Tata Cara Pemberian Jaminan Pemerintah Pusat untuk Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional
Relevan terhadap 4 lainnya
Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melalui Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan dan/atau BUPI melaksanakan pemantauan terhadap potensi timbulnya Risiko Politik yang dijamin dan kelangsungan Proyek Strategis Nasional.
Dalam melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dapat membentuk komite koordinasi yang beranggotakan perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan/atau instansi terkait.
Berdasarkan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan/atau BUPI menyampaikan laporan secara periodik per semester paling lambat pada akhir bulan ketiga berikutnya setelah akhir periode semester berkenaan dan/atau rekomendasi kepada Menteri untuk memberikan dukungan dan/atau melakukan tindakan sesuai dengan kewenangan Menteri dalam mencegah dan/atau mengurangi dampak Risiko Politik yang dijamin.
PJPSN dan/atau Badan Usaha wajib menyampaikan laporan secara periodik per triwulan paling lambat tanggal 15 (lima belas) pada bulan berikutnya setelah akhir periode triwulan berkenaan dan pada saat diperlukan kepada:
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melalui Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan untuk Jaminan Pemerintah Pusat yang diberikan oleh Pemerintah secara langsung.
BUPI untuk Jaminan Pemerintah Pusat yang diberikan secara bersama atau oleh BUPI dengan ditembuskan kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melalui Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan.
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat paling sedikit:
kemajuan dan permasalahan proyek;
keuangan proyek; dan
identifikasi kemungkinan terjadinya Risiko Politik.
Dalam hal telah terjadi Risiko Politik dan PJPSN tidak mampu melaksanakan kewajiban pembayaran kepada Badan Usaha sesuai dengan Perjanjian Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf f, Badan Usaha mengajukan klaim secara tertulis kepada:
Menteri melalui Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dengan tembusan kepada PJPSN untuk Jaminan Pemerintah Pusat yang diberikan oleh Pemerintah secara langsung; atau
BUPI dengan tembusan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan PJPSN untuk Jaminan Pemerintah Pusat yang diberikan secara bersama atau oleh BUPI.
Pengajuan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat keterangan paling sedikit:
pernyataan bahwa peristiwa yang terjadi tergolong sebagai Risiko Politik yang dijamin dalam perjanjian penjaminan;
ketidakmampuan PJPSN untuk melaksanakan kewajiban berdasarkan Perjanjian Kerja Sama sehubungan dengan Risiko Politik sebagaimana dimaksud pada huruf a;
uraian hak klaim Badan Usaha berdasarkan Perjanjian Penjaminan Pemerintah, Perjanjian Penjaminan Bersama atau Perjanjian Penjaminan BUPI;
jumlah kewajiban pembayaran PJPSN kepada Badan Usaha; dan
tujuan pembayaran yang meliputi nama dan nomor rekening.
Klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan dokumen paling sedikit:
salinan Perjanjian Kerja Sama;
salinan Perjanjian Penjaminan Pemerintah, Perjanjian Penjaminan Bersama atau Perjanjian Penjaminan BUPI;
rincian kewajiban PJPSN yang harus dibayar oleh penjamin; dan
berita acara antara PJPSN dan Badan Usaha yang menyatakan tidak terdapat keberatan atas Risiko Politik yang dijamin beserta jumlah klaim yang diajukan.
Tata Cara Penundaan dan/atau Pemotongan Penyaluran Dana Transfer ke Daerah atas Pemenuhan Belanja Wajib dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ...
Relevan terhadap
Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d meliputi:
Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan PKB dan Opsen PKB paling rendah 10% (sepuluh persen);
Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik paling rendah 10% (sepuluh persen);
Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak Rokok bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota paling rendah 50% (lima puluh persen); dan
Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan PAT paling rendah 10% (sepuluh persen), yang dianggarkan dalam APBD dan/atau perubahan APBD tahun anggaran berkenaan.
Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan PKB dan Opsen PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk mendanai pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digunakan untuk mendanai penyediaan penerangan jalan umum yang meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerjasama antara Pemerintah Daerah dan badan usaha.
Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak Rokok.
Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d digunakan untuk mendanai pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah kabupaten/kota yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi:
penanaman pohon;
pembuatan lubang atau sumur serapan;
pelestarian hutan atau pepohonan; dan
pengelolaan limbah.
Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kekayaan Negara Dipisahkan oleh Bendahara Umum Negara
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
Kekayaan Negara Dipisahkan yang selanjutnya disingkat KND adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN dan/atau sumber lainnya yang diinvestasikan secara jangka panjang dan berkelanjutan oleh pemerintah pusat dan dikelola secara terpisah dari mekanisme APBN.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Instansi Pengelola PNBP dari KND yang selanjutnya disebut IP PNBP adalah instansi yang menjalankan fungsi sebagai BUN.
Pimpinan IP PNBP dari KND yang selanjutnya disebut Pimpinan IP PNBP adalah Menteri selaku BUN.
Pejabat Kuasa Pengelola PNBP adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Pimpinan IP PNBP, serta tugas lain terkait PNBP dari KND sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Badan adalah sekumpulan orang yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, kumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, badan hukum publik, dan bentuk badan lain yang melakukan kegiatan di dalam dan/atau di luar negeri.
Badan Usaha adalah badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang didirikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha dan atau kegiatan pada bidang tertentu.
Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang- Undang mengenai Perseroan Terbatas serta peraturan pelaksanaannya.
Perusahaan Umum yang selanjutnya disebut Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
Kementerian Teknis adalah kementerian yang mewakili Pemerintah selaku Pemegang Saham atau Kuasa Pemegang Saham pada Perseroan Terbatas dan/atau pemilik modal pada Perum/lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menteri Teknis adalah menteri yang ditunjuk mewakili Pemerintah selaku Pemegang Saham atau Kuasa Pemegang Saham pada Persero dan/atau pemilik modal pada Perum/lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat BI adalah Bank Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Bank Indonesia.
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya disingkat LPEI adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Undang- Undang mengenai Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya disingkat LPS adalah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
Dividen Bagian Pemerintah yang selanjutnya disebut Dividen adalah bagian Pemerintah atas laba dari Badan Usaha yang pemerintah mempunyai kepemilikan di dalamnya.
Sisa Surplus dari Hasil Kegiatan BI yang selanjutnya disebut Sisa Surplus BI adalah surplus hasil kegiatan BI setelah dikurangi pembagian untuk cadangan tujuan sebesar 30% (tiga puluh persen), dan sisanya dipupuk sebagai cadangan umum sehingga jumlah modal dan cadangan umum menjadi sebesar 10% (sepuluh persen) dari seluruh kewajiban moneter sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Bank Indonesia.
Bagian Surplus LPS Bagian Pemerintah yang selanjutnya disebut Bagian Surplus LPS adalah bagian Surplus dalam hal akumulasi cadangan penjaminan mencapai tingkat sasaran sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari total simpanan pada seluruh bank sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
PNBP LPEI adalah PNBP yang berasal dari bagian kelebihan akumulasi cadangan umum dan cadangan tujuan dan bagian laba Pemerintah pada LPEI sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar.
Wajib Bayar PNBP dari KND yang selanjutnya disebut Wajib Bayar adalah badan yang mempunyai kewajiban membayar PNBP dari pengelolaan KND sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dividen Interim adalah Dividen sementara yang ditetapkan oleh Direksi berdasarkan persetujuan Dewan Komisaris dan dibayarkan sebelum tahun buku berakhir.
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat APIP adalah instansi Pemerintah yang dibentuk dengan tugas melaksanakan pengawasan intern di lingkungan Kementerian/Lembaga meliputi inspektorat jenderal/inspektorat utama/inspektorat/ unit lain yang menjalankan peran pengawasan intern Kementerian/ Lembaga.
Rencana PNBP dari KND yang selanjutnya disebut Rencana PNBP adalah Rencana PNBP dari KND dalam bentuk target PNBP dari KND.
Instansi Pemeriksa adalah badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara dan pembangunan nasional.
Batasan Rumah Umum, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Rumah Pekerja yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai ...
Relevan terhadap
Besaran penghasilan paling banyak masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (11) merupakan penghasilan rata-rata dalam 1 (satu) bulan.
