JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12824
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 633 hasil yang relevan dengan "pengawasan anggaran "
Dalam 0.025 detik
Thumbnail
PELAPORAN KEUANGAN | KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT
17/PMK.09/2019

Pedoman Penerapan, Penilaian, dan Reviu Pengendalian Intern atas Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat

  • Ditetapkan: 22 Feb 2019
  • Diundangkan: 22 Feb 2019

Relevan terhadap

Pasal 11Tutup
(1)

Tim Penilai menyusun laporan hasil Penilaian PIPK.

(2)

Laporan hasil Penilaian PIPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Tim Penilai kepada:

a.

pimpinan Entitas Akuntansi dan/atau Entitas Pelaporan; dan

b.

Tim Penilai di atasnya secara berjenjang.

(3)

Laporan hasil Penilaian PIPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada tingkat Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu Pengguna Anggaran (UAPPA-E1), Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pengguna Anggaran (UAPA), Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pembantu Bendahara Umum Negara (UAPBUN), Unit Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pengguna Anggaran (UABUN), beserta dengan LKPP disampaikan kepada Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).

(4)

Laporan hasil Penilaian PIPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyimpulkan efektivitas penerapan PIPK dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu:

a.

Efektif;

b.

Efektif dengan pengecualian; atau

c.

Mengandung kelemahan material.

(5)

Laporan hasil Penilaian PIPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan format tercantum dalam Pedoman Penerapan, Penilaian, dan Reviu Pengendalian Intern atas Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat.

(6)

Laporan hasil Penilaian PIPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah pelaksanaan Penilaian PIPK.

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Pengendalian Intern atas Pelaporan Keuangan yang selanjutnya disingkat PIPK adalah pengendalian yang secara spesifik dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan yang dihasilkan merupakan laporan yang andal dan disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.

2.

Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pelaporan Keuangan adalah keseluruhan proses yang terkait dengan penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat, mulai dari otorisasi transaksi sampai dengan terbitnya laporan keuangan, termasuk proses konsolidasi Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LK BUN) dan Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LK K/L).

3.

Laporan Keuangan adalah laporan yang terstruktur mengenai posisi keuangan dan transaksi-transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan.

4.

Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari 1 (satu) atau lebih entitas akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan pertangggungjawaban berupa Laporan Keuangan.

5.

Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan pengguna anggaran/pengguna barang dan oleh karenanya wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun Laporan Keuangan untuk digabungkan pada Entitas Pelaporan.

6.

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang selanjutnya disingkat LKPP adalah laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disusun oleh pemerintah pusat dan merupakan konsolidasian LK BUN dan LK K/L.

7.

Penilaian PIPK adalah kegiatan yang dilakukan oleh manajemen untuk memastikan kecukupan rancangan dan efektivitas pelaksanaan pengendalian dalam mendukung keandalan Pelaporan Keuangan.

8.

Manajemen adalah pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian dalam proses bisnis suatu unit kerja, termasuk di dalamnya adalah Tim Penilai.

9.

Pengendalian Intern Tingkat Entitas adalah pengendalian yang dirancang untuk memberikan keyakinan memadai atas pencapaian tujuan Pelaporan Keuangan suatu organisasi secara menyeluruh dan mempunyai dampak yang luas terhadap organisasi meliputi keseluruhan proses, transaksi, akun, atau asersi dalam Laporan Keuangan.

10.

Pengendalian Intern Tingkat Proses/Transaksi adalah pengendalian yang dirancang dan diimplementasikan untuk memitigasi risiko-risiko dalam pemrosesan transaksi secara spesifik dan hanya terkait dan berdampak terhadap satu/sekelompok proses, transaksi, akun, atau asersi tertentu.

11.

Tim Penilai PIPK yang selanjutnya disebut Tim Penilai adalah tim kerja pada Entitas Akuntansi dan/atau Entitas Pelaporan yang ditunjuk/memiliki tugas untuk membantu Manajemen dalam melaksanakan penilaian PIPK.

12.

Reviu PIPK adalah penelaahan oleh auditor Aparat Pengawasan Intern Pemerintah yang kompeten atas penilaian PIPK untuk memberikan keyakinan terbatas bahwa penyusunan laporan keuangan telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai.

13.

Catatan Hasil Reviu PIPK yang selanjutnya disebut CHR PIPK adalah dokumen yang berisi simpulan yang didapatkan dari suatu proses reviu Pengendalian Intern atas Pelaporan Keuangan.

14.

Laporan Hasil Reviu PIPK yang selanjutnya disebut LHR PIPK adalah laporan yang berisi kompilasi dari simpulan-simpulan yang terdapat pada CHR PIPK.

15.

Pernyataan Telah Direviu Laporan Keuangan yang selanjutnya disebut PTD adalah pernyataan Aparat Pengawasan Intern Kementerian Negara/Lembaga atau pejabat yang ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal/pejabat yang setingkat atas hasil reviu Laporan Keuangan yang telah dilakukan.

Thumbnail
CIPTA KERJA Cipta Kerja | HUKUM KEUANGAN NEGARA | CIPTA KERJA
PP 46 TAHUN 2021

Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran

  • Ditetapkan: 02 Feb 2021
  • Diundangkan: 02 Feb 2021

Relevan terhadap

Pasal 80Tutup

Pasal 80 (1) Pelaku Usaha yang memiliki infrastruktur aktif di bidang Telekomunikasi dan/atau Penyiaran dapat membuka akses pemanfaatan infrastruktur dimaksud kepada penyelenggara Penyiaran berdasarkan kesepakatan melalui kerja sama para pihak dengan mempertimbangkan persaingan usaha yang sehat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (21 Penyelenggara multipleksing dapat bekerja sama dengan penyelenggara multipleksing lainnya dan/atau penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dalam rangka penggunaan bersama infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 81 (1) LPP, LPS, dan/atau LPK menyediakan layanan program siaran dengan menyewa slot multipleksing kepada penyelenggara multipleksing. (2) Dalam hal LPP Televisi Republik Indonesia atau LPS jasa Penyiaran televisi menjadi penyelenggara multipleksing, penyediaan program siaran dari LPP Televisi Republik Indonesia atau LPS jasa Penyiaran televisi tersebut disalurkan melalui slot multipleksingnya sendiri. (3) Penyelenggara multipleksing wajib memenuhi permohonan penyewaan slot multipleksing dari LPP, LPS, dan latau LPK sepanjang slot multipleksing masih tersedia dan memenuhi syarat penyewaan slot multipleksing yang ditetapkan oleh penyelenggara multipleksing. (4) Penyelenggara multipleksing wajib menetapkan syarat penyewaan slot multipleksing yang memenuhi prinsip keterbukaan akses dan non-diskriminatif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)

Mekanisme penyewaan sisa slot multipleksing sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dan ^ayat ^(3) dilaksanakan berdasarkan pengumuman Penyelenggaraan Multipleksing ^yang ditetapkan ^oleh Menteri. (6) Menteri dapat menetapkan pemanfaatan ^penggunaan multipleksing dan/atau slot multipleksing ^yang ^tidak dimanfaatkan oleh penyelenggara multipleksing. Pasal 82 (1) Penghitungan tarif sewa slot multipleksing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ^yang dilakukan oleh penyelenggara multipleksing ^wajib mengacu pada formula tarif serta ^memperoleh persetujuan Menteri untuk ditetapkan. (21 Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat (1) dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi. Pasal 83 (1) Penyelenggara multipleksing wajib mempublikasikan pembukaan peluang kerja sama dan informasi mengenai slot multipleksing ^yang dikelolanya untuk disewakan kepada LPP, LPS , danf atau ^LPK. (21 Informasi mengenai slot multipleksing sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) wajib memuat ^paling ^sedikit:

a.

^jenis layanan sewa slot multipleksing;

b.

wilayah layanan siaran;

c.

kapasitas slot multipleksing ^yang tersedia;

d.

tarif sewa slot multipleksing ^yang ^dihitung berdasarkan tata cara perhitungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e.

kualitas layanan (qtalitg of seruice);

f.

prosedur f. prosedur penyediaan layanan ^sewa ^slot multipleksing; dan

g.

syarat penyewaan slot multipleksing. (3) Informasi mengenai slot multipleksing ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(21 wajib ^disampaikan ^secara terbuka paling sedikit melalui situs ^web ^resmi ^dari penyelen ggar a multiPleksin ^g. Pasal 84 Menteri menetapkan ^penomoran ^penyelenggaraan Penyiaran bagi lembaga Penyiaran ^setelah ^mendapatkan IPP.

(1)

(21 (3) (4) Pasal 85 Pemerintah membantu ^penyediaan alat ^bantu penerimaan siaran (set-top-box/ STB) kepada ^rumah tangga miskin agar dapat ^menerima ^siaran ^televisi secara digital melalui terestrial. Penyediaan alat bantu ^penerimaan ^siaran ^(set-top- box/ STB) kepada rumah tangga miskin ^sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari ^komitmen penyelenggara multipleksing. Dalam hal penyediaan alat bantu ^penerimaan ^siaran (set-top-box/ STB)sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(21 tidak mencukupi, dapat berasal ^dari:

a.

Anggaran Pendapatan dan ^Belanja ^Negara ^sesuai dengan ketentuan peraturan ^perundang- undangan; dan/atau

b.

sumber lainnya yang sah sesuai ^dengan ^ketentuan peraturan perundang-undangan. Kriteria penerima alat bantu ^penerimaan ^siaran ^(set- top-box/ STB) dan mekanisme ^pendistribusian ^alat bantu penerimaan siaran ^(set-top-box/ ^STB) ^kepada rumah tangga miskin sebagaimana ^dimaksud ^pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

(5)

Pengawasan .

(5)

Pengawasan atas pelaksanaan pendistribusian alat bantu penerimaan siaran (set-top-box/ STBI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Menteri. PFTES lDEN REPUBLIK INDONESIA

Thumbnail
KEMENTERIAN KEUANGAN | PENGADAAN
223/PMK.01/2021

Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan Kementerian Keuangan

  • Ditetapkan: 31 Des 2021
  • Diundangkan: 31 Des 2021

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Pengadaan Barang/ Jasa adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampa1 dengan serah terima hasil pekerjaan.

2.

Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik yang selanjutnya disebut Pengadaan Secara Elektronik adalah Pengadaan Barang/ J asa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3.

Biro Manajemen Barang Milik Negara dan Pengadaan yang selanjutnya disebut Biro Manajemen BMN dan Pengadaan adalah unit struktural di lingkungan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan yang mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaan administrasi barang milik negara dan Pengadaan Barang/ J asa, dan layanan Pengadaan Barang/ J asa di lingkungan Kementerian Keuangan selaku unit kerja Pengadaan Barang/Jasa Kementerian Keuangan.

4.

Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa Kementerian Keuangan yang selanjutnya disingkat UKPBJ adalah unit kerja yang menjadi pusat keunggulan Pengadaan Barang/ J asa.

5.

Layanan Pengadaan Barang/ Jasa secara Elektronik Kementerian Keuangan yang selanjutnya disingkat LPSE adalah layanan yang dilaksanakan oleh UKPBJ dalam mengelola teknologi informasi untuk memfasilitasi pelaksanaan Pengadaan Secara Elektronik.

6.

Kernen terian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

7.

Lembaga adalah organisasi non-Kementerian dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republiklndonesia Tahun 1945 atau peraturan perundangan-undangan lainnya. y www.jdih.kemenkeu.go.id 8. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga.

9.

Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan tanggung jawab penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga yang bersangkutan. dan pada 10. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara.

11.

Pejabat Pengadaan adalah pejabat administrasi/pejabat fungsional/personel yang bertugas melaksanakan pengadaan langsung, penunjukan langsung, dan/atau e-purchasing. 12. Kelompok Kerja Pemilihan yang selanjutnya disebut Pokja Pemilihan adalah sumber daya manusia yang ditetapkan oleh pimpinan unit kerja Pengadaan Barang/ Jasa untuk mengelola pemilihan penyedia.

13.

Pelaku Usaha adalah badan usaha atau perseorangan yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.

14.

Penyedia Barang/ Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Penyedia adalah Pelaku Usaha yang menyediakan barang/ jasa berdasarkan kontrak.

15.

Penilaian adalah proses pekerjaan untuk memberikan opini tertulis atas nilai ekonomi suatu objek Penilaian sesuai dengan standar penilaian Indonesia.

16.

Penilai adalah seseorang yang memiliki kompetensi dalam melakukan kegiatan Penilaian, yang sekurang- kurangnya telah lulus pendidikan awal Penilaian.

17.

Rencana Umum Pengadaan Barang/ Jasa selanjutnya disebut RUP adalah daftar rencana Pengadaan V www.jdih.kemenkeu.go.id Barang/ J asa yang akan dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga.

18.

Tender adalah metode pemilihan untuk mendapatkan Penyedia barang/ pekerj aan konstruksi / j asa lainnya.

19.

Seleksi adalah metode pemilihan untuk mendapatkan Penyediajasa konsultansi.

20.

Penunjukan Langsung adalah metode pemilihan untuk mendapatkan konstruksi/jasa keadaan terten tu.

21.

Pengadaan Penyedia barang/ pekerj aan konsultansi/jasa lainnya dalam Langsung Barang/ Pekerjaan Konstruksi/ Jasa Lainnya adalah metode pemilihan untuk mendapatkan Penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang bernilai paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

22.

Pengadaan Langsung Jasa Konsultansi adalah metode pemilihan untuk mendapatkan Penyedia jasa konsultansi yang bernilai paling banyak Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah).

23.

Katalog Elektronik adalah sis tern informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), produk dalam negeri, produk standar nasional Indonesia, produk industri hijau, negara asal, harga, Penyedia, dan informasi lainnya terkait barang/jasa.

24.

Pembelian Secara Elektronik yang selanjutnya disebut E-purchasing adalah tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem Katalog Elektronik atau toko daring.

25.

Pengadaan Langsung Secara Elektronik adalah pengadaan langsung yang dilaksanakan melalui sistem aplikasi.

26.

Sistem Informasi Manajemen Pengadaan Langsung yang selanjutnya disebut SIMPeL adalah aplikasi yang digunakan untuk mendukung penyelenggaraan Pengadaan Langsung Secara Elektronik. ✓ www.jdih.kemenkeu.go.id 27. Toko dalam Jaringan yang selanjutnya disebut Toko Daring adalah sistem informasi yang memfasilitasi Pengadaan Barang/ J asa melalui penyelenggaraan perdagangan melalui sistem elektronik dan retail daring.

28.

Sistem Pengadaan Secara Elektronik yang selanjutnya disingkat SPSE adalah aplikasi yang digunakan untuk mendukung penyelenggaraan Pengadaan Secara Elektronik.

29.

Sistem Informasi Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disingkat SI-UKPBJ adalah sistem pengelolaan UKPBJ yang terintegrasi.

30.

Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan yang selanjutnya disebut SIRUP adalah aplikasi yang digunakan untuk penyusunan dan pengumuman RUP.

31.

Verifikator adalah pegawai yang ditunjuk untuk menenma dan memeriksa dokumen pendaftaran, memberikan persetujuan pendaftaran, serta mengelola data Pelaku U saha.

32.

Helpdesk adalah pegawai yang ditunjuk uri.tuk memberikan dukungan teknis dan pelayanan informasi terkait Pengadaan Barang/ Jasa.

33.

Admin Agency adalah pegawai yang ditunjuk sebagai pengelola SPSE yang berkedudukan di UKPBJ.

34.

Admin Pelaku U saha adalah seseorang yang bertindak untuk dan atas nama Pelaku U saha dalam rangka mengikuti proses Pengadaan Langsung Secara Elektronik melalui SIMPeL, dan belum terdaftar sebagai admin dari Pelaku Usaha lain.

35.

Admin Pusat Pengadaan Secara Elektronik SIRUP Kementerian Keuangan yang selanjutnya disebut Admin PPE SIRUP Kementerian Keuangan adalah pegawai yang ditunjuk sebagai pengelola SIRUP di lingkungan Kementerian Keuangan.

36.

Admin Pusat Pengadaan Secara Elektronik yang selanjutnya disebut Admin PPE SPSE adalah petugas ✓ www.jdih.kemenkeu.go.id yang diberi wewenang untuk memberikan identitas pengguna dan kata sandi kepada Admin Agency, Verifikator, Helpdesk, PPK, Pejabat Pengadaan, dan Auditor pada SPSE yang berkedudukan di UKPBJ.

37.

Super Admin SIMPeL adalah pegawai yang ditunjuk sebagai pengelola basis data referensi dan/ a tau log access SIMPeL yang berkedudukan di UKPBJ.

38.

Admin Kementerian/Lembaga SIMPeLyang selanjutnya disebut Admin K/L SIMPeL adalah pegawai yang ditunjuk sebagai pengelola SIMPeL di tingkat Kementerian/Lembaga yang berkedudukan di UKPBJ atau Kementerian/Lembaga.

39.

Admin Wilayah SIMPeL adalah pegawai yang ditunjuk sebagai pengelola SIMPeL di tingkat provinsi atau satuan kerja Kementerian/Lembaga yang bekerja sama.

40.

Admin Satuan Kerja SIMPeL yang selanjutnya disebut Admin Satker SIMPeL adalah pegawai yang ditunjuk sebagai pengelola SIMPeL pada tingkat satuan kerja di lingkungan Kementerian Keuangan atau satuan kerja Kementerian/Lembaga yang bekerja sama.

41.

Sub Admin Satuan Kerja SIMPeL yang selanjutnya disebut Sub Admin Satker SIMPeL adalah pegawai yang ditunjuk untuk membantu tugas Admin Satker SIMPeL pada tingkat satuan kerja di lingkungan Kementerian Keuangan atau satuan kerja Kementerian/Lembaga yang bekerja sama.

42.

Admin Sistem SI-UKPBJ adalah pegawai yang ditunjuk sebagai pengelola modul-modul aplikasi yang terdapat pada SI-UKPBJ yang berkedudukan di UKPBJ.

43.

User Monitoring Pusat SI-UKPBJ adalah pegawai yang ditunjuk untuk melakukan monitoring pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa pada tingkat pusat melalui SI- UKPBJ.

44.

User Monitoring Unit Eselon I SI-UKPBJ adalah pegawai yang ditunjuk untuk melakukan monitoring pelaksanaan Pengadaan Barang/ J asa pada tingkat Unit Eselon I melalui SI-UKPBJ.

45.

Auditor adalah tim atau perorangan yang diberi tugas dan kewenangan untuk melaksanakan pengawasan atau pemeriksaan pada instansi pemerintah.

46.

Identitas Pengguna yang selanjutnya disebut User ID adalah nama atau pengenal unik sebagai identitas diri yang digunakan untuk beroperasi di dalam suatu sistem elektronik.

47.

Kata Sandi yang selanjutnya disebut Password adalah kumpulan karakter atau string yang digunakan oleh pengguna jaringan atau sebuah sistem operasi banyak pengguna (multi user) untuk memverifikasi User ID kepada sistem keamanan yang dimiliki oleh jaringan atau sistem tersebut.

48.

Procurement Budget Review adalah kegiatan reviu atas rencana belanja barang dan belanja modal dari anggaran satuan kerja di lingkungan Kementerian Keuangan.

49.

Konsolidasi Pengadaan Barang/ J asa adalah strategi Pengadaan Barang/ Jasa yang menggabungkan beberapa paket Pengadaan Barang/Jasa sejenis.

50.

Total Cost of Ownership yang selanjutnya disingkat TCO adalah metode untuk mengidentifikasi biaya-biaya yang dikeluarkan baik selama proses pengadaan maupun sepanjang umur ekonomis barang.

51.

Katalog Elektronik Nasional adalah Katalog Elektronik yang disusun dan dikelola oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ J asa Pemerintah.

52.

Katalog Elektronik Sektoral adalah Katalog Elektronik yang disusun dan dikelola oleh Kementerian/Lembaga.

53.

Katalog Elektronik Lokal adalah Katalog Elektronik yang disusun dan dikelola oleh Pemerintah Daerah.

54.

E-audit adalah modul dalam SPSE dan SIMPeL yang digunakan sebagai alat bantu bagi Auditor untuk mengakses SPSE atau SIMPeL dalam rangka ✓ www.jdih.kemenkeu.go.id pengawasan atau pemeriksaan terhadap pelaksanaan Pengadaan Secara Elektronik.

55.

Manajemen Kontrak adalah kegiatan mengelola data kontrak mulai dari penandatanganan kontrak sampai dengan serah terima pekerjaan.

56.

Manajemen Penyedia adalah kegiatan mengelola · data Penyedia yang terdaftar pada LPSE beserta rekam jejak aktivitasnya dalam proses Pengadaan Barang/Jasa.

57.

Verifikasi Lapangan adalah monitoring dan evaluasi terhadap Pelaku Usaha yang terdaftar pada basis data ( database) LPSE.

58.

Rumah Negara adalah bangunan yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/ a tau pegawai negeri.

59.

Pembelian Rumah Negara adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh satuan kerja untuk mendapatkan Rumah Negara dengan cara pembelian rum.ah yang berdiri sendiri dan/atau berupa satuan rumah susun beserta atau tidak beserta tanahnya.

60.

Penyedia Rumah Negara yang selanjutnya disebut Penyedia Rumah adalah badan usaha dan/atau perorangan yang menjual rumah dari./ atau satuan rumah susun.

61.

