Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah atas Penyerahan Bahan Bakar Nabati di dalam Negeri untuk Tahun Anggaran 2009. ...
Relevan terhadap
bahwa dalam rangka mengurangi dampak perubahan iklim ( climate change ) dan mendukung tercapainya sasaran kebijakan energi nasional berupa terwujudnya energi (primer) mix yang optimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b angka 4 Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Diktum PERTAMA angka 12 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, perlu memberikan insentif fiskal berupa Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pernerintah;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Penyerahan Bahan Bakar Nabati di Dalam Negeri Untuk Tahun Anggaran 2009;
Uji materiil terhadap PP 11 tahun 2014 ttg pungutan oleh OJK dan peraturan OJK no.3/POJK.02/2014 ttg tata cara pelaksanaan pungutan oleh OJK ...
Relevan terhadap
ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id (2) Pungutan yang diterima OJK pada tahun berjalan digunakan untuk membiayai kegiatan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada tahun anggaran berikutnya. (3) Dalam hal Pungutan yang diterima OJK pada tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetor ke Kas Negara. Sangat jelas bahwa OJK adalah sebagai Pengaturan sekaligus selaku Pengawasan, Pemeriksaan dan Penyidikan. Dalam kaidah dan norma hukum dan perundang-undangan bahwa Pengawasan, Pemeriksa (Penyelidik) dan Penyidikan tidak boleh menerima uang apapun juga, sedangkan OJK adalah sebagai Superintendent (Pengawas), Pemeriksa (Penyelidik) dan Penyidik, apabila OJK melakukan dan menerima pungutan-pungutan Uang dan dalam bentuk apapun juga, maka menyalahi norma, kaidah dan azas peraturan dan hukum (penyalahgunaan dan melakukan perbuatan melawan hukum. Halmana pungutan dimaksud menghindari dan bukan merupakan Uang Negara, sehingga KPK RI tidak berwenang melakukan pengusutan lebih lanjut terhadap OJK. Sangat riskan dan berbahaya jika ada pengaturan pungutan uang yang dilakukan oleh OJK terhadap pihak yang diatur, diawasi, diperiksa/ diselidiki dan disidik. Pungutan-Pungutan yang dilakukan oleh OJK selaku Pengawas, Penyelidik dan Penyidik terhadap: - Para Pelaku Jasa Keuangan menurut nalar seharusnya tidak perlu dan dihindari serta kebijakan yang salah dan di akal-akal-kan, sangat riskan dan berbahaya serta bertentangan dengan norma-norma, kaidah-kaidah dan azas-azas hukum (walaupun berlindung dengan Peraturan Pemerintah tersebut adalah tetap salah dan pelanggaran serta perbuatan melawan hukum). Perlu diketahui bahwa Pengawas, Penyelidik dan Penyidik yang tidak boleh menerima pungutan apapun juga bentuknya, sebagai contoh: Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Peradilan, Badan Pengawas Keuangan (BPK), Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), Badan Pengawas Komoditi (BAPEKTI), dll-nya. Halaman 11 dari 27 halaman. Putusan Nomor 69 P/HUM/2014 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ...
Relevan terhadap
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas __ profesinya dengan iktikad baik untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 338 NO. UNDANG-UNDANG PASAL kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.
Bahwa untuk memahami ketentuan-ketentuan UU Pengampunan Pajak dipandang perlu untuk merujuk latar belakang perumusan dan pembahasan pasal-pasal terkait dalam Undang-Undang a quo sebagai berikut:
Terkait dengan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak dalam Rapat Panitia Kerja RUU Ke-4 tanggal 1 Juni 2016: Sekjen Kementerian Keuangan dari Pemerintah, menyampaikan bahwa: __ “perlindungan hukum dalam rangka pelaksanaan Undang- Undang Pengampunan Pajak. Ini dimaksudkan apabila ada situasi pegawai Menteri Keuangan Kementerian Keuangan tidak dapat di sini diatur, Pegawai Kementerian Keuangan tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyidikan atau dituntut baik secara perdata maupun Ida apabila melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Mungkin ilustrasi singkat kira-kira kalau ada staf sedang membawa berkas misalnya, kemudian karena sesuatu hal kecopet atau ada kecelakaan berkas itu tercecer satu saja, nah ini tidak dapat dijadikan alasan untuk dilaporkan, digugat, ataupun dilakukan penyidikan karena yang bersangkutan telah melaksanakan itikad baik sebaik-baiknya membawa berkas dan sebagaimana. Secara singkat Pak Dirjen Pajak menyampaikan dalam situasi benar-benar Force major yang di luar kontrol dari pelaksanaan tugas pegawai Kementerian Keuangan dimaksud.” (2) Terkait dengan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak dalam Rapat Panitia Kerja RUU tanggal 21 Juni 2016 H Ecky Awal Mucharam, SE., Ak dari Fraksi PKS, menyampaikan bahwa: __ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 339 “pasal ini normal dan perlu memang, kalau misalnya saya berpendapat bahwa dengan pasal yang tadi itu tidak redanden kenapa pasal yang tadi itu terkait dengan data, kelalaian dalam hal data. Dalam hal ini jelas dia kan masker undang-undang ini dan di dalam Undang-Undang ini tidak boleh mengeluarkan data, artinya ketika mengeluarkan data dia tidak dilindungi dengan pasal ini karna tidak sesuai dengan undang-undang” H. Mukhamad