MENTERI KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

SALINAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 170/PMK.02/2013


TENTANG


TATA CARA PENYEDIAAN ANGGARAN, PENGHITUNGAN, PEMBAYARAN,

DAN PERTANGGUNGJAWABAN SUBSIDI LISTRIK


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang

:

a.

bahwa dalam rangka meringankan beban masyarakat, telah dialokasikan dana subsidi listrik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau APBN-Perubahan;

 

 

b.

bahwa dalam rangka menyempurnakan ketentuan mengenai tata cara penyediaan anggaran pelaksanaan penyaluran dana subsidi listrik, perlu diatur kembali mengenai tata cara penyediaan anggaran, penghitungan, pembayaran, dan pertanggungjawaban subsidi listrik yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.02/2007;

 

 

c.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik;

       

Mengingat

:

1.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

 

 

2.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297);

 

 

3.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

 

 

4.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);

 

 

5.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052);

 

 

6.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 19 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5426);

 

 

7.

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4614);

 

 

8.

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5423);

 

 

9.

Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;

 

 

10.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 08/PMK.02/2005 tentang Pengelolaan Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan;

 

 

11.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.05/2007 tentang Bagan Akun Standar;

 

 

12.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagaimana diubah terakhir dengan PMK Nomor 233/PMK.05/2011;

 

 

13.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.05/2009 tentang Penetapan Rekening Kas Umum Negara, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.05/2011;

 

 

14.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Pencairan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atas Beban Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara pada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara;

 

 

15.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Penyimpanan dan Pencairan Dana Cadangan;

   

16.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.02/2012 tentang Petunjuk Penyusunan Dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.02/2013;

   

17.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 241/PMK.05/2012 tentang Sistem Akuntansi Belanja Subsidi Dan Belanja Lain-Lain.

       

MEMUTUSKAN:

     
Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENYEDIAAN ANGGARAN, PENGHITUNGAN, PEMBAYARAN, DAN PERTANGGUNGJAWABAN SUBSIDI LISTRIK.

 
Pasal 1

 

 

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

 

 

1.

Golongan Tarif adalah golongan tarif sebagaimana dimaksud dalam peraturan yang mengatur mengenai Tarif Tenaga Listrik yang disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara.

 

 

2.

Biaya Pokok Penyediaan (Rp/kWh) yang selanjutnya disingkat BPP adalah biaya penyediaan tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) untuk melaksanakan kegiatan operasi mulai dari pembangkitan, penyaluran (transmisi), sampai dengan pendistribusian tenaga listrik ke pelanggan dibagi dengan total kWh jual.

 

 

3.

Volume Penjualan adalah hasil penjualan tenaga listrik (kWh) dari masing-masing Golongan Tarif.

 

 

4.

Susut Jaringan adalah selisih energi (kWh) antara energi yang diterima di sisi penyaluran dengan energi yang terjual ke pelanggan setelah dikurangi dengan energi yang digunakan untuk keperluan sendiri di penyaluran dan pendistribusian energi listrik.

 

 

5.

Bauran Energi adalah komposisi volume tertentu dari Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Non BBM yang dibutuhkan untuk membangkitkan tenaga listrik.

 

 

6.

Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari PA untuk menggunakan anggaran yang dikuasakan kepadanya.

 

 

7.

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh Pengguna Anggaran/KPA dan disahkan oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang diberi kewenangan oleh Menteri Keuangan.

 

 

8.

Rekening Dana Cadangan Belanja Subsidi/Public Service Obligation (PSO) adalah rekening milik Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara yang digunakan untuk menyimpan Dana Cadangan.

 

 

9.

Subsidi Listrik adalah selisih kurang antara tarif tenaga listrik rata-rata (Rp/kWh) dari masing-masing Golongan Tarif dikurangi BPP (Rp/kWh) pada tegangan di masing-masing Golongan Tarif ditambah marjin (% tertentu dari BPP) dikalikan volume penjualan (kWh) untuk setiap Golongan Tarif.

 
Pasal 2

 

 

(1)

Dana Subsidi Listrik dialokasikan dalam APBN dan/atau APBN-Perubahan.

 

 

(2)

Dalam rangka pelaksanaan anggaran Subsidi Listrik, Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran menunjuk Direktur Jenderal Anggaran selaku KPA.

 

 

(3)

Direktur Jenderal Anggaran dapat mendelegasikan kewenangan KPA kepada pejabat eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran.

