PUTUSAN PUTUSAN Nomor 41/PUU-XVIII/2020 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: Nama : Taufik Surya Dharma Alamat : Jalan Cipinang Jaya KK Nomor 35 RT/RW 002/08 Kelurahan Cipinang Besar Selatan, Kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Nomor 015/SK/ZP/IV/2020 bertanggal 29 April 2020 memberi kuasa kepada i) R.A. Made Damayanti Zoelva, S.H.; ii) Dr. Heru Widodo, S.H., M.Hum.; iii) R. Ahmad Waluya Muharam, S.H.; iv) Dhimas Pradana, S.H., M.H.; v) Aan Sukirman, S.H., M.H.; vi) Abdul Hafid, S.H.; vii) Andi Afdal Hakim, S.H.; viii) Naufal Reynaldo, S.H.; ix) Rizky Anugrah Putra, S.H.; dan x) Afiyah Rohana, S.H., yaitu advokat dan asisten advokat pada Kantor Hukum Zoelva & Partners, beralamat di Gandaria 8 Office Tower Lantai 23, Jalan Sultan Iskandar Muda, Kebayoran Lama Utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Kota Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; selanjutnya disebut sebagai ---------------------------------------------------------- Pemohon ; [1.2] Membaca permohonan Pemohon; Mendengar keterangan Pemohon; Membaca dan mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat; 2 Membaca dan mendengar keterangan Presiden; Membaca dan mendengar keterangan ahli Pemohon; Mendengar keterangan saksi Pemohon; Membaca dan mendengar keterangan ahli Presiden; Memeriksa bukti-bukti Pemohon; Membaca Kesimpulan Pemohon dan Kesimpulan Presiden.
DUDUK PERKARA [1] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan dengan surat permohonan bertanggal 2 Juni 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 2 Juni 2020 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 98/PAN.MK/2020 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 9 Juni 2020 dengan Nomor 41/PUU-XVIII/2020, yang telah diperbaiki dengan permohonan bertanggal 6 Juli 2020 dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 6 Juli 2020, pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut: I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi 1.1. Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum” 1.2. Bahwa Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316 (“UU No. 24/2003”) juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, (“UU No. 8/2011”) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU No. 48/2009”), menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final: (a) menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3 1.3 Bahwa Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU No. 12/2011”) juncto Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU No. 15/2019”), menyatakan: “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”;
4 Bahwa selaras dengan pengaturan dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 (“PMK No. 6/2005”) tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, menyatakan: “Pengujian materiil adalah pengujian Undang-Undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang- Undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945”.
5 Bahwa Pasal 2 ayat (6) da Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang menjadi objek permohonan pengujian materiil sebagaimana telah yang diuraikan di atas adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 yang keberadaannya diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12/2011 juncto UU No. 15/2019, dengan ketentuan berbunyi sebagai berikut: “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
6 Bahwa sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berwenang memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal- pasal undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal undang-undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya ( the sole interpreter of constitution ) yang memiliki kekuatan hukum, sehingga terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau 4 multi tafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan uraian tersebut, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan uji materiil UU KUP terhadap UUD 1945. II. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon 2.1 Bahwa penetapan subyek hukum yang mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian UU terhadap UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 juncto UU No. 8/2011 menyatakan, “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
perorangan WNI;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang- Undang, c. badan hukum publik dan privat, atau;
lembaga negara.” Adapun penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU No. 23/2004 jo. UU No. 8/2011 menyatakan: “Yang dimaksud dengan ‘hak konstitusional’ adalah hak-hak yang diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
2 Bahwa adapun pengertian hak dan/atau kewenangan konstitusional ditegaskan dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU No.23/2004 juncto UU Nomor 8/2011 yang menyatakan: “Yang dimaksud dengan ‘hak konstitusional’ adalah hak-hak yang diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945”, yang kemudian dipertegas dalam beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi, yakni Putusan Nomor 006/PUUIII/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU No. 23/2004 juncto UU Nomor 8/2011, menurut Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; 5 b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
3 Bahwa permohonan ini diajukan oleh Pemohon dalam kedudukannya sebagai perseorangan warga Negara Indonesia yang tidak lagi mempunyai hak mengurus (atau kehilangan hak mengurus) PT. United Coal Indonesia (selanjutnya disebut “PT. UCI”) semenjak perseroan tersebut dinyatakan “pailit dengan segala akibat hukumnya” berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Nomor 11/Pdt.Sus/Pembatalan Perdamaian/2015/ PN.Niaga.Jkt.Pst. juncto Nomor 55/Pdt.Sus/PKPU/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst. juncto Nomor 32/Pdt.Sus.Pailit/2014/ Pn.Niaga.Jkt.Pst., tanggal 24 November 2015; (Bukti P-3) 4 Bahwa hubungan hukum Pemohon dengan PT. UCI sebelum kepailitan adalah sebagai Direktur Perseroan dan secara administratif bertindak sebagai Penanggung Pajak. Akan tetapi, dengan status perseroan yang “pailit dengan segala akibat hukumnya”, maka hak direksi untuk mengurus PT. UCI dalam pailit telah beralih kepada Kurator yang ditunjuk, yakni Andrey Sitanggang, termasuk ikut beralih pula kedudukan Penanggung Pajak PT. UCI (dalam pailit) dari pengurus ke kurator.
5 Bahwa hapusnya atau hilangnya hak untuk mengurus PT. UCI (dalam pailit), mendasarkan pada: Pertama, ketentuan Paragraf 9 Penjelasan Umum UU KPKPU yang menyatakan, “Putusan Pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. Menurut ketentuan tersebut, Pemohon secara hukum tidak lagi cakap atau mampu untuk memikul hak dan kewajibannya sebagai pengurus c.q. direksi saat itu, dengan sebab kepailitan tersebut; 6 Kedua, ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut “UU KPKPU”), yang menetapkan, bahwa: “Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”; Ketiga, merujuk pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PT. UCI (untuk selanjutnya disebut “AD/ART”), khususnya Pasal 10 angka 8 huruf b yang menyatakan bahwa anggota direksi in casu direktur, jabatannya berakhir karena tidak lagi memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan), secara hukum tidak bertanggung jawab secara pribadi atas kepailitan PT. UCI; Atas dasar ketiga hal tersebut, maka Pemohon dalam mengajukan permohonan ini bertindak untuk dan atas nama diri sendiri sebagai perorangan, dan yang secara hukum tidak lagi dapat bertindak untuk dan atas nama PT. UCI;
6 Bahwa namun demikian, oleh karena kerugian konstitusional yang dialami Pemohon dikaitkan dengan kedudukannya dahulu ketika menjabat sebagai Direktur PT. UCI – sebagaimana surat tagihan pajak yang dialamatkan ke kediaman pribadi Pemohon, maka argumentasi keberatan dalam permohonan ini terikat atau tidak dapat dilepaskan dengan peristiwa hukum pada saat Pemohon mengurus perseroan sebelum dinyatakan pailit;
7 Bahwa penyebab keadaan insolvensi PT. UCI (dalam pailit) sebagaimana putusan Pengadilan niaga a quo adalah bukan karena kesalahan maupun kelalaian pengurus, sebagaimana pula tidak adanya putusan lain dari pengadilan perdata maupun pidana yang membuktikan tentang adanya kesalahan pengurus, sampai dengan saat permohonan pengujian ini diajukan. Maka, sesuai ketentuan Pasal 104 UU PT, dalam kedudukannya sebagai direksi ketika itu, Pemohon tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan yang tidak disebabkan karena kesalahan atau kelalaiannya. In casu a quo , baik ketika Pemohon dalam kedudukan sebagai direksi saat itu maupun dalam kedudukan saat ini sebagai perseorangan yang tidak ada lagi berwenang bertindak untuk dan atas 7 nama PT. UCI, demi hukum tidak dapat dibebani pertanggungjawaban secara pribadi;
8 Bahwa beralihnya hak mengurusi PT. UCI (dalam pailit) kepada Kurator semenjak PT. UCI dinyatakan pailit, secara de facto dapat ditunjukkan dari fakta hukum tentang berprosesnya penagihan hutang pajak perseroan dalam proses kepailitan. Kantor Pelayanan Pajak Besar Satu Jakarta Selatan (selanjutnya disebut “Kantor Pajak”) menagihkan hutang pajak PT. UCI (dalam pailit) kepada Kurator selaku Pengurus dan Penanggung Pajak PT. UCI (dalam pailit) dengan nilai pajak sebesar Rp. 43.334.54465,- (empat puluh tiga miliar tiga ratus tiga puluh empat juta lima ratus empat puluh dua ribu empat ratus enam puluh lima rupiah) sebagaimana Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Nomor 11/Pdt.Sus/Pembatalan Perdamaian/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst. juncto Nomor 55/Pdt.Sus/PKPU/ 2014/PN.Niaga.Jkt.Pst. juncto Nomor 32/Pdt.Sus.Pailit/2014/ PN.Niaga.Jkt.Pst., tanggal 6 Februari 2017, (Bukti P-4);
9 Bahwa dengan fakta hukum tentang keberatan dari Kantor Pajak yang tidak dialamatkan kepada Pengurus PT. UCI, tetapi ditagihkan kepada Kurator dalam bentuk permohonan keberatan atas pengumuman daftar pembagian akhir harta pailit, tanggal 27 Desember 2017 (vide Bukti P-4 hal 3), maka sesungguhnya cukup untuk membuktikan bahwa Pemohon kehilangan hak maupun kewajiban untuk menjadi Penanggung Pajak PT. UCI (dalam pailit);
10 Bahwa selain itu, hilangnya atau ketiadaan hak Pemohon untuk melakukan pengurusan perseroan, disebabkan karena dalam kepailitan perseroan, harta kekayaan PT. UCI yang telah dinyatakan pailit berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga yang berkuatan hukum tetap, berada dalam keadaan insolvensi atau keadaan ketidakmampuan membayar utang kepada para krediturnya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 142 ayat (1) huruf e Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut “UU PT”), maka PT. UCI secara materiil automatically memenuhi syarat bubarnya perseroan demi hukum. Dalam ayat (1) huruf e Pasal 142 UU PT ditegaskan, pembubaran perseroan terjadi: “karena keadaan harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan 8 insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”;
11 Bahwa dengan demikian, seharusnya, setelah kepailitan PT. UCI berkekuatan hukum tetap tanpa ada putusan Pengadilan yang menyatakan jatuhnya pailit karena atas kesalahan Pengurus (Direksi) maupun Pengawas (Komisaris), maka Pemohon pun berhak untuk berkedudukan sebagai warga Negara Indonesia yang terbebas dan merdeka dari kewajiban pertanggungjawaban hutang PT. UCI, sebagai hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan jaminan perlindungan atas kepastian hukum yang adil dan hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945;
12 Bahwa akan tetapi, pada bulan Mei 2019, secara tiba-tiba, terhadap diri Pemohon, dimintakan pertanggungjawaban oleh Kantor Pajak, yang masih dikaitkan dengan kedudukannya sebagai pengurus PT. UCI, in casu sebagai penanggung pajak, dengan cara menagihkan hutang pajak PT. UCI, halmana tagihan tersebut tidak ditujukan kepada badan atau perseroan, tetapi dialamatkan ke kediaman pribadi Pemohon (Bukti P-6). Tagihan pajak tersebut diterbitkan atas dasar berlakunya norma dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang mengatur kewajiban penanggung pajak badan tanpa membedakan antara status badan dalam kondisi normal dengan badan yang mengalami kepailitan, dan berlakunya norma dalam Pasal 2 ayat (6) UU KUP, yang mengatur hapusnya NPWP tetapi belum/tidak mencantumkan klausul tentang hapus karena kondisi perusahaan yang pailit;
13 Bahwa oleh karenanya, Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dan/atau setidaknya potensial pasti dirugikan, dengan berlakunya kedua pasal dalam UU KUP tersebut yang kemudian hendak dimohonkan pengujian, setidaknya atas dasar tujuh alasan kerugian: Pertama, norma Pasal 32 ayat (2) UU a quo tidak membedakan antara kewajiban Wakil Perseorangan dan Wakil Badan, sehingga dianggap, bahwa siapapun yang menjadi Wakil Wajib Pajak, baik itu wakil perseorangan maupun wakil badan, “dipukul” prorate untuk dibebani pertanggungjawaban secara pribadi dan/atau secara renteng, atas 9 pembayaran pajak terhutang yang diwakilinya, tanpa pula membedakan antara perusahaan yang tidak pailit dengan perusahaan atau badan hukum dalam kepailitan, yang boedel harta kekayaannya dibereskan kurator; Kedua, dengan ketiadaan pembedaan antara wakil perseorangan dan wakil badan dalam Pasal 32 ayat (2) UU a quo , kerugian yang dialami secara aktual atau nyata adalah munculnya tagihan hutang pajak badan yang dibebankan kepada perseorangan in casu Pemohon, sebagaimana tagihan pajak terutang PT UCI tertanggal 27 Mei 2019, dari Kantor Pajak yang dialamatkan ke kediaman Pemohon di Jl. Cipinang Jaya KK No. 35 RT 002, RW 08, Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, Jakarta Timur, dengan total tagihan sebesar Rp. 193.625.721.483, 00 (seratus sembilan puluh tiga miliar enam ratus dua puluh lima juta tujuh ratus dua puluh satu ribu empat ratus delapan puluh tiga rupiah) ( vide Bukti P-6); Ketiga, norma Pasal 2 ayat (6) UU a quo yang tidak memasukkan kondisi insolvensi perusahaan karena pailit sebagai salah satu sebab hapusnya NPWP, sehingga terhadap Pemohon dalam kedudukan sebagai perseorangan yang hanya karena mempunyai riwayat sebagai mantan Direktur PT. UCI, dibebani kewajiban untuk menanggung beban hutang pajak perseroan secara pribadi. Padahal, Pemohon sudah tidak lagi memiliki wewenang apapun untuk mengurus perseroan sejak PT. UCI dinyatakan pailit, maupun setelah insolvensi perseroan akibat kepailitan tersebut. Keempat, belum hapusnya NPWP atas nama PT. UCI yang insolven dalam kepailitan, menimbulkan kerugian secara aktual bagi Pemohon, karena NPWP tersebut dijadikan dasar menerbitkan tagihan pajak perseroan secara administratif. Tagihan pajak tersebut potensial pasti akan terus bertambah sepanjang NPWP tidak hapus. Padahal, secara faktual, perseroan tersebut telah tidak lagi menjalankan usaha sejak dijatuhkan pailit sampai kepailitan berkekuatan hukum tetap. Kelima, baik Pasal 32 ayat (2) maupun Pasal 2 ayat (6) UU a quo, keduanya __ telah merugikan hak Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil, karena atas hal-hal tersebutlah diri Pemohon dicekal oleh Kantor Imigrasi atas permintaan Dirjen Pajak, semata atas dasar 10 permintaan pertanggungjawaban pengurus PT. UCI yang telah berakhir sejak dijatuhkan pailit (Bukti P-11, P-12, P-13, P-14); Keenam, kedua pasal yang dimohonkan pengujian telah merugikan secara aktual, karena pada tanggal 26 Desember 2019, ke kediaman Pemohon ditagihkan utang pajak perseroan, dengan besar tagihan yang sama, yakni Rp. 193.625.721.483,- (seratus sembilan puluh tiga miliar enam ratus dua puluh lima juta tujuh ratus dua puluh satu ribu empat ratus delapan puluh tiga rupiah). Bahkan, dalam surat kali ini, diikuti pemberitahuan tentang perintah memberikan kuasa kepada bank untuk memberitahukan saldo Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada Bank atas nama Pemohon, dan juga pemberitahuan, bahwa Bank BCA Kantor Cabang Utama Kuningan telah melakukan pemblokiran harta kekayaan Pemohon yang tersimpan pada Bank BCA atas nama Pemohon NPWP 14.03430.2-002.000 selaku Penanggung Pajak PT UCI; (Bukti P-7, P-8). Ketujuh, kedua pasal yang dimohonkan pengujian tersebut telah dijadikan dasar pembebanan hutang pajak perseroan secara tanggung renteng sampai harta pribadi Pemohon, sedangkan diri Pemohon bukan menjadi penyebab jatuhnya pailit PT. UCI, dan tidak pernah sama sekali diuntungkan secara pribadi, kecuali sebatas gaji yang diterimanya selama menjabat sebagai pengurus. Terlebih lagi, hanya dalam rentang waktu 2 (dua) bulan pasca proses kepailitan dinyatakan berakhir, terdapat lonjakan angka tagihan pajak hampir 5 x lipat (lima kali lipat) yang nilainya sulit untuk dapat diterima menurut penalaran yang wajar. Nilai hutang pajak yang ditagihkan Kantor Pajak kepada Kurator incasu Pengurus PT. UCI (dalam pailit), sebesar Rp. 43.334.542.465,- (empat puluh tiga miliar tiga ratus tiga puluh empat juta lima ratus empat puluh dua ribu empat ratus enam puluh lima rupiah). Namun, pasca berakhir dan perseroan yang tidak lagi menjalankan usaha sejak dinyatakan pailit, justru nilai hutang pajak yang ditagihkan naik secara fantastis: menjadi sebesar Rp. 193.625.721.483,- (seratus sembilan puluh tiga miliar enam ratus dua puluh lima juta tujuh ratus dua puluh satu ribu empat ratus delapan puluh tiga rupiah). Adilkah jika warga negaranya diperlakukan dengan aturan yang demikian: tidak atau tanpa ada putusan Pengadilan yang menetapkan Pemohon sebagai penyebab jatuhnya pailit PT. UCI, namun dirinya dicekal, rekening 11 pribadi diblokir, dan kepadanya dibebankan kewajiban melunasi hutang perusahaan yang jatuh pailit karena insolven, dengan angka tagihan yang MUSTAHIL dapat ia lunasi dari harta pribadinya yang notabene hanya menjabat sebagai Direksi yang bukan Pemilik Perusahaan? Sungguh sangat tidak adil, dan bagaimana mungkin Pemohon bertanggung jawab secara pribadi untuk membayar hutang perseroan yang tidak karena kesalahannya, dengan jumlah yang tidak mungkin dibayar oleh Pemohon, bahkan sampai pada ahli waris Pemohon? Padahal, dalam hukum berlaku asas universal yang menyatakan, “ lex non cogit ad impossibillia ”: hukum tidak dapat memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu yang dia tidak mungkin melakukannya (A. Hamzah, 1985);
14 Bahwa dalam hal pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, maka beban ketidakadilan yang dialami Pemohon atas tindakan pencekalan dan pemblokiran rekening pribadi, serta beban ketidakadilan yang lebih berat untuk menanggung pajak PT. UCI sampai harta pribadinya sebagai kerugian konstitusional yang nyata, menjadi hapus atau tidak ada. Berdasarkan argumentasi tersebut di atas, maka Pemohon memenuhi syarat legal standing baik dari segi kapasitas perseorangan maupun dari segi kerugian hak konstitusional, sehingga memiliki kedudukan hukum dan kepentingan untuk mengajukan pengujian Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU a quo terhadap UUD 1945. III. Pokok-Pokok dan Alasan-Alasan Permohonan 3.1. Bahwa Pemohon berkeberatan terhadap berlakunya ketentuan tentang tanggung jawab pengurus perseroan sampai harta pribadi wakil wajib pajak badan sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP, dan keberatan terhadap berlakunya ketentuan tentang hapusnya NPWP yang tidak mencantumkan kondisi perusahaan pailit karena insolven sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (6) UU KUP, yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan;
Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan”.
Bahwa yang dimaksud “wakil” dalam ketentuan pasal 32 ayat (2) UU KUP, lebih rinci diuraikan dalam ayat (1) Pasal 32 UU a quo , sebagai berikut:
Wajib pajak Badan diwakili oleh pengurus;
Wajib pajak Badan dalam pembubaran atau pailit diwakili oleh orang atau Badan yang dibebani dengan pemberesan;
Wajib pajak suatu warisan yang belum terbagi diwakili oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya;
Wajib pajak anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan diwakili oleh wali atau pengampunya.
Harus ada aturan ( rules );
Harus berlaku ke depan (prospektif), bukan ke belakang (retrospektif);
Aturan tersebut harus diumumkan;
Aturan tersebut harus sesuai akal sehat ( intelligible );
Aturan tidak boleh saling kontradiktif;
Aturan tersebut harus mungkin diikuti;
Aturan tidak boleh berubah secara konstan;
Harus ada kesesuaian ( congruence ) antara aturan yang tertulis dengan yang diterapkan oleh penegak hukum (N.E. Simmonds, 1986:
.
549.161.883,- dalam proses pembagian boedel harta pailit, dari Kurator sebagai Penanggung Pajak PT. UCI (dalam pailit);
Perseroan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan harta pailit perseroan berada dalam keadaan insolven.
Rencana perdamaian ditolak dalam permohonan PKPU.
Harta debitor pailit tidak cukup untuk melunasi kewajiban (utang) kepada kreditor.
Kepailitan Perseroan karena kelalaian atau kesalahan Direksi.
2 Bahwa dalam teori hukum, untuk dapat meminta pertanggungjawaban Direksi secara pribadi, maka para kreditor yang dirugikan dibebani kewajiban membuktikan apakah Direksi melakukan pengurusan perseroan dengan tidak benar dan tidak sungguh-sungguh. Syarat pembuktian atas kesalahan direksi mendasarkan pada asas “ omnia praesumuntur legitime facta donec probetur in contrarium ”: segala hal diasumsikan telah dilakukan sesuai dengan hukum hingga dibuktikan sebaliknya.
4 Bahwa oleh karenanya, dengan pemberesan hutang PT. UCI sebagaimana Pengumuman Daftar Pembagian Akhir Harta Pailit melalui Penetapan Hakim Pengawas tanggal 19 Desember 2015 dan dipublikasikan melalui Harian Kompas dan Rakyat Merdeka tanggal 21 Desember 2015, serta atas pembagian boedel pailit oleh Kurator pasca Putusan Perlawanan di Mahkamah Agung tanggal 10 Juli 2018; rangkaian peristiwa hukum tersebut telah dapat dijadikan dasar hukum dan argumentasi untuk tidak lagi dapat menagihkan utang yang sama diluar atau setelah proses kepailitan yang dibereskan oleh Kurator selaku Pengurus Perseroan dalam pailit. In casu , tidak ada dasar argumentasi yang cukup kuat bagi Kantor Pajak untuk menagihkan utang pajak PT. UCI kepada Pemohon pasca proses kepailitan berakhir karena insolven.
diajukan permohonan penghapusan NPWP oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; 28 2) Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan NPWP dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan UU sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.
Menyatakan Pasal 2 ayat (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan UU sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk mendukung dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14, serta lampiran tambahan sebagai berikut:
Bukti P-1 : Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang 34 Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Bukti P-2 : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bukti P-3 : Putusan Perkara Permohonan Pembatalan Perdamaian PKPU Nomor: 11/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2015/ PN.Niaga.Jkt.Pst. jo. Nomor: 55/PKPU/2014/PN.NIAGA.Jkt.Pst, tertanggal 24 November 2015.
Bukti P-4 : Putusan Pengakhiran Kepailitan Nomor: 11/Pdt.Sus- Pembatalan Perdamaian/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst. jo. Nomor 55/PKPU/2014/PN.NIAGA.Jkt.Pst, tertanggal 13 Februari 2019.
Bukti P-5 : Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No. 557K/Pdt.Sus- Pailit/2018 tanggal 10 Juli 2018.
Bukti P-6 : Surat Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu No. S-1172/WPJ.19/KP.01/2019 tertanggal 27 Mei 2019 perihal Panggilan Untuk Penyelesaian Tunggakan Pajak.
Bukti P-7 : Surat KPP Wajib Pajak Besar Satu Nomor S-2863 tanggal 26 Desember 2019 perihal perintah untuk memberikan kuasa kepada bank untuk memberitahukan saldo kekayaan penanggung pajak a.n. Bapak Taufik Surya Darma (NPWP:
032.430.2-002.000 ke cabang BCA KCU Kuningan).
Bukti P-8 : Surat KPP Wajib Pajak Besar Satu Nomor S-2864 tanggal 26 Desember 2019 perihal perintah untuk memberikan kuasa kepada bank untuk memberitahukan saldo kekayaan penanggung pajak a.n. Bapak Taufik Surya Darma (NPWP:
032.430.2-002.000 ke cabang BCA KCP Mall Taman Anggrek).
Bukti P-9 : Akta Pendirian Perseroan Terbatas PT United Coal Indonesia Nomor 44 tanggal 6 Februari 2006.
Bukti P-10 : Penetapan Nomor: 11/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor: 35 55/PKPU/2014/PN.NIAGA.Jkt.Pst, tertanggal 19 Desember 2017.
Bukti P-11 : Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 613/KM.3/2019 tanggal 15 November 2019 tentang Penetapan Pencegahan Penanggung Pajak Bepergian Keluar Negeri atas nama Taufik Surya Darma.
Bukti P-12 : Surat Dirjen Imigrasi Nomor IMI.5.GR.03.08-3.1007 tanggal 20 November 2019 tentang Penarikan Sementara Paspor atas nama Taufik Surya Darma.
Bukti P-13 : Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 315/KM.3/2020 tanggal 8 Mei 2020 tentang Perpanjangan Masa Pencegahan Penanggung Pajak Bepergian Keluar Negeri atas nama Taufik Surya Darma.
Bukti P-14 : Surat Dirjen Imigrasi Nomor IMI.5.GR.03.08-3.0259 tanggal 13 Mei 2020 tentang Penarikan Sementara Paspor RI a.n. Taufik Surya Darma.
Tambahan (Lampiran) : Surat Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu perihal Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita, ditujukan kepada Taufik Surya Darma, bertanggal 23 November 2020. Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan pula dua orang Ahli, bernama Sutan Remy Sjahdeni dan Tjip Ismail, serta tiga orang Saksi bernama Andrey U Sitanggang, Vychung Chongson, dan Rio Ferry Sihombing. Kedua Ahli dan ketiga Saksi didengar keterangannya oleh Mahkamah dalam sidang hari Selasa, 22 September 2020, yang masing-masing pada pokokya menerangkan sebagai berikut. Ahli 1. Sutan Remy Sjahdeni ▪ Ahli adalah ahli hukum bisnis dan hukum kepailitan. ▪ Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) mengatur bahwa sejak tanggal putusan pailit diucapkan, debitor demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang sudah menjadi boedel pailit. 36 ▪ Penjelasan Umum UUK-PKPU menerangkan, “Putusan Pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan”. ▪ Sehubungan dengan berlakunya ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU tersebut, timbul pertanyaan, siapakah selanjutnya yang akan mengurus harta kekayaan Debitor? Siapakah selanjutnya yang akan membayar utang-utang Debitor kepada para Kreditornya? ▪ Menurut Pasal 15 ayat (1) juncto Pasal 69 ayat (1) UUK-PKPU, pengurusan mengenai harta kekayaan Debitor untuk selanjutnya menjadi wewenang Kurator. ▪ Kurator, menurut Pasal 1 angka 5, adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas. ▪ Suatu Perseroan Terbatas (PT) yang telah dinyatakan pailit, diwajibkan membayar utang pajak yang sebelum dinyatakan pailit belum dilunasi. Namun karena Pasal 184 UUK-PKPU mengatur bahwa setelah perseroan tersebut dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga maka pengurusan terhadap perusahaan debitor dihentikan, maka dengan sendirinya perseroan tidak lagi dibebani pajak tambahan di atas pajak yang masih terutang. ▪ Apabila pengurusan PT yang telah dinyatakan pailit tersebut dihentikan, maka dengan sendirinya PT tersebut tidak lagi dapat melakukan kegiatan usaha untuk dapat menghasilkan pendapatan dan pengeluaran sehingga tidak dapat lagi menghasilkan keuntungan yang menjadi sumber kewajiban pajak perseroan tersebut. ▪ Utang PT yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga tidak pernah beralih menjadi utang pribadi pengurus PT tersebut. Namun ketentuan tersebut bukan tanpa pengecualian. Menurut Pasal 104 ayat (2) UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, utang PT menjadi utang pribadi pengurus hanya apabila kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan. ▪ Pasal 115 UU PT mengatur, “Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap 37 pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi”. ▪ Dengan demikian tergantung bunyi amar putusan Pengadilan Niaga apakah utang PT yang dinyatakan pailit juga menjadi utang pribadi pengurus, yaitu anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris, dengan alasan dalam persidangan kepailitan terbukti bahwa kepailitan tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan atau anggota Dewan Komisaris. Apabila amar putusan tidak menentukan demikian, maka utang PT hanya menjadi beban harta pailit Perseroan saja. ▪ Hakim dalam membuat putusan, apakah dibenarkan semata-mata sesuai dengan ketentuan hukum tetapi putusan tersebut bertentangan dengan keadilan? Pasal 1 angka 1 UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan, “(1) Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; dan
Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”. ▪ Tidak ada ketentuan dalam UUK-PKPU yang mengatur pengurusan oleh pengurus perseroan ketika kurator telah selesai melakukan tindakan pemberesan terhadap boedel pailit. ▪ UUK-PKPU tidak secara eksplisit mengatur apakah setelah Kurator melakukan pemberesan terhadap boedel pailit, maka pengurus demi hukum memiliki kembali wewenang/hak untuk mengurus perseroan tersebut. ▪ Dalam UUK-PKPU hanya ditentukan bahwa sisa piutang para Kreditor yang masih ada (belum lunas) dari hasil likuidasi boedel pailit, tetap menjadi tagihan Kreditor yang bersangkutan (lihat Pasal 204 UUK-PKPU). ▪ Untuk menghindari adanya tagihan sisa utang Kreditor terhadap perseroan yang telah selesai tindakan pemberesan boedel pailitnya oleh Kurator, maka 38 sering kali pemegang saham membubarkan perseroan. Hal ini dimungkinkan berdasarkan Pasal 142 ayat (1) huruf a UU PT. ▪ Namun apabila merujuk Pasal 142 ayat (1) huruf d UU PT, PT yang “dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan”, maka perseroan tersebut bubar demi hukum. ▪ Pasal 142 ayat (1) huruf e UU PT, PT juga bubar demi hukum apabila “karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”. ▪ Apabila perseroan telah dinyatakan bubar, maka sisa tagihan para Kreditor berakhir juga. ▪ Pasal 16 ayat (1) UUK-PKPU mengatur wewenang Kurator, yaitu, “… melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali”. ▪ Lebih lanjut Pasal 69 ayat (1) UUK-PKPU mengatur tugas Kurator adalah, “… melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit”. ▪ Menurut UUK-PKPU jumlah Kurator dapat lebih dari satu. ▪ Pasal 73 ayat (1) UUK-PKPU mengatur apabila Kurator lebih dari satu maka “untuk melakukan tindakan yang sah dan mengikat, para Kurator memerlukan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah para Kurator”. ▪ Selanjutnya Pasal 73 ayat UUK-PKPU mengatur, “apabila suara setuju dan tidak setuju sama banyaknya, tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperoleh persetujuan Hakim Pengawas”. ▪ Dalam rangka melakukan pemberesan boedel pailit, Kurator melakukan penjualan terhadap boedel pailit. Penjualan tersebut dilakukan melalui lelang (penjualan di muka umum) sesuai ketentuan Pasal 185 ayat (1) UUK-PKPU. ▪ Pasal 185 ayat (2) UUK-PKPU mengatur, “Dalam hal penjualan di muka umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai maka penjualan di bawah tangan dapat dilakukan dengan izin Hakim Pengawas”. ▪ Hasil penjualan boedel pailit tersebut digunakan sebagai sumber pelunasan piutang para Kreditor. 39 ▪ Apabila perusahaan dinyatakan pailit maka pengurus tidak lagi mengurusi badan hukum yang pailit tadi. Pengurusan dilakukan oleh kurator. Segala sesuatu yang menyangkut kewajiban perusahaan tidak lagi menjadi tanggung jawab atau kewenangan pengurus, melainkan kurator. Termasuk mengenai kewajiban, bukan lagi pengurus yang bertanggung jawab melainkan sepenuhnya adalah kurator. ▪ Apabila ada tagihan pajak yang harus dibayar oleh perusahaan sebelum perusahaan itu dinyatakan pailit, maka yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan adalah kurator. Pengurus tidak lagi mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum yang menyangkut perseroan. ▪ Mengenai tanggung jawab pribadi apabila direksi atau komisaris menjadi penyebab kepailitan, UU PT mengatur dengan tegas bahwa direksi atau komisaris yang harus membuktikan bahwa kepailitan tersebut terjadi bukan karena kesalahannya. ▪ Hakim Pengadilan Niaga harus aktif pada waktu sidang kepailitan untuk memeriksa apakah direksi atau komisaris telah melakukan tugasnya. Tetapi pemeriksaan demikian kelihatannya tidak pernah dilakukan. ▪ Dalam kaitannya dengan bussiness judgement rule , jika memang hakim meminta komisaris atau direksi membuktikan kepailitan bukan karena kesalahan mereka, maka pembuktian dilakukan dengan prinsip bussiness judgement rule , yang intinya membuktikan yang bersangkutan sudah beriktikad baik. ▪ Misalnya ditanyakan apakah komisaris dari waktu ke waktu sudah melakukan audit; atau menanyakan kepada direksi segala macam kegiatan perusahaan. ▪ Banyak komisaris yang sepertinya menjadi hanya figure head atau komisaris pajangan; sekadar memenuhi kewajiban ada jabatan komisaris, tetapi tidak pernah melakukan tugas dengan baik. ▪ Komisaris mempunyai dua tugas, yaitu melakukan pengawasan dan memberikan nasihat. Untuk membuktikan hal demikian hakim bisa meminta notulen rapat. ▪ Sebenarnya Komisaris harus memberikan laporan wajar kepada RUPS bahwa yang bersangkutan telah melaksanakan tugasnya. 40 2. Tjip Ismail ▪ Penerimaan perpajakan memegang peranan dominan dan merupakan tulang punggung postur penerimaan negara yang setiap tahun ditetapkan dalam UU APBN. ▪ Tata kelola perpajakan berubah sejak ditetapkannya UU 6/1983, dari semula official/government assessment menjadi self assessment . ▪ Pada mulanya perusahaan sebagai pembayar pajak (Wajib Pajak atau WP) besarnya pajak terutang setiap tahun ditetapkan oleh Pemerintah. Setelah reformasi perpajakan 1983, sistem perpajakan diubah menjadi self assessment __ yaitu pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada WP untuk menghitung, memperhitungkan sendiri pajak terutang, membayar dan melapor melalui mekanisme Laporan Surat Pemberitahuan (SPT). ▪ Pengaturan hak dan kewajiban WP dan Pemerintah dalam pelaksanaan “ self assessment ” untuk seluruh jenis pajak diatur tersendiri dalam hukum formal perpajakan yaitu UU 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang telah diubah 4 (empat) kali terakhir dengan UU 16/2009. ▪ Pengaturan mengenai subjek, objek, dan tarif diatur dalam UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan atas Barang Mewah, UU Bea Meterai, UU Pajak Bumi dan Bangunan, UU Kepabeanan, dan seterusnya. ▪ Dasar pengaturan pajak dalam UUD 1945 juga berubah setelah amandemen ketiga 9 November 2001. Sebelumnya dasar pengaturan pajak tercantum dalam Pasal 23 ayat (2) yang setelah amandemen dimuat dalam Pasal 23A UUD 1945. ▪ Para pakar HTN sepakat bahwa makna diatur dengan undang-undang adalah diatur dengan peraturan undang-undang, di mana jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 sebagaimana telah diubah dengan UU 15/2019. ▪ Makna lebih dalam mengapa dilakukan perubahan dasar pungutan pajak dalam UUD 1945, yaitu agar pungutan pajak yang memiliki daya paksa kuat karena untuk kepentingan penerimaan negara, dalam pelaksanaannya tidak menjadi semena-mena dan tetap harus mencerminkan rasa keadilan dan kepastian bagi pembayar pajak. 41 ▪ Pajak pada hakekatnya bukan tujuan, akan tetapi semata-mata adalah sarana untuk mencapai tujuan negara yaitu rakyat yang sejahtera ( welfare state ) sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 serta ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. ▪ Demikian halnya pengaturan dalam ketentuan formal kewajiban perpajakan bagi WP yang telah dinyatakan Pailit atas putusan Pengadilan, khususnya yang diatur dalam Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP harus mencerminkan kepastian hukum dan keadilan bagi WP. ▪ Ketentuan UU formal perpajakan yang mengatur hak dan kewajiban WP yang dinyatakan pailit, tercantum dalam Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP. ▪ Kedua pasal tersebut menurut ahli tidak sesuai dengan sistem perpajakan self assessment dan tidak mencerminkan asas keadilan serta kepastian hukum bagi warga negara pembayar pajak, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 23A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. ▪ Ahli sependapat bahwa pajak mempunyai peranan yang dominan dalam penerimaan negara, sehingga membayar pajak tidak hanya menjadi kewajiban WP semata tetapi juga Penanggung Pajak. ▪ Artinya, walaupun tertera dalam akta pendirian suatu perusahaan menyatakan bahwa pengurusnya adalah X tetapi ternyata pemilik sebenarnya adalah Y, maka menurut UU Perpajakan walaupun Y tidak tercantum dalam akta pendirian ia harus bertanggung jawab atas kewajiban perpajakan perusahaan tersebut. ▪ Akan tetapi menjadi berbeda apabila perusahaan tersebut dinyatakan pailit, yang mana diatur khusus dalam UU 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Menurut Pasal 2 UU Kepailitan, bagi perusahaan (debitor) yang dinyatakan pailit atas dasar putusan Pengadilan baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya, akan mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan (Lihat penjelasan umum UU Kepailitan). ▪ Bagi perusahaan yang diajukan permohonan pailit baik ketika masih dalam proses pemeriksaan maupun sudah diputus pailit oleh Pengadilan, 42 pengurusan dan pemberesan harta perusahaan tersebut sudah beralih kepada Kurator yang ditunjuk oleh Pengadilan. ▪ Dengan demikian, hak tagih kreditur termasuk utang pajak tidak lagi kepada pemilik perusahaan tetapi kepada Kurator. ▪ Bahkan apabila perusahaan diputus pailit oleh Pengadilan, maka Pengadilan akan menunjuk Hakim Pengawas untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit. ▪ Sebelum putusan pailit oleh Pengadilan berkekuatan hukum tetap ( inkracht van gesijsde ), para Kreditur termasuk Pemerintah terhadap utang pajak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan mengenai bagian persentase atas harta kekayaan perusahaan yang dinyatakan Pailit. ▪ Dalam putusan pailit, Pengadilan akan merinci besarnya bagian dari masing- masing Kreditur termasuk utang pajak. ▪ Perlindungan terhadap utang pajak perusahaan yang diputus pailit oleh Pengadilan, ternyata tidak konsisten diatur dalam Ketentuan formal perpajakan (UU KUP). Hal demikian bertentangan dengan asas keadilan dan kepastian hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 23A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. ▪ Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. menyatakan bahwa pungutan pajak harus adil, tidak diskriminasi sesuai prinsip daya pikul. ▪ Di dalam UU KUP terdapat dua pasal yang mengatur penagihan pajak terhadap perusahaan yang pailit, yaitu Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2). ▪ Pasal 2 ayat (6) UU KUP mengatur mengenai syarat penghapusan NPWP oleh Direktur Jenderal Pajak. ▪ NPWP adalah nomor identitas sebagai pembayar pajak. Ketika orang atau badan telah mempunyai NPWP, maka orang atau badan tersebut mempunyai kewajiban untuk melaksanakan self assessment, yaitu menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya. ▪ Apabila Wajib Pajak sudah dicabut NPWP-nya, maka dengan sendirinya kewajiban self assessment akan menjadi hapus. ▪ Pasal 2 ayat (6) mengatur secara limitatif __ persyaratan dihapusnya NPWP oleh Dirjen Pajak, yaitu: 43 a. Diajukan oleh Wajib Pajak, karena sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan;
Wajib Pajak Badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
Dianggap perlu oleh Direktur Jendral Pajak, karena Wajib Pajak dianggap sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. ▪ Terhadap WP tertentu yang telah diputus pailit oleh Pengadilan, walaupun WP tersebut sudah tidak memiliki persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tetapi perusahaan tersebut di dalam Pasal 2 ayat (6) tidak termasuk dalam persyaratan yang NPWP-nya dapat dihapuskan. Akibatnya WP tersebut masih berpeluang untuk diterbitkan surat ketetapan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak. ▪ Syarat subjektif WP diatur Pasal 2 UU Pajak Penghasilan, yaitu:
Orang Pribadi;
Warisan yang berlum Terbagi;
Badan; dan
Bentuk Usaha Tetap. ▪ Syarat objektif WP diatur Pasal 4 UU Pajak Penghasilan adalah penghasilan. ▪ Ahli berpendapat apabila putusan pailit oleh Pengadilan sudah inkracht , maka seharusnya secara jabatan Pemerintah mencabut NPWP perusahaan yang telah dinyatakan pailit tersebut. Apabila tidak, hal tersebut akan menimbulkan tidak adanya jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat sebagaimana diamanatkan Pasal 28D UUD 1945; serta tidak ada manfaatnya Pengadilan yang telah dengan seksama memeriksa dan memutus pailit suatu perusahaan. ▪ Pasal 32 ayat (2) UU KUP menyatakan bahwa terhadap WP yang diwakili: badan oleh pengurus; badan yang dinyatakan pailit oleh kurator; badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan; badan dalam likuidasi oleh likuidator; warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya; anak yang belum dewasa oleh wali atau pengampunya, bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang. 44 ▪ Pasal 32 ayat (2) KUP mengatur bahwa walaupun perusahaan sudah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, secara pribadi dan/atau secara renteng Kurator bertanggung jawab atas utang pajak. ▪ Pasal ini berlebihan dan memperluas makna penanggung pajak sebagai yang bertanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, yang selayaknya tidak diberlakukan kepada perusahaan yang dinyatakan pailit atas dasar putusan pengadilan. ▪ Padahal dalam UU KUP, dikecualikan penyitaan terhadap barang penanggung pajak apabila terdapat tanda-tanda kepailitan [Pasal 20 ayat (2) huruf e UU KUP]. ▪ Demikian juga dalam Pasal 19 ayat (7) UU 19/2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagai perubahan dari UU 19/1997 ditegaskan bahwa “ putusan (pengadilan) yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap... dipergunakan sebagai dasar pembagian hasil lelang”. ▪ Dengan demikian Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP sepanjang berkaitan dengan WP yang dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan adalah tidak sesuai dengan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi WP dan karenanya bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. ▪ Terkait dengan utang pajak, Pasal 32 ayat (1) UU KUP mengatur bahwa badan dan pengurus berkewajiban bertanggung jawab atas utang pajak. Namun pada ayat (2) dinyatakan bahwa badan yang dinyatakan pailit maka yang bertanggung jawab adalah kurator. ▪ Pasal tersebut menjadi redundant karena suatu perusahaan yang sedang digugat baik oleh Pemohon maupun kreditor lain agar dinyatakan pailit, tentu tidak serta-merta ketika ada utang pajak lantas dapat dilakukan penyitaaan. Jika ada utang pajak, Kantor Pajak bisa menggunakan hak mendahului dengan cara mengajukan gugatan melalui Pengadilan. ▪ Dalam gugatan tersebut Hakim akan memperhitungkan berapa besarnya hak yang didahulukan, dan akan ditetapkan dalam bentuk Keputusan. Jika tidak puas dengan Putusan Pengadilan Niaga, Pemerintah bisa mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung. Namun jika putusan sudah inkracht , semua pihak harus melaksanakan. 45 ▪ Ketentuan Pasal 32 ayat (2) redundant dengan Pasal 32 ayat (1) mengenai pihak yang harus bertanggung jawab terhadap utang pajak, yaitu badan atau pengurus. Tapi saat di pengadilan, menurut UU Kepailitan, pemberesannya beralih kepada kurator. ▪ Dengan demikian, Kantor Pajak tidak langsung bisa menagih tetapi harus mengajukan gugatan kepada Pengadilan. ▪ NPWP seperti dinyatakan undang-undang adalah sekadar nomor identitas wajib pajak. ▪ Dalam proses kepailitan, kewajiban beralih kepada kurator sementara. Dengan demikian NPWP pengurus seharusnya non-efektif. Artinya, tidak boleh ditetapkan utang pajak yang bertubi-tubi. ▪ Utang pajak bisa jadi merupakan utang pajak sebelumnya. ▪ Dalam hal ada utang pajak sebelumnya, Kantor Pajak boleh mengajukan gugatan atas utang pajak dengan hak mendahulukan. Namun tidak boleh ditetapkan pajak-pajak baru dalam proses pengajuan kepailitan. ▪ Perusahaan yang dalam proses pailit ini NPWP-nya atau kewajibannya sudah dalam keadaan non-efektif. Ketika putusan pailit sudah inkracht , tentunya NPWP dicabut dengan sendirinya karena (harta) sudah dibagi dan segala macam. ▪ Lantas bagaimana dengan hak tanggung renteng dari pengurus? Hal demikian bergantung pada putusan Pengadilan. Jika putusan Pengadilan menyatakan sudah beralih kepada kurator dengan diawasi oleh hakim pengawas, maka tentunya sudah beralih pada kurator. ▪ Bagi kurator yang melakukan pemberesan tidak berarti harta pribadinya menjadi tanggungan untuk pemberesan utang pajak. ▪ UU KUP sendiri menyatakan dalam Pasal 2 ayat (6) mengenai Penghapusan NPWP dalam hal sudah ada putusan Pengadilan yang inkracht , dapat diajukan penghapusan NPWP oleh wajib pajak atau ahli warisnya apabila sudah tidak memenuhi syarat subjektif maupun objektif dari wajib pajak. ▪ Perusahaan yang sudah pailit sudah tidak punya (memenuhi) syarat subjektifnya. Secara objektif pun objeknya sudah tidak ada. ▪ Bagi perusahaan yang sudah dinyatakan pailit, maka syarat subjek dan objek dari wajib pajak sudah tidak ada lagi. Dengan demikian sudah dengan sendirinya memenuhi persyaratan Pasal 2 ayat (6), yaitu mengenai 46 penghapusan NPWP oleh Dirjen Pajak, baik secara jabatan maupun atas permohonan kurator karena wajib pajak sudah pailit. Saksi 1. Andrey U Sitanggang ▪ Saksi adalah mantan Tim Kurator PT UCI. ▪ PT UCI dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada 24 November 2015. ▪ Amar Putusan Pengadilan Niaga menunjuk tiga orang sebagai kurator, yaitu saksi (Andrey Sitanggang) bersama dengan Vychung dan Ferry Sihombing. ▪ Putusan Pengadilan Niaga juga mengangkat Hakim Niaga PN Jakarta Pusat bernama Kisworo sebagai Hakim Pengawas. ▪ Pasal 15 ayat (3) UU Kepailitan mengatur bahwa kurator harus bersifat independen, tidak ada conflict of interest antara Pemohon dan Termohon pailit. ▪ Setelah PT UCI dinyatakan pailit, salah satu kewajiban pertama Tim Kurator adalah mengumumkan pernyataan pailit ini di media berdasarkan keputusan Hakim Pengawas. ▪ Tim Kurator mengumumkan kepailitan pada 4 Desember 2015 di Kantor Berita Negara; di Harian Kompas tanggal 1 Desember 2015; dan Harian Rakyat Merdeka. ▪ Inti pengumuman tersebut adalah memberitahukan bahwa PT UCI telah pailit, memberitahukan siapa kuratornya, serta hakim pengawas. Juga meminta kepada pihak yang merasa mempunyai tagihan (kreditor) agar menyampaikan tagihannya kepada kurator disertai dengan rincian jumlah tagihan dan bukti-bukti yang mendukung tagihan tersebut. Termasuk di sini adalah tagihan pajak. ▪ Dalam pengumuman yang sama, kurator juga menetapkan batas akhir pengajuan tagihan. ▪ Batasnya pengajuan tagihan ditetapkan 21 Desember 2015, pukul 16.00 WIB, ke alamat Tim Kurator. ▪ Selanjutnya Tim Kurator memverifikasi setiap tagihan, dan dicocokkan dengan pembukuan debitur. ▪ Verifikasi untuk kantor pajak dilakukan pada 5 Januari 2016 bertempat di ruang rapat kreditor di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. 47 ▪ Setelah verifikasi selesai, Tim Kurator menyusun daftar kreditor yang berisi data: pihak yang mengajukan tagihan; jumlah tagihan; urutan; ada jaminan atau tidak; dan tagihan-tagihan. ▪ Tim Kurator membuat daftar tagihan yang kemudian ditetapkan oleh hakim pengawas. ▪ Tim Kurator menerima pengajuan tagihan pajak sejumlah Rp.43 miliar yang diajukan dalam batas waktu yang ditentukan. ▪ Dari Rp.43 miliar tersebut debitur (PT UCI) hanya mengakui Rp.5 miliar. Kurang lebih Rp.38 miliar masih dalam perselisihan. ▪ PT UCI melalui kurator mengajukan keberatan ke Dirjen Pajak mengenai tagihan Rp.38 milyar, namun Dirjen Pajak menolak keberatan PT UCI. ▪ PT UCI tidak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak karena ketidaklengkapan dokumen. Pertimbangan lain adalah jika kalah dalam banding justru akan dikenai denda pajak 100%. ▪ Dengan demikian Tim Kurator lantas mencatatkan tagihan dari Kantor Pajak sebesar Rp.43 miliar. ▪ Tim Kurator juga menerima tagihan kurang lebih Rp.106 miliar, tetapi diajukan setelah lewat batas waktu sehingga tidak dimasukkan dalam daftar tagihan tetap. ▪ Penetapan daftar tagihan dilakukan berdasarkan penetapan hakim pengawas. ▪ Selanjutnya Tim Kurator melakukan pemberesan/penjualan harta-harta PT UCI dalam beberapa tahap. ▪ Setelah harta pailit terjual seluruhnya, kemudian dibagi kepada para kreditor. ▪ Besaran bagian masing-masing kreditor ditetapkan oleh hakim pengawas. ▪ Sebelum Tim Kurator membagi, daftar pembagian diumumkan di surat kabar minimal dua surat kabar. ▪ Tim Kurator mengumumkannya di Kompas dan Rakyat Merdeka, tanggal 21 Desember 2017. ▪ Pembayaran akan dilakukan jika tidak ada keberatan terhadap daftar tersebut. ▪ Dalam kasus ini ada gugatan perlawanan dari Kantor Pajak terhadap pembagian. 48 ▪ Perlawanan tersebut diputus Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada 6 Februari 2018 yang intinya keberatan/gugatan ditolak. ▪ Selanjutnya Kantor Pajak mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. ▪ Mahkamah Agung melalui putusan bertanggal 10 Juni 2019 menguatkan putusan Pengadilan Niaga. Hal demikian berarti putusan inkracht. ▪ Setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, Tim Kurator membagi hasil penjualan boedel pailit kepada kreditor sesuai daftar yang telah disusun. ▪ Setelah pembagian selesai, Tim Kurator melaporkan kepada hakim pengawas. Selanjutnya Majelis Hakim dalam putusannya menyebutkan bahwa kepailitan berakhir (setelah pemberesan terakhir). ▪ Putusan juga memerintahkan Tim Kurator untuk mengumumkan kepailitan berakhir di dua surat kabar dan juga Tambahan Berita Negara. ▪ Tim Kurator mengumumkan di Kompas dan Rakyat Merdeka tanggal 15 Februari 2019; serta dalam Berita Negara 18 Februari 2019 yang terbit pada 22 Februari 2020. ▪ Dengan berakhirnya kepailitan dan telah diumumkan sebagaimana tersebut di atas, maka tugas Tim Kurator telah berakhir.
