Tata Cara Penyelesaian Tunggakan Luran Jaminan Kesehatan Pemerintah Daerah Melalui Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil. ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemberi kerja dan/atau pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan .
Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dari pendapatan negara untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Tunggakan Kewajiban Iuran Jaminan Kesehatan yang selanjutnya disebut Tunggakan adalah kewajiban Iuran Jaminan Kesehatan yang belum dibayarkan oleh Pemerintah Daerah kepada pihak penyelenggara program jaminan kesehatan, baik sebelum maupun sesudah terbentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disebut BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan.
Kapasitas Fiskal Daerah adalah gambaran dari kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui pendapatan daerah dikurangi dengan pendapatan yang penggunaannya sudah ditentukan, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan dan belanja pegawai.
Tata Cara Pengalokasian, Penganggaran, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kartu Prakerja
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Program Kartu Prakerja adalah program pengembangan kompetensi kerja yang ditujukan untuk pencari kerja, pekerja/buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja, dan/atau pekerja/buruh yang membutuhkan peningkatan kompetensi.
Kartu Prakerja adalah kartu penanda atau identitas yang diberikan kepada penerima Kartu Prakerja.
Dana Kartu Prakerja adalah sejumlah dana tertentu dalam APBN dan/atau APBN Perubahan yang dialokasikan Pemerintah untuk penyelenggaraan Program Kartu Prakerja.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya yang selanjutnya disebut BA 999.08 adalah subbagian anggaran Bendahara Umum Negara yang menampung belanja pemerintah pusat untuk keperluan belanja pegawai, belanja bantuan sosial, belanja lain-lain, yang pagu anggarannya tidak dialokasikan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh Kuasa pengguna anggaran Bendahara Umum Negara (BUN).
Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pemimpin PPA BUN adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab atas program Bagian Anggaran BUN dan bertindak untuk menandatangani DIPA BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran (PA) BUN.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA BUN untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disebut PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh KPA BUN untuk melakukan pengujian atas Surat Permintaan Pembayaran dan menerbitkan Surat Perintah Membayar.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, yang memperoleh kewenangan sebagai Kuasa BUN.
Surat Permintaan Pembayaran Langsung yang selanjutnya disingkat SPP-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disebut SPM-LS adalah surat perintah membayar yang diterbitkan oleh PPSPM kepada pihak ketiga atas dasar perikatan atau surat keputusan.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan Surat Perintah Membayar.
Komite Cipta Kerja yang selanjutnya disebut Komite adalah komite sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden mengenai pengembangan kompetensi kerja melalui Program Kartu Prakerja.
Manajemen Pelaksana adalah unit yang melaksanakan Program Kartu Prakerja yang sekaligus menjadi KPA BUN.
Direktur Pengelolaan Kas Negara yang selanjutnya disebut Direktur PKN adalah pejabat eselon II di bawah Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pengelolaan kas negara.
Rekening Dana Kartu Prakerja adalah rekening pemerintah lainnya milik kementerian negara/lembaga untuk menampung Dana Kartu Prakerja yang digunakan untuk biaya pelatihan dan insentif penerima Kartu Prakerja.
Rekening Virtual adalah nomor identifikasi penerima Kartu Prakerja yang dibuka oleh bank atas permintaan KPA BUN untuk selanjutnya diberikan kepada penerima Kartu Prakerja sebagai nomor rekening tujuan penerima.
Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara yang selanjutnya disingkat SPAN adalah bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara yang meliputi penetapan bisnis proses dan sistem informasi manajemen perbendaharaan dan anggaran negara terkait manajemen DIPA, penyusunan anggaran, manajemen kas, manajemen komitmen, manajemen pembayaran, manajemen penerimaan, dan manajemen pelaporan.
Surat Keputusan Penerima Kartu Prakerja yang selanjutnya disingkat SK-PKP adalah surat keputusan yang ditetapkan oleh KPA BUN berisi nama penerima Kartu Prakerja yang telah memenuhi syarat dan kriteria.
Maker adalah petugas yang ditunjuk untuk melakukan aktivitas perekaman data tagihan dalam cash management system .
Checker adalah pejabat/pegawai yang memiliki kewenangan melakukan aktivitas pengujian/penelitian atas tagihan yang dilakukan Maker .
Approver adalah pejabat yang memiliki kewenangan melakukan aktivitas persetujuan atas perekaman data yang dilakukan oleh Maker dan/atau atas perekaman data yang telah disetujui oleh Checker serta pembayaran kepada penerima.
Cash Management System yang selanjutnya disingkat CMS adalah sistem aplikasi dan informasi yang menyediakan informasi saldo, transfer antar rekening, pembayaran penerimaan negara dan utilitas, maupun fasilitas-fasilitas lain dalam pelaksanaan transaksi perbankan secara realtime online .
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ...
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Relevan terhadap
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, pen5rusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, pengundangan. 2. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norrna hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang- undangan. 3. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang- undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. 5. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang- undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menj alankan Undang- Undan g sebagaimana me stinya. 6. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang- undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggr atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. 7. Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang- undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Ralryat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
Peraturan .
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KabupatenlKota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. 9. Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. 1O. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah KabupatenlKota. yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. ll.Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah KabupatenlKota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Pemantauan 14. Pemantauan dan Peninjauan adalah kegiatan untuk mengamati, mencatat, dan menilai atas pelaksanaan Undang-Undang yang berlaku sehingga diketahui ketercapaian hasil yang direncanakan, dampak yang ditimbulkan, dan kemanfaatannya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dewan Perwakilan Ralryat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Ralryat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya disingkat DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dewan Perwakilan Ralryat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Ralryat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
Relevan terhadap
Program peningkatan kualitas bahan baku untuk mendukung bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a meliputi kegiatan:
pelatihan peningkatan kualitas tembakau;
penanganan panen dan pasca panen;
penerapan inovasi teknis; dan/atau
dukungan sarana dan prasarana usaha tani tembakau.
Program pembinaan industri untuk mendukung bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b angka 1 meliputi kegiatan:
pendataan dan pengawasan kepemilikan atau penggunaan mesin pelinting rokok dan pemberian sertifikat/kode registrasi mesin pelinting rokok;
penyediaan/pemeliharaan fasilitas pengujian bahan baku tembakau dan produk hasil tembakau bagi industri kecil dan menengah;
penyediaan/pemeliharaan sarana dan/atau prasarana pengolahan limbah industri bagi industri hasil tembakau kecil dan menengah;
pembinaan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia pada usaha industri hasil tembakau kecil dan menengah;
pembentukan, pengelolaan, dan pengembangan sentra industri hasil tembakau; dan/atau
penyediaan/pemeliharaan infrastruktur konektivitas yang mendukung industri hasil tembakau.
Program pembinaan lingkungan sosial untuk mendukung bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c angka 1 meliputi kegiatan:
pemberian bantuan; dan
peningkatan keterampilan kerja.
Program pembinaan lingkungan sosial untuk mendukung bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan kepada:
buruh tani tembakau dan/atau buruh pabrik rokok b. buruh pabrik rokok yang terkena pemutusan hubungan kerja; dan/atau
anggota masyarakat lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
Kegiatan pemberian bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi:
bantuan langsung tunai; dan/atau
bantuan pembayaran iuran jaminan perlindungan produksi tembakau bagi petani tembakau.
Kegiatan peningkatan keterampilan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b meliputi:
pelatihan keterampilan kerja;
bantuan modal usaha; dan/atau
bantuan bibit/benih/pupuk dan/atau sarana dan prasarana produksi kepada petani tembakau dalam rangka diversifikasi tanaman.
Pelaksanaan program peningkatan kualitas bahan baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan program pembinaan lingkungan sosial untuk bantuan bibit/benih/pupuk dan/atau sarana dan prasarana produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh Kementerian Pertanian dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah.
Pelaksanaan program pembinaan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian negara/lembaga terkait dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah.
Pelaksanaan kegiatan pemberian bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan Daerah dan/atau ketentuan dari kementerian negara/lembaga terkait dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah serta mempertimbangkan asas keadilan.
Pelaksanaan kegiatan pemberian bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dalam Peraturan Kepala Daerah paling kurang dengan mempertimbangkan kriteria penerima bantuan, besaran bantuan, jangka waktu pemberian bantuan, dan kondisi pemberian bantuan. Paragraf 2 Bidang Penegakan Hukum
Penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dianggarkan berdasarkan pagu alokasi DBH CHT pada tahun anggaran berjalan ditambah Sisa DBH CHT dengan ketentuan:
50% (lima puluh persen) untuk bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, huruf b angka 1, dan huruf c angka 1;
10% (sepuluh persen) untuk bidang penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b angka 2 dan huruf d; dan
40% (empat puluh persen) untuk bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c angka 2.