 

 

(4)

KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) memiliki kewenangan menerbitkan keputusan untuk menunjuk:

 

 

 

a.

Pejabat yang diberi wewenang untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja/penanggung jawab kegiatan/pembuat komitmen, yang selanjutnya disebut Pejabat Pembuat Komitmen (PPK);

 

 

 

b.

Pejabat yang diberi wewenang untuk menguji tagihan kepada negara dan menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM), yang selanjutnya disebut Pejabat Penandatangan SPM; dan

 

 

 

c.

Bendahara Pengeluaran jika diperlukan.

 

 

(5)

Salinan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) mitra kerja selaku Kuasa BUN.

 
Pasal 3

 

 

(1)

Subsidi Listrik diberikan kepada pelanggan dengan Golongan Tarif yang tarif tenaga listrik rata-ratanya lebih rendah dari BPP tenaga listrik pada tegangan di Golongan Tarif tersebut.

 

 

(2)

Pemberian Subsidi Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui PT PLN (Persero).

 
Pasal 4

 

 

(1)

Subsidi Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dihitung dengan formula sebagai berikut:

       

S = - (TTL - BPP (1 + m)) x V

 

S

=

Subsidi Listrik

 

TTL

=

tarif tenaga listrik rata-rata (Rp/kWh) dari masing-masing Golongan Tarif

BPP

=

BPP (Rp/kWh) pada tegangan di masing-masing Golongan Tarif

m

=

marjin (%)

 

V

=

Volume Penjualan

 

 

 

(2)

Marjin dalam perhitungan pembayaran Subsidi Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan marjin yang digunakan dalam perhitungan besaran Subsidi Listrik untuk menghasilkan angka Subsidi Listrik yang ditetapkan dalam APBN dan/atau APBN-Perubahan.

 
Pasal 5

 

 

(1)

Besaran Subsidi Listrik berdasarkan perhitungan dengan menggunakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral kepada Menteri Keuangan sebagai usulan dalam rangka persiapan penyusunan Rancangan APBN dan/atau Rancangan APBN- Perubahan.

 

 

(2)

Menteri BUMN dapat mengusulkan besaran persentase marjin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

 

 

(3)

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dapat mempertimbangkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

 
Pasal 6

 

 

(1)

Dalam rangka pelaksanaan Subsidi Listrik, PT PLN (Persero) melakukan pengendalian terhadap parameter pertumbuhan penjualan listrik, Volume Penjualan dan Bauran Energi yang digunakan dalam perhitungan Subsidi Listrik dalam APBN dan/atau APBN-Perubahan.

 

 

(2)

Pelaksanaan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan realisasi pertumbuhan penjualan listrik, Volume Penjualan dan Bauran Energi dan disampaikan oleh PT PLN (Persero) kepada kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral cq. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan dengan tembusan kepada KPA.

 

 

(3)

Dalam laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga disampaikan perkiraan realisasi sampai dengan akhir tahun berjalan atas parameter pertumbuhan penjualan listrik, Volume Penjualan dan Bauran Energi.

 

 

(4)

Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara triwulanan dan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir.

 

 

(5)

Dengan mengacu laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PT PLN (Persero) dapat menyampaikan usulan perubahan besaran parameter dan besaran Subsidi Listrik kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk memperoleh persetujuan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

 

 

(6)

Berdasarkan persetujuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, perubahan besaran parameter dan besaran Subsidi Listrik tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diusulkan kepada Kementerian Keuangan.

 

 

(7)

Menteri Keuangan dapat mempertimbangkan usulan perubahan besaran parameter dan besaran Subsidi Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sebagai pertimbangan untuk merevisi DIPA dengan memperhatikan kemampuan keuangan Negara dan sesuai ketentuan perundang-undangan.

 
Pasal 7

 

 

(1)

BPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dihitung berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral cq. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan.

 

 

(2)

Penetapan formula BPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk juga penetapan besaran perkiraan Susut Jaringan untuk 1 (satu) tahun.

 

 

(3)

Selain penetapan besaran perkiraan Susut Jaringan untuk 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral cq. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan juga menetapkan besarnya realisasi Susut Jaringan setiap akhir triwulan dan secara tahunan.

 

 

(4)

Realisasi Susut Jaringan setiap akhir triwulan dan secara tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral cq. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan paling lambat 15 (lima belas) hari setelah data secara lengkap diterima dari PT PLN (Persero).

