Usaha Perasuransian
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 11 Pebruari 1992 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Pebruari 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN UMUM Sasaran utama pembangunan jangka panjang sebagaimana tertera dalam Garis-garis Besar Haluan Negara adalah terciptanya landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatannya sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan ekonomi memerlukan dukungan investasi dalam jumlah yang memadai yang pelaksanaannya harus berdasarkan kemampuan sendiri dan oleh karena itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengerahkan dana investasi, khususnya yang bersumber dari tabungan masyarakat. Usaha perasuransian sebagai salah satu lembaga keuangan menjadi penting peranannya, karena dari kegiatan usaha ini diharapkan dapat semakin meningkat lagi pengerahan dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan. Dalam pada itu, pembangunan tidak luput dari berbagai risiko yang dapat mengganggu hasil pembangunan yang telah dicapai. Sehubungan dengan itu dibutuhkan hadirnya usaha Perasuransian yang tangguh, yang dapat menampung kerugian yang dapat timbul oleh adanya berbagai risiko. Kebutuhan akan jasa usaha perasuransian juga merupakan salah satu sarana finansial dalam tata kehidupan ekonomi rumah tangga, baik dalam menghadapi risiko finansial yang timbul sebagai akibat dari risiko yang paling mendasar, yaitu risiko alamiah datangnya kematian, maupun dalam menghadapi berbagai risiko atas harta benda yang dimiliki. Kebutuhan akan hadirnya usaha perasuransian juga dirasakan oleh dunia usaha mengingat di satu pihak terdapat berbagai risiko yang secara sadar dan rasional dirasakan dapat mengganggu kesinambungan kegiatan usahanya, di lain pihak dunia usaha sering kali tidak dapat menghindarkan diri dari suatu sistim yang memaksanya untuk menggunakan jasa usaha perasuransian. Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan berperan dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan lainnya. Sejauh ini kehadiran usaha perasuransian hanya didasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUH Dagang) yang mengatur asuransi sebagai suatu perjanjian. Sementara itu usaha asuransi merupakan usaha yang menjanjikan perlindungan kepada pihak tertanggung dan sekaligus usaha ini juga menyangkut dana masyarakat. Dengan kedua peranan usaha asuransi tersebut, dalam perkembangan pembangunan ekonomi yang semakin meningkat maka semakin terasa kebutuhan akan hadirnya industri perasuransian yang kuat dan dapat diandalkan. Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka usaha perasuransian merupakan bidang usaha yang memerlukan pembinaan dan pengawasan secara berkesinambungan dari Pemerintah, dalam rangka pengamanan kepentingan masyarakat. Untuk itu diperlukan perangkat peraturan dalam bentuk Undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang lebih kokoh, yang dapat merupakan landasan,baik bagi gerak usaha dari perusahaan-perusahaan di bidang ini maupun bagi Pemerintah dalam rangka melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Undang-undang ini pada dasarnya menganut azas spesialisasi usaha dalam jenis-jenis usaha di bidang perasuransian. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa usaha perasuransian merupakan usaha yang memerlukan keahlian serta ketrampilan teknis yang khusus dalam penyelenggaraannya. Undang-undang ini juga menegaskan adanya kebebasan pada tertanggung dalam memilih perusahaan asuransi. Dalam rangka perlindungan atas hak tertanggung, Undang-undang ini juga menetapkan ketentuan yang menjadi pedoman tentang penyelenggaraan usaha, dengan mengupayakan agar praktek usaha yang dapat menimbulkan konflik kepentingan sejauh mungkin dapat dihindarkan, serta mengupayakan agar jasa yang ditawarkan dapat terselenggara atas dasar pertimbangan obyektif yang tidak merugikan pemakai jasa. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Pengelompokan jenis usaha perasuransian dalam Pasal ini didasarkan pada pengertian bahwa perusahaan yang melakukan usaha asuransi adalah perusahaan yang menanggung risiko asuransi. Di samping itu, di bidang perasuransian terdapat pula perusahaan-perusahaan yang kegiatan usahanya tidak menanggung risiko asuransi, yang dalam Pasal ini kegiatannya dikelompokkan sebagai usaha penunjang usaha asuransi. Walaupun demikian sebagai sesama penyedia jasa di bidang perasuransian, perusahaan di bidang usaha asuransi dan perusahaan di bidang usaha penunjang usaha asuransi merupakan mitra usaha yang saling membutuhkan dan saling melengkapi, yang secara bersama-sama perlu memberikan kontribusi bagi kemajuan sektor perasuransian di Indonesia. Selain pengelompokan menurut jenis usaha, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial dan yang bersifat komersial. Usaha asuransi yang bersifat sosial adalah dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Sosial, yang bersifat wajib berdasarkan Undang-undang dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat. Pasal 4 Berdasarkan ketentuan ini setiap perusahaan perasuransian hanya dapat pula menjalankan jenis usaha yang telah ditetapkan. Dengan demikian tidak dimungkinkan adanya sebuah perusahaan asuransi yang sekaligus menjalankan usaha asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal ini pengertian dana pensiun terbatas pada dana pensiun lembaga keuangan. Pasal 5 Jasa yang dapat diberikan oleh Perusahaan Konsultan Akturia mencakup antara lain konsultasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan analisis dan penghitungan cadangan, penyusunan laporan akturia, penilaian kemungkinan terjadinya risiko dan perancangan produk asuransi jiwa. Pasal 6 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipandang perlu mengingat tertanggung adalah pihak yang paling berkepentingan atas obyek yang dipertanggungkannya sehingga sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa adanya pengaruh dan tekanan dari pihak manapun dapat menentukan sendiri perusahaan asuransi yang akan menjadi penanggungnya. Ayat (2) Dalam asas kebebasan untuk memilih pananggung ini terkandung maksud bahwa tertanggung bebas untuk menempatkan penutupan obyek asuransinya pada Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Kerugian yang memperoleh izin usaha di Indonesia. Ayat (3) Agar pelaksanaan dari ketentuan ini dapat disesuaikan dengan perkembangan usaha perasuransian di Indonesia, maka ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan asuransi dan atau penempatan reasuransinya diatur dalam peraturan pelaksanaan dari Undang-undang ini. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Mengingat Undang-undang mengenai bentuk hukum Usaha Bersama (Mutual) belum ada, maka untuk sementara ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 8 Ayat (1) Dalam ayat ini ditentukan bahwa warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dapat menjadi pendiri perusahaan perasuransian, baik dengan pemilikan sepenuhnya maupun dengan membentuk usaha patungan dengan pihak asing. Termasuk dalam pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, dan Badan Usaha Milik Swasta. Ayat (2) Perusahaan perasuransian yang didirikan atau dimiliki oleh perusahaan perasuransian dalam negeri dan perusahaan perasuransian asing yang mempunyai kegiatan usaha sejenis dimaksudkan untuk menumbuhkan penyelenggaraan kegiatan usaha perasuransian yang lebih profesional.Selain itu kerjasama perusahaan perasuransian yang sejenis juga dimaksudkan untuk lebih memungkinkan terjadinya proses alih teknologi. Sesuai dengan tujuan dari ketentuan ini yang dimaksudkan untuk lebih menumbuhkan profesionalisme dalam pengelolaan usaha, maka kepemilikan bersama atas perusahaan perasuransian oleh Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi dalam negeri dengan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi luar negeri harus tetap didasarkan pada jenis usaha masing-masing partner dalam kepemilikan tersebut. Contoh mengenai hal tersebut adalah sebegai berikut:
Perusahaan Reasuransi luar negeri dengan Perusahaan Asuransi Kerugian dalam negeri dapat mendirikan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi.
Perusahaan Asuransi Kerugian luar negeri dengan Perusahaan Reasuransi dalam negeri dapat mendirikan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Khusus bagi Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, fungsi dan tugas sebagai penyelenggara program tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini berarti bahwa Pemerintah memang menugaskan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan suatu Program Asuransi Sosial yang telah diputuskan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah. Dengan demikian bagi Badan Usha Milik Negara termaksud tidak diperlukan adanya izin usaha dari Menteri. Ayat (2) Untuk mendukung suatu kegiatan usaha perasuransian yang bertanggungjawab, perlu adanya anggaran dasar, susunan organisasi yang baik, Jumlah modal yang memadai, status kepemilikan yang jelas, tenaga ahli asuransi yang diperlukan sesuai dengan bidangnya, rencana kerja yang layak sesuai dengan kondisi, dan hal-hal lain yang dikemudian hari diperkirakan dapat mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat. Yang dimaksud dengan keahlian di bidang perasuransian dalam ketentuan ini mencakup antara lain keahlian di bidang aktuaria, underwriting, manajemen risiko. penilai kerugian asuransi, dan sebagainya, sesuai dengan kegiatan usaha perasuransian yang dijalankan. Ayat (3) Dalam pengertian istilah ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing, termasuk pula pengertian tentang proses Indonesianisasi. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan industri perasuransian nasional semakin dapat bertumpu pada kekuatan sendiri. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Batas tingkat solvabilitas (Solvency Margin) merupakan tolok ukur kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Batas tingkat solvabilitas ini merupakan selisih antara kekayaan terhadap kewajiban, yang perhitungannya didasarkan pada cara perhitungan tertentu sesuai dengan sifat usaha asuransi. Retensi sendiri dalam hal ini merupakan bagian pertanggungan yang menjadi beban atau tanggung jawab sendiri sesuai dengan tingkat kemampuan keuangan perusahaan asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan. Reasuransi merupakan bagian pertanggungan yang dipertanggungkan ulang pada perusahaan asuransi lain dan atau Perusahaan Reasuransi. Dalam hubungannya dengan investasi, yang akan diatur adalah kebijaksanaan investasi Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Reasuransi dalam menentukan investasinya pada jenis investasi yang aman dan produktif. Sesuai dengan sifat usaha asuransi di mana timbulnya beban kewajiban tidak menentu, maka Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi perlu membentuk dan memelihara cadangan yang diperhitungkan berdasarkan pertimbangan teknis asuransi dan dimaksudkan untuk menjaga agar perusahaan yang bersangkutan dapat memenuhi kewajibannya kepada pemegang polis. Asuransi adalah perjanjian atau kontrak yang dituangkan dalam bentuk polis. Sebagai suatu perjanjian atau kontrak maka ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya tidak boleh merugikan kepentingan pemegang polis. Untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, penetapan tingkat premi harus tidak memberatkan tertanggung, tidak mengancam kelangsungan usaha penanggung, dan tidak bersifat diskriminatif. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, peraturan pelaksanaan yang mencakup masalah penyelesaian klaim akan menetapkan batas waktu maksimum antara saat adanya kepastian mengenai jumlah klaim yang harus dibayar dengan saat pembayaran klaim tersebut oleh penanggung. Salah satu ketentuan yang berhubungan dengan penyelenggaraan usaha adalah mengenai pembayaran premi asuransi kepada penanggung atas risiko yang ditutupnya, sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosisal sebenarnya menyelenggarakan salah satu jenis asuransi, yaitu asuransi jiwa atau asuransi kerugian atau kombinasi antara keduanya. Oleh karena itu, terlepas dari peraturan perundang-undangan yang membentuknya, Menteri sebagai pembina dan pengawas usaha perasuransian berwenang dan berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi sosial tersebut, sedangkan mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap Program Asuransi Sosial dilakukan oleh Menteri teknis yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang yang mengatur Program Asuransi Sosial dimaksud. Pasal 15 Ayat (1) Pemeriksaan dimaksudkan untuk meneliti secara langsung kebenaran laporan yang disampaikan perusahaan, baik kesehatan keuangan maupun praktek penyelenggaraan usaha, sesuai dengan ketentuan Undang-undang. Pemeriksaan dimaksud dapat dilakukan secara berkala maupun setiap saat apabila dipandang perlu dengan tujuan agar perlindungan terhadap masyarakat dapat dijamin dan penyimpangan yang terjadi pada perusahaan dapat diketahui sedini mungkin. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Keputusan mengenai pemberian peringatan, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin usaha merupakan tahapan tindakan yang dapat diberlakukan pada perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini. Dalam hal tertentu Menteri dapat mendengar pendapat pihak-pihak yang diperlukan. Ayat (2) Tahapan tindakan yang diperlukan merupakan urutan yang harus dilalui sebelum dilakukan pencabutan izin usaha. Namun demikian terhadap Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf b dan huruf c tidak dapat diterapkan. Hal ini mengingat bahwa apabila terjadi hal-hal yang dapat menganggu kelangsungan usaha dari Badan Usaha Milik Negara tersebut, maka tindak lanjutnya didasarkan pada peraturan perundang-undangan mengenai Program Asuransi Sosial tersebut serta peraturan perundang-undangan tentang pembentukan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan. Ayat (3) Tergantung pada tingkat dan jenis pelanggaran yang dilakukan, Menteri dapat memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan upaya pembenahan dengan memerintahkan dilakukannya tindakan yang dianggap perlu yang diikuti perkembangannya secara terus-menerus, tanpa mengorbankan perlindungan terhadap perusahaan ataupun tertanggung. Dalam peraturan pelaksanaan yang mengatur tata cara pengenaan sanksi, akan ditetapkan batas waktu maksimum yang disediakan bagi perusahaan yang bersangkutan untuk menyusun rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat ini untuk diajukan kepada Menteri. Batas waktu tersebut tidak dapat melebihi 4 bulan sejak dimulainya masa pembatasan kegiatan usaha. Rencana kerja yang telah diajukan selanjutnya akan dipergunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan tindak lanjut pengenaan sanksi. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Dalam hal Menteri mempertimbangkan bahwa upaya yang dilakukan tidak menunjukkan perbaikan atau dalam hal perusahaan tidak melakukan usaha untuk mengupayakan perbaikan, maka Menteri akan mencabut izin usaha perusahaan yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Apabila suatu perusahaan asuransi telah dicabut izin usahanya, maka kekayaan perusahaan tersebut perlu dilindungi agar para pemegang polis tetap dapat memperoleh haknya secara proporsional. Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, Menteri diberi wewenang berdasarkan Undang-undang ini untuk meminta Pengadilan agar perusahaan asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit, sehingga kekayaan perusahaan tidak dipergunakan untuk kepentingan pengurus atau pemilik perusahaan tanpa mengindahkan kepentingan para pemegang polis. Selain itu, dengan adanya kewenangan untuk mengajukan permintaan pailit tersebut, maka Menteri dapat mencegah berlangsungnya kegiatan tidak sah dari perusahaan yang telah dicabut izin usahanya, sehingga kemungkinan terjadinya kerugian yang lebih luas pada masyarakat dapat dihindarkan. Ayat (2) Hak utama dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa dalam hal kepailitan, hak pemegang polis mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lainnya, kecuali dalam hal kewajiban untuk negara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas
Penataan Ruang.
Relevan terhadap
Ayat (1) Termasuk dalam kawasan lindung adalah kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, dan kawasan rawan bencana alam. Termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan berikat, kawasan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, kawasan pertahanan keamanan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Susunan fungsi kawasan yang berwujud kawasan perdesaan meliputi tempat permukiman perdesaan, tempat kegiatan pertanian, kegiatan pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Susunan fungsi kawasan yang berwujud kawasan perkotaan meliputi tempat permukiman perkotaan, tempat pemusatan dan pendistribusian kegiatan bukan pertanian seperti kegiatan pelayanan jasa pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Fungsi kawasan yang berwujud kawasan tertentu meliputi tempat pengembangan kegiatan yang strategis yang ditentukan dengan kriteria antara lain:
kegiatan di bidang yang bersangkutan baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap upaya pengembangan tata ruang di wilayah sekitarnya;
kegiatan di suatu bidang yang mempunyai dampak baik terhadap kegiatan lain di bidang yang sejenis maupun terhadap kegiatan di bidang lainnya;
kegiatan di bidang yang bersangkutan yang merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan dalam kawasan tertentu dapat berupa misalnya kegiatan pembangunan skala besar untuk kegiatan industri beserta sarana dan prasarananya, kegiatan pertahanan keamanan beserta sarana dan prasarananya, kegiatan pariwisata beserta sarana dan prasarananya, dan sebagainya.
