Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.07 /2019 tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil Dana Alokasi Umum, dan Dana Otonomi Khusus ...
Relevan terhadap
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga.
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Daftar Hasil Penelaahan Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat DHP RDP BUN adalah dokumen hasil penelaahan RDP BUN yang memuat alokasi anggaran menurut unit organisasi, fungsi, dan program yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN.
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri atas Dana Transfer Umum dan Dana Transfer Khusus.
Dana Transfer Umum yang selanjutnya disingkat DTU adalah dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada Daerah untuk digunakan sesuai dengan kewenangan Daerah guna mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri atas Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum.
Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu dari pendapatan negara untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Otonomi Khusus adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu Daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka Otonomi Khusus yang selanjutnya disebut DTI adalah dana tambahan dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan usulan provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Dana Bagi Hasil Pajak yang selanjutnya disebut DBH Pajak adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan Pasal 21, Pajak Penghasilan Pasal 25, dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disingkat DBH CHT adalah bagian dari Transfer ke Daerah yang dibagikan kepada provinsi penghasil cukai dan/atau provinsi penghasil tembakau.
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat DBH SDA adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam kehutanan, mineral dan batubara, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pengusahaan panas bumi.
Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa, yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana TKDD adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan dalam rangka pelaksanaan TKDD.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa BUN.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian/lembaga nonkementerian yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Kurang Bayar Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disebut Kurang Bayar DBH adalah selisih kurang antara DBH yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH yang dihitung berdasarkan prognosis realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu.
Lembar Konfirmasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang selanjutnya disebut LKT adalah dokumen yang memuat rincian penerimaan TKDD oleh Daerah.
Lembar Rekapitulasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang selanjutnya disebut LRT adalah dokumen yang memuat rincian penerimaan TKDD oleh Daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran.
Lebih Bayar Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disebut Lebih Bayar DBH adalah selisih lebih antara DBH yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH yang dihitung berdasarkan prognosis realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu.
Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan, kecuali Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan.
Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang selanjutnya disebut PPh WPOPDN adalah Pajak Penghasilan terutang oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan yang berlaku kecuali Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat PNBP SDA adalah bagian dari Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari sumber daya alam kehutanan, mineral dan batubara, perikanan, minyak bumi, gas bumi, dan pengusahaan panas bumi.
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disingkat KKKS adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama.
Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat RKA BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan transfer ke daerah tahunan yang disusun oleh Kuasa Pengguna Anggaran BUN.
Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat RDP BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang merupakan himpunan RKA BUN.
Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.
Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur, bupati, atau walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.
Surat Keputusan Penetapan Rincian Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat SKPRTD adalah surat keputusan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran yang memuat rincian jumlah transfer setiap daerah menurut jenis transfer dalam periode tertentu.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/Pejabat Pembuat Komitmen yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA BUN/Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Ruang Fiskal Daerah adalah besarnya pendapatan Daerah yang masih bebas digunakan untuk mendanai program/kegiatan sesuai kebutuhan Daerah yang dihitung dengan mengurangkan seluruh pendapatan Daerah dengan pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya ( earmarked ) dan belanja wajib antara lain belanja pegawai dan belanja wajib lainnya.
Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang selanjutnya disingkat TKDD adalah bagian dari Belanja Negara yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada Daerah dan Desa dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan yang telah diserahkan kepada Daerah dan Desa.
Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah bagian dari Belanja Negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Belanja Wajib yang Bersumber dari DTU adalah belanja daerah yang bersumber dari DTU yang ditetapkan sesuai arah kebijakan penggunaan DTU dalam Undang-Undang mengenai APBN tahun anggaran berkenaan.
Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.
Sistem Informasi Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat SIKD adalah suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan, serta mengolah data pengelolaan keuangan daerah dan data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah.
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas jabatan pemerintahan.
Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah atas Penyerahan Bahan Bakar Nabati di dalam Negeri untuk Tahun Anggaran 2009. ...
Relevan terhadap
bahwa dalam rangka mengurangi dampak perubahan iklim ( climate change ) dan mendukung tercapainya sasaran kebijakan energi nasional berupa terwujudnya energi (primer) mix yang optimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b angka 4 Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Diktum PERTAMA angka 12 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, perlu memberikan insentif fiskal berupa Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pernerintah;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Penyerahan Bahan Bakar Nabati di Dalam Negeri Untuk Tahun Anggaran 2009;
Ruang Lingkup dan Tata Cara Pemberian Penjaminan Pemerintah di Bidang Infrastruktur oleh Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur. ...
Relevan terhadap
Penempatan kekayaan dalam bentuk investasi dilakukan untuk tujuan menambah kekayaan BUPI dan dilakukan atas porsi tertentu kekayaan BUPI pada instrumen keuangan terpilih.
BUPI dapat melakukan penempatan kekayaan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
berdasarkan hasil analisis BUPI terhadap risiko yang mengancam likuiditas, solvabilitas dan kapasitas penJamlnan BUPI, dan keberlangsungan BUPI se bagai perseroan; dan
sesuai dengan maksud dan tujuan BUPI sebagai instrumen kebijakan fiskal.
Penempatan kekayaan dalam bentuk investasi BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada instrumen investasi dalam negeri, yang meliputi:
deposito berjangka, termasuk deposit on call dan sertifikat deposito yang tidak dapat diperdagangkan (non negotiable certificate deposit) pada Bank;
surat berharga negara;
surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia;
surat utang korporasi dan sukuk korporasi yang tercatat dan diperjualbelikan secara luas dalam Bursa Efek; dan
reksa dana.
Investasi berupa deposito berjangka, termasuk deposit on call dan sertifikat deposito yang tidak dapat diperdagangkan (non negotiable certificate deposit) pada t www.jdih.kemenkeu.go.id DISTRIBUSI II Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
penempatan pada Bank Buku 2, Bank Buku 3, dan/ a tau Bank Buku 4;
paling sedikit memiliki peringkat AA atau yang setara dari lembaga pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang pasar modal;
pada setiap Bank Pemerintah paling tinggi 25°/o (dua puluh lima persen) dari jumlah modal Perseroan dan di luar Bank Pemerintah paling tinggi 10 °/o (sepuluh persen) dari jumlah modal Perseroan; dan
investasi berupa penempatan dana pada Bank Buku 2 paling tinggi 25o/o ( dua puluh lima persen) dari modal inti (tier 1) Bank yang bersangkutan.
Investasi berupa surat utang korporasi dan sukuk korporasi yang tercatat dan diperjualbelikan secara luas dalam Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
untuk surat utang korporasi dan sukuk korporasi yang diterbitkan oleh BUMN, pada saat penempatan, paling sedikit memiliki peringkat AA atau yang setara dari lembaga pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang pasar modal;
untuk surat utang korporasi dan sukuk korporasi yang diterbitkan oleh BUMD atau swasta, paling sedikit memiliki peringkat AAA atau yang setara dari lembaga pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang pasar modal; dan c. untuk setiap emiten paling tinggi 5°/o (lima persen) dari jumlah modal perseroan dan seluruhnya paling tinggi 20 o/o ( dua puluh persen) dari jumlah modal perseroan. t DISTRIBUSI II (6) Investasi berupa reksa dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
merupakan produk reksa dana yang dikelola oleh Manajer Investasi yang terdaftar pada lembaga pengawas di bidang pasar modal sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal; dan
untuk setiap Manajer Investasi paling tinggi 20o/o (dua puluh persen) dari jumlah penempatan pada reksa dana dan seluruhnya paling tinggi 1 0 °/o ( sepuluh persen) dari jumlah investasi.
