Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Relevan terhadap
Pasal 197 Standar teknis pemenuhan Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 huruf a meliputi:
parameter dan nilai Baku Mutu Emisi;
desain alat pengendali Emisi;
lokasi titik pengambiian sarrrpel;
sumber Emisi wajib pantau dilengkapi dengan nama dan titik koordinat;
sarana prasarana pengambilan sampel;
lokasi dan titik pemantauan Udara Ambien;
kewajiban:
memiliki alat pengerrdaii Emisi;
menaati Baku Mutu Bmisi yang ditetapkan bagi Usaha dan/atau Kegiatan;
melnenuhi persyaratan teknis pengambilan sampel Emisi;
memantau Mutu Udara ambien dan konsentrasi Emisi secara berkala;
melaksanakan pengurangan dan pemanfaatan kembali;
memiliki penanggung jawab yang memiliki kompetensi di bidang perlindungan dan pengelolaan Mutu Udara; r 7. melakukan perhitungan Beban Emisi;
memiliki Sistem Tanggap Darurat Pencemaran Udara; dan
melaporkan seluruh kewajiban pengendalian . Pencemaran Udara melalui Sistem Informasi Lingkungan Hidup; dan
larangan:
membuang Emisi secara langsung atau pelepasan dadakan;
melakukan pembuangan Emisi non-fugitiue tidak melalui cerobong;
menambahkan menambahkan udara ke cerobong setelah alat pengendali, di luar dari proses operasi kegiatan; dan/atau tindakan lain yang dilarang dalam Persetujuan Lingkungan danlatau ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 198 (1) Standar kompetensi sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 huruf b meliputi:
penanggungjawab pengendalianPencemaran.Udara;
penanggnng jawab instalasi alat pengendali Emisi; dan
personel yang memiliki kompentensi lainnya sesuai dengan kebutuhan. (2) Standar kompetensi sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kemampuan:
melakukan identifikasi sumber pencemar Emisi;
menentukan karakteristik pencemar Emisi;
menilai tingkat pencemaran Emisi;
mengoperasikan cian melakukan perawatan alat pemantauan Emisi;
melakukan identifikasi bahaya dalam pengendalian Emisi;
melaksanakan tindakan keselamatan dan kesehatan kerja terhadap bahaya dalam pengendalian Emisi; dan menguasai standar kompetensi lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan peraturan perundang-undangan. 3 4 o b. Pasal 199 (1) Sistem manajemen lingkungan sebagaimana climaksud dalam Pasal 196 huruf c dilakukan melalui tahapan:
perencanaan;
pelaksanaan -r4t- b. pelaksanaan; t c. pemeriksaan; dan
tindakan. (21 Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
menentukan lingkup dan menerapkan sistem manajemen lingkungan terkait pengendalian Pencemaran Udara;
menetapkan kepemimpinan dan komitmen dari manajemen puncak terhadap pengendalian Pencemaran Udara;
menetapkan kebdakan pengendalian Pencemaran Udara;
menentukan sumber daya yang disyaratkan untuk penerapan dan pemeliharaan sistern manajemen lingkungan terkait pengendalian Pencemaran Udara;
memiliki sumber daya manusia yang memiliki sertifikasi kompetensi pengendalian Pencemaran Udara;
menetapkan struktur organisasi yang menangani pengendalian Pencemaran Udara;
menetapkan tanggung jawab dan kewenangan untuk peran yang sesuai;
menentukan aspek pengendalian Pencemaran Udara dan dampaknya;
mengidentifikasi dan memiliki akses terhadap kewajiban penaatan pengendalian Pencemaran [Jdara;
merencanakan untuk mengambil aksi menangani risiko dan peluang serta evaluasi efektifitas dari kegiatan tersebut;
menetapkan sasaran pengendalian pencemaran Udara serta menentukan indikator dan proses untuk mencapainya;
memastikan kesesuaian metode untuk pembuatan dan pemutakhiran serta pengendalian informasi terdokumentasi;
menentukan m. menentukan risiko dan peluang yang perlu ditangani; dan/atau
menentukan potensi situasi darurat dan respon yang diperlukan. (3) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
memantau, mengukur, menganalisa, dan mengevaluasi kinerja pengendalian Pencemaran Udara; dan
mengevaluasi hasil pemantauan Emisi yang dilakukan terhadap nilai Baku Mutu Emisi yang ditetapkan dalam Persetujuan Lingkungan atau peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Baku Mutu Emisi. , (4) Dalam hal evaluasi hasil pemantauan Emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b menunjukkan ketidaktaatan, rencana pengelolaan Emisi harus dilakukan perubahan. (5) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
mengevaluasi pemenuhan terhadap kewajiban penaatan pengendalian Pencemaran Udara;
melakukan internal audit secara berkala; dan
mengkaji sistem manajemen lingkungan organisasi terkait pengendalian Pencemaran Udara untuk memastikan kesesuaian, kecukupan, dan keefektifan. (6) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
melakukan tindakan untuk menangani ketidaksesuaian; dan
melakukan tindakan perbaikan berkelanjrrtan terhadap sistem manajemen lingkungan yang belum sesuai dan efektif untuk meningkatkan kinerja pengendalian Pencemaran Udara. Pasal 2OO Pasal 200 Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib dilengkapi SPPL, wajib mclakukan pengelolaan Emisi. Pasal 2O1 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya meiakukan verifikasi terhadap sarana dan prasarana pengendalian Pencemaran Udara. (2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukarr unl.uk:
melihat kesesuaian antara stanciar teknis pemenuhan Baku Mutu Ernisi dengan pembangunan sarana dan prasarana pengendalian Pencemaran Udara. yang dilakukan; dan
memastikan berfungsirrya sarana dan prasarana pengendaliari Pencemaran Udara serta terpenuhinya Baku Mutu Emisi. (3) Hasil verifikasi terhadap sarana dan prasarana pengendalian Pencemaran Ud.ara sebagaimana dimaksud pada ayat i2) berupa memenuhi atau tidak memenuhi Persetujuan Teknis. (4) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3):
memenuhi Persetujuan Tekrris, Menteri, gubernur, atau bupati/waii kota sesuai dengan kewenangannya rrrenerbitkan SLO; atau
tidak rremenuhi Persetujuan Teknis, IlIenteri, gubernur, atau bupati/'wali kota sesuai dengan kewenangannya memerintahkan untuk melakukan perbaikan sarana dan prasarana danlatau penrbahan Persetujrran Lingkungan yang dituangkan <lalarn berita acara. (5) SLO sebagaimana dirr^aksud pada ayat (4) huruf a sebagai dasar Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya dalam melakukan pengawasan.
