Pengujian Materiil dan Formil Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2 ...
Relevan terhadap
ayat (2); Pasal 14; Pasal 16 ayat (1) huruf c; Pasal 19; Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (1); Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (3); Pasal 20 ayat (1) huruf c; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 24 ayat (1); Pasal 25; Pasal 26 ayat (1); Pasal 27; Pasal 28 dan Pasal 29 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembar 98 Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan lisan di depan persidangan dan menyerahkan keterangan tertulis yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Keterangan Pendahuluan ( Opening Statement) Sehubungan dengan adanya 7 (tujuh) permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 (selanjutnya disebut UU 2/2020) terhadap UUD 1945, yang teregistrasi dalam Perkara Nomor 37, 42, 43, 45, 47, 49, dan 75/PUU-XVIII/2020, perkenankanlah kami selaku kuasa Presiden menyampaikan keterangan atas Permohonan Pengujian UU 2/2020. Pada kesempatan ini, yang akan kami sampaikan secara lisan adalah pokok-pokok atau ringkasan Keterangan Presiden yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan dengan Keterangan Presiden yang lengkap dan menyeluruh yang kami sampaikan dalam bentuk tertulis. Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, para pendiri bangsa ( founding fathers ) telah menentukan salah satu tujuan bernegara ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sebagai perwujudan dari tujuan dimaksud, Negara harus selalu hadir dalam setiap kondisi untuk memastikan perlindungan terhadap rakyatnya. Negara harus dapat memastikan adanya jaminan perlindungan bagi seluruh warga baik dalam kondisi normal maupun kondisi tidak normal. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk 99 ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Pandemi Covid-19 yang kita hadapi saat ini, telah secara nyata menimbulkan dampak signifikan yang mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi bahkan telah merenggut nyawa rakyat Indonesia. Keberlangsungan pandemi yang tidak dapat ditentukan berakhirnya, secara nyata telah menjadi ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Untuk itu, diperlukan gotong royong dari seluruh otoritas di bidang perekonomian dan sektor keuangan dalam menghadapi ancaman tersebut. Legal Standing Para Pemohon Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil Para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomian masyarakat. Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional Para Pemohon. Dengan demikian, permohonan ini tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak di saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. 100 Latar Belakang Penerbitan Perppu 1/2020 Sebelum memberikan keterangan atas UU 2/2020, perlu Pemerintah sampaikan mengenai latar belakang penerbitan Perppu 1/2020. Penyakit akibat virus Covid-19 yang muncul sejak Desember 2019 di kota Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat, ganas dan luas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Penyebaran Covid-19 hingga akhir Maret 2020 meliputi 205 negara dengan hampir 1 juta kasus penularan dan lebih dari 47 ribu kematian. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran kemudian terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial jumlah pasien Covid-19 telah menimbulkan krisis bidang kesehatan di seluruh dunia. Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial yang berbagai ragam, dari yang sangat ketat ( total lockdown ), hingga yang bersifat pembatasan sosial secara terbatas ( physical distancing ). Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid- 19, mengakibatkan terhentinya interaksi dan kegiatan sosial yang menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,3% menjadi kontraksi -3%. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia saat itu, diperkirakan mencapai 9 triliun dolar Amerika, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar negara-negara berkembang, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan 101 menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi extraordinary tersebut mendorong berbagai negara untuk melakukan langkah luar biasa dalam menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara- negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika melakukan kebijakan ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai diatas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia), kebijakan moneter longgar berupa penurunan suku bunga, memompa likuiditas- quantitative easing , serta melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh di bawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang di atas 5%. Dalam periode Januari-Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level Rp16.600 per dolar Amerika dan mengalami depresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta berpotensi meluasnya kebangkrutan perusahaan. Untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampaknya yang mengancam perekonomian dan sistem keuangan, Pemerintah dan otoritas sektor keuangan memandang perlu melakukan langkah extraordinary secara cepat dan signifikan. Pelaksanaan langkah extraordinary dimaksud memerlukan produk hukum yang memadai sebagai dasar pengambilan kebijakan. Setelah melakukan konsultasi dengan beberapa lembaga negara dan mempertimbangkan secara seksama berbagai masukan yang diperoleh, Pemerintah bersama otoritas sektor keuangan berkeyakinan bahwa produk hukum yang paling memadai untuk mengatasi kondisi kegentingan memaksa tersebut adalah Perppu dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud kehadiran Negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary di bidang 102 keuangan negara maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) terhadap ancaman memburuknya perekonomian dan stabilitas sistem keuangan seiring ketidakpastian berakhirnya penyebaran Covid-19. Memperhatikan bahwa terhadap 7 permohonan ini, hampir seluruh pasal dalam Lampiran UU 2/2020 dimohonkan pengujian, Pemerintah akan memberikan keterangan berdasarkan pengelompokan permasalahan yang dikemukakan Para Pemohon yaitu:
perlunya persetujuan DPR sebagai fungsi budgeting dan _controlling; _ (2) pengujian formil;
ruang lingkup dan jangka waktu keberlakuan;
kebijakan keuangan negara yang mencakup pelebaran defisit, Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), perpajakan dan kepabeanan, penerbitan SUN dan/atau SBSN, penyesuaian mandatory spending , penggunaan dana abadi pendidikan, kebijakan keuangan daerah (5) pelaksanaan kebijakan keuangan negara;
kebijakan stabilitas sistem keuangan meliputi kewenangan LPS dan OJK;
perlindungan hukum;
harmonisasi UU 2/2020 dengan UU terdampak. Meskipun kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 pada awalnya ditetapkan oleh Presiden sebagai pelaksanaan Pasal 22 UUD 1945, dapat Pemerintah sampaikan bahwa dengan penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 melalui pembahasan sebagaimana layaknya pembentukan undang-undang, maka kebijakan dalam UU 2/2020 telah mendapatkan persetujuan DPR. Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid-19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Pembentukan UU 2/2020 Secara Formil Telah Sesuai Dengan UUD 1945 Dalam Rangka Pemberian Kepastian Hukum Atas Langkah Kedaruratan Dalam Perppu Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu harus mendapat persetujuan DPR setelah diundangkan. Memperhatikan dampak pandemi Covid-19 yang extraordinary , Pemerintah menyadari pentingnya persetujuan DPR segera 103 diperoleh untuk kepastian keberlanjutan langkah-langkah penanganan pandemi Covid-19. Penanganan dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional memerlukan biaya sangat besar yang tidak tercukupi apabila menggunakan alokasi sesuai APBN TA 2020. Selain itu, diperlukan langkah-langkah extraordinary yang belum diatur kewenangannya dalam undang-undang yang ada. Hal tersebut diperlukan sebagai landasan pemberian dukungan pada bidang kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan insentif dunia usaha dalam rangka penyelamatan kesehatan masyarakat, perekonomian, dan stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, pada tanggal 1 April 2020, Pemerintah telah menyampaikan RUU tentang penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR. Bahwa pembahasan atas RUU yang disampaikan Pemerintah dilakukan oleh DPR pada masa persidangan yang sama tidak melanggar ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Pemerintah telah meneliti tidak ada larangan untuk melakukan pembahasan pengesahan Perppu dalam masa persidangan yang sama dengan saat pengajuan RUU oleh Pemerintah. Dilaksanakannya pembahasan RUU dalam masa persidangan yang sama (masa persidangan ke-3), menunjukkan bahwa DPR sebagai lembaga wakil rakyat juga menyadari tindakan-tindakan untuk penyelamatan perekonomian nasional harus segera dan secara berkelanjutan dilakukan oleh Pemerintah. Untuk memberikan kepastian hukum, setelah melalui proses pembahasan sesuai tahapan pembentukan undang-undang, pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan pengesahan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. Bahwa dengan demikian, proses persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 telah memenuhi formalitas pengesahan Perppu sesuai Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Tidak Hanya Untuk Penanganan Covid-19 Namun Juga Bersifat Antisipatif ( Forward Looking ) Untuk Mengatasi Ancaman Dampak Covid-19 Di dalam konsiderans Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan bahwa pandemi Covid- 19 telah menimbulkan efek domino terhadap perlambatan perekonomian. Apabila tidak dilakukan upaya penanggulangan secara cepat dan tepat atas perlambatan tersebut, secara pasti akan terjadi ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 didesain tidak hanya ditujukan untuk penanganan Covid-19 melainkan juga tindakan antisipatif ( forward looking ) 104 untuk menangani efek domino yang ditimbulkan yaitu ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, untuk menghindari terjadinya krisis ekonomi maupun krisis di sektor keuangan, Lampiran UU 2/2020 juga harus memberi legitimasi bagi Pemerintah untuk melakukan langkah-langkah menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan seiring ketidakpastian berakhirnya Covid-19. Dengan legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang dapat menjamin kapan pandemi Covid-19 akan selesai dan tidak dapat dipastikan pula seberapa dalam perlambatan/pemburukan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19. Atas dasar tersebut, meskipun dalam beberapa ketentuan terdapat batasan waktu, seperti batasan pelebaran defisit sampai dengan tahun 2020, namun secara utuh, tidak dapat diberikan batasan jangka waktu keberlakuan UU 2/2020 seperti UU Pengampunan Pajak misalnya. Keberlanjutan UU 2/200 ini diperlukan dikarenakan tidak dapat dipastikan seberapa besar dan seberapa lama ancaman perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terjadi di Indonesia. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung maka dampaknya pun semakin berat. Peningkatan jumlah kasus penderita Covid-19 saat ini menjadi bukti ketidakpastian yang harus dihadapi. Beberapa Pemerintah Daerah kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna menghambat penyebaran Covid- 19. Harapan perbaikan pertumbuhan perekonomian menjadi positif di Kuartal III 2020 dari pertumbuhan -5,32% di Kuartal II 2020 diprediksi sangat sulit terwujud bahkan potensi resesi menjadi semakin besar. Dengan norma dalam UU 2/2020 yang memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk menentukan kebijakan, Pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan langkah-langkah recovery maupun antisipatif. Untuk menanggulangi peningkatan penyebaran Covid-19 di daerah bulan September lalu, Pemerintah Pusat telah memberikan pinjaman kepada Pemda terdampak dan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak. 105 Ketersediaan fasilitas kesehatan pun telah memadai untuk menghadapi peningkatan jumlah penderita. Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemerintah bersama DPR dalam UU 2/2020 semata-mata bertujuan memberikan legitimasi bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah pencegahan negara dari krisis kesehatan dan perekonomian. Pelebaran Defisit Menjadi Pilihan Kebijakan Dalam Rangka Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Sebagai Respon Atas Penurunan Pendapatan dan Peningkatan Belanja Negara Secara Signifikan Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, untuk menghadapi ancaman perekonomian nasional, Pemerintah memerlukan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan negara agar penanganan pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Fleksibilitas tersebut tidak dapat dilakukan apabila Pemerintah hanya berdasar pada ketentuan Undang-Undang yang telah ada sebelum pandemi Covid-19. Salah satu fleksibilitas yang diperlukan oleh Pemerintah adalah terkait dengan penyesuaian besaran defisit anggaran. Pada UU Keuangan Negara, diatur bahwa defisit anggaran dibatasi sebesar 3% dari PDB. Batasan maksimal defisit anggaran sesuai ketentuan tersebut tidak mungkin dipenuhi oleh Pemerintah karena pandemi Covid-19 telah menyebabkan penurunan pada pendapatan negara sekaligus peningkatan belanja negara untuk penanganan Covid-19. Dengan demikian, menjadi suatu keniscayaan untuk melakukan pelebaran defisit anggaran. Kewenangan untuk melakukan pelebaran defisit anggaran di atas 3% tidak dimaksudkan untuk digunakan secara sewenang-wenang. Sebaliknya, hal itu ditujukan untuk memberikan kemampuan Pemerintah dalam menangani krisis kesehatan akibat Covid-19 dan efek domino yang ditimbulkannya. Kemampuan dan fleksibilitas untuk menangani permasalahan di bidang kesehatan, sosial dan ekonomi akan dilakukan secara terukur dan hati-hati, dengan tetap berlandaskan pada asas tata kelola yang baik, akuntabilitas, dan transparansi. Untuk itu, Lampiran UU 2/2020 memberi pembatasan-pembatasan pelaksanaan pelebaran defisit yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan TA 2022. Kedua, pembatasan jumlah pinjaman dalam rangka pembiayaan defisit maksimal 60% dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa meskipun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, namun Pemerintah akan 106 melakukan pembahasan penetapan besaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 dengan DPR melalui mekanisme RAPBN. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga esensi persetujuan DPR sesuai Pasal 23 UUD 1945 pada pembahasan APBN tahun mendatang. Dalam proses penyusunan UU APBN TA 2021, Pemerintah bersama DPR telah menyetujui d efisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Pada APBN 2020, Pemerintah telah menetapkan defisit APBN sebesar 6,34% PDB yang ditetapkan melalui Perpres 72 Tahun 2020. Besaran defisit tersebut telah mengakomodir biaya penanganan Covid-19 dan biaya Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai berikut: No. Program Anggaran Realisasi 1. Kesehatan 87,55 T 21,92 T 25% 2. Perlindungan Sosial 203,91 T 157,03 T 77% 3. Insentif Usaha 120,61 T 28,07 T 23,3% 4. UMKM 123,47 T 81,85 T 66,3% 5. Pembiayaan Korporasi 53,6 T 0 0 6. Sektoral dan Pemda 106,05 T 26,61 T 25,1% Total 695,2 T 315,48 T 45,4% Dari jumlah tersebut, porsi terbesar adalah untuk perlindungan sosial untuk menjaga kemampuan ekonomi masyarakat. Diikuti dengan pemberian stimulus bagi UMKM dan insentif usaha, dan dukungan anggaran untuk sektoral dan Pemda. Besaran anggaran program kesehatan meski bukan terbesar, namun sudah diperhitungkan kecukupannya untuk mendukung biaya penanganan Covid-19 (pembelian alat kesehatan seperti APD, Rapid Test, Reagen, penyediaan sarana dan prasarana kesehatan), subsidi Iuran BPJS Kesehatan, insentif tenaga medis, santunan kematian untuk tenaga kesehatan, dan pembebasan pajak serta bea masuk untuk alat kesehatan. Sedangkan anggaran perlindungan sosial digunakan untuk mendukung pelaksanaan Program Keluarga Harapan, Program Kartu Sembako, Program Bantuan Sosial Sembako Jabodetabek, Program Bantuan Sosial Tunai, Program Kartu Prakerja, Subsidi listrik, Bantuan Langsung Tunai Dana Desa. Program 107 insentif usaha ditujukan untuk menjaga keberlanjutan aktivitas usaha masyarakat dalam bentuk pemberian insentif perpajakan. Dalam mendukung UMKM, Pemerintah telah melaksanakan beberapa program di antaranya yaitu pemberian subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi, serta pembiayaan investasi kepada koperasi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir KUMKM. Program pembiayaan korporasi antara lain dilaksanakan melalui pemberian penyertaan modal negara dan pinjaman kepada BUMN. Program sektoral K/L dan Pemda diantaranya digunakan untuk mendukung program padat karya, pemberian Dana Insentif Daerah untuk pemulihan ekonomi, pariwisata dan pemberian Dana Alokasi Khusus Fisik. Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Sebagai rangkaian program PEN untuk terus menggerakkan perekonomian yang sedang mengalami perlambatan, Pemerintah memandang perlu melakukan upaya- upaya mendorong ekspansi kredit dan penurunan suku bunga kredit perbankan. Untuk itu, Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kapasitas pendanaan telah melakukan penempatan dana per 30 September 2020 sebesar Rp61,7 triliun dengan rincian pada Bank Himbara sebesar Rp47,5 triliun, pada 7 BPD sebesar 11,2 triliun, dan pada 3 bank syariah sebesar 3 triliun. Selain itu, Pemerintah melalui PT Sarana Multi Infrastruktur salah satu BUMN Pembiayaan, telah memberikan pinjaman kepada 5 Pemerintah Daerah dengan total komitmen sebesar Rp6,8 triliun (DKI Jakarta senilai Rp3,265 triliun, Jawa Barat senilai Rp1,812 triliun, Banten senilai Rp 851,77 miliar, Sulawesi Utara senilai Rp723,7 miliar, dan Kabupaten Ponorogo senilai Rp200 miliar). Pinjaman tersebut diberikan dalam rangka meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah untuk melaksanakan program-program PEN di daerah masing-masing. 108 Kebijakan Penurunan Tarif Perpajakan Sebagai Insentif Untuk Menjaga Kesehatan Keuangan Perusahaan di Masa Pandemi Covid-19 Dalam UU 2/2020 telah ditetapkan kebijakan untuk menurunkan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagai insentif/dukungan Pemerintah menjaga kelangsungan usaha perusahaan dalam masa pandemi Covid-19. Dampak pandemi Covid-19 hampir menyentuh semua sektor usaha. Dalam perspektif tersebut, insentif perpajakan sangat relevan diberikan ke semua sektor usaha tidak hanya yang bergerak di bidang riset dan pengembangan terkait Covid-19 sebagaimana yang diinginkan Para Pemohon. Hal ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. Pemungutan PMSE Merupakan Upaya Pemerintah Untuk Mengoptimalkan Penerimaan Negara Di Tengah Pandemi Covid-19 Serta Menciptakan Kesetaraan Bagi Pelaku Usaha Dalam Negeri Maupun Luar Negeri Penurunan pendapatan negara secara signifikan akibat pandemi Covid-19 di satu sisi dan adanya akselerasi transformasi digital di sisi lain telah menjadi pertimbangan lahirnya kebijakan penetapan pajak dari sektor Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dalam UU 2/202020. Basis pajak dari transaksi digital menjadi sangat penting pada saat penerimaan negara menurun sehingga Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness ) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam 109 Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Lampiran UU 2/2020 memberikan wewenang atribusi pengenaan besaran tarif dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Pertimbangan serupa juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut, pemberian atribusi merupakan bentuk kebijakan pembentuk undang-undang ( legal policy ) sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan UUD 1945. Pemberian wewenang atribusi menetapkan tarif pajak bukanlah hal baru. Ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan. Dengan demikian, pengaturan mengenai besaran tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan pajak penghasilan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana yang dipahami oleh Para Pemohon. Pengaturan Pembebasan Bea Masuk Oleh Menteri Keuangan Merupakan Pelaksanaan Wewenang Atribusi Yang Bertujuan Menjamin Ketersediaan Alat Kesehatan Untuk Penanganan Covid-19 Untuk menjamin ketersediaan barang impor yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19, Pemerintah perlu memiliki fleksibilitas dalam pemberian fasilitas fiskal berupa pembebasan atau keringanan bea masuk. Pasal 10 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan wewenang atribusi kepada Menteri Keuangan untuk melakukan perubahan jenis barang yang dapat diberikan fasilitas pembebasan atau keringanan yang secara limitatif ditetapkan dalam UU Kepabeanan. Pemberian wewenang atribusi dalam UU 2/2020 ini sejalan dengan prinsip hukum administrasi negara dalam rangka pemenuhan kebutuhan di tengah adanya kondisi kegentingan memaksa. Selain itu, pemberian wewenang atribusi yang ditetapkan dalam produk hukum UU 2/2020 mempunyai kedudukan yang setara dengan UU Kepabeanan. Dalam pelaksanaannya, Menteri Keuangan selaku penerima wewenang atribusi dalam pemberian fasilitas kepabeanan tidak akan semena-mena menyalahgunakan kewenangan dimaksud. Menteri Keuangan melalui PMK 34/PMK.04/2020 jo. PMK 83/PMK.04/2020 hanya memberikan fasilitas kepabeanan untuk impor barang 110 keperluan penanganan Covid-19. Sesuai Lampiran PMK tersebut, jenis-jenis barang yang diberikan fasilitas adalah test kit dan reagen laboratorium , virus transfer media , obat dan vitamin, peralatan medis, dan alat pelindung diri. Dengan demikian, prinsip pemberian fasilitas secara limitatif tetap terjaga. Penerbitan SUN dan/atau SBSN Yang Dapat Dibeli Oleh BI Bertujuan Untuk Menjaga Kesinambungan Fiskal Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 Sesuai Dengan Fungsi BI Dampak pandemi Covid-19 telah menyebabkan pendapatan negara menurun cukup drastic sedangkan anggaran belanja harus ditingkatkan sehingga pelebaran defisit tak terhindarkan. Untuk pembiayaan defisit anggaran, Pemerintah perlu menerbitkan SUN dan/atau SBSN berjangka panjang. Pemberian kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana merupakan salah satu upaya gotong royong organ negara ( burden sharing ) untuk menjaga kesinambungan fiskal dalam rangka mencegah terjadinya krisis ekonomi. Burden sharing antara Pemerintah dan BI diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dimaksud berupa pembayaran kupon atas SUN dan atau SBSN yang dibeli oleh BI, sesuai tabel berikut: No. Penggunaan Nilai (Rp) Burden Sharing Mekanisme Penerbitan 1. Public Goods 397,56T Ditanggung BI seluruhnya sebesar BI reverse repo rate Private Placement 2. Non-Public Goods 177,03T Ditanggung Pemerintah sebesar BI reverse repo 3 bulan dikurangi 1%, sisanya ditanggung BI Mekanisme market (lelang, Green Shoe Option, Private Placement ) - UMKM 123,46T - Korporasi 53,57T 3. Non-Public Goods Lainnya 328,87T Ditanggung Pemerintah seluruhnya sebesar market rate Di samping pengaturan norma pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI telah dibahas terlebih dahulu sebelum ditetapkan dalam Lampiran UU 2/2020, dengan penetapan 111 secara bersama besaran kupon sebagai burden sharing jelas terlihat bahwa baik dalam perumusan norma maupun implementasinya, independensi BI tetap terjaga. Secara best practices , kebijakan bank sentral untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan juga diimplementasikan oleh negara-negara lain termasuk negara anggota G20. Dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Tidak Menghapuskan Dana Desa dari APBN 2020 dan Tahun-tahun Mendatang Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur mengenai penyesuaian atas pemenuhan belanja wajib ( mandatory spending ), antara lain penyesuaian pemenuhan anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur dalam Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa dimaksudkan agar Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Sebagai bentuk harmonisasi antara ketentuan penyesuaian mandatory spending dalam UU 2/2020 dan UU Desa, ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku ( vide Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020). Tidak berlakunya ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa sama sekali tidak menghapuskan anggaran Dana Desa dari APBN TA 2020 dan tahun-tahun berikutnya, sebagaimana dipahami Para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp71,2 T dan Rp72 T. 112 Pemerintah tetap memegang komitmen untuk mendukung pembangunan ekonomi di desa melalui Dana Desa yang diprioritaskan untuk pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Perekonomian pedesaan yang kuat merupakan pilar penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sehingga Pemerintah akan terus mendukung pembangunan pedesaan dan pemberdayaan masyarakat desa. Penggunaan Dana Abadi Tidak Bertentangan Dengan Kewajiban Negara Memenuhi Hak Atas Pendidikan Pembiayaan APBN di masa Pandemi Covid-19 membutuhkan sumber pendanaan yang cepat dan efisien. Dengan kebutuhan tersebut, Pasal 2 ayat (1) huruf e UU 2/2020 mengatur pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih, dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan, dana yang dikelola BLU, dana yang dikuasai negara, serta memanfaatkan pengurangan pembiayaan investasi pada BUMN sebagai sumber pendanaan APBN. Penggunaan dana abadi pendidikan tidak akan bertentangan dengan kewajiban negara memenuhi hak atas pendidikan karena:
hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan Pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19;
sampai saat ini Pemerintah belum berencana menggunakan dana abadi pendidikan sebagai sumber pendanaan APBN;
apabila dipergunakan, akan menjadi investasi dana abadi pendidikan melalui pembelian SUN dan/atau SBSN yang akan mendapatkan return , bukan sebagai belanja Pemerintah. Pengaturan Refocusing Dan Realokasi Anggaran Melalui Permendagri Tidak Bertentangan Dengan Prinsip Otonomi Daerah Sebagai wujud integrasi kebijakan nasional dan kebijakan daerah, Pasal 3 ayat (1) UU 2/2020 mengatur Pemda melakukan refocusing dan realokasi anggaran daerah dengan prioritas penanganan pandemi Covid-19 beserta dampak sosial ekonominya sesuai kondisi masing-masing daerah. Pada kondisi pandemi Covid-19, kecepatan dan ketepatan dalam penyesuaian anggaran daerah menjadi sangat penting. Untuk itu, Pasal 3 ayat (2) UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada Mendagri untuk mengatur mengenai refocusing dan realokasi penggunaan APBD sebagai pedoman bagi seluruh Pemda. Dengan adanya pedoman ini, Pemda dapat segera melakukan penyesuaian anggarannya secara mandiri. 113 Dengan demikian pemberian kewenangan kepada Mendagri tersebut merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 8 UU Pemda sebagai pembina dan pengawas pemerintahan daerah, bukan merupakan intervensi Pemerintah Pusat sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Penetapan Rekening Akun Khusus Belanja Covid-19 dan Penetapan Perpres Rincian APBN Sebagai Wujud Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 membutuhkan uang negara yang sangat besar dalam kurun waktu yang singkat. Untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi, Pasal 12 Lampiran UU 2/2020 menetapkan bahwa seluruh pelaksanaan kebijakan keuangan negara dilakukan dengan tata kelola yang baik. Dalam implementasi tata kelola anggaran terkait Covid-19, Pemerintah telah menetapkan akun khusus belanja Covid-19 dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43 Tahun 2020. Hal ini untuk menjamin seluruh belanja yang terkait dengan penanganan Covid-19 dapat dipantau dan dievaluasi penggunaannya. Selain itu, dalam rangka mencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran, Pemerintah bekerja sama dengan aparat penegak hukum meliputi Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan KPK untuk melakukan pendampingan Kementerian/Lembaga. Sebagai bentuk transparansi publik, Pemerintah secara rutin menyampaikan perkembangan pelaksanaan kebijakan melalui press conference dan rapat pembahasan dengan DPR. Hal tersebut menunjukkan komitmen Pemerintah untuk terus menerus melaksanakan seluruh kebijakan keuangan yang ditetapkan dalam UU 2/2020 memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan taat peraturan. Dengan demikian, pada dasarnya UU 2/2020 telah sangat memperhatikan harapan Para Pemohon sebagai warga masyarakat. Mempertimbangkan situasi extraordinary akibat pandemi Covid-19, Pasal 12 ayat (2) UU 2/2020 memberikan wewenang atribusi bagi Presiden untuk menetapkan perubahan postur sekaligus rincian APBN melalui Perpres. UU 2/2020 pada dasarnya telah menetapkan kebijakan pelebaran defisit APBN TA 2020 sampai dengan APBN TA 2022. Penetapan ini dilakukan sebagai langkah extraordinary penanganan kegentingan memaksa pandemi Covid-19 berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 sekaligus untuk menyesuaikan kebijakan dalam UU APBN TA 2020 yang 114 merupakan pelaksanaan Pasal 23 UUD 1945. Dengan demikian, penetapan pelebaran defisit dalam Lampiran UU 2/2020 sebagai pedoman penyesuaian UU APBN TA 2020 dapat disetarakan dengan UU Perubahan APBN dalam situasi kegentingan memaksa. Amanat perubahan postur dalam Perpres didasarkan situasi yang tidak memungkinkan penetapan melalui proses secara normal. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa penetapan postur APBN dalam Perpres hanya dilakukan untuk TA 2020. Untuk TA 2021 dan tahun-tahun berikutnya, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada kondisi normal sehingga Pemerintah sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Kewenangan LPS Sesuai UU 2/2020 Merupakan Penegasan Kewenangan Yang Telah Diberikan Oleh Undang-undang Terdahulu Untuk Penanganan Kesulitan Likuiditas LPS Dalam Menyelamatkan Bank Gagal dan Menghindarkan Negara Dari Krisis Ekonomi Sebagaimana telah Pemerintah sampaikan, dampak pandemi Covid-19 telah secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan. Untuk itu, perlu dilakukan upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menjaga keberlangsungan lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan. Selain itu, untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan, perlu memperkuat landasan hukum bagi LPS dalam melakukan tindakan antisipasi penanganan permasalahan bank dan resolusi bank gagal baik bank sistemik maupun bank selain bank sistemik. Sampai saat ini, stabilitas sistem keuangan masih terjaga. Namun perlu melakukan kebijakan antisipatif ( forward looking ) dengan menegaskan kembali sumber-sumber pendanaan yang dapat diperoleh LPS untuk menjaga kecukupan likuiditasnya ( vide Pasal 20 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020). Salah satu sumber pendanaan LPS adalah melakukan melakukan pinjaman kepada pihak lain dan/atau Pemerintah yang juga telah diatur dalam Undang-Undang terdahulu yaitu UU LPS, UU OJK, dan UU PPKSK. Pinjaman kepada pihak lain dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif 115 pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Hal ini juga sesuai dengan best practice yang dijalankan di negara-negara lain yang memiliki lembaga resolusi perbankan. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. Pemberian pinjaman kepada LPS dilakukan setelah mendapatkan persetujuan DPR dalam APBN kecuali untuk APBN TA 2020 sebagaimana diatur dalam Pasal 28 angka 12 Lampiran UU 2/2020. Persyaratan persetujuan DPR hanya diberlakukan untuk pinjaman kepada Pemerintah karena bersumber dari APBN dan tidak dipersyaratkan untuk pinjaman LPS kepada pihak lain sebagaimana juga diatur dalam UU terdahulu. Sampai saat ini, LPS masih memiliki kecukupan likuiditas. Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Kebijakan ini merupakan langkah antisipatif ( forward looking ) untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah yang akan dilaksanakan apabila terjadi pemburukan perekonomian yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa program penjaminan dimaksud bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas Pasar Uang Antar Bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri ( trade finance ). Perintah Tertulis OJK Sebagai Instrumen Menjaga Keberlangsungan Lembaga Keuangan Dalam Rangka Meningkatkan Resiliensi Sistem Keuangan Pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi (P3IK) yang telah diatur dalam UU OJK dan UU PPKSK. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa 116 keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis OJK tersebut, khususnya dalam situasi pandemi Covid-19 yang mengancam stabilitas sistem keuangan maka ancaman sanksi diperberat dibandingkan sanksi dalam UU OJK. Pemberian sanksi dimaksud merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum yang harus dijaga oleh OJK selaku lembaga pengawas jasa keuangan, bukan kesewenang-wenangan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Perlindungan Hukum Dalam UU 2/2020 Sebagai Bentuk Kepastian Hukum Bagi Pengambil Kebijakan Dalam Bertindak Sesuai Kewenangannya Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat (mens rea) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. Teori imunitas ini didasarkan pada prinsip kedaulatan negara, dengan demikian tidak mengherankan ketentuan serupa merupakan hal yang precedented . Di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Pasal 50 dan Pasal 51 KUHP, Pasal 48 UU PPKSK, Pasal 22 UU Pengampunan Pajak, Pasal 45 UU Bank Indonesia, Pasal 36A ayat (5) UU KUP, Pasal 10 UU Ombudsman, Pasal 224 ayat 117 (1) UU MD3, Pasal 16 UU Advokat dan Pasal 26 UU BPK mengatur pemberian perlindungan hukum serupa. Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan. Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut, bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta perlindungan hukum agar dapat menjalankan tugasnya dengan tenang sehingga mendapatkan hasil yang optimal. Pengaturan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 bahwa biaya yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 bukan merupakan kerugian negara didasarkan pada pertimbangan antisipatif antara lain adanya kondisi bahwa biaya yang dikeluarkan negara dalam melakukan penyelamatan perbankan untuk menjaga 118 stabilitas sistem keuangan tidak sepenuhnya ter- recovery . Di sisi lain, pelaksanaan tugas dan wewenang para pelaksana UU 2/2020 dilandaskan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga sangat beralasan untuk mendapatkan perlindungan. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam keuangan negara yang menjadi pedoman bagi pemeriksa baik BPK maupun APH bahwa terjadinya kerugian negara harus dikaitkan dengan adanya unsur perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Hal tersebut mengadopsi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ). Dengan demikian, selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Pemberian Kepastian Norma Hukum Melalui Harmonisasi Keberlakuan Norma UU yang Terdampak Norma dalam UU 2/2020 Lahirnya UU Nomor 2 Tahun 2020 ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum atau penyesuaian undang-undang terdahulu dalam rangka penanganan pandemi Covid- 19 dan/atau krisis perekonomian dan/atau sistem keuangan. Dengan demikian, terhadap norma-norma yang dilakukan penyesuaian dalam UU 2/2020 perlu dilakukan harmonisasi agar tidak terjadi dualisme hukum. Norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 yang berisi pencabutan beberapa ketentuan undang-undang terdahulu akan memberikan kepastian norma hukum yang berlaku untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana telah dijelaskan, penyesuaian norma-norma tersebut dimungkinkan berdasarkan Hukum Administrasi Negara dalam bentuk pemberian kewenangan atribusi. Selain itu, beberapa norma disesuaikan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan penanganan pandemi Covid-19. Pelaksanaan pemberian kewenangan atribusi dan/atau penyesuaian norma dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tersebut dilakukan dengan memenuhi tata kelola yang baik dan memperhatikan batasan-batasan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 didasarkan pada kebutuhan kepastian hukum regulasi yang berlaku, bukan sewenang-wenang sesuai dalil Para Pemohon. Sebelum mengakhiri Keterangan Presiden ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan fakta-fakta perbaikan kondisi perekonomian di Kuartal II 2020 119 sebagai implikasi pelaksanaan kewenangan Pemerintah berdasarkan kebijakan dalam UU 2/2020. Beberapa indikator sektoral telah bergerak ke arah positif pada bulan Juni 2020. Membaiknya perdagangan internasional telah mendorong kinerja perpajakan. Pada sektor riil, konsumsi masyarakat mengalami rebound namun masih lemah. Selain itu, degup ekonomi pada bidang konstruksi mulai naik serta produksi dalam negeri mulai tumbuh. Cadangan devisa juga meningkat didukung dengan penerbitan SBN Valas. Aktivitas ekspor impor juga menunjukkan tren membaik dengan potensi ekspor ke Tiongkok yang mulai tumbuh. Pada sektor moneter dan keuangan, yield SBN kembali ke kondisi awal tahun 2020, likuiditas perbankan terjaga serta inflasi dalam kondisi terkendali. Implementasi program Pemulihan Ekonomi Nasional yang efektif telah menjadi penggerak utama dari pertumbuhan ekonomi. Untuk lebih mempercepat pemulihan ekonomi, Pemerintah juga telah menerbitkan program baru yaitu pemberian insentif bagi pekerja yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta/bulan. Mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi Kuartal II 2020 yang terkontraksi (minus) 5,32 persen serta realisasi data perekonomian dan sektor keuangan hingga akhir Kuartal III 2020, optimisme terhadap magnitude perbaikan di paruh kedua tahun 2020 perlu sedikit disesuaikan. Dalam hal ini, kendati masih diyakini bahwa kondisi Kuartal III 2020 akan lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya namun besaran tingkat recovery diperkirakan tidak setinggi perkiraan sebelumnya. Mencermati kondisi tersebut, Pemerintah akan tetap terus antisipatif dan adaptif terhadap perkembangan yang ada termasuk ketidakpastian yang masih akan dihadapi. Dalam hal ini, langkah extraordinary yang koordinatif antara Pemerintah, BI, OJK, dan LPS dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menjaga keberlangsungan lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan akan terus dikalibrasi sesuai dengan perkembangan terkini dan diimplementasikan tanpa keraguan karena telah memiliki landasan hukum yang kuat sebagaimana tertuang dalam Lampiran UU 2/2020. Sebagaimana filsuf berkebangsaan Italia, Cicero, katakan, “ Salus populi suprema lex esto ”, bagi Pemerintah saat ini, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara. Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang 120 memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) UU 2/2020 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima. Keterangan Presiden I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Berdasarkan masing-masing permohonannya, yang dimohonkan pengujian oleh Para Pemohon pada pokoknya adalah: Gambar 1 : Matriks Pengujian UU 2/2020 Adapun batu uji yang digunakan oleh Para Pemohon dalam permohonannya adalah sebagai berikut: 121 Gambar 2 : Batu Uji UUD 1945 Yang Digunakan Para Pemohon II. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil Para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomiannya. Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional Para Pemohon dan tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk 122 mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak di saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. Terhadap legal standing Para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020, Pemerintah sampaikan bahwa Para Pihak dalam perkara dimaksud adalah pihak- pihak yang sama dengan Perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang telah dilakukan pencabutan sesuai Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020. Bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Para Pemohon dalam perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 sama dengan perkara Nomor 51/PUU- XVIII/2020, hal ini diakui oleh Para Pemohon pada sidang pendahuluan tanggal 15 Juli 2020. Oleh karena itu, sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Amar Ketetapan Perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020, Para Pemohon seharusnya tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo . III. Keterangan Pemerintah Terhadap Materi Yang Dimohonkan A. Latar Belakang Penerbitan UU 2/2020 1. Latar Belakang Lampiran UU 2/2020 Penyakit akibat virus Covid-19 yang muncul sejak Januari 2020 di Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat dan meluas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial yang sangat cepat dari jumlah pasien akibat Covid-19 telah menimbulkan krisis kesehatan di seluruh dunia. Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial dengan berbagai ragam, dari yang sangat ketat ( total lockdown seperti di RRT), hingga yang bersifat pembatasan sosial melalui physical distancing sebagaimana di Indonesia. 160 negara menerapkan penutupan sekolah, dan menerapkan belajar dari rumah. School from home , work from home , dan bahkan ibadah from home juga diterapkan. Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid-19 telah mengakibatkan terhentinya interaksi dan 123 kegiatan sosial masyarakat. Efek domino yang ditimbulkan telah menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,4% menjadi kontraksi (minus) 3%. Selain itu, IMF juga menyebutkan bahwa ekonomi global akan mengalami resesi terdalam sejak the great depression tahun 1930. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia diperkirakan mencapai USD 9 triliun, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman krisis tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi luar biasa ( extraordinary ) tersebut di atas, mendorong berbagai negara melakukan langkah luar biasa untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara-negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika semua melakukan kebijakan ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai diatas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia) dan kebijakan moneter (menurunkan suku bunga, memompa likuiditas - quantitative easing ) dan melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Dapat dikatakan pandemi ini menjadi pelajaran baru bagi seluruh negara dan seluruh pemerintah dalam menyusun kebijakan fiskal untuk mengantisipasi dampak pandemi. Apabila pemerintah terlambat mengantisipasi atau underestimate terhadap dampak pandemi maka akan berbahaya bagi perekonomian nasional yang dapat mengakibatkan krisis ekonomi dan instabilitas sistem keuangan nasional. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh di bawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang di atas 5%. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran. Kondisi tersebut berdampak pada peningkatan kemiskinan. Dalam periode Januari-Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar 124 keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun, baik di pasar saham, pasar SBN maupun SBI. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level di atas Rp16.600 per dolar Amerika dan terdepresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Pemerintah Indonesia juga melakukan langkah yang extraordinary (luar biasa) secara cepat dan signifikan untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampak ancaman sosial, ekonomi dan ancaman sistem keuangan. Tujuannya adalah untuk dapat melakukan berbagai langkah extraordinary untuk pengamanan di bidang kesehatan, perlindungan masyarakat secara luas melalui jaring pengaman sosial, upaya perlindungan dan pemulihan ekonomi serta sistem keuangan. Tidak ada keraguan lagi bahwa pandemi Covid-19 merupakan suatu kegentingan yang memaksa dan menimbulkan daya paksa kepada pemerintah. Kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 merupakan substitute evidence atau fakta yang tidak perlu dibuktikan. Kondisi yang ditimbulkan menciptakan adanya state of emergency . Dalam keadaan seperti ini, sudah timbul fakta sempurna yang memberikan landasan bahwa keadaan tidak biasa, harus dihadapi dengan hukum yang tidak biasa. Implikasi pandemi ini selain jelas menimbulkan masalah kesehatan namun juga telah menjadi fakta umum ( generally known ) menimbulkan masalah ekonomi dan juga masalah sosial. Oleh karena itu, dari sudut pandang hukum tata negara, kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 sudah memberikan dasar yang kuat untuk tidak menggunakan hukum yang biasa. Dalam kondisi demikian, pendapat subjektif presiden mengenai kegentingan yang memaksa akibat Covid-19 tidak untuk diperdebatkan ( notoire feiten ). Negara memiliki proportional necessity untuk menjaga stabilitas dan kepentingan rakyat dalam mengatasi kegentingan yang memaksa. Upaya dimaksud belum memiliki landasan hukum/terdapat kekosongan hukum sehingga diperlukan adanya suatu hukum untuk mengatasi kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19. Langkah Pemerintah menerbitkan Perppu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020 merupakan mandat konstitusi untuk melaksanakan langkah extraordinary dengan tujuan penyelamatan kepentingan masyarakat. Perppu 1/2020 memuat dua kebijakan penting sebagaimana juga dilakukan negara-negara lain, yaitu kebijakan 125 di bidang keuangan negara dan kebijakan di bidang stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Perppu tersebut meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan. Memperhatikan substitute evidence berupa tajamnya penurunan pendapatan negara akibat hampir terhentinya aktivitas ekonomi, sedangkan kebutuhan belanja meningkat tajam dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap masyarakat di masa pandemi Covid-19 maka diperlukan adanya pengaturan mengenai pelebaran defisit anggaran. Melalui Perppu tersebut, batasan defisit anggaran diatur dapat melebihi 3% dari PDB selama masa penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022. Indonesia sama seperti negara-negara lain, mengambil kebijakan pelonggaran defisit dari 1,76% di APBN 2020 menjadi sekitar 6,34 persen dari PDB. Pelonggaran defisit bukanlah merupakan kebijakan yang berdiri sendiri, namun suatu kebijakan yang holistik, dimana Pemerintah secara bersamaan juga melakukan refocusing dan penghematan anggaran dari belanja yang tidak terkait langsung dengan penanganan Covid-19, seperti perjalanan dinas, belanja barang, dan termasuk pembayaran THR tidak diberikan kepada pejabat negara, dan pejabat eselon I dan II. Selanjutnya, Pemerintah telah melakukan tambahan Anggaran belanja sekitar Rp695,2 Triliun untuk penanganan Covid-19. Tambahan belanja ini dibutuhkan untuk belanja program kesehatan dan pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional. Stimulus fiskal dalam menghadapi Covid-19 yang dikeluarkan Pemerintah baik dari sisi sasaran maupun besarannya akan terus disesuaikan mengikuti dinamika sejauh mana dampak Covid-19 terhadap kehidupan masyarakat dan dunia usaha, namun tetap dilakukan dengan memperhatikan kapasitas fiskal dan kesinambungan fiskal jangka panjang. Perppu 1/2020 memberikan legitimasi dan menjadi landasan hukum bagi Pemerintah serta otoritas terkait untuk mengambil langkah-langkah cepat namun akuntabel untuk perlindungan masyarakat, ekonomi dan stabilitas sistem keuangan sebagai wujud kehadiran Negara dalam penanganan pandemi. Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud legitimasi kehadiran Negara dalam rangka menangani 126 permasalahan pandemi Covid-19 maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) seiring ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah- langkah extraordinary di bidang keuangan Negara dan sektor keuangan, dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, ekonomi, dan keuangan sebagai akibat dari pandemi Covid-19.
Pengesahan Perppu 1/2020 Menjadi UU 2/2020 Setelah Presiden menetapkan Perppu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah pada tanggal 1 April 2020 telah menyampaikan Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR. Setelah melalui beberapa kali rapat kerja, DPR menyetujui Perppu 1/2020 menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sesuai kewenangannya berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Dengan disetujuinya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dengan adanya persetujuan DPR dimaksud, telah memberikan kepastian akan keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam melakukan penyelamatan kesehatan masyarakat juga menyelamatkan negara dari ancaman krisis perekonomian di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. B. Bantahan Dalil-Dalil Para Pemohon 1. Keterangan Presiden Atas Uji Formil UU 2/2020 Dalam permohonannya, Para Pemohon dalam Perkara Nomor 37 dan 45/PUU- XVIII/2020 menyatakan bahwa UU 2/2020 bertentangan dengan UUD 1945 secara formil karena pembahasan dan penetapannya tidak pada masa sidang berikutnya. Dalil Pemohon tersebut didasarkan pada penafsiran bahwa “persidangan yang berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 dimaknai sebagai “masa sidang yang berikutnya”. Terhadap dalil Para Pemohon, dapat Pemerintah sampaikan bahwa:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. 127 b. Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011) yang mengadopsi Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa “ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. ” Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 disebutkan “ Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ditetapkan. ” c. Berdasarkan ketentuan Pasal 221 ayat (3) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib (selanjutnya disebut Peraturan Tata Tertib DPR), masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 13 Peraturan Tata Tertib DPR, masa sidang adalah masa DPR melakukan kegiatan di dalam gedung DPR. Berdasarkan hal-hal tersebut, terdapat penggunaan frasa yang berbeda antara UUD 1945, UU 12/2011 dan Peraturan Tata Tertib DPR, mengenai norma waktu Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR. Frasa “Persidangan Yang Berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 diterjemahkan dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 sebagai masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan. Di samping itu, frasa “Masa Sidang Pertama” tidak ditemukan dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Frasa yang digunakan dalam Peraturan Tata Tertib DPR adalah “Masa Persidangan” yang terdiri dari “Masa Sidang” dan “Masa Reses”. Selanjutnya, tahun sidang dibagi dalam 4 masa persidangan (bukan “masa sidang”) yang dimulai tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada 15 Agustus tahun berikutnya. Sesuai penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa masa sidang pertama yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 52 merujuk pada penghitungan norma waktu pemberian persetujuan DPR yaitu setelah disampaikannya Perppu oleh Presiden, sehingga tidak dapat dimaknai merujuk pada masa persidangan pertama dari 4 masa persidangan dalam 1 tahun masa sidang yang waktunya adalah di bulan Agustus. Selain itu, dalam konteks kegentingan yang memaksa/ state of emergency terbitnya Perppu, frasa “masa sidang pertama” lebih tepat dimaknai sebagai masa persidangan terdekat/tercepat setelah disampaikannya Perppu oleh Presiden. Prof. Dr. Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H. (Mantan Hakim Mahkamah 128 Konstitusi/Guru Besar Ilmu Perundang-undangan, FHUI) menyatakan Perppu jangka waktunya terbatas (sementara), sehingga secepat mungkin harus dimintakan persetujuan DPR. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, maka setelah Perppu 1/2020 diundangkan pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah segera menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR pada tanggal 1 April 2020. Dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional mengakibatkan diperlukannya dana yang besar untuk memberikan dukungan pada bidang kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan insentif dunia usaha. Perppu 1/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber-sumber pembiayaan. Pelaksanaan kebijakan Perppu 1/2020 sebagai dasar penanganan pandemi Covid-19 maupun ancaman terhadap perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang menyertainya memerlukan pengeluaran yang sangat besar dan berkelanjutan. Kebijakan extraordinary melalui Perppu 1/2020 yang diputuskan oleh Presiden dalam situasi kegentingan memaksa sebagai implementasi hak subjektif Presiden sesuai mandat konstitusi membutuhkan kepastian yang segera untuk keberlanjutan dalam pelaksanaannya sehingga perlu segera mendapat persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Respon DPR yang secara cepat dalam proses pembahasan dan persetujuan Perppu 1/2020 merupakan wujud kesamaan pandangan wakil rakyat atas kondisi kegentingan memaksa yang harus diambil Pemerintah dan untuk memberikan kepastian keberlanjutan kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah dalam Perppu 1/2020. Kebijakan tersebut ditujukan untuk penyelamatan masyarakat dan negara di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Langkah yang diambil oleh Pemerintah dan DPR tersebut merupakan wujud penyelamatan rakyat sebagaimana adagium “Salus Populi Suprema Lex Esto” dari Cicero yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Sebagai respon atas situasi kegentingan memaksa dan dengan tujuan perlindungan kepada rakyat dan Negara dalam situasi extraordinary , maka 129 persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU yang dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020, menurut Pemerintah perlu diapresiasi dan menunjukan ketaatan kepada hukum dan konstitusi sebagaimana amanat Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memenuhi kuorum karena dilakukan melalui rapat virtual dan tidak dilakukan voting , dapat Pemerintah sampaikan keterangan sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan Pasal 232 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3), kuorum rapat DPR terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah fraksi.
Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tersebut, dihadiri oleh 438 Anggota DPR (355 orang mengikuti secara virtual dan 83 orang hadir secara fisik). Kehadiran secara virtual Anggota DPR dalam Rapat Paripurna tersebut merupakan bentuk ketaatan terhadap kebijakan physical distancing sebagai protokol pencegahan Covid-19 dalam situasi extraordinary dan telah menjadi proses bisnis dalam era new normal di seluruh lembaga/institusi/masyarakat. Dengan demikian, kehadiran secara virtual harus diperlakukan sama dengan kehadiran secara fisik sehingga sekali tidak mengurangi esensi dari pemenuhan kuorum. Dalam kehadiran secara virtual, para Anggota DPR tetap dapat menyampaikan pandangan dan pendapatnya secara bebas dan mandiri. Dengan demikian, Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sebagai forum tertinggi persetujuan pengesahan Perpu 1/2020 telah memenuhi kuorum sebagaimana dipersyaratkan UU MD3.
Dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 terdapat 1 fraksi yang tidak menyetujui, sedangkan 8 fraksi lainnya menyatakan menyetujui. Dengan demikian, karena hanya 1 fraksi yang tidak menyetujui, Ketua DPR menyatakan penetapan Perppu menjadi UU melalui Surat Keputusan DPR RI Nomor 5/DPR RI/III/2019-2020 tanggal 12 Mei 2020. 130 Terkait dalil Para Pemohon yang menyatakan pembahasan penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 harus melibatkan DPD, dapat Pemerintah sampaikan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu cukup mendapat persetujuan DPR. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, kewenangan untuk memberikan persetujuan atas Perppu ada pada DPR. Namun demikian, baik dalam pelaksanaan Perppu 1/2020 maupun UU 2/2020, Pemerintah tetap melaksanakan konsultasi dengan DPD. Terhadap pengujian formil yang diajukan Para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU- XVIII/2020, perlu Pemerintah sampaikan bahwa pengujian formil dimaksud telah melewati tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari untuk mengajukan pengujian formil sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Mahkamah Konstitusi. Tenggat waktu pengajuan pengujian formil undang-undang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 tanggal 16 Juni 2010 adalah 45 (empat puluh lima) hari setelah undang-undang disahkan dan dimuat dalam Lembaran Negara RI.
Keterangan Presiden Atas Uji Materi UU 2/2020 Sebelum menyampaikan keterangan atas dalil-dalil yang diajukan Para Pemohon, perlu Pemerintah sampaikan DPR sebagai wakil rakyat, pemegang fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan telah menyetujui seluruh substansi Lampiran UU 2/2020. Oleh karenanya, dalil-dalil Para Pemohon yang mempermasalahkan perlunya persetujuan DPR atas beberapa kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 seperti pelebaran defisit anggaran, penerbitan SUN dan/atau SBSN, pengenaan pajak terhadap PMSE, fasilitas pembebasan bea masuk, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dan pinjaman LPS kepada Pemerintah sudah tidak relevan lagi untuk dipertentangkan dengan pelaksanaan fungsi DPR. Kebijakan-kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 merupakan langkah extraordinary yang diperlukan Pemerintah dalam menghadapi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19. Oleh karenanya, DPR memahami perlunya dasar hukum bagi Pemerintah untuk mengambil tindakan secara cepat dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, penyelamatan ekonomi dan keuangan sebagai akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, tidak terdapat permasalahan konstitusional atas norma-norma dalam Lampiran UU 2/2020. 131 a. Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Sesuai dengan judul pada Lampiran UU 2/2020, ruang lingkup pengaturan Lampiran UU 2/2020 meliputi kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan terhadap penanganan pandemi Covid-19, ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan ancaman yang membahayakan stabilitas sistem keuangan. Ruang lingkup Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak semata-mata hanya penanganan pandemi Covid-19 saja tetapi juga dampak dari pandemi Covid-19 sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang sangat mempengaruhi perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Dalam konsideran huruf a dan b Lampiran UU 2/2020 dijelaskan bahwa pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak. Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik, sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan KSSK untuk melakukan tindakan antisipatif ( forward looking ) guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Apabila dicermati, dalam Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan efek domino tidak hanya kesehatan tapi juga sektor ekonomi, keuangan dan stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, konsideran dan judul Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dan konsisten sehingga tidak ada yang berbeda dengan ruang lingkup Lampiran UU 2/2020. Ketidakpastian penyebaran dan berakhirnya pandemi Covid-19 akan berdampak pada ketidakpastian seberapa dalam pemburukan ekonomi sehingga Pemerintah memerlukan landasan hukum dan fleksibilitas untuk melakukan penyelamatan di bidang kesehatan maupun perekonomian. Oleh karena itu, UU 2/2020 merupakan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah guna penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional 132 dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 pada dasarnya adalah wujud kehadiran negara dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan mencegah krisis perekonomian dan sektor keuangan. Selain itu, terhadap dalil Para Pemohon Perkara 37/PUU-XVIII/2020 yang meminta UU 2/2020 perlu ada batas waktu berlakunya yaitu sepanjang masa darurat penanganan Covid-19 atau sampai dengan status kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 dicabut oleh Presiden maka dapat Pemerintah sampaikan bahwa Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk penanganan Covid-19 beserta efek domino yang ditimbulkan terhadap perekonomian dan ancaman stabilitas sistem keuangan. Tingkat kedalaman efek domino yang ditimbulkan pandemi Covid-19 tidak dapat diukur secara pasti seiring dengan ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Bahwa dengan ketidakpastian pandemi Covid-19, UU 2/2020 telah mengantisipasi hal tersebut untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah khususnya dalam rangka pemulihan ekonomi yang sangat tergantung kepada kedalaman dampak pemburukan ekonomi yang terjadi namun dalam ketentuan tertentu ada batas waktu berlakunya. Dengan demikian, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), tidak ada ketentuan yang mengatur tentang batas akhir berlakunya Perppu. Namun demikian, terkait dengan hal ini dapat Pemerintah sampaikan bahwa secara substansi, kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dibatasi untuk penanganan pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas pelaksanaan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 dan penyelamatan perekonomian, namun pada prinsipnya Pemerintah secara konsisten menjaga akuntabilitas pelaksanaan anggaran antara lain tercermin dalam penetapan pelebaran defisit. Meskipun terdapat fleksibilitas pelebaran defisit, namun mulai tahun anggaran 2021 Pemerintah akan menyampaikan UU APBN yang di dalamnya 133 juga dibahas mengenai defisit sehingga besaran pelebaran defisit akan ditentukan bersama oleh Pemerintah dan DPR. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang dapat menjamin kapan pandemi Covid-19 akan selesai dan tidak dapat dipastikan pula seberapa dalam perlambatan/pemburukan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19. Atas dasar tersebut, keberlakuan UU 2/2020 tidak memiliki jangka waktu dikarenakan tidak dapat dipastikan seberapa besar dan seberapa lama ancaman perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terjadi di Indonesia. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung maka dampaknya pun semakin berat. Ketidakpastian tersebut terbukti dengan masih adanya peningkatan jumlah kasus penderita Covid-19 saat ini sehingga sebagian Pemerintah Daerah kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Harapan perbaikan perekonomian di Kuartal III 2020 dari -5,32% di Kuartal II 2020 menjadi positif diprediksi tidak mungkin terwujud bahkan potensi resesi menjadi semakin besar. Dengan norma dalam UU 2/2020 yang memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk menentukan kebijakan, Pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan langkah-langkah recovery maupun antisipatif. Untuk menanggulangi peningkatan penyebaran Covid-19 di daerah, Pemerintah Pusat telah memberikan pinjaman kepada Pemda terdampak dan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak. Ketersediaan fasilitas kesehatan pun telah memadai untuk menghadapi peningkatan jumlah penderita. Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemerintah bersama DPR dalam UU 2/2020 semata-mata bertujuan memberikan legitimasi bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah pencegahan negara dari krisis kesehatan dan perekonomian. Namun demikian, terdapat ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 yang dibatasi masa keberlakuannya, seperti:
Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 Lampiran UU 2/2020 yang mengatur mengenai pelebaran defisit APBN; __ b. Perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan mengacu pada penetapan periode kahar akibat pandemi Covid-19;
Kebijakan stabilitas sistem keuangan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 bertujuan untuk mengatasi permasalahan pada stabilitas sistem keuangan dan perekonomian akibat dari dampak pandemi Covid-19. Penetapan berakhirnya 134 kondisi stabilitas sistem keuangan dan perekonomian akibat dari dampak pandemi Covid-19 tersebut ditetapkan oleh KSSK sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf a Lampiran UU 2/2020.
Kebijakan Keuangan Negara 1) Pelebaran Defisit Anggaran dan Program PEN Pelebaran defisit lebih dari 3% PDB merupakan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah agar upaya penanganan Covid-19 dapat berjalan efektif dan upaya pemulihan ekonomi serta stabilitas sektor keuangan dapat dipercepat, sehingga upaya pemulihan sosial-ekonomi dalam situasi extraordinary pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Pelebaran defisit dalam APBN 2020 terutama disebabkan adanya penurunan di sisi pendapatan, dan tambahan kebutuhan belanja yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa dan kegiatan dunia usaha. Penurunan di sisi pendapatan yang sangat signifikan terutama dipengaruhi oleh faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan harga minyak dan komoditas, di samping karena adanya berbagai insentif yang berperan sebagai stimulus bagi perekonomian nasional seperti insentif perpajakan untuk dunia usaha. Sementara itu, kebutuhan belanja negara bertambah terutama disebabkan oleh adanya tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 dan tambahan stimulus untuk kesehatan, social safety net , serta dukungan terhadap dunia usaha dan UMKM. Sebagai upaya penanganan keadaan darurat, pemberian kewenangan pelebaran defisit kepada Pemerintah dalam Perppu 1/2020 didasarkan pada mandat Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Dengan telah disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pelebaran defisit tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 23 UUD 1945. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, tetapi pelebaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 akan dibahas bersama DPR melalui mekanisme RAPBN sehingga esensi Pasal 23 UUD 1945 masih terjaga untuk APBN tahun mendatang. Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan-pembatasan yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan 135 secara bertahap. Kedua, pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu dibatasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Pemohon juga mendalilkan Pasal 11 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 karena Pemerintah menetapkan program PEN tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR. Selain itu, program PEN bersumber dari APBN sehingga Pemerintah tidak dapat melaksanakan PEN tanpa membahas terlebih dahulu dengan DPR yang memiliki fungsi anggaran. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa program PEN yang merupakan salah satu materi muatan dalam Perppu 1/2020, telah disampaikan Pemerintah kepada DPR dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang. Pemerintah telah menyampaikan RUU Perppu 1/2020 dimaksud kepada DPR pada tanggal 1 April 2020 dan telah dibahas secara intensif bersama dengan DPR dalam Rapat Kerja. Selanjutnya, pada Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan terhadap RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang tersebut, yang tentunya termasuk pula program PEN dimaksud. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan penetapan batasan defisit anggaran dan penetapan program PEN oleh Pemerintah tanpa persetujuan dari DPR tidak sesuai dengan fakta hukum yang ada. Program PEN yang ditetapkan dalam Pasal 11 Lampiran UU 2/2020 merupakan pendukung dan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan keuangan negara. Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, serta penyelamatan ekonomi nasional. Program PEN dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sebagai wujud dari tata kelola yang baik dalam pelaksanaan Program PEN tersebut, Pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksanaan berikut: 136 1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Investasi Pemerintah;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.05/2020 tentang Penempatan Uang Negara Pada Bank Umum Dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.08/2020 tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah Melalui Badan Usaha Penjaminan Yang Ditunjuk Dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin Untuk Kredit/Pembiayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, Dan Usaha Menengah Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional 8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 21A PP Nomor 43 Tahun 2020, diatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan dan Program PEN, pejabat perbendaharaan dan pejabat yang mengelola Program PEN melaksanakan penyaluran dana dan 137 bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Program PEN. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa proses pelaksanaan PEN, yaitu:
Penetapan dasar hukum perubahan APBN dan program PEN a) Program PEN diatur dalam PP 23/2020 sebagai implementasi dari Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020. b) Telah dilakukan perubahan Perpres 54/2020 menjadi Perpres 72/2020 untuk menampung kebutuhan pendanaan untuk program PEN senilai Rp 695,2 T (pelebaran defisit dari 5,07% PDB menjadi 6,34% PDB).
Berkonsultasi dengan DPR RI Perubahan APBN yang ditetapkan di dalam Perpres 72/2020 telah dibahas dan dikoordinasikan dengan DPR RI (Komisi XI dan Badan Anggaran) termasuk kebutuhan anggaran dan kebijakan Program PEN.
Adanya Kerjasama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) a) Dengan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan APH yaitu KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung serta BPK dalam rangka monitoring pelaksanaan PEN. b) Direktorat Litbang KPK telah membentuk 5 (lima) Satuan Tugas (Satgas) untuk memantau perkembangan PEN. c) Kerjasama dengan APH juga turut melibatkan Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga.
Pembentukan Pola Monitoring Proses monitoring dan evaluasi dilakukan secara berjenjang di internal Kementerian Keuangan. Proses monitoring dan evaluasi dimulai kelompok kerja yang dipimpin oleh Pejabat Eselon I yang dilakukan setiap hari, laporan ke Wakil Menteri Keuangan setiap 3 hari dan laporan ke Menteri Keuangan setiap minggu. Dalam setiap jenjang, dibahas perkembangan pelaksanaan program, identifikasi permasalahan, dan perumusan solusi untuk mengakselerasi dan mendorong efektivitas program PEN. Pengawasan PEN diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.09/2020 tentang Pedoman Pengawasan Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) 138 dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional. Pemerintah telah menetapkan dan melaksanakan program kesehatan dan kebijakan PEN dengan penyediaan anggaran senilai Rp 695,2 triliun, dengan rincian untuk program kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun dan untuk program PEN dengan total anggaran Rp607,65 T yang terbagi dalam 5 (lima) sektor yaitu perlindungan sosial (Rp203,91 triliun), UMKM (Rp 123,47 triliun), Sektoral K/L dan Pemda (Rp 106,05 triliun), Pembiayaan Korporasi (Rp 53,6 triliun) dan Insentif Usaha (Rp 120,61 triliun). Rincian program dan realisasi anggaran program dimaksud per 30 September 2020 adalah sebagai berikut: Gambar 3 : Program Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi Nasional Realisasi program PEN telah mengalami akselerasi yang signifikan selama bulan Agustus dan September 2020. Akselerasi tersebut didukung antara lain karena adanya percepatan belanja penanganan Covid-19, percepatan program PEN lainnya (seperti DAK Fisik, DID Pemulihan, dan Prakerja), dan adanya program- program baru yang langsung segera direalisasikan (bantuan produktif UMKM dan subsidi gaji/upah). Per 30 September 2020, progress realisasi belanja program kesehatan mencapai 25% dari pagu anggaran. Rincian realisasi anggaran tersebut adalah sebagai berikut: insentif tenaga kesehatan pusat dan daerah (Rp3,13T), santunan kematian 139 tenaga kesehatan (Rp0,029T), gugus tugas Covid-19 (Rp3,22T), belanja penanganan Covid-19 (Rp11,70T), bantuan iuran JKN (Rp1,19T), dan insentif perpajakan kesehatan (Rp2,66T). Keseluruhan program pada klaster Perlindungan Sosial telah dilaksanakan dengan realisasi mencapai 77% dari pagu per 30 September 2020. Program dengan realisasi belanja paling besar pada periode tersebut adalah Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp36,26T, Kartu Sembako sebesar Rp32,4T, Bansos Tunai Non-Jabodetabek sebesar Rp25,54T, Kartu Prakerja sebesar 19,46T, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa sebesar Rp12,28T. Pada klaster Sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, realisasi anggaran mencapai 25,1% dari pagu atau sebesar Rp26,61T per 30 September 2020. Realisasi belanja terbesar terserap pada program Padat Karya dengan nilai sebesar Rp13,23T yang menghasilkan output sebanyak 1,97 juta pekerja. Rincian realisasi program lainnnya pada klaster ini adalah sebagai berikut: DID Pemulihan Ekonomi (Rp7T), DAK Fisik (Rp6,83T), Bantuan Operasional Pesantren (Rp2,02T), Perluasan PEN KemenPUPR (Rp0,53T), dan Peta Peluang Investasi (Rp0,0001T). Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Alokasi cluster kesehatan semula Rp87,55T menjadi Rp 87,93T, alokasi cluster perlindungan sosial semula Rp203,9T menjadi Rp239,53T dan alokasi cluster UMKM semula Rp123,46T menjadi 128,21T. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Indonesia merupakan negara yang pangsa usahanya didominasi oleh UMKM sehingga keberlangsungan ( sustainability ) usaha UMKM harus tetap dipertahankan. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menunjukkan bahwa pada tahun 2018 terdapat 64.2 juta unit UMKM di Indonesia, yang telah menyumbang 99% pangsa usaha di Indonesia. Sebagian besar UMKM bergantung kepada kegiatan ekonomi harian atau day to day basis untuk mempertahankan keberlangsungan usahanya. Penerapan social and physical distancing menjadi kendala terhadap kegiatan ekonomi UMKM. Dalam rangka memberdayakan keberlangsungan UMKM di tengah pandemi Covid- 19, Pemerintah telah melakukan berbagai langkah-langkah strategis, yaitu 140 penempatan dana pada perbankan untuk membantu penyaluran kredit UMKM dan menanggung PPh Final bagi UMKM. Selain itu, Pemerintah juga memberikan subsidi bunga bagi UMKM dengan pagu anggaran sebesar Rp35,3 triliun dengan rincian untuk penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp5 triliun, Non-KUR Perbankan, BPR, dan Perusahaan Pembiayaan sebesar Rp27,2 triliun, Non-KUR PT Permodalan Nasional Madani (Persero) dan Pegadaian sebesar Rp2,4 triliun, dan sebesar Rp0,7 triliun untuk penerima Non-KUR Koperasi. Insentif kepada UMKM juga diberikan dengan skema pembiayaan investasi kepada Koperasi melalui LPDB KUMKM dengan total alokasi yang sudah dicairkan sebesar Rp1 triliun. Untuk menjamin kredit yang diberikan kepada UMKM, Pemerintah memberikan penjaminan dengan pagu sebesar Rp6 triliun. Pemerintah melalui kementerian/lembaga, BUMN, dan Pemda juga bertindak sebagai penyangga dalam ekosistem UMKM terutama pada tahap pemulihan dan konsolidasi usaha setelah pandemi Covid-19. Dapat Pemerintah sampaikan juga bahwa agar realisasi penanganan Covid-19 dan program PEN dapat terus dipercepat maka Pemerintah telah mempercepat penyelesaian regulasi dan penyederhanaan administrasi, mempercepat implementasi program untuk mendukung keberlangsungan dunia usaha, dan memperkuat komunikasi publik untuk meningkatkan kesadaran publik serta mendapatkan feedback .
Kebijakan di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan a) Penyesuaian Tarif Pajak Kebijakan penurunan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan upaya nyata Pemerintah mengurangi beban pengusaha dalam tren global yang mengalami penurunan sehingga sejauh mungkin tidak terjadi PHK. Dengan penurunan tarif PPh Badan dan BUT, maka beban pajak yang ditanggung perusahaan menjadi berkurang, sehingga arus kas dan kesehatan perusahaan dapat bertahan di tengah pandemi Covid-19 dan potensi PHK oleh perusahaan akan berkurang. Insentif pajak ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. Terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pengaturan insentif pajak harus diikuti dengan frasa “dan larangan 141 pemutusan hubungan kerja (PHK)”, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pengaturan terkait ketenagakerjaan terutama terkait PHK telah diatur secara jelas dalam UU Ketenagakerjaan. Adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan penyesuaian tarif PPh Badan akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh pihak. Selain itu, atas dalil Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b Lampiran UU 2/2020 harus ditambahkan frasa “ paling tinggi ” sesuai dengan sektor usaha tertentu, perlu Pemerintah sampaikan bahwa apabila mengikuti logika Pemohon dimaksud, maka dibutuhkan pengaturan mengenai kriteria Wajib Pajak dan batas-batas ( range ) besaran tarif PPh yang akan dikenakan. Di samping itu, dalam implementasinya akan sulit untuk menentukan bidang-bidang usaha wajib pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan, karena secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral. Dengan demikian, penambahan frasa “ paling tinggi ” yang didalilkan Pemohon akan menimbulkan kesulitan dan kerumitan dalam implementasi pemajakannya dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Lebih lanjut, Pemohon Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 juga berpendapat jika seharusnya pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b memberikan insentif pajak secara maksimal kepada badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19. Terhadap dalil tersebut, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pemberian insentif penurunan PPh badan diberikan kepada seluruh dunia usaha karena tidak dapat dipungkiri jika dampak akibat Covid- 19 dialami oleh semua sektor usaha. Beberapa kebijakan Pemerintah antara lain pembatasan sosial ( social/physical distancing ), pembatasan perjalanan, karantina wilayah, bekerja dari rumah ( work from home ) dan tetap tinggal di rumah ( stay at home ) telah berdampak pada menurunnya aktivitas perekonomian dan merosotnya pertumbuhan bisnis di segala bidang. Oleh karena itu, tarif yang bersifat tunggal, berlaku umum dan universal untuk seluruh wajib pajak badan dalam negeri dan BUT dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum. Khusus untuk badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid- 142 19, Pemerintah telah memberikan fasilitas tambahan yaitu fasilitas pembebasan kepabeanan. b) Perlakuan Perpajakan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) Pandemi Covid-19 memaksa semua orang beraktivitas di rumah seperti work from home, study from home , maupun online shopping sehingga transformasi digital menjadi semakin terakselerasi. Basis pajak dari transaksi digital ini menjadi sangat penting pada saat penerimaan pajak menurun. Oleh karena itu, Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Berdasarkan hal tersebut, maka pengaturan mengenai perlakuan perpajakan terhadap PMSE merupakan konsekuensi logis dari adanya pandemi Covid-19. Pengaturan pemajakan PMSE juga penting dan perlu disegerakan mengingat penerimaan negara mengalami penurunan dan diiringi dengan meningkatnya belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, Pengaturan pemajakan PMSE dalam UU 2/2020 tidak dapat dipertentangkan dengan Putusan MK Nomor 012-016- 019/PUU-IV/2006. Mendesaknya kebutuhan penerbitan dasar hukum pemungutan pajak PMSE tersebut juga dikuatkan dengan beberapa pertimbangan, yaitu:
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memungkinkan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri menikmati fasilitas dan mendapatkan penghasilan dari Indonesia secara signifikan tanpa perlu membayar pajak di Indonesia, sehingga perlu segera dibuat ketentuan yang memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness ) antara semua pelaku usaha, serta menciptakan level playing field yang sama bagi pengusaha untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19.
Besarnya nilai transaksi dan kapitalisasi barang tidak berwujud , perkembangan ekonomi digital di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang paling cepat dan ukuran pasar paling besar di negara-negara Asia Tenggara, dengan proyeksi nilai kapitalisasi ekonomi sebagaimana digambarkan di bawah ini. 143 Gambar 4: Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Dengan mempertimbangkan besarnya ukuran kapitalisasi ekonomi digital tersebut, terdapat beberapa titik perhatian utama dalam cakupan ekonomi digital. Pertama, adanya isu ketidaksetaraan perlakuan akibat perkembangan ekonomi digital bagi masyarakat suatu yurisdiksi, sebagai contoh negara berkembang seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai pasar e-commerce, namun juga harus ikut terlibat sebagai pelaku dalam interaksi ekonomi tersebut. Oleh karena itu, pajak diharapkan menjadi penghambat fiskal terjadinya invasi persaingan lintas yurisdiksi. Kedua, adanya risiko penghindaran pajak dalam skema PMSE, yang dibuktikan secara empiris dengan adanya penggerusan basis pemajakan sebagai konsekuensi pergeseran transaksi yang dilakukan secara konvensional menjadi dilakukan secara elektronik. Lebih spesifik, OECD (2015) mengidentifikasi beberapa isu pergeseran laba dalam skema PMSE untuk menghindari pengenaan pajak di yurisdiksi terjadinya transaksi atau kegiatan ekonomi, antara lain:
menghindari keberadaan sebagai objek pajak (taxable presence) , (2) meminimalkan penghasilan di yurisdiksi pasar dengan cara mengalokasikan penghasilan tersebut ke fungsi, aset atau risiko, dan (3) memaksimalkan biaya atau pengurang penghasilan di yurisdiksi pasar. Dikaitkan dengan aspek ekonomi, kedaulatan , dan strategi untuk melawan praktik penghindaran pajak dalam konteks ekonomi digital, diperlukan perumusan pengenaan pajak yang efisien, terstruktur, komprehensif dan dapat diaplikasikan dalam dinamika evolusi transaksi ekonomi digital (atau PMSE) yang sangat cepat.
Saat ini atas penghasilan yang diperoleh dari kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dikenakan PPh sesuai dengan ketentuan 144 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan. Sementara itu terdapat isu mendasar dalam pemajakan kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), di mana secara konseptual, pembagian hak pemajakan masih ditentukan oleh ada tidaknya bentuk usaha tetap (BUT) dengan kriteria keberadaan fisik. Lebih lanjut, OECD (2015) menyatakan bahwa konsep penentuan keberadaan fisik sebagai penghasil laba seharusnya diartikan lebih luas dengan mempertimbangkan kondisi dan lokasi di mana kegiatan ekonomi yang menghasilkan profit dilakukan. Dalam konteks ini, OECD (2015) menyatakan bahwa hak pemajakan dapat ditentukan dengan melihat keberadaan ekonomi yang signifikan yang terkait langsung dengan aktivitas ekonomi di suatu yurisdiksi. Konsep penentuan keberadaan suatu bentuk usaha yang dikaitkan dengan kegiatan riil suatu entitas dalam menciptakan laba pada suatu yurisdiksi menjadi penting, mengingat dengan kemajuan teknologi saat ini, sebuah entitas dimungkinkan untuk memberikan pengaruh yang besar (heavily involved) pada suatu bisnis tanpa harus memiliki fixed place atau dependent agent di suatu tempat.
Saat ini pengenaan PPN dan Bea Masuk atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan oleh kegiatan PMSE dipersamakan dengan transaksi konvensional. Subjek pajak yang dikenakan adalah SPDN atau yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Atas penyerahan barang dan jasa dikenakan PPN sebesar 10% (sepuluh persen) sesuai dengan Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Secara keseluruhan, pengaturan yang ada saat ini terkait dengan pemanfaatan Barang Kenapa Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean hanya efektif diterapkan untuk transaksi yang sifatnya Business- to-Business ( B2B ), yakni transaksi yang dilakukan oleh konsumen di Indonesia yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Atas pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean bagi PKP merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Sementara itu, untuk pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang sifatnya Business- to-Customer (B2C), aspek pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakannya belum efektif karena masih menggunakan sistem self-assessment. 145 5) Adanya potensi penerimaan pajak yang besar. Secara praktis, saat ini barang digital telah masuk ke dalam daerah pabean dan dimanfaatkan, dipakai, dan dimiliki atau dikuasai oleh penduduk di dalam negeri. Beberapa jenis barang yang termasuk dalam definisi barang digital beserta bentuk transaksi, pengiriman, dan perkiraan nilai transaksi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 : Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Indonesia TYPE OF GOODS CONVENTIONAL/NOW NOW/FUTURE VAL. IN 2017 (Rp) SHIPMENT TRANSACTION SALE TRANSACTION Software system and Application Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 14,06 T Game, Video, Music Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 0,88 T Film Cinema Recording Media Express Consignment/ import home use Online Retail Bank 7,65 T Software Spesialis (engineering , design, etc) Recording Media + Manual installmen t Express Consignment / imported together with the hardware Online Retail/ Special Subscription Online/ Bank Instrument 1,77 T Handphone Software In gadget Express Consignment / import for home use Imported separately/ electronic Transmissio n Online 44,75 T Pay TV / Broadcast Rights Satelit Bank Instrument Internet Satelite Bank Instrument/ Commercial 16,49 T Fas OTT and Social Media Recording Media Express Consignment/ import for home use Special Subscription Online/ Commercial 17,07 T Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa dari 7 (tujuh) buah poin tersebut, total nilai transaksi dari barang digital mencapai pada angka Rp104,4 triliun. Angka tersebut merupakan gambaran perkiraan pada tahun 2017. Dari total nilai transaksi tersebut, maka potensi dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai mencapai Rp10,4 triliun dengan menggunakan tarif pajak konsumen sebesar 10% yang berlaku saat ini. Potensi pajak dari PMSE ini dapat semakin besar bila Pemerintah melakukan penarikan PPh perusahaan digital. Sedangkan potensi penerimaan pajak atas kegiatan PMSE dari Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) pada tahun pajak 2020 sebesar Rp3,45T dan sampai tahun 146 pajak 2024 diperkirakan sebesar Rp6,40 T, yang berasal dari 8 SPLN pelaku ekonomi digital saja, belum untuk keseluruhan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri.
Bahwa eksistensi pelaku usaha ekonomi digital yang pada umumnya berdomisili di luar negeri menimbulkan kesulitan tersendiri dalam pemajakannya karena regulasi-regulasi yang ada belum mengatur, sehingga terdapat kekosongan hukum dan menjadi celah (loopholes) yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak dalam jumlah besar karena adanya pengelakan pajak. Kekosongan hukum pengaturan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui proses legislasi karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19 tentunya proses legislasi pembahasan RUU untuk sampai dengan diundangkan menjadi undang- undang akan mengalami banyak kendala dan perlambatan, sehingga menjadi sangat berdasar apabila Presiden memasukkan pengaturan mengenai pemajakan PMSE tersebut dalam Lampiran UU 2/2020. Berikutnya terkait dengan dalil Para Pemohon yang menganggap bahwa pengaturan pajak terhadap PMSE semestinya diatur dalam suatu undang-undang tersendiri dan tidak disisipkan dalam Perppu a quo sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:
Berdasarkan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi, untuk menilai konstitusionalitas pengaturan PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 adalah harus dengan melihat substansi norma yang diatur didalamnya dan implikasi atas pengaturan norma tersebut. Sepanjang norma yang diatur didalamnya secara substansial tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan implikasinya tidak mengakibatkan timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan UUD 1945, maka pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 tersebut adalah konstitusional.
Lebih lanjut, Para Pemohon dalam permohonannya sama sekali tidak mendalilkan substansi norma dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga tidak mendalilkan implikasi kerugian nyata yang timbul dan dialaminya dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. 147 3) Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dalam rapat sidang Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 menunjukkan fungsi legislasi DPR telah digunakan dalam pengaturan pajak PMSE dalam UU 2/2020. Bahwa secara substansial, norma-norma dan implikasi yang timbul dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 justru selaras dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dapat Pemerintah jelaskan sebagai berikut:
Bahwa norma pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 secara substansial justru menghadirkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, karena dengan pengaturan pajak PMSE maka: a) akan menutup celah pengaturan ( loopholes ) yang dapat mengakibatkan timbulnya penghindaran dan pengelakan pajak yang akan menggerus potensi penerimaan pajak yang merugikan penerimaan negara; b) memastikan ketentuan pemajakan berlaku secara adil dan tidak diskriminatif antara Subjek Pajak luar negeri dan Subjek Pajak dalam negeri; c) menciptakan kesetaraan dalam berusaha ( level of playing field ) baik antara pelaku usaha konvensional dan pelaku usaha ekonomi digital maupun antara pelaku usaha ekonomi digital di dalam negeri dan luar negeri; d) memberikan keadilan ( fairness ) antara pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik. Pengenaan pajak terhadap PMSE juga sudah diadopsi berbagai negara dengan pengaturan yang secara substansi sama, seperti Perancis, India, Spanyol, Australia, Inggris, Italia, Singapura dan Malaysia.
Apabila ketentuan mengenai pengaturan pajak PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 ini dibatalkan, maka justru tidak ada jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil karena akan muncul kembali kekosongan hukum yang secara langsung berakibat pada hilangnya penerimaan pajak (kerugian penerimaan negara) terutama dalam kondisi saat ini dimana penanganan pandemi Covid-19 membutuhkan biaya yang sangat besar dan karena ketidakpastian kapan pandemi berakhir dan dampak ikutan (multiplier effect) yang ditimbulkan, maka __ kebutuhan biaya/anggaran penanganannya pun sangat mungkin bertambah. 148 c) Pengaturan Besaran Tarif Pajak PMSE Dengan Atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang ( transfer of power ). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan ( the power of rule making ), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi ( delegation of the rule-making power ) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan. Hal tersebut berarti pembentuk undang-undang memberikan delegasi kepada Pemerintah untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Lebih lanjut, Prof. Dr. Maria Farida Indrati S, dalam buku ”Ilmu Perundang- Undangan” berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah merupakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam suatu undang-undang yang secara tegas disebutkan. Fungsi ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Apabila ketentuan dalam undang-undang belum cukup mengatur dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka dapat dilakukan pendelegasian kewenangan pengaturan. Hal ini sejalan dengan Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-VII/2009: “ Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah (delegated regulations), maka tercapainya tujuan (doelmatigheid) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum .” Pengaturan besaran tarif pajak PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk mengikuti perkembangan dunia usaha terutama pada kondisi pandemi Covid-19. Menyadari hal tersebut, maka pengaturan mengenai besaran tarif pajak PMSE 149 dalam Peraturan Pemerintah telah tepat karena akan menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong perekonomian. Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan atribusi untuk mengatur pengenaan besaran tarif pajak PMSE dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Hal tersebut juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut, pemberian kewenangan atribusi telah sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU 2/2020. Pendelegasian wewenang undang-undang untuk mengatur lebih lanjut suatu ketentuan melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya merupakan suatu kebijakan pembentuk undang-undang ( opened legal policy ) sehingga peraturan tersebut dianggap sah dan sesuai dengan UUD 1945. Selain itu, pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah diperlukan Pemerintah untuk menjadi landasan hukum yang lebih rinci dan operasional sekaligus merupakan diskresi yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Pengaturan lebih lanjut mengenai besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah bukanlah hal yang baru ( precedented ), karena ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan, yaitu:
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah” b. Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)” Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 telah menolak permohonan uji materi yang pada pokoknya mempersoalkan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan 150 besaran tarif PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Selain itu dapat Pemerintah sampaikan, Para Pemohon bukanlah adressat atau subjek hukum dari pengaturan PMSE karena Para Pemohon tidak memenuhi kriteria subjek pajak dalam ketentuan Pasal 6 Lampiran UU 2/2020. d) Pemberian Fasilitas Kepabeanan Sebagai upaya Pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19 dan juga mengantisipasi terjadinya ancaman di masa depan yang dapat membahayakan perekonomian nasional, maka fleksibilitas dalam pemberian fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk sangat diperlukan. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 merupakan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan atas pengelolaan fiskal yang menjadi kewenangan dari Menteri Keuangan berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU Keuangan Negara, sehingga tidak bertentangan dengan tugas dan fungsi menteri yang lain. Kewenangan dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak bersifat absolut dan tidak berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang, karena dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik dan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), sehingga dapat dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mekanisme pemberian pembebasan atau keringanan Bea Masuk tersebut dilakukan secara akuntabel dengan tetap mendasarkan pada peraturan lain yang terkait maupun masukan/pertimbangan dari kementerian/lembaga terkait. Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, dengan disahkannya Perppu 1/2020 oleh DPR menjadi UU 2/2020 maka secara mutatis mutandis DPR telah memberikan persetujuan kepada Menteri Keuangan dalam melaksanakan kewenangan khusus untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian keuangan dan/atau stabilitas sistem keuangan dan bukan untuk impor barang lainnya. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan ditetapkan dalam produk hukum yang sama dengan UU Kepabeanan yaitu UU 2/2020. Dengan demikian, pemberian kewenangan tersebut tidaklah menyalahi hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) 151 UU 12/2011 karena UU Kepabeanan dan UU 2/2020 memiliki tingkat hierarki yang sederajat. Pemberian kewenangan atribusi kepada Menteri Keuangan dimaksud juga telah sesuai dan sejalan dengan ketentuan pasal 12 ayat (1) huruf a UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang antara lain menyebutkan bahwa badan atau pejabat pemerintahan memperoleh wewenang melalui atribusi apabila diatur dalam UUD 1945 dan/atau undang-undang. Dengan memperhatikan domino effect dari Covid-19, maka pengaturan atas barang- barang yang akan diberikan pembebasan bea masuk akan lebih memadai dan responsif jika diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Pengaturan mengenai jenis barang dalam PMK memberikan fleksibilitas bagi pengambil kebijakan dalam menghadapi dinamika serta ketidakpastian akan kebutuhan barang untuk penanganan Covid-19 di dalam negeri. Dapat Pemerintah sampaikan, Menteri Keuangan telah menerbitkan PMK Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 34/2020) pada tanggal 16 April 2020. Pada bagian lampiran butir A PMK 34/2020 telah diatur 73 jenis barang untuk penanganan Covid- 19 yang dibebaskan bea masuknya. Selanjutnya atas PMK 34/2020 telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 83/2020) pada tanggal 6 Juli 2020. Pada lampiran PMK 83/2020 telah mengubah daftar jenis barang yang telah dibebaskan bea masuknya menjadi 49 jenis barang. Hal tersebut telah menunjukkan Menteri Keuangan selaku penerima kewenangan atribusi tidak secara semena- mena menggunakan kewenangan dimaksud karena penerbitan PMK mengenai pemberian fasilitas pembebasan bea masuk selalu dikontrol dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan dan dampaknya terhadap kondisi dan situasi nasional.
Penerbitan SUN dan/atau SBSN Untuk Dibeli Oleh Bank Indonesia Selain mendukung produktivitas dunia usaha melalui berbagai stimulus, koordinasi moneter-fiskal melalui pembelian Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) jangka panjang di pasar perdana akan 152 menciptakan stimulus bagi agen ekonomi di tengah perlambatan permintaan agregat dalam rangka menghindarkan terjadinya krisis ekonomi karena dampak pandemi yang berkepanjangan (John Maynard Keynes: Konsep Makroekonomi Sisi Permintaan, 1933). Selanjutnya, Paul A. McCulley, mantan Chief Economist & Managing Director PIMCO menyatakan bahwa keterpaduan kebijakan moneter- fiskal adalah suatu keniscayaan dalam mengatasi permasalahan pada permintaan agregat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ben Bernanke, Chairman of The Fed periode 2006 - 2014 yang mengklaim tentang perlunya perpaduan kebijakan moneter-fiskal sebagai berikut: "Under the current circumstances [of a liquidity trap], greater cooperation for a time between the [monetary] and the fiscal authorities is in no way inconsistent with the independence of central bank[s], any more than cooperation between two independent nations in pursuit of a common objective [or, for that matter, cooperation between central banks and fiscal authorities to facilitate war finance] is inconsistent with the principle of nation sovereignty.” Dampak pandemi Covid-19 di Indonesia telah mengharuskan Pemerintah untuk membiayai penanganan masalah kesehatan dan penyelamatan/pemulihan perekonomian nasional dengan cara antara lain menerbitkan SUN dan/atau SBSN. Di sisi lain, terdapat potensi harga ( yield ) SUN dan/atau SBSN menjadi tinggi/mahal karena Pemerintah dan swasta menawarkan obligasi secara bersamaan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas. Dalam kondisi pasar yang dipenuhi penawaran obligasi ( over supply ), pasar berpotensi tidak mampu menyerap seluruh penawaran obligasi sehingga terjadi kondisi crowding out . Akibatnya, suku bunga di pasar, termasuk yield SUN dan/atau SBSN akan menjadi tinggi. Kondisi tersebut akan berdampak langsung terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Bl dalam mengendalikan suku bunga yang berpengaruh pada pengendalian inflasi dan nilai tukar. Oleh karena itu, kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang dimiliki bukan semata-mata untuk membantu pembiayaan Pemerintah melainkan untuk tetap menjaga inflasi yang stabil dan nilai tukar yang wajar sesuai dengan nilai ekonominya. Pemberian kewenangan kepada bank sentral untuk dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer dalam rangka menanggulangi dampak pandemi Covid-19 juga telah menjadi praktik bank sentral berbagai negara dengan tetap mengedepankan independensi, penerapan prinsip tata kelola yang baik, dan prudensialitas. Sesuai dengan Communique hasil pertemuan Menteri Keuangan 153 dan Gubernur Bank Sentral G20 Countries pada tanggal 15 April 2020, disepakati Action Plan untuk mendukung perekonomian global dalam menghadapi pandemi Covid-19. Di antara isi Action Plan tersebut, G20 Countries menyatakan komitmen untuk melanjutkan paket moneter yang komprehensif dan menyusun regulasi kebijakan untuk mendukung stabilitas ekonomi dan keuangan. Selain itu, Bank Sentral G20 Countries juga menyatakan bersedia untuk melakukan langkah-langkah untuk mendukung perekonomian dengan menggunakan instrumen yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Selanjutnya, dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. Berdasarkan penelitian Bank for International Settlement (BIS) yang dipublikasikan dalam BIS Bulletin tanggal 2 Juni 2020, diketahui bahwa 12 negara emerging market economies (Kolombia, Hungaria, India, Indonesia, Korea, Meksiko, Polandia, Rumania, Filipina, Afrika Selatan, Thailand, dan Turki) menerapkan kebijakan pembelian surat utang negara oleh bank sentral. Kebijakan tersebut dilakukan untuk merespon permasalahan sistem keuangan yang timbul akibat pandemi Covid-19. Dari penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa kebijakan dimaksud telah menimbulkan reaksi positif yaitu penurunan yang signifikan terhadap yield surat utang negara. Reaksi tersebut menunjukkan bahwa program pembelian surat utang negara oleh bank sentral berhasil memulihkan kepercayaan investor dan tidak mengarah pada kenaikan inflasi yang tinggi. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 (UU BI), tujuan BI adalah mencapai dan memelihara 154 kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bl menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga, dengan mempertimbangkan kebijakan umum Pemerintah di bidang perekonomian nasional, termasuk bidang keuangan negara (fiskal) dan perkembangan sektor riil. Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa BI dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU BI dimaksudkan untuk menjalankan tugas BI dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalam mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran BI perlu diperluas sehingga BI dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional. 155 Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran BI sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi BI dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi BI. Dalam menjalankan tugasnya, BI juga masih membutuhkan kepemilikan SUN dan/atau SBSN dalam jumlah besar karena pemenuhan kebutuhan kepemilikan SUN dan/atau SBSN melalui lelang yang selama ini masih belum cukup menutupi kebutuhan operasi moneter. Kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi BI. Pasal 23D UUD 1945 jo. Pasal 4 ayat (2) UU BI telah mengatur bahwa BI merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang BI akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020. BI dan Pemerintah selalu melakukan koordinasi dalam memutuskan jenis, jumlah, dan waktu yang tepat untuk melakukan penerbitan oleh Pemerintah dan pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI dengan mempertimbangkan kebijakan BI dan kebutuhan Pemerintah. Koordinasi tersebut dilaksanakan melalui skema Burden sharing antara Pemerintah dengan BI. Burden sharing antara Pemerintah dan BI diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dibagi menjadi tiga kategori yaitu yang seluruh kuponnya ditanggung BI, ditanggung bersama Pemerintah dan BI dan ditanggung Pemerintah seluruhnya. Pembayaran kupon sebesar BI reverse rate atas pembelian SUN sebesar Rp397,56T untuk pembiayaan public goods ditanggung seluruhnya oleh BI. SUN untuk pembiayaan non-public goods UMKM sebesar Rp123,46T dan non-public goods Korporasi Rp53,57T ditetapkan bersama BI dan Pemerintah, dan yang ditanggung Pemerintah untuk pembiayaan non-public goods . SUN dan/atau SBSN yang dibeli BI untuk public goods dialokasikan sebesar Rp397,56T dengan suku bunga BI reverse rate ditanggung BI, sedangkan untuk pembiayaan non-public goods UMKM dialokasikan sebesar Rp123,46T dan untuk 156 non-public goods korporasi sebesar Rp53,57T pembayaran kupon ditanggung pemerintah sebesar BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%, dan sisanya ditanggung oleh BI. Untuk non-public goods lainnya, dialokasikan SUN dan/atau SBSN sebesar Rp328,87T yang kuponnya akan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah sebesar market rate . __ Skema burden sharing dimaksud dapat dijelaskan sesuai gambar berikut: Gambar 5 : Skema Burden Sharing antara Pemerintah dan Bank Indonesia Untuk menjamin independensi dalam pelaksanaan tugas BI, Pemerintah juga tetap diwajibkan untuk terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bl sebelum menerbitkan SUN dan/atau SBSN sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 55 UU BI. Konsultasi tersebut diperlukan agar penerbitan SUN dan/atau SBSN dapat dilakukan secara tepat waktu dan tidak berdampak negatif terhadap kebijakan moneter. Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh BI. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata “dapat”. Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian 157 SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya. Bl tetap memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan kebijakan terkait pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana dengan mempertimbangkan keseluruhan kebijakan moneter Bl dan kebutuhan pemulihan ekonomi nasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rumusan dan substansi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tetap menjunjung tinggi dan sejalan dengan independensi Bl dalam menjalankan tugasnya. Untuk menjamin adanya harmonisasi dengan peraturan-perundangan yang telah ada sebelumnya, dan untuk mencegah adanya dualisme pengaturan, perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa ketentuan Pasal 55 UU BI yang mengatur larangan bagi BI untuk membeli Surat Berharga Negara di pasar perdana dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 18 angka 2 Lampiran UU 2/2020. Agar pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 serta Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBI/2020 tanggal 16 April 2020 tetap sejalan dengan independensi Bl sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23D UUD 1945 dan UU Bl, Bl telah menetapkan 2 (dua) aspek governance dalam pelaksanaannya yaitu:
Pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bl diatur dalam suatu Peraturan Dewan Gubernur dengan menerapkan prinsip: a) mengutamakan mekanisme pasar; b) mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur; c) SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan d) Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Penetapan kebijakan ( decision making process ) untuk pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana oleh Bl ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi untuk menetapkan kebijakan Bl yang bersifat prinsipil dan strategis sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Bl. 158 Dengan adanya ketentuan last resort , memperlihatkan bahwa masuknya BI untuk membeli SUN dan/SBSN yang diterbitkan oleh pemerintah merupakan upaya gotong royong organ negara, dalam hal ini pemerintah dan BI, untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi.
Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020, Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan terkait. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 disebutkan bahwa salah satu mandatory spending yang dapat disesuaikan adalah anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Sebagai bentuk harmonisasi atas ketentuan tersebut, dalam Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 diatur bahwa ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku. Berlakunya ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU/2020 tidak dapat dimaknai bahwa Pemerintah akan menghapuskan alokasi anggaran Dana Desa dari APBN pada tahun 2020 dan tahun-tahun mendatang, sebagaimana dipahami Para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp71,2 T dan Rp72 T. Hal ini ditunjukkan dengan tetap dipertahankannya ketentuan Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa yang mengatur bahwa salah satu sumber pendapatan desa adalah alokasi dari APBN (Dana Desa). Pada prinsipnya, Pemerintah tetap berkomitmen untuk mendukung pelaksanaan pembangunan desa dan menjadikan desa sebagai tonggak pembangunan dengan terus mengalokasikan Dana Desa dalam APBN. Sampai dengan tahun 2020, Dana Desa tetap menjadi sumber penerimaan terbesar dalam APBDesa. Sejak awal implementasinya di tahun 2015, Dana Desa telah membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat desa terutama pada peningkatan jumlah infrastruktur publik yang sangat signifikan. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa dalam 5 tahun terakhir, juga terjadi perbaikan rasio gini pedesaan dari 0,34 (2014) menjadi 0,32 (2018). Perbaikan yang sama juga terjadi pada jumlah penduduk miskin pedesaan yang menurun dari 17,7 juta jiwa (2014) menjadi 15,5 juta jiwa (2018). 159 Pada tahun 2020, Pemerintah juga tetap mengalokasikan pagu Dana Desa dalam APBN Tahun Anggaran 2020 walaupun telah dilakukan penyesuaian terhadap besaran alokasinya. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, Pemerintah telah menyesuaikan pagu Dana Desa yang semula Rp72,0 triliun menjadi Rp71,19 triliun atau turun sebesar Rp810 miliar. Penyesuaian pagu dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi penghematan karena kapasitas penyerapan oleh desa. Perlu Pemerintah jelaskan bahwa ketentuan mengenai Dana Desa sesuai UU Desa yang dirujuk oleh Para Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 adalah sebagai berikut:
Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa mengatur bahwa “Pendapatan Desa bersumber dari alokasi APBN” b. Pasal 72 ayat (2) UU Desa “alokasi APBN tersebut bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan” c. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) “Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap” Ketentuan dalam Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 di atas selanjutnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk pencegahan dan/atau penanganan Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sesuai dengan ketentuan pada Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporary . Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka 160 sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Sebagaimana diketahui, dalam rangka penanganan dan penanggulangan dampak pandemi Covid-19, Pemerintah diberikan diskresi untuk dapat menempatkan program-program berbasis desa pada pos Belanja Pusat (Belanja Kementerian/Lembaga) sepanjang program dimaksud bertujuan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Berkenaan hal tersebut, kebijakan penggunaan Dana Desa juga diarahkan untuk penanganan Covid-19 dan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin terdampak desa. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan penyesuaian mandatory spending Dana Desa agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Terkait dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 tidak sinkron dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf l Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa dua pasal tersebut sudah sinkron satu sama lain. Penyesuaian penggunaan dan besaran alokasi Dana Desa dengan pencabutan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam upaya penyelamatan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Penggunaan Dana Abadi Para Pemohon perkara 37/PUU-XVIII/2020 dalam dalilnya menyatakan Pemerintah dapat menggunakan dana yang bersumber dari dana abadi pendidikan untuk penanganan Covid-19 sehingga bertentangan dengan esensi dari dana abadi pendidikan. Terkait hal tersebut, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 UU 2/2020 mengatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, Pemerintah berwenang untuk menggunakan anggaran yang bersumber dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan. 161 Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan sumber- sumber lain yang ada. Terkait dengan hal tersebut, hingga saat ini Pemerintah belum berencana menggunakan sumber pembiayaan dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan untuk penanganan Covid-19. Dalam hal akan digunakan, maka penggunaan dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Lampiran UU 2/2020 dilakukan dengan cara private placement melalui pembelian surat berharga negara. Dengan demikian, dana abadi dan akumulasi dana tersebut tidak akan digunakan sebagai belanja namun lebih kepada investasi melalui pembelian SBN/SBSN tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut maka kekhawatiran Pemohon mengenai penggunaan dana abadi yang bertentangan dengan esensi dari dana pendidikan itu sendiri tidak perlu lagi dipermasalahkan, dikarenakan dana abadi masih tetap utuh dan tidak digunakan sebagai belanja.
Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas- luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional. 162 Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersamaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19. Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasi/ refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. 163 Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat. Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing , perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/ guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing , perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing , perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan memahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing , perubahan alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19.
Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara a) Tata Kelola yang Baik Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Pengambilan keputusan dan penggunaan dana APBN sebagai pelaksanaan Perppu 1/2020 justru dilaksanakan secara terbuka dan menjaga tata kelola yang baik. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Perppu 1/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK. Atas hasil pemeriksaan dimaksud, akan disampaikan kepada DPR sebagai wakil rakyat sesuai dengan 164 ketentuan Pasal 17 UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Selanjutnya, untuk memastikan bahwa semua instrumen kebijakan keuangan negara berupa Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) difokuskan pada penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya, Pemerintah Daerah juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan penggunaan dana/penyesuaian APBD kepada Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat melakukan monitoring atas laporan yang disampaikan Pemerintah Daerah. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan laporan penggunaan atau penyesuaian APBD maka Pemerintah Daerah dapat diberikan sanksi berupa penundaan penyaluran atas TKDD tersebut. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Perppu 1/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagai bentuk transparansi atas penggunaan anggaran, Pemerintah juga telah menyampaikan informasi perkembangan penggunaan anggaran kepada masyarakat. Selain itu, Pemerintah telah menyampaikan kepada publik melalui konferensi pers serta memberikan laporan terkait penyerapan anggaran secara rutin kepada DPR. Terhadap dalil Pemohon dalam perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Pasal 12 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena pelaksanaan kebijakan keuangan negara tidak menggunakan rekening khusus, dapat Pemerintah sampaikan bahwa dalam tata kelola penganggaran, Pemerintah telah menetapkan akun khusus belanja Covid-19 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) PMK Nomor 43 Tahun 2020 sehingga seluruh belanja yang terkait dengan penanganan Covid-19 dapat dilakukan monitoring penggunaan anggaran penanganan Covid-19. Selain itu, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara juga telah menerbitkan rekening khusus untuk menampung dan mengelola hasil penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang dibeli oleh Bank Indonesia untuk pembiayaan Program PEN sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) Dan Pemulihan Ekonomi Nasional dan PMK Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi 165 Nasional. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah telah dan akan terus melakukan upaya-upaya penerapan tata kelola yang baik dalam pelaksanaan kebijakan- kebijakan di bidang keuangan negara. b) Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN Diatur Dengan Peraturan Presiden Lampiran UU 2/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber-sumber pembiayaan. Lampiran UU 2/2020 secara substansi telah mengatur perubahan/penyesuaian terhadap UU APBN 2020, yang postur dan rinciannya kemudian ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Amanat UU 2/2020 untuk menetapkan postur APBN dalam Peraturan Presiden dengan mendasarkan kewenangan atribusi dalam Pasal 22 UUD 1945 karena adanya kondisi mendesak hanya untuk tahun anggaran 2020 yang tidak memungkinkan melalui proses normal. Untuk Tahun Anggaran Tahun 2021, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada keadaan normal. Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 ( vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi 166 agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan Terhadap dalil Para Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 terkait dengan Pasal 14 Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa Pasal 14 Lampiran UU 2/2020 mengatur kebijakan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan di tengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Covid-19. Sebagaimana diketahui, pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan dan keselamatan jiwa manusia namun juga secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan sehingga perlu mitigasi bersama oleh Pemerintah melalui koordinasi kebijakan dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dalam melakukan mitigasi tersebut, Pemerintah bersama dengan BI, OJK, dan LPS sebagai otoritas yang memiliki fungsi masing-masing dalam menjaga stabilitas sistem keuangan perlu menetapkan kebijakan untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) untuk mencegah terjadinya krisis yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Mengingat pentingnya stabilitas sistem keuangan yang dapat berdampak terhadap kepercayaan publik dan stabilitas sistem keuangan maka dalam Lampiran UU 2/2020 diatur instrumen untuk upaya penyelamatan. Hal tersebut bertujuan agar tidak menimbulkan efek domino pada sektor keuangan yang dapat mengakibatkan krisis lanjutan dan menambah beban pemerintah. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 sampai dengan Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 disusun bersama oleh Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangannya. Adapun ketentuan-ketentuan pasal yang terkait dengan kewenangan BI, OJK, dan LPS dirumuskan oleh masing-masing lembaga dan diputuskan dengan 167 memperhatikan batasan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing lembaga baik secara individual maupun dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Hal ini dapat terlihat dari ketentuan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang memberikan amanat kepada Menteri Keuangan dan Gubernur BI untuk secara bersama menyusun ketentuan lebih lanjut.
Kewenangan LPS Memperoleh Pinjaman dari Pihak Lain Dapat Pemerintah sampaikan terlebih dahulu bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 (“UU LPS”), LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”), dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“UU PPKSK”). Kewenangan LPS dalam peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut:
melakukan persiapan penanganan dan peningkatan persiapan intensitas ( vide Pasal 21 ayat (1) s.d. ayat (4) UU PPKSK dan Pasal 42 UU OJK);
melakukan tindakan terkait pendanaan termasuk dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank yang mengalami permasalahan solvabilitas ( vide Pasal 82 jis. Pasal 85 UU LPS, Pasal 27 UU PPKSK, dan Pasal 42 UU APBN);
melakukan pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal ( vide Pasal 22 jis. Pasal 23 UU LPS dan Pasal 22 UU PPKSK);
merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah tertentu, dengan mempertimbangkan sumber dana, peruntukan simpanan, serta besaran nilai yang dijamin yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ( vide Pasal 11 UU LPS). 168 Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampiran UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan Pasal 82 UU LPS, kekayaan LPS dapat berbentuk investasi dan bukan investasi, dimana kekayaan yang berbentuk investasi hanya dapat ditempatkan pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia dan/atau Bank Indonesia. Dengan terbitnya UU 2/2020, LPS tidak/belum memastikan berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan kapan dana tersebut harus tersedia untuk penanganan Bank, baik itu Bank Sistemik maupun Bank Selain Bank Sistemik. Dengan adanya pemberian tambahan alternatif pendanaan bagi LPS, diharapkan dapat memperluas akses LPS kepada sumber-sumber dana yang relatif cepat dengan jumlah lebih besar dari kas LPS yang tersedia (likuiditas) pada situasi dan kondisi tertentu. Tambahan alternatif pendanaan tersebut juga mengantisipasi kondisi pasar dan industri yang sedang atau berpotensi mengalami turbulensi dimana transaksi LPS dalam jumlah tertentu selain menambah tekanan kepada pasar juga berpotensi menimbulkan kegaduhan khususnya di industri perbankan. Selain itu pasar juga belum tentu mampu menyediakan likuiditas dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS, sehingga LPS berpotensi terpapar risiko likuiditas dan penurunan harga yang signifikan. Oleh karena itu dibutuhkan proses transaksi 169 dengan pihak- pihak yang dianggap mempunyai kemampuan pendanaan yang memadai dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS serta paling sedikit menimbulkan kegaduhan di market dan industri. Pihak yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan LPS tersebut salah satunya adalah BI. Transaksi SBN milik LPS secara langsung kepada BI sudah diatur dalam UU PPKSK namun hanya untuk (i) penjualan SBN untuk penanganan Bank Sistemik, baik dalam kondisi normal atau kondisi krisis, dan (ii) untuk penyelesaian Bank Selain Bank Sistemik pada kondisi krisis (vide Pasal 27 ayat (2) jo Pasal 37 ayat (2) UU PPKSK). Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan BI sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada BI, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalam UU LPS. Pinjaman kepada pihak lain dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:
tidak adanya konflik kepentingan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi LPS; dan
tidak menimbulkan persepsi negatif dan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada LPS. 170 Pemberian kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip yang diterbitkan oleh International Association of Deposit Insurers (IADI) yaitu:
Core Principles for Effective Deposit Insurance Systems Dalam Principle 9 - Sources and Uses of Funds, dinyatakan sebagai berikut: “The deposit insurer should have readily available funds and all funding mechanisms necessary to ensure prompt reimbursement of depositors’ claims, including assured liquidity funding arrangements. Responsibility for paying the cost of deposit insurance should be borne by banks.” Selanjutnya, dalam angka 4 kriteria esensial dinyatakan sebagai berikut: “Emergency funding arrangements for the deposit insurance system, including pre-arranged and assured sources of liquidity funding, are explicitly set out (or permitted) in law or regulation. Sources may include a funding agreement with the government, the central bank or market borrowing. If market borrowing is used it is not the sole source of funding. The arrangement for emergency liquidity funding is set up in advance, to ensure effective and timely access when required.” 2) Guidance Paper IADI tentang “Enhanced Guidance for Effective Deposit Insurance Systems: Ex Ante Funding” yang diterbitkan Juni 2015 Sources of Funds for Deposit Insurance Systems, External funds – liquidity funding , dinyatakan sebagai berikut: “The predominant source is borrowing from the government. Another option is to seek funding from private sources, for instance through borrowing from commercial lenders or issuing debt securities in the capital market. However, this option is feasible only when market conditions permit. In some cases, syndicated loans from foreign institutions or supranational organizations might be used.” For effectiveness, deposit insurers with the power to borrow or raise funds from public and private sources should consider an appropriate sequencing for funds usage. Internal funds from the deposit insurer’s reserve funds should be used first. If internal funds prove insufficient, financing could also be obtained directly from the market, particularly if the amount to be financed would have a negligible impact on the financial system as a whole.” Dengan demikian, telah jelas bahwa kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip di atas dimana likuiditas merupakan komponen dalam kerangka pendanaan penjaminan simpanan. Selain itu, kerangka pemenuhan likuiditas penjamin simpanan perlu diatur dalam suatu undang-undang atau peraturan terkait dan pengaturannya harus disusun secara tepat untuk memastikan efektivitas serta dapat diakses secara tepat waktu, ketika dibutuhkan. 171 2) Kewenangan Pemerintah Untuk Memberikan Pinjaman kepada LPS Sesuai Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 24 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, Pemerintah berwenang untuk memberikan pinjaman kepada LPS. Kewenangan Pemerintah tersebut pada prinsipnya telah pula diatur dalam UU LPS dan UU APBN TA 2020. Dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 telah diatur bahwa dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. Namun demikian, ketentuan pembahasan dengan DPR dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 tersebut dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 28 angka 12 Lampiran UU 2/2020. Pembahasan dengan DPR mengenai pemberian pinjaman LPS kepada Pemerintah sesuai Pasal 28 angka 12 UU 2/2020 khusus tahun anggaran 2020 dan sepanjang untuk penanganan pandemi Covid-19 tidak lagi dipersyaratkan termasuk pertimbangan DPD sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon Perkara Nomor 42/PUU- XVIII/2020. Berdasarkan Pasal 25 Lampiran UU 2/2020 telah diatur bahwa dilakukan apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sebagai dampak pandemi Covid-19. Dalam kondisi akibat pandemi Covid-19, diperlukan percepatan dan pemenuhan syarat pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada LPS sehingga perlu ada relaksasi atas aturan yang berlaku sebelumnya namun tetap dilakukan secara prudent . Pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS merupakan opsi terakhir dalam rangka penanganan kesulitan likuiditas LPS dan menghindarkan negara dari krisis ekonomi. Pasal 20 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan dalam hal diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal, diantaranya adalah untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. 172 Opsi untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah tersebut dilakukan sebagai opsi terakhir dalam hal LPS telah melakukan opsi lain namun masih tidak dapat mencukupi kebutuhan likuiditasnya. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 83 sampai dengan Pasal 85 UU LPS. Berdasarkan ketentuan di atas, terlihat jelas bahwa perlu upaya-upaya yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh LPS sebelum dapat meminta pinjaman dari Pemerintah untuk pelaksanaan fungsi dan tugas LPS. Di samping itu, dalam Pasal 27 UU PPKSK juga telah diatur secara jelas bahwa LPS harus menggunakan kekayaan yang dimilikinya terlebih dahulu secara optimal, sebelum menggunakan anggaran Pemerintah. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 39 UU PPKSK yang menyatakan bahwa dalam rangka penanganan krisis melalui Program Restrukturisasi Perbankan, dana yang digunakan LPS diupayakan secara maksimal tidak menggunakan anggaran Pemerintah. Apabila LPS menggunakan opsi terakhir tersebut untuk melakukan tugas dan fungsinya dalam menjamin simpanan bank dan penanganan permasalahan solvabilitas bank, biaya yang dikeluarkan LPS untuk melakukan tugas dan fungsinya tersebut bukanlah merupakan kerugian negara. Hal tersebut secara tegas juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 27/PUU- XII/2014 yang menyatakan bahwa: “Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, selama penjualan saham Bank Gagal dimaksud telah dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU LPS.” Pemberian pinjaman kepada LPS akan dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik dan prinsip-prinsip pemberian pinjaman serta melihat kebutuhan dan kemampuan debitur. Dalam implementasinya, untuk menjaga tata kelola pemberian pinjaman kepada LPS, dalam ketentuan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, permohonan pinjaman harus disertai informasi bahwa LPS sudah mengupayakan seluruh sumber dana lainnya namun membutuhkan tambahan likuiditas dalam penyelesaian/penanganan Bank Gagal yang membahayakan perekonomian dan sistem keuangan. 173 Berdasarkan dalil-dalil di atas, sangatlah tidak tepat dalil Pemohon pada Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 menyebabkan kerugian negara. Selain itu, yang dipermasalahkan oleh Pemohon merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pula Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945.
Program Penjaminan Di Luar Program Penjaminan Simpanan Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Ketentuan ini merupakan forward looking untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah dan untuk mengantisipasi apabila terjadi pemburukan perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap sektor keuangan sehingga diperlukan ketentuan yang mengatur kewenangan pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar penjaminan simpanan. Penyelenggaraan program tersebut dimaksudkan untuk mencegah krisis sistem keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Program penjaminan di luar penjaminan simpanan akan dilakukan dengan sangat selektif hanya apabila sangat diperlukan untuk menghindarkan negara dari krisis. Selain itu, kebutuhan penyelenggaraan program penjaminan selain simpanan perlu dipertimbangkan terkait dengan fungsi bank sebagai intermediary . Selain dapat memberikan rasa aman terhadap deposan seperti yang telah diatur dalam UU LPS, program penjaminan di luar program penjaminan simpanan dapat berfungsi menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Program penjaminan di luar program penjaminan simpanan simpanan bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas pinjaman antar bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri ( trade finance ). Untuk menghindari kekhawatiran adanya penafsiran yang tidak berdasar terhadap pengaturan dalam Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, telah terdapat pengaturan secara khusus di dalam Pasal 22 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai objek 174 penjaminan serta pihak yang akan menyelenggarakan penjaminan tersebut melalui Peraturan Pemerintah.
Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Pasal 23 ayat (1) jo . Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK dalam memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi (P3IK) telah diberikan sesuai Pasal 9 UU OJK dan Pasal 19 UU PPKSK. Perintah tertulis merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kewenangan OJK sebagai lembaga pengawas untuk mengawasi pemenuhan rasio kecukupan modal dan kecukupan likuiditas ditentukan pada kondisi individual bank. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Kondisi modal dan kecukupan likuiditas tersebut diukur dengan parameter yang diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain POJK 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dan POJK 15/POJK.03/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum. P3IK merupakan salah satu upaya untuk memperkuat rasio kecukupan modal yang dapat dilakukan atas dasar inisiatif bank dan kantor cabang dari bank asing atau tindakan pengawasan OJK ( vide Pasal 2 ayat (2) POJK 41/POJK.03/2019 tentang P3IK Bank Umum). Dalam hal terdapat permasalahan modal, bank diharapkan dapat melakukan upaya memperkuat modalnya baik melalui penambahan modal secara sukarela dari pemegang saham, melakukan penawaran umum maupun melakukan P3IK. Sebagai bagian dari aksi korporasi, P3IK mengedepankan pada inisiatif bank dan/atau pemegang saham. Pada saat bank mengalami kesulitan keuangan, pemegang saham diharapkan sanggup memperkuat modal bank. Dengan adanya POJK di atas, menunjukkan bahwa tata kelola dalam penerbitan Perintah Tertulis telah diatur dalam POJK sehingga yang dipermasalahkan oleh 175 Pemohon sebenarnya merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal bank, maka untuk melindungi kepentingan publik nasabah penyimpan, masyarakat dan stabilitas sistem keuangan, OJK sebagai otoritas pengawas dapat memerintahkan bank melakukan P3IK untuk memperkuat modal bank. Hal ini mengingat, dalam konsep penggabungan, pengambilalihan dan/atau integrasi, bank penerima penggabungan, pengambilalihan, dan/atau integrasi tidak harus berada dalam kesulitan keuangan, sehingga diharapkan dapat memperkuat bank yang mengalami kesulitan keuangan dan pada saat yang sama memberikan nilai tambah bagi bank yang melakukan P3IK. Keadaan suatu lembaga jasa keuangan dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan, kondisi usaha lembaga jasa keuangan semakin memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan lembaga jasa keuangan yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas lembaga jasa keuangan yang sehat. Langkah P3IK antara lain ditujukan agar tidak terjadi pencabutan izin usahanya dan/atau tindakan likuidasi dan dalam rangka mempertahankan/menyelamatkan lembaga jasa keuangan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, sehingga aksi korporasi tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme keperdataan biasa karena terkait dana masyarakat yang dikelola LJK. Ketentuan pemberian sanksi merupakan upaya ultimum remidium dan memberikan kepastian hukum agar pihak yang diberi perintah tertulis menjalankan upaya untuk penyehatan lembaga jasa keuangan dan mencegah moral hazard sehingga OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar. Dalam permohonannya, Pemohon Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 hanya mempermasalahkan implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Pada penerapannya, sanksi tersebut lebih mungkin untuk ditebus oleh mayoritas industri perbankan dibandingkan dengan tunduk pada perintah tertulis yang diberikan oleh OJK. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan pemberatan atas pasal sanksi pidana atas pelanggaran perintah tertulis OJK untuk melakukan P3IK. 176 Perintah tertulis dalam Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk melakukan tindakan segera apabila terjadi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis, ancaman sanksi pidana dan denda yang lebih berat diperlukan agar LJK yang dikenakan perintah tertulis dapat melaksanakan proses P3IK dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Pemberian sanksi dalam Pasal 26 UU Lampiran UU 2/2020 sebenarnya penguatan atas ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, pemberian sanksi merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) jo . Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya ketentuan pidana sesuai Pasal 26 Lampiran UU 2/2020, OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar yakni nasabah, kepercayaan masyarakat, sistem perbankan dan stabilitas sistem keuangan dari kerugian yang ditimbulkan akibat tindakan pihak yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat kewenangan OJK. Kewenangan pemberian sanksi juga sudah ada pada Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan bahwa OJK dapat melakukan penyimpangan tanpa dapat dikontrol oleh pihak manapun, perlu Pemerintah sampaikan bahwa di era keterbukaan saat ini dan banyaknya institusi pengawas, kontrol dapat dilakukan masyarakat melalui wakil rakyat, aparat penegak hukum, dan lembaga pengawas lainnya sehingga tidak benar bahwa OJK akan melakukan penyalahgunaan wewenang.
Perlindungan Hukum Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan frasa “ bukan merupakan kerugian negara ” jelas kedudukannya di atas konstitusi sehingga sudah seharusnya dibatalkan karena tidak cocok dalam negara hukum dan demokrasi yang membutuhkan check and balances , dapat Pemerintah sampaikan sebagai berikut:
Definisi kerugian negara terdapat dalam beberapa undang-undang, antara lain adalah sebagai berikut:
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”): 177 “ Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai .” 2) Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”): “ Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai .” b. Berdasarkan definisi di atas, suatu kerugian negara harus terdapat unsur perbuatan melawan hukum. Hal tersebut mengadopsi dari asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ).
Selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Apabila dalam perbuatan/tindakan pelaksana UU 2/2020 ternyata dilakukan secara melawan hukum atau tidak memenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, maka tentunya mekanisme check and balances tetap dapat berlaku.
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan wewenang BPK untuk melaksanakan pengawasan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 ( check and balances tetap terjaga). Dapat Pemerintah sampaikan pengaturan mengenai biaya sebagaimana dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memperlakukan biaya yang telah dikeluarkan negara dalam melaksanakan kebijakan UU 2/2020 sebagai biaya ekonomi. Hal ini diperlukan mengingat dalam masa pandemi Covid-19, kondisi perekonomian tidak berjalan normal sebagaimana mestinya, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak dapat dianggap sebagai kerugian negara. Agar kebijakan dapat tetap dilaksanakan, maka perlu suatu bentuk perlindungan hukum berupa justifikasi bahwa kerugian dimaksud tidak dianggap sebagai kerugian negara melainkan sebagai biaya ekonomi yang dalam proses pelaksanaannya telah dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Dalam implementasi UU 2/2020 yang menggunakan biaya dari APBN tidak dapat disebut sebagai kerugian negara karena biaya yang telah dikeluarkan berpotensi tidak dikembalikan dengan nilai yang sama, contoh: 178 a. Terkait insentif pajak badan yang memberikan relaksasi kepada pengusaha agar pengusaha dapat mempertahankan arus kas usahanya. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya potensi penerimaan negara dari pajak;
Terkait dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang langsung dikucurkan Pemerintah tidak mungkin diharapkan adanya imbal balik atas BLT tersebut karena tujuan dari BLT adalah untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya;
Terkait program PEN yaitu adanya penitipan sejumlah dana pada bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) agar dapat melakukan restrukturisasi kredit nasabahnya sehingga aset-aset para nasabahnya tidak sampai dieksekusi.
Terkait dengan fasilitas pembebasan bea masuk yang sekiranya juga mengurangi penerimaan negara dari Bea dan Cukai, namun tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara karena pembebasan bea masuk tersebut diimplementasikan terhadap barang-barang tertentu seperti alat medis, APD, hand sanitizer , masker dsb yang merupakan barang-barang krusial dan sangat diperlukan Pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.
Terkait dengan pengeluaran dana yang dikeluarkan LPS tidak semata-mata hanya mempertimbangkan least cost test (Pasal 20 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020), namun juga mempertimbangkan aspek ekonomi serta aspek psikologis masyarakat. Terkait dengan contoh-contoh kebijakan di atas, apabila dalam pelaksanaannya terdapat pihak yang melakukan kecurangan dalam bentuk penyalahgunaan wewenang maka yang bertanggung jawab adalah pihak pada tingkat teknis pelaksana kebijakan yang melakukan kecurangan tersebut dan bukan Pemerintah selaku pengambil kebijakan terkait. Tujuan dari pencantuman Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan dimaksudkan untuk memberikan imunitas absolut, namun lebih kepada memberikan confidence bagi pelaksana Lampiran UU 2/2020 dalam kerangka hukum dan sistem hukum yang akan melindunginya dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan berdasarkan Lampiran UU 2/2020. Perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah sesuai dengan prinsip hukum imunitas terbatas bahwa pejabat/pegawai yang beriktikad baik dan bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Bahwa adanya iktikad baik 179 mencerminkan tidak adanya unsur mens rea yang menjadi dasar tuntutan pidana. Selain itu, perbuatan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentu merupakan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam kondisi extraordinary seperti saat ini membutuhkan kebijakan extraordinary pula untuk mengatasi keadaan kegentingan memaksa, sehingga menjadi suatu kewajaran apabila para pengambil kebijakan diberikan kepastian hukum bahwa tindakan yang telah dilakukannya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta didasarkan pada iktikad baik sudah sepatutnya mendapat jaminan tidak dapat dituntut secara pidana dan digugat dalam gugatan perdata. Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara, merupakan tuduhan tanpa bukti. Situasi pandemi Covid-19 merupakan dilema policy bagi Pemerintah. Dalam kondisi ini, Pemerintah dihadapkan pada pilihan harus menunggu situasi menjadi masalah besar untuk menyelamatkan masyarakat dengan berpegang pada ketentuan yang ada atau harus bergerak cepat menangani kondisi yang tidak normal dengan risiko tuduhan karena membutuhkan kebijakan dan langkah extraordinary . Adanya ketentuan tata kelola yang baik di dalam UU 2/2020 justru menunjukkan bahwa UU 2/2020 tidak akan dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pembahasan dalam pengambilan keputusan dibutuhkan secara terbuka dengan up and down segala risikonya. Apabila pengeluaran negara pada masa pandemi Covid-19 dianggap merugikan negara, maka tidak akan ada pejabat yang berani mengambil langkah-langkah kebijakan extraordinary meskipun dengan tujuan untuk menyelamatkan negara, masyarakat dan ekonomi. Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 bukan merupakan suatu hal yang baru ( precedented ) namun justru telah ada ketentuan-ketentuan serupa dan telah diterima baik oleh Pembentuk Undang-Undang maupun Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi pasal-pasal serupa. Preseden pengaturan perlindungan hukum juga terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:
Pasal 50 dan 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK); 180 c. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak);
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
Pasal 36A ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia;
Pasal 224 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; dan
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 telah mengesampingkan fungsi peradilan tata usaha negara, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan serupa telah diatur dalam Pasal 49 UU PTUN. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa PTUN tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN dalam hal keputusan dikeluarkan dalam keadaan bahaya, bencana alam, atau keadaan luar biasa dan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum. Pengaturan tersebut telah sejalan dengan rumusan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang menyatakan bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN. Oleh karena itu, rumusan dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 sejatinya telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Bahwa di antara ketentuan di atas, juga telah terdapat ketentuan pasal yang diuji di Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Putusan Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi mengoreksi rumusan Pasal 16 UU Advokat yang semula berbunyi: “ Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan .” 181 diubah menjadi: “ Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan .” Putusan Mahkamah Konstitusi di atas semakin memperkuat bahwa rumusan ketentuan perlindungan hukum dalam Lampiran UU 2/2020 memang telah benar sesuai dengan hukum yaitu untuk melindungi pelaksana UU 2/2020 yang telah beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Putusan ini juga menjadi salah satu bukti bahwa dalam keadaan normal saja dibutuhkan adanya pasal perlindungan hukum, apalagi dalam keadaan kegentingan memaksa. Selain Putusan Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah juga pernah menguji Pasal 16 UU Advokat dalam Perkara Nomor 52/PUU-XVI/2018 yang di dalam putusan perkara tersebut, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: “ hak imunitas Advokat yang dijamin dan dilindungi dalam UU 18/2003 tidak serta-merta membuat Advokat menjadi kebal terhadap hukum. Karena hak imunitas tersebut digantungkan kepada apakah profesinya dilakukan berdasarkan iktikad baik atau tidak. Dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 dinyatakan, “Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya”. Maka dengan demikian pengertian iktikad baik yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 mensyaratkan dalam membela kepentingan kliennya pun Advokat harus tetap berdasarkan aturan hukum. ” Tidak hanya dalam kedua putusan atas Pasal 16 UU Advokat tersebut, Mahkamah bahkan memberikan penafsirannya terhadap frasa iktikad baik dalam Pasal 16 UU Advokat pada pengujian materiil Pasal 21 UU Tipikor yaitu “ kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini (Pasal 16 UU Advokat) bukan terletak pada “kepentingan pembelaan Klien” melainkan pada “itikad baik”. Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi…Oleh karena itu, tidaklah beralasan mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 21 UU PTPK dengan mendasarkan pada hak imunitas yang dimiliki Advokat sebab norma Undang-Undang a quo sama sekali tidak menggugurkan keberlakuan hak imunitas dimaksud. ” Selanjutnya, Mahkamah juga memberikan pertimbangan mengenai perlindungan hukum dalam halaman 407 Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 mengenai uji materi 182 ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang menyatakan bahwa: “Pasal 22 UU 11/2016 selengkapnya berbunyi, “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam putusan-putusan di atas, dengan menggunakan metode penafsiran hukum argumentum per analogiam, maka sesungguhnya apa yang dirumuskan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 adalah konstitusional. Sangat tidak beralasan apabila Para Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dengan mendasarkan pada asas equality before the law karena pada dasarnya hak imunitas yang dimiliki oleh pengambil kebijakan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan asas equality before the law tersebut. Equality before the law merupakan konsep yang sangat universal (berlaku di mana saja) dan tekstual bagi hukum. Secara universal, Equality Before the Law sudah menjadi prinsip hukum dan kenegaraan yang mensyaratkan adanya hukum dan diberlakukan bagi setiap orang. Sedangkan secara tekstual, Equality Before the Law tertulis dalam induk aturan hukum yang menegaskan bahwa aturan hukum berlaku bagi semua orang di tempat hukum tersebut berlaku. Sebaliknya, dari sisi hukum, bisa dilihat bahwa hukum tidak membiarkan dirinya hanya untuk menguntungkan sejumlah pihak tanpa alasan yang sah di muka hukum. Jika ada pengecualian maka hal tersebut mengkhianati konsep hukum. Bahwa prinsip Equality Before the Law dituangkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” . Pada dasarnya, prinsip Equality Before the Law diterapkan oleh aparat penegak hukum yang artinya siapapun yang berhadapan dengan aparat penegak hukum harus diperlakukan secara sama oleh penegak hukum dengan tidak membeda-bedakan status dan kedudukan. 183 Pada dasarnya, siapapun yang bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tidaklah dapat dituntut secara hukum. Bahkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (2) KUHP menyatakan pelaksanaan perintah yang dijalankan dengan iktikad baik tidak dapat dipidana. UU 2/2020 menegaskan prinsip tersebut dalam ketentuan pasalnya untuk memberikan ketenangan bagi pelaksana UU 2/2020 yang sudah memenuhi 2 (dua) syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tersebut agar dapat bertindak secara cepat, tepat, dan tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan meskipun didesak oleh kondisi yang tidak normal sehingga memerlukan tindakan segera. Sebaliknya, siapapun yang melakukan apapun dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan haruslah dituntut secara hukum. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 secara a contrario juga mengakomodir prinsip tersebut yang artinya apabila pelaksana UU 2/2020 dalam bertindak ternyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka dirinya dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Dengan demikian, dalil Para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak memenuhi asas equality before the law merupakan dalil yang tidak berdasar karena telah jelas bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak membuat pelaksana UU 2/2020 menjadi kebal hukum. Apabila pelaksana UU 2/2020 telah memenuhi kedua syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 yaitu dengan iktikad baik bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, maka dirinya berhak mendapat perlindungan hukum. Sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan tindakan dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan perundang-undangan, maka yang bersangkutan dapat dituntut secara perdata dan pidana. Dalam beberapa permohonan pengujian terhadap UU 2/2020, terdapat anggapan bahwa diberikannya “kekebalan hukum” dari tuntutan perdata dan pidana dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 hanya mendasarkan pada ada/tidaknya iktikad baik dari pelaksana UU 2/2020. Namun, apabila dibaca secara utuh, syarat untuk tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana ada 2 (dua) yaitu:
mempunyai iktikad baik; dan
tindakannya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 184 Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif yang artinya apabila salah satu syaratnya tidak terpenuhi, maka pejabat pelaksana UU 2/2020 dapat dituntut secara perdata dan pidana. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 juga telah memenuhi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ) yang artinya apabila tidak ada kesalahan, maka seseorang tidak mungkin dapat dipidana. Dalam hal pelaksana UU 2/2020 bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan, maka dapat disimpulkan bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai kesalahan dan tidak dapat dipidana. Pengaturan hal tersebut terdapat pula dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang secara tegas mengatur norma yang memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pegawai yang melaksanakan tugas karena perintah undang-undang, yaitu dalam Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP yang berbunyi: “ barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana ”. Selanjutnya di dalam Pasal 51 KUHP dinyatakan bahwa “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya” . Bahwa Para Pemohon juga mendalilkan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 meniadakan pembuktian iktikad baik oleh lembaga peradilan. Terhadap dalil ini, dapat ditanggapi sebagai berikut:
Dalam teori pidana, sebuah tindak pidana dibangun atas 2 (dua) unsur penting yaitu 1) unsur objektif yaitu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum pidana ( actus reus ) dan 2) unsur subjektif yaitu sikap batin/niat pelaku ketika melakukan tindak pidana (niat jahat/ mens rea ).
Bahwa yang dibuktikan oleh lembaga peradilan adalah ada/tidaknya niat untuk melakukan perbuatan yang dilarang (iktikad tidak baik/ mens rea ), bukan pembuktian dari ada/tidaknya iktikad baik.
Pintu masuk bagi lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea terkait dengan pelaksanaan UU 2/2020 adalah pada ada/tidaknya suatu perbuatan yang 185 dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dimana hal tersebut telah diatur di dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020.
Ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak meniadakan kewenangan lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea karena Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 telah mengatur secara tegas bahwa ada 2 (dua) syarat kumulatif dalam pemberian perlindungan hukum dari tuntutan perdata dan pidana. Selain itu, perlu dipertimbangkan juga bahwa pemberian perlindungan dari tuntutan perdata dan pidana merupakan penghargaan yang diberikan negara kepada pelaksana UU 2/2020 karena telah dengan iktikad baik dan sangat berhati-hati melakukan tugasnya dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan di saat segala tindakannya diperlukan untuk memberikan penanganan yang cepat, tepat dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dalam menciptakan stabilitas keuangan pada saat kondisi perekonomian Indonesia melemah sejak pandemi Covid-19 dan memerlukan tindakan sangat segera. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan telah sesuai dengan standar internasional. Financial Stability Board (FSB) pada tanggal 15 April 2014 menyampaikan bahwa salah satu Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions adalah adanya perlindungan hukum bagi otoritas dan personilnya yang beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Pada poin 2.5 Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions , FSB menyatakan sebagai berikut: “The resolution authority and its staff should be protected against liability for actions taken and omissions made while discharging their duties in the exercise of resolution powers in good faith, including actions in support of foreign resolution proceedings.” Di samping itu, Basel Committee on Banking Supervision pada September 2012 juga menetapkan Core Principles for Effective Banking Supervision , yang salah satu isinya menyampaikan perlunya perlindungan hukum bagi pengawas bank yang menjalankan tugas dengan iktikad baik. Menurut Basel Committee , perlindungan hukum diberikan dalam bentuk perlindungan terhadap gugatan/tuntutan hukum dan perlindungan atas kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan kebijakan. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut: 186 “Laws provide protection to the supervisor and its staff against lawsuits for actions taken and/or omissions made while discharging their duties in good faith. The supervisor and its staff are adequately protected against the costs of defending their actions and/or omissions made while discharging their duties in good faith. ” Dalam konteks pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan bidang sektor keuangan di Indonesia, sesuai dengan hasil Financial System Stability Assessment yang dilaksanakan oleh International Monetary Fund pada tahun 2016-2017, diperoleh hasil bahwa: “Inadequate legal protection creates a risk of crisis management decisions being delayed or even avoided due to concerns over potential liability. Although the PPKSK Law has strengthened legal protection across the agencies involved in crisis management, further strengthening is needed, including in the relevant agencies’ laws, to provide legal protection to the extent advocated in the Key Attributes (and BCP and ICP). The main shortcomings in the PPKSK Law are that the test for legal protection is “misuse of authority” rather than “good faith”, that it applies only to actions taken in situations of near-crisis or crisis, and it does not extend to the institution itself and persons acting on its behalf.” Berdasarkan hasil penilaian di atas, jelas bahwa perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di sektor keuangan yang telah ada sebelumnya dirasa masih belum memadai sehingga masih diperlukan penguatan. Oleh karena itu, pengaturan perlindungan hukum sebagaimana diatur pada Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 pada hakikatnya telah sesuai dengan standar internasional dan dibutuhkan sebagai penguatan atas pengaturan yang telah ada sebelumnya. Dengan adanya perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020, pengambil kebijakan dapat mengambil keputusan terbaik yang dilandasi dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila ternyata dalam pelaksanaan UU 2/2020 tersebut terdapat pihak yang tidak beriktikad baik dan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pihak tersebut tidak dapat menggunakan perlindungan hukum berdasarkan ketentuan pasal ini. Di dalam penegakan hukum, adanya iktikad buruk ( mens rea ) secara pidana atau adanya perbuatan melanggar hukum secara perdata harus dapat dibuktikan terlebih dahulu. Prinsip dasar pembuktian secara perdata adalah actori incumbit onus probandi artinya siapa yang menuntut maka dia yang membuktikan. Dalam hukum pidana juga dikenal asas bahwa tuduhan yang tidak dapat dibuktikan dalam proses persidangan tidak akan melahirkan keputusan yang memenuhi tuntutan ( vide pasal 66 KUHAP). Prinsip penegakan hukum tersebut telah sejalan dengan Pasal 14 187 ICCPR, bahwa setiap orang yang dituntut/digugat harus diberikan kesempatan untuk disidangkan dalam peradilan yang adil dan terbuka. Tindakan dapat dikenakan hukuman sesuai hukum pidana jika memenuhi unsur mens rea dan actus reus . Dalam hal ini yang disalahkan secara hukum bukan UU 2/2020 atau pembuatnya, melainkan pejabat dan pembonceng yang melakukan pelanggaran atasnya. Substansi Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan penilaian subjektif melainkan sudah diakui dalam berbagai pengaturan dan sudah diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah juga telah membuktikan adanya iktikad baik dalam penerbitan UU 2/2020 yaitu dengan memperluas cakupan bantuan sosial, menanggung biaya pemeriksaan kesehatan, memberikan insentif bagi tenaga medis, memberikan Bantuan Langsung Tunai, dan stimulus fiskal dunia usaha. Dalam melaksanakan UU 2/2020, baik prosesnya maupun landasan hukumnya telah dilaksanakan dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Dari segi proses, berbagai kebutuhan belanja dan pembiayaan sebagai dampak Covid-19 telah dibahas di berbagai tataran pemerintahan, mulai dari internal Kemenkeu, Rapat Koordinasi pada tingkat Menteri Perekonomian, maupun pada Sidang Kabinet. Oleh karena itu, prosesnya sangat transparan dengan iktikad baik dan tidak dilakukan secara tersembunyi. Selain itu, pelaksanaan UU 2/2020 juga berdasar peraturan perundang-undangan yaitu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Surat Keputusan Bersama. Pemberian perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak dapat diartikan bahwa pembuat kebijakan tidak tenang dalam melakukan tugasnya. Bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta kepastian hukum namun perlindungan dan kepastian hukum tersebut sangat diperlukan agar pembuat kebijakan dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapatkan hasil yang optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dari kebijakan yang telah diambil. Dapat Pemerintah tegaskan pula bahwa sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK, yang selanjutnya akan disampaikan kepada DPR sebagai 188 wakil rakyat sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Harmonisasi UU 2/2020 Dengan UU Terdampak Lahirnya Lampiran UU 2/2020 ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum atau memerlukan penyesuaian dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau krisis perekonomian dan/atau sistem keuangan. Oleh karena itu, terhadap norma- norma yang dilakukan penyesuaian dalam Lampiran UU 2/2020 perlu dilakukan harmonisasi agar tidak terjadi dualisme hukum. Norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 yang berisi pencabutan beberapa ketentuan undang-undang terdahulu akan memberikan kepastian norma hukum yang berlaku untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana telah dijelaskan, penyesuaian norma-norma tersebut dimungkinkan berdasarkan Hukum Administrasi Negara dalam bentuk pemberian kewenangan atribusi. Selain itu, beberapa norma disesuaikan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan penanganan pandemi Covid-19. Pelaksanaan pemberian kewenangan atribusi dan/atau penyesuaian norma dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tersebut dilakukan dengan memenuhi tata kelola yang baik dan memperhatikan batasan-batasan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 didasarkan pada kebutuhan kepastian hukum regulasi yang berlaku, bukan yang sewenang-wenang ( constitutional dictatorship ) sesuai dalil Para Pemohon. Berdasarkan teori peraturan perundang-undangan, Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 berlaku sebagai ketentuan harmonisasi atas ketentuan-ketentuan yang dikesampingkan. Hal tersebut juga didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk melakukan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary untuk melakukan penanganan permasalahan Covid-19 secara cepat dan penanganan dampaknya yang luar biasa terhadap ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan, tidak dapat dilakukan hanya dengan mendasarkan pada undang-undang 189 yang ada sebelum UU 2/2020 yang memang kurang memadai untuk penanganan kepentingan tersebut. Pernyataan Para Pemohon yang menyampaikan bahwa Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 menimbulkan kesewenang-wenangan dan constitutional dictatorship adalah pernyataan yang tidak benar dan sangat berlebihan. Pemohon telah salah menafsirkan constitutional dictatorship sebagai tindakan kesewenang-wenangan. Dalam ilmu hukum konstitusi, constitutional dictatorship merupakan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi untuk menjaga keberadaan negara demokrasi konstitusional, "No form of government can survive that excludes dictatorship when the life of the nation is at stake" . Lampiran UU 2/2020 diterbitkan dalam kegentingan yang memaksa sebagaimana fakta-fakta yang telah disampaikan sebelumnya, dan merupakan instrumen hukum yang diberikan kepada Presiden untuk mengatasi kondisi kegentingan yang memaksa dengan menerbitkan Perppu. Filosofi constitutional dictatorship yang tersirat pada Pasal 22 UUD 1945 dalam konteks kedaruratan merupakan wujud nyata kehadiran Pemerintah dalam mengatasi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19 dan bukan merupakan makna negatif sebagai penyelewengan kekuasaan. Dengan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pendapat subjektif Presiden mengenai perlunya penerbitan Perppu sebagai instrumen hukum untuk mengatasi kegentingan yang memaksa telah disetujui DPR sebagai lembaga wakil rakyat. IV. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) UU 2/2020 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). 190 Selain itu, Presiden mengajukan 6 (enam) orang ahli. Tiga ahli telah didengar keterangannya di depan persidangan dan juga menyerahkan keterangan tertulis, yakni Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Muhamad Chatib Basri, S.E., M.Ec., dan Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum. Adapun tiga ahli lainnya, hanya memberikan keterangan tertulis, yakni Chandra M. Hamzah, S.H., Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., dan Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M . Masing-masing ahli memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Dr. Maruarar Siahaan, S.H. Pendahuluan Kondisi negara -seperti halnya masyarakat umumnya dan manusia orang per orang tidak selalu berada dalam keadaan biasa ( state of normalcy ), dalam arti selalu ada pengelolaan kehidupan yang memerlukan hal yang berbeda dari yang biasa sehingga memerlukan upaya khusus secara berbeda dari proses dan prosedur yang biasa dilakukan baik dalam pencapaian tujuan sehari-hari maupun dalam program yang direncanakan untuk tujuan tertentu. Kehidupan masyarakat yang di atur oleh negara melalui sistem pemerintahan dan hokum dalam mengatur interaksi kepentingan anggota dan korporasi atau kelompok satu dengan yang lain, tunduk pada aturan perundang-undangan. Negara yang memerlukan pengorganisasian kekuasaan untuk memungkinkan adanya upaya paksa ketika terjadi hal-hal yang membutuhkan, ditentukan dengan sistem yang diatur dalam masing-masing konstitusi negara. Di samping menyusun lembaga dengan masing-masing kekuasaan yang relevan dalam mencapai suatu tujuan bersama, dan hubungannya satu dengan lain, serta hubungan kekuasaan lembaga negara dengan warganegaranya dalam penyelenggaran negara untuk kepentingan umum, dalam keadaan teratur dan normal atau kondisi yang aman, di dalam mana hubungan- hubungan hukum yang terjadi dapat ditata berdasar ketentuan hukum yang berlaku secara biasa. Ketika terjadi konflik kepentingan, mekanisme hukum yang tersedia dapat menyelesaikannya secara teratur dengan dukungan kekuasaan negara yang ada untuk memaksakan sanksi hukum dalam kerangka mengembalikan keseimbangan seperti semula. Pengaturan dan operasionalisasi penyelenggaraan negara berdasar kekuasaan negara yang ada akan berlangsung secara biasa dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. 191 Hukum dan kekuasaan yang dipergunakan adalah hukum dalam keadaan normal ( state of normalcy). Akan tetapi ketika muncul bahaya dalam bentuk yang tidak biasa, yang mendatangkan ancaman bagi keselamatan negara dan rakyatnya, baik karena magnitude bahaya yang mengancam maupun akibat-akibatnya, di mana keadaan tidak dapat diatasi secara baik dengan instrumen kekuasaan dan hukum yang ada, maka dalam sejarah kehidupan hukum dan tata negara secara universal dalam perjalanannya, ada masanya keadaan harus diatasi dengan instrumen dan kewenangan (kekuasaan negara) secara berbeda, untuk mengatasi keadaan bahaya yang mengancam, baik untuk keselamatan negara, maupun keselamatan warganegara. Dalam hal terjadi suatu keadaan demikian yang secara luar biasa menyimpang dari keadaan normal, jawaban dan instrumen yang dipergunakan harus memberikan ruang gerak yang juga luar biasa bagi pemimpin negara, untuk dapat mengatasi keadaan bahaya secara tepat waktu dan dengan metode yang tepat. Kecepatan dalam pengambilan keputusan merupakan keniscayaan, yang senantiasa membutuhkan penyimpangan dari prosedur-prosedur dan instrumen yang digunakan dalam keadaan normal. Keadaan yang membawa situasi darurat, tidak dapat dijawab dengan hukum yang berlaku dalam keadaan normal, melainkan harus menggunakan hukum dalam keadaan tidak normal karena kondisi yang membahayakan negara dan rakyat harus dijawab juga dengan hukum yang berlaku dan dibutuhkan dalam keadaan darurat ( state of emergency). Paradigma yang harus menjadi pemahaman bersama ini, merupakan titik tolak yang digunakan dalam melihat dalil-dalil permohonan judicial review yang berlangsung sekarang ini. Covid -19 Adalah Keadaan Bahaya yang Mengancam Dunia Beberapa permohonan Judicial Review terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dan kemudian setelah disahkannya Perpu tersebut pengujian dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, serta komentar beberapa aktivis dan tokoh nasional, yang menganggap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 sebagai kesewenang- wenangan dari Presiden RI Jokowi, Perpu mana kemudian telah disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, sesungguhnya merupakan pendapat yang sungguh keliru. Langkah untuk mengeluarkan Perpu Nomor 1/2020 yang merupakan kewenangan Presiden yang sah dalam UUD 1945, dan kewenangan yang diberikan secara konstitusional tersebut berdasarkan pandangan subjektif seorang Presiden, sesungguhnya telah diobjektivisir dengan melihat 192 kondisi pandemik yang terjadi secara global meliputi negara-negara besar dan yang maju maupun tidak maju, sebagai keadaan yang di beberapa negara bahkan disebut sebagai keadaan darurat. Kondisi darurat tidak dapat dijawab dengan hukum normal, bahkan di negara yang berdasarkan hukum dan konstitusi yang menjadi kampiun demokrasi sekalipun. Tampaknya kita di Indonesia juga harus memperhatikan perkembangan yang terjadi di Mesir, Perancis dan Hongaria. Hongaria dan Perancis, dan boleh jadi harus menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan Presiden Mesir untuk mengeluarkan dekrit dan hukum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemi tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat sanksi berupa hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropa, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemi. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemi, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara . Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebutkan perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampaknya yang negatif terhadap demokrasi dan rule of law. Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropa dan hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perpu tersebut dalam perkara a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian memang kita mnegetahui suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan dengan 193 nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan, yang diperlukan mengatasi keadaan darurat atau genting. Kondisi luar biasa pasti membutuhkan kewenangan untuk melakukan tindakan luar biasa. Ketika pertama kali kita mendengar tentang meledaknya virus covid-19 dan daya sebar yang luar biasa cepat, pada awalnya – bahkan sekarang, juga banyak yang skpetis, dan menganggap hal tersebut adalah keadaan biasa saja, dan dampaknya di anggap dibesar-besarkan, bahkan ada menganggap hoax . Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal. Tidak perlu pembuktian lagi tentang hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, yang menimbulkan ancaman terhadap keselamatan warganegara bangsa-bangsa dengan angka kematian yang tinggi luar biasa dan - sampai saat Perpu disahkan dan sampai bulan Desember 2020, belum ditemukan vaccine atau obat yang dapat mengatasinya. Angka kematian yang dapat dimonitor dari informasi resmi maupun tidak resmi, dalam siaran TV, kita misalnya melihat di Amerika Serikat saja sampai bulan Januari 2021, korban meninggal lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu), dan di Indonesia, angka kematian terakhir sebelum dimulai suntikan vaccine pertama diatas 20.000,- (dua puluh ribu jiwa). Angka-angka itu lebih menakutkan lagi jika kita amati korban kematian di Italia, Inggris, Irlandia, Jerman, Perancis, Spanyol, dan lain-lain. Kalau diperbandingkan dengan korban perang dunia ke II, Amerika dan sekutu-sekutunya hemat saya tidak mengalami korban sampai 300 (tiga ratus) batalyon tentara yang gugur dalam pertempuran. Pandemi corona karenanya melibihi ancaman perang dunia Ke II, dilihat dari korban manusia. Jika dilihat dari implikasinya yang timbul secara luas dalam seluruh bidang kehidupan, baik di bidang kesehatan, Pendidikan, kehidupan sosial, bidang ekonomi dalam kegiatan produksi dan perdagangan telah berdampak pada lapangan kerja dan kebangkrutan usaha-usaha, sehingga ancaman yang dihadapi adalah suatu keadaan yang sifatnya luar biasa. Terjadi perang tetapi melawan musuh yang tidak terlihat, sehingga menyebabkan manusia menjadi sasaran empuk yang mudah dibidik musuh, dan keberdayaan kita hanya pada disiplin pemakaian masker, cuci tangan dan jaga jarak, yang seyogianya dilaksanakan dengan langkah tegas dan keras dan tindakan yang luar biasa. Oleh karena sifat ancaman dan bahaya yang dihadapi sedemikian rupa, sehingga banyak langkah yang bersifat luar biasa perlu dilakukan untuk pencegahan, untuk penanganan baik yang telah terkena covid, maupun masyarakat luas yang terdampak dalam kehidupan yang membutuhkan dukungan 194 darurat, telah mengakibatkan dampak yang timbul di bidang ekonomi, keuangan, dan social, bahkan boleh jadi politik. Menurut hemat saya telah menjadi notoir feit yang tidak perlu pembuktian lebih lanjut, bagaimana daerah yang tergantung pada tourisme, mengalami “kebangkrutan” karena mendadak kebijakan pembatasan gerak manusia secara global, memukul industry perhotelan, industry pariwisata, dan akibatnya penganguran yang menyedihkan, yang bagi karyawan tertentu tanpa dukungan tabungan dan pendapatan yang pokok harus menghidupi keluarganya. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi, sebagaimana amanat konstitusi kita bahwa negara harus hadir “untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Keadaan Darurat Dalam Konstitusi Tiap konstitusi masing-masing negara akan menentukan keadaan tidak normal tersebut secara berjenjang, dengan kekuasaan yang dilimpahkan kepada penyelenggara negara secara berbeda-beda, sesuai dengan tingkat keadaan yang di hadapi. Dalam hal terjadi suatu keadaan yang tidak biasa yang membutuhkan tindakan untuk melawan hal yang tidak biasa tersebut yang mengancam eksistensi negara, kehidupan anggota masyarakat ataupun kehidupan masyarakat sebagai kepentingan umum yang menyeluruh bahkan mencakup kelangsungan kehidupan bersama yang disusun dalam organisasi negara, maka diperlukan juga tindakan atau langkah dari penyelenggara negara yang tidak biasa untuk melawan ancaman, mengatasi keadaan yang tidak biasa untuk dapat mengembalikan kekeadaan yang normal tersebut. Ketika serangan terorisme bertubi-tubi di Amerika dan perlu menyatakan keadaan bahaya yang membutuhkan emergency power bagi kepala pemerintahan untuk bertindak, maka tidak selalu tersedia kewenangan emergency tersebut dalam sistem konstitusi Amerika Serikat. Sehingga karenanya Bruce Ackerman menyatakan: “Designing a constitutional regime for a limited state of emergency is a tricky business…The paradigm case for emergency powers has been an imminent threat to the very existence of the state, which necessitates empowering the executive to take extraordinary measures”. Tetapi tindakan-tindakan yang luar biasa demikian harus senantiasa ada dalam bentuk yang integral dengan sistem hokum yang berlaku sebagaimana diatur dalam konstitusi. Konstitusi – sebagaimana disebut diatas– sudah mengatur dalam kerangka kekuasaan yang ditentukan – kekuasaan atau kewenangan yang mungkin 195 dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi dan kewajiban-kewajibannya. Pada saat yang sama pembatasan dan larangan konstitusional maupun perlindungan yang diberikan dalam kerangka hak-hak perorangan atau individu senantiasa juga diperlakukan tidak hanya dalam keadaan biasa tetapi juga dalam keadaan luar biasa. Ketika Amerika masih mencari bentuk yang pas untuk emergency power terrsebut dalam menghadapi krisis terorisme, yang karena paradigma checks and balance dan separation of powers yang agak ketat dalam aturan konstitusi Amerika, maka Indonesia sudah sejak zaman Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan, secara lugas telah menyediakan kekuasaan dalam keadaan daruurat yang diberikan pada Presiden, meskipun terjadi perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Pengalaman sejarah sejak masa penjajahan dan setelah kemerdekaan yang mengalami keadaan bahaya dari perspektif perang, bahaya perang, yang sering kali dilihat dalam konteks istilah SOB ( Staat van Oorlog en beleg) yaitu keadaan perang dan bahaya serangan, yang awalnya termuat dalam Koninklijke Besluit – semacam undang-undang- tertanggal 13 September 1939 No. 32 (Stb 1939-5820 dan mulai berlaku 15 April 1940. Undang-Undang tersebut memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk mengambil 2 (dua) tindakan darurat, yaitu (i) menyatakan wilayah Hindia Belanda seluruhnya atau sebagian “ in staat van oorlog (keadaan perang) dan (ii) menyatakan wilayah Indonesia dalam keadaan in staat van beleg (dalam keadaan terkurung oleh musuh). Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang memungkinkan perubahan hukum tatanegara biasa menjadi hukum tatanegara istimewa yang mengalihkan kekuasaan pemerintahan sipil kepada pemerintahan militer. Hal ini terjadi karena keadaan di mana terjadi perang atau timbulnya bahaya perang ( staat van oorlog ), sehingga apabila keamanan negara berada dalam bahaya karena huru hara atau karena pemerintahan sipil kocar kacir akibat malapetaka, kekuasaan pemerintahan sipil dialihkan kepada pemerintahan militer, yang memiliki prosedur dan tatacara yang membutuhkan komando secara disiplin militer yang tegas. Setelah kemerdekaan RI pada tanggal 17 Augustus 1945, karena undang-undang yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945 belum ada, maka waktu itu Peraturan SOB tersebut terus diperlakukan. Tetapi kemudian DPR membentuk Undang-Undang mengenai keadaan bahaya tanggal 17 Desember 1957 seperti halnya Peraturan 196 SOB yang juga mengenal keadaan bahaya dalam 2 tingkatan, di mana tingkat kesatu dinamakan “keadaan darurat” dan tingkat kedua disebut “keadaan perang”. Keadaan darurat dalam Undang-Undang Nomor 74 tahun 1957 mengenal tiga tingkatan keadaan darurat yaitu (i) keadaan darurat sipil, (ii) keadaan darurat militer”, dan (iii) Keadaan darurat perang. Undang-Undang Keadaan bahaya ini berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sampai saat ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 belum dicabut, akan tetapi kondisi dan kelembagaan yang disebut didalamnya, setelah perubahan UUD 1945 telah mengalami perubahan, menjadi tidak relevan, sehingga sesungguhnya sudah sejak awal reformasi harus direvisi. Karena kenyataan perkembangan sejarah dan nomenklatur kolonial yang ketika itu masih melekat, telah menyebabkan Pasal 12 dan undang-undang keadaan darurat yang diperintahkan Pasal 12 UUD 1945 menjadi terlupakan, sehingga ketika diperlukan saat ini suatu produk hukum Perpu yang memiliki karakter, dasar hukum dan akibat hukum yang berbeda dari Pasal 22 serta praktik Perpu yang tidak memperhitungkan hal tersebut, telah mengakibatkan keadaan yang terjadi sekarang dengan Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang kemudian sesuai dengan ketentuan UUD 1945 diharuskan untuk mendapat persetujuan DPR pada sidang berikutnya, menjadikannya sedikit banyak dilemmatis, karena keadaan yang tidak biasa yang disebut dalam keadaan krisis dalam arti bahaya dan ancaman kedaruratan akan keselamatan jiwa dalam jumlah besar dan dalam wilayah yang luas, kemudian ditangani seperti dalam keadaan normal atau biasa ( state of normalcy) Perpu tersebut disahkan menjadi undang-undang, dan memasuki sistem hukum dalam keadaan normal karena abnormalcy telah terhapus dengan dijadikannya Perpu jadi undang-undang. Setelah proklamasi kemerdekaan dan sesudah tercapainya secara relative stabilitas pemerintahan serta hilangnya ancaman perpecahan dan pemberontakan – meskipun sesungguhnya tidak benar, karena yang berubah hanya bentuk dan karakteristiknya, maka kewenangan tersebut agak terlupakan dan dipahami sebagai sesuatu yang berbeda. Terutama karena Pengertian Pasal 12 UUD 1945 tentang kekuasaan Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya, yang kemudian syarat- syarat dan akibat keadaan bahaya diatur dalam Undang-Undang, maka keadaan yang diatur dalam undang-undang itu, tentu bukan keadaan yang diatur undang- 197 undang sebagai keadaan normal ( state of normalcy) melainkan dalam keadaan darurat atau bahaya dengan kegentingan memaksa, yang hemat kami, outputnya bukan Perpu berdasarkan Pasal 22, melainkan keadaan darurat yang merupakan bagian dari kegentingan memaksa yang timbul karena keadaan bahaya, yang outputnya dalam Undang-Undang Dasar Sementara dan UUD RIS, disebut dengan istilah yang berbeda yaitu Undang-Undang Darurat. Kekosongan pengaturan yang sesuai karena lupa menjabarkan Pasal 12 tentang “keadaan bahaya” dalam UUD 1945, kemudian menyebabkan kesalah pahaman yang agaknya boleh jadi menimbulkan masalah konstitusionalitas normanya, sebagaimana kita saksikan di media social. Perpu Nomor 1/2020 yang dikeluarkan dengan berdasarkan kondisi ancaman serangan Covid 19, oleh WHO dinyatakan sebagai pandemic, sesungguhnya terjadi secara global dan dengan bukti tingkat kematian yang sangat tinggi akibat serangan covid-19 sebagaimana telah disebut diatas, sehingga secara objektif negara memang berada dalam keadaan bahaya, yang mengancam kehidupan manusia dan boleh jadi mengancam kelangsungan kehidupan negara akibat krisis ekonomi yang timbul serta dampak ikutannya. Meskipun demikian, masih ada pihak yang mungkin hanya melihatnya dari segi pertarungan politik, karena pemahaman konstitusi yang kurang cermat dan lengkap, sehingga boleh jadi mengakibat krisis konstitusi yang berbahaya. Dengan kata lain kekuasaan apapun yang boleh secara sah digunakan menurut konstitusi untuk menghadapi ancaman keadaan yang luar biasa, tidak akan mengurangi ruang lingkup jaminan-jaminan konstitusional yang ada, meskipun dalam keadaan yang tidak biasa tersebut perlindungan hak-hak individu dan hak asasi boleh jadi harus ditunda pemberlakuannya, karena suatu keadaan yang berbahaya atau genting yang menimbulkan keadaan memaksa untuk bertindak mengatasi keadaan tersebut beserta akibat-akibatnya secara luar biasa. Dalam keadaan seperti itu, diperlukan seorang pemimpin yang harus mampu bertindak dalam keadaan yang segera, sehingga konsep-konsep hokum yang innovative untuk mengatasi keadaan yang luar biasa tersebut juga boleh jadi dibutuhkan. Asumsi pembedaan kondisi dan keyakinan akan kemampuan kita untuk memisahkan keadaan genting dan krisis dari keadaan normal, langkah kontra terorisme dari aturan hokum dan norma yang biasa (?), mengandung arti bahwa tindakan melawan kegentingan atau keadaan darurat bukan ditujukan kepada kita, melainkan terhadap ancaman keselamatan masyarakat dan bahkan negara 198 tersebut. Penerapan secara membabi buta model-model keadaan yang tidak biasa, dalam jangka panjang akan menimbulkan ketidak stabilan terhadap prinsip-prinsip fundamental seperti rule of law , perlindungkan atas hak-hak dan kebebasan yang berlaku. Models of Accomodation Seorang penulis mengatakan bahwa wacana tentang rezim keadaan darurat dalam masyarakat demokratis hampir secara tetap diatur dengan model-model yang dikelompokkan menurut satu teori umum yang disebut “ models of accomodations”. Semua model tersebut menerima satu tingkat akomodasi bagi tekanan yang terjadi/dilakukan terhadap negara pada saat keadaan darurat, sementara pada waktu yang sama, sebanyak mungkin mempertahankan prinsip dan norma hokum yang normal. Menurut model-model akomodasi tersebut, ketika satu negara dihadapkan kepada keadaan darurat, maka struktur hokum dan bahkan struktur konstitusionalnya agak dilonggarkan dan barangkali bahkan ditangguhkan ( keberlakuannya ) sebagian. Kompromi ini yang memungkinkan kelangsungan dianutnya asas rule of law dan nilai-nilai dasar demokrasi, ketika negara diberikan kewenangan yang cukup untuk menahan puting beliung yang ditimbulkan oleh krisis yang mengancam kehidupan negara dan keselamatan warganya. A. Constitutional Dictatorship in State of Emergency Gross dan Fionuala memasukkan dalam jenis akomodasi ini kedikatoran Romawi dalam bagian akomodasi klasik, yang diperkenalkan di zaman Romawi dengan mana satu lembaga darurat yang diakui dan instrument pemerintahan yang dibangun dalam kerangka konstitusional. Lembaga ini dipuja oleh Niccolo Machiavelli sebagai lembaga yang dipandang dimasukkan diantara penyebab kebesaran suatu kekaisaran yang adidaya. Kediktatoran konstitusional Romawi dilihat sebagai kegeniusan politik Romawi yang dapat menyelesaikan masalah yang sulit dalam kekuasaan darurat yang tidak ada bandingnya dalam sejarah. Sesungguhnya kediktatoran konstitusional adalah satu model dengan mana suatu negara demokrasi dapat berhasil dalam perang semesta dan masih dapat mempertahankan sifat demokratisnya dengan menggunakan prinsip kediktatoran konstitusional. Kediktatoran konstitusional disusun berdasarkan pengalaman dan atribut kedikatoran Romawi. Pemecahan Romawi atas masalah kekuasaan darurat 199 dipuji sebagai yang paling berhasil dari semua sistem pemerintahan darurat yang dikenal. Unsur-unsur pokok kediktatoran Romawi yang paling terkenal itu adalah:
_sifatnya yang sementara (temporary character); _ 2. _pengakuan akan sifat khusus (exceptional) dari keadaan darurat; _ 3. pengangkatan seorang diktator sesuai dengan bentuk bentuk konstitusional yang khusus, yang memisahkan mereka yang menyatakan keadaan darurat, dan mereka yang menjalankan kekuasaan darurat;
pengangkatan dikator untuk tujuan yang terinci dan terbatas, dan tujuan akhir mempertahankan tertib konstitusi katimbang mengganti atau mengubahnya, sering diangap meletakkan pedoman dasar bagi regiem darurat konstitusional di zaman modern. Pada zaman modern sekarang, ketika krisis negara-negara secara global yang timbul karena pandemi virus corona, Hongaria dan Perancis tampaknya menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan/atau Presiden untuk mengeluarkan dekrit dan hokum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemik tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat juga hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropah, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemi. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemic, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebut perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampak negative terhadap demokrasi dan rule of law. Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropah dan 200 hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perpu tersebut dalam perkara JR yang telah dinyatakan gugur dengan disetujuinya Perpu menjadi undang-undang a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian ternyata memang terdapat suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting dan bahaya atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan yang diperlukan mengatasi keadaan darurat, bahaya atau genting tersebut. B. State of Siege Model klasik berikut yang disebut oleh Gross dan Fionnuala, adalah state of siege , yang berasal dari sistem hukum kontinental, khususnya Perancis, sebagai mekanisme untuk mengurus keadaan krisis yang ekstrim. Dikatakan bahwa instrumen mengatasi krisis jenis ini sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting dalam state of siege ini tidak menggambarkan adanya keadaan di mana hukum dibatalkan sementara, tetapi gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan untuk mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hokum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat. Untuk mengatur lebih jauh state of siege tersebut, Konstitusi Perancis Republik Kedua tahun 1848 mengadopsi Pasal 106, yang mengatur penerbitan pernyataan state of siege , pengakhiran, dan akibat hukum keadaan darurat tersebut. Akan tetapi patut diingat bahwa menurut Konstitusi Perancis tahun 1878 state of siege hanya dapat dinyatakan dengan undang-undang dan hanya “ dalam hal bahaya yang mengancam dari perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’. Pernyataan state of siege harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, state of siege juga berakhir. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Kewenangan untuk menyatakan state of siege tersebut hanya berada pada parlemen, termasuk untuk mengakhiri keadaan darurat luar biasa tersebut baik sebahagian atau seluruhnya sebelum masa yang ditentukan dalam pernyataan sebelumnya, dengan deklarasi yang dikeluarkan kemudian. Pengertian yang dianut pada waktu itu bahwa masa berlaku 201 state of siege tersebut relative singkat dan sangat terbatas. Tambahan lagi pernyataan state of siege harus menentukan bagian wailayah negara dimana berlaku state of siege. Ketika state of siege telah dinyatakan maka semua kewenangan untuk “memelihara ketertiban” dialihkan secara menyeluruh kepada pihak militer. Penguasa sipil tetap memegang fungsi dan kewenangan lainnya, dan pengadilan militer akan melaksanakan kewenangan atas tiap pelanggaran yang menyangkut keamanan dan ketertiban Republik serta pelanggaran terhadap konstitusi, kemanan dan ketertiban umum. Terdapat dua hal yang tidak termasuk dalam sistem ini yaitu:
Regiem state of siege tidak melimpahkan kewenangan pembuatan undang- undang kepada eksekutif; dan
State of siege tidak mengakibatkan perubahan mendasar dalam hubungan pembuat undang-undang dengan eksekutif, atau antara pemerintahan sipil dan militer, dan militer tetap tunduk kepada pengarahan dan instruksi dari menteri-menteri. Dengan kata lain, meskipun ada pengalihan kewenangan memelihara ketertiban dan kewenangan lain, militer dan sipil bekerja bahu membahu selama keadaan perang, meskipun secara umum militer tetap sebagai hakim terakhir atas masalah kepolisian dan keamanan.
C. Martial Law -Darurat Militer Jenis keadaan darurat semacam ini merupakan instrumen keadaan darurat dalam sistem common law , yang digunakan mengatur dengan keputusan eksekutif yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan dengan keputusannya untuk mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu untuk mempertahankan negara dan menyatakan keadaan darurat dalam masa permusuhan. Keputusan-keputusan dalam keadaan darurat demikian dipandang memiliki kekuatan yang sama dengan undang- undang. Keadaan Bahaya atau Kegentingan Yang Memaksa Republik yang ideal harus memiliki lembaga emergency , ketika menghadapi ancaman dan bahaya yang luar biasa, ketika pembuatan keputusan yang normal sangat lambat untuk mengatasi secara efektif krisis yang mengancam. Banyak negara konstitusional modern memuat secara tegas dan terkadang sangat rinci ketentuan-ketentuan tentang keadaan darurat. Meskipun banyak dipergunakan negara di masa modern, akan tetapi 202 beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan Belgia, hampir tidak mengenal rujukan kepada keadaan darurat dan kekuasaan darurat. Konstitusi Amerika hanya secara tidak langsung merujuk kepada kedaruratan tersebut dalam Pasal 1 Ayat (9) kalimat kelima belas (15) yang yang memberikan kekuasaan kepada Kongres “memanggil wajib militer untuk melaksanakan undang-undang Negara Federal, memadamkan pemberontakan dan menahan invasi”. Sedang Pasal 1 ayat (9) Kalimat Kedua yang menyatakan bahwa Hak istimewa Habeas Corpus tidak boleh ditangguhkan kecuali keamanan umum membutuhkan ketika terjadi pemberontakan atau invasi. Dan meskipun disebut dalam pasal-pasal lain tentang perang dan masa perang, tidak ada kewenangan khusus yang diberikan kepada cabang eksekutif dalam keadaan mendesak demikian. Constitutional Necessity Ketika aturan yang memberikan kewenangan menyangkut keadaan darurat tidak termuat dalam konstitusi, orang mencoba untuk mempertegas kewenangan darurat yang tersedia bagi pemerintah untuk menghadapi kegentingan secara khusus dalam struktur konstitusi adalah dengan beralih kepada prinsip kebutuhan ( principle of necessity ) baik sebagai sumber hokum yang berdiri sendiri atau sebagai cita-hukum ( rechtsidee ) yang menjadi sumber aturan (meta-rule) dari konstruksi konstitusi. Dalam kedua pandangan tersebut “kebutuhan ( necessity )” berlaku sebagai prinsip konstitusi yang dapat mengesahkan hal yang sebaliknya tidak sah bahkan inkonstitusional. Necessity , menciptakan hokum konstitusi yang baru dengan cara menyimpang dari, dan bertentangan dengan, norma konstitusi yang ada, atau dia membentuk konstruksi konstitusi dengan cara yang baru. Untuk melihat aplikasi necessity dan meta - rule constitutional construction ini, dapat kita lihat perkembangan jurisprudensi atau case law sebagaimana secara bertahap memberikan kewenangan dalam keadaan darurat dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, tentang kewenangan memanggil wajib militer dan kedudukan wajib militer tersebut dalam keadaan perang di bawah perintah Presiden Amerika Serikat sebagai Panglima Angkatan Perang. Pasal 2, ayat 2 Kalimat Pertama, berbunyi: “ The President shall be Commander in Chief…of the Militia of the several States, when called into the actual Service of the United States…” 203 Pada tahun 1792, Congres membuat Undang-Undang, yang memberi izin kepada Presiden memanggil milisi utuk memadamkan pemberontakan. Kewenangan ini awalnya dibatasi pada kejadian yang tidak dapat ditangani oleh Pengadilan atau Polisi dalam tugasnya. Undang-undang itu juga menyatakan bahwa hakim harus lebih dahulu menyatakan keadaan diluar kewenangan kekuasaan yang sah dan menyatakan bahwa Presiden harus memperingatkan pemberontak untuk mengakhiri kegiatannya sebelum menyatakan wajib militer. Ketika perang tahun 1812, Presiden James Madison memanggil wajib miter, tetapi Negara Bagian New England menentang perang dan kewenangan Presiden serta mengancam akan memisahkan diri. Mahkamah Agung Negara Bagian Massachuset mengeluarkan pendapat hokum yang menyatakan bahwa Gubernur atau Panglima Perang Negara Bagian mempunyai kewenangan ekslusif untuk menyatakan keadaa darurat dan memanggil milisi. Keputusan ini secara efektif diakui sebagai kewenangan veto Gubernur atas penggunaan milisi masing-masing negara bagian. Pasal 1 ayat (8) kalimat 15 dan Pasal II ayat (2) kalimat Pertama Konstitusi Amerika menyatakan secara khusus memberi kewenangan, masing-masing kepada Kongres dan Presiden, kekuasaan untuk memanggil milisi dalam tugas aktif pada Amerika Serikat. Menjawab argument kewenangan negara bagian, James Monroe menyatakan bahwa ketika milisi dipanggil untuk tugas negara (Federal) Amerika Serikat, semua kewenangan negara bagian atas milisi berakhir. Tahun 1872 Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Martin v Mott, dalam putusan yang ditulis oleh Hakim Joseph Story menyatakan, “Semua hakim MA berpendapat bahwa kewenangan untuk menentukan apakah terdapat keadaan darurat, dimiliki secara ekslusif oleh Presiden, dan keputusannya mengikat semua orang”. Kemudian tahun 1849 dalam perkara Luther v Borden, MA menyatakan bahwa bukan hanya keputusan Presiden memanggil milisi sebagai jawaban atas keadaan darurat tidak memerlukan persetujuan eksekutif negara bagian, juga keputusan Presiden demikian juga tidak tunduk pada judicial review. Tahun 1980, gubernur-gubernur negara bagian kembali menentang kewenangan Presiden tersebut, dan mengemukakan bahwa merupakan hak prerogative mereka untuk memberikan persetujuan. Sebagai akibatnya 204 Congres mengeluarkan Amendemen Montgomery yang melarang Gubernur untuk menggunakan persetujuan bagi National Guard yang bertugas di luar Amerika Serikat. Kemudian ada JR yang menyatakan bahwa Montgomery Amendment inkonstitusional, tetapi akhirnya Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan supremasi kewenangan Presiden atas operasi milisi ketika dipanggil untuk menjalani tugas negara, dan Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Gubernur negara bagian tidak dapat memveto penggunaan milisi negara bagian ketika dipanggil oleh negara sesuai dengan Kewenangan Konstitusional Kongres dan kewenangan konstitusional Presiden. Keadaan Bahaya dan Kegentingan Memaksa Kondisi Negara dalam krisis tentu wajar membutuhkan penanganan yang tidak biasa. Dikatakan bahwa instrumen mengatasi krisis jenis tertentu yang mengancam wilayah, masyarakat dan negara, membutuhkan langkah cepat dan keras, yang sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting dalam state of exigencies ( keadaan genting) __ ini menggambarkan adanya keadaan di mana hukum perlu sementara berada dalam prosedur yang tidak biasa untuk memungkinkan diambil langkah-langkah yang tidak terhambat oleh prosedur- prosedur biasa. Gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan yang mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hukum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap untuk menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat atau genting. “ Dalam hal bahaya yang mengancam akibat perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’, kerusuhan social yang berskala besar, membutuhkan kewenangan yang tidak biasa seperti yang telah disebutkan. Pernyataan genting dan memberikan kewenangan untuk mengambil langkah- langkah yang berada di luar ketentuan hukum yang biasa, menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemi, yang juga memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Oleh karena itu memang harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, yaitu kegentingan yang disebut memaksa tersebut berakhir, 205 maka berakhir juga pemberian kewenangan secara luar biasa tersebut kepada Presiden. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Dasar Pembentukan Perpu Dalam sejarah kehidupan negara kita disebutkan bahwa pada masa pemerintahan SBY, dalam masa 10 (sepuluh) tahun, Presiden SBY mengeluarkan Perpu terbanyak, dengan jumlah Perpu. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Pengertian hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut telah diperjelas oleh MK dengan merumuskan syarat-syarat yang disebut dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 sebagai dasar untuk “hal ikwal kegentingan yang memaksa” yaitu:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan. Landasan hukum yang dipergunakan untuk membentuk Perpu yang disebut seluruhnya adalah karena adanya “ kegentingan memaksa”, yang kemudian dilandaskan pada 3 (tiga) hal yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga timbul pertanyaan apakah dalam keadaan seperti ancaman dan bahaya yang timbul akibat keadaan darurat karena potensi serangan baik yang bersifat militer, dalam arti ancaman invasi kekuatan asing, ancaman pemberontakan atau pergolakan dalam negeri yang berpotensi menghancurkan kesatuan dan integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara geografis, yang berpotensi juga terhadap keutuhan wilayah dan keamanan jiwa dan raga, termasuk terhadap ancaman pandemic yang membahayakan nyawa dalam skala besar dan dampak social, politik, dan ekonomi yang luas, UUD 1945 memiliki landasan hukum lain yang boleh juga menyebabkan dipergunakannya kebijakan pemerintahan yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. 206 Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal, yang secara umum boleh dikategorikan dalam keadaan genting, yang memaksa penyelenggara pemerintahan untuk mengambil langkah-langkah yang cepat dan tidak biasa dalam kerangka memenuhi amanat konstitusi “ untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Tetapi dengan bukti angka-angka kematian yang timbul dari covid-19, apakah “ kegentingan memaksa” yang disebut dalam Pasal 22 sama dengan “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945. Tidak perlu pembuktian lebih lanjut tentang keadaan bahaya, kegentingan memaksa, state of emergency yang terjadi karena hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, termasuk dengan pernyataan WHO tentang Pandemi- Covid 19 dengan angka kematian yang tinggi dan belum ada obat yang dapat mengatasinya (sampai akhir 2020). Terlebih lagi dengan pernyataan para ahli tentang kemungkinan mutasi virus yang diprediksi secara keilmuan mengakibatkan jenis yang berbeda yang boleh jadi tidak dapat dihambat dengan suatu jenis vaccine tertetu saja. Oleh karenanya banyak langkah yang harus dilakukan secara cepat untuk perawatan dan pengobatan serta pencegahan, yang menjadi kewajiban negara secara konstitusional untuk melindungi segenap bangsa, mengakibatkan dampak beban keuangan yang sangat besar yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, pengurangan pendapatan negara, pengangguran dan kebangkrutan, dan bahkan jika tidak tertangani secara baik kemungkinan boleh jadi berkembang kearah krisis politik. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Kondisi yang terjadi sekarang, pasti memenuhi bunyi Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar !945, yang menyebut bahwa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan 3 (kondisi) yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga Presiden berhak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang. Tetapi kondisi yang dihadapi sekarang ini dalam hal Pandemi covid-19, jauh lebih besar dari sekedar kegentingan yang disebut dalam Pasal 22 UUD 1945, karena unsur ancaman dan korban yang secara riil sudah demikian besar, yang potensinya berkembang masih berlanjut, yang juga mengancam penyelenggara negara dan petugas kesehatan itu sendiri. Hal-hal ini tidak perlu terjadi dalam hal kegentingan memaksa yang diatasi dengan Perpu berdasarkan Pasal 22 UUD 1945. Oleh karena kondisi yang sedemikian besar ancaman dan bahayanya, sehingga 207 negara sebenarnya berada dalam keadaan bahaya atau darurat, maka landasan yang dipergunakan tidak cukup hanya Pasal 22 UUD 1945, seperti halnya pengalaman perjalanan Negara Republik Indonesia. Dalam keadaan bahaya yang masih mengancam seperti saat ini, Pasal 12 UUD 1945 juga seharusnya digunakan bersama-sama Pasal 22 atau mungkin lebih tepat dikaitkan dengan Pasal 22, jika kondisi ini adalah keadaan bahaya yang dimaksud. Dalam pengalaman dibawah UUD Sementara Republik Indonesia maupun UUD 1945 sebelum Dekrit Presiden 5 juli 1959, dan sebelum Perubahan tahun 1999,masing-masing kita mengenal adanya Undang-Undang Darurat dan Undang-Undang Keadaan Bahaya yang berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sesungguhnya Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, dalam pertimbangannya secara ringkas sebenarnya telah merujuk pada Pasal 12 UUD 1945, dengan menyatakan bahwa “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12UUD 1945 menjadi suatu bagian dari “kegentingan memaksa” dalam Pasal 22 UUD 1945 dengan pernyataan bahwa “pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945. Memang benar bahwa keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 dapat menyebabkan proses pembentukan undang-undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang dapat menyebabkan timbulnya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Yang menjadi pertanyaan yang harus dapat dijawab apakah norma yang dilahirkan atas dasar Perpu yang timbul sebagai bagian sistem hukum yang bersifat darurat ( state of emergency and law in crisis) yang sesungguhnya sementara mentolerir penyimpangan konstitusi, dan ketika disetujui sebagai undang-undang, menjadi masuk dalam bagian sistem hukum yang bersifat normal (state of normalcy ? Inilah sesungguhnya yang menjadi masalah utama ketika kita berbicara tentang pengujian UU Nomor 2 Tahun 2020 yang berasal dari Perpu Nomor 1 tahun 2020. Berdasarkan keadaan darurat yang menjadi dasar pembentukan Perpu sebagai law in time of crisis, yang mentolerir penyimpangan beberapa prinsip konstitusi dan rule of law, tetapi ketika mendapat persetujuan DPR menjadi undang-undang, kemudian dijadikan bagian dari sistem hukum keadaan normal? Pasti jawabannya tidak. Keadaan darurat dan law in time of crisis seperti halnya suatu constitutional 208 dictatorship , memiliki batasan waktu, ketika state of emergency telah berakhir maka law in crisis yang abnormal membutuhkan tindakan pengakhiran. Dasar Hukum Perpu Secara khusus, AB Kusuma menyebut dengan to the point, Perppu harus didasarkan pada Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945, meskipun keluar dari pakem, dan meskipun ada semantic confusion (kerancuan istilah). Dari Tahun `1945 sampai tahun 2020 Perpu yang dikeluarkan hanya didasarkan pada Pasal 22 saja, kecuali Perpu nomor 23 tahun 1959 yang didasakan pada Pasal 12 dan 22. Dari Pasal 12 dirumuskan ketentuan bahwa Presiden dapat menyatakan negara dalam keadaan bahaya dengan tingkat keadaan “darurat sispil”, atau “darurat militer atau “keadaan perang”. Dan Pasal 22 untuk memenuhi “kekosongan hukum”. Mengingat Perpu 1 Tahun 2020 mempunyai ciri “negara dalam keadaan bahaya”, maka seharusnya dipakai Pasal 12, maka Perppu harus menyatakan bahwa dasarnya Pasal 12 dan 22, harus dideklarasikan, harus berlaku untuk sementara, harus memuat apa saja kekuasaan istimewa untuk menangguhkan atau membatasi fundamental rights dan prinsip pemerintahan yang demokratis. Dan harus memuat pengawasan dari Lembaga judicial. Mengingat ketentuan itu tidak tercantum, maka dapat disimpulkan bahwa Perpu Nomor 1/2020 yang menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, inkonstitusional. Sebagai perbandingan T Ginsburg menulis di Harvard Law Review April 2020 yang menyatakan : “bila negara dalam emergency law, maka perlu diupayakan agar tidak terjadi abuse of powers dengan mengadakan _ketentuan:
Providing for legislative and judicial oversight for the executive, 2._ Limiting exceptional measures to those strictly necessary, 3. Ensuring that such powers endures only for the duration of outbreak. Nyatanya tidak ada ketentuan di dalam Perppu bahwa judiciary boleh melakukan oversight. Yang ada kebalikannya. Bahwa anggota KKSK kebal hukum dengan pernyataan bahwa: anggota KKSK tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana, serta ”segala tindakan…bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke PTUN. Dan di Perppu ada ketentuan bahwa deficit dapat melampaui 3 persen selama 3 tahun (sampai tahun 2023), padahal ada ketentuan dalam UUD bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan persetujuan DPR. Hal itu jelas melanggar konstitusi dan ada batas waktu berlakunya yang harus mendapat persetujuan DPR. Demikian pula penerbitan SUN (apalagi dengan Tenor 50 Tahun) melanggar Pasal 11 UUD. HukumTata Negara darurat bersifat dinamis. Di Belanda, nama dan istilah banyak berubah. Konsep juga 209 berubah emergency law (staatsnoodrecht ) terdiri dari Coordinatiewet Uitzonderingstoestanden Oorlogswet door Nederland, dan Wet Buitengewone Bevoegheden Burgelijk Gezag . HTN Darurat terdiri dari “limited state of emergency” , dan general state of emergency . Istilah Maria Law tidak lagi digunakan. Mungkin Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-HukumAdministrasi Negara bisa menemukan istilah, ump HTN Darurat Ringan untuk yang berdasar Pasal 22, dan HTN darurat Berat berdasarkan Pasal 12 UUD 1945. Di India, emergency provision tercantum di Pasal 352 (yang dapat menangguhkan fundamental rights) sampai Pasal 360 ( provision as financial emergency ) yang dapat menurunkan gaji ASN. Di Amerika, menurut Emergency Act 1976 Presiden memiliki “ statutory powers ”, dengan mana Presiden dapat membuat emergency law untuk hal yang dipandangnya penting, kecuali menangguhkan habeas corpus . Syaratnya Presiden harus mendeklarasikan kekuasaan apa yang akan dipergunakan dan berlaku selama satu tahun. Dapat diperpanjang berkali-kali asalkan disetujui congress . Konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 2/2020 Jo . Perpu Nomor 1/2020 Salah satu keberatan besar dalam Judicial review yang diajukan terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 adaalah Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang a quo . Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui menjadi Undang-Undang nomor 2 Tahun 2020, menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku maka “beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya, dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan Negara untuk penenganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini.” Pemberlakukan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengubah beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya yang terkait dengan kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan yang meliputi:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, 210 (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat. Ruang lingkup perubahan tersebut dapat diklassifikasi dalam 12 (dua belas) kelompok bidang regulasi, dengan diberlakukannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 secara umum, sebagai berikut: a) Bidang Perpajakan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang.
Perpanjangan batas waktu hingga dua bulan atas pengembalian kelebihan pajak;
Perpanjangan batas waktu atas penerbitan Surat Ketepan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan 16 bulan;
Perpanjangan batas waktu pengajuan keberatan sampai dengan Sembilan bulan;
Perpanjangan batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak hingga 18 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima; dan
Perpanjangan batas waktu penerbitan surat keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pembatalan hasil pemeriksaan hingga 12 bulan. b) Bidang Perbankan , yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Perppu ini memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli membeli Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang di pasar perdana. Pengaturan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia disebutkan bahwa Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang Negara, kecuali di pasar skunder. Kewenagan tersebut diberikan untuk membantu pemerintah jika pasar tidak dapat menyerap SUN dan/atau SBSN 211 yang tertebitkan pemerintah, sehingga dapat menjaga suku bunga tidak terlalu tinggi, serta untuk membantu likuiditas pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. c) Bidang Keuangan Negara , yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Perubahan pengaturan tentang batas maksimum deficit anggaran, sebagai antisipasi terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan Negara, dan peningkatan belanja Negara dan pembiayaan;
Pemerintah dapat melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi dan/atau antarprogram tanpa persetujuan DPR;
Pemberian kewenangan penuh kepada pemerintah untuk memberikan hibah kepada pemerintah daerah tanpa memerlukan persetujuan DPR;
Pemberian hibah kepada LPS sebagai kewenangan pemerintah tanpa memerlukan persetujuan DPR; dan
Penerimaan pembiayan untuk menangulangi Defisit pada APBD dengan menggunakan si LPA Tahun yang lalu masih dimungkinkan. d) Bidang Perbendaharaan Negara , yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Perubahan ketentuan ini berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (4) jo . Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur pada prinsipnya bahwa dalam keadaan darurat Pemerintah/Pemrintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggaranya, yang selanjutnya diusulkan dalan rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. e) Bidang Penjaminan Simpanan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang.
Pelebaran kriteria pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan suatu Bank; dan
LPS sekurang-kurangnya melakukan perhitungan atas perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan Bank Gagal. Apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas maka LPS dapat memperoleh pinjaman dari pemerintah. 212 f) Bidang Pertimbangan Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pengaturan sebelumnya ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN dan kemudian diatur menjadi tidak ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN;
Penetapan batasan deficit anggaran yang awalnya ada maksimum deficit menjadi tidak ada maksimum deficit. Melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Pemerintah berencana menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 sebesar Rp. 405,1 Trilyun. Konsekuensi dari naiknya belanja Negara adalah deficit APBN yang bertambah hingga 5,07% dari produk domestic bruto (PDB);
Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait sangsi berupa penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan menjadi tidak ada pengenaan sanksi; dan
Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait waktu pemberlakuan DAU. g) Bidang kesehatan , yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Ketentuan sesuai Undang-Undang Kesehatan terdapat alokasi minimal 5% untuk bidang kesehatan dari APBN sedangkan dalam Perppu dimungkinkan adanya tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 sehingga alokasi yang diberikan untuk bidang kesehatan akan lebih besar dari yang diatur oleh Undang-Undang Kesehatan dalam rangka penanggulangan pandemic Covid- 19. h) Bidang Desa, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dana yang seharusnya wajib dialokasikan untuk pembangunan desa sebesar 10% dalam Undang-Undang Desa menjadi dilakukan penyesuaian alokasi Dana Desa, antara lain berupa penyesuaian pagu anggaran Dana Desa. Hal ini terkait dengan pengutamaan penggunaan Dana Desa, yang dapat digunakan antara lain untuk bantuan langsung tunai kepada penduduk miskin di desa dan kegiatan penanganan pandemic Covid-19. i) Bidang Pemerintah Daerah, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah. 213 1) Syarat perubahan APBD dicabut sehingga dengan adanya Perppu dimungkinkan penggunaan anggaran mendahului perubahan dalam APBD. Pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran anggaran terkait penenganan Covit-19 dan dampaknya meskipun mendahului pembahasan atau pengesahan APBD-P 2020, sehingga hanya merubah Peraturan Kepala Daerah (Perkada) tentang penjabaran APBD TA 2020; dan
Kewenangan DPRD dialihkan kepada Kepala Daerah dilakukan dalam rangka percepatan penggunaan dana dari APBD untuk penanganan Covid- 19. j) Bidang Kelembagaan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Perppu ini mengatur perubahan kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 terkait perubahan APBN dapat dilakukan melalui perubahan postur dan rincian APBN sehingga tidak memerlukan persetujuan DPR. k) Bidang Pencegahan dan Penangganan Krisis Sistem Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Perubahaqn ruang lingkup pernilaian yang dilakukan oleh OJK dan Bank Indonesia sehingga mencakup Bank sistemik dan Bank selain Bank sistemik; dan 2) Tidak ada keharusan adanya agunan dalam pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah. l) Bidang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara , yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending );
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan perubahan APBN tanpa harus melakukan pembahasan bersama DPR melalui perubahan postur dan rincian APBN; 214 3) Pemerintah diberikan kewenangan untuk penggunaan atas dana-dana tersebut dalam penanganan Covid-19 tanpa memerlukan ketetapan Meteri Keuangan dan tanpa kewajiban pelaporan dalam APBN;
Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengeluarkan kewajiban baru seperti mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN-TA 2020 untuk penenganan Covid-19 yang memerlukan fleksibilitas. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang APBN harus dirubah yaitu ketentuan terkait syarat peruntukan, perlunya ketetapan Menkue tentang penggunaan SAL, Kewenangan DPR, syarat pinjaman kuantitatif, sumber dana dan penetapan tingkat kemiskinana;
Pemerintah diberikan fleksibilitas dalam melaksanaan APBN karena tidak ada target berupa angka yang ditentukan; dan
Tidak lagi diatur mengenai pelaporan dalam APBN-P tahun berjalan atau dalam LKPP, dalam hal terjadi pemberian pinjaman. Dan dalam rangka mengakomodir amanat Perppu Nomor 1 Tahun 2020, maka diperlukan peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih rinci untuk menjamin implementasi Perppu secara konsisten dan efektif. Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengamanatkan adanya peraturan pelaksanaan sebagai berikut: a) 7 (Tujuh) Peraturan Pemerintah, sesuai amanat pada Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (12), Pasal 11 ayat (7), Pasal 15 ayat (3). Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (1); b) 1 (Satu) Peraturan Presiden, sesuai amanat pada Pasal 12 ayat (2); c) 1 (Satu) Peraturan BI, sesuai amanat pada Pasal 16 ayat (2); d) 1 (Satu) Peraturan OJK, sesuai amanat pada Pasal 23 ayat (2); e) 2 (Dua) Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Bank Indonesia, sesuai amanat pada Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3); f) 7 (Tujuh) Peraturan Menteri Keuangan sesuai amanat pada Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (13), Pasal 7 ayat (7), Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 24 ayat (2); dan g) 1 (Satu) Peraturan Menteri Dalam Negeri sesuai amanat pada Pasal 3 ayat (2). Kita dapat melihat luas ruang lingkup dampak iterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dalam peraturan perundang-undangan di bidangan keuangan dan kesehatan, sehingga melahirkan keberatan yang diuatarakan dalam argument judicial review yang diajukan. Akan tetapi justru dalam keadaan darurat dan krisis 215 yang membutuhkan gerakan cepat dalam mengambil langkah-langkah untuk mengatasi keadaan krisis dan dampaknya terhadap kehidupan social, politik, ekonomi masyarakat, konstitusi memberi keleluasaan untuk mengambil langkah tersebut. Justru untuk menghadapi kondisi bahaya atau darurat dan genting demikian, konstitusi menyediakan dasar hukum bertindak untuk membentuk hukum mengatasi krisis dan keadaan darurat. Demikian juga kesan yang ditimbulkan bahwa Pasal 27 memberi impunitas pada koruptor, sesungguhnya tidak benar. Kalau dibaca secara cermat pasal 27 ayat (1) Perpu yang menyatakan bahwa para pejabat yang disebut dalam pasal tersebut, dalam rangka melaksanakan Perpu 1/2020 tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata, adalah jikalau dalam menjalankan tugasnya di dasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan merupakan amanat yang tegas, agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap Pejabat yang disebutkan jika mereka telah melakukan tugas berdasar undang-undang dan secara itikad baik. Itikad baik tersebut diartikan sebagai pelaksanaan tugas secara jujur. Ketentuan Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak pidana Korupsi merumuskan unsur melawan hukum, merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain, jika dipenuhi baru dapat dituntut kedepan peradilan. Mungkin juga pesan lain, karena selama ini, terjadi mengabaikan doktrin hukum pidana yang disebut dengan ultimum remedium __ atau hukum pidana sebagai upaya hukum terakhir maka secara tidak perlu sesungguhnya hal itu telah dituliskan. Biarlah Hukum Tata Usaha Negara dulu menyelesaikan masalah hukumnya kalau ada pelanggaran dan kalau ada kerugian yang timbul karena pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan, maka akan dituntut untuk dikembalikan secara administrasi. Pasal 27 ayat (2) adalah justru merupakan keadaan yang diperlukan untuk menghindari kemacetan karena adanya gugatan-gugatan yang mungkin diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat menghambat langkah-langkah yang memerlukan kecepatan mengatasi keadaan genting dan bahkan kadang-kadang darurat, karena adanya perintah penangguhan pelaksanaan keputusan TUN dalam Perpu yang mungkin diperintahkan Hakim. Tetapi tidak berarti hukum pidana dalam noodstaatsrecht dikesampingkan, melainkan hanya soal momentum yang diminta untuk dipahami oleh penegak hukum. Secara khusus AB. Kusuma yang mengkritisi tulisan Machfud di Jawa Pos mengecewakan, bahkan bernada “ juristerij ”, dengan menyatakan bahwa Pasal 27 216 memberikan kekebalan hukum tidak tepat,karena disitu dikatakan bahwa yang tidak bisa dituntut adalah para pejabat yang melakukan tugasnya dengan baik dan berdasar peraturan perundang-undangan. Machfud MD berpendapat bahwa soal Mens Rea dan Actus Reus adalah merupakan bidang hukum pidana bukan ranah HTN. AB. Kusuma berpendapat, Perppu adalah ranah HTN sehingga Pasal 27 dapat melindungi oknum yang akan menyalahgunakan kekuasaan dengan menyatakan “saya beriktikad baik”. Lepas dari perbedaan pandangan tersebut, dan sesungguhnya tanpa memperdebatkannya secara panjang lebar, kita dapat merujuk saja kepada kasus Menteri Sosial dan beberapa pejabat lain serta pengusaha yang berkolusi telah ditangkap, ditahan dan diajukan kedepan persidangan pengadilan dengan tuduhan korupsi. Hal ini menjadi bukti kongkrit bahwa tidak terjadi impunitas. Jenis Perpu yang Tidak Dikenal Perbedaannya Kami menyetujui pandangan Jimly Asshidiqie yang menyatakan perlunya dibedakan Perpu yang dimaksudkan sebagai aturan Undang-Undang yang akan berlaku selanjutnya setelah disetujui oleh DPR sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22 ayat (2) dan (3) yang mewajibkan Perpu disampaikan kepada DPR pada persidangan berikut untuk mendapat persetujuan, dan adanya kemungkinan Perpu tidak disetujui sehingga Perpu harus dicabut. Ini adalah bagian dari pengawasan DPR, yang sesungguhnya dalam masa darurat juga berlaku ketika kewenangan Presiden dalam keadaan bahaya dan darurat itu dipergunakan. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 adalah bagian pengawasan. Tetapi ketika seperti disebutkan agar Perpu No. 1 Tahun 2020 ini jangan dulu diajukan ke DPR dan dicari kesepakatan untuk tidak dibahas, maka potensi Presiden melanggar konstitusi menjadi terbuka, kalau dengan sengaja tidak mengajukan Perpu ke DPR dalam sidang berikut, sebagai bagian kewenangan konstitusional DPR dalam pengawasan. Memang Perpu sederajat dengan Undang-undang, dan boleh mengatur segala bidang yang diatur dengan undang-undang, asal saja memenuhi syarat “kegentingan yang memaksa”,yang tidak diartikan sekedar sebagai adanya undang- undang Darurat, tetapi selain keadaan mendesak dan segera, Perpu diadakan untuk penyelenggaraan pemerintahan secara luas yaitu seluruh penyelenggara negara atau terbatas pada penyelenggaraan administrasi negara. Cakupan yang luas dalam sejarah tatanegara kita berdasar pengalaman UUDS 1950 pernah dibuat Undang-Undang Darurat DRT No. 7 Tahun 1955 menyangkut Tindak Pidana Ekonomi, yang juga memuat hokum formil maupun hokum materiil. Pembatasan 217 waktu sesungguhnya terkandung dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, yaitu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Pengertian sidang berikut, diartikan sesuai dengan pembagian masa sidang dalam setahun, sehingga ketika Perpu dibentuk, maka sidang setelah terbitnya Perpu merupakan time frame bahwa Perpu harus diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan atau tidak.Persoalan, bagaimana jikalau Perpu tidak diajukan ke DPR pada sidang berikutnya ? Sudah barang tentu terdapat masalah konstitusi dalam hal ini, yang merupakan kegagalan memenuhi amanat konstitusi dalam Pasal 22 ayat (2). Bagir Manan menyatakan bahwa Perpu yang tidak diajukan ke DPR pada masa sidang berikut, harus dianggap tidak mempunyai kekuatan berlaku yang disebut dalam UUD, sebagai pemahaman yang tidak berlaku lagi karena melampaui waktu, yang sangat penting untuk mencegah mempermanenkan kedaruratan yang merupakan pembenaran penyimpangan dari suatu sistem normal. Dikatakan lebih jauh lagi, bahwa DPR juga harus mengambil inisiatif agar Perpu diajukan ke DPR untuk memenuhi kewenangan konstitusional DPR dalam bidang pengawasan. Tetapi dengan melihat pembedaan yang diperlukan tentang Perpu yang didasarkan pada Pasal 22 UUD 1945 dengan Perpu yang didasarkan pada Pasal 12 UUD 1945, justru menjadi persoalan apakah Perpu itu harus disahkan menjadi undang-undang sehingga menjadi bagian dari sistem hukum dalam kondisi normal, atau seharusnya dengan berlalunya suatu waktu tertentu ancaman bahaya telah berlalu, Perpu tersebut sebagai hukum dalam kondisi abnormal-darurat atau keadaan bahaya - harus dicabut dan tidak memasuki sistem hukum yang normal. Ini berarti bahwa dalam Perpu tersebut harus dimuat masa berlaku, yang merujuk pada waktu tertentu atau berakhirnya “bahaya” yang menjadi dasar dikeluarkannya Perpu. Pandangan ini memiliki alasan yang masuk akal, jika kita berpendapat bahwa Perpu yang dibentuk atas dasar Pasal 22 UUD 1945 tidak dibedakan dengan Perpu yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam keadaan Bahaya. Output Pasal 12 boleh jadi adalah Undang Undang Darurat seperti disebut dalam kalimat kedua pasal tersebut. Tetapi ketika kita membaca sejarah pengaturan konstitusi kita sejak Konstitusi RIS dan IS sebelum merdeka yang mengacu pada “bahaya” yang disebut dalam literatur dan perbandingan hokum, sesungguhnya “bahaya” merupakan salah satu keadaan yang menimbulkan “kegentingan memaksa dan kedaruratan”, yang mencakup perang, ancaman pemberontakan, pengepungan, bencana alam, yang menghendaki tindakan cepat untuk melindungi warganegara dan keutuhan negara 218 serta eksistensinya . Kalimat “Hal ikhwal kegentingan memaksa” adalah suatu hal ihkwal yang mencakup seluruh keadaan yang disebut dalam Pasal 12, UUD 1945, serta diterjemahkan dalam UU 23 Tahun 1959 yang merupakan penyesuaian dari UU Nomor 74 Tahun 1957 dari dasar konstitusi yang berbeda. Oleh karenanya output Pasal 12 sebagai kewenangan Presiden tidak mungkin berbentuk undang- undang, terutama karena kewenangan legislatif merupakan hak DPR dan kewenangan mengajukan RUU untuk dibahas bersama, outputnya adalah Undang- Undang sebagai hasil persetujuan bersama. Dalam hal Undang-Undang Dasar 1945, kondisi bahaya dalam Pasal 12 terlupakan dimuat sebagai dasar, maka jenis Produk dalam state of emergency tetap adalah Perpu, yang materi muatannya adalah materi muatan undang-undang. Oleh karenanya, untuk mencegah kekacauan yang mungkin timbul karena kekurangan dasar hokum yang tepat dan mencegah adanya keberlakuan Pasal 22 tentang jangka waktu pengajuan ke DPR pada sidang berikut yang jika tidak dipenuhi, menyebabkan Perpu tidak memiliki kekuatan hokum lagi (meskipun pendapat tersebut masih perlu diperdebatkan), maka Perpu jenis kewenangan darurat (emergency power) Presiden, tetap diajukan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan, karena akibat hokum tidak menyetujui atau menyetujui dapat menimbulkan komplikasi karena suatu kedaruratan, tetapi secara jelas dan tegas harus memuat batasan waktu atau berlaku sampai kedaruaratan telah berakhir. Perpu ex Pasal 22 jika disetujui DPR dalam sidang berikut menjadi undang-undang, akan berakibat undang-undang tersebut akan berlaku secara permanen. Tetapi bagaimana untuk menerimanya sebagai suatu Perpu in sui generis , yang unik dan hal ikhwal kegentingan memaksa secara inherent mengandung keadaan bahaya dan kedaruratan sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945. Interpretasi dalam bentuk konstitusionalitas bersyarat yang telah menjadi kewenangan negative legislation yang kemudian dalam keadaan genting boleh bergerak kearah positive legislation sesuai dengan jurisprudensi MK, dapat memberikan beberapa syarat terhadap norma yang dipermasalahkan sehingga dimaknai dalam batasan-batasan yang dikenal dalam konstruksi konstitusional dan constitutional necessity sebagai meta-rules . Kesimpulan Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut ini: 219 1. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 sebagai hasil persetujuan DPR terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020, memenuhi syarat konstitusionalitas yang disebut dalam UUD 1945 tentang kegentingan yang memaksa dan keadaan bahaya;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam UUD 1945 sesungguhnya harus dibedakan antara Perpu berdasar Pasal 12 UUD 1945 yang dikeluarkan dalam “keadaan bahaya sebagai kegentingan memaksa” yang harus diajukan ke DPR pada sidang berikut untuk memperoleh persetujuan, dan Perpu yang tidak disetujui harus dicabut;
Bahwa Perpu yang boleh lahir atas dasar Pasal 12 UUD 1945, adalah Perpu yang lahir karena adanya keadaan bahaya, sebagai suatu keadaan yang dinyatakan oleh Presiden, dan boleh diikuti oleh lahirnya Perpu sebagai kekuasaan yang diberikan mengatasi keadaan bahaya yang timbul yang mengancam keselamatan rakyat, mengancam keadaan sosial ekonomi secara umum yang dapat juga menimbulkan krisis disegala bidang yang mengancam eksistensi negara, sebagai bagian dari kegentingan memaksa dalam Pasal 22 UUD 1945;
Kegentingan memaksa dengan 3 kriteria yang dirumuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dapat merupakan dasar bagi mengeluarkan Perpu atas dasar Pasal 22 UUD 1945, tetapi tidak cukup untuk mengeluarkan Perpu berdasar Pasal 22, ketika ancaman dan bahaya yang timbul jelas sedemikian rupa sehingga kematian, kebangkrutan, krisis multi dimensi yang dapat mengancam eksistensi negara negara sendiri, yang jauh lebih ekstrim dari “keadaan yang genting” yang memaksa Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang.
Undang-Undang yang menjabarkan keadaan bahaya yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, harus dibentuk oleh Pembuat Undang-Undang, sehingga ketika timbul keadaan bahaya yang disebut Pasal 12 UUD 1945 dapat diketahui secara sama ukuran-ukuran yang dipergunakan menanggulangi keadaan bahaya, sesuai dengan tingkat bahaya yang dihadapi;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus 220 Disease (Covid 19) adalah konstitusional sepanjang dimaknai bahwa Undang-Undang tersebut berlaku sampai dengan berakhirnya Pandemi Covid berdasar pernyataan Pemerintah.
Dr. Muhamad Chatib Basri, S.E., M.Ec. • Ahli menyampaikan paparan mengenai peran APBN dalam pemulihan ekonomi. Isu yang dibahas ada tiga hal. Pertama adalah bagaimana dampak Covid-19 bagi perekonomian dunia? Kedua adalah bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia? Ketiga , mengapa fiskal stimulus atau pelebaran defisit itu dibutuhkan untuk mengatasi situasi ini. • Bahwa bagaimana penyebaran Covid-19 terus mengalami eskalasi kenaikan masih tinggi secara global dan juga terjadi di Indonesia. Jika Ahli menggunakan angka maka setiap hari berubah, per 14 Februari, 109.400.000 orang yang terkena dampak dari Covid-19 di 218 negara. Dengan tingkat kematian 2.300.00 orang. • Bahwa dari sini saja kita bisa melihat bagaimana yang terjadi di dalam pandemi ini adalah sesuatu yang luar biasa, tingkat kematian yang luar biasa, jumlah infected cases atau mereka yang tertular yang jumlahnya luar biasa dan kasus ini terus meningkat. • Bahwa jika mengikuti berita pada beberapa waktu terakhir ini kita mulai melihat bahwa gelombang ketiga terjadi di India. Di mana kasus dari i nfected cases meningkat begitu tajam. Hal yang sama terjadi juga di beberapa negara Eropa dan bahkan di dalam beberapa hari terakhir kita mulai melihat di beberapa negara tetangga kita seperti Filipina, Malaysia, Thailand bahwa peningkatan kasus terjadi. Kita berharap bahwa mudah-mudahan gelombang ketiga tidak terjadi di Indonesia, tetapi kita harus tetap waspada. • Bahwa akibat dari Pandemi Covid-19 ini, maka pemerintah berbagai negara harus mengambil tindakan yang di luar normal atau di luar kebiasaan. Mengapa itu harus dilakukan? Karena cara untuk mengatasi pandemi adalah meminta agar orang menghindari kerumunan, menghindari aktifitas, atau menjaga jarak. Yang kita kenal di sini dengan nama pada waktu bulan Maret tahun lalu adalah PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar). Di berbagai negara lain ini dijalankan dalam bentuk yang disebut sebagai lockdown . • Bahwa implikasi dari lockdown adalah meminta orang untuk tinggal di rumah. Padahal kita tahu esensi dari aktifitas ekonomi adalah aktifitas pasar 221 dan pasar per definisi adalah tempat bertemunya orang untuk mempertukarkan barang dan jasa, baik secara fisik maupun secara virtual. Tetapi di dalam kasus ini karena orang diminta untuk tidak berinteraksi, maka aktifitas pasar kolaps di seluruh dunia. Kecuali yang bisa dilakukan secara virtual. Itu sebabnya, pada pagi hari ini pun kita melakukan sidang secara virtual. • Bahwa yang menarik untuk diamati adalah dengan dampak yang sebegitu besar ternyata Indonesia relatif mampu, saya mengatakan relatif karena kontraksi ekonomi tetap terjadi, relatif mampu menghadapi situasi pandemi ini di dalam konteks ekonomi dengan lumayan. Karena apa? Karena kinerja kita tidak sebaik Vietnam yang membukukan pertumbuhan positif 2,9% di tahun 2020, atau seperti Tiongkok yang punya pertumbuhan positif 2,3%, atau Korea Selatan yang -,1%. • Bahwa pertumbuhan kita tahun lalu negatif 2,1%. Kita mengalami kontraksi 2,1%. Tetapi kalau kita melihat bahwa 2,1% ini relatif lebih baik dibandingkan dengan apa yang terjadi di Rusia, Amerika, Jerman, Malaysia, Singapura, dan sebagainya. Bahwa yang dilakukan di sini, yang pertama adalah karena Indonesia tidak melakukan lockdown secara ketat seperti yang dilakukan di beberapa negara. Kecuali di dalam kasus Tiongkok dan Vietnam, mereka melakukan lockdown secara ketat dan mampu mengatasi pandemi dalam waktu singkat. Di dalam kasus kita, kita melakukan PSBB, tidak seketat di negara lain, tetapi pandeminya agak berlangsung lama. Nah, sekarang kita bisa melihat bahwa misalnya Singapura dengan pengetatan yang dilakukan, recovery ekonominya mungkin relatif lebih cepat. Tetapi Ahli mengatakan bahwa tahun 2020, kinerja kita sebetulnya relatif lumayan. • Pertanyaannya adalah apa yang menjelaskan ini, ya, selain tadi faktor mengenai penerapan PSBB? Penjelasannya adalah kebijakan atau respons dari pemerintah, salah satunya melalui fiskal stimulus. • Bahwa pertanyaan paling penting adalah bagaimana dampak Covid ini terhadap Indonesia? Ahli mencoba menggunakan data untuk membandingkan kondisi pra-Covid dengan kondisi Covid. Jadi, sebagai batas Januari 2020 sebelum Covid terjadi, Ahli anggap sebagai kondisi pra- Covid, dimana basisnya Ahli nyatakan sebagai 100. Jika angkanya di bawah 100, berarti kondisinya lebih buruk dibandingkan dengan kondisi pra-Covid. 222 Tetapi bila angkanya di atas 100, maka kondisi Covidnya lebih baik dibandingkan dengan kondisi pra-Covid. • Siapa yang paling terpukul akibat dari pandemi Covid? mereka adalah sektor informal. Pendapatan mereka turun 30%. Bagaimana dengan wirausaha? Pendapatannya turun 15%. Sedangkan pekerja tetap dengan gaji atau pekerja dengan gaji tetap, hampir tidak terdampak, kecuali kalau mereka kehilangan pekerjaan. • Bahwa yang terpukul paling berat adalah mereka yang berada di sektor informal. Siapa itu yang berada di sektor informal? Kelompok yang rentan, pendapatan menengah bawah, perempuan, dan anak-anak. Itulah sebabnya di berbagai media pada waktu pendemi mulai terjadi, Ahli mengatakan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan bantuan langsung tunai atau cash transfer. Karena di dalam kondisi ini, kita tidak mungkin memberikan pekerjaan karena PSBB ( lockdown ). Yang bisa dilakukan adalah mengompensasi ketika orang tinggal di rumah ( people are paid to stay at home ). Apa akibatnya? Tingkat pengangguran terbuka, naik dari 5,28% menjadi 7,07%. Tingkat kemiskinan naik dari 9,22% menjadi 10,19%. Ahli ingin menyatakan satu hal di sini, Pengangguran di Indonesia, itu adalah barang mewah. Hanya orang kaya yang bisa menganggur. Kalau orang itu miskin, maka dia harus bekerja, bekerja apa saja. Bila tidak, dia tidak bisa makan. Maka Ahli bisa mengatakan, walaupun pengangguran terbukanya naik hanya dari 5,28% kepada 7,07%, tetapi sebetulnya dampak riilnya mungkin jauh lebih besar. Karena orang yang miskin kalau dia tidak ada pendapatan, dia akan meninggal. Maka, yang dia lakukan adalah pekerjaan apa saja, asal bisa hidup. Akibatnya, datanya tidak ada di sini. • Bahwa sektor informal itu meningkat karena orang itu bekerja apa saja, istilahnya poor to be unemployed . Jadi, angka kita 7,07% itu masih dalam relatif sebetulnya angka yang sangat konservatif karena definisi yang kita punya. Angka kemiskinan yang 10,19% sedikit-banyak, hal tersebut terbantu karena program dari BLT atau cash transfer dan perlindungan sosial yang dilakukan pemerintah. • Bahwa rasio dari tabungan terhadap pendapatan untuk kelompok yang pengeluaraannya di bawah Rp4.000.000,00 mengalami penurunan. Ini 223 memperkuat argumen Ahli bahwa yang terukur dengan pandemi adalah kelompok menengah bawah. • Bahwa yang menarik adalah melihat kelompok pendapatan di atas Rp5.000.000,00, rasio dari tabungan terhadap total pendapatannya meningkat. Kelompok menengah atas atau kelompok atas justru tabungannya meningkat. Mengapa ini terjadi? Karena di dalam porsi konsumsi, orang ketika pendapatannya rendah, dia akan fokus membelanjakan pendapatannya pada kebutuhan pokok ( essential goods ), sedangkan meraka yang relatif kaya, porsi dari makanan itu relatif rendah. Karena orang kalau dia makan tiga kali sehari, bukan berarti kalau kemudian dia menjadi kaya, dia makan 12 kali sehari. • Bahwa di dalam pandemi menengah atas hanya membelanjakan kebutuhan esensialnya karena dia tidak membutuhkan jas, dia tidak membutuhkan pakaian kantor karena dia bekerja di rumah, dia tidak membutuhkan tas kantor, akibatnya tabungannya meningkat. Jadi, kita bisa melihat, bahwa dampak dari pandemi ini adalah akan munculnya ketimpangan pendapatan. • Bahwa dari segi pertumbuhan PDB, sebetulnya Indonesia sudah mencapai titik pertumbuhan terendah pada triwulan II tahun 2020 ketika pertumbuhan kita minus 5,3%. Setelah itu, masih mengalami kontraksi, tetapi kontraksinya lebih kecil, minus 3,49%, minus 2,19%. Perkiraan Ahli adalah di dalam triwulan I 2021 kita mungkin masih mengalami kontraksi minus 0,5%. Dan baru akan positif pada triwulan II tahun 2021. • Bahwa pertanyaannya adalah mengapa Indonesia mampu melalukan pembalikan atau turneral pada triwulan III. Jadi, triwulan II terburuk, kemudian triwulan III meningkat? Bahwa seluruh komponen di dalam produk domestik bruto mengalami pertumbuhan negatif, konsumsi rumah tangga, investasi ekspor-impor, kecuali konsumsi pemerintah pada triwulan III. Kita bisa melihat di sini bahwa konsumsi pemerintah mengalami peningkatan. Inilah yang menjelaskan mengapa ekonomi kita bisa mengalami turneral. Jadi, dari grafik ini Ahli mengatakan bahwa fiskal stimulus yang dilakukan pemerintah telah memberikan dampak sedikitnya memitigasi dampak dari pandemi ini. Inilah alasan mengapa fiskal stimulus perlu dilakukan. • Bahwa baik kelompok pendapatan atas, menengah, maupun bawah, di dalam frekuensi belanja sudah kembali di atas normal. Dan ini kondisinya 224 membaik setelah triwulan III tahun 2020. Jadi, kembali lagi efek dari bantuan sosial dari fiskal stimulus itu memberikan dampak frekuensi belanja sudah kembali normal. • Bahwa Ahli bicara frekuensi. Artinya, orang sering belanja, tetapi yang dibelanjakan nilainya sedikit. Bahwa yang nilai belanjanya sudah di atas normal, 100 adalah kondisi pra-Covid, di atas kondisi normal, itu adalah kelompok menengah bawah. Kenapa? Karena mereka harus mengonsumsi essential goods, makanan, aktivitas sehari-hari. Tetapi belanja dari kelompok menengah atas atau kelompok atas itu masih di bawah kondisi prapandemi. Mengapa itu terjadi? Di dalam kelompok menengah bawah, mereka mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Ini yang mendorong pendapatannya mengalami peningkatan, spending -nya mengalami peningkatan. • Bagaimana dengan kelompok menengah atas? Mereka tidak dapat bantuan sosial, tetapi mereka punya tabungan. Tapi mengapa konsumsinya hal tersebut tidak kembali kepada kondisi prapandemi? Penjelasannya sederhana, porsi terbesar dari kelompok atas, adalah traveling, hal tersebut adalah entertainment, lecteur, kita bisa mengecek di sosial media, di Intagram, di Facebook, di mana-mana bahwa ciri dari identitas dari kelas menengah atas adalah perjalanannya, entah ke luar negeri atau makan di restoran, aktivitas itu tidak bisa dilakukan sekarang. Itu yang menjelaskan bahwa belanja dari kelas menengah atas masih di bawah normal. • Bahwa yang terjadi program dari stimulus viskal berhasil mendorong belanja dari kelompok menengah bawah, tetapi tidak menengah atas. Dan masuk akal karena belanja atau konsumsi menengah atas akan tergantung dari kemamupuan pemerintah mengatasi pandemi karena konsumsi mereka itu berkaitan dengan mobilitas, traveling , entertainment , lecteur yang aktivitasnya terganggu, misalnya seperti bioskop, café, dan segala macam akibat pandemi. • Apa yang akan terjadi jika kemudian aktivitas ekonomi mengalami penurunan dengan kontraksi yang terjadi? Logikanya sederhana, jika aktivitas ekonomi menurun, maka return, atau imbal, atau balas jasa dari aktivitas sektor itu juga akan mengalami pertumbuhan negatif. Perusahaan mengalami kerugian. Kalau perusahaan mengalami kerugian, maka dia 225 berisiko tidak bisa membayar kreditnya kepada perbankan. Maka meningkatlah yang disebut sebagai non-performing loan. Di dalam konteks ini, OJK melakukan kebijakan dengan merelaksasi dimana kalau kolektibilitasnya satu dan dua tidak dianggap sebagai NPL. Tapi kebijakan ini suatu hari akan berakhir. Ketika tahun 2020 akan berakhir, kita akan melihat mengenai risiko dari kredit macet yang riil pada tahun depan. Karena direksasinya berakhir, pada saat itu kalau sektor perbankan, tidak mendapatkan support, maka ada risiko stabilitas sektor keuangan dan ciri dari sektor keuangan adalah dia bergerak berbadasarkan yang disebut sebagai animal spirit. Jika orang khawatir bahwa satu bank mengalami persoalan, maka kemudian ada risiko kekhawatiran bahwa terjadi rush dan segala macam tergantung dari interconnected-nya. Ahli tidak akan bicara terlalu jauh, tetapi Ahli ingin mengatakan bahwa risiko di sektor keuangan itu ada, di dalam respons kebijakan apa yang dilakukan? Pemerintah dengan dengan dikeluarkan perppu tahun 2020 yang kemudian menjadi Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2020 memfokuskan kepada tiga hal. Yang pertama adalah alokasi belanja untuk kesehatan. Yang kedua adalah alokasi belanja untuk bantuan sosial. Yang ketiga adalah dukungan untuk UMKM karena seperti yang Ahli katakan tadi sektor informal UMKM terpukul. Ini yang kemudian dimunculkan di dalam program yang disebut sebagai program N. Ini adalah bagian dari fiskal stimulus, akibat dari kebijakan yang dilakukan untuk menambah alokasi belanja di dalam sektor kesehatan di dalam perlindungan sosial, memberikan BLT dan segala macam, restrukturisasi di dalam UMKM. • Bahwa Ahli belum bicara mengenai tahun 2021 dimana bantuannya diperluas kepada korporasi dan segala macam, maka defisitnya itu harus yang bisa, mau tidak mau akan terjadi melampaui batas defisit 3% yang dinyatakan di dalam undang-undang. Oleh sebab itu, jika pemerintah tetap menetapkan defisitnya hanya 3% pada tahun 2020, maka tidak ada ruang bagi pemerintah untuk melakukan fiskal stimulus. • Bahwa kita bisa membayangkan apa yang terjadi jika tidak ada fiskal stimulus, maka pembalikan ekonomi atau economic turneral tidak akan terjadi pada triwulan ketiga. Mungkin pada saat ini, kita akan berada dalam situasi yang lebih parah. Karena itu, Ahli mengatakan bahwa di dalam situasi 226 yang genting seperti itu, maka batas defisit 3% harus diperlebar. Ahli ingin menunjukkan bahwa hal ini perlu dilakukan untuk menolong kelompok menengah ke bawah, untuk belanja kesehatan, dan juga UMKM. • Bahwa pemulihan ekonomi di sini totalnya Rp579,78 triliun realisasinya 83,4%. Bahwa yang paling besar itu adalah bantuan sosial Rp220,4 triliun, dukungan UMKM Rp112,4 triliun, dan kemudian diikuti oleh kesehatan, pembiayaan korporasi realisasinya Rp60,7 triliun, belum terlalu meningkat insentif dunia usaha. Ekspansi belanja perlindungan sosial secara tunai termasuk PKH, insentif kartu praperja, bansos tunai, sembako, pengeluaran konsumsi pemerintah termasuk bantuan UMKM, belanja pegawai, belanja barang operasional, bantuan pemerintah, dan belanja modal termasuk pembangun sarpras kesehatan, pengadaan tanah PSN, dan pengadaan peralatan hankam, dan pembangunan irigasi. • Bahwa Indonesia adalah negara bukan produsen vaksin. Kemampuan Indonesia memulihkan ekonomi akan sangat tergantung dari kemampuan kita mengatasi pandemi. Karena porsi terbesar dari belanja masyarakat adalah yang menengah atas. Menengah atas tidak mau belanja selama pandeminya masih ada. Mereka tidak ada mobilitas. Karena itu, solusinya hanya dua hal kita mengembalikan mobilitas. Caranya adalah satu, dengan menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Kedua, vaksin. • Bahwa jika kita memiliki disiplin seperti yang ada di China, Vietnam, Singapura, maka mungkin role dari vaksin tidak sepenting yang kita hadapi sekarang. Lihat bagaimana negara seperti Australia proses vaksinnya relatif lambat karena mereka mempu membuat kasusnya sangat kecil, Singapura zero cases sekarang, proses vaksinnya bisa lambat. Tetapi dalam kasus di Indonesia protokol kesehatan enforcement-nya masih sangat sulit, maka hal tersebut akan sangat tergantung kepada vaksin. Di dalam konteks vaksin, Indonesia adalah 10 besar negara dengan vaksin tertinggi, di antara negara non-produsen, kita empat besar. • Bahwa ada persoalan sekarang karena ada risiko dari gelombang ketiga, maka semua negara mengatakan mereka tidak lagi mau mengekspor vaksinnya karena untuk mengantisipasi kebutuhan domestiknya. Di dalam konteks ini, maka ada persoalan, kalau persediaan vaksin terbatas, maka pemulihan ekonomi juga akan terbatas. Karena itulah role dari fiskal stimulus 227 menjadi sangat penting untuk memastikan, untuk men-secure bahwa vaksinnya ada. • Bahwa Ahli menunjukkan kalau berbicara mengenai fiskal defisit, sebetulnya angka 6,1%, buat Indonesia hal tersebut relatif kecil, dibandingkan dengan Filipina 7,6%, China apalagi bila dibandingkan dengan Australia 10,6%, Singapura 13,9%, dan Amerika 15,2% dari GDP. • Ahli sebagai ekonom, seringkali mengadakan semacam webinar dengan investor. Pertanyaan mereka yang selalu muncul adalah apakah Anda yakin cukup 6,1%? Karena yang dibutuhkan adalah stimulus di dalam skala yang masif. Lima dari fiscal policy . Di seluruh dunia pada tahun 2020 adalah whatever it takes, lakukan apapun yang harus dilakukan agar penyelamatan nyawa dan penyelamatan ekonomi bisa terjadi. • Bahwa Joe Biden dengan programnya mengeluarkan US$1,9 triliun, Singapura dengan program fiskal stimulusnya, Indonesia 6,1% relatif kecil. • Bahwa pertanyaannya adalah mengapa kita perlu ekspansi fiskal? Ini adalah sesuatu yang dilakukan secara teknis, sebuah simulasi di dalam modeling. • Bahwa ada dua pilihan di sini, apakah pemerintah pertama kali harus mendorong produksi investasi? Karena logikanya kalau produksi berjalan, investasi naik, kemudian perusahaan akan hire tenaga kerja, orang dapat income , kemudian bisa belanja. Atau yang harus diberikan pertama adalah mendorong konsumsi. Dikasih uang orang belanja, kemudian ada belanja, ada permintaan, maka ketika ada permintaan, perusahaan merespons. • Bahwa dari simulasi yang Ahli lakukan, jika investasi dinaikkan, maka konsumsi rumah tangga itu akan naik. Tetapi bila orang diberikan uang dalam bentuk cash transfer , maka diapun melakukan belanja, maka investasi akan merespons. • Bahwa tingkat bunga dari Bank Indonesia sudah diturunkan, mungkin terendah di dalam sejarah kita, tetapi investasi tidak naik. Mengapa investasi tidak naik? Jadi sudah dapat kredit, tetapi tidak diambil. Mengapa ini dilakukan oleh perusahaan? Mereka mengatakan, “Untuk apa saya ambil uangnya kalau yang beli barang saya enggak ada.” Saya produksi barang dan berakhir sebagai stok. Stok itu adalah cost . Saya butuh gudang, saya butuh apa-apa, yang beli enggak ada. Akibatnya yang menjelaskan kenapa pertumbuhan kredit mengalami penurunan karena permintaannya tidak ada. 228 Karena itu, yang pertama kali harus dilakukan di dalam pemulihan ekonomi itu adalah fiskal stimulus sebagai pengungkit. Caranya dengan memperluas BLT kelas menengah bawah. Bahkan Ahli mengatakan bahwa perluasannya harus lebih besar lagi sebetulnya. Kita enggak tidak bicara mengenai 600.000 tetapi mungkin kita harus bicara dengan angka yang relatif sedikit lebih tinggi walaupun harus selalu berada di bawah upah minimum. Karena kalau BLT-nya sebesar upah minimum, maka orang tidak kerja, dia hanya akan tinggal di rumah menjadi pemalas. Tetapi mungkin bisa diperluas. • Bahwa yang kedua adalah program kesehatan. Kita hanya bisa mengatasi pandemi kalau vaksin gratis. Mungkin kita harus bicara mengenai PCR yang mungkin masih relatif mahal, ini yang harus kita pikirkan. Kalau permintaan sudah ada, baru kita bicara mengenai penjaminan kredit, program yang dilakukan oleh pemerintah sekarang, subsidi bunga, dan sebagainya.