Misbakhun, SE dari Fraksi PG. Menyampaikan bahwa: __ “mendiskusikan pasal inikan kita mendiskuskan sebuah upaya membangun Mutual Trust antara wajib pajak dengan diskus, kalau mereka kemudian melakukan kesalahan itu dihukum. Orang yang beritikad baik juga harus diberikan kenyamanan atau diberikan garansi, selama inikan sering kita temukan ada upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak kepada fiskus banyak misalnya kemudian hanya karena meminjam data dalam prosedur pemeriksaan mereka digugat bahwa mereka melakukan pencurian data oleh wajib pajak, padahal mereka dalam rangka melaksanakan tugas yang didasarkan kepada ketentuan peraturan perundangan yang memberikan kewenangan kepada mereka. Kemudian di dalam Undang- Undang Tax Amensty yang sedang kita susun ini akan memberikan sebuah garansi bahwa mereka akan bekerja dengan sungguh-sungguh dengan itikad baik itu mereka juga harus dijamin dengan Undang-Undang. Cara kita menjaga dan melindungi mereka dengan pasal di Undang-Undang dan itu yang secara jelas harus terstatement di dalam Undang- Undang ini. Terima kasih.” Dra Elviana, M.Si dari Fraksi PPP. menyampaikan bahwa: __ “pimpinan dari awal kita sudah membuat pasal-pasal yang membuat Wajib Pajak itu nyaman dan sekarang Pemerintah meminta perlindungan, bagi saya sekali lagi goal di Undang- Undang ini adalah uang cepat masuk ke Indonesia untuk menutup defisit kita yang kata pak menteri 165 Triliun totalnya. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 340 Oleh sebab itu saya pikir tidak perlu ada lagi perdebatan kita, kita ketok pasal ini kemudian kita lanjut pimpinan.” Prof. Dr. Hendrawan Supraktikno dari Fraksi PDIP. menyampaikan bahwa: __ “pengampunan adalah sebuah upaya legal yang luar biasa. Itu sebabnya proteksi tetap diberikan kepada pihak-pihak yang terkait.” Sekjen Kementerian Keuangan dari Pemerintah, menyampaikan bahwa __ “pasal ini sangat diperlukan buat kami menjalankan Undang- Undang ini dengan penuh keyakinan bahwa kita juga memperoleh perlindungan hukum yang memadai, apabila kita menjalankan Undang-Undang ini dengan itikad baik dengan cara semua prosedur dijalankan dan lain sebagaimana” 9. Bahwa berdasarkan pandangan tersebut, Pasal 21 ayat (2) jo Pasal 22 dan Pasal 23 UU Pengampuan Pajak tidak bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945. Dengan demikian atas dasar uraian tersebut, DPR- RI berpandangan ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 11 ayat (5), Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23 UU Nomor 11 Tahun 2016 tidak bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD Tahun 1945, juga tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon. Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan Para Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menyatakan permohonan Para Pemohon a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menyatakan Keterangan DPR RI dikabulkan untuk seluruhnya; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 341 4. Menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 11 ayat (5), Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak tidak bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 11 ayat (5), Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.5] Menimbang bahwa para Pemohon dan Presiden masing-masing telah menyampaikan kesimpulan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 16 November 2016 dan 17 November 2016, yang pada pokoknya masing- masing menyatakan tetap dengan pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 342 selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (selanjutnya disebut UU 11/2016) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 343 [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.3] dan [3.4] di atas, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo , yaitu Yayasan Satu Keadilan, mendalilkan dirinya sebagai badan hukum privat, yang dalam hal ini diwakili oleh Sugeng Teguh Santoso, S.H. dan Syamsul Alam Agus, S.H. masing- masing dalam kedudukannya selaku Ketua dan Sekretaris Eksekutif Yayasan Satu Keadilan (vide bukti P-4 dan bukti P-5) yang berdasarkan Pasal 16 ayat (5) Akta Pendiriannya (vide bukti-P1) berhak mewakili Yayasan di dalam dan di luar pengadilan tentang segala hal dan segala keadaan dengan pembatasan tertentu dan dalam hal ini, setelah diteliti oleh Mahkamah, telah ternyata tidak termasuk dalam pembatasan sebagaimana dimaksud, sehingga Mahkamah berhak bertindak untuk dan atas nama Yayasan Satu Keadilan sebagai Pemohon dalam permohonan a quo ; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 344 2. Bahwa setelah meneliti maksud dan tujuan Yayasan Satu Keadilan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Akta Pendiriannya, Mahkamah berpendapat bahwa secara implisit mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah termasuk ke dalam maksud dan tujuan Yayasan Satu Keadilan;
Bahwa, agak berbeda dengan pengujian Undang-Undang lainnya, permohonan a quo substansinya berkenaan dengan masalah pajak, sehingga menurut Mahkamah setiap warga negara pembayar pajak yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU 11/2016 dapat diterima kedudukan hukum ( legal standing )-nya dalam pengujian UU 11/2016 terhadap UUD 1945.