Penanggung jawab tisaha dan/atau Kegiatan meiaktikan perbaikan sarana dan prasarana sesuai dengan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b sampai dengan Baku Mutu Emisi terpenuhi. (7) Dalam hal penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan tidak rnelakukan perbaikan sarana dan prasarana sesuai dengan berita acara seba.gaimana dimaksud pada ayat (41 huruf b, Pejabat Pengawas Lingkungan Hidr"lp mela.xukan pengawasan. Pasal 202 Pemenuhan standar kompetensi sumber daya manusia sebagairnana dimaksud dalam Pasal 198 dilakukan paling lambat 1 (satu) tahun sejak SLO diterbitkan. Pasal 2O3 (1) Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan dengan sumber Emisi tidak bergerak sebagaimana climaksud dalam Pasai 190 ayat (3) huruf a wajib n: ernenuhi ketenf-uan Bakri Mutu Emisi. (2\ Pernerruhan ketentuan Baku Mutu Enrisi sebagaimana dimaksrrd pada a5'at (1) dilakukan melalui pemantauan Emisi dengan cara:
rnanual; dan/atau
otomatis dan terus menerus. (3) Pemantauan Emisi dengan cara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf a diiakukan oleh laboratorium yang teregistrasi oleh Menteri. (4) Pemantauan Emisi dengan cara otomatis dan terus- menerus sebagailrrana dineaksud pada ayat (21 hurut b dilakukan dengan cara memasang alat pemantau untuk rnengurkur kuantitas kadar dan laju alir Emisi yang terkalibra.si. (5) Menteri menetapkan (lsaha danlatau Kegiatan 5,4ng wajib arelakukan pern'rntauar: secara otomatis dan tenrs- menerus.
Setiap pena.nggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib melakukan pemantauarr secara otomatis dan terus- menet'us, wajib mengintegrasikan pemantauan Ernisinya ke daiarrr Sistem Inforrnasi Lingkungan Hidup. Pasal 204 (1) Sumber Emisi bergerak sebagaimana dimaksucl dalam Pasal 19C ayat (13) huruf b meliputi:
^produk dari ijsaha danlatau Kegiatan sektor industri otornotif;
penggr-rnazrn aiat transportasi darat; dan
penggunaan alat berat. (21 Sumber Emisi bergerak produk dari Usaha dan/atau Kegiatan sektor industri otomotif sebaqairnana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikategorikan berdasarkan:
tipe baru, meliputi model baru dan yang sedang dipror.luksi: cJan b. proCuk yallg telah beroperasi. (3) Sutmber Emisi bergerak sebagaimana dimaksud paCa avat (1) huruf b meliputi strmber Emisi berbasis. a. ^jalan; dan/atau
norrjalan. Pasal 205 (i) Penanggung jawab Usaha cian/atau Kegiat-an yang menghasilkan Ernisi:
produk dari t.Isaha oan/atau Kegiatan sektor industri otomotif;
pengglrnaan alat trarisportasi darat berbasis nonjaiari; dan i atau c. ^penggunaan alat berat, wajib rncmenllhi ketentuan Baku Mutu Emisi. (21 Prodtrk hasil indnstri otornotif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hur'.rf a melipr-rti: a enjin model b,; rli; rfan- b. enjin yang sedang diproduksi. (3) Pemenuhan Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
untuk produk hasil Usaha dan/atau Kegiatan sektor industri otomotif, dilakukan oleh laboratorium yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional atau badan akreditasi penandatanganan perjanjian saling pengakuan dalam forum Asia Pacific Accreditation Cooperation (APAC) atau International Laboratorium Accreditation Cooperation (I LAC) ; dan
untuk alat transportasi darat berbasis nonjalan dan alat berat, dilakukan oleh personel yang memiliki sertifikat yang diterbitkan lembaga sertifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian. Pasal 206 (1) Setiap Orang yang menghasilkan Emisi dari alat transportasi darat berbasis jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O4 ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf a harus memenuhi ketentuan Baku Mutu Emisi. (21 Pemenuhan ketentuan Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan:
diterapkan pada alat transportasi darat berbasis jalan yang telah memasuki masa pakai lebih dari 3 (tiga) tahun; dan
pengukuran dilakukan oleh personel yang memiliki sertifikat yang diterbitkan lembaga sertifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian. (3) Pemenuhan ketentuan Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf a digunakan sebagai dasar pengenaan tarif pajak kendaraan bermotor. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan tarif pajak kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, setelah berkoordinasi dengan Menteri. Pasa L 2OT (1) Menteri menyusurr dan menetapkan baku mutu gan€lguan sebaga,imana dimaksud dalam Pasal 189 hunrf c. (21 Gangguan sebagairrrana dirnaksud pada ayat (1) meliputi:
kebisingan;
kebauan;
da.n c. getaran. (3) Baku mutu gangguarr sebagaimana dirrraksud pa-da ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan:
kesehatan inanusia;
keselamata-n sarana fisik;
kelestanan bangunan;
kctersediaan teknologi terbaik; dan/atau
kemampuan ekonomi. Pasal 208 (1) Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan yang mengeluarkan gangguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2O7 ayat (2) wajib melakulcan uji gangguan. (21 Uji gangguan sebagainrana dimaksud pada ayat (I) dilakukan dengan:
menggunakan laboratoriur: n yang teregistrasi oleh IVlenteri; dan/atau
menggunakan personel yang memiliki sertifikat yang ditcrbitkan oleh iembaga sertifikasi. Pasal 2O9 (1) Setiap Usaha dan/atarr Kegiatan harus melakukan internalisasi biaya pengelolaan Mutu Udara sebagaimana dimaksud da-lam Pasal I89 huruf d.