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum. Sehubungan dengan permohonan Pengujian UU No. 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perkenankan Ahli mengemukakan hal-hal berikut sesuai dengan latar belakang keilmuan yang Ahli miliki. Semoga keterangan yang Ahli sampaikan bisa menjadi sumbangan pemikiran yang kiranya - jika diperlukan - bisa menjadi masukan dalam persidangan ini. Keterangan Ahli yang penulis sampaikan ini terdiri dari 3 (tiga) bagian sesuai dengan permintaan Keterangan Ahli yang disampaikan kepada Ahli melalui Surat Kepala Biro Advokasi Kementerian Keuangan RI No. S- 212/SJ.4/2020 tertanggal 03 Desember 2020 perihal Permohonan Sebagai Ahli Pemerintah Dalam Rangka Pengujian UU No. 2 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut:
. Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perppu;
. Wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi 229 akibat pandemi Covid-19; dan
. Penjelasan perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. Pertama, Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perppu. Norma-norma konstitusional dalam UUD Negara RI 1945 disusun untuk dilaksanakan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan negara dalam keadaan stabil/normal. Hal yang sama juga berlaku untuk pengaturan yang terdapat dalam norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrecht ) yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta implementasinya dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dalam keadaan negara yang stabil/normal. Kehidupan kenegaraan yang dinamis dan berbagai permasalahan sosial, politik, hukum, kesehatan, serta berbagai faktor dalam kehidupan bangsa dan negara bisa saja menyebabkan terjadinya keadaan krisis atau darurat ( extra-ordinary ), yang kiranya harus dihadapi/ditangani juga dengan cara-cara yang bersifat darurat ( extra-ordinary ). Hal itulah yang menjadi pertimbangan bagi pembentuk UUD Negara RI 1945 mengatur kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Sehubungan dengan Perppu, Pasal 22 UUD Negara RI 1945 mengatur bahwa:
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang- undang;
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; dan
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Pasal 11 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana telah diubah melalui UU No. 15 Tahun 2019 mengatur bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Pasal 1 angka 4 UU No. 12 Tahun 2011 juga mendefinisikan bahwa Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. 230 Kewenangan pembentukan Perppu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter obyektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Parameter obyektif untuk penggunaan kewenangan diskresi konstitusional tersebut pernah diberikan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 138/PUU-VII/2009, yang terdiri dari:
. Karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
. Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan
. Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarkan kegiatan negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat itu pada hakikatnya merupakan “martial law” atau “emergency legislation”. Jika dipandang dari segi isinya peraturan tersebut merupakan legislative act atau Undang-undang, tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk membahasnya bersama- sama dengan parlemen (DPR). Presiden selaku kepala pemerintahan ( the chief of executive ) menetapkannya secara sepihak didasarkan atas pertimbangan subyektif dan obyektif tanpa didahului oleh persetujuan parlemen (DPR) yaitu dalam bentuk peraturan khusus yang disebut “ martial law ”, “ emergency law ”, atau “ emergency legislation ”. Perppu ditetapkan sehubungan dengan adanya keadaan genting yang memaksa. Pengertian “kegentingan yang memaksa” sebagai suatu keadaan darurat dan tidak hanya terbatas pada ancaman bahaya atas keamanan, keutuhan negara, atau ketertiban umum. Dalam prakteknya dapat dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa, misalnya krisis di bidang ekonomi, bencana alam, ataupun keadaan yang memerlukan pengaturan lain setingkat Undang-undang. Jadi, pangertian “hal ihwal kegentingan yang memaksa” bukan hanya dimaknai sebagai keadaan mendesak, tetapi dapat 231 diartikan lebih luas dari sekedar keadaan bahaya (Jimly Asshiddiqie, Pokok- Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, hal. 355). Bahkan, jika mengacu S.E Viner, yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, ukuran untuk menetapkan Perppu juga lebih longgar, karena walaupun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, sudah memenuhi syarat untuk dapat ditempuh dengan penerbitan Perppu sebagai landasan hukum. S.E Viner membedakan keadaan darurat ke dalam (3) tiga kategori yaitu:
Keadaan darurat karena perang ( State of War , atau State of Defence ), yaitu keadaan perang bersenjata;
Keadaan darurat karena ketegangan ( State of Tension ) termasuk pengertian bencana alam ataupun ketegangan sosial karena peristiwa politik;
Keadaan darurat karena kepentingan internal pemerintahan yang memaksa ( innere notstand ). Meskipun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, maka, sudah dapat dilakukan penerbitan Perppu sebagai landasan hukum. Ditinjau dari perspektif teori Hukum Administrasi Negara, konsep mengenai diskresi tersebut jika mengacu pada pendapat NM. Spelt dan JBJM Ten Berge dalam buku “ Inleiding Het Vergunningsrecht ”, diskresi ( freies ermessen ) pemerintah dibedakan menjadi 2 (dua) kategori kebebasan, yaitu: kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ). Kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) terdapat manakala peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, namun organ pemerintah tersebut bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakannya, meskipun pada kondisi tertentu syarat-syarat penggunaannya telah terpenuhi secara sah. Sedangkan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ) terdapat manakala menurut hukum organ pemerintah diberikan kewenangan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif terpenuhi atau tidaknya secara sah syarat-syarat penggunaan wewenang. Pada hakikatnya, wewenang diskresi penetapan Perppu lebih mendekati kategori kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) sejak telah adanya Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. Dalam perspektif norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrehct ), kewenangan diskresi juga diatur dalam UU 232 No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 9 UU No. 30 Tahun 2014 mengatur pengertian diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Pasal 22 ayat (2) UU No 30 Tahun 2014 mengatur tujuan penggunaan diskresi pejabat pemerintahan yang meliputi:
melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
mengisi kekosongan hukum;
memberikan kepastian hukum; dan
mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Jika mengacu pada latar belakang dan pertimbangan penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 yang telah disetujui DPR dan diundangkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020 yang menjadi objek permohonan pengujian dari para pemohon, kiranya telah memenuhi tujuan dari penggunaan diskresi pemerintahan. Hal itu sebagaimana terlihat dari pertimbangan hukum dari UU No. 2 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa: (a). bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, serta kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat; (b). bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;
. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 20l9 (COVID-19) telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik sehingga perlu 233 dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan; (d). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial ( social safety net ), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan; (e). bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (f). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, serta guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah tersebut dalam waktu yang sangat segera, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Konsiderasi tersebut kiranya telah menunjukkan dipenuhinya asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) ( the duty to give reasons ). 234 Gambar 1 Konstruksi Pemikiran Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 (Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 Kedua, wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi akibat pandemi Covid-19. UU No. 2 Tahun 2020 telah memberikan seperangkat wewenang ( bevoegdheiden ) kepada Pemerintah untuk menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan (vide Pasal 1 ayat 3), Pemerintah diberikan wewenang untuk (vide Pasal 2 ayat (1)):
menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:
melampaui 3 % (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;
sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap;
melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait;
melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram;
melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran Penetapan Perppu "dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa" Diskresi Konstitusional (Pasal 22 UUD Negara RI 1945) Landasan Perppu No. 1 Tahun 2020 (Lampiran UU No. 2 Tahun 2020) kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) Syarat Obyektif Diskresi konstitusional Penetapan Perppu dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dalam pertimbangan penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 Landasan prinsip Perppu No. 1 Tahun 2020 Asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) ( the duty to giving reasons ) 235 atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang /jasa;
menggunakan anggaran yang bersumber dari:
Sisa Anggaran Lebih (SAL);
dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan;
dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu;
dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 20I9 (COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, danf atau investor ritel;
menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalarn danf atau luar negeri;
memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan;
melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu ( refocussing ), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu;
memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau
melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara. Guna melaksanakan wewenang pemerintahan yang diatribusikan oleh Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) tersebut sementara UU APBN yang ada sebagai dasar pembiayaan kebijakan di bidang keuangan tersebut adalah UU No. 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 yang pelaksanaannya didasarkan Pepres No. 78 Tahun 2019 tentang Rincian APBN Tahun 2020. Maka, diperlukan dasar hukum untuk menyesuaikan bagi dasar pembiayaan kebijakan keuangan berdasarkan Perpres No. 1 Tahun 2020 tersebut Pemerintah di ranah operasional dengan mengacu pada Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) perlu diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian pelaksanaan UU APBN melalui perubahan postur dan/atau rincian APBN. Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020 kemudian memberikan delegasi kewenangan pengaturan operasional terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam 236 rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkahlangkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut tetap mengacu pada prinsip negara hukum yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU No. 17 Tahun 2003. Hal ini disebabkan atas alasan:
. Dalam keadaan darurat diperlukan kecepatan bertindak untuk mengatasi kondisi darurat secara cepat dan tepat tanpa meninggalkan landasan negara hukum (asas rechtsmatigheid van het bestuur) ;
. Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN berada di ranah kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip fleksibilitas APBN dalam rangka menghadapi kondisi darurat. Justru disinilah esensi dari penggunaan wewenang diskresi konstitusional sebagai landasan dari penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020). Hal itulah yang menjadi argumentasi mengenai dikeluarkannya Pepres No. 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan APBN Tahun Anggaran 2020 guna melaksanakan Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020). Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN melalui Perpres No. 54 Tahun 2020 dengan demikian memenuhi asas negara hukum karena didasarkan wewenang pengaturan melalui Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) dan sekaligus merupakan landasan hukum ( legal framework ) bagi diskresi kebijakan implementasi APBN dalam kondisi darurat bencana non alam Covid-19. Kondisi ini dapat digambarkan berikut ini. 237 Gambar 2 Perbandingan Kebijakan Rincian APBN Dalam Kondisi Normal dan Darurat Mengingat landasan faktual yang dihadapi negara di masa Pandemi Covid-19 adalah keadaan memaksa atau di luar keadaan normal, tindakan pemerintahan juga dilakukan berlandaskan pada cara-cara yang luar biasa ( extraordinary ) dengan tujuan melindungi kepentingan umum ( public interest ). Oleh karena itu, negara kemudian menetapkan secara khusus masa waktu, prosedur dan syarat, serta subtansi tertentu dalam melaksanakan situasi darurat dengan mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum pada situasi normal. Upaya mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum tersebut bukan dimaksudkan untuk diberlakukan secara terus menerus, sehingga menjadi peraturan regular. Namun, sebagai peraturan yang akan diberlakukan pada masa yang ditentukan pada peraturan tersebut disertai dengan syarat dan prosedur, serta subtansi pelaksanaannnya secara khusus. Ditinjau dari perspektif hukum administrasi negara, pemberlakuan secara khusus peraturan perundang-undangan dalam keadaan darurat menjadi sah ( rechtsmatig ) sejauh memenuhi landasan faktual yang memadai dan negara memprioritaskan kemanfaatan umum ( doelmatigheid ) yang diperoleh bagi masyarakat dengan penerapan peraturan yang bersifat darurat tersebut. Dengan demikian, keadaan darurat tetap harus dipahami dalam konteks pandangan yang sesuai dengan landasan faktual yang terjadi Dalam Kondisi Normal UU No. 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 Perpres No. 78 TAhun 2019 tentang Rincian APBN Dalam Keadaan Darurat Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) Perpres No. 54 Tahun 2020 sebagai landasan Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN 238 pada saat keadaan darurat dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Lahirnya Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) sesungguhnya juga berkaitan dengan upaya untuk mengefektifkan implementasi berbagai ketentuan dalam UU No. 17 Tahun 2003 guna mendukung upaya mengatasi kondisi darurat kesehatan dan ekonomi akibat Pandemi Covid 19 yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai kebijakan pemerintah yang lain dalam upaya penanganan kondisi darurat bencana non alam itu. Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Keppres No. 11 Tahun 2020 menyebutkan dua hal pokok:
Menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan (2) Menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di lndonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sifat kedaruratan masyarakat sebagai landasan kebijakan penanganan Covid-19 diatur dalam UU No. 16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai regulasi sektoral yang sudah mengatur sistem penanganan kondisi kedaruratan masyarakat berdasarkan seperangkat kriteria, metode dan proses dalam pelaksanaan kebijakan terkait. Selain itu, juga berkaitan dengan Keppres RI No. 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional dengan rujukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Berbagai kebijakan tersebut membutuhkan dukungan dana yang sangat besar dan membutuhkan langkah-langkah pengambilan kebijakan yang cepat dan tepat, misalnya untuk pembelian Alat Pelindung Diri (APD) terutama bagi para tenaga medis, pembangunan/perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan, dukungan obat-obatan, penggalian sumber-sumber pembiayaan, relaksasi sejumlah penerimaan negara baik dari pajak (tax income) maupun non pajak (non tax income) dengan karakter bencana non alam Pandemi Covid-19, refocussing dan realokasi anggaran dalam APBN, dan seterusnya. 239 Keadaan darurat negara atau staat van oorlog en beleg (SOB) bisa menyebabkan instrumen-instrumen negara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam hukum administrasi negara, keadaan darurat negara harus ditetapkan kepala pemerintahan, baik penetapan awal dan akhir waktu darurat, sebagai kehendak pemerintahan kepada warga masyarakat dan seluruh pihak atas situasi yang luar biasa. Penetapan keadaan darurat sebagai kepala pemerintahan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum dan menjelaskan cara pemerintahan bekerja dalam situasi negara darurat. Salah satu sektor yang paling terdampak secara siginifikan dengan adanya kondisi darurat kesehatan akibat penyebaran Covid-19 adalah sektor keuangan negara dan perekonomian makro nasional, yang sangat bergantung pada asumsi makro yang dapat diperkirakan. Adanya keadaan darurat akibat penyebaran Covid-19 menyebabkan beberapa asumsi makro yang termuat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus berubah mengikuti kondisi perekonomian global. Antisipasinya adalah dengan menetapkan kebijakan keuangan negara dan perekonomian negara yang sejalan dengan kondisi tersebut (asas fleksibilitas). Keadaan darurat negara ditinjau dari Hukum Administrasi Negara dianggap sebagai keadaan memaksa negara untuk mengambil tindakan kepemerintahan yang perlu dilakukan guna mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih diprioritaskan guna melindungi kepentingan umum ( bestuurszorg ). Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) dimaksudkan sebagai jalan darurat di bidang keuangan negara guna merespons secara cepat ancaman bahaya Covid-19 di berbagai sektor. Berdasarkan alasan itu, Perppu No. 1 Tahun 2020 mengatur sejumlah kebijakan darurat. Pertama, menyangkut obyeknya, diatur kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan di bidang pendapatan negara termasuk di bidang perpajakan, belanja negara termasuk di bidang keuangan daerah, dan pembiayaan. Kedua, menyangkut subyeknya, diatur peranan dan interaksi antar aktor kebijakan di bidang fiskal dan moneter yaitu Pemerintah, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, OJK, KSSK dan Lembaga Penjamin Simpanan. Ketiga, dalam menghadapi pandemi Covid-19 kebijakan yang dilakukan pemerintah sesuai dengan keadaan yang dihadapi tidak hanya 240 menyangkut persoalan pengeluaran anggaran negara, namun juga menyangkut relaksasi dan mengatur fleksibilitas/penundaan penerimaan negara baik yang bersumber dari pajak maupun non pajak dan keempat, dalam mengatasi dampak sosial dan ekonomi akibat pandemi Covid-19 juga diperlukan sinergi kebijakan aktor-aktor kebijakan di bidang fiskal dan keuangan. Sehingga, keberadaan Perppu No. 1 Tahun 2020 juga diperlukan untuk lebih mengefektifkan implementasi Pasal 21 UU No. 17 Tahun 2003 yang mengharuskan adanya koordinasi antara Pemerintah dengan Bank Sentral. Ketiga, perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. Menghadapi dampak ekonomi akibat Pandemi Covid-19, defisit anggaran Amerika Serikat (AS) sempat melesat 218 persen menjadi US$3,1 triliun hingga akhir September 2020. Kenaikan itu terjadi karena pembengkakan belanja untuk membantu perekonomian di tengah pandemi Covid-19. Guna menutup pelebaran defisit, utang pemerintah AS meningkat menjadi US$26,9 triliun. Angka itu lebih besar dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negeri Paman Sam yang susut pada kuartal II lalu ke level di bawah US$20 triliun. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani perpanjangan satu minggu dari anggaran yang kedaluwarsa untuk menghindari penutupan pemerintah ( government shutdown ). Kebijakan perpanjangan anggaran ini juga guna memberikan lebih banyak waktu untuk pembicaraan terpisah tentang bantuan penanganan virus corona baru di AS dan Rancangan Undang- Undang (RUU) Anggaran yang menyeluruh. Jerman pada bulan Maret 2020 juga sempat meluncurkan anggaran darurat yang bertujuan untuk mengendalikan kerugian negara akibat Pandemi Covid-19. Pemerintah Jerman juga sempat mengalokasikan dana hingga € 750 miliar atau sekitar RP 13 ribu triliun yang dapat dibelanjakan untuk menutupi kerugian sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari keseluruhan anggaran tahun 2020 yang sebelumnya disetujui pemerintah federal Jerman. Bagian paling penting dari anggaran darurat ini adalah mengatasi peningkatan biaya pengeluaran perawatan kesehatan yang lebih dari € 3 miliar atau sekitar Rp. 53 triliun. 241 Pemerintah Italia menggunakan skema “anggaran lebih” untuk melawan virus corona agar tidak berdampak pada perekonomian negara tersebut. Pemerintah Italia juga menggunakan fleksibilitas anggaran guna mengatasi dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Pemerintah Italia juga meningkatkan target defisit anggaran tahun 2020 ini menjadi 2,5 persen dari 2,2 persen saat ini. Di Perancis ada anggaran pemerintah yang disebut “dana solidaritas”. Anggaran ini digunakan untuk membantu perusahaan dan para pekerjanya. Setidaknya, Prancis mengucurkan total anggaran darurat sebesar € 45 miliar atau sekitar Rp 765 triliun (dengan kurs Rp 17 ribu). Mereka mengatakan ada € 2 miliar atau sekitar Rp 34 triliun yang akan dibagikan ke perusahaan, khususnya bagi perusahaan yang 70% aktivitasnya berhenti sebagai dampak Pandemi Covid-19. Berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19 memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut. Cara-cara yang ditempuh bisa berbeda-beda variasinya, seperti di AS melalui perpanjangan anggaran yang kadaluarsa, Jerman menggunakan skema anggaran darurat, Italia menggunakan skema anggaran lebih dan Perancis juga menggunakan kebijakan penganggaran darurat guna penanganan dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Kebijakan keuangan yang bersifat darurat melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama , Kewenangan pembentukan Perppu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang 242 didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter obyektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua , dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN berdasarkan Pepres No. 54 Tahun 2020 tetap mengacu pada prinsip negara hukum, yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU No. 17 Tahun 2003. Dan ketiga , berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara sebagaimana telah diuraikan di atas yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19, semua memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara. Kebijakan keuangan negara yang bersifat darurat melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020), sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya.
Chandra M. Hamzah, S.H. Pemaknaan Kerugian Negara Dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, terdapat ketentuan yang berbunyi sebagai berikut: “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya 243 ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.” Terhadap ketentuan tersebut, dapat Ahli sampaikan bahwa rumusan seperti yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bukanlah hal baru. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“UU Krisis Sistem Keuangan”) memiliki kemiripan dalam rumusan pasalnya, sebagai berikut: Pasal 28 ayat (1) UU Krisis Sistem Keuangan “Selisih kurang antara dana hasil penjualan Bank Perantara ditambah hasil likuidasi Bank Sistemik yang telah ditangani permasalahannya dan dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan untuk penanganan permasalahan Bank Sistemik, merupakan biaya penanganan permasalahan Bank Sistemik bagi Lembaga Penjamin Simpanan dan bukan merupakan kerugian keuangan negara.” Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU Krisis Sistem Keuangan : “Cukup jelas” Frasa “kerugian negara” setidaknya ditemukan dalam 3 (tiga) undang-undang lainnya, yaitu:
Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 2. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 3. Bagian I Umum Penjelasan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), sebagai berikut: Paragraf kedua: “Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang.” Dalam UU Perbendaharaan Negara dan UU BPK, dalam pengertian frasa “kerugian negara/daerah”, sudah terkandung unsur “perbuatan melawan hukum”, sudah terkandung sifat jahat dari perbuatan tersebut. 244 Sedangkan pada UU Tipikor, dalam pengertian frasa “kerugian negara” belum terkandung unsur “melawan hukum”, belum terkandung sifat jahat dari perbuatan tersebut. Perbuatan korupsi-nya yang mengandung unsur melawan hukum, bukan kerugian negaranya. Selain dapat disimpulkan berdasarkan Bagian I Penjelasan Umum Atas UU Tipikor sebagaimana telah dikutip pada butir 3 di atas, hal ini juga dapat dilihat dalam rumusan delik pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sebagai berikut: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Perbuatan yang dikategorikan sebagai suatu tindak pidana dalam UU Tipikor adalah ”perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum”. Sedangkan, kerugian negara adalah sebagai akibat dari perbuatan (melawan hukum) dimaksud. Jadi, dalam sudut pandang UU Tipikor, “kerugian negara” yang disebabkan perbuatan korupsi (melawan hukum) saja yang merupakan suatu tindak pidana. Konsekuensinya, terdapat dua kategorisasi kerugian negara, sebagaimana diagram sebagai berikut: Apabila menggunakan pengertian ‘’kerugian negara’’ pada UU Tipikor, maka biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK berdasarkan Lampiran UU 2/2020, sepanjang biaya tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum, maka hal tersebut bukan tindak pidana (korupsi). Sedangkan, apabila menggunakan pengertian ‘’kerugian negara’’ pada UU BPK dan UU Perbendaharaan Negara, maka biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah Kerugian Negara Akibat Perbuatan Melawan Hukum Tindak Pidana Akibat Perbuatan Menurut Hukum Bukan Tindak Pidana 245 dan/atau lembaga anggota KSSK berdasarkan Lampiran UU 2/2020, sepanjang biaya tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum, maka hal tersebut bukan kerugian negara. Kewenangan BPK/BPKP Untuk Memeriksa Adanya Kerugian Negara Dalam Pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 Terkait dengan frasa ‘’kerugian negara’’, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”), Badan Pemeriksa Keuangan memiliki kewenangan sebagai berikut: Pasal 10 UU BPK : “(1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau:
penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;
pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan
pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Pasal 11 UU BPK: “BPK dapat memberikan:
pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya;
pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau
keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.” 246 Sedangkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“Perpres BPKP”), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, memiliki kewenangan sebagai berikut: Pasal 3 Perpres BPKP “a....
... c.... d.... e. pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program dan/atau kegiatan yang dapat menghambat kelancaran pembangunan, audit atas penyesuaian harga, audit klaim, audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi; ” Sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi mempertegas kewenangan BPK dan BPKP terkait dengan kerugian negara sebagaimana dapat dibaca pada halaman 53 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 sebagai berikut: “Oleh sebab itu menurut Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya; ” Ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tidak menghilangkan kewenangan BPK/BPKP terkait dengan kerugian negara. Oleh karena itu, BPK/BPKP tetap dapat memeriksa adanya kerugian negara dalam pelaksanaan UU 2/2020. Due Process of Law Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Terkait Pelaksanaan Kebijakan Sesuai Lampiran UU 2/2020 Pengertian yang dianut UU BPK dan UU Perbendaharaan Negara maupun yang dianut UU Tipikor, ada persamaan diantara ketiganya yaitu adanya unsur ‘’melawan hukum’’. Apabila terpenuhi semua unsur-unsurnya, termasuk unsur ‘’melawan hukum’’, maka terhadap pelakunya tetap dapat diminta pertanggungjawaban melalui proses hukum. 247 Terkait Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yang berbunyi sebagai berikut: “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Bagaimana batasan itikad baik dalam prinsip hukum pidana? Dalam hukum pidana materiil di Indonesia tidak banyak pasal yang menyebutkan tentang “itikad baik”, begitu pula referensi terhadapnya. Hal ini dapat dipahami karena ketentuan pidana lebih banyak mengatur tentang:
perbuatan/tindak pidana (unsur objektif/fisik yaitu actus reus ), dan b. sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Frasa “itikad baik” ditemukan dalam Pasal 51 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHPidana”), sebagai berikut: “ Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.” Pasal 51 ayat (2) KUHPidana ini terdapat dalam KUHPidana Bab III Hal-hal Yang Menghapuskan, Mengurangi, atau Memberatkan Pidana. Seseorang dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila pelaku, ketika melakukan tindak pidana, mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Pasal 119 KUHPidana “Barang siapa memberi pondokan kepada orang lain, yang diketahuinya mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui benda-benda rahasia seperti tersebut dalam pasal 113, padahal tidak wenang untuk itu, atau mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui letak, bentuk, susunan, persenjataan, perbekalan, perlengkapan mesiu, atau kekuatan orang dari bangunan pertahanan atau sesuatu hal lain yang bersangkutan dengan kepentingan tentara” Pasal 187 bis KUHPidana “Barang siapa membuat, menerima, berusaha memperoleh, mempunyai persediaan, menyembunyikan, mengangkut atau memasukkan ke Indonesia bahan-bahan, benda-benda atau perkakas-perkakas yang diketahui atau 248 selayaknya harus diduga bahwa diperuntukkan, atau kalau ada kesempatan akan diperuntukkan, untuk menimbulkan ledakan yang membahayakan nyawa orang atau menimbulkan bahaya umum bagi barang, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Pasal 393 KUHPidana “Barang siapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan jelas untuk mengeluarkan lagi dan Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagi-bagikan, barang-barang yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa pada barangnya itu sendiri atau pada bungkusnya dipakaikan secara palsu, nama, firma atau merek yang menjadi hak orang lain atau untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah tempat tertentu, dengan ditambahkan nama atau firma yang khayal, ataupun pada barangnya sendiri atau pada bungkusnya ditirukan nama, firma atau merek yang demikian sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah”. Pasal 480 KUHPidana “Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah:
barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan;
barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.” Dalam delik-delik di atas, dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila seseorang yang mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan. Khusus untuk Pasal 480 ke-1 KUHP, Mahkamah Agung telah menerbitkan yurisprudensi Mahkamah Agung nomor 2/Yur/Pid/2018 dan 3/Yur/Pid/2018 dimana Mahkamah Agung secara konsisten menganggap bahwa tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai “ diketahui atau sepatutnya harus diduga diperoleh dari kejahatan” adalah:
apabila sebuah barang dijual atau dibeli di bawah harga pasar/standar.
apabila seseorang membeli kendaraan bermotor tanpa dilengkapi surat-surat kendaraan yang sah. 249 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seseorang tidak memiliki itikad baik apabila ketika melakukan tindak pidana, mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 mengatur perlindungan hukum kepada pihak tertentu. Apakah dalam suatu peraturan perundang-undangan diperbolehkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pihak tertentu? Apakah ketentuan tersebut menghilangkan prinsip equality before the law , khususnya dalam penerapan hukum pidana? Norma yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut bukan hal baru dalam peraturan perundang-undangan. Tercatat ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengandung norma serupa, sebagai berikut:
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.” b. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum “Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang- undangan dan/atau Kode Etik Advokat.” c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serbagaimana sudah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (“UU MD3”) Pasal 57:
Anggota MPR mempunyai hak imunitas. 2) Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam sidang atau rapat MPR ataupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan wewenang dan tugas MPR.
Uji Materiil atas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK) te ...
Relevan terhadap
ayat (1) “Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK .” ayat (2) “Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK .” __ 2. Kewenangan Penyidikan OJK a. Desain pembentukan OJK sebagai lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi (Unified Supervisiory Model) dilandasi pada kondisi sosiologis perkembangan sektor jasa keuangan seiring dengan perkembangan teknologi informasi di era globalisasi transaksi keuangan yang mendorong munculnya berbagai modus kejahatan yang lebih kompleks (tindak pidana yang melibatkan beberapa sektor keuangan sekaligus) sehingga sangat potensial mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional. Dengan model pengawasan satu atap, pelanggaran yang terjadi pada satu sektor maupun lintas sektor dapat mudah terdeteksi dan diketahui oleh pengawas sehingga dapat dilakukan penindakan secara cepat dan komprehensif. Dengan terintegrasinya tahapan pengawasan dan penegakan hukum administratif dalam satu atap 95 OJK, maka pengawasan dapat lebih efektif dan efisien dalam memberikan efek jera tanpa mengabaikan unsur pembinaan.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa sebelum dibentuknya OJK, Bapepam-LK sebagai Lembaga yang melakukan pengawasan di industri jasa keuangan non-bank juga telah diberikan kewenangan penyidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Kewenangan penyidikan oleh PPNS sektoral (antara lain PPNS Bapepam-LK saat itu) dilandasi pertimbangan diperlukannya pemahaman teknis sektoral dalam melakukan upaya penegakan hukum administratif di sektor yang bersangkutan. Dengan demikian, dengan kedudukan kelembagaan OJK yang menjadi bagian dari penyelenggaraan urusan pemerintahan berupa pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, pemberian kewenangan penyidikan sebagaimana yang diberikan kepada PPNS Bapepam merupakan hal yang berdasar hukum dan sebagai open legal policy yang memiliki dasar pertimbangan yang rasional, sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan perkembangan yang ada, tidak melanggar kewenangan pembentuk UU sesuai UUD 1945.
Terkait dengan kewenangan melaksanakan penyidikan oleh lembaga selain Kepolisian, berdasarkan Pasal 2 juncto Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian RI), diatur instansi dan/atau badan Pemerintah dapat melaksanakan fungsi kepolisian sepanjang diberikan mandat oleh Undang Undang yang mendasarinya. Salah satu fungsi kepolisian adalah melakukan penyidikan. Instansi dan/atau badan Pemerintah yang melaksanakan penegakan hukum dipersamakan dengan menjalankan fungsi kepolisian khusus. Dengan kedudukan OJK yang tetap menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan (Penjelasan Pasal 1 angka 1 juncto paragraf 10 dan paragraf 11 Penjelasan Umum UU OJK), maka kewenangan penyidikan yang diberikan UU OJK sesuai dengan klasifikasi Pasal 2 juncto Pasal 3 ayat (1) UU Kepolisian RI.
Dari sisi jenis kelembagaan OJK sebagaimana diuraikan di atas, 96 sebagai lembaga negara mandiri ( Main organ ), Jimly Ashiddiqie dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara terbitan Rajawali Pers Jakarta tahun 2009 halaman 338-339 yang disampaikan oleh Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. dalam Keterangan Ahli untuk Permohonan Uji Materiil Nomor 25/PUU- XII/2014, berpendapat bahwa Lembaga Negara Independen yang menjalankan fungsi permanen ( State Independent Agencies ) maupun yang bersifat menunjang ( State Auxiliary Agencies ) disematkan kewenangan kelembagaan yang kuat untuk menjalankan fungsi campuran antara regulatif, administratif, pengawasan dan fungsi penegakan hukumnya .
Berdasarkan uraian kedudukan OJK dalam struktur kelembagaan negara yaitu main organ dan memperhatikan fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang diemban oleh OJK untuk menjaga stabilitas keuangan nasional dan memberikan perlindungan kepada konsumen sektor jasa keuangan, maka Pemerintah meyakini sepenuhnya bahwa pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK sebagai suatu lembaga Negara yang independen yang melaksanakan fungsi penegakan hukum administratif sektor jasa keuangan merupakan pilihan kebijakan ( open legal policy ) yang sangat tepat dan tidak dapat dianggap inkonstitusional.
Penyidikan OJK sebagai penegakan hukum adminitratif sektor jasa keuangan a. Wewenang penyidikan sebagai bagian dari proses penegakan hukum yang dilakukan OJK merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) dalam upaya penegakan hukum administratif sektor jasa keuangan. Pada prinsipnya tugas OJK adalah menjaga ketaatan pelaku industri di sektor jasa keuangan terhadap ketentuan administratif yang diatur dalam berbagai UU sektor jasa keuangan. Dalam rangka penegakan hukum administrative sektpr jasa keuangan, berbagai UU sektor jasa keuangan telah menetapkan adanya sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran ketentuan administratif yang ditetapkan masing-masing 97 UU.
OJK menjalankan fungsi penegakan hukum sebagai penyidik adalah jalan terakhir jika ditemukan ketidaktaatan penyedia jasa keuangan terhadap peraturan perundang-undangan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Dengan konsep pengawasan satu atap di bawah OJK, pengawasan di sektor jasa keuangan hendak mengutamakan prinsip pembinaan dan menempatkan penegakan hukum pidana di sektor jasa keuangan sebagai upaya terakhir ( ultimum remidium ). Namun demikian, dalam situasi tertentu penegakan hukum pidana di sektor jasa keuangan dapat diutamakan ( primum remedium) .
Bahwa sesuai penjelasan umum UU OJK, kedudukan UU OJK merupakan umbrella act bagi “pengawasan di sektor jasa keuangan” , yang menyebabkan kewenangan Penyidik OJK tidak terbatas pada delik-delik yang terdapat dalam UU OJK (UU No. 21 Tahun 2011), melainkan juga terhadap delik pidana pada Undang- Undang di sektor jasa keuangan di bawah pengawasan OJK (Perbankan, Peransuransian, Pasal Modal, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya) sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU OJK.
Bahwa kewenangan penyidikan oleh OJK diperkuat dalam Undang Undang sektoral seperti pada Undang Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal). Dalam Pasal 57 ayat (1) dan Penjelasan UU Perasuransian disebutkan: “Pengaturan dan pengawasan kegiatan Usaha Perasuransian dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan”. Penjelasan: “Pengaturan dan pengawasan kegiatan Usaha Perasuransian oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain aspek tata kelola, perilaku usaha, dan kesehatan keuangan. Yang dimaksud dengan “pengawasan” antara lain analisis laporan, pemeriksaan, dan penyidika n” __ 98 e. Bahwa menghilangkan kewenangan penyidikan pada UU OJK juga memiliki konsekuensi menghapuskan kewenangan penyidikan pada UU Pasar Modal juga UU Perasuransian. Dibatalkannya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK berakibat pada batal demi hukumnya Pasal 5 huruf e, Pasal 101 UU Pasar Modal dan Pasal 57 ayat (1) UU Perasuransian.
Sebagaimana diketahui bersama, kejahatan di sektor jasa keuangan mempunyai karakteristik tersendiri. Dari sisi Pelaku, pada umumnya pelaku memiliki kemampuan intelektualitas dan penguasaan teknologi yang canggih. Dari sisi perbuatan, kejahatan di sektor jasa keuangan memiliki kompleksitas yang tinggi karena bersifat lintas sektoral dengan melibatkan berbagai sektor di industri jasa keuangan. Dari sisi akibat yang ditimbulkan, kejahatan di sektor jasa keuangan memiliki dampak yang masif dan merusak kepercayaan masyarakat. Pada akhirnya kejahatan tersebut dapat menghambat peran industri jasa keuangan dalam mendukung pembangunan nasional, sehingga dibutuhkan penanganan yang cepat dan kemampuan sumber daya manusia yang handal dan memahami karakteristik di sektor jasa keuangan. Untuk itu integrasi antara fungsi pengaturan, pengawasan dan penyidikan dalam satu lembaga merupakan pilihan kebijakan didasari kebutuhan untuk melakukan penahanan secara efisien, mengurangi fungsi penyidikan, antara lain di bidang Pasar Modal merupakan pilihan yang mempunyai konsekuensi besar karena berkaitan dengan nature penegakan hukum pasar modal yang bersifat khusus.
Bahwa tindak pidana ( core crime ) di bidang pasar modal memiliki kekhususan ditunjukan dengan adanya pengaturan khusus pada Bab XI UU Pasar Modal yang mengatur tindak pidana Penipuan, Manipulasi Pasar, dan Perdagangan Orang Dalam. Dengan dialihkan kewenangan Bapepam-LK kepada OJK sesuai dengan ketentuan Pasal 55 UU OJK, maka kewenangan tersebut beralih ke OJK.
Bahwa urgensi pengklasifikasian tindak pidana khusus di sektor jasa 99 keuangan tersebut sangat dibutuhkan mengingat pembuktian tindak pidana tersebut memerlukan kompetensi dalam menganalisa kondisi pasar secara komprehensif dengan menggunakan data di sektor jasa keuangan yang valid dan akurat. Kompetensi tersebut saat ini hanya dimiliki oleh pengawas sektor jasa keuangan. Sebagai contoh, pengaturan tindak pidana dan pemberian kewenangan penyidikan di pasar modal secara khusus juga didasari pada salah satu tujuan utama yang hendak dijaga oleh UU Pasar Modal yaitu integritas dan kepercayaan pasar. Oleh karena itu, tidak semua pelanggaran terhadap UU Pasar Modal harus dilanjutkan ke tahap penyidikan karena dapat menghambat kegiatan penawaran dan atau perdagangan Efek secara keseluruhan.
Hal tersebut dapat dipahami mengingat pengawasan industri di sektor jasa keuangan mempunyai objektif dalam hal efisiensi pasar dan terselenggaranya sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan serta stabil (hal tersebut juga diadopsi dalam pembentukan OJK, lihat paragraf 8 Penjelasan Umum UU OJK) sehingga penegakan hukum secara seimbang menitikberatkan pada upaya pemulihan, perbaikan kondisi industri di sektor jasa keuangan, stabilitas perekonomian, dan mewujudkan efek jera bagi pelaku tindak pidana.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK), BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola Keuangan Negara. Selain itu dalam Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) diatur bahwa apabila dalam pemeriksaan BPK ditemukan unsur pidana yang dituangkan dalam Laporan BPK, maka Laporan BPK tersebut dapat dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Sesuai dengan amanat UU BPK tersebut, BPK berfungsi 100 sebagai lembaga yang melaksanakan proses pemeriksaan terhadap lembaga/instansi yang diberikan tanggungjawab untuk melakukan pengelolaan Keuangan Negara. Di sisi OJK sesuai dengan amanat UU OJK merupakan lembaga yang diberikan wewenang untuk melakukan pengaturan, pengawasan dan perlindungan. Kewenangan tersebut dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Mengingat cakupan industri sektor jasa keuangan yang meliputi sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya, diperlukan kewenangan pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut secara terintegrasi, sehingga dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan dan dapat menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Disamping hal tersebut di atas, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya OJK sebagai suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat UU dan menerima pengalihan kewenangan pengawasan dari Pemerintah (Bapepam-LK di bawah Kementerian Keuangan) dan BI, maka adalah tepat apabila kewenangan sebelumnya yang dimiliki oleh Bapepam-LK termasuk kewenangan penyidikan terhadap sektor pasar modal beralih kepada OJK. Demikian juga dengan kewenangan penyidikan terhadap sektor jasa keuangan lain, maka berdasarkan UU OJK selain Penyidik Kepolisian, PPNS di lingkungan OJK juga memiliki kewenangan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Bahwa terkait dengan prosedur penanganan perkara di sektor jasa keuangan untuk menghindari tumpang tindih kewenangan, OJK dan Kepolisian sebagai upaya penguatan koordinasi, telah melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman antara OJK dengan Kepolisian Republik Indonesia Nomor PRJ-36/D.01/2014 Nomor: B/44/XI/2014 tentang Kerjasama Penanganan Tindak Pidana Di 101 Sektor Jasa Keuangan yang memuat mekanisme koordinasi dalam penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan, khususnya terkait dengan penanganan penyidikan bersama tindak pidana di sektor jasa keuangan ( join investigation ). Koordinasi tersebut melingkupi tukar-menukar informasi, penyediaan ahli, permintaan pembukaan rahasia bank, dan bantuan penangkapan. Dengan demikian, dapat dipastikan tidak terdapat tumpang-tindih kewenangan antara OJK dengan Kepolisian. Selain itu, Presiden mengajukan 2 orang ahli yaitu Bismar Nasution dan Atip Latipulhayat yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 1 April 2019 dan 2 orang saksi Warasman Marbun dan Johansyah yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 9 April 2019 dan pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: Ahli Presiden 1. Bismar Nasution Di setiap negara, fungsi bank merupakan ”jantung” dari pasar uang dan fungsi pasar modal sebagai penyedia pembiayaan jangka panjang. Keduanya berfungsi dalam mendukung perekonomian negara. Fungsi bank misalnya, menurut Alexander Hamilton ”Menteri Keuangan” pertama Amerika Serikat adalah a necessary engines that ever were invented for advancing trade . Bahkan, Charles Himawan mengatakan, bank adalah badan untuk membuat suatu negara makmur. Persoalannya adalah bagaimana dan siapa yang mengendalikan dan melindungi bank. Dari kacamata hukum baik bank maupun nasabah (yaitu masyarakat) perlu dilindungi, karena keduanya adalah komponen terpenting dalam proses pembangunan ekonomi negara (Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, 2003). Berdasarkan fungsi bank dan pasar modal yang sangat krusial bagi perekonomian suatu negara, maka keberadaan aset bank dan pasar modal dalam bentuk kepercayaan masyarakat sangat penting dijaga. Sebab kepercayaan masyarakat sangat penting misalnya bagi bank paling tidak karena dua alasan. Pertama, meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi. Kedua, mencegah terjadinya bank runs and panics (Zulkarnain Sitompul, Lembaga Penjamin Simpanan Substansi dan 102 Permasalahan, 2007). Pentingnya kepercayaan masyarakat tersebut juga diamini Presiden Roosevelt. Sewaktu mengumumkan berakhirnya bank holiday di Amerika Serikat, Roosevelt mengatakan,” after all, there is an elemen in the readjustmen of our financial system more important than currency, more important than gold, and that is the confidence of the people ”. Kepercayaan masyarakat bagi pasar modal berkaitan dengan prinsip keterbukaan. Karena prinsip keterbukaan telah menjadi fokus sentral dari pasar modal. Setidaknya, terdapat tiga fungsi prinsip ketebukaan di pasar modal. Pertama, prinsip keterbukaan berfungsi untuk memelihara kepercayaan masyarakat. Kedua, prinsip keterbukaan berfungsi untuk menciptakan pasar yang efisien. Ketiga, prinsip keterbukaan penting mencegah penipuan atau fraud (Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, 2001). Hal ini diatur dalam Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934. Kedua Undang-Undang tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934 telah mengatur lahirnya Securities and Exchange Commission (SEC). Tugas SEC adalah menegakkan, Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934 serta SEC mempunyai kewenangan investigasi atau penyidikan terhadap pelanggaran Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934 (David L. Ratner, Securities Regulation In A Nutshell, 1992). Kewenangan SEC dalam penyidikan atas pelanggaran peraturan pasar modal sebagaimana diatur dalam Securities Exchange Act 1934 merupakan suatu bentuk pengendalian sosial yang khusus mengatur masyarakat, agar terhindar dari perbuatan-perbuatan pernyataan menyesatkan ( misleiding statement ), manipulasi pasar ( cornering ), dan perdagangan orang dalam ( insider trading ) di pasar modal. Di sini hukum itu sebagai anti sosial, sebagaimana diamati oleh Roscoe Pound (Roscoe Pound, Social Through Law, 1942). Pemberian kewenangan penyidikan tersebut adalah salah satu cara untuk melindungi masyarakat dan memberikan rasa aman serta kemantapan bagi masyarakat dalam kegiatan pasar modal, yang pada gilirannya dapat menjadi suatu upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada industri keuangan. Indonesia dalam menyusun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah mengambil pola undang-undang pasar modal 103 Amerika Serikat, sehingga Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) diberikan wewenang melakukan penyidikan, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bab XII Penyidikan, Pasal 101 Undang-Undang Pasar Modal. Hal yang sama juga dilakukan oleh berbagai negara antara lain Korea Selatan, Filipina, Venezuela, Malaysia, Singapura, (Sumantoro, Aspek-Aspek Hukum dan Potensi Pasar Modal di Indonesia, 1988). Brazil misalnya mengadopsi peraturan prinsip keterbukaan peraturan pasar modal Amerika Serikat (Norman S. Poser, ”Securities Regulation In Developing Countries: The Brazilian Exprerience”, Virginia Law Review, 1966). Ahli sejarah mengajarkan kita, bahwa sejarah dipelajari bukan untuk membenarkan kekurangan kita hari ini, tetapi untuk mempersiapkan hari depan. Benjamin N. Cardozo juga mengajarkan bahwa sejarah dalam memerangi masa lalu menerangi masa sekarang, sehingga dalam menerangi masa sekarang dia menerangi masa depan (Benjamin Cardozo, The Nature of the Judicial Process, 1962). Bahkan, Bung Karno pernah berkata (17-8-1951): ”.....dari mempelajari sejarah orang bisa menemukan hukum-hukum yang menguasai kehidupan manusia” (Chales Himawan, Hukum Sebagai Suatu Panglima, 2003). Krisis tahun 1997-1998 yang meluluhlantakkan perekonomian Indonesia merupakan alasan lahirnya ”Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan” (”Undang-Undang OJK”). Desain pembentukan Undang-Undang OJK adalah untuk memenuhi tuntutan perubahan pada lembaga pengatur dan pengawas industri jasa keuangan yang menjadi salah satu penyebab krisis 1997-1998. Oliver Wendell Holmes mengingatkan ” The life of the Law has not been logic; it has been experience ” Objektif Undang-Undang OJK itu juga menjadi alat utama pemerintah untuk mempermudah akses masyarakat kepada industri jasa keuangan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Ann Seidman, Robert B. Siedman dan Nalin Abeyesekere mengatakan, bahwa dalam proses pembangunan undang-undang merupakan alat utama pemerintah melakukan perubahan pada lembaga-lembaga. Hal tersebut juga memperjelas tugas pembuat undang-undang, yaitu membuat undang-undang menjadi efektif dan mampu membawa perubahan. Sebab suatu undang-undang yang efektif pada keadaan khusus di suatu negara harus mampu mendorong suatu perilaku 104 yang dituju atau yang diaturnya (Ann Seidman, Robert B. Siedman dan Nalin Abeyesekere dalam bukunya ” Legislative Drafting for Democratic Social Change a Manual for Drafters ”, 2001) Undang-Undang OJK yang juga melahirkan OJK merupakan upaya mengatasi berbagai permasalahan yang mengemuka dalam lintas sektoral industri jasa keuangan, yang meliputi moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen industri jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan (SSK). Pentingnya Undang-Undang OJK tidak cukup dilihat dari kacamata normatif, tetapi harus dikaji secara filosofis agar dapat memberi penjelasan mengenai gejala-gejala fisik atau sosial yang menjadi dasar perumusannya. Kajiannya harus melebihi substansi hukumnya sendiri, agar dapat memahami ” law behind law ” dari Undang-Undang OJK dan memahami alasan hukum yang mendasari Undang-Undang OJK. Cara pandang demikian itu yang membuat orang terhindar dari penafsiran hukum ”legalistik” atau ” black letter rules ” . Dalam konsideran Undang-Undang OJK dikatakan, bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Hal tersebut masih relevan dengan ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang- Undang OJK setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XII/2014 menyatakan sebagai berikut: ”Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”. Alasan dasar yang melatarbelakangi perubahan sistem pengawasan terhadap sektor jasa keuangan oleh OJK adalah perkembangan di sektor jasa keuangan 105 yaitu terjadinya konvergensi di antara lembaga-lembaga keuangan dan produk-produk jasa keuangan. Beberapa alasan yang memicu dilakukan perubahan terhadap kelembagaan pengawasan sektor jasa keuangan adalah: Pertama, munculnya konglomerasi keuangan dan mulai diterapkan universal banking di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor keuangan menjadi tidak efisien karena gap dalam regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas (dan lembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalah stabilitas sistem keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Ketiga, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance . Untuk meningkatkan good governance pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya. Kehadiran OJK dalam rangka penataan sistem pengawasan industri keuangan tersebut harus memberikan manfaat kepada berbagai pihak, khususnya masyarakat, agar misalnya masyarakat secara maksimum memperoleh manfaat atau kebahagiaan dalam kegiatannya dalam industri jasa keuangan. Jeremy Bentham pelopor aliran utilitarian mengajarkan, bahwa yang menjadi dasar pengambilan keputusan etis dengan mempertimbangkan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhir dari tindakan atau kebijaksanaan tersebut atau the greatest happiness for the greatest numbers (Jeremy Bentham, ” An Introduction to the Principle of Moral and Legislation ”, 2000) Oleh karena itu, kewenangan OJK paling tidak meliputi lima sasaran. Pertama, melindungi investor untuk membangun kepercayaan terhadap pasar. Kedua, memastikan bahwa pasar yang terbentuk adalah pasar yang fair, efisien, dan transparan. Ketiga, mengurangi risiko sistemik. Keempat, melindungi lembaga keuangan dari penyalahgunaan atau malpraktek dari konsumen (seperti money laundering). Kelima, menjaga kepercayaan konsumen dalam sistem keuangan (Kenneth Kaoma Mwenda, ” Legal Aspects of Financial Services Regulation and the Concept of a Unified Regulator ” 2006). 106 Dalam dunia praktek, peroblema pokok yang lebih mendesak adalah problema metode yang memungkinkan penegak hukum sampai pada keseimbangan dan penilaian keseimbangan-keseimbangan dimaksud. Oleh karena itu, perlu menentukan situasi-situasi yang merupakan cara standar berfungsinya Undang-Undang OJK sebagai primary rule . H.L.A Hart mengatakan, bahwa jika pedoman-pedoman umum primer tidak dipatuhi oleh seorang individu, petugas bisa mengingatkan orang itu dan meminta agar undang-undang itu dipatuhi atau ketidakpatuhannya bisa secara resmi diidentifikasi dan dicatat lalu diberlakukan hukuman yang dikenakan padanya oleh pengadilan. Pentingnya peran sebuah struktur regulasi OJK membentuk kepercayaan dari pelaku pasar. Kepercayaan dari konsumen dan investor akan terbentuk apabila sebuah struktur regulasi dapat mengontrol penyalahgunaan pasar, seperti insider trading, money laundering atau jenis kejahatan keungan lainnya. Investor mempunyai kecenderungan untuk meletakkan investasinya pada pasar yang dapat mencapai objektif-objektif regulasi untuk melindungi mereka dari resiko. Sehingga, apabila ada peraturan yang jelas terhadap industri jasa keuangan, pelaku pasar dan investor melalui cara seperti effective Chinese walls dan kode etik yang jelas, pasar akan cenderung terlindungi dari pelaku penyalahgunaan dari pelaku pasar. Dapat dipahami mengapa pembuat undang-undang memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK sebagaimana diamanatkan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang OJK. Kewenangan OJK dalam penyidikan tersebut akan membuat penyidikan perkara yang jelas dan objektif, sehingga check and balances dari jalannya sebuah penyidikan dapat dengan mudah dilakukan dan diukur. OJK mempunyai standar pemeriksaan hingga penyidikan yang mengacu kepada KUHAP. Hal itu menjamin kepastian hukum dan menjaga agar masalah yang ada dapat diselesaikan secepat mungkin. Mengingat, bahwa sektor keuangan sangatlah dinamis. Keterlambatan penaganan atau proses yang terlalu berkepanjangan dapat menimbulkan permasalahan sistemik dan menimbulkan efek domino. Pengaturan standar penyidikan yang diatur dalam Peraturan OJK telah memenuhi unsur kualitas dari hukum yang harus dipenuhi agar sistem 107 ekonomi berfungsi. Unsur tersebut menurut Leonard J. Theberge. Pertama, unsur ”stabilitas” (” stability ”), dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan yang saling bersaing. Kedua, unsur ”meramalkan” (” predictability ”), berfungsi meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil. Akhirnya, termasuk unsur ”keadilan” (” fairness ”, diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan (Leonard J. Theberge, ”Law and Economic Development”, 1980). Sebagai tambahan, pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK tersebut tidak terlepas kaitannya sebagaimana diuraikan Jimly Asshiddiqie, bahwa berkembangnya demikian banyak lembaga-lembaga yang bersifat independen mencerminkan adanya kebutuhan untuk mendekonsentrasikan kekuasaan dari tangan birokrasi ataupun organ-organ konvensional pemerintahan tempat kekuasaan selama masa-masa sebelumnya terkonsentrasi. Sebagai akibat tuntutan perkembangan yang semakin kompleks dan rumit, organisasi- organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralis, dan terkonsentrasi tidak dapat lagi diandalkan. Karena itu, pada waktu yang hampir bersamaan muncul gelombang deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, desetralisasi, dan dekonsentrasi. Salah satu akibatnya, fungsi-fungsi kekuasaan yang biasanya melekat dalam fungsi-fungsi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat independen. Karena itu, kadang-kadang lembaga-lembaga baru tersebut menjalankan fungsi-fungsi yang bersifat campuran, dan masing-masing bersifat independen (Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, 2006) Tepatlah, pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada OJK untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan. Seperti kegiatan jasa keuangan di sektor-sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Karena regulasi di bidang keuangan memang harus didesain untuk memberi keleluasaan untuk OJK dalam membentuk kebijakan yang tepat dan haruslah memberi ruang dan fleksibilitas kepada OJK sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ekonomi. 108 Dengan demikian kewenangan OJK dalam penyidikan tersebut harus dapat operasional di lapangan, agar OJK dapat menanggulangi kejahatan dalam sektor keuangan. Mengingat, munculnya berbagai kejahatan, termasuk kejahatan crime as business, yang dilakukan secara terorganisir oleh mereka yang mempunyai pengetahuan yang cukup dan memiliki kedudukan terpandang dalam masyarakat ( organized crime, white collar crime ). KESIMPULAN Kewenangan penyidikan oleh OJK punya peranan penting dalam menanggulangi kejahatan di sektor keuangan karena sebagai pengawas memiliki pengetahuan dan pengalamaan tentang modus operandi kejahatan di industri jasa keuangan. Oleh karena itu, penyidik OJK dapat memenuhi budaya hukum ( legal culture ) sebagai sub-sistem yang sangat penting dalam penegakan hukum. Itu alasannya pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK tidak perlu dikhawatirkan menimbulkan tumpang tindih kewenangan, akan tetapi malah menciptakan Multi Investigator System . Suatu sistem yang dapat menciptakan semangat kompetisi diantara institusi penyidik. Sistem Multy Investigator System telah diterapkan negara lain, seperti Amerika Serikat yang mengatur berbagai institusi sebagai penyidik dalam kasus pasar modal penyidiknya adalah SEC ( Securities and Exchange Commission ) dan penyidik kasus money laundering antara lain, DEA ( Drugs Enforcement Administration ) dan IRS ( Internal Revenue Service ). Dengan demikian pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK oleh pembuat undang-undang perlu didukung, sehingga keberadaan OJK dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada industri jasa keuangan sebagai syarat mutlak terciptanya stabilitas sistem keuangan.
Atip Latipulhayat Permohonan Pengujian Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Nomor 102/PUU-XVI/2018 ini, pada pokoknya mendalilkan bahwa pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 109 Isu utama dalam permohonan pengujian ini adalah tentang hak penyidikan yang dimiliki oleh OJK. Sesuai dengan kompetensi dan keahliannya Ahli menyatakan persoalan ini akan di tinjau dari praktik-praktik negara dalam pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan. Pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan ( Financial Supervisory Agency ) tidak bisa dilepaskan dari krisis keuangan global yang terjadi pada periode 2007-2009. Imbas dari krisis tersebut mendorong negara-negara untuk menata ulang regulasi keuangan termasuk pembentukan lembaga pengawasannya. Perubahan dan modifikasi regulasi keuangan dan pengawasannya merupakan elemen utama untuk menciptakan pasar uang domestik dan internasional yang stabil di masa depan. Dengan alasan ini pula para pemimpin G20 bertemu di London (London Summit) pada bulan April 2009 untuk memperkuat sistem regulasi dan pengawasan pasar uang global. Memperkuat regulasi dan supervisi selalu memantik potensi konflik dengan kebebasan esensial dari pasar uang. Oleh karenanya selalu diperlukan suatu formula yang seimbang antara dua elemen tersebut. Ketegangan antara regulasi dan supervisi di satu pihak dan kebebasan pasar ( freedom of financial markets ) di pihak lainnya bukan merupakan fenomena baru dalam hukum keuangan ( financial law ). Yang merupakan elemen atau unsur yang baru baru adalah penguatan regulasi dan supervisi tersebut harus mempertimbangkan adanya kebutuhan kerjasama dan koordinasi internasional. Latar belakang di atas menunjukkan bahwa regulasi dan supervisi jasa keuangan tidak bisa dipisahkan dan selalu memiliki elemen-elemen internasional dan transnasional. Meskipun pada akhirnya struktur, bentuk, fungsi dan tujuan dari lembaga pengawas jasa keuangan merupakan jurisdiksi dan kewenangan domestik masing-masing negara, namun memiliki jangkauan dan efek extra territorial tertentu ( extraterritorial reach and effect ) termasuk juga bentuk kejahatannya ( financial crimes ). Jasa keuangan atau produk- produk pasar uang lainnya memiliki karakteristik apa yang disebut sebagai “ high ‘exit’ potentials ”. Dalam konteks ini regulasi dan supervisi jasa keuangan domestik akan masuk pada area kompetisi dengan negara lainnya untuk menampilkan regulasi dan lembaga jasa keuangan yang kredibel. Hal ini bisa 110 kita lihat misalnya rivalitas antara Frankfurt dan London untuk menjadi sebagai pusat keuangan terbaik di Eropa. Menurut Ahli tidak ada ketentuan internasional yang mengikat ( hard international law on regulation and supervision ) mengenai jasa keuangan, melainkan dalam wujud instrumen hukum yang tidak mengikat ( soft law ) dalam bentuk standardisasi. Dalam konteks ini, maka hukum internasional harus menghadirkan apa yang disebut sebagai ‘meta norms”, yaitu aturan yang memungkinkan adanya regulasi dan institusi keuangan yang kompetitif pada level domestik. Meta norms ini adalah produk dari kerjasama internasional yang menghasilkan semacam nilai-nilai pokok ( core values ) dalam pembentukan dan regulasi lembaga jasa keuangan. Berdasarkan “ core values ” dalam pembentukan lembaga jasa keuangan di berbagai negara dapat diketahui ada 4 tujuan utama dalam pembentukan lembaga tersebut, yaitu:
Keselamatan dan kesehatan lembaga keuangan ( safety and soundness of financial institutions ), 2. Mitigasi risiko sistemik ( mitigation of systemic risk ), 3. Keadilan ( fairness ) dan efisiensi pasar ( fairness and efficiency of markets ), 4. Perlindungan konsumen dan investor ( the protection of customers and investors ). Selain mengacu kepada tujuan pokok di atas, dalam membentuk lembaga pengawas jasa keuangan, negara-negara juga akan memperhatikan sistem hukum domestiknya, sejarah, politik, budaya, perkembangan ekonomi, dan budaya bisnis setempat (lokal). Negara-negara memiliki keragaman dalam regulasi dan supervisi jasa keuangannya. Secara teoritis paling tidak ada 4 pendekatan yang digunakan negara-negara dalam melakukan supervisi terhadap jasa keuangannya, yaitu:
Pendekatan institusional. Pendekatan ini berbasis pada status kelembagaan (misalnya, bank atau perusahaan asuransi). Kemudian ditentukan regulator mana yang memiliki wewenang untuk mengawasi aktivitas lembaga pengawas jasa keuangan tersebut baik keselamatan dan kesehatannya maupun dari segi perilaku bisnisnya. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain China. 111 Lembaga Pengawas Jasa Keuangan China beroperasi dengan pendekatan institusional, tapi juga menggunakan beberapa elemen dari pendekatan fungsional. Sementara negara-negara lain sudah bergeser dengan menggunakan pendekatan ‘ integrated” ( integrated approach ) atau “ Twin Peaks ”, China tetap konsisten dengan pendekatan institusional. Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Mexico. Di negara tersebut ada tiga lembaga pemerintah yang bertugas untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan yaitu: the National Banking and Securities Commission (CNBV), the National Insurance and Bond Companies Commission (CNSF), and the National Commission for the Retirement Savings System (CONSAR).
Pendekatan Fungsional. Pendekatan Fungsional menekankan kepada fungsi pengawasan dimana fungsi pengawasan tersebut ditentukan oleh aktivitas bisnis dari suatu entitas tanpa secara khusus mempertimbangkan status kelembagaan dari lembaga pengawas tersebut. Masing-masing aktivitas bisnis tersebut memiliki badan pengatur sendiri-sendiri. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain adalah Italia. Di negara tersebut, pengaturan jasa keuangan diatur berdasarkan fungsinya menjadi 4 kategori: perbankan, investasi, manajemen aset, dan asuransi. Masing-masing memiliki lembaga pengawas dan aturannya. Sejak tahun 2004 terjadi perdebatan di Itali mengenai perlunya reformasi struktural dari lembaga pengawas keuangan. Reformasi tersebut mengarah kepada pendekatan “ Twin Peaks ”. Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Perancis. Meskipun pendekatannya lebih mendekati “ Functional Approach ”, sebagaimana halnya Italia, dalam beberapa hal juga mengadopsi elemen-elemen dari pendekatan “ Twin Peaks ”.
Pendekatan integrated . Pendekatan ini menggunakan satu lembaga pengawas (single universal regulator) untuk melaksanakan fungsi pengawasan baik untuk aspek keselamatan dan kesehatan dan perilaku bisnisnya untuk seluruh sektor jasa keuangan. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain Inggris. Dengan pendekatan ini Inggris membentuk Financial Service 112 Agency (FSA) untuk mengatur dan mengawasi hampir semua urusan jasa keuangan di Inggris termasuk perbankan, sekuritas, dan asuransi. Ada 4 tujuan yang ingin dicapai:
. Menjaga kepercayaan pasar, meningkatkan kesadaran publik mengenai jasa keuangan, melindungi konsumen, dan mengurangi kejahatan dibidang keuangan. FSA juga memiliki kewenangan penyidikan ( investigatory ), penegakan hukum, dan penuntutan. Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Jerman dengan beberapa perbedaan dari praktik di Inggris. Di Jerman, pengawasan asuransi dipisah antara pemerintah federal dengan negara bagian. 4. Twin Peaks Pendekatan ini menekankan kepada pengaturan berbasis tujuan (objective). Ada pemisahan fungsi pengaturan antara dua regulator yaitu yang mengatur mengenai keselamatan dan kesehatan jasa keuangan dan yang mengatur mengenai perilaku bisnis. Negara yang menggunakan pendekatan ini antara lain Australia sejak tahun 1997 yang memisahkan “regulatory oevrsight” dengan “ conduct-of-business regulation ” ( separates prudential regulatory oversight from conduct-of-business regulation ). Negara lainnya yang menggunakan pendekatan ini adalah Belanda. Agak berbeda dengan Australia, Bank Sentral Belanda juga berperan mengawasi jasa keuangan termasuk perbankan, asuransi, dana pensiun, dan sekuritas [ the central bank (DNB) also serves as the prudential and systemic risk supervisor of all financial services, including banking, insurance, pension funds, and securities ]. Kesimpulan 1. Tidak ada model yang dapat dijadikan acuan yang sepenuhnya dapat memenuhi tujuan dan kepentingan pembentukan lembaga pengawas keuangan di suatu negara ( No single model may be optimal on a “one size fits all” basis for all jurisdictions ).
Ada perbedaan dan kondisi tertentu yang menjadikan pengaturan dan pengawasan jasa keuangan dilakukan dengan model dan pendekatan yang berbeda. Masing-masing memiliki tujuan dan fungsi tersendiri. Untuk masalah tertentu lebih pas diatur dan diawasi dengan model tertentu, 113 sedangkan masalah lainnya lebih tepat untuk diatur dengan kewenangan tertentu.
Pengertian “Supervisi” atau pengawasan harus dibedakan dari “Regulasi”. Supervisi atau pengawasan lebih menitikberatkan kepada penegakan terhadap atauran atau standar-standar yang ditetapkan ( the enforcement of regulatory standards ).
Pengertian “Supervisi” atau “Pengawasan” dalam arti luas tidak hanya mengawasi dalam pengertian administratif, melainkan termasuk penegakan hukumnya yang didalamnya termasuk juga kewenangan untuk melakukan penyidikan.
Pengertian “Supervisi” dalam arti luas digunakan oleh negara-negara misalnya Inggris dalam rangka memenuhi ke 4 (empat) tujuan utama pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan.
Kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh Otoritas Jasa keuangan Indonesia harus dipahami dan diletakkan dalam konteks pemenuhan tujuan utama pembentukan lembaga pengawas jasa keuangan. Saksi Presiden 1. Kombespol Dr. Warasman Marbun, S. H. Menurut Saksi, penyidik OJK adalah penyidik yang bekerja di sektor jasa keuangan, apabila ada hasil investigasi, baik itu investigasi dari perbankan, pasar modal, maupun hasil investigasi industri keuangan nonbank yang kemudian ditujukan kepada OJK untuk dilakukan pemeriksaan, sudah ada tim yang akan menangani. Tim tersebut akan melakukan ekspos, yang menghadirkan pihak-pihak terkait dengan hasil investigasi seperti Departemen Pemeriksa Jasa Otoritas Jasa Keuangan, Departemen Hukum, dan tidak menutup kemungkinan satker-satker lain dihadirkan. Dengan tujuan agar hasil investigasi yang ditemukan atau hasil yang ditujukan itu kepada OJK jelas, langkah selanjutnya dilakukan pemeriksaan atau penelaahan atau yang lebih tren dikalangan PPNS disebut dengan penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh penyidik OJK hampir sama dengan kepolisian namun di Kepolisian lebih dikenal dengan istilah penyelidikan. Menurut Saksi, dari segi etimologi pengertian penelitian lebih luas. Langkah selanjutnya, setelah memperoleh hasil dari telaahan dari tim yang terdiri dari berbagai satker, maupun dari departemen-departemen itu, dilakukan 114 semacam gelar perkara. Maksud dan tujuan gelar perkara untuk memastikan bahwa semua tahapan dilakukan sesuai hasil investigasi, tidak dilakukan secara serampangan, dan tidak sembrono, sehingga benar-benar dilakukan secara profesional dan akuntabel, dan jika dilanjutkan sampai ke tingkat penyidikan, hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Menurut Saksi, sebenarnya disinilah awal penegakan hukum atau due process of law , penegak hukum dipersilahkan menegakkan hukum, namun tidak boleh salah, tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, tidak boleh bertentangan dengan hak asasi manusia. Sehingg sangat jelas, dalam tataran gelar perkara itu, dapat dilihat bagaimana pertanggungjawaban yang akan dihasilkan. Gelar perkara hyang dilakukan akan menghasilkan sebuah keputusan apakah akan dilaksanakan penyidikan atau tidak. Jika ditemukan bukti permulaan yang cukup adanya penyimpangan dalam sektor jasa keuangan makan akan dilaksanakan penyidikan, namun jika itu tidak ditemukan maka tidak dilaksanakan penyidikan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana proses penyidikan dilakukan, Sudah pasti, ada dasar hukumnya yang disebut dengan laporan kejadian tindak pidana sektor jasa keuangan. Kalau di kepolisian disebut laporan polisi, laporan polisi terdiri atas 2 model yaitu laporan polisi model A dan laporan polisi model B. Perbedaan kedua laporan itu yaitu laporan polisi model A dilaporkan oleh polisi sendiri karena terjadi dugaan pidana. Kalau laporan polisi model B itu adalah dilaporkan oleh masyarakat. Laporan polisi ini untuk PPNS atau lembaga-lembaga di luar kepolisian, istilahnya adalah laporan kejadian. Jika ada laporan kejadian dari hasil dari tindak pidana sektor jasa keuangan, maka diterbitkan apa yang disebut Sprindik, Sprindik di OJK dilakukan menggabungkan PPNS dengan penyidik kepolisian yang ada atau yang bertugas di OJK. Alasan mengapa digabungkan yang pertama, untuk efisiensi, kedua, untuk lebih efektivitas. Dengan penggabungan tersebut diharapkan menjadi lebih cepat, lebih tepat, lebih baik. Sehingga, tidak lagi nanti saling menunggu karena dapat langsung bertukar data, langsung saling memberikan keahlian, sesuai dengan wujud dari penyidikan itu. 115 Selanjutnya, dengan adanya putusan MK bahwa SPDP itu apabila sudah terbit Sprindik paling lambat 7 hari, sudah harus dikirim ke jaksa penuntut umum, SPDP itu, dan dikirim tembusannya kepada pelapor maupun terlapor. Kemudian, sambil mengumpulkan alat-alat bukti dan barang bukti, maka dilakukan gelar perkara kembali oleh tim penyidik tadi. Tujuannya untuk memeriksa apakah alat bukti yang dikumpulkan itu didukung dengan barang bukti sudah benar-benar terang-benderang. Seperti doktrin hukum pidana mengatakan, “ In criminalibus probantiones beden profeci clarioles.” Artinya, begitu penegak hukum pidana menemukan alat bukti maupun barang bukti, maka barang bukti itu harus lebih terang dari cahaya. Sehingga dalam menetapkan tersangka nanti, kualitas alat bukti itu bisa bernilai, dan memiliki hubungan dengan perkara tersebut. Gelar perkara dilakukan beberapa kali dengan tujuan agar bisa mendapatkan kepastian hukum yang paling bagus, khususnya menetapkan tersangka. Dalam penetapan tersangka ini pun dilihat lagi apakah sudah diperiksa dia sebagai calon tersangka. Hal ini sangat penting, tidak dapat secara langsung menetapkan seseorang menjadi tersangka sekalipun didukung barang bukti yang kuat, calon tersangka ini harus diperiksa dulu sebagai saksi. Gunanya untuk calon terangka tersebut dapat menerangkan kejadiannya baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk di luar sendiri. Sehingga nanti kelihatan dalam gelar perkara, apakah ditemukan alat bukti, kemudian didukung barang bukti melalui tahapan bukti permulaan yang cukup, bukti yang cukup dimaknai dua alat bukti. Dengan adanya penyidik polri yang bergabung dengan PPNS menjadi satu dalam satu rumah, penegakan hukum yang ditangani menjadi kuat, efektif, dan efisien, sehingga dalam penanganan perkara tidak mengalami kemunduran, keterlambatan, ataupun jeda waktu yang sangat lama. Jika dilihat dari KUHAP itu sampai sejauh mana batasan penyidikan, jawabannya tidak ada batasannya. Sehingga kadang-kadang sebuah perkara ulang tahun tiga kali, dalam arti tidak dapat diselesaikan dalam waktu tiga tahun. Menurut saksi, perlu adanya koordinasi, kerja sama terutama dalam satu tim, sehingga penanganan kasusnya itu berjalan baik. Jika kasusnya tidak dapat dibuktikan, maka dapat langsung dihentikan. Penghentian ini akan diberitahukan kepada pelapor, diberitahukan juga 116 kepada tersangka apabila sudah terlanjur ditetapkan tersangka, sehingga keadilan kepastian hukum itu menjadi bermanfaat bagi siapapun atau pencari keadilan. Jika ada yang menanyakan siapa yang berhak menerbitkan Sprindik dan asiapa yang berhak yang menerbitkan SPDP dan, jawabanya sebagai berikut sprindik lahir dari laporan kejadian tindak pidana sektor jasa keuangan yang dibuat oleh tim gabungan Penyidik OJK dengan Kepolisian. Kemudian, berdasarkan sprindik itu diterbitkanlah SPDP. Yang menerbitkan SPDP adalah penyidik OJK, Penyidik OJK mengirimkan SPDP ke Kejaksaan, paling lambat 7 hari, yang ditembuskan kepada pelapor maupun terlapor. Jika terjadi praperadilan, gugatannya dilayangkan kemana, jawabannya sudah pasti ke OJK karena penyidiknya ada di sana. Jadi, supaya tidak error in objec t, tidak salah alamat, ditujukan ke penyidik OJK. Untuk Tindak pidana sektor jasa keuangan, apabila itu dilaporkan ke kepolisian, jika dilaporkan ke Mabespolri maupun ke Polda akan ditangani oleh dir eksus (direktorat eksus). Sehingga tidak ada tumpang-tindih, tidak ada overlap karena tergantung dari mana laporannya itu. Kalau masyarakatnya lapor ke polisi, maka akan ditangani polisi. Kalau lapor ke OJK, akan ditangani oleh penyidik OJK. Bagaimana sinergitasnya agar supaya tidak tumpang-tindih disinilah pentingnya nota kesepahaman antara lembaga Polri maupun OJK. Dengan demikian, ya, penanganan perkaranya tergantung dari mana sumber penanganan perkara itu. Karena sumber-sumber menangani perkara dugaan pidana itu banyak. Dapat berdasarkan laporan, berdasarkan pengaduan, berdasarkan kalau umum tertangkap tangan, bisa karena surat, atau bisa karena SMS, bisa. Tapi nanti ditindaklanjuti dengan bukti tulisan. Jadi, inilah semua dasarnya untuk menindaklanjuti, apakah terjadi terutama dugaan penyimpangan, terutama mungkin indikasi tindak pidana di sektor jasa keuangan. Terhadap pernyataan yang menyatakan dengan adanya penyidik OJK menyebabkan kewenangan penyidik kepolisian berkurang. Menurut Saksi kewenangan penyidik kepolisian tidak berkurang, justru sebaliknya seharusnya penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan menumpuk di kepolisian, namun karena ada lembaga OJK yang mempunyai kewenangan khusus di bidang penyidikan penumpukan tindak pidana di sektor jasa keuangan di kepolisian tidak akan terjadi. 117 Sekarang terserah masyarakat, terserah masyarakat yang dirugikan mau lapor kemana mau ke Kepolisian maupun ke OJK. Bila perlu ketika gelar perkara akan saling mengundang. Bagaimana nanti pembuktiannya, bagaimana korelasi perbuatan dengan dugaan tindak pidana. Menurut Saksi, rekan-rekan dari OJK ini sangat berpengalaman di bidang otoritas jasa keuangan. Dari mana uang itu dapat, mau dikemanakan uang itu, lalu bagaimana mempermainkan uang ini sesuai dengan ketentuan, merekalah ahlinya. Bagaimana profesionalitas dari penyidik Polri terkait perbankan, keuangan, dan sebagainya. Profesionalitas itu harus didukung dengan SDM, terutama kemampuan hukum yang bagus di bidang keuangan agar penyidik ini lebih eksis, lebih akuntabel, lebih bisa memerankan hukum, menerapkan hukum yang adil, menerapkan hukum yang benar. Saksi berasal dari divisi hukum kepolisian, Saksi mengetahui divisi hukum dapat melakukan gelar perkara karena Pasal 69 sampai Pasal 74 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 mengatur mengenai gelar perkara. Jadi, segala perkara, terutama yang dikomplain oleh pendumas[ Sic! ] itu selalu digelar di Biro Wassidik Mabes Polri. Jadi, sudah banyak sekalit pengalaman di dalam gelar perkara secara praktisi. Lalu agar kinerja ini bersinambungan dengan baik, dibuatlah MoU. Kemudian, dalam membuat MoU itu walaupun pengagas para pihak, namun Divisi Hukum Polri adalah pintu gerbang untuk membuat atau merancang yang disebut nota kesepahaman, atau perjanjian kerja sama, atau perjanjian kesepakatan. Selain bertugas di divisi hukum Kepolisian, Saksi juga sebagai pengajar atau dosen di Diklat Reserse Megamendung, khususnya mengajar mata kuliah perundang-undangan keterkaitan dengan penyidikan. Menurut Saksi, ada kurang- lebih 62 undang-undang yang mengatur tentang penyidikan, pengatur tentang materi ketentuan pidana. Jadi, dengan adanya data-data ini, Saksi mengetahui bagaimana korelasi atau kaitan-kaitan yang ditangani oleh penyidik di OJK. Mulai dari Tahun 2016 sampai dengan sekarang, kurang-lebih ada 23 kasus yang ditangani.
Johansyah Saksi adalah Pemimpin Divisi Hukum di PT Bank Negara Indonesia Persero Tbk, yang merupakan salah satu BUMN yang bergerak di bidang keuangan dan 118 tergabung di dalam Himbara. Himbara adalah badan hukum perkumpulan yang beranggotakan bank-bank milik negara yang antara lain beranggotakan bank-bank yang terdiri atas BNI, BTN, Bank Mandiri, dan Bank Rakyat Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini perkembangan perekonomian salah satu pranata kuncinya adalah sektor jasa keuangan dan kecenderungannya semakin mengarah ke arah globalisasi. Tentunya dengan kondisi ini memerlukan pengaturan, pengawasan yang sifatnya terintegrasi oleh sebuah lembaga, oleh sebuah otoritas yang dianggap objektif dan profesional itu niscaya diperlukan untuk menumbuhkembangkan kepercayaan dan keyakinan, bukan hanya dari para pelaku industri itu sendiri, tetapi juga dari para masyarakat pengguna jasa sektor keuangan. Saksi sebagai bagian dari Himbara menyatakan rumusan ketentuan mengenai penyidikan yang ada di dalam Undang-Undang OJK ini, baik dari sisi hukum materiilmaupun dari sisi hukum formilnya, sudah memberikan kepastian. Dalam artian bahwa dalam bidang perbankan, tindak pidana yang dapat disidik oleh OJK, hanya terbatas tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang OJK. Menurut Saksi, rumusan di Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang OJK, memuat mengenai penyidik OJK yang dalam melaksanakan tugas/wewenangnya merujuk kepada KUHAP. Sehingga menurut Saksi, OJK dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik mengacu pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang OJK itu sendiri. Namun jika tidak diatur tersendiri atau khusus dalam Undang-Undang OJK, maka akan mengacu kepada KUHAP sebagai lex generalis- nya. Selanjutnya Saksi menyatakan bahwa selain memiliki kewenangan penyidikan, OJK juga memiliki kewenangan selaku pengawas, yaitu pengawasan terhadap operasional jasa keuangan, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap perbankan. Menurut kewenangan ini, dalam praktiknya mempermudah untuk mengindentifikasi hal-hal yang kemudian bisa dianggap sebagai tindak pidana. Berdasarkan pengalaman, Saksi mengetahui bahwa sudah ada memorandum atau nota kesepahaman antara kepolisian dengan OJK tentang bagaimana penyidikan itu dilakukan. Dalam praktik yang Saksi alami, dalam bidang perbankan pada saat penyidik Polri masuk menyidik suatu perkara dan kebetulan perkara tersebut sebelumnya sudah pernah diselidiki oleh OJK, 119 biasanya akan informasikan bahwa perkara ini sudah pernah masuk dalam area penyidikan di OJK ataupun sebaliknya. Dan terhadap hal-hal seperti itu, penyidik kepolisian akan mencatat keterangan itu dan biasanya akan dipertimbangkan di dalam pada saat gelar perkara. Proses penyidikan yang dilakukan oleh OJK, khususnya proses penyelidikannya, didahului dengan pemanggilan untuk memberikan bukti-bukti atau dokumen-dokumen tertulis. Proses diskusinya dapat dilakukan lebih awal dan proses ini melibatkan pengawas, sehingga, dapat langsung mengklarifikasi bagian yang dipertimbangkan oleh penyidik seperti misalnya area business judgment . Saksi melihat bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh OJK sudah mempertimbangkan banyak aspek seperti keterangan, dan posisi permasalahan, ataupun fakta yang perbankan sampaikan. Menurut saksi, melihat bahwa tidak ada hal yang memberikan ruang atau celah yang kami merasa bahwa ini hal-hal yang belum memberikan jaminan kepastian buat kami di industri keuangan maupun buat kami di praktiksi di lembaga keuangan. Saksi meyakini bahwa hukum pidana ini adalah ultimum remedium, selaku Pemimpin Divisi Hukum di BNI, salah satu tugas pokok-pokok dan fungsinya adalah menangani permasalahan-permasalahan dan perkara-perkara hukum, termasuk di antaranya perkara pidana. Dan salah satu perkara pidana yang pernah Saksi tangani adalah hasil penyelidikan yang dilakukan oleh pihak OJK. Saksi melihat dan mencermati prosesnya mulai dari surat panggilan yang disampaikan, tindak pidana yang tegas disebutkan bahwa tindak pidana yang dilakukan proses penyelidikan ini adalah tindak pidana perbankan, tidak memasukkan hal-hal lain di luar Undang-Undang Perbankan. Saksi meyakini bahwa tindak pidana yang dimasukkan sebagai hukum materi penyidikan OJK terbatas pada Undang-Undang Perbankan itu sendiri. Mengenai surat panggilan, Saksi mengetahui bahwa dasar-dasar pemanggilan yang OJK lakukan itu didasarkan pada KUHAP. Kemudian, proses yang Saksi alami pada saat menghadiri pemanggilan, menyampaikan bukti-bukti, masih bersesuaian dan sejalan dengan apa yang diatur di dalam ketentuan yang diatur di dalam KUHAP. Saksi merasa bahwa dalam proses penyelidikan yang dilakukan itu tidak ada hal yang menjadi tidak jelas, atau tidak pasti. 120 [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Februari 2019, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. KETENTUAN UU OJK YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD TAHUN 1945 Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 1 angka 1 UU OJK: Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain , yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Berdasarkan Putusan MK Nomor 25/PUU-XII/2014 Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK berubah menjadi: Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disebut OJK adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Pasal 9 huruf c UU OJK: Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, _OJK mempunyai wewenang: _ c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 121 B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON YANG DIANGGAP DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 1 ANGKA 1 DAN PASAL 9 HURUF C UU OJK Bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya ketentuan pasal- pasal a quo sebagaimana dikemukakan dalam permohonannya yang pada intinya:
Bahwa frasa “dan penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 dan frasa “penyidikan” dalam Pasal 9 huruf c UU OJK dianggap merugikan Para Pemohon. Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV yang berprofesi sebagai dosen dan khusus Pemohon I yang merangkap dosen sekaligus advokat berpendapat bahwa mereka memilikikedudukan hukum yang dirugikan khususnya jika dilihat secara keilmuan hukum pidana . Sebagaimana dipelajari dan didalami oleh Para Pemohon dalam pemberian criminal justice system di Indonesia, yang juga sebagai negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara hukum, maka asas due process of law merupakan proses yang harus dijalankan oleh negara cq aparat hukum yang telah diatur dalam KUHAP namun justru Para Pemohon beranggapan hal tersebut diabaikan oleh berlakunya UU OJK. (Vide perbaikan permohonan hlm. 8). 2. Bahwa selain Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV yang berperan sebagai dosen, terdapat Pemohon V dan Pemohon VI yang berprofesi sebagai karyawan swasta yang juga beranggapan mengalami kerugian karena saat ini sedang menjalani masa tahanan sebagai pihak yang disangka melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan. Menurut Pemohon V dan Pemohon VI, hal ini disebabkan adanya tindakan sewenang- wenang dalam penyidikan OJK yang membuat pelaku usaha menjadi terhenti usahanya serta masyarakat menjadi tidak terlayani. (Vide perbaikan permohonan hlm. 12) Bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sebagai berikut:
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 __ “Negara Indonesia adalah negara hukum.” 122 2. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, para Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata “dan penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5.253) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan Pasal 9 huruf c terhadap kata “penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5.253) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono) . C. KETERANGAN DPR RI Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonan a quo , DPR RI dalam penyampaian keterangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon sebagai berikut:
Kedudukan Hukum ( legal standing ) para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), yang menyatakan bahwa “ Para Pemohon adalah 123 pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya _dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ _a. perorangan warga negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik _Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara”. Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “ hak konstitusional ” adalah “ hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “ hak konstitusional ”. Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai para Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasinya sebagai para Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang a quo . Mengenai batasan kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; 124 b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon dalam perkara pengujian Undang-Undang a quo , maka para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pemohon. Bahwa terhadap kedudukan hukum (Legal Standing) Pemohon, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional sebagai berikut:
Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; Bahwa Para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan melalui Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 pada intinya mengatur bahwa Indonesia adalah negara hukum. Adapun Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak tepat dipertentangkan dengan ketentuan pasal a quo UU OJK karena ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak mengatur hak asasi manusia tetapi mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Bahwa terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon, dalam perbaikan permohonan a quo , para Pemohon tidak menjelaskan dan tidak 125 dapat membuktikan adanya keterkaitan antara Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan pasal a quo UU OJK. Bahwa adapun Para Pemohon beranggapan adanya tumpang tindih kewenangan penyidik Polri, KPK dan OJK adalah tidak berdasar, karena dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP mengatur mengenai penyidik pejabat pegawai negeri sipil selain pejabat Polri. Dengan demikian, hak konstitusional yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon sama sekali tidak ada relevansinya dengan ketentuan pasal a quo UU OJK. __ b. Terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; Bahwa Para Pemohon mendalilkan ketentuan pasal a quo UU OJK telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses penanganan tindak pidana di sektor Jasa Keuangan akibat adanya tumpang tindih kewenangan antara penyidik Polri, KPK, dan OJK ( vide perbaikan permohonan hal. 24). Bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa kerugian yang didalilkan Para Pemohon tersebut terkait dengan adanya tumpang tindih kewenangan penyidik antara Polri, KPK, dan OJK yang menimbulkan ketidakpastian hukum adalah anggapan yang tidak berdasar, karena ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP menyatakan penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang. Bahwa dengan demikian kerugian yang didalilkan para Pemohon hanya bersifat asumsi karenanya kerugian tersebut bukan akibat dari berlakunya ketentuan pasal a quo UU OJK yang dimohonkan pengujian.
Terkait dengan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV yang berprofesi sebagai dosen/advokat merasa dirugikan dengan adanya frasa “dan penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 dan frasa “penyidikan” dalam Pasal 9 126 huruf c UU OJK. Selanjutnya Pemohon V dan Pemohon VI yang berprofesi sebagai karyawan swasta yang juga beranggapan mengalami kerugian karena saat ini sedang menjalani masa tahanan sebagai pihak yang disangka melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan. Bahwa terhadap dalil para Pemohon, DPR RI berpandangan sebagaimana dikemukakan, tidak terdapat relevansi antara ketentuan pasal a quo UU OJK dengan UUD 1945 dan tidak terdapat kerugian konstitusional. Artinya kerugian yang didalilkan para Pemohon tidak disebabkan oleh karena berlakunya ketentuan pasal UU a quo . Bahwa kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut kabur dan tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau tidak bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. DPR RI juga berpandangan bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV dalam kedudukannya sebagai dosen seharusnya mampu menjelaskan kepada mahasiswa bahwa adanya wewenang OJK tersebut merupakan hal yang wajar dalam perkembangan penegakan hukum pidana, dimana dalam tindak pidana khusus tertentu diperbolehkan dibentuk penyidik selain pejabat Polri (dalam hal ini OJK) yang dapat diberikan wewenang sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya. Bahwa berdasarkan UU a quo , pembentukan OJK dilatarbelakangi karena banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan harus dilakukan secara terintegrasi. Oleh karenanya OJK diberi kewenangan untuk melaksanakan tugasnya dengan didukung keahlian khusus di bidang jasa keuangan. 127 Bahwa adanya salah satu wewenang penyidikan pada OJK diberikan untuk menjamin penegakan hukum pidana di sektor jasa keuangan sehingga tujuan dibentuknya OJK adalah agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel dapat terwujud;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat ( vide Pasal 4 UU OJK). Dengan demikian, DPR RI berpandangan bahwa kerugian para Pemohon tidak bersifat spesifik dan tidak aktual, serta tidak bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Para Pemohon dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; Bahwa sebagaimana dikemukakan pada huruf a, b, c tersebut para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional dalam pengujian UU a quo dan para Pemohon tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi. Bahwa atas dasar hal tersebut, sudah dapat dipastkan tidak ada hubungan sebab akibat antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan pasal yang dimohonkan pengujian. Bahwa para Pemohon tidak memiliki kepentingan hukum dalam norma mengenai pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan yang dilakukan oleh OJK, seperti Lembaga Jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Bahwa atas dasar itu para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional yang terjadi karena pasal-pasal a quo . Bahwa Pemohon V dan Pemohon VI juga mendalilkan mengalami kerugian karena adanya wewenang penyidikan OJK terhadap kedua Pemohon yang disangka melakukan tindak pidana dalam sektor jasa 128 keuangan. DPR berpandangan bahwa hal tersebut merupakan permasalahan implementasi norma, bukan konstitusionalitas norma. Sehingga dengan demikian, kerugian yang didalilkan Pemohon V dan Pemohon VI tidak memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) dengan pasal-pasal a quo . Bahwa ketentuan pasal a quo UU OJK tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon, sebaliknya, ketentuan pasal a quo UU OJK telah memberikan jaminan kepastian hukum kepada para Pemohon sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Bahwa sebagaimana uraian di atas, tidak jelas apa kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang dialami oleh para Pemohon yang diasumsikan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Para Pemohon dalam menguraikan kerugiannya yang disebabkan pasal a quo hanyalah berdasarkan asumsi-asumsi subjektif, tidak menyangkut kepentingan umum dalam penegakan hukum pidana. Fungsi tersebut bagi OJK tentu dianggap penting, jika Permohonan para Pemohon dikabulkan justru akan merugikan kewenangan konstitusional pihak-pihak terkait lainnya dan merugikan kepentingan penegakan hukum pidana sektor perbankan bagi masyarakat. Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apapun pada para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing) para Pemohon, DPR RI juga memberikan pandangan sesuai dengan Putusan MK Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno MK 129 terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa: …Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum” (no action without legal connection. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut, DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak, kewenangan konstitusionaInya dan/atau adanya keterkaitan logis dan causal verband yang ditimbulkan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005, dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
Pengujian Atas Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan para Pemohon, DPR RI berpandangan dengan memberikan keterangan/penjelasan sebagai berikut: 130 a. Pandangan Umum 1) Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berketentuan “Indonesia adalah Negara Hukum. ” Jimly Asshiddiqie menyebut bahwa gagasan Negara Hukum dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya. (Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia dalam http: //www.jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_I ndonesia.pdf, hlm. 1) 2) Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”. Ketentuan tersebut sudah jelas menegaskan bahwa setiap orang termasuk para Pemohon mendapatkan perlindungan jaminan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa berlakunya ketentuan pasal a quo UU OJK justru memberikan jaminan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana yang dituangkan dalam tujuan pembentukan OJK yang tertuang dalam ketentuan Pasal 4 UU OJK yang menyatakan OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Bahwa sebagai bentuk pengejawantahan negara hukum dan pentingnya pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dibentuk UU OJK. Pembentukan UU OJK dilakukan untuk melancarkan tugas, 131 fungsi, dan tujuan dibentuknya OJK agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness) .
Pandangan terhadap Pokok Permohonan 1) Bahwa para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan pasal-pasal a quo UU OJK telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan akibat adanya tumpang tindih kewenangan antara pejabat Polri, KPK, dan OJK. ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24). Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan sebagai berikut: a) Bahwa OJK diberi kewenangan khusus untuk melakukan penyidikan melalui Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengawasan sektor jasa keuangan. Bahwa adanya wewenang penyidikan oleh OJK merupakan hal lazim dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menjamin bahwa Indonesia adalah negara hukum, serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil . b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP, penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b (PPNS) 132 mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri). Pengaturan mengenai penyidikan pada OJK muncul karena tindak pidana atau hal-hal yang menyangkut pelanggaran pidana atau tindak pidana di sektor jasa keuangan yang kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan, baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Bahwa adanya kekhususan tersebut, maka permasalahan di sektor jasa keuangan perlu ditangani secara hati- hati oleh orang yang khusus dan ahli di bidangnya. Namun kewenangan tersebut tetap dilakukan di bawah koordinasi dan pengawasan kepolisian yang memiliki tugas penyidikan. Keberadaan PPNS OJK telah sesuai dengan tujuan dibentuknya UU OJK dan dibahas berulangkali dalam pembahasan pembentukan UU OJK (vide risalah pembahasan UU OJK). c) Bahwa sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UU OJK, wewenang khusus sebagai PPNS OJK dilakukan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Mengenai hal tersebut, di dalam KUHAP telah diatur bagaimana penyidikan yang dilakukan oleh PPNS agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan penyidikan dengan penyidik Polri, yang diatur antara lain: • Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b (PPNS) mempunyai wewenang sesuai dengan undang- undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri) (vide __ Pasal 7 KUHAP) • Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada PPNS tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan [vide __ Pasal 107 ayat (1) KUHAP]. • PPNS tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika 133 dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum [vide __ Pasal 107 ayat (2) KUHAP]. • Jika PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahan hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum dilakukan PPNS melalui penyidik Polri [vide __ Pasal 107 ayat (3) KUHAP]. • Bahwa permohonan Para Pemohon terkait pasal mana yang dianggap bertentangan dengan konstitusi menjadi obscuur libels (tidak jelas/kabur). Dalil para Pemohon tersebut bersifat asumtif karena tidak dilandasi argumentasi yuridis. Bahwa telah jelas ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU OJK mengatur: Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dari pasal a quo, terdapat frasa unsur penyidik “ Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia” dan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. __ Hal tersebut jelas menunjukkan adanya rujukan kepada KUHAP. Sehingga dapat dikatakan bahwa penyidik OJK bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam KUHAP. d) Bahwa jika PPNS menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum [vide __ Pasal 109 ayat (3) KUHAP]. Sehingga dari ketentuan tersebut jelas bahwa PPNS dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik harus 134 berkoordinasi dengan penyidik Polri sebelum melakukan penyidikan agar terjadi kesinkronan, kesatuan pemahaman,dan gerak, serta tindakan apa yang dilakukan dalam melakukan penyidikan. Oleh karenanya, penyidik Polri harus berperan aktif dalam memberikan bantuan serta petunjuk kepada PPNS dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik. Dengan demikian, dengan adanya koordinasi dan pengawasan dari penyidik Polri, diharapkan tidak menimbulkan suatu permasalahan dengan sistem peradilan pidana yang ada, yakni dalam hubungannya dengan penyidik Polri. e) Bahwa terkait kerangka sistem peradilan pidana (criminal justice system) , dimana aktivitas pelaksanaannya merupakan “fungsi gabungan” (collection of function) dari legislator, polisi, jaksa, pengadilan, dan penjara serta badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan maupun di luar pemerintahan. Dengan demikian, kegiatan sistem peradilan pidana didukung dan dilaksanakan dengan empat fungsi utama, yaitu fungsi pembuat undang-undang, fungsi penegakan hukum, efek preventif, fungsi pemeriksaan persidangan pengadilan, dan fungsi memperbaiki terpidana. Dari gambaran singkat tersebut, dapat terlihat berhasil atau tidaknya fungsi proses pemeriksaan sidang pengadilan yang dilakukan Jaksa PU dan Hakim yang menyatakan terdakwa salah serta memidananya sangat tergantung atas hasil penyidikan Polri. (M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 90-91). 2) Bahwa Para Pemohon mendalilkan pemberian wewenang “penyidikan” yang merupakan suatu tindakan pro justitia kepada financial supervisory institution in casu OJK adalah sangat tidak lazim (vide Perbaikan Permohonan hal. 22-23). Bahwa dalil Para Pemohon tersebut tidak berdasar karena para Pemohon tidak mencermati ketentuan peraturan perundang-undangan 135 secara komprehensif. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan:
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, PPNS adalah salah satu pengemban fungsi kepolisian yang membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dan melaksanakan kewenangan berdasarkan Undang Undang masing-masing. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk-Bentuk Pengamanan Swakarsa: PPNS adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing- masing. Pejabat PPNS diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ( cq Direktur Pidana Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum), dan diawasi dan dibina oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia ( cq Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS,Badan Reserse Kriminal) dan bertanggungjawab kepadaPimpinanKementerian/Lembaga/Daerah tempat PNS tersebut bernaung.
Bahwa eksistensi PPNS itu sendiri berasal dari ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Bahwa Pasal 6 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa _Penyidik adalah: _ _a. pejabat polisi negara Republik Indonesia; _ b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Rumusan Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP merupakan ketentuan yang bersifat umum. Sementara pengaturan mengenai penyidikan dalam UU OJK merupakan lex specialis dari Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP tersebut. 136 c. Bahwa keberadaan PPNS tidak hanya pada OJK, tapi juga terdapat pada beberapa lembaga negara lainnya. Beberapa contoh penyidik lainnya seperti PPNS Tata Ruang, PPNS Pajak, PPNS Imigrasi, PPNS Bea Cukai, PPNS Kehutanan, PPNS Pertanian, PPNS Kehutanan, dan lain-lain, yang dalam pelaksanaan fungsinya tetap merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun pengaturan tentang keberadaan PPNS pada beberapa lembaga negara di Indonesia dapat dilihat melalui tabel berikut: __ No. PPNS UNDANG-UNDANG PASAL 1. PPNS pada Kementerian Perhubungan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 259 ayat (1): Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh:
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus menurut Undang-Undang ini. Pasal 262 ayat (1): Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (1) huruf b berwenang untuk:
melakukan pemeriksaan atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor yang pembuktiannya memerlukan keahlian dan peralatan khusus;
melakukan pemeriksaan atas pelanggaran perizinan angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum;
melakukan pemeriksaan atas pelanggaran muatan dan/atau dimensi Kendaraan Bermotor di tempat penimbangan yang dipasang secara tetap;
melarang atau menunda pengoperasian Kendaraan 137 Bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan;
meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, atau Perusahaan Angkutan Umum atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan, pengujian Kendaraan Bermotor, dan perizinan; dan/atau
melakukan penyitaan surat tanda lulus uji dan/atau surat izin penyelenggaraan angkutan umum atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c dengan membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan.
PPNS pada Kementerian Kehutanan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaim ana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2004 juncto Perpu Nomor 1 Tahun 2004 Pasal 77:
Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimak-sud pada ayat (1), berwenang untuk:
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, 138 kawasan hutan, dan hasil hutan;
memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku;
meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana;
membuat dan menandatangani berita acara;
menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai 139 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
PPNS pada Kementerian Komunikasi dan Infor-matika Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 44:
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau ter- sangka;
melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang tele-komunikasi; 140 f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi, dan mengadakan penghentian penyidikan.
Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Latar Belakang Pembahasan UU OJK Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal-pasal terkait dalam undang- undang a quo sebagai berikut • Rapat Kerja (18 Agustus 2010) 1) Menteri Keuangan (Agus M.W.) __ Selanjutnya perkenankan kami untuk menjelaskan kembali secara umum hal-hal pokok yang tertuang dalam RUU OJK ini sebagai _berikut: _ Poin 7: Penegakan Hukum Dalam rangka penegakan hukum di sektor jasa keuangan, OJK memiliki kewenangan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana di bidang perbankan, pasar modal dan industri keuangan non bank. Penyidikan ini antara lain dilakukan oleh pejabat penyidik Kepolisian 141 Negara RI dan pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup, tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengawasan industri jasa keuangan di lingkungan OJK. 2) Anggota F-PG (Edison Betaubun, S.H., M.H.) __ Terkait Rancangan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan, Fraksi _Partai Golkar DPR RI berpandangan bahwa: _ _1. Ruang lingkup lembaga yang dibentuk meliputi: _ a. Pengaturan Ini penting dimiliki agar dapat melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan di bidang jasa keuangan. b. Pengawasan terpadu dan lintas sub sektor agar dapat mendeteksi resiko finansial dari kegiatan yang berada di wilayah abu-abu dalam suatu kegiatan konglomerasi jasa keuangan. c. Penegakan hukum yang dipunyai mencakup penyelidikan dan penyidikan agar mempunyai kewenangan dan tanggung jawab yang utuh dalam proses penegakan hukum. • Rapat Dengar Pendapat Umum (19 Agustus 2010) 1) Anggota F-PDIP (Trimedya Panjaitan) __ Tapi saya coba mendalami apa yang ada di dalam RUU OJK ini utamanya Pasal 41 ayat (3) soal kewenangan penyidikan yang diberikan kepada lembaga ini seandainya lembaga ini akan berdiri nanti. Saya sesuai dengan core saya saja. Kalau orang bisnis harus punya core pak. Core saya di hukum, saya hukum saja. Nah, kalau kita lihat di sini kan memang spirit dari ini tentu Pasal 6 ayat (1) KUHAP bahwa PPNS tapi sebagaiman kita ketahui dan mungkin juga pihak Bapak tahu atau tidak sekarang ini menurut data dari Kapolri ada sekitar 650 PPNS di sekitar 43 kelembagaan. Nah, ini tidak jelas efektifitasnya. __ … Sebenernya dalam posisi ini apakah kita ingin membentuk lagi instrumen-instrumen hukum baru yang mempunya kewenangan di bidang penyelidikan. Dia ini kalau dari mulai menerima laporan sampai Surat Penghentian Penyidikan, kewenangan yang diberikan 142 pada OJK ini. Dengan posisi kewenangan yang luar biasa seperti ini, kami agak khawatir walaupun nanti ini pada saat pendalaman masuk kepada pasal-pasal nanti DIM-DIM itu kita baru diskusikan lebih detil. Jadi dalam posisi ini kami ingin menanyakan kepada bapak-bapak sekalian apakah orang Bapak setuju dengan kewenangan ini. Apakah negara kita ini tidak cukup dengan lembaga-lembaga hukum yang sudah ada kepolisian, kejaksaan.... • Rapat Dengar Pendapat Umum (23 September 2010) 1) Akademisi (Insukindro) __ Jadi OJK itu lembaga apa Pak? Dalam undang-undang itu tidak jelas, ini saya kira perlu dijelaskan juga lembaga negara atau bukan lembaga negara semacam itu. Juga terkait dengan penyidikan, kalau kita baca pasal berapa ya itukan pegawai OJK adalah pegawai OJK, apakah itu PNS. Di dalam Pasal 41 disebutkan kecuali kepolisian kan pegawai negeri sipil mempunyai hak. Berartikan bisa jaksa, bisa macam-macam di situ. Ini nanti mirip-mirip KPK lagi, ketergantungannya sangat tinggi, semacam itu. Ini juga problem nanti kalau BI digabungkan dengan OJK, kemudian pegawai BI itukan bukan PNS. Apakah dia punya hak untuk melakukan penyidikan semacam itu atau diangkat jadi PNS. Ini menurut saya perlu clear. 2) Akademisi (Himawan) __ Hal yang perlu kita lihat juga itu adalah pengawasan. Pengawasan itu sebenarnya ada empat pilar yaitu, pemantauan, pemeriksaan, penyidikan, dan penegakan hukum. Ini yang belum kami lihat di dalam RUU ini yang mungkin harusnya lebih detail, lebih banyak kita perdalam untuk masalah pengawasan ini. __ … Kemudian masalah penyidikan, penyidikan yang saya lihat di sini lebih bersifat pasif. Yaitu adalah menerima laporan dari masyarakat, padahal yang harus dilakukan itu adalah lebih pro aktif karena permasalahannya sekarang adalah seringkali kasus misalkan kasus emeron, kasus supreme mortgage dan lain sebagainya yang muncul kemudian kasus Antaboga dan sebagainya, ini tidak bisa kalau ditunggu sudah terlalu besar. Masalahnya sudah terlalu besar ketika 143 kita sudah mendapatkannya. Kita tidak ada istilah di sini melakukan prevention. Dalam masalah pengawasan, kalau saya menggunakan pendekatan economic, itu yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan detaction rate, kemampuan untuk mendeteksi. Yang menjadi permasalahan selama ini adalah banyak unsure problem sebenarnya yang muncul, kasus-kasus seperti Antaboga yang itu di dalam nomenslan. Ini seharusnya yang menjadi perhatian kita itu adalah bagaimana menghilangkan atau meminimasi hal-hal seperti ini. Di dalam setiap crime itu ada yang disebut un recorded financis. Bagaimana menimalisasi un recorded financis ini yang saya pikir di dalam masalah penyidikan ini harus lebih jelas Pak untuk masuk ke sana. • Rapat Panja (21 Oktober 2010) 1) F-PG (Nusron Wahid) __ Nah saya setuju prinsipnya bahwa Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan ini yang kita susun ini tidak hanya menjadi basis pondasi pendirian suatu lembaga yang lembaga itu bergerak di bidang otoritas jasa keuangan. Yang namanya otoritas itu di situ meliputi 3 kewenangan kalau saya baca dalam undang-undang ini; kewenangan pertama adalah pengaturan mikro prudensial di bidang perbankan dan pengaturan secara keseluruhan, kemudian pengawasan, sama low enforcement karena ada penyidikan di situ di dalamnya. • Rapat Panja (26 November 2010) 1) Pemerintah __ … Di Undang-undang Pasar Modal itu ada penyidikan oleh Bapepam yaitu PPNS. Kemudian untuk di Bank Indonesia tidak ada penyidikan ternyata dan itu masalah buat Bank Indonesia selama ini karena mereka tidak bisa melakukan penyidikan, sehingga selalu lempar ke polisi ya hilang saja. Maaf ini kalau direkam karena kenyataannya begitu. Jadi kemudian, asuransi juga demikian. Kami selama ini kalau sudah masuk asuransi walaupun Bapepam LK begitu case-nya asuransi, kita langsung lempar ke polisi. Jadi berarti Kepolisian ini Bareskrim ini harus menguasai banget tentang 144 perasuransian, dana pensiun, kalau pasar modal dia tidak perlu karena penyidikannya di kita tapi kalau fraud tetap ke polisi. Tapi sudah manipulasi biasanya di Bapepam. Jadi sebenarnya teman-teman di Bank Indonesia pun juga bilang kalau ini memang mereka masuk ke OJK, sebaiknya OJK secara keseluruhan punya penyidikan sehingga sudah berlaku juga untuk bank, pasar modal, asuransi, dana pensiun. Makanya kita sebut di sini OJK bisa punya penyidikan. Itu masalah penyidikan. Nanti masalahnya apakah PPNS. Memang saat ini karena pengaturan tentang PPNS itu diatur di Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, jadi kita belum berani menyebut kata-kata lain selain PPNS. Oleh sebab itu, di dalam bab nanti tentang pegawai kita sebut OJK ini bisa juga menerima, pegawainya bukan saja pegawai OJK tapi juga pegawai negeri. __ …. Di Kepolisian memang ada salah satu direktorat koordinasi pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil jadi di Korwas, di sana juga ada satu direktorat pak di Bareskrim khusus memang mendidik dan melakukan koordinasi dengan penyidik-penyidik Pegawai Negeri Sipil. Tetapi tidak hanya Bapepam, dengan penyidik Bea Cukai, penyidik Pajak, penyidik Kehutanan, itu secara reguler tambahan pak. Jadi pendidikannya 3 bulan pak memang. Tapi karena kita lihat tindak pidananya itu adalah spesifik tindak pidana di bidang pasar modal yang memang sehari-harinya kita yang mengatur, jadi memang kita hanya belajar trik-trik pendidikannya; bagaimana membuat Berita Acaranya, bagaimana cara prosedur penyidikannya, bagaimana prosedur penyidikannya, itulah yang kita belajar di Kepolisian pak. __ …. Kami menyampaikan bahwa memang untuk penyidik ini diatur dalam Hukum Acara Pidana pak, di situ memang diatur penyidik itu ada 2 pak yang itu adalah pejabat Polisi Negara Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Artinya di sini selain Kepolisian ada juga PPNS-nya pak. Tapi PPNS ini harus diberi kewenangan oleh undang-undang. Jadi tidak bisa diberikan kewenangan selain diberikan oleh undangundang. Harus pegawai 145 negeri sipil. Di sini apakah bisa tidak di dalam RUU OJK ini bukan PPNS atau mungkin hal yang lain tadi berlaku lain dengan hatinya lex spesialis. Kami sependapat tadi sudah disampaikan oleh Pak Robin. Untuk lex spesialis itu harus mengatur rezim yang sama pengaturan hal yang sama. Jadi di sana kan hukum acara pidana di sini adalah Undang-undang OJK, jadi itu memang tidak bisa kita pakai azas itu. Kemudian juga azas post perior mengabaikan yang lama itu juga tidak bisa kita pakai juga seperti itu. Mungkin barangkali saat ini mungkin harus PPNS pak untuk sementara, tapi untuk rumusan mungkin kami belum bisa sampaikan atau nanti kita buat secara umum artinya apakah penyidik saja yang disebut di sini. Jadi tidak kita sebutkan PPNS atau mungkin nanti kami coba saja. 2) F-PG (Nusron Wahid) __ Tadi kita sudah brainstorming soal bab penyidikan, sudah panjang lebar tentang dua isu. Isu pertamakarena OJK itu nanti pegawainya tidak lagi Pegawai Negeri Sipil di convert menjadi OJK maka yang terjadiadalah tentang penyidikan ini OJK akan mengambil penyidik dari PPNS dan penyidik dari polisi sesuaidengan KUHAP. Itu pertama sudah diputus tinggal nanti turunannya. 3) F-PDIP (Nyoman Dhamantra) __ Saya setuju OJK itu diberikan kewenangan untuk itu asal ada kerja sama. Karena kalau tidak ini banyak kasus akan bias karena ditangani tidak proporsional. Maka itu saya katakan pertama pemeriksaan, lidik, baru sidik. Kalau dia pemeriksaan internal OJK saja kalau sekiranya kesalahannya itu hanya kesalahan yang sifatnya hanya administrasi, yang cukup diberikan denda atau diberikan sanksi yang sifatnya internal saja di antara OJK dan pihak anggotanya. Tapi kalau nanti persoalan lidik sidiknya kalau kita mau betul-betul ekslusif bahwa OJK punya ekslusifitas untuk itu harus duduk dengan kejaksaan dan dengan kepolisian supaya khusus. Jadi kalau di tempat lain itu ada yang namanya polisi keuangan. Khusus menyangkut perbankan apa itu hanya kepolisian keuangan ini sajalah yang boleh. Itu ditempatkan misalnya di OJK. 146 • Rapat Panja (1 Desember 2010) 1) F-PAN (H. Nasrullah) __ Yang menjadi problem berikutnya adalah nanti bisa disambung dengan yang lain, adalah terkait dengan hukum pidana ini adalah kewenangan penyidikan itu dalam satu kaitannya dengan semua tindak pidana yang dimuat di dalam undang-undang di bidang jasa keuangan. Pertanyaannya kalau undang-undang di bidang jasa keuangan itu ternyata penyidiknya bukan penyidik PNS, tetapi yang penyidiknya adalah polisi, apakah dia harus ditarik ke sini atau tetap dia berlaku penyidik polisi. Saya ingin tampilkan ini tadi undang- undangnya gitu pak ya, di dalam undang-undang kan disebutkan beberapa undang-undang ini saya ambil contoh Undang-undang Perbankan saya belum mengecek lagi di dalam itu apakah di sana itu mengatur penyidikannya oleh PPNS atau tidak. Kalau itu tidak apakah dengan Undang-undang OJK ini dengan mengatur penyidikan yang menjelaskan tentang tindak pidana di bidang jasa keuangan sehingga dengan demikian juga berlaku tindak pidana perbankan. 2) Pemerintah (Fuad Rahmani) __ Jadi persis seperti yang disampaikan Pak Muzakir tadi, jadi memang sebenarnya pak di sektor keuangan sekarang Undang- undang Pasar Modal itu ada penyidik PNS di mana sekarang itu Bapepam. Waktu itu sekarang membentuk OJK sementara sekarang di Bank Indonesia itu kan tidak ada penyidik, di Undang-undang Perbankan juga tidak ada penyidikan dari Bank Indonesia. Di OJK itu mau dikasih semua ada penyidikan. Oleh karena itu, nanti kan kita akan mengajukan lagi ini Undang-undang Pasar Modal, Manajemen Perbankan, Asuransi, Dana Pensiun itu semua akan disesuaikan dengan ini supaya nanti sinkron. 3) Bareskrim (Bung Jono) Iya, jadi arti dari korwas tadi sebetulnya pemberian bantuan penyidikan, bukan berarti PPNS tadi di bawah atau seperti anggotanya Penyidik Polri itu salah sekali pak. Tapi kalau korwas (koordinasi pengawasan) tadi sebetulnya mengawal PPNS di dalam melakukan 147 _penyidikan. Bentuk pengawalan tadi adalah bantuan penyidikan; _ bantuan taktis, bantuan teknis, bantuan upaya paksa. Karena PPNS tadi tidak mempunyai kewenangan seperti yang ada di Kepolisian, seperti penangkapan/penahanan walaupun PPNS yang sudah ingin menangkap/menahan. Tapi repot sendiri dia pak, kewalahan juga, tugas pokoknya tidak dilaksanakan ngurusin tahanan kan gitu pak. Tetapi itu tadi memberikan bantuan penyidikan kepada PPNS supaya hasil penyidikan berkas perkaranya tadi dapat memenuhi syarat formil dan materil. Muncul pertanyaan kapan dilakukan bantuan tadi pak, semenjak SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan). Kepada penuntut umum itulah makanya melalui penyidik Polri. Itulah ceritanya dalam rangka pemberian bantuan. Kemudian arti daripada korwas tadi pak yang saya sebutkan tadi, teknis dan pelaksanaannya sudah diatur di dalam KUHAP. Jadi PPNS Bapepam itu ya dalam kesehariannya kemarin gelar kami datang, mengundang Pak Jaksa juga datang, dalam keseharian sudah bersama. Karena memang Pasal 107 ayat (1), ayat (2), ayat (3) itu sudah mengatur mekanisme korwasnya di bantuan penyidikan tadi pak, sudah diatur di situ. Kembali ke rumusan yang tadi bahwa nanti penyidik di OJK ini di situ ada penyidik Bapepam, penyidik Polri dan penyidik jaksa gitu lho. Wah ini polanya seperti KPK sepintas gitu lho pak. Padahal pola penahanan di KPK dengan OJK itu lain. Pola penahanan koruptor dengan terorisme itu sama pak, karena koruptor itu hampir seluruh Indonesia mendukung, sama dengan penahanan terorisme semuanya mendukung. Kalau ketemu langsung hap, kalau bisa begitu pak. Di OJK ini tidak demikian makanya di sini ada kewenangan administratif, mencabut izin dan segala macam. OJK itu tadi kental dengan kehidupan sosial, dengan ekonomi, dengan ini pak. Kalau ada masalah juga harus melihat pajaknya di mana, perusahaan tadi ada tenaga kerjanya tidak, ini perputaran bagaimana dengan perputaran ekonomi di Indonesia, sehingga polanya tidak seperti KPK tidak langsung potong lehernya gitu pak. Itu supaya masuk kan ke kas negara kan begitu pak. 148 4) Jampidsus (M. Amari): __ Menyangkut masalah penyidik pak, ini saya sependapat dengan pak dari Polri, bahwa PPNS itu bisa dibentuk tapi itu syaratnya harus pegawai negeri sipil. Kalau badan ini dibentuk sebagai badan swasta atau bukan badan negara, maka susah kita untuk bisa membentuk PPNS karena salah satu syarat PPNS itu adalah dia pegawai negeri. Yang dari pegawai negeri kemungkinan dari Bapepam tapi tidak tahu bagaimana nanti membentuknya kalau memang keinginan untuk membentuk PPNS itu begitu kuat dan memang itu penting. Menurut hemat saya memang perlu karena polisi nanti yang akan membantu dalam penanganan mekanisme penyidikannya, PPNS itu nanti yang menguasai mengenai teknis perbankan atau teknis masalah keuangannya. Kalau jaksa jelas sama dengan polisi, ibara penyidik itu penyidik umum tahunya masalah umum, masalah-masalah khusus tentu harus belajar dulu atau paling tidak meminta bimbingan kepada mereka-mereka yang sudah spesialis. __ ... Mengenai batasan apakah lembaga ini OJK ini bisa melakukan penyidikan atau hanya penyelidikan. Kalau menurut hemat saya kita berkaca pada PPATK pak. PPATK tempo hari di dalam RUU-nya mengingingkan agar PPATK itu bisa ditingkatkan dari melakukan pemeriksaan, dari melakukan pemantauan penyelidik. Untuk menjadi penyelidik saja tempo hari itu tidak disetujui, hanya sebagai pemeriksa tugasnya melakukan pemeriksaan. Padahal kalau dia melakukan penyelidikan juga tidak terlalu bersinggungan, karena hasil penyelidikannya toh juga diteruskan kepada penyidik yang menjadi tindak pidana asap. Bahkan menurut hemat saya OJK ini kalau kita jadikan sebagai instansi penyidik agak repot ini. Karena yang pertama perangkat untuk ke sana itu seperti untuk menahan dan seterusnya kan tidak punya dan dia bukan ditugaskan untuk melakukan kegiatan penegakan hukum yang sebegitu drastis karena masih ada hal-hal lain yang perlu dilindungi yang perlu sentuhan-sentuhan yang lebih soft sifatnya dibanding dengan terorisme dan korupsi, sehingga PPATK pun juga kita bentuk seperti itu tempo hari itu. maka kalau ini juga 149 dikasih kekuasaan seperti polisi, seperti jaksa, nanti kabur orang yang mau bergerak di bidang keuangan ini. Makanya memang perlu lebih berhati-hati. Kemudian mengenai penyidik di Bapepam saya belum tahu persis pak mengenai penyidik Bapepam nanti barangkali bapak dari Bareskrim nanti yang bisa memberikan penjelasan. __ Menyangkut masalah ini bisa tidak OJK ini menjadi penyidik atau penyelidik atau pengawas, atau apa tadi itu pemeriksa. Kalau saya membaca namanya ini di dalam konsideran menimbang b bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, diperlukan otoritas jasa keuangan yang bertugas melaksanakan pengawasan yang dapat mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan tugas pengawasan terhadap perbankan, pasar modal, dan industri jasa keuangan non bank secara terpadu, independen dan akuntabel. Kalau lihat namanya di sini pengawasan dan kalau memang betul ini yang dikehendaki pengawasan tentu kewenangannya bukan sampai pada penyidikan karena kalau sudah sampai pada penyidikan bukan sekedar pengawasan itu penegak hukum. Hasil dari pengawasan ini baru diberikan kepada penegak hukum, penegak hukum lah yang nanti akan menindaklanjuti sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum. Kalau saya lihat saya kembalikan kepada konsideran ini menurut hemat saya paling banter yang bisa dilaksanakan oleh OJK ini adalah penyelidikan tapi bukan penyidikan atau pemeriksaan tadi. Sebenarnya istilah pemeriksa dan penyelidik itu hampir sama pak, sama-sama belum boleh melakukan upaya paksa, belum boleh menahan, belum boleh menangkap tapi dia bisa melakukan investigasi yang hasilnya nanti dianalisis di dalam produk-produk pengawasan seperti yang dilakukan oleh BPKP, dilakukan oleh PPATK dan beberapa lembaga pengawasan semacam itu. • Rapat Kerja Panja (2 Desember 2010) 1) Pakar Hukum Tata Negara (Jimly Asshiddiqie) Kemudian yang selanjutnya itu soal penyidikan. Jadi Pak Harry mana tadi, jadi saya ingin menjelaskan di sini sekarang, instansi yang 150 menangani penyidikan itu sudah 55 instansi; ada polisi, ada KPK, ada Kejaksaan, ada PPNS itu banyak sekali. Dari segi undangundang yang boleh itu PPNS (Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Pertanyaan OJK ini PNS bukan. Kalau dia akan diberi fungsi penyidikan kayak KPK ini bisa masalah ini. Ini kan kita karena tidak percaya kepada kejaksaan, maka kita bikin KPK, tidak percaya polisi, tidak percaya. Tapi kalau begini terus kapan habisnya kita bikin lagi lembaga baru nanti fungsi penyidik lagi. Saya berharap kalau bisa janganlah ini, cukup penyelidikan saja tetapi ada rambu-rambu yang begitu jelas sehingga Kejaksaan itu tidak bisa misalnya bermain-main dengan jadwal, ditentukan lebih rinci gitu misalnya begitu. Dan partnership antara OJK ini langsung dengan Kejaksaan tidak usah dengan Kepolisian lagi, Kejaksaan. Jadi ini termasuk tindak pidana khusus. Kalau tindak pidana khusus tidak perlu lewat polisi jadi langsung dia. Tapi lembaga ini jangan diberi fungsi penyidikan cukup penyelidikan, walaupun di dalam fungsi penyidikan di Kejaksaan dia ikut nempel gitu, jadi dia ikut berperan, diatur saja begitu. Tanpa harus memberi kewenangan menyidik sendiri. Itu saya anjurkan demikian .