Ayat (1) Pengertian pola pengelolaan tata guna tanah, pola pengelolaan tata guna air, pola pengelolaan tata guna udara, dan pola pengelolaan tata guna sumber daya alam lainnya adalah sama dengan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya. Yang dimaksud dengan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya antara lain adalah penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. Dalam pemanfaatan tanah, pemanfaatan air, pemanfaatan udara, dan pemanfaatan sumber daya alam lainnya, perlu diperhatikan faktor yang mempengaruhinya seperti faktor meteorologi klimatologi, dan geofisika. Yang dimaksud dengan perangkat insentif adalah pengaturan yang bertujuan memberikan rangsangan terhadap kegiatan yang seiring dengan tujuan rencana tata ruang. Apabila dengan pengaturan akan diwujudkan insentif dalam rangka pengembangan pemanfaatan ruang, maka melalui pengaturan itu dapat diberikan kemudahan tertentu:
di bidang ekonomi melalui tata cara pemberian kompensasi, imbalan, dan tata cara penyelenggaraan sewa ruang dan urun saham; atau
di bidang fisik melalui pembangunan serta pengadaan sarana dan prasarana seperti jalan, listrik, air minum, telepon dan sebagainya untuk melayani pengembangan kawasan sesuai dengan rencana tata ruang. Yang dimaksud dengan perangkat disinsentif adalah pengaturan yang bertujuan membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana kawasan ruang, misalnya dalam bentuk:
pengenaan pajak yang tinggi; atau
ketidaktersediaan sarana dan prasarana. Pelaksanaan insentif dan disinsentif tidak boleh mengurangi hak penduduk sebagai warganegara. Hak penduduk sebagai warganegara meliputi pengaturan atas harkat dan martabat yang sama, hak memperoleh, dan mempertahankan ruang hidupnya. Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (1) Strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara dirumuskan dengan mempertimbangkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, data dan informasi, serta pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 14. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional yang berupa strategi nasional pengembangan pola pemanfaatan ruang merupakan kebijaksanaan pemerintah yang menetapkan rencana struktur Dan pola pemanfaatan ruang nasional beserta kriteria dan pola penanganan kawasan yang harus dilindungi, kawasan budi daya, dan kawasan lainnya. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional meliputi antara lain arahan pengembangan sistem permukiman dalam skala nasional, jaringan prasarana yang melayani kawasan produksi dan permukiman, penentuan wilayah yang akan datang dalam skala nasional, termasuk penetapan kawasan tertentu. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional memperhatikan antara lain:
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
pokok permasalahan dalam lingkup global dan internasional serta pengkajian implikasi penataan ruang nasional terhadap strategi tata pengembangan internasional dan regional, c. pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas;
keselarasan aspirasi pembangunan sektoral dan pembangunan daerah;
daya dukung dan daya tampung lingkungan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan penetapan kawasan lindung, kawasan budi daya, dan kawasan tertentu secara nasional adalah bahwa pengaturan untuk penetapan kawasan tersebut secara makro dan menyeluruh diselenggarakan sebagai bagian dari strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara. Yang dimaksud dengan norma dan kriteria pemanfaatan ruang adalah ukuran berupa kriteria lokasi dan standar teknik pemanfaatan ruang yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan untuk terwujudnya kualitas ruang dan tertibnya pemanfaatan ruang. Ayat (3) Dengan ketentuan ini dimaksudkan bahwa Rencana Tata Ruang wilayah Nasional menjadi acuan bagi instansi pemerintah tingkat pusat dan daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang. Hal ini berarti bahwa dalam pemanfaatan ruang untuk menyusun rencana pembangunan, harus selalu diperhatikan Rencana Tata Ruang wilayah Nasional. Dalam rangka penyusunan Rencana Tata Ruang wilayah Nasional perlu diselenggarakan pula antara lain:
Penataan ruang bagian wilayah nasional yang masing-masing terdiri dari beberapa propinsi sebagai satu kesatuan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dan mewujudkan Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan nasional;
Kesatuan Wawasan Nusantara melalui penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang membentuk sistem keterkaitan antar lokasi dan kawasan antara lain jaringan darat, laut, dan udara;
Penjabaran strategi ekonomi nasional terhadap strategi tata ruang yang saling terkait dan berkesinambungan. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional selain menjadi pedoman untuk pemanfaatan ruang daratan di tingkat daerah juga menjadi pedoman untuk pemanfaatan ruang lautan dan ruang udara dalam batas-batas tertentu. Ayat (4) Seiring dengan Pola Pembangunan Jangka Panjang yang berjangka waktu 25 tahun, Rencana Tata Ruang wilayah Nasional disusun untuk jangka waktu yang sama dan dengan perspektif 25 tahun ke masa depan. Meskipun demikian, rencana tata ruang wilayah Nasional dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan dalam waktu kurang dari 25 tahun apabila terjadi perubahan kebijaksanaan nasional yang mempengaruhi pemanfaatan ruang akibat perkembangan teknologi dan keadaan yang mendasar. Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk mencapai strategi dan arahan kebijaksanaan yang telah ditetapkan pada 25 tahun dilakukan paling tidak 5 tahun sekali. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional dijabarkan ke dalam program pemanfaatan ruang 5 tahunan sejalan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun. Selanjutnya, program pemanfaatan ruang tersebut dijabarkan lagi ke dalam kegiatan pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran. Ayat (5) Cukup jelas
Pokok-Pokok Perkoperasian
Relevan terhadap
Undang-undang ini disebut "Undang-undang tentang Pokok- pokok Perkoperasian" dan mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 1967. Pd. Presiden Republik Indonesia, ttd SOEHARTO Jenderal T.N.I. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 1967 Sekretaris Kabinet Ampera, ttd LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1967 NOMOR 23 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 1967 TENTANG POKOK-POKOK PERKOPERASIAN. Dengan memanjatkan syukur setinggi-tingginya kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa rakyat Indonesia telah diberi kurnia dan rahmat suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbentuk Nusantara yang terletak di jalan silang antara dua benua dan dua samudera dengan kekayaan alamnya yang melimpah ruah. Bumi, air Indonesia dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu adalah kurnia Tuhan kepada rakyat Indonesia, yang menurut ketentuan Undang-undang Dasar 1945, pasal 33 harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik spiritual maupun materiil. Pemerintah dan rakyat Indonesia mempunyai kewajiban untuk menggali, mengolah dan membina kekayaan alam tersebut guna mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Tuhan sesuai dengan yang telah diperintahkan oleh Undang-undang Dasar 1945 pasal 33. Pemanfaatan kekayaan alam tersebut oleh rakyat Indonesia diselenggarakan dengan susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan kegotong-royongan. I. UMUM. Sesungguhnya Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (1) beserta penjelasannya telah dengan jelas menyatakannya, bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan Koperasi adalah satu bangunan usaha yang sesuai dengan susunan perekonomian yang dimaksud itu. Berdasarkan pada ketentuan itu dan untuk mencapai cita-cita tersebut Pemerintah mempunyai kewajiban membimbing dan membina perkoperasian Indonesia dengan sikap "ing ngarsa sung tulada, ing madya bangun karsa, tut wuri handayani". Dalam rangka kembali kepada kemurnian pelaksanaan Undang- undang Dasar 1945, sesuai pula dengan Ketetapan M.P.R.S. No. XXIII/MPRS/1966, tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, maka peninjauan serta perombakan Undang-undang No. 14 tahun 1965 tentang Perkoperasian merupakan suatu keharusan, karena baik isi maupun jiwanya Undang-undang tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan azas-azas pokok, landasan kerja serta landasan idiil Koperasi, sehingga akan menghambat kehidupan dan perkembangan serta mengaburkan hakekat Koperasi sebagai organisasi ekonomi rakyat yang demokratis dan berwatak sosial. Peranan… Peranan Pemerintah yang terlalu jauh dalam mengatur masalah perkoperasian Indonesia sebagaimana telah tercermin di masa yang lampau pada hakekatnya tidak bersifat melindungi, bahkan sangat membatasi gerak serta pelaksanaan strategi dasar perekonomian yang tidak sesuai dengan jiwa dan makna Undang-undang Dasar 1945 pasal 33. Hal yang demikian itu akan menghambat langkah serta membatasi sifat-sifat keswadayaan, keswasembadaan serta keswakertaan yang sesungguhnya merupakan unsur pokok dari azas-azas percaya pada diri sendiri, yang gilirannya akan dapat merugikan masyarakat sendiri. Oleh karenanya sesuai dengan Ketetapan M.P.R.S. No. XIX/ MPRS/1966 dianggap perlu untuk mencabut dan mengganti Undang-undang No. 14 tahun 1965 tentang Perkoperasian tersebut dengan Undang-undang yang baru yang benar-benar dapat menempatkan Koperasi pada fungsi yang semestinya yakni sebagai alat pelaksana dari Undang-undang Dasar 1945. Di bidang Idiil, Koperasi Indonesia merupakan satu-satunya wadah untuk menyusun perekonomian rakyat berazaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan yang merupakan ciri khas dari tata-kehidupan bangsa Indonesia dengan tidak memandang golongan, aliran maupun kepercayaan yang dianut seseorang. Koperasi sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional dilaksanakan dalam rangka politik umum perjuangan Bangsa Indonesia. Di bidang organisasi Koperasi Indonesia menjamin adanya hak-hak individu serta memegang teguh azas-azas demokrasi. Rapat Anggota merupakan kekuasaan tertinggi di dalam tata kehidupan Koperasi. Koperasi mendasarkan geraknya pada aktivitas ekonomi dengan tidak meninggalkan azasnya yakni kekeluargaan dan gotong-royong. Dengan berpedoman kepada Ketetapan M.P.R.S. No. XXIII/MPRS/1966 Pemerintah memberikan bimbingan kepada Koperasi dengan sikap seperti tersebut di atas serta memberikan perlindungan agar Koperasi tidak mengalami kekangan dari pihak manapun, sehingga Koperasi benar-benar mampu melaksanakan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya. Undang-undang ini dinamakan Undang-undang tentang Pokok- pokok Perkoperasian. II. PASAL… II. PASAL DEMI PASAL. BAB 1. KETENTUAN-KETENTUAN UMUM. Pasal 1. Yang dimaksud dengan kuasa khusus adalah sebagian dari wewenang Menteri yang dilimpahkan kepada Pejabat untuk beberapa soal Perkoperasian. BAB II. LANDASAN-LANDASAN KOPERASI. Pasal 2.
Pancasila. Kelima Sila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial harus dijadikan dasar serta dilaksanakan. dalam kehidupan Koperasi, karena sila-sila tersebut memang menjadi sifat dan tujuan Koperasi dan selamanya merupakan aspirasi anggota- anggota Koperasi. Dasar idiil ini harus diamalkan oleh Koperasi disebabkan karena Pancasila memang menjadi falsafah Negara dan bangsa Indonesia.
Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (1). Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 berbunyi: "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan". Penjelasannya berbunyi sebagai berikut: Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah Koperasi.
Setia kawan dan kesadaran berpribadi. Koperasi adalah unsur pendidikan yang baik untuk memperkuat ekonomi dan moral, karena Koperasi berdasarkan dua landasan mental, yaitu setia kawan dan kesadaran berpribadi yang satu sama lain memperkuat. Setia kawan telah ada dalam masyarakat Indonesia yang asli dan tampak keluar sebagai gotong-royong. Akan tetapi landasan setia kawan saja hanya dapat memelihara persekutuan dalam masyarakat yang statis, dan karenanya, tidak dapat mendorong kemajuan. Kesadaran… Kesadaran berpribadi, keinsyafan akan harga diri sendiri, dan percaya pada diri sendiri, adalah mutlak untuk menaikkan derajat penghidupan dan kemakmuran. Dalam Koperasi harus bergabung kedua-dua landasan mental tadi yakni setia kawan dan kesadaran berpribadi sebagai dua unsur yang dorong-mendorong, hidup-menghidupi dan awas-mengawasi. BAB III. PENGERTIAN DAN FUNGSI KOPERASI. Bagian 1. Pengertian Koperasi. Pasal 3. Koperasi Indonesia adalah kumpulan dari orang-orang yang sebagai manusia secara bersama-sama bergotong-royong berdasarkan persamaan, bekerja untuk memajukan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka dan kepentingan masyarakat. Dari pengertian umum di atas, maka ciri-ciri seperti di bawah ini seharusnya selalu nampak:
bahwa Koperasi Indonesia adalah kumpulan orang-orang dan bukan kumpulan modal. Pengaruh dan penggunaan modal dalam Koperasi Indonesia tidak boleh mengurangi makna dan tidak boleh mengaburkan pengertian Koperasi Indonesia sebagai perkumpulan orang-orang dan bukan sebagai perkumpulan modal. Ini berarti bahwa Koperasi Indonesia harus benar-benar mengabdikan kepada peri-kemanusiaan dan bukan kepada kebendaan;
bahwa Koperasi Indonesia bekerja sama, bergotong-royong berdasarkan persamaan derajat, hak dan kewajiban yang berarti Koperasi adalah dan seharusnya merupakan wadah demokrasi ekonomi dan sosial. Karena dasar demokrasi ini maka harus dijamin benar-benar bahwa Koperasi adalah milik para anggota sendiri dan pada dasarnya harus diatur serta diurus sesuai dengan keinginan para anggota yang berarti bahwa hak tertinggi dalam Koperasi terletak pada Rapat Anggota;
bahwa segala kegiatan Koperasi Indonesia harus didasarkan atas kesadaran para anggota. Dalam Koperasi tidak boleh dilakukan paksaan, ancaman, intimidasi dan campur tangan dari fihak-fihak lain yang tidak ada sangkut- pautnya dengan soal-soal intern Koperasi;
bahwa tujuan Koperasi Indonesia harus benar-benar merupakan kepentingan bersama dari para anggotanya dan tujuan itu dicapai berdasarkan karya dan jasa yang disumbangkan para anggota masing-masing. Ikut sertanya anggota sesuai dengan besar-kecilnya karya dan jasanya harus dicerminkan pula dalam hal pembagian pendapatan dalam Koperasi. Bagian… Bagian 2. Fungsi Koperasi. Pasal 4. Bahwa Koperasi itu berfungsi sebagai alat perjuangan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat dan sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional, dengan jelas dapat dilihat dari azas dan sendi-sendi dasarnya. Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa disamping Koperasi ada Perusahaan Negara atau Daerah dan Swasta. Ketiga sektor ekonomi tersebut harus bekerja sama secara teratur, karena satu sama lain saling kait-mengait, sehingga perlu adanya synkhronisasi. Kedudukan ekonomi bangsa Indonesia harus diperkokoh, tata-laksana perekonomian rakyat dipersatukan dan diatur, segala itu untuk menghapuskan sisa- sisa penindasan dalam sektor perekonomian guna mempertinggi kesejahteraan rakyat. Fungsi-fungsi tersebut hanya akan tercapai bilamana Koperasi sendiri benar-benar melaksanakan pekerjaannya berdasarkan azas dan sendi-sendi dasarnya. Kelangsungan dan perkembangan demokrasi ekonomi perlu dibina, guna menjamin tidak adanya penghisapan di antara sesama manusia. Sisa-sisa penindasan dalam sektor perekonomian rakyat harus dihapuskan. Koperasi Indonesia yang berdasarkan kekeluargaan dan kegotong-royongan harus dapat mempertinggi taraf hidup anggotanya dan rakyat umumnya. Untuk mencapai tujuan ini kecerdasan rakyat harus ditingkatkan sehingga rakyat mengerti dan sadar akan perlunya berkoperasi. BAB IV. AZAS DAN SENDI DASAR KOPERASI. Bagian 3. Azas Koperasi. Pasal 5. Dengan berpegang teguh pada azas kekeluargaan dan kegotong-royongan sesuai dengan kepribadian Indonesia, ini tidak berarti, bahwa Koperasi meninggalkan sifat dan syarat-syarat ekonominya, sehingga kehilangan effisiensinya. Koperasi… Koperasi Indonesia hendaknya menyadari bahwa di dalam dirinya terdapat suatu kepribadian Indonesia, sebagai pencerminan dari pada garis pertumbuhan bangsa Indonesia yang ditentukan oleh kehidupan dari bangsa Indonesia dan dipengaruhi oleh keadaan tempat lingkungan Indonesia serta suasana waktu sepanjang masa, dengan ciri-ciri Ketuhanan Yang Maha Esa, kegotong-royongan dan Kekeluargaan serta Bhineka Tunggal Ika. Bagi Koperasi azas gotong-royong berarti bahwa pada Koperasi terdapat keinsyafan dan kesadaran semangat bekerjasama dan tanggung jawab bersama terhadap akibat dari karya tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri, melainkan selalu untuk kebahagiaan bersama. Dalam membagi hasil karyanya, masing-masing anggota menerima bagiannya sesuai dengan sumbangan karya/jasanya. Azas kekeluargaan mencerminkan adanya kesadaran dari budi hati nurani manusia untuk mengerjakan segala sesuatu dalam Koperasi oleh semua untuk semua, di bawah pimpinan pengurus serta penilikan dari para anggota atas dasar keadilan dan kebenaran serta keberanian berkorban bagi kepentingan bersama. Dengan demikian azas gotong-royong dan kekeluargaan dalam Koperasi harus merupakan faham dinamis yang menggambarkan suatu karya amaliyah bersama yang bersifat bantu-membantu, berdasarkan rasa keadilan dan cinta kasih yang di dalam pelaksanaannya, menempuh segala daya serta karyabudi dan hati nurani manusia untuk mempertumbuhkannya, dan dimana perlu memberanikan diri guna mengurangi hak-haknya sendiri, dalam batas-batas rasa keadilan dan cinta kasih tersebut. Bagian 4. Sendi-sendi dasar Koperasi. Pasal 6. Sendi-sendi dasar Koperasi Indonesia merupakan essensi dari dasar-dasar bekerja Koperasi sebagai organisasi ekonomi yang berwatak sosial. Dasar-dasar bekerja tersebut merupakan ciri khas dari Koperasi dan justru oleh karena itu membedakan Koperasi itu dari badan-badan ekonomi lainnya.
Sifat sukarela pada keanggotaan Koperasi mengandung pengertian bahwa setiap orang yang masuk menjadi anggota Koperasi haruslah berdasarkan kesadaran dan keyakinan untuk secara aktif turut di dalam dan dengan Koperasi bertekad untuk memperbaiki kehidupannya dan kehidupan masyarakat;
Rapat Anggota sebagai kekuasaan tertinggi dalam organisasi koperasi yang beranggotakan orang-orang tanpa mewakili aliran, golongan dan paham politik perorangan-perorangan dan hak suara yang sama/satu pada Koperasi Primer merupakan azas pokok dari penghidupan Koperasi tersebut;
Dasar… (3) Dasar ini berwatak non kapitalis, dan oleh karena Koperasi bukan merupakan perkumpulan modal, maka sisa dari hasil usaha bila dibagikan kepada anggota, dilakukan tidak berdasarkan modal yang dimiliki seseorang dalam Koperasi tetapi berdasarkan perimbangan jasa/usaha dan kegiatannya dalam penghidupannya Koperasi itu. Jelaslah kiranya bahwa sisa hasil usaha yang berasal dari bukan anggota tidak dibagi-bagikan kepada anggota (pasal 34 ayat 4);
Modal dalam Koperasi, yang walaupun merupakan unsur yang tidak dapat diabaikan sebagai faktor produksi, dipergunakan untuk kebahagiaan anggota- anggotanya dan bukan untuk sekedar mencari keuntungan uang (profit- motive), dan oleh karenanya tidak menentukan dalam pembagian sisa usaha sebagaimana lazimnya dalam bentuk dividend;
Watak sosial dari Koperasi itu diantaranya terbukti dari dasar ini, sehingga Koperasi walaupun pada pokok usahanya berupa organisasi ekonomi yang dibina oleh dan untuk anggota-anggotanya juga harus turut membangun masyarakat pada umumnya, sehingga pengabdian Koperasi itu semakin nyata adanya;
Koperasi sebagai perkumpulan orang-orang yang bergerak dalam lapangan ekonomi harus terbuka terutama untuk anggota-anggotanya, dan oleh karena itu usaha-usaha Koperasi dibina oleh anggota-anggotanya serta ketatalaksanaannya diawasi pula oleh anggota-anggotanya secara terbuka. Ini tidak berarti bahwa masyarakat tidak dapat menilai hasil-hasil Koperasi;
Sendi ini merupakan faktor pendorong bagi setiap cipta, karya dan karsa Koperasi. Tanpa modal kepercayaan/keyakinan, atas kemampuan dan kekuatan diri sendiri maka tidaklah mungkin timbul suatu kegiatan dalam Koperasi. Setiap kegiatannya mendasarkan kepada prinsip swadaya, swakerta dan swasembada yang artinya: Swadaya : kekuatan atau usaha sendiri, dari kata swa = milik sendiri. daya = sesuatu yang harus dikerjakan. Swakerta : buatan sendiri. kerta = sesuatu yang telah dikerjakan. kr. (sansekerta) = bekerja atau membuat. Swasembada : kemampuan sendiri. sembada = teman yang seikatan. BAB V… BAB V. PERANAN DAN TUGAS. Pasal 7. Peranan dan tugas Koperasi untuk membina kelangsungan dan perkembangan demokrasi ekonomi adalah bertujuan menciptakan masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu perlu ditanamkan dan ditingkatkan kesadaran berkoperasi. Pasal 8. Kerjasama dengan Perusahaan-perusahaan Negara dan Swasta termasuk modal asing, jika diperlukan oleh Koperasi dilakukan dengan tidak mengorbankan azas dan sendi dasar Koperasi sendiri, sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/1966, maka bentuk, luas serta cara-cara kerja sama itu harus segera diatur dalam Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Lalu Lintas Devisa
Relevan terhadap
Bank devisa yang telah membeli valuta asing seperti termaksud dalam pasal 9 ayat (2) dan pasal 10 ayat (3) berkewajiban untuk menyerahkannya kepada Bank Indonesia.
Penggantian nilai lawan dalam Rupiah untuk devisa yang diserahkan kepada Bank Indonesia ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI. IMPOR BARANG DAN PENERIMAAN JASA DARI LUAR NEGERI ATAS BEBAN DANA DEVISA. Pasal 12. Impor barang dari luar negeri atas beban Dana Devisa hanya boleh diadakan jikalau untuk itu telah dikeluarkan izin umum atau khusus oleh Pimpinan Biro dengan syarat yang ditentukan olehnya. Pasal 13.
Barangsiapa telah mendapat izin untuk impor seperti dimaksud dalam pasal 12 berkewajiban untuk menutup kontrak-valuta dengan bank devisa untuk jumlah yang disediakan oleh Biro untuk impor barang tersebut dan harus berbunyi dalam valuta yang sama jenisnya serta menyebutkan jangka waktu pembayaran seperti telah ditentukan oleh Biro.
Pada waktu pemasukan barang dari luar negeri importir diwajibkan untuk menyampaikan kepada pejabat Bea dan Cukai setempat di mana barang impor akan dimasukkan suatu pemberitahuan tentang pemasukan barang yang bentuknya ditetapkan oleh Biro. Pemberitahuan itu harus disusun sesederhana mungkin dan disampaikan dengan disertai izin sebagaimana termaksud dalam ayat (1). Pasal 14.
