78 JUMLAH EKUITAS DANA xxx xxx (65+72+76) ──────────────────────────── 79 80 JUMLAH KEWAJIBAN DAN xxxx xxxx EKUITAS DANA (58+78) ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-C.1 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM DAERAH KABUPATEN/KOTA LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM DAERAH KABUPATEN/KOTA Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan 31 Desember 20X1 dan 20X0 Metode Langsung (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 Arus Kas dari Aktivitas Operasi 2 Arus Masuk Kas 3 Pendapatan Pajak Penghasilan XXX XXX 4 Pendapatan Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah XXX XXX 5 Pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan XXX XXX 6 Pendapatan Pajak Lainnya XXX XXX 7 Pendapatan Bea Masuk XXX XXX 8 Pendapatan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan XXX XXX 9 Pendapatan Cukai XXX XXX 10 Pendapatan Pajak Ekspor XXX XXX 11 Pendapatan Sumber Daya Alam XXX XXX 12 Pendapatan Pendidikan XXX XXX 13 Pendapatan Bagian Pemerintah atas Laba XXX XXX 14 Pendapatan Negara Bukan Pajak Lainnya XXX XXX 15 Pendapatan Hibah XXX XXX 16 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (3 s/d 15) XXX XXX ──────────────────────────── 17 Arus Keluar Kas 18 Belanja Pegawai XXX XXX 19 Belanja Barang XXX XXX 20 Bunga XXX XXX 21 Subsidi XXX XXX 22 Bantuan Sosial XXX XXX 23 Hibah XXX XXX 24 Belanja Lain-lain XXX XXX 25 Dana Bagi Hasil Pajak XXX XXX 26 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam XXX XXX 27 Dana Alokasi Umum XXX XXX 28 Dana Alokasi Khusus XXX XXX 29 Dana Otonomi Khusus XXX XXX 30 Dana Penyesuaian 31 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (18 s/d 30) XXX XXX ──────────────────────────── 32 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi (16 - 31) XXX XXX 33 Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan 34 Arus Masuk Kas 35 Pendapatan Penjualan atas Tanah XXX XXX 36 Pendapatan Penjualan atas Peralatan dan Mesin XXX XXX 37 Pendapatan Penjualan atas Gedung dan Bangunan XXX XXX 38 Pendapatan Penjualan atas Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 39 Pendapatan Penjualan Aset Tetap Lainnya XXX XXX 40 Pendapatan Penjualan Aset Lainnya XXX XXX 41 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (35 s/d 40) XXX XXX ──────────────────────────── 42 Arus Keluar Kas 43 Belanja Tanah XXX XXX 44 Belanja Peralatan dan Mesin XXX XXX 45 Belanja Gedung dan Bangunan XXX XXX 46 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 47 Belanja Aset Tetap Lainnya XXX XXX 48 Belanja Aset Lainnya XXX XXX 49 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (43 s/d 48) XXX XXX ──────────────────────────── 50 Arus Kas Bersih dari Akt Investasi Aset Nonkeu (41 - 49) XXX XXX 51 Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan 52 Arus Masuk Kas 53 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri - Sektor Perbankan XXX XXX 54 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 55 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 56 Penerimaan dari Divestasi XXX XXX 57 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 58 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 59 Penerimaan Pinjaman Luar Negeri XXX XXX 60 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Lembaga Internasional XXX XXX 61 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (53 s/d 60) XXX XXX ──────────────────────────── 62 Arus Keluar Kas 63 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Sektor Perbankan XXX XXX 64 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 65 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 66 Pengeluaran Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) XXX XXX 67 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 68 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 69 Pembayaran Pokok Pinjaman Luar Negeri XXX XXX 70 Pemberian Pinjaman kepada Lembaga Internasional XXX XXX 71 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (63 s/d 70) XXX XXX ──────────────────────────── 72 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pembiayaan (61 - 71) XXX XXX 73 Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran 74 Arus Masuk Kas 75 Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX 76 Kiriman Uang Masuk XXX XXX 77 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (75 s/d 76) XXX XXX ──────────────────────────── 78 Arus Keluar Kas 79 Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX 80 Kiriman Uang Keluar XXX XXX 81 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (79 s/d 80) XXX XXX ──────────────────────────── 82 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Non anggaran (77 - 81) XXX XXX 83 Kenaikan/Penurunan Kas (32+50+72+82) XXX XXX 84 Saldo Awal Kas di BUN XXX XXX 85 Saldo Akhir Kas di BUN (83+84) XXX XXX 86 Saldo Akhir Kas di Bendahara Pengeluaran XXX XXX 87 Saldo Akhir Kas di Bendahara Penerimaan XXX XXX 88 Saldo Akhir Kas (85+86+87) XXX XXX ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-C.2 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM DAERAH KABUPATEN/KOTA LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM DAERAH KABUPATEN/KOTA Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan 31 Desember 20X1 dan 20X0 Metode Langsung (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 Arus Kas dari Aktivitas Operasi 2 Arus Masuk Kas 3 Pendapatan Pajak Penghasilan XXX XXX 4 Pendapatan Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah XXX XXX 5 Pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan XXX XXX 6 Pendapatan Pajak Lainnya XXX XXX 7 Pendapatan Bea Masuk XXX XXX 8 Pendapatan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan XXX XXX 9 Pendapatan Cukai XXX XXX 10 Pendapatan Pajak Ekspor XXX XXX 11 Pendapatan Sumber Daya Alam XXX XXX 12 Pendapatan Pendidikan XXX XXX 13 Pendapatan Bagian Pemerintah atas Laba XXX XXX 14 Pendapatan Negara Bukan Pajak Lainnya XXX XXX 15 Pendapatan Hibah XXX XXX 16 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (3 s/d 15) XXX XXX ──────────────────────────── 17 Arus Keluar Kas 18 Belanja Pegawai XXX XXX 19 Belanja Barang XXX XXX 20 Bunga XXX XXX 21 Subsidi XXX XXX 22 Bantuan Sosial XXX XXX 23 Hibah XXX XXX 24 Belanja Lain-lain XXX XXX 25 Dana Bagi Hasil Pajak XXX XXX 26 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam XXX XXX 27 Dana Alokasi Umum XXX XXX 28 Dana Alokasi Khusus XXX XXX 29 Dana Otonomi Khusus XXX XXX 30 Dana Penyesuaian 31 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (18 s/d 30) XXX XXX ──────────────────────────── 32 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi (16 - 31) XXX XXX 33 Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan 34 Arus Masuk Kas 35 Pendapatan Penjualan atas Tanah XXX XXX 36 Pendapatan Penjualan atas Peralatan dan Mesin XXX XXX 37 Pendapatan Penjualan atas Gedung dan Bangunan XXX XXX 38 Pendapatan Penjualan atas Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 39 Pendapatan Penjualan Aset Tetap Lainnya XXX XXX 40 Pendapatan Penjualan Aset Lainnya XXX XXX 41 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (35 s/d 40) XXX XXX ──────────────────────────── 42 Arus Keluar Kas 43 Belanja Tanah XXX XXX 44 Belanja Peralatan dan Mesin XXX XXX 45 Belanja Gedung dan Bangunan XXX XXX 46 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 47 Belanja Aset Tetap Lainnya XXX XXX 48 Belanja Aset Lainnya XXX XXX 49 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (43 s/d 48) XXX XXX ──────────────────────────── 50 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan (41 - 49) XXX XXX 51 Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan 52 Arus Masuk Kas 53 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri - Sektor Perbankan XXX XXX 54 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 55 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 56 Penerimaan dari Divestasi XXX XXX 57 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 58 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 59 Penerimaan Pinjaman Luar Negeri XXX XXX 60 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Lembaga Internasional XXX XXX 61 Jumlah Arus Masuk Kas (53 s/d 60) XXX XXX 62 Arus Keluar Kas 63 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Sektor Perbankan XXX XXX 64 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 65 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 66 Pengeluaran Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) XXX XXX 67 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 68 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 69 Pembayaran Pokok Pinjaman Luar Negeri XXX XXX 70 Pemberian Pinjaman kepada Lembaga Internasional XXX XXX 71 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (63 s/d 70) XXX XXX ──────────────────────────── 72 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pembiayaan (61 - 71) XXX XXX 73 Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran 74 Arus Masuk Kas 75 Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX 76 Kiriman Uang Masuk XXX XXX 77 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (75 s/d 76) XXX XXX ──────────────────────────── 78 Arus Keluar Kas 79 Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX 80 Kiriman Uang Keluar XXX XXX 81 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (79 s/d 80) XXX XXX ──────────────────────────── 82 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Nonanggaran (77 - 81) XXX XXX 83 Kenaikan/Penurunan Kas (32+50+72+82) XXX XXX 84 Saldo Awal Kas di BUN XXX XXX 85 Saldo Akhir Kas di BUN (83+84) XXX XXX 86 Saldo Akhir Kas 87 Saldo Akhir Kas di Bendahara Penerimaan XXX XXX 88 Saldo Akhir Kas (85+86+87) XXX XXX ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-C.3 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM NEGARA LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM NEGARA Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan 31 Desember 20X1 dan 20X0 Metode Langsung (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 Arus Kas dari Aktivitas Operasi 2 Arus Masuk Kas 3 Pendapatan Pajak Daerah XXX XXX 4 Pendapatan Retribusi Daerah XXX XXX 5 Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 6 Lain-lain PAD yang sah XXX XXX 7 Dana Bagi Hasil Pajak XXX XXX 8 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam XXX XXX 9 Dana Alokasi Umum XXX XXX 10 Dana Alokasi Khusus XXX XXX 11 Dana Otonomi Khusus XXX XXX 12 Dana Penyesuaian XXX XXX 13 Pendapatan Hibah XXX XXX 14 Pendapatan Dana Darurat XXX XXX 15 Pendapatan Lainnya XXX XXX 16 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (3 s/d 15) XXX XXX ──────────────────────────── 17 Arus Keluar Kas 18 Belanja Pegawai XXX XXX 19 Belanja Barang XXX XXX 20 Bunga XXX XXX 21 Subsidi XXX XXX 22 Hibah XXX XXX 23 Bantuan Sosial XXX XXX 24 Belanja Tak Terduga XXX XXX 25 Bagi Hasil Pajak ke Kabupaten/Kota XXX XXX 26 Bagi Hasil Retribusi ke Kabupaten/Kota XXX XXX 27 Bagi Hasil Pendapatan Lainnya ke Kabupaten/Kota XXX XXX 28 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (18 s/d 27) XXX XXX ──────────────────────────── 29 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi (16 - 28) XXX XXX 30 Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan 31 Arus Masuk Kas 32 Pendapatan Penjualan atas Tanah XXX XXX 33 Pendapatan Penjualan atas Peralatan dan Mesin XXX XXX 34 Pendapatan Penjualan atas Gedung dan Bangunan XXX XXX 35 Pendapatan Penjualan atas Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 36 Pendapatan dari Penjualan Aset Tetap Lainnya XXX XXX 37 Pendapatan dari Penjualan Aset Lainnya XXX XXX 38 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (32 s/d 37) XXX XXX ──────────────────────────── 39 Arus Keluar Kas 40 Belanja Tanah XXX XXX 41 Belanja Peralatan dan Mesin XXX XXX 42 Belanja Gedung dan Bangunan XXX XXX 43 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 44 Belanja Aset Tetap Lainnya XXX XXX 45 Belanja Aset Lainnya XXX XXX 46 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (40 s/d 45) XXX XXX ──────────────────────────── 47 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan (38 - 46) XXX XXX di Bendahara Pengeluaran XXX XXX 48 Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan 49 Arus Masuk Kas 50 Pencairan Dana Cadangan XXX XXX 51 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 52 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 53 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 54 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 55 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 56 Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 57 Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 58 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 59 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 60 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 61 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (50 s/d 60) XXX XXX ──────────────────────────── 62 Arus Keluar Kas 63 Pembentukan Dana Cadangan XXX XXX 64 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah XXX XXX 65 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 66 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 67 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 68 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 69 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 70 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 71 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 72 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 73 Pemberian Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 74 Jumlah Arus Keluar Kas (63 s/d 73) XXX XXX 75 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pembiayaan (61 - 74) XXX XXX 76 Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran 77 Arus Masuk Kas 78 Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX 79 Jumlah Arus Masuk Kas (78) XXX XXX 80 Arus Keluar Kas 81 Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX ──────────────────────────── 82 Jumlah Arus Keluar Kas (81) XXX XXX ──────────────────────────── 83 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Nonanggaran (79 - 82) XXX XXX 84 Kenaikan/Penurunan Kas XXX XXX 85 Saldo Awal Kas di BUD XXX XXX 86 Saldo Akhir Kas di BUD (84+85) XXX XXX 87 Saldo Akhir Kas di Bendahara Pengeluaran XXX XXX 88 Saldo Akhir Kas di Bendahara Penerimaan XXX XXX 89 Saldo Akhir Kas (86+87+88) XXX XXX ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-C.4 LAPORAN ARUS KAS ILUSTRASI FORMAT LAPORAN ARUS KAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan 31 Desember 20X1 dan 20X0 Metode Langsung (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 Arus Kas dari Aktivitas Operasi 2 Arus Masuk Kas 3 Pendapatan Pajak Daerah XXX XXX 4 Pendapatan Retribusi Daerah XXX XXX 5 Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 6 Lain-lain PAD yang sah XXX XXX 7 Dana Bagi Hasil Pajak XXX XXX 8 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam XXX XXX 9 Dana Alokasi Umum XXX XXX 10 Dana Alokasi Khusus XXX XXX 11 Dana Otonomi Khusus XXX XXX 12 Dana Penyesuaian XXX XXX 13 Pendapatan Bagi Hasil Pajak XXX XXX 14 Pendapatan Bagi Hasil Lainnya XXX XXX 15 Pendapatan Hibah XXX XXX 16 Pendapatan Dana Darurat XXX XXX 17 Pendapatan Lainnya XXX XXX 18 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (3 s/d 17) XXX XXX ──────────────────────────── 19 Arus Keluar Kas 20 Belanja Pegawai XXX XXX 21 Belanja Barang XXX XXX 22 Bunga XXX XXX 23 Subsidi XXX XXX 24 Hibah XXX XXX 25 Bantuan Sosial XXX XXX 26 Belanja Tak Terduga XXX XXX 27 Bagi Hasil Pajak XXX XXX 28 Bagi Hasil Retribusi XXX XXX 29 Bagi Hasil Pendapatan Lainnya XXX XXX 30 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (20 s/d 29) XXX XXX ──────────────────────────── 31 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi (18 - 30) XXX XXX 32 Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan 33 Arus Masuk Kas 34 Pendapatan Penjualan atas Tanah XXX XXX 35 Pendapatan Penjualan atas Peralatan dan Mesin XXX XXX 36 Pendapatan Penjualan atas Gedung dan Bangunan XXX XXX 37 Pendapatan Penjualan atas Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 38 Pendapatan dari Penjualan Aset Tetap XXX XXX 39 Pendapatan dari Penjualan Aset Lainnya XXX XXX 40 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (34 s/d 39) XXX XXX ──────────────────────────── 41 Arus Keluar Kas 42 Belanja Tanah XXX XXX 43 Belanja Peralatan dan Mesin XXX XXX 44 Belanja Gedung dan Bangunan XXX XXX 45 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 46 Belanja Aset Tetap Lainnya XXX XXX 47 Belanja Aset Lainnya XXX XXX 48 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (42 s/d 47) XXX XXX ──────────────────────────── 49 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan (40 -48) XXX XXX 50 Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan 51 Arus Masuk Kas 52 Pencairan Dana Cadangan XXX XXX 53 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 54 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 55 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 56 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 57 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 58 Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 59 Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 60 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 61 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 62 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 63 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (52 s/d 62) XXX XXX ──────────────────────────── 64 Arus Keluar Kas 65 Pembentukan Dana Cadangan XXX XXX 66 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah XXX XXX 67 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 68 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 69 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 70 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 71 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 72 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 73 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 74 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 75 Pemberian Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 76 Jumlah Arus Keluar Kas (65 s/d 75) XXX XXX 77 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pembiayaan (63 - 76) XXX XXX 78 Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran 79 Arus Masuk Kas 80 Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX ──────────────────────────── 81 Jumlah Arus Masuk Kas (80) XXX XXX ──────────────────────────── 82 Arus Keluar Kas 83 Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX ──────────────────────────── 84 Jumlah Arus Keluar Kas (83) XXX XXX ──────────────────────────── 85 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Non anggaran (81 - 84) XXX XXX 86 Kenaikan/Penurunan Kas XXX XXX 87 Saldo Awal Kas di BUD XXX XXX 88 Saldo Akhir Kas di BUD (86+87) XXX XXX 89 Saldo Akhir Kas di Bendahara Pengeluaran XXX XXX 90 Saldo Akhir Kas di Bendahara Penerimaan XXX XXX 91 Saldo Akhir Kas (88+89+90) XXX XXX ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-C.5 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN ARUS KAS PEMERINTAH PROVINSI LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM DAERAH PROVINSI Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan 31 Desember 20X1 dan 20X0 Metode Langsung (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 Arus Kas dari Aktivitas Operasi 2 Arus Masuk Kas 3 Pendapatan Pajak Daerah XXX XXX 4 Pendapatan Retribusi Daerah XXX XXX 5 Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 6 Lain-lain PAD yang sah XXX XXX 7 Dana Bagi Hasil Pajak XXX XXX 8 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam XXX XXX 9 Dana Alokasi Umum XXX XXX 10 Dana Alokasi Khusus XXX XXX 11 Dana Otonomi Khusus XXX XXX 12 Dana Penyesuaian XXX XXX 13 Pendapatan Hibah XXX XXX 14 Pendapatan Dana Darurat XXX XXX 15 Pendapatan Lainnya XXX XXX 16 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (3 s/d 15) XXX XXX ──────────────────────────── 17 Arus Keluar Kas 18 Belanja Pegawai XXX XXX 19 Belanja Barang XXX XXX 20 Bunga XXX XXX 21 Subsidi XXX XXX 22 Hibah XXX XXX 23 Bantuan Sosial XXX XXX 24 Belanja Tak Terduga XXX XXX 25 Bagi Hasil Pajak ke Kabupaten/Kota XXX XXX 26 Bagi Hasil Retribusi ke Kabupaten/Kota XXX XXX 27 Bagi Hasil Pendapatan Lainnya ke Kabupaten/Kota XXX XXX 28 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (18 s/d 27) XXX XXX ──────────────────────────── 29 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi (16 - 28) XXX XXX 30 Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan 31 Arus Masuk Kas 32 Pendapatan Penjualan atas Tanah XXX XXX 33 Pendapatan Penjualan atas Peralatan dan Mesin XXX XXX 34 Pendapatan Penjualan atas Gedung dan Bangunan XXX XXX 35 Pendapatan Penjualan atas Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 36 Pendapatan dari Penjualan Aset Tetap Lainnya XXX XXX 37 Pendapatan dari Penjualan Aset Lainnya XXX XXX 38 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (32 s/d 37) XXX XXX ──────────────────────────── 39 Arus Keluar Kas 40 Belanja Tanah XXX XXX 41 Belanja Peralatan dan Mesin XXX XXX 42 Belanja Gedung dan Bangunan XXX XXX 43 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 44 Belanja Aset Tetap Lainnya XXX XXX 45 Belanja Aset Lainnya XXX XXX 46 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (40 s/d 45) XXX XXX ──────────────────────────── 47 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan (38 - 46) XXX XXX 48 Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan 49 Arus Masuk Kas 50 Pencairan Dana Cadangan XXX XXX 51 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 52 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 53 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 54 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 55 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 56 Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 57 Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 58 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 59 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 60 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 61 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (50 s/d 60) XXX XXX ──────────────────────────── 62 Arus Keluar Kas 63 Pembentukan Dana Cadangan XXX XXX 64 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah XXX XXX 65 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 66 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 67 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 68 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 69 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 70 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 71 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 72 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 73 Pemberian Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 74 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (63 s/d 73) XXX XXX ──────────────────────────── 75 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pembiayaan (61 - 74) XXX XXX 76 Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran 77 Arus Masuk Kas 78 Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX ──────────────────────────── 79 Jumlah Arus Masuk Kas (78) XXX XXX ──────────────────────────── 80 Arus Keluar Kas 81 Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX ──────────────────────────── 82 Jumlah Arus Keluar Kas (81) XXX XXX ──────────────────────────── 83 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Nonanggaran (79 - 82) XXX XXX 84 Kenaikan/Penurunan Kas XXX XXX 85 Saldo Awal Kas di BUD XXX XXX 86 Saldo Akhir Kas di BUD (84+85) XXX XXX 87 Saldo Akhir Kas di Bendahara Pengeluaran XXX XXX 88 Saldo Akhir Kas di Bendahara Penerimaan XXX XXX 89 Saldo Akhir Kas (86+87+88) XXX XXX ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-C.6 LAPORAN ARUS KAS ILUSTRASI FORMAT LAPORAN ARUS KAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA BENDAHARA UMUM DAERAH KABUPATEN/KOTA Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan 31 Desember 20X1 dan 20X0 Metode Langsung (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 Arus Kas dari Aktivitas Operasi 2 Arus Masuk Kas 3 Pendapatan Pajak Daerah XXX XXX 4 Pendapatan Retribusi Daerah XXX XXX 5 Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 6 Lain-lain PAD yang sah XXX XXX 7 Dana Bagi Hasil Pajak XXX XXX 8 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam XXX XXX 9 Dana Alokasi Umum XXX XXX 10 Dana Alokasi Khusus XXX XXX 11 Dana Otonomi Khusus XXX XXX 12 Dana Penyesuaian XXX XXX 13 Pendapatan Bagi Hasil Pajak XXX XXX 14 Pendapatan Bagi Hasil Lainnya XXX XXX 15 Pendapatan Hibah XXX XXX 16 Pendapatan Dana Darurat XXX XXX 17 Pendapatan Lainnya XXX XXX 18 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (3 s/d 17) XXX XXX ──────────────────────────── 19 Arus Keluar Kas 20 Belanja Pegawai XXX XXX 21 Belanja Barang XXX XXX 22 Bunga XXX XXX 23 Subsidi XXX XXX 24 Hibah XXX XXX 25 Bantuan Sosial XXX XXX 26 Belanja Tak Terduga XXX XXX 27 Bagi Hasil Pajak XXX XXX 28 Bagi Hasil Retribusi XXX XXX 29 Bagi Hasil Pendapatan Lainnya XXX XXX 30 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (20 s/d 29) XXX XXX ──────────────────────────── 31 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi (18 - 30) XXX XXX 32 Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan 33 Arus Masuk Kas 34 Pendapatan Penjualan atas Tanah XXX XXX 35 Pendapatan Penjualan atas Peralatan dan Mesin XXX XXX 36 Pendapatan Penjualan atas Gedung dan Bangunan XXX XXX 37 Pendapatan Penjualan atas Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 38 Pendapatan dari Penjualan Aset Tetap XXX XXX 39 Pendapatan dari Penjualan Aset Lainnya XXX XXX 40 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (34 s/d 39) XXX XXX ──────────────────────────── 41 Arus Keluar Kas 42 Belanja Tanah XXX XXX 43 Belanja Peralatan dan Mesin XXX XXX 44 Belanja Gedung dan Bangunan XXX XXX 45 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 46 Belanja Aset Tetap Lainnya XXX XXX 47 Belanja Aset Lainnya XXX XXX 48 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (42 s/d 47) XXX XXX ──────────────────────────── 49 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan (40 -48) XXX XXX 50 Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan 51 Arus Masuk Kas 52 Pencairan Dana Cadangan XXX XXX 53 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 54 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 55 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 56 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 57 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 58 Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 59 Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 60 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 61 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 62 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 63 Jumlah Arus Masuk Kas (52 s/d 62) XXX XXX 64 Arus Keluar Kas 65 Pembentukan Dana Cadangan XXX XXX 66 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah XXX XXX 67 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 68 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 69 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 70 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 71 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 72 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 73 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 74 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 75 Pemberian Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 76 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (65 s/d 75) XXX XXX ──────────────────────────── 77 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pembiayaan (63 - 76) XXX XXX 78 Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran 79 Arus Masuk Kas 80 Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX ──────────────────────────── 81 Jumlah Arus Masuk Kas (80) XXX XXX ──────────────────────────── 82 Arus Keluar Kas 83 Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX 84 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (83) XXX XXX ──────────────────────────── 85 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Nonanggaran (81 - 84) XXX XXX 86 Kenaikan/Penurunan Kas XXX XXX 87 Saldo Awal Kas di BUD XXX XXX 88 Saldo Akhir Kas di BUD (86+87) XXX XXX 89 Saldo Akhir Kas di Bendahara Pengeluaran XXX XXX 90 Saldo Akhir Kas di Bendahara Penerimaan XXX XXX ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-D PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TANGGAL 3 APRIL 2006 CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN Catatan atas Laporan Keuangan bertujuan untuk menginformasikan pengungkapan yang diperlukan atas laporan keuangan. Sistematika penyusunan Catatan atas Laporan Keuangan adalah sebagai berikut: I. Kebijakan fiskal/keuangan, ekonomi makro, pencapaian target Undang-Undang APBN/Perda APBD. Kebijakan fiskal yang perlu diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan adalah kebijakan-kebijakan pemerintah dalam peningkatan pendapatan, efisiensi belanja dan penentuan sumber atau penggunaan pembiayaan. Misalnya penjabaran rencana strategis dalam kebijakan penyusunan APBN/APBD, sasaran, program dan prioritas anggaran, kebijakan intensifikasi/ekstensifikasi perpajakan, pengembangan pasar surat utang negara. Kondisi ekonomi makro yang pelu diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan adalah asumsi-asumsi indikator ekonomi makro yang digunakan dalam penyusunan APBN/APBD berikut tingkat capaiannya. Indikator ekonomi makro tersebut antara lain Produk Domestik Bruto/Produk Domestik Regional Bruto, pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar, harga minyak, tingkat suku bunga dan neraca pembayaran. II. Ikhtisar pencapaian kinerja keuangan. Ikhtisar pembahasan kinerja keuangan dalam Catatan atas Laporan Keuangan harus:
Menguraikan strategi dan sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan.
Memberikan gambaran yang jelas atas realisasi dan rencana kinerja keuangan dalam satu entitas pelaporan.
Menguraikan prosedur yang telah disusun dan dijalankan oleh manajemen untuk dapat memberikan keyakinan yang beralasan bahwa informasi kinerja keuangan yang dilaporkan adalah relevan dan andal. III. Kebijakan Akuntansi Kebijakan akuntansi memuat:
Entitas pelaporan.
Entitas akuntansi yang mendasari penyusunan laporan keuangan.
Basis pengukuran yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan.
Kesesuaian kebijakan-kebijakan akuntansi yang diterapkan dengan ketentuan-ketentuan eryataan Standar Akuntansi Pemerintahan oleh suatu entitas pelaporan.
Setiap kebijakan akuntansi tertentu yang diperlukan untuk memahami laporan keuangan. IV. Penjelasan atas perkiraan Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Laporan Arus Kas A. Laporan Realisasi Anggaran 1. Pendapatan - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih lebih/kurang antara realisasi dengan anggaran pendapatan. - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih antara pendapatan periode ini dengan pendapatan periode yang lalu. - Penjelasan atas masing-masing jenis pendapatan.
Belanja - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih lebih/kurang antara realisasi dengan anggaran belanja. - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih antara belanja periode ini dengan belanja periode yang lalu. - Penjelasan atas masing-masing jenis belanja.
Transfer - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih lebih/kurang antara realisasi dengan anggaran transfer. - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih antara transfer periode ini dengan transfer periode yang lalu. - Penjelasan atas masing-masing jenis transfer.
Pembiayaan - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih lebih/kurang antara realisasi dengan anggaran pembiayaan. - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih antara pembiayaan periode ini dengan pembiayaan periode yang lalu. - Penjelasan atas masing-masing jenis pembiayaan. B. Neraca Pengungkapan perkiraan-perkiraan neraca:
Aset Lancar Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos aset lancar, seperti Kas di Bendahara Pengeluaran, Kas di Bendahara Penerimaan, dan Piutang.
Investasi Jangka Panjang Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos investasi jangka panjang, seperti Penyertaan Modal Pemerintah, Investasi dalam Obligasi, dan Pinjaman kepada Perusahaan Daerah.
Aset Tetap Untuk seluruh perkiraan yang ada dalam kelompok aset tetap, diungkapkan dasar pembukuannya. Diungkapkan pula (apabila ada) perbedaan pencatatan perolehan aset tetap yang terjadi antara unit keuangan dengan unit yang mengelola/ mencatat aset tetap. Daftar aset tetap juga disertakan sebagai lampiran laporan keuangan.
Aset Lainnya Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos aset lainnya, seperti Tagihan Penjualan Angsuran, Tuntutan Ganti Rugi, dan Kemitraan dengan Fihak Ketiga.
Kewajiban Jangka Pendek Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos Kewajiban Jangka Pendek, seperti Uang Muka dari Kas Umum Negara (KUN), Pendapatan yang Ditangguhkan, Bagian Lancar Utang Jangka Panjang, dan Utang Bunga.
Kewajiban Jangka Panjang Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos Kewajiban Jangka Panjang, seperti Utang Dalam Negeri Obligasi, Utang Dalam Negeri Sektor Perbankan, dan Utang Luar Negeri.
Ekuitas Dana Lancar Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos Ekuitas Dana Lancar, seperti Cadangan Piutang dan Cadangan Persediaan.
Ekuitas Dana Investasi Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos Ekuitas Dana Investasi, seperti Diinvestasikan dalam Investasi Jangka Panjang dan Diinvestasikan dalam Aset Tetap. C. Laporan Arus Kas 1. Arus Kas dari Aktivitas Operasi Menjelaskan arus masuk kas dan arus keluar kas dari aktivitas operasi, seperti Pendapatan Pajak dan Belanja Pegawai.
Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan Menjelaskan arus masuk kas dan arus keluar kas dari aktivitas investasi aset nonkeuangan, seperti Pendapatan Penjualan Aset dan Belanja Aset.
Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan Menjelaskan arus masuk kas dan arus keluar kas dari aktivitas pembiayaan, seperti Penerimaan Pinjaman dan Pembayaran Pokok Pinjaman.
Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran Menjelaskan arus masuk kas dan arus keluar kas dari aktivitas non anggaran, seperti Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga dan Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga. V. Pengungkapan-pengungkapan lainnya Berisi hal-hal yang mempengaruhi laporan keuangan, antara lain:
Penggantian manajemen pemerintahan selama tahun berjalan.
Kesalahan manajemen terdahulu yang telah dikoreksi oleh manajemen baru c. Kontijensi, yaitu suatu kondisi atau situasi yang belum memiliki kepastian pada tanggal neraca. Misalnya, jika ada tuntutan hukum yang substansial dan hasil akhirnya bisa diperkirakan. Kontijensi ini harus diungkapkan dalam catatan atas neraca.
Komitmen, yaitu bentuk perjanjian dengan pihak ketiga yang harus diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan.
Penggabungan atau pemekaran entitas tahun berjalan.
Kejadian yang mempunyai dampak sosial, misalnya adanya pemogokan yang harus ditanggulangi pemerintah g. Kejadian penting setelah tanggal neraca (subsequent event) yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkiraan yang disajikan dalam neraca. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO LAMPIRAN LIHAT FISIK (8 Halaman) LAMPIRAN II-A PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TANGGAL 3 APRIL 2006 PERTUNJUK PENGISIAN FORMULIR LAMPIRAN III Formulir 1.1 ───────────────────────────────────────────────────────────────── No. Header/Kolom Uraian Isian ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1. Header: - Kementerian Diisi dengan nama dan kode Negara/Lembaga kementerian negara/lembaga; - Unit Organisasi Diisi dengan nama dan kode unit organisasi; - Satuan Kerja Diisi dengan nama dan kode satuan kerja; - Fungsi Diisi dengan nama dan kode fungsi; - Sub Fungsi Diisi dengan nama dan kode sub fungsi; - Program Diisi dengan nama dan kode program; - Hasil Program Diisi dengan hasil program, yaitu uraian tentang hasil (outcome) yang menjadi sasaran program; - Lokasi Diisi dengan nama dan kode lokasi (termasuk kode provinsi dan kabupaten/kota). ───────────────────────────────────────────────────────────────── 2. Kolom 1 Diisi dengan kode kegiatan dimaksud ───────────────────────────────────────────────────────────────── 3. Kolom 2 Diisi dengan nama kegiatan dan indikator kinerjanya. a. Kegiatan adalah sekumpulan tindakan pengerahan sumberdaya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumberdaya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa. Contoh Nama Kegiatan: - Pembangunan Jalan - Pembinaan Akuntansi Keuangan Negara b. Indikator Kinerja adalah sesuatu yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan berupa barang atau jasa. Contoh Indikator Kinerja: - Panjang Jalan - Frekuensi Pembinaan ───────────────────────────────────────────────────────────────── 4. Kolom 3 Diisi dengan jumlah anggaran pengeluaran/belanja yang dialokasikan untuk masing-masing kegiatan ───────────────────────────────────────────────────────────────── 5. Kolom 4 Diisi dengan jumlah realisasi pengeluaran/belanja dari masing- masing kegiatan. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 6. Kolom 5 Diisi dengan jumlah atau kuantitas keluaran yang direncanakan (sasaran keluaran) oleh Satuan Kerja untuk masing-masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 7. Kolom 6 Diisi dengan jumlah atau kuantitas keluaran yang telah dicapai oleh Satuan Kerja untuk masing-masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 8. Kolom 7 Diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan. Contoh Satuan Keluaran: - Orang (yang dilayani) - Km (jalan yang yang dibangun) - Buah (Surat ijin yang diterbitkan) ───────────────────────────────────────────────────────────────── 9. Kolom 8 Diisi dengan keterangan yang diperlukan. ───────────────────────────────────────────────────────────────── Formulir 2.1 ───────────────────────────────────────────────────────────────── No. Header/Kolom Uraian Isian ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1. Header: - Kementerian Diisi dengan nama dan kode Negara/Lembaga kementerian negara/lembaga; - Unit Organisasi Diisi dengan nama dan kode unit organisasi; - Fungsi Diisi dengan nama dan kode fungsi; - Sub Fungsi Diisi dengan nama dan kode sub fungsi; ───────────────────────────────────────────────────────────────── 2. Kolom 1 Diisi dengan kode program dan kegiatan dimaksud ───────────────────────────────────────────────────────────────── 3. Kolom 2 Diisi dengan nama program, kegiatan dan indikator kinerjanya. a. Program adalah penjabaran kebijakan kementerian negara/ lembaga dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumberdaya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi kementerian negara/lembaga.
Kegiatan adalah sekumpulan tindakan pengerahan sumberdaya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumberdaya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa. Contoh Nama Kegiatan: - Pembangunan Jalan - Pembinaan Akuntansi Keuangan Negara c. Indikator Kinerja adalah sesuatu yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan berupa barang atau jasa. Contoh Indikator Kinerja: - Panjang Jalan - Frekuensi Pembinaan ───────────────────────────────────────────────────────────────── 4. Kolom 3 Diisi dengan jumlah anggaran pengeluaran/belanja yang dialokasikan untuk masing-masing program dan kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 5. Kolom 4 Diisi dengan jumlah realisasi pengeluaran/belanja dari program dan masing-masing kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 6. Kolom 5 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang direncanakan (sasaran keluaran) oleh unit organisasi untuk masing- masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 7. Kolom 6 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang telah dicapai oleh unit organisasi untuk masing-masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 8. Kolom 7 Diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan. Contoh Satuan Keluaran: - Orang (yang dilayani) - Km (jalan yang yang dibangun) - Buah (Surat ijin yang diterbitkan) ───────────────────────────────────────────────────────────────── 9. Kolom 8 Diisi dengan keterangan yang diperlukan. ───────────────────────────────────────────────────────────────── Formulir 3.1 ───────────────────────────────────────────────────────────────── No. Header/Kolom Uraian Isian ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1. Header: - Kementerian Diisi dengan nama dan kode Negara/Lembaga kementerian negara/lembaga; - Fungsi Diisi dengan nama dan kode fungsi; - Sub Fungsi Diisi dengan nama dan kode sub fungsi; ───────────────────────────────────────────────────────────────── 2. Kolom 1 Diisi dengan Kode program dan kegiatan dimaksud ───────────────────────────────────────────────────────────────── 3. Kolom 2 Diisi dengan nama program, kegiatan dan indikator kinerjanya. a. Program adalah penjabaran kebijakan kementerian negara/ lembaga dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumberdaya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi kementerian negara/lembaga.