F-PG (Melchias Marcus Mekeng) __ Masalah penyidikan, Prof. Ya memang kalau penyidikan ini diberikan kepada OJK kelihatan menjadi super body lagi nanti, tetapi, Prof, faktanya di lapangan kasus-kasus pasar modal, kasus-kasus perbankan ini rasa keadilan sudah tidak ada lagi. Tadi Pak DR. Harry menyampaikan kasus Herman Ramly, banyak lagi pemain-pemain pasar modal yang tidak pernah ketangkap padahal mereka melakukan pelanggaran yang di depan mata kelihatan, nah, kalau ini diberikan katakanlah kepada Kejaksaan dari sisi kompetensi juga belum tentu orang di Jaksa mengerti pasar modal. Nah, ini apakah bisa dalam transisi ini diberikan ini sampai Kejaksaan kita ini benar-benar Kejaksaan yang kita harapkan atau Kepolisiannya itu. Kalau tidak, ini lembaga OJK ini lembaga setengah hati walaupun sudah diberi kekuasaan untuk mengawasi tetapi pada saat dia mengawasi dia menemukan sesuatu yang tidak benar dia tidak bisa lakukan apa-apa, 151 hanya kasih saja dibuat penyelidikan, kasih Kejaksaan, tidak pernah P21. Nah, artinya visi dan misi daripada OJK dari awal yang kita inginkan ini, itu tidak pernah akan berhasil. Nah, ini bagaimana, Prof, kalau fungsi penyidikan ini. 3) F-PD (I Wayan Gunastra) __ Lalu terkait dengan OJK, jadi untuk mencegah hal-hal seperti itu lalu kita bentuk OJK berdasarkan undang-undang. Kalau suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan undangundang, tidakkah boleh lembaga itu punya penyidik sendiri. Sekarang salah satu lembaga yang akan diambil kekuasaannya oleh OJK yaitu Bapepam punya penyidik sendiri. Itu yang saya ingin tahu, punya penyidik sendiri. Apakah lembaga yang kita bentuk dengan undangundang yang juga perannya yang akan sangat penting untuk menjaga Negara ini jangan sampai rusak karena kriminal di bidang jasa keuangan itu, benar-benar tidak boleh mempunyai lembaga yang mempunyai penyidik sendiri dengan keahlian khusus itu karena tidak semua penyidik yang kita miliki akan mempunyai keahlian seperti ini terutama di bidang kejahatan keuangan. • Rapat Dengar Pendapat (2 Maret 2011) 1) Yusril Ihza Mahendra __ Kemudian ini ada yang agak serius pasal 41 mengenai penyidikan. Kalau saya baca disini pasal 41 ini mengatur selain penyidik polisi, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang ruang lingkupnya meliputi pengawasan jasa keuangan di lingkungan jasa keuangan diberi kewenangan khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam kitab-kitab Undangundang hukum acara pidana. Yang diatur disini ada PPNS, penyidik pegawai negeri sipil selain penyidik polisi. Tidak disebut apa namanya penyidik dari kejaksaan tidak ada disini. Yang ada Cuma polisi, PPNS. Tapi yang diatur dalam pasal 1 ini hanya keberadaan mereka sebagai PPNS seperti disebutkan dalam KUHAP. Tapi bagaimanakah prosedur kerja dari…………………… __ ... Tapi tegas dikatakan bahwa KPK dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan menggunakan KUHAP kecuali diatur secara khusus 152 di dalam Undang-undang ini. Misalnya menyimpang bahwa KPK itu tidak ada SP3. Itu menyimpang dari KUHAP tapi yang pokok adalah tetap KUHAP. Tapi disini tidak ada, dan ini bisa menyebabkan ini ada lembaga baru yang menakutkan semua orang. Ada pegawai negeri sipil yang diangkat. Kemudian penyidik esselon I berwenang. Kewenangannya ini memberikan laporan, melakukan penelitian kebenaran laporan, melakukan penelitian terhadap orang yang diduga melakukan atau tindak pidana dibidang jasa keuangan, memanggil, memeriksa, meminta keterangan dan barang bukti ke setiap orang, melakukan pemeriksaan atas pembukuan, meminta dokumen berkenaan dengan tindak pidana, melakukan pengeledahan, loh ngeri ini. tidak ada ini, tidak terikat KUHAP. Bisa dipanggil orang, bisa geledah DPR bisa geledah siapapun. Lebih dari KPK ini. Sedangkan polisi, kejaksaan mau menggeledah harus ijin pengadilan, bagaimana kacau balau ini dunia keuangan kita kalau lembaga ini penyidiknya diberikan otoritas yang cukup besar. Tidak tunduk pada KUHAP dan atur saja dia sendiri. 2) F-PG (DR. H. Harry Azhar Azis, MA) __ ... Soal penyidik ini menarik. Apakah dari pernyataan Pak Yusril itu artinya kita mesti mempertegas lama sebelum kita atur model tata cara penyidikan di Undang-undang ini, harus ditegaskan itu harus tunduk kepada KUHAP. 3) F-PD (Ir. Hj. A.P.A Timo Pangerang) __ Bagus sekali Pak Yusril tadi menyampaikan tentang Pasal 41 bahwa apa kalau kita bertanya bagaimana hukum acara yang digunakan. Saya kira Pak Yusril di sini disampaikan bahwa mereka mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang- undang 8 tahun 1981, dan kemudian PNS. Yang tadi disampaikan bahwa sepertinya ini berbahaya atau punya kewenangan yang besar PPNS ini. Nah, PPNS ini kan melakukan penyelidikan terhadap pegawai negeri sipilnya. Jadi di dalam lembaga OJK ini selain tadi beberapa orang dari para ahlinya di bidang asuransi, di bidang pasar modal, perbankan, juga boleh menerima pegawai negeri sipil yang 153 ingin masuk ke dalam lembaga ini. Tentu PPNS ini akan berperan ketika dia memeriksa pegawai negeri sipilnya kan Pak Yusril, bukan di luar non pegawai negeri sipil kalau non pegawai negeri sipil yang periksa tentu pejabat penyidik Kepolisian. Nah, pertanyaannya adalah kalau saya buka-buka undang-undang yang lain yang juga ada di penyidikan unsur pegawai negeri sipil, saya lihat sebenarnya intinya more or less kurang lebih sama pak, dia melakukan pemeriksaan, dia memanggil memeriksa terhadap pegawai negeri sipil yang diduga melakukan tindak pidana Jadi seperti ini, tapi karena saya dengar tadi Pak Yusril menyampaikan ini sangat berbahaya saya juga ingin mendapatkan gambaran di mana kira-kira pelanggaran daripada kewenangan PPNS ini. 4) Yusril Ihza Mahendra __ … Nah sebaiknya pasal 41 ini rumusannya, PPNS ini dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya ya itu menggunakan hukum acara sebagaimana diatur didalam KUHAP kecuali diatur tersendiri didalam Undang-undang ini, jadi ini mengandung satu hukum acara disini tapi sangat singkat ya, tapi memberikan kewenangan yang potensial bisa disalahgunakan oleh PPNS yang menjadi ini, seperti misalnya disebutkan disini dia punya kewenangan untuk melakukan pengeledahan, karena dia merasa tidak tunduk pada KUHAP, dihukum acara diberikan kewenangan, dia bisa mengeledah siapa saja tanpa ijin pengadilan dan itu bisa bahaya, apalagi dia bisa menyita, dia bisa memanggil orang. __ Nah jadi saya kira rumusan pasal 41 ini mesti dielaborasi agak rinci karena pedoman kita begini, inikan sebenarnya bukan menyangkut hukum pidana, ini kan hukum administrasi negara sebenarnya, tapi didalamnya ini ada aspek hukum acara pidana, hukum acara pidana itu harus strike, strike nggak bisa disamar-samar, karena sifat dari hukum pidana materiil maupun pidana formil itu akan bersentuhan langsung dengan hak asasi manusia. • Rapat Intern Pansus (24 Mei 2011) 1) F-PG (Nusron Wahid) 154 Baik, begini keputusan kita tentang masalah lidik-sidik ini penyelidikan dan penyidikan, itu kemarin dikembalikan ke dalam ranah undang-undang sektoral..... Nah persoalan yang muncul di dalam undang-undang OJK ini adalah kewenagan untuk sampai pada level penyidikan itu hanya terbatas pada level pasar modal. Karena di dalam klausulnya itu di dalam pasal-pasal itu dinyatakan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak diatur secara khusus. Jadi kewenangan untuk penuntutan eh penyidikan, itu hanya sampai khusus pada masalah pasar modal. Nah pada waktu pertimbangan, perdebatannya kalau ingin memberikan, mengurangi kewenangan atau ingin menambah kewenangan itu ini dikembalikan dalam kontek pembahasan waktu kita mengamandemen undang-undang sektoral apakah undang- undang perbankan, apakah undang-undang asuransi, apakah undang-undang industri pembiayaan maupun undang-undang tentang pasar modal nanti. • Rapat Panja (26 Mei 2011) 1) Menteri Keuangan (Agus M) __ Substansi ketiga yang berhasil disepakati adalah terkait dengan penegakan hukum.Dalam hal ini kewenangan pemeriksaan dan penyidikan di mana penegakan hukum di sektorjasa keuangan dilakukan di bawah payung Undang-undang OJK dan dikoordinasikan olehOJK, namun dengan tetap memperhatikan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum AcaraPidana. Lebih lanjut disepakati pula mekanisme pola rotasi serta mutasi penyidik, agarpenyidikan terhadap dugaan tindakan pidana di sektor jasa keuangan dapat dilaksanakandengan efektif. Aspek pemidanaan sebagai bagian dari penegakan hukum juga telahmemperoleh perhatian serius pada pembahasan sebelumnya. Sehingga tercapai kesepakatantentang ketentuan pidana baik tentang tindak pidana maupun ancaman pidananya . • Rapat Panja (10 Juni 2011) 1) F-PG (Nusron Wahid) 155 __ Terima kasih Pimpinan, perlu kami sampaikan bahwa penuntut umum memang hanya kejaksaan.Oleh karena itu yang tadi kami kemukakan, di Malaysiapun penuntut umumnya itu adalah dari jaksa yangdi seperti second man dimasukkan ke Securities Commission. Sekarang di KPK pun sebenarnya adalahpenuntut umumnya adalah kejaksaan yang punya private jaksa kemudian masuk di KPK. Bahkan diskhususKPK yang ingin punya penyidik sendiripun itu masih menjadi ramai karena penyidiknya sekarangpun masihmenyidik polisi. Dengan demikian Pimpinan atas ijin Ketua Bapepam LK bahwa kami masih berpendapatbahwa penuntutan hanya bisa dilakukan oleh jaksa penuntut umum yang punya private jaksa penuntutumum di kejaksaan agung yang nanti di second man kan atau ditugaskan di Otoritas Jasa Keuangan. 2) F-PKS (Kemal Azis Stamboel) __ Perlu kami sampaikan Negara yang basisnya pasarmodalnya, kami paham pasar modalnya bagus itu negara-negara common law seperti Amerika. Amerikamalah bahkan tidak punya kewenangan penyidikan. Inggris juga tidak punya kewenangan penyidikan.Kebetulan di negara common law yang kami sampaikan tadi Malaysia itu punya kewenangan baik kewenangan administrasi atau administrative Rosiding, punya kewenangan civil Rosiding atau perdata danpunya kewenangan pidana termasuk penuntutannya. Memang di negara-negara civil law seperti diIndonesia banyak sekali para juries yang tidak sepakat bahwa proses penyidikan dan penuntutan dalamsatu body, karena takut adanya kurang check in balance. Tetapi kenapa tadi disampaikan bahwa yangmana aja, memang sekarang ini komisi pemberantasan korupsi Pak yang punya kewenangan itu. Selain itu,kami tidak melihat atau sekurang- kurangnya belum melihat ada lembaga lain yang punya kewenangan proyustisia untuk penyidikan dan penuntutan dalam satu tubuh Pak. Bahwa dalam KPK itu pengadilannya punsudah sendiri, pengadilan tipikor. Karena memang dianggap kejahatan luar biasa. 3) F-PAN (PROF. DR. Ismed Ahmad) 156 __ Perdebatannya nanti kita lakukan di pansus, karena feeling saya, ini feeling, meskipun Pak Nyoman setuju tentang ini, ini di dalam anggota pansus kita ini ada beberapa anggota Komisi III yang saya tahu persis anggota Komisi III itu mempunyai semangat yang kuat terhadap proteksi terutama hal-hal yang menyangkut tentang kewenangan penyidikan polisi sama hal-hal yang menyangkut kewenangan penuntutan jaksa. Di cowel sedikit pasti akan halo-halo pasti itu akan nanti. Pasti itu akan nanti. Lebih baik energinya itu kita harapkan simpen lalu di pansus. Tapi yang penting pada rapat sore ini kita merumuskan pasal demi pasal yang itu menjadi amanat daripada rapat semalam. • Rapat Kerja (25 Oktober 2011) 1) F. PDIP (I.G.A. Rai Wirajaya, SE., MM) __ Terima kasih Pimpinan. Terkait dengan masalah sidik dan lidik ini kami sudah memberikan suatu catatan, bahwasanya masalah penyelidikan kami tetap pada berpegangan pada penyelidikan itu diberikan kepada PPNS, namun penyidikannya itu kembali ke kepolisian. 2) F-PG (Meutya Hafid) __ Poin ke enam, kewenangan pemeriksaan dan penyidikan. OJK memiliki alat kelengkapan sendiri dan mandiri dalam melakukan penegakan hukum, hal ini penting untuk mengatasi permasalahan yang timbul manakala melakukan tugas pengaturan dan pengawasan di sector jasa keuangan. Meskipun awalnya kami mengusulkan agar OJK memiliki kewenangan penuntutan namun fungsi penegakan hukum yang telah mencakup pemeriksaan dan penyidikan atau sidik kami pandang cukup dalam melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab yang utuh dalam proses penegakan hukum. 3) F-PKB (Otong Abdurrahman) __ Terakhir nomer 5, fraksi Partai kebangkitan bangsa berpendapat bahwa dengan adanya pengaturan mengenai perlindungan konsumen dan masyarakat serta ketentuan tentang pemeriksaan dan penyidikan dan ketentuan sanksi hukum baik administrative maupun pidana yang 157 tegas seperti yang diatur dalam RUU tentang otoritas jasa keuangan ini diharapkan dapat mendorong penegakan hukum di Indonesia menjadi berjalan lebih baik setidaknya bisa meminimalisir terjadinya tindakanmelawan hukum. 4) F-PDIP (I Nyoman Damantra) __ Ketiga menyangkut pelaksanaan penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil PPNS dalam undang-undang ini jangan sampai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana atau KUHAP .
F-PAN (PROF. DR. Ismed Ahmad) __ Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan oleh OJK namun kewajiban penuntutan dilakukan oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh perundang-undangan.... Keberhasilan Pansus OJK dalam menyelesaikan pasal-pasal yang controversial seperti pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan harus diberikan apresiasi yang sebesar-besarnya . Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menerima Keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata “dan penyidikan ” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap kata “dan penyidikan ” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “penyidikan” Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. 158 [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, OJK telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Februari 2019, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Bahwa Para Pemohon berpendapat Pasal 1 angka 1 terhadap frasa “dan Penyidikan” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “Penyidikan” UU OJK yang memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK bertentangan dengan asas “ due proccess of law ” dalam Sistem Penegakan Hukum Pidana ( Criminal Justice System ) sebagai jaminan yang harus ada dalam Negara Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 , serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi seseorang yang disangka melakukan tindak pidana di sektor keuangan saat menjalankan proses penyidikan yang dilakukan oleh Lembaga OJK dimana seharusnya setiap warga negara mendapatkan jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 . II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING) PARA PEMOHON. Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (selanjutnya disebut UU MK), menyatakan bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang- undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka para Pemohon terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: 159 1. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK);
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut, Mahkamah Konstitusi RI telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi ( vide putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Atas hal-hal tersebut di atas, kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi perlu mempertimbangkan kembali persyaratan Para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 1 terhadap frasa ” dan Penyidikan ” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata ” Penyidikan ” UU OJK terhadap Pasal 1 ayat (3) dan 28D ayat (1) UUD 1945. 160 Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, OJK menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Berdasarkan Surat Permohonan dari para Pemohon pengujian a quo, identitas para Pemohon adalah sebagaimana tercantum dalam halaman 2 sampai dengan halaman 3 dan halaman 6 sampai dengan halaman 8 surat permohonan a quo yang pada pokoknya para Pemohon adalah Warga Negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat (Pemohon I), Dosen Universitas Surakarta (Pemohon I sampai Pemohon IV) dan karyawan di PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (Pemohon V dan Pemohon VI) . 2. Menurut OJK, hal yang disampaikan para Pemohon dalam permohonannya pada dasarnya merupakan permasalahan penerapan norma (implementasi), dan tidak terkait dengan konstitusionalitas norma yang dimohonkan untuk diuji. Hal ini telah disebutkan dalam beberapa pokok permohonan a quo , yaitu:
Pemohon I yang berprofesi sebagai Advokat, merasa akan mengalami kesulitan dalam melakukan pembelaan terhadap klien mengingat UU OJK tidak mengatur secara jelas hak-hak seorang tersangka dalam tindak pidana disektor jasa keuangan. Pemohon I menganggap tidak mendapatkan kepastian hukum atas proses hukum pidana di sektor jasa keuangan yang berada di lingkup kekuasaan lembaga OJK.
Pemohon I sampai dengan Pemohon IV yang berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta yang merasa dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK karena secara keilmuan hukum pidana yang dipelajari oleh Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon III, dalam pemberlakuan “ criminal justice system ” di Indonesia yang mengakui asas “ due process of law ” sebagai suatu proses yang harus dijalankan oleh Negara cq. Aparat Penegak Hukum yang telah diatur dalam KUHAP, tetapi hal tersebut diabaikan dengan berlakunya UU OJK sehingga menderita mengalami kerugian konstitusional.
Pemohon V sampai dengan Pemohon VI yang berprofesi sebagai karyawan di PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (selanjutnya 161 disebut PT SNP) yang merasa dirugikan karena adanya laporan dari salah satu bank kreditur ke Kepolisian dan saat ini sedang dalam proses hukum di Kepolisian karena disangka melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Hal ini menurut Pemohon tidak akan terjadi apabila OJK tidak memiliki kewenangan penyidikan.
Alasan Pemohon I yang mendalilkan telah terjadi kerugian konsitusional karena tidak diaturnya secara jelas hak-hak tersangka dalam UU OJK kurang tepat jika kaitkan dengan pasal-pasal yang diujikan dalam perkara a quo . Ketidakjelasan hak-hak tersangka dalam UU OJK selayaknya mengacu pada ketentuan yang berkaitan dengan kewenangan OJK dalam pemenuhan hak-hak tersangka pada proses penyidikan yang dilakukan oleh OJK dan Pemohon seharusnya melihat bagaimana praktik yang dilakukan oleh OJK berkaitan dengan pemenuhan hak-hak para pihak pada proses penyidikan oleh Penyidik OJK.
Terhadap alasan Pemohon I sampai dengan Pemohon IV yang berprofesi sebagai dosen/pengajar pada perguruan tinggi, OJK berpendapat bahwa norma pasal-pasal yang dilakukan pengujian adalah berkaitan dengan apakah OJK sebagai lembaga independen layak untuk diberikan kewenangan penyidikan dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan, sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) adalah ketentuan yang berkaitan dengan bagaimana penyidik menerapkan kewenangan penyidikan yang dimiliki. Berdasarkan KUHAP penyidik wajib melakukan proses penyidikan sesuai dengan hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP dan hal ini tentu tidak berkaitan dengan pemberian kewenangan penyidikan oleh lembaga tertentu termasuk OJK.
Alasan Pemohon V dan Pemohon VI yang menganggap bahwa telah dirugikan sebagai akibat dari laporan bank kreditur PT SNP kepada pihak kepolisian sehingga Para Pemohon saat ini menjalani proses hukum sebagai tersangka dengan dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan tidaklah dapat dijadikan dasar dalam menyatakan adanya kerugian konstitusional dari pasal-pasal dalam UU OJK yang dilakukan pengujian pada perkara a quo . Berdasarkan informasi yang diperoleh oleh OJK, 162 Pemohon V dan Pemohon VI bukanlah pihak-pihak yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik OJK. Pemohon V dan Pemohon VI ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri dalam dugaan tindak pidana umum dan bukan karena dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Dalam Persidangan Pendahuluan Permohonan a quo pada tanggal 18 Desember 2018, Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi telah memberikan saran dan kritik terhadap Permohonan dimaksud diantaranya terkait legal standing atau kedudukan hukum dari Para Pemohon (dalam hal ini Pemohon I sampai Pemohon IV) yang menurut Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi kurang spesifik karena tidak adanya kerugian konstitusional secara nyata terhadap Para Pemohon terkait dengan kewenangan penyidikan yang diatur dalam UU OJK.
Selain itu Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi juga berpendapat dalam permohonan a quo , para Pemohon tidak memberikan argumentasi yang eksplisit terkait dengan kondisi konkrit hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara posisi Pemohon sebagai akademisi dengan diberikannya kewenangan Penyidikan kepada OJK.
Selanjutnya, dalam persidangan perbaikan permohonan yang dibacakan oleh Pemohon pada tanggal 7 Januari 2019, Pemohon I sampai Pemohon IV tidak melakukan perubahan dalam menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon I sampai dengan Pemohon IV tetapi hanya menambahkan Pemohon V dan Pemohon VI yang menurut para Pemohon memiliki kerugian secara nyata terhadap kewenangan penyidikan yang diatur dalam UU OJK karena menjalani masa tahanan di Polda Metro Jaya.
Oleh karena itu, kiranya adalah tepat dan sudah sepatutnya jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 UU MK sehingga dengan demikian Permohonan Pemohon layak untuk dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). 163 10. Namun jika Yang Mulia Ketua/Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat yang berbeda, maka OJK menyerahkan kepada Yang Mulia Ketua/Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak, sebagaimana ditentukan oleh ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU- V/2007). III. PERMOHONAN PENGUJIAN YANG DIAJUKAN PARA PEMOHON TELAH DINILAI DAN DIPUTUS OLEH YANG MULIA MAJELIS MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERKARA NOMOR 25/PUU-XII/2014 YANG BERSIFAT FINAL AND BINDING 1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 60 UU MK menyatakan, ” Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang- Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. ” 2. Pada tanggal 14 Agustus 2015, Mahkamah Konstitusi telah memeriksa dan memutus rumusan keseluruhan Pasal 1 angka 1 UU OJK terhadap UUD 1945 dalam putusan perkara NOMOR 25/PUU-XII/2014, sehingga Pasal 1 angka 1 UU OJK selengkapnya menjadi berbunyi: “ Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah Lembaga yang Independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” 3. Berdasarkan pendapat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam persidangan tanggal 18 Desember 2018 yang dituangkan dalam halaman 13 risalah sidang perkara Nomor 102/PUU-XVI/2018, Yang Mulia Hakim Anggota Saldi Isra pada pokoknya menyatakan kewenangan penyidikan yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 UU OJK telah dinyatakan konstitusional dalam Putusan sebelumnya dan apabila ketentuan tersebut hendak dikoreksi maka Pemohon harus memberikan argumentasi yang jauh lebih kuat. 164 4. Berdasarkan hal tersebut di atas, setelah mempelajari Permohonan a quo , baik pada Surat Permohonan pertama maupun pada Surat Perbaikan Permohonan, menurut pandangan Pihak Terkait, materi muatan ayat yang dimohonkan pengujian a quo telah diuji dan diputus berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 sehingga __ tidak dapat dimohonkan pengujian __ kembali . Selain daripada itu, Pemohon belum memberikan argumentasi-argumentasi yang jauh lebih kuat atas permohonan pengujian Pasal 1 angka 1 UU OJK yang telah dinyatakan konstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU- XII/2014.
Selanjutnya, Putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final , yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat ( final and binding ). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK dan penjelasannya.
Dengan demikian, permohonan a quo tidak memenuhi kriteria sebagai permohonan yang dapat dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi. IV. PENJELASAN OJK TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN OLEH PARA PEMOHON Sebelum OJK menyampaikan penjelasan atas Materi Permohonan Para Pemohon, OJK terlebih dahulu akan menjelaskan tujuan pembentukan OJK dan dasar kewenangan penyidikan dalam UU OJK sebagai berikut:
Dasar Hukum dan Tujuan Pembentukan OJK 1.1. Pembentukan OJK melalui UU OJK disusun bersama antara Presiden (Pemerintah) sesuai kewenangan dalam Pasal 5 UUD 1945 dengan DPR-RI sesuai kewenangan dalam Pasal 20 UUD 1945.
Latar Belakang Kewenangan Penyidikan OJK 2.1. Pada prinsipnya, Pemerintah dan DPR selaku pembentuk undang- undang ( policy maker ) memiliki kewenangan yang disebut dengan open legal policy . Kewenangan tersebut memberikan kebebasan 168 kepada policy maker untuk membentuk norma tertentu sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi.
Pelaksanaan Kewenangan Penyidikan oleh OJK tetap Berlandaskan pada Asas Presumption of Innocence Dalam Koridor Due Process of Law serta Integrated Criminal Justice System. Setelah membaca dan mempelajari surat permohonan a quo , selain hal- hal yang berkaitan dengan keberatan pemohon atas pencantuman kewenangan penyidikan oleh OJK dalam UU OJK yang dianggap tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D UUD 1945, terdapat beberapa keberatan pemohon yang berkaitan dengan pelaksanaan penyidikan yang dianggap sewenang-wenang dan melanggar asas presumption of innocence , keberadaan penyidik dari instansi lain yang bersifat sementara dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, pelaksanaan penyidikan yang melanggar due process of law , dan mengaburkan integrated criminal justice system . Menanggapi hal-hal tersebut di atas, OJK memiliki beberapa pandangan sebagai berikut:
1.2. Dalam paham Negara Hukum, pada hakikatnya hukum sendirilah yang menjadi penentu segalanya sesuai dengan prinsip nomokrasi ( nomcrasy ) dan doktrin “ the Rule of Law and not of Man ”. Dalam kerangka ‘ the rule of Law’ , pengakuan bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi ( supremacy of law ), adanya persamaan dalam hukum dan pemerintah ( equality before the law ), dan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya dalam kenyataan praktek ( due process of law ). 175 3.1.3. Gagasan Negara Hukum dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan. Sehingga sistem hukum tersebut dibangun ( law making) dan ditegakkan ( law enforcing). 3.1.4. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum memiliki empat ciri _penting yaitu: _ a) Perlindungan hak asasi manusia; b) Pembagian kekuasaan; c) Pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan d) Peradilan tata usaha negara.
1.5. Sejalan dengan ciri Negara Hukum menurut Julius Stahl tersebut, dalam menjalankan pemerintahan, para aparatur negara harus berdasarkan pada undang-undang yang dibentuk sesuai dengan kewenangannya.
1.6. Sebagaimana dimuat dalam Naskah Akademik Pembentukan OJK dinyatakan bahwa OJK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus berlandaskan asas-asas prinsipil yang harus diterapkan secara utuh dan konsekuen, salah satunya ialah asas kepastian hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan OJK.
1.7. Hal ini dituangkan ke dalam rumusan pasal-pasal yang ada dalam UU OJK, dimulai dari tujuan, fungsi, tugas, dan wewenang OJK untuk melakukan pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan, termasuk dengan batasan kewenangan yang jelas dalam melakukan pelaksanaannya. Kemudian, struktur peraturan pelaksanaan di OJK yang wajib dibuat sebagai dasar hukum setiap aturan main dan/atau keputusan yang diambil OJK demi terjaminnya tata cara pelaksanaan administrasi negara yang baik dan benar.
1.8. Demikian pula dengan kewenangan penyidikan yang diatur secara spesifik dimulai dari pengenalan kewenangan penyidikan yang merupakan fungsi pengawasan OJK di sektor jasa 176 keuangan (vide Pasal 9 huruf c UU OJK). Kemudian, dasar acuan kewenangan penyidikan OJK yang tunduk pada koridor hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP [vide Pasal 49 ayat (1) UU OJK] hingga formasi Penyidik OJK yang terdiri dari Penyidik Polri dan Penyidik PPNS berikut dengan masing- masing kewenangannya dan kewajiban koordinasi dengan instansi terkait (vide Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51 UU OJK).
1.9. Berdasarkan uraian tersebut serta pendapat para filsuf ahli hukum di atas, menunjukkan bahwa pelaksanaan fungsi penyidikan OJK sejalan dengan asas supremasi hukum dimana pelaksanaannya didasarkan pada hukum (undang-undang) yang dibentuk oleh pemerintah dan DPR.
2.4. Dapat diinformasikan per tanggal 26 Januari 2019 ini pelaksanaan kewenangan penyidikan oleh OJK telah membuahkan 9 (sembilan) putusan inkracht dan 13 (tiga belas) perkara yang masih dalam proses di pengadilan. Dengan telah terdapatnya putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut berarti secara hukum formal dan material Majelis Hakim Pengadilan menerima, mengakui, dan memandang kesesuaian keseluruhan tindak pidana yang disangkakan, termasuk dengan kesesuaian proses penanganannya dengan koridor hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat dikatakan, kehadiran Penyidik OJK justru semakin menguatkan integrated criminal justice system di Indonesia pada kekhususan tindak pidana di sektor jasa keuangan . 3.2.5. Argumentasi para Pemohon yang menyatakan wewenang penyidik OJK secara khusus pada Pasal 49 ayat (3) huruf d, huruf f, dan huruf k melanggar asas ” due process of law ” dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari penyidik OJK karena sama sekali tidak mengaitkan pada KUHAP serta tidak berkoodinasi dengan aparat penegak hukum lainnya merupakan suatu yang tidak beralasan.
2.6. Sebagaimana diamanatkan dalam Naskah Akademik Pembentukan UU OJK dikatakan bahwa OJK berkoordinasi dengan penegak hukum dan instansi, lembaga dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan di bidang penegakan hukum 178 (vide angka 7 huruf b) halaman 23 sampai dengan halaman 24 Naskah Akademik Pembentukan OJK). Hal ini mengandung arti bahwa amanat koordinasi antara OJK dengan para penegak hukum pidana harus dilaksanakan. Sebagai contoh, OJK telah membuat landasan hukum terkait koordinasi dengan Jaksa selaku salah satu aparat penegak hukum melalui POJK Penyidikan (vide Pasal 6 Peraturan OJK Nomor 22/POJK.01/2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan ~ selanjutnya disebut POJK Penyidikan) dan tetap mengacu sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.
2.7. Lebih lanjut, koordinasi penindakan tindak pidana di sektor jasa keuangan ditindaklanjuti oleh OJK dengan membuat berbagai Nota Kesepahaman diikuti dengan Perjanjian Kerjasama bersama dengan beberapa institusi/lembaga yang memiliki fungsi penyidikan, antara lain dengan: Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksanaan Agung Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak–Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
2.8. Penting untuk digarisbawahi bahwa kerjasama yang telah terjalin ini dirasakan sangat mempermudah jalannya koordinasi pelaksanaan penyidikan sehingga penyidikan dapat dilaksanakan secara cepat, berbiaya ringan, dan sederhana.
2.9. Keuntungan dari lancarnya koordinasi antara Penyidik OJK, baik yang berasal dari Kepolisian Republik Indonesia maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari institusi lain dirasakan guna mewujudkan keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan dan stabilitas sistem keuangan yang menjadi marwah besar pembentukan OJK selaku regulator di sektor jasa keuangan.
2.10. Bahwa argumentasi para Pemohon yang menyatakan dalam UU OJK tidak terdapat adanya jaminan ” due process of law ” dalam proses penegakan hukum pidana (criminal justice 179 system) di sektor jasa keuangan telah melanggar adanya suatu jaminan atas kepastian hukum yang adil dalam penegakan hukum yang adil di negara Republik Indonesia yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak cukup bukti dan tidak beralasan karena OJK tetap mengacu pada KUHAP sebagaimana praktik yang selama ini telah dilaksanakan oleh Penyidik OJK.
2.11. Perlu Pihak Terkait informasikan bahwa OJK selama kurun waktu 7 (tujuh) tahun sejak berdiri telah menerima 3 (tiga) kali gugatan pra peradilan, yaitu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Bandung, dan Pengadilan Negeri Palu. Hasilnya seluruh putusan pengadilan tersebut telah menyatakan menolak/tidak menerima gugatan pra peradilan, atau dengan kata lain Majelis Hakim Pengadilan telah memandang proses penanganan perkara pidana sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh Penyidik OJK telah sesuai dengan prosedur sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk pula jaminan hak asasi manusia yang termaktub dalam due process of law .
2.12. Argumentasi yang didalilkan oleh Para Pemohon terkait OJK telah mengatur tentang acara sendiri, khususnya perihal penyidikan, melalui POJK Penyidikan adalah keliru. Pengertian dari Hukum Acara (dalam hal ini hukum acara formil) ialah “ Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberi dasar- dasar dan aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut ”. Hal ini tepat disandingkan pada KUHAP yang menyatakan ruang lingkup berlakunya KUHAP, yaitu untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan ( vide Pasal 2 KUHAP). 180 3.2.13. Sehingga apabila dibandingkan antara KUHAP dengan POJK Penyidikan adalah tidak sebanding dan salah alamat. POJK Penyidikan merupakan peraturan pelaksanaan tentang tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik OJK terkait adanya dugaan tindak pidana di bidang Perbankan, Pasar Modal, dan/atau Industri Keuangan Non-Bank. Kedudukan POJK Penyidikan ini sama halnya dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Polri sebagai pengaturan yang lebih teknis dari pelaksanaan kewenangannya, yaitu Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
3.1. Dalam rangka memenuhi kebutuhan penyidik OJK, berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU OJK dan penjelasannya, OJK diberikan hak untuk mempekerjakan penyidik yang berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun Pegawai Negeri Sipil. Pasal 27 ayat (2) “ OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ” Penjelasan Pasal 27 ayat (2) “...Pegawai negeri yang bekerja pada OJK dapat berstatus dipekerjakan atau status lainnya dalam rangka menunjang kewenangan OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan, atau tugas-tugas yang bersifat khusus. Pegawai negeri tersebut antara lain berasal dari pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan/atau Pejabat Penyidik Kepolisian. Hak dan kewajiban pegawai negeri tersebut disetarakan dengan hak dan kewajiban pegawai OJK. ” 3.3.2. Dipekerjakannya penyidik Polri dan Penyidik PNS merupakan salah satu upaya OJK untuk memperkuat pelaksanaan fungsi 181 penyidikan di sektor jasa keuangan karena sudah barang tentu yang dapat menjadi penyidik sesuai dengan KUHAP hanya berasal dari 2 (dua) unsur, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang ( vide Pasal 6 ayat (1) KUHAP).
3.3. Adapun terkait dengan kewenangan Penyidik OJK diatur dalam 2 (dua) tempat, yaitu bagi Penyidik Polri telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP dan bagi Penyidik PPNS diatur secara khusus dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Hal ini telah sesuai sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat ( 1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang- undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a ”. Hal ini memiliki 2 (dua) arti, yaitu: Pertama, kewenangan Penyidik PPNS hanya sebatas kewenangan yang diatur dalam undang-undangnya masing-masing; dan Kedua, dalam pelaksanaan tugasnya, penyidik yang berasal dari PNS tetap berkoordinasi dengan penyidik Polri.
3.4. Sehubungan dengan dalil para Pemohon yang menyadur Pasal 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN), tentu saja UU ASN tidak tepat dijadikan dasar hukum pada permasalahan a quo . Status kepegawaian di OJK tidak tunduk pada UU ASN karena berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU OJK, pihak yang bekerja di OJK berstatus sebagai pegawai OJK, bukan sebagai ASN. Begitu pula dengan seluruh penyidik Polri yang dipekerjakan OJK tidak tunduk pula dengan UU ASN, melainkan pada UU Nomor 2 Tahun 2002. Dengan begitu, penyidik Polri yang dipekerjakan di OJK tidak harus mengundurkan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) UU ASN. 182 3.3.5. Bahwa argumentasi para Pemohon kata ”dapat” pada Pasal 27 ayat (2) UU OJK berarti bersifat sementara sehingga keberadaan PPNS di OJK tidak didasarkan pada kewenangan temporar pada suatu masa atau rentang waktu tertentu saja.
3.6. Dalam Pasal 51 UU OJK telah mengatur ketentuan minimal penarikan kembali para Penyidik PPNS tersebut, yaitu 6 (enam) bulan dan sedang tidak menangani perkara. Ketentuan yang diatur dalam UU OJK ini mengandung arti bahwa alasan penarikan Penyidik PPNS tersebut harus dilakukan dengan cermat dan dipastikan tidak menghalangi jalannya proses penyidikan yang sedang berlangsung di OJK.
4.2. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, peran OJK sebagai pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan merupakan komponen penting dalam sistem perekonomian nasional. Selain itu, OJK menjalankan fungsi intermediasi bagi pelbagai kegiatan produktif di perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan nasional, terutama dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya negara Indonesia dalam Pasal 33 UUD 1945.
4.3. Oleh karena itu, apabila permohonan a quo __ dikabulkan dan diterimanya argumentasi Para Pemohon, maka hal tersebut akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugas pengawasan dan penegakan hukum dalam sektor jasa keuangan.
4.4. Selain itu, manfaat penegakan hukum sektor jasa keuangan terintegrasi yang selama ini telah terlaksana dan efektifnya penegakan hukum sektor jasa keuangan tidak akan dilaksanakan lagi, sehingga pada akhirnya perlindungan 183 terhadap konsumen di sektor jasa keuangan akan menjadi terbengkalai. V. PERMOHONAN MENGENAI AMAR PUTUSAN Sebagai penutup, sebagaimana telah Pihak Terkait jabarkan melalui poin-poin di atas, Pihak Terkait berkesimpulan permohonan pengujian Pasal 1 angka 1 terhadap frasa “dan Penyidikan” dan Pasal 9 huruf c terhadap kata “Penyidikan” UU OJK yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 merupakan kekhawatiran yang sifatnya bukan merupakan persoalan konstitutional, melainkan hanya teknis pelaksanaan penyidikan di OJK. Dengan demikian Pihak Terkait mohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan permohonan uji materi terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing .
Menolak permohonan para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima.
Menyatakan, ketentuan UU OJK Pasal 1 angka 1 terhadap frasa ”...dan Penyidikan...” tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menyatakan, ketentuan UU OJK Pasal 9 huruf c terhadap kata “Penyidikan” tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya, ex aequo et bono . Selain itu, Pihak Terkait mengajukan 3 orang Ahli yaitu Mahmud Mulyadi, Yunus Husein, dan Zainal Arifin Mochtar yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 23 April 2019 dan 2 Orang Saksi yaitu I Gusti Agung Rai Wirajaya dan I Gede Hartadi Kurniawan yang didengarkan keterangannya pada 184 persidangan tanggal 8 Mei 2019 dan pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: Keterangan Ahli 1. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum A. “Esensi PPNS OJK dalam Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana di bidang Jasa Keuangan: Suatu Sinthesa dari Indeterminisme dan Determinisme ” Peran dan fungsi negara dalam rangka criminal policy, khususnya dalam ruang lingkup penal policy (kebijakan hukum pidana), maka merupakan hak negara untuk “merumuskan dalam hukum pidana materill, perbuatan yang bertentangan nilai-nilai masyarakat dan mengancamkan hukumannya ( Ius Poenale ). Selain itu juga, terdapat hak negara untuk “menjatuhkan hukuman” yang mekanismenya dirumuskan dalam hukum pidana formil atau Hukum Acara Pidana( Ius Poeniendi ). Ius Poenale bermakna sebagai hak objektif negara untuk memasukkan atau membuat ancaman hukuman atas suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma dalam masyarakat. Ancaman ini dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana oleh negara sehingga bisa diberlakukan oleh negara melalui asas legalitas “ nullum delictum nulla poena sine prevea lege poenale” , tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali telah diatur terlebih dahulu dalam peraturan perundang- undangan. Sedangkan “ Ius Puniendi” yaitu hak subjektif negara untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku kejahatan yang telah melanggar aturan hukum pidana ( Ius Poenale ). Ius Puniendi biasa juga disebut hukum pidana formiil (Hukum Acara Pidana). Menurut Jan Remmelink bahwa “ Ius Puniendi” ini sering dikaitkan dengan persoalan kekuasaan yang dimiliki oleh negara untuk menjatuhkan pidana ( strafgewalt ) dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hak ini meliputi hak untuk menyidik, menuntut, penjatuhan pidana dan eksekusi pidana. Sehubungan dengan Ius Poenale dan Ius Puniendi di atas, maka telah melahirkan tiga aliran dalam hal pemidanaan, yaitu aliran klasik, aliran positif dan aliran neo-klasik. 185 Diskursus dari ketiga aliran di atas menyoal tentang pemidanaan dari sudut pandang paham indeterminisme (kehendak bebas) dan paham determinisme (tidak punya kehendak bebas). Penganut paham indeterminisme (kehendak bebas) berpendapat bahwa manusia mempunyai kehendak bebas yang tindakannya merupakan sebab dari segala keputusan kehendak tersebut. Sedangkan Penganut paham determinisme (tidak punya kehendak bebas) menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor- faktor biologis dan faktor-faktor lingkungan kemasyarakatan. Dengan demikian kejahatan adalah manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatan dan tidak dapat dikenakan pidana. Dalam kondisi ini, maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepada pelaku, tetapi yang diperlukan adalah tindakan- tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki (Mahmud Mulyadi, Kuliah Umum di Progrma Magister Ilmu Hukum FH Unsri, 16 April 2016). Aliran Klasik (clasical school) melahirkan dua teori tujuan pemidanaan, yaitu teori retributif (teori absolut) dan teori relatif ( deterrence ). Teori Retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “ morally Justifed ” (pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku (Aleksandar Fatic: 1995:
. Ciri khas teori retributif ini terutama dari pandangan Immanuel Kant (1724-1804) dan Hegel (1770-1831), Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu “ imperatif kategoris ”, yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri (J.G. Murphy: 1995:
. 186 Teori “ deterrence ”, Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect sebenarnya telah menjadi sarana yang cukup lama dalam kebijakan penanggulangan kejahatan karena tujuan deterrence ini berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan, dengan dua orang tokoh utamanya, yaitu Cessare Beccaria bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene (1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana balas dendam masyarakat (C. Ray Jeffery: 1977:
. Beccaria berpendapat bahwa hukum harus mampu menjamin kebahagian yang sejati dari sebagian besar masyarakat ( the greatest happiness of the great number ). Untuk menjamin kebahagiaan terbesar ini, maka pidana harus terlebih dahulu ditentukan di dalam undang- undang yang dibuat melalui kekuasaan legislatif, sebagai perwujudan dari prinsip kontrak sosial. Tujuan pemidanaan menurut Beccaria adalah mencegah seseorang untuk melakukan kejahatan, dan bukan menjadi sarana balas dendam masyarakat ( the purpose of punishment is to deter persons from the commission of crime and not to provide social revenge ). Oleh karena itu pidana yang kejam tidak membawa manfaat bagi kemananan dan ketertiban masyarakat. Upaya penanggulangan kejahatan menurut Beccaria lebih baik dengan melakukan upaya preventif daripada melakukan pemidanaan (J.M. van Bemmelen: 1991: 1-4). Aliran Positif, melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan ( treatment ) untuk resosialisasi dan perbaikan sipelaku. (Freda Adler et. al.: 1995: 59-61, lihat juga J. Robert Lilly et, al.: 1995: 22-25) Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku 187 kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan ( treatment ) dan perbaikan ( rehabilitation ) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan ( treatment ) dan perbaikan ( rehabilitation ). Setiap aliran pemidaanaan di atas, sangat mempengarui kebijakan setiap negara dalam menyusun substansi hukum pidana materil dan perkembangan hukum Acara Pidananya sebagai hukum pidana formil. Pengaruh Aliran positif, menjadikan penegakan hukum pidana melalui Criminal Justice System , ke luar dari bingkai konvensionalnya. Betapa tidak, Aliran positif yang lahir dipenghujung abad ke-18, meletakkan kajian kejahatan secara praksis dari ilmu alam dan ilmu sosial. August Comte (1798-1857) seorang sosiolog berkebangsaan Perancis, menerapkan pendekatan metode ilmu pengetahuan alam kepada ilmu-ilmu sosial melalui bukunya yang berjudul “ Cours de Philosophie Positive ” atau “ Course in Positive Philosophy ”, diterbitkan antara tahun 1830 dan 1842. Comte menyatakan bahwa “ There could be no real knowledge of social phenomena unless it was based on a positivist (scientific) approach” . Perkembangan ilmu pengetahuan saat itu juga dipengaruhi oleh Charles Darwin (1809-1892) dengan teori evolusinya. Lombroso menyatukan pemikiran Comte dan Darwin untu menjelaskan hubungan antara kejahatan dengan bentuk tubuh manusia. Lombroso menerbitkan bukunya yang berjudul “ L’uomo Delinquente” atau “ The Criminal Man ” pada tahun 1876, yang menandai bahwa terjadinya transformasi kajian mengenai kejahatan dari tataran yang abstrak (philosopis) ke ranah yang lebih konkrit melalui pendekatan metode ilmiah. Rehabilitasi yang diusung oleh aliran positif terhadap pelaku kejahatan merupakan rehabilitasi medis atas nama treatment berupa tindakan perawatan medis. Hal ini menjadikan pendekatan ilmu kedokteran menjadi idola dalam penegakan hukum pidana (John M. Wilson: 1965:
. Dalam kontek penyidikan, maka selain aparat penegak hukum, maka petugas medis (dokter) menjadi komponen yang utama untuk menentukan tindakan bagi pelaku 188 kejahatan. Hal ini merupakan cikal bakal awal dari lahirnya peranan sipil (katakanlah penyidik sipil) di luar aparat penegak hukum. Beberapa tujuan dari pemidanaan seperti yang telah diuraikan di atas telah menjadi suatu dilema dalam hal pemidanaan. Tujuan pidana dalam pandangan retributif dianggap terlalu kejam dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan tujuan pemidanaan sebagai deterrence dianggap telah gagal dengan fakta semakin meningkatnya jumlah pelaku yang menjadi residivis. Sementara tujuan pemidanaan rehabilitasi telah kehilangan arahnya. Paham rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan dalam perjalanannya tidak semulus yang diperkirakan karena paham ini juga banyak menuai kritikan. Kritikan pertama ditujukan pada kenyataannya bahwa hanya sedikit negara yang mempunyai fasilitas untuk menerapkan program rehabilitasi pada tingkat dan kebijakan yang menekankan penggunaan tindakan untuk memperbaiki ( treatment ) atas nama penahanan. Kritikan kedua, adanya tuduhan yang serius bahwa pendekatan yang digunakan oleh paham rehabilitasi adalah pendekatan yang mengundang tirani individu dan penolakan hak asasi manusia. Misalnya dalam hal proses pelaksanaan rehabilitasi ini tidak seseorang pun yang dapat memprediksi berapa lama pengobatan akan berlangsung ketika seorang tahanan segera diserahkan kepada dokter untuk disembuhkan atau diobati sebelum tahanan itu dibebaskan. Dalam hal ini juga sulit untuk mengontrol otonomi keputusan dokter. Menurut Lewis sebagaimana yang dikemukakan oleh Gerber McAnany bahwa sebagian besar metode treatment yang dilakukan dengan penuh kebaikan dan atas nama kemanusiaan, namun akhirnya tidak terkontrol (Jackson Toby: 1970:
. Upaya mengatasi dilema tujuan pemidanaan di atas, maka munculah aliran Neo klasik . Aliran ini berkembang pada Abad ke- 19 yang memusatkan perhatiannya tidak hanya pada perbuatan atau tindak pidana yang terjadi, tetapi juga terhadap aspek-aspek individual si pelaku tindak pidana ( Daad- dader Strafrecht) . Aliran Neo-Klasik ini lahir sebagai sinthesa dari aliran Klassik dan aliran Positif. Hal ini karena paham aliran Neo-klasik meyakini adanya kebebasan kehendak manusia ( free will/indeterminism ) dalam melakukan kejahatan, namun aliran Neo-Klasik melakukan beberapa perubahan dengan mulai mempertimbangkan adanya kebutuhan pembinaan 189 terhadap pelaku kejahatan ( Determinism ), disamping masih perlunya pemidanaan. Aliran Neo-Klasik mengakui bahwa kebebasan kehendak seseorang pelaku kejahatan untuk memilih sesuatu itu dipengaruhi oleh pathology , ketidakmampuan, gangguan kejiwaan dan kondisi lain yang memungkinkan seseorang melakukan kehendak secara bebas. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, dipertimbangkan alasan bahwa si pelaku mengalami gangguan jiwa, di bawah umur dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu melakukan kejahatan. Oleh karena itu aliran Neo Klasik menerima diberlakukannya keadaan-keadaan yang meringankan, baik dari kondisi fisik, lingkungan, maupun mental seseorang (Franks E. Hagan: 2013: 140-141). Perkembangan kejahatan saat ini begitu pesat, sehingga KUHP tidak mampu untuk menampung pengaturannya. Het recht hinkt achter de feiten aan . Sebuah ungkapan dalam Bahasa Belanda yang berarti hukum itu ketinggalan dari peristiwanya. Biasa juga dikenal dengan istilah moment opname, yaitu ketika suatu peraturan telah diundangkan, maka dengan sendirinya telah ketinggalan zaman. Ini menjadi alasan munculnya berbagai UU di luar KUHP, termasuk munculnya berbagai Peraturan Perundang-Undangan Administrasi yang juga mengatur ketentuan pidana di dalamnya ( administrative penal law ), sebagai sarana ultimum remedium untuk memastikan aturan norma-norma administratif tersebut ditaati. Kemunculan UU di Luar KUHP ini, alas filosofisnya sudah banyak yang mengarah ke aliran Neo Klasik . Misalnya UU Narkotika, selain penerapan pemidanaan, juga telah mengatur rehabilitasi terhadap pengguna dan pecandu. UU Tindak Pidana korupsi, selain penerapan pemidanaan yang ketat, juga telah mengatur treatment berupa rehabilitasi dalam bentuk pemulihan kerugian keuangan negara, dan lain sebagainya. UU OJK merupakan salah satu dari UU di luar KUHP yang juga merumuskan administratif penal law . Rumusan tindak pidananya melingkupi Pasal 52, Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu juga di dalam Pasal 9 huruf c UU OJK, meletakkan core crime -nya di lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 190 Tidak hanya OJK, sebagai contoh, salah satu institusi yang telah menerapkan hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). UU KPK mengandung administratif penal law pada Pasal 65, 66, dan 67 serta core crime nya berada di UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terlepas ada yang berpendapat yang membedakan Tindak Pidana Khusus dengan Tindak Pidana Administratif, menyatakan bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana khusus, berbeda dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang lebih bersifat administratif penal law , maka menurut pendapat Ahli, tidak perlu mendikotomi antara tindak pidana khusus dengan tindak pidana administratif. Hal ini karena akan mempersempit dan mempersulit upaya penanggulangan kejahatan dalam rangkaian criminal policy . Lagipula, dalam UU Khusus di luar KUHP yang memuat perumusan tindak pidana, maka juga akan mencantumkan delik yang domainnya kebanyakan berada pada wilayah pelanggaran administratif. Hal ini juga terdapat di rumusan Pasal 3 UU Tipikor, yang berbicara tentang penyalahgunaan kewenangan, yang sesungguhnya terminologi ini berada di wilayah kajian Hukum Administrasi Negara. Terminologi “Menyalahgunakan Kewenangan” tidak berada di dalam kajian hukum pidana, melainkan terminologi yang berada di bidang kajian Hukum Administrasi Negara. Oleh karena itu, untuk menentukan ada atau tidaknya suatu perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dapat ditarik ke tindak pidana korupsi, maka hukum pidana dan aparat penegak hukum harus meminta bantuan Ahli Hukum Administrasi Negara (HAN) untuk dijadikan parameternya. Konsep wewenang dalam kajian hukum administrasi dan kaitannya dengan tindak pidana korupsi merupakan dua aspek hukum yang saling terkait. Menurut R. Kosim Adisapoetra dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, bahwa titik taut “hukum adminsistrasi” berada di antara norma-norma hukum pemerintahan dan hukum pidana. Oleh karena itu hampir setiap norma hukum pemerintahan yang berdasarkan Hukum Administrasi di akhiri “ in cauda venenum ” (ada racun dibuntut atau diekor) dengan sejumlah ketentuan pidana ( R. Kosim Adisapoetra: 1983:
. Bahkan pasal 2 UU Tipikor juga tidak luput dari pelanggaran UU Adminstratif karena dalam Pasal 2 UU Tipikor menyebut secara jelas tentang PMH, oleh 191 karena itu harus dibuktikan peraturan perundang-undangan yang mana yang telah dilanggar oleh seseorang sehingga bisa dituntut sebagai tindak pidana korupsi. Peraturan perundang-undangan ini merujuk kepada Pasal 7 dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang Undangan. Perkembangan Aliran Neo-Klasik dalam Hukum Pidana ini, membawa pengaruh yang sangat besar pada Pembaharuan Hukum Acara Pidana. Sehubungan dengan paham Aliran Neo-Klasik inilah, maka HIR yang merupakan Hukum Acara Pidana yang masih bernuansa Aliran Klasik, diganti dengan KUHAP berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 yang telah memperhatikan kesimbangan perbuatan dan hak-hak pelaku kejahatan. Walaupun KUHAP telah bercorak Neo-Klasik, namun tentunya KUHAP juga dihadapkan pada kenyataan moment opname. Hal ini terlihat di dalam berbagai UU Pidana Khusus, telah mengatur juga Hukuma Acara Pidana Sendiri secara Khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHAP, misalnya mulai dari persoalan ruang lingkup kewenangan dan lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, dikenalnya sistem pembuktian terbalik, peradilan in absensia sampai pada perluasan alat-alat bukti. KUHAP telah memprediksi hal demikian, sehingga di dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP menegaskan bahwa penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik adalah (a) Pejabat polisi negara republik Indonesia; (b) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. KUHAP sebagai umbrella act Hukum Pidana Formil yang berfungsi menegakkan Hukum Pidana Materiil, maka sudah sejak awal pembentukannya telah melakukan prediksi atas berkembangnya UU di Luar KUHP, sehingga KUHAP secara konstitusional mengakui Hukum Acara Pidana khusus di atur dalam UU Pidana Khusus di luar KUHP. Hal ini di cantumkan dalam Bab XXI tentang Ketentuan Peralihan Pasal 284 ayat (2) bahwa “ Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara 192 diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi". Pasal 284 ayat (2) KUHAP di atas hadir untuk mengantisipasi perkembangan zaman bahwa tidaklah menutup kemungkinan timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang sama sekali belum terpikirkan pada saat mengkodifikasi hukum pidana dalam suatu kitab undang-undang. Demikian pula dengan perkembangan zaman, banyak kejahatan konvensional dilakukan dengan modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan. ketentuan Pasal 284 ayat (2) secara eksplisit membenarkan proses beracara di luar KUHAP. Bahkan dalam RUU KUHAP yang lagi disusun, di Pasal 6 RUU telah mengatur 3 jenis penyidik, yaitu Penyidik Polri, PPNS dan Penyidik Kelembagaan tertentu. Begitu juga dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan (Perbankan, Perasuransian, Pasar Modal, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya), banyak mengandung unsur-unsur deliknya yang mempunyai terminologi tersendiri yang bisa dipahami secara khusus oleh keilmuan dibidang masing-masing sektor jasa keuangan di atas. Oleh karena itu kebutuhan terhadap PPNS OJK yang profesional sesuai dengan bidangnya masing-masing merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Dengan demikian kewenangan penyidikan PPNS OJK dalam UU OJK merupakan suatu kebutuhan dan harus dipertahankan bahkan diperkuat, mengingat kejahatan di bidang jasa keuangan selalu melibatkan white collar crime , baik berupa corporate crime atau organized crime dalam rezim bussines related crime . Oleh karena itu lahirnya kewenangan penyidikan OJK terhadap tindak pidana di Bidang Jasa Keuangan ini, merupakan sebagai suatu konsekuensi logis dari perkembangan falsafah pemidanaan dalam Hukum Pidana yang bercorak Neo-Klasik , sehingga mempengaruhi perkembangan Hukum Acara Pidana yang secara khusus ditemukan dalam UU di Luar KUHP. Dengan demikian, kewenangan penyidikan OJK ini, bukan berada pada wilayah persoalan 193 konstitusional atau tidak konstitusional, melainkan suatu kebutuhan dalam Hukum Acara Pidana. B. Kewenangan Penyidikan OJK dalam kaitannya dengan Prinsip Due process of law dalam Sistem Peradilan Pidana. Terkait dengan perkembangan Aliran Neo-Klasik di atas, maka juga sangat berpengaruh terhadap mekanisme penegakan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana. Komponen Sistem Peradilan Pidana yang dulu secara konvensional terdiri atas Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, maka kini telah mengalami perluasan. Bahkan Ronal J. Waldron, selain mengakui Sistem Peradilan Pidana yang resmi sebagaimana terdiri atas sub- sub sistem di atas, juga menempatkan keikutsertaan masyarakat yang peduli membantu aparat penegak hukum sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana dalam arti luas. Keikutsertaan masyarakat ini, baik melalui institusi sosial atau kelompok masyarakat yang melakukan tindakan formal ataupun informal dalam rangka penanggulangan kejahatan (Mahmud Mulyadi: 2008: 91-92). Oleh karena itu, banyak muncul Lembaga Negera Independen yang berfungsi sebagai lembaga pendukung dalam penegakan hukum, misalnya KPK, BNN, PPATK, KOMNAS HAM, KPAI, KPI, OJK dan lain sebagainya. Tentunya setiap lembaga ini mempunyai kewenangan masing-masing sesuai dengan lingkup tugas yang diamanahkan dalam UU, baik untuk fungsi penal polic , maupun fungsi non penal policy . OJK, KPK, BNN adalah contoh lembaga independen yang mengemban fungsi penal policy , berupa adanya kewenangan penyidikan. Eksistensi kewenangan penyidikan ini sangat bergantung pada kebutuhan yang dibawa oleh UU khusus masing-masing. Semua fungsi kelembagaan ini, diarahkan untuk mencapai Keterpaduan Sistem Peradilan Pidana ( Integrated Criminal Justice System ) dalam penanggulangan kejahatan, yang mengemban tugas untuk (Harkristuti Harkirnowo: 2003:
:
Melindungi masyarakat dengan melakukan penanganan dan pencegahan kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahatan, serta melakukan tindakan terhadap orang yang merupakan ancaman bagi masyarakat; 194 2. Menegakan dan memajukan serta penghormatan terhadap hukum, dengan menjamin adanya proses yang manusiawi dan adil serta perlakukan yang wajar bagi tersangka, terdakwa dan terpidana. Kemudian melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan;
Menjaga hukum dan ketertiban;
Menghukum pelaku kejahatan sesuai dengan falsafah pemidanaan yang dianut;
Membantu dan memberi nasihat kepada korban kejahatan. Kewenangan penyidikan oleh OJK terhadap tindak pidana di bidang jasa keuangan, merupakan bagian dari Integrated Criminal Justice System yang tujuannya sesuai dengan prinsip-prinsip Due process of law sebagaimana diuraikan di atas. Keberadaan kewenangan penyidikan PPNS OJK ini sebagai konsekuensi logis dari tiga titik perhatian dalam Sistem Peradilan Pidana ( criminal justice system ), yaitu hukum pidana secara materil ( criminal law ), hukum pidana formiil ( the law of criminal procedure ), dan hukum pelaksanaan pidana ( the enforcement of criminal laws ). Semua ini ditujukan sebagai usaha untuk memberikan perlakuan yang adil kepada semua orang yang dituduh telah melakukan kejahatan. Keadilan ( Fairness ) dalam peradilan pidana yang dimaksudkan bahwa orang yang dituduh melakukan kejahatan harus diperlakukan secara wajar dan sama ( equal treatment ), netral ( impartiality ), dan hak-haknya diberikan perlindungan oleh undang-undang ( due process of constitutional protections ). (Mahmud Mulyadi: 2008:
. Dengan demikian, kewenangan penyidikan PPNS OJK tidak bertentangan sama sekali dengan prinsip-prinsip Due process of law , karena dengan adanya kewenangan penyidikan OJK ini, maka justru bisa melindungi hak-hak individu dengan menempatkan hanya orang yang benar-benar terpenuhi unsur deliknya, untuk dihadapkan ke pengadilan. Dengan kata lain, secara keseluruhan kewenangan penyidikan OJK ini dapat mencegah orang yang tidak berbuat dan tidak bersalah tidak menjadi “korban salah penerapan hukum” karena ketidakpahaman dalam proses penyidikan kasus-kasus pidana di bidang jasa keuangan. Inilah wujud eksistensi kewenangan penyidikan OJK 195 yang secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia, sesuai dengan prinsip-prinsip Due process of law. Due process of law merupakan kerangka dasar bagi pendirian sistem peradilan pidana yang memberikan perlindungan terhadap HAM seseorang. Konsesp due process of law berasal dari Magna Charta 1215 di Inggris yang mulai membatasi kekuasaan raja yang absolut sehingga selama ini HAM warga tidak terlindungi secara adil. Selama berabad-abad, prinsip ini diperluas untuk melindungi kebebasan warga Inggris melawan penindasan pemerintah (Alfi Arifian: 2017:
. Macna Charta adalah hasil peselisihan antara Paus, Raja John (Inggris) dan para baron, atas hak-hak raja. Mereka menuntut pembatasan kekuasaan Raja yang absolut dan mengharuskan Raja untuk membatalkan beberapa haknya, menghargai prosedur hukum semua keinginan raja harus dibatasi oleh hukum. Ringkasan dari isi Macna Charta ini antara lain:
Polisi ataupun jaksa tidak bisa menuntut seseorang tanpa adanya bukti yang jelas dan saksi yang sah;
Seseorang tidak boleh ditahan, ditangkap dan dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alas hukum sebagai dasar tindakannya;
Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur di tahan, Raja berjanji akan mengkoreksi kesalahannya; C. Kewenangan Penyidikan OJK dalam kaitannya dengan Pencapaian Tujuan Hukum (keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum) Asas kepastian hukum yang lahir dari aliran hukum positif (positivisme hukum) menyatakan bahwa hukum hanya bersangkut paut dengan hanya hukum positif saja. Pandangan ini dipengaruhi oleh pandangan John Austin dalam doktrin “ law is a command of the law giver ”. Maksudnya hukum adalah perintah dari kekuasaan tertingi atau dari yang memegang kedaulatan. Dalam penerpannya hukum yang dibuat oleh kekeuasaan tertinggi tersebut tidak harus didasarkan pada prinsip keadilan, prinsip moralitas baik dan buruk (W. Friedman: 1953:
. Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (closed logical system) , yang berarti bahwa keputusan-keputusan hukum yang tepat atau benar dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari 196 peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya (Lili Rasjidi: 1993:
. Dengan demikian, maka kewenangan penyidikan oleh OJK sama sekali tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum, walaupun dalam UU OJK tidak mencabut kewenangan penyidik Polri. Hal ini karena proses legislasi telah memberikan kewenangan penyidikan ini berdasar suatu peraturan perundang- undangan sebagai hukum positif. Sebenarnya terlalu parsial ketika hanya membicarakan kepastian hukum saja. Hal ini karena penegakan hukum pidana melalui Criminal Justice System tentunya diharapkan mencapai tujuan hukum berupa keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Tujuan hukum merupakan sasaran antara untuk mencapai tujuan utama, yaitu perlindungan hukum bagi seluruh warga masyarakat, sehingga tercapai keamanan, ketertiban dan kenyamanan dalam kehidupan; Dalam kenyataannya, terjadi kekeliruan dalam memahami makna tujuan hukum ini, bahkan banyak yang menghadapkan antara kepastian hukum dengan keadilan hukum. Akibatnya penegakan hukum tercerabut dari nilai-nilai dasar perlindungan hukum yang hanya menyajikan secara parsial, sporadis dan tidak bermanfaat. Suatu tujuan hukum tidak tidak akan tercapai jika penegakan hukum hanya mencapai kepastian hukum saja, atau keadilan hukum saja, atau kemanfaatan hukum saja. Memisahkan ketiga bagian dari tujuan hukum ini menjadikan penegakan hukum kehilangan arah dan cenderung memaksakan selera kepentingan masing-masing. Keadilan hukum terlahir dari aliran hukum alam. Hukum alam merupakan bagian dari ajaran moral, yang berarti hukum merupakan bagian dari sistem moral (A.P. d’ Entreves: 1963:
. Tujuan hukum menurut perspektif ini, bukan hanya untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat, tetapi juga untuk membentuk masyarakat yang baik dan anggota masyarakat yang baik secara moral. Dengan demikian, hukum merupakan instrument moral untuk membentuk masyarakat dan anggota masyarakat yang baik secara moral. Essensi dasar dari pandangan aliran hukum alam, diungkapkan dalam sebuah istilah “ ius quia iustum ” yang berarti hukum adalah keadilan atau hukum 197 adalah aturan yang adil. Keadilan dengan demikian adalah prasyarat suatu aturan agar bisa disebut sebagai hukum. Oleh karena itu, hukum yang tidak memenuhi cita rasa keadilan bukanlah sebuah hukum. Validitas hukum tidak terletak pada bentuknya, apakah undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain-lain atau yurisprudensi, tetapi pada substansinya yang mengadopsi nilai- nilai keadilan (Van Aveldoorn: 1982: keadilan sebagai hukum tertinggi atau terakhir yang berkembang dari sifat alam semesta, Tuhan, dan akal manusia. Keadilan sebagai esensi yang ditegaskan dalam aliran hukum alam ini, memberikan arahan atau pedoman bagi pembentuk undang-undang dalam proses pembentukan hukum. Selain itu juga keadilan harus dijadikan alat uji keabsahan hukum positif untuk dapat disebut sebagai hukum yang valid. Sedangkan lahirnya kepastian hukum dari paham positivisme hukum tidak terlepas dari sejarah di abad ke-14 M. Pada akhir abad ke 14, kekuasaan gereja semakin melemah dengan dikuasainya kepausan oleh Raja Prancis. Pada akhir abad ke 16 kekuasaan Raja di Perancis secara utuh berhasil menggenggam kekuasaan di tangannya. Dengan demikian dimulailah kekuasaan absolut di tangan Raja. Hal ini ditandai dengan adanya doktrin “hanya rajalah yang berhak membuat undang-undang” dan “pembentukan UU ini adalah kekuasaan atau kewenangan yang tidak terbatas”, “Raja adalah UU yang hidup”. Hal ini karena Raja adalah wakil Tuhan dimuka bumi sehingga Raja berhak mengurus dan memerintah warga kerajaan. Pada abad ke 16 ini juga munculnya ajaran (doktrin) arbitrium judicis (Pendapat hakim) yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk melakukan kualifikasi terhadap perbuatan pidana dan sanksi pidana menurut pendapatnya sendiri. Doktrin arbitrium judicis (Pendapat hakim) ini mendapat tentangan dan kritikan keras pada abad ke-18 di seluruh wilayah Perancis karena para hakim telah menjalankannya secara sewenang-wenang. Warga negara Perancis sangat mendambakan peradilan pidana yang didasarkan jaminan perlindungan hak-hak individu warga negara. Puncaknya adalah dengan terjadinya Revolusi Perancis pada tahun 1789. Hal ini mendakan berakhirnya peradilan pidana system “ arbitrium judicis (Pendapat hakim)” dan berakhirnya absolutisme kekuasaan Raja dan Hakim. 198 Salah seorang tokoh revolusi Prancis sekaligus pakar hukum pidana, yaitu Cesare Bonesana Marquise Beccaria (biasa dipanggil Cessare Beccaria) sangat keberatan dengan sifat semena-mena sistem yudisal dan pidana eropa pada saat itu, yang sangat kerasnya, mendapatkan pengakuan melalui penyiksaan dan benar-benar tergantung pada kehendak hati penguasa. Beccaria sangat berkepentingan merombak sifat kejam, berlebihan dan tidak bisa diperkirakannya hukuman. Menurutnya tidak masuk akal menghukum pelanggar hukum dengan hukuman yang tidak adil. Menurut Franks E. Hagan: 2013: 137-138, Beccaria berperan dalam penghapusan penyiksaan sebagai alat yang sah untuk mendapatkan pengakuan. Beccaria berpendapat “Hukuman harus sesuai dengan kejahatan”. Beccaria menawarkan prinsip-prinsip pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana:
UU harus dibuat oleh badan legislatif dan harus spesifik (lex scripta);
Peran hakim hanyalah menentukan kesalahan dan mengikuti dengan ketat pada ketentuan harfiah UU dalam menentukan hukuman. Hakim tidak boleh menafsirkan UU;
Tingkat kejahatan harus ditentukan berdasarkan bahaya yang ditimbulkan pada masyarakat dan didsarkan pada prisip kesenangan atau penderitaan;
Hukuman harus didasarkan pada tingkat keseriusan kejahatan dan kemampuannya mencegah kejahatan;
Hukuman tidak boleh melebihi apa yang diperlukan bagi pencegahan;
Berlebihnya bobot hukuman sering meningkatkan kejahatan yang dilakukan untuk menghindarkan hukuman;
Hukuman harus pasti, ketat dan jelas (lex scripta, lex stricta dan lex certa) 8) UU harus disusun dengan tujuan utama mencegah kejahatan. Lebih baik mencegah kejahatan dari pada menghukum;
Semua orang harus diperlakukan setara di hadapan hukum ( equality before the law ). Mountesqueu, teman Beccaria dan seorang tokoh revolusi Prancis, sejalan dengan Beccaria, menghendaki pemisahaan kekuasan fungsi-fungsi kelembagaan pembuat perundang-undangan (legislatif), fungsi pemerintahan (eksekutif), dan fungsi penegakan hukum (yudikatif). Ke tiga kekuasaan di atas 199 harus dipisahkan supaya hukum dan penegakannya tidak lagi terjebak dalam kekuasaan absolut kerajaan yang tirani, kejam, dan tidak manusiawi. Pengalaman pahit penegakan hukum dibawah doktrin Arbitrium Judicis, mempengaruhi pemahaman aliran hukum positif di dunia peradilan sehingga melahirkan aliran legisme, dimana hakim hanya dipandang sebagai sekedar “terompet undang-undang”. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu bahwa hakim-hakim rakyat tidak lain hanyalah corong yang mengucapkan teks undang-undang saja. Jika teks itu tidak berjiwa dan tidak manusiawi, maka para hakim tidak berhak merubahnya, baik tentang kekuatannya, maupun tentang keketatannya (Ahmad Ali:
. Legisme muncul untuk mengantisipasi masih adanya pengaruh kekuasaan para hakim yang saat itu menjadi subordinasi kekuasaan raja. Pendapat di atas mucul karena para tokoh revolusi Prancis menghendaki dan meyakini bahwa para wakil-wakil rakyat yang ditunjuk mengemban fungsi legislatif merupakan orang-orang yang tepat, berintegritas, berkeilmuan dan mengedepankan kepentingan rakyat, sehingga hukum yan dibentuk adalah hukum-hukum yang adil dan berkepastian serta bermanfaat bagi pencapaian kesejahteraan rakyat. John Stuart Mill sependapat dengan Bentham bahwa hukum positif hendaklah ditujukan pada pencapaian kemanfaatan (kebahagiaan). Stuart Mill mengemukakan hukum positif hendaknya didasarkan pada kegunaannya sebagai suatu stadar keadilan. Hakikat keadilan dalam pegertian ini mencakup semua persyaratan moral yang hakiki bagi kesejahteraan umat manusia (Satjipto Rahardjo: 2000:
. Berdasarkan berbagai pandangan di atas maka sesungguhnya antara keadilan hukum dan kepastian hukum, bukanlah tujuan hukum yang saling berhadapan dan saling menegasikan. Keduanya tak terpisahkan satu sama lain, sehingga penyatuan keduanya akan melahirkan kemanfaatan dalam penegakan hukum. Pemahaman yang memversuskan antara keadilan hukum dan kepastian hukum merupakan pemahaman yang kurang tepat. Bahkan Gustav Radbruch dalam teori tentang Ajaran Cita Hukumnya ( Idee des Rechts ), menyatakan bahwa aturan hukum positif yang berkepastian hukum harus memuat ajaran- 200 ajaran moral yang bernilai keadilan dam substansinya. Sehingga penyatuan keduanya akan melahirkan kemanfaatan hukum. Dengan adanya kewenangan penyidikan oleh OJK terhadap tindak pidana di bidang jasa keuangan ini, maka selain telah memperoleh legitimasi dalam perundang-undangan, juga inheren telah mengadopsi nilai-nilai keadilan. Hal ini sesuai dengan kebutuhan dan spesialisasi bidang sebagai ranah awal yang memungkinkan munculnya perbuatan pidana. Oleh karena itu kehadiran kewenangan peyidikan yang memahami anatomy of crime dari kejahatan di bidang jasa keuangan ini telah menempatkan keselarasan antara kepastian hukum dengan keadilan hukum. Penegakan hukum melalui Integrated Criminal Justice System dengan yang mengedepankan prinsip-prinsip Due process of law , pada akhirnya dapat mencapai tujuan hukum berupa keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum bagi semua pihak. Dengan demikian, kewenangan penyidikan OJK tidak bertentangan sama sekali dengan keadilan hukum dan kepastian hukum. Sebagai contoh, untuk menyidik tindak pidana korupsi, maka ada tiga institusi yang berwenang, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. Ternyata peran ketiga lembaga ini dalam menyidik tindak pidana korupsi berjalan dengan baik dan saling menghormati. Hal-hal berkaitan dengan koordinasi, tentunya itu menjadi masalah teknis koordinatif dan tidak perlu dipertentangkan soal konstitusionalitasnya. Sehubungan dengan hal di atas, maka pada tanggal 25 November 2014, OJK dan POLRI telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) tentang Kerjasama Penanganan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan. Ruang lingkup MoU ini, baik di bidang pencegahan, maupun di bidang penegakan hukum (termasuk persoalan penyidikan), bidang pendidikan dan pelatihan dan lain sebagainya. Pelaksanaan MoU ini, maka OJK dan POLRI bersama sama menyusun pedoman kerja yang dituangkan dalam berbagai bidang tadi. Hal inilah yang ahli maksudkan sebagai wujud dari Integrated Criminal Justice System sebagaimana telah Ahli kemukakan di atas. Kesimpulan dari keterangan diatas sebagai berikut:
Esensi kehadiran kewenangan penyidikan PPNS OJK terhadap tindak pidana di Bidang Jasa Keuangan ini, merupakan sebagai suatu konsekuensi logis dari perkembangan falsafah pemidanaan dalam Hukum 201 Pidana yang bercorak Neo-Klasik , sehingga mempengaruhi perkembangan Hukum Acara Pidana yang ditemukan dalam UU Khusus di Luar KUHP. Tindak pidana di sektor jasa keuangan sebagai tindak pidana khusus, banyak mengandung terminologi tersendiri sesuai dengan domainnya. Oleh karena itu kebutuhan terhadap kewenangan penyidikan PPNS OJK yang profesional sesuai dengan bidangnya masing-masing merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Dengan demikian kewenangan penyidikan PPNS OJK dalam UU OJK merupakan suatu kebutuhan dan harus dipertahankan bahkan diperkuat.
Kewenangan penyidikan yang diberikan kepada PPNS OJK, dapat memberikan perlindungan kepada hak-hak individu dan masyarakat. Kemampuan dan pemahaman yang valid terhadap delik-delik di bidang jasa keuangan oleh PPNS OJK, dapat mengeliminir resiko “salah penerapan hukum” dan error in persona . Dengan demikian Kewenangan penyidikan PPNS OJK tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Due process of law .
Kewenangan penyidikan oleh OJK terhadap tindak pidana di bidang jasa keuangan ini, selain telah memperoleh legitimasi dalam perundang- undangan, juga inheren telah mengadopsi nilai-nilai keadilan. Hal ini sesuai dengan kebutuhan dan spesialisasi di bidang jasa keuangan sebagai ranah awal yang memungkinkan munculnya perbuatan pidana. Oleh karena itu kehadiran kewenangan penyidikan yang memahami anatomy of crime dari kejahatan di bidang jasa keuangan ini telah menempatkan keselarasan antara kepastian hukum dengan keadilan hukum yang pada akhirnya membawa kemanfaatan hukum bagi semua pihak. Dengan demikian, kewenangan penyidikan OJK tidak bertentangan sama sekali dengan keadilan hukum dan kepastian hukum.
Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M A. Kewenangan penyidikan diluar penyidik Polri dan tindak pidana yang dapat disidik. Mengenai legitimasi pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 tentang pengujian Undang-Undang Kejaksaan, Prof. Andi Hamzah menjabarkan bahwa secara historis, Pasal 141 SV KUHAP Belanda, yang menjadi 202 sumber dari KUHP dan KUHAP di Indonesia, mengatur bahwa penyidikan tindak pidana dibebankan kepada 10 pejabat, diantaranya selain Jaksa dan Polisi, juga pejabat penyidik dibidang tertentu seperti Perikanan dan Bea Cukai. Jadi pada dasarnya, secara historis, kewenangan penyidikan tidak hanya dimonopoli oleh satu institusi melainkan menjadi kewenangan dari berbagai institusi sesuai dengan kebutuhan dan kekhususannya masing- masing. Saat ini di Indonesia, paling tidak ada 50 PPNS yang diberikan kewenangan menyidik tindak pidana tertentu. Selanjutnya, masih dalam Putusan Nomor 28/PUU-V/2007, Mahkamah memberikan pandangannya mengenai pendapat yang menyebutkan bahwa kepolisian adalah penyidik tunggal. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menjelaskan bahwa pada dasarnya kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh kepolisian adalah amanat dari undang-undang, yaitu undang-undang kepolisian. Dan oleh karena itu, terdapat peluang bagi institusi lain untuk juga memiliki kewenangan penyidikan sepanjang diatur oleh Undang- Undang. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang mengatakan bahwa “Badan-Badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang”. Begitupun halnya dengan adanya “diferensiasi fungsi” dalam hal ini kewenangan melakukan penyidikan, Mahkamah juga telah mengakui bahwa hal tersebut sepenuhnya diserahkan kepada pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden), baik sebelum adanya amandemen UUD 1945 dengan diakuinya penyidik pegawai negeri sipil didalam KUHAP, dan setelah adanya amandemen UUD 1945 dengan diberikannya fungsi penyidikan kepada beberapa institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Terkait hal ini, juga didukung dengan ketentuan dalam Undang-Undang Kepolisian, Pasal 2 juncto Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002, yang menyebutkan bahwa Instansi dan/atau badan pemerintah, dalam hal ini OJK, dapat melaksanakan fungsi kepolisian sepanjang diberikan mandat oleh undang-undang yang mendasarinya. Salah satu konsekuensi logis dari praktik multi-penyidik atas suatu tindak pidana adalah kemungkinan beberapa penyidik melakukan penyidikan untuk suatu tindak pidana yang sama atau setidak-tidaknya saling berkaitan. 203 Terkait hal ini, saya berpandangan bahwa permasalahan ini dapat diantisipasi dengan adanya komunikasi antara penyidik diantaranya melalui wadah komunikasi seperti yang diatur dalam Pasal 107 KUHAP dan komunikasi antara penyidik dan penuntut umum, sebagai dominus litis atau pengendali perkara berdasarkan Pasal 109 KUHAP. Kemudian, mengenai tindak pidana apa yang dapat disidik oleh OJK? Dalam Pasal 49 ayat (3) huruf c disebutkan bahwa kewenangan penyidikan meliputi tindak pidana di sektor jasa keuangan. Untuk mengetahui apa saja tindak pidana di sektor jasa keuangan tersebut, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 6 Jis Pasal 1 angka 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 UU OJK yaitu kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Ketentuan ini cukup memberikan penjelasan mengenai ruang lingkup tindak pidana apa saja yang dapat disidik oleh OJK. Sebagai informasi tambahan, dalam praktik peradilan pun eksistensi penyidikan yang dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan juga sudah diakui dengan ditolaknya beberapa permohonan praperadilan yang diajukan terhadap tindakan penyidikan OJK. Beberapa diantara permohonan praperadilan tersebut adalah Putusan Nomor 6/Pid.Pra/2019/PN.JKT.PST dengan pemohon M. Nuh Said dan Putusan Nomor 7/Pid.Pra/2018/Pn.Palu Oleh karena itu, Ahli berpendapat bahwa sepanjang undang-undang mengamanatkan kewenangan untuk melakukan penyidikan dan sudah diatur mengenai tindak pidana apa yang masuk kedalam ruang lingkup kewenangannya, maka kewenangan tersebut dapat dibenarkan. B. Kewajiban kordinasi dengan penyidik Polri, lembaga Praperadilan, penyerahan berkas perkara dan ketentuan lainnya mengenai hukum acara merujuk pada KUHAP Mengenai kekhawatiran berkenaan dengan hukum acara, mulai dari mekanisme kordinasi dengan penyidik Polri, penyerahan berkas perkara, sampai ketersediaan lembaga praperadilan sebagai sarana perlindungan hak dan kontrol terhadap penggunaan wewenang penyidik, perlu diperhatikan ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, 204 dijelaskan bahwa undang-undang tersebut (KUHAP) berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan. Oleh karena itu, maka ketentuan-ketentuan dalam KUHAP tetap berlaku untuk penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh OJK, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang a quo. Lebih lanjut mengenai pembahasan poin-poin yang dikemukakan oleh pemohon, pertama, terkait hubungan antara PPNS dan Polri. Dalam KUHAP, pada pokoknya pola hubungan antara penyidik PPNS dan penyidik Polri dapat dikategorikan dalam beberapa bentuk. Pertama, memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan. Kedua, kewajiban PPNS melaporkan penyidikan kepada Polri. Ketiga, adalah penyerahan berkas kepada penuntut umum melalui Polri. Keempat, kewajiban memberitahukan penghentian penyidikan kepada Polri dan penuntut umum. Dari poin-poin tersebut diatas, dapat dilihat bahwa relasi antara penyidik PPNS dan Polri bersifat kordinatif dan pengawasan guna kelancaran penyidikan yang dilakukan oleh penyidik PPNS. Oleh karena itu, apabila penyidik di lingkungan OJK dianggap sebagai penyidik PPNS, maka ketentuan dalam KUHAP tersebut juga berlaku bagi mereka. Sekalipun penyidik di lingkungan OJK tidak dianggap sama dengan penyidik PPNS, check and balance dalam penggunaan wewenangnya juga tetap merujuk pada KUHAP. Perlu dipahami bahwa check and balances terhadap rangkaian tindakan penyidikan baik oleh PPNS ataupun penyidik Polri pada dasarnya juga telah diatur dalam ketentuan-ketentuan lain dalam KUHAP. Beberapa contoh diantaranya adalah kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan, Pelapor, dan Terlapor paling lambat 7 hari setelah diterbitkannya surat perintah penyidikan sebagai bentuk perlindungan hak konstitusional pelapor dan terlapor. Contoh lainnya, kewajiban untuk memperoleh surat izin/ persetujuan penggeledahan dan atau penyitaan dari pengadilan dalam menjalankan kewenangan penggeledahan dan penyitaan juga merupakan bentuk check and balance dalam melaksanakan kewenangan penyidikan. 205 Kedua prosedur tersebut meskipun tidak diatur khusus dalam Undang- Undang OJK, tetapi berdasarkan Pasal 2 KUHAP, maka penyidik OJK tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan tersebut. Sebagai contoh, dalam praktik penegakan hukum di bidang perikanan yang dilakukan oleh PPNS Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, dalam hal penyidik akan melakukan penggeledahan dan atau penyitaan, Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 hanya menyebutkan bahwa penyidik berwenang melakukan penggeledahan dan atau penyitaan tanpa menjelaskan bagaimana prosedur dilakukannya penggeledahan dan penyitaan tersebut. Akan tetapi, merujuk pada Pasal 2 KUHAP, prosedur formal yang harus ditempuh oleh penyidik tetap merujuk ke prosedur penggeledahan dan penyitaan sebagaimana diatur oleh KUHAP, yaitu meminta izin/persetujuan dari ketua pengadilan negeri. Begitupun dengan tidak adanya pengaturan praperadilan dalam UU OJK yang dikhawatirkan pemohon bertentangan dengan prinsip negara hukum. Walaupun tidak diatur dalam UU OJK, bukan berarti dalam menjalankan kewenangan penyidikannya, penyidik OJK tidak dapat dipraperadilankan. Mekanisme praperadilan yang diatur dalam KUHAP tetap berlaku dalam penyidikan yang dilakukan oleh OJK atas dasar Pasal 2 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. Sebagai contoh, dalam UU Perikanan, yang menjadi dasar kewenangan PPNS KKP dan penyidik TNI AL untuk menyidik kejahatan perikanan juga tidak mengatur mengenai pranata Praperadilan. Akan tetapi, baik PPNS KKP dan Penyidik TNI AL juga beberapa kali pernah dipraperadilankan saat menyidik tindak pidana perikanan. Pengenyampingan ketentuan dalam KUHAP hanya dimungkinkan sepanjang undang-undang yang menjadi dasar pemberian kewenangan pada penyidik tertentu tersebut mengatur secara khusus. Contohnya mengenai kewenangan penggeledahan dan penyidikan KPK yang tidak memerlukan izin pengadilan. Kesimpulannya, (1) ketentuan mengenai upaya paksa, kewenangan terkait penyidikan, dan prosedur lain yang berkaitan, sepanjang tidak diatur secara khusus, prosedurnya tetap mengacu ke KUHAP. (2) mekanisme check and 206 balances terhadap tindakan penyidikan tetap ada dalam batas perlindungan yang telah diatur dalam KUHAP. C. Mengenai “status” penyidik di OJK Secara kelembagaan, merujuk pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK dapat dikategorikan sebagai State Independent Agency , yang berperan untuk melakukan pengawasan kegiatan sektor jasa keuangan dan untuk mengefektifkan peran tersebut, OJK diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan. Oleh karena itu, status penyidik di lingkungan OJK juga bersifat khas. Untuk memahaminya, dapat dilihat dari ketentuan- ketentuan dan risalah rapat Rapat penyusunan RUU Tentang OJK Masa Persidangan II Tahun Sidang 2010-2011, hari Rabu, 1 Desember 2010 dengan Kemenkeu, Jampidsus, Bareskrim Polri dan BI dan hari Kamis, 2 Desember 2010 dengan Kepala Bapepam LK, dan Kementerian Hukum dan HAM sebagai berikut: Pertama, OJK dapat merekrut pegawai negeri, yang apabila merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Kepegawaian, juga meliputi anggota Polri. Pasal 27 ayat (2) OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri (termasuk pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan/atau pejabat penyidik kepolisian) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Penjelasan Pasal 27 ayat (2) untuk mengefektifkan tugasnya, OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri dari instansi lain atau dengan status lainnya. Pegawai negeri yang bekerja pada OJK dapat berstatus dipekerjakan atau status lainnya dalam rangka menunjang kewenangan OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan, atau tugas-tugas yang bersifat khusus. Pegawai negeri tersebut antara lain berasal dari pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan atau pejabat penyidik kepolisian. Hak dan kewajiban pegawai negeri tersebut disetarakan dengan hak dan kewajiban pegawai OJK. Dalam penjelasan pasal tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud sebagai Pegawai Negeri diantaranya adalah pejabat penyidik kepolisian (anggota Polri). Pandangan ini semakin jelas apabila merujuk pada maksud 207 pembuat undang-undang yang terdokumentasikan dalam risalah penyusunan undang-undang. Dalam risalah rapat tersebut, terlihat bahwa intensi pembentuk undang-undang untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK diikuti dengan maksud untuk merekrut pegawai negeri, baik pegawai negeri sipil ataupun anggota Polri, sebagai pelaksana kewenangan penyidikan. Perwakilan pemerintah menjelaskan terkait status PPNS berkaitan dengan pegawai OJK yang bukan pegawai negeri sipil bahwa untuk penyidik memang akan merekrut pegawai negeri untuk dipekerjakan di OJK, dan yang dimaksud pegawai negeri ini bisa dari sipil ataupun polisi. Terkait persoalan ini memang sempat memantik diskusi dari pembentuk undang-undang. Dalam suatu kesempatan, salah seorang anggota tim panja RUU OJK dari Fraksi Gerindra mengusulkan agar desain penyidik OJK dibuat seperti model Undang-Undang KPK dan tidak menggunakan terminologi PPNS, tetapi cukup penyidik. Pandangan ini juga direspon positif oleh ketua rapat dengan mengangkat isu mengenai mekanisme BKO, yang dirasanya kurang efektif karena anggota yang di BKO-kan bisa sewaktu-waktu ditarik oleh institusi asalnya. Pandangan ini direspon oleh pemerintah dengan menjelaskan bahwa terminologi PPNS digunakan agar pegawai negeri sipil yang memiliki kompetensi sebagai penyidik, tidak perlu keluar dari PNS apabila dipekerjakan sebagai penyidik oleh OJK. Begitupun halnya dengan kepolisian, pemerintah menggunakan terminologi pegawai negeri, daripada pegawai negeri sipil, untuk mengakomodir kepentingan mempekerjakan anggota Polri sebagai penyidik. “Usulan dari fraksi partai gerindra agar OJK dibuat seperti model undang- undang KPK. Lebih lanjut ia juga mengusulkan agar tidak memakai istilah PPNS, tapi cukup penyidik saja” “Ketua rapat menyinggung isu BKO yang dirasa kurang efektif karena bisa sewaktu-waktu ditarik oleh institusi asalnya” “Pemerintah menjelaskan bahwa sekalipun pegawai OJK bukan pegawai negeri sipil, tetapi payung hukum untuk (mempekerjakan) pegawai negeri sipil tetap dibuka karena ada kepentingan untuk membutuhkan PNS sebagai PPNS. Terminologi PPNS digunakan agar tidak perlu keluar dari 208 PNS namun tetap bisa menjadi penyidik di OJK. Begitupun Polisi yang akan dipekerjakan di OJK sebagai penyidik, itu juga memungkinkan. Oleh karenanya pasal itu kita sebut Pegawai Negeri, bukan Pegawai Negeri Sipil. (Halaman 732)” Kedua, anggota Polri dan Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di OJK sebagai penyidik ada dalam kerangka penyidik pegawai negeri sipil. Pasal 49 menekankan bahwa “pegawai negeri” dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil, yang dalam undang-undang OJK diberikan kewenangan-kewenangan khusus untuk melakukan tindakan tertentu dalam menjalankan fungsi penyidikan. Pasal 49 ayat (2) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Merujuk pada pasal tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan pegawai negeri dalam Pasal 49 ayat (2) adalah termasuk pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan atau pejabat penyidik kepolisian yang dipekerjakan di OJK. Pendapat ini berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian yang mendefinisikan pegawai negeri termasuk didalamnya anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya mengenai frasa “dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil” dalam Pasal 42 ayat (2) UU OJK, dikaitkan dengan pengertian Pegawai Negeri diatas, maka dapat disimpulkan sepanjang ada pengangkatan sebagai penyidik pegawai negeri sipil, maka baik penyidik kepolisian dan atau penyidik pegawai negeri sipil yang dipekerjakan di OJK berdasarkan Pasal 27 ayat (2) dapat menjalankan fungsi penyidikan dan memiliki kewenangan sesuai dengan yang terdapat dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Pemahaman ini sejalan dengan maksud awal dari pembentuk undang- undang yang terdokumentasi dalam risalah rapat penyusunan undang- undang sebagai berikut: “Pemerintah: Ada pegawai OJK yang non-PNS ada pegawai OJK yang PNS. Nanti masalah administrasi kan bisa kita atur dengan Menpan, dengan 209 Kementerian Keuangan, apakah itu BKO selama 5 tahun, nanti diperpanjang lagi itu biasa pak” “Ketua Rapat: jadi intinya, kan dia PNS yang diperbantukan kedalam OJK, jadi intinya OJK membuat klausul bahwa dia siap, bisa menerima perbantuan dari PNS itu” “Pemerintah: kemudian tadi yang soal Polri tadi itu pak, sebenarnya juga kita membuka saja payung hukum kalau nanti anggota Polri yang juga bekerja di OJK sebagai penyidik. Itu juga memungkinkan, tetapi kalau nanti Polri ga kasih misalnya, yaudah ga ada masalah pak, gitu. Jadi Pasal itu tetap kita katakan pegawai negeri. Kita gak bilang pegawai negeri sipil pak, karena Polri itu pegawai negeri, bukan pegawai negeri sipil” “Ketua Rapat: penyidikan ini Ahli tawarkan konsep begini, kita kasih kewenangan penyidikan Bapepam kepada OJK, iya kan? Karena memang ada undang-undang sektoral yang memerintahkan untuk itu otoritasnya berpindah ke Pasar Modal. Tapi karena UU ini tidak hanya berlaku untuk Pasar Modal, tetapi juga yang lain, harapannya undang-undang yang lain bisa menyesuaikan. Langkah komprominya adalah dikasih penyidikan tapi dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan instansi terkait”. “Pemerintah: memang begitu pak, memang sebagai PPNS tidak bisa jalan sendiri, harus dibawah kordinasi Polri. Yang kita maksud dengan kejaksaan itu juga harus melalui Polri”. Dari kutipan pasal-pasal dan pembahasan penyusunan RUU OJK diatas, maka Ahli berpandangan bahwa intensi pembuat undang-undang terkait pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK dan keinginan agar pegawai negeri sipil dan anggota Polri menjadi pelaksana kewenangan penyidikan tersebut di institusi OJK sebagai penyidik pegawai negeri sipil. Akan tetapi, terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh PPNS dalam UU OJK, perlu diperhatikan beberapa isu mengenai apakah mungkin pejabat penyidik kepolisian dapat diangkat menjadi penyidik pegawai negeri sipil? Apabila dimungkinkan, siapa yang dapat mengangkat penyidik kepolisian sebagai penyidik pegawai negeri sipil? Apabila merujuk pada Peraturan Pemerintah 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan 210 Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan PP Nomor 27 Tahun 1983, anggota Polri tidak dapat diangkat menjadi PPNS karena terdapat beberapa persyaratan yang tidak kompatibel dengan kepangkatan dan/atau kepegawaian anggota Polri. Akan tetapi, menurut pendapat Ahli, persoalan ini dapat diselesaikan dengan menerbitkan atau menyesuaikan peraturan pemerintah terkait pengangkatan penyidik pegawai negeri sipil untuk untuk menjalankan ketentuan yang diatur dalam undang-undang OJK. D. Rasionalisasi dan Urgensi Penyidik Khusus Terdapat beberapa alasan dalam memberikan kewenangan penyidikan bagi institusi lain diluar institusi kepolisian. Sebagai contoh dan perbandingan, dapat kita lihat dalam rasionalitas pemberian kewenangan menyidik tindak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Pertama, tingginya angka dugaan tindak pidana pencucian uang dan pada saat itu, tim perumus berpandangan bahwa satu institusi saja, dalam hal ini kepolisian, dirasa tidak sanggup untuk menindaklanjuti dugaan-dugaan tersebut. Kedua, multi-penyidik untuk tindak pidana tertentu juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses penegakan hukum. Dengan dibukanya peluang bagi beberapa institusi untuk menyidik suatu tindak pidana, diharapkan masing-masing institusi akan semakin terpacu untuk menegakkan hukum dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas penegakan hukum itu sendiri. Ketiga, untuk tindak pidana tertentu dibutuhkan pemahaman dan keahlian khusus. Seperti halnya dalam tindak pidana yang menjadi tindak pidana asal pencucian uang seperti tindak pidana perbankan, pasar modal, kehutanan, perikanan dan lain sebagainya. Akan sulit untuk mengoptimalkan proses penegakan hukum apabila aparat penegak hukum itu sendiri tidak menguasai suatu bidang tertentu. Untuk itulah diperlukan penyidik khusus, karena dianggap memiliki pemahaman khusus mengenai bidang tertentu. Kemudian untuk mengoptimalkan kemampuan penyidikannya, diatur mengenai pola kordinasi antara penyidik khusus tersebut dengan penyidik polri yang secara umum lebih berpengalaman dalam menyidik tindak pidana. 211 Sejalan dengan alasan-alasan tersebut diatas, perlu pula diketahui terkait alasan yang mendasari para penyusun undang-undang untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK dengan merujuk pada risalah rapat penyusunan rancangan undang-undang tentang OJK sebagai berikut: Perwakilan dari pemerintah menjelaskan urgensi untuk memiliki penyidik sendiri adalah untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum (merujuk dari pengalaman Bank Indonesia yang melaporkan dugaan tindak pidana ke Kepolisian namun tidak ada tindak lanjutnya). Yang kita maksud disini itu penyidikan, kita penyidiknya pak. Karena pengalaman selama ini kita sudah kirim penyelidikan ke kepolisian, itu butuh waktu lagi. Karena disana untuk gelar perkaranya aja tuh kadang-kadang itu butuh pengertian dan pengetahuan mendalam terkait transaksi pasar modal yang kadang-kadang kalau kita lihat itu bisa pidana tapi kadang-kadang rekan-rekan kita disana bisa ga lihat itu pak. Jadi kalau misalnya OJK dalam hal ini bapepam tidak diberi kewenangan, nanti makin banyak white colar crimes Merujuk pada kutipan tersebut, dapat dipahami bahwa keinginan untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK adalah sebagai bentuk perbaikan dari pengalaman penegakan hukum di bidang jasa keuangan sebelum disahkannya Undang-Undang OJK, yang dirasa masih belum efektif, karena banyak dugaan tindak pidana yang dilaporkan ke Polri yang tidak berhasil mencapai hasil yang diharapkan. Dengan demikian, beradasarkan alasan-alasan tersebut diatas, mengingat luas dan kompleksnya permasalahan dilingkungan pengawasan sektor jasa keuangan, Ahli berpandangan bahwa diperlukan penyidik khusus di lingkungan OJK yang diharapkan mampu mendeteksi adanya dugaan tindak pidana dan melakukan penindakan dengan lebih baik.
Zainal Arifin Mochtar SEJARAH PENGATURAN OJK OJK—lebih spesifiknya UU OJK—tidak lahir dari ruang hampa. Pengaturan tentang OJK muncul dari pemikiran tentang efisiensi dan efektifitas pengawasan sektor keuangan. Asumsi yang dibangun adalah untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas pengawasan sektor keuangan, maka 212 pengawasannya harus dibagi-pisah antara sektor keuangan makro dan sektor keuangan mikro. OJK kemudian difokuskan pada sektor keuangan mikro dengan spesifikasi sektor jasa keuangan. Sejarah pengaturan OJK dapat dirujuk pada ketentuan tentang Bank Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia—selanjutnya ditulis UU BI—disebutkan bahwa salah satu tugas Bank Indonesia (BI) adalah mengatur dan mengawasi bank (vide Pasal 8 huruf c UU BI). Lebih lanjut, tugas pengawasan bank dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan selambat-lambatnya lembaga pengawasan bank tersebut harus dibentuk pada 31 Desember 2002 (vide Pasal 34 UU BI). Meskipun perintah yang dicantumkan dalam UU BI memerintahkan per 31 Desember 2002 harus ada sebuah lembaga khusus yang melakukan pengawasan terhadap Bank, akan tetapi faktanya lembaga tersebut tidak terbentuk sesuai jadwal. Namun demikian, tidak lantas kewenangan untuk pengawasan bank dicabut. Kewenangan itu tetap ada, tetapi lembaganya saja yang belum terbentuk. Bahkan perubahan UU BI (yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004— selanjutnya ditulis UU No. 3 Tahun 2004) menegaskan eksistensi pengawasan bak oleh sebuah lembaga—yang belum dibentuk tersebut. Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 menyatakan, “lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.” Demikian, telah jelas bahwa embrio OJK tidak lahir dari ruang yang hampa. Embrio OJK lahir dari perintah UU BI untuk mengawasi bank yang diatur secara khusus untuk mengawasi jasa keuangan. Lebih lanjut, OJK itu adalah gabungan antara “separuh” Bank Indonesia dan Bapepam KL. Maka, pemahaman yang paling awal adalah, OJK merupakan gabungan dari kewenangan yang telah dimiliki di Bank Indonesia dengan kewenangan yang sebelumnya telah dimiliki oleh Bapepam LK. Maka, OJK merupakan gabungan dari keseluruhan kewenangan pada kedua lembaga 213 tersebut, diimbuhi dengan kewenangan lainnya yang diberikan oleh UU. Maka menjadi wajar, jika OJK saat ini mengerjakan tugas yang dulunya dikerjakan oleh Bapepam LK, termasuk kewenangan dalam hal penyidikan perkara tertentu. FILOSOFI PEMBERIAN KEWENANGAN KE OJK Dalam Pasal 6 UU OJK disebutkan bahwa OJK memiliki tugas pengaturan dan pengawasan terhadap (a) kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; (b) kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan (c) kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Untuk menjalankan tugas pengawasan terhadap tiga hal di atas, OJK diberikan delapan bentuk kewenangan yang salah satunya adalah penyidikan atas kegiatan jasa keuangan (vide Pasal 9 UU OJK). Norma penyidikan atas kegiatan jasa keuangan tidak dapat dibaca terpisah dengan kewenangan lainnya yang masuk dalam rumpun kewenangan pengawasan OJK. Selain melakukan penyidikan, dalam rumpun kewenangan OJK untuk melakukan pengawasan jasa keuangan, terdapat pula kewenangan untuk melakukan (a) pengawasan; (b) pemeriksaan; (c) perlindungan konsumen; dan (d) tindakan-tindakan lainnya (vide Pasal 9 huruf c UU OJK). Artinya, kewenangan penyidikan OJK sebenarnya adalah bagian dari atau rangkaian dari jenis-jenis kewenangan pengawasan yang diberikan ke OJK untuk melaksanakan pengawasan kegiatan jasa keuangan. Di mana kewenangan tersebut berasal dari tugas BI untuk mengatur dan mengawasi bank sebagaimana yang diperintahkan oleh UU BI (vide Pasal 8 huruf c UU BI). Apakah kewenangan penyidikan sedemikian lazim diterapkan ke sebuah lembaga? Untuk menjawab hal ini, patutlah kiranya disampaikan contoh pemberian kewenangan yang diperintahkan oleh undang-undang. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia— selanjutnya ditulis UU HAM—mencantumkan sebuah lembaga yang diberi nama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham). Lembaga ini mempunyai fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia [vide Pasal 76 ayat (1) UU HAM]. 214 Demi melaksanakan fungsi pemantauan, Komnasham diberikan wewenang oleh UU HAM untuk melakukan penyidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia (vide Pasal 89 angka 3 huruf b UU HAM). Berdasarkan UU HAM, diketahui bahwa pemberian kewenangan penyidikan—soal hak asasi manusia—ke Komnasham merupakan turunan dari tugas pemantauan pelaksanaan hak asasi manusia yang diberikan oleh UU HAM. Jika dibaca dengan seksama, norma tugas pemantauan pelaksanaan hak asasi manusia oleh Komnasham yang dinyatakan melalui kewenangan penyidikan selaras dengan tugas mengawasi bank/lembaga jasa keuangan yang dinyatakan dengan kewenangan penyidikan kegiatan jasa keuangan oleh OJK. Contoh kedua adalah penerapan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia—selanjutnya ditulis UU Kejaksaan. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa tugas dan wewenang kejaksaan adalah melakukan penuntutan atas kasus pidana. Akan tetapi, UU Kejaksaan ternyata tidak hanya memberikan kewenangan penuntutan saja, melainkan tugas dan wewenang lainnya. Salah satunya adalah tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang [vide Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan]. Berdasarkan norma yang dicantumkan dalam UU Kejaksaan, kewenangan penyidikan—yang mungkin saja oleh sebagian ahli hukum pidana dianggap bukan core bussines kejaksaan karena penyidikan adalah core bussines-nya kepolisian, misalnya—ternyata diberikan juga ke kejaksaan sepanjang dilakukan berdasarkan undang-undang. Dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan menyatakan, “kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. 215 Pemberian kewenangan penyidikan tindak pidana tertentu ke kejaksaan adalah perintah dari UU Kejaksaan. Dan norma ini harus dijalankan. Jika pemberian kewenangan penyidikan tindak pidana tertentu ke kejaksaan dimungkinkan—dan sudah terjadi—meskipun core bussines kejaksaan adalah penuntutan kasus pidana, maka kejaksaan wajib melaksanakannya karena hal tersebut adalah turunan dari tugas kejaksaan yang diperintahkan oleh undang- undang. Kewenangan penyidikan tiga lembaga (OJK, Komnasham, dan Kejaksaan) dapat disampaikan dalam tabel di bawah ini. Tabel Kewenangan Penyidikan Lembaga Lembaga Kewenangan Objek Penyidikan Dasar Hukum OJK Penyidikan Kegiatan jasa keuangan Pasal 8 huruf c UU BI; Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK Komnasham Penyidikan Pelanggaran hak asasi manusia Pasal 89 angka 3 huruf b UU HAM Kejaksaan Penyidikan Tindak pidana tertentu Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan Selanjutnya, apakah pemberian kewenangan penyidikan terhadap lembaga- lembaga untuk objek penyidikan dianggap bertentangan dengan UUD 1945? Pertanyaan tersebut sebelumnya harus dimulai dulu dengan pernyataan sedemikian, “apakah pembentukan lembaga-lembaga tertentu dianggap bertentangan dengan UUD 1945? Pembentukan lembaga-lembaga tertentu—atau spesifiknya lembaga-lembaga negara tertentu saat ini tidak dapat dinafikan. Kebutuhan membuat lembaga- lembaga tersebut didasarkan pada kebutuhan untuk menjawab perkembangan hukum yang ada dalam masyarakat sehingga lembaga-lembaga wajar adanya dan bahkan diperintahkan oleh UUD 1945. Misalnya, untuk menyelenggarakan pemilihan umum, UUD 1945 memerintahkan dibentuk sebuah komisi pemilihan umum [vide Pasal Pasal 22E ayat (5) UUD 1945]. Atau untuk melakukan 216 pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab negara dibentuk suatu Badan Pemeriksa Keuangan (vide Pasal 23E ayat (1) UUD 1945). Masih banyak lagi lembaga-lembaga yang dibentuk oleh undang-undang yang merupakan pengejawantahan dari UUD 1945. Pembentukan lembaga-lembaga tersebut adalah suatu kebutuhan yang eksis karena perkembangan hukum serta perkembangan kebutuhan manusia. Nyata sudah bahwa setiap lembaga juga dilekati dengan tugas dan kewenangan tertentu yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan sebagaimana diperintahkan oleh UUD 1945 dan/atau undang-undang. Sehingga filosofi pemberian kewenangan—apapun jenis kewenangannya—ke lembaga- lembaga tersebut adalah pengejawantahan dari perintah peraturan perudang- undangan di mana konstitusi menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan uraian di atas, maka pemberian kewenangan penyidikan kegiatan jasa keuangan ke OJK (vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK) tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan sebagai berikut:
Kewenangan penyidikan OJK atas kegiatan jasa keuangan tidak lahir dari ruang hampa. Ia diperintahkan oleh UU BI juncto UU OJK.
Kewenangan penyidikan OJK—dan kewenangan serupa yang diberikan ke lembaga-lembaga tertentu atas objek penyidikan tertentu—merupakan konsekuensi logis dari filosofi eksistensi lembaga-lembaga untuk menjawab kebutuhan perkembangan hukum dan perkembangan kebutuhan/kepentingan manusia yang sekaligus menjadi jaminan keselarasan dengan norma Negara Indonesia adalah negara hukum. Keterangan Saksi 1. I Gusti Agung Rai Wirajaya Saksi adalah salah satu anggota panitia khusus dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang OJK sekitar tahun 2009-2011. Berkaitan dengan Pokok Permohonan dalam Pengujian UndangUndang OJK ini, menurut hemat Saksi, sangat penting untuk memahami latar belakang pembentukan lembaga OJK. Pada saat itu, DPR dan pemerintah bersepakat untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK. 217 Sebagaimana diketahui bersama, pembentukan Undang-Undang OJK merupakan amanah dari Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia. Selain itu pula, kita sadari bersama bahwa teknologi dan produk-produk jasa keuangan sangat berkembang pesat sedemikian kompleks, dinamis, dan saling terkait, sehingga banyak membawa dampak negatif apabila tidak segera diantisipasi dengan mengintegrasikan pengaturan dan pengawasan di seluruh industri jasa keuangan dalam sebuah lembaga yang independen. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang, memberikan perhatian besar terhadap perkembangan sektor jasa keuangan dengan mengupayakan terbentuknya kerangka pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi dan komperhensif. Selain itu pula, pada saat pembahasan RUU OJK antara DPR dengan pemerintah telah disepakati bahwa Lembaga OJK haruslah mencakup pula fungsi perlindungan konsumen sektor jasa keuangan yang dirasakan sangat penting karena banyak dampak negatif dari perkembangan industri jasa keuangan yang menimpa masyarakat konsumen sektor jasa keuangan secara langsung. Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi OJK dalam melakukan pengaturan dan pengawasan, serta perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Pada saat itu DPR dan pemerintah telah sepakat untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada OJK guna memperkuat tugas dan fungsinya yang telah disepakati sebelumnya. Kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK memang pada awalnya adalah mempertimbangkan adanya kewenangan penyidikan yang diberikan kepada Lembaga Badan Penanaman Pasar Modal berdasarkan Undang-Undang Pasar Modal. Namun demikian, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan di DPR pada saat itu, tidak mungkin OJK yang telah memiliki kewenangan pengaturan dan pengawasan di seluruh industri jasa keuangan hanya diberikan kewenangan penyidikan di pasar modal. Sehingga dengan demikian, karena kewenangan OJK meliputi seluruh industri jasa keuangan yang di dalamnya meliputi perbankan, pasar modal, asuransi, industri keuangan nonbank, dan industri jasa keuangan lainnya, maka DPR dan pemerintah menggunakan open legal policy guna memberikan kewenangan penyidikan 218 kepada OJK yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Berkaitan dengan kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK berdasarkan Undang-Undang OJK, pada saat itu DPR bersama pemerintah telah mempertimbangkan dari berbagai aspek, termasuk mengenai pelaksanaan kewenangan penyidikan yang dilaksanakan berdasarkan KUHAP dan pelaksanaan kewenangan penuntutan yang tetap dilaksanakan oleh jaksa agung, sehingga hal ini tidak melanggar due process of law dalam sistem penegakan hukum tindak pidana di Indonesia. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK telah melalui serangkaian diskusi yang panjang antara DPR dengan pemerintah, serta melibatkan berbagai pihak terkait untuk memberikan pandangan-pandangan terkait diberikannya kewenangan penyidikan kepada OJK dan telah mempertimbangkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang- Undang Dasar 1945. Menurut saksi selama pembahasan kewenangan penyidikan, telah mengundang pihak kepolisian dan pihak kejaksaan sebanyak dua kali untuk berkoordinasi dan memberikan masukan. Dengan adanya kewenangan penyidikan bukan berarti melemahkan kepolisian karena ini kewenangan penyidikan menyangkut masalah keuangan, dan masih ada yang tidak sepenuhnya memahami posisi kewenangan ini pada saat itu, dan setelah didiskusikan dengan pihak kepolisian dan kejaksaan bisa diperbantukan dari pihak kepolisian untuk menindaklanjuti ketika terjadi permasalahan- permasalahan pidana, seperti kasus KLBI, BLBI, juga dengan kasus Century, dan bank Global. Nah, dimana kasus-kasusnya tidak bisa terselesaikan dengan baik. Agar latar belakang permasalahan tersebut bisa terurai dengan baik, sehingga sepakat bersama pemerintah untuk memasukkan penyidikan ini terbatas dalam rangka penyidikan terhadap kasus-kasus yang terjadi di bidang keuangan ini sendiri, tidak dalam rangka penuntutan. Jika ada permasalahan di perbankan, pasar modal, maupun industri keuangan nonbank, maupun asuransi tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengurai permasalahan yang terjadi tidak seperti di pidana umum. 219 Fakta selama ini, ketika penyidikan ini masuk ke Undang-Undang OJK, sebagian besar yang masuk sebagai PPNS di OJK adalah mantan-mantan pegawai yang bekerja di Bapepam-LK, yang dsepakati sebelum memulai berdirinya Otoritas Jasa Keuangan. Dalam perjalanannya, dapat kita lihat bahwa yang memimpin penyidikan itu berbintang tiga dari kepolisian, Kemudian yang saksi mendapat informasi bahwasannya terkait remunerasi di internal, sehingga diberikan kesempatan ada petugas-petugas penyidik yang dididik, walaupun sebelumnya sudah ada petugas PPNS yang ditugaskan untuk melakukan penyidikan di dalam kegiatan penyidikan di Otoritas Jasa Keuangan. Ketika ada permasalahan sebelum dilakukan pelimpahan ke kepolisian, tentunya pihak-pihak kepolisian sudah yang ada di OJK telah melakukan penyidikan di dalam OJK itu sendiri. Memang benar di Undang-Undang Bank Indonesia, tidak ada penyidikan, memang ada penugasan dari Undang-Undang Bank Indonesia untuk membentuk lembaga jasa keuangan yang independen. Undang-Undang OJK ini muncul memang atas dasar undang-undang tersebut. Namun, dalam perjalanannya, menginginkan adanya suatu lembaga yang terintegrasi, jika melihat, kasus Bank Global dan kasus Bank Century, Saksi menanyakan kepada Bank Indonesia dan Bapepam-LK, pada saat itu, yang dimiliki oleh Bank Global maupun Bank Century sebatas izin prinsip, izin prinsip keikutsertaan dalam investasi pasar modal karena Bank Global dan Bank Century ini hanya izinnya dari Bank Indonesia saja. Dalam rapat dengar pendapat di komisi, terkesan ada seperti pelepasan tanggung jawab antara Bank Indonesia dengan Bapepam-LK. Atas dasar inilah Saksi mengusulkan sebuah lembaga terintegrasi di bidang jasa keuangan yang kemudian diberi nama Otoritas Jasa Keuangan.