Tim Survei Rumah Negara adalah tim yang ditetapkan oleh KPA untuk melaksanakan survei terhadap rumah dan Penyedia Rumah dalam Pembelian Rumah Negara.

62.

Survei adalah kegiatan pengumpulan data melalui peninjauan lokasi dan/atau kondisi rumah, legalitas dan perizinan pembangunan rumah dalam rangka Pembelian Rumah Negara.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG PERBENDAHARAAN
187/PMK.05/2021

Skema Subsidi Resi Gudang

  • Ditetapkan: 15 Des 2021
  • Diundangkan: 16 Des 2021

Relevan terhadap

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Skema Subsidi Resi Gudang yang selanjutnya disingkat SSRG adalah kredit/pembiayaan yang diberikan oleh penyalur SSRG kepada penerima SSRG dengan jaminan/agunan berupa resi gudang dan diberikan subsidi bunga/subsidi margin dari Pemerintah.

2.

Resi Gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang.

3.

Petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan.

4.

Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi.

5.

Suku Bunga/Margin adalah tingkat bunga/margin yang dikenakan dalam pemberian SSRG.

6.

Subsidi Bunga/Subsidi Margin adalah bagian bunga/margin yang menjadi beban Pemerintah sebesar selisih antara Suku Bunga/Margin yang berlaku dengan Suku Bunga/Margin yang dibebankan kepada penerima SSRG.

7.

Badan Pengawas Sistem Resi Gudang yang selanjutnya disebut Badan Pengawas adalah unit organisasi di bawah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan yang diberi wewenang untuk melakukan pembinaan, pengaturan dan pengawasan pelaksanaan sistem Resi Gudang.

8.

Pusat Registrasi Resi Gudang yang selanjutnya disebut Pusat Registrasi adalah badan usaha berbadan hukum yang mendapat persetujuan Badan Pengawas untuk melakukan penatausahaan Resi Gudang dan derivatif Resi Gudang, yang meliputi pencatatan, penyimpanan, pemindahbukuan kepemilikan, pembebanan hak jaminan, pelaporan serta penyediaan sistem dan jaringan informasi.

9.

Bank adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

10.

Lembaga Keuangan Non Bank yang selanjutnya disingkat LKNB adalah badan usaha yang berupa perusahaan pembiayaan yang menyediakan pelayanan jasa keuangan, tidak termasuk pada perusahaan asuransi dan/atau dana pensiun.

11.

Penyalur SSRG adalah Bank atau LKNB yang ditetapkan untuk menyalurkan SSRG.

12.

Lembaga Linkage adalah lembaga berbadan hukum yang dapat meneruspinjamkan SSRG dari Penyalur SSRG kepada penerima SSRG berdasarkan perjanjian kerja sama.

13.

Kuasa Pengguna Anggaran Belanja Subsidi Bunga/Subsidi Margin dalam rangka SSRG yang selanjutnya disebut KPA adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari PA untuk menyalurkan anggaran belanja Subsidi Bunga/Subsidi Margin SSRG kepada Penyalur SSRG.

14.

Komoditi adalah barang yang dapat disimpan di gudang dalam sistem Resi Gudang sebagaimana ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.

15.

Perjanjian Kerja Sama Pembiayaan yang selanjutnya disingkat PKP adalah perjanjian antara KPA dengan Penyalur SSRG.

16.

Kredit Usaha Rakyat yang selanjutnya disingkat KUR adalah kredit/pembiayaan modal kerja dan/atau investasi kepada debitur individu/perseorangan, badan usaha dan/atau kelompok usaha yang produktif dan layak namun belum memiliki agunan tambahan atau agunan tambahan belum cukup.

17.

Sistem Informasi Kredit Program yang selanjutnya disingkat SIKP adalah sistem informasi elektronik yang digunakan untuk menatausahakan dan menyediakan informasi penyaluran kredit program.

18.

Sistem Informasi Resi Gudang yang selanjutnya disingkat SIRG adalah sistem informasi elektronik yang digunakan untuk menatausahakan dan menyediakan informasi Resi Gudang.

Thumbnail
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI | HUKUM KEUANGAN NEGARA
4/PUU-XIX/2021

Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...

    Relevan terhadap

    Halaman 401Tutup

    fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Terkait dengan fungsi pengawasan, berdasarkan Pasal 72 huruf d UU MD3 mengatur bahwa DPR memiliki tugas dan wewenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, dan kebijakan pemerintah. Berdasarkan ketentuan tersebut, fungsi pengawasan DPR telah diatur oleh UUD 1945 dan UU MD3 sehingga sekalipun tidak ada frase “ setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. ” Dalam Pasal 42 angka 5 UU Cipta Kerja, maka tidak akan menghilangkan fungsi pengawasan DPR terhadap pelaksanaan UU dan kebijakan pemerintah dalam hal ini adalah RUKN. b. Bahwa dalam ketentuan Pasal 42 angka 5 UU Cipta Kerja yang menyatakan “ Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional disusun berdasarkan Kebijakan Energi Nasional dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat ,” tidak menghilangkan fungsi pengawasan dalam usaha penyediaan tenaga listrik oleh DPR RI, walaupun tidak lagi disebutkan secara eksplisit di dalam Pasal 42 angka 5 UU Cipta Kerja. Fungsi pengawasan oleh DPR RI terhadap usaha penyediaan tenaga listrik tetap masih ada sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang menyatakan “Kebijakan Energi Nasional ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR”. c. Kebijakan Energi Nasional yang masih berlaku saat ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, dimana Kebijakan Energi Nasional merupakan dasar dalam penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang berbunyi “Kebijakan energi nasional menjadi dasar dalam penyusunan Rencana Umum Energi Nasional dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional”. d. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka dalil Pemohon adalah tidak benar dan tidak berdasar.

    Thumbnail
    HUKUM KEUANGAN NEGARA | PEMERINTAHAN DAERAH
    UU 1 TAHUN 2022

    Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

    • Ditetapkan: 05 Jan 2022
    • Diundangkan: 05 Jan 2022

    Relevan terhadap

    Pasal 1Tutup

    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem penyelenggaraan keuangan yang mengatur hak dan kewajiban keuangan an: tara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang dilaksanakan secara adil, transparan, akuntabel, dan selaras berdasarkan undang-undang. 1 3 2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimalsud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 4. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan ralqrat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin petaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 7. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurLrs urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 8. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah unluk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. 9. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.

    10.

    Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah. 11. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 12. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas Daerah. 13. Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 14. Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 15. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. 16. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. 18. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. 19. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan gubernur dan peraturan bupati/wali kota. 20. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolban kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    21.

    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digu.nakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 22. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. 23. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak. 24. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, melipgti pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 25. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan. 26. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu. 27. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 28. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.

    29.

    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisq.n, atau pemasukan ke dalam badan usaha. 30. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digu.nakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan. 31. Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat. 32. Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. 33. Pajak Bumi dan Bangu.nan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, darr / ^atau ^dimanfaatkan ^oleh orang ^pribadi ^atau ^Badan. 34. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman. 35. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi. 36. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. 7 37. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan. 38. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan. 39. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangu.nan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang- undang di bidang pertanahan dan Bangunan. 40. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat. 41. Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat. 42. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu. 43. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir. 44. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran. 45. Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran. 46. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik. 47. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.

    48.

    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor. 49. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati. 50. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame. 5 1. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu. 52. Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. 53. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. 54. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. 55. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. 56. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. 57. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan. 58. Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.

    59.

    Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. 60. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalta, yaitu collncalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta., dan collocalia linchi. 61. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu. 62. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 63. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 64. Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 65. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. 66. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. 67. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 68. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

    69.

    Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 70. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengu.rangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. 71. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antar-Daerah. 72. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah. 73. Dana Otonomi Khusus adalah bagian dari TKD yang dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai otonomi khusus. 74. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yoryakarta yang selanjutnya disebut Dana Keistimewaan adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung urllsan keistimewaan Daerah Istimewa Yoryakarta sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai keistimewaan Yoryakarta. 75. Dana Desa adalah bagian dari TKD yang diperuntukkan bagi desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.

    76.

    Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut. 77. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu) periode anggaran. 78. Pembiayaan Utang Daerah adalah setiap penerimaan Daerah yang harus dibayar kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun- tahun anggaran berikutnya. 79. Pinjaman Daerah adalah pembiayaan utang Daerah yang diikat dalam suatu perjanjian pinjaman dan bukan dalam bentuk surat berharga, yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain, sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. 80. Obligasi Daerah adalah surat berharga berupa pengakuan utang yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. 81. Sukuk Daerah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan aset Sukuk Daerah yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. 82. Sinergi Pendanaan adalah sinergi sumber-sumber pendanaan dari APBD dan selain APBD dalam rangka pelaksanaan program prioritas nasional dan/atau Daerah. 83. Dana Abadi Daerah adalah dana yang bersumber dari APBD yang bersifat abadi dan dana hasil pengelolaannya dapat digunakan untuk Belanja Daerah dengan tidak mengurangi dana pokok. Pasal 2 Ruang lingkup Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi:

    a.

    pemberian sumber Penerimaan Daerah berupa Pajak dan Retribusi;

    b.

    pengelolaan b. pengelolaan TKD;

    c.

    pengelolaan Belanja Daerah;

    d.

    pemberian kewenangan untuk melakukan Pembiayaan Daerah; dan

    e.

    pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional. Pasal 3 Prinsip pendanaan untuk penyelenggaraan Urusan Pemerintahan dalam kerangka Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi:

    a.

    penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah didanai dari dan atas beban APBD; dan

    b.

    penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di Daerah didanai dari dan atas beban APBN.

    Pasal 193Tutup

    Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat diundangkan. Agar Disahkan di Ja}arta pada tanggal 5 Jan: uari 2022 ttd JOKO WTDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Januari2022 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR l TAHUN 2022 TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH I. UMUM 1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi, dan Daerah provinsi dibagi atas Daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan sendiri. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Daerah dilaksanakan berdasarkan asas otonomi, sedangkan Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan tanggung ^jawab Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan Urusan Pemerintahan dari tingkat pusat hingga Daerah merupalan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang berada di tangan Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menuntut adanya sinergisme pendanaan atas urusan tersebut dalam rangka pencapaian tujuan bernegara. 2 Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota, dan pembagian Urusan Pemerintahan antarpemerintahan tersebut menimbulkan adanya hubungan wewenang dan hubungan keuangan. Sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2\ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun L945, hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Penyusunan Undang-Undang ini juga didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu: mengembangkan sistem Pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah, mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal. 3 2. Sistem Pajak dan Retribusi Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir uale| objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan). Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagr hasil. Sementara itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. 4 Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentatg Cipta Kerja dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal untuk mendorong perkembangan investasi di Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.

    3.