Kegiatan adalah sekumpulan tindakan pengerahan sumberdaya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumberdaya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa. Contoh Nama Kegiatan: - Pembangunan Jalan - Pembinaan Akuntansi Keuangan Negara c. Indikator Kinerja adalah sesuatu yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan berupa barang atau jasa. Contoh Indikator Kinerja: - Panjang Jalan - Frekuensi Pembinaan ───────────────────────────────────────────────────────────────── 4. Kolom 3 Diisi dengan jumlah anggaran pengeluaran/belanja yang dialokasikan untuk masing-masing program dan kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 5. Kolom 4 Diisi dengan jumlah realisasi pengeluaran/belanja dari program dan masing-masing kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 6. Kolom 5 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang direncanakan (sasaran keluaran) oleh unit organisasi untuk masing- masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 7. Kolom 6 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang telah dicapai oleh unit organisasi untuk masing-masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 8. Kolom 7 Diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan. Contoh Satuan Keluaran: - Orang (yang dilayani) - Km (jalan yang yang dibangun) - Buah (Surat ijin yang diterbitkan) ───────────────────────────────────────────────────────────────── 9. Kolom 8 Diisi dengan keterangan yang diperlukan. ───────────────────────────────────────────────────────────────── Formulir 1.2 ───────────────────────────────────────────────────────────────── No. Header/Kolom Uraian Isian ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1. Header: - Satuan Kerja Diisi dengan nama dan kode satuan Perangkat Daerah kerja perangkat daerah; - Fungsi Diisi dengan nama dan kode fungsi; - Sub Fungsi Diisi dengan nama dan kode sub fungsi; ───────────────────────────────────────────────────────────────── 2. Kolom 1 Diisi dengan Kode program dan kegiatan dimaksud ───────────────────────────────────────────────────────────────── 3. Kolom 2 Diisi dengan nama program, kegiatan dan indikator kinerjanya. a. Program adalah penjabaran kebijakan kementerian negara/lembaga dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumberdaya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi kementerian negara/lembaga.
Kegiatan adalah sekumpulan tindakan pengerahan sumberdaya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumberdaya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa. Contoh Nama Kegiatan: - Pembangunan Jalan - Penyelenggaraan Kegiatan Dan Usaha Pendidikan Prasekolah Dan Sekolah Dasar c. Indikator Kinerja adalah sesuatu yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan berupa barang atau jasa. Contoh Indikator Kinerja: - Panjang Jalan - Lulusan Sekolah Dasar ───────────────────────────────────────────────────────────────── 4. Kolom 3 Diisi dengan jumlah anggaran pengeluaran/belanja yang dialokasikan untuk masing-masing program dan kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 5. Kolom 4 Diisi dengan jumlah realisasi pengeluaran/belanja dari program dan masing-masing kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 6. Kolom 5 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang direncanakan (sasaran keluaran) oleh unit organisasi untuk masing- masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 7. Kolom 6 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang telah dicapai oleh unit organisasi untuk masing-masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 8. Kolom 7 Diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan. Contoh Satuan Keluaran: - Orang (anak didik yang telah lulus sekolah) - Km (jalan yang yang diperbaiki) - Buah (Surat ijin yang diterbitkan) ───────────────────────────────────────────────────────────────── 9. Kolom 8 Diisi dengan keterangan yang diperlukan, seperti Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan. ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN LIHAT FISIK (1 Halaman) Formulir 2.2 ───────────────────────────────────────────────────────────────── No. Header/Kolom Uraian Isian ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1. Kolom 1 Diisi dengan kode fungsi, sub fungsi, program dan kegiatan dimaksud ───────────────────────────────────────────────────────────────── 2. Kolom 2 Diisi dengan nama fungsi, sub fungsi, program, kegiatan dan indikator kinerjanya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 3. Kolom 3 Diisi dengan jumlah anggaran pengeluaran/belanja yang dialokasikan untuk masing-masing program dan kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 4. Kolom 4 Diisi dengan jumlah realisasi pengeluaran/belanja dari program dan masing-masing kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 5. Kolom 5 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang direncanakan (sasaran keluaran) oleh unit organisasi untuk masing- masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 6. Kolom 6 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang telah dicapai oleh unit organisasi untuk masing-masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 7. Kolom 7 Diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan. Contoh Satuan Keluaran: - Orang (anak didik yang telah lulus sekolah) - Km (jalan yang yang diperbaiki) - Buah (Surat ijin yang diterbitkan) ───────────────────────────────────────────────────────────────── 8. Kolom 8 Diisi dengan keterangan yang diperlukan. ───────────────────────────────────────────────────────────────── PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO LAMPIRAN LIHAT FISIK (4 Halaman) Bidang industri yang dimaksud terdiri dari : ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1. Bidang Perbankan 20. Bidang Usaha Penerbangan 2. Bidang Asuransi 21. Bidang Dok Dan Perkapalan 3. Bidang Pembiayaan 22. Bidang Perkebunan 4. Bidang Konstruksi 23. Bidang Pertanian 5. Bidang Konsultan Konstruksi 24. Bidang Perikanan 6. Bidang Penunjang Konstruksi 25. Bidang Pupuk 7. Bidang Jasa Penilai 26. Bidang Kehutanan 8. Bidang Jasa Lainnya 27. Bidang Kertas 9. Bidang Rumah Sakit 28. Bidang Percetakan Dan Penerbitan 10. Bidang Pelabuhan 29. Bidang Pertambangan 11. Bidang Pelayaran 30. Bidang Energi 12. Bidang Kebandarudaraan 31. Bidang Industri Berbasis Teknologi 13. Bidang Angkutan Darat 32. Bidang Baja Dan Konstruksi Baja 14. Bidang Logistik 33. Bidang Telekomunikasi 15. Bidang Perdagangan 34. Bidang Industri Pertahanan 16. Bidang Pengerukan 35. Bidang Semen 17. Bidang Farmasi 36. Bidang Industri Sandang 18. Bidang Pariwisata 37. Bidang Aneka Industri 19. Bidang Kawasan Industri Masing- masing bidang industri diuraikan Perusahaan Negara/ Daerah yang ada di dalamnya ───────────────────────────────────────────────────────────────── PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO LAMPIRAN VI-A PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TANGGAL 3 APRIL 2006 PERNYATAAN TANGGUNG JAWAB MENTERI/PIMPINAN LEMBAGA/ GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA/KEPALA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH ───────────────────────────────────────────────────────────────── Pernyataan Tanggung Jawab Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah/ Satuan Kerja Perangkat Daerah ... Tahun Anggaran ... sebagaimana terlampir adalah merupakan tanggung jawab kami. Laporan Keuangan tersebut telah disusun berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai, dan isinya telah menyajikan informasi pelaksanaan anggaran dan posisi keuangan secara layak sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. (.....................) ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN VI-B PERNYATAAN TANGGUNG JAWAB MENTERI/PIMPINAN LEMBAGA/ GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ATAS PENGGUNAAN ANGGARAN PEMBIAYAAN DAN PERHITUNGAN ───────────────────────────────────────────────────────────────── Pernyataan Tanggung Jawab Laporan Keuangan atas penggunaan anggaran Pembiayaan dan Perhitungan Tahun Anggaran ... sebagaimana terlampir adalah merupakan tanggung jawab kami. Laporan Keuangan tersebut telah disusun berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai, dan isinya telah menyajikan informasi pelaksanaan anggaran dan posisi keuangan secara layak sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. ─────────────────────────────────────────────────────────────────
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar ...
Pengujian UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara [Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12] ...
Relevan terhadap
(1) Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan cara menjual atau menyewakan Hak Manfaat atas Barang Milik Negara atau cara lain yang sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN. B. Bahwa dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, khususnya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, Pasal 11 ayat (1), Menteri Keuangan setelah meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah Republik Indonesia telah menjaminkan aset negara senilai triliunan rupiah sebagai alas/jaminan ( underlying asset ) penerbitan SBSN Pemerintah Republik Indonesia. C. Bahwa tindakan Pemerintah c.q. Menteri Keuangan tersebut telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia dan pengelola pendidikan tinggi, maupun dan juga merugikan seluruh warga negara Republik Indonesia, karena dengan diberlakukannya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, maka Negara tidak lagi mampu sepenuhnya memberikan jaminan layanan, khususnya layanan di bidang pendidikan tinggi, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang selanjutnya dituangkan secara rinci dalam pasal- pasal sebagai berikut: 9 Pasal 28H ayat (2) ”Setiap warga negara berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai _persamaan dan keadilan”; _ Pasal 34 ayat (3) ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum _yang layak”; _ D. Dengan dalih bahwa pemindahtanganan Barang Milik (Aset) Negara tersebut bersifat khusus, yaitu, antara lain:
penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara;
tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan ( legal title ) Barang Milik Negara; dan (3) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan, sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, Pemerintah telah menganggap tidak melakukan pelanggaran dan merasa bahwa aset yang dijadikan alas penerbitan SBSN tersebut tetap aman di tangan Pemerintah dan bebas dari ancaman (penyitaan) dari pihak lain; Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan bahwa materi muatan dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b; Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah Perubahan Kedua yang disahkan pada tanggal 18 Agustus tahun 2000 Pasal 28H ayat (2).
Menyatakan bahwa materi muatan dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b; Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Demikianlah permohonan Pemohon, kiranya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat segera memeriksa dan memutus yang seadil-adilnya. 10 [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Bukti P-4 : Fotokopi Referensi Surat Kabar Harian Republika tanggal 30 Juni 2009, tanggal 16 November 2009, tanggal 28 November 2009, tanggal 2 Desember 2009;
Bukti P-5 : Fotokopi Akta Notaris Nomor 40, tanggal 16 Januari 1997 tentang Pendirian/Anggaran Dasar Yayasan Patria Artha;
Bukti P-6 : Fotokopi Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 106/D/O/2009, tanggal 21 Juli 2009 tentang Pemberian Ijin Penyelenggaraan Program-Program Baru dan Penggabungan STIE Patria Artha di Makassar Dengan STMIK Boalemo di Makassar Menjadi Universitas Patria Artha di Makassar Diselenggarakan Oleh Yayasan Patria Artha di Makassar;
Bukti P-7 : Surat Kuasa Pemohon kepada Kuasa Hukum bertanggal 1 November 2009;
Bukti P-8 : Fotokopi Berita Acara Pengambilan Sumpah Pengacara Praktek, tanggal 4 Januari 1997 atas nama Muh. Faisal Silenang, SH., dan Berita Acara Pengambilan Sumpah Pengacara Praktek, tanggal 19 Maret 1996 atas nama Said, SH;
Bukti P-9 : Fotokopi Kartu Anggota Peradi atas nama Muh. Faisal Silenang, SH., dan Said, SH; Selain itu, Pemohon juga telah mengajukan dua orang ahli, yaitu Prof. Dr. Muchsan dan Drs. Siswo Sujanto, DEA, yang memberi keterangan di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 16 Februari 2010, sebagai berikut:
Ahli Prof. Dr. Muchsan • Bahwa kalau melihat negara sebagai penguasa, berarti tidak diperbolehkan Negara menggunakan kaidah-kaidah hukum privat/perdata di dalam 11 memperoleh benda-benda tersebut. Misalnya di dalam rangka memperoleh tanah, benda-benda yang berbentuk tanah, negara hanya disediakan empat lembaga hukum, yaitu pencabutan, pembebasan, pelepasan, dan pengadaan yang dasar hukumnya berbeda-beda. Sedangkan untuk benda non tanah, negara disediakan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 dengan pelelangan, dengan penunjukkan langsung atau pengadaan langsung. • Bahwa semangat dari Undang-Undang Dasar 1945, negara dalam hal ini diberi kedudukan sebagai lembaga publik sehingga dalam rangka memperoleh benda itu sebetulnya tertutup menggunakan hukum perdata, karena kalau negara menggunakan hukum perdata maka kedudukan yuridis negara sebagai penguasa bergeser, yaitu dapat menjadi pemilik atau penyewa, atau mungkin pengguna hak pakai dan sebagainya. Dengan demikian dengan semangat tersebut, kalau pasal atau Undang-Undang bertentangan dengan semangat atau jiwa UUD 1945 maka dengan sendirinya merupakan suatu produk hukum yang tidak sesuai dengan semangat atau jiwa Undang-Undang Dasar 1945; • Bahwa terkait dengan Pasal 28H, yang namanya jiwa atau semangat adalah yang menghidupi seluruh pasal demi pasal, sehingga semangat tersebut harus termanifesir di dalam pasal demi pasalnya. Dengan demikian semua pasal yang ada di dalam Undang-Undang Dasar 1945 harus terjiwai dengan semangat ini; • Bahwa sehubungan dengan kerugian secara in concreto , sebagai ahli tidak dapat melihat atau menjabarkannya. Artinya, kerugian secara konkret mungkin kerugian moril atau imateriil dari pihak Pemohon, tetapi segala sesuatu yang bertentangan dengan semangat atau jiwa suatu Undang-Undang ataupun Undang-Undang Dasar itu sudah barang tentu merugikan, artinya mungkin merugikan seluruh bangsa Indonesia. Misalnya kalau semangat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah ekonomi kerakyatan, tetapi dalam kenyataannya ekonomi liberal maka dengan sendirinya akan merugikan seluruh bangsa Indonesia. Tidak hanya individual tetapi merupakan suatu universal dari suatu nation ; • Bahwa bertumpu pada statement saksi maka jika suatu benda negara dibebani dengan hak-hak keperdataan, yang menurut prinsip dalam publik domain tidak diperkenankan sebab ini merupakan suatu benda publik yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Padahal dengan dibebani surat 12 berharga dan sebagainya, yang dasarnya adalah perjanjian maka prinsip tersebut tidak diperkenankan dalam publik domain; • Bahwa menafsirkan Pasal 33 ayat (3) terutama mengenai tanah harus dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960), sebab Undang-Undang tersebut sebagai pelaksana dari Pasal 33 ayat (3), sehingga mestinya Undang-Undang Pokok Pertanahan bukan agraria, sebab kalau agraria maka termasuk pertambangan dan sebagainya; • Bahwa khusus mengenai tanah terdapat beberapa prinsip, pertama , hak menguasai negara ada di atas segala-galanya sehingga meskipun terdapat hak milik perorangan yang penuh, namun tetap dikuasai oleh negara. Kedua , semua benda termasuk tanah itu berfungsi sosial ( vide Pasal 6 UU 5/1960). Sehingga kepentingan umum, kepentingan negara diutamakan dari pada kepentingan individu-individu; • Bahwa mengenai kemanfaatan, seharusnya dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, hal itu sudah final. Artinya, hasil dari penggunaan benda merupakan kepentingan umum yang bermanfaat bagi bangsa atau bagi negara; • Bahwa kata kepentingan umum itu juga include manfaat, kegunaannya untuk bangsa ini, sehingga kalau SBSN akhirnya atau bermuara kepada APBN atau APBD, padahal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sumber keuangan negara di antaranya ada pajak dan sebagainya namun tidak ada kata-kata atau suatu ketentuan SBSN merupakan sumber pendapatan negara. Bisa jadi masuk dalam pendapatan tetapi bukan suatu prinsip sehingga tidak dapat diandalkan sebagai suatu pendapatan yang pasti; • Bahwa kerugian dalam hal ini bukan kerugian perdata, karena peradilan Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan publik bukan peradilan perdata, sehingga masalah kerugian tidak seperti dalam perdata harus jelas moril, imateriil dan sebagainya. Kalau suatu hal yang bertentangan dengan semangat atau jiwa Undang-Undang Dasar maka merugikan seluruh bangsa, terutama untuk generasi penerus, dengan demikian apabila kerugian dijelaskan secara rinci. Hal itu merupakan kerugian dalam privat recht , namun karena Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan publik, maka yang digunakan adalah hukum publik; 13 2. Ahli Drs. Siswo Sujanto, DEA. • Bahwa pemikiran atau konsepsi yang dipahami oleh para pejabat pemerintahan atau oleh para politisi akan berpengaruh terhadap pemikiran/kompetensi dalam penyusunan produk hukum. Terkait dengan itu, pemahaman terhadap konsep peran negara dalam penyusunan produk hukum oleh para pejabat pemerintah maupun para politisi perlu diperjelas; • Bahwa melihat peran dan fungsi kewajiban negara terhadap warga negaranya didasarkan pada dalil atau landasan pemikiran baik filosofis, konsepsi teoritik maupun landasan konstitusional sebagai berikut:
Di dalam landasan filosofis, negara melindungi dan mensejahterakan seluruh rakyatnya. Oleh karena itu, negara harus memiliki sarana yang memadai dan terjamin agar tugas atau fungsi kewajibannya dapat terlaksana dengan baik;
Dalam konsep teoritik tentang negara, terlepas dari sistem ekonomi yang dianut suatu negara yaitu sistem kapitalis yang merupakan perwujudan falsafah liberalisme yang mengutamakan kepentingan individu maupun sistem sosialis yang bersifat etatis dengan menyerahkan semua kekuasaan di bidang perekonomian di tangan Pemerintah, fungsi Pemerintah dalam menjamin terselengaranya kebebasaan maupun kesejahteraan masyarakat adalah sangat penting. Dalam sistem perekonomian kapitalis yang memberikan kebebasaan kepada masyarakat untuk melakukan produksi, konsumsi dan distribusi diperlukan peran Pemerintah untuk melakukan pengaturan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk penyediaan barang-barang yang berupa kebutuhan dasar masyarakat yang kemudian di kenal dengan istilah public goods. Kebutuhan dasar tersebut antara lain adalah perlindungan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, keadilan, pekerjaan umum. Sementara itu, dalam sistem perekonomian sosialis Pemerintah atau negara bersifat omnipoten , artinya fungsi Pemerintah atau negara, bukan hanya terbatas pada penyediaan barang-barang kebutuhan dasar melainkan juga kebutuhan lainnya yang sebenarnya dapat disediakan oleh masyarakat melalui mekanisme pasar;
Bahwa dalam pandangan yang lebih modern sebagaimana disampaikan oleh seorang ahli keuangan negara yaitu Richard Maskrid fungsi Pemerintah melalui kebijakan anggaran belanja negara adalah menjamin 14 keseimbangan dalam pengalokasian sumber daya, menjamin keseimbangan dalam pembagian pendapatan dan kekayaan dan menjamin terselenggaranya stabilitas ekonomi nasional;
Bahwa kalau memperhatikan sistem pemerintahan Indonesia. Peran dan fungsi negara sebagai dikemukakan dalam teori di atas, dengan jelas dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian secara rinci dituangkan dalam berbagai pasalnya yang merupakan suatu landasan konstitusional, antara lain menyatakan, “ kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”, dengan demikian peran atau tugas Pemerintah Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Peran dan fungsi pemerintah atau negara tersebut antara lain tercermin dalam Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945, termasuk setelah dilakukan perubahan; • Bahwa selanjutnya untuk merealisasikan peran dan fungsi Pemerintah, diperlukan adanya jaminan sekurang-kurangnya dalam dua hal, yaitu Pemerintah selaku otoritas dan Pemerintah sebagai individu. Khusus Pemerintah selaku otoritas, pertama , Pemerintah yang menjamin kepentingan masyarakat atau public interest harus memiliki kewenangan secara politik dan hukum untuk dapat menjamin terwujudnya peran dan fungsinya. Kedua , Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat harus memiliki jaminan bahwa asetnya yang merupakan instrumen untuk mendukung terwujudnya peran dan fungsi Pemerintah tersebut selalu aman ditangannya dan tidak mendapat ancaman dari pihak lain; 15 [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Pemerintah yang diwakili oleh Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, menyampaikan keterangan tertulis, sebagai berikut: Sebelum Pemerintah menanggapi permohonan pengujian Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) terhadap Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang diajukan Pemohon, maka Pemerintah perlu menyampaikan sejak awal bahwa permohonan ini sudah seharusnya ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi; Pemerintah bahkan dapat menyatakan bahwa permohonan a quo tidak layak untuk diajukan Pemohon ke Mahkamah Konstitusi, karena Pemohon tidak benar dan tidak tepat dalam menggunakan maupun menuliskan pasal-pasal penguji dalam perkara Constitutional Review ini. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang ditulis dalam permohonan Pemohon yaitu ” Setiap warga negara berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan ”, yang tidak sesuai dengan bunyi teks Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebenarnya yang menyatakan ” Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan ”; Kekeliruan Pemohon berlanjut pada penulisan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang dinyatakannya yaitu ” Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum yang layak ”, yang tidak sesuai dengan teks sebenarnya yaitu ” Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak ”; Pemerintah berpendapat bahwa kesalahan pengutipan bunyi pasal-pasal konstitusi oleh Pemohon ini merupakan kesalahan fatal yang sudah cukup untuk menunjukkan ketidakseriusan Pemohon dalam mengajukan permohonan a quo ; Walaupun persidangan ini didasarkan pada suatu kekeliruan nyata yang dilakukan oleh Pemohon, namun sesuai dengan agenda persidangan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah, Pemerintah tetap serius menanggapi permohonan yang diajukan Pemohon ini, terutama untuk memberikan penjelasan mengenai 16 tidak adanya pertentangan antara UU SBSN dengan UUD 1945, setidak-tidaknya untuk meluruskan kekeliruan pemikiran dan pemahaman Pemohon mengenai penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN); Setelah Pemerintah membaca permohonan Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dianggap telah merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, atau setidak-tidaknya Pemohon mengalami kerugian yang bersifat potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, maka Pemerintah secara tegas menyatakan bahwa permohonan tersebut didasarkan pada alasan yang tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur ( obscuur libel ), utamanya dalam mengkonstruksikan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. Pernyataan Pemerintah di atas didasarkan pada pertanyaan yang harus dijelaskan lebih dahulu mengenai siapa yang sebenarnya dirugikan atas keberlakuan Undang-Undang a quo , khususnya terhadap penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset Surat Berharga Syariah Negara? Apakah hanya Pemohon saja, yayasan yang di ketuainya, dirinya selaku Pembina Universitas Patria Artha Makassar, atau Universitas Patria Artha Makassar? Hal ini perlu dipertanyakan karena Pemohon tidak menjelaskan secara tegas dalam permohonannya tentang siapa yang sebenarnya dirugikan. Dalam permohonannya, Pemohon hanya menjelaskan kedudukan Pemohon selaku perorangan warga negara Indonesia yang bertindak selaku ketua yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, pelatihan, penerapan, dan pengembangan Ilmu Keuangan Negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dengan berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Pemohon tidak dapat menjelaskan dalam permohonannya, underlying asset SBSN yang mana, sebagaimana kriteria berdasarkan Pasal 10 ayat (2) huruf a dan huruf b UU SBSN, yang dipermasalahkannya. Pemohon tidak dapat menerangkan dengan jelas kriteria BMN yang mana dari aset SBSN yang dirasakan merugikan dirinya, karena tentunya harus ada penjelasan yang lebih 17 terperinci dan mendasar dari Pemohon atas adanya kriteria aset BMN berdasarkan huruf a dan huruf b tersebut, apakah mempermasalahkan huruf a dan huruf b, huruf a saja, atau huruf b saja. Namun jika melihat pada hasil sidang panel terdahulu dalam perkara ini, tampaknya Pemohon lebih memfokuskan permohonan pengujian ini pada underlying asset berupa tanah dan/atau bangunan (huruf a saja) yang digunakan sebagai aset SBSN. Seandainya benar quod non Pemohon hanya mempermasalahkan kriteria BMN berdasarkan Pasal 10 ayat (2) huruf a saja, maka permohonan terhadap Pasal 10 ayat (2) huruf b yang diajukan hanya untuk sekedar ikut diuji saja tanpa disertai alasan keberatannya, membuat Pemerintah semakin yakin bahwa permohonan ini patut untuk dinyatakan ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam menjawab permohonan ini, Pemerintah menggunakan teks sebenarnya dari pasal-pasal konstitusi yaitu Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai pasal penguji yang berbunyi: “ Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan ”. Kalau pun Pemohon menggunakan pasal dimaksud dan menyebutkan telah terjadi kerugian yang dialaminya terkait dengan jabatannya selaku pimpinan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan tinggi, maka Pemerintah mempertanyakan maksud Pemohon menggunakan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 ini sebagai dasar baginya untuk mempermasalahkan digunakannya BMN sebagai underlying asset penerbitan SBSN dengan “kemudahan” dan “perlakuan khusus” untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai “persamaan dan keadilan” terhadap peristiwa yang pernah dialami atau yang berpotensi dialami oleh Pemohon terkait dengan BMN yang menjadi underlying asset SBSN. Pemerintah perlu mengutip komentar Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. atas Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 ini yaitu bahwa pasal ini mengatur tentang hak untuk mendapatkan perlakuan yang khusus yang biasa dikenal dengan affirmative action sebagai pengecualian atas ketentuan hak asasi manusia yang antidiskriminasi dengan pertimbangan bahwa orang atau kelompok orang yang bersangkutan berada dalam keadaan yang tertinggal dari perkembangan masyarakat pada umumnya, sehingga kepadanya dibutuhkan tindakan dan kebijakan yang bersifat khusus. 18 Lebih lanjut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. menyatakan bahwa perlakuan yang bersifat khusus ini sebenarnya diskriminatif juga, namun dalam makna yang positif untuk menolong agar yang bersangkutan dapat mengejar ketertinggalan. Diskriminasi dalam kategori ini disebut kategori diskriminasi positif atau biasa dinamakan affirmative action sebagai pelaksanaan affirmative policy . Hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan khusus yang demikian dipandang juga sebagai hak asasi manusia. Mahkamah Konstitusi pun telah berpendapat mengenai adanya affirmative action dalam pertimbangan putusan perkara Nomor 116/PUU-VII/2009 yang mengakui adanya perlakuan khusus bagi masyarakat asli Papua untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dengan cara diangkat, selain melalui proses pemilihan, yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang. Perlakuan khusus ini untuk melaksanakan affirmative policy yaitu pengistimewaan untuk sementara waktu yang memberikan peluang bagi masyarakat asli Papua memiliki wakil di DPRP melalui pengangkatan guna mendorong orang asli Papua untuk terlibat baik dalam pemikiran maupun tindakan bagi kepentingan Provinsi Papua dengan harapan akan terjadi perubahan kualitas orang asli Papua dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Guna memberikan tambahan penjelasan mengenai affirmative action dan __ affirmative policy , Pemerintah dapat menggambarkan usaha untuk pencapaian kesetaraan kesempatan dengan pemberian perlakuan khusus yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang mewajibkan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau Perusahaan Angkutan Umum memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit. Dengan adanya aturan tersebut, Pemerintah berpendapat, sangat berlebihan jika ada orang “normal” yang tidak temasuk ke dalam kategori khusus seperti di atas yang mempermasalahkannya karena merasa haknya terkurangi atau berpotensi terkurangi akibat dibuatnya fasilitas untuk orang-orang khusus 19 tersebut misalnya jalur jalan yang khusus dibuat tidak terjal bagi penyandang cacat pengguna kursi roda. Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat, bahwa selain Pemohon tidak tepat dalam menggunakan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai pasal penguji dalam perkara ini, Pemohon juga tidak dapat menjelaskan perlakuan khusus ( affirmative action ) semacam apa yang diharapkan Pemohon yang telah terkurangi atau berpotensi terkurangi akibat digunakannya BMN sebagai underlying asset SBSN berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. Begitu juga dengan penggunaan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 sebagai pasal penguji yang menyatakan “ Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak ”, karena justru SBSN diterbitkan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) termasuk membiayai pembangunan proyek, yang termasuk di dalamnya, langsung atau tidak langsung, untuk penyediaan fasilitas umum, fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pendidikan. Mengutip komentar Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. atas Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 dapat disampaikan intinya bahwa pada pasal ini terdapat kewajiban Negara, dalam hal bukan hanya Pemerintah (eksekutif) saja, tetapi juga legislatif dan yudikatif untuk memenuhi kewajiban menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas pelayanan umum yang layak. Jika dikaitkan dengan tujuan penerbitan SBSN yang telah disampaikan di atas, Pemerintah jelas telah melakukan salah satu upaya untuk dapat memenuhi kewajibannya dalam menyediakan fasilitas kesehatan, fasilitas pelayanan umum yang layak dengan cara menghimpun dana investor melalui penerbitan SBSN. Dalam kesempatan yang mulia ini, Pemerintah merasa perlu untuk menyampaikan bahwa selama beberapa tahun anggaran terakhir ini, pemenuhan pembiayaan defisit APBN dilakukan melalui penerbitan Surat Berharga Negara yang di dalamnya termasuk SBSN atau Sukuk Negara. Hal ini menunjukkan bahwa peran SBSN sebagai sumber pembiayaan APBN semakin menjadi andalan Pemerintah. Pernyataan Pemerintah ini dapat menjelaskan bahwa penerbitan SBSN dengan menggunakan BMN sebagai underlying asset sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, sehingga menjadi suatu hal yang berlebihan jika Pemohon justru merasa ada kerugian. 20 Terhadap permohonan ini, Pemerintah hanya dapat menduga-duga seandainya benar quod non Pemohon telah mengalami suatu peristiwa berkaitan dengan BMN yang menyebabkannya tidak dapat memanfaatkan BMN, maka hal itu bukanlah alasan yang tepat dan kuat untuk mengajukan permohonan pengujian UU SBSN di Mahkamah Konstitusi, karena bisa jadi peristiwa yang dialami Pemohon hanyalah masalah penerapan peraturan atau ketentuan lain, bukan UU SBSN, khususnya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. Pada penjelasan ini Pemerintah dapat menyimpulkan bahwa Pemohon telah salah dan keliru dalam memahami ketentuan UU SBSN, karena Pemohon telah membaca dan memahami Undang-Undang tersebut tidak menyeluruh, tidak komprehensif, tetapi hanya sebagian-sebagian, parsial. Oleh karena itu, Pemerintah memohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima. Walaupun Pemerintah telah berpendapat bahwa permohonan ini sebagai permohonan yang tidak jelas ( obscuur libel ), namun dalam persidangan yang mulia ini, Pemerintah berkewajiban dan sangat berkepentingan untuk memberikan penjelasan mengenai keberadaan UU SBSN khususnya ketentuan mengenai penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN, agar dapat menjadi sarana pencerahan bagi masyarakat umum yang menyaksikan dan menghadiri persidangan ini, termasuk Pemohon. Sebagai konsep ekonomi yang berbasis syariah, penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara mutlak harus menggunakan underlying transaction yang antara lain dapat berupa jual beli atau sewa menyewa atas “hak manfaat” BMN, jasa ( services ), pembangunan proyek atau objek pembiayaan lainnya. Penggunaan underlying transaction tersebut dimaksudkan agar terhindar dari adanya unsur-unsur (1) Riba , yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang ( money for money );
Maysir , yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan
Gharar , yaitu unsur ketidakpastian terkait dengan penyerahan, kualitas, dan kuantitas. __ Barang Milik Negara (BMN) yang akan digunakan sebagai Aset SBSN dapat berupa tanah dan/atau bangunan termasuk proyek yang akan atau sedang 21 dibangun yang harus memiliki nilai ekonomis, dalam kondisi baik/layak, telah tercatat dalam Dokumen Penatausahaan BMN, bukan merupakan alat utama sistem persenjataan, tidak sedang dalam sengketa, dan tidak sedang digunakan sebagai Aset SBSN dalam penerbitan yang lain. Pembatasan penggunaan BMN yang dapat dijadikan sebagai underlying penerbitan SBSN menunjukkan bahwa Pemerintah sangat selektif dan sangat hati- hati dalam menggunakan BMN tersebut. Di samping itu telah diatur juga dalam UU SBSN, khususnya Pasal 9 ayat (1) bahwa penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN tersebut harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPR. Ini menunjukkan bahwa Pemerintah sangat transparan dan akuntabel dalam penggunaan dan pengelolaan BMN. Penggunaan BMN sebagai aset SBSN dilakukan dengan cara Menteri Keuangan memindahtangankan Hak Manfaat atas BMN, sehingga pemindahtanganan BMN dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan BMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pengertian Hak Manfaat di Indonesia baru dikenal setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Dalam UU SBSN tersebut, Hak Manfaat didefinisikan sebagai hak untuk memiliki dan mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu dilakukan pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut. Dengan kata lain, pada saat dilakukan jual beli atau sewa menyewa atas hak manfaat BMN untuk dijadikan aset SBSN maka tidak ada perpindahan hak kepemilikan ( legal title), sehingga kepemilikan atas BMN tersebut tetap berada pada Pemerintah. Perlu disampaikan pula dalam kesempatan ini bahwa terdapat perbedaan konsep pemindahtanganan berdasarkan UU SBSN dengan UU Perbendaharaan Negara, dimana dalam hal penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN, UU SBSN merupakan lex specialist dari UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Hal ini secara tegas disebutkan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU SBSN bahwa : “ Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. _Sifat pemindahtanganan dimaksud, antara lain: _ 22 (i) Penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang _Milik Negara; _ (ii) _Tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik Negara; _ dan (iii) Tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan .” Penjelasan Pemerintah di atas, yang membandingkan UU SBSN dengan UU Perbendaharaan Negara tersebut adalah sebagai keterangan tambahan yang diharapkan dapat memberikan gambaran dan pemahaman bahwa antara kedua Undang-Undang tersebut tidak terdapat pertentangan sama sekali, khususnya mengenai penggunaan BMN sebagai underlying asset SBSN karena pemindahtanganan yang terjadi adalah pengalihan hak manfaat atas BMN saja yang hanya digunakan semata-mata untuk keperluan penerbitan SBSN, selain juga untuk meluruskan proses Constitutional Review ini karena adanya upaya Pemohon untuk menguji keberadaan UU SBSN yang dipertentangkan terhadap UU Perbendaharaan Negara pada permohonannya, yang seyogianya tidak dilakukan Pemohon di Mahkamah Konstitusi yang mulia ini. Saat ini, penerbitan SBSN terutama dilakukan dengan menggunakan struktur ijarah sale and lease back . Dalam mekanisme penerbitan SBSN dengan akad Ijarah Sale and Lease Back ini, Pemerintah wajib membeli kembali BMN yang telah dijual hak manfaatnya dan dijadikan sebagai aset SBSN, pada saat jatuh tempo atau pada saat terjadi default ( in the event of default ). Dalam hal BMN yang akan digunakan sebagai Aset SBSN sedang digunakan oleh Kementerian atau Lembaga selain Kementerian Keuangan, maka Menteri Keuangan terlebih dahulu memberitahukan kepada Kementerian atau Lembaga pengguna BMN dimaksud. Berdasarkan UU SBSN, Menteri Keuangan diberi kewenangan menggunakan BMN untuk dijadikan sebagai Aset SBSN. Penggunaan BMN sebagai Aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi pengguna BMN untuk tetap menggunakan BMN dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya, sehingga tanggung jawab untuk pengelolaan BMN ini tetap melekat pada instansi pengguna BMN sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Penggunaan BMN sebagai aset SBSN, oleh sebagian masyarakat sering dipahami sebagai jaminan ( collateral) atau gadai. Pemahaman tersebut sangatlah 23 tidak tepat. Pemerintah sejak awal telah dan akan menegaskan kembali bahwa penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN sama sekali tidak pernah ditujukan untuk menjaminkan atau menggadaikan BMN kepada investor. Secara hukum, jaminan adalah perjanjian tambahan yang harus didahului dengan perjanjian utang piutang antara para pihak. Dimana dalam jaminan, salah satu pihak dapat menyita objek jaminan apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian para pihak. Sehingga dalam jaminan ada hak salah satu pihak untuk melakukan penyitaan atas objek penjaminan. Hal ini berbeda dengan penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN yaitu bahwa BMN yang digunakan sebagai aset SBSN atau underlying asset bukanlah sebagai jaminan ( collateral) atau gadai. Hal tersebut sangat jelas diatur dalam perjanjian antara Pemerintah dan Perusahaan Penerbit SBSN bahwa BMN yang dijadikan sebagai aset SBSN tetap berada dalam penguasaan Pemerintah, sehingga tidak akan terjadi peralihan hak kepemilikan ( legal title ) atas BMN tersebut. Hal ini didukung dalam salah satu dokumen hukum penerbitan SBSN , dimana Perusahaan Penerbit SBSN sebagai Wali Amanat memberikan pernyataan sepihak untuk menjual kembali aset SBSN hanya kepada Pemerintah dalam hal Pemerintah gagal bayar ( in the event of default ) atau pada saat SBSN jatuh tempo. Dari pihak Pemerintah, dibuat pula dokumen hukum dimana Pemerintah memberikan pernyataan sepihak untuk membeli kembali aset SBSN pada saat Perusahaan Penerbit menjual aset SBSN tersebut. Dengan penjelasan Pemerintah tersebut di atas, kekhawatiran Pemohon dengan berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN dapat menjadi sebab negara tidak dapat memenuhi hak kontitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia, terutama terhadap BMN yang seandainya benar quod non digunakan oleh Pemohon atau Universitas Patria Artha Makassar dengan meminta pengujiannya terhadap Pasal 28 H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, adalah kekhawatiran Pemohon yang berlebihan saja, tanpa didasarkan pada alasan hukum yang sah. Oleh karena itu, sekali lagi Pemerintah memohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijak menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima. Pemerintah perlu juga mengemukakan bahwa akibat adanya kekeliruan pemahaman terhadap penggunaan BMN sebagai aset SBSN dan adanya 24 pengajuan permohonan uji materiil terhadap Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN akan sangat berdampak negatif terhadap kepercayaan investor, bukan hanya pada SBSN akan tetapi juga terhadap Surat Berharga Negara secara keseluruhan yang selama ini telah terbangun dengan baik. Kepercayaan investor selama ini kepada Pemerintah semakin meningkat, terbukti dari peringkat kredit rating Indonesia mengalami peningkatan. Saat ini rating Indonesia yang dikeluarkan oleh 3 (tiga) lembaga rating internasional masing-masing Moodys: Ba2, Standard &Poor: BB-, dan Fitch: BB+. Ini berarti bahwa posisi rating Indonesia hampir mencapai investment grade . Peningkatan rating tersebut antara lain merepresentasikan adanya perbaikan pengelolaan keuangan publik dan fundamental ekonomi, penurunan rasio utang terhadap PDB, pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah kondisi krisis ekonomi global, dan pengelolaan APBN yang prudent dan kredibel . Lebih lanjut, dampak negatif dari kekeliruan pemahaman terhadap penggunaan BMN sebagai aset SBSN tersebut, dan apabila terjadi pencabutan atas Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN akan dapat berakibat sulitnya Pemerintah untuk memenuhi pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang telah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk di dalamnya biaya pendidikan, kesejahteraan, kesehatan masyarakat, reformasi birokrasi, dan pembangunan infrastruktur. Di samping itu, dengan terhambatnya penerbitan SBSN oleh Pemerintah akibat dipermasalahkannya penggunaan BMN sebagai Aset SBSN, maka akan berdampak pada upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan pasar keuangan syariah di Indonesia. Hal ini mengingat SBSN merupakan instrumen investasi terutama bagi lembaga keuangan syariah seperti perbankan syariah, asuransi syariah dan reksadana syariah. Selain itu, SBSN merupakan sarana yang dapat digunakan untuk menarik investor dari negara- negara Timur Tengah yang sangat membutuhkan instrumen investasi yang sesuai dengan prinsip syariah. Dalam kesempatan ini kiranya Pemerintah juga perlu menyampaikan bahwa sampai saat ini Pemerintah telah menerbitkan Surat Berharga Negara senilai Rp979 triliun, diantaranya SBSN atau Sukuk Negara yang nilainya setara dengan Rp27,54 triliun (termasuk di dalamnya SBSN Valas sebesar USD650 juta), yang 25 dimiliki baik oleh investor dalam negeri maupun luar negeri termasuk investor dari negara-negara Timur Tengah. Apabila permohonan Pemohon tidak ditolak, maka kepercayaan investor akan runtuh, karena penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN dianggap tidak berdasarkan pada ketetapan hukum yang kuat, dan bahkan tidak menutup kemungkinan Pemerintah dapat dianggap default . Jatuhnya kepercayaan investor SBSN akan berimbas pada runtuhnya kepercayaan investor SUN dan pada gilirannya akan menghancurkan nilai SBN yang berjumlah RP979 triliun yang dimiliki oleh investor dalam dan luar negeri, baik investor institusi seperti bank, asuransi, dana pensiun, reksadana, maupun investor individu di tanah air. Situasi ini berpotensi menciptakan cross-default terhadap kewajiban negara lainnya berupa pinjaman luar negeri yang saat ini sekitar Rp640 triliun. Selanjutnya, hilangnya kepercayaan investor SBN dan kreditor pinjaman luar negeri tidak hanya akan menutup akses pembiayaan APBN, tetapi juga awal dari krisis ekonomi dan keuangan dengan magnitude yang sangat besar. Dengan demikian, ketidakpahaman terhadap konsep beberapa ketentuan yang diatur dalam UU SBSN, serta ketidakpekaan Pemohon terhadap situasi sosial politik dalam memunculkan permasalahan tersebut saat ini, sungguh merupakan gangguan yang sangat serius terhadap stabilitas politik dan ekonomi yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia secara keseluruhan. Bahwa kekhawatiran Pemohon akibat dijadikannya BMN sebagai underlying asset SBSN telah dan dapat berpotensi menyebabkan dirinya tidak dapat lagi menikmati atau memanfaatkan fasilitas milik Pemerintah dan Negara Republik Indonesia, seandainya benar quod non terutama yang digunakan oleh Pemohon atau Universitas Patria Artha Makassar, adalah kekhawatiran Pemohon yang berlebihan, tanpa didasarkan pada alasan hukum yang sah. Bahwa penerbitan SBSN yang menggunakan BMN sebagai underlying asset -nya, telah dituangkan dalam UU SBSN maupun berbagai bentuk perikatan (Akad) yang memproteksi beralihnya BMN secara fisik kepada investor, karena yang beralih adalah hak manfaatnya saja dan itupun hanya bersifat sementara, karena hak manfaat yang beralih tersebut akan kembali kepada Pemerintah ketika SBSN jatuh tempo. Berdasarkan ketentuan dalam UU SBSN dan akad-akadnya tersebut, tidak ada kemungkinan bagi investor untuk mengklaim BMN yang 26 dijadikan aset SBSN agar beralih secara fisik kepada investor, bahkan ketika Pemerintah gagal bayar sekalipun. Bahwa berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas, Pemerintah berpendapat tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas keberlakuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, karena kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu. Dengan seluruh uraian yang Pemerintah sampaikan dalam Pendahuluan Keterangan Pemerintah ini, Pemerintah mengharapkan tidak perlu lagi ada alasan untuk meragukan konstitusionalitas dari Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara yang sedang diuji ini, baik secara negatif, yaitu terbukti tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun secara positif, yaitu bahwa pasal-pasal tersebut jelas bertujuan untuk menjalankan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena itu Pemerintah mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan dengan amar:
Menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima;
Menyatakan ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono). [2.4] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Pemerintah mengajukan tiga orang saksi, yaitu Drs. Triantoro, Ir. Hanawijaya, M.M., dan 27 M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M., serta enam orang ahli yaitu K.H. Ma’ruf Amin, Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP., Gahet Ascobat, Farouk Abdullah Alwyni, Ir. Muhammad Syakir Sula, FIS., dan Ary Zulfikar, S.H., yang memberikan keterangan di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 16 Februari 2010, sebagai berikut:
Saksi Drs. Triantoro • Bahwa dasar hukum SBSN adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan beberapa peraturan yang lainnya, termasuk juga Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 4/PMK-08/2009 tentang Pengelolaan SBSN yang berasal dari barang milik negara; • Bahwa Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan telah meyampaikan memberi pemberitahuan atau pro notification, penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset dalam penerbitan SBSN kepada 10 kementerian lembaga, termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-2 94/MK.6 2009 tanggal 2 Oktober 2009, dan selanjutnya Direktur Jenderal Keuangan Negara atas nama Menteri Keuangan telah menyampaikan pemeberitahuan atau notification, penggunaan barang milik negara atau underlying asset, dalam penerbitan SBSN kepada 9 kementrian lembaga termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-19/MK 06/2010 tanggal 2 Februari 2010 antara lain menyatakan bahwa untuk penerbitan SBSN seri IFR 003 dan seri IFR 004 dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 22 KM 08 2009 dan Nomor 23 KMK 08/2009 tanggal 10 November 2009 telah ditetapkan barang negara pada 9 kementrian/lembaga termasuk Depdiknas sebagaimana terlampir menjadi underlying asset penerbitan SBSN. • Bahwa selama BMN dimaksud dipergunakan sebagai aset SBSN, maka pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara dimaksud, sesuai dengan penggunaan awalnya untuk pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, dan tidak dapat melakukan pemindah tanganan kepemilikan atas BMN dimaksud kecuali dikarenakan ada peundang-undangan yang mengharuskan pemindahtanganan tersebut. Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas dapat disimpulkan;
penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan pengalihan status kepemilikan dan atau status pengguanaan atas barang milik negara tersebut maupun perubahan fungsinya; 28 2. barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan permasalahan dari sisi akuntansi mengingat pemilikan milik negara tidak berpindah sehingga tetap tercantum dalam sistem informasi manajemen akuntansi barang kepemilikan negara atau SIMAK BMN atau neraca on balanced dari kementerian pendidikan nasional;
Kementrian Pendidikan Nasional selaku pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara, yang dijadikan sebagai underline asset untuk melaksanakan tugas dan fungsi kementerian pendidikan nasional;
Saksi Ir. Hanawijaya, M.M. • Bahwa saksi selaku Direktur dari Bank Syariah Mandiri yang merupakan bank syariah milik negara terbesar di Indonesia, sangat layak apabila mewakili industri keuangan syariah dan menyambut baik adanya upaya Pemerintah mempercepat peningkatan keuangan syariah di Indonesia. • Bahwa pertumbuhan instrumen sukuk __ dalam negeri yang dikeluarkan oleh perusahaan korporasi sangat lamban. Berdasarkan data olahan departemen keuangan pada tahun 2003, sukuk korporasi hanya berjumlah 6 buah atau senilai 740 miliyar. Hingga Desember 2006, sukuk __ korporasi di Indonesia yang telah diterbitkan berjumlah 17 sukuk __ yang nilainya 2,2 triliun. Sampai 1 Desember 2007, total obligasi syariah dan medium term notes yang diterbitkan sudah mencapai 32 jenis. Di sisi lain, Pemerintah untuk menerbitkan sukuk negara masih terganjal dengan belum adanya regulasi yang mengatur ketentuan tersebut. Padahal sebagai instrumen berbasis syariah, sukuk jelas memiliki tipikal dan aturan yang berbeda dengan surat utang negara biasa. Sampai pada akhirnya diterbitkan UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN yang merupakan pedoman bagi terbitnya sukuk negara sekaligus sebagai instrumen mendorong tumbuhnya investasi bagi investor dan lembaga keuangan syariah; • Bahwa potensi permintaan sukuk Republik Indonesia sebagai instrumen alternatif dalam berinvestasi diprediksi cukup besar. Hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor sebagai berikut;
Indonesia mempunyai jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, yang melakukan penawaran efek syariah masih sangat sedikit. Proporsi atau maisire produk syariah dibanding produk konvensional masih sangat kecil; 29 b. Asumsi permintaan akan instrumen sukuk negara yang masih sangat besar tersebut dibuktikan dengan peningkatan volume pembelian dengan investor. Total volume pemesanan pembelian sukuk ritel SR 001 adalah Rp. 5,556 triliun atau mencapai 313,9% dari target penjualan awal yang disampaikan agen penjual yaitu 1,77 triliun.
