Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Agen Asuransi, Jasa Pialang Asuransi, dan Jasa Pialang Reasuransi ...
Relevan terhadap
bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan serta menyederhanakan administrasi perpajakan, perlu mengatur mengenai penghitungan, pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak pertambahan nilai atas penyerahan jasa agen asuransi, jasa pialang asuransi, dan jasa pialang reasuransi;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16A ayat (2) dan Pasal 16G huruf i Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Agen Asuransi, Jasa Pialang Asuransi, dan Jasa Pialang Reasuransi;
Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 3. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan ralryat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 5. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 6. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang peiaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara pemerintahan daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. 7. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 9. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda provinsi dan Perda kabupaten/ kota. 10. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan gubernur dan bupati/wali kota. 11. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 12. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. 13. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak. 14. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 15. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. L6. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinar,. 17. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang ^" menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk 18. Badan...pemungut retribusi tertentu. PFIESIDEN REPUBLIK INDONESIA 18. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 19. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan danlatau penguasaan kendaraan bermotor. 20. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha. 21. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan. 22. Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat. 23. Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara perrnanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan. 25. Bumi adalah permukaan Bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman. 26. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi. 27. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan. 2a. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan. 29. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat. 30. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau ^jasa tertentu. 31. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran. 32. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit Tenaga Listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik. 33. Jasa Perhotelan adalah ^jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
Jasa Parkir adalah ^jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor. 35. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah ^jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati. 36. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame. 37. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu. 38. Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. 39. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. 40. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. 41. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. 42. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. 43. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan Bumi untuk dimanfaatkan.
Mineral 44. Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang- undangan di bidang mineral dan batu bara. 45. Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. 46. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia ma-rina, collocalia esanlanta, dan allocalia linchi. 47. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu. 48. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 49. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/ kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 50. Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 51. Nomor Pokok Wqiib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan Daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya. 52. Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu. PRES IOEN REPUBLIK INDONESIA 53. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. 54. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya. 55. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah. 56. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan Daerah. 57. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya ^jumlah pokok Pajak yang terutang. 58. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. 59. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar. 61. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan. 62. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak. 63. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. 64. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda. 65. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, SUTAT Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan. 66. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau Pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. 68. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD. 69. Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita. 70. Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua ^jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak. 71. Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah. 72. Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi. 73. Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak. 74. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan, dan penyanderaan.
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan Retribusi Daerah. 76. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. 77. Jasa Umum adalah ^jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. 78. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 79. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. 80. Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang. 81. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda. 83. Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya. BAB II PENGATURAN UMUM PAJAK DAN RETRIBUSI Bagian Kesatu Pajak Paragraf 1 Jenis Pajak Pasal 2 Jenis Pajak terdiri atas:
Pajak provinsi; dan
Pajak kabupaten/kota. Pasal 3 (1) Jenis Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah terdiri atas:
PKB;
BBNKB;
PAB; dan
PAP. (21 Jenis Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
PBBKB;
Pajak Rokok; dan
Opsen Pajak MBLB. (3) Jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah terdiri atas:
PBB-P2;
Pajak Reklame;
PAT;
Opsen PKB; dan
Opsen BBNKB. (41 Jenis Pajak kabupaten/ kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Paj ak terdiri atas:
BPHTB;
PBJT atas:
Makanan dan/atau Minuman;
Tenaga Listrik;
Jasa Perhotelan;
Jasa Parkir; dan
Jasa Kesenian dan Hiburan;
Pajak MBLB; dan
Pajak Sarang Burung Walet. Paragraf 2 Masa Pajak dan Tahun Pajak Pasal 4 (l) Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam I (satu) kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan Daerah. (21 Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untukjenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Kepala Daerah untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah. (3) Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender. (41 Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perkada. Paragraf 3 Pajak Provinsi Pasal 5 (1) Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a merupakan hasil perkalian nilai jual Kendaraan Bermotor dan bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor. l2l ^Dasar ^pengenaan ^PKB, ^khusus ^untuk ^Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual Kendaraan Bermotor. (3) Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor. (4) Wilayah Pemungutan PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. Pasal 6 (1) Dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b merupakan nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan peraturan gubernur. (21 Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama Kendaraan Bermotor. (3) Wilayah Pemungutan BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. Pasal 7 (1) Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c merupakan nilai jual Alat Berat.
Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat. (3) Wilayah Pemungutan PAB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat. Pasal 8 (l) Dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d merupakan nilai perolehan Air Permukaan. (21 Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan. (3) Besarnya nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan gubernur. (41 Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan. (5) Wilayah Pemungutan PAP yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada. (6) Penetapan besarnya nilai perolehan Air Permukaan yang ditetapkan dengan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpedoman pada ketentuan mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air Permukaan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan ralgrat. (71 Ketentuan mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air Permukaan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan ralryat sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ditetapkan setelah mendapatkan pertimbangan Menteri. Pasal 9 (1) Dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a merupakan nilai jual bahan bakar Kendaraan Bermotor sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai. (21 Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor oleh penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor. (3) Wilayah Pemungutan PBBKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyerahan bahan bakar Kendaraan Bermotor kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor. Pasal 10 (1) Dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b merupakan cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok. (21 Saat terutang Pajak Rokok ditetapkan pada saat terjadinya Pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok atau produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai. (3) Wilayah Pemungutan Pajak Rokok merupakan wilayah kepabeanan Indonesia. Paragraf 4 Pajak Kabupaten/ Kota Pasal 12 (l) Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a merupakan NJOP. (21 NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (l) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2. (3) Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan. (41 Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari. (5) Wilayah Pemungutan PBB-P2 yang terutang mempakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2. (6) Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut. Pasal 13 (1) Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ditetapkan paling rendah 207o (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak. (21 Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
kenaikan NJOP hasil penilaian;
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
klasterisasi NJOP dalam satu wilayah kabupaten/ kota. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Perkada. Pasal 14 (1) Dasar pengenaā¬rn Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b merupakan nilai sewa Reklame. (21 Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame. (3) Wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame. (41 Khusus untuk Reklame berjalan, wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar. Pasal 15 (1) Dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c merupakan nilai perolehan Air Tanah. (21 Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah. (3) Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Daerah provinsi diatur dengan peraturan gubernur.
Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Daerah kabupaten/kota diatur dengan peraturan bupati/wali kota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh gubernur. (5) Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. (6) Wilayah Pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. (7) Penetapan besarnya nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan dengan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral mengenai nilai perolehan Air Tanah. (8) Peraturan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (7l., disusun dengan memperhatikan kebijakan kemudahan berinvestasi dan ditetapkan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri. Pasal 16 (1) Dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d merupakan PKB terutang. (21 Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB. (3) Wilayah Pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. Pasal 17 (1) Dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf e merupakan BBNKB terutang. (21 Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB. (3) Wilayah Pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. Pasal 18 (1) Dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a merupakan nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi. (2) Saat terutang BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang. (3) Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli. (4) Wilayah Pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada. Pasal 19 (1) Dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (41 huruf b merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
^jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dal/ atau Minuman;
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (f) menggunakan voucer atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut. (3) Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan. (4) Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan. (5) Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan. (6) Wilayah Pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan. REPTTBLIK INDONESIA Pasal 20 (1) Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri. (2) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
^jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar. (3) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
kapasitas tersedia;
tingkat penggunaan listrik;
^jangka waktu pemakaian listrik; dan
harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan. (4) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf a dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan. Pasal 2 I (l) Dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf c merupakan nilai jual hasil pengambilan MBLB. (2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume atau tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap jenis MBLB. (3) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan. (4) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara. (5) Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang. (6) Wilayah Pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB. Pasal 22 (l) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf d merupakan nilai jual sarang Burung Walet. (21 Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah yang bersangkutan dengan volume sarang Burung Walet. (3) Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet. (41 Wilayah Pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet. K tlilrIIl INDO Paragraf 5 Bagi Hasil Pajak Provinsi Pasal 23 (l) Hasil penerimaan Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (l) dan ayat (2) sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut:
hasil penerimaan PAP dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar:
soy" (lima puluh persen) jika sumber air berada pada lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota; atau
8Oo/o (delapan puluh persen) jika sumber air berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/ kota. b. hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada kabupaten/ kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen). (21 Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/ kota. (3) Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan, dengan ketentuan:
bagi hasil PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air;
bagi hasil PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; dan
bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan variabel jumlah penduduk kabupaten/ kota di provinsi yang bersangkutan. (41 Penggunaan variabel lainnya selain variabel sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c dalam menghitung besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota diatur dengan Perda provinsi. (5) Alokasi bagi hasil Pajak per kabupaten/kota ditetapkan dengan keputusan gubernur berdasarkan Perda provinsi mengenai bagi hasil Pajak. Pasal 24 (1) Penyaluran bagi hasil Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (21 dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah provinsi ke kas Daerah kabupaten/kota. (21 Penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya ^jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak. (3) Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai tata cara Pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok. Paragraf 6 Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan Pasal 25 (1) Hasil penerimaan PKB dan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan ayat (3) huruf d, dialokasikan paling sedikit lOVo (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. (21 Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit lOo/o (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan ^jalan umum. (3) Kegiatan penyediaan penerangan ^jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan ^jalan umum. (4) Hasil penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, baik bagian ^provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan ^paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum. (5) Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c, dialokasikan paling sedikit ^1O% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah kabupaten/kota ^yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas Air ^Tanah, meliputi:
penanaman pohon;
pembuatan lubang atau sumur resapan;
pelestarian hutan atau ^pepohonan; dan
pengelolaan limbah.