Penghasilan rata-rata dalam 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk perolehan rumah umum atau rumah pekerja secara tunai dan kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah selain program kepemilikan rumah umum dari pemerintah dihitung berdasarkan jumlah penghasilan baik berupa penghasilan teratur dan tidak teratur dalam 1 (satu) tahun dibagi 12 (dua belas) dari:
penghasilan tahun sebelum dilakukan perolehan rumah umum atau rumah pekerja dalam hal sudah mempunyai penghasilan dari 1 Januari tahun sebelum dilakukannya perolehan; atau
penghasilan yang disetahunkan atas penghasilan yang diterima:
di tahun sebelum dilakukannya perolehan rumah umum atau rumah pekerja dalam hal tidak memiliki penghasilan sejak 1 Januari tahun sebelum dilakukannya perolehan; atau
di tahun dilakukannya perolehan rumah umum atau rumah pekerja dalam hal baru memiliki penghasilan di tahun dilakukannya perolehan.
Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b diterima atau diperoleh dari bagian tahun yang kurang dari 12 (dua belas) bulan, atas penghasilan dimaksud disetahunkan untuk menghitung penghasilan rata-rata sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Penghasilan masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas perolehan:
rumah umum bagi:
karyawan berupa penghasilan bruto sehubungan dengan pekerjaan;
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto berupa penghasilan neto;
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang menghitung penghasilan neto berdasarkan pembukuan berupa penghasilan neto;
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha yang dikenai pajak penghasilan bersifat final atas penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tertentu dan/atau pajak penghasilan bersifat final lainnya berupa perkiraan penghasilan neto yang dihitung dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto; dan/atau
karyawan yang sekaligus melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas berupa penjumlahan penghasilan angka 1, angka 2, angka 3, dan/atau angka 4;
rumah pekerja berupa penghasilan bruto karyawan dari pemberi kerja yang menyerahkan rumah pekerja.
Suami istri yang memilih atau tidak memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, berlaku perhitungan besarnya penghasilan yang berasal dari penjumlahan penghasilan suami dan istri.
Untuk mendapatkan pembebasan pengenaan pajak pertambahan nilai atas penyerahan rumah umum atau rumah pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pihak yang memperoleh rumah umum atau rumah pekerja secara tunai dan kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah selain program kepemilikan rumah umum dari pemerintah harus menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan fasilitas disertai dokumen surat pernyataan atau keterangan bermeterai mengenai besarnya penghasilan rata-rata dalam 1 (satu) bulan atas perolehan:
rumah umum dari:
pemberi kerja, dalam hal pihak yang memperoleh barang kena pajak merupakan karyawan;
pihak yang memperoleh barang kena pajak, dalam hal pihak yang memperoleh barang kena pajak merupakan pihak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; atau
pemberi kerja dan pihak yang memperoleh barang kena pajak, dalam hal pihak yang memperoleh barang kena pajak merupakan karyawan dan melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
rumah pekerja dari pemberi kerja yang menyerahkan rumah pekerja.
Untuk mendapatkan pembebasan pengenaan pajak pertambahan nilai atas penyerahan rumah umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pihak yang memperoleh barang kena pajak berupa rumah umum melalui kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah umum melalui program kepemilikan rumah umum dari pemerintah harus memiliki nomor lolos pengujian tagihan pembayaran program kepemilikan rumah umum dari pemerintah sebagai bukti telah terdaftar sebagai penerima program kepemilikan rumah umum dari pemerintah.
Nomor lolos pengujian tagihan pembayaran program kepemilikan rumah umum dari pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan nomor yang dikeluarkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman dan/atau badan yang mengelola tabungan perumahan rakyat.
Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman dan/atau badan yang mengelola tabungan perumahan rakyat menyampaikan data rumah umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) dan penerima manfaat program kepemilikan rumah umum dari pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) kepada Direktorat Jenderal Pajak pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Ketentuan mengenai contoh format:
surat keterangan bermeterai dari pemberi kerja mengenai besarnya penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1);
surat pernyataan bermeterai dari pihak yang memperoleh barang kena pajak mengenai besarnya penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2); atau
surat keterangan bermeterai dari pemberi kerja mengenai besarnya penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan dan surat pernyataan bermeterai dari pihak yang memperoleh barang kena pajak mengenai besarnya penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3); tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pengelolaan Barang Milik Negara Hulu Minyak dan Gas Bumi
Relevan terhadap
bahwa untuk pengelolaan barang milik negara yang berasal dari pelaksanaan Kontrak Kerja Sama kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, telah ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89/PMK.06/2019 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
bahwa untuk menyikapi perkembangan bisnis dan meningkatkan dukungan pemerintah pada industri hulu minyak dan gas bumi, serta untuk mendorong peningkatan investasi dalam negeri, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89/PMK.06/2019 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi perlu ditinjau kembali;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 104 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah,perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Hulu Minyak dan Gas Bumi;
Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya disingkat LPEI adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPEI.