 

 

(5)

PT PLN (Persero) menyampaikan data sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 45 (empat puluh lima) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir dan 90 (sembilan puluh) hari setelah tahun yang bersangkutan berakhir.

 
Pasal 8

 

 

Komponen BPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi:

 

 

a.

pembelian tenaga listrik termasuk sewa pembangkit;

 

 

b.

biaya bahan bakar yang terdiri atas:

 

 

 

1.

bahan bakar minyak;

 

 

 

2.

gas alam;

 

 

 

3.

panas bumi;

 

 

 

4.

batubara;

 

 

 

5.

minyak pelumas; dan

 

 

 

6.

biaya retribusi air permukaan;

 

 

c.

biaya pemeliharaan yang terdiri atas:

 

 

 

1.

material; dan

 

 

 

2.

jasa borongan;

 

 

d.

biaya kepegawaian;

 

 

e.

biaya administrasi;

 

 

f.

penyusutan atas aktiva tetap operasional; dan/atau

 

 

g.

beban bunga dan keuangan yang digunakan untuk penyediaan tenaga listrik.

 
Pasal 9

 

 

Komponen BPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, tidak termasuk:

 

 

a.

biaya-biaya penyediaan tenaga listrik untuk daerah-daerah yang tidak mengenakan Tarif Tenaga Listrik (TTL) dari PT PLN (Persero).

 

 

b.

beban usaha pada unit penunjang yaitu jasa penelitian dan pengembangan, jasa sertifikasi, dan jasa manajemen konstruksi.

 

 

c.

biaya tidak langsung yang terdiri atas:

 

 

 

1)

pemeliharaan wisma dan rumah dinas;

 

 

 

2)

kepegawaian wisma dan rumah dinas;

 

 

 

3)

pakaian dinas;

 

 

 

4)

asuransi pegawai;

 

 

 

5)

biaya pegawai lainnya;

 

 

 

6)

biaya lainnya wisma dan rumah dinas;

 

 

 

7)

sewa rumah untuk pejabat;

 

 

 

8)

penyisihan piutang ragu-ragu;

 

 

 

9)

penyisihan material;

 

 

 

10)

bahan makanan dan konsumsi;

 

 

 

11)

penyusutan wisma dan rumah dinas;

 

 

 

12)

pajak penghasilan/UTBP; dan

 

 

 

13)

biaya usaha lainnya.

 
Pasal 10

 

 

(1)

Berdasarkan alokasi dana Subsidi Listrik dalam APBN dan/atau APBN-Perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), diterbitkan DIPA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(2)

DIPA digunakan sebagai dasar pelaksanaan pembayaran Subsidi Listrik.

 

 

(3)

Dalam hal pagu DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperkirakan tidak mencukupi atau melampaui kebutuhan Subsidi Listrik dalam tahun anggaran berjalan, dapat dilakukan revisi DIPA setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

 
Pasal 11

 

 

(1)

Direksi PT PLN (Persero) setiap bulan mengajukan permintaan pembayaran Subsidi Listrik kepada KPA.

 

 

(2)

Permintaan pembayaran Subsidi Listrik untuk 1 (satu) bulan dapat disampaikan pada tanggal 1 (satu) bulan berikutnya.

 

 

(3)

Permintaan pembayaran Subsidi Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan data pendukung secara lengkap, terdiri atas:

 

 

 

a.

data realisasi penjualan tenaga listrik yang memuat antara lain data realisasi penjualan per Golongan Tarif pada saat periode penagihan;

 

 

 

b.

data BPP (Rp/kWh) per tegangan di masing-masing Golongan Tarif pada periode penagihan;

 

 

 

c.

perhitungan jumlah Subsidi Listrik berdasarkan data sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b.

 

 

(4)

Data BPP (Rp/kWh) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, merupakan data BPP (Rp/kWh):

 

 

 

a.

yang digunakan dalam penetapan jumlah Subsidi Listrik dalam APBN atau APBN-Perubahan; atau

 

 

 

b.

berdasarkan hasil audit yang dilakukan oleh instansi yang berwenang melakukan audit sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

 

 

(5)

Data BPP (Rp/kWh) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang digunakan dalam pembayaran Subsidi Listrik adalah data BPP (Rp/kWh) yang paling akhir diterbitkan.