Internalisasi (21 Internalisasi bia.va pengelolaan Mutu Udara sebagaimana dimaksud pacia ayat (1) dilaksanakan dengan memasukkan biaya pengendalian Pencemarar: Udara dala.m perhitungarl biavar produksi atau biaya suatrl l.Jsaira dan/atau Kerlatan. (3) Biaya pengendalian Pencemaran Udara setragaimana dimziksud pada ayat (2) meliputi biaya:
pencegahan Pencemaran Udara;
pengemba.ngan teknologi terbaik rendah Emisi;
penggunaa.n bahan bakar bersih;
pengembangan sumber daya manusia; dan/atau
kegiatan lain yang mendukung upaya pengendalian Pencemaran Udara. Pasal 21O (1) Menteri menetapkan kuota Emisi dan sistem perdagangan kuota Emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 huruf e terhadap Usaha dan/atau Kegiatan yang menghasilkan Emisi. (2) Kuota Emisi sebagaimana dimaksud pada 2J.at (1) ditetapkan cleh Menteri secelah berkoordirrasi dengan menteri/kepaia lembaga pemerintah nonkementerian terkait. (3) Perdagangan kuota Emisi sebagaimana di,rraksud paCa ayat (1) dite; rtukan Lrerdasarkan RPPIVIU yang telah ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/waii kota. Pasal 2 I 1 (1) Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan hanya dapat rnelepas Emisi sesuai dengan kuota Emisi yang dimilikinya. l2l ^Kuota Emisi ^sebagairnana ^dirnaksud pada ayat (i) dapat diperjualbelikan antar penanggtrng jawab Usaha dan/atau Kegiatan. Pasal 212 (1) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan men1rusun Standar Nasional Indonesia terhadap produk yang digunakan di rumah tangga yang mengeluarkan residu ke udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 huruf f. ! (2) Standar Nasional Indonesia terhadap produk yang digunakan di rumah tangga yang mengeluarkan residu ke udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
kebauan;
gangguan kesehatan; dan
bentuk standar lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan peraturan pertrndang-undangan. (3) Standar Nasional Indonesia terhadap produk yang digunakan di rumah tangga yang mengeluarkan residu ke udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan:
kesehatan masyarakat;
larangan penggunaan 83;
kelestarian bangunan;
ket-ersediaan teknologi terbaik; dan/atau
kondisi ekonomi. (4) Dalam menJrusun Standar Nasional Indonesia, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan berkoordinasi dengan instansi yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan Standar Nasional Indonesia terhadap produk yang digunakan di rumah tangga yang mengeluarkan residu ke udara diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Paragraf Paragraf 3 Penanggulangan Pasal 2 13 (1) Penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan ../ang melakukan Pencemaran Udara wajib melaksanakan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.3 ayat (2) huruf b. (2) Penanggulangan Penceinaran Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
pemberian informasi kepada masyarakat terkait Pencemaran Udara;
penghentian sumber Pencemaran Udara;
ci.an c. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (3) Penghentian sumber Pencemaran Lidara sebagaimana dirnaksud pada ayat (21huruf n dilakukan dengan cara:
penghentian proses produksi;
penghentian kegiatan pada fasilitas yang menyebabkan Pencernaran Udara; dan/atau
tindakan tertentu untuk meniadakan Pencemaran Udara pada sumbernya. (41 Penanggung ja'arab lJsaha dan/atau Kegiatan yang rnelakukan petlanggulangan Pencemaran Udara sebagaimana dirnaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan laporan pelaksanaan penghentia.n Pencemaran Udara kepada Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota. Pasal 2 L.i (1) Penanggtrlangan Perrcerlaran Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasai 2!3 ayat (lt dilakukan dalam jangka r*raktu palirrg iarrrbat 24 (dua puluh empat) jam sejak diketahuinya Pencemaran Udara. (21 Dalam hal penangglrlangan Pencernaran lJdara seba-gaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diiakukair, Menteri, gubernur, atarl hupati/wali kota sesuai dengan kcwenarrgannya menetapkan pihak ketiga- untuk melakukan pena n ggr-r iangan Pencem ar an Uda.ra (3) Bia5,6 yang tinrbui dari pelaksanaan penanggulangan Pencemaran Udara sebagaimana dima.ksud parta ayat (2) dibebankan kepada pcnangslng jawab Usaha clanlatau Kegia.tan ya.ng melakukan Pencemaran Ud.ara. Pasal 2 15 (1) Dalant tral terjadi bencana yang inengakibatkan Pencemaran Udara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah nrelakrrkan penanggulangan Pencemaran Udara. (21 Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ciilaksanakan sesuai derrgan ketentuan peratur.an perunda ng- undar:
ga n. Paragrat 4 Pemuliharr Dermpak Pencemaran Udara Pasal 2 16 (1) Setiap C)rang yang melakukan Pencemaran Udara wajib melakrikan pemrrirhan dampak Pencemaran Uclara sebagaimana dirnaksud d.riam Pasal 188 ayat (2) hunrt c. (2) Pemulihr:
it dampak Pencemaran Udara sebagairrrana dimaksud pada a],-at (1) meliputi kegiatan:
^pernbersihan u.nsur pencemar pada media Lingkunqan Hidup; dan