Rencana Jangka Panjang yang selanjutnya disingkat RJP adalah rencana strategis yang mencakup rumusan mengenai tujuan dan sasaran yang hendak dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun.
Rencana Kerja Anggaran Tahunan yang selanjutnya disingkat RKAT adalah penjabaran tahunan dari RJP yang menggambarkan rencana kerja dan anggaran LPEI mulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember, termasuk strategi untuk merealisasikan rencana tersebut.
Pembinaan adalah kegiatan pengaturan, pemberian arahan, pemilihan pengurus, penetapan target, dan kegiatan lain yang diperlukan oleh Menteri kepada LPEI untuk kinerja yang lebih baik.
Pengawasan adalah kegiatan pengukuran, penilaian, evaluasi, dan kegiatan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Kekayaan Negara.
Dewan Direktur adalah Dewan Direktur LPEI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPEI.
Pembiayaan Ekspor Nasional yang selanjutnya disingkat PEN adalah fasilitas yang diberikan kepada badan usaha termasuk perorangan dalam rangka mendorong Ekspor nasional yang dapat berupa Pembiayaan, Penjaminan, Asuransi dan/atau kegiatan lain yang menunjang ekspor.
Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPEI.
Penjaminan adalah penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPEI.
Asuransi adalah asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPEI.
Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPEI.
Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang ditunjuk oleh LPEI yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan serta memberikan nasihat kepada Direktur Eksekutif LPEI terhadap penyelenggaraan kegiatan LPEI agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
Tata Kelola adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh LPEI untuk pencapaian tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha dengan memperhatikan kepentingan setiap pihak yang terkait dalam penyelenggaraan kegiatan usaha, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan praktik yang berlaku umum.
Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha.
Pernyataan Selera Risiko ( Risk Appetite Statement ) adalah pernyataan Dewan Direktur mengenai tingkat risiko yang dapat diterima LPEI dalam upaya mewujudkan tujuan dan sasaran yang dikehendaki.
Retensi Sendiri adalah bagian dari jumlah uang ganti rugi atas kerugian atau fasilitas jaminan untuk setiap risiko yang menjadi tanggungan sendiri tanpa didukung reasuransi atau penjaminan ulang.
Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mengumpulkan, mencari, mengolah, dan mengevaluasi data dan informasi mengenai kegiatan LPEI, yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan atas kebenaran laporan periodik, menilai kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku serta memastikan bahwa laporan periodik sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Usaha Mikro Kecil Menengah Ekspor yang selanjutnya disingkat UMKM Ekspor adalah UMKM sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang UMKM dan koperasi yang menghasilkan produk untuk diekspor atau berkontribusi pada ekspor.
Usaha Menengah Berorientasi Ekspor yang selanjutnya disingkat UMBE adalah usaha dengan kriteria pelaku usaha yang memiliki nilai penjualan tahunan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah mengenai Kebijakan Dasar Pembiayaan Ekspor Nasional.
LPEI dapat menjalankan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
Dalam melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPEI wajib:
membuka unit kerja khusus;
mengalokasikan modal tersendiri;
melakukan pembukuan secara terpisah;
menunjuk Dewan Pengawas Syariah; dan
mengacu pada fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
Unit kerja khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berbentuk unit usaha khusus.
Pemenuhan Prinsip Syariah dalam penggunaan akad sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus didukung:
fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia yang menjadi dasar penggunaan akad; dan
opini dari Dewan Pengawas Syariah LPEI atas penggunaan akad tertentu untuk kegiatan usaha Syariah.
LPEI harus memastikan Dewan Pengawas Syariah melakukan evaluasi pemenuhan Prinsip Syariah yang paling sedikit meliputi:
kegiatan pendanaan dan Pembiayaan Syariah;
evaluasi prosedur operasional standar;
praktik pemasaran Pembiayaan Syariah yang dilakukan oleh LPEI; dan
penerapan standar akuntansi.