Adapun total jumlah pemesanan sukuk negara ritel seri SR 002 yang disampaikan oleh masyarakat melalu 18 agen penjual yang telah ditunjuk oleh Pemerintah adalah sebesar 8 triliun lebih.
Selain itu, terdapat potensi pemesanan pembelian sebesar Rp. 715 miliar. Hal ini telah melampaui kuota penjualan yang diberikan kepada seluruh agen penjual e. Berdasarkan paparan di atas tampak jelas bahwa instrumen sukuk memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan instrumen keuangan syariah di Indonesia. Peran-peran tersebut adalah sebagai motor penggerak syariah di Indonesia adalah bank syariah.
Dengan adanya instrumen sukuk membuat bank syariah lebih termotivasi untuk lebih mengembangkan secara agresif tanpa khawatir terbatasnya instrumen untuk placement apabila terjadi ekses _fund; _ • Bahwa dengan adanya sukuk menambah ragam produk investasi berbasis syariah bagi bank syariah. Saat ini alternatif produk investasi yang sudah ada antara lain Sertifikat Bank Indonesia Syariah atau SBIS, Sertifikat Investasi Mudharah antar bank atau SIMA, reksadana syariah, deposito antar bank syariah; • Bahwa dengan adanya sukuk memperluas dan mendiversikasi basis investor. Catatan saksi, di Bank Syariah Mandiri jumlah nasabah baru yang masuk sebesar 14 ribuan lebih, yang merupakan basis investor baru atau nasabah baru yang menyebabkan dana pihak ketiga Bank Syariah Mandiri melalui tabungan Bank Syariah Mandiri bertambah secara tidak langsung karena hasil dari return sukuk yang dibayarkan Pemerintah melalui BSM itu akan dikreditkan ke tabungan investor-investor tersebut; • Bahwa sukuk memperkuat dan meningkatkan peran sistem keuangan berbasis syariah di dalam negeri. • Bahwa manfaat sukuk bagi lembaga keuangan syariah adalah sukuk merupakan alternatif instrumen kelola likuiditas, yang hanya terbatas SBIS 30 syariah dan sekarang ada tambahan baru sukuk yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Sukuk merupakan alternatif untuk portofolio Yang dimiliki Bank Syariah Mandiri, sukuk memiliki motif investasi antara lain hanya boleh dimiliki oleh bank syariah sampai dengan jangka waktunya, sehingga tidak akan ada unsur spekulatif di dalam. • Sebagai pintu masuk, sukuk bisa juga sebagai pintu masuk yang efektif dalam mempercepat pertumbuhan aset bank syariah yaitu melalui penetrasi kepada masyarakat menengah ke atas yang selama ini menempatkan sebagian dananya melalui surat berharga bank-bank konvensional, sudah ada buktinya tambahan nasabah baru kami yang sebelumnya belum memiliki rekening di bank syariah yang pertama sekitar14 ribuan orang. • Bahwa meningkatnya daya tawar dan reputasi bank syariah di mata masyarakat karena ternyata bank syariah juga memiliki instrumen yang cukup beragam dan sekelas dengan bank konvensional. • Bahwa sukuk meningkatkan fee best income bagi Bank Syariah Mandiri, yaitu Bank Syariah Mandiri sebagai agen dari sukuk ritel mendapatkan fee best income sebesar 650 juta dan terakhir sebagai agen penerbit SR 002 mendapatkan fee best sebesar 495 juta rupiah; • Bahwa Surat SPSR ritel atau sukuk negara ritel adalah salah satu investasi bagi investor atau instrumen pembiayaan APBN bagi Pemerintah. Sama halnya dengan instrumen 001 dan 002 yang diterbitkan pada 2 Agustus 2008. • Bahwa sebagai investor lembaga keuangan syariah. Bank Syariah Mandiri menyadari bahwa underlying transaction yang dilakukan oleh Pemerintah tidak menyebabkan adanya perpindahan dari adanya aset negara itu apabila terjadi Pemerintah gagal bayar.
Saksi M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M. • Bahwa selaku praktisi pengajar keuangan syariah keuangan dan juga selaku investor individu dari sukuk negara yang selama ini mengharapkan adanya instrumen investasi yang dapat memberikan tidak hanya benefit di dunia tetapi juga insya Allah benefit di akhirat, minimal semacam peace of mine atau perasaan yang menenangkan pada saat kita berinvestasi pada instrumen investasi tersebut; 31 • Bahwa keuntungan yang saksi peroleh dalam berinvestasi di sukuk negara khususnya sukuk ritel Republik Indonesia SR 001, antara lain imbal hasil yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah atau dalam hal ini imbal jasanya berdasarkan akad idzharah/sale berdasarkan fatwa MUI Nomor 71 dan Nomor 72 dan juga telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 yaitu tentang Surat Berharga Syariah Negara; • Bahwa sukuk yang dikeluarkan oleh negara relatif aman, karena Republik Indonesia mempunyai reputasi sebagai pembayar utang yang sangat baik dan tidak mengalami default . Khusus untuk Sukuk Ritel Republik Indonesia imbal jasa yang saksi terima sebagai investor dapat diterima setiap bulan; • Bahwa sukuk menjadi instrument investasi yang sangat akuntabel karena dikeluarkan dengan underlaying asset yang transparan sehingga dalam hal pengeluaran sukuk ini menjadi kredibel dimata investor. Sebagai investor saksi sangat memahami bahwa yang dijadilan underlaying dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara adalah berupa hak manfaat dari barang milik negara, sebagai investor saksi akan mendapatkan sejumlah imbalan yang berasal dari penyewaaan kembali hak manfaat aset SBSN kepada Pemerintah yang dituangkan dalam akad ijarah, dan saksi sangat yakin bahwa dana yang diinvestasikan kepada sukuk negara akan aman, bahkan dalam hal misalnya pemerintah gagal bayar atas SBSN yang dimiliki oleh investor maka berdasarkan Undang-Undang SBSN dana tersebut akan disediakan dalam APBN dan investor melalui perusahaan penerbit SBSN sebagai wali amanat atau wakil investor hanya akan menjual aset SBSN kepada Pemerintah sesuai dengan dokumen penerbitan pada saat sukuk negara jatuh tempo; • Bahwa keuntungan dan kemanfaatan yang ada di instrument investasi sukuk negara seharusnya menjadi pendorong bagi masyarakat Republik Indonesia untuk lebih berkeinginan melakukan investasi bagi dirinya dan negaranya bukan malah mempermasalahkan keberadaan sukuk negara;
Ahli KH. Ma’ruf Amin • Bahwa penerbitan sukuk negara sudah lama diinginkan dan dicita-citakan tetapi terkendala ketika itu oleh belum adanya Undang-Undang yang menjadi landasan, yaitu Undang-Undang yang tidak bertentangan dengan Undang- Undang yang ada serta sesuai dengan ketentuan syariah. Akhirnya para ahli hukum nasional dan para ahli syariah berijtihad untuk mewujudkannya dalam 32 rangka membiayai APBN, kemudian lahirlah Undang-Undang SBSN yang di dalamnya tercapailah kesesuaian antara hukum negara dan hukum syariah. Menurut istilah ahli, terdapat persesuaian syara’an waqanunan . Hal tersebut merupakan satu prestasi di bidang hukum yang luar biasa; • Bahwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia memberikan masukan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut dengan menunjuk tim untuk mendampingi. Dewan Syaraiah Nasional juga menunjuk tim untuk duduk dalam Komite Syariah SBSN dan Dewan Syariah Nasional juga mengeluarkan fatwa-fatwa berkenaan dengan SBSN, anatara lain fatwa Nomor 69 tentang surat berharga syariah negara, fatwa Nomor 70 tentang metode penerbitan surat berharga syariah negara, fatwa Nomor 71 tentang sale and lease back , fatwa Nomor 72 tentang surat berharga syariah negara ijarah, sale and lease back , dan setiap Pemerintah menerbitkan SBSN, Dewan Syariah Nasional membentuk tim dalam mendampingi Pemerintah dalam pembuatan skema dan perjanjian yang terkait dengan penerbitan SBSN; • Bahwa Dewan Syariah Nasional juga memberikan pernyataan kesesuian syariah untuk setiap emisi SBSN, untuk memberikan pernyataan ini Dewan Syariah Nasional MUI me review ulang atas sebuah skema dan perjanjian yang telah dipandang final, yaitu melalui akad-akad dalam penerbitan SBSN, dimana barang milik negara tidak akan beralih secara fisik karena yang beralih adalah hak manfaatnya saja itupun hanya bersifat sementara karena hak manfaat yang beralih tersebut akan kembali kepada Pemerintah ketika SBSN jatuh tempo. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk adanya kekhawatiran hilangnya atau lepasnya barang milik negara melalui SBSN;
Ahli Ir. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP. • Bahwa secara umum sukuk yang ada di dunia dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama, adalah sukuk yang berbasis aset riil atau disebut asset base sukuk. Kedua, adalah sukuk yang melekat pada dan dijaminkan oleh asset riel yang disebut sebagai asset back sukuk. • Asset base sukuk, aset riil hanya digunakan untuk membuat struktur transaksi agar sesuai dengan prinsip syariah. Dalam prinsip syariah, setiap transaksi harus memenuhi tiga rukun, yaitu pertama adanya para pihak, kedua, adanya objek transaksi, dalam bahasa Arab disebut ma’kud alaih atau dalam bahasa Inggris disebut underlying asset, juga harga objek dari transaksi tersebut. 33 Ketiga, adanya kesepakatan. Oleh karenanya aset riil yang dijadikan dasar penerbitan sukuk biasanya tidak dijadikan sumber pembayaran dan tidak dijaminkan untuk pembayarannya. Secara lebih formal sukuk didefinisikan sebagai an investment sukuk is a certificate of equal value representing shares in ownership of tangible asset usufruct and services or in the ownership of the asset of particular project or special investment activity. Sedangkan untuk jenis sukuk yang kedua yang disebut sebagai asset back sukuk adalah aset riil yang dipisahkan kepemilikannya kepada special purpose vehicle juga dijadikan sumber pembayaran dan dijaminkan untuk pembayarannya. Perbedaan ini secara teoritis memberikan tingkat risiko yang berbeda. Secara lebih formal asset backed securities didefinisikan sebagai an asset backed security is a security who’s value and income payments are derived from and collateralised or backed by a specified full of underlying asset . • Bahwa dilihat dari sisi risiko investor pada jenis sukuk yang pertama yaitu asset base sukuk sebenarnya mempunyai tingkat risiko yang sama dengan memberikan uang tanpa jaminan aset riil atau disebut sebagai unsecured . Sedangkan investor pada jenis sukuk yang kedua yaitu asset back sukuk mempunyai jaminan atau disebut secured berupa aset riil yang dipisahkan kepemilikannya walaupun di beberapa negara jaminan itu berarti hak tagih atas aset riil bukan hak kepemilikan penuh atas aset riil itu sendiri. Sukuk yang diterbitkan oleh korporasi kadang berupa asset base sukuk dan kadang berupa asset back sukuk . Sedangkan sukuk yang diterbitkan oleh negara sampai saat ini biasanya berupa asset base sukuk.
Ahli Gahet Ascobat • Bahwa dari sisi pasar sukuk global menunjukkan perkembangan cukup signifikan dimulai tahun 2002 pada saat Pemerintah Malaysia pertama menerbitkan sukuk global dalam mata uang US dollar. Mencapai puncaknya pada tahun 2007 dan karena krisis keuangan global pada tahun 2008 mengalami penurunan dan tahun 2009 yang lalu telah mengalami peningkatan lagi yang antara lain alasan peningkatan market sukuk secara global tersebut adalah penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Indonesia selaku pioneer di tahun 2009; • Bahwa di pasar domestik Indonesia pun sukuk telah ada sejak tahun 2002 yang diterbitkan oleh korporasi, dengan berpartisipasinya Pemerintah dalam 34 menerbitkan SBSN di tahun 2008 dan tahun 2009 maka industri ini mendapatkan suplai atau persediaan instrumen syariah yang sangat dinanti- nanti oleh pelaku pasar. • Bahwa beberapa transaksi sukuk yang telah dilakukan di pasar internasional oleh pemerintahan, antara lain Pemerintah Malaysia, Qatar, Dubai, Indonesia, Bahrain, pada tahun 2009 yang lalu terjadi kelebihan permintaan cukup besar dan cukup signifikan yaitu transaksi Pemerintah kita secara global mengalami kelebihan permintaan sebesar 7 kali lipat. Penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Bahrain di tahun 2009 juga mengalami kelebihan permintaan sebanyak 5 kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi investor syariah secara global, permintaan dan kebutuhan atas instrumen ini memang sangat besar dan instrumen ini juga sangat langka tersedia di pasar. Di Indonesia sendiri dari sisi penerbitan sukuk terdapat ukuran yang semakin meningkat dan untuk memenuhi kebutuhan investor yang semakin meningkat pemerintah sudah memberi supply sedemikian besar dan ini juga berhasil diserap oleh pelaku pasar dan investor di Indonesia • Bahwa seluruh transaksi sukuk secara global yang dilakukan oleh pemerintahan di dunia selain di Indonesia yang melakukan penerbitan sukuk global di tahun 2009 yaitu pemerintahan Malaysia Negara bagian di Jerman, Pemerintah Dubay, Pakistan telah melakukan penerbitan sukuk secara global atau berkali-kali dan poin yang penting untuk dicermati disini adalah bahwa dari sisi struktur yang diterapkan oleh berbagai pemerintahan ini nyaris seluruhnya adalah berdasarkan struktur ijarah atau berdasarkan sewa menyewa atas suatu asset, merupakan struktur yang mirip dengan yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia dalam penerbitan SBSN; • Bahwa dalam perkembangan pasar dan perkembangan regulasi, tidak hanya dialami dan dijalankan oleh Pemerintah Indonesia saja tetapi juga di negara- negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Mesir, Turki, Kazastan, Uni Emirat Arab, Pakistan dimana Negara-negara tersebut memang mengembangkan peraturan-peraturan yang akomodatif untuk penerbitan sukuk baik oleh pemerintahan maupun oleh korporasi tetapi di luar negara-negara mayoritas berpenduduk muslim seperti Inggris, Perancis, kemudian Hongkong, Korea, dan Jepang telah atau sedang menyusun perundang-undangan atau perangkat regulasi untuk memfasilitasi kemungkinan pemerintahan atau 35 koperasi di negara masing-masing tersebut untuk dapat menerbitkan instrumen berbasis syariah atau sukuk yang menggunakan atau memerlukan underlying _asset; _ • Bahwa __ transaksi sukuk oleh Pemerintah Indonesia sangat sukses, hal ini menunjukkan sedemikian besarnya animo dari investor seperti transaksi dalam hal mata uang rupiah di tahun 2008, tahun 2009 dan baru-baru ini tahun 2010 melalui sukuk ritel habis diserap investor dan mengalami kelebihan permintaan. Selain itu, transaksi Pemerintah Indonesia dalam mata uang US dolar pun mengalami kelebihan permintaan sebanyak 7 kali, hal ini menunjukkan transaksi tersebut sangat sukses dan diminati oleh investor; • Bahwa salah satu kunci transaksi ini diminati dan diserap habis oleh market dan investor adalah karena struktur yang diterapkan adalah struktur yang diterima secara luas dan merupakan market best practice yang telah dilakukan oleh penerbit-penerbit lainnya sebelum Pemerintah Indonesia, sebagai contoh, struktur sukuk global Pemerintah Indonesia dalam mata uang US dolar adalah sebesar 650 juta pada April 2009, dengan strukturnya secara gambaran umum adalah sebagai berikut:
Pemerintah mengalihkan hak manfaat atas beberapa kantor pemerintahan selaku aset sukuk kepada suatau perusahaan penerbit yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, tidak dimiliki oleh investor asing.
Pemerintah tetap menggunakan aset-aset sukuk tersebut seperti sedia kala tidak ada disruption, tidak ada perubahan karena aset itu langsung disewakan penerbit kepada Pemerintah sejak hari pertama transaksi dilangsungkan dan hal tersebut berlangsung terus sampai dengan sukuk tersebut jatuh tempo.
Sertifikat kepemilikan atau barang-barang milik Negara tersebut tidak berpindah dari Pemerintah dan tidak berpindah ketangan investor asing dalam kasus ini. Pada saat jatuh tempo atau dalam hal terjadi gagal bayar atau wanprestasi dipihak Pemerintah, aset sukuk pun hanya dapat dijual kembali oleh investor atau perusahaan penerbit kepada Pemerintah Indonesia, sehingga tidak ada kondisi hak manfaatnya hilang atau kepemilikannya hilang berpindah dari tangan Pemerintah.
Bahwa pada saat penerbitan, sukuk global mendapat credit rating agency sebagai instrumen yang merefleksikan sebagai risiko kredit dan rating 36 Pemerintah yaitu BA 3 berdasarkan analisa moody’s dan BB- menurut standar S&P dan BB menurut Fitch hal tersebut sama seperti rating Pemerintah Indonesia pada saat itu; • Bahwa transaksi tersebut telah memperoleh begitu banyak penghargaan dari berbagai publikasi internasional atas peranannya dalam berhasil membuka kembali pasar sukuk secara global dan juga memberi contoh bagi negara lain yang sekarang sedang mengembangkan perangkat regulasi untuk juga mengikuti jejak Indonesia dalam mengakses likuiditas yang sangat besar dikalangan investor syariah; • Bahwa dari sisi transaksi sukuk global yang diterapkan oleh Pemerintah Indoneisa, tidak jauh berbeda dengan transaksi sukuk global yang diterapkan oleh pemerintahan lain, antara lain contohnya Pemerintah Malaysia di tahun 2002, Pemerintah Qatar di tahun 2003, Pemerintah Pakistan di tahun 2005. Struktur yang diterapkan persis sama yaitu ijarah ( sale and lease back ) dari sisi Underlying asset , Pemerintah Malaysia menggunakan tanah dan bangunan milik negara yang berlokasi di Kuala Lumpur, Pemerintah Qatar menggunakan tanah yang berlokasi di Doha Qatar, Pemerintah Pakistan menggunakan jalan raya Lahore-Islamabad Motorway, dan Pemerintah kita menggunakan gedung kantor pemerintahan. Penggunaan aset dalam ke empat transaksi sukuk ini juga sama sepenuhnya digunakan oleh kembali oleh Pemerintah, disewakan kembali kepada Pemerintah, sehingga Pemerintah negara-negara masing- masing bisa terus menggunakan, memelihara dan jika perlu mengasuransikan aset sukuk tersebut secara normal; • Bahwa yang terjadi pada saat jatuh tempo atau terjadi Dissolution Event atau gagal bayar atau Interrupted Default dalam keempat transaksi tersebut, maka akan langsung dijual kembali kepada pemerintah negara masing-masing yaitu kepada Malaysia, Qatar, Pakistan dan Indonesia karena feature tersebut tidak ada objek jaminan dan keempat transaksi ini adalah transaksi yang _unsecured; _ 7. Ahli Farouk Abdullah Alwyni • Bahwa ahli melihat dari sisi peranan sukuk negara dalam kaitannya dengan potensi untuk menarik investasi khususnya investasi dari negara Timur Tengah. Ketika berbicara tentang investor Timur Tengah biasanya terfokus pada GCC ( Gulf Cooporation Council ) yang terdiri dari Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab. Negara-negara ini diperkirakan mempunyai 37 reserve sekitar 1,3 Triliun Dollar sebagai hasil dari akumulasi ketika harga minyak naik pada tahun 2003. Pada awalnya negara-negara ini mempunyai tujuan investasi tradisional di Amerika dan di Eropa karena instrumen- instrumen surat berharga di negara Amerika Serikat dan Eropa sudah sedemikian terbangunnya; • Bahwa kebanyakan investor dari Timur Tengah adalah mereka yang mempunyai investasi dalam bentuk Financial Capital , sehingga investasinya mengarah kepada surat-surat berharga. Dengan mulai berkembangnya sistem keuangan islam maka mulai terjadi diversifikasi penempatan dana bukan hanya di pasar tradisional Eropa dan Amerika Serikat tetapi juga di negara-negara mereka sendiri dan terakhir di Malaysia yang cukup aktif untuk mencoba memposisikan diri menjadi Alternative Financial Destination , Alternative Investment Destination bagi negara-negara dari teluk ini. • Bahwa kalau melihat perkembangan keuangan Islam dewasa ini jumlah aset dari Top 500 bank-bank Islam ini mencapai 822 Milyar Dollar pada akhir tahun 2009. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya, pertama, fenomena akumulasi modal di teluk sebagai dampak kenaikan harga minyak yang signifikan, yang terjadi kembali sejak tahun 2003. Kedua , kesadaran keislaman diantara kaum muslimin kelas menengah atas, baik di dunia muslim sendiri ataupun di Eropa dan di Amerika Serikat, dan faktor Eleven September yang dalam beberapa hal menimbulkan kecurigaan di Amerika Serikat terhadap dana-dana yang berasal dari Timur Tengah juga turut memacu keinginan untuk mencari Alternative Investment Destination , sebagai contoh dalam kasus DP World ( Dubai Ports World ) dimana rencana investasi yang tertolak oleh kongres di Amerika Serikat. Hal-hal tersebut menumbuhkan secara bersamaan kebutuhan akan alternatif investasi yang berdampak kepada perkembangan keuangan Islam. Dalam kaitan dengan hal ini, krisis yang terjadi di Amerika dan di negara Eropa pada umumnya diawali pada tahun 2008 juga membuat para investor mencari Alternative Investment Destination bahwa sebenarnya di negara-negara seperti eropa dan Amerika menjadi kondisi-kondisi yang merugikan, sehingga terjadi proses pergerakan kapital ke negara-negara Asia, terutama Malaysia yang cukup proaktif dalam melihat potensi besar dari Sukuk; 38 • Bahwa Malaysia pada tahun 2002 mendapat insentif senilai $600.000.000 dan yang terakhir Malaysia membentuk International Islamic Financial Centre yang banyak memberikan insentif __ untuk perkembangan keuangan Islam, di lain sisi negara-negara yang sebelumnya juga telah menikmati dana dari teluk tersebut, dalam hal ini Inggris misalnya. Berusaha juga mempertahankan kapital-kapital yang telah ada di sana, dan pada satu kesempatan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menyatakan ingin menjadikan London sebagai pusat keuangan Islam di Eropa, selain Inggris juga usaha-usaha dari mayoritas penduduknya bukan muslim, seperti Jerman dan Prancis, dan terakhir yang cukup aktif adalah Hongkong dan Singapura. Singapura bahkan telah membentuk Islamic Bank besar, Islamic Bank of Asia dengan modal $500.000.000, dimana Pemerintah Singapura melalui Development Bank Of Singapura menjadi pemegang saham mayoritas 50 % + 1 saham dan selebihnya ditarik Investor dari Timur Tengah diantaranya dari Bahrain, dan Saudi Arabia. • Bahwa dari uraian di atas, Indonesia sebagai negara yang sedang membangun dan memerlukan pendanaan yang besar, perlu juga melihat potensi ini, terlebih lagi Indonesia negara muslim yang terbesar di dunia. Mengeluarkan sukuk merupakan satu usaha penting dalam rangka menarik Investor Timur Tengah khususnya Negara-negara Teluk. Terlebih lagi model investasi dari Negara- negara Teluk umumnya adalah untuk financial capital atau investasi di pasar modal atau pasar uang. Sukuk global Indonesia pertama yang senilai Rp 650.000.000, yang di keluarkan tahun lalu sekitar 70 % nya diambil oleh Investor Timur Tengah, sehingga terlihat bahwa upaya yang telah dilakukan telah membuahkan hasil; • Bahwa ke depan dengan kebutuhan pembangunan dan lain sebagainya, ini merupakan satu strategi untuk lebih menarik capital ke dalam negeri. Preferensi investor Timur Tengah yang untuk sekarang ini lebih comfortable berhubungan dengan negara atau Badan Usaha Milik Negara dalam hubungan bisnis dengan Indonesia, membuat suatu negara menjadi suatu instrumen efektif untuk menarik dana mereka ke Indonesia. Perkembangan pasar uang dan pasar modal Syariah juga menjadi satu faktor penting dalam menarik Investasi fortfolio dari Negara-negara Teluk. Di samping itu, perlu pula dicatat bahwa pada akhirnya negara bukan hanya berpotensi menarik Investor Timur 39 Tengah, tetapi juga Investor-investor lain seperti dari Amerika sendiri dan Eropa, yang pada kenyataannya menyumbang sekitar 30% dari pembeli sukuk global yang dikeluarkan di Indonesia; • Bahwa sukuk pada hakikatnya dapat menjadi instrumen penarik investasi yang lebih luas dari Conventional Bond menginggat pasar sukuk tidak terbatas dari investor syariah tetapi juga investor konvensional karena sukuk dapat di beli oleh Conventional Investors dan Syariah Investors tetapi Conventional Bond terbatas pada Conventional Investors, jadi mengeluarkan sukuk mempunyai benefit yang berganda; • Bahwa sukuk __ negara dan perkembangan soal keuangan Syariah khusunya lembaga keuangan Syariah. Pasar uang syariah merupakan bagian integral dari berfungsinya sistem perbankan Islam. Pasar uang syariah menyediakan fasilitas pendanaan dan penyesuaian fortofolio dalam jangka pendek, disamping itu instrumen-instrumen keuangan dan investasi antar bank akan memfasilitasi mekanisme transfer dari bank-bank surplus ke bank yang defisit, yang dengan demikian menjadi pendanaan likuiditas yang baik dalam rangka menjaga stabilitas sistem. Salah satu tantangan bagi pengembangan keuangan Syariah, sebagai praktisi, ahli melihat masih terbatasnya instrumen pasar uang syariah, Islamic Money Market Instrument , yang dapat di perjual belikan di pasar sekunder. __ Adanya Sukuk Negara akan sangat bermanfaat bagi pengembangan sistem keuangan di Indonesia yang khususnya bagi lembaga- lembaga keuangan Syariah yang sering membutuhkan Liquid Instrumen untuk penempatan dana berlebih untuk jangak waktu menegah dan panjang. __ • Bahwa usaha untuk mengembangkan keuangan Syariah di Indonesia, yang saat ini masih di bawah 5 % dengan total aset sekitar 6 miliar dollar di quartal ketiga, di bandingkan dengan Malaysia yang diproyeksikan akan mencapai 20% di tahun 2010 dengan total aset mencapai 46 miliar dollar di tahun 2007, perlu disertai dengan rangka pendukung lainnya, yang diantaranya adalah dengan tersedianya instrumen pasar uang syariah yang cukup liquid. Sukuk __ negara dalam hal ini, merupakan satu faktor pendukung yang penting bagi Indonesia untuk terus mengembangkan potensi lembaga keuangan Syariah ini, fungsi penting Sukuk Negara lainnya instrumen ini merupakan salah satu acceptable instrument dapat dijadikan jaminan, untuk mendapatkan hal lain fasility untuk kebutuhan fasilitas pembiayaan perdagangan Internasional dari 40 bank-bank Internasional, sekedar perbandingan sedikit mungkin bahwa Pemerintah Singapura dalam rangka mengembangkan perbankan syariahnya juga telah mengelolakan program sukuk pertamanya senilai $ 134 juta, yang khususnya ditujukan untuk mendukung kebutuhan kelebihan likuiditas. Kesimpulannya adalah bahwa, sukuk negara mempunyai peranan penting, yaitu paling tidak, pertama , dalam menarik financial capital dari luar negeri umumnya dan negara-negara timur tengah khususnya, dalam rangka membiayai program pembangunan negara, dan kedua dalam rangka pengembangan perbankan syariah melalui mekanisme peningkatan likuiditas pasar uang syariah;
Ahli Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ., FIIS. • Bahwa menurut data statistik Desember 2008, masyarakat Indonesia yang 88,22% penduduknya adalah muslim tentu membutuhkan instrumen bisnis dan produk-produk halal yang sesuai dengan syariah, karena itu menjadi kewajiban pemerintah memberikan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat muslim tersebut. Saat ini hampir semua lembaga keuangan syariah sudah ada di Indonesia, mulai dari perbankan, asuransi, reksa dana, obligasi, corporate , sukuk, saham syariah, penjaminan syariah, pegadaian syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah sudah ada di Indonesia. • Bahwa perbankan syariah ada 25 unit usaha dengan 6 bank umum syariah, dengan market share kurang lebih 2,3 %, asuransi sekitar 40 perusahaan asuransi yang telah membuka unit syariah dengan 3 perusahaan penuh kurang lebih market share 2%, reksadana ada sekitar 46 unit dengan market share sekitar 2%, dan seterusnya sampai kepada lembaga keuangan mikro syariah, BPRS ada 159, kemudian baitumaal watambil yang lebih kecil lagi ada sekitar 4000 menyebar di seluruh Indonesia, dan koperasi syariah ada sekitar 300. Peran sukuk terhadap lembaga keuangan syariah ini adalah sebagai pendorong untuk mempercepat proses market share yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia; • Bahwa sebagai instrumen investasi maupun sebagai fee base income, sukuk negara diperlukan untuk instrument fortopolio investasi. Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut yang sangat dibutuhkan masyarakat tentu akan sangat lambat kalau tidak didorong oleh instrumen- instrumen investasi seperti sukuk; 41 • Bahwa di Indonesia saat sekarang ini sebetulnya sudah ada beberapa Undang- Undang untuk syariah selain sukuk atau Undang-Undang SBSN, yaitu Undang- Undang Perbankan Syariah, Undang-Undang Pengelolaan Zakat dan Undang- Undang Wakaf yang kesemuanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan makanan produk halal dan instrument-instrumen bisnis syariah. Bahkan, umat Islam masih membutuhkan sejumlah Undang-Undang lagi yang terkait dengan instrumen syariah. Misalnya, Undang-Undang Asuransi Syariah masih Undang-Undang Penjaminan Syariah, Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro Syariah, dan sebagainya; • Bahwa seperti disebutkan oleh Bapak Adang Dorojatun dari anggota DPR, bahwa lembaga keuangan syariah sudah merupakan instrumen global, bahkan negara-negara yang ada di luar sudah begitu banyak menggunakan konsep syariah, seperti Singapura, negara-negara yang non-muslim, Inggris, Hongkong, mereka ingin menjadi pemilik ekonomi syariah. Oleh karena itu, justru Indonesia seharusnya akan menjadi negara yang terdepan, di dalam mengembangkan konsep ekonomi syariah. Dengan demikian, jika di Indonesia instrumen syariah justru ada yang mempertanyakan atau menggugat, mungkin kita perlu belajar ke negara-negara non-muslim tersebut atau kalau perlu belajar ke negara-negara lain seperti Eropa, bahkan terakhir Rusia juga sudah mulai menggunakan instrumen syariah;
Ahli Ary Zulfikar, S.H. Bahwa terdapat empat hal yang ingin ahli sampaikan, pertama, penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara sesuai dengan Undang-Undang SBSN. Kedua , BMN dalam penerbitan sukuk negara bukan sebagai collateral atau jaminan. Ketiga, dalam hal kondisi event of default oleh Pemerintah dalam pembayaran imbalan maupun nilai sukuk apakah BMN dapat dieksekusi oleh investor? Keempat , dokumen-dokumen yang diperlukan dalam penerbitan sukuk negara. Terhadap keempat hal tersebut, ahli menjelaskan sebagai berikut: Penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara sesuai dengan Undang-Undang SBSN a. bahwa di dalam penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN, SBSN adalah Surat Berharga Negara yang merupakan instrumen pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan bertujuan untuk membiayai APBN yang pada gilirannya 42 akan digunakan juga untuk menyediakan fasilitas yang layak sebagaimana yang diamanatkan di dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
bahwa dasar penerbitan SBSN adalah aset SBSN, yang berupa BMN yang memiliki nilai ekonomis sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 butir 3 dan Pasal 10, Pasal 11 Undang-Undang SBSN juncto Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 69 sampai dengan 72. Artinya, nilai ekonomis atas BMN dijadikan dasar dalam menetapkan nilai nominal sukuk negara;
Bahwa atas penggunaan BMN tersebut juga wajib meperoleh persetujuan dari DPR. Pasal 9 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang SBSN. Dengan demikian, di dalam penggunaan BMN itu sendiri Pemerintah juga mendapatkan persetujuan dari DPR sebagaimana diamanatkan baik di dalam Undang-Undang SBSN maupun Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Mekanisme penggunaan BMN dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas BMN atau cara lain sesuai dengan akad yang digunakan. Penekanan dalam penjualan dan penyewaan adalah, hak manfaat, sebagaimana tadi telah disampaikan oleh Pemerintah bahwa pemindahan BMN dalam konteks aset BMN bersifat khusus. Penjualan dan atau penyewaan dilakukan, pertama , hanya atas hak manfaat, kedua , tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan legal title , ketiga , tidak dilakukan pengalihan fisik BMN sehingga sama sekali tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintah. Hal sebagaimana diatur juga di dalam Penjelasan dalam paragraf 1 Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang SBSN. BMN dalam penerbitan sukuk negara bukan sebagai collateral atau jaminan Mengingat sukuk negara merupakan Surat Berharga Negara maka pembeli sukuk negara (Investor) hanya memegang bukti kepemilikan baik dalam bentuk warkat atau tanpa warkat vide Pasal 2 berikut Penjelasan Undang-Undang SBSN. Investor tidak memegang jaminan kebendaan atas BMN. Investor hanya memiliki bukti kepemilikan Surat Berharga yang pembayarannya dijamin oleh Pemerintah. Merujuk Pasal 49 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang SBSN. Dengan demikian, dalam struktur sukuk negara tidak ada aset SBSN atau BMN yang dijaminkan dalam bentuk jaminan kebendaan, hak tanggungan atau bentuk lainnya gadai dan lain sebagainya kepada investor; 43 Dalam hal terjadi kondisi event of default , Pemerintah wajib menyediakan pembayaran imbalan dan nilai nominal dalam APBN, hal tersebut diatur di dalam Pasal 9 ayat (3) dan Penjelasannya juncto Pasal 12 Undang-Undang SBSN. Dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Perbendaharaan Negara, APBN dalam satu anggaran meliputi salah satu penerimaan yang perlu dibayar kembali baik dalam tahun anggaran bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Artinya, Pemerintah dalam konteks penerbitan SBSN sudah mengalokasikan pembayaran terhadap imbalan maupun nilai nominal apabila jatuh tempo sukuk negara tersebut. Dalam hal terjadinya event of default pemegang sukuk tidak mempunyai hak untuk mengeksekusi asset SBSN, mengingat aset SBSN bukan objek jaminan dan investor tidak memegang hak jaminan kebendaan, sehingga investor hanya dapat menuntut pemerintah untuk membayar kewajiban atas imbalan dan nilai nominal dari sumber-sumber lain dari APBN sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang SBSN. Mekanisme dari pembayaran kembali jika jatuh tempo Pemerintah akan membeli kembali hak manfaat atas aset SBSN yang dijadikan dasar penerbitan dari sumber dana yang dialokasikan dalam APBN. Hal tersebut diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang SBSN; Dokumen-dokumen yang akan disiapkan dalam penerbitan Surat Berharga Syariat Negara. SBSN yang pernah diterbitkan oleh Pemerintah adalah SBSN ijarah sale and lease back . Terdapat tiga transaksi, yaitu:
Antara Pemerintah dengan perusahaan penerbit SBSN Indonesia, Perusahaan penerbit SBSN Indonesia adalah perusahaan yang didirikan berdasarkan PP Nomor 57 Tahun 2008, menandatangani suatu perjanjian jual beli akad bai’ atas hak manfaat BMN dari Pemerintah selaku penjual kepada perusahaan penerbit SBSN Indonesia selaku pembeli. Perusahaan penerbit SBSN adalah perusahaan yang didrikan oleh Pemerintah, dimana Pemerintah menjual hak manfaat atas BMN kepada perusahaan penerbit SBSN Indonesia.