Vychung Chongson ▪ Saksi adalah mantan Tim Kurator PT UCI, bersama Andrey U Sitanggang dan Rio Ferry Sihombing. ▪ Keterangan saksi sama dengan keterangan saksi Andrey U Sitanggang.
Rio Ferry Sihombing ▪ Saksi adalah mantan Tim Kurator PT UCI, bersama Andrey U Sitanggang dan Vychung Chongson. ▪ Keterangan saksi sama dengan keterangan saksi Andrey U Sitanggang. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan secara lisan dan tertulis dalam persidangan 18 Agustus 2020 yang pada pokoknya mengemukakan bahwa: A. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon, DPR RI berpandangan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang sebagaimana dinyatakan Putusan 49 Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai berikut:
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa terhadap batu uji Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR RI menerangkan bahwa ketentuan Pasal-Pasal a quo tidak menghalangi Pemohon untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketentuan Pasal-Pasal a quo justru memberikan kepastian hukum karena mengatur secara jelas dan tegas mengenai pertanggungjawaban atas pembayaran pajak yang terhutang dan persyaratan dalam penghapusan NPWP. Bahwa dalam Permohonan a quo Pemohon pada intinya memohon kondisi kepailitan sebagai salah satu syarat hapusnya NPWP dalam ketentuan Pasal 2 ayat (6) UU KUP, karena dengan adanya ketentuan Pasal a quo menyebabkan PT. UCI yang telah dinyatakan pailit tetap memiliki kewajiban pajak karena NPWP atas nama PT. UCI tidak dihapus. Berdasarkan hal tersebut DPR RI berpandangan bahwa seharusnya yang berhak untuk mengajukan Permohonan a quo adalah PT. UCI yang diwakili oleh direktur utama dan/atau direktur lainnya sesuai dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PT. UCI. Sedangkan dalam Permohonan a quo Pemohon mendalilkan dirinya sebagai perseorangan mantan Direktur Utama PT UCI. Oleh karena itu Pemohon yang bertindak atas nama perseorangan dan bukan atas nama PT. UCI tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 jika dipertautkan dengan Pasal-Pasal a quo. 2. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang Terhadap kerugian yang didalilkan oleh Pemohon, DPR RI menerangkan bahwa kepailitan PT. UCI telah berakhir pada tanggal 13 Februari 2019 dan telah dimohonkan pengumuman berakhirnya kepailitan PT. UCI dan telah diumumkan berita berakhir kepailitan dalam berita negara pada tanggal 18 Februari 2019 ( vide Perbaikan Permohonan hal. 14) 50 sehingga secara logika hukum tugas dan tanggung jawab kurator untuk mengurus dan membereskan harta pailit PT. UCI telah berakhir. Dalam hal ini Pemohon tidak menjelaskan apakah PT. UCI telah dibubarkan yang diikuti dengan likuidasi oleh likuidator atau kurator, yang berujung pada berakhirnya status hukum PT. UCI, ataukah PT. UCI masih tetap beroperasi dan telah melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT. UCI dengan agenda peralihan kepengurusan PT. UCI dari pengurus lama (in casu Pemohon) ke pengurus yang baru. Jika status badan hukum PT. UCI belum berakhir, maka tetap beroperasi dan tidak ada perubahan kepengurusan, maka posisi Pemohon hukum kembali menjadi pengurus PT. UCI dan bertanggungjawab atas hak dan kewajiban PT. UCI termasuk kewajiban atas pajak terhutang PT. UCI kepada negara. Berdasarkan uraian tersebut maka sudah sepatutnya Kantor Pajak melakukan penagihan kepada Pemohon dan tidak lagi kepada kurator. Dengan demikian kerugian yang didalilkan oleh Pemohon tersebut bukanlah kerugian yang diakibatkan oleh berlakunya Pasal-Pasal a quo yang diajukan pengujian oleh Pemohon, sehingga tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya Pasal-Pasal a quo .
Terkait adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa berlakunya ketentuan Pasal-Pasal a quo yang diajukan pengujian oleh Pemohon dianggap merugikan Pemohon, DPR RI berpandangan bahwa kerugian yang didalilkan tersebut bukanlah kerugian konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) karena lebih merupakan implementasi atas kasus konkrit yang dialami Pemohon, dan kewajiban pajak PT. UCI yang belum dilunasi kepada negara. Oleh karena itu kepailitan PT. UCI telah berakhir dan Pemohon tidak menjelaskan apakah PT. UCI sedang dalam proses likuidasi, maka berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU KUP, maka wakil dari PT. UCI adalah pengurus. Maka berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, pengurus PT. UCI 51 bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara tanggung renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut. Oleh karena itu telah jelas Pemohon sama sekali tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual ataupun potensial atas berlakunya ketentuan dalam Pasal-Pasal a quo .
Terkait adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang- undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, angka 2, dan angka 3 kerugian yang dimaksud Pemohon tidak bersifat spesifik dan aktual ataupun potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, sehingga tidak ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo .
Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa dengan tidak adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) maka sudah dapat dipastikan pengujian Pasal-Pasal a quo tidak akan berdampak apapun bagi Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus Permohonan a quo karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon. Bahwa terkait dengan kedudukan hukum Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU- XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: 52 ... Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang . Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection). Syarat adanya kepentingan hukum juga telah digariskan dalam syarat kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September 2007 huruf d yang menentukan adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian . Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI berpandangan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. Pandangan DPR RI Terhadap Pokok Permohonan 1. Bahwa untuk mewujudkan tujuan negara maka perlu dilaksanakan pembangunan nasional khususnya di bidang perekonomian yang akan berpengaruh terhadap pendapatan negara untuk pembiayaan pembangunan. Bahwa pajak merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dan pembangunan nasional. Bahwa sesuai dengan Pasal 23A UUD NRI 53 Tahun 1945 yaitu pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang, dan salah satunya Undang-Undang a quo . Oleh karena itu berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang a quo, pajak yang dipungut kepada rakyat berdasarkan porsi yang adil, dilakukan secara jujur, wajar, dan proporsional. Pajak dikelola secara profesional dan diimplementasikan dengan menekan tingkat kesalahan dan deviasi seminimal mungkin agar terbangun sistem perpajakan yang akuntabel yang pada akhirnya tercapai tujuannya untuk digunakan pembangunan dan kemakmuran rakyat.
Bahwa UU KUP mengatur sistem perpajakan baru, yang mengubah sistem perpajakan lama dengan sistem dan mekanisme yang berbeda dari ketentuan sebelumnya, yang memiliki ciri dan corak sebagai berikut:
Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terhutang yang dikenal dengan prinsip self-assesment , sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.
Bahwa dengan diterapkannya Self Assessment Pajak, Indonesia menganut ajaran material yaitu pajak yang terutang timbul karena terpenuhinya syarat subjektif dan objektif berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada 54 kantor Dirjen Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). NPWP tersebut merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak harus diberikan satu NPWP. Selain itu, NPWP juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan sistem administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan NPWP yang dimiliki.
Bahwa perlu ditegaskan penerbitan NPWP merupakan proses administrasi yang tidak menentukan timbulnya pajak yang terutang maupun hapusnya pajak yang terutang. NPWP digunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya antara lain untuk membayar, menyetor, dan melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak. NPWP hanya sebagai identitas dan sarana administrasi Wajib Pajak dalam hal pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Terkait dalill Pemohon mengenai tidak dihapuskannya NPWP perusahaan pailit oleh Dirjen Pajak akibat pemberlakuan Pasal 2 ayat (6) UU KUP, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa dengan diterapkannya Sistem Self Assesment Pajak, penghapusan NPWP berdasarkan ketentuan Pasal a quo dimungkinkan berdasarkan permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya itu sendiri, atau terdapat kondisi lain seperti Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha, Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia, atau dianggap perlu dihapuskan oleh Dirjen Pajak karena Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. UU KUP tidak mengatur ketentuan norma lain terkait dapat dihapuskannya NPWP diluar dari pengaturan Pasal a quo .
Bahwa terkait kasus konkrit Pemohon yang perseroannya telah dinyatakan pailit, berdasarkan ketentuan Penjelasan Pasal 292 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU 55 KPKPU) telah diatur bahwa perseroan yang telah dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan niaga mengakibatkan harta pailit Debitor langsung berada dalam keadaan insolvensi (keadaan tidak mampu membayar).
Meskipun harta Debitor tersebut dalam keadaan insolvensi, namun tidak secara serta merta menyebabkan Debitor dilikuidasi dan hapus status Debitor sebagai badan hukum. Bahwa salah satu asas yang dianut oleh UU KPKPU adalah asas kelangsungan usaha yang memungkinkan Debitor yang prospektif untuk tetap melanjutkan usahanya berdasarkan persetujuan panitia kreditor atau dengan seizin Hakim Pengawas ( vide Pasal 104 UU KPKPU). Dengan demikian terbukanya kemungkinan tersebut, maka terdapat potensi hak dan kewajiban perpajakan yang timbul dari usaha Debitor yang dilanjutkan oleh kurator. Oleh karena itu NPWP sebagai identitas perpajakan Debitor tetap dibutuhkan meskipun Debitor telah dinyatakan pailit.
Bahwa meskipun Pasal 142 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) menyatakan salah satu sebab dari pembubaran perseroan adalah karena harta pailit perseroan (dalam hal kondisi pailit) berada dalam keadaan insolvensi, namun pembubaran tersebut tidak terjadi secara automatically sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon ( vide Perbaikan Permohonan hal. 7). UU PT hanya mengenal satu penyebab pembubaran perseroan yang terjadi karena hukum, yaitu apabila berakhirnya jangka waktu berdirinya perseroan yang ditetapkan dalam anggaran dasar ( vide Pasal 145 ayat (1) UU PT). Bahwa pembubaran perseroan berdasarkan ketentuan Pasal 42 ayat (1) UU PT harus selalu diikuti dengan likuidasi. Dalam hal pembubaran terjadi karena harta pailit perseroan (dalam pailit) berada dalam keadaan insolvensi, maka likuidasi dilakukan oleh kurator yang bertanggung jawab kepada hakim pengawas ( vide Pasal 152 ayat (2) UU PT). Selain itu ketentuan Pasal 183 UU KPKPU menyatakan bahwa Hakim Pengawas dapat memerintahkan kelanjutan perusahaan dihentikan atas permintaan kreditor atau kurator, dan selanjutnya kurator melakukan pemberesan atas semua harta pailit debitor. Oleh karena Pemohon tidak 56 menguraikan dalam permohonan a quo bahwa kurator PT. UCI juga melakukan likuidasi atau pemberesan terhadap harta pailit PT. UCI, maka Dirjen Pajak tidak dapat melakukan penghapusan NPWP atas nama PT. UCI.
Bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (6) huruf b UU KUP menyatakan bahwa salah satu syarat penghapusan NPWP oleh Dirjen Pajak adalah apabila Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha. Penghapusan NPWP dalam kondisi tersebut dapat dilakukan karena ketika perseroan dalam proses likuidasi maka perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan semua urusan perseroan dalam rangka likuidasi ( vide Pasal 142 ayat (2) huruf b UU PT). Dengan tidak adanya perbuatan hukum yang dapat dilakukan oleh perseroan, maka dapat dimaknai tidak akan ada lagi hak dan kewajiban perpajakan yang kemudian muncul.
Bahwa terhadap uraian Pemohon terkait PT. UCI yang telah berhenti beraktivitas usaha dan seluruh harta kekayaan telah habis dibagi oleh kurator ( vide Perbaikan Permohonan hal. 25), maka pada saat itu sesungguhnya pemegang saham, direksi, atau dewan komisaris PT. UCI dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk dapat membubarkan PT. UCI berdasarkan alasan perseroan tidak mungkin dilanjutkan ( vide Pasal 146 ayat (1) huruf c UU PT). Alasan perseroan tidak mungkin dilanjutkan antara lain karena kekayaan perseroan telah berkurang sedemikian rupa sehingga dengan kekayaan yang ada perseroan tidak mungkin lagi melanjutkan kegiatan usahanya ( vide Penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c UU PT). Jika permohonan tersebut disetujui oleh pengadilan, maka pengadilan akan menunjuk likuidator untuk melakukan pemberesan, sehingga Dirjen Pajak dapat menghapus NPWP atas nama PT. UCI.
Bahwa dalam peraturan teknis administratif mengenai pelaksanakan penghapusan NPWP Wajib Pajak Badan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak ditentukan persyaratan administrasi penghapusan NPWP 57 dilakukan sepanjang Wajib Pajak memenuhi ketentuan yang salah satunya adalah kriteria “tidak mempunyai utang pajak”. Dengan adanya ketentuan tersebut, meskipun NPWP dimohonkan oleh Pemohon untuk dilakukan penghapusan namun sepanjang wajib pajak mempunyai utang pajak, maka persyaratan administrasi untuk penghapusan NPWP tidak dapat terpenuhi. Sehingga dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa status pailit PT. UCI seharusnya menjadi salah satu syarat dihapuskannya NPWP Badan oleh Dirjen Pajak menjadi tidak berdasar.
Terkait dengan dalil Pemohon mengenai perbedaan penafsiran kata “wakil” oleh KPP Wajib Pajak Besar Satu yang menafsirkan wakil PT. UCI (dalam pailit) adalah Pemohon sebagai akibat pemberlakuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa Wajib Pajak badan dalam ketentuan Pasal a quo merupakan subjek hukum yang dianggap seolah-olah sebagai manusia/orang. Von Savigny dalam doktrin hukum Teori Fiksi ( Fictie Theory ) menyebut bahwa menurut alam hanya manusia yang disebut sebagai subyek hukum, sementara badan hukum hanya suatu fiksi untuk dianggap sebagai subyek hukum, sehingga dalam pertanggungjawaban badan hukum dilakukan oleh pengurusny Sehingga pertanggungjawaban badan hukum sampai dengan pertanggungjawaban pengurusnya, karena badan hukum tidak akan bisa melakukan perbuatan hukum tanpa adanya perbuatan hukum yang dilakukan pengurusnya.
Bahwa Pasal 32 ayat (1) UU KUP telah menunjuk secara langsung siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Penunjukan secara langsung siapa yang menjadi wakil atau kuasanya ini perlu ditentukan karena bagi wajib pajak tersebut tidak dapat dan/atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut. Terkait dengan Permohonan a quo , wakil badan adalah pengurus, dan wakil badan yang dinyatakan pailit adalah kurator.
Bahwa kondisi normal, wakil Wajib Pajak badan dilakukan oleh pengurus untuk menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan, dalam hal pengurus sebagai wakil Wajib Pajak badan bertanggung jawab secara 58 pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang untuk Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sejak timbulnya kewajiban pajak bagi Wajib Pajak badan. Pengecualian atas hal tersebut dapat dipertimbangkan oleh Dirjen Pajak apabila pengurus dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut ( Vide Pasal 32 ayat (2) UU KUP) d. Bahwa wakil Wajib Pajak badan dalam keadaan pailit adalah kurator. Namun perlu diingat bahwa kurator dalam hal ini hanya berkedudukan sebagai wakil dari Wajib Pajak badan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor pailit ( vide Pasal 1 angka 5 UU KPKPU).
Bahwa dengan adanya pergantian wakil Wajib Pajak badan (dalam pailit) dari pengurus menjadi kurator, tidak menyebabkan pengurus dapat melepas tanggung jawabnya atas utang pajak yang muncul ketika perseroan masih dalam masa kepengurusannya. Walaupun Wajib Pajak badan mengalami kepailitan, penanggung pajak atas Wajib Pajak badan tersebut tetaplah pengurus yang menjalankan perseroan tersebut, yang menyebabkan munculnya utang pajak, namun selama masa kepailitan pembayaran sebagian utang pajak yang dilunasi dari boedel pailit dilakukan oleh wakil Wajib Pajak badan pailit, yakni kurator.
Sehingga dalam kasus konkrit dalam Permohonan a quo , Pemohon sebagai penanggung atas pajak yang terjadi sebelum kondisi kepailitan/pada saat perseroan berjalan normal tetap memiliki tanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak terutang yang tidak dibayarkan pada saat pengurus menjalankan perseroan.
Terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan tetap ditagihnya Pemohon sebagai penanggung jawab perseroan atas utang pajak akibat pemberlakuan pasal-pasal a quo , DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24 UU KPKPU akibat dari kepailitan adalah debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit. Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 24 UU KPKPU, dalam hal 59 debitor adalah perseroan terbatas, maka organ perseroan tersebut tetap berfungsi selama tidak menyebabkan berkurangnya harta pailit karena pengeluaran uang dari harta pailit merupakan wewenang kurator.
Bahwa terdapat perbedaan rezim antara UU PT dengan UU KUP terkait pertanggungjawaban perseroan yang dapat diutarakan sebagai berikut: • Pasal 97 ayat (3) UU PT yang mengatur bahwa setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Sedangkan di Pasal 97 ayat (4) UU PT mengatur bahwa dalam hal direksi terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi. Oleh karena itu, berdasarkan rezim UU PT pada dasarnya pengurus tidak dapat bertanggungjawab sampai pada harta pribadi. • Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP menyatakan bahwa wakil badan atau pengurus bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali dapat dibuktikan bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut. Oleh karena itu berdasarkan rezim UU KUP, pada dasarnya pengurus bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng.
Berdasarkan pengaturan tersebut, UU PT merupakan hukum privat sehingga negara tidak termasuk sebagai pihak yang bersengketa dalam pertanggungjawaban pengurus. Lain halnya dengan UU KUP sebagai hukum publik dimana negara mempunyai hak untuk meminta pertanggungjawaban pengurus secara pribadi dan/atau secara renteng berdasarkan Pasal 32 ayat (2) UU KUP.
Terkait dengan kasus konkrit Pemohon yang berkenaan dengan hak dan kewajiban perpajakan, maka penerapan terhadap kasus konkrit Pemohon tersebut menggunakan ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP sebagai penerapan asas hukum yang bersifat khusus 60 mengenyampingkan hukum yang bersifat umum (lex specialis derogat legi generali). e. Berdasarkan Pasal 21 UU KUP beserta Penjelasannya, kedudukan negara disebut sebagai kreditur preferen yang mempunyai hak mendahului untuk utang pajak atas barang-barang milik penanggung pajak, dan pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.
Sehingga dimungkinkan untuk perusahaan yang telah pailit namun masih mempunyai utang pajak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara tanggung pribadi dan/atau secara renteng karena dalam proses pailit ada hak negara yaitu utang pajak, subjek pajaknya masih ada, dan status perseroan tidak dalam likuidasi.
Terhadap kasus konkrit yang dialami oleh Pemohon, maka meskipun PT. UCI telah dinyatakan pailit dan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah menunjuk kurator, namun direksi sebagai salah satu organ perseroan ( in casu Pemohon) masih memegang jabatan sebagai pengurus PT. UCI. Kewenangan yang beralih kepada kurator hanya terbatas pada penguasaan dan pengurusan harta kekayaan yang termasuk dalam harta status pailit.
Bahwa pada saat kepailitan PT. UCI sudah berakhir dan boedel pailit sudah habis dibagi oleh kurator, maka secara otomatis kurator bukan lagi sebagai wakil dari PT. UCI. Maka dengan demikian hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan PT. UCI secara logika hukum dapat dimaknai dikembalikan kepada pengurus yang lama karena PT. UCI tersebut belum dilakukan perubahan AD/ART, khususnya terkait ketentuan kepengurusan, melalui RUPS, dan belum dilakukan likuidasi karena penghentian usaha. Oleh karena itu Pemohon yang masih memegang jabatan sebagai pengurus PT. UCI dapat kembali menguasai dan mengurus harta kekayaan PT. UCI, termasuk terkait hak dan kewajiban perpajakan.
Bahwa utang pajak yang tetap ditagihkan kepada Pemohon sebagaimana disebutkan dalam Permohonan a quo bukan merupakan penafsiran yang berbeda terhadap kata “Wakil” dalam Pasal 32 ayat (2) UU a quo sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon. Bahwa tagihan 61 pajak sebesar Rp 43.334.542.465,- diajukan kepada kurator pada masa pengumuman daftar pembagian akhir harta pailit tertanggal 21 Desember 2017. Sementara itu tagihan pajak sebesar Rp 193.625.721.483,- diajukan kepada pribadi Pemohon pada tanggal 18 Februari 2019, dimana kepailitan PT. UCI telah berakhir pada tanggal 13 Februari 2019 ( vide Perbaikan Permohonan hlm. 14-15). Penagihan pajak yang dialamatkan kepada Pemohon tersebut merupakan suatu konsekuensi hukum karena kepailitan PT. UCI telah berakhir dan kepengurusan belum diubah dalam AD/ART PT.UCI, sehingga Pemohon masih bertanggung jawab atas sisa utang pajak PT.UCI yang belum terbayar dari harta pailit.
Oleh karena itu, secara administrasi perpajakan identitas dari penanggung pajak terhutang PT. UCI dikembalikan kepada kepengurusan yang lama, yang dalam hal ini adalah Pemohon. Jika Pemohon keberatan terhadap jumlah utang pajak berdasarkan perhitungan dari Dirjen Pajak sebagaimana yang didalilkan dalam Permohonan a quo, maka Pemohon dapat mengajukan upaya hukum berupa Surat Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak (SKP) kepada Dirjen Pajak atau jika terkait penagihan yang dilakukan oleh Kantor Pajak, Pemohon dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. C. Risalah Pembahasan Pasal-Pasal a quo UU KUP Selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, DPR RI melampirkan risalah pembahasan UU KUP sebagai bagian berikut: RDP/Panja Komisi XI DPR RI dengan Pemerintah (Departemen Keuangan Rl) Kamis, 25 Januari 2007 Dirjen Pajak: “Yang pertama, ini adalah pemeriksaan terhadap keuangan negara. Datanya semua sudah disitu. Yang perlu diatur adalah standar memeriksanya. lni yang dihadapi oleh wajib pajak, akalnya 1001. Ya, kita juga wajib pajak dan tidak bisa memang begitu. Di dunia ini dan dimana pun, semua mengakui tidak ada yang senang bayar pajak. Jadi, itu sebabnya yang kita punyai bukan standar pemeriksaan melainkan pedoman pemeriksaan. Sebelumnya saya ingin membacakan definisi pemeriksaan, di pasar modal memang ini adanya di Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pemeriksaan di bidang Pasar Modal. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan dan 62 mengolah data dan atau keterangan lain yang dilakukan oleh pemeriksa untuk membuktikan ada atau tidak ada pelanggaran atas peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal. Nanti di bidang perdagangan berjangka juga ada, sama persis dan hanya tidak ada pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan berjangka komoditi. Kalau main contoh, ini contohnya lebih banyak. Kemudian, tujuan lainnya. Memang ini di pajak berbeda dengan yang lain karena tidak hanya untuk menguji kepatuhan, pelanggaran. Kita juga memeriksa kalau ada penghapusan nomor pokok wajib pajak, kalau ada yang mengajukan keberatan, kalau ada a sampai j ini di luar yang bunyinya itu untuk menguji kepatuhan. Jadi, selain menguji kepatuhan ada lagi pengujian untuk yang lain dan kalau ada cara yang paling tepat untuk mewakili ini yang bukan sekedar menguji kepatuhan ini, maka pemerintah tidak keberatan sama sekali tetapi tolong jangan terburu-buru mengusulkan tujuan lain itu hilang. lni berbeda dengan pengujian keuangan negara yang arahnya lebih tunggal. Kalau ini arahnya macam-macam sekali. Orang mau menghapuskan NPWP saja, jadi ada merger 2 perusahaan kemudian dia bilang ini mau dihapuskan NPWP-nya, harus Pak dan Undang-undang bilang harus diperiksa dulu. Jangan-jangan ada yang tertinggal hutang pajaknya yang kemudian bisa jadi masalah secara hukum. ltu dia penjelasannya Pak. Kami tetap dengan pendapat bahwa memang ini lebih pas untuk definisi; pemeriksaan di bidang perpajakan karena di pasar modal menggunakan definisi yang 99% sama, di pemeriksaan di bidang perdagangan berjangka komoditi juga begitu. Saya kira demikian..” Panja RUU Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Tahun 2007, Sabtu, 3 Maret 2007 Dirjen Pajak (Darmin Nasution): “Sedikit Bapak, Jadi tidak dimaksudkan menambahkan Badan disini sebetulnya, karena Badan tetap saja sudah diatur, yang bertanggungjawab itu ada orang, ada Pasalnya yang mengatur itu, jadi filosofi Pajak itu tidak berpikir mempidanakan Badan, sehingga dia dilenyapkan, tidak bayar nanti. Orangnya kalau ada permufakatan atau perbuatan jahat dari Badan, itu orangnya ada yang bertariggungjawab, itu sebabnya diatur dari semua kemungkinan baik Badan maupun urusan Warisan diatur di DIM No. 607 dst yang tanggungjawab si ini, orangnya, sehingga di Pidana nanti dia yang di Pidana, bukan Badannya. Oleh karena itu disini, itu sebabnya disebut setiap orang, jadi kalau Badan yang dipidana, bisa dibubarkan, kalau dibubarkan Perusahaannya, apalagi bukan hanya tidak bayar Pajak, tidak bekerJa karyawannya. Jadi pengurusnya yang diambil, kalau itu Badan maka pengurusnya yang diambil, itu yang diadili, itu yang diproses, dipidanakan, Badannya biarkan, kalau itu warisan itu, pihak yang mengurus harta peninggalannya yang diambil. lni tidak ada persoalan Badan bagaimana, pengurusnya sudah diatur di Ketentuan khusus Pasal 32 atau DIM No. 607 dst. Jadi kalau mau ditambah penjelasan, justru bunyinya begitu, kalau ditambah penjelasan”. Retna Rosman Ita Situmorang, MBA (Anggota F-PDS): “Interupsi atas apa yang dijelaskan oleh Bapak Dirjen, contohnya kalau di Amerika itu ada kasus Anderson ya Bapak ya, tetapi efeknya kena juga ke company tersebut, disamping pengurusnya, itu bukan Badan”. 63 Dirjen Pajak (Darmin Nasution): “Saya tadi membaca penjelasan dari Ketentuan Khusus Pasal 32 tadi, dia bunyinya begini, wakil sebagaimana dimaksud pad a Ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terhutang, jadi pidana itu di perpajakan, umumnya juga sebenarnya tidak hilang. Dendanya, tidak bisa sekedar ditukar, kalau dia mengelapkan pajak sekian dipenjarakan sekian tahun, tidak, bayar dulu baru dipenjarakan. Jadi bertanggungjawab secara pribadi atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terhutang, kecuali bisa membuktikan bahwa mereka dalam kedudukannya tidak mungkin dibebani tanggungjawab tersebut”. (Vide Risalah Pembahasan Halaman 10) DR. H. Harry Azhar Azis, MA (Anggota F-PG): “Asalkan pengertiannya itu bisa dikaitkan dengan yang tadi disebut di DIM No. 607 itu sebenarnya tidak ada persoalan, karena ketika menyangkut Badan oleh pengurus itu, maka orang-orang. bisa saja Badan dalam konteks itu masing-masing anggaran dasar pengurus itu bisa berbeda-beda, sehingga orang yang tidak kena juga bisa masuk, kita akan melindungi orang seperti itu juga. Maksud saya, bagaimana melindungi orang yang berada didalam Badan yang itu nama orang, atau Badan, kemudian orang itu terkena, itu juga dilindungi. Artinya apakah Badan itu tidak mungkin di bubarkan, tetapi dalam konteks kita bisa dipailitkan, walaupun kita kewajibannya harus dikejar juga, jadi tanggungjawabnya kepada Negara juga harus didahulukan daripada yang lain- lainnya. Apakah itu bisa dimasukkan disitu, konteks pengertian itu sepanjang kami bisa, pengertian awal yang kita sebutkan tadi itu akan kita sebutkan”. (Vide Risalah Pembahasan Halaman 11) Retna Rosman Ita Situmorang, MBA (Anggota F-PDS): “Ketua sebelum Bapak Dirjen sampaikan, Tadi siang sebetulnya saya ingin menanyakan terkait dengan DIM No. 755 dan juga menuju ke Pasal 32, tadi Bapak Dirjen mengatakan bahwa Badan itu tidak pernah kena sangsi, tetapi yang kena adalah orang pribadi, karena Badan diwakili oleh Pengurus. Saya mau menanyakan kepada Bapak Dirjen, banyak perusahaan-perusahaan itu yang Direktur Utama, Pemegang Saham ataupun the owner, dia taruh karyawannya. ataupun supirnya bahan, itu bagaimana Bapak Dirjen, karena banyak sekali perusahaan-perusahaan yang saya tau persi, mereka memakai karyawannya sebagai Direktur Utama, sementara the ownernya tersmbunyi di Akte Notarisnya”. (Vide Risalah Pembahasan Halaman 28) Petitum DPR RI Demikian keterangan DPR RI kami sampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus, dan mengadili Perkara a quo dan dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing ); 64 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima;
Menerima Keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan __ (Lembaran Negara Nomor 85 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4740) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Hakim Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden diwakili Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo dalam persidangan 18 Agustus 2020 menyampaikan keterangan secara lisan dan dan menyerahkan pula keterangan tertulis tanpa tanggal. Presiden telah pula menyerahkan keterangan tertulis tambahan bertanda bulan September 2020, tanpa tanggal. Keterangan Presiden demikian pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut: Pokok Permohonan Pemohon Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya atas berlakunya pasal- pasal a quo karena menurut Pemohon kedua Pasal dalam UU KUP tersebut membuat Pemohon menjadi terbebani dengan tanggung jawab atas utang pajak perusahaan yang kini telah pailit, yaitu PT United Coal Indonesia, khususnya atas utang pajak tahun 2012 sampai dengan tahun 2017. Pada tahun-tahun tersebut Pemohon menjabat sebagai Pengurus PT United Coal Indonesia yaitu sebagai Direktur Utama. I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi RI Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” 65 Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur sebagai berikut:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dalam permohonan a quo , meskipun Pemohon mendalilkan permohonannya sebagai permohonan uji materi, namun sesungguhnya hal-hal yang dimohonkan adalah kasus konkret pelaksanaan penagihan pajak atas utang pajak PT United Coal indonesia (PT UCI) yang ditagihkan kepada Pemohon sebagai Pengurus PT UCI, karena sesuai Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU KUP Pemohon yang merupakan Pengurus PT UCI adalah Wakil Wajib Pajak yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya terhadap utang pajak PT UCI secara pribadi dan/atau secara renteng. Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP mengatur sebagai berikut, “Wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi dan/ atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terhutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terhutang tersebut”. Selaras dengan Pasal 32 ayat (2) UU KUP tersebut, Pasal 23 ayat (2) UU KUP dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) sesungguhnya sudah mengatur dan memberikan ruang upaya hukum terhadap pelaksanaan penagihan pajak oleh Termohon, namun Pemohon tidak pernah mengajukan upaya hukum dimaksud. Pasal 23 ayat (2) UU KUP dan Pasal 31 ayat (3) UU Pengadilan Pajak mengatur sebagai berikut: Pasal 23 ayat (2) UU KUP “Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak; 66 c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
penerbitan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak”. Pasal 31 ayat (3) UU Pengadilan Pajak “Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku”. Sebagaimana praktik selama kurun waktu 2016-2019, terdapat 204 Wajib Pajak yang mengajukan gugatan terkait pelaksanaan tindakan penagihan oleh Direktorat Jenderal Pajak termasuk di dalamnya terkait Penanggung Pajak di Pengadilan Pajak. Dengan demikian, alangkah lebih tepat jika Pemohon menggunakan lebih dahulu upaya hukum yang ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan perpajakan untuk menyelesaikan perkara konkret yang dialami Pemohon sebagai Pengurus PT UCI. II. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon, Pemerintah menyampaikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa Pemohon dalam perkara a quo sesuai permohonannya adalah Perseorangan, bukan sebagai Direktur Utama PT United Coal Indonesia, dan Pemohon menganggap ketentuan pasal a quo telah melanggar atau merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai seorang individu/perseorangan, bukan sebagai Direktur PT United Coal Indonesia, yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Ada tiga hal mengapa Pemerintah berkeberatan dengan legal standing Pemohon. Hal ini Pemerintah jelaskan sebagai berikut:
Pertama, Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia; 67 b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara” Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya terdahulu (putusan Nomor 5/PUU-III/2005 dan putusan Nomor 11/PUU-V/2007) memberikan pedoman bahwa legal standing Pemohon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causaal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Pemohon sebagai perorangan dalam perkara a quo tidak dirugikan oleh berlakunya Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP karena Pasal a quo dalam dalil permohonan Pemohon secara jelas menyebutkan merugikan Pemohon dalam kapasitasnya sebagai Pengurus/Direktur PT United Coal Indonesia. Pemohon dalam dalilnya menegaskan bahwa berlakunya Pasal 2 ayat (6) UU KUP, maka perusahaan tidak dapat menghapuskan NPWP, lebih lanjut berlakunya Pasal 32 ayat (2) UU KUP menjadikan Pemohon sebagai Direktur Utama harus mempertanggungjawabkan utang pajak PT United Coal Indonesia yang timbul hingga ke harta pribadinya secara tanggung renteng. Dengan demikian, Pemohon dalam perkara a quo seharusnya berkapasitas sebagai Pengurus/Direktur Utama PT United Coal Indonesia karena materi pengaturan undang-undang ini tidak ditujukan bagi Pemohon secara pribadi. Harta pribadi Pemohon terdampak oleh berlakunya 68 Pasal 32 ayat (2) UU KUP hanya karena Pemohon adalah Direktur Utama PT United Coal Indonesia. Jika Pemohon bukan Direktur Utama PT United Coal Indonesia, maka Pemohon secara perorangan tidak terdampak/tidak dirugikan atas berlakunya Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP dalam perkara a quo . Tidaklah tepat dalil Pemohon yang menggunakan ketentuan paragraf 9 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) yang menyatakan, “Putusan Pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan” agar Pemohon dilepaskan dari tanggung jawab atas utang pajak, dengan alasan:
Paragraf 9 Penjelasan Umum UU Kepailitan dan PKPU berlaku untuk perorangan atau badan yang pailit, bukan untuk Direksi/Pengurus dari badan yang pailit secara pribadi.