    TKD TKD sebagai salah satu sumber Pendapatan Daerah ditujukan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan Daerah (vertikal) dan ketimpangan fiskal antar-Daerah (horizontal), sekaligus mendorong kinerja Daerah dalam mewujudkan pemerataan pelayanan publik di seluruh Daerah. TKD meliputi DBH, DAU, DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan, serta Dana Desa. Dalam rangka mencapai tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal dan kesenjangan pelayanan antar-Daerah, pengelolaan TKD akan mengedepankan kinerja sehingga dapat memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan di Daerah, sekaligus mendorong tanggung jawab Daerah dalam memberikan pelayanan yang lebih baik secara efisien dan disiplin. Untuk itu, DBH dialokasikan berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan satu tahun sebelumnya dalam rangka memberikan kepastian penerimaan bagi Daerah. Selain itu, pengalokasian DBH akan memperhitungkan kinerja Daerah dalam memperkuat penerimaan negara yang dibagihasilkan ataupun perbaikan lingkungan yang terdampak akibat aktivitas eksploitasi. 5 Reformulasi pengalokasian DAU dilakukan melalui penghitungan kebutuhan fiskal berdasarkan pada unit cost dan target layanan, serta penghitungan kapasitas fiska1 sesuai dengan potensi pendapatan Daerah sehingga lebih mencerminkan kebutuhan dan kapasitas fiskal secara riil. Selain pada aspek pengalokasian, reformulasi DAU dilakukan pada aspek penggunaan yang ditujukan untuk mendorong kinerja pencapaian pelayanan dasar masyarakat. Sementara itu, DAK akan lebih difokuskan pada upaya mendukung Daerah dalam pencapaian prioritas nasional dengan berdasarkan pada target kinerja, sekaligus menjaga pemerataan serta keseimbangan tingkat layanan antar-Daerah TKD juga memasukkan dana transfer yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya, yaitu Dana Otonomi Khusus Aceh, Papua, dan Papua Barat, Dana Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yograkarta, dan Dana Desa. Hal ini dimaksudkan untuk menggabungkan dana-dana tersebut dalam taksonomi TKD secara utuh, sekaligus melakukan penguatan dalam rangka mendorong proses alokasi yang lebih tepat, transparan, dan akuntabel, serta mendorong perbaikan kinerja layanan masyarakat melalui penerapan target kinerja. Pemerintah juga dapat memberikan insentif fiskal tertentu kepada Daerah tertentu, sebagai bentuk penghargaan dan sekaligus merangsang kinerja Daerah dalam pengelolaan Keuangan Daerah, pelayanan pemerintahan umum, pelayanan dasar publik, dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

    4.

    Pembiayaan Utang Daerah dan Sinergi Pendanaan Kemampuan Keuangan Daerah masih relatif terbatas dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana publik. Dalam rangka mendukung Daerah dalam pembangunan dan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, Daerah dapat mengakses sumber- sumber Pembiayaan Utang Daerah, baik yang berskema konvensional maupun syariah, meliputi Pinjaman Daerah, Obligasi Daerah, dan Sukuk Daerah. Skema Pinjaman Daerah akan didasarkan pada penggunaannya dan bukan pada periodisasi jangka waktu pinjaman, meliputi pinjaman untuk pengelolaan kas, pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah, pengelolaan portofolio utang Daerah, dan penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal BUMD. Se1ain itu, jenis Pinjaman Daerah akan diperluas, yaitu pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan. 6 Daerah juga diberi pilihan untuk mengakses Pembiayaan kreatif berupa Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah. Perluasan akses Pembiayaan bagi Daerah juga diikuti dengan penyederhanaan proses pelaksanaan Pembiayaan, antara lain melalui pengintegrasian persetujuan DPRD atas Pembiayaan Utang Daerah dalam proses pembahasan rancangan APBD. Selain itu, Pemerintah mendorong adanya sinergi pendanaan antar-sumber pendapatan dan/atau Pembiayaan Utang Daerah, baik dari PAD, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, kerja sama antar-Daerah, dan kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha dalam rangka penguatan sumber pendanaan program/kegiatan agar memberikan manfaat yang lebih signifikan.

    5.

    Pengelolaan Belanja Daerah Selain perbaikan kebijakan dari aspek input, Undang-Undang ini mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah. Belanja Daerah masih didominasi oleh belanja aparatur dan belanja operasional rutin dan dikelola dengan kurang efisien, serta tidak didukung dengan sumber daya manusia pengelola Keuangan Daerah yang memadai. Belanja Daerah masih dianggarkan relatif minimal dalam mendukung belanja yang berorientasi pada layanan infrastruktur publik sehingga tidak dapat secara optima,l mendukung pencapaian outcome pembangunan Daerah dan pertumbuhan ekonomi Daerah. Selain itu, Belanja Daerah sering kali masih berjalan sendiri-sendiri dengan program dan kegiatan kecil-kecil yang tidak fokus sehingga pada akhirnya output danf alau outcome tidak memberikan dampak perbaikan yang signifikan bagi masyarakat, serta tidak terhubung dengan prioritas nasional dan arah kebijakan fiskal nasional. Untuk itu, diperlukan pengaturan dan penguatan disiplin Belanja Daerah dalam APBD. Perbaikan pengaturan tersebut dilakukan mulai dari penganggaran Belanja Daerah, simplifikasi dan sinkronisasi program prioritas Daerah dengan prioritas nasional, serta penJrusunan Belanja Daerah yang didasarkan atas standar harga (belanja operasi dan tunjangan kinerja Daerah) dan analisis standar belanja. Selain itu, penguatan disiplin Belanja Daerah dilakukan dengan pengaturan alokasi Belanja Daerah, seperti kewajiban untuk memenuhi porsi tertentu atas jenis belanja tertentu, baik yang dimandatkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan maupun dalam Undang- Undang ini, serta optimalisasi penggunaan SiLPA berbasis kinerja. 7 Lebih lanjut, peningkatan kualitas Belanja Daerah juga dilakukan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah dan penguatan aspek pengawasdn. Untuk itu, Undang-Undang ini juga memandatkan adanya sertifikasi bagi aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah, dan keterlibatan aparat pengawas intern Pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk melakukan pengawasan intern atas rancangan APBD ataupun pelaksanaan atas APBD, dan melakukan penguatan kapabilitas terhadap aparat pengawas intern Pemerintah Daerah. Undang-Undang ini juga memberikan ruang bagi daerah-daerah tertentu yang mempunyai kapasitas fiskal memadai dan telah menyelenggarakan dengan baik segala urusan wajib layanan dasar, untuk dapat membentuk Dana Abadi Daerah yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat yang bersifat lintas generasi.

    6.

    Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional Penguatan tata kelola hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah tidak dapat berdiri sendiri untuk menjawab tantangan dalam mewujudkan tujuan bernegara. Kebijakan frskal terdiri atas fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi sehingga pelaksanaan kebijakan fiskal di Daerah harus sinergis dengan kebijakan fiskal di Pemerintah dalam rangka mengoptimalkan seluruh instrumen kebijakan fiskal dalam mencapai tujuan bernegara. Untuk itu, Undang-Undang ini juga mengatur bagaimana melaksanakan sinergi kebijakan fiskal nasional, yang dilakukan antara lain melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah, penetapan batas maksimal defrsit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah, pengendalian dalam kondisi darurat, serta sinergi bagan akun standar. Sinergi kebijakan fiskal nasional tersebut didukung oleh sistem informasi yang dapat mengonsolidasikan laporan keuangan pemerintahan secara nasional sesuai dengan bagan akun standar yang terintegrasi antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah, menyajikan informasi Keuangan Daerah secara nasional, serta menghasilkan kebijakan yang didasarkan pada pemantauan dan evaluasi atas Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah yang terukur dan terstruktur. 8 Dengan kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang ini, diharapkan layanan kepada masyarakat di seluruh pelosok nusantara dapat makin merata dan dengan kualitas yang memadai. Pengaturan- pengaturan yang terkait dengan pengelolaan perpajakan Daerah, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, dan pengendalian APBD diharapkan memberikan kemampuan kepada Pemerintah Daerah untuk secara bersama-sama dan sinergis dengan Pemerintah mencapai tujuan pembangunan nasional dalam mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup ^jelas. Pasal 5 Cukup ^jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "potensinya kurang memadai" adalah potensi penerimaan dari suatu jenis Pajak yang nilainya terlalu kecil sehingga biaya operasional pemungutannya lebih besar dibandingkan dengan hasil pungutannya. Huruf b Cukup jelas. 9 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan. Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing- masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan. Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing- masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan, contoh:

    1.

    kendaraan yang dibawa oleh wisatawan;

    2.

    kendaraan yang digunakan teknisi, wartawan, tenaga ahli; dan

    3.

    kendaraan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali. Huruf c Cukup jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup ^jelas. Pasal 15 Cukup ^jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup ^jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup ^jelas. Pasal 20 Cukup ^jelas. Pasal 2 1 Cukup ^jelas. Pasal 22 Cukup ^jelas. Pasal 23 Cukup ^jelas. Pasal 24 Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup ^jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Stabilisasi harga dilakukan dalam rangka pengendalian risiko fiskal dan ekonomi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Bobot Air Permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukkan dampak pengambilan/pemanfaatan Air Permukaan terhadap lingkungan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasa] 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup ^jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup ^jelas. Pasal 37 Cukup ^jelas. Pasal 38 Ayat (t) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Ma"ss Rapid. Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atatt yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun. Huruf h Cukup ^jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 39 Cukup ^jelas. Pasal 40 Cukup ^jelas. Pasal 4 1 Cukup ^jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup ^jelas. Pasal 44 Cukup ^jelas. Pasal 45 Cukup ^jelas. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu alrtara lain waris atau hibah wasiat yang berlaku pada kebudayaan dan adat istiadat di Daerah tertentu di mana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 47 Cukup ^jelas. Pasal 48 Cukup ^jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup ^jelas. Pasal 51 Ayat (1) Huruf a Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:

    1.

    Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.

    2.