Bahwa, dalam kaitannya dengan Pemohon, sekalipun sebagai yayasan yang bergerak di bidang sosial Pemohon tidak diwajibkan membayar pajak, namun mengingat maksud dan tujuan pendiriannya Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon memiliki kepentingan langsung terhadap berlakunya norma Undang- Undang yang menjadi objek permohonan a quo , terlebih lagi ternyata Pemohon juga terdaftar sebagai Wajib Pajak (vide bukti P-10 dan bukti P-11) [3.6] Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan pada paragraf [3.5] di atas, Mahkamah berpendapat Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo ; [3.7] Menimbang, oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo , selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.8] Menimbang bahwa pokok permohonan a quo adalah permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 20 dan Penjelasannya, serta Pasal 22 UU 11/2016 terhadap UUD 1945. Adapun rumusan ketentuan dalam UU 11/2016 yang dimohonkan pengujian tersebut selengkapnya berbunyai sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 345 Pasal 1 angka 1: Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini” Pasal 1 angka 7: Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan Pengampunan Pajak . Pasal 3 ayat (1):
Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak. Pasal 4:
Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam wilayah yang berada Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diinvestasikan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat 3 _(tiga) tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar: _ a. 2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang- _Undang ini mulai berlaku; _ b. 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai _dengan tanggal 31 Desember 2016; dan _ c. 5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. (2) Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan _Republik Indonesia adalah sebesar: _ a. 4% (empat persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang- _Undang ini mulai berlaku; _ b. 6% (enam persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai _dengan tanggal 31 Desember 2016; dan _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 346 c. 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan 31 Maret 2017. (3) Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada _Tahun Pajak Terakhir adalah sebesar: _ a. 0,5% (nol koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam _Surat Pernyataan; atau _ b. 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan. Untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. Pasal 5:
Besarnya Uang Tebusan dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan dasar pengenaan Uang Tebusan. (2) Dasar pengenaan Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan nilai Harta bersih yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir. (3) Nilai Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan selisih antara nilai Harta dikurangi nilai Utang. Pasal 20: Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak. Penjelasan Pasal 20: Tindak pidana yang diatur dalam pasal ini meliputi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan tindak pidana lain . Pasal 22: Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan lain pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 347 perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun argumentasi Pemohon dalam mendalilkan bahwa ketentuan UU 11/2016 yang dimohonkan pengujian tersebut bertentangan dengan UUD 1945 pada pokoknya menurut Mahkamah dapat dikelompokkan sebagai berikut (argumentasi Pemohon selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara):
Argumentasi Umum: Dalam argumentasi umum ini Pemohon pada intinya memberikan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan-kebijakan pengampunan pajak yang telah dilakukan sebelumnya yang kemudian diperbandingkan dengan pemberlakuan UU 11/2016 sehingga Pemohon tiba pada kesimpulan bahwa Undang-Undang a quo tidak berjalan secara relevan dengan tujuan penegakan hukum di Indonesia dan telah menghalangi segala upaya penegakan hukum yang telah diperjuangkan berbagai lembaga negara selama ini di mana penghalangan tersebut bertentangan dengan tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagai amanat penderitaan rakyat.
Argumentasi Khusus: Dalam argumentasi khusus ini Pemohon membangun dalil yang langsung berkenaan dengan norma dalam UU 11/2016 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 yang pada pokoknya sebagai berikut:
Pemohon mendalilkan bahwa pengertian frasa “Pengampunan Pajak” dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (1) UU 11/2016 serta mekanisme pengampunan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 juncto Pasal 5 dan Pasal 4 UU 11/2016 bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan pelaksanaan perpajakan bersifat memaksa bukan mengampuni sebagaimana dalam UU 11/2016, dengan alasan yang pada intinya: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 348 1) Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (1) serta diimplikasikan pada Pasal 1 angka 7 juncto Pasal 5 serta Pasal 4 UU 11/2016 bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan, “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang ” karena terdapat kekeliruan interpretasi leksikal terhadap frasa “memaksa” yang diterapkan ke dalam frasa “pengampunan pajak” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 angka (2) [ sic! ] UU 11/2016;
Frasa “Memaksa” dalam Pasal 23A UUD 1945, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah memperlakukan, menyuruh, meminta dengan paksa, sedangkan pengertian “Pengampunan” pada UU 11/2016 adalah pembebasan dari hukuman atau tuntutan;
Paksaan dalam penerapan pajak terhadap warga negara dalam Pasal 23A UUD 1945 adalah untuk keperluan negara; norma memaksa ini dihilangkan oleh Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 angka (1) [ sic! ] UU 11/2016 karena adanya frasa “Pengampunan”;