Penganggaran DBH CHT sebesar 50% (lima puluh persen) untuk bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan ketentuan:
20% (dua puluh persen) untuk:
program peningkatan kualitas bahan baku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
program pembinaan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2); dan/atau
program pembinaan lingkungan sosial untuk kegiatan peningkatan keterampilan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (6); dan b. 30% (tiga puluh persen) untuk program pembinaan lingkungan sosial pada kegiatan pemberian bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5).
Persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibulatkan ke satuan persentase terdekat dengan ketentuan:
dalam hal angka yang terletak di belakang koma lebih kecil dari 0,5 (nol koma lima), angka tersebut dibulatkan ke bawah; dan
dalam hal angka yang terletak di belakang koma lebih besar atau sama dengan 0,5 (nol koma lima), angka tersebut dibulatkan ke atas menjadi 1 satuan.
Dalam hal ketersediaan anggaran untuk kegiatan di bidang penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b melebihi kebutuhan, Pemerintah Daerah mengalihkan kelebihan anggaran tersebut untuk kegiatan di bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, huruf b angka 1, huruf c angka 1, kegiatan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c angka 2, dan/atau kegiatan lain sesuai dengan prioritas dan kebutuhan Daerah setelah berkonsultasi dengan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setempat dan/atau Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai setempat.
Dalam hal ketersediaan anggaran untuk kegiatan pemberian bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b melebihi kebutuhan, Pemerintah Daerah mengalihkan kelebihan anggaran tersebut untuk kegiatan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c angka 2, kegiatan lain di bidang kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dan/atau kegiatan lain sesuai dengan prioritas dan kebutuhan Daerah.
Dalam hal dilakukan pengalihan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), Kepala Daerah menyampaikan surat pernyataan pengalihan anggaran kepada:
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan untuk provinsi; dan
gubernur dan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan untuk kabupaten/kota.
Untuk menghitung besaran Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf e, Pemerintah Daerah melakukan rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH CHT dengan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi.
Gubernur dapat mengoordinasikan pelaksanaan rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dalam hal rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menghitung Sisa DBH CHT berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan Sisa DBH CHT berdasarkan berita acara rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada gubernur.
Berdasarkan surat pemberitahuan Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah Daerah menganggarkan kembali Sisa DBH CHT dalam APBD perubahan tahun anggaran berjalan dan/atau APBD tahun anggaran berikutnya untuk mendanai program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 10.
Penganggaran kembali Sisa DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam surat pernyataan penganggaran kembali yang ditandatangani oleh Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk.
Surat pernyataan penganggaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada:
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan untuk provinsi; dan
gubernur dan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan untuk kabupaten/kota.
Surat pernyataan penganggaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diterima oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat tanggal 5 Juni tahun anggaran berjalan.
Dalam hal tanggal 5 Juni bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) pada hari kerja berikutnya.
Pengelolaan Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit
Relevan terhadap
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL PERKEBUNAN SA WIT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Pemerintah Daerah adalah kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 4. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota. 5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. 7. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat dengan TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 8. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu. yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. 9. Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut DBH Sawit adalah DBH yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan dari bea keluar 1 jdih.kemenkeu.go.id dan pungutan ekspor atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya. 10. Rancangan Kegiatan dan Penganggaran Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut RKP DBH Sawit adalah rencana kegiatan dan penganggaran yang dapat dibiayai oleh DBH Sawit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan diselaraskan dengan program kerja Pemerintah Daerah pada tahun anggaran berjalan. 11. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara. 12. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga. 13. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggungjawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN. 14. Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga. 15. Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pemimpin PPA BUN adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertanggungjawab atas program BA BUN dan bertindak untuk menandatangani daftar isian pelaksanaan anggaran BUN. 16. Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. 17. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN. 18. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA Satker BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban Pemerintah dan TKD tahunan yang disusun oleh KPA BUN. 19. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Bendahara Umum Negara TKD untuk DBH Sawit yang selanjutnya disebut RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan DBH Sawit tahunan yang disusun oleh KPA BUN Pengelolaan DBH Sawit. jdih.kemenkeu.go.id 20. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 21. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat pembuat komitmen yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 22. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat penandatangan surat perintah membayar atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA. 23. Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut Kurang Bayar DBH Sawit adalah selisih kurang antara DBH Sawit yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH Sawit yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH Sawit yang dihitung berdasarkan prognosis realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu. 24. Lebih Bayar Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut Lebih Bayar DBH Sawit adalah selisih lebih antara DBH Sawit yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH Sawit yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH Sawit yang dihitung berdasarkan prognosis realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu. 25. Sisa DBH Sawit adalah selisih lebih antara DBH Sawit yang telah disalurkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dengan realisasi penggunaan DBH Sawit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan selama satu periode tahun anggaran dan/atau beberapa tahun anggaran. 26. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 27. Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana BUN adalah indikasi dana dalam rangka untuk pemenuhan kewajiban Pemerintah yang penganggarannya hanya ditampung pada BA BUN. 28. Indikasi Kebutuhan Dana BUN untuk DBH Sawit adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan dalam rangka pelaksanaan DBH Sawit. 29. Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital. 30. Sistem Informasi Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat SIKD adalah suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan, serta mengolah data pengelolaan keuangan Daerah dan data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan sebagai bahan pengambilan keputusan 1 jdih.kemenkeu.go.id dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah. Pasal 2 Pengelolaan DBH Sa wit yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
penganggaran;
pengalokasian;
penggunaan;
penyaluran; dan
pemantauan dan evaluasi. Pasal 3 (1) DBH Sawit merupakan bagian dari TKD. (2) DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara atas:
bea keluar yang dikenakan atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya berdasarkan Peraturan Menteri mengenai penetapan besaran tarif bea keluar; dan
pungutan ekspor yang dikenakan atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya berdasarkan Peraturan Menteri mengenai penetapan besaran tarif pungutan ekspor. (3) Pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah sebesar 4% {empat persen) dari penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Pemerintah dapat menetapkan alokasi minimum DBH Sawit. (5) Dalam hal ditetapkan alokasi minimum DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah dapat menggunakan sumber penerimaan lain yang dilaksanakan dengan mekanisme APBN. BAB II PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA PENGELOLAAN DBH SAWIT Pasal 4 (1) Dalam rangka pengelolaan DBH Sawit, Menteri selaku PA BUN Pengelolaan TKD menetapkan:
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD;
Direktur Dana Transfer Umum sebagai KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum;
Direktur Pelaksanaan Anggaran sebagai koordinator KPA BUN Penyaluran TKD; dan
Kepala KPPN sebagai KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum. (2) Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan Kepala KPPN yang wilayah kerjanya meliputi Daerah provinsi/kabupaten/kota penerima alokasi DBH Sawit. l jdih.kemenkeu.go.id (3) Dalam hal pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berhalangan, Menteri menunjuk Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum. (4) Dalam hal pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berhalangan, Menteri menunjuk pejabat pelaksana tugas/pelaksana harian Kepala KPPN sebagai pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum. (5) Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum dan Kepala KPPN selaku KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum:
tidak terisi dan menimbulkan lowonganjabatan; atau
masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN tidak dapat melaksanakan tugas melebihi 5 (lima) hari kerja. (6) Penunjukan:
Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan/atau
pejabat pelaksana tugas/pelaksana harian Kepala KPPN sebagai pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berakhir dalam ha! Direktur Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d telah terisi kembali oleh pejabat definitif dan/ a tau dapat melaksanakan tugas kembali sebagai KPA BUN. (7) Pejabat pelaksana tugas KPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang sama dengan KPA BUN. (8) Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD dapat mengusulkan penggantian KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum kepada Menteri. (9) Penggantian KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 5 (1) KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
mengajukan usulan Indikasi Kebutuhan Dana BUN TKD untuk DBH Sawit kepada Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD yang dilengkapi dengan dokumen pendukung; jdih.kemenkeu.go.id b. menyusun RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit beserta dokumen pendukung yang berasal dari pihak terkait;