Perusahaan penerbit SBSN menerbitkan Surat Berharga Syariah Negara sebagai bukti atas bagian pernyataan terhadap asset SBSN. Dengan demikian dari dasar nilai ekonomis terkait dengan BMN itu dijadikan dasar dalam penerbitan sukuk nilai nominal sama dengan nilai aset BMN. Dalam transaksi kedua adalah pembayaran imbalan dan/atau nilai nominal atas SBSN kepada 44 pemegang SBSN, investor, dari pembayaran imbalan ijarah oleh Pemerintah untuk pembayaran imbalan dan pada saat jatuh tempo untuk pembayaran nilai nominal;
Pada saat yang bersamaan juga antara perusahaan penerbit SBSN dan Pemerintah menandatangani suatu perjanjian sewa meyewa, akad ijarah, dimana Pemerintah menyewa aset SBSN kepada perusahaan penerbit SBSN Indonesia untuk digunakan dalam menjalankan kegiatan umum pemerintahan dan/atau untuk kepentingan Pemerintah. Pemerintah selaku penyewa aset SBSN juga melakukan fungsi perawatan dan pengelolaan atas aset SBSN berdasarkan perjanjian pengeloalaan aset. Sehingga pada saat awalnya transaksi pertama dilakukan akad bai’ pada saat yang bersamaan juga dilakukakan perjanjian sewa menyewa, akad ijarah. Dalam transaksi yang ketiga adalah adanya satu dokumen yang memuat pernyataan untuk menjual yang dibuat oleh perusahaan penerbit SBSN dan pernyataan membeli yang dibuat oleh Pemerintah jika SBSN jatuh tempo atau buy back . Pemerintah akan membeli kembali aset SBSN dari perusahaan penerbit SBSN dan perusahaan penerbit SBSN hanya akan menjual asset tersebut kepada Pemerintah. Sehingga pada saat kemudian sukuk itu jatuh tempo otomatis aset BMN tersebut akan kembali kepada Pemerintah. Kesimpulannya adalah dalam skema sukuk, aset SBSN hanya digunakan sebagai underlying asset atau dasar penerbitan SBSN kepada investor. Artinya adalah nilai-nilai nominal sukuk yang akan diterbitkan minimal sama dengan nilai secara ekonomis atas hak manfaat aset BMN. • Kesimpulan:
Bahwa penjualan dan/atau penyewaan atas aset SBSN hanya hak atas manfaat tidak ada pemindahan hak milik legal title dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga tidak mengganggu fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah.
Bahwa aset SBSN berupa BMN bukan merupakan objek jaminan kebendaan atau collateral k arena bentuknya bukan perjanjian utang piutang.
Bahwa pemegang pemilik SBSN atau investor tidak mempunyai hak eksekusi atas BMN karena tidak mempunyai hak jaminan kebendaan atas BMN. Sehingga dalam hal terjadi default tidak akan mempengaruhi status 45 BMN serta mengganggu fungsi penyelenggaraan pemerintahan terkait dengan BMN tersebut.
Struktur skema sukuk adalah dalam bentuk jual beli atas hak manfaat dengan undertaking untuk menjual atau membeli kembali atas hak manfaat BMN antara Pemerintah dengan perusahaan penerbit SBSN Indonesia; [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat, menyampaikan keterangan tertulis, sebagai berikut: A. KETENTUAN PASAL UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA (SBSN) YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD TAHUN 1945. Pemohon dalam Permohonan a quo mengajukan permohonan pengujian atas Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN, yang menyatakan: Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b: (1) Barang Milik Negara dapat digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN yang untuk selanjutnya Barang Milik Negara dimaksud sebagai aset SBSN. _(2) Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: _ _a. tanah dan/atau bangunan; _ _b. selain tanah dan/atau bangunan; _ Pasal 11 ayat (1): (1) Penggunaan Barang Milik Negara sebagai aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas barang milik negara atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN. Pemohon beranggapan ketentuan pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. 46 B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 10 AYAT (1) DAN AYAT (2) HURUF A DAN HURUF B, SERTA PASAL 11 AYAT (1) UU SBSN. Pemohon dalam permohonan a quo , mengemukakan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (2) telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1), yaitu sebagai berikut:
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 3 beranggapan, bahwa ketentuan pasal-pasal Undang-Undang a quo nyata terlihat akan menimbulkan potensi kerugian konstitusional yaitu apabila dalam jangka waktu sebagaimana dijaminkan aset SBSN oleh Pemerintah kepada pihak tertentu gagal bayar (default), maka pada saat itu berarti objek tersebut akan dikuasai oleh pihak ketiga (pemegang gadai) objek jaminan Pemerintah. Sehingga beralihnya objek jaminan ini menimbulkan kerugian yang nyata bagi Pemohon berupa tidak dapat lagi memanfaatkan fasilitas umum tersebut yang merupakan publik domain . Oleh karena menurut Pemohon barang milik negara sebagai dasar penerbitan SBSN adalah barang yang diperuntukan untuk umum dan dimasukkan dalam publik domain, dimana tidak dapat dijadikan objek perdagangan.
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 3 juga mengemukakan dengan digunakannya barang milik negara sebagai dasar penerbitan SBSN berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan, dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas barang milik negara atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN, maka hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon selaku warga negara Indonesia terhadap objek jaminan barang milik negara tersebut sudah hilang untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna memperoleh persamaan dan keadilan. __ C. KETERANGAN DPR. Terhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo pada kesempatan ini DPR dalam penyampaian 47 pandangannya terlebih dahulu mengenai kedudukan hukum (legal standing) sebagai berikut:
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon a. Bahwa dalam permohonan halaman 2, Pemohon adalah sebagai perorangan WNI sebagai Ketua Yayasan Patria Artha yang mengkhususkan kegiatannya di bidang pendidikan, pelatihan, penerapan, dan pengembangan ilmu keuangan negara di Republik Indonesia, merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dengan berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN;
Bahwa mencermati dalil-dalil Pemohon dan permohonan a quo DPR berpandangan sesungguhnya permohonan Pemohon tidak menunjukan dan membuktikan secara konkrit dan nyata adanya kerugian konstitusional yang spesifik ataupun kerugian konstitusional yang potensial, namun yang terurai hanya anggapan dan tafsir dari Pemohon sendiri, bahwa menurut penalaran yang wajar kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon sesungguhnya belum dipastikan terjadi. Karena itu DPR berpandangan permohonan Pemohon mengenai kerugian konstitusional yang didalilkan tidak spesifik, tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur (obscuur libels) ;
Bahwa walaupun Pemohon sebagai subjek hukum berkedudukan selaku perorangan WNI sesuai dengan Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, namun tentu terlebih dahulu perlu dipertanyakan, apakah benar Pemohon sebagai perorangan warga negara yang merasa dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, karena Pemohon dalam permohonannya tidak menguraikan secara spesifik, terinci dan konkrit mengenai aset barang milik negara, apakah tanah dan/atau bangunan, ataukah selain tanah dan/atau bangunan yang merugikan diri Pemohon yang dikarenakan barang milik negara tersebut menjadi objek jaminan yang digunakan sebagai aset SBSN? d. Bahwa atas dasar permohonan yang obscuur libels tersebut, dan seandainya terjadi peristiwa sebagaimana yang didalilkan Pemohon, maka DPR berpandangan bahwa hal ini bukan persoalan 48 konstitusionalitas norma Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN, tetapi merupakan persoalan penerapan normanya, karena tidak terdapat causal verband yang nyata dan serta-merta oleh berlakunya ketentuan pasal-pasal Undang-Undang a quo mengakibatkan kerugian konstitusional bagi diri Pemohon;
Bahwa terhadap dalil-dalil Pemohon a quo, DPR berpandangan bahwa meskipun Pemohon memiliki kualifikasi sebagai subjek hukum dalam permohonan a quo sesuai Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, namun merujuk batasan kerugian konstitusional yang dibatasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-V/2007), Pemohon dalam permohonan a quo tidak membuktikan secara actual kerugian konstitusional dan kerugian potensial, serta tidak terdapat causal verban d antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan ketentuan pasal Undang-Undang a quo yang dimohonkan pengujian. Berdasarkan uraian-uraian di atas maka DPR berpandangan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi batasan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu, karena itu sudah sepatutnya apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia secara bijaksana menyatakan Permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, selanjutnya bersama ini disampaikan keterangan DPR RI atas Pengujian Materiil Undang-Undang a quo 2. Pengujian Materiil atas Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. Terhadap pandangan-pandangan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo , pada kesempatan ini DPR RI ingin menyampaikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa konsep keuangan islam (Islamic finance) secara bertahap mulai diterapkan oleh beberapa negara di kawasan Timur Tengah pada 49 periode tahun 1960-an, yang terus berkembang dan diadopsi tidak hanya oleh negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, melainkan juga oleh berbagai negara di kawasan Asia dan Eropa. Untuk mendukung perkembangan keuangan Islam tersebut telah didirikan berbagai lembaga keuangan syariah dan diterbitkan berbagai instrumen keuangan berbasis syariah. Selain itu juga telah dibentuk lembaga internasional untuk merumuskan infrastruktur sistem keuangan Islam, yaitu International Islamic Financial Market (IIFM), Islamic Financial Services Board (IFSB), Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) dan telah pula didirikan lembaga Rating Islam.
Bahwa konsep keuangan Islam didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan, karena itu instrumen keuangan Islam senantiasa selaras dan memenuhi prinsip-prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat. Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur : (1) Riba yaitu unsur bunga; (2) Maysir yaitu unsur spekulasi; (3) Gharar yaitu unsur ketidakpastian. Karakteristik lain dari instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung (undelying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi keuangan konvensional pada umumnya.
Bahwa secara filosofis pengembangan instrumen yang berbasis syariah perlu segera dilaksanakan selain untuk mendukung pemanfaatan aset negara secara efisien dan untuk mendorong terciptanya sistem keuangan yang berbasis di dalam negeri, juga untuk memperkuat basis sumber pembiayaan anggaran negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Bahwa salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah, atau dikenal secara internasional dengan istilah Sukuk. Instrumen keuangan ini pada prinsipnya sama seperti surat berharga konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan sebagai pengganti bunga, 50 adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) atas sejumlah tertentu aset sebesar nilai nominal Sukuk yang diterbitkan dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-pinsip syariah. Aset yang dapat digunakan di dalam transaksi tersebut merupakan barang milik negara (BMN).
Bahwa secara sosiologis pembiayaan keuangan negara melalui penerbitan surat berharga oleh Pemerintah berupa Sukuk negara mempunyai implikasi yang luas terhadap pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi, antara lain melalui penciptaan good governance di sektor publik. Dalam hal ini perdagangan Sukuk di pasar keuangan syariah akan memfasilitasi terselenggaranya pengawasan secara langsung oleh publik atas kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan.
Bahwa secara yuridis instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan instrumen keuangan konvensional, sehingga perlu pengelolaan dan pengaturan secara khusus, baik yang menyangkut instrumen maupun perangkat hukum yang diperlukan untuk mengatur Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Bahwa terkait dengan dalil Pemohon yang dikaitkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara khususnya Pasal 49 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 50 huruf d, DPR berpandangan bahwa perlu adanya pemahaman tentang kepemilikan atas hak manfaat (beneficial ownership) dan juga kepemilikan hukum (legal ownership) atas suatu aset yang dikenal dalam konsep trust. Hal tersebut mengingat pemindahtanganan barang milik negara (BMN) dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan proses pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Bahwa dalam penerbitan SBSN, proses transaksi aset barang milik negara tersebut adalah sebagai berikut: Ø Penjualan/penyewaan BMN hanya atas hak manfaat BMN, tidak disertai dengan pemindahan hak kepemilikan _(legal title); _ 51 Ø Pemerintah akan menyewa kembali BMN dari Special Purpose Vehicle (SPV)/perusahaan penerbit; Ø Tidak terjadi pengalihan fisik BMN sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas pemerintahan; Ø Tidak terdapat permasalahan dari sisi akuntansi mengingat hak kepemilikan atas BMN tidak berpindah sehingga tetap on balance _sheet; _ Ø Pada saat jatuh tempo SBSN atau dalam hal terjadi default, aset SBSN akan tetap dikuasai oleh Pemerintah, karena dalam penerbitan SBSN ada dokumen purchase undertaking yaitu Pemerintah wajib membeli kembali, membatalkan sewa atas aset SBSN dan dokumen sale undertaking yaitu SPV wajib menjual aset SBSN kepada pemerintah sebesar nilai nominal SBSN;
Bahwa hal tersebut juga sudah diuraikan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang a quo .
Bahwa mencermati dalil-dalil Pemohon menunjukan bahwa Pemohon perlu memahami Undang-Undang a quo secara komprehensif dan tidak hanya memahami secara parsial atau sebagian-sebagian, sehingga menimbulkan pemahaman yang keliru terhadap pemahaman tentang penggunaan BMN sebagai aset SBSN, padahal dalam Undang-Undang a quo sudah diatur juga antisipasi apabila terjadi peristiwa default sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang a quo yang memberikan kewenangan kepada Menteri selaku pemerintah untuk membeli kembali aset SBSN, membatalkan akad sewa, dan mengakhiri akad penerbitan SBSN lainnya pada saat SBSN jatuh tempo.
Bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang a quo yang terkait dengan aset SBSN tersebut telah dibahas dan disetujui dalam Rapat Panitia Kerja Ke-4 tanggal 15 Maret 2008.
Bahwa terkait dengan penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN hanya terbatas pada penggunaan hak manfaat (beneficial title) bukan pemindahan hak kepemilikan (legal title) . Hal ini __ terdapat dalam tanggapan Fraksi-Fraksi di DPR dalam Rapat Kerja Komisi XI pada tanggal 4 Juli 2007 antara lain: 52 1. “...dalam transaksi SBSN tidak terjadi pemindahtanganan BMN secara fisik kepada pihak lain, sehingga tidak terjadi perubahan kepemilikan (legal title). Hal ini perlu dijelaskan dan dijabarkan dengan lebih terperinci dan memerlukan ketentuan yang mengatur sekuritisasi dan pengaturan sub-lease dari investor kepada pemerintah dikarenakan status pemerintah merupakan (beneficial title) penerbit (issuer) ”. 2. “…juga sepakat bahwa penggunaan BMN tersebut dalam penerbitan SBSN hanya terbatas pada penggunaan hak manfaat saja, sehingga tidak terjadi pemindahtanganan BMN secara fisik kepada pihak lain“. 3. “…Penggunaan BMN sebagai underlying asset dalam penerbitan SBSN perlu dicarikan formula yang paling optimal, dengan rambu- rambu yang jelas dan terukur”. m. Tanggapan Fraksi sebagaimana dimaksud di atas, juga disampaikan dalam Rapat Paripurna tanggal 9 April 2008 pada saat penyampaian Pendapat Akhir Fraksi-Fraksi di DPR sebagai berikut:
“ Penggunaan BMN sebagai underlying dijelaskan dalam RUU SBSN hanya terbatas pada penggunaan hak manfaat (beneficial title). __ Dengan demikian dalam transaksi SBSN tidak terjadi pemindahtanganan BMN secara fisik kepada pihak lain, sehingga tidak terjadi perubahan kepemilikan (legal title).” 2. “Terkait dengan aset yang akan dijadikan penjamin, maka perlu diperhatikan mengenai kebijakan aset yang dijaminkan tersebut. Sehingga sampai dengan masa jatuh tempo SBSN tersebut besaran aset yang dijaminkan tidak lepas dari tangan pemerintah. Untuk itu peranan perusahaan penerbit SBSN dan juga koordinasi yang kuat antara kementerian terkait dengan masalah pengelolaan tersebut, perlu diperkuat sehingga tidak menimbulkan masalah di masa yang akan datang”. Bahwa berdasarkan pada pandangan-pandangan tersebut, DPR berpendapat bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. 53 Dengan demikian DPR memohon kiranya Ketua/Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak– tidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menyatakan Keterangan DPR dikabulkan untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Menyatakan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.6] Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 Februari 2010, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa isu hukum utama permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian materiil terhadap Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852, 54 selanjutnya disebut UU 19/2008) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan Pokok Permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut:
kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan _a quo; _ b. kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon; __ Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang disebutkan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian Undang-Undang in casu UU 19/2008 terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan _a quo; _ Kedudukan hukum ( legal standing ) __ Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat bertindak sebagai pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; 55 b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) __ Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut: [3.7.1] Bahwa Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai dosen dan Ketua Yayasan dan Pembina Universitas Patri Artha Makassar sebagaimana dibuktikan dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk milik Pemohon dan Akta Pendirian/Anggaran Dasar Yayasan “Patri Artha”, bertanggal 14 Januari 1997 Nomor 40, oleh Sitske Limowa, S.H., Notaris di Ujung Pandang/Makassar; 56 [3.7.2] Bahwa sebagai perorangan warga negara Indonesia, Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, yaitu hak atas kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan [Pasal 28H ayat (2) UUD 1945]; [3.7.3] Bahwa hak konstitusional Pemohon dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 tersebut dirugikan oleh berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, dan Pasal 11 UU 19/2008; __ [3.8] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU MK dan syarat kerugian seperti termuat dalam paragraf [3.5] dan paragraf [3.6] , dihubungkan dengan dalil kerugian para Pemohon dalam paragraf [3.7] , Mahkamah berpendapat, prima facie Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang a quo ; [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, serta memutus permohonan a quo , dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.9] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, dan Pasal 11 UU 19/2008 yang menyatakan: “Pasal 10 1 __ Barang Milik Negara dapat digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN, yang _untuk selanjutnya Barang Milik Negara dimaksud disebut sebagai Aset SBSN; _ 2 _Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: _ __ a. tanah dan/atau bangunan, dan __ b. selain tanah dan/atau bangunan, Pasal 11 1 Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan cara menjual 57 atau menyewakan Hak Manfaat atas Barang Milik Negara atau cara lain yang _sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN”; _ yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, __ dengan alasan-alasan hukum sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 UU 19/2008 telah menghilangkan hak konstitusional Pemohon atas tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan, untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan;
Apabila dikaitkan dengan tanggung jawab negara untuk menyediakan fasilitas pelayanan umum yang layak, rumusan pasal yang dimohonkan pengujian justru memberikan kewenangan kepada Menteri untuk menjual atau menyewakan hak manfaatnya atau cara lain yang sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN);
Barang Milik Negara sebagai dasar penerbitan SBSN adalah publik domain yang diperuntukkan untuk kepentingan umum sehingga tidak dapat dijadikan objek perdagangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (4) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan, “Barang Milik Negara/Daerah dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada Pemerintah Pusat/Daerah, dan ayat (5) “Barang Milik Negara/Daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman” ; [3.10] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-9, dan dua orang ahli yaitu Prof. Dr. Muchsan dan Drs. Siswo Sujanto, DEA., yang didengar keterangannya di bawah sumpah, selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut: Ahli Prof. Dr. Muchsan • Semangat dari UUD 1945 adalah negara diberi kedudukan sebagai lembaga publik sehingga dalam rangka memperoleh benda, negara tertutup menggunakan hukum perdata, karena kalau negara menggunakan hukum perdata maka kedudukan yuridis negara sebagai penguasa bergeser, yaitu dapat menjadi pemilik atau penyewa, atau mungkin pengguna hak pakai dan 58 sebagainya, sehingga kalau pasal atau Undang-Undang bertentangan dengan semangat atau jiwa UUD 1945 maka dengan sendirinya merupakan suatu produk hukum yang tidak sesuai dengan semangat atau jiwa UUD 1945; • Terkait dengan Pasal 28H UUD 1945, yang disebut jiwa atau semangat adalah yang menghidupi seluruh pasal demi pasal, sehingga semangat tersebut harus termanifesir di dalam pasal demi pasalnya. Dengan demikian semua pasal yang ada di dalam UUD 1945 harus terjiwai dengan semangat ini; • Sehubungan dengan kerugian secara in concreto , sebagai ahli tidak dapat melihat atau menjabarkannya. Artinya, kerugian moril atau imateriel dari pihak Pemohon, tetapi segala sesuatu yang bertentangan dengan semangat atau jiwa suatu Undang-Undang ataupun UUD sudah barang tentu merugikan dalam arti merugikan seluruh bangsa Indonesia. Misalnya kalau semangat di dalam UUD 1945 adalah ekonomi kerakyatan, tetapi dalam kenyataannya ekonomi liberal maka dengan sendirinya akan merugikan seluruh bangsa Indonesia; • Bertumpu pada statement saksi maka jika suatu benda negara dibebani dengan hak-hak keperdataan, menurut prinsip dalam publik domain adalah tidak diperkenankan karena merupakan suatu benda publik yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; • Menafsirkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terutama mengenai tanah harus dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960), sebab Undang-Undang tersebut adalah sebagai pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sehingga namanya seharusnya Undang- Undang Pokok Pertanahan bukan Undang-Undang Pokok Agraria, sebab kalau agraria maka termasuk pertambangan dan sebagainya; • Khusus mengenai tanah terdapat beberapa prinsip, pertama , hak menguasai negara ada di atas segala-galanya sehingga meskipun terdapat hak milik perorangan yang penuh, namun tetap dikuasai oleh negara. Kedua , semua benda termasuk tanah adalah berfungsi sosial ( vide Pasal 6 UU 5/1960), sehingga kepentingan umum atau kepentingan negara lebih diutamakan daripada kepentingan individu-individu; • Mengenai kemanfaatan, seharusnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, hasil dari penggunaan benda merupakan kepentingan umum yang bermanfaat bagi bangsa atau bagi negara; 59 • Kata kepentingan umum juga include manfaat, kegunaannya untuk bangsa ini, sehingga kalau SBSN akhirnya bermuara kepada APBN atau APBD, padahal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sumber keuangan negara di antaranya ada pajak dan sebagainya namun tidak ada kata-kata atau suatu ketentuan SBSN merupakan sumber pendapatan Negara. Bisa jadi masuk dalam pendapatan negara tetapi bukan suatu prinsip sehingga tidak dapat diandalkan sebagai suatu pendapatan yang pasti; • Kerugian dalam konteks ini adalah bukan kerugian perdata, karena peradilan Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan publik, sehingga masalah kerugian tidak seperti dalam perdata harus jelas moril, imateriel dan sebagainya. Kalau suatu hal yang bertentangan dengan semangat atau jiwa UUD maka merugikan seluruh bangsa, terutama untuk generasi penerus. Dengan demikian apabila kerugian dijelaskan secara rinci, menurut ahli, hal itu merupakan kerugian dalam privat recht ; Ahli Drs. Siswo Sujanto, DEA. • Melihat peran dan kewajiban negara terhadap warga negaranya didasarkan pada dalil atau landasan pemikiran baik filosofis, konsepsi teoritik maupun landasan konstitusional sebagai berikut:
Di dalam landasan filosofis, negara melindungi dan mensejahterakan seluruh rakyatnya. Oleh karena itu, negara harus memiliki sarana yang memadai dan terjamin agar tugas atau fungsi kewajibannya dapat terlaksana dengan baik;
Dalam konsep teoritik tentang negara, terlepas dari sistem ekonomi yang dianut suatu negara yaitu sistem kapitalis, yang merupakan perwujudan falsafah liberalisme yang mengutamakan kepentingan individu maupun sistem sosialis yang bersifat etatis dengan menyerahkan semua kekuasaan di bidang perekonomian di tangan Pemerintah, fungsi Pemerintah dalam menjamin terselenggaranya kebebasaan maupun kesejahteraan masyarakat adalah sangat penting. Dalam sistem perekonomian kapitalis yang memberikan kebebasaan kepada masyarakat untuk melakukan produksi, konsumsi dan distribusi diperlukan peran Pemerintah untuk melakukan pengaturan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk penyediaan barang-barang yang berupa kebutuhan dasar masyarakat yang 60 kemudian di kenal dengan istilah public goods. Kebutuhan dasar tersebut antara lain adalah perlindungan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, keadilan, pekerjaan umum. Sementara itu, dalam sistem perekonomian sosialis Pemerintah atau negara bersifat omnipoten , artinya fungsi Pemerintah atau negara, bukan hanya terbatas pada penyediaan barang- barang kebutuhan dasar melainkan juga kebutuhan lainnya yang sebenarnya dapat disediakan oleh masyarakat melalui mekanisme pasar;
Dalam pandangan yang lebih modern sebagaimana disampaikan oleh seorang ahli keuangan negara yaitu Richard Maskrid, fungsi Pemerintah melalui kebijakan anggaran belanja negara adalah menjamin keseimbangan dalam pengalokasian sumber daya, menjamin keseimbangan dalam pembagian pendapatan dan kekayaan dan menjamin terselenggaranya stabilitas ekonomi nasional;
Kalau memperhatikan sistem Pemerintahan Indonesia, peran dan fungsi negara sebagai dikemukakan dalam teori di atas, dengan jelas dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian secara rinci dituangkan dalam berbagai pasalnya yang merupakan suatu landasan konstitusional, antara lain menyatakan, “ kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”. Dengan demikian peran atau tugas Pemerintah Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Peran dan fungsi Pemerintah atau negara tersebut antara lain tercermin dalam Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 UUD 1945, termasuk setelah dilakukan perubahan;
Selanjutnya untuk merealisasikan peran dan fungsi Pemerintah sebagaimana diuraikan tersebut di atas, diperlukan adanya jaminan 61 sekurang-kurangnya dalam dua hal, yaitu Pemerintah selaku otoritas dan pemerintah sebagai individu. Khusus Pemerintah selaku otoritas, pertama , Pemerintah yang menjamin kepentingan masyarakat atau public interest harus memiliki kewenangan secara politik dan hukum untuk dapat menjamin terwujudnya peran dan fungsinya. Kedua , Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat harus memiliki jaminan bahwa asetnya yang merupakan instrumen untuk mendukung terwujudnya peran dan fungsi pemerintah tersebut selalu aman di tangannya dan tidak mendapat ancaman dari pihak lain; [3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil dan bukti-bukti yang diajukan Pemohon, Pemerintah telah memberikan keterangan tertulis, yang selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut: • Sebagai konsep ekonomi yang berbasis syariah, penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara mutlak harus menggunakan underlying transaction yang antara lain dapat berupa jual beli atau sewa menyewa atas “hak manfaat” BMN, jasa ( services ), pembangunan proyek atau objek pembiayaan lainnya. Penggunaan underlying transaction tersebut dimaksudkan agar terhindar dari adanya unsur-unsur (1) Riba , yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang ( money for money );
Maysir , yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan
Gharar , yaitu unsur ketidakpastian terkait dengan penyerahan, kualitas, dan kuantitas. __ • Barang Milik Negara (BMN) yang akan digunakan sebagai aset SBSN dapat berupa tanah dan/atau bangunan termasuk proyek yang akan atau sedang dibangun yang harus memiliki nilai ekonomis, dalam kondisi baik/layak, telah tercatat dalam Dokumen Penatausahaan BMN, bukan merupakan alat utama sistem persenjataan, tidak sedang dalam sengketa, dan tidak sedang digunakan sebagai aset SBSN dalam penerbitan yang lain. • Pembatasan penggunaan BMN yang dapat dijadikan sebagai underlying penerbitan SBSN menunjukkan bahwa Pemerintah sangat selektif dan sangat hati-hati dalam menggunakan BMN tersebut. Di samping itu telah diatur juga dalam UU SBSN, khususnya Pasal 9 ayat (1) bahwa penggunaan BMN 62 sebagai underlying penerbitan SBSN tersebut harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPR. • Penggunaan BMN sebagai aset SBSN dilakukan dengan cara Menteri Keuangan memindahtangankan hak manfaat atas BMN, sehingga pemindahtanganan BMN dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan BMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. • Pengertian hak manfaat di Indonesia baru dikenal setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Dalam UU SBSN tersebut, Hak Manfaat didefinisikan sebagai hak untuk memiliki dan mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu dilakukan pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut. Dengan kata lain, pada saat dilakukan jual beli atau sewa menyewa atas hak manfaat BMN untuk dijadikan aset SBSN maka tidak ada perpindahan hak kepemilikan ( legal title), sehingga kepemilikan atas BMN tersebut tetap berada pada Pemerintah. • Terdapat perbedaan konsep pemindahtanganan berdasarkan UU SBSN dengan UU Perbendaharaan Negara, dimana dalam hal penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN, UU SBSN merupakan lex specialist dari UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU SBSN bahwa: “ Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sifat _pemindahtanganan dimaksud, antara lain: _ (i) Penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang _Milik Negara; _ _(ii) Tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik Negara; _ dan (iii) Tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan .” • Penerbitan SBSN dilakukan dengan menggunakan struktur ijarah / sale and lease back , dimana Pemerintah wajib membeli kembali BMN yang telah dijual hak manfaatnya dan dijadikan sebagai aset SBSN, pada saat jatuh tempo atau 63 pada saat terjadi default ( in the event of default ). Dalam hal BMN yang akan digunakan sebagai aset SBSN sedang digunakan oleh Kementerian atau Lembaga selain Kementerian Keuangan, maka Menteri Keuangan terlebih dahulu memberitahukan kepada Kementerian atau Lembaga pengguna BMN dimaksud. Berdasarkan UU SBSN, Menteri Keuangan diberi kewenangan menggunakan BMN untuk dijadikan sebagai aset SBSN. Penggunaan BMN sebagai aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi pengguna BMN untuk tetap menggunakan BMN dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya, sehingga tanggung jawab untuk pengelolaan BMN ini tetap melekat pada instansi pengguna BMN sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. • Penggunaan BMN sebagai aset SBSN, oleh sebagian masyarakat sering dipahami sebagai jaminan ( collateral ) atau gadai. Pemahaman tersebut sangatlah tidak tepat. Secara hukum jaminan adalah perjanjian tambahan yang harus didahului dengan perjanjian utang piutang antara para pihak. Dimana dalam jaminan, salah satu pihak dapat menyita objek jaminan apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian para pihak, sehingga dalam jaminan ada hak salah satu pihak untuk melakukan penyitaan atas objek penjaminan. Hal ini berbeda dengan penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN yaitu bahwa BMN yang digunakan sebagai aset SBSN atau underlying asset bukanlah sebagai jaminan ( collateral ) atau gadai. Hal tersebut sangat jelas diatur dalam perjanjian antara Pemerintah dan Perusahaan Penerbit SBSN bahwa BMN yang dijadikan sebagai aset SBSN tetap berada dalam penguasaan Pemerintah, sehingga tidak akan terjadi peralihan hak kepemilikan ( legal title ) atas BMN tersebut. Hal ini didukung dalam salah satu dokumen hukum penerbitan SBSN, dimana Perusahaan Penerbit SBSN sebagai Wali Amanat memberikan pernyataan sepihak untuk menjual kembali aset SBSN hanya kepada Pemerintah dalam hal Pemerintah gagal bayar ( in the event of default ) atau pada saat SBSN jatuh tempo. Dari pihak Pemerintah, dibuat pula dokumen hukum dimana Pemerintah memberikan pernyataan sepihak untuk membeli kembali aset SBSN pada saat Perusahaan Penerbit menjual aset SBSN tersebut. • Rating Indonesia terkait dengan SBSN yang dikeluarkan oleh 3 (tiga) lembaga rating internasional adalah Moodys: Ba2, Standard & Poor: BB-, dan Fitch: 64 BB+, yang berarti bahwa posisi rating Indonesia hampir mencapai investment grade . Hal tersebut merepresentasikan adanya perbaikan pengelolaan keuangan publik dan fundamental ekonomi, penurunan rasio utang terhadap PDB, pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah kondisi krisis ekonomi global, dan pengelolaan APBN yang prudent dan kredibel; [3.12] Menimbang bahwa untuk menguatkan keterangannya, Pemerintah mengajukan tiga orang saksi, yaitu Drs. Triantoro, Ir. Hanawijaya, M.M., dan M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M., serta enam orang ahli yaitu K.H. Ma’ruf Amin, Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP., Gahet Ascobat, Farouk Abdullah Alwyni, Ir. Muhammad Syakir Sula, FIS., dan Ary Zulfikar, S.H., yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan, selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut: Saksi Drs. Triantoro • Dasar hukum SBSN adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan beberapa peraturan yang lainnya, termasuk juga Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 4/PMK-08/2009 tentang Pengelolaan SBSN yang berasal dari barang milik negara; • Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan telah menyampaikan pro notification penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset dalam penerbitan SBSN kepada 10 kementerian lembaga, termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-2 94/MK.6 2009 tanggal 2 Oktober 2009, dan selanjutnya Direktur Jenderal Keuangan Negara atas nama Menteri Keuangan telah menyampaikan notification penggunaan barang milik negara atau underlying asset, dalam penerbitan SBSN kepada 9 kementerian lembaga termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-19/MK 06/2010 tanggal 2 Februari 2010, antara lain menyatakan bahwa untuk penerbitan SBSN seri IFR 003 dan seri IFR 004 dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 22 KM 08 2009 dan Nomor 23 KMK 08/2009 tanggal 10 November 2009 telah ditetapkan barang milik negara pada 9 kementerian/lembaga termasuk Depdiknas menjadi underlying asset penerbitan SBSN. • Selama BMN dimaksud dipergunakan sebagai aset SBSN, pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara dimaksud, sesuai dengan penggunaan awalnya untuk pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, dan 65 tidak dapat melakukan pemindahtanganan kepemilikan atas BMN dimaksud kecuali dikarenakan ada perundang-undangan yang mengharuskan pemindahtanganan tersebut. Dengan demikian terkait dengan SBSN dapat disimpulkan:
Penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan pengalihan status kepemilikan dan atau status penggunaan atas barang milik negara tersebut maupun perubahan fungsinya;
Barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan permasalahan dari sisi akuntansi mengingat pemilikan milik negara tidak berpindah sehingga tetap tercantum dalam sistem informasi manajemen akuntansi barang kepemilikan negara atau SIMAK BMN atau neraca on balanced dari kementerian pendidikan nasional;
Kementerian Pendidikan Nasional selaku pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara yang dijadikan sebagai underlying asset untuk melaksanakan tugas dan fungsi kementerian pendidikan nasional; Saksi Ir. Hanawijaya, M.M. • Pertumbuhan instrumen sukuk __ dalam negeri yang dikeluarkan oleh perusahaan korporasi sangat lamban. Berdasarkan data olahan departemen keuangan pada tahun 2003, sukuk korporasi hanya berjumlah 6 buah atau senilai 740 milyar. Hingga Desember 2006, sukuk __ korporasi di Indonesia yang telah diterbitkan berjumlah 17 sukuk __ yang nilainya 2,2 triliun. Sampai 1 Desember 2007, total obligasi syariah dan medium term notes yang diterbitkan sudah mencapai 32 jenis. Di sisi lain, untuk menerbitkan sukuk negara, Pemerintah masih terganjal karena belum adanya regulasi yang mengatur ketentuan tersebut. Padahal sebagai instrumen berbasis syariah, sukuk jelas memiliki tipikal dan aturan yang berbeda dengan surat utang negara biasa. Sampai pada akhirnya diterbitkan UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN yang merupakan pedoman bagi terbitnya sukuk negara sekaligus sebagai instrumen mendorong tumbuhnya investasi bagi investor dan lembaga keuangan syariah; • Instrumen sukuk memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan instrumen keuangan syariah di Indonesia. Peran-peran tersebut adalah sebagai motor penggerak syariah di Indonesia. Dengan adanya instrumen sukuk membuat bank syariah lebih termotivasi untuk lebih mengembangkan secara 66 agresif tanpa khawatir terbatasnya instrumen untuk placement apabila terjadi ekses _fund; _ • Sukuk dapat juga sebagai pintu masuk yang efektif dalam mempercepat pertumbuhan aset bank syariah yaitu melalui penetrasi kepada masyarakat menengah ke atas yang selama ini menempatkan sebagian dananya melalui surat berharga bank-bank konvensional. Sukuk juga meningkatkan fee base income bagi Bank Syariah Mandiri, yaitu sebagai agen dari sukuk ritel mendapatkan fee base income sebesar 650 juta dan terakhir sebagai agen penerbit SR 002 mendapatkan fee base sebesar 495 juta rupiah; • Surat SBSN ritel atau sukuk negara ritel adalah salah satu investasi bagi investor atau instrumen pembiayaan APBN bagi pemerintah. Sama halnya dengan instrumen 001 dan 002 yang diterbitkan pada 2 Agustus 2008; • Sebagai investor lembaga keuangan syariah, Bank Syariah Mandiri menyadari bahwa underlying transaction yang dilakukan oleh Pemerintah tidak menyebabkan adanya perpindahan aset negara apabila terjadi Pemerintah gagal bayar; Saksi M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M. • Selaku praktisi pengajar keuangan syariah dan juga selaku investor individu dari sukuk negara yang selama ini mengharapkan adanya instrumen investasi yang dapat memberikan tidak hanya benefit di dunia tetapi juga insya Allah benefit di akhirat, minimal semacam peace of mind atau perasaan yang menenangkan pada saat kita berinvestasi pada instrumen investasi tersebut; • Keuntungan yang saksi peroleh dalam berinvestasi di sukuk negara khususnya sukuk ritel Republik Indonesia SR 001, antara lain imbal hasil yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah atau dalam hal ini imbal jasanya berdasarkan akad ijarah berdasarkan fatwa MUI Nomor 71 dan Nomor 72 dan juga telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 yaitu tentang Surat Berharga Syariah Negara; • Sukuk yang dikeluarkan oleh negara relatif aman, karena Republik Indonesia mempunyai reputasi sebagai pembayar utang yang sangat baik dan tidak mengalami default . Khusus untuk Sukuk Ritel Republik Indonesia imbal jasa yang saksi terima sebagai investor dapat diterima setiap bulan; 67 • Sukuk menjadi instrumen investasi yang sangat akuntabel karena dikeluarkan dengan underlying asset yang transparan sehingga dalam hal pengeluaran sukuk ini menjadi kredibel di mata investor. Sebagai investor, saksi sangat memahami bahwa yang dijadilan underlying dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara adalah berupa hak manfaat dari barang milik negara, sebagai investor saksi akan mendapatkan sejumlah imbalan yang berasal dari penyewaaan kembali hak manfaat aset SBSN kepada Pemerintah yang dituangkan dalam akad ijarah, dan saksi sangat yakin bahwa dana yang diinvestasikan kepada sukuk negara akan aman, bahkan dalam hal misalnya pemerintah gagal bayar atas SBSN yang dimiliki oleh investor maka berdasarkan Undang-Undang SBSN dana tersebut akan disediakan dalam APBN dan investor melalui perusahaan penerbit SBSN sebagai wali amanat atau wakil investor hanya akan menjual aset SBSN kepada Pemerintah sesuai dengan dokumen penerbitan pada saat sukuk negara jatuh tempo; • Keuntungan dan kemanfaatan yang ada di instrumen investasi sukuk negara seharusnya menjadi pendorong bagi masyarakat Republik Indonesia untuk lebih berkeinginan melakukan investasi bagi dirinya dan negaranya bukan justru mempermasalahkan keberadaan sukuk negara; Ahli KH. Ma’ruf Amin • Penerbitan sukuk negara sudah lama diinginkan dan dicita-citakan tetapi terkendala ketika itu belum adanya Undang-Undang yang menjadi landasan, yaitu Undang-Undang yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang ada serta sesuai dengan ketentuan syariah. Akhirnya para ahli hukum nasional dan para ahli syariah berijtihad untuk mewujudkannya dalam rangka membiayai APBN, kemudian lahirlah Undang-Undang SBSN yang di dalamnya tercapailah kesesuaian antara hukum negara dan hukum syariah. Menurut istilah Ahli, terdapat persesuaian syaara’an waqanunan . Hal tersebut merupakan satu prestasi di bidang hukum yang luar biasa; • Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia memberikan masukan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut dengan menunjuk tim untuk mendampingi. Dewan Syaraiah Nasional juga menunjuk tim untuk duduk dalam Komite Syariah SBSN dan Dewan Syariah Nasional juga mengeluarkan fatwa- fatwa berkenaan dengan SBSN, antara lain Fatwa Nomor 69 tentang surat berharga syariah negara, Fatwa Nomor 70 tentang metode penerbitan surat 68 berharga syariah negara, Fatwa Nomor 71 tentang sale and lease back , Fatwa Nomor 72 tentang surat berharga syariah negara ijarah, sale and lease back , dan setiap Pemerintah menerbitkan SBSN, Dewan Syariah Nasional membentuk tim dalam mendampingi Pemerintah dalam pembuatan skema dan perjanjian yang terkait dengan penerbitan SBSN; • Dewan Syariah Nasional juga memberikan pernyataan kesesuaian syariah untuk setiap emisi SBSN, untuk memberikan pernyataan ini Dewan Syariah Nasional MUI me review ulang atas sebuah skema dan perjanjian yang telah dipandang final, yaitu melalui akad-akad dalam penerbitan SBSN, dimana barang milik negara tidak akan beralih secara fisik karena yang beralih adalah hak manfaatnya saja itupun hanya bersifat sementara karena hak manfaat yang beralih tersebut akan kembali kepada Pemerintah ketika SBSN jatuh tempo. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk adanya kekhawatiran hilangnya atau lepasnya barang milik negara melalui SBSN; Ahli Ir. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP. • Secara umum sukuk yang ada di dunia dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama, adalah sukuk yang berbasis aset riil atau disebut asset base sukuk. Kedua, adalah sukuk yang melekat pada dan dijaminkan oleh asset riel yang disebut sebagai asset back sukuk. • Asset base sukuk/ asset riel hanya digunakan untuk membuat struktur transaksi agar sesuai dengan prinsip syariah. Dalam prinsip syariah, setiap transaksi harus memenuhi tiga rukun, yaitu pertama adanya para pihak, kedua, adanya objek transaksi, dalam bahasa Arab disebut ma’kud alaih atau dalam bahasa Inggris disebut underlying asset, juga harga objek dari transaksi tersebut. Ketiga, adanya kesepakatan. Oleh karenanya aset riil yang dijadikan dasar penerbitan sukuk biasanya tidak dijadikan sumber pembayaran dan tidak dijaminkan untuk pembayarannya. Secara lebih formal sukuk didefinisikan sebagai an investment sukuk is a certificate of equal value representing shares in ownership of tangible asset usufruct and services or in the ownership of the asset of particular project or special investment activity. Sedangkan untuk jenis sukuk yang kedua yang disebut sebagai asset back sukuk adalah aset riil yang dipisahkan kepemilikannya kepada special purpose vehicle juga dijadikan sumber pembayaran dan dijaminkan untuk pembayarannya. Perbedaan ini secara teoritis memberikan tingkat risiko yang berbeda. Secara lebih formal 69 asset backed securities didefinisikan sebagai an asset backed security is a security who’s value and income payments are derived from and collateralised or backed by a specified full of underlying asset . • Dilihat dari sisi risiko investor pada jenis sukuk yang pertama yaitu asset base sukuk sebenarnya mempunyai tingkat risiko yang sama dengan memberikan uang tanpa jaminan aset riil atau disebut sebagai unsecured . Sedangkan investor pada jenis sukuk yang kedua yaitu asset back sukuk mempunyai jaminan atau disebut secured berupa aset riil yang dipisahkan kepemilikannya walaupun di beberapa negara jaminan itu berarti hak tagih atas aset riil bukan hak kepemilikan penuh atas aset riil itu sendiri. Sukuk yang diterbitkan oleh korporasi kadang berupa asset base sukuk dan kadang berupa asset back sukuk . Sedangkan sukuk yang diterbitkan oleh negara sampai saat ini biasanya berupa asset base sukuk . Ahli Gahet Ascobat • Dari sisi pasar sukuk global menunjukkan perkembangan cukup signifikan dimulai tahun 2002 pada saat Pemerintah Malaysia pertama kali menerbitkan sukuk global dalam mata uang US dollar dan mencapai puncaknya pada tahun 2007, karena krisis keuangan global pada tahun 2008 mengalami penurunan, dan kemudian pada tahun 2009 mengalami peningkatan lagi yang disebabkan penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Indonesia selaku pioneer pada tahun 2009. Dengan berpartisipasinya pemerintah dalam menerbitkan SBSN di tahun 2008 dan tahun 2009 maka industri ini mendapatkan suplai atau persediaan instrumen syariah yang sangat dinanti-nanti oleh pelaku pasar; • Beberapa transaksi sukuk yang telah dilakukan di pasar internasional oleh pemerintahan, antara lain Pemerintah Malaysia, Qatar, Dubai, Indonesia, dan Bahrain pada tahun 2009 terjadi kelebihan permintaan cukup besar dan cukup signifikan, yaitu transaksi untuk Pemerintah Indonesia secara global mengalami kelebihan permintaan sebesar tujuh kali lipat. Penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Bahrain juga mengalami kelebihan permintaan sebanyak lima kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi investor syariah secara global, permintaan dan kebutuhan atas instrumen ini memang sangat besar dan instrumen ini juga sangat langka tersedia di pasar; • Di Indonesia dilihat dari sisi penerbitan sukuk mengalami peningkatan dan untuk memenuhi kebutuhan investor yang semakin meningkat pemerintah 70 sudah memberi supply sedemikian besar dan berhasil diserap oleh pelaku pasar dan investor di Indonesia; • Seluruh transaksi sukuk secara global yang dilakukan oleh pemerintahan di dunia selain di Indonesia, yaitu Malaysia, negara bagian di Jerman, Dubai, dan Pakistan telah melakukan penerbitan sukuk secara global dengan berdasarkan struktur ijarah atau berdasarkan sewa menyewa atas suatu aset, yang merupakan struktur yang mirip dengan yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia dalam penerbitan SBSN; • Dalam perkembangan pasar dan perkembangan regulasi, tidak hanya yang dialami dan dijalankan oleh Pemerintah Indonesia dan negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Mesir, Turki, Kazakhstan, Uni Emirat Arab, dan Pakistan mengembangkan peraturan-peraturan yang akomodatif untuk penerbitan sukuk baik oleh pemerintahan maupun oleh korporasi tetapi di luar negara-negara mayoritas berpenduduk muslim seperti Inggris, Perancis, kemudian Hongkong, Korea, dan Jepang telah atau sedang menyusun perundang-undangan atau perangkat regulasi untuk memfasilitasi kemungkinan pemerintahan atau koperasi di negara masing-masing tersebut untuk dapat menerbitkan instrumen berbasis syariah atau sukuk yang menggunakan atau memerlukan _underlying asset; _ • Transaksi sukuk oleh Pemerintah Indonesia baik dalam mata uang rupiah maupun US dolar sangat sukses dan mengalami kelebihan permintaan, hal ini menunjukkan transaksi tersebut sangat sukses dan diminati oleh investor. Salah satu kunci suksesnya transaksi tersebut adalah karena struktur yang diterapkan adalah struktur yang diterima secara luas dan merupakan market best practice yang telah dilakukan oleh penerbit-penerbit lainnya sebelum Pemerintah Indonesia, adalah sebagai berikut:
Pemerintah mengalihkan hak manfaat atas beberapa kantor pemerintahan selaku aset sukuk kepada suatau perusahaan penerbit yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, tidak dimiliki oleh investor asing.
Pemerintah tetap menggunakan aset-aset sukuk tersebut seperti sedia kala tidak ada disruption, tidak ada perubahan karena aset itu langsung disewakan penerbit kepada Pemerintah sejak hari pertama transaksi dilangsungkan dan hal tersebut berlangsung terus sampai dengan sukuk tersebut jatuh tempo. 71 c. Sertifikat kepemilikan atau barang-barang milik negara tersebut tidak berpindah dari Pemerintah dan tidak berpindah ke tangan investor asing dalam kasus ini. Pada saat jatuh tempo atau dalam hal terjadi gagal bayar atau wanprestasi di pihak Pemerintah aset sukuk pun hanya dapat dijual kembali oleh investor atau perusahaan penerbit kepada Pemerintah Indonesia, sehingga tidak ada kondisi hak manfaatnya hilang atau kepemilikannya hilang berpindah dari tangan Pemerintah.
Pada saat penerbitan, sukuk global mendapat credit rating agency sebagai instrumen yang merefleksikan sebagai risiko kredit dan rating Pemerintah yaitu BA3 berdasarkan analisa Moody’s, BB- menurut standar S&P, dan BB menurut Fitch, hal tersebut sama seperti rating Pemerintah Indonesia pada saat itu; • Apabila terjadi dissolution event atau gagal bayar atau interrupted default dalam keempat transaksi pada saat jatuh tempo maka akan langsung dijual kembali kepada pemerintah negara masing-masing yaitu kepada Malaysia, Qatar, Pakistan, dan Indonesia karena feature tersebut tidak ada objek jaminan dan keempat transaksi ini adalah transaksi yang _unsecured; _ Ahli Farouk Abdullah Alwyni • Ahli melihat dari sisi peranan sukuk negara dalam kaitannya dengan potensi untuk menarik investasi, khususnya investasi dari negara Timur Tengah, karena kebanyakan investor dari Timur Tengah adalah mereka yang mempunyai investasi dalam bentuk financial capital , sehingga investasinya mengarah kepada surat-surat berharga. Dengan mulai berkembangnya sistem keuangan Islam maka mulai terjadi diversifikasi penempatan dana bukan hanya di pasar tradisional Eropa dan Amerika Serikat tetapi juga di negara-negara mereka sendiri dan terakhir di Malaysia yang cukup aktif untuk mencoba memposisikan diri menjadi alternative financial destination , alternative investment destination bagi negara-negara dari teluk tersebut. • Indonesia sebagai negara yang sedang membangun dan memerlukan pendanaan yang besar, perlu juga melihat potensi ini, terlebih lagi Indonesia negara muslim yang terbesar di dunia. Mengeluarkan sukuk merupakan satu usaha penting dalam rangka menarik investor Timur Tengah khususnya Negara-negara Teluk. Terlebih lagi model investasi dari Negara-negara Teluk umumnya adalah untuk financial capital atau investasi di pasar modal atau 72 pasar uang. Sukuk global Indonesia pertama senilai USD 650.000.000, dikeluarkan pada tahun 2009 sekitar 70%-nya diambil oleh Investor Timur Tengah, sehingga terlihat bahwa upaya yang dilakukan telah membuahkan hasil; • Ke depan sukuk negara merupakan satu strategi untuk lebih menarik capital ke dalam negeri. Preferensi investor Timur Tengah yang untuk sekarang ini lebih comfortable berhubungan dengan negara atau Badan Usaha Milik Negara dalam hubungan bisnis dengan Indonesia, membuat suatu negara menjadi suatu instrumen efektif untuk menarik dana mereka ke Indonesia. Perkembangan pasar uang dan pasar modal syariah juga menjadi satu faktor penting dalam menarik investasi portofolio dari negara-negara Teluk. Di samping itu, pada akhirnya negara bukan hanya berpotensi menarik investor Timur Tengah, tetapi juga investor-investor lain seperti Amerika dan Eropa yang pada kenyataanya menyumbang sekitar 30% dari pembeli sukuk global yang dikeluarkan di Indonesia; • Sukuk pada hakikatnya dapat menjadi instrumen penarik investasi yang lebih luas dari conventional bond mengingat pasar sukuk tidak terbatas dari investor syariah tetapi juga investor konvensional karena sukuk bisa dibeli oleh conventional investors dan syariah investors tetapi conventional bond terbatas pada conventional investors , jadi mengeluarkan sukuk mempunyai benefit yang berganda; • Menurut ahli, dapat disimpulkan bahwa sukuk negara mempunyai peranan penting, yaitu pertama , dalam menarik financial capital dari luar negeri umumnya dan negara-negara Timur Tengah khususnya dalam rangka membiayai program pembangunan negara, dan kedua dalam rangka pengembangan perbankan syariah melalui mekanisme peningkatan likuiditas pasar uang syariah; Ahli Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ., FIIS. • Menurut data statistik Desember 2008, masyarakat Indonesia yang 88,22% penduduknya adalah muslim tentu membutuhkan instrumen bisnis dan produk- produk halal yang sesuai dengan syariah, karena itu menjadi kewajiban Pemerintah memberikan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat muslim tersebut. Saat ini hampir semua lembaga keuangan syariah sudah ada di Indonesia, mulai dari perbankan, asuransi, reksadana, obligasi, 73 corporate , sukuk, saham syariah, penjaminan syariah, pegadaian syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah sudah ada di Indonesia; • Peran sukuk terhadap lembaga keuangan syariah adalah sebagai pendorong untuk mempercepat proses market share yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Sebagai instrumen investasi maupun sebagai fee base income, sukuk negara diperlukan untuk instrument portofolio investasi. Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut yang sangat dibutuhkan masyarakat tentu akan sangat lambat kalau tidak didorong oleh instrumen- instrumen investasi seperti sukuk; • Lembaga keuangan syariah sudah merupakan instrumen global, bahkan negara-negara lain sudah begitu banyak menggunakan konsep syariah seperti Singapura, sedangkan Inggris dan Hongkong ingin menjadi pemilik ekonomi syariah. Oleh karena itu, seharusnya Indonesia menjadi negara yang terdepan di dalam mengembangkan konsep ekonomi syariah; Ahli Ary Zulfikar, S.H. • Penjualan dan/atau penyewaan atas aset SBSN hanya hak atas manfaat tidak ada pemindahan hak milik ( legal title ) dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga tidak mengganggu fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah. • Aset SBSN berupa BMN bukan merupakan objek jaminan kebendaan atau collateral k arena bentuknya bukan perjanjian utang piutang. • Pemegang pemilik SBSN atau investor tidak mempunyai hak eksekusi atas BMN karena tidak mempunyai hak jaminan kebendaan atas BMN, sehingga dalam hal terjadi default tidak akan mempengaruhi status BMN serta mengganggu fungsi penyelenggaraan pemerintahan terkait dengan BMN tersebut. • Struktur skema sukuk adalah dalam bentuk jual beli atas hak manfaat dengan undertaking untuk menjual atau membeli kembali atas hak manfaat BMN antara Pemerintah dengan perusahaan penerbit SBSN Indonesia; [3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil dan bukti-bukti yang diajukan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memberikan keterangan tertulis, yang selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, pada pokoknya sebagai berikut: 74 • Konsep keuangan Islam (Islamic finance) secara bertahap mulai diterapkan oleh beberapa negara di kawasan Timur Tengah pada periode tahun 1960-an, yang terus berkembang dan diadopsi tidak hanya oleh negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, melainkan juga oleh berbagai negara di kawasan Asia dan Eropa. Untuk mendukung perkembangan keuangan Islam tersebut telah didirikan berbagai lembaga keuangan syariah dan diterbitkan berbagai instrumen keuangan berbasis syariah. Selain itu juga telah dibentuk lembaga internasional untuk merumuskan infrastruktur sistem keuangan Islam, yaitu International Islamic Financial Market (IIFM), Islamic Financial Services Board (IFSB), Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), dan telah pula didirikan lembaga rating Islam. • Konsep keuangan Islam didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan, karena itu instrumen keuangan Islam senantiasa selaras dan memenuhi prinsip-prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak bersifat adil, halal, thayyib , dan maslahat . Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur:
Riba yaitu unsur bunga;
Maysir yaitu unsur spekulasi;
Gharar yaitu unsur ketidakpastian. Karakteristik lain dari instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung (underlying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi keuangan konvensional pada umumnya. • Secara filosofis pengembangan instrumen yang berbasis syariah perlu segera dilaksanakan selain untuk mendukung pemanfaatan aset negara secara efisien dan untuk mendorong terciptanya sistem keuangan yang berbasis di dalam negeri, juga untuk memperkuat basis sumber pembiayaan anggaran negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah, atau dikenal secara internasional dengan istilah Sukuk. Instrumen keuangan ini pada prinsipnya sama seperti surat berharga konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) atas sejumlah tertentu aset sebesar nilai nominal Sukuk yang diterbitkan dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-pinsip syariah. Aset yang 75 dapat digunakan di dalam transaksi tersebut merupakan barang milik negara (BMN). • Secara sosiologis pembiayaan keuangan negara melalui penerbitan surat berharga oleh pemerintah berupa Sukuk negara mempunyai implikasi yang luas terhadap pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi, antara lain melalui penciptaan good governance di sektor publik. Dalam hal ini perdagangan Sukuk di pasar keuangan syariah akan memfasilitasi terselenggaranya pengawasan secara langsung oleh publik atas kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan. • Secara yuridis, instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan instrumen keuangan konvensional, sehingga perlu pengelolaan dan pengaturan secara khusus, baik yang menyangkut instrumen maupun perangkat hukum yang diperlukan untuk mengatur Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). • Terkait dengan dalil Pemohon yang mengaitkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara khususnya Pasal 49 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 50 huruf d, DPR berpandangan bahwa perlu adanya pemahaman tentang kepemilikan atas hak manfaat (beneficial ownership) dan kepemilikan hukum (legal ownership) atas suatu aset yang dikenal dalam konsep trust. Hal tersebut mengingat pemindahtanganan barang milik negara (BMN) dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan proses pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. • UU SBSN sudah mengantisipasi apabila terjadi peristiwa default sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang a quo yang memberikan kewenangan kepada Menteri selaku Pemerintah untuk membeli kembali aset SBSN, membatalkan akad sewa, dan mengakhiri akad penerbitan SBSN lainnya pada saat SBSN jatuh tempo; [3.14] Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 Februari 2010, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; 76 Pendapat Mahkamah [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil Pemohon beserta alat bukti surat/tulisan (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-9), keterangan para ahli dari Pemohon, keterangan tertulis Pemerintah, keterangan para saksi dan para ahli dari Pemerintah, keterangan tertulis DPR, serta kesimpulan tertulis dari Pemohon, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan pasal yang dimohonkan pengujian in casu Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 UU 19/2008 menghilangkan hak konstitusional Pemohon yang ditentukan dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, karena dengan berlakunya kedua pasal Undang-Undang a quo , nyata terlihat bahwa kerugian yang dialami oleh Pemohon secara konstitusional merujuk pada potensi kerugian, yaitu apabila dalam jangka waktu dijaminkannya aset SBSN berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan oleh Pemerintah kepada pihak tertentu gagal bayar ( default ), berarti objek tersebut akan dikuasai oleh pihak ketiga (pemegang gadai) objek jaminan Pemerintah. Dengan beralihnya objek jaminan tersebut, pada saat itulah timbul kerugian yang nyata bagi Pemohon karena tidak dapat lagi memanfaatkan fasilitas umum berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan tersebut. Alasan bahwa kerugian yaitu tidak dapat lagi memanfaatkan fasilitas umum berupa tanah, dan lain-lain, tidak tepat menurut hukum karena tidak terjadi peralihan hak atas aset yang dijaminkan. Eksistensi dan penerapan Undang-Undang a quo justru memberi manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan termasuk Pemohon, terutama karena menjadi salah satu sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); Bahwa lagi pula penggunaan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai batu uji, menurut Mahkamah adalah tidak tepat menurut hukum karena Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 adalah jaminan konstitusional terhadap mereka yang mengalami peminggiran, ketertinggalan, pengucilan, pembatasan, pembedaan, kesenjangan partisipasi dalam politik dan kehidupan publik yang bersumber dari ketimpangan struktural dan sosial-kultural masyarakat secara terus menerus (diskriminasi), baik formal maupun informal, dalam lingkup publik maupun privat atau yang dikenal dengan affirmative action, sehingga 77 diperlukan tindakan khusus sementara dengan tujuan membuka peluang dan kesempatan bagi mereka agar dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan publik secara adil dan seimbang; Tindakan afirmatif mengacu pada kebijakan yang berkenaan dengan ras, etnis, cacat fisik, karir militer, gender , orang-orang tua, atau kelas sosial menjadi pertimbangan dalam upaya untuk mempromosikan kesempatan yang sama atau meningkatkan kemampuan kelompok yang tertinggal atau yang kurang diuntungkan untuk mencapai keadilan. Oleh karena itu, tindakan khusus sementara ( affirmative action) bukanlah sebagai bentuk diskriminasi, melainkan suatu koreksi, asistensi, dan kompensasi terhadap perlakuan diskriminatif dan tidak adil yang dialami warga negara tertentu, dengan maksud untuk mempercepat tercapainya persamaan “ de facto ” antara dirinya dengan warga negara yang lain. Tindakan khusus ini bersifat sementara, untuk mempercepat tercapainya kesetaraan substantif. Artinya, apabila sudah terjadi kesetaraan, maka tindakan khusus sementara ( affirmative action) harus dihentikan; Terkait dengan kerugian yang didalilkan Pemohon bahwa sebagai perorangan warga negara kehilangan hak konstitusionalnya atas tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan sebagai akibat diterbitkannya SBSN, tidak terdapat hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian yang didalilkan dengan pasal yang dimohonkan pengujian, karena pasal yang dimohonkan pengujian hanya berupa pengaturan penggunaan Barang Milik Negara dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara yang merupakan pilihan kebijakan yang bersifat terbuka ( opened legal policy ) dalam rangka pengelolaan keuangan negara untuk meningkatkan daya dukung APBN dengan menggunakan instrumen keuangan berbasis syariah yang oleh pembentuk Undang-Undang dipandang memiliki peluang besar yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk membiayai pembangunan nasional ( vide konsideran menimbang huruf b UU 19/2008); Dengan demikian, terhadap konstruksi hukum para Pemohon bahwa telah terjadi kerugian konstitusional dengan dasar Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai batu ujinya, menurut Mahkamah adalah tidak berdasar dan tidak beralasan hukum; 78 2. Bahwa oleh karena pengaturan penggunaan Barang Milik Negara dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara dipandang sebagai pilihan kebijakan yang bersifat terbuka ( opened legal policy ) dari pembentuk Undang- Undang maka mutatis mutandis pertimbangan Mahkamah juga berlaku terhadap dalil Pemohon yang menyatakan pasal yang dimohonkan pengujian justru memberikan kewenangan kepada Menteri untuk menjual atau menyewakan hak manfaatnya atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN;
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Barang Milik Negara sebagai dasar penerbitan SBSN termasuk publik domain yang diperuntukkan bagi kepentingan umum sehingga tidak dapat dijadikan objek perdagangan, menurut Mahkamah, dalil tersebut tidak benar karena BMN bukan dijadikan objek perdagangan melainkan hanya dijadikan objek tanggungan yang berupa hak mendapatkan manfaat. BMN sebagai dasar penerbitan SBSN ( underlying asset ) bukan merupakan jaminan ( collateral ) yang dapat dipindahtangankan, sedangkan yang dapat dipindahtangankan hanya SBSN-nya saja. Undang- Undang a quo memiliki kekhususan antara lain dalam hal sifat pemindahtanganannya berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU 19/2008 yang menyatakan, “Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sifat pemindahtanganan dimaksud, antara lain: (i) penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara; (ii) tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) __ Barang Milik Negara; dan (iii) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan ”;
Pasal 49 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan, “Barang Milik Negara/Daerah dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada Pemerintah Pusat/Daerah,” dan ayat (5) menyatakan, “Barang Milik Negara/Daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman”. Kedua ayat tersebut berbeda objeknya dengan BMN sebagai dasar penerbitan SBSN ( underlying asset ) sebab menurut Pasal 12 UU 19/2008 79 apabila sudah jatuh tempo Pemerintah wajib membeli kembali bahkan dapat membatalkan akad sewa secara sepihak dengan membayar nilai nominal SBSN kepada pemegang SBSN, sehingga tidak akan terjadi pemindahan atau penyerahan BMN. Adapun Pasal 12 ayat (1) UU 19/2008 tersebut menyatakan, “Menteri wajib membeli kembali Aset SBSN, membatalkan Akad sewa, dan mengakhiri Akad penerbitan SBSN lainnya pada saat SBSN jatuh tempo” , sedangkan Pasal 12 ayat (2) UU 19/2008 menyatakan, “Dalam rangka pembelian kembali Aset SBSN, pembatalan Akad sewa dan pengakhiran Akad penerbitan SBSN lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri membayar nilai nominal SBSN atau kewajiban pembayaran lain sesuai Akad penerbitan SBSN kepada pemegang SBSN” ;
Bahwa sehubungan dengan dalil Pemohon yang menyatakan tidak dapat memanfaatkan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan karena dijadikan aset SBSN, menurut Mahkamah dalil tersebut adalah tidak tepat, karena Pemohon bukan selaku instansi pengguna barang milik negara, melainkan sebagai penyewa dari barang milik negara yang digunakan oleh instansi pengguna . Apabila Pemohon sebagai instansi Pemerintah selaku pengguna barang milik negara maka Pemohon tetap dapat menggunakan barang milik negara tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (3) UU 19/2008 yang menyatakan, “ Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi pengguna Barang Milik Negara untuk tetap menggunakan Barang Milik Negara dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya ...”. Jika yang dimaksud pemanfaatan barang tersebut adalah sebagai penyewa, maka penyewa tidak kehilangan haknya apabila BMN tersebut dijadikan underlying asset atas penerbitan SBSN;