Andaikata yang dimaksud oleh Pemohon adalah status hukum seseorang menjadi tidak cakap kemudian hal tersebut menghilangkan tanggung jawab perusahaan atas pelunasan utang pajak maka hal tersebut tidaklah tepat. Paragraf 10 Penjelasan Umum UU Kepailitan dan PKPU menegaskan bahwa "kepailitan tidak membebaskan seseorang yang dinyatakan pailit dari kewajiban untuk membayar utang-utangnya." 3. Pada faktanya, saat ini Pemohon masih tetap menjabat sebagai Direktur Utama PT United Coal Indonesia setelah proses kepailitan diselesaikan oleh Kurator. Kewenangan untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan perusahaan tidak lagi berada di kurator, namun kembali kepada Pengurus (Direktur Utama). Dengan demikian, yang seharusnya memiliki legal standing dan cakap secara hukum untuk mengajukan Permohonan Uji Materi adalah Direksi/Pengurus PT United Coal Indonesia, bukan Pemohon dalam kapasitasnya sebagai orang pribadi. Apalagi saat ini PT United Coal Indonesia, sebagaimana Pemohon juga telah menerangkan, sudah 69 tidak dalam keadaan pailit lagi atau kepailitannya sudah berakhir sejak tanggal 13 Februari 2019.
Kedua, kerugian yang didalilkan oleh Pemohon tersebut bukan isu konstitusional, tetapi penerapan atas suatu norma undang-undang. Norma yang terdapat dalam pasal yang diuji dalam perkara a quo akan berjalan normal apabila kondisi dasarnya dipenuhi ( conditio sine qua non ). Kondisi dasar terpenuhi apabila Pemohon sebagai pengurus/ Direktur Utama di PT United Coal Indonesia sejak awal menjalankan kepengurusannya dengan baik dan taat terhadap peraturan perundang- undangan perpajakan dengan membayar kewajiban perpajakan perusahaannya dengan benar, sebagaimana juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan lainnya. Namun apabila kewajiban tersebut tidak terpenuhi, maka sebagai konsekuensinya Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menagih pajak yang terutang beserta sanksi administrasi kepada penanggung pajak secara tanggung renteng. Hal tersebut tentunya tidak dapat dikualifikasikan sebagai kerugian konstitusional.
Ketiga, kerugian Pemohon sebagai diri orang pribadi tidak memiliki causaal verband (hubungan kausal) atau bukan disebabkan karena berlakunya peraturan a quo , namun dikarenakan Pemohon selama menjabat sebagai Direktur Utama PT United Coal Indonesia telah menimbulkan utang pajak kurang lebih sebesar Rp193.598.938.266,00 (seratus sembilan puluh tiga milyar lima ratus sembilan puluh delapan juta sembilan ratus tiga puluh delapan ribu dua ratus enam puluh enam rupiah) yang berasal dari kewajiban-kewajiban pajak pada tahun pajak 2012 sampai dengan 2017 beserta sanksi administrasi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang hingga kini belum terlunasi. Bahwa dalam putusan kepailitan disebutkan jatuhnya pailit bukan atas kesalahan Direksi maupun Pengawas, hal tersebut tidak dapat dikaitkan dengan munculnya utang pajak pada saat Pemohon menjabat sebagai Direksi. Jatuhnya kepailitan perusahaan tidak serta merta menjadi alasan pembenar bahwa timbulnya utang pajak juga bukan dikarenakan kelalaian atau kesalahan pengurus. 70 Secara umum timbulnya utang pajak berbanding lurus dengan tambahan kemampuan ekonomi Wajib Pajak pada saat itu. Apabila Wajib Pajak memperoleh laba maka secara serta merta akan terutang pajak, sebaliknya apabila Wajib Pajak merugi maka tidak akan ada utang pajak yang timbul. Oleh karenanya tidak dapat menempatkan alasan ketidakmampuan secara finansial Wajib Pajak saat ini yang menyebabkan jatuhnya pailit dengan kemampuan finasial saat munculnya kewajiban perpajakan sebelum terjadinya pailit. Munculnya utang pajak secara umum diakibatkan karena pengurus pada saat itu tidak segera melunasi kewajiban perpajakannya secara self assesment saat syarat subjektif dan objektifnya terpenuhi. Adalah suatu konsekuensi hukum yang wajar dan logis menurut undang-undang di bidang perpajakan jika Pemohon selaku Pengurus/Direktur dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi dan tanggung renteng atas utang pajak yang timbul semasa kepengurusannya. Dengan demikian, berdasarkan argumentasi di atas, menurut Pemerintah adalah tepat dan sudah sepatutnya jika Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). III. Keterangan Pemerintah Atas Materi Permohonan Yang Dimohonkan Untuk Diuji A. Pajak Sebagai Kontribusi Wajib dan Konsekuensi Sistem Self Assessment 1. Sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 23A UUD 1945, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, tidak akan ada pungutan pajak yang dibebankan kepada rakyat, tanpa adanya persetujuan wakil rakyat (no taxation without representation). Prinsip tersebut merupakan salah satu bentuk pengakuan dan jaminan hak warga negara agar tidak dikenai pajak atau pungutan lain secara semena-mena oleh Negara.
Hakikat pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU KUP adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak 71 mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, pajak secara prinsipnya adalah suatu bentuk kontribusi warga negara sebagai cerminan prinsip kegotongroyongan untuk memakmurkan masyarakat luas yang tidak berdasarkan kesukarelaan namun bersifat memaksa, sehingga pelunasannya pun menjadi bersifat wajib.
Sedemikian sifat memaksa dan wajibnya pajak tentunya bukan tanpa adanya alasan dan landasan fakta dan teori yang kuat. Menurut Prof. Mardiasmo, secara teoritis dan praktis dapat dilihat bahwa pajak memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan negara dan masyarakat, yaitu:
Fungsi budgetair Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya;
Fungsi regulerend Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, contohnya:
Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras;
Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif;
Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0%, untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia. Dengan demikian, pajak karena memiliki nilai vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta memiliki arti penting yang sangat signifikan dalam mengatur dan memakmurkan masyarakat menjadi suatu iuran/kontribusi yang pelunasannya menjadi sangat penting sehingga pengaturan tentang pelunasan utang pajak pun tentunya akan mencerminkan betapa wajibnya dan pentingnya pelunasan utang pajak tersebut.
Di sisi lain pajak yang merupakan kontribusi wajib ini menggunakan sistem self assessment yaitu Wajib Pajak diberi kepercayaan oleh Negara untuk mendaftarkan diri, menghitung, memperhitungkan, 72 membayar, dan melaporkan pajaknya dalam surat pemberitahuan. Adapun keberhasilan sistem self assessment ini sangat bergantung pada kepatuhan sukarela ( voluntary compliance ) Wajib Pajak dan adanya pengawasan yang optimal dari aparat pajak.
Salah satu bentuk pengawasan yang optimal untuk memastikan self assessment ini berjalan dengan benar adalah dengan dibentuknya serangkaian peraturan perpajakan yang salah satunya mengatur mengenai tanggung jawab wakil Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagaimana yang dipermasalahkan oleh Pemohon.
Pasal 2 ayat (6) maupun Pasal 32 ayat (2) UU KUP sejatinya adalah alat, berupa peraturan perundang-undangan, untuk memastikan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, yang dilaksanakan secara self assessment tersebut, dapat dilaksanakan dengan benar. Hal ini sejalan dengan pertimbangan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi RI dalam memberikan fleksibilitas yang terukur terhadap kebijakan negara dalam mengatur masalah perpajakan, sebagaimana terangkum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XVII/2019 halaman 43-45, yaitu antara lain: “Bahwa mengenai kewenangan negara dalam memungut pajak dan menentukan besaran serta mekanisme pajak, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-II/2004, bertanggal 11 Desember 2004, pada pertimbangannya antara lain menyatakan: … Menimbang bahwa pembayaran pajak adalah kewajiban semua warga negara maupun orang asing penduduk Indonesia, di mana negara mempunyai kewenangan untuk memaksakan pembayaran pajak terutang yang timbul sejak peristiwa-peristiwa atau hal-hal yang ditentukan oleh hukum pajak terjadi, yang besarnya pajak terutang sesuai dengan ketentuan hukum pajak yang berlaku. Timbulnya utang pajak bukan sebagai denda atau hukuman terhadap wajib pajak atau karena adanya hubungan perdata antara wajib pajak dengan negara, tetapi semata-mata adanya kewajiban pembayar pajak. Asas keadilan dalam pemungutan pajak salah satu di antaranya adalah: “wajib pajak menghitung sendiri pajak yang harus dibayar (self assessment)” dan 73 “pungut pajak segera setelah hutang pajak timbul dan jangan tunda pemungutannya”, karena penundaan dapat menimbulkan beban yang lebih berat kepada wajib pajak (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-II/2004, bertanggal 11 Desember 2004, hlm. 44). Lebih lanjut, terhadap kewenangan negara dalam memungut pajak tersebut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XVI/2018, _bertanggal 9 Mei 2018, pada pertimbangannya antara lain menyatakan: _ … Bahwa secara doktriner, baik berdasarkan ajaran ilmu negara umum maupun hukum tata negara, kewenangan negara untuk memungut pajak adalah diturunkan dari ajaran tentang hak-hak istimewa negara sebagai organisasi kekuasaan yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan hal itu telah diterima secara universal. Namun, sesuai dengan prinsip dasar yang berlaku dalam negara demokrasi yang berdasar atas hukum, agar dalam pelaksanaannya tidak sewenang-wenang, kewenangan negara untuk memungut pajak tersebut harus diatur dengan dan didasarkan atas undang-undang. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 secara jelas menegaskan hal itu dalam Pasal 23A yang menyatakan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang- undang.” Undang-undang adalah salah satu perwujudan kehendak rakyat. Dengan kata lain, meskipun negara berdasarkan hak istimewa yang dimilikinya berwenang memungut pajak (dan pungutan lain yang bersifat memaksa), sesungguhnya kewenangan itu diberikan atas persetujuan rakyat dan hanya digunakan untuk keperluan negara (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XVI/2018, bertanggal 9 Mei 2018, hlm 93). Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU- XVI/2018, bertanggal 23 Mei 2018, juga menyatakan dalam pertimbangannya antara lain: … pengenaan pajak, termasuk PBB, tidaklah dapat dipertentangkan dengan hak-hak konstitusional warga negara sepanjang hal itu didasarkan atas undang-undang dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Dengan demikian, jika dasar penghitungan pengenaan suatu pajak telah jelas, maka hal itu pun tidak dapat 74 dipertentangkan dengan hak-hak konstitusional warga negara. Dalam hal PBB, dasar penghitungan itu adalah nilai jual objek pajak. Ada pun perihal besaran atau persentasenya, termasuk perubahannya yang didasarkan atas perkembangan keadaan, hal itu adalah persoalan teknis dan sekaligus praktik atau penerapan undang-undang yang tidak mungkin ditetapkan secara baku karena akan tunduk pada perubahan dari waktu ke waktu (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-XVI/2018, bertanggal 23 Mei 2018, hlm 26). Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut kewenangan negara untuk memungut pajak adalah kewenangan yang sah bukan saja karena legitimate secara doktriner tetapi terutama karena secara konstitusional memperoleh landasannya dalam Konstitusi, in casu Pasal 23A UUD 1945. Perihal tidak semua warga negara mampu membayar pajak, hal itu adalah fakta sosial atau kenyataan empirik, namun kenyataan tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar argumentasi untuk menyatakan kewenangan negara memungut pajak bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap fakta tersebut, dengan berpegang pada kewenangan yang diberikan Pasal 23A UUD 1945 a quo , negara berhak melakukan penyesuaian dan perubahan terhadap aturan yang berlaku berkaitan dengan teknis dan praktik penerapan dari undang-undang termasuk besaran dan mekanisme pemungutan pajak karena adanya kebutuhan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang dinamis.” Selanjutnya, penjelasan secara teoritis dan empiris terkait mengapa pengaturan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP ini perlu mengatur dengan norma yang sedemikian, hal ini akan Pemerintah jelaskan sebagai berikut: B. Teori Fiksi, Teori Keagenan ( Agency Theory ), Teori Sinyal ( Signaling Theory) Teori fiksi sebagai salah satu teori yang menjelaskan pengertian badan sebagai rechtpersoon menurut Wolfgang Friedmann dalam bukunya Legal Theory , pada intinya adalah menganggap keberadaan Badan sebagai pribadi hukum ( rechtspersoon ) hanyalah sebagai anggapan atau fiksi saja, karena secara fisik sebuah Badan tidak dapat bertindak atau berbuat untuk 75 melaksanakan hak dan kewajiban hukumnya, yang bertindak dan bertanggung jawab memenuhi kewajiban Badan adalah pengurus. Pengertian Badan sebagai Wajib Pajak dalam Pasal 32 UU KUP adalah menggunakan Teori Fiksi tersebut. Karena Badan dalam teori fiksi hanyalah sebuah anggapan/fiksi dimana penggeraknya adalah Pengurus, maka menjadi hal yang penting untuk kita memahami bagaimana Pengurus berinteraksi dengan organ maupun stakeholder lainnya dari suatu badan atau perusahaan, sehingga kita dapat memahami insentif dan disinsentif serta motivasi-motivasi dari tindakan-tindakan pengurus dalam kepengurusannya. Perlu dipahami kembali bahwa saat terutangnya pajak berbanding lurus dengan tambahan kemampuan ekonomi Wajib Pajak pada saat itu dan pelaksanaan kewajiban perpajakannya dilakukan secara self assesment . Apabila Wajib Pajak memperoleh laba/penghasilan, maka secara serta merta akan terpenuhi saat terutangnya pajak, sebaliknya apabila Wajib Pajak merugi, maka tidak akan ada utang pajak yang timbul. Munculnya tindakan penagihan pajak oleh Termohon sebagian besar dikarenakan kelalaian dari pengurus dalam menjalankan kewajiban perpajakannya secara self assesment pada saat syarat subjektif dan objektifnya telah terpenuhi. Oleh karenanya menjadi logis secara hukum bahwa teori yang digunakan dalam penagihan pajak adalah teori fiksi dan hal tersebut merupakan salah satu dari open legal policy pembuat undang-undang. Terdapat 2 teori yang menjelaskan hal tersebut yaitu: teori keagenan dan teori sinyal. Pemahaman terkait teori keagenan dimulai dengan memahami tugas pengurus, dalam hal ini direksi, yang didasarkan pada doktrin fiduciary duty yang berasal dari sistem hukum Common Law yang mengajarkan bahwa antara direksi dengan perseroan terdapat hubungan fiduciary yaitu direksi hanya bertindak seperti seorang trustee atau agen semata-mata, yang mempunyai kewajiban mengabdi sepenuhnya dan dengan sebaik-baiknya kepada perseroan (Marwan, 2009:
. Direksi dituntut harus dapat mempunyai kepedulian dan kemampuan ( duty of care and skill ), itikad baik, loyalitas, dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan derajat yang tinggi ( high degree ) (Munir Fuady, 2010:
. Direksi yang memiliki fiduciary duty terhadap perusahaannya ini secara faktual 76 harus berhubungan dengan para pemegang saham dan juga para calon investor. Hubungan ini kemudian dijelaskan dalam teori keagenan ( agency theory ) dan teori sinyal ( signaling theory ). Teori keagenan menurut Michael C. Jensen dan William H Meckling, dalam jurnalnya berjudul Theory of The Firm: Managing Behavior, Agency Cost and Ownership Structure , dan teori sinyal menurut Meir Russ dalam bukunya Value Creation, Reporting, and Signaling for Human Capital and Human Assets , pada intinya mengulas mengenai hubungan pemegang saham (pemilik modal perusahaan) sebagai principal , di mana nilai sahamnya akan naik dan turun sesuai persepsi calon investor atas performa perusahaan, dengan Pengurus sebagai agen yang mengendalikan perusahaan secara langsung dalam proses bisnisnya sehari-hari. Baik Pemegang saham, calon investor maupun Pengurus perusahaan diasumsikan sebagai makhluk ekonomi yang rasional yang akan termotivasi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi pribadi. Dengan demikian, Pemegang saham akan membuat keputusan berdasarkan apa yang berpengaruh terhadap nilai saham yang dimilikinya, calon investor akan membuat keputusan berdasarkan apa yang dilihatnya sebagai performa sebuah perusahaan apakah kemungkinannya akan dapat memberikan keuntungan atau tidak baginya, dan Pengurus perusahaan/manajemen/direksi akan membuat keputusan berdasarkan kepentingannya sendiri misalkan bonus dari perusahaan jika dianggap mampu memberikan laba yang tinggi. Hubungan ini sering menimbulkan masalah yang disebut dengan agency problem . (Lihat Elly Purnama Sari, Lilik Handajani, Saiful AM., “Corporate Governance dan Relevansi Nilai Dari Penghindaran Pajak: Bukti Empiris Dari Pasar Modal Indonesia”, Jurnal Dinamika Akuntansi dan Bisnis Vol. 3(2), 2016, pp 33-48). Dalam contoh sederhana pemegang saham melalui RUPS bisa mengangkat dan memberhentikan pengurus, dengan demikian Pengurus secara alamiah akan bekerja untuk kepentingan pemegang saham. Misalnya dengan cara memperbesar laba perusahaan dengan berbagai cara, salah satunya dengan tidak membayar pajak. Ketika laba naik dan dividen yang dibagikan naik tentunya para Pemegang Saham pun senang dengan kinerja Direksi, namun demikian di sisi lain jika pelanggaran berupa 77 tidak membayar pajak ini kemudian hari diketahui otoritas pajak dan kemudian diterapkan sanksi baik administrasi maupun pidana tentunya akan berdampak pada nilai harta perusahaan dan dapat mengurangi persepsi nilai perusahaan di mata calon investor yang akhirnya bisa mempengaruhi harga saham ketika akan dijual . Berdasarkan contoh di atas dapat terlihat bahwa Pengurus perusahaan yang berorientasi laba tentunya secara alamiah memiliki kepentingan untuk dapat menghindari membayar pajak. Jika tidak diimbangi dengan norma yang memberikan tanggung jawab secara pribadi dan secara renteng kepada Pengurus atas pembayaran pajak perusahaan maka bisa jadi hal ini akan mendorong moral hazard yang pada akhirnya merugikan kas negara dan kepentingan rakyat banyak, serta keadilan bagi wajib pajak lainnya yang telah patuh menjalankan kewajiban perpajakannya. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan harus bisa mengawal perusahaan dan agency conflict yang terkandung di dalamnya agar tercipta fairness di __ dalam dunia usaha. Jika peraturan perundang- undangan gagal mengawal ini, maka yang akan muncul adalah moral hazard dimana perusahaan yang satu akan bersaing dengan cara apa pun untuk menunjukan performa tertingginya dalam menghasilkan keuntungan bagi para pemegang saham/investor termasuk dengan mengecilkan/mengurangi pembayaran kewajiban-kewajibannya pada negara, misalnya pajak. Untuk menjaga agar Pengurus sebagai agen yang memegang kendali perusahaan agar tidak memilih untuk mengambil insentif kenaikan laba dari mengurangi/tidak melunasi kewajiban pembayaran pajak, maka semangat ini diserap ke dalam bentuk norma peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 32 UU KUP yang mengatur sebagai berikut:
Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal:
badan oleh pengurus;
badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
badan dalam likuidasi oleh likuidator;
suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau 78 f. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.
Wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terhutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terhutang tersebut.
Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.
(3a)Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan”. Di dalam Pasal ini diatur dengan pasti pihak-pihak mana saja yang dapat mewakili perusahaan dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya. Selaras dengan hal tersebut diberitahukan juga jenis tanggung jawab seperti apa yang melekat pada seorang wakil, yaitu tanggung jawab pribadi dan/atau secara tanggung renteng, juga diatur dengan jelas bagaimana cara menunjuk seorang wakil. Dalam pengaturan yang demikian pada Pasal 32 ayat (2) UU KUP, terlihat sangat jelas bahwa perusahaan berikut pengurusnya dituntut untuk dapat menerapkan prinsip Good Corporate Governance yaitu: akuntabilitas ( accountability ), responsibilitas ( reponsibility ) dan keadilan ( fairness ) dalam menjalankan perusahaannya terutama di dalam bidang perpajakan sehingga dapat terhindar dari sanksi berupa tanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng. C. Business Judgement Rule Sebagai Immunity Doctrine Bagi Direksi dan Kaitannya Dengan Kewajiban Pelunasan Utang Pajak Business judgement rule pada intinya adalah doktrin yang memberikan perlindungan kepada Direksi/Pengurus dari gugatan terkait ganti rugi atas kerugian yang dialami perusahaan karena keputusan-keputusan dalam rangka bisnis yang dilakukan oleh Direksi sepanjang Direksi telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu tersebut adalah 79 syarat-syarat yang sama dengan prinsip-prinsip good corporate governance sebagaimana telah Pemerintah jelaskan sebelumnya. Dengan demikian, sesungguhnya business judgement rule ini sejalan dengan good corporate governance . Jika Direksi sudah menjalankan perusahaannya sesuai dengan kaidah-kaidah good corporate governance, maka keputusan yang diperbuatnya dilindungi oleh doktrin business judgement rule meskipun pada akhirnya keputusannya tersebut merugikan perusahaan. Dilindungi disini maksudnya dilindungi dari gugatan ganti kerugian dalam hal Direksi dalam menjalankan kewenangannya sudah sesuai dengan pedoman-pedoman yang berlaku termasuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pasal 23A UUD 1945 juncto Pasal 32 ayat (2) UU KUP mengatur dalam hal terkait kewajiban perpajakan, jika Direksi tidak melaksanakan kewajibannya sesuai peraturan perundang- undangan perpajakan maka Direksi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi dan/atau secara renteng, hal ini tentunya sesuai dengan good corporate governance , jika Direksi melakukan ultra vires maka piercing the corporate veil berlaku, di sini piercing the corporate veil secara langsung dilakukan oleh Pasal 32 ayat (2) UU KUP. Selain itu, business judgement rule adalah doktrin yang berlaku di lingkup hukum privat, atau dalam kata lain doktrin ini memberikan pedoman yang mengatur hubungan-hubungan intern perusahaan dan di luar perusahaan sepanjang hubungan tersebut merupakan hubungan di ranah hukum privat. Di sisi lain pajak adalah kewajiban yang timbul di ranah hukum publik, yaitu kewajiban yang datang dari Undang-Undang yang merupakan hukum yang diberlakukan di suatu teritori negara berdasarkan kesepakatan antara badan legislatif dan eksekutif yang selanjutnya diberlakukan kepada masyarakat atau rakyat negara tersebut dan sifatnya memaksa. Pajak dalam pengaturannya adalah sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 yaitu dengan undang-undang artinya pajak dapat diterapkan dengan cara-cara yang disepakati oleh eksekutif dan legislatif. Peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan adalah alat negara di ranah hukum publik untuk mengatur masyarakat, mensejahterakan rakyat dengan cara mengumpulkan penerimaan negara dalam bentuk pajak. Dengan demikian peraturan perundang-undangan 80 perpajakan adalah ketentuan hukum yang khusus mengatur hal ini sehingga tidak bisa dinilai menggunakan aturan-aturan di lingkup hukum privat. Pada hakikatnya dapat Pemerintah simpulkan bahwa terkait business judgement rule adalah sebagai berikut:
Berlaku dalam ranah hukum privat jika terpenuhi syarat-syaratnya.
Tidak berlaku dalam kewajiban pelunasan utang pajak karena hal ini ada di ranah kewajiban subjek hukum terhadap Negara (publik). D. Filosofi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Lon. L Fuller dalam bukunya The Morality of Law (1964) menerangkan bahwa ada 8 (delapan) jalan menuju kegagalan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Kedelapan jalan tersebut adalah:
Kegagalan dalam membentuk peraturan perundang-undangan itu sendiri atau dalam kata lain tidak adanya peraturan undang-undang sehingga menimbulkan ketidakpastian.
Kegagalan untuk mempublikasikan peraturan perundang-undangan tersebut pada masyarakat.
Penggunaan peraturan perundang-undangan yang bersifat retroaktif dengan sewenang-wenang.
Kegagalan dalam membuat peraturan perundang-undangan yang mudah untuk dimengerti/dipahami.
Pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang kontradiktif satu sama lain.
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang aturannya mustahil untuk dipenuhi.
Seringnya peraturan perundang-undangan diubah sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan kesulitan dalam penyesuaian diri oleh subjek hukum yang dituju oleh peraturan perundang-undangan tersebut.
Adanya perbedaan antara apa yang diatur dalam peraturan perundang- undangan dengan apa yang dijalankan oleh Pemerintah. Masing-masing jalan di atas dapat kita jadikan landasan dalam menilai apakah peraturan-peraturan yang kini diuji materi dalam perkara a quo sudah baik atau belum. Dari kedelapan jalan menuju kegagalan pembentukan peraturan perundang-undangan di atas, Pemohon 81 mempermasalahkan terkait kriteria nomor 4, yaitu aturan yang dibuat tidak mudah dipahami/tidak masuk akal untuk Pasal 32 ayat (2) UU KUP dan kriteria nomor 6 yaitu aturan yang dibuat mustahil untuk diikuti dalam penerapan Pasal 2 ayat (6) UU KUP. Alasan Pemohon untuk menyatakan Pasal 32 ayat (2) UU KUP tidak mudah dipahami adalah karena, menurut Pemohon, dapat menimbulkan dua tafsir terkait Wakil Wajib Pajak yang pailit yaitu Kurator yang melakukan pemberesan harta pailit dan Pengurus/Direktur yang bertanggung jawab secara pribadi dan/atau renteng. Sedangkan alasan Pemohon untuk menyatakan pasal 2 ayat (6) UU KUP mustahil untuk diikuti adalah karena Pemohon merasa sebagai Direktur suatu perusahaan yang telah pailit dan kehilangan hak pengurusan atas harta perusahaan adalah hal yang mustahil untuk melakukan penghapusan NPWP perusahaan secara self assessment . Kedua hal ini membuat Pemohon merasa diperlakukan tidak adil dan tidak dijamin kepastian hukumnya. Pemohon dalam mempermasalahkan kriteria-kriteria tersebut selalu mendasarkan argumennya pada peraturan perundang-undangan lainnya yang berada di ranah hukum privat yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) maupun UU Kepailitan dan PKPU, sehingga pada akhirnya yang fokus dalam uji materi ini adalah kriteria nomor 5 yaitu terkait apakah benar terdapat kontradiksi antara pengaturan, atau dalam hal ini pengaturan dalam Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP jika dibandingkan dengan pengaturan pada UU PT maupun UU Kepailitan dan PKPU. Hal ini Pemerintah jelaskan sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (6) UU KUP dan hubungannya dengan ketentuan dalam UU PT dan UU Kepailitan dan PKPU.
Pasal 2 ayat (6) UU KUP mengatur sebagai berikut: “Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha; 82 3. Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan”.
Pasal 142 ayat (1), ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) dan Pasal 143 UU PT mengatur sebagai berikut: Pasal 142 ayat (1), ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) (1) Pembubaran Perseroan terjadi:
berdasarkan keputusan RUPS;
karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
berdasarkan penetapan pengadilan;
dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator; dan
Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan semua urusan Perseroan dalam rangka likuidasi.
... (4) Dalam hal pembubaran Perseroan terjadi dengan dicabutnya kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, pengadilan niaga sekaligus memutuskan pemberhentian kurator dengan memperhatikan ketentuan dalam undang- undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilanggar, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan Perseroan bertanggung jawab secara tanggung renteng. Pasal 143 UU PT (1) Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan. 83 (2) Sejak saat pembubaran pada setiap surat keluar Perseroan dicantumkan kata “dalam likuidasi” dibelakang nama Perseroan.
Pasal 104 UU Kepailitan dan PKPU mengatur sebagai berikut:
Berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara, Kurator dapat melanjutkan usaha Debitor yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditor, Kurator memerlukan izin Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Berdasarkan Pasal-Pasal tersebut terlihat bahwa Pasal 2 ayat (6) UU KUP tidak memasukkan kepailitan Wajib Pajak sebagai kondisi syarat penghapusan NPWP adalah sejalan dengan UU PT serta UU Kepailitan dan PKPU yang pada dasarnya mengatur bahwa kepailitan pada badan usaha misalnya perseroan, tidak selalu berarti akan ditindaklanjuti dengan pembubaran perseroan, bahkan Pasal 143 UU PT mengatur bahwa Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan. Hal ini berarti masih ada proses likuidasi yang mengikutinya dimana dalam proses ini masih mungkin akan menimbulkan hak dan kewajiban perpajakan yang tentunya dalam melaksanakannya memerlukan identitas Wajib Pajak berupa NPWP. Pada prinsipnya, NPWP adalah suatu identitas hukum yang dilekatkan kepada Wajib Pajak untuk tujuan pelaksanaan hak dan kewajiban di bidang perpajakan. Apabila masih ada hak dan kewajiban perpajakan yang belum dijalankan maka NPWP tidak dapat dihapuskan . e. Sebagai contoh suatu badan usaha yang tidak lagi memiliki penghasilan pada Tahun Pajak 2019, namun untuk Tahun Pajak 2018 badan usaha tersebut masih memiliki hak untuk diberikan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang karena jangka waktu pemeriksaan dan proses untuk mengembalikan kelebihan pajak tersebut baru terealisasi pada awal tahun 2020. 84 Meskipun Badan Usaha tersebut tidak lagi berpenghasilan namun NPWP badan usaha tersebut tidak serta merta langsung dilakukan penghapusan, mengingat masih terdapat pelaksanaan hak yang belum diterima oleh Wajib Pajak, dan NPWP tersebut berguna dalam melaksanakan haknya untuk memperoleh pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Contoh sebaliknya suatu badan usaha yang tidak lagi memiliki penghasilan pada Tahun Pajak 2019, namun untuk Tahun Pajak 2017 badan usaha tersebut masih memiliki utang pajak yang belum dibayarkan, dan utang pajak tersebut merupakan salah satu kewajiban perpajakan yang harus diselesaikan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajaknya. Meskipun Badan Usaha tersebut tidak lagi berpenghasilan namun NPWP badan usaha tersebut tidak serta merta langsung dilakukan penghapusan, mengingat masih terdapat kewajiban perpajakan yang belum diselesaikan oleh Wajib Pajak, dan NPWP tersebut berguna dalam melaksanakan kewajibannya untuk membayarkan utang pajaknya.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka dalam rangka melakukan penghapusan NPWP, Direktur Jenderal Pajak tidak hanya melihat kondisi tidak terpenuhinya syarat subjektif dan objektif. Namun juga, fungsi NPWP yang dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan, terutama bagi Wajib Pajak yang masih terdapat hak dan kewajiban perpajakan yang belum diselesaikan. Dengan demikian, Pasal 2 ayat (6) UU KUP bersinergi dengan UU PT dan UU Kepailitan dan PKPU serta tidak mustahil untuk dilakukan karena dalam Penghapusan NPWP Wajib Pajak, masing-masing Wakil Wajib Pajak memiliki perannya masing-masing sesuai kondisi perusahaan apakah sedang pailit, telah selesai pailit dan beroperasi kembali, atau likuidasi.
Pasal 32 ayat (2) UU KUP dan hubungannya dengan ketentuan dalam UU PT dan UU Kepailitan dan PKPU.
Pasal 32 ayat (2) UU KUP mengatur sebagai berikut: “Wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak 85 yang terhutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terhutang tersebut.” b. Tanggung jawab secara pribadi dengan tanggung renteng bagi wakil Wajib Pajak, atau dalam perkara a quo adalah tanggung jawab renteng dari Pengurus Perusahaan, bukanlah hal yang hanya dikenal di UU KUP namun juga dikenal dalam UU PT.
Pasal-Pasal di UU PT yang memberikan tanggung jawab pribadi dan/atau secara renteng pada Pengurus perseroan adalah sebagai berikut: Pasal 1 angka 5 “Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.” Pasal 69 ayat (3) dan ayat (4) (3) Dalam hal laporan keuangan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan, anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan.
Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila terbukti bahwa keadaan tersebut bukan karena kesalahannya. Penjelasan Pasal 69 ayat (3) “Laporan keuangan yang dihasilkan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya dari aktiva, kewajiban, modal, dan hasil usaha dari Perseroan. Direksi dan Dewan Komisaris mempunyai tanggung jawab penuh akan kebenaran isi laporan keuangan Perseroan.” Pasal 97 ayat (3) dan ayat UU PT (3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi. Pasal 104 ayat (2) dan ayat (3) UU PT (2) Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara 86 tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.
Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga bagi anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
Pada pasal-pasal dalam UU PT di atas, secara prinsip dapat ditarik kesimpulan bahwa Pengurus bertanggung jawab penuh atas perusahaan yang ia kelola dan konsekuensinya. Pada Pasal 69 ayat (3) dan ayat (4) sangat jelas bahwa Pengurus perusahaan bertanggung jawab penuh atas konsekuensi kerugian yang timbul dari laporan keuangan yang tidak benar. Pajak, dalam hal ini, merupakan bagian dari apa yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Jika laporan keuangan tidak benar dalam melaporkan transaksi sehingga mempengaruhi laporan laba/rugi perusahaan, maka perhitungan pajak penghasilan pun menjadi tidak benar dan hal ini menjadi tanggung jawab Pengurus secara pribadi dan/atau tanggung renteng menurut Pasal 69 ayat (3) UU PT kecuali terbukti bahwa keadaan tersebut bukan karena kesalahannya, hal ini tentunya serupa dengan Pasal 32 ayat (2) UU KUP di mana wakil Wajib Pajak bertanggung jawab secara pribadi dan/atau renteng atas pelunasan utang pajak kecuali dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa ia dalam posisinya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas utang pajak tersebut.
Walau demikian, pada Pasal 97, Pasal 104, Pasal 114 dan Pasal 115 UU PT cara menerapkan tanggung jawab pribadi secara renteng pada Pengurus perusahaan tidak sama persis dengan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, dimana dalam UU PT seorang Pengurus harus terlebih dahulu dinyatakan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya baru dimintai pertanggungjawaban pribadi dan/atau secara renteng, namun di UU KUP Wakil Wajib Pajak dianggap bisa dimintai pertanggungjawaban renteng secara pribadi kecuali jika yang bersangkutan dapat meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terhutang tersebut. 87 Perbedaan cara penerapan tanggung jawab ini tentu tidak terlepas dari 2 (dua) hal:
Fakta bahwa UU PT berada di ranah keperdataan hukum privat sedangkan UU KUP berada di ranah hukum publik yang mengatur pemenuhan hak dan kewajiban pajak warga negara kepada negaranya.
Arti penting penerimaan pajak bagi keberlangsungan roda berbangsa dan bernegara di mana kepentingan pembiayaan yang akan disalurkan pada masyarakat Berdasarkan dua perbedaan di atas, adalah fakta yang nyata bahwa dalam hubungan keperdataannya dengan perusahaan dan pemegang saham, Pengurus perusahaan memiliki insentif dari menunda-nunda maupun tidak membayar/melunasi kewajiban pajak. Insentif ini tentunya perlu dimitigasi dengan adanya peraturan perundang-undangan perpajakan di ranah hukum publik yang memberikan disinsentif bagi Pengurus jika Pengurus berfikiran untuk mengeksplorasi dan menggali insentif tersebut. Oleh karenanya UU KUP dalam Pasal 32 ayat ( mengatur disinsentif tersebut sehingga tercipta keseimbangan dalam menjamin terpenuhinya hak-hak negara yang juga merupakan stakeholder perusahaan dan representasi dari hak-hak masyarakat banyak.
Ada pun terkait tanggung jawab kurator dalam kepailitan Wajib Pajak, Pasal 16, Pasal 21 dan Pasal 204 UU Kepailitan dan PKPU mengatur sebagai berikut:
Pasal 16
“Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.”
Pasal 21
“Kepailitian meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.”
Pasal 204
“Setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat maka Kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta Debitor mengenai piutang mereka yang belum dibayar.” 88 g. Berdasarkan pasal-pasal tersebut jika dihubungkan dengan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP maka Kurator sebagai Wakil Wajib Pajak bertanggung jawab secara pribadi dan/atau tanggung renteng atas hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang timbul sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, proses pemberesan harta pailit hingga saat kepailitan berakhir. Dalam kasus Pemohon, sebagaimana telah Pemohon ungkapkan dalam permohonannya, Wajib Pajak telah membayar utang pajak dalam proses kepailitan sejumlah Rp. 2.549.161.883,- (dua milyar lima ratus empat puluh sembilan juta seratus puluh satu ribu delapan ratus delapan puluh tiga rupiah), namun jumlah tersebut belum dapat melunasi utang pajak yang ada, sehingga Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini KPP Wajib Pajak Besar Satu menagihkan sisa utang pajak yang belum terlunasi oleh harta Wajib Pajak tersebut kepada Wakil Wajib Pajak yaitu Pengurus perusahaan yang menjabat dan bertanggung jawab atas utang pajak pada saat utang pajak tersebut terjadi, termasuk di dalamnya Pemohon, sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP. Hal ini pun dilakukan KPP Wajib Pajak Besar Satu setelah kepailitan PT UCI berakhir, dimana semua kreditornya di ranah hukum privat pun, sesuai Pasal 204 UU Kepailitan dan PKPU, memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta Debitor.
Terkait jumlah utang pajak yang menurut Pemohon berbeda jumlahnya antara pada saat proses kepailitan dan setelah proses kepailitan, hal tersebut bukanlah hal yang terjadi tanpa dasar hukum atau pun perbuatan sewenang-wenang. Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pajak dan kemudian menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sesuai Pasal 13 ayat (1) huruf a UU KUP yang mengatur sebagai berikut: “Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain 89 pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; ” i. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak setelah Wajib Pajak pailit atau pun setelah kepailitan Wajib Pajak berakhir bukanlah sesuatu hal yang dilarang oleh Undang-Undang bahkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 759K/Pdt.Sus-Pailit/2016 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 907 K/Pdt.Sus-Pailit/2017 mengabulkan keberatan Direktorat Jenderal Pajak terkait tagihannya dalam kepailitan dan menetapkan utang pajak yang harus diakui oleh Kurator adalah sejumlah apa yang ditagihkan dalam Surat Ketetapan Pajak yang diajukan Direktorat Jenderal Pajak walaupun ketetapan pajak tersebut diterbitkan setelah jatuhnya putusan pailit atas Wajib Pajak. Kembali pada delapan jalan kegagalan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan oleh Lon L. Fuller, sesungguhnya filosofi tersebut sudah ada dan terealisasi juga dalam pembentukan peraturan perundang- undangan di Indonesia dalam bentuk asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas-asas materi muatan peraturan perundang- undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019, sebagai berikut:
Pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
kejelasan tujuan;
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
dapat dilaksanakan;
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
kejelasan rumusan; dan
keterbukaan Terdapat 4 asas yang relevan untuk kita tinjau bersama terkait perkara uji materi ini, keempat asas tersebut adalah:
Asas kejelasan tujuan Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus 90 mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Sebagaimana Pemerintah telah uraikan sebelumnya bahwa Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP memiliki tujuan yang jelas yaitu ingin memberikan pengaturan yang pasti akan syarat- syarat/kondisi dapat dihapuskannya NPWP dan pengaturan yang pasti pula tentang siapa-siapa yang menjadi wakil Wajib Pajak, jenis tanggung jawabnya dan cara menunjuk wakil tersebut.
Asas dapat dilaksanakan Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Adanya pengaturan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP memberikan dampak efektivitas dan kejelasan dalam penghapusan NPWP dan penagihan pajak terutama dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan wakilnya, serta efektifitas ini pun didukung dengan diberikannya disinsentif untuk menunda/tidak membayarkan pajaknya dengan benar kepada Pengurus karena harus bertanggung jawab nantinya secara pribadi dan/atau secara renteng.
Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Adanya pengaturan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP sangat dibutuhkan dan bermanfaat untuk menjaga kepastian hukum dan keadilan dalam pembayaran pajak. Pasal 2 ayat (6) memberikan kepastian hukum dalam hal kondisi- kondisi penghapusan NPWP, Pasal 32 ayat (2) UU KUP selain menjamin kepastian hukum terkait Wakil Wajib Pajak dan tanggung jawabnya, juga menjaga keadilan, berupa semua orang baik 91 perorangan maupun badan usaha wajib melunasi/membayar kewajiban perpajakannya. Tanpa Pasal 32 ayat (2) UU KUP, maka Wajib Pajak Orang Pribadi akan bertanggung jawab hingga harta pribadi, sedangkan Pengurus Wajib Pajak badan dapat terlepas dari sanksi karena berlindung dibalik pemisahan harta badan hukum dan pengurusnya, padahal kita pahami bersama bahwa badan hukum adalah subjek hukum yang dalam prakteknya setiap kegiatannya digerakan oleh pengurus di dalamnya. Dapat kita bayangkan moral hazard yang akan terjadi tanpa adanya Pasal 32 ayat (2) UU KUP maka Pengurus perusahaan memiliki insentif yang nyata untuk menunda atau bahkan tidak membayar pajak, jika sanksi administrasi telah terakumulasi sedemikian besar hingga lebih besar dari harta yang dimiliki perusahaan, maka Pengurus dapat dengan sengaja mempailitkan perusahaan dan menyerahkan mekanisme pelunasan utangnya melalui mekanisme kepailitan dimana sesungguhnya sudah dapat dipastikan hak atas kas negara dalam hal ini pajak tidak akan terbayar lunas, dan setelah itu Pengurus dapat memulai lagi membentuk atau menjadi pengurus di perusahaan baru/perusahaan lainnya lagi kecuali jika ia dinyatakan pailit, bersalah menimbulkan kepailitan, dan/atau melakukan tindak pidana yang merugikan atau berkaitan dengan keuangan negara, maka Pengurus tersebut baru bisa menjadi pengurus sebuah perusahaan lainnya setelah 5 tahun dirinya pailit, dinyatakan bersalah menimbulkan kepailitan, dan/atau melakukan tindak pidana yang merugikan atau berkaitan dengan keuangan negara, yang mana proses pembuktian dan peradilannya bisa memakan waktu bertahun-tahun dan di masa proses peradilan yang bertahun-tahun tersebut sudah berapa lama utang pajak menjadi sekedar angka tagihan yang tidak terlunasi dan sudah berapa banyak perusahaan bisa dijadikan batu loncatan para pengurus untuk melakukan modus yang serupa. Dengan demikian, Pasal 2 ayat (6) dan pasal 32 ayat (2) UU KUP adalah sangat memiliki kedayagunaan dan kehasilgunaan bagi sistem perpajakan di Indonesia secara keseluruhan. 92 d. Asas kejelasan rumusan Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Pengaturan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP sudah jelas dan tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya karena sangat jelas bagaimana normanya dirumuskan dan konsekuensi hukum yang ditimbulkannya.
materi penyusunan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas:
pengayoman;
kemanusiaan;
kebangsaan;
kekeluargaan;
kenusantaraan;
bhinneka tunggal ika;
keadilan;
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Tiga asas dalam Pasal 6 undang-undang di atas yang terkait erat dengan uji materi a quo adalah:
asas keadilan Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negar Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP mencerminkan keadilan yang proporsional bahwa semua Wajib Pajak yang akan melakukan penghapusan NPWP harus memenuhi syarat yang sama, dan semua Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan 93 wajib membayar dan melunasi seluruh utang pajaknya, utang yang mana jika tidak dilunasi diancam dengan tanggung jawab pribadi akan pelunasannya kecuali dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak mengenai hal yang sebaliknya. Hal ini tentunya merupakan keadilan yang proporsional bagi Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan. Bahwa dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP juga diatur terkait hak wakil Wajib Pajak untuk dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak jika ia benar-benar tidak dapat dibebani tanggung jawab pribadi secara tanggung renteng. Hal ini juga merupakan perwujudan asas keadilan dan dalam rangka melindungi hak-hak wakil Wajib Pajak yang memang secara faktual terbukti tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban untuk melunasi utang pajak. Hal ini juga merupakan pembatasan kewenangan Direktorat Jenderal Pajak agar tidak semena-mena dalam menggunakan ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP.
asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP memberikan kepastian pengaturan dan memberikan tanggung jawab atas hak dan kewajiban pembayaran pajak yang sama bagi semua pihak yang menjadi Wakil Wajib Pajak tanpa membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial sehingga telah memenuhi asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
asas ketertiban dan kepastian hukum Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang- undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. 94 Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP memberikan kepastian pengaturan atas syarat penghapusan NPWP dan memberikan kepastian sejauh apa tanggung jawab atas hak dan kewajiban pembayaran pajak bagi semua pihak yang menjadi Wakil Wajib Pajak. Hal ini juga di dasarkan pada alasan yang logis, tujuan yang jelas dan kemanfaatan bagi masyarakat luas sehingga kepastian hukum yang diberikan pun sekaligus menjamin keadilan dan persamaan kedudukan di mata hukum. Dengan demikian menjadi jelas bahwa Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP telah memberikan hak atas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengatur sebagai berikut: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” E. Penerapan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP Dalam Praktiknya 1. Pasal 2 ayat (6) UU KUP tentang Penghapusan NPWP Bahwa untuk melaksanakan amanah Pasal 2 ayat (5) Undang- Undang KUP, Menteri Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, yang salah satu materinya mengatur mengenai tata cara penghapusan NPWP (PMK-147). Dalam Pasal 30 PMK-147 diatur bahwa Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dapat melakukan penghapusan NPWP terhadap Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Penghapusan NPWP tersebut dilakukan dalam hal:
Wajib Pajak dilikuidasi atau dibubarkan karena penghentian atau penggabungan usaha;
Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau 95 c. Wajib Pajak yang memiliki lebih dari 1 (satu) NPWP, tidak termasuk NPWP cabang. Selain syarat subjektif dan objektif, untuk penghapusan NPWP juga memperhatikan ketentuan bahwa terhadap Wajib Pajak tidak dalam kondisi:
mempunyai utang pajak;
tidak sedang dilakukan tindakan penegakan upaya hukum pajak, baik administrasi maupun pidana perpajakan;
tidak sedang dalam proses penyelesaian persetujuan bersama ( mutual agreement procedure );
tidak sedang dalam proses penyelesaian kesepakatan harga transfer ( advance pricing agreement );
seluruh NPWP cabang telah dihapus; dan
tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya hukum di bidang perpajakan Hal ini ditujukan untuk ketertiban administrasi dan kemudahan dalam pelaksanaan hak maupun kewajiban perpajakan sehingga tetap menjamin kepastian hukum, baik bagi DJP maupun bagi Wajib Pajak. Penghapusan NPWP tidak serta merta menghapuskan kewajiban perpajakan maupun hak perpajakan dari Wajib Pajak.
Pasal 32 ayat (2) UU KUP tentang Tanggung Jawab Wakil Wajib Pajak Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Penanggung Pajak yang dilakukan tindakan penagihan pajak merujuk pada Pasal 1 angka 3 UU PPSP mengatur bahwa Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam hal yang mempunyai utang pajak adalah Wajib Pajak Badan, 96 maka serangkaian tindakan Penagihan mulai dari teguran sampai dengan menjual barang yang disita, dilakukan terhadap Penanggung Pajak meliputi:
badan itu sendiri; dan
Wakil (Direksi, Komisaris, Pemegang Saham dan orang yang nyata- nyata mengambil kebijaksanaan dan/atau keputusan dalam menjalankan perusahaan). Wakil sebagaimana dimaksud pada Pasal 32 ayat (1) UU KUP bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut. Hal ini berlaku termasuk kepada Wajib Pajak yang mengalami kepailitan dan wakilnya. Namun demikian, dalam prakteknya pada saat Wajib Pajak dinyatakan pailit, Direktorat Jenderal Pajak mengikuti lebih dahulu proses pemberesan dalam kepailitan dan dalam hal kepailitan berakhir sedangkan utang pajak belum terlunasi, maka selaras dengan Pasal 204 UU kepailitan dan PKPU, Direktorat Jenderal Pajak kembali menagihkan kewajiban pajak kepada Wakil Wajib Pajak misalnya Pengurus perusahaan. Bahwa berdasarkan data administrasi Direktorat Jenderal Pajak jumlah piutang pajak per 31 Desember 2019 mencapai 72,38 Triliun Rupiah. Dari jumlah tersebut piutang pajak dari Wajib Pajak yang pailit adalah sejumlah 10,5 Triliun Rupiah atau 14,3% dan berkategori macet. Jumlah piutang ini mencerminkan tingkat kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan self assessment -nya, sehingga menunjukan pula betapa peran pengawasan Pemerintah masih sangat dibutuhkan baik dalam bentuk pemeriksaan pajak, penagihan pajak maupun dalam bidang pengaturan-pengaturan yang memberikan disinsentif bagi Wajib Pajak, termasuk wakilnya, yang tidak patuh dalam menjalankan self assessment -nya. Dengan peran Pemerintah dalam pengawasan, pemeriksaan dan kebijakan pengaturan, pemerintah mengharapkan agar jumlah piutang pajak dari waktu ke waktu turun atau dicairkan melalui kegiatan penagihan pajak. 97 Dalam pelaksanaan kegiatan penagihan pajak oleh Kantor Pelayanan Pajak (selanjutnya disebut KPP) di seluruh Indonesia, mengacu pada ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku atas utang pajak Wajib Pajak Badan, KPP melakukan tindakan penagihan kepada Wajib Pajak Badan itu sendiri maupun kepada Wakil (Direksi, Komisaris, Pemegang Saham dan/atau orang nyata-nyata mempunyai kewenangan dalam menentukan keputusan dan/atau kebijaksanaan menjalankan perusahaan). Bahwa dalam menentukan Penanggung Pajak dalam hal ini wakil dari Wajib Pajak Badan, KPP melakukan profiling Penanggung Pajak dengan mengacu pada dokumen eksternal seperti akta pendirian dan/atau perubahan kepengurusan dan dokumen internal seperti pelaporan Surat Pemberitahuan (selanjutnya disebut SPT), dan upaya hukum Wajib Pajak. Hal ini menunjukkan bahwa DJP tidak serta merta menentukan Penanggung Pajak yang bertanggung jawab terhadap pembayaran utang Pajak, tetapi melalui kegiatan profiling dengan menjunjung tinggi asas keadilan dan kepastian hukum agar tidak berlaku semena-mena terhadap masyarakat yang tidak seharusnya dilakukan kegiatan penagihan. Bahwa setiap penanggung pajak dimintai pertanggungjawaban atas seluruh utang pajak badan, kecuali dalam kedudukannya tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban untuk melunasi utang pajak. Pada kenyataannya, banyak ditemukan perusahaan dikendalikan oleh orang- orang yang namanya tidak tercantum dalam akta perusahaan atau dokumen internal DJP, sehingga tidak memungkinkan untuk meminta pertanggungjawaban pelunasan utang pajak kepada pengurus (Direktur, Komisaris dan Pemegang Saham) yang namanya tercantum dalam akta perusahaan. Dalam upaya membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar- benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab, hal-hal yang dilakukan DJP antara lain:
Melakukan pemanggilan pembahasan utang pajak dan menindaklanjuti dengan Berita Acara Permintaan Keterangan (BAPK); 98 b. Meneliti pelaporan SPT dan upaya hukum yang pernah dilakukan oleh Wajib Pajak; dan/atau
Melakukan pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak (delinquency audit). Bahwa dalam konteks Wajib Pajak pailit, Pasal 32 ayat (1) UU KUP mengatur bahwa wakil Wajib Pajak pailit adalah kurator. Klausul dalam ayat ini dimaknai bahwa dalam hal wajib pajak pailit tindakan penagihan juga ditujukan kepada Kurator, karena mengingat harta Wajib Pajak (dalam pailit) yang menurut UU PPSP merupakan objek sita masuk kedalam boedel pailit dan harta pailit tersebut sedang dalam pengurusan dan pemberesan aset oleh Kurator. Bahwa klausul ini tidak dalam konteks membatasi kegiatan penagihan dalam hal Wajib Pajak pailit adalah ke kurator saja, tetapi pengurus dalam hal ini wakil Wajib Pajak notabene adalah Penanggung Pajak tetap mempunyai kewajiban untuk melunasi utang pajak dalam hal atas boedel pailit tersebut tidak cukup untuk melunasi utang pajak, karena pada prinsipnya dalam UU PPSP utang pajak harus dilunasi oleh Penanggung Pajak. Kegiatan penagihan DJP terhadap Wajib Pajak pailit, selain dilakukan terhadap Kurator melalui pemberitahuan Surat Paksa, tindakan penagihan juga dilakukan terhadap wakil Wajib Pajak badan dalam hal ini direksi, komisaris dan/atau pemegang saham karena pada umumnya pembagian harta pailit yang diterima untuk pembayaran utang pajak tidak cukup untuk melunasi utang pajak. Hal ini dilakukan demi optimalisasi pencapaian target penerimaan negara melalui kegiatan penagihan Pajak. Pertanggungjawaban atas utang pajak oleh Penanggung Pajak dilakukan sampai dengan harta pribadi milik Penanggung Pajak. Sesuai dengan ketentuan dalam UU PPSP, Penyitaan terhadap Penanggung Pajak Badan dapat dilaksanakan terhadap barang milik perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain. Penyitaan dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup oleh Jurusita Pajak 99 untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Penjelasan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 135 tahun 2000 mengatur bahwa ketentuan tentang penyitaan terhadap barang-barang milik Penanggung Pajak Badan, pada dasarnya dilakukan terhadap barang milik perusahaan. Namun apabila nilai barang tersebut tidak mencukupi atau barang milik perusahaan tidak dapat ditemukan atau karena kesulitan dalam melaksanakan penyitaan terhadap barang milik perusahaan, maka penyitaan dapat dilakukan terhadap barang-barang milik pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal atau ketua untuk yayasan kecuali mereka dapat membuktikan bahwa tidak ikut bertanggung jawab sehubungan dengan terjadinya utang pajak tersebut. Bahwa contoh pelaksanaan penagihan di lapangan misalnya dalam perkara antara Penanggung Pajak PT Andaman Delmar (dalam pailit) yang menggugat KPP Pratama Pati karena KPP Pratama Pati telah melakukan kegiatan penagihan Pajak terhadap Penanggung Pajak PT Andaman Delmar, melalui Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT- 002927.99/2019/PP/M.XIB Tahun 2019 perkara, Pengadilan Pajak memutuskan bahwa tindakan penagihan yang telah dilakukan KPP Pratama Pati terhadap Penanggung Pajak PT Andaman Delmar (dalam pailit) telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam pertimbangan hakim diketahui bahwa menurut Majelis Hakim kurator adalah wakil wajib pajak yang dinyatakan pailit, namun berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, kurator adalah pihak yang dalam kedudukannya tidak dapat dibebani tanggung jawab pembayaran pajak secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, meskipun pengajuan tuntutan mengenai hak atau kewajiban mengenai harta pailit diajukan melalui kurator. F. Analisa Dampak 1. Dalam hal permohonan Pemohon uji materi ini diterima oleh Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, maka sebelum berhitung tentang jumlah potensi kerugian dalam rupiah, maka perlu juga Pemerintah sampaikan bahwa hal ini akan menjadi titik munculnya berbagai ketidakpastian hukum terkait tanggung jawab 100 Wakil Wajib Pajak, tidak hanya di ranah penagihan pajak wajib pajak yang sedang dalam proses pemberesan pailit, namun juga di semua lini pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wakil Wajib Pajak seperti pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan pajak baik kepada Wajib Pajak yang ditengah-tengah proses penegakan hukum pajak ini kemudian pailit maupun Wajib Pajak yang kemudian kepailitannya berakhir.
Selain ketidakpastian hukum terkait tanggung jawab Wakil Wajib Pajak di berbagai lini pengumpulan pajak, Negara berpotensi untuk kehilangan penerimaan pajak yang berasal dari ketidaktertagihan utang pajak Wajib Pajak yang dinyatakan Pailit. Berdasarkan data yang dimiliki DJP, selama 20 tahun terakhir setidaknya terdapat kurang lebih 480 Wajib Pajak yang pailit yang sampai dengan saat ini masih memiliki utang pajak sebesar 10,58 Triliun Rupiah. Utang pajak ini termasuk kategori piutang pajak macet dikarenakan DJP dari proses kepailitan, tidak memperoleh pelunasan utang pajak wajib pajak pailit. Dari utang pajak perusahaan yang mengalami kepailitan pada tahun 1999 hingga Juli 2020 sebesar 10,7 Triliun Rupiah yang dapat terbayarkan dari pemberesan di dalam kepailitan adalah hanya sebesar 148,2 Miliar Rupiah saja, sehingga menyisakan beban utang pajak 10,5 Triliun Rupiah yang saat ini yang tercatat Piutang macet dan menjadi beban dalam Laporan keuangan Pemerintah Pusat yang menimbulkan potensial loss penerimaan negara dari kegiatan penagihan pajak.
Selain itu, kedepannya apabila permohonan Pemohon uji materi ini diterima oleh Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, maka mekanisme kepailitan akan dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang lain sebagai upaya/modus untuk menghindar dari kewajiban pembayaran utang pajak, karena dengan dinyatakan Pailit Penanggung Pajak sudah tidak lagi memiliki tanggung jawab terhadap pelunasan utang pajak. DJP akan semakin sulit untuk menagih piutang pajak yang berdasarkan Laporan Perkembangan Piutang Pajak tahun 2019 nilainya mencapai 72,38 Triliun Rupiah. Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah berkesimpulan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP 101 yang dimohonkan untuk diuji materi oleh Pemohon merupakan instrumen yang dipilih oleh pembuat undang-undang ( open legal policy ) guna melakukan pengawasan agar terdapat asas keseimbangan, checks and balances sebagai kunci keberhasilan dari sistem self assessment. IV. Petitum Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) ketentuan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijk verklaard );
Menyatakan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Keterangan Tambahan Presiden: I. Dasar Penagihan Pajak Kepada Wajib Pajak Pailit Dan Kepada Wakil Wajib Pajak Pailit Wakil Wajib Pajak yang pailit tetap dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi dan/atau secara renteng adalah sesuai dengan Keterangan Presiden yang telah dibacakan di dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi pada tanggal 18 Agustus 2020 yaitu:
Landasan Teori yang meliputi: fiduciary duty Direksi, teori keagenan ( agency theory ), teori sinyal ( signaling theory ), dan teori good corporate governance. Pada intinya __ kesemua teori ini memberikan gambaran bagaimana Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang melakukan piercing the corporate veil secara 102 langsung guna kepentingan perpajakan adalah kebijakan yang memberikan disinsentif kepada Pengurus/Direksi sebagai pihak yang mengelola dan bertanggungjawab atas jalannya sebuah perusahaan. Disinsentif berupa sanksi yang membebankan tanggungjawab pemenuhan kewajiban perpajakan dari sebuah perusahaan menjadi kewajiban pribadi Direksi/Pengurusnya dilakukan agar mendorong Direksi memastikan pemenuhan/pelunasan kewajiban perpajakan perusahaan yang dikelolany Hal ini diperlukan karena pelunasan kewajiban pajak adalah kewajiban yang bersifat memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945.
Ketentuan paragraf 9 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) yang menyatakan, “Putusan Pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan” tidak dapat digunakan untuk melepaskan seorang Direksi/Pengurus dari tanggung jawab memenuhi kewajiban perpajakan karena:
Paragraf 9 Penjelasan Umum UU Kepailitan dan PKPU berlaku untuk perorangan atau badan yang pailit, bukan untuk Direksi/Pengurus dari badan yang pailit secara pribadi.
Andaikata yang dimaksud adalah status hukum seseorang menjadi tidak cakap kemudian hal tersebut menghilangkan tanggung jawab perusahaan atas pelunasan utang pajak maka hal tersebut tidaklah tepat. Paragraf 10 Penjelasan Umum UU Kepailitan dan PKPU menegaskan bahwa "kepailitan tidak membebaskan seseorang yang dinyatakan pailit dari kewajiban untuk membayar utang-utangnya." c. Dengan demikian, berdasarkan teori-teori sebagaimana telah diuraikan dalam keterangan presiden dan selaras dengan Paragraf 10 Penjelasan Umum serta Pasal 204 UU Kepailitan dan PKPU yang menyatakan bahwa setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat maka Kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta Debitor mengenai piutang mereka yang belum dibayar. Oleh karenanya selaras dengan hal 103 tersebut Direktorat Jenderal Pajak memiliki kewenangan untuk menagih utang pajak yang belum terlunasi dari proses kepailitan.
Secara umum timbulnya utang pajak berbanding lurus dengan tambahan kemampuan ekonomi Wajib Pajak pada saat itu. Apabila Wajib Pajak memperoleh laba, maka secara serta merta akan terutang pajak, sebaliknya apabila Wajib Pajak merugi maka tidak akan ada utang pajak yang timbul. Oleh karenanya tidak dapat menempatkan alasan ketidakmampuan secara finansial Wajib Pajak saat ini, yang menyebabkan jatuhnya pailit, dengan kemampuan finasial saat munculnya kewajiban perpajakan sebelum terjadinya pailit. Munculnya utang pajak secara umum diakibatkan karena pengurus pada saat itu tidak segera melunasi kewajiban perpajakannya secara self assesment saat syarat subjektif dan objektifnya terpenuhi. Adalah suatu konsekuensi hukum yang wajar dan logis menurut undang- undang di bidang perpajakan jika Pemohon selaku Pengurus/Direktur dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi dan tanggung renteng atas utang pajak yang timbul semasa kepengurusannya e. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) maupun dalam UU Kepailitan dan PKPU yang berlaku di lingkup privat tentu akan mengedepankan adanya pemisahan harta antara harta perusahaan dengan harta pengurus kecuali Pengurus secara nyata melakukan kesalahan yang kemudian diputuskan oleh Pengadilan. Hal ini juga yang didengungkan Pemohon dengan menggunakan teori business judgement rule. Hal ini tidak tepat, karena teori ini lebih dikaitkan pada keputusan bisnis perusahaan karena sifatnya yang memiliki risiko gagal atau berhasil, sehingga sepanjang syarat-syarat business judgement rule telah terpenuhi maka kerugian perusahaan tidak dapat dibebankan kepada pengurus. Namun, logika yang sama tidak dapat digunakan dalam membahas kewajiban yang dibebankan konstitusi kepada setiap subjek di suatu negara yaitu Pajak.
Pembebasan pengurus dari kerugian/kepailitan perusahaan dengan dasar teori business judgement rule tidak dapat menjadi alasan melepaskan dari tanggung jawab pemenuhan kewajiban perpajakan, karena penghitungan kewajiban perpajakan yang dilakukan secara self asseesment telah mempertimbangkan adanya kerugian atau laba perusahaan. Sehingga 104 dalam hal perusahaan dinyatakan pailit bukan karena kelalaian pengurus, tidak serta merta menjadikan kesimpulan/pernyataan bahwa Pengurus tidak bertanggunjawab atas tunggakan pajak yang timbul akibat “kelalaian perusahaan memenuhi kewajiban perpajakannya” sebagai Wajib Pajak. Karena kepailitan dapat terjadi secara tiba-tiba di luar kemampuan pengurus mencegahnya, sedangkan kewajiban perpajakan adalah tugas/kewajiban yang jelas kapan harus dipastikan dipenuhinya oleh pengurus sebagai pelaksanaan fiduciary duty nya.
Pelaksanaan fiduciary duty pengurus harus mencakup pada duty /tanggung jawab memastikan bahwa perusahaan telah melaksanakan kewajiban perpajakannya secara taat sesuai dengan periode/jatuh tempo pembayaran pajak. Kewajiban ini adalah dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai wajib pajak untuk membayar pajak yang merupakan kewajiban kepada Negara, yang tidak dapat diabaikan melainkan harus dipatuhi karena pajak sebagai sumber penerimaan Negara untuk membiayai penyelenggaraan Negara yang bersifat memaksa. Oleh karena itu, permintaan pertanggungjawaban renteng secara pribadi Pengurus sebagai Wakil Wajib Pajak Perusahaan atas hutang pajak pada periode kepengurusan nya merupakan bagian dari tanggung jawab berdasarkan prinsip fiduciary duty , bukan business judgement rule .
Dengan demikian, jelas bahwa norma pengaturan Pasal 32 ayat (2) UU KUP sudah tepat dan penggunaan teori business judgement rule, yang sangat __ mengedepankan hubungan privat, tidak dapat diterapkan untuk “menghilangkan” tanggung __ jawab pengurus memastikan perusahaan memenuhi kewajiban perpajakannya secara taat. Dalam hal pun perusahaan keberatan dengan penetapan tunggakan pajak __ oleh __ Direktorat Jenderal Pajak, peraturan perundang-undangan perpajakan telah menyediakan forum untuk penyelesaian permasalahan tersebut pada ranah judisial. Membatalkan ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP dan memaknainya sebagaimana maksud Pemohon dalam uji materi a quo akan membuka celah peningkatan ketidakpatuhan/penghindaran pembayaran pajak oleh perusahaan yang tidak dapat dipungkiri memang menjadi benih yang sangat sering muncul dalam pertimbangan keuntungan perusahaan sebagai tujuan pengurus mengelola perusahaan. 105 i. Dapat kita bayangkan moral hazard yang akan terjadi tanpa adanya Pasal 32 ayat (2) UU KUP maka Pengurus perusahaan memiliki insentif yang nyata untuk menunda atau bahkan tidak membayar pajak, jika sanksi administrasi telah terakumulasi sedemikian besar hingga lebih besar dari harta yang dimiliki perusahaan, maka Pengurus dapat memanfaatkan kepailitan perusahaan dan menyerahkan mekanisme pelunasan utangnya melalui mekanisme kepailitan dimana sesungguhnya sudah dapat dipastikan hak atas kas negara dalam hal ini pajak tidak akan terbayar lunas. Keberhasilan pola ini akan berulang kembali apabila Pengurus memulai lagi membentuk atau menjadi pengurus di perusahaan baru/perusahaan lainnya dan dengan label putusan kepailitan bukan karena kesalahan pengurus melepaskan diri dari kelalaian/kesengajaan tidak memastikan kepatuhan perusahaan dalam melaksanakan kewajiban pembayaran pajaknya. Bahkan dapat mendorong melakukan tindak pidana yang merugikan atau berkaitan dengan keuangan Negara, karena proses pembuktian dan peradilannya yang memakan waktu bertahun-tahun tersebut menyebabkan utang pajak hanya sekedar menjadi angka tagihan yang tidak terlunasi disisi lain Pengurus dapat dengan mudah setelah 5 tahun dinyatakan pailit kembali menjadi pengurus pada perusahaan lain dan mengulangi modus yang serupa.
Ada pun terkait tanggung jawab kurator dalam kepailitan Wajib Pajak, Pasal 16, Pasal 21 dan Pasal 204 UU Kepailitan dan PKPU mengatur sebagai berikut:
Pasal 16
Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali
Pasal 21
Kepailitian meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan
Pasal 204
Setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat maka Kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta Debitor mengenai piutang mereka yang belum dibayar. Berdasarkan pasal-pasal tersebut jika dihubungkan dengan Pasal 32 ayat 106 (1) dan ayat (2) UU KUP maka Kurator sebagai Wakil Wajib Pajak bertanggungjawab secara pribadi dan/atau tanggung renteng atas hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang timbul sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, proses pemberesan harta pailit hingga saat kepailitan berakhir.
Bahwa dalam konteks Wajib Pajak pailit, Pasal 32 ayat (1) UU KUP mengatur bahwa Wakil Wajib Pajak pailit adalah kurator. Klausul dalam ayat ini dimaknai bahwa dalam hal Wajib Pajak pailit, tindakan penagihan juga ditujukan kepada Kurator, karena mengingat harta Wajib Pajak (dalam pailit) yang menurut undang-undang perpajakan adalah merupakan objek sita, masuk kedalam boedel pailit dan harta pailit tersebut sedang dalam pengurusan dan pemberesan aset oleh Kurator.
Adapun ketetapan-ketetapan pajak yang terbit selama proses pailit atau proses pemberesan harta pailit Wajib Pajak tersebut, tidak masuk ke dalam boedel pailit karena diterbitkan setelah lewat batas akhir pengajuan tagihan, akan tetapi atas utang pajak yang belum terlunasi tersebut, sepanjang belum daluwarsa penagihan, sesuai Pasal 22 UU KUP, maka Direktorat Jenderal Pajak tetap mempunyai kewenangan, sebagaimana diatur dalam UU KUP dan Undang-Undang di bidang perpajakan, untuk melakukan penagihan atas utang pajak baik kepada Penanggung Pajak lainnya misalnya Pengurus.
Dengan demikian, penagihan pajak kepada Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak dilakukan dengan berdasarkan Undang-Undang di bidang perpajakan yaitu UU KUP dan Undang-Undang di bidang perpajakan yang memang merupakan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur terkait penagihan pajak. Adapun eksistensi dari UU PT dan UU Kepailitan dan PKPU adalah sebagai Undang-Undang yang mengatur di ranah privat bukan di ranah publik, sehingga seharusnya tidak ada permasalahan hukum terkait Undang-Undang mana yang lebih khusus (lex specialist) diantara UU KUP dengan UU PT serta UU Kepailitan dan PKPU, karena UU KUP mengatur di ranah publik (hak dan kewajiban perpajakan) sedangkan UU PT dan UU Kepailitan dan PKPU mengatur hubungan keperdataan di ranah privat diantara para subjek hukumnya. 107 n. Perlu kita perhatikan bahwa tingkat pembayaran utang pajak melalui proses kepailitan jika dirata-ratakan secara statistik tidak melebihi dari 1,38% selama kurun waktu tahun 20 tahun yaitu semenjak tahun 1999 hingga tahun 2020 (bulan Agustus). Hal ini sebagaimana tercermin dalam tabel di bawah ini: Berdasarkan data pada tabel di atas maka sangat logis dan berdasar jika Direktorat Jenderal Pajak diberikan kewenangan untuk menagihkan pelunasan utang pajak kepada Wakil Wajib Pajak secara pribadi dan/atau secara renteng sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP.
Secara sistematis di dalam UU KUP dan Undang-Undang di bidang perpajakan pun mengatur jaminan bagi terlunasinya utang pajak. Berdasarkan Pasal 18 UU KUP, Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UU KUP atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan STP, SKPKB, serta SKPKBT, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak 108 sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) UU KUP dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
Penanggung Pajak yang dilakukan tindakan penagihan pajak merujuk pada Pasal 1 angka 28 UU KUP mengatur bahwa Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam hal yang mempunyai utang pajak adalah Wajib Pajak Badan, maka tindakan penagihan dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang meliputi:
Badan/perseroan itu sendiri dan 2. Wakil wajib pajak badan oleh pengurus (Direksi, Komisaris, Pemegang Saham dan orang yang nyata-nyata mengambil kebijaksanaan dan/atau keputusan dalam menjalankan perusahaan). II. Penagihan Pajak PT United Coal Indonesia a. Kegiatan penagihan pajak kepada PT United Coal Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang memang secara khusus mengatur kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi Wajib Pajak baik ketika Wajib Pajak dalam keadaan normal maupun dalam keadaan pailit. Serangkaian kegiatan penagihan pajak yang diatur dalam peraturan tersebut berlaku bagi semua Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak dengan kondisi apa pun. Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak atas proses penagihan pajak yang dilakukan, juga telah diatur secara khusus dalam peraturan perpajakan yaitu seperti keberatan ke Kantor Wilayah DJP, banding ke Pengadilan Pajak maupun mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak. 109 b. PT United Coal Indonesia dinyatakan pailit berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 32/Pdt.Sus.Pailit/2014 /PN.Niaga.JKT.PST tanggal 24 November 2015.
Total Tagihan utang pajak yang diajukan kepada Kurator adalah Rp.
334.542.465,- (empat puluh tiga miliar tiga ratus tiga puluh empat juta lima ratus empat puluh dua ribu empat ratus enam puluh lima rupiah) terdiri dari 35 SKPKB/STP sejumlah Rp. 44.205.348.442,00 (empat puluh empat miliar dua ratus lima juta tiga ratus empat puluh delapan ribu empat ratus empat puluh dua rupiah) yang dikurangi dengan pembayaran yang telah dilakukan Wajib Pajak sejumlah Rp. 870.805.977,00. (delapan ratus tujuh puluh juta delapan ratus lima ribu sembilan ratus tujuh puluh tujuh rupiah) Tagihan utang pajak disampaikan kepada Kurator dengan surat nomor S- 6382/ WPJ.19/KP.01/2015 tanggal 17 Desember 2015. Adapun ke 35 SKPKB/STP tersebut adalah sebagai berikut: No Nomor SKPKB/STP Tanggal SKPKB/ST P Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00007/106/13/091/13 11-Mar-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 2 00007/107/13/091/14 28-Jan-14 218.095.841 STP PPN dan Terlambat Lapor 3 00008/107/13/091/14 28-Jan-14 148.070.494 STP PPN dan Terlambat Lapor 4 00009/107/13/091/14 29-Jan-14 133.731.749 STP PPN dan Terlambat Lapor 5 00010/107/13/091/14 29-Jan-14 67.282.203 STP PPN dan Terlambat Lapor 6 00011/107/13/091/14 29-Jan-14 64.805.678 STP PPN dan Terlambat Lapor 7 00017/106/12/091/13 01-Feb-13 291.941.719 STP PPh pasal 25 Angsuran 8 00020/107/12/091/14 29-Jan-14 204.683.426 STP PPN dan Terlambat Lapor 9 00021/106/13/091/13 03-Apr-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 10 00022/106/12/091/13 05-Feb-13 297.555.983 STP PPh pasal 25 Angsuran 11 00030/106/12/091/13 05-Feb-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 12 00041/106/13/091/13 30-Apr-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 13 00073/106/12/091/12 08-Okt-12 436.363.654 STP PPh pasal 25 Angsuran 14 00139/106/12/091/12 03-Des-12 444.855.263 STP PPh pasal 25 Angsuran 15 00049/107/14/091/15 28-May-15 1.500.000 STP PPN dan Terlambat Lapor 16 00002/107/15/091/15 28-May-15 1.000.000 STP PPN dan Terlambat Lapor 110 17 00013/101/15/091/15 28-May-15 300.000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 18 00093/101/14/091/15 28-May-15 1.200.000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 19 00064/101/13/091/15 28-May-15 100.000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 20 00051/107/14/091/15 3-Jun-15 500.000 STP PPN dan Terlambat Lapor 21 00105/106/14/091/15 13-Jul-15 1.000.000 STP PPh pasal 25 Angsuran 22 00183/207/10/091/15 28-Mei-15 1.013.029.486 SKPKB PPN DN 23 00184/207/10/091/15 25-May-15 65.293.500 SKPKB PPN DN 24 00182/207/10/091/15 25-May-15 318.214.632 SKPKB PPN DN 25 00185/207/10/091/15 25-May-15 154.414.672 SKPKB PPN DN 26 00186/207/10/091/15 25-May-15 101.773.778 SKPKB PPN DN 27 00050/103/14/091/15 21-Aug-15 270.903 STP PPh 23 Terlambat Setor dan Terlambat Lapor 28 00051/103/14/091/15 21-Aug-15 206.814 STP PPh 23 Terlambat Setor dan Terlambat Lapor 29 00018/109/10/091/15 10-Dec-15 121.563.538 STP Bunga Penagihan PPN 30 00019/109/10/091/15 10-Dec-15 7.835.220 STP Bunga Penagihan PPN 31 00020/109/10/091/15 10-Dec-15 38.185.756 STP Bunga Penagihan PPN 32 00021/109/10/091/15 10-Dec-15 18.529.761 STP Bunga Penagihan PPN 33 00022/109/10/091/15 10-Dec-15 12.221.853 STP Bunga Penagihan PPN 34 00014/206/13/091/15 16-Dec-15 33.745.131.050 SKPKB PPh 35 00169/207/11/091/15 17-Dec-15 5.150.381.649 SKPKB PPN DN Jumlah Rp.44.205.348.442, 00 d. Total tagihan utang pajak yang diakui oleh Kurator dalam rapat pencocokan piutang dan verifikasi pajak adalah sejumlah yang dajukan oleh KPP, yaitu sebesar Rp.334.542.465,- (empat puluh tiga miliar tiga ratus tiga puluh empat juta lima ratus empat puluh dua ribu empat ratus enam puluh lima rupiah) .
Total hasil penjualan harta pailit yang berhasil diperoleh oleh Kurator sebesar Rp.45.436.242.290,00 (empat puluh lima miliar empat ratus tiga puluh enam juta dua ratus empat puluh dua ribu dua ratus sembilan puluh rupiah). Harta Pailit bersih setelah dikurangi biaya kepailitan dan fee kurator adalah sebesar Rp.30.987.247.383,00 (tiga puluh miliar sembilan ratus delapan puluh tujuh juta dua ratus empat puluh tujuh ribu tiga ratus delapan puluh tiga rupiah). Dari harta pailit tersebut jumlah pembagian yang diperoleh KPP Wajib Pajak Besar Satu sebesar Rp.2.549.161.883,00 (dua 111 miliar lima ratus empat puluh Sembilan juta seratus enam puluh satu ribu delapan ratus delapan puluh tiga rupiah), yang kemudian bertambah menjadi Rp.2.677.919.334,00 (dua miliar enam ratus tujuh puluh tujuh juta sembilan ratus sembilan belas ribu tiga ratus tiga puluh empat rupiah), setelah mendapat tambahan atas bunga bank sebesar Rp.128.757.451,00 (seratus dua puluh delapan juta tujuh ratus lima puluh tujuh ribu empat ratus lima puluh satu rupiah). Atas hasil pembagian harta pailit tersebut telah disetor ke kas negara tanggal 23 November 2018.
Pembagian kepada KPP Wajib Pajak Besar Satu sebesar Rp.2.549.161.883,00 (dua miliar lima ratus empat puluh Sembilan juta seratus enam puluh satu ribu delapan ratus delapan puluh tiga rupiah) adalah 5,88% dari nilai seluruh tagihan pajak yang diakui oleh Kurator. Sedangkan Kreditor Separatis PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menerima Rp.14.000.000.000,- (empat belas milyar rupiah) atau sebesar 4,99% dari nilai seluruh tagihan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk yang diakui.
Selain menagih utang pajak dalam proses kepailitan melalui Kurator, pada tahun-tahun selama kepailitan berlangsung, KPP Wajib Pajak Besar Satu, berdasarkan Pasal 29 UU KUP, melakukan pemeriksaan pajak atas PT United Coal Indonesia atas kewajiban-kewajiban perpajakannya yang telah timbul dan terutang namun belum dilaporkan dan/atau belum dibayar sebelum PT United Coal Indonesia dinyatakan pailit. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, sesuai Pasal 13 ayat (1) UU KUP, diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dengan rincian sebagai berikut:
Terbit Tahun 2016 SKPKB PPh Badan tahun pajak 2011 Nomor 00026/206/11/091/16 sejumlah Rp.106.535.880.440,00 (seratus enam miliar lima ratus tiga puluh lima juta selapan ratus delapan puluh ribu empat ratus empat puluh rupiah).
Terbit Tahun 2017 sebesar Rp.46.431.017.912,00 (empat puluh enam miliar empat ratus tiga puluh satu juta tujuh belas ribu Sembilan ratus dua belas rupiah) terdiri atas: SKPKB PPN tahun pajak 2012 sebesar Rp.10.427.130.781,00 (sepuluh miliar empat ratus dua puluh tujuh juta serratus tiga puluh 112 ribu tujuh ratus delapan puluh satu rupiah) terdiri 9 ketetapan sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00019/107/12/091/17 23-May-17 206,633,351 STP PPN Hasil Pemeriksaan (Pasal 14 ayat 4 UU KUP) 2 00073/207/12/091/17 23-May-17 1,962,892,565 SKPKB PPN Hasil Pemeriksaan 3 00074/207/12/091/17 23-May-17 1,574,459,693 SKPKB PPN 4 00075/207/12/091/17 23-May-17 962,086,542 SKPKB PPN 5 00076/207/12/091/17 23-May-17 880,698,291 SKPKB PPN 6 00077/207/12/091/17 23-May-17 1,327,527,437 SKPKB PPN 7 00078/207/12/091/17 23-May-17 1,189,167,347 SKPKB PPN 8 00079/207/12/091/17 23-May-17 2,301,980,518 SKPKB PPN 9 00080/207/12/091/17 23-May-17 21,685,037 SKPKB PPN SKPKB dan STP PPN, PPh tahun pajak 2013 sebesar Rp.30.072.927.803,00 (tiga puluh miliar tujuh puluh dua juta Sembilan ratus dua puluh tujuh ribu delapan ratus tiga rupiah), yang terdiri dari 16 SKPKB dan 7 STP sebagai berikut: No . SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00041/107/13/091/17 21-Dec-17 305,336,630 STP PPN 2 00042/107/13/091/17 21-Dec-17 318,060,956 STP PPN 3 00043/107/13/091/17 21-Dec-17 285,464,974 STP PPN 4 00044/107/13/091/17 21-Dec-17 317,116,241 STP PPN 5 00045/107/13/091/17 21-Dec-17 230,517,085 STP PPN 6 00046/107/13/091/17 21-Dec-17 1,177,485,636 STP PPN 7 00003/245/13/091/17 21-Dec-17 796,717,447 SKPKB PPh 8 00021/203/13/091/17 21-Dec-17 246,492,039 SKPKB PPh 9 00030/201/13/091/17 21-Dec-17 308,460,799 SKPKB PPh 10 00031/201/13/091/17 21-Dec-17 505,270,948 SKPKB PPh 11 00014/177/13/091/17 22-Dec-17 53,832,260 STP PPN 12 00018/277/13/091/17 22-Dec-17 398,358,724 STP PPN 13 00081/207/13/091/17 22-Dec-17 1,094,683,598 STP PPN 14 00082/207/13/091/17 22-Dec-17 1,322,364,683 STP PPN 15 00083/207/13/091/17 22-Dec-17 1,130,660,572 STP PPN 16 00084/207/13/091/17 22-Dec-17 960,313,223 STP PPN 17 00085/207/13/091/17 22-Dec-17 1,130,328,722 STP PPN 18 00086/207/13/091/17 22-Dec-17 2,259,491,065 STP PPN 19 00087/207/13/091/17 22-Dec-17 2,353,651,073 STP PPN 20 00088/207/13/091/17 22-Dec-17 2,112,440,811 STP PPN 21 00089/207/13/091/17 22-Dec-17 2,346,660,183 STP PPN 22 00090/207/13/091/17 22-Dec-17 1,705,826,428 STP PPN 23 00091/207/13/091/17 22-Dec-17 8,713,393,706 STP PPN 113 SKPKB dan STP PPN dan PPh tahun Pajak 2014 sebesar Rp.5.908.774.309,00 (lima miliar Sembilan ratus delapan juta tujuh ratus tujuh puluh empat ribu tiga ratus sembilan rupiah), yang terdiri dari 6 SKPKB dan 4 STP sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00025/107/14/091/17 21-Dec-17 223,827,822 STP PPN 2 00026/107/14/091/17 21-Dec-17 160,368,482 STP PPN 3 00027/107/14/091/17 21-Dec-17 114,459,301 STP PPN 4 00028/107/14/091/17 21-Dec-17 8,990,527 STP PPN 5 00002/203/14/091/17 21-Dec-17 459,515,248 SKPKB PPh 6 00004/206/14/091/17 21-Dec-17 1,185,031,550 SKPKB PPh 7 00058/207/14/091/17 21-Dec-17 1,656,325,884 SKPKB PPN 8 00059/207/14/091/17 21-Dec-17 1,186,726,765 SKPKB PPN 9 00060/207/14/091/17 21-Dec-17 846,998,830 SKPKB PPN 10 00061/207/14/091/17 21-Dec-17 66,529,900 SKPKB PPN STP Pengawasan atas kewajiban perpajakan berupa pelaporan dan/atau pembayaran pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2016 sebesar Rp.22.185.019,00 (dua puluh dua juta seratus delapan puluh lima ribu Sembilan belas rupiah) terdiri dari 77 STP sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/ST P (Rp.) Keterangan 1 00004/103/15/091/17 23-Jan-17 203,186 STP Terlambat Setor 2 00006/103/15/091/17 24-Jan-17 12,596 STP PPh 23 Terlambat Setor 3 00062/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 4 00063/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 5 00065/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 6 00066/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 7 00067/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 8 00069/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 9 00070/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 10 00072/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 11 00075/101/16/091/17 22-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 12 00077/101/16/091/17 22-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 13 00079/101/16/091/17 23-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 114 14 00080/101/16/091/17 23-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 15 00034/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 16 00035/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 17 00036/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 18 00037/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 19 00038/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 20 00039/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 21 00040/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 22 00041/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 23 00042/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 24 00043/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 25 00044/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 26 00045/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 27 00020/107/12/091/17 29-May-17 3,513,807 STP PPN DN Terlambat Setor 28 00021/107/12/091/17 31-May-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 29 00003/140/12/091/17 2-Jun-17 170,287 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 30 00004/140/12/091/17 2-Jun-17 85,143 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 31 00005/103/12/091/17 2-Jun-17 100,000 STP PPh 23 Terlambat Lapor 32 00005/140/12/091/17 2-Jun-17 100,000 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 33 00008/103/13/091/17 2-Jun-17 100,000 STP PPh 23 Terlambat Lapor 34 00006/101/12/091/17 6-Jun-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 35 00006/140/12/091/17 7-Jun-17 100,000 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 36 00006/106/13/091/17 6-Jul-17 1,000,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 37 00003/107/13/091/17 10-Jul-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 38 00066/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 39 00067/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 40 00068/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 41 00069/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 42 00070/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 115 43 00071/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 44 00072/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 45 00073/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 46 00074/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 47 00075/106/16/091/17 11-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 48 00076/106/16/091/17 11-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 49 00077/106/16/091/17 11-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 50 00014/106/15/091/17 12-Sep-17 1,000,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 51 00015/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 52 00016/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 53 00017/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 54 00017/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 55 00018/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 56 00018/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 57 00019/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 58 00019/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 59 00020/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 60 00020/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 61 00021/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 62 00021/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 63 00022/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 64 00022/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 65 00023/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 66 00024/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 67 00025/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 68 00126/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 69 00127/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 70 00128/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 71 00129/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 116 72 00130/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 73 00131/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 74 00132/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 75 00133/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 76 00134/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 77 00023/106/15/091/17 15-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 3) Terbit Tahun 2018 sebesar Rp.2.200.000,00 (dua juta dua ratus ribu rupiah), yang merupakan STP Pengawasan sebanyak 13 STP sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00009/106/16/091/18 25-Jan-18 1,000,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 2 00042/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 3 00043/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 4 00044/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 5 00045/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 6 00046/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 7 00047/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 8 00048/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 9 00049/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 10 00050/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 11 00053/101/17/091/18 7-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 12 00054/101/17/091/18 7-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 13 00056/101/17/091/18 8-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor h. Atas sisa utang pajak yang tidak terbayarkan melalui proses kepailitan dan utang pajak yang ditemukan kemudian berdasarkan pemeriksaan pajak sebagaimana telah disajikan secara detail di atas, maka KPP Wajib Pajak Besar Satu melaksanakan kegiatan penagihan aktif kepada Penanggung Pajak/Wakil Wajib Pajak sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dengan total pajak terutang sejumlah Rp. 193.625.721.483,00 117 (seratus sembilan puluh tiga miliar enam ratus dua puluh lima juta tujuh ratus dua puluh satu ribu empat ratus delapan puluh tiga rupiah).