Secara substansi, frasa pengampunan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 angka (1) [ sic! ] secara harfiah dimaknai adanya tindakan khusus pemerintah dalam sistem perpajakan di mana pelaporan Wajib Pajak yang memiliki daftar Objek Pajak baru diberikan kekhususan dengan dihapuskannya sanksi yang meliputi sanksi administrasi dan sanksi pidana;
Telah terjadi pergeseran makna dan tujuan Pasal 23A UUD 1945 oleh substansi dan pemaknaan pengampunan pajak dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 angka (1) [ sic! ] UU 11/2016;
Implikasi pergeseran makna sebagaimana dimaksud pada angka 5) di atas adalah bergesernya filosofi sistem perpajakan yang semula bersifat “memaksa” menjadi sistem yang kompromis melalui “pengampunan”;
Perbedaan frasa dimaksud, baik secara leksikal maupun gramatikal, membuat Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 angka (1) [ sic! ] bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Pemohon mendalilkan pengertian frasa “Uang Tebusan” dalam ketentuan Pasal 1 angka 7 yang direalisasikan dalam Pasal 4 juncto Pasal 5 UU Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 349 11/2016 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan yang pada intinya:
Ketentuan Pasal 1 angka 7 UU 11/2016 secara implementatif dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UU 11/2016;
Uang Tebusan yang dimaksud dalam UU 11/2016 adalah bentuk perlakuan khusus pemerintah kepada penggelap dan penghindar pajak;
Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada angka 2) telah menimbulkan kerugian pada wajib pajak yang taat;
Pengundangan UU 11/2016 telah menegasi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang sesungguhnya telah mengatur mengenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap warga negara pengemplang/penghindar pajak, sehingga UU 11/2016 justru kontraproduktif dengan mekanisme penegakan perpajakan;
Nilai-nilai dalam demokrasi mengatur kedudukan dan kapasitas warga negara setara di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijelaskan dalam dictum menimbang International Covenant on Civil and Political Rights dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan;
Dalam penerapan Pasal 1 angka 7 UU 11/2016 pemerintah melakukan diskriminasi dengan memposisikan wajib pajak yang taat dan yang tidak taat secara berbeda dan cenderung memberi perlakuan khusus kepada wajib pajak yang tidak taat;
Pemohon mendalilkan frasa “tidak dapat” dalam Pasal 20 UU 11/2016 serta frasa “tindak pidana lain” dalam Penjelasan Pasal 20 UU 11/2016 bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 karena memberikan kekebalan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam tindak pidana perpajakan serta tindak pidana lain kepada Peserta Pengampunan Pajak sehingga mengintervensi kekuasaan kehakiman dalam penyelenggaraan penegakan hukum, dengan alasan yang pada intinya:
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang bebas dan merdeka dalam menyelenggarakan peradilan; Konstitusi menempatkannya sebagai kekuasaan yang tidak dapat dibatasi atau dikurangkan oleh kekuasaan eksekutif; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 350 2) Ketentuan dalam Pasal 20 UU 11/2016 berarti memberi kekebalan hukum kepada data dan informasi dalam Surat Pernyataan dan lampirannya terhadap perolehan dan atau sumber yang dinyatakan dan dilaporkan;
Penjelasan Pasal 20 UU 11/2016 memperluas imunitas hukum yang diatur dalam Pasal 20 UU 11/2016 sehingga meliputi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan tindak pidana lain;
Kekebalan hukum sebagaimana dimaksud pada angka 3) telah membatasi jangkauan kekuasaan kehakiman sehingga menyalahi dan bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945;
Dalam konsep negara hukum, dalam konteks kekuasaan kehakiman, tidak ada satu aturan yang berlaku dengan membeda-bedakan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan;
Pemberlakuan Pasal 20 UU 11/2016 dan Penjelasannya bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan;
Karena adanya pertentangan makna dan norma antara Pasal 20 UU 11/2016 dan Penjelasannya dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 maka Pasal 20 UU 11/2016 dan Penjelasannya bersifat inkonstitusional sehingga sudah seharusnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pemohon mendalilkan frasa “tidak dapat” dalam kalimat [ sic! ] “tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana” dalam Pasal 22 UU 11/2016 tidak memiliki landasan norma dalam Konstitusi dan telah bertentangan dengan prinsip persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, dengan alasan yang pada intinya:
Karena kekuasaan, menurut Lord Acton, cenderung korup maka ia harus dibatasi dengan cara memisah-misahkannya ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and balances ;
Pemisahan kekuasaan yang bersifat checks and balances sebagaimana dimaksud pada angka 1) sehubungan dengan pemerintahan yang bersih Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 351 merupakan serangkaian konsep yang bermuara pada partisipasi masyarakat, di dalamnya termasuk social control ;
Bahwa Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan dan pihak lain, sebagaimana disebut dalam Pasal 22 UU 11/2016, memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan dengan warga negara lainnya tanpa kecuali;
Indonesia menjamin perihal persamaan kedudukan di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, oleh karena itu negara menjamin seluruh warga negara tanpa kecuali dari perlakuan diskriminatif;
Pasal 22 UU 11/2016 bersifat diskriminatif karena memberi makna imunitas kepada Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak;