 

 

(6)

Kebenaran data dan kelengkapan data pendukung sebagaimana tersebut pada ayat (3) merupakan tanggung jawab PT PLN (Persero) yang dinyatakan dalam permintaan Subsidi Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 
Pasal 12

 

 

(1)

Berdasarkan permintaan pembayaran Subsidi Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), KPA melakukan penelitian dan verifikasi atas data pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3).

 

 

(2)

Dalam rangka penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPA dapat meminta data pendukung lainnya yang berkaitan dengan penghitungan Subsidi Listrik kepada PT PLN (Persero) dan/atau instansi terkait lainnya.

 

 

(3)

Dalam melakukan penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPA dapat membentuk tim verifikasi.

 

 

(4)

Hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam Berita Acara Verifikasi yang ditandatangani PPK dan Direksi PT PLN (Persero) selaku pihak yang diverifikasi.

 
Pasal 13

 

 

Jumlah Subsidi Listrik yang dapat dibayar untuk setiap b ulannya sebesar 95% (sembilan puluh lima persen) dari hasil perhitungan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.

 
Pasal 14

 

 

Tata cara pencairan dana Subsidi Listrik dalam rangka pelaksanaan kegiatan Subsidi Listrik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 
Pasal 15

 

 

(1)

Terhadap pembayaran bulanan Subsidi Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, PT PLN (Persero) dapat mengajukan koreksi setiap akhir triwulan.

 

 

(2)

Untuk mengajukan tagihan koreksi atas pembayaran bulanan Subsidi Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PT PLN (Persero) menyampaikan surat permintaan koreksi yang dilengkapi dengan perhitungan realisasi subsidi kepada KPA.

 

 

(3)

Surat permintaan koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan realisasi penjualan tenaga listrik per Golongan Tarif, realisasi BPP per tegangan untuk pelanggan semua Golongan Tarif termasuk realisasi Susut Jaringan.

 

 

(4)

Berdasarkan surat permintaan koreksi pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), KPA melakukan penelitian dan verifikasi terhadap perhitungan koreksi dan data pendukung pembayaran Subsidi Listrik.

 

 

(5)

Susut jaringan yang digunakan dalam perhitungan realisasi Subsidi Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan realisasi susut jaringan yang ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral cq. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4).

 

 

(6)

Dalam hal realisasi Susut Jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) belum diterbitkan pada saat PT PLN (Persero) mengajukan koreksi atas pembayaran bulanan Subsidi Listrik, maka Susut Jaringan yang digunakan dalam verifikasi perhitungan koreksi pembayaran Subsidi Listrik merupakan Susut Jaringan yang digunakan dalam penetapan jumlah Subsidi Listrik dalam APBN dan/atau APBN-Perubahan tahun anggaran berjalan.

 

 

(7)

Hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam Berita Acara Verifikasi dan digunakan sebagai dasar koreksi pembayaran Subsidi Listrik.

 

 

(8)

Dalam hal terdapat selisih kurang pembayaran subsidi listrik antara yang telah dibayar bulanan kepada PT PLN (Persero) dengan hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kekurangan pembayaran tersebut akan dibayarkan kepada PT PLN (Persero) dengan memperhatikan pagu yang tersedia dalam DIPA.

 

 

(9)

Dalam hal terdapat selisih lebih pembayaran subsidi listrik antara yang telah dibayar bulanan kepada PT PLN (Persero) dengan hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kelebihan pembayaran tersebut dapat dikompensasikan dengan tagihan subsidi listrik PT PLN (Persero) periode berikutnya.

 

 

(10)

Dalam hal tidak terdapat tagihan subsidi listrik PT PLN (Persero) periode berikutnya, kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (9) harus segera disetor ke Kas Negara oleh PT PLN (Persero).

 

 

(11)

Pembayaran  Subsidi Listrik berdasarkan perhitungan Subsidi Listrik yang  telah dikoreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (8), ayat (9), dan ayat (10), merupakan pembayaran 100% (seratus persen).

 
Pasal 16

 

 

(1)

Sisa anggaran Subsidi Listrik yang belum dapat dibayarkan sampai dengan akhir Desember tahun berjalan sebagai akibat dari belum dapat dilakukannya verifikasi atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dapat ditempatkan pada Rekening Dana Cadangan Subsidi/PSO sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(2)

Penempatan dana pada Rekening Cadangan Subsidi/PSO sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling tinggi sebesar sisa pagu DIPA untuk belanja Subsidi Listrik.