Penanggung Pajak menurut Pasal 1 angka 28 UU KUP adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Adapun rangkaian tindakan penagihan pajak yang dilakukan berupa: tindakan persuasif dengan mengundang rapat Penanggung Pajak melalui Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1942/WPJ.19/ KP.01/2018 tanggal 11 Mei 2018 dan Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1172/WPJ.19/KP.01/2019 tanggal 27 Mei 2019, Surat Teguran dan Surat Paksa, yang ditindaklanjuti dengan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) dengan detil sebagai berikut:
Surat Teguran No. Nomor Surat Teguran Tanggal 1 ST-00023/WPJ .1 9/KP.0104/2017 20-Mar-17 2 ST-00024/WPJ .1 9/KP.0104/2017 20-Mar-17 3 ST-00025/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 4 ST-00071/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 5 ST-00072/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 6 ST-00073/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 7 ST-00074/W PJ. 19/KP. 0104/20 17 22-May-17 8 ST-00075/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 9 ST-00076/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 10 ST-00104/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Jun-17 11 ST-00138/WPJ. 19/KP.0104/2017 07-Sep-17 12 ST-00 139/WPJ .19/KP.01 04/2017 7-Sep-17 13 ST-00152/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Sep-17 14 ST-00153/WPJ. 19/KP.0104/2017 12-Sep-17 15 ST-00235/WPJ .19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 16 ST-00236/WPJ .19/KP . 01 04/2017 13-Nov-17 17 ST-00237/WPJ.19/KP.0104/201 7 13-Nov-17 18 ST-00238/WPJ. 1 9/KP.01 04/2017 13-Nov-17 19 ST-00239/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 20 ST-00240/WPJ.19/KP .0 104/20 17 13-Nov-17 21 ST-00241/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 22 ST-00242/WPJ. 1 9/KP.0104/2017 13-Nov-17 23 ST-001 35/WPJ .1 9/KP. 01 04/2018 23-Mar-18 24 ST-00136/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 25 ST-00137/WPJ. 1 9/KP.0104/2018 23-Mar-18 26 ST-00138/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 118 27 ST-00139/WPJ .1 9/KP. 0104/2018 23-Mar-18 28 ST-001 40/WPJ .19/KP. 01 04/2018 23-Mar-18 29 ST-00141/WPJ. 19/KP.0104/2018 23-Mar-18 30 ST-00142/WPJ .1 9/KP.0104/2018 23-Mar-18 31 ST-00143/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 32 ST-00144/WPJ. 19/KP.0104/2018 23-Mar-18 2) Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Sita No. Surat Paksa Tanggal Surat Perintah Melaksanakan Sita (SPMP) 1 SP-00472/WPJ.19/KP.0104/2015 14-Dec-15 SIT-00004 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 2 SP-00473/WPJ. 19/KP.0104/2015 14-Dec-15 3 SP-00126/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 4 SP-00127/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 5 SP-00128/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 6 SP-00072/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 7 SP-00073/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 8 SP-00074/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 9 SP-00075/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 10 SP-00076/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 11 SP-00077/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 12 SP-00078/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 13 SP-00079/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 14 SP-00080/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 15 SP-00081/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 16 SP-00082/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 17 SP-00083/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 18 SP-00084/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 19 SP-00085/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 20 SP-00086/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 21 SP-00129/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 SIT-00005 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 22 SP-00130/WPJ. 19/KP.0104/2017 24-Jul-17 23 SP-00150/WPJ.19/KP.0104/2017 17-Oct-17 24 SP-00055/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 25 SP-00056/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 26 SP-00057/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 27 SP-00058/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 28 SP-00059/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 29 SP-00060/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 30 SP-00061/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 31 SP-00062/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 32 SP-00063/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 33 SP-00064/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 34 SP-00065/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 35 SP-00066/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 36 SP-00067/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 37 SP-00068/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 119 38 SP-00069/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 39 SP-00070/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 40 SP-00071/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 41 SP-00087/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 SIT-00006 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 42 SP-00088/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 43 SP-00249/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 44 SP-00250/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 45 SP-00251/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 46 SP-00252/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 47 SP-00253/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 48 SP-00254/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 49 SP-00255/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 50 SP-00256/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 51 SP-00257/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 52 SP-00258/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 53 SP-00259/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 54 SP-00260/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 55 SP-00261/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 56 SP-00262/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 57 SP-00263/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 58 SP-00264/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 59 SP-00265/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 60 SP-00266/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 61 SP-00267/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 SIT-00007 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 62 SP-00268/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 63 SP-00269/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 64 SP-00270/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 65 SP-00271/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 66 SP-00272/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 67 SP-00273/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 68 SP-00274/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 69 SP-00275/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 70 SP-00276/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 71 SP-00277/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 72 SP-00278/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 73 SP-00279/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 74 SP-00280/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 75 SP-00281/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 76 SP-00282/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 77 SP-00283/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 78 SP-00284/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 79 SP-00285/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 80 SP-00286/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 k. Berdasarkan SPMP tersebut dilakukan pemblokiran rekening Pemohon di Bank BCA melalui surat nomor S-2341/WPJ.19/ KP.01/2019 tanggal 29 Oktober 2019, Pencegahan kepada Penanggung Pajak melalui Keputusan 120 Menteri Keuangan Nomor KMK-613/KM.3/2019 tanggal 15 November 2019 untuk Taufik Surya Darma dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK- 614/KM.3/2019 tanggal 15 November 2019 untuk Herumanto Zaini.
Tindakan penagihan kepada Wakil Wajib Pajak, dalam hal ini Pemohon sebagai Direktur Utama PT United Coal Indonesia, sesuai Pasal 32 ayat (2) UU KUP adalah hal yang logis dan diperlukan. Hal ini terlihat dari total tagihan pajak yang terdiri dari SKPKB dan STP di atas, membuktikan bahwa Pemohon, sebagai Direktur Utama PT United Coal Indonesia, selama mengurus perusahaan tidak menjalankan tugasnya untuk memastikan terlunasinya kewajiban perpajakan PT United Coal Indonesia. Kewajiban perpajakan ini meliputi kegiatan menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya dengan benar. Dari rangkaian STP saja terlihat bahwa PT United Coal Indonesia, selama dibawah pengurusan Pemohon, bukan hanya tidak membayar kewajiban perpajakannya dengan benar, bahkan laporan perpajakannya yang rutin pun banyak tidak dilakukan atau terlambat. III. Pengecualian dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP Pada prakteknya, banyak ditemukan modus dari perusahaan untuk menghindari kewajiban membayar utang pajak melalui mekanisme pembuatan akta perubahan perseroan dengan mencantumkan nama pihak-pihak yang sebenarnya tidak pernah menjalankan kepengurusan/mengendalikan perseroan sebagai pengurus perseroan tersebut. Mengacu pada Pasal 32 ayat (2) UU KUP bahwa dalam hal pengurus tersebut dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa yang bersangkutan tidak dapat dimintakan tanggung jawab dalam pelunasan utang pajak perseroan, maka Direktorat Jenderal Pajak berwenang tidak melakukan tindakan penagihan atas utang pajak perseroan tersebut kepada yang bersangkutan. Pembuktian tersebut utamanya dilakukan pengurus yang bersangkutan kepada Direktur Jenderal Pajak, disamping Direktorat Jenderal Pajak juga dapat menghimpun dan menganalisis data dan/atau informasi dari pihak internal maupun eksternal berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Dalam praktiknya pembuktian yang dilakukan pengurus yang merasa bukan sebagai Penanggung Pajak antara lain: 121 a. Menyampaikan data dan informasi berupa surat keterangan atau sejenisnya dari pengurus dan pemegang saham yang lain bahwa yang bersangkutan bukan pengurus perseroan dan tidak pernah menjalankan kepengurusan perseroan;
Menyampaikan bukti bahwa yang bersangkutan tidak pernah menerima penghasilan dari perseroan tersebut;dan/atau c. Menyampaikan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa yang bersangkutan bukan pengurus perseroan. Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka memverifikasi dan menganalisis informasi, data dan/atau dokumen yang diperoleh dari pengurus yang merasa bukan sebagai Penanggung Pajak tersebut, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan:
Penelitian Administrasi 1. Menghimpun informasi, data dan/atau dokumen dari pihak internal maupun eksternal. Dari internal Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengecekkan dari sistem informasi yang ada meliputi pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), upaya hukum, intelijen perpajakan, dan data lainnya; Data pihak eksternal diperoleh dari data perseroan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, laporan hasil permintaan keterangan atau informasi dari pihak ketiga (pengurus lainnya, pegawai perseroan, lawan transaksi dan sebagainya) 2. Melakukan analisis terkait informasi, data dan/atau dokumen baik yang diperoleh dari internal Direktorat Jenderal Pajak, pengurus perseroan, maupun pihak ketiga lainnya tersebut;
Menuangkan hasil analisis tersebut dalam Laporan Uraian Penelitian dengan hasil apakah yang bersangkutan sebagai Penanggung Pajak yang bertanggungjawab secara pribadi dan/atau renteng terhadap pelunasan utang pajak perseroan atau sebaliknya b. Melakukan pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak ( delinquency audit ) sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.75/2002 tentang Pemeriksaan Untuk Tujuan Penagihan Pajak ( Delinquency Audit ). 122 1. Pemeriksaan dilakukan oleh petugas pemeriksa pajak untuk memperoleh data dan/atau informasi terkait Penanggung Pajak yang sebenarnya, harta dan upaya hukum;
Dapat dilakukan secara bersama-sama dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan atau hanya melalui pemeriksaan untuk tujuan lain;
Dalam pelaksanaan pemeriksaan, tim Pemeriksa Pajak akan melakukan hal-hal sebagai berikut: a) mencari alamat tempat/gudang penyimpanan harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak; b) meminjam bukti kepemilikan harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak; c) membuat daftar harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang sesuai dengan kondisi terkini; d) mencari informasi perihal wakil dari Penanggung Pajak, antara lain keluarga, direksi, komisaris dan pemegang saham mayoritas, beserta alamat sesuai dengan bukti identitas terakhir; dan e) melakukan konfirmasi dan permintaan keterangan serta bukti tentang identitas harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang KUP antara lain kepada: Notaris/PPAT, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pemerintah Daerah, Bank, Kepolisian, dan Konsultan Pajak 4. Hasilnya akan dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan yang menjadi dasar Direktorat Jenderal Pajak untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai pengurus yang bertanggung jawab secara pribadi dan/atau renteng dalam pelunasan utang pajak perseroan atau tidak. Proses sebagaimana diuraikan di atas, termasuk ke dalam rangkaian proses penagihan pajak yang diatur dalam beberapa peraturan pelaksanaan di Direktorat Jenderal Pajak diantaranya: a) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. 123 b) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran Dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. c) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.75/2002 tentang Pemeriksaan Untuk Tujuan Penagihan Pajak ( Delinquency Audit ). d) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan. e) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ/2012 tentang Kebijakan Penagihan Pajak. f) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencegahan Dalam Rangka Penagihan Pajak. g) Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-20/PJ/2018 tanggal 12 Januari 2018 hal Penegasan dan Pelaksanaan Pemblokiran, Pencegahan dan Penyanderaan. h) Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor Nomor S-234/PJ.04/2018 tanggal 23 April 2018 hal Optimalisasi Tindakan Penagihari sebagai Tindak Lanjut Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-20/PJ/2018 perihal Penegasan atas Pelaksanaan Pemblokiran, Pencegahan, dan Penyanderaan. Berdasarkan tahapan-tahapan pelaksanaan penagihan pajak, dan tahapan- tahapan untuk dapat menentukan apakah seseorang dapat dikecualikan atau tidak sebagai Wakil Wajib Pajak yang harus bertanggung jawab secara pribadi dan/atau renteng sebagaimana telah diuraikan di atas, maka terlihat bahwa untuk menentukan kriteria tersebut Direktorat Jenderal Pajak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya harus melaksanakan segala rangkaian proses secara cermat dan berdasarkan dokumen sumber yang valid dan terpercaya. Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak merasa keberatan, peraturan perundang-undangan perpajakan telah membuka jalur melakukan upaya hukum yang jelas yaitu melalui proses gugatan ke Pengadilan Pajak, keberatan ke Kantor Wilayah DJP, dan/atau banding ke Pengadilan Pajak. IV. Petitum Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan 124 pengujian ( constitutional review ) ketentuan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut :
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijk verklaard );
Menyatakan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ) [2.4] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Presiden/Pemerintah telah mengajukan dokumen (sebagai lampiran) yang diberi tanda PEM-1 sampai dengan PEM-211, di mana Lampiran PEM-1 sampai PEM-36 merupakan rincian tagihan pajak kepada Kurator PT UCI sejumlah Rp.43.334.542.465,- karena Wajib Pajak melakukan pembayaran utang pajak sejumlah Rp.870.805.977,-; Lampiran PEM-37 sampai dengan PEM-169 merupakan tagihan pajak hasil pemeriksaan pajak yang terbit setelah Wajib Pajak PT UCI pailit; serta Lampiran PEM-170 sampai dengan PEM-211 merupakan dokumen yang menunjukkan alur proses penagihan kepada Penanggung Pajak PT UCI. Berikut ini daftar Lampiran dimaksud.
PEM-1 S-6382/WPJ.19/ KP.01/2015 17-Des-15 2. PEM-2 SKP/STP No. 00007/106/13/091/13 11-Mar-13 3. PEM-3 SKP/STP No. 00007/107/13/091/14 28-Jan-14 4. PEM-4 SKP/STP No. 00008/107/13/091/14 28-Jan-14 5. PEM-5 SKP/STP No. 00009/107/13/091/14 29-Jan-14 6. PEM-6 SKP/STP No. 000010/107/13/091/14 29-Jan-14 7. PEM-7 SKP/STP No. 000011/107/13/091/14 29-Jan-14 8. PEM-8 SKP/STP No. 000017/106/12/091/13 01-Feb-13 9. PEM-9 SKP/STP No. 000020/107/12/091/14 29-Jan-14 125 10. PEM-10 SKP/STP No. 000021/106/13/091/13 03-Apr-13 1 PEM-11 SKP/STP No. 000022/106/12/091/13 05-Feb-13 12. PEM-12 SKP/STP No. 000030/106/12/091/13 05-Feb-13 13. PEM-13 SKP/STP No. 000041/106/13/091/13 30-Apr-13 14. PEM-14 SKP/STP No. 000073/106/12/091/12 08-Okt-12 15. PEM-15 SKP/STP No. 00139/106/12/091/12 03-Des-12 16. PEM-16 SKP/STP No. 000049/107/14/091/15 28-Mei-15 17. PEM-17 SKP/STP No. 00002/107/15/091/15 28-Mei-15 18. PEM-18 SKP/STP No. 00013/101/15/091/15 28-Mei-15 19. PEM-19 SKP/STP No. 00093/101/14/091/15 28-Mei-15 20. PEM-20 SKP/STP No. 00064/101/13/091/15 28-Mei-15 21. PEM-21 SKP/STP No. 00051/107/14/091/15 3-Jun-15 22. PEM-22 SKP/STP No. 00105/106/14/091/15 13-Jul-15 23. PEM-23 SKP/STP No. 00182/207/10/091/15 25-Mei-15 24. PEM-24 SKP/STP No. 00183/207/10/091/15 25-Mei-15 25. PEM-25 SKP/STP No. 00184/207/10/091/15 25-Mei-15 26. PEM-26 SKP/STP No. 00185/207/10/091/15 25-Mei-15 27. PEM-27 SKP/STP No. 00186/207/10/091/15 25-Mei-15 28. PEM-28 SKP/STP No. 00050/103/14/091/15 21-Aug-15 29. PEM-29 SKP/STP No. 00051/103/14/091/15 21-Aug-15 30. PEM-30 SKP/STP No. 00018/109/10/091/15 10-Dec-15 31. PEM-31 SKP/STP No. 00019/109/10/091/15 10-Dec-15 32. PEM-32 SKP/STP No. 00020/109/10/091/15 10-Dec-15 33. PEM-33 SKP/STP No. 00021/109/10/091/15 10-Dec-15 34. PEM-34 SKP/STP No. 00022/109/10/091/15 10-Dec-15 35. PEM-35 SKP/STP No. 00014/206/13/091/15 16-Dec-15 36. PEM-36 SKP/STP No. 00169/207/11/091/15 17-Dec-15 37. PEM-37 SKP/STP No. 00026/206/11/091/16 29-Nov-16 38. PEM-38 SKP/STP No. 00019/107/12/091/17 23-Mei-17 39. PEM-39 SKP/STP No. 00073/207/12/091/17 23-Mei-17 40. PEM-40 SKP/STP No. 00074/207/12/091/17 23-Mei-17 41. PEM-41 SKP/STP No. 00075/207/12/091/17 23-Mei-17 42. PEM-42 SKP/STP No. 00076/207/12/091/17 23-Mei-17 126 43. PEM-43 SKP/STP No. 00077/207/12/091/17 23-Mei-17 44. PEM-44 SKP/STP No. 00078/207/12/091/17 23-Mei-17 45. PEM-45 SKP/STP No. 00079/207/12/091/17 23-Mei-17 46. PEM-46 SKP/STP No. 00080/207/12/091/17 23-Mei-17 47. PEM-47 SKP/STP No. 00041/107/13/091/17 21-Dec-17 48. PEM-48 SKP/STP No. 00042/107/13/091/17 21-Dec-17 49. PEM-49 SKP/STP No. 00043/107/13/091/17 21-Dec-17 50. PEM-50 SKP/STP No. 00044/107/13/091/17 21-Dec-17 51. PEM-51 SKP/STP No. 00045/107/13/091/17 21-Dec-17 52. PEM-52 SKP/STP No. 00046/107/13/091/17 21-Dec-17 53. PEM-53 SKP/STP No. 00003/245/13/091/17 21-Dec-17 54. PEM-54 SKP/STP No. 00021/203/13/091/17 21-Dec-17 55. PEM-55 SKP/STP No. 00030/201/13/091/17 21-Dec-17 56. PEM-56 SKP/STP No. 00031/201/13/091/17 21-Dec-17 57. PEM-57 SKP/STP No. 00014/177/13/091/17 22-Dec-17 58. PEM-58 SKP/STP No. 00018/277/13/091/17 22-Dec-17 59. PEM-59 SKP/STP No. 00081/207/13/091/17 22-Dec-17 60. PEM-60 SKP/STP No. 00082/207/13/091/17 22-Dec-17 61. PEM-61 SKP/STP No. 00083/207/13/091/17 22-Dec-17 62. PEM-62 SKP/STP No. 00084/207/13/091/17 22-Dec-17 63. PEM-63 SKP/STP No. 00085/207/13/091/17 22-Dec-17 64. PEM-64 SKP/STP No. 00086/207/13/091/17 22-Dec-17 65. PEM-65 SKP/STP No. 00087/207/13/091/17 22-Dec-17 66. PEM-66 SKP/STP No. 00088/207/13/091/17 22-Dec-17 67. PEM-67 SKP/STP No. 00089/207/13/091/17 22-Dec-17 68. PEM-68 SKP/STP No. 00090/207/13/091/17 22-Dec-17 69. PEM-69 SKP/STP No. 00091/207/13/091/17 22-Dec-17 70. PEM-70 SKP/STP No. 00025/107/14/091/17 21-Dec-17 71. PEM-71 SKP/STP No. 00026/107/14/091/17 21-Dec-17 72. PEM-72 SKP/STP No. 00027/107/14/091/17 21-Dec-17 73. PEM-73 SKP/STP No. 00028/107/14/091/17 21-Dec-17 74. PEM-74 SKP/STP No. 00002/203/14/091/17 21-Dec-17 75. PEM-75 SKP/STP No. 00004/206/14/091/17 21-Dec-17 127 76. PEM-76 SKP/STP No. 00058/207/14/091/17 21-Dec-17 77. PEM-77 SKP/STP No. 00059/207/14/091/17 21-Dec-17 78. PEM-78 SKP/STP No. 00060/207/14/091/17 21-Dec-17 79. PEM-79 SKP/STP No. 00061/207/14/091/17 21-Dec-17 80. PEM-80 SKP/STP No. 00004/103/15/091/17 23-Jan-17 81. PEM-81 SKP/STP No. 00006/103/15/091/17 24-Jan-17 82. PEM-82 SKP/STP No. 00062/101/16/091/17 21-Mar-17 83. PEM-83 SKP/STP No. 00063/101/16/091/17 21-Mar-17 84. PEM-84 SKP/STP No. 00065/101/16/091/17 21-Mar-17 85. PEM-85 SKP/STP No. 00066/101/16/091/17 21-Mar-17 86. PEM-86 SKP/STP No. 00067/101/16/091/17 21-Mar-17 87. PEM-87 SKP/STP No. 00069/101/16/091/17 21-Mar-17 88. PEM-88 SKP/STP No. 00070/101/16/091/17 21-Mar-17 89. PEM-89 SKP/STP No. 00072/101/16/091/17 21-Mar-17 90. PEM-90 SKP/STP No. 00075/101/16/091/17 22-Mar-17 91. PEM-91 SKP/STP No. 00077/101/16/091/17 22-Mar-17 92. PEM-92 SKP/STP No. 00079/101/16/091/17 23-Mar-17 93. PEM-93 SKP/STP No. 00080/101/16/091/17 23-Mar-17 94. PEM-94 SKP/STP No. 00034/107/16/091/17 17-Mar-17 95. PEM-95 SKP/STP No. 00035/107/16/091/17 17-Mar-17 96. PEM-96 SKP/STP No. 00036/107/16/091/17 17-Mar-17 97. PEM-97 SKP/STP No. 00037/107/16/091/17 17-Mar-17 98. PEM-98 SKP/STP No. 00038/107/16/091/17 17-Mar-17 99. PEM-99 SKP/STP No. 00039/107/16/091/17 17-Mar-17 100. PEM-100 SKP/STP No. 00040/107/16/091/17 17-Mar-17 101. PEM-101 SKP/STP No. 00041/107/16/091/17 17-Mar-17 102. PEM-102 SKP/STP No. 00042/107/16/091/17 17-Mar-17 103. PEM-103 SKP/STP No. 00043/107/16/091/17 17-Mar-17 104. PEM-104 SKP/STP No. 00044/107/16/091/17 17-Mar-17 105. PEM-105 SKP/STP No. 00045/107/16/091/17 17-Mar -17 106. PEM-106 SKP/STP No. 00020/107/12/091/17 29-Mei-17 107. PEM-107 SKP/STP No. 00021/107/12/091/17 31-Mei-17 108. PEM-108 SKP/STP No. 00003/140/12/091/17 2-Jun-17 128 109. PEM-109 SKP/STP No. 00004/140/12/091/17 2-Jun-17 110. PEM-110 SKP/STP No. 00005/140/12/091/17 2-Jun-17 111. PEM-111 SKP/STP No. 00005/103/12/091/17 2-Jun-17 112. PEM-112 SKP/STP No. 00008/103/13/091/17 2-Jun-17 113. PEM-113 SKP/STP No. 00006/101/12/091/17 6-Jun-17 114. PEM-114 SKP/STP No. 00006/140/12/091/17 7-Jun-17 115. PEM-115 SKP/STP No. 00006/106/13/091/17 6-Jul-17 116. PEM-116 SKP/STP No. 00003/107/13/091/17 10-Jul-17 117. PEM-117 SKP/STP No. 00066/106/16/091/17 8-Sep-17 118. PEM-118 SKP/STP No. 00067/106/16/091/17 8-Sep-17 119. PEM-119 SKP/STP No. 00068/106/16/091/17 8-Sep-17 120. PEM-120 SKP/STP No. 00069/106/16/091/17 8-Sep-17 121. PEM-121 SKP/STP No. 00070/106/16/091/17 8-Sep-17 122. PEM-122 SKP/STP No. 00071/106/16/091/17 8-Sep-17 123. PEM-123 SKP/STP No. 00072/106/16/091/17 8-Sep-17 124. PEM-124 SKP/STP No. 00073/106/16/091/17 8-Sep-17 125. PEM-125 SKP/STP No. 00074/106/16/091/17 8-Sep-17 126. PEM-126 SKP/STP No. 00075/106/16/091/17 11-Sep-17 127. PEM-127 SKP/STP No. 00076/106/16/091/17 11-Sep-17 128. PEM-128 SKP/STP No. 00077/106/16/091/17 11-Sep-17 129. PEM-129 SKP/STP No. 00014/106/15/091/17 12-Sep-17 130. PEM-130 SKP/STP No. 00015/106/15/091/17 12-Sep-17 131. PEM-131 SKP/STP No. 00016/106/15/091/17 12-Sep-17 132. PEM-132 SKP/STP No. 00017/101/15/091/17 12-Sep-17 133. PEM-133 SKP/STP No. 00017/106/15/091/17 12-Sep-17 134. PEM-134 SKP/STP No. 00018/101/15/091/17 12-Sep-17 135. PEM-135 SKP/STP No. 00018/106/15/091/17 12-Sep-17 136. PEM-136 SKP/STP No. 00019/101/15/091/17 12-Sep-17 137. PEM-137 SKP/STP No. 00019/106/15/091/17 12-Sep-17 138. PEM-138 SKP/STP No. 00020/101/15/091/17 12-Sep-17 139. PEM-139 SKP/STP No. 00020/106/15/091/17 12-Sep-17 140. PEM-140 SKP/STP No. 00021/101/15/091/17 12-Sep-17 141. PEM-141 SKP/STP No. 00021/106/15/091/17 12-Sep-17 129 142. PEM-142 SKP/STP No. 00022/101/15/091/17 12-Sep-17 143. PEM-143 SKP/STP No. 00022/106/15/091/17 12-Sep-17 144. PEM-144 SKP/STP No. 00023/101/15/091/17 12-Sep-17 145. PEM-145 SKP/STP No. 00024/101/15/091/17 12-Sep-17 146. PEM-146 SKP/STP No. 00025/101/15/091/17 12-Sep-17 147. PEM-147 SKP/STP No. 00126/107/15/091/17 12-Sep-17 148. PEM-148 SKP/STP No. 00127/107/15/091/17 12-Sep-17 149. PEM-149 SKP/STP No. 00128/107/15/091/17 12-Sep-17 150. PEM-150 SKP/STP No. 00129/107/15/091/17 12-Sep-17 151. PEM-151 SKP/STP No. 00130/107/15/091/17 12-Sep-17 152. PEM-152 SKP/STP No. 00131/107/15/091/17 12-Sep-17 153. PEM-153 SKP/STP No. 00132/107/15/091/17 12-Sep-17 154. PEM-154 SKP/STP No. 00133/107/15/091/17 12-Sep-17 155. PEM-155 SKP/STP No. 00134/107/15/091/17 12-Sep-17 156. PEM-156 SKP/STP No. 00023/106/15/091/17 15-Sep-17 157. PEM-157 SKP/STP No. 00009/106/16/091/18 25-Jan-18 158. PEM-158 SKP/STP No. 00042/101/17/091/18 6-Feb-18 159. PEM-159 SKP/STP No. 00043/101/17/091/18 6-Feb-18 160. PEM-160 SKP/STP No. 00044/101/17/091/18 6-Feb-18 161. PEM-161 SKP/STP No. 00045/101/17/091/18 6-Feb-18 162. PEM-162 SKP/STP No. 00046/101/17/091/18 6-Feb-18 163. PEM-163 SKP/STP No. 00047/101/17/091/18 6-Feb-18 164. PEM-164 SKP/STP No. 00048/101/17/091/18 6-Feb-18 165. PEM-165 SKP/STP No. 00049/101/17/091/18 6-Feb-18 166. PEM-166 SKP/STP No. 00050/101/17/091/18 6-Feb-18 167. PEM-167 SKP/STP No. 00053/101/17/091/18 7-Feb-18 168. PEM-168 SKP/STP No. 00054/101/17/091/18 7-Feb-18 169. PEM-169 SKP/STP No. 00056/101/17/091/18 8-Feb-18 170. PEM-170 Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1942/WPJ.19/ KP.01/2018 11-Mei-18 130 171. PEM-171 Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1172/WPJ.19/ KP.01/2019 172. PEM-172 ST-00023/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 173. PEM-173 ST-00024/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 174. PEM-174 ST-00025/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 175. PEM-175 ST-00071/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 176. PEM-176 ST-00072/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 177. PEM-177 ST-00073/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 178. PEM-178 ST-00074/W PJ. 19/KP. 0104/20 17 22-Mei-17 179. PEM-179 ST-00075/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 180. PEM-180 ST-00076/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 181. PEM-181 ST-00104/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Jun-17 182. PEM-182 ST-00138/WPJ. 19/KP.0104/2017 7-Sep-17 183. PEM-183 ST-00 139/WPJ .19/KP.01 04/2017 7-Sep-17 184. PEM-184 ST-00152/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Sep-17 185. PEM-185 ST-00153/WPJ. 19/KP.0104/2017 12-Sep-17 186. PEM-186 ST-00235/WPJ .19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 187. PEM-187 ST-00236/WPJ .19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 188. PEM-188 ST-00237/WPJ.19/KP.0104/201 7 13-Nov-17 189. PEM-189 ST-00238/WPJ.19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 190. PEM-190 ST-00239/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 191. PEM-191 ST-00240/WPJ.19/KP.0104/20 17 13-Nov-17 192. PEM-192 ST-00241/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 193. PEM-193 ST-00242/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 194. PEM-194 ST-00135/WPJ.19/KP. 01 04/2018 23-Mar-18 195. PEM-195 ST-00136/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 196. PEM-196 ST-00137/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 197. PEM-197 ST-00138/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 198. PEM-198 ST-00139/WPJ.19/KP. 0104/2018 23-Mar-18 199. PEM-199 ST-00140/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 200. PEM-200 ST-00141/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 201. PEM-201 ST-00142/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 131 202. PEM-202 ST-00143/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 203. PEM-203 ST-00144/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 204. PEM-204 Daftar Surat Paksa yang telah diberitahukan kepada Penaggung Pajak PT United Coal Indonesia 29-Okt-19 205. PEM-205 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT- 00004/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 206. PEM-206 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT- 00005/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 207. PEM-207 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT-SKP/STP No. 00006/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 208. PEM-208 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT-SKP/STP No. 00007/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 209. PEM-209 S-2341/WPJ.19/KP.01/2019 (Blokir Rekening) 29-Okt-19 210. PEM-210 Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-613/KM.3/2019 untuk Taufik Surya Darma (Pencegahan) 15-Nov-19 211. PEM-211 Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-614/KM.3/2019 untuk Herumanto Zaini (Pencegahan) 15-Nov-19 Selain itu Presiden/Pemerintah mengajukan empat orang Ahli. Dua orang Ahli menyampaikan keterangan keterangan lisan di hadapan sidang 14 Oktober 2020, yang dilengkapi keterangan tertulis yaitu Dr. Abdul Anshari Ritonga, S.E., S.H., M.A dan Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H. Adapun dua Ahli lain, yaitu Dr. Dian Puji N Simatupang, S.H., M.H dan Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn., menyampaikan keternagan secara tertulis. Keterngan masing-masing ahli pada pokoknya sebagai berikut. 132 1. Abdul Anshari Ritonga Tentang Pasal 32 ayat (2) UU KUP Sesuai Pasal 32 ayat (2) dan penjelasannya UU KUP, untuk Wajib Pajak Badan, yang bertangggung jawab menjalankan hak dan kewajiban perpajakan atas pembayaran pajak dan pemenuhan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak Badan adalah Pengurus dari Badan tesebut. Tanggung Jawab Pengurus dimaksud adalah tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab renteng. Subjek hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban hukum. Menurut Kamus Hukum, subject vaan een recht ; Subjek orang yang berhak; manusia pribadi atau badan hukum yang berhak bertindak atau melakukan perbuatan hukum Pasal 1 angka 2 dan Pasal 2 UU KUP antara lain berbunyi: Subjek hukum pajak terdiri dari orang pribadi dan/atau badan yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan sistem self assesment dalam perpajakan yang berlaku di Indonesia, subjek hukum pajak yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif berkewajiban mendaftarkan diri, menghitung dan membayar pajak terhutang, serta melaporkan kewajiban perpajakannya ke Kantor Pajak, Direktorat Jenderal Pajak. Namun, Badan sebagai subjek hukum pajak, secara fisik tidak dapat bertindak, berbuat dan bergerak untuk melakukan kewajiban perpajakannya dimaksud. Pengertian badan sebagai pribadi hukum ( recht person) menurut Teori Badan Hukum pendapat Wolfgang Fiedmann dalam bukunya Legal Theory , dapat dibedakan pengertiannya berdasarkan: i) Teori Fiksi, ii) Teori Konsesi, iii) Teori Organ/Realis dan iv) Teori Kenyataan Juridis. Menurut Teori Fiksi, keberadaan Badan sebagai pribadi hukum ( rechts person ) hanyalah anggapan atau fiksi saja, karena tidak dapat bertindak atau berbuat untuk melaksanakan hak dan kewajiban hukumnya. Oleh karena itu, yang bertindak dan bertanggung jawab memenuhi kewajiban Badan adalah pengurus yang dikuasakan untuk mengurus perusahaan. Pengertian Badan sebagai Wajib Pajak dalam UU Perpajakan adalah menggunakan Teori Fiksi tersebut, seperti yang diatur dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a, dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP sebagaimana diuraikan di atas. 133 Pasal 1 angka (2) dan Pasal 2 ayat (1) UU KUP memgatur: wajib pajak adalah yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, yang terdiri dari orang pribadi dan badan. Orang pribadi yang berkewajiban hukum adalah yang cakap hukum. Orang yang tidak cakap hukum seperti orang yang tidak waras, anak-anak yang belum dewasa atau yang dibawah pengampuan, maka tidak dapat berkewajiban hukum. Wajib Pajak adalah Badan atau Badan Hukum yang secara fisik tidak dapat bergerak, bertindak dan berbuat, berati tidak akan dapat melakukan kewajibannya sendiri. Oleh karena Badan yang secara fisik tidak cakap hukum, maka kewajiban perpajakan dari Badan yang yang seharusnya melaksanakan, menjadi tangggung jawab pribadi dan tanggung jawab renteng dari Pengurus. Kewajiban pajak hanya ada apabila ada objeknya (misalnya: ada tambahan kemampuan ekonomi, antara lain berupa penghasilan atau laba, atau ada kewajiban memungut, memotong pajak dan membayarnya ke kas negara) yang ada pajaknya terhutang, tetapi tidak dibayar sebagaimana mestinya oleh Pengurus yang bertanggung jawab. Apabila pada waktunya kewajiban tersebut tidak dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku, maka akan dapat berdampak ada pajak terhutang yang tidak atau kurang dibayar. Karena kesalahan pengurus yang tidak membayar pajak terhutang dari WP Badan yang diurusnya sebagaimana mestinya, maka kewajiaban membayar hutang pajak tersebut adalah menjadi tanggung jawab pengurus, karena kesalahannya tidak melaksanakan pembayaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Badan (secara fisik) tidak dapat dipersalahkan, karena badan itu hanya anggapan (fiksi) saja ada sebagai subjek yang dapat memenuhi kewajiban perpajakannya. Tetapi kenyataannya secara fisik tidak dapat bertindak atau berbuat, tidak bisa menghitung dan tidak dapat bergerak untuk melakukan kewajiabannya sebagai wajib pajak. Maka semua kewajiban Badan tersebut menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pengurus. Pasal 1233 dan Pasal 1234 KUH Perdata mengatur bahwa “ Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak 134 berbuat sesuatu” . Dengan demikian perikatan berupa badan dan/atau badan hukum adalah subjek hukum perdata yang berhak dan berkewajiban hukum. Objek pajak adalah peristiwa-peristiwa hukum, perbuatan, kejadian dan keadaan terkait hukum yang bersifat perdata yang terukur dan bernilai. Oleh karenanya subjek hukum perdata juga dapat menjadi subjek pajak, dan prinsip- perinsip perdata berupa mediasi dan kompromi juga berlaku dalam hukum pajak, seperti penundaan, pangangsuran, pengurangan pembayaran pajak sesuai ketentuan peraturaan perundang-undangan perpajakan. Pasal inilah yang menjadi dasar penentuan subjek pajak terdiri dari orang pribadi dan badan (sebagai subjek hukum perdata) berupa perikatan dan/atau badan. Subjek pajak yang memenuhi persyaratan objektip menjadi Wajib Pajak yang terdiri dari Wajib Pajak Orang pribadi dan wajib pajak badan. Pasal 1 angka 5 UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur hal yang sama, yaitu “ Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertangggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai denggan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan”. Sekalipun kemudian badan yang diurusnya menjadi pailit atau dibubarkan, tidak akan menghapus kewajibannya melunasi pajak yang terhutang yang sudah ada sebelum pembubaran atau pemailitan tersebut. Dengan alasan antara lain, a) Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara berdasarkan Undang-undang. b) Timbulnya pajak terhutang adalah karena pengurus tidak meaksanakan kewajiban perpajakannya, memenuhi pembayaran sebagaimana mestinya. c) Seandainya oleh pengurus memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana mestinya, maka tidak akan ada pajak terhutang yang harus dibayar pada saat perusahaan bubar atau dipailitkan. d) Adanya kewajiban pengurus harus membayar pajak terhutang setelah perusahaan bubar atau pailit, adalah karena kesalahan pengurus sendiri membuat hutang pajak, yang terjadi sebelum perusahaan tersebut bubar atau dipailitkan. Maksud frasa kata/anak kalimat dalam Pasal 32 ayat (2): “ kecu ali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terhutang tersebut ” adalah terkait ketentuan Pasal 32 135 ayat (4) dan penjelasannya, yang mengatur pengertian pengurus Badan termasuk orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan, walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akta pendirian maupun akta perubahan, termasuk Komisaris Perusahaan/Badan dan pemegang saham mayoritas atau pengendali. Misalnya apabila kejadian, pengawas/pemeriksa memutuskan telah terjadi penyimpangan melawan hukum dalam satu kebijakan Pengurus/Direksi dalam melaksanakan perusahaan, kalau sewaktu rapat mengambil keputusan kebijakan yang dinyatakan ada penyimpangan tersebut ada seorang Komisaris perusahaan sebagai penasehat, menyatakan tidak sependapat atau berpendapat lain dan tidak setuju atas kebijakan yang diambil Direksi, maka Komisaris tersebut dapat lepas dari sanksi atas kesalahan dimaksud. Demikian pula dalam kepemimpinan pengurus secara kolektif kolegial, apabila ada salah seorang pengurus yang tidak setuju atau dissenting opinion sewaktu pengambilan keputusan, namun karena sudah jadi keputusan rapat dia juga harus turut menandatanganinya Apabila pelaksanaan keputusan yang diambil dinyatakan salah atau melawan hukum, maka yang bersangkutan lepas dari tangggug jawab akibat kesalahan tersebut. Tentang Pasal 2 ayat (6): Pemberian NPWP sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 6 dan Pasal 2 ayat (1) UU KUP adalah sebagai sarana administrasi perpajakan, yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. NPWP tersebut diberikan hanya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Pentingnya identitas NPWP di samping nama wajib pajak, adalah untuk menjamin kepastian bagi Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, bahwa benar pemenuhan perpajakan dilakukan oleh yang bersanggkutan dan untuk yang bersangkutan, agar terhindar dari kemungkinan ada nama yang sama. Juga bagi Wajib Pajak yang mempunyai cabang banyak di alamat yang berbeda, dapat dilakukan memenuhi kewajiban perpajakannya dimana saja 136 untuk diperhitungkan sebagai pemenuhan kewajiban pajak bagi pemilik NPWP yang sama. Penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6), baik karena permohonan Wajib Pajak dan atau karena kewenangan Direktur Jenderal Pajak, adalah berdasarkan ada atau terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif dari seseorang yang akan diberikan atau dicabut NPWP- nya. NPWP tidak ada kaitan dengan jumlah pajak terhutang yang tidak atau belum dibayar, tetapi diberikan semata-mata untuk identitas dalam memenuhi kewajiban perpajakan bagi yang terpenuhi persyaratan subjetif dan objektif yang akan diberikan atau dicabut NPWP-nya. Apabila ditemukan seseorang yang memenuhi persyaratan subjektif, tetapi yang bersangkutan tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP, maka dinas (Direktorat Jenderal Pajak) akan memberikan NPWP secara jabatan, tanpa melalui permohonan Wajib Pajak. Atas objek pajak yang ditemukan, akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Jabatan atas pajak yang terhutang ditambah dengan dendanya sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk melakukan pencabutan NPWP harus terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa tidak ada lagi kewajiban perpajakannya. Apabila hasil pemeriksaan memutuskan dapat/untuk dicabut NPWP, kemudian belakangan ditemui masih ada objek pajak yang tidak dilaporkan pada saat pemeriksaan, yang masih ada pajak terhutang/yang harus dibayar, maka NPWP akan diterbitkan kembali untuk menagih pajak terhutang. NPWP perusahaan yang dinyatakan pailit, sesuai ketentuan baru dapat dihapuskan apabila sudah tidak ada lagi kewajibann perpajakannya. Kalau masih ada pajak terutang yang belum dibayar, maka NPWP tidak boleh dihapus, karena NPWP tersebut masih diperlukan sebagai sarana untuk membayar pajak. Pemohon menerangkan sejak Perusahaan PT UCI dinyatakan pailit: (i) Pemohon secara hukum tidak lagi dapat bertindak untuk dan atas nama PT UCI dan tidak lagi bertanggung jawab sebagai peribadi atas perusahaan; (ii) semua hak dan kewajiban Direksi (Pemohon) telah beralih kepada Kurator yang ditunjuk; 137 (iii) Pemohon demi hukum tidak dapat lagi dibebani pertanggung jawaban secara pribadi. Ahli menerangkan Pasal 1 angka 5 UU 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) mengatur, “Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit dibawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-undang ini”. Pasal 1 angka 11 berbunyi, “Setiap orang adalah orang peseorangan atau korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum”. Pasal 16 ayat (1) UU KPKPU mengatur bahwa tugas dan wewenang Kurator adalah melaksanakan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Tugas Kurator terbatas hanya terkait pengurusan dan pemberesan aset debitor yang dinyatakan pailit, untuk digunakan pembayaran hutang debitor atas piutang kreditor. Oleh karena itu, selain tugas Kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tersebut tidak ada tugas Direksi (Pengurus) yang dialihkan kepada Kurator, dan semua tugas wewenang kecuali terkait pemberesan harta pailit tetap sepenuhnya masih menjadi tangggung jawab Direksi (Pengurus). Tanggung jawab atas pengelolaan perusahaan yang salah, yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang terjadi sebelum dipailitkan, tetap menjadi tanggung jawab pengurus yang bersangkutan. Apabila hasil pemberesan Kurator terhadap aset Debitor belum cukup melunasi piutang atau tagihan dari para Kreditor, maka menurut UU 37/2004 tentang Kepailitan, kreditor dan debitor berhak: i) Pasal 204: setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat, maka Kreditor memeroleh kembali hak eksekusi terhadap harta dari Debitor mengenai pitutang mereka yang belum dibayar. ii) Pasal 215, “Setelah berakhirnya kepailitan sebagaimana dimaksud Pasal 166, Pasal 202 dan Pasal 207, maka Debitor atau ahli warisnya berhak mengajukan permohonan reahabilitasi kepada Pengadilan yang telah mengucapkan putusan pernyataan pailit”. 