Elaborasi terhadap Pasal 22 UU 11/2016 yang memberi imunitas dan Pasal 21 ayat (2) UU 11/2016 yang menutup arus informasi telah membuat Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan dan/atau pihak lain yang terkait pelaksanaan pengampunan pajak memiliki kewenangan absolut tanpa pengawasan;
Imunitas dan penutupan akses informasi melalui kewenangan Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan telah memperlakukan masyarakat secara tidak demokratis dan menghilangkan peran masyarakat sebagai kontrol sosial, sedangkan imunitas yang dimiliki Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan tidak memiliki dasar kaidah dalam konstitusi dan bertentangan dengan prinsip perlindungan hukum yang sama adilnya di mata hukum dan pemerintahan. [3.9] Menimbang bahwa untuk mendukung permohonannya, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan P-14, serta mengajukan 3 orang ahli Reza Zaki S.H., MA., Drs. Basuki Widodo, dan DR. Eva Achjani Zulfa.,S.H.,M.H., yang didengarkan keterangannya di bawah sumpah pada tanggal 28 September 2016 dan 11 Oktober 2016, dan seorang ahli bernama Dr. Endang Kiswara, S.E., M.SI., Akt. yang keterangan tertulisnya diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 31 Oktober 2016; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 352 [3.10] Menimbang bahwa Mahkamah telah pula mendengar keterangan DPR, Keterangan Presiden, ahli yang diajukan oleh Presiden, yaitu Dr. Muhamad Chatib Basri, S.E., M.Ec., Ph.D., Yustinus Prastowo, SE, M.Hum, M.A, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M., Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA., Dr. Refli Harun, S.H., M.H., Dr. Zaenal Arifin Mochtar, S.H., M.Hum., Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum., Prof. Wihana Kirana Jaya, Ph.D., Dr. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., Dr. Maruarar Siahaan, S.H., [3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dengan saksama permohonan Pemohon, Kesimpulan Pemohon, Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, Keterangan Presiden, Kesimpulan Presiden, memeriksa bukti-bukti surat, dan ahli, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Terhadap dalil dalam argumentasi umum Pemohon, sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.8] angka 1 di atas, yang di dalamnya sebagian berisikan uraian yang menggambarkan evaluasi atau penilaian Pemohon terhadap kebijakan pengampunan pajak yang pernah dilakukan sebelumnya yang kemudian dihubungkan dengan pemberlakuan UU 11/2016 dan secara implisit hendak menunjukkan bahwa kebijakan demikian sesungguhnya tidak tepat atau gagal, Mahkamah berpendapat bahwa hasil penilaian atau evaluasi demikian, andaikata pun benar, tidaklah menjadikan kebijakan itu serta-merta bertentangan dengan tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagai amanat penderitaan rakyat, sebagaimana didalilkan Pemohon, sehingga tidak cukup alasan pula untuk menyatakan UU 11/2016 bertentangan dengan UUD 1945. Sementara itu, terhadap hal-hal spesifik yang menyangkut materi muatan dari norma UU 11/2016, yang secara substansial juga dijadikan bagian dari argumentasi umum Pemohon dimaksud, akan dipertimbangkan tersendiri oleh Mahkamah dalam pertimbangan terhadap argumentasi khusus Pemohon berikut setelah pertimbangan terhadap argumentasi umum Pemohon a quo . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 353 Dengan demikian, dalil Pemohon yang secara umum mendalilkan bahwa UU 11/2016 bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana diuraikan dalam argumentasi umum Pemohon di atas, adalah tidak beralasan menurut hukum.
Terhadap dalil Pemohon bahwa pengertian frasa “Pengampunan Pajak” dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (1) UU 11/2016 serta mekanisme pengampunan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 juncto Pasal 5 dan Pasal 4 UU 11/2016 bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan pelaksanaan perpajakan bersifat memaksa bukan mengampuni sebagaimana dalam UU 11/2016, dengan alasan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.8] angka 2 huruf a di atas, Mahkamah berpendapat bahwa secara substansial norma UU 11/2016 yang dipersoalkan konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo tidak berbeda dari substansi yang dimohonkan oleh Pemohon dalam permohonan sebelumnya, in casu Permohonan Nomor 57/PUU-XIV/2016, meskipun kedua permohonan ini bertolak dari persoalan frasa yang berbeda, di mana terhadap hal itu Mahkamah telah menyatakan pendiriannya bahwa dalil Pemohon sepanjang menyangkut inkonstitusionalitas frasa “penghapusan pajak” dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 yang dihubungkan dengan Pasal 1 angka 7 dan Pasal 4 serta Pasal 5 UU 11/2016 adalah tidak beralasan menurut hukum, sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 [vide lebih jauh Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016, paragraf [3.16] angka 1 huruf a sampai dengan huruf c]. Dengan demikian, pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 juga berlaku terhadap dalil Pemohon a quo. 3. Terhadap dalil Pemohon bahwa pengertian frasa “Uang Tebusan” dalam ketentuan Pasal 1 angka 7 yang direalisasikan dalam Pasal 4 juncto Pasal 5 UU 11/2016 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.8] angka 2 huruf b di atas, substansi permohonan ini pun telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Nomor 57/PUU-XIV/2016 dan telah dinyatakan bahwa dalil Pemohon sepanjang menyangkut inkonstitusionalitas frasa “Uang Tebusan” dalam Pasal 1 angka 7 yang dihubungkan dengan Pasal 4 dan Pasal 5 UU 11/2016 adalah tidak beralasan menurut hukum [vide lebih jauh Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016, paragraf [3.16] angka 3 huruf a Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 354 sampai dengan huruf c], sehingga pertimbangan Mahkamah dalam putusan dimaksud berlaku pula terhadap dalil Pemohon a quo .