    Toko 2. Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai. 3. Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 52 Cukup ^jelas. Pasal 53 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Hurufd Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Hurufh Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Hurufj Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan). Huruf k Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup je1as. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel. Pasal 54 Cukup ^jelas. Pasal 55 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup ^jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya. Huruf i Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran lfitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggu.naannya. Hurufj Cukup ^jelas. Huruf k Cukup ^jelas. Huruf I Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital. Pasal 57 Cukup ^jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup ^jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup ^jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Yang dimaksud penggunaan Air pengambilan. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup ^jelas. Pasal 68 Cukup ^jelas. Pasal 69 Cukup ^jelas. Pasal 70 Cukup ^jelas. Pasal 71 Cukup ^jelas. Pasal 72 Cukup ^jelas. "pemanfaatan" adalah ^kegiatan di sumbernya tanpa dilakukan dengan Tanah Pasal 73 Cukup ^jelas. Pasal 74 Cukup ^jelas. Pasal 75 Cukup ^jelas. Pasal 76 Cukup ^jelas. Pasal 77 Cukup ^jelas. Pasal 78 Cukup ^jelas. Pasal 79 Cukup je1as. Pasal 80 Cukup ^jelas. Pasal 81 Cukup ^jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Penggunaan variabel lainnya dalam bagi hasil PBBKB dengan bobot paling tinggi sebesar 3O%o (tiga puluh persen) merupakan kewenangan Daerah masing-masing sesuai dengan kebijakan Daerah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 86 Cukup ^jelas. Pasal 87 Cukup ^jelas. Pasal 88 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat 12) Cukup je1as. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 23 Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Penambahan jenis Retribusi misalnya adalah pelayanan pengendalian perkebunan kelapa sawit. Ayat (9) Cukup ^jelas. Pasal 89 Cukup ^jelas. Pasal 90 Cukup ^jelas. Pasal 91 Cukup ^jelas. Pasal 92 Cukup je1as. Pasal 93 Cukup ^jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu. 24 Pasal 97 Cukup ^jelas. Pasal 98 Cukup ^jelas. Pasal 99 Cukup ^jelas. Pasal 100 Cukup ^jelas. Pasal 101 Cukup ^jelas. Pasal 102 Cukup ^jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup ^jelas. Pasal 106 Cukup ^jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup ^jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup ^jelas. Pasal 111 Cukup je1as. Pasal 112 Ayat (1) DBH dari Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pajak Penghasilan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri termasuk yang pemungutannya bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Ayat (1) Penerimaan sumber daya alam kehutanan yang dibagihasilkan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi tempat pengusahaan hutan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 116 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Pertambangan yang berada di atas 12 (dua belas) mil tidak dibagihasilkan mengingat kewenangan batas wilayah Daerah adalah sampai dengan 12 (dua belas) mil laut sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (a) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan mineral dan batu bara dan berisiko terkena dampak ekternalitas negatif. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan ^uprovinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Pasa1 117 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan minyak bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup ^jelas. Hurufb Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan gas bumi dan berisiko terkena dampak eksterna-litas negatif. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 118 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup je1as. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah kerja panas bumi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan'kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan panas bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif. Pasal 119 Cukup ^jelas. Pasal 120 Bagian dari 9O%o (sembilan puluh persen) DBH SDA tersebut, termasuk yang ditujukan untuk:

    a.

    kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama;

    b.

    kabupaten/kota yang berbatasan langsung baik dalam provinsi yang sama maupun berbeda;

    c.

    kabupaten/kota pengolah, dengan mempertimbangkan antara lain dampak eksternalitas. Kinerja Pemerintah Daerah merupakan' kinerja Pemerintah Daerah dalam mendukung antara lain optimalisasi penerimaan negara, seperti pajak pusat dan penerimaan negara bukan pajak dan/atau kinerja pemeliharaan lingkungan, seperti pengelolaan lingkungan dan energi ramah lingkungan. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup ^jelas. Pasal 123 Ayat (1) Jenis DBH lainnya antara lain dapat berupa bagi hasil yang terkait dengan perkebunan sawit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 124 Ayat (1) Penghitungan kebutuhan pelayanan publik juga mempertimbangkan kesinergisan pendanaan pelaksanaan urusan antara Pemerintah dan Daerah. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "karakteristik tertentu" adalah karakteristik kewilayahan, seperti letak geogralis dan perekonomian Daerah. Pasal 125 Ayat (1) DAU = Celah Fiskal (CF) Ayat (2) Celah Fiskal (CF) = Kebutuhan Fiskal - potensi pendapatan Daerah. Ayat (3) Penghitungan kebutuhan dasar penyelenggaraan pemerintahan memperhitungkan antara lain kebutuhan penggajian aparatur sipil negara, baik PNS maupun PPPK. Ayat (4) Untuk provinsi, PAD tidak termasuk PAD yang dibagihasilkan ke kabupaten dan kota dan untuk kabupaten dan kota termasuk PAD yang dibagihasilkan dari provinsi. Alokasi DAK nonfisik yang diperhitungkan antara lain adalah bidang pendidikan dan kesehatan. Pasal 126 Ayat (1) Jumlah unit target layanan diperoleh dari lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang berwenang menerbitkan data. Ayat (21 Yang dimaksud dengan "biaya investasi" adalah rerata 3 (tiga) tahun Belanja Daerah sektor tertentu dibagi dengan rerata 3 (tiga) tahun target layanan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Karakteristik wilayah misalnya Daerah yang berciri kepulauan dan Daerah dengan basis perekonomian tertentu seperti sektor pariwisata atau sektor pertanian dan perikanan yang mendukung ketahanan pangan. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Ayat (1) DAU Provinsii = Bobot provinsil x jumlah DAU provinsi dalam kelompok provinsi. Ayat (2) Bobot Provi = CF Provi ICF ^Prov dimana, CF Provinsil ICF ^Provinsi = Celah Fiskal untuk provinsil. = iumlah Celah Fiskal seluruh provinsi dalam kelompok provinsi. Pasal 129 Ayat (1) DAU kabupaten/kota1 = Bobot kabupaten/kota1 x jumlah DAU kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota. Ayat (2) CF Kab / Kotai Bobot Kab/Kota,= ^_Vp XatlXon dimana, CF kabupaten/kota.1 Celah Fiskal untuk kabupaten/kota1. jumlah Celah Fiskal seluruh kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota. CF'kabupaten dan kota Pasal 130 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Bagi Daerah yang tidak menerima alokasi DAU, untuk mendukung pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat di kelurahan diperhitungkan dari alokasi DBH. Pasal 131 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. 33 Ayat (4) Penyinergian DAK dengan pendanaan lainnya bertujuan untuk mendukung pencapaian program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu. Pendanaan lainnya dapat berasal dari TKD lainnya, Pembiayaan Utang Daerah, APBD, kerja sama pemerintah dan badan usaha, kerja sama antar-Daerah, dan belanja kementerian/lembaga. Belanja kementerian/lembaga yang masih mendanai urusan Daerah dialihkan menjadi DAK dalam hal Daerah telah memiliki kinerja baik dalam pengelolaan APBD. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 132 Ayat (1) Dana Otonomi Khusus bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 134 Ayat (1) Dana Desa bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangu.nan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan yang menjadi kewenangan desa. Ayat (21 Cukup jelas. Ayat (s) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 135 Cukup ^jelas. Pasal 136 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "lokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 137 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dialokasikan secara mandiri" adalah alokasi TKD dalam statusnya sebagai daerah otonom baru yang perhitungannya sesuai dengan formula yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai TKD. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan ^ulokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 138 Ayat (1) Penyaluran TKD dapat dilakukan secara langsung ke rekening penerima manfaat, seperti desa dan/atau sekolah. Dalam hal penyaluran TKD dilaksanakan dengan mekanisme tersebut, transaksi dimaksud tetap tercatat dalam APBD. Ayat (2) Dalam rangka pengelolaan kas pemerintahan yang efektif dan efisien, penyaluran dilaksanakan dalam skema pengelolaan kas Daerah yang terpadu. Hal ini dapat dilakukan melalui penggunaan akun tertentu yang dikelola oleh Pemerintah yang merepresentasikan rekening kas tiap-tiap Daerah. Pasal 139 Cukup ^jelas. Pasal 140 Cukup ^jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup ^jelas. Pasal 144 Cukup ^jelas. Pasal 145 Ayat (1) Alokasi belanja untuk mendanai Urusan Pemerintahan Daerah tertentu yang besarannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan seperti anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan alokasi dana desa. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 146 Ayat (1) Belanja pegawai Daerah termasuk di dalamnya aparatur sipil negara, Kepala Daerah, dan anggota DPRD. Belanja pegawai Daerah pada ayat ini tidak termasuk belanja untuk tambahan penghasilan guru, tunjangan khusus guru, tunjangan profesi guru, dan tunjangan sejenis lainnya yang bersumber dari TKD yang telah ditentukan penggunaannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 147 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "belanja infrastruktur pelayanan publik" adalah belanja infrastruktur Daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan dan/atau pemeliharaan fasilitas pelayanan publik yang berorientasi pada pembangunan ekonomi Daerah dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antar-Daerah. Yang dimaksud dengan "belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada Daerah dan/atau desa" adalah belanja bagi hasil dan/atau transfer yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain bagi hasil Pajak provinsi kepada kabupaten/kota, bagi hasil Pajak dan Retribusi kabupaten/kota kepada desa, dan transfer kepada desa yang berasal dari Dana Desa dan alokasi dana desa. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 148 Cukup ^jelas. Pasal 149 Cukup ^jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup ^jelas. Pasal 152 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "dalam hal tertentu" adalah dalam rangka menjalankan arahan Presiden untuk kepentingan strategis nasional dan untuk memberikan masukan yang bersifat lintas sektor. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas. Pasal 153 . Cukup jelas. Pasal 154 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Yang dimaksud "dalam hal tertentu" adalah kondisi kedaruratan yang mengakibatkan perkiraan pendapatan Daerah mengalami penurunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari APBD. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 155 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Yang dimaksud "lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan bukan bank" adalah lembaga keuangan yang dianggap mampu oleh Menteri. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 156 Cukup ^jelas. Pasal 157 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Hasil penjualan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan/atau memberikan manfaat bagi masyarakat. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasal 158 Ayat (1) Dasar penerbitan Sukuk Daerah tidak dimaksudkan sebagai jaminan penerbitan Sukuk Daerah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "selain tanah dan/atau bangunan" dapat berupa barang berwujud ataupun barang tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis dan/atau memiliki aliran penerimaan kas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 Cukup ^jelas. Pasal 162 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya" adalah DAU dan/atau DBH yang tidak ditentukan penggunaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Ayat (2) Cukup jelas. 40 Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Cukup ^jelas. Pasal 165 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "investasi yang bebas dari risiko penurunan nilai" adalah penempatan dana pada instrumen keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan yang telah diakui kredibilitasnya sehingga nilai pokok/awal investasi tidak dipengaruhi fluktuasi di pasar uang/pasar modal; fluktuasi hanya akan memengaruhi imbal hasil. Contoh penempatan dengan kriteria demikian misalnya adalah investasi pada Surat Berharga Negara hingga jatuh tempo atau tidak merealisasikan kerugian pada saat dijual, serta deposito pada bank yang sehat. Ayat (s) Cukup je1as. Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 Ayat (1) Sinergi dimaksud dalam rangka mendukung pengelolaan fiskal pusat dan Daerah yang terintegrasi antara lain adalah refocusing, penyesuaian Belanja Daerah dan belanja pusat, mendukung kebijakan anti-cgclical, serta penyelarasan kebijakan fiskal nasional dan target capaian pembangunan nasional. Ayat (21 Cukup ^jelas. Pasal 170 Cukup ^jelas. Pasal 171 Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Yang dimaksud dengan "kondisi darurat" adalah memburuknya kondisi ekonomi makro dan keuangan yang menyebabkan fungsi dan peran APBN dan APBD tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien, antara lain:

    a.

    proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya secara signifikan;

    b.

    proyeksi penurunan pendapatan negara fDaerah dan/atau meningkatnya belanja negara/Daerah secara signifikan; dan/atau

    c.

    adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Pasal 174 Sinergi bagan akun standar merupakan upaya sinergi dan pengintegrasian antara bagan akun standar pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal 175 Cukup ^jelas. Pasal 176 Konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah meliputi informasi keuangan, informasi kinerja, informasi publik, informasi eksekutif, dan informasi terkait lainnya termasuk data transaksi Pemerintah Daerah, selaras dengan lagan akun standar untuk Pemerintah Daerah yang terintegrasi dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Pusat, dengan tujuan menciptakan statistik keuangan dan laporan keuangan secara nasional yang selaras dan terkonsolidasi yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan arggaran, dan pelaporan. Pasal L77 Informasi lainnya antara lain adalah informasi kepegawaian dan layanan pengadaan barang dan jasa. Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Ayat (1) Pelaksanaan Pemantauan dan evaluasi terhadap Pelaksanaan TKD dan pelaksanaan APBD setidaknya berfokus pada i) pelaksanaan belanja wajib (mandatory spending), seperti belanja pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur; ii) likuiditas Keuangan Daerah; iii) SiLPA; serta iv) pemantauan dan evaluasi terhadap pencapaian outputatas program-program prioritas nasional dan Daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 180 Cukup ^jelas. Pasal 181 Cukup ^jelas. Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 Cukup ^jelas. Pasal 184 Cukup ^jelas. Pasal 185 Cukup ^jelas. 43 Pasal 186 Cukup ^je1as. Pasa1 187 Cukup ^jelas. Pasal 188 Cukup jelas. Pasal 189 Cukup ^jelas. Pasal 190 Cukup ^jelas. Pasal 191 Cukup ^jelas. Pasal 192 Cukup jelas. Pasal 193 Cukup ^jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6757

    Thumbnail
    HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG ANGGARAN
    PMK 39 TAHUN 2024

    Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2025

    • Ditetapkan: 31 Mei 2024
    • Diundangkan: 05 Jul 2024
    Thumbnail
    HUKUM KEUANGAN NEGARA | PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
    40/PUU-XX/2022

    Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ...

      Relevan terhadap

      Halaman 36Tutup

      Pasal 25 Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara selaku pengguna anggaran/ pengguna barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) menyusun rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara Pasal 26 ayat (1) Pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan sesuai tata kelola anggaran Ibu Kota Nusantara. Kerugian Konstitusional Pemohon: Pasal 27 ayat (3) a) Aktual: Berlakunya Pasal 25, Pasal 26 undang-undang a quo telah nyata secara terang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga telah menggangu hak bela negara Pemohon dalam menjamin peri- kehidupan bangsa yang selaras dengan dasar hukum Negara karena tidak adanya pengawasan penggunaan uang negara. Pasal 25, Pasal 26 undang-undang a quo perlu dibatalkan paling tidak sampai ada badan pengawasan keuangan tentang hal tersebut. Tetapi pernyataan ini apabila pasal-pasal a quo bukan berkenaan pemindahaan Ibu Kota Negara.. 22. PUU Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Pasal 27; Dalam rangka pemindahan Ibu Kota Negara, Barang Milik Negara yang sebelumnya digunakan oleh Kementerian/ Lembaga di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan/atau provinsi lainnya wajib dialihkan pengelolaannya kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Kerja pemindahan yang dimaksud tentunya bukanlah dengan memindahkan fisik yang ada di Ibukota Negara sebagai maksud perbaikan yaitu perbaikan posisi atau letak Ibukota Negara DKI Jakarta ke titik koordinat yang dinyatakan dalam Pasal 6 undang-undang a quo sebagaimana yang dilakukan Nabi (Raja) Sulaiman terhadap Kerajaan Saba' seperti info dari al'qur'an Surah An-Naml berkenaan pemindahan lokasi istana ratu bulqis. Hal ini menambah kerancuan pada muatan ayat pada pasal ini selain kerancuan-kerancuan yang telah Pemohon sebutkan di PUU pasal-pasal sebelumnya tentang upaya sebenarnya yang akan dilakukan pemerintah pusat, yaitu apakah akan memperbaiki tata kelola semua aspek Ibukota Negara DKI Jakarta termasuk penggantian nama

      Halaman 7Tutup

      pembiayaan rutin yaitu potong-potong pembiayan rutin pemerintah pusat yang biasa berjalan atau dari pinjaman baru. Ini merupakan suatu ketidakpastian 1 (satu). (4) Selanjutnya, menilik pada bunyi Pasal 31 undang-undang a quo tentang pembiayaan, bila tetap diberlakukan, kata sambung yang digunakan adalah “dan/atau” yang berarti sumber pembiayaan bisa bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan sumber lain bila ada. Sebaliknya bila tidak ada maka berarti sumber pembiayan hanya dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara uang besarannya bisa senilai Rp 500.000.000.000.000,- .dan ini menjadi ketidakpastian baru, sebut ketidakpastian 2 (dua). (5) Ketidakpastian 1 (satu), ketidakpastian 2 (dua) dan ditambah dengan ketidakpastian 3 mengenai waktu dana tersebut tergantikan atau kembali pada kas negara dan perlu dikembalikan ke kas negara untuk jadi subsidi untuk menekan harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi. yang juga dalam ketidakpastian akan berlangsung berapa lama. (6) Harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi telah menyulitkan Pemohon sebagai seorang peneliti mandiri yang sedang mengembangkan pembuatan “Super Batere System” karena dana habis terpakai untuk konsumsi, transportasi dan kebutuhan pokok lainnya diluar anggaran sebelumnya sehingga riset berjalan tersendat-sendat. (Saksi riset, Saudara Iwen dan Saudara Agus). (7) Riset yang bertema Sumber Catu Daya untuk Drone ini Pemohon maksudkan jadi sumber pemasukan baru untuk kas negara dalam rangka memajukan diri dan memajukan masyarakat, bangsa dan negara, serta untuk meningkatkan upaya pertahanan dan keamanan negara (Drone bisa dimanfaatkan untuk pengawasan teritori, target pencapain Pemohon adalah agar Drone bisa eksis di udara selama 6 x 24 jam (enam kali dua puluh empat jam) tanpa henti. (8) Hak Konstitusional Pemohon yang dirugikan akibat diberlakunnya undang-undang a quo ;

      Thumbnail
      HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG BEA CUKAI
      145/PMK.04/2022

      Pengembalian Bea Masuk yang telah Dibayar atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang lain dengan Tujuan untuk Dieksp ...

      • Ditetapkan: 18 Okt 2022
      • Diundangkan: 21 Okt 2022

      Relevan terhadap

      Pasal 1Tutup

      Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

      1.

      Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.

      2.

      Bea Masuk Tambahan adalah tambahan atas Bea Masuk seperti Bea Masuk antidumping, Bea Masuk imbalan, Bea Masuk tindakan pengamanan, dan Bea Masuk pembalasan.

      3.

      Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut PPN atau PPN dan PPnBM adalah pajak yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

      4.

      Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pengembalian yang selanjutnya disebut KITE Pengembalian adalah pengembalian Bea Masuk yang telah dibayar atas impor atau pemasukan barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.

      5.

      Perusahaan KITE Pengembalian adalah badan usaha yang telah ditetapkan sebagai penerima fasilitas KITE Pengembalian.

      6.

      Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Wilayah, KPU, dan Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.

      7.

      Barang dan Bahan adalah barang dan bahan baku, termasuk bahan penolong dan bahan pengemas yang:

      a.

      diimpor; atau

      b.

      dimasukkan dari tempat penimbunan berikat, kawasan bebas dan/atau kawasan ekonomi khusus yang berasal dari luar daerah pabean, dengan menggunakan fasilitas KITE Pengembalian, untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain untuk menjadi Hasil Produksi yang mempunyai nilai tambah.

      8.

      Hasil Produksi adalah hasil pengolahan, perakitan, atau pemasangan Barang dan Bahan.

      9.

      Diolah adalah dilakukan pengolahan untuk menghasilkan Hasil Produksi yang mempunyai nilai tambah.

      10.

      Dirakit adalah dilakukan perakitan dan/atau penyatuan sehingga menghasilkan Hasil Produksi yang mempunyai nilai tambah.

      11.

      Dipasang adalah dilakukan pemasangan, pelekatan, dan/atau penggabungan dengan barang lain sehingga menghasilkan Hasil Produksi yang mempunyai nilai tambah.

      12.

      Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan Bea Masuk.

      13.

      Gudang Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan berupa pengemasan/pengemasan kembali, penyortiran, penggabungan (kitting), pengepakan, penyetelan, pemotongan, atas barang- barang tertentu dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.

      14.

      Kawasan Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.

      15.

      Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dalam jangka waktu tertentu, dengan atau tanpa barang dari dalam Daerah Pabean untuk dipamerkan.

      16.

      Pusat Logistik Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang asal luar daerah pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.

      17.

      Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Cukai.

      18.

      Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.

      19.

      Mitra Utama Kepabeanan yang selanjutnya disebut MITA Kepabeanan adalah importir dan/atau eksportir yang diberikan pelayanan khusus di bidang kepabeanan.

      20.

      Tunggakan Utang adalah utang Bea Masuk, bea keluar, sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga, cukai, termasuk Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Barang Mewah, dan/atau Pajak Penghasilan yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tidak dilunasi sampai dengan jatuh tempo, tidak mengajukan keberatan, atau banding.

      21.

      Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

      22.

      Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

      23.

      Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang- Undang Cukai.

      24.

      Kantor Wilayah adalah kantor wilayah di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

      25.

      Kantor Pelayanan Utama yang selanjutnya disingkat KPU adalah Kantor Pelayanan Utama di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

      26.

      Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.

      27.

      Surat Ketetapan Pembayaran Fasilitas Pengembalian Bea Masuk yang selanjutnya disingkat SKP-FPBM adalah surat keputusan persetujuan terhadap permohonan pengembalian Bea Masuk yang diterbitkan atas nama Menteri oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE Pengembalian.

      28.

      Surat Perintah Membayar Kembali Fasilitas Pengembalian Bea Masuk yang selanjutnya disingkat SPMK-FPBM adalah surat perintah yang diterbitkan oleh pejabat penandatangan surat perintah membayar untuk dan atas nama pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran kepada bendahara umum negara atau kuasanya berdasarkan SKP-FPBM untuk melakukan pembayaran sejumlah uang kepada Perusahaan KITE Pengembalian.