Pengeluaran devisa lainnya daripada yang termaksud dalam pasal 12 atas beban Dana Devisa Negara hanya boleh dilakukan berdasarkan izin umum atau khusus yang dikeluarkan oleh Biro.
Perjanjian-perjanjian yang akan mengakibatkan beban atas Dana Devisa harus disetujui lebih dahulu oleh Menteri Urusan Bank Sentral/Gubernur Bank Indonesia. Jika persetujuan tidak diberikan kewajiban membayar hanya dapat dipenuhi dari devisa yang dimaksudkan dalam Bab VII. BAB VII. PENGUASAAN DEVISA YANG TIDAK DIHARUSKAN UNTUK LANGSUNG DISERAHKAN KEPADA DANA DEVISA. Pasal 15. Segala sesuatu yang bertalian dengan penggunaan, pembebanan dan pemindahan hak atas devisa yang tidak diharuskan untuk langsung diserahkan kepada Dana Devisa menurut pasal 11 diatur berdasarkan rencana penggunaan devisa dengan Peraturan Pemerintah. BAB VIII. KEWAJIBAN MENDAFTAR DAN MENYIMPAN EFFEK. Pasal 16.
Warga-negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berkewajiban untuk menyimpan dalam simpanan terbuka effek yang berbunyi dalam mata uang lain daripada Rupiah, yang dimilikinya pada waktu peraturan ini mulai berlaku dan yang diperolehnya sesudah waktu itu, pada bank devisa Pemerintah atau pada korespondennya di luar negeri atas nama bank devisa Pemerintah bersangkutan. Penyimpanan ini harus dilakukan dalam batas waktu enam bulan sesudah peraturan ini berlaku atau tiga bulan sesudah effek diperolehnya.
Kewajiban tersebut dalam ayat (1) berlaku pula untuk warga- negara asing dan badan hukum asing untuk:
effek yang berbunyi dalam mata uang Rupiah;
effek yang berbunyi dalam mata uang lain daripada Rupiah, sekedar dimiliki sebelum Undang-undang ini berlaku.
Bank tersebut dalam ayat (1) berkewajiban untuk mendaftarkan effek yang disimpan padanya menurut petunjuk Pimpinan Biro, dengan ketentuan bahwa effek yang diajukan untuk disimpan setelah lewatnya jangka waktu yang ditetapkan diatas, hanya dapat didaftarkan dengan izin Biro.
Dalam menjalankan ketentuan dalam ayat (1) ditentukan bahwa effek yang dikeluarkan sebelum 29 Desember 1949 oleh badan hukum di Indonesia baik yang berwarga-negara Indonesia maupun asing, dianggap sebagai effek yang harus disimpan dalam simpanan terbuka.
Biro berwenang untuk menentukan bilamana effek yang telah disimpan dapat dikembalikan kepada yang berhak. BAB IX. LARANGAN. Pasal 17.
Impor dan ekspor mata uang Rupiah dilarang terkecuali dengan izin Pimpinan Biro.
Ekspor dari benda yang berikut: emas uang kertas asing, effek yang berbunyi dalam mata uang Rupiah, dilarang terkecuali dengan izin umum atau khusus dari Biro.
Pimpinan Biro dengan mengingat petunjuk-petunjuk Dewan dapat membatasi jumlah uang kertas asing yang dapat diimpor.
Effek yang berbunyi dalam mata uang lain daripada rupiah dilarang diekspor oleh warga-negara Indonesia, terkecuali dengan izin umum atau khusus dari Biro. Warga-negara asing atau badan hukum asing, dilarang untuk membeli dan memperoleh dengan cara dan dalam bentuk apapun juga effek yang berbunyi dalam mata uang Rupiah, terkecuali dengan izin umum atau khusus dari Biro.
Warga-negara asing atau badan hukum asing dilarang untuk mengekspor effek termaksud dalam pasal 16 sub (2) (b), terkecuali dengan izin dari Biro.
Pimpinan Biro mengingat petunjuk-petunjuk Dewan dapat menentukan, bahwa warga-negara asing atau badan hukum asing tertentu dilarang untuk memperoleh kredit dari bank atau mengadakan pinjaman, termasuk mengeluarkan obligasi, saham, tanda pinjaman jangka panjang lainnya dan tanda pinjaman jangka pendek yang berbunyi dalam mata uang rupiah. BAB X. KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA DEVISA DAN HUKUM ACARA PIDANA DEVISA. Pasal 18. Terkecuali jika suatu perbuatan dengan nyata dalam Undang- undang ini disebut kejahatan atau pelanggaran pidana, semua perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya dipandang sebagai pelanggaran administratip, yang hanya dikenakan denda administratip atau pidana administratip lain menurut ketentuan yang dikeluarkan oleh Pimpinan Biro mengingat petunjuk-petunjuk Dewan. Denda ini setinggi-tingginya berjumlah dua puluh lima juta rupiah. Pasal 19.
Dewan mempunyai hak interpretasi yang tertinggi tentang Undang-undang ini dan tentang peraturan yang didasarkan atasnya.
Dewan berwenang mengusulkan kepada Menteri/Jaksa Agung agar terhadap sesuatu tindak pidana berdasarkan Undang-undang ini tidak akan dilakukan penuntutan. Usul tersebut disertai dengan alasan-alasan.
Jaksa dan Hakim dalam menjalankan tugas kewajibannya berdasarkan Undang-undang Pokok Kejaksaan dan Undang- undang Pokok Kekuasaan Kehakiman wajib mengingat pada ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan (2). Pasal 20.
Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam ayat (6) maka pelanggaran pasal, 7, 8, 9, 10, 11, 16 dan 17 yang dibuat dengan sengaja dan dapat berakibat kerugian untuk negara yang meliputi jumlah yang besarnya lebih dari nilai lawan 88,8671 gram emas murni dalam valuta asing untuk tiap perbuatan, dinyatakan sebagai kejahatan.
Jika kerugian termaksud dalam ayat (1) besarnya tidak melebihi nilai lawan 8886,71 gram emas murni dalam valuta asing, maka pelanggar itu dikenakan pidana penjara selama-lamanya lima tahun dan/atau pidana denda setinggi-tingginya sepuluh juta rupiah.
Jika kerugian termaksud dalam ayat (1) besarnya melebihi nilai lawan 8886,71 gram emas murni dalam valuta asing maka pelanggar itu diberi pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun dan/atau pidana denda setinggi-tingginya seratusjuta rupiah.
Barang terhadap mana perbuatan tersebut dalam ayat (2) dan (3) dilakukan dapat dirampas untuk Negara.
Jika kerugian yang tersebut dalam ayat (1) tidak melampaui nilai lawan 88,8671 gram emas murni dalam valuta asing, maka perbuatan itu dinyatakan pelanggaran administratip.
Jikalau pelanggaran pasal 7, 8, dan 9 berupa tidak melaksanakan ekspor sebagian atau seluruhnya ataupun bersifat tidak mentaati jangka waktu yang ditetapkan untuk suatu perbuatan dalam penyelenggaraan ekspor, maka pelanggaran itu dipandang pelanggaran administratip.
Jika tindak pidana dilakukan tidak dengan sengaja, maka pidana tertingginya ditetapkan sepertiga dari pidana tertinggi apabila dengan sengaja. Pasal 21. Pelanggaran pasal 12 dan 13 dinyatakan sebagai pelanggaran administratip. Pasal 22.
Barangsiapa setelah mendapat perintah seperti termaksud dalam pasal 6 sub a dengan sengaja tidak memenuhi perintah itu tanpa alasan yang sah ataupun dengan sengaja menyampaikan keterangan yang tidak benar dalam memenuhi perintah itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya satu juta rupiah.
Perbuatan ini merupakan kejahatan. Pasal 23.
Barangsiapa karena jabatannya atau pekerjaannya tersangkut dalam penyelenggaraan Undang-undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya wajib merahasiakan semua yang diketahuinya karena jabatan atau pekerjaan itu, kecuali jika ia harus memberikan keterangan justru karena jabatan atau pekerjaan itu terhadap pihak ketiga.
Kewajiban ini berlaku pula untuk para ahli yang berhubung dengan penyelenggaraan Undang-undang dan peraturan yang didasarkan atasnya diminta memberikan nasehatnya atau yang diserahi melakukan sesuatu pekerjaan. Pasal 24.
Barangsiapa dengan sengaja melanggar kewajiban untuk merahasiakan sebagaimana termaksud dalam pasal 23 dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya satu juta rupiah.
Perbuatan tersebut di atas merupakan kejahatan. Pasal 25.
Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata-tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.
Suatu tindak pidana dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, jika tindak pidana itu dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu tak perduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana itu atau pada mereka bersama ada anasir-anasir tindak pidana tersebut.
Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu pada waktu penuntutan itu diwakili oleh seorang pengurus, atau jika ada lebih dari seorang pengurus, oleh salah seorang dari mereka itu. Wakil dapat diwakili oleh orang lain. Hakim dapat memerintahkan supaya seorang pengurus menghadap sendiri dipengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus itu dibawa kemuka hakim.
Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, maka segala panggilan untuk menghadap dan segala penyerahan surat-surat panggilan itu akan dilakukan kepada kepala pengurus atau di tempat tinggal kepala pengurus itu atau di tempat pengurus bersidang atau berkantor. Pasal 26.
Untuk penyidikan tindak pidana yang tersebut dalam Undang- undang ini disamping pegawai-pegawai yang pada umumnya diberi tugas menyidik tindak pidana, ditunjuk pula:
pegawai Bea dan Cukai, b. pegawai Biro yang ditunjuk oleh Dewan.
Pegawai penyidik tersebut di atas sewaktu-waktu berwenang untuk melakukan penyitaan, begitu juga untuk menuntut penyerahan supaya dapat disita daripada segala barang yang dapat dipakai untuk mendapatkan kebenaran atau yang dapat diperintahkan untuk dirampas, dimusnahkan atau dirusakkan supaya tidak dapat dipakai lagi.
Mereka sewaktu-waktu berwenang untuk menuntut pemeriksaan segala surat yang dianggap perlu untuk diperiksa guna melakukan tugasnya sebagaimana mestinya.
Mereka sewaktu-waktu berwenang untuk memasuki semua tempat yang dianggap perlu guna melakukan tugasnya sebagaimana mestinya. Mereka berkuasa untuk menyuruh agar dikawani oleh orang-orang tertentu yang mereka tunjuk. Jika dianggap perlu mereka memasuki tempat-tempat tersebut dengan bantuan polisi. Pasal 27.
Biro berwenang untuk memerintahkan penyerahan barang atau effek, yang diperoleh dengan jalan melanggar Undang-undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya atau dengan mana, ataupun tentang mana perbuatan itu telah dilakukan, atau yang merupakan pokok perbuatan sedemikian, dari yang melanggar, baik perseorangan maupun badan hukum.
Perintah ini dalam hal tindak pidana hanya dapat diberikan, jikalau diputuskan bahwa tidak akan diadakan tuntutan. Perintah termaksud diberikan dengan surat perintah tercatat.
Jikalau dalam batas waktu tiga bulan perintah ini tidak dipenuhi, maka Biro dapat menetapkan jumlah paksaan dalam mata uang rupiah yang harus dibayarkan kepadanya dalam batas waktu yang ditetapkan olehnya.
Jumlah paksaan yang tersebut dalam ayat (3) di atas dan denda administratip yang tersebut dalam pasal 18 dapat dipungut dengan surat paksa, yang dikeluarkan atas nama Pimpinan Biro dan dapat dilaksanakan menurut ketentuan mengenai surat paksa dalam Peraturan Pajak Berkohir. BAB XI. KETENTUAN LAIN. Pasal 28. Tiap perjanjian yang diadakan dengan melanggar Undang- undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya adalah batal dalam arti yang dipakai dalam Kitab Undang-undang Perdata. Pasal 29.
Dewan berwenang untuk mengeluarkan peraturan mengenai hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang ini yang dianggapnya perlu untuk mencapai maksud dan tujuan Undang-undang ini. Peraturan termaksud dalam ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. Pasal 30. Dalam menjalankan Undang-undang ini, Pimpinan Biro dengan mengingat petunjuk- petunjuk Dewan dapat:
mengeluarkan peraturan khusus untuk Perwakilan diplomatik dan konsuler asing dan Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Badan-badan International semacam itu berikut pegawai-pegawainya yang berstatus diplomatik atau konsuler.
mewajibkan warga-negara asing dan badan hukum asing tertentu yang diizinkan untuk berusaha di Indonesia untuk menyerahkan valuta asing ke dalam "Dana Devisa Negara" dalam menjalankan usahanya. Pasal 31.
Surat permohonan untuk mendapat izin berdasarkan Undang- undang ini atau peraturan pelaksanaannya dan juga surat izinnya adalah bebas dari ber meterai.
Kalau satu dari dua pihak dalam melakukan sesuatu perbuatan telah mendapat izin atau pembebasan, maka pihak yang kedua tidak perlu meminta lagi izin atau pembebasan.
Dari semua ketentuan Undang-undang ini Dewan dapat memberikan pembebasan secara khusus atau umum dan dalam kedua hal dapat dietapkan syarat-syarat tertentu.
Dewan dapat mendelegasikan wewenang ini kepada Ketua Dewan atau salah seorang anggotanya. Pasal 32. PERATURAN PERALIHAN.
Pada hari mulai berlakunya Undang-undang ini:
Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri dilebur sebagai badan hukum dan segala aktiva dan pasivanya beralih kepada Biro;
Segala aktiva dan pasiva "Dana Devisen" dijadikan Dana Devisa. Hubungan kerja antara Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri dan para pegawainya diambil-alih oleh Biro.
Jikalau untuk sesuatu hal menurut Undang-undang ini diharuskan adanya suatu izin atau dari sesuatu kewajiban dapat diberikan pembebasan, maka izin atau pembebasan yang telah diberikan berdasarkan Deviezen-verordening 1940 dianggap sebagai berdasarkan Undang-undang ini.
Segala peraturan pelaksanaan dari Deviezen-ordonnantie 1940 dan Deviezen-verordening 1940 sekedar mengatur lebih lanjut hal-hal yang ditentukan dalam Undang-undang ini tetap berlaku pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, sampai ditarik kembali.
Penggunaan, pembebasan dan pemindahan hak atas valuta asing termaksud dalam Pengumuman Pimpinan L.A.A. P.L.N. No. 3 tanggal 27 Mei 1963 dan S.K.B. Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan dan Urusan Bank Sentral No. No. IE/IU/KB/32/12/SKB jo Kep. 26/UBS/64 dan Kep. 35/UBS/ No. Kep. 21/UBS/64 64 diperkenankan sampai pengumuman dan peraturan ini ditarik kembali.
Terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut Devizen- ordonnantie 1940 dan Deviezen-verordening 1940 merupakan tindak pidana dan tidak lagi demikian halnya menurut Undang- undang ini, berlaku peraturan yang tersebut terakhir.
Bank Swasta yang telah ditunjuk sebagai bank devisa menjalankan funksinya selama masa peralihan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 33.
Pasal 1 ayat 1e sub f dari Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-undang No. 7 Drt tahun 1955) dihapuskan dan diganti hingga berbunyi sebagai berikut: "Pasal 7, 8 dan 9 dari Undang-undang No. 32 tahun 1964 tentang "Peraturan Lalu-Lintas Devisa 1964", terkecuali jikalau pelanggaran itu berupa tidak melaksanakan ekspor sebagian atau seluruhnya ataupun tidak mentaati jangka waktu yang ditetapkan untuk suatu perbuatan dalam penyelenggaraan ekspor".
Undang-undang No. 4 Prp tahun 1959 (Lembaran-Negara tahun 1959 No. 91). dan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1964 (Lembaran-Negara tahun 1964 No. 2) ditarik kembali. Pasal 34. PERATURAN PENUTUP. Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Devisa 1964 dan mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1964 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SUKARNO. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1964. SEKRETARIS NEGARA, MOHD. ICHSAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 1964 TENTANG PERATURAN LALU-LINTAS DEVISA. I. UMUM.
Rezim devisa yang hingga kini berlaku di tanah air kita mulai diadakan pada pertengahan tahun 1940 oleh Pemerintah Hindia Belanda, dengan dikeluarkannya Deviezen-Ordonantie 1940 (Staatsblad 1940 No. 205, sebagaimana telah dirobah dan ditambah) serta Deviezen-Verordening 1940 (Staatsblad 1940 No. 291, sebagaimana telah dirobah dan ditambah), pengalaman selama lebih dari 20 tahun menunjukkan bahwa kedua peraturan ini merupakan suatu sumber rintangan-rintangan terhadap kelancaran dan perkembangan lalu-lintas perdagangan dan lalu-lintas pembayaran antara Indonesia dan luar negeri yang sangat merugikan dan menghambat pembangunan Negara.
Deviezen-Ordonantie dan Deviezen-Verordening pada hakekatnya menetapkan cara dan sistim untuk menguasai seluruh penghasilan devisa serta seluruh kekayaan devisa dari pada penduduk devisa. Cara dan sistim ini memuncak pada pengusaaan dari segala usaha, segala kegiatan dan segla hubungan disegala lapangan. yang dapat menimbulkan konsekwensi-konsekwensi finansiil terhadap luar negeri, dalam segala bentuknya dan segala detailnya.
Meskipun cita-cita untuk menguasai seluruh penghasilan devisa untuk Negara pada hakekatnya dan pada akhirnya sesuai dengan cita-cita Sosialisme Indonesia, namun sistim dan cara dari pada Deviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening, yang bersifat tidak konkrit dan berbelit-belit, telah menciptakan, khususnya bagi masyarakat yang bergerak di lapangan perdagangan internasional, suatu suasana yang penuh dengan perasaan takut dan kekhawatiran. Jelaslah bahwa suasana demikian melemahkan penggerakan potensi dan kekuatan Rakyat, khususnya mematikan inisiatip dari pihak produsen-produsen dan pengusaha-pengusaha kita dari kegiatan-kegiatan yang justru merupakan sumber-sumber bagi Negara untuk memupuk kekayaan devisa.
Salah satu tekhinik yang dipakai dalam Deviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening yang tidak dapat dipertahankan adalah pembagian masyarakat Indonesia dalam dua golongan, yaitu: - golongan "penduduk-devisa" dan - golongan "bukan penduduk-devisa". Oleh karena penarikan garis oleh Diviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening dilakukan dengan tidak memandang kebangsaan atau kewarganegaraan, maka sesama warganegara, baik Indonesia maupun asing, dapat digolongkan sebagai "penduduk devisa" dan "bukan penduduk devisa". Dengan demikian "Deviezen-ordonnnatie menjalankan penguasaan terhadap segala hubungan-hubungan keuangan antara "penduduk devisa" dan "bukan penduduk devisa", sehingga juga untuk transaksi-transaksi yang semata-mata bergerak di dalam negeri dan tidak menyangkut soal-soal devisa biarpun dilakukan antara warga negara Indonesia harus dimintakan izin terlebih dahulu dari pembesar-pembesar devisa, jika salah satu pihak merupakan "bukan penduduk devisa". Pembagian masyarakat Indonesia dalam dua golongan, yaitu golongan "penduduk-devisa" dan golongan "bukan penduduk Devisa" sudah terang merupakan rintangan untuk menciptakan ekonomi nasional yang sehat. Oleh karena itu dalam kehendak kita untuk menyusun ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis perlu pembagian masyarakat Indonesia dalam dua golongan dihapuskan. Untuk mencapai maksud itu perlu diambil kewarganegaraan sebagai kriterium, agar supaya kepentingan nasional dapat diperhatikan sepenuhnya dalam lalu-lintas perdagangan dengan luar negeri.