Terhadap dalil Pemohon yang mendalilkan frasa “tidak dapat” dalam Pasal 20 UU 11/2016 serta frasa “tindak pidana lain” dalam Penjelasan Pasal 20 UU 11/2016 bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 karena memberikan kekebalan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam tindak pidana di bidang perpajakan serta tindak pidana lain kepada Peserta Pengampunan Pajak sehingga mengintervensi kekuasaan kehakiman dalam penyelenggaraan penegakan hukum, dengan alasan sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.8] angka 2 huruf c di atas, substansi dalil ini juga telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 meskipun tidak secara khusus menyoroti frasa “tidak dapat” yang termuat dalam rumusan norma Pasal 20 UU 11/2016. Dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 tersebut, Mahkamah antara lain menyatakan: Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 20 yang selengkapnya berbunyi, “Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang- Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak“ haruslah dipahami dan dibatasi konteksnya sesuai hakikat Pengampunan Pajak. Dalam konteks demikian, adalah wajar apabila mereka yang telah dengan sukarela dan jujur menyampaikan atau mengungkapkan informasi berkenaan dengan hartanya, sebagaimana dituangkan ke dalam Surat Pernyataan (dan lampirannya), dilindungi dari kemungkinan bahwa Surat Pernyataan (dan lampirannya) itu akan digunakan untuk melawan dirinya. Tanpa jaminan perlindungan demikian, tidaklah mungkin seseorang akan mau mengikuti program Pengampunan Pajak ini. Dalam putusan dimaksud Mahkamah telah pula menyatakan pendiriannya bahwa keberadaan Pasal 20 UU 11/2016 tersebut tidak menghalangi penegak hukum untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap mereka yang mengikuti Pengampunan Pajak sepanjang bukti-bukti untuk melakukan tindakan itu bukan berasal dari Surat Pernyataan (dan lampirannya) yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan UU 11/2016 melainkan berasal dari sumber lain [vide lebih jauh pertimbangan hukum Putusan Nomor 57/PUU- XIV/2016, paragraf [3.16] angka 4 huruf b]. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 355 Namun, terkait dengan persoalan apakah data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 itu mencakup pula “tindak pidana lain”, Mahkamah telah berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 20 UU 11/2016 tersebut tidak mencakup tindak pidana lain, sehingga oleh karena itu Pasal 20 UU 11/2016 dimaksud dinyatakan konstitusional bersyarat. Maksudnya, Pasal 20 UU 11/2016 adalah konstitusional sepanjang diartikan tidak mencakup tindak pidana lain di luar tindak pidana di bidang perpajakan. Dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 dikatakan antara lain: Namun yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah dengan sukarelanya Wajib Pajak peserta Pengampunan Pajak mengungkapkan Hartanya sebagaimana dituangkan dalam Surat Pernyataan, apakah hal itu berarti membebaskan yang bersangkutan dari proses hukum dari tindak pidana lainnya? Bahwa berdasarkan tanggapan Pemerintah yang disampaikan dalam persidangan tanggal 19 Oktober 2016 antara lain menyatakan bahwa dengan dilaporkannya Harta Wajib Pajak dalam Surat Pernyataan bukan berarti Harta tersebut menjadi kebal terhadap proses hukum atas tindak pidana lain. Kebijakan Pengampunan Pajak ditujukan hanya untuk pengampunan terkait perpajakan namun tidak terkait dengan pengampunan pidana lainnya atau tidak menghapuskan pidana lainnya. Keterangan Presiden di atas sejalan dengan pengertian Pengampunan Pajak yang termuat dalam rumusan Pasal 1 angka 1 UU 11/2016 sehingga telah nyata bahwa ketentuan a quo hanya bermaksud semata- mata tidak akan mengenakan sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan kepada peserta Pengampunan Pajak. Dengan kata lain, secara a contrario, Undang-Undang a quo tidaklah membebaskan peserta Pengampunan Pajak dari sanksi hukum lain di luar sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Dengan demikian telah terang bagi Mahkamah bahwa Pasal 20 UU 11/2016 adalah konstitusional sepanjang diartikan bahwa ketentuan a quo tidak mencakup tindak pidana lain di luar tindak pidana di bidang perpajakan . Sehubungan dengan pertimbangan di atas, untuk lebih memperjelas maksud Mahkamah dengan pernyataan bahwa Pasal 20 UU 11/2016 adalah konstitusional bersyarat, yang berarti ketentuan a quo adalah konstitusional sepanjang diartikan tidak mencakup “tindak pidana lain” di luar tindak pidana di bidang perpajakan, Mahkamah memandang penting untuk menegaskan bahwa apabila dalam praktik di kemudian hari ternyata syarat itu dilanggar, yang artinya Pasal 20 UU 11/2016 tersebut ternyata diartikan mencakup pula tindak pidana lain di luar tindak pidana di bidang perpajakan, sebagaimana dinyatakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 356 dalam Penjelasan Pasal 20 UU 11/2016, maka terbuka kemungkinan Pasal 20 UU 11/2016 dimohonkan pengujian kembali ke Mahkamah Konstitusi. Hal itu pernah terjadi dalam pengujian terhadap Undang-Undang tentang Sumber Daya Air [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU- II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005, bertanggal 19 Juli 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, bertanggal 18 Februari 2015]. Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka pertimbangan Mahkamah yang menyatakan bahwa Pasal 20 UU 11/2016 adalah konstitusional bersyarat sebagaimana diuraikan di atas berlaku pula terhadap dalil Pemohon a quo .