Dalam menjalankan Kebijakan Dasar Pembiayaan Ekspor Nasional, LPEI dapat menyediakan fasilitas bagi transaksi atau proyek tidak dapat dibiayai oleh perbankan atau tidak dapat diberikan fasilitas oleh lembaga jasa keuangan lain ( non bankable ) dengan kriteria antara lain:
badan usaha/perorangan yang:
belum memenuhi pengalaman usaha yang cukup;
tidak memiliki agunan yang cukup;
memiliki laporan keuangan kurang dari 2 (dua) tahun; dan/atau
berkedudukan di luar negeri untuk fasilitas Pembiayaan seperti buyer’s credit dan/atau overseas financing .
pasar tujuan ekspor termasuk negara dengan kategori non-tradisional dan/atau termasuk negara dengan tingkat risiko tinggi/tidak layak investasi ( non investment grade ) yang ditetapkan oleh lembaga rating yang kredibel; dan/atau
aspek lainnya yang memiliki risiko tinggi, namun mempunyai prospek untuk peningkatan ekspor nasional.
Besaran persentase Pembiayaan Ekspor atas transaksi atau proyek non bankable , tetapi mempunyai prospek untuk meningkatkan Ekspor nasional, ditetapkan dengan memperhatikan Pernyataan Selera Risiko dan target dalam RKAT.
Dalam hal dibutuhkan segera oleh negara, transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan tanpa memperhatikan Pernyataan Selera Risiko dan target dalam RKAT, sepanjang mendapat persetujuan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kategori transaksi atau proyek non bankable sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Dewan Direktur setelah dikonsultasikan kepada Menteri.
Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Jaminan Pemerintah Untuk Percepatan Proyek Pembangunan Jalan Tol Di Sumatera ...
Relevan terhadap
Dalam rangka kepastian pelaksanaan rencana mitigasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melakukan pemantauan dan evaluasi.
Pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
pelaksanaan proyek percepatan pembangunan jalan tol;
pelaksanaan pembiayaan; dan
kemampuan pemenuhan Kewajiban Finansial PT Hutama Karya (Persero).
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko mengadakan pertemuan secara berkala dengan PT Hutama Karya (Persero) untuk membahas dan memberikan masukan mengenm pelaksanaan pengelolaan risiko.
Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko menyampaikan laporan secara berkala dan/atau rekomendasi kepada Menteri untuk memberikan dukungan danjatau melakukan tindakan sesum dengan kewenangan Menteri dalam rangka mencegah terjadinya Gagal Bayar PT Hutama Karya (Persero). BABX KETENTUAN PERALIHAN
Tata Cara Pembayaran Berkala Berbasis Layanan Pada Proyek Pembangunan Jalan Tol di Sumatera Tahap II
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pembayaran Berkala Berbasis Layanan yang selanjutnya disingkat PBBL adalah pembayaran secara berkala oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat kepada PT Hutama Karya (Persero) atas tersedianya layanan pada jalan tol di Sumatera tahap II sesuai dengan kualitas dan/atau kriteria sebagaimana ditentukan dalam perjanjian pengusahaan jalan tol.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Pengusahaan Ruas Jalan Tol di Sumatera Tahap II adalah pengusahaan ruas jalan tol di Sumatera tahap II yang ditugaskan kepada PT Hutama Karya (Persero) oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PT Hutama Karya (Persero) adalah Perusahaan Perseroan (Persero) yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1961 tentang Pendirian Perusahaan Negara Hutama Karya.
Dana PBBL adalah dana yang dialokasikan oleh Pemerintah sesuai dengan mekanisme anggaran yang berlaku dalam rangka pelaksanaan PBBL.
Rencana Pengusahaan Jalan Tol adalah suatu dokumen yang terdiri atas dokumen teknis, dokumen rencana usaha, dan dokumen hukum yang disiapkan oleh PT Hutama Karya (Persero) sehubungan dengan pengusahaan Jalan Tol di Sumatera Tahap II.
Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol yang selanjutnya disingkat PPJT adalah perjanjian yang dilaksanakan antara Kementerian PUPR dan PT Hutama Karya (Persero) dalam rangka Pengusahaan Ruas Jalan Tol di Sumatera Tahap II.
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut Kementerian BUMN adalah kementerian yang mempunyai tugas untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang selanjutnya disebut Kementerian PUPR adalah kementerian yang mempunyai tugas untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
Masa PBBL adalah jangka waktu pelaksanaan PBBL sebagaimana ditetapkan dalam PPJT.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian PUPR.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian PUPR.