Selanjutnya sifat yang amat kaku dari Deviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening sangat menghambat kelancaran dalam melaksanakan hubungan finansiil antara Indonesia dan luar negeri. Sifat yang amat kaku ini yang pada hakekatnya melarang segala- galanya, terkecuali jika diizinkan secara khusus atau umum, telah menimbulkan keharusan penetapan peraturan-peraturan penyelenggaraan yang jumlahnya demikian besarnya, sehingga keseluruhan ketetapan-ketetapan yang dikenal sebagai "peraturan-peraturan devisa" menjadi sangat kompleks dan sangat ruwet. Banyaknya dan berbelit-belitnya peraturan devisa itu dan kesimpangsiuran dalam interpretasi daripada peraturan-peraturan itu telah merupakan sumber rintangan-rintangan yang sangat menghambat kelancaran dalam pembangunan Negara dibidang perekonomian.
Dalam menghadapi masalah ekonomi, kita sadar bahwa sisa-sisa kelonial dan sisa feodal dan demikian pula sifat-sifat hubungan ekonomi dan perdagangan dengan dunia luar masih juga memberikan rintangan dalam pertumbuhan kearah sosialisme Indonesia. Dalam Deklarasi Ekonomi secara jelas dikemukakan hal-hal sebagai berikut: Dalam melanjutkan pertumbuhan-pertumbuhan di bidang sosial dan ekonomi, maka kita harus bertitik-pangkal pada modal yang sudah kita miliki ialah:
Aktivitas ekonomi Indonesia dewasa ini kurang lebih 80% sudah berada di tangan bangsa Indonesia. Dalam tahun 1950 boleh dikatakan aktivitas ekonomi di Indonesia sebagian terbesar masih dikuasai oleh bangsa asing, sehingga baik Pemerintah maupun rakyat, tidak dapat mengadakan perencanaan secara pokok bagi pertumbuhan ekonomi secara revolusioner.
Pada waktu-waktu belakangan ini Pemerintah sudah mulai dapat secara aktif aktivitas ekonominya dalam arti konsepsionil, organisatoris dan strukturil.
Meskipun demikian kita belum dapat berkembang secara mendalam oleh karena perhatian Pemerintah dan kekuatan rakyat masih dititik-beratkan kepada penyusunan alat-alat Revolusi yang baru pada waktu sekarang ini dapat dikatakan lengkap. Oleh karena itu boleh dikatakan bahwa baru sekarang kita dapat menggerakkan segala usaha dan perhatian rakyat dan Pemerintah untuk menanggulangi persoalan ekonomi secara konsepsionil, organisatoris dan strukturil dalam arti keseluruhannya.
Oleh karena itu maka diperlukan suatu approach yang lebih realistis dan ketentuan-ketentuan yang tegas dan sederhana dalam mengatur lalu-lintas devisa antara Indonesia dan luar negeri, dengan memegang teguh pada prinsip- prinsip reasionalisasi selaras pula dengan prinsip-prinsip demokrasi nasional. Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa di samping pengusaan devisa dengan jalan mengharuskan penytorannya dalam Dana Devisa dapat juga dipakai pengusasaan dengan menetapkan cara pemakaiannya, suatu cara yang dalam keadaan tertentu dapat berjalan dengan lebih effisen.
Rasionalisasi berarti pula bahwa pengawasan harus ditujukan kepada sumber devisa yang terpenting. Bagi Negara kita, lalu-lintas perdagangan merupakan komponen yang terpenting; lebih dari 90% dari volume lalu-lintas pembayaran dengan luar negeri merupakan lalu-lintas perdagangan. Berhubung dengan itu pengawasan lalu-lintas pembayaran berarti terutama pengawasan terhadap lalu-lintas perdagangan dengan luar negeri. Dalam hubungan ini harus diawasi bahwa penerimaan devisa dari ekspor yang harus diterima oleh Negara. memang mengalir ke dalam kas Negara untuk merupakan Dana Devisa. Jumlah yang harus diterima ini harus ditentukan secara konkrit oleh Negara, supaya baik yang berwajib menyerahkan devisa (eksportir) maupun badan-badan pengawasa Pemerintah yang bersangkutan secara mudah dan secara mutlak dapat mengetahui tentang pemenuhan kewajiban itu. Syak- wasangka dari pihak badan-badan pengawas di atas atapun perasaan khawatir akan menyalahi peraturan-peraturan dari pihak ekspotir, dengan demikian dapat ditiadakan.
Pengeluaran devisa atas beban Dana Devisa untuk impor hanya dapat dilakukan menurut cara dan ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Dalam hubungan ini baik Pemerintah maupun badan Pemerintah yang ditugaskan harus menetapkan secara konkrit nilai yang dipandang layak olehnya bagi barang-barang yang diizinkan untuk dibeli dari luar negari.
Pengawasan terhadap penerimaan devisa dibidang jasa dapat dibatasi pada pos-pos yang terpenting saja. Pada umumnya dapat ditentukan bahwa devisa yang diterima dibidang jasa harus diserahkan kepada Negara, jika penerimaan devisa itu secara langsung dimungkinkan karena adanya peralatan atau fasilitas-fasilitas yang dimiliki atau dikurangi oleh perusahaan perkapalan asing. Penerimaan devisa oleh perseorangan berdasarkan jasa individual tidak perlu diawasi.
Pengawasan harus dilakukan terhadap pengeluaran devisa untuk jasa atas beban Dana Devisa, karena layak atau tidak layak pengeluaran itu seperti juga hanya dengan impor barang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah dengan mengingat keperluan akan jasa itu dalam rangka kepentingan Negara dipelbagai bidang.
Pengawasan terhadap lalu-lintas modal perlu diadakan untuk menghindarkan pemindahan (pelarian) modal keluar negeri. Pemindahan modal keluar negeri dapat dilakukan dalam bentuk investasi dana-dana di luar negeri oleh warganegara Indonesia.
Pendirian bahwa penerimaan devisa Negara meliputi jumlah-jumlah yang memang secara konkrit diwajibkan oleh Pemerintah untuk diserahkan kepada Dana Devisa, berarti bahwa pemilikan devisa tidak lagi terbatas pada Negara saja. Di samping devisa yang merupakan Dana Devisa terdapat pula devisa yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, baik warga-negara Indonesia maupun warganegara asing, yang tidak diharuskan untuk diserahkan langsung kepada Dana Devisa. Dalam pada itu perlu pula diadakan penertiban tentang cara penggunaan devisa yang termaksud dan penguasaannya oleh Negara letak pada cara pemakaiannya seperti telah dinyatakan di atas sub 7.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa perinsip- prinsip yang dianut dalam Undang-undang ini fundamental sangat berlainan dengan prinsip-prinsip yang diletakkan dalam Deviezen- ordonnatie dan Deviezen-verordening. Sebagai konsekwensi yang logis pada pertentangan ini maka banyak hal-hal yang dalam Deviezen-ordonnantie dan Deviezen-verordening merupakan larangan kini harus ditinggalkan. Dengan demikian, dalam sistim lalu-lintas devisa baru banyak perbuatan yang dengan sengaja tidak dilarang atau diharuskan memakai izin, misalnya: memiliki devisa, memiliki emas, mewakili warganegara Indonesia yang tidak menjadi "penduduk-devisa", mempunyai rekening bank di luar negeri, mengadakan perjanjian dengan "bukan penduduk-devisa", menerima undangan dari "bukan penduduk-devisa" untuk berkunjung ke luar negeri.
Berhubung dengan uraian di atas berbagai perbuatan yang dahulu semuanya merupakan tindak pidana kini untuk sebagian dapat dikesampingkan, hal mana akan menciptakan suatu suasana yang sehat guna perkembangan ekonomi nasional kita. Sebagian lain dari perbuatan yang dahulu dipandang bersifat pidana kini dianggap sebagai pelanggaran administratip, terkecuali jika pelanggaran itu dengan nyata mengakibatkan kerugian terhadap Negara.
Perlu ditegaskan, bahwa peraturan ini mewujudkan struktur dari pada lalu- lintas devisa antara Indonesia dengan luar negeri, yang merupakan suatu landasan untuk suatu politik devisa Pemerintah.
Akhirnya perlu dijelaskan bahwa ketentuan dalam Undang- undang ini tidak mengurangi ketentuan-ketentuan termaktub dalam perjanjian karya antara perusahan-perusahaan minyak Negara dan perusahaan-perusahaan minyak asing, yang telah disahkan dengan Undang-undang. II.PASAL DEMI PASAL Pasal 1 sub 1 dan 2. Cukup jelas. Pasal 1 sub 3. Yang dimaksudkan dengan mata uang emas ialah mata uang emas yang menurut Undang-undang Keuangan yang berlaku di negara yang bersangkutan merupakan uang emas yang sah; Jika tidak, maka barang yang berupa mata uang emas masuk golongan barang pakai atau barang perhiasan. Pasal 1 sub 4. Dengan sengaja bermacam-macam uang asing yang tidak dipakai untuk pembayaran internasional tidak dipandang devisa seperti juga halnya dengan mata uang asing logam bukan emas. Pasal 1 sub 5 s/d 8. Cukup jelas. Pasal 1 sub 9. Arti ekspor dalam kalimat kesatu diperluas dalam kalimat kedua. Pemerintah akan mengadakan tindakan-tindakan agar pengluasan ini tidak menimbulkan ekses-ekses dalam pelaksanaannya. Pasal 2. Yang dapat dikuasai oleh Negara Republik Indonesia dengan sendirinya hanya devisa yang ada hubungannya dengan Negara atau rakyat kita. Jadi misalnya uang US. $ yang dipegang oleh orang Amerika di negaranya dari usahanya di sana, atau uang US. $ yang merupakan hasil ekspor dari Sudan, adalah di luar penguasaan negara kita. Inilah yang dimaksudkan dengan perumusan "yang berasal dari kekayaan alam dan usaha Indonesia". Siapa yang mengusahakan, bangsa asing atau bangsa Indonesia, untuk ini tidak dibedakan. Ke dalam batas-batasnya mana yang dikuasai dirumuskan dengan lebih teliti dalam pasal-pasal selanjutnya. Harus diinsafi, bahwa "penguasaan" tidak perlu senantiasa bersifat "pemilikan". Bahkan dalam banyak hal penguasaan secara pengaturan pemakaiannya adalah lebih efisien dari pada pemilikan, dengan effek sosial yang sama. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Dianggap perlu, bahwa pemupukan devisa negara yang diperlukan guna pemeliharaan ekonomi masyarakat, peninggian tingkat hidup rakyat serta pembangunan Negara ditugaskan kepada instansi yang tinggi. Dalam hal ini tugas itu diberikan kepada Dewan yang terdiri dari Menteri-menteri, diketuai oleh Perdana Menteri/Wakil-wakil Perdana Menteri dan Menteri Koordinator Kompartemen Keuangan sebagai Wakil- Ketua. Pada permulaan dalam masa transisi ini barangkali belum mungkin untuk menetapkan dan mentaati suatu Anggaran Devisa yang rigid, akan tetapi kita harus berusaha keras untuk mencapai taraf itu. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Jika terhadap suatu bank diperintahkan diadakannya penyelidikan oleh satu atau beberapa orang ahli atau badan, maka diindahkan ketentuan dalam Undang-undang No. 23 Prp tahun 1960. Pasal 7 ayat (1) dan (2). Dengan pasal ini ditentukan secara konkrit harga yang dikehendaki oleh Negara dalam ekspor barang dari Indonesia. Dengan penetapan demikian eksportir dapat mengetahui dengan jelas berapa besarnya jumlah devisa yang ia harus serahkan kepada Dana Devisa, sebaliknya Pemerintah secara mudah dan secara mutlak dapat mengetahui tentang pemenuhan kewajiban eksportir. Dengan cara penetapan harga demikian eskpor akan diperlancar karena tidak tergantung lagi pada perumusan yang abstrak "de ter plaatse van levering geldende marktwaarde" seperti ditentukan dalam pasal 15 ayat (1) dari Deviezen-verordening dahulu. Pasal 8. Cukup jelas. Pasal 9. Dokumen-dokumen yang dimaksudkan di sini adalah antara lain: Konosemen, wesel, paktur. Pasal 10. Lihat penjelasan Umum. Pasal 11. Cukup jelas. Pasal 12. Pelaksanaan impor atas beban Dana Devisa diatur menurut rencana impor yang disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi yang urgent dalam rangka penetapan Anggaran Devisa untuk melaksanakan prinsip berdiri di atas kaki sendiri dibidang ekonomi. Pasal 13. Cukup jelas. Pasal 14. Cukup jelas. Pasal 15. Dalam Peraturan Pemerintah diatur cara-cara penguasaan yang lain dari pemasukan dalam Dana Devisa. Penguasaan ditujukan pada pemakaiannya dan meliputi juga overprice, discount, komisi dan sebagainya. Pasal 16. Kewajiban ini telah ada dalam Devizen-verordening 1940. Barangsiapa telah memenuhi kewajiban ini berdasarkan peraturan lama tidak perlu mengulanginya. Pasal 17. Izin ini dapat berupa peraturan umum yang memperkenankan impor dan ekspor Rupiah dalam batas-batas tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu, misalnya untuk memungkinkan melakukan pembayaran-pembayaran pada waktu masuk diwilayah Indonesia. Izin ini dapat bersifat khusus atau insidentil. Pasal 18. Ini yang disebut suatu "Banket-norm". Sebelum dirumuskan persis apa perbuatannya yang terlarang atau diharuskan, telah dinyatakan dapat dipidana. Tidak dibedakan juga apakah peraturan-peraturan itu bersifat penting dan essensiil ataukah hanya bersifat detail dan administratip saja, misalnya berapa lembar dari suatu formulir harus dibuat dan sebagainya. Semua itu dapat dipindana. Dalam sistim baru dinyatakan dengan jelas tindak mana yang diancam dengan pidana dan dipandang "strafwaardig". Jika tidak dinyatakan bahwa suatu tindak bersifat pidana, maka tindak itu masuk lapangan hukum administratip cq perdata. Pasal 19. Sebagian besar dari hukum devisa merupakan hukum administratip yang dilaksanakan di luar pengadilan pidana dan perdata. Dalam keadaan demikian dirasakan perlu bahwa interpretasi tertinggi dalam soal-soal devisa berada di tangan Dewan yang mempunyai tanggung-jawab dalam bidang tersebut dan juga berada dalam posisi yang terbaik untuk mempertimbangkan seluruh aspek finansiil, moneter dan ekonomi dari perundang- undangan devisa. Ada kemungkinan bahwa suatu tindak pidana dalam lapangan devisa oleh fihak kejaksaan diberi arti yang berlebih-lebihan, jauh di luar proporsi kalau ditinjau dalam hubungan neraca pembayaran dan lalu-lintas pembayaran luar negeri seluruhnya. Dewan dan alat-alatnya berada dalam posisi untuk meninjau hubungan dan "scope" ini dengan lebih saksama. Juga ada kemungkinan bahwa dengan dihukumnya suatu perbuatan timbul akibat-akibat lain dalam masyarakat (perdagangan) yang lebih merugikan bagi devisa Negara, sehingga menuntut berarti lebih merugikan dari pada tidak menuntut. Oleh karena itu kepada Dewan diberi wewenang untuk dalam hal-hal yang demikian mengusulkan kepada Menteri/Jaksa Agung untuk tidak menuntut. Pasal 20. Sesuai dengan sistim yang dijelaskan di atas mengenai pasal 18 maka dalam pasal 20 s/d 24 ditetapkan dengan teliti tindak mana yang dipandang tindak pidana, yaitu tindak yang paling merugikan saja untuk Negara dan masyarakat. Yang terpenting ialah yang biasa disebut smokkel (penyelundupan) dalam ekspor. Yaitu mengangkut barang keluar Indonesia dari peredaran dengan tidak menghiraukan pasal-pasal 7, 8, dan 9 sehingga hasil devisanya sama sekali tidak dapat dikuasai oleh Negara. Kalau ini dilakukan dengan sengaja sedang kerugian yang dapat diderita oleh Negara besarnya melebihi suatu jumlah valuta asing yang merupakan nilai lawan 8886.71 gram emas murni, yaitu pada dewasa ini misalnya US$ 10.000, DM. 40.000 atau pada umumnya Nilai Transaksi Rupiah (devisa) 2.500.000,-, pidana penjara 10 tahun, atau denda Rp. 100.juta. Kalau jumlahnya sama dengan nilai lawan 88,8671 gram emas murni (devisa ini Nilai Trasaksi Rupiah 25.000,-) ke bawah, maka tindaknya dipandang administratip. Jika semua peraturan ekspor ditaati tetapi ekspornya sebagian atau seluruhnya tidak dilangsungkan atau suatu jangka waktu tidak ditepati, tindak ini hanya merupakan pelanggaran administratip oleh karena barang ekspornya tidak hilang dan masih tersedia untuk diekspor lagi. Pelanggaran dalam pemberian jasa ke luar negeri, hanya mungkin kalau Dewan telah menetapkan jasa-jasa mana yang taripnya harus dibayar dalam devisa dan sampai mana hasilnya harus diserahkan kepada Dana Devisa. Dalam hal ini dapat dicatat bahwa industri jasa-jasa kita belum begitu berkembang sehingga dapat menghasilkan jumlah- jumlah devisa yang besar. Pasal 21. Dalam hal impor, soalnya adalah berlainan. Kalau ekspor smokkel yang berhasil berarti kehilangan devisa untuk Negara, maka impor secara selundup tidak membebani Dana Devisa, sebab tanpa izin tidak mungkin (diam-diam) devisa dikeluarkan dari Dana Devisa. Maka dari itu pelanggaran pasal 12 hanya merupakan pelanggaran administratip. Jika peraturan-peraturan Bea dan Cukai yang diselundupi dalam peraturan-peraturan itu sendiri telah cukup peraturan- peraturan pidana yang menjaganya. Pasal 22. Cukup jelas. Pasal 23. Cukup jelas. Pasal 24. Cukup jelas. Pasal 25. Peraturan-peraturan ini mengenai soal pertanggungan-jawab jika suatu tindak dilakukan oleh suatu badan hukum. Pada umumnya peraturan-peraturan ini sesuai dengan peraturan-peraturan dalam Undang-undang tindak pidana ekonomi (Undang- undang No. 7 Drt tahun 1955). Pasal 26. Cukup jelas. Pasal 27. Cukup jelas. Pasal 28. Mengadakan perjanjian atau membuat kontrak yang tidak atau belum disetujui oleh Menteri Urusan Bank Sentral cq Biro cq. Bank Indonesia tidak dengan sendirinya merupakan tindak pidana. Akibatnya bahwa dalam perkara perdata perjanjian itu akan diabaikan oleh hakim dan juga bahwa Dana Devisa dan Negara tidak terikat oleh Perjanjian semacam itu. Pasal 29. Cukup jelas. Pasal 30. Cukup jelas. Pasal 31. Ayat 1 : Cukup jelas. Ayat 2 : Cukup jelas. Selainnya dari itu perlu dicatat bahwa perbuatan-perbuatan yang membutuhkan izin adalah jauh lebih sedikit dari pada menurut Deviezen- ordonantie. Ayat 3: Pembebasan umum dapat berbentuk peraturan khusus yang menyimpang dari Undang-undang ini. Misalnya untuk pengeluaran atau pemasukan barang pindahan, barang hadiah dan sebagainya. Sekalipun formilnya juga merupakan ekspor dan impor Dewan dapat mengeluarkan peraturan khusus yang merupakan pembebasan- pembebasan. Ayat 4. Dalam prakteknya delegasi ini akan dilakukan kepada Menteri Urusan Bank Sentral yang dapat mendelegasikan lagi kepada Bank Indonesia dan/atau Biro. Pasal 32 s/d 34. Cukup jelas. Mengetahui : Sekretaris Negara, MOHD. ICHSAN.