cara lain yang sestrai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. - r52 Pasal 2lT (1) Pernulihan dampak Pencerrraran Udara sebagaimana dimaksucl dalam Pasal 216 ayat (1) dilakukan dalam jangka waktrr paling lambat 3O (tiga puluh) hari sejak diketahuinya Penccmaran Udara. (2) Dalam hal pemulihan sebagaimana dineaksuu pada rtyat (1) tidak dilakukarr, Menteri, gubernur., atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya menetapkan pihak ketiga r-rntuk melakukan pemltlihan fungsi Lingkungan Hidup. (3) Biaya yang timbul dari pelaksanaan pernulihan sebagairnana dimaksud pada avat (2lrdibetrankan kepacla Setiap Orang yang melakukan Pencemaran Udara. Pasal 2 18 (1) Pemulihan dampak Pencerrraran Udara sebagairnana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) clilakukan oleh Menteri, gubernur. atau bupatiiwali kota sesuai dengan kewenangannya, jika:
Sumber Pencemar Udara tidak diketahui;
da.n/atau b. tidak diketahui pihak yang melakukan penc: ernaran. {2} ^Pemulihan ^dampak ^Perrcema.rarr Udara sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh: a" lVlenteri, jika dampak pencemaran lirrtas provin-si:
gubernur, jikir dampak pencemaran lintas kabupaten/kota; dan
bupati/wali kcta, jika dampak pencernaran terbatas daiam rvilayr. h kabupaten/ kota. Pasai 219 Ketentuan lebih lanjut mengenai:
tata cara iirventarisasi udara;
tata cara pcnytlsltnarr da.n penetapan WPPMU;
f.ata cata penvusunan, penetapan, dan perubahan RPPMI ^I;
cl. Baku IVIutu Ernisi;
Persetujuan Teknis pemenurhan Baktl h{utu Emisi dan SLO;
baku mutu gangguan;
tata cara penetapa.n kuota Emisi;
sistem perdagangan kuota Emisi;
penanggulangan Pencerna.ran Udara; cian j. pernulihan dampak Pencemaran Udara, sebagaimana dimaksud CaLain Pasal 163 sampai dengan Pasal 218 diatur dalam Peraturan Menteri.
Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil Dan/ atau Dana Alokasi Umum dalam Bentuk Nontunai.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota.
Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat PPKD adalah kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai bendahara umum daerah.
Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
Belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan minyak bumi dan gas bumi yang selanjutnya disebut PBB Migas adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam wilayah kerja atau sejenisnya terkait pertambangan minyak bumi dan gas bumi yang diperoleh haknya, dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan.
Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, selanjutnya disebut PPh WPOPDN adalah Pajak Penghasilan terutang oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan yang berlaku kecuali Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan.
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat DBH SDA adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam kehutanan, mineral dan batubara, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pengusahaan panas bumi.
Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih antara realisasi pendapatan dan belanja, serta penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dalam APBD selama satu periode pelaporan.
Posisi Kas adalah saldo kas dan setara kas daerah pada periode tertentu setelah dikurangi dengan SiLPA tahun lalu yang bersumber dari dana earmarked dan informasi lainnya tentang dana yang berkaitan.
Belanja Operasi adalah pengeluaran anggaran belanja untuk mendukung kegiatan rutin Pemerintah Daerah yang memberi manfaat dalam satu periode akuntansi.
Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran belanja untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.
Transfer adalah penerimaan atau pengeluaran dari suatu entitas pelaporan dari/kepada entitas pelaporan lainnya, termasuk dana perimbangan dan dana bagi hasil.
Sistem Informasi Keuangan Daerah selanjutnya disingkat SIKD adalah suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan, serta mengolah data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah.
Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN meliputi Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transfer Dana Perimbangan yang selanjutnya disebut KPA BUN Transfer Dana Perimbangan adalah satuan kerja Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara di Kementerian Negara/Lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan dana perimbangan.
Transfer ke Daerah adalah bagian dari belanja negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPA BUN/Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran atau dokumen lain yang dipersamakan.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Setelmen adalah penyelesaian transaksi SBN yang terdiri dari setelmen dana dan setelmen kepemilikan SBN.
Rekening Surat Berharga Pemerintah Daerah adalah rekening surat berharga yang dibuka oleh masing-masing Pemerintah Daerah pada Sub-Registry. 27. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia untuk melakukan fungsi penatausahaan surat berharga untuk kepentingan nasabah.
Hari Kerja adalah hari kerja instansi pemerintah dan operasional sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia.
Pengujuan UU no. 42 tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjuala ...