Standar, Uji, dan Pengembangan Kompetensi Jabatan Fungsional Penilai Pemerintah
Pedoman Penerapan, Penilaian, dan Reviu Pengendalian Intern atas Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. ...
Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2016
Relevan terhadap
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2016. Menetapkan Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2016 sebagaimana tercantum dalam Lampiran ^yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini. Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2016 sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA, digunakan sebagai pedoman operasional dalam pemenuhan target pembiayaan melalui utang dan pengelolaan portofolio utang tahun anggaran 2016. lfu C.
o.
KETIGA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Keputusan Direktur Jenderal ini mulai ^pada ^tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal ^25 ^November 2015. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 2015 DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, z.a hROBERTPAKPAHAN ^I LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL ^PENGELOLAAN PEMBTAYAAN DAN RISIKO NOMOR 7 3 /PR/2O15 TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN ^TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2016 STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI ^UTAITG TAHUN 2OL6 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN ^DAN ^RISIKO STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2OL6 KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha ^Esa, ^atas perkenan-Nya pen5rusunan Strategi Pembiayaan Tahunan melalui Utang ^Tahun 2016 dapat diselesaikan. Pemenuhan pembiayaan APBN tahun ^2016 dihadapkan pada tantangan atas kondisi pasar keuangan dan perekonomian, baik ^global maupun domestik. Kondisi pasar keuangan global diperkirakan ^masih diliputi ketidakpastian, terutama terkait dengan potensi ^peningkatan Fed ^Fund ^Rate. ^lsu relevan lainnya yang menjadi perhatian dalam pengelolaan utang ^adalah perlambatan perekonomian Tiongkok, lambatnya pemulihan ^perekonomian ^di Eropa pasca krisis utang, serta harga-harga komoditas ^yang diperkirakan ^masih akan tertekan. Tidak berbeda dengan kondisi global, perekonomian domestik ^juga ^sedang mengalami tekanan. Pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan dari ^rata-rata sebesar 67o untuk tahun 2010-2013 menjadi 5% di tahun 2014. Namun, ^realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal III tahun 2Ol5 sebesar 4,73o/o diyakini sebagai titik balik menuju prospek perekonomian yang lebih baik. Kondisi ^pasar keuangan juga kurang menguntungkan, dimana terjadi pelemahan nilai tukar rupiah dan peningkatan tingkat imbat hasil (yield) SBN yang berdampak langsung pada pengelolaan utang negara serta pembiayaan melalui utang. Pelemahan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah defisit neraca pembayaran yang dipicu oleh tingginya kebutuhan valas untuk transaksi dan pembiayaan utang dan pelemahan harga komoditas yang mengakibatkan penurunan ekspor. Strategi ini merupakan pedoman pelaksanaan bagi pengelola utang dalam ^rangka memenuhi target pembiayaan melalui utang tahun 2016. Strategi ini ^juga sebagai pedoman dalam pembiayaan kembali utang jatuh tempo dan pedoman untuk pengelolaan portofolio utang agar tercapai portofolio utang yang optimal dengan biaya yang efisien dan risiko yang terkendali. Untuk memenuhi aspek transparansi pengelolaan utang, strategi ini dapat diakses oteh publik melalui uebsite Kementerian Keuangan. Publikasi ini ^juga untuk memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dengan publikasi ini diharapkan pengelolaan utang ^pemerintah dapat memenuhi aspek-aspek tata pemerintahan yang baik ^(good ^gouemancel, transparansi dan akuntabilitas yang tinggi dengan didukung oleh ^peran aktif masyarakat. Jakarta, 1g Desember 2015 DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, 1a ROBERT PAKPAHAN DAFTAR ISI Daftar Isi ............ Daftar Gambar Daftar Tabel Latar Belakang Tujuan Strategi.... Kebijakau Umum Pembiayaan Tahunan Kebutuhan Pembiayaan APBN 2016 ....... Strategi Pembiayaan Utang Tunai 1. Pembiayaan Rupiah 2. Pembiayaan Valas 3. Pengelolaan Portofolio 4. Fleksibilitas dan Potensi Tambahan Pembiayaan Utang Strategi Pembiayaan Kegiatan/ Proyek.... 1. Pinjaman Luar Negeri ............... 2. Pinjaman Dalam Negeri 3. Pembiayaan Proyek melalui SBSN Indikator Risiko Pembiayaan Utang 1, Risiko Tingkat Bunga (Interest Rate Risk) 2. Risiko Pembiayaan Kembali (Refinancing Risk) ........ 3. Risiko Nilai T-rkar (Exchange Rate Risk) Ekspektasi Portofolio Utang di Akhir Tahun 2016 ........ Penutup Lampiran: Lampiran 1 : Rencana Penarikan Pinjaman Luar Negeri . .............. Lampiran 2 : Rencana Penarikan Pinjaman Dalam Negeri Lampiran 3 : 9 10 10 Gambar 1 Gambar 2 DAFTAR GAMBAR Pembiayaan Utang Tahun 2016 Ekspektasi Indikator Risiko Portofolio Utang Akhir Tahun 2016 ........ DAFTAR TABEL 8 Tabel Tabel Tabel 1 2 J Rincian Pembiayaan melalui Utang Tahun 2016 Range Penerbitan SBN Domestik Melalui Lelang Target Indikator Pembiayaan Utang Tahun 2O16 3 4 7 STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2016 LATAR BELAI{ANG Salah satu arah kebijakan dalam Anggaran Pendapatan dan ^Belanja ^Negara (APBN) tahun 2016 adalah memberikan stimulus pada perekonomian untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Untuk mendukung ^pencapaian ^target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3o , Pemerintah menempuh kebijakan ^fiskal ekspansif dengan besaran defisit yang direncanakan sebesar Rp273.178,9 ^miliar atau 2,15% dari PDB sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang ^Nomor ^14 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ^Tahun ^Anggaran 2016 (UU No. 14l2015). Pemenuhan pembiayaan APBN tahun 2O16 dihadapkan ^pada tantangan ^atas kondisi pasar keuangan dan perekonomian baik global maupun domestik. ^Kondisi pasar keuangan global diperkirakan masih diliputi ketidakpastian, terutama terkait dengan potensi peningkatan Fed Fund Rate seiring ^tanda-tanda kebangkitan ekonomi Amerika Serikat. Isu relevan lainnya ^yang menjadi ^perhatian dalam pengelolaan utang adalah perlambatan perekonomian Tiongkok, ^lambatnya pemulihan perekonomian di Eropa pasca krisis utang, serta harga-harga komoditas yang diperkirakan masih akan tertekan. Tidak berbeda dengan kondisi global, perekonomian domestik ^juga ^sedang mengalami tekanan. Pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan dari ^rata-rata sebesar 6% untuk tahun 2010-2013 menjadi 5% di tahun 