Penanaman Modal Asing
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 10 Januari 1967. Presiden Republik Indonesia, ttd SUKARNO. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 Januari 1967. Sekretaris Negara, ttd MOHD. ICHSAN. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1967 NOMOR 1 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG No. 1 TAHUN 1967 TENTANG PENANAMAN MODAL ASING. PENJELASAN UMUM. Keadaan ekonomi kita sejak beberapa tahun ditandai oleh kemerosotan daya beli Rakyat secara terus menerus dan perbedaan tingkat hidup yang makin menonjol. Keadaan yang menyedihkan ini tidak dapat dibiarkan berlangsung terus dan harus segera dihentikan. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara telah menetapkan bahwa kepada masalah perbaikan ekonomi Rakyat harus diberikan prioritas utama diantara soal-soal Nasional dan bahwa cara menghadapi masalah-masalah ekonomi harus didasarkan kepada prinsip- prinsip ekonomi yang rasionil dan realistis. Dengan berpegang teguh kepada Ketetapan M.P.R.S. ini maka segera harus diambil langkah-langkah untuk memperbaiki nasib ekonomi rakyat. Masalah ekonomi adalah masalah meningkatkan kemakmuran Rakyat dengan menambah produksi barang dan jasa, sedang selanjutnya adalah masalah mengusahakan pembagian yang adil dari barang dan jasa hasil produksi. Peningkatan produksi dapat tercapai melalui penanaman modal, penggunaan teknologi, penambahan pengetahuan, peningkatan ketrampilan, penambahan kemampuan berorganisasi dan management. Dalam rangka ini penanaman modal memegang peranan yang sangat penting. Dalam menghentikan kemerosotan ekonomi dan melaksanakan pembangunan ekonomi maka azas, penting yang harus dipegang teguh ialah bahwa segala usaha harus didasarkan kepada kemampuan serta kesanggupan Rakyat Indonesia sendiri. Namun begitu azas ini tidak boleh menimbulkan keseganan untuk memanfaatkan potensi-potensi modal, teknologi dan skill yang tersedia dari luar negeri, selama segala sesuatu benar-benar diabdikan kepada kepentingan ekonomi Rakyat tanpa mengakibatkan ketergantungan terhadap luar negeri. Berdasarkan pangkal tolak yang rasionil dan realistis sebagaimana diuraikan diatas maka ditetapkan Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing. Untuk mencapai maksud tersebut diatas, maka dengan Undang-undang kepada modal asing diberikan pembebasan/kelonggaran perpajakan dan fasilitas-fasilitas lain. Dalam pada itu Undang-undang ini tidak membuka seluruh lapangan usaha bagi modal asing. Dominasi… Dominasi modal asing seperti dikenal dalam zaman penjajahan dengan sendirinya harus dicegah. Perusahaan-perusahaan vital yang menguasai hajat hidup orang banyak tetap tertutup bagi modal asing (pasal 6). Dalam tiap izin penanaman modal asing ditentukan jangka waktu berlakunya yang tidak lebih dari 30 tahun. Kecuali itu didalam menentukan bidang-bidang usaha mana modal asing diperbolehkan, Pemerintah sepenuhnya memperhatikan kekuatan modal nasional yang ada rencana-rencana pembangunan yang akan disusun oleh Pemerintah (pasal 5.). Dalam hal ini tidak boleh dilupakan bahwa tanah, kekayaan alam dan iktikat baik negara dan bangsa Indonesia juga dapat diperhitungkan sebagai modal yang berharga. Penanaman modal asing menurut Undang-undang ini dapat dilakukan dalam bentuk perusahaan yang dari semula modalnya seratus persen terdiri dari modal asing ataupun dalam bentuk kerja-sama antara modal asing dan modal nasional. Berhubung dengan ketentuan dalam pasal 27 Pemerintah akan menentukan pula bidang- bidang usaha mana yang hanya dapat diusahakan dalam bentuk kerja-sama dengan modal nasional (pasal 5 ayat 1). PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1. Berbeda dari pada kredit yang risiko penggunaannya ditanggung oleh peminjam maka didalam penanaman modal asing risiko penggunaannya menjadi tanggungan penanam. Undang-undang ini hanya mengatur hal penanaman modal asing dan tidak mengatur hal kredit. Berhubung dengan itu maka perlu dikemukakan kemungkinan adanya modal asing yang digunakan dalam sesuatu usaha sepenuhnya, dan adanya modal asing yang dimanfaatkan dalam sesuatu usaha dalam kerja-sama dengan modal nasional. Pasal 2. Modal asing dalam Undang-undang ini tidak hanya berbentuk valuta asing, tetapi meliputi pula alat-alat perlengkapan tetap yang diperlukan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, penemuan-penemuan milik orang/badan asing yang dipergunakan dalam perusahaan di Indonesia, dan keuntungan yang boleh ditransfer keluar negeri tetapi dipergunakan kembali di Indonesia. Pasal 3. Penanaman modal asing oleh seorang asing, dalam statusnya sebagai orang- perseorangan, dapat menimbulkan kesulitan/ketidak tegasan di bidang hukum internasional. Dengan… Dengan mewajibkan bentuk badan hukum maka dengan demikian akan mendapat ketegasan mengenai status hukumnya, yaitu badan hukum Indonesia yang tunduk pada hukum Indonesia. Sebagai badan hukum terdapat ketegasan tentang modal yang ditanam di Indonesia. Pasal 4. Dengan ketentuan ini maka dapat diusahakan pembangunan yang merata di seluruh wilayah Indonesia dengan memperhatikan daerah-daerah minus, sesuai dengan rencana pembangunan ekonomi nasional dan daerah. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas. Pasal 7. Cukup jelas. Pasal 8. Untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan ekonomi maka Pemerintah menentukan bentuk-bentuk kerjasama antara modal asing dan modal nasional yang paling menguntungkan untuk tiap bidang usaha. Mungkin bentuk kerja-sama ini berujud kontrak karya, joint venture atau bentuk lainnya. Pasal 9. Kepada pemilik modal asing diperkenankan sepenuhnya menetapkan direksi perusahaannya. Kiranya hal demikian itu sudah sewajarnyalah karena penanam modal asing ingin menyerahkan pengurusan modal kepada orang yang dipercayainya. Dalam hal kerja-sama antara modal asing dan modal nasional, direksi ditetapkan bersama-sama. Pasal 10 dan 11. Cukup jelas. Pasal 12…. Pasal 12. Kecuali memberikan pendidikan dalam bidang teknik, maka perusahaan modal asing diwajibkan menyelenggarakan dan/atau menyediakan fasilitas-fasilitas latihan dan pendidikan dalam bidang pemasaran dalam dan luar negeri. Pasal 13. Pengawasan oleh Pemerintah dilaksanakan secara aktif dan effektif. Pasal 14.
Ketentuan pasal ini yang memungkinkan diberikannya tanah kepada perusahaan-perusahaan yang bermodal asing bukan saja dengan hak pakai, tetapi juga dengan hak guna bangunan dan hak guna usaha, merupakan penegasan dari apa yang ditentukan di dalam pasal 55 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria, berhubungan dengan pasal 10, 62 dan 64 Ketetapan M.P.R.S. No. XXIII/MPRS/1966.
Sesuai,dengan ketentuan Undang-undang Pokok Agraria pasal 35, pasal 29 dan pasal 41, maka hak guna bangunan tersebut dapat diberikan dengan jangka waktu paling lama 30 tahun, yang mengingat keadaan perusahaan dan bangunannya dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Hak guna usaha dapat diberikan dengan jangka waktu paling lama 25 tahun. Kepada perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan macam tanaman yang diusahakannya memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna usaha dengan jangka waktu hak guna usaha tersebut dapat diperpanjang paling lama 25 tahun, Hak pakai diberikan dengan jangka waktu menurut keperluannya, dengan mengingat pembatasan-pembatasan bagi hak guna bangunan dan hak guna usaha tersebut di atas. Pasal 15.
Pembebasan :
Karena usaha sesuatu perusahaan itu beraneka ragam dan dengan demikian juga kemungkinan berproduksinya maka jangka waktu pembebasan pajak dapat diatur sesuai dengan itu. Jangka waktu maksimal 5 tahun dianggap cukup untuk memberi kompensasi terhadap pengeluaran yang dilakukan sebelum usaha bersangkutan berproduksi. Menurut… Menurut pengertian internasional saat permulaan berproduksi adalah saat sesuatu usaha baru mulai berproduksi dalam jumlah yang dapat disalurkan di pasaran.
Pembagian laba yang diperoleh selama waktu pembebasan pajak wajar dibebaskan juga dari pengenaan pajak deviden.
Keuntungan yang ditanam kembali, diperlukan sebagai penanaman modal asing baru.
Cukup jelas.
Dalam rangka pemberian pembebasan pajak kepada modal asing maka tidak diadakan pungutan sub a No. 5, karena tergolong biaya sebelum sesuatu usaha baru berproduksi.
Keringanan:
Dengan menyimpang dari tarip pajak perseroan marginal sebesar enam puluh perseratus dari jumlah laba bersih, sebagaimana ditentukan dalam Ordonansi Pajak Perseroan 1925 maka untuk jangka waktu yang tidak melebihi 5 tahun sesudah jangka waktu pembebasan diberikan suatu penurunan tarip pajak dengan memperhatikan bidang-bidang usaha menurut urutan prioritas yang dimaksud dalam pasal 5 ayat (1). Jumlah pajak dalam jangka waktu tersebut akan berupa suatu tarip proporsionil setinggi-tingginya lima puluh perseratus dari laba tahunan bersih.
Pasal 7 Ordonansi Pajak Perseroan 1925 menentukan bahwa kerugian yang diderita dalam sesuatu tahun hanya dapat diperhitungkan dengan laba dalam 2 tahun berikutnya. Menurut ketentuan dalam angka 2 sub b ini maka kerugian yang diderita selama jangka waktu pembebasan tersebut sub a angka 1, dapat diperhitungkan dengan laba yang diperoleh setelah jangka waktu sehingga kerugian tersebut dapat diperhitungkan penuh.
Menteri Keuangan akan mengatur sesuatu tabel penyusutan untuk barang perlengkapan tetap perusahaan baru modal asing dengan memperhatikan bidang-bidang usaha menurut urutan prioritas yang disebut dalam pasal 5 ayat (1). Pasal 16…. Pasal 16.
Besarnya kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain tersebut dalam pasal 15 ditentukan sesuai dengan prioritas mengenai bidang- bidang usaha sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 5 dan sesuai pula dengan berat ringannya usaha.
Ada kemungkinan sesuatu perusahaan modal asing yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat membuktikan bahwa kelonggaran- kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain seperti tersebut dalam ayat (1) masih belum cukup untuk berusaha secara effisien dan effektif. Hal yang demikian itu dapat terjadi apabila perusahaan tersebut memerlukan modal yang sangat besar untuk investasi atau untuk biaya "overhead". Dalam keadaan yang demikian Pemerintah dapat memberikan kelonggaran-kelonggaran itu kepada setiap perusahaan yang dianggap pantas untuk diberikannya. Tiap-tiap keputusan Pemerintah itu harus dituangkan dalam, suatu Peraturan Pemerintah. Apabila Pemerintah membuat Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (2) maka Pemerintah akan menghubungkan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan-ketentuan mengenai kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain yang dimaksud dalam Bab VI Undang-undang ini akan dilakukan juga bagi modal nasional dan bagi modal domestic asing dalam bidang-bidang usaha yang sama. Pasal 17. Dalam peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah nanti akan ditentukan lebih lanjut pelaksanaan administratif perpajakan. Pasal 18. Selanjutnya diadakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Perusahaan modal asing harus.mengadakan pembukuan tersendiri dari modal asingnya.
Untuk menetapkan besarnya modal asing maka jumlahnya harus dikurangi dengan jumlah-jumlah yang dengan jalan repatriasi telah ditransfer.
Tiap tahun perusahaan diwajibkan menyampaikan kepada Pemerintah suatu ikhtisar dari modal asingnya. Pasal 19… Pasal 19 dan 20. Perusahaan modal asing diberikan izin transfer dalam valuta aslinya setelah bekerja beberapa waktu menurut penetapan Pemerintah. Hak transfer merupakan suatu perangsang untuk menarik penanaman modal asing. Realisasi transfer termaksud ditetapkan lebih lanjut oleh Pemerintah. Semua transfer selain yang diperkenankan berdasarkan pasal 19 huruf a, b dan c dipandang sebagai repatriasi modal asing. Dirasakan adil apabila perusahaan-perusahaan yang menggunakan modal asing tidak diperbolehkan merepatriasi modalnya/mentransfer penyusutan modalnya selama perusahaan-perusahaan itu masih memperoleh kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain. Perlu diterangkan bahwa transfer keuntungan modal asing dapat dilakukan juga selama perusahaan itu memperoleh kelonggaran- kelonggaran perpajakan dan pungutan-pungutan lain. Pasal 21 dan 22. Untuk menjamin ketenangan bekerja modal asing yang ditanam di Indonesia maka dalam pasal ini ditetapkan bahwa Pemerintah tidak akan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan modal asing, kecuali jika kepentingan Negara menghendakinya. Tindakan demikian itu hanya dapat dilakukan dengan Undang- undang serta dengan pemberian kompensasi menurut prinsip-prinsip Hukum Internasional. Pasal 23. Pengertian modal nasional dalam Undang-undang ini meliputi modal Pemerintah Pusat dari Daerah, Koperasi dan modal swasta nasional. Pasal 24 dan 25. Cukup jelas. Pasal 26. Maksud ketentuan ini adalah untuk mencegah jangan sampai perusahaan modal asing yang bersangkutan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan kepentingan Negara, ataupun tidak melakukan sepenuhnya tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelenggarakan perusahaan secara effektif dan effisien sesuai dengan tujuan pemberian kesempatan menanam modal asing di Indonesia. Pasal 27. Cukup jelas. Pasal 28…. Pasal 28. Dalam melaksanakan Undang-undang ini tersangkut bidang berbagai Departemen. Karena itu perlu diadakan badan koordinasi yang sederhana yang dapat berbentuk dewan yang terdiri dari Menteri-Menteri yang bersangkutan. Pasal 20, 30 dan 31 Cukup jelas.
Peraturan Lalu Lintas Devisa.
Relevan terhadap
Bank devisa yang telah membeli valuta asing seperti termaksud dalam pasal 9 ayat (2) dan pasal 10 ayat (3) berkewajiban untuk menyerahkannya kepada Bank Indonesia.
Penggantian nilai lawan dalam Rupiah untuk devisa yang diserahkan kepada Bank Indonesia ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI. IMPOR BARANG DAN PENERIMAAN JASA DARI LUAR NEGERI ATAS BEBAN DANA DEVISA. Pasal 12. Impor barang dari luar negeri atas beban Dana Devisa hanya boleh diadakan jikalau untuk itu telah dikeluarkan izin umum atau khusus oleh Pimpinan Biro dengan syarat yang ditentukan olehnya. Pasal 13.
Barangsiapa telah mendapat izin untuk impor seperti dimaksud dalam pasal 12 berkewajiban untuk menutup kontrak-valuta dengan bank devisa untuk jumlah yang disediakan oleh Biro untuk impor barang tersebut dan harus berbunyi dalam valuta yang sama jenisnya serta menyebutkan jangka waktu pembayaran seperti telah ditentukan oleh Biro.
Pada waktu pemasukan barang dari luar negeri importir diwajibkan untuk menyampaikan kepada pejabat Bea dan Cukai setempat di mana barang impor akan dimasukkan suatu pemberitahuan tentang pemasukan barang yang bentuknya ditetapkan oleh Biro. Pemberitahuan itu harus disusun sesederhana mungkin dan disampaikan dengan disertai izin sebagaimana termaksud dalam ayat (1). Pasal 14.
Pengeluaran devisa lainnya daripada yang termaksud dalam pasal 12 atas beban Dana Devisa Negara hanya boleh dilakukan berdasarkan izin umum atau khusus yang dikeluarkan oleh Biro.
Perjanjian-perjanjian yang akan mengakibatkan beban atas Dana Devisa harus disetujui lebih dahulu oleh Menteri Urusan Bank Sentral/Gubernur Bank Indonesia. Jika persetujuan tidak diberikan kewajiban membayar hanya dapat dipenuhi dari devisa yang dimaksudkan dalam Bab VII. BAB VII. PENGUASAAN DEVISA YANG TIDAK DIHARUSKAN UNTUK LANGSUNG DISERAHKAN KEPADA DANA DEVISA. Pasal 15. Segala sesuatu yang bertalian dengan penggunaan, pembebanan dan pemindahan hak atas devisa yang tidak diharuskan untuk langsung diserahkan kepada Dana Devisa menurut pasal 11 diatur berdasarkan rencana penggunaan devisa dengan Peraturan Pemerintah. BAB VIII. KEWAJIBAN MENDAFTAR DAN MENYIMPAN EFFEK. Pasal 16.
Warga-negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berkewajiban untuk menyimpan dalam simpanan terbuka effek yang berbunyi dalam mata uang lain daripada Rupiah, yang dimilikinya pada waktu peraturan ini mulai berlaku dan yang diperolehnya sesudah waktu itu, pada bank devisa Pemerintah atau pada korespondennya di luar negeri atas nama bank devisa Pemerintah bersangkutan. Penyimpanan ini harus dilakukan dalam batas waktu enam bulan sesudah peraturan ini berlaku atau tiga bulan sesudah effek diperolehnya.
Kewajiban tersebut dalam ayat (1) berlaku pula untuk warga- negara asing dan badan hukum asing untuk:
effek yang berbunyi dalam mata uang Rupiah;
effek yang berbunyi dalam mata uang lain daripada Rupiah, sekedar dimiliki sebelum Undang-undang ini berlaku.
Bank tersebut dalam ayat (1) berkewajiban untuk mendaftarkan effek yang disimpan padanya menurut petunjuk Pimpinan Biro, dengan ketentuan bahwa effek yang diajukan untuk disimpan setelah lewatnya jangka waktu yang ditetapkan diatas, hanya dapat didaftarkan dengan izin Biro.
Dalam menjalankan ketentuan dalam ayat (1) ditentukan bahwa effek yang dikeluarkan sebelum 29 Desember 1949 oleh badan hukum di Indonesia baik yang berwarga-negara Indonesia maupun asing, dianggap sebagai effek yang harus disimpan dalam simpanan terbuka.
Biro berwenang untuk menentukan bilamana effek yang telah disimpan dapat dikembalikan kepada yang berhak. BAB IX. LARANGAN. Pasal 17.
Impor dan ekspor mata uang Rupiah dilarang terkecuali dengan izin Pimpinan Biro.
Ekspor dari benda yang berikut: emas uang kertas asing, effek yang berbunyi dalam mata uang Rupiah, dilarang terkecuali dengan izin umum atau khusus dari Biro.
Pimpinan Biro dengan mengingat petunjuk-petunjuk Dewan dapat membatasi jumlah uang kertas asing yang dapat diimpor.
Effek yang berbunyi dalam mata uang lain daripada rupiah dilarang diekspor oleh warga-negara Indonesia, terkecuali dengan izin umum atau khusus dari Biro. Warga-negara asing atau badan hukum asing, dilarang untuk membeli dan memperoleh dengan cara dan dalam bentuk apapun juga effek yang berbunyi dalam mata uang Rupiah, terkecuali dengan izin umum atau khusus dari Biro.
Warga-negara asing atau badan hukum asing dilarang untuk mengekspor effek termaksud dalam pasal 16 sub (2) (b), terkecuali dengan izin dari Biro.