138 iii) Pasal 216, “Permohonan rehabilitasi baik oleh Debitor maupun ahli warisnya tidak akan dikabulkan, kecuali apabila pada surat permohonan tersebut dilampirkan bukti yang menyatakan bahwa semua Kredior yang diakui sudah memperoleh pembayaran secara memuaskan”. __ Terkait tanggung jawab pengurus atas kewajiban perusahaan (Badan) yang menjadi tanggung jawab pengurus sebagai tanggug jawab pribadi dan tanggung jawab renteng (dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP), ketentuan dalam UU 37/2004 tentang KPKPU mengatur bahwa: i) Pasal 23, “Debitor pailit sebagaimana dimaksud Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi isteri atau suami dari Debitor Pailit yang menikah dalam persatuan harta”. ii) Pasal 24, “Debitor demi hukum kehilanggan haknya untuk mengguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”. Kaitan hak dan kewajiban suatu Badan dengan pemberesan aset dari Badan yang pailit oleh Kurator, hanya terkait pelunasan atas sebagian atau seluruhnya utang Badan sebagai Debitor, sesuai yang ditentukan oleh Kurator dan Hakim Pengawas. Dengan dinyatakannya suatu Badan pailit, tidak berarti hutang Badan tersebut akan terselesaikan seluruhnya setelah selesai Pemberesan budel aset pailit. Apabila masih ada piutang yang belum dilunasi masih terbuka hak Kreditor utk menagihnya lagi (lihat ketentuan Pasal 204 UU KPKPU). Terkait hak Kreditor yang terbuka kembali untuk menagih piutangnya yang belum dilunasi sebagaimana dimaksud Pasal 204 UU KPKPU, maka: i) Untuk Kreditor karena perjanjian (Pasal 1 angka 2 UU KPKU) yang telah menyampaikan semua tagihannya pada saat pencocokan piutang (Pasal 115 UU KPKPU), dan Kurator juga setelah berunding dengan Kreditor telah memasukkan semua piutang tersebut dalam Daftar Piutang (Pasal 116 dan Pasal 117 UU KPKPU); demikian pula Debitor telah menyerahkan daftar semua aset/harta kekayaannya termasuk harta isterinya kepada Kurator (Pasal 21 dan Pasal 23 UU KPKPU), maka apabila ternyata sudah tidak ada lagi aset Debitor, dan Badan/Perusahaan sudah dinyatakan pailit dan/atau bubar sehingga sudah tidak ada kegiatan lagi dan/atau sudah berhenti, secara fisik tidak ada lagi kegiatan, maka penagihan untuk melunasi 139 kekurangan pembayaran piutang yang belum dibayar, sudah tidak dapat lagi dilakukan. Karena pengurus yang sudah tidak aktif lagi tidak dapat diminta atau dipaksa untuk melunasinya. Dengan pengertian lain, pembayaran piutang dari hasil pemberesan aset Debitor oleh Kurator yang menjadi pebayaran atas piutang Kreditor yang meminta untuk dilakukan pailit tersebut. ii) Terhadap utang pajak yang timbul karena Undang-undang (Pasal 1 angka 2 UU KPKU) yang telah terdaftar di Kurator, yang belum semua dilunasi dari hasil pemberesan aset Debitor oleh Kurator, maka atas pajak terutang yang belum dibayar berlaku ketentuan Pasal 204 UU KPKPU dimaksud. Sesuai ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, penagihannya dilakukan kepada Direksi yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak terhutang yang belum dibayar tersebut. Dan tangggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab renteng bagi pengurus, yang dapat ditagih secara paksa, apabila tidak dibayar sesuai ketentuan yang berlaku. Atas pajak terhutang yang tidak atau belum sepenuhnya dibayar, dapat ditagih dengan penagihan paksa berdasarkan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Nomor 19 Tahun 2000 (UU PPSP), dengan cara: (i) dengan surat Paksa; apabila hutang masih belum dilunasi, dilakukan penyitaan. Kemudian apabila masih belum dibayar, dilanjutkan dengan pelelangan aset dari penanggung pajak terhutang (Pasal 12 dan Pasal 25 UU PPSP); (ii) Apabila diketahui ada upaya untuk menghindari atau tidak bersedia membayar utang pajak, maka dapat disita uangnya di Bank dengan melakukan pemblokiran atas rekening penaggung pajak di Bank (Pasal 17 UU PPSP); (iii) kalau diketahui ada iktikad tidak baik misalnya, mau menghindar keluar negeri, dapat diusulkan untuk dilakukan pencegahan/ pencekalan kepada yang bersangkutan (Pasal 29 UU PPSP); (iv) kalau utang pajaknya besar dan ada iktikad tidak baik untuk menghindar membayar pajak, misalnya berupaya memindahkan aset, maka dapat dilakukan paksa badan ( gijzeling ) selama 6 bulan dan dapat diperpanjang lagi 6 bulan berikutnya apabila masih tetap belum dibayar, sesuai ketentuan Pasal 33 UU PPSP. 140 Terkait pendapat Pemohon bahwa NPWP Perusahaan yang dinyatakan pailit karena insolven hapus demi hukum, Ahli menjelaskan seperti yang dijelaskan dalam tanggapan Pasal 2 ayat (6) di muka, NPWP diberikan apabila terpenuhi persyaratan subjektif dan objektif, khususnya ada objek pajak yang harus terhutang pajak. NPWP diberikan sebagai sarana administrasi membayar pajak dengan menggunakan identitas NPWP disamping nama wajib pajak. Demikian pula halnya penghapusan NPWP, baru dapat dihapus apabila tidak terpenuhi lagi persyaratan subjektif dan objektif. Sepanjang masih ada objek pajak terhutang dan/atau pajak terhutang yang belum dibayar maka NPWP belum boleh dihapuskan. Terkait pendapat Pemohon yang mengkaitkan dengan ketentuan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Penerapan Pasal 97 ayat (3) dan Pasal 97 ayat (5) UU PT (Surat Pemohon/ butir 3.18, butir 3.20 pada “III. Pokok- Pokok dan Alasan-alasan Permohonan” antara lain isinya: setiap angggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila terbukti melakukan kesalahan. Pertanggung-jawaban pribadi tersebut dikecualikan sepanjang anggota Direksi tersebut tidak melakukan kesalahan atau kelalaian, mengurus perseroan sesuai ketentuan hukum, dengan iktikad baik dan hati-hati, tidak memiliki benturan kepentingan, dan telah mengambil Tindakan untuk mencegah timbulnya atau tidak berlanjutnya kerugian. Ketentuan yang sama juga yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP: (“apabila dapat membuktikan dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab tersebut”), salah satu yang diajukan uji materil oleh Pemohon Sekalipun melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) telah membebaskan Direksi dan Komisaris dari pertanggungjawaban yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) dan Pasal 97 ayat (5) dimaksud, hal itu adalah terkait tanggung jawab pengegolaan perusahaan berdasarkan perinsip pengelolaan perusahaan yang baik ( good corporate governance ). Demikian pula Putusan Pengadilan Niaga terkait kepailitan PT UCI, yang tidak menetapkan karena ada kesalahan Direksi (butir 3.25 Surat Pemohon) adalah dalam pengurusan Perusahaan terkait penyebab kepailitan perusahaan. Tetapi terkait hutang pajak 141 yang sudah ada sebelumnya tetapi tidak dilakukan pembayaran, masih tetap terhutang dan menjadi tanggung jawab pengurus. Hutang Pajak hanya dapat hapus atau akan berkurang apabila: (i) dibayar lunas ke kas negara atau di tempat lain/bank yang ditunjuk, (ii) diperhitungkan (dikompensasikan) dengan kelebihan pembayaran pajak yang lain, (iii) melalui pemindahbukuan (PBK) dengan persetujuan Dirjen Pajak, (iv) dibayar dari pemberesan aset Debitur oleh Kurator bagi perusahaan/Badan yang pailit, (v) dengan keputusan instansi berwenang (Direktur Jenderal Pajak) melalui keputusan permohonan keberatan, atau permohonan pembetulan, pengurangan, penghapusan, dan pembatalan sebagaimana diatur Pasal 16 dan Pasal 36 UU KUP, (vi) putusan pegadilan atau putusan peninjauan Kembali di MA, dan (vii) kadaluarsa penagihan. Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang (Pasal 23A UUD 1945). Hutang pajak adalah kewajiban perusahaan yang terhutang karena memiliki objek pajak kena pajak. Kalau perusaan rugi, atau tidak ada objek pajak yang timbul atau yang dikuasainya untuk dikenakan pajak, maka tidak akan timbul hutang pajak. Oleh karena itu, hutang pajak Badan timbul karena pengurus Badan lalai atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya. Kelalaian atau pelanggaran sengaja dari pengurus yang dapat menimbulkan kerugian negara, dapat dikenakan sanksi denda atau pidana kurungan atau penjara sebagai mana diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP. Pembebasan Direksi (pengurus) sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (3) dan ayat (5) UU PT, adalah terkait pengelolaan perusahaan berdasarkan pengelolaan perusahaan sesuai prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik ( good corporate governance ) atas tidak tercapainya Rencana Kerja Perusahaan, yang berdampak rugi atau menurunnya aset atau equity perusahaan. Sepanjang telah dikelola dengan iktikad baik, sesuai prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik, tidak menyimpang dari ketentuan peraturan yang berlaku, dan tidak ada conflict of interest , maka Pengurus/Direksi dibebaskan dari kegagalan yang telah terjadi. Namun apabila ada kewajiban membayar pajak terhutang yang belum atau kurang dibayar, tetap akan menjadi tanggung jawab pengurus/direksi secara peribadi dan tanggung jawab renteng sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, 142 sebab timbulnya utang pajak karena kesalahan Pengurus/Direksi yang bersangkutan. Berdasarkan prinsip-prisip Pengelolaan Perusahaan yang baik, yang menjadi aset, liablity atau equity perusahaan yang tercantum dalam neraca kekayaan perusahaan adalah setelah laba kena pajak. Artinya pajak terhutang sudah diperhitungkan telah dibayar, sehingga dikeluarkan dari neraca laba-rugi perusahaan. Oleh karenanya, kalau hutang pajak belum dibayarkan kepada kas negara berarti sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengurus yang bertanggung jawab melaksanakannya. Tentang Pemblokiran Rekening Bank dan Pencekalan Pemohon oleh Kantor Imigrasi atas Permintaan Direktur Jenderal Pajak Pemohon mempermasalahkan: i) dilakukannya pencekalan terhadap pemohon oleh Kantor Imigrasi atas permintaan Direktur Jenderal pajak; dan ii) dilakukannya pemblokiran rekening Bank Pemohon di BCA atas permintaan Direktur Jenderal Pajak (butir 2.13; alasan kerugian Kelima dan Keenam dalam surat Pemohon). Sesuai ketentuan Penagihan Pajak berdasarkan UU 19/2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (UU PPSP), terhadap penunggak pajak dapat dilakukan penagihan jika sudah diperingatkan tetapi tidak melunasi utang pajaknya, melalui tindakan melakukan upaya memaksa wajib pajak untuk melakukan pembayaran atas utang pajaknya dengan cara: i) Dilakukan penagihan dengan Surat Paksa sesuai ketentuan Pasal 8 UU PPSP, melalui penyitaan aset penunggak pajak. Apabila tetap tidak dibayar, kemudian menjualnya melalui lelang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan untuk dipakai pembayar pajaknya yang terhutang. ii) Memblokir rekening Bank Penunggak Pajak, dan selanjutnya meminta pemilik untuk mencairkannnya sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU PPSP, hasil pencairannya untuk melunasi utang pajaknya. iii) Apabila ada iktikad tidak baik dari penunggak pajak, dihawatirkan akan menghindar ke Luar Negeri, maka diusulkan untuk dilakukan pencegahan atau pencekalan sesuai ketentuan Pasal 29 UU PPSP, atau v) Dengan adanya iktikad tidak baik dan/atau atas rekening di Bank yang diblokir tidak bersedia mencairkannya, maka dapat dilakukan paksa badan atau penyanderaan ( gijzeling ) sesuai ketentuan Pasal 33 UU PPSP. 143 Apabila dalam upaya Wajib Pajak menghindari atau menggelapkan pajak terhutang dengan melanggar peraturan perundang-undangan yang menimbulkan kerugian negara yang tergolong tindak pidana, maka dapat dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan antara lain Pasal 39 UU KUP berupa sanksi penjara paling singkat 6 bulan atau paling lama 6 tahun, dengan denda pasing sedikit 2 kali atau paling banyak 4 kali pajak terhutang yang tidak atau kurang dibayar. Penerapan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP Dengan dilakukan pemblokiran rekening Bank dan pencekalan kepada Pemohon dalam rangka pelaksanaan penagihan pajak, menurut Pemohon telah menimbulkan kerugian konstitusional, ketidakadilan, dan tidak adanya perlindungan hukum, yang mendasari pengajuan materil atas kedua Pasal UU KUP tersebut. Dalam mendukung pendapat Pemohon mengatakan telah terjadi kerugian konstitusional, ketidakadilan dan tidak adanya perlindungan hukum akibat penerapan kedua Pasal UU KUP di atas, Pemohon mengacu “persyaratan moral hukum ( inner morality of law )” dari pendapat Lon Fuller (N.E. Simmonds, 1986:
; (Surat Pemohon: butir 3.4 dan 3.5 pada III. Pokok-pokok dan Alasan- Alasan Permohonan). Ada 8 syarat untuk terpenuhinya kaidah persyaratan moral hukum internal ( inner morality of law ) menurut Lon Fuller, yaitu: i) harus ada aturan ( rules ), ii) harus berlaku ke depan (prospektif), bukan ke belakang (retrospektif), iii) aturan tersebut harus diumumkan, iv) aturan tersebut harus sesuai akal sehat ( intelligible ), v) aturan tidak boleh saling kontradiktif, vi) aturan tersebut harus mungkin diikuti, vii) aturan tidak boleh diubah secara konstan, dan viii) harus ada kesesuaian ( congruence ) antara aturan yang tertulis dengan yang diterapkan oleh penegak hukum. (Surat Pemohon: butir 3.5) Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP ditinjau dari “ inner morality of law” Lon Fuller; dalam materi dan penerapannya dapat dijelaskan antara lain: i) adalah berdasarkan UU KUP dan telah ada dibuat aturan pelaksanaannya; ii) sudah banyak ditemukan Wajib Pajak yang melaksanakan tax planning dalam rangka menghindari pajak, dengan membubarkan atau mempailitkan 144 perusahaan, dan ini masih mungkin terjadi di masa yang akan datang. Maka perlu ditunjuk pengurus yang bertanggung jawab atas utang pajak secara pribadi, yang timbul karena kesalahannya; iii) UU KUP dan peraturan pelaksanaannya telah diumumkan di Lembaran Negara; iv) karena badan sebagai rechts persoon tidak dapat bergerak atau bertindak dan berbuat sendiri, maka harus ada orang pribadi yang membantu melaksanakan kewajibannya yaitu pengurus, dan hal ini sesuai dengan Teori Fiksi dari keberadaan Badan sebagai subjek hukum; v) ketentuan Pasal 32 ayat (2) sinkron dengan Pasal 97 ayat (3) dan ayat (5) UU 40/2004 tentang PT. Pemohon tidak ada mengemukakan apakah ada yang tidak sinkron baik secara horizontal maupun vertikal dengan pasal-pasal tersebut dengan ketentuan yang lain; vi) penerapan kedua Pasal yang diuji sudah berjalan dan banyak dilaksanakan selama ini; vii) sejak diundangkan UU KUP bunyi Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) tersebut tidak pernah berubah; viii) atas penerapan kedua pasal yang dilakukan uji materil tersebut, sudah ada beberapa wajib pajak menempuh hal yang sama. Pada dasarnya adalah karena merasa berat untuk memikul beban hutang pajak, padahal penyebab timbulnya hutang pajak tersebut adalah karena kesalahannya, seperti halnya yang terjadi dan dihadapi oleh Pemohon ini. Atas ke-8 persyaratan Lon Fuller tersebut, Pemohon tidak ada menyebutkan secara tegas butir yang mana dari ke-8 persyaratan tersebut yang telah membuat/menimbulkan kerugian konstitusionalnya, yang tidak memberikan keadilan dan perlindungan hukum. Dengan demikian menurut Ahli, penerapan Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang menunjuk Pemohon sebagai Pengurus/Direktur PT UCI yang berkewajiban melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan termasuk membayar pajak terhutang dari perusahaan PT UCI, adalah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yang berlaku umum untuk semua pengurus perusahaan/badan. Apabila dalam mengurus/mengendalikan perusahaan Pemohon memenuhi kewajiban membayar semua pajak perusahaan yang terhutang, maka tidak akan ada utang pajak perusahaan yang akan menjadi tanggungan Pemohon secara pribadi. Pemberian NPWP adalah karena ada memiliki objek pajak yang terhutang pajak, dan pencabutan atau penghapusan NPWP dilakukan kalau tidak ada lagi 145 objek pajak yang akan terhutang pajak. Hal ini ketentuan yang berlaku umum tanpa membedakan para penanggung pajak. Dengan penjelasan seperti diuraikan di atas, maka atas penerapan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP tidak ada yang menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon. Undang-undang itu berlaku bagi semua Wajib Pajak dengan kasus yang sama, oleh karenanya tidak ada menimbulkan ketidakadilan bagi pribadi Pemohon dan tidak juga kerugian secara konstitusionsl bagi pribadi yang bersangkutan. Menanggapi Pertanyaan Hakim dan para Pihak ▪ Berdasarkan ketentuan undang-undang, sama halnya dengan wajib pajak yang sudah meninggal, NPWP wajib pajak yang pailit tidak otomatis hilang. ▪ Pasal 2 angka 6 dan Pasal 1 ayat (2) mengatur syarat pemberian nomor pokok adalah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Seandainya seseorang belum berstatus wajib pajak, tapi diketahui objeknya memenuhi persyaratan untuk dikenai pajak, dan yang bersangkutan memenuhi persyaratan sebagai subjek pajak, maka petugas pajak akan memberikan NPWP secara jabatan. ▪ Dasar pemberian nomor pokok adalah terpenuhi persyaratan subjektif dan objektif. NPWP dihapus apabila tidak terpenuhi lagi persyaratan subjektif dan objektif, tidak ada subyek pajaknya lagi dan juga tidak ada utang pajaknya. ▪ Terhadap kasus pailit sama perlakuannya dengan manusia yang sudah meninggal ketika ada warisan yang belum terbagi. Warisan yang belum terbagi adalah subjek pengganti. Hal ini hampir sama dengan apabila badan sudah pailit maka nomor pokok yang bernama tetap hidup sebagai pengganti pihak yang harus membayar pajaknya. ▪ Pasal 1 ayat (2) sampai ayat (5) UU Kepailitan mengatur bahwa piutang terjadi karena perjanjian atau pailit karena hukum. ▪ Pajak timbul karena hukum. Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara. ▪ Dalam hal wajib pajak adalah badan, maka kewajiban membayar pajak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengurus. 146 ▪ Perusahaan dalam perkara in casu mengatakan sudah membayar pajak, dan hal ini disahkan oleh pengurus dalam RUPS, atau pemilik saham dalam RUPS, sudah berdasarkan laba setelah kena pajak. Karena laba dihitung setelah kena pajak, maka pajaknya sudah dikeluarkan. Lalu ke mana pajaknya itu? Atau mungkin ada laporan palsu. ▪ Seharusnya laba sudah kena pajak karena hal itu menjadi landasan membaca deviden. ▪ Laporan palsu mengenai pembayaran pajak diancam Pasal 263 KUHP mengenai pemalsuan, dan ditindaklanjuti Pasal 39 UU Pajak. Di RUPS sudah diputuskan laba kena pajak, tetapi ternyata tidak ada pajaknya. ▪ Atau mungkin pajaknya sudah diperhitungkan dan sudah dikeluarkan, tapi masih ada pada perusahaan. Jika terjadi demikian maka yang salah adalah Pengurus karena pengurus yang mengelolanya. ▪ Kemungkinan lain adalah dana sudah diambil tapi tidak diserahkan kepada kas negara. ▪ Utang perusahaan terdiri dari dua jenis, yaitu utang karena perjanjian dan utang pajak. ▪ Utang perusahaan diklarifikasi dalam prinsip-prinsip perusahaan yang sehat ( good governance ) yang setiap tahun disahkan dalam RUPS bahwa pengurus (direksi dan komisaris) dibebaskan dari pertanggungjawaban. Tetapi tetap pada klausul, yaitu dikecualikan apabila di kemudian hari diketahui ada kesalahan yang membuat terjadinya penyimpangan. ▪ Utang (karena perjanjian) demikian memang tanggung jawab perusahaan yang sudah pailit. Tidak mungkin lagi ada tambahan beban kalau sudah pailit. ▪ Tetapi menyangkut utang pajak tidak demikian. Pajak yang terutang selama 5 tahun tetap boleh ditagih. Oleh karena itu sesudah perusahaan pailit, pajak 5 tahun ke belakang tetap dapat dihitung dan pajaknya tetap akan ditimpakan kepada perusahaan dan siapa penanggung jawab perusahaan (direksi). ▪ Pasal 30 ayat (1) mengatakan utang pajak dapat ditetapkan dalam tempo 5 tahun. Artinya, apabila perusahaan sudah dipailitkan kemudian dihitung pajaknya yang ada saat dia dinyatakan pailit, misalnya baru Rp.40.000.000,- yang dilaporkan terlebih dahulu kepada kurator. Selanjutnya utang pajak yang ada lima tahun sebelumnya tetap dapat ditetapkan dan dapat pula ada tambahan pajak tersebut diberikan kepada kurator lagi untuk dimasukkan 147 sebagai piutang. Namun jika sudah lewat pendaftaran dan tidak masuk daftar piutang kurator, utang pajak tetap harus ditagihkan kepada pihak yang bertanggung jawab. ▪ Tagihan seharusnya ditujukan kepada perusahaan, tapi Pasal 32 ayat (2) menyatakan bahwa yang bertanggung jawab adalah pengurus. ▪ Apabila hasil pemberesan tidak cukup untuk melunasi semua piutang yang masuk pada kurator, maka timbul lagi penagihan kepada yang bersangkutan. ▪ Jika dianggap bahwa perusahaan pailit tidak perlu melunasi utang pajak, maka para pembayar pajak akan berlomba-lomba membuat pelaksanaan demikian dan mendirikan perusahaan baru.
Teddy Anggoro Ahli menyimpulkan Pemohon meminta agar pengecualian yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP melingkupi pengurus dalam hal ini direksi PT yang PT tersebut telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Adapun terhadap Pasal 2 ayat (6) UU KUP, Pemohon menghendaki agar penghapusan NPWP oleh Direktur Jenderal juga termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terkait dengan kesimpulan tersebut, saya setelah membaca dan memahami dengan cermat masing-masing pasal dan petitum Pemohon, maka saya menyampaikan pendapat saya yang terbagi menjadi 8 (delapan) argumentasi sebagai berikut: Konsep Tanggung Jawab Direksi Jika merujuk pada sejarah sejak pertama kali diperkenalkan konsep badan hukum yang disebut Juristic Person maka terdapat dua prinsip yang dipegang teguh dan menjadi dasarnya, yaitu:
Limited Liability , yang artinya pribadi kodrati yang memisahkan kekayaannya untuk menjadi kekayaan pribadi hukum hanya bertanggung jawab sebatas kekayaan yang ia sertakan menjadi kekayaan pribadi hukum tersebut. Prinsip ini berbicara khusus untuk pemegang saham;
Separate Legal Personality , yang artinya pribadi kodrati yang menggerakan atau mempersonifikasi pribadi hukum merupakan subyek hukum yang terpisah dengan dengan pribadi hukum yang digerakan. Dalam teori korporasi, hal ini disebut Agency Relation atau Hubungan Kuasa. Oleh karena 148 itu, sering didengar klausul dalam dokumen hukum, bahwa “direksi bertindak untuk dan atas nama Perseroan Terbatas.” Diperkenalkannya 2 (dua) prinsip tersebut untuk suatu badan usaha dianggap sebagai satu-satunya kontribusi terbesar hukum bagi dunia bisnis dan pedagangan. B. C. Hunt (1936) menyebutnya, “ that brillian intellectual achievement of the Roman lawyers, the juristic person, a subject of rights and liabilities as is a natural person .” Di antara puja-puji akan konsep korporasi yang berhasil menggerakan ekonomi dunia, terselip celah atau lobang ( loophole ) untuk digunakan oleh manusia/pribadi kodrati untuk melakukan perbuatan tercela, curang, merugikan pihak lain, dan menguntungkan dirinya sendiri atau orang yang ia kehendaki untuk untung. Dua contoh masyhur saya sampaikan yang mewakili setiap sistem hukum mayoritas di dunia. Pertama, kasus Enron, sebuah perusahaan energi yang pernah didaulat menjadi The Most Innovative Large Company in America oleh lembaga riset kekayaan ternama Forbes. Direksi dan sharesholder telah melakukan fraud dengan melakukan high risk accounting practice dengan memanfaatkan celah dari sisi akuntansi, mempercantik laporan keuangan dan memanfaatkan special purpose entities untuk memindahkan uang perusahaan. Direksi dan shareholder pada tahun 2001, artinya 19 tahun yang lalu, telah merugikan pemegang sahamnya sebesar $40 Billion, kalau sekarang mencapai 600 Triliun rupiah atau seperempat APBN Indonesia. Kedua, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang merupakan perusahaan dagang milik para pedagang belanda yang diberikan hak istimewa ( octrooi ) oleh kerajaan Belanda, sampai memiliki tentara dan mata uang sendiri serta berdiplomasi dengan negara. Catatan kompas, 12 Juli 2020, menyebutkan pada masa jayanya (periode 1600-1750, adapun masa waktu VOC adalah 200 tahun) VOC bernilai 78 Juta Gulden, kalau sekarang setara 7,9 Triliun US Dollar. Sebagai perbandingan, nilai kongsi dagang Belanda ini setara dengan gabungan PDB Jepang dan Jerman di era modern saat ini. Komparasi lain, menurut Business Insider, yakni VOC setara dengan nilai dari 20 perusahaan dengan kapitalisasi terbesar dunia yang meliputi Apple, Microsoft, Amazon, ExxonMobil, Berkshire Hathaway, Tencent, dan Wells Fargo. Namun mereka bankrupt karena direksi dan pemegang sahamnya yang korup. 149 Kedua contoh di atas menyadarkan para Scholar dan pemikir korporasi untuk menciptakan pengecualian atas dua prinsip mendasar konsep korporasi. Untuk Prinsip Limited Liability , diperkenalkan pengecualian yang disebut own and control doctrine , di Indonesia dikenal dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 15 Tahun 2019 disebut dengan "Pemilik Manfaat dari Korporasi" atau di negeri anglo-saxon dikenal dalam konsep Beneficiary Ownership . Dimana pemilik belum tentu pengontrol, sedangkan yang bertanggung jawab ( liable ) adalah pengontrol. Adapun prinsip separate legal personality , dikecualikan dengan Piercing the Corporate Veil doctrine . Dimana tanggung jawab direksi dapat dimintakan karena kesalahannya yang didasari itikad tidak baik yang telah menyebabkan kerugian perusahaan dan pihak ketiga. Hal ini dalam undang-undang perseroan terbatas diatur dalam pasal 97 dan 104. Sehubungan dengan apa yang saya sampaikan sebelumnya, bahwa tanggung jawab direksi atas perusahaan yang dia urus adalah suatu hukum yang berlaku di dunia saat ini. Yang mana hal tersebut merupakan hasil perkembangan keilmuan dan praktek korporasi. Business Judgement Rule Merupakan Imunitas Bagi Good Faith and Intra Vires Director Ketika pertanggungjawaban pengurus dituntut oleh pemegang saham atau pihak ketiga yang dirugikan. Maka pihak pengurus dapat dipastikan akan menggunakan doktrin Business Judgement Rule sebagai argumentasi untuk melindungi dirinya dari pertanggungjawaban tersebut. Pada kesempatan ini penting untuk ditegaskan bahwa Business Judgement Rule merupakan imunitas bersyarat bagi seorang direksi, bukan merupakan bentuk bentuk perlindungan total dalam pengertian tidak dapat tersentuh ( untouchable ) dari pertanggung jawaban. Hal ini diartikan oleh Roger LeRoy Miller dan Gaylord A. Jentz (2009) sebagai: “A rule that immunizes corporate management from liability for action that result in corporate losses or damages if the action is undertaken in good faith and are within both the power of the corporation and the authority of management to make.” Artinya pengurus ketika dimintai pertanggungjawaban dia harus membuktikan kepada pengadilan bahwa ia melakukan pengurusan dengan good faith , power of corporation , dan kewenangan yang dimiliki oleh direksi 150 ( intra vires ). Yang ingin saya tekankan adalah, Pertama, direksi harus diperiksa dan membuktikan atas pertanggungjawaban yang dimintakan kepadanya. Kedua, Direksi harus membuktikan bahwa ia tidak memiliki itikad buruk. Ketiga, Direksi harus membuktikan ia intra vires (mengambil keputusan dalam kewenangannya), yang mana kewenangan ini tidak saja berdasarkan peraturan internal perusahaan tetapi peraturan eksternal seperti Peraturan Perundang- undangan. Sehubungan dengan petitum pemohon yang meminta dikecualikan pertanggungjawaban pengurus dalam hal kepailitan tidak lah dibenarkan secara hukum, dan argumentasi yang membawa-bawa doktrin business judgement rule adalah tidak tepat. Karena doktrin tersebut justru menghendaki pengurus untuk diperiksa dan membuktikan itikad baik dan ketaatannya terhadap peraturan yang mengikat dirinya, dalam hal ini peraturan perpajakan. Sehingga tegas, Business Judgement Rule merupakan imunitas atau dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan kebal. Kondisi kebal ini harus dibuktikan dengan serangan atau ujian, sebagaimana terjadi pada tubuh manusia ketika terkena infeksi virus ataupun bakteri patogen hingga kemudian tubuh merespon dengan membangun sistem kekebalan. Dalam konteks hukum perusahaan, serangan atau ujian yang dimaksud adalah persidangan atau pemeriksaan. Makna imunitas dalam Business Judgement Rule ini tentu berbeda dengan tidak dapat disentuh atau untouchable sebagaimana dimaksud dalam permohonan pemohon. Memang yang menjadi pertanyaan bagaimana dengan kondisi dimana Perseroan Terbatas pailit. Maka jawabannya adalah sama, tidak ada perbedaan dengan kondisi normal. Karena pailit hanya lah cara pembayaran utang debitur secara kolektif. Penjelasan lebih lengkap mengenai kepailitan akan saya paparkan lebih lanjut di bagian bawah. Pertanggungjawaban Direksi meliputi berbagai jenis Pajak, antara lain Pajak Penghasilan (PPh), meliputi PPh Tahunan Badan, PPh yang dilaporkan secara bulanan/insidentil (masa), dan sebagainya termasuk PPh yang dipotong/dipungut dari karyawan/pihak lain (rumpun withholding tax seperti gaji, honor dan sebagainya), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 151 Direksi sebagai personifikasi Perseroan Terbatas. Dimana Perseroan Terbatas merupakan subyek hukum. Maka setiap kewajiban yang ditetapkan oleh perundang-undangan harus ditaati dan dilaksanakan oleh Perseroan Terbatas tersebut. Bagaimana caranya? Tentu dengan perbuatan direksi untuk dan atas nama Perseroan Terbatas. Sehubungan dengan permohonan uji materi ini. Maka dapat dipastikan bahwa setiap perseroan terbatas di Indonesia selaku Wajib Pajak (yang memenuhi syarat subjektif dan objektif) berkewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri, tidak perlu menunggu ketetapan pajak dari fiskus. Mengapa ini ditekankan? Karena ketika perseroan terbatas tidak memenuhi syarat subjektif dan objektif (misalnya tidak memiliki pemasukan atau dalam keadaan merugi), maka pada periode itu undang-undang memberikan kelonggaran untuk pemenuhan kewajiban perpajakannya, misalnya SPT PPh Tahunan menjadi nihil (tidak perlu bayar) dan kerugian dapat dikompensasikan pada periode SPT Tahunan berikutnya. Namun sebaliknya jika perusahaan tersebut memiliki penghasilan dan mendapatkan keuntungan maka timbul kewajiban untuk menghitung, melapor, membayar pajak, dan jika tidak dipenuhi akan menimbulkan sanksi administratif yang dapat terakumulasi seiring waktu. Kewajiban pengurus Perseroan Terbatas tersebut meliputi juga jenis PPh yang dipotong/dipungut dari karyawan/pihak lain (rumpun withholding tax seperti gaji, upah, honorarium, tunjangan, pesangon, uang pensiun, dan sebagainya), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tetap dikenakan pajaknya walaupun Wajib Pajak mengalami rugi usaha. Dalam jenis pajak ini, negara memberikan amanat kepada Perseroan Terbatas yang diwakili oleh pengurus untuk melaksanakan pemotongan/pemungutan, pelaporan dan pembayaran pajaknya pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Karena itulah, jika jenis pajak yang dipotong/dipungut tadi oleh pengurus sengaja tidak disetorkan kepada kas negara, maka negara memberikan ancaman dengan dijerat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 ayat (1) huruf i UU KUP. Berdasarkan gambaran umum kewajiban perpajakan tersebut, sangat jelas bahwa kewajiban untuk melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan Perseroan Terbatas baik yang meliputi berbagai jenis Pajak, antara lain Pajak Penghasilan (PPh), meliputi PPh Tahunan Badan, PPh yang dilaporkan secara 152 bulanan/insidentil (masa), dan sebagainya termasuk PPh yang dipotong/dipungut dari karyawan/pihak lain (rumpun withholding tax seperti gaji, honor dan sebagainya), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN), semuanya adalah tanggung jawab dari Direksi. Jika melihat pada rumusan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, maka kewajiban yang sifatnya absolut adalah untuk memastikan kepada direksi baik sendiri- sendiri atau kolegial melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan perusahaan sejak pembukuan, menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya secara patuh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika tidak dilaksanakan hal ini akan menjadi utang pajak, timbul sanksi administratif dan konsekuensi lainnya. Demikian juga terhadap kewajiban PPh Tahunan Badan. Berdasarkan pasal 32 ayat (2) UU KUP tersebut, maka secara otomatis Direksi sebagai pengurus wajib melakukan pembukuan, menghitung keuntungan yang didapat selama 1 tahun buku, membayarkan dan melaporkan pajaknya. Jika pengurus kemudian dikecualikan sesuai dengan permohonan pemohon dalam uji materi ini. Maka akan terjadi nanti keadaan dimana direksi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas kewajiban pembayaran PPh Tahunan Badan ketika Perseroan Terbatas yang ia atau mereka urus dipailitkan. Karena hukum kepailitan mengatur setelah keadaan pailit pengurusan dan pemberesan boedel pailit beralih kepada Kurator. Tetapi tidak mengambil alih tanggung jawab Direksi untuk pemenuhan kewajiban perpajakan Perseroan Terbatas yang diwakilinya tersebut. Jika harta pailit cukup untuk membayar semua hutang, maka tidak akan ada masalah. Tetapi ketika harta pailit tidak cukup, maka sangat logis negara memiliki mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban untuk memenuhi kewajiban perpajakan berupa utang pajak yang masih belum dilunasi tersebut kepada Direksi atau pengurus yang bersangkutan. Pertanggungjawaban direksi sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004 Hal yang menjadi krusial dalam permohonan uji materi ini adalah, sejauh apa direksi bertanggung jawab dalam hal Perseroan Terbatas yang dia atau mereka urus jatuh dalam keadaan pailit. Yang pertama harus ditinjau adalah bagaimana UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengartikan kepailitan itu. UU mengatur Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan 153 debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Lebih lanjut Pasal 69 ayat (1), mengatur Tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Sehingga tegas, bahwa yang menjadi lingkup penugasan kurator adalah harta pailit ( boedel pailit). Boedel pailit ini melingkupi aktiva (harta) dan pasiva (utang), tetapi tidak masuk kesalahan dari debitur pailit atau pengurus debitur pailit jika Perseroan Terbatas. Hal ini dapat dilihat pada pasal 26 ayat (1) dan (2), yang berbunyi: "(1) Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator;
Dalam hal tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitor pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap Debitor Pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit." Ketentuan ini jelas menegaskan bahwa, utang yang disebabkan kesalahan debitor pailit dan/atau pengurus debitor pailit adalah terpisah tanggung jawabnya dengan boedel pailit yang ada. Lebih tegas lagi, Pasal 3 ayat (1) juncto Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU ini menyebutkan bahwa direksi dapat digugat untuk dimintai pertanggung jawabannya jika kepailitan terjadi sebagai akibat dari kelalaian atau kesalahannya. Hal ini dapat dilakukan kurator jika boedel pailit tidak cukup melunasi hutang-hutangnya. Sehingga perlu dipertegas, adalah salah jika banyak ahli yang berpendapat untuk melihat adanya tanggung jawab direksi maka harus merujuk pada putusan pernyataan pailit yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini menunjukan ahli-ahli tersebut tidak ahli di bidang korporasi dan kepailitan, atau sekurang-kurangnya mereka khilaf dalam membaca UU Kepailitan. Yang dengan tegas mengatur bahwa permintaan tanggung jawab direksi adalah upaya hukum yang terpisah dari putusan pernyataan pailit yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa "karena putusan penyataan pailit tidak menyebut tanggung jawab direksi, maka direksi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atau tanggung jawabnya telah beralih sepenuhnya kepada kurator". Simpulan tersebut adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan hukum kepailitan. 154 Tanggung Jawab Direksi Tidak Berpindah Kepada Kurator, Selain Pengurusan dan Pemberesan Boedel Pailit Pertanyaan berikutnya, mengenai akibat putusan pernyataan pailit terhadap tanggung jawab direksi adalah sesuatu yang harus disampaikan dalam keterangan saya ini agar terang permasalahan ini. Sebelumnya sudah disebutkan bahwa jika merujuk pada tugas Kurator yang diatur dalam Pasal 69 UU Kepailitan dan PKPU dibatasi pada pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Dimana kewenangan melakukan tugas tersebut menurut Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU muncul sejak putusan pernyataan pailit, meskipun putusan tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali. Kemudian untuk melihat apakah apakah tanggung jawab direksi termasuk hal-hal yang berpindah atau beralih ke Kurator dengan adanya putusan pernyataan pailit. Kita bisa temukan dalam Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU yang mengatur Akibat Kepailitan, pasal ini menyebutkan Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Jadi tegas sekali, bahwa yang beralih kepada kurator adalah hanya kekayaan. Adapun tanggung jawab atas kesalahan direksi selama pengurusannya, tetap menjadi tanggung jawab direksi tersebut. Harus dibayangkan bahwa undang-undang mengatur tugas kurator sebagai pengumpul harta pailit, penjual harta pailit, dan pembayar utang debitor secara kolektif. Itupun hanya terbatas pada harta pailit yang tersedia. Bukan sebagai pengganti Direksi atau penerima tanggung jawab atas perbuatan direksi sebelum pailit. Tanggung Jawab Direksi Pasca Kepailitan Berakhir tetapi belum dilikuidasi Menjadi pertanyaan berikutnya bagaimana pertanggungjawaban organ perseroan jika kepailitan Perseroan Terbatas telah berakhir, tetapi belum dilikuidasi. Yang pertama harus dijelaskan, bahwa berakhirnya kepailitan menurut Pasal 202 UU Kepailitan dan PKPU adalah setelah dibayarkan jumlah penuh utang kreditur, atau daftar pembagian penutup menjadi mengikat. Sehingga jelas UU Kepailitan dan PKPU, mengatur jika berakhirnya kepailitan hanya 155 disebabkan oleh 2 hal. Pertama utang para kreditur dibayar penuh. Kedua, daftar pembagian penutup menjadi mengikat karena kreditor tidak mendapatkan pembayaran penuh piutangnya. Berakhirnya kepailitan, dimana para kreditor tidak dibayar penuh, menurut Pasal 204 (bagian Keadaan Hukum Debitor Setelah Berakhirnya Pemberesan) menimbulkan konsekuensi kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta debitor mengenai piutang yang belum dibayar. Hal ini sejalan dengan prinsip umum kebendaan dalam hukum perdata, dimana Pasa 1131 KUHPerdata mengatur bahwa Semua kekayaan debitor, bergerak atau tidak bergerak, yang ada saat ini maupun yang akan datang menjadi jaminan pelunasan hutangnya. Sehingga pada kesempatan ini saya sampaikan bahwa berakhirnya kepailitan perseroan terbatas, sekalipun telah dilikuidasi. Tidak menyebabkan hapusnya sisa piutang kreditur yang belum terbayar lunas dalam proses kepailitan. Ini lah keadilan dalam konteks keperdataan, bahwa utang tidak akan pernah hapus tanpa 3 (tiga) hal, yaitu Pembayaran oleh debitur, Pembebasan oleh Kreditur, dan Daluarsa. Mengenai ketentuan pasal 142 UU PT yang mengatur pembubaran PT salah satunya karena keadaan insolvensi, hal tersebut tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Kepailitan dan PKPU. Karena dalam UU Kepailitan Pasal 178 mengatur keadaan insolvensi adalah suatu keadaan dimana rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima atau pengesahan perdamaian ditolak oleh hakim. Jadi keadaan insolvensi, itu jauh dari istilah bubarnya perseroan. Oleh karena itu, seluruh kepailitan yang berakhir di Indonesia, tidak pernah berakhir dengan likuidasi. Karena kepailitan dan likuidasi di Indonesia adalah 2 perbuatan hukum yang berbeda. Dari penjelasan ini, jika boedel pailit tidak mencukupi untuk membayar penuh seluruh utang. Maka setelah kepailitan berakhir, sisa utang yang belum dibayarkan kepada kreditur tersebut. Dapat ditagihkan kreditur kepada pengurus PT jika belum dilikuidasi, atau jika setelah dilikuidasi, maka kreditur dapat menuntut kepada person dalam organ perseroan, jika ada dasar dan alasan untuk menuntut itu, dalam hal ini tidak dibayarkannya utang kreditor pada 156 masa sebelum jatuh putusan pernyataan pailit adalah karena kesalahan pengurus perusahaan. Hal ini diatur dengan tegas dalam Pasal 104 ayat dan (3) UU PT yang menyebutkan, bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. Bahkan Tanggung jawab tersebut berlaku juga bagi anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Sehingga jelas, tidak ada satupun alasan bagi direksi untuk lepas pertanggungjawaban ketika terjadi kepailitan yang mana boedel palit tidak cukup membayar seluruh utang. Kewenangan piercing the corporate veil terhadap Direksi Pada pembahasan awal, telah dijelaskan bahwa tidak ada perlindungan mutlak prinsip separated legal personality kepada pengurus perusahaan yang tidak beritikad baik yang telah menimbulkan kerugian PT. Pertanyaan berikutnya, siapakah yang berwenang untuk menyingkap tabir tanggung jawab terbatas direksi dan dewan komisaris. Berdasarkan pasal 97 ayat (6) dan Pasal 114 ayat (6) UUPT tegas disebutkan Pengadilan. Tetapi ketentuan UUPT ini mengatur gugatan privat dalam hal ini oleh pemegang saham atau pihak ketiga. Adapun piercing the corporate veil pengurus, terkait dengan tuntutan negara atau publik, maka iya tunduk pada ketentuan UU yang mengaturnya. Jika pajak, diatur dalam peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan, jika PNBP diatur dalam ketentuan PNBP dan seterusnya. Sehingga keberadaan pasal 32 UU KUP yang mewajibkan pengurus bertanggung jawab, kecuali pengurus tersebut dapat membuktikan kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab adalah sejalan dengan doktrin piercing the corporate veil. Pasal 32 Tidak Hanya Berbicara Perseroan Terbatas, Tetapi Seluruh Bentuk Usaha 157 Jika melihat permohonan pemohon, dalam kapasitasnya sebagai Direktur suatu PT, yang menghendaki tafsir terhadap pasal 32 yang tidak hanya berbicara tentang PT. maka permohonan tafsir tersebut tidaklah tepat. UU KUP dalam pasal 1 angka 3 mendefiniskan badan bukan semata PT, tetapi sangat luas. Meliputi CV, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, ormas, kontrak investasi kolektif (KIK), dan Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang sebagian besar tidak memiliki tanggung jawab terbatas ( limited liability ). Sehingga jika uji materil ini dikabulkan, saya membayangkan bagaimana sulitnya nanti negara menagihkan utang pajak badan. Karena akan ada pengurus firma, CV, Kongsi, ormas, KIK dan BUT yang berdalih mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas utang pajak ketika badan yang mereka urus tersebut pailit, dengan dasar Pasal 32 mengecualikan pertanggungjawaban wakil yang badan usahanya pailit. Padahal tanggung jawab mereka tersebut terhadap badan-badan usaha tersebut adalah tanggung jawab pribadi. Menanggapi Pertanyaan Hakim dan para Pihak ▪ Pengurus dikatakan beriktikad baik dalam konteks business judgment rule jika memenuhi empat kriteria dalam Pasal 97 ayat (5) UU 40/2007 (UU PT), yaitu: ▪ Kerugian bukan karena kesalahan atau kelalaiannya. ▪ Pengurusan dilakukan dengan iktikad baik dan kehati-hatian. Pengurus tidak punya kepentingan terhadap dirinya sendiri; tidak ada benturan kepentingan; tidak ada kepentingan terhadap dirinya sendiri ( have no conflict of interest ). ▪ Berdasarkan kewenangannya ( intra vires ). Kewenangan dalam hal ini adalah ketaatan direksi terhadap peraturan yang dibuat oleh perusahaan terhadap direksi. ▪ Tanggung jawab pengurus yang melanggar, menurut UU PT, akan diminta sampai dengan kerugiannya. ▪ Dalam Putusan Pengadilan mengenai pailit tidak akan ada pernyataan mengenai direksi bersalah atau tidak bersalah. ▪ Pernyataan pailit adalah upaya kreditur untuk mendapatkan pelunasan utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih berdasarkan Pasal 21 ayat (2). Dengan demikian putusan pailit hanya akan bicara tentang hal itu saja. 158 ▪ Amerika dan Singapura mempunyai sistem perkreditan atau utang piutang yang sudah ▪ sangat prudent dan hati-hati. Di kedua negara itu dikenal debt forgiveness atau penghapusan utang. Penghapusan utang di Indonesia menjadi otoritas kreditor, sementara debt forgiveness di negara-negara maju diberikan oleh hukum atau undang-undang. ▪ Sehingga sangat mungkin ketika terjadi kepailitan dan pemberesan, ternyata masih ada utang namun direksinya sudah mengurus dengan benar, maka negara harus berperan. ▪ Bagaimana cara memperoleh pelunasan jika direksi bekerja sudah benar? Dalam konteks ini banyak yang tetap memaksakan untuk memeriksa tanggung jawab direksi melalui pengadilan. Banyak kasus kepailitan kemudian menggantung dalam konteks ini. ▪ Pailit digunakan untuk menghindari pajak karena UU Kepailitan menyaratkan bahwa kepailitan tidak harus dalam keadaan tidak mampu bayar, tetapi cukup dengan dua kreditor, yaitu satu kreditor telah jatuh tempo dan dapat ditagih. ▪ Jadi kepailitan ini seperti pisau yang dapat digunakan untuk membereskan utang-utang, namun bisa juga untuk menghindari tanggung jawab. ▪ Bahkan ada tren di mana kepailitan digunakan untuk membeli aset dari lawan bisnisnya dengan harga murah. Karena ketika dengan dua syarat pemailitan yang sangat mudah tadi, lawan atau pesaingnya dipailitkan lantas barang masuk dalam proses penjualan yang harus lelang, kemudian tinggal diatur lelangnya supaya tidak segera laku sehingga dapat dijual dengan harga likuidasi atau harga paling rendah. ▪ Aturan bahwa kurator tidak otomatis menjadi likuidator dipahami dari peraturan Mahkamah Agung tahun 2020. Banyak proses kepailitan yang sudah berakhir, tapi tidak berakhir dengan likuidasi, sehingga memunculkan banyak PT “hantu”. Oleh karena itu Mahkamah Agung menetapkan bahwa kurator nanti akan bertindak sebagai likuidator.