 

 

(3)

Pencairan dana pada Rekening Cadangan Subsidi/PSO sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

 
Pasal 17

 

 

(1)

Dalam hal jumlah Subsidi Listrik hasil penelitian dan verifikasi lebih kecil dari dana yang tersedia pada Rekening Cadangan Subsidi/PSO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, maka dana yang tersisa pada Rekening Cadangan Subsidi/PSO segera disetorkan ke Kas Negara dengan menggunakan Kode Akun 423913 (penerimaan kembali belanja lainnya Tahun Anggaran Yang Lalu).

 

 

(2)

Dalam hal jumlah subsidi hasil penelitian dan verifikasi lebih besar dari dana yang tersedia dalam Rekening Cadangan Subsidi/PSO, maka jumlah yang dapat dimintakan pencairannya sebesar jumlah dana pada Rekening Cadangan Subsidi/PSO.

 
Pasal 18

 

 

Pembayaran Subsidi Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16 bersifat sementara.

 
Pasal 19

 

 

(1)

Pembayaran dana Subsidi Listrik, diperiksa oleh pemeriksa yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(2)

Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan.

 

 

(3)

Besarnya Subsidi Listrik dalam satu tahun anggaran secara final berdasarkan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

 
Pasal 20

 

 

(1)

Dalam hal terdapat selisih kurang pembayaran Subsidi Listrik antara yang telah dibayar kepada PT PLN (Persero) dengan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, kekurangan pembayaran tersebut akan dibayarkan kepada PT PLN (Persero) setelah dianggarkan dalam APBN dan/atau APBN-Perubahan.

 

 

(2)

Dalam hal dana kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dianggarkan pada tahun berjalan, dana tersebut dapat diusulkan untuk dianggarkan dalam APBN dan/atau APBN-Perubahan tahun anggaran berikutnya.

 

 

(3)

Dalam hal terdapat selisih lebih pembayaran Subsidi Listrik antara yang telah dibayar kepada PT PLN (Persero) dengan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, kelebihan pembayaran tersebut harus segera disetor ke Kas Negara oleh PT PLN (Persero) menggunakan Kode Akun 423913 (Penerimaan Kembali Belanja Lainnya Tahun Anggaran Yang Lalu).

 

Pasal 21

 

 

PT PLN (Persero) bertanggung jawab secara formal dan material atas pelaksanaan dan penggunaan dana Subsidi Listrik.

 

Pasal 22

 

 

KPA bertanggung jawab atas penyaluran dana Subsidi Listrik kepada PT PLN (Persero).

 
Pasal 23

 

 

(1)

PT PLN (Persero) menyampaikan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana Subsidi Listrik kepada KPA.

 

 

(2)

Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi target dan realisasi penjualan tenaga listrik, BPP, Susut Jaringan dan Bauran Energi.

 

Pasal 24

 

 

KPA menyelenggarakan akuntansi dan pelaporan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

 
Pasal 25

 

 

Dalam hal PT PLN (Persero) untuk suatu periode tertentu mendapat penugasan khusus dari Pemerintah dalam rangka mempertahankan ketersediaan pasokan komoditas tertentu yang diawasi untuk daerah tertentu yang mengakibatkan tambahan biaya bagi PT PLN (Persero), tambahan biaya dimaksud dapat dimasukkan dalam perhitungan Subsidi Listrik periode yang bersangkutan melalui penyesuaian BPP setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

 
Pasal 26

 

 

Peraturan Menteri ini berlaku sepanjang Subsidi Listrik masih dialokasikan dalam APBN dan/atau APBN-Perubahan.

 
Pasal 27

 

 

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

 

 

1.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.02/2007 tentang Tata Cara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.02/2007, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

 

2.

Pembayaran sementara Subsidi Listrik yang telah dilaksanakan dalam Tahun Anggaran 2013 yang belum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini, dilakukan koreksi/penyesuaian berdasarkan Peraturan Menteri ini.

 

Pasal 28

 

 

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

         

 

 

 

 

 

 

Ditetapkan di Jakarta

 

 

 

 

 

 

pada tanggal 28 November 2013

 

 

 

 

 

 

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                ttd.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                 MUHAMAD CHATIB BASRI

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 28 November 2013

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
                  REPUBLIK INDONESIA,

 
                                ttd.
 
                   AMIR SYAMSUDIN
 
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 1404