Terhadap dalil Pemohon yang mendalilkan frasa “tidak dapat” dalam kalimat [ sic! ] “tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana” dalam Pasal 22 UU 11/2016 tidak memiliki landasan norma dalam Konstitusi dan telah bertentangan dengan prinsip persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, dengan alasan sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.8] angka 2 huruf d di atas, substansi dalil Pemohon ini pun telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 57/PUU- XIV/2016, meskipun tidak secara khusus mempersoalkan frasa “tidak dapat”. Dalam putusan tersebut, Mahkamah antara lain menyatakan: … mengenai dalil Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 22 UU 11/2016, Mahkamah berpendapat, ketentuan a quo harus dipahami dalam kaitannya dengan Pasal 20 dan Pasal 21 khususnya ayat (2) dan ayat (3) UU 11/2016. Pasal 22 UU 11/2016 selengkapnya berbunyi, “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 20 dinyatakan bahwa data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 357 Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak, sehingga dengan sendirinya, secara implisit, terkandung kewajiban bagi pihak-pihak yang mengadministrasikan Surat Pernyataan dan lampirannya itu untuk menjaga kerahasiaannya atau tidak membocorkannya. Oleh sebab itulah maka hal itu ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (2) yang intinya melarang pihak-pihak pengadministrasi data dan informasi peserta Pengampunan Pajak membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi itu kepada pihak lain. Sementara dalam ayat (3) dari Pasal 22 tersebut ditegaskan bahwa data dan informasi demikian tidak dapat diminta oleh pihak lain manapun kecuali atas persetujuan Wajib Pajak peserta Pengampunan Pajak itu sendiri. Dengan demikian, logika uraian di atas apabila dikonstruksikan secara ringkas adalah sebagai berikut: oleh karena data dan informasi peserta Pengampunan Pajak tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan sepanjang bersumber dari data Pengampunan Pajak maka terdapat kewajiban pada pihak yang mengadministrasikan data dan informasi dimaksud untuk tidak membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukannya kepada pihak lain di mana karena melakukan kewajiban itu maka yang bersangkutan tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana sepanjang hal itu didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas dalam ketentuan Pasal 22 UU 11/2016 . Dengan demikian, pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 57/PUU- XIV/2016 tersebut berlaku pula terhadap dalil Pemohon a quo . [3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, oleh karena seluruh substansi dalil Pemohon dalam permohonan a quo telah pula dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIV/2016 sehingga mutatis mutandis berlaku pula terhadap permohonan a quo , maka permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 358 [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan tidak dapat diterima. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Manahan M.P Sitompul, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Patrialis Akbar, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh tiga, bulan November, tahun dua ribu enam belas , dan pada hari Selasa, tanggal tiga belas, bulan Desember, tahun dua ribu enam belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal empat belas, bulan Desember, tahun dua ribu enam belas , selesai diucapkan pukul 15.23 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Manahan M.P Sitompul, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Patrialis Akbar, masing- masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Yunita Rhamadani sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 359 Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Aswanto ttd. Manahan M.P Sitompul ttd. Maria Farida Indrati ttd. Wahiduddin Adams ttd. Suhartoyo ttd. Patrialis Akbar PANITERA PENGGANTI, ttd. Yunita Rhamadani Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164/PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara dalam Rangka Penyediaan ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang climaksucl clengan:
Barang Milik Negara, yang selanjutnya clisingkat BMN, aclalah semua barang yang clibeli atau cliperoleh atas beban Anggaran Penclapatan clan Belanja Negara (APBN) atau terasal clari perolehan lainnya yang sah.
Pengelola Barang aclalah pejabat yang berwenang clan bertanggung jawab menetapkan kebijakan clan pecloman serta melakukan pengelolaan BMN.
Pengguna Barang aclalah pejabat pemegang kewenangan Penggunaan BMN.
Kuasa Pengguna Barang aclalah kepala satuan kerja perangkat claerah atau pejab2.t yang clitunjuk oleh Pengguna Barang untuk menggunakan barang yang beracla clalam penguasaanr:
ya clengan se baik baiknya.
Kementerian Negara, yang selanjutnya clisebut Kementerian, aclalah perangkat pemerintah yang membiclangi urusan tertentu clalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna Barang dalam mengelola dan menatausahakan BMN yang sesuai dengan tugas dan fungsi instansi yang bersangkutan.
Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMN yang tidak digunakan un tuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dan/atau optimalisasi BMN dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Sewa adalah Pemanfaatan BMN oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai.
Kerja Sama Pemanfaatan, yang selanjutnya disingkat KSP, adalah pendayagunaan BMN oleh pihak lain dalam j angka · waktu terten tu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya.
Kerj a Sama Penyediaan Infrastruktur, yang selanjutnya disingkat KSPI, adalah kerja sama antara pemerintah dan Badan Usaha untuk kegiatan penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Badan U saha adalah Badan U saha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas, badan hukum asing, atau koperasi.
Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek Penilaian berupa BMN pada saat tertentu.
Penilai adalah pihak yang melakukan Penilaian secara independen berdasarkan kompetensi yang dimilikinya.
Direktur J enderal adalah Direktur J enderal di lingkungan Kernen terian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN.
Penanggung Jawab Pemanfaatan BMN adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pemanfaatan BMN dalam rangka penyediaan infrastruktur dalam bentuk Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur.
Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama, yang selanjutnya disingkat PJPK, adalah Menteri/ Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah, atau Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah sebagai penyedia atau penyelenggara infrastruktur berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Proyek Kerja Sama adalah penyediaan infrastruktur yang dilakukan melalui perjanjian kerja sama antara Menteri/Pimpinan Lembaga dengan Badan Usaha atau pemberian Izin Pengus3.haan dari Menteri/ Pimpinan Lembaga kepada Badan U saha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan ayat (1) huruf c Pasal 14 diubah dan ditambahkan 2 (dua) ayat setelah ayat (5), yakni ayat (6) dan ayat (7), sehingga Pasal 14 berl: ; unyi sebagai berikut:
Langkah-Langkah dalam Menghadapi Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Tahun Anggaran 2010 di Lingkungan Kementerian Keuangan. ...