Bahwa selain daripada itu, terkait dengan barang milik negara yang dijadikan aset SBSN, UU 19/2008 telah mengaturnya secara ketat dan rinci, sebagaimana termuat dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 9, yang menyatakan: “ Pasal 6 (1) Penerbitan SBSN dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. 80 (2) SBSN yang dapat diterbitkan baik oleh Pemerintah maupun Perusahaan Penerbit SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah semua jenis SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (3) Penerbitan SBSN yang dilakukan melalui Perusahaan Penerbit SBSN ditetapkan oleh Menteri. Pasal 7 (1) Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia. (2) Khusus untuk penerbitan SBSN dalam rangka pembiayaan proyek, Menteri berkoordinasi dengan menteri yang bertanggung jawab di bidang perencanaan pembangunan nasional. Pasal 8 (1) Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. (2) Menteri berwenang menetapkan komposisi Surat Berharga Negara dalam rupiah maupun valuta asing, serta menetapkan komposisi Surat Berharga Negara dalam bentuk Surat Utang Negara maupun SBSN dan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin penerbitan Surat Berharga Negara secara hati-hati. (3) Dalam hal-hal tertentu, SBSN dapat diterbitkan melebihi Nilai Bersih Maksimal yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang selanjutnya dilaporkan sebagai Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran tahun yang bersangkutan. Pasal 9 (1) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) termasuk pembayaran semua kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal yang timbul sebagai akibat penerbitan SBSN dimaksud serta Barang Milik Negara yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN. 81 (2) Pemerintah wajib membayar Imbalan dan Nilai Nominal setiap SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun Perusahaan Penerbit SBSN, sesuai dengan ketentuan dalam Akad penerbitan SBSN. (3) Dana untuk membayar Imbalan dan Nilai Nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut. (4) Dalam hal pembayaran kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal dimaksud melebihi perkiraan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (5) Semua kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan _ayat (4) dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan”; _ [3.16] Menimbang bahwa Mahkamah sependapat dengan keterangan enam orang ahli dari Pemerintah, masing-masing KH Ma’ruf Amin, H. Adiwarman A Karim, Gahet Ascobat, Farouk Abdullah Alwyni, Muhammad Syakir Sula, dan Ary Zulfikar, bahwa pada pokoknya SBSN tidak merugikan negara tetapi justru menguntungkan negara khususnya dalam membiayai APBN, dan barang milik negara yang dijadikan underlying asset tetap dapat digunakan oleh instansi yang bersangkutan karena hanya hak atas manfaat yang dijadikan underlying asset , tidak ada pemindahan hak milik ( legal title) dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga tidak mengganggu fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pandangan dan pendapat hukum Mahkamah sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.15] dan paragraf [3.16] di atas, menurut Mahkamah, tidak terdapat pertentangan antara norma Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU 19/2008 dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Selain itu, dari fakta persidangan telah terungkap tidak terdapat adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan pasal dari Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, Mahkamah menilai Pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalil permohonannya, sehingga permohonan Pemohon harus dikesampingkan; 82 4. KONKLUSI Berdasarkan pertimbangan atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing) untuk mengajukan permohonan _a quo; _ [4.3] Pokok permohonan tidak beralasan hukum; __ Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316); 5 . AMAR PUTUSAN Mengadili Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Senin tanggal tiga bulan Mei tahun dua ribu sepuluh dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari ini, Jumat tanggal tujuh bulan Mei tahun dua ribu sepuluh oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Arsyad Sanusi, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva masing- masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera 83 Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasa, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Moh. Mahfud MD. ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. td Achmad Sodiki ttd. M. Arsyad Sanusi ttd. M. Akil Mochtar ttd. Maria Farida Indrati ttd. Harjono ttd. Muhammad Alim ttd. Ahmad Fadlil Sumadi ttd. Hamdan Zoelva PANITERA PENGGANTI ttd. Cholidin Nasir
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran dan Kementerian Negara/Lembaga
Relevan terhadap
Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4406 LAMPIRAN I A PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2004 TANGGAL 5 AGUSTUS 2004 KLASIFIKASI FUNGSI DAN SUB FUNGSI Kode Fungsi dan Sub Fungsi 01 Pelayanan Umum 01 01 Lembaga Eksekutif dan Legislatif, Keuangan dan Fiskal, serta Urusan Luar Negeri 01 02 Bantuan Luar Negeri 01 03 Pelayanan Umum 01 04 Penelitian Dasar dan Pengembangan Iptek 01 05 Pinjaman Pemerintah 01 06 Pembangunan Daerah 01 07 Litbang Pelayanan Umum Pemerintahan 01 90 Pelayanan Umum Pemerintahan Lainnya 02 Pertahanan 02 01 Pertahanan Negara 02 02 Dukungan Pertahanan 02 03 Bantuan Militer Luar Negeri 02 04 Litbang Pertahanan 02 90 Pertahanan lainnya 03 Ketertiban dan Keamanan 03 01 Kepolisian 03 02 Penanggulangan Bencana 03 03 Pembinaan Hukum 03 04 Peradilan 03 05 Lembaga Pemasyarakatan 03 06 Litbang Ketertiban, Keamanan dan Hukum 03 90 Ketertiban, Keamanan dan Hukum Lainnya 04 Ekonomi 04 01 Perdagangan, Pengembangan Usaha, Koperasi, dan UKM 04 02 Tenaga Kerja 04 03 Pertanian, Kehutanan, Perikanan dan Kelautan 04 04 Pengairan 04 05 Bahan Bakar dan Energi 04 06 Pertambangan 04 07 Industri dan Konstruksi Kode Fungsi dan Sub Fungsi 04 08 Transportasi 04 09 Telekomunikasi dan Informatika 04 10 Litbang Ekonomi 04 90 Ekonomi lainnya 05 Lingkungan Hidup 05 01 Manajemen Limbah 05 02 Manajemen Air Limbah 05 03 Penanggulangan Polusi 05 04 Konservasi Sumberdaya Alam 05 05 Tata Ruang dan Pertanahan 05 06 Litbang Perlindungan Lingkungan Hidup 05 90 Perlindungan Lingkungan Hidup Lainnya 06 Perumahan dan Fasilitas Umum 06 01 Pengembangan Perumahan 06 02 Pemberdayaan Komunitas Pemukiman 06 03 Penyediaan Air Minum 06 04 Penerangan jalan 06 05 Litbang Perumahan dan pemukiman 06 90 Perumahan dan Pemukiman Lainnya 07 Kesehatan 07 01 Obat dan Perbekalan Kesehatan 07 02 Pelayanan Kesehatan Perorangan 07 03 Pelayanan Kesehatan Masyarakat 07 04 Keluarga Berencana 07 05 Litbang Kesehatan 07 90 Kesehatan lainnya 08 Pariwisata dan Budaya 08 01 Pengembangan Pariwisata dan Budaya 08 02 Pembinaan Kepemudaan dan Olahraga 08 03 Pembinaan Penerbitan dan Penyiaran 08 04 Litbang Pariwisata, Budaya, Kepemudaan dan Olahraga 08 90 Pariwisata dan Budaya Lainnya 09 Agama 09 01 Peningkatan Kehidupan Beragama Kode Fungsi dan Sub Fungsi 09 02 Kerukunan Hidup Beragama 09 03 Litbang Agama 09 90 Pelayanan Keagamaan Lainnya 10 Pendidikan 10 01 Pendidikan Anak Usia Dini 10 02 Pendidikan Dasar 10 03 Pendidikan Menengah 10 04 Pendidikan Non Formal & In Formal 10 05 Pendidikan Kedinasan 10 06 Pendidikan Tinggi 10 07 Pelayanan Bantuan terhadap Pendidikan 10 08 Pendidikan Keagamaan 10 09 Litbang Pendidikan 10 90 Pendidikan Lainnya 11 Perlindungan Sosial 11 01 Perlindungan dan Pelayanan Orang Sakit dan Cacat 11 02 Perlindungan dan Pelayanan Lansia 11 03 Perlindungan dan Pelayanan Sosial Keluarga Pahlawan, Perintis Kemerdekaan dan Pejuang 11 04 Perlindungan dan Pelayanan Sosial Anak-anak dan Keluarga 11 05 Pemberdayaan Perempuan 11 06 Penyuluhan dan Bimbingan Sosial 11 07 Bantuan Perumahan 11 08 Bantuan dan Jaminan Sosial 11 09 Litbang Perlindungan Sosial 11 90 Perlindungan Sosial lainnya PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI LAMPIRAN I B PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK NOMOR 21 TAHUN 2004 TANGGAL 5 AGUSTUS 2004 PENJELASAN LAMPIRAN I A TENTANG KLASIFIKASI FUNGSI DAN SUB FUNGSI Kode Fungsi dan Sub Fungsi 01 PELAYANAN UMUM 01.01 LEMBAGA EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF, KEUANGAN DAN FISKAL, SERTA URUSAN LUAR NEGERI - Administrasi, operasi atau dukungan untuk lembaga eksekutif, legislatif, keuangan dan fiskal, manajemen kas negara, utang pemerintah, operasional perpajakan - Kegiatan kementerian keuangan - Kegiatan luar negeri termasuk menlu, kegiatan diplomat, misi-misi internasional dll. - Penyediaan dan penyebaran informasi, dokumentasi, statistik keuangan dan fiskal. Termasuk: - kegiatan kantor kepala eksekutif pada semua level – presiden, wakil presiden, gubernur, bupati/walikota dll. Semua tingkatan lembaga legislatif – MPR, DPR, BPK, DPRD; lembaga penasehat, administrasi, serta staf yang ditunjuk secara politis untuk membantu lembaga eksekutif dan legislatif; serta semua badan atau kegiatan yang bersifat tetap atau sementara yang ditujukan untuk membantu lembaga eksekutif dan legislatif; - kegiatan keuangan dan fiskal dan pelayanan pada seluruh tingkatan pemerintahan; - kegiatan politik dalam negeri; - penyediaan dan penyebaran informasi, dokumentasi, statistik mengenai politik dalam negeri. Tidak termasuk: - kantor-kantor kementerian, baik di pusat maupun di daerah, komite antar departemen dll. yang terkait dengan fungsi tertentu (diklasifikasikan sesuai dengan fungsi masing-masing); - pembayaran cicilan utang dan berbagai kewajiban pemerintah sehubungan dengan utang pemerintah (01.05); - bantuan pemerintah RI kepada negara lain dalam rangka bantuan ekonomi (01.02). Kode Fungsi dan Sub Fungsi 01.02 BANTUAN LUAR NEGERI - administrasi kerjasama ekonomi dengan negara-negara berkembang dan negara- negara transisi, administrasi bantuan luar negeri yang disalurkan melalui lembaga internasional; - operasional untuk misi-misi bantuan ekonomi terhadap negara-negara tertentu; - kontribusi untuk dana pembangunan ekonomi yang diadministrasikan oleh lembaga internasional/regional; - bantuan ekonomi dalam bentuk hibah atau pinjaman. Tidak termasuk bantuan militer untuk negara asing (02.03), bantuan untuk operasi perdamaian internasional (02.03) 01.03 PELAYANAN UMUM - pelayanan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat yang tidak dilakukan oleh fungsi tertentu, antara lain administrasi kepegawaian, bidang perencanaan, ekonomi nasional, statistik, dan administrasi kependudukan. Tidak termasuk: - administrasi kepegawaian yang terkait dengan fungsi-fungsi tertentu; - administrasi perencanaan, ekonomi, statistik nasional, yang terkait dengan fungsi- fungsi tertentu.
04 PENELITIAN DASAR DAN PENGEMBANGAN IPTEK - administrasi, operasi dan koordinasi dari lembaga pemerintah yang berhubungan dengan penelitian dasar dan pengembangan Iptek; - hibah, pinjaman atau subsidi dalam rangka mendukung penelitian dasar dan pengembangan Iptek yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga non pemerintah, seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi; Tidak termasuk penelitian terapan dan pengembangan yang terkait dengan fungsi tertentu.
05 PINJAMAN PEMERINTAH pembayaran bunga dan kewajiban-kewajiban lainnya yang terkait dengan pinjaman. Tidak termasuk biaya administrasi untuk pengelolaan hutang pemerintah (01.01) 01.06 PEMBANGUNAN DAERAH - Transfer umum antar level pemerintahan yang tidak ditentukan penggunaannya; - Administrasi dan operasi dalam rangka pembangunan daerah, pengembangan wilayah dan pemberdayaan masyarakat. Kode Fungsi dan Sub Fungsi 01.07 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN UMUM PEMERINTAHAN - administrasi dan operasi dari lembaga pemerintah yang berhubungan dengan penelitian terapan dan pengembangan yang ada hubungannya dengan pelayanan umum pemerintahan; - hibah, pinjaman atau subsidi dalam rangka mendukung penelitian terapan yang berhubungan dengan pelayanan pemerintah umum yang dilaksanakan oleh lembaga- lembaga non pemerintah, seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tidak termasuk : - penelitian dasar dan pengembangan Iptek (01.04); - biaya administrasi untuk pengelolaan utang pemerintah (01.01).
90 PELAYANAN UMUM PEMERINTAHAN LAINNYA administrasi dan operasi terhadap pelayanan umum pemerintahan yang tidak termasuk kegiatan-kegiatan yang sudah diklasifikasikan dalam 01.01 s.d. 01.07, seperti: tugas- tugas pemilihan umum Tidak termasuk pemberdayaan komunitas pemukiman (06.02) 02 PERTAHANAN 02.01 PERTAHANAN NEGARA - administrasi dan operasi militer untuk seluruh angkatan; - operasi untuk rekayasa, perhubungan, komunikasi, intelejen, kepegawaian dan kekuatan pertahanan non tempur lainnya. Termasuk atase militer di luar negeri, rumah sakit militer di lapangan. Tidak termasuk misi bantuan militer (02.03), rumah sakit militer tetap (07.03), sekolah/pendidikan militer (10.05), pensiunan militer (11.03) 02.02 DUKUNGAN PERTAHANAN administrasi dan operasi kekuatan pertahan sipil, perumusan keadaan darurat, organisasi yang melibatkan lembaga sipil dan penduduk. Tidak termasuk pelayanan perlindungan masyarakat (03.02), pembelian dan penyimpanan alat dan bahan dalam keadaan darurat untuk bencana alam (03.02).
03 BANTUAN MILITER LUAR NEGERI - administrasi dan bantuan militer serta operasi perdamaian kepada pemerintah asing, lembaga internasional, dan sekutu. Kode Fungsi dan Sub Fungsi 02.04 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTAHANAN - administrasi dan operasi dari lembaga pemerintah yang berhubungan dengan penelitian terapan dan pengembangan yang ada hubungannya dengan pertahanan; - hibah, pinjaman atau subsidi dalam rangka mendukung penelitian terapan yang berhubungan dengan pertahanan yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga non pemerintah, seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tidak termasuk penelitian dasar dan pengembangan Iptek (01.04) 02.90 PERTAHANAN LAINNYA administrasi dan operasi terhadap pertahanan yang tidak termasuk kegiatan-kegiatan yang sudah diklasifikasikan dalam 02.01 s.d. 02.04. Tidak termasuk veteran militer (11.03) 03 KETERTIBAN DAN KEAMANAN 03.01 KEPOLISIAN - Administrasi dan operasi kepolisian, termasuk pendaftaran orang asing, pengesahan izin kerja dan jalan, pemeliharaan data dan statistik kepolisian, ketentuan lalu lintas, pencegahan penyelundupan; - Operasi rutin dan luar biasa kepolisian, laboratorium kepolisian, pendidikan kepolisian Tidak termasuk pendidikan umum yang diajarkan dalam lembaga kepolisian (10.05). Tidak termasuk dukungan pertahanan (02.02), angkatan yang khusus dibuat untuk pemadaman hutan (04.03).
02 PENANGGULANGAN BENCANA administrasi dan operasional dari penanggulangan bencana, pencegahan kebakaran, SAR nasional, dan badan-badan lain yang bertujuan untuk melaksanakan penanggulangan bencana, perlindungan dan keselamatan masyarakat umumnya, dukungan pencegahan kebakaran dan SAR nasional, dan training. Termasuk pelayanan perlindungan sipil untuk penjaga gunung, penjaga pantai. Tidak termasuk pertahan sipil (02.02), angkatan yang khusus dibuat untuk pemadaman hutan (04.02). Kode Fungsi dan Sub Fungsi 03.03 PEMBINAAN HUKUM - administrasi dan operasi untuk lembaga hukum; pembinaan aparatur penegak hukum; - pengembangan hukum nasional; - pelayanan hukum dari pemerintah dan non pemerintah. Tidak termasuk lembaga pemasyarakatan (03.05) 03.04 PERADILAN - administrasi dan operasi untuk peradilan; - operasi dan dukungan atas program dan kegiatan yang berhubungan dengan peradilan; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi, dan statistik yang berhubungan dengan peradilan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program peradilan. Termasuk administrasi untuk pengadilan tinggi, ombudsmen, peradilan agama. Tidak termasuk administrasi lembaga pemasyarakatan (03.05).
05 LEMBAGA PEMASYARAKATAN administrasi, operasional dan dukungan lembaga pemasyarakatan dan lembaga penahanan lainnya.
06 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETERTIBAN, KEAMANAN DAN HUKUM - administrasi dan operasional dari lembaga pemerintah yang berhubungan dengan penelitian terapan dan pengembangan yang ada hubungannya dengan hukum, ketertiban, dan keamanan; - hibah, pinjaman atau subsidi dalam rangka mendukung penelitian terapan yang berhubungan dengan hukum, ketertiban dan keamanan yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga non pemerintah, seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tidak termasuk penelitian dasar dan pengembangan Iptek (01.04).
90 HUKUM, KETERTIBAN DAN KEAMANAN LAINNYA administrasi dan operasi terhadap hukum, ketertiban, dan keamanan yang tidak termasuk kegiatan-kegiatan yang sudah diklasifikasikan dalam 03.01 s.d. 03.06. 04 EKONOMI… Kode Fungsi dan Sub Fungsi 04 EKONOMI 04.01 PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA, KOPERASI, DAN UKM - administrasi atas hubungan dan pelayanani, perdagangan luar negeri, pengembangan usaha, koperasi dan UKM, penyusunan dan penerapan kebijakan; - peraturan tentang perdagangan dan pengembangan usaha, koperasi dan UKM, pasar komoditas dan modal; - operasi dan dukungan atas lembaga yang berhubungan dengan paten, hak cipta dll.; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program perdagangan dan pengembangan usaha, koperasi dan UKM.
02 TENAGA KERJA - administrasi dan operasi yang berhubungan dengan bidang ketenagakerjaan; - peraturan tentang ketenagakerjaan; - operasi dan dukungan atas lembaga yang berhubungan dengan mediasi ketenagakerjaan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program ketenagakerjaan.
03 PERTANIAN, KEHUTANAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN - administrasi dari pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan - operasi dan dukungan atas program dan kegiatan yang berhubungan dengan pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi, dan statistik yang berhubungan dengan pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan. Termasuk penanaman bibit kehutanan; Tidak termasuk proyek pembangunan multi guna (04.90), dan pengairan (04.04) 04.04 PENGAIRAN - administrasi dan operasi yang berhubungan dengan pengairan; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi, dan statistik yang berhubungan dengan pengairan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program pengairan. Termasuk proyek pembangunan jaringan pengairan Kode Fungsi dan Sub Fungsi 04.05 BAHAN BAKAR DAN ENERGI - administrasi dari bahan bakar padat, minyak dan gas bumi, bahan bakar nuklir, energi listrik dan non listrik; - konservasi, penemuan, pengembangan, dan eksploitasi dari bahan bakar padat, minyak dan gas bumi, bahan bakar nuklir, energi listrik dan non listrik; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi, dan statistik yang berhubungan dengan bahan bakar padat, minyak dan gas bumi, bahan bakar nuklir, energi listrik dan non listrik; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program bahan bakar padat, minyak dan gas bumi, bahan bakar nuklir, energi listrik dan non listrik. Tidak termasuk transportasi dengan bahan bakar padat, bahan bakar minyak dan gas, bahan bakar nuklir (04.08);
06 PERTAMBANGAN - administrasi dan operasi yang berhubungan dengan pertambangan; - konservasi, penemuan, pengembangan dan eksploitasi dari pertambangan; - pengawasan dan pengaturan yang berhubungan dengan pertambangan; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi, dan statistik yang berhubungan dengan pertambangan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program pertambangan. Termasuk pengeluaran izin, aturan tingkat produksi dan keselamatan, pengawasan keselamatan yang berhubungan dengan pertambangan. Tidak termasuk: - industri pengolahan batu bara, penyulingan minyak, dan nuklir (04.05); - hibah, pinjaman, dan subsidi untuk kontruksi perumahan, bangunan industri, jalan, fasilitas umum (diklasifikasikan berdasar fungsinya);
07 INDUSTRI DAN KONSTRUKSI - administrasi dan operasi yang berhubungan dengan industri dan konstruksi; - konservasi, penemuan, pengembangan dan eksploitasi dari industri dan konstruksi; - pengawasan dan pengaturan yang berhubungan dengan industri dan konstruksi; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi, dan statistik yang berhubungan dengan industri dan konstruksi; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program industri dan konstruksi. Kode Fungsi dan Sub Fungsi Termasuk pengeluaran izin, aturan tingkat produksi dan keselamatan, pengawasan keselamatan yang berhubungan dengan industri dan konstruksi. Tidak termasuk: - industri pengolahan batu bara, penyulingan minyak, dan nuklir (04.05); - hibah, pinjaman, dan subsidi untuk kontruksi perumahan, bangunan industri, jalan, fasilitas umum (diklasifikasikan berdasar fungsinya); - peraturan standar perumahan (06.01).
08 TRANSPORTASI - administrasi dari operasi, penggunaan, konstruksi, pemeliharaan dari transportasi jalan raya, transportasi air, transportasi kereta api, transportasi udara, dan bentuk transportasi lainnya; - pengawasan dan pengaturan yang berhubungan dengan dari transportasi jalan raya, transportasi air, transportasi kereta api, transportasi udara, dan bentuk transportasi lainnya; - konstruksi atau operasi dari fasilitas lainnya pendukung transportasi jalan raya, transportasi air, transportasi kereta api, transportasi udara, dan bentuk transportasi lainnya; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi, dan statistik yang berhubungan dengan transportasi jalan raya, transportasi air, transportasi kereta api, transportasi udara, dan bentuk transportasi lainnya; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program transportasi jalan raya, transportasi air, transportasi kereta api, transportasi udara, dan bentuk transportasi lainnya.
09 TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA - administrasi dari konstruksi, perbaikan, pengembangan, operasi dan pemeliharaan sistem telekomunikasi dan informatika; - peraturan yang berhubungan dengan sistem telekomunikasi; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi, dan statistik tentang telekomunikasi; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mengembangkan kebijakan dan program telekomunikasi; Termasuk pengembangan teknologi telematika. Tidak termasuk radio dan satelit navigasi untuk transportasi air (04.08), penyiaran radio dan televisi (08.03) 04.10 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI - administrasi dan operasi dari lembaga pemerintahan dalam penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan ekonomi, perdagangan, pengembangan usaha koperasi dan UKM, ketenagakerjaan, pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, bahan bakar dan energi, pertambangan, industri dan konstruksi, transportasi, komunikasi dan industri lainnya; Kode Fungsi dan Sub Fungsi - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan perdagangan, pengembangan usaha koperasi dan UKM, ketenagakerjaan, pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, bahan bakar dan energi, pertambangan, industri dan konstruksi, transportasi, dan telekomunikasi; Tidak termasuk penelitian dasar dan pengembangan Iptek (01.04).
90 EKONOMI LAINNYA - Termasuk meteorologi dan geofisika, multi proyek, penyimpanan dan distribusi; - administrasi, operasi atau dukungan yang berhubungan dengan ekonomi yang tidak terklasifikasi dalam 04.01 s.d. 04.10 05 PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP 05.01 MANAJEMEN LIMBAH - administrasi, pengawasan, pemeriksaan, operasi atau dukungan untuk pengelolaan limbah - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung operasi, konstruksi, pemeliharaan ataupun peningkatan sistem pengelolaan limbah. Termasuk : pengembangan sistem persampahan (daerah) dan Limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) (pemerintah pusat) 05.02 MANAJEMEN AIR LIMBAH - administrasi, pengawasan, pemeriksaan, operasi ataupun dukungan untuk pengelolaan air limbah; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung operasi, konstruksi, pemeliharaan ataupun peningkatan sistem pengelolaan air limbah.
03 PENANGGULANGAN POLUSI - administrasi, pengawasan, pemeriksaan, operasi ataupun dukungan untuk penanggulangan polusi; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung operasi, konstruksi, pemeliharaan ataupun peningkatan sistem penanggulangan polusi.
04 KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM - administrasi, pengawasan, pemeriksaan, operasi ataupun dukungan untuk kegiatan- kegiatan yang berhubungan dengan konservasi sumber daya alam; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung operasi, konstruksi, pemeliharaan ataupun peningkatan sistem konservasi sumber daya alam. Kode Fungsi dan Sub Fungsi 05.05 TATA RUANG DAN PERTANAHAN - administrasi, pengawasan, pemeriksaan, operasi untuk pengelolaan tata ruang dan pertanahan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung operasi untuk pengelolaan tata ruang dan pertanahan.
06 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP - Administrasi dan operasi dari lembaga-lembaga pemerintah yang terlibat dalam penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan perlindungan lingkungan hidup; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan perlindungan lingkungan hidup yang dilaksanakan oleh lembaga non pemerintah seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tidak termasuk penelitian dasar dan pengembangan Iptek (01.04) 05.90 PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP LAINNYA - administrasi, pengelolaan, peraturan, pengendalian, operasi dan dukungan untuk kegiatan-kegiatan yang behubungan dengan kebijakan, perancanaan, program dan anggaran untuk meningkatkan perlindungan lingkungan hidup; penyiapan dan penegakan peraturan dan standar untuk perlindungan lingkungan hidup; penyiapan dan penyebaran informasi, dokumen dan statistik tentang lingkungan hidup; - termasuk kegiatan perlindungan lingkungan hidup yang tidak termasuk dalam 05.01 s.d. 05.06. 06 PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN 06.01 PENGEMBANGAN PERUMAHAN - administrasi perumahan; peningkatan, pemantauan dan evaluasi kegiatan pengembangan perumahan; peraturan standar perumahan; - perumahan pengganti perumahan kumuh, penyediaan tanah, pengembangan perumahan untuk orang cacat; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi dan statistik mengenai perumahan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung pengembangan, peningkatan dan pemeliharaan atas penyediaan perumahan. Tidak termasuk: - peraturan dan standar konstruksi (04.07); - bantuan uang dan barang untuk perumahan (11.07). Kode Fungsi dan Sub Fungsi 06.02 PEMBERDAYAAN KOMUNITAS PEMUKIMAN - administrasi pemukiman, dan peraturan pendukung pemukiman; - perencanaan untuk pemukiman baru dan yang direhabilitasi, perencanaan pengembangan fasilitas pemukiman; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi dan statistik mengenai pemukiman.
03 PENYEDIAAN AIR MINUM - administrasi penyediaan air minum, pengawasan dan pengaturan mengenai penyediaan air minum; - konstruksi dan operasi dari sistem pendukung penyediaan air minum; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi dan statistik penyediaan air minum; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung operasi, konstruksi, pemeliharaan ataupun peningkatan sistem penyediaan air minum.
04 PENERANGAN JALAN - administrasi penerangan jalan, pengembangan dan pengaturan tentang standarisasi penerangan; - instalasi, operasi, pemeliharaan, peningkatan dan lain-lain untuk penerangan jalan. Tidak termasuk penerangan untuk jalan bebas hambatan (04.05) 06.05 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN - administrasi dan operasi dari lembaga pemerintah dalam penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan perumahan dan pemukiman - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan perumana dan pemukiman yang dilaksanakan oleh lembaga non pemerintah seperti lembaga penelitian dan prguruan tinggi. Tidak termasuk penelitian dasar dan pengembangan Iptek (01.04) 06.90 PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN LAINNYA - administrasi, operasi atau dukungan dalam kebijakan, perencanaan, program dan anggaran yang berhubungan dengan perumahan dan pemukiman lainnya; - penyiapan dan penegakan peraturan dan standarisasi yang berhubungan dengan perumahan dan permukiman lainnya; - penyiapan dan penyebaran informasi, dokumentasi dan statistik mengenai perumahan dan permukiman lainnya. Kode Fungsi dan Sub Fungsi Termasuk administrasi, operasi ataupun dukungan yang berhubungan dengan perumahan dan pemukiman yang tidak dapat diklasifikasikan dalam 06.01 s.d. 06.05 07 KESEHATAN 07.01 OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN - penyediaan obat-obatan, alat-alat medis, peralatan terapi medis; - administrasi, operasi ataupun dukungan untuk penyediaan obat-obatan, alat-alat medis, dan peralatan terapi medis. Termasuk perbaikan peralatan terapi medis Tidak termasuk sewa peralatan terapi medis (07.02) 07.02 PELAYANAN KESEHATAN PERORANGAN - penyediaan pelayanan medis umum, pelayanan medis khusus, pelayanan gigi, pelayanan paramedik; - administrasi, inspeksi, operasi atau dukungan untuk penyediaan medis umum, pelayanan medis khusus, pelayanan gigi, pelayanan paramedik. - penyediaan pelayanan rumah sakit umum, rumah sakit khusus, rumah sakit ibu anak, kebidanan; - administrasi, inspeksi, operasi atau dukungan untuk penyediaan pelayanan rumah sakit umum, rumah sakit ibu anak, kebidanan. Termasuk: - pelayanan spesialis ortodensi; - pemeriksaan gigi; - sewa peralatan terapi medis; - lembaga pelayanan lansia dengan pengawasan medis, pusat pelayanan medis yang bertujuan untuk menyembuhkan pasien. Tidak termasuk alat kedokteran gigi (07.01), laboratorium pemeriksaan kesehatan (07.03) 07.03 PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT - penyediaan pelayanan kesehatan masyarakat; - administrasi, pemeriksaan, operasi atau dukungan untuk pelayanan kesehatan masyarakat; - penyusunan dan penyebaran informasi berkenaan kesehatan masyarakat. Termasuk pelayanan kesehatan untuk kelompok tertentu, pelayanan kesehatan yang tidak berhubungan dengan rumah sakit, klinik, laboratorium kesehatan masyarakat. Tidak termasuk laboratorium analisis medis (07.02) Kode Fungsi dan Sub Fungsi 07.04 KELUARGA BERENCANA - administrasi, operasi, ataupun dukungan untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kebijakan, perencanaan, program dan anggaran keluarga berencana, - penyiapan dan penegakan peraturan dan standarisasi kesehatan, penyusunan dan penyebaran informasi, dokumen, dan statistik keluarga berencana.
05 LITBANG KESEHATAN - administrasi dan operasi dari lembaga-lembaga pemerintah yang melakukan penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan kesehatan; Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan kesehatan yang dilaksanakan oleh lembaga non pemerintah seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tidak termasuk penelitian dasar dan pengembangan Iptek (01.04) 07.90 KESEHATAN LAINNYA - administrasi, operasi, ataupun dukungan untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kebijakan, perencanaan, program dan anggaran kesehatan, penyiapan dan penegakan peraturan dan standarisasi kesehatan, penyusunan dan penyebaran informasi, dokumen, dan statistik kesehatan. - Termasuk kegiatan kesehatan lainnya yang tidak terklasifikasi dalam 07.01 s.d.
03 PEMBINAAN PENERBITAN DAN PENYIARAN - administrasi penyiaran dan penerbitan, pengawasan dan pengaturan penyiaran dan penerbitan; - operasi atau dukungan untuk penyiaran dan penerbitan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung pengadaan fasilitas media televisi dan radio; pengadaan fasilitas penerbitan. Tidak termasuk percetakan negara (01.03), penyelenggaran pendidikan melalui televisi dan radio (08.03).
04 LITBANG PARIWISATA DAN BUDAYA - administrasi dan operasi dari lembaga-lembaga pemerintah yang melakukan penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan pariwisata dan budaya; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan pariwisata dan budaya yang dilaksanakan oleh lembaga non pemerintah seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tidak termasuk penelitian terapan dan pengembangan Iptek (01.04) 08.90 PARIWISATA DAN BUDAYA LAINNYA - administrasi, operasi, ataupun dukungan untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kebijakan, perencanaan, program dan anggaran pariwisata, olah raga, dan budaya, penyiapan dan penegakan peraturan dan standarisasi pariwisata, olah raga, dan budaya, penyusunan dan penyebaran informasi, dokumen, dan statistik pariwisata, olah raga dan budaya lainnya. - Termasuk kegiatan pariwisata, olah raga dan budaya lainnya yang tidak terklasifikasi dalam 08.01 s.d. 08.04. 09 AGAMA 09.01 PENINGKATAN KEHIDUPAN BERAGAMA - penyediaan pelayanan agama, administrasi keagamaan; - operasi atau dukungan atas penyediaan fasilitas keagamaan; - pembayaran untuk petugas keagamaan, hibah, pinjaman, atau subsidi untuk peningkatan kehidupan beragama. Kode Fungsi dan Sub Fungsi 09.02 KERUKUNAN HIDUP BERAGAMA - pengawasan dan pengaturan atas keagamaan; - hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung kerukunan hidup beragama.
03 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEAGAMAAN - administrasi dan operasi dari lembaga-lembaga pemerintah yang melakukan penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan keagamaan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan keagamaan yang dilaksanakan oleh lembaga non pemerintah seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tidak termasuk penelitian terapan dan pengembangan Iptek (01.04) 09.90 PELAYANAN KEAGAMAAN LAINNYA - administrasi, operasi, ataupun dukungan untuk kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan kebijakan, perencanaan, program dan anggaran keagamaan, penyiapan dan penegakan peraturan dan standarisasi masalah keagamaan, penyusunan dan penyebaran informasi, dokumen, dan statistik keagamaan. - Termasuk kegiatan keagamaan lainnya yang tidak terklasifikasi dalam 09.01 s.d.
02 PENDIDIKAN DASAR - penyediaan pendidikan pendidikan dasar baik umum maupun agama; - administrasi, pemeriksaan, operasi ataupun dukungan untuk pendidikan dasar; - beasiswa, hibah, pinjaman dan tunjangan untuk mendukung siswa tingkat pendidikan dasar. Tidak termasuk pelayanan bantuan terhadap pendidikan (10.07) Kode Fungsi dan Sub Fungsi 10.03 PENDIDIKAN MENENGAH - penyediaan pendidikan menengah baik umum maupun agama; - administrasi, pemerikasaan, operasi ataupun dukungan untuk pendidikan menengah; - beasiswa, hibah, pinjaman dan tunjangan untuk mendukung siswa tingkat menengah. Tidak termasuk pendidikan non formal dan informal (10.04) 10.04 PENDIDIKAN NON FORMAL & INFORMAL - penyediaan pendidikan nonformal dan informal; - administrasi, pemerikasaan, operasi ataupun dukungan untuk pendidikan nonformal dan informal; - beasiswa, hibah, pinjaman dan tunjangan untuk mendukung pendidikan nonformal dan informal.
05 PENDIDIKAN KEDINASAN - penyediaan pendidikan kedinasan; - administrasi, pemerikasaan, operasi ataupun dukungan untuk pendidikan kedinasan; - beasiswa, hibah, pinjaman dan tunjangan untuk mendukung siswa pendidikan kedinasan. Tidak termasuk pelatihan yang terkait dengan fungsi tertentu.