Pimpinan Biro mengingat petunjuk-petunjuk Dewan dapat menentukan, bahwa warga-negara asing atau badan hukum asing tertentu dilarang untuk memperoleh kredit dari bank atau mengadakan pinjaman, termasuk mengeluarkan obligasi, saham, tanda pinjaman jangka panjang lainnya dan tanda pinjaman jangka pendek yang berbunyi dalam mata uang rupiah. BAB X. KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA DEVISA DAN HUKUM ACARA PIDANA DEVISA. Pasal 18. Terkecuali jika suatu perbuatan dengan nyata dalam Undang- undang ini disebut kejahatan atau pelanggaran pidana, semua perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya dipandang sebagai pelanggaran administratip, yang hanya dikenakan denda administratip atau pidana administratip lain menurut ketentuan yang dikeluarkan oleh Pimpinan Biro mengingat petunjuk-petunjuk Dewan. Denda ini setinggi-tingginya berjumlah dua puluh lima juta rupiah. Pasal 19.
Dewan mempunyai hak interpretasi yang tertinggi tentang Undang-undang ini dan tentang peraturan yang didasarkan atasnya.
Dewan berwenang mengusulkan kepada Menteri/Jaksa Agung agar terhadap sesuatu tindak pidana berdasarkan Undang-undang ini tidak akan dilakukan penuntutan. Usul tersebut disertai dengan alasan-alasan.
Jaksa dan Hakim dalam menjalankan tugas kewajibannya berdasarkan Undang-undang Pokok Kejaksaan dan Undang- undang Pokok Kekuasaan Kehakiman wajib mengingat pada ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan (2). Pasal 20.
Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam ayat (6) maka pelanggaran pasal, 7, 8, 9, 10, 11, 16 dan 17 yang dibuat dengan sengaja dan dapat berakibat kerugian untuk negara yang meliputi jumlah yang besarnya lebih dari nilai lawan 88,8671 gram emas murni dalam valuta asing untuk tiap perbuatan, dinyatakan sebagai kejahatan.
Jika kerugian termaksud dalam ayat (1) besarnya tidak melebihi nilai lawan 8886,71 gram emas murni dalam valuta asing, maka pelanggar itu dikenakan pidana penjara selama-lamanya lima tahun dan/atau pidana denda setinggi-tingginya sepuluh juta rupiah.
Jika kerugian termaksud dalam ayat (1) besarnya melebihi nilai lawan 8886,71 gram emas murni dalam valuta asing maka pelanggar itu diberi pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun dan/atau pidana denda setinggi-tingginya seratusjuta rupiah.
Barang terhadap mana perbuatan tersebut dalam ayat (2) dan (3) dilakukan dapat dirampas untuk Negara.
Jika kerugian yang tersebut dalam ayat (1) tidak melampaui nilai lawan 88,8671 gram emas murni dalam valuta asing, maka perbuatan itu dinyatakan pelanggaran administratip.
Jikalau pelanggaran pasal 7, 8, dan 9 berupa tidak melaksanakan ekspor sebagian atau seluruhnya ataupun bersifat tidak mentaati jangka waktu yang ditetapkan untuk suatu perbuatan dalam penyelenggaraan ekspor, maka pelanggaran itu dipandang pelanggaran administratip.
Jika tindak pidana dilakukan tidak dengan sengaja, maka pidana tertingginya ditetapkan sepertiga dari pidana tertinggi apabila dengan sengaja. Pasal 21. Pelanggaran pasal 12 dan 13 dinyatakan sebagai pelanggaran administratip. Pasal 22.
Barangsiapa setelah mendapat perintah seperti termaksud dalam pasal 6 sub a dengan sengaja tidak memenuhi perintah itu tanpa alasan yang sah ataupun dengan sengaja menyampaikan keterangan yang tidak benar dalam memenuhi perintah itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya satu juta rupiah.
Perbuatan ini merupakan kejahatan. Pasal 23.
Barangsiapa karena jabatannya atau pekerjaannya tersangkut dalam penyelenggaraan Undang-undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya wajib merahasiakan semua yang diketahuinya karena jabatan atau pekerjaan itu, kecuali jika ia harus memberikan keterangan justru karena jabatan atau pekerjaan itu terhadap pihak ketiga.
Kewajiban ini berlaku pula untuk para ahli yang berhubung dengan penyelenggaraan Undang-undang dan peraturan yang didasarkan atasnya diminta memberikan nasehatnya atau yang diserahi melakukan sesuatu pekerjaan. Pasal 24.
Barangsiapa dengan sengaja melanggar kewajiban untuk merahasiakan sebagaimana termaksud dalam pasal 23 dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya satu juta rupiah.
Perbuatan tersebut di atas merupakan kejahatan. Pasal 25.
Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata-tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.
Suatu tindak pidana dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, jika tindak pidana itu dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu tak perduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana itu atau pada mereka bersama ada anasir-anasir tindak pidana tersebut.
Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu pada waktu penuntutan itu diwakili oleh seorang pengurus, atau jika ada lebih dari seorang pengurus, oleh salah seorang dari mereka itu. Wakil dapat diwakili oleh orang lain. Hakim dapat memerintahkan supaya seorang pengurus menghadap sendiri dipengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus itu dibawa kemuka hakim.
Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, maka segala panggilan untuk menghadap dan segala penyerahan surat-surat panggilan itu akan dilakukan kepada kepala pengurus atau di tempat tinggal kepala pengurus itu atau di tempat pengurus bersidang atau berkantor. Pasal 26.
Untuk penyidikan tindak pidana yang tersebut dalam Undang- undang ini disamping pegawai-pegawai yang pada umumnya diberi tugas menyidik tindak pidana, ditunjuk pula:
pegawai Bea dan Cukai, b. pegawai Biro yang ditunjuk oleh Dewan.
Pegawai penyidik tersebut di atas sewaktu-waktu berwenang untuk melakukan penyitaan, begitu juga untuk menuntut penyerahan supaya dapat disita daripada segala barang yang dapat dipakai untuk mendapatkan kebenaran atau yang dapat diperintahkan untuk dirampas, dimusnahkan atau dirusakkan supaya tidak dapat dipakai lagi.
Mereka sewaktu-waktu berwenang untuk menuntut pemeriksaan segala surat yang dianggap perlu untuk diperiksa guna melakukan tugasnya sebagaimana mestinya.
Mereka sewaktu-waktu berwenang untuk memasuki semua tempat yang dianggap perlu guna melakukan tugasnya sebagaimana mestinya. Mereka berkuasa untuk menyuruh agar dikawani oleh orang-orang tertentu yang mereka tunjuk. Jika dianggap perlu mereka memasuki tempat-tempat tersebut dengan bantuan polisi. Pasal 27.
Biro berwenang untuk memerintahkan penyerahan barang atau effek, yang diperoleh dengan jalan melanggar Undang-undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya atau dengan mana, ataupun tentang mana perbuatan itu telah dilakukan, atau yang merupakan pokok perbuatan sedemikian, dari yang melanggar, baik perseorangan maupun badan hukum.
Perintah ini dalam hal tindak pidana hanya dapat diberikan, jikalau diputuskan bahwa tidak akan diadakan tuntutan. Perintah termaksud diberikan dengan surat perintah tercatat.
Jikalau dalam batas waktu tiga bulan perintah ini tidak dipenuhi, maka Biro dapat menetapkan jumlah paksaan dalam mata uang rupiah yang harus dibayarkan kepadanya dalam batas waktu yang ditetapkan olehnya.
Jumlah paksaan yang tersebut dalam ayat (3) di atas dan denda administratip yang tersebut dalam pasal 18 dapat dipungut dengan surat paksa, yang dikeluarkan atas nama Pimpinan Biro dan dapat dilaksanakan menurut ketentuan mengenai surat paksa dalam Peraturan Pajak Berkohir. BAB XI. KETENTUAN LAIN. Pasal 28. Tiap perjanjian yang diadakan dengan melanggar Undang- undang ini dan peraturan yang didasarkan atasnya adalah batal dalam arti yang dipakai dalam Kitab Undang-undang Perdata. Pasal 29.
Dewan berwenang untuk mengeluarkan peraturan mengenai hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang ini yang dianggapnya perlu untuk mencapai maksud dan tujuan Undang-undang ini. Peraturan termaksud dalam ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. Pasal 30. Dalam menjalankan Undang-undang ini, Pimpinan Biro dengan mengingat petunjuk- petunjuk Dewan dapat:
mengeluarkan peraturan khusus untuk Perwakilan diplomatik dan konsuler asing dan Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Badan-badan International semacam itu berikut pegawai-pegawainya yang berstatus diplomatik atau konsuler.
mewajibkan warga-negara asing dan badan hukum asing tertentu yang diizinkan untuk berusaha di Indonesia untuk menyerahkan valuta asing ke dalam "Dana Devisa Negara" dalam menjalankan usahanya. Pasal 31.
Surat permohonan untuk mendapat izin berdasarkan Undang- undang ini atau peraturan pelaksanaannya dan juga surat izinnya adalah bebas dari ber meterai.
Kalau satu dari dua pihak dalam melakukan sesuatu perbuatan telah mendapat izin atau pembebasan, maka pihak yang kedua tidak perlu meminta lagi izin atau pembebasan.
Dari semua ketentuan Undang-undang ini Dewan dapat memberikan pembebasan secara khusus atau umum dan dalam kedua hal dapat dietapkan syarat-syarat tertentu.
Dewan dapat mendelegasikan wewenang ini kepada Ketua Dewan atau salah seorang anggotanya. Pasal 32. PERATURAN PERALIHAN.
Pada hari mulai berlakunya Undang-undang ini:
Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri dilebur sebagai badan hukum dan segala aktiva dan pasivanya beralih kepada Biro;
Segala aktiva dan pasiva "Dana Devisen" dijadikan Dana Devisa. Hubungan kerja antara Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri dan para pegawainya diambil-alih oleh Biro.
Jikalau untuk sesuatu hal menurut Undang-undang ini diharuskan adanya suatu izin atau dari sesuatu kewajiban dapat diberikan pembebasan, maka izin atau pembebasan yang telah diberikan berdasarkan Deviezen-verordening 1940 dianggap sebagai berdasarkan Undang-undang ini.
Segala peraturan pelaksanaan dari Deviezen-ordonnantie 1940 dan Deviezen-verordening 1940 sekedar mengatur lebih lanjut hal-hal yang ditentukan dalam Undang-undang ini tetap berlaku pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, sampai ditarik kembali.
Penggunaan, pembebasan dan pemindahan hak atas valuta asing termaksud dalam Pengumuman Pimpinan L.A.A. P.L.N. No. 3 tanggal 27 Mei 1963 dan S.K.B. Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan dan Urusan Bank Sentral No. No. IE/IU/KB/32/12/SKB jo Kep. 26/UBS/64 dan Kep. 35/UBS/ No. Kep. 21/UBS/64 64 diperkenankan sampai pengumuman dan peraturan ini ditarik kembali.
Terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut Devizen- ordonnantie 1940 dan Deviezen-verordening 1940 merupakan tindak pidana dan tidak lagi demikian halnya menurut Undang- undang ini, berlaku peraturan yang tersebut terakhir.
Bank Swasta yang telah ditunjuk sebagai bank devisa menjalankan funksinya selama masa peralihan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 33.
Pasal 1 ayat 1e sub f dari Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-undang No. 7 Drt tahun 1955) dihapuskan dan diganti hingga berbunyi sebagai berikut: "Pasal 7, 8 dan 9 dari Undang-undang No. 32 tahun 1964 tentang "Peraturan Lalu-Lintas Devisa 1964", terkecuali jikalau pelanggaran itu berupa tidak melaksanakan ekspor sebagian atau seluruhnya ataupun tidak mentaati jangka waktu yang ditetapkan untuk suatu perbuatan dalam penyelenggaraan ekspor".
Undang-undang No. 4 Prp tahun 1959 (Lembaran-Negara tahun 1959 No. 91). dan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1964 (Lembaran-Negara tahun 1964 No. 2) ditarik kembali. Pasal 34. PERATURAN PENUTUP. Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Devisa 1964 dan mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1964 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SUKARNO. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1964. SEKRETARIS NEGARA, MOHD. ICHSAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 1964 TENTANG PERATURAN LALU-LINTAS DEVISA. I. UMUM.
Rezim devisa yang hingga kini berlaku di tanah air kita mulai diadakan pada pertengahan tahun 1940 oleh Pemerintah Hindia Belanda, dengan dikeluarkannya Deviezen-Ordonantie 1940 (Staatsblad 1940 No. 205, sebagaimana telah dirobah dan ditambah) serta Deviezen-Verordening 1940 (Staatsblad 1940 No. 291, sebagaimana telah dirobah dan ditambah), pengalaman selama lebih dari 20 tahun menunjukkan bahwa kedua peraturan ini merupakan suatu sumber rintangan-rintangan terhadap kelancaran dan perkembangan lalu-lintas perdagangan dan lalu-lintas pembayaran antara Indonesia dan luar negeri yang sangat merugikan dan menghambat pembangunan Negara.
Deviezen-Ordonantie dan Deviezen-Verordening pada hakekatnya menetapkan cara dan sistim untuk menguasai seluruh penghasilan devisa serta seluruh kekayaan devisa dari pada penduduk devisa. Cara dan sistim ini memuncak pada pengusaaan dari segala usaha, segala kegiatan dan segla hubungan disegala lapangan. yang dapat menimbulkan konsekwensi-konsekwensi finansiil terhadap luar negeri, dalam segala bentuknya dan segala detailnya.
Meskipun cita-cita untuk menguasai seluruh penghasilan devisa untuk Negara pada hakekatnya dan pada akhirnya sesuai dengan cita-cita Sosialisme Indonesia, namun sistim dan cara dari pada Deviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening, yang bersifat tidak konkrit dan berbelit-belit, telah menciptakan, khususnya bagi masyarakat yang bergerak di lapangan perdagangan internasional, suatu suasana yang penuh dengan perasaan takut dan kekhawatiran. Jelaslah bahwa suasana demikian melemahkan penggerakan potensi dan kekuatan Rakyat, khususnya mematikan inisiatip dari pihak produsen-produsen dan pengusaha-pengusaha kita dari kegiatan-kegiatan yang justru merupakan sumber-sumber bagi Negara untuk memupuk kekayaan devisa.
Salah satu tekhinik yang dipakai dalam Deviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening yang tidak dapat dipertahankan adalah pembagian masyarakat Indonesia dalam dua golongan, yaitu: - golongan "penduduk-devisa" dan - golongan "bukan penduduk-devisa". Oleh karena penarikan garis oleh Diviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening dilakukan dengan tidak memandang kebangsaan atau kewarganegaraan, maka sesama warganegara, baik Indonesia maupun asing, dapat digolongkan sebagai "penduduk devisa" dan "bukan penduduk devisa". Dengan demikian "Deviezen-ordonnnatie menjalankan penguasaan terhadap segala hubungan-hubungan keuangan antara "penduduk devisa" dan "bukan penduduk devisa", sehingga juga untuk transaksi-transaksi yang semata-mata bergerak di dalam negeri dan tidak menyangkut soal-soal devisa biarpun dilakukan antara warga negara Indonesia harus dimintakan izin terlebih dahulu dari pembesar-pembesar devisa, jika salah satu pihak merupakan "bukan penduduk devisa". Pembagian masyarakat Indonesia dalam dua golongan, yaitu golongan "penduduk-devisa" dan golongan "bukan penduduk Devisa" sudah terang merupakan rintangan untuk menciptakan ekonomi nasional yang sehat. Oleh karena itu dalam kehendak kita untuk menyusun ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis perlu pembagian masyarakat Indonesia dalam dua golongan dihapuskan. Untuk mencapai maksud itu perlu diambil kewarganegaraan sebagai kriterium, agar supaya kepentingan nasional dapat diperhatikan sepenuhnya dalam lalu-lintas perdagangan dengan luar negeri.
Selanjutnya sifat yang amat kaku dari Deviezen-ordonantie dan Deviezen- verordening sangat menghambat kelancaran dalam melaksanakan hubungan finansiil antara Indonesia dan luar negeri. Sifat yang amat kaku ini yang pada hakekatnya melarang segala- galanya, terkecuali jika diizinkan secara khusus atau umum, telah menimbulkan keharusan penetapan peraturan-peraturan penyelenggaraan yang jumlahnya demikian besarnya, sehingga keseluruhan ketetapan-ketetapan yang dikenal sebagai "peraturan-peraturan devisa" menjadi sangat kompleks dan sangat ruwet. Banyaknya dan berbelit-belitnya peraturan devisa itu dan kesimpangsiuran dalam interpretasi daripada peraturan-peraturan itu telah merupakan sumber rintangan-rintangan yang sangat menghambat kelancaran dalam pembangunan Negara dibidang perekonomian.
Dalam menghadapi masalah ekonomi, kita sadar bahwa sisa-sisa kelonial dan sisa feodal dan demikian pula sifat-sifat hubungan ekonomi dan perdagangan dengan dunia luar masih juga memberikan rintangan dalam pertumbuhan kearah sosialisme Indonesia. Dalam Deklarasi Ekonomi secara jelas dikemukakan hal-hal sebagai berikut: Dalam melanjutkan pertumbuhan-pertumbuhan di bidang sosial dan ekonomi, maka kita harus bertitik-pangkal pada modal yang sudah kita miliki ialah:
Aktivitas ekonomi Indonesia dewasa ini kurang lebih 80% sudah berada di tangan bangsa Indonesia. Dalam tahun 1950 boleh dikatakan aktivitas ekonomi di Indonesia sebagian terbesar masih dikuasai oleh bangsa asing, sehingga baik Pemerintah maupun rakyat, tidak dapat mengadakan perencanaan secara pokok bagi pertumbuhan ekonomi secara revolusioner.
Pada waktu-waktu belakangan ini Pemerintah sudah mulai dapat secara aktif aktivitas ekonominya dalam arti konsepsionil, organisatoris dan strukturil.
Meskipun demikian kita belum dapat berkembang secara mendalam oleh karena perhatian Pemerintah dan kekuatan rakyat masih dititik-beratkan kepada penyusunan alat-alat Revolusi yang baru pada waktu sekarang ini dapat dikatakan lengkap. Oleh karena itu boleh dikatakan bahwa baru sekarang kita dapat menggerakkan segala usaha dan perhatian rakyat dan Pemerintah untuk menanggulangi persoalan ekonomi secara konsepsionil, organisatoris dan strukturil dalam arti keseluruhannya.
Oleh karena itu maka diperlukan suatu approach yang lebih realistis dan ketentuan-ketentuan yang tegas dan sederhana dalam mengatur lalu-lintas devisa antara Indonesia dan luar negeri, dengan memegang teguh pada prinsip- prinsip reasionalisasi selaras pula dengan prinsip-prinsip demokrasi nasional. Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa di samping pengusaan devisa dengan jalan mengharuskan penytorannya dalam Dana Devisa dapat juga dipakai pengusasaan dengan menetapkan cara pemakaiannya, suatu cara yang dalam keadaan tertentu dapat berjalan dengan lebih effisen.
Rasionalisasi berarti pula bahwa pengawasan harus ditujukan kepada sumber devisa yang terpenting. Bagi Negara kita, lalu-lintas perdagangan merupakan komponen yang terpenting; lebih dari 90% dari volume lalu-lintas pembayaran dengan luar negeri merupakan lalu-lintas perdagangan. Berhubung dengan itu pengawasan lalu-lintas pembayaran berarti terutama pengawasan terhadap lalu-lintas perdagangan dengan luar negeri. Dalam hubungan ini harus diawasi bahwa penerimaan devisa dari ekspor yang harus diterima oleh Negara. memang mengalir ke dalam kas Negara untuk merupakan Dana Devisa. Jumlah yang harus diterima ini harus ditentukan secara konkrit oleh Negara, supaya baik yang berwajib menyerahkan devisa (eksportir) maupun badan-badan pengawasa Pemerintah yang bersangkutan secara mudah dan secara mutlak dapat mengetahui tentang pemenuhan kewajiban itu. Syak- wasangka dari pihak badan-badan pengawas di atas atapun perasaan khawatir akan menyalahi peraturan-peraturan dari pihak ekspotir, dengan demikian dapat ditiadakan.