Relevan terhadap
menghadapi Masyarakat Ekonomi Eropa (MEA). Perlu diketahui bahwa industri pangan berbasis agro, perikanan, peternakan, dan perkebunan merupakan sektor potensial yang harus dikuatkan sebagai andalan di masa mendatang. Oleh karenanya, sektor ini perlu diberikan insentif pajak guna mendukung efisiensi dan efektifitas dalam rantai bisnis sektor tersebut. Keringanan beban pajak ini akan memberikan ruang bagi para produsen pangan domestik untuk meningkatkan mutu dan inovasi produk pangan lokal agar tidak kalah bersaing di pasar global. AKTERISTIK PPN Berdasarkan Undang-Undang, PPN memiliki sifat dan karakteristik: (1) pajak objektif, (2) pajak atas konsumsi umum dalam negeri, dan (3) pajak tidak langsung. Pajak Objektif Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand . Istilah tersebut mengacu kepada keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan objek pajak. PPN sebagai pajak objektif dapat diartikan sebagai kewajiban membayar pajak oleh konsumen yang terdiri atas orang pribadi atau badan, dan tidak berkorelasi dengan tingkat penghasilan tertentu. Siapapun yang mengkonsumsi barang atau jasa yang termasuk objek PPN, akan diperlakukan sama dan wajib membayar PPN atas konsumsi barang atau jasa tersebut tanpa memperhatikan kemampuan atau kondisi subjektifnya. Subjek pajak dalam pengertian pajak objektif adalah konsumen yaitu selaku pihak yang memikul beban pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif konsumen tidak dipertimbangkan untuk menentukan suatu peristiwa hukum terutang atau diwajibkan membayar pajak. Siapapun konsumennya sepanjang peristiwa hukum tersebut merupakan objek pajak maka terhadap konsumen tersebut diwajibkan membayar pajak yang sama. Hal ini berbeda dengan pajak subjektif, seperti Pajak Penghasilan (PPh), yang kondisi subjektif pihak yang memikul beban pajak menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pajak terutang. Contohnya, tarif PPh bagi Orang Pribadi (OP) berbeda dengan PPh bagi Badan. Demikian pula Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) OP yang menikah dan memiliki tanggungan anak berbeda dengan OP yang belum menikah. Sebagai pajak objektif, PPN menimbulkan dampak regresif, di mana semakin tinggi kemampuan konsumen maka semakin ringan beban pajak yang dipikul, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Salah satu Tujuan Negara Republik Indonesiayang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam upaya mewujudkan tujuan tersebut, Negara Republik Indonesia perlu mengelola keuangan negara yang diwujudkan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang merupakan cerminan keuangan Negara.Salah satu sumber penerimaan negara yang tercakup dalam APBN adalah pajak. Pajak adalah cara masyarakat bersinergi dengan negara dalam percepatan pembangunan dari berbagai sektor termasuk fasilitas keamanan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang; Dalam pelaksanaannya, selain fungsi budgetair untuk menghimpun dana pendapatan negara, pajak juga memiliki fungsi regulerent atau mengatur, yaitu sebagai alat untuk mengatur kebijakan perekonomian negara.Terkait dengan fungsi PPN sebagai sumber pembiayaan negara (fungsi budgetair ), peranan PPN dalam mendukung penerimaan pajak sangat signifikan dan pertumbuhan penerimaan PPN dari tahun ke tahun juga selalu mengalami peningkatan. Data statistik menunjukkan bahwa realisasi penerimaan PPN dan PPN BM tahun 2014 sebesar Rp.408,83 triliun yang merupakan 41,5% dari total penerimaan pajak pusat atau setara dengan 3,7% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia; Fungsi regulerent pajak terkait dengan PPN antara lain diwujudkan melalui pengelompokan barang dan jasa yang tidak dikenai PPN (Non-BKP dan Non-JKP), penetapan batasan Pengusaha Kecil yang dikecualikan dari kewajiban untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), pengaturan pedoman pengkreditan Pajak Masukan bagi pengusaha sektor tertentu atau pengusaha dengan omzet di bawah batasan tertentu, maupun pemberian fasilitas berupa PPN Dibebaskan dan PPN Tidak Dipungut yang diatur dalam Pasal 16B Undang-Undang PPN. Bermacam pengaturan tersebut didesain dan diarahkan untuk secara bersama-sama mendukung kebijakan perekonomian Indonesia; PPN merupakan pajak tidak langsung yang dikenakan atas konsumsi barang dan/atau jasa, yang meskipun pengenaannya dapat dilakukan pada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
policy ) dan telah melalui berbagai kajian, termasuk dari segi ketergantungan/kebutuhan masyarakan akan komoditi pangan. 4. Bahwa terdapat beberapa komoditi yang merupakan bahan pangan pokok yang tidak tercantum dalam pasal a quo seperti gula pasir dan minyak goreng. Adapun pertimbangan pemerintah tidak memasukkan komoditi tersebut karena merupakan barang hasil olahan/proses industri. Kembali kepada sistem pemungutan PPN dengan mekanisme pengkreditan pajak masukan, maka apabila PPN yang telah dibayar yang berhubungan langsung dengan kegiatan untuk menghasilkan atau memperdagangkan komoditi seperti gula pasir dan minyak goreng tersebut tidak dapat dikreditkan maka dapat menghambat perkembangan industri yang menghasilkan atau memperdagangkan barang tersebut. 5. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka menurut pendapat kami, Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN tidak bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. B. Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN tidak bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 dengan alasan: 1. Ketentuan a quo tidak membeda-bedakan Wajib Pajak dan berlaku bagi seluruh Wajib Pajak yang masih memiliki hak dan kewajiban perpajakan baik Wajib Pajak orang pribadi maupun badan, Wajib Pajak dalam negeri maupun Wajib Pajak luar negeri ( equality before the law) . Oleh karena itu, ketentuan tersebut tidak mengandung ketentuan yang diskriminatif sehingga menyebabkan ketidakadilan; 2. Mengingat pemberlakuan ketentuan a quo justru merupakan upaya pemerintah untuk menjunjung tinggi kesejahteraan seluruh rakyat indonesia, maka tidak terdapat unsur diskriminasi dalam pemberlakuannya sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam hal ini dalil Pemohon yang menyatakan dengan diberlakukannya Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang- Undang PPN mengakibatkan timbulnya perlakuan yang diskriminatif adalah tidak beralasan dan tidak bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertamban ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APB N adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang Nomor 12 T ahun 19 85 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah · dengan Undang Undang Nomor 12 T ahun 19 9 4 tentang Perubahan atas Undang - Undang Nomor 12 T ahun 19 85 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
PBB sektor pertambangan untuk pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut PBB Migas adalah PBB atas bumi dan/ a tau bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi.