2014. Namun, ^realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal III tahun 2O15 sebesar 4,73oh diyakini sebagai titik balik menuju prospek perekonomian yang lebih baik. Kondisi ^pasar keuangan juga kurang menguntungkan, dimana terjadi pelemahan nilai tukar rupiah dan peningkatan tingkat imbal hasil SBN yang berdampak langsung pada ^pengelolaan utang negara serta pembiayaan melalui utang. Pelemahan nilai tukar ^rupiah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah defisit neraca ^pembayaran yang dipicu oleh tingginya kebutuhan valas untuk transaksi dan pembiayaan utang dan pelemahan harga komoditas yang mengakibatkan ^penurunan ^ekspor. Dengan memperhatikan hat-hal tersebut di atas, maka pengelolaan utang tahun 2O16 memerlukan adanya arahan kebijakan agar target pembiayaan utang ^dapat dipenuhi dengan biaya yang efisien dan risiko yang terkendali. Arahan kebijakan tersebut akan dituangkan dalam Strategi Pembiayaan Tahunan melalui Utang Tahun 2016, yang memuat kebutuhan pembiayaan utang, komposisi ^pemenuhan pembiayaan utang, arah kebijakan pengelolaan utang setiap instrumen, dan beberapa kebijakan khusus yang diperlukan untuk mengelola utang ^yang akuntabel dan transparan. TUJUAN STRATDGI Trrjuan Strategi Pembiayaan Tahunan melalui Utang Tahun 2016 adalah untuk:
Memenuhi kebutuhan pembiayaan melalui utang tahun 2016 dan membiayai kembali utang jatuh tempo dengan biaya yang efisien dan risiko ^yang terkendali;
Mendukung pengembangan pasar SBN domestik untuk meningkatkan elisiensi pengelolaan utang dalam jangka panjang;
Meningkatkan akuntabilitas publik sebagai bagian dari ^pengelolaan utang Pemerintah yang transparan dalam rangka mewr-rjudkan tata kelola pemerintahan yang baik. t KEBIJAKAIiI UMUM PEMBIAYAAI{ TNIUNAN Kebijakan umum yang digunakan dalam ^pen1rusunan ^strategi ^pembiayaan tahunan sebagai berikut:
Mengendalikan rasio utang terhadap PDB ^pada level ^yang aman ^dengan mempertimbangkan kemampuan membayar kembali;
Mengoptimalkan penerbitan SBN di pasar domestik ^untuk ^memenuhi pembiayaan APBN, sedangkan penerbitan SBN valas dilakukan ^sebagai komplementer;
Mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam rangka ^pemenuhan ^kebutuhan pembiayaan dan melakukan pendalaman pasar SBN domestik;
Melakukan pengelolaan portofolio utang secara aktif antara ^lain ^melalui bugback dan debt suitch untuk meningkatkan likuiditas ^dan stabilitas ^pasar serta implementasi Asse/ Liabilitig Managemenl ^(ALM) ^dalam upaya untuk menjaga keseimbangan makro;
Mengarahkan pemanfaatan utang untuk kegiatan ^produktif ^antara ^lain ^melalui pengadaan pinjaman kegiatan dan penerbitan sukuk yang berbasis ^proyek dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan pendanaan ^pembangunan dalam jangka menengah;
Mengoptimalkan penggunaan pinjaman luar negeri dan ^pinjaman ^dalam ^negeri untuk mendukung pembiayaan belanja modal APBN dan ^pemanfaatan fasilitas pinjaman sebagai alternatif instrumen pembiayaan;
Memperkuat fungsi Inuestor Relation [Jnit, antara lain melalui ^diseminasi informasi secara proaktif, respon yang cepat dan efektif, dan ^komunikasi ^yang efektif dengan investor dan stqkeholder lainnya. KEBUTUHAI{ PEMBIAYAAN MELALUI UTANG TAIIUN 2OL6 Dalam rangka memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN tahun 2016 ^sesual dengan UU No. 14 12015, kebutuhan penerbitan/pengadaan ^utang ^(utang ^bruto) tahun 2016 direncanakan sebesar Rp6O5.218,6 miliar atau ^4,76oh ^dari ^PDB, dengan utang neto sebesar Rp33O.884,8 miliar atau 2,6Ooh dari ^PDB, sebagaimana pada Gambar 1. Gambar 1 Pembiayaan Utang Tahun 2O16 latuh Tempo Utang Rp274.333,8 miliar Utang Gross Rp505.218,5 miliar / Pembiayaan Non UtanS Rp57.705,9 miliar Pembiayaan oefisit Rp273.178,9 miliar (dalam mitiar rupiah) Utang Neto 330.884,8 SBN Neto 1 327.774,4 Penerbitan Jatuh Tempo ^+ Cash Management Pengelolaan Portofotio Utang 532.376,4 1202.102,0 (3.000,0 PLN Neto 398,2 Penarikan Jatuh Tempo 69.182,2 (68.784,0 PDN Neto 3.262,2 Penarikan Jatuh Ternpo 3.710,0 (447,81 z7 Kebutuhan penerbitan/pengadaan utang sebesar ^Rp605.218,6 ^miliar ^akan dipenuhi melalui (a) penerbitan/penarikan utang tunai ^sebesar ^Rp555.484,2 ^rniliar yang terdiri dari penerbitan SBN dan pengadaan/penarikan ^pinjaman ^tunai, ^dan (b) pembiayaan kegiatan/proyek sebesar Rp49.734,4 miliar ^yang ^terdiri ^dari penarikan pinjaman proyek (baik pinjaman dalam negeri maupun ^pinjaman luar negeri) dan penerbitan SBSN untuk Pembiayaan Proyek. Tabel 1 Rincian Pembiayaan Melalui Utang Tahun 2016 Penerbitan SBN belum Rp13.677 ,2 miliar dan management. termasuk target penerbitan SBSN untuk ^Pembiayaan ^Proyek ^sebesar akan disesuaikan dengan ^pengelolaan portofolio utang dan ^SPN cash STRATEGI PEMBIAYAAN UTANG TTINAI 1. Pembiayaan Rupiah Utang tunai dalam mata uang rupiah bersumber dari penerbitan SBN ^Rupiah di dalam negeri (SBN domestik), yang dilakukan melalui lelang ^(auctionl, bookbuilding maupun priuate placement. Selain untuk memenuhi pembiayaan APBN, ^penerbitan SBN domestik ^juga diarahkan untuk memenuhi kebutuhan instrumen ^dalam rangka pengembangan pasar SBN, mendorong terciptanya inuestment-oiented societA, mendukung pengelolaan likuiditas rupiah melalui ^penggunaan ^instrumen SBN sebagai alat Operasi Pasar Terbuka oleh Bank Indonesia, dan ^mengendalikan risiko nilai tukar portofolio utang Pemerintah. Dalam tahun 2016, ^lelang penerbitan SBN domestik dilakukan dengan batasan ^jenis instrumen dan tenor, dengan rincian sebagaimana pada Tabel 2. Selain melalui lelang, salah satu instrumen yang memiliki ^potensi besar ^adalah SBN ritel, mengingat ^jumlah penduduk Indonesia yang besar dan saat ^ini instrumen investasi di masyarakat masih terbatas. Pada tahun 2016, ^penerbitan SBN ritel ditargetkan sebesar Rp55.000,0 miliar, yang dilakukan melalui ^Sukuk Ritel, Sauing Bond Ritel, Sukuk Tabungan, dan Obligasi Negara Ritel. Pada tahun 2016, Pemerintah berencana melakukan konversi ^penyaluran dana transfer ke daerah dalam bentuk SBN non-fradable bagi daerah ^yang ^memiliki uang kas dan/atau simpanan di bank dalam ^jumlah yang cukup besar. ^Realisasi terhadap rencana ini dapat berdampak pada besaran SBN bruto ^yang ^akan diterbitkan sehingga diperlukan koordinasi antar unit terkait. (dalam miliar rupiah) P emblayaan Utang Ttrnai Penerbitan SBN SBN Domestik Lelang Non Lelang SBN Va-las Pinjaman Program Pembiayaan Kegiatan/ Proyek PinJaman Luar Negeri Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pinjaman Dalam Negeri Penerbitan SBSN untuk P 555.484,2 5t8.649,2 388.684,2 75% 333.684,2 55.000,0 129 .965,0 25o/o 36.835,O 49.734.4 38.2s68 15.909,71 3.710,O ,t Tabel2 Range Penerbitan SBN Domestik Melalui Lelang 2. Pembiayaan Valas a. Penerbitan SBN Valas Penerbitan SBN valas dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
Memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN, refiruancing utang, dan sebagai komplementer terhadap penerbitan SBN Rupiah;
Sebagai upaya diversifikasi instrumen pembiayaan dalam rangka ^mengelola tingkat biaya dan risiko pembiayaan;
Memberikan ruang yang lebih lebar kepada institusi non-pemerintah ^untuk memperoleh pembiayaan dari pasar keuangan domestik. Penerbitan SBN valas dapat dilakukan di pasar keuangan domestik maupun ^pasar keuangan global dalam mata uang yang sesuai dengan kebutuhan ^pembiayaan APBN dan kas negara. Pada tahun 2016 penerbitan SBN valas direncanakan dalam mata uang kwat (hard atrrencg) yaitu USD, EUR, dan JPY, sesuai dengan kebutuhan belanja dan pengeluaran pembiayaan APBN. Pemerintah ^juga sedang mengkaji kemungkinan penerbitan SBN dalam mata uang lainnya seperti Renminbi, Singapore Dollar, dan Ringgit Malaysia dengan tetap mempertimbangkan pengelolaan risiko dan pengelolaan cadangan devisa. Target penerbitan SBN valas direncanakan sebesar ekuivalen USD9,35 miliar atau sebesar 24ok dari total penerbitan SBN bruto. Jumlah tersebut dapat dimaksimalkan hingga 3Oo/o dari target penerbitan SBN bruto dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan pembiayaan, kondisi pasar keuangan, dan/atau minat investor. b. Penarikan Pinjaman Program/Tunai Kebijakan pinjaman program/tunai pada tahun 2016 diarahkan untuk ^menopang pembiayaan APBN, mengingat kebutuhan pembiayaan APBN yang tinggi dan keterbatasan sumber pembiayaan melalui SBN. Selain itu, pinjaman ^program merupakan salah satu sumber pembiayaan yang memiliki biaya ^yang relatif lebih kompetitif. Target penarikan pinjaman program/tunai pada tahun 2016 adalah sebesar Rp36.835,0 miliar ekuivalen USD2.65O juta. Pemerintah akan mengoptimalkan pembiayaan dari deuelopment partners, termasuk mengupayakan pencarian sumber pembiayaan pinjaman program baru dan/atau melakukan up-size atas pinjaman program yang telah direncanakan. Di samping itu, Pemerintah ^juga membuka kemungkinan pemanfaatan pinjaman tunai komersial dengan mempertimbangkan biaya dan risiko utang. SPN 3 Bulan SPN 12 Bulan Benchmark (tenor 5, l-0, 15, 20 tahun) Non Benchmark (termasuk Piuate Pla cement) SPN-S PBS 2o/o - 60/o llo/o - l5o/o 560/o - 600/o 2ok - 60/o 3o/o - 7o/o 75o/o - 19o/o 12 kali 23 kaii 23 kaJi sesuai kebutuhan 23 kali 23 kali ort 3. Pengelolaan Portofolio Dalam rangka mendukung pencapaian portofolio utang yang optimal ^dan pengembangan pasar SBN domestik, Pemerintah dapat menggunakan mekanisme debt stuitching dan buyback. Program debt switching dilakukan untuk mengurangi refinancing ^nsk, meningkatkan likuiditas pasar SBN, serta mengembangkan ^pasar SBN. ^Dalam rangka mengurangi refrnancing isk, debt stuitching dilakukan dengan ^menukar seri-seri SBN yang akan jatuh tempo dalam 5 tahun dengan seri-seri ^SBN benchmark atau seri lain yang direncanakan akan menjadi benchmark ^Untuk meningkatkan likuiditas pasar, bugback dilakukan dengan menarik off ^the ^run seies dan menggantikannya dengan on the run seies. Cara ini ^juga ^dilakukan untuk mendukung pengembangan pasar SBN. Program buyback dilakukan dengan 3 (tiga) tujuan, yaitu: meningkatkan likuiditas pasar dengan membeli seri yang tidak likuid, stabilisasi pasar sebagai langkah untuk mengurangi volatilitas harga, dan portofolio manajemen dalam rangka mengurangi refinancing risk serta salah satu langkah memanfaatkan idle cash. 4. Fleksibilitas dan Potensi Tambahan Pembiayaan Utang Ketidakpastian dalam perekonomian global di tahun 2016 diperkirakan masih terus berlanjut. Hal ini ditandai oleh belum optimisnya prospek ^pemulihan perekonomian globai, potensi gejolak di pasar keuangan sebagai dampak dari antisipasi pasar terhadap rencana kenaikan suku bunga di Amerika Serikat dan melambatnya ekonomi Tiongkok, serta berlanjutnya penurunan harga komoditas. Dinamika global lainnya yang perlu diantisipasi termasuk divergensi kebijakan moneter dalam upaya untuk mendongkrak kinerja perekonomian dan mendorong daya saing melalui mata uang. Guna merespons dinamika perekonomian dimaksud, UU Nomor 14 Tahun 2015 memberikan keleluasaan bagi Pemerintah untuk menentukan komposisi serta timing penerbitan/pengadaan utang. Terkait komposisi, dalam rangka menjamin pemenuhan target pembiayaan APBN, Pemerintah dapat melakukan switching dari satu ^jenis pembiayaan tunai ke pembiayaan tunai lainnya dengan memperhatikan biaya/risiko dan ketersediaan instrumen. Sementara itu, terkait timing pengadaan utang, Pemerintah dapat merealisasikan sebagian kebutuhan pembiayaan tahun 2016 di akhir tahun 2O15 @refundirug). Prefunding diharapkan dapat menjamin ketersedian anggaran di awal tahun, khususnya untuk mengantisipasi lonjakan kebutuhan awal tahun dalam rangka percepatan realisasi belanja infrastruktur. Besaran prefunding optimal untuk kebutuhan awal tahun ditentukan melalui koordinasi dengan unit-unit terkait, utamanya unit pengelola kas. Koordinasi ^juga dilakukan untuk mencari sumber- sumber alternatif pendanaan awal tahun di luar utang. Sebagai bagian dari front- loading strategg, prefunding akan dilakukan melalui penerbitan SBN pada kisaran 10% s.d. 15% dari target SBN bruto dengan tetap memperhatikan kondisi pasar, biaya dan risiko utang. Selain fleksibilitas tersebut, Pemerintah dapat menggunakan dana ^SAL, melakukan penarikan pinjaman, dan/atau penerbitan SBN sebagai tambahan pembiayaan dalam hal anggaran diperkirakan defisit melampaui target yang ditetapkan dalam APBN. Tambahan pembiayaan dimaksud tetap memperhitungkan adanya batasan maksimal defisit anggaran yang ditetapkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu sebesar 3o/o dari PDB. Untuk mengantisipasi potensi tambahan pembiayaan melalui utang, Pemerintah akan terus melakukan penjajakan atas potensi pembiayaan, baik ^yang bersumber dari dalam maupun luar negeri. Potensi dimaksud dapat digunakan sebagai alternatif pembiayaan dengan mempertimbangkan biaya dan risiko ^yang tfi lebih menguntungkan bagi Pemerintah dan/atau searah dengan upaya pengembangan pasar SBN dalam negeri. STRATEGI PTMBIAYAAN KEGIATAN/ PROYEK Pembiayaan kegiatan/proyek melalui utang pada tahun 2016 dilakukan dengan menggunakan 3 (tiga) instrumen, yaitu: (i) Pinjaman Luar Negeri (PLN) yang bersumber dari lembaga multilateral, bilateral, dan kredit ekspor/komersial, (ii) Pinjaman Dalam Negeri (PDN) yang bersumber dari perbankan dalam negeri, dan (iii) Pembiayaan Proyek melalui SBSN.