Pengeluaran devisa atas beban Dana Devisa untuk impor hanya dapat dilakukan menurut cara dan ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Dalam hubungan ini baik Pemerintah maupun badan Pemerintah yang ditugaskan harus menetapkan secara konkrit nilai yang dipandang layak olehnya bagi barang-barang yang diizinkan untuk dibeli dari luar negari.
Pengawasan terhadap penerimaan devisa dibidang jasa dapat dibatasi pada pos-pos yang terpenting saja. Pada umumnya dapat ditentukan bahwa devisa yang diterima dibidang jasa harus diserahkan kepada Negara, jika penerimaan devisa itu secara langsung dimungkinkan karena adanya peralatan atau fasilitas-fasilitas yang dimiliki atau dikurangi oleh perusahaan perkapalan asing. Penerimaan devisa oleh perseorangan berdasarkan jasa individual tidak perlu diawasi.
Pengawasan harus dilakukan terhadap pengeluaran devisa untuk jasa atas beban Dana Devisa, karena layak atau tidak layak pengeluaran itu seperti juga hanya dengan impor barang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah dengan mengingat keperluan akan jasa itu dalam rangka kepentingan Negara dipelbagai bidang.
Pengawasan terhadap lalu-lintas modal perlu diadakan untuk menghindarkan pemindahan (pelarian) modal keluar negeri. Pemindahan modal keluar negeri dapat dilakukan dalam bentuk investasi dana-dana di luar negeri oleh warganegara Indonesia.
Pendirian bahwa penerimaan devisa Negara meliputi jumlah-jumlah yang memang secara konkrit diwajibkan oleh Pemerintah untuk diserahkan kepada Dana Devisa, berarti bahwa pemilikan devisa tidak lagi terbatas pada Negara saja. Di samping devisa yang merupakan Dana Devisa terdapat pula devisa yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, baik warga-negara Indonesia maupun warganegara asing, yang tidak diharuskan untuk diserahkan langsung kepada Dana Devisa. Dalam pada itu perlu pula diadakan penertiban tentang cara penggunaan devisa yang termaksud dan penguasaannya oleh Negara letak pada cara pemakaiannya seperti telah dinyatakan di atas sub 7.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa perinsip- prinsip yang dianut dalam Undang-undang ini fundamental sangat berlainan dengan prinsip-prinsip yang diletakkan dalam Deviezen- ordonnatie dan Deviezen-verordening. Sebagai konsekwensi yang logis pada pertentangan ini maka banyak hal-hal yang dalam Deviezen-ordonnantie dan Deviezen-verordening merupakan larangan kini harus ditinggalkan. Dengan demikian, dalam sistim lalu-lintas devisa baru banyak perbuatan yang dengan sengaja tidak dilarang atau diharuskan memakai izin, misalnya: memiliki devisa, memiliki emas, mewakili warganegara Indonesia yang tidak menjadi "penduduk-devisa", mempunyai rekening bank di luar negeri, mengadakan perjanjian dengan "bukan penduduk-devisa", menerima undangan dari "bukan penduduk-devisa" untuk berkunjung ke luar negeri.
Berhubung dengan uraian di atas berbagai perbuatan yang dahulu semuanya merupakan tindak pidana kini untuk sebagian dapat dikesampingkan, hal mana akan menciptakan suatu suasana yang sehat guna perkembangan ekonomi nasional kita. Sebagian lain dari perbuatan yang dahulu dipandang bersifat pidana kini dianggap sebagai pelanggaran administratip, terkecuali jika pelanggaran itu dengan nyata mengakibatkan kerugian terhadap Negara.
Perlu ditegaskan, bahwa peraturan ini mewujudkan struktur dari pada lalu- lintas devisa antara Indonesia dengan luar negeri, yang merupakan suatu landasan untuk suatu politik devisa Pemerintah.
Akhirnya perlu dijelaskan bahwa ketentuan dalam Undang- undang ini tidak mengurangi ketentuan-ketentuan termaktub dalam perjanjian karya antara perusahan-perusahaan minyak Negara dan perusahaan-perusahaan minyak asing, yang telah disahkan dengan Undang-undang. II.PASAL DEMI PASAL Pasal 1 sub 1 dan 2. Cukup jelas. Pasal 1 sub 3. Yang dimaksudkan dengan mata uang emas ialah mata uang emas yang menurut Undang-undang Keuangan yang berlaku di negara yang bersangkutan merupakan uang emas yang sah; Jika tidak, maka barang yang berupa mata uang emas masuk golongan barang pakai atau barang perhiasan. Pasal 1 sub 4. Dengan sengaja bermacam-macam uang asing yang tidak dipakai untuk pembayaran internasional tidak dipandang devisa seperti juga halnya dengan mata uang asing logam bukan emas. Pasal 1 sub 5 s/d 8. Cukup jelas. Pasal 1 sub 9. Arti ekspor dalam kalimat kesatu diperluas dalam kalimat kedua. Pemerintah akan mengadakan tindakan-tindakan agar pengluasan ini tidak menimbulkan ekses-ekses dalam pelaksanaannya. Pasal 2. Yang dapat dikuasai oleh Negara Republik Indonesia dengan sendirinya hanya devisa yang ada hubungannya dengan Negara atau rakyat kita. Jadi misalnya uang US. $ yang dipegang oleh orang Amerika di negaranya dari usahanya di sana, atau uang US. $ yang merupakan hasil ekspor dari Sudan, adalah di luar penguasaan negara kita. Inilah yang dimaksudkan dengan perumusan "yang berasal dari kekayaan alam dan usaha Indonesia". Siapa yang mengusahakan, bangsa asing atau bangsa Indonesia, untuk ini tidak dibedakan. Ke dalam batas-batasnya mana yang dikuasai dirumuskan dengan lebih teliti dalam pasal-pasal selanjutnya. Harus diinsafi, bahwa "penguasaan" tidak perlu senantiasa bersifat "pemilikan". Bahkan dalam banyak hal penguasaan secara pengaturan pemakaiannya adalah lebih efisien dari pada pemilikan, dengan effek sosial yang sama. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Dianggap perlu, bahwa pemupukan devisa negara yang diperlukan guna pemeliharaan ekonomi masyarakat, peninggian tingkat hidup rakyat serta pembangunan Negara ditugaskan kepada instansi yang tinggi. Dalam hal ini tugas itu diberikan kepada Dewan yang terdiri dari Menteri-menteri, diketuai oleh Perdana Menteri/Wakil-wakil Perdana Menteri dan Menteri Koordinator Kompartemen Keuangan sebagai Wakil- Ketua. Pada permulaan dalam masa transisi ini barangkali belum mungkin untuk menetapkan dan mentaati suatu Anggaran Devisa yang rigid, akan tetapi kita harus berusaha keras untuk mencapai taraf itu. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Jika terhadap suatu bank diperintahkan diadakannya penyelidikan oleh satu atau beberapa orang ahli atau badan, maka diindahkan ketentuan dalam Undang-undang No. 23 Prp tahun 1960. Pasal 7 ayat (1) dan (2). Dengan pasal ini ditentukan secara konkrit harga yang dikehendaki oleh Negara dalam ekspor barang dari Indonesia. Dengan penetapan demikian eksportir dapat mengetahui dengan jelas berapa besarnya jumlah devisa yang ia harus serahkan kepada Dana Devisa, sebaliknya Pemerintah secara mudah dan secara mutlak dapat mengetahui tentang pemenuhan kewajiban eksportir. Dengan cara penetapan harga demikian eskpor akan diperlancar karena tidak tergantung lagi pada perumusan yang abstrak "de ter plaatse van levering geldende marktwaarde" seperti ditentukan dalam pasal 15 ayat (1) dari Deviezen-verordening dahulu. Pasal 8. Cukup jelas. Pasal 9. Dokumen-dokumen yang dimaksudkan di sini adalah antara lain: Konosemen, wesel, paktur. Pasal 10. Lihat penjelasan Umum. Pasal 11. Cukup jelas. Pasal 12. Pelaksanaan impor atas beban Dana Devisa diatur menurut rencana impor yang disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi yang urgent dalam rangka penetapan Anggaran Devisa untuk melaksanakan prinsip berdiri di atas kaki sendiri dibidang ekonomi. Pasal 13. Cukup jelas. Pasal 14. Cukup jelas. Pasal 15. Dalam Peraturan Pemerintah diatur cara-cara penguasaan yang lain dari pemasukan dalam Dana Devisa. Penguasaan ditujukan pada pemakaiannya dan meliputi juga overprice, discount, komisi dan sebagainya. Pasal 16. Kewajiban ini telah ada dalam Devizen-verordening 1940. Barangsiapa telah memenuhi kewajiban ini berdasarkan peraturan lama tidak perlu mengulanginya. Pasal 17. Izin ini dapat berupa peraturan umum yang memperkenankan impor dan ekspor Rupiah dalam batas-batas tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu, misalnya untuk memungkinkan melakukan pembayaran-pembayaran pada waktu masuk diwilayah Indonesia. Izin ini dapat bersifat khusus atau insidentil. Pasal 18. Ini yang disebut suatu "Banket-norm". Sebelum dirumuskan persis apa perbuatannya yang terlarang atau diharuskan, telah dinyatakan dapat dipidana. Tidak dibedakan juga apakah peraturan-peraturan itu bersifat penting dan essensiil ataukah hanya bersifat detail dan administratip saja, misalnya berapa lembar dari suatu formulir harus dibuat dan sebagainya. Semua itu dapat dipindana. Dalam sistim baru dinyatakan dengan jelas tindak mana yang diancam dengan pidana dan dipandang "strafwaardig". Jika tidak dinyatakan bahwa suatu tindak bersifat pidana, maka tindak itu masuk lapangan hukum administratip cq perdata. Pasal 19. Sebagian besar dari hukum devisa merupakan hukum administratip yang dilaksanakan di luar pengadilan pidana dan perdata. Dalam keadaan demikian dirasakan perlu bahwa interpretasi tertinggi dalam soal-soal devisa berada di tangan Dewan yang mempunyai tanggung-jawab dalam bidang tersebut dan juga berada dalam posisi yang terbaik untuk mempertimbangkan seluruh aspek finansiil, moneter dan ekonomi dari perundang- undangan devisa. Ada kemungkinan bahwa suatu tindak pidana dalam lapangan devisa oleh fihak kejaksaan diberi arti yang berlebih-lebihan, jauh di luar proporsi kalau ditinjau dalam hubungan neraca pembayaran dan lalu-lintas pembayaran luar negeri seluruhnya. Dewan dan alat-alatnya berada dalam posisi untuk meninjau hubungan dan "scope" ini dengan lebih saksama. Juga ada kemungkinan bahwa dengan dihukumnya suatu perbuatan timbul akibat-akibat lain dalam masyarakat (perdagangan) yang lebih merugikan bagi devisa Negara, sehingga menuntut berarti lebih merugikan dari pada tidak menuntut. Oleh karena itu kepada Dewan diberi wewenang untuk dalam hal-hal yang demikian mengusulkan kepada Menteri/Jaksa Agung untuk tidak menuntut. Pasal 20. Sesuai dengan sistim yang dijelaskan di atas mengenai pasal 18 maka dalam pasal 20 s/d 24 ditetapkan dengan teliti tindak mana yang dipandang tindak pidana, yaitu tindak yang paling merugikan saja untuk Negara dan masyarakat. Yang terpenting ialah yang biasa disebut smokkel (penyelundupan) dalam ekspor. Yaitu mengangkut barang keluar Indonesia dari peredaran dengan tidak menghiraukan pasal-pasal 7, 8, dan 9 sehingga hasil devisanya sama sekali tidak dapat dikuasai oleh Negara. Kalau ini dilakukan dengan sengaja sedang kerugian yang dapat diderita oleh Negara besarnya melebihi suatu jumlah valuta asing yang merupakan nilai lawan 8886.71 gram emas murni, yaitu pada dewasa ini misalnya US$ 10.000, DM. 40.000 atau pada umumnya Nilai Transaksi Rupiah (devisa) 2.500.000,-, pidana penjara 10 tahun, atau denda Rp. 100.juta. Kalau jumlahnya sama dengan nilai lawan 88,8671 gram emas murni (devisa ini Nilai Trasaksi Rupiah 25.000,-) ke bawah, maka tindaknya dipandang administratip. Jika semua peraturan ekspor ditaati tetapi ekspornya sebagian atau seluruhnya tidak dilangsungkan atau suatu jangka waktu tidak ditepati, tindak ini hanya merupakan pelanggaran administratip oleh karena barang ekspornya tidak hilang dan masih tersedia untuk diekspor lagi. Pelanggaran dalam pemberian jasa ke luar negeri, hanya mungkin kalau Dewan telah menetapkan jasa-jasa mana yang taripnya harus dibayar dalam devisa dan sampai mana hasilnya harus diserahkan kepada Dana Devisa. Dalam hal ini dapat dicatat bahwa industri jasa-jasa kita belum begitu berkembang sehingga dapat menghasilkan jumlah- jumlah devisa yang besar. Pasal 21. Dalam hal impor, soalnya adalah berlainan. Kalau ekspor smokkel yang berhasil berarti kehilangan devisa untuk Negara, maka impor secara selundup tidak membebani Dana Devisa, sebab tanpa izin tidak mungkin (diam-diam) devisa dikeluarkan dari Dana Devisa. Maka dari itu pelanggaran pasal 12 hanya merupakan pelanggaran administratip. Jika peraturan-peraturan Bea dan Cukai yang diselundupi dalam peraturan-peraturan itu sendiri telah cukup peraturan- peraturan pidana yang menjaganya. Pasal 22. Cukup jelas. Pasal 23. Cukup jelas. Pasal 24. Cukup jelas. Pasal 25. Peraturan-peraturan ini mengenai soal pertanggungan-jawab jika suatu tindak dilakukan oleh suatu badan hukum. Pada umumnya peraturan-peraturan ini sesuai dengan peraturan-peraturan dalam Undang-undang tindak pidana ekonomi (Undang- undang No. 7 Drt tahun 1955). Pasal 26. Cukup jelas. Pasal 27. Cukup jelas. Pasal 28. Mengadakan perjanjian atau membuat kontrak yang tidak atau belum disetujui oleh Menteri Urusan Bank Sentral cq Biro cq. Bank Indonesia tidak dengan sendirinya merupakan tindak pidana. Akibatnya bahwa dalam perkara perdata perjanjian itu akan diabaikan oleh hakim dan juga bahwa Dana Devisa dan Negara tidak terikat oleh Perjanjian semacam itu. Pasal 29. Cukup jelas. Pasal 30. Cukup jelas. Pasal 31. Ayat 1 : Cukup jelas. Ayat 2 : Cukup jelas. Selainnya dari itu perlu dicatat bahwa perbuatan-perbuatan yang membutuhkan izin adalah jauh lebih sedikit dari pada menurut Deviezen- ordonantie. Ayat 3: Pembebasan umum dapat berbentuk peraturan khusus yang menyimpang dari Undang-undang ini. Misalnya untuk pengeluaran atau pemasukan barang pindahan, barang hadiah dan sebagainya. Sekalipun formilnya juga merupakan ekspor dan impor Dewan dapat mengeluarkan peraturan khusus yang merupakan pembebasan- pembebasan. Ayat 4. Dalam prakteknya delegasi ini akan dilakukan kepada Menteri Urusan Bank Sentral yang dapat mendelegasikan lagi kepada Bank Indonesia dan/atau Biro. Pasal 32 s/d 34. Cukup jelas. Mengetahui : Sekretaris Negara, MOHD. ICHSAN.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Opini Teks Ariza Ayu Ramadhani, pegawai Biro KLI Sekretariat Jenderal *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. MEDIAKEUANGAN 36 Potensi Pertumbuhan Ekonomi PELAJARAN DARI PANDEMI UNTUK S ebelum COVID-19, sejarah mencatat kemunculan empat pandemi selama abad ke-21 yaitu N1H1 atau flu burung di tahun 2009, SARS di tahun 2002, MERS di tahun 2012 dan Ebola di tahun 2013 – 2014. Dari kelima pandemi tersebut, tingkat fatalitas COVID-19 memang bukan yang tertinggi, tapi yang paling mudah menular dari manusia ke manusia sehingga persebarannya sangat cepat. Dari data WHO, sejak Desember 2019 sampai Juni 2020 tercatat 7,69 juta kasus COVID-19 di seluruh dunia. Negara-negara yang terjangkit wabah COVID-19 mulanya mengalami krisis kesehatan yang selanjutnya menjalar ke krisis ekonomi dan berpotensi menuju ke krisis sektor keuangan. Adanya wabah yang sangat mudah menular dari manusia ke manusia menyebabkan negara harus membuat kebijakan pembatasan aktivitas fisik seperti bekerja, sekolah, dan rekreasi yang berarti juga menghentikan aktivitas ekonomi. Di Indonesia, pembatasan fisik ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi di kuartal I/2020 hanya sebesar 2,97%. Sebagai perbandingan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal yang sama di tahun 2019 adalah sebesar 5,19%. Hantaman krisis diprediksi paling berat terjadi di kuartal kedua dengan pertumbuhan ekonomi di bawah nol. Studi yang dilakukan Simon Wren- Lewis, Ekonom Universitas Oxford, menunjukkan bahwa dampak terbesar dari pandemi terhadap ekonomi diprediksi terjadi selama 3 sampai 6 bulan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi kurang lebih sebesar lima persen (5%). Setelah periode tersebut, pertumbuhan ekonomi akan kembali melaju (bounce-back) . Oleh karena itu, di samping terus menangani COVID-19 baik dari sisi kesehatan maupun dampaknya terhadap masyarakat, kita dapat bersiap untuk memetik pelajaran dari COVID-19 ini untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi di masa depan. Human Capital Studi mengenai teori Pertumbuhan Ekonomi Endogenous menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara lebih ditentukan oleh sumber daya manusia ( human capital ) dan inovasi yang dilakukan di dalam sebuah sistem perekonomian melalui research and development (R&D). Teori ini pertama kali muncul di tahun 1962 yang terus menjadi perhatian para ekonom hingga saat ini. Sebelum pandemi COVID-19, berbagai universitas terbaik di dunia telah banyak membuka kelas daring. Kita juga mengenal platform belajar seperti coursera atau udemy untuk meningkatkan kemampuan melalui kelas daring baik berbayar maupun tidak berbayar. Kelas-kelas ini memberikan kesempatan kepada pesertanya untuk belajar dari para profesor atau ahli terkemuka dari universitas atau institusi terbaik di dunia dengan harapan memperkecil gap ilmu pengetahuan. Di masa pandemi COVID-19, adanya kebijakan pembatasan fisik memaksa sekolah-sekolah untuk menyelenggarakan pembelajaran daring, kantor-kantor untuk tetap beroperasi dengan pegawai yang bekerja dari rumah, dan komunikasi yang dilakukan tanpa kegiatan tatap muka. Kondisi ini memaksa banyak orang untuk beradaptasi dengan cepat, menyamankan diri dengan pertemuan- pertemuan virtual termasuk webinar, briefing , dan training yang sangat berdampak pada akselerasi sharing knowledge antar manusia dan antar institusi yang seolah tanpa batas. Nyatanya, produktivitas organisasi tetap terjaga atau bahkan meningkat dengan adanya work from home (WFH) ini. CEO Twitter, misalnya, memberlakukan WFH selama-lamanya karena kinerja perusahaannya tidak terganggu dengan keterpaksaan WFH selama pandemi. Kondisi ini seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mengurangi kesenjangan informasi dan kesempatan, misalnya antara masyarakat perkotaan- perdesaan. Program peningkatan kualitas SDM perdesaan misalnya melalui Dana Desa, dapat difokuskan untuk memberikan edukasi mengenai pelatihan-pelatihan daring yang bisa diakses. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia diharapkan dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi di tahun-tahun mendatang. Inovasi Inovasi dapat tercipta melalui sumber daya manusia yang berkualitas, seperti yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya, dan juga melalui perkembangan teknologi. Berbeda dengan inovasi berupa penemuan- penemuan baru seperti yang terjadi berabad-abad lalu, beberapa ekonom dunia mempercayai bahwa inovasi yang terjadi saat ini dapat disebut sebagai “ creative destruction ” yang berarti melakukan perbaikan dan peningkatan atas hal-hal yang sebenarnya sudah ada. Argumentasi ini pertama kali dicetuskan oleh ekonom Austria, Joseph Schumpeter (1942) dan diperbaharui oleh banyak ekonom hingga saat ini. Di Indonesia, 60 persen tenaga kerja diserap oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Di masa pandemi ini, UMKM atau SME termasuk golongan yang paling terdampak COVID-19. Menurut beberapa studi, UMKM yang memanfaatkan teknologi dalam usahanya, terbukti lebih kuat dalam menghadapi guncangan eksternal. Hal ini mungkin terjadi karena penggunaan teknologi dapat berarti administrasi yang lebih tertata, pembukuan yang tertib, pemasaran melalui marketplace , sehingga memungkinkan usaha tersebut tetap bertahan di masa pembatasan fisik seperti saat ini. Setelah pandemi berakhir, perusahaan-perusahaan besar di bidang teknologi informasi dan juga start-up unicorn dapat mendukung pemulihan ekonomi dan bahkan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui digitalisasi UMKM baik dengan memberikan dukungan berupa modal, infrastruktur atau berbagi keahlian yang spesifik untuk tujuan tersebut. Melalui UMKM yang kuat, angka pengangguran berkurang, penerimaan negara bertambah, sehingga pertumbuhan ekonomi juga meningkat. Untuk menjadikan human capital dan inovasi sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia, diperlukan poin ketiga, yaitu perubahan pola pikir. Pola pikir bahwa akses terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi harus dibuka untuk semua golongan masyarakat. Upaya ini perlu mendapatkan perhatian baik dari regulator (pemerintah) maupun dari universitas-universitas terbaik dan juga perusahaan-perusahaan besar agar ketimpangan pendidikan dan keahlian tidak semakin melebar di Indonesia. Ilustrasi A. Wirananda