PBB sektor pertambangan untuk pertambangan Panas Bumi yang selanjutnya disebut PBB Panas Bumi adalah PBB atas bumi dan/ a tau bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan pengusahaan Panas Bumi. 5 . Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah formulir yang dipergunakan oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak dan Subjek Pajak atau Wajib Pajak. 6 . Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat LSPOP adalah formulir yang dipergunakan oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data rinci objek pajak. 7 . Surat Pemberitahuan Pajak T erutang Y( ^ ng selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB yang terutang kepada Wajib Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat SKP PBB adalah Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) Undang - Undang Nomor 12 T ahun 19 85 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 12 T ahun 19 9 4 tentang Perubahan atas Undang - Undang Nomor 12 T ahun 19 85 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. 9 . Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat N J OP adalah harga rata - rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan apabila tidak terdapat transaksi jual beli, N J OP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau N J OP Pengganti. 10 . Wilayah Kerj a adalah daerah terten tu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi.
Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak bumi dan gas bumi.
Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan minyak bumi dan gas bumi, termasuk antara lain gas metan batubara (coal bed methan).
Panas Bumi adalah sumber energ1 panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses pengusahaan.
Penatausahaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pendaftaran o bj ek paj ak, pengadministrasian objek pajak, penilaian N J OP, perhitungan, penetapan, pembayaran, dan penagihan PBB Migas dan PBB Panas Bumi. 15 . Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DB H adalah dana yang ·bersumber dari pendapatan APB N yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan De sen tralisasi. 16 . Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka 1mpor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri dan penerimaan bukan pajak. 17 . Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKU N adalah rekening tempat peny1mpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pad a bank sen tral.
Rekening Departemen Keuangan k/Hasil Minyak Perj anj ian Karya Production Sharing yang selanjutnya disebut Rekening Minyak dan Gas Bumi adalah rekening dalam valuta USD untuk menampung seluruh penerimaan dan membayar pengeluaran terkait kegiatan usaha hulu migas. 19 . Rekening Penerimaan Panas Bumi yang selanjutnya disebut Rekening Panas Bumi merupakan rekening dalam rupiah yang digunakan untuk menampung pener1maan setoran bagian Pemerintah dan membayarkan pengeluaran kewajiban Pemerintah terkait dengan kegiatan usaha panas bumi.
Ketentuan ayat (2) dan ayat (4) Pasal 2 diubah, sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan.
Relevan terhadap 5 lainnya
Seksi Potensi Sektor melakukan peny1apan Industri bah an mempunyai penelaahan tu gas dan penyusunan, serta pemantauan, pengendalian, dan evaluasi teknik operasional penghitungan potensi pajak dan penyusunan rencana penerimaan di sektor industri termasuk sektor informal.
Seksi Potensi Sektor Perdagangan mempunyai tugas melakukan peny1apan bahan penelaahan dan penyusunan, serta pemantauan, pengendalian, dan evaluasi teknik operasional penghitungan potensi pajak dan penyusunan rencana penerimaan di sektor perdagangan termasuk sektor informal.
Sॾksi Potensi Sektor Jasa mempunya1 tugas melakukan peny1apan bahan penelaahan dan penyusunan, . serta pemantauan, pengendalian, dan evaluasi teknik operasional penghitungan potensi pajak dan pcnyusunan rencana penerimaan di sektor jasa clan di sektor lainnya termasuk sektor informal.
Seksi Peraturan Pajak Pertambahan Nilai Industri I mempunyai tugas melakukan peny1apan bahan DISTRIBUSI II penelaahan dan penyusunan rancangan peraturan, petunjuk pelaksanaan, penegasan (ruling) , teknis operasional, serta jawaban atas pertanyaan dari unit operasional dan pihak lain mengcna1 Pajak Pertambahan Nilai di sektor industri pertanian dan per tarn bang an.
Seksi Peraturan Pajak Pertambahan Nilai Industri II mempunya1 tugas melakukan peny1apan bahan penelaahan dan penyusunan rancangan peraturan, petunjuk pelaksanaan, penegasan (ruling), teknis operasional, serta jawaban atas pertanyaan dari unit operasional dan pihak lain mengena1 Pa jak Pertambahan Nilai di sektor industri otomotif dan elektronik.