      Thumbnail
      HUKUM KEUANGAN NEGARA
      PER-4/PB/2021

      Petunjuk Teknis Penilaian Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran Belanja Kementerian Negara/Lembaga

      • Ditetapkan: 08 Mar 2021
      • Diundangkan: 08 Mar 2021

      Relevan terhadap

      Pasal 31Tutup

      Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Maret 2021 J2JREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN, m % Qr HADIYANTO LAMPIRAN PERATURAN PERBENDAHARAAN NOMOR PER- 4 /PB/2021 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENILAIAN INDIKATOR KINERJA PELAKSANAAN ANGGARAN BELANJA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA DIREKTUR JENDERAL TATA CARA PENGUKURAN DAN PENILAIAN INDIKATOR KINERJA PELAKSANAAN ANGGARAN BELANJA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA KEMENTERIAN KEUANGAN DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN / FORMULA PERHITUNGAN NILAI KINERJA PADA INDIKATOR KINERJA PELAKSANAAN ANGGARAN (IKPA) BELANJA KEMENTERIAN NEGARA/LEM BAGA 1. Perhitungan Nilai IKPA K/L/Unit Eselon I/Satker Nilai IKPA pada Aplikasi OM-SPAN untuk K/L/Unit Eselon I/Satker diperoleh dengan menjumlahkan seluruh nilai kinerja indikator dikalikan dengan bobot masing-masing indikator pada tingkat K/L/Unit Eselon I/Satker. Dalam hal pada salah satu atau beberapa indikator kinerja yang tidak memiliki transaksi, maka nilai akhir IKPA K/L/Unit Eselon I/Satker dihitung dengan mengalikan konversi bobot IKPA. 13 ^^(Nilai Indikator n x Bobot Indikator n) _: _ Konversi Bobot *) Nilai IKPA = n=l *) Keterangan:

      a.

      Konversi bobot bernilai 100 persen apabila K/L/Unit Eselon I/Satker memiliki seluruh data transaksi atas indikator yang dinilai.

      b.

      Konversi bobot bernilai di bawah 100 persen apabila pada Satker tidak terdapat data transaksi untuk indikator tertentu.

      2.

      Perhitungan Nilai IKPA per Indikator Perhitungan IKPA Uraian Indikator Kalkulasi Indikator Bobot (%) No. Rasio Revisi DIPA triwulanan (RRev): Nilai IKPA Revisi DIPA:

      a.

      Indikator kinerja Revisi DIPA dihitung berdasarkan frekuensi revisi DIPA yang dilakukan oleh Satker dalam satu triwulan. 1 Ef=i RRev n RRev n = x 100 IKPA Rev = Frekuensi Revisi n Revisi DIPA 5 1. n / Indikator Uraian Indikator Kalkulasi No. Bobot (%) Perhitungan IKPA b. Dalam rangka penilaian IKPA yang optimal, frekuensi revisi DIPA adalah satu kali dalam rentang triwulanan dan tidak bersifat kumulatif.

      c.

      Jika frekuensi revisi DIPA Satker melebihi satu kali dalam satu triwulan, maka pencapaian nilai kinerja menjadi tidak optimal. d. Jenis revisi DIPA yang diperhitungkan adalah revisi dalam kewenangan pagu tetap yang disahkan oleh Kementerian Keuangan (DJA, Direktorat Pelaksanaan Anggaran, Kantor Wilayah DJPb). e. Revisi yang menjadi kewenangan Kuasa Pengguna Anggaran, serta revisi dalam rangka penghematan atau refocusing anggaran yang menjadi kebijakan Pemerintah dikecualikan dalam perhitungan.

      f.

      Nilai IKPA Revisi DIPA untuk level Unit Eselon I dan K/L (agregasinya) merupakan nilai rata- rata dari Nilai IKPA Satker yang ada di bawah kewenangannya (konsolidasi lokasi: average). Keterangan: Keterangan: RReVn Rasio Revisi DIPA triwulan ke-n IKPA Rev = Nilai IKPA Revisi DIPA triwulan ke-n Frekuensi Revisi n Frekuensi Revisi DIPA pada triwulan ke-n Jumlah Triwulan n a. Indikator kinerja Deviasi Halaman III DIPA, dihitung berdasarkan rata-rata kesesuaian antara realisasi anggaran terhadap rencana penarikan dana (RPD) bulanan. Nilai IKPA Deviasi Hal III DIPA: Deviasi Halaman III DIPA bulanan: Deviasi Halaman 2. 5 III DIPA IKPA DevDIPAn = EiLi DevDIPAn WRealisasi n - RPDn\ DevDIPA n = x 100 RPDn 100- n / Indikator Uraian Indikator Kalkulasi Perhitungan IKPA Bobot (%) No. Deviasi Halaman III DIPA dihitung nilai penyimpangan/deviasi realisasi anggaran terhadap RPD. Nilai IKPA Deviasi Halaman III DIPA memperhitungkan rata-rata deviasi antara realisasi anggaran dengan RPD setiap bulan. Nilai RPD yang diperhitungkan adalah nilai RPD yang dikunci setiap awal triwulan. Batas akhir pemutakhiran RPD pada Halaman III DIPA dalam rangka penilaian IKPA adalah sampai dengan sepuluh hari kerja pertama pada setiap triwulan. Khusus untuk triwulan I, batas akhir pemutakhiran RPD pada Halaman III DIPA adalah sampai dengan 10 hari kerja pertama bulan Februari. Penguncian data RPD pada Halaman III DIPA dilakukan berdasarkan tanggal posting DIPA hasil revisi pada sistem. Nilai deviasi yang dihitung mulai periode Januari sampai dengan November.

      b.

      Keterangan: Keterangan: berdasarkan antara rasio DevDIPAn Deviasi Hal III DIPA bulan ke-n IKPA DevDIPAn = Nilai IKPA Deviasi Hal III DIPA bulan ke-n c. Realisasi n = Realisasi Anggaran bulan ke-n DevDIPA bulan ke-n d. DevDIPAn = RPD n Rencana Penarikan Dana bulan ke-n e. Bulan ke-n n f. g- h. Indikator Uraian Indikator Kalkulasi No. Perhitungan IKPA Bobot (%) a. Indikator kinerja Pagu Minus dihitung berdasarkan rasio antara total nilai pagu minus (realisasi yang melebihi pagunya) terhadap pagu DIPA.

      b.

      Nilai pagu minus mengacu pada nilai pagu minus pada level akun (6 digit) pada pada semua jenis belanja.

      c.

      Satker yang tidak memiliki Pagu Minus, maka nilai kinerja diberikan sebesar 100 (seratus). d. Penilaian akhir indikator kinerja Pagu Minus didasarkan pada nominal pagu minus DIPA per tanggal 31 Desember yang belum diselesaikan. Rasio Pagu Minus: Nilai IKPA Pagu Minus: Keterangan: Pagu Minus 3. 5 Pagu Minus = Nominal Pagu Minus Pagu DIPA = Nominal Pagu DIPA a. Indikator kinerja Penyampaian Data Kontrak dihitung berdasarkan rasio ketepatan waktu penyampaian data perjanjian/kontrak terhadap seluruh data perjanjian/kontrak yang didaftarkan ke KPPN.

      b.

      Data perjanjian/kontrak yang dihitung dalam penilaian adalah data perjanjian/kontrak dengan nilai di atas Rp50.000.000,- yang disampaikan ke KPPN dan data/perjanjian kontrak tahun jamak yang didaftarkan pada tahun pertama masa kontrak.

      c.

      Data perjanjian/kontrak rilis untuk tahun jamak (multiyears) tidak termasuk dalam penilaian kinerja. Rasio Ketepatan Waktu Penyampaian Data Kontrak: Nilai IKPA Penyampaian Data Kontrak: Sesuai dengan nilai Rasio Ketepatan Waktu Penyampaian Data Kontrak (RKDK) DKTW RKDK = x 100 DK Keterangan: Penyampaian Data Kontrak 4. 10 RKDK Rasio Ketepatan Waktu Penyampaian Data Kontrak Jumlah Data Kontrak yang disampaikan tepat waktu DKTW Indikator Uraian Indikator Kalkulasi Perhitungan IKPA No. Bobot (%) DK Jumlah Data Kontrak yang disampaikan ke KPPN Nilai IKPA Pengelolaan UP dan TUP: Sesuai dengan Rasio Ketepatan Waktu Pertanggungjawaban UP dan TUP a. Indikator kinerja Pengelolaan UP dan TUP, dihitung berdasarkan rasio ketepatan waktu pertanggungjawaban UP Tunai dan TUP Tunai terhadap seluruh pertanggungjawaban UP Tunai dan TUP Tunai.

      b.

      Basis perhitungan indikator kinerja Pengelolaan UP dan TUP berdasarkan pada:

      1)

      Tanggal SP2D UP ke tanggal SP2D GUP Isi dan/atau SP2D GUP Nihil;

      2)

      Tanggal SP2D TUP ke tanggal SP2D TUP Nihil; dan/atau

      3)

      Tanggal SP2D GUP Isi ke tanggal SP2D GUP Isi berikutnya.

      c.

      Indikator ini mempertimbangkan sisa dana UP dan TUP yang belum disetor pada akhir tahun (31 Desember) sebagai penalti nilai kinerja.

      d.

      Pinalti kinerja dilakukan dengan mengubah status pertanggungjawaban UP dan TUP terakhir dari status tepat waktu menjadi terlambat. Ketepatan Waktu Pertanggungjawaban UP dan TUP: GUPTUP TW RKWUP = *100 GUPTUP Keterangan: Rasio Ketepatan Waktu Pertanggungjawaban UP dan TUP RKWUP Pengelolaan UP dan TUP 5. 8 GUPTUP TW = Jumlah SP2D GUP dan PTUP yang Tepat Waktu Jumlah SP2D GUP dan TUP yang diajukan ke KPPN GUPTUP Indikator Uraian Indikator Perhitungan IKPA Kalkulasi Bobot (%) No.

      e.

      Ketepatan waktu pertanggungjawaban UP dan TUP dapat dipantau pada Kartu Pengawasan (Karwas) UP dan TUP pada OM SPAN.

      f.

      Jenis UP dan TUP yang diperhitungkan dalam IKPA adalah UP Tunai dan TUP Tunai yang bersumber dari dana Rupiah Murni (RM), tidak termasuk UP dan TUP yang menggunakan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) dan yang bersumber dari dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

      g.

      Dalam hal tanggal batas akhir pertanggungjawaban UP dan/atau TUP berikutnya jatuh pada hari libur, maka nilai kinerja Pengelolaan UP dan TUP berdasarkan pada SP2D UP dan/atau TUP (baik Isi maupun Nihil) yang diterbitkan oleh KPPN pada hari kerja sebelumnya.

      a.