06 PENDIDIKAN TINGGI - penyediaan pendidikan tinggi; - administrasi, pemeriksaan, operasi ataupun dukungan untuk pendidikan tinggi; - beasiswa, hibah, pinjaman dan tunjangan untuk mendukung mahasiswa; - penyediaan pendidikan tinggi keagamaan. Tidak termasuk pendidikan nonformal dan informal (10.04) 10.07 PELAYANAN BANTUAN TERHADAP PENDIDIKAN - penyediaan pelayanan bantuan terhadap pendidikan; - administrasi, pemerikasaan, operasi ataupun dukungan untuk transportasi, makanan, penginapan, kesehatan umum dan gigi yang ditujukan untuk siswa pada berbagai tingkatan. Kode Fungsi dan Sub Fungsi 10.08 PENDIDIKAN KEAGAMAAN - penyediaan pendidikan keagamaan; - administrasi, pemerikasaan, operasi ataupun dukungan untuk pendidikan keagamaan; - beasiswa, hibah, pinjaman dan tunjangan untuk mendukung siswa pendidikan keagamaan.
09 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN - administrasi dan operasi dari lembaga-lembaga pemerintah yang melakukan penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan pendidikan; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan pendidikan yang dilaksanakan oleh lembaga non pemerintah seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tidak termasuk penelitian dasar dan pengembangan Iptek (01.04) 10.90 PENDIDIKAN LAINNYA - administrasi, operasi, ataupun dukungan untuk kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan kebijakan, perencanaan, program dan anggaran pendidikan, penyiapan dan penegakan peraturan dan standarisasi pendidikan, penyusunan dan penyebaran informasi, dokumen, dan statistik pendidikan. - Termasuk kegiatan pendidikan lainnya yang tidak terklasifikasi dalam 10.01 s.d.
02 PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN LANSIA - penyediaan perlindungan dan pelayanan sosial dalam bentuk uang dan barang kepada lansia; - administrasi, operasi ataupun dukungan atas skema perlindungan lansia; - manfaat uang dan barang lainnya untuk lansia; - termasuk pensiunan PNS dan TNI/Polri. Tidak termasuk orang tua yang pensiun dini karena sakit dan cacat (11.01). Kode Fungsi dan Sub Fungsi 11.03 PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN SOSIAL KELUARGA PAHLAWAN, PERINTIS KEMERDEKAAN DAN PEJUANG - penyediaan perlindungan dan pelayanan sosial dalam bentuk uang dan barang kepada keluarga pahlawan, perintis kemerdekaan dan pejuang maupun ahli warisnya; - administrasi, operasi ataupun dukungan atas skema perlindungan keluarga pahlawan, perintis kemerdekaan dan pejuang; - manfaat uang dan barang lainnya untuk keluarga pahlawan, perintis kemerdekaan dan pejuang.
04 PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN SOSIAL ANAK-ANAK DAN KELUARGA - penyediaan perlindungan dan pelayanan sosial dalam bentuk uang dan barang kepada anak-anak dan keluarga tertentu; - administrasi, operasi ataupun dukungan atas skema perlindungan anak-anak dan keluarga; - manfaat uang dan barang lainnya untuk anak-anak dan keluarga. Tidak termasuk pelayanan keluarga berencana (07.04).
05 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN - penyediaan perlindungan sosial kepada perempuan; - administrasi, operasi ataupun dukungan atas pemberdayaan perempuan;
06 PENYULUHAN DAN BIMBINGAN SOSIAL - penyediaan perlindungan sosial dalam bentuk uang dan barang untuk/kepada orang yang dapat bekerja tetapi belum mendapatkan pekerjaan yang sesuai; - administrasi, operasi ataupun dukungan atas skema perlindungan pengangguran; - manfaat uang dan barang lainnya untuk penggangguran. Tidak termasuk program dan skema untuk memobilisasi tenaga kerja dan menurunkan pengangguran (04.02), dan penyediaan uang dan barang untuk pengangguran yang memasuki usia pensiun (11.02).
07 BANTUAN PERUMAHAN - penyediaan perlindungan sosial dalam bentuk non kas untuk membantu rumah tangga dalam pemenuhan biaya perumahan; - administrasi, operasi ataupun dukungan atas skema bantuan perumahan; - manfaat non kas lainnya, seperti bantuan sewa, penyediaan rumah dengan harga terjangkau. Kode Fungsi dan Sub Fungsi 11.08 BANTUAN DAN JAMINAN SOSIAL - penyediaan perlindungan sosial dalam bentuk uang dan barang untuk masyarakat tertinggal dan terlantar; - administrasi, operasi ataupun dukungan atas skema perlindungan masyarakat tertinggal dan terlantar; - manfaat uang dan barang lainnya untuk masyarakat tertinggal dan terlantar.
09 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERLINDUNGAN SOSIAL - administrasi dan operasi dari lembaga-lembaga pemerintah yang melakukan penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan perlindungan sosial; - Hibah, pinjaman, atau subsidi untuk mendukung penelitian terapan dan pengembangan yang berhubungan dengan perlindungan sosial yang dilaksanakan oleh lembaga non pemerintah seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Tidak termasuk penelitian dasar dan pengembangan Iptek (01.04) 11.90 PERLINDUNGAN SOSIAL LAINNYA - administrasi, operasi, ataupun dukungan untuk kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan kebijakan, perencanaan, program dan anggaran perlindungan sosial, penyiapan dan penegakan peraturan dan standarisasi kesejahteraan sosial, penyusunan dan penyebaran informasi, dokumen, dan statistik perlindungan sosial. - Termasuk kegiatan perlindungan sosial lainnya yang tidak terklasifikasi dalam 11.01 s.d. 11.09. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan, ttd Lambock V. Nahattands LAMPIRAN II A PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2004 TANGGAL 5 AGUSTUS 2004 KLASIFIKASI BELANJA Kode Belanja dan Jenis Pengeluaran BELANJA PENYELENGGARAAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH 51 Belanja Pegawai 51 1 Gaji dan Tunjangan 51 2 Honorarium, Vakasi, Lembur dan lain-lain. 51 3 Kontribusi Sosial 51 3 1 Pensiun & Uang Tunggu 51 3 2 Asuransi Kesehatan 52 Belanja Barang 52 1 Barang dan Jasa 52 2 Pemeliharaan 52 3 Perjalanan 53 Belanja Modal 53 1 Tanah 53 2 Peralatan dan Mesin 53 3 Gedung dan Bangunan 53 4 Jaringan 53 9 Aset Fisik Lainnya 54 Pembayaran Bunga Utang 54 1 Utang Dalam Negeri 54 1 1 Pemerintah 54 1 2 Bank Indonesia 54 1 3 Lainnya 54 2 Utang Luar Negeri 54 2 1 Pemerintah 54 2 2 Lainnya 55 Subsidi 55 1 Perusahaan Negara 55 1 1 Lembaga Keuangan 55 1 2 Non-Lembaga Keuangan Kode Belanja dan Jenis Pengeluaran 55 2 Perusahaan Swasta 55 2 1 Lembaga Keuangan 55 2 2 Non-Lembaga Keuangan 56 Bantuan Sosial 56 1 Dana Kompensasi Sosial 56 2 Lembaga Pendidikan dan Peribadatan 57 Hibah 57 1 Pemerintah Luar Negeri 57 2 Organisasi International 58 Belanja Lain-lain TRANSFER PEMERINTAH PUSAT 61 Dana Perimbangan 61 1 Dana Bagi Hasil 61 1 1 Perpajakan 61 1 2 Sumber Daya Alam 61 2 Dana Alokasi Umum 61 2 1 Propinsi 61 2 2 Kabupaten/Kota 61 3 Dana Alokasi Khusus 61 3 1 Dana Reboisasi 61 3 2 Non Dana Reboisasi 62 Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian 62 1 Dana Otonomi Khusus 62 1 1 Papua 62 2 Dana Penyesuaian 62 2 1 Murni 62 2 2 Ad-hoc PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI LAMPIRAN II B PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2004 TANGGAL 5 AGUSTUS 2004 PENJELASAN LAMPIRAN II A TENTANG KLASIFIKASI BELANJA Belanja dan Jenis Pengeluaran Kode 51 Belanja Pegawai Kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang yang diberikan kepada pegawai pemerintah, baik yang bertugas di dalam maupun di luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. 51 1 Gaji dan Tunjangan Kompensasi yang harus dibayarkan kepada pegawai pemerintah berupa gaji pokok dan berbagai tunjangan yang diterima berkaitan dengan jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan (tunjangan istri/suami, tunjangan anak, tunjangan jabatan struktural/fungsional, uang makan/lauk pauk, tunjangan beras, tunjangan PPh, tunjangan kemahalan), baik dalam bentuk uang maupun barang. 51 2 Honorarium, Vakasi, Lembur Kompensasi yang harus dibayarkan kepada pegawai pemerintah berupa honorarium tim dan sebagainya, lembur, vakasi, tunjangan khusus, dan berbagai pembiayaan kepegawaian lainnya sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk pegawai di lingkungan kementerian negara/lembaga yang dialihkan ke daerah dankantor-kantor di lingkungan kementerian negara/lembaga yang dilikuidasi 51 3 Kontribusi Sosial Pembayaran yang dilakukan terhadap unit organisasi/lembaga/badan tertentu untuk mendapatkan hak tunjangan sosial bagi pegawai Pemerintah. 51 3 1 Pensiun dan Uang Tunggu Pengeluaran/belanja pensiun/uang tunggu pegawai pemerintah yang disalurkan melalui PT Taspen dan PT Asabri. 51 3 2 Asuransi Kesehatan Pengeluaran/belanja pemerintah yang disalurkan melalui PT. Askes. 52 Belanja Barang Pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan Belanja dan Jenis Pengeluaran Kode 52 1 Barang dan Jasa Pengeluaran yang dilakukan untuk membiayai keperluan kantor sehari-hari, pengadaan/penggantian inventaris kantor, langganan daya dan jasa dan lain-lain pengeluaran yang diperlukan untuk membiayai pekerjaan yang bersifat nonfisik dan secara langsung menunjang tugas pokok dan fungsi Kementerian negara/lembaga. 52 2 Pemeliharaan Pengeluaran yang dilakukan untuk membiayai pemeliharaan gedung kantor, rumah dinas, kendaraan bermotor, dan lain-lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan, termasuk perbaikan peralatan dan sarana gedung. 52 3 Perjalanan Pengeluaran yang dilakukan untuk membiayai perjalanan dinas dalam rangka pelaksanaan tugas, dan fungsi serta jabatan. 53 Belanja Modal Pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal, baik dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bagungan, jaringan, maupun dalam bentuk fisik lainnya, seperti buku, binatang dan lain sebagainya 53 1 Tanah Pengeluaran yang diperlukan untuk pengadaan/pembelian/ pembebasan/ penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat tanah, serta lain-lain yang bersifat administratif sehubungan dengan pembentukan modal. 53 2 Peralatan dan Mesin Pengeluaran yang diperlukan untuk pengadaan alat-alat dan mesin-mesin yang dipergunakan dalam kegiatan pembentukan modal, termasuk didalamnya biaya untuk penambahan, penggantian dan peningkatan kualitas peralatan dan mesin. 53 3 Gedung dan Bangunan Pengeluaran yang diperlukan untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembentukan modal untuk pembangunan gedung dan bangunan, termasuk didalamnya pengadaan berbagai barang kebutuhan pembangunan gedung dan bangunan. 53 4 Jaringan Pengeluaran yang diperlukan untuk penambahan, penggantian, peningkatan pembangunan, pembuatan serta perawatan prasarana dan sarana yang berfungsi atau merupakan bagian dari jaringan, seperti jalan, jembatan dan jaringan irigasi atau air bersih. Belanja dan Jenis Pengeluaran Kode 53 9 Aset Fisik Lainnya Pengeluaran dipergunakan dalam kegiatan pembentukan modal dalam bentuk aset fisik lainnya seperti buku, binatang dan lain-lain yang tidak termasuk dalam klasifikasi 53.1 s.d. 53.4. 54 Pembayaran Bunga Utang Pembayaran yang dilakukan atas kewajiban penggunaan pokok utang ( principal outstanding ), baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri, yang dihitung berdasarkan posisi pinjaman. 54 1 Utang Dalam Negeri Pembayaran bunga utang dalam mata uang rupiah. 54 1 1 Pemerintah Pembayaran bunga utang atas surat utang negara, obligasi dalam negeri, dan lainnya yang harus dibayar Pemerintah. 54 1 2 Bank Indonesia Pembayaran bunga utang kepada Bank Indonesia. 54 1 3 Lainnya Pembayaran bunga utang selain atas surat utang negara dan selain kepada Bank Indonesia. 54 2 Utang Luar Negeri Pembayaran bunga utang dalam mata uang negara pemberi pinjaman. 54 2 1 Pemerintah Pembayaran bunga utang kepada pemerintah negara/lembaga internasional pemberi pinjaman. 54 2 2 Lainnya Pembayaran bunga utang luar negeri, selain pemerintah negara/lembaga internasional. 55 Subsidi Alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak, sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat terjangkau oleh masyarakat. 55 1 Perusahaan Negara Subsidi Pemerintah kepada Perusahaan Negara. 55 1 1 Lembaga Keuangan Subsidi Pemerintah kepada Perusahaan Negara yang merupakan lembaga keuangan. Belanja dan Jenis Pengeluaran Kode 55 1 2 Non-Lembaga Keuangan Subsidi Pemerintah kepada Perusahaan Negara yang merupakan non- lembaga keuangan. 55 2 Perusahaan Swasta Subsidi Pemerintah kepada Perusahaan Swasta. 55 2 1 Lembaga Keuangan Subsidi Pemerintah kepada Perusahaan Swasta yang merupakan lembaga keuangan. 55 2 2 Non-Lembaga Keuangan Subsidi Pemerintah kepada Perusahaan Swasta yang merupakan non- lembaga keuangan. 56 Bantuan Sosial Transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Bantuan sosial dapat langsung diberikan kepada anggota masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan antara lain, bantuan untuk lembaga non pemerintah bidang pendidikan dan keagamaan. 56 1 Dana Kompensasi Sosial Transfer dalam bentuk uang yang diberikan kepada masyarakat, sebagai dampak dari adanya kenaikan harga BBM. 56 2 Lembaga Pendidikan dan Keagamaan. Transfer dalam bentuk uang yang diberikan kepada lembaga pendidikan dan/atau lembaga keagamaan. 57 Hibah Transfer rutin/modal yang sifatnya tidak wajib kepada negara lain atau kepada organisasi internasional. 57 1 Pemerintah Luar Negeri Pemberian hibah kepada pemerintahan negara lain. 57 2 Organisasi International Pemberian hibah kepada organisasi internasional. 58 Belanja Lain-lain Pengeluaran/belanja pemerintah pusat yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam jenis belanja pegawai (51) s.d. hibah (57). Belanja dan Jenis Pengeluaran Kode TRANSFER PEMERINTAH PUSAT 61 Dana Perimbangan 61 1 Dana Bagi Hasil 61 1 1 Perpajakan Pengeluaran yang bersumber dari perpajakan (PPh, PBB dan BPHTB) yang dibagihasilkan kepada daerah sesuai dengan peraturan yang berlaku. 61 1 2 Sumber Daya Alam Pengeluaran yang bersumber dari sumber daya alam (minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan) yang dibagi hasilkan kepada daerah sesuai dengan peraturan yang berlaku. 61 2 Dana Alokasi Umum Pengeluaran yang dilakukan pemerintah dalam rangka pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 61 2 1 Propinsi Pengeluaran DAU yang merupakan bagian Propinsi. 61 2 2 Kabupaten/Kota Pengeluaran DAU yang merupakan bagian kabupaten/Kota. 61 3 Dana Alokasi Khusus 61 3 1 Dana Reboisasi 61 3 2 Non Dana Reboisasi 62 Dana otonomi khusus dan penyesuaian 62 1 Dana otonomi khusus 62 2 Dana Penyesuaian PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI LAMPIRAN III PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2004 TANGGAL 5 AGUSTUS 2004 TATA CARA PENGISIAN FORMULIR RKA-KL I. Pendahuluan RKA-KL sebagai dokumen usulan anggaran (budget request) memuat sasaran terukur yang penyusunannya dilakukan secara berjenjang dari tingkat kantor/satuan kerja ke tingkat yang lebih tinggi ( bottom-up ) untuk melaksanakan penugasan dari menteri/pimpinan lembaga ( top down). Dengan demikian dalam menyusun suatu Rencana Kerja dan Anggaran yang menerapkan anggaran berdasarkan prestasi/kinerja perlu terlebih dahulu ditentukan atau ditetapkan:
Program yang akan dilaksanakan oleh suatu kementerian negara/lembaga dan unit yang bertanggungjawab atas pelaksanaannya;
Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai sasaran dari program dan unit kerja yang bertanggungjawab atas pelaksanaannya;
Keluaran yang akan dihasilkan oleh suatu satuan kerja sebagai unit operasional terkecil dari suatu kementerian negara/lembaga dan unit kerja yang bertanggungjawab atas pelaksanaannya;
Biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu keluaran tertentu yang diharapkan oleh kementerian negara/lembaga dari unit kerja yang bertanggungjawab atas pelaksanaannya;
Anggaran untuk melaksanakan suatu kegiatan yang akan menghasilkan suatu keluaran berdasarkan target kinerja yang ingin dicapai dan biaya per unit keluaran;
Penghimpunan anggaran dari masing-masing satuan kerja menjadi RKA unit kerja eselon I dan RKA- KL. II. Formulir dan Petunjuk Pengisian RKA-KL Formulir yang digunakan dalam penyusunan RKA-KL adalah sebagai berikut: No. Kode dan Nama Formulir Informasi Pokok Penyusun 1 2 3 4 1. Formulir 1.1 Rincian Kegiatan dan Keluaran Satuan kerja, lokasi, program (dengan kode fungsi dan sub fungsi), kegiatan, indikator kinerja, sasaran keluaran (pada tahun berjalan dan tahun yang direncanakan), dan pelaksana kegiatan, baik yang dilakukan oleh kantor pusat atau kantor daerah. Satuan Kerja 2. Formulir 1.2 Rincian Anggaran Belanja Satuan Kerja, fungsi dan sub-fungsi, program, kegiatan, jumlah belanja masing-masing kegiatan untuk tahun anggaran berjalan, tahun yang direncanakan dan tahun berikutnya. Satuan Kerja 3. Formulir 1.3 Rincian Anggaran Belanja per Jenis Belanja Rincian anggaran belanja masing- masing kegiatan per jenis belanja dan sumber dana. Satuan Kerja 4. Formulir 1.4 Rincian Anggaran Pendapatan per MAP. Satuan Kerja, fungsi dan sub-fungsi, program, kelompok pendapatan, Mata Anggaran Penerimaan (MAP) mulai dari realisasi TA setahun yang lalu, sasaran tahun berjalan, TA yang direncanakan dan TA berikutnya. Satuan Kerja 5. Formulir 1.5 Rincian Perhitungan Biaya per Kegiatan Rincian Biaya dalam rangka menghitung biaya untuk masing- masing kegiatan dan sub kegiatan. Satuan Kerja No. Kode dan Nama Formulir Informasi Pokok Penyusun 6. Formulir 2.1 Rincian Kegiatan dan Keluaran Unit Organisasi, program (dengan kode fungsi dan sub fungsi), kegiatan, indikator kinerja, sasaran keluaran (pada tahun berjalan dan tahun yang direncanakan), dan pelaksana kegiatan, baik yang dilakukan oleh kantor pusat atau kantor daerah. Unit Organisasi 7. Formulir 2.2 Rincian Anggaran Belanja Unit Organisasi, sub-fungsi, program, kegiatan, jumlah belanja masing- masing kegiatan untuk tahun anggaran berjalan, tahun yang direncanakan dan tahun berikutnya. Unit Organisasi 8. Formulir 2.3 Rincian Anggaran Belanja per Jenis Belanja Unit Organisasi, sub-fungsi, program, kegiatan, rincian anggaran belanja untuk tahun anggaran yang direncanakan. Unit Organisasi 9. Formulir 2.4 Rincian Anggaran Belanja dan Pendapatan Unit Organisasi, sub-fungsi, program, kelompok pendapatan, Mata Anggaran Penerimaan (MAP) mulai dari realisasi TA setahun yang lalu, sasaran tahun berjalan, TA yang direncanakan dan TA berikutnya. Unit Organisasi 10. Formulir 3.1 Rincian Kegiatan dan Keluaran Kementerian Negara/Lembaga, Unit Organisasi, program (dengan kode fungsi dan sub fungsi), kegiatan, indikator kinerja, sasaran keluaran (pada tahun berjalan dan tahun yang direncanakan), dan pelaksana kegiatan, baik yang dilakukan oleh kantor pusat atau kantor daerah. Kementerian Negara/Lembaga 11. Formulir 3.2 Rincian Anggaran Belanja Kementerian Negara/Lembaga, Unit Organisasi, sub-fungsi, program, kegiatan, jumlah belanja masing- masing kegiatan untuk tahun anggaran berjalan, tahun yang direncanakan dan tahun berikutnya. Kementerian Negara/Lembaga 12. Formulir 3.3 Rincian Anggaran Belanja per Jenis Belanja Kementerian Negara/Lembaga, Unit Organisasi, sub-fungsi, program, kegiatan, rincian anggaran belanja untuk tahun anggaran yang direncanakan. Kementerian Negara/Lembaga No. Kode dan Nama Formulir Informasi Pokok Penyusun 13. Formulir 3.4 Rincian Anggaran Belanja dan Pendapatan Kementerian Negara/Lembaga, Unit Organisasi, sub-fungsi, program, kelompok pendapatan, Mata Anggaran Penerimaan (MAP) mulai dari realisasi TA setahun yang lalu, sasaran tahun berjalan, TA yang direncanakan dan TA berikutnya. Kementerian Negara/Lembaga Arus dokumen dalam penyusunan RKA-KL adalah sebagai berikut: No. Keterangan Kementerian Negara/ Lembaga Unit Kerja Eselon I Unit operasional (Eselon II dan Eselon III) 1 2 3 4 5 1. Formulir 1.5 2. Formulir 1.1 3. Formulir 1.2 4. Formulir 1.3 5. Formulir 1.4 6. Formulir 2.1 7. Formulir 2.2 8. Formulir 2.3 9.. Formulir 2.4 10. Formulir 3.1 11. Formulir 3.2 12. Formulir 3.3 13. Formulir 3.4 Pengisian formulir dimulai dengan masing-masing Satuan Kerja mengisi Formulir 1.1 (Rincian Kegiatan dan Keluaran untuk Satuan Kerja) kemudian mengisi Formulir 1.2 (Rincian Anggaran Belanja Satuan Kerja), Formulir 1.3 (Rincian Anggaran Belanja per Jenis Belanja) dan Formulir 1.4 (Rincian Anggaran Pendapatan per MAP). Untuk mengisi alokasi biaya untuk masing-masing kegiatan pada Formulir 1.2 dan 1.3 perlu membuat perhitungan sesuai dengan Formulir 1.5 . Selanjutnya untuk masing-masing organisasi tingkat Eselon I dan kementerian negara/lembaga tinggal menjumlahkan sesuai dengan urutan diagram di atas. Pengisian masing-masing formulir adalah sebagai berikut: Formulir 1.1 1. Header diisi dengan:
Nama dan kode satuan kerja (termasuk kode kementerian negara/lembaga dan kode unit unit organisasi).
Nama dan kode lokasi (termasuk kode propinsi dan kabupaten/kota).
Nama dan kode program (termasuk kode fungsi dan sub fungsi).
Sasaran program, yaitu uraian tentang hasil ( outcome ) yang menjadi sasaran program.
Kolom 1 diisi dengan nomor masing-masing kegiatan dan sub nomor untuk masing-masing indikator keluaran dari kegiatan dimaksud.
Kolom 2 diisi dengan nama masing-masing kegiatan dan indikator keluaran dari kegiatan dimaksud.
Kegiatan adalah sekumpulan tindakan pengerahan sumberdaya baik yang berupa personil (sumberdaya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumberdaya tersebut sebagai masukan ( input) untuk menghasilkan keluaran ( output ) dalam bentuk barang/ jasa. Contoh Nama Kegiatan: - Administrasi Umum. - Peningkatan Efisiensi Pengeluaran Negara.
Indikator Keluaran adalah sesuatu yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan berupa barang atau jasa. Contoh Indikator Keluaran : - Pelayanan Administrasi Umum. - Penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM).
Kolom 3 diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan. Contoh Satuan Keluaran : - Orang (yang dilayani). - Km (jalan yang yang diperbaiki). - Buah (Surat ijin yang diterbitkan).
Kolom 4 sampai dengan Kolom 7 diisi dengan sasaran keluaran yaitu jumlah atau kuantitas yang hendak dicapai oleh Satuan Kerja pada TA tertentu.
Kolom 4 diisi dengan sasaran keluaran yang telah dicapai oleh Satuan Kerja pada tahun 200X-2 atau 2 tahun sebelum tahun yang direncanakan.
Kolom 5 diisi dengan sasaran keluaran atau kuantitas yang akan dicapai oleh Satuan Kerja pada tahun 200X-1 atau setahun sebelum tahun yang direncanakan.
Kolom 6 diisi dengan sasaran keluaran atau kuantitas yang akan dicapai oleh Satuan Kerja pada tahun 200X atau tahun yang direncanakan.
Kolom 7 diisi dengan sasaran keluaran atau kuantitas yang akan dicapai oleh Satuan Kerja pada tahun 200X+1 atau setahun setelah tahun yang direncanakan.
Kolom 8 diisi dengan tingkat kewenangan pelaksanaan kegiatan dimaksud, yaitu a. KP untuk Kantor Pusat.
KD untuk Kantor Daerah (Instansi Pusat di daerah).
DK untuk Dekonsentrasi.
TP untuk Tugas Pembantuan.
Kolom 9 diisi dengan kode lokasi tempat kegiatan dilaksanakan.
Kolom 10 diisi dengan pejabat pelaksana kegiatan yang bertanggung jawab atas penyelesaian kegiatan atau pencapaian keluaran. Formulir 1.2 1. Header diisi dengan :
Nama dan kode satuan kerja (termasuk kode kementerian negara/lembaga dan kode unit unit organisasi).
Nama dan kode lokasi (termasuk kode propinsi dan kabupaten/kota).
Nama dan kode program (termasuk kode fungsi dan sub fungsi).
Kolom 1 diisi dengan kode kegiatan.
Kolom 2 diisi dengan uraian kegiatan yang dilaksanakan.
Kolom 3 diisi dengan jumlah realisasi anggaran untuk kegiatan dimaksud pada 2 tahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-2).
Kolom 4 diisi dengan jumlah anggaran untuk kegiatan dimaksud pada tahun anggaran yang berjalan atau setahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-1).
Kolom 5 s.d. Kolom 7 diisi diisi dengan jumlah anggaran untuk kegiatan dimaksud pada tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X), dengan rincian :
Kolom 5 diisi dengan jumlah dana yang telah ditetapkan atau disepakati tahun anggaran sebelumya (Prakiraan Maju TA 200X-1).
Kolom 6 diisi dengan perubahan yaitu perkiraan biaya atas pengaruh inflasi/deflasi, tambahan ataupun pengurangan atas perubahan kapasitas atas program dan kegiatan, ataupun tambahan atau pengurangan atas perubahan program dan kegiatan setelah dilakukan evaluasi program dan kegiatan.
Kolom 7 diisi dengan jumlah kumulatif kolom 5 dan kolom 6.
Kolom 8 diisi sumber dana membiayai jumlah belanja tersebut pada kolom 7, yaitu Rupiah Murni (RM), Pinjaman Luar Negeri (PLN) atau Hibah Luar Negeri (HLN).
Kolom 9 diisi dengan Prakiraan Maju TA 200X+1, yaitu jumlah perkiraan biaya untuk melaksanakan program dan kegiatan sesuai dengan perkiraan kapasitas tahun yang akan datang (TA 200X+1) dengan perkiraan biaya tahun berjalan.
Kolom 10 diisi sumber dana membiayai jumlah belanja tersebut pada kolom 9, yaitu Rupiah Murni (RM), Pinjaman Luar Negeri (PLN) atau Hibah Luar Negeri (HLN). Formulir 1.3 1. Header diisi dengan:
Nama dan kode satuan kerja (termasuk kode kementerian negara/lembaga dan kode unit unit organisasi).
Nama dan kode lokasi (termasuk kode propinsi dan kabupaten/kota).
Nama dan kode program (termasuk kode fungsi dan sub fungsi).
Kolom 1 diisi dengan kode kegiatan.
Kolom 2 diisi dengan uraian kegiatan yang dilaksanakan.
Kolom 3 s.d. Kolom 9 diisi dengan jumlah biaya untuk melaksanakan masing-masing program dan kegiatan yang dirinci berdasarkan jenis belanja. Perhitungan biaya masing-masing program dan kegiatan untuk tiap jenis belanja disesuaikan dengan Formulir 1.5.
Kolom 3 diisi dengan jumlah belanja pegawai yang sudah mengikat, yaitu untuk pembayaran gaji dan tunjangan.
Kolom 4 diisi dengan jumlah belanja pegawai yang tidak mengikat, yaitu untuk pembayaran honor, lembur dan lain-lain belanja pegawai.
Kolom 5 diisi dengan jumlah belanja barang yang sudah mengikat, sebagai contoh biaya langganan daya dan jasa serta pengeluaran lain yang tidak dapat dihindarkan untuk dibiayai.
Kolom 6 diisi dengan jumlah belanja barang yang tidak mengikat, yaitu untuk pembayaran belanja barang dan jasa selain tersebut pada kolom5.
Kolom 7 dan 8 masing-masing diisi dengan belanja modal dan bantuan sosial yang tidak mengikat.
Kolom 9 diisi dengan jumlah belanja dari kolom 3 sampai dengan kolom 8.
Kolom 10 diisi sumber dana membiayai jumlah belanja tersebut pada kolom 9, yaitu Rupiah Murni (RM), Pinjaman Luar Negeri (PLN) atau Hibah Luar Negeri (HLN).
Kolom 11 diisi dengan tingkat kewenangan penggunaan dana sebagaimana tersebut pada kolom 9. Cara pengisian sama dengan Formulir 1.5 kolom 8.
Kolom 12 diisi dengan keterangan lain yang diperlukan. Formulir 1.4 1. Header diisi dengan :
Nama dan kode satuan kerja (termasuk kode kementerian negara/lembaga dan kode unit unit organisasi).
Nama dan kode lokasi (termasuk kode propinsi dan kabupaten/kota).
Nama dan kode program (termasuk kode fungsi dan sub fungsi).
Kolom 1 diisi dengan kode kegiatan.
Kolom 2 diisi dengan uraian kegiatan, kelompok pendapatan, sub kelompok pendapatan dan Mata Anggaran Penerimaan (MAP) yang akan menjadi penerimaan negara pada kegiatan dimaksud.
Kolom 3 diisi dengan jumlah realisasi pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada 2 tahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-2).
Kolom 4 diisi dengan jumlah sasaran pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada setahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-1) atau tahun berjalan.
Kolom 5 diisi dengan jumlah estimasi pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X).
Kolom 6 diisi dengan jumlah estimasi pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada satu tahun setelah yang tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X+1).
Kolom 7 diisi dengan keterangan tambahan yang diperlukan. Formulir 1.5 1. Header diisi dengan:
Nama dan kode satuan kerja (termasuk kode kementerian negara/lembaga dan kode unit unit organisasi).
Nama dan kode lokasi (termasuk kode propinsi dan kabupaten/kota).
Nama dan kode program (termasuk kode fungsi dan sub fungsi).
Kolom 1 diisi dengan kode yang sesuai dengan komlom 2, seperti kode kegiatan, kode sub kegiatan, kode jenis belanja dan kode jenis pengeluaran.
Kolom 2 diisi dengan uraian yang sesuai, yaitu kegiatan, sub kegiatan, jenis belanja dan jenis pengeluaran.
Nama kegiatan sebagaimana tersebut pada Formulir 1.1 kolom 2.
Sub Kegiatan merupakan bagian dari kegiatan yang mempunyai pelaksana tersendiri di bawah kontrol pelaksana kegiatan.
Jenis Belanja diisi dengan nama jenis belanja sebagaimana Klasifikasi Anggaran menunut Jenis Belanja terlampir.
Jenis perhitungan biaya untuk masing-masing jenis belanja dan/atau pengeluaran yang pengeluaran adalah rincian lebih lanjut dari Jenis Belanja.
Kolom 3 penyediaan biaya untuk masing-masing jenis belanja dan/atau pengeluaran pada tahun anggaran berjalan.
Kolom 4,5 dan 6 direncanakan pada tahun anggaran yang direncanakan.
Kolom 4 diisi dengan volume masukan yang dibutuhkan.
Kolom 5 diisi dengan harga satuan atau indeks biaya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku untuk masing-masing masukan.
Kolom 6 diisi dengan biaya pada masing-masing jenis belanja dan atau jenis pengeluaran (perkalian kolom 4 dengan kolom 5).
Kolom 7 diisi dengan sumber dana dan cara penarikan dana yang digunakan untuk membiayai perhitungan biaya tersebut pada kolom 6, yaitu:
Untuk Sumber dana diisi dengan : Rupiah Murni (RM) atau Pinjaman Luar Negeri (PLN) dan Hibah Luar Negeri (HLN).
Untuk Cara Penarikan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri diisi dengan: PL (Pembayaran Langsung), RK (Rekening Khusus) atau PP (Pembiayaan Pendahuluan). Sedangkan untuk Rupiah Murni dikosongkan.
Kolom 8 diisi dengan tingkat kewenangan penggunaan dana sebagaimana tersebut pada kolom 6, yaitu:
KP untuk Kantor Pusat.
KD untuk Kantor Daerah (Instansi Pusat di daerah).
DK untuk Dekonsentrasi.
TP untuk Tugas Perbantuan.
Kolom 9 diisi perhitungan biaya untuk masing-masing jenis belanja dan/atau pengeluaran yang dilakukan pada tahun anggaran berikutnya.
Kolom 10 diisi dengan sumber dana dan cara penarikan yang digunakan untuk membiayai perhitungan biaya tersebut pada kolom 9. Cara pengisian sama dengan kolom 7.
Kolom 11 diisi dengan tingkat kewenangan penggunaan dana sebagaimana tersebut pada kolom 9. Cara pengisian sama dengan kolom 8. Formulir 2.1 1. Header diisi dengan:
Nama dan kode Unit Organisasi (termasuk kode kementerian negara/lembaga).
Nama dan kode Sub Fungsi (termasuk kode fungsi).
Nama dan kode program (termasuk kode fungsi dan sub fungsi).
Sasaran program, yaitu uraian tentang hasil ( outcome ) yang menjadi sasaran program.
Kolom 1 diisi dengan nomor masing-masing kegiatan dan sub nomor untuk masing-masing indikator keluaran dari kegiatan dimaksud.
Kolom 2 diisi dengan nama masing-masing kegiatan dan indikator keluaran dari kegiatan dimaksud. Cara pengisian sama dengan Formulir 1.1 kolom 2.
Kolom 3 diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan.
Kolom 4 sampai dengan Kolom 7 diisi dengan sasaran keluaran yaitu jumlah atau kuantitas yang hendak dicapai oleh Unit Organisasi pada TA tertentu.
Kolom 4 diisi dengan sasaran keluaran yang telah dicapai pada tahun 200X-2 atau 2 tahun sebelum tahun yang direncanakan.
Kolom 5 diisi dengan sasaran keluaran atau kuantitas yang akan dicapai oleh Unit Organisasi pada tahun 200X-1 atau pada tahun anggaran berjalan.
Kolom 6 diisi dengan sasaran keluaran atau kuantitas yang akan dicapai oleh Unit Organisasi pada tahun 200X atau tahun yang direncanakan.
Kolom 7 diisi dengan sasaran keluaran atau kuantitas yang akan dicapai oleh Unit Organisasi pada tahun 200X+1 atau setahun setelah tahun yang direncanakan.
Kolom 8 diisi dengan keterangan tambahan. Formulir 2.2 1. Header diisi dengan :
Nama dan kode Unit Organisasi (termasuk kode kementerian negara/lembaga).
Nama dan kode program (termasuk kode fungsi dan sub fungsi).
Kolom 1 diisi dengan kode program dan kegiatan.
Kolom 2 diisi dengan uraian program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Unit Organisasi.
Kolom 3 diisi dengan jumlah realisasi anggaran untuk kegiatan dimaksud pada 2 tahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-2).
Kolom 4 diisi dengan jumlah anggaran untuk kegiatan dimaksud pada tahun anggaran yang berjalan atau setahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-1).
Kolom 5 s.d. Kolom 7 diisi diisi dengan jumlah anggaran untuk kegiatan dimaksud pada tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X), dengan rincian :
Kolom 5 diisi dengan jumlah dana yang telah ditetapkan atau disepakati tahun anggaran sebelumya (Prakiraan Maju TA 200X-1).
Kolom 6 diisi dengan perubahan yaitu perkiraan biaya atas pengaruh inflasi/deflasi, tambahan ataupun pengurangan atas perubahan kapasitas atas program dan kegiatan, ataupun tambahan atau pengurangan atas perubahan program dan kegiatan setelah dilakukan evaluasi program dan kegiatan.