Dian Puji N Simatupang Sehubungan dengan pengujian Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007, ahli menyampaikan keterangan dari aspek hukum administrasi negara dan keuangan publik mengenai dua hal, yaitu: 159 1. Kewenangan Direktur Jenderal Pajak dalam pengelolaan perpajakan;
Pengaturan khusus dalam perpajakan Kewenangan merupakan kekuasaan publik yang diatur dengan undang- undang, apalagi berkaitan dengan pajak sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 memang harus diatur dengan undang-undang. Pengaturan perpajakan dalam undang-undang merupakan bentuk mandatory regulation , artinya mengenai perpajakan dan pungutan lainnya yang bersifat memaksa tidak lain dan tidak bukan harus diatur dengan undang-undang, dan tidak dengan pengaturan lain di bawah undang-undang. Penggunaan frasa “diatur” undang-undang dalam Pasal 23A UUD NRI 1945 jelas menunjukkan undang-undang perpajakan akan mengatur mengenai kewenangan, syarat prosedur, dan subtansi dalam pelaksanaan kegiatan perpajakan secara menyeluruh. Dalam hal kemudian undang-undang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai wewenang, syarat prosedur, dan substansi pelaksanaan ke dalam peraturan di bawahnya hakikatnya merupakan kebijakan politik hukum yang terbuka ( open legal policy ), yang tidak membuat norma baru atau keadaan baru dalam peraturan di bawahnya. Kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menghapus nomor pokok wajib pajak (NPWP) dalam hal wajib pajak dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha dimaksudkan untuk memberikan keyakinan yang memadai ( reasonable assurance ), setiap tindakan administrasi pemerintahan dalam perpajakan telah dilaksanakan secara khusus untuk memberikan kepastian pada penerimaan negara melalui proses perpajakan. Ikut sertanya Direktur Jenderal Pajak yang berwenang dalam menghapus NPWP bagi wajib __ pajak dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Pasal 35 UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, di mana piutang negara khususnya dari perpajakan mempunyai hak mendahului (hak preferens) dibandingkan hak yang dimiliki lainnya. Dengan demikian, adanya kewenangan dalam Pasal 2 ayat (6) UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007 dimaksudkan memberikan:
keyakinan memadai ( reasonable assurance ) dalam pengambilan tindakan hukum perpajakan yang membawa pengaruh pada penerimaan negara;
bagian dari hak mendahului negara (hak preferen) untuk memastikan piutang pajak tetap dapat dibayarkan sesuai dengan ketentuan; 160 3. memastikan kemungkinan penghapusan dilakukan berdasarkan alas hukum dan alas fakta, dengan prosedur tersendiri dalam ranah hukum publik, yang membedakan dengan prinsip dan konsep dalam ranah hukum privat, khususnya mengenai kepailitan dan pemberesan utang. Diaturnya wewenang Dirjen Pajak dalam memberikan persetujuan atas penghapusan NPWP khusus karena wajib pajak dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha memperhatikan prinsip dalam pengenaan perpajakan, salah satunya, adalah keadilan, yaitu dalam hal pengenaan pajak bagi wajib pajak semuanya tanpa kecuali, tetapi dalam keadaan tertentu diberikan tindakan hukum tertentu yang ditetapkan setelah terdapat alas hukum dan alas fakta yang memadai. Adanya wewenang Dirjen Pajak dalam menghapus NPWP sebagai suatu tindakan administrasi pemerintahan dalam kegiatan yang bersifat perdata, khususnya penghentian atau penggabungan usaha dalam teori hukum dinamakan sebagai konsep contrarius actus , yaitu dalam hal ketentuan publik mengatur berbeda beberapa tindakan keperdataan, maka ketentuan publik yang harus ditaati. Kecuali, ketentuan perdatanya, misalnya kepailitan menyatakan tidak berlaku ketentuan publik ini secara tegas-tegas. Dengan diaturnya kewenangan Dirjen Pajak untuk menghapus secara hukum terdapat pengaturan antar-tata hukum di mana kewenangan publik mengatur beberapa prinsip pelaksanaan dalam kegiatan keperdataan. Konsep ini dimungkinkan dengan beberapa alasan:
guna melaksanakan wewenang dan kewajiban pemerintahan atau bestuursdwang , di mana Direktur Jenderal Pajak untuk memperhatikan semua kepentingan secara prosesual, yang kemudian diatur dalam undang- undang sebagai suatu kebijakan politik hukum terbuka ( open legal policy ), yang dimaksudkan guna memberikan keadilan semua tetap ditagihkan pajak, kecuali dengan syarat prosedur publik tertentu dalam kegiatan termasuk hubungan keperdataan;
penggunaan wewenang publik dalam hubungan keperdataan dimaksudkan memberikan keyakinan memadai semua tindakan administrasi pemerintahan perpajakan tetap dapat dilaksanakan tanpa kecuali, tetapi untuk keadaan tertentu dimungkinkan dengan campur tangan kewenangan publik melalui Direktur Jenderal Pajak. 161 Kegiatan penghentian dan penggabungan usaha memang termasuk kegiatan hukum keperdataan, sehingga berlaku prinsip dan ketentuan hukum perdata dalam hal ini hukum perusahaan atau hukum perusahaan. Akan tetapi, kewajiban dalam perpajakan sebagai suatu bentuk bestuursdwang merupakan wewenang publik, sehingga untuk menjembatani antara tindakan hukum keperdataan dan hukum publik perpajakan dilakukan dengan memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai badan atau pejabat administrasi pemerintahan yang mempunyai wewenang publik. Tim pemberesan atau kurator tidak dapat bertindak dalam ranah hukum publik kecuali undang-undang perpajakan memberikan wewenang delegasian kepadanya untuk dan atas nama Direktur Jenderal Pajak. Dengan demikian, kewenangan Direktur Jenderal Pajak dalam penghapusan NPWP justru tepat secara hukum untuk menghindari adanya kelalaian dalam hak mendahului perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU 1/2004 dan peraturan perundang-undangan perpajakan pada umumnya. Dari segi prosedur dan syarat, kewenangan tersebut kemudian dilakukan dengan penetapan standar operasional prosedur dan menggunakan alas hukum dan alas fakta yang prosesual atau berlaku umum untuk siapapun. Mengenai putusan pengadilan niaga yang telah berkekuatan hukum tetap dan menjatuhkan pailit sesuai dengan peraturan perundang-undangan, secara hukum putusan tersebut tidak mengikat ketentuan dan prinsip administrasi pemerintahan yang berlaku umum. Kedudukan badan peradilan dan badan pemerintahan dalam posisi yang seimbang dan tidak saling menegasikan, tetapi mengawasi dan menyeimbangkan ( check and balance ). Dengan demikian, putusan pengadilan niaga yang telah berkekuatan hukum tetap apabila ada yang berkaitan dengan prosedur dalam tindakan administrasi pemerintahan tidak dapat secara serta merta mengesampingkan prosedur dan syarat sebagaimana diatur dalam undang-undang sebagai bentuk bestuursdwang karena menjalankan kewenangan dalam undang-undang. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007 yang menjadikan piutang pajak menjadi tanggung jawab secara pribadi atau renteng atas pembayaran pajak tentu didasarkan pada tanggung jawab mutlak dalam pembayaran pajak yang bersifat preferens tersebut. Dalam hal pembayaran ini akan kemungkinan 162 ditanggung secara pribadi atau renteng tentu akan diatur berdasarkan pada alas hukum dan alas fakta yang memadai dan prosesual. Alas fakta yang memadai dan prosesual merupakan bukti konkret dan faktual yang menunjukkan adanya kausalitas antara pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban pribadi masing-masing dalam kegiatan usaha tersebut. Misalnya, keputusan korporasi yang ditetapkan dan diputus direksi yang menimbulkan penerimaan bagi korporasi, yang kemudian dinikmati korporasi dan pengurusnya merupakan suatu bentuk kausalitas yang memadai dan faktual konkret. Namun, penerapan Pasal 32 UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007 juga disertai dengan pengecualian dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan bukti yang menyakinkan para pengurus tidak berada dalam tanggung jawab atas pajak terutang tersebut. Hal demikian merupakan bentuk diskresionary decision atau keputusan diskresional yang terikat di mana Direktur Jenderal Pajak dapat membebaskan pengurus dalam hal piutang pajak berdasarkan bukti yang menyakinkan memadai bahwa kedudukannya sebagai pengurus tidak mempunyai kausalitas yang terkait dengan piutang pajaknya. Kewenangan tersebut lazimnya akan diikuti dengan penetapan standar operasional prosedur pengambilan keputusan secara patut dan akuntanbel. Dengan demikian, prosesnya jika keberatan dan banding dapat diajukan ke pengadilan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut hukum keuangan publik dan perpajakan, beralihnya tanggung jawab pembayaran pajak perusahaan kepada pribadi pengurus merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab hukum yang bersifat antisipatif guna menghindari adanya penghindaran pembayaran pajak. Dalam hal ini, pengurus dianggap mengetahui secara langsung dan faktual siapa saja dan di mana saja potensi yang harus dimintakan pembayaran pajak terutang. Dengan demikian, pengurus akan mengupayakan hubungan hukumnya dengan para pihak tersebut untuk membayarkan piutang pajak perusahaan. Konsep pengalihan tanggung jawab hukum yang bersifat antisipatif dilakukan agar ketidakjelasan dalam pembayaran pajak tidak boleh terjadi karena ketiadaan data dan informasi pelacakan pihak yang bertanggung jawab. Dengan demikian, menarik pengurus sebagai pihak yang bertanggung jawab secara pribadi atau rentang 163 dimaksudkan untuk melakukan pengecekan jejak pihak yang harus membayar piutang pajak. Dengan demikian, hal tersebut dilakukan untuk memberikan kepastian terhadap pembayaran piutang pajak sebagai suatu bentuk pajak terutang yang harus dibayarkan secara preferens kepada negara. Di sisi lain, memberikan keyakinan yang memadai semua piutang pajak dapat diselesaikan dan dituntaskan secara transparan dan akuntabel. Berkaitan dengan bestuursdwang dalam pembayaran pajak yang tidak memerlukan pengadilan, hal tersebut sepanjang diatur dalam undang-undang merupakan kekuasaan publik untuk dilaksanakan terlebih dahulu. Dalam hal wajib pajak keberatan dan banding dapat mengajukan ke pengadilan pajak, sebagai suatu bentuk mekanisme check and balance dalam kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara. Pengaturan khusus negara dalam kegiatan perpajakan yang berkaitan dengan kegiatan keperdataan diatur sebagai bagian dari penerapan asas contrarius actus , dalam hal suatu kegiatan keperdataan diatur tunduk pada ketentuan hukum publik, undang-undang harus merumuskan dan mengaturnya dalam suatu undang-undang. Kecuali, undang-undang kegiatan perdata mengatur tegas misalnya, “ketentuan perpajakan mengenai kegiatan perusahaan diatur dan tunduk pada undang-undang ini.” Jika tidak ada pengaturan seperti demikian, tidak dapat mekanisme keperdataan mengesampingkan norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian, secara teori hukum umum, konsep contrarius actus menghormati sistem hukum publik dan hukum privat, tidak saling menegasikan atau tidak saling menafsirkan atau mencampuradukkan tindakan. Jika hukum publik akan dikesampingkan dalam hukum perdata, ketentuan hukum perdata menegaskan tidak berlakunya hukum publik tersebut dalam ranah hukum perdata ini dengan suatu undang-undang. Demikian juga, hukum publik menegaskan tidak berlakunya hukum perdata dalam ranah hukum publik dengan mengaturnya dalam suatu norma tersendiri. Secara diagramatis dapat digambarkan sebagai berikut. Hukum Publik Hukum Privat Mengesampingkan hukum perdata dengan menormakan dalam undang- undang Mengesampingkan hukum publik dengan mengatur tegas tidak berlakunya 164 ketentuan hukum publik dalam ranah tindakan hukum privat Berdasarkan gambaran tersebut, sekiranya tidak dapat dicampuradukkan prinsip dan norma hukum keperdataan dengan prinsip dan norma hukum perpajakan, mengingat keduanya berada dalam ranah hukumnya masing- masing.
Hendry Julian Noor Harus diakui tidak mudah membaca undang-undang, karena tidak hanya sekedar membaca bunyi kata-katanya saja ( naar de letter van de wet ) tetapi harus mencari arti, makna dan tujuannya [Lihat Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar , Yogyakarta: Liberty, hlm.50]. Oliver Wendell Holmes (1841-1935) ^ mengatakan bahwa “ the rational study of the law is still to a large extent the study of history. History must be part of the study, because without it we cannot know the precise scope of rules. It is a part of the rational study, because it is the first step toward an enlightened scepticism, that is, towards a deliberate reconsideration of the worth of those rules ” [Lihat Oliver Wendell Holmes, 2009 ( First published in 1897), The Path of the Law, Bedford Massachusetts: The Floating Press-Applewoods Books, hlm.24; Romli Atmasasmita, 2018, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis , Jakarta: Prenadamedia Group, hlm.15). Pernyataan a quo menunjukkan betapa pentingnya dalam mempelajari hukum adalah juga harus mempelajari sejarah dan pengalaman yang telah dialami oleh bangsa tersebut, tentunya dengan melihat nilai kemaslahatan dari pengalaman dan/atau sejarah tersebut. ^ Berkaitan hal tersebut, salah satu bentuk interpretasi adalah interpretasi historis, yaitu penafsiran makna undang- undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya perundang- undangan tersebut. Interpretasi historis juga meliputi sejarah hukum [Lihat Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar , Yogyakarta: Liberty, hlm.58-59; Anthon Freddy Susanto, 2005, Semiotika Hukum: Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna , Bandung: Refika Aditama, hlm.59). Menurut Pontier, interpretasi sejarah hukum adalah penentuan makna dari formulasi sebuah kaidah hukum dengan mencari pertautan pada penulis-penulis atau secara umum pada konteks kemasyarakatan di masa lampau [Lihat Eddy 165 O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana , Jakarta: Erlangga, hlm.77]. Selain itu, interpretasi yang juga penting untuk memahami maksud dan tujuan satu ketentuan hukum, adalah juga interpretasi teleologis. ^ Interpretasi teleologis merupakan penafsiran hakim dengan menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang, lebih memperhatikan tujuan dari undang-undang daripada bunyi kata-kata saja. [Lihat Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.61]. Dengan menggunakan interpretasi historis dan teleologis, sejak awal dapat dipahami bahwa pajak digunakan sebagai salah satu instrumen Pemerintah yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara guna mewujudkan tujuan negara. Definisi otentik pajak diatur dalam Pasal 1 Angka 1 UU KUP: “ … kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” . Salah satu fungsi pajak adalah sebagai budgeter, di mana pajak merupakan alat atau sumber untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya kepada kas negara yang kemudian digunakan untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran negara, termasuk untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat [Lihat S.F. Marbun, 2012, Hukum Administrasi Negara I, Yogyakarta: FH UII Press, hlm.317; Bdk M. Farouq S, 2018, Hukum Pajak di Indonesia: Suatu Pengantar Ilmu Hukum Terapan di Bidang Perpajakan, Jakarta: Prenadamedia Group, hlm.119; S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Liberty, hlm.135]. Dari sudut pandang hukum administrasi negara, fungsi tersebut relevan dengan konsep good governance dalam aktivitas pelaksanaan fungsi menyelenggarakan kepentingan umum oleh pemerintah, yang juga terkait pula dengan tiga tugas dasar pemerintah [Lihat Philipus M. Hadjon “ Hukum Administrasi sebagai Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Good Governance” dalam Philipus M. Hadjon, dkk., 2012, Hukum Administrasi dan Good Governance , Jakarta: Penerbit Universitas Trisaksi, hlm.9], yaitu: Pertama, menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat. Kedua, mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, swasta, dan masyarakat. Ketiga, memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainnya 166 dengan kehendak rakyat. Dengan “tugas berat” demikian, hukum pajak dapat dikatakan bagian dari rezim hukum publik. Menurut Korten, dalam sektor ekonomi, tanggung jawab utama pemerintah adalah menyediakan infrastruktur yang diperlukan untuk memajukan perdagangan (kehidupan ekonomi) dan menegakkan hukum yang berkaitan dengan hak atas kekayaan dan kontrak (perjanjian) [Lihat David C. Korten, 1997, When Corporations Rule the World (Bila Korporasi Menguasai Dunia) , Jakarta: Professional Books, hlm.115]. Hal tersebut sebagaimana pendapat Posner, bahwa pasar ekonomi diasumsikan sangat rapuh dan cenderung beroperasi sangat tidak efisien (tidak jelas) jika dibiarkan sendiri dan tanpa ada campur tangan pemerintah [Lihat Richard A. Posner “Theories of Economic Regulation” dalam The Bell Journal of Economics and Management Science , Vol. 5, No. 2, Autumn, 1974, hlm.336). Pembahasan dalam perkara a quo , dapat dikatakan seolah kembali kepada perdebatan klasik yang bahkan mungkin sampai sekarang terus berulang, yaitu ranah hukum manakah yang harus lebih didahulukan untuk kemudian dapat dilaksanakan terlebih dahulu, dalam hal ini apakah rezim hukum publik yang diatur dalam UU KUP, ataukah rezim hukum privat yang dalam hal ini “diwakili” oleh UU PKPU dan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Harus diakui persinggungan antara hukum publik dan hukum privat ini, serta perdebatan di antaranya masih kerap terjadi. Penjelasan ini terlebih dahulu akan dimulai dengan sedikit menguraikan definisi kedua hukum tersebut, meskipun harus diakui bahwa suatu sengketa pendapat yang tidak pernah terurai secara tuntas salah satunya adalah mengenai pemberian batasan atau definisi terhadap suatu pengertian. Selama ilmu pengetahuan terus berkembang, maka sesuai sifat alamiahnya, perdebatan mengenai definisi juga seolah tak akan pernah habis. Pendapat dari Jacobs Israel de Haan dalam bukunya Rechtskundige Significa tersebut , menggambarkan bahwa sangatlah ketat dan sulit untuk merumuskan suatu definisi. Dikatakan oleh Jacobs Israel de Haan: “... het zelfde woordt beeft nooit dezelfden betekenis voor twee menschen, omdat nooit twee menschen met denzelfden aanleg woorden geboren en het zelfde leven hebben beleefd. Dit is zeker juist; het is juist omdat twee menschen nooit indentiekzijn, omdat het twee 167 menschen zijn”, diterjemahkan sebagai berikut: “... perkataan yang sama tidak pernah mempunyai pengertian yang sama untuk dua orang, karena tidak pernah dua orang dilahirkan dengan bakat yang sama dan pengalaman yang sama. Hal ini pasti benar; dan kebenaran ini disebabkan karena dua orang tidak mungkin identik, mengingat adanya dua orang” [Lihat Jacobs Israel de Haan, 1919, Rechtskundige Significa, Amsterdam: N.V. Johannes Muller, hlm.21; dan Arifin P. Soeria Atmadja, 1986, _Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara: _ Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Gramedia, hlm.9]. Berdasarkan pendapat Hans Kelsen, hukum privat adalah suatu ranah hukum yang menggambarkan hubungan-hubungan hukum antar subjek-subjek hukum yang sederajat atau memiliki kedudukan yang sama secara hukum. Hubungan hukum privat yang tipikal adalah transaksi hukum, terutama kontrak, sebagai suatu norma individual yang diciptakan melalui kontrak, agar pihak- pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut berperilaku secara timbal balik sesuai dengan yang diperjanjikan [Lihat Hans Kelsen, 2015, Pengantar Teori Hukum , Bandung: Nusa Media, hlm.140-141). Sedangkan hukum publik didefinisikan sebagai suatu ranah hukum yang menggambarkan hubungan-hubungan hukum yang mana salah satu subjek hukum yang satu memiliki kedudukan lebih tinggi secara hukum dari pada subjek yang lain, dan yang menjadi tipikal dari ranah hukum ini adalah hubungan antara negara dengan warga negara. Dengan beberapa tipikal berupa adanya petunjuk administratif yang dikeluarkan oleh negara dan norma individual yang dikeluarkan oleh lembaga administratif yang mana hal-hal tersebut dibuat agar penerima petunjuk dan norma tersebut bertindak sesuai dengan petunjuk dan norma administratif tersebut [Lihat Ibid. ]. Sejak lama terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum tentang pembagian hukum publik dan hukum privat. Terdapat beberapa kriteria untuk membedakan dua jenis hukum ini, yaitu pertama , mengenai kepentingan, hukum publik mengatur kepentingan umum/publik dan hukum privat mengatur kepentingan khusus/perdata. Kedua , mengenai cara mempertahankannya, hukum publik dipertahankan oleh pemerintah dan hukum privat oleh perorangan. Ketiga , mengenai asas hukum, hukum publik memuat asas-asas istimewa dan hukum privat memuat asas-asas biasa. Keempat , mengenai hubungan hukum, hukum publik mengatur hubungan secara vertikal 168 (pemerintah dengan warga negara) dan hukum privat mengatur hubungan secara horizontal (antar warga negara). Kelima , mengenai sifat hukum, hukum publik adalah hukum a priori memaksa dan hukum privat tidak a priori memaksa [Lihat E. Utrecht, L.J. van Apeldoorn, N.E. Algra dan H.C.J.G. Jansen, serta Sudikno Mertukusumo dalam Ridwan HR, 2016, Hukum Administrasi Negara , Jakarta: Rajagrafindo Persada, hlm.70]. In casu a quo, pasal-pasal a quo yang tengah diuji dalam sidang yang mulia ini adalah pasal-pasal yang masih memenuhi prinsip-prinsip untuk mewujudkan kepastian hukum, dengan argumentasi sebagai berikut: Pertama Terkait persinggungan antara hukum privat dan hukum pidana sebagai hukum publik ini, pada dasarnya apabila dengan melihat salah satu doktrin, di mana logikanya hukum publik didahulukan dari pada hukum privat sepanjang dimaknai bahwa hukum publik tersebut adalah konstitusi [Lihat Paul Scholten, 1934, Metode Umum Hukum Perdata : diterjemahkan oleh Siti Soemarti Hartono, S.H. Mr. C. Asser, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda , Bagian Umum. Preprint, edition 1, Digital Paul Scholten Project, Amsterdam, Februari 2015, diperoleh dari http: //www.paulscholten.eu/research/ article/indonesian/]. Dengan menggunakan logika penemuan hukum argumentum a contrario serta dengan menginterpretasikan pendapat Bachsan Mustafa yang mengutip Paul Scholten, bahwa apabila hukum publik tidak mengadakan peraturan- peraturan lain, maka di manapun itu hukum perdata diberlakukan sebagai hukum umum, yang apabila di- a contrario -kan, adalah apabila hukum publik mengadakan pengaturan terhadap suatu hal, maka hukum perdata menjadi tidak diberlakukan. Argumentum a contrario adalah penafsiran dengan menggunakan pengertian sebaliknya dari peristiwa konkrit yang dihadapi [Lihat Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana , Jakarta: Penerbit Erlangga, hlm.70; bdk Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar , Yogyakarta: Liberty, hlm.67 dan 69; ^ Bachsan Mustafa, 1985, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: Penerbit Alumni, hlm.61]. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Loer, dalam disertasinya yang berjudul Publikrecht tegenover privaatrecht, dirinya menyatakan bahwa negara 169 itu tidak tunduk pada hukum privat, karena pemikiran yang demikian tidaklah logis. Pemikiran tersebut berangkat dari asumsi bahwa negara tidaklah sama dengan rakyat biasa [Lihat Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1988, Kedudukan Jaksa dalam Hukum Perdata, Jakarta: PT. Bina Aksara, hlm.57]. Dalam negara hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum ( everything must be done according to law ) yang pada dasarnya negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah [Lihat H.W.R. Wade, 1971, Administrative Law , Oxford: Clarendon Press, hlm.6; bdk Ridwan HR, Op.Cit. , hlm.21]. ^ Hukum ditempatkan sebagai aturan dalam penyelenggaraan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan, sementara tujuan hukum itu diantaranya “ ... opgelegd om de samenleving vreedzam, rechtvaardig, en doelmatig te ordenen ”, yang artinya bahwa sasaran dari negara hukum adalah terciptanya kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan yang berpijak pada keadilan, kedamaian, dan kebermaknaan [Ridwan HR, Op.Cit. , hlm.22]. Kembali kepada pendapat Paul Scholten tersebut, terkait dengan pajak, Konstitusi Republik Indonesia atau UUD 1945 tepatnya Pasal 23A mengatur: “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” . Ketentuan tersebut memberikan landasan konstitusional perpajakan yang harus diatur dengan undang-undang, yang mana merupakan produk hukum yang dibuat bersama antara pemerintah sebagai perwakilan eksekutif (yang mengurus negara) dengan DPR sebagai pemegang kuasa legislatif yang merupakan perwakilan rakyat. Dengan “kesepakatan bersama” tersebut, maka pada dasarnya telah memberikan legitimasi dan bahkan legalitas bagi pemerintah untuk kemudian “memungut” pajak yang telah disepakati oleh rakyat melalui wakilnya tersebut. Bahkan di Inggris dikenal prinsip ini berbunyi, “ no taxation without respresentation”. Adapun di Amerika, menggunakan prinsip: “ taxation without representation is robbery” [Lihat S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Op.Cit. , hlm.132 dan 64; bdk dengan istilah de heerschappij van de wet atau kekuasaan undang-undang yang diterangkan H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dalam Ridwan H.R., 2003, Hukum Administrasi Negara , Yogyakarta: UII Press, hlm. 81-82]. __ Kenapa penting untuk diatur dalam undang-undang? Karena telah terjadi perubahan konsep pembayaran pajak, yang sebelumnya dilakukan secara 170 sukarela dan bahkan penuh dengan kebanggaan, namun sekarang bahkan butuh upaya paksa untuk agar dapat membayar pajak, oleh karenanya dengan sifat memaksa demikian, maka perlu diatur dalam undang-undang. Fakta lainnya pula adalah bahwa dalam melaksanakan tugas-tugasnya pemerintah bangsa yang modern akan membutuhkan biaya yang sangat besar, di mana pemungutan pajak merupakan salah satu jalannya (Lihat S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Op.Cit. , hlm.131-132]. “ Pembenaran ” pemungutan pajak tersebut setidaknya didukung oleh beberapa teori sebagai berikut: Pertama, teori daya pikul (teori untuk dasar memungut pajak yang adil), bahwa setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan daya pikulnya masing-masing. Menurut de Langen, makna teori ini adalah bahwa seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri dan keluarganya. Sedangkan Cohen Stuart menganalogikan bahwa daya pikul seseorang sama dengan daya pikul jembatan yang melewati jembatan tersebut, tanpa amblasnya jembatan tersebut. Kedua teori tersebut pada dasarnya menegaskan bahwa seluruh penghasilan seseorang identik dengan kekuatan pikul jembatan, sedangkan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk hidup primer disamakan dengan bobot jembatan tersebut [Lihat Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Bandung: PT Refika Aditama, hlm.28-29]. Kedua, teori daya beli, yang mengibaratkan pajak layaknya pompa yang menyedot daya beli seseorang/anggota masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui saluran lain, misalnya perbaikan fasilitas umum dan pelayanan publik. Sehingga, dalam hal ini adalah untuk kesejahteraan masyarakat [Lihat Ibid., hlm.29]. Ketiga , teori kewajiban pajak mutlak, yang berdasar pada orgaantheorie dari Otto von Gierke yang menyatakan bahwa negara itu merupakan satu kesatuan, yang di dalamnya setiap warga negara terikat. Tanpa ada organ atau lembaga tersebut, individu tidak mungkin hidup, sehingga dapat membebani setiap anggota masyarakatnya dengan kewajiban, termasuk membayar pajak [Lihat Ibid., hlm.30]. Keempat, teori pembenaran pajak menurut Pancasila, yang mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Pajak di sini dianggap sebagai bentuk 171 gotong royong (tolong-menolong) yang memang merupakan suatu nilai yang hidup dalam masyakarat Indonesia, termasuk nilai kekeluargaan yang membuat setiap orang mempunyai kewajiban untuk saling membantu, mempertahankan, melangsungkan hidup keluarga (negara dan masyarakat). Tegasnya, berdasarkan teori ini, kepentingan umum tersebut dianggap sebagai hak asasi yang dapat mengalahkan kepentingan individu, dengan tetap memberikan kewajiban bagi pemerintah untuk tidak sewenang-wenang, dan harus memungut pajak berdasarkan undang-undang [Lihat Ibid. ]. Dengan berdasarkan teori-teori tersebut dapat dipertegas bahwa ketentuan perpajakan tersebut, khususnya yang diatur dalam UU KUP tersebut telah bersifat konstitusional dan bahkan dapat dibenarkan secara teoretik. Kedua Hutang pajak bersifat memaksa dan mempunyai kedudukan yang bersifat istimewa atau preferen [Lihat M. Farouq S., Op.Cit., hlm.210]. Dalam tataran doktrin, hutang pajak merupakan hutang yang bersifat khusus, berada pada rezim hukum publik, yang tentunya sifatnya berbeda dengan ketentuan dalam bidang hukum perdata, namun dapat menggunakan asas-asas dan prinsip-prinsip hutang-piutang dalam hukum perdata, kecuali jika ditentukan sebaliknya. Oleh karenanya, prinsip yang termuat dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang berbunyi bahwa semua barang, baik bergerak atau tidak bergerak yang dimiliki oleh debitur, baik di masa sekarang ataupun masa mendatang menjadi jaminan semua hutang-hutangnya, dan demi hukum, jika debitur berhenti membayar hutangnya, barang-barang miliknya tersebut, melalui proses di muka pengadilan, dapat disita oleh kreditur, dijual di muka umum, dan hasilnya digunakan untuk melunasi hutangnya (Lihat Rochmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Bandung: PT Eresco, hlm.106-107; bdk Elyta Ras Ginting, 2019, Hukum Kepailitan: Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.393-397. Lihat pula M. Farouq S., Op.Cit., hlm.212]. Selanjutnya, dalam hal (ternyata) debitur tersebut memiliki hutang kepada beberapa kreditur, namun karena sifat dan kedudukan khusus dari hutang pajak, maka sebagaimana pula diatur oleh Pasal 21 UU KUP, negara melalui Direktur Jenderal Pajak memiliki hak mendahului untuk melakukan sita 172 atas barang-barang wajib pajak yang menjadi jaminan untuk utang-utangnya tersebut. Hak mendahului negara adalah terhadap hutang pajak, baik mengenai pokok pajak, bunga, denda administrasi, kenaikan dan biaya pengalihan [Lihat Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Op.Cit., hlm.107]. Dapat dipahami bahwa pengaturan demikian ini ditujukan untuk mendahulukan dan/atau memberikan kedudukan utama piutang negara di atas piutang perdata, dengan mengingat bahwa pajak tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum dalam hal ini kepentingan kehidupan negara dan bangsa Indonesia agar dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karenanya, sangat wajar jika kemudian kepentingan umum harus didahulukan dari pada kepentingan pribadi/individu [Lihat Ibid., hlm.108]. Dengan doktrin dan ketentuan yang demikian, apabila hendak menggunakan analogi dalam penyelesaian kasus pajak dengan rezim hukum lain, yakni hukum pidana juga menarik untuk dicermati. Dalam doktrin hukum pidana, hukum pidana pajak disebut sebagai ius singulare karena memiliki sistem norma dan sanksi tersendiri. Bersama-sama dengan hukum pidana militer yang disebut sebagai ius speciale , hukum pidana pajak merupakan hukum pidana khusus tertua di dunia [Lihat Bambang Poernomo, 1984, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di Luar Kodifikasi Hukum Pidana , Jakarta: Bina Aksara, hlm.19; Sigid Suseno dan Nella Sumika Putri, 2013, Hukum Pidana Indonesia: Perkembangan dan Pembaruan, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm.195]. Bahkan dari segi sanksi, pajak yang diselundupi atau tidak dibayarkan, meskipun atas perbuatan tersebut telah dijatuhi sanksi pidana, namun tidak menghapuskan hutang pajaknya. Suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak (misalnya tidak taat membayar pajak) dapat merupakan tindak pidana sekaligus merupakan perbuatan melawan hukum di bidang administrasi, misalnya tidak memasukkan surat pemberitahuan atau memasukkan surat pemberitahuan yang diwajibkan oleh undang-undang pajak yang data-datanya tidak benar atau palsu. Dalam hal demikian, sanksi pidana dijatuhkan hanya merupakan hukuman bagi perbuatannya, dan bahkan dijatuhkan sanksi pidana tersebut memperkuat alasan untuk melakukan penelitian mendalam perihal pajak yang seharusnya dibayarkan oleh Wajib 173 Pajak yang tidak taat membayar pajak tersebut dan jika diperlukan juga denda administrasinya. Sanksi pidana merupakan kewenangan pengadilan pidana, sedangkan untuk “penagihan” pembayaran hutang pajak dan sanksi administrasi tersebut tetap merupakan wewenang administrasi pajak, yaitu Direktur Jenderal Pajak yang kemudian menjatuhkan sanksi melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Tegasnya, sifat kumulasi antara sanksi pidana dan sanksi administrasi sangatlah dimungkinkan. Lihat Rochmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan 3, PT Eresco, Bandung, hlm. 34-37). Tegasnya, di samping memiliki norma dan sanksi hukum yang mengandung sifat administratif dan pidana, hukum yang mengatur pajak juga didasarkan pada asas-asas yang bersifat ekonomis dan finansial [Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., hlm.191]. Dengan doktrin demikian, dapat dipahami bahwa jika sudah dikenakan sanksi badan dan/atau bahkan sanksi denda pun, yang mana sanksi pidana secara sifatnya adalah mengekang hak asasi manusia, namun juga sama sekali tidak “membebaskan” atau setidaknya “meringankan” wajib pajak terkait dengan kewajiban hutang pajaknya, yang bahkan masih mungkin juga dikenakan sanksi administrasi terhadapnya. Sehingga, alasan pailit dapat dikatakan masih terlalu ringan dibandingkan dengan “sanksi berlapis atau sanksi kumulasi” yang sangat mungkin diterapkan dalam hal tindak pidana pajak. Ketiga Terkait dalil Pemohon bahwa apa yang dia lakukan atas nama business judgement rule seharusnya tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi terhadapnya, kiranya perlu dipahami terlebih dahulu bahwa antara perseroan dengan direksi, ada suatu hubungan kepercayaan atau fiduciary relationship [Lihat Prasetio, Penerapan “Business... (Ringkasan Disertasi), Op.Cit. , hlm.2] , yang kemudian melahirkan kewajiban bagi direksi yang lazim disebut dengan istilah fiduciary duty. Fiduciary duty is perhaps the most important concept in the Anglo- American law cooperation. The word "fiduciary" comes from the Latin fides, meaning faith or confidence, and was originally used in the common law to describe the nature of the duties imposed on a trustee. Perhaps because many of the earliest corporation cases involve chari table corporations, courts began 174 to analogize the duties of a director in managing corporate property to the duties of trustee in managing trust property [Lihat Lewis D. Solomon, (et. al), 1994, Policy Materials and Problems , St Paul: West Publishing Co., hlm.672; Jeffrey D. Bauman, 2010, Corporations Law and Policy: Materials and Problems, St Paul: West Publisher, hlm.634]. Terkait fiduciary duty, Bryan A. Garner menyatakan sebagai berikut: Fiduciary duty is a duty of utmost good faith, trust, confidence, and candor owed by a fiduciary to the beneficiary or a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the best interests ofthe other person (such as the duty that one partner owes to another. Apabila diterjemahkan secara bebas dapat dipahami sebagai bahwa fiduciary duty adalah tugas yang harus dipenuhi dengan itikad baik, dapat dipercaya, kesetiaan, dan keterbukaan yang harus diberikan oleh pelaksananya kepada penerima manfaat atau kewajiban untuk bertindak dengan kejujuran dan kesetiaan yang tinggi dan dilakukan demi kepentingan pemberi fiduciary duty tersebut [Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law dictionary , Texas: West Group, hlm.581]. Erman Rajagukguk mendefinisikan fiduciary duty direksi sebagai kewajiban direksi dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan kepentingan perusahaan (duty of loyalty) . __ Teori yang juga berkembang di sistem hukum common law ini pada prinsipnya menghendaki pelaksana fiduciary duty untuk tidak terlibat dalam conflict interest, yaitu menempatkan kepentingannya di atas kepentingan korporasi. Pelanggaran terhadap prinsip ini, maka meniadakan doktrin BJR. Artinya direksi yang tidak menjalankan duty of loyalty, tak akan dapat berlindung dibalik doktrin BJR apabila kebijakan yang dibuatnya tersebut membawa kerugian bagi korporasi dan terhadap dirinya dituntut pertanggungjawaban hukum [Lihat Robert W. Hamilton dan Richard D. Freer, 2011, The Law of Corporations in a Nutshell , Minnesota: West Publisher, hlm.171]. Duty of loyalty terbagi 2, yaitu duty to act bona fide in (bahwa direksi melakukan tugas pengurusan dan perwakilan semata-mata hanya untuk kepentingan perseroan) dan duty to exercise power for proper purposes (bahwa kebebasan direksi terbatas pada tujuan dan kepentingan perseroan) dan tindakan tersebut dilakukan dengan kehati-hatian (duty of care) [Lihat 175 Hasbullah F. Sjawie, 2015, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Kencana, hlm.186-187 dan hlm.198; Hotasi Nababan, 2012, Jangan Pidanakan Perdata: Menggugat Perkara Sewa Pesawat Merpati , Jakarta: Q Communication, hlm.92]. __ Keduanya merupakan dasar dari fiduciary duty [Jeffrey D. Bauman, Op.Cit., hlm.129; bdk Julian Velasco “How Many Fiduciary Duties Are There in Corporate Law?” dalam Southern California Law Review, Vol.83, 2010, hlm.1232-1233] . Tindakan yang dijalankan dengan penuh kehati-hatian, antara lain tindakan tersebut diambil dengan itikad baik untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung, dan telah mengambil tindakan untuk mencegah dan berlanjutnya kerugian tersebut [Lihat Hotasi Nababan, Loc.Cit. ]. Sebagaimana dijelaskan oleh Jeffrey D. Bauman, bahwa duty of care menuntut direktur atau direksi dalam bertindak adalah untuk kepentingan terbaik perusahaan dengan tetap berhati-hati dalam mengambil keputusan dan mengawasi urusan perusahaan. Sedangkan duty of loyalty menuntut direktur atau direksi untuk menempatkan kepentingan perusahaan di atas kepentingannya sendiri [ Jeffrey D. Bauman, Loc.Cit. ]. Adapun Hamilton dan Freer menyebutkan bahwa fiduciary duty tersebut mengandung 3 hal utama, yaitu good faith, care, dan loyalty [Lihat Robert W. Hamilton dan Richard D. Freer, Op.Cit., hlm.150] . Berlandas pada fiduciary duty , Direksi dituntut untuk bertindak dengan penuh kepedulian semata untuk kepentingan perseroan ( duty of care ), selalu mendasarkan diri pada itikad baik ( duty of good faith ), penuh kehati-hatian ( duty of prudently ), dan dengan penuh tanggung jawab ( full sense od responsibility ) yang tentunya berlandaskan pada kejujuran, dan hal ini sebenarnya merupakan satu kesatuan dari Tata Kelola Perusahaan Yang Baik atau yang dikenal dengan Good Corporate Governance [Lihat Henry R. Cheeseman, 2001, Business Law: Ethical, International & E-Commerce Environment, New Jersey: Prentice Hall Inc., hlm.759-766; Prasetio , Op.Cit. , hlm.2-3]. __ 176 Kewajiban yang demikian, tiada lain karena dalam dunia usaha (termasuk dalam korporasi), manajer atau direktur dari korporasi tersebut memiliki kewajiban untuk melakukan bisnis. Bahkan dapat dikatakan bahwa pada jabatan direktur akan selalu melekat fiduciary duty. [Lihat Robert W. Hamilton dan Richard D. Freer, Op.Cit., hlm.151]. Mereka (manajer dan direktur) diberikan kewenangan (melalui fiduciary duty tersebut) untuk melakukan hal tersebut (melakukan bisnis), dan harus dipahami bahwa tugas (melalui fiduciary duty tersebut) adalah dilakukan demi kepentingan korporasi [Lihat Ibid .]. Adapun dalam konteks business judgement rule diatur dalam Pasal 97 UU PT: (1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1); _ (2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab ^ (Penjelasan Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “penuh tanggung jawab” _adalah memperhatikan Perseroan dengan seksama dan tekun); _ (3) Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud _pada ayat (2); _ (4) Dalam hal direksi terdiri dari 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung _renteng bagi setiap anggota direksi; _ (5) Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian _sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