Seksi Peraturan Pajak Pertambahan Nilai Industri III mempunya1 tugas melakukan penyiapan bahan penelaahandan penyusunan rancangan peraturan, petunjuk pelaksanaan, penegasan (ruling), teknis operasional, serta jawaban atas pertanyaan dari unit operasional dan pihak lain mengena1 Pa jak Pertambahan Nilai di sektor industri selain industri pertanian, pertambangan, otomotif, dan elektronik. Pasal 42 1 Subdirektorat Peraturan Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan, Jasa, dan Pa jak Tidak Langsung Lainnya mempunya1 tugas melaksanakan peny1apan bahan penelaahandan penyusunan rancangan peraturan, petunjuk pelaksanaan, penegasan (ruling) , teknis operasional, dan jawaban atas pert.anyaan dari unit operasionaldan pihak lain di bidang Peraturan Pajak Pertambahan Nilai di sektor perdagangan, jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya, serta penugasan lain dari Direktur Peraturan Perpajakan I. DISTRIBUSI II
Subdirektorat Kepatuhan Wajib pajak dan Pemantauan terdiri atas:
Seksi Kepatuhan Wa jib pa jak Sektor Industri;
Seksi Kepatuhan Wajib pajak Sektor Perdagangan;
Seksi Kepatuhan Wajib pajak Sektor Jasa; dan
Seksi Pemantauan Pemanfaatan Data.
Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil Pajak Tahun Anggaran 2013.
Relevan terhadap
Alokasi definitif Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak Tahun Anggaran 2013 terdiri atas:
DBH Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Bagian Pemerintah Pusat yang Dibagikan kepada Seluruh Kabupaten dan Kota;
DBH PBB Sektor Pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi Bagian Daerah; dan
DBH Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan PPh Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh Pasal 21.
Alokasi definitif DBH Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas prognosa realisasi penerimaan PBB dan PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2013.
Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 2. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai Hutan tetap. 3. Hutan Produksi adalah Kawasan Hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil Hutan. 4. Hutan Lindung adalah Kawasan Hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata atr, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Hutan 5. Hutan Konservasi adalah Kawasan Hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 6. Rencana Tata Ruang adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. 7. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. 8. Perizinan Berusaha adalah izin usaha yang diberikan kepada Setiap Orang sebagai legalitas untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam bentuk Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja. 9. Pejabat yang berwenang adalah Pemerintah, Gubernur, atau Bupati/Walikota yang menerbitkan IzinLokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja. 10. lzin Lokasi adalah tzin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya. 11. Izin Usaha Perkebunan adalah izin usaha yang menghasilkan barang danf ataujasa perkebunan.
Penzinan 12. Perizinan di bidang kehutanan adaiah izin usaha di bidang kehutanan yang diterbitkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, yang meliputi rzin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, rzin usaha pemanfaatan hasil hutan ka)ru danf atau bukan ka5ru, izin pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan ka5ru, izin pinjam pakai Kawasan Hutan, izin perhutanan sosial, atau pelepasan Kawasan Hutan. 13. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan adalah persetujuan tentang perubahan peruntukan kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi dan/atau Hutan Produksi Tetap menjadi bukan Kawasan Hutan yang diterbitkan oleh Menteri. 14. Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan adalah persetujuan penggunaan atas sebagian Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di iuar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan Kawasan Hutan. 15. Sanksi Administratif adalah perangkat sarana hukum administrasi yang bersifat pembebanan kewajiban/perintah dan/atau penarikan kembali Keputusan Tata Usaha Negara yang dikenai kepada Setiap Orang atas dasar ketidaktaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. 16. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Fusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara.
Provisi 17. Provisi Sumber Daya Hutan yang selanjutnya disingkat PSDH adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan danf atau hasil usaha yang dipungut dari hutan negara. 18. Dana Reboisasi yang selanjutnya disingkat DR adalah dana yang dipungut atas pemanfaatan kayu yang tumbuh alami dari hutan negara. 19. Surat Pemberitahuan adalah pemberitahuan tertulis yang dikeluarkan oleh Menteri atau pejabat yang berwenang terhadap kegiatan usaha yang telah terbangun di Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja. 20. Denda Administratif adalah Sanksi Administratif berupa pembebanan kewajiban bagi Setiap Orang untuk melakukan pembayaran sejumlah uang tertentu akibat pelanggaran penggunaan Kawasan Hutan secara tidak sah. 21. Penghentian Sementara Kegiatan Usaha adalah tindakan yang dilakukan oleh Menteri untuk menghentikan kegiatan pelanggaran pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain di dalam Kawasan Hutan. 22. Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha adalah persetujuan yang diberikan oleh Menteri untuk menjalankan kegiatan usaha yang telah terbangun dan/atau beroperasi di kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi. 23. Surat Peringatan adalah pemberitahuan tertulis yang dikeluarkan oleh Menteri terhadap tindakan pelanggaran oleh Setiap Orang karena tidak melaksanakan Sanksi Administratif.
Pernerintah PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 24. Pemerintah Pusat yang ^selanjutnya ^disebut Pemerintah adalah Presiden Republik ^Indonesia ^yang memegang kekuasaan ^pemerintahan ^negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil ^Presiden ^dan menteri sebagaimana dimaksud dalam ^Undang- Undang Dasar Negara Republik ^Indonesia ^Tahun 1945. 25. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah ^sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah ^yang memimpin pelaksanaan urusan ^pemerintahan ^yang menjadi kewenangan daerah otonom. 26. Menteri adalah menteri yang ^menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ^lingkungan hidup ^dan kehutanan. Pasal 2 (1) Setiap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan ^wajib memiliki Perizinan Berusaha di bidang ^kehutanan, persetujuan Menteri, kerja sama, atau kemitraan di bidang kehutanan. (21 Setiap kegiatan usaha di dalam Kawasan ^Hutan ^yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana ^dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan ^perundang-undangan. Pasal 3 (1) Setiap Orang yang melakukan kegiatan ^usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun ^di dalam Kawasan Hutan dan memiliki lzin ^Lokasi dan/atau izin usaha di bidang ^perkebunan ^sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor ^11 ^Tahun ^2O2O tentang Cipta Kerja ^yang tidak memiliki ^Perizinan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan ^persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta ^Kerja berlaku.