I Gede Hartadi Kurniawan Saksi adalah perwakilan dari Asosiasi Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Seluruh Indonesia, Saksi menjabat sebagai Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Dewan Pengurus Pusat Perbarindo periode 2018-2022. Sebagai salah satu praktisi dari industri bank perkreditan rakyat, Saksi mewakili dari industri BPR, berpendapat bahwa fungsi penyidikan pada 220 Otoritas Jasa Keuangan merupakan suatu kewenangan yang sangat membantu industri BPR apabila terjadi suatu permasalahan atau fraud yang terdapat di dalam industri BPR sebagai akibat kesalahan satu ataupun kesalahan beberapa oknum atau orang yang bekerja di dalam industri BPR, khususnya terhadap kasus-kasusnya yang berkaitan dengan tindak pidana. Hal ini karena penyidik-penyidik yang bekerja pada Otoritas Jasa Keuangan tentunya sangat paham terhadap perhitungan di dalam neraca serta perhitungan rugi, laba, dan juga dengan tingkat kesehatan bank pada suatu BPR, sehingga penanganan apabila terdapat suatu kasus pidana dan tentunya juga ada unsur pembinaan dan pengawasan terhadap industri BPR. Otoritas Jasa Keuangan dengan fungsi pembinaan terhadap industri BPR yang dimilikinya sudah tentu selalu berupaya menyelamatkan industri BPR itu sendiri dari kemungkinan tindak pidana yang dilakukan oleh oknum- oknum yang bekerja di dalam industri BPR. Hal ini tidak terlepas juga dengan efisiennya pengawasan, pembinaan dengan fungsi penyidikan di dalam tugas dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan. Sehingga dengan satu atap, maka penanganan suatu kasus dapat dikerjakan dengan lebih efektif dan efisien. Saksipribadi juga pernah mengalami suatu penanganan kasus yang terindikasi tindak pidana pada era BPR masih di bawah pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia dengan era sekarang di bawah pengawasan dan pembinaan Otoritas Jasa Keuangan. Pada waktu era Bank Indonesia yang tidak mempunyai fungsi penyidikan dirasakan bahwa dengan tidak satu atapnya fungsi pembinaan dan fungsi penyidikan, maka penanganan suatu kasus perkara yang terindikasi ada tindak pidana di industri BPR waktu penanganannya cenderung lebih lambat dan pada era sekarang ketika seorang penyidika yang bertugas di OJK, baik seorang pejabat dari kepolisian ataupun PPNS sudah pasti pejabat-pejabat tersebut sangat memahami alur laporan keuangan di industri BPR, serta bisa menyesuaikan dengan bijaksana dan dengan tujuan menyelamatkan industri- industri BPR itu sendiri demi stabilitas perokonomian di lingkungan BPR ataupun regional BPR tersebut, dan waktu penanganan juga lebih cepat karena lebih efisien di dalam satu atap. 221 [2.6] Menimbang bahwa Pemohon, Presiden dan Pihak Terkait menyampaikan kesimpulan tertulis masing-masing bertanggal 15 Mei 2019 dan 16 Mei 2019 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Mei 2019 dan 16 Mei 2019, yang pada pokoknya masing-masing tetap pada pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah ihwal pengujian konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253, selanjutnya disebut UU 21/2011), sehingga sesuai dengan 222 ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo . Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; 223 c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah Pasal 1 angka 1 setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011 yang rumusannya masing-masing adalah sebagai berikut: Pasal 1 angka 1 Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU- XII/2014]. Pasal 9 huruf c Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
...................... b....................... c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV dalam permohonannya menerangkan kualifikasinya sebagai perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta dengan menyertakan bukti Nomor Induk Dosen Nasional 0608047501 untuk Pemohon 224 I (Bukti P-4), Nomor Induk Dosen Nasional 0601108501 untuk Pemohon II (Bukti P-9), Nomor Induk Dosen Nasional 0629017603 untuk Pemohon III (Bukti P-11), dan Nomor Induk Dosen Nasional 0604118703 untuk Pemohon IV (Bukti P-14);
Bahwa khusus Pemohon I selain menjadi Dosen juga berprofesi sebagai Advokat dengan Kartu Advokat dengan Nomor 17.01636 (Bukti P-6) dan juga merupakan anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) dengan Nomor Anggota H-68 01 17 (Bukti P-5). Sebagai seorang advokat, Pemohon I merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya ketentuan pasal a quo , karena menurut Pemohon I dengan berlakunya ketentuan a quo Pemohon I akan mengalami kesulitan memberikan bantuan hukum jika ada klien yang memiliki permasalahan di bidang jasa keuangan. Menurut Pemohon I, UU 21/2011 tidak mengatur dengan jelas mengenai hak-hak yang dimiliki oleh seseorang yang disangka melakukan dugaan tindak pidana di sektor keuangan, seharusnya dengan adanya asas presumption of innocent , sejak awal dimulainya penyidikan hak tersangka sudah diatur di dalam undang-undang sebagai wujud jaminan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia. Terhadap hal ini, Mahkamah berpendapat, kesulitan memberikan bantuan hukum ketika Pemohon I bertindak sebagai seorang advokat sebagaimana diuraikan di atas tidaklah menggambarkan kerugian hak konstitusional secara faktual atau potensial merugikan Pemohon I yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011. Sebab, keberlakuan ketentuan a quo sama sekali tidak menghalangi Pemohon I untuk memberikan bantuan hukum kepada seseorang yang disangkakan melakukan tindak pidana dalam sektor jasa keuangan;
Bahwa selain itu, Pemohon IV menguraikan pada saat menyelesaikan pendidikan Strata-2, Pemohon menyusun tesis mengenai lembaga OJK. Pemohon melakukan penelitian tahun 2013 pada saat sedang dirancangnya pembentukan lembaga OJK. Dari hasil penelitiannya, Pemohon tidak menemukan dalam rancangan pembentukan lembaga OJK yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsi pengawasannya lembaga OJK diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. Namun dalam perkembangannya 225 lembaga OJK diberi kewenangan penyidikan seperti lembaga penegak hukum tanpa adanya penjelasan tujuan diberikannya wewenang Penyidikan tersebut. Pemberian kewenangan yang tanpa penjelasan ini menimbulkan kerugian bagi Pemohon, karena berakibat Pemohon tidak dapat menjelaskan latar belakang diberikan kewenangan penyidikan ini kepada Mahasiswa dan pada forum- forum akademis. Menurut Mahkamah apabila dikaitkan dengan kapasitas Pemohon IV yang juga merupakan dosen, seandainya memang benar tidak ditemukan penjelasan ihwal kewenangan penyidikan OJK tersebut, hal demikian bukanlah kerugian konstitusional sehingga tidak dapat dijadikan sebagai alasan kerugian konstitusional karena dengan tidak ditemukan penjelasan dimaksud, secara akademis, justru dapat menjadi bahan kajian dan penelitian lebih lanjut bagi Pemohon IV terutama terkait dengan proses pembentukan UU 21/2011.
Bahwa Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV sebagai Dosen di Fakultas Hukum merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011 karena berdasarkan hukum pidana yang dipelajari dan didalami oleh para Pemohon, pemberlakuan " criminal justice system " di Indonesia sebagai negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai Negara Hukum maka proses penegakan hukum pidananya berdasarkan pada prinsip " due process of law " di mana penegakan hukum harus dilaksanakan oleh negara, dalam hal ini Aparat Penegak Hukum, yang telah diatur dalam KUHAP, namun ternyata hal tersebut diabaikan dengan berlakunya UU 21/2011. Untuk menguraikan adanya kedudukan hukum tersebut, para Pemohon mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, di mana Pemohon di dalam putusan tersebut yang merupakan pengajar hukum tata negara yang dinyatakan memiliki legal standing dalam mengajukan permohonannya tersebut. Sehingga, menurut para Pemohon a quo karena para Pemohon pada prinsipnya memiliki profesi yang sama, yakni pengajar hukum pidana maka dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, para Pemohon memiliki kedudukan hukum. Terhadap penjelasan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV, Mahkamah berpendapat bahwa kesulitan dan kerugian yang dijelaskan oleh 226 para Pemohon di atas tidaklah menggambarkan adanya kerugian hak konstitusional yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU 21/2011 sebab keberlakuan ketentuan a quo tidak menghalangi Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV untuk menjalankan profesinya sebagai pengajar hukum pidana. Apalagi bila dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, permohonan a quo memiliki karakteristik yang berbeda sehingga tidak serta-merta dapat dijadikan bangunan argumentasi untuk memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III dan Pemohon IV tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo .
Bahwa Pemohon V dan Pemohon VI menerangkan kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagai perorangan warga negara Indonesia dan merupakan karyawan PT. Sunprima Nusantara Pembiayaan (selanjutnya disebut PT SNP). Pada saat permohonan ini diajukan Pemohon V dan Pemohon VI sedang menjalani masa tahanan di Polda Metro Jaya atas laporan salah satu bank kreditor ke kepolisian karena Pemohon V dan Pemohon VI diduga melakukan tindak pidana sektor jasa keuangan. Permasalahan ini terjadi karena OJK meminta salah satu bank yang merupakan kreditor PT SNP untuk melakukan degradasi collectibility terhadap PT SNP karena berdasarkan hasil audit OJK pada Tahun 2016 PT SNP sudah pernah direstrukturisasi namun tidak didegradasi. Atas permintaan dari OJK tersebut salah satu bank menerbitkan status Coll 2 terhadap PT SNP, sedangkan pada saat dijatuhkan status Coll 2 PT SNP tidak memiliki tunggakan nominal maupun jatuh tempo. Akibat dari penerbitan status Coll 2 tersebut menyebabkan seluruh bank yang menjadi kreditor PT. SNP menghentikan semua pinjaman dan berbalik melakukan penagihan terhadap pendanaan yang telah diberikan kepada PT SNP. Berdasarkan status Coll 2, OJK melakukan audit ke PT SNP Pusat dan cabang (Mataram, Yogyakarta, dan Semarang). Menurut para Pemohon, tindakan OJK mendesak bank memberikan status Coll 2 menyebabkan permasalahan yang seharusnya dapat diselesaikan secara administratif perbankan termasuk di dalamnya menempuh upaya melalui KPPU menjadi dikesampingkan sehingga 227 permasalahannya masuk ke dalam ranah tindak pidana dalam sektor jasa keuangan dan para Pemohon adalah 2 dari delapan pengurus yang kemudian dijadikan tersangka oleh kepolisian. Menurut para Pemohon, hal ini tidak akan terjadi jika Lembaga OJK tidak diberikan kewenangan penyidikan. Dengan adanya tindakan sewenang-wenang OJK maka pelaku usaha menjadi terhenti usahanya, masyarakat tidak akan terlayani, dan karyawan pun menjadi terjerumus ke dalam persoalan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Menurut para Pemohon, seharusnya OJK mampu menjaga agar kegiatan di sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Terhadap penjelasan Pemohon V dan Pemohon VI dalam menerangkan kedudukan hukumnya tersebut, menurut Mahkamah, status Coll 2 yang diberikan oleh OJK terhadap PT SNP, sehingga pemberian status tersebut yang merupakan salah satu tahapan dalam proses penyidikan, baik wewenang yang dimiliki oleh Kepolisian maupun yang dimiliki OJK, telah berdampak pada disidiknya Pemohon V dan Pemohon VI oleh Polda Metro Jaya. Dengan demikian, terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil Pemohon V dan Pemohon VI perihal inkonstitusionalitas norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon telah menguraikan hak-hak konstitusionalnya yang menurut anggapan mereka secara aktual dirugikan dengan berlakunya norma pasal dalam UU 21/2011. Kerugian tersebut tidak lagi terjadi jika permohonan a quo dikabulkan. Oleh karena itu, berdasarkan uraian kerugian konstitusional tersebut, Pemohon V dan Pemohon VI memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo . [3.6] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tertuang pada Paragraf [3.5] di atas ternyata bahwa hanya sebagian dari para Pemohon yang memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo , yaitu Pemohon V dan Pemohon VI (selanjutnya disebut para Pemohon), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. 228 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 1 angka 1 frasa “dan penyidikan” dan Pasal 9 huruf c kata “penyidikan” UU 21/2011 para Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian duduk perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa, para Pemohon menyatakan Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 pernah diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 bertanggal 4 Agustus 2015 dengan amar mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, menurut para Pemohon walaupun dalam permohonannya menguji pasal yang sama namun frasa yang diuji berbeda. Dalam perkara Nomor 25/PUU-XII/2014 yang diuji adalah frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 sedangkan para Pemohon a quo menguji frasa “dan penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 serta kata “penyidikan” dalam Pasal 9 huruf c UU 21/2011 yang belum pernah diajukan pengujiannya di Mahkamah Konstitusi. Sehingga, menurut para Pemohon, permohonan a quo tidak nebis in idem dengan perkara Nomor 25/PUU-XII/2014;
Bahwa, menurut para Pemohon, dengan melihat tujuan, fungsi, dan tugas OJK maka OJK adalah lembaga administratif yang dapat melakukan penegakan hukum dalam lingkup hukum administrasi negara yang terbatas pada proses pemeriksaan dan/atau penyelidikan tentang adanya dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan dalam konteks fungsi administatif bukan pro justitia sebagaimana KUHAP, sebagaimana ditegaskan untuk kewenangan penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XIV/2016;
Bahwa, menurut para Pemohon, adanya wewenang "dan penyidikan" dalam Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 dan wewenang "penyidikan" yang dimasukan ke dalam lingkup tugas pengawasan dalam Pasal 9 huruf c UU 21/2011 menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga mengaburkan Integrated Criminal Justice System karena penyidikan oleh penyidik OJK untuk tindak pidana yang sama dimiliki pula oleh penyidik lain yang telah ada sehingga 229 akan terjadi tumpang-tindih kewenangan antara Polri, KPK, dan OJK dalam proses penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Bahwa, menurut para Pemohon, secara eksplisit UU 21/2011 menentukan penyidik OJK berstatus pegawai negeri sipil [Pasal 49 ayat (1) juncto ayat (3) UU 21/2011] maka OJK tidak dapat melibatkan penyidik kepolisian, namun dalam praktik OJK telah melantik pejabat kepolisian yang masih aktif menjadi penyidik di OJK sehingga, menurut para Pemohon, hal ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Bahwa, menurut para Pemohon, dengan mengutip beberapa undang-undang yang mengatur mengenai Pegawai Negeri Sipil yang diberikan wewenang sebagai penyidik di antaranya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasal Modal, ternyata semua undang-undang tersebut menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang diberikan kewenangan penyidikan melaksanakan penyidikannya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan memberitahukan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau berkoordinasi dengan penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Menurut para Pemohon, hal ini berbeda dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di OJK karena tidak ada norma dalam UU 21/2011 yang mengatur bahwa Pegawai Negeri Sipil dalam menjalankan kewenangan penyidikannya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau setidaknya menyatakan "penyidik pejabat pegawai negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia". Selain itu UU 21/2011 juga tidak mengatur jenis kejahatan yang menjadi ruang lingkup wewenang penyidik OJK yang berstatus Pegawai Negeri Sipil.
Bahwa, menurut para Pemohon, berdasarkan Pasal 49 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 21/2011, status Penyidik yang ada di OJK adalah PNS. Jika dilihat dari filosofisnya keberadaan Penyidik PNS berasal dari PNS yang ada di dalam institusi suatu lembaga negara tersebut yang kemudian diberikan 230 pendidikan secara khusus mengenai ilmu penyidikan untuk menjadi seorang penyidik. Namun dalam lembaga OJK, status Pegawai OJK bukanlah PNS. Oleh karena itu Penyidik PNS yang ada di lembaga OJK diambil dari institusi- institusi yang ruang lingkupnya terkait di bidang sektor Jasa Keuangan sehingga hal ini, menurut para Pemohon, menimbulkan ketidakpastian hukum.
Bahwa, menurut para Pemohon, ketika wewenang "Penyidikan" yang merupakan suatu tindakan pro justitia diberikan kepada financial supervisiory institution, dalam hal ini __ OJK, menimbulkan ketidaklaziman. Karena, dengan merujuk pada lembaga sejenis di beberapa negara berkembang ataupun negara maju, tidak ada satupun lembaga sejenis OJK yang diberikan wewenang "penyidikan".
Bahwa, menurut para Pemohon, dengan mengutip pertimbangan hukum Paragraf [3.15] angka 2, halaman 142 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang menguji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan jika melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh Undang- Undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan Undang- Undang kecuali dalam hal tertangkap tangan", para Pemohon membandingkannya dengan hukum acara penyidikan di lembaga OJK, di mana wewenang penyidikan tidak diatur secara rinci di dalam undang-undang melainkan diatur dalam peraturan OJK. Menurut para Pemohon, hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU- XIII/2015.
Berdasarkan seluruh alasan-alasan tersebut di atas para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 1 terhadap frasa "dan Penyidikan" dan Pasal 9 huruf c terhadap kata "Penyidikan" UU 21/2011 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang masing-masing diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-18 dan mengajukan 4 (empat) orang Ahli yaitu Prof. Drs. Ratno Lukito, MA., DCL. dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., 231 yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 18 Februari 2019 dan Ahli Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum (Eddy O.S Hiariej) dan Dr. Bernard L. Tanya, S.H.,M.H., yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 28 Februari 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.9] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Presiden dalam sidang tanggal 7 Februari 2019 dan membaca keterangan tertulis dari yang bersangkutan. Mahkamah telah pula mendengar keterangan 4 (empat) orang ahli yaitu Ahli Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. dan Prof. H. Atip Latipulhayat, LLM., Ph.D yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 1 April 2019 dan Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M.,Ph.D serta Dr. Chairul Huda, S.H., M.H., yang didengar keterangannya pada persidangan tanggal 12 Maret 2019 dan 2 (dua) orang saksi yaitu Kombespol Dr. Warasman Marbun, S. H. dan Johansyah yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 9 April 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.10] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Februari 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.11] Menimbang bahwa OJK telah menyampaikan keterangan tertulis dari OJK diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Februari 2019 dan Pihak Terkait mengajukan 3 orang ahli yaitu Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M. Hum, Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M, dan Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 23 April 2019 dan 2 orang saksi yaitu I Gusti Agung Rai Wirajaya, S.E., M.M., dan I Gede Hartadi Kurniawan, S.E. yang didengarkan keterangannya pada persidangan tanggal 8 Mei 2019 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.12] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama dalil-dalil permohonan para Pemohon, bukti-bukti yang diajukan Pemohon dan mendengar keterangan pihak-pihak, saksi serta ahli yang diajukan sebagaimana disebutkan di atas, sebelum menilai konstitusionalitas Pasal 1 angka 1 UU 21/2011 terlebih 232 dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK. Bahwa terhadap persoalan tersebut di atas, setelah Mahkamah mencermati dalil permohonan para Pemohon, yang menyatakan pengujian norma a quo tidak nebis in idem karena para Pemohon menguji frasa yang berbeda Mahkamah berpendapat setelah dicermati telah ternyata meskipun pasal yang diujikan sama namun terhadap permohonan a quo hanya terbatas pada frasa “dan Penyidikan” serta menggunakan dasar pengujian yang berbeda. Sehingga dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak tunduk pada ketentuan Pasal 60 UU MK dan oleh karenanya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan lebih lanjut. [3.13] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan dengan menyatakan OJK adalah lembaga penegak hukum dalam konteks hukum administratif negara bukan lembaga penegak hukum dalam konteks pro Justitia sebagaimana diatur dalam KUHAP seperti halnya kewenangan penyelidikan yang dimiliki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah memandang penting untuk mengaitkan permohonan para Pemohon a quo dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 yang menegaskan bahwa OJK adalah lembaga negara independen. Namun demikian, sebelum lebih jauh membahas kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK, Mahkamah terlebih dahulu perlu menegaskan arti penting kehadiran OJK dalam desain besar perekonomian negara terutama dalam mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Bahwa terkait dengan hal di atas, Konsiderans “Menimbang” huruf a UU 21/2011 menyatakan bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berkenaan dengan dasar pemikiran tersebut, menurut Mahkamah, seharusnya kewenangan yang dimiliki oleh OJK dimaksudkan untuk mencapai tujuan mewujudkan perekonomian nasional. Sehingga untuk mencapai tujuan 233 dimaksud diperlukan penegakan hukum, baik berupa hukum administrasi maupun penegakan hukum lainnya termasuk hukum pidana. Oleh karena itu sebelum sampai pada kesimpulan apakah OJK merupakan lembaga penegak hukum dalam konteks pro justitia ataukah penegakan hukum dalam konteks administratif semata maka Mahkamah perlu mempertimbangkan hal berikut: [3.13.1] Bahwa dalam sistem penegakan hukum di Indonesia, kewenangan untuk melakukan penyidikan tidak hanya dimiliki oleh lembaga penegak hukum saja tetapi juga dibuka kemungkinan dilakukan oleh lembaga-lembaga lain yang diberi kewenangan khusus untuk itu, sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, misalnya kewenangan penyidikan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasal Modal. Artinya, dengan bukti tersebut, kewenangan penyidikan sangat mungkin diberikan kepada lembaga lain di luar lembaga penegak hukum sepanjang tidak bertentangan dengan kewenangan lembaga penegak hukum lainnya . [3.13.2] Bahwa berkenaan dengan pertimbangan di atas, apabila diletakkan dalam bingkai integrated criminal justice system harus ada keterpaduan penyidik bidang tindak pidana lainnya dengan penyidik Kepolisian. Keterpaduan demikian penting dilakukan agar tidak terjadi tumpang-tindih dalam penegakan hukum terutama dalam penegakan hukum pidana. Dalam konteks itu, setiap lembaga baik itu Kepolisian dan lembaga lain yang mempunyai kewenangan penyidikan masing- masing memiliki tugas dan wewenang yang berbeda sesuai dengan bidang kekhususan yang diberikan oleh undang-undang. Artinya sekalipun undang- undang dapat memberikan kewenangan penyidikan kepada lembaga negara lain, kewenangan dimaksud tidak boleh mengabaikan prinsip integrated criminal justice system . Prinsip demikian dilakukan dengan kewajiban membangun koordinasi antara penyidik lembaga negara yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing dengan penyidik Kepolisian. 234 [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan sebagaimana dikemukakan dalam Paragraf [3.13] di atas, sebelum lebih jauh menilai konstitusionalitas kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK penting bagi Mahkamah mempertimbangkan apakah kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK dapat dibenarkan ataukah sebaliknya. Bahwa kewenangan OJK yang diberikan undang-undang tidak dapat dilepaskan dari politik hukum untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Oleh karenanya diperlukan piranti hukum yang memberikan kewenangan tertentu sehingga kegiatan dalam sektor jasa keuangan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu pula melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berkenaan dengan dasar pemikiran tersebut, menurut Mahkamah, kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK adalah merupakan bagian dari upaya mewujudkan tujuan perekonomian nasional. Artinya, penyidikan yang diberikan kepada OJK tidak dapat dilepaskan dari pencapaian tujuan dimaksud. Bahwa namun demikian apabila kewenangan penyidikan yang diberikan kepada OJK dilaksanakan tanpa mempersyaratkan koordinasi dengan penyidik Kepolisian, apakah berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga bertentangan dengan prinsip integrated criminal justice system , Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut. [3.15] Menimbang bahwa apabila diletakkan dalam perspektif kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK sebagai salah satu lembaga lain yang memiliki wewenang penyidikan selain penyidikan yang dimiliki oleh lembaga Kepolisian, kewenangan demikian dapat dibenarkan. Namun, jikalau kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK dilaksanakan tanpa koordinasi dengan penyidik Kepolisian sebagaimana dipersyaratkan terhadap penyidik lembaga lain selain Kepolisian berpotensi adanya kesewenang-wenangan dan tumpang-tindih dalam penegakan hukum pidana yang terpadu. Oleh karena itu, untuk menghindari potensi tersebut, kewajiban membangun koordinasi dengan penyidik Kepolisian juga merupakan kewajiban yang melekat pada penyidik OJK. Dasar pertimbangan demikian tidak terlepas dari semangat membangun sistem penegakan hukum yang terintegrasi sehingga tumpang-tindih kewenangan yang dapat berdampak adanya tindakan 235 kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum maupun pejabat penyidik di masing-masing lembaga dalam proses penegakan hukum dapat dihindari. [3.16] Menimbang bahwa terhadap argumentasi para Pemohon bahwa kewenangan OJK dalam hal penyidikan dapat mengaburkan Integrated Criminal Justice System karena __ UU 21/2011 tidak mengatur jenis tindak Pidana dalam sektor Jasa Keuangan perbankan ataupun non-perbankan yang menjadi wewenang Penyidik lembaga OJK, Mahkamah berpendapat, tanpa dikaitkan dengan jenis tindak pidananya, kewenangan penyidikan OJK dapat dibenarkan dan adalah konstitusional sepanjang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik Kepolisian. Dengan kata lain, terlepas dari jenis-jenis tindak pidana dalam sektor jasa keuangan yang sangat beragam, dengan mengingat tujuan dibentuknya OJK, Mahkamah memandang kewenangan penyidikan OJK adalah konstitusional. Artinya, telah ternyata bahwa kewenangan OJK bukanlah semata- mata dalam konteks penegakan hukum administratif semata tetapi dalam batas- batas dan syarat-syarat tertentu juga mencakup kewenangan penegakan hukum yang bersifat pro justitia, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Tegasnya, demi kepastian hukum, koordinasi dengan penyidik kepolisian sebagaimana dimaksudkan di atas dilakukan sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, pelaksanaan penyidikan, sampai dengan selesainya pemberkasan sebelum pelimpahan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum. [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, di mana Mahkamah telah berkesimpulan bahwa kewenangan penyidikan OJK yang merupakan inti dari dalil para Pemohon adalah konstitusional sepanjang dikoordinasikan dengan penyidik Kepolisian, maka dalil para Pemohon selain dan selebihnya oleh karena tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut. [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. 236 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon I sampai dengan Pemohon IV tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pemohon V dan Pemohon VI memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.4] Pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili:
Menyatakan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV tidak dapat diterima.
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal dua puluh lima , bulan November, tahun dua ribu sembilan belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi 237 terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal delapan belas , bulan Desember , tahun dua ribu sembilan belas , selesai diucapkan pukul 12.23 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing- masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Ria Indriyani sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon, Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Arief Hidayat ttd. Saldi Isra ttd. Manahan MP Sitompul ttd. Enny Nurbaningsih ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Suhartoyo ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Ria Indriyani
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negar ...
Pengujian UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (3), Pasal 4, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan pasal ayat (2 ...
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ...
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran. ...
Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwak ...
Relevan terhadap
Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggung jawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir (2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi realisasi APBN, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan kementerian/ lembaga. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 www.mahkamahkonstitusi.go.id Bahwa pada Buku Panduan tentang Anggaran dan Pengawasan Keuangan yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal DPR-RI hasil kerjasama dengan United Nations Development Programe (UNDP) dapat ditemukan 11 (sebelas) tahapan Penyusunan, Pembahasan, dan Penetapan APBN, seperti terlihat pada tabel di bawah ini: (bukti P-12) Tabel: Timeline Penyusunan, Pembahasan dan Penetapan APBN Nomor Aktivitas Pelaksana Waktu Catatan 1. Penyiapan dokumen awal berupa rencana kegiatan kementerian/ lembaga negara untuk kemudian diserahkan pada Departemen Keuangan Kementerian/ Lembaga Negara Januari – Mei tahun sebelumnya 2. Pengolahan dokumen awal menjadi paket pokok- pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro Departemen Keuangan/ Bappenas Januari – Mei tahun sebelumnya 3. Rapat kabinet dihadiri seluruh menteri yang melahirkan RAPBN usulan pemerintah untuk tahun depan Jajaran kabinet Pertengahan Mei tahun sebelumnya 4. Penyerahan dan pembahasan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro untuk dijadikan bahan penyusun RUU APBN dan Nota Keuangan Panitia Anggaran, Menteri Keuangan, Menneg PPN/ Kepala Bappenas, Gubernur BI Pertengahan Mei tahun sebelumnya 5. Penyampaian pidato pengantar RUU APBN dan nota keuangan pemandangan umum dan jawaban pemerintah Presiden/ Kepala Negara, Paripurna DPR, fraksi-fraksi DPR 16 Agustus tahun sebelumnya 6. Pembicaraan tingkat I RUU APBN dan nota keuangan Panitia anggaran dan jajaran menteri/ Kepala Lembaga Negara September- Oktober tahun sebelumnya 7. Pembicaraan tingkat II dan pengambilan keputusan atas RUU APBN Panitia anggaran, fraksi-fraksi, jajaran pemerintah Akhir Oktober tahun sebelumnya 8. Pelaksanaan APBN Pemerintah dan DPR 1 Januari – 31 Desember Tahun berjalan 9. Laporan realisasi semester Pemerintah, cq. Akhir Juli Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 www.mahkamahkonstitusi.go.id I dan prognosis semester II Departemen Keuangan dan Panitia Anggaran tahun berjalan 10. Penyampaian RUU Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN Presiden dan Paripurna DPR Akhir juli tahun selanjutnya 11. Pengajuan, pembahasan dan penetapan RUU APBN perubahan Pemerintah dan DPR Sewaktu- waktu pada tahun berjalan Jika diperlukan Bahwa pada Pasal 156 UU Nomor 27 Tahun 2009, diatur pelaksanaan kewenangan Pasal 71 huruf g UU 27 Tahun 2009 dilakukan dengan cara, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut: a. Pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam _rangka menyusun rancangan APBN; _ b. Pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh _Presiden; _ c. Pembahasan rencana perubahan UU APBN d. Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan _atas undang-undang tentang APBN; dan _ e. Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. __ Bahwa dalam Permohonan ini, Pemohon fokus pada tahapan pertama dan kedua, yaitu: Pembicaraan pendahuluan serta Pembahasan dan Penetapan APBN. Bahwa berdasarkan Pasal 157 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009: Pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan rancangan APBN dilakukan segera setelah Pemerintah menyampaikan bahan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal _pada pertengahan bulan Mei, yang meliputi: _ a. kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun anggaran _berikutnya; _ b. kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap _kementerian/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran; dan _ c. rincian unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan. Bahwa kemudian dijelaskan pada Pasal 158, yaitu: Kegiatan dalam tahap Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 www.mahkamahkonstitusi.go.id _pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 meliputi: _ __ a. rapat kerja yang diadakan oleh komisi dengan Pemerintah untuk membahas alokasi anggaran menurut fungsi, program, dan kegiatan kementerian/ _lembaga; dan _ b. rapat kerja yang diadakan oleh Badan Anggaran dengan Pemerintah dan Bank Indonesia untuk penyelesaian akhir kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, dengan memperhatikan pemandangan umum fraksi, jawaban Pemerintah, saran dan pendapat Badan Musyawarah, keputusan rapat kerja komisi dengan Pemerintah mengenai alokasi anggaran menurut fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga. Bahwa setelah proses Pembicaraan pendahuluan selesai, berdasarkan Pasal 159 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009: "Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen pendukungnya kepada DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya" Bahwa proses pembahasan rancangan Undang-Undang tentang APBN dilakukan seperti halnya pembahasan rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden atau DPR, yang diatur pada Pasal 148 sampai dengan Pasal 151 UU Nomor 27 Tahun 2009, yang pada prinsipnya dilakukan melalui dua (2) tingkat pembicaraan, yaitu:
Tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus;
Tingkat II dalam rapat paripurna. Bahwa dalam Pembicaraan Tingkat I, DPR, Presiden dan Kementerian/Lembaga terkait melakukan Pembahasan lebih lanjut terhadap rancangan Undang-Undang APBN dan dokumen lainyang secara umum telah dibahas sebelumnya di pemeriksaan pendahuluan pada pertengahan bulan Mei; Bahwa pada Pembicaraan Tingkat II dalam Paripurna dilakukan PENGAMBILAN KEPUTUSAN berapa persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan dan penyampaian pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. Pada pembicaraan Tingkat II dalam Paripurna ini tidak dimungkinkan lagi terjadinya pembahasan terhadap rancangan Undang-Undang tentang APBN. Bahwa idealnya, kewenangan pembahasan rancangan Undang-Undang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 www.mahkamahkonstitusi.go.id APBN oleh DPR pada pembicaraan pendahuluan serta Pembahasan APBN hanya mencakup hal-hal yang bersifat makro-strategis, kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan kementerian/lembaga, bukan bersifat rinci sampai pada rincian kegiatan seperti yang terjadi saat ini; Bahwa DPR memiliki tiga fungsi yang sangat luas, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. DPR juga memiliki kewenangan dan tugas yang kompleks. Dari aspek tugas dan wewenang yang kompleks tersebut, waktu yang tidak mencukupi untuk melakukan pembahasan rancangan UU tentang APBN, dan kompetensi anggota DPR, maka pembahasan anggaran yang sangat terperinci adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dilakukan DPR; Bahwa pada kenyataannya DPR memang tidak mampu membahas anggaran secara terperinci; Bahwa karena DPR tidak mampu membahas seluruh anggaran secara terperinci, maka potensi anggaran yang dibahas terperinci hanyalah anggaran yang terkait dengan kepentingan anggota DPR bukan kepentingan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan pada Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, sehingga menimbulkan potensi konflik kepentingan. Potensi konflik kepentingan ini dapat memicu praktik calo anggaran dan korupsi; Bahwa namun demikian, untuk kepentingan transparansi, akuntabilitas dan pelaksanaan Fungsi pengawasan DPR, maka sebuah dokumen APBN harus termasuk dokumen anggaran yang rinci yang telah disiapkan sebelumnya oleh kementerian/lembaga berdasarkan pembahasan yang bersifat makro-strategis bersama DPR, dan kemudian disetujui dan ditetapkan oleh DPR pada Paripurna, sehingga publik dapat mengawasi pelaksanaan APBN dan DPR bisa menjalankan fungsi pengawasan terhadap Dokumen APBN yang rinci tersebut; Bahwa kewenangan DPR untuk membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN sebagaimana diatur di Pasal 157 ayat (1) huruf c sepanjang frase "rincian" UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 seharusnya dibatalkan dan dicabut karena bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Bahwa kewenangan DPR untuk menyetujui secara rinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja seperti diatur dalam Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003, dan Pasal 159 ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 haruslah dipahami bukan merupakan kewenangan untuk melakukan pembahasan secara terperinci sampai dengan jenis Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 www.mahkamahkonstitusi.go.id belanja; Bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 dan Pasal 159 ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 tersebut perlu dipahami dengan konstruksi logika sebagai berikut: I. SUDUT PANDANG KEWENANGAN ABSOLUT DPR Bahwa keberadaan Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003, Pasal 157 ayat (1) huruf c sepanjang frase "rincian" dan Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 telah memberikan kewenangan yang absolut kepada DPR dalam pembahasan keuangan negara. Segala hal-hal yang absolut dalam pengelolaan negara pada dasarnya tidak diperkenankan. Pembatasan- pembatasan kewenangan terhadap lembaga negara diperlukan sebagaimana digagas dalam konsep separation of power. Secara filosofis Lord Acton berujar bahwa; "power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely; " Bahwa kecenderungan menyimpangnya kekuasaan terhadap kekuasaan yang absolut merupakan kemutlakan. Acton memastikan bahwa setiap pemegang kekuasaan negara yang memiliki kewenangan mutlak dalam mengelola negara dapat dipastikan akan menyimpangkan kewenangannya. Itu sebabnya tidak satu wadah lembaga negara pun yang memiliki kewenangan mutlak. Satu sama lain memiliki kewenangan menyeimbangkan atau setidak-tidaknya kewenangan yang menyebabkan terhindarnya suatu lembaga negara dalam melakukan penyimpangan. Donald S Lutz menuturkan bahwa pembagian kekuasaan berkaitan dengan pemisahan fungsi (Donald S Lutz, Principles of Constitutional Design, Cambridge University Press, 2006, hlm. 112); Bahwa kewenangan DPR dalam mengelola keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 dan Pasal 159 ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 merupakan kewenangan yang mutlak. Hal itu disebabkan DPR berwenang menentukan anggaran dan pengelolaan anggaran dari hulu hingga hilir mata anggaran dalam keuangan negara. Pasal a quo memberikan kewenangan DPR untuk menyetujui APBN mulai dari unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, hingga jenis belanja dalam pengelolaan keuangan negara; Bahwa dalam studi mengenai reformasi pengelolaan anggaran yang dilakukan oleh Jun Ma dan Yilin Hou diketahui bahwa pengelolaan anggaran yang terfokus kepada lembaga legislatif dan melalui kewenangan pembentukan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 www.mahkamahkonstitusi.go.id Undang-Undang (baca: APBN) merupakan model pengelolaan keuangan Amerika pada era kolonial dan awal-awal kemerdekaan bangsa Amerika. Padahal di masa yang sama negara-negara Eropa sudah menerapkan sistem pengajuan anggaran dilakukan oleh eksekutif dengan merencanakan program dan kebutuhan anggarannya kepada legislatif untuk disetujui atau tidak disetujui. Sedangkan Amerika (hingga 1912) menentukan bahwa penentuan anggaran diserahkan kepada legislatif tanpa ada ruang untuk eksekutif (Jun Ma dan Yilin Hou, 2009, him. S 54-55). Sehingga dapat dipahami bahwa pola terfokus dalam pengelolaan anggaran kepada DPR yang diterapkan Indonesia saat ini bisa dipastikan merupakan model kuno yang tidak dipakai oleh negara-negara modern yang mengandalkan akuntabilitas anggaran. Bahwa berdasarkan pendapat Weber dan Wildaysky, pemerintah sebagai "kapten kapal" tidak mengendalikan pemerintahan secara menyeluruh. Bahwa kewenangan tersebut menciptakan keabsolutan penentuan mata anggaran dalam pengelolaan keuangan negara. DPR dapat menentukan siapa yang berhak menerima proyek hingga menentukan hal paling terkecil dalam belanja negara. Padahal semestinya DPR hanya menentukan anggaran makro bersama pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara. DPR tidak semestinya terlibat dalam penentuan anggaran-anggaran teknis dalam belanja negara (mikro). Fakta hukum yang terjadi saat ini DPR menentukan anggaran makro hingga mikro dalam mata anggaran APBN. Padahal kekuasaan DPR di Indonesia sangat berbeda dengan kekuasaan parlemen di Ingris Raya. Roger Masterman mengutip pernyataan AV Dicey yang menjelaskan bahwa supremasi parlemen itu bermakna bahwa tidak satu pun yang bisa menghalangi parlemen dalam membentuk undang-undang (baca: Roger Masterman, The Separation of Powers in the Contemporary Constitution, Cambridge University Press, 2011, hlm. 20). Konteks kekuasaan parlemen di Inggris tidak dapat diterapkan di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensil yang memisahkan kekuasaan lebih murni antara DPR dan Pemerintah. Sehingga kewenangan DPR mengatur APBN hulu hingga hilir menurut Pemohon tidak tepat. Sehingga keabsolutan dalam pengaturan anggaran berada "di tangan" DPR digugat dalam permohonan ini di hadapan Majelis Mahkamah Konstitusi; Bahwa lebih jauh lagi, DPR dapat "sesuka hati" dalam penundaan penetapan mata anggaran dengan memberikan tanda bintang. Bahkan setelah Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 www.mahkamahkonstitusi.go.id persetujuan dalam rapat paripurna sekalipun, acapkali DPR dalam praktiknya memberikan tanda bintang terhadap unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Padahal secara umum mata anggaran telah disepakati dalam Rapat Paripurna; Bahwa pemberian tanda bintang tersebut tidak saja menyebabkan tertundanya pelaksanaan program pemerintah, tetapi juga telah menciptakan pelbagai kemungkinan transaksi-transaksi yang bertentangan dengan hukum. Jamak diketahui bahwa dalam praktiknya, pemberian tanda bintang telah menciptakan sarana korupsi barn antara anggota DPR dan lembaga-lembaga negara, perusahaan-perusahaan, maupun orang perorangan dalam penyelenggaraan mata anggaran keuangan negara; Bahwa kasus-kasus yang melibatkan anggota DPR dalam peradilan tindak pidana korupsi dan/atau yang sedang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi seringkali berkaitan dengan permainan mata anggafan oleh anggota DPR. Transaksi "liar" itu terjadi disebabkan oleh terlalu kuatnya kewenangan DPR dalam menentukan mata anggaran hingga satuan tiga (unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja); __ II. FUNGSI BUDGETING /ANGGARAN DPR BERSIFAT MAKRO Bahwa benar Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 mengatur: DPR memiliki fungsi _legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan; _ Bahwa berdasarkan ketentuan pada Pasal 70 ayat (2) UU Nomor 27 tahun 2009 diatur, fungsi anggaran DPP dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan Undang-Undang tentang APBN yang diajukan Presiden; __ Bahwa Fungsi Anggaran DPR, seperti disampaikan Ahli Hukum Keuangan Negara: ARIFIN P. SOERIA ATMADJA dalam persidangan MK dalam Perkara Nomor 2/SKLN-X/2012 adalah: "Menurut Jesse Burkhead dalam Goverment Budgeting, serta Robert D. Lee, Jr. dan Ronald W. dalam Public Budgeting Systems, menyatakan: fungsi hak atau fungsi anggaran hanya terbatas pada rencana pendapatan belanja dari organisasi dan fungsi saja tidak termasuk program kegiatan jenis belanja yang merupakan domain eksekutif dan sudah menjadi tugas pemerintah di bidang administrasi Negara... "(Risalah Sidang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 www.mahkamahkonstitusi.go.id Perkara Nomor 2/SKLN-X/2012 tanggal 24 April 2012, halaman 27). (bukti P43) __ Bahwa menurut ahli hukum keuangan negara, SISWO SUJANTO mengungkapkan dalam tulisannya: "Hak parlemen di bidang keuangan negara, dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Pada awal kelahiran hak tersebut, lembaga legislatif memiliki kebebasan yang sangat luas dalam pembahasan dan penetapan anggaran yang diusulkan oleh pemerintah. Akan tetapi kebebasan lembaga legislatif dalam pembahasan dan penetapan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara secara signifikan telah semakin berkurang. Karena berbagai keterbatasan, kebebasan lembaga legislatif cenderung mengalami kemerosotan. Menurut teori, bila diamati, keterbatasan dimaksud dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, keterbatasan waktu (time constraint), kedua, keterbatasan kompetensi (competency constraint), dan ketiga, keterbatasan pendidikan (educational constraint)." (sumber: http: //www.keuanganpublik.com/2008/01/hak- budget-danketerbatasan-lembaga.html) (bukti P-14) __ Bahwa terkait dengan ketentuan pada Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 dan Pasal 159 ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009, Ahli Hukum Keuangan Negara, SISWO SUJANTO mengungkapkan persetujuannya dengan APBN yang rinci untuk kepentingan pengawasan pelaksanaan nantinya. Akan tetapi, ahli ini memberikan penekanan pada kewenangan DPR tersebut, yaitu: "Namun demikian, ketentuan dalam Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa 'APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja' tidaklah harus disambut dengan euforia yang berlebihan oleh para anggota DPR. Dua hal perlu diperhatikan dalam masalah ini. Pertama, dari sudut kelembagaan, bahwa DPR merupakan lembaga pengambil kebijakan (policy making institution ), bukan lembaga pelaksana (executing institution). Oleh karena itu, lembaga tersebut harus memiliki kemampuan mengambil keputusan yang bersifat makro-strategis. Untuk itu, lembaga tersebut harus didukung oleh para anggota yang mampu berfikir konsepsional dan bersifat makro-strategis. Kedua, dari sudut individu, bahwa dengan mengacu keterbatasan ( constraint ) para anggota DPR sebagaimana dikemukakan di atas, para anggota DPR bukanlah individu-individu yang memiliki kemampuan pemikiran yang bersifat mikro- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 www.mahkamahkonstitusi.go.id teknis sebagaimana layaknya para pejabat di lembaga eksekutif. Praktik yang selama ini dilakukan oleh para anggota DPR di berbagai Komisi Sektoral yang membahas rancangan anggaran kementerian/lembaga hingga rincian yang paling detil, yaitu proyek maupun kegiatan, layaknya para budgeter (pejabat penyusun anggaran) adalah euforia yang selayaknya harus segera dihentikan. Euforia tersebut tampaknya bersumber dari ketidakpahaman yang dikombinasikan dengan kepentingan masing-masing individu ataupun fraksi dalam lembaga legislatif." (sumber: http: //www.keuanganpublik.com/2008/01/hak-budget-dan- keterbatasan-lembaga.html) Bahwa keterbatasan DPR tersebut terlihat dari molornya pembahasan rincian anggaran APBN setiap tahunnya, yaitu seperti terlihat di tabel di bawah ini: __ Tahun Anggaran Rapat Paripurna Pengesahan APBN Batas Waktu Penyelesaian Pembahasan Rincian Anggaran APBNP 2010 03 Mei 2010 Pasal 16c UU Nomor APBNP 2010 : 15 Mei 2010 APBNP 2011 22 Juli 2011 SE-442/MK.02/2011 : 16 Agustus 2011 APBN 2011 26 Oktober 2010 SE-676/MK.02/2010: 12 November 2010 APBN 2012 28 Oktober 2011 SE-01 /MK.2/2011 : 14 November 2011 Bahwa pada praktiknya, hambatan waktu penyelesaian pembahasan rincian anggaran di kolom 3 tabel di atas masih mungkin diundur untuk jangka waktu yang tidak pasti. Hal ini terlihat dari praktik pemblokiran/perbintangan anggaran dengan alasan yang tidak jelas di DPR; Bahwa ketidakmampuan DPR untuk membahas secara rinci juga terlihat dalam data FITRA tentang adanya ribuan mata anggaran pemerintah pusat setiap tahunnya. Seperti terlihat pada tabel dibawah ini: (perihal pemblokiran atau perbintangan anggaran akan dibahas lebih rinci pada bagian berikutnya) Tahun Jumlah Mata Anggaran Nilai 2011 6.101 mata anggaran Rp. 63,4 Triliun 2012 Rp. 78.5 triliun Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 www.mahkamahkonstitusi.go.id Bahwa ketidakmampuan DPR untuk membahas secara rinci tersebut disebabkan oleh banyak faktor, seperti: waktu yang sempit (hanya sekitar dua bulan: September sampai akhir Oktober) sehingga akan mengakibatkan pembahasan makro-strategis juga tidak akan maksimal jika DPR masih memaksakan membahas secara rinci per mata anggaran hingga "jenis kegiatan". Masalah kemampuan teknis juga telah disinggung sebelumnya dari ahli hukum keuangan negara SISWO SUJANTO; Bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqodas mengungkapkan pembahasan anggaran di DPR sampai satuan yang terkecil (satuan 3) membuka peluang konflik kepentingan antara anggota DPR dan mata anggaran yang disusun. _(sumber: _ http.//nasional.kompas.com/read/2012/ 03/01/15543214/Pimpinan. KPK. Kritik. Pemba hasan.Anigaran.di.DPR) Hal ini kemudian berakibat pada tingginya potensi korupsi anggaran di DPR; (bukti P-15) Bahwa hal itu ditegaskan oleh Penasehat KPK Abdullah Hehamahua pada 30 September 2010. Berdasarkan hasil pengkajian KPK di tahun sebelumnya, ditemukan sejumlah potensi korupsi dalam penyusunan dan pembahasan anggaran, salah satu penyebabnya adalah pembahasan anggaran yang sangat rinci (sampai satuan 3). _(sumber: _ http: //international.okezone.com/read/ 2010/09/30/339/377871/kpkpembahasan -apbn- di-dpr-lahan-korupsi), Bahwa berdasarkan uraian di atas perlu dipisahkan antara kewenangan DPR melakukan Pembahasan di tingkat makro-strategis yang tidak sampai terperinci pada jenis belanja, dengan kewenangan DPR untuk menyetujui terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja; Bahwa semestinya dalam pengaturan anggaran modern, kewenangan untuk menentukan anggaran (baca: unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja) diserahkan kepada kekuasaan eksekutif. Sedangkan kewenangan legislatif adalah untuk memberikan masukan dan menyetujui penentuan anggaran tersebut (Jun Ma dan Yulin Hao, Budgeting for Accountability, A Comparative Study of Budget Reforms in the United States during the Progressive Era and in Contemporary China, Public Administration Review, Dec., 2009; 69, S1, ProQuest, hlm. S.55); Bahwa kewenangan yang diberikan UU Keuangan Negara dan MD3 kepada DPR telah membuka praktik "lobi politik" anggota DPR kepada pihak-pihak Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 www.mahkamahkonstitusi.go.id berkepentingan (eksekutif dan pihak ketiga lainnya). Hal itu dapat dibuktikan dari banyaknya kasus-kasus yang melibatkan anggota Badan Anggaran dan anggota DPR dalam kasus-kasus korupsi. Campos dan Giovannoni menyebutkan bahwa kewenangan yang menciptakan kekuatan lobi dapat berujung kepada penyuapan dan korupsi (Nauro F Campos dan Francesco Giovannoni, Lobbying, Corruption and Political Influence, Public Choice, Springer, Vol. 131, Nomor ''/2, Apr., 2007, hlm.2); Bahwa dengan demikian II. A. frase "rincian" pada Pasal 157 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah kewenangan yang berlebihan dan berpotensi menimbulkan penyimpangan anggaran dan korupsi, sehingga bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 II.B. Kewenangan DPR untuk menyetujui APBN secara terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja seperti diatur pada Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionaly constitutional) sepanjang memenuhi syarat: dokumen APBN yang terinci sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja adalah kewenangan untuk menyetujui dan menetapkan dokumen APBN pada tahapan pembahasan tingkat II yaitu PARIPURNA, sehingga dokumen APBN tersebut bersifat terbuka dan dapat digunakan untuk menjalankan Fungsi Pengawasan DPR dan dapat diakses Publik. III. Perbintangan/Pemblokiran Anggaran Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengandung KETIDAKPASTIAN HUKUM Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 www.mahkamahkonstitusi.go.id sehingga bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Bahwa Pasal 71 huruf g Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, mengatur: _DPR mempunyai tugas dan wewenang:
membahas bersama Presiden_ dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden Bahwa Pasal 156 huruf a dan b UU Nomor 27 tahun 2009, mengatur: Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam _Pasal 71 huruf g, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut: _ a. Pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia _dalam rangka menyusun rancangan APBN; _ b. Pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta _nota keuangannya oleh Presiden; _ Bahwa pada kenyataannya terdapat perbedaan tafsir dalam penerapan Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU Nomor 27 Tahun 2009 tersebut sehingga menimbulkan KETIDAKPASTIAN HUKUM; Bahwa praktik pemblokiran atau perbintangan anggaran terjadi setiap tahunnya, menurut catatan FITRA, pada tahun 2011 terdapat 6.101 mata anggaran sebesar Rp. 63,4 triliun dan pada tahun 2012 sebesar Rp. 78,5 triliun yang diblokir/diberikan tanda bintang; Bahwa rencana pembangunan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi adalah salah satu mata anggaran yang menjadi korban praktik perbintangan/ pemblokiran anggaran oleh DPR-RI melalui Komisi III DPR-RI. Bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengatakan pada publik agar praktik perbintangan/pemblokiran anggaran dihentikan. (sumber: http: //www. republika. co. id/berita/nasional/umum/12/10/30/mcoo6 9- sbyjangan-lagiada-anggaran-tanda-bintang) (bukti P-17) Bahwa praktik perbintangan/pemblokiran anggaran adalah bukti adanya perbedaan tafsir terhadap Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU Nomor 27 Tahun 2009; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 www.mahkamahkonstitusi.go.id Bahwa praktik perbintangan/pemblokiran anggaran akan membuka ruang percaloan anggaran antara oknum DPR dengan Kementerian/Lembaga karena proses pembahasan tersebut terjadi di luar rentang dan jangka waktu pembahasan rancangan Undang-Undang tentang APBN yang diatur oleh UU Nomor 27 Tahun 2009; Bahwa pemberian tanda bintang oleh DPR pada dasarnya menciptakan ketidakpastian hukum dalam penentuan mata anggaran dalam APBN. Hal itu terjadi disebabkan setelah rapat paripurna, DPR dapat kembali memberikan tanda bintang terhadap unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja APBN. Bahkan dalam kasus Hambalang, salah satu pagu anggaran APBN diberikan tanda bintang/diblokir. Padahal DPR tidak mempunyai kewenangan untuk memblokir setiap pagu anggaran yang telah diusulkan dan diajukan oleh Kementrian/Lembaga. DPR memang mempunyai kewenangan untuk mengkoreksi anggaran, namun tidak dengan semena-mena untuk membintangi/membokir; Bahwa sebagaimana dikemukakan Cristina Leston-Bandeira, meskipun kekuasaan mengubah budget merupakan kekuasaan amat penting dari parlemen, namun bukan berarti parlemen diberikan kekuasaan untuk mengubah anggaran berdasarkan kehendak pribadi dan kelompoknya (Cristina Leston-Bandeira, From Legislation to Legitimation, The Role of Portuguese Parliament, Routledge, 2004, him. 100); Bahwa penyebab adanya praktik perbintangan/pemblokiran anggaran sangat beragam: mulai dari belum lengkapnya rencana anggaran yang disiapkan, adanya ketentuan khusus dari DPR atau Kementerian Keuangan, hingga alasan yang dicari-cari untuk mengulur waktu pembahasan setelah paripurna dilakukan; Bahwa seharusnya Pemerintah telah menyusun dengan baik perencanaan anggaran sejak awal sehingga potensi penyimpangan atau anggaran titipan dalam proses pembahasan dapat diminimalisir; Bahwa perencanaan dan pelaksanaan anggaran haruslah mengacu pada prinsip anggaran berbasis kinerja dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia; Bahwa jika perbedaan tafsir Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU Nomor 27 Tahun 2009 dibiarkan, maka hal ini akan berakibat pada terus terjadinya tindakan-tindakan yang tidak konstitusional dan berpotensi penyimpangan anggaran serta korupsi; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 www.mahkamahkonstitusi.go.id Bahwa potensi penyimpangan dan percaloan anggaran tersebut bertentangan dengan tujuan penyusunan APBN yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti diatur pada Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Bahwa praktik perbintangan/pemblokiran anggaran harus dihentikan; Bahwa dengan demikian Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU Nomor 27 Tahun 2009 harus dinyatakan KONSTITUSIONAL BERSYARAT ( conditionally constitusional) sepaniang dimaknai: tidak ada lagi proses pembahasan setelah rapat paripurna penetapan rancangan Undang-Undang tentang APBN ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN, sehingga praktik perbintangan atau pemblokiran anggaran yang dibahas setelah paripurna dilakukan TIDAK KONSTITUSIONAL; IV. Proses dan Ruang Lingkup Pembahasan APBN-P IV.A. Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah BERTENTANGAN dengan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; IV.B. Pasal 156 butir c angka (2) dan Pasal 161 Undang-Undang 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menimbulkan KETIDAKPASTIAN HUKUM sehingga bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Bahwa Pasal 156 butir c angka (2) UU Nomor 27 Tahun 2009 mengatur: Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam _Pasal 71 huruf g, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut: _ _c. pembahasan: _ (2) penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran _yang bersangkutan, apabila terjadi: _ a) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan _asumsi yang digunakan dalam APBN; _ _b) perubahan pokok-pokok kebijakan frskal; _ Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 www.mahkamahkonstitusi.go.id c) keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan/atau d) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembaayaan anggaran yang berjalan. Bahwa Pasal 161 UU Nomor 27 Tahun 2009 mengatur: (1) Dalam hal terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan, Pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan. (2) Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan sebagaimana _dimaksud pada ayat (1) berupa prognosis: _ a. penurunan pertumbuhan ekonomi, minimal I% (satu persen) di _bawah asumsi yang telah ditetapkan; dan/atau _ b. deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal 10% (sepuluh persen) dari asumsi yang telah ditetapkan. (3) Perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud _pada ayat (1) berupa prognosis: _ a. Penurunan penerimaan perpajakan minimal 10% (sepuluh persen) _dari pagu yang telah ditetapkan; _ b. Kenaikan atau penurunan belanja kementerian/lembaga minimal _10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan; _ c. kebutuhan belanja yang bersifat mendesak dan belum tersedia pagu _anggarannya; dan/atau _ d. Kenaikan defisit minimal 10% (sepuluh persen) dari rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) yang telah ditetapkan (4) Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang, setelah rancangan undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR. (5) Dalam hal tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 www.mahkamahkonstitusi.go.id pada ayat (2) dan ayat (3), pembahasan perubahan APBN dilakukan dalam rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan keuangan Pemerintah. __ Bahwa sejumlah kasus korupsi dan praktik mafia anggaran yang ditangani KPK adalah proyekproyek baru yang terdapat APBN Perubahan, di antaranya adalah:
Kasus suap terkait pembangunan Wisma Atlet senilai Rp.
672.000.000,- yang bersumber dari APBN-Perubahan Tahun 2010 (proses: Putusan inkracht di Mahkamah Agung dengan terdakwa M. _Nazaruddin); _ 2. Kasus pengadaan, pemasangan, dan perawatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang merugikan keuangan Negara Rp. 2.729.473.128,- dan Rp. 173.514.818,- yang bersumber dari anggaran APBN-Perubahan tahun 2008 (proses: sudah divonis bersalah di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat _dengan terdakwa: Timas Ginting dan Neneng Sriwahyuni); _ 3. Pengadaan kitab suci Al Quran APBN-Perubahan 2011 dan APBN 2012 pada Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama _(proses: _ _persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dengan terdakwa: _ _Dzulkarnain Djabar); _ 4. Dan lain-lain akan dikemukakan di persidangan. Bahwa perubahan terhadap APBN hanya dimungkinkan jika memenuhi syarat sebagaimana diatur pada Pasal 156 butir c angka (2) dan Pasal 161 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 27 tahun 2009 dan turunannya, sehingga jika tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka tidak perlu dilakukan perubahan pada APBN; Bahwa pada prinsipnya, APBN Perubahan adalah sama dengan APBN yang berbentuk undangundang, menggunakan keuangan negara, dan bertujuan seperti halnya diatur pada Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; Bahwa oleh karena APBN Perubahan sama dengan APBN, maka seharusnya proses pembahasan APBN-Perubahan juga harus memenuhi prinsip-prinsip seperti pada APBN, khususnya pada fase Pembahasan dan Penetapan APBN seperti diatur pada Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 www.mahkamahkonstitusi.go.id Bahwa peluang korupsi pada proses pembahasan APBN-Perubahan tercipta karena singkatnya waktu pembahasan (maksimum hanya 1 bulan berdasarkan Pasal 161 ayat (4) UU Nomor 27 Tahun 2009), pihak yang terlibat terbatas yang bahkan dalam kondisi seperti Pasal 161 ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009, pembahasan APBN-Perubahan dapat dilakukan hanya oleh Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan pada laporan keuangan pemerintah; Bahwa proses yang sangat singkat, tidak terbuka, tidak melibatkan pihak-pihak yang terkait dan bahkan tanpa perencanaan yang matang sangat potensial disimpangi dan potensial korup. Hal ini berakibat pada bocornya anggaran dan keuangan negara sehingga bertentangan dengan tujuan APBN sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; Bahwa mata anggaran baru atau proyek-proyek baru seharusnya direncanakan dengan matang dan dibahas dalam rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya, karena kalau pun dalam APBN Perubahan dianggarkan proyek baru, hal ini akan memicu korupsi dan inefisiensi pada saat pencairan anggaran dan pelaksanaan kegiatan yang sangat singkat di akhir tahun berjalan; Bahwa dengan demikian: IV.A. Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Maielis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; IV.B. Pasal 156 butir c angka (2) dan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menimbulkan KETIDAKPASTIAN HUKUM sehingga hams dinyatakan KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionals constitutional) sepanjang dimaknai: proses pembahasan dan penetapan Perubahan APBN harus sama dengan proses pembahasan dan penetapan APBN, dan Perubahan APBN hanya dapat dilakukan terhadap anggaran unit kegiatan dan jenis belanja yang telah ada, sehingga TIDAK MENGADAKAN mata anggaran baru/proyek-proyek baru yang sebelumnya tidak dianggarkan pada APBN. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 www.mahkamahkonstitusi.go.id D. PETITUM Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, maka para Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang Terhormat pada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus Uji Materil sebagai berikut: Dalam Pokok Perkara:
Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan Pengujian Undang- Undang yang diajukan para Pemohon;
Menyatakan: a) Pasal 104 sepanjang frase "yang bersifat tetap" dan Pasal 105 ayat (1) sepanjang frase "pada permulaan masa keanggotaan DPR dan" UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sepanjang frase "yang bersifat tetap" BERTENTANGAN dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; b) Bahwa dengan demikian Mahkamah Konstitusi perlu menyatakan Pasal 107 ayat (1) huruf e UU MD3 konstitusional bersyarat (conditionaly constitutional) sepanjang memenuhi syarat: Badan Anggaran tidak mempunyai kewenangan untuk membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN yang belum dibahas oleh komisi-komisi terkait di DPR dan kementerian/lembaga terkait. Sehingga Badan Anggaran hanya mempunyai kewenangan untuk melakukan singkronisasi hasil pembahasan Komisi terhadap alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga dan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga; c) Pasal 157 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sepanjang frase "rincian" adalah kewenangan yang berlebihan berpotensi menimbulkan penyimpangan anggaran dan korupsi, sehingga bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 www.mahkamahkonstitusi.go.id d) Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionaly constitutional), sepanjang memenuhi syarat: dokumen APBN yang terinci sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja adalah kewenangan untuk menyetujui dan menetapkan dokumen APBN pada tahapan pembahasan Tingkat II yaitu PARIPURNA, sehingga dokumen APBN tersebut bersifat terbuka dan dapat digunakan untuk menjalankan Fungsi Pengawasan DPR dan dapat diakses Publik. e) Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU Nomor 27 Tahun 2009 harus dinyatakan KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionally constitusional), sepanjang dimaknai: tidak ada lagi proses pembahasan setelah rapat paripurna penetapan rancangan Undang- Undang tentang APBN ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN, sehingga praktik perbintangan atau pemblokiran anggaran yang dibahas setelah paripurna dilakukan TIDAK KONSTITUSIONAL; f) Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Pasal 156 butir c angka 2 dan Pasal 161 Undang-Undang 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menimbulkan KETIDAKPASTIAN HUKUM sehingga harus dinyatakan KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionaly constitutional), sepanjang dimaknai: proses pembahasan dan penetapan perubahan APBN harus sama dengan proses pembahasan dan penetapan APBN, dan Perubahan APBN hanya dapat dilakukan terhadap anggaran unit kegiatan dan jenis belanja yang telah ada, sehingga TIDAK MENGADAKAN mata anggaran baru/proyek-proyek baru yang sebelumnya tidak dianggarkan pada APBN; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 www.mahkamahkonstitusi.go.id 3. Menyatakan: a) Pasal 104 sepanjang frase "yang bersifat tetap" dan Pasal 105 ayat (1) sepanjang frase "pada permulaan masa keanggotaan DPR dan" UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; b) Bahwa dengan demikian Mahkamah Konstitusi perlu menyatakan Pasal 107 ayat (1) huruf e UU MD3 konstitusional bersyarat (conditionaly constitutional), sepanjang memenuhi syarat: Badan Anggaran tidak mempunyai kewenangan untuk membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN yang belum dibahas oleh komisi-komisi terkait di DPR dan kementerian/lembaga terkait. Sehingga Badan Anggaran hanya mempunyai kewenangan untuk melakukan singkronisasi hasil pembahasan komisi terhadap alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga dan rencana kerja dan anggaran kementerian /lembaga; c) Pasal 157 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sepanjang frase "rincian" tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; d) Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionaly constitutional) sepanjang memenuhi syarat: dokumen APBN yang terinci sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja adalah kewenangan untuk menyetujui dan menetapkan dokumen APBN pada tahapan pembahasan Tingkat II yaitu PARIPURNA, sehingga dokumen APBN tersebut bersifat terbuka dan dapat digunakan untuk menjalankan Fungsi Pengawasan DPR dan dapat diakses Publik. e) Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU Nomor 27 Tahun 2009 harus dinyatakan KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionally Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 www.mahkamahkonstitusi.go.id constitusional), sepanjang dimaknai: tidak ada lagi proses pembahasan setelah rapat paripurna penetapan rancangan Undang-Undang tentang APBN ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN, sehingga praktik perbintangan atau pemblokiran anggaran yang dibahas setelah paripurna dilakukan TIDAK KONSTITUSIONAL; f) Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; g) Pasal 156 butir c angka 2 dan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menimbulkan KETIDAKPASTIAN HUKUM sehingga harus dinyatakan KONSTITUSIONAL BERSYARAT (conditionaly constitutional) sepanjang dimaknai: proses pembahasan dan penetapan perubahan APBN harus sama dengan proses pembahasan dan penetapan APBN, dan perubahan APBN hanya dapat dilakukan terhadap anggaran unit kegiatan dan jenis belanja yang telah ada, sehingga TIDAK MENGADAKAN mata anggaran baru/proyek-proyek baru yang sebelumnya tidak dianggarkan pada APBN.
Bilamana Majelis Hakim pada Mahkamah Konstitusi mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya—ex _aequo et bono; _ [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-17, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Bukti P-4 : Fotokopi Akte Notaris Nomor 186 tanggal 19 Oktober 2011 di Jakarta oleh Notaris Dr. Irawan Soerodjo, S.H., Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 www.mahkamahkonstitusi.go.id M.Si.
Bukti P-5 : Fotokopi Akte Notaris Nomor 6 tanggal 20 September 2006 di Jakarta oleh Notaris Henry Siregar, S.H., 6. Bukti P-6 : Fotokopi Akte Notaris Nomor 7 tanggal 19 September 2009 di Jakarta oleh Notaris R. Suryawan Budi Prasetiyanto, S.H., M.K., 7. Bukti P-7 : Fotokopi Akte Notaris Nomor 53 tanggal 11 Juni 2009 oleh Notaris H. Rizul Sudarmadi, S.H., 8. Bukti P-8 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan nomor 1508130210800001 dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 15.903.488.3-201.000;
Bukti P-9 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan nomor 3510061601840004 dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 44.416.936.1.542.000;
Bukti P-10 : Fotokopi Kompendium Bidang Hukum Keuangan Negara, disusun oleh Prof. Dr. Arifin Soeriaatmadja, S.H., diterbitkan oleh BPHN, 2010;
Bukti P-11 : Fotokopi kliping berita on-line berjudul, “PPATK Telusuri 2.000 Laporan Transaksi Mencurigakan Anggota DPR.” 12. Bukti P-12 : Fotokopi Buku Panduan tentang Anggaran dan Pengawasan Keuangan diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal DPR-RI hasil kerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP);
Bukti P-13 : Fotokopi Risalah Sidang MK Perkara Nomor 2/SKLN- X/2012, tanggal 24 April 2012;
Bukti P-14 : Fotokopi artikel on-line berjudul, “Hak Budget dan Keterbatasan Lembaga Legislatif” oleh ahli keuangan negara, Siswo Sujanto;
Bukti P-15 : Fotokopi berita on-line berjudul, “Pimpinan KPK Kritik Pembahasan Anggaran di DPR” 16. Bukti P-16 : Fotokopi berita on-line berjudul, “KPK: Pembahasan APBN di DPR, Lahan Korupsi” 17. Bukti P-17 : Fotokopi berita on-line berjudul, “SBY: Jangan Lagi ada Anggaran ‘Tanda Bintang’” Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 www.mahkamahkonstitusi.go.id Selain itu, Pemohon juga mengajukan 8 (delapan) orang ahli, yaitu Siswo Sujanto, Ahmad Erani Yustika, Ari Dwipayana, Kuskridho Ambardi, Saldi Isra, Zainal Arifin Mochtar, Iwan Gardono Sujatmiko, dan Rimawan Pradiptyo yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 24 Juni 2013, 11 Juli 2013, 25 Juli 2013 dan 21 Agustus 2013, yang pada pokoknya sebagai berikut:
Siswo Sujanto - Kasus yang diajukan oleh Pemohon adalah sebuah kasus yang terjadi dalam lingkup hukum keuangan negara, yaitu yang terjadi dalam hubungan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam rangka penetapan Undang-Undang APBN, serta dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang APBN. Oleh karena itu tanpa memiliki pretensi yang berlebihan dan mengurangi arti penjelasan dari sudut disiplin ilmu lainnya, ahli berpendapat bahwa penjelasan dari sudut ilmu hukum keuangan negara sudah selayaknya dipandang memiliki relevansi yang relatif tinggi dibandingkan dengan penjelasan dari sudut disiplin ilmu lainnya. - Dengan mengacu pada asas proposionalitas, yaitu dengan menempatkan disiplin ilmu hukum keuangan negara sebagai instrumen untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang timbul dalam bidang hukum keuangan negara. Dalam praktik selama ini mengingat disiplin ilmu hukum keuangan negara di Indonesia belum berkembang sekedar untuk mencari pembenaran bahwa masalah-masalah keuangan negara telah dianalisis dari aspek hukum, kasus-kasus yang terjadi dalam lingkup keuangan negara sering kali dianalisis oleh berbagai pihak dengan menggunakan sudut pandang dari berbagai disiplin hukum lainnya. - Penjelasan yang akan disampaikan akan dibagi dalam 3 bagian, yaitu pertama terkait dengan konsepsi, kedua implementasi, dan ketiga pendapat dan kesimpulan. Menurut sudut ilmu hukum keuangan negara, pengelolaan keuangan negara terbagi dalam dua aspek, yaitu aspek politis dan aspek administratif. Dalam ilmu hukum keuangan negara aspek politik keuangan negara ini secara substansi mengatur hubungan hukum antara lembaga Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 www.mahkamahkonstitusi.go.id legislatif dan lembaga eksekutif dalam rangka penyusunan, dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara. - Secara konkrit aspek politik keuangan negara tersebut terkait dengan pelaksanaan pemikiran atau ide yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar, yakni mengatur bagaimana amanah Undang-Undang Dasar yang meliputi penyelenggaraan pemerintah negara dan pemenuhan hak-hak asasi warga negara harus diwujudkan. Amanah Undang-Undang Dasar dimaksud diwujudkan dalam bentuk kegiatan pengelolaan rumah tangga negara, baik dari aspek kegiatan yang dilaksanakan, maupun dari aspek pembiayaannya. Dari aspek pembiayaan pada hakikatnya menjawab pertanyaan, bagaimana pemerintah dapat membiayai kegiatan pemerintah dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan dan pemenuhan hak-hak warga negara tersebut? Pertanyaan masyarakat awam terkait dengan masalah anggaran dan peran lembaga legislatif sebagai lembaga politik di suatu negara selalu berkisar pada, mengapa anggaran negara harus dibahas oleh lembaga legislatif? Mungkinkah lembaga legislatif menyusun anggaran negara untuk dilaksanakan oleh pemerintah? Sementara itu gagasan agar lembaga legislatif memiliki kewenangan untuk menyusun anggaran negara pernah berkembang di Indonesia. Pemikiran semacam itu muncul dari para anggota dewan ketika dewan perwakilan rakyat mengalami masa kebebasan dari keterhubungannya sebagai lembaga politik di masa lalu, yaitu sejak dicanangkannya reformasi di Indonesia. - Anggaran negara adalah sebuah kesepakatan politik. Tradisi pembahasan anggaran negara oleh lembaga legislatif secara historis dimulai di Inggris sekitar Tahun 1200-an ketika paham parlementarisme berkembang di negara tersebut dan juga di Perancis. Ide pembahasan di lembaga legislatif dimulai ketika masyarakat menolak untuk membayar pajak, ketika itu masyarakat menyatakan bahwa tidak akan membayar pajak kecuali rakyat memiliki wakil di parlemen yang akan membela kepentingannya. Pergolakan yang ditandai dengan lahirnya Magna Carta tersebut mengusung slogan yang terkenal pada saat itu, yaitu “No taxation without representation.” Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Ide dasar yang berkembang pada masa itu adalah adanya keinginan rakyat untuk dapat mengetahui secara pasti kegunaan uang yang dipungut dari mereka dalam bentuk pungutan memaksa melalui suatu sistem perpajakan. Kendati keberhasilan perjuangan rakyat untuk dapat berperan dalam menentukan anggaran negara melalui lembaga perwakilan, ternyata baru sekitar 5 abad kemudian Tahun 1200-an tersebut dianggap sebagai tonggak sejarah kelahiran hak legislatif dalam penetapan anggaran negara yang kini dikenal secara luas dengan nama hak budget lembaga legislatif. - Dalam alur yang sederhana lahirnya hak budget lembaga legislatif dapat diilustrasikan seperti di bawah ini. Keinginan pemerintah untuk memungut sejumlah uang yang akan digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan pemerintah direspon oleh rakyat melalui perwakilannya di lembaga legislatif dalam bentuk permintaan agar pemerintah secara transparan dapat menjelaskan program-program kegiatan yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu setahun mendatang, dan juga rincian dana yang dibutuhkan yang nantinya akan dipungut dari masyarakat. Hal inilah yang memaksa pemerintah menyusun semacam proposal dalam bentuk rencana kerja yang selanjutnya diikuti dengan rincian pendanaannya, proposal tersebut selanjutnya dikaji oleh lembaga legislatif untuk kemudian diberikan persetujuan untuk dilaksanakan bilamana dipandang layak. - Namun demikian diterimanya rencana kerja pemerintah yang diikuti dengan rinciannya dalam bentuk uang dimaksud oleh lembaga legislatif tidak serta merta memberikan otorisasi kepada pemerintah untuk membebankan segala biaya kepada masyarakat dalam bentuk izin pemungutan pajak. Dengan pertimbangan besarnya penerimaan domanial yang berasal dari kekayaan kerajaan, lembaga legislatif kemudian dapat menyetujui besarnya dana yang akan ditarik pemerintah dari masyarakat. - Ilustrasi di atas kiranya dapat menjelaskan bahwa penyampaian rencana kerja yang disertai dengan rencana pembiayaan di satu sisi, dan rencana pendapatan di sisi lain, mengandung pengertian bahwa pemerintah wajib menyampaikan rencana anggaran negara kepada lembaga legislatif untuk dibahas. Sementara itu, lembaga legislatif memiliki kewenangan untuk melakukan pembahasan dan memberikan persetujuan sebelum rencana tersebut dilaksanakan. Selanjutnya, hasil pembahasan lembaga legislatif Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 www.mahkamahkonstitusi.go.id yang merupakan kesepakatan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dimaksud, kemudian dituangkan dalam suatu produk hukum yang dikenal dengan Undang-Undang. - Dengan demikian, dari sudut politik, anggaran negara adalah suatu bentuk kesepakatan politik antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif yang berisi persetujuan untuk melakukan pengeluaran pada suatu kurun waktu di masa yang akan datang untuk membiayai program kerja yang telah disetujui di satu sisi, dan persetujuan untuk mengupayakan pendanaan guna membiayai pengeluaran tersebut pada kurun waktu yang sama di sisi lain. - Sebagaimana layaknya suatu kesepakatan, kesepakatan antara kedua lembaga politik tersebut juga memiliki konsekuensi logis dalam bentuk hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Di sisi lembaga legislatif, hak yang timbul dengan adanya kesepakatan dimaksud adalah hak untuk melakukan pengawasan terhadap persetujuan yang telah dituangkan dalam suatu produk perundang-undangan. Hak pengawasan lembaga tersebut pada hakikatnya mencakup baik pada sisi pelaksanaan pengeluaran negara, maupun sisi penerimaan negara karena melalui kedua sisi itulah pelaksanaan persetujuan diwujudkan. - Hak lainnya yang sangat penting, artinya adalah untuk meminta pertanggungjawaban kepada eksekutif, terhadap pelaksanaan rencana kerja maupun rencana pembiayaannya. Sementara itu, kewajibannya adalah memberikan dukungan maupun konsultasi akan pelaksanaan kesepakatan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. - Seperti hakikat nama yang melekat, lembaga eksekutif pada prinsipnya adalah pelaksana dari persetujuan yang telah ditetapkan. Terkait dengan peran tersebut, semua kebijakan yang disusun oleh pemerintah adalah kebijakan operasional dalam rangka pelaksanaan kesepakatan. Di sisi lain kewajiban lembaga eksekutif adalah menyusun pertanggungjawaban pada akhir periode atas berbagai program dan kegiatan yang telah disetujui oleh lembaga legislatif. Pertanggungjawaban dimaksud di samping mencakup kinerja lembaga eksekutif dalam mewujudkan program-program kerja yang telah direncanakan, juga mencakup pertanggungjawaban keuangan yang terdiri dari pertanggungjawaban atas pemungutan dana-dana yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 www.mahkamahkonstitusi.go.id bersumber dari masyarakat dan penggunaan dana tersebut untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan. - Dengan pola dan mekanisme sebagaimana diutarakan di atas, pembagian peran antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam penyusunan anggaran negara menjadi jelas. Anggaran negara pada hakikatnya harus dipersiapkan oleh lembaga eksekutif dan selanjutnya dibahas untuk kemudian disetujui oleh lembaga eksekutif. Pembagian peran antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif sebagaimana dikemukakan di atas, telah memberikan inspirasi bagi lahirnya prinsip transparansi fiskal (fiscal transparency) di era modern. Prinsip tersebut pada intinya antara lain menekankan adanya kejelasan peran antara pihak yang mengusulkan dan pihak yang memutuskan, antara pengambil keputusan dan pihak pelaksana keputusan. - Selanjutnya, bila dicermati pola dan mekanisme yang berkembang dalam penyusunan anggaran antara dua lembaga politik tersebut, kemudian juga melahirkan berbagai prinsip dasar (golden principal) dalam pengelolaan anggaran negara yang hingga kini masih relevan. Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip unteoritas, prinsip periodesitas, prinsip spesialitas, prinsip unitas, dan terakhir prinsip universalitas. Prinsip unteoritas atau prinsip reabel menekankan bahwa anggaran negara harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari lembaga legislatif sebelum dilaksanakan. Yang penting dari beberapa prinsip tersebut, di samping prinsip unteoritas adalah prinsip spesialitas, yaitu prinsip yang menyatakan bahwa anggaran yang ditetapkan oleh lembaga legislatif harus bersifat spesifik. Dalam arti bahwa alokasi anggaran yang disediakan hanya diperuntukkan untuk suatu kegiatan yang telah ditetapkan, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang dan tidak dapat dipergunakan untuk tujuan lainnya. Prinsip-prinsip dimaksud kemudian melahirkan sejumlah ketentuan yang kini dapat ditemukan dalam berbagai pasal dalam ketentuan perundang-undangan, terkait dengan pengelolaan keuangan negara. - Haruskah lembaga legislatif melakukan pembahasan rancangan undang- undang anggaran yang diajukan oleh pemerintah hingga pada substansi yang demikian rinci? Perlukah ada pembatasan terhadap kewenangan lembaga legislatif dalam pembahasan rancangan Undang-Undang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 www.mahkamahkonstitusi.go.id Anggaran? Pertanyaan semacam ini selalu muncul ketika masyarakat melihat bahwa lembaga legislatif mengajukan berbagai pertanyaan kepada kementerian lembaga yang sangat detail atau bahkan ketika lembaga legislatif tidak dapat menepati batas waktu pembahasan yang telah tersedia. Sehingga penetapan Undang-Undang APBN melampaui batas tanggal yang telah ditetapkan. Akibatnya sudah dapat diperkirakan, yaitu pemerintah tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk dapat melaksanakan berbagai kegiatan yang telah tertuang dalam Undang-Undang APBN. - Hal lembaga legislatif di bidang keuangan negara pada prinsipnya meliputi dua aspek. Yaitu Pertama , berupa pemberian persetujuan kepada pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran negara dan untuk memungut penerimaan negara yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran yang telah disetujui dalam pembahasan bersama pemerintah. Kedua , berupa pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk melaksanakan keputusan yang telah ditetapkan. - Aspek pertama yang kemudian dikenal dengan nama otorisasi parlemen atau otorisasi parlementer, menampilkan karakteristik yang berbeda di sisi penerimaan dan di sisi pengeluaran negara. Di bidang penerimaan negara, persetujuan yang diberikan oleh Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara merupakan pemberian kewenangan kepada pemerintah dalam arti sebenarnya, yaitu kewenangan untuk melaksanakan pemungutan penerimaan negara dan bersifat imperatif. Dalam hal ini, sesuai sifatnya dibedakan antara kewenangan pemungutan penerimaan yang bersifat dari pajak dan penerimaan yang berasal dari penerimaan bukan pajak. - Di sisi pengeluaran, kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada pemerintah, dalam hal ini para menteri, pada hakikatnya bukan bersifat imperatif, kecuali untuk beberapa jenis pengeluaran wajib seperti misalnya gaji. Artinya, kendati alokasi anggaran untuk suatu kementerian telah ditetapkan oleh lembaga legislatif, Menteri Keuangan karena alasan ekonomi dapat saja menetapkan agar sebagian dana kementerian tersebut tidak dipergunakan. - Terkait dengan makna yang tersirat dalam hak pajak tersebut di atas, otorisasi parlemen kepada pemerintah selalu bersifat prealable atau bersifat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 www.mahkamahkonstitusi.go.id mendahulu. Artinya, pemerintah tidak dapat melakukan pengeluaran maupun penerimaan negara tanpa terlebih dahulu memperoleh izin dari lembaga legislatif yang dituangkan dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. - Pemikiran inilah yang kemudian melahirkan prinsip unteoritas dalam pengeluaran negara. Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip dimaksud selanjutnya mendasari lahirnya berbagai ketentuan dalam pengelolaan keuangan negara, seperti misalnya larangan bagi semua pihak untuk melakukan pengeluaran bila terjadi alokasi anggaran dalam Undang- Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. - Hak parlemen di bidang keuangan negara dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Pada awal kelahiran, hak tersebut, lembaga legislatif memiliki kebebasan yang sangat luas dalam pembahasan dan penetapan anggaran yang diusulkan oleh pemerintah. Kebebesan tersebut tercermin dalam bentuk kewenangan lembaga legislatif untuk menetapkan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, kapan saja mereka pandang telah siap tanpa terikat pada batas waktu. - Para anggota lembaga legislatif berwenang untuk meminta penjelasan dalam bentuk apa pun kepada pemerintah bila penjelasan dimaksud dipandang akan diperlukan dalam rangka pengambilan keputusan untuk menetapkan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang sedang dalam pembahasan. Bahkan, para anggota legislatif dapat saja tidak menyetujui alokasi anggaran yang diusulkan oleh pemerintah walaupun hal ini akan berakibat terhadap batalnya kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah. - Dalam perjalanan sejarah kebebasan lembaga legislatif dalam pembahasan dan penetapan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, secara signifikan telah semakin berkurang. Berbagai keterbatasan (constrain) telah menyebabkan kebebasan lembaga legislatif cenderung mengalami kemerosotan. - Menurut teori, bila diamati, keterbatasan dimaksud dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, keterbatasan waktu (time constrain) . Kedua, keterbatasan kompetensi (competency constrain) . Dan ketiga, keterbatasan pendidikan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 www.mahkamahkonstitusi.go.id (educational constrain) . Dengan mendasarkan pada prinsip prioditas anggaran yang membatasi pelaksanaan anggaran pada umumnya, hanya dalam kurun waktu satu tahun di satu sisi dan prinsip unteoritas yang menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat melakukan tindakan apa pun dalam hal pengeluaran negara, kecuali telah ditetapkan dalam Undang- Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, kini lembaga legislatif berkewajiban memutuskan dan menetapkan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesegera mungkin, yaitu sebelum tahun anggaran dimulai. - Kewajiban tersebut telah menempatkan lembaga legislatif pada posisi yang sangat sulit. Bila rata-rata lembaga eksekutif memiliki waktu yang cukup longgar dalam penyusunan kegiatan dan kemudian menuangkannya dalam rancangan anggaran, yaitu kurang-lebih sekitar 12 hingga 16 bulan sebelum dokumen rancangan anggaran tersebut disampaikan kepada lembaga legislatif untuk dibahas. Lembaga legislatif hanya memiliki waktu yang relatif pendek, yaitu kurang-lebih sekitar tiga bulan. - Kendati para anggota legislatif pada umumnya merasakan bahwa waktu yang disediakan untuk pembahasan terlalu pendek dan menginginkan seperti pada masa-masa lalu, keterbatasan dalam jadwal penyelenggaraan pemerintahan, dan juga pemikiran yang berkembang tentang tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk dalam hal ini adalah tata kelola keuangan negara, memaksa lembaga legislatif untuk mematuhi jadwal yang telah ditetapkan. - Dari hasil penelitian, jadwal pembahasan penetapan anggaran di berbagai negara diatur dalam ketentuan yang berbeda. Di suatu negara, ketentuan tentang jadwal pembahasan dan penetapan anggaran negara dapat ditetapkan dalam Undang-Undang dasar karena pengaturan tersebut merupakan pengaturan hubungan antarlembaga politik, yaitu legislatif dan eksekutif. Namun di negara lain, termasuk Indonesia karena dianggap lebih bersifat teknis, pemberian waktu tersebut cukup diatur dalam undang- undang. - Keterbatasan lain dalam pembahasan dan penetapan anggaran bagi lembaga legislatif adalah keterbatasan kompetensi. Hal ini tentunya bukan ingin mengatakan bahwa para anggota lembaga yang merupakan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 www.mahkamahkonstitusi.go.id representasi rakyat tersebut tidak memiliki kompetensi untuk melakukan pembahasan terhadap program maupun kegiatan yang diusulkan oleh pemerintah, akan tetapi kompetensi yang dimiliki tidaklah dapat disebandingkan dengan kompetensi para pejabat publik di lingkup eksekutif. Keterbatasan kompetensi tersebut, antara lain disebabkan terutama karena para anggota legislatif adalah politisi yang tidak berkecimpung di dalam bidang-bidang yang menjadi objek pembahasan. - Selanjutnya, keterbatasan yang juga sering dipermasalahkan pada lembaga legislatif adalah keterbatasan di bidang pendidikan. Seperti halnya keterbatasan kompetensi, keterbatasan pendidikan ini juga terkait dengan kemampuan individu para anggota lembaga legislatif. Tentunya sebagaimana telah dikemukakan di atas, sudah disadari bahwa para anggota legislatif merupakan politisi yang lebih memfokuskan perhatiannya kepada masalah-masalah politik dan hukum. - Pemberian alokasi dana lembaga legislatif untuk suatu kegiatan diusulkan oleh lembaga eksekutif pada prinsipnya adalah definitif. Namun dalam hal- hal tertentu, pemerintah baru dapat menyampaikan rencana kegiatan dalam bentuk global tanpa mampu memberikan rincian kegiatan yang lebih detail. Dalam situasi seperti ini, sebenarnya lembaga eksekutif telah menempatkan lembaga legislatif dalam situasi yang sangat sulit. Untuk mengatasi situasi tersebut, kemudian ditempuhlah suatu langkah yaitu memberikan otorisasi anggaran dalam bentuk alokasi yang bersifat kondisional. - Selanjutnya tentang penerapan konsep pengelolaan keuangan sebagaimana dikemukakan dalam bagian terdahulu. Di Indonesia dapat ditelusuri sebagai berikut. - Pertama, hak budget dalam Undang-Undang Dasar 1945. Berbeda dengan undang-undang dasar beberapa negara termasuk Republik Indonesia Serikat yang mengatur hubungan politik antara lembaga legislatif dan eksekutif di bidang keuangan negara secara rinci, Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur masalah tersebut dalam suatu ayat yaitu dalam Pasal 23 ayat (1) yang dituangkan dalm Bab VIII. Hal ini tampaknya terkait dengan pemikiran awal para penyusun bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dalam format yang singkat, akan tetapi harus fleksibel. Implementasi budget dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 www.mahkamahkonstitusi.go.id sebagai konsekuensi sifat Undang-Undang Dasar 1945 yang singkat, khususnya dalam pengaturan masalah keuangan negara mengharuskan adanya ketentuan lain yang tingkatannya lebih rendah yang mengatur secara lebih rinci berbagai prinsip maupun berbagai aspek dalam masa tersebut. Di samping itu, tampaknya perlu dipahami bahwa secara prinsip Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur ketentuan dasar dan tidak bersifat operasional. - Praktik ketaatan negara di Indonesia khususnya di bidang penyusunan anggaran negara boleh dikatakan cukup unik, praktik ini tidak terlepas dari dasar filosofis bangsa Indonesia yang menginginkan cara hidup yang demokrasi dengan cara yang berbeda dibandingkan negara-negara demokrasi di belahan barat. Kendala waktu yang secara teori merupakan hambatan yang tidak terhindarkan dalam pembahasan usulan anggaran di lembaga legislatif disikapi dengan cara sederhana dan penuh kekeluargaan. Namun ditinjau dari aspek hukum keuangan negara, konvensi tersebut akan menimbulkan ganjalan dan akan tetap menyisihkan beberapa pertanyaan. - Sebagaimana dikemukakan yaitu apakah tahapan pembicaraan pendahuluan dimaksud merupakan tahapan administratif ataukan merupakan tahapan politik? Selanjutnya, apakah keputusan dibuat dalan pembicaraan pendahuluan tersebut mengikat kedua belah pihak ataupun tidak? - Berbagai pertanyaan tersebut perlu dikemukakan mengingat bahwa setelah selesai proses interaksi dalam masa pembicaraan pendahuluan tersebut, kementerian lembaga baru akan melaksanakan pembahasan anggaran dengan Kementerian Keuangan selaku pengelola fiskal budget authority . Hal ini menunjukkan bahwa hingga tahapan ini mestinya masih merupakan tahapan administratif. - Selanjutnya pertanyaan yang harus dijawab adalah kenapa ada pembintangan di dalam alokasi anggaran? Dengan memperhatikan maksud dan substansi pemberian otorisasi parlemen yang bersifat kondisional, praktik semacam itu dilakukan pula dalam sistem pengelolaan anggaran di Indonesia. Praktik pemberian alokasi kondisional tersebut di Indonesia dilakukan dengan membubuhkan tanda bintang pada alokasi anggaran yang bersangkutan. Pemberian tanda bintang ini pada prinsipnya untuk Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 www.mahkamahkonstitusi.go.id memberi perhatian kepada kementerian lembaga yang bersangkutan bahwa alokasi anggaran tersebut tidak dapat direalisasikan kecuali terpenuhi syarat yang telah ditetapkan pada saat penetapan Undang-Undang APBN oleh lembaga legislatif. - Berikutnya adalah terkait dengan masalah perubahan anggaran. Beranjak dari kelemahan sebagaimana dijadikan alasan lahirnya pemikiran tentang perubahan anggaran seperti yang diungkapkan di bagian-bagian sebelumnya, praktik perubahan anggaran dalam pengelolaan anggaran di Indonesia pun tidak dapat dihindarkan. - Berbeda dengan ide dasar yang seharusnya dijadikan acuan praktik di Indonesia ternyata jauh menyimpang. Berbagai pihak membuat penafsiran secara inkontekstual terhadap makna termonologi perubahan itu sendiri. Berbagai pihak-pihak tidak menggunakan filosofi maupun konsepsi disiplin ilmu hukum keuangan negara, ketika memutuskan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dengan tanpa mengindahkan maksud dan tujuan perubahan itu sendiri, dari sudut filosofi maupun konsepsi disiplin ilmu hukum keuangan negara, berbagai pihak berpendapat bahwa perubahan undang-undang adalah merupakan sebagian isi Undang-Undang itu sendiri. Oleh karena itu dengan cara pikir salah tersebut, perubahan Undang-Undang APBN bukan dilakukan dengan cara mengkoreksi kegiatan yang telah ada melainkan dilakukan dengan mengganti kegiatan yang ada dengan kegiatan baru atau dengan jalan menambahkan kegiatan yang sama sekali belum pernah ada. - Berikutnya tentang keberadaan dan kewenangan badan anggaran dewan perwakilan rakyat. Ditinjau dari sudut hukum keuangan negara secara kelembagaan keberadaan badan anggaran DPR dan komisi dalam pengelolaan keuangan negara di sisi politis yaitu dalam penyusunan dan penetapan anggaran sebagai pokok poin lembaga perwakilan rakyat sangat penting. Oleh karena itu, keberadaan lembaga tersebut menurut Undang- Undang sudah sesuai dengan kebutuhan. Praktik yang berkembang yang didorong oleh kepentingan individu seyogianya tidak dijadikan pembenaran untuk melakukan penghapusan lembaga itu sendiri. Namun demikian berbagai ketentuan terkait yang melatarbelakangi kepentingan individu seharusnya dihapuskan. Hal ini terkait dengan hak budget DPR yang justru Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 www.mahkamahkonstitusi.go.id selalu memicu perdebatan antara badan anggaran dan komisi sektoral yaitu berupa kewenangan lembaga legislatif untuk dapat mengajukan usul yang dapat mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan maupun pengeluaran dalam RUU APBN terkait dengan pembahasan program kegiatan bersama kementerian lembaga. - Kedua tentang kewenangan DPR untuk membahas APBN secara terperinci. Persetujuan lembaga legislatif terhadap APBN harus dalam format yang sangat rinci. Hal ini didasarkan pada prinsip spesialitas anggaran yang pada hakikatnya memudahkan lembaga legislatif untuk mengawasi atau mengedalikan pemerintah agar tidak melakukan penyimpangan terhadap penggunaan alokasi anggaran. Rinci atau tidaknya penetapan anggaran memang sangat tergantung kepada kebutuhan dan kultur masing-masing negara. Namun sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa efektivitas pengawasan lembaga legislatif terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara berbanding terbalik dengan rinci tidaknya anggaran yang ditetapkannya, artinya semakin rinci anggaran yang ditetapkan akan semakin efektif dan mudah bagi DPR untuk melakukan pengawasan dan semakin sulit lembaga eksekutif melakukan penyimpangan terhadap persetujuan yang telah diberikan. - Sebaliknya, bila alokasi anggaran diberikan tidak cukup rinci atau bahkan dalam bentuk global akan semakin sulit aspek pengawasan yang dilakukan oleh lembaga legislatif. Pemberian alokasi yang bersifat tidak rinci akan memberikan kemungkinan bagi lembaga eksekutif untuk melakukan penyimpangan terhadap persetujuan yang telah diberikan oleh lembaga legislatif karena berbagai penafsiran. Pemberian persetujuan yang tidak rinci seolah-olah dapat diibaratkan bahwa lembaga legislatif memberikan cek kosong kepada pihak lembaga eksekutif. Namun demikian ketentuan dalam Pasal 15 ayat (6) Undang-Undang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja tidaklah harus disambut dengan euforia yang berlebihan oleh para anggota dewan perwakilan rakyat. - Dua hal perlu diperhatikan dalam masalah ini. Pertama dari sudut kelembagaan bahwa DPR merupakan lembaga pengambil kebijakan atau Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 www.mahkamahkonstitusi.go.id policy making institution bukan lembaga pelaksana. Oleh karena itu lembaga tersebut harus memiliki kemampuan mengambil keputusan yang bersifat makro strategis untuk itu lembaga tersebut harus didukung oleh para anggota yang mampu berpikir konsepsional dan bersifat makro strategis. Kedua dari sudut individu bahwa dengan mengacu pada keterbatasan para anggota DPR sebagaimana dikemukakan di atas para anggota DPR bukanlah individu-individu yang memiliki kemampuan pemikiran yang bersifat mikro teknis sebagaimana layaknya para pejabat di lembaga tersebut. Praktik yang selama ini dilakukan oleh para anggota DPR di berbagai komisi sektoral yang membahas rancangan anggaran kementerian lembaga hingga rincian yang paling detail yaitu proyek maupun kegiatan layaknya para budgeter adalah euforia yang seharusnya segera dihentikan. Euforia tersebut tampaknya bersumber dari ketidakpahaman yang dikombinasikan dengan kepentingan masing-masing individu ataupun fraksi dalam lembaga legislatif. - Pembintangan dan pemblokiran anggaran dari sudut konsepsi langkah yang dilakukan lembaga legislatif justru memberikan kemudahan dan jaminan pendanaan terhadap kegiatan pemerintah yang karena satu dan lain hal belum secara konkret dituangkan dalam keputusan. - Ditiadakannya langkah pemberian tanda bintang terhadap alokasi anggaran dalam keadaan tertentu justru dapat menimbulkan hambatan program kerja lembaga eksekutif. Keempat program dan ruang lingkup pembahasan APBNP. Dari sudut konsep teoritik perubahan terhadap anggaran yang telah ditetapkan bersama antara eksekutif dan legislatif merupakan satu hal yang umum terjadi bahkan akan selalu terjadi. Dalam kaitan ini yang perlu dilakukan adalah membatasi substansi perubahan itu sendiri dengan mengembalikan pada makna yang terkandung dalam gagasan untuk melakukan perbuatan tersebut. - Kesimpulan: bahwa pengaturan hal-hal dalam ketentuan Undang-Undang khususnya Undang-Undang Keuangan Negara yang dimohonkan oleh para Pemohon untuk di-review Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut di atas telah didasarkan pada historis filosofis yang mendasari konsepsi hukum keuangan negara yang sejalan dengan kaidah yang tertuang dalam hukum dasar yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 www.mahkamahkonstitusi.go.id pengaturan dimaksud tidak mengandung kesalahan sehingga tidak perlu dilakukan perubahan. Namun demikian pelaksanaan ketentuan tersebut dalam praktik yang didasarkan pada penafsiran yang kurang tepat yang perlu dilakukan perbaikan agar tidak menimbulkan moral hazard yang didasari pada kepentingan individu, atau penguasa, ataupun kelompok. - Saran: Agar disusun ketetapan supaya DPR sebagai lembaga legislatif lebih memfokuskan pada pemikiran yang bersifat makro strategis dalam penyusunan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara. - Pembahasan APBN hanya terbatas pada capaian di tingkat fungsi dan kelembagaan kementerian. - Rincian yang tertuang dalam RKAKL yang memuat kegiatan dan alokasi anggaran yang sangat rinci agar digunakan sebagai alat uji atau justifikasi bilamana memang diperlukan. - Lingkup perubahan APBN yang natinya dituangkan dalam Undang-Undang APBN-P agar dibatasi kegiatan pada kegiatan yang telah ada dan telah dituangkan dalam undang-undang APBN; - Pemerintah punya waktu sekitar 1 tahun, 12 sampai dengan 16 bulan untuk menyusun anggaran. Sementara Dewan Perwakilan Rakyat itu punya keterbatasan waktu, yaitu semenjak RUU APBN diserahkan, yaitu pertengahan Agustus hingga 31 Oktober atau sama dengan 2,5 bulan. Yang paling penting adalah bahwa sebenarnya pengkaitan antara kerincian anggara di dalam Undang-Undang APBN dibandingkan dengan tingkat pengawasannya itu berbanding terbalik. - Kalau pemerintah itu diberi anggaran dengan cara yang longgar, maka artinya pemerintah itu boleh menafsirkan apa saja ke tingkat yang peling detail. Bahwa ditetapkannya secara rinci itu memberikan batasan karena ada unsur yang atau ada prinsip yang disebut dengan prinsip spesialitas, maka setiap anggaran itu hanya bisa dikeluarkan untuk tujuan sebagaimana sudah ditetapkan. Sehingga dengan demikian, semakin longgar anggaran dalam pemberian alokasinya, artinya pada butir-butirannya itu akan menyebabkan pemerintah itu justru bisa melakukan untuk apa saja. - Bahwa satu keputusan yang sangat rinci akan mempermudah pengawasan, tetapi tidak berarti bahwa dengan merinci itu dominansi itu ada di tangan mereka. Keputusan harus dilakukan secara rinci demi kewenangan di dalam Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 www.mahkamahkonstitusi.go.id melakukan pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Kemudian yang berikutnya adalah perubahan APBN. Kita menyadari APBN itu pasti akan berubah, sampai kapan pun yang namanya APBNP akan selalu ada. Hanya yang harus diperhatikan adalah kapan sebenarnya perubahan itu bisa dilakukan untuk suatu perencanaan yang baik. Anggaran itu akan dilaksanakan minimal setengah jalan. Oleh sebab itu, selalu dikatakan APBNP diajukan setelah 1 semester, dan 1 semester itu artinya setelah bulan Juni. Sehingga waktunya tinggal 6 bulan berikutnya ditambah dengan pembahasan-pembahasan, artinya tinggal 2-3 bulan. - Praktik yang berkembang sekarang di Indonesia adalah pemikiran melakukan perubahan anggaran itu dalam pengertian undang-undangnya yang diubah. Sehingga isinya boleh apa saja, sebagaimana tadi disampaikan kegiatan baru yang kemarin lupa atau belum sempat dipikirkan, dituangkan di situ. Padahal waktu yang tersisa tinggal 2-3 bulan. Dalam konsep teoritiknya, perubahan itu hanya boleh dilakukan terhadap sesuatu yang sudah pernah diusulkan, kecuali untuk kondisi-kondisi yang sangat luar biasa, kondisi darurat misalnya. Tetapi di luar itu yang disebut dengan APBNP harus berkaitan dengan sesuatu yang sudah ada karena terkait dengan ketidakmampuan, ketidakcermatan di dalam menyusun formula ataupun asumsi yang ada. Sehingga diperlukan ada perubahan- perubahan dalam volume, perubahan-perubahan dalam harga, perubahan- perubahan dalam penghitungan. - Hubungan eksekutif dan legislatif pada hakikatnya pembuatan kesepakatan dalam kondisi yang setara hanya di sana dikatakan, kesetaraan yang tidak setara. Karena lembaga legislatif adalah wakil rakyat. Eksekutif kemudian meminta uang. Permintaan uang inilah yang mengatakan berapa besarannya dan masyarakat akan memberikan izin, sehingga sebenarnya tidak terlihat di sini ada pengertian dominasi dan tidak dominasi, tapi apapun yang terjadi namanya lembaga legislatif mempunyai level yang lebih tinggi. Oleh sebab itu tidak salah kalau Undang-Undang Dasar 1945 pun mengatakan dalam hal penyusunan anggaran lembaga legislatif memiliki kekuatan atau level yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemerintah. Artinya dia memberikan persetujuan, dan di dalam prinsip unteoritas Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 www.mahkamahkonstitusi.go.id pemerintah tidak akan pernah bisa melaksanakan kegiatannya tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ahmad Erani Yustika - Pemerintah pada umumnya memiliki dua instrumen yang penting, yakni instrumen fiskal APBN dan instrumen moneter. Dalam instrument fiskal inilah kita harus memastikan bahwa APBN yang dikelola oleh pemerintah benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. - Dalam salah satu agenda untuk membuat dan memastikan bahwa APBN yang dikelola oleh pemerintah itu betul-betul nantinya bermanfaat bagi masyarakat, maka DPR diberi kewenangan yang sangat luas untuk melakukan fungsi anggaran di luar fungsi pokok lainnya, yakni legislasi dan pengawasan. - Tidak ada celah untuk bisa menegasikan fungsi DPR untuk melakukan tugas dalam penganggaran ini, dan ini dijamin oleh Undang-Undang. Sekaligus dengan adanya fungsi anggaran DPR, maka DPR memiliki ruang yang sangat besar untuk terlibat dalam proses perumusan anggaran, dalam hal ini APBN. - Inilah yang sekarang ini menjadi bahan perdebatan karena dalam beberapa hal khususnya di level praktiknya, perumusan anggaran seperti yang diharapakan itu tidak sesuai dengan kenyataan, khususnya ketika DPR dan pemerintah melakukan koordinasi dan negoisasi untuk banyak aspek termasuk di dalam program pembangunan disini sudah didapatkan satu kejelasan bahwa fungsi penganggaran ini penting dan harus dimanfaatkan oleh DPR. - Bahwa keterlibatan DPR dalam perumusan anggaran itu adalah turut serta dalam menentukan politik anggaran dan ini yang sudah hilang pada saat berbicara mengenai fungsi perumusan anggaran DPR di dalam pembahasan APBN. - Selama ini yang terlihat pembahasan APBN itu lebih pada level yang sangat teknis berbicara mengenai program nanti dialokasikan untuk proyek-proyek seperti apa dan seterusnya. Tanpa diketahui sebetulnya substansi politik Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 www.mahkamahkonstitusi.go.id anggaran yang sudah dijalankan oleh pemerintah maupun DPR dalam anggaran yang akan datang itu wujudnya semacam apa. Inilah yang hilang. - Makna perumusan anggaran dalam konteks ini ahli maknai sebagai keikutsertaan parlemen untuk menentukan politik anggaran. Di dalam APBN itu ada banyak fungsi, tetapi tiga hal yang sangat penting dari APBN adalah fungsi stabilisasi, alokasi, dan distribusi. - Pada tiga hal inilah politik anggaran yang disampaikan oleh DPR itu harus nampak. Pada sisi stabilisasi politik anggaran yang diinginkan oleh DPR untuk menanggapi rancangan yang disampaikan DPR harus muncul. Demikian juga untuk alokasi. - Sebagai ilustrasi, jika pemerintah menyampaikan bahwa pembangunan Indonesia bagian timur tetinggal dibandingkan dengan pembangunan Indonesia bagian barat, maka anggaran seperti apa yang menunjukkan adanya alokasi untuk pembangunan Indonesia di bagian timur? Ini ilustrasi bagaimana alokasi itu mesti ada juga ada politik anggarannya. Bukan sekedar uang atau anggaran dibagi-bagi secara merata antarwilayah. - Dan yang ketiga adalah distribusi. Ketika misalnya pertumbuhan ekonomi hari ini tumbuh cukup tinggi, tapi di sisi lain diimbangi bahkan diikuti dengan ketimpangan pendapatan yang makin besar, maka fungsi distribusi seperti apa yang hendak dijalankan oleh pemerintah. Ruang semacam ini terbuka lebar bagi parlemen untuk melakukan tanggapan-tanggapan semacam itu. - Dengan demikian, fungsi anggaran dalam konteks ini pada titik ini adalah bagaimana parlemen memformulasikan politik anggaran, sehingga ketika berhadapan dengan pemerintah, itu memiliki pandangan yang kira-kira bisa “diadu” siapa yang lebih memiliki keberpihakan kepada masyarakat dalam menjalankan amanat pemanfaatan APBN tadi. - Secara definitif politik anggaran bisa diambil dari berbagai macam sudut pandang. Menurut ahli, yang pertama politik anggaran itu mestinya harus diihat sebagai bahwa APBN itu merupakan instrumen ideologis dan bukan sekadar instrumen teknokratis. - Artinya, konstitusi yang memiliki pesan-pesan penting itu tadi, secara ideologi harus termaktub di dalam fungsi stabilisasi, alokasi, maupun distribusi APBN. Jangan sampai kemudian kita memiliki dasar negara, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 www.mahkamahkonstitusi.go.id mempunyai konstitusi yang berbeda dengan negara lain, tetapi format dan alokasi APBN itu sama saja dengan negara-negara tersebut. - Oleh karena itu, makna bahwa APBN itu sebagai politik anggaran itu pertama-tama harus ada cantolan di konstitusi maupun ideologi. - Pemerintah dan DPR selalu mengkonseptualisasikan anggaran defisit, tetapi dalam kenyataannya, itu dibangun di atas dua hal yang sama-sama eksis. Yang pertama adalah adanya inefisiensi dalam alokasi belanja, ada pemborosan, ada korupsi, marked up , dan seterusnya. Di sisi lain, ada inoptimalisasi penerimaan yang bisa dilihat dari tax ratio yang sangat rendah, kebocoran pajak, dan seterusnya, maupun pendapatan negara untuk pajak. - Di dalam teks mana pun, literatur mana pun, tidak ada kesalahan untuk mendesain anggaran defisit. Hanya kalau itu dilakukan di atas alas inefisiensi belanja dan inoptimalisasi penerimaan, maka itu secara moral, tidak absah. Ini penting untuk digarisbawahi dan politik anggaran berimbang harus dimaknai tadi itu bahwa selama memang sudah ada optimalisasi penerimaan dan efisiensi belanja, maka kekurangan itu boleh diambilkan dari sumber yang lain. Tetapi selama itu tidak diperbolehkan, maka anggaran defisit itu batal secara moral. - Yang ketiga adalah spirit keadilan. Penting untuk dipahami karena seluruh napas konstitusi kita berbicara mengenai aspek ini. - Kemudian, terdapat suatu kenyataan bahwa APBN dari sisi program- programnya, alokasi, hampir sama dari waktu ke waktu. Padahal, persoalan ekonomi yang muncul misalnya, itu ada perubahan-perubahan yang mendasar. Kalau dilihat alokasi persentase APBN dari tahun 1999 misalnya, pascakrisis ekonomi besar tahun 1997-1998 dengan hari ini, maka relatif sama. Padahal persoalan-persoalan dijumpai itu, sudah ada perbedaan. Mestinya APBN itu harus bisa beradaptasi, mengakomodasi persoalan- persoalan yang muncul, perubahan-perubahan yang terus terjadi tadi. - Yang terakhir adalah bahwa APBN harus menyantuni, harus menafkahi seluruh kewajiban yang dipenuhi dalam bentuk undang-undang. Sampai hari ini misalnya, APBN itu belum pernah bisa memenuhi mandat dalam Undang-Undang Kesehatan, di mana 5% dari anggaran itu dipakai untuk Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 www.mahkamahkonstitusi.go.id kesehatan. Selama ini masih sekitar di bawah 2,5%. Dari aspek itu, maka ada ketimpangan dalam memanfaatkan itu. - Ada dua hal, sebetulnya, bagi pemerintah untuk mendesain APBN. Yang pertama, yang disebut sebagai sistem anggaran konvensional ( conventional budgeting system ). Dalam model ini, pemerintah biasanya akan menentukan terlebih dahulu anggaran patokan selainnya. Misalnya pada tahun ini, pemerintah sudah menyiapkan RAPBN Tahun 2014. Yang dilakukan oleh pemerintah ialah menyiapkan dulu baseline anggarannya. Biasanya memakai patokan anggaran tahun 2013. Setelah itu, baru akan ditambahkan oleh empat faktor berikut ini. Yang pertama adalah inflasi. Misalnya, diasumsikan inflasi tahun depan katakanlah, 5%-6%, maka anggaran akan ditambah dengan 5%-6%. - Yang berikutnya, ada program-program inisiatif baru yang biasanya tidak terlalu banyak. Misalnya tahun 2014, pemerintah melihat ada problem krisis ekonomi yang belum selesai, akan ditambahkan untuk mencegah krisis; - Berikutnya adalah cash load programme , jadi untuk beban anggaran wajib, seperti Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Pendidikan, misalnya 20% dari APBN. Baru yang terakhir, induksi perubahan kebijakan untuk beberapa hal yang pokok. Apabila sebafai contoh, pemerintah berpikiran bahwa tahun depan, akibat dari adanya kenaikan harga BBM ini, dirasakan perlu untuk membantu beberapa kelompok masyarakat, misalnya UMKM, atau kelompok miskin lainnya, dilanjutkan dengan BLSM maupun yang lain, maka akan disampaikan di sini. Kurang-lebih, inilah model penyusunan anggaran konvensional yang ada. - Model yang kedua adalah memakai prinsip priority based budgeting system . Di dalam model ini, pemerintah fokus kepada output-nya dan tidak pada sumber dayanya seperti yang konvensional tadi itu. Pemerintah tidak melihat terlebih dahulu kira-kira anggaran yang dimiliki, sumber daya yang dipunyai seperti apa, caranya tetapi fungsi utama pemerintah, khususnya dalam perekonomian itu disusun terlebih dahulu, apakah pemerintah harus melakukan intervensi pada seluruh urusan ekonomi, atau hanya sekedar beberapa aspek terkait dengan mandat konstitusi, misalnya itu dirumuskan oleh pemerintah. Baru, apabila fungsi utama tadi itu sudah dirumuskan, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 www.mahkamahkonstitusi.go.id maka pemerintah bergerak kepada level berikutnya, yakni menyusun program kepada prioritas yang ingin ditangani. - Ahli mengharapkan agar pemerintah lebih banyak mengadopsi kepada anggaran berbasis prioritas, meskipun kebetulan dalam beberapa hal sebagaian sudah dijalankan oleh pemerintah. Kalau kemudian ini dilakukan, maka sebetulnya DPR itu nanti akan lebih banyak fokus untuk mengindentifikasi fungsi yang mesti dijalankan oleh pemerintah tadi itu, dengan menggunakan APBN. Jadi, badan anggaran berbicara mengenai narasi-narasi besar tidak terjebak kepada program-program sangat detail yang jumlahnya ribuan, sehingga itu menutup isu besar yang disebut politik anggaran; - Masalah-masalah strategis, persoalan-persoalan prioritas itulah yang diharapkan hidup dibunyikan oleh parlemen badan anggaran. Misalnya isu mengenai ketimpangan pendapatan yang sekarang makin meningkat, kebutuhan reforma agraria karena petani kita lahannya makin lama makin sempit, sehingga mereka tidak bisa meningkatkan level kesejahteraannya. Kemudian apakah kebijakan perpajakan kita selama ini sudah sesuai dengan semangat keadilan sosial. Itu yang mestinya disampaikan, yang dinegosiasikan, didesakan oleh anggota parlemen lewat badan anggaran, kalau kemudian itu tadi yang dilakukan. - Ketiga. Sebagian besar dari isu strategis tadi, sebetulnya terpantul dari asumsi makro ekonomi yang ada di dalam pembukaan APBN, asumsi makro ekonomilah sebetulnya itu yang menjadi dasar terpenting dari yang disebut dengan politik anggaran tadi itu, dari tahun ke tahun asumsi makro ekonomi itu hanya berbicara pada hal-hal seperti: pertumbuhan ekonominya berapa, inflasinya berapa, tingkat suku bunganya berapa, nilai tukarnya berapa, ICP-nya berapa, berapa barell minyak, gas dan seterusnya. Tapi tidak pernah mencoba untuk melakukan hal yang lain. Bahkan kerap kali asumsi makro ekonomi itu tidak didasari oleh hal yang sama tapi sekedar negosiasi antara parlemen dan pemerintah, sebagai contoh, baru saja disetujui RAPBN-P Tahun 2013. Pemerintah ingin pertumbuhan ekonomi 6,2%, parlemen berharap agar itu bisa 6,5%. Akhirnya ada perbedaan, negosiasi, ditetapkan 6,3%. Dasar 6,3% itu hanya negosiasi saja tanpa ada dasar teknokratis untuk melakukan itu, sehingga wajar saja kalau kemudian Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 www.mahkamahkonstitusi.go.id asumsi makro ekonomi itu banyak meleset. Pengalaman di negara lain, asumsi makro ekonomi itu diberikan kepada orang atau lembaga yang lebih kredibel secara akademik, misalnya di Belanda ada biro perencanaan, di Australia itu diserahkan kepada para ekonom yang ditunjuk oleh pemerintah dan memiliki kredibilitas. Kemudian di Amerika Serikat diserahkan kepada Congressional Budget Office . Kanada itu diberikan kepada sektor privat, di Chili bahkan NGO yang diberi mandat untuk memfasilitasi para ekonom yang dianggap memiliki kredibilitas untuk menyampaikan pandangan mengenai asumsi makro ekonomi, dan itulah yang diambil oleh pemerintah. Itu untuk menghindari agar asumsi makro ekonomi itu tidak terlalu dibebani dengan aspek-aspek yang sangat politisi sekali, sehingga itu nanti di lapangan tidak banyak bisa dicapai, dan itu menganggu kredibilitas pemerintah baik dari kacamata luar negeri maupun investor domestik. - Perubahan APBN secara teknis, secara teoritis masih dimungkinkan untuk bisa dilakukan, hanya memang harus ada indikator-indikator yang terukur, sebelum tahun 1998-1999, jarang sekali ada APBN perubahan, tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini hampir selalu itu menjadi tradisi pemerintah dan DPR melakukan APBN perubahan tadi itu. - Melihat urgensi dari APBN perubahan itu sebetulnya tidak terlalu kuat, kecuali kalau misalnya ada kasus-kasus tertentu katakanlah turbulensi ekonomi yang membuat seluruh ini tadi itu bisa dilakukan. Tetapi beberapa hal terakhir ini ahli melihat bahwa APBNP itu harus dilakukan karena lemahnya pemerintah dalam menyusun secara kredibel asumsi makro ekonomi. Sebetulnya akhir tahun yang lalu misalnya, pertumbuhan ekonomi itu hampir semua lembaga-lembaga internasional maupun lembaga kajian domestik menyampaikan bahwa paling tinggi pertumbuhan ekonomi hanya pada level 6,4% setahun ini. Tapi pemerintah tanpa diketahui berdasarkan negosiasi dengan DPR atau karena faktor apa, memberikan 6,8% dan begitu selesai triwulan pertama, diumumkan pertumbuhan ekonomi 6,02%, pemerintah terkesan panik, Sekarang dibikin, bertujuan untuk asumsi makro ekonomi pada angka 6,3%. Menurut ahli angka itu berat untuk dicapai, kalaupun dapat 6,1% saja. Perubahan APBN poinnya adalah bahwa itu harus dilakukan seandainya ada indikator-indikator terukur. Ahli sebutkan di Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 www.mahkamahkonstitusi.go.id sini boleh dilakukan seandainya ada indikasi nantinya batas defisit fiskal akan terlampaui, misalnya dengan menggunakan konsesus 3%. - Yang kedua, kalau misalnya ada masalah dengan keseimbangan primer antara penerimaan dikurangi dengan pengeluaran di luar utang luar negeri. Atau misalnya pertumbuhan ekonomi yang melesat, perbedaannya menjadi terlalu jauh. Tapi semuanya itu harus ada ukuran-ukuran yang pasti. Dengan menggunakan itu, maka perubahan APBN akan memiliki dasar yang kuat dan tidak dimungkinkan nanti akan muncul beberapa persoalan- persoalan moral hazard yang selama ini sering terjadi, misalnya seperti kasus TPIID yang beberapa waktu itu terjadi. - DPR harus dipahami sebagai institusi politik, lembaga politik yang tidak dalam banyak hal tidak memungkinkan untuk berbicara untuk berkerja dalam level yang sangat teknis. Apalagi ditambah dengan kenyataan ada time constraint, compentence constraint, dan seterusnya itu lebih tidak memungkinkan lagi mereka melakukan itu. - Bahwa kalau dlihat dari postur parlemen tadi, ditambah dengan beberapa concern tadi maka yang harus diperjuangkan oleh DPR dalam hal APBN inilah politik anggarannya. Jika itu sudah bisa dilakukan, maka akan mengubah secara mendasar dalam banyak hal. - Yang kedua, mengenai level yang sangat detail, program yang sangat terinci, maka itu akan paralel dengan konvensional budgeting system . Tetapi kalau berbicara atau pemerintah sudah mengadopsi periodic types budgeting yang orientasi ke output , maka fungsi DPR adalah melihat output - nya seperti apa, konsentrasinya ke sana, dan DPR memungkinkan untuk melakukan itu. Oleh karena itu asumsi makro ekonomi kan bagian dari output yang diharapkan. Kalau kemudian asusmsi makro ekonomi itu ternyata dalam realisasinya jauh sekali dibandingkan perencanaan, maka ada masalah banyak di situ, itulah yang harus dimasuki oleh DPR. - Rincian-rincian, program-program, dan seterusnya itu urusan lembaga yang lain kalau berbicara mengenai aspek efesiensi/efektivitas ada BPK dan seterusnya yang akan masuk ke sana. Mengenai APBN Perubahan, substansinya adalah dalam perencanaan pasti akan ada pergeseran dalam implementasi, tetapi apakan kemudian perencanaan harus dilakukan revisi di tengah perjalanan? Itu soal yang berbeda. Artinya misalnya ahli selama Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 www.mahkamahkonstitusi.go.id ini banyak bersinggungan dengan pekerjaan Bank Indonesia, dan mereka juga menyusun recana anggaran baik untuk kebijakan moneter maupun operasional. Hampir semuanya juga tidak bisa sesuai rinci dengan perencanaan, tetapi selama perubahan-perubahan tadi itu tidak mengganggu hal-hal yang mendasar, maka sebetulnya tidak diperlukan. Tinggal DPR nanti melakukan eveluasi antara perencanaan dan realisasi tidak sesuai masalahnya di mana? Itu akan menjadi perbaikan dalam negosiasi di masa yang akan datang itu ininya. - Atau yang kedua, perubahan APBN menyangkut kepada isu yang terkait dengan aspek-aspek yang strategis di asumsi makro ekonominya. Misalnya diubah asumsi pertumbuhan ekonomi dari 6,8% menjadi 6,3% sekarang. Tetapi rincian-rincian, gerbong-gerbong di balakangnya, proyek-proyek, dan lain sebagainya itu tidak perlu, kecuali dalam hal terjadi peristiwa ekonomi yang sangat besar seperti krisis ekonomi atau sejenisnya;
Ari Dwipayana - Demokrasi hari ini telah mencapai titik yang tidak mungkin kembali, Indonesia memilih jalan demokrasi sebagai pilihan sadar untuk mewujudkan pemerintahan dari, oleh, dan untuk mencapai kehendak rakyat. Dengan demikian demokrasi seharusnya dimaknai bukan semata-mata berhenti pada keberadaan pemerintahan yang dibentuk atas mandat elektoral rakyat secara prosedural oleh pemilihan umum. Demokrasi juga bukan sekedar diukur dari keberadaan institusi formal yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas nama rakyat. Namun demokrasi memiliki makna yang jauh lebih dalam sebagai jembatan emas untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. - Kehendak untuk mewujudkan kesejahteraan melalui jalan demokrasi, tentu bukan sesuatu yang mudah. Karena harus disadari bahwa demokrasi selalu memiliki sisi gelap. Berbagai studi empirik tentang demokrasi memperingatkan bahwa sisi gelap demokrasi itu ditandai dengan hadirnya fenomena korupsi politik di mana kekuasaan formal yang diperoleh melalui prosedural demokratis dimanfaatkan dan didayagunakan untuk melakukan aksi perburuan rente atau rent-seeking terhadap sumber dana negara maupun dimanfaatkan untuk memperdagangkan otoritas dan pengaruh. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 www.mahkamahkonstitusi.go.id Studi yang dilakukan oleh John Girling tahun 1997, Kang tahun 2002, dan Michael Johnston tahun 2005 memberikan gambaran sebagaimana fenomena political corruption, legalise corruption, atau lebih spesifik lagi political party corruption justru masih mendapatkan peluang dalam sistem dan institusi demokrasi yang sedang berkembang. - Singkatnya, ketiga studi itu meyakini bahwa korupsi politik bukan semata- mata persoalan moral individual, melainkan problem yang melekat dalam struktur peluang politik yang tersedia. Sehingga dalam banyak hal kehadiran struktur peluang itulah yang justru menyebabkan korupsi menjadi fungsional. - Berpijak pada pandangan sejumlah ahli di atas, fokus perhatian bersama seharusnya ditujukan pada upaya melihat kembali faktor pendorong dan struktur peluang politik yang memungkinkan tindakan perburuan rente atau korupsi politik itu bisa terjadi. Di sini ahli melihat arti penting dan urgensi apa yang disampaikan oleh Pemohon dalam permohonan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan negara dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 terhadap Undang- Undang Dasar 1945. - Pertanyaan pertama dan terutama adalah apa yang menjadi faktor pendorong dari maraknya perburuan rente dalam sistem demokrasi multipartai saat ini. Beberapa studi menunjukan bahwa faktor utama yang menjelaskan aksi perburuan rente adalah strategi partai untuk mencari pendanaan alternatif di tengah krisis finansial yang dihadapi partai-partai dalam konteks sistem demokrasi multipartai kompetitif. Dalam menghadapi proses kompetisi politik yang semakin berbiaya tinggi, partai-partai mengalami kesulitan untuk menggalang sumber pendanaan partai dari internal baik berbentuk iuran atau donasi anggota partai, sehingga tidak ada pilihan lain untuk mencari sumber pendanaan alternatif pada sumber- sumber eksternal. - Pada saat yang bersamaan, subsidi negara pada partai yang sering disebut bantuan keuangan partai politik yang merupakan dana resmi dari APBN atau sering disebut dengan dana budgeter cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Selain itu partai-partai juga dibatasi ruang geraknya sehingga tidak bisa mencari dana sendiri melalui badan usaha Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 www.mahkamahkonstitusi.go.id milik partai. Akhirnya sumber dana partai yang tersisa hanya dua sumber eksternal, yaitu donasi dari kelompok-kelompok bisnis baik perorangan maupun korporasi maupun melalui penggalangan sumber dana negara ilegal yang juga sering disebut sebagai penggalangan dana non-budgeter . - Dalam latar belakang seperti itu, partai-partai yang dalam Pemilu bersaing satu dengan yang lainnya, selanjutnya mempunyai kepentingan yang sama untuk menggalang sumber pendanaan alternatif melalui pendayagunaan kekuasaan formal di pemerintahan atau yang sering disebut dalam istilah ilmu politik, studi kepartaian sebagai partai in-public office baik di ranah eksekutif maupun di legislatif. Dengan demikian, kadar partai yang menduduki posisi strategis di parlemen, dalam hal ini wajah partai di public office menjadi sumber dana alternatif yang sangat penting. - Penelitian yang pernah ahli lakukan menggambarkan bahwa donasi yang dikumpulkan dari anggota DPR bukan semata-mata iuran atas kebijakan partai, melainkan donasi informal terhadap kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh partai. Mulai dari kegiatan fraksi, sayap partai, biaya konsolidasi, biaya pemenangan Pilkada, subsidi pada organisasi cabang partai di daerah serta biaya konstituen. - Berbagai jenis donasi informal ini kemudian menimbulkan ketimpangan antara penghasilan sebagai anggota DPR dengan berbagai jenis pengeluaran untuk kegiatan partai. Hal inilah yang kemudian ditutupi dengan bekerjanya praktik high rent-seeking . Fenomena semakin banyaknya donasi dan munculnya rent seeking ini seringkali menjadi wilayah “abu-abu”. Karena partai tidak pernah secara formal menginstruksikan pada anggota DPR untuk menggalang sumber dana untuk partai. Namun elit pengendali partai di central office memberikan semacam penugasan pada orang-orang “kepercayaan”. Atau sering disebut dalam istilah studi-studi politik dan juga kepartaian dan juga fenomena political corruption sebagai proksi untuk menduduki posisi strategis di DPR seperti badan anggaran, pimpinan komisi, dan alat kelengkapan lainnya. Dan orang-orang yang telah diberi kepercayaan itu memiliki tanggungan untuk menghidupi partai dan membiayai aktivitas partai seperti yang diminta oleh elit partai yang menugaskannya. Singkatnya, para proksi itulah ketika diberi kepercayaan untuk menduduki posisi strategis. Artinya, pada saat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 www.mahkamahkonstitusi.go.id yang bersamaan mengemban tanggung jawab membiayai aktifitas-aktifitas yang diselenggarakan oleh partai. Hal inilah selanjutnya memunculkan fenomena perburuan rente melalui upaya pemanfaatan kewenangan formal yang dimiliki sebagai anggota DPR baik kuasa legislasi, kuasa penganggaran, kuasa pengawasan, maupun kuasa dalam rekrutmen pejabat publik. - Dalam konteks krisis finansial yang dihadapi oleh partai politik seperti digambarkan di atas yang mendorong partai-partai untuk menggalang sumber pendanaan alternatif dari dana non budgeter negara, maka struktur peluang justru muncul dari sistem dan desain kelembagaan di lembaga perwakilan itu sendiri yang membuka ruang lebar bagi aksi perburuan rente itu bisa terjadi. - Ada beberapa struktur peluang politik yang bisa diidentifikasikan dengan jelas. Pertama adalah keberadaan kelembagaan yang berkarakter oligarkis dalam sebuah institusi representasi politik. DPR memang memiliki alat kelengkapan seperti komisi-komisi yang menjalankan fungsinya mulai dari fungsi legislasi, penganggaran, pengawasan, dan rekrutmen pejabat publik. Namun dalam konteks menjalankan fungsi penganggaran, justru muncul badan anggaran yang mewujud menjadi lembaga suprakomisi yang memiliki kewenangan yang sangat kuat. - Badan anggaran bukan semata-mata sebagai institusi ad hoc yang menjalankan fungsi sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja anggaran kementerian dan lembaga, melainkan telah berkedudukan sebagai institusi yang bersifat tetap dan mempunyai kewenangan mambahas rancangan Undang-Undang tentang APBN bersama presiden yang dapat diwakili oleh menteri. - Dengan demikian, badan anggaran dapat berperan seperti lembaga suprakomisi-komisi dalam membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN. Dalam posisi sebagai lembaga suprakomisi seperti itu, tidak aneh kemudian badan anggaran telah menjadi arena yang sangat strategis bagi partai-partai dalam menempatkan orang-orang kepercayaannya dalam proses penggalangan dana politik. Indikasinya sederhana, partai-partai cenderung menempatkan bendahara partai atau anggota-anggota partai yang dipandang bisa bermain anggaran di badan anggaran. Indikasi lain, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 www.mahkamahkonstitusi.go.id bisa diperlihatkan melalui kasus-kasus yang menjerat anggota Badan Anggaran DPR-RI yang menunjukkan kekuasaan yang dimiliki oleh badan anggaran yang sangat besar dan bahkan bisa menentukan mata anggaran dalam APBN yang belum dibahas di komisi-komisi. Ini mempertegas kembali bahwa keberadaan institusi yang berkarakter oligarkis akan menciptakan peluang bagi aksi perburuan rente. - Struktur peluang politik yang kedua, terkait dengan soal kewenangan DPR untuk membahas APBN secara terperinci, praktik pembintangan dan ruang lingkup pembahasan APBN perubahan. Kekuasaan untuk membahas secara terperinci membuat DPR bukan hanya memiliki kewenangan yang bersifat makrostrategis, melainkan sampai pada jenisbelanja. Hal ini membuat ruang manuver politik yang cukup besar dari hulu sampai ke hilir, demikian pula dengan praktik penundaan penetapan mata anggaran dengan pemberian tanda bintang, pemberian ruang manuver yang besar tanpa adanya check and balances justru akan bisa membuka peluang terjadinya perburuan rente atau transaksi-transaksi yang bertentangan dengan hukum. Karena itu bagaimanapun prinsip dasar dalam politik bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan. - Semakin besar kekuasaan, maka makin besar peluang disalahgunakan. Hal ini juga berlaku pada ruang lingkup kewenangan yang sangat kuat atau bahkan mutlak yang diberikan pada DPR, serta tidak bisa di- check dan di- balances oleh institusi lain dan itu akan bisa disalahgunakan. Sedangkan peluang korupsi pada proses pembahasan APBN Perubahan muncul ketika proses pembahasan dilakukan dengan waktu yang sangat terbatas dan hanya melibatkan pihak-pihak yang terbatas. Tidak aneh kemudian dalam karakter oligarkis ini hanya segelintir pihak yang tahu mengenai berbagai proyek baru yang sebelumnya tidak dianggarkan pada APBN. Bahkan menariknya sampai ketua DPR terkesan di media terheran-heran ketika dana kompensasi Lapindo masuk dalam APBN Perubahan Tahun 2013. - Kalau kita ingin tetap menuju kesejahteraan melalui jalan demokrasi, tidak ada pilihan lain bagi kita untuk menata kembali kualitas demokrasi kita. Berbicara tentang penataan kualitas demokrasi, termasuk juga upaya mempersempit struktur peluang politik bagi tindakan perburuan rente. Untuk itu ada berapa agenda yang perlu didorong ke depan, pertama adalah Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 www.mahkamahkonstitusi.go.id mengatasi krisis finansial yang dialami oleh partai dengan cara mereformasi pembiayaan partai dengan mengenalkan konsep matching fund , yaitu model kombinasi antarpembiayaan negara dengan pembiayaan internal. Tentu saja model ini harus diikuti dengan tata kelola keuangan partai yang lebih transparan dan akuntabel, serta reformasi belanja politik yang lebih murah. - Kedua, mempersempit struktur peluang politik bagi upaya partai atau politisi untuk mencari sumber pendanaan alternatif secara ilegal. Agenda yang paling penting adalah rekonstruksi posisi kewenangan DPR RI dalam fungsi penganggaran, termasuk dalam rekonstruksi adalah badan anggaran dijadikan lembaga ad hoc yang mempunyai kewenangan sinkronisasi proses penganggaran di komisi-komisi. Kewenangan DPR-RI dalam penganggaran difokuskan pada hal-hal bersifat makrostrategis, sedangkan aspek perincian jenis belanja diserahkan sebagai ranah teknokratis yang menjadi kompetensi dari eksekutif. Namun demikian, kewenangan DPR-RI untuk pengawasan justru perlu ditingkatkan dengan berpijak pada hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan. - Korupsi politik adalah wajah gelap demokrasi. Hadirnya wajah gelap demokrasi inilah yang membuat jalan menuju kesejahteraan seluruh rakyat menjadi semakin berliku dan penuh jebakan. Proses dan institusi demokrasi bisa dibajak oleh sekelompok kecil elit yang selanjutnya elit oligarki tersebut memanfaatkan semua instrumen demokrasi bukan untuk mencapai tujuan kemakmuran seluruh rakyat, selain didayagunakan untuk kepentingan ekonomi, politik segelintir elit semata, dan itulah artinya tujuan mulia demokrasi sebagai jembatan emas untuk mewujudkan kesejahteraan akan sulit terwujud.