      Indikator kinerja Penyampaian LPJ Bendahara dihitung berdasarkan rasio ketepatan waktu penyampaian LPJ oleh Bendahara Pengeluaraan terhadap seluruh kewajiban penyampaian LPJ. Rasio Ketepatan Waktu LPJ Bendahara: Nilai IKPA LPJ Bendahara: LPJB TW Sesuai dengan Rasio Ketepatan Waktu LPJ Bendahara Pengeluaran Penyampaian LPJ Bendahara RKLPJ = x 100 LPJB 5 6. J / Perhitungan IKPA Uraian Indikator Kalkulasi Indikator Bobot (%) No.

      b.

      Batas waktu penyampaian LPJ Bendahara Pengeluaran ke KPPN (paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya) . c. Dalam hal tanggal 10 bulan berikutnya jatuh pada hari libur, maka LPJ Bendahara Pengeluaran disampaikan pada hari kerja sebelumnya. Keterangan: RKLPJ Rasio Ketepatan Waktu Penyampaian LPJ Bendahara Pengeluaran Jumlah LPJ Bendahara Pengeluaran yang disampaikan tepat waktu LPJTW Jumlah LPJ Bendahara Pengeluaran yang disampaikan ke KPPN LPJB Nilai Subkriteria a. Indikator kinerja Dispensasi Penyampaian SPM dihitung berdasarkan jumlah SPM yang mendapatkan dispensasi keterlambatan pengajuan SPM melebihi batas waktu yang ditentukan sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai pedoman penerimaan dan pengeluaran negara pada akhir tahun anggaran. b. Nilai IKPA diberikan secara bertingkat sesuai dengan jumlah kumulatif atas SPM yang telah diberikan dispensasi oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan . 100 0 SPM 95 1 - 5 SPM 90 6 - 10 SPM 85 11-20 SPM Dihitung berdasarkan jumlah SPM yang mendapat dispensasi. Dispensasi Penyampaian SPM 5 7. 80 > 20 SPM / Kalkulasi Perhitungan IKPA Uraian Indikator Bobot (%) Indikator No. Nilai Kineija Penyerapan Anggaran Triwulanan: Nilai IKPA Penyerapan Anggaran:

      a.

      Indikator kineija Penyerapan Anggaran dihitung berdasarkan rata-rata nilai kinerja penyerapan anggaran pada setiap triwulan. b. Nilai kinerja penyerapan anggaran setiap triwulan dihitung berdasarkan rasio antara tingkat penyerapan anggaran terhadap target penyerapan anggaran pada setiap triwulan. c. Target penyerapan anggaran ditetapkan per triwulan dengan ketentuan:

      1)

      Triwulan I sebesar 15 persen;

      2)

      Triwulan II sebesar 40 persen;

      3)

      Triwulan III sebesar 60 persen; dan

      4)

      Triwulan IV sebesar 90 persen. d. Pagu DIPA yang menjadi basis perhitungan adalah Pagu DIPA yang berlaku pada akhir triwulan berkenaan. e. Terhadap Satker/Eselon I/KL dengan tingkat realisasi di atas target penyerapan triwulanan, maka nilai kinerja diberikan secara maksimal sebesar 100. g =l yVKP4 n IKPA - PAn = ( NKPAn = xlOO n Keterangan: Keterangan: NKPAn = Nilai Kinerja Penyerapan Anggaran triwulan ke-n IKPA-PA n = Nilai IKPA Penyerapan Anggaran Triwulan ke-n Penyerapan Anggaran Penyerapan Anggaran triwulan ke-n PAn 15 8. Target Penyerapan Anggaran Triwulan ke-n TA n Ketepatan Waktu Penyelesaian Tagihan: Nilai IKPA Penyelesaian Tagihan:

      a.

      Indikator kinerja Penyelesaian Tagihan dihitung waktu SPM LS TW ketepatan penyelesaian tagihan dengan mekanisme SPM- LS Kontraktual terhadap seluruh SPM-LS Kontraktual yang diajukan ke KPPN. berdasarkan ( rasio RKPT = xlOO Penyelesaian Tagihan SPM LS 10 Sesuai dengan rasio ketepatan waktu penyelesaian tagihan 9. Indikator Uraian Indikator Kalkulasi Perhitungan IKPA Bobot (%) No.

      b.

      Penyampaian SPM LS Kontraktual yang tepat waktu adalah paling lambat 17 (tujuh belas) hari kerja dari tanggal Berita Acara Serah Terima (BAST) atau Berita Acara Pembayaran Pekerjaan (BAPP) sampai dengan tanggal SPM LS Kontraktual diterima oleh KPPN pada saat proses konversi. Keterangan: Rasio Ketepatan Waktu Penyelesaian Tagihan RKPT Jumlah SPM LS Kontraktual Non Belanja Pegawai yang tepat waktu disampaikan ke KPPN SPM LS TW= c. Tanggal BAST berlaku apabila pekerjaan telah (barang/jasa) seluruhnya. d. Tanggal BAPP berlaku apabila pekerjaan (barang/jasa) dilakukan secara bertahap atau pembayaran berdasarkan termin. diserahterimakan Jumlah SPM LS Kontraktual Non Belanja Pegawai yang disampaikan ke KPPN SPM LS a. Indikator kinerja Capaian Output dihitung berdasarkan rasio antara total nilai kinerja Rincian Output (RO) terhadap jumlah RO yang dikelola oleh Satker. b. Nilai kinerja RO dihitung berdasarkan rasio antara capaian atau realisasi RO terhadap target RO. Nilai Kinerja Rincian Output (RO) Triwulanan: Nilai IKPA Capaian Output: IKPA COn = Capaian RO n Total NKROn NKROn = x 100 Target RO n x 100 Total RO Keterangan: Capaian Output 17 10. Keterangan: Nilai Kinerja Capaian RO Triwulan ke-n NKROn = IKPA CO n = Nilai IKPA Capaian Output Triwulan ke-n Realisasi/capaian RO sesuai status tahapan RO pada triwulan ke-n Capaian RO n / Indikator Uraian Indikator No. Kalkulasi Bobot (%) Perhitungan IKPA c. Target capaian RO diproksikan sama dengan target penyerapan anggaran triwulanan kecuali untuk triwulan IV, dengan ketentuan:

      1)

      Triwulan I sebesar 15 persen;

      2)

      Triwulan II sebesar 40 persen;

      3)

      Triwulan III sebesar 60 persen; dan

      4)

      Triwulan IV sebesar 100 persen. d. Perhitungan nilai kinerja atas capaian RO ditentukan berdasarkan pada status tahapan pelaksanaan RO sampai dengan periode pelaporan capaian RO setiap bulan. e. Status tahapan capaian RO adalah sebagai berikut: Target RO n Target RO sesuai status tahapan RO pada triwulan ke-n Total Total kumulatif dari NKCO pada Triwulan ke-n NKROn Total RO Jumlah RO yang dikelola Satker Kode Status Status Tahapan Nilai Kinerja Persiapan/ Proses PBJ 0 (1) Sesuai rasio PCRO dengan Target PCRO Proses Pelaksanaan (2) Sesuai rasio RVRO dengan Target RO Selesai (3) Keterangan:

      1)

      PCRO: Progres Capaian Rincian Output 2) RVRO: Realisasi Volume Rincian Output / Indikator Uraian Indikator Kalkulasi No. Bobot (%) Perhitungan IKPA f. Khusus pada bulan Desember, Nilai Kinerja Capaian Output akan dihitung berdasarkan rasio antara capaian RO terhadap target RO.

      g.

      Terhadap capaian RO yang melebihi target, maka nilai kinerja Capaian Output diberikan maksimal sebesar 100 (seratus). h. Dalam rangka penilaian indikator kinerja capaian output, Satker menyampaikan data capaian output paling lambat 10 hari kerja pada bulan berikutnya melalui sistem informasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

      i.

      Data capaian output yang disampaikan oleh Satker paling kurang meliputi: Realisasi Volume Rincian Output (RVRO), Progres Capaian Rincian Output (PCRO), dan Keterangan. Rasio Retur SP2D: Nilai IKPA Retur SP2D: Retur SP2D RRSP2D = *100 SP2D 100 - Rasio Retur SP2D Indikator kinerja Retur dihitung berdasarkan rasio antara jumlah SP2D yang SP2D Retur Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) Keterangan: mengalami retur terhadap jumlah SP2D yang telah diterbitkan. 11. 5 RRSP2D = Rasio Retur SP2D Jumlah SP2D yang diretur Retur SP2D = Jumlah SP2D yang diterbitkan SP2D Indikator Uraian Indikator No. Kalkulasi Bobot (%) Perhitungan IKPA Rasio Kesalahan SPM: Nilai Subkriteria a. Indikator kinerja Pengembalian/Kesalahan SPM dihitung berdasarkan rasio antara pengembalian/kesalahan SPM oleh KPPN terhadap seluruh SPM yang diajukan oleh Satker ke KPPN.

      b.

      Pengembalian/Kesalahan SPM merupakan SPM yang ditolak atau dikembalikan pada saat proses konversi di front office KPPN berdasarkan data pada Payment Management Resume Tagihan (PMRT) atau kesalahan formal, dan/atau penolakan pada saat validasi tagihan oleh middle office KPPN atau kesalahan substantif. 0% 100 SPM Salah RKSPM = xlOO >0,00%- 1,50% 95 SPM Keterangan: > 1,50% - 3,00% 90 > 3,00% - 5,00% 85 Pengembalian/ Kesalahan Surat Perintah Membayar (SPM) > 5,00% 80 12. 5 RKSPM Rasio Kesalahan SPM SPM Salah Jumlah SPM yang ditolak oleh sistem Jumlah SPM yang disampaikan ke KPPN SPM Rasio Ketepatan Waktu Renkas: Nilai IKPA Renkas:

      a.

      Indikator kinerja Renkas dihitung berdasarkan rasio antara Renkas/RPD Harian disampaikan secara tepat waktu terhadap kewajiban Renkas/RPD Harian yang diajukan ke KPPN.

      b.

      Penilaian kinerja Renkas tidak mengecualikan dispensasi penyampaian SPM tanpa Renkas oleh KPPN. RenTW yang RKRen = xlOO Sesuai dengan Rasio Ketepatan Waktu Renkas Renkas Perencanaan Kas (Renkas) Keterangan:

      13.

      5 RKRen Rasio Ketepatan Waktu Renkas m Perhitungan IKPA Kalkulasi Bobot (%) Uraian Indikator Indikator No. V Jumlah Renkas yang disampaikan ke KPPN Renkas DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN, 5. is * HADIYANTO A.

      • 1
      • ...
      • 16
      • 17
      • 18
      • ...
      • 64