Dukungan Konstruksi adalah skema pendanaan pembangunan Jalan Tol di Sumatera Tahap II melalui penugasan kepada PT Hutama Karya (Persero) dengan pendanaan dan pelaksanaan konstruksi oleh Pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden mengenai percepatan pembangunan jalan tol di Sumatera.
Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan/ Light Rail Transit Terintegrasi di Wilayah Jaka ...
Relevan terhadap
Dalam rangka memastikan pelaksanaan rencana mitigasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melakukan pemantauan dan evaluasi.
Pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
pelaksanaan percepatan penyelenggaraan Kereta Api Ringan/ Light Rail Transit terintegrasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi;
pelaksanaan pembiayaan; dan
kemampuan pemenuhan Kewajiban Finansial.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko mengadakan pertemuan secara berkala dengan PT KAI untuk membahas dan memberikan masukan mengenai pelaksanaan pengelolaan risiko.
Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko menyampaikan laporan secara berkala dan/atau rekomendasi kepada Menteri untuk memberikan dukungan dan/atau melakukan tindakan sesuai dengan kewenangan Menteri untuk mencegah terjadinya Gagal Bayar PT KAI.
Pengelolaan Transfer ke Daerah dalam rangka Otonomi Khusus
Relevan terhadap
Kementerian Keuangan bersama dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan kementerian/lembaga terkait melakukan penilaian atas RAP yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (6) huruf c dan RAP yang bersumber dari DTI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (6) huruf d yang dialokasikan untuk provinsi.
Penilaian atas RAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara hasil penilaian dengan format yang tercantum dalam Lampiran huruf b yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Kementerian/lembaga terkait yang melakukan penilaian atas RAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal terdiri atas:
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi;
Kementerian Kesehatan;
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat;
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
Kementerian Perdagangan;
Kementerian Perindustrian;
Kementerian Ketenagakerjaan;
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif;
Kementerian Pertanian;
Kementerian Kelautan dan Perikanan;
Kementerian Perhubungan;
Kementerian Komunikasi dan Informatika;
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral;
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional; dan
Badan Pangan Nasional, sesuai dengan kewenangannya.
Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan tugas masing-masing kementerian/lembaga sebagai berikut:
Kementerian Keuangan melakukan penilaian atas:
duplikasi RAP yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan dan RAP yang bersumber dari DTI dengan RAP yang bersumber dari Tambahan DBH Migas Otsus Provinsi Papua dan RAP yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang bersifat umum;
sinergi RAP yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan dan RAP yang bersumber dari DTI dengan RAP yang bersumber dari Tambahan DBH Migas Otsus Provinsi Papua dan RAP yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang bersifat umum;
penyusunan RAP yang telah mempertimbangkan hasil pemantauan dan evaluasi penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua; dan
kesesuaian penggunaan TKD untuk penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus dengan ketentuan dalam peraturan perundang- undangan.
Kementerian Dalam Negeri melakukan penilaian atas:
kesesuaian RAP dengan kewenangan provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; dan
penyusunan RAP yang telah mempertimbangkan hasil pemantauan dan evaluasi TKD untuk penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional melakukan penilaian atas:
kesesuaian RAP dengan RAPPP, RPJMN, dan Rencana Kerja Pemerintah dengan memperhatikan hasil Musrenbang Otsus; dan
penyusunan RAP yang telah mempertimbangkan hasil pemantauan dan evaluasi TKD untuk penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus terkait RIPPP Provinsi Papua.
kementerian/lembaga terkait melakukan penilaian atas:
kewajaran harga satuan (unit cost) dan volume;
duplikasi RAP yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan dan RAP yang bersumber dari DTI dengan Program yang bersumber dari dana lainnya meliputi DAK fisik, DAK nonfisik, hibah ke Daerah, dan/atau belanja kementerian/lembaga;
kesesuaian RAP dengan kewenangan provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; dan
penyusunan RAP yang telah mempertimbangkan hasil pemantauan dan evaluasi TKD untuk penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Penilaian atas sinergi RAP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 2 dilaksanakan dengan memperhatikan:
kesesuaian antara RAP yang bersumber dari Tambahan DBH Migas Otsus Provinsi Papua dan RAP yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus yang bersifat umum dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
sinergi Program dan Kegiatan dalam kebijakan prioritas Program strategis bersama antara provinsi dan kabupaten/kota.
Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan kementerian/lembaga terkait menyusun indikator dan kriteria penilaian sesuai tugas masing-masing kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3).