Pinjaman Luar Negeri Rencana penarikan pinjaman proyek luar negeri tahun 2016 adalah sebesar Rp38.256,9 miliar yang terdiri dari pinjaman proyek pemerintah pusat sebesar Rp29.942,9 miliar, penerusan pinjaman (on-lendingl ke pemerintah daerah dan BUMN sebesar Rp5.909,7 miliar, dan pinjaman yang diterushibahkan ke pemerintah daerah (oru-granting) sebesar Rp2.4O4,3 miliar. Dalam pelaksanaannya, realisasi penarikan pinjaman disesuaikan dengan progress pelaksanaan proyek dan nilai tukar rupiah. Untuk memberikan dampak pengganda (multiplier effectl yang optimal, koordinasi antar-unit terkait perlu ditingkatkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan sesuai rencana, salah satunya meningkatkan kualitas penganggaran serta optimalisasi fungsi monitoring dan evaluasi. Upaya ini juga dilakukan untuk meningkatkan kinerja realisasi pinjaman luar negeri dan untuk menghindari tambahan biaya utang.
Pinjaman Dalam Negeri Rencana penarikan PDN untuk tahun 2O16 ditetapkan sebesar Rp3.710,O miliar. Dalam lima tahun terakhir penarikan PDN belum dapat memenuhi target yang ditetapkan APBN/P. Untuk itu langkah-langkah proaktif dalam menangani slou disbursement dari PDN perlu ditingkatkan., di antaranya adalah K/L perlu memastikan terpenuhinya kriteria kesiapan (readiness criteial kegiatan serta koordinasi alltara Bappenas, Kemenkeu, dan K/L perlu ditingkatkan. Selain itu, perencanaan kegiatan harus dilakukan secara selektif dan hati-hati dengan didukung oleh perencanaan yang lebih komprehensif dan sudah terkoordinasi dengan para pihak yang terlibat.
Pembiayaan Proyek melalui SBSN Pembiayaan proyek melalui SBSN direncanakan sebesar Rp13.677,2 miliar untuk pembiayaan proyek di 3 (tiga) kementerian, yaitu Kementerian Perhubungan sebesar Rp4.983,0 miliar, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebesar Rp7.226,3 miliar, dan Kementerian Agama sebesar Rp1.467,9 miliar. Waktu penerbitan SBSN tersebut akan disesuaikan dengan kebutuhan (realisasi pelaksanaan kegiatan dari proyek yang dibiayai) dan kondisi pasar keuangan khususnya pasar SBN dalam negeri. INDII(ATOR RISIKO PEMBIAYAAI{ UTANG Secara umum, indikator risiko dalam pemenuhan pembiayaan APBN melalui utang adalah sebagai berikut:
Risiko Tingkat Bunga llnterest Rorte Rislcf Untuk mengendalikan risiko tingkat bunga, penerbitan SBN dan pengadaan pinjaman tahun 2016 dilakukan dengan mengutamakan tingkat bunga tetap (fixed U^l ratel. Namun demikian, utang dengan tingkat bunga mengambang ^masih diperlukan sebagai penyeimbang portofolio. Dengan ^pertimbangan ^tersebut penerbitan SBN dengan tingkat bunga mengambang dan penarikan pinjaman dengan tingkat bunga mengambang masih dimungkinkan bergantung ^pada kebutuhan portofolio dan/atau hasil negosiasi antara pemerintah dengan ^pemberi pinjaman. Porsi utang dengan tingkat bunga mengambang terhadap total outstanding utang diupayakan berada pada tingkat yang aman yaitu di bawah ^2Oo/o dari total outstandirug utang. Indikator risiko tingkat bunga yang lain yaitu refixing rate yang merupakan waktu portofolio utang disesuaikan tingkat bunganya. Indikator ini dikendalikan dengan membatasi utang yang jatuh tempo dalam 1 tahun dan mengendalikan utang dengan tingkat bunga mengambang. Untuk itu, tahun 2016 SBN ^jatuh tempo dalam 1 tahun dibatasi maksimal sebesar 2loh dari penerbitan SBN bruto. 2. Risiko Pembiayaan Kembali lRefinancing Rislcl Risiko pembiayaan kembali dilihat dari indikator Auerage Time to Maturity ^(ATM) dan utang yang jatuh tempo dalam 1 tahun. Pembiayaan utang tahun 2016 ditargetkan memiliki ATM di kisaran 11 tahun dengan range ^+1 tahun dimana ATM untuk penerbitan SBN ditargetkan sekitar 10,4 tahun dengan rincian ATM penerbitan SBN domestik 9,8 tahun dan SBN valas 15,1 tahun. Porsi pembiayaan utang yang akan ^jatuh tempo dalam 1 tahun sebesar ^19%o, dimana untuk penerbitan SBN diperkirakan sebesar 2lo/o dai penerbitan SBN bruto. Sedangkan untuk penarikan pinjaman baru tahun 2015 diperkirakan tidak akan memengaruhi utang yang jatuh tempo dalam 1 tahun mengingat rata-rata utang dalam pinjaman memiliki grace period lebih dari 1 tahun. 3. Risiko Nilai Tukar lExchange Rate Risk) Untuk mengendalikan risiko nilai tukar, porsi penerbitan/penarikan utang valas terhadap total pembiayaan utang tahun 2016 dibatasi maksimrm 4Oo/o. Dari sisi pinjaman, penarikan pinjaman luar negeri lebih dominan dibandingkan dengan pinjaman dalam negeri, sedangkan dari sisi penerbitan SBN pemerintah tetap mengutamakan penerbitan SBN domestik dan membatasi penerbitan SBN valas maksimum 3O%o dari total penerbitan SBN. Tabel S Target Indikator Pembiayaan Utang Tahun 2O16 t2% - t4% Oo/o - 2o/o I Maks 100% 1o,o-12,0 I 9,0-11,0 | 11,0-13,0 Maks. 19% I Maks.21% I - Maks.40% I Maks.30% I Maks.98% thd Utang thd SBN gross I thd Pinjaman Interest Rate Risk VR proporlion Refinancing Risk ATM (tatwn) Mattre in 1 gear Exchange Rate Risk FX proporlion ,7 TKSPEKTASI PORTOFOLIO UTANG DI AKTIIR TATIUN 2016 Berdasarkan rencana pembiayaan APBN melalui utang tahun 2016, portofolio utang pada akhir tahun 2016 diperkirakan menjadi sebesar Rp3.4 13.629,1 miliar yang terdiri dari outstanding SBN sebesar Rp2.666.421,6 miliar dan outstanding pinjaman sebesar Rp747.2O7,5 miliar. Indikator risiko portofolio utang akhir tahun 2016 diproyeksikan sebagaimana pada Gambar 2. Gambar 2 Ekspektasi Indikator Risiko Portofolio Utang Akhir Tahun 2O16 Rasio Utang Jatuh Tempo Dalam 3 Tahun terhadap Total Utang (%) Rasio Utang Tingkat Bunga etap terhadap Total Utang (%) Rasio Utang Valas terhadap Total Utang (%) o% ' Proyeksi Akhir Tahun 2016 r SPUN 2014-201 7 200/o 400k 600/0 80% 1000/0 . Proyeksi Akhir Tahun 2015 Catatan:
Proyeksi akhir tahun 2016 berdasarkan pembiayaan APBN 2016 dan asumsi kurs Rp13.900/USD 1. 2) Proyeksi akhir tahun 2015 berdasa-rkan realisasi pembiayaan APBN 20 15 per akhir November 2015. PENUTUP Strategi ini disusun berdasarkan data pengelolaan utang, pembiayaan utang tahun anggaran 2015, dan kondisi pasar keuangan pada bulan November 2015. Untuk itu, Pemerintah akan memantau secara seksama pelaksanaan strategi ini dalam tahun anggaran berjalan. DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, Average Time to Maturity (thn) Proyeksi Akhir Tahun 2016 Proyeksi Akhir Tahun 2015 SPUN 2014-201 7 ROBERT PAKPAHAN 8.d Lampiran 1: Rencana Penarikan Pinjaman Luar Negeri a. Indikasi Pinjaman Program/Ttrnai 530 130 400 400 400 200 200 1.520 *) Masih dilakukan pembahasan dengan beberapa deuelopment portners. Sebagian rencana penarikan pinjaman program/tunai dapat ^dipenuhi dari pinjaman program tahun 2015 yang di-cang ouer ke tahun 2016 dan/atau memanfaatkan pinjaman tunai komersial (less commercial tenn).
Pinjaman Kegiatan/ Proyek dalam miliar Ru 5.909,66 4.091,88 1.618,10 144,73 t4,95 2.4O4,33 2.404,33 World Bank Loca-I Gove rnme n t al d De cen tralization Proj e ct-II Revenue Collection Program Stepping Up Investment for Growth Acceleration Program KIUI Stepping Up Investment for Growth Acceleration Program B. 1 2 3 4 Rencana Penarlkan Piajaman yq'"g Diteruapinlmkan lOn'lendttrg I PT PLN PT Pe rtamina Ke me nte rian Keuan gan c. q. Ditj e n Pe rbendaharaan PI PII Rencana Penarikaa Pinjamaa yaag Diterushlbahkan ^(Oa4ra ^n{: lng I c. 1 x Kementerian Keuansan c.q. DJPK Lampiran 2: Rencana Penarikan Pinjaman Dalam Negeri (dalam miliar Rupiah) rnarikan (gross) 3.710 1 Kementerian Pertahanan 3.000 2 Kepolisian RI 7lO Pembayaran Cicilan Pokok (448) 3.262 Lampiran 3: Rencana Pembiayaan Proyek melalui Penerbitan ^SBSN dalam miliar Ru Kementerian Agama 1.467,9O Revitalisasi Asrama Hajr Peningkatan Sarana Prasarana Perguruan Tinggi Agama Negeri Pembangunan Gedung Balai Nikah dan Manasik Haji 885,00 400,00 182,90 Kementerian Perhubungan 4.983,OO Pembalgunan Fasilitas Perke retaapian untuk Manggarai s/ d Jatine ^gara Modernisasi Fasilitas Perkeretaapian untuk Jatinegara s/d Bekasi Pe mban gu nan ^j alur ganda an tara M artapu ra-Baturaj a Pembangunan Jalan KA Layang di Perkotaan Medan Pembangunan Jalur Ganda KA antara Purwokerto-Kroya Pembangunan Jalur Ganda Lintas S olo-Surabaya anta-ra Madiun-Jombang t.220,oo 530,00 523,t4 1.430,00 689,09 590,77 Kementerian PUPR 7.226,30 Pemban gunan / Revitalasr Pemban gu nan / Revi talasi Pemban gunan / Revitalasi Pemban gunan / Revitalasi Pemban gunan / Revitalasi Pemban gunan / Revitalasi Pemban gunan / Re vitalasi Ja-lan dan Jalan dan Jalan dal Jalan darr Ja-lan dan Ja]an darr .Ialan dal Jembatan Jembatan Jembatan Jembatan Jembatan Jembatan Jembatan Wilayah Wilayah Wilayah Wilayah Wilayah Wilayah Wilayah Sumatera Jawa Kalimantan Nusa Tenggara Sulawesi Maluku Papua i.540,93 1.o50,77 1.040,39 584,47 953,93 840,57 7.2t5,25 Total Pembiayaaa SBSN Project t3.677,2O ,o ,y
Pengujian materiil atas ketentuan Pasal 7 ayat (6a) UU APBN-P 2012
Relevan terhadap 2 lainnya
tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut “UU Perbendaharaan Negara”). Sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara, Undang-Undang tentang APBN merupakan dasar bagi Pemerintah untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran negara. Selanjutnya sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, apabila terjadi perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN; perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja; serta keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan, maka penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dimaksud dibahas Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan. Adapun Rancangan Undang-Undang tentang perubahan APBN tersebut diajukan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat guna mendapatkan persetujuan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir. Dalam UU APBN 2012, asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan sebagai basis perhitungan postur APBN adalah sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi 6,7 persen, inflasi 5,3 persen, rata-rata nilai tukar rupiah Rp 8.800 per dolar Amerika Serikat, rata-rata suku bunga SPN 3 bulan 6,0 persen, rata-rata harga minyak mentah Indonesia ( Indonesian Crude Oil Price/ICP ) USD90 per barel, dan rata-rata lifting minyak 950 ribu barel per hari. Namun dikarenakan perkembangan kondisi perekonomian yang ada, baik perekonomian global maupun domestik, maka asumsi dasar ekonomi makro tahun 2012 sebagai dasar penyusunan UU APBN-P 2012 mengalami penyesuaian, yaitu sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi 6,5 persen, inflasi 6,8 persen, rata-rata nilai tukar rupiah Rp9.000 per dolar Amerika Serikat, rata-rata suku bunga SPN 3 bulan 5,0 persen, rata-rata harga minyak mentah Indonesia ( Indonesian Crude Oil Price/ICP ) USD105,0 per barel, dan rata-rata lifting minyak 930 ribu barel
sebagai perwujudan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A UUD 1945. 2. Bahwa dalam konsiderans menimbang dan Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara telah disebutkan dasar-dasar sosiologis dan ekonomis perubahan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 termasuk didalamnya ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (6a) dan Pasal 15A, adapun dasar pertimbangan tersebut antara lain sebagai berikut: a. bahwa sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, telah terjadi perubahan dan perkembangan pada faktor internal dan eksternal, sehingga asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan dalam APBN 2012 sudah tidak relevan dan perlu disesuaikan. b. bahwa tingkat inflasi dalam tahun 2012 diperkirakan akan mencapai 6,8% (enam koma delapan persen), lebih tinggi bila dibandingkan dengan laju inflasi yang ditetapkan dalam APBN Tahun 2012. Peningkatan laju inflasi ini selain dipengaruhi oleh meningkatnya harga beberapa komoditas internasional, juga dipengaruhi oleh rencana kebijakan administered price di bidang energi dan pangan. c. bahwa nilai tukar rupiah dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai Rp 9.000,00 (sembilan ribu rupiah) per satu dolar Amerika Serikat, melemah dari asumsinya dalam APBN Tahun Anggaran 2012. Pelemahan ini didorong antara lain oleh ketidakpastian ekonomi global yang diprediksi berlanjut pada tahun 2012. d. bahwa harga minyak internasional pada awal tahun 2012 mengalami peningkatan seiring dengan terbatasnya pasokan minyak mentah dunia terkait ketegangan geopolitik di negara- negara teluk yang mempengaruhi pasokan minyak mentah dunia. e. Bahwa kenaikan ini pun terjadi pada ICP, yang cenderung meningkat, jika dibandingkan dengan harga rata-ratanya selama tahun 2011. Perkembangan ini diperkirakan akan berlanjut