Kuskridho Ambardi - Ada satu hal yang harus dicermati di fungsi anggaran itu, yaitu umumnya adalah mulia pada awalnya, pada prinsipnya karena dari sana DPR bisa memberikan arah terhadap pembangunan di Republik ini, misalnya fungsi anggaran itu dengan memberikan satu arah alokasi anggaran tertentu, sehingga kemudian dalam sektor-sektor tertentu yang dianggap bahwa di sana itu ada kebutuhan untuk membangun, maka kemudian bisa dipenuhi. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Dengan kekuasaan anggaran yang dimilikinya, maka kemudian DPR melalui Banggar bisa mengalokasikan anggaran untuk pembangunan infrastruktur, dan dengan sendirinya di sana karena ada banyak sektor dan kemudian dalam APBN itu ada 6.000-an item, maka ada semacam kekuasaan di mana DPR berfungsi sangat ideal. Infrastruktur misalnya diprioritaskan, pendidikan bisa diprioritaskan, militer bisa diprioritaskan. Di sana lah letak kemuliaan dari fungsi anggaran tersebut. - Akan tetapi, kemudian ada satu problem di sana dengan kekuasaan besar yang dimiliki oleh DPR, dan kemudian di sana lebih spesifik lagi itu dijalankan oleh Banggar, ada persoalan karena di sana ada gejala yang selama ini sudah berlangsung adanya pemusatan kekuasaan itu. - Banggar tidak hanya mengurusi hal-hal makro tetapi kemudian hal-hal mikro pun itu juga diurusi. Jadi misalnya kalau berbicara tentang alokasi anggaran yang bersifat makro, sektoral, dan seterusnya, dan kemudian Banggar mampu untuk bergerak ke hilirnya, maka di sana yang terjadi adalah pemusatan kekuasaan karena kekuasaan di tingkat hulu itu kemudian ditambah lagi sampai tingkat hilir. - Tidak saja mereka mengalokasikan budget itu secara prinsipil makro, tetapi juga kemudian sampai kepada organisasi, unit kegiatan, dan seterusnya, sehingga di sana ada pencampuran fungsi legislasi, fungsi sebagai lembaga legislator parlemen, dan kemudian juga fungsi sebagai eksekusi atau eksekutor, atau kemudian di sana juga bersentuhan dengan fungsi eksekutif. Di sana ada satu proses semacam pemusatan kekuasaan dalam satu tangan. - Kemudian yang kedua di sana ada juga terlihat semacam bahaya, ada yang dinamakan dalam leksikon ilmu politik dengan kekuasaan veto. Jadi kalau dalam aturannya itu kekuasaan anggaran itu dijalankan oleh Pemerintah bersama dengan DPR melalui komisi, tetapi setelah sidang komisi selesai dan pleno selesai, kemudian Banggar ini mempunyai kekuatan veto, kekuatan veto itu diwujudkan dalam hal-hal kecil, misalnya mengubah unit proyek, kemudian juga misalnya menambah hal-hal yang lain untuk menentukan proyek-proyek mana yang berhasil dan kemudian mana yang dibatalkan. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Dan berikutnya, adalah istilah sistem bintang, sistem bintang itu memberikan kekuasaan kepada badan anggaran untuk memberikan catatan terhadap proyek-proyek tertentu, apakah itu dijalankan atau tidak. - Dengan adanya pemusatan kekuasaan itu maka kemudian akan terbuka peluang yang buruk karena kemudian menjadi kekuasaan Banggar menjadi berlipat atau dalam istilah super komisi atau suprakomisi, dia mengatasi komisi. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mengontrol Badan Anggaran tersebut. Dalam dunia politik itu ketika itu berlipat-lipat maka di sana terbuka kemungkinan bahaya akan muncul dan biasanya itu akan di atasi dengan penerapan prinsip yang lain dalam dunia politik yang lain, yakni check and balances . Yang menjadi pertanyaan kemudian siapa yang akan mengecek badan anggaran ini dan kemudian kalau lebih besar lagi itu adalah DPR. - Misalnya kalau kemudian pemusatan kekuasaan itu begitu besarnya, yang satu-satunya mekanisme yang bisa dijalankan di sana untuk mengecek kekuasaan itu adalah Pemilu. Tetapi Pemilu tersebut berlangsung lima tahun sekali, sementara kegiatan APBN itu berlangsung tiap tahun dan tidak ada kontrol di sana. Oleh karena itu, muncul judicial review untuk melihat sumber-sumber kekuasaan Banggar tersebut. Misalnya tentang periode yang tetap lima tahun tanpa ada kontrol, kemudian pemusatan kekuasaan, yakni membikin keputusan dari hulu sampai hilir dan kemudian sistem bintang. Maka di sana sebetulnya terlihat adanya bahaya dan oleh karena itu kemudian perlu untuk mengeksplorasi pasal-pasal yang menjadi sumber kekuasaan anggaran dari Banggar tersebut karena di sana terbuka kemungkinan untuk melakukan abuse . - Selama tiga tahun, dari tahun 2005 sampai tahun 2008 ahli melakukan studi untuk melihat dari mana partai itu mendapatkan dananya. Tentu saja secara teoritis di sana itu anggaran yang didapat partai atau dana yang didapat partai, besumber dari sejumlah sumber. Misalnya iuran anggota yang sering disebut, kemudian sumbangan dari para pengurus, sumbangan dari luar yang tidak mengikat, itu biasanya pengusaha, kemudian dari sumber Pemerintah. - Mereka juga melakukan laporan itu secara formal ke KPU dengan pagu tertentu karena itu memang Undang-Undang mengharuskan atau peraturan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 80 www.mahkamahkonstitusi.go.id mengharuskan begitu. Tetapi dalam studi tiga tahun itu, ketika ahli merekonstruksi, apakah memang benar misalnya belanja yang dikeluarkan oleh partai itu sesuai dengan kenyataannya sebagaimana diberikan laporannya kepada KPU? Ternyata itu tidak seperti yang dituliskan. Itu hanya perkiraan mungkin sepertiga dari total anggaran yang dikeluarkan oleh partai. - Sisa anggaran itu yang jauh lebih besar didapatkan oleh partai kemungkinan didapatkan dari sumber non budgeter sifatnya, dana-dana yang ilegal yang itu diperoleh dengan cara rente. Dari rente itu misalnya dengan model penguasaan proyek hulu sampai hilir, eksekusinya di tangan mereka, ada sistem bintang. Dari sana kemudian mereka bisa memiliki kemampuan atau kekuasaan untuk memilih siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam proyek. Dan kemudian berapa anggaran yang dikeluarkan dan termasuk di sana adalah yang informal itu adalah kickback - nya berapa? - Dengan studi ahli yang panjang selama tiga tahun, dengan banyak bukti- bukti yang kemudian muncul di media. Kasus ini menjadi bobotnya semakin besar. - korupsi politik yang dilakukan oleh para politisi yang berasal dari Banggar maupun bukan dari Banggar, itu pada dasarnya adalah karena ketidakjelasan dan kekuasaan dan batas kekuasaan tersebut dan kemudian kebutuhan bahwa mereka membutuhkan sejumlah dana untuk partainya. Mungkin sebagian di sana juga untuk pribadi. - Oleh karena itu di sana ada satu hal, satu poin utama. Banggar ini kemudian perlu dilihat lagi kekuasaannya dan setelah itu kemudian pasal- pasal yang menopang kekuasaan itu. Kalau seandainya ini dibandingkan dengan negara-negara lain, biasanya kekuasaan Banggar itu dibatasi melalui aturan hukum karena kemudian satu-satunya yang bisa mengontrol DPR dan Banggar adalah publik. Publik mempunyai keterbatasan melalui mekanisme Pemilu yang lima tahunan atau empat tahunan itu. - Karena kekuasaan itu begitu besar dan kemudian mekanisme untuk mengontrol kekuasaan itu terbatas dari segi waktu, dan kemudian dari segi detailnya, maka kemudian bagaimana kita mengontrol kekuasaan itu supaya tidak terjadi penyalahgunaan adalah dengan memperjernih sumber- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 81 www.mahkamahkonstitusi.go.id sumber kekuasaan dan batas kewenangan yang bisa diperoleh oleh Banggar tersebut.
Saldi Isra - Dalam permohonan a quo , pada pokoknya yang dimohonkan diuji dan nilai konstitusionalitasnya oleh para Pemohon adalah pertama, keberadaan dan kewenangan Badan Anggaran DPR RI menyangkut Pasal 104 sepanjang frasa yang bersifat tetap dan Pasal 105 ayat (1) sepanjang frasa pada permulaan masa keanggotaan DPR, dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang DPR, DPRD, dan DPD, serta Pasal 107 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. - Kedua, kewenangan DPR untuk membahas RAPBN secara terperinci sampai satuan tiga sebagaimana diatur dalam Pasal 157 ayat (1) huruf c sepanjang frasa rincian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Serta kewenangan DPR dalam Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009. - Ketiga, tentang perbintangan atau pemblokiran anggaran dalam Pasal 71 huruf g, Pasal 156 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004. Dan yang keempat, proses dan ruang lingkup pembahasan APBNP dalam Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 156 butir c angka 2, dan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. - Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. Frasa dibahas bersama menunjukkan proses pembahasan dan persetujuan RAPBN sama-sama dengan pembahasan dan persetujuan sebuah Undang- Undang biasa. Walaupun demikian, RUU APBN selalu harus diajukan Pemerintah, tidak ada yang menjadi inisiatif DPR. Karena itu kalau dicermati dengan teliti struktur dan posisi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, sekalipun dinyatakan tetap dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah dan DPR, ia tidak diletakkan dalam pasal proses legislasi biasa, yaitu Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 82 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Kalau kita lihat struktur Undang-Undang Dasar 1945 kita tahu bahwa pembentukan atau pembahasan RAPBN itu pada ujungnya akan berubah menjadi Undang-Undang. - Tetapi dalam struktur konstitusi kita, pasal untuk legislasi biasa berbeda dengan pasal legislasi untuk fungsi anggaran atau hal terkait dengan keuangan negara. Tentunya pemilihan struktur dan posisi yang begitu memiliki logika yang tidak sederhana. Dalam konteks ini, pada prinsipnya pembahasan RUU APBN oleh DPR lebih sebagai upaya untuk memberikan persetujuan atas rancangan APBN yang disusun oleh Pemerintah. Sebab pemerintahlah yang mengetahui secara detail itemitem pendapatan negara dan program-program yang mesti dilakukan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Sementara DPR berada lebih dalam posisi sebagai wakil rakyat yang harus mengetahui arah penyusunan rencana anggaran dalam tahun ke depan. - Dalam soal struktur dan posisi ini, sepanjang perjalanan praktik penyelenggaraan negara di bawah UUD 1945 tidak pernah terjadi perubahan cara pandang para penyusun Undang-Undang Dasar 1945. Ini dapat dilihat meskipun telah dilakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 mulai tahun 1999 sampai 2002. Dan hal keuangan negara ini telah dilakukan penambahan sejumlah pasal baru dalam perubahan struktur dan posisinya masih tidak digabungkan dengan posisi legislasi biasa. Padahal, sebagaimana kita ketahui ketika perubahan dilakukan di antara semangat yang berada dalam suasana perubahan adalah bagaimana memperkuat peran DPR. - Dalam faktanya semangat tersebut tidak membuat posisi dan struktur pengaturan pasal-pasal yang menyangkut hal keuangan berubah atau digabungkan dengan pasal-pasal legislasi biasa. - Walaupun begitu, saat ini masih muncul pertanyaan, sampai di manakah batas kewenangan DPR dalam proses pembahasan APBN? Apakah hanya sampai pada level menetapkan pokok-pokok fiskal, kerangka ekonomi makro, dan penetapan prioritas anggaran, atau juga sampai pada level menentukan detail alokasi anggaran, program, dan kegiatan kementerian atau lembaga? Untuk menjawab pertanyaan di atas kiranya perlu membalik Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 83 www.mahkamahkonstitusi.go.id kembali risalah-risalah terkait dengan kelahiran Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, beserta risalah pembahasan perubahan pasal tersebut. - Jika ditilik dokumen pembahasan pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 oleh BPUPK tidak terlalu banyak ditemukan ada komentar mengenai pembahasan terkait dengan batas pelaksanaan fungsi anggaran DPR. - Para pendiri negara yang terlibat aktif dalam perumusan UUD 1945 khususnya terkait dengan keuangan dan perekonomian, lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk membahas dan memperdebatkan sendi-sendi dasar perekonomian nasional. Misalnya, apakah menerapakan sistem ekonomi pasar atau sistem ekonomi kerakyatan. Sedangkan terkait dengan bagaimana anggaran disusun, hanya terbaca secara umum dari usul-usul yang dikemukakan anggota BPUPK, di antaranya adalah yang disampaikan Mohammad Hatta. - Hatta menyampaikan tahun keuangan berjalan, dari 1 April setiap tahun sampai 31 Maret tahun berikutnya, yang sekarang itu sudah diubah, rancangan belanja negara untuk tahun yang akan datang dimajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling lambat sebulan sebelumnya, sebelum tahun keuntungan yang akan datang itu bermula anggaran belanja ditetapkan dengan Undang-Undang. - Selain Hatta, juga ada pendapat Ulfah yang mengusulkan rencana keuangan negeri untuk satu tahun ditetapkan oleh badan perwakilan rakyat, tambah kepala negara, dan menteri-menteri. - Begitu juga dengan Soepomo ketika berbicara pembahasan dan penerapan pendapatan belanja negara, ia menegaskan peran persetujuan DPR terhadap anggaran pendapatan belanja Negara, Soepomo menyampaikan, “Jadi Pemerintah tiap-tiap tahun wajib minta persetujuan dari dewan perwakilan rakyat untuk menetapkan anggaran penghasilan dan belanja. Inilah yang dinamakan dengan begrotingsrecht dengan perwakilan rakyat.” - Sementara anggota BPUPK yang lain juga menyampaikan usul terkait perekonomian, tidak bicara tentang bagaimana anggaran dibahas dan ditetapkan. Melainkan lebih banyak membahas tentang sumber pendapatan negara, bank sentral, dan pemeriksaan keuangan. - Sebagaimana disinggung di atas, penekanan seperti yang disampaikan Soepomo bahwa peran DPR adalah memberikan persetujuan atas Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 84 www.mahkamahkonstitusi.go.id anggaran penghasilan dan belanja yang diajukan Pemerintah. Fungsi anggaran DPR berdasarkan pernyataan Soepomo di atas berada pada ranah memberikan persetujuan saja. Jika demikian, tentunya posisi DPR dalam membahas APBN hanya sampai pada tingkat memeriksa apakah anggaran yang diajukan Pemerintah telah sesuai atau tidak dengan kebijakan makro yang ditetapkan. Sebab dasar memberikan atau tidak memberikan persetujuan adalah kesesuaian anggaran pendapatan belanja negara dengan kebijakan umum negara yang telah disepakati DPR dan Pemerintah. - Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi dalam pembahasan perubahan Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945. Terkait dengan peran DPR dalam penyusunan anggaran karena APBN juga dituangkan dalam undang- undang, maka penyusunan atau pembahasan pun dilakukan secara bersama antara DPR dan Pemerintah. - Hanya saja para pengubah Undang-Undang Dasar tidak sampai membicarakan secara lebih jauh mengenai batas-batas peran DPR dan penyusun APBN. Kalau pun ada yang mengusulkan peran lebih detail sepanjang yang dapat dibaca dari risalah Undang-Undang Dasar 1945 terkait bab keuangan negara, hanya ada satu orang anggota DPR yang memberikan pendapatnya. - Pendapat dimaksud disampaikan oleh Amri Husni Siregar dari Fraksi Reformasi dalam Rapat Komisi A Sidang Tahunan MPR pada tanggal 6 November 2001. Ia berbicara tentang bagaimana meningkatkan peran DPR dalam proses pembahasan RUU APBN, sebab DPR dalam pengalaman yang ada sebelumnya belum sepenuhnya dapat melaksanakan hak budget- nya. - Untuk meningkatkan peran tersebut diperlukan keterlibatan lebih jauh dalam menyusun ABPN. Selengkapnya ia menyatakan, “Ada satu masalah di dalam penyusunan anggaran pendapatan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat senyata-nyatanya belum sepenuhnya bisa melaksankan hak budget-nya. Antara lain misalnya seperti pagu anggaran untuk setiap kementerian, artinya departemen atau tiap sektor masih ditentukan” - Ditambahkan oleh Amri Husni, “Saya punya obsesi dan mungkin kita sepakat bahwa sebetulnya yang namanya hak budget itu mencakup segala Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 85 www.mahkamahkonstitusi.go.id hal mengenai budget termasuk pagu anggaran, kita yang menetapkan. Misalnya sektor pendidikan itu berapa, sektor Departemen Diknas itu berapa, dari mana persentasenya keseluruhan total, baru itu diisi oleh Pemerintah setiap susunannya oleh DPR.” - Pendapat salah seorang MPR di atas setidaknya memberi titik terang atas pertanyaan sampai dimana batas-batas keterlibatan DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran. Selain menentukan kerangka ekonomi mikro dan prioritas anggaran, keterlibatan DPR hanya sampai tingkat menentukan pagu anggaran dan/atau besaran alias persentase anggaran bagi masing-masing kementerian dan lembaga. - Membahas dan memberikan persetujuan sampai level menentukan pagu anggaran untuk masing-masing departemen atau kementerian dapat diletakan dalam kerangka bahwa DPR tidak boleh memberi cek kosong bagi Pemerintah atau kementerian dan lembaga. - Dalam hal ini, DPR mesti mengetahui dan menyetujui besaran anggaran masing-masing kementerian di lembaga. Hal ini sekaligus akan menjadi alat ukur bagi Badan Pemeriksa Keuangan dalam memeriksa atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dan sekaligus menjadi basis pengawasan DPR. - Hanya saja menentukan pagu anggaran tidak berarti bahwa DPR juga dapat masuk pada ranah menentukan anggaran setiap program dan kegiatan di masing-masing kementerian atau lembaga. Sebab program dan kegiatan haruslah sepenuhnya dijadikan wewenang Pemerintah untuk menyusun menentukannya. Jika pun akan terlihat DPR harusnya cukup mengawasi apakah program dan kegiatan yang disusun sesuai atau tidak dengan kebijakan umum dan prioritas yang telah ditentukan. - Sebagai lembaga yang diberi fungsi pengawasan, pembahasan, dan persetujuan dalam legislasi RAPBN harus dimaknai secara tepat sesuai dengan fungsi konstitusional tersebut, keterlibatan DPR dalam pelaksanaan pembahasan dan persetujuan harus dimaknai sebagai pintu masuk untuk dapat melaksanakan fungsi pengawasan keuangan negara. - Dalam posisi itu sekiranya DPR ikut menentukan sampai detail anggaran di kementerian dan lembaga, DPR dapat dikatakan memosisikan diri sebagai Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 86 www.mahkamahkonstitusi.go.id Pemerintah atau eksekutif. Dengan posisi seperti itu, DPR sebetulnya menjadi kehilangan legitimasi untuk melaksanakan fungsi pengawasan - Kalau DPR sudah ikut menyusun sampai detail itu sebetulnya tidak lagi fungsi pengawasan, DPR sudah masuk ke ranah eksekutif, begitu dia masuk ke ranah eksekutif sebetulnya dia kehilangan legitimasi untuk meneruskan fungsi pengawasan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu untuk mempertahankan posisi dan fungsi pengawasan peran DPR dalam membahas persetujuan RAPBN harus dikembalikan kepada makna begrotingsrecht Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana yang dimaksudkan oleh para pendiri negara. - Bagaimana pun, semakin jauh DPR terlibat dalam proses penentuan anggaran, maka tindakan tersebut akan semakin merusak dan merobohkan prinsip check and balances antara DPR dan Pemerintah dalam proses penyusunan anggaran. - Ketiga, terkait dengan perencanaan pembangunan, sebagaimana kita ketahui perencanaan pembangunan dalam kurun waktu tertentu atau tahun tertentu dilakukan oleh Bappenas. Jadi kita tahu bagaimana pembangunan direncanakan itu disusun oleh Bappenas. Lalu perencanaan tersebut didesain dalam anggaran oleh Kementerian Keuangan dalam bentuk berapa uang yang harus dibelanjakan untuk memenuhi desain pembangunan yang telah dipersiapkan oleh Bappenas. - Dalam posisi seperti itu, dengan kewenangan DPR yang bisa masuk terlalu jauh, misalnya sampai kepada satuan tiga maka sangat mungkin terjadi penyimpangan atau disparitas antara apa yang didesain oleh Pemerintah, dalam hal ini Bappenas dan DPR dengan apa yang disepakati di Dewan Perwakilan Rakyat. - Tadi salah seorang Saksi sudah menjelaskan apa dampak dari ini terhadap proses atau perencanaan pembangunan nasional. Yang kita takutkan, semakin jauh pola pembangunan dari apa yang direncanakan maka itu berpotensi menegasikan atau melunturkan makna apa yang ada dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa penyusunan keuangan negara itu dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Saya khawatir kalau kemudian DPR bisa mengubah sedemikian rupa apa yang direncanakan oleh Pemerintah Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 87 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Yang keempat, terkait dengan legitimasi proses penyusunan APBN maupun APBN-Perubahan. Kita tahu di dalam banyak kasus, banyak mata anggaran karena DPR sudah masuk ke wilayah yang sangat detail yang kemudian diberi tanda bintang oleh DPR. - Lalu tanda bintang ini itu dibahas di luar jalur pembahasan APBN sebagaimana biasanya. Kalau ini mau disigi secara formal, harusnya apapun yang diubah di dalam struktur anggaran, besar anggaran, dan segala macamnya, termasuk menghilangkan tanda bintang, itu harus dilakukan dengan proses penyusunan Undang-Undang biasa. Yang terjadi selama ini adalah penghilangan atau perubahan tanda bintang itu tidak melalui proses penyusunan Undang-Undang biasa. - Jadi Ahli berpandangan, cara-cara seperti itu tidak sesuai dengan prinsip pembetukkan Undang-Undang. Yang kita ketahui karena ini disusun bersama, kalau ada perubahan mestinya juga hasil pembahasan dan persetujuan bersama. - Kalau ada kemudian item-item tertentu yang diubah atau diubah di luar struktur pembahasan biasa ini adalah tindakan yang tidak bisa diteruskan, alias adalah tindakan inkonstitusional.
Zainal Arifin Mochtar - Pada dasarnya, permohonan ini didasarkan atas dalil bahwa terjadi pelanggaran atas Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 oleh karena kewenangan DPR termasuk badan anggaran DPR RI yang terlalu besar dalam kedua Undang-Undang tersebut di atas. - Sehingga tercipta permainan politik transaksi kepentingan di luar kepentingan rakyat, serta menyebabkan praktik pelaksanaan pembahasan anggaran yang membengkakkan kewenangan DPR hingga satuan tiga. - Dalam perkara ini memang terlihat adanya pembengkakan kewenangan yang besar melalui aturan yang mengatur tentang peran DPR, serta implikasinya dalam sistem penganggaran keuangan negara. - Philip Bobbitt dalam cara pandang six modalities of constitutional argument . Yakni satu, cara pandang secara historis. Yang kedua, cara pandang secara tekstual. Yang ketiga, cara pandang secara struktural. Yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 88 www.mahkamahkonstitusi.go.id keempat, cara pandang secara doktrinal. Yang kelima, cara pandang secara etika dan yang keenam, adalah cara pandang secara prudential. - Jika dilihat secara historik, dibuka risalah Undang-Undang Dasar 1945. Terlihat jelas dari para pembentuk Undang-Undang ketika itu, perihal kewenangan DPR soal anggaran, yakni berada pada pengesahan atas anggaran yang diajukan oleh presiden yang kemudian beralih menjadi pembahasan bersama dengan DPR, dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Hal ini terjadi memang karena kuatnya keinginan, agar DPR berperan lebih dibanding praktik yang terjadi di masa orde baru. Yang mana, pada masa orde baru, DPR sama sekali tidak mengutak-atik anggaran yang disampaikan oleh Pemerintah. Akan tetapi pada pembacaan di risalah ini, sama sekali tidak ditemukan pembicaraan soal batasan kewenangan DPR yang akan membahas hingga secara rinci, hingga sampai unit organisasi fungsi program kegiatan dan jenis belanja. - Bahwa karenanya dapat dimaknai pembahasan yang dilakukan DPR atas usulan Pemerintah setelah melalui pertimbangan DPD. Tidaklah dapat dikatakan hingga praktik satuan tiga. Bahwa artinya, praktik penganggaran yang terjadi di masa terdahulu lebih merupakan praktik yang hadir karena kemampuan penguasaan Pemerintah orde baru terhadap DPR dan bukanlah dikarenakan kelemahan aturan kewenangan anggaran DPR RI. Yang terjadi kemudian, perumusan Undang-Undang Keuangan Negara dan MD3 yang mengarah pada penerjemahan kewenangan DPR RI perihal pembahasan yang menuju ke arah kewenangan absolut. - Yang kedua, dari sudut pandang tekstual. Menarik untuk membahas struktur kalimat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 khususnya bab kedelapan tentang hal keuangan. Yang mana pada ayat (2) diatur bahwa Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden Untuk dibahas bersama dengan DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Menariknya, pada ayat (3) yakni ketika DPR tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh presiden. Maka Pemerintah menjalankan APBN tahun berikutnya. Karenanya praktik pembahasan seharusnya dapat lebih diartikan sebagai upaya menuju ke persetujuan yang dilakukan oleh DPR. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 89 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Bahwa yang menarik dari tekstual ini kemudian adalah kelahiran badan anggaran yang berperan atau menjadi mirip dengan pengejawantahan komisi-komisi di DPR yang lebih memiliki kewenangan untuk pembahasan terperinci atas anggaran. Apalagi praktik badan anggaran ikut membahas Rancangan Undang-Undang APBN yang belum dibahas, menimbulkan praktik penggelembungan kewenangan anggaran yang dimiliki oleh badan anggaran. Praktik komisi-komisi dan badan anggaran yang melakukan pembahasan hingga satuan tiga ini, tentu saja merupakan kewenangan yang terlampau jauh dibanding tekstual yang seharusnya dimiliki oleh DPR. - Yang ketiga, cara pandang struktural. Cara pandang inilah yang bisa menjelaskan bagaimana seharusnya bangunan sesungguhnya dari kewenangan DPR dalam wilayah anggaran. Bahwa tidak dapat dipungkiri peran parlemen dalam konteks negara demokrasi sangat penting, khususnya dalam melakukan pengawasan terhadap Pemerintah. Dalam hal keuangan, interparlementariunion pada tahun 1986 mengkomparasikan berbagai negara mencatatkan bahwa negara demokrasi di dunia ini pada dasarnya membedakan peran Pemerintah sebagai penginisiasi, dan mempersiapkan, kemudian mengusulkan rancangan Undang-Undang atau the right to initiate and prepare money bills . Perihal pendapatan dan belanja negara. Sedangkan peran parlemen berada pada pengawasan dan persetujuan atas usulan soal pendapatan dan belanja negara (the rights to exercise over side and to authorize the executive to raise revenue and spend money) - Bahwa dalam konteks check and balances , ada tiga tugas penting anggaran negara dalam formulasi anggaran. Persetujuan anggaran dan formulasi anggaran, persetujuan anggaran, dan pelaksanaan anggaran. Tugas formulasi dan persetujuan berada pada dua lembaga, yakni eksekutif dan legislatif. Sedangkan implementasi berada pada tugas birokrasi. Hal ini disebutkan oleh David Samuels dalam “Fiscal horizontal accountability? Toward a theory of budgetary “check and balances” in presidential system. - Bahwa dalam tugas dan fungsi itu, tidak ada satu pun yang bisa menegasikan peran DPR dalam mengubah anggaran yang diajukan Pemerintah. Meskipun ada juga negara seperti Brazil hingga tahun 2000 yang lebih banyak memberikan kewenangan kepada presiden dan tidak Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 90 www.mahkamahkonstitusi.go.id memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan perubahan apa pun. Sehingga, ini yang sering disebut sebagai ahli, sebagai budget dictators . Tetapi pada dasarnya, DPR punya kewenangan tersebut. Akan tetapi, tidak berada pada wilayah teknis, lebih banyak berada pada wilayah menentukan agenda utama penerimaan dan belanja negara. Apalagi jika dibiarkan, maka legislatif akan kehilangan makna pengawasan contact check and balances karena di awal dia ikut menentukan belanja hingga satuan tiga. - Yang keempat. Secara sudut pandang doktrinal, penyusunan anggaran negara pada pola hubungan Pemerintah dan parlemen, ini menunjukkan adanya problem di wilayah teknis dan demokrasi. Apa yang dimaksudkan wilayah teknis? Sesungguhnya adalah bahwa sulit ditolak kapasitas teknis Pemerintah dalam penyusunan dan mempersiapkan anggaran jauh lebih baik dibanding kapasitas teknis yang dimiliki oleh DPR. Hal ini dikatakan misalnya oleh Warren Krafchik dan Joachim Wehner dalam The Role of Parliament in the Budget Process, Institute for democracy di South Afrika . Dia menyatakan bahwa Pemerintah diisi secara sistem yang merit dengan memperhatikan kapasitas-kapasitas kemampuan teknis, termasuk soal penyusunan anggaran. Sedangkan DPR, diisi melalui politis populis melalui jalur yang nonmerit. Pada konteks inilah, wilayah kewenangan doktrinal memang berada pada wilayah kekuasaan Pemerintah dalam mempersiapkan hal teknis keuangan negara, hingga hitungan teknis tentang belanja-belanja barang, hingga satuan yang paling mendasar. - Bahwa berbanding terbalik dengan DPR yang tidak memiliki kapasitas teknis tersebut, sehingga disematkan padanya lebih pada konteks demokrasi perwakilan rakyat Indonesia yang melakukan penentuan kebijakan makro ekonomi berdasarkan keinginan dan kondisi rakyat Indonesia. Makanya kemudian, dalam konteks tersebut DPR atau parlemen di negara mana pun, itu lebih berperan sebagai penentu arah kebijakan yang lebih bersifat makro dan tidak berada pada wilayah teknis administratif anggaran negara. - Yang kelima. Bahwa secara sudut pandang etik, kondisi DPR saat ini yang sedang mengalami begitu banyak sorotan oleh praktik-praktik kotor di parlemen membutuhkan tindakan negara untuk memperbaiki posisi Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 91 www.mahkamahkonstitusi.go.id tersebut. Praktik DPR yang banyak dikuasai oleh kepentingan elit partai politik maupun kepentingan pribadi dalam sistem pemilu berbiaya mahal membutuhkan pemikiran lebih mendalam perihal porsi yang sebaiknya disematkan kepada DPR. - Artinya, informasi soal kebutuhan rakyat berdasarkan realita sesungguhnya seringkali berbias dengan kepentingan nonrakyat atau kemudian menjadi kepentingan politik. Padahal, seperti yang dikatakan oleh Barry Anderson, legislature required reliable and unbiased information to be able to participate constructively in formulating the budget. - Bahwa sesungguhnya, legislatif sangat membutuhkan hal-hal yang tidak bias dan sangat reliable informasi untuk memberikan peran yang konstruktif di dalam formulasi budget . Ketika ketiadaan itu, maka itu bisa menjadi hambatan etis yang akan menjadi persoalan besar perihal kredibilitas dan akuntabilitas yang sangat diperlukan dalam kaitan keuangan negara. - Bahwa artinya, dengan ketiadaan prasyarat besar soal kemampuan menangkap kepentingan rakyat, maka secara etis sulit untuk menempatkan DPR memiliki kewenangan yang begitu luas. Karena dengan begitu, sangat mudah untuk menuju ke arah penyalahgunaan kewenangan. - Bahwa karenanya cita-cita besar yang diinginkan oleh pembentuk negara ini melalui Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, yakni APBN adalah wujud dari pengolaan keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat lagi-lagi sulit untuk bisa tercipta. - Yang keenam dan yang terakhir. Bahwa secara prudensial, sekian lama praktik sudah berlangsung hampir 10 tahun memberikan kewenangan besar ini telah menempatkan begitu banyak kerugian yang diderita oleh rakyat Indonesia. Praktik-praktik korupsi yang dipertontonkan secara telanjang telah menunjukkan bahwa model peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan begitu besar kepada DPR, termasuk kepada badan anggaran telah menempatkan DPR menjadi lembaga yang sangat dipersepsikan korup. - Ini terbukti dari berbagai survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga. Bahwa hal ini tentu saja merugikan sistem demokrasi itu sendiri karena berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap DPR dan merusak Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 92 www.mahkamahkonstitusi.go.id sistem ketatanegaraan dan demokrasi itu sendiri. Karenanya negara ini punya potensi besar untuk kemudian memperbaiki format dan sistem pelaksanaan penganggaran keuangan negara dengan pelibatan porsi yang terbatas, porsi yang dapat ditentukan secara lebih detail kepada DPR dan Pemerintah. - Oleh karenanya, sangat beralasan menurut saya, alasan Pemohon yang menghendaki dikoreksinya aturan-aturan yang menyebabkan begitu banyak terjadi praktik penyalahgunaan kewenangan tersebut dan karenanya memang segera harus diakhiri.
Iwan Gardono Sudjamitko - Reformasi telah menghasilkan perubahan seperti pergantian presiden, kebebasan bagi pers, parpol dan serikat buruh, Pemilu yang lebih bebas, otonomi daerah, dan amandemen UUD. Namun di era reformasi terjadi gejala negatif yang meningkat adalah korupsi seperti "mark-up" APBN/D, tender/lisensi sumber daya alam, penjualan aset, pembobolan bank, serta manipulasi pajak. Pada saat ini korupsi yang menonjol adalah tiga lembaga yakni DPR-parpol, Pemda, dan Polri yang telah meningkat kekuasaan dan kewenangan mereka setelah reformasi. Analisis sosiologi politik berikut akan membahas struktur dan dinamika kekuasaan antara negara dengan masyarakat dan menunjukkan bahwa: reformasi telah meningkatkan kekuasaan-kewenangan yang besar di ketiga lembaga tersebut namun tanpa kontrol dan akuntabilitas publik yang memadai sehingga meningkatkan korupsi. Hal ini sesuai dengan dalil Lord Acton, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." - Realitas Korupsi: Analisis gambar besar korupsi akan lebih jelas jika dilihat dengan pendekatan realisme kritis yang melihat gejala berlapis, tiga dimana peristiwa ("event") berada di lapis atas, mekanisme di tengah, serta struktur di bawah (Danermark, dkk, 2002). Pada lapis atas atau permukaan terlihat pelaku yakni para elit DPR-parpol, Pemda (menurut Kemendagri, hampir 300 gubernur, bupati, walikota serta wakilnya), dan Polri. Namun kasus yang belum terungkap diketiga lembaga tersebut masih banyak. Pelaku korupsi ini merupakan luaran ("output") yang dihasilkan oleh "mekanisme negatif yang berada dilapis tengah yang terdiri dari kelompok dan jaringan seperti mafia yang canggih dan terorganisir serta lintas lembaga: DPR, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 93 www.mahkamahkonstitusi.go.id khususnya Banggar, Kementerian, Polri, Pemda, pengusaha, parpol dan makelar. "Mekanisme negatif yang dominan adalah "mark-up" APBN/D dan bagi bagi proyek di ketiga lembaga tersebut dan pemberian lisensi (HPH, tambang) di Pemda. Keadaan ini disebabkan oleh kebutuhan akan dana pemilu dan pilkada ("politik uang") dan kas parpol selain untuk konsumsi (gaya hidup) pelakunya. Berbagai faktor mendukung hal ini seperti peraturan yang multitafsir atau "abu-abu" yang telah dirancang dengan sengaja serta kerahasiaan yang tinggi dalam pelaksaan kegiatan atau proyek. - "Mekanisme Positif ': Namun tidak semua anggota DPR, Polri dan Pemda berada di "mekanisme negatif karena ada juga "mekanisme positif yang fungsional sebagai koreksi terhadap korupsi. Di Pemda terdapat pimpinan (gubernur, bupati, walikota) yang berprestasi membangun daerah. Demikian juga di DPR dan Polri masih ada pejabat yang menghasilkan kebijakan dan tindakan yang reformis. Mereka yang melakukan koreksi ini dapat disebabkan oleh faktor moral, agama dan idealisme dan disini terlihat bahwa "kesempatan" korupsi tidak digunakan karena ada "niat" (kuat) yang menentangnya. Dalam beberapa kasus terdapat peran dari orang dalam atau " whistle-blowers " yang membantu membongkar korupsi merupakan mekanisme positif internal. - Perubahan Struktur: Mekanisme negatif disebabkan oleh perubahan struktur kekuasaan dan kewenangan, seperti UU tentang DPR, Otonomi Daerah, Polri, yang terjadi setelah reformasi. Keadaan ini "membebaskan" DPR yang hanya dianggap "stempel" dari pemeritah sehingga menjadi lembaga yang sangat kuat (" legislative-heavy "). Namun transparansi dan kontrol pada DPR tidak meningkat walaupun sudah ada UU Keterbukaan Informasi Publik sejak tahun 2010. Selain itu mayoritas warga dapil seringkali pasif dan tidak atau kurang peduli untuk mengontrol anggota DPR. Demikian pula desentralisasi dan otonomi daerah memperkuat Pemda karena "Iepas"nya mereka dari kontrol pusat (Kemendagri) tanpa penguatan masyarakat daerah sehingga terjadi kekuasaan-kewenangan berlebih (" power-authority surplus "). Di beberapa negara, masyarakat lokal diperkuat sebelum atau saat desentralisasi, misalnya pemberdayaan warga Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 94 www.mahkamahkonstitusi.go.id desa di India atau komunitas akar rumput di Bolivia sehingga kekuasaan pemda dapat diimbangi (" checks and balances ") dari bawah oleh masyarakat. Dalam kasus Polri, reformasi telah "membebaskan" Polri dari kontrol ABRI-TNI dimana sekarang mereka berada di bawah Presiden dan memperoleh anggaran yang sepuluh kali lebih besar dari Rp. 3.2. triliun di 1999 menjadi Rp. 39.8 triliun di 2012. Namun kontrol pada mereka (anggaran, penanganan kasus, promosi anggota) relatif lemah oleh Kompolnas yang memang tidak diberi kewenangan yang cukup; - Memberantas Korupsi: Pemberantasan korupsi diketiga lembaga tersebut dapat dilakukan dengan pengawasan dan penindakan pada pelaku atau aktor di lapisan atas dan kelompok dan jaringan di lapisan tengah. Pada lapisan bawah atau struktur diperlukan revisi atau pembatalan peraturan yang memberi peluang korupsi. Pada lapisan atas telah dilakukan koreksi ekstemal oleh warga, organisasi masyarakat serta lembaga seperti BPK, BPKP, PPATK, KPK dan pengadilan. Selain itu, koreksi ini dapat dilakukan secara internal oleh Badan Kehormatan DPR, Inspektorat di Pemda dan Polri. Selama ini telah terdapat tindakan, misalnya Badan Kehormatan DPR yang mengawasi perilaku anggota DPR. Pada Pemda telah dilakukan berbagai upaya transparansi dan koreksi, misalnya APBD Kabupaten harus disetujui Propinsi dan Propinsi oleh Kemendagri. Sementara itu, solusi yang ada di Polri sekarang adalah sosialisasi anti KKN dan peran Kompolnas. Peningkatan peran pimpinan DPR, Pemda dan Polri yang lebih tegas dan anti korupsi sebagai aktor kekuasaan sangat dibutuhkan sebagai agen pembaruan di ketiga lembaga tersebut. - Revisi oleh DPR, Pemda, Polri: Pada lapisan bawah atau struktur diperlukan revisi peraturan guna membatasi kekuasaan atau kewenangan pihak yang berpotensi mendukung korupsi. Revisi peraturan diketiga lembaga tersebut dapat dilakukan oleh mereka sendiri seperti UU oleh DPR dan Pemerintah, revisi Perda oleh Pemda dan berbagai aturan Polri oleh pimpinan Polri. Pemerintah (Kemendagri) perlu melanjutkan pembatalan Perda bermasalah dan rencana Kemenkeu memberi insentif dan disinsentif fiskal pada Pemda (Kompas, 1 Juli 2013). DPR dan pemerintah perlu merevisi UU Kepolisian sehingga terjadi kontrol yang lebih kuat yang perlu Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 95 www.mahkamahkonstitusi.go.id dilakukan oleh Kompolnas yang diperkuat dan Kompolda (Komisi Kepolisian Daerah). Demikian juga perlu dibentuk lembaga dengan kewenangan lebih besar setingkat kementerian (misalnya, Kementerian Kepolisian atau Keamanan Publik) seperti TNI yang dikontrol oleh Kemenhan, khususnya dalam anggaran. - Peran MK, MA , MPR: Selain itu peraturan di DPR, Pemda dan Polri dapat dibatalkan atau dikoreksi oleh MK untuk Undang-Undang dan MA untuk peraturan dibawah Undang-Undang jika ada yang memohon pengujian peraturan tersebut. Dalam hal ini MK sebagai " negative legislator " dapat melakukan koreksi Undang-Undang politik, Pemilu dan lembaga negara, agar mencegah kesempatan korupsi oleh anggota DPR. Demikian juga peran MA yang membatalkan berbagai aturan dibawah Undang-Undang yang memberi kesempatan korupsi. Memberantas korupsi perlu dilakukan pula oleh MPR dalam amandemen ke 5 dengan mencantumkan lembaga anti korupsi (KPK) dan korupsi di UUD seperti di Filipina. UUD bukan hanya berisi cita-cita bangsa namun harus juga mencantumkan hambatannya dan korupsi dianggap oleh 87% responden sebagai salah satu masalah besar di Indonesia (Roy Morgan Research, the Jakarta Post, June 25, 2013). - Peran negara dan Masyarakat: Upaya yang penting untuk memberantas korupsi adalah dengan diberiakukannya "portal transparansi" di DPR, Pemda dan Polri maupun lembaga negara lainnya. Hal ini berguna untuk menghilangkan kerahasiaan informasi yang sebenarnya bukan rahasia dan dapat diakses oleh publik. Kerahasiaan yang salah dan palsu ini menghasilkan kekuasaan dan kewenangan berlebih yang berpotensi besar untuk korupsi. Dengan "portal transparansi" ini kontrol oleh publik dapat dilakukan pada lapis atas (pelaku), tengah (jaringan) maupun bawah (peraturan yang ada). Peningkatan kontrol terhadap kewenangan ini akan mencegah kesewenangan dan korupsi. Pola seperti ini terdapat di Brazil dan Timor Leste, dimana semua data yang boleh diketahui publik disediakan secara sangat rinci dan sangat mudah diakses oleh warga melalui internet. Dengan sistem ini, penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Federal Brazil atau proyek seperti pembangunan jembatan di Timor Leste dapat diakses melalui internet. Ketersediaan informasi ini dapat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 96 www.mahkamahkonstitusi.go.id menginklusi dan memberdayakan masyarakat, khususnya warga, universitas, LSM, intelektual, dan media untuk melakukan kontrol dan koreksi secara masalyang berkelanjutan sehingga terjadi gerakan sosial memerangi korupsi. Upaya mengatasi korupsi yang dilakukan oleh negara dan masyarakat akan menghasilkan "Perang Rakyat Semesta" terhadap korupsi sehingga dapat mengurangi korupsi secara nyata dan hasilnya akan terlihat dalam berbagai indikator korupsi. Keberhasilan mengatasi korupsi akan meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia menjadi lebih adil dan makmur, namun jika gagal akan terjadi keadaan yang sebaliknya. - Pembahasan terdahulu menunjukkan peningkatan penyimpangan yang terjadi pada DPR, khususnya Badan Anggaran, sehingga timbul pertanyaan apakah hal ini terjadi karena peran aktor dan jaringan atau peraturan/norma (UU Nomor 17/2005 dan UU Nomor 27/2009) yang memberi peluang dan bertentangan dengan UUD Pasal 23 ayat (1) UUD 1945? Hal ini menunjukkan bahwa kasus di Badan Anggaran DPR ini memang disatu pihak dapat disimpulkan merupakan pelanggaran norma yang dilakukan oleh beberapa anggota Badan Anggaran. Namun dilain pihak dapat juga dikatakan apakah aturan/norma yang ada kurang dapat mencegah penyimpangan yang ada? Apakah aturan (Undang-Undang) yang ada bersifat ambigu, kurang mencerminkan atau bertentangan dengan UUD? - Pembahasan dalam butir 8 menunjukkan bahwa salah satu faktor yang berperan mendukung korupsi adalah adanya "kerahasiaan palsu atau salah" mengenai sesuatu yang seharusnya tidak dirahasiakan. Dalam hal ini informasi mengenai proses dan hasil APBN seringkali tidak transparan seperti yang diajukan oleh Pemohon (Butir II.B. halaman 27 dan 28). Bahkan kerahasiaan ini terjadi didalam DPR sendiri dimana dalam satu kasus, pimpinan DPR serta Komisi (BUMN) kaget dengan adanya anggaran sebesar Rp. 5,75 triliun yang belum disetujui namun muncul dalam sidang paripuma. Hal ini disebut oleh seorang politikus sebagai "penyelundupan anggaran" (Tempo, 4 Agustus, 2013: 99-102). - Jelaslah bahwa "kerahasiaan palsu" ini telah berpotensi mendorong tindakan dan potensi korupsi seperti yang dibahas para pemohon (YLBHI, FITRA, IBC, ICW, Sdr Ferl Amsari, Sdr. Hifdzil Alim) yakni: (halaman 33-34). Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 97 www.mahkamahkonstitusi.go.id 11.1. Kewenangan membahas RUU APBN sebelum dibahas oleh Komisi- komisi.
Rimawan Pradiptyo - Melihat keberatan dari Pemohon ada beberapa poin, khususnya adalah pertama tentang kewenangan DPR untuk membahas RAPBN secara terperinci sampai satuan tiga, kemudian mekanisme perbintangan ataupun juga pemblokiran anggaran dan oleh banggar, yang ketiga adalah proses dan ruang lingkup pembahasan APBNP. - Sebagai peneliti di bidang crime economics atau law and economics , ahli banyak mendalami terkait dengan masalah korupsi dan korupsi yang ada di Indonesia, itu adalah sebenarnya bukan lagi korupsi yang sistemik; - Jadi kalau di Indonesia sebenarnya dari research yang kami lakukan sifat korupsi yang ada di Indonesia bukanlah korupsi yang sistemik, tidak lagi korupsi yang sistemik, tetapi merupakan korupsi yang bersifat struktural. Yaitu adalah korupsi yang terjadi akibat sistem yang berlaku di suatu negara cenderung memberikan insentif yang lebih tinggi untuk melakukan korupsi Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 99 www.mahkamahkonstitusi.go.id daripada insentif untuk mematuhi hukum, atau hukum sengaja dibuat agar tidak kredibel. - Hal ini disebabkan oleh perumusan kebijakan yang tidak berorientasi pada optimalisasi kemakmuran masyarakat, perumusan kebijakan yang mengedepankan rasionalitas pribadi daripada mengedepankan rasionalitas subjek, dan yang terakhir adalah perumusan kebijakan yang tidak didasarkan pada studi mendalam berdasarkan fakta atau hard evidence , namun lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik jangka pendek. - Apa yang terjadi sekarang adalah terjadi perubahan struktural dari yang dahulu adalah kita sebenarnya pemerintahnya adalah otoriter, sekarang menjadi demokrasi dan kita menghadapi suatu paramida yang berbeda; - Peran politisi sangat besar sekali dan kekuasaan politisi sangat besar sekali. Berikutnya, namun kemudian yang kalau kita lihat, bangun yang kita miliki ini sebenarnya seolah-olah bisa diandaikan kita mesinnya itu adalah tetap mesin orde lama, tetapi bungkusnya itu adalah bungkus reformasi. Seperti halnya kalau kita ibaratkan kita memiliki Colt 120, mesinnya Col T 120 tetapi badannya itu adalah badan Alphard. Seolah-olah canggih, tapi sebenarnya di dalamnya itu terjadi permasalahan yang sangat mendasar. Bangun birokrasi masih didasarkan pada sistem orde baru, DPR masih minim fungsi legislasi, namun kuat di fungsi anggaran. Terdapat kecenderungan peningkatan peran DPR, seolah-olah DPR menjadi eksekutif; - Permasalahan yang mendasar di Indonesia adalah banyaknya kebijakan yang tidak didasarkan pada teori. Misalkan adalah optimalisasi anggaran oleh banggar, tidak ada optimalisasi anggaran oleh banggar. Yang ada adalah maksimalisasi anggaran, karena maksimalisasi anggaran nantinya akan dipergunakan untuk alokasi di bidang-bidang yang sebenarnya tidak optimal. - Berikutnya, yaitu adalah identifikasi tentang kompleksitas peraturan di Indonesia. Jadi kalau kita lihat di sini, banyak keanehan di Indonesia. Ada fenomena tetapi tidak ada peraturan, ada peraturan tetapi tanpa dasar teori. Contohnya adalah BBM bersubsidi, optimalisasi BBM oleh Banggar tidak ada teorinya. Peraturan dibuat tanpa memperhitungkan rasionalitas pelaku, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 100 www.mahkamahkonstitusi.go.id yaitu adalah Undang-Undang MD3, kewenangan banggar hingga satuan tiga. - Boleh saja data ada di depan kita, tetapi sebesar apa pun kekuatan kita dalam melihat data itu sangat terpengaruh oleh kekuatan rasionalitas kita dan sudah banyak bukti yang ada di dalam behavior economics , bahwa manusia tidak memiliki rasionalitas yang terbatas tapi memiliki apa yang disebut dengan bounded rationality . - Apa sebenarnya peran dari APBN? Peran APBN itu sebenarnya ada tiga, yaitu adalah pembiayaan, penyediaan barang publik, dan layanan masyarakat. - Merupakan bentuk campur tangan Pemerintah mengatasi kegagalan pasar dan eksternalitas, serta stimulus ekonomi. - Berikutnya, permasalahan yang terjadi adalah setiap kali kita memiliki gelombang konjungtur di dalam perekonomian, pertanyaannya, apakah kita siap untuk kemudian menghadapi boom ataupun krisis? Problemnya adalah kita tidak memiliki dana cadangan untuk menghadapi krisis. Jadi kalau kita lihat, APBN tidak ada bedanya sebenarnya dengan bagaimana kita menganggarkan untuk rumah tangga kita. Itu sebabnya setiap rumah tangga mungkin memiliki Tahungan. Saving itu digunakan selain untuk pembelanjaan di masa depan, dan juga untuk berjaga-jaga, motif berjaga- jaga. Saat ini kita sedang menuju ke dalam kondisi depresi, kondisi krisis. - Pertanyaannya adalah adakah dana Pemerintah untuk menanggulangi krisis. Ini yang terlihat bahwa apa pun yang kita miliki itu selalu di- spend . Ketika kita dalam kondisi minyak satu, minyak dua; - Berapa pun yang kita pendapatan yang kita miliki itu semuanya digunakan untuk APBN. Hal yang sama juga terjadi dalam kondisi krisis moneter. Semuanya sama, tidak ada perbedaan. Idealnya kalau kita melakukan counter cyclical , maka dalam kondisi bum, maka akan lebih banyak dilakukan saving . Lalu ketika dalam kondisi krisis, dia akan dilakukan ekspansi fiskal, namun ini tidak terjadi. - Apa dampak dari Undang-Undang MD3? Pada tahun 2001, asumsi makro dibahas di rapat kerja banggar waktu itu dan hanya dibutuhkan waktu dua setengah jam dan tidak diperlukan seorang menteri untuk datang. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 101 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Setelah adanya MD3, lalu kita mengalami tsunami Aceh dan juga peningkatan ICP yang sangat tinggi pada saat itu sehingga Pemerintah terpaksa harus berkonsultasi dengan DPR secara intensif dan dimungkinkan di sini diciptakanlah apa yang disebut dengan APBNP. Benar bahwa APBNP ada di dalam koridor MD3. Tapi pertanyaannya adalah mengapa APBNP harus digunakan? APBNP hanya bisa digunakan kalau memang ada shock yang dari eksternal maupun dari internal yang itu tidak sesuai dengan asumsi dasar yang awalnya itu ditetapkan. - Ketika ada tsunami Aceh, ada peningkatan ICP, wajar kemudian kalau kita memiliki APBNP. Pasca itu sampai tahun 2012 tidak ada tsunami, tidak ada gunung meletus, tetapi mengapa setiap tahun selalu ada APBNP? Ini adalah kesalahan sejarah; - Kita lihat tatib DPR 2005-2009 Pasal 39, Banggar membahas dan mengajukan usul penyempurnaan RAPBN dengan Pemerintah. Yang lebih dahsyat lagi adalah Tatib DPR Tahun 2010-2014 Pasal 61 dan Pasal 65, “Tugas Banggar, satu, bersama Pemerintah menentukan kebijakan fiskal dan prioritas anggaran tiap kementerian dan lembaga.” Ini adalah kewenangan yang sudah terlalu jauh, mengapa tidak ditambahkan saja kebijakan fiskal dan moneter? Sehingga kebijakan fiskal itu adalah kewenangan dari Pemerintah, terutama Kementerian Keuangan. Dengan demikian, sepertinya yang terjadi seperti ini, DPR itu sudah melangkah menjadi eksekutif. - Bahwa tata tertib DPR ini terkait dengan kepentingan internal, mengatur secara internal. Tapi ketika berhadapan dengan Pemerintah, tidak pelak lagi bahwa SOP internal ini akhirnya ditularkan ke eksternal. Ini yang menjadi masalah. - Permasalah yang lain adalah legislatif kurang memiliki informasi dan pengetahuan teknis terkait dengan penyusunan APBN, sehingga kita mendapatkan asymmetric information dan asymmetric capability . DPR tidak dibantu oleh lembaga dengan kapasitas memadai seperti OCB ataupun juga GAO yang ada di Amerika. DPR juga tidak dibantu lembaga independen yang paham tentang APBN. Masalahnya adalah seringkali asumsi makro sering menjadi altar message untuk evaluasi Pemerintah. Ini yang salah kaprah. Seperti kita ketahui, asumsi makro adalah asumsi untuk Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 www.mahkamahkonstitusi.go.id penerimaan dan asumsi tidak harus ditepati. Tetapi mengapa untuk membahas asumsi makro, seorang Kepala BKF harus menyisakan waktu 15 hari kerja untuk membicarakan asumsi makro. - Tentang optimalisasi anggaran, ini adalah teori ekonomi yang membicarakan optimalisasi anggaran. Ada dua hal, yaitu adalah maksimalisasi kesejahteraan atau meminimalisasi biaya. - Yang disebut dengan optimalisasi itu berbeda dengan maksimalisasi. Maksimalisasi itu tidak ada kaitannya dengan constraint , tidak ada pembatasnya, tetapi optimalisasi itu selalu ada batasnya. Yang satu bergerak ke kiri, yang satunya bergerak ke kanan. Itu yang akan kita lihat dari sini, yaitu adalah optimalisasi, maksimalisasi kesejahteraan, atau minimalisasi biaya. - Apa yang dilakukan Banggar adalah maksimalisasi biaya, maksimalisasi anggaran. Jadi, BL-1 itu adalah RAPBN dengan x itu adalah kondisi alokasi RAPBN. Kemudian Banggar melakukan permainan, mencoba menggeser yang namanya asumsi makro agar asumsi makro ini kelihatan optimal untuk didongkrak kemudian. - Perbedaan antara x-1 dengan x-2 yang ada di atas sana, itu akan digunakan nantinya untuk alokasi-alokasi yang sifatnya sebenarnya mungkin tidak diperlukan. Kasus-kasus seperti Hambalang, kasus-kasus seperti Wisma Atlet, kasus-kasus seperti pengadaan Al quran, ini terkait dengan masalah hal-hal seperti ini. Ini yang merupakan salah satu dari korupsi struktural. - Potensi korupsi di penganggaran itu ada di mana? DPR memiliki hak budget. Tapi, mengapa kalau DPR memiliki hak budget , DPR tidak memiliki kewajiban budget? Mengapa kewajiban budget ada di birokrat, namun hak budget ada di DPR? Bagaimana pertanggungan DPR dengan alokasi sumber daya melalui hak budget bahwa itu adalah yang terbaik bagi perekonomian? Masalah koordinasi antara komisi-komisi dan Banggar ini bermasalah. Komisi sudah melakukan pembahasan, tapi itu seringkali dianulir oleh Banggar dan demikian sebaliknya. - Konsep-konsep tentang dana aspirasi, ini juga bermasalah. Level pembahasan mengapa harus satuan III, kenapa tidak di satuan II seperti Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 www.mahkamahkonstitusi.go.id yang ada di negara-negara maju? Bagaimana DPR menindaklanjuti hasil dari BPK? Ini adalah hal yang lain. - Sistem pembahasan APBN kita adalah ultra myopic , kita hanya melihat APBN Tahun 2013 adalah APBN Tahun 2012 ditambah 10% sampai 15%. - Di negara lain, modelnya adalah tiga tahunan, itu sebabnya kemudian mereka memiliki APBNP. Tapi di Indonesia itu aneh, satu tahunan dan ada APBNP. Satu tahun itu adalah anggarannya, pelaksanaannya hanya enam bulan, proyek yang berjalan sebelum bulan Mei. Dan pada tanggal 14 Desember, seluruh proyek harus sudah tutup. - Ada enam asumsi makro, tiga di antaranya adalah faktor eksogen yang tidak bisa dikontrol sama sekali. Pertama ICP, lifting minyak, dan kurs ini adalah tidak bisa dikontrol tiga yang lainnya itu dikontrol itu adalah inflasi, pertumbuhan ekonomi dan tingkat bunga. - Problemnya adalah kemudian mengapa pembahasan asumsi makro sampai bertele-tele? Yang kedua adalah mengapa pertumbuhan ekonomi selalu di dorong agar tinggi karena dampaknya adalah mencari gap itu tadi dan ini tidak rasional, dalam kondisi sekarang, di dalam perekonomian di mana agregat demand itu turun karena resesi perekonomian dunia tidak logis untuk kemudian mematok pertumbuhan ekonomi 6,5%. Sangat tidak logis, tapi pertumbuhan ekonomi yang ada di APBN itu bukan merupakan estimasi yang terbaik dari para pakar yang paham di bidang APBN, tapi merupakan bargaining dari BKF dan kemudian Banggar dan Banggar selalu meminta yang lebih tinggi dari pada apa yang yang bisa di- achieved oleh perekonomian ini. Sehingga akan mengakibatkan apa yang disebut dengan over heating . - Pra 2005 dan pasca 2005 atau pun 2005, lima tahun-lima tahun ke depan, kalau kita lihat antara APBN dan realisasi tidak ada satu pun asumsi makro itu yang tepat karena memang ini adalah asumsi. - Dalam penyusunan APBN yang rasional berikutnya, berikutnya lagi, saya ingin masuk langsung kepada public choice theory . Bagaimanapun juga yang namanya partai politik itu memiliki tujuan memenangkan Pemilu, politisi itu menginginkan terpilih lagi sebagai anggota parlemen, dan pengambilan keputusan untuk kebijakan ekonomi selalu merupakan terdiri dari hubungan di antara kelima bidang ini. Di mana ke lima agen ini sering Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 www.mahkamahkonstitusi.go.id kali memiliki tujuan yang berbeda beda, sehingga di sini hasil dari kebijakan Pemerintah biasanya suboptimal ditinjau dari kacamata ekonomika, tetapi kebijakan akan semakin tidak optimal lagi jika legislatif berusaha berperan sebagai sang eksekutif atau sebaliknya. - Yang dilakukan selanjutnya adalah kita memunculkan apa yang disebut dengan evidence based policy yang terjadi di Indonesia adalah salah kaprah bahwa penyerapan itu menjadi key performance indicator dari Pemerintah. Selalu, ketika bulan Juli orang selalu mengatakan penyerapan baru 30%, penyerapan baru 20%. - Harusnya pertanyaan yang harus kita berikan adalah jika kita memiliki 1.500 triliun di bulan Januari, lalu pertanyaannya, setelah bulan Desember berikutnya kira-kira kesejahteraan masyarakat akan meningkat berapa persen? Itu yang disebut dengan evidence based policy yang didasarkan pada outcome measure dan bukan didasarkan pada output. - Penyerapan adalah output sementara kesejahteraan itu adalah outcome , kalau kita hanya berbicara outcome measure-nya adalah output tidak ada bedanya dengan di keluarga kita memiliki 4 ahli penyerapan, yaitu adalah anak-anak kami yang masih kecil sering kali minta Choki-Choki dan lain sebagainya, itulah ahli penyerapan. Apakah Pemerintah, kementerian dan lembaga disamakan dengan anak kecil? Ini yang menjadi masalah. Sehingga yang harus dimunculkan adalah evidence based policy dengan menggunakan economic evaluation yang gunanya untuk memonitoring pelaksanaan program kebijakan dan evaluasi dampak program dan kebijakan. - Berikutnya, sistem penyusunan anggaran yang rasional adalah terkait dengan optimalisasi alokasi sumber daya, bisa minimalisasi biaya, bisa maksimalisasi welfare , tetapi optimalisasi koordinasi lembaga ada legislatf aktif atau eksekutif aktif. Yang dimaksud dengan kata aktif adalah adanya koordinasi dan pembagian kerja yang jelas antara legislatif dan eksekutif. Pihak yang aktif adalah pihak yang memiliki informasi terbaik dan kapasitas sumber daya manusia yang terbaik dan sayangnya hal itu tidak berada pada banggar atau pun juga DPR. - Bahwa dari data mengenai distribusi pendidikan anggota DPR terdapat fakta bahwa di sana masih ada yang berpendidikan SLTA. Sementara kalau Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 www.mahkamahkonstitusi.go.id di BKF misalkan tidak ada staf BKF yang umurnya lebih dari 50 tahun dan sebagian besar mereka adalah doktor bahkan eselon IV pun itu adalah seorang doktor. Lalu pertanyaannya, bagaimana ketika mereka harus berinteraksi sementara hak anggaran itu sebagian besar ada di DPR? Ini yang menjadi asimetris sebenarnya. - Fakta menunjukan kapasitas SDM DPR lebih lemah dari pada eksekutif. Akses informasi anggota DPR tidak sebaik eksekutif. Kekuasaan eksekutif lebih terbatas dan lebih terkontrol atau lebih terkontrol dari pada DPR. Eksekutif tidak memiliki insentif untuk melakukan political business cycle . Rekomendasi kami adalah DPR dan eksekutif seharusnya menentukan kebijakan jangka panjang perekonomian. Misalkan, pernahkah kita berpikir bagaimana Indonesia 1.000 tahun yang akan datang? Kita tidak pernah berpikir seperti itu, karena yang kita pikirkan hanyalah enam bulanan dan bahkan hanya satu tahunan saja. - Kita tidak pernah berpikir bagaimana menciptakan Indonesia 300 tahun? Itu yang dilakukan oleh bangsa-bangsa besar seperti Inggris dan bahkan bangsa-bangsa tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura. - Eksekutif diperkenankan menyusun RAPBN sampai satuan tiga dan legislatif memastikan atau mengawasi efektivitas dan efisiensi APBN, maksimal hingga ke satuan dua saja. Yang keempat adalah efisiensi dan efektivitas APBN, dimonitor dan dievaluasi dengan menggunakan analisis economy evaluation atau impact evaluation , sehingga yang diukur itu adalah bukan lagi penyerapan, tetapi adalah outcome measure -nya, yaitu adalah seberapa besar peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pemohon juga mengajukan 1 (satu) orang saksi bernama Yuna Farhan yang didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 25 Juli 2013, yang pada pokoknya sebagai berikut: - Saksi memaparkan kesaksian mengenai hasil pemantauan FITRA dalam proses pembahasan anggaran di DPR selama 10-12 tahun; - Hasil pemantauan dan kajian yang dilakukan FITRA terkait dengan fungsi anggaran DPR dalam melakukan pembahasan Undang-Undang APBN. Terdiri dari kewenangan fungsi anggaran DPR, khususnya pada Badan Anggaran. Kemudian pembahasan rincian anggaran, pembahasan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 www.mahkamahkonstitusi.go.id anggaran di luar siklus anggaran, blokir anggaran atau tanda bintang, dan perubahan anggaran. - Konstitusi menyatakan salah satu fungsi DPR adalah fungsi anggaran. Fungsi anggaran ini dijabarkan dalam kedua undang-undang, yaitu Undang- Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Di mana salah satu yang diamanatkan adalah pembentukan alat kelengkapan Badan Anggaran, yang salah satu tugasnya adalah membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok pembahasan pokok- pokok kebijakan fiskal. - Berdasarkan hasil pemantauan sejak diberlakukannya Badan Anggaran yang bersifat tetap, saksi melihat bahwa fungsi Badan Anggaran cenderung tumpang tindih, khususnya dengan tugas yang juga dimiliki oleh alat kelengkapan lain yang berada di DPR, yaitu Komisi XI yang juga membahas berkaitan dengan asumsi ekonomi makro dan juga dengan Komisi VII yang juga membahas soal ICP dan produksi minyak, yang ini juga terkait dengan asumsi ekonomi makro. - Pada praktiknya, asumsi ekonomi makro yang dibahas pada tingkat komisi ini juga masih dapat berubah pada pembahasan di tingkat Badan Anggaran. Saksi melihat ada dua kali pembahasan, yang pertama pembahasan di Komisi VII dan di Komisi XI. Kemudian nanti pada saat dibahas kembali pada saat pembahasan di Badan Anggaran dan ini juga masih dapat berubah. - Seperti kita ketahui banyak yang beranggapan, termasuk juga anggota DPR bahwa fungsi anggaran hanya melekat pada Badan Anggaran, padahal fungsi ini melekat pada setiap anggota DPR. Dalam dalam ketentuan, DPR dapat membahas anggaran yang mengakibatkan berubahnya anggaran. Baik pada sisi pendapatan maupun belanja, sepanjang tidak melebihi batasan defisit. Namun pada praktiknya, fungsi anggaran untuk mengubah pendapatan dan belanja terletak pada Badan Anggaran. - Pada saat Pemerintah mengajukan RAPBN kepada DPR, Badan Anggaran akan membahas secara agregat proyeksi kebijakan pendapatan belanja dan pembiayaan, dan juga asumsi ekonomi makro dimana hasil pembahasan pada asumsi ekonomi makro ini dapat menghasilkan sejumlah Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 www.mahkamahkonstitusi.go.id alokasi anggaran dari hasil optimalisasi, atau ini yang sering dikenal dengan dana optimalisasi. - Sebagai gambaran, jika Pemerintah mengajukan pendapatan Rp 1.000 triliun, kemudian mengajukan belanja Rp 1.100 triliun, DPR bisa melakukan perubahan pendapatan menjadi Rp 1.100 dan belanjanya misalnya berkurang menjadi Rp 1.000 triliun, maka akan diperoleh dana optimalisasi sebesar Rp 200 triliun. - Persoalannya tidak ada satu pun ketentuan yang mengatur bagaimana mekanisme pengalokasian dana optimalisasi ini. Meskipun dana optimalisasi juga dihasilkan pada saat pembicaraan pendahuluan APBN atau pembahasan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal pada bulan Mei dan Juni, namun dana hasil optimalisasi hasil pembicaraan pendahuluan ini juga masih dapat berubah kembali pada saat pembahasan anggaran pasca presiden menyampaikan nota keuangan dan RAPBN ke DPR. - Umumnya, dana optimalisasi ini baru diputuskan atau diketahui pada saat menjelang akhir pembahasan anggaran. Karena pembahasan anggaran dilakukan secara bersamaan antara Komisi dan Badan Anggaran. Akibatnya terjadi penambahan anggaran pada kementerian/lembaga, pada mitra-mitra komisi yang dimana mitra-mitra komisi dan kementerian/ lembaga ini harus segera membuat dan dibahas rincian kegiatannya, baik rincian kegiatan baru ataupun penambahan volume. - Seperti biasa dana optimalisasi ini juga sangat rawan terhadap penyimpangan karena pada praktiknya, beberapa tambahan anggaran seperti kasus-kasus praktik korupsi yang terjadi saat ini, dana optimalisasi, kemudian dana optimalisasi ini bisa digunakan sebagai dana penyesuaian. Kemudian Wisma Atlit, kasus Hambalang, dan pengadaan Al quran di mana semua ini diperoleh dari dana optimalisasi. - Sebagai gambaran, saksi memiliki data mengenai dana optimalisasi RAPBN dan APBN 2013. Sebagai gambaran misalnya pendapatan RAPBN yang diajukan Pemerintah 2013 adalah Rp1.500 triliun. Kemudian belanja Rp1.600 Triliun. Kemudian setelah dibahas oleh DPR, pendapatan dan belanja ini bisa bertambah atau pun berkurang. Jadi kita lihat dipendapatan itu berkurang dan di belanja itu mengalami penambahan. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Kemudian juga saksi bisa melihat bahwa ada kementerian-kementerian lembaga yang mendapatkan dana optimalisasi besar. Jadi setelah DPR membahas RAPBN yang berdasarkan RKP, kementerian-kementerian lembaga ini hanya mengelompokkan lima, mendapatkan tambahan alokasi berdasarkan bersumber dari dana optimalisasi. Misalnya, Kementerian Pekerjaan Umum Rp 8,8 triliun, KPU Rp 7,3 triliun, Kemendikbud Rp 7 triliun, Kemenhub Rp 5,3 triliun, Kemenhan Rp 4,2 triliun. - Tambahan-tambahan anggaran pada saat pembahasan anggaran ini akan sangat menyulitkan kementerian lembaga, di mana mereka juga harus merumuskan kegiatan-kegiatan baru ataupun menambah, menambah anggaran yang sebelumnya mereka tidak rencanakan. Nah pada akhirnya, Rp 7 triliun ini menjadi perencanaan yang bisa dikatakan bahwa ini menjadi perencanaan yang tidak, tidak optimal. Dan ada juga kementerian lembaga yang dipangkas cukup besar, seperti Kementerian Pertanian, DPD, Seskab, termasuk MK, dan KPK. - Lima kementerian lembaga yang justru dipangkas terbesar dan kami juga melihat tidak ada informasi naik turunnya dari alokasi anggaran ini. Artinya tidak ada penjelasan mengapa alokasi anggaran kementerian lembaga ini naik dan kementerian lembaga yang lain turun? - Menurut hasil dari kajian Bappenas, kami melihatnya bahwa dana optimalisasi ini bisa menimbulkan terjadinya distorsi rencana dan anggaran. Bappenas mencoba membandingkan, misalnya antara rencana kerja Pemerintah 2012 dengan rencana kerja anggaran kementerian lembaga 2012 dimana terdapat penambahan jumlah indikator atau output, atau bisa katakan sub indikator atau sub kegiatan dari 1.715 menjadi 3.991. Dan tentunya ketika ada penambahan rincian atau sub dari kegiatan indikator ini, kementerian lembaga juga harus kembali bekerja keras untuk menyusun TOR dari rincian anggaran tersebut. - Bahwa dari hasil pemantauan yang saksi lakukan sangat tidak mungkin DPR, terutama komisi yang membahas anggaran bersama mitra atau kementerian lembaganya mampu membahas seluruh rincian anggaran. - Pertama, DPR tidak memiliki kapasitas dan cukup waktu untuk membahas puluhan ribu mata anggaran atau line item. Hal ini berakibat pada, pada akhirnya berakibat pada pemberian tanda bintang atau blokir anggaran Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 www.mahkamahkonstitusi.go.id karena belum selesai dibahas atau pada akhirnya paripurna anggaran hanya sekedar formalitas belaka. - Oleh karena itu, seharusnya DPR memiliki fokus pada kinerja dan hasil kegiatan yang bersifat inisiatif baru, serta prakiraan maju untuk menjaga konsistensi penerapan dari kerangka pengeluaran jangka menengah atau MTEF. - Bahwa sebetulnya APBN hanya formalitas, karena tidak, tidak memiliki cukup waktu dan harus membahas rincian anggaran. Pada akhirnya, ketika Undang-Undang mengamanatkan bahwa pembahasan APBN harus ditetapkan terinci sampai berdasarkan klasifikasi menurut fungsi ekonomi dan jenis belanjanya, pada akhirnya, rapat paripurna pengesahan APBN lebih sekedar formalitas belaka. Seperti bisa dilihat pada saat APBN perubahan 2010 dilakukan pengesahan APBN 3 Mei, pada tanggal 3 Mei 2010. Namun, kalau kita melihat batas waktu dari rincian anggaran itu baru diselesaikan pada 15 Mei. Begitu pula APBN 2011 diparipurnakan 26 Oktober, namun baru selesai finalnya 12 November 2010, dan selanjutnya. - Beberapa kelemahan yang kami lihat ketika pembahasan anggaran di luar Paripurna APBN, dimana tidak ada lagi pihak-pihak yang melakukan pengawasan dan pemantauan publik maupun media akan cenderung melihat bahwa pembahasan APBN sudah selesai. Namun pada praktiknya, sebetulnya pembahasan di luar siklus APBN masih terus terjadi. - Perubahan berkaitan dengan blokir anggaran, saksi melihat juga bahwa karena waktu tidak memiliki dan tidak cukup, maka DPR juga menggunakan salah satu kewenangannya yaitu melakukan blokir anggaran atau memberikan tanda bintang. Dari hasil catatan kami, pemantauan kami pada tahun 2011 misalnya ada 6.101 mata anggaran senilai Rp 63,4 triliun yang diblokir atau diberikan tanda bintang. Pada tahun 2012, ada Rp 78,5 triliun yang diblokir oleh DPR. Dan pada tahun 2013, ada Rp 163 triliun yang diblokir oleh DPR pertanggal 5 Desember. - Padahal rencana anggaran belanja Pemerintah Pusat itu sudah harus selesai 30 November dan saksi melihat bahwa blokir anggaran ini pada akhirnya akan dibahas atau didiskusikan di luar dari siklus pembahasan anggaran yang resmi. Saksi juga melihat proses pemblokiran anggaran ini menjadi ruang dari praktik perburuan rente atau praktik korupsi karena Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 www.mahkamahkonstitusi.go.id pemblokiran anggaran dicabut hanya dengan membutuhkan persetujuan pimpinan komisi atau banggar atau anggota banggar pada komisi tersebut, dan ini memberikan ruang lebih tertutup yang cenderung bersifat informal dan praktik-praktik korupsi yang telah terjadi saat ini mengonfirmasi terjadinya praktik pembintangan anggaran sebagai ruang atau titik rawan dari terjadinya praktik korupsi seperti kasus Hambalang, Wisma Atlet, dana penyesuaian, dan lain-lain. - Bahwa Undang-Undang memberikan jaminan bahwa perubahan anggaran dapat dilakukan sepanjang terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan pergeseran anggaran. Namun, pada praktiknya perubahan anggaran ini justru menjadi praktik yang wajib dilakukan setiap tahun. Padahal, jika kita melihat bahwa sebetulnya perubahan anggaran bisa saja tidak dilakukan apabila penyusunan atau perencanaan anggaran dilakukan secara presisi atau lebih tepat dalam memperkirakan terjadinya perubahan-perubahan asumsi. - Saksi melihat juga perubahan asumsi perubahan anggaran merupakan ruang yang sangat terbuka untuk terjadinya praktik korupsi. Pertama, waktu pembahasan. Hal ini terjadi karena waktu pembahasan yang relatif singkat dan membahas penambahan anggaran yang dalam jumlah yang relatif besar. Waktu pembahasan perubahan anggaran berbeda dengan waktu pembahasan APBN murni. Waktu pembahasan anggaran perubahan hanya satu bulan di mana DPR harus membahas perubahan-perubahan anggaran dalam jumlah yang relatif besar. - Pada tahun 2012 terjadi belanja pusat pada APBN Rp964 triliun, dan belanja pusat pada APBNP Rp1.069.534.000.000,00. Ini menunjukkan bahwa hampir terjadi penambahan anggaran Rp100 triliun di mana harus dibahas dalam waktu satu bulan. - Praktik ini yang menyebabkan pada akhirnya anggaran menjadi tidak efektif, tidak terserap, dan rawan mark-up . Salah satu contohnya adalah kasus Al- Quran di mana terjadi penambahan anggaran untuk pengadaan Al-Quran dalam jumlah yang relatif besar pada saat perubahan-perubahan anggaran. - DPR saat ini terjebak dalam euforia karena memiliki kewenangan yang besar dalam membahas anggaran namun tidak disertai dengan akuntabilitas yang memadai. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 www.mahkamahkonstitusi.go.id - Oleh karena itu, perlu ada kepastian hukum khususnya berkaitan dengan diskresi badan anggaran, terutama berkaitan dengan ketika ada dana optimalisasi dan juga berkaitan dengan blokir anggaran. Badan anggaran juga seharusnya bisa mengunci asumsi ekonomi makro dan pagu pendapatan dan belanja agar tidak berubah lagi pada saat pembahasan selanjutnya. - Pembatasan mengenai dana optimalisasi juga perlu dibatasi, khususnya hanya pada kegiatan-kegiatan yang memang tercantum dalam rencana kerja Pemerintah bersifat mendesak ataupun digunakan hanya untuk mengurangi defisit APBN. Fungsi anggaran DPR membahas pada level kebijakan anggaran dan capaian kinerja, hal ini mengingat bahwa DPR tidak akan mampu untuk membahas rincian seluruh anggaran. - Meminimalisir kegiatan perubahan anggaran hanya diperuntukkan untuk kegiatan-kegiatan yang sudah berada dalam RKP, kemudian yang bersifat bukan kegiatan baru dan hanya digunakan untuk menutup defisit. [2.3] Menimbang bahwa Pemerintah menyampaikan opening statement secara lisan dalam persidangan tanggal 5 Juni 2013, serta menyerahkan keterangan tertulis tanpa tanggal bulan Juni 2013 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Agustus 2013 yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut : I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON 1. Menurut para Pemohon ketentuan Pasal 104, Pasal 105 ayat (1) dan Pasal 107 ayat (1) huruf c UU MD3, yang mengatur mengenai keberadaan Badan Anggaran yang bersifat tetap akan berpotensi menimbulkan praktik oligarki dan berpotensi disimpangi baik untuk kepentingan perorangan, pebisnis bahkan pendanaan kegiatan partai politik;
Menurut para Pemohon ketentuan Pasal 107 ayat (1) huruf c sepanjang frase “membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden” dalam __ UU MD3 menimbulkan ketidakpastian hukum karena dapat ditafsirkan seolah-olah Badan Anggaran dapat berperan seperti komisi di DPR untuk membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN;
Menurut para Pemohon, kewenangan DPR untuk membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 157 ayat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 www.mahkamahkonstitusi.go.id (1) huruf c sepanjang frase “rincian” dalam UU MD3 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 4. Menurut para Pemohon, kewenangan DPR untuk menyetujui secara rinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) UU MD3 haruslah dipahami bukan merupakan kewenangan untuk melakukan Pembahasan secara terperinci sampai dengan jenis belanja sebagaimana angka 3.
Bahwa pada intinya menurut Pemohon ketentuan Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 156 huruf a, huruf b dan huruf c angka 2, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU MD3 dan Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 159 ayat (5) UU Keuangan Negara bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 www.mahkamahkonstitusi.go.id Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ( vide putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Atas hal-hal tersebut di atas, kiranya perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan ketentuan Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) huruf, Pasal 156 huruf a, huruf b dan huruf c angka 2, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU MD3 dan Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 159 ayat (5) UU Keuangan Negara. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 www.mahkamahkonstitusi.go.id Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon. Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk menilai dan memutuskannya. III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI 1. Bahwa tujuan bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara tersebut dibentuk pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 23 UUD 1945 menyatakan bahwa “ Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah” bahwa penetapan APBN itu harus dilakukan dengan persetujuan para wakil rakyat, karena keuangan negara itu sendiri merupakan hak milik rakyat. Keterlibatan DPR dalam pembahasan APBN merupakan perwujudan dari fungsi DPR sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.” 3. Bahwa menurut Pemerintah, pembahasan Anggaran oleh DPR pada hakikatnya adalah pelaksanaan hak budget DPR guna menjamin bahwa RAPBN yang diajukan Pemerintah telah sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 115 www.mahkamahkonstitusi.go.id UUD 1945 yang menyatakan bahwa APBN digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dalam hal ini, pembahasan RAPBN oleh DPR merupakan pembicaraan yang bersifat strategis terkait fungsi anggaran untuk mencapai tujuan bernegara. RAPBN yang telah dibahas oleh DPR secara strategis tersebut selanjutnya dirinci menurut unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja untuk berbagai keperluan baik dalam kerangka pendekatan otorisasi maupun pendekatan analisis.
Bahwa makna, maksud dan tujuan penetapan susunan dan anggota Badan Anggaran pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang adalah justru untuk menjaga konsistensi dalam pelaksanaan tugas dan pertanggungjawaban badan anggaran dalam menentukan kebijakan fiskal secara umum dan prioritas, membahas Undang-Undang tentang APBN, melakukan sinkronisasi, membahas pokok-pokok penjelasan serta membahas rancangan Undang-Undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
Secara prinsip dalam melaksanakan tugasnya Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi. Anggota komisi dalam Badan Anggaran harus mengupayakan alokasi anggaran yang diputuskan komisi dan menyampaikan hasil pelaksanaan tugas, hal ini menunjukkan bahwa dalam melaksanakan kewajibannya dibidang Anggaran telah memperhatikan semua komisi yang ada dalam DPR.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa fungsi anggaran DPR terkait erat dengan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi menetapkan kebijakan yang harus dijadikan pegangan dalam penyusunan program dan anggaran. Sedangkan fungsi pengawasan bertindak mengawasi kualitas pelaksanaan APBN dan APBD. Dalam praktik, tentu diperlukan pembedaan yang jelas mengenai pengawasan terhadap pelaksanaan APBN dan APBD itu di lapangan, sampai sejauh mana kegiatan pengawasan dimaksud merupakan bagian dari fungsi pengawasan atau merupakan bagian dari fungsi anggaran. Sehingga menurut Pemerintah persetujuan DPR secara terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 116 www.mahkamahkonstitusi.go.id merupakan penerapan azas spesialitas anggaran yaitu kejelasan peruntukan suatu anggaran, yang pada dasarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan kepada Pemerintah.
Bahwa fungsi Badan Anggaran DPR adalah berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan dalam bentuk program-program kerja pemerintahan dan pembangunan untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Oleh sebab itu, pelaksanaan fungsi anggaran DPR dimulai dengan penjabaran berbagai kebijakan- kebijakan yang tertuang berupa program-program kerja pemerintahan dan pembangunan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelaksanaan fungsi anggaran DPR tidak hanya berkaitan dengan persoalan angka-angka anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah serta bagaimana distribusi dan alokasinya untuk pelaksanaan program-program pemerintahan dan proyek-proyek pembangunan. Bahkan penyusunan angggaran pendapatan dan belanja tahunan itu harus pula mengacu kepada perencanaan yang dituangkan dalam bentuk Undang-Undang, yaitu UU tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang kemudian dijabarkan setiap tahunnya dengan UU tentang APBN.
Keseimbangan peran antara DPR dan Pemerintah haruslah ideal, dalam penyusunan anggaran, dari sisi Pemerintah, peran yang dilaksanakan oleh Badan Anggaran dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) yang menentukan aneka program dan proyek- proyek pembangunan untuk kepentingan rakyat dan selanjutnya menyusun program pembangunan dari kacamata pemerintahan.
Terkait dengan permohonan para Pemohon yang menguji kewenangan DPR yang tercantum dalam Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU MD3 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menurut Pemerintah, RAPBN adalah satu-satunya RUU yang pengajuannya hanya bisa dilakukan oleh Pemerintah kepada Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 117 www.mahkamahkonstitusi.go.id DPR. Pembahasan antara Pemerintah dengan DPR mengenai APBN pada dasarnya untuk mendapat persetujuan/penolakan. Menurut Pemerintah, rapat paripurna merupakan forum tertinggi/terakhir pengambilan keputusan atas RAPBN yang diajukan oleh Pemerintah. Dalam hal DPR tidak menyetujui, maka digunakan anggaran tahun sebelumnya. Sejalan dengan pemikiran tersebut, bagi kesinambungan pemerintahan maka sesuai UU Keuangan Negara, APBN harus disetujui oleh DPR selambat-lambatnya 2 bulan sebelum tahun anggaran dimulai. Bahwa menurut Pemerintah, terjadinya pemblokiran anggaran yang dilakukan DPR, merupakan wujud dari persetujuan bersyarat terhadap suatu alokasi anggaran, terjadi karena alasan yang bersifat teknis, dikarenakan terkadang Pemerintah baru dapat menyampaikan rencana kegiatan secara garis besar, dan belum menyampaikan rincian kegiatan secara detail. Padahal di sisi lain, penetapan anggaran dan perumusannya menjadi Undang-Undang harus segera dilakukan. Pencantuman tanda bintang oleh DPR dapat dipertanggungjawabkan karena dari sisi legislatif, hal ini tidak mengurangi kewenangan DPR untuk melakukan pengawasan, sedangkan dari sisi eksekutif, memberikan jaminan pendanaan sehingga rencana kerja Pemerintah tidak terhambat.
Terkait dengan permohonan para Pemohon yang menguji proses dan ruang lingkup pembahasan APBN-P yang tercantum dalam Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) dan Pasal 156 butir c angka 2 UU MD3 menurut Pemerintah yang direncanakan dalam RAPBNP adalah suatu keadaan yang sangat mendesak dimana hal-hal yang dapat menyebabkan perubahan APBN sesuai Pasal 71 huruf g dikarenakan perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN, perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan dan antar jenis belanja serta keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
Pemerintah berpandangan di masa mendatang, diharapkan peran Badan Anggaran DPR dapat diperkuat kapasitas kelembagaannya agar dapat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 118 www.mahkamahkonstitusi.go.id mendukung upaya penguatan fungsi anggaran DPR dalam menjalankan tugas bersama Pemerintah. Meskipun yang mengajukan Rancangan APBN adalah Pemerintah, tetapi untuk membahas rancangan itu secara bersama guna mencapai persetujuan bersama atas materi dan dasar hukumnya dalam bentuk Undang-Undang, kapasitas DPR, khususnya Badan Anggaran haruslah cukup kuat dan memadai.
Pemerintah sangat menghargai usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat dalam ikut memberikan sumbangan dan partisipasi pemikiran dalam membangun penguatan Badan Anggaran. Di masa depan pemikiran-pemikiran masyarakat tersebut akan menjadi sebuah rujukan yang sangat berharga bagi pembentuk Undang-Undang. IV. KESIMPULAN 1) Berdasarkan penjelasan tersebut, Pemerintah memohon kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa permohonan pengujian Undang-Undang a quo berkenan untuk memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono) . [2.4] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR- RI) menyampaikan keterangan lisan dalam persidangan tanggal 5 Juni 2013, serta menyampaikan keterangan tertulis tertanggal 5 Juni 2013 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 19 September 2013, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: A. KETENTUAN UNDANG-UNDANG KEUANGAN NEGARA DAN UNDANG- UNDANG MPR, DPR, DPD, dan DPRD YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Para Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian materiil terhadap Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara, Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 156 huruf a dan huruf b dan huruf c angka 2, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 159 ayat (5), dan Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 119 www.mahkamahkonstitusi.go.id B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN Para Pemohon dalam permohonan a quo , mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian materill terhadap UUD 1945 yang pada pokoknya sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo C. KETERANGAN DPR RI Terhadap permohonan pengujian UU Keuangan dan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut: I. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulya untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. II. Pengujian UU Keuangan Negara dan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD Terhadap pandangan-pandangan Pemohon dalam permohonan a quo , DPR memberi keterangan sebagai berikut:
Bahwa dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa dalam menciptakan pengelolaan keuangan negara yang profesional, khususnya dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tidak dapat terlepas dari keberadaan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia selaku lembaga legislatif yang memiliki kewenangan terhadap fungsi anggaran sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 120 www.mahkamahkonstitusi.go.id 3. Dalam rangka melaksanakan fungsi anggaran sebagaimana tercantum dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 tersebut, kemudian Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan yang kemudian ditentukan bahwa Rancangan UU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan dari DPD.
Bahwa untuk melaksanakan pelaksanaan fungsi anggaran sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 20A ayat (1) juncto Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dan dalam rangka mewujudkan penguatan dan pengefektifan pelaksanaan fungsi anggaran, maka Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia membentuk Alat Kelengkapaan Dewan (AKD) yang mendukung fungsi anggaran dalam menyusun APBN tersebut, Pembentukan AKD dimaksud harus lebih baik dan bersifat professional baik dari segi kualitas maupun kedudukan yang ada dalam struktur Alat Kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Penguatan dimaksud dilakukan dengan mengubah nomenklatur Panitia Anggaran yang secara harfiah lebih bersifat atau paling tidak bermakna sementara menjadi Badan Anggaran yang lebih bersifat institusi yang tetap.
Bahwa Badan Anggaran yang bersifat tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD dan DPRD, yang berbunyi “Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan yang besifat tetap”, dan yang selanjutnya bahwa “DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang,” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD, diatur dalam rangka memperkuat pengelolaan keuangan Negara yang dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab yang bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 121 www.mahkamahkonstitusi.go.id 6. Bahwa pengaturan mengenai belanja negara dan pembahasan APBN yang dibahas sampai dengan organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja, sebagaimana diatur dalam Pasal 107 ayat (1) huruf c: Pasal 157 ayat (1), Pasal 159 ayat (5) UU MPR, DPR, DPD dan DPRD serta Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara bertujuan agar Dewan Perwakilan Rakyat selaku lembaga legislatif yang memiliki fungsi anggaran, dapat mengetahui, menyetujui, dan menetapkan fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja pemerintah dan mencegah terjadi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara khususnya APBN.
Bahwa terkait dengan tugas dan kewenangan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 71 huruf g UU MPR, DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi “ DPR mempunyai tugas dan wewenang membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden ” yang selanjutnya diatur pelaksanaannya dalam Pasal 156 UU MPR, DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi: ”Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf g, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut:
pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka menyusun rancangan APBN;
pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan penyampaian rancangan Undang-Undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh Presiden;
pembahasan:
laporan realisasi semester pertama dan prognosis 6 (enam) bulan berikutnya;
penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi: a) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN; b) perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 122 www.mahkamahkonstitusi.go.id c) keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan/atau d) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan; e) pembahasan dan penetapan rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang tentang APBN; dan f) pembahasan dan penetapan rancangan Undang-Undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. pada prinsipnya ketentuan tersebut adalah telah sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “ Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakila Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.” 8. Bahwa dalam pembahasan RUU APBN terdapat beberapa proses yang dilalui seperti pembicaraan pendahuluan dan penyampaian nota keuangan, merupakan suatu siklus pembahasan dan penetapan APBN yang bertujuan untuk menciptakan suatu pengelolaan keuangan Negara yang berorientasi pada prinsip akutabilitas, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Bahwa pengaturan dalam Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) yang berbunyi sebagai berikut:
Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang, setelah rancangan undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR.
Dalam hal tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 123 www.mahkamahkonstitusi.go.id dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), pembahasan perubahan APBN dilakukan dalam rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan keuangan Pemerintah pada prinsipnya juga merupakan suatu siklus pembahasan dan penetapan APBN sebagaimana disebutkan dalam butir 7 di atas.
Bahwa dengan demikian terhadap pendapat para Pemohon yang menyatakan anggaran pendapatan dan belanja negara yang disahkan melalui Undang-Undang membuka ruang bagi DPR memainkan politik transaksi kepentingan diluar kepentingan rakyat dikaitkan dengan ketentuan yang mengatur pelaksanaan fungsi anggaran DPR RI sebagaimana diatur dalam pasal-pasal a quo , DPR RI berpandangan hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan dalam penerapan norma, dan terhadap hal tersebut sudah ada mekanisme penanganannya yang selama ini telah dan sedang berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Demikian Keterangan DPR kami sampaikan sebagai bahan pertimbangan bagi Ketua/Majelis Hakim Konstitusi dalam mengambil putusan sebagai berikut:
Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk seluruhnya;
Menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara, Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1), Pasal 156, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 159 ayat (5) dan Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945.
Menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara, Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1), Pasal 156, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 159 ayat (5) dan Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. [2.5] Menimbang bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menyampaikan keterangan lisan dalam persidangan tanggal 21 Agustus 2013, serta menyerahkan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 Agustus 2013 yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 124 www.mahkamahkonstitusi.go.id A. Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi yang Terbukti Dilakukan oleh Anggota DPR-RI yang sebagiannya juga Merangkap sebagai Anggota Banggar DPR-RI Bahwa berdasarkan data penanganan perkara yang dilakukan KPK sejak Tahun 2004-2012, maka sebagaimana tercantum dalam Laporan Tahunan KPK Tahun 2012 menunjukkan dan dapat disimpulkan menjadi beberapa hal, yaitu sebagai berikut: Kesatu, pada katagorisasi perkara yang didasarkan atas jabatan, yaitu pelaku yang berasal dari kelompok penyelenggara negara maka anggota DPR-RI/DPRD menempati posisi terbesar (65 orang) dari seluruh perkara yang ditangani KPK; Kedua, pada katagorisasi kasus berdasarkan jenis perkara, tindak pidana korupsi yang terkait dengan penyalahgunaan anggaran menempati posisi 3 besar (38 perkara) dari seluruh pelaku yang berasal dari anggota dewan, setelah kasus penyuapan (116 perkara) dan kasus pengadaan barang dan jasa (107 perkara); Ketiga, berdasarkan butir kesatu dan kedua maka lebih dari 50% perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK dilakukan oleh pelaku yang berasal dari anggota DPR-RI/DPRD berkaitan dengan penyalahgunaan anggaran. Berdasarkan jumlah, jenis, dan pelaku perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan anggota DPR-RI/DPRD, perbuatan yang dilakukan oleh para anggota parlemen tersebut berkaitan dan karenanya tidak dapat dipisahkan dari fakta dan indikasi penyalahgunaan kewenangan sebagai anggota DPR-RI/DPRD yang sebagiannya juga merupakan anggota Banggar DPR-RI. Kewenangan menjadi bersifat semacam transaksional karena kewenangan yang bersifat dan ditujukan bagi kepentingan publik digunakan untuk kepentingan pribadinya sendiri dan/atau orang lain, maupun kelompoknya. Hal ini menjadi salah satu sorotan dan perhatian publik, yaitu adanya sinyalemen atau dugaan kuat bekerjanya 'Mafia Anggaran' yang mampu mengatur alokasi anggaran APBN, serta mengutip fee atas pengaturan tersebut. Beberapa kasus tindak pidana korupsi yang menarik perhatian publik adalah tindak pidana korupsi yang melibatkan 3 (tiga) anggota Badan Anggaran DPR-RI, yaitu Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 125 www.mahkamahkonstitusi.go.id M. Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Wa Ode Nurhayati. Keseluruhan kasus di atas, modus operandinya hamper sama, yaitu dengan melibatkan aktor, atau 'oknum' yang berasal dari pihak legislatif, eksekutif (kementerian/Iembaga pusat dan pemerintah daerah), dan pengusaha serta pihak terkait lainnya. Dalam sidang perkara dengan Terdakwa M. Nazaruddin (sekarang sebagai terpidana dan tersangka kasus lain yang sedang dalam proses penyidikan) sebagai anggota DPR-RI dan anggota Banggar telah terbukti bahwa Terdakwa menerima hadiah berupa 5 (lima) lembar cek senilai Rp:
675.700.000,- dari Mohamad El Idris sekaligus Manager Marketing PT. Duta Graha Indah (PT. DGI) karena Terdakwa telah berhasil mengupayakan PT. DGI sebagai pemenang proyek pembangunan Wisma Atlet Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan. Pemberian tersebut diterima Terdakwa melalui staf bagian Keuangan PT. Anak Negeri milik Terdakwa sebagai fee 13% dari nilai kontrak proyek pembangunan Wisma Atlet tersebut. Selain Terdakwa, fee tersebut juga diberikan antara Iain kepada Wafid Muharam (Sesmenpora), Mindo Rosalina Manullang, dan Panitia Pengadaan. Keberhasilan Terdakwa mengupayakan PT. DGI sebagai pemenang proyek pembangunan Wisma Atlet tersebut adalah atas bantuan Angelina Sondakh selaku anggota Banggar dari Komisi X DPR Rl berdasarkan permintaan Terdakwa. Dalam persidangan juga terbukti bahwa pemberian fee tersebut di atas merupakan suap atau uang pelicin yang berasal dari penggelembungan nilai proyek (mark up). Upaya Terdakwa untuk menggolkan proyek tersebut dilakukan melalui jaringan informal, dimana Terdakwa adalah juga pemilik holding company korporasi di atas atau setidaknya pengendali perusahaan tersebut dan sekaligus berkedudukan dan menjabat sebagai Anggota Banggar DPR-RI. Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Nomor 69/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST dengan Terdakwa M. Nazaruddin (halaman 483 dan 487) menyebutkan: "Bahwa Terdakwa duduk sebagai anggota Badan Anggaran DPR Rl berdasarkan keputusan DPR Rl Nomor 48/DPR Rl/l/2009-2010 tentang Pembentukan dan Pengesahan Susunan Keanggotaan Badan Anggaran DPR Rl masa keanggotaan tahun 2009-2014 kemudian diperbaharui dengan Keputusan DPR Rl Nomor 01 A/PIMP/l/2010-2011 tentang Perubahan ketujuh atas Keputusan DPR Rl NoAQ/DPR Rl/l/2009-2010 tentang Pembentukan dan Pengesahan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 126 www.mahkamahkonstitusi.go.id Susunan Keanggotaan Badan Anggaran DPR Rl Masa Keanggotaan tahun 2009- 2014 Tahun Sidang 2009-2010." (Putusan hal 483) "Menimbang, bahwa dari rangkaian fakta-fakta hukum di atas dipandang telah cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa telah mengetahui atau patut menduga bahwa penerimaan hadiah berupa cheque tersebut terkait dengan kekuasaan dan kewenangannya serta pertemanan dengan anggota Komisi X DPR Rl yang mempunyai mitra kerja dengan Kemenpora, meskipun Terdakwa tetap menyangkal hingga dalam Pleidoinya mengatakan tidak mengetahui pemberian saksi Mohamad El Idris kepada saksi Yulianis tentang pemberian uang komisi tersebut dengan alasan karena Terdakwa telah melepaskan kepengurusan dan kepemilikan atas perusahaan yang ada di group Permai setelah menjadi anggota Komisi III DPR Rl, dimana Jabatan Terdakwa tidak terkait dengan penganggaran Kementerian Pemuda dan Olah Raga..." (Putusan hal 487) Hal ini juga terjadi dalam perkara dan persidangan tindak pidana korupsi yang dilakukan Terdakwa Wa Ode Nurhayati. Dalam kapasitasnya sebagai anggota Banggar DPR-RI, yang bersangkutan telah menggunakan pengaruh jabatannya terkait pengalokasian Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) tahun 2011 sebesar Rp 7,7 triliun untuk 524 daerah kabupaten dan kota yang dilakukan secara tidak transparan. Keadaan dimaksud mendorong berbagai daerah untuk berlomba-lomba "me-lobby" Banggar DPR-RI guna mendapatkan alokasi dana tersebut. Dalam persidangan terungkap bahwa Zamzami, Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Aceh Besar, bersama-sama dengan Taufik Reza, pengusaha Aceh Besar, dan Zoel Bahar Syah, Ketua KADIN Pidie Jaya, telah mengumpulkan sejumlah uang untuk menggolkan anggaran DPID untuk Aceh Besar, Pidie Jaya dan Bener Meriah. Dana itu diserahkan kepada Wa Ode Nurhayati melalui perantaraan Sefa Yolanda yang berasal dari Fahd A. Raflq dan Haris Andi Surahman. Penerimaan uang tersebut telah terbukti dalam persidangan perkara aquo sebagaimana disebutkan dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Nomor 30/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST dengan Terdakwa Wa Ode Nurhayati (halaman 432 dan 436) yang menyebutkan: "Menimbang, bahwa dari rangkaian fakta perbuatan Terdakwa Wa Ode Nurhayati, S.Sos. tersebut, yang telah menerima sejumlah uang hingga sebesar Rp. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 127 www.mahkamahkonstitusi.go.id 6.250.000.000,- (enam milyar dua ratus lima puluh juta rupiah), yang mana uang tersebut terkait dengan dana alokasi DPID untuk Aceh Besar, Bener Meriah, Pidie Jaya, dan dana penyesuaian bidang kesehatan Kabupaten Minahasa, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa Wa Ode Nurhayati S.Sos, tersebut dapat dikualifisir sebagai perbuatan yang telah menerima hadiah sebagaimana dimaksud dalam unsur ke dua Pasal 12 huruf a, dengan demikian unsur menerima hadiah atau janji telah terpenuhi dan ada dalam perbuatan Terdakwa" (Putusan hal 432) Menimbang, bahwa dari rangkaian fakta hukum tersebut, maka Majelis Hakim berpendapat, bahwa perbuatan Terdakwa yang telah menerima sejumlah uang dari saksi Fahd El Fouz dan saksi Saul Paulus David Nelwan untuk mengurus dana DPID Tahun Anggaran 2011, yang mana Terdakwa Wa Ode Nurhayati, S.Sos, adalah sebagai Anggota DPR-RI dan juga sebagai Anggota Badan Anggaran DPR-RI, maka perbuatan Terdakwa tersebut dapat dikualifisir sebagai perbuatan diketahui bahwa pemberian uang tersebut merupakan hadiah atau janji untuk menggerakkan agar Terdakwa Wa Ode Nurhayati, S. Sos, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, dengan demikian unsur ketiga dari Pasal 12 huruf a yaitu padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya telah terpenuhi dan ada dalam perbuatan Terdakwa" (Putusan hal 436) Begitupun dengan perkara Tindak Pidana Korupsi lainnya, Terdakwa (sekarang Terpidana) Angelina Pingkan Sondakh telah terbukti menerima hadiah yang diakibatkan oleh tindakannya dalam melakukan sesuatu berkaitan dengan jabatannya selaku anggota DPR-RI dan Anggota Banggar. Hal dimaksud terkait dengan pengurusan anggaran pada Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Kementerian Pendidikan Nasional antara tahun 2010-2011. Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Nomor 54/Pid.B.TPK/2012/PN. JKT.PST dengan Terdakwa Angelina Sondakh (halaman 324) menyebutkan: "Menimbang, bahwa dengan memperhatikan fakta-fakta sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan unsur ke-2 dan ke-3 di atas dapat diketahui bahwa terdapat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 128 www.mahkamahkonstitusi.go.id beberapa perbuatan yang tergolong sejenis yaitu perbuatan Terdakwa yang telah menerima dari Permai Grup yang seluruhnya berjumlah Rp. 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah) dan sebesar US$ 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu dollar Amerika Serikat) yang dilakukan secara berturut-turut, yakni kurang lebih sebanyak 4 kali penerimaan uang dalam kurun waktu 2010, yang merupakan pemujudan dari kehendak Terdakwa yang berhubungan dengan jabatannya, yakni sebagai anggota badan anggaran Komisi X DPR Rl, yang telah menyanggupi akan mengusahakan supaya anggaran yang dialokasikan untuk sejumlah proyek Universitas Negeri di Kemendiknas dapat disesuaikan dengan permintaan Permai Grup dengan meminta imbalah fee sebesar 5% dari nilai proyek yang akan digiring tersebut sebagaimana kesepakatan yang dibuat oleh Terdakwa dengan saksi Mindo Rosalina Manulang... dst". B. Kajian berupa Assessment KPK mengenai Pelaksanaan Fungsi dan Kewenangan DPR-RI/DPRD dalam Bidang Anggaran (budgeting) yang Berkaitan dengan Banggar serta Fungsi dan Kewenangan Pengawasan DPR-RI, Bahwa KPK telah melakukan kajian berupa assessment terkait Perencanaan dan Penyusunan APBN di DPR pada tahun 2009, yang pada pokoknya ditemukan adanya 3 (tiga) kelemahan dalam proses tersebut yaitu:
Potensi korupsi; Adanya kerawanan terjadinya korupsi pada saat dilakukan pembahasan Rancangan APBN di Banggar dan Komisi yang disebabkan adanya kewenangan yang begitu besar dari DPR dalam pembahasan rancangan anggaran.
Kelemahan proses kerja (business process) a. Pembahasan APBN di DPR berulang dalam satu siklus.
Kurangnya efisiensi dan efektivitas rapat pembahasan.
Kehadiran anggota DPR yang tidak optimal karena merangkap anggota Banggar dan Komisi.
Kelemahan kelembagaan.
Kurangnya dukungan riset dan informasi terhadap proses pembahasan APBN oleh anggota DPR.
Ruang lingkup dan pasangan kerja Komisi DPR masih perlu dispesialisasikan. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 129 www.mahkamahkonstitusi.go.id Berdasarkan uraian dalam perkara yang melibatkan anggota DPR-RI yang juga merupakan anggota Banggar DPR-RI dan kajian berupa assessment tersebut di atas, maka dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
DPR-RI dan Banggar DPR-RI memiliki kewenangan yang sangat besar mengenai fungsi anggaran, namun pembahasannya seringkali dilaksanakan secara tertutup dan adanya pendekatan informal dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi anggaran sehingga sulit untuk dilakukan pengawasan;
Keberadaan dan kewenangan Banggar DPR-RI serta kewenangan DPR-RI yang sangat besar tersebut juga menyebabkan fungsi pengawasan menjadi tak terkendali dan berpeluang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan karena pembahasan rancangan APBN dilakukan secara terperinci ("Satuan 3") yaitu untuk menyetujui APBN mulai dari unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, hingga jenis belanja dalam pengelolaan keuangan negara;
Selain itu juga terdapat potensi konflik kepentingan (conflict of interest) karena dengan pembahasan secara terperinci tersebut, maka tidak ada garis pemisah antara fungsi perencanaan, fungsi pelaksanaan, dan fungsi pengawasan, sehingga acapkali Para Anggota DPR-RI mempunyai peluang yang besar untuk menentukan, siapa yang dapat menerima proyek pemerintah dan siapa yang menjadi kontraktor untuk melaksanakan proyek tersebut.
Rapat-rapat pembahasan di Komisi dan Banggar DPR-RI dapat saja diwarnai dengan "perebutan" alokasi anggaran negara untuk kepentingan daerah pemilihannya, kelompok atau kepentingan yang memiliki akses. Juga disinyalir bisa lebih buruk lagi, adanya dugaan "pemerataan" atau "arisan" diantara kelompok kepentingan tersebut.
Adanya kelemahan-kelemahan dalam proses perencanaan dan penyusunan APBN di DPRI-RI yaitu terjadi potensi korupsi, kelemahan proses kerja (Business Process), dan kelemahan kelembagaan.
Pembahasan Anggaran Tambahan (ABT) yang saat ini disebut sebagai APBN-P, yang pengesahan oleh DPR kurang memperhatikan kewajaran, kemungkinan pelaksanaan dengan sisa tahun waktu anggaran yang ada, sehingga berpotensi menimbulkan korupsi pada saat pelaksanaan anggaran oleh Kementerian/Lembaga yaitu penyimpangan pelaksanaan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 130 www.mahkamahkonstitusi.go.id pengadaan dan pertanggungjawaban fiktif pelaksanaan pengadaan. De facto , kewenangan budgeting berhimpitan dengan kewenangan pengawasan DPR-RI. Yang menjadi masalah, tidak ada rumusan parameter dan indikator kinerja dalam melaksanakan kewenangan budgeting dan pengawasan. Kekuasaan DPR yang besar dalam rangka pelaksanaan fungsi budgeting dan pengawasan atas penggunaan anggaran tersebut akan bertemu dengan ketiadaan parameter dan indikator kinerja. Hal ini dapat “menimbulkan dan memperluas ruang abu-abu” yang bisa “dinegosiasikan” diantara para pihak yang mempunyai kepentingan sehingga menyebabkan potensi korupsi. Pihak yang diawasi bisa saja mempergunakan segala cara untuk tetap mendapatkan alokasi anggaran bagi proyek-proyek yang tidak diperlukan atau tidak efisien. Kondisi akan bertambah rumit bila disertai dengan tidak jelas pengukuran kinerja sehingga semakin luas "ruang abu-abu yang bisa dinegosiasikan". Kewenangan DPR dalam pengawasan yang sangat besar, tanpa mekanisme akuntabilitas kepada publik juga memberi ruang yang besar bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Platform Partai Politik yang tidak sepenuhnya jelas, menyebabkan sukar ditemukan politik anggaran seperti apa yang diperjuangkan oleh fraksi-fraksi yang ada di DPR. Kenyataan bahwa sebagian besar anggaran belanja negara sudah dikunci untuk pembayaran bunga hutang dan belanja pegawai, menyebabkan ruang fiskal untuk melaksanakan pemenuhan hak-hak rakyat seperti yang diamanatkan oleh konstitusi menjadi semakin terbatas. Perlu disampaikan pula, berdasarkan keseluruhan uraian di atas, pelaksanaan tugas dan kewenangan sebagai anggota DPR tersebut dapat bertentangan dengan hal-hal yang tersebut di dalam sumpah atau janjinya. Anggota DPR harus memegang sumpah atau janji berdasarkan Pasal 76 Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009, yang menyatakan sebagai berikut: _"Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: _ bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan _Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; _ Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 131 www.mahkamahkonstitusi.go.id bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh- sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan _bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan; _ bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia." Lebih lanjut dalam Pasal 5 angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME yang mengatur bahwa selaku penyelenggara negara maka anggota DPR wajib “melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dengan demikian tindakan sebagian anggota DPR-RI/DPRD yang terlibat tindak pidana korupsi maupun tindakan/perilaku dalam pelaksanaan fungsi dan kewenangan budgeting dan pengawasan seperti diuraikan di atas dapat dianggap sebagai pelanggaran atas sumpah/janji dan kewajiban anggota DPR-RI/DPRD. Berdasarkan uraian tersebut di atas, KPK berpendapat bahwa kewenangan DPR-RI dan Badan Anggaran DPR-RI yang terlalu besar berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan/korupsi sehingga pengaturan kewenangan DPR-RI dalam fungsi anggaran (budgeting) harus diatur dan dilakukan secara transparan, akuntabel, memiliki rumusan paramater atau indikator yang jelas, tidak menimbulkan konflik kepentingan, tidak bersifat transaksional. [2.6] Menimbang bahwa para Pemohon telah menyampaikan kesimpulan tertulis bertanggal 28 Agustus 2013 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah juga pada tanggal 28 Agustus 2013, yang pada pokoknya para Pemohon tetap pada pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 132 www.mahkamahkonstitusi.go.id 3. PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286, selanjutnya disebut UU 17/2003), serta Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) huruf e, Pasal 156 huruf a, huruf b dan huruf c, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 159 ayat (5) huruf g, dan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043, selanjutnya disebut UU 27/2009), terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo ;
kedudukan hukum ( legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan _a quo; _ __ Terhadap kedua hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 133 www.mahkamahkonstitusi.go.id Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.4] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Pasal 15 ayat (5) UU 17/2003, Pasal 71 huruf g, Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 156 huruf a, huruf b, dan huruf c angka (2), Pasal 157 ayat (1), Pasal 159 ayat (5) dan Pasal 161 UU 27/2009 terhadap Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum (Legal Standing) para __ Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 134 www.mahkamahkonstitusi.go.id [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan- putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan paragraf [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut: [3.7.1] Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon IV adalah Organisasi Non Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh dan berkembang secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang didirikan atas dasar kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia yang memiliki kepedulian serta secara rutin melakukan pengawasan terhadap proses pembahasan dan penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN); melakukan pengawasan terhadap penggunaan APBN dan penganggaran secara umum di Indonesia; [3.7.2] Bahwa Pemohon V dan Pemohon VI adalah perseorangan warga negara Indonesia yang membayar pajak kepada negara, menganggap hak konstitusionalnya dirugikan atau setidaknya berpotensi dilanggar hak Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 135 www.mahkamahkonstitusi.go.id konstitusionalnya dengan berlakunya norma a quo karena keberadaan pasal tersebut menyebabkan penyusunan APBN disimpangi dan dikorupsi; [3.8] Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat- syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon setidaknya memiliki potensi kerugian hak-hak konstitusional akibat berlakunya norma a quo. Berlakunya norma a quo, menurut Mahkamah, __ berpotensi merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon sebagai perseorangan warga negara (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama), khususnya dalam penetapan dan penggunaan anggaran negara dalam APBN. Dengan demikian, para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo , dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.10] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan sebagai berikut:
Pasal 15 ayat (5) UU 17/2003 yang menyatakan, “APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi mengakibatkan penyimpangan dalam penetapan anggaran;
Pasal 71 huruf (g) UU 27/2009 yang menyatakan, “DPR mempunyai tugas _dan wewenang:
.. g. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan_ pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang- undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan terdapat perbedaan tafsir dalam penerapannya sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum;
Frasa “yang bersifat tetap” dalam Pasal 104 UU 27/2009 yang selengkapnya menyatakan, “Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 136 www.mahkamahkonstitusi.go.id kelengkapan DPR yang bersifat tetap” dan frasa “pada permulaan masa keanggotaan DPR dan...” dalam __ Pasal 105 ayat (1) UU 27/2009 yang selengkapnya menyatakan, “DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap- tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dengan alasan bahwa pada tahapan pembahasan dan penetapan APBN, fungsi Badan Anggaran adalah untuk melakukan sinkronisasi hasil pembahasan komisi terhadap alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga dan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga. Menurut para Pemohon untuk pelaksanaan tugas tersebut, tidak diperlukan sebuah alat kelengkapan Badan Anggaran yang bersifat tetap, sehingga susunan keanggotaan tidak perlu ditetapkan pada awal masa keanggotaan DPR, melainkan dapat diganti setiap tahun pembahasan APBN dengan anggota yang juga bergantian;
Frasa “membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden” dalam Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 yang selengkapnya menyatakan, _“Badan Anggaran bertugas:
..c. membahas rancangan undang-_ undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementrian/lembaga” bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1), Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan memberikan ketidakpastian hukum karena dapat ditafsirkan seolah-olah Badan Anggaran dapat berperan seperti komisi-komisi di DPR untuk membahas rancangan Undang-Undang tentang APBN;
Pasal 156 huruf a dan huruf b UU 27/2009 yang menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 _huruf g, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut:
pembicaraan_ pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka _menyusun rancangan APBN;
pembahasan dan penetapan APBN yang_ didahului dengan penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh Presiden...” , dan Pasal 156 huruf c angka 2 UU 27/2009 yang menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 137 www.mahkamahkonstitusi.go.id sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf g, DPR menyelenggarakan _kegiatan sebagai berikut:
.. c. pembahasan:
.. 2) penyesuaian APBN dengan_ perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan _perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi: _ a) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang _digunakan dalam APBN; _ _b) perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; _ c) keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran _antar unit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan/atau _ d) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan; ” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan terdapat perbedaan tafsir dalam penerapannya sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum; __ 6. Frasa “rincian” dalam __ Pasal 157 ayat (1) huruf c UU 27/2009 yang selengkapnya menyatakan, “ Pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan rancangan APBN dilakukan segera setelah Pemerintah menyampaikan bahan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan _fiskal pada pertengahan bulan Mei, yang meliputi:
.. c. rincian unit organisasi,_ fungsi, program, dan kegiatan” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dengan alasan hal tersebut merupakan kewenangan yang berlebihan yang berpotensi menimbulkan penyimpangan anggaran dan korupsi;
Pasal 159 ayat (5) UU 27/2009 yang menyatakan, “APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan menimbulkan ketidakpastian hukum;
Pasal 161 ayat (1) sampai dengan ayat (5) UU 27/2009, yang menyatakan: (1) Dalam hal terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan, Pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan. (2) Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan sebagaimana _dimaksud pada ayat (1) berupa prognosis: _ Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 138 www.mahkamahkonstitusi.go.id a. penurunan pertumbuhan ekonomi, minimal 1% (satu persen) di _bawah asumsi yang telah ditetapkan; dan/atau _ b. deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal 10% (sepuluh persen) dari asumsi yang telah ditetapkan. (3) Perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud _pada ayat (1) berupa prognosis: _ a. penurunan penerimaan perpajakan minimal 10% (sepuluh persen) _dari pagu yang telah ditetapkan; _ b. kenaikan atau penurunan belanja kementerian/lembaga minimal 10% _(sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan; _ c. kebutuhan belanja yang bersifat mendesak dan belum tersedia pagu _anggarannya; dan/atau _ d. kenaikan defisit minimal 10% (sepuluh persen) dari rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) yang telah ditetapkan. (4) Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang, setelah rancangan undang-undang tentang peru bahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR. (5) Dalam hal tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), pembahasan perubahan APBN dilakukan dalam rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan keuangan Pemerintah.” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) karena menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi melanggar prinsip untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat karena pembahasan APBN-P dilakukan dalam proses yang berbeda dengan pembahasan APBN; Untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-17 serta mengajukan ahli-ahli yaitu Siswo Sujanto, Ahmad Erani Yustika, Ari Dwipayana, Kuskridho Ambadi, Saldi Isra , Zainal Arifin Mochtar, Iwan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 139 www.mahkamahkonstitusi.go.id Gardono Sudjatmiko dan Rimawan Pradiptyo serta saksi bernama Yuna Farhan yang telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 24 Juni 2013, 11 Juli 2013, 25 Juli 2013, dan 21 Agustus 2013 dan telah dimuat lengkap pada bagian Duduk Perkara; [3.11] Menimbang bahwa Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan yang pada pokoknya menerangkan bahwa pasal-pasal yang dimohonkan pengujian merupakan pasal-pasal yang tidak bertentangan dengan konstitusi; [3.12] Menimbang bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) telah memberikan keterangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa terdapat sejumlah besar kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK berasal dari permasalahan yang terjadi pada pembahasan dan penetapan anggaran di rapat-rapat komisi maupun di badan anggaran DPR RI. KPK menerangkan pada pokoknya bahwa kewenangan DPR RI dan Badan Anggaran DPR RI yang terlalu besar dalam konteks kewenangan budgeting berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan atau korupsi, sehingga pengaturan kewenangan DPR RI dalam fungsi anggaran harus diatur dan dilakukan secara transparan, akuntabel, memiliki rumusan parameter dan/atau indikator yang jelas, tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan tidak bersifat transaksional. Keterangan selengkapnya dari Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan keterangan-keterangan lainnya telah diuraikan secara lengkap dalam bagian Duduk Perkara; Pendapat Mahkamah Pokok Permohonan [3.13] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mendengar dan membaca dengan saksama permohonan dan keterangan para Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR-RI, keterangan ahli dan saksi dari para Pemohon, keterangan KPK, memeriksa bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, serta membaca kesimpulan para Pemohon dan kesimpulan Pemerintah, menurut Mahkamah, terdapat isu konstitusional yang harus dijawab Mahkamah dalam permohonan a quo , yaitu: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 140 www.mahkamahkonstitusi.go.id 1. Apakah keberadaan Badan Anggaran DPR-RI yang bersifat tetap bertentangan dengan konstitusi, khususnya terhadap Pasal 23 ayat (1) UUD 1945? 2. Apakah kewenangan Badan Anggaran DPR-RI dalam membahas Rancangan Undang-Undang tentang APBN bersama Presiden dan kewenangan DPR dalam membahas Rancangan Undang-Undang APBN hingga rincian unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja bertentangan dengan konstitusi, khususnya terhadap Pasal 20A ayat (1), Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945? 3. Apakah tindakan DPR-RI untuk melakukan penundaan pencairan anggaran dengan memberikan tanda “bintang” bertentangan dengan konstitusi, khususnya terhadap Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945? 4. Apakah proses dan ruang lingkup pembahasan APBN Perubahan (APBN-P) oleh DPR-RI dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan konstitusi, khususnya terhadap Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945? [3.14] Menimbang bahwa sebelum menilai permohonan para Pemohon khususnya mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009, Mahkamah mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: - Pasal 60 ayat (1) UU MK menyatakan, “ Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali ”, yang juga sejalan dengan ketentuan Pasal __ 42 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang __ Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya __ disebut PMK Nomor 06/PMK/2005) yang menyatakan, “ Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali ”; __ - Pasal 60 ayat (2) UU MK menyatakan , “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”, yang juga sejalan dengan Pasal 42 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005 yang menyatakan, “Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 141 www.mahkamahkonstitusi.go.id yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang _menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda”; _ - Bahwa mengenai konstitusionalitas Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 telah dipertimbangkan dan diputus Mahkamah pada Putusan Mahkamah Nomor 92/PUU-X/2012, tanggal 27 Maret 2013 dengan amar putusan khusus untuk norma a quo antara lain, “...Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya” - Bahwa para Pemohon perkara Nomor 92/PUU-X/2012 pada pokoknya mengemukakan dalam permohonannya bahwa Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 telah mereduksi kewenangan Pemohon (Dewan Perwakilan Daerah) untuk ikut serta dalam memberikan persetujuan suatu rancangan undang- undang yang terkait dengan kewenangannya. - Bahwa para Pemohon dalam perkara a quo antara lain mengemukakan dalam permohonannya bahwa Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1), Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan frase “membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden” memberikan ketidakpastian hukum karena dapat ditafsirkan seolah-olah Badan Anggaran dapat berperan seperti Komisi-komisi di DPR untuk membahas rancangan undang-undang tentang APBN; Bahwa terhadap permohonan para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, terdapat perbedaan antara permohonan a quo dengan permohonan Nomor 92/PUU-X/2012 yang telah diputus oleh Mahkamah. Para Pemohon a quo antara lain memohon mengenai konstitusionalitas kewenangan dan masa keberlakuan badan anggaran di DPR RI, sedangkan dalam perkara yang telah diputus Mahkamah dalam Putusan Nomor 92/PUU-X/2012, tanggal 27 Maret 2013 adalah khusus mengenai tidak disebutkannya keikutsertaan DPD dalam pembahasan anggaran oleh Badan Anggaran di dalam norma a quo . Dengan demikian terdapat perbedaan alasan antara permohonan a quo dengan permohonan sebelumnya yang telah diputus Mahkamah, sehingga permohonan para Pemohon terhadap Pasal 107 ayat (1) huruf c akan dipertimbangkan pula dalam putusan ini; [3.15] Menimbang bahwa sebelum menilai isu konstitusional di atas, Mahkamah terlebih dahulu mengemukakan pendapat secara umum mengenai Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 142 www.mahkamahkonstitusi.go.id penyelenggaraan kekuasaan dalam penyusunan dan penetapan anggaran negara menurut konsititusi: Bahwa UUD 1945 mengatur mengenai proses pengajuan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara dalam Pasal 23 UUD 1945, yang menyatakan, (1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu. Makna Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), pada pokoknya berarti Presiden mengajukan anggaran dan DPR menyetujui anggaran tersebut. Pasal 23 ini memberikan satu deskripsi bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan negara yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemerintahan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 4 UUD 1945 adalah yang paling mengetahui hal ihwal program pembangunan yang hendak dilaksanakannya sehingga oleh konstitusi diberikan kewenangan konstitusional yang bersifat eksklusif kepada Presiden untuk mengajukan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) yang kemudian dibahas bersama dan disetujui oleh DPR. Hal itu pulalah yang membedakan Rancangan Undang-Undang (RUU) lainnya yang dapat diajukan baik oleh DPR, Presiden, atau RUU tertentu oleh DPD dengan RUU APBN. Ketentuan tersebut sesuai dengan sistem pemerintahan negara yang dianut Indonesia, yaitu sistem presidensial. UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menjalankan kekuasaan penggunaan anggaran, termasuk merencanakan program dan anggaran pemerintahan negara yang akan dilaksanakan setiap tahun. Anggaran tersebut diajukan oleh Presiden dalam bentuk RUU. Kewenangan DPR dalam hal ini adalah untuk memberikan persetujuan terhadap program maupun rencana anggaran yang diajukan Presiden tersebut, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 143 www.mahkamahkonstitusi.go.id dalam hal ini memberikan persetujuan dan otorisasi terhadap rancangan anggaran yang diajukan oleh Presiden. Selanjutnya DPR selaku wakil rakyat melakukan kontrol dan pengawasan atas penggunaan anggaran yang telah disetujui bersama. Norma inilah yang pada hakikatnya menjelaskan makna dari fungsi anggaran DPR yang dinyatakan dalam Pasal 20A UUD 1945; Fungsi Anggaran DPR yang diatur dalam norma a quo sangat berkaitan dengan prinsip pembagian kekuasaan antar-lembaga negara yang berdasarkan UUD 1945 menganut prinsip checks and balances antar-lembaga negara yaitu bahwa hubungan satu lembaga negara dengan lembaga negara yang lain dilakukan berdasarkan prinsip kekuasaan dibatasi kekuasaan ( power limited by power) dan bukan kekuasaan mengawasi kekuasaan lain ( power supervises other powers ), apalagi kekuasaan dikontrol oleh kekuasaan lain ( power controls other powers ). Kekuasaan pemerintahan dipandang sebagai kekuasaan yang sangat besar yang harus dibatasi sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan ( abuse of power ). Checks and balances menjaga agar suatu cabang pemerintahan tidak terlalu kuat kekuasaannya. Pasal 20A UUD 1945 menyatakan bahwa, “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.” Berkaitan dengan penetapan anggaran dalam bentuk APBN, fungsi anggaran DPR tidak terlalu jauh ikut membuat perencanaan anggaran akan tetapi hanya memberikan persetujuan atas rencana yang diajukan oleh Presiden. Hal ini karena adanya prinsip pembagian kekuasaan dan checks and balances tersebut mengakibatkan kewenangan DPR dibatasi dan ditegaskan pada fungsi pengawasan jalannya pemerintahan, sedangkan fungsi perencanaan adalah termasuk pada fungsi eksekutif, yaitu merencanakan dan melaksanakan atau mengeksekusi jalannya pemerintahan. Pembahasan antara DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 adalah dalam rangka kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap RUU yang diajukan oleh Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, dalam hal ini kewenangan DPR adalah menyetujui atau tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 adalah dalam rangka implementasi fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 144 www.mahkamahkonstitusi.go.id Berdasarkan pokok pertimbangan tersebut, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan setiap isu konstitusional di atas: Konstitusionalitas Badan Anggaran DPR yang Bersifat Tetap [3.16] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan frasa “yang bersifat tetap” dalam Pasal 104 UU 27/2009 yang selengkapnya menyatakan, “Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap”, dan frasa “pada permulaan masa keanggotaan DPR dan...” dalam Pasal 105 ayat (1) UU 27/2009 yang selengkapnya menyatakan, “DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap- tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang” bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon beralasan bahwa pada tahapan pembahasan dan penetapan APBN, fungsi Badan Anggaran adalah untuk melakukan sinkronisasi hasil pembahasan setiap Komisi DPR terhadap alokasi anggaran untuk setiap fungsi, program, dan kegiatan serta rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga. Untuk pelaksanaan tugas tersebut, tidak diperlukan sebuah alat kelengkapan Badan Anggaran yang bersifat tetap sehingga susunan keanggotaan Badan Anggaran tidak perlu ditetapkan pada awal masa keanggotaan DPR, melainkan dapat diganti setiap tahun pembahasan APBN dengan anggota yang juga bergantian; Bahwa UU 27/2009 menyatakan Badan Anggaran merupakan salah satu alat kelengkapan DPR. Keanggotaan Badan Anggaran berdasarkan Pasal 105 pada pokoknya menentukan bahwa anggota Badan Anggaran merupakan anggota DPR dari setiap komisi yang dipilih oleh komisi. Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran ditetapkan oleh DPR dalam Rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang. Sebuah komisi merupakan unit kerja utama yang membidangi masalah-masalah tertentu yang aktivitasnya berkaitan dengan fungsi-fungsi DPR, substansinya dikerjakan di dalam komisi. Dalam menjalankan fungsi anggaran, setiap komisi akan membahas rancangan anggaran yang diajukan oleh Pemerintah sesuai dengan bidang tugas masing-masing komisi. Pada masa sidang 2009-2014, komisi yang memiliki kekhususan di bidang keuangan, perencanaan pembangunan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 145 www.mahkamahkonstitusi.go.id nasional, perbankan, lembaga keuangan bukan bank adalah Komisi XI. Berkaitan dengan fungsi Badan Anggaran, Pasal 96 ayat (2) UU 27/2009 mengatur mengenai tugas komisi di bidang anggaran yang salah satunya adalah, “menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, huruf c, dan huruf d, kepada Badan Anggaran untuk sinkronisasi” . Dalam pembahasan APBN terutama yang berkaitan dengan pembahasan program dan kegiatan kementerian/lembaga, tidak hanya dibahas oleh Komisi XI, namun terkait juga dengan komisi lain, sehingga diperlukan pembahasan lebih lanjut di Badan Anggaran untuk melakukan sinkronisasi hasil pembahasan tersebut; Bahwa Pasal 107 ayat (1) menyatakan, Badan Anggaran DPR memiliki tugas: a. membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan _anggaran; _ b. menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada _usulan komisi terkait; _ c. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan _kegiatan kementerian/lembaga; _ d. melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana _kerja dan anggaran kementerian/lembaga; _ _e. membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan _ f. membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Dengan demikian, Badan Anggaran pada pokoknya bertugas melakukan sinkronisasi pembahasan anggaran yang dilakukan di setiap komisi. Hasil sinkronisasi tersebut kemudian disempurnakan lagi di komisi untuk kemudian diserahkan kembali kepada Badan Anggaran untuk bahan akhir penetapan APBN [ vide Pasal 96 ayat (2) UU 27/2009]; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 146 www.mahkamahkonstitusi.go.id Pasal 96 UU 27/2009 yang mengatur mengenai tugas komisi dan Pasal 107 UU 27/2009 yang mengatur mengenai tugas Badan Anggaran terdapat perbedaan antara tugas dan fungsi dari Badan Anggaran dan komisi. Keberadaan Badan Anggaran merupakan salah satu alat kelengkapan yang memegang fungsi penting dalam penyelenggaraan fungsi anggaran DPR. Pembahasan rancangan anggaran di setiap komisi membutuhkan proses sinkronisasi melalui suatu badan yang beranggotakan perwakilan dari setiap komisi. Pasal 20A ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang,” merupakan dasar konstitusional pembentukan alat kelengkapan DPR yang ketentuan lebih lanjutnya termasuk tata cara persidangan dan alat kelengkapan, diatur dalam UU 27/2009. Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah”, merupakan dasar konstitusional kewenangan DPR dalam menyetujui atau tidak menyetujui RAPBN sebagai salah satu perwujudan fungsi anggaran DPR. Dalam menjalankan fungsi tersebut, DPR memerlukan alat kelengkapan, yang di antaranya, adalah komisi dan Badan Anggaran. Mengenai sifat dan susunan keanggotaan Badan Anggaran, menurut Mahkamah, merupakan kebebasan dari pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, karena konstitusi tidak mengatur apakah alat kelengkapan DPR termasuk Badan Anggaran harus bersifat tetap atau bersifat sementara (ad hoc) . Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pasal 104 UU 27/2009 yang menentukan Badan Anggaran sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, begitupula mengenai pembentukan Badan Anggaran di awal tahun sidang merupakan kebijakan pembentuk Undang-Undang yang bersifat terbuka. Permasalahan penyimpangan atau praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum anggota Badan Anggaran dalam membahas APBN, menurut Mahkamah, tidak ditentukan oleh sifat tetap atau tidak tetapnya Badan Anggaran tersebut; Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon mengenai konstitusionalitas sepanjang frasa “yang bersifat tetap” dalam Pasal Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 147 www.mahkamahkonstitusi.go.id 104 UU 27/2009 dan sepanjang frasa “pada permulaan masa keanggotaan DPR dan...” dalam Pasal 105 ayat (1) UU 27/2009 __ tidak beralasan menurut hukum; Kewenangan Badan Anggaran Membahas RUU APBN [3.17] Menimbang bahwa kewenangan konstitusional DPR untuk membahas APBN diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan, “Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah” . Pasal tersebut menegaskan dua hal, yaitu: Pertama , dalam sistem checks and balances yang dianut oleh UUD 1945, hanya Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara, yang dapat mengajukan RUU APBN. Kedua , rancangan anggaran dalam bentuk Rancangan Undang-Undang tersebut dibahas oleh DPR bersama Presiden. Kewenangan DPR membahas rancangan APBN tersebut selain terkait dengan fungsi anggaran yaitu membahas rancangan anggaran dalam bentuk Rancangan Undang-Undang juga terkait dengan fungsi legislasi yang dimiliki DPR; Bahwa dalam melaksanakan fungsinya membahas RAPBN, DPR membentuk alat kelengkapan berupa komisi dan Badan Anggaran yang beranggotakan perwakilan dari setiap komisi. Fungsi utama Badan Anggaran adalah untuk melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan dari setiap Komisi. Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 menyatakan, “Badan Anggaran _bertugas:
..c. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama_ Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementrian/lembaga.” Menurut Pemohon, frasa “membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden” memberikan kesan seolah-olah Badan Anggaran diberikan kewenangan yang terlalu luas, yaitu membahas RAPBN, yang seharusnya kewenangan tersebut cukup dilaksanakan oleh DPR dan secara teknis dilaksanakan oleh masing-masing komisi. Menurut Mahkamah, komisi dan Badan Anggaran merupakan alat kelengkapan DPR yang masing-masing tugasnya diatur dalam Pasal 96 dan Pasal 107 UU 27/2009. Hubungan antara komisi dan Badan Anggaran juga diatur dalam pasal-pasal tersebut sebagai berikut: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 148 www.mahkamahkonstitusi.go.id 1. Komisi bertugas menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan mengenai RAPBN, dan hasil pembahasan usul penyempurnaan RAPBN, alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementrian/lembaga, laporan keuangan negara dan pelaksanaan APBN kepada Badan Anggaran untuk sinkronisasi; [vide Pasal 96 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 27/2009];
Komisi bertugas menyempurnakan hasil sinkronisasi Badan Anggaran berdasarkan usul komisi dan komisi menyerahkan kembali kepada Badan Anggaran hasil pembahasan sebagai bahan akhir dalam penetapan APBN [vide Pasal 96 ayat (2) huruf f dan huruf g UU 27/2009];
Badan Anggaran bertugas menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi terkait; [vide Pasal 107 ayat (1) huruf b UU 27/2009];
Badan Anggaran bertugas membahas RAPBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementrian/lembaga. [vide Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009];
Badan Anggaran bertugas melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga. [vide Pasal 107 ayat (1) huruf d UU 27/2009];
Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi [vide Pasal 107 ayat (2) UU 27/2009]; Bahwa berdasarkan norma yang mengatur hubungan antara komisi dan Badan Anggaran tersebut, fungsi utama Badan Anggaran adalah untuk melakukan sinkronisasi pembahasan terkait anggaran yang telah dilakukan oleh masing- masing komisi. Pasal 107 ayat (2) juga membatasi alokasi anggaran apa saja yang dapat dibahas oleh Badan Anggaran, yaitu terbatas pada alokasi anggaran yang telah diputuskan oleh komisi. Oleh karena itu, tidak tepat apabila kemudian Badan Anggaran dianggap sebagai alat kelengkapan DPR yang kewenangannya melebihi komisi atau supra komisi. Pasal 23 UUD 1945 menentukan bahwa DPR memiliki kewenangan untuk membahas RAPBN bersama Presiden, namun tidak menentukan seperti apa mekanisme yang dapat digunakan oleh DPR dalam pembahasan tersebut. Pembagian tugas pembahasan RUU, khususnya RAPBN kepada komisi dan Badan Anggaran merupakan mekanisme yang dipilih Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 149 www.mahkamahkonstitusi.go.id pembentuk Undang-Undang dalam implementasi Pasal 23 UUD 1945 tersebut. Selama komisi dan Badan Anggaran yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut merupakan alat kelengkapan DPR, dan pengesahan RAPBN menjadi APBN tetap dilaksanakan dalam rapat paripurna DPR maka norma Pasal 107 ayat (1) huruf c UU 27/2009 tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak pula bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945; Kewenangan DPR Membahas RAPBN Secara Rinci Persoalan konstitusional selanjutnya yang harus dijawab adalah seberapa rinci rancangan anggaran yang harus diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama dengan DPR dan seberapa luas ruang lingkup kewenangan DPR dalam mengubah rencana anggaran yang telah diajukan oleh Presiden; Bahwa Pasal 71 huruf (g) UU 27/2009 menyatakan, “DPR mempunyai tugas dan _wewenang: _ ... g. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.” Menurut Mahkamah Pasal a quo sesuai dengan rumusan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Rancangan undang-undang anggaran dan pendapatan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah” . Pasal tersebut menentukan kewenangan DPR untuk membahas RAPBN bersama Presiden. Hal yang dipersoalkan oleh para Pemohon adalah berkaitan dengan seberapa rinci RAPBN harus diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama dan disetujui DPR. Pengaturan mengenai seberapa rinci pembahasan RAPBN tersebut kemudian dinyatakan oleh Pasal 15 ayat (5) UU 17/2003, dengan rumusan yang sama terdapat dalam Pasal 159 ayat (5) UU 27/2009, yang menyatakan, “APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis _belanja”; _ Dengan memperhatikan pembagian dan pembatasan kewenangan melalui sistem checks and balances yang telah dipertimbangkan oleh Mahkamah di atas, pada pokoknya penetapan APBN dilakukan oleh dua pemegang cabang kekuasaan yaitu oleh Presiden dan DPR. Kedua lembaga tersebut memiliki peran dan batasan kewenangan yang berbeda. Presiden Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 150 www.mahkamahkonstitusi.go.id mengajukan RAPBN sebagai instrumen penyelenggaraan pemerintahan yang secara spesifik dilaksanakan oleh kementerian/lembaga. Sementara itu, DPR menjalankan fungsi anggaran, atau fungsi membahas dan menyetujui anggaran yang diajukan Presiden dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran yang sudah disetujui bersama. Menurut Mahkamah, berdasarkan prinsip pembatasan kekuasaan, kewenangan DPR terkait APBN adalah:
Membahas dan menyetujui bersama Presiden atas RAPBN yang telah diajukan Presiden;
Mengawasi pelaksanaan APBN yang sudah disetujui bersama tersebut; Dengan demikian DPR secara konstitusional memiliki wewenang membahas dan menyetujui RAPBN. Pasal 159 ayat (5) UU 27/2009 menyatakan, “ APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja ”. Menurut ketentuan tersebut, pembahasan antara Presiden dan DPR dalam rangka persetujuan RAPBN meliputi unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Menurut Mahkamah, pembahasan terinci sampai pada tingkat kegiatan dan jenis belanja kementerian/lembaga dapat menimbulkan persoalan konstitusional apabila dilihat dari kewenangan konstitusional DPR sebagaimana telah diuraikan di atas. Persoalan tersebut bersumber dari keikutsertaan DPR dalam membahas RAPBN yang terperinci sampai dengan kegiatan dan jenis belanja. Hal tersebut tidak sesuai dengan fungsi dan kewenangan DPR sebagai lembaga perwakilan yang seharusnya tidak ikut menentukan perencanaan yang sifatnya sangat rinci sampai dengan tingkat kegiatan dan jenis belanja. Adapun kegiatan dan jenis belanja merupakan urusan penyelenggaraan pemerintahan negara yang dilaksanakan oleh Presiden sebagai perencana dan pelaksana APBN. Menurut Mahkamah, selain itu, pembahasan terperinci sampai pada tingkat kegiatan dan jenis belanja (satuan tiga) dalam APBN merupakan implementasi program atas perencanaan yang merupakan wilayah kewenangan Presiden, karena pelaksanaan rincian anggaran sangat terkait dengan situasi dan kondisi serta dinamika sosial ekonomi pada saat rencana tersebut di- implementasikan. Ketika DPR melalui Badan Anggaran memiliki kewenangan untuk membahas RAPBN secara terperinci sampai dengan tingkat kegiatan dan jenis belanja maka pada saat itu DPR telah melewati kewenangannya dalam Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 151 www.mahkamahkonstitusi.go.id melakukan fungsi anggaran dan telah terlalu jauh memasuki pelaksanaan perencanaan anggaran yang merupakan ranah kekuasaan eksekutif. Menurut Mahkamah harus ada batasan mengenai rincian anggaran yang dapat dibahas atau diubah oleh DPR. Selain itu, proses perencanaan anggaran adalah proses kerja yang sangat spesifik dan teknis, sehingga hanya dipahami secara mendetail dan terperinci oleh masing-masing penyelenggara negara tersebut; [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas dalam kaitannya satu dengan yang lain, agar kewenangan DPR tersebut sesuai dengan batas-batas yang ditentukan oleh konstitusi dalam proses pembahasan dan penetapan APBN, Mahkamah perlu memberi penafsiran konstitusional terhadap Pasal 107 ayat (1), Pasal 157 ayat (1) huruf c, dan Pasal 159 ayat (5) UU 27/2009 serta Pasal 15 ayat (5) UU 17/2003 sebagaimana yang akan disebutkan dalam amar putusan di bawah; Konstitusionalitas Penundaan Pencairan (Pemberian Tanda Bintang) Anggaran oleh DPR [3.19] Menimbang bahwa menurut Pemohon, Pasal 71 huruf g UU 27/2009 yang menyatakan, _“DPR mempunyai tugas dan wewenang:
.. g. Membahas_ bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden”, dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU 27/2009 yang menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal _71 huruf g, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut:
Pembicaraan_ pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka menyusun _perancangan APBN;
Pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan_ penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh Presiden”. Implementasi ketentuan tersebut, __ ditafsirkan oleh DPR dengan melakukan praktik pemblokiran atau pemberian tanda bintang terhadap mata anggaran kementerian/lembaga sehingga penafsiran tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurut Pemohon hal ini terjadi karena adanya pembahasan mata anggaran setelah rapat paripurna penetapan RAPBN ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 152 www.mahkamahkonstitusi.go.id Bahwa sesuai dengan pembagian kewenangan antara Presiden dan DPR dalam penyelenggaraan APBN seperti yang telah dipertimbangkan di atas, menurut Mahkamah, kewenangan DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran adalah terbatas pada persetujuan dan pengawasan anggaran. Meskipun UU 27/2009 tidak secara eksplisit mengatur mengenai proses pembahasan dan penetapan RAPBN menjadi APBN di dalam Badan Anggaran maupun di dalam rapat paripurna, pengaturan tentang proses pembahasan dan penetapan RAPBN menjadi APBN tidak dibenarkan untuk menyalahi prinsip pembatasan kewenangan DPR dalam prinsip checks and balances yang dianut oleh konstitusi. Hal ini penting untuk menjamin adanya keseimbangan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif sesuai dengan porsi masing-masing. Praktik penundaan pencairan (pemberian tanda bintang) anggaran pada mata anggaran oleh DPR yang mengakibatkan mata anggaran tersebut tidak mendapat otorisasi untuk digunakan sudah masuk pada pelaksanaan APBN yang telah ditetapkan sebelumnya, dan bukan termasuk pada salah satu fungsi pengawasan oleh DPR yang dimaksud oleh UUD 1945. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, untuk adanya kejelasan dan ketegasan mengenai kewenangan DPR ketika menyelenggarakan fungsinya dalam penyusunan dan penetapan APBN maka Undang-Undang, dalam hal ini UU APBN, harus secara tegas menyetujui atau tidak menyetujui mata anggaran tertentu dengan tanpa persyaratan seperti dengan melakukan penundaan pencairan (pemberian tanda bintang). Dengan adanya persyaratan dalam pencairan APBN, sangat berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan. Oleh karena itu, Pasal 71 huruf (g) UU 27/2009 yang menyatakan, “DPR _mempunyai tugas dan wewenang:
Membahas bersama Presiden dengan_ memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden” dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU 27/2009 yang menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf g, DPR _menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut:
Pembicaraan pendahuluan_ dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka menyusun perancangan _APBN;
Pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan_ penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh Presiden; ” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 153 www.mahkamahkonstitusi.go.id dimaknai, “masih ada lagi proses pembahasan setelah RUU APBN diundangkan menjadi UU APBN”. Dengan demikian, permohonan Pemohon a quo beralasan menurut hukum _; _ Konstitusionalitas Proses dan Ruang Lingkup Pembahasan Perubahan APBN oleh DPR [3.20] Menimbang bahwa menurut Pemohon, ketentuan mengenai Perubahan APBN (APBN-P) yang diatur dalam Pasal 161 UU 27/2009, berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi melanggar prinsip APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat karena pembahasan APBN-P dilakukan dalam proses yang berbeda dengan pembahasan APBN; Bahwa Perubahan terhadap APBN yang terjadi di pertengahan tahun anggaran menurut Mahkamah merupakan hal yang tidak dapat dihindari karena dalam satu tahun anggaran terdapat kemungkinan perubahan terhadap kondisi perekonomian, baik secara nasional maupun global yang dapat mempengaruhi pengelolaan anggaran dan pendapatan belanja negara. Faktor yang dapat mendasari perubahan ini dinyatakan dalam undang-undang dalam bentuk: i) Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan; ii) Perubahan postur APBN yang sangat signifikan [vide Pasal 161 ayat (1) UU 27/2009]. Selanjutnya Pasal a quo menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan yaitu berupa prognosis: i) penurunan pertumbuhan ekonomi, minimal 1% (satu persen) di bawah asumsi yang telah ditetapkan; dan/atau ii) deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal 10% (sepuluh persen) dari asumsi yang telah ditetapkan [vide Pasal 161 ayat (2) UU 27/2009]. Adapun yang dimaksud dengan perubahan postur APBN yang sangat signifikan yaitu berupa prognosis: i) penurunan penerimaan perpajakan minimal 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan; ii) kenaikan atau penurunan belanja kementerian/lembaga minimal 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan; iii) kebutuhan belanja yang bersifat mendesak dan belum tersedia pagu anggarannya; dan/atau iv) kenaikan defisit minimal 10% (sepuluh persen) dari rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) yang telah ditetapkan [vide Pasal 161 ayat (3) UU 27/2009]; Selain itu, ketentuan mengenai perubahan APBN juga diatur dalam Pasal 156 huruf c angka 2 yang pada pokoknya menyatakan bahwa salah satu Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 154 www.mahkamahkonstitusi.go.id tugas DPR adalah melakukan pembahasan mengenai penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi: i) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN; ii) perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; iii) keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan/atau iv) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan [vide Pasal 156 huruf c angka 2 UU 27/2009]; Menurut Mahkamah, UUD 1945 tidak mengatur mengenai alasan dan proses perubahan terhadap APBN dalam bentuk penetapan APBN-P, namun demikian Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa tujuan dari pengelolaan keuangan negara dalam bentuk APBN adalah untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Dengan berpegang pada prinsip konstitusi tersebut maka perubahan APBN di tengah tahun anggaran adalah konstitusional selama bertujuan untuk kepentingan kemakmuran rakyat; Bahwa mengenai proses perubahan APBN dalam bentuk penetapan APBN- P, pada prinsipnya harus berlaku sama sebagaimana halnya APBN, sehingga penetapan APBN-P haruslah dalam bentuk Undang-Undang. Proses ini diatur dalam Undang-Undang yang menyatakan bahwa perubahan APBN dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait. Apabila tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan, pembahasan perubahan APBN dilakukan dalam rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan keuangan Pemerintah [vide Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UU 27/2009]. Menurut Mahkamah, apabila hanya mengenai pergeseran anggaran antarunit organisasi dan antarprogram maka hal tersebut tidaklah diperlukan perubahan APBN dalam bentuk perubahan Undang-Undang APBN karena tidak menambah, atau mengurangi pagu anggaran. Dengan demikian permohonan Pemohon mengenai Pasal 161 UU 27/2009 tidak beralasan menurut hukum; [3.21] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka segala ketentuan dalam UU 17/2003 dan UU 27/2009 yang didalamnya memuat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 155 www.mahkamahkonstitusi.go.id frasa “ kegiatan dan jenis belanja “ harus dimaknai sama dengan pasal atau ketentuan yang telah dipertimbangkan sebelumnya; [3.22] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), d a n Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan : Dalam Pokok Permohonan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.2. Frasa “ kegiatan, dan jenis belanja ” dalam Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.3. Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286] selengkapnya menjadi, “ APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, dan program ”;
2.1. Pasal 71 huruf g Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai, “masih ada lagi proses pembahasan setelah RUU _APBN diundangkan menjadi UU APBN”; _ 1.2.2. Pasal 71 huruf g Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 157 www.mahkamahkonstitusi.go.id 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, “masih ada lagi proses pembahasan setelah RUU APBN diundangkan menjadi UU _APBN”; _ 1.2.3. Frasa “ dan kegiatan ” dalam Pasal 107 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 _; _ 1.2.4. Frasa “ dan kegiatan ” dalam Pasal 107 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.5. Pasal 107 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] selengkapnya menjadi, “... c. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, dan program kementerian/lembaga ”;
2.6. Pasal 156 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 158 www.mahkamahkonstitusi.go.id Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai, “masih ada lagi proses pembahasan _setelah RUU APBN diundangkan menjadi UU APBN”; _ 1.2.7. Pasal 156 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, “masih ada lagi proses pembahasan setelah RUU APBN diundangkan menjadi _UU APBN”; _ 1.2.8. Frasa “antarkegiatan, dan antarjenis belanja” dalam Pasal 156 huruf c angka 2 huruf (c) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.9. Frasa “antarkegiatan, dan antarjenis belanja” dalam Pasal 156 huruf c angka 2 huruf (c) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 159 www.mahkamahkonstitusi.go.id 1.2.10. Pasal 156 huruf c angka 2 huruf (c) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] selengkapnya menjadi, “... c. keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya _pergeseran anggaran antarunit organisasi; dan/atau _ ”;
2.11. Frasa “ dan kegiatan ” dalam Pasal 157 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.12. Frasa “ dan kegiatan ” dalam Pasal 157 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.13. Pasal 157 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] selengkapnya menjadi, “... c. rincian unit organisasi, fungsi, dan program ”;
2.14. Frasa “ kegiatan, dan jenis belanja ” dalam Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 160 www.mahkamahkonstitusi.go.id Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.15. Frasa “ kegiatan, dan jenis belanja ” dalam Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2.16. Pasal 159 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043] selengkapnya menjadi, “ ... (5) APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit _organisasi, fungsi, dan program”; _ 2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, dan Patrialis Akbar, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal dua puluh delapan, bulan Januari, tahun dua ribu empat belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh dua, bulan Mei, tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan pukul 16.53 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap Anggota Arief Hidayat, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 161 www.mahkamahkonstitusi.go.id Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Patrialis Akbar, Aswanto, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Ery Satria Pamungkas sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd Hamdan Zoelva ANGGOTA-ANGGOTA, ttd Arief Hidayat ttd Anwar Usman ttd Ahmad Fadlil Sumadi ttd Maria Farida Indrati ttd Muhammad Alim ttd Patrialis Akbar ttd Aswanto ttd Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd Ery Satria Pamungkas Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pengujian UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan [Pasal 113 ayat (2)]
Relevan terhadap
Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.
Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Keberadaan Pasal 113 ayat (1) di atas secara tegas telah menguraikan tujuan yang ingin dicapai dari pengaturan zat adiktif. Dan pengaturan secara tegas lingkup zat adiktif telah dituangkan dalam ayat (2). Selanjutnya mengenai standar dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam produksi, peredaran, dan penggunaan diatur dalam ayat (3) dengan tujuan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat ditekan dan ditujukan untuk menekan dan mencegah penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan. 48 4. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menurut Pemerintah keberadaan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo merupakan suatu conditio sine qua non karena merupakan fundamen yang kuat untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan pada umumnya. Dengan demikian menurut Pemerintah pengaturan Pengamanan Zat Adiktif dalam undang-undang a quo telah sesuai dengan amanat konstitusi utamanya dalam rangka meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari tujuan pembangunan nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. B. Mengapa diperlukan pengaturan secara khusus mengenai zat adiktif dalam Undang-Undang a quo ; __ 1. Pengertian Zat Adiktif __ a. Bahwa menurut ketentuan dalam Internasional Statistical Classification Of Diseases And Related Health Problems (ICD 10 WHO, Tahun 1992 halaman 321), pengertian adiksi atau ketergantungan adalah suatu kumpulan perilaku, kognitif dan fenomena fisiologis yang terjadi setelah penggunaan berulang suatu bahan tertentu dan ditandai oleh keinginan kuat untuk mengonsumsi bahan tersebut, kesulitan dalam mengendalikan penggunaannya, walaupun dapat mengakibatkan bahaya, memberi prioritas pada penggunaan bahan tersebut dari pada kegiatan lain, meningkatnya toleransi dan kadang-kadang menyebabkan keadaan gejala putus zat ( withdrawal ). __ b. Bahwa zat adiktif adalah obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organisme hidup dapat menyebabkan kerja biologi serta menimbulkan ketergantungan atau adiksi yang sulit dihentikan dan berefek ingin menggunakannya secara terus-menerus yang jika 49 dihentikan dapat memberi efek lelah luar biasa atau rasa sakit luar biasa. __ Sumber: __ http: //www.scribd.com/doc/17633440/Pengertian-Zat-Adiktif __ c. Bahwa zat adiktif merupakan zat atau bahan kimia yang bisa membanjiri sel saraf di otak khususnya "Reward Circuit' atau jalur kesenangan dengan dopamine, yaitu zat kimia yang mengatur sifat senang, perhatian, kesadaran, dan fungsi lainnya. Sumber: __ http: //www.anneahira.com/narkoba/zat-adiktif.htm __ d. Bahwa zat adiktif adalah bahan yang menyebabkan perilaku penggunaan yang ditandai oleh rasa ketagihan, upaya untuk memperolehnya dan adanya kecenderungan kambuh yang tinggi setelah penghentian penggunaan. Misalnya gol. opiat, barbiturat, alkohol, anestetika, pelarut mudah menguap, stimulansia SSP, nikotin dan kafein. Sumber: __ http: //dinkes.acehprov.go.id/dinkes/uploadfiles/data2006/kamus_Dink es/z.pdf e. Bahwa zat adiktif adalah istilah untuk zat-zat yang pemakaiannya dapat menimbulkan ketergantungan fisik yang kuat dan ketergantungan psikologis yang panjang ( drug dependence ) . Bahwa karena mengandung nikotin, semua tembakau dan produk tembakau menyebabkan keadaan adiksi. Proses perilaku dan farmakologi yang menentukan adiksi pada tembakau, sama dengan proses penentuan adiksi pada narkotik, heroin, dan kokain. Sumber: USDHHS. The health consequences of smoking: nicotine addiction. A report of the Surgeon General. Rockville MD: USDHHS, Public Health Service, CDC, Center for Health Promotion and Education, Office of 50 Smoking and Health, 1988. DHHS publication no. (CDC) 88 - 8406 Smokeless Tobacco Products Bahwa tembakau pada sirih, tembakau dengan jeruk dan berbagai kombinasi di Asia Selatan dan USA, meningkatkan risiko terjadinya kanker. Sumber: World Health Organization (2007), The Scientific Basis of Tobacco Product Regulation, Report of a WHO Study Group, WHO Technical _Report Series:
_ Penambahan zat adiktif. Bahwa penambahan cengkeh dan mentol pada rokok kretek akan mengurangi efek asap dan memungkinkan perokok mengisap lebih dalam sehingga meningkatkan toksisitas. Sumber: World Health Organization (2007), The Scientific Basis of Tobacco Product Regulation, Report of a WHO Study Group, WHO Technical _Report Series:
_ 2. Tembakau termasuk kategori zat adiktif Bahwa tembakau sebagai komponen utama rokok mengandung nikotin yang merupakan stimulan sistem saraf pusat (SSP) yang mengganggu keseimbangan neuropemancar. Mengisap produk yang mengandung tembakau menghasilkan efek nikotin pada SSP dalam waktu kurang-lebih sepuluh detik. Jika tembakau dikunyah, efek pada SSP dialami dalam waktu 3-5 menit. Efek nikotin dalam tembakau yang dipakai dengan cara dihisap, dikunyah atau dihirup, menyebabkan penyempitan pembuluh darah, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, nafsu makan berkurang, menimbulkan emfisema (gangguan pada paru-paru), sebagian menghilangkan perasaan cita rasa dan penciuman serta dapat menimbulkan rasa perih paru-paru. Penggunaan produk tembakau dalam jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan pada paru-paru, jantung dan pembuluh darah, dan menyebabkan kanker. 51 Ketergantungan pada nikotin berkembang dengan cepat, terutama ketergantungan secara psikologis. Efek psikoaktif nikotin bekerja dengan cara yang sama di otak sebagaimana jenis-jenis zat adiktif lainnya. Ketika nikotin mencapai otak, perokok mengalami perasaan "high", yaitu suatu perasaan seperti menurunnya ketegangan atau kemungkinan adanya perasaan senang yang berlebihan ( euphoria ). Bahwa nikotin telah dikenal dan dipakai oleh penduduk asli Amerika pada upacara keagamaan dan peristiwa sosial seribu tahun lalu. Dikenal di Eropa pada abad ke-17, nikotin telah dipakai untuk maksud hiburan dan pengobatan. Pemakaian tembakau diperluas dengan diperkenalkannya jenis tembakau yang lebih ringan, mesin penggulung rokok otomatis, kampanye iklan secara besar-besaran dan ketika pemerintah melihat ini sebagai sumber pajak. Bahwa Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization- WHO) dalam penelitiannya menyatakan bahwa satu dari lima kematian disebabkan oleh rokok dan lebih dari 50 persen perokok meninggal dunia sebelum waktunya sebagai akibat langsung dari penyakit yang disebabkan produk tembakau. Selain hal tersebut di atas, toleransi pada efek nikotin berkembang dengan cepat, lebih cepat dibanding heroin dan kokain. Lebih lanjut gejala putus zat setelah penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan sakit kepala, sifat lekas marah yang parah, ketidakmampuan berkonsentrasi, gelisah, dan gangguan tidur. Ketagihan pada nikotin mungkin bertahan seumur hidup setelah berhenti memakai tembakau. Nikotin dengan cepat masuk ke dalam otak begitu seseorang merokok. Kadar nikotin yang diisap akan mampu menyebabkan kematian apabila kadarnya lebih dari 30 mg. Farmakologi nikotin dalam produk tembakau/rokok bersifat kompleks. Menurut Jaffe (1990), faktor ini mencakup: a). komposisi tembakau yang digunakan, b). tingkat kepadatan tembakau yang digunakan dalam rokok, 52 c). panjangnya rokok atau cerutu, d). karakteristik filter yang digunakan, e). kertas yang digunakan dan f). temperatur tembakau itu dibakar. Produk tembakau/rokok mengandung 2550 zat aktif dan akan meningkat menjadi lebih dari 4000 (empat ribu) apabila penggunaannya dibakar. Menurut Burn (1991), bahwa 1.450 jenis zat lain datang dari berbagai zat tambahan ( additive ), __ pestisida dan organik atau zat metal yang dengan sengaja atau tidak disengaja ditambahkan pada komposisi rokok tersebut. Nikotin merupakan komponen utama dalam produk tembakau yang bersifat sangat adiktif. 80% dari seluruh perokok tetap ingin berhenti merokok, sebagian besar dari mereka telah berusaha namun gagal. Hanya 2.5% dari orang yang berusaha berhenti merokok tanpa bantuan yang berhasil. Oleh karena sifat adiktif nikotin yang sangat kuat, maka hanya 20% dari orang yang mencobanya untuk pertama kali sanggup untuk menghentikan kebiasaan merokok. (Sumber: Kecanduan Merokok Peranan Dan Mekanisme Kerja Nikotin-Tena Djuartina dan Yovan Hendriek ). Setiap batang rokok rata-rata mengandung nikotin 0.1-1.2 mg nikotin. Dari jumlah tersebut, kadar nikotin yang masuk dalam peredaran darah tinggal 25%, namun jumlah yang kecil itu mampu mencapai otak dalam waktu 15 detik Tar bukanlah zat tunggal, terdiri atas ratusan bahan kimia gelap dan lengket, dan tergolong sebagai racun pembuat kanker. (Sumber: http: //arsanasv.co.cc/nikotin-dalam-tembakau-dan-bahaya- merokok-bagi-kesehatan/ ) World Health Organization (WHO) menggolongkan kebiasaan merokok sebagai ketagihan ( Tobacco Dependence syndrome: Classification F17. 2 dalam International Classification of Diseases. Tenth Revision ). Laporan US Surgeon General 1988 berkesimpulan bahwa rokok dan semua bentuk penggunaan tembakau membuat pemakainya ketagihan. Pola penggunaan tembakau bersifat tetap, kompulsif, dan sindrom putus zat (dalam hal ini tembakau) biasanya menyertai penghentian penggunaan tembakau. Proses farmakologis dan perilaku yang menentukan ketagihan pada obat seperti heroin dan kokain. Nikotin mempunyai pengaruh pada 53 sistem dopamin otak, sama dengan apa yang ada pada heroin, amphetamine, dan kokain. Dalam urutan sifat ketagihan obat yang psikoaktif, nikotin ditetapkan sebagai lebih menimbulkan ketagihan dibanding heroin, kokain, alkohol, kafein, dan marijuana. Farmakologis nikotin lebih banyak bersifat rangsangan, dengan efek aktivasi elektrokortis, jantung dan sistem endokrin. Nikotin yang diterima dalam tubuh melalui rokok, mempengaruhi hampir semua sistem neurotransmitter dan neuroendoorine. Pemajanan kronik terhadap nikotin melalui rokok menyebabkan perubahan struktural pada otak dengan peningkatan jumlah reseptor nikotin. Akibat akut penggunaan nikotin menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dan aliran dari jantung dan penyempitan pembuluh darah. Pengaruh lainnya yang dapat ditimbulkan terutama oleh komponen asap, juga dapat menurunkan kadar oksigen di dalam darah karena naiknya kadar karbon monoksida, juga dapat meningkatkan jumlah asam lemak, glukosa, kortisol, dan hormon lainnya di dalam darah dan peningkatan risiko mengerasnya pembuluh darah arteri dan pengentalan darah (yang berkembang menjadi serangan jantung, stroke) dan karsinogenesis. Akibat kronik yang paling gawat dari penggunaan nikotin adalah ketergantungan, karena sekali seorang menjadi perokok akan sulit mengakhiri kebiasaan itu baik secara fisik atau psikologis. Selain menjadi ketagihan secara fisiologis, merokok dapat juga memenuhi hasrat psikologis yang dirasakan. Proses ini bersama dengan upacara menyalakan rokok dan menghembuskan asap yang dilakukan berulang- ulang, menjadikan merokok suatu perilaku yang amat kompulsif. Merokok dikenal sebagai kebiasaan yang sulit untuk dihentikan dan hanya sedikit sekali perokok yang berhasil menghentikan kebiasaan mereka sebelum beberapa kali mencoba berupaya serius. Sebagai contoh di Republik Dominika, hasil studi menunjukkan bahwa sebagian besar perokok (87%) ingin berhenti, sementara 67.5% menyatakan telah berusaha melakukan dengan bersungguh-sungguh sekurang-kurangnya satu kali. Kemungkinan berhasil dalam upaya tanpa bantuan dinyatakan 54 tidak lebih dari 1 dari 100. Para peneliti menemukan bahwa pengamatan klinis yang menentukan dalam upaya menghentikan kebiasaan merokok adalah bahwa upaya itu bersifat siklik (kambuhan), sehingga para perokok yang berhenti menghadapi risiko kembali pada kebiasaan semula.
Tingkat bahaya pemakaian zat adiktif Bahwa nikotin memiliki tingkat ketergantungan (dependence) paling kuat dibandingkan dengan heroin, kokain, alkohol, kafein dan marijuana. Sedangkan tingkat toleransi nikotin adalah yang ke-2 setelah heroin. Bahwa parameter kualitas adiktif suatu zat dapat dijelaskan sebagai berikut: Withdrawal : __ Tingkat keparahan gejala yang timbul akibat menghentikan penggunaan zat tersebut. Reinforcement : Kecenderungan zat untuk mendorong pengguna untuk memakai lagi dan lagi. Tolerance : Kebutuhan pengguna untuk memiliki dosis yang semakin meningkat untuk mendapatkan efek yang sama. Dependence : __ Kesulitan untuk berhenti. Intoxication : Tingkat kemabukan yang dihasilkan oleh zat yang digunakan. Sumber: ( http: //www.druglibrary.org/SCHAFFER/library/basicfax5.htm ) __ Berikut ini dapat digambarkan 2 (dua) orang pakar obat Amerika Serikat yang menilai berbagai obat berdasarkan faktor individual yang dipertimbangkan oleh WHO pada saat menentukan sifat adiktif. Kedua pakar di atas melakukan penelitian untuk menilai 6 jenis recreational drug yang paling umum berdasarkan faktor risiko, mulai dengan angka 1 untuk yang paling berisiko dan angka 6 untuk yang paling kurang berisiko, seperti di bawah ini: Rating oleh Dr. Jack Henningfield, National Institute on Drug Abuse (NIDA) 55 Substance withdrawal Reinforcement Tolerance Dependence Intoxication Nicotine 3 4 2 1 5 Heroin 2 2 1 2 2 Cocaine 4 1 4 3 3 Alcohol 1 3 3 4 1 Caffeine 5 6 5 5 6 Marijuana 6 5 6 6 4 Keterangan : 1 = paling berat 6 = paling ringan Berdasarkan rating tersebut, tingkat ketergantungan nikotin lebih tinggi dari heroin, sedangkan alkohol dinilai paling berbahaya dalam hal withdrawal karena penghentian tiba-tiba dapat menghasilkan efek yang mengancam nyawa pecandu alkohol. Alkohol dinilai paling memabukkan di antara semua obat dalam table sedangkan ketergantungan nikotin dinilai lebih parah dari heroin. Rating oleh Dr. Neal L. Benowitz, University of California, San Francisco: Substance withdrawal Reinforcement Tolerance Dependence Intoxication Nicotine 3 4 4 1 6 Heroin 2 2 2 2 2 Cocaine 3 1 1 3 3 Alcohol 1 3 4 4 1 Caffeine 5 5 3 5 5 Marijuana 6 6 6 6 4 Keterangan : 1 = paling berat 6 = paling ringan Rating menurut Dr. Benowitz sedikit berbeda, tetapi peringkatnya pada dasarnya sama, nikotin memiliki tingkat ketergantungan ( dependence ) __ yang paling tinggi. http: //www.a1b2c3.com/drugs/gen007.htm Pada rata-rata orang dewasa yang sehat, dosis letal dari nikotin diperkirakan adalah dosis tunggal nikotin 60 mg (Ashton, 1992). Pada umumnya rokok mengandung 6-11 mg nikotin (Henningfield, 1995), namun nikotin yang dapat diserap oleh tubuh pada tiap batang sekitar 3% 56 hingga 40% (Benowitz & Henningfield, 1994). Karena nikotin tidak dapat pindah dengan mudah dari alveoli di paru ke pembuluh darah, seorang perokok umumnya menyerap sekitar 1 - 3 mg nikotin dari tiap batang (Henningfield, 1994). Jadi perokok aktif menerima sekitar 1/60 hingga 1/24 dari dosis letal nikotin di atas, setiap kali mereka merokok sebatang. Dalam satu hah perokok yang merokok sebanyak 1 bungkus rata-rata menyerap dosis nikotin secara kumulatif sekitar 20 - 40 mg. Begitu sampai ke dalam tubuh, nikotin secara cepat didistribusi ke setiap jaringan di tubuh yang kaya akan darah, termasuk otak (Henningfield & Nemeth-Coslett, 1988). Nikotin adalah zat yang larut dalam air dan larut dalam lemak jadi mampu masuk pada otak secara cepat. Otak memang menjadi organ tubuh yang paling banyak mengandung nikotin yang terakumulasi akibat penggunaan yang kronis. Nikotin yang terkandung di otak bisa dua kali lebih besar daripada yang ada di bagian tubuh lainnya (Fiore, et al, 1992). Pada otak, nikotin juga diketahui memiliki perangkat sebagaimana yang ada pada zat kokain dan amfetamin (Rustin, 1988).
Bahan berbahaya selain nikotin yang terkandung dalam produk tembakau/rokok yang dibakar. Asap rokok terdiri dari berbagai macam campuran bahan kimia kompleks yang merupakan produk non-spesifik dari hasil pembakaran bahan organik (seperti asetaldehid dan formaldehid), dan bahan kimia yang spesifik dari pembakaran tembakau dan komponen lain rokok (misalnya nitrosamine spesifik tembakau). Berikut ini rincian singkat dari beberapa komponen atas produk tembakau/rokok yang dibakar:
Karsinogen International Agency for Research on Cancer (IARC) telah membuat daftar 36 bahan kimia yang "diketahui menyebabkan kanker" (Group 1) pada manusia (IARC, 1999). Asap rokok mengandung sedikitnya 10 macam dari ke-36 bahan kimia tersebut, dan banyak bahan kimia mutagenik lain yang termasuk kategori "probably carcinogenic" atau "possibly carcinogenic" (IARC Group 2). 57 b. Tar Tar merupakan bagian dari asap tembakau yang berupa massa partikulat kering dan bebas nitrogen (U.S. Surgeon General, 1988). Fraksi partikulat dari asap rokok mengandung banyak konstituen karsinogenik yang berbahaya, di antaranya logam, PAH, dioksin, dan beberapa nitrosamine nonvolatile. Kandungan tar pada rokok secara tradisional diukur dengan metode terstandardisasi dengan bantuan smoking machine. Kadar tar digunakan untuk pengukuran tingkat toksisitas relatif produk tembakau, sehingga terdapat klasifikasi rokok dengan kadar tar tinggi, sedang, dan rendah.
Gas Di samping fase partikulat (tar), pada asap tembakau ditemukan banyak bahan kimia pada fase gas. Gas yang paling banyak dilaporkan adalah karbon monoksida (CO) dengan kadar hingga ratusan ppm. Toksisitas karbon monoksida adalah karena kemampuannya membentuk karboksihemoglobin, suatu kompleks kimia stabil dengan hemoglobin. Kompleks ini secara efektif menghilangkan molekul pembawa oksigen, hemoglobin, dari peredaran darah dan organ vital. Konsentrasi karboksihemoglobin darah sekitar 2% atau lebih dari kadar hemoglobin terkait dengan sakit angina pada orang dengan penyakit kardiovaskular dan dapat menyebabkan ischemia jantung serta mengurangi aliran darah ke jantung.
Nitrosamine Nitrosamine merupakan amin organic yang mengandung sebuah gugus nitro ( -NO ) __ yang terikat pada gugus amin melalui reaksi nitrosasi. Sebagian besar senyawa amin yang diteliti terbukti menyebabkan mutasi DNA. Nitrosamine nonspesifik pada tembakau di antaranya N- nitrosodimetilamin (NDMA), N-nitrosodietilamin (NDEA), N- nitrosoetilmetilamin, N-nitrosodietanolamin, N-nitrosopirolidin (NP), dan N-nitroso-n-butilamin (NBA) (Mitacek et al., 1999). 58 Senyawa-senyawa yang spesifik tembakau secara umum disebut non-volatile Tobacco-Specific Nitrosamines (TSNA). Terdapat 4 macam TSNA yang secara luas dilaporkan dalam literature yaitu: N- nitrosoanabasin (NAB), N-nitrosoanabatin (NAT), 4-metil- (metilnitrosoamino)-1-(3-piridil)-1-butanon (NNK) dan nitrosonomikotin (NNN). NNK dan NNN memiliki potensi mutagenic yang paling besar. NNK dan NNN terbukti menyebabkan DNA adduct terkait tumor pada rodensia dan diklasifikasikan menjadi probable human carcinogens oleh IARC (Hecht, 1999; IARC 1999). Badan regulasi seperti USFDA dan USEPA menganggap nitrosamine jenis apapun memiliki potensi mutagen dan bahaya kanker hanya dilihat melalui struktur kimianya. Penelitian menyimpulkan bahwa pengurangan penggunaan pupuk kaya nitrat dan logam berat akan dengan signifikan mengurangi karsinogenitas asap rokok dengan cara penurunan kadar nitrosamine, cadmium, nikei, krom, berilium, arsen, 2-naftilamin, dan 4- aminobifenil. e. Polynuclear __ Aromatic Hydrocarbon __ ( PAH ) Senyawa Polinuclear Aromatic Hydrocarbon ( PAH ) __ terbentuk melalui pembakaran setiap senyawa organik. Benzo(a)piren ( BaP ) __ merupakan zat yang paling banyak dipelajari dan merupakan salah satu zat yang secara toksikologi paling kuat pada kelompok senyawa ini. Analisis kadar BaP pada Canadian cigarette menunjukkan bahwa kadar rata-ratanya adalah 17 ng/cigarette, tetapi untuk brand yang ultra dan ekstra low tar memiliki nilai rata-rata setengah dari nilai tersebut dengan pengukuran di bawah kondisi standar merokok (Kaiserman and Rickert, 1992).
Dioksin Terklorinasi dan Furan Dioksin terklorinasi dan furan __ merupakan kontaminan __ yang terbentuk melalui reaksi antara senyawa/organik dengan klorin, biasanya pada kondisi pembakaran. Laporan menunjukkan kadar kontaminan dioksin __ pada rokok di New Zealand rendah dibandingkan dengan standar dunia. Kandungan dioksin pada asap rokok dapat karena 59 keberadaannya pada rokok itu sendiri atau hasil reaksi antara klorin dengan senyawa organik selama proses pembakaran. Laporan di Swedia menunjukkan kadar dioksin sebesar 1490 pg/ aliran asap rokok (Lofroth and Zebuhr, 1992). _Source: _ _The Chemical Constituents in Cigarettes and Cigarette Smoke: _ Priorities for Harm Reduction, A Report to the New Zealand Ministry of Health, March 2000 http: //www.moh.govt.nz/moh.nsf/pagescm/1003/$File/chemicalconstitu entsciqarettespriorities.pdf 5. Pengaturan zat adiktif di berbagai negara Di Amerika, tembakau sebagai zat adiktif diatur dalam Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act, legislasi landmark yang memberikan kewenangan pada USFDA untuk mengatur manufacturing dan marketing tembakau dengan tujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat. http: //www.americanheart.org/presenter.jhtmI?identifier=11223 Di Eropa terdapat Tobacco legislation, regulation and voluntary agreements (England and European Union) Action on Smoking on Health http: //old.ash.org.uk/html/policy/legislation.html Kafein yang memiliki sifat adiktif, di Amerika diatur melalui mekanisme Dual Regulation yaitu Kafein sebagai Obat dan Kafein sebagai Makanan. http: //leda.law.harvard.edu/leda/data/642/Mrazik.html Selain keterangan tersebut di atas, Pemerintah dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
Pengaturan mengenai Pengamanan Zat Adiktif dalam Undang- Undang a quo telah memenuhi prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengaturan Pengamanan Zat Adiktif dalam Undang-Undang a quo tidak dilakukan secara tergesa-gesa, terburu-terburu atau dipaksakan, justru pengaturan mengenai pengamanan zat adiktif dalam Undang- 60 Undang a quo telah mempertimbangkan berbagai aspek utamanya aspek kesehatan masyarakat pada umumnya.
Pengaturan Pengamanan Zat Adiktif dalam Undang-Undang a quo telah sesuai (sinkron) dengan Undang-Undang terkait lainnya. Pengaturan Zat Adiktif dalam Undang-Undang a quo tidak bersifat tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya, misalnya yang berkaitan dengan Narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Psikotropika telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, sehingga pengaturan pengamanan zat adiktif dalam Undang-Undang a quo saling melengkapi. Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan alasan Pemohon yang menyatakan bahwa menanam tembakau dan merokok khususnya kretek merupakan suatu budaya dan budaya kerja, dengan penjelasan sebagai berikut:
Pengertian Budaya dan Kebudayaan a) Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (Soerjanto Poespowardojo, 1993). b) Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia. c) Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.
Pengertian Budaya Kerja Budaya Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap 61 menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja. (Sumber: Drs. Gering Supriyadi, MM dan Drs. Tri Guno, LLM) 3. Tujuan Atau Manfaat Budaya Kerja Budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku SDM yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang.
Manfaat dari penerapan budaya kerja yang baik:
Meningkatkan jiwa gotong royong b. Meningkatkan kebersamaan c. Saling terbuka satu sama lain d. Meningkatkan jiwa kekeluargaan e. Meningkatkan rasa kekeluargaan f. Membangun komunikasi yang lebih baik g. Meningkatkan produktivitas kerja h. Tanggap dengan perkembangan dunia luar, dll. Budaya adalah Definisi Budaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 1 Pikiran; akal budi: hasil -- _; _ 2 Adat istiadat: menyelidiki bahasa dan _--; _ 3 Sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju): jiwa yang --; 4 Cak sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Definisi Budaya menurut Wikipedia Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosial-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Dengan demikian budaya harus memiliki nilai positif bagi perilaku masyarakat yang harus dilestarikan, sedangkan perilaku merokok (kretek) dari sudut pandang kesehatan tidak memiliki nilai positif bahkan mengganggu dan merugikan kesehatan. 62 Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, menurut Pemerintah ketentuan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, justru bertujuan untuk memberikan perlindungan umum ( general protection ) terhadap setiap orang akan dampak buruk penggunaan zat adiktif, dan karenanya menurut Pemerintah ketentuan a quo tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27, Pasal 28A, Pasal 28 I UUD 1945. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah memohon kepada yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28A, dan Pasal 28 I serta Pembukaan ( preambule ) __ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Selain mengajukan keterangan, Pemerintah juga mengajukan 3 (tiga) orang Saksi dan 6 (enam) orang Ahli, yang telah didengar keterangannya pada persidangan hari Kamis, tanggal 2 Juni 2010 dan Rabu, 5 Januari 2011 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 63 Saksi Pemerintah 1. Rima Melati y Saksi seorang perokok dan akibat dari ketergantungan rokok, saksi sakit kanker stadium akhir. __ 2. Yanti Sampurna y Suami saksi meninggal telah merokok 40 tahun dan tidak dapat berhenti merokok sampai wafatnya. Suami saksi menderita kanker paru dengan diketemukannya sel-sel yang khas sebagai sel kanker akibat rokok; __ 3. Pa Iswanto __ y Saksi adalah petani tembakau sejak tahun 1970 dan telah menikmati hasil tembakau tersebut dengan mendirikan rumah dan mempunyai sepeda motor; __ y Saksi sebagai petani tembakau kwatir apabila tembakau disingkirkan yang mana akan mengakibatkan akan mengadu nasib ke kota besar. __ Ahli Pemerintah 1. Prof. Dr. Amir Syarief y Nikotin tergolong zat adiktif karena bila nikotin dikonsumsi maka dapat menimbulkan ketergantungan psikologis, fisik, dan toleransi, serta sulit menghentikannya meskipun zat tersebut dapat menimbulkan masalah bagi dirinya; y Ketergantungan psikologis bila seseorang mengkonsumsi suatu zat dan berkeinginan menggunakannya kembali berulang-ulang untuk memperoleh efek yang menimbulkan suatu perasaan nyaman, senang, bergairah, bersemangat yang bila keinginannya tidak terlaksana akan menimbulkan perasaan sebaliknya menjadi lesu, tidak bergairah; y Ketergantungan fisik bila seseorang telah mengkonsumsi suatu zat dalam jangka tertentu dan menghentikannya atau menguranginya secara tiba- tiba, maka akan menimbulkan tanda-tanda gangguan fisik; y Ketergantungan toleransi bila seseorang telah mengkonsumsi suatu zat dalam jangka tertentu dan memerlukan peningkatan takaran, atau dosis untuk memperoleh efek yang sama seperti sebelumnya; 64 y Gejala putus obat adalah gejala yang ditimbulkan oleh seseorang yang telah mengalami ketergantungan, yang menghentikan akan mengurangi pemakaiannya secara tiba-tiba. Gejala putus dari nikotin adanya tersinggung, menjadi seseorang yang tidak sabar, memiliki sifat bermusuhan, merasa cemas, merasa tidak nyaman, tidak enak, sulit berkonsentrasi, gelisah, denyut jantungnya menurun, selera makannya bertambah, berat badannya meningkat; y Setelah merokok tembakau terdapat nikotin di dalam darah. Merokok tembakau dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang menimbulkan kanker pada paru, rongga mulut, faring, laring dan isofagus yang dapat menimbulkan masalah pada pembuluh darah jantung dan otak. Wanita hamil terjadi arbortus, kelainan kongenital pada janin; y Nikotin tergolong zat adiktif. Nikotin terdapat dalam tembakau, dalam kadar yang cukup besar. Rokok tembakau mengandung nikotin sehingga merokok tembakau dapat menimbulkan ketergantungan psikologis fisik dan toleransi. Asap rokok tembakau mengandung bahan kimia yang dapat memicu terjadinya penyakit kanker, penyakit paru-paru serta gangguan kesehatan lainnya.
Dr. Widyastuti Soerojo y Bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan perlindungan bagi seluruh warga masyarakat tanpa kecuali sesuai mandat UUD 1945; y Perlindungan terhadap produk tembakau sebagai zat adiktif tidak melarang usaha pertanian tembakau apalagi mematikan mata pencaharian petani dan tidak bertentangan dengan UUD 1945; y Sifat adiktif pada nikotin sangat kuat, studi menunjukan bahwa berhentinya merokok lebih sulit daripada menghentikan ketagihan heroin dan kokain. Adanya 60 juta perokok aktif yang ada di Indonesia saat ini sudah mengindikasikan jaminan kelangsungan pertanian tembakau beberapa dekade mendatang; 65 3. Ahmad Hudoyo y Tembakau dapat dijadikan zat pengawet yaitu pengawet untuk bumbu, untuk kayu dan dapat mewarnai sutera; y Daun Tembakau dari hasil penelitian dapat sebagai obat kencing manis dan direkayasa genetik dapat dijadikan obat anti kanker; y Daun tembakau dapat menjadi idola para dokter karena ahli genetika dan ahli biologi populer merupakan daun yang paling mudah direkayasa, cepat berubah DNA sifatnya sehingga sangat efesien untuk penelitian-penelitian.
Arini Setiawati y Nikotin dalam rokok tidak begitu berbahaya jauh lebih aman daripada merokok, keracunan nikotin dalam jumlah kecil jauh lebih aman dibandingkan merokok. Zat-zat dalam asap tembakau itulah yang berbahaya, toksik dan menyebabkan kanker; y Perokok pasif menghisap asap rokok yang berbahaya tetapi tidak mendapatkan pleasure yang dialami oleh perokok aktif, sehingga alangkah tidak adilnya kalau seseorang bapak merokok sedangkan istrinya dan anak-anaknya harus menghisap asap rokok tersebut, karena dapat menimbulkan bahaya bagi wanita dan anak-anak; y Perokok aktif harus berhenti merokok agar tidak mengalami penyakit yang berbahaya karena perokok ringan dan sedang kematiannya sama saja dengan perokok berat karena merokok dengan 4 batang sehari dengan lebih 20 batang sehari sama penyakitnya dan kematian yang ditimbulkannya.
Abdillah Ahsan y Bahwa ahli telah melakukan studi di Kendal, Bojonegoro dan Lombok Timur dan ahli telah mewawancarai responden buruh tani sebanyak 450 orang dan telah mewawancarai 66 pengelola petani yang pada pokoknya sebagai berikut: - Mereka mengeluh bahwa risiko, usaha perkebunan tembakau itu sangat berisiko, yaitu perubahan cuaca karena tembakau di tanam adalah tanaman semusim, di tanam pada musim kemarau atau musim 66 penghujan. Kalaupun ditanam pada musim kemarau, ketika panen turun hujan maka rusak kualitasnya; - Perubahan harga, harga ditentukan oleh tengkulak, grader; - Hama tanaman; - Turunnya pembelian, karena pembeli utama daun tembakau adalah industri rokok. Apabila industri rokok tidak mau membeli maka tembakau belum diketahui untuk apa penggunaannya.
Ahmad Fattah Wibisono y Bahwa kata merokok atau rokok tidak tercantum dalam Al Qur’an dan As- sunah kata tadkhin tidak ada dalam kitab suci tersebut; y Makruh maupun yang haram, titik temunya adalah sama-sama menginginkan aktivitas merokok dihentikan; y Apabila orang masih mau merokok artinya orang tersebut tidak menjaga kesehatannya, tidak menjaga jiwanya seperti yang menjadi tujuan utama syariat, tujuan utama islam; [2.4] Menimbang bahwa untuk menanggapi dalil-dalil permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat telah mengajukan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada Jumat 23 Juli 2010 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: A. KETENTUAN PASAL UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap UUD 1945. Adapun bunyi Pasal 113 Undang-Undang a quo adalah sebagai berikut: (5) Pengamanan penggunaan bahan mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan. 67 (6) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. (7) Produksi, pengedaran dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Pemohon beranggapan ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pembukaan (Preambule), Pasal 27, Pasal 28A, dan Pasal 28 I UUD Tahun 1945. B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 113 AYAT (1), AYAT (2), DAN AYAT (3) UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 113 Undang-Undang a quo bertentangan dengan asas keadilan, karena hanya mencantumkan satu jenis tanaman pertanian yaitu tanaman tembakau yang dianggap menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya, sedangkan tanaman ganja, yang dilarang tidak dimasukan dalam Undang-Undang a quo dan juga masih banyak jenis tanaman pertanian iainnya yang juga berdampak tidak baik bagi kesehatan dan Pasal 113 Undang-Undang a quo juga dijadikan payung hukum atau landasan hukum bagi Pemerintah untuk melahirkan RPP tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif tanpa melihat dampak kerugian yang dialami oleh para petani tembakau dan cengkeh Indonesia (vide Permohonan a quo halaman 13 paragraf ke-2 dan paragraf ke-3 dan halaman 16 paragraf 1); 68 2. Bahwa Pemohon mendalilkan dengan berlakunya Pasal 113 Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka akan berdampak psikologis dan akan mengakibatkan kerugian materiil serta tidak adanya kepastian hukum dalam keberlangsungan kehidupan para petani tembakau dan cengkeh Indonesia, berkurangnya tenaga kerja sektor pertanian, tenaga kerja/buruh pabrik rokok, dan pihak terkait Iainnya ( vide permohonan halaman 19 paragraf ke-2);
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo juga mendalilkan, Pasal 113 paragraf a quo tidak berpihak kepada kepentingan petani tembakau yaitu hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan dalam hal ini kehidupan para petani tembakau, cengkeh, dan para buruh pabrik Indonesia serta pihak lain yang terkait dengan pertembakauan juga mempunyai hak hidup yang sama sehingga menanam tembakau atau cengkeh merupakan suatu kewajiban petani untuk melangsungkan kehidupannya. Di samping itu menanam jenis tanaman tembakau dan cengkeh di Indonesia tidak hanya untuk kehidupannya saja tetapi sudah merupakan budaya menanam karena sudah turun-temurun dari generasi ke generasi di mana identitas budaya dan keberadaan masyarakat tradisional juga dilindungi oleh UUD 1945 ( vide permohonan halaman 22-23); Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, Pemohon dalam permohonan a quo berpendapat Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), bertentangan dan tidak sejalan dengan Pembukaan ( Preambule ) dan pasal-pasal UUDn 1945, sebagai berikut: Pasal 27 UUD 1945 menyatakan: (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. __ __ 69 Pasal 28A UUD 1945 menyatakan: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya . Pasal 28 I UUD 1945 menyatakan: (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban. (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. (5) Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang- undangan. C. KETERANGAN DPR Rl Bahwa terhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo , pada kesempatan ini DPR dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon. Sesuai dengan Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Mahkamah Konstitusi), menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu: 70 a. perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan Hukum publik atau privat; atau
lembaga Negara; Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945; Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menyatakan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”; Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pihak Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud “Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU Mahkamah Konstitusi" yang dianggapnya telah dirugikan oleh berlakunya suatu Undang- Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat dari berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Bahwa mengenai batasan-batasan tentang kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang- Undang berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana telah dibatasi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu ( vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU- III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007), yaitu sebagai berikut: 71 a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( casual verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan Pemohon dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pihak Pemohon; Berdasarkan pada Ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU Mahkamah Konstitusi dan persyaratan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 DPR Rl berpendapat bahwa tidak ada kerugian konstitusional Pemohon atau kerugian yang bersifat potensial akan terjadi dengan berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan penjelasan sebagai berikut:
bahwa Pemohon a quo dalam permohonannya mengemukakan berkedudukan sebagai warga negara Indonesia bertmdak untuk dan atas nama sendiri sebagai penanam tembakau maupun mewakili beberapa Kepala Desa beserta warga Desa Kabupaten Temanggung yang mempunyai kepentingan yang sama; 72 2. bahwa dalam permohonan a quo , Pemohon tidak mengemukakan secara jelas dan konkrit mengenai kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan secara aktual dialami langsung oleh Pemohon sebagai akibat berlakunya ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo , tetapi hanya berupa asumsi dan kekhawatiran Pemohon yang beranggapan berpotensi menghilangkan hak konstitusionalnya untuk hidup dengan menanam tembakau;
bahwa DPR tidak sependapat dengan dalil Pemohon tersebut, karena apabila mencermati ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo , memberikan pengertian bahwa materi norma Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sama sekali bukan merupakan norma yang melarang untuk menanam tembakau, melainkan suatu norma yang mengandung pengertian bahwa zat adiktif adalah zat kimia yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat, sehingga penggunaan zat adiktif harus dilakukan secara hati-hati sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, agar tidak menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya, serta tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan yang merupakan bagian dari tujuan dibuatnya Undang-Undang a quo sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang a quo yang berbunyi: "Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis." ;
Bahwa kalaupun tembakau menurut ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo mengandung zat adiktif, tidak berarti ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo telah menghalangi atau mengurangi hak konstitusional Pemohon untuk menanam tembakau Dengan kata lain bahwa ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang 73 a quo sama sekali tidak menghalangi atau mengurangi hak konstitusional Pemohon untuk menanam dan mengembangkan tembakau sehingga tidak berpotensi menimbulkan kerugian konstilusional bagi Pemohon Oleh karena pada kenyataannya Pemohon dan masyarakat pelani tembakau masih tetap dapat melakukan aktivitasnya sebagai petani tembakau tanpa terhalang atau terkurangi dengan berlakunya ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo ;
Bahwa dengan demikian kekuatiran Pemohon akan hilangnya identitas budaya menanam tembakau pada masyarakat tradisional petani tembakau menjadi tidak beralasan dan berdasar, mengingat ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo sama sekali tidak melarang dan menghalangi atau mengurangi hak konstitusional bagi Pemohon dan masyarakat Petani Tembakau untuk menanam tembakau;
Bahwa kekuatiran Pemohon akan terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif yang dianggapnya dapat menimbulkan kerugian bagi Pemohon dan petani tembakau adalah sangat prematur karena sampai saat ini belum terbit Peraturan Pemerintah a quo , tetapi masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa persoalan yang didalilkan Pemohon terhadap pengujian ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo , bukan persoalan konstitusionalitas, melainkan persoalan penerapan norma ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang- Undang a quo yang dijadikan dasar untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah a quo . Seandainyapun Peraturan Pemerintah a quo ternyata merugikan kepentingan Pemohon, maka yang berwenang untuk menguji Peraturan Pemerintah tersebut bukan Mahkamah Konstitusi tetapi merupakan kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. 74 Berdasarkan pada uraian-uraian tersebut, DPR berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU Mahkamah Konstitusi, serta batasan kerugian konstitusional yang harus dipenuhi sesuai dengan Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Oleh karena itu DPR mohon agar Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia secara bijaksana menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ); Namun jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia berpendapat lain, berikut ini disampaikan Keterangan DPR mengenai materi pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
Pengujian Materiil atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon sebagaimana diuraikan di atas, DPR memberi keterangan sebagai berikut:
Bahwa dasar filosofi dan konstitusional dan pembuatan UU Kesehatan adalah bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan ata- ata bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, oleh karena itu, setiap kegiatan dan segala upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya perlu dilakukan semaksimal mungkin guna pembentukan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas, dengan demikian dapat meningkatkan daya saing bangsa;
Bahwa salah satu upaya untuk mewujudkan hal tersebut di atas, dibentuklah Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang bertujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang a quo yaitu "Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, 75 sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis" ;
Bahwa salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang a quo , maka dalam ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo diatur secara tegas pengaturan mengenai pengamanan penggunaan bahan zat adiktif yang meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. Oleh karena itu, pengaturan mengenai tanaman tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan ditujukan untuk melindungi hak orang lain termasuk anak dan kesehatan masyarakat, terutama masyarakat yang akan terkena dampak negatif penggunaan tembakau dalam bentuk rokok. Undang- Undang Kesehatan sesungguhnya bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak dari penyalahgunaan zat adiktif seperti rokok yang sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mewajibkan kepada Pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada kesehatan anak;
Bahwa zat adiktif yang terkandung dalam tembakau atau produk- produk yang mengandung tembakau mempunyai sifat adiksi yang sangat tinggi jika dibandingkan sifat adiksi yang ada dalam bahan- bahan Iainnya, yang akan membawa akibat kecanduan yang sangat sulit dilepaskan oleh para pemakainya. Hal tersebut tentunya akan membawa efek yang sangat berbahaya bagi kesehatan din dan lingkungan sekitarnya, sedangkan Zat adiktif itu sendiri mengandung makna bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi secara terus- menerus akan menyebabkan ketergantungan atau adiksi yang sangat sulit untuk dilepaskan yang jika dihentikan penggunaan secara mendadak akan memberi dampak yang sangat besar bagi tubuh manusia; 76 5. Bahwa tanaman tembakau dimasukan sebagai salah satu zat adiktif dalam Undang-Undang Kesehatan tidak dapat dipandang sebagai bentuk ketidakadilan alau menghalangi dan mengurangi hak konstitusional Pemohon, karena zat adiktif Iainnya seperti yang terkandung dalam tanaman ganja dikategorikan sebagai narkotika telah diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Begitu pula zat adiktif psikotropika telah diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Oleh karena itu ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo tidak bertentangan dengan asas keadilan, mengingat Undang-Undang Kesehatan hanya berupaya untuk memberikan penekanan dalam bidang kesehatan masyarakat terutama memberikan perlindungan terhadap penggunaan tembakau yang mengandung tingkat adiksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman Iainnya;
Bahwa tanaman tembakau mengandung zat adiktif yang perlu diatur penggunaannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo adalah sudah melalui kajian yang cukup panjang dan terdapat referensi internasional yang diakui diseluruh dunia agar produksi, peredarannya, dan penggunaannya harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Pengendalian tembakau melalui pemenuhan standar dan/atau syarat penggunaannya telah cukup diakui dunia, hal tersebut terlihat dari data pada tahun 2008 sudah ada 160 negara yang telah meratifikasi Freamework Convention on Tobacco Control (FCTC) ;
Bahwa perlu dicermati dalam penjelasan Pasal 113 ayat (3) Undang- Undang a quo menyebutkan penetapan standar dan syarat penggunaan zat adiktif tersebut diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat ditekan untuk mencegah beredarnya bahan palsu dan mencegah penggunaan yang menggangu atau merugikan kesehatan. Oleh karena itu perlu dipandang bahwa dampak dan penggunaan zat adiktif ini diupayakan tidak menimbulkan 77 kerugian yang lebih besar kepada kesehatan masyarakat, anak-anak dan lingkungan sekitarnya;
Bahwa DPR berpandangan ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang a quo , telah sejalan dengan UUD 1945 dan tidak ada pertentangan dengan asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, mengingat masih ada unsur keadilan yang diberikan untuk kepentingan orang yang lebih banyak terutama perlindungan kesehatan masyarakat, anak dan bangsa, serta asas kepastian hukum karena Undang-Undang ini mengatur mengenai peran pemerintah sebagai regulator untuk mengatur pengamanan bahaya penggunaan zat adiktif bagi kesehatan, dan kemanfaatan bagi kesehatan masyarakat;
Bahwa Undang-Undang Kesehatan juga tidak bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945 yang terkait dengan hak hidup, karena Undang- Undang ini tidak melarang sama sekali bagi petani tembakau untuk menanam tembakau sebagai mata pencaharian untuk kelangsungan hidupnya, DPR berpandangan bahwa pada pokoknya Undang-Undang ini mengatur mengenai perlindungan kesehatan masyarakat dan bangsa pada umumnya dari dampak negatif penggunaan tembakau. Dengan demikian sudah sangat jelas dan terang bahwa ketentuan Pasal 113 ayat (1) ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sama sekali tidak dimaksudkan untuk melarang pertani tembakau untuk menanam tembakau, melainkan dimaksudkan untuk mengatur penggunaan zat adiktif yang menggangu atau merugikan kesehatan anak, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya. Di samping itu juga dimaksudkan untuk melindungi masa depan generasi muda dari dampak negatif tembakau;
Bahwa berdasarkan pada uraian-uraian tersebut, DPR berpandangan ketentuan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yaitu untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur 78 kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sama sekali tidak bertentangan dengan Pembukaan ( Preambule ), Pasal 27, Pasal 28A dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Bahwa berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon kiranya Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat memberikan amar utusan sebagai berikut:
Menyatakan Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak- tidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak bertentangan dengan Pembukaan (Preambule), Pasal 27, Pasal 28A, dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah juga telah mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: [2.5.1] Bahwa dr. drh. Mangku Sitepoe mengajukan diri sebagai Pihak Terkait dan telah memberikan keterangan lisan pada persidangan hari Kamis, 20 Mei 2010 dan memberikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Jumat 22 Oktober 2010, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: • Bahwa yang berbahaya bagi kesehatan adalah asap rokok bukan tembakau; 79 • Penyusunan Undang-Undang tidak membedakan antara tembakau dengan asap rokok; • Rokok terdiri dari rokok putih dan rokok kretek yang mana rokok putih sebagai standar untuk bahaya terhadap kesehatan yang mengandung 100% tembakau sedangkan rokok kretek mengandung 60% tembakau dan 40% cengkeh; • Perokok ada 2 macam yaitu mainstream asapnya dan side stream yang dikeluarkan. Side stream perokok pasif dan mainstream merupakan perokok aktif; • Untuk asap rokok digunakan pemeriksaan smoking machine dan untuk memeriksa kadar nikotin di dalam tembakau menggunakan pemeriksaan kimia biasa; • Bahwa merokok bukan this is not the cause of death dan bukan penyebab kematian tetapi menstimulasi penyakit tertentu yang dapat menyebabkan kematian; • Tidak semua zat adiktif berbahaya umpamanya teobromin di dalam coklat tidak berbahaya; • Menurut kamus kedokteran di Indonesia zat adiktif adalah suatu substansi atau zat yang menyebebabkan kebutuhan fisiologis yang menimbulkan ketergantungan. Tetapi zat adiktif menurut salah satu buku yang Pihak Terkait baca adalah obat atau zat apabila dikomsumsi oleh mahluk hidup menyebabkan aktifitas biologis, mendorong ketergantungan dan adiksi, sukar diberhentikan dan bila diberhentikan memberikan dampak keletihan dan rasa sakit yang diluar kebiasaan; • Pasal 113 ayat (1) tidak membedakan bahaya zat adiktif di dalam tembakau dengan di dalam rokok. Kata zat adiktif seharusnya diganti dengan zat berbahaya di dalam rokok. [2.5.2] Bahwa Tobacco Control Support Center – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) mengajukan sebagai Pihak Terkait dan memberikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Selasa, 29 Juni 2010, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 80 • Bahwa draft perubahan Undang-Undang tersebut disetujui dan/atau tepatnya pada tanggal 16 September 2009, Pihak Terkait bersama dengan beberapa organisasi kemasyarakatan mengetahui jika draft yang seyogyanya akan dikirimkan ke Sekretariat Negara untuk diperiksa sebelum ditandatangani oleh Presiden, pada Pasal 113 tidak mencantumkan ayat (2) yang berbunyi ”zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas, yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya”; __ • Bahwa Pihak Terkait beranggapan jika ketentuan Pasal 113 ayat (2) ini merupakan bukti keseriusan dan bentuk tanggung jawab konkrit dari pemerintah untuk melindungi warga negaranya secara umum dan memberikan perlindungan yang maksimal bagi anak dan remaja Indonesia dari bahaya zat adiktif khususnya tembakau dan produk turunannya, sehingga dengan menghilangkan ayat-ayat tembakau ini merupakan suatu tindak pidana; __ • Bahwa dikarenakan pentingnya keberadaan ketentuan Pasal 113 ayat (2) ini bagi upaya perlindungan anak dan remaja dari bahaya zat adiktif khususnya bahya rokok, maka Pihak terkait bersama-sama dengan beberapa organisasi yang tergabung dalam koali anti korupsi ayat rokok, diantaranya Komnas Perlindungan Anak, ICW, dan YLKI mengadakan press conference terkait dengan adanya upaya yang teratur dan sistematis dari beberapa oknum untuk menghilangkan ayat tembakau tersebut; __ • Bahwa sebagai bentuk tanggung jawab moril, Pihak Terkait dan Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok kemudian melaporkan secara resmi ke Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat dan juga ke Polda Metro Jaya. __ [2.5.3] Bahwa Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengajukan sebagai Pihak Terkait dan telah memberikan keterangan lisan dan keterangan tertulis pada persidangan hari Selasa, 14 Desember 2010, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: • Bahwa rokok bermula dari sumber produk tembakau yang mengakibatkan korelasi langsung dengan anak karena prevalensi perokok pemula meningkat terbukti dengan data survei di mana prevalensi anak-anak usia 15 tahun 81 sampai 19 tahun yang merokok tahun 2001 meningkat dibandingkan tahun 2004; • Bahwa rokok itu adalah zat adiktif telah bermetamorfosis menjadi barang yang seakan-akan normal; • Bahwa rokok adalah sebuah epidemik global dan bukan barang normal dan karena bukan barang normal adalah tidak patut untuk dianggap seperti halnya barang-barang yang dapat diperjual belikan; • Ketentuan Pasal 113 ayat (2) yang menggunakan frasa ”pengamanan penggunaan” bukan ”penghapusan” dan karena itu yang dimaksudkan adalah untuk perlindungan atau di dalam bahasa konvensi disebut sebagai ”pengamanan penggunaan” atau ” tobacco control ”; • Bahwa merokok secara quo scientific maupun normatif telah terbukti bahwa merokok berbahaya bahkan mengancam kehidupan. __ Bahwa pada keterangan tertulisnya Komnas PA menerangkan sebagai berikut: A. TIDAK ADA DISKRIMINASI DALAM PASAL 113 AYAT (1), (2), (3) UU KESEHATAN JUSTRU PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL SELURUH RAKYAT TERMASUK HAK KONSTITUSIONAL ANAK. Ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ("UU Kesehatan") adalah sebagai bentuk pemenuhan kewajiban negara terhadap rakyatnya dari ancaman bahaya kesehatan, berbagai penyakit dan kecacatan dan kematian yang ditimbulkan akibat tembakau dan produk tembakau, yang secara keilmuan sudah terbukti kebenarannya. Ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan merupakan realisasi hak konstitusional seluruh rakyat, oleh karena:
Perlindungan dan pemenuhan hak seluruh rakyat ( right to health ) __ atas kesehatan dan hak seluruh rakyat atas standar kesehatan tertinggi, yang dijamin dalam UUD 1945;
Perlindung dan pemenuhan serta jawaban atas epidemi global tembakau ( the globalization of the tobacco epidemic ), sehingga kehadiran Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan sebagai wujud tanggung jawab negara atas pemenuhan hak kesehatan yang dijamin dalam UUD 1945; 82 (3) Perlindungan dan pemenuhan hak seluruh rakyat atas hidup ( right to life ) __ dan hak kelangsungan hidup ( right to survival ) __ yang tidak lain merupakan hak utama ( supreme rights ) __ yang dijamin dalam Pasal 28A UUD 1945, oleh karena berdasarkan bukti-bukti ilmiah bahwa konsumsi produk tembakau dan keterpaparan asap rokok merupakan penyebab kematian dan menimbulkan berbagai penyakit;
Perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak ( rights of the child ) __ atas hidup, kelangsungan hidup, dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi yang dijamin dalam Pasal 28A dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Demikian maka, ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan sama sekali tidak dapat dikualifikasi sebagai norma yang bersifat diskriminatif dan tidak merupakan pelanggaran atas hak atas keadilan, oleh karena memang secara substansial tembakau dan produk tembakau bersifat adiktif dan membahayakan kesehatan bahkan terbukti secara keilmuan mengakibatkan kematian. Perlindungan seluruh rakyat dari zat adiktif yang berbahaya bagi kesehatan melalui Pasal 113 UU Kesehatan tidak tepat dilekatkan dengan dimensi diskriminasi, namun justru wujud realisasi hak konstitusional atas kesehatan, hak hidup dan hak-hak anak yang dijamin dalam UUD 1945. Amat janggal menurut rasional dan logika, bahwa upaya perlindungan rakyat termasuk perlindungan anak dari zat berbahaya didalilkan diskriminatif. Dalam hal ini, patut diduga bahwa Pemohon tidak mampu memahami hak konstitusional perlindungan seluruh rakyat atas hak kesehatan dan hak hidup, kelangsungan hidup dan hak tumbuh dan berkembang, termasuk anak-anak dari bahaya tembakau dan produk tembakau. Kehadiran Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan justru dalam rangka melaksanakan kewajiban negara melindungi seluruh rakyat dan perlindungan anak. Dalam hal penggunaan frasa atau istilah tembakau dalam Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan, sama sekali tidak relevan dipahami sebagai bentuk norma yang diskriminatif atau pembedaan perlakuan terhadap satu jenis tumbuhan, dalam hal ini tembakau, oleh karena:
Tembakau dan produk tembakau berdasarkan bukti ilmiah merupakan zat bersifat adiktif, dan karenanya sepatutnya dilakukan pengendalian ( tobacco 83 control ) . Dalam ketentuan Pasal 113 UU Kesehatan sama sekali tidak ada norma yang mencantumkan secara tekstual sebagai upaya memberangus tanaman tembakau, mengeliminir petani tembakau atau industrinya. Frasa yang digunakan justru "pengamanan penggunaan" bukan penghapusan penggunaan, sehingga tidak benar sama sekali ada diskriminasi, justru yang benar adalah perlindungan ( protection ). Kekuatiran dan ilusi mengenai penghapusan pertanian tembakau atau menghilangkan pendapatan petani tembakau adalah terlalu berlebihan dan hiperbolis oleh karena kua-normatif Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan sama sekali tidak mengandung norma atau maksud asli menghapuskan tembakau ataupun mengeliminir petani tembakau, akan tetapi yang benar bahwa norma Pasal 113 UU Kesehatan adalah norma pengendalian dampak tembakau ( tobacco control ). Sangat jauh korelasi ataupun causal verband antara pengendalian tembakau dengan ketakutan penghapusan pertanian tembakau. Pendekatan data statistik ekonomi sebenarnya sudah dapat menjelaskan mengapa berkurangnya areal lahan tembakau, minimalnya pendapatan petani tembakau, padahal pendapatan pemilik usaha rokok paling jumbo dalam relasi industri tembakau. Ada kesenjangan logika dan rasionalitas Pemohon yang secara tidak cermat mengkaitkan seakan-akan Pasal 113 UU Kesehatan secara causal verband menghilangkan pertanian tembakau, menurunkan pendapatan petani tembakau dan mengurangi areal lahan tembakau, menaikkan pengangguran tenagakerja akibat pengurangan produk rokok. Bahkan ironisnya, dengan terlatu berlebihan Pemohon menjadikan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan seakan-akan sebagai causal verband dari indikasi unsur kriminalisasi. Sungguh logika yang terlalu dipaksakan untuk membenarkan suatu ilusi dan spekulasi.
Istilah yang dipergunakan dalam konvensi internasional sebagaimana FCTC ( Framework Convention on Tobacco Control ) __ adalah tobacco (tembakau) sehingga penggunaan istilah tembakau dalam Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan sudah sesuai dengan norma hukum internasional dan karenanya 84 tidak diskriminatif akan tetapi justru protektif bagi perlindungan dan pemenuhan hak kesehatan dan hak hidup, hak kelangsungan hidup, hak tumbuh dan berkembang;
Secara yuridis formal, penggunaan istilah tembakau bukan hal baru dan telah dipergunakan dalam PP Nomor 19 Tahun 2003, yakni Pasal 1 butir 1 yang menyatakan tembakau mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan" ; __ Pasal 1 butir 2 menyatakan " Nikotin adalah zat, atau bahan senyawa pirrolidin yang terdapat dalam Nikotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan”. Dengan demikian penggunaan frasa/istilah tembakau bukan hal baru dan yang pasti bukan diskriminatif dan tidak melanggar keadilan hukum, oleh karena pengaturan pengendalian tembakau adalah pro hak konstitusional atas kesehatan, hak hidup, hak kelangsungan hidup dan hak tumbuh kembang anak. Padahal Pemohon sangat mengakomodir dan mempertahankan PP Nomor 19 Tahun 2003 [ vide halaman 18 permohonan Pemohon], walaupun Pasal 116 UU Kesehatan mengamanatkan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) yang baru menggantikan PP Nomor 19 Tahun 2003 sebagai pelaksanaan Pasal 113 s.d. Pasal 115 UU Kesehatan.