Dalam rangka penyelarasan kebijakan fiskal dan pemantauan atas pemenuhan kewajiban Pemerintah Daerah dalam pengalokasian hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5), Pemerintah menyusun bagan akun standar dan/atau melakukan penandaan atas belanja yang didanai dari hasil penerimaan Pajak tersebut. l7l ^Dalam ^hal ^Pemerintah Daerah ^tidak ^melaksanakan kewajiban dalam pengalokasian hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Retribusi Paragraf I Jenis Retribusi Pasal 26 (l) Jenis Retribusi terdiri atas:
Retribusi Jasa Umum;
Retribusi Jasa Usaha; dan
Retribusi Perizinan Tertentu. (21 Jenis, objek, dan rincian objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi. (3) Dikecualikan dari objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu pelayanan jasa dan/atau perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta. Paragraf 2 Retribusi Jasa Umum Pasal 27 (1) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (ll huruf a, meliputi:
pelayanan kesehatan;
pelayanan kebersihan;
pelayanan parkir di tepi jalan umum;
pelayanan pasar; dan
pengendalian lalu lintas. (21 Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. (4) Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Perkada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi;
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Perkada ditetapkan. (7) Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum. (8) Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang- undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum. Pasal 28 Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi. Pasal 29 (1) Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri. (21 Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya. Pasal 30 Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 31 Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana, berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 32 (1) Pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2T ayat (1) huruf e merupakan pengendalian atas penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu oleh pengguna Kendaraan Bermotor. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian lalu lintas diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perhubungan. Pasa.l 33 (1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. (21 Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal. (3) Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (41 Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai BLUD. Paragraf 3 Retribusi Jasa Usaha Pasal 34 (1) Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha meliputi:
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
pelayanan jasa kepelabuhanan;
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah masing- masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. (4) Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Perkada sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (41 dilaksanakan dengan ketentuan:
tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi;
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (41 disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan. (71 Subjek Retribusi Jasa Usaha mempakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha. (8) Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang- undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha. Pasal 35 Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Pasal 36 (1) Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat ( I ) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan. (21 Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) merupakan tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan. Pasal 37 Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 38 Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 39 Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 40 Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (l) huruf f merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 41 Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf g merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 42 Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf h merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pasal 43 Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf i merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah. Pasal 44 (1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak. (21 Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (l) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. (3) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai BLUD. Paragraf 4 Retribusi Perizinan Tertentu Pasal 45 (1) Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (l) huruf c meliputi:
persetujuan Bangunan gedung;
penggunaan tenaga kerja asing; dan
pengelolaan pertambangan rakyat. (21 Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu. (41 Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizir,an Tertentu. Pasal 46 (1) Pelayanan pemberian izin persetujuan Bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan persetujuan Bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (21 Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan. Pasal 47 (1) Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga keda asing oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan. Pasal 48 (1) Pelayanan pengelolaan pertambangan ralryat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf c merupakan pelayanan pembinaan dan pengawasan kepada pemegang izin pertambangan ralgrat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (21 Pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diberikan kepada:
orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau
koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat. Pasal 49 (1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. (21 Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (l) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
Khusus untuk pelayanan persetujuan Bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (ll, biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan gedung. (4) Khusus untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing. (5) Khusus untuk pelayanan pemberian izin pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1), biaya pengelolaan pertambangan ralgrat mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku pada kementerian di bidang energi dan sumber daya mineral. Paragraf 5 Pemanfaatan Penerimaan Retribusi Pasal 50 (1) Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan. (21 Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai BLUD. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perkada. >
Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Relevan terhadap
Peraturan Pemerintah ini diundangkan. mulai berlaku pada tanegal Agar Agar setiap pengundangan penempatannya Indonesia. 34 orang mengetahuinya, memerintahkan Peraturan Pemerintah ini dengan dalam kmbaran Negara Republik Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2O22 JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2022 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PRATIKNO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 217 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44TAHUN2022 TENTANG PENERAPAN TERHADAP PA.JAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUAI.,AN ATAS BARANG MEWAH I. UMUM Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian; mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera; mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum; melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan; dan meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pengaturan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 l.entang Harmonisasi Peraturan Perpajakan meliputi pengaturan tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, program pengungkapan sukarela wajib pajak, pajak karbon, dan cukai. Dengan Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2O2l tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, terdapat pengaturan mengenai tarif, cara menghitung, penggunaan besaran tertentu dalam memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai, serta penunjukan pihak lain untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak, yang perlu diatur lebih lanjut. Selain itu, pengaturan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2O2l tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha sudah tidak sesuai dengan kebutuhan administrasi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta pengaturan dalam Undang-Undalg Nomor 7 Tahun 2021 terftang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum, melakukan penyederhanaan administrasi, memberikan kemudahan dan keadilan di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah kepada wajib pajak, dan melakukan simplifrkasi regulasi, perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Talrun 2OL2 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2OO9 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2O2l tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha. il Peraturan Pemerintah ini memberikan