per hari. Selain itu, untuk menampung seluruh perubahan dalam pendapatan negara dan hibah, belanja negara, serta defisit dan pembiayaan anggaran, maka perubahan terhadap APBN 2012 tersebut dilakukan secara menyeluruh, sehingga selain menampung perubahan indikator ekonomi makro tahun 2012, perubahan APBN 2012 juga dimaksudkan untuk mengakomodir perubahan-perubahan kebijakan dalam rangka mengamankan pelaksanaan APBN 2012. Adapun perubahan kebijakan fiskal dan langkah-langkah antisipatif yang ditetapkan dalam perubahan APBN 2012 adalah penambahan dana infrastruktur dan kebutuhan mendesak yang dibiayai dari pemanfaatan saldo anggaran lebih (SAL), kebijakan pengendalian subsidi BBM yang disertai dengan program kompensasi, pemotongan belanja kementerian negara/lembaga nonmodal, serta perluasan defisit anggaran dengan tambahan yang di antaranya dibiayai dari penerbitan surat berharga negara dan penambahan pemanfaatan SAL. Selain itu, langkah-langkah kebijakan tersebut juga disertai dengan optimalisasi pendapatan negara, terutama melalui peningkatan penerimaan negara bukan pajak. Sebagai akibat dari perkembangan berbagai asumsi dasar ekonomi makro yang berubah dari perkiraan semula, serta dengan adanya perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal yang dampaknya cukup signifikan terhadap APBN 2012, maka perubahan APBN 2012 dilakukan secara menyeluruh guna menampung seluruh perubahan dalam pendapatan, belanja, serta defisit dan pembiayaan anggaran, sehingga telah terjadi pula perubahan postur APBN 2012 yang meliputi pendapatan dan hibah, belanja, defisit anggaran, dan pembiayaan. Oleh karena itu, APBN-P 2012 merupakan paket kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi yang bertujuan untuk menjaga sustainabilitas fiskal ( fiscal sustainability ), memperbaiki efisiensi ekonomi, meningkatkan investasi untuk menstimulasi ekonomi, menjaga daya beli masyarakat, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan Transfer Ke Daerah dan Dana Desa.
Relevan terhadap
Kepala Badan Pusat Statistik menyampaikan data dasar penghitungan DID yang bersumber dari Badan Pusat Statistik kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Juli. (2) Sekretaris Jenderal Badan Pemeriksa Keuangan menyampaikan data opini Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Juli. Menteri/pimpinan lembaga terkai { menyampaikan data dasar penghitungan DID y j g bersumber dari kementerian/ lembaga terkait kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Juli.
Penghitungan alokasi DID sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan penilaian terhadap perbaikan indikator kinerja tertentu di bidang tata kelola keuangan daerah, pelayanan dasar publik, dan kesejahteraan masyarakat. (3) Indikator kinerja tata kelola keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada 4 yat (2) merupakan indikator yang dapat digunaka l 1 se bagai penilaian terhadap perbaikan kinerja di I bidang pengelolaan keuangan daerah, yang dapat )Jerupa besarnya belanja infrastruktur di APBD, kinerja penyerapan anggaran, kinerj a kemandirian fiskal, opini Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan pemerintah daerah, serta penggunaan e-government.
Indikator kinerja pelayanan dasar publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan indikator yang dapat digunakan sebagai penilaian terhadap perbaikan kinerja pelayanan dasar publik:
bidang pendidikan berupa rata: -- rata lama sekolah;
bidang kesehatan berupa : R f l ersentase bayi usia dibawah 2 (dua) tahun d . ngan tinggi badan pendek/ sangat pendek; ! c . bidang infrastruktur berupa persentase rumah tangga menurut akses sumber air minum layak, - 69 - sanitasi layak, dan persentase jalan Daerah baik dan sedang; dan
kemudahan investasi ber.upa kinerja pelayanan terpadu satu pintu.
Indikator kine1ja kesej ah teraan masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (2) merupakan indikator yang dapat perbaikan masyarakat, kemiskinan. digunakan sebagai ! penilaian terhadap kinerja peningk ĝ tan kesej ah teraan yang dapat berupa I kinerja pengentasan ! (6) Indikator kinerja tata kelola keuangan daerah, pelayanan dasar publik dan kesejahteraan masyarakat yang digunakan dalam perhitungan alokasi DID sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) , ayat (4), dan ayat (5) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Inclikasi Kebutuhan Dana TKDD se bagaimana climaksucl clalam Pasal 4 ayat (1), tercliri atas:
Indikasi Kebutuhan Dana Tran b fer ke Daerah; clan b. Inclikasi Kebutuhan Dana Des J . Inclikasi Kebutuhan Dana Trans J er ke Daerah untuk Dana Transfer Umum berupa DBH sebagaimana climaksucl clalam Pasal 2 ayat (4) huruf a, clisusun clengan memperhatikan:
perkembangan DBH clalam 3 (tiga) tahun terakhir; clan b. perkiraan penenmaan pajak clan PNBP yang clibagihasilkan.
Inclikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah untuk Dana Transfer Umum berupa DAU sebagaimana climaksucl clalam Pasal 2 ayat (đ) huruf b, clisusun clengan memperhatikan: 1 a. perkiraan celah fiskal per claer 1h secara nasional;
perkembangan DAU dalam 3 (tiga) tahun terakhir; clan c. perkiraan penerimaan clalam negeri neto.
Inclikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah untuk Dana Transfer Khusus berupa DAK Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf a, clisusun clengan memperhatikan:
arah clan prioritas biclang/ subbiclang DAK Fisik untuk menclukung pencapaian prioritas nasional clalam kerangka pembangunanjangka menengah;
kebutuhan tahunan pendana l n prioritas nasional yang akan didanai melalui DA J Fisik;
kebutuhan pendanaan b tuk percepatan penyecliaan infrastruktur clan sarana clan prasarana clasar, serta percepatan pembangunan Daerah perbatasan, Daerah tertinggal, kepulauan; clan Daerah cl. kebutuhan pemenuhan anggaran penclidikan sebesar 20% (clua puluh persen) dan kesehatan sebesar 5% (lima persen) sesuai clengan ketentuan peraturan perunclang-unclangan; clan e. perkembangan DAK dan/atau DAK Fisik dalam· 3 (tiga) tahun terakhir. 1 (5) Indikasi Kebutuhan Dana Trans t r ke Daerah untuk Dana Transfer Khusus ber pa DAK Nonfisik sebagaimana climaksucl clalam Pa ^ϼ al 2 ayat (6) huruf b, clisusun clengan memperhatikan:
pengalihan clana clekonsentrasi menjacli DAK Nonfisik;
perkembangan clan.a transfer lainnya clan/ atau DAK Nonfisik clalam 3 (tiga) tahun terakhir; clan c. perkiraan kebutuhan belanja operasional clan/ atau biaya per unit (unit cost) untuk masing-masing jenis DAK Nonfisik. (6) Inclikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah untuk DID sebagaimana climaksucl clal ^Ͻ m Pasal 2 ayat (2) huruf b, disusun dengan memperh l atikan: I I - 18 - a. capaian kinerja Daerah di bidang tata kelola keuangan daerah, pelayanan· dasar publik, dan kesej ah teraan masyarakat;
perkembangan DID dalam 3 (tiga) tahun terakhir; clan c. arah kebijakan DID.
Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah untuk Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan DIY sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c, disusun dengan memperhatikan:
besaran Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan DIY yang diteta J kan dalam peraturan perundang-undangan; dan
kinerja pelaksanaan Dana q tonomi Khusus dan Dana Keistimewaan DIY.
Indikasi Kebutuhan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, disusun dengan memperhatikan:
persentase Dana Desa yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
kinerja pelaksanaan Dana Desa.
Pengujian UU Nomor 17/2003
Relevan terhadap 5 lainnya
otoritas, yang peranan atau tindakannya dituangkan dalam APBN an sich . Namun demikian, dalam perkembangannya para penyusun UU Keuangan Negara telah memperhatikan pemikiran yang lebih modern yang lahir pada era 1900-an yang melakukan pendekatan dari aspek sosio-ekonomis yang melihat negara dalam perannya yang cukup signifikan di bidang perekonomian, telah menempatkan negara tidak lagi hanya sebagai otoritas melainkan juga sebagai individu. Dalam pandangan para ahli keuangan negara klasik, para penyusun UU Keuangan Negara meletakkan negara sebagai penyedia layanan dasar kepada masyarakat dalam bentuk pertahanan, kesehatan, keadilan, pendidikan, dan pekerjaan umum lainnya. Oleh karena itu, negara dipersepsikan sebagai pemegang kekuasaan ( otoritas-authority ) yang mendapat mandat dari rakyat untuk menyediakan dan membela kepentingan masyarakat ( public interest ). Dengan demikian, subbidang fiskal dan subbidang moneter merupakan kelompok keuangan negara dalam hal negara sebagai pemilik otoritas dalam pembentukan kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat. Adapun subbidang kekayaan negara yang dipisahkan merupakan lingkup keuangan negara dalam hal negara sebagai individu/private yang dalam setiap tindakannya ditujukan untuk penyediaan layanan publik. Dalam konteks pencapaian kemakmuran rakyat, tiga subbidang keuangan negara dalam pengelolaannya harus dibicarakan dengan legislatif sebagai representasi rakyat. Dikarenakan subbidang fiskal, moneter, dan kekayaan negara yang dipisahkan berkaitan dengan hak dan kewajiban negara maka keuangan negara tersebut harus dikelola dan dipertanggungjawabkan dengan tata cara pengelolaan keuangan negara dimana harus dibicarakan dan diawasi oleh representasi rakyat. Tata cara inilah yang kemudian menimbulkan setiap langkah pemerintah sebagai otoritas maupun sebagai private harus disetujui DPR dan operasionalisasi dari persetujuan tersebut inilah yang disebut authorization parlementer. C. Frasa “ kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” Pada Ketentuan Pasal 2 Huruf G UU Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Undang Keuangan Negara juga. Namun demikian, para penyusun Undang- Undang Keuangan Negara juga memperhatikan pemikiran yang lebih modern yang lahir pada era tahun 1900-an yang melakukan pendekatan dari aspek sosio- ekonomis yang melihat negara dalam perannya yang cukup signifikan di bidang perekonomian telah menempatkan negara tidak lagi hanya sebagai otoritas, melainkan juga sebagai individu; Dalam pandangan para ahli keuangan negara klasik, para penyusun Undang-Undang Keuangan Negara meletakkan negara sebagai penyedia pelayanan dasar kepada masyarakat dalam bentuk pertahanan, kesehatan, keadilan, pendidikan, dan pekerjaan umum lainnya. Oleh karena itu, negara dipersepsikan sebagai pemegang kekuasaan atau otoritas ( authority ) yang mendapat mandat dari rakyat untuk menyediakan dan membela kepentingan masyarakat atau kepentingan publik. Dengan demikian, sub bidang fiskal dan sub bidang moneter merupakan kelompok keuangan negara dalam hal negara bertindak sebagai otoritas dalam pembentukan kebijakan Pemerintah yang ditujukan untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat; Adapun sub bidang kekayaan negara yang dipisahkan merupakan lingkup keuangan negara dalam hal negara sebagai individu atau private yang dalam setiap tindakannya ditujukan untuk penyediaan layanan publik; Dalam konteks pencapaian kemakmuran rakyat, tiga sub bidang keuangan negara dalam pengelolaannya harus dibicarakan dengan legislatif sebagai representasi dari rakyat. Dikarenakan sub bidang fiskal-moneter dan kekayaan negara yang dipisahkan berkaitan dengan hak dan kewajiban negara, maka keuangan negara tersebut harus dikelola dan dipertanggungjawabkan dengan cara pengelolaan keuangan negara di mana harus dibicarakan dan diawasi oleh representasi rakyat; Tata cara inilah yang kemudian menimbulkan setiap langkah Pemerintah sebagai otoritas maupun sebagai private yang harus disetujui DPR dan operasionalisasi dari persetujuan tersebut inilah yang disebut auto rescission _parliamentary; _ Terdapat konsekuensi yang vital apabila frasa “ termasuk kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” dalam Pasal 2 huruf g dan frasa “ kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah ” dalam Pasal 2 huruf i Undang- Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 perlu dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subjek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses , Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan , Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Mengenai ruang lingkup keuangan negara, perlu dipahami historic and philosophical background . Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon masih memandang lingkup keuangan negara menurut para ahli keuangan negara klasik yang memandang peran negara hanya sebagai Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id