Opini Excess Profit Tax sebagai Solusi *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Rinaldi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak MEDIAKEUANGAN 40 Ilustrasi A. Wirananda yaitu pendapatan dari kekayaan negara yang dipisahkan tumbuh 799.504,33 persen ( yoy ). Inilah salah satu faktor yang mendorong capaian pertumbuhan penerimaan negara menjadi 3,23 persen ( yoy ) sehingga meng- off set realisasi belanja negara yang realisasinya hampir sama dengan capaian tahun lalu. Bagaimana dengan penerimaan pajak? jawabannya adalah “babak belur”, hanya PPN/PPnBM dan PBB (sektor P3) yang pertumbuhannya positif, lainnya negatif, bahkan penerimaan PPh Badan yang seharusnya mencapai peak -nya pada bulan April (jatuh tempo pelaporan SPT PPh Badan pada 30 April), pertumbuhan penerimaannya -15,23 persen. Kebijakan pajak yang telah diambil pemerintah Indonesia Kemenkeu menjelaskan bahwa pertumbuhan penerimaan PPN/PPnBM yang positif ini ditopang oleh PPN Dalam Negeri (PPN DN) yang masih tumbuh 10,09 persen, hal ini mengindikasikan masih kuatnya transaksi penyerahan barang dan jasa penerimaan. Namun situasi ini bisa berubah mengkhawatirkan karena penerimaan PPN pada bulan-bulan berikutnya hampir dapat dipastikan menurun jauh dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah. Sementara itu, pemberian insentif pajak terus dioptimalkan, misalnya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 yang dialokasikan sebesar Rp123,01 triliun. Jika penerimaan negara terus menurun, sementara kebutuhan belanja negara terus meningkat, bisa dipastikan angka defisit akan melonjak drastis. Kembali ke kebijakan insentif pajak, pemerintah tentu telah memperhitungkan dampak dari insentif ini terhadap penerimaan negara, namun permasalahannya adalah apakah insentif ini benar-benar bisa dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang terdampak COVID-19? Apakah insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) menjamin pekerja tidak di PHK? Apakah insentif restitusi PPN dipercepat menjamin usaha mereka tetap berkesinambungan? Terkait hal ini, menarik untuk dilihat pendapat dua pakar ekonomi dari Universitas California yaitu Saez dan Zucman. Mereka mengkritisi kebijakan yang diambil oleh pemerintah Amerika dalam menghadapi COVID-19. Krisis yang dihadapi dunia saat ini berbeda dengan krisis pada tahun 2008-2009. Kala itu bencana yang dihadapi adalah bencana yang secara langsung menyebabkan perusahaan mereka hancur, yaitu bencana krisis keuangan akibat bangkrutnya Lehman Brothers. Namun bencana yang terjadi saat ini adalah bencana kesehatan, yang mungkin tidak semua perusahaan terkena dampak langsung dari bencana ini. Banyak juga perusahaan yang malah meraup untung dari COVID-19 ini. Di saat banyak pabrik menutup usaha mereka, penjualan Amazon justru meningkat, bisnis Cloud meningkat, jumlah akses ke Facebook juga meningkat. Belum lagi jika melihat aplikasi webinar yang marak digunakan saat para pekerja “bekerja dari rumah” di masa pandemi ini. Excess Profit Tax sebagai solusi kebijakan pajak di tengah COVID-19 Melihat tidak semua perusahaan terkena dampak negatif dari COVID-19 ini, maka mereka mengusulkan agar pemerintah bisa mengkaji penerapan “ Excess Profit Tax (EPT)”. EPT adalah suatu pajak yang dikenakan kepada perusahaan yang mendapatkan keuntungan (profit) lebih dari suatu margin tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebagai contoh, pada tahun 1918, saat terjadi resesi ekonomi pasca Perang Dunia I, Amerika menerapkan EPT bagi perusahaan yang mencetak Return on Invested Capital (ROC) atau pengembalian investasi modal di atas 8 persen. Tarif EPT yang dikenakan pada saat itu progresif antara 20 hingga 60 persen. Kebijakan yang sama juga diterapkan pada tahun 1940, saat Perang Dunia II dan saat Perang Korea. Kebijakan pengenaan EPT ini mempunyai tujuan yang sama yaitu memastikan bahwa tidak ada pihak yang mengambil untung secara berlebihan pada saat pihak lain merasakan penderitaan. Apakah hal ini bisa diterapkan di Indonesia? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita kembali lagi ke realisasi APBN 2020 sampai dengan April 2020. Dari segi realisasi penerimaan pajak sektoral non-Migas, non-PBB, dan non-PPh DTP, dapat dilihat bahwa ada beberapa sektor yang mengalami pertumbuhan, seperti industri pengolahan serta jasa keuangan dan asuransi, yang masing-masing tumbuh 4,68 persen dan 8,16 persen. Kedua sektor ini menopang 45,3 persen dari total realisasi penerimaan pajak. Statistik ini menunjukkan bahwa tidak semua sektor terkena dampak negatif COVID-19 (walaupun masih diperlukan analisis mendalam terhadap hal ini, karena Maret dan April merupakan masa awal pandemi). Oleh sebab itu, menurut Penulis, kebijakan Excess Profit Tax layak dipertimbangkan sebagai suatu solusi kebijakan fiskal mengatasi dampak ekonomi yang disebabkan oleh COVID-19. Kebijakan ini terkesan tidak lazim diterapkan di negara manapun termasuk Amerika sekalipun apalagi di Indonesia, namun perlu diingat bahwa seperti yang dikatakan Sri Mulyani: “ Extraordinary situation needs extraordinary policy”, dan kita, Indonesia, sedang menghadapi kondisi extraordinary tersebut. P ada 20 Mei 2020, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis realisasi APBN 2020 hingga 30 April 2020. Jika dilihat pada rilis tersebut, realisasi terlihat cukup bagus, defisit APBN sebesar Rp74,47 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan realisasi defisit pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp100,3 triliun. Namun, jika kita mengkaji lebih dalam dari realisasi defisit ini, maka terlihat penyebab “rendahnya” angka defisit ini adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang pertumbuhannya mencapai 21,70 persen ( yoy ). Salah satu sub-PNBP Ilustrasi A. Wirananda
Pribadi
Relevan terhadap
Cahyaning Tyas Anggorowati_Juni 2024 Gambar 3. Perbandingan Pergerakan FFR terhadap Arus Modal di Indonesia Sumber: Olahan Penulis, 2024 Berdasarkan gambar 3 di atas, sejak berlakunya era suku bungan tinggi dari FFR, arus modal masuk ke Indonesia (FDI Inward ) yang pada awalnya menunjukkan kenaikan langsung berbalik arah mengalami tren penurunan dalam jumlah yang kurang signifikan. Selain itu apabila di lihat dari arus modal keluar dari Indonesia (FDI Outward ) maka selama 3 kuartal paska kenaikan pertama FFR (bulan desember 2022, serta Maret-Juni 2023), terlihat bahwa arus modal keluar dari Indonesia menunjukkan tren kenaikan. Tren kenaikan tersebut tidak berlangsung lama, dikarenakan pada Maret 2023 arus modal keluar Indonesia mulai menunjukkan tren penurunan. Hal ini berarti menunjukkan bahwa Indonesia masih menarik minat investor asing untuk mempertahankan investasi di Indoesia. Indonesia sebagai negara berkembang akan sangat bergantung pada eknomi negara maju, terutama terkait ekspor-impor dan aliran modal asing. Sehingga apabila terjadi ketidakstabilan ekonomi pada negara maju, maka hal ini akan membawa aktivitas eknomi Indonesia menjadi buruk. Namun demikian, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5%-6% per tahun telah terbukti mampu menghadapi ketidakstabilan global. Hal ini tentunya juga membawa pengaruh terhadap aliran masuk modal asing ke dalam pasar modal dan pasar keuangan Indonesia. Salah satu faktor yang mempengaruhi stabilnya iklim investasi Indonesia adalah telah terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang digadang-gadang sebagai omnibuslaw untuk memperbaiki ekosistem investasi dan ketenagakerjaan di Indonesia. Namun demikian, pelaksanaannya belum sepenuhnya bisa mendongkrak peningkatan investasi di Indonesia sebagaimana yang diharapkan. 5.357 2.414 0,65 0,08 0,09 0,09 0,07 0,08 0,08 0,08 ^0,20 1,21 2,56 4,10 4,65 5,08 ^5,33 5,33 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 - 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000 03/01/2020 06/01/2020 09/01/2020 12/01/2020 03/01/2021 06/01/2021 09/01/2021 12/01/2021 03/01/2022 06/01/2022 09/01/2022 12/01/2022 03/01/2023 06/01/2023 09/01/2023 12/01/2023 FDI Inward-USD Juta FDI Outward-USD Juta FFR Rate (%)
1 Cahyaning Tyas Anggorowati_Juni 2024 ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN HIGHER FOR LONGER THE FED TERHADAP ARUS MODAL DI INDONESIA Penulis: Cahyaning Tyas Anggorowati Pengolah Data Hukum Perjanjian Senior, Biro Hukum (Pegawai Tugas Belajar Program Magister di Universitas Indonesia) A. PENDAHULUAN Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi yang begitu pesat, kebijakan suatu negara akan berpengaruh terhadap kebijakan negara lain di dunia. Salah satunya adalah kebijakan terkait suku bunga the Fed . Kebijakan the Fed dalam menaikkan the federal funds rate tentunya akan mendapatkan perhatian dari berbagai bank sentral di negara lain di dunia. Bank sentral di berbagai dunia akan bereaksi dengan menyesuaikan kebijakan moneter di masing-masing negaranya. Fenomena Higher for Longer the Fed saat ini menjadi topik diskusi bagi banyak ekonom di dunia, termasuk di Indonesia. Fenomena Higher for Longer the Fed terjadi ketika the Fed menaikkan the federal funds rate , hal tersebut kemudian berdampak pada kenaikan suku bunga secara keseluruhan, sehingga individu maupun industri akan menghadapi biaya pinjaman yang mahal dalam menjalankan operasional bisnis. Namun demikian suku bunga yang tinggi juga akan mendorong peningkatan dalam tabungan suatu negara. Suku bunga yang tinggi akan dipandang baik ketika mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun sebaliknya, akan dipandang buruk pada saat terjadi inflasi. Fenomena Higher for Longer juga dipengaruhi oleh ketegangan geopolitik yang terus berlangsung sehingga menyebabkan berlanjutnya kenaikan harga pangan dan energi (inflasi global). Kenaikan suku bunga yang berlangsung lama tentunya akan berdampak pada banyak pelaku usaha, baik bisnis, pemerintah, maupun ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Salah satu dampak dari kenaikan suku bunga pinjaman adalah terjadinya risiko downside atas investasi di Indonesia. Indonesia saat ini sedang menghadapi kebutuhan modal yang tinggi untuk membiayai berbagai macam proyek infrastruktur yang telah direncanakan oleh pemerintah dalam cakupan Proyek Strategis Nasional (PSN). Pembiayaan PSN tersebut dapat berasal dari APBN, kerja sama pemerintah dan badan usaha, maupun pendanaan pihak ketiga (swasta). Hal ini tentunya membutuhkan analisis mendalam atas kebijakan suku bunga yang akan berdampak pada minat investor dalam menanamkan modal ke Indonesia.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
ndonesia baru-baru ini telah menjadi negara ekonomi kelas menengah, dengan jumlah populasi kelas menengahnya mencapai 16% pada tahun 2014 dari hanya 5% pada tahun 1993 (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Indonesia juga berhasil menjadi salah satu negara dengan pengentasan kemiskinan tercepat di dunia. Namun demikian, sekitar 26 juta orang Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan dan 77,4 juta orang atau setara dengan 29,1% dari populasi masih menjadi bagian kemiskinan atau rentan jatuh kembali ke dalam kemiskinan. Hal ini menunjukkan tingginya jumlah penduduk Indonesia yang masih rentan terhadap guncangan ekonomi walaupun ada kemajuan yang signifikan dalam mengurangi kemiskinan. Oleh karena itu, penting untuk menemukan solusi yang efektif guna mengubah masyarakat miskin Indonesia menjadi masyarakat berpenghasilan menengah. Rumah tangga berpendapatan menengah merupakan kontributor konsumsi dan sumber suara sosial serta politik yang signifikan dalam membentuk kebijakan pembangunan. Solusi yang dapat diambil oleh pemerintah Indonesia, antara lain dengan meningkatkan pembangunan infrastruktur untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kualitas pendidikan terutama dalam penyediaan keterampilan khusus yang dibutuhkan oleh lapangan kerja, dan meningkatkan kualitas kesehatan dan peluang kehidupan bagi anak- anak di daerah pedesaan. Semua hal tersebut membutuhkan sejumlah besar pembiayaan di tengah tekanan global, rasio pajak yang rendah, dan rencana pemerintah untuk mengurangi pajak penghasilan. Langkah awal yang dapat dilakukan yakni dengan memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan pajak. Apabila jumlah “calon kelas menengah” dan “kelas menengah” dapat meningkat secara proporsional, maka dengan basis subjek pajak yang substansial itu, Indonesia dapat menerapkan rezim pajak penghasilan progresif, di mana mereka yang memiliki pendapatan berlebih harus membayar lebih banyak pajak. Dengan terhimpunnya dana pajak tersebut, Indonesia kemudian dapat membangun skema perlindungan sosial yang kuat. Tantangan berikutnya adalah bagaimana membuat pembelanjaan kelas menengah agar menjadi lebih produktif, karena jika pengeluaran kelas menengah tersebut tidak produktif, maka risiko jatuh ke dalam middle income trap akan lebih besar. Dari segi ketenagakerjaan dan produktivitas tenaga kerja, terlepas dari upah yang kecil, produktivitas yang rendah telah menghasilkan total biaya output yang lebih tinggi. Di samping itu, pada tataran global, Indonesia masih berada di peringkat ke-2 terkait kekakuan kontrak kerja terutama dalam hal pemutusan hubungan kerja, sedangkan tingkat kepatuhannya hanya sebesar 49%. Pengangguran usia muda mencapai tujuh kali lebih banyak dari pengangguran orang dewasa, sementara sebanyak dua dari tiga perempuan Indonesia termasuk di antara mereka yang menganggur. Di lain sisi, sehubungan dengan tingkat pelatihan, hanya sekitar 8% dari perusahaan yang ada di Indonesia yang benar-benar memberikan pelatihan untuk karyawan mereka, padahal pemerintah telah memberikan insentif pajak berupa pengurangan hingga Rp300 juta ( super deduction ) bagi perusahaan yang memberikan pelatihan bagi karyawannya. Dari segi pembangunan pendidikan, meskipun telah ada upaya pemerintah untuk melakukan perbaikan mendasar, namun outcome dari upaya ini masih belum optimal. Pencapaian rata-rata pengetahuan siswa dengan lama pendidikan 12 tahun sebenarnya hanya sama dengan 7,9 tahun mengenyam pendidikan. Hal ini menunjukkan ketidakefektifan dalam proses pembelajaran, baik dari sisi kurikulum dan kapasitas guru, dan/ atau terbatasnya fasilitas pendidikan yang ada. Beberapa ide muncul sebagai solusi dari tantangan dimaksud, salah satunya dengan mengembangkan dan memperluas industri pendidikan anak usia dini. Hal ini dianggap mendesak karena sebuah penelitian menunjukkan bahwa return pendidikan satu tahun pada anak usia dini lebih besar daripada return pendidikan pada perguruan tinggi dengan durasi yang sama. Sayangnya, hanya sekitar 1% anak Indonesia yang saat ini dapat menikmati pendidikan anak usia dini. Dari segi kualitas kesehatan, 27% anak Indonesia masih mengalami hambatan pertumbuhan ( stunting ) sehingga Indonesia berada pada peringkat stunting ke-5 di dunia. Sementara itu, dari 74% wanita Indonesia yang telah mendapat pemeriksaan kehamilan, hanya 37% yang mampu memberikan ASI dan hanya 58% yang telah menerima suntikan imunisasi untuk bayinya. Oleh sebab itu, efektivitas sistem perlindungan kesehatan nasional harus ditingkatkan, antara lain melalui pembetulan alokasi subsidi, mengingat saat ini sebanyak 40% rumah tangga kelas menengah masih menerima subsidi pemerintah, dan peningkatan kepatuhan pembayaran iuran jaminan sosial kesehatan. Pada akhirnya, meskipun kombinasi dari tantangan pembangunan, demokrasi, dan desentralisasi cenderung memperumit masalah dan penanganannya, namun pemerintah harus mampu merancang kebijakan yang tidak hanya layak berdasarkan standar yang diterima, tetapi juga sesuai untuk Indonesia yang kaya akan keberagaman. Pemerintah harus dapat mengimplementasikan kebijakan yang memastikan keberlanjutan dan produktivitas pembiayaan pembangunan, meskipun setiap kebijakan yang diambil tidak akan bisa menyenangkan semua pihak. 41 MEDIAKEUANGAN 40 VOL. XV / NO. 149 / FEBRUARI 2020 Opini MENJADI CALON SOSIALITA, Memakmurkan Indonesia *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Bramantya Saputro Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI MEDIAKEUANGAN 40