pengaturan, penegasan, dan penjelasan lebih lanjut atas pengaturan mengenai kerja sama operasi, tanggung ^jawab secara renteng pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma, penyerahan yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai, penyerahan Barang Kena Pajak melalui penyelenggara lelang, penyerahan Barang Kena Pajak berupa agunan yang diambil alih oleh kreditur, penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema transaksi pembiayaan syariah, ketentuan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dengan besaran tertentu, konversi kurs atas transaksi dengan mata uang selain Rupiah, pengkreditan Pajak Masukan yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, dan penunjukan pihak lain untuk memungut, menyetor, dan/atau melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang. PASAL DEMI PASAL Pasal I Cukup ^jelas. Pasa] 2 Ayat ^(1) Cukup ^jelas, Ayat (2) Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak mempunyai akibat hukum yang luas antara lain berkaitan dengan pembuatan Faktur Pajak, penerapan tarif 0% (nol persen), pengkreditan Pajak Masukan, dan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualaa atas Barang Mewah terlaksana secara efektif, sudah sewajarnya apabila Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak berwujud, ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 3 Ayat (1) Bentuk pengaturan bersama merupakan pengaturan 2 (dua) pihak atau lebih yang memiliki pengendalian bersama yang terdiri atas kerja sama operasi (joint operation) dan ventura bersama. Ayat (2) Contoh bentuk kerja sama operasi ya.rg wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak: PT ABC dan PI DEF membentuk kerja sama operasi dengan nama KSO A-D dalam rangka pelaksanaan proyek kepada pelanggan (pemilik proyek). Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak danlalau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan dilakukan atas nama KSO A-D, Berdasarkan hal di atas:
KSO A-D wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
KSO A-D wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan; dan
apabila dalam rangka kerja sama operasi tersebut, PT ABC atau PT DEF melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan, maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan dari PT ABC atau PT DEF kepada KSO A-D, sehingga PT ABC atau PT DEF harus membuat Faktur Pajak kepada KSO A-D dan KSO A-D membuat Faktur Pajak kepada pelanggan. Contoh bentuk kerja sama operasi yang tidak wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak: PT X dan PI Y membentuk kerja sama operasi dengan nama KSO X-Y dalam rangka pelaksanaan proyek kepada pelanggan. Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan dilakukan atas nama PT X. Berdasarkan hal tersebut, dalam rangka pelaksanaan proyek ini, KSO X-Y tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan. Pasal 4 Cukup ^jelas. Pasal 5 Cukup ^jelas. Pasal 6 Ayat ^(1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Contoh pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak berupa pemberian barang untuk promosi oleh suatu perusahaan kepada relasi bisnis atau pihak lain. Sedangkan contoh pemberian cunra-cuma Jasa Kena Pajak berupa pemberian baatuan penggunaan alat berat oleh perusahaan jasa persewaan alat berat kepada masyarakat. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 7 Sesuai dengan penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyatakan bahwa penyerahan ^jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
^jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, maka terutangnya Pajak Pertambahan Nilai tidak mensyaratkan apakah ^jasa harus dikonsumsi atau dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean atau tidak. Contoh 1: A Corp. yang berdomisili di Jepang lagu kepada PT B di Indonesia untuk dibuatkan penulisan not balok atas lagu tersebut. Penulisan not balok yang telah selesai dikirim kembali ke Jepang. Atas ^jasa penulisan not balok yang dilakukan oleh PI B tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai. Contoh 2: Z Corp. yang berdomisili di Korea Selatan berencana memasarkan produknya di Indonesia. Oleh karena itu, Z Corp. menyewa PT DEF di Indonesia untuk melakukan survei pasar di Indonesia. Jasa survei yang dilakukan oleh PT DEF tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 8 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "aktivitas operasional" merupakan aktivitas penghasil utama pendapatan Pengusaha Qtincipal reuenue producing actiuitiesl dan aktivitas lain yang bukan merupakan aktivitas investasi dan aktivitas pendanaan. Termasuk dalam kategori aktivitas operasional adalah transaksi dan peristiwa atau kejadian yang efeknya ikut dipertimbangkan dalam penentuan laba rugi operasional (operating incomel. Yang dimaksud dengan "aktivitas nonoperasional" merupakan aktivitas selain aktivitas operasional sebagaimana dimaksud di atas. Contoh: PT DEF merupakan perusahaan ^jasa konstruksi. Selain melakukan penyerahan jasa konstruksi, PT DEF ^juga menyewakan sebagian ruang kantornya untuk kafetaria kepada pihak lain. Atas penyerahan ^jasa konstruksi termasuk dalam pengertian aktivitas operasional, sedangkan penyerahan jasa persewaā¬rn ruangan untuk kafetaria termasuk dalam pengertian aktivitas nonoperasional. Pasal 9 Cukup ^jelas. Pasal 1O Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Contoh l: Sehubungan dengan tidak dapat diselesaikannya kewajiban Tuan A sebagai debitur kepada Bank B sebagai kreditur, Bank B melakukan eksekusi agunan berupa kavling tanah milik Tuan A berdasarkan hak tanggungan atas tanah tersebut. Bank B melakukan penjualan kavling tanah tersebut kepada Tuan C sebagai Pembeli melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan. Penjualan kavling tanah oleh Bank B kepada T\ran C termasuk penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Contoh 2: PI D sebagai kreditur merupakan perusahaan pembiayaan yang melakukan eksekusi objek pembiayaan berupa sepeda motor dari Tuan E sebagai debitur berdasarkan ^jaminan Iidusia. PT D melakukan penjualan sepeda motor tersebut kepada Tuan F sebagai Pembeli melalui penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan harga antara PT D dan T\ran E sebelum agunan dijual. Penjualan sepeda motor oleh PT D kepada Tuan F termasuk penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (3) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Cukup ^je1as. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan ^opembebanan sejenis lainnya" merupakan pembebanan yang memiliki fungsi yang sama atau serupa dengan hak tanggungan, ^jaminan lidusia, hipotek, atau gadai. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 11 Cukup ^jelas. REPUE|JK IHDONESIA Pasal 12 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema transaksi pembiayaan syariah" antara lain:
penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka penerbitan sukuk, termasuk penyerahan Barang Kena Pajak ke dan dari perusahaan penerbit sukuk (special ptrpose entity; dan
penyerahan Barang Kena Pajak dalam skema perdagangan komoditi berdasarkan prinsip syariah di bursa komoditi dengan mekanisme perdagangan dengan penjualan lanjutan di pasar komoditi syariah, yang terjadi dalam rangka memenuhi prinsip syariah. Barang Kena Pajak yang diserahkan dalam rangka penerbitan sukuk merupakan aset sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal syariah. Contoh penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka penerbitan sukuk: PT A sebagai emiten menerbitkan sukuk ijarah yang didasarkan pada objek ijarah berupa kendaraan sebagai underlging dan pada saat yang bersamaan investor menyerahkan sejumlah dana kepada PT A. Atas penerbitan sukuk tersebut, PT A mengalihkan kendaraan kepada investor dan investor menerima manfaat objek ijarah dari PT A. PT A melakukan pembayaral sewa berupa ctcilan fee ijarah secara periodik sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan beserta sisa pe ijarah pada saat jatuh tempo sukuk. Investor mengalihkan kendaraan kepada PT A pada saat jatuh tempo sukuk. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penyerahan kendaraan yang merupakan objek ijarah dalam rangka penerbitan sukuk oleh:
PT A kepada investor pada saat penerbitan sukuk; dan
investor kepada PT A pada saat ^jatuh tempo sukuk, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pqiak. Contoh perdagangan dengan penjualan lanjutan di pasar komoditi syariah: T\ran A sebagai nasabah Bank Syariah B mengajukan permohonan pinjaman sebesar RpI0O.OOO.OOO,OO (seratus juta rupiah) kepada Bank Syariah B yang merupakan peserta komersial di pasar komoditi syariah. Atas permohonan tersebut, dalam rangka memenuhi prinsip syariah, Bank Syariah B membeli Crude Palm OiI (CPO) dari anggota kelompok pedagang C yang terdiri atas pedagang 1, pedagang 2, darr pedagang 3 yang merupakan peserta pedagang komoditi di pasar komoditi syariah. Salah satu anggota kelompok pedagang C menyerahkan CPO kepada Bank Syariah B dan Bank Syariah B melakukan pembayaran sebesar Rp1O0.O0O.0O0,O0 (seratus ^juta rupiah) kepada anggota kelompok pedagang C. Kemudian, Bank Syariah B menjual CPO tersebut senilai Rpl10.00O.0O0,O0 (seratus sepuluh ^juta rupiah) kepada T\ran A dan Tuan A membayar secara angsuran selama 1 (satu) tahun sesuai kesepakatan dalam akad murabahah. Selanjutnya, T\ran A menjual CPO tersebut kepada anggota kelompok pedagang C seharga Rp1O0.OOO.00O,00 (seratus juta rupiah) sehingga CPO yang menjadi objek perdagangan komoditi berdasarkan prinsip syariah kembali kepada pihak yang sama yaitu anggota kelompok pedagang C. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penyerahan CPO oleh:
aflggota kelompok pedagang C kepada Bank Syariah B;
Bank Syariah B kepada T: an A; dan
Tuan A kepada anggota kelompok pedagang C, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak. Dalam Dalam hal pemilik asal CPO tidak mendapatkan kembali CPO dalam jumlah dan nilai yang sama maka transaksi tersebut termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 13 Cukup ^jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Contoh: PT ABC merupakan produsen Barang Kena Pajak A yang tergolong mewah, Dalam menghasilkan Barang Kena Pajak A, PT ABC juga membeli Barang Kena Pajak B yang tergolong mewah yang akan dipasang pada Barang Kena Pajak A yang dihasilkannya. Atas perolehan Barang Kena Pajak B tersebut, PT ABC telah membayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah sehsar Rp4SO.OO0,OO (empat ratus lima puluh ribu rupiah). Apabila harga produksi Barang Kena Pajak A sebesar RpI6O.0O0.O00,O0 (seratus enam puluh juta rupiah) dan keuntungan yang diinginkan PT ABC sebesar Rp4O.000.O00,OO (empat puluh juta rupiah) maka Harga Jual Barang Kena Pajak A tersebut sebesar Rp200,450.000,00 (dua ratus juta empat ratus lima puluh ribu rupiah). Pada tanggal I September 2022, PT ABC melakukan penyerahan Barang Kena Pajak A. Dengan demikian, pajak yang terutang atas penyerahan tersebut: Pajak Pertambahan Nilai (tarif yang berlaku sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai) = llo/oX Rp2OO.45O.O0O,O0 = Rp 22.O49.5OO,OO Pajak Penjualan atas Barang Mewah $anf 2O%l = 2Oo/oX Rp20O.450.00O,00 = Rp40.O90.000,O0 Ayat (3) Contoh 1: PT X yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT A dengaa Harga Jual sebesar Rp1OA.0O0.O0O,OO (seratus ^juta rupiah) pada tanggal 1 September 2022. Atas penjualan tersebut dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai tarif yang berlaku dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar 207o (dua puluh persen). Dasar pengenaan pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah sebesar Rp10O.0OO.000,00 (seratus juta rupiah), tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, ^jumlah yang dibayar oleh PI A yaitu sebagai berikut: Dasar pengenaan pajak (Harga Jual) = Rp100.000.000,00 Pajak Pertambahan Nilai = Rp 11.000.000,00 Pajak Penjualan atas Barang Mewah = Rp 20.0O0.000.00 ^+ Jumlah yang dibayar oleh PI A = Rp131.000.00O,00 Contoh 2: PT C mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dengan nilai impor sebesar Rp2O0.000.00O,00 (dua ratus ^juta rupiah) pada tanggal I September 2022. Atas impor tersebut dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai tarif yang berlaku dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar 30% (tiga puluh persen). Dasar pengenaan pajak atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah sebesar Rp2OO.O0O.0O0,O0 (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas impor Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, ^jumlah yang dibayar oleh PT C yaitu sebagai berikut: Dasar pengenaan pajak (nilai impor) = Rp2OO.OOO.OOO,O0 Pajak Pert^ambahan Nilai = Rp 22.0OO.OO0,OO Pajak Penjualan atas Barang Mewah = Rp 6O.O0O.OOO.0O ^+ Jumlah yang dibayar oleh PT C = Rp282.OO0.OOO,0O REFUBLjK INDONESIA Ayat (4) Contoh 1 sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (3), PT A menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PI B dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp 15.000.000,00 (lima belas ^juta rupiah) pada tanggal 30 September 2O22. Dasar pengenaan pajak atas penjualan tersebut termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, ^jumlah yang dibayar oleh PT B yaitu sebagai berikut: Harga beli PT A = Rp100,000.0O0,00 Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar = Rp 20.000.000,00 Keuntungan yang diharapkan = Ro 15.000.000.00 ^+ Dasar pengenaan pajak = Rp135.000.000,00 Pajak Pertambahan Nilai 1l% x Rp135.000.000,00 Jumlah yang dibayar oleh PI B = Rp149.850.000,00 Contoh 2 sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (3), PT C menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT D dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) pada tanggal 30 September 2O22. Dasar pengenaan pajak atas penjualan tersebut termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dibayar atas impor Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, jumlah yang dibayar oleh PT D yaitu sebagai berikut: Nilai impor PI C = Rp2O0.OOO.OOO,O0 Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar = Rp 60.000.000,00 Keuntungan yang diharapkan = Rp 40.000.0O0.00 ^+ Dasar pengenaan pajak = Rp3O0.00O.OO0,O0 Pajak Pertambahan Nilai 11olo x Rp3OO.OO0.0OO,00 - Rp 33.0O0.000.00 ^+ Jumlah yang dibayar oleh PI D = Rp333.000.000,00 + REI'UEUK INDONESIA Pasal 15 Ayat (1) Dalam rangka memberikan kemudahan dan penyederhanaan administrasi perpajakan serta rasa keadilan, Menteri dapat menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dan disetor oleh:
Pengu.saha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu;
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu antara lain yang:
mengalami kesulitan dalam Pajak Masukan;
melakukan transaksi melalui pihak ketiga, baik penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak maupun pembayarannya; atau
memiliki kompleksitas proses bisnis sehingga pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dilakukan dengan mekanisme normal; dan/atau
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu. Yang dimaksud dengan "Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu" merupakan:
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai dalam rangka perluasan basis pajak; dan
Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut pada prinsipnya telah diperhitungkan atau dianggap telah dikreditkan dalam penghitungan Pajak Keluaran dengan menggunakan besaran tertentu. Bagi ELIK INDONESIA Bagi Pengusaha Kena Pajak Pembeli atau Penerima Jasa yang seharusnya sudah membayar Pajak Pertambahan Nilai dengan besaran tertentu, dapat mengkreditkan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan pengkreditan Pajak Masukan. Ayat (a) Contoh l: Pf KLM merupakan Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan besaran tertentu dalam memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tertentu. Dalam hal F,f KLM melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu kepada Pengusaha yang berada di kawasan tertentu sehingga Pajak Pertambahan Nilai terutang tidak dipungut maka:
Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dihitung dengan menggunakan besaran tertentu;
Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dipungut; dan
Pajak Masukan yang diperoleh PT KLM atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang Pajak Pertambahan Nilai terutangnya tidak dipungut, tidak dapat dikreditkan. Contoh 2: Pt CDE merupakan Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai peredaran usaha dalam I (satu) tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu dan menggunakan besaran tertentu dalam memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang. PT CDE melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Atas penyerahan tersebut:
Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dihitung dengan menggunakan besaran tertentu; REPUBUK TNDONESIA atas penyerahan Barang Kena Pajak dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; dan Pajak Masukan yang diperoleh PT CDE atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan. Pasal 16 Untuk memberikan keadilan, kepastian hukum, dan menghindari pembebanan Pajak Pertambahan Nilai berganda bagi Pengusaha Kena Pajak yang memungut Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan besaran tertentu, diperlukan pengaturan penggunaan dasar pengenaan pajak berupa nilai tertentu sebesar Rp0,O0 (nol rupiah). Pada prinsipnya, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak juga menganut prinsip penghindaran pembebanan Pajak Pertambahan Nilai berganda. Oleh karena itu, penggunaan dasar pengenaan pajak berupa nilai tertentu sebesar Rp0,0O (nol rupiah) tersebut pada dasarnya ^juga diterapkan atas pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma- cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang memungut Pqiak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan besaran tertentu. Contoh: b c Yl KZL mempunyai 1 (satu) cabang yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Meulaboh, tetapi tidak melakukan pemusatan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang. W Y\ZL melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas dan aksesoris kendaraan bermotor kepada cabangnya yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Meulaboh. Harga pokok penjualan atau harga perolehan kendaraan bermotor bekas yang diserahkan sebesar Rp10O.0OO.O00,0O (seratus juta rupiah) dan harga pokok penjualan atau harga perolehan aksesori kendaraan bermotor yang diserahkan sebesar Rp1.5OO.O00,OO (satu juta lima ratus ribu rupiah). Oleh karena itu, atas penyerahan berupa:
kendaraan bermotor bekas, Pf KZL memungut Pajak Pertambahan Nilai menggunakan besaran tertentu dengan dasar pengenaan pajak berupa nilai tertentu sebesar Rp0,00 (nol rupiah); dan
aksesori kendaraan bermotor, W KZL memungut Pajak Pertambahan Nilai sebesar tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku dikalikan dengan dasar pengenaan pajak berupa nilai Iain sebesar harga pokok penjualan atau harga perolehan sebesar Rp1.50O.000,OO (satu juta lima ratus ribu rupiah). Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "'I- merupakan besamya tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai atau formula tertentu dikalikan dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (21 Yang dimaksud dengan "t" merupakan besarnya tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah. REPTIELIK INDONESIA Ayat (3) Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui: Harga Jual = Rp10.0OO.OO0,OO Dasar pengenaan pajak dalam contoh ini adalah = Rp10.OOO.0O0,OO Ayat (a) Contoh sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (3) maka Pajak Pertambahan Nilai yang tenrtang yaitu sebesar 117o x Rp1O.0O0.O00,00 = Rp1. 1O0.00O,0O. Atas penyerahan tersebut ^juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah misalnya dengan tarif 2OYo (dua puluh persen) maka Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang yaitu sebesar 2O% x Rp10.000.000,00 = Rp2.000.000,00. Ayat (s) Cukup ^jelas. Pasa] 18 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Contoh: Pada tanggal I September 2022, PT A membuat kontrak penyerahan Barang Kena Pajak. Apabila dalam kontrak atau perjanjian tertulis dinyatakan bahwa nilai kontrak sebesar Rp131.000.0O0,O0 (seratus tiga puluh satu ^juta rupiah) sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif sebesar 11% (sebelas persen) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 2Oo/o (dua puluh persen), penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yaitu sebagai berikut: Pajak Pertambahan Nilai = 110/o : - --+ x Rp131.000.000,00 = Rp11.000.000,00 llooo/o+ ^1 ^lYo|+2oo/o Pajak Penjualan atas Barang Mewah = 2Oo/o x Rp131.0OO.00O,00 = Rp20.000.0O0,00 ll00o/o+ ^l ^lYol+2oo/o REPUBIJK INDONESIA Ayat (3) Sebagaimana contoh dalam penjelasan ayat (2), apabila dalam kontrak atau perjanjian tertulis tidak dinyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan P4lak Penjualan atas Barang Mewah termasuk dalam nilai kontrak, besarnya dasar pengenaan pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai adalah sebesar Rp 131.000.OO0,0O (seratus tiga puluh satu ^juta rupiah) sehingga penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yaitu sebagai berikut: Dasar pengenaan pajak = Rp131.0O0.O0O,00 Pajak Pertambahan Nilai (llo/o x Rp131.000.000,00) = Rp 14.410.000,00 Pajak Penjualan atas Barang Mewah (2Oo/o x Rp131.000.000,00) = Rp 26.20O.000'0O Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "piutang" merupakan piutang yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Contoh: Pada bulan September 2022, Yl A telah menjual Barang Kena Pajak dengan nilai Rp10O.000.O00,00 (seratus ^juta rupiah) kepada PT B dengan mekanisme penjualan kredit. Transaksi tersebut oleh PI A dicatat sebagai piutang sedangkan oleh PT B dicatat sebagai utang. Untuk kepentingan ^pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai, PI A membuat Faktur Pajak dengan nilai Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp11.00O.00O,00 (sebelas ^juta rupiah) dan menyerahkan Faktur Pajak tersebut kepada PI B. Selanjutnya Faktur Pajak yang telah dibuat oleh PT A tersebut telah dilaporkan baik oleh PI A dan PT B dalam surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak September 2022. Pada FRES: DEN REFUEUK INDONESIA Pada bulan Desember 2022, Yl A mengeluarkan kebijakan untuk menghapus semua piutang dari PT B. Penghapusan piutang tersebut tidak berpengaruh terhadap pelaporan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dilakukan baik oleh PT A maupun FT B dalam surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak September 2022. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ^ukeadaan kahar" atau force majeure merupakan suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya yang meliputi bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Keadaan kahar atau force majeure tersebut harus dinyatakan oleh pejabat/instansi yang berwenang. Pasal 20 Ayat {1) Cukup ^jelas. Ayat (21 Hurufa Cukup ^jelas. Huruf b Contoh 1: PT A melakukan penyerahan barang yang tidak dikenai pajak kepada PT B dengan nilai sebesar Rp1.000.00O.000,00 (satu miliar rupiah). Atas transaksi yang seharusnya tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai tersebut, PT A telah memungut dari PI B dan telah menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungutnya dengan nilai sebesar Rp110.000.000,0O (seratus sepuluh juta rupiah) ke kas negara. Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh PT B sebagai pihak yang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan. Contoh 2: Contoh 2: PI A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dengan nilai sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh ^juta rupiah) kepada instansi pemerintah B yang merupakan pemungut pajak. Atas transaksi tersebut instansi pemerintah B sebagai pemungut pajak telah memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.5OO.0OO,OO (dua juta lima ratus ribu rupiah) ke kas negara. Berdasarkan ha1 tersebut, diketahui terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut lebih besar dari seharusnya dengan perhitungan sebagai berikut: Pajak Pertambahan Nilai yang telah di t dan disetor ke kas negara = Rp2.500.000,00 ak bahan Nilai yang dipungut dan disetor negara Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh instansi pemerintah B sebagai pihak yang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan. Huruf c Contoh 1: PT A melakukan penyerahan ^jasa yang tidak dikenai pajak kepada PI B dengan nilai sebesar Rp1.000.000.00O,00 (satu mitar rupiah). Atas transalsi yang seharusnya tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai tersebut, PT A telah memungut dari PT B dan telah menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungutnya dengan nilai sebesar Rpl10.000.000,00 (seratus sepuluh juta rupiah) ke kas negara. Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh Pt B sebagai pihakyang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan. Contoh2: ke kas Selisih = Rp2.200.000.00 - = Rp 3O0.O00,00 Contoh 2: PT A melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan nilai sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh ^juta rupiah) kepada instansi pemerintah B yang merupakan pemungut pajak. Atas transaksi tersebut instansi pemerintah B sebagai pemungut pajak telah memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.5OO.000,00 (dua ^juta lima ratus ribu rupiah) ke kas negara. Berdasarkan hal tersebut, diketahui terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut lebih besar dari seharusnya dengan perhitungan sebagai berikut: Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut dan disetor ke kas negara = Rp2.5O0.O0O,00 Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dipungut dan disetor ke kas negara Selisih = Rp 300.00O,OO Atas kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh instansi pemerintah B sebagai pihak yang terpungut sepanjang belum dikreditkan sebagai Pajak Masukan, belum dibebankan sebagai biaya, dan belum dikapitalisasi dalam harga perolehan. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup ^jelas. Pasal 21 Contoh 1: Atas transaksi tersebut PT A telah menerbitkan faktur penjualan (inuoicel namun belum membuat Faktur Pajak. Faktur Pajak baru dibuat oleh PI A pada tanggal 20 September 2022. Kurs yang digunalan oleh PT A atas Faktur Pajak yang diterbitkan pada tanggal 20 September 2022 harus menggunakan kurs yang ditetapkan Menteri yang berlaku pada saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu kurs sebesar Rp14.500,00 (empat belas ribu lima ratus rupiah) untuk setiap US$1,0O (satu dolar Amerika Serikat) yang berlaku pada tanggal 1 September 2022. Contoh 2: PT A yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada PT B dengan nilai sebesar US$10.000,00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Penyerahan tersebut dilakukan pada tanggal 1 September 2O22 dengan kurs yang ditetapkan Menteri yang berlaku saat itu sebesar Rp14.500.00 (empat belas ribu lima ratus rupiah) untuk setiap US$1,00 (satu dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 20 September 2022 diketahui bahwa Faktur P4jak yang dibuat atas transaksi tersebut memuat kekeliruan dalam pencantuman jenis Barang Kena Pajak. Atas kesalahan tersebut, PT A melakukan pembetulan Faktur Pajak dengan cara membuat Faktur Pajak pengganti pada tanggal 2O September 2022 dengan tetap mencantumkan kurs yang ditetapkan Menteri yang berlaku pada saat Faktur Pajak yang diganti seharusnya dibuat, yaitu kurs sebesar Rp14.5OO,00 (empat belas ribu lima ratus rupiah) untuk setiap US$1,00 (satu dolar Amerika Serikat) yang berlaku pada tanggal 1 September 2022. Pasal 22 Ayat (l) Yang dimaksud dengan ^otempat pengkreditan Pajak Masukan' merupakan di tempat Pengusaha diadministrasikan oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak. Contoh: E: I-tlI,T{Il REI'UBUK INOONESIA Contoh: PT A yang berkedudukan di Kabupaten Gresik dan telah diadministrasikan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Gresik, melakukan impor Barang Kena Pajak melalui pelabuhan Tanjung Perak di Kota Surabaya. Atas impor Barang Kena Pajak tersebut, PT A mengkreditkan Pajak Masukan di Kabupaten Gresik dan tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kota Surabaya. Ayat (2) Contoh: Pengusaha Kena Pajak A yang kantor pusatnya di Kota Jakarta Pusat dan telah terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir Satu memiliki pabrik yang terletak di Kota Surakarta dan terdaJtar sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta. Pemberitahuan impor barang dalam rangka impor Barang Kena Pajak menggunakan nomor pokok wajib pajak kantor pusat di Kota Jakarta Pusat. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Pengusaha Kena Pajak di Kota Surakarta dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang tercantum dalam pemberitahuan impor barang tersebut. Direktur Jenderal Pajak karena jabatan dapat menetapkan tempat lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak, sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan. Ketentuan ini diperlukan untuk memberikan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak yang terdaftar di kantor pelayanan pajak tertentu yang pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilainya ditetapkan secara terpusat. Ayat (3) Cukup ^jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Huruf a Saat penyerahan barang bergerak merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyinkronkan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan pralrtik yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak. Dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum maka: a penyerahan barang bergerak dapat terjadi pada saat barang tersebut dikeluarkan dari penguasaan Pengusaha Kena Pajak (penjual) dengan maksud langsung atau tidak langsung untuk diserahkan pada pihak lain. Oleh karena itu, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang pada saat hak penguasaan barang telah berpindah kepada Pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama Pembeli; dan
perpindahan hak penguasaan atas barang dapat ^juga te{adi pada saat barang diserahkan kepada pihak kedua atau Pembeli atau pada saat barang diserahkan melalui juru kirim, pengusaha ^jasa angkutan, atau pihak ketiga lainnya. Oleh karena itu, Pajak Pertambahaa Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai darr Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang pada saat barang diserahkan kepada juru kirim, pengusaha ^jasa angkutan, atau pihak ketiga lainnya. Saat penyerahan barang sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, tercermin dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum dalam bentuk pengakuan sebagai piutang atau penghasilan dengan penerbitan faktur penjualan (inuoiel sebagai sumber dokumennya. Dalam kegiatan usaha, saat pengakuan piutang atau penghasilan atau saat penerbitan faktur penjualan (inuoiel dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat penyerahan barang secara Iisik sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat pembuatan Falrtur Pajak, saat penerbitan faktur penjualan {inuoiel ditetapkan sebagai saat penyerahan barang yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Yang dimaksud dengan "faktur penjualan" antara lain dokumen lain yang berfungsi atau kedudukannya sama dengan faktur penjualan linuoiel, Huruf b Penyerahan Barang Kena Pajak untuk Barang Kena Pajak tidak bergerak terjadi pada saat surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Saat tersebut menjadi dasar penentuan saat tenrtang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Namun demikian, dalam hal penyerahan hak atas barang tidak bergerak tersebut secara nyata telah terjadi meskipun surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak belum ditandatangani, penyerahan Barang Kena Pajak dianggap telah terjadi. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan 'persediaan" merupakan persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu, persediaan barang dalam proses, persediaan barang setengah ^jadi , danf atau persediaan barang ^jadi. Huruf e Yang dimaksud dengan "penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha" merupakan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan sebagaimana diatur dalam undang- undang mengenai perseroan terbatas. Yang dimaksud dengan "pemekaran dan pemecahan usaha" merupakan pemisahan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. Yang dimaksud dengan "perubahan bentuk usaha" merupakan berubahnya bentuk usaha yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak, misalnya semula bentuk usaha Pengusaha Kena Pajak merupakan ^qmmanditaire uentwotschap kemudian berubah menjadi perseroan terbatas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Penyerahan Jasa Kena Pajak tefadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Saat penyerahan Jasa Kena Pajak ini merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak. Namun demikian, dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkal prinsip akuntansi yang berlaku umum, saat pengakuan piutang atau penghasilan, atau saat penerbitan faktur penjualan (inuoiel dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat pembuatan Faktur Pajak, saat penerbitan faktur penjualai (inuoice) dapat ditetapkan sebagai saat penyerahan jasa yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyinkronkan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dengan praktik yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Ayat (8) Cukup ^jelas. Ayat (9) Cukup ^jelas. Ayat (1o) Cukup ^jelas. Pasal 24 Ayat (1) Penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak yang dilakukan secara konsinyasi, yaitu penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan dengan cara:
consignor menitipkan Barang Kena Pajak kepada consignee; dan
consignee menyerahkan Barang Kena Pajak yang dititipkan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Pembeli dimaksud. Berdasarkan ketentuan ini, penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi oleh consignor tidak terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung untuk dititipkan kepada @ns@rae, tetapi terjadi pada saat con signor mengakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjuaTan linuoie) oleh Pengusaha Kena Pajak onsigrar, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup ^jelas. Pasal 26 Ayat (1) Penentuan saat pembuatan Faktur Pajak dilakukan untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan di dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung pajak penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, saat pembuatan Faktur Pajak ditentukan sesuai dengan prinsip bisnis yang sehat dan harus memenuhi prinsip akuntansi ^yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten. Untuk kepastian hukum dan untuk memberikan kemudahan administrasi kepada Pengusaha Kena Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai, perlu penjelasan atau penegasan dalam bentuk ilustrasi kapan saat pembuatan Faktur Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan ekspor Barang Kena Pajak. Contoh saat pembuatan Faktur Pajak:
Penyerahan Barang Kena Pajak bergerak. Contoh l: PT Aman menyerahkan Barang Kena Pajak secara langsung kepada T.ran Igna pada tanggal 15 September 2022. Atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PI Aman membuat Faktur Pajak pada tanggal 15 September 2022, yaitu pada saat diserahkan secara langsung kepada Pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama Pembeli. Contoh 2: PI Berkah yang berkedudukan di Jakarta menjual Barang Kena Pajak kepada PT Ceria di Surabaya dengan syarat pengiriman (term of deliueryl loco gudang penjual $ree on board shipping pointl. Barang Kena Pajak dikeluarkan dari gudang PT Berkah dan dikirim ke gudang Pf Ceria pada tanggal 12 September 2022 dengan menggunakan perugahaan ekspedisi dengan tanggal deliuery order (DOl 12 September 2022. Barang diterima oleh PT Ceria pada tanggal 14 September 2022, Atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT Berkah membuat Faktur Pajak pada tanggal 12 September 2022, yaitu pada saat diserahkan kepada ^juru kirim atau pengusaha ^jasa angkutan. Tanggal tersebut merupakan saat pembuatan Faktur Pajak karena transaksi menggunakan syarat pengiriman (term of deliueryl looo gudang penjual (free on board shipping pointl. DaIam 2 Dalam hal pada contoh 1 dan contoh 2 di atas, faktur penjualan (inuoicel diterbitkan tidak pada tanggal penyerahan secara langsung atau pada saat diserahkan kepada ^juru kirim atau pengusaha ^jasa angkutan karena kondisi tertentu, maka Faktur Pajak wajib dibuat pada saat penerbitan faktur penjualan (inuoicel. Penerbitan faktur penjualan (inuoiel tersebut harus dilakukan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten. Contoh 3: PT Cantik di Jakarta menjual Barang Kena Pajak kepada PT Sentosa di Semarang dengan syarat pengiriman (term of deliueryl franm gtdang Pembeli (free on board destinationl, Barang dikeluarkan dari gudang PT Cantik dan dikirim ke gudang PT Sentosa pada tanggal 1.2 September 2022 dengan menggunakan perusahaan ekspedisi. Barang diterima oleh PT Sentosa pada tanggal 13 September 2O22. PT Cantik menerbitkan faktur penjualan (inuoiel pada tanggal 16 September 2O22. Atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, FT Cantik wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 13 September 2022 yaitu pada saat diterima oleh Pembeli atau paling lambat tanggal 16 September 2O22 yaitu pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak bergerak. Contoh 1: Pedanjian ^jual beli sebuah rumah ditandatangani tanggal 1 September 2022. Perjanjian penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai rumah tersebut dibuat atau ditandatangani tanggal 1 Desember 2022. Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 Desember 2022. Jlka sebelum surat atau akta tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerima barang. Contoh2: 3 Contoh 2: Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 September 2022. Faktur Pajak hanrs dibuat pada tanggal 1 September 2022. Jika sebelum surat atau akta tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan Pembeli atau ^penerima barang. Contoh 3: Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 September 2O22. Perjanjian jual beli ditandatangani tanggal 1 Oktober 2022. Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 September 2O22. Penyerahan Jasa Kena Pajak. Contoh 1: PT Semangat menyewakan 1 (satu) unit ruko kepada PT Diatetupa dengan masa kontrak selama 12 (dua belas) tahun. Dalam kontrak, disepakati antara lain:
PT Diatetupa mulai menggunakan ruko tersebut pada tanggal 1 September 2022. b. Nilai kontrak sewa selama 12 (dua belas) tahun sebesar Rp12O.0O0.00O,00 (seratus dua puluh ^juta rupiah). c. Pembayaran sewa, yaitu tahunan dan disepakati dibayar setiap tanggal 29 September dengan pembayaran sebesar Rp 1 0. OOO.OO0,OO (sepuluh juta rupiah) per tahun. Pada tanggal 29 September 2022, PT Diatetupa melakukan pembayaran sewa untuk tahun pertama. Atas penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut, PT Semangat wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 29 September 2022 dengan dasar pengenaan pajak sebesar Rp1O.0O0.O00,00 (sepuluh juta rupiah). Contoh2: Contoh 2: PT Toryrng mengontrak Firma Cerah Konsultan untuk memberikan ^jasa konsultansi manajemen dan pelatihan kepada staf pemasaran PT Torytrng selama 6 (enam) bulan dengan nilai kontrak sebesar Rp60.O0O.OO0,OO (enam puluh juta rupiah). Pembayaran jasa konsultansi al<an dilakukan setiap bulan. Firma Cerah Konsultan mulai memberikan ^jasa konsultansi pada tanggal 1 September 2022. Pada tanggal 10 Oktober 2022, Firma Cerah Konsultan menerbitkan faktur penjualan (inuoice) untuk menagih pembayaran ^jasa konsultansi bulan September 2022 sebesar Rp10.000.00O,00 (sepuluh ^juta rupiah). PT Toryrng melakukan pembayaran atas tagihan tersebut pada tanggal 20 Oktober 2022. Atas transaksi tersebut, Firma Cerah Konsultan wajib membuat Faktur Pajak pada tanggal 1O Oktober 2022 dengan dasar pengenaan pajak sebesar Rp10.OOO.OOO,OO (sepuluh ^juta rupiah) (sesuai denga.n nilai tagihan) meskipun pembayaran baru diterima tanggal 2O Oktober 2022. Contoh 3: Matriks saat pembuatan Faktur Pajak untuk beberapa contoh penyerahan di bidang ^jasa telekomunikasi, yaitu sebagai berikut: No. Periode Pemakaian/ Penyerahan Jasa Kena Pajak Periode Pengakuan Penghasilan Saat Diakui Penghasilan Penerbitan Faktur Penjualan (Inuoicel Paling Lambat Faktur Pajak Dibuat 1a 1-30 September 2O22 I-30 September 2022 1-30 September 2022 1-30 September 2022 26 Agustus -25 September 2022 September 2022 September 2022 September 2022 30 September 2022 30 September 2022 1b 1-30 September 2022 5 Oktober 2022 5 Oktober 2022 1c 1-30 September 2022 31 Oktober 2022 31 Oktober 2022 2 26 Agustus - 25 September 2022 September 2022 5 Oktober 2022 5 Oktober 2022 3 16 Agustus - 15 September 2022 16 Agustus -15 September 2022 Agustus 2022 20 September 2022 20 September 2022 4 16 Agustus - 15 September 2022 16 Agustus -15 September 2022 September 2022 20 September 2022 20 September 2022 5 16 Agu.stus - 15 September 2022 16 -31 Agustus 2022 Agustus 2022 31 Agustus 2022 31 Agustus 2022 1- 15 September 2022 September 2022 15 September 2022 15 September 2022 4 Penyerahan sebagian tahap pekerjaaa (pembayaran termin). Atas penyerahan sebagian tahap pekerjaan, misalnya penyerahan jasa pemborongan bangunan atau barang tidak bergerak lainnya, saat pembuatan Faktur Pajaknya dapat dijelaskan sebagai berikut: Umumnya, pekerjaan ^jasa pemborongan bangunan dan barang tidak bergera-k lainnya diselesaikan dalam suatu masa tertentu. Sebelum ^jasa pemborongan itu selesai dan siap untuk diserahkan, telah diterima pembayaran di muka sebelum pekerjaan pemborongan dimulai atau pembayaran atas sebagian penyelesaian pekerjaan jasa sesuai dengan tahap atau kemajuan penyelesaian pekerjaan. Dalam hal ini, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat pembayaran tersebut diterima oleh pemborong atau kontraktor, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (21 Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai. Selanjutnya, setelah bangunan atau barang tidak bergerak tersebut selesai dikerjakan maka jasa pemborongan seluruhnya diserahkan kepada Penerima Jasa. Dalam hal ini, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak itu dilakukan meskipun pembayaran lunas jasa pemborong atau kontraktor, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai. Contoh:
Tanggal 1 September 2022, perjanjian pemborongan ditandatangani dan diterima uang muka sebesar 20olo (dua puluh persen). 2. Tanggal 3 Oktober 2022, pekerjaan selesai 2Oo/o (dua puluh persen), diterima pembayaran tahap ke-1. 3. Tanggal 1 November 2022, pekerjaan selesai 5O7o (lima puluh persen), diterima pembayaran tahap ke- 2. tersebut belum diterima oleh iiTT{f.I{Il REPUBLIK TNDONESIA 4 5 Tanggal 21 November 2022, peke4aan selesai 80o/o (delapan puluh persen), diterima pembayaran tahap ke-3. Tanggal 25 Januari 2023, pekeqaan selesai looo/o (seratus persen), bangunan atau barang tidak bergerak diserahkan. 6. Tanggal 1 Februari 2023, diterima pembayaran tahap akhir (ke-4) sebesar 95% (sembilan puluh lima persen) dari harga borongan. 7. Tanggal 1 Agustus 2023, diterima pembayaran pelunasan seluruh jasa pemborongan. Pada angka I sampai dengan angka 4, Pqjak Pertambahan Nilai terutang pada tanggal diterimanya pembayaran (uang muka dan pembayaran termin), sedangkan pada angka 5 sampai dengan angkaT, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada tanggal 25 Januari 2023 atay, saat ^jasa pemborongan (bangunan atau barang tidak bergerak) selesai dilakukan dan diserahkan kepada pemiliknya. Tanggal pembayaran yang tersebut pada angka 6 dan ang)<a 7 tidak perlu diperhatikan karena tidak termasuk saat yang menentukan terutangnya Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan dasar akrual yang dianut dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Cara penentuan saat pembuatan Faktur Pajak tersebut di atas juga berlaku untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang penerimaan pembayarannya terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak datlatau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut. Ayat (2) Pada dasarnya, Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1a) dan ayat (2a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, apabila Pengusaha Kena Pajak terlambat membuat Faktur Pajak, Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf d ^juncto Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, tetapi tanpa ketentuan mengenai batas waktu keterlambatan. Dengan demikian, untuk menjamin kepastian terlaksananya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, perlu adanya pembatasan jangka waktu pembuatan Faktur Pajak. Di samping itu, ketentuan ini dimaksudkan ^juga untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung pajak penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai. Contoh 1: PT A yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada T\ran B yang Faktur Pajaknya seharusnya dibuat pada tanggal 1 September 2O22. Namun, tanggal pembuatan Faktur Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak yaitu 1 Desember 2O22. Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, Faktur Pajak tersebut tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak karena dibuat setelah melewati ^jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu dibuat setelah melewati tanggal 30 November 2O22. Contoh2: EEtrFIEtrN [iTfiIFItIilIrIiENtrEIA Contoh 2: CV C yang merupakan Pengusaha Kena Pajak menerima pembayaran uang muka dari PT D pada tanggal 2O September 2O22 untuk penyerahan Jasa Kena Pajak yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2022. Namun, tanggal pembuatan Faktur Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak yaitu 2O Desember 2O22. Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, Faktur Pajak tersebut tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak karena dibuat setelah melewati ^jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu dibuat setelah melewati tanggal 19 Desember 2O22. Contoh 3: PT E yang menrpakan Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa kali penyerahan Barang Kena Pajak kepada CV F selama bulan September 2Q22. Atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT E memilih membuat Faktur Pajak gabungan sehingga Faktur Pajak gabungan dimaksud seharusnya dibuat paling lama pada tanggal 30 September 2O22. Namun, tanggal pembuatan Faltur Pajak yang tercantum dalam Faktur P4iak gabungan yaitu 3O Desember 2022, Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, Faktur Pajak tersebut tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak karena dibuat setelah melewati ^jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, yaitu dibuat setelah melewati tanggal 29 Desember 2022. Ayat (3) Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Dengan demikian, Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dianggap tidak dibuat. Na.mun, Faktur Pajak yang dianggap tidak dibuat tersebut tetap wajib dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak tersebut dalam surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (4) Cukup ^jelas, Pasal 27 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat ^(2) Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara benar, lengkap, dan jelas serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam pasal ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Faktur Pajak yang mencantumkan identitas Pembeli atau Penerima Jasa berupa nama, alamat, dan nomor induk kependudukan bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak termasuk Faktur Pajak yang tidak mencantumkan nama, alamat, dan nomor pokok wajib pajak Pembeli atau Penerima Jasa sebagaimana diatur dalam Pasal ^g ayat (8) huruf f Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak dimaksud merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak orang pribadi sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 28 Cukup ^jelas. Pasal 29 Ayat (1) Huruf a Contoh: PT X yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak secara nyata kepada T\ran V pada tanggal 31 Desember 2024. Faktur Pajak dibuat oleh PI X pada tanggal 3l Desember 2024. Misalkan mulai tanggal 1 Januari 2025 tarif Pajak Pertambahan Nilai naik dari lLo/o (sebelas persen) menjadi l2o/o (dua belas persen), tarif Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak tetap menggunakan tarif 11% (sebelas persen) karena saat terutang Pajak Pertambahan Nilai terjadi sebelum tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai dan Faktur Pajak dibuat sebelum tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai. Hurufb Contoh: Yl Z yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak secara nyata kepada T\ran Y pada tanggal 31 Desember 2024. Namun, Faktur Pajak dibuat oleh FT X pada tanggal I Januari 2025. Misalkan mulai tanggal 1 Januari 2025 taif Pajak Pertambahan Nilai naik dari I Lo/o (sebelas persen) menjadi l2o/o (dua belas persen), tarif Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak menggunakan tarif l2o/o (dua belas persen) karena Faktur Pajak dibuat sejak tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai, meskipun saat terutang Pajak Pertambahan Nilai terjadi sebelum tanggal berlakunya perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (2) Cukup ^jelas. Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "konsumen akhir" menrpakan pembeli barang dan/atau penerima ^jasa yang mengonsumsi secara langsung barang dan/atau ^jasa yang dibeli atau diterima dan tidak menggunakan atau memanfaatkan barang dan/atau ^jasa dimaksud untuk kegiatan usaha. Ayat (21 Cukup ^jelas. Pasal 31 Cukup ^jelas. Pasal 32 Cukup ^jelas. Pasal 33 Cukup ^jelas.
Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri
Relevan terhadap
bahwa untuk meningkatkan kepastian hukum, mendorong peran serta masyarakat, dan memberikan kemudahan dan penyederhanaan administrasi perpajakan serta rasa keadilan atas kegiatan membangun sendiri, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai pajak pertambahan nilai atas kegiatan membangun sendiri;
bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri belum dapat menampung penyesuaian ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sehingga perlu diganti;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16C dan Pasal 16G huruf i Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri;
Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan
Relevan terhadap
bahwa untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, simplifikasi regulasi, dan meningkatkan pelayanan bagi Wajib Pajak, perlu mengganti ketentuan mengenai klasifikasi dan penetapan nilai jual objek pajak sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2014 tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan;
bahwa dengan beralihnya kewenangan pemungutan dan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ke Pemerintah Daerah berdasarkan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kewenangan Direktorat Jenderal Pajak terkait Pajak Bumi dan Bangunan adalah mengelola Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, dan sektor lainnya;
bahwa untuk memberikan kepastian hukum terkait pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan yang diatur secara khusus dalam Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, atau Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi, perlu menyelaraskan kewajiban pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan yang diatur secara khusus tersebut dengan mekanisme penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/ata ...
Relevan terhadap
bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum, keadilan, dan menyelaraskan ketentuan mengenai tarif pajak pertambahan nilai dan pelaporan pajak pertambahan nilai, perlu mengatur kembali tata cara penunjukan pemungut, pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak pertambahan nilai atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dan/atau jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean melalui perdagangan melalui sistem elektronik;
bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik belum dapat menampung perkembangan pengaturan penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai, sehingga perlu diganti;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 44E ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik;
Persyaratan untuk Menjadi Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa paj ak. 2 . Kuasa Hukum adalah orang perseorangan yang dapat mendampingi atau mewakili para pihak yang bersengketa dalam beracara pada Pengadilan Pajak.
Ketua adalah Ketua Pengadilan Pajak. 4 . Undang-Undang Pengadilan Pajak adalah UndangĀ Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Surat Kuasa Khusus adalah surat kuasa yang diberikan oleh para pihak yang bersengketa di Pengadilan Pajak kepada Kuasa Hukum untuk mendampingi atau mewakili para pihak yang bersengketa dalam beracara pada Pengadilan Pajak.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak ...
Bea Meterai
Relevan terhadap
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan 1. Bea Meterai adalah pajak atas Dokumen. Dokumen adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan. Tanda Tangan adalah tanda sebagai lambang nama sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan atau cap nama, atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan, atau tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang informasi dan transaksi elektronik. Meterai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang digunakan untuk membayar pajak atas Dokumen. Mengingat 2 3 4 5. Pihak 5. Pihak Yang Terutang adalah pihak yang dikenai Bea Meterai dan wajib membayar Bea Meterai yang terutang. 6. Pemeteraian Kemudian adalah pemeteraian yang memerlukan pengesahan dari pejabat yang ditetapkan oleh Menteri. 7. Setiap Orang adalah orang perseorangan danlatau badan, baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbadan hukum. 8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Pasal 2 (1) Pengaturan Bea Meterai dilaksanakan berdasarkan asas:
kesederhanaan;
efisiensi;
keadilan;
kepastian hukum; dan
kemanfaatan. (21 Pengaturan Bea Meterai bertujuan untuk:
mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera;
memberikan kepastian hukum dalam pemungutan Bea Meterai;
menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat;
menerapkan pengenaan Bea Meterai secara lebih adil; dan
menyelaraskan ketentuan Bea Meterai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.