Penggunaan istilah tembakau pada Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan tidak diskriminatif oleh karena peneraannya dimaksudkan untuk pengendalian ( tobacco control ) , yang dalam Pasal 113 ayat (1) UU Kesehatan disebut dengan frasa "pengamanan penggunaan". Penggunaan nama atau istilah tembakau juga diterima sebagai norma universal karena dipergunakan dalam term FCTC dan juga dalam International Classification of Disease and Related Heart Problem (ISCD 10 WHO 1992) dalam F 17 code yang berbunyi ^ “mental and behavior disorder due to use of tobacco”. Sehingga penggunaan nama/istilah tembakau sama sekali bukan diskriminasi namun perlindungan dari bahaya adiksinya;
Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan justru tidak ada norma melarang 85 penggunaan tembakau atau produk tembakau sebagai zat adiktif, akan tetapi: (a) Melakukan "pengamanan penggunaan" agar tidak menggangu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan [Pasal 113 ayat (1)]; (b) Melakukan pengendalian atas "produksi, peredaran dan penggunaan ...yang harus memenuhi standar dan atau persyaratan” [Pasal 113 ayat (3)];
Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan justru upaya perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional atas kesehatan dan hak hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, oleh karena dalam konteks hak ekosob (ekonomi soal dan budaya), Negara menjamin ( shall ensure ) __ dengan segala upaya maksimal yang mungkin dilakukan negara memenuhi hak-hak anak ( the maximum extent possible the survival and development ), sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) KHA. Dengan alasan tersebut di atas maka tidak terdapat diskriminasi atau pelanggaran keadilan ataupun pelanggaran hak hidup petani tembakau, dan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak yang didalilkan Pemohon. Justru sebaliknya ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan adalah wujud pelindung dan pemenuhan hak seluruh rakyat atas kesehatan, hak atas standar kesehatan, dan hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dengan kata lain, Pasal 113 UU Kesehatan jelas dimaksudkan untuk pengendalian tembakau ( tobacco control ), __ dan sama sekali tidak ada norma yang menghapuskan tembakau ( tobacco abolition ). __ Keduanya sangat berbeda dan sangat jelas kualifikasi yuridisnya. Maksud asli dan tekstual Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan sebagai pengendalian tembakau, sebenarnya sudah dengan jujur diakui dan dibenarkan Pemohon yang dalam Permohonan (halaman18-19) menyatakan bahwa “ …bahan yang mengandung zat adiktif penanganannya dilakukan dengan proses pengendalian sedangkan terhadap Narkotlka dan Pslkotropika 86 Pernyataan Pemohon tersebut sangat jelas bahwa benar tidak adanya penghapusan dan diskriminasi terhadap tanaman tembakau, namun hanya pengendalian tembakau yang dirumuskan ke dalam Pasal 113 ayat (1) UU Kesehatan sebagai "pengamanan penggunaan", dan dirumuskan Pasal 113 ayat (3) UU Kesehatan mengharuskan standardisasi dan/atau persyaratan dalam produksi, peredaran dan penggunaan bahan zat adiktif. Komnas PA sebagai Pihak Terkait memberi penekanan pada jaminan dan perlindungan hak-hak konstitusional anak. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 sebagai reformasi konstitusi merupakan pengakuan dan penjaminan serta perlindungan hak-hak anak ke dalam konstitusi, yang tentunya menjadi hukum dasar untuk mengubah keadaan dan perlindungan anak yang lebih progresif sebelum adanya Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Tak berlebihan jika amandemen UUD 1945 tersebut semakin pro hak-hak anak, dan pada gilirannya derifasi hak-hak anak ke dalam Undang-Undang merupakan bentuk kepatuhan konstitusional dan menjadi ciri konstitusionalisme di negeri ini. Oleh karena itu, perkenankan Pihak Terkait memohon agar pengujian materil atas Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan mempertimbangkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, yang secara substantif dimaksudkan guna melindungi hak- hak anak atas kesehatan, dan hak-hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam konteks perlindungan anak, hak kelangsungan hidup dan tumbuh kembang adalah sisi yang tak terpisahkan dan ada dalam satu tarikan nafas dengan hak hidup ( right to life ) __ yang merupakan hak utama ( supreme rights ) __ yang tidak bisa dikurangi, walaupun hanya sedikit saja. Mengapa diperlukan dan absah secara konstitusional Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan khususnya bagi perlindungan hak-hak anak? Oleh karena anak-anak sebagai kelompok rentan ( vulnerable group ) __ paling berisiko terhadap bahaya zat adiktif. Dalam berbagai data resmi, prevalensi perokok anak semakin meningkat. Konsideran FCTC meyakini bahwa terdapat bukti penelitian yang jelas pengaruh asap rokok pada bayi dalam kandungan dapat mempengaruhi kesehatan dan pertumbuhannya. Hal ini bersesuaian dengan kebenaran yang 87 kemudian dinormakan dalam Pasal 8 ayat (2) PP Nomor 19 Tahun 2003, mengakui merokok dapat menyebabkan ... gangguan kehamilan dan janin. Konsideran FCTC juga meyakini adanya fakta eskalasi merokok dan konsumsi tembakau oleh anak-anak dan remaja di seluruh dunia terutama merokok pada usia muda cenderung meningkat. Secara substansinya, tembakau dan produk tembakau mengandung zat adiktif, yang karenanya bukan barang bebas ( free goods ) akan tetapi zat yang mengandung zat kimia berbahaya yang karsinogenik. Oleh karena itu muskil memosikannya sebagai barang bebas yang dikonsumsi tanpa pengamanan penggunaan atau dalam term FCTC disebut sebagai pengendalian ( tobacco control ) . Tidak masuk akal sehat jika memosisikan tembakau dan produk tembakau yang merupakan zat adiktif [Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan] sebagai barang bebas seperti misalnya buah pisang atau jeruk manis, atau air aqua . Sehingga pisang, jeruk atau aqua sebagai bahan yang dibutuhkan tepat dikualifikasi sebagai barang bebas, dan karenanya tidak perlu pengendalian. Sangat berbeda bahkan bertolak belakang dengan zat adiktif dalam hal ini tembakau atau produk tembakau yang berbahaya bagi kesehatan dengan segala akibatnya yang terbukti secara keilmuan, sehingga tembakau atau produk tembakau yang berbahaya tersebut absah dan tepat jika dilakukan pengendalian atau dalam Pasal 113 ayat (1) UU Kesehatan dikenal sebagai "pengamanan penggunaan". Sebaliknya tidak tepat jika membiarkan penggunaan tembakau dan produk tembakau sebagai zat adiktif tanpa karena hal itu melanggar hak konstitusional atas kesehatan serta hak atas hidup, hak kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Dengan kata lain tidak tepat menggunakan asas Pilihan Bebas tiap personal ( Free of Choise) terhadap penggunaan tembakau dan produk tembakau karena Negara wajib memberikan perlindungan pada rakyatnya dari bahaya zat adiktif. Pada kesempatan ini, perkenankan kami sekilas mengulas kualifikasi tembakau sebagai zat adiktif sudah terbukti secara keilmuan dan bahkan industri tembakau sendiri mengakui bahwa tidak ada rokok yang aman ( there are no such think as safe cigarettes ) . Stanton A. Glantz dalam " The Cigarette Papers" menyebutkan "Moreover, nicotine is addictive. We are, then, in the bussines of selling 88 nicotine, an addictive drug effective in the release of stress mechanisms. Of the thousand of chemical in tobacco smoke, nicotine is the most important. Nicotine makes tobacco addictive". [Stanton A. Glantz, Cs., "The Cigarette Papers", sub judul "Addiction and Cigarettes as Nicotine Delivery Devices", University of California Press, 1996, hal. 58]. Dalam hukum positif, kualifikasi zat adiktif penormaannya senantiasa dimasukkan ke dalam kelompok yang sama seperti halnya minuman keras, narkotika dan psikotropika. (a) Pasal 74 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 (“UU Ketenagakerjaan") menormakan bahwa "Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk”. Selanjutnya Pasal 74 ayat (2) menormakan bahwa "Pekerjaan-pekerjaan yang _terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
...;
..;
segala_ pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau ; d…. “. Dari Pasal 74 ayat (2) UU Ketenagakerjaan disimpulkan bahwa hukum positif menormakan bahwa "minuman keras", "narkotika", "psikotropika", dan "zat adiktif lainnya" adalah termasuk dalam satu kualifikasi (bahan atau zat) yang sama yakni bahan atau zat yang dilarang, dan dinormakan sebagai dilarang dalam kaitan pekerjaan; (b) Pasal 59 dan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak, anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus termasuk anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika. alkohol. psikotropika. dan zat adiktif lainnya (napza). Dengan demikian Undang-Undang Perlindungan Anak menormakan bahan atau zat narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), termasuk dalam kualifikasi jenis yang sama. Oleh karena tembakau dan produk tembakau sebagai zat adiktif yang perlu pengendalian atau pengamanan penggunaannya [Pasal 113 ayat (1)] dan 89 menormakan standardisasi dan/atau persyaratan dalam hal produksi, peredaran dan penggunaan bahan zat adiktif dimaksud, maka tepat jika upaya mengajak orang lain menggunakan, memasarkan atau mengenalkan produk tembakau juga tidak dibenarkan. Rasio legis dalam Pasal 113 UU Kesehatan sangat jelas dan kuat untuk menjustifikasi pelarangan iklan, promosi dan pemberian sponsor rokok, seperti halnya pelarangan iklan minuman keras dan zat adiktif dalam norma Pasal 46 ayat (3) huruf b UU Penyiaran. Musykil sekali jika rokok sebagai zat adiktif dan karsinogenik masih dibenarkan diiklankan. Urgensi perlindungan anak dari bahaya tembakau dan produk tembakau yang bersifat adiktif, secara faktual didasarkan kepada beberapa hal:
PREVALENSI PEROKOK PEMULA MENINGKAT. Bahwa berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2001 dan tahun 2004 maka telah terjadi peningkatan prevalensi anak-anak usia 15-19 tahun yang merokok dari tahun 2001 (sebelum adanya UU Penyiaran) dibandingkan dengan tahun 2004 (setelah adanya UU Penyiaran). Berdasarkan data Susenas tersebut di atas, terbukti prevalensi perokok kelompok umur 15-19 tahun pada tahun 2001 sebesar 12,7%, meningkat menjadi 17,3% pada tahun 2004, Selain itu juga terjadi penurunan usia inisiasi merokok ke usia yang semakin muda, yakni pada kelompok umur 15-19 tahun pada tahun 2001 mulai merokok (rata-rata) pada umur 15,4 tahun, tetapi pada tahun 2004 usia mulai merokok semakin muda (rendah) yakni pada umur 15,0 tahun;
PEROKOK ANAK MENURUT SURVEY GLOBAL. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2006 yang diselenggarakan oleh Badan Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) __ menunjukkan jika 24,5% anak laki-laki dan 2,3% anak perempuan usia 13-15 tahun di Indonesia adalah perokok, di mana 3,2% dari jumlah tersebut telah berada dalam kondisi ketagihan dan/atau kecanduan; 90 (3) SUSENAS BPS: PENINGKATAN PREVALENSI PEROKOK PEMULA Adanya peningkatan anak-anak merokok pada usia dini terbukti dari fakta dan data dari pertanyaan "pada umur berapa anda merokok?” , __ yang diperoleh fakta (jawaban), orang/anak yang mulai merokok pada umur 5-9 tahun, pada tahun 2001 sebesar 0,4%, sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi 1,7%. Jadi ada peningkatan anak- anak merokok mulai usia 5-9 tahun sebanyak lebih dari 400%. Selanjutnya orang/anak mulai merokok pada umur 10-14 tahun, pada tahun 2001 sebesar 9,5%, sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi 12,6%. Kemudian, orang/anak merokok pada umur 15-19 tahun, pada tahun 2001 sebesar 58,9%, sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi 63,7%;
IKLAN ROKOK BERMETAMORFOSA DARI ZAT ADIKTIF DAN KARSINOGENIK MENJADI SEAKAN-AKAN BARANG NORMAL. Bahwa dengan adanya siaran iklan niaga promosi rokok (sebagai suatu bentuk informasi maupun produk seni) yang justru tidak benar atau setidaknya misleading, di mana kebenaran ilmiah dan fakta yang sebenarnya bahwa rokok terdiri atas 4.000 jenis zat kimia beracun dan sebanyak 69 zat di antaranya bersifat karsinogenik, dan bersifat adiktif. Hakekat maupun defenisi yuridis-formil siaran iklan niaga rokok yang memang dimaksudkan untuk membujuk konsumen memakai rokok yang bersifat adiktif dan mengandung zat karsinogenik, dalam berbagai bentuk isi dan pesan iklan rokok, sudah bermetamorfosa dan secara tidak disadari telah menelusup ke pusat kesadaran konsumen (khususnya anak dan remaja) seakan-akan merokok dicitrakan sebagai suatu yang normal atau biasa. Sehingga tidak lagi dianggap zat berbahaya yang mengancam kesehatan dan kehidupan, dan bahkan lebih dari itu merokok dicitrakan secara curang ( fraudulent ) dan tidak adil, sebagai citra "kejantanan", "kegagahan", "persahabatan", "citra eksklusif", kebenaran yang "bukan basa basi", dan Iain-Iain; 91 Padahal, yang sebenarnya konsumsi rokok tersebut baik secara fakta empiris, ilmiah ( scientific ) , maupun kebenaran formil-yuridis, sudah tidak terbantahkan lagi mengakibatkan serangan penyakit kanker, berbagai penyakit dan gangguan kesehatan, gangguan kehamilan dan janin sehingga adanya kausalitas atau causal verband menyebabkan timbulnya berbagai kerugian hak-hak konstitusional setiap orang termasuk anak-anak yakni hak hidup, hak kelangsungan hidup, dan hak tumbuh dan berkembang.
IKLAN ROKOK YANG MENJERAT ANAK. Bahwa industri rokok dalam praktiknya kerap kali menggunakan mekanisme subliminal advertising yaitu sebuah teknik mengekspose individu (dalam hal ini adalah anak dan remaja) tanpa individu tersebut mengetahui hal tersebut mengingat isi pesan (message content) tersebut dilakukan secara berulang-ulang (terjadi repetisi) yang pada akhirnya akan membentuk sebuah hubungan yang bersifat kuat namun irrasional antara emosi dengan produk yang diiklankan. [Presentasi Dr. Mary Lisa Japrie, "Iklan dan Anak", disampaikan pada workshop pembentukan Aliansi Total Ban, tanggal. 29 Oktober -1 November 2008, di Depok, diselenggarakan Komnas Perlindungan Anak];
MEROKOK MENYEBABKAN PENYAKIT. Bahwa, dari berbagai sumber laporan ilmiah tersebut telah mengungkapkan aneka ancaman berbahaya dari kegiatan merokok di antaranya, penyebab 90% kanker paru pada laki-laki dan 70% pada perempuan; penyebab 22% dari penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular); penyebab kematian yang berkembang paling cepat di dunia bersamaan dengan HIV/AIDS; dan sebanyak 70.000 artikel ilmiah menunjukkan bahwa merokok menyebabkan kanker, mulai dari kanker mulut sampai kanker kandung kemih, penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit pembuluh darah otak, bronkitis kronis, asma, dan penyakit saluran nafas lainnya; [ Tobacco Control Support Center (TCSC) - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat 92 Indonesia (IAKMI), "Profil Tembakau Indonesia", Jakarta, 2008, halaman 16];
ROKOK ADALAH EPIDEMI GLOBAL. Bahkan berdasarkan catatan Badan Kesehatan Dunia ( World Health Organization ), __ merokok merupakan penyebab kematian yang utama terhadap 7 dari 8 penyebab kematian terbesar di dunia [WHO Report on The Global Tobacco Epidemic, "M-Power Package", 2008, halaman 15]. Lebih dari itu, rokok yang sudah ditetapkan badan kesehatan sedunia ( World Health Organization-WHO ) __ sebagai epidemi global ( global epidemic ) yang bukan hanya mengancam kesehatan dan penyebab penyakit, namun yang paling mengerikan konsumsi rokok adalah penyebab dari sampai 200.000 kematian setiap tahunnya . [Sarah Barber; Sri Moertiningsih Adioetomo; Abdillah Ahsan; Diahhadi Setyonaluri, "Ekonomi Tembakau di Indonesia" , Lembaga Demografi Fakulas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta 2008, halaman12]. Terkait dengan global epidemic tembakau, WHO juga mencatat terdapat tidak kurang dari 100 juta kematian akibat tembakau yang terjadi pada abad ke-20, yang jika tidak dilakukan upaya pencegahan akan meningkat drastis menjadi 1 miiyar angka kematian akibat tembakau pada abad 21. [WHO Report on The Global Tobacco Epidemic,"M-Power Package", 2008, halaman 2 dan halaman 4]. Oleh karena alasan dan data hasil studi ilmiah tersebut maka sudah terbukti secara faktual maupun rasional kausalitas atau causal verband munculnya kematian dan/atau ancaman kematian yang nyata dan serius termasuk terhadap anak dan remaja, sehingga merupakan fakta adanya pelanggaran hak hidup, hak kelangsungan hidup, dan hak tumbuh dan berkembang yang tidak lain adalah hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Lebih jauh lagi, kebenaran bahaya merokok merupakan kebenaran formil-yuridis sebagaimana PP Nomor 19 Tahun 2003 yang di dalam 93 Pasal 8 ayat (2) mengakui bahaya merokok, yakni "merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”. Ketentuan Pasal 8 ayat (2) PP Nomor 19/2003 tersebut merupakan norma hukum ( legal norm ) __ yang mengakui bahaya merokok bagi kesehatan dan ancaman bagi kehamilan dan janin. Oleh karenanya bahaya merokok tersebut merupakan kebenaran faktual yang notoire feiten, sekaligus merupakan curia novit ius ( the court knows the law ) . B. KETENTUAN PASAL 113 UU KESEHATAN MERUPAKAN DERIFASI HAK HIDUP, HAK KELANGSUNGAN HIDUP, HAK TUMBUH DAN BERKEMBANG ANAK YANG DIJAMIN DALAM PASAL 28B AYAT (2) UUD 1945. Bahwa, UUD 1945 sebagai hukum tertinggi menjadi acuan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam kaitan pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak anak. Setelah amandemen maka dalam Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 secara ekplisit telah menegaskan hak-hak konstitusional anak yang berbunyi: "setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, dan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskrimlnasi” . Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia secara eksplisit mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional anak yakni:
hak atas kelangsungan hidup;
hak atas tumbuh dan berkembang; dan
hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Bahwa, dengan disahkannya Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang secara khusus menegaskan mengenai hak-hak anak di atas, maka Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 itu menjamin, menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Bahwa oleh karena Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 merupakan hasil amandemen konstitusi dan reformasi ketatanegaraan maka dengan demikian jaminan, 94 penghormatan dan perlindungan hak-hak anak berdasarkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 sudah diterima dan menjadi hak konstitusional yang merupakan arah baru, keputusan politik tertinggi dan hukum dasar (satat fundamental norm) dalam pemenuhan hak anak dan karenanya absah dan sangat rasional apabila memberikan fokus dan perhatian secara konsititusional kepada hak-hak anak. Di sisi lain, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, dalam satu ayat dan pasal yang terintegrasi dan tidak terpisahkan menjamin hak anak atas kelangsungan hidup ( rights to survival ) __ dan hak tumbuh dan berkembang ( rights to development ) __ dan hak perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi ( rights to protection ) , mesti dipahami dalam satu kesatuan yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Bahwa, oleh karena " anak" bukan "orang dewasa dalam ukuran mini" melainkan "anak" merupakan subjek yang masih rawan dalam tahap perkembangan kapasitas ( evolving capacities ) , yang sangat erat kaitannya dengan kausalitas antara pemenuhan dan perlindungan atas hak hidup dan hak kelangsungan hidupnya, hak atas tumbuh dan berkembang anak serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam keadaan konkrit, misalnya gangguan atau pelanggaran atas pengabaian atas hak tumbuh dan berkembang anak yang tidak memperoleh gizi baik, malnutrisi, busung lapar, terserang epidemi penyakit menular dan berbahaya, termasuk serangan dari epidemi tembakau dan bahaya merokok yang mematikan ( tobacco kills ) __ secara yuridis konstitusional tidak hanya bisa dipahami dalam konteks hak atas pelayanan sosial dan pelayanan kesehatan saja, namun dipahami sebagai pengabaian atas hak-hak konstitusional anak untuk kelangsungan hidup dan hak tumbuh dan berkembang anak. Bahwa, perlu ditegaskan bahwasanya hak hidup ( rights to life ) __ tidak dapat dilepaskan dengan hak kelangsungan hidup ( right to survival ) , dan hak tumbuh dan berkembang ( rights to development ) . Apalagi terhadap anak yang masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, di mana setiap pencideraan, perusakan, atau pengurangan atas hak kelangsungan hidup anak akan berakibat serius dan fatal bagi hak hidup anak. 95 Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hak Anak [ United Nation’s Convention on the Rights of the Child (CRC)/Konvensi Hak Anak (KHA)], secara konseptual tidak memisahkan antara hak hidup dengan hak kelangsungan hidup anak dan hak tumbuh dan berkembang anak yang dirumuskan dalam satu pasal dan ayat yang bersamaan. Bahkan, pengakuan atas hak hidup anak tersebut dipertegas dengan pengakuan hak atas kelangsungan hidup ( rights to survival ) __ dan hak atas tumbuh kembang ( rights to development ) . Lebih dari itu, terhadap integrasi antara hak hidup anak, hak kelangsungan hidup anak dan hak tumbuh dan kembang anak tersebut, negara menjamin ( shall ensure ) __ dengan segala upaya maksimal yang mungkin dilakukan negara ( the maximum extent possible the survival and development ) , sebagai-mana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) CRC. Sebagai Negara Hukum ( rechtstaat ) __ yang menghormati dan menjadikan supremasi hukum sebagai orientasi, maka harmonisasi terhadap instrumen internasional atau konvensi internasional bukan hanya sebagai bentuk harmonisasi hukum saja. UUD 1945 telah meresepsi prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai salah satu syarat dari negara hukum, khususnya prinsip dasar HAM yang terkait dengan hidup dan kehidupan dan merupakan simbol atau ikhtiar bangsa Indonesia dalam konteks menjadikan UUD 1945 menjadi UUD yang makin modern dan makin demokratis; [Panduan Pemasyarakatan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hal 144, diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Majelis Pemusyawaratan Rakyat, Jakarta, 2005]. Dengan demikian perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi anak yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak dan Framework on Convention on Tobacco Control (FCTC) adalah dimaksudkan konstitusi sebagai suatu syarat negara hukum. Oleh karena itu, resepsi hak-hak anak dalam mempertahankan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan merupakan suatu upaya melaksanakan misi Negara Hukum yang dianut dalam UUD 1945. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas perkenankan kami memohon agar Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia menolak seluruh petitum Pemohon. 96 Untuk memperkuat keterangannya, Pihak Terkait Komnas PA mengajukan bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-21 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Akta Pendirian Komisi Nasional Perlindungan Anak tertanggal 17 Februari 1999;
Bukti PT-2 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;
Bukti PT-3 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;
Bukti PT-4 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;
Bukti PT-5 : Fotokopi halaman 16 Profil Tembakau Indonesia yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI bekerjasama dengan South East Tobacco Control Alliance (SEATCA) dan WHO Indonesia;
Bukti PT-6 : Fotokopi halaman 17 Profil Tembakau Indonesia yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI bekerjasama dengan South East Tobacco Control Alliance (SEATCA) dan WHO Indonesia;
Bukti PT-7 : Fotokopi halaman 13 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia” yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI-Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Status Kesehatan;
Bukti PT-8 : Fotokopi halaman 14 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia” yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI-Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Status Kesehatan;
Bukti PT-9 : Fotokopi halaman 5-6 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia” yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Centre (TCSC)- IAKMI-Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Status Kesehatan;
Bukti PT-10 : Fotokopi buku karya Stanton A Glantz, CS, ” The Cigarette Papers” sub judul ”Addiction and Ciggarets as Nicotine 97 Delivery Device ” University of California Press, 1996. halaman 58;
Bukti PT-11 : Fotokopi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ;
Bukti PT-12 : Fotokopi peringatan kesehatan yang berada di bungkus rokok;
Bukti PT-13 : Fotokopi website resmi Philip Morris Internasional;
Bukti PT-14 : Fotokopi website resmi PT. HM Sampoerna;
Bukti PT-15 : Fotokopi website resmi PT. HM Sampoerna;
Bukti PT-16 : Fotokopi Surat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nomor 1.842/K/PMT/VIII/2010;
Bukti PT-17 : _Video Baby Smoker; _ 18.Bukti PT-18 : Road Map Industri Pengolahan Tembakau;
Bukti PT-19 : BFotokopi kliping koran Kontan tentang Buruh Rokok Kretek ”Buruh Rokok Kretek Tangan Terancam” Senin 18 Oktober 2010;
Bukti PT-20 : Buku Mardiah Chamim berjudul “Kemunafikan dan Mitos di balik kedigdayaan Industri Rokok”;
Bukti PT-21 : Presentasi Ibu Harkristuti Harkrisnowo berjudul ”Larangan Merokok: Hak Asasi Manusia?”; Selain itu, Pihak Terkait Komnas PA juga mengajukan 4 (empat) orang saksi yang telah disumpah dan didengar keterangannya pada sidang hari Rabu, 5 Januari 2011, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Tony Karundeng • Saksi mulai merokok di usia 15 tahun; • Saksi sempat mengalami stroke ringan dan tahun 2010 kena kanker paru akibat rokok dan saksi tidak dapat berhenti merokok. Rokok mempunyai dampak racun dan adiktif;
Yanti Koorompis • Saksi mulai merokok umur 13 tahun dan pernah menderita kanker stadium 3B; • Merokok itu sangat adiktif dan anak-anak saksi menjadi ikut merokok. 98 3. Nani Rohayani • Saksi adalah perokok di usia 17 tahun dan sampai sekarang untuk menghilangkan rokok bagi Saksi sangat sulit karena tanpa rokok Saksi tidak dapat bekerja; • Saksi kena penyakit penyempitan pembuluh darah dan ingin sekali untuk berhenti merokok tetapi tidak dapat.
Fuad Baradja • Saksi aktif di yayasan yang bergerak di bidang penanggulangan masalah merokok yaitu Yayasan Lembaga Menanggulangi Masalah merokok yang menjabat sebagai Ketua Bidang Penyuluhan dan pendidikan; • Anak saksi mulai merokok di usia 13 tahun sampai sekarang tidak dapat berhenti merokok walaupun telah dilakukan dengan terapi berhenti merokok. [2.6.4] Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Yayasan Jantung Indonesia, dan Yayasan Kanker Indonesia telah memberikan keterangan tertulis dan alat bukti tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Kamis, 30 Desember 2010, dan telah memberikan keterangan lisan pada persidangan hari Rabu, 5 Januari 2011, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Keterangan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia • Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait karena untuk melindungi hak konstitusional warga negara yang dijamin Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan melindungi penerapan hukum Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan yang dimaksudkan juga melindungi konsumen dari bahaya adiksi rokok yang bahan bakunya berasal dari tembakau; • Bahwa Konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas, jujur, utuh, terkait dengan bahaya merokok, bahaya tembakau bagi konsumen yang telah menjadi perokok aktif, perokok pasif maupun calon konsumen (calon perokok baru); • Selama ini, informasi yang disajikan industri rokok melalui berbagai iklan, promosi, dan berbagai upaya penjualan lainnya tidak memberikan informasi 99 yang cukup perihal bahaya produk tembakau (rokok). Melalui iklan yang intensif dan masif tersebut, secara psikologis dan sosiologis, akhirnya cara pandang konsumen terhadap rokok mengalami ”jungkir balik” karena rokok dianggap sebagai produk yang tidak berbahaya dikonsumsi; • Akibat pengaruh iklan dan promosi tersebut, konsumen justru berpandangan bahwa orang yang merokok adalah keren, gagah, tampan, cantik, perkasa, berprestasi dalam olahraga, dan hal-hal positif lainnya. Sementara itu, informasi tentang bahaya rokok hanya disajikan dalam suatu narasi kalimat yang sangat kecil, sehingga tidak mudah dibaca dan ditangkap maknanya oleh konsumen; • Oleh karenanya, Pasal 113 UU Kesehatan merupakan dasar normatif yang sangat kuat bagi konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas, jujur, utuh tentang bahaya rokok bagi kesehatan. __ Pihak Terkait Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda bukti bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-9 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Akte Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Nomor 22, tanggal 25 April 2008;
Bukti PT-2 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-2554.AH.01.02.Tahun 2008 tentang Pengesahan Yayasan;
Bukti PT-3 : Fotokopi Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) Nomor 4470/1.824.221, tanggal 31 Agustus 2005;
Bukti PT-4 : Fotokopi Keputusan Pembina Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Nomor 02/Pembina/YLKI/2010 tentang Pergantian Antar Waktu Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Periode 2009-2014;
Bukti PT-5 : Fotokopi Surat Nomor AHU-AH.01.08-573, perihal Yayasan lembaga Konsumen Indonesia;
Bukti PT-6 : Fotokopi Salinan Putusan Nomor 05 P/HUM/2005 Perkara Hak Uji Materiil;
Bukti PT-7 : Fotokopi klipping Koran Tempo, tanggal 2 Februari 2011 ”Belanja Iklan Telekomunikasi Tumbuh Tertinggi”; 100 8. Bukti PT-8 : Fotokopi klipping koran Kompas, tanghgal 4 Februari 2011 ”Buruh Jambu Bol, Kemennakertrans diminta turun tangan”;
Bukti PT-9 : Fotokopi ”Buruh Rokok Kretek Tangan Terancam”. Keterangan Yayasan Jantung Indonesia __ • Yayasan Jantung Indonesia mengajukan sebagai Pihak Terkait karena untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan melindungi penerapan hukum Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan yang dimaksudkan juga melindungi masyarakat konsumen dari bahaya adiksi rokok yang bahan bakunya berasal dari tembakau; __ • Yayasan Jantung Indonesia sangat berkepentingan terhadap keberadaan UU Kesehatan, khususnya Pasal 113 ayat (2), karena secara global produk tembakau bertanggung jawab terhadap 22% dari seluruh penyakit jantung dan pembuluh darah cardiovaskular. Tembakau juga dihubungkan dengan kejadian arteriosclerosis, hipertensi, dan gangguan pembuluh darah otak. Efek rokok terhadap jantung dan pembuluh darah adalah meningkatkan denyut jantung, meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, mengentalkan darah, dan bahkan penyebab 75% serangan jantung koroner yang telah terbukti secara ilmiah dan karena merupakan fakta yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya ( notoir feiten ); __ Pihak Terkait Yayasan Jantung Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-9 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Akte Nomor 1, tanggal 2 Juni 2008, Pernyataan Keputusan Rapat;
Bukti PT-2 : Fotokopi Surat Nomor AHU-AH.01.08-562, perihal Yayasan Jantung Indonesia Dalam Bahasa Inggris Indonesia Heart Foundation, tanggal 29 Agustus 2008;
Bukti PT-3 : Fotokopi Tambahan Berita Negara, tanggal 7/7-2009 Nomor 54;
Bukti PT-4 : Fotokopi Surat Tanda Daftar Yayasan/Badan Sosial Nomor 31.71.06.1004, tanggal 25 Juni 2008 dari Surat Suku Dinas 101 Bina Mental Spritual dan Kesejahteraan Sosial Pemerintah Kotamadya Jakarta Pusat Provinsi DKI Jakarta;
Bukti PT-5 : Fotokopi Surat Keputusan Pembina Pusat Yayasan Jantung Indonesia Nomor 40/YJI/SK/IV/2008 tanggal 15 April 2008 tentang Pengukuhan Badan Pengurus Pusat Yayasan Jantung Indonesia masa bakti 2008-2012;
Bukti PT-6 : Fotokopi klipping koran Tempo, tanggal 2 Februari 2011, ”Belanja Iklan Telekomunikasi Tumbuh Tertinggi”;
Bukti PT-7 : Fotokopi klipping koran Kompas, tanggal 4 Februari 2011, ”Buruh Jambu Bol, Kemennakertrans diminta turun tangan”;
Bukti PT-8 : Fotokopi klipping Koran ”Buruh Rokok Kretek Tangan Terancam”;
Bukti PT-9 : Fotokopi Kegiatan promotif-Preventif Yayasan Jantung Indonesia 2006-2010. Keterangan Yayasan Kanker Indonesia • Yayasan Kanker Indonesia mengajukan sebagai Pihak Terkait karena untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan melindungi penerapan hukum Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan yang dimaksudkan juga melindungi masyarakat konsumen dari bahaya adiksi rokok yang bahan bakunya berasal dari tembakau; __ • Sudah seharusnya konsumen dilindungi dari bahaya adiksi rokok yang bersifat adiktif, karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker), dan membahayakan kesehatan bahkan mengakibatkan kematian akibat penyakit yang ditimbulkanya. Hal ini telah terbukti secara ilmiah dan karena merupakan fakta yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya ( notoir feiten ); __ • Menurut data statistik yang diambil dari berbagai data rumah sakit di Indonesia, menunjukkan bahwa 9 (sembilan) dari 10 (sepuluh) penderita kanker paru adalah perokok berat. Hal in menunjukkan dengan tegas bahwa pengaruh rokok/tembakau bagi penyakit kanker (terutama kanker paru) adalah sangat kuat. __ 102 Selain itu Pihak Terkait Yayasan Kanker Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-7 yang masing- masing sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Akta Perubahan Anggaran Dasar Yayasan Kanker Indonesia Nomor 5, tanggal 3 Juni 2008 dibuat di hadapan Notaris Ati Mulyati, S.H.,M.Kn.
Bukti PT-2 : Fotokopi Surat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementrian Hukum dan HAM melalui Surat Nomor AHU-AH 01.08-597, tanggal 10 September 2008, perihal Yayasan Kanker Indonesia disingkat YKI dalam Bahasa Inggris disebut The Indonesian Cancer Foundation;
Bukti PT-3 : Fotokopi Surat Keputusan Dewan Pembina Yayasan Kanker Indonesia Nomor 002/SK/Pemb/YKI/IV/2006 tentang Pengangkatan Anggota Pengurus Yayasan Kanker Indonesia Periode 2006-2011;
Bukti PT-4 : Fotokopi klipping Koran Tempo, 2 Februari 2011, ”Belanja Iklan Telekomunikasi Tumbuh Tertinggi”;
Bukti PT-5 : Fotokopi klipping Koran Kompas, tanggal 4 Februari 2011, ”Buruh Jambu Bol, Kemennakertrans diminta turun tangan”;
Bukti PT-6 : Fotokopi ”Buruh Rokok Kretek Tangan Terancam”;
Bukti PT-7 : Fotokopi Daftar Kegiatan ”Kegiatan Penanggulangan Tembakau Yayasan Kanker Indonesia (YKI)”. [2.6.5] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 5 Januari 2011, Mahkamah telah mendengar keterangan Pihak Terkait Forum Warga Kota Jakarta , yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: • Pihak Terkait sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memiliki badan hukum yang merupakan perkumpulan Forum Warga Kota Jakarta; • Pihak Terkait sebagai lembaga swadaya masyarakat memiliki kepedulian khusus atau special interest terhadap kota Jakarta dan permasalahan kebijakan pembangunan di kota Jakarta serta penghormatan dan pengakuan pemenuhan hak asasi manusia; 103 • Bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan merupakan sebuah produk hukum yang Pihak Terkait nyatakan telah memberikan pengakuan secara legal , tentang keberadaan rokok sebagai zat adiktif. Undang-Undang Kesehatan juga merupakan bukti bahwa negara telah serius melindungi warga negaranya, terutama dalam memberikan perlindungan sebagai wujud pelaksanaan yang diamanatkan oleh konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945; • Bahwa dalam sebuah fakta, dalam proses pembuatan Undang-Undang Kesehatan tersebut, yang sudah disahkan oleh presiden dalam perjalanannya ada pihak-pihak yang dengan sengaja ingin menghilangkan isi ketentuan yang tertuang dalam Pasal 113 ayat (2) yang berbunyi ”zat adiktif” dalam Undang- Undang tersebut; • Pihak Terkait memiliki kepedulian, perhatian, serta keprihatinan tentang niat adanya sejumlah pihak untuk menghilangkan Pasal 113 ayat (2) tersebut. Pihak Terkait bersama dengan jaringan LSM yang tergabung dalam Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok atau KAKAR, telah melaporkan kejadian tersebut, yakni kejadian hilangnya Pasal 113 ayat (2) kepada Badan Kehormatan DPR dan kepada Polda Metro Jaya. Di mana Badan Kehormatan DPR menyimpulkan, jika menghilangnya Pasal 113 ayat (2), bukanlah sekadar kesalahan administrasi semata, namun patut diduga merupakan upaya terstruktur dan terencana dari berbagai banyak oknum. Selain itu Pihak Terkait Forum Warga Kota Jakarta mengajukan bukti tertulis yang diberi tanda bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-15 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Akta Pendirian san Perubahan Perkumpulan Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) dibuat di hadapan Notaris Ny. Siti Meinar Brillianty;
Bukti PT-2 : Buku Undang-Undang Dasar Negara Republik Insdonesia Tahun 1945;
Bukti PT-3 : Fotokopi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
Bukti PT-4 : Fotokopi Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan Bab I Ketentuan umum; 104 5. Bukti PT-5 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;
Bukti PT-6 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan;
Bukti PT-7 : Fotokopi Profil Tembakau Indonesia;
Bukti PT-8 : Fotokopi Profil Tembakau Indonesia;
Bukti PT-9 : Fotokopi halaman 13 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia Tahun 2009”;
Bukti PT-10 : Fotokopi halaman 14 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia Tahun 2009;
Bukti PT-11 : Fotokopi halaman 5-6 buku yang berjudul ”Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia Tahun 2009;
Bukti PT-12 : Lembar Fakta ”Dampak Tembakau dan Pengendaliannya di Indonesia;
Bukti PT-13 : Fotokopi website resmi HM. Sampoerna;
Bukti PT-14 : Fotokopi Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 88 Tahun 2010 tentang Kawasan Tanpa Rokok, Pasal 1 ayat (21);
Bukti PT-15 : Fotokopi Seruan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 6 Tahun 2010 tentang Mengurangi Konsumsi Rokok. [2.6.6] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 5 Januari 2011, Mahkamah telah mendengar keterangan Pihak Terkait ad informandum Hakim Sorimuda Pohan, PT. Djarum, PT. H.M Sampoerna, PT. Gudang Garam dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Hakim Sorimuda Pohan • Yang bersangkutan pada tahun 2004-2009 sebagai anggota DPR dan anggota Pansus Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan. Dan terlibat karena pada waktu itu Undang-Undang tentang Kesehatan sudah selayaknya dilakukan amandemen oleh karena sudah terlalu banyak 105 perubahan sejak Undang-Undang yang pertama yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992; • Bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia, salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud di dalam Pancasila dan UUD 1945; • Bahwa kebiasaan merokok merupakan kebutuhan individual, tidak digolongkan pada hak asasi manusia; • Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan dengan prinsip non diskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia serta meningkatkan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional; • Bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia, tentu akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga diartikan sebagai inverstasi bagi pembangunan negara. Para ahli ekonomi kesehatan di tanah air sudah menghitung dan sejak lama mempublikasikan bahwa kerugian yang dapat ditimbulkan akibat rokok 4 sampai 5 kali besaran penerimaan cukai oleh negara; • Bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan, dalam arti pembangunan nasional harus memerhatikan kesehatan masyarakat merupakan tanggung jawab semua pihak, baik industriawan, petani, tenaga-tenaga kesehatan, pemerintah maupun masyarakat.
PT. Djarum • PT. Djarum adalah sebagai perusahaan swasta nasional yang berdiri berdasarkan hukum negara Republik Indonesia dan berdomisili hukum di Indonesia; • PT. Djarum merasa diperlakukan seolah-olah sebagai industri ilegal . Sehingga dengan diberlakukannya pasal a quo membuat dunia industri tembakau merasa was-was, terancam, cemas dan berakibat tidak nyaman dalam melaksanakan usaha; 106 • Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bagi PT. Djarum akan mengancam, merugikan dan tidak menutup kemungkinan akan berdampak terhadap kelangsungan usaha dan pekerja PT.Djarum.
PT. H.M Sampoerna • PT. H.M Sampoerna tidak sepenuhnya mendukung ketentuan tembakau Undang-Undang Nomor 36/2009 tentang Kesehatan yang disisipkan pada saat-saat terakhir persidangan DPR Tahun 2004-2009, karena ketentuan tersebut tidak mempertimbangkan kepentingan seluruh pihak yang terkait. Oleh karena itu PT. Sampoerna menyambut gembira keputusan DPR untuk menjawab beberapa kekurangan dari Undang-Undang Kesehatan dengan memasukkan Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau dalam prioritas prolegnas untuk persidangan tahun 2011; • PT. H.M Sampoerna maupun induk perusahaannya telah menyatakan dan mengkomunikasikan secara terbuka bahwa produk tembakau bersifat adiktif; • Setelah Pasal 113 disahkan melalui Undang-Undang Kesehatan, saat ini Kementrian Kesehatan sedang menyusun peraturan pemerintah yang salah satu ketentuannya akan melarang industri tembakau secara total untuk mengkomunikasikan produknya kepada para konsumen dewasa. Padahal sebagai produk yang legal , industri tembakau memiliki hak untuk berkomunikasi kepada konsumen melalui saluran dan media komunikasi yang tersedia; • Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dapat dikategorikan diskriminatif karena hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif yang harus diatur oleh Pemerintah.
PT. Gudang Garam • PT. Gudang Garam mempekerjakan 37.000 karyawan dan apapun keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah supaya memperhatikan nasib karyawan tersebut; 107 • Apabila pengiklanan industri tembakau dilarang akan menimbulkan suatu status quo buat brand-brand yang sudah ada dalam artian akan sulit sekali buat brand-brand baru muncul apakah itu perusahaan besar ataupun perusahaan kecil;
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) • Fakta sejarah, sudah 100 tahun perjalanan kretek; • Kretek memiliki pengaruh kuat terhadap ketahanan sosial, politik, ekonomi secara merata; • Gappi adalah asosiasi yang sangat bertanggung jawab terhadap kelangsungan dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Namun secara material tidak dapat dibantah masih banyak kelompok-kelompok dominan baik domistik maupun internasional yang mampu memonopoli jalan suatu kekuasaan. Kelompok-kelompok dominan ini mempunyai banyak akses yang luas, pada sumber daya ekonomi dan politik yang acap memustahilkan perwujudan kedaulatan hukum; • Gappi khawatir adanya tiga pilar nasional yang dipertaruhkan; Kedaulatan politik hukum di mana kelompok-kelompok dominan baik domestik maupun internasional yang mampu memonopoli jalan menuju kekuasaan yang dapat mempengaruhi regulasi. Kemandirian ekonomi, mencari industri dalam negeri yang kemandirian ekonominya dapat disejajarkan dengan kretek saat ini sulit ditemukan bahkan andaikan penerimaan cukai dapat disisihkan 10 tahun dan 15 tahun, utang negara dapat dibayar. Kretek wujud karya kearifan lokal pengusaha bangsa Indonesia yang dulu dijajah, ditindas, kemudian mampu meneruskan usaha dari aktor-aktor ekonomi kaum kolonial yang terdahulu, kemudian sekarang akan dicampakkan begitu saja membuat sangat resah; Selain itu, Pihak Terkait GAPPRI juga mengajukan alat bukti tertulis berupa bukti PT-1 sampai dengan bukti PT-8 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi _leave the pack behind; _ 2. Bukti PT-2 : Fotokopi USA Nicorette Sales ;
Bukti PT-3 : Fotokopi Nicotine Replacement Therapy ;
Bukti PT-4 : Fotokopi World Smoking-Cessation Drug Market 2010-2025; 108 5. Bukti PT-5 : Fotokopi Are Public Smoking Bans Necessary ;
Bukti PT-6 : Fotokopi Smoking Out The Truth ;
Bukti PT-7 : Fotokopi prejudice dan propaganda;
Bukti PT-8 : Fotokopi what we fund . [2.7] Menimbang bahwa Mahkamah pada persidangan hari Selasa, 8 Februari 2011, telah menyatakan kepada Pemohon, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan para Pihak Terkait untuk menyampaikan kesimpulan tertulis paling lambat 1 (satu) minggu sejak persidangan hari Selasa, 8 Februari 2011, dimaksud; Bahwa Pemohon menyampaikan Kesimpulan Tertulis bertanggal 14 Februari 2011, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Selasa, 15 Maret 2011 yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; Bahwa Pemerintah menyampaikan Kesimpulan Tertulis bertanggal 30 Juni 2011 untuk perkara Pemohon dalam perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Kamis, 21 Juli 2011 yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; Bahwa Pihak Terkait Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Yayasan Jantung Indonesia, dan Yayasan Kanker Indonesia menyampaikan kesimpulan tertulis bertanggal 14 Februari 2011 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Rabu, 16 Februari 2011, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; Bahwa Pihak Terkait Komisi Nasional Perlindungan Anak menyampaikan Kesimpulan Tertulis bertanggal 16 Februari 2011, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Senin, 21 Februari 2011, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; Bahwa Pihak Terkait Forum Warga Kota Jakarta menyampaikan Kesimpulan Tertulis bertanggal 17 Februari 2011, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari Kamis, 17 Februari 2011, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; 109 [2.8] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, maka segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini; 3 . PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian materiil Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063, selanjutnya disebut UU 36/2009) terhadap Pembukaan (preambule), Pasal 27, Pasal 28A, dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut:
kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; __ b. kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon; Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang disebutkan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik 110 Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.4] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah mengenai pengujian Undang- Undang dalam hal ini UU 36/2009 terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK;
adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU- III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 111 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009, yang menyatakan: Pasal 113 (1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. (2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. (3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Bahwa Pemohon selanjutnya mendalilkan yang pada pokoknya sebagai berikut: 112 • Pemohon selaku orang yang peduli terhadap masalah pertembakauan dan cengkeh Indonesia dan mendapat mandat untuk mewakili beberapa kepala desa serta warga desa Kabupaten Temanggung yang latar belakang kehidupannya sebagai penghasil tembakau dan cengkeh yang menjadi tumpuan dan harapan serta penggerak roda perekonomian masyarakat Kabupaten Temanggung; • Pemohon telah memberikan mandatnya kepada Anggota DPR ang salah satu tugasnya adalah membuat Undang-Undang. Dengan tidak dilakukannya tugas dan kewajiban Anggota DPR dalam proses yang benar dan baik terkait dengan pembentukan UU 36/2009 a quo , maka Pemohon berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya; • Pemohon merupakan warga negara pembayar pajak, sehingga hak dan kepentingan Pemohon terpaut pula dengan proses pembahasan UU Kesehatan a quo yang proses penyusunannya dibiayai oleh negara yang berasal dari pemasukan pajak yang telah dibayar Pemohon termasuk juga cukai rokok dan pajak hasil keringat petani tembakau dan cengkeh Indonesia serta para buruh pabrik rokok serta pihak terkait lainnya; • Pemohon mendalilkan memiliki lahan persawahan sekitar 2 Ha yang oleh para penggarap sawah sering ditanami tanaman jenis Tembakau Sawah. Oleh karenanya, dengan berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kesehatan a quo , menurut Pemohon, memunculkan ketidakpastian hukum dan perasaan was-was mengalami kerugian materiil apabila tidak menanam tembakau; • Hak untuk hidup dilindungi dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, dan Pasal 28 I UUD 1945. Oleh karenanya, para petani tembakau, para petani cengkeh, dan para buruh pabrik di Indonesia serta pihak-pihak lain yang terkait dengan pertembakauan juga mempunyai hak hidup yang sama sehingga menanam tembakau dan cengkeh merupakan suatu kewajiban petani untuk melangsungkan kehidupannya; Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon sebagai perorangan warga negara 113 Indonesia mempunyai hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, dan Pasal 28 I UUD 1945 yang menurut Pemohon, dirugikan oleh berlakunya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009. Oleh karenanya, Pemohon prima facie memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo, serta Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing ) maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.9] Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materiil Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009, yang pada pokoknya mempersoalkan konstitusionalitas pasal-pasal UU 36/2009 tersebut yang mengatur dan menetapkan tembakau dan produk yang mengandung tembakau sebagai zat adiktif yang dapat menimbulkan kerugian sehingga harus diatur produksi, peredaran, dan penggunaannya; [3.10] Menimbang bahwa Mahkamah telah memeriksa bukti-bukti tertulis yang diajukan oleh Pemohon (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-9) untuk membuktikan dalil-dalilnya yang daftar lengkapnya telah diuraikan dalam bagian Duduk Perkara di atas; Bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan saksi yang diajukan oleh Pemohon, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
H. Parmuji y Tembakau telah menjadi tumpuan hidup sejak nenek moyang dan merupakan sumber pencarian utama ekonomi; __ y Budidaya tembakau melibatkan banyak pihak, tidak hanya petani tembakau; __ 2. H. Mulyono y Saksi merasa prihatin karena mata pencaharian utama sebagai petani tembakau terancam; __ 114 3. Tri Yuwono y Mayoritas penduduk di Desa Kledung sebagai petani tembakau akan terancam kehilangan mata pencarian dengan berlakunya Pasal 113 UU 36/2009 dan hal ini bertentangan dengan program pengentasan kemiskinan Pemerintah; __ 4. Karyanto y Di Kabupaten Pamekasan 35.000 hektar lahan ditanami tembakau. Di Kabupaten Sumenep 28.000 hektar lahan ditanami tembakau. Di Kabupaten Sampang 18.000 hektar lahan ditanami tembakau; y Di Kabupaten Pamekasan, Sumenep, dan Sampang, tembakau adalah suatu tanaman komoditi yang sudah lama dan menjadi tanaman turun- temurun yang tidak dapat dipisahkan dengan petani yang hidup-matinya bergantung pada tanaman tembakau; y Berkat menanam tembakau, petani tembakau dapat menyekolahkan anaknya dan mencukupi kehidupannya; y Apabila petani tembakau tidak dapat atau tidak boleh menanam tembakau akan membuat perekonomian lebih buruk lagi;
Sumadi Danartono y Bahwa Saksi selaku Kepala Desa Wonolelo, Sawangan, Magelang. Saksi menerangkan bahwa di desa Saksi, 95% penduduk adalah petani dan pada waktu musim kering, tanaman yang dapat hidup adalah tanaman tembakau yang merupakan tanaman tulang punggung ekonomi masyarakat;
Udi Wahyu y Saksi selaku Kepala Desa Pagerejo, Kabupaten Wonosobo, yang menerangkan bahwa di daerah Saksi, tembakau merupakan komoditi unggulan yang 50% hasil produknya masuk ke pabrikan dan 50% lainnya merupakan kerajinan dalam bentuk tembakau garangan atau tembakau asapan;
Subakir y Seluruh warga desa di tempat Saksi adalah petani tembakau yang memiliki luas areal lebih-kurang 400 hektar; 115 y Tanaman tembakau menghasilkan mutu tembakau terbaik di dunia yang dinamakan tembakau serintil; y Tembakau serintil sangat dibutuhkan oleh pabrik-pabrik rokok kretek asli Indonesia;
Agus Setyawan y Saksi selaku Kepala Desa Tretep. Saksi lahir dan dibesarkan dari hasil tembakau yang ditanam oleh bapaknya selaku petani tembakau; y Saksi merasa dirugikan ketika Pasal 113 UU 36/2009 hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif;
dr. Subagyo y Saksi pernah menderita benjolan di rahang bawah yang dioperasi dengan hasil suatu limfoma maligna atau kanker kelenjar limfe; y Saksi mengetahui adanya informasi penanganan atau pengobatan balur nano terapi dengan define cigarette ;
Allan Sulistiono y Saksi didiagnosa menderita kanker hati stadium 3; y Saksi melakukan terapi balur dengan memakai tembakau dan hasilnya telah normal. Bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan Ahli yang diajukan oleh Pemohon, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
Josi Ali Arifandi y Bahwa penanaman tembakau di Indonesia telah berlangsung di areal yang lokasinya spesifik sehingga memiliki ciri kualitas spesifik yang dikenal pasar dan konsumennya yang tidak bisa digantikan dengan produk tembakau dari hasil penanaman di lokasi lahan lainnya; y Bahwa tembakau merupakan sumber pendapatan yang sangat besar bagi petani/pekebun di lahan marginal yaitu pada saat musim tanam tertentu (musim kemarau) ketika tanaman lain sudah tidak dapat berproduksi atau nilai ekonomisnya berada di bawah tembakau; y Bahwa bagi negara, industri tembakau memiliki kontribusi cukai, pajak, dan devisa yang meningkat terus dari tahun ke tahun, yang pada tahun 2008 mencapai kisaran Rp. 57 triliun; 116 2. Mukti Ali Imran y Bahwa zat adiktif diklasifikasikan atau dikelompokkan ke dalam jenis narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya atau yang sering disebut napza; y Bahwa Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 secara tidak langsung telah mereduksi makna zat adiktif yang terbatas hanya pada tembakau semata dan produk turunannya dalam semua fasa (padat, cair, dan gas). Padahal tembakau bukanlah satu-satunya zat yang memiliki sifat adiktif. Hal ini memberikan pengertian yang bias; y Bahwa untuk mengetahui pengaruh atau perbandingan adiksi suatu bahan terhadap adiksi bahan lainnya, harus melalui studi empiris yang menggabungkan pendekatan data faktual-kualitatif-kuantitatif; y Penggunaan kata ”zat adiktif” pada suatu bahan, sebaiknya atau seharusnya disertai dengan klasifikasi terhadap jenis adiktif tersebut, apakah stimulan, depressant, halusinogen, dan lain-lainnya sehingga jelas bagi konsumen;
Gabriel Mahal y Nikotin dari tembakau tidak dapat dipatenkan karena berasal dari alam. Yang dapat dipatenkan adalah alat pengantar nikotin ( nicotine delivery device ) dan senyawa terapi yang mengandung nikotin sebagai bahan utama yang dihasilkan oleh korporasi-korporasi farmasi multinasional. Di sinilah letak salah satu kepentingan untuk mengontrol atau mematikan tembakau dan rokok itu; y Ketentuan Pasal 113 UU 36/2009 merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan Proyek Prakarsa Bebas Tembakau dengan agenda anti tembakau global, dalam hukum nasional Indonesia; y Membunuh tembakau dengan segala industrinya di Indonesia, termasuk industri terkait lainnya, akan menyebabkan naiknya angka pengangguran rakyat Indonesia. Setiap 10% kenaikan penganggur menyebabkan kematian naik menjadi 1,2%, serangan jantung 1,7% dan harapan hidup berkurang 7 tahun; __ __ 117 4. Rinaldo Prima y Bahwa Pasal 113 UU 36/2009 dapat memberikan pemahaman yang ”menyesatkan”, karena secara tendensius dapat membentuk opini dan sekaligus memberikan stigma bahwa hanya tembakau yang mengandung zat adiktif, padahal masih sangat banyak jenis-jenis tanaman dan produk yang mengandung zat adiktif; y Bahwa Pasal 113 Undang-Undang a quo menjadi bersifat diskriminatif dan sekaligus dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga bertentangan dengan asas keadilan dan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; y Sangat besar kemungkinan ketentuan Pasal 113 Undang-Undang a quo bertentangan atau setidak-tidaknya kurang sejalan dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; y Bahwa Pasal 113 Undang-Undang a quo berisikan rumusan yang sama sekali tidak memberikan ”perlindungan hukum” bagi petani tembakau. Sebaliknya, secara diskriminatif, telah memberikan memberikan perlindungan hukum kepada petani yang menanam jenis tanaman lain yang mengandung zat adiktif; y Bahwa ketentuan Pasal 113 UU 36/2009 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F, dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945;
Prof. dr. Moch Aris Widodo MS., SpFK., PH.D y Merokok, berdasarkan bukti eksperimental dan bukti klinik, tidak dapat dituduh sebagai penyebab tunggal kesakitan, oleh karena tidak semua perokok menderita penyakit kanker paru atau jantung koroner, sedang yang tidak merokok pun dapat terkena kedua penyakit tersebut; y Tembakau dalam beberapa hal mirip dengan alkohol. Kedua bahan tersebut boleh beredar bebas di pasaran. Yang berbeda adalah efek alkohol dapat menimbulkan keracunan akut yang sering mematikan bahkan kematian dapat terjadi bukan karena alkoholnya tetapi oleh karena kecelakaan lalu lintas; 118 y Pembakaran daun tembakau pada rokok menghasilkan 4.000 bahan kimia, termasuk nikotin. Nikotin menimbulkan efek pada neuron atau saraf otak sehingga menyebabkan seseorang ingin menghisap rokok kembali, yang dikenal sebagai adiksi. Nikotin juga menyebabkan peningkatan kontraksi dan frekuensi jantung dan peningkatan tekanan darah;
Sutiman B. Sumitro y Ahli mengkhawatirkan isu rokok kretek merupakan bagian dari skenario perusahaan multinasional, yang aktivitas jangka pendeknya adalah fokus untuk mencaplok industri rokok lokal yang mulai ancang-ancang pindah core business . Oleh karenanya, Ahli mengusulkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Melakukan penelitian sungguh-sungguh untuk menakar dampak rokok khususnya kretek;
Industri rokok harus didorong memiliki unit penelitian dan pengembangan yang memadai dengan tujuan untuk mengembangkan teknologi rokok kretek yang lebih sehat dan menyehatkan;
Dr. dr. Jack Roebijoso, MSc y Tembakau dan nikotin dikelompokkan pada bahan yang dapat menimbulkan efek adiktif, namun dampak adiktif terhadap kesehatan (medis, psikologik, dan sosial), tergolong masih mudah diatasi dan tidak menimbulkan efek ”kecanduan” seperti zat narkotika; y Penemuan dan kemajuan teknologi pengendalian dampak kesehatan dari rokok (nano teknologi pada filter rokok) dan model pelayanan kesehatan yang memberdayakan masyarakat (dokter keluarga ala Indonesia), akan menjadi komoditi yang berharga bagi kemajuan pembangunan teknologi fabrikasi rokok, kedokteran, dan kesehatan di masa depan bagi kepentingan ekonomi dan pembangunan kesehatan/kedokteran di Indonesia; y Faktor resiko kesehatan tidak pernah tunggal dan selalu multifaktor, sehingga tembakau atau merokok bukan merupakan penyebab utama ( causal factor ) bagi timbulnya berbagai penyakit dan kematian; 119 y Masih ada kesempatan melakukan edukasi dan advokasi kesehatan untuk mengurangi atau meniadakan dampak faktor resiko kesehatan untuk tujuan mencegah kejadian sakit dan kematian dari suatu penyakit tertentu; y Pasal 113 UU 36/2009 yang menjadi dasar kebijakan menghapus komiditi tembakau dan rokok, belum menjadi kebijakan yang tepat sasaran untuk Indonesia saat ini; y Tembakau, rokok, dan teknologi pengendalian dampak kesehatan justru akan menjadi andalan ekspor Indonesia, di kemudian hari. [3.11] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan pemerintah yang pada pokoknya menerangkan bahwa keberadaan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009 a quo merupakan suatu conditio sine qua non karena merupakan fundamen yang kuat untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan pada umumnya. Pengaturan Pengamanan Zat Adiktif dalam UU 36/2009 a quo telah sesuai dengan amanat konstitusi, utamanya dalam rangka meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi- tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari tujuan pembangunan nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945; Bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan saksi yang diajukan oleh Pemerintah, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
Rima Melati y Saksi seorang perokok dan akibat dari ketergantungan rokok, saksi sakit kanker stadium akhir; __ 2. Yanti Sampurna y Suami Saksi meninggal setelah merokok selama 40 tahun dan tidak dapat berhenti merokok sampai wafatnya. Suami Saksi menderita kanker paru- paru dengan diketemukannya sel-sel yang khas sebagai sel kanker akibat merokok; __ 120 3. Pa Iswanto __ y Saksi adalah petani tembakau sejak tahun 1970 dan telah menikmati hasil tembakau tersebut dengan mendirikan rumah dan mempunyai sepeda motor; __ y Saksi sebagai petani tembakau khawatir apabila tembakau disingkirkan, maka akan kehilangan mata pencariannya; __ __ Bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan Ahli yang diajukan oleh Pemerintah, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: __ 1. Prof. Dr. Amir Syarief y Setelah merokok tembakau, terdapat nikotin di dalam darah. Merokok tembakau dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang menimbulkan kanker pada paru, rongga mulut, faring, laring, dan isofagus yang dapat menimbulkan masalah pada pembuluh darah jantung dan otak. Wanita hamil dapat mengalami abortus dan kelainan kongenital pada janin; y Nikotin tergolong zat adiktif. Nikotin terdapat dalam tembakau, dalam kadar yang cukup besar. Rokok tembakau mengandung nikotin sehingga merokok tembakau dapat menimbulkan ketergantungan psikologis, fisik, dan toleransi. Asap rokok tembakau mengandung bahan kimia yang dapat memicu terjadinya penyakit kanker, penyakit paru-paru, serta gangguan kesehatan lainnya;
Dr. Widyastuti Soerojo y Bahwa UU 36/2009 memberikan perlindungan bagi seluruh warga masyarakat tanpa kecuali sesuai mandat UUD 1945; y Perlindungan terhadap produk tembakau sebagai zat adiktif tidak melarang usaha pertanian tembakau, apalagi mematikan mata pencaharian petani dan tidak bertentangan dengan UUD 1945; y Sifat adiktif pada nikotin sangat kuat. Studi menunjukkan bahwa berhentinya merokok lebih sulit daripada menghentikan ketagihan heroin dan kokain. Adanya 60 juta perokok aktif di Indonesia saat ini, sudah mengindikasikan jaminan kelangsungan pertanian tembakau beberapa dekade mendatang. 121 3. Ahmad Hudoyo y Tembakau dapat dijadikan zat pengawet yaitu pengawet untuk bumbu, untuk kayu, dan dapat dipakai untuk mewarnai sutera; y Daun tembakau, dari hasil penelitian, dapat dipergunakan sebagai obat kencing manis, dan apabila direkayasa genetik dapat dijadikan obat anti kanker; y Daun tembakau dapat menjadi idola para dokter ahli genetika dan ahli biologi populer karena merupakan daun yang paling mudah direkayasa, cepat berubah DNA sifatnya, sehingga sangat efisien untuk penelitian- penelitian.
Arini Setiawati y Nikotin dalam rokok tidak begitu berbahaya dan jauh lebih aman daripada merokok. Keracunan nikotin dalam jumlah kecil, jauh lebih aman dibandingkan merokok. Zat-zat dalam asap tembakau itulah yang berbahaya karena mengandung toksik dan menyebabkan kanker; y Perokok pasif menghisap asap rokok yang berbahaya, tetapi tidak mendapatkan pleasure sebagaimana yang dialami oleh perokok aktif, sehingga alangkah tidak adilnya jika seorang bapak merokok, sedangkan istrinya dan anak-anaknya harus menghisap asap rokok tersebut; y Perokok aktif harus berhenti merokok agar tidak mengalami penyakit yang berbahaya, karena perokok ringan dan sedang, kematiannya sama saja dengan perokok berat.
Abdillah Ahsan y Bahwa ahli telah melakukan studi di Kendal, Bojonegoro, dan Lombok Timur. Ahli telah mewawancarai responden buruh tani sebanyak 450 orang dan telah mewawancarai 66 pengelola petani yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: - Mereka mengeluh bahwa usaha perkebunan tembakau sangat beresiko karena tembakau adalah tanaman semusim yang ditanam pada musim kemarau atau musim penghujan. Jika ditanam pada musim kemarau, dan panen ketika musim hujan, hal itu dapat merusak kualitas tembakau; 122 - Terdapat perubahan harga yang ditentukan oleh tengkulak, grader; - Terdapat hama tanaman; - Terjadi penurunan pembelian, karena pembeli utama daun tembakau adalah industri rokok. Apabila industri rokok tidak mau membeli, maka tembakau belum diketahui untuk apa penggunaannya.
Ahmad Fattah Wibisono y Bahwa kata merokok atau rokok tidak tercantum dalam Al Quran; y Baik yang mendalilkan makruh maupun yang mendalilkan haram, titik temunya adalah sama-sama menginginkan aktivitas merokok dihentikan; y Apabila orang masih mau merokok, artinya orang tersebut tidak menjaga kesehatannya, tidak menjaga jiwanya, seperti yang menjadi tujuan utama syariat, tujuan utama Islam; [3.12] Menimbang bahwa Mahkamah telah membaca keterangan DPR yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 113 UU 36/2009 telah sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yaitu untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 113 UU 36/2009 sama sekali tidak bertentangan dengan Pembukaan ( preambule ), Pasal 27, Pasal 28A, dan 28 I UUD 1945; [3.13] Menimbang bahwa Mahkamah juga telah mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait, serta memeriksa alat bukti tertulis yang diajukan oleh Pihak Terkait, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
dr. drh. Mangku Sitepoe • Bahwa yang berbahaya bagi kesehatan adalah asap rokop bukan tembakau; • Penyusunan Undang-Undang tidak membedakan antara tembakau dengan asap rokok; • Rokok terdiri dari rokok putih dan rokok kretek yang mana rokok putih sebagai standar untuk bahaya terhadap kesehatan yang mengandung 123 100% tembakau sedangkan rokok kretek mengandung 60% tembakau dan 40% cengkeh; • Bahwa merokok bukan penyebab kematian tetapi menstimulasi penyakit tertentu yang dapat menyebabkan kematian; • Tidak semua zat adiktif berbahaya, contohnya, teobromin di dalam coklat; • Menurut kamus kedokteran di Indonesia, zat adiktif adalah suatu substansi atau zat yang menyebabkan kebutuhan fisiologis yang menimbulkan ketergantungan. Pengertian lainnya, zat adiktif adalah obat atau zat apabila dikomsumsi oleh makhluk hidup menyebabkan aktivitas biologis, mendorong ketergantungan, dan adiksi yang sukar diberhentikan, dan bila diberhentikan memberikan dampak keletihan dan rasa sakit di luar kebiasaan; • Pasal 113 ayat (1) tidak membedakan bahaya zat adiktif di dalam tembakau dengan zat adiktif di dalam rokok. Kata ”zat adiktif” seharusnya diganti dengan ”zat berbahaya di dalam rokok”.
Tobacco Control Support Center – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) • Ketentuan Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 merupakan bukti keseriusan dan bentuk tanggung jawab konkrit dari Pemerintah untuk melindungi warga negaranya secara umum dan memberikan perlindungan yang maksimal bagi anak dan remaja Indonesia dari bahaya zat adiktif khususnya tembakau dan produk turunannya, sehingga dengan menghilangkan ayat- ayat tembakau ini merupakan suatu tindak pidana.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) • Bahwa rokok bermula dari sumber produk tembakau yang mengakibatkan korelasi langsung dengan anak karena prevalensi perokok pemula meningkat terbukti dengan data survei di mana prevalensi anak-anak usia 15 sampai 19 tahun yang merokok tahun 2001 menjadi meningkat pada tahun 2004; • Bahwa rokok adalah zat adiktif yang telah bermetamorfosis menjadi barang yang seakan-akan normal; 124 • Ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo yang menggunakan frasa ”pengamanan penggunaan” bukan ”penghapusan” yang dimaksudkan adalah untuk melindungi, atau di dalam bahasa konvensi disebut ” tobacco control ”; • Bahwa merokok secara quo scientific maupun normatif telah terbukti berbahaya bahkan mengancam kehidupan; • Bahwa Pasal 113 Undang-Undang a quo adalah sebagai bentuk pemenuhan kewajiban negara terhadap rakyatnya dari ancaman bahaya kesehatan, berbagai penyakit, dan kecacatan serta kematian yang ditimbulkan akibat tembakau dan produk tembakau, yang secara keilmuan sudah terbukti kebenarannya; • Pasal 113 ayat Undang-Undang a quo sama sekali tidak bersifat diskriminatif dan tidak merupakan pelanggaran hak atas keadilan, namun justru wujud realisasi hak konstitusional atas kesehatan, hak hidup, dan hak-hak anak yang dijamin dalam UUD 1945; Selain itu Pihak Terkait Komisi Nasional Perlindungan Anak mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-21 yang secara lengkap telah tertera dalam bagian Duduk Perkara dan juga mengajukan 4 (empat) orang Saksi yang telah disumpah dan didengar keterangannya dalam persidangan, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. Tony Karundeng • Saksi mulai merokok di usia 15 tahun; • Saksi sempat mengalami stroke ringan dan tahun 2010 kena kanker paru- paru akibat rokok dan Saksi tidak dapat berhenti merokok. Rokok mempunyai dampak racun dan adiktif; II. Yanti Koorompis • Saksi mulai merokok umur 13 tahun dan pernah menderita kanker stadium 3B; • Merokok itu sangat adiktif dan anak-anak Saksi menjadi ikut merokok. 125 III. Nani Rohayani • Saksi adalah perokok di usia 17 tahun dan sampai sekarang untuk menghilangkan rokok bagi Saksi sangat sulit karena tanpa rokok Saksi tidak dapat bekerja; • Saksi kena penyakit penyempitan pembuluh darah dan ingin sekali berhenti merokok, tetapi tidak dapat. IV. Fuad Baradja • Anak saksi mulai merokok di usia 13 tahun sampai sekarang, dan tidak dapat berhenti merokok walaupun telah melakukan terapi berhenti merokok.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia • Bahwa Konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas, jujur, dan utuh, terkait dengan bahaya merokok, bahaya tembakau bagi konsumen yang telah menjadi perokok aktif, perokok pasif maupun calon konsumen (calon perokok baru); • Selama ini, informasi yang disajikan industri rokok melalui berbagai iklan, promosi, dan berbagai upaya penjualan lainnya tidak memberikan informasi yang cukup perihal bahaya produk tembakau (rokok). Melalui iklan yang intensif dan masif tersebut, secara psikologis dan sosiologis, akhirnya cara pandang konsumen terhadap rokok mengalami ”jungkir balik” karena rokok dianggap sebagai produk yang tidak berbahaya dikonsumsi; • Akibat pengaruh iklan dan promosi tersebut, konsumen justru berpandangan bahwa orang yang merokok adalah keren, gagah, tampan, cantik, perkasa, berprestasi dalam olahraga, dan hal-hal positif lainnya. Sementara itu, informasi tentang bahaya rokok hanya disajikan dalam suatu narasi kalimat yang sangat kecil, sehingga tidak mudah dibaca dan ditangkap maknanya oleh konsumen; • Oleh karenanya, Pasal 113 UU 36/2009 merupakan dasar normatif yang sangat kuat bagi konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas, jujur, dan utuh tentang bahaya rokok bagi kesehatan. Bahwa selain itu, Pihak Terkait Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-9 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara; 126 5. Yayasan Jantung Indonesia __ • Bahwa secara global produk tembakau bertanggung jawab terhadap 22% dari seluruh penyakit jantung dan pembuluh darah cardiovaskular. Tembakau juga dihubungkan dengan kejadian arteriosclerosis, hipertensi, dan gangguan pembuluh darah otak. Efek rokok terhadap jantung dan pembuluh darah adalah meningkatkan denyut jantung, meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, mengentalkan darah, dan bahkan penyebab 75% serangan jantung koroner yang telah terbukti secara ilmiah dan karena merupakan fakta yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya _(notoir feiten); _ Bahwa selain itu, Pihak Terkait Yayasan Jantung Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-9 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara;
Yayasan Kanker Indonesia • Bahwa sudah seharusnya konsumen dilindungi dari bahaya adiksi rokok yang bersifat adiktif, karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker), dan membahayakan kesehatan bahkan mengakibatkan kematian akibat penyakit yang ditimbulkannya. Hal ini telah terbukti secara ilmiah dan karena merupakan fakta yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya _(notoir feiten); _ • Menurut data statistik yang diambil dari berbagai data rumah sakit di Indonesia, menunjukkan bahwa 9 (sembilan) dari 10 (sepuluh) penderita kanker paru-paru adalah perokok berat. Hal in menunjukkan dengan tegas bahwa pengaruh rokok/tembakau bagi penyakit kanker (terutama kanker paru-paru) adalah sangat kuat. Bahwa selain itu, Pihak Terkait Yayasan Kanker Indonesia juga mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-7 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara;
Forum Warga Kota Jakarta • Bahwa UU 36/2009 merupakan sebuah produk hukum yang telah memberikan pengakuan secara legal, tentang keberadaan rokok sebagai zat adiktif dan juga merupakan bukti bahwa negara telah serius melindungi warga negaranya sebagaimana diamanatkan UUD 1945; 127 • Bahwa fakta, dalam proses pembuatan Undang-Undang a quo yang sudah disahkan oleh Presiden, ada pihak-pihak yang dengan sengaja menghilangkan isi ketentuan yang tertuang dalam Pasal 113 ayat (2) yang berbunyi ”zat adiktif”. Pihak Terkait bersama dengan jaringan LSM yang tergabung dalam Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok atau KAKAR, telah melaporkan kejadian tersebut kepada Badan Kehormatan DPR dan Polda Metro Jaya. Badan Kehormatan DPR menyimpulkan, jika menghilangnya Pasal 113 ayat (2) bukanlah sekedar kesalahan administrasi semata, namun patut diduga merupakan upaya terstruktur dan terencana dari berbagai banyak oknum. Bahwa selain itu, Pihak Terkait Forum Warga Kota Jakarta mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-15 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara; [3.14] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Pihak Terkait ad informandum yaitu Hakim Sorimuda Pohan, PT. Djarum, PT. H.M Sampoerna, PT. Gudang Garam dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Hakim Sorimuda Pohan • Bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia, salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud di dalam Pancasila dan UUD 1945; • Bahwa kebiasaan merokok merupakan kebutuhan individual, tidak digolongkan pada hak asasi manusia; • Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan dengan prinsip non diskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia serta meningkatkan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional; • Bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia, tentu akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan 128 masyarakat juga diartikan sebagai inverstasi bagi pembangunan negara. Para ahli ekonomi kesehatan di tanah air sudah menghitung dan sejak lama mempublikasikan bahwa kerugian yang dapat ditimbulkan akibat rokok adalah empat sampai lima kali besaran penerimaan cukai oleh negara; • Bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan, dalam arti pembangunan nasional harus memerhatikan kesehatan masyarakat merupakan tanggung jawab semua pihak, baik industriawan, petani, tenaga-tenaga kesehatan, pemerintah maupun masyarakat.
PT. Djarum • PT. Djarum adalah sebagai perusahaan swasta nasional yang berdiri berdasarkan hukum negara Republik Indonesia dan berdomisili hukum di Indonesia; • PT. Djarum merasa diperlakukan seolah-olah sebagai industri illegal. Sehingga dengan diberlakukannya pasal a quo membuat dunia industri tembakau merasa was-was, terancam, cemas, dan berakibat tidak nyaman dalam melaksanakan usaha; • Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 bagi PT. Djarum akan mengancam, merugikan dan tidak menutup kemungkinan akan berdampak terhadap kelangsungan usaha dan pekerja PT.Djarum.
PT. H.M Sampoerna • PT. H.M Sampoerna tidak sepenuhnya mendukung ketentuan tembakau UU 36/2009 yang disisipkan pada saat-saat terakhir persidangan DPR Tahun 2004-2009, karena ketentuan tersebut tidak mempertimbangkan Sampoerna menyambut gembira keputusan DPR untuk menjawab beberapa kekurangan dari Undang-Undang Kesehatan dengan memasukkan Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau dalam prioritas prolegnas untuk persidangan tahun 2011; 129 • PT. H.M Sampoerna maupun induk perusahaannya telah menyatakan dan mengkomunikasikan secara terbuka bahwa produk tembakau bersifat adiktif; • Setelah Pasal 113 Undang-Undang a quo disahkan, saat ini Kementrian Kesehatan sedang menyusun Peraturan Pemerintah yang salah satu ketentuannya akan melarang industri tembakau secara total untuk mengkomunikasikan produknya kepada para konsumen dewasa. Padahal sebagai produk yang legal , industri tembakau memiliki hak untuk berkomunikasi kepada konsumen melalui saluran dan media komunikasi yang tersedia; • Pasal 113 UU 36/2009 dapat dikategorikan diskriminatif karena hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif, yang harus diatur oleh Pemerintah.
PT. Gudang Garam • PT. Gudang Garam mempekerjakan 37.000 karyawan dan apapun keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah supaya memperhatikan nasib karyawan tersebut; • Apabila pengiklanan industri tembakau dilarang akan menimbulkan suatu status quo buat brand-brand yang sudah ada dalam artian akan sulit sekali buat brand-brand baru muncul apakah itu perusahaan besar ataupun perusahaan kecil;
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) • Fakta sejarah, sudah 100 tahun rokok kretek diproduksi. Kretek memiliki pengaruh kuat terhadap ketahanan sosial, politik, dan ekonomi secara merata; • GAPPRI adalah asosiasi yang sangat bertanggung jawab terhadap kelangsungan dari pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Namun secara material tidak dapat dibantah masih banyak kelompok-kelompok dominan baik domestik maupun internasional yang mampu memonopoli jalannya suatu kekuasaan. Kelompok-kelompok dominan ini mempunyai 130 banyak akses yang luas pada sumber daya ekonomi dan politik yang acap memustahilkan perwujudan kedaulatan hukum; • GAPPRI khawatir adanya tiga pilar nasional yang dipertaruhkan:
Kedaulatan politik hukum, di mana terdapat kelompok-kelompok dominan, baik domestik maupun internasional, yang mampu memonopoli jalan menuju kekuasaan yang dapat mempengaruhi regulasi. (2) Kemandirian ekonomi, mencari industri dalam negeri yang kemandirian ekonominya dapat disejajarkan dengan kretek saat ini sulit ditemukan. Bahkan andaikan penerimaan cukai dapat disisihkan 10 dan 15 tahun, utang negara dapat dibayar. (3) Kretek merupakan wujud karya kearifan lokal pengusaha bangsa Indonesia yang dulu dijajah dan ditindas, kemudian mampu meneruskan usaha dari aktor-aktor ekonomi kaum kolonial yang terdahulu, kemudian sekarang akan dicampakan begitu saja, sehingga membuat sangat resah; Bahwa selain itu GAPPRI juga mengajukan alat bukti tertulis berupa Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-8 yang secara lengkap telah tercantum dalam bagian Duduk Perkara; Pendapat Mahkamah [3.15] Menimbang bahwa setelah mendengar dan membaca keterangan dan kesimpulan Pemohon, mendengar dan membaca keterangan Pemerintah, keterangan DPR, keterangan Pihak Terkait, keterangan Pihak Terkait ad informandum , keterangan para saksi yang diajukan oleh Pemohon, keterangan para Ahli yang diajukan oleh Pemohon, keterangan para saksi yang diajukan oleh Pemerintah, dan keterangan para Ahli yang diajukan Pemerintah, serta alat bukti tertulis yang diajukan Pemohon dan Pihak Terkait, sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.15.1] Bahwa masalah utama yang harus dipertimbangkan dan diputuskan oleh Mahkamah dalam permohonan ini adalah mengenai konstitusionalitas Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009 yang didalilkan bertentangan terhadap Pembukaan, Pasal 27, Pasal 28A, dan Pasal 28 I UUD 1945; 131 [3.15.2] Bahwa dari uraian dalil-dalil permohonan Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR, dan keterangan Pihak Terkait serta fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, ada persoalan konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah, yang pada pokoknya, yaitu apakah Pasal 113 UU 36/2009 yang menyatakan tembakau dan produk yang mengandung tembakau (padat, cair, dan gas) digolongkan sebagai zat adiktif adalah bersifat diskriminatif dan melanggar hak konstitusional Pemohon serta melanggar asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfaatan, sehingga bertentangan dengan konstitusi; [3.15.3] Bahwa terhadap dalil Pemohon di atas, Mahkamah berpendapat, terhadap diskriminasi yang selalu dihubungkan dengan adanya perlakuan yang berbeda terhadap sesuatu hal, tidaklah berarti bahwa secara serta-merta perlakuan yang berbeda tersebut akan menimbulkan diskriminasi hukum. Suatu pembedaan yang menimbulkan diskriminasi hukum, haruslah dipertimbangkan menyangkut pembedaan apa dan atas dasar apa pembedaan tersebut dilakukan. Pembedaan yang akan menimbulkan status hukum yang berbeda tentulah akan diikuti oleh hubungan hukum dan akibat hukum yang berbeda pula antara yang dibedakan. Dari pembedaan-pembedaan yang timbul dalam hubungan hukum dan akibat hukum karena adanya pembedaan status hukum akan tergambar aspek diskriminasi hukum dari suatu pembedaan, karena daripadanya akan diketahui adanya pembedaan hak-hak yang ditimbulkan oleh diskriminasi. Oleh karena itu, pembedaan yang dapat mengakibatkan diskriminasi hukum adalah pembedaan yang dapat menimbulkan hak yang berbeda di antara pihak yang dibedakan. Dengan demikian, hanya pembedaan yang melahirkan hak dan/atau kewajiban yang berbeda saja yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum. Karena pendukung hak dan/atau kewajiban adalah subjek hukum, maka hanya pembedaan yang menimbulkan kedudukan hukum yang berbeda terhadap subjek hukum saja yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum. Tembakau bukanlah subjek hukum karena tembakau bukanlah pemangku hak, melainkan hanya sebagai objek hukum yang dalam Pasal 113 Undang-Undang a quo menurut Pemohon dibedakan dengan produk lainnya, karena disebutkan sebagai zat adiktif sedangkan barang dan produk lain yang juga mengandung zat adiktif tidak 132 disebutkan dalam pasal a quo . Hal demikian sejalan dengan UUD 1945 yang melindungi setiap orang dari perbuatan diskriminatif, yaitu setiap orang sebagai subjek hukum; [3.15.4] Bahwa tembakau bukan subjek hukum tetapi sebagai objek hak yang berupa benda ( ius ad rem ). Hukum justru telah sejak lama mengadakan pembedaan terhadap objek hak. Perbedaan antara benda publik dan benda privat dalam hukum administrasi negara tidak didasarkan atas wujud bendanya tetapi lebih kepada peruntukannya. Tanah yang digunakan jalan umum termasuk dalam pengertian benda publik sementara tanah yang digunakan sebagai jalan dalam lingkungan perumahan pribadi termasuk benda privat yang oleh karenanya dapat menjadi objek hukum perdata secara penuh. Padahal, bentuk fisik keduanya adalah sama. Demikian juga kapal dengan tonase tertentu termasuk sebagai benda tidak bergerak yang terhadapnya dapat dijadikan objek hipotek sedangkan perahu atau kendaraan darat seperti truk yang secara fungsi dan teknologi tidak banyak berbeda dengan fungsi dan aspek teknologi kapal, namun termasuk sebagai benda bergerak yang berbeda dengan kapal. Meskipun wujudnya sama tetapi hukum juga memperlakukan berbeda. Sebagai contoh, dalam aturan lalu lintas dapat ditetapkan untuk satu jalan tertentu kendaraan umum dilarang masuk, sedangkan kendaraan pribadi tidak dilarang. Mobil dengan merek dan kapasitas yang sama dibedakan oleh hukum, yaitu yang satu sebagai mobil angkutan umum sedangkan yang lain sebagai mobil pribadi. Dengan demikian, pembedaan yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum adalah pembedaan terhadap subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, bukan pembedaan terhadap objek hak; [3.15.5] Bahwa Kantor Komisi Tinggi untuk Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Komentar Umum (General Comment Nomor 18 Non- _discrimination: _ 10/11/89) dari Covenant on Civil and Political Rights pada angka 1 menyatakan, “ Non-discrimination, together with equality before the law and equal protection of the law without any discrimination, constitute a basic and general principle relating to the protection of human rights ”. Selanjutnya dinyatakan, “Thus, article 2 paragraph 1 of the International Covenant on Civil and Political Rights 133 obligates each State party to respect and ensure to all persons within its territory …” . Dengan demikian, larangan diskriminasi adalah ditujukan kepada “ persons ” dan berkaitan dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam beberapa Konvensi Internasional jelas bahwa diskriminasi yang dilarang adalah diskriminasi terhadap manusia atau person sebagai subjek hukum dan tidak pernah ada larangan diskriminasi terhadap objek hak. Deklarasi umum PBB tanggal 20 November 1963 mengenai United Nations Declaration of All Forms of Racial Discrimination menegaskan larangan diskriminasi atas dasar ras, jenis kelamin, bahasa, agama, warna kulit, bangsa, dan suku bangsa. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination yang diadopsi oleh PBB tanggal 21 Desember 1965 menyebutkan larangan diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, bangsa, dan suku. International Convention on the Suppression and Punishment of Crime of Apartheid yang diadopsi tanggal 30 November 1973 melarang segregasi sosial dan apartheid di dalam praktik-praktik olah raga; [3.15.6] Bahwa dari konvensi-konvensi internasional tersebut jelas bahwa larangan diskriminasi tidak pernah ditujukan kepada objek hak tetapi kepada manusia yang diakui sebagai subjek hukum pemegang hak. Dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights ditemukan ada sepuluh dasar diskriminasi yaitu race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status yang kesemuanya berkaitan dengan person sebagai subjek hukum dan tidak berkaitan dengan objek hak. Perbedaan dalam menikmati hak-hak yang dipunyai oleh seseorang terhadap satu objek hak tertentu dibandingkan dengan objek hak yang lain mempunyai implikasi dalam bidang ekonomi. Hal demikian tidak dapat dielakkan dan tidak melanggar larangan diskriminasi. Seseorang yang mempunyai tanah dengan status hak milik pasti akan berakibat secara ekonomis atas haknya dibandingkan dengan mereka yang misalnya hanya memiliki hak guna bangunan, karena lebih tinggi nilai ekonomi yaitu menjadikan harga tanah tersebut lebih mahal. Pengusaha angkutan umum pada jurusan atau trayek tertentu dapat saja lebih kecil pendapatannya dibandingkan dengan angkutan umum jurusan lainnya, tetapi perbedaan penghasilan tersebut tidak berarti telah mendiskriminasikan antar pengusaha angkutan. Pemerintah sebagai regulator dapat melakukan kebijakan-kebijakan 134 tertentu dan bahkan harus mengambil kebijakan apabila ternyata terdapat perbedaan penghasilan yang sangat mencolok apalagi mengarah pada kerugian bagi pengusaha angkutan. Penetapan beras sebagai bahan sembako (sembilan bahan kebutuhan pokok) menjadikan Pemerintah perlu untuk menyediakan stok beras nasional yang cukup, sebab apabila tidak, maka akan terjadi kelangkaan beras nasional. Jika terjadi kelangkaan beras, dapat dipastikan harga beras akan naik. Secara ekonomi, kenaikan beras akan mempengaruhi juga kenaikan pendapatan petani dan semakin langka beras akan mendorong kenaikan harga beras semakin tinggi. Kenaikan harga beras yang sangat tinggi justru tidak dikehendaki oleh Pemerintah, oleh karenanya untuk menjaga stok beras nasional dilakukan impor beras. Dengan dimasukkannya beras menjadi sembako, petani padi tidak akan mungkin menikmati kenaikan pendapatan yang disebabkan oleh kenaikan harga beras dikarenakan kekurangan persediaan beras nasional, sebab Pemerintah selalu menjaga kecukupan persediaan beras sebagai salah satu bahan sembako dan mengadakan usaha-usaha agar harga beras stabil murah. Keputusan pemerintah untuk menetapkan beras sebagai salah satu bahan sembako adalah membedakan beras dengan bahan makanan lain, yang penetapan demikian mengakibatkan adanya pengendalian harga beras di pasar agar tidak menjadi terlalu mahal. Secara langsung, akibatnya petani padi tidak akan pernah mendapatkan keuntungan ekonomi yang cukup besar dari hasil tanaman padinya karena beras dimasukkan dalam kategori bahan sembako. Hal demikian, tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa telah terjadi diskriminasi karena Pemerintah menetapkan beras sebagai bahan sembako. Demikian juga adanya pembedaan antara kendaraan bermotor yang dibedakan antara jenis kendaraan mewah dan bukan kendaraan mewah sebagai dasar pengenaan pajak, tidaklah termasuk sebagai perlakuan diskriminatif sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 karena yang dibedakan adalah objek hak dan bukan subjek hukumnya. Apabila hak atas non-diskriminasi sebagai hak asasi manusia diterapkan kepada benda sebagai objek hak, maka akan merusak sendi-sendi hukum karena hukum justru membeda-bedakan benda atas dasar status hukumnya meskipun wujud dari benda tersebut sama; 135 [3.15.7] Bahwa Pemohon lebih lanjut mendalilkan tidaklah adil Pasal 113 UU 36/2009 a quo hanya mencantumkan tembakau sebagai zat adiktif, sedangkan ganja tidak dimasukkan sebagai zat adiktif padahal ganja nyata-nyata sebagai zat adiktif. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat, bahwa adanya ketentuan Pasal 113 Undang-Undang a quo yang hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif tidaklah berarti bahwa jenis tanaman lain yang tidak disebutkan dalam Pasal a quo , secara serta-merta tidak termasuk zat adiktif, kalau memang nyata-nyata mengandung zat adiktif. Pasal 113 UU 36/2009 tidak menutup Undang-Undang lain untuk menyebutkan ada zat adiktif lain selain tembakau. Jauh sebelum UU 36/2009 diundangkan, pada 1976 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Dalam UU Narkotika 1976 tersebut, diatur antara lain: • Pasal 2 menyatakan bahwa Menteri Kesehatan berwenang menetapkan: (i) alat-alat penyalahgunaan narkotika; (ii) bahan-bahan yang dapat dipakai sebagai bahan dalam pembuatan narkotika sebagai barang di bawah pengawasan; • Pasal 3 menyatakan bahwa narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan dan terhadap narkotika tertentu yang sangat berbahaya dilarang digunakan untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan; • Pasal 4 menyatakan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan kepada lembaga ilmu pengetahuan dan/atau lembaga pendidikan dapat diberi izin oleh Menteri Kesehatan untuk membeli, menanam, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan ataupun menguasai tanaman papaver, koka , dan ganja . Lembaga yang menanam papaver, koka , dan ganja wajib membuat laporan tentang luas tanaman, hasil tanaman, dan sebagainya, yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. [3.15.8] Bahwa meskipun dalam UU Narkotika 1976 belum digunakan penyebutan zat adiktif, tetapi dalam bagian ”Menimbang huruf b” Undang-Undang tersebut dinyatakan, ”bahwa sebaliknya, narkotika dapat pula menimbulkan 136 ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama”. Dengan demikian dasar pengaturan terhadap narkotika sama dengan dasar pengaturan terhadap tembakau dalam UU 36/2009 yaitu, ”dapat menimbulkan ketergantungan yang merugikan” yang artinya sebagai zat adiktif. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 huruf a UU Narkotika 1976, narkotika adalah bahan yang disebutkan pada Pasal 1 angka 2 sampai dengan angka 13, dan dalam angka 12 disebutkan, ”tanaman ganja adalah semua bagian dari semua tanaman genus Cannabis, termasuk biji dan buahnya”. Dengan demikian, terhadap tanaman ganja telah dilakukan pengawasan dan bahkan larangan penanaman jauh sebelum UU 36/2009 diundangkan, yaitu sejak tahun 1976. UU Narkotika 1976 digantikan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan terakhir digantikan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yang dalam Undang- Undang terbaru ini, pengawasan dan larangan terhadap tanaman ganja masih tetap diberlakukan. Dengan demikian ternyata bahwa terhadap tanaman ganja telah diatur pengawasannya sejak tahun 1976. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penyebutan tembakau sebagai zat adiktif pada Pasal 113 UU 36/2009 tidak menjadikan hanya tembakau saja yang termasuk sebagai zat adiktif secara eksklusif. Berdasarkan uraian tersebut di atas, ketentuan Pasal 113 UU 36/2009 tersebut tidak melanggar larangan diskriminatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945; [3.15.9] Bahwa dalam persidangan terdapat ahli yang menyatakan bahwa penempatan pengaturan tembakau dalam Pasal 113 UU 36/2009 a quo adalah tidak tepat berdasarkan teori pembentukan Undang-Undang yang baik dan UU 36/2009 tersebut kurang sempurna pembuatannya karena Pasal 113 UU 36/2009 a quo terkesan tiba-tiba saja diatur, yang tidak terkait secara sistematis dengan materi lain yang diatur oleh UU 36/2009 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Terhadap hal tersebut, Mahkamah dalam beberapa putusannya telah menyatakan bahwa terhadap dalil bahwa sebuah norma adalah kabur yang dapat menimbulkan multitafsir, tidaklah serta-merta diputus sebagai norma yang tidak menjamin kepastian hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28D UUD 1945, tetapi Mahkamah menyatakan hal demikian termasuk dalam implementasi dari 137 norma tersebut sehingga tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum yang dimaksud oleh Pasal 28D UUD 1945. Dalam putusan-putusan yang lain, Mahkamah juga menyatakan bahwa apabila suatu norma yang dimohonkan untuk diuji ternyata dapat ditafsirkan secara berbeda dan perbedaan tafsir tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum yang menyebabkan dilanggarnya hak konstitusi warga negara, maka Mahkamah memberi putusan conditionally constitutional yaitu dengan memberi penafsiran tertentu supaya tidak menimbulkan ketidakpastian hukum atau terlanggarnya hak-hak warga negara. Dalam Pasal 113 a quo sama sekali tidak bersangkut paut dengan soal diskriminasi terhadap subjek hukum, termasuk Pemohon, melainkan berkaitan dengan tembakau sebagai objek yang diatur oleh hukum sebagai zat adiktif. Dengan demikian, maka dikabulkan atau ditolaknya permohonan pengujian mengenai Pasal 113 Undang-Undang a quo tidak ada subjek hukum yang diuntungkan ataupun dirugikan secara konstitusional. Jaminan dan perlindungan yang dimaksud oleh Pasal 28D UUD 1945 adalah jaminan terhadap pengakuan serta perlindungan hukum kepada Pemohon, sedangkan Pasal 113 UU 36/2009 a quo sama sekali tidak mengubah pengakuan terhadap Pemohon. Dan juga pasal a quo tidak bersangkut paut dengan larangan untuk menanam tembakau. Sekiranya sekarang terdapat anjuran untuk beralih dari tanaman tembakau sebagaimana terjadi di wilayah Pemohon, hal demikian merupakan kebijakan yang tidak berkaitan dengan ketentuan Pasal 113 UU 36/2009; [3.15.10] Bahwa pembentukan Pasal 113 UU 36/2009 a quo dimaksudkan untuk menyatakan bahwa tembakau adalah termasuk zat adiktif, dan karena termasuk zat adiktif, maka akan diatur produksi, peredaran, dan penggunaannya, sebagaimana kemudian ditentukan dalam Pasal 114, Pasal 115, dan Pasal 116 UU 36/2009. Apabila Pasal 113 Undang-Undang a quo dipandang kurang tepat penempatannya di dalam UU 36/2009, dan seandainya pun kemudian ditempatkan dalam Undang-Undang lain, hal demikian tidak akan mengubah daya berlaku dari substansi Pasal 113 tersebut. Artinya, substansi tersebut tetap menjadi sah meskipun tidak dicantumkan dalam UU 36/2009. Bahkan seandainyapun frasa ”zat 138 adiktif” dalam Pasal 113 Undang-Undang dihilangkan, hal demikian tidak akan mengubah fakta bahwa senyatanya tembakau memang mengandung zat adiktif; [3.15.11] Bahwa jaminan dan perlindungan hukum oleh Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tidaklah dimaksudkan bahwa negara harus menjamin penghasilan setiap warga negara, yang dalam perkara ini, melindungi penghasilan yang didapatkan dari harga jual tanaman tembakau. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa petani padilah yang sangat rentan terhadap rendahnya penghasilan karena harga beras yang tinggi tidak diinginkan terjadi karena Pemerintah dengan segala kewenangannya harus menjaga agar harga beras, yang termasuk bagian dari sembako, tidak terlalu tinggi. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 adalah termasuk hak asasi dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya yaitu generasi kedua dari hak asasi manusia. Terhadap hak untuk bekerja ini perlu kiranya dikutip apa yang disampaikan oleh Matthew Craven dalam “ The International Convention On Economic, Social and Cultural Rights. A Perspective on its Development ”, bahwa, “….any States would not accept an obligation to “guarantee” the right to work in the sense of ensuring full employment or eliminating unemployment. In particular, it was feared that such a guarantee would bind States to a centralized system of government and require that all labour be under the direct control of the State.” Dengan demikian, pengertian bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan tidaklah dimaksudkan bahwa negara harus menyediakan lapangan kerja untuk seluruh warganya, karena jika hal demikian dilakukan, maka akan terjadi sentralisasi pemerintahan dan bahwa semua warga harus tunduk kepada pemerintah untuk bekerja dalam bidang yang disediakan oleh Pemerintah, padahal setiap warga negara mempunyai hak konstitusi untuk memilih lapangan kerja yang disukainya. Menyediakan lapangan kerja sesuai dengan keinginan setiap warga adalah sesuatu hal yang tidak mungkin dipenuhi oleh pemerintahan manapun juga. Kewajiban Pemerintah terhadap hak asasi ekonomi, sosial, dan budaya adalah untuk mengusahakan kesempatan seluas mungkin dengan cara bersungguh- sungguh agar setiap warga negara dapat menikmati hak tersebut dan bukannya negara harus bisa menyediakan lapangan kerja untuk setiap warga negaranya; 139 [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, permohonan Pemohon tidak beralasan hukum.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan Pemohon tidak beralasan hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh Sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa tanggal delapan belas bulan Oktober tahun dua ribu sebelas dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal satu bulan November tahun dua 140 ribu sebelas oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, dan Hamdan Zoelva, masing- masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Ida Ria Tambunan sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon, Pemerintah atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait atau yang mewakili. KETUA, ttd Moh. Mahfud MD ANGGOTA-ANGGOTA, ttd Achmad Sodiki ttd Harjono ttd Ahmad Fadlil Sumadi ttd Anwar Usman ttd Hamdan Zoelva ttd Maria Farida Indrati ttd M. Akil Mochtar 141 6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION) DAN ALASAN BERBEDA (CONCURRING OPINION) Terhadap putusan perkara ini terdapat 2 (dua) orang Hakim Konstitusi yang pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dan Hakim Konstitusi Hamdam Zoelva serta 1 (satu) orang Hakim Konstitusi yang memiliki alasan berbeda ( concurring opinion ) yaitu Hakim Konstitusi Achmad Sodiki sebagai berikut: [6.1] Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar Bahwa pasal 113 termasuk dalam Bagian Ketujuh Belas UU 36/2009 yang mengatur tentang Pengamanan Zat Adiktif. Bagian Ketujuh Belas UU 36/2009 terdiri dari 4 (empat) pasal yaitu Pasal 113 sampai dengan Pasal 116. Dari bagian yang mengatur tentang zat adiktif tersebut, kata “tembakau”, “produk yang mengandung tembakau”, dan “rokok” dapat ditemukan pada Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 dan Pasal 115. Sedangkan bentuk zat adiktif lain tidak disebut secara khusus dalam Bagian Ketujuh Belas UU a quo . Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “adiktif” berarti (1) bersifat kecanduan atau (2) bersifat menimbulkan ketergantungan pada pemakainya. Dengan demikian, yang termasuk zat adiktif tidak hanya terdiri atas tembakau dan produk yang mengandung tembakau sebagaimana disebut pada Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan. Terdapat beragam jenis zat yang masuk dalam kategori “zat adiktif” misalnya Narkotika dan Psikotropika. Oleh karena itu, terdapat inkonsistensi antara judul bagian ketujuh belas UU a quo yang bertujuan mengatur tentang Pengamanan Zat Adiktif dengan isi ( content ) pasal yang terdapat dalam bagian ketujuh belas UU a quo yang memberikan porsi lebih besar dengan mengatur secara khusus mengenai rokok dan tembakau tanpa mengatur zat adiktif lainnya secara spesifik. Selain itu, terdapat inkonsistensi dari ketentuan Pasal 116 UU Kesehatan yang menyebutkan bahwa pengamanan zat adiktif lainnya agar diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Padahal, pengaturan zat adiktif lain, selain rokok dan tembakau, telah 142 diatur dalam Undang-Undang dan tidak dengan Peraturan Pemerintah, yaitu zat adiktif berupa psikotropika diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Zat Adiktif berupa Narkotika diatur dengan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Melalui penalaran semantik dapat disimpulkan bahwa, sejatinya, Bagian Ketujuh Belas UU 36/2009 adalah mengatur secara khusus mengenai Pengamanan Zat Adiktif berupa rokok dan tembakau. Setiap frasa “bahan yang mengandung zat adiktif” pada pasal yang berada dalam Bagian Ketujuh Belas UU 36/2009 cenderung mengarah pada rokok dan produk yang mengandung tembakau. Secara semantik, penyusunan bagian ketujuhbelas memiliki inkonsistensi karena penyebutan frasa “bahan yang mengandung zat adiktif”. Pembentuk Undang-Undang telah mempersempit makna zat adiktif yaitu hanya meliputi tembakau dan produk-produk tembakau, namun frasa ini mengandung pengertian luas yang juga mencakup zat adiktif lain, seperti psikotropika dan narkotika. Pengaturan yang tidak konsistens dalam UU 36/2009 serta dibaca dalam konteks semantik dipastikan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan konstitusi. Pandangan masyarakat mengenai tembakau berbeda dengan zat adiktif lainnya. Secara umum, masyarakat melihat Psikotropika dan Narkotika sebagai zat adiktif adalah barang ilegal yang tidak boleh dikonsumsi terkecuali bila digunakan untuk kepentingan tertentu dan oleh pihak yang berwenang seperti untuk pengobatan oleh para dokter. Lain halnya dengan rokok atau produk tembakau yang dapat dengan mudah ditemui atau diperoleh secara bebas. Rokok atau produk tembakau lainnya bukanlah barang ilegal. Sehingga, pandangan masyarakat tentang tembakau atau rokok sangat terbelah. Faktor kesehatan menjadi salah satu alasan yang menyebabkan perbedaan pandangan di masyarakat soal rokok dan produk tembakau. Setidaknya perubahan paradigma yang menekankan pada faktor demi melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya rokok dan tembakau tergambarkan pada kalangan masyarakat 143 internasional yang diwakili oleh World Health Organization yang mengeluarkan kerangka kerja konvensi mengenai pengendalian tembakau ( Framework Convention on Tobacco Control -FCTC) dan berlaku sejak 27 Februari 2005. FCTC dinyatakan sebagai global trendsetter yang mengubah pandangan masyarakat akan bahaya rokok dan produk tembakau lainnya. Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum meratifikasi konvensi ini. Dalam UU 36/2009 sangat terlihat adanya pengaruh FCTC dalam pengaturan mengenai pengendalian atau pengamanan rokok dan produk tembakau pada UU Kesehatan. Pasal 114 UU 36/2009 yang mewajibkan pencantuman peringatan kesehatan selaras dengan article 11 FCTC yang mengatur tentang Packaging and Labelling of Tobacco Products , dan Pasal 115 UU 36/2009 yang menetapkan kawasan tanpa rokok sejalan dengan article 8 FCTC yang menetapkan Protection from Exposure to Tobacco Smoke . Pengaturan ketentuan pada bagian ketujuh belas UU Kesehatan yang mengatur mengenai pengamanan zat adiktif menjadi dasar untuk mengatur lebih lanjut tentang rokok dan produk tembakau dengan Peraturan Pemerintah. Pengaturan mengenai rokok dan produk tembakau menjadi hal yang tidak mudah karena melibatkan industri rokok yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, dari mulai sektor pertanian tembakau hingga produksi rokok. Selain itu, bagi masyarakat Indonesia rokok menjadi bagian dari warisan tradisi budaya masyarakat, terutama rokok kretek dari sebagian daerah di Indonesia. Sehingga kebijakan pemerintah dalam menetapkan pengaturan tentang rokok dan produk tembakau harus mampu melindungi hak konstitusional warga negara antara menikmati lingkungan yang sehat dan menjaga kelestarian warisan budaya masyarakat sekaligus mengakomodasi kepentingan petani tembakau dan tenaga kerja yang terlibat pada industri rokok dan produk tembakau. Memperhatikan ketentuan yang termuat di dalam Bagian Ke Tujuh Belas UU 36/2009 jelas terlihat kepentingan tersembunyi yang bertujuan agar tanaman termbakau yang merupakan bahan baku utama dari industri rokok adalah satu- satunya zat yang mengandung adiktif, yaitu kepentingan bisnis perdagangan produk-produk Nicotine Replacement Therapy (NRT) dan tanpa memperhatikan 144 dampak yang akan terjadi kepada petani tembakau yang memiliki hak ekonomi sosial dan budaya yang dijamin oleh UUD 1945; Pembatasan tembakau sebagai zat adiktif telah tidak memperhatikan fakta bahwa ada kurang lebih 6 juta rakyat Indonesia yang hidup dan perikehidupannya bergantung pada tembakau dengan segala industrinya. Apalagi industri tembakau merupakan salah satu kontributor terbesar pendanaan APBN. Pembatasan dapat saja dilakukan asalkan dalam kerangka untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain ( vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945). Jangan hanya demi satu kepentingan kemudian mengabaikan hak warga negara Indonesia, karena jika demikian maka telah terjadi pengingkaran terhadap nilai-nilai yang terdapat dalam UUD 1945; Dengan memperhatikan uraian di atas, menurut pendapat saya, seharusnya Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan Pemohon, yaitu menyatakan sepanjang frasa ”tembakau” dan ”produk yang mengandung tembakau” pada Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 tentang Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; [6.2] Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva Pokok persoalan yang dimohonkan para Pemohon kepada Mahkamah adalah dicantumkannya secara spesifik tembakau dan produk yang mengandung tembakau dalam rangka pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif agar tidak menganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan dalam Pasal 113 UU 36/2009. Keresahan Pemohon beserta para petani tembakau atas adanya ketentuan tersebut seharusnya dapat dipahami oleh Mahkamah mengapa hanya tembakau dan produk tembakau yang disebutkan secara kongkrit sebagai zat adiktif yang menganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan, dan sama sekali tidak menyinggung zat adiktif lainya. Hal itu 145 menimbulkan rasa ketidakadilan oleh Pemohon dan para petani tembakau yang seharusnya dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan rasa kekhawatiran akan terancamnya sumber kehidupan mereka yang secara turun temurun menanam tembakau untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya seperti yang dijamin dalam Pasal 28A UUD 1945. Benar, rokok mengganggu kesehatan bagi para penggunanya. Tetapi apakah dengan sendirinya tembakau dan produk lainnya membahayakan bagi perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan adalah sesuatu yang masih perlu penelitian lebih lanjut. Oleh karena itu, yang seharusnya dikendalikan dan dibatasi adalah produk rokok yang sudah jelas membahayakan bagi kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan, dan bukan tembakau. Tembakau sudah merupakan bagian kehidupan para petani yang secara turun temurun mengantungkan hidupnya dari hasil tanaman tembakau. Apabila tembakau dikendalikan, dan dibatasi produknya pasti akan mengancam kelangsungan kehidupan ekonomi dari para petani tembakau yang mencederai jaminan konstitusi kepada setiap orang untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya berdasarkan Pasal 28A UUD 1945. Hal itu, juga mencederai rasa keadilan para petani tembakau yang hanya menyebutkan tembakau dan segala produk tembakau sebagai zat adiktif, tanpa menyebutkan zat adiktif yang bersumber dari produk lain yang menurut berbagai penelitian terkandung dalam banyak sekali jenis tanaman. Dengan adanya kewenangan pengendalian dalam pasal a quo, tanpa batasan oleh undang-undang, akan memungkinkan pemerintah membatasi penanaman tembakau, serta jumlah produksi tembakau yang dapat dipastikan akan merugikan para petani yang menggantungkan ekonominya pada produksi tanaman tembakau. Untuk memulihkan rasa ketidakadilan dari para petani tembakau dan menjamin kelangsungan kehidupan ekonomi masyarakat sebagai petani tembakau seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu dengan menyatakan Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dihilangkannya Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak dengan sendirinya menghilangkan kewenangan pemerintah untuk melakukan pengendalian terhadap tembakau dan 146 segala produknya karena kewenangannya masih dimungkinkan berdasarkan Pasal 116 UU 36/2009. Dengan dikabulkannya Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo , Mahkamah memberikan keadilan kepada para petani tembakau, sehingga yang dikendalikan oleh Pemerintah tidak hanya zat adiktif dari tembakau dan segala produknya, tetapi juga seluruh zat adiktif yang bersumber dari bahan-bahan lainnya. [6.3] Alasan Berbeda (Concurring Opinion) Hakim Konstitusi Achmad Sodiki Persoalan yang dikemukakan oleh Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009. Alasannya karena: • Pertama pasal tersebut hanya mencantumkan tanaman tembakau sebagai zat adiktif , sedangkan tanaman lainnya misalnya ganja tidak, padahal ganja mempunyai dampak tidak baik terhadap kesehatan. Tembakau yang disebut zat adiktif dianggap bertentangan dengan asas keadilan karena hanya mencantumkan tanaman tembakau sedangkan tanaman lainnya seperti ganja yang mengandung juga zat adiktif dan dilarang tidak dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009. • Kedua dengan dicantumkannya tembakau sebagai zat adiktif memunculkan ketidakpastian hukum dan perasaan was was mengalami kerugian materiil apabila menanam tembakau. Dengan demikian Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 36/2009 bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28A dan Pasal 28 I UUD 1945. Pemohon juga mengingatkan adanya Putusan Mahkamah Nomor 6 PUU/VII/2009 tentang pengujian Pasal 46 ayat (3) huruf c sepanjang frasa “yang memperagakan wujud rokok” yang telah ditolak oleh Mahkamah untuk dibatalkan. • Tentang dimasukkannya tembakau sebagai zat adiktif. Tembakau merupakan produk pertanian yang di dalamnya termuat hak Pemohon yakni kepentingannya guna memenuhi kebutuhannya sebagai petani. Hak merupakan kepentingan yang dilindungi ( das subjective Recht ist rechtlich geschutztes Interesse” ). Bahkan Van Appeldoorn beranggapan hak adalah 147 suatu kekuatan yang diatur oleh hukum ( Het objective recht is een ordende macht, het subjective recht is een door objective recht geordende macht. Recht is macht) . Oleh sebab itu gangguan apapun bentuknya atas hak dapat berarti gangguan atas kepentingan subjek hukum. Jika kepentingan itu demikian kuat peranannya dalam kehidupan orang yang empunya hak, maka perubahan hak akan berpengaruh juga terhadap orang yang mempunyai hak tersebut, yang bisa bersifat menguntungkan dan dapat pula bersifat merugikan si empunya hak. Jika kepentingannya berupa kepentingan ekonomi, maka perlakuan yang berbeda atas kepentingan ekonomi tersebut dapat merugikan yang bersangkutan. Terlebih lagi jika kepentingan ekonomi tersebut berupa kepentingan yang menyangkut hajat hidup seseorang atau orang banyak. Hak tersebut berkaitan dengan objek hukum yakni segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan yang dapat menjadi pokok (objek) perhubungan hukum. Jika pembedaan itu sekedar ingin membedakan antara jenis benda misalnya benda bergerak dengan benda tidak bergerak, hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tidaklah akan merugikan siapapun. Tetapi yang menjadi persoalan seringkali adanya perubahan dari status hak milik menjadi hak yang dikuasai langsung oleh negara atau sebaliknya hal ini menyangkut kepentingan yang mempunyai hak. Di dunia ini hampir tidak ada sejengkal tanahpun yang tidak ada pemilik atau penguasanya, sehingga mustahil memisahkan suatu benda/hak dengan pemiliknya atau antara subjek hukum dengan haknya. Hal itu hanya terjadi pada zaman perbudakan tatkala sebagian manusia dianggap tidak mempunyai hak yakni menjadi budak. Budak disamakan dengan barang atau binatang karena diambil tenaga kerjanya, yang dapat dihaki dan dapat dijual belikan oleh yang empunya budak. Hanya manusia yang mempunyai hak yang disebut orang ( person atau persoon). Sekarang semua manusia adalah subjek hukum, oleh sebab itu ia merupakan pendukung hak, maka memisahkan dan tidak mengaitkan antara subjek hukum dengan objek hukum (hak) tidaklah tepat, karena zaman perbudakan telah berakhir. Penggolongan suatu benda dapat menimbulkan kerugian apabila benda tersebut yang semula tidak digolongkan sebagai benda yang dilarang menjadi 148 benda yang dilarang, misalnya daun ganja semula bukan merupakan barang yang dilarang tetapi kemudian dimasukkan sebagai barang yang dilarang mengedarkan, mengkonsumsi dan menjual belikan. Jadi terjadi politik kriminalisasi terhadap benda tersebut, karena bagi siapa yang mengedarkan, mengkonsumsi dan menjual belikan dikenakan ancaman pidana. Dampaknya, bagi masyarakat yang secara tradisi mengkonsumsi daun ganja menjadi tidak bebas lagi menggunakannya. Dalam dunia perdagangan juga terjadi hal demikian, dapat terjadi suatu benda yang semula dapat masuk bebas ke Indonesia menjadi benda yang dilarang masuk. Misalnya import daging sapi yang tadinya tidak terkena syarat halal .Karena diadakan klasifikasi daging yang halal dengan daging yang tidak halal terpaksa jika daging sapi diimport harus mendapatkan sertifikasi halal. Dengan demikian tidak semua daging sapi dapat diimport ke Indonesia, sehingga dapat merugikan para importer daging sapi, sebaliknya hal demikian menguntungkan pihak konsumen yang menghendaki kehalalan daging sapi. Dengan demikian pembedaan perlakuan yang didasarkan pada kepentingan secara langsung dapat berakibat merugikan suatu kelompok masyarakat tetapi dapat pula menguntungkan kelompok masyarakat lainnya. Hal inilah yang menyebabkan tidak mungkin dipisahkan antara subjek hukum yang berupa orang/badan hukum dengan kepentingan yang dimiliki oleh subjek hukum tersebut. • Pemohon mempersoalkan penggolongan tembakau sebagai zat adiktif dengan kepentingannya yang dengan digolongkan menjadi/ termasuk zat adiktif akan berakibat merugikannya, sedangkan zat lain yang juga mengandung zat adiktif tidak dimasukkan dalam pasal ganja, yaitu Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 36/2009. Pasal ini tidak mengandung maksud bahwa zat lain dengan sendirinya yang tidak disebut dalam pasal a quo dikecualikan sebagai zat adiktif misalnya ganja dan sebagainya. Pasal ini hanya menyatakan, zat adiktif meliputi tembakau dan seterusnya yang dihubungkan dengan ayat (1) nya diperlukan pengamanan dalam penggunaannya yakni tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan 149 lingkungan. Ada perbedaan antara tembakau dan ganja sekalipun ada persamaannya yaitu sebagai zat adiktif. Tembakau dan produk rokok masih bersifat legal dijual bebas dan boleh dikonsumsi secara umum (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-VI/2008, terbukti dengan dikenakannya cukai terhadap rokok daan tembakau), sekalipun terdapat pembatasannya seperti yang dimaksud oleh ayat (1) dan ayat (3) pasal a quo . Sedangkan ganja jelas bukan merupakan produk yang legal untuk dijual dan dikonsumsi oleh masyarakat, maka tidak bisa disamakan kedudukannya antara tembakau dengan ganja. Di sini tidak ada persoalan kepastian hukum karena permohonan Pemohon sekarang tidak termasuk persoalan yang dimohonkan pengujiannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-VI/2008 sekalipun menyinggung masalah tembakau. Dalam dunia modern dengan kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan nampak upaya manusia untuk hidup sehat bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga bagi orang lain. Produk-produk yang dikonsumsi oleh manusia juga semakin beragam, sehingga kontrol terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh beragamnya zat-zat yang dikandung oleh makanan tersebut tidak mungkin dilakukan sendiri oleh perseorangan. Hal itu merupakan tugas negara untuk melindungi kepentingan kesehatan orang banyak. Sudah menjadi keyakinan dunia modern bahwa merokok dapat membahayakan kesehatan.Oleh sebab itu meningkatnya jumlah perokok juga akan meningkatkan potensi kerugian yang akan diderita baik di bidang kesehatan, produktivitas kerja, sekalipun negara memperoleh pajak yang diambil dari produk rokok (tembakau). Kesadaran untuk menghindari rokok justru lebih banyak dari kalangan yang cukup berpendidikan dari pada dari kalangan yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan. Akan tetapi membatasi meluasnya bahaya merokok tidak mungkin hanya digantungkan pada kesadaran dari mereka yang terdidik, tetapi negara harus melakukan tindakan antisipatif agar dengan demikian kita akan mewarisi generasi yang sehat. Justru kebijakan yang dilakukan saat sekarang ini akan menjadi tidak adil jika tidak berdampak baik bagi generasi yang akan datang, karena generasi yang akan datang tidak dapat ikut serta menentukan kebijakan yang sekarang diambil oleh negara. Tidak dapat dipertanggung 150 jawabkan secara moral, generasi yang akan datang menderita karena kesalahan kebijakan generasi sekarang. Lagi pula seseorang tidak boleh menarik keuntungan dari perbuatannya yang nyata-nyata membahayakan orang lain. Tembakau sebagai zat adiktif sekaligus merupakan bahan rokok utama tidak dapat disangkal dapat menyebabkan penyakit kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan serta janin sebagaimana dicantumkan pada label peringatan setiap bungkus rokok. Oleh sebab itu maka permohonan Pemohon sudah tepat ditolak oleh Mahkamah. PANITERA PENGGANTI, ttd Ida Ria Tambunan