_ _Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
Telah_ melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk _kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
Tidak_ mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung _atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
Telah_ mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut (Penjelasan Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Perseroan 177 Terbatas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian” termasuk juga langkah-langkah untuk memperoleh informasi mengenai tindakan pengurusan yang dapat mengakibatkan kerugian, antara lain melalui forum rapat Direksi) _; _ Dengan ketentuan demikian, maka berdasarkan Pasal 97 ayat (2) UU PT, kepengurusan perusahaan yang berada di tangan direksi, haruslah dilakukan dengan berdasarkan itikad baik, bertanggung jawab, dan tujuannya dilakukan kepengurusan perseroan. Apabila tindakan direksi yang menimbulkan kerugian tidak dilandasi itikad baik, maka ia dapat dikategorikan telah melakukan pelanggaran fiduciary duty yang melahirkan tanggung jawab pribadi [Lihat Henrikus Renjaan, 2017, Pentingnya Impelementasi Prinsip Kemandirian Direksi Terhadap Proses Penghapusan Piutang Bank BUMN di Indonesia, Disertasi, Yogyakarta: FH UGM, hlm.78-79; Ridwan Khairandy, 2014, Hukum Perseroan Terbatas, Yogyakarta: UII Press, hlm.304]. Pada Pasal 97 ayat (5) terdapat kata “ Anggota direksi tidak dapat _dipertanggungjawabkan atas kerugian... apabila dapat membuktikan:
.”,_ dengan ketentuaan yang demikian terlihat bahwa konteks pembuktian business judgement rule di Indonesia berbeda secara diameteral dengan di Amerika, di mana pihak yang berkewajiban untuk membuktikan bahwa pengambilan keputusan bisnis dalam hal pengurusan perseroan telah dilakukan dengan itikad baik, penuh kehati-hatian, dan semata untuk kepentingan serta maksud dan tujuan perseroan ada pada pihak direksi, bukan pada orang yang “menggugatnya”. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa beban pembuktian telah dilaksanakannya business judgement rule tersebut ada pada pihak direksi [Lihat Hasbullah F. Sjawie, Op.Cit., hlm.121-122]. Berdasarkan penjelasan di atas, maka terhadap dalil tersebut, dapat diajukan argumentasi penolakan sebagai berikut: Pertama, timbulnya hutang pajak menurut ajaran materiil, hutang pajak timbul karena undang-undang, bukan karena ketetapan fiskus. Sehingga, apabila kemudian sebelum keluarnya ketetapan wajib pajak tersebut meninggal dunia, maka hutang pajak akan beralih kepada ahli warisnya, karena bunyi UU KUP memang mengatur bahwa pajak pendapatan sudah timbul pada permulaan tahun pajak, sehingga (tanpa perlu menunggu adanya ketetapan fiskus) kewajiban pembayaran 178 pajak tersebut telah ada demi hukum [Lihat S.F. Marbun, Op.Cit. , hlm.327; bdk S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Op.Cit. , hlm.131-138]. Kedua, sebagaimana keterangan Termohon bahwa secara umum timbulnya utang pajak berbanding lurus dengan tambahan kemampuan ekonomi Wajib Pajak pada saat itu. Apabila Wajib Pajak memperoleh laba, maka serta merta akan terutang pajak, sebaliknya apabila Wajib Pajak merugi maka tidak akan ada utang pajak yang timbul. Oleh karenanya tidak dapat menempatkan alasan ketidakmampuan secara finansial Wajib Pajak saat ini, yang menyebabkan jatuhnya pailit, dengan kemampuan finasial saat munculnya kewajiban perpajakan sebelum terjadinya pailit. Munculnya utang pajak secara umum diakibatkan karena pengurus pada saat itu tidak segera melunasi kewajiban perpajakannya secara self assesment saat syarat subjektif dan objektifnya terpenuhi. Adalah suatu konsekuensi hukum yang wajar dan logis menurut undang-undang di bidang perpajakan jika Pemohon selaku Pengurus/Direktur dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi dan tanggung renteng atas utang pajak yang timbul semasa kepengurusannya. Tegasnya, seandainya ketika hutang pajak tersebut timbul Pemohon telah melakukan pengelolaan dengan baik, maka tidak seharusnya hutang pajak tersebut bertumpuk dan sampai harus menjadi tanggung jawab pribadi Pemohon seperti sekarang ini. Kata “kelola” secara gramatikal bermakna mengendalikan atau menyelenggarakan, adapun dalam konteks perusahaan, bermakna menjalankan dan/atau mengurus. Sehingga, kata “pengelolaan” bermakna sebagai proses dan/atau perbuatan dan/atau cara mengelola [Lihat Pusat Bahasa Depdiknas, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, hlm.719]. Istilah tersebut diambil dari istilah dari hukum perusahaan berupa beheer van daden (mengurus perseroan), yang dirumuskan secara positif dalam Pasal 92 ayat (1) UU PT: “ Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan ”. Adapun maknanya adalah setiap perbuatan yang perlu atau termasuk golongan perbuatan yang biasa dilakukan untuk mengurus atau memelihara perserikatan perdata [Lihat Prasetio, 2013, Penerapan “ Business Judgement Rule” Dalam Restrukturisasi Transaksi Komersial PT (Persero), Berdasarkan 179 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Ringkasan Disertasi) , Yogyakarta: PDIH FH UGM, hlm.100]. Sebagai penutup, kiranya penting untuk melihat pendapat Rochmat Soemitro, bahwa dalam mengatur perihal perpajakan dalam undang-undang tersebut telah dicantumkan perihal siapa (subjek) yang dikenakan kewajiban pajak, apa (objek) yang dikenakan pajak, dan berapa besarnya (tarif) yang harus dibayarkan, maka menurutnya hal demikian sudah dapat memberikan kepastian hukum dalam menjamin “hak pungut” pajak oleh negara melalui Direktur Jenderal Pajak [Lihat Rochmat Soemitro, 1988, Pajak Ditinjau Dari Segi Hukum, Bandung: Eresco, hlm.1-2]. Jikapun dirasa terjadi ketidakadilan (menurut Wajib Pajak), maka menurutnya saluran hukum untuk mencari keadilan, yaitu baik melalui lembaga surat keberatan maupun melalui surat banding ke Majelis Pertimbangan Pajak [Lihat Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Bandung: Refika Aditama, hlm.42]. Ahli berkesimpulan bahwa Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU 6/1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU 16/2009 (UU KUP) tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. [2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik 180 Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999, selanjutnya disebut UU KUP) terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu: 181 a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
Bahwa hal yang dimohonkan Pemohon adalah agar: a) Pasal 32 ayat (2) UU UU KUP yang menyatakan, “Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut”, dimaknai termasuk pengurus yang 182 badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; b) Pasal 2 ayat (6) UU KUP yang menyatakan, “Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”, dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Bahwa Pemohon menyatakan memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Hak konstitusional tersebut dirugikan oleh ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP karena Pemohon sebagai Direktur dan Penanggung Pajak perusahaan (badan hukum), yang perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit, tetap dikenai tagihan utang pajak oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak; serta di sisi lain NPWP atas nama Pemohon tidak dihapus oleh Dirjen Pajak meskipun perusahaan yang dikelola Pemohon telah dinyatakan pailit;
Bahwa Pemohon menyatakan diri sebagai Warga Negara Indonesia (vide Lampiran berupa KTP atas nama Pemohon) yang menjadi Direktur dan Penanggung Pajak perusahaan PT United Coal Indonesia (PT. UCI) hingga ketika perusahaan tersebut dinyatakan pailit, yang status hukum pailit demikian berdasar pada Putusan Pengadilan Niaga Jakarta (vide Bukti P-3); 183 5. Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP mengakibatkan secara faktual Pemohon tetap dikenai tagihan oleh Dirjen Pajak agar melunasi utang pajak PT UCI karena Pemohon adalah Direktur dan Penanggung Pajak PT UCI, padahal PT UCI sendiri telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, di mana proses kurasi sudah selesai dilaksanakan oleh kurator;
Bahwa Pemohon sebagai Warga Negara Indonesia dilindungi haknya secara hukum oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebagaimana didalilkan Pemohon sendiri dalam permohonannya;
Bahwa anggapan kerugian yang dialami Pemohon, yaitu penagihan utang pajak PT UCI oleh Dirjen Pajak kepada Pemohon, dimungkinkan untuk tidak lagi terjadi ketika Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon dimaknai “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”; demikian pula kerugian bahwa tagihan pajak tersebut, yang dimungkinkan ditujukan Dirjen Pajak kepada Pemohon karena NPWP Pemohon masih aktif padahal PT UCI (sebagai badan hukum yang menggunakan NPWP Pemohon sebagai identitas Wajib Pajak) telah pailit, akan tidak lagi terjadi jika Pasal 2 ayat (6) UU 28/2007 dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Dirjen Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil permohonan Pemohon, Mahkamah menilai Pemohon telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara anggapan kerugian konstitusionalitas yang dijelaskan dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian, oleh karenanya, Pemohon mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam perkara a quo ; [3.6] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. 184 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas bersyarat Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan Pemohon karena tetap membebankan pelunasan utang pajak kepada penanggung pajak perusahaan ( in casu Pemohon) meskipun perusahaan dimaksud telah dinyatakan pailit dan sedang dibereskan kurator;
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 2 ayat (6) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan Pemohon karena tidak menghapus NPWP atas nama perusahaan (di mana penanggung pajak perusahaan, in casu adalah Pemohon) padahal perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit dan sedang dilakukan pemberesan oleh kurator. Tidak adanya penghapusan NPWP tersebut mengakibatkan Pemohon ditagih pelunasan utang pajak dan jumlah/nominal utang pajak tersebut terus bertambah;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan, pertama, Pasal 32 ayat (2) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Kedua, Pasal 2 ayat (6) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. [8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14, serta mengajukan dua orang Ahli bernama Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeni, S.H., dan Prof. Dr. Tjip Ismail, S.H., yang keduanya telah didengar keahliannya dalam sidang bertanggal 22 September 2020 serta telah diterima pula keterangan tertulis dari kedua Ahli tersebut. Pemohon juga mengajukan tiga orang Saksi 185 bernama Andrey U Sitanggang , Vychung Chongson , dan Rio Ferry Sihombing , yang telah didengar keterangannya dalam persidangan tanggal 22 September 2020; [3.9] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan secara tertulis bertanggal 18 Agustus 2020, serta menyampaikan keterangan secara lisan (diwakili oleh Anggota DPR bernama Mukhamad Misbakhun ) dalam persidangan tanggal 18 Agustus 2020; [3.10] Menimbang bahwa Presiden juga telah memberikan keterangan terkait permohonan Pemohon berupa dua keterangan tertulis, yaitu Keterangan Presiden tanpa tanggal dan Keterangan Tambahan Presiden tanpa tanggal, September 2020, disertai Lampiran. Presiden telah pula mengajukan 4 (empat) ahli yang keempatnya mengajukan keterangan tertulis, yaitu Dr. Abdul Anshari Ritonga, S.E., S.H., M.A., Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H., Dr. Dian Puji N Simatupang, S.H., M.H., dan Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn. Dua di antara Ahli tersebut, yaitu Dr. Abdul Anshari Ritonga, S.E., S.H., M.A dan Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H., telah pula didengar penjelasannya dalam persidangan tanggal 14 Oktober 2020; [3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara cermat dalil permohonan Pemohon dan alat bukti yang diajukan, isu konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah berkenaan dengan permohonan a quo adalah apakah seorang Penanggung Pajak suatu perusahaan (perusahaan sebagai Wajib Pajak Badan) dapat tetap dikenai tagihan pelunasan utang pajak manakala perusahaan bersangkutan telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan. Dalam kaitannya dengan itu, Mahkamah harus pula mempertimbangkan apakah bagi Wajib Pajak Badan yang telah dinyatakan pailit, NPWP perusahaan bersangkutan tetap ada sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan, ataukah undang-undang harus memerintahkan Dirjen Pajak untuk menghapus NPWP demikian sebagaimana dimohonkan Pemohon. [3.12] Menimbang bahwa Mahkamah perlu memberikan pendapat mengenai kejelasan permohonan Pemohon. Secara umum Mahkamah dapat memahami isi permohonan Pemohon, apalagi telah dijelaskan oleh Pemohon serta dijawab oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, serta telah pula diterangkan oleh para ahli. 186 Namun, jika dibaca terpisah dari posita, rumusan Petitum Nomor 2 dalam permohonan Pemohon memberikan dua pemahaman berbeda, yaitu:
apakah makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dimaksudkan Pemohon sebagai perluasan makna kata “Wakil” yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP; atau
apakah makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” merupakan perluasan makna frasa “mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut” sebagaimana termaktub dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP. Namun, dengan menghubungkan makna antara Pasal 32 ayat (2) dengan Pasal 32 ayat (1) UU KUP, Mahkamah memahami bahwa makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” yang dirumuskan Pemohon dalam Petitum Nomor 2 dimaksudkan sebagai perluasan kategori pihak yang tidak dibebani tanggung jawab atas pajak terutang. Dengan kalimat lain, Pemohon memohonkan agar Mahkamah memaknai Pasal 32 ayat (2) antara lain bahwa pengurus badan hukum, yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit, tidak dibebani tanggung jawab untuk melunasi pajak terutang; [3.13] Menimbang bahwa NPWP pada dasarnya adalah nomor registrasi atau nomor identitas yang dikeluarkan oleh negara, in casu Dirjen Pajak bagi Wajib Pajak. Menurut Mahkamah, sebagai sebuah identitas, NPWP bukan merupakan hal yang menyebabkan munculnya tagihan pajak. Tagihan pajak atau utang pajak muncul karena aktivitas keuangan yang dilakukan oleh setiap Wajib Pajak baik perorangan atau pun badan hukum, sementara NPWP merupakan identitas yang digunakan sebagai salah satu instrumen untuk menagihkan utang pajak tersebut kepada Wajib Pajak. Artinya, sebenarnya, terhadap tagihan pajak dapat dibebankan, baik pada orang yang memiliki NPWP atau orang yang tidak memiliki NPWP, yang disebabkan adanya perhitungan aktivitas keuangan yang memberikan nilai tambah dan keuntungan kepada Wajib Pajak. NPWP juga bukan merupakan sebuah aktivitas maupun dokumen hukum yang memunculkan status Wajib Pajak. Status 187 Wajib Pajak lahir ketika entitas tertentu, baik perorangan atau pun badan hukum, melakukan kegiatan ekonomi khususnya kegiatan finansial yang menghasilkan nilai lebih/keuntungan. [3.14] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan permohonan Pemohon, seandainya permohonan dikabulkan, yaitu Pasal 32 ayat (2) UU KUP dimaknai “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”, maka NPWP perusahaan (di mana Pemohon bertindak sebagai penanggung pajak) memang akan hapus, namun menurut Mahkamah hapusnya NPWP demikian tidak lantas menghilangkan status perusahaan dan/atau Pemohon sebagai Wajib Pajak. Hal demikian karena status Wajib Pajak timbul bukan karena adanya NPWP melainkan karena terpenuhinya syarat subjektif dan syarat objektif yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU 7/1983); Pasal 2 ayat (1) UU 7/1983 antara lain mengatur bahwa, “(1) Yang menjadi Subyek Pajak adalah:
warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak;
badan yang terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga, dan bentuk usaha tetap.” Adapun Pasal 4 ayat (1) UU 7/1983 antara lain mengatur bahwa, “(1) Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya:
gaji, upah, komisi, bonus, atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan;
honorarium, hadiah undian dan penghargaan;
laba bruto usaha;
keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta karena likuidasi;
penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya;
bunga; 188 g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang, dibayarkan oleh perseroan, pembayaran dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada pengurus dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada anggota;
royalti;
sewa dari harta;
penerimaan atau perolehan pembayaran berkala”; [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan hal demikian, menurut Mahkamah dalam konteks permasalahan konkret yang dihadapi Pemohon, isu konstitusionalitas penghapusan NPWP tidak dapat dipisahkan dari ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 UU 7/1983 yang mengatur mengenai subjek dan objek pajak. Kewajiban bagi Wajib Pajak agar mempunyai NPWP diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU KUP. Ketentuan ini mengatur kewajiban bagi setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif agar mendaftarkan diri kepada Dirjen Pajak yang kemudian kepadanya diberikan NPWP. Sebagaimana diuraikan Mahkamah sebelumnya, kewajiban perpajakan tidak lahir karena terbitnya NPWP, melainkan sejak adanya kegiatan ekonomi yang mengakibatkan adanya suatu pertambahan nilai. Demikian pula apabila Wajib Pajak memperoleh laba maka serta merta akan timbul utang pajak, sebaliknya apabila Wajib Pajak merugi maka tidak akan timbul utang pajak. Konsep teoritis demikian juga ditegaskan oleh Pasal 2 ayat (4a) UU KUP yang menyatakan, “Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau … dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif … ”. Dengan demikian, menurut Mahkamah jika Pemohon berkehendak agar dengan hapusnya NPWP perusahaan di mana Pemohon menjadi penanggung pajak lantas berakibat hapusnya pula kewajiban perpajakan perusahaan bersangkutan, maka hal demikian tidak akan tercapai seandainya pun Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon yaitu menambahkan makna pada Pasal 2 ayat (6) UU KUP agar penghapusan NPWP oleh Dirjen Pajak meliputi juga bagi Wajib Pajak badan yang telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; Dengan kata lain, Mahkamah berpendapat bahwa NPWP, sesuai nama panjangnya yaitu “Nomor Pokok...” sebenarnya lebih tepat dilihat sekadar sebagai sebuah nomor identitas atau angka penanda bagi Wajib Pajak, dan bukan sebuah sumber materiil yang memunculkan suatu kewajiban perpajakan. Menghilangkan 189 atau menghapuskan kewajiban perpajakan, seandainya diperlukan, tidak dapat dilakukan hanya dengan penghapusan nomor pokok wajib pajak atau nomor identitas lain yang berfungsi sama dengan itu; [3.16] Menimbang bahwa selain berkaitan langsung dengan NPWP, permohonan Pemohon menurut Mahkamah sebenarnya hendak mempersoalkan konstitusionalitas penagihan pajak perusahaan kepada Pemohon sebagai penanggung pajak, padahal perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit. Untuk menjawab isu konstitusionalitas demikian Mahkamah perlu menguraikan perihal utang perusahaan, jenis pajak, pihak yang membayar pajak perusahaan dan penanggung pajak badan, serta hubungan antara perusahaan dengan pengurus/direksi badan hukum; [3.17] Menimbang bahwa utang perusahaan pada dasarnya merupakan salah satu pilihan sumber pembiayaan perusahaan. Setidaknya, utang dapat dipahami sebagai dua hal, yaitu a) sebagai kewajiban membayar/melunasi yang timbul dari hubungan kontraktual keperdataan di mana satu pihak meminjam dan pihak lainnya meminjamkan, yang hubungan kontraktual ini memunculkan keberadaan debitur dan kreditur; b) kewajiban membayar/melunasi yang timbul sebagai konsekuensi hubungan perpajakan, dalam ranah hukum publik atau hukum administrasi, antara warga negara (termasuk badan hukum) dengan negara, di mana memunculkan status hukum Wajib Pajak dan Pemungut Pajak (Negara diwakili petugas pajak/fiskus); Bahwa secara universal utang dalam konteks yang pertama, yaitu utang sebagai hubungan kontraktual antara dua pihak atau lebih, adalah kewajiban penerima pinjaman (disebut pihak yang berutang atau debitur) kepada pemberi pinjaman (disebut pihak yang berpiutang atau kreditur) untuk mengembalikan atau membayar kembali sejumlah uang/pembiayaan. Sementara utang dalam konteks kedua, yaitu utang pajak adalah kewajiban perseorangan termasuk badan hukum untuk membayar sejumlah uang kepada negara bukan karena negara pernah meminjamkan sejumlah uang/pembiayaan kepada yang bersangkutan sebelumnya, melainkan sebagai pungutan yang diwajibkan oleh negara kepada Wajib Pajak, antara lain, untuk pembiayaan pembangunan negara. [3.18] Menimbang bahwa Pajak merupakan hak konstitusional Negara atas rakyatnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan, 190 “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian hak negara untuk memungut pajak adalah hak mutlak yang tidak dapat ditolak. Namun hal demikian tidak lantas negara, melalui fiskus (petugas/instansi pengumpul pajak), dapat bertindak sewenang- wenang dalam menentukan besaran dan tata cara pemungutan pajak. Pasal 23A UUD 1945 di atas menegaskan bahwa “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa” hanya boleh diterapkan selama ditujukan “untuk keperluan negara”. Pasal a quo juga mengatur bahwa pajak dan pungutan ini harus “diatur dengan undang-undang”. Pengaturan pajak dengan undang-undang tidak lain bertujuan agar setiap pembebanan pajak mendapat persetujuan dari lembaga yang merupakan representasi rakyat (asas no taxation without representation ). [3.19] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan pajak yang dipungut kepada badan hukum, Mahkamah perlu mempertimbangkan juga mengenai apa atau siapa yang dimaksud sebagai badan hukum. Dengan kata lain, Mahkamah melalui Putusan ini perlu memperjelas kembali mengenai badan hukum sebagai subjek hukum dan bagaimana sebuah badan hukum (yang bukan orang atau manusia) dapat menjalankan aktivitas sehari-hari, baik aktivitas hukum maupun yang bukan hukum. Mahkamah memandang bahwa badan hukum merupakan kepanjangan atau perluasan dari kepentingan manusia, baik kepentingan perorangan (individu) maupun kepentingan bersama (kolektif). Bentuk badan hukum mula-mula (tradisional) adalah usaha dagang, koperasi, dan yayasan. Usaha dagang merupakan badan hukum yang dikuasai dan diijalankan oleh perorangan, sementara koperasi dan yayasan merupakan badan usaha yang dikuasai atau dijalankan secara kolektif. Badan hukum yang dikuasai bersama dapat dikatakan pada mulanya merupakan penyatuan individu atau kerjasama individu yang bersifat kontraktual. Kerja sama, yang mulanya hanya melibatkan gabungan individu, selanjutnya oleh hukum diwadahi sebagai sebuah organisasi kerja sama baik kerja sama dalam hal penggabungan modal, penggabungan tenaga, ataupun yang lainnya. Selanjutnya badan hukum berkembang semakin kompleks menjadi perseroan terbatas, bahkan berkembang bentuk perusahaan multinasional dengan karakteristik berbeda; 191 [3.20] Menimbang bahwa badan hukum dengan demikian merupakan sebuah status bagi perhimpunan atau organisasi yang beranggotakan perorangan/individu. Namun, badan hukum bukan-lah individu itu sendiri. Hal istimewa dari status sebuah badan hukum ini adalah bahwa organisasi yang berstatus badan hukum dianggap mempunyai hak dan kewajiban yang relatif sama dengan hak dan kewajiban manusia/orang; Akan tetapi dalam praktiknya hak dan kewajiban badan hukum tentu tidak dapat dilaksanakan/ditunaikan sendiri oleh badan hukum bersangkutan. Hal demikian tidak lain karena badan hukum “hanya” sebuah status dan bukan manusia/orang, sementara kemampuan untuk berpikir, bersikap, maupun bertindak secara fisik hanya dimiliki oleh manusia/orang. Berdasarkan kondisi alamiah demikian, maka badan hukum sebagai sebuah status/organisasi membutuhkan keberadaan manusia/orang untuk mengurus atau menjalankan status/organisasi tersebut. Di titik ini lah kemudian, menurut Mahkamah, muncul keberadaan manusia/orang yang menjadi representasi atau perwakilan dari suatu badan hukum. Selanjutnya hukum (peraturan perundang-undangan) memilah atau mengklasifikasi badan hukum menjadi beberapa bentuk/jenis yang masing-masing jenis mempunyai sebutan atau istilah tertentu bagi pihak yang mewakili badan hukum tersebut. Sebutan demikian antara antara lain direksi, pengurus, pemilik, bendahara, sekutu, dan sebagainya. [3.21] Menimbang bahwa karena badan hukum merupakan sebuah status yang dikonstruksikan dari perorangan/individu, maka prinsip pemajakannya pun mengikuti prinsip pemajakan perorangan. Dalam perpajakan, selain istilah subjek pajak -yang merujuk pada perorangan dan badan- dikenal pula istilah objek pajak. Objek pajak merujuk pada harta yang dikenai pajak, yaitu harta yang berada di bawah penguasaan subjek pajak. Kedua pengertian tersebut menunjukkan bahwa pajak pada dasarnya adalah sebuah pungutan resmi oleh negara yang pungutan demikian mengikuti subjek pajak dan objek pajak; Badan hukum pun wajib mematuhi ketentuan mengenai jenis dan besaran pajak yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan mengenai pajak, antara lain baik pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pajak badan. Semua undang-undang yang mengatur jenis dan besaran tarif demikian berlaku mengikat bagi badan hukum sebagai wajib pajak selama undang- 192 undang bersangkutan belum diubah, dibatalkan, atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945; Dengan konstruksi bahwa (pungutan) pajak timbul seketika/bersamaan dengan terciptanya nilai lebih (laba atau keuntungan) dari suatu transaksi ekonomi, maka sebenarnya secara logika tidak mungkin ada tagihan pajak yang tidak dapat dibayar. Dengan catatan tidak dapat dibayar di sini diartikan sebagai tidak ada sumber dana untuk melunasinya. Pada praktiknya laba memang tidak selalu seiring dengan ketersediaan cashflow , namun selama masih terdapat laba/keuntungan maka pajak pasti dapat ditunaikan mengingat logika pungutan pajak adalah mengambil sebagian dari keuntungan/penghasilan yang sudah ada/terjadi. Hal ini berbeda dengan logika pungutan yang dikenakan terhadap suatu kegiatan yang baru akan dilakukan, misalnya biaya perijinan; Apalagi sudah sangat jelas di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007), yaitu pada Penjelasan Pasal 70 ayat (1) dijelaskan bahwa, “Yang dimaksud dengan “laba bersih” adalah keuntungan tahun berjalan setelah dikurangi pajak”. Ketentuan lain dalam UU 40/2007, antara lain Pasal 71, menegaskan bahwa laba perusahaan yang dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham adalah laba bersih (bahkan laba bersih setelah disisihkan sebagian sebagai dana cadangan). Kedua ketentuan tersebut merupakan mekanisme kerja yang wajib dilaksanakan bagi sebuah badan hukum, in casu Perseroan Terbatas. Artinya, jika suatu PT telah melaksanakan ketentuan pendirian dan/atau ketentuan operasional PT sebagaimana dirumuskan oleh UU 40/2007, maka menurut penalaran yang wajar seharusnya tidak terjadi kegagalan dalam melunasi/membayar pajak. Berdasarkan hal demikian, Mahkamah berpendapat terjadinya keterlambatan pembayaran pajak oleh wajib pajak adalah ketika pajak ditunda pembayarannya oleh wajib pajak, namun kemudian bagian dari laba atau keuntungan yang seharusnya dibayarkan kepada negara sebagai pajak tersebut terpakai untuk kepentingan lain. Pada akhirnya wajib pajak mengalami kesulitan bahkan tidak mampu melunasi utang pajak atau tagihan pajak; [3.22] Menimbang bahwa di sisi lain Mahkamah perlu menegaskan bahwa pajak tidak boleh dihitung/dikenakan untuk kegiatan perusahaan yang telah dinyatakan pailit dan sedang dalam pemberesan kurator karena perusahaan dalam posisi 193 demikian tentunya tidak sedang beroperasi untuk memperoleh laba/keuntungan, kecuali secara nyata dapat diketahui bahwa masih ada kegiatan perusahaan yang dilakukan atas persetujuan hakim pengawas dan kegiatan demikian mendatangkan kewajiban perpajakan. Mahkamah berpendapat pajak tetap dapat dikenakan atas keuntungan/laba yang telah timbul akibat operasional perusahaan sebelum perusahaan dinyatakan pailit, dan juga dapat dikenakan atas keuntungan yang baru diterima ketika perusahaan telah berstatus pailit. Adalah sangat mungkin sebagian laba atau bahkan keseluruhan laba secara teknis baru diterima perusahaan beberapa saat setelah transaksi terjadi, di mana laba diterima pada saat perusahaan sudah dinyatakan pailit. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, maka terhadap persoalan yang dialami Pemohon yang sesungguhnya, yaitu adanya keberatan atas tagihan pajak badan (perseroan) yang sudah dinyatakan pailit namun penagihannya ditujukan kepada Pemohon sebagai perorangan (mantan pengurus perusahaan sebelum pailit), menurut Mahkamah hal tersebut merupakan permasalahan implementasi dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma UU, sehingga bukan menjadi wewenang Mahkamah untuk menilainya. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas berkenaan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 2 ayat (6) UU KUP adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.23] Menimbang bahwa selanjutnya terhadap Pasal 32 ayat (2) UU KUP, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.12] di atas, Pemohon pada pokoknya memohonkan agar Mahkamah memaknai Pasal 32 ayat (2) antara lain bahwa pengurus badan hukum, yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit, tidak dibebani tanggung jawab untuk melunasi pajak terutang. Terhadap permohonan demikian, pertimbangan Mahkamah tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan hukum yang telah diuraikan di atas. Dengan konstruksi bahwa seharusnya pajak telah dapat dibayarkan setelah laba/keuntungan diterima, bahkan sebelum laba dibagikan sebagai dividen kepada para pemegang saham, maka menurut Mahkamah tidak ada alasan hukum apapun yang dapat melepaskan tanggung jawab perusahaan akan pajak dimaksud. 194 Bahwa berangkat dari kondisi demikian, maka tidak terbayarkan atau tidak terlunasinya pajak merupakan kelalaian atau kesengajaan dari pengurus, sehingga menjadi tanggung jawab pengurus perusahaan. Tentu saja, secara teknis, ada beberapa faktor eksternal atau peristiwa force majeur yang dapat menggagalkan upaya pembayaran pajak, atau bisa juga terjadi human error berupa kesalahan hitung atas beban pajak yang seharusnya dibayarkan. Namun hal demikian menurut Mahkamah tidak lantas mengakibatkan norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP menjadi bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa adanya peristiwa di luar kemampuan manusia pada umumnya, yang mungkin menggagalkan upaya pemenuhan kewajiban perpajakan, merupakan kewenangan Dirjen Pajak dan badan peradilan pajak untuk menilainya. Bahkan dalam Pasal 32 ayat (2) UU a quo sudah diberikan pengecualian bahwa wakil wajib pajak tidak bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara tanggung renteng untuk melunasi utang pajak selama “dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut”; [3.24] Menimbang bahwa untuk menjawab konstitusionalitas norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang membebankan tanggung jawab pelunasan pajak kepada pengurus, menurut Mahkamah norma a quo harus dibaca secara utuh dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU KUP yang mengatur: “Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal:
badan oleh pengurus;
badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
badan dalam likuidasi oleh likuidator;
suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya”. Bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU a quo mengatur suatu badan hukum sebagai wajib pajak diwakili oleh: a) pengurus; b) kurator dalam hal badan dinyatakan pailit; c) orang/badan yang ditugaskan melakukan pemberesan dalam hal badan dibubarkan; atau d) likuidator dalam hal badan dilikuidasi. Dengan tetap merujuk pada konstruksi timbulnya pajak dan/atau utang pajak sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah kelalaian atau kesengajaan yang 195 mengakibatkan tidak terbayarkannya pajak secara nalar hanya dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada pengurus yang aktif mengurusi badan hukum ketika belum dinyatakan pailit, dibubarkan, atau dilikuidasi. Hal demikian karena pengurus- lah yang memutuskan apakah akan langsung membayar pajak ketika perusahaan memperoleh laba/keuntungan (atau pemasukan lain) atau menunda pembayarannya hingga berujung pada kegagalan membayar pajak. Dengan kata lain, tanggung jawab penyelesaian kewajiban pajak badan ada pada pengurus badan tersebut. Apabila berpijak pada ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU a quo, maka penunjukan subjek hukum sebagai wakil adalah sangat tergantung pada subjek hukum utama yang akan diwakilinya. Dalam kasus a quo , terhadap badan yang telah dinyatakan pailit maka tanggung jawab pengurus berpindah kepada wakil badan yang dalam hal ini adalah kurator. Berdasarkan hal demikian, tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, Mahkamah berpendapat pemberesan utang-utang badan yang telah dinyatakan pailit terhadap pihak lain haruslah dilakukan oleh kurator bersama- sama dengan penyelesaian/pemberesan kewajiban-kewajiban lainnya. Adapun tanggung jawab yang harus ditanggung oleh pengurus badan sangat tergantung pada sejauh mana kerugian timbul akibat adanya unsur kelalaian atau kesengajaan dari pengurus pada saat masih aktif menjalankan kepengurusan badan yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan mekanisme penyelesaian kerugian yang bermula dari kelalaian atau kesengajaan pengurus, hal demikian bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi; [3.25] Menimbang bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Menurut Mahkamah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berlaku kepada semua orang, dalam hal ini direksi suatu badan hukum mempunyai hak konstitusional untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; dan begitu pula masyarakat serta semua pihak yang mempunyai hubungan (kerja) dengan badan hukum tertentu mempunyai hak konstitusional yang sama pula yaitu memeroleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 196 Bahwa ditetapkannya pengurus sebagai wakil dari suatu wajib pajak berbentuk badan tentunya bertujuan untuk menjamin kepastian bahwa tindakan suatu badan hukum dapat dimintai pertanggungjawaban, setara dengan dijaminnya hak suatu badan hukum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu demi kepentingan badan hukum dimaksud (yang notabene kepentingan demikian berujung pada kepentingan pengurus dan pemegang saham). Pengurus menjadi pihak utama yang dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan/tindakan suatu badan hukum karena memang dalam keseharian pengurus lah yang menjalankan atau mengoperasikan badan hukum. [3.26] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum demikian, Mahkamah menilai pembebanan tanggung jawab suatu badan hukum (yang tidak dapat bertindak apa-apa tanpa bantuan manusia) kepada seorang atau sekelompok pengurus bukanlah hal yang bertentangan dengan UUD 1945. Demikian pula dalam hal kewajiban perpajakan perusahaan, dengan pertimbangan hukum yang sama Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan yang membebankan penyelesaian kewajiban perpajakan suatu badan ( in casu utang pajak perusahaan pailit) kepada pengurus badan yang diwakili oleh kurator adalah bersesuaian dengan UUD 1945. Bahwa persesuaian norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP dengan norma UUD 1945 terutama dalam hal memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil kepada semua pihak yang berinteraksi dengan badan hukum, di mana Pemohon menjadi pengurus badan hukum, sebagaimana diatur Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah, salah satu wujud hak pihak lain yang berinteraksi dengan badan hukum adalah hak Negara untuk menerima pembayaran pajak dari suatu badan hukum tertentu melalui pihak atau orang yang bertindak sebagai pengurus badan hukum tersebut; Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas berkenaan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.27] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. 197 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Suhartoyo, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, dan Manahan M.P. Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis , tanggal dua belas, bulan November , tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis , tanggal empat belas, bulan Januari , tahun dua ribu dua puluh satu , selesai diucapkan pukul 10.50 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Suhartoyo, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, dan 198 Manahan M.P. Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Arief Hidayat ttd. Suhartoyo ttd. Saldi Isra ttd. Wahiduddin Adams ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Manahan M.P. Sitompul PANITERA PENGGANTI, ttd. Mardian Wibowo