Kolom 7 diisi dengan jumlah kumulatif kolom 5 dan kolom 6.
Kolom 8 diisi sumber dana membiayai jumlah belanja tersebut pada kolom 7, yaitu Rupiah Murni (RM), Pinjaman Luar Negeri (PLN) atau Hibah Luar Negeri (HLN).
Kolom 9 diisi Kolom 8 diisi dengan tingkat kewenangan penggunaan dana, yaitu:
KP untuk Kantor Pusat.
KD untuk Kantor Daerah (Instansi Pusat di daerah).
DK untuk Dekonsentrasi.
TP untuk Tugas Perbantuan.
Kolom 10 diisi dengan Prakiraan Maju TA 200X+1, yaitu jumlah perkiraan biaya untuk melaksanakan program dan kegiatan sesuai dengan perkiraan kapasitas tahun yang akan datang (TA 200X+1) dengan perkiraan biaya tahun berjalan. Formulir 2.3 1. Header diisi dengan :
Nama dan kode Unit Organisasi (termasuk kode kementerian negara/lembaga.
Nama dan kode program (termasuk kode fungsi dan sub fungsi).
Kolom 1 diisi dengan kode program dan kegiatan.
Kolom 2 diisi dengan uraian program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Unit Organisasi.
Kolom 3 s.d. Kolom 9 diisi dengan jumlah biaya untuk melaksanakan masing-masing program dan kegiatan yang dirinci berdasarkan jenis belanja. Perhitungan biaya masing-masing program dan kegiatan untuk tiap jenis belanja disesuaikan dengan Formulir 1.5.
Kolom 3 diisi dengan jumlah belanja pegawai yang sudah mengikat, yaitu untuk pembayaran gaji dan tunjangan.
Kolom 4 diisi dengan jumlah belanja pegawai yang tidak mengikat, yaitu untuk pembayaran honor, lembur dan lain-lain belanja pegawai.
Kolom 5 diisi dengan jumlah belanja barang yang sudah mengikat, sebagai contoh biaya langganan daya dan jasa serta pengeluaran lain yang tidak dapat dihindarkan untuk dibiayai.
Kolom 6 diisi dengan jumlah belanja barang yang tidak mengikat, yaitu untuk pembayaran belanja barang dan jasa selain tersebut pada kolom5.
Kolom 7 dan 8 masing-masing diisi dengan belanja modal dan bantuan sosial yang tidak mengikat.
Kolom 9 diisi dengan jumlah belanja dari kolom 3 sampai dengan kolom 8.
Kolom 10 diisi sumber dana membiayai jumlah belanja tersebut pada kolom 9, yaitu Rupiah Murni (RM), Pinjaman Luar Negeri (PLN) atau Hibah Luar Negeri (HLN).
Kolom 11 diisi dengan tingkat kewenangan penggunaan dana sebagaimana tersebut pada kolom 9. Cara pengisian sama dengan Formulir 1.5 kolom 8.
Kolom 12 diisi dengan keterangan lain yang diperlukan. Formulir 2.4 1. Header diisi dengan :
Nama dan kode satuan kerja (termasuk kode kementerian negara/lembaga dan kode unit unit organisasi).
Nama dan kode fungsi dan sub fungsi.
Kolom 1 diisi dengan kode program dan kode kegiatan.
Kolom 2 diisi dengan uraian program, kegiatan, kelompok pendapatan, sub kelompok pendapatan dan Mata Anggaran Penerimaan (MAP) yang akan menjadi penerimaan negara pada program dan kegiatan dimaksud.
Kolom 3 diisi dengan jumlah realisasi pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada 2 tahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-2).
Kolom 4 diisi dengan jumlah sasaran pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada setahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-1) atau tahun berjalan.
Kolom 5 diisi dengan jumlah estimasi pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X).
Kolom 6 diisi dengan jumlah estimasi pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada satu tahun setelah yang tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X+1).
Kolom 7 diisi dengan keterangan tambahan yang diperlukan. Formulir 3.1 1. Header diisi dengan:
Nama dan kode kode kementerian negara/lembaga.
Nama dan kode Sub Fungsi (termasuk kode fungsi).
Nama dan kode program (termasuk kode fungsi dan sub fungsi).
Sasaran program, yaitu uraian tentang hasil ( outcome ) yang menjadi sasaran program.
Kolom 1 diisi dengan nomor masing-masing kegiatan dan sub nomor untuk masing-masing indikator keluaran dari kegiatan dimaksud.
Kolom 2 diisi dengan nama masing-masing kegiatan dan indikator keluaran dari kegiatan dimaksud. Cara pengisian sama dengan Formulir 1.1 kolom 2.
Kolom 3 diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan.
Kolom 4 sampai dengan Kolom 7 diisi dengan sasaran keluaran yaitu jumlah atau kuantitas yang hendak dicapai oleh Unit Organisasi pada kementerian negara/lembaga pada TA tertentu.
Kolom 4 diisi dengan sasaran keluaran yang telah dicapai pada tahun 200X-2 atau 2 tahun sebelum tahun yang direncanakan.
Kolom 5 diisi dengan sasaran keluaran atau kuantitas yang akan dicapai oleh Unit Organisasi pada tahun 200X-1 atau pada tahun anggaran berjalan.
Kolom 6 diisi dengan sasaran keluaran atau kuantitas yang akan dicapai oleh Unit Organisasi pada tahun 200X atau tahun yang direncanakan.
Kolom 7 diisi dengan sasaran keluaran atau kuantitas yang akan dicapai oleh Unit Organisasi pada tahun 200X+1 atau setahun setelah tahun yang direncanakan.
Kolom 8 diisi dengan keterangan tambahan. Formulir 3.2 1. Header diisi dengan nama dan kode kementerian negara/lembaga.
Kolom 1 diisi dengan kode unit organisasi, program dan kegiatan.
Kolom 2 diisi dengan nama unit organisasi, uraian program dan kegiatan.
Kolom 3 diisi dengan jumlah realisasi anggaran untuk kegiatan dimaksud pada 2 tahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-2).
Kolom 4 diisi dengan jumlah anggaran untuk kegiatan dimaksud pada tahun anggaran yang berjalan atau setahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-1).
Kolom 5 s.d. Kolom 7 diisi diisi dengan jumlah anggaran untuk kegiatan dimaksud pada tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X), dengan rincian :
Kolom 5 diisi dengan jumlah dana yang telah ditetapkan atau disepakati tahun anggaran sebelumya (Prakiraan Maju TA 200X-1).
Kolom 6 diisi dengan perubahan yaitu perkiraan biaya atas pengaruh inflasi/deflasi, tambahan ataupun pengurangan atas perubahan kapasitas atas program dan kegiatan, ataupun tambahan atau pengurangan atas perubahan program dan kegiatan setelah dilakukan evaluasi program dan kegiatan.
Kolom 7 diisi dengan jumlah kumulatif kolom 5 dan kolom 6.
Kolom 8 diisi sumber dana membiayai jumlah belanja tersebut pada kolom 7, yaitu Rupiah Murni (RM), Pinjaman Luar Negeri (PLN) atau Hibah Luar Negeri (HLN).
Kolom 9 diisi Kolom 8 diisi dengan tingkat kewenangan penggunaan dana, yaitu:
KP untuk Kantor Pusat.
KD untuk Kantor Daerah (Instansi Pusat di daerah).
DK untuk Dekonsentrasi.
TP untuk Tugas Perbantuan.
Kolom 10 diisi dengan Prakiraan Maju TA 200X+1, yaitu jumlah perkiraan biaya untuk melaksanakan program dan kegiatan sesuai dengan perkiraan kapasitas tahun yang akan datang (TA 200X+1) dengan perkiraan biaya tahun berjalan. Formulir 3.3 1. Header diisi dengan nama dan kode kementerian negara/lembaga.
Kolom 1 diisi dengan kode unit organisasi, program dan kegiatan.
Kolom 2 diisi dengan nama unit organisasi, uraian program dan kegiatan.
Kolom 3 s.d. Kolom 9 diisi dengan jumlah biaya untuk melaksanakan masing-masing program dan kegiatan yang dirinci berdasarkan jenis belanja. Perhitungan biaya masing-masing program dan kegiatan untuk tiap jenis belanja disesuaikan dengan Formulir 1.5.
Kolom 3 diisi dengan jumlah belanja pegawai yang sudah mengikat, yaitu untuk pembayaran gaji dan tunjangan.
Kolom 4 diisi dengan jumlah belanja pegawai yang tidak mengikat, yaitu untuk pembayaran honor, lembur dan lain-lain belanja pegawai.
Kolom 5 diisi dengan jumlah belanja barang yang sudah mengikat, sebagai contoh biaya langganan daya dan jasa serta pengeluaran lain yang tidak dapat dihindarkan untuk dibiayai.
Kolom 6 diisi dengan jumlah belanja barang yang tidak mengikat, yaitu untuk pembayaran belanja barang dan jasa selain tersebut pada kolom 5.
Kolom 7 dan 8 masing-masing diisi dengan belanja modal dan bantuan sosial yang tidak mengikat.
Kolom 9 diisi dengan jumlah belanja dari kolom 3 sampai dengan kolom 8.
Kolom 10 diisi sumber dana membiayai jumlah belanja tersebut pada kolom 9, yaitu Rupiah Murni (RM), Pinjaman Luar Negeri (PLN) atau Hibah Luar Negeri (HLN).
Kolom 11 diisi dengan tingkat kewenangan penggunaan dana sebagaimana tersebut pada kolom 9. Cara pengisian sama dengan Formulir 1.5 kolom 8.
Kolom 12 diisi dengan keterangan lain yang diperlukan. Formulir 3.4 1. Header diisi dengan nama dan kode kementerian negara/lembaga.
Kolom 1 diisi dengan kode Unit Organisasi, kode program dan kode kegiatan.
Kolom 2 diisi dengan nama Unit Organisasi, uraian program, kegiatan, kelompok pendapatan, sub kelompok pendapatan dan Mata Anggaran Penerimaan (MAP) yang akan menjadi penerimaan negara pada program dan kegiatan dimaksud.
Kolom 3 diisi dengan jumlah realisasi pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada 2 tahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-2).
Kolom 4 diisi dengan jumlah sasaran pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada setahun sebelum tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X-1) atau tahun berjalan.
Kolom 5 diisi dengan jumlah estimasi pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X).
Kolom 6 diisi dengan jumlah estimasi pendapatan untuk kegiatan dimaksud pada satu tahun setelah yang tahun anggaran yang direncanakan (TA 200X+1).
Kolom 7 diisi dengan keterangan tambahan yang diperlukan. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Kehutanan
Relevan terhadap
Kerja sama dengan koperasi masyarakat setempat dimaksudkan agar masyarakat yang tinggal di dalam dan disekitar hutan merasakan dan mendapatkan manfaat hutan secara langsung, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka, serta sekaligus dapat menumbuhkan rasa ikut memiliki. Dalam kerja sama tersebut kearsipan tradisional dan nilai-nilai keutamaan, yang terkandung dalam budaya masyarakat dan sudah mengakar, dapat dijadikan aturan yang disepakati bersama. Kewajiban BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia bekerja sama dengan koperasi bertujuan untuk memberdayakan koperasi masyarakat setempat agar secara bertahap dapat menjadi koperasi yang tangguh, mandiri, dan profesional. Koperasi masyarakat setempat yang telah menjadi koperasi tangguh, mandiri, dan profesional diperlakukan setara dengan BUMN, BUMD, BUMS Indonesia. Dalam hal koperasi masyarakat setempat belum terbentuk, BUMN, MUMD, dan BUMS Indonesia turut mendorong segera terbentuknya koperasi tersebut. Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan aspek kelestarian hutan meliputi:
kelestarian lingkungan, b. kelestarian produksi, dan c. terselenggaranya fungsi sosial dan budaya yang adil merata dan transparan. Yang dimaksud dengan aspek kepastian usaha meliputi:
kepastian kawasan, b. kepastian waktu usaha, dan c. kepastian jaminan hukum berusaha. Untuk mewujudkan asas keadilan, pemerataan dan lestari, serta kepastian usaha, perlu diadakan penataan ulang terhadap izin usaha pemanfaatan hutan. Ayat (2) Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
pembatasan luas, b. pembatasan jumlah izin usaha, dan c. penataan lokasi usaha. Pasal 32 Khusus bagi pemegang izin usaha pemanfaatan berskala besar, selain diwajibkan untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya, juga mempunyai kewajiban untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan tempat usahanya. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan pengolahan hasil hutan adalah pengolahan hulu hasil hutan. Ayat (3) Untuk menjaga keseimbangan penyediaan bahan baku hasil hutan terhadap permintaan bahan baku industri hulu pengolahan hasil hutan, maka pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri pengolahan hulu hasil hutan diatur oleh Menteri. Pasal 34 Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus adalah pengelolaan dengan tujuan-tujuan khusus seperti penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta untuk kepentingan sosial budaya dan penerapan teknologi tradisional (indigenous technology). Untuk itu dalam pelaksanaannya harus memperhatikan sejarah perkembangan masyarakat dan kelembagaan adat (indigenous institution), serta kelestarian dan terpeliharanya ekosistem. Pasal 35 Ayat (1) Iuran izin usaha pemanfaatan hutan adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan hutan atas suatu kawasan hutan tertentu, yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan. Besarnya iuran tersebut ditentukan dengan tarif progresif sesuai luas areal. Provisi sumber daya hutan adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai instrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. Dana reboisasi adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan. Dana tersebut digunakan hanya untuk membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi serta kegiatan pendukungnya. Dana jaminan kinerja adalah dana milik pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, sebagai jaminan atas pelaksanaan izin usahanya, yang dapat dicairkan kembali oleh pemegang izin usaha apabila kegiatan usahanya dinilai memenuhi ketentuan usaha pemanfaatan hutan secara lestari. Ayat (2) Dana investasi pelestarian hutan adalah dana yang diarahkan untuk membiayai segala jenis kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka menjamin kelestarian hutan, antara lain biaya konservasi, biaya perlindungan hutan, dan biaya penanganan kebakaran hutan. Dana tersebut dikelola oleh lembaga yang dibentuk oleh dunia usaha bidang kehutanan bersama Menteri. Pengelolaan dana dan operasional lembaga tersebut dibawah koordinasi dan pengawasan Menteri. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
tata cara pengenaan;
tata cara pembayaran;
tata cara pengelolaan;
tata cara penggunaan; dan
tata cara pengawasan dan pengendalian. Pasal 36 Ayat (1) Pemanfaatan hutan hak yang mempunyai fungsi produksi, dapat dilakukan kegiatan untuk memproduksi hasil hutan sesuai potensi dan daya dukung lahannya. Ayat (2) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26. Pemerintah memberikan kompensasi kepada pemegang hutan hak, apabila hutan hak tersebut diubah menjadi kawasan hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 37 Ayat (1) Terhadap hutan adat diperlakukan kewajiban-kewajiban sebagaimana dikenakan terhadap hutan negara sepanjang hasil hutan tersebut diperdagangkan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 38. Ayat (1) Kepentingan pembangunan di luar kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi ditetapkan secara selektif. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan dilarang. Kepentingan pembangunan di luar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pada prinsipnya di kawasan hutan tidak dapat dilakukan pola pertambangan terbuka. Pola pertambangan terbuka dimungkinkan dapat dilakukan di kawasan hutan produksi dengan ketentuan khusus dan secara selektif. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 39 Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
tata cara pemberian izin, b. pelaksanaan usaha pemanfaatan, c. hak dan kewajiban, dan d. pengendalian dan pengawasan. Pasal 40 Rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan secara bertahap, dalam upaya pemulihan serta pengembangan fungsi sumber daya hutan dan lahan baik fungsi produksi maupun fungsi lindung dan konservasi. Upaya meningkatkan daya dukung serta produktivitas hutan dan lahan dimaksudkan agar hutan dan lahan mampu berperan sebagai sistem penyangga kehidupan, termasuk konservasi tanah dan air, dalam rangka pencegahan banjir dan pencegahan erosi. Pasal 41 Ayat (1) Kegiatan reboisasi dan penghijauan merupakan bagian rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan reboisasi dilaksanakan di dalam kawasan hutan, sedangkan penghijauan dilaksanakan di luar kawasan hutan. Rehabilitasi hutan dan lahan diprioritaskan pada lahan kritis, terutama yang terdapat di bagian hulu daerah aliran sungai, agar fungsi tata air serta pencegahan terhadap banjir dan kekeringan dapat dipertahankan secara maksimal. Rehabilitasi hutan bakau dan hutan rawa perlu mendapat perhatian yang sama sebagaimana pada hutan lainnya. Ayat (2) Pada cagar alam dan zona inti taman nasional tidak boleh dilakukan kegiatan rehabilitasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya. Pasal 42 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kondisi spesifik biofisik adalah keadaan flora yang secara spesifik cocok pada suatu kawasan atau habitat tertentu sehingga keberadaannya mendukung ekosistem kawasan hutan yang akan direhabilitasi. Penerapan teknik rehabilitasi hutan dan lahan harus mempertimbangkan lokasi spesifik, sehingga perubahan ekosistem dapat dicegah sedini mungkin. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
pengaturan daerah aliran sungai prioritas, b. penyusunan rencana, c. koordinasi antarsektor tingkat pusat dan daerah, d. peranan pihak-pihak terkait, dan e. penggunaan dan pemilihan jenis-jenis tanaman dan teknologi. Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dukungan Pemerintah dapat berupa bantuan teknis, dana, penyuluhan, bibit tanaman, dan lain-lain, sesuai dengan keperluan dan kemampuan Pemerintah. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
teknik, b. tata cara, c. pembiayaan, d. organisasi, e. penilaian, dan f. pengendalian dan pengawasan. Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan perubahan permukaan tanah adalah berubahnya tentang alam pada kawasan hutan. Yang dimaksud dengan perubahan penutupan tanah adalah berubahnya jenis-jenis vegetasi yang semula ada pada kawasan hutan. Ayat (4) Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
pola, teknik, dan metode, b. pembiayaan, c. pelaksanaan, dan d. pengendalian dan pengawasan. Pasal 46 Fungsi konservasi alam berkaitan dengan: konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, konservasi tanah, konservasi air, serta konservasi udara, diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Kewajiban melindungi hutan oleh pemegang izin meliputi pengamanan hutan dari kerusakan akibat perbuatan manusia, ternak, dan kebakaran. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
prinsip-prinsip perlindungan hutan, b. wewenang kepolisian khusus, c. tata usaha peredaran hasil hutan, dan d. pemberian kewenangan operasional kepada daerah. Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Ayat (1) Yang dimaksud dengan orang adalah subjek hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha. Prasarana perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, ilaran api, menara pengawas, dan jalan pemeriksaan. Sarana perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakatan, tanda larangan, dan alat angkut. Ayat (2) Yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan mengerjakan kawasan hutan, adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk perdagangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lainnya. Yang dimaksud dengan menggunakan kawasan hutan adalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan. Yang dimaksud dengan menduduki kawasan hutan adalah menguasai kawasan hutan tanpa membangun tempat permukiman, gedung, dan bangunan lainnya. Huruf b Yang dimaksud dengan merambah adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Huruf c Secara umum jarak tersebut sudah cukup baik untuk mengamankan kepentingan konservasi tanah dan air. Pengecualian dari ketentuan tersebut dapat diberikan oleh Menteri, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. Huruf d Pada prinsipnya pembakaran hutan dilarang. Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Huruf e Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah pejabat yang berwenang adalah pejabat pusat atau daerah yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk memberikan izin. Huruf f Cukup jelas Huruf g a. Yang dimaksud dengan penyelidikan umum adalah penyelidikan secara geologi umum atau geofisika di daratan, perairan, dan dari udara, dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian.
Yang dimaksud dengan eksplorasi adalah segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti dan lebih seksama adanya bahan galian dan sifat letaknya.
Yang dimaksud dengan eksploitasi adalah kegiatan menambang untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya. Huruf h Yang dimaksud dengan "dilengkapi bersama-sama" adalah bahwa pada setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti. Apabila antara isi dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut tidak sama dengan keadaan fisik baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai berikut. Huruf i Pejabat yang berwenang menetapkan tempat-tempat yang khusus untuk kegiatan penggembalaan ternak dan kawasan hutan. Huruf j Yang dimaksud dengan alat-alat berat untuk mengangkut, antara lain berupa traktor, buldozer, truk, logging truck, trailer, crane, tongkang, perahu, klotok, helikopter, jeep, tugboat, dan kapal. Huruf k Tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah masyarakat yang membawa alat-alat seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya, sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat. Huruf l Cukup jelas Huruf m Cukup jelas Ayat (4) Undang-undang yang mengatur tentang ketentuan mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Ayat (1) Kualitas sumber daya manusia (SDM) dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) memiliki peran yang sangat menentukan dalam mewujudkan hutan yang lestari. Ayat (2) Kearifan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia merupakan kekayaan kultural, baik berupa seni dan atau teknologi maupun nilai-nilai yang telah menjadi tradisi atau budaya masyarakat. Kekayaan tersebut merupakan modal sosial untuk peningkatan dan pengembangan kualitas SDM dan penguasaan IPTEK kehutanan. Ayat (3) Plasma nutfah adalah substansi pembawa sifat keturunan yang dapat berupa organ utuh atau bagian dari tumbuhan atau hewan serta jasad renik. Plasma nutfah merupakan kekayaan alam yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional. Pencurian plasma nutfah adalah mengambil atau memanfaatkan plasma nutfah secara tidak sah atau tanpa izin. Pasal 53 Ayat (1) Budaya IPTEK adalah kesadaran akan pentingnya IPTEK yang diartikulasikan dalam sikap dan perilaku masyarakat, yang secara konsisten mau dan mampu memahami, menguasai, menciptakan, menetapkan, dan mengembangkan IPTEK dan kehidupan sehari-hari. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan Pemerintah adalah lembaga penelitian dan pengembangan (Litbang) departemen yang bertanggung jawab di bidang kehutanan bersama-sama lembaga penelitian nondepartemen. Yang dimaksud dengan perguruan tinggi adalah perguruan tinggi negeri dan swasta. Yang dimaksud dengan dunia usaha adalah unit litbang BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia. Yang dimaksud dengan masyarakat adalah perorangan atau kelompok, antara lain pondok pesantren, lembaga keagamaan lainnya, atau lembaga swadaya masyarakat. Ayat (4) Untuk mendorong dan menciptakan kondisi yang kondusif, Pemerintah melakukan inisiatif dan koordinasi bagi terselenggaranya penelitian dan pengembangan, antara lain melalui kebijakan yang berorientasi pada penciptaan insentif dan desinsentif yang memadai. Pasal 54 Ayat (1) Pemerintah mengembangkan hasil-hasil penelitian dalam bidang kehutanan menjadi paket teknologi tepat guna, untuk dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Ayat (2) Untuk menjamin keberlanjutan inovasi, penemuan, dan pengembangan IPTEK, diperlukan jaminan hukum bagi para penemunya untuk dapat memperoleh manfaat dari hasil temuannya. Yang dimaksud melindungi adalah melindungi dari pencurian terhadap hak paten, hak cipta, merk, atau jenis hak lainnya yang menjadi hak istimewa yang dimiliki oleh peneliti atau lembaga Litbang. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 55 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Semua upaya pemanfaatan dan pengembangan IPTEK hendaknya merupakan manifestasi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan diarahkan untuk kepentingan manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Ayat (3) Penyelenggaraan pendidikan dan latihan dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga internasional. Yang dimaksud dengan masyarakat adalah perorangan atau kelompok, antara lain pondok pesantren, lembaga keagamaan lainnya, atau lembaga swadaya masyarakat. Ayat (4) Mengingat penyelenggaraan pendidikan dan latihan kehutanan tidak hanya dilaksanakan oleh Pemerintah, maka peran serta dunia usaha dan masyarakat sangat diperlukan. Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah harus mengambil inisiatif dan melakukan koordinasi dalam mendorong dan menciptakan situasi yang kondusif. Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Mengingat penyelenggaraan penyuluhan kehutanan tidak dapat dilaksanakan hanya oleh Pemerintah, maka peran serta dunia usaha dan masyarakat sangat diperlukan. Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah harus mengambil inisiatif dan melakukan koordinasi dalam mendorong dan menciptakan situasi yang kondusif. Pasal 57 Ayat (1) Untuk penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, diperlukan biaya yang cukup besar dan berkelanjutan, guna percepatan pengembangan kualitas SDM dan penguasaan IPTEK untuk mengejar ketinggalan selama ini. Oleh karena itu diperlukan dana investasi yang memadai. Untuk mengelola dana tersebut, dunia usaha bidang kehutanan bersama Menteri membentuk lembaga. Pengelolaan dana dan operasionalisasi lembaga tersebut di bawah koordinasi dan pengawasan Menteri. Ayat (2) Penyediaan kawasan hutan dimaksudkan untuk dijadikan lokasi penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan, serta pengembangan usaha guna memberdayakan lembaga penelitian, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan. Pasal 58 Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
kelembagaan, b. tata cara kerjasama, c. perizinan, d. pengaturan tenaga peneliti asing, e. pendanaan dan pemberdayaan, f. pengaturan, pengelolaan kawasan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan, g. sistem informasi, dan h. pengawasan dan pengendalian. Pasal 59 Yang dimaksud dengan pengawasan kehutanan adalah pengawasan ketaatan aparat penyelenggara dan pelaksana terhadap semua ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas Pasal 62 Cukup jelas Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Yang dimaksud dengan berdampak nasional adalah kegiatan pengelolaan hutan yang mempunyai dampak terhadap kehidupan bangsa, misalnya penebangan liar, pencurian kayu, penyelundupan kayu, perambahan hutan, dan penambangan dalam hutan tanpa izin. Yang dimaksud dengan berdampak internasional adalah pengelolaan hutan yang mempunyai dampak terhadap hubungan internasional, misalnya kebakaran hutan, labelisasi produk hutan, penelitian dan pengembangan, kegiatan penggundulan hutan, serta berbagai pelanggaran terhadap konvensi internasional. Pasal 65. Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
tata cara dan mekanisme pengawasan;
kelembagaan pengawasan;
obyek pengawasan; dan
tindak lanjut pengawasan. Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Kewenangan yang diserahkan adalah pelaksanaan pengurusan hutan yang bersifat operasional. Ayat (3) Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
jenis-jenis urusan yang kewenangannya diserahkan, b. tata cara dan tata hubungan kerja, c. mekanisme pertanggungjawaban, dan d. pengawasan dan pengendalian. Pasal 67 Ayat (1) Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap);
ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
ada wilayah hukum adat yang jelas;
ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaat; dan
masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Ayat (2) Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Ayat (3) Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
tata cara penelitian, b. pihak-pihak yang diikutsertakan, c. materi penelitian, dan d. kriteria, penilaian keberadaan masyarakat hukum adat. Pasal 68 Ayat (1) Dalam pengertian menikmati kualitas lingkungan, termasuk untuk memperoleh manfaat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Perubahan status atau fungsi hutan dapat berpengaruh pada putusnya hubungan masyarakat dengan hutan atau bahkan kemungkinan menyebabkan hilangnya mata pencaharian mereka. Agar perubahan status dan fungsi hutan dimaksud tidak menimbulkan kesegaran, maka Pemerintah bersama pihak menerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban untuk mengupayakan kompensasi yang memadai, antara lain dalam bentuk mata pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 69 Ayat (1) Yang dimaksud dengan memelihara dan menjaga, adalah mencegah dan menanggulangi terjadinya pencurian, kebakaran hutan, gangguan ternak, perambahan, penduduk, dan lain sebagainya. Ayat (2) Dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan konservasi, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan dalam bentuk bantuan teknis, pelatihan, serta bantuan pembiayaan. Pendampingan dimungkinkan karena adanya keuntungan sosial seperti pengendalian banjir dan kekeringan, pencegahan erosi, serta pemantapan kondisi tata air. Keberadaan lembaga swadaya masyarakat dimaksudkan sebagai mitra sehingga terbentuk infrastruktur sosial yang kuat, mandiri, dan dinamis. Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Forum pemerhati kehutanan merupakan mitra Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengurusan hutan dan berfungsi merumuskan dan mengelola persepsi, aspirasi, dan inovasi masyarakat sebagai masukan bagi Pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan. Keanggotaan forum antara lain terdiri dari organisasi profesi kehutanan, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kehutanan, tokoh-tokoh masyarakat, serta pemerhati kehutanan. Ayat (4) Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
kelembagaan, b. bentuk-bentuk peran serta, dan c. tata cara peran serta. Pasal 71 Cukup jelas Pasal 72 Cukup jelas Pasal 73 Cukup jelas Pasal 74 Cukup jelas Pasal 75 Cukup jelas Pasal 76 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tindakan tertentu adalah tindakan yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah sesuai keputusan pengadilan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 77 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Yang dimaksud dengan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu meliputi Pejabat Pegawai Negeri Sipil di tingkat pusat maupun daerah yang mempunyai tugas dan tanggungjawab dalam pengurusan hutan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Menangkap dan menahan orang yang diduga atau sepatutnya dapat diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Dalam rangka menjaga kelancaran tugas di wilayah-wilayah kerja tertentu, maka penerapan koordinasi dengan pihak POLRI dilaksanakan dengan tetap mengacu KUHP dan disesuaikan dengan kondisi lapangan. Huruf g Cukup jelas Huruf h Penghentian penyidikan wajib diberitahukan kepada penyidik POLRI dan penuntut umum. Ayat (3) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Pejabat Penyidik POLRI, dan hasil penyidikan diserahkan kepada penuntut umum melalui Pejabat Penyidik POLRI. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan bahwa hasil penyidikannya telah memenuhi ketentuan dan persyaratan. Mekanisme hubungan koordinasi antara Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan Pejabat Penyidik POLRI dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 78 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Setiap pidana penjara dan denda kepada terpidana, pelanggaran terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf d, juga dapat dikenakan hukuman pidana tambahan. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Ketentuan pidana yang dikenakan pada ayat ini merupakan pelanggaran terhadap kegiatan yang pada umumnya dilakukan oleh rakyat. Oleh karena itu sanksi pidana yang diberikan relatif ringan dan diarahkan untuk pembinaan. Ayat (9) Cukup jelas Ayat (10) Cukup jelas Ayat (11) Cukup jelas Ayat (12) Cukup jelas Ayat (13) Cukup jelas Ayat (14) Yang termasuk badan hukum dan atau badan usaha, antara lain perseroan terbatas, perseroan komanditer (comanditer venootschaap), firma, koperasi, dan sejenisnya. Ayat (15) Yang termasuk alat angkut, antara lain kapal, tongkang, truk, trailer, ponton, tugboat, perahu layar, helikopter, dan lain-lain. Pasal 79 Cukup jelas Pasal 80 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Sanksi administratif yang dikenakan antara lain berupa denda, pencabutan izin, penghentian kegiatan, dan atau pengurangan areal. Ayat (3) Pengaturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
ketentuan-ketentuan ganti rugi dan sanksi administratif.
bentuk-bentuk sanksi, dan c. pengawasan pelaksanaan. Pasal 81 Cukup jelas
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Opini Perdagangan Internasional dan Kebijakan Fiskal *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Subagio Effendii, pegawai Tugas Belajar di University of Technology Sydney, MEDIAKEUANGAN 40 W abah pandemi COVID-19, selain menciptakan krisis kesehatan global, telah menimbulkan disrupsi yang masif pada tatanan perdagangan internasional. Dari sisi penawaran (supply), upaya lockdown dan working from home mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja yang terlibat dalam aktivitas produksi (labor shortage). Upaya ini juga mengharuskan pemerintah untuk menutup pelabuhan air dan udara yang menghambat distribusi barang antarnegara. Laporan International Air Transport Association menunjukan penurunan kuantitas transportasi kargo internasional sampai dengan bulan Maret 2020 sebesar 23 persen secara year-on-year dengan estimasi kerugian mencapai US$1,6 miliar. Lebih lanjut, kebijakan negara untuk menerapkan pembatasan ekspor __ (export restrictions) demi melindungi pasokan domestik turut menambah kompleksitas permasalahan. World Trade Organization (WTO) mencatat 80 negara, termasuk di dalamnya negara- negara yang menjadi ‘lumbung’ pangan dunia, seperti Rusia, Vietnam, dan Argentina, serta otoritas kepabeanan telah menerapkan export restrictions atas perlengkapan medis, bahan pangan, dan kertas toilet. Dari sisi permintaan ( demand ) , perubahan preferensi konsumsi akibat COVID-19 menyebabkan mismatch antara permintaan dan penawaran. Untuk makanan, misalnya, studi terbaru dari Food and Agriculture Organization menemukan peningkatan minat konsumen terhadap produk makanan yang memiliki cangkang atau kulit serta dikemas dengan rapat. Bahkan, konsumen di beberapa negara tidak segan untuk menolak produk makanan yang berasal dari Tiongkok. Selain itu, upaya lockdown mengharuskan pemerintah untuk menutup pasar tradisional sehingga membatasi akses konsumen terhadap bahan pangan yang mengakibatkan peningkatan food waste. Permasalahan ganda pada supply dan demand menyebabkan penurunan kuantitas perdagangan internasional secara signifikan. WTO mengestimasi penurunan perdagangan tahun ini mencapai 13 persen hingga 32 persen (setara US$8 triliun) terutama di sektor jasa komersial dan barang dengan supply chain yang kompleks. Di samping itu, secara fundamental, disrupsi ini juga membuat premis comparative advantage (David Ricardo, 1817) yang menjadi fondasi ekonomi pasar dan perdagangan internasional menjadi diragukan validitasnya. Premis klasik yang berargumen bahwa social welfare akan optimal jika negara melakukan spesialisasi dengan memproduksi barang yang memiliki opportunity cost terendah sesuai ketersediaan faktor produksi serta membeli kebutuhan lainnya di pasar internasional, nampaknya hanya absah bila mekanisme perdagangan internasional tidak terdisrupsi. Sebaliknya, dalam kondisi terjadi supply and demand shocks , semua negara akan berusaha memproduksi seluruh kebutuhannya di dalam negeri dan sedapat mungkin membatasi ekspor produknya ke luar negeri. Beberapa negara berkembang di Afrika dan Amerika Latin bahkan telah mengadopsi konsep Food Sovereignty and Solidarity yang memberikan hak konstitusional kepada rakyat untuk menentukan pilihan produksi dan konsumsi pangan yang terbaik termasuk penerapan sistem agrikultur yang sesuai dengan sumber daya dan kearifan lokal. Dalam konsep ini, bahan pangan ditempatkan sebagai bagian dari solidaritas kemanusiaan, bukan komoditas komersial sehingga terbebas dari semua ketentuan ekonomi pasar dan perdagangan internasional. Indonesia telah mengadopsi konsepsi kedaulatan pangan dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan namun belum diterapkan secara holistik. Disrupsi perdagangan internasional juga membuat upaya untuk menjaga daya beli masyarakat di masa resesi menjadi problematik. Harus diakui Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan yang esensial di masa pandemi seperti pangan, energi, obat-obatan, dan perlengkapan kesehatan. Badan Pusat Statistik mencatat total impor minyak bumi, beras, gandum, daging, dan kedelai pada tahun 2019 masing- masing mencapai 40.926; 444; 10.692; 262; dan 2.670 ribu ton. Kelangkaan barang esensial di pasar domestik akibat terganggunya impor tentunya akan memicu supply-push inflations yang memukul daya beli masyarakat. Bahkan, jika berkelanjutan, masalah ini dapat memicu konflik sosial yang membuat ‘ongkos’ penanganan pandemi menjadi semakin tinggi. Oleh karenanya, pemerintah perlu segera melakukan langkah strategis untuk memitigasi dampak disrupsi perdagangan sekaligus mencegah krisis kesehatan berkembang menjadi krisis pangan. Dari perspektif kebijakan fiskal, pemerintah telah berupaya mendorong peningkatan pasokan pangan domestik dengan memasukkan industri pertanian, pengolahan bahan pangan, perdagangan, dan jasa penunjang pertanian dalam daftar penerima insentif pajak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan DISRUPSI Nomor 44/PMK.03/2020. Kelompok petani skala kecil juga mendapatkan fasilitas penundaan angsuran pokok dan subsidi bunga atas pinjaman usaha selama enam bulan. Upaya selanjutnya, otoritas fiskal dapat merelaksasi pungutan bea masuk serta pajak impor lainnya atas produk esensial dan menggunakan instrumen kebijakan fiskal, setelah berkoordinasi dengan otoritas perdagangan, sebagai bargaining chips untuk mengafirmasi komitmen para mitra dagang di kawasan, terutama negara-negara produsen bahan pangan seperti Australia, Thailand, Vietnam, dan Myanmar, untuk tetap memberikan akses pasar dan tidak melakukan export restrictions di masa pandemi. Ilustrasi A. Wirananda