Relevan terhadap
Dalam hal pengusulan penetapan calon pemenang
pengadaan barang, jasa pemborongan dan jasa lainnya untuk paket pekerjaan
dengan nilai di atas Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah) kepada
Menteri Keuangan wajib melampirkan Executive Summary dan dokumen-dokumen
lain yang terkait dengan proses pengadaan. 8. Setiap 3 (tiga) bulan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
wajib membuat laporan proses pengadaan setiap paket pekerjaan kepada Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) dengan tembusan kepada Sekretaris Jenderal dan
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan, sesuai dengan Format Formulir II
sebagaimana dalam Lampiran Surat Edaran ini. 9. Kuasa Pengguna Anggaran wajib memonitor
perkembangan pelaksanaan pengadaan pada masing-masing Satuan Kerja dan
mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengantisipasi hambatan/permasalahan
yang dihadapi Satuan Kerja dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa dengan
berpedoman pada ketentuan yang berlaku. 10. Dalam hal penyusunan kebijakan yang berkaitan
dengan pengadaan barang/jasa wajib dikoordinasikan dengan Biro Perlengkapan. 11. Setiap unit Eselon I yang akan melakukan
perjanjian kerjasama atau MoU dengan pihak ketiga terkait dengan pemanfaatan
aset milik negara, dan/atau penggunaan fasilitas atas nama lembaga untuk
kegiatan yang tidak sesuai dengan Tupoksi, serta pengadaan infrastruktur
dalam rangka pelayanan publik yang didanai oleh pihak ketiga (investor)
terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan cq.
Sekretaris Jenderal. 12. Apabila pada Tahun Anggaran 2009 terdapat
perjanjian kerjasama atau MoU dengan pihak ketiga sebagaimana tersebut pada
butir 11, setiap unit Eselon, wajib menyampaikan seluruh informasinya kepada
Menteri Keuangan cq. Sekretaris Jenderal. Kepada para
Pimpinan unit Eselon, diminta agar dapat meneruskan Surat Edaran ini kepada unit
vertikal dibawahnya.
Demikian
untuk diperhatikan dan dipedomani. a.n Menteri Keuangan Sekrearis Jenderal Mulia P. Nasution NIP 19510827 197603 1001
Alokasi dan Pedoman Umum Dana Tambahan Penghasilan Bagi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah Kepada Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota Tahun Anggaran 20 ...
Relevan terhadap
bahwa dalam rangka melaksanakan kebijakan perbaikan penghasilan bagi guru Pegawai Negeri Sipil Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Republik Indonesia Tahun Anggaran 2009 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Alokasi Dan Pedoman Umum Dana Tambahan Penghasilan Bagi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah Kepada Daerah Provinsi, Kabupaten, Dan Kota Tahun Anggaran 2009;
Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Balai Lelang.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara, yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal adalah Pejabat unit Eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang negara dan lelang sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Direktur Lelang, yang selanjutnya disebut Direktur adalah salah satu Pejabat unit Eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan kegiatan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan pembinaan perencanaan lelang, pemeriksaan, pengawasan, dan pembinaan kinerja di bidang lelang berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, yang selanjutnya disebut Kepala Kantor Wilayah, adalah Pejabat instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPTAK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang.
Balai Lelang adalah badan hukum Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan usaha di bidang lelang.
Pengguna Jasa adalah Penjual, Pemilik Barang, dan Pembeli yang menggunakan jasa Balai Lelang.
Prinsip Mengenali Pengguna Jasa adalah prinsip yang diterapkan Balai Lelang dalam rangka mengetahui profil, karakteristik, serta pola Transaksi Pengguna Jasa dengan melakukan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Menteri ini.
Pembeli adalah orang atau badan hukum/badan usaha yang mengajukan penawaran tertinggi dan disahkan sebagai pemenang lelang oleh pejabat lelang.
Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih.
Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.
Transaksi Lelang adalah Transaksi yang berkaitan dengan pelaksanaan lelang untuk melakukan atau menerima penyetoran, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.
Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas atau benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
tulisan, suara, atau gambar;
peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Evaluasi Kepatuhan adalah serangkaian kegiatan Lembaga Pengawas dan Pengatur serta PPATK untuk memastikan kepatuhan Pihak Pelapor atas kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan mengeluarkan ketentuan atau pedoman pelaporan, melakukan audit kepatuhan, memantau kewajiban pelaporan, dan mengenakan sanksi.
Tata Cara Pembayaran Kembali (Reimbursement) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Perolehan ...
Relevan terhadap
bahwa ketentuan mengenai tata cara pembayaran kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas perolehan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak yang digunakan oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap dalam pengusahaan minyak dan gas bumi, telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.02/2005;
bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum dan guna penyelarasan dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai tata cara pembayaran kembali ( reimbursement ) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas perolehan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak yang digunakan oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap dalam pengusahaan minyak dan gas bumi;
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 8 huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Menteri Keuangan dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal mempunyai tugas untuk menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
bahwa berdasarkan kontrak kerja sama yang ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010, diatur bahwa bagi Kontraktor yang telah menyetorkan bagian negara, terhadap pajak selain Pajak Penghasilan yang harus dibayarkan oleh Kontraktor secara langsung (Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah), dan atas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dimaksud telah dibayarkan oleh Kontraktor dapat dikembalikan kepada Kontraktor;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pembayaran Kembali ( Reimbursement ) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak Kepada Kontraktor dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
Penggolongan dan Kodefikasi Barang Milik Negara.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
Barang Milik Negara, selanjutnya disingkat BMN, adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Penggolongan adalah kegiatan untuk menetapkan secara sistematik ke dalam golongan, bidang, kelompok, sub kelompok, dan sub-sub kelompok BMN.
Kodefikasi Barang adalah pemberian kode BMN sesuai dengan penggolongan masing-masing BMN.
Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN.
Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan Penggunaan BMN.
Kuasa Pengguna Barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Barang untuk menggunakan BMN yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara, selanjutnya disebut Direktur Jenderal, adalah direktur jenderal yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN.
Pedoman Tata Naskah Dinas Elektronik Kementerian Keuangan