Jika . (21 Jika penyelesaian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melewati ^jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja berlaku, Setiap Orang dikenai Sanksi Administratif. (3) Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, ^yang tidak memiliki Perrzinan di bidang kehutanan, dikenai Sanksi Administratif. (4) Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud ^pada ayat (2) dan ayat (3) berupa:
Penghentian Sementara Kegiatan Usaha;
Denda Administratif;
pencabutan Perizinan Berusaha; dan f atau d. paksaan pemerintah. Pasal 4 (1) Kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan dan memrhki lzin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang ^perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat ^(1) harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang pada saat usaha ^pertama kali dibangun dan/atau dioperasikan. (2) Kegiatan usaha pertambangan, perkebunan dan/atau kegiatan lain yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat ^(3) meliputi bidang:
pertambangan yang:
melakukan kegiatan penambangan di dalam Kawasan Hutan;
rnengangkut PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA 2. mengangkut dan/atau menerima titipan krasil t.ambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam Kawasan Hutan; dan/atau
membeli, memasarkan, dan latau mengolah hasil tambang dari kegiatarr penambangan di dalam Kawasan Hutan. perkebunan yang:
melakukan kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan;
mcngangkut dan/atau menerima titipan hasil kebun yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan; dan/atau
membeli, memasarkan, dan latau mengolah hasil kebun dari kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan. kegiatan lain yang meliputi:
minyak dan gas bumi;
panas bumi;
tambak;
pertanian;
permukiman;
wisata alam;
industri; dan/atau
sarana dan prasarana. Pasal 5 Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai:
inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun rli clalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan; b C b. tata
Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi Bagian Daerah Tahun Anggaran 2012. ...
Relevan terhadap
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan telah ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.07/2011 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Tahun Anggaran 2012 yang antara lain mengatur alokasi sementara Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi bagian daerah Tahun Anggaran 2012;
bahwa berdasarkan Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 06/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah, penyaluran triwulan IV Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi didasarkan pada selisih antara pagu alokasi definitif dengan jumlah dana yang telah disalurkan dari triwulan I sampai dengan triwulan III, sehingga perlu dilakukan penyesuaian alokasi Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi bagian daerah Tahun Anggaran 2012;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi Bagian Daerah Tahun Anggaran 2012;
Alokasi definitif Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan (DBH PBB) sektor pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi bagian daerah Tahun Anggaran 2012 didasarkan atas prognosa realisasi penerimaan PBB sektor pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi bagian daerah Tahun Anggaran 2012.
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG ALOKASI DEFINITIF DANA BAGI HASIL PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK BUMI, GAS BUMI, DAN PANAS BUMI BAGIAN DAERAH TAHUN ANGGARAN 2012.
Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undan_g Nomor 36 Tahun 2008.
Undang-Undang Penanaman Modal adalah Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Industri Pionir adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, dan memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang ...
Relevan terhadap
Direktur Jenderal Pajak berwenang mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
Lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak:
laporan yang berisi informasi keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan untuk setiap rekening keuangan yang diidentifikasikan sebagai rekening keuangan yang wajib dilaporkan; dan
laporan yang berisi informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, yang dikelola oleh lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain dimaksud selama satu tahun kalender.
Laporan yang berisi informasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
identitas pemegang rekening keuangan;
nomor rekening keuangan;
identitas lembaga jasa keuangan;
saldo atau nilai rekening keuangan; dan
penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
Dalam rangka penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan prosedur identifikasi rekening keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
Prosedur identifikasi rekening keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit meliputi kegiatan:
melakukan verifikasi untuk menentukan negara domisili untuk kepentingan perpajakan bagi pemegang rekening keuangan, baik orang pribadi maupun entitas;
melakukan verifikasi untuk menentukan pemegang rekening keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a merupakan pemegang rekening keuangan yang wajib dilaporkan;
melakukan verifikasi untuk menentukan rekening keuangan yang dimiliki oleh pemegang rekening keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a merupakan rekening keuangan yang wajib dilaporkan;
melakukan verifikasi terhadap entitas pemegang rekening keuangan untuk menentukan pengendali entitas dimaksud merupakan orang pribadi yang wajib dilaporkan; dan
melakukan dokumentasi atas kegiatan yang dilakukan dalam rangka prosedur identifikasi rekening keuangan, termasuk menyimpan dokumen yang diperoleh atau digunakan.
Lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak diperbolehkan melayani:
pembukaan rekening keuangan baru bagi nasabah baru; atau
transaksi baru terkait rekening keuangan bagi nasabah lama, yang menolak untuk mematuhi ketentuan identifikasi rekening keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Dalam hal diminta oleh Direktur Jenderal Pajak, lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memperoleh atau menyelenggarakan dokumentasi dalam bahasa lain selain Bahasa Indonesia, harus memberikan terjemahan dokumentasi dimaksud ke dalam Bahasa Indonesia.
Dalam hal lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, kewajiban merahasiakan tersebut tidak berlaku dalam melaksanakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.