menyampaikan RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit beserta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf b kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan untuk direviu;
menandatangani RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit yang telah direviu oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dan menyampaikannya kepada Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD;
menyusun DIPA BUN TKD untuk DBH Sawit;
menyusun dan/atau menyampaikan rekomendasi penyaluran, penghentian penyaluran, dan/atau penyaluran kembali TKD untuk DBH Sawit kepada KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD; dan/atau
menyampaikan rencana penyaluran DBH Sawit kepada KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum. (2) Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menyampaikan laporan realisasi penyaluran DBH Sawit kepada PPA BUN Pengelolaan TKD melalui aplikasi yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan;
menyusun proyeksi penyaluran DBH Sawit sampai dengan akhir tahun berdasarkan rekapitulasi laporan dari KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum melalui aplikasi Cash Planning Information _Network; _ dan c. menyusun dan menyampaikan konsolidasi laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada PPA BUN Pengelolaan TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menetapkan pejabat pembuat komitmen dan pejabat penandatangan SPM;
melakukan penatausahaan dokumen yang berkaitan dengan penyaluran DBH Sawit;
menyusun dan menyampaikan laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada PPA BUN Pengelolaan TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
melakukan verifikasi terhadap rekomendasi penyaluran dan pengenaan pemotongan penyaluran, penundaan penyaluran, penghentian penyaluran, dan penyaluran kembali DBH Sawit;
melaksanakan penyaluran dan/atau penyaluran kembali DBH Sawit berdasarkan rekomendasi 1 jdih.kemenkeu.go.id penyaluran yang diterbitkan oleh KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum;
menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyaluran DBH Sawit kepada PPA BUN Pengelolaan TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD menggunakan aplikasi online monitoring sistem perbendaharaan anggaran negara dalam rangka pertanggungjawaban penyaluran DBH Sawit; dan
melakukan pengisian dan menyampaikan capaian kinerja penyaluran DBH Sawit melalui aplikasi sistem monitoring dan evaluasi kinerja terpadu bendahara umum negara sesuai dengan ketentuan pera.turan perundang-undangan. (4) Penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e menggunakan aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Pasal 6 PPA BUN Pengelolaan TKD, KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum, koordinator KPA BUN Penyaluran TKD, dan KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tidak bertanggung jawab secara formil dan materiil atas pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DBH Sawit oleh Pemerintah Daerah. BAB III PENGANGGARAN DBH SAWIT Pasal 7 (1) KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum mengajukan usulan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit kepada Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD. (2) Berdasarkan usulan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD menyusun Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit. (3) Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD menyampaikan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat bulan Februari tahun anggaran sebelumnya. (4) Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan memperhatikan minimal:
penerimaan bea keluar dan pungutan ekspor yang dibagihasilkan pada tahun anggaran sebelumnya; dan/atau
Kurang Bayar/Lebih Bayar DBH Sawit tahun-tahun sebelumnya. (5) Penyusunan dan penyampaian Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. l jdih.kemenkeu.go.id BAB IV PENGALOKASIAN DBH SAWIT Bagian Kesatu Penyediaan Data Penerimaan Sawit yang Dibagihasilkan Pasal 8 (1) Berdasarkan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan permohonan penyampaian data berupa:
realisasi penerimaan bea keluar, kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
realisasi penerimaan pungutan ekspor, kepada Direktorat Jenderal Anggaran;
luas lahan perkebunan sawit tahun sebelumnya, data produktivitas lahan sawit tahun sebelumnya yang dirinci menurut kabupaten/kota, dan data tingkat kemiskinan menurut provinsi dan kabupaten/kota, kepada Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian;
daftar daerah yang telah memiliki rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan, kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; dan
batas wilayah menurut kabupaten/kota, kepada Kementerian Dalam Negeri. (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan data realisasi penerimaan bea keluar 1 (satu) tahun sebelumnya. (3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Direktorat Jenderal Anggaran menyampaikan data realisasi penerimaan pungutan ekspor 1 (satu) tahun sebelumnya. (4) Dalam hal realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) belum tersedia, dapat digunakan perkiraan realisasi penerimaan sampai dengan akhir tahun anggaran. (5) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian menyampaikan data berupa data luas lahan perkebunan sawit tahun sebelumnya, data produktivitas lahan sawit tahun sebelumnya yang dirinci menurut kabupaten/kota, dan data tingkat kemiskinan menurut provinsi dan kabupaten/kota, sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing pihak. (6) Dalam hal data tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) belum tersedia, digunakan data tahun terakhir yang tersedia. (7) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyampaikan daftar Daerah yang telah memiliki rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan. jdih.kemenkeu.go.id (8) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, Kementerian Dalam Negeri menyampaikan data batas wilayah menurut kabupaten/kota. (9) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (7), dan ayat (8) disampaikan kepada Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu kedua bulan September tahun anggaran sebelumnya. (10) Dalam hal data sebagaimana dimaksud pada ayat (9) belum diterima sampai dengan minggu kedua bulan September tahun anggaran sebelumnya, dapat digunakan data yang disampaikan pada tahun-tahun anggaran sebelumnya. Bagian Kedua Perhitungan Alokasi DBH Sawit Menurut Daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota Pasal 9 Data penerimaan bea keluar dan penerimaan pungutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) atau data perkiraan realisasi penerimaan sampai dengan akhir tahun anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) digunakan untuk menghitung pagu DBH Sawit yang dibagihasilkan kepada Daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 10 (1) Pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 digunakan untuk menghitung besaran rincian alokasi DBH Sawit yang dibagikan kepada provinsi/kabupaten/kota dengan ketentuan sebagai berikut:
50% (lima puluh persen) dari pagu DBH Sawit dialokasikan berdasarkan luas lahan perkebunan sawit; dan
50% (lima puluh persen) dari pagu DBH Sawit dialokasikan berdasarkan produktivitas lahan sawit. (2) Perhitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan indikator luas lahan perkebunan sawit per kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan secara proporsional terhadap luas lahan perkebunan sawit secara nasional. (3) Perhitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan indikator produktivitas lahan sawit per kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sesuai nilai produktivitas dengan ketentuan sebagai berikut:
kategori sangat rendah, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas kurang dari 1.000 kg/ha (seribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 10% (sepuluh persen);
kategori rendah, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas 1.000 kg/ha (seribu kilogram per hektar) sampai dengan kurang dari 2.000 kg/ha (dua ribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 15% (lima belas persen); jdih.kemenkeu.go.id c. kategori sedang, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas 2.000 kg/ha (dua ribu kilogram per hektar) sampai dengan kurang dari 3.000 kg/ha (tiga ribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 20% (dua puluh persen);
kategori tinggi, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas 3.000 kg/ha (tiga ribu kilogram per hektar) sampai dengan kurang dari 4.000 kg/ha (empat ribu) mendapatkan nilai produktivitas 25% (dua puluh lima persen); dan
kategori sangat tinggi, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas lebih dari atau sama dengan 4.000 kg/ha (empat ribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 30% (tiga puluh persen). (4) Perhitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan indikator produktivitas perkebunan sawit per kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara proporsional terhadap total nilai produktivitas secara nasional. (5) Dalam hal data produktivitas lahan sawit tidak tersedia untuk suatu kabupaten/kota penghasil, penghitungan DBH Sawit untuk kabupaten/kota tersebut dilakukan berdasarkan rata-rata produktivitas lahan sawit di provinsi yang bersangkutan. (6) Dalam hal data rata-rata produktivitas lahan sawit di provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tersedia, kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dimasukkan dalam nilai produktivitas dengan kategori sangat rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a. Pasal 11 (1) Alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dibagikan kepada:
provinsi yang bersangkutan sebesar 20% (dua puluh persen);
kabupaten/kota penghasil sebesar 60% (enam puluh persen); dan
kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 20% (dua puluh persen). (2) Pembagian besaran persentase alokasi DBH Sawit kepada kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan berdasarkan tingkat eksternalitas negatifyang dialami masing-masing Daerah. (3) Perhitungan eksternalitas negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh kementerian negara/lembaga terkait sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. (4) Dalam hal perhitungan eksternalitas negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia, besaran persentase alokasi DBH Sawit dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil. l jdih.kemenkeu.go.id (5) Data batas wilayah untuk menentukan kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota pengbasil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersumber dari Kementerian Dalam Negeri. (6) Dalam bal suatu kabupaten/kota merupakan kabupaten/kota pengbasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf b dan kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota pengbasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf c, alokasi untuk kabupaten/kota tersebut dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
alokasi DBH sawit yang disalurkan merupakan alokasi terbesar antara alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf b dan ayat (1) buruf c; dan
alokasi DBH sawit terkecil antara alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf b dan ayat (1) buruf c tidak disalurkan dan menjadi akumulasi sisa alokasi DBH Sawit. (7) Akumulasi sisa alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) buruf b seprovinsi dialokasikan secara merata kepada kabupaten/kota pengbasil dan/atau kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota pengbasil dalam provinsi yang sama. Pasal 12 (1) Alokasi DBH Sawit dibitung sebagai berikut:
berdasarkan persentase bagi basil dan penetapan Daerab pengbasil; dan
berdasarkan kinerja Pemerintab Daerah. (2) Alokasi DBH Sawit berdasarkan persentase bagi basil dan penetapan Daerah pengbasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf a ditetapkan sebesar 90% (sembilan pulub persen) dari alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). (3) Alokasi DBH Sawit berdasarkan kinerja Pemerintah Daerab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf b yang selanjutnya disebut alokasi kinerja ditetapkan sebesar 10% (sepulub persen) dari alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). (4) Alokasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan kepada provinsi dan kabupaten/kota yang mencapai tingkat kinerja tertentu. Pasal 13 (1) Alokasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dibitung berdasarkan indikator:
penurunan tingkat kemiskinan; dan/atau
ketersediaan rencana aksi daerab kelapa sawit berkelanjutan. (2) Perbitungan alokasi kinerja berdasarkan indikator penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) buruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: jdih.kemenkeu.go.id a. bagi provinsi yang bersangkutan dan kabupaten/kota penghasil menggunakan indikator penurunan tingkat kemiskinan dengan bo bot se besar 50% (lima puluh persen) dan indikator ketersediaan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan dengan bobot se besar 50% (lima puluh per sen); dan
bagi kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil menggunakan indikator penurunan tingkat kemiskinan. (3) Penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan persentase penurunan tingkat kemiskinan 1 (satu) tahun sebelumnya dibandingkan dengan tingkat kemiskinan 2 (dua) tahun sebelumnya. (4) Penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diurutkan mulai dari nilai terendah hingga nilai tertinggi dan dikelompokkan menjadi 5 (lima) kategori dengan ketentuan sebagai berikut:
kategori sangat rendah terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan 20% (dua puluh persen) terbawah secara nasional;
kategori rendah terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 40% (empat puluh persen) terbawah secara nasional;
kategori sedang terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 40% (empat puluh persen) sampai dengan 60% (enam puluh persen) terbawah secara nasional;
kategori tinggi terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 60% (enam puluh persen) sampai dengan 80% (delapan puluh persen) terbawah secara nasional; dan
kategori sangat tinggi terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 80% (delapan puluh persen) sampai dengan 100% (seratus persen) secara nasional. (5) Berdasarkan kategori penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), alokasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung d k t t b . b "kut engan e en uan se aga1 en Kategori Persentase terhadap alokasi kinerja pada Penurunan pasal 12 ayat (3} Tingkat Provinsi Kabupaten/ Kota Kabupaten/Kota Kemiskinan penghasil berbatasan Sangat rendah 10% 10% 20% Rendah 20% 20% 40% Sedang 30% 30% 60% Tinggi 40% 40% 80% Sangat Tinggi 50% 50% 100% l jdih.kemenkeu.go.id (6) Alokasi kinerja berdasarkan indikator ketersediaan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
provinsi dan kabupaten/kota penghasil yang tersedia rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan dihitung sebesar 50% (lima puluh persen) dari alokasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); dan
provinsi dan kabupaten/kota penghasil yang tidak tersedia rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan dihitung sebesar 0% (nol persen) dari alokasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3). (7) Selisih lebih atas penghitungan alokasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (6) dapat digunakan untuk:
perubahan alokasi DBH;
penyelesaian Kurang Bayar DBH; dan/atau
penetapan alokasi minimum. (8) Alokasi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf c merupakan batas terendah alokasi DBH Sawit untuk provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 14 (1) Hasil penghitungan alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan/atau alokasi minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (8) disampaikan dalam pembahasan Nota Keuangan dan/atau Rancangan Undang-Undang mengenai APBN antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk disetujui menjadi pagu DBH Sawit. (2) Berdasarkan pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan alokasi DBH Sawit menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota. (3) Berdasarkan alokasi DBH Sawit menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan informasi alokasi DBH Sawit melalui portal (website) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (4) Alokasi DBH Sawit menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN. Bagian Ketiga Perhitungan dan Penetapan Perubahan Alokasi DBH Sawit Pasal 15 (1) Perubahan alokasi DBH Sawit dapat dilakukan dalam hal terdapat:
perubahan APBN; dan/atau
perubahan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan dalam tahun berjalan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Dalam ha! dilakukan perubahan alokasi DBH Sawit, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan perubahan alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut provinsi dan kabupaten/kota secara proporsional berdasarkan data alokasi DBH Sawit dalam APBN tahun anggaran berjalan. (3) Perubahan alokasi menurut provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. BABV PENGGUNAAN DBH SAWIT Bagian Kesatu Kegiatan yang Didanai DBH Sawit Pasal 16 (1) DBH Sawit digunakan untuk membiayai kegiatan:
pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan; dan/atau
kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Pemenuhan pendanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disinergikan dengan jenis pendanaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlokasi di luar area perkebunan, terdiri atas:
penanganan jalan, meliputi:
rekonstruksi/peningkatan struktur;
pemeliharaan berkala; dan/atau
pemeliharaan rutin; dan/atau
penanganan jembatan, meliputi:
rehabilitasi/pemeliharaan berkala jembatan;
penggantian jembatan; dan/atau
pembangunan jembatan. (4) Penanganan jalan yang didanai menggunakan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
merupakan jalan kewenangan Pemerintah Daerah yang tercantum dalam Surat Keputusan Kepala Daerah tentang Penetapan Status Jalan Daerah;
diprioritaskan untuk jalan yang menjadi jalur logistik. pengangkutan sawit; dan/atau
diprioritaskan untuk jalan yang telah dilakukan survei kondisi jalan minimal 1 (satu) tahun sebelum pengusulan. (5) Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
pendataan perkebunan sawit rakyat;
penyusunan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan;
pembinaan dan pendampingan untuk sertifikasi indonesian sustainable palm oil;
rehabilitasi hutan dan lahan; dan jdih.kemenkeu.go.id e. perlindungan sosial bagi pekerja perkebunan sawit yang belum terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (6) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk kegiatan penunjang yang terdiri atas:
pengadaan jasa konsultan pengawas kegiatan kontraktual; dan / a tau b. perjalanan dinas ke dan/atau dari lokasi kegiatan dalam rangka perencanaan, pengendalian, dan pengawasan. (7) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b termasuk kegiatan penunjang yang terdiri atas:
pemberian honorarium fasilitator kegiatan DBH Sawit yang dilakukan secara swakelola;
penyewaan sarana dan prasarana pendukung;
pembahasan rencana kegiatan di Pemerintah Daerah; dan/atau
perjalanan dinas ke dan/ a tau dari lokasi kegiatan dalam rangka perencanaan, pengendalian, dan pengawasan. (8) Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana pada ayat (3) dan pemenuhan ketentuan penanganan jalan yang didanai menggunakan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah. (9) Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dan huruf c berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah. (10) Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. (11) Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah. (12) Pelaksanaan kegiatan perlindungan sosial bagi pekerja perkebunan sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf e ditetapkan dalam Peraturan Kepala Daerah minimal dengan mempertimbangkan kriteria penerima bantuan, besaran bantuan, jangka waktu pemberian bantuan, dan kondisi pemberian bantuan. l jdih.kemenkeu.go.id Pasal 17 (1) Penggunaan DBH Sawit untuk kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) minimal 80% (delapan puluh persen) dari aloka.si DBH Sawit per Daerah provinsi dan kabupaten/ kota. (2) Penggunaan DBH Sawit untuk kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari alokasi DBH Sawit per Daerah provinsi dan kabupaten/kota. (3) Kegiatan penunjang dalam DBH Sawit untuk kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) dan DBH Sawit untuk kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari alokasi DBH Sawit untuk masing-masing kegiatan. (4) Dalam hal ketersediaan anggaran untuk kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melebihi kebutuhan, Pemerintah Daerah dapat mengalihkan kelebihan anggaran tersebut untuk:
kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3); dan/atau
kegiatan lain sesuai dengan prioritas dan kebutuhan Daerah. Pasal 18 (1) Besaran biaya yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 mengacu pada standar biaya di Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan berpedoman pada Peraturan Presiden mengenai standar harga satuan regional. (2) Dalam pelaksanaan kegiatan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Kepala Daerah membentuk sekretariat atau menunjuk koordinator pengelola kegiatan DBH Sawit dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kegiatan DBH Sawit di wilayahnya. Bagian Kedua RKP DBH Perkebunan Sawit Pasal 19 (1) Berdasarkan Peraturan Presiden mengenai rincian APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), Daerah provinsi dan kabupaten/kota penerima alokasi DBH Sawit menganggarkan DBH Sawit dalam APBD. (2) Dalam rangka penganggaran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah menyusun RKP DBH Sawit yang berisi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (3) RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
perkiraan pagu alokasi DBH Sawit;
rincian dan lokasi kegiatan; 1 jdih.kemenkeu.go.id c. target keluaran kegiatan;
rincian pendanaan kegiatan; dan
penganggaran kembali sisa DBH Sawit yang masih terdapat di rekening kas umum Daerah dalam ha! Daerah masih memiliki sisa DBH Sawit. (4) RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan klasifikasi, kodefikasi, dan nomenklatur perencanaan pembangunan dan keuangan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (5) RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas bersama dengan kementerian negara/lembaga Pemerintah terkait paling lambat bulan November pada tahun anggaran sebelumnya. (6) Pemerintah provinsi mengoordinasikan pembahasan penyusunan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan kabupaten/kota di wilayahnya dan kementerian negara/lembaga terkait. (7) Hasil pembahasan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dituangkan dalam berita acara hasil pembahasan yang ditandatangani oleh perwakilan dari:
Pemerintah dan provinsi untuk RKP DBH Sawit provinsi; atau
Pemerintah, kabupaten/kota, dan provinsi untuk RKP DBH Sawit kabupaten/kota. (8) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Daerah menetapkan RKP DBH Sawit dalam APBD. (9) Kepala Daerah bertanggung jawab secara formal dan materiil atas kegiatan DBH Sawit yang tercantum dalam RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2). BAB VI PENYALURAN,PENUNDAANPENYALURAN,PENYALURAN KEMBALI, DAN PENGHENTIAN PENYALURAN Pasal 20 (1) Penyaluran DBH Sawit dilakukan dengan pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum Daerah. (2) Jumlah DBH Sawit yang disalurkan ke rekening kas umum Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan alokasi yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN. (3) Penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, dengan ketentuan sebagai berikut:
tahap I sebesar 50% (lima puluh persen) dari alokasi paling lambat bulan Mei tahun anggaran berjalan; dan
tahap II sebesar 50% (lima puluh persen) dari alokasi paling lambat bulan Oktober tahun anggaran berjalan. jdih.kemenkeu.go.id (1) (2) (3) Pasal 21 Dalam rangka penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Gubernur menyusun laporan realisasi penggunaan DBH Sawit yang terdiri atas:
laporan realisasi penggunaan tahun anggaran sebelumnya;
laporan realisasi penggunaan semester I tahun anggaran berjalan;
laporan konsolidasi realisasi penggunaan anggaran sebelumnya untuk provinsi kabupaten/kota di wilayahnya; dan tahun dan d. laporan konsolidasi realisasi penggunaan semester I tahun anggaran berjalan untuk provms1 dan kabupaten/kota di wilayahnya. Dalam rangka penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Bupati/Wali kota menyusun laporan realisasi penggunaan DBH Sawit yang terdiri atas:
laporan realisasi penggunaan tahun anggaran sebelumnya; dan
laporan realisasi penggunaan semester I tahun anggaran berjalan. Laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada:
Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan;
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat c.q. Sekretaris Jenderal;
Menteri Pertanian c.q. Direktur Jenderal Perkebunan;
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan c.q. Sekretaris Jenderal dan Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan; dan
Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah. Pasal 22 (1) Penyaluran DBH Sawit tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a dilakukan setelah Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima syarat salur berupa:
laporan realisasi penggunaan DBH Sawit tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dan laporan konsolidasi realisasi penggunaan tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c bagi provinsi;
laporan realisasi penggunaan DBH Sawit tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a bagi kabupaten/kota; dan
RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) bagi provinsi dan kabupaten/kota, paling lambat tanggal 30 April tahun anggaran berjalan. (2) Penyaluran DBH Sawit tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b dilakukan setelah Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima syarat salur berupa: l jdih.kemenkeu.go.id a. laporan realisasi penggunaan DBH Sawit semester pertama tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dan laporan konsolidasi realisasi penggunaan semester pertama tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d bagi provinsi; dan
laporan realisasi penggunaan DBH Sawit semester pertama tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b bagi kabupaten/kota, paling lambat tanggal 30 September tahun anggaran berjalan. (3) Dalam hal tanggal 30 April dan 30 September bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada hari kerja berikutnya. (4) Surat penyampaian syarat salur DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditandatangani oleh kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 23 (1) Dalam hal syarat salur tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) tidak diterima sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran tahap I terhadap DBH Sawit. (2) Dalam ha! RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf c tidak memenuhi kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan/atau tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran sebesar 15% (lima belas persen) dari nilai penyaluran tahap I terhadap DBH Sawit. (3) Dalam hal syarat salur tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) tidak diterima sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran tahap II terhadap DBH Sawit. (4) Dalam hal laporan realisasi penggunaan DBH Sawit semester pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) tidak memenuhi kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran sebesar 15% (lima belas persen) dari nilai penyaluran tahap II terhadap DBH Sawit. Pasal 24 (1) Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penyaluran kembali DBH Sawit tahap I yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dalam ha!: 1 jdih.kemenkeu.go.id a. Daerah telah menyampaikan syarat salur tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1}; dan/atau
Daerah telah menyampaikan perbaikan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang menunjukkan kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (2) Penyaluran kembali DBH Sawit tahap I yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling cepat bulan Juni tahun anggaran berjalan. (3) Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penyaluran kembali DBH Sawit tahap II yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dalam hal:
Daerah telah menyampaikan syarat salur tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3}; dan/atau
Daerah telah menyampaikan perbaikan laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) yang menunjukkan kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (4) . Penyaluran kembali DBH Sawit tahap II yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling cepat bulan November tahun anggaran berjalan. Pasal 25 (1) Dalam hal:
laporan syarat salur tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a; dan/atau
perbaikan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b, belum diterima sampai dengan tanggal 15 November tahun anggaran berjalan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penghentian penyaluran DBH Sawit tahap I yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1). (2) Dalam hal:
laporan syarat salur tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a; dan/atau
perbaikan laporan realisasi penggunaan DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) hurufb, belum diterima sampai dengan tanggal 15 November tahun anggaran berjalan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penghentian penyaluran DBH Sawit tahap II yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3). (3) Dalam hal tanggal 15 November bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penerimaan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari kerja berikutnya. jdih.kemenkeu.go.id (4) Dalam hal laporan realisasi penggunaan DBH Sawit tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a dan hurufb tidak memenuhi kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penghentian penyaluran DBH Sawit tahap I sebesar 15% (lima belas persen) dari nilai penyaluran tahap I terhadap DBH Sawit. (5) Penghentian penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri. BAB VII PEMANTAUAN DAN EVALUASI Bagian Kesatu Mekanisme Pemantauan dan Evaluasi Pasa126 (1) Gubernur melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap alokasi, penggunaan anggaran, pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DBH Sawit oleh pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya. (2) Gubernur menyampaikan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta rekomendasi tindak lanjut kepada:
Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan;
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat c.q. Sekretaris Jenderal;
Menteri Pertanian c.q. Direktur Jenderal Perkebunan;
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan c.q. Sekretaris Jenderal dan Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan; dan
Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah. (3) Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam bentuk ADK (softcopy) dan dokumen hardcopy (pindai Format Dokumen Portabel (Portable Document Format/ PDF)). (4) Penyampaian dalam bentuk ADK dan pindai Format Dokumen Portabel (Portable Document Format/PDF) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui aplikasi pada SIKD. (5) Dalam hal aplikasi pada SIKD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum tersedia, penyampaian hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikirimkan melalui surat elektronik (emaiij resmi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan/atau media lain yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. l jdih.kemenkeu.go.id (6) Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Dalam Negeri melakukan pemantauan dan evaluasi realisasi penggunaan DBH Sawit berdasarkan:
laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) untuk provinsi;
laporan konsolidasi realisasi penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c dan huruf d dan laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) untuk kabupaten dan kota; dan/atau
pengamatan langsung di lapangan, sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. (7) Pemantauan dan evaluasi penggunaan DBH Sawit oleh Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. meliputi:
kepatuhan penyampaian laporan;
besaran penganggaran untuk masing-masing kegiatan;
kesesuaian capaian keluaran antara RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dengan laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2); dan
besaran Sisa DBH Sawit yang masih terdapat di rekening kas umum Daerah. (8) Dalam melaksanakan pemantauan dan evaluasi realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan/atau instansi/unit terkait. (9) Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri dapat mengenakan sanksi penundaan dan/atau penghentian penyaluran DBH atas alokasi dan/atau penggunaan DBH Sa wit yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Sisa DBH Sawit Pasal 27 (1) Untuk menghitung besaran Sisa DBH Sawit yang masih terdapat di rekening kas umum Daerah setelah tahun anggaran berakhir, Pemerintah Daerah melakukan rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH Sawit dengan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi. (2) Gubernur dapat mengoordinasikan pelaksanaan rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pelaksanaan rekonsiliasi Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dilaksanakan paling lambat bulan April tahun anggaran berikutnya. 1 jdih.kemenkeu.go.id (4) Dalam ha! rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) tidak dilaksanakan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menghitung Sisa DBH Sawit berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (6). (5) Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) kepada Kepala Daerah paling cepat bulan Mei tahun anggaran berikutnya. (6) Berdasarkan surat pemberitahuan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pemerintah Daerah menganggarkan kembali Sisa DBH Sawit pada tahun anggaran berjalan dan/atau tahun anggaran berikutnya untuk mendanai kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. BAB VIII PERHITUNGAN DAN PENETAPAN ALOKASI KURANG BAYAR/LEBIH BAYAR DBH SAWIT Pasal 28 (1) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi Kurang Bayar/Lebih Bayar DBH Sawit berdasarkan:
data realisasi penerimaan bea keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a; dan
data realisasi penerimaan pungutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b. (2) Direktur Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan data realisasi penerimaan bea keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri. (3) Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan data realisasi penerimaan pungutan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri. (4) Penghitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Direktorat Jenderal Anggaran. (5) Dalam ha! alokasi DBH Sawit berdasarkan realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari DBH Sawit yang telah disalurkan ke rekening kas umum Daerah, terdapat Kurang Bayar DBH Sawit. jdih.kemenkeu.go.id (6) Dalam hal alokasi DBH Sawit berdasarkan realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih kecil dari DBH Sa wit yang telah disalurkan ke rekening kas umum Daerah, terdapat Lebih Bayar DBH Sawit. (7) Penetapan alokasi Kurang Bayar dan/atau Lebih Bayar DBH Sawit mempertimbangkan:
alokasi minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (8); dan/atau
penghentian salur DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25. (8) Alokasi Kurang Bayar DBH dan Lebih Bayar DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 29 (1) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit menyetorkan penerimaan negara yang berasal dari pungutan ekspor tahun anggaran sebelumnya yang menjadi realisasi DBH Sawit. (2) Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dari rekening Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit ke rekening kas umum negara melalui bank persepsi/pos persepsi. (3) Dalam rangka penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan persentase pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) sesuai dengan mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. (4) Penyetoran penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri. (5) Besaran penyetoran oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dihitung berdasarkan perkalian antara persentase pagu DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan realisasi penerimaan negara yang berasal dari pungutan ekspor yang menjadi realisasi DBH Sawit sesuai dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Tata cara penyetoran penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik. 1 jdih.kemenkeu.go.id BAB IX PENYALURAN DBH SA WIT TAHUN 2023 Pasal 30 Penyaluran DBH Sawit tahun anggaran 2023 dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
Kepala Daerah provinsi dan kabupaten/kota menyusun RKP DBH Sawit tahun anggaran 2023 sebagai dasar penggunaan dan penyaluran DBH Sawit. b. Penyaluran DBH Sawit tahun anggaran 2023 dilakukan secara sekaligus bagi Daerah provinsi dan kabupaten/kota yang telah menyampaikan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. c. Penyampaian RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan paling lambat tanggal 30 November 2023. d. Dalam ha! tanggal 30 November 2023 bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penerimaan sebagaimana dimaksud pada huruf c dilakukan pada hari kerja berikutnya. e. Dalam ha! Daerah provinsi dan kabupaten/kota tidak menyampaikan RKP DBH Sawit sampai dengan tanggal 30 November 2023 sebagaimana dimaksud pada huruf c atau hari kerja berikutnya sebagaimana dimaksud pada hurufd:
penyaluran DBH Sawit dilakukan secara sekaligus paling lambat 27 Desember 2023; dan
seluruh DBH Sawit yang disalurkan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dianggarkan dalam APBD tahun anggaran 2024 dan RKP DBH Sawit tahun anggaran 2024. BABX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 31 Penyaluran DBH Sawit Tahun Anggaran 2023 bersumber dari rupiah murni. Pasal 32 (1) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit mulai melakukan penyetoran penerimaan negara yang berasal dari pungutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2024 yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. (2) Penyetoran penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lam bat 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2024 disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri. l jdih.kemenkeu.go.id Pasal 33 Ketentuan mengenai:
rincian kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16;
format RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
format laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b dan Pasal 21 ayat (2);
format laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c dan huruf d; dan
rincian DBH Sawit tahun anggaran 2023 menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota, tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 34 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. l jdih.kemenkeu.go.id
Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan di Ibu Kota Nusantara
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Ibu Kota Negara bernama Nusantara yang selanjutnya disebut Ibu Kota Nusantara adalah satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus setingkat provinsi yang wilayahnya menjadi tempat kedudukan Ibu Kota Negara.
Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut Otorita Ibu Kota Nusantara adalah pelaksana kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggara Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.
Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut Kepala Otorita adalah kepala Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.
Daerah Mitra adalah kawasan tertentu di Pulau Kalimantan yang dibentuk untuk pembangunan dan pengembangan superhub ekonomi Ibu Kota Nusantara, yang bekerja sama dengan Otorita Ibu Kota Nusantara, dan ditetapkan melalui Keputusan Kepala Otorita.
Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Pajak Penghasilan adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah Pajak Penghasilan yang dipotong berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pusat Keuangan yang selanjutnya disebut Financial Center adalah area yang ditetapkan sebagai konsentrasi layanan jasa keuangan serta pusat pengembangan teknologi dan layanan pendukung bidang jasa keuangan.
Kegiatan Usaha Utama adalah rincian bidang usaha sebagaimana tercantum dalam perizinan usaha Wajib Pajak pada saat pengajuan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan di Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra.
Saat Mulai Beroperasi Komersial adalah saat pertama kali hasil produksi atau jasa dari Kegiatan Usaha Utama dijual atau diserahkan ke pasaran dan/atau digunakan sendiri untuk proses lebih lanjut.
Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (o nline single submission ) yang selanjutnya disebut Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh lembaga OSS untuk penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Penghasilan Bruto adalah semua penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha, setelah dikurangi dengan retur dan pengurangan penjualan serta potongan tunai dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.
Perjanjian Kerja Sama adalah perjanjian antara Wajib Pajak dengan sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, perguruan tinggi program diploma pada pendidikan vokasi, balai latihan kerja, atau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, Otorita Ibu Kota Nusantara, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota bagi perorangan yang tidak terikat hubungan kerja dengan pihak manapun, dalam rangka penyelenggaraan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu.
Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut metodologi ilmiah untuk memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan pemahaman tentang fenomena alam dan/atau sosial, pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis, dan penarikan kesimpulan ilmiah.
Pengembangan adalah kegiatan untuk peningkatan manfaat dan daya dukung ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah terbukti kebenaran dan keamanannya untuk meningkatkan fungsi dan manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi.
Komersialisasi adalah kegiatan produksi di Indonesia dan penjualan atas barang dan/atau jasa hasil Penelitian dan Pengembangan.
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya .
Hak Perlindungan Varietas Tanaman yang selanjutnya disebut Hak PVT adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemulia dan/atau pemegang hak Perlindungan Varietas Tanaman untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu.
Kekayaan Intelektual adalah kekayaan yang timbul karena hasil olah pikir manusia yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna bagi kehidupan manusia.
Pemberi Kerja adalah orang pribadi atau badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan, atau unit, termasuk instansi pemerintah, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan/atau pembayaran lain dengan nama atau dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai.
Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada Pemberi Kerja, baik sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan Pemberi Kerja, termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
Pegawai Tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh ( full time ) dalam pekerjaan tersebut.
Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang selanjutnya disebut Pegawai Tidak Tetap adalah Pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila Pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh Pemberi Kerja.
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak pertambahan nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak penjualan atas barang mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar penggantian Jasa Kena Pajak tersebut.
Surat Keterangan Tidak Dipungut yang selanjutnya disingkat SKTD adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak memperoleh fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atas impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak strategis tertentu berdasarkan Peraturan Menteri ini.
Surat Keterangan Bebas Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut SKB PPnBM adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak diberikan pengecualian melalui pembebasan dari pengenaan PPnBM atas impor atau perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor.
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang- Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.
Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat yang tidak mengutamakan kepentingan di bidang keuangan.
Hibah adalah pemberian/bantuan barang secara cuma- cuma tanpa syarat pembayaran dari pemberi dan/atau pengirim tertentu kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Pihak Ketiga adalah badan usaha yang melakukan kontrak kerja sama dengan pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Pihak Lain adalah pihak yang melakukan importasi atas penerimaan hibah kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang tidak melalui pencatatan dalam anggaran pendapatan belanja negara.
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disingkat KPBPB adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan Bea Masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah dan cukai.
Sistem Indonesia National Single Window yang selanjutnya disingkat SINSW adalah sistem elektronik yang mengintegrasikan sistem dan/atau informasi berkaitan dengan proses penanganan dokumen kepabeanan, dokumen kekarantinaan, dokumen perizinan, dokumen kepelabuhanan/kebandarudaraan, dan dokumen lain, yang terkait dengan ekspor dan/atau impor, yang menjamin keamanan data dan informasi serta memadukan alur dan proses informasi antar sistem internal secara otomatis.
Perusahaan adalah perusahaan yang melaksanakan pembangunan industri atau pengembangan industri dalam rangka Penanaman Modal dan khusus untuk Penanaman Modal Asing harus berbentuk perseroan terbatas.
Pembangunan adalah pembangunan industri berupa pendirian Perusahaan atau pabrik baru untuk menghasilkan barang dan/atau jasa.
Pengembangan Industri adalah pengembangan Perusahaan atau pabrik yang telah ada meliputi penambahan, modernisasi, rehabilitasi, dan/atau restrukturisasi dari alat-alat produksi termasuk mesin untuk tujuan peningkatan jumlah, jenis, dan/atau kualitas hasil produksi.
Fasilitas Pajak Dalam Rangka Impor yang selanjutnya disebut Fasilitas PDRI adalah kemudahan pajak berupa Pajak Pertambahan Nilai impor tidak dipungut dan pembebasan pemungutan Pajak Penghasilan dalam rangka impor.
Produk Dalam Negeri adalah barang dan jasa, termasuk rancang bangun dan perekayasaan, yang diproduksi atau dikerjakan oleh perusahaan yang berinvestasi dan berproduksi di Indonesia, menggunakan seluruh atau sebagian tenaga kerja warga negara Indonesia, dan prosesnya menggunakan bahan baku atau komponen yang seluruh atau sebagian berasal dari dalam negeri.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Tata Cara Penyaluran Hibah kepada Daerah Tahun Anggaran 2023
Relevan terhadap
Dalam APBN tahun anggaran 2023 telah dialokasikan belanja Hibah pada sub BA BUN TKD (999.05).
Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
penerimaan dalam negeri;
PLN; dan/atau
HLN.
Hibah yang bersumber dari penerimaan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
Nationwide Water Hibah Program;
Hibah Sanitasi/Air Limbah Setempat;
Hibah Jalan Daerah; dan
Hibah Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana.
Hibah yang bersumber dari PLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
Integrated Participatory Development and Management of Irrigation Project;
Mass Rapid Transit Project;
Rural Empowerment and Agricultural Development Scaling Up Initiative;
The Development of Integrated Farming System at Upland Areas Project; dan
Hibah Air Minum Berbasis Kinerja/National Urban Water Supply Project.
Hibah yang bersumber dari HLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
Hibah Air Minum Berbasis Kinerja Bantuan Pemerintah Australia;
Instalasi Pengolahan Air Limbah untuk Kota Palembang/ Palembang City Sewerage Project ; dan
Bio Carbon Fund Initiative for Sustainable Forest Landscape.
Tata cara pengalokasian dan penganggaran Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2A22;
Relevan terhadap
Cukup ^jelas. Pasal 1 1 Opini Wajar Tanpa Pengecualian disertai dengan beberapa temuan kelemahan Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-undangan, yang tidak memengaruhi kewajaran Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, sebagai berikut. 1. Penerapan Sistem SAKTI dalam penyusunan laporan keuangan belum sepenuhnya didukung dengan pengendalian yang memadai. 2. Pengelolaan fasilitas dan insentif perpajakan Tahun 2022 belum memadai sebesar Rp2,73 triliun. 3. Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai Terindikasi Kurang Disetorkan Sebesar Rp7,66 triliun dan Terlambat Disetorkan dengan Potensi Sanksi Sebesar Rp616,14 miliar dan USD1,338.OO. 4. Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada 39 (tiga puluh sembilan) Kementerian/Lembaga minimal sebesar Rp2,38 triliun serta pengelolaan Piutang Bukan Pajak pada 2L (dua puluh satu) Kementerian/Lembaga sebesar Rp727,11 miliar belum sesuai ketentuan. 5. Pengelolaan Belanja Subsidi Bunga Kredit Usaha Rakyat belum sepenuhnya didukung dengan kebdakan pelaksanaan dan anggaran, serta mekanisme verifikasi yang memadai untuk memastikan pemenuhan kewajiban pemerintah atas Program Subsidi Bunga/Subsidi Margin Reguler dan Tambahan, serta Imbal Jasa Penjaminan Kredit Usaha Rakyat kepada masyarakat dan Badan Usaha Penyalur. 6. Penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban belanja pada 78 (tujuh puluh delapan) Kementerian/Lembaga minimal sebesar Rp16,39 triliun belum sepenuhnya sesuai ketentuan.
Pelaksanaan 7. Pelaksanaan kebijakan penyaluran Dana Bagr Hasil secara nontunai melalui fasilitas Tleasury Deposit Facilitg Tahun 2A22 belum memadai. 8. Komponen cosf ouetrun Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung di luar hasil kesepakatan Indonesia'China belum ditetapkan skema penyelesaiannya dan pendanaan cost ouerntn Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung hasil kesepakatan Indonesia-China dari porsi pinjaman berpotensi membebani keuangan PT Kereta Api Indonesia (Persero). 9. Penyelesaian Piutang Negara Pemberian Pinjaman tidak sepenuhnya optimal. LO. Penatausahaan Piutang Perpajakan pada Kementerian Keuangan belum sepenuhnya memadai.
Penatausahaan barang sitaan dan agunan pada Kementerian Keuangan belum sepenuhnya memadai.
Piutang Pajak Macet dan Piutang Pajak Daluwarsa belum dilakukan tindakan penagihan yang optimal. l3.Tindak lanjut normalisasi Aset Tetap sebesar Rp529,47 miliar, serta pengelolaan Aset Tetap pada 58 KementeianlLembaga sebesar Rp36,53 triliun, Persediaan pada 47 (empat puluh tujuh) Kementerian/Lembaga sebesar Rp11,58 triliun, dan Aset Lainnya pada 23 (dua puluh tiga) Kementerian/Lembaga sebesar Rp2,36 triliun belum memadai.
Pengelolaan Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai, Barang yang Dikuasai Negara dan Barang yang Menjadi Milik Negara belum sepenuhnya memadai.
Pengelolaan kas pada 23 (dua puluh tiga) Kementerianllnmbaga sebesar Rp61,94 miliar belum sepenuhnya memadai.
Penyajian Aset Konsesi Jasa dan Properti Investasi pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2022 belum sepenuhnya memadai. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2022 disusun berdasarkan konsolidasi Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga dan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Tahun 2022 yang telah diaudit dan diberi opini oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Khusus untuk Laporan Keuangan Badan Pemeriksa Keuangan Tahun 2022 diaudit dan diberi opini oleh Kantor Akuntan Publik. Dari ^jumlah Laporan Keuangan KementerianlLembaga tersebut, 81 (delapan puluh satu) Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga mendapat opini "Wajar Tanpa Pengecualian", 1 (satu) Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga mendapat opini "Wajar Dengan Pengecualian", dan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara mendapat opini "Wajar Tanpa Pengecualian". Ikhtisar Laporan Keuangan Perusahaan Negara dan Badan Lainnya merupakan bagian dari Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara. Rincian opini Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga dan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara Tahun 2021 dan 2022 adalah sebagai berikut: lIo Kementerlan/Lcmbaga Opint Tahun 2o/21 Opini Tahun 20/22 1 Majelis Permusyawaratan Rakyat WTP WTP 2 Dewan Perwakilan Ralryat WTP WTP 3 Badan Pemeriksa Keuangan WTP WTP 4 Mahkamah Agung WTP WTP 5 Kejaksaan Republik Indonesia WTP WTP 6 Kementerian Sekretariat Negara WTP WTP 7 Kementerian Dalam Negeri WTP WTP 8 Kementerian Luar Negeri WTP WTP 9 Kementerian Pertahanan WTP WTP 10. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia WTP WTP 11. Kementerian Keuangan WTP WTP t2. Kementerian Pertanian WTP WTP 13 Kementerian Perindustrian WTP WTP 14. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral WTP WTP 15. Kementerian Perhubungan WTP WTP 16 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi WTP WTP L7. Kementerian Kesehatan WTP WTP 18 Kementerian Agama WTP WTP 19. Kementerian Ketenagakerj aan WDP WTP 20 Kementerian Sosial WTP WTP 2L Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan WTP WTP No Kementeriau/Iembaga Optni Tahun 2o/2t Opini Tahun 20/22 22. Kementerian Perikanan Kelautan dan WTP WTP 23. Kementerian Pekerjaan Urnum dan Perumahan Ralryat WTP WTP 24. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan WTP WTP 25. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian WTP WTP 26. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan WTP WTP 27. Kementerian Ekonomi Kreatif Pariwisata dan WTP WTP 28. Kementerian Badan Usaha Milik Negara WTP WTP 29 Badan Riset dan Inovasi Nasional WDP WTP 30 Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah WTP WTP 31. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak WTP WTP 32 Kementerian Aparatur Negara Birokrasi Pendayagunaan dan Reformasi WTP WTP 33 Badan Intelijen Negara WTP WTP 34 Badan Siber dan Sandi Negara WTP WTP 35. Dewan Ketahanan Nasional WTP WTP 36 Badan Pusat Statistik WTP WTP 37 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional WTP WTP 38 Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional WTP WTP 39. Perpustakaan No Kementeri,an/Lembaga Opiai Tahun 2o/2L Opini Tahun 20/22 39 Perpustakaan Nasional RI WTP WTP 40 Kementerian Informatika Komunikasi dan WTP WDP 41. Kepolisian Indonesia Negara Republik WTP WTP 42. Badan Pengawasan Obat dan Makanan WTP WTP 43 Lembaga Ketahanan Nasional WTP WTP 44 Kementerian Investasi/ Badan Koordinasi Penanaman Modal WTP WTP 45. Badan Narkotika Nasional WTP WTP 46 Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi WTP WTP 47. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional WTP WTP 48. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia WTP WTP 49 Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika WTP WTP 50 Komisi Pemilihan Umum WTP WTP 51. Mahkamah Konstitusi WTP WTP 52 Rrsat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan WTP WTP 53 Badan Informasi Geospasial WTP WTP 54 Lembaga lndonesia Ilmu Pengetahuan WDP 1) 55. Badan Tenaga Nuklir Nasional WTP l) 56 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi WTP 1) 57. Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional dan WTP r) 58 Badan Standardisasi Nasional WTP WTP 59. Badan No Kementerlan/Lembaga Opini Tahun 2o/21 Opini Tahun 20/22 59 Badan Pengawas Tenaga Nuklir WTP WTP 60 Lembaga Administrasi Negara WTP WTP 61. Arsip Nasional Republik Indonesia WTP WTP 62 Badan Kepegawaian Negara WTP WTP 63 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan WTP WTP 64 Kementerian Perdagangan WDP WTP 65 Kementerian Pemuda dan Olah Raga WTP WTP 66. Komisi Pemberantasan Korupsi WTP WTP 67. Dewan Perwakilan Daerah WTP WTP 68 Komisi Yudisial WTP WTP 69 Badan Nasional Penanggulangan Bencana WTP WTP 70. Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia WTP WTP 71. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah WTP WTP 72 Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan WTP WTP 73 Komisi Pengawas Persaingan Usaha WTP WTP 74. Badan Pengembangan Wilayah Suramadu WTP 2l 75 Ombudsman RI WTP WTP 76. Badan Nasional Perbatasan Pengelola WTP WTP 77. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam WTP WTP 78. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme WTP WTP 79 Sekretariat Kabinet WTP WTP 80. Badan llo Kementedan/Lembaga Opini Tahun 2o/2L Opini Tahun 20/22 80 Badan Pengawas Pemilihan Umum WTP WTP 81 Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia WTP WTP 82. Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia WTP WTP 83. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang WTP WTP 84 Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi WTP WTP 85. Badan Keamanan Laut WTP WTP 86. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban WTP WTP 87. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila WTP WTP 88 Bendahara Umum Negara WTP WTP 1)Kementerian/Lembaga yang dilikuidasi pada tahun 2022 2)Kementerianllnmbaga yang dilikuidasi pada tahun 2O2l Pasal 12 Untuk menindaklanjuti rekomendasi ^Badan ^Pemeriksa Keuangan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan ^Keuangan Pemerintah Pusat dan Laporan Hasil Reviu atas Pelaksanaan ^Transparansi ^Fiskal, serta ^dalam rangka menindaklanjuti rekomendasi Dewan ^Perwakilan Ra}ryat ^untuk meningkatkan kualitas ^pengelolaan ^keuangan Pemerintah, ^Pemerintah akan melakukan beberapa langkah antara ^lain:
Melakukan koordinasi dan ^pemantauan ^atas penyelesaian ^tindak ^lanjut rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan ^dalam ^Laporan ^Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan ^Pemerintah ^Rrsat Tahun ^2022 dan hasil reviu transparansi fiskal. b. Memperbaiki tata kelola Anggaran ^Pendapatan ^dan ^Belanja ^Negara Kementerianll*mbaga melalui ^peningkatan kompetensi sumber ^daya manusia dan pendampingan kepada ^Kementerian/Lembaga ^yang laporan keuangannya belum mendapat opini ^audit ^"Wajar ^Tanpa Pengecualian". c. Melanjutkan. . ^.
Melanjutkan penyempurnaan regulasi untuk standardisasi keluaran (outpttt) dan hasil (outcome) dari belanja negara dalam proses perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam rangka mewujudkan kinerja anggaran ^yang lebih tepat guna dan tepat sasaran. d. Menyempurnakan sistem informasi dan basis satu data Indonesia ^yang menjadi dasar pengambilan kebijakan dalam menganggarkan dan merealisasikan pengeluaran negara agar lebih tepat sasaran dan efektif mendukung pencapaian tujuan bernegara dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur. e. Meningkatkan kualitas perencanaan, ^penganggaran, dan ^pelaksanaan anggaran untuk menciptakan efisiensi ^pendanaan anggaran, ^yaDB antara lain ditunjukkan dengan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran ^yang lebih efisien. f. Mengoptimalkan peran Badan Usaha Milik Negara dan badan/lembaga lainnya dalam pengelolaan kekayaan negara ^yang dipisahkan untuk memberikan manfaat bagi perekonomian, kesejahteraan sosial, peningkatan daya saing Indonesia, serta rrrenjamin cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tetap dikuasai oleh negara. g. Mengoptimalkan penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri ^(TKDN) dalam setiap pengadaan barang dan ^jasa Pemerintah secara lebih optimal sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor ^16 ^Tahun 2Ol8 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana ^telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor ^12 Tahun 2021. h. Menyempurnakan proses penyaluran Transfer Ke Daerah agar dana dapat diserap lebih optimal oleh daerah dan ^meminimalkan ^kendala administrasi dalam pelaksanaannya. i. Melakukan tata kelola perbaikan secara terus menerus dalam ^upaya meningkatkan pendapatan negara berupa PNBP ^pada Kementerian/Lembaga. j. Memperbaiki mekanisme penyaluran subsidi agar lebih tepat sasaran dan tepat waktu khususnya subsidi energi, ^baik ^bahan bakar minyak (BBM), elpiji 3 kg maupun listrik dengan mengintegrasikan ^penerima subsidi dalam satu data yang dapat berasal dari data ^terpadu ke sej ahte raart sosial.
Menyusun k. Menytrsun roadmap kebijakan utang pemerintah sebagai peta ^jalan kebijakan utang ^jangka panjang dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan pembiayaan dari utang, sekaligus sebagai ^jalan mitigasi resiko. 1. Memperbaiki sistem dan tata kelola perpajakan yang lebih efektif, dan sesuai dengan perkembangan ekonomi dan dunia usaha agar mampu mengoptimalkan potensi perpajakan sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan nasional. m. Menyusun ukuran dan indikator keberhasilan pelaksanaan spending better. Tujuannya agar setiap belanja negara memiliki dampak dan kontribusi terhadap peningkatan kualitas belanja dan pertumbuhan ekonomi nasional, dan kesejahteraan rakyat secara luas. n. Memperkuat sistem penilaian dalam perencanaan dan pengawasan pelaksanaan efektivitas Penyertaan Modal Negara (PMN), serta risiko fiskal yang menyertainya. Sehingga setiap penempatan PMN terkalkulasi dan termitigasi dengan baik dalam pelaksanaannya. o. Memperkuat kebijakan pembiayaan dalam rangka menutup defisit anggaran melalui pembiayaan utang yang selektif, ^produktif dalam batas yang arnan dart manageable, serta mendorong tingkat bunga SBN lebih kompetitif. p. Meningkatkan kualitas perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan anggaran, serta evaluasi atas mandatory spending ^pendidikan, agar dapat memberikan lompatan kemajuan SDM lebih cepat, dengan memanfaatkan sisa bonus demografi yang akan berakhir ^pada tahun 2036. q. Menyampaikan laporan pelaksanaan APBN yang dapat menjelaskan efektifitas dan efisiensi pengelolaan Ernggaran Belanja Pemerintah Pusat. r. Menyampaikan laporan capaian RPJMN ^pada tahun 2022, ^yang ditunjukkan dengan indikator-indikator RPJMN, ^yaitu baseline RPJMN (2}t9l, capaian 2022, target 2024, danKlL pelaksana. s. Menyampaikan laporan penyelesaian Major hoiect RKP Tahun ^2022, yang ditunjukkan dengan nilai alokasi anggaran, realisasi anggaran, capaian pekerjaan project pada kementerian terkait. t. Menyampaikan laporan rincian ^pelaksanaan lnvestasi ^Permanen Penyertaan Modal Pemerintah ^(PMP) sebesar Rp2.9O9,8 triliun. u. Pemerintah akan melengkapi dokumen ^penjelasan terkait ^rekomendasi- rekomendasi sebagaimana dimaksud pada huruf q s.d. huruf t ^paling lambat